"Mau atau tidak, engkau harus ikut bersama kami ke Kong-thong-pai! Di sana , dihadapan Kong-thong Ngo-lojin , baru kau boleh bicara membela diri" kata Kok Cin Cu sambil melangkah dan menghadang Keng Hong.
Pemuda itu menjadi penasaran dan marah sekali. Diantara banyak watak gurunya , sebuah watak yang diwarisinya adalah watak tidak takut menghadapi apapun asal merasa benar. Ia maklum akan kelihaian kakek ini , maklum dari penuturaan gurunya bahwa kelima orang tua Kong-thong Ngo lojin memiliki ilmu pukulan Ang -liong-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Naga Merah) dan amatlah ampuhnya, mengandung tenaga panah melebihi api membara dan merupakan kesaktian yang amat sukat dikalahkan. Ia pun mendengar pula bahwa selain Ang-liong-jiauw-kang, kelima orang kakek itu mempunyai senjata keistimewaan sendiri-sendiri dan Kok Cin Cu ini memiliki senjata sabuk baja yang dipergunakan sebagai pecut. Akan tetapi melihat betapa kakek ini mendesak dan memaksanya, timbul sifat keras kepalanya dan dia menjawab dengan tegas.
"Sebaliknya, Totiang. Dengan cara apa pun juga, Saya tidak mau ikut ke Kong-thong-pai karena tidak mempunyai urusan dengan siapapun juga di sana!"
"Bagus, engkau berani menentang pinto, ya?'' “Saya bukan menentang orangnya melainkan perbuatan dan sikapnya yang tidak benar yang saya tentang!"
"Bocah sombong! Kau kira pinto takkan dapat menangkapmu?" Tosu tua itu menjadi marah. Dia bukan seorang pemarah, di depan murid-murid dan keponakan-keponakan muridnya, dia selalu di desak omongan oleh pemuda ini, tentu saja dia menjadi malu dan menganggap Keng Hong tidak memandang mata kepadaya. Dia suka berlaku sungguh sungkan dan mengajak pemuda itu ke Kong-thong-pai sehingga keputusan akan dijatuhkan terhadap pemuda ini bukan keputusan dia sendiri, melainkan keputusan kelima orang Kong-thong Ngo-Lojin. Hal ini saja sudah dia lakukan secara banyak mengalah terhadap seorang pemuda, kini di tambah oleh bantahan-bantahan Keng Hong, benar-benar membuat kakek ini kehilangan kesabaran dan lupa diri. Ia sudah melangkah maju dan cepat mencengkeram untuk menangkap pundak Keng Hong dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya sudah melolos sabuk baja dari pinggangnya.
Keng Hong menjadi marah dan tidak mau diam saja. Dia mengerahkan sinkang dari pusarnya, mengangkat tangan kiri menagkis cengkeraman itu.
"Plakkk!" tangan Kok Cin Cu tertangkis secara hebat, akan tetapi kakek ini lihai bukan main. Cengkeraman pada pundak yang ditangkis itu berbalik menjadi cengkeraman pada pergelangan tangan Keng Hong dan gerakannya amat cepat dan kuat sehingga sebelum Keng Hong tahu apa yang terjadi, tahu-tahu pergelangan tangan kanannya sudah kena di cengkeraman lima buah jari tangan yang panas dan kuat sekali.
"Hayaaaaaaa….! Teriakan ini keluar dari mulut Kok Cin Cu ketika kakek ini merasa betapa tenaga singkang yang terkandung dalam tangan kanannya membanjir keluar memasuki pergelangan tangan pemuda itu..Maklumlah dia kini akan cerita kepada muridnya betapa pemuda ini memiliki ilmu "menyedot sinkang lawan." Ia memang sudah bersiap-siap untuk ini, dan untuk penjagaan inilah dia tadi mencabut sabuk baja, maka kini cepat menggerakkan tangan kirinya, menggunakan sabuk itu menotok siku tangan kiri Keng Hong.
Totokan itu mengenai jalan darah dengan tepat sekali sehingga seketika tangan kiri Keng Hong menjadi lumpuh dan otomatis tangan Kok Cin Cu yang mencengkeram tadi telah melekat dapat direnggutnya terlepas. Kok Cin Cu melompat ke belakang sambil berseru.
"Bocah keji! Engkau benar-banar memiliki ilmu iblis Thi-khi-I-beng itu?" Kakek ini dia-diam merasa kagum dan juga iri hari sekali. Ilmu yang telah ratusan tahun dikabarkan lenyap itu, yang tentu saja diinginkan oleh semua tokoh tentu saja diinginkan oleh semua tokoh kang-ouw, dan bahkan Lam-hai Sin-pi sendiri, tokoh datuk hitam yang paling lihai, hanya mengerti sedikit saja tentang ilmu ini, kini dimiliki oleh bocah yang masih hijau! Ia lalu menggerakkan sabuk baja itu yang meledak-ledak di udara seperti sebatang cambuk dan berubahlah cambuk itu menjadi sinar melingkar-lingkar seperti naga beterbangan di atas kepala Keng Hong!
Keng Hong menjadi pening kepalanya memandang sinar hitam melingkar-lingkar ini akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan sambil melengking keras tubuhnya sudah meloncat itu. Akan tetapi, tubuhnya yang meloncat itu bertemu dengan ujung sabuk baja di udara. Ujung sabuk yang lemas itu telah mengait lehernya. Keng Hong yang tercekik itu kaget dan marah, sekali sabut itu sudah ditarik dengan gentakan keras sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terpelanting dan bergulingan diatas tanah. Ia meloncat bangun, mendengar suara ketawa dan ternyata sepuuh orang murid Kong-thong-pai iitu telah mentertawakannya. Kemarahannya makin menjadi dan cepat Keng Hong sudah membalikkan tubuh menghadapi kakek itu lagi. Kok Cin Cu merasa tidak enak sendiri harus menghadapi seorang lawan muda dengan senjata di tangan. Akan tetapi dia pun maklum betapa bahayanya kalau dia bertangan kosong saja, mengingat pemuda itu memiliki ilu Thi-khi-I-beng. Dia tentu sja tidak tahu bahwa sesunguhnyanya dalam hal ilmu silat, kepandaian keng Hong masih dangkal sekali. Bahkan dalam hal itu pukulan, dia hanya mengenal ilmu pukulan sakti San-im-kun-hoat di samping ilmu Pedang Siang-bhok-Kiam-sut yang hanya bisa dimainkan dengan pedang kayu itu! Kakek itu mengira bahwa peuda yang sudah memiliki Thi-khi-I-beng tentu memiliki pula ilmu-ilmu silat yang amat tinggi. Dan dia tidak berniat merobohkan pemuda ini dengan membunuhnya, melainkan hendak menangkapnya yang tentu saja lebih sukar daripada kalau membunuhnya.
"Totiang, engkau jahat!" Keng Hong berseru dan kini dia menerjang maju sambil mainkan jurus ke tiga Ilmu Silat San-in-kun-hoat. Jurus ini disebut Siang-in-twi-san (Sepaang Mega Mendorong Gunung), dilakukan dengan pukulan mendorong ke arah lawan mengunakan sepasang lengan yang dilonjorkan sambil melompat maju. Untuk melakukan serangan ini, Keng Hong menggunakan sinkang sehingga angin pukulannya dari jauh sudah menyambar ke arah dada Kok Cin Cu.Tokoh Kong-thong-pai ini sendiri adalah seorang ahli Iweekeh, seorang yang mahir mempergunakan sinkang untuk melakukan Ilmu Ang-liong-jiauw-kang , juga sinkangnya sudah kuat sekali. Akan tetapi, ketika angin pukulan kedua tangan pemuda itu mendorongnya dan dia merasa betapa tenaga itu amat dahsyat dan kalau dia lawan agaknya dia tidak akan kuat, dia menjadi terkejut bukan main, cepat dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik ke samping, kemudian pecutnya disabetkan ke depan mengarah tubuh Keng Hong yang masih meloncat datang. Ujung cabuk ini melibat kedua kaki Keng Hong terpelanting keras ke atas tanah. Kembali dia terjatuh dan terguling-guling dan kembali dia mendengar suara ketawa anak murid Kong-thong-pai yang baginya lebih menyakitkan daripada bantingan itu sendri.
Keng Hong melompat bangun lagi, bajunya robek pada bagian siku dan pundak, akan tetapi dia tidak peduli akan keadaan dirinya, bahkan tidak peduli akan rasa nyeri pada pinggul dan paha ketika terbanting tadi. Kemarahannya membuat dia tidak mau mengeluarkan suara , melainkan siap untuk menyerang lagi.
Melihat sikap pemuda ini yang agaknya nekat dan sama sekali tidak mengenal takut, Kok Cin Cu menjadi makin tidak enak. "Orang muda, lebih baik engkau menyerah saja. Pinto hanya ingin mengajaku ke Kong-thong-pai, pasti sukarnya bagimu? Mengapa harus menantang pinto ? Pinto sunggah tidak ingin menghina orang muda, tidak ingin menyakitimu."
"Tosu palsu, tak perlu banyak bicara manis lagi karena bicaara manis itu menyembunyikan kepahitan yang memuakkan. Engkau menghendaki Siang-bhok- kiam dan aku tidak ingin memberikan. Mau bunuh atau mau apakan aku, terserah, aku tidak takut!" jawab Keng Hong.
"Ah, bocah keras kepala, kau memang pelu dihajar!" bentak Kok Cin Cu yang benar-benar tidak berdaya untuk mebujuk. Sabuk bajanya menyambar dan meledak-ledak ke atas kepala Keng Hong, lalu meluncur ke bawah mencambuk ke arah leher pemuda itu. Keng Hong cepat mengelak, akan tetapi cabuk itu seolah-olah bermata, karena begitu juga mengejar dan dengan suara keras cambuk telah menghanntam pangkal bahunya.
"Tarrr..!"
Untung Keng Hong cepat sekali mengerahkan lweekangnya sehingga ujung cabuk itu mental kembali dan hanya berhasil menggigit robek baju di bagian bahunya. Betapapun juga, kulit bahu terasa pedas dan panas. Adapun kok Cin Cu yang melihat betapa kulit bahu tidak lecet sedikitpun, diam-diam makin kagum dan harus memuji pemuda ini yang benar-benar telah memiliki tenaga sinkang yang amat hebat. Diam-diam dia harus mngakui pula bahwa jika pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi dan terlatih, kiranya sukarlah baginya untuk dapat menandingi pemuda ini. Untung baginya, pemuda ini agaknya hanya mewarisi sinkang yang amat dahsyat, namun belum mewarisi ilmu silat Sin-jiu Kiam-ong yang tinggi. Biarpun gerakan serangannya tadi luar bisa anehnya dan dahsyatnya, namun gerakannya masih kaku, tanda bahwa pemuda ini kurang terlatih dalam ilmu silat.
"Tarr.!Tarrr!!! Tarrrrrrrrr!!!" Cambuk itu melecut-lecut dengan ganasnya, menghujani tubuh Keng Hong dari segala jurusan dan datangnya dari jarak jauh sehingga pemuda itu tidak ada kesempatan untuk balas menyerang. Memang benar bahwa dengan sikangnya Keng Hong dapat menolak lecutan tiba, sehingga mulaillah darahnya mengalir keluar dari kulit paha dan kulit punggung yang ikut robek bersama pakaiannya. Melihat darahnya sendiri dan merasa betapa nyeri punggung dan pahanya, Keng Hong bukan menjadi jerih bahkan menjadi makin marah. Ia kini berusaha menerima lecutan cambuk dengan kedua tangannya dan setelah kedua lengannya penuh luka oleh ujung cabuk, akhirnya dia berhasil menangkap ujung cambuk dengan tangan kanannya.
Keng Hong mengerahkan tenaga membetot untuk merampas, Kok Cin Cu mengerahkan dengan susah payah. Untung bagi Tosu ini bahwa Keng Hong memegang ujung cambuk baja itu yang kecil, licin dan keras, berbeda dengan tosu itu yang memegang gagangnya yang tentu saja lebih enak sehingga sampai beberapa lama Keng Hong belum juga berhasil merampasnya. Sementara itu, anak murid Kong-thong-pai mulai mengurung dengan senjata di tangan siap menghujankan senjata pada tubuh Keng Hong belum juga berhasil merampsnya. Sementara itu, anak murid Kong-thong-pai mulai mengurung dengan senjata di tangan, siap menghujankan senjata pada tubuh Keng Hong. Pemuda ini terancam bahaya, terutama sekali dari Kok Cin Cu yang mulai menggerahkan tangan kirinya dengan Ilmu Ang-liong-jiauw-kang sehingga perlahan-lahan tangan kirinya itu berubah merah sekali, tanda bahwa tenaga Ang-liong-jiauw-kang telah terkumpul. Kini tosu itu siap dengan tangan kirinya dan agaknya begitu Keng Hong dapat menang dalam perebutan cambuk, tentu dia akan mengirim pukulan mautnya.
"Suhu, biar teecu serampang kakinya dengan tombak teecu!" seru seorang di antara murid-murid Kok Cin Cu.
"Biar teecu tusuk dari belakang," kata yang lain.
Teriakan-teriakan mereka itu dibarengi dengan pengurungan yang makin ketat dan tangan mereka sudah bergerak-gerak penuh semangat karena begitu ada komando dari guru mereka, tentu mereka itu akan berlumba untuk menyerang Keng Hong.
"Jangan..turun tangan...." terdengar Kok Cin Cu berkata lirih dan cepat kakek ini mengerahkan tenaga lagi karena begitu dia bicara sedikit saja, cambuk terbetot dan hampir dapat terampas oleh Keng Hong. Pemuda ini pun agak berkurang kemarahannya, bahkan kalau tadi dia bernafsu membunuh kakek ini, sekarang nafsunya hilang dan dia sadar bahwa betapapun juga, kakek ini bukanlah seorang para tokoh kang-ouw lainnya, haus akan pusaka simpanan gurunya. Kakek ini masih mengenal sifat gagah buktinya dia melarang murid-muridnya turun tangan padahal kalau hal itu terjadi, sudah jelas bahwa kakek itu tentu akan dapat mengalahkannya, menangkapnya atau pun membunuhnya.
Pada saat itu terdengar suara melengking tinggi dan suara ini disusul teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah empat murid Kong-thong-pai. Mereka roboh bergulingan lalu berkelojotan karena pelipis mereka masing-masing telah tertusuk sebatang tusuk konde berkepala bunga bwee! Pada saat itu, bayangan putih berkelebat dan Sie Biauw Eng telah meloncat dengan gerakan ringan. Ketika tangannya bergerak, sebuah sinar putih melayang ke depan dan ujungnya menyambar ke arah mata Kok Cin Cu!
"Hayaa....!!" Tosu itu berseru kaget melihat menyambarnya sabuk sutera putih yang amat cepat seperti ular hidup ini. Terpaksa dia melepaskan cambuknya sehingga tertinggal di tangan Keng Hong sedangkan dengan gerakan cepat kakek itu meraih ke arah ujung sabuk sutera putih dengan cengkeraman tangan kirinya untuk merampas senjata wanita baju putih ini, Sie Biauw Eng sudah menyendal kembali sabuk suteranya karena niatnya hanya hendak menolong Keng Hong daripada bahaya tadi.
Akan tetapi Kok Cin Cu tidak mengerti akan niat wanita cantik yang baru datang ini. Melihat gerakan sabuk sutera putih, Kok Cin Cu yang juga seorang ahli memainkan senjata lemas, maklum bahwa wanita muda ini merupakan seorang lawan lihai yang sama sekali tidak boleh di pandang ringan , maka dia pikir bahwa sebelum di keroyok dua orang muda lihai ini, lebih baik turun tangan dulu membunuh Keng hong, baru menghadapi wanita itu. Pikiran inilah yang membuat Kok Cin Cu tiba-tiba meloncat ke depan menubruk ke arah Keng Hong dan mengirim serangan dengan ke dua tangannya mencengkeram ke arah kepala dengan Ilmu Ang-liong-jiauw-kang yang luar biasa dahsyatnya!
"Keng Hong ....awas...! " Sie Biauw Eng menjerit ngeri menyaksikan dahsyatnya serangan tokoh Kong-thong- pai ini dari tangannya meluncur sinar putih.
Keng Hong juga maklum akan kelihaian Ang-liong-jiauw-kang, maka dia pun lalu mengerahkan sinkangnya dan karena dia tidak ingin membunuh kakek ini, dia menggunakan tenaga sinkangnya untuk mendorong agar tubuh kakek itu terpental. Kini dia tidak marah kepada kakek itu, maka otomatis tenaga sedot yang mujijat di tubuhnya pun tidak bekerja!
"Dessss...!" Dua tenaga raksasa yang tidak tampak bertemu di udara. Tubuh Keng Hong tergetar dan bergoyang-goyang kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang. Akan tetapi Kok Cin Cu mengeluarkan keluhan tertahan, tubuhnya terbanting ke belakang dan kakek itu roboh tak berkutik lagi!
"Kau..perempuan keji..!!" Keng Hong menoleh ke arah Biauw Eng karena dia dapat melihat jelas betapa ujung sabuk sutera Biauw Eng tadi menotok ke arah jalan darah di belakang kepala tosu itu, sebuah totokan maut yang tak mungkin dapat dielakkan oleh tosu yang sedang mengadu tenaga dahsyat dengan dia tadi. Gerakan sabuk sutera di tangan Biauw Eng sedemikian cepatnya sehingga hanya dia yang melihatnya, sedangkan sisa murid Kong-thong-pai tidak ada yang mengetahuinya, mengira bahwa guru mereka itu tewas di tangan Keng Hong.
Biauw Eng memandang heran. Keng Hong ..., aku hanya membantumu...!"
"Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu ! Siapa membutuhkan bantuanmu? Pergi, muak perukku melihatmu!"
"Kau... Kau...!" Biauw Eng terisak dan mukanya pucat sekali, kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya lalu berkelebat cepat melarikan diri dari tempat itu menginggalkan isak tertahan. Keng Hong menghela nafas panjang, memandang ke arah mayat Kok Cin Cu dan mayat empat orang murid Kong-thong-pai , kemudian dia berkata, suaranya berat.
"Heh, kalian murid-murid Kong-thong-pai, semua ini salahku. Aku telah membunuh Kok Cin Cu totiang dan empat orang saudara kalian .Nah , tangkaplah aku, belenggu tanganku. Bawa aku ke Kong-thong-pai menghadap para pimpinan kalian agar aku menerima hukumannya secara adil.
Empat orang laki-laki gagah dan dua wanita cantik itu sejenak memandang kepadanya dengan perasaan jerih, benci, marah dan juga heran. Kemudian mereka meloncat maju dan menelikung kedua tangan Keng Hong ke belakang. Seorang di antara mereka mempergunakan cambuk baja ilik Kok Cin Cu untuk mengikat kedua lengan pemuda itu ke belakang, kemudian mereka mengiring Keng hong sambil membawa lima jenazah itu. Mereka menuju ke sebuah dusun dan dengan bantuan penduduk di situ, kelima buah jenazah itu dikubur secara sederhana. Ketika enam orang murid Kong-thong-pai itu berlutut sambil menangis di depan gundukan kuburan itu, Keng Hong yang terbelenggu kedua lengannya ikut pula menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan Kok Cin Cu dan berbisik lirih.
"Totiang tentu mengerti bahwa bukan niatku membunuh Totiang berlima." Enam orang Kong-thong-pai itu menjadi heran melihat Keng Hong berlutut pula sabil berkemak-kemik di depan kuburan guru mereka, akan tetapi mereka diam saja. Mereka membenci pemuda ini yang telah menewaskan guru mereka, akan tetapi mereka tidak berani bersikap kasar karena mereka tahu diri dan mengerti bahwa pemuda itu dapat mereka belenggu karena pemuda itu sengaja menyerahkan driri. Kewajiban mereka hanya menggiring pemuda ini ke Kong-thong-pai, menyerahkannya kepada para pimpinan Kong-thong-pai. Mereka tahu bahwa biarpun kedua lengannya dibelenggu, kalau pemuda itu memberontak, agaknya mereka berenam bukanlah lawannya.
Dua orang wanita anak murid Kong-thong-pai itu, disamping rasa benci dan dendam karena kematian gurunya, ada perasaan lain yang amat mengganggu hati mereka dan yang sekaligus menghapus rasa benci dari hati mereka. Mereka berdua merasa saat kagum kepada Keng Hong. Kagum akan kelihaian pemuda itu, kagum akan sikapnya yang tenang , gagah, kagum pula akan ketampanan wajahnya dan kebagusan bentuk tubuhnya. Apalagi bagi Kiu Bwee Ceng, wanita cantik baju kuning yang sudah dua kali bertemu dengan Keng Hong, yaitu pertama kalinya ketika ia dan para saudara sepergurunnya dan murid-murid Siauw-liam-pai dan Hoa-san-pai menghadang pemuda ini, bahkan dia pernah mengalami tersedot sinkangnya oleh pemuda yang aneh ini. Dia kagum sekali akan kegagahan Keng Hong. Kiu Bwee Ceng ini adalah seorang janda muda, usianya mendekati tiga puluh tahun. Suaminya telah meninggal dunia dan dahulu suaminya adalah murid kepala dari Kok Cin Cu, maka tentu saja ilmu kepandaiaanya paling tinggi di antara para suheng-suhengnya. Setelah suaminya tewas dalam pertempuran melawan gerombolan penjahat, Bwee Ceng menjadi janda. Sukar baginya untuk menemukan seorang pria yang dapat menandingi suaminya. Bagaimana hatinya takkan menjadi tertarik? Apalagi karena ia dapat menduga bahwa dua orang gadis cantik jelita murid La-hai Sin-ni yang amat lihai itu agaknya tergila-gila pula kepada Keng Hong. Ketika tadi melihat betapa Keng Hong menbentak dan mengusir Song-bun Siu-li yang kelihaiannya terkenal sebagai seorang iblis betina yang mengerikan, ia menjadi makin tertarik.
Adapun wanita ke dua yang berpakaian biru adalah Tang Swat Si, sumoinya. Wanita ini masih gadis sungguhpun usianya sudah dua puluh lima tahun. Swat Si memiliki wajah cantik dan bentuk tubuh yang indah sehingga banyak pria yang jatuh cinta kepadanya. Banyak pula datang lamaran, kan tetapi gadis ini selalu menolaknya karena tidak ada seorangpun di antara para pelamar itu yang menggerakkan hatinya. Kini bertemu dengan Keng Hong, tiba-tiba saja hatinya menjadi tidak karuan rasanya. Berkali-kali gadis ini mencuri pandang, mengerling ke arah tubuh belakang Keng Hong, melihat pinggulnya, punggung dan paha yan telanjang sebagian karena pakainnya robek-robek terakan oleh pecut baja Kok Cin Cu tadi. Mereka kulit putih halus yang membayangkan otot-otot yang kuat, karena dia tadi menyaksikan betapa di balik kulit putih halus itu tersembunyi tenaga sinkang yang saat hebat sehingga gurunya sendiri pun tidak kuat menghadapinya, hati gadis ini menjadi tegang, mukanya menjadi merah dan pipinya terasa panas, jantungnya berdebar tidak karuan.
Bwee Ceng agaknya maklum akan gerak-gerik sumoinya. Sebagai seorang wanita yang pernah bersuami, dia lebih berpengalaman dan melihat gerak-gerik sumoinya, ia dapat menduga bahwa sumoinya, ia dapat menduga bahwa sumoinya terserang penyakit yang sama dengan dia sendiri. Diam-diam dia mendekatinya sumoinya sehingga mereka berjalan berendeng, agak jauh dari empat orang suheng mereka. Bwee Ceng menowel lengan sumoinya dan berbisik-bisik sambil kadang-kadang memandang ke arah tawanan mereka tiu. Kelihatan Swat Si terbelalak memandang sucinya, kemudian menundukkan muka dengan kedua matanya meneriling tajam membayangkan rasa jengah dan malu-malu. Kemudian mereka berbisik-bisik dan tidak ada orang lain yang dapat mendengar mereka , kecuali Keng Hong!
Pada saat itu, Keng Hong sedang berjalan sambil melamun, memikirkan Sie Biauw Eng. Kebenciannya dan penyesalan hatinya terhadap gadis itu makin menghebat. Ia mengerti bahwa gadis itu saat mencintainya, entah cinta hanya terdorong nafsu berahi belaka, seperti yang terbukti dari pengalamannya malam itu ketika Biauw Eng mendatanginya dan mencurahkan segala kemesraan terhadap dirinya, entah cinta yang lain lagi sifatnya karena buktinya secara diam-diam gadis itu selalu mengikutinya dan membantunya. Betapapun sifatnya, dua macam cinta kasih ini tentu saja dapat dia terima dengan hati senang dan puas, akan tetapi yang membuat dia menyesal dan membenci adalah bahwa setiap kali Biauw Eng turun tangan,tentu terjadi pembunuhan keji dan akibatnya dialah yang dimusuhi orang! Yang terakhir ini sudah keterlaluan. Kalau saja Biauw Eng tidak turun tangan, tak mungkin empat orang tokoh murid Kong-thong-pai tewas dan seorang tokoh di antara Kong-tong Ngo-Iojin tewas pula! Dan yang paling memanaskan hatinya karena kekejian gadis itu adalah kematian Sim Ciang BI, gadis Hoa-san-pai yang lemah lembut, yang sama sekali tidak berdosa. Hanya karena gadis Hoa-san-pai itu mencintainya lalu dibunuh secara keji oleh Biauw Eng. Hemmm.. demikian kejikah hati seorang wanita yang sudah mencinta? Apakah kalau melihat setiap orang wanita lain mencintanya, lalu turun tangan tangan membunuhnya? Ah, ingin dia melihatnya! Kalau betul demikian, dia harus dapat menangkap basah Biauw Eng, dan menyeretnya untuk menerima hukuman dari partai persilatan yang bersangkutan! Betapapun dia mempunyai perasaan sayang yang amat aneh di sudut hatinya terhadap Sie Biauw Eng, namun mengingat akan kekejian gadis itu, dia ingin menangkap basah Biauw Eng dan menyerahkannya kepada Hoa-san-pai atau Kong-thong-pai!
Ketika dia termenung sampai di situ, tiba-tiba dia mendengar bisikan-bisikan dua orang wanita yang berjalan agak jauh di sebelah belakangnya. Pada saat itu, Keng Hong sedang termenung dan keadaan orang yang termenung hampir sama dengan keadaannya kalau sedang bersamadhi. Begitu telinganya dapat menangkap bisikan-bisikan itu, dia menghentikan renungannya dan mencurahkan perhatiaanya pada bisikan-bisikan tadi sehingga terdengar cukup jelas oleh Keng Hong yang memang memiliki sinkang yang amat kuat itu. Muka Keng Hong menjadi merah ketika dia menangkap bisikan-bisikan itu dan dia mengerling ke kanan kiri, ke arah empat orang murid pria Kong-thong-pai ynag berjalan di kanan kirinya, akan tetapi hatinya lega melihat mereka ini tidak mendengar apa-apa.
"Suci apa yang kaukatakan ini? Jangan menuduh yang bukan-bukan.." terdengar jelas oleh Keng Hong gadis baju biru, Tang Swat Si, berbisik.
"Hi-hi-hik, tak perlu bepura-pura lagi, Sumoi. Aku pun amat tertarik kepadanya. Dia seorang jantan pilihan, dan kalau saja kita dapat menerima cintanya untuk semalam saja.. ah, selamanya kita tidak akan penasaran..." balas Kiu Bwee Ceng sambil menghela napas.
"Ihhh..! Suci, apa yang kaukatakan ini? Sungguh memalukan.."
"Memalukan apa" Sumoi, kita sama-sama wanita dan sama-sama jatuh hati kepadanya. Dia memiliki sinkang yang luar biasa. Siapa tahu, kalau.. satu kali saja dia suka melimpahkan cintanya kepada kita.., sinkangnya yang kuat itu akan menular kepada kita..."
"Hina dan rendah sekali, Suci..":
"Benarkah? Kurasa tidak demikian isi hatimu. Atau, kalau engkau tidak mau, biarlah aku yang mencobanya asal engkau dapat menutup rahasia. Kulihat matanya penuh gairah ketika memandang kita. Mata seperti itu hanya dimiliki oleh pria yang bersemangat dan yang selalu suka kepada wanita. Malam ini.... kalau ada kesempatan, kalau engkau mau, lebih baik lagi..., maukah engkau, Sumoi?"
"Ihhhhh, aku... aku malu, Suci. Engkau lebih dulu..."
"Baik, aku lebih dulu dan engkau menjaga. Kalau berhasil, akan kubujuk dia agar suka melayanimu."
Keng Hong tersenyum dalam hatinya, tersenyum geli. Alangkah banyaknya wanita cantik seperti mereka itu di dunia ini. Seperti Cui Im! Bahkan Biauw Eng, yang tadinya dia sangka lain daripada yang lain, bukan penghamba nafsu berahi, kiranya juga sama saja! Ah, dia tidak peduli lagi. Kalau memang mereka menghendaki dia tidak akan menolak. Mereka itu manis-manis dan apakah kata gurunya? "Uluran cinta kasih wanita merupakan anugerah nikmat yang tidak semestinya dibiarkan sia-sia, tentu saja kalau engkau sendiri tertarik kepadanya. Kalau tidak sekalipun, jangan menolak secara kasar karena hal itu akan menyakiti perasaannya yanghalus. Tidak ada sakit hati yang lebih parah bagi seorang wanita daripada di tolak cintanya oleh seorang pria.”
Dia akan melayani mereka bahkan akan membuka jalan. Hal ini bukan sekali-kali karena dia sudah tergila-gila kepada mereka atau sudah terlalu mendesak keinginnya untuk bermain cinta dengan mereka. Sama sekali bukan. Terutama sekali karena dia kini mendapat jalan untuk memancing Biauw Eng. Bukankah Biauw Eng membunuh Sim Ciang Bi karena gadis Hoa-san-pai itu memncintainya? Nah, biarlah dua orang murid wanita Kong-thong-pai ini bermain cinta dengannya agar Biauw Eng turun tangan pula membunuh ereka. Akan tetapi sekali ini daia akan waspada, tidak akan tertidur pulas dan akan selalu menjaga agar dia dapat menangkap Biauw Eng kalau gadis itu berusaha membunuh mereka, dan tentu saja dia akan berusaha mencegah pembunuhan atas diri ke dua orang murid Kong-thong-pai ini.
Malam itu, rombongan murid Kong-thong-pai bermalam di sebuah dusun. Karena mereka tidak ingin mengganggu penduduk dusun itu, didalam dusun kecil itu tidak terdapat rumah penginapan, terpaksa mereka lalu berada dalam sebuah kuil tua yang sudah kosong. Hati para murid Kong-thong-pai itu sedang risau dan berduka berhubung dengan kematian guru mereka , dan Keng Hong merupakan seorang tawanan yang suka rela, tidak perlu di jaga lagi karena andaikata mau melarikan diri, biar di jaga sekalipun akan percuma dan tetap akan dapat lari, maka empat orang murid pria dan dua orang murid wanita itu segera merebahkan diri mengaso di lantai kuil setelah mereka makan malam dan lantai itu disapu bersih oleh Bwee Ceng dan Swat Si.
Tentu saja, seperti biasa, Bwee Ceng dan Swat Si memisahkan diri. Biarpun empat orang itu adalah suheng-suheng mereka, namun sebagai wanita tentu saja mereka merasa tidak leluasa untuk tidur dalam suatu ruangan dengan mereka, apaa lagi di situ terdapat Keng Hong dan lebih-lebih lagi karena mereka berdua diam-diam mempunyai rencana rahasia!
Malam itu, menjelang tengah malam, Bwee Ceng berindap memasuki ruangan belakang di mana Keng Hong tidur. Pemuda ini emang sengaja memilih ruangan terpisah untuk tidur. Dengan suara gemetar Bwee Ceng berbisik.
"Keng Hong.."
Keng Hong memang belum tidur, dia masih duduk bersandar tembok kuil. "Ah, engkaukah itu? Apakah kehendakmu?"
"Aku... aku ingin membuka belenggumu. Amat tidak enak tidur dengan kedua tangan terbelenggu."
Keng Hong tersenyum dan mengangkat kedua tangannya yang sudah bebas. Dia telah membuka sendiri belenggu tangannya yang dia taruh di atas lantai. "Aku sudah bebas dan siap menantimu, nona. Ataukah.. Perasaan cintamu yang kau bisikkan siang tadi sudah berubah?"
Bwee ceng makin kaget. "Kau..kau dapat mendengarkan percakapan itu ...?"
"Tentu saja, dan aku merasa girang sekali. Kalian adalah nona-nona yang cantik manis. Akan tetapi, kita harus keluar dari kuil ini. Tidak enak rasanya kalau kita bersenang-senang disini, dimana para suhengmu tidur. Dan ajak sumoimu. Kita bertiga berjalan-jalan di kebun belakang kuil. Bagaimana, maukah?"
Dengan kedua pipi kemerahan Bwee Ceng hanya mengangguk-angguk, tanpa dapat mengeluarkan suara, kemudian tertawa kecil dan berlari-larian pergi untuk memanggil sumoinya. Keng Hong sudah melangkah keluar dari kuil menuju ke kebun bunga yang berada di belakang kuil. Seperti kuil itu sendiri, kebun itupun tidak terpelihara, namun masih banyak bunga-bunga liar tumbuh di situ dan ditumbuhi rumput tebal. Keng Hong yang hendak mempergunakan pertemuannya dengan dua orang murid wanita Kong-thong-pai ini sebagai "pancingan" kepada Biauw Eng, memilih tempat terbuka dan duduklah dia di atas tanah yang bertilang rumput hijau tebal. Tak lama dia menanti dan tampaklah Bwee Ceng, janda muda ini yang begitu tiba di tempat itu, lalu menarik sumoinya duduk di dekat Keng Hong, kemudian sambil tersenyum ia merangkul Keng Hong yang balas memeluknya.
"Ah, engkau begini tampan, begini gagah..." Bwee Ceng berbisik.
Karena memang sudah memiliki dasar batin lemah terhadap godaan nafsu, biarpun tadinya sungkan dan malu, atas desakan Bwee Ceng dan keramahan Keng Hong, akhirnya Swat Si mulai berani pula membalas rangkulan Keng Hong. Pemuda ini melayani kedua orang murid Kong-thong-pai yang di mabuk nafsu itu dengan penuh kesediaan dan keramahan, akan tetapi dia hanya mencurahkan perhatiannya setengah saja untuk itu, karena sebagian perhatiannya lagi dia kerahkan untuk meneliti keadaan sekeliling kebun itu, dan untuk dapat "menangkap basah" apabila Biauw Eng turun tangan melakukan serangan kejam terhadap dua orang nona dalam pelukannya.
Menjelang fajar, Swat Si sudah tertidur kelelahan, dan Bwee Ceng masih membelai dan memeluk Keng Hong. Janda ini benar-benar tergila-gila kepada pemuda perkasa itu dan dia berbisik-bisik mesra, "Keng Hong, kekasihku.. Engkau jangan khawatir, kelak di depan para supekku, aku akan membelamu akan kuceritakan bahwa bukan engkau yang membunuh suhu dan empat orang suheng, melainkan Song-bun Siu-li. Aku akan bersumpah dan.. Dengan segala daya akan kubela engkau, kekasihku."
Keng Hong menciumnya sambil tersenyum. "Engkau baik sekali, Bwee Ceng. Terima kasih."
Pada saat itu, Keng Hong cepat melepaskan pelukan Bwee Ceng dan tubuhnya bergerak ke depan, menangkap dua benda yang mengeluarkan sinar putih dan yang menyambar cepat ke arah pelipis Bwee Ceng dan Swat Si. Tepat seperti dugaannya, Biauw Eng turun tangan menyerang dengan senjata rahasianya, yatiu bola-bola putih berduri!
"Biauw Eng, perempuan keji...!" Keng Hong meloncat ke arah dari mana datangnya senjata-senjata rahasia itu, tidak peduli bahwa tubuhnya bertelanjang. Akan tetapi tak tampak bayangan seorang pun manusia. Keng Hong cepat-cepat kembali dan mengenakan pakaian, sedangkan dua orang wanita itu sudah cepat kembali ke dalam kuil. Karenan tidak berhasil menangkap Biauw Eng, Keng Hong dengan hati panas kembali ke ruangan belakang kuil, lalu tertidur sampai pagi.
Pada keesokkan harinya, dengan wajah berseri dan kedua pipi kemerahan, Bwee Ceng dan Swat Si telah memasak makanan. Pagi-pagi benar mereka telah membeli beberapa ekor ayam dan gandum dari penduduk dusun, bahkan Bwee Ceng membawa pula seguci arak.
Keng Hong yang melihat betapa wajah mereka berseri, diam-diam harus mengakui bahwa mereka itu cantik-cantik dan manis, maka hatinya menjadi makin girang. Apalagi melihat Swat Si yang menahan senyum dan dengan malu-malu kadang-kadang mengerling ke arahnya, dia mengakui gadis ini dan membandingkannya dengan Ciang Bi. Untung bahwa dia bersikap waspada, kalau tidak, tentu dua orang wanita cantik ini sekarang telah menjadi mayat, pelipis mereka pecah oleh dua bola putih berduri, korban keganasan Biauw Eng. Ia makin marah dan benci kepada Biauw Eng.
"Wah, Ji-wi Siocia (Nona Berdua) sungguh rajin, sepagi ini sudah mendapatkan makanan pagi yang lengkap!" Keng Hong berseru gembira sambil mendekati seorang murid Kong-thong-pai minta dibukakan belenggunya. Murid Kong-thong-pai itu membuka belenggu tangannya untuk memberi kesempatan Keng Hong ikut makan pagi.
"Eh, ada araknya pula. Dari mana Ji-wi bisa mendapatkan arak?"
Swat Si tidak dapat mengeluarkan suara. Ia masih merasa malu dan jengah dan sehingga khawatir kalau-kalau suaranya akan gemetar. Bwee Ceng tersenyum dan menjawab, "Kebetulan sekali ada seorang wanita petani membawa hendak ditawarkan kepada kita. Aku lalu membelinya dan araknya baik sekali, wangi."
Setelah masakan gandum dan ayam matang, makanlah Keng Hong bersama enam orang murid Kong-thong-pai itu dan kalau melihat keadaan mereka itu, Keng Hong sama sekali bukan seperti seorang tawanan, melainkan seorang sahabat baik. Bahkan empat orang murid laki-laki Kong-thong-pai kini sudah mulai mengajaknya bercakap-cakap dan berkelakar.
Ketika Bwee Ceng membagikan arak dan menuangkan arak pada cawan masing-masing yang diambilnya dari bungkusan perbekalan mereka, tercium bau arak yang wangi dan sedap sekali. Mereka menjadi gembira dan segera mengangkat cawan arak dan minum arak yang ternyata manis dan enak sekali. Akan tetapi, tiba-tiba Keng Hong mengerutkan aslinya ketika arak itu melalui lidahnya. Mulutnya yang sudah amat kuat berada di dalam arak, racun yang sama sekali. Akan tetapi lidahnya begitu tersentuh racun itu sudah dapat merasai dan tahulah dia bahwa dia hendak di racun! Keng Hong tersenyum ketika dia mengerling ke arah Swat Si yang kebetulan mengerling ke arahnya pula dari balik cawannya. Hem, tentu cawan untuknya itu yang diberi racun. Diam-diam dia mengeluh hatinya. Agaknya kedua orang wanita itu, ataukah Bwee Ceng itu karena dia tidak percaya bahwa Swat Si yang begitu halus dan mesra akan suka meracuninya, sengaja hendak membunuhnya karena khawatir kalau-kalau peristiwa semalam akan terbongkar dan diketahui orang lain. Kalau Keng Hong mati, tentu rahasia itu takkan pernah dapat terbongkar lagi. Begini kejamkan wanita? Keng Hong hanya mengeluh dalam hati akan tetapi terus meneguk habis araknya karena baginya, racun itu tidak akan ada bahayanya.
Tiba-tiba Keng Hong meloncat bangun ketika melihat perubahan pada wajah enam orang itu. Mendadak saja wajah enam orang itu. Mendadak saja wajah mereka yang tadinya duduk di atas lantai.
"Aduhhh.... Keng Hong..!" Swat Si mengeluh dan hati Keng Hong penuh keharuan dan kekhawatiran. Ia cepat meloncat dekat dan merangkul leher gadis itu. Wajah gadis itu menjadi agak menghitam, tubuhnya berkelojotan, akan tetapi matanya memandang wajah Keng Hong, mulutnya agak tersenyum sungguhpun giginya yang kecil rata dan putih mengkilap itu menggigit bibir bawah menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk perut.
"Swat Si... kenapa..." Keng Hong yang mendekapnya bertanya khawatir.
"Keng Hong ... jangan lupakan aku.." Swat Si berbisik dan tubuhnya menjadi lemas, matanya mendelik.
Tak salah lagi, tentu arak itu! Dan Bwee Ceng yang membelinya ! Ia lepaskan tubuh Swat Si yang sudah sekarat lalu membalik menubruk Bwee Ceng, mengangkat tubuh itu yang lalu di rangkulnya. Seperti juga Swat Si, ketika memandangnya, Bwee Ceng berusaha untuk tersenyum. "Keng Hong ... arak...itu... ada racun.. aku tidak penasaran...setelah semalam..." Ia tidak dapat melanjutkan karena tubuhnya berkelojotan dan matanya mendelik pula. Keng Hong melepaskan Bwee Ceng dan memeriksa ke empat orang murid pria Kong-thong-pai. Semua sama keadaannya, merela sekarat dan dalam perjalanan maut.
Arak beracun! Seorang wanita petani menjual seguci arak kepada Bwee Ceng ! Seperti kemasukan setan Keng Hong meloncat dan lari memasuki dusun. Hari masih pagi sekali akan tetapi seperti kebiasaan dusun-dusun, sepagi itu para penduduk telah bangun. Melihat Keng Hong berlari-lari, mereka semua terkejut dan heran. Bukankah pemuda ini yang kemarin menjadi tawanan enam orang gagah yang bermalam di dalam kuil? Pemuda tampan ini tentu seorang penjahat, maka menjadi tawanan enam orang pendekar itu.
"Siapa yang telah menjual seguci arak kepada kami?" Keng Hong berteriak-teriak seperti orang gila.
Seorang wanita setengah tua dengan muka pucat dan mata terbelalak melangkah maju dan berkata, "Saya yang menjual seguci arak kepada mereka tadi pagi. Ada apakah orang muda? Arakku hanya ada seguci itu, kalau mau tambah lagi harus pergi ke kota..!"
Wanita itu menghentikan kata-katanya dan mengaduh-aduh karena Keng Hong sudah mencekeram lengannya. Tadinya pemuda ini mengira bahwa nenek yang telah meracuni mereka tentu memiliki kepandaian lihai, akan tetapi ketika memegang lengannya dan mendapat kenyataan bahwa wanita ini tidak bisa apa-apa dan amat lemah, dia lalu mengendurkan cengkeramannya dan membentak.
"Lekas katakan! Dari mana engkau mendapat arak itu? Awas kalau membohong, ku bunuh kau!"
Para penduduk dusun itu menjadi marah menyaksikan kekasaran KengHong terhadap seorang wanita. Mereka itu, yang laki-laki , telah menyerbu sambil memaki, "Orang gila! Mengapa datang-datang mengamuk ? Engkau adalah seorang tawanan, tentu seorang jahat! Melayanglah pukulan dan tendangan ke tubuh Keng Hong. Namun pemuda ini tidak memperdulikan mereka semua dan tetap memegangi lengan wanita setengah tua yang menggigil ketakutan. Terdengar suara bak-bik-buk ketika serangan itu mengenai tubuh Keng Hong, disusul teriakn-teriakan mengaduh-ngaduh para penyerang itu sendriri karena kaki tangan mereka bertemu dengan tubuh yang kerasnya seperti baja!
"Dia setan....!"
"Siluman.....!" teriakan-teriakan mereka yang mengaduh-ngaduh ini membuat suasana di situ menjadi gaduh sekali.
"Saudara-saudara jangan bertindak sembrono!" Keng Hong berteriak tantang arak kepada wanita ini karena semua sahabatku yang itu arak itu kini mati semua!"
Mendengar ini, orang-orang dusun itu menjadi pucat mukanya dan otomatis mereka melangkah mundur memandang ke arah wanita dengan mata terbelalak. Wanita itu sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.
"Aku tidak tahu apa-apa .... Aku tidak tahu tentang arak dan tentang racun. Seguci arak itu ku terima dari seorang puteri dengan pesan agar ku berikan kepada rombongan yang menginap di kuil.... Dan.. karena niocu (nona) itu berbaik hati memberi hadiah uang......, tentu ku terima.."
Keng Hong melepaskan cengkeraman tangannya dan mendorong tubuh wanita setengah tua itu yang terhuyung ke belakang sambil memegangi pergelangan tangan yang terasa nyeri, menangis dengan muka pucat.
"Lekas katakan, seperti apa macamnya nona yang memberi arak kepadamu itu?"
"Dia masih muda cantik sekali seperti dewi…. pakaiannya serba putih, suaranya halus dan..."
Akan tetapi Keng Hong sudah meloncat pergi dan sebentar saja lenyap dari depan para penduduk yang melongo leheranan. Keng Hong tidak menjadi heran mendengar keterangan wanita dusun itu karena memang sudah disangkanya..Tangan keji Biauw Eng lagi! Siapa lagi kalau bukan Biauw Eng yang menggunakan racun membunuh enam orang Kong-thong-pai itu? Pagi tadi, menyaksikan dua orang gadis Kong-thong-pai dilayani bercinta kasih oleh Keng Hong, dalam cemburunya gadis berwatak iblis itu menyerang dengan senjata rahasia. Kemudian, karena ada Keng Hong yang menghalangi niat kejinya, ia lalu menggunakan racun secara keji dan cerdik sekali. Tentu gadis itu tahu bahwa Keng Hong kebal akan racun, akan tetapi enam orang Kong-thong-pai tidak!
“Biauw Eng, engkau sungguh jahat!" Keng Hong berkata dengan hati penuh duka dan penyesalan ketika dia tiba di dalam kuil dan berdiri memandang ke arah enam sosok mayat murid-murid Kong-thong-pai itu. Dengan perasaan berat Keng Hong lalu menggali lubang di pekarangan kuil dan mengubur mayat-mayat itu. Setelah selesai dia meninggalkan kuil dan baru mendapat kenyataan bahwa banyak penduduk menonton dari jauh dan secara sembunyi-sembunyi. Ketika dia melangkah dekat mereka itu melarikan diri dan terdengar suara mereka, "pembunuh….pembunuh keji.."
Keng Hong menghela napas panjang. Murid-murid Kong-thong-pai dibunuh Biauw Eng semua, dan kembali dialah yang tertuduh. Dia tidak menyalahkan orang-orang dusun itu yag menuduhnya, dan dia merasa tidak ada gunanya untuk memberi penjelasan kepada mereka. Makin keras hasrat hatinya untuk cepat kembali ke Kiam-kok-san, di mana dia takkan berhubungan lagi dengan dunia ramai, takkan terlibat urusan manusia yang hanya membuat kegetiran-kegetiran dan permusuhan ia berjalan terus mendaki lereng Pegunungan Kun-lun-san. ***
Keng Hong berhenti melangkahkan kakinya dan memandang ke kiri dengan kagum. Gadis itu, dia berani menduga bahwa bayangan tubuh lamping gesit itu tentu seorang gadis, berlari dengan cepat sekali.Tadinya jantung berdebar dan mukanya terasa panas karena mengira bahwa gadis itu Biauw Eng. Akan tetapi setelah agak dekat dan pakaian gadis itu hijau muda, tidak putih seperti pakaian Biauw Eng, dia menduga-duga. Jelas bukan Biauw Eng, bukan pula Cui Im, sungguhpun gerakan gadis itu menunjukkan ginkang yang sudah tinggi. Yang jelas berbeda dan tampak dari jauh adalah cara gadis ini menyanggul rambutnya, disanggul tinggi di atas kepala seperti sebuah menara yang bergoyang-goyang ketika dia berlari cepat. Di punggungnya tampak sebatang pedang dalam sarung pedang merah.
Ketika gadis itu yang ternyata cantik manis dengan pandang mata tajam dan penuh gairah hidup tiba di dekat Keng Hong yang duduk di bawah pohon, gadis itu kelihatan kaget, akan tetapi dia bahkan langsung menghampiri Keng Hong. Sejenak gadis itu memandang tajam kemudian mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan ketika dia bertanya.
"Maafkan kalau aku yang sesat jalan menggangu Twako dengan pertanyaan."
Keng Hong tersenyum. Senang hatinya menyaksikan sikap gadis yang membayangkan kegagahan ini ternyata amat peramah dan sopan santun. Ia cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatannya, kemudian menjawab.
"Sudah sewajarnya kalau dua orang yang saling jumpa di tempat sesunyi ini saling bertanya. Nona hendak bertanya tentang apakah?"
Gadis itu kembali tertegun. Agaknya ia sama sekali tidak mengira bahwa pemuda tampan yang duduk mengaso di pohon itu adalah seorang yang demikian halus tutur sapanya, membayangkan seorang yang tahu akan kebudayaan dan sama sekali bukanlah seorang penduduk pegunungan yang buta huruf. Maka pandang matanya menjadi makin tajam dan penuh selidik.
"Aku hendak bertanya jalan yang menuju ke Kiam-kok-san.."
Kini Keng Hong yang merasa terkejut sekali. Akan tetapi hanya sebentar karena dia segera dapat menekan perasaannya dengan pengertian bahwa sekarang ini agaknya Kiam-kok-san menjadi mercusuar bagi orang-orang kang-ouw, menjadi seperti sebuah lampu yang menarik datangnya laron dan kupu-kupu. Ia menarik nafas panjang, kemudian mencari jalan untuk mengetahui siapakah gerangan nona muda ini yang ikut-ikutan memperebutakan pusaka Kiam-kok-san. Karena hanya orang yang ingin mendapatkan pusaka-pusaka suhunya sajalah yang bertanya-tanya tentang Kiam-kok-san!
"Pertanyaanmu mengejutkan hati Nona. Kim-kok-san bukanlah sebuah tempat yang dikenal semua orang. Bolehkah aku mengetahui namamu dan keperluannya mencari tempat seperti itu? Perkenalkan, aku she Cia..."
"Harap engkau suka berbaik hati menunjukkan jalan itu kalau kau mengetahuinya ..eh, Cia-twako. Namaku adalah Tan Hun Bwee dan tentang keperluanku dengan Kiam-kok-san adalah urusan pribadiku. Kalau engkau mengetahui tempat itu dan dapat menunjukkan jalan untukku, aku akan berterima kasih sekali. Kalau engkau mengetahui, biarlah aku pergi mencari sendiri, tidak perlu terlalu lama disini.."
Keng Hong tersenyum. "Aku tahu pula mengapa Nona datang mencari Kiam-kok-san. Bukankah Nona puteri Ketua Hek-houw-piawkiok bernama Tan Kai Sek?"
Nona itu terkejut sekali dan tangannya bergerak secara otomatis hendak meraba pedangnya sambil bertanya dengan suara nyaring, "Engkau siapakah?" Apakah engkau murid Kun-lun-pai dan hendak menghalangi aku mencari Kiam-kok-san?"
Keng Hong tersenyum, lalu membalikkan tubuh membelakangi nona itu, menghampiri pohon dan duduk kembali di bawah pohon yang teduh. Setelah duduk menghadapi nona itu dia berkata, "Tenanglah, Nona dan tak perlu mencabut pedang itu. Aku bukan murid Kun-lun-pai dan juga tidak akan menghalangi orang. Marilah duduk di sini dan dengarlah dulu kata-kataku, baru ku tunjukkan padamu jalan ke Kiam-kok-san."
Tan Hun Bwee, gadis itu, menjadi curiga, akan tetapi karena dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dia tidak takut dan menghampiri lalu duduk agak jauh di atas sebuah batu, menghadapi pemuda yang ia dapat menduga tentu bukan orang sembarangan itu. Orang yang tahu akan adanya Kiam-kok-san kiranya bukan sembarangan orang.
"Siapakah engkau dan bagaimana engkau dapat mengenal ayahku?"
"Sudah kukatakan bahwa aku she Cia dan tentang ayahmu, pernah aku bertemu berkenalan. Aku tahu bahwa ayah dan ibu pernah mendatangi Kiam-kok-san untuk memusuhi Sin-jiu Kiam-ong akan tetapi gagal dan dikalahkan oleh kakek itu. Apakah kedatangan Nona ini ada hubungannya dengan urusan itu?"
Kembali gadis itu terkejut dan terheran-heran. Bagaimana pemuda tampan dan halus tutur sapanya ini mengetahui akan hal itu? Ia tidak suka urusan pribadi orang tuanya dibicarakan orang lain, maka ia menjawab singkat, "Dendam besar antara keluarga kami dengan Sin-jiu Kiam-ong adalah urusan pribadi, tidak perlu aku membicarakannya dengan orang lain. Kalau engkau mengetahui jalan ke Kiam-kok-san dan suka menunjukkannya kepadaku, harap katakan sekarang juga."
"Nanti dulu, Nona. Mengapa Nona berkeras hendak mendatangi Kiam-kok-san? Kakek berjuluk Sin-jiu Kiam-ong itu telah meninggal dunia, dengan demikiam maka urusan yang ada antara beliau dan orang tua sudah terhapus.."
Sepasang alis menjelirit hitam itu bergerak-gerak, indah sekali dalam pandangan Keng Hong , bibir yang merah itu bergerak cepat, "Terhapus bagaimana? Enak saja ! Dia seorang yang amat jahat, seorang manusia sombong dan keji, yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarga ayahku!"
"Ah, terlalu keras engkau menjatuhkan keputusan, Nona. Aku pun telah mengetahui akan urusan antara Sin-jiu Kiam-ong dan orang tuamu. Bukankah dahulu orang tuamu sebagai piauwsu dari Hek-houw-piauwkiok pernah dirampok oleh kakek itu dan dirampas benda-benda perhiasaan milik seorang pembesar tinggi?"
"Bukan itu saja! Bahkan dia berani mengganggu puteri dari menteri..."
"Hemmm, bukan menganggu, hanya karena keduanya sama suka. Puteri itu tadinya di tawan dengan maksud dimintakan uang tebusan dan Sin-jiu Kiam-ong melakukan hal ini sebagai pengajaran karena sang menteri adalah seorang pejabat tinggi yang selain korup juga menindas rakyat mengandalkan kekuasaan. Akan tetapi puteri itu jatuh cinta kepada Sin-jiu Kiam-ong sehingga terjadilah hubungan cinta kasih antara mereka. Urusan itu ada sangkut pautnya dengan orang tuamu?"
"Piauwkiok ayahku menjadi tercemar namanya, dan menyeret pula nama besar ayahku. Pendeknya, aku tidak terima! Biarpun Sin-jiu Kiam-ong telah menginggal, dia masih berhutang kepada ayahku, dan aku harus mendapatkan kembali harta pusaka yang dia rampok karena itu menjadi hakku, di samping pusaka lainnya yang ditinggalkannya. Aku akan menggeledah Kiam-kok-san!"
Keng Hong tersenyum lebar. "Nona, berpikirlah masak-masak. Dendam digerakkan oleh benci, dan siapa yang membenci orang lain berarti membenci diri sendiri. Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia, mengapa engkau masih menaruh denda? Padahal, engkau sendiri tidak mempunyai urusan dengan dia, mengenalpun tidak. Perlukah dendam dibawa sanpai menurun dari ayahmu kepadamu? Menurutkan dendam, berarti engkau mengikatkan dirimu dengan tali-temali karma yang amat ruwet, Nona. Bukankah dengan demikian engkau akan menyia-nyiakan waktu hidupmu? Perlukah engkau memenuhi permintaan orang tuamu yang begitu tega menyuruh seorang gadis muda seperti Nona menempuh bahaya besar, hendak mendatangi Kiam-kok-san yang tak dapat didatangi oleh orang-orang sakti di dunia kang-ouw? Orang tuamu benar-benar berpemandangan picik...'
"Ayah ibuku telah meninggal dunia..!"
"Ah, maaf..... aku tidak tahu..."
"Mereka telah meninggal dunia, meninggalkan aku seorang diri. Mereka meninggal karena tekanan batin, karena tidak mampu membalas kepada musuh besar kami. Aku sebagai puterinya harus melanjutkannya, harus dapat merampas kembali benda-benda berharga yang dahulu dirampas Sin-jiu Kiam -ong. Aku akan..eh, engkau ini siapakah yang tahu akan segala hal?"
"Tentu saja aku tahu, Sin-jiu Kiam-ong adalah mendiang guruku.."
"Bagus..! Ada yang mewakili menerima pembalasan keluarga Tan...!" Sambil berkata demikian, gadis itu sudah meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya. Gerakannya cepat sekali maka Keng Hong dapat menduga bahwa tentu gadis itu telah mewarisi ilmu kepandaian ayah bundanya. Ia dia saja, hanya duduk sambil memandangi gadis itu dengan wajah tenang.
"Hayo bangkitlah engkau murid Sin-jiu Kiam-ong! Bangkitlah agar segala perhitungan lama dapat dibereskan saat ini!" Gadis itu menodongkan ujung pedangnya ke arah hidung Keng Hong yang masih duduk tenang tak bergerak dari tempatnya.
"Mendiang guruku tidak pernah merasa menjadi musuh orang tuamu, apalagi musuhmu, Nona. Dan aku pun tidak pernah merasa menjadi musuh keluarga Tan piauw su, maka bagiku tidak ada perhitungan apa-apa yang harus di bereskan.”
Dan aku yakin bahwa seorang gadis perkasa seperti Nona tidak akan membunuh orang yan tidak mau melawannya, apalagi kalau orang itu selama hidupnya tidak pernah ada urusan dengan Nona maupun orang tua Nona. Akan tetapi kalau keliru dugaanku dan ternyata Nona bukan seorang wanita yang berhati keji dan haus darah, boleh saja Nona tusuk dada ini sampai tembus, aku pun tidak akan melawanmu!"
Pedang di tangan gadis itu menggigil akan tetapi tidak turun dari depan hidung Keng Hong. "Aku mendengar penuturan orang tuaku bahwa Sin-jiu Kim-ong adalah seorang laki-laki yang bermulut tajam, pandai membujuk dan menipu. Siapa tahu kalu muridnya pun mewarisi kepandaian itu!"
Keng Hong bukanlah seorang bodoh yang membiarkan dirinya terancam maut begitu saja sehingga dia mengeluarkan ucapan tadi. Melihat sikap gadis itu, mendengar ucapan-ucapannya, dia merasa yakin bahwa gadis ini tidak ungkin mau membunuhnya begitu saja kalau dia tidak mau melawan, Kini dia tertawa dan menjawab
"Nona, biarpun kau buka dada ini, engkau takkan mendapatkan niat buruk dalam hatiku terhadapmu. Aku tidak membujuk, hanya bicara sesungguhnya bahwa aku tidak pernah memusuhiu dan tidak suka bermusuhan denganu karena memang tidak ada sebab yang mengharuskan kita salign berusuhan. Apalagi setelah sekarang suhu tidak ada, juga kedua orang tuamu tidak ada, mengapa kita harus melanjutkan sikap bermusuhan orang tuamu, percayalah bahwa kelak kalau aku berhasil menemukan simpanan suhu, tentu benda-benda itu akan ku kembalikan kepadau. Bukan hanya benda-benda dari orang tuamu, bahkan benda milik semua orang yang pernah diambil suhu akan ku kembalikan. Dengan jalan itu aku hendak menebus semua perbuatan suhu yang telah menimbulkan sikap bermusuhan dari orang-orang gagah terhadap suhu."
Ujung pedang yang menodong itu menurun, perlahan-lahan. Lalu tubuh gadis yang menegang itu menjadi agak lemas ketika ia berkata perlahan, seperti mengeluh.
"Ah, mengapa engkau tidak mau bangkit melawan saja? Agar terpenuhi kebaktianku kepada orangtuaku. Mengapa engkau tidak menjadi murid berbakti dari gurumu dan mempertahankan nama gurumu dengan menghadapi musuhnya?"
Keng Hong menggelengkan kepala. "Engkau keliru dalam mengartikan sikap berbakti, Nona. Melanjutkan perbuatan orang tua baru dapat dikatkan berbakti kalau perbuatan itu sendiri benar. Akan tetapi kalau perbuatan itu tidak benar, maka kewajiban seorang berbakti adalah membetulkan perbuatan itu, tidak melanjutkannya. Mengerti engkau, Nona?"
Gadis itu menunduk, perlahan-lahan menyimpan kembali pedangnya. "Biarpun aku tidak suka mengakui, namun aku percaya kepadamu."
Tiba-tiba Keng Hong mengangkat muka memandang ke kanan dan terdengarlah suara. "Siancai..! Bocah keparat ini sama sekali tidak boleh dipercaya!"
Tan Hun Bwee cepat memutar tubuh memandang ke arah suara itu dan tahu-tahu di situ muncul dua tosu yang usianya sekitar lima puluh tahun. Mereka ini bukan lain adalah Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, dua orang tokoh Kun-lun-pai untuk mencari dan menangkap Keng Hong yang menipu Kun-lun-pai dengan menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam palsu.
Melihat dua orang tosu ini, Keng Hong terkejut dan cepat dia maju, menjatuhkan diri berlutut.
"Kiranya Ji-wi Totiang yang datang, harap menerima penghormatan teecu,” katanya penuh hormat. Sejak kecil Keng Hong hidup di Kun-lun-pai dan tak pernah dia kehilangan rasa terima kasihnya dengan kepada Kun-lun-pai, terutama kepada Kiang Tojin yang telah menolong nyawanya dan telah memeliharanya. Dua orang tosu ini adalah adik seperguruan Kiang Tojin, tentu saja dia bersikap amat hormat.
"Cia Keng Hong! Tahukah engkau akan dosamu terhadap Kun-lun-pai?" bentak Sian Ti Tojin sambil menggerakkan ujung lengan nya yang panjang dan sikapnya keren.
"Teecu telah banyak menerima budi kebaikan Kun-lun-pai dan belum sempat membalasnya. Hal itu sudah merupakan dosa."
"Tak usah memutar lidah!" bentak Lian Ci Tojin yangseperti suhengnya, amat marah kalau mengingat betapa Kun-lun-pai sampai bentrok antara saudara sendiri, dan betapa Kun-lun-pai didatangi banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang menganggu. Apalagi kalau teringat akan penipuan pedang palsu. "Engkau telah menipu kami, menipu guru kami dengan menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam palsu.Apakah kau hendak menyangkal dosa besar ini?"
Keng Hong menundukkan mukanya dalam keadaan masih berlutut. 'Teecu tidak menyangkal, dan memang hal itu benar telah teecu lakukan. Teecu bersedia untuk menghadap Kiang Tojin dan para locianpwe di Kun-lun-pai untuk mohon pengampunan atas perbuatan teecu yang tidak patut itu."
"Enak saja kau bicara tentang minta ampun setelah kekacauan yang kau ciptakan di Kun-lun-pai!" bentak Sian Ti Tojin sambil melangkah maju dan tangan kirinya menampar.
“Plakk!” Pipi kanan Keng Hong ditamparnya keras sekali sehingga tubuh pemuda itu terguncang miring dan hampir roboh.
“Kalau kami tidak menerima perintah untuk menangkapmu hidup-hidup dan menyeretmu ke depan kaki suhu, tentu sekarang juga pinto membunuhmu, bocah keparat!” ucapan ini keluar dari mulut Lian Ci Tojin yang juga menggerakkan tangan ke depan, menampar pipi kiri Keng Hong. "Plakkk!" Tamparan ini lebih keras lagi, sesuai dengan watak Lian Ci Tojin yang berangasan, apalagi karena tosu ini amat benci kepada Kiang Tojin sehingga kemarahannya dia timpakan kepada anak yang dipungut dan ditolong oleh Kiang Tojin itu. Kembali tubuh Keng Hong terguncang dan dari kedua ujung bibirnya menitik darah.
"Pendeta-pendeta berhati kejam!" Tiba-tiba Tan Hun Bwee memaki dan meloncat ke depan. "Kalian sungguh tak tahu malu, memukul orang yang sama sekali tidak mau melawan."
Lian Ci Tojin dan suhengnya mengangkat muka memandang gadis itu. Lian Ci Tojin tersenyum dan mengejek. "Cia Keng Hong, apakah engkau sudah mewarisi watak mata keranjang suhumu dan gadis ini menjadi seorang di antara pacarmu?"
"Lian Ci totiang harap jangan bicara sembarangan. Nona ini adalah seorang gadis terhormat adalah puteri Tan-piauwsu dan sama sekali bukan pacar teecu.."
"Tosu bau, mulutmu busuk!" Tan Hun Hwee sudah tak dapat menahan kemarahannya dan pedangnya dia sudah dia cabut dan secepatnya kilat dia menyerang Lian Ci Tojin.
Akan tetapi dengan mudah Lian Ci Tojin mengelak. Tosu ini adalah murid ke lima dari ketua Kun-lun-pai, tentu saja merupakan seorang di antara tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang termasuk golongan atas. "Hemmm, kalau bukan pacar bocah keparat ini, setidaknya tentu mata-mata musuh yang hendak menyelidiki Kun-lun-pai. Mengakulah, mau apa kau datang ke wilayah Kun-lun-pai?" bentak tosu itu.
"Tosu keparat, tosu palsu, lihat pedang!" Tan Hun Bwee sudah menyerang lagi dan ternyata gadis ini memiliki ilmu pedang yang cukup lihai sehingga kembali Lian Ci Tojin terpaksa meloncat ke belakang mengelak sambil meraba punggungnya dan di lain saat pedangnya sudah berada di tangan.
"Engkau hendak menggunakan kekerasan? Baik, majulah!"
Ketika gadis itu menyerang lagi, Lian Ci Tojin sudah menggerakkan pula pedangnya menangkis dan mereka segera bertanding dengan hebat.
"Sute, jangan membunuh orang!" Sian Ti Tojin memperingatkan sutenya.
"Ha-ha-ha, menghadapi bocah seperti ini, masa perlu membunuhnya, Suheng? Dia harus ditangkap, mungkin dia mata-mata musuh yang berbahaya."
Tan Hun Bwee boleh jadi lihai dan jarang terdapat seorang gadis muda memiliki keahlian bermain pedang seperti dia, akan tetapi berhadapan dengan seorang tokoh besar Kun-lun-pai seperti Lian Ci Tojin, ia masih kalah jauh. Setelah bertanding mati-matian selama tiga puluh jurus, dalam pertemuan pedang, Lian Ci Tojin mengerahkan tenaganya dan gadis itu berteriak kaget, pedangnya terlepas dari pegangan dan sempat ia mengelak, tangan kiri tosu itu telah menotok pundaknya, membuat ia roboh lemas tak dapat berkutik lagi!
"Ha-ha-ha, bocah-bocah sekarang banyak yang tak tahu diri, seperti bocah keparat Keng Hong ini dan gadis galak ini. Suheng, keadaan gadis ini amat mencurigakan, dia datang bersama Keng Hong, siapa tahu di belakangnya ada orang-orang lain. Biar dia kubawa dulu menghadap suhu agar diselidiki. Harap Suheng mengantar Keng Hong ke atas, menyusul."
Sian Ti Tojin hanya mengangguk sambil berkata kepada Keng Hong., "Hayo berdiri dan ikut dengan pinto ke puncak Kun-lun-pai."
Keng Hong tadi hanya menonton saja ketika nona Tan bertanding melawan Lian Ci Tojin. Hatinya gelisah tidak karuan, akan tetapi bagaimana dia dapat turun tangan melindungi nona itu atau mencegah Liaan Ci Tojin? Kalau dia melakukaan hal ini berarti bahwa dosanya terhadap Kun-lun-pai akan menjadi bertambah. Apalagi dia dapat melihat bahwa tosu itu tidak akan membunuh Tan Hun Bwee, dan hanya akan menangkapnya dan membawanya ke Kun-lun-pai untuk diselidiki. Kalau memang gadis itu tidak bersalah, dan benar hanya ingin mencari pusaka di Kiam-kok-san, dia percaya akan kebijaksaan para pimpinan Kun-lun-pai yang tentu akan membebaskannya. Akan tetapi pada saat dia hendak bangkit memenuhi permintaan atau perintah Sian Ti Tojin dan mengerling ke arah Tan Hun Bwee yang sudah tertotok, dia melihat Lian Ci Tojin secara kasar dan sembarangan mengempit tubuh gadis itu dan dibawa pergi. Pada saat itu dia melihat sinar mata Lian Ci Tojin dan jantungnya berdebar tidak karuan. Ia berusaha menekan-nekan debar jantungnya, akan tetapi tidak berhasil sehingga ketika dia bangkit berdiri, kakinya gemetar dan mukanya menjadi berubah dan keningnya berkerut.
Melihat ini, Sian Ti Tojin mengira bahwa pemuda ini hendak menbangkang. Ia sudah maklum akan kelihaian bocah ini yang memiliki ilmu aneh, pernah menggegerkan Kun-lun-pai. Tentu saja dia tidak takut dan merasa dapat mengatasi bocah ini karena dia tahu bahwa Keng Hong hanya memiliki tenaga sedot mujijat itu sedangkan dalam hal ilmu silat, pemuda ini masih rendah ilmunya. Adapun tentang ilmu sedot itu, setelah dahulu Keng Hong menggegerkan Kun-lun-pai, suhunya telah menberi penjelasan kepada para murid, dan kini sudah tahu bagaimana caranya menolong diri sendiri apabila dia kena "disedot". Betapapun juga, dia tidak menghendaki pemuda ini membangkang sehingga dia tidak usah menpergunakan kekerasan.
"Cia Keng Kong, mengapa kau? Apakah kau hendak membangkang?"
Keng Hong tadinya memandang ke arah bayangan Lian Ci Tojin yang membawa lari Hun Bwee dan kini bayangan itu telah lenyap di tikungan lereng. Ia menghela nafas panjang dan memutar tubuuhnya mneghadapi Sian Ti Tojin adalah murid ke dua dari Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai, sehingga dalam hal ilmu silat, tosu ini hanya berada di bawah suhengnya yang tertua, yaitu Kiang Tojin.
"Totiang, mengapa Totiang membiarkan Lian Ci Tojin membawa pergi nona Tan? Mengapa tidak bersama-sama saja?"
"Hemmm, engkau lancang sekali. Ada sangkut pautnya apakah denganmu? Sute hendak membawa gadis itu lebih dulu karena menaruh curiga kepadanya. Sebetulnya apakah keperluannya berada di tempat ini bersamamu?"
"Totiang, dia itu orang baik-baik, tidak ada kesalahan terhadap Kun-lun-pai. Dia sengaja datang ke sini untuk mencari Kim-kok-san."
"Apa? Mengapa?'
"Dia adalah puteri dari Tan- piauwsu yang dahulu pernah bermusuhan dengan mendiang suhu. Ada bebrapa buah barang berharga dari ayah ibunya dirampas suhu dan dia hendak mencari barang-barang itu.Dia sama sekali tidak beraksud buruk terhadap Kun-lun-pai. Mengapa ditangkap?"
Sian Ti Tojin menggeleng kepala. "Tidak bermaksud buruk akan tetapi dia menyerang sute. Sudahlah, kalau memang dia tidak bersalah, tentu akan dibebaskan kembali. Mari kita naik menghadap suhu dan jangan banyak tingkah agar pinto tidak perlu menggunakan kekerasan terhadapmu."
Keng Hong menghela napas panjang dan melangkah pergi diikuti kakek itu dari belakang. Akan tetapi baru beberapa ratus langkah, dia berhenti lagi.
"Totiang...."
"Kenapa kau berhenti? Hayo jalan terus."
"Totiang, hati saya merasa tidak enak sekali. Amat berbahaya nona Tan dibawa pergi Lian Ci Tojin. Tidakkah Totiang dapat melihat betapa sinar mata Lian Ci Tojin berapi-api? Adakah patut dia mengempit tubuh seorang gadis? Lebih baik kita susul dia."
"Ah, engkau benar-benar kurang ajar dan patut dipukul, Keng Hong. Berani benar engkau mengeluarkan fitnahan-fitnahan menghina sute. Kami adalah tosu-tosu yang menyucikan diri dan batin, masa terhadap seorang wanita akan timbul pikiran kotor seperti mendiang suhumu? Uhhh, sekali lagi kau mengeluarkan ucapan seperti itu, terpaksa akan pinto pukul sebagai hajaran.”
Kembali Keng Hong menghela napas lalu berjalan lagi. Ia menganggap bahwa alasan tosu tua ini benar. Masa Lian Ci Tojin akan melakukan hal yang amat rendah terhadap gadis itu? Bukankah para tosu Kun-lun-pai. Bukan sembarangan tosu melainkan tosu murid langsung Thian Seng Cinjin!
Kembali sinar mata Lian Ci Tojin yang ditangkapnya ketika tosu itu mengempit tubuh Hun Bwee menggoda hatinya. Betapapun percaya dia akan alasan Sian Ti Tojin tadi, namun sinar mata itu! Seperti mata orang kehausan melihat air, mata orang melihat makanan , mata seekor anjing melihat daging, mata yang penuh memancarkan nafsu berahi! Kalau benar seperti yang dikhawatirkannya, celakalah nasib Hun Bwee di tangan tosu itu yang sudah begitu baik kepadanya, jelas tampak kebaikannya ketika gadis itu membelanya melihat dia dipukuli kedua orang tosu Kun-lun-pai. Betapa beraninya membelanya dari dua orang tosu yang lihai! Gadis yang berwatak pendekar, gagah perkasa. Dan kini terancam bahaya yang lebih hebat daripada maut bagi seorang gadis!
"Totiang , terpakasa teecu harus menyusul non Tan..."
"Cia Keng Hong, berhenti! Kalau tidak, terpaksa kupukul kau!"
Namun Keng Hong sudah meloncat pergi hendak mengejar Lian Ci Tojin.
"Keng Hong, kalau tidak berhenti, pinto memukulmu!" Kembali teriakan Sian Ti Tojin menggema dibelakangnya dan tosu itu telah mengejarnya.
Keng Hong berpikir cepat. Kalau dia menggunakan ginkangnya, dia hanya akan menang sedikit karena para tosu Kun-lun-pai tentu saja memiliki ginkang yang hebat. Dan kalau dikejar-kejar, bagaimana dia dapat mencari Hun Bwee? Setelah berpikir, dia lalu berlari terus, sengaja memperlambat larinya.
“Peringatan terakhir, Keng Hong. Berhentilah!”
Keng Hong berlari terus.
“Siancai! Pinto terpaksa memukulmu!”
Angin pukulan dahsyat menyambar dari belakang. Keng Hong cepat membalikkan tubuhnya, mengerahkan sinkangnya ke lengan dan menangkis pukulan itu terus mendorong ke samping.
“Dukk!!” Tubuh Sian Ti Tojin terpental ke belakang seperti disambar angin yang amat kuat sehingga dia berseru kaget. Untung bahwa dia telah memiliki lweekang yang amat kuat sehingga dia dapat mencegah tubuhnya terbanting, namun dia merasa betapa tenaga lweekang yang amat kuat sehingga dia dapat mencegah tubuhnya terbanting, naun dia merasa betapa tenaga lweekang dalam pukulannya tadi membalik dan membuat dadanya sesak. Ia tahu bahwa kalau dia mengerahkan tenaga lagi, dia akan terluka, maka cepat dia duduk bersila mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan keadaanya dan tentu saja dia harus membiarkan pemuda yang luar biasa itu pergi.
Keng Hong berlari terus secepatnya. Memang dia telah melakukan hal yang membuat hatinya menjadi makin tidak enak terhadap Kun-lun-pai akan tetapi karena dia hanya menangkis dan yang memukul adalah Sian Ti Tojin, dia menekan kekhawatirannya. Mengejar dan menolong Tan Hun Bwee lebih penting lagi. Ia tadi melihat bayangan Lian Ci Tojin yang membawa lari nona itu naik ke atas, maka kini diaapun mengejar, belum juga dia dapat menyusul. Hatinya menjadi penasaran dan gelisah. Dari sebuah puncak dia telah dapat mmelihat dinding tinggi dari Kun-lun-pai dan tidak tampak bayangan tosu itu. Kalau Lian Ci Tojin membawa Hun Bwee ke Kun-lun-pai, dia tidak usah khawatir. Akan tetapi dia merasa curiga dan menduga bahwa tentu nona itu tidak dibawa ke sana. Maka dia lalu membelok dan kembali menuruni puncak, lalu mencoba untuk mencari ke dalam sebuah sebuah hutan besar yang berada di lereng. Kalau tosu itu yang sinar matanya penuh nafsu berniat melakukan kekejian, tidak ada tempat yang lebih baik daripada dalam hutan itu. Setibanya di dalam hutan, dia mencari-cari. Keadaan dalam hutan sunyi senyap.
Tiba-tiba keng Hong menghentikan langkahnya dan membungkuk, mengambil sehelai pita sutera hijau yang berbau harum. Agaknya pita rambut atau pita pelindung leher dan tak salah lagi, warna hijau muda ini menyatakan bahwa pita ini milik Tan Hun Bwee. Tentu orangnya berada tak jauh dari tempat ini. Hatinya makin tidak enak dan berdebar.
"Tan -siocia (nona Tan )..!" ia memanggil. Tiada jawaban. Ia meneliti dan akhirnya melihat tapak kaki di atas tanah yang agak basah. Namun cukup baginya. Kaki itu menuju ke arah serumpun alang-alang atau rumput tinggi di sebelah kirinya. Cepat dia menerobos semak-semak itu dan akhirnya dia melihat Tan Hun Bwee menggeletak di atas rumput, tersembunyi di balik semak-semak yang tebal. Gadis itu dalam keadaan pingsan, agaknya tertotok dan melihat keadaan pakaiannya, hati Keng Hong seperti di tusuk pisau. Gadis ini telah diperkosa! Dengan hati penuh iba, dia membereskan pakaian itu sedapat mungkin, kemudian dia mengurut tengkuk dan punggung Tan Hun Bwee.
Gadis itu mengeluh, membuka matanya dan berteriak kaget sambil meloncat berdiri. Sepasang mata yang tajam itu sejenak menunduk, meneliti keadaan dirinya, kemudian wajah itu diangkat memandang Keng Hong, pucat sekali dan matanya liar.
"Kau....kau..laki laki jahat..apa yang telah kau perbuat atas diriku....?" Air mata deras mengalir di sepasang pipi yang makin pucat dan mata itu makin beringas.
"Tenanglah, Nona. Aku mendapatkan Nona menggeletak di sini, dan....."
"Bohong! Engkau telah melakukan kekejian kepadaku! Aihhhhh, engkau murid Sin-jiu Kiam-ong...., keparat busuk!" Hun Bwee tiba-tiba menerkam ke depan dan menyerang Keng Hong dengan pukulan ke arah dada pemuda itu.
Saking kaget dan menyesal menyaksikan kesalahfahaan ini, Keng Hong sampai tidak sempat mengelak. Akan tetapi begitu dadanya terpukul, otomatis sinkang di tubuhnya bergerak.
"Dukkkk...!" Dan tubuh gadis itu terjengkang roboh sendiri.
"Aah, Nona, sungguh mati, aku tidak..."
"Laki-laki jahanam! Pengecut hina dina! Sudah berani berbuat tidak berani bertangung jawab, malah menyangkal keparat!" kembali Hun Bwee membuat gadis ini lemah, selain berduka dan malu, juga air matanya membuat kedua matanya sukar melihat. Serangan-serangannya ngawur dan asal pukul saja. Keng Hong merasa kasihan, akan tetapi juga bingung menghadapi gadis yang mengamuk tidak karuan itu. Akhirnya dia berhasil menangkap kedua pergelangan tangan gadis itu sehingga tak dapat bergerak lagi, lalu berkata.
"Dengarlah Nona, akau tidak melakukan sesuatu kepadamu, kudapati engkau telah menggeletak pingsan disini.."
"Bohong! Bohong...!" Gadis itu meronta-ronta sehingga terpaksa Keng Hong melepaskan pegangannya. Karena maklum bahwa terhadap pemuda ini dia tidak akan dapat menang, gadis itu lalu membalikkan tubuh dan lari-lari dari tempat itu sambil menangis terisak-isak, meninggalkan Keng Hong yang berdiri bengong. Setelah bayangan gadis itu lenyap, Kenghong menunduk, melihat ke tempat di mana seorang tosu Kun-lun-pai yang terhormat melakukan perbuatan biadab yang sama sekali tidak terhormat. Ia mengeluarkan pita hijau yang tadi dia masukkan saku, memandang pita itu dan berkata perlahan.
"Lian Ci Tojin.... akan tiba saatnya engkau menyesali perbuatanu yang terkutuk ini..." Tak lama kemudian dia mengantongi pita hijau itu kembali dan meninggalkan tempat itu, berjalan dengan kepala tunduk menuju ke Kun-lun-pai. Hatinya makin berduka karena kembali dia menjadi korban perbuatan jahat orang lain yang ditimpakan kepadanya. Berkali-kali Biauw Eng melakukan pembunuhan- pembunuhan keji dan selalu dialah yang menanggung akibatnya, dan kini dia merasa yakin bahwa Lian Ci Tojin telah memperkosa Tan Hun Bwee dalam keadaan pingsan dan akibatnya dia pula yang dituduh oleh gadis itu!
“Suhu, mengapa nasib teecu tidak sebaik nasib suhu yang selalu mengalami kegembiraan? Apakah karena teecu masih terlalu bodoh dan perlu menyempurnakan ilmu peninggalan suhu?" Demikian keluh hatinya terhadap mendiang gurunya. Biarpun Keng Hong hidup, namun dia belum banyak pengalaman dan jiwanya belum matang, sehingga dia pula bahwa senang maupun susah bukan datang dari luar melainkan akibat terhadap segala yang menimpa hidupnya. Seorang yang sudah matang seperti Sin-jiu Kiam-ong, tentu akan menerima segala yang menimpa hidupnya. Seorang yang sudah matang seperti Sin-jiu Kiam-ong, tentu akan menerima segala macam derita hidup dengan tertawa geli dan seolah-olah menyaksikan sebuah lelucon.
"Lian Ci Tojin, engkau benar-benar lebih jahat daripada seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Seorang jai-hwa cat melakukan kejahatannya dengan berterang, sebaliknya engkau bersebunyi dalam kependetaan. Alangkah hina dan jahat engkau!" Begitu teringat akan tosu itu, di dalam hatinya Keng Hong memaki-maki. Kemudian dia teringat kepada Biauw Eng dan sedetik timbul rasa rindu yang membuat kedua kakinya lemas. Akan tetapi begitu mengingat perbuatan-perbuatan Biauw Eng, dia memaki-maki pula di dalam hatinya.
"Aku benci kepadamu! Kau perempuan hina, kejam, curang! Tak tahu malu engkau, aku tidak cinta kepadamu, melainkan benci...benci...!" Keng Hong menghentikan langkahnya dan terpaksa menutupkan kedua tangan di depan muka karena biarpun mulutnya menyebutkan benci sampai berulang kali, namun dia maklum bahwa di dalam hatinya dia tak pernah dapat membenci Biauw Eng!
Keng Hong berlari terus secepatnya dengan hati tertekan dan wajah muram. Kalau menurutkan hatinya, ingin dia langsung saja naik ke Kiam-kok-san untuk menjauhkan diri daripada segala urusan dunia yangmenimbulkan kepahitan. Akan tetapi dia harus mentaati kesadaraannya bahwa dia harus lebih dulu menghadap Kiang Tojin dan mohon maaf akan kedosaannya telah menipu tosu itu dengan menyerahkan Siang-bhok-kiam palsu. Tosu itu adalah penolongnya, dan semua tosu di Kun-lun-pai telah bersikap baik kepadanya ketika dia masih kecil. Kalau dia tidak pergi menghadap, tentu selamanya dia akan menyesal dan berdosa. Biarlah dia akan menanggung segala akibatnya. Apapun yang akan terjadi , akan dia hadapi dan kalau perlu dia aka membela diri di depan semua tosu bahwa dialah sesungguhnya satu-satunya manusia yan berhak memiliki Siang-bhok-kiam sehingga dia terpaksa menipu mereka, menyerahkan pedang kayu yang palsu. Bahkan peristiwa itu akan dapat merupakan tamparan bagi tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang amat tamak, secara tak bermalu memperebutkan benda milik orang lain!
Biarpun hatinya tertekan oleh semua peristiwa yang dialami, oleh kekecewaan melihat perbuatan Biauw Eng, oleh kemarahan karena perbuatan Lian Ci Tojin, namun dengan penuh semangat Keng Hong mendaki lereng yang menuju ke puncak di mana berdiri markas Kun-lun-pai dengan megahnya. Puncak itu masih jauh, masih membutuhkan perjalanan setengah hari pun dindingnya sudah tapak dari lereng.
Ketika melalui sebuah tikungan, tiba-tiba Keng Hong berhenti dan matanya memandang terbelalak ke depan. Maklum dia bahwa nyawanya terancam bahaya maut ketika dia mengenal orang-orang yang telah menghadangnya di tengah jalan itu. Pertama-tama dia mengenal Sim Lai Sek, pemuda remaja adik mendiang Sim Ciang Bi yang terbunuh oleh Biauw Eng. Sim Lai Sek berdiri dengan muka merah saking marahnya, berdampingan dengan dua orang kakek yang dikenal Keng Hong sebagai tokoh-tokoh Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang amat lihai! Di samping tiga orang Hoa-san-pai ini, dia melihat empat orang tosu tua yang bersikap angker penuh wibawa dan yang belum pernah dikenalnya. Karena belum mengenal empat orang tosu tua itu, maka perhatiannya tertarik kepada dua orang yang lain yang berdiri dengan alis berdiri saking marahnya. Mereka berdua ini bukan lain adalah Kim-to Lai Ban wakil ketua Tiat-ciang -pang dan seorang laki-laki tua yang mukanya licin seperti muka anak-anak, akan tetapi sepasang matanya bundar seperti mata ikan bandeng raksasa! Melihat sikap kakek bermuka halus itu Keng Hong menjadi berdebar dan menduga bahwa agaknya dia itu adalah ketua Tiat-ciang-pang! Memang dugaannya benar. Laki-laki tua yang datang bersama Kim-to Lai ban itu bukan lain adalah Ouw Beng Kok, pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang. Kakek yang hebat ini tangan kirinya merupakan tangan kiri palsu terbuat daripada logam kehijauan yang mengerikan sekali, seperti cakar iblis! Adapun empat orang tosu tua yang tidak di kenal keng Hong itupun bukan orang-orang sembarangan, melainkan empat orang di antara Kong-thong Ngo-lojin, tokoh-tokoh utama Kong-thong-pai!
Keng hong menenangkan hatinya lalu menjura dengan hormat kepada semua orang sambil berkata, "Para Locianpwe berada di sini apakah sengaja menghadang saya dan ada urusan apakah? Eh, adik Sim Lai Sek juga berada di sini? Apakah kau baik-baik saja?"
"Manusia keparat! Siapa sudi menjadi adikmu? Engkau telah mencemarkan kehormatan ciciku kemudian masih tega membunuhnya! Nah, untuk perbuatanmu yang terkutuk itulah aku datang bersama Ji-wi Supek untuk membunuhmu!" bentak Sim Lai Sek penuh kebencian.
"Celaka, bocah ini lebih jahat dari pada gurunya, Sin -jiu Kiam -ong. Patut dilenyapkan dari muka bumi!" kata Coa Kiu orang tertua dari Hoa-san Siang-sin-kiam.
Keng Hong mengangguk-angguk. "Cukup sudah kuketahui maksud Ji-wi Locianpwe dari Hoa-san-pai yang hendak membunuhku berdasarkan fitnah memperkosa dan membunuh. Bagaimana dengan para Locianpwe yang lain? Ada urusan apakah?" Sikap Keng Hong tenang saja karena memang sesungguhnya dia tidak merasa berdosa terhadap orang-orang ini. Sikapnya ini mengingatkan semua tokoh kepada sikap Sin-jiu Kiam-ong dan membuat mereka makin marah.
"Lai-pangcu, aku menyesal sekali akan peristiwa yang terjadi antara kita, dan Lai-pangcu sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi telah memaksaku sehingga terjadi bentrokan dan jatuh korban. Sejak semula sudah kunyatakan bahwa aku tidak bermusuhan dan tidak ingin bermusuhan dengan Tiat-ciang-pang. Mengapa sekarang Lai-pangcu datang lagi menghadang perjalankanku?"
"Bocah iblis! Engkau mengandalkan ilmu iblis membunah murid-murid Tiat-ciang-pang, masih banyak bicara lagi? Kami datang untuk membinasakanmu!" jawab Kim-to Lai ban, sedangkan Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang masih berdiri memandang penuh keheranan. Hampir saja dia tidak bisa percaya bahwa bocah ini yang telah merobohkan banyak anak muridnya dan bahkan hampir saja membunuh Lai Ban, sutenya!
"Sunggah sayang bahwa omongan Siauw bin Kun-cu mengenai Tiat-ciang-pang tepat sekali, bukan hanya mengandalkan Tiat-ciang (Tangan Besi), bahkan memiliki Tiat-sim (Hati Besi) pula. Dan bagaimana dengan para Locinpwe ini? Apakah para Totiang ini juga hendak mencariku?" Ia memandang ke arah empat orang tosu yang bersikap galak dan sejak tadi memandangnya dengan sinar mata tajam.
Tosu tertua di antara Kong-thong Ngo-lojin adalah seorang kakek tinggi kurus bermata buta sebelah kiri, memegang tongkat bambunya, ditudingkan ke arah Keng Hong sambil berkata.
“Cia Keng Hong, engkau telah membunuh sute termuda kami dan sepuluh orang murid kami, sekarang terpaksa kami orang-orang tua dari Kong-thong-pai melupakan malu dan harus mencabut nyawa seorang muda yang berbahaya seperti engkau!"
Keng Hong terkejut. Kiranya empat orang ini adalah para suheng dari Kok Cin Cu yang terkenal dengan sebutan Kong-thong Ngo-lojin! Wah, sekali ini dia menghadapi ancaman lawan berat, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi! Betapa mungkin dia dapat melawan mereka? Akan tetapi, kalau tidak dapat melawan dan membela diri dengan mulut. Dia tidak merasa bersalah, maka sebelum mereka turun tangan, dia harus membela diri, menyatakan kebersihannya.
"Aku telah mendengar semua tuduhan, akan tetapi cu-wi Locianpwe sesungguhnya telah keliru menjatuhkan tuduhan-tuduhan palsu. Tuduhan yang tidak benar berarti fitnah, merupakan hal yang keji melebihi pembunuhan. Aku tidak bersalah. Pertama-tama tuduhan dari Hoa-san-pai yang mengatakan bahwa aku telah meemperkosa dan membunuh nona Sim Ciang Bi. Memang benar ada hubungan cinta antara aku dan mendiang nona Sim, akan tetapi bukan perkosaan. Adapun kematian nona itu yang berada dalam pelukanku bukanlah karena aku yang membunuhnya!"
"Aku melihat dengan mata kepala sendiri engkau masih berani menyangkal?" bentak Sim Lai Sek setengah menjerit.
"Apakah engkau melihat aku membunuh, adik Sim Lai Sek?" tanya Keng Hong dengan sikap tenang.
"Aku melihat engkau...engkau ..memperkosanya... kemudian melihat dia mati di pelukanmu. Siapa lagi kalau bukan engkau atau perempuan iblis temanmu yang yang membunuhnya?"
"Kesaksianmu lemah. Aku tidak memperkosanya dan tidak pula membunuhnya. Sekarang tuduhan dari Tiat -ciang-pang. Ketika itu aku membantu nona Sim dari desakan orang-orang Tiat-ciang-pang. Aku tidak beraksud membunuhi anak buah Tiat-ciang-pang, kemudian datang Lai pangcu yang memaksaku dengan kekerasan sehingga terjadi bentrok dan di dalam pertempuran jatuh pula korban di fihak Tiat-ciang-pang. Jelas bahwa bukan aku sengaja memusuhi Tiat-ciang-pang karena aku hanya membela diri. Hal ini disaksikan oleh seorang Locianpwe yang patut dipercaya, yaitu Siauw-bin Kuncu Locianpwe."
"Bocah berilmu iblis! Engkau berbahaya sekali, memiliki ilmu iblis, tukang merayu wanita, pandai memutar lidah. Engkau sudah selayaknya dilenyapkan dari muka bumi agar jangan membikin kotor dunia!" bentak Kim-to Lai Ban marah.
"Terserah wawasan Ji-pangcu dan Tiat-ciang-pang. Sekarang urusan dengan Kong-thong-pai yang menuduh aku membunuh Kok Cin Cu totiang dan sepuluh orang muridnya. Bagaimana aku dapat mebunuh seorang lihai seperti Kok Cin Cu totiang? Ada orang lain yang membunuh, akan tetapi bukan aku. Adapun pertempuran sepuluh orang anak murid Kong-thong-pai yang tewas dalam pertempuran yang sudah sewajarnya dan sebagian..."
"Sebagian lagi kau bunuh dalam kuil setelah kau perkosa dua orang murid wanita!" bentak Kok Seng Cu, tosu ke empat dari Kong-thong Ngo-lojin.
Keng Hong terkejut dan menduga bagaimana tosu ini tahu akan hubungannya dengan Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si? Dia tidak tahu bahwa empat orang tokoh Kong-thong-pai ini menerima pemberitahuan dari coretan yang dilakukan dengan tusuk konde bungan bwe yang ditinggalkan menancap di pondok setelah melakukan coretan peberitahuan bahwa Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si telah diperkosa oleh murid Sin-jiu Kiam-ong dan bahwa kedua orang gadis itu bersama para saudara seperguruannya telah dibunuh pula.
"Aku tidak memperkosa, kami berhubungan secara suka sama suka dan aku tidak membunuh siapa-siapa.."
"Manusia keji!" Kok Sian Cu, orang pertama dari Kong-thong Ngo-lojin sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi. Tubuhnya bergerak maju mengirim pukulan ke arah ubun-ubun kepala Keng Hong. Sebuah pukulan maut yang didahului angin pukulan dahsyat sekali.
Keng Hong terkejut dan cepat dia mengelak dengan jalan meloncat ke kiri dan mengangkat tangan menjaga kepalanya. Akan tetapi, dari sebelah kiri pundaknya disambar lagi oleh hantaman tangan yang lebih ampuh lagi daripada pukulan pertama tadi, terbuat daripada logam. Hebat bukan main datangnya pukulan ini karena Ouw Beng Kok dijuluki Tiat-ciang (Tangan Besi), bahkan mendirikan perkumpulan Tiat-ciang-pang adalah karena kehebatan tangan kirinya yang palsu inilah. Tangan itu bukan terbuat dari besi sebarangan, melainkan besi yang mengandung racun hebat, dan karena ketua Tiat-ciang-pang ini memiliki lweekang yang amat kuat maka pukulannya benar-benar merupakan pukulan maut yang sukar dihindarkan. Untung bagi Keng Hong bahwa sebelum suhunya meninggal dunia, kakek sakti itu telah "mengoperkan " hawa sinkang mujijat ke dalam tubuh muridnya sehingga otomatis Keng Hong memiliki sinkang kuat sekali seperti mendiang suhunya dan tanpa dia sadari pula dia telah memiliki ginkang yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat bergerak di luar kesadarannya. Datangnya pukulan Ouw Beng Kok cepat, namun tubuh pemuda itu lebih cepat lagi, membuang diri ke belakang lalu bergulingan menjauhi lawan.
Orang-orang yang menyerangnya adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi, sedikit banyak merasa malu dan sungkan untuk menggeroyok seorang pemuda, maka mereka itu begitu menyerang dan luput , merasa sungkan untuk mendesak, membiarkan orang lain yang lebih dekat untuk turun tangan. "Bukk..!" Ketika tubuh Keng Hong sedang bergulingan, kaki Kok Liong Cu, tosu ke dua dari Kong-thong Ngo-lojin ini selain ilmu pukulan Ang-liong-jiauw-kang yang dimiliki oleh mereka berlima, juga terkenal lihai dalam ilmu tendangannya. Datangnya tendangan cepat dan tak terduga sehingga tubuh Keng Hong terlempar ketika dicium ujung sepatunya. Keng Hong merasa napasnya seolah-olah berhenti, namun dengan pengerahan sinking dia dapat melindungi tubuh dan tidak terluka, hanya merasa nyeri di punggung. Ia melompat bangun lagi hanya untuk menghadapi sinar berkeredepan menyambar dari depan dibarengi bentakan Coa Bu orang kedua dari Hos-san Siang-sin-kiam yang menusukkan pedangnya sambil membentak.
"Bocah iblis, mampuslah!"
Keng Hong kaget bukan main, cepat dia membuang diri lagi ke kanan menghindarkan diri dari sambaran pedang. Sinar pedang itu menyeleweng lewat dan membabat rumput sehingga rumput-rumput itu terbabat habis tanpa tergerak, menandakan betapa tajam dan lihainya pedang kakek ini! Keng Hong sudah meloncat bangun lagi, wajahnya pucat, napasnya terengah dan ketika dia mengerling, kiranya dia sudah dikurung!
"Aku tidak bersalah, dan aku akan mempertahankan nyawaku dari kalian orang-orang tua yang tidak adil!" teriaknya. Ia maklum bahwa sekali ini sukar bagi dia untuk lolos, karena yang megepungnya adalah orang-orang yang sakti dan jumlah mereka, tanpa menghitung Sim Lai Sek yang tidak ada artinya, adalah delapan orang. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja sudah berat, apalagi delapan orang sekaligus! Baiknya mereka itu masih sungkan untuk mengeroyok, hanya menjaga agar dia tidak melarikan diri dan siap-siap menerjang jika pemuda itu mendekat.
Dalam keadaan marah dan penasaran, Keng Hong merasa betapa seluruh tubuhnya menggetar dan teringatlah dia bahwa apabila tubuhnya menggetar seperti ini berarti dia dapat menyedot hawa sinkang lawannya. Ia mengerling dan melihat bahwa di antara mereka, yang bersenjata dan yang sukar untuk dihadapi dengan sinkang adalah dua orang Hoa-san-pai yang berpedang itu, Coa Kiu dan Coa Bu, orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin, yaitu Kok Sian Cu yang memegang tongkat bambu, dan Thiat-ciang Ouw Ban Kok yang bertangan palsu. Maka dia lalu sengaja menggeser kakinya mendekatkan diri dengan Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu, dua orang kakek Kong-thong-pai yang tidak bersenjata. Pancingannya berhasil karena kedua orang ini sudah mengulur tangan hendak mencengkeram dan memukulnya. Keng Hong mengeluarkan teriakan keras dan menggerakkan lengan menangkis, sekaligus menangkis dua lengan mereka.
"Plak! Plak!" Kedua tangan orang tua itu berhasil dia tempel dengan tangkisannya dan benar saja, begitu menempel, hawa sinkang dari dua orang kakek itu menerobos keluar memasuki tubuhnya melalui lengannya yang menangkis tadi! Dua orang kakek Kong-thong-pai itu terkejut dan makin besar mereka mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, makin lekat tangan mereka dan makin banyak tenaga mereka tersedot keluar!
"Ilmu keji!" Kok Sian Cu yang menyaksikan keadaan dua orang sutenya itu telah menggerakkan tongkatnya, cepat seperti kilat menusuk mata Keng Hong! Pemuda ini terkejut dan miringkan kepala, akan tetapi ternyata serangan itu hanya merupakan gertakan belaka karena tahu-tahu ujung tongkat telah menotok sikunya, membuat lengannya lumpuh dan otomatis daya tempel atau daya sedotnya lenyap untuk sementara sehingga dua orang kakek Kong-thong-pai itu dapat membebaskan diri. Ujung tongkat terus menyambar ke arah lehernya. Keng Hong kembali menelak dan "brettt!" ujung tongkat itu menusuk pecah baju di pundaknya.
"Desss!" Pada saat itu pula, kaki Kok Liong Cu sudah mengirim tendangan yang amat keras dan yang tepat mengenai lambung Keng Hong, membuat pemuda itu roboh terguling-guling dengan dengan kepala pening.
Melihat betapa pemuda itu kembali mempergunakan ilmu yang mujijat dan yang mereka sangka adalah ilmu hitam Thi-khi-i-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), para tokoh kang-ouw itu menjadi marah dan mengambil keputusan untuk turun tangan sekaligus membunuh bocah berbahaya itu. Sepasang pedang di tangan Hoa-san Siang-sin-kiam meluncur ke arah leher dan dada Keng Hong yang masih bergulingan di atas tanah. Pemuda ini cepat menekan kedua tangan di atas tanah dan mengerahkan tenaga, dan... tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehinga dua sinar pedang itu tidak mendapatkan sasarannya.
"Dukkk!" Keng Hong terbanting roboh kembali ketika tangan besi Ouw Beng Kok menghantamnya dengan cara memapakinya pada saat tubuhnya mencelat ke atas tadi. Pukulan berat ini tidak sempat ditangkis atau dielakkan lagi oleh Keng Hong sehingga terpaksa pemuda ini menerimanya dengan pengerahan sinkang melindungi tubuhnya. Ia masih belum terluka parah, namun seluruh tubuhnya terasa nyeri dan kepalanya makin pening.
Dan begitu tubuhnya terbanting ke atas tanah, dua sinar pedang dari Hoa-san Siang-Sin -Kiam dan sinar hijau tongkat bambu ditangan Kok Sian Cu menyambar. Keng Hong tidak melihat jalan keluar lagi, mengelak tak mungkin apalagi menangkis, maka dia membelalakkan mata menanti maut sambil mengerahkan sinkangnya secara untung-untungan untuk mengadu kekebalan tubuh yang penuh tenaga sinkang itu dengan tiga senjata lawan yang ampuh.
"Cring-cring-traaakkk..!"
Kedua orang kakek Hoa-san Siang-Sin-Kiam, juga Kok Sian Cu, terkejut dan cepat menarik kembali senjata mereka ketika tiba-tiba ada sinar putih menyambar dan tepat sekali menangkis senjata mereka disusul dengan berkelebatnya sinar putih panjang yang mengancam mereka. Terpaksa mereka meloncat mundur dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita dan sikapnya agung dan penuh wibawa. Kiranya yang menangkis senjata-senjata yang sudah mengancam nyawa Keng Hong tadi adalah tiga buah senjata rahasia berbentuk bola-bola putih berduri dan sinar panjang berwarna putih adalah sabuk sutera yang sudah berada di tangan gadis itu.
"Sungguh tidak malu, golongan tua tokoh-tokoh partai besar mengeroyok seorang pemuda yang tidak melawan! Cih, beginikah watak dan sikap golongan yan patut disebut locianpwe?" Gadis itu berkata, suaranya dingin sekali dan pandangan matanya menyapu mereka yang mengurung Keng Hong dengan pandang mata menghina.
"Siancai.. bukankah nona ini Song-bun Siu-li, puteri Lam-hai Sin-ni?" Kok Sian Cu orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin berseru heran dan kaget, akan tetapi juga penasaran. "Nona, harap jangan mencapuri urusan kami seperti juga kami tidak pernah mencapuri urusan Lam-hai Sin-ni. Harap nona membuka mata dan melihat bahwa urusan dengan pemuda ini menyangkut Kong-thong-pai, Hoa-san-pai, dan Thiat-ciang-pang!"
Dari ucapannya ini saja orang tertua dari Khong Thong Pai itu jelas menyatakan jerihnya terhadap Lam-hai Sin-ni, bukan terhadap putrinya ini dan hendak mempergunakan nama ketiga partai besar untuk menakuti-nakuti. Akan tetapi Sie Biauw Eng atau Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) hanya memandang air muka dingin dan mata bersinar lebih dingin lagi.
"Tidak bisa, selama ada aku di sini, kalian tidak boleh menyentuhnya, apalagi membunuhnya!"
Tiat-ciang Ouw Beng Kok menjadi amrah di dalam hati, akan tetapi karena dia sendiri sudah mendengar akan nama besar Lam-hai Sin-ni sebagai tokoh paling lihai di antara para datuk hitam, maka dia tidak berani menyatakan kemarahannya, hanya berkata dengan suaranya yang besar.
"Nona, karena nona adalah puteri Lam-hai Sin-ni, maka kami bersikap sungkan dan mengharap dengan halus hendaknya nona suka mundur dan jangan melindungi pemuda iblis ini. Bukankah dia itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan ibu nona yang terhormat Lam-hai Sin-ni?"
"Dengan ibuku memang tidak, akan tetapi dia adalah satu-satunya pria di dunia ini yang kucinta dan akan kubela dengan seluruh tubuh dan nyawaku!" Ucapan yang dikeluarkan dengan suara polos jujur ini sejenak membuat semua orang menjadi tertegun. Akan tetapi dengan sikap wajar nona itu lalu mengeluarkan sebatang pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Keng Hong sambil berkata, "Keng Hong, kau pergunakanlah pedangku ini dan mari kubantu kau menghadapi manusia-manusia haus darah ini!"
Keng Hong menerima pedang yang diberikan itu, memegangnya dengan kedua tangan dan megerahkan tenaga . "Krekkkk!" pedang yang terbuat daripada baja pilihan itu patah menjadi dua potong lalu dilemparkannya ke atas tanah dengan muka merah dan pandang mata penuh kemarahan kepada Biauw Eng.
"Aku tidak sudi pertolonganmu! Kau perempuan kejam, kau telah menyeretku ke dalam lembah permusuhan! Engkaulah orangnya telah membunuh gadis itu karena karena cemburu, engkau curang, kejam dan...aku benci kepadamu!"
Semua orrang yang memandang peristiwa itu membelalakan mata, akan tetapi terutama sekali Biauw Eng yang menjadi pucat dan memandang Keng Hong dengan mata seekor kelinci ketakutan, kemudian bibirnya bergerak-gerak.
"Tidak...., aku tidak melakukan hal itu...ah, Keng Hong, aku hanya ingin membantumu, membelamu, karena aku cinta padamu...."
"Aku tidak butuh bantuanmu, tidak butuh pembelaanmu, tidak membutuhkan cintamu yang keji dan kotor....!"
"Keng Hong...., uuuuhhhhhhhh... Keng Hong....." Gadis itu tak dapat menahan air matanyaa yang jatuh berderai, kemudian ia menyusut air matanya dan mengangkat mukanya sambil berkata tegas. "Kalau begitu, baiklah, kita mati bersama!" Sabuk sutera putih di tangannya bergerak meluncur ke depan menyerang para pengurung yang terdekat.
"Perempuan iblis! Patut dibasmi kalian!” Teriak Kok Kiam Cu yang dengan susah payah baru dapat menyelamatkan diri dari sambaran sabuk ini ke arah lehernya dengan jalan menggulingkan diri ke tanah karena sinar sabuk itu benar-benar cepat bukan main, tidak sempat lagi dia menangkis.
Kini majulah para pengeroyok yang banyak jumlahnya itu. Dua orang Hoa-san Siang-sin-kiam memutar pedangnya, bersama Kok Sian Cu, Kok Kim Cu, Ouw Beng Kok dan Lai Ban! Pertandingan terpecah menjadi dua rombongan, namun keduanya merupakan pertandingan yang tak seimbang, atau boleh dikatakan bukan merupakan pertandingan, melainkan pengeroyokkan dan usaha pembunuhan. Mereka yang mengeroyok itu adalah orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi. Betapapun lihainya permainan sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng, namun dia bukanlah lawan tiga orang kakek tokoh-tokoh besar Hoa-san-pai itu. Sepasang pedang Hoa-san Siang-sin-kiam masih dapat ia menahannya dengan gulungan sinar sabuk putih yang membentuk lingkaran-lingkaran, akan tetapi desakan tongkat babu di tangan Kok Sian Cu, kakek pertama yang buta mata kirinya dari Kong-thong Ngo-lojin benar-benar membuat Biauw Eng sibuk bukan main. Sudah dua kali ia terkena senjata lawan, pertama kali ujung pedang Coa Kiu menyerempet pundaknya, menimbulkan luka pada kulit dan sedikit dagingnya, tidak parah namun cukup mengakibatkan pakaiannya yang putih bersih. Kedua kalinya, ujung tongkat babu di tangan Kok Sian Cu merobek kulit paha dirinya sehingga celana putihnya ikut robek dan tampak bagian kulit pahanya yang berdarah. Namun, gadis ini tak pernah mengeluh dan permainan sabuk suteranya malah menjadi makin cepat dan ganas.
Keng Hong juga amat repot menghadapi para pengeroyoknya. Keadaannya tidak lebih baik daripada keadaan Biauw Eng, bahkan lebih buruk lagi. Dia dikeroyok oleh lima orang kakek sakti, yaitu ketiga orang dari Kong-thong-pai dan dua orang dari pimpinan Tiat-ciang pang. Biarpun dia sudah mempergunakan ginkangnya untuk berkelebatan ke sana ke mari dan mengerahkan sinkang untuk menangkis, namun tetap saja berkali-kali tubuhnya terpaksa menerima gebukan-gebukan yang kalau mengenai tubuh orang lain tentu mendatangkan maut. Dia memiliki tubuh yang secara otomatis telah menggerakkan tenaga sakti untuk melawan pukulan yang datang dari luar, akan tetapi biarpun dia tidak sampai terluka dalam, tetap saja tubuhnya terasa sakit-sakit seperti rontok semua tulang-tulangnya dan kepalanya menjadi pening. Namun pemuda ini juga tidak pernah mengeluh dan dalam daya tahan dan kekerasan hati, belum tentu dia kalah oleh Sie Biauw Eng. Hanya ada satu hal yang membuat hati Keng Hong tidak enak, yaitu adanya Biauw Eng yang membelanya mati-matian. Ia menbenci gadis ini akan tetapi dia pun tidak menghendaki gadis ini tewas karena dia. Sayang dan benci bercampur aduk di dalam hatinya, membuat hatinya terasa lebih sakit daripada pukulan-pukulan yang diterimanya.Yang paling berat baginya dalam pertandingan ini adalah tangan besi hijau dari Ouw Beng Kok, ketua Tiat -ciang-pang. Hebat bukan main ilmu kepandaian kakek ini, dan tangan besinya itu bertemu dengan tangan besi, dia merasa tangannya panas dan sakit, sungguhpun dalam hal tenaga, dia tidaklah dapat dikatakan kalah karena Tiat-ciang Ouw Ban Kok juga tidak berani mengadu tenaga dengan pemuda ini.
Biauw Eng yang mengamuk dengan nekat itu kembali terkena tusukan pedang, sekali ini di tangan Coa Bu. Karena ia sedang menahan desakan tongkat bambu Kok Sian Cu yang berbahaya dengan sabuk suteranya, maka tusukan dari samping kanan itu sukar untuk dapat ia hindarkan lagi. Ia hanya dapat meloncat ke atas untuk menghindarkan tusukan maut yang mengarah lambungnya, namun tetap saja ujung pedang itu menancap daging paha kanannya. Biauw Eng mengeluarkan jeritan, bukan jerit karena nyeri melainkan jerit kemarahan. Ketika tubuhnya roboh, tangan kirinya bergerak cepat sekali dan sinar-sinar putih menyambar ke arah tiga orang kakek yang mengeroyoknya itu. Hebat bukan main sambaran senjata rahasia bola-bola putih berduri yang kesemuanya mengarah ulu hati, leher dan pelipis lawan dan jumlahnya belasan buah karena disambitkan secara cepat dan susul menyusul.
"Aihhhh…..!" Coa Bu yang kegirangan karena berhasil merobohkan gadis yang lihai itu, berteriak kaget dan cepat miringkan tubuhnya, namun tetap saja bola putih yang menyambar ulu hati menyeleweng dan mengenai pundaknya, menimbulkan rasa nyeri dan seketika pundak berikut lengannya seperti lumpuh. Karena maklum bahwa senjata rahasia itu bagian duri-durinya tentu mengandung racun, cepat kakek Hoa-san ini meloncat mundur, merobek luka dengan ujung pedang mengeluarkan darahnya lalu mengobatinya dengan obat bubuk yang disimpan di sakunya. Coa kiu dan Kok Sian Cu dapat menangkis runtuh semua senjata rahasia, bahkan ketika gadis itu menguras seluruh senjata bola putih dan tusuk konde bunga bwe, mereka dapat menyampok semua am-gi (senjat gelap) itu ke atas tanah.
"Gadis keji...!"
Kok Sian Cu menggerakkan tongkat bambunya di tusukkan ke arah perut gadis itu yang sudah rebah di atas tanah. Akan tetapi Biauw Eng tidak mau menyerah begitu saja. Ia menggunakan kegesitannya untuk bergulingan ke atas tanah sehingga sampai empat lima kali ujung tongkat bambu itu hanya menusuk tanah.
Melihat robohnya Biauw Eng, Keng Hong menjadi marah sekali. Ia mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pukulan Kok Liong Cu ke arah dadanya dia terima begitu saja sambil mengerahkan sinkang dan..... tangan itu melekat di dadanya terus disedot sinkangnya! Namun, seperti juga tadi setiap kali Keng Hong berhasil menyedot singkang seorang lawan, kakek yang lain cepat menotoknya sehingga terpaksa dia tidak dapat mempertahankan kekuatan sinkangnya dan lawan itu terlepas lagi. Kalau saja yang menotok bukan tokoh-tokoh sakti seperti itu, tentu yang menotoknya pun akan tersedot sekalian!
"Dess..!" Begitu tangan Kok Liong Cu tertempel di dadanya dan Kok Seng Cu cepat menotok pundaknya sehingga tubuhnya seperti lumpuh dan tangan Kok Liong Cu terlepas, sebuah pukulan kilat datang dari belakang, yaitu tangan besi ketua Tiat-ciang-pang, amat keras menghantam tengkuk Keng Hong. Pukulan ini adalah pukulan maut yang amat kuat dan jarang sekali ada tokoh kang-ouw sanggup menerima pukulan ketua Tiat-ciang-pang seperti itu. Keng Hong terdorong sebuah pukulan kilat datang dari belakang, yaitu tangan besi ketua Tiat-ciang-pang, amat keras menghantam tengkuk Keng Hong ke depan dan roboh menelungkup dalam keadaan pingsan!
"Keng Hong..!" Biauw Eng yang tadinya sibuk bergulingan menghindarkan tusukan ujung tongkat bambu Kok Sian Cu, menubruk ke arah Keng Hong ketika dilihatnya pemuda itu roboh dan disangkanya tentu tewas. Kekhawatirannya membuat dia kurang waspada dan selagi tubuhnya masih meloncat dan hendak menubruk Keng Hong, dari kiri melayang kaki Kok Liong Cu yang menendang keras, tepat mengenai lambungnya dan tubuh Biauw Eng terlempar pula, terguling-guling dan rebah miring dalam keadaan pingsan.
"Kita habiskan saja mereka. Dua orang muda ini benar-benar berbahaya sekali!" kata Kok Sian Cu yang sudah menggerakkan tongkat bambu ke arah Biauw Eng yang pingsan, sedangkan Ouw Ban Kok sudah menghampiri Keng Hong hendak mengirim pukulan terakhir. Ketua Tiat-ciang-pang ini merasa penasaran dan malu sekali bahwa pukulan tadi tak cukup kuat untuk membunuh Keng Hong.. padahal dia maklum bahwa pukulannya itu benar-benar hebat bukan main, dan kiranya orang-orang sakti yang berada di situ tak seorang pun yang akan dapat menerima pukulan itu dan hanya pingsan seperti Keng Hong.
Detik-detik menegang itu agaknya merupakan detik-detik penentuan bagi Keng Hong dan Biauw Eng. Sekali saja tokoh Tiat-ciang-pang menjatuhkan pukulan maut pada dua tubuh orang muda yang pingsan itu, tentu mereka akan tewas dan takkan tertolong lagi. Akan tetapi, kalau Thian belum menghendaki seseorang mati, ada saja sebabnya yang mencegah datangnya maut.
"Tahan, jangan bunuh dia....!"
Bentakan ini keras dan nyaring sekali, penuh wibawa dan tampaklah bayangan empat orang yang cepat bukan main sehingga tahu-tahu telah berada di tengah-tengah mereka, bahkan dua di antara mereka langsung menghadang di depan tubuh Keng Hong dalam keadaan siap untuk mencegah siapapun juga membunuh pemuda itu. Karena sesunguhnya yang mereka musuhi adalah Keng Hong, melihat ada orang datang melindungi Keng Hong otomatis Kok Sian Cu juga menarik tongkat bambunya dan menggurungkan niatnya membunuh Biauw Eng.
Ketika mereka semua memandang empat orang yang baru muncul, mereka menjadi terkejut sekali dan juga terheran-heran mengapa empat orang itu mencegah mereka membunuh Keng Hong. Mereka itu bukan lain adalah Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, nenek berpakaian hitam yang memegang senjata pecut sembilan ekor berujung kaitan, dua orang hwesio Siauw-lim-pai tingkat dua, yaitu Thian Ti Hwesio yang memegang senjata Liong-cu-pang dan Thian Kek Hwesio yang bersenjata jubahnya, adapun orang ke empat adalah Sin-to Gi-hiap tokoh ahli golok yang sudah berusia delapan puluh lima tahun namun kelihatan gagah dan tampan. Munculnya empat orang tokoh besar kang-ouw ini tentu saja menimbulkan keheranan, apalagi karena mereka itu seolah-olah hendak melindungi Keng Hong, padahal baik tokoh-tokoh Hoa-san-pai maupun Kong-thong-pai maklum bahwa mereka berempat itu pun merupakan musuh-musuh mendiang Sin-jiu Kiam-ong karena dulu pernah menyerbu Kiam-kok-san.
"Siancai..! Apa sebabnya keempat orang sahabat datang-datang melarang kami membunuh bocah setan ini? Hendaknya diketahui bahwa dia membunuh banyak murid Khong-thong-pai, di antaranya bahkan sute Kok Cin Cu telah dibunuhnya!" kata Kok Sian Cu, suaranya halus akan tetapi mengandung penasaran dan dan tuntutan.
"Dia telah memperkosa dan membunuh murid Hoa-san -pai!" kata pula Coa Kiu sambil melintangkan pedangnya di depan dada, tanda bahwa dia siap untuk menghadapi siapa saja demi mempertahankan nama Hoa-san-pai.
"Dan dia telah membunuh banyak anak murid Tiat-ciang -pang!" kata Ouw Beng Kok, marah.
"Dia sama sekali tidak boleh dibunuh. Belum boleh!" kata Kiu -bwe Toanio dengan suaranya yang nyaring. "Kami menghalangi kalian bukan karena kami membela bocah itu, sama sekali tidak. Kami tidak bermusuhan dan juga tidak bersahabat dengan dia.." akan tetapi kami bermusuhan dengan mendiang gurunya. Kami telah bersepakat untuk memaksa dia menyerahkan pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan kalau kalian berlaku cerdik, sebaiknya menyetujui kehendak kami agar kelak pusaka yang amat banyak itu dapat dibagi-bagi dengan adil. Setelah pusaka berada di tangan kami, terserah apa yang hendak kalian lakukan terhadap bocah ini!"
"Omithoud, Siauw -lim-pai tidak menginginkan benda lain kecuali dua buah kitab pusaka yang dicurinya dari Siauw -lim-pai, " kata Thian Ti Hwesio.
"Akan tetapi mereka ini amat berbahaya, kalau tidak dibunuh sekarang selagi mereka tak berdaya, kelak tentu akan mendatangkan banyak kekacauan, dan pula, sampai kapan sakit hati kami dapat terbalas?" kata pula Ouw Beng Kok. Ucapannya ini mendapat tanda setuju dari mereka yang ingin sekali membunuh Keng Hong untuk membalas dendam.
"Siapa yang hendak membunuhnya sekarang, berarti akan berhadapan dengan kami berempat!" bentak Kiu-bwe Toanio sambil menggerak-gerakkan cambuknya. Thian Ti Hwesio, Thian Kek Hwesio dan Sin-to Gi-hiap yang memang telah berunding terlebih dahulu untuk menangkap Keng Hong dan memaksa pemuda ini menunjukkan tempat persembunyian pusaka, kini mengurung pemuda yang masih rebah pingsan itu, siap untuk melawan siapa yang ingin membunuh pemuda itu.
Sejenak ke dua golongan ini saling pandang dan keadaan menjadi makin tegang. Fihak yang hendak membunuh terdiri dari delapan orang ditambah Sim Lai Sek yang tentu saja tak dapat dimasukkan hitungan, sedangkan fihak yang menentang pembunuhan adalah empat orang, akan tetapi karena empat orang itu, terutama sekali Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap terkenal sebagai orang -orang yang memiliki kepandaian amat tinggi, fihak yang hendak membunuh menjadi ragu-ragu. Apalagi kalau mereka ingat bahwa Keng Hong dan Biauw Eng hanya pingsan saja. kalau mereka siuman, tentu saja mereka itu akan menjadi lawan yang berat pula.
Melihat keadaan ini, Sim Lai Sek menjadi penasaran, marah dan khawatir kalau-kalau kematian cicinya tidak akan terbalas. Maka dia lau berteriak-teriak, "Dia harus dibunuh! Cia Keng Hong si keparat harus di bunuh!" Tiba-tiba bertiup angin dari atas puncak dan terdengar suara yang perlahan namun amat jelas terdengar oleh semua orang. "Siancai! Di wilayah Kun-lun-pai, siapa berani bicara tentang pembunuhan?Apakah kami tidak boleh berkuasa di wilayah kami sendiri?" Semua orang terkejut dan memandang. Ternyata dari atas puncak Kun-lun-pai tampak bayangan beberapa orang tosu yang menuruni puncak dengan gerakan cepat seperti terbang. Jumlah mereka ada tujuh orang dan dibelakang tujuh orang ini kelihatan serombongan tosu yang jumlahnya ada lima puluh orang tentu saja semua orang menjadi jerih, bukan hanya menyaksikan jumlah tosu-toosu Kun-lun-pai yang demikian banyak melainkan terutama sekali Kiang Tojin dan enam orang sutenya yang merupakan tujuh orang pimpinan Kun-lun-pai yang disegani. Baru mendengar suara Kiang Tojin yang digemakan dari atas tadi saja sudah menbayangkan betapa hebatnya sinkang dan khikang dari tosu itu!
Mereka itu memang benar adalah para tosu Kun-lun-pai yang dipimpin oleh Kiang Tojin sendiri bersama enam orang sutenya. Setelah tiba ditempat itu, pandangan mata Kiang Tojin dan para ssutenya menyapu kearah para tamu tak diundang itu dan kearah tubuh Keng Hong dan Biauw Eng yang masih menggeletak pingsan. Di lubuk hatinya, Kiang Tojin merasa kasihan kepada Keng Hong. Memang tosu ini selalu merasa suka dan kasihan kepada bocah yang dahulu dia tolong dari bencana maut itu. Kini, didalam hati tosu ini timbul pertanyaan-pertanyaan yang menbikin perasaannya perih, yaitu apakah bukan dia yang menyeret bocah itu kedalam jurang kesengsaraan? Karena dia menolong Keng Hong dan menbawa ke Kun-lun-san, maka bocah itu bertemu dengan Sin-jiu Kiam -ong dan menjadi muridnya kemudian karena dia menjadi murid Si Raja Pedang maka dia dimusuhi semua orang kang-ouw, dijadikan rebutan dan nasibnya selalu sengsara karena dimusuhi orang-orang pandai sehingga akhirnyakini menggeletak pingsan di bawah kakinya! Kiang Tojin menghela napas panjang dan merasa betapa semua itu diakibatkan oleh pertolongannya kepada Keng Hong. Memang mungkin sekali kalau dia tidak turun tangan menolong Keng Hong, tentu pemuda itu telah mati di waktu kecil. Akan tetapi apakah kematian lebih sengsara daripada hidup? "Cu - wi sekalian hendaknya maklum bahwa kedua orang muda yang pingsan ini adalah tawanan-tawanan kami.
Pemuda ini kami tawan karena dia mampunyai kesalahan terhadap Kun-lun-pai dan memang sedang kami cari-cari, adapun gadis ini kami tawan karena dia berani melanggar wilayah Kun-lun-pai. Harap cu-wi (tuan sekalian ) sebagai orang-orang luar tidak akan menghalangi kami bertinak di dalam wilayah kami sendiri." Semua orang sakti yang hadir tak dapat membantah kebenaran ucapan Kiang Tojin yang memang pada tempatnya. Sudah menjadi peraturan tak tertulis di dunia kang-ouw bahwa para tamu harus tunduk kepada peraturan tuan rumah. Mereka semua berada di wilayah Kun-lun-pai sebagai tamu-tamu yang tak di undang, dan mereka semua sudah mendengar akan perbuatan Keng Hong menipu para pimpinan Kun-lun-pai dengan enyerahkan Siang-bhok-kiam palsu. Hal ini menjadi buah tertawaan orang sedunia kang-ouw, tentu saja merupakan dosa besar peuda itu terhadap Kun-lun-pai. Kalau sekarang fihak Kun-lun-pai hendak menangkapnya dan pemuda itu berada di wilayah Kun -lun, tentu saja mereka berhal untuk mencegah. Didalam hati mereka timbul rasa tidak puas dan penasaran, akan tetapi karena mereka segan dan jerih terhadap Kun-lun-pai, mereka tidak berani membantah. Hanya Tiat-ciang Ouw Beng Kok yang menyatakan penasaran hatinya, namun juga dia bersikap halus terhadap Kiang Tojin. Ia menjura sebagai penghormatan lalu berkata. "Toyu, apa yang Toyu ucapakan semuanya memang benar. Akan teapi, bocah itu telah membunuh banyak anak murid Tiat-ciang-pang, apakah kami tidak diberi kesempatan untuk menjatuhkan hukuman kepadanya?"
Pertanyaan ketuaTiat-ciang-pang ini membuka kesempatan kepada semua orang untuk mengatakan isi hati mereka dan ramailah mereka itu berkata susul-menyusul. "Benar, dia telah membunuh banyak anak murid kami!" "Dia telah memperkosa murid wanita kami dan membunuhnya!" "Sin-jiu Kiam-ong masih berhutang kepada kami, sudah sepatutnya muridnya yang membayar hutangnya!" "Gurunya mencuri kitab-kitab pusaka kami, muridnya yang harus mengembalikan!" Kiang Tojin mengangkat kedua tangannya,minta agar mereka tidak ribut-ribut, kemudian berkata, "Pinto mengetahui akan hal itu semua.Siapa yang bersalah harus dihukum, akan tetapi karena kita berada di wilayah kami, maka kamilah yang berhak untuk mgadili dia. Kami akan membawanya ke Kun-lun-pai dan akan mengadili Cia Keng Hong. Disana cu-wi boleh menjatuhkan tuduhan dan dia berhak membela dan baru kemudian diputuskan hukumannya secara adil. Pinto mengharap cu-wi sudah enyetujui dan ikut bersama kami ke Kun-lun-pai." Tentu saja tidak ada yang dapat embantah kebenaran ucapan ini dan pada saat itu Keng Hong dan Biauw Eng siuman dari pingsannya. Ketika keng Hong membuka matany dan melihat para tosu Kun-lun-pai, dia cepat menghampiri Tojin dan menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu Cia Keng Hong siap untuk menerima pengadilan !" "Cia Keng Hong, engkau harus ikut bersama kami di Kun-lun-pai. Dan engkau, Song-bun Siu-li, karena telah berani melanggar wilayah Kun-lun-pai dan menimbulkan keributan, engkau pun harus ikut untuk menerima pengadilan.' Biauw Eng tidak menjawab dan agaknya tidak peduli karena dia sedang memandang ke arah Keng Hong dengan alis berkerut dan mata embayangkan kesedihan. Akan tetapi dia tidak membantah ketika dia digiring naik ke puncak Kun-lun-pai. Sebetulnya, keputusan Kiang Tojin untuk menawan pula Biauw Eng ada rahasia atau latar belakangnya. Tosu ini tadi sudah mendengar akan tuduhan-tuduhan Keng Hong yang dilontarkan kepada gadis ini, , karena dia ingin membawa gadis ini untuk memperingan dosa pemuda itu, Kalau tidak ada latar belakang ini , kiranya dia tidak begitusembrono unutk menawan puteri Lam-hai Sin-ni hanya karena telah mendatang wilayah Kun-lun-pai tanpa ijin! Keng Hong berjalan sambil menundukkan muka, sama sekali tidak memperdulikan Biauw Eng yang berjalan di sebelahnya. Di dalam hatinya, dia berterima kasih sekali kepada Kiang Tojin karena biarpun tadi dia berada dalam keadaan pingsan, namun dia maklum bahwa sekirnya tidak ada Kiang Tojin disitu tentu sekarang nyawanya telah melayang ke akhirat.
***
Rasa terima kasih yang bertumpuk-tumpuk sejak dahulu terhadap tosu ini membuat dia tunduk dan menyerah, siap untuk melakukan segala perintah dan enerima segala hukuman yang dijatuhkan Kiang Tojin kepadanya. Keng Hong dan Biauw Eng dibawa masuk ke dala "ruangan pengadilan Kun-lun-pai" yang merupakan sebuah ruangan yang amat luas dengan lantai batu putih. Disitu telah menanti Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai dengan pakaian ketua yang sederhana nan agung dan berwibawa. Kakek tua ini telah diberi tahu lebih dulu sehingga dia menanti di situ. Kiang Tojin dan enam orang sutenya lalu menjatuhkan diri berlutut dan Kiang Tojin melaporkan bahwa Cia Keng Hong telah ditangkap bersama Song-bun Siu-li yang melanggar wilayah Kun-lun-pai. Keng Hong telah pula menjatuhkan dirinya berlutut di depan ketua Kun-lunpai dengan sikap tenang. Akan tetapi Biauw Eng tidak mau berlutut, juga tidak ada yang memaksanya, dan gadis ini duduk di atas bangku yang berada di situ.Tak seorangpun melarangnya karena betapapun juga, semua orang selain mengenal nama Song-bun Sin-li sebagai tokoh yang amat terkenal, juga nama besar Lam-hai Sin-ni membuat semua orang merasa jerih. Kalau tadi para tokoh mengeroyok dan hendak membunuh Biauw Eng adalah karena gadis itu membela Keng Hong. Para anak murid Kun-lun-pai yang lain menjaga di luar ruangan sidang pengadilan, bersikap menjaga segala kemungkinan.
Suasana disitu sunyi dan semua orang menanti ketua Kun-lun-pai membuka mulut. Thian Seng Cinjin hanya membalas penghormatan semua tamu dan mempersilakan mereka duduk dengan isyarat tangan yang digerakkan perlahan menuju ke arah bangku-bangku yang tersedia disitu. "Suhu, setelah Cia Keng Hong terlepas dari tangan Ngo-sute dan Ji-sute (Adik seperguruan ke Lima dan ke Dua) teecu dapat menangkap dia di wilayah Kun-lun-pai, sedang dikeroyok oleh para sahabat yang datang dari partai-partai persilatan dan dunia kangouw yang menghendaki agar dilakukan pengadilan atas dirinya. Teecu menyerahkan kepada Suhu mohon keputusan." Demikian antara lain Kiang Tojin melapor. Thian Seng Cinjin menghela napas. "Siancai... kekacauan yang ditimbulkan oleh perbuatan mendiang Sin-kiu Kiam-ong dengan sepak terjangnya yang seseka sendiri, dilanjutkan oleh muridnya. Muridku, pinto menyerahkan dan mewakiliku kepadamu untuk memulai persidangan pengadilan ini." Kiang Tojin mengangguk, kemudian bersama enam orang sutenya lalu bangkit ber diri di belakang suhu mereka. Kiang Tojin lalu berkata kepada semua tamu. "Cu-wi sekalian, sebelum kami mempersilakan cu-wi menjatuhkan tuduhan terhadap Cia Keng Hong, lebih dahulu kami akan menjatuhkan tuduhan kami, harap cu-wi menjadi saksi." Sejenak keadaan sunyi, kemudian Keng Hong yang masih berlutut dan enundukkan mukanya, lalu berkata, suaranya lantang dan tegas.
"Cia Keng Hong! Kurang lebih setahun yang lalu engkau telah menyerahkan Siang-bhok-kiam yang kau serahkan itu adalah pedang palsu. Benarkah bahwa engkau telah menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam palsu kepada kami?" "Saya mengaku, memang pedang Siang-bhok-kiam yang saya serahkan kepada Totiang dahulu adalah pedang kayu palsu buatan saya sendiri." "Jadi engkau mengaku bahwa engkau telah menipu Kun-lun-pai dan sengaja melakukan penghinaan agar Kun-lun-pai menjadi buah tertawaan orang sedunia ?" "Sama sekali tidak!" Keng Hong mengangkat muka dan memandang KiangTojin dengan pandangan mata tajam dan penuh ketabahan. "Saya tidak bermaksud menyerahkan pedang palsu. Semenjak turun dari Kiam-kok-san, saya telah menbawa pedang palsu itu karena maklum bahwa banyak menghendaki pedang itu. Pedang Siang-bhok-kiam adalah milik suhu yang telah diwariskan kepada saya, mengapa orang lain hendak memintanya? Mengapa pula Kun-lun-pai hendak memintanya,bahwa hendak merampasnya dengan paksa? Adalah kesalahan Kun-lun-pai sendiri yang ikut-ikut menginginkan pedangitu sehingga karena terpaksa saya menyerahkan pedang yang saya bawa, pedang palsu buatan saya yang disangka Siang-bhok-kiam. Saya tidak berasa bersalah dalam penyerahan pedang itu,tidak merasa sengaja hendak menipu, hal itu terjadi karena kesalahan! Kun-lun-pai sendiri yang ingin memiliki benda kepunyaan orang lain!"
Suasana menjadi sunyi sekali setelah semua orang mendengar jawaban yang tak tersangka-sangka ini. Kemudian terdengar Kiu-bwe Tooanio nyaring melengking. "Anak ini benar! Bukan salahnya ,karena memang pedang itu tidak seharusnya dirampas Kun-lun-pai! Pedang itu adalah hak kami bersama, kami orang -orang yang dibuat sakit hati oleh Sin-jiu Kiam-ong dan yang berhak untuk mendapatkan bagian dari pusaka peninggalannya. Pedang itu harus diserahkan kepada kami untuk kami pakai mencari pusaka itu dan kita bagi-bagi bersama. Ini baru adil namanya."
"Omitohud, ucapan Toanio tepat sekali. Pincang juga harus mendaptkan kembali dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong , maka pedang itu harus diberikan kepada kami. Dalam hal itu, anak ini tidak bersalah terhadap Kun-lun-pai!" kata pula Thian Ti Hwesio tokoh Siauw-lim-pai.
"Tepat sekali..tepat sekali..!" sambung Sin-to Gi-hiap. Keng Hong mendengarkan semua itu dengan hati geli. Dari sikap para tokoh ini jelas sekali terlihat betapa setiap orang manusia. betapapun tinggi kepandaian dan kedudukannya, masih selalu diperhaba oleh nafsu mendahulukan kepentingan diri sendiri. Karena nafsu inilah maka setiap persoalan yang dianggap enguntungkan dirinya, langsung di anggap benar dan tepat. Jika sebaliknya dan persolan itu dianggap merugikan, tentu akan ditentang!"
Kiang Tojin juga makulum akan hal itu, dan diam-diam diapun girang bahwa Keng Hong dapat menjawab dengan tepat seperti yang diharapkan sehingga dapat memperingan "dosanya" terhadap Kun-lun-pai. Akan tetapi tentu saja di samping perasaan sayang kepada Keng Hong, sebagai orang ke dua Kun-lun-pai dan calon pengganti suhunya kelak sebagai ketua Kun-lun-pai, Kiang Tojin lebih mementingkan kebesaran nama Kun-lun-pai, aka dia lalu berkata. "Cu-wi sekalian telah mendengar pengakuan Cia Keng Hong dan dengan pengakuannya itu, kami fihak Kun-lun-pai dapat menerimanya dan kami dapat mengampuni dosanya karena setelah diteliti memang pemuda ini tidak bermaksud menipu, melainkan memalsukan pedang Siang-bhok-kiam dengan maksud agar yang asli tidak sampai terampas orang lain. Dengan pengakuannya itu, sekaligus nama besar kami telah tercuci daripada noda-noda. Pertama, jelas bahwa kami tidak menyembunyikan Siang-bhok-kiam asli seperti disangka banyak orang. Ke dua, Kun-lun-pai jelas bukanlah partai yang tamak akan pusaka lain orang sehingga sampai sekian lamanya kami tidak emeriksa pedang itu palsu atau bukan karena memang kami tidak mempunyai maksud mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Hanya karena diperebutan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka pedang itu rusak dan ketahuan bahwa benda itu palsu. Adapaun tentang anggapan bahwa Kun-lun-pai tidak berhak atas pedang itu adalah salah! Pedang itu selaanya berada di wilayah Kun-lun-pai, yaitu Kiam-kok-san, dan segala benda yang berada di wilayah Kun-lun-pai adalah hak kekuasaan kami untuk menentukan apakah boleh dibawa keluar atau tidak."
***
Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, terutama Sian Ci Tojin, yang menginginkan pusaka-pusaka itu untuk dipelajari, merasa tidak setuju dengan ucapan Kiang Tojin ini, akan tetapi karena mereka melihat betapa suhu, Thian Seng Cinjin yang lebih mengutamakan nama baik Kun-lun-pai, nengangguk-ngangguk setuju atas ucapan Kiang Tojin, mereka hanya saling pandang dan mengerutkan kening, tidak berani membantah. "Cia Keng Hong, karena jelas bahwa engkau belum membawa keluar Siang-bhok-kiam dari Kun-lun-san, dan mendengar pembelaan diri yang tepat, maka kami dapat mengampunimu dengan syarat bahwa engkau harus menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam yang asli kepada kami...."
"Wahhh...!!" Terdengar seruan tidak setuju dari para tamu.
"Harap tenang dan biarkan Twa-suheng bicara!" Lian Ci Tojin berseru keras, dan tosu ini sudah merasa girang dengan keputusan Kiang Tojin.
"Keputusan ini dikeluarkan oleh Kun-lun-pai mengingat bahwa Siang-bhok-kiam akan selalu menimbulkan kegemparan di dunia kang-ouw, menjadi perebutan yang akan mengorbankan banyak nyawa secara sia-sia dan karena pedang yang selalu berada di Kiam-kok-san itu enjadi hak kami, maka kamilah yang harus menyipannya dengan janji bahwa kami Kun-lun-pai tidaklah tamak terhadap pusaka orang lain dan tidak akan menggunakan pedang untuk mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!"
Ucapan terakhir ini melegakan hati para tamu akan tetapi sebaliknya mengecewakan para tosu Kun-lun-pai terutama Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin.
"Nah, pinto rasa sudah jelas bagi dunia kang-ouw umumnya bahwa Kun-lun-pai mempunyai alasan-alasan kuat untuk memiliki Siang-bhok-kiam dan persoalan Cia Keng Hong dengan Kun-lun-pai telah selesai. Kini kami persilakan cu-wi yang ingin menuntut pemuda ini agar mengajukan tuntutannya."
Kiang Tojin bersikap cerdik dalam sikapnya membela Keng Hong. Dia tidak mendesak atau bertanya kepada Keng Hong untuk pelaksanaan keputusan itu karena dia khawatir kalau-kalau Keng Hong secara berterang menolak dan menimbulkan pula kemarahan di fihak para tosu Kun-lun-pai. Ia akan menggunakan pengaruhnya untuk memaksa pemuda itu kelak menyerahkan Siang-bhok-kiam secara baik-baik. Dengan memberi kesempatan kepada para tamu untuk mengajukan tuduhan, maka para sutenya tidak ada kesempatan untuk mendesak Keng Hong. "Cia Keng Hong telah memperkosa murid Hoa-san-pai yang bernama Sim Ciang Bi kemudian membunuhnya, disaksikan oleh adik korban yang kini hadir, Sim Lai Sek" kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai. "Dosa yang keji itu harus ditebus dengan hukuman kematian bagi pemuda jahat ini!"
"Cia Keng Hong memperkosa dua orang murid wanita kamu lalu membunuh mereka, juga membunuh sute kami Kok Cin Cu dan beberapa orang anak murid Kong-thong-pai. Dosanya lebih besar lagi terhadap kami dan biarpun dia mati sepuluh kali masih belum dapat menebus dosanya !" kata Kok Sian Cu. "Dia telah membunuh banyak anak murid kami dari Tiat-ciang-pang. Dia harus kami hukum mati demi menjaga nama besar kami yang diinjak-injaknya!"
Hening sejenak setelah tiga orang wakil tiga partai besar ini menjatuhkan tuduhannya dan semua mata memandang Keng Hong yang masih menundukkan muka.
"Cia keng Hong, bagaimana engkau menjawab tuduhan-tuduhan para Locinpwe ini ?" Kiang Tojin bertanya, suaranya mengandung getaran karena hatinya merasa berduka sekali. Ia merasa berduka kalau -kalau semua tuduhan itu benar dan anak yang disayangnya itu benar-benar telah mewarisi watak suhunya, yaitu suka mempermainkan wanita dan sudah turun tangan membunuh orang. Hanya dia terkejut dan ragu mendengar bahwa Keng Hong juga membunuh Kok Cin Cu yang dianggapnya tak mungkin terjadi. Ia tahu siapa Kok Cin Cu, orang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, tentu takkan dapat dikalahkan oleh Keng Hong. Ia merasa khawatir sekali karena kalau yang dituduhkan itu benar-benar, alangkah berat dosa pemuda ini dan amat tidak baik kalau dia atau Kun-lun-pai hendak melindunginya.
Andai kata tokoh-tokoh kang-ouw hendak mengganggu Keng Hong karena perbuatan-perbuatan Sin-jiu Kiam -Ong, tentu dia akan membela Keng Hong. Akan tetapi kalau yang dituntut adalah perbuatan-perbuatan pemuda ini sendiri, tak mungkin dia dapat mencampurinya. Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dan menjawab dengan suara tenang namun tegas, "Semua tuduhan yang dijatuhkan kepada saya itu adalah fitnah yang tidak benar! Saya tidak memperkosa Sim Ciang Bi anak murid Hoa-san-pai itu, karena hubungan antara kami adalah atas dasar suka rela, dan saya pun tidak membunuhnya, biar pun ada saksi yang menjatuhkan fitnah palsu. Saya tidak membunuh Sim Ciang Bi! Mengenai urusan dengan Kong-thong-pai, Kok Cin Cu totiang tidak mati oleh tangan saya. Dua orang murid wanita Kong-thong-pai yang dimaksudkan tentulah Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si seperti juga Sim Ciang Bi murid Hoa-san-pai, mereka berdua ini pun amat baik kepada saya dan hubungan di antara kami berdasarkan suka sama suka, tidak ada perkosaan sama sekali. Yang membunuh mereka dan para saudara seperguruan mereka dengan para saudara seperguruan mereka dengan racun juga bukan saya. Demikian pula urusan dengan Tiat-ciang-pang. Mereka itu mengeroyok saya yang hanya membela diri, dan sebagian di antara mereka tewas oleh senjata rahsia juga bukan oleh tangan saya !"
"Wah-wah-wah, pengecut! Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab!" bentak Coa Kiu, seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam marah. "Kalau engkau tidak mengaku membunuh ereka semua, akan tetapi buktinya mereka itu mati, habis apakah hendak kau katakan bahwa mereka itu telah membunuh diri mereka sendiri?" "Keng Hong ! Hendakkah mengaku menyangkal bahwa ciciku mati dalam pelukanmu ?" Sim Lai Sek membentak marah. "Semua penduduk dusun melihat betapa anak murid kami yang wanita engkau perkosa dan kemudian semua anak murid kai itu kau beri racun !" bentak pula Kok Sian Cu. Keng Hong melirik ke kiri dan kini dia melihat Sie Biauw Eng yang sejak tadi telah siuman dan mendengar semua persidangan yang mengadili Keng Hong itu. Ia melihat betapa Biauw Eng menundukkan muka dengan alis berkerut, wajah jelita itu kelihatan berduka sekali. Hemmm, wajah palsu, pikirnya ! Engkaulah yang mendatangkan semua malapetaka kepadaku, dan kau masih berpura-pura dengan sikap alim berpura-pura seperti orang berduka! Teringat betapa Sim Ciang Bi mengejang dengan tubuh masih hangat di pelukannya, terbunuh secara keji oleh Biauw Eng, dan teringat pula betapa Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si yang amat mencintainya juga mati oleh racun Biauw Eng, seketika kemarahan Keng Hong melenyapkan rasa kasihnya yang aneh terhadap gadis itu dan diam menjadi benci, benci sekali! Tiba-tiba Keng Hong meloncat ke kiri dan menyambar tubuh Biauw Eng, dipegangnya lengan gadis itu dan diseretnya di depan Kiang Tojin sambil berseru keras.
***
"Inilah dia manusianya yang membunuh mereka semua! Inilah Song-bun Siu-li puteri lam-hai Sin-ni yang berkepandaian tinggi dan berwajah jelita namun berhati iblis! Dialah yang telah membunuh Sim Ciang Bi dengan darah dingin, meracuni murid-murid Tiat-ciang-pang dengan senjata rahasianya! Dia melakukan semua itu karena cemburu, karena iri hati, karena... Karena hatinya yang ganas liar dan kejam!" Semua orang tercegang memandang kepada Biauw Eng yang menudukkan mukanya yang menjadi pucat sekali. Suasana menjadi sunyi senyap dan Kiang Tojin eandang wajah yang menunduk itu penuh perhatian. Ia percaya akan keterangan Keng Hong berdasarkan pengetahuannya bahwa keng Hong tidak memiliki watak atau dasar watak jahat dan kejam. Sebaliknya, biarpun dia belum mengenal kepribadian Song-bun Siu-li, akan tetapi mengingat bahwa gadis ini puteri Lam-hai Sin-ni yang terkenal sebagai tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tandingan), tidak akan mengherankan kalu gadis yang kelihatan cantik jelita dan dingan seperti salju ini memiliki watak iblis seperti ibunya. "Cia Keng Hong, engkau yang dijatuhi tuduhan, mengapa engaku menimpakannya kepada orang-lain?" Kiang Tojin pura-pura mencela, padahal kehendak hatinya ialah memancing agar tuduhan Keng Hong itu dapat diperkuat.
"Maaf, totiang. Saya sama sekali tidak menuduh sebarangan, bukan menuduh karena saya takut menghadapi hukuman. Biar dihukum mati sekalipun, kalau memang saya bersalah, saya tidak akan gentar dan siap mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Akan tetapi sesungguhnya bukan saya melainkan perempuan iblis inilah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji, curang dan pengecut itu. Kalau Totiang tidak percaya, harap bertanya kepadanya dan ingin sekali saya mendengar apa yang akan dijawabnya." Memang Keng hong ingin sekali mendengar jawaban Biauw Eng. Ketika gadis ini tadi membelanya pada waktu dia dikeroyok orang-orang sakti dan dia melancarkan tuduhannya, gadis ini menyangkal. Sekarang, di dalam sidang pengadilan di depan-depan orang-orang sakti, bagaimana gadis ini akan dapat menyangkal pula? Bukti-buktinya sudah cukup lengkap, yaitu senjata-senjata rahasianya, dan saksi-saksinya juga sudah banyak, terutama sekali dia yang menjadi saksi utama karena beberapa kali dia melihat gadis baju putih ini berkelebat pergi setiap ada pembunuhan-pembunuhan itu, dan masih teringat olehnya, bahkan masih terasa belaian-belaian kasih sayang penuh nafsu dari gadis baju putih yang kelihatannya dingin dan alim ini!
"Nona, jawablah apakah semua yang dikatakan Cia Keng Hong itu benar? Apakah benar Nona yang membunuh murid-murid Hoa-san-pai, Kong-thong-pai dan Tiat-ciang-pang?"
Biauw Eng memandang kepada Keng Hong dengan muka pucat, sinar matanya berduka sekali, bibirnya bergerak-gerak dan gemetar seperti wanita kalau hendak menangis. Akan tetapi gadis yang keras hati ini cepat menggigit bibirnya yang bawah sehingga tampak kilatan gigi putih disusul warna merah karena bibir bawahnya pecah tergigit! Agaknya dengan kekerasan hati Biauw Eng hendak mengeluarkan kata-kata yang kemudian ditekan dan ditahannya sendiri dengan gigitan pada bibirnya. Wajahnya tidak pucat lagi, bahkan mulai menjadi kemerahan, sinar matanya menyapu semua orang yang hadir disitu, kemudian memandang Kiang Tojin dan sejenak sinar mata kedua orangitu bertmeu. Dalam detik pertemuan sinar mata itu, keduanya seperti orang bermufakat dan saling bermufakat dan saling maklum bahwa masing-masing merasa suka dan mengandung hati kasih sayang terhadap Keng Hong! Akan tetapi hanya sedetik saja pertemuan getaran perasaan ini dan terdengarlah suara Biauw Eng nyaring dan tetap, sedikit pun tidak gemetar dan ia sudah bangkit berdiri."Yang bersalmh dihukum, yang tidak bersalh dibebaskan. Itu sudah sewajarnya maka saya minta kepada cu-wi sekalian untuk membebaskan Keng Hong ! Dia tidak bersalah karena benar seperti yang dikatakannya, semua pembunuhan itu akulah yang melakukannya ! Dan aku siap menerima hukuman, akan tetapi Keng Hong harus dibebaskan sekarang juga!'
Keng Hong memandang gadis itu dengan sinar mata tajam. Begitu Biauw Eng mengucapkan pengakuannya, sungguh heran sekali, kebenciannya menghilang dan dia kini memandang penuh kekhawatiran! Gadis itu jelas telah mengucapkan keputusan kematian sendiri! Kiang Tojin menghadapi para tokoh tiga buah partai persilatan besar itu dan berkata, "Nah, cu-wi telah mendengar sendiri pengakuan Song-bun Siu-li dan berarti bahwa Keng Hong tidak bersalah dalam urusan ini. Kalau dia membela diri ketika diserang dan dikeroyok sehingga jatuh korban di antara para pengeroyok, amatlah tidak adil kalu dia dipersalahkan .Terserah cu-wi sekalian sekarang, apa yang akan cu-wi lakukan kepada yang bersalah." "Perempuan iblis ini harus dibinasakan!" bentak Tiat-ciang Ouw Beng Kok, menghantam dengan tangan bajanya yang kiri ke arah kepala Biauw Eng. Juga Coa Kiu sudah menggerakkan pedangnya enyusul, sehingga tampak sinar terang dan suara mencuit ketika sinar pedang ini saat berikutnya, Kok Sian Cu menggerakkan pula tongkat bambunya menusuk ke dada gadis itu. Tiga serangan maut dari tiga tokoh kang ouw yang sakti ini datang secara beruntun dala detik-detik yang hampir bersamaan , Sedangkan Biauw Eng hanya menundukkan muka siap menerima datangnya maut. Ia sama sekali tidak menjadi gentar, matanya hanya ditujukan kepada Keng Hong dengan pandang mata sayu penuh kesedihan.
"Tidak! Jangan bunuh dia....!!" Kneg Hong berseru keras dan dia pun menubruk maju menghadang di depan Biauw Eng sambil menggerakkan tangan mendorong ke depan dengan maksud melindungi gadis ini. Karena pukulan Tiat-ciang Ouw Beng Kok datang lebih dahulu , maka pukulan tangan baju inilah yang bertemu dengan tangan Keng Hong sehingga terdengar suara keras dan tubuh Ouw Beng Kok terjengkang ke belakang, juga Keng Hong terbanting ke kiri! "Tak boleh melakukan pembunuhan di sini!" terdengar suara halus dan sinar pedang Coa Kiu yang sudah meluncur dekat dan kini mengancam Keng Hong karena tubuh Keng Hong masih menutupi tubuh Biauw Eng, tiba-tiba terpental ketika tertangkis tongkat di tangan Thian Seng Cinjin. Tongkat bambu di tangan Kok Sian Cu lihai sekali. Biarpun ada tubuh Keng Hong yang menghadang, namun tongkat itu dapat meliuk melalui punggung Keng Hong dan langsung menukik dan menusuk ke arah dada Biauw Eng. "Trakkk!" Tongkat bambu ditangan orangtetua dari Kong-thong Ngo-lojin itu menyeleweng dan menghantam lantai sehingga membuat lantai itu berlubang!
***
"Hi-hi-hik, segala kacoa berani lancang tangan hendak membunuh puteriku?" Tiba-tiba saja Lam-hai Sin-ni sudah berada di situ sehingga mengejutkan semua orang. Pukulan jarak jauh yang sudah berhasil menangkis tongkat bambu di tangan Kok Sin Cu ini benar-benar mengejutkan dan mengagumkan. Lam-hai Sin-ni memandang puterinya dan berkata dengan suara gemetar. "Eng-ji....ah, Eng-ji.., mengapa engkau begini lemah? Mengapa engkau menyia-nyiakan nyawa untuk kau korbankan? Begitu murahkah nyawamu kau korbankan untuk seorang pria berhati palsu macam Keng Hong ini..?" Biauw Eng terisak. "Ibu .. aku cinta kepadanya, Ibu.." Lam-hai Sin-ni membanting kakiknya, "Bodoh! Lemah...! Ah, Sie Cun Hong, setelah engkau menghancurkan hatiku, mengapa kini muridmu yang hendak merusak kebahagiaan puteriku dan puterimu?" "Lam-hai Sin-ni , puterimu telah berhutang nyawa kepada kami, harus di tebus dengan nyawanya pula!" Kok Kim Cu berseru marah melihat munculnya tokoh utama dari Bu-tek Su -kwi ini. "Benar, dia harus dibinasakan!" bentak pula Coa Kiu dan Coa Bu. "Biarpun Lam-hai Sin-ni sendiri, tidak boleh melindungi puterinya yang berhutang nyawa penasaran murid-murid kami!" bentak pula tiat-ciang Ouw Beng Kok.
"Eh, eh, eh begitukah? Anakku hanya membela pemuda tak tahu diri itu, akan tetapi andai kata benar dia yang membunuhi murid-murid kalian yang tak berharga, habis kalian mau apa?" Watak Lam-hai Sin-ni memang amat dingin dan keras, bahakn selalu memandang rendah lain orang, maka kini di depan tokoh- tokoh sakti itu ia sama sekali tidak memandang mata!" Tentu saja tokoh-tokoh itu menjadi marah sekali. Apalagi Ngo-lojin dari Kong-thong-pai yang kini tinggal empat orang itu. Dahulu mereka berlima amat terkenal sehingga tokoh-tokoh iblis seperti Thian -te Sa-lo-o yang menjadi tiga orang datuk hitam dari dunia penjahat dan amat terkenal sebelum akhirnya muncul Bu-Tek Su Kwi, tidak berani memandang rendah, maka dengan seruan-seruan nyaring meraka itu menerjang maju, mempergunakan cengkeraman-cengkeraman Ang-Liong-jiauw-kang mereka yang ampuh, bahkan Kok Sian Cu menyerang dengan tongkat bambunya. Di saat itu pula, melihat kesempatan baik karena banyak kawan untuk menghadapi nenek iblis yang mereka tahu amat lihai ini, Coa Kiu dan Coa Bu kedua Hoa-san Siang -sin-kiam juga maju dengan pedang mereka sedangkan Ouw Beng Kok dan Kim-to lai Ban juga tidak tinggal diam, akan tetapi mereka ini bukan menyerang Lam Hai Sin Ni melainkan Biauw Eng! Terjangan orang-orang sakti ini dilakukan serentak dan cepat, membuat para tosu Kun-lun-pai tidak sempat melerai dan memandang bingung karena mereka sebagai tuan rumah tentu saja merasa tidak senang kalau tempat tinggal mereka dijadikan gelanggang pertempuran.
"Plak-plak-plak.." Yang datang lebih dulu adalah pukulan-pukulan Ang-liong-jiauw-kang, akan tetapi tiga pukulan Kok Seng Cu, Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu ini ditangkis lengan Lam-hai Sin-ni dan tangan mereka itu melekat pada lengan nenek ini dan terus di sedotlah hawa sinkang dari tangan mereka yang membanjir tanpa dapat dicegah memasuki lengan Lam-hai Sin-ni yang tertawa terkekeh.
Ketika mereka bertiga terkejut, tiba-tiba Lam-hai Sin-ni menggerakkan ke dua lengannya sehingga tiga orang itu terangkat dan diputar-putar ke atas untuk dipakai menangkis serangan bambu Kok Sian Cu dan sepasang pedang Coa Kiu dan Coa Bu ! Tentu saja dua orang Hoa-san Siang -sin-kiam itu terkejut sekali dan menarik kembali pedang ereka agar tidak melukai para tokoh Kong-thong-pai itu, sedangkan Kok Sian Cu yang lebih cerdik dan lihai, menggerakkan tongkat bambunya menyusun ke samping dan mengiri totokan ke arah pusar Lam-hai Sin-ni secara hebat dan cepat sekali!
Lam-hai Sin-ni tertawa, mundur dua langkah dan melontarkan tubuh ke tiga orang tokoh Kong-thong-pai itu ke arah Kok Sian Cu , Coa Kiu dan Coa Bu sehingga terpaksa tiga orang tokok itu mengelak dan tubuh Kok Seng Cu dan para suhengnya terbanting roboh dalam keadaan lemas karena sebagian dari sinkang mereka telah tersedot oleh Lam-hai Sin-ni dengan ilmu mujijat Thi-khi-I-beng!
Sementara itu, Biauw Eng yang masih berdiri seperti orang kehilangan semangat, diam saja ketika diserang oleh dua orang tokoh Tiat-ciang-pang. Melihat ini, kembali Keng Hong yang meloncat maju dan menyambut serangan itu. Sekali ini karena kedua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu marah sekali, serangan mereka pun hebat, bahkan Kim-to Lai Ban telah menggunakan goloknya. Keng Hong masih bingung tadi oleh pengakuan Biauw Eng yang tadinya menyangkal kemudian berbalik mengaku, menjadi makin bingung oleh ucapan Lam-hai Sin-ni. Melihat gadis yang amat aneh, yang dapat mendatangkan rasa cinta dan benci bergantian dihatinya itu kini terancam bahaya, mati-matian dia menubruk maju, menggunakan kedua lengannya untuk menangkis pukulan tangan baja dan golok.
"Desssss..!" Tubuh Keng Hong terbanting lagi ke atas lantai. Dalam pertandingan di lerang Kun-lun-san ketika dia dikeroyok, dia telah mengalami pukulan-pukulan yang mengakibatkan luka di dalam tubuh, kini dia menangkis pukulan. Tiat-ciang Ouw Beng Kok sampai dua kali. Dadanya terasa sakit-sakit dan dia muntahkan darah segar, sedangkan lengannya yang menangkis golok Lai ban terluka parah di pangkal sikunya, kulit dagingnya robek dan mengucurkan banyak darah. Namun, dalam usahanya menyelamatkan Biauw Eng, Keng Hong tidak merasakan luka-lukanya, bahkan begitu tubuhnya terbanting, dia terus berguling ke lantai mendekati Biauw Eng, tiba-tiba menangkap pinggang gadis itu dan melontarkannya sekuat tenaga ke arah Lam-hai Sin-ni sambil berkata.
"Locianpwe, harap bawa pergi puterimu dari sini...!" Lam-hai Sin-ni baru saja memukul mundur para pengeroyoknya dengan melontarkan tubuh ketiga orang tokoh Kong-thong-pai, kini melihat tubuh puterinya melayang ke arahnya, cepat dia menangkap dan mengempitnya. Ia ingin sekali mengamuk dan membunuhi semua orang yang hendak mengganggu puterinya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara halus.
"Apakah orang tidak memandang mata lagi kepada Kun-lun-pai sehingga tidak memperdulikan pinto semua dan mengacau sekehendak hatinya?" Yang bicara ini adalah Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai yang tadi ketika enangkis sinar pedang Coa Kiu dilakukan sambil duduk dan semenjak itu menonton dan mendengarkan semua yang terjadi dengan alis berkerut. Mendengar suara ini, Lam-hai Sin-ni tertawa dan berkata, "Maafkan kelancanganku, Cinjin!" Tubuhnya lalu berkelebat, membawa pergi puterinya dari tempat itu tanpa ada yang berani mengganggu, pertama kareana memang jerih menghadapi nenek itu sendirian saja ,kedua karena mereka pun terpengaruh suara Thian Seng Cinjin sehingga merasa sungkan untuk memperlihatkan kekerasan di depan kakek ini yanng selain menjadi tuan rumah, juga terkenal sebagai ketua Kun-lun- pai yang amat lihai, belum lagi diingat akan banyaknya tosu-tosu lihai di Kun-lun-pai ini.
***
"Biarlah dia pergi, yang terpenting, bocah ini tak boleh terlepas begitu saja dari tangan kami!" kata Coa Kui. "Andai kata bukan dia yang membunuh, sudah jelas dia menghina urid wanita kami!" "Juga dua orang murid wanita kami!" kata Kok Sian Cu. "Benar, tak boleh bocah ini dilepas begitu saja !" Ouw Beng Kok. "Omitohud, Pinceng masih harus mendapat kitab-kitab Siauw -lim-pai dari bocah ini !" kata wakil ketua Siauw -lim-pai dan yang lain -lain juga ikut pula membuka suara. Keng Hong menjadi marah sekali. Tubuhnya sakit-sakit, dadanya terasa sesak, kepalanya pening oleh pukulan- pukulan yang diterimanya, ditambah pula kepergian Biauw Eng tiiba-tiba seperti membawa sebagian semangatnya. Pengakuan Biauw Eng yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu amat meragukan hatinya.Ia yakin bahwa gadis itu mengakui semua itu untuk meneria hukuman di atas pundaknya, dengan niat membebaskan Keng Hong. Maka dia menjadi ragu-ragu apakah benar gadis itu yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji. Siauw Biauw Eng dan ucapan Lam-hai Sin-ni meragukan hatinya. Tentu ada rahasia di balik semua itu. Orang yang kelihaian jahat belum tentu selamanya akan melakukan perbuatan jahat. Sebaliknya orang yang kelihatannya baik-baik belum tentu pula selamanya benar. Buktinya Lian Ci Tojin. Bukankah tosu itu secara keji seperti binatang buas telah memperkosa Tan Hun Bwee, puteri Yan piauwsu? Padahal perbuatan itu sampai mati sekalipun tidak sudi dia melakukannya. Dan para tokoh besar ini. Tidak jelaskah tampak betapa tamak mereka ini, mengejar-ngejar dan berlumba-lumba memperebutkan pusaka gurunya?
Tiba-tiba dia meloncat bangun dan berkata, suaranya kasar dan nyaring, "Kalian ini orang-orang tua yang jahat dan tamak! Aku tidak sudi lagi menurut segala kata-kata kalian ! Apakah dosaku terhadap kalian, termasuk terhadap Kun-lun-pai ? Salahkah kalau aku menjadi murid Sin-jiu Kiam -oang ? Coba katakan, perbuatan apakah yang telah kulakukan terhadap kalian semua ? Akan tetapi kalian selalu mengejar-ngejar aku, memperebutkan Siang-bhok-kiam , ini hanya alasan karena sebenarnya kalian semua menginginkan pusaka peninggalan suhu! Tak tahu malu! Takkan ku berikan kepada siapapun juga! Akan kupelajari sendiri dan kelak kupergunakan untuk melawan kalian!" Semua orang memandang dengan mata terbelalak, termasuk Kiang Tojin, Thian Seng Cinjin berkata perlahan. "Siancai..., mulut tajam....!" Akan tetapi Ouw Beng Kok telah menerjang maju menghantam sabil membentak. "Bocah sombong!"
Berbarengan dengan pukulan Ouw Beng Kok ini, Lian Ci Tojin juga maju menghamtam dari kiri dengan pukulan dahsyat mengarah lambung Keng Hong.
Pemuda ini yang sudah dua kali merasai pukulan Ouw Beng Kok yang hebat, menjadi marah dan merendahkan diri setengah berjongkok, mengerahkan seluruh tenaganya memapaki pukulan ketua Tiat-ciang-pang ini dengan dorongan tangan yang mengandung sinkang warisan gurunya.
"Blekkkkkkkkk!!"
Tubuh Oue Beng Kok terjengkang dan ketua Tiat-ciang-pang ini roboh pingsan dengan mulut muntah darah! Akan tetapi Keng Hong juga roboh berguling-gulingan karena labungnya dihajar pukulan tangan Lian Ci Tojin."Sute, jangan bermain curang!" bentak Kiang Tojin marah, akan tetapi karena pukulan itu telah bersarang dan membuat Keng Hong roboh, dia hanya memandang cemas.
Keng Hong bangkit lagi, menekan lambungnya yang serasa hendak pecah. Ia lalu menyusuti darah yang mengalir dari mulutnya, tanpa disadari dia mencabut keluar saputangan ini teringat akan gadis itu dan menudingkan telunjuknya kepada Lian Ci Tojin sambil berkata. "Kiang Tojin! Sutemu ini selain curang juga keji sekali terhadap seoarng nona baju hijau..."
"Engkau yang keji, bisa menuduh orang, keparat!" Lian Ci Tojin sudah menerjang maju lagi, akan tetapi Keng Hong meloncat mundur, membalikkan tubuhnya dan lari secepatnya menuju Kiam-kok-san.
"Kejar!"
Entah siapa yang mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi seperti sepasukan tentara enerima komando, semua orang segera mengejar, kecuali ketua Kun-lun-pai dan Kiang Tojin.
Diantara para tosu Kun-lun-pai, hanya Lian Ci tojin dan Sian Ti Tojin saja yang mengejar bersama para tokoh lainnya. Sedangkan para Kun-lun-pai lainnya hanya berdiri ragu-ragu dan menanti perintah, , memandang kepada Kiang Tojin.
"Bawa anak murid Kun-lun-pai dan lihat apa yang terjadi di sana. . jaga jangan sampai tempat suci itu dikotori orang," kata Thian Seng Cinjin kepada muridnya yang tertua itu. Kiang Tojin mengangguk lalu mengajak semua anak murid Kun-lun-pai, melakukan pengejaran dari jauh. Thian Seng Cinjin menghela napas panjang berulang kali, kemudian bersila bersamadhi untuk menenteramkan batinnya yang mengalami guncangan dalam peristiwa itu.
Keng Hong mengerahkan seluruh tenaganya yang ada untuk berlari cepat. Larinya masih cepat karena memang pemuda ini memiliki ginkang yang tidak lumrah diiliki seorang pemuda, dan pantasnya dimiliki seorang yang sudah berlatih puluhan tahun. Hal ini adalah berkat di terimanya pemindahan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi pada saat itu dia telah terluka cukup berat sehingga andaikata dia tidak memiliki sinkang yang luar biasa tentu dia telah roboh dan karenanya, ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, napasnya terengah-engah dan dadanya terasa sakit sekali.
Merasa betapa kepalanya pening sekali dan napasnya sesak hampir sukar bernapas, terpaksa Keng Hong memperlambat larinya dan begitu dia mengurangi kecepatannya empat orang kakek Ngo-thong-pai telah menyusulnya. Memang Kong-thong Ngo -lojin terkenal dengan ginkang mereka yang hebat sehingga ginkang mereka itu dapat berlari lebih cepat daripada tokoh lainnya.
"Bocah setan, engkau hendak lari kemana?"
Di natara para tokoh yang mengejar, yang merasa sakit hati kepada Keng Hong pribadi adalah tokoh-tokoh kong-thong-pai, Hoa-san-pai dan Tiat-ciang-pang. Adapun tokoh lainnya yang juga mengejar, seperti dari Siauw-lim-pai, Kiu-bwe Toanio, Sin-to Gi-hiap hanya ingin memperebutkan pusaka Sin-jiu Kiam-ong, tidak mempunyai dendam pribadi kepada pemuda itu, maka mereka ini tidak seperti tokoh-tokoh tiga partai besar pertama , tidak ingin membunuh Keng Hong, melainkan hanya ingin memaksanya menyerahkan pusaka gurunya.
Begitu Kong-thong Ngo-lojin yang tinggal empat orang itu dapat menyusul, serentak mereka mengirim pukulan-pukulan Ang-liong-jiauw-kang yang ampuh dari belakang. Keng Hong mendengar sambaran angin pukulan yang amat hebat ini dan dia meamng sudah siap mengadu nyawa dengan orang-orang yang memusuhinya, sudah marah dan nekat sekali dan mengambil keputusan untuk tidak menyerah sampai mati. Maka cepat dia membalikkan tubuhnya sabil merendahkan tubuh menekuk kedua lutut, sedangkan ke dua lengannya bergerak ke atas untuk menangkis.
***
Kekuatan sinkang yang dia kerahkan hebat bukan main dan dia dalam keadaan marah, maka otomatis daya sedat sinkangnya bekerja amat kuatnya sehingga begitu tangan Kok Seng Cu, Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu tertangkis, tangan tiga orang yang mengandung tenaga pukulan Ang-liong-jiauw-kang itu menempel pada kedua lengan mereka dengan kuatnya. Tenaga Ang-lioang-jiauw-kang merupakan tenaga yang timbul dari pengerahan sinkang dan memang sangat hebat sehingga dengan jari-jari tangan mereka yang membentuk cakar, kakek-kakek dari Kong-thong-pai ini sanggup meremas hancur senjata tajam lawan! Maka kini yang mengalir seperti banjir memasuki tubuh Keng Hong melalui kedua lengan nya adalah tenaga sinkang yang amat dahsyat sehingga napasnya hampir berhenti. Ia megap-megap dan merasa betapa tenaga yang kuat dan hawa panas sekali memasuki tubuhnya, berputaran di sekitar pusarnya.
"Celaka .. Twa suheng...tolong...!" Kok Kim Cu berteriak kaget. Melihat betapa tiga orang sutenya terbelalak dan terengah-engah mencoba melepaskan tangan mereka yang mencekeram lengan pemuda itu, maklumlah Kok Sian Cu akan keadaan tiga orang sutenya.
"Terkutuk! Ilmu iblis..!" teriaknya dan tongkatnya segera bergerak menotok kedua siku lengan Keng Hong. Pemuda ini sedang dalam keadaan setengah kejang kaku, tak dapat bergerak karena derasnya hawa sinkang yang memasuki tubuhnya, maka biarpun dia maklum akan datangnya totokan, dia tidak mampu mengelak.
Andaikata Kok Sian Cu, betapapun kuatnya sebagai orang pertama Ngo-lojin, menyerang Keng Hong dengan tangan kosong, tentu begitu pukulannya mengenai tubuh peuda itu, sinkangnya akan tersedot pula. Namun kakek ini saat lihai dan maklum akan hal itu, maka dia menggunakan ujung bambu untuk menotok dan begiru mengenai sasaran, dengan gerakan "sendal pancing" dia menarik kebali tongkatnya.
Keng Hong merasa betapa keduanya lumpuh dan tiga buah tangan kakek yang tadi mencengkeramnya dapat terlepas, maka dia lalu membalikkan tubuh dan berlari lagi. Ia megap-megap dan dadanya makin sakit, akan tetapi larinya tidak lumrah manusia lagi, seolah-olah terbang saja dan kedua kakinya seperti tidak menyentuh bumi. Hal ini adalah karena tenaga sinkang dari tiga orang kakek pemilik ilmu pukulan Ang-jiauw -kang yang telah tersedot oleh tubuhnya tadi kuat bukan main sehingga tubuh Keng Hong penuh dengan tenaga sinkang yang berlebihan. Seperti sebuah balon karet terlalu banyak angin, tubuhnya ringan dan setiap kali meloncat ke depan, dapat mencapai jarak yang lima enam kali lebih jauh daripada kemampuannya yang luar biasa. Sudah beberapa kali keadaan terlalu penuh hawa sinkang seperti dialami Keng Hong. Tiap kali dia bingung bagaimana harus membuang tenaga berlebihan itu. Akan tetapi sekarang, karena dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, maka tenaga kelebihan itu dapat dia salurkan untuk keperluan ini sehingga larinya seperti terbang dan makin cepat dia mengerahkan tenaga berlari, makin lapang rasa dadanya dan daya tarik-menarik di tubuhnya akibat penyedotan sinkang tiga orang kakek itu mulai berkurang, bahkan dapat dia selaraskan dengan pernapasan dan tenaganya sendiri.
Empat orang kakek kong-thong-pai melongo ketika menyaksikan betapa peuda itu berkelebat cepat laksana halilintar menyabar, sebentar saja sudah sampai di sebuah puncak! Hampir mereka tak dapat percaya akan pandangan mata sendiri, dan karena tiga orang diantara mereka sudah menjadi agak lemah karena sebagian besar sinkang mereka tersedot lenyap, terpaksa dengan hati penasaran mereka melanjutkan pengejaran perlahan-lahan sehingga tersusul oleh tokoh-tokoh lain.
Akan tetapi ketika para tokoh itu tiba di kaki batu pedang di Kiam-kok -san , mereka melihat tubuh Keng Hong dengan susah payah telah mendaki sampai setenghnya dari batu pedang yang tampak dari bawah. Jelas tampak betapa pemuda itu sudah terluka dan terengah-engah, akan tetapi dengan nekat pemuda itu merangkak terus ke atas. "Kejar...!!" Seru Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai sambil menggerakkan pedangnya. "Akan tetapi Kiang Tojin yang sudah tiba disitu bersama anak murid Kun-lun-pai, sudah cepat menghadang di depan batu pedang sambil berkata
"Maaf ,cu-wi sekalian ! kiam-kok-san adalah sebuah tepat keramat bagi Kun-lun-pai, sedangkan kami sendiri tidak ada yang boleh naik ke puncaknya, bagaimana kami dapat membolehkan orang lain naik? Pinto harap cu-wi sekalian maklum, dan kami percaya bahwa di tempat wilayah kekuasaan cu-wi masing-masing terdapat tempat keramat seperti Kiam-kok-san bagi kami." "Ah, tapi hal ini lain lagi, Toyu." Bantah kok Sian Cu. "Harus pinto akui kebenaran ucapan Kiang -toyu bahwa di tempat kami pun ada tempat keramat yang tidak boleh dilanggar lain orang. Kami pun tentu saja memandang muka para pimpinan Kun-lun-pai, akan tetapi sekali-kali berani melanggar tempat keramat Kun-lun-pai,akan tetapi sekali ini kami semua sama sekali bukanlah hendak melanggar. Kami hanya ingin mengejar dan menangkap bocah yang naik ke Kiam-kok-san itu. Biarpun merupakan tempat larangan, akan tetapi kalau ada alasan kuat dan bukan semata-mata sengaja hendak melanggar, kami kira sepatutnya kalau Toyu membiarkan kami mengejar dan menangkap bocah itu." "Omitohud...., benar sekali apa yang diucapkan sahabat Kok Sian Cu. Pinceng tentu saja pantang untuk melanggar tempat keramat Kun-lun-pai, akan tetapi mungkin sekali kitab-kitab pusaka pinceng berada di puncak Kiam Kok-san ini, apakah Kiang -toyu hendak mengukuhi larangan ini dan tidak hendak mengembalikan kitab kami?"
Selagi Kiang Tojin bingung karena merasa terdesak oleh oongan-omongan yang mempunyai dasar kuat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan tahu-tahu disitu telah muncul tiga orang yang mengejutkan hati mereka karena tiga orang ini bukan lain adalah Ang-bin-kwi-bo, Pak-san kwi-ong dan Pat-jiu-sian-ong - tiga orang di antara tiga orang Bu-tek Su-kwi yang dahulu, lima tahun yang lalu juga telah datang di tempat itu membuat kocar-kacir para tokoh sakti dan hampir saja membunuh para tokoh itu kalau tidak di tolong oleh Sin-jiu Kiam -ong! Melihat munculnya tiga orang iblis ini, Thian Ti Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang tadi bicara cepat berkata sambil menggerakkan tongkat Liong-cu-pang di tangannya. "Omitohud...! Pinceng tidak akan mundur selangkah pun menghadapi ketiga orang Bu-tek Sam-kwi jika sekali ini Sam Kwi hendak merampas peninggalan Sin-jiu Kiam -ong, termasuk kitab-kitab pusaka kami!' "Kami pun tidak sudi bersekutu dengan Bu-tek Sam-kwi, musuh-musuh kami dari aliran yang bertentangan!" kata Kok Sian Cu. "Ha-ha-ha-ha-ha! Ada saatnya bermusuhan ada saatnya bersahabat. Kalau tidak ada alasan bersahabat berusuhan,mengapa tidak bersahabat? Kalau ada alasan kuat untuk bersekutu, mengapa bermusuhan? Bukankah Nabi Konghucu mengatakan bahwa di empat penjuru lautan ini semua manusia adalah bersaudara?" Berkata Pat-jiu kiam-ong yang suaranya halus sambil menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa memberi ceramah kebatinan !
***
"Kami adalah golongan bersih, lawan golonan sesat, kami kaum putih lawan kaum hitam tidak sudi bersahabat dengan Bu-tek Sam -kwi!" kata Coa Bu tokoh Hoa-san-pai. Memang semua tokoh kang-ouw membensi Bu-tek Sam-kwi, empat orang iblis yang selalu membikin kacau dunia kang-ouw dan hampir semua golongan kang-ouw pernah dibikin rugi oleh empat orang datuk hitam itu. "Hi-hi-hik, sombong amat orang Hoa-san-pai! Mengandalkan apanya sih ?" Ang-bin kwi-bo mengejek. "Mengapa bicara baik-baik dengan orang yang berhati dengki dan memandang orang lain penuh dosa dan diri sendiri yang paling bersih? Kalau kami merampas pusaka , kalian mau bisa berbuat apakah?" bentak Pak-san kwi-ong dan kakek tinggi besar berkulit hitam ini menggerak-gerakkan tubuhnya yang berbulu sehingga dua buah tengkorak di ujung rantai yang diikatkan di pinggangnya mengeluarkan suara berkelotakkan mengerikan. Akan tetapi Pat -jiu Sin-ong mengangkat tangan yang memegang kebutan sambil tersenyum dan terdengarlah suaranya yang halus seperti orang peramah penuh kasih sayang antara manusia.
"Damai, damai..! Tidak ada yang seindah perdamaian ! Kami datang untuk membantu cu-wi sekalian dalam perdebatan memperebutkan kebenaran dengan fihak Kun-lun-pai ! Harap cu-wi jangan salah faham." Setelah berkata demikian, Pat-jiu Sian-ong, memandang kepada ke dua orang kawannya. Memang di antara mereka bertiga Pat-jiu Sian-ong terhitung yang paling pandai bicara dan pandai pula bersiasat. Ia tahu bahwa dua orang kawannya itu, seperti juga dia sendiri , tentu saja tidak gentar menghadapi pengeroyokan para tokoh kang-ouw itu.
Akan tetapi di situ terdapat para tosu, Kun-lun-pai yang selain berjumlah banyak, juga di ntaranya terdapat para pimpinan Kun-lun-pai, tujuh orang tokoh murid Thian Seng Cinjin, terutama sekali kiang Tojin yang tidak boleh dipandang ringan. Apalagi kalau si tua Thian Seng Cinjin sendiri turun tangan. Tentu mereka bertiga takkan dapat bertahan. Maka kini dia menggunakan siasat memihak par tokoh kang-ouw menghadapi Kun-lun-pai! Kiang Tojin, engkau sebagai tokoh yang mewakili Kun-lun-pai, mengapa berpandangan sempit dan picik? Mengapa engkau melarang orang-orang gagah yang hendak naik ke puncak Kiam-kok-san?" dengan suara halus naun penuh nada menekan, Pat-jiu Sian-ong bertanya kepada Kiang Tojin. Tosu Kun-lun-pai ini maklum bahwa dengan munculnya Bu-tek Sam kwi, keadaan menjadi gawat. Akan tetapi dia bersikap tenang ketika menjawab. "Pat-jiu Siang-ong , agaknya jaman sekarang ini orang-orang kang-ouw tidak lagi mengindahkan peraturan sehingga melanggar wilayah orang lain sesuka hatinya dan seenak perutnya sendiri. Kiam-kok-san adalah wilayah kami, bagaimana mungkin kami memperbolehkan orang lain mendakinya ?"
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha, alasan yang amat lemah, ya ...lemah sekali! Tadi sudah dikemukakan pendapat yang amat jitu dari sahabat Kok Sian Cu wakil kong-thong-pai dan sahabat Thian Ti Hwesio wakil Siauw-lim-pai. Mengejar orang jahat dan berusaha mengambil kitab pusaka sendiri sama sekali bukanlah sengaja hendak melanggar, Akan tetapi aku mempunyai alasan yang lebih kuat sekali, KiangTojin. Bukankah tadi kau katakan sendiri bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tepat keramat bagi Kun-lun-pai dan tak seorang pun boleh mendakinya, bahkan orang Kun-lun-pai sendiri pun di larang?" "Benar sekali!" Kiang Tojin berkata tegas. "Ha-ha-ha ! Kalau begitu mengapa sampai bertahun-tahun Sin-jiu Kiam-ong menjadi penghuni Kiam-kok-san padahal dia pun bukan seorang Kun-lun-pai? Dan sekarang, baru saja Cia Keng Hong mendaki kiam-kok-san, mengapa didiamkan saja, Kiang Tojin? Bukankah dengan demikian seolah-olah Kun-lun-pai melindungi bocah itu? Ataukah ada udang bersebunyi di balik batu, ada maksud lain terkandung dala mperaturan ini?" Mendengar ini, Kiang Tojin tidak mampu menjawab! Ya, bagaimana dia harus menjawab? Sin-jiu Kiam-ong dahulu setengah memaksa tinggal di Kiam-kok-san , dan karena tidak ada orang Kun-lun-pai yang dapat menundukkannya, bahkwn dia telah melepas budi kepada Kun-lun-pai, maka ketua Kun-kun-pai membiarkan saja dia tinggal dan bertapa di Kiam-kok-san.
Kemudian Keng Hong tinggal pula di sana ,akan tetapi hal itu merupakan kelanjutan dri perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, bukan kehendak Keng Hong pribadi atau kehendak Kun-lun-pai. Betapapun juga, apa yang diucapkan oleh Pat-jiu Sian-ong memang benar terjadi! Kiang Tojin telah melihat semua tokoh kang-ouw yang tadi bersikap tak senang dan memusuhi ketiga orang Butek Sam-kwi, ini mengangguk-angguk mendengar ucapan Pat-jiu Sian-ong itu. Hal ini pun dilihat jelas oleh Pat jiu Sian-ong yang merasa "mendapat angin" , maka dia lalu melanjutkan kan desakan kepada Kiang Tojin. "Kiang Tojin, selamanya Kun-lun-pai terkenal sebagai partai besar yang kenamaan karena gagah perkasa dan menjujung tinggi kejujuran dan keadilan. Kalau sekarng ini Kun-lun-pai kukuh dengan peraturan hanya untuk mempertahankan sebongkah batu karang saja, akibatnya akan hebat sekali. Bayangkan saja, kalau para cu-wi disini tidak mau menerima peraturan kukuh yang mau menang sendiri itu tentu akan timbul bentrokan dan pertempuran yang akan membawa akibat hebat sekali. Bahkan amat berbahaya bagi Kun-lun-pai." Kakek yang bertubuh kecil kate akan tetapi berkepala sebasar gentong beras dengan muka ciut itu menggeleng-geleng kepalanya dan membelai lehernya dengan hudti (kebutan dewa). Dengan hati mendongkol Kiang Tojin maklum apa yang tersembunyi di balik kata-kata itu, yang tidak diucapkan akan tetapi yang sesungguhnya paling penting, yaitu bahwa kalau terjadi pertempuran, tentu Bu -tek Sam-kwi akan berfihak kepada para tokoh kang-ouw!
"Adapun bahaya ke dua yang merupakan akibat kekukuhan peraturan tidak adil ini adalah bahwa jika para sahabat yang perkasa di sini berhati mulia dan mengalah lalu mengundurkan diri, tentu Kun-lun-pai akan menjadi buah tertawaan dan buah ejekan seluruh dunia! Bayangkan saja, melindungi seorang bocah dengan dalih peraturan yang kaku, tua dan konyol, dengan pamrih bahwa apabila semua orang telah pergi, Kun-lun-pai tentu akan naik sendiri ke Kiam-kok-san , dan menguasai seluruh pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ! Bukankah Kun-lun-pai lalu dianggap sebagai perkupulan brengsek yang menggunakan akal bulus dan menganggap seua tokoh kang-ouw di sini seperti kanak-kanak saja?" "Pat-jiu Kiam-ong, omonganmu mengandung racun!" bentak Kiang Tojin dengan kedua tangan di kepal. Dia maklum betapa lihainya kakek yang menjadi datuk golongan hitam ini, namun untuk mempertahankan Kun-lun-pai , dia tidak takut menghadapinya. Ia menaksir bahwa dengan enam orang sutenya dan dibantu oleh puluhan anak murid Kun-lun-pai, dia tidak perlu takut menghadapi Bu-tek Sam kwi.Akan tetapi tiba-tiba terdengar Kok Sian Cu tokoh kong-thong-pai berkata. "Siancai..! Sekali ini, omongan pat-jiu Kiam-ong ada isinya dan harus diakui kebenarannya!" Ketika Kiang Tojin memandang, jelas tampak olehnya betapa semua tokoh kang-ouw membenarkan datuk hitam itu dengan pandang mata atau anggukan kepala. Maklumlah Kiang Tojin bajwa keadaan benar-benar makin gawat dan kalu dia bersikeras mempertahankan, tentu akan terjadi bentrokan hebat yang dia sangsikan apakah akan menguntungkan Kun-lun-pai. Selagi Kiang Tojin bibang tiba-tiba terdengar suara gurunya berkata lembut.
"Sat-jiu Sian -ong, keadaan menguntungkan bagi pihak Bu-tek Sam Kwi, Jelaskanlah, apa kehendakmu selanjutnya ? Pinto mendengarkan" Tahu-tahu di situ telah muncul kakek tua Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai yang berdiri dengan tongkat di tangannya.
"Bagus sekali, Ketua kun-lun-pai datang sendiri, segala sesuatu dapat diputuskan dengan singkat dan tepat. Thian Seng Cinjin, mengingat akan keadaan para sahabat kang-ouw yang menaruh dendam kepada murid Sin-jiu Kiam -ong dan mereka yang dahulunya diganggu Sin-jiu Kiam -ong , maka sebaiknya kalau kita bersama ramai-ramai mengejar ke puncak Kiam-kok-san. Kita bekerja sama dalam suasana persahabatan,tidak ada persaingan dan tidak ada perebutan. Kita tangkap bocah yang membikin kacau itu, dan kita ambil semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Para sahabat yang pusakanya yang dahulu dicuri oleh Sin-jiu kiam-ong tentu saja boleh mengambil pusaka masing-masing, adapun pusaka-pusaka lainnya yang tidak ada pemiliknya, kita bagi rata di antara kita.Adapun bocah itu sendiri, kita serahkan kepada mereka yang menaruh dendam kepadanya. Bagaimana, bukankah keputusan ini sudah adil sekali?"
Semua tokoh kang-ouw mengangguk-angguk menyatakan setuju dan terdengar ucapan "adil" dari beberapa buah murid Thian Ti Hwesio berkata, "Omitohud, Kami dari Siauw -lim-pai sama sekali tidak menginginkan pusaka lain orang dan kami sudah cukup senang kalau bisa menemukan kembali dua buah kitab pusaka kami."
"Kami hanya mengkehendaki kembalinya pedang pusaka dan ramuan obat dari Hoa-san-pai, kemudian nyawa anak itu sebagai hukuman atas penghinaan yang dia lakukan terhadap kami," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.
"Kami pun menghendaki nyawa anak itu sebagai pembalasan atas kematian banyak anak murid kami!" kata Kok Sian Cu dari Kong-thong-pai.
"Sin-jiu kiam-ong berdosa kepadaku kalau kini aku mendapatkan sebuah dua buah pusaka peninggalannya, itu sudah cukup adil," kata Sin-tio Gi-hiap.
"Juga peninggalan pusaka yang berharga sebagai pengganti nyawa Sin-jiu kiam-ong bagiku!" Semua orang menyatakan penasarannya dan hak mereka untuk mendapat sebagiam pusaka Sin-jiu Kiam -ong. Akhirnya Thian Seng Cinjin yang tersenyum tenang mendengarkan tuntutan mereka itu, berkata.
"Dan bagaimana dengan kalian bertiga, Bu-tek Sam-kwi? Kalian bertiga menuntut apakah ? Juga menghendaki pembagian pusaka Sin-jiu Kiam-ong?"
"Ha-ha, Thian Seng Cinjin. Segala macam benda permainan dan pelajaran kanak-kanak apakah gunanya bagi kami ? Kalau nanti ternyata ada yang berguna bagi kami tentu kami akan mengambil bagian kami sebagai imbalan atas usaha kami menciptakan perdamaian dan pemufakatan di sini, ha-ha-ha!"
Kiang Tojin menjadi muak dan mendongkol mendengarkan omongan semua orang itu dan diam-diam di dalam hatinya dia terpaksa membenarkan maki-makian Keng Hong tadi bahwa orang tua-orang tua ini amatlah tamak! Makin suka hatinya terhadap Keng Hong, akan tetapi karena maklum sekali ini Keng Hong takkan dapat terlepas dari bahaya maut kecuali kalau panddai terbang di udara, maka dia hanya berkata dengan menekan keharuan hatinya. "Keputusan terserah kepada Suhu, asal saja para sahabat yang mulia ini masih ingat bahwa merupakan pantangan besar bagi Kun-lun-pai untuk melihat pembunuhan dilakukan disini!"
"Suheng mengapa khawatir? Para Locinpwe tentu akan menangkap dan membawa pergi bocah setan itu, tidak akan membunuhnya di depan Kiang Tojin!" kata Lian Ci Tojin dengan hati girang. Tosu ini tadinya merasa gelisah sekali ketika Keng Hong memperlihatkan sapu tangan hijau dan mendengar omongan pemuda itu.Rahasianya telah diketahui orang dan celakanya, yang mengetahui adalah bocah ini. Maka dia harus dapat membunuh bocah ini. Maka dia harus dapat membunuh Keng Hong atau melihat bocah ini terbunuh, baru akan aman rasa hatinya. Karena dia memang sudah mempunyai perasaan tidak suka kepada Kiang Tojin, maka dia mempergunakan kesempatan itu untuk memukul suhengnya ini dengan ucapan yang jelas penuh arti itu. Thian Seng Cinjin ketua kun-lun-pai juga maklum akan rasa sayang Kiang Tojin terhadap Keng Hong, hal yang tidak aneh kalau diingat bahwa Kiang Tojin adalah tosu yang menyelamatkan nyawa Keng Hong dan membawa Keng Hong ke Kun-lun-pai. Maka dia lalu berkata halus.
"Semua tosu di Kun-lun-pai menyayang Keng Hong. Dahulu dia seorang anak yang baik dan penurut, akan tetapi setelah menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong.. ah ,sudahlah. Bu-tek Sam-kwi dan sahabat sekalian, kalau mau mendaki Kiam-kok-san mencari Cia Keng Hong dan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong silakan, kami menanti di bawah!"
Mendengar ijin yang diberikan ketua Kun-lun-pai ini, bagaikan serombongan anak-anak yang dituruti kemauannya orang-orang kang-ouw itu berebutan mendaki Kiam-kok-san yang terjal dan tidak mudah didaki. Mereka terpaksa harus mendaki seorang demi seorang dan tentu saja Bu-tek Sam-kwi berada paling depan.
"Suhu, mengapa kita tidak ikut? Bolehkah teecu ikut naik,,,,?"
"Tidak ! Kita harus menanti di sini. Apakah kita akan melanggar pantangan kita sendiri?" Thian Seng Cinjin membentak Lian Ci Tojin dengan suara marah. Memang, melihat perkembangan urusan itu, hati ketua Kun-lun-pai tidak lagi dapat mempertahankan ketenangannya dan dia marah sekali dalam hatinya. Sekali ini, Kun-lun-pai benar-benar menerima penghinaan dan tidak dipandang mata oleh para tokoh kang-ouw itu, hanya karena di situ dapat Bu-tek Sam kwi yang memelopori mereka. Diam-diam kakek ini mengancam untuk sewaktu-wakti membuat pembalasan kepada Bu-tek Sam-kwi.
Biarpun lambat, akhirnya semua tokoh kang-ouw dapat juga menembus awan atau halimun yang menutupi puncak batu pedang dan betapa kagum rasa hati mereka ketika menyaksikan keindahan tamasya alam dari puncak batu pedang yang bagian atasnya ternyata datar itu dan cukup luas.
Akan tetapi hanya sebantar saja mereka mengagumi pemandangan alam ini karena hati mereka berdebar ingin cepat menangkap Keng Hong dan terutama sekali menemukan simpanan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang selaa bertahun-tahun menjadi rebutan di antara tokoh-tokoh kang-ouw.
Mereka memandang ke kanan kiri mencari-cari sambil mengelilingi seluruh permukaan tanah datar di puncak Kiam-kok-san, akan tetapi mereka tidak menemukan Keng Hong. Bayangannya pun tidak ada, jejaknya juga tidak ada! Sunyi sepi di puncak Kiam-kok-san!
"Semua orang menjadi penasaran sekali. "Jangan-jangan ketika melihat kita mendaki naik, bocah setan itu lalu terjun dari atas membunuh diri!" kata Kiu-bwe Toanio dan semua orang juga membenarkan kemungkinan ini dengan hati kecewa.
"Tidak mungkin!" kata Ang-bin Kwi-bo, mukanya yang biasanya memang merah itu menjadi agak hitam saking marahnya. "Bocah itu cerdik sekali, tentu dia bersembunyi. Akan tetapi, biarpun dia terbang ke langit, tentu aakan dapat kutemukan dia!"
Mereka mencari terus tanpa hasil. Kemanakah perginya Keng Hong? Betapa mungkin dia dapat melarikan diri, sedangkan ketika mendaki tadi dia sedang menderita luka parah?
Memang Keng Hong terluka hebat ketika Mendaki tadi, luka dibelahan dalam tubuhnya oleh pukulan-pukulan sakti. Kalau sinkangnya tidak hebat tentu dia sudah tewas setelah berkali-kali bertemu dengan pukulan-pukulan sakti seperti Tiat-ciang- dari ketua Tiat-ciangpang, pukulan Ang -liong-jiauuw-kang dari tokoh-tokoh kong-thong-pai, bahkan totokan ujung bambu Kok Sian Cu yang lihai. ***
Biarpun hawa sakti di tubuhnya melindunginya, namun tetap saja guncangan -guncangan pukulan sakti yang berkali-kali itu membuat dadanya sesak dan kepalanya pening. Ia tadi mendaki setengah merangkak, biarpun gerakannya masih cepat berkat tambahan sinkang dari tokoh-tokoh Kong-thong-pai, namun sering kali kakinya menggigil dan tangannya kurang tetap ketika memegang ujung-ujung batu karang untuk mendaki.
Akhirnya, pada sebuah tanjakan yang amat sukar, dekat tempat yang digelapi halimun, kakinya tergelincir dan kepalanya tertumbuk batu karang. Tentu dia akan jatuh terjungkang ke bawah kalu tidak ada sebuah lengan yang berkulit halus merangkulnya, kemudian menariknya ke tempat yang agak lebar. Untung kejadian ini berlangsung setelah Keng Hong mendaki jauh ke atas, terlalu tinggi sehingga tidak tampak dari bawah.
"Cui Im.." Keng Hong berkata lemah ketika membuka mata dan melihat wajah cantik itu tersenyum-senyum. Gadis berpakaian merah ini agaknya sudah lama menanti di situ dan kini Cui Im berbisik.
"Keng Hong, tenanglah. Engkau terluka di sebelah dalam tubuh agaknya. Aku membawa obat.. nih, telanlah!" Ia memasukkan tiga butir pil merah ke dalam mulut Keng Hong.
Pemuda ini sudah sering diracuni oleh gadis ini, akan tetapi karena dia kebal terhadap racun dan dalam keadaan payah seperti itu dia tidak perduli apakah yang ditelannya itu racun, dia lalu menelan tiga butir pil kecil itu.
"Wah, obatmu hebat...!" Dalam belasan detik saja Keng Hong merasa dirinya segar kembali. Memang pil-pil merah itu bukanlah sembarangan obat, melainkan obat simpanan Lam-hai Sin-ni yang dicuri Cui Im. Obat merah ini adalah obat yang mijijat, dapat menyembuhkan segala macam luka di dalam tubuh. Dan karena Keng Hong sendiri memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, aka khasiat obat itu pun berlipat ganda, karena hanya memnyembuhkan luka akibat guncangan hawa pukulan saja.
"Cui Im... mengapa kau di sini..?"
"Aku menantimu, melihat kau dikejar-kejar, tak dapat membantu, terpaksa lari kesini. Akan tetapi aku tidak dapat naik terus, terlalu sukar memanjat keatas melalui karang licin dan rata ini!"
"Cui Im, sebetulnya tidak boleh engkau ke sini. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan untuk kembali tentu engkau akan celaka di tangan mereka, selain itu engkau telah menyelamatkan aku. Mari, pegang erat-erat pinggangku dengan kedua tangnmu!"
Cui Im girang sekali dan memeluk pinggang Keng Hong dari belakang. Mulailah Keng Hong mendaki dengan cepat sekali.Setelah kini napasnya tidak sesak dan kepalanya tidak pening, tentu saja amat mudah bagnya mendaki tempat yang dahulu menjadi tempat tinggalnya ini.
"Iiiiihhhhh,ngeri melihat ke bawah..!" Cu Im mengeluh dan mempererat pelukannyya ,bahkan menciumi punggung yang bajunya basah oleh keringat itu.
"Hishhh, diamlah dan jangan memandang ke bawah!" Keng Hong menegur dan mendaki makin cepat. Setelah tiba di atas, Cu Im menahan napas saking kagumnya.
"Bukan main indahnya di sini.."
"Cui Im, bukan waktunya bersenang-senang. Mereka tentu akan mengejar ke sini. Sebelum ku lanjutkan rencanaku, bersumpahlah lebih dulu bahwa engkau akan bersetia kepada mendiang suhu, bahwa engkau tidak akan menyia-nyiakan pusaka suhu yang akan kita lihat..."
"Pusaka? Akan kita dapatkankah..?"
"Bersumpahlah!"
Cui Im lalu berlutut dan bersumpah bahwa ia akan tunduk akan segala kata -kata Keng Hong. Setelah itu Keng Hong menarik tangannya dan cepat berlari mengambil pedang Siang-bhok-kiam tulen yang dia sembunyikan di balik batu karang yang berlubang.
"Wah, ini Siang-bhok-kiam tulen! Baunya saja ,sudah begini wangi..?"
"Sudah, diamlah dan jangan menganggu, jangan pula bicara. Lihat saja dan ikuti aku!" Keng Hong membentak karena dia maklum bahwa dia tidak mempunyai banyak waktu. Ia membawa pedang itu ke tempat penampungan air di mana air itu mengalir turun menjadi kali kecil, air yang merupakan sumber kecil akan tetapi tidak pernah kering.
Ia menggunakan pedang itu untuk mengukur, sambil mengukur dia terus mengikuti aliran air yang menuju ke bawah melalui celah-celah batu karang, terus turun ke dinding bagian belakang yang luar biasa curamnya.
“Aku takut turun..!" Cui Im berbisik. Boleh jadi Cui Im seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi, sukar mencari tandingan, akan tetapi melihat dinding karang yang luar biasa curamnya.
"Aku takut turun…..!" Cui Im berbisik. Boleh jadi Cui Im seorang gadis yang meiliki kepandaian, akan tetapi melihat dinding karang yang luar biasa curamnya, sampai tidak tampak dasarnya karena terhalang halimun, benar-benar membuat ia menggigil.
"Panjangkah ikat pinggangmu?"
"Panjang. Mengapa?"
"Berikan ujungnya, kau ikatkan pada lenganku dan ujung di situ ikatkan pada lenganmu. Dengan demikian andaikata engkau jatuh ke bawah, aku dapat menahanmu. Cepat! Apakah kau tidak taat?"
Cui Im ingat akan sumpahnya dan ia mengangguk, lalu memberikan ujung ikat pinggangnya. Setelah keduanya mengikat lengan dengan ujung ikat pinggang merah itu , Keng Hong melanjutkan pekerjaannya mengukur jalan air dengan pedang Siang-bhok-kiam sambil menghitung. Seratus dua puluh tujuh! Ia masih ingat akan pemecahan Siauw -bin kuncu atas deretan sajak yang terukir di gagang pedang. Setelah mengukur sampai seratus dua puluh tujuh, yang berarti dia sudah turun dari puncak melalui belakang batu pedang itu sejauh kurang lebih dua ratus kaki, air itu lenyap masuk ke dalam celah batu dan agaknya mengalir di sebelah dalam batu pedang. Akan tetapi di situ terdapat sebuah pada batu yang agak rata dan lubang ini jelas bukan lubang biasa, melainkan buatan.
Keng Hong berdebar memandang lubang yang bentuknya panjang sempit seperti lubang sarung pedang. Ia memang cerdik maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memasukkan Siang-bhok-kiam pada lubang itu dan ternyata pas sekali. Siang-bhok-kiam masuk sampai ke gagangnya dan Keng Hong lalu memutar-mutarnya ke kiri kanan.
Terdengar suara gemuruh di sebelah dalam batu pedang seoleh-olah terjadi gempa bumi. "Ihhhhh, aku takut..!" Cui Im merangkulnya. Gadis ini dengan susah payah juga mengikuti Keng Hong. Sebetulnya, dengan tingkat kepandaian dan ginkangnya, Cui Im akan dapat menuruni batu karang terjal itu. Akan tetapi karena melihat tempat securam itu, jantungnya bergetar dan timbul rasa takut. Setelah dengan ikat pinggang lengannya terikat dan terjaga oleh lengan keng Hong, hal ini mengusir sedikit rasa takutnya dan mendatangkan rasa aman, maka ia dapat mengikuti Keng Hong tanpa banyak kesukaran lagi. Kiranya Keng Hong menyuruh mengikat tangan tadi memang dengan niat mengusir rasa takut itulah seperti yang pernah dilakukan oleh suhunya kepadanya dahulu!
Tiba-tiba terdengar bunyi batu pecah dan... terbukalah sebuah gua di depan Keng Hong, sebelah kiri dari "lubang kunci!" tadi. Keng Hong cepat mencabut Siang-bhok-kiam, lalu berbisik.
"Suhu hebat sekali!" Suaranya memuji penuh kekaguman. "Mari ikut masuk!" Kedua orang itu lalu merangkak masuk karena gua itu hanya satu meter tingginya, merupakan terowongan yang dingin gelap. ***
Namun Keng Hong percaya penuh akan kepandaian suhunya, dan dia terus merangkak masuk, beberapa kali dia dipegang dan didorong dari belakang oleh Cui Im yang masih merasa ngeri.
Kurang lebih seratus meter jauhnya mereka merangkak, tiba-tiba terowangan itu menjadi terang dan lebar sekali. Mereka bangkit berdiri dan tertegun! Kiranya ruangan itu merupakan sebuah "kamar" batu yang berdinding licin dan penuh ukiran-ukiran huruf yang indah!
"Nanti dulu, aku lupa menutupkan kembali pintu terowongan!" Tiba-tiba Keng Hong teringat bahwa para pengejarnya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepadainan tinggi. Sungguh pun tidak mungkin mereka akan dapat mengukur tempat penyimpanan pusaka dari puncak Kiam-kok-san tanpa bantuan pedang Siang-bhok-kiam, namun siapa tahu kalau orang-orang sakti itu mencari di setiap tebingnya dan kalu mereka lewat di depan itu pasti mereka akan memasuki nya. Kalau pintu terowongan yang merupakan dinding batu biasa itu tertutup, tanpa memiliki "Kuncinya" yang berupa pedang Siang-bhok-kiam, tidak mungkin pula mereka dapat masuk atau menyangka bahwa lubang kecil itu adalah kunci rahasia untuk menuju ke tempat penyimpanan pusaka.
Tanpa menanti jawaban gadis itu yang masih terpesona memandangi keadaan ruangan tadi, Keng Hong kembali merangkak keluar terowongan sambil membawa Siang-bhok-kiam. Setelah tiba di mulut terowongan, dia melihat dan meneliti.
Ternyata bahwa mulut terowongan itu terbuka dengan cara bergesernya sebuah batu besar ke kiri yang tentu digerakkan oleh alat rahasia. Kini batu sebasar gajah itu berdiri di dekat pintu terowongan yang mengangga seperti mulut seekor ular raksasa. Keng Hong memeriksa dan akhirnya dia menemukan lubang "kunci" dari sebelah dalam. Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menusukkan Siang-bhok-kiam ke dalam lubang ini yang ternyata seperti lubang ini yang ternyata seperti lubang di luar, pas menerima masuknya Pedang Kayu Harum. Tiga kali keng Hong memutar ke kanan dan terdengar suara hiruk pikuk ketika batu sebesar gajah itu tiba-tiba bergerak menggelinding dan menutupi mulut terowongan sehingga kelihatan wajar. Takkan ada manusia dari luar menyangka bahwa sebagian batu kasar yang tampak dan sebuah lubang itu adalah batu "daun pintu " yang amat besar dan dapat bergerak sendiri.
Puaslah hati Keng Hong. Biarpun keadaan kini amat gelap setelah lubang itu tertutup, namun hatinya lega dan dia merangkak kembali ke dalam. Ia tersenyum geli memikirkan Cui Im. Betapa akan takutnya gadis itu dia tinggal sendirian di dalam ruangan tadi. Akan tetapi ada pula hal yang menggelisahkan hatinya. Tidak bersalahkah dia terhadap gurunya bahwa dia membawa Cui Im masuk ke tempat ini?"Ah, tentu tidak .Dia tidak sengaja membawa Cui Im ke sini.adalah gadis itu yang tadinya mencari dan menantinya di lereng Kiam-kok-san, kemudian gadis itu telah menyelamawtkan nyawanya.
Andaikata dia tidak senang dikejar banyak orang sakti, tentu dia akan mengusir Cui Im dan tidak akan memperkenalkan gadis itu ikut. Akan tetapi, dia tahu betul bahwa kalu dia melakukan hal itu, Cui Im tentu akan terbunuh oleh orang-orang sakti yang sedang mengejarnya, apalagi Cui Im terkenal tokoh golongan sesat dan kini telah melanggar larangan Kun-lun-pai dengan mendatangi bahkan mendaki Kia-kok-san yang dianggap keramat oleh para tosu Kun-lun-pai.
Tiba tiba dia teringat betapa gadis berpakaian merah itu pun dahulu amat menginginkan pusaka gurunya! Ah, kalau sampai Cui Im mempelajari segala ilmu peninggalan gurunya dan menjadi seorang yang memiliki kesaktian hebat, bukankah dunia ini akan bertambah seorang tokoh kaum sesat yang berbahaya sekali? Bagaimana dia mengajak seorang gadis yang sedemikian jahat dan kejamnya ke tempat suci ini? Tidak! Dia harus menyuruh pergi Cui Im , setidaknya menanti sampai keadaan aan. Biarlah dia memberi benda-benda berharga peninggalan suhunya, karena bukankah wanita paling suka akan benda-benda perhiasan yang serba indah dan mahal? Atau kalau gadis itu masih belum puas, boleh dia bagi sebuah kitab pelajaran ilmu yang tidk terlalu berbahaya.
Teringat akan ini, Keng Hong mempercepat gerakannya merangkak dan begitu tiba di ruangan penuh ukiran-ukiran huruf itu, dia meloncat berdiri dan memanggil.
"Cui Im...!"
Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab. Cui Im tidak tampak di dalam ruangan itu!
"Cui Im...!" Keng Hong memanggil sambil memandang ke arah pintu yang terbuka ke arah pintu yang terbuka, menuju ke ruangan sebelah dalam. Tentu gadis itu yang mengagumi keadaan ruangan ini telah masuk ke sana untuk melihat-lihat ruangan lain. Dan baru teringat dia sekarang betapa menggelikan keadaannya ketika tadi dia memtertawakan Cui Im yang disangkanya takut dia tinggalkan seorang diri. Cui Im takut? Ah, alangkah bodohnya pendapat ini. Cui Im adalah seorang tokoh kang-ouw, seorang tokoh golongan sesat atau hitam yang berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah) yang ditakuti orang melebihi seorang iblis betina! Seorang tokoh seperti itu mana bisa merasa takut berada sendirian dalam ruangan di sebelah dalam batu pedang di puncak Kiam-kok-san itu? Kalau tadi ketika mendaki, Cui Im takut-takut adalah karena rasa ngeri seorang wanita yang tidak biasa mendaki tempat-tempat curam seperti itu.
"Cui Im..!"
Keng Hong melangkah maju melalui pintu yang terbuka . Kiranya di balik pintu ini ada ruangan lain yang amat luas dan dindingnya amat indah karena batu karang di sebelah dalam batu pedang ini kiranya menjadi batu yang berkilauan! Ruangan luas ini memiliki lubang-lubang di sebelah atas dan begitu dia memasuki ruangan ini, selain udaranya segar, juga terdengar suara angin memasuki lubang-lubang itu yang menimbulkan suara seperti suling di tiup,amat aneh namun halus dan merdu.
Di sebelah atas tampak ukiran-ukiran huruf besar yang amat indah , berbunyi : MENDIRIKAN KUN-LUN-PAI UNTUK MENEGAKKAN KEADILAN DI DUNIA Keng Hong tertarik sekali sehingga sejenak dia melupakan Cui Im. Apakah artinya ukiran-ukiran huruf itu? Tak mungkin suhunya yang membuat ukiran itu. Mendirikan Kun-lun-pai? Ah, pengukirnya tentu orang yang mendirikan Kun-lun-pai. Sucouw dari Kun-lun-pai. Benar! Bukankah tempat ini merupakan tempat keramat dari partai Kun-lun? Pernah ketika dia masih menjadi kacung di Kun-lun-pai, seorang tosu tua mendongeng kepadanya tentang pendiri partai Kun-lun-pai yang mereka sebut sucouw, yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa. Dan kabarnya sucouw ini setelah menyerahkan Kun-lun-pai kepada murid-muridnya, lalu naik ke batu pedang dan bertapa di situ sampai lenyap dan oleh semua anak murid Kun-lun-pai di anggap telah naik ke alam baka bersama raganya! Itulah sebabnya mengapa Kiam-kok-san dianggap sebagai tempat keramat, sebagai "kuburan" sucouw mereka yang terhitung kakek buyut guru Thian Seng Cinjin! Tentu di sinilah tempat sucouw itu bertapa dan mungkin sekali tempat sucouw itu bertapa dan mungkin sekali tempat ini adalah ciptakan atau buatan sucouw itu yang kemudian dipergunakan oleh Sin-jiu Kiam-ong sebagai tempat bertapa dan tempat menyimpan pusakanya. Siapa pula nama sucouw itu? Kalau tidak salah dia mendengar dari tosu tua itu bahwa nama sucouw ini adalah Thai kek Couwsu. ***
Tiba-tiba dia terkejut karena teringat akan Cui Im. Kembali dia memandang ke sekiling setelah beberapa lama termenung karena membaca huruf-huruf terukir itu. Ia melihat bahwa ruangan lebar itu mempunyai empat buah pintu. Sebuah menuju ke ruangan luar tadi dan yang tiga buah lagi daun pintunya yang terbuat daripada kayu tebal tertutup.
"Cui Im..!" Ia mengerahkan khikang sebagai suaranya bergema keras. Namun tidak ada jawaban. Keng Hong lalu menghampiri pintu di sebelah kiri dan membukanya. Daun pintu itu terbuka dengan mudah. Dia terpesona dan silau melihat benda-benda berharga teratur rapi di atas sebuah meja dan dinding penuh dengan lukisan dan tulisan indah yang serba mahal. Benda berharga di atas meja ini terbuat dari emas, perak, dan batu-batu pertama yang serba indah. Kendi dan cawan-cawan emas, peti-peti kecil dan eas dan perak diulir indah dan dihias batu-batu permata. Perhiasan-perhiasan wanita yang halus buatannya. Mainan berupa segala macam binatang yang terbuat dari emas dan perak pula, dengan mata intan yang besar. Bahkan terdapat ukiran dari emas yang menggambarkan pelbagai pasangan binatang yang sedang bercumbuan dan di sudut, yang terindah dari segala yang berada di situ, terdapat ukiran emas yang menggambarkan sepasang manusia yang sedang bermain cinta! Keng Hong tersenyum melihat ini, teringat akan watak suhunya. Kemudian dia ingat lagi kepada Cui Im. Benda-benda di kamar ini agaknya masih tersusun rapi, tidak terusik. Kemudian dia menutupkan daun pintu kamar kiri dan melangkah menghampiri pintu kanan yang kanan yang dia dorong terbuka daun pintunya.
Sekali lagi dia terpesona dan jantungnya terdengar keras. Benda-benda di dalam inilah yang membuat tokoh-tokoh kang-ouw mengejar-ngejarnya, membuat mereka berebutan tulang. Di dekat dinding berjajar senjata-senjata pusaka yang indah. Pedang-pedang, golok, tombak dan beberapa macam senjata lagi,. Kalau tidak salah, senjata-semjata ini adalah senjata pusaka tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang dirampas oleh gurunya dan kembali Keng Hong tersenyum. Gurunya merampas senjata-senjata ini sama sekali bukan karena tamak menginginkan senjata-senjata ini untuk dipergunakan, melainkan dirampas untuk dijadikan koleksi senjata, atau sebagai tanda kemenangannya karena lawan yang tidak kalah tak mungkin dapat dirampas senjatanya! Gurunya memang nakal, romantis dan berandalan!
Akan tetapi yang paling menarik hati Keng Hong adalah sebuah rak batu di manan berdiri jajaran kitab-kitab yang sudah lapuk. Inilah kitab-kitab ilmu peninggalan gurunya. Akan tetapi hatinya berdebar keras ketika dia melihat betapa keadaan tempat kitab-kitab ini tidak rapi susunannya, bahkan kacau-bakau dan ada beberapa buah kitab tercecer di atas lantai. Melihat betapa senjata-senjata itu masih rapi seperti juga keadaan benda-benda berharga, maka kitab-kitab itu pasti ada yang mengusik dan mengganggu. Cui Im! Tak salah lagi, tentu gadis itu yang mendahuluinya mendapatkan kamar ini telah mengambil kitab-kitab yang pilihnya! Celaka, pikir Keng Hong.
Terjadilah apa yang dia khawatirkan. Di antara segala benda berharga, perhiasan-perhiasan indah dan senjata-senjata pusaka, yang diambil Cui Im adalah kitab-kitab pelajaran ilmu kesaktian! Dia tidak tahu kitab-kitab apa yang diambil Cui Im, akan tetapi melihat bekas-bekasnya, tentu tidak sedikit yang diambil.
"Cui Im ...!" Ia meanggil lebih keras sambil berlari keluar dari kamar itu. Ia harus minta kembali kitab-kitab yang diambil Cui Im ! Kalau gadis itu ingin mempelajari satu dua macam ilmu di situ, harus dia yang memilihkannya karena selain dia seoranglah yang berhak mewarisi pusaka gurunya, juga dia harus dapat mengekang watak kejam gadis itu, atau sedikitnya menjaga agar jangan sampai gadis itu memperoleh ilmu-ilmu yang sakti sehingga kelak akan menjadi seekor harimau buas yang buas tumbuh sayap!
"Cui Im...!"
Keng Hong lari dan membuka daun pintu terakhir yang ternyata merupakan sebuah terowongan sebelah depan yang kecil sehingga hanya dapat dilalui dengan merangkak. Terowongan sebelah belakang ini cukup tinggi, ada dua meter dan lebarnya semeter sehingga dia dapat berjalan dan mencari Cui Im. Dia merasa yakin bahwa gadis itu pasti melarikan kitab-kitab yang diambilnya melalui terowongan dari ruangan itu.
Pada saat itu, Keng Hong mendengar suara hiruk-pikuk seperti ada gempa bumi terjadi di puncak Kiam-kok-san. Ia menghentikan langkahnya dan mendengarkan dengan teliti. Terdengar suara batu-batu pecah dan batu-batu menggelinding turun. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi.Suara itu sesungguhnya adalah suara yang ditimbulkan oleh kemarahan para tokoh yang naik ke puncak batu pedang. Dipelopori oleh Bu-tek Sam kwi, para tokoh itu mulai membongkar batu-batu di puncak, merobohkan pohon-pohon dan bahkan menggunakan kesaktian mereka menghantami puncak-puncak batu karang, sehingga ambrol dan batu-batu besar bergulingan jatuh ke bawah menimbulkan suara hiruk-pikuk yang sampai terasa getarannya dan terdengar suaranya oleh Keng Hong yang berada di sebelah dalam batu pedang! Batu-batu yang terguling itu sebagian ada yang menguruk tempat di mana terdapat gua rahasia terowongan sehingga tertimbun dan kini tak mungkin ada orang mampu mendapatkan tempat rahasia yang mereka cari-cari itu. Betapapun Bu-tek Sam kwi dan para tokoh kang-ouw mengauk di atas puncak batu pedang, mereka tidak dapat menemukan Keng Hong dan tidak dapat menemukan tempat penyimpanan pusaka Sin-jiu Kiam-ong. Akhirnya, sambil memaki-maki, Bu-tek Sam kwi meninggalkan tempat itu dan mendaki turun, diikuti oleh para tokoh kang-ouw yang merasa kecewa sekali. Thian Seng Cinjin, Kiang Tojin dan para tosu Kun-lun-pai memandang ke atas dengan kaget dan heran. Mereka mendengar suara hiruk-pikuk itu, dan melihat pula sebagian batu gunung yang runtuh dan menggelinding turun dari batu pedang sehingga mereka cepat mencari tempat yang aman agar tidak sampai tertimpa hujan batu itu.
Mereka ingin sekali tahu apa yang sedang terjadi di puncak batu pedang itu, akan tetapi selain tidak diperkenankan naik oleh ketua mereka , juga mendaki pada saat dari puncak turun hujan batu itu amatlah berbahaya bagi keselamatan mereka.
Setelah suara hiruk-pikuk itu lenyap, tampaklah Bu-tek Sam kwi dan para tokoh lain menuruni batu pedang dengan wajah keruh. Para tosu Kun-lun-pai memperhatikan dan dengan hati lega mereka tidak melihat mereka itu membawa sesuatu turun dari puncak. Hal ini menjadi tanda bahwa usaha mereka tidak berhasil untuk menemukan pusaka Sin-jiu Kiam-ong. Adapun Kiang Tojin yang tidak melihat mereka membawa Keng Hong sebagai tangkapan, menjadi terheran-heran dan hatinya diliputi dua macam perasaan. Ia girang bahwa mereka tidak dapat menangkap Keng Hong akan tetapi juga khawatir kalau-kalau pemuda itu dibunuh oleh mereka di atas puncak karena pemuda itu tidak mau mengaku di mana adanya pusaka peninggalan Sin-jiu- Kiam-ong.
"Pinto harap cu-wi sekalian tidak melanggar pantangan melakukan pembunuhan di puncak Kiam-kok san yang kami hormati," kata Kiang Tojin, suaranya tenang saja padahal hatinya berdebar keras.
"Membunuh apa ? Seekor semut pun tidak ada di puncak itu. Bocah itu kembali telah mengakali kita! Tidak saja kun-lun-pai yang ditipu dengan pedang kayu palsu juga kali ini kita tertipu semua. Dia tidak berada di puncak!' kata Ang-bin Kwi -bo dengan muka cemberut.
***
"Kalau ku dapatkan bocah itu, akan kuganyangkan dagingnya, ku minum darahnya dan ku hancurkan kepalanya!" Pak-san kwi-ong berkata dengan nada marah sekali. Pat-jiu Sian-ong juga marah dan kecewa, akan tetapi sesuai dengan sifatnya , dia tersenyum dan berkata halus, " Sayang sekali, kembali Kun-lun-pai yang menjadi korban. Kalau dunia kang-ouw mendengar akan hal ini, siapakah yang tidak akan timbul persangkaan bahwa bocah itu sengaja disembunyikan oleh Kun-lun-pai?"
"Pat-jiu Sian -ong, hati-hati sedikit kalau bicara!" Kiang Tojin membentak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
Pat-jiu Sian -ong tersenyum menyeringai dan matanya mengerling ke kanan kiri.
"Eh, apakah yang telah ku katakan? Aku tidak menuduh Kun-lun-pai, hanya menyatakan betapa mengherankan melihat bocah yang sudah terluka itu mendaki batu pedang kemudian lenyap tak berbekas sama sekali dari puncak sana. Kemanakah perginya? Terbangkah dia? Atau menghilang? Siapa dapat menjawab? Batu pedang bukanlah milik kami, bukan wilayah kami, tentu saja hanya Kun-lun-pai yang dapat mengetahui rahasianya. Sudahlah, selamat berpisah! Kwi-bo dan Kwi-ong, tidak pergi dari sini au menunggu apalagi sih?" Pat-jiu Sian-ong tertawa dan berkelebat pergi dan diikuti Ang-bin Kwi-bo dan Pak-san Kwi-ong.
Demikian pula para tokoh kang-ouw itu pergi seorang demi seorang meninggalkan puncak Kiam-kok-san dengan hati kecewa. Melihat sikap mereka, Kiang Tojin maklum bahwa omongan Pat-jiu Sian -ong tadi mendapatkan sasaran dan para tokoh itu biarpun sedikit, ada menaruh kecurigaan kepada Kun-lun-pai dan hal ini pasti akan tersiar luas!
Setelah mereka semua pergi, Kiang Tojin berkata kepada gurunya, "Suhu, amatlah mengherankan bagaimana Keng Hong dapat lenyap dari puncak sana. Dapatkah Suhu memberi ijin kalau teecu meninjau ke puncak dan melihat apakah sebetulnya yang terjadi di sana?"
"Suhu, teecu juga hendak ikut!" kata Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin hampir berbareng. Thian Seng Cinjin menghela napas panjang.
"Semoga arwah sucouw sudi mengampuni kita yang membiarkan orang mengotori Kiam-kok-san. Pergi dan lihat lah, apa yang telah terjadi dan kemana perginya murid Sin-jiu Kiam-ong. Ah, Sie-taihiap, masih belum cukup banyakkah kami membalas budi kebaikanmu terhadap Kun-lun-pai?"
Kiang Tojin dan dua orang sutenya itu cepat menggunakan ginkang mereka mendaki batu pedang. Mereka yang belum pernah mendaki batu tinggi ini, melakukannya dengan hati-hati sekali dan dengan perasaan penuh hormat kepada tempat yang dianggap keramat ini.
Kiang Tojin terheran-heran setelah tiba di atas menyaksikan permukaan batu pedang yang sudah rata dan rusak bekas amukan tokoh kang-ouw tadi, terheran memikirkan bagaimana Keng Hong dapat melepaskan diri dari ancaman orang-orang sakti tadi?
Tidak ada jalan keluar kecuali dari tempat yang dinaikinya tadi. Dari atas tampak jelas betapa sisi -sisi lain dari batu pedang itu tidak mungkin dituruni orang karena tegak lurus dan licin. Jangan-jangan anak itu putus harapan dan meloncat turun, pikirnya. Kiang Tojin adalah seorang tokoh besar yang sudah mengalami segala macam peristiwa, akan tetapi memikirkan kemungkinan bahwa Keng Hong meloncat turun dari tempat setinggi itu, dia bergidik. Kalau hal mengerikan ini dilakukan Keng Hong dan tubuh pemuda itu terbanting ke bawah, kiranya tidak akan ada sisanya dan hancur lebur sebelum mencapai tanah, dihunjam dan dikerat permukaaan batu yang runcing dan tajam.
Betapapun ketiga orang tosu itu mencari-cari, tidak ada bekas-bekas Keng Hong dan terpaksa mereka lalu turun kembali melaporkan kepada Thian Seng Cinjin yang menghela napas dan berkata.
"Hanya Thian yang mengetahui apa yang telah terjadi denngan murid Sin-jiu Kiam-ong itu. Masih baik bahwa tidak terjadi pertempuran dan banjir darah. Mudah-mudahan saja urusan mengenai peninggalan Sin-jiu Kiam-ong akan habis sampai di sini saja." Akan tetapi benarkah akan terjadi seperti yang diharapkan ketua Kun-lun-pai? Jauh daripada itu. Cia Keng Hong masih hidup dan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ternyata masih utuh dan dapat ditemukan Keng Hong. Lebih hebat lagi, tanpa dikehendakinya, Keng Hong terpaksa mengajak Ang-kiam Tok-sian-li memasuki tempat rahasia penyimpanan pusaka-pusaka itu dan kini Bhe Cui Im, gadis murid lam-hai Sin-ni itu telah melarikan beberapa buah kitab yang dipilihnya dari kumpulan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!
"Cui Im..!" Keng Hong berteriak-teriak sambil berjalan terus setelah menanti beberapa lama mendengar suara batu-batu pecah dan gempur tanpa dapat menduga apa yang sesungguhnya telah terjadi. Terowongan itu amat panjang dan makin lama makin gelap.
"Cui Im!"
Akhirnya tampak cahaya terang dan terowongan itu berakhir, akan tetapi Keng Hong berdiri terbelalak di ujung terowongan memandang ke depan. Kiranya jalan terowongan itu berakhir di pinggir sebuah celah yang amat lebar,dan disebelah celah atau jurang itu tampak Cui Im berdiri sambil tersenyum menertawakannya!
"Cui Im...!" Keng Hong berseru memanggil dengan nada suara marah,. Apa yang telah kaulakukan? Kembalikan kitab-kitab peninggalan suhu yang kau curi!"
"Hi-hi-hik, Keng Hong yang ganteng, kaupikirkan dulu baik-baik sebelum memaki orang karena ucapanmu itu sama saja dengan maling teriak maling!" Gadis berpakaian merah itu mengangkat tinggi-tinggi lima buah kitab kuno dengan kedua tangannya lalu melanjutkan kata-katanya.
"Tahukah engkau kitab-kitab apa yang kupegang ini? Ang dua buah adalah kitab-kitab Seng-to-ci-keng dan I-kiong-hoan-hoat dari Siauw-lim-pai untuk pelajaran Iwekang dan menghimpun sinkang. Yang sebuah adalah kitab pelajaran ilmu pedang dari Go-bi-pai. Sebuah lagi kitab pelajaran ilmu ginkang, dan yang sebuah terakhir adalah kitab pelajaran ilmu silat tangan kosong yang hebat dan kalau tidak salah gubahan Sin-jiu Kiam-ong sendiri. Nah, di antara lima buah kitab, yang tiga buah adalah kitab curian. Sin-jiu Kiam-ong mencuri kitab, kalau sekarang kitabnya dicuri orang lain, bukankah sudah adil itu namanya?"
“Cui Im , jangan gila kau! Engkau sudah ku ajak masuk ke sini, mau mempelajari ilmu boleh saja, akan pergi jangan mencuri !" Dengan pandang matanya, Keng Hong mengukur dan dia terkejut sekali mendapatkan kenyataan bahwa tidaklah mungkin bagi seorang manusia untuk meloncati jarak antara dia dan Cui Im. Akan tetapi bagaimanakah gadis itu dapat berada di seberang? Agaknya dari jarak sejauh itu , Cui Im dapat menduga apa yang dipikirkan Keng Hong.
Ia tertawa, kemudian duduk di tepi jurang itu dengan suara mengejek.
“Hi-hi-hik, mau meloncat ke sini? Jangan mimpi, Keng Hong. Selain terlampau jauh, sekali kau terjatuh ke bawah, tubuhmu akan hancur lebur. Tidak mengerikankah? Sayang tubuhmu yang muda dan perkasa , wajahmu yang tampan. Hanya ada satu cara untuk menyeberang melewati jurang ini, yaitu melalui jembatan , dan jembatannya berada di tanganku!"
Keng Hong mendengus marah. Gadis ini membual. Mana mungkin jembatan bisa disimpan? "Kau tidak percaya? Inilah jembatannya, berada ditanganku. Kalau kuhendaki mudah saja aku menyeberang ke situ, akan tetapi engkau? Kecuali kalau di pundakmu keluar sayap dan dapat terbang, tak mungkin engkau dapat menyeberang ke sini!"
***
"Hemmm, engkau jahat dan curang, Cui Im! Akan tetapi, jangan kau mengira bahwa aku akan membiarkan saja engkau melarikan kitab-kitab itu," kata Keng Hong dan mengertilah dia bahwa di antara kedua tempat ini memang terdapat jembatan yang merupakan penghubung, yaitu yang terbuat daripada sehelai tambang yang kini sudah tergulung dan berada di tangan Cui Im. Tentu tambang itu tadinya terpasang melintang di atas jurang. Setelah menyeberang mempergunakan ginkangnya yang memang sudah mencapai tingkat tinggi, yaitu berjalan di atas tambang, gadis itu lalu melepaskannya dan menggulungnya, tentu ada cara melepaskan yang mudah dari seberang, mungkin kedua ujung tambang itu dipasangi kaitan dan karena kedua tempat itu terdiri dari batu-batu yang kasar dan runcing, mudahlah melemparkan kaitan ke seberang sehingga dapat tercipta jembatan tambang dan dengan menyendal-nyendal dapat pula kaitan di seberang dilepaskan.
"Hi-hi-hik, engkau mimpi, Keng Hong.Andaikata kelak engkau dapat mencariku, setelah aku mempelajari lima buah kitab ini, engkau akan bisa berbuat apakah terhadap aku? Pula , engkau tidak akan dapat bertahan lama bertahan di situ, tidak ada bahan makanan tidak ada air dan belum lagi diingat bahwa tokoh itu tentu akan mencarimu. Aku akan pergi meninggalkanmu di situ dan membawa kitab-kitab ini. Sudah ku periksa isinya dan kalau dapat berlatih selama lima tahun saja, di dunia ini tidak akan ada orang yang mampu melawanku!"
Keng Hong bukan seorang yang bodoh.Tidak, sebaliknya malah . Dia cerdik sekali dan pikirannya dapat dikerjakan secara cepat menarik kesimpulan-kesimpulan . Mengapa Cui I setelah mengambil jebatan tambang itu tidak lekas pergi malah menantinya di situ? Hanya untuk mengejek? Tak mungkin, seorang yang telah mendapatkan pusaka kitab-kitab yang diinginkan oleh seluruh tokoh kang-ouw tentu merasa terlalu tegang untuk main-main dan mengejek, tentu akan terus pergi melarikan diri dan cepat-cepat mempelajari isi kitab. Akan tetapi Cui Im menantinya di situ. Membual! Ya, gadis itu tentu sengaja membual unutk menutupi kelemahannya ia mengangguk-angguk dan berkata.
"Cui Im, siapa percaya bualanmu? Engkau menemui jalan buntu, tidak dapat meninggalkan tempat itu. Jalan keluar hanya melaui lorong ini dan kau terjebak di situ, tidak dapat terus dan tidak dapat kembali. Nah, katakan, apa kehendakmu dariku?"
Cui Im terperanjat sekali dan meloncat berdiri. "Eh,eh,eh, bagaimana kau bisa tahu?" Saking kaget dan herannya ia sampai tidak dapat menyimpan rahasianya lagi.
Keng Hong tersenyum. "Kalau ada jalan keluar di sebelah situ, tentu engkau takkan menanti hanya untuk bicara denganku. Engkau telah mencuri lima buah kitab dan mungkin dapat kau pelajari di situ sehingga engkau menjadi seorang sakti. Akan tetapi apa gunanya kalau kau tak dapat keluar, menjadi nenek-nenek dan mati kering di situ?"
"Aku akan menanti kesempatan, setelah kepandaianku meningkat, aku akan menggunakan jembatan tambang ini menyeberang ke situ dan membunuhmu!"
"Ha-ha-ha, bicara sih mudah. Akan tetapi boleh kau coba. Aku tidak bodoh, nona manis. Aku akan selalu waspada dan sekali saja tabang itu kau lontarkan ke sini, akan ku nanti sampai kau enyeberang di tengah-tengah, keudian tabang itu akan ku bikin putus sebelah sini. Wah, tentu lucu sekali melihat kau terbang ke bawah sana."
Cui Im membanting-banting kaki. "Keng Hong engkau manusia kejam!" Kemudian suaranya mengandung isak, ketika ia berkata lagi, "Engkau laki-laki yang tidak mengenal budi, tidak tahu dicinta orang! Setelah susah payah aku selalu membayangimu, melindungimu, menyatakan cinta kasihku dengan perbuatan, membiarkan diriku terancam bahaya, membebaskanmu dari tangan musuh-musuhmu, kau..kau..." Akan tetapi Cui Im segera teringat bahwa ia kelepas bicara, akan tetapi terlambat karena Keng Hong sudah meloncat berdiri dan muka pemuda itu menjadi merah sekali.
"Cui Im! Jadi...engkaulah orang nya...? Engkaukah yang selama ini membayangiku, membunuh murid wanita Hoa-san-pai, membunuh murid-murid Kong-thong-pai dengan racun? Engkaukah gerangan orangnya??"
Cui Im tidak dapat mundur kembali dan baginya sudah kepalang. Tidak perlu lagi kini merahasikan perbuatannya.
"Benar ! Akulah orangnya yang melakukan itu semua! Demi cintaku kepadamu, Keng Hong, dengarkah engkau? Demi cintaku kepadau, bukan cinta seperti yang pernah ku rasakan terhadap pria manapun juga. Aku cinta kepadamu, akan tetapi engkau buta!"
Jantung Keng Hong berdebar keras. "Jadi engkau yang membunuh Sim Ciang Bi, membunuh murid-murid wanita Kong-thong-pai pula? Mengapa ?"
"Tentu saja! Mereka itu berani merayumu, bermain cinta denganmu. Ahhh, betapa sakit hatiku, hampir gila oleh cemburu. Kalau tidak sebesar ini cintaku kepadamu, tentu engkau pun sudah ku bunuh pula!"
"Dan ... ketika malam gelap itu..yang datang kepadaku, merayuku penuh cinta kasih.. Engkau pulakah itu?"
Cui Im tertawa genit. "Hi-hi-hik, benar aku! Masa engkau tidak mengenal aku? Biarpun aku tidak bicara banyak , apakah engkau tidak mengenal suaraku, tidak mengenal kesedapan keringatku? Hi-hi-hik!"
"Cui Im… ! Kenapa kau lakukan itu?"
"Kenapa? Karena kau selalu menolakku dan aku sudah amat cinta kepadau. Hatiku perih sekali harus berpura-pura seperti itu..." "Bukan itu maksudku ! Kenapa engkau mengenakan pakaian putih, menggunakan senjata rahasia dan senjata-senjata Biauw Eng? Mengapa engkau menyambar sebagai Biauw Eng ?"
"Kenapa? Ah. Biar dia rasakan ! Sumoi berani sekali merampas engkau dari tanganku! Berani dia berlancang mulut menyatakan cinta kasihnya kepadamu, padahal biasanya sumoi menganggap cinta sebagai sebuah pantangan besar! Panas hatiku, dan biar dia tahu rasa, berani merebut cinta kasih kasih sucinya!"
Kedua telinga Keng Hong terasa panas dan andai kata Cui Im berada di depannya tentu sudah ditamparnya perempuan itu. Akan tetapi dia menekan kemarahannya dan hatinya menjadi girang sekali. Girang, terharu dan menyesal . Girang karena kini dia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng bukanlah wanita jahat seperti yang diduganya. Biauw Eng suci dan bersih. Terharu karena teringat betapa Biauw Eng melindunginya mati-matian, bahkan mengakui segala perbuatan yang dituduhkan olehnya dengan dasar membela dan melindunginya. Betapa besar dan murni cinta kasih gadis itu kepadanya! Cinta yang amat mengharukan, apalagi kalau dia teringat bahwa gadis itu adalah puteri suhunya! Dan dia menyesal, ia menyesal kepada diri sendiri sehingga mau rasanya dia menampari mukanya sendiri kalau teringat betapa dia menjatuhkan fitnah-fitnah keji terhadap gadis itu, bahkan menangkapnya untuk dibunuh oleh para tokoh kang-ouw.
"Cui Im ... mengapa engkau sendiri sekeji itu?" tanyanya dengan suara perlahan.
"Keji apa? Mereka yang keji, dan sumoi yang bersalah kepadaku. Demi cintaku kepadamu, aku rela melakukan apa juga. Bahkan sekarang ini aku rela pula mengalah kepadamu, aku ingin berdamai denganmu, Keng Hong."
***
Keng Hong menahan kemarahannya. Dalam keadaan seperti ini, dia harus bersabar . Wanita ini berbahaya sekali, selain lihai ilmunya, juga amat cerdik dan banyak akalnya. "Cui Im, engkau pandai membual. Engkau sudah terjebak di tempat itu, maka engkau sengaja hendak membujukku,bukan?"
"Manusia sombong, keras kepal engkau! Memang , disini tidak ada jalan keluarnya, akan tetapi setelah kepandaianku meningkat, kiranya tidak sukar mencari jalan keluar, atau kalau perlu menyerbumu ke situ! Bukan karena itu, dan jangan mengira kalau aku akan minta-minta kepadamu. Tidak , biarpun aku terjebak di sini, engkau pun terjebak di situ dan keadaanmu lebih buruk lagi. Engkau tahu? Di sini terdapat persediaan makanan yang akan cukup dimakan sampai bertahun-tahun. Terdapat roti-roti gandum kering yang asin, yang tidak rusak di simpan bertahun-tahun, apalagi disimpan di dalam kamar yang rapat sekali. Di sini terdapat air jernih karena air kali kecil itu lewat di bagian sini. Dan di akhir terowongan menjadi tempat bersarangnya ratusan ribu burung sehingga aku dapat makan telur burung atau menangkap dan makan dagingnya.Sedangkan engkau di situ akan makan dan minum apa? Mencari makan dengan menuruni batu pedang sama saja dengan menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai. Nah, katakan, siapa yang terjebak? Engkau amat membutuhkan aku, atau lebih tepat, tempat ini dan aku. Aku amat membutuhkan engkau untuk membacakan dan menuntun aku mempelajari kitab-kitab ilmu silat..."
"Heeeee? Engkau buta huruf?"
Merah wajah Cui Im. "Buta sama sekali sih tidak. Kalau hanya membaca dan menulis surat-surat cinta saja aku bisa. Akan tetapi, kitab-kitab ini... terutama sekali kitab dari Siauw -lim-pai, tulisannya seperti cakar bebek dan bahasanya amat kuno, menggunakan sajak-sajak yang sukar dimengerti. Marilah kita berdamai dan saling membantu. Kita berdua dapat dapat hidup di sini mempelajari ilmu dan kelak kita menjadi jago-jago nomor satu di dunia ini, apakah tidak senang dan nikmat?"
Keng Hong mengerutkan keningnya. Biarpun amat menggemaskan hatinya, namun harus dia akui bahwa ucapan Cui Im ada benarnya. Kalau memang ransum makanan dan air minum berada di seberang sana, sudah tentu dia amat membutuhkannya. Dan gadis itu juga membutuhkan dia untuk membaca kitab-kitab ilu. Hemmmmm, dengan demikian, tentu saja dalam mempelajari ilmu-ilmu berdua, dia akan lebih menang karena lebih dulu membaca dan mudah saja untuk melewati bagian-bagian penting sehingga tingkat Cui Im akan tetap berada di bawahnya. Dengan demikian ,kelak akan mudahlah menundukkan gadis ini kalau menjadi liar dan jahat. Tidak ada jalan pada saat seperti ini.
"Baiklah Cui Im, Tidak ada jalan lain bagi kita berdua selain berdaai dan bekerja sama. Nah, lontarkan ujung tambang itu agar jembatan tambang selalu terbentang!"
"Hi-hi-hik, nanti dulu Keng Hong."
"Ada apa lagi? Jangan engkau main-main, Cui Im."
"Bukan aku yang main-main, melainkan aku khawatir kalu engkau yang akan main-main. Lebih dulu bersumpahlah engkau , Keng Hong, baru aku mau bekerja sama denganmu. Siapa tahu engkau menipuku seperti engkau memberikan Siang-bhok-kiam palsu, hi-hi-hik!" Keng Hong mendongkol sekali. Gadis ini terlalu cerdik, dia harus berhati-hati. Hanya ada satu harapannya, yaitu bahwa Cui Im agaknya benar-benar memcintainya sehingga dia tidak khawatir gadis itu akan tega mencelakainya. Pula, kalau dipikir secara mendalam, amatlah merugikan kalau kitab-kitab peninggalan suhunya itu dibawa pergi oleh Cui Im yang tentu minta bantuan orang-orang lain untuk membacakannya. Dengan demikian, isi kitab-kitab itu akan diketahui orang ke tiga. Lebih baik dia sendiri yang membacakannya daripada orang lain!
"Baiklah, Cui Im. Kalau engkau kurang percaya kepadaku, aku akan bersumpah. Harus bersumpah bagaimana?"
"Berlututlah dan bersumpahlah demi nama suhumu, Sin-jiu Kiam-ong!"
Keng Hong terkejut dan ingin membantah, akan tetapi dia sudah mengenal watak Cui Im
Yang keras dan dalam persoalan ereka sekarang ini, kedudukannyalah yang lebih lemah dan tidak menguntungkan. Ia hanya menghela napas panjang untuk bersumpah saja, asal dia memegang sumpahnya, menggunakan nama suhunya juga tidak mengapa. Maka dia lalu berlutut dan mengucapkan kata-kata yang dikehendaki Cui Im.
"Teecu bersumpah demi nama suhu Sin-jiu kiam-ong.."
"Pertama, engkau tidak akan membunuhku!"
“….bahwa teecu tidak akan membunuh Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im"
"Kedua, bahwa engkau akan membacakan kitab-kitab ilmu silat dengan sebenarnya dan tidak menipuku!"
Celaka ,pikir Keng Hong dalam hatinya. Gadis ini cerdik bukan main! Terpaksa dia mengucapkan kata-kata menurut kehendak Cui Im , "... Bahwa teecu akan membacakan kitab-kitab ilmu silat dengan sebenarnya dan tidak menipunya..."
"Ke tiga, bahwa engkau akan menerima aku belajar sambil selesai dan tidak menghalangi bila sewaktu-waktu aku menghentikan pelajaran dan keluar dari tempat ini!" Keng Hong meniru ucapan itu dan hatinya lega ketika Cui Im menyatakan sudah cukup puas. Cepat dia bangkit berdiri dan berkata dengan wajah dan berseri, "Cui Im, lontarkan tabang itu dan aku ingin meninjau tempat di seberang situ!"
Cui Im menjadi heran mengapa Keng Hong kelihatan demikian gembira setelah bersumpah. Akan tetapi dia percaya bahwa seorang pemuda seperti Keng Hong ini sekali bersumpah, apalagi demi nama gurunya, sampai mati pun tidak akan sudi melanggar sumpahnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu melontarkan ujung tambang yang ada besi kaitannya ke seberang.
Tepat seperti dugaannya tadi, besi kaitan itu melayang dan mengait batu di seberang sana Cui Im mengait ujung yang satu lagi pada batu di sana. Akan tetapi Keng Hong memeriksa lagi kaitannya, dan setelah mendapat kenyataan bhawa besi itu mengait baik-baik dan kuat-kuat, dia lalu meloncat ke atas tambang dan berlari diatas tambang menuju ke seberang. Diam-diam dia kagum kepada Cui Im. Tadinya gadis itu merasa ngeri ketika mendaki batu pedang, akan tetapi begitu mendapat kitab-kitab itu, gadis itu tidak merasa ngeri untuk berjalan di atas jembatan tabang yang lebih mengerikan lagi.
Begitu dia meloncat di daratan seberang, Cui Im menyambutnya dengan bibir mencari-cari bibirnya. Akan tetapi Keng Hong menghindarkan mukanya dan dengan halus mendorong pundak Cui Im.
"Keng Hong, mengapa? Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik?"
"Cui Im, kita bersahabat untuk saling membantu dalam mengejar ilmu disini, dan tentang cinta, ingat, tidak ada disebut-sebut dalam sumpahku tadi!"
Kini mengerilah Cui Im mengapa tadi sehabis bersumpah pemuda itu kelihatan lega dan girang. Kiranya dia lupa memasukkan "acara" dan syarat ini ke dalam sumpah itu. Ia menyesal sekali dan mukanya cemberut.
***
Keng Hong merasa tidak baik kalau kerja sama itu dimulai dengan tidak menyenangkan hati Cui Im, maka katanya cepat.
"Cui Im, engkau akan tahu dari ilmu ilmu dalam kitab-kitab ini bahwa selagi mempelajari ilmu tinggi, hubungan antara pria dan wanita merupakan paling besar. Hal itu akan menghambat kemajuan ! Tunggu dan lihat sendiri saja nanti kalau kita sudah mulai belajar." Ucapan ini menyenangkan hati Cui Im karena ia menganggap bahwa adanya Keng Hong menolak cintanya adalah karena pemuda ini menganggap hal itu sebagai pantangan dalam belajar, jadi bukan karena pemuda itu mambencinya atau tidak membalas cintanya! Masih banyak kesempatan baginya untuk kelak menjatuhkan hati pemuda ini. Dia adalah seorang ahli dalam hal itu. Keng Hong bersama Cui Im lalu memeriksa keadaan di situ dan memang Cui Im tidak membohong. Di situ terdapat bahan-bahan makan-minum seperti yang diceritakan Cui Im tadi dan tidak ada jalan untuk keluar karena ujung terowongan yang dihuni ratusan ribu ekor burung walet itu merupakan dinding yang curam dan tegak lurus, pula amat licin.
Demikianlah, mulai hari tu, Keng Hong dan Cui Im mulai membalik-balik lembaran kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi, dan memang tepat pemberitahuan Keng Hong tadi, karena dalam kitab pertama , yaitu kitab I-kiong-hoan-hoat dari Siauw-li-pai, jelas disebutkan bahwa pantangan utama dalam hubungan antara pria dan wanita!
Ilmu I-kiong-hoan-hoat adalah semacam ilmu memindahkan jalan darah dari partai Siauw -lim-pai, juga kitab ke dua Siauw-lim-pai, Seng-to-cin-keng adalah ilmu yang khas yang mengajarkan Iweekang, bersamadhi mengatur pernapasan unutk menghimpun sinkang. Setelah melihat sendiri bahwa emang ada pantangan hubungan antara pria dan wanita sewaktu melatih dri dengan ilmu-ilmu itu, Cui Im tidak banyak rewel lagi dan tidak mau menganggu Keng Hong, sungguhpun kadang-kadang ia kelihatan seperti cacing kepanasan dan menderita sekali. Bhe Cui Im yang tadinya menghambakan diri kepada terganggu dorongan nafsu, akan tetapi nafsunya ingin menjadi jagoan wanita nomor satu di dunia ini mengalahkan nafsu berahinya sehingga ia tekun berlatih.
Keng Hong sendiri secara diam-diam membaca semua kitab yang berada di situ, akan tetapi karena dia menganggap bahwa apa yang dia dahulu pelajari dari gurunya tidak kalah mutunya, dia hanya membaca kitab-kitab milik partai lain hanya untuk dimengerti isinya dan dikenal sifatnya, pula dia mempunyai rasa segan untuk mencuri ilmu partai lain. Dia hanya membaca dan mengenal, akan tetapi tidak melatih dirinya dengan ilmu-ilmu itu. Kecuali kitab tulisan gurunya sendiri yang ternyata merupakan inti sari daripada ilmu silat Siang-bhok- Kiam-sut dan Ilmu silat San-in-kun-hoat sehingga dia menjadi girang sekali. Ia dapat memperdalam ilmu silatnya yang masih mentah itu dan melatih diri dengan rajin.
Biarpun Cui Im juga minta agar dia membacakan kitab ciptaan gurunya, namun dia yakin bahwa tanpa memiliki sinkang seperti yang dia "oper" dari gurunya, dan tanpa memiliki dasar-dasar yang dulu dia pelajari dari Sin-jiu Kia-ong, kepandaian yang didapat oleh Cui Im hanyalah permukaannya atau kulitnya belaka. Namun tentu saja dia tidak mau bicara tentang hal ini bahkan setiap kali ada kesempatan dia memuji kemajuan-kemajuan yang diperoleh gadis itu sehingga Cui Im menjadi girang sekali. Memang harus diakui bahwa Cui Im yang memiliki bakat baik sekali itu kini memperoleh kemajuan pesat.
Keng Hong menjadi matang ilmunya. Biarpun yang dia matangkan hanya ilmu silat yang dua macam itu, yaitu San-in-kun-hoat yang terdiri dari delapan jurus pukulan tangan kosong dan Siang- Kiam-sut yang terdiri dari tiga puluh enam jurus, namun kematangannya dan keistiewaan dua ilmu ini mencakup seluruh dasar dan inti ilmu silat yang dikuasai Sin-jiu Kiam-ong, dia kini dapat mainkan ilmu silat itu secara dahsyat. Biarpun hanya delapan jurus, namun ilmu silat San-in-kun-hoat ini cukup untuk membuat dia patut dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti), sedangkan Siang-bhok Kiam-sut adalah ilmu pedang istiewa yang dapat dikatakan menjadi rajanya ilmu pedang sehingga dia patut pula dijuluki Kiam-ong (Raja Pedang) seperti gurunya!
Setelah dia membaca kitab peninggalan suhunya, barulah dia sadar bahwa Ilmu Silat San-in-kun-hoat memiliki segi-segi yang amat hebat, dengan perkembangan yang tak terhitung banyaknya tergantung dari keadaan dan daya khayalnya sendiri sehingga biarpun pada dasarnya hanya mempunyai delapan jurus, namun apabila dikembangkan menjadi jumlah jurus yang tak terhitung banyaknya! Tadinya dia hanya menguasai dasarnya yang dia gerakkan dengan mengandalkan sinkang kuat belaka. Kini dia dapat mainkan setiap jurus dengan kembangan yang tak terhitung banyaknya. Demikian pula dengan Ilmu Pedang Siang-bhok- Kiam-sut, kalau sebelum ini dia hanya menghafal gerakan-gerakan yang tiga puluh enam jurus mengandalkan sinkang dan kecepatan, akan tetapi kini dia dapat menangkap inti sarinya dan dapat mempergunakan Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga sinar kehijauan pedang itu cukup untuk merobohkan lawan. Diam-diam dia selalu memperhatikan latihan-latihan yang dilakukan Cui Im dan dia menjadi kagum bukan main. Gadis itu benar-benar hebat, berbakat dan karena tadinya sebagai murid Lam-hai Sin-ni dia telah memiliki tingkat tinggi, kini dengan mudahnya ia melahap semua isi kitab yang berada di situ dan telah hafal akan semua isinya, telah pandai pula mainkan ilu-ilmu itu termasuk ilmu silat yang diciptakan oleh Sin-jiu Kiam-ong sendiri!
Cemas-cemas hati Keng Hong kalau melihat ini karena dia maklum bahwa Cui Im sekarang, setelah tiga empat tahun berlatih dengan tekun, jauh bedanya dengan Cui Im dahulu, sungguhpun orangnya masih tetap cantik manis genit. Ilmu kepandaiannya telah meningkat secara hebat sekali.
Hanya ada satu hal yang melegakan hati Keng Hong melihat kemajuan Cui Im yang mencemaskan itu, ialah betapa pun gadis itu berlatih dan mencari-cari dalam kitab-kitab yang berada di situ, gadis itu tidak dapat menemukan ilmu Thi-khi-I-beng, dan dalam hal tenaga sinkang, betapa pun gadis itu menghimpun dan berlatih, tidak dapat menandingi tenaga sinkangnya sendiri yang dia terima secara langsung dipindahkan dari tubuh gurunya.
Empat tahun telah berlalu dengan cepat sekali karena kedua orang ini tekun belajar dan berlatih sehingga waktu berlalu tanpa terasa oleh mereka. Kini semua kitab telah habis dipelajari Cui Im ! Gadis ini telah memnjadi seorang wanita berusia dua puluh enam tahun yang matang segala-galanya! Cantik jelita, dan dalam pandang matanya yang kini terdapat sinar berapi yang dahulunya tidak ada, sinar berapi yang timbul dari kekuatan sinkangnya ditambah kepercayaannya kepada diri sendiri.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Keng Hong bangun dari tidurnya, dia mendapatkan Cui Im tersenyum-senyum di dekatnya dan dia heran melihat gadis itu mengenakan pakaian yang bersih, agaknya baru kemarin atau malam tadi dicuci, rambutnya digelung indah, wajahnya berseri-seri dan mulutnya tersenyum-senyum. Akan tetapi dengan terkejut Keng Hong melihat adanya pandang mata aneh, pandang mata yang jelas membayangkan nafsu berahi!
Kekhawatirannya terbukti ketika bangun duduk tiba-tiba Cui Im menjatuhkan diri duduk di dekatnya, memandang penuh kemesrann dan tertawa-tawa kecil penuh nafsu.
"Eh, Cui Im , apa-apaan ini? Engkau mau apa ?" Keng Hong merenggutkan lengannya yang mulai dipegang dengan sentuhan halus mesra oleh gadis itu.
"Hi-hi-hik, Keng Hong, betapa rinduku kepadamu. Hampir mati aku menanggung rindu kepadamu, kekasihku. Hampir gila aku mengekang diri, setiap malam kalau engkau sudah tidur memandangimu, teringat masa lalu!"
"Cui Im, tidak boleh...." Keng Hong membuang muka menghindarkan ciuman gadis itu dan dia mulai terangsang. Akan tetapi dia teringat betapa gadis ini telah melakukan hal-hal keji, yang menjatuhkan fitnah kepada Biauw Eng.
Selama empat tahun ini, ingatan itu selalu menyiksa dirinya dan membuat dia makin menyesal di samping rasa rindu kepada Biauw Eng. Hal ini menimbulkan rasa muak dan bencinya kepada Cui Im sehingga begitu teringat kepada Biauw Eng, lenyaplah rangsangan berahinya terhadap gadis yang membelai dan membujuk rayunya itu.
"Jangan berpura-pura alim Keng Hong. Dulu engkau begitu mencintaiku! Dan sekarang aku tidak lagi berlatih menghimpun sinkang, sudah cukup kuat aku, hi-hi-hik, lebih kuat dari guruku sendiri. Ya, kini aku dapat menjagoi di seluruh dunia dan cintaku kepadamu menjadi lebih kuat daripada dulu-dulu karena engkau telah membantuku, kekasihku. Layanilah aku, Keng Hong, dan kita nanti keluar dari sini, menjadi sepasang kekasih, juga sepasang jagoan nomor satu di dunia. Mungkin engkau tidak mendapat banyak kemajuan, akan tetapi jangan khawatir, kepandaianku telah meningkat secara hebat, dan aku siap selalu melindingimu, kekasihku. Marilah..! Cui Im menubruk, merangkul dan menggelutinya.
Keng Hong hampir tak dapat menahan gelora darah mudanya ketika di gelut oleh Cui Im yang merayu dan yang makin cantik jelita ini. Akan tetapi dia cepat menekan perasaannya dan berkata.
"Engkau telah berlaku keji terhadap Biauw Eng..."
Jari-jari tangan yang sedang membelainya itu tiba-tiba terhenti, akan tetapi hanya sebentar, kemudian mengelus-elus lagi, mulut itu menciuminya sekerasnya. "Aiiiih, kekasihku, hal itu kulakukan karena cintaku kepadamu..."
Keng Hong sudah menjadi dingin lagi begitu dia teringat Biauw Eng. Ingin dia meronta menggunakan sinkangnya, akan tetapi dia tidak mau memancing keributan dengan Cui Im. Maka dia lalu berkata.
"Baiklah, Cui Im. Siapa dapat bertahan mengahadapi kecantikan dan rayuanmu? Akan tetapi, aku... aku hendak mandi dulu…."
"Hi-hi-hi, tak usahlah...".
"Tidak , nanti saja. Aku perlu mandi dulu!" Keng Hong merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan gadis itu kemudian dia melompat dan lari menuju ke jembatan tambang. Ia menoleh melihat Cui Im meandangnya dengan mata penuh gairah nafsu berahi. Ia perlu mencari waktu untuk menenteramkan hatimu yang yang terangsang. "Kau tunggulah aku hendak mandi..!" Katanya dan Cui Im tertawa aneh.
Cui Im mengertak gigi saking gemasnya ketika melihat Keng Hong lari. Ia maklum bahwa dia telah kehilangan cinta pemuda itu karena Biauw Eng. Hemmm, orang yang tak tahu dicinta, gerutunya dan ia pun bangkit perlahan mengikuti Keng Hong. Dilihatnya pemuda itu meloncat ke atas jembatan tambang dan berlari cepat. Cui Im memperhatikan dan ia dapat melihat bahwa ginkang dari pemuda itu makin hebat saja. Ia pun dapat dengan mudah berlari cepat melalui tambang itu masih bergetar dan bergoyang sedikit.
Kini, melihat Keng Hong berlari cepat dan sedikit pun tambang itu tidak bergoyang hatinya menjadi khawatir sekali. Ia mencinta Keng Hong, akan tetapi kalau pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat dan membahayakan dirinya sendiri, pemuda itu tidak berhak hidup lagi.
"Keng Hong, berhentilah!!"
Nada suara panggilan yang mengandung kemarahan ini membuat Keng Hong terkejut dan berhenti di tengah-tengah tambang, kemudian membalikkan tubuhnya menoleh ke arah Cui Im. Gadis itu berdiri di tepi jurang, dekat ujung tambang dan sikapnya membayangkan kemarahan besar. Akan tetapi kemarahannya itu ditutup oleh senyumannya yang lebar.
"Keng Hong, engkau bersumpahlah!"
"Heeeee?? Apa? Tidak alasan bagiku untuk bersumpah!"
"Keng Hong, bersumpahlah bahwa engkau mencintaiku dan akan melayani hasrat cinta kasihku!"
Keng Hong menggelengkan kepalanya, "Cui Im, sesungguhnya engkau seorang gadis yang cantik jelita dan sekiranya engkau tidak begitu keji, telah menjadi biang keladi terjadinya semua kekacauan bahkan merusak hati seorang gadis seperti Biauw Eng, sekiranya engkau tidak begitu curang dan tidak menimbulkan rasa muak dan benci di hatiku, agaknya aku akan menerima cintamu dengan penuh kegembiraan."
"Keparat, laki-laki tak tahu dicinta! Kalau begitu mampuslah!" Tiba-tiba gadis itu menggerakkan kedua tangannya ke depan dan tampaklah sinar-sinar merah kecil berkeredepan menyambar ke arah tujuh jalan darah di tubuh depan Keng Hong!
Itulah jarum-jarum merah senjata rahasia Cui Im, dan karena selama empat tahun ini ia telah mencapai kemajuan pesat dan tenaga sinkangnya sudah hebat sekali, maka sambitan jarum-jarumnya juga cepat sekali seperti kilat menyambar.
Keng Hong menggerakkan tangan kirinya ke depan dan angin pukulan tangannya sedemikian kuatnya sehingga jarum-jarum itu dalam jarak dua meter sebelum menyentuh tubuhnya sudah runtuh semua ke bawah, ke dasar jurang yang tidak tampak dari atas.
"Cui Im, apa yang kau lakukan ini..?" Akan tetapi Keng Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu sambil tertawa Cui Im sudah menggerakkan tangan lagi dan kini sinar putih berkilau menyambar..bukan ke arah Keng Hong, melainkan ke bawah, ke arah tambang yang diinjak pemuda itu. Keng Hong terkejut sekali, tidak berdaya menghindarkan ancaman bahaya ini karena sekali kena disambar senjata rahasia bola putih berduri, senjata rahasia Biauw Eng yang telah dicuri Cui Im, tambang itu putus di tengah-tengah dan tentu saja tubuh Keng Hong jatuh ke bawah!
Dalam detik itu Keng Hong maklum bahwa nyawanya terancam bahaya maut yang mengerikan. Cepat dia menyambar ujung tambang dan ketika tubuhnya meluncur ke bawah, dia menggerak-gerakkan tangan kakinya memukul dan menendang ke bawah sambil mengerahkan ginkang sehingga tenaga luncuran itu banyak berkurang.
***
Hal ini dia lakukan untuk mencegah tambang itu putus di bagian atas. Ketika tubuhnya terayun tambang ke arah dinding jurang, dia menggunakan tangan kirinya sehingga dia tidak terbanting keras dan tambang itu untungnya tidak putus, akan tetapi bajunya robek-robek dan kulitnya lecet-lecet mengeluarkan darah. Keng Hong tidak kekurangan akal, lalu perlahan-lahan dia memanjat naik melalui tambang yang tinggal sepotong karena putus pada tengah-tengah tadi. Ia berhasil mencapai tepi jurang di seberang dan begitu dia meloncat dan berdiri dengan baju robek-robek berdarah uka pucat berkeringat dan napas agak terengah karena baru saja dia terlepas dari bahaya maut mengerikan, dia melihat Cui Im di seberang sana tertawa terkekeh, membuat dia menjadi makin marah dan membenci wanita curang dan kejam itu.
"Hi-hi-hik, diberi jalan sorga kau memilih neraka ! Ditawari kesenangan engkau memilih penderitaan. Engkau tidak mau menyambut cintaku, ya ? Baiklah, kalau begitu engkau boleh bermain cinta dengan bayanganmu sendiri di situ sampai engkau mati tua karena engkau tidak mungkin akan dapat meninggalkan tempat itu. Hi-hi-hik! Adapun kitab-kitab pusaka-pusaka dan benda-benda berharga sekarang menjadi milikku semua dan akan kubawa pergi. Nah, selamat berpisah, Keng Hong bekas kekasihku. Aku akan hidup sebagai wanita tersakti di dunia ini menikmati pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan engkau boleh mampus sebagai pertapa kesunyian disitu. Hi-hi-hik!"
Cui Im membalikkan tubuhnya dan menghilang, meninggalkan Keng Hong di seberang yang berdiri mengepal tinju akan tetapi tidak dapat berbuat sesuatu.
Keadaan Keng Hong amatlah buruknya dan kalau orang lain yang mengalami malapetaka seperti dia, tentu akan menjadi bingung, gelisah dan putus asa. Akan tetapi pemuda ini masih dapat mempertahankan ketenangannya. Ia memandang sepotong tambang yang sudah dia gulung naik. Tambang itu hanya setengah panjang jarak jurang antara kedua tepi. Biarpun tergesa-gesa mencari akal,takkan mungkin dapat mencegah Cui Im melarikan semua pusaka itu. Akan terlabat. Pula, bagaimana akalnya untuk dapat menyeberang? Ia berjalan perlahan memasuki lorong, dan untuk menghilangkan rasa panas karena kemarahannya terhadap Cui Im, dia lalu pergi ke air dan mencuci muka, dan tubuhnya yang lecet-lecet. Biasanya, dia datang ke bagian ini hanya kalau membutuhkan makan minum, karena di seberang lebih enak di tinggali. Kini dia mendapat kesempatan amat luas untuk menyelidiki keadaan disitu sampai habis, dan dengan teliti mulailah dia melakukan penyelidikan. Di mulut lorong sebelah sana, tempat yang dihuni burung-burung walet, mempunyai dinding yang tidak mungkin dituruni. Siapa tahu kalau-kalau ada jalan atau lorong rahasia di bagian ini. Hasil karya seorang sakti seperti gurunya tak dapat di duga lebih dulu.
Dengan membawa Siang-bhok-kiam yang tak pernah terpisah dari tubuhnya sehingga tidak sampai terampas Cui Im, dia lalu mulai melakukan pemeriksaan dengan teliti sekali. Karena dia melakukan amat teliti, setiap dinding dan lantai batu dia periksa, sejengkal demi sejengkal, maka Keng Hong harus menggunakan waktu sampai tiga hari untuk dapat memeriksa tempat itu seluruhnya, dari tepi jurang sampai sepanjang lorong, kamar berisi makanan , sampai ujung lorong yang dihuni burung-burung walet.
Pada hari ke tiga, setelah kesabarannya hampir habis, setelah kepalanya mulai pening karena kegagalan dan tenaganya habis karena mencokel-cokel dan mendorong-dorong setiap bagian dinding dan batu, tiba-tiba dia tertarik akan bunyi nyaring ketika dia mengetuk-ngetuk dinding hitam di bagian belakang dengan pedangnya. Bunyi nyaring ini menjadi tanda bahwa batu yang menjadi dinding itu kosong tidak berisi, atau di sebelah sana dinding merupakan ruangan kosong! Jantungnya berdebar dan mulailah dia meneliti. Bagian ini gelap karena dindingnya adalah batu -batu berwarna hitam. Ia menggunakan pedangnya menusuk-nusuk dan tiba-tiba pedang itu menusuk sebuah lubang sampai amblas ke gagangnya! Keng Hong menahan seruannya, lalu memutar-mutar pedang Siang-bhok-kiam itu ke kanan kri. Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh di belakang diding batu itu. Keng Hong mencabut pedangnya dan bunyi gemuruh itu disusul dengan bunyi bergerit, kemudian dinding itu bergerak dan tampaklah sebuah lubang lima kaki persegi besarnya di dinding batu hitam itu!
"Terima kasih, Siang-bhok-kiam, lagi-lagi engkaulah yang menolongku!" Keng Hong mencium Pedang Kayu Harum itu kemudian dia merangkak-rangkak memasuki lubang ini. Siapa tahu kalau di sebelah sana terdapat jalan yang akan membawanya kepada kebebasan, pikirnya.
Begitu dia menembus dinding batu hitam yang tebalnya ada dua meter itu, dia melihat sebuah kamar lain di balik dinding dan hatinya kecewa. Bukan jalan keluar kamar ini pun merupakan jalan buntu! Akan tetapi, kekecewaannya segera lenyap, tertutup oleh keheranan dan kengerian ketika melihat sebuah rangka manusia yang masih utuh sedang "nongkrong" duduk di atas sebuah kursi gading! Tengkorak dari rangka itu agak menunduk dan kelihatannya seperti sedang mentertawakannya! Keng Hong bergidik dan menggoyang-goyang kepalanya. Mimpikah dia ? Ataukah karena tiga hari bekerja terus tanpa makan membuat dia tak dapat lagi menggunakan mata dan pikirannya secara normal? Namun, betapa dia menggoyang kepalanya, ketika memandang lagi, rangka itu tetap berada di situ, duduk di atas kursi gading dan di sebelah rangka itu terdapat sebuah kursi gading pula.
Meja yang kakinya terbuat daripada gading terukir itu, permukaannya dari batu putih halus dan diatas meja itu terletak sebuah kitab yang sudah kuning saking tuanya. Sejenak Keng Hong terpesona. Biarpun rangka itu hanyalah sekumpulan tulang manusia, akan tetapi sikap duduknya masih membayangkan sikap tegak dan wibawa, seperti sikap seorang raja atau seorang yang sudah biasa disembah-sembah orang.
Anehnya, bagi Keng Hong timbul perasaan seolah-olah rangka itu merupakan tuan rumah, pemilik ruangan -ruangan di dalam batu pedang ini, dan dia sendiri sebagai tamu tak diundang. Ia merasa bersalah, dan tanpa disadarinya pula, Keng Hong menekuk kedua lututnya dan berbisik, "Locinpwe, mohon maaf atas kelancanganku.." Ia berlutut sambil menunduk dan begitu dia menunduk, tampak ukiran huruf-huruf kecil di atas batu lantai di depan lututnya. Huruf-huruf itu terukir amat kecilnya sehingga takkan dapat dilihatnya kalau dia tidak berlutut dan menundukkan muka. Jantungnya berdebar apalagi ketika dia mengenal ukiran huruf -huruf ini serupa benar dengan ukiran-ukiran di gagang pedang Siang-bhok -kiam ! Jelas bahwa ukiran huruf-huruf di atas lantai itu dan di gagang pedang dibuat oleh satu orang, yaitu gurunya, Sin-jiu Kiam-ong!
"Terima kasih kepada Thai Kek Couwsu dan maaf bahwa teecu tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai."
Keng Hong menduga-duga. Tidak akan keliru kalau dia menduga bahwa rangka ini adalah rangka dari Thai Kek Couwsu, pendiri Kun-lun-paai yang dikabarkan bertapa di Kiam-kok-san dan lenyap bersama raganya sehingga batu pedang dianggap tepat keramat oleh Kun-lun-pai. Kiranya kakek yang dikabarkan sakti seperti dewa itu berada di sebelah dalam batu pedang dan meninggal dunia di tempat tersembunyi ini!
***
Dan rangkanya diketemukan suhunya, Sin-jiu Kiam-ong! Ia pun makin menghormat rangka itu dan menyembah delapan kali sambil berkata.
"Teecu Cia Keng Hong mohon maaf atas kelancangan teecu kepada Couwsu yang mulia." Kemudian perhatiannya tertarik kepada kitab di atas meja. Tadinya dia ragu-ragu, karena merasa tidak berhak menyentuh kitab itu. Akan tetapi kemudian dia berpikir bahwa gurunya yang amat suka akan ilmu dan suka pula akan kitab-kitab pusaka, mustahil kalau tidak memeriksa kitab itu. Mungkin itukah sebabnya gurunya menghaturkan terima kasih kepada Thai Kek Couwsu? Tidak ada seorang ahli silat yang tidak akan tertarik untuk membaca kitab peninggalan seorang sakti! Maka diapun lalu bangkit dan menghampiri meja itu, dengan hati-hati sekali mengambil kitab dari atas meja. Tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan rangka itu runtuh dari atas kursi mengeluarkan suara hiruk-pikuk! Keng Hong cepat meloncat ke samping, wajahnya pucat saking kagetnya. Akan tetapi dia segera mengerti bahwa tulang-tulang itu tentu runtuh karena sedikit pergerakan saja, karena memang tidak ada penyambungannya lagi. Kalau rangka itu asih dapat duduk sekian lamanya, hal ini adalah karena cara "duduk" tulang-tulang yang merupakan rangka itu amat tepat, sesuai dengan cara duduk bersamadhi yang dinamakan "keseimbangan". Ia makin kagum dan meletakkan kitab di atas meja untuk cepat menyempurnakan sisa-sisa raga Thai Kek Couwsu dengan cara membakar tulang-tulangnya itu.
Tulang-tulang itu sudah sedemikan keringnya sehingga mudah sekali dimakan api, dan sebentar saja raga pendiri Kun-lun-pai itu telah menjadi abu. Keng Hong mengumpulkan abu ini dan menaburkannya melalui jurang di ujung lorong yang dihuni burung-burung walet. Abu tipis beterbangan tertiup angin memenuhi udara dan menjadi satu dengan alam di sekelilingnya! Keng Hong segera kembali lagi ke kamar rangka itu dan begitu mengambil kitab di atas meja, kini tampaklah huruf-huruf terukir di permukaan meja seperti digurat-gurat benda tajam. Huruf-huruf ini berbeda dengan gaya tulisan Sin-jiu Kiam-ong, maka dia menduga bahwa ini tentulah tulisan Thai Kek Couwsu. Dengan hormat dia membaca huruf-huruf terukir itu.
"Thai-kek Sin-kun ditinggalkan untuk dia yang berjodoh memasuki tempat ini dan diharapkan dia suka menjadi ketua Kun-lun-pai."
Keng Hong mengerutkan keningnya dan belum berani membuka kitab yang pada kulit luarnya tertulis namanya: THAI KEK SIN KUN. Ah, kini mengertilah dia akan maksud huruf-huruf di lantai, yang ditulis oleh Sin-jiu Kiam-ong. Tentu gurunya itu telah masuk kekamar ini dan mempelajari isi kitab maka dia menghaturkan terima kasih, kemudian minta maaf karena tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai seperti yang diharapkan oleh Thai Kek Couwsu. Dia sendiri pun telah masuk ke kamar ini, dan hal itu merupakan jodoh baginya, membuat dia berhak memiliki kitab.
Adapun tentang menjadi ketua Kun-lun-pai , dia sama sekali tidak mengkehendakinya seperti diharapkan pencipta kitab ini. Biarlah seperti suhu kupelajari kitab ini dan kelak akan kuserahkan kitab ini kepada ketua Kun-lun-pai, pikirnya.
Demikianlah, lupa bahwa agaknya tidak ada harapan lagi baginya untuk keluar dari tempat itu, Keng Hong mengambil kitab kemudian meneliti keadaan kamar itu. Ia melihat sebuah peti hitam di sudut dan ketika peti itu dibukanya didalamnya penuh dengan pakaian-pakaian sutera putih dan kitab-kitab tentang Agama To! Sudah banyak dia membaca kitab-kitab Agama To ketika menjadi kacung di Kun-lun-pai, dan tentang pakaian itu, dia merasa berterima kasih sekali karena memang dia amat membutuhkan pakaian sebagai pengganti pakaiannya yang sudah empat tahun tidak diganti, dan kini robek-robek ketika dia berjuang melawan maut di tambang tadi.
Setelah makan dan minum untuk memulihkan tenaganya. Terkejut dan giranglah hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa kitab tebal ini terisi petunjuk-petunjuk inti sari ilmu silat tinggi sekali, termasuk petunjuk tentang penggunaan sinkang, ilmu silat tangan kosong dan ilmu silat pedang yang berdasarkan ilmu sakti Thai -kek Sin-kun!
Baru sekarang dia mengerti bahwa kesaktian gurunya sebagian besar disempurnakan oleh isi kitab ini dan dia dapat menduga mengapa gurunya tidak menurunkan ilmu ini kepadanya. Tiada lain adalah karena gurunya merasa tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai maka tidaklah berhak untuk menurunkan ilmu itu kepada orang lain. Diam-diam dia kagum sekali kepada gurunya yang biarpun merupakan seorang petualangan, namun sesungguhnya memiliki jiwa gagah perkasa yang tidak sudi melanggar janji tak tertulis tak terucapkan antara dia dan Thai Kek Couwsu!
"Teecu pun bersumpah takkan memperlihatkan kitab ini atau memberitahukan isinya kepada orang lain kecuali ketua Kun-lun-pai," demikian bisik hati Keng Hong dan mulailah dia membaca kitab itu penuh perhatian. Mulailah dia berlatih dengan tekun sekali dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa semua yang telah dipelajarinya, baik dari mendiang suhunya maupun tambahan-tambahan yang dia dapat dari pelbagai kitab pusaka peninggalan gurunya yang dia bacakan kepada Cui Im, inti sarinya termuat dalam kitab ini, maka semua ilmu itu dapat disempurnakan. Lebih gembira lagi hatinya ketika mendapatkan petunjuk tentang cara untuk menguasai tenaga sinkang dan di bagian akhir kitab itu dia menemukan cara untuk menguasai tenaga sedot dari sinkangnya! Tanpa disengaja karena terciptanya tenaga sedot di tubuhnya memang merupakan suatu kebetulan yang tidak disengaja oleh gurunya maupun olehnya sendiri, kini Keng Hong telah menguasai ilmu yang dianggap sudah musnah dari dunia kang-ouw, yaitu ilmu mujijat Thi-khi-I-beng !
Lam-hai sin-ni yang mempelajari ilmu ini sampai belasan, bahkan puluhan tahun hanya dapat mengusai kulitnya saja, hanya berhasil menggunakan tenaga mujijat ini sepersepuluh bagian saja! Akan tetapi Keng Hong, dengan petunjuk kitab pusaka Thai-kek Sin-kun, dapat mengusai seluruhnya. Bagi orang yang tidak memiliki sinkang yang menciptakan daya sedot, betapapun saktinya orang itu seperti Sin-jiu Kiam-ong sekalipun, tidak dapat memiliki Thi-khi-I-beng biarpun telah membaca kitab peninggalan Thai Kek Couwsu ini.
Setahun lamanya Keng Hong melatih diri menurut petunjuk kitab itu dan kini di luar kesadarannya sendiri, dia telah memperoleh kemajuan yang jauh melampaui yang diperoleh Cui Im selama berlatih empat tahun! Setelah dia mempelajai kitab sampai habis dalam waktu setahun, mulailah dia merenung dan sering kali dia duduk di tepi jurang, memandang jarak yang didudukinya dan tepi jurang di seberang yang kini amat sunyi, tidak lagi terdengar suara ketawa Cui Im, tidak lagi tampak berkelebatnya bayangan merah pakaian gadis cantik dan genit itu. Ia mengerutkan keningnya kalau membayangkan betapa kini semua pusaka dibawa lari Cui Im, terutama sekali kalau membayangkan betapa gadis itu tentu akan melakukan perbuatan-perbuatan yang luar biasa sehingga menggegerkan dunia kang-ouw.
Betapa mungkin keluar dari tempat ini? Menyeberang ke sana tanpa jembatan, merupakan hal yang amat sukar.
***
Sukar? Bukankah suhunya dahulu sering mengatakan bahwa tidak ada hal yang sukar didunia ini? Ataukah dia yang bodoh? Juga gurunya pernah mengatakan bahwa tidak ada manusia pintar atau bodoh di dunia ini. Keng Hong memejamkan matanya, mengingat-ingat. Apapun yang dikatakan gurunya dahulu tentang sukar dan mudah ,tentang bodoh dan pintar? Ia ingat betapa dahulu dia membantah, kemudian betapa dia dapat menangkap inti sari wejangan itu dan dapat membenarkannya. Ah, dia ingat sekarang. "Di dunia ini tidak ada hal yang sukar maupun yang mudah, muridku. Juga tidak ada atau tidak tepatlah kalau disebut seseorang itu bodoh atau pun pintar. Biasanya, orang berpendapat sukar adalah pendapat orang bodoh dan mudah itu pendapat orang pintar. Sebetulnya tidak demikian. Tidak ada sukar , tidak ada mudah, tidak ada bodoh tidak ada pintar. Yang ada hanya MENGERTI dan BELUM MENGERTI. Yang mengerti tentu bisa dan kalau sudah bisa menjadi mudah. Yang belum mengerti tentu tidak bisa dan kalau belum bisa menjadi sukar. Jadi , tidak ada hal sukar di dunia ini selama orang mau belajar agar mengerti dan bisa. Kalau belum mengerti, carilah, pergunakan akal budi yang dianugerahkan kepadamu sebagai manusia. Segala hal pasti akan dapat diatasi!"
Demikianlah wejangan gurunya yang kini terngiang di telinganya. Cari,cari caranya! Tentu akan dia dapatkan! Biar dia terhalang jurang begini lebar, biarpun tampaknya amat sukar dan tidak ada jalan keluar, hal ini hanya karena dia BELUM MENGERTI jalannya maka harus dia cari sampai dapat!
Dengan landasan wejangan gururnya ini, sejak saat itu Keng Hong memutar otak, mencari akal bagaimana dia akan dapat keluar dari tempat itu. Menggunakan ilmu kepandaiannya melompati jurang, tidak akan mungkin. Hal seperti ini tentu hanya dapat dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam dongeng seperti Sun Go Kong atau Kauw cee Thian si raja kera putih dalam dongeng See-yu saja! Dapatkah gurunya melompati jurang selebar ini? Kiranya tidak mungkin. Dan bagaimana dengan Thai kek Couwsu? Dapatkah kakek yang dikatakan berkepandaian seperti dewa itu dapat melompati jurang ini? Kalau dapat bukan melompat namanya, melainkan terbang! Tidak masuk akal! Dia hanya mencari jalan, menggunakan akalnya. Manusia berakal budi, tidak seperti binatang yang talanjang. Manusia berpakaian...ah, pakaian..! Keng Hong memandang pakaian yang menutupi tubuhnya. Pakaian warna putih dari sutera yang dia ambil dari dalam peti. Agaknya peninggalan Thai kek Couwsu. Pakaian putih dari sutera halus dan amat kuat, lagi ulet dan kuat! Benar! Pakaian-pakaian putera, sutera ulet itulah!
Keng Hong berlari-lari memasuki kamar, membuka peti dan mengeluarkan semua pakaian sutera putih. Ia mengukur-ukur, kemudian merobek-robek semua pakaian itu, menjadi robekan-robekan kecil panjang, kemudian memilinnya menyambung-nyambung sehingga menjadi tali sutera yang panjang sekali, hanya sebesar kelingking akan tetapi amat ulet dan kuat!
Disambungnya terus sampai habis semua pakaian sutera putih yang kini berubah menjadi tali yang amat panjang. Disambungnya tali sutera ini dengan tambang yang masih setengah jarak jurang itu. Kemudian, dengan jantung berdebar dan hati berdoa kepada Thian, dia melontarkan ujung tambang yang ada kaitannya ke seberang setelah mengikatkan ujung tali sutera pada batu karang. Tenaga lontarannya amat kuat dan baja kaitan itu melayang ke seberang, tepat mengait pada batu di seberang. Tali sutera itu ternyata cukup panjang! Terbentanglah kini "jembatan" terbuat dari tabang disabung tali sutera! Keng Hong hampir berteriak-teriak saking girang hatinya. Akan tetapi dia menekan kegirangannya. Dia tidak mabuk kemenangan. Bahaya masih harus ditempuhnya. Sebelum sampai ke seberang, dia harus menyeberang melalui "jembatan' ini dan hal itu tidaklah semudah kalau menyeberang tambang seperti setahun yang lalu. Tapi sutera itu amat kecil lagi licin dan dia masih harus mempertaruhkan nyawanya karena kalau tali itu kurang kuat dan putus...! Akan tetapi tidak ada jalan lagi dan soalnya hidup selamanya di tepat itu, sampai mati sebagai seorang kakek tua renta dan kurus kering, mati kesunyian. Kalau dia menyeberang, andaikata gagalpun hanya akan menemui kematian. Akan tetapi kalau berhasil..!
Keng Hong menyelipkan Siang-bhok-kiam di ikat pinggangnya, menyembunyikan pedang itu di balik bajunya yang kebesaran ,baju sutera putih, satu-satunya yang tidak dia robek-robek untuk dijadikan tali penyeberang. Kitab Thai-kek Sin-kun dia masukkan dalam saku baju.
Setelah berdiri mengheningkan cipta di tepi jurang, menengadah dan di dalam hati mohon perlindungan Thian dan mohon bantuan arwah Thai-kek Couwsu dan dan Sin-jiu kiam-ong, Keng Hong lalu mengerahkan ginkangnya dan mulai melangkah menginjak tali sutera yang melintang jurang didepannya. Setelah kedua kakinya menginjak tali sutera dan merasa yakin bahwa tali itu cukup kuat, tidak bergoyang dan tubuhnya dapat berdiri tegak lurus, dia lalu mulai melangkah maju perlahan-lahan .Menurutkan hasrat hatinya yang ingin cepat-cepat sampai di seberang, ingin dia berlari cepat. Akan tetapi dia menyabarkan hatinya dan tetap menjaga keseimbangan tubuhnya tetap tegak sehingga jembatan itu tidak terlalu bergoyang dan tidak terlalu berat tubuhnya membebani tali sutera. Bahkan bernapas pun dia tahan sehingga napasnya panjang-panjang dan lambat. Seolah-olah jarak yang setahun lalu setiap hari ditempuhnya itu kini menjadi lima kali lebih panjang dari biasa! Seolah-olah tidak akan pernah sampai di seberang. Akan tetapi kakinya kini tidak menginjak tali sutera lagi, melainkan menginjak tambang, tanda bahwa jarak setengahnya telah dilalui.
Kini dia mempercepat langkahnya dan tak lama kemudian dia melompat ke tepi jurang di mana dahulu Cui Im berdiri mentertawakannya! Keng Hong menjatuhkan diri berlutut ke arah tempat di mana tadi dia mulai menyeberang, seakan -akan tadi dia hendak menghaturkan terima kasih atas bantuan arwah Thai Kek Couwsu dan Sin-jiu Kiam-ong. Memang sesungguhnyalah bahwa dia menerima bantuan kedua orang sakti itu, yaitu dengan mempelajari ilu-ilmu dari kedua orang sakti itu. Kalau dia tidak memiliki sinkang yang hebat, dan kalau ilmunya tidak diperdalam setahun lagi menurut petunjuk kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, terutama sekali kalau dia tidak menerima peninggalan pakaian sutera putih dari pendiri Kun-lun-pai itu, agaknya tidaklah secepat itu dia akan dapat menyeberangi jurang!
Dari pengalaman Keng Hong ini ternyatalah bahwa berharga atau tidaknya sebuah warisan.lebih luas lagi, berharga atau tidaknya sebuah benda, tergantung daripada pengetrapan penggunaannya. Kadang-kadang, benda yang biasanya dianggap tidak berharga, sekali waktu pada saatnya yang tepat amatlah dibutuhkan dan berubah menjadi benda yang amat berharga.
***
Sebaliknya, benda yang biasa dianggap amat berharga, jika tidak diperlukan akan menjadi benda yang sama sekali tidak ada harganya! Apa artinya segunung emas di padang pasir yang kering tiada airnya? Manusia yang hampir mati kehausan di situ akan dengan rela dan senang hati menukar setiap bongkah emas dengan seteguk air! Dalam halnya Keng Hong, setumpuk pakaian tua itu ternyata jauh lebih berharga daripada segala macam pusaka yang diperebutkan oleh tokoh kang-ouw seluruh dunia!
Keng Hong segera berlari memasuki lorong dan memeriksa semua ruangan. Tepat sekali yang dia duga, Cui Im lenyap dan demikian pula semua kitab peninggalan suhunya berikut tiga batang pedang pusaka , dan sebagian besar perhiasan-perhiasan yang paling indah. Wanita itu benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan unuk memuaskan nafsu ketamakannya!
Biarpun senjata-senjata pusaka di situ masih banyak , dan juga barang-barang berharga tersebut daripada emas perak dan permata, namun Keng Hong tidak ada sedikitpun niat di hatinya untuk membawa benda-benda pusaka itu. Ia hanya membawa pedang Siang-bhok-kiam dan kitab Thai-kek Sin-kun, kemudian dia terus keluar dari tempat itu melalui lorong atau terowongan kecil sambil merangkak, seperti ketika dia datang dahulu.
Masih teringat dia betapa Cui Im yang merangkak di belakangnya ketakutan, kadang-kadang memegang lengannya, kadang-kadang mendorong pinggulnya Keng Hong tersenyum. Betapapun marah dan bencinya kepada Cui Im, kalau teringat akan kelakukan gadis itu geli juga hatinya kadang-kadang.
Di ujung lorong, dia melihat batu-batu bertumpuk dan dia dapat menduga bahwa pintu yang menutup terowongan itu hancur kena gempuran batu-batu dari atas. Tadinya dia memikirkan bagaimana Cui Im akan dapat keluar dari tempat itu tanpa bantuan pedang Siang-bhok-kiam sebagai kunci. Akan tetapi ternyata bahwa batu yang menutupi lubang itu pecah-pecah, agaknya tertimpa batu dari atas dan tentu ketika keluar dari tempat ini,Cui Im telah membongkar batu-batu itu. Melihat banyaknya batu-batu itu, Keng Hong dapat membayangkan betapa sukarnya pekerjaan itu. Tentu akan waktu berhari-hari! Diam-dia dia tersenyum memikirkan betapa Cui Im dengan susah payah membongkar batu-batu yang menimbuni mulut terowongan, dan betapa pekerjaan susah payah itu tanpa disangka-sangka kini dipergunakan oleh Keng Hong yang dapat keluar tanpa bekerja sedikit pun!
Setelah keluar dari lubang dan berada dilereng batu pedang, Keng Hong menarik napas dalam. Angin gunung meniup mukanya dan dia memicingkan matanya terhadap sinar matahari. Hatinya terharu. Ia merasa seolah-olah hidup kembali !
Lima tahun lamanya dia berada di sebelah dalam batu pedang, seolah-olah telah terkubur di situ.
Dan setahun lamanya dia merasa telah terjebak tanpa ada jalan keluar. Kini dia telah berada di lereng batu pedang! Keng Hong mengangkat sebuah batu besar, sebesar kerbau sehingga lubang itu tertutup oleh tumpukan batu-batu besar. Kemudian dia mulai merayap turun dengan hati penuh kegembiraan dan dengan semangat tinggi. Tugas penting terbentang luas di depannya. Andaikata tidak ada Cui Im yang mengganggu, tentu sekarang dia telah membawa kitab-kitab dan pusaka-pusaka untuk di kembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Akan tetapi, semua pusaka itu telah dirampas oleh Cui Im, maka tugas utama dan pertama baginya adalah mencari Cui Im untuk merampas kembali benda-benda itu. Nama besar suhunya tetap akan tercemar dan tetap akan dimusuhi dunia kang-ouw sebelum benda-benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak. Akan tetapi sebelum mencari Cui Im dia akan pergi lebih dulu mengunjungi Kun-lun-pai untuk menyerahkan Thai-kek Sin-kun peninggalan pendiri Kun-lun-pai dan sekalian minta maaf atas segala kesalahannya yang lalu. Ia percaya bahwa fihak Kun-lun-pai, terutama sekali kiang Tojin, akan dapat memaafkannya, dan andaikata tidak, dia pun tidak gentar dan dia percaya bahwa tingkat kepandaiannya yang sekarang, dia akan dapat dengan mudah menyelamatkan diri! Dengan gembira Keng Hong lalu bersenandung, melagukan lagu ciptaannya ketika dia dahulu sering kali bermain suling sambil duduk di punggung kerbaunya, ketika di masih menjadi kacung Kun-lun-pai.
Keng hong mengira bahwa turunnya dari batu pedang tentu akan dihadang oleh orang-orang kang-ouw yang masih teringat akan semua pengalamannya lima tahun yang lalu. Memang, pengalaman-pengalaman yang paling pahit merupakan kenang-kenangan yang paling mengesankan! Ia mereka-reka dan merenungkan bagaimana dia akan menghadapi mereka yang pernah mengejar-ngejarnya lima tahun yang lalu. Setelah dia mengalami hal-hal yang pahit dengan Cui Im, kini dia dapat melihat bahwa dibandingkan dengan Cui Im, tokoh-tokoh kang-ouw itu tidaklah begitu jahat dan tamak. Cui Im tega melakukan hal-hal keji hanya terdorong semata-mata oleh nafsunya yang amat besar. Adapun para tokoh kang-ouw itu mengejar-ngejarnya dengan mempunyai dasar yang tentu saja mereka itu masing-masing mengangkapnya benar. Mereka yang memperebutkan pusaka peninggalan gurunya, merasa benar karena mereka itu telah di sakiti hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong dan merasa berhak menagih hutang itu dengan jalan memiliki pusaka peninggalannya. Adapun mereka yang mengejarnya untuk membunuh juga merasa benar karena mereka menaruh dendam kepadanya atas kematian murid-murid mereka.
Akan tetapi setelah dia tiba di bawah batu pedang, keadaan disitu sunyi saja, tidak tampak seorang pun manusia. Bahkan ketika dia meneliti dari tempat tinggi ini, melihat ke bawah ke sekililing puncak, tidak ada tampak bayangan manusia, sunyi sekali keadaan di situ. Ah, mungkin kini Kun-lun-pai telah melakukan penjagaan ketat, melarang semua orang asing mendatangi wilayah Kun-lun! Ia menuruni puncak Kiam-kok-san di mana markas Kun-lun-pai berada. Disepanjang jalan sunyi saja , tidak ada pula tampak tosu-tosu Kun-lun-pai melakukan penjagaan.
Tiba-tiba dia melihat segunduk tanah seperti kuburan orang, akan tetapi tidak ada batu nisannya dan sebagai gantinya terdapat sebongkah batu kasar yang ada tulisannya, diukir kasar, buruk dan berbunyi; DI SINI THIAN TI HWESIO MATI DI TANGAN ANG-KIAM BU-TEK. Ia terkejut. Thian Ti Hwesio adalah seorang di antara tokoh Siauw-lim-pai yang kitabnya dicuri Sin-jiu Kiam-ong. Hwesio itu lihai sekali, merupakan hwesio tingkat dua dari Siauw-lim-pai, Siapakah Ang-kiam Bu-tek (Pedang Merah Tanpa Tanding) itu? Tiba-tiba jantung Keng Hong berdebar, mukanya panas saking marahnya ketika dia teringat dan menduga keras bahwa Ang-kiam Bu-tek itu tentulah Ang-kiam Tok-sian -li Bhe Cui Im! Siapa lagi kalau bukan dia? Untuk dapat membunuh seorang seperti Thian Ti Hwesio haruslah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia tahu bahwa tingkat Cui Im sekarang amatlah hebat .
***
Dan julukan itu! Ang -kiam (Pedang Merah) adalah pedang gadis itu, dan agaknya dia membuang julukan Tok-sian-li (Dewi Racun) dan menggantinya menjadi Bu-tek (Tanpa Tanding). Dan memang dalam tingkatnya sekarang ini, Cui Im tidak memerlukan lagi bantuan racun untuk menghadapi lawan. Setiap pukulannya dengan sendirinya sudah merupakan tangan beracun yang amat ampuh, karena gadis itu mencampuradukkan ilmu dipelajarinya dari kitab-kitab peninggalan gurunya dengan ilmu yang diterimanya dari Lam-hai Sin-ni, tentu saja ilmu silat golongan sesat.
"Cui Im, kalau benar-benar engkau yang melakukan pembunuhan itu, aku akan menghajarmu!" gerutunya di dalam hati.
Ia berjalan terus dan di dalam hutan itu dia melihat sebatang pohon besar yang sebagian kulit batangya terbuka dan pada kayu pohon yang putih itu terdapat pula ukiran-ukiran huruf yang buruk kasar : DI SINI KIU-BWE TOANIO DIKALAHKAN ANG-KIAM BU-TEK. Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak salah lagi, tentu perbuatan Cui Im semua ini. Ukiran huruf-huruf itu demikian halus yang hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli pedang, sedangkan bentuk huruf-huruf itu sendiri amatlah buruknya yang hanya menunjukkan tulisan seorang setengah buta huruf seperti Cui Im.
Ia kini mengerti mengapa keadaan di situ begitu sunyi, mengapa tidak ada tokoh-tokoh kang-ouw yang menghadangnya. Kiranya mereka itu ada yang menghadangnya setahun yang lalu akan tetapi tentu saja mereka itu hanya berjumpa dengan Cui Im dan celakalah nasib mereka begitu bertemu dengan Cui Im yang bagaikan seekor harimau ganas dan kini telah bertambah sayap itu. Pemuda itu berjalan terus dan sebelum keluar dari hutan, kembali dia melihat gundukan tanah dan ternyata dari batu terukir disitu adalah Sin-to Gi-hiap yang mati di tangan Ang-kiam Bu-tek lagi! Keng Hong membanting kakinya dengan gemas. Entah siapa lagi yang dikalahkan atau dibunuh oleh Cui Im.. Dan mengapa semua pembunuhan ini terjadi di wilayah Kun-lun-pai tanpa campur tangan fihak Kun-lun-pai bersama puluhan orang tosu turun tangan, kiranya tidak akan begitu mudah bagi Cui Im untuk mengganas.
Keng Hong bergegas menuju ke puncak Kun-lun-pai dan mendaki puncak Kun-lun-pai dan mendaki puncak tertinggi pegunungan itu yang dijadikan arkas partai Kun-lun-pai. Tiba-tiba dia berhenti dan menyelinap di balik pohon ketika dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Cepat dia berindap-indap mempergunakan ginkangnya sehingga dia dapat menghampiri tepat suara dengn cepat namun tidak menimbulkan berisik. "Sudahlah, Totiang, jangan terlalu lama menahanku di sini, nanti suamiku tahu dan.." Terdengar suara wanita.
"Ha-ha-ha, suamimu yang lemah seperti cacing itu? Tahu juga bisa apa dia?Bukankah aku jauh lebih kuat dari suamimu yang kurus kering itu? Ha-ha-haa-ha-ha, jangan tergesa-gesa, Manis, kita bersenang-senang sampai sepuasnya...!"
Keng Hong terbelalak ketika mengintai di balik semak-semak dan melihat seorang tosu empat puluh tahun, murid Kun-lun-pai, memeluk seorang wanita muda yang melihat pakaiannya tentulah seorang wanita dusun. Wanita itu cukup manis dan sikapnya genit. Keng Hong terheran-heran. Betapa mungkin terjadi hal seperti ini? Seorang anak murid Kun-lun-pai bermain asmara dengan seorang wanita isteri penduduk dusun? Padahal sepanjang pengetahuannya, para tosu Kun-lun-pai memegang teguh pantangan mengadakan hubungan dengan wanita! Dan dalam hal itu, para pimpinan Kun-lun-pai memegang teguh peraturan dan berdisiplin keras sekali. Akan tetapi dia segera teringat akan Lian Ci Tojin yang dahulu memperkosa Tan Hun Bwee, maka hatinya menjadi khawatir. Melihat betapa Cui Im dapat mengganas di Kun-lun, dan kini melihat seorang anak murid Kun-lun-pai berani melanggar pantangan di tempat yang begitu dekat dengan markas Kun-lun-pai, bahkan dindingnya sudah tampak dari situ, membuat dia menduga bahwa tentu terjadi perubahan di Kun-lun-pai. Kemana perginya Kiang Tojin si orang kuat dari Kun-lun-pai ? Dan mengapa Thian Seng Cinjin, ketua Kun-lun yang sakti itu, menjadi begini lemah?
Keng Hong menyingkap semak-semak itu dan berkata nyaring, "Totiang, aku ingin bicara denganmu!" Lalu dia meloncat mundur, memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk membereskan apa yang perlu di bereskan.
Tosu itu meloncat bangun dengan pakaian kedodoran. Saking gugup dan kagetnya karena menyangka bahwa tentulah suami wanita itu yang datang dan menangkap basah penyelewengan isterinya, sampai sukarlah dia membereskan pakaian,Akan tetapi, dia segera mengangkat muka membusungkan dada. Suami wanita ini hanya seorang dusun, mau apakah? Ia lalu menarik tangan wanita yang menggigil dengan muka pucat itu keluar dari semak-semak dan langsung berteriak-teriak.
"Petani busuk! Pinto sedang berusaha mengusir keluar siluman yang mengganggu isterimu, mengapa kau menganggu..?" Akan tetapi tosu itu menghentikan kata-katanya dan melongo memandang ke arah Keng hong yang tersenyum-senyum geli, sedangkan wanita itu tersipu-sipu malu dan menundukkan mukanya,akan tetapi dengan hati lega karena ternyata pemergok itu bukan suaminya.
"Totiang, engkau bukan mengeluarkan siluman, sebaliknya malah memasukkan setan!" Keng Hong tertawa geli, membuat tosu itu merah mukanya saking malu dan marah.
"Engkau...? Bukankah engkau ini pemuda setan itu..? Celaka, benar engkaulah orangnya !" Tosu itu lalu menerjang maju mengirim pukulan ke arah dada Keng Hong yang diterima oleh pemuda itu dengan mulut tersenyum.
"Krekkk! Auugggh!"Tosu itu meringis kesakitan sambil memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya di dekat pergelangan tangan. Ia marah sekali dan mengirim tendangan dengan kaki kiri, menendang ke arah bawah pusar Keng Hong. Pemuda ini tetap tidak menangkis atau mengelak, hanya menekuk sedikit kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah dan tendangan itu mengenai pusarnya,
"Krakkkk! Aduuuu-du-duuuuhhh…!!" Tosu itu kini mengangkat kaki kirinya ke atas, memegangi dengan tangan kiri dan berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan sambil mengaduh-ngaduh dan mendesis-desis kesakitan karena tulang-tulang jari kakinya remuk-remuk!
Wanita itu menggigil dan menahan jerit dengan menutupkan tangan di depan mulut. Keng Hong memandang kepadanya dan berkata halus, "Engkau pulanglah cepat sebelum terlihat suamimu." Mendengar ini, wanita itu lalu menggerakkan kakinya berlari menuruni gunung tanpa berani menoleh lagi. Dari belakng tampak sepasang buah pinggulnya bergerak-gerak seperti menari-nari dan Keng Hong tertawa, mengenal seorang wanita hamba nafsu berahi, seperti Cui Im!
"Totiang, sekarang ceritakanlah dengan sejelasnya keadaan Kun-lun-pai atau jawab terus terang kalau Totiang tidak ingin tulang-tulang Totiang patah-patah dan remuk semua. Nah, kumulai. Di manakah adanya Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai.
***
Tosu itu agaknya menjadi lapang dadanya. Tadinya dia mengira akan ditanya mengenai perhubungannya dengan wanita dusun itu. Ia lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tangan kirinya sibuk mengelus-ngelus secara bergantian tangan kanan dan kaki kirinya yang patah-patah tulangnya sehingga rasa nyeri berdenyut-denyut sampai menembus ubun-ubun dan jantung.
"Mengapa engkau menanyakan beliau? Thian Seng Cinjin kakek guruku itu telah meninggal dunia setahun yang lalu..."
Keng Hong terkejut, teringat akan Cui Im yang meninggalkannya setahun yang lalu. "Apa..? Siapa pembunuhnya...?
Sambil meringis tosu itu berkata, "Tidak ada yang membunuh, mati karena usia tua."
"Ahhh!" Lapang rasa dada Keng Hong. "Dan Kiang Tojin di mana?"
"Kiang-supek (uwak guru Kiang)? Ah, dia telah menjadi seorang hukuman di dalam ruangan hukuman murid-murid Kun-lun-pai!"
"Apa? Siapa yang menghukumnya?"
"Tentu saja ketua kami.."
"Siapa ketua Kun-lun-pai?"
"Dia? Eh, dia guru pinto.."
Keng Hong menjadi marah mendengar bahwa Kiang Tojin, tokoh utama di Kun-lun-pai sesudah Thian Seng Cinjin dihukum di Kun-lun-pai. Mendengar jawaban-jawaban singkat ini, dia lalu menggerakkan tangannya dan dicengkeramnya pundak tosu itu. "Jangan main-main. Hayo lekas ceritakan siapa gurumu itu!"
"Aduhhh…. Ampun..., guru pinto adalah Sian Ti Tojin.."
"Aahhhh..!" Keng Hong teringat kepada dua orang tosu itu, Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin.
"Hayo cepat ceritakan apa yang telah terjadi! Ceritakan seluruhnya kalau kau tidak ingin semua tulangmu kupatahkan!" Keng Hong mengancam.
"Ah, Keng Hong. eh, Taihiap…. Kasihanilah pinto, tidak ingatkah engkau betapa dahulu aku baik sekali kepadamu….?" Keng Hong tidak ingat lagi kepada tosu ini karena tosu Kun-lun-pai amat banyak, akan tetapi harus dia akui bahwa dahulu ketika dia menjadi kacung di Kun-lun-pai, semua tosu bersikap baik kepadanya. "Aku tidak akan mengganggumu asal saja kau suka bercerita sejujurnya tentang apa yang telah terjadi setelah Thian Seng Cinjin meninggal dunia dan apa yang menyebabkan Kiang Tojin sampai dihukum."
Sambil menahan rasa nyeri di tubuhnya, tosu itu lalu bercerita, "Setelah kakek guru meninggal dunia setahun yang lalu, terjadilah perebutan kedudukan ketua di antara tujuh orang muridnya. Terutama sekali yang berebut adalah Kiang Tojin di satu fihak dan suhu Sian TI Tojin bersama susiok Lian Ci Tojin di lain fihak. Empat orang paman guru yang lain berfihak kepada suhu, karena menurut anggapan semua murid Kun-lun-pai, Kiang-supek terlampau keras dan bengis terhadap anak murid Kun-lun-pai!"
"Hemmm, kurasa Kiang Tojin berada di fihak yang benar karena beliau adalah murid tertua, bahkan tadinya mewakili Thian Seng Cinjin. Aku yakin pula Kiang Tojin tidak akan kalah, biarpun menghadapi enam orang sutenya."
"Memang tadinya tidak kalah. Perebutan kedudukan itu menjadi pertandingan dan tidak seorang pun di antara suhu dan para susiok dapat mengalahkan Kiang-supek yaang amat lihai, akan tetapi."
"Akan tetapi apa? Hayo lanjutkan!"
"Selagi suhu dan para sutenya terdesak oleh Kiang-supek, tiba-tiba muncul Ang-kiam Bu-tek..."
"Apa? Bagaimana? Teruskan..!" Kali ini Keng Hong benar-benar terkejut sekali mendengar munculnya Cui Im di Kun-lun-pai.
"Wanita cantik jelita itu sungguh hebat! Hebat bukan main! Tidak hanya hebat kecantikannya, hebat bentuk tubuhnya, akan tetapi hebat pula ilmu pedangnya sehingga Kiang-supek terluka begitu dia turun tangan membantu suhu dan para susiok. Kiang-supek terluka dan terpaksa menyerah, lalu dihukum dan suhu diangkat menjadi ketua Kun-lun-pai, sedangkan Lian Ci susiok amat beruntung, selain menjadi wakil ketua juga agaknya dapat bersahabat baik sekali dengan wanita yang seperti bidadari itu."
"Katakan mengapa wanita itu mebantu suhumu menentang Kiang Tojin."
"Ketika itu dia memaki-maki Kiang-supek, mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu Kiang-supek pernah menangkapnya dan hal itu dianggap penghinaan maka dia datang membalas dendam dan merobohkan Kiang-supek. Dia hebat sekali dan."
Akan tetapi tubuh Keng Hong sudah berkelebat lenyap dari depan tosu itu yang saking kagum dan herannya sampai melongo, lupa akan rasa nyeri tubuhnya.
Akan tetapi setelah keheranannya mereda, kaki tangannya yang patah tulangnya itu senut-senut, rasa nyeri menyusup tulang sumsum sehingga dia merintih-rntih lalu merangkak karena tak dapat berjalan.
Keng Hong yang menjadi amat marah mendengar betapa Kiang Tojin dirobohkan Cui Im yang membantu tosu-tosu sesat macam Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, berlari cepat sekali mendaki puncak menuju ke dinding Kun-lun-pai yang sudah dekat dari tempat itu. Dia harus menolong Kiang Tojin, apapun yang terjadi, sebagai pembalasan atas segala kebaikan Kiang Tojin kepadanya. Karena kini ginkang yang dimiliki Keng Hong sudah mencapi tingkat tinggi sekali, maka tak lama kemudian dia telah tiba di pintu gerbang dinding tebal Kun-lun-pai yang terjaga oleh beberapa orang tosu.
Munculnya Keng Hong menggegerkan para tosu yang segera mengenal pemuda berpakaian putih ini, dan cepat nmereka bersiap untuk menyerang sedangkan seorang penjaga cepat-cepat lari masuk untuk menyampaikan pelaporan mengenai munculnya pemuda yang sudah dikabarkan mati itu.
"Totiang sekalian, aku datang bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, aku hanya ingin bertemu dan bicara dengan Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin!" Keng Hong berkata dengan suara nyaring. "Kamu tunggu di luar! Tidak boleh kamu masuk mengotorkan dan mencemarkan lantai Kun-lun-pai dengan kakimu yang kotor!" bentak seorang tosu.
Keng Hong memandang ke arah kedua kakinya yang tak bersepatu dan memang kotor, lalu dia menjawab, "Kaki kotor mudah saja dibersihkan dengan air, Totiang. Akan tetapi hati yang kotor sukar dicuci bersih! Apalagi kalau orang itu tidak merasa betapa kotor hatinya!"
"Wah, masih saja amat sombong bocah ini!" teriak para tosu yang tetap melarang Keng Hong melewati pintu gerbang Mereka sudah berbaris menghadang di pintu dengan senjata mereka ditodongkan, siap untuk menyerang apabila Keng Hong memaksa. Diam-dia pemuda itu mengeluh. Betapa banyaknya perubahan pada partai Kun-lun-pai yang tadinya merupakan partai besar itu, merupakan temapat bertapa para tosu yang kasar dan galak ini, kelakuan tosu yang dia patahkan tulang kakinya, lebih pantas menjadi kelakuan dan sikap anak buah perampok! Dalam waktu lima tahun saja, alangkah banyaknya perubahan terjadi di Kun-lun-pai.
Keng Hong menjadi makin penasaran dan dia berkata dengan suara tegas, "Totiang sekalian, Keng Hong bukanlah seorang yang tak mengenal budi dan aku telah berhutang budi diantara semua tosu di Kun-lun-pai, terutama sekali kepada Kiang Tojin aku berhutang budi. Ku harap Totiang sekalian suka melaporkan kepada Sian To Tojin dan Lian Ci Tojin karena aku hendak bicara dengan mereka. Aku tidak ingin menggunakan kekerasan terhadap Kun-lun-pai, akan tetapi kalau Totiang sekalian mencegah aku dengan kekerasan, apa boleh buat, aku akan memaksa masuk!"
Dengan pandang matanya yang tajam Keng Hong dapat melihat bahwa yang bersikap keras dan memandang kepadanya dengan sinar mata menentang hanya beberapa orang saja, sedangkan yang lain-lain ketika dia menyebut nama Kiang Tojin sudah menundukkan pandang mata mereka seolah-olah mereka menyimpan atau menyembunyikan perasaan hati mereka. Namun Keng Hong sudah awas dan maklum bahwa sebagian besar para tosu yang menjadi anak murid Kun-lun-pai ini masih setia kepada Kiang Tojin, hanya karena mereka bertekun dan takut kepada ketua dan wakilnya yang baru, terutama kepada Sian Ti Tojin yang merupakan orang ke dua sesudah Kiang Tojin, maka mereka terpaksa tunduk kepada perintah kedua orang tosu yang memegang pimpinan baru di Kun-lun-pai itu. Keng Hong sudah bersiap-siap untuk menggunakan kepandaiannya merobohkan mereka yang bersikap keras dan melewati mereka yang pandang matanya ragu-ragu, dan para tosu itu pun sudah siap mengeroyoknya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Mundurlah kalian semua!"
Semua tosu merangkapkan kedua tangan dan mundur ke kanan kiri, memberi jalan orang yang meneriakkan perintah itu. Tampak oleh Keng Hong dua orang tosu dan dia menahan ketawanya.
Geli dan mengkal hatinya melihat lagak dua orang tosu yang dikenalnya sebagai Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin ini, yang berjalan dengan dada membusung, sedangkan di belakang kedua orang ini tampak empat orang tosu tokoh Kun-lun-pai murid Thian Seng Cinjin. Kalau tidak ada Kiang Tojin, maka Sian Ti Tojin sebagai murid kedua dari Thian Seng Cinjin memang merupakan tokoh tertua dan terpandai. Akan tetapi Lian Ci Tojin hanya merupakan murid ke lima. Mengapa Sian Ti Tojin memilih dia sebagai wakil ketua, tidak sute-sutenya yang menjadi murid ke tiga dan ke empat? Hal ini mudah dimengerti melihat keakraban mereka dan kecocokan mereka dalam menghadapi KiangTojin pada waktu-waktu yang lalu.
Sian Ti Tojin memakai pakaian kebesaran ketua Kun-lun-pai, dengan jubah pendeta bersulam benang perak, kepalanya memakai pelindung kepala yang indah dan membuat wajahnya tampak angker. Tangannya memegang sebatang tongkat yang dikenal oleh Keng Hong sebagai tongkat milik Thian Seng Cinjin, yang agaknya menjadi tanda pangkat ketua Kun-lun-pai! Adapun Lian ci Tojin membuat hati Keng Hong lebih panas lagi. Tosu ini berpakaian indah dan juga tersulam benang perak dan yang menggelikan adalah rambutnya yang licin mengkilap oleh minyak, wajahnya terpelihara seperti wajah seorang pria muda pesolek, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah. Kedua orang tosu ini memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh selidik.
Sedangkan sikap empat orang tosu lainnya masih biasa saja, namun mereka mengerutakan kening dan siap mempertahankan Kun-lun-pai jika pemuda ini kembali hendak mendatangkan kekacauan.
"Cia Keng Hong, kiranya engkau yang datang menghadap?" berkata Sian Ti Tojin dengan suara halus. "Kami bersyukur kepada Thian bahwa engkau ternyata masih hidup, tidak mati seperti disangka semua orang!"
Keng Hong menjawab dengan hornat, "Terima kasih atas kebaikan totiang."
"Keng Hong, engkau pernah menjadi kacung Kun-lun-pai.Suheng kini menjadi ketua Kun-lun-pai, sepatutnya engkau memberi hormat dan menyebutnya locianpwe," kata Lian Ci Tojin. Keng Hong diam-diam dapat membedakan watak kedua orang ini. Sian Ti Tojin memperlihatkan sikap halus lembut, sikap yang sepatutnya dimiliki seorang ketua partai besar. Namun sikap Lian Ci Tojin membayangkan kekerasan dan suka membanggakan kekerasan dan suka membanggakan kekuasaan. "Tidak mengapa, memang orang muda kurang pengalaman dan kurang pengertian tentang tatacara. Cia Keng Hong, ada keperluan apakah engkau muncul di sini? Apakah engkau datang untuk mohon maaf atas kelakuanmu dahulu yang membikin kacau dan rugi nama besar Kun-lun-pai? Ataukah engkau akan menebus kesalahan menipu kami dengan memberikan pedang palsu dan kini hendak menyerahkan Siang-bhok-kiam yang tulen?" suara Sian Ti Tojin tetap halus dan sikapnya tenang sekali.
"Tidak sama sekali, Totiang." Keng Hong tetap menyebut totiang kepada ketua baru yang di dalam hatinya tidak dia akui ini sambil melirik ke arah Lian Ci Tojin. Yang mulai merah mukanya. "Aku datang untuk menghadap Kiang Tojin. Di manakah Kiang Tojin? Harap suka mohon beliau keluar untuk menerima aku datang menghadap beliau." Cara Keng Hong bicara jelas membayangkan bahwa kita menempatkan Kiang Tojin ditingkat lebih tinggi daripada Sian Ti Tojin yang kini menjadi ketua. Hal ini dirasakan oleh semua tosu dan mereka semua memandang dengan hati tegang.
"Cia keng Hong! Kiang Tojin tidak dapat menemuimu pada saat ini. Semua urusan yang hendak kau kemukakan boleh kau sampaikan kepada pinto sebagai ketua Kun-lun-pai," kata Sian Ti Tojin.
"Kenapa Kiang Tojin tidak dapat menemuiku? Apakah beliau sakit? Aku mendengar berita bahwa Thian Seng Cinjin locianpwe telah meninggal dunia. Sepanjang pengetahuanku, bukankah Kiang Tojin dahulu dan menjadi calon ketua Kun-lun-pai?"
"Cia Keng Hong! Engkau tetap bocah lancang seperti dahulu! Siapakah engkau ini yang usil dan hendak mencampuri urusan dalam Kun-lun-pai?
Keng Hong menjawab dengan hormat, "Terima kasih atas kebaikan Totiang."
"Hemm, Lian Ci Totiang, memang aku tetap bocah yang dulu, dan kalau perlu, penting juga bersikap lancang. Aku tidak mencampuri urusan dalam Kun-lun-pai.
Setelah kini Thian Seng Cinjin meninggal, mengapa beliau tidak menjadi ketua,bahkan tidak diperbolehkan menemuiku? Apakah beliau telah menjadi orang yang tidak bebas lagi? Apakah beliau kalian hukum?"
Para tosu memandang pemuda itu dengan mata terbelalak. Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin sejenak saling bertukar pandang, kemudian Sian Ti Tojin mengetukkan tongkatnya pada tanah dengan lagak seorang ketua yang kehilangan kesabaran, akan tetapi suaranya tetap halus.
"Cia keng Hong, engkau bukan anak murid Kun-lun-pai dan sesungguhnya tidak berhak untuk mengetahui urusan dalam Kun-lun-pai. Akan tetapi mengingat bahwa engkau adalah bekas kacung kami, dan mengingat hubungan antara engkau dan Kiang-suheng, baiklah kau ketahui urusan dalam yang semestinya menjadi rahasia perkumpulan kami. Setelah suhu meninggal, terjadilah perbedaan pendapat antara Kiang-suheng dan kami. Seperti sudah lazim, perbedaan pendapat dalam penggantian ketua ini diselesaikan dengan cara kami, yaitu menguji kepandaian. Dia yang paling pandai berhak menjadi ketua. Karena Kiang-suheng menggunakan kekerasan, kami bertanding, pinto menang dan menjadi ketua sedangkan Kiang-suheng karena berdosa telah memancing keributan dan pertentangan antara saudara sendiri, diwajibkan menebus dosa di ruangan.." Sampai di sini Sian Ti Tojin berhenti, merasa sudah terlalu banyak bicara.
Di ruangan menebus dosa atau ruangan hukuman! Aku sudah tahu, Sian Ti Tojin, dan aku tahu pula bahwa ruangan itu disediakan bagi para tosu yang telah melakukan pelanggaran, baik pelanggaran, baik pelanggaran hukuman perikemanusiaan. Para tosu yang memperkosa gadis orang dan yang bersekutu dengan orang lain untuk menjatuhkan saudara sendiri pun termasuk pelanggaran-pelanggaran yang harus dihukum, bukan?"
Ucapan Keng Hong ini membuat wajah para tosu anak murid Kun-lun-pai menjadi pucat. Sian Ti Tojin menggerakkan kepala ke belakang dan matanya menyinarkan kemarahan yang tak tertutupinya lagi. "
“Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?"
Keng Hong tersenyum ketika melihat ke arah Lian Ci Tojin dan melihat tosu ini pucat mukanya dan meraba gagang pedang di punggung, lalu berkata, "Aku tidak bermaksud mencampuri urusan Kun-lun-pai. Aku tidak peduli apakah Kiang Tojin kalian hukum atau kalian apakan asal saja memang sudah semestinya demikian dan tidak ada yang yang melanggar kebenaran dan keadilan. Aku datang hanya untuk bertemu dengan KiangTojin."
"Bocah sinting, minggat kau dari sini!" bentak Lian Ci Tojin sambil menyerang pedangnya, ditusukkan ke arah dada Keng Hong dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Dia tidak takut menghadapi Keng Hong karena selama lima tahun ini dia dan terutama suhengnya telah menggembleng diri agar kuat mempertahankan kedudukan mereka sebagai ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai.
"Hemmm, gerakanmu cukup baik, akan tetapi kurang isi karena kau kotori dengan watak dengki, kejam dan penuh kebencian, Lian Ci Tojin," kata Keng Hong sambil mengelak dengan amat mudahnya. Dia tidak banyak bergerak hanya miringkan tubuh tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya. Melihat betapa tusukannya hanya lewat saja di dekat dada Keng Hong, Lian Ci Tojin membalikkan pergelangan tangannya dan kini pedang itu membabat turun memenggal atau membacok ke arah pinggang. "Plakkk!" Keng Hong melangkah mundur dan mengangkat kakinya, menampar pedang itu dari samping dengan tendangan kakinya. Kelihatannya perlahan saja dia menendang, namun pedang itu hampir terlepas dari pegangan Lian Ci Tojin yang ikut terpental dan berputar setengah lingkaran. Ketika dia memandang, Keng Hong telah meloncat jauh melampaui kepala para tosu.
"Kejar dia! Jangan perbolehkan dia masuk! Bentak Sian Ti Tojin yang meloncat pula dengan gerakan cepat sekali, seperti melayang melampaui kepala anak buahnya. Akan tetapi dia tercelik karena Keng Hong tidak terus meloncat ke dalam, melainkan menyambar balok atap dan mengayun tubuhnya mencelat ke atas genteng. "Ha-ha-ha, Sian Ti Tojin, engkau sudah pucat ketakutan, khawatir rahasiamu terbuka. Haa-ha-ha, betapa memalukan rahasia itu. Engkau merampas kedudukan ketua dari tangan suhengmu sendiri, sama sekali bukan mengandalkan kepandaian, sama sekali bukan karena engkau lebih lihai daripada Kiang Tojin, melainkan karena engkau dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat, dibantu oleh Ang-kiam Tok Sian-li Bhe Cui Im yang dahulu menjadi murid Lam-hai Sin-ni dan yang kini memakai julukan Ang-kiam Bu-tek. Eh, Lian Ci Tojin, bukankah engkau telah menjadi sahabat baiknya? Dia manis sekali, bukan? Apakah engkau suka mencium tahi lalat merah di tubuhnya? Ha-ha-ha!" Entah bagaimana, dalam kemarahannya ini Keng Hong tidak menyadari bahwa dia bersikap gembira dan nakal, tidak menyadari bahwa kini dia telah bersikap persis seperti sikap Sin-jia Kiam-ong di waktu muda.
Dia ingat bahwa di tubuh Cui Im terdapat sebuah tahi lalat merah, maka dia sengaja mengejek Lian Ci Tojin yang dia dapat menyangka tentu melayani gadis cantik dan lihai itu dalam bermain asmara, karena biarpun usianya sudah empat puluh lima puluh lebih, mungkin lima puluh tahun, tosu ini termasuk seorang pria yang gagah dan tampan. Apalagai kalau dia ingat betapa Lian Ci Tojin kurang kuat menahan nafsunya sehingga sampai hati melakukan pemerkosaan terhadap seorang, yaitu Tan Hun Bwee.
"Binatang kurang ajar!" Lian Ci Tojin dalam kemarahannya karena terdorong malu, membuat gerakan dengan kedua kakinya, memutar tubuh dan kedua lengan kemudian secara tiba-tiba sekali tangan kanannya sudah melontarkan pedangnya yang meluncur seperti anak panah, lebih cepat lagi malah, menuju ke perut Keng Hong. Pedang itu berubah menjadi sinar terang saking lajunya, dan mengeluarkan suara berdesing.
Keng Hong setelah mempelajari kitab Thai kek Sin-kun peninggalan Thai Kek Couwsu yang merupakan inti sari ilmu silat Kun-lun-pai, mengenal gerakan itu, dan cepat dia melompat ke samping sambil menyambar pedang itu dengan kedua jari tangan telunjuk dan jari tengah, mengepitnya, kemudian meloncat turun kembali. Enam orang murid thian Seng Cinjin terkejut dan melongo. Yang diperlihatkan Keng hong dalam menyambut pedang yang disambitkan tadi adalah jurus Yan-cu-phok-li (Burung Walet Menyambar Ikan), jurus yang khusus dalam ilmu silat Kun-lun-pai untuk menghadapi serangan yang khusus pula, yaitu penyambitan pedang yang disebut jurus terakhir Sin-lion-hian -bwe (Naga Sakti Mengulur Buntut).
"Hemmm, Lian Ci Tojin, betapapun kejam dan ganas hatimu, namun jurus Sin-liong-hian-bwe ini masih jauh dari pada sempurna. Melontar pedang menuju sasaran barulah tepat kalau pencurahan perhatian memusat pada satu titik, akan tetapi pikiranmu sudah banyak bercabang, di antaranya bercabang pada kedudukan, pada kemewahan, dan terutama sekali bercabang kepada kulit kuning wajah cantik!
Kau lihatlah baik-baik dan baru tahu bahwa sesungguhnya Sin-liong-hian-bwe dari Kun-lun-pai amatlah lihainya!" Keng Hong yang berada di atas genteng itu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya berputar seperti yang dilakukan Lian Ci Tojin tadi, kemudian dia melontarkan pedang yang ditangkapnya tadi ke arah Lian Ci Tojin. Pedang itu meluncur bagaikan kilat menyambar, tidak mengeluarkan bunyi akan tetapi justeru tidak berbunyi inilah yang amat lihai. Dapat menyambitkan pedang sedemikian cepatnya tanpa pedang itu mengeluarkan bunyi, benar-benar merupakan kemahiran dan tingkat yang terlalu tinggi bagi para murid Thian Seng Cinjin. Lian Ci Tojin kaget bukan main. "Celaka …!" serunya dan dia cepat menggunakan gerakan yan-su-phok-hi untuk menghindarkan diri. Ia meloncat, membalik dan tangannya bergerak, bukan untuk menjepit pedang karena kecepatan pedang itu membuat tosu ini jerih untuk menjepitnya dengan dua jari tangan, maka sebagai gantinya dia menggebut pedang itu dengan itu menyambar terlalu cepat dan ketika dia kebut dengan ujung lengan bajunya Akan tetapi pedang itu menyambar terlalu cepat dan ketika dia kebut dengan ujung lengan baju, masih meluncur terus bahkan ujung lengan bajunya yang buntung.
"Aihhh...!" Lian Ci Tojin menjadi pucat melihat pedang itu tadi telah menyambar dan membabat putus segumpal rambutnya dan kini rambut segumpal bersama kain dengan lengan baju sepotong yang tadi terbabat dan menyangkut pada gagang pedang, tampak di atas tanah, tertikam pedang yang amblas sampai ke gagangnya ke dalam tanah!
Gegerlah para tosu menyaksikan hal ini, terutama sekali enam orang pimpinan Kun-lun-pai menjadi pucat mukanya. Mereka maklum bahwa pemuda itu kini telah menjadi orang yang lihai sekali dan amatlah berbahaya bagi Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin kalau tidak segera dibinasakan.
"Kejar! Kepung! Bunuh!" Sian Ti Tojin berseru keras dan semua tosu yang mentaati perintahnya telah mengepung tempat itu dan siap untuk meloncat naik ke atas genteng mengeroyok Keng Hong
"Heh, para tosu Kun-lun-pai, dengarlah baik-baik!" Keng Hong berteriak dan karena pemuda ini menggunakan tenaga khikang, maka suaranya menggetarkan jantung semua tosu, terasuk tokoh-tokohnya sehingga mereka terkejut sekali, bahkan beberapa orang anak murid Kun-lun-pai yang masih belum kuat benar sinkangnya, kedua kaki mereka menjadi lemas dan mereka roboh terguling begitu mendengar suara Keng Hong yang mengandung getaran khikang yang amat kuatnya itu. "Menurut aturan sesungguhnya Kiang Tojin yang patut menjadi ketua Kun-lun-pai, selain beliau adalah murid tertua mendiang Thian Seng Cinjin, juga memiliki tingkat kepandaian tertinggi dan mempunyai pula sifat-sifat yang berdisiplin , bijaksana, berpemandangan luas. Akan tetapi kedudukan ketua telah dirampas oleh Sian Ti Tojin secara curang, yaitu menggunakan bantuan seorang iblis betina golongan sesat. Kalau kalian insyaf, demi menjaga nama besar Kun-lun-pai, bebaskan Kiang Tojin dan angkat beliau sebagai ketua! Aku tidak ingin mencampuri urusan Kun-lun-pai, hanya memberi nasihat mengingat bahwa aku pernah hidup di sini. Sekarang, aku ingin berjumpa dan bicara dengan Kiang Tojin. !"
Dari atas genteng Keng Hong dapat melihat jelas betapa pada wajah sebagian besar para tosu Kun-lun-pai tampak keraguan dan bahkan persetujuan dengan anjurannya itu, maka berisiklah keadaan di bawah itu karena para tosu saling berbisik-bisik.
"Diam semua! Siapa hendak memberontak akan kubunuh dengan tongkatku ini!" Sian Ti Tojin membentak dan diamlah para tosu itu. "Hayo kalian membantu pinto menangkap dan membunuh pengacau Kun-lun-pai itu!"
Para tosu kembali menjadi berisik sekali dan mereka itu, seperti rombongan semut diganggu bersiap untuk mengeroyok Keng Hong.
***
"Tahan semua..!" Tiba-tiba terdengar nyaring dan sesosok tubuh berkelebat naik ke atas genteng. Tahu-tahu Kiang Tojin telah berdiri di depan Keng Hong! "Cia Keng Hong, engkau pengacau terbesar di dunia! Mau apa engkau hendak berjumpa dengan pinto? Masih ada muka untuk bicara dengan pinto? Bicara apa lagi?" Kiang Tojin membentak Keng Hong dengan sikap keren dan mata memancarkan kemarahan.
Keng Hong memandang tosu penolongnya itu dan hatinya terharu. Pakaian tosu ini kumal dan robek-robek, rambut kusut, wajahnya pucat dan tubuhnya kurus sekali. Kedua lengannya diborgol pada pergelangan tangan. Yang masih tetap tampak bersemangat bahkan kini lebih tajam sinarnya adalah sepasang mata kakek ini. Keng Hong cepat menjura dengan penuh hormat dan menjawab.
"Totiang, mohon maaf atas kelancangan saya.Akan tetapi saya mendengar bahwa Totiang dicurangi, bahkan dihukum dan saya datang dengan maksud membantu.."
"Pinto tidak membutuhkan bantuanmu, Keng Hong. Dan tentang urusan kedudukan ketua Kun-lun-pai, tongkat ketua telah di tangan suteku Sian Ti Tojin, juga urusan dalam Kun-lun-pai. Engkau tidak berhak..."
"Kalau saya tidak berhak mencampuri, mengapa Ang-kiam Bu-tek mencampurinya dan membantu mereka yang merampas kedudukan Totiang?"
Tiba-tiba sepasang mata itu menjadi makin bersinar marah. "Perempuan itu! Tidak menyebutnya masih tidak mengapa, akan tetapi setelah menyebutnya, betapa... tidak punya malu engkau, Cia keng Hong!"
"Eh, apakah maksud Totiang ?"
Tosu tua itu memandang Keng Hong dengan kepala dikedikkan ke belakang matanya memandang setengah terkatup dan cuping hidungnya bergetar. "Cia Keng Hong, engkau menolak permintaan banyak tokoh kang-ouw gagah perkasa yang menginginkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.
Andaikata engkau mengkhianati gurumu dan menyerahkan pusaka itu kepada para tokoh kang-ouw yang akan mempergunakan untuk perjuangan membela kebenaran dan keadilan, itu sih masih tidak mengapa. Akan tetapi engkau telah menyerahkan pusaka gurumu kepada seorang wanita seperti murid Lam-hai Sin-ni! Cia Keng Hong , kemana larinya kesadaran dan kebijaksanaanmu?"
"Saya tidak menyerahkan ,melainkan dia yang telah mencurinya. Kiang-totiang, mengapa Totiang membiarkan pengaruh jahat menyelundup ke Kun-lun-pai? Apakah sudah tepat kalau Totiang mengalah dan menerima dihukum begitu saja dan membiarkan Kun-lun-pai melalui jalan yang menuju ke arah penyelewengan? Apakah pertanggungan jawab Totiang terhadap Kun-lun-pai, terhadap Thai Kek Couwsu pendiri Kun-lun-pai? Kemana larinya kesetiaan Totiang terhadap Kun-lun-pai?"
"Cia Keng hong, tutup mulutmu dan jangan mencampuri urusan Kun-lun-pai. Pinto sudah dikalahkan, tongkat ketua telah dirampas, mau berkata apa lagi? Biarlah, ini adalah urusan pribadi pinto sendiri!"
"Demikian pula, urusan peninggalan harta pusaka suhu adalah urusan pribadi saya, Totiang. Tidak perlu orang lain memusingkannya. Sekarang, saya pun tidak mau mencampuri urusan Totiang dengan Kun-lun-pai, akan tetapi saya ingin menyampaikan pesan Thai Kek Couwsu kepada Totiang."
"Iiiihhhh...!!!" Terdengar seruan-seruan kaget dari para tosu di bawah genteng. "Keng Hong, apa yang kau katakan ini? Keng Hong, bocah yang sejak dahulu pinto anggap sebagai putera sendiri. Ah, benarkah engkau begini kejam, selain selalu mendatangkan rasa kecewa, kini malah berani menggunakan nama Couwsu untuk main-main di depan pinto?" Kiang Tojin memandang dengan muka sedih dan suara gemetar.
Keng Hong terharu sekali dan menjatuhkan diri berlutut. "Tidak, Totiang, saya mana berani mempermainkan Totiang yang saya junjung tinggi dan yang tak pernah saya lupakan budi Totiang yang amat besar terhadap saya?
Saya telah menemukan rangka Thai kek Couwsu, bahkan saya telah menyempurnakannya dengan membakar rangkanya dan menyebarkan abunya di atas lereng batu pedang." "Siancai.. siancai.. siancai...!" Terdengar Kiang Tojin dan para tosu berdoa sambil menundukkan kepala.
"Cia Keng Hong, untuk kesekian kalinya pinto percaya akan segala keteranganmu ini. Bangkitlah dan katakanlah apa yang kau maksudkan dengan menyampaikan pesan Couwsu kami kepada pinto tadi."
Keng Hong bangkit berdiri dan mengeluarkan kitab kuno peninggalan Thai Kek Couwsu, dipegangnya dengan suara lantang.
"Saya mendapatkan kitab pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu ini di atas meja dekat rangka Thai Kek Couwsu dan karena di situ terdapat pesan agar kitab pusaka ini diserahkan kepada calon ketua yang baik dari Kun-lun-pai , maka saya anggap bahwa Kiang Tojin seoranglah yang berhak menerimanya!"
"Bocah jahat, berani engkau mengacau Kun-lun-pai? Serahkan kitab itu kepada pinto!" teriak Sian Ti Tojin dan tubuh ketua baru Kun-lun-pai ini meloncat naik ke atas genteng dengan cepat sekali dan berada di atas kepala Keng Hong, kemudian tubuh itu membalik dan menukik membuat salto, tongkatnya ke bawah dan meluncur dalam penyerangannya, menusuk ubun-ubun Keng Hong, sedangkan tangan kirinya meraih ke depan merampas kitab,. Melihat betapa sutenya menggunakan jurus maut dengan ilmu tongkatnya ini, Kiang Tojin berseru terkejut, "Sute..!" "Aha, Sian Ti Tojin, masa sebagai ketua Kun-lun-pai, jurusmu Hek-liong-lo-hai hanya seperti ini? Jauh kurang sempurna..!" Keng Hong berkata cepat ketika menyaksikan gerakan serangan ketua Kun-lun-pai itu. Ia tidak mengelak, malah merendahkan tubuhnya sampai berjongkok dan menanti sampai tongkat itu dekat di atas ubun-ubunnya.
Baru dia cepat-cepat miringkan pundak dan kepala, secepat kilat tangan kirinya menyambar ujung tongkat, dibetot terus ke bawah lalu dikempit sedangkan kaki kanannya secara tiba-tiba menendang perut Sian Ti Tojin! Kakek ini terkejut, mempertahankan tongkatnya berarti perutnya akan tertendang dan dia mengenal jurus yang lihai ini dan tahu pula bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang luar biasa sekali. Menurut peraturan, tongkat pegangan ketua yang merupakan "tongkat komando" sama harganya dengan nyawa si ketua, sama sekali tidak boleh terampas lawan. Tentu saja Sian Ti tojin sebagai ketua baru Kun-lun-pai, juga amat sayang kepada tongkatnya itu, akan tetapi ternyata menghadapi bahaya maut, tosu ini lebih sayang nyawanya daripada tongkatnya. Hal ini terbukti ketika dia melepaskan tongkatnya untuk menyelamatkan diri dengan meloncat ke belakang. Akan tetapi gerakannya kurang cepat dan ujung kaki Keng Hong masih saja menendang paha Sian Ti Tojin sehingga kakek ini berteriak nyaring dan tubuhnya terlempar ke bawah genteng. Untung kepandaiannya cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting.
Pada saat yang hampir bersamaan tadi, Lian Ci Tojin juga melayang naik sambil membawa pedangnya yang sudah dia cabut dari atas tanah. Ia pun menggunakan pedang itu menyerang Keng Hong dengan bacokan dahsyat, tepat pada saat Keng Hong habis menendang roboh Sian Ti Tojin.
"Ngo-sute (adik kelima), sungguh keterlaluan engkau!" Kiang Tojin berkata dan sebelum Keng Hong bergerak menyambut serangan Lian Ci Tojin, Kiang Tojin sudah mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu dan menyambut sambaran pedang itu.
"Cring-tranggggg..! Auhhh!" Tubuh Lian Ci Tojin juga terlempar ke bawah gentang, pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dua kali dengan baja belenggu dan dia roboh oleh tendangan Kiang Tojin yang gerakannya sama dengan gerakan Keng Hong merobohkan Sian Ti Tojin tadi!
"Cia Keng Hong, bagaimana engkau dapat mengenal Hek-liong-lo-hai tadi dan dapat mainkan jurus Hui-eng-coan-in (Garuda Terbang menerjang Awan) tadi? Kedua jurus itu adalah jurus-jurus simpanan tingkat tinggi dari Kun-lun-pai!" tegur Kiang Tojin, lebih merasa kagum akan kesempurnaan gerakan Keng Hong yang bahkan melebihi gerakannya sendiri itu daripada marah dan penasaran.
Keng Hong kembali menyodorkan kitab pusaka itu dengan kedua tangannya kepada Kiang Tojin. "Maaf, Totiang, saya bukan sengaja mencuri dan tidak akan saya berani membuka rahasia ilmu-ilmu itu kepada orang lain. Saya mendapatkannya dari sini, dan terimalah pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu ini! Dan karena Sian To Tojin telah begitu baik hati untuk menyerahkan tongkat ketua kepada Totiang, sebaiknya Totiang menerimanya sekalian!" Kiang Tojin tertegun, seperti orang terpesona dia memandang ke arah kitab, suaranya gemetar dan kedua kakinya menggigil ketika dia bertanya lirih, "Keng Hong, bersumpahlah. Benarkah kitab itu peninggalan Couwsu?"
"Saya bersumpah demi kehormatan saya, Totiang."
Mendengar ini, Kiang Tojin menerima kitab dengan kedua tangan, membukanya dan membaca huruf-huruf indah di halaman pertama: THAI-KEK-SIN-KUN INI DICIPTA UNTUK CALON-CALON KETUA KUN-LUN-PAI. Wajah Kiang Tojin makin berseri ketika dia membuka-buka kitab itu, kemudian mengangkat tinggi-tinggi kitab itu di atas kepalanya, menghadapi semua tosu di bawah genteng dan berteriak,
"Para murid Kun-lun-pai! Kitab ini benar-benar peninggalan Couwsu kita! Marilah kita menghaturkan terima kasih kepada Couwsu!" Kiang Tojin ,menjatuhkan diri berlutut dan semua tosu di bawah genteng pun lalu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah!
"Teecu sekalian menghaturkan syukur dan terima kasih atas budi kecintaan Couwsu yang telah meninggalkan kitab teecu sekalian.
***
Teecu bersumpah untuk menjunjung tinggi peninggalan Couwsu dan mencamkan semua ajaran Couwsu!"
Wajah Kiang Tojin berseri-seri dan matanya bersinar ketika dia bangkit berdiri lagi. Dengan lantang dia berkata, "Engkau benar, Keng Hong. Kesulitan-kesulitan dan urusan-urusan pribadi harus disingkirkan dan dikesampingkan jika menghadapi urusan perkumpulan! Kun-lun-pai perlu dibangun, perlu diperkuat dan karena couwsu berkenan meninggalkan pusaka ini kepada pinto, maka pinto berhak menjadi ketua! Juga tongkat ketua, berkat ketangkasanmu, telah dapat dirampas kembali. Siapakah di antara para saudara yang tidak setuju kalau pinto menjadi ketua Kun-lun-pai?"
Tak seorang pun di antara para tosu berani mengeluarkan suara, bahkan empat orang tosu yang menjadi adik-adik seperguruan Kiang Tojin, memandang kepada kakek seperguruan tertua itu dengan sinar mata penuh harapan. Kemudian semua tosu mengerling ke arah Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin yang berdiri dengan muka pucat.
"Cia Keng Hong, selama hidup pinto takkan melupakan perbuatanmu ini dan sekali waktu pinto akan membalas dendam ini!" bentak Lian Ci Tojin sambil mengertakkan giginya.
"Cia Keng Hong, engkau telah berani merampas tongkat ketua dan menggunakan kekerasan untuk mencampuri urusan Kun-lun-pai. Selamanya Kun-lun-pai akan mengutukmu dan menganggapmu sebagai musuh besar!" kata pula Sian Ti Tojin.
Keng Hong tertawa, "Pemutarbalikan fakta merupakan fitnah keji, Ji-wi Totiang. Aku tidak mencampuri urusan Kun-lun-pai dan tentang tongkat, siapakah yang bergerak lebih dulu melakukan serangan ? Aku hanya membela diri dan salahmu sendiri mengapa sebagai ketua kurang sempurna ilmumu, dan mengapa pula kau meninggalkan tongkatmu ke tanganku. Bukankah seorang ketua Kun-lun-pai harus menjaga tongkatnya seperti menjaga nyawa sendiri? Sekarang terserah kepadamu. Lawanlah Kiang Tojin kalau memang kau merasa lebih berhak dan lebih pandai.
Adapun aku.., hemm, aku hanya menjadi saksi dan aku yang akan turun tangan menghadapinya kalau kau minta bantuan tokoh-tokoh kaum sesat!" Melihat betapa dua orang tosu itu diam saja, hanya memandang kepada Keng Hong dengan pandang mata melotot penuh kebencian, Kiang Tojin lalu menggerakkan kedua tangannya dan terdengarlah suara berkerotokan ketika belenggu pergelangan tangannya patah-patah. "Ji-sute dan Ngo-sute, kalian juga mengerti sendiri mengapa pinto mengalah. Pertama untuk memenuhi janji bahwa siapa yang kalah harus memberikan kedudukan ketua. Pinto telah kalah oleh Ang-kiam Bu-tek yang mewakilimu, dan tongkat ketua telah dapat dirampas dari tangan pinto. Hanya karena pinto tidak mmenghendaki perpecahan di Kun-lun-pai sesuai dengan pesan suhu, maka pinto mengalah, suka diperlakukan sebagai orang hukuman. Andaikata pinto tidak mau menerima dan melawan setelah Ang-kiam Bu-tek pergi tentu kalian berdua tidak akan mampu melawan dan mengalahkan pinto. Kini, pinto sadar bahwa sesungguhnya kalian telah menyelewengkan Kun-lun-pai dan bahwa sikap mengalah dari pinto tidak benar, bahkan merupakan pengkhianatan terhadap Kun-lun-pai, terhadap suhu yang telah menaruh kepercayaan kepada pinto. Dahulu tongkat ini dirampas dari tangan pinto oleh Ang-kiam Bu-tek, kini kembali ke tangan pinto atas bantuan Cia Keng Hong. Hal ini sudah sewajarnya maka pinto suka menerima kembali ini. Apalagi setelah pinto harus meminpin para anak murid Kun-lun-pai seperti yang dikehendaki pendirinya yaitu Couwsu kita!"
"Kiang Tojin, kelak kita akan saling berjumpa kembali!" Terdengar suara Sian Ti Tojin penuh kemarahan dan dendam. "Mulai detik ini, aku bukan lagi tosu Kun-lun-pai!"
"Sute...!!" Kiang Tojin berseru, akan tetapi Sian Ti Tojin sudah menoleh kepada Lian Ci Tojin dan berkata singkat, "Hayo kita pergi!"
Dua orang tosu itu sudah meloncat pergi. Keng hong bergerak hendak mengejar sambil berkata lirih, "Dia harus dibasmi..!"
Kiang Tojin mengira bahwa Keng Hong hendak mebunuh mereka karena sikap mereka sebagai murid-murid Kun-lu-pai yang murtad, maka dia cepat mencegah, "Jangan, biarkan mereka pergi.. ini urusan Kun-lun-pai…."
Sebetulnya Keng Hong berniat membunuh Lian Ci Tojin atas perbuatannya terhadap Tan Hun Bwee dahulu, akan tetapi mendengar cegahan ini, dia menjadi tidak enak hati terhadap Kiang Tojin dan mengurungkan niatnya. Sikap dua orang tokoh Kun-lun-pai itu sudah cukup menghancurkan hati Kiang Tojin.
Para tosu yang tadinya bersekutu dengan Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin menjadi ketakutan sendiri dan mereka itu menerima dengan penuh kerelaan hati ketika Kiang Tojin mengatakan bahwa siapa yang merasa bersalah dipersilakan untuk menghukum diri sendiri di dalam ruangan "pencuci dosa" dan kamar-kamar "penyesalan diri". Berbondong-bondong para tosu yang merasa bersalah, hampir dua puluh orang banyaknya, pergi memasuki tempat-tempat yang khusus di adakan oleh Kun-lun-pai untuk menyesali perbuatan sendiri yang tersesat bagi murid-murid Kun-lun-pai.
Diam-diam Keng Hong menjadi girang dan juga kagum sekali. Ternyata bahwa Kiang Tojin masih cukup berwibawa dan para tosu yang bermain asmara dengan wanita dusun di lereng gunung dan dia tersenyum sendiri. Salahkah tosu itu? Tidak ! Tidak salah, hanya lemah terhadap pantangan yang memang diadakan oleh golongan mereka dan yang sudah diakui olehnya sendiri! Bersalah kiranya orang yang melanggar larangan yang sudah diakuinya sendiri bahwa larangan itu tak boleh dilanggar.
"Keng Hong, kedatanganmu seperti datangnya dewa yang menyadarkan pinto dari mimpi buruk. Dan besar sekali budimu terhadap Kun-lun-pai dan terhadap Couwsu kami. Tidaklah percuma kiranya ketika Thian dahulu menggerakkan hati pinto untuk membawamu ke sini, Keng Hong. Sekarang ceritakanlah, bagaimana engkau dapat menemukan tempat bertapa mendiang Couwsu, dan bagaimana pula semua pusaka gurumu sampai dapat tercuri oleh Ang-kiam Tok-sian-li yang sekarang menjadi begitu lihai dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek?"
Keng hong yang kini diajak duduk di ruangan dalam oleh Kiang Tojin yang sudah menjadi ketua Kun-lun-pai, segera menceritakan pengalamannya semenjak dia dikejar-kejar dan naik ke puncak batu pedang. Di antara seluruh manusia di dunia ini, hanya kepada Kiang Tojinlah satu-satunya tokoh kang-ouw yang boleh dipercaya dan yang sama sekali tidak memiliki niat buruk terhadap dirinya, tidak pula menginginkan harta pusaka dan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, Ia menceritakan betapa akhirnya dia berhasil mendapatkan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya, akan tetapi betapa terpaksa dia mengajak Cui Im karena selain gadis itu telah menolongnya, juga kalau tidak dia ajak, tentu gadis itu terancam keselamatannya oleh para tokoh kang-ouw yang mengejarnya. Diceritakan selanjutnya betapa dia tertipu oleh Cui Im itu, terjebak di ujung seberang jurang akan tetapi akhirnya kekejian Bui Im itu bahkan membuat dia berhasil menemukan tempat rahasia di mana terdapat rangka dan kitab peninggalan Thai Kek Couwsu ! Akhirnya dia menceritakan perjalanannya keluar dari tempat rahasia itu. Ia menceritakan dengan singkat, melewatkan saja keterangan tentang tempat itu sendiri, dan tidak menyebut-nyebut hal lain, misalnya pengetahuannya terhadap kekejian Lian Ci Tojin terhadap Tan Hun Bwee, maupun tosu Kun-lun-pai yang bermain cinta dengan wanita dusun.
Kiang Tojin mengelus jenggotnya yang panjang dan menarik napas panjang. "Aaah, baru empat tahun mempelajari kitab-kitab peninggalan suhumu, gadis itu sudah sedemikian lihainya sehingga aku roboh di tangannya! Dan kitab-kitab itu dibawanya semua!"
"Saya pun merasa menyesal sekali, Totiang. Semua itu akibat kelalaian saya, merupakan kesalahan dan tanggung jawab saya. Saya sudah mengambil keputusan untuk mencari Cui Im sampai dapat, merampas semua kitab-kitab peninggalan suhu yang dicurinya, kemudian saya akan mengembalikan kitab-kitab dan pedang-pedang pusaka kepada orang yang berhak."
"Baik sekali pendirianmu, Keng Hong. Gurumu Sie Cun Hong bukanlah seorang yang jahat atau berdasarkan watak yang buruk. Tidak sama sekali, dia adalah seorang taihiap, seorang pendekar besar yang selain lihai sekali, juga selalu siap menentang segala kejahatan dan mempertaruhkan nyawa untuk membela kebenaran, keadilan dan kebajikan. Akan tetapi dia berwatak aneh, tidak mengindahkan hukum-hukum yang diperbuat manusia, bertindak seenak hatinya sendiri asalkan bersandar kebenaran menurut penilaiannya. Boleh jadi gurumu telah menolong ribuan orang, telah menentang ribuan kejahatan, akan tetapi karena wataknya yang ugal-ugalan, sukanya akan wanita cantik tanpa memperdulikan apakah wanita itu isteri orang ataukah gadis, asal suka kepadanya tentu akan dia layani, kemudian ditambah dengan kesukaannya akan benda-benda pusaka yang tidak segan dicurinya dari tangan orang lain menggunakan kepandaiannya, maka segala kebaikannya itu dilupakan orang dan dia dimusuhi. Karena itu, pendirianmu untuk mengembalikan benda-benda pusaka yang dahulu dicuri atau dirampas suhumu, merupakan kebaktian pada gurumu, mencuci noda pada namanya. Dan engkau tidak perlu menjadi penasaran menghadapi kenyataan bahwa benda-benda pusaka itu dicuri orang, karena benda yang mudah didapat akan mudah lenyap pula, benda yang didapat dengan mencuri tentu akan lenyap tercuri, siapa menanam pohonnya dia memetik buahnya."
***
Keng Hong mengangguk-angguk dan berkata. "Saya mengenal watak mendiang suhu, Totiang , dan saya tidak dapat menyalahkannya. Memang, selagi masih hidup tidak menikmatinya, apa gunanya segala anugerah yang diberikan Thian kepada manusia? Menikmati kesenangan hidup adalah hak manusia, asalkan si manusia dapat mengekang diri, dapat mengendalikan nafsu yang mendorongnya untuk menikmati kesenangan duniawi, sehingga tidak sampai mabuk, tidak sampai melupakan kebajikan dan melakukan kejahatan hanya untuk pemuasan nafsu. Pemuasan nafsu dilakukan dengan wajar tanpa merugikan orang lain adalah kenikmatan yang menjadi anugerah Thian, mengapa ditolak? Maaf, Totiang, tentu saja pendirian seorang pendeta seperti Totiang lain lagi. Hanya sebaiknya diingat bahwa suhu bukanlah pendeta, melainkan manusia biasa."
Kiang Tojin mengerutkan alis dan menghela napas panjang. "Pinto tidak dapat menyalahkan siapa-siapa. Ada baik ada buruk, hal itu sudah wajar. Ada senang ada susah, memang saudara kembarnya yang takkan dapat dipisahkan. Yang mencari senang akan bertemu susah, itu memang resikonya dan sudah semestinya. Pengertian saja belum cukup. Karena itu, engkau yang masih muda memang baru akan dapat mengerti dengan sempurna setelah digodok pengalaman dan sudah menjadi hakmu untuk mengalami segala hal di dunia ini. Hanya pesanku Keng Hong, pengalaman pahit jauh lebih berharga daripada pengalaman manis, dan ingat pula bahwa sesal kemudian sama sekali tiada gunanya. Ingat bahwa kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati sendiri belum tentu kebenaran yang sejati. Kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati orang lain itu pun hanya lebih dekat dengan yang sejati, Engkau bebas untuk bergerak dalam hidup, dan guru yang paling dapat diandalkan adalah GURU SEJATI yang berada di dalam dirimu pribadi."
Setelah banyak-banyak menerima wejangan Kiang Tojin, akhirnya Keng Hong meninggalkan Kun-lun-pai dengan dada lapang bahwa dia telah dapat membantu memulihkan keadaan Kun-lun-pai dan biarpun sedikit dapat pula menebus budi kebaikan Kiang Tojin.
"Aaauuuuuuhhhh... toloooooonggg...!"
Jerit melengking wanita ini tiba-tiba terdiam, memang leher yang dicekik tentu saja takkan dapat menjerit lagi. Jerit itu keluar dari sebuah kamar yang indah dan diterangi sinar lilin terbungkus sutera merah, remang-remang romantis menambah keindahan kamar yang berbau harum itu. Akan tetapi apa yang terjadi di dalam kamar pada malam hari itu, seorang gadis remaja, puteri hartawan dan bangsawan yang menjadi kembang kota itu, tertimpa malapetaka. Ketika ia sedang tidur pulas tadi, tiba-tiba ia terbangun dan hampir ia pingsan ketika melihat betapa seorang laki-laki yang berpakaian mewah dan berwajah tampan sedang memeluk dan menciuminya dan jari-jari tangan laki-laki ini merenggut-ranggutkan pakaiannya sehingga robek-robek. Sejenak gadis itu tidak dapat menjerit saking kaget dan juga karena mulutnya tertutup oleh ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuatnya bernapas pun sukar, apalagi menjerit. Ia hanya dapat membelalakkan mata dan meronta-ronta, namun agaknya gerakannya meronta ini menabah berkobarnya nafsu jalang laki-laki itu.
"Diamlah manisku, diamlah nona... aduh, betapa cantik jelita engkau.." laki-laki itu berbisik dengan napas mendengus-dengus dan kesempatan ini dipergunakan oleh nona yang mulutnya bebas. Akan tetapi hanya satu kali saja dia dapat menjerit karena mulutnya segera tertutup kembali oleh mulut laki-laki itu dan lehernya dilingkari jari-jari tangan yang kuat.
"Kalau kau menjerit lagi, kucekik mampus kau!" laki-laki itu mendesiskan bisikan marah, akan tetapi gadis itu tak dapat menjerit lagi karena saking ngeri dan takutnya ia telah kehilangan suara dan setengah pingsan.
Akan tetapi jeritnya yang satu kali tadi sudah cukup. Ayahnya adalah seorang bangsawan, seorang bangsawan, seorang pembesar militer yang berjasa dalam perang, sebagai seorang di antara panglia dari utara. Pada malam hari itu, ayahnya sedang menjamu banyak orang gagah yang dahulu membantu gerakan bala tentara dari utara yang dipimpin oleh Raja Muda Yung Lo yang gagah perkasa. Malam hari itu, ada lima orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi sedang dijamu ayahnya. Karena ini, jerit melengking itu segera terdengar oleh mereka dan bersama panglima ayah gadis itu sendiri mereka berenam sudah berkelebat cepat sekali menuju ke kamar si gadis.
“A-hwi..!" Panglima itu berseru memanggil puterinya, akan tetapi tidak ada jawaban. Sambil menggereng penuh kekhawatiran, yang tinggi besar menerjang daun pintu kamar puterinya. Daun pintu bobol dan roboh, disusul enam bayangan orang gagah itu berkelebat memasuki kamar.
"A-hwi....!" Kini teriakan panglima itu adalah teriakan yang menyayat hati, teriakan setengah marah setengah menangis menyaksikan keadaan puterinya yang rebah terlentang dalam keadaan telanjang dan matanya mendelik, lidahnya keluar, tidak bernapas lagi! Jelas bahwa dia mati tercekik.
Lima orang gagah itu adalah orang-orang yang berpengalaman. Melihat keadaan kamar sekelebatan saja, mereka sudah menemukan lubang di atas rumah, maka seperti berlumba mereka lalu melayang naik melalui lubang itu menembus atap dan hinggap di atas genteng. Mereka melihat bayangan orang berjalan seenaknya di atas genteng meninggalkan tempat itu. "Berhenti...!" Lima orang itu meloncat maju mengejar.
Bayangan yang melangkah seenaknya di atas genteng itu berhenti lalu membalikkan tubuhnya menghadapi lima orang itu.
Mereka berlima tercegang ketika melihat bahwa bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan sekali dan tubuhnya tinggi besar gagah. Pakaiannya indah dan mewah, muka dan rambutnya juga terpelihara baik-baik. Seorang laki-laki pesolek yang menambah halusnya wajah dengan bedak halus tipis bahkan kehitaman alis dan kemerahan bibir itu pun amat diragukan keasliannya. Ketika lima orang kang-ouw yang tak mengenal laki-laki ini melihat perhiasan bunga teratai emas di atas dada laki-laki itu, mereka terkejut dan seorang diantara mereka berseru.
"Kim-lian jai-hwa-ong!!"
Nama ini memang amat terkenal di dunia kang-ouw semenjak belasan tahun yang lalu. Dunia kang-ouw sudah geger sejak lama oleh munculnya nama ini, akan tetapi karena tokoh dunia hitam ini tak pernah mengganggu orang-orang kang-ouw dan selalu menjauhkan diri dari bentrokan, maka jarang ada yang mengenal orangnya. Hal ini bukan saja karena tokoh ini jarang memperlihatkan muka, juga hebatnya adalah bahwa setiap kali ada tokoh kang-ouw bertemu dengan dia, tentu tokoh kang-ouw itu kedapatan tewas. Dengan demikian orang kang-ouw yang pernah bertemu dengan dia tidak ada kesempatan lagi menceritakan kepada lain orang bagaimana macamnya tokoh ini. Dia dijuluki Kim-lian (Teratai Emas) karena bajunya selalu dihiasi perhiasan bunga teratai dari emas. Dan julukannya Jai-hwa-hong (Raja Pemetik Bunga) sudah jelas menyatakan apakah macam "pekerjaan" tokoh ini, yaitu memetik bunga atau pemerkosa wanita di samping menyambar perhiasan-perhiasan berharga yang berada di kamar wanita-wanita itu.
Itulah sebabnya mengapa lima orang kang-ouw itu kaget setengah mati ketika melihat hiasan bunga teratai merah di dada laki-laki itu. Sudah menjadi kembang bibir di dunia kang-ouw bahwa bertemu Kim-lian Jai-hwa-ong berarti bertemu dengan maut sendiri!
Akan tetapi, mereka berlima adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi maka tentu saja tidak menjadi gentar, apalagi mengingat betapa penjahat ini telah membunuh puteri tuan rumah, membuat mereka marah sekali.
Jai-hwa-ong itu tersenyum dan sinar bulan yang menimpa wajahnya membuat wajah itu tampak makin tampan, senyumnya memikat dan giginya berkilauan putih bersih. Kumis tipis dia atas bibir itu bergerak-gerak ketika dia berkata lirih mengejek.
"Kalian berlima sudah mengenal aku, tahukah kalian apa jadinya dengan orang yang mengenalku?"
Kim-lian Jai-hwa-ong, engkau boleh saja terkenal sebagai pembunuh setiap orang kang-ouw yang bertemu denganmu. Akan tetapi jangan mengira kami takut menghadapi seorang penjahat rendah macam engkau! Kami Pak-san Ngo-houw (Lima Harimau Pegunungan Utara) sudah mengikuti penyerbuan tentara utara ke selatan, sudah menghadapi penderitaan dan ancaman maut ribuan kali, dan entah sudah berapa ratus penjahat macam engkau ini kami basmi!" bentak seorang di antara lima orang tokoh dengan ucapan ini, mereka berlima sudah mencabut golok masing-masing sehingga tampak sinar-sinar berkilat.
Namun laki-laki pesolek itu tidak keliatan marah memperlebar senyumnya lalu berkata, "Aha, kiranya kalian adalah lima ekor tikus pegunungan utara? Bagus sekali! Biarlah kalian tidak akan mati penasaran dan kenalilah aku baik-baik. Aku bernama Siauw Lek dan aku adalah murid Go-bi Chit-kwi, maka kini sekali bertemu dengan aku jangan harap kalian akan dapat hidup lagi!"
Lima orang gagah itu sudah menerjang sambil membentak marah sekali, golok mereka berkelebat seperti kilat menyabar ke arah tubuh laki-laki pesolek yang masih tersenyum itu. Akan tetapi penjahat bernama Siauw lek itu ternyata bukan bersikap sombong yang kosong belaka. Tubuhnya berkelebat dan semua serangan golok lima buah itu mengenai tempat kosong.
***
Cepat sekali gerakan penjahat itu dan ginkangnya sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga begitu diserang dia lenyap dan tahu-tahu telah berada di belakang lima orang itu sambil tertawa mengejek!
Lima orang itu cepat membalikkan tubuh sambil melintangkan golok, kemudian pemimpin mereka yang teringat bahwa mungkin penjahat ini merupakan utusan sisa-sisa musuh di selatan, segera menahan senjatanya dan bertanya dengan suar nyaring.
"Penjahat hina she Siauw ! Sebelum engkau mampus di tangan kami, katakanlah mengapa engkau membunuh puteri The-ciangkun?"
Penjahat itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian ingin tahu pula tentang hal itu? Nah. Dengarlah. Aku di sebut Raja Pemetik Bunga dan memang aku suka sekali akan kembang-kembang harum bermadu. Aku seperti seorang kumbang yang mencari madu-madu bunga. Kalau ada bunga dengan senang hati membuka kelopaknya dan menyerahkan madunya kepadaku, aku akan terbang pergi dengan kenang-kenangan manis. Akan tetapi kalau ada bunga tidak suka menyerahkan madunya, akan kurontokkan dia! Dara di bawah itu tidak mau menyerah, bahkan menjerit, terpaksa ku cekik dia sampai mati. Ada jalan hidup senang dia memilih mati konyol! Kalau dia menyerah, aku akan puas, dia akan hidup dan senang dan... Ha-ha-ha, dasar nasib, kalian pun akan mampus!"
"Keparat hina!" Lima orang harimau gunung utara itu menjadi marah sekali dan kembali lima batang golok mereka menyambar, Tiba-tiba tampak sinar hitam berkelebat dan di susul suara trang-trang lima kali. Lima orang kang-ouw itu terkejut karena pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tadi berkelebat telah menangkis golok-golok mereka dan begitu bertemu, golok mereka patah semua!
"Tangkap penjahat...!" Terdengar seruan dari bawah dan belasan orang pengawal The -ciangkun yang berkepandaian lumayan sudah melayang naik ke atas genteng.
Akan tetapi terdengar Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek tertawa, tangan kirinya bergerak dan belasan batang senjata berberntuk paku-paku yang disebut Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam) meluncur cepat sekali, menyambut tubuh para pengawal yang sedang meloncat sehingga tubuh mereka terkena senjata rahasia dan jatuh kembali ke bawah didahului teriakan-teriakan mengerikan karena sebelum tubuh mereka terbanting ke tanah, mereka itu telah tewas oleh paku-paku yang mengandung racun jahat itu!
"Lima ekor tikus rebahlah!" Kini Siauw Lek menggerakkan pedangnya yang berwarna hitam, cepat sekali gerakannya, pedangnya berubah menjadi sinar panjang yang mengeluarkan suara bercuitan. Lima orang gagah itu mencoba mengelak sambil menangkis dengan golok buntung, namun sia-sia belaka karena sinar pedang itu menebas tangan yang memegang golok terus meluncur ke arah leher mereka. Lima orang gagah itu tidak sempat untuk berteriak pula. Tubuh mereka menggelundung dari atas genteng dengan kepala terpisah dari tubuh!
Panglima The yang menjadi marah sekali melihat belasan orang pengawalnya roboh binasa termakan paku-paku beracun, sudah mengepalai banyak sekali pengawal dan melompat naik ke atas genteng. Akan tetapi mereka tidak melihat sesuatu di atas genteng. Sunyi saja dan tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Panglima ini menjadi marah bukan main melihat lima orang sahabatnya tewas dengan leher putus, dan malam itu juga dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran dan mencari si penjahat. Akan tetapi, mereka yang pernah melihat penjahat itu, Lima Harimau Pegunungan Utara dan para pengawaal yang meloncat naik pertama kali, semua telah tewas. Tak seorang pun di antara yang lain sempat melihatnya. Kemana hendak mengejar dan mencari? Orangnya pun tidak dikenal!
Kembali dunia kang-ouw menjadi geger dengan terjadinya peristiwa mengerikan itu, dan biarpun tidak ada yang melihat penjahat itu, namun paku-paku hitam beracun itu cukup menyatakan bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu bukan lain adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek!
Apalagi ketika di antara para pengawal yang masih berada di bawah genteng menyatakan bahwa dia melihat berkelebatnya sinar pedang hitam, maka orang-orang di dunia kang-ouw tidak ragu-ragu lagi bahwa pedang itu tentulah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) senjata penjahat cabul itu.
Memang lihai sekali Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. Kelihaiannya tidak lah mengherankan kalau diingat bahwa dia adalah murid tunggal Go-bi Chit-kwi yang amat lihai itu. Go-bi Chit-kwi sebelum mengundurkan diri dari dunia ramai merupakan datuk-datuk hitam yang amat ditakuti di seluruh dunia kang-ouw. Bahkan Bu-tek Su-kwi si empat iblis yang kini menjagoi di antara golongan sesat, masih merupakan orang-orang muda yang belum begitu ternama ketika Go-bi Chit-kwi sudah amat terkenal. Ketika Bu-tek Su-kwi masih muda, mereka pun gentar menghadapi Tujuh Setan Go-bi, dan orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, yaitu Lam-hai Sin-ni, pernah dirobohkan dan hampir diperkosa oleh tujuh setan ini kalau saja tidak muncul mendiang Sin-jiu Kiam-ong yang menolong wanita itu.
Kini Go-bi Chit-kwi telah meninggal dunia di sebuah puncak di Pegunungan Go-bi-san. Akan tetapi sebelum mereka meninggal dunia, mereka menurunkan ilmu kepada murid mereka yang hanya seorang, yaitu Siauw Lek. Untuk menamatkan pelajarannya pada tujuh orang guru itu, Siauw Lek belajar sampai dua puluh tahun, dan baru setelah dia berusia tiga puluh tahun, dia turun gunung dan begitu turun gunung setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, gegerlah dunia kang-ouw dengan munculnya seorang jago yang mengumbar nafsunya dengan memperkosa wanita-wanita yang disukainya! Maka muncullah julukan Kim-lian Jai-hwa-ong yang tak pernah dilihat orang, atau pernah pula dilihat orang-orang yang begitu bertemu dengannya tentu dibunuhnya!
Malam hari itu hati Siauw Lek murung dan tidak puas. Ia gagal bersenang-senang dengan puteri The-ciangkun yang tidak mau melayani hasrat hatinya bahkan berani menjerit sehingga terpaksa dibunuhnya. Siauw Lek memang seorang Jai-hwa-ong (penjahat pemerkosa wanita), namun dia mempunyai kebiasaan aneh yang dia beritahukan kepada lima orang Pak-san Ngo-houw sebelum mereka dia bunuh, yaitu bahwa dia hanya mau memiliki wanita yang bersedia melayaninya! Kalau wanita itu menolak, tentu dibunuhnya! Banyak wanita yang karena takut dibunuh,atau memang tertarik oleh wajahnya yang tampan dan tubuhnya tinggi besar, suka melayaninya dan tentu saja setelah melayani hasrat nafsu penjahat ini, wanita-wanita itu menyimpannya sebagai rahasia besar dan tidak berani menceritakan keadaan penjahat itu kepada orang lain karena hal itu sama saja dia telah dinodai penjahat itu! Mereka yang menolaknya pun tidak dapat menceritakan kepada orang lain karena mereka ini tentu dibunuh oleh Siauw Lek. Ada kalanya Siauw Lek berhasil mendapatkan pelayanan wanita yang memang tertarik kepadanya, akan tetapi ada pula yang harus dia dapatkan dengan cara mengancam dan dalam hal ini dia memiliki banyak cara yang keji dan tidak mengenal perikemanusiann. Dalam mencengkeram nafsu berahinya sendiri, Siauw Lek kadang-kadang seperti bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang memasuki tubuhnya.
Malam itu dia murung. Ia hanya berhasil membunuh banyak orang, namun dia makin ditekan dan dihimpit oleh nafsunya sendiri yang tidak terpuaskan. Biasanya, sebelum mendatangi korbannya pada malam hari, siangnya dia sudah melihat-lihat dan mencari-cari. Malam ini dia tidak ada tujuan tertentu karena siang tadi dia mencurahkan perhatiannya kepada puteri panglima itu. Untuk mencari korban di malam hari seperti itu, amat sukar karena tak mungkin dia harus mengintai setiap rumah untuk mencari wanita yang disukainya.
"Bedebah!" Ia menyumpahi nasibnya yang dianggapnya sial malam itu. Penjahat yang berilmu tinggi ini sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang amat gesit gerakannya, yang seolah-olah terbang saja ketika mengikutinya dari jauh.
Tiba-tiba Siauw Lek berhenti berlari dan bayangan di belakangnya pun cepat menyelinap dan bersembunyi di balik wuwungan rumah. Kiranya Siauw Lek berhenti bukan karena mengerti bahwa dia dibayangi orang, melainkan karena dia mendengar suara bayi menangis dari rumah di sebelah depan, sebuah rumah kecil terpencil. Hatinya tergerak. Hemmm, ada bayinya tentu ada ibunya yang muda, pikir otaknya yang sudah terlalu kotor karena selalu dipenuhi nafsu berahi yang tidak wajar. Ia lalu melompat ke depan, ke atas genteng rumah di depan itu dan kini tangis bayi sudah tak terdengar lagi. Dari atas genteng, Jai-hwa-ong ini mengintai dengan jalan membuka genteng. Di bawah tampak sebuah kamar yang sederhana namun bersih, diterangi lampu minyak yang cukup terang. Seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun tidur meringkuk di sudut ranjang dengan muka menghadap dinding. Di pinggir ranjang itu sendiri, seorang wanita muda sedang duduk menyusui bayinya yang baru berusia beberapa bulan. Ibu ini masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya dan karena ia menyusui bayinya sendiri di dalam kamar, wanita ini tidak ragu-ragu membuka penutup dadanya lepas-lepas sehingga tampak dua buah bukit dada yang berkulit putih halus dan penuh seperti biasa dimiliki ibu-ibu muda yang sedang menyusui anaknya.
Biasanya, biar mata laki-laki yang bagaiana jalang sekalipun, pemandangan ini, yaitu melihat seorang ibu menyusui anaknya, mendatangkan pemandangan yang mengharukan, yang menyentuh perasaan karena setiap orang pernah menyusu dada ibunya, sebuah pemandangan yang sama sekali jauh daripada daya perangsang nafsu. Namun tidaklah demikian bagi seorang hamba nafsu berahi yang sudah separah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek.
***
Hati dan pikirannya sudah penuh dengan bayangan kecabulan. Sudah penuh dengan rangsangan-rangsangan nafsu berahi sehingga penglihatan seorang ibu muda menyusui anaknya itu mendatangkan nafsu yang menyala-nyala dalam dirinya. Ibu muda itu memang cantik dan terutama sekali berkulit putih kuning dan halus, kini agaknya terbangun dari tidur, kelihatannya demikian penuh sifat kelembutan seorang wanita. Seketika lenyaplah kemurungan dan kekecewaannya, lenyaplah bayangan puteri Panglima The yang urung dia dapatkan dan terpaksa dia bunuh. Dengan gerakan tangannya yang kuat dia membuka beberapa buah genteng, keudian tubuhnya menyelinap turun melalui lubang itu dan meloncat ke dalam kamar.
"Aihhhh....!" Wanita itu berseru kaget ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki asing berdiri di depannya. Akan tetapi dia tidak sempat menjerit lagi karena jari tangan Siauw Lek telah bergerak cepat menotok leher wanita itu sehingga jeritannya tertahan di kerongkongan, tak dapat berteriak lagi. Wanita itu dengan muka pucat lalu memeluk bayinya di rapatkan ke dada, bukan hanya untuk melindungi bayinya, juga untuk menutupi buah dadanya yang telanjang. "Manis, jangan takut. Aku telah melihatmu dan jatuh cinta kepadau. Kalau engkau mau melayani aku dengan manis, engkau takkan kubunuh, akan tetapi kalau engkau menolak, suamimu ini akan kubunuh lebih dulu!"
Agaknya suami wanita itu mendengar suara ribut-ribut dan menggeliat lalu membalikkan tubuh, mengedipkan matanya yang menjadi terbelalak ketika dia melihat isterinya berdiri ketakutan dan seorang laki-laki asing berdiri di situ. Akan tetapi dia tak dapat bergerak, hanya dapat memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan kekhawatiran karena pada saat itu, jari tangan Siauw Lek secepat kilat telah menotok jalan darahnya yang membuat laki-laki di atas ranjang itu lemas dan tak dapat bergerak.
"Jangan engkau berteriak, Manis, aku tidak akan menyusahkanmu, tidak akan menyakitimu..." Kembali Siauw Lek merayu dan tangannya bergerak menotok leher membebaskan jalan darah wanita itu sehingga dapat mengeluarkan suara lagi.
"Ampunkan saya...." Wanita itu berkata lemah.
Siauw Lek tersenyum penuh keenangan. Ia lalu mengulur tangan menyentuh pundak yang setengah terbuka itu, pundak yang kecil berkulit putih halus. "Engkau tidak bersalah apa-apa, Manis, kenapa minta ampun? Aku hanya akan mencintaimu, kau layanilah aku baik-baik, balaslah cintaku dan aku tidak akan menganggu selembar rambutmu yang halus ini..."
"Ohhh, ampun jangan ..." Wanita itu mengeluh penuh kepanikan sambil melirik ke arah suaminya yang rebah miring tak dapat bergerak itu.
Siauw Lek mengikuti pandang mata wanita itu, menoleh ke arah laki-laki di atas ranjang lalu tersenyum. "Ah, engkau takut kepada suamimu?" Tak usah takut, dia takkan dapat berbuat sesuatu kecuali menonton!"
"Tidak.... lebih baik kau bunuh saja aku...!" Tiba-tiba itu menangis terisak-isak sambil mendekap tubuh anaknya. "Aku tidak bisa...aku tidak mau...!"
Sinar bengis dan marah membayangi wajah Siauw Lek . Haruskah dia mengalami dua kali kegagalan dalam semalam? Apakah dia kini sudah terlalu tua dan kurang pandai merayu sehingga dalam satu malam ada dua orang wanita yang menolak cintanya?
"Hemmm, haruskah ku bunuh suamimu lebih dulu? Lihat, sekali tusuk suamimu akan mampus. Apakah engkau masih berani mengatakan tidak mau?" Untuk menakut-nakuti, Siauw Lek sudah mencabut pedang hitamnya dan menodongkan pedang itu di leher suami wanita itu yang terbelalak penuh kengerian. Wanita itu memandang dengan muka pucat, hatinya bimbang. Manakah yang harus dia pilih? Melihat suaminya dibunuh ataukah membiarkan dirinya diperkosa di depan pandang mata suaminya?
Ah, lebih baik mati, mati bersama suaminya. Ia tersedu menangis dan berkata. "Bunuhlah kai berdua....bunuhlah suamiku dan aku... Dan aku... Aku tidak dapat menuruti kehendakmu... Aku tidak mau....!"
Kini wajah Siauw Lek menjadi merah. Kalau menurutkan nafsu kemarahan hatinya, ingin dia mengelabatkan pedangnya membunuh wanita itu, suaminya dan anaknya. Akan tetapi dia tidak mau gagal untuk kedua kalinya malam ini, dan wanita yang baru tiga empat bulan melahirkan dan masih menyusui nafsunya, menyentuh perasaan hatinya yang keruh oleh nafsu berahi.
Tiba-tiba Siauw Lek, tertawa dan ketika tangannya bergerak, tahu-tahu dia telah merampas bayi yang berada di dalam pelukan ibunya tadi. Anak itu menjerit, akan tetapi kalah oleh jeritan ibunya yang amat kaget melihat anaknya dirampas.
"Anakku.... kembalikan anakku!!"
"Hemmm, kau ingin anakmu hidup? Nah, pilihlah. Engkau melayani cintaku dengan baik-baik dan manis atau.. melihat perut anakmu kubelek dengan ujung pedang ini!"
"Ouuuhhh.... jangan... jangan....!" Wanita itu menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Siauw Lek sambil meratap-ratap minta agar anaknya jangan dibunuh.
"Manis, engkau ingin agar anakmu hidup dan tidak kubunuh?" Siauw Lek bertanya penuh nada keenangan dalam suaranya sambil menunduk dan melihat wajah ayu yang menengadah penuh permohonan itu.
"Ya.... ya....., mohon kau ampuni kami, jangan bunuh anakku..."
"Hemmm, mudah saja, aku takkan membunuh anakmu akan tetapi engkau harus menuruti segala kehendakku!" Sambil berkata demikian, Siauw Lek mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dan membuat gerakan seakan hendak membantingnya ke lantai.
Wanita itu tersedak, menelan ludah seperti ada sesuatu mengganjal kerongkongannya, dan mengangguk-angguk dengan mata terbelalak memandang anaknya.
"Ya.... ya... ya, apa saja perintahmu... Akan tetapi lepaskan anakku...."
"Nah, Manis, bangkitlah." Siauw Lek menggunakan sebelah tangannya menarik tubuh wanita itu berdiri dengan bayi masih diangkat tinggi-tinggi di tangan yang lain, dan bagaikan tak sadar diri wanita itu bangkit berdiri, seolah-olah tidak merasa betapa tangan yang menariknya bangkit itu menggerayang dan meraba-raba tubuhnya, bahkan ketika tangan itu merangkul lehernya dan mulutnya yang masih setengah terisak itu dicium oleh bibir Siauw Lek dengan penuh nafsu, ia seperti tidak merasakannya, matanya masih terbelalak melirik ke arah anaknya yang diangkat tinggi oleh tangan kiri Siauw Lek. Baru setelah matanya mendapat kepastian bahwa anaknya tidak diapa-apakan ia sadar betapa tubuhnya diremas-remas dan mulutnya dicium penuh nafsu sehingga ia tersedu dan meronta sedikit.
"Hemmm, kau melawan? Engkau tidak mau....?"
".. Tidak.... oh, bukan... Aku... Aku tidak melawan..." Wanita itu menggagap kepalanya pening, matanya berkunang dan kedua kakinya menggigil karena setelah kin kepanikannya menghadapi ancaman terhadap anaknya lenyap, ia ngeri menghadapi hal yang mengancam dirinya sendiri. "Bagus, engkau manis sekali. Nah, kau tanggalkan pakaianmu. Semuanya!" Siauw Lek memerintah, merasa gembira sekali menyaksikan betapa korbannya itu menggigil dan bingung oleh rasa takut dan malu.
Wanita itu benar-benar bingung, kedua tangannya bukan menanggalkan pakaian, bahkan kini ia baru teringat betapa bajunya tadi dibukanya separuh ketika menyusui anaknya, kini kedua tangannya malah menutupkan baju ini. Mukanya sebentar pucat sebentar merah, pandang matanya jelilatan dan hanya lewat saja di muka suaminya, agaknya ia tidak berani bertemu pandang dengan suaminya.
"Eh, engkau ragu-ragu lagi? Hendak membangkang perintahku! Hemmm, kalau begitu, lebih baik kubunuh saja anakmu ini..."
"Tidak! Oh, jangan...!" Cepat sekali karena digerakkan oleh rasa ngeri dan khawatir akan keselamatan anaknya wanita itu meranggut lepas baju atasnya sehingga ia berdiri setengah telanjang."Jangan bunuh anakku….."
Siauw lek tersenyum, mengangguk-angguk puas. "Kalau kau menuruti semua hasratku, kalau kau suka melayani cinta kasihku kepadamu, tentu aku takkan menganggu anakmu, Manis. Hayo, kesinilah...!" Siauw Lek melangkah ke dekat ranjang akan tetapi wanita itu tidak menggerakkan kakinya. Dengan muka pucat ia berkata lemah,
"Tidak, harap... Kasihani aku.., jangan di sini…."
Siauw lek menggerakkan alisnya menoleh ke arah suami wanita itu yang rebah miring dengan mata melotot penuh kemarahan dan kebencian, lalu tersenyum. Sebetulnya, dia akan mendapatkan rangsangan lebih besar ladi, mendapat kepuasan lebih penuh kalau dia dapat memiliki wanita itu di depan suaminya, di depan mata suaminya yang melotot itu. Alangkah akan senang dan lucunya! Akan tetapi, kalau dia memaksa, tentu hal ini akan menjadi penghalang besar bagi si wanita untuk melayaninya dengan leluasa, dan kalau terjadi demikian diapun tentu tidak akan merasa puas. Sambil tertawa dia lalu menghampiri wanita itu dengan bayi masih menangis, diangkat tinggi-tinggi
"Kalau begitu dimana?"
"Di kamar depan ..." Wanita itu berkata sabil menundukkan muka, tidak berani sama sekali melirik ke arah suaminya.
"Baiklah, Manis. Hayo kau tunjukkan di mana kamarnya," Siauw Lek berkata. Wanita itu tanpa menoleh ke arah suaminya lalu membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari kamar dengan kaki gemetar dan lesu. Siauw Lek menggerakkan tangan dan sebatang paku hitam menyambar dan menancap di antara sepasang mata yang terbelalak melotot memandangnya itu, membuat suami itu tewas dalam detik itu pun juga tanpa dapat mengeluh sedikit pun juga. Peristiwa ini terjadi cepat dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara sehingga wanita itupun tidak tahu sama sekali bahwa suaminya telah dibunuh orang.
Kamar depan itu pun sederhana sekali, hanya terisi sebuah dipan dan sebuah meja, di terangi lilin yang dinyalakan oleh wanita itu dengan tangan gemetar.
"Anakku....biar kususui dia agar tidak menangis..." Akhirnya wanita itu berkata dengan suara pilu karena sejak tadi anaknya menangis saja.
Sambil tersenyum Siauw Lek memberikan bayi itu kepada ibunya, kemudian dia duduk di atas bangku menonton wanita itu yang kini tak berbaju lagi menyusui anaknya. Laki-laki yang berwatak iblis ini menonton sambil kadang-kadang menelan ludah. Melihat bayi itu menyusu dada ibunya menimbulkan berahi yang amat besar baginya, seolah-olah dia sendiri dapat merasai kesegaran susu ibu muda itu. Akan tetapi, bayi itu selalu gelisah dan tidak mau diam, bahkan tidak dapat menyusu dengan tenang, diseling tangis.
"Dia sudah kenyang, memang rewel dia!" cela Siauw Lek."Aku dapat menidurkannya. Kesinikan.."
Ibu itu mendekap anaknya. "Jangan ... Jangan menganggunya..."
"Ihhh, Manis, mengapa kau tidak percaya kepadaku? Aku mencintaiu, dan aku mempunyai ilmu untuk menenangkan bocah. Kuelus-elus kepalanya sebentar saja dia akan tidur. Biarkan dia tidur agar tidak menganggu kita. Nah kesinikanlah, biar dia tidur di situ nanti, dan bantal itu.. hemmm, kita tidak memerlukannya. Nah, marilah, Manis, jangan khawatir, anakmu akan pulas." Ibu muda itu yang memang merasa bingung melihat anaknya menangis terus sehingga dia khawatir kalau-kalau laki-laki itu menjadi marah dan membunuh anaknya, akhirnya menyerahkan bayinya yang masih menangis. Siauw Lek tersenyum dan mengelus-elus kepala bocah itu. Benar saja , tak lama kemudian anak itu tidak menangis lagi dan dengan gerakan halus Siauw Lek menidurkan bocah itu di atas meja yang sudah ditilami kain dan disediakan bantal oleh si ibu muda yang tentu saja menjadi lega hatinya melihat bayinya tidur pulas.
Akan tetapi segera rasa lega ini tersusul rasa panik dan ngeri ketika Siauw Lek membalikkan tubuh dan menghadapinya dengan senyum penuh nafsu.
"Nah, bukankah benar sekali kata-kataku, Manis? Anakmu sudah tidur pulas dan kini kita dapat bersenang-senang tanpa ada yang mengganggu. Wah, engkau benar jelita dan montok. Marilah, Manis.."
Wanita itu terusik dan melangkah maju dengan muka tunduk. Patahlah seluruh pertahanannya sebagai wanita karena ia maklum bahwa kalau ia menolak, tentu anaknya akan dibunuh. Bagaikan orang yang kehilangan semangat, seperti mayat hidup, ia melangkah maju dan menyerah saja ketika kedua tangan Siauw Lek memeluk dan mendekapnya, ketika mukanya yang basah oleh air mata dihujani ciuman-ciuman bernafsu.
Tiba-tiba Siauw Lek melepaskan tubuhnya, bahkan meloncat bangun sambil berteriak kaget, "Setan...!” Pada saat, ada sesosok tubuh menerjang memasuki kamar dan langsung menubruk Siauw Lek. Tentu saja penjahat yang lihai ini dengan mudah mengelak ke kiri dan mengirim tendangan yang tepat mengenai dada orang yang menubruknya. Orang itu terjengkang dan roboh terlentang di depan dipan, di dekat wanita yang terbelalak kaget. Ketika melihat bahwa tubuh itu adalah tubuh suaminya yang sudah mati, yang mukanya penuh darah merah yang mengucur dari luka di antara kedua matanya, wanita itu menjerit kaget dan memeluk tubuh suaminya.
Sementara itu. Siauw Lek kaget setengah mati sampai mukanya pucat. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami kaget dan serem seperti saat itu. Dia sudah yakin benar bahwa suami wanita itu telah dibunuhnya, bahkan ketika orang itu menubruknya dan dia merobohkannya kembali dengan tendangan dia tahu bahwa yang menubruknya adalah sesosok mayat! Benarkah ada mayat orang bisa hidup kembali karena merasa sakit hati melihat isterinya diganggu orang lain?
Ah, tak mungkin ini! Dia tidak percaya dan tiba-tiba Siauw Lek tertawa. Yang sudah mati tetap mati, dan kalau ada gerakan-gerakan, hal ini pasti dilakukan oleh orang yang masih hidup. Ia menendang meja dan tubuh bayi itu pun mencelat jatuh ke atas lantai, akan tetapi sama sekali tidak bergerak, tidak terbangun biarpun terbanting karena sesungguhnya bayi ini telah mati pula! Mati oleh jari tangan Siauw Lek yang "mengelus-elus" ubun-ubun kepala anak itu tadi, mengelus sambil menekan sehingga bayi itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara apa-apa dan disangka tidur oleh ibunya.
Wanita muda itu ketika melihat bayinya terbanting dari atas meja, menjerit keras, meninggalkan mayat suaminya danm menubruk anaknya, terus diangkat, dipeluk dan didekapnya. Akan tetapi ia tersentak kaget, memandang muka bayinya dan tiba-tiba terdengar suaranya melengking tinggi menyayat hati dan robohlah wanita muda itu dengan tubuh lemas, roboh pingsan dengan mayat bayinya masih di dalam pondongannya!
Siauw Lek sudah meloncat bangun ke tengah kamar, tidak memperdulikan keadaan wanita muda itu lagi, pandang matanya berkilat ketika ditujukan ke arah pintu kamar dari mana tadi "mayat hidup" itu menyerangnya. "Siapakah berani bermain gila dengan aku?" bentaknya, menyangka bahwa tentu ada orang pandai mengejarnya dari rumah gedung panglima she The yang dikacaunya tadi.
Akan tetapi mata yang menyinarkan kemarahan itu berubah terbelalak penuh keheranan dan kekaguman ketika tampak oleh Siauw Lek bahwa yang muncul dari pintu itu adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan yang memasuki kamar itu dengan langkah lambat, dengan tubuh bergerak-gerak seperti menari ketika kedua kaki itu melangkah bergantian rapat-rapat, pinggulnya yang lebar melanggang-lenggok, pinggang yang ramping seperti patah-patah, wajah yang cantik itu tersenyum manis dengan mata menyambar penuh tantangan, namun di balik senyum itu tampak sikap memandang rendah.
Wanita itu mengenakan pakaian sutera berkembang yang ketat membungkus tubuh, dipunggungnya tampak gagang pedang yang beronce merah. Sukar menaksir usia wanita ini. Masih kelihatan amat muda seperti gadis remaja dua puluhan tahun, namun senyum bibir manis dan pandang mata tajam itu sudah amat masak sehingga patutnya dia berusia tiga puluh tahun kurang sedikit.
Wanita itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im! Secra kebetulan saja ia melihat Siauw Lek menibulkan kekacauan di rumah Panglima The di malam hari itu ketika dalam perjalanan malamnya Cui Im lewat di kota itu. Ia amat tertarik ketika mendengar bahwa laki-laki tampan gagah itulah yang bernama julukan Kim-lian Jai-hwa-ong, julukan yang sudah banyak ia mendengarnya. Jadi inikah murid Go-bi Cjit-kwi yang dahulu menjadi musuh besar gurunya, karena gurunya Lam-hai Sin-ni pernah dahulu hampir diperkosa tujuh orang setan Go-bi itu. Ia menjadi kagum ketika menyaksikan cara Siauw Lek merobohkan lawan-lawannya, maka diam-diam ia membayangi penjahat cabul itu. Ia ingin mencoba kepandaian murid Go-bi Chit-kwi dan juga sikap dan kepribadian Siauw Lek yang penuh kejantanan itu amat menarik hatinya, menyentuh kewanitaannya dan membangkitkan berahinya. Ketika ia membayangi laki-laki itu, Cui Im dapat menduga bahwa dalam hal kelincahan dan keringanan tubuh, dia sendiri hanya menang sendikit saja, dan kiranya tingkat kepandaian ginkang Siauw Lek tidak kalah jika dibandingkan dengan seorang di antara Bu-tek Su-kwi! Ia menjadi makin kagum dan membayangi terus.
Ketika Cui Im yang mengintai perbuatan Siauw Lek di dalam pondok sederhana itu melihat kekejaman Siauw Lek membunuh suami dan bayi dari wanita yang hendak diperkosanya itu, dia tersenyum. Bukan main pria ini, pikirnya. Cerdik dan pandai, juga amat gagah perkasa, tidak gentar melakukan pembunuhan betapapun kejamnya! Orang seperti ini amat ia butuhkan.
Ia perlu mempunyai seorang pembantu seperti ini, yang berilmu tinggi, yang berwatak keras dan dingin. Dengan seorang pembantu seperti itu, barulah dia akan dapat menjagoi dunia sebagai tokoh nomor satu! Hanya ada satu hal yang masih ia ragukan, apakah pria ini patut menjadi temannya dalam petualangan cintanya!
Sementara itu Siauw Lek yang biasanya memandang rendah orang lain, yang biasanya tidak gentar menghadapi siapapun juga, kini merasa bulu tengkuknya bangun berdiri. Sungguh dia tidak pernah mimpi bahwa dia akan berhadapan dengan seorang wanita secantik ini, yang dapat "menghidupkan" mayat, yang agaknya sejak tadi telah membayanginya tanpa dia ketahui sama sekali, yang begitu cantik akan tetapi juga mendatangkan sikap dingin yang mengerikan tersembunyi di balik kehangatan dan kegairahan yang panas membakar dan menantang!
"Eh.. siapakah engkau...?" Siauw Lek merasa heran sendiri mengapa dia tiba-tiba menjadi gugup dan kehilangan ketenangannya. Juga gairahnya terhadap ibu muda itu lenyap sama sekali tidak kecewa melihat kenyataan bahwa kembali kesenangannya terganggu.
Cui Im tersenyum dan menggunakan senyum memikat yang sudah terlatih, setengah senyum setengah tawa sehingga cukup lebar untuk memperlihatkan deretan gigi putih seperti mutiara dan sekilas pandang ujung lidahnya yang merah mencuat keluar di antara deretan gigi mutiara. "Engkau Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek, engkau murid Go-bi Chit-kwi bukan? Hemmm, bagus sekali semua perbuatan yang kau lakukan malam ini, semenjak dari gedung panglima sampai pondok ini. Eh, orang she Siauw, apakah engkau tidak takut akan dosa dan tidak ngeri memikirkan neraka yang kelak akan menyiksamu?"
Melihat sikap dan mendengar ucapan wanita cantik ini, perlahan-lahan lenyaplah ketegangan di hati Siauw Lek.
***
Dapatlah dia menduga bahwa wanita cantik ini bukanlah seorang anggota golongan lawan, melainkan agaknya juga seorang petualang, seorang yang tidak asing akan dunia hitam, dan mulailah pandang matanya penuh nafsu berahi menjelajahi bentuk tubuh yang ramping padat dan menjanjikan kemesraan lebih merangsang daripada ibu muda tadi.
"Nona, engkau sungguh nakal sekali, membikin aku kaget setengah mati. Mengapa engkau main-main dengan mayat itu? Kusangka betul-betul ada mayat hidup! Engkau sudah mengenal namaku, itu baik sekali. Sekarang tinggal aku yang belum mengenalmu. Kalau nona suka memperkenalkan diri, agaknya kita dapat menjadi sahabat-sahabat yang baik sekali. Bukankah begitu pendapatmu, nona yang cantik seperti bidadari?"
Cui Im mengangguk-angguk senang. Suara pria ini mendatangkan kesan baik, suaranya merdu dan mengandung rayuan yang sama mesranya dengan kata-katanya, pria yang pandai bicara, pandai menyenangkan hati wanita. Akan tetapi ia hanya tersenyum, tidak menjawab memperkenalkan diri, bahkan berkata dengan sikap memandang rendah, "Aku harus melihat dulu apakah engkau pantas menjadi sahabatku, Jai-hwa-ong. Kita tunda dulu saja tentang namaku karena aku ingin melihat apakah engkau memiliki kepandaian seperti yang terkenal di dunia kang-ouw, ataukah hanya nama kosong belaka."
Sepasang mata Siauw Lek berkilau penuh kegembiraan. Ia tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan wanita seperti ini, "Aha, hebat sekali kesombonganmu Nona. Engkau masih belum percaya akan nama besarku dan hendak mencoba kepandaianku, begitukah yang kau maksudkan?"
Cui Im mengangguk. "Bukan mencoba hanya ingin membuktikan isi dari nama besarmu." Siauw Lek tertawa tergelak, kegembiraannya timbul dan kini kepercayaan kepada diri sendiri pulih.
Tentu saja seorang gadis cantik jelita semuda ini merupakan lawan yang amat lunak dan dia sudah dapat memastikan bahwa dengan mudah dia akan dapat menundukkan nona manis ini.
"Bagus! Biarlah kita saling menguji kepandaian dan kalau sampai aku menang, aku minta hadiah!"
"Hadiah apa?"
"Peluk - cium!" Siauw Lek tertawa dan sudah siap menghadapi kemarahan gadis itu. Sengaja dia hendak membangkitkan kemarahannya karena dalam pertandingan, siapa yang dirangsang kemarahan berarti sudah kehilangan kewaspadaan dan kalau gadis ini ternyata lihai, kemarahannya akan mengurangi kelihaianya. Akan tetapi, kembali Siauw Lek tertegun karena gadis itu hanya tersenyum manis sekali dan menjawab.
"Hemmm, itu sudah sepatutnya. Akan tetapi kalau aku yang menang engkau harus membunuh wanita yang membuatmu tergila-gila ini. Bagaimana?"
Siauw Lek menoleh ke arah tubuh ibu muda yang masih pingsan, dan dia mengangguk.
"Kalau aku kalah olehmu, memang tidak berharga sekali aku untuk menikmati wanita ini. Baiklah, aku memenuhi permintaanmu itu."
Cui Im sudah berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang. "Nah, aku sudah siap. Majulah!"
Sekali lagi Siauw Lek tertegun. "Disini? Kamar ini sempit sekali untuk dipakai tempat mengadu silat!"
Cui Im tersenyum mengejek. "Tidak ada tempat sempit atau luas bagi seorang yang benar-benar ahli. Apakah engkau takut?"
"Siapa yang takut? Lihat, kutangkap engkau, nona yang menggemaskan hati!" Siauw Lek tertawa akan tetapi tiba-tiba sekali tubuhnya sudah menubruk maju, jari tangan kiri terbuka, mencengkeram ke arah dada Cui Im sedangkan yang kanan sedangkan yang kanan secepat kilat, juga sebelum kedua tangan datang, angin pukulannya telah terasa oleh Cui Im. Gadis ini diam-diam menjadi kagum.
Kiranya orang ini juga memiliki sinkang yang amat kuat. Pantas menjadi murid Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Andaikata serangan macam ini ditujukan kepadanya lima tahun yang lalu sebelum ia menggembleng diri dengan ilmu-ilmu tinggi dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena selain gerakannya tentu jauh kalah cepat oleh Siauw Lek, juga tenaga sinkangnya tentu kalah jauh. Kini Cui Im dengan tenang saja mendoyongkan tubuh atasnya ke belakang dan kedua tangannya menyambar dari bawah, sekaligus menangkis serangan lawan sambil menggerahkan tenaganya, dan begitu dua pasang lengan itu bertemu yang membuat Siauw Lek berseru kaget karena dia merasa betapa kedua lengannya tergetar dan panas, kaki Cui Im bergerak menendang ke bawah pusarnya.
"Aihhh..!" Siauw Lek yang tadinya memandang rendah, kaget bukan main. Tendangan itu tidak keras akan tetapi kalau tidak cepat dia hindarkan, tentu dia akan mati karena yang ditendang adalah kelemahan setiap orang laki-laki. Sambil berteriak kaget Siauw Lek sudah meloncat ke belakang, terhindar dari tendangan dan tubuhnya kini sudah berada di atas dipan, menginjak tubuh suami ibu muda yang tadi telah menjadi "mayat hidup."
"Engkau hebat sekali...!" Ia memuji lebih penasaran daripada kagum. Memuji karena penasaran dan untuk menutupi rasa malunya. Masa dalam segebrakan saja dia hampir saja celaka di tangan wanita cantik ini?
"Hi-hi-hik, baru begitu saja hebat? Kau lihat dan jaga seranganku sekarang!" Cui Im tertawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, meluncur ke depan seperti seekor burung walet menyambar, sambil meloncat ke depan ia sudah menyerang dengan kedua tangan terbuka, melakukan totokan dengan sepuluh jari tangannya ke bagian-bagian tubuh lawan, mencari jalan darah yang mematikan!
"Hayaaa..!" Siauw lek terkejut sekali karena bertubi-tubi dia diserang dan setiap serangan gadis itu adalah serangan yang kalau mengenai sasaran akan mendatangkan maut! Ia cepat mengelak, berloncatan kesana-sini di dalam kamar sempit itu, namun bagaikan bayangan setan gadis itu terus mengekar dan enghujankan serangan dengan totokan-totokan dan pukulan-pukulan yang amat aneh, yang belum pernah dilihat sebelumnya dan mengandung hawa sinkang amat kuat.
"Celaka...!" Tak terasa lagi seruan ini keluar dari mulut Siauw Lek. Baru sekarang terbuka matanya betapa salahnya tadi memandang rendah gadis ini. Kiranya gadia ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga biar dalam ginkang maupun sinkang, gadis ini melebihi dia sendiri! Kini berubah pendiriannya dan sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaian yang dia warisi dari Go-bi Chit-kwi dia melakukan perlawanan, membalas serangan dengan serangan maut pula, karena dia maklum bahwa tanpa perlawanan mati-matian, nyawanya terancam bahaya maut! Kini dia tidak memandang gadis cantik ini sebagai calon korban, sama sekali jauh, daripada itu, melainkan menganggapnya sebagai seorang musuh yang harus dikalahkannya, sebagai seorang lawan yang paling berat di antara semua lawan yang pernah ditandinginya!
Setelah laki-laki itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian yang di warisinya dari Go-bi Chit-kwi, memang dia amat hebat dan berulah dia dapat mengimbangi kedasyatan gerakan Cui Im. Diam-diam Cui Im menjadi makin kagum dan girang. Laki-laki ini benar-benar boleh dijadikan pembantu. Ilmu kepandaiannya hebat, agaknya akan dapat menandingi Bu-tek Su-kwi dan tidak akan kalah menghadapi Cia Keng Hong, kalau bocah itu masih hidup, pikirnya sambil tersenyum. Menyaksikan gadis yang di lawan mati-matian itu masih dapat tersenyum-senyum, leher Siauw Lek mulai berkeringat. Dia sudah mati-matian, sampai pening kepalanya dan terengah-engah napasnya, akan tetapi gadis itu masih enak-enak saja tersenyum-senyum. Benar-benar mengerikan sekali!
"Robohlah...!" Tiba-tiba Siauw Lek membentak dan dia menyerang dengan jurus pukulannya yang paling ampuh, yaitu dengan mendorongkan kedua tepak tangan ke depan. Pukulan ini mengandung dorongan tenaga sinkang yang amat kuat, cukup untuk merobohkan lawan dari jarak jauh, apalagi kini dia menyerang dari jarak dekat. Dapat dibayangkan betapa hebat kekuatan dorongannya itu. Namun Cui Im terkekeh mengejek, tubuhnya mencelat mumbul ke atas dari atas menukik ke bawah, kedua tangannya bergerak memukul ke bawah, yang kiri menimpa kedua lengan lawan yang bagian atas dan yang kanan sudah menampar pundak Siauw Lek.
"Buuuuuuukk.. Plakkk..!" Tanpa dapat dipertahankannya lagi, tubuh Siauw Lek tergelimpang dan dia roboh menimpa tubuh ibu muda yang hendak dipaksanya melayani hasrat nafsu berahinya tadi!
"Hi-hi-hik, kepandaianmu lumayan juga, orang she Siauw!" Cui Im berkata, bukan mengejek, melainkan dengan ketulusannya hati.
Siauw Lek mengoyang-goyang kepalanya terasa pening, kemudian bangkit berdiri dan memandang Cui Im dengan mata terbelalak, hampir tidak dapat percaya. Seorang gadis begitu cantik dan muda, memiliki kepandaian yang sedemikian hebatnya? Ahhh, mimpi pun tak pernah dia akan dikalahkan oleh seorang gadis jelita. Tiba-tiba terdengar suara jerit melengking dan disusul tangis. Kiranya ketika dijatuhi tubuh Siauw Lek tadi, ibu muda teringat akan suami dan anaknya, ia menjerit dan menangis, memeluk mayat anaknya.
Siauw Lek menjadi gemas. Ia memang sudah merasa penasaran dan marah karena kekalahkannya dan tidak menemukan sasaran untuk melampiaskan kemarahannya, kini hendak dia tumpahkan kepada ibu muda itu. Ia mengangkat tangan hendak menampar kepala yang tadinya ingin dia dekap dan ciumi, untuk membunuhi wanita itu.
***
"Eiiit! Mengapa tergesa-gesa? Apakah engkau sudah mengaku kalah?" Cui Im sambil meraba gagang pedangnya. "Nona, bolah jadi dalam hal ilmu silat tangan kosong aku sudah kalah olehmu, akan tetapi selama Hek-liong-kiam masih ada padaku, aku belum mengaku kalah!" "Bagus, aku ingin pula menyaksikan ilmu pedangmu, boleh ditambah senjata rahasiamu, bukankah kau mahir mempergunakan Hek-tok-ting?" kata pula Cui Im dengan sikap memandang rendah.
Hati Siauw Lek makin penasaran dan sekali bergerak, tangan kananya sudah mencabut pedangnya yang bersinar hitam dan tangan kirinya sudah merogoh keluar belasan buah senjata rahasia berbentuk paku-paku hitam. "Nona, bersiaplah menghadapi senjata-senjataku!" Cui Im tersenyum, tangan kanannya bergerak ke belakang dan tiba-tiba pandang mata Siauw Lek silau oleh sinar merah ketika pedang wanita itu tercabut keluar dan dilihat, tangan kiri wanita sakti ini telah menggenggam senjata rahasianya yaitu jarum-jarum merah yang amat halus. Melihat pedang merah ini, Siauw Lek mengerutkan alisnya.
"Ang-kiam (Pedang Merah)...!" Rasanya pernah aku mendengar tentang pedang merah...., pernah disebut-sebut di dunia kang-ouw... Ah, benar! Bukankah engkau Ang-kiam Tok-sian-li, murid Lam-hai Sin-ni adalah musuh besar mendiang guru-gurunya, maka bukan hal aneh kalau murid Lam-hai Sin-ni memusuhinya. Tentu itu sebabnya mengapa wanita ini memusuhinya dan kalau memang karena permusuhan itu, dia harus dapat membunuh wanita ini!
Akan tetapi Cui Im mengeleng-geleng kepala dan senyumnya melebar. "Dahulu memang benar demikian, akan tetapi sekarang julukanku adalah Ang-kiam Bu-tek dan Lam-hai Sin-ni bukan guruku lagi karena tingkatku jauh lebih tinggi daripada tingkatnya.
Tak perlu bicara tentang aku sebelum engkau dapat lulus dari ujianku. Nah, gerakkanlah senjatamu, Siauw Lek!"
Ucapan Cui Im itu amat sombong dan terkebur, akan tetapi juga mengejutkan hati Siauw Lek disamping menggemaskan karena sikap nona itu benar-benar seperti menganggap dia seorang anak kecil saja! Sambil mengeluarkan bentakan keras dia menerjang maju, pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing ketika meluncur dan menyambar ke arah tubuh Cui Im. Namun wanita ini dengan gerakan seenaknya mengangkat pedangnya, memutarnya dan tampaklah sinar seperti payung menangkis sinar hitam itu sehingga tampak bunga-bunga api diiringi suara berdencing nyaring dan sinar hitam terpental ke belakang. Siauw Lek merasa betapa tangannya kesemutan dan dia menjadi penasaran, menyerang dengan dahsyat sekali mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Dua macam sinar pedang merah dan hitam itu segera saling libat dan saling himpit, membentuk lingkaran-lingkaran menyilaukan mata. Dua orang yang lihai ini bertanding pedang tanpa bicara, hanya terdengar dencingan-dencingan senjata mereka seolah-olah menjadi musik yang mengiring tangisan ibu muda yang tidak memperdulikan pertandingan itu karena seluruh perhatiannya tertuju kepada mayat-mayat suami dan anaknya.
"Tranggg.. Cringgg…..!!" Suara bertemunya pedang lalu saling tempel dan saling ditarik iitu disusul keluhan Siauw Lek yang mencelat mundur dengan baju bagian depan robek lebar! Mukanya pucat sekali dan tangan kirinya bergerak.
"Srat-srat-srat....!" Sinar-sinar hitam menyambar ke depan dan tahu-tahu ada sembilan batang paku menyambar ke arah sembilan bagian tubuh depan Cui Im. Nona ini tersenyum saja, hanya menggerakkan pedang ke depan muka untuk menyampok runtuh tiga batang paku yang menyerang sepasang mata dan dahinya, adapun enam batang paku lainnya yang menyerangnya dari dada ke bawah, ia diamkan saja.
"Hemmm, tadi disuruh menuruti kata-katanya, kini berubah menjadi mentaati segala perintahnya! "Baik, saya akan taat."
"Kalau begitu, mengapa engkau belum juga turun tangan memenuhi janjimu? Engkau telah kalah, Siauw-twako, apakahnya pada diri wanita ini yang membuatmu tergila-gila tadi?" Siauw Lek menoleh ke arah ibu muda yang masih terisak-isak menangis. Dalam kedukaannya wanita ini lupa akan keadaan tubuhnya yang telanjang bagian atasnya. Ia menangis dan buah dadanya bergoyang-goyang. Air susu mengalir keluar membasahi keluar membasahi mukanya. Melihat dada wanita itu, Siauw Lek tersenyum. Tak salah lagi, dada itulah yang mula-mula menarik hatinya, yang menimbulkan gairahnya. Ia menggerakkan tangan, pedangnya berubah menjadi sinar hitam menyambar ke depan. Ibu muda itu menjerit, darah memancar keluar dari sepasang buah dadanya yang terbelah, ia roboh menindih mayat anaknya dan tewas dalam genangan darahnya sendiri!
"H-hi-hi, bagus sekali, engkau memenuhi janjiu, Siauw-twako. Engkau ternyata seorang laki-laki sejati!"
Siauw Lek menyimpan pedangnya dan memandang Cui Im dengan mulut tersenyum dan pandang mata memikat. "Tentu saja aku seorang laki-laki sejati, cukup jantan untuk menandingimu dalam apa pun juga,Nona. Akan tetapi bukankah kini tiba waktunya bagimu untuk memperkenalkan diri? Julukanmu Ang-kiam Bu-tek, dan memang pedang merahmu sukar dicari bandingnya, akan tetapi siapakah namamu, Nona?"
Cui Im tersenyum. "Belum waktunya engkau mengenal namaku. Ilmu kepandaianmu cukup bagiku, cukup memenuhi syarat, akan tetapi apakah engkau benar seorang jantan dalam hal lain, masih harus keselidiki dan uji lebih dulu."
"Maksudmu....?" Siauw Lek membelalakan matanya melihat betapa wanita cantik itu dengan gerakan genit menarik mulai menanggalkan pakaiannya sendiri. Selama petualangannya baru satu kali. Inilah Siauw Lek mengalami hal yang luar biasa ini, akan tetapi sama sekali bukanlah hal yang tidak menyenangkan hatinya!
Ia pun bersiap-siap, namun sambil melirik ke arah tiga mayat keluarga yang dibunuhnya itu, tak urung mulutnya berbisik, "Di... disini..?"
"Mengapa? Engkau ngeri?" Cui Im bertanya tertawa, lalu melangkah maju menghampiri pembaringan, kaki kanannya yang sudah tak tertutup lagi digerakkan ke atas, ibu jari kakinya bergerak-gerak dibantu jari-jari yang lain yang menyambak rambut kepala suami ibu muda dan melontarkan mayat itu dari atas dipan yang masih bernoda darah.
"Aku? Ngeri? Ah, dewi cantik jelita, bersamamu aku akan sanggup menikmati tempat yang bagaimana burukpun, berubah menjadi sorga!" Siauw Lek menubruk dan merangkul, disambut Cui Im yang tertawa-tawa.
Iblis sendiri akan merasa ngeri dan muak menyaksikan sepasang manusia luar biasa ini, yang memiliki kekejaman tidak lumrah, keji dan jahat tiada taranya! Dan sekali ini Cui Im merasa benar-benar bertemu tanding yang amat menyenangkan dan memuaskan hatinya. Ternyata dalam segala hal, Siauw Lek benar-benar merupakan seorang laki-laki yang cukup boleh diandalkan, dapat menjadi seorang pembantu yang setia, seorang pengawal yang cukup lihai, dan seorang kekasih yang tidak mengecewakan hatinya.!
Sementara itu, Siauw Lek diam-diam merasa kagum, akan tetapi juga penasaran, Ia merasa betapa di dalam segala hal, dia selalu kalah oleh Cui Im. Dalam ilmu silat, dalam ginkang dan sinkang dalam kepandaian merayu dan bercinta. Kekalahan-kekalahan ini membuat dia penasaran. Masa dia, Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang belum pernah bertemu tanding dalam segala hal, kini harus tunduk dan taat akan segala perintah seorang gadis muda? Betapapun menyenangkan wanita ini, aku harus dapat menundukkan wanita ini, kalau tidak, akan rendah dan hinalah namamu demikian dia berpikir.
***
Menjelang pagi, ketika dia yang berpura-pura tidur itu mendengar pernapasan yang halus dan tenang dari Cui Im dan menganggap wanita itu sudah tidur nyenyak, Siauw Lek perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Sinar lilin yang sudah remang-reang itu menerangi wajah yang cantik. Hemmm, sungguh seorang wanita pilihan, pikrnya. Betapapun juga, aku harus memaksa dia menjadi pembantuku, bukan aku menjadi pembantunya, demikian Siauw Lek mengambil keputusan. Cepat tangannya bergerak, hendak menotok pundak yang telanjang itu untuk membuat tubuh Cui Im lemas dan tidak berdaya. Dalam keadaan tidak berdaya, dia akan melakukan apa saja untuk memaksa Cui Im menjadi pembantunya. Akan tetapi Siauw Lek tidak melanjutkan gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya seperti kaku karena ada jari-jari tangan halus mencengkeramnya di bawah selimut! Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan totokannya, sebelum jari tangannya menyentuh pundak lawan, nyawanya sendiri akan lebih dulu melayang meninggalkan raganya! Mukanya menjadi pucat keringat dingin memenuhi dahinya.
"Hemmm, apakah engkau masih juga belum takluk kepadaku, Siauw-twako? Ataukah engkau benar-benar lebih senang mampus?"
"Aku.. Aku hanya mencoba...."
"Eh, tidak bisa engkau membohongiku, Engkau ingin menguasai aku, bukan?"
"Ba.... bagaimana engkau bisa tahu?"
"Hi-hi-hik, aku tahu bahwa engkau tadi masih penasaran, belum tunduk kepadaku. Dalam hal kecurangan dan tipu muslihat, engkau pun takkan menang dariku, Twako. Akulah jago wanita nomor satu di dunia ini dan sebagai pembantuku, engkau tidak akan menjadi rendah , bahkan namamu akan meningkat. Nah, bagaimana sekarang? Engkau tahu bahwa dengan tidak membunuhmu saat ini berarti aku sayang kepadamu, akan tetapi lain kali, sekali saja engkau berani main-main aku pasti akan membunuhmu."
Siauw Lek menghela napas, bukan karena menyesal, melainkan karena kagum sekali. Ia merangkul dan mencium dan saat itu pula Cui Im sudah yakin benar bahwa ia berhasil menundukkan pria ini.
***
Ia memilih sendiri pembantu-pembantunya, menunjuk orang-orang yang cakap, mengangkat menteri-menteri dan ponggawa-ponggawa, bahkan tidak hanya sampai di situ perubahan yang dilakukannya. Ia merasa khawatir bahwa kalau dia melanjutkan pemerintahan berpusat di istana lama, tentu para pembantunya itu lambat laun akan terpengaruh pula oleh kaum penjilat Maka dia mengambil keputusan yang amat penting dan bersejarah, yaitu dia memindahkan ibukota atau kota raja dari selatan ke utara yaitu dari Nanking ke Peking!
Mulailah kaisar yang baru ini membangun di Peking dan mulailah tercipta bangunan -bangunan yang amat indah dan penuh dengan daya seni yang mengagumkan. Istana yang besar-besar, megah dan indah dibangun oleh tenaga-tenaga ahli yang didatangkan dari segenap penjuru negeri. Sedemikian hebatnya pembangunan di kota raja kerajaan Beng -tiauw ini sehingga tercatat dalam sejarah bahwa pada masa itu, Kota Raja Peking menjadi kota yang gilang gemilang, yang tidak ada taranya dalam keindahannya di seluruh dunia dan yang mengagumkan setiap orang musafir yang datang dari segala penjuru dunia.
Bukan hanya istana-istana besar dan megah di kota raja yang dibangun oleh kaisar baru ini, melainkan juga pekerjaan-pekerjaan besar yang lain dimulai. Tembok besar Ban-li-tiang-shia yang panjangnya lebih dari dua ribu il itu, bangunan ajaib yang dibangun untuk menjadi benteng pertahanan Tiongkok dan melindungi pedalaman dari serbuan suku-suku asing di utara, yang dimulai pembangunannya pada abad ke dua sebelum Tarikh Masehi, kini disusul lagi, diperbaiki dan diperkuat. Bukan hanya tembok besar ini saja, juga terusan yang menghubungkan Sungai Yang-ce-kiang dan Sungai Huang-ho, yang penggaliannya dimulai pada jaman penjajah Mongol, kini dilanjutkan, diperbaiki dan diperlebar.
Setelah perang saudara berhenti, mulailah rakyat sibuk membangun kembali di bawah pimpinan Kaisar Yung Lo yang ternyata tidak hanya pandai memimpin bala tentara, akan tetapi pandai pula membangun negara. Pada jaman kaisar inilah kebudayaan dan kesenian berkembang luas dan mulai jaman itu pulalah pelajaran-pelajaran Nabi Khong-hu-cu berkembang, bahkan dicetak menjadi kitab-kitab dan lebih daripada itu pula dijadikan pedoman bagi mereka yang menempuh ujian-ujian negara! Pengetahuan tentang pelajaran-pelajaran filsafat dari Nabi Khong-hu-cu ini dijadikan ukuran terpelajar atau tidaknya seseorang, bahkan pengetahuan itu merupakan kunci untuk membuka pintu kedudukan bagi para pelajar.
Dibandingkan dengan ajaran yang sudah-sudah, keadaan rakyat mengalami perbaikan setelah Kaisar Yung Lo memegang kekuasaan. Pemerintah mulai mengatur kehidupan rakyat dan ketenteraman mulai terasa di mana-mana.
Tentu saja, keadaan pemerintahan yang baik hanya merupakan sebuah di antara syarat-syarat kebahagiaan hidup manusia, bukan merupakan syarat mutlak karena bagi manusia yang belum mengerti, hidup ini merupakan siksa dan derita. Terlampau banyak hal-hal yang mengurangi atau melenyapkan kebahagiaan hidup. Memang jaranglah terdapat manusia yang mengerti akan ujar-ujar kuno yang berbunyi :
Siapa mendekati nikmat menjauhi derita atau pun sebaliknya dia takkan dapat merasai bahagia! Demikian pula dengan kehidupan Song-bin Siu-li Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni. Dara jelita ini semenjak dibebaskan dari kematian oleh ibunya sendiri dan dibawa kembali ke selatan hidup merana dan menderita sengsara dalam batinnya. Apalagi ketika ia mendengar akan lenyaplah Keng Hong yang oleh semua orang dianggap sudah mati ketika para tokoh tidak dapat menemukan pemuda itu di puncak batu pedang. Biauw Eng menangis setiap hari, menangisi kematian Keng Hong, satu-satunya pria di dunia ini yang dicintainya.
"Ihhh, mengapa engkau begini lemah? Sungguh tidak patut menjadi anakku! Menangis saja kerjanya setiap hari. Sungguh memalukan!" Berkali-kali Lam-hai Sin-ni memarahi puterinya. Sebenarnya hanya pada lahirnya saja nenek ini marah-marah dan mencela, padahal di dalam hatinya ia merasa berduka, kecewa, menyesal dan marah sekali. Berduka menyaksikan penderitaan batin puterinya yang terkasih. Kecewa mengapa puterinya mewarisi wataknya yang teguh mencinta seorang pria saja dengan kesetiaan cinta kasih yang merugikan diri sendiri. Menyesal mengapa dia tidak menahan dan mamaksa Keng Hong ketika bertemu dahulu agar pemuda itu tak pernah berpisah dari puterinya, dan marah kepada Keng Hong juga yang dianggapnya menjadi biang keladi penderitaan batin puterinya!
Biauw Eng menahan isaknya dan memandang ibunya dengan wajah kurus dan pucat. Matanya yang lebar tampak lebih lebar lagi karena wajahnya kurus, dan sinar matanya suram-muram seperti lampu kehabisan minyak.
"Ibu, salahkah kalau hati ini mencinta Keng Hong? Salahkah kalau hati ini berduka karena kehilangan satu-satunya pria yang kucinta? Aku tidak sengaja, Ibu, aku sama sekali tidak lemah. Hanya...apakah artinya hidup ini kalau Keng Hong tidak berada di sampingku? Kalau dia mati, aku pun ingin mati saja, Ibu!"
Lam-hai Sin-ni merasa seolah-olah jantungnya ditusuk, dan bulu tengkuknya meremang. Anaknya ini sama sekali tidak lemah, bahkan terlalu keras hati! Kalau saja dia tidak pandai mengemukakan alasan, tentu Biauw Eng sudah membunuh diri begitu mendengar bahwa Keng Hong lenyap tak meninggalkan bekas.
"Anak bodoh! Cinta ya cinta, masa begitu nekat?" Ia mengomel, terkenang kepada dirinya sendiri ketika ia tergila-gila kepada Sie Cun Hong si Raja pedang.
***
Dia pun dahulu nekat mencinta Sie Cun Hong semenjak pendekar itu menolongnya dari tangan Go-bi Chit-kwi, mencinta dengan nekat dan membuta sehingga ia menyerahkan jiwa raganya, menyerahkan kehormatannya padahal ia tahu manusia dan laki-laki macam apa adanya Sie Cun Hong. Sesal kemudian tak berguna. Dia mengandung. Sie Cun Hong meninggalkannya. Selama hidup dia merana, merindu dan menderita sengsara. Padahal ketika itu ia tidak muda lagi. Begitu kuatnya dia mempertahankan kegadisannya, bahkkan pernah ia mengambil keputusan untuk tidak berhubungan dengan pria selama hidupnya. Keputusan yang membuat ia dapat meraih ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi akhirnya ia jatuh oleh Sin-jiu Kiam-ong, jatuh sampai ke lubuk hatinya yang mencinta pria itu. Dia menjadi korban cinta kasihnya sendiri. Dan kini puterinya juga mengalami hal yang sama!
"Biauw Eng, biarpun engkau sudah buta oleh cinta, akan tetapi janganlah buta terhadap kenyataan! Siapa bilang bahwa Keng Hong mati? Aku tidak percaya! Bocah seperti setan neraka itu mana bisa mati begitu mudah? Kalau dia mati, mana mayatnya? Jangan engkau bodoh, dia belum mati, percayalah kepadaku!"
Sinar mata yang layu itu menjadi agak segar kebali. "Benarkah, Ibu? Kalau masih hidup, dimanakah dia?"
"Siapa tahu kemana larinya bocah setan neraka itu? Akan tetapi jelas dia belu mampus. Kita sendiri sudah mencari sekeliling Kiam-kok-san, kalau dia mampus tentu ada mayatnya, tak mungkin mayatnya lenyap begitu saja. Dia belum mampus dan kalau engkau sekarang mati dan dia muncul, bagaimana?"
"Ah, kuharap dia lekas muncul, Ibu...!"
"Tentu saja dia akan segera muncul kalau engkau sabar menunggu. Daripada engkau susah setiap hari, lebih baik engkau selalu bersembahyang agar kalau dia sudah mati cepat-cepat ditemukan mayatnya dan kalau hidup cepat-cepat muncul di depanmu!"
Demikianlah, Biauw Eng masih hidup, tidak membunuh diri. Akan tetapi dia seperti membunuh diri sekerat demi sekerat, menyiksa tubuhnya sendiri yang menjadi makin kurus dan pucat.
Kadang-kadang termenung seperti orang linglung yang membuat dia masih tetap hidup hanyalah harapannya yang tak kunjung padam, seperti ujung hio (dupa) menyala, berkelap-kelip kecil namun tak pernah padam. Dia terus menanti, terus menanti dengan hati penuh rindu. Setiap malam Biauw Eng bersembahyang, bahkan kini ia benar-benar berkabung, berkabung untuk Keng Hong yang dia anggapnya tentu telah mati, akan tetapi karena belum terbukti ia masih selalu menanti kemunculannya.
Melihat keadaan puterinya ini, Lam-hai Sin-ni menjadi marah dan juga malu. Ia mengajak puterinya kembali ke pantai selatan dan bersembunyi di pantai yang sunyi dan indah, dimana ia mempunyai sebuah gedung yang mungil, hidup sebagai seorang nenek yang diam-diam menderita batinnya menyaksikan keadaan puterinya. Pernah ia berusaha membujuk puterinya untuk menikah, bahkan memberi kesempatan bagi puterinya untuk memilih pria mana yang disukainya.
"Pergilah ke kota raja, pilihlah pangeran, atau bangsawan lain, hartawan atau sastrawan yang muda dan tampan. Ataukah engkau lebih suka seorang pemuda ahli silat yang pandai dan gagah perkasa? Pilihlah di dunia kang-ouw kalau ada yang kau setujui aku yang menanggung bahwa dia akan suka menjadi suamimu. Biar dia seorang pangeran sekalipun, kalau menolak, istananya akan kuhancurleburkan!" Demikian nenek yang menjadi tokoh pertama dari Bu-tek Su-kwi itu membujuk puterinya. Akan tetapi Biauw Eng menggeleng kepalanya dan menjawab lirih, "Tidak tahukah Ibu bahwa aku tidak membutuhkan suami? Aku hanya membutuhkan Keng Hong yang kucinta, membutuhkan kehadirannya. Sudah lima tahun, namun belum ada berita tentang Keng Hong, entah hidup entah mati...."
Lam-hai Sin-ni tak dapat menahan hatinya ketika melihat wajah puterinya ketika mengucapkan kata-kata terakhir itu. Ah, sama saja seperti engkau, bisik hatinya, engkau pun dalam keadaan hidup tidak matipun tidak. Anakku...!
Demikianlah, di tempat sunyi jauh dari dunia ramai, di pantai laut selatan itu, seorang nenek sakti hidup merana dan sengsara hatinya menyaksikan keadaan keadaan puterinya yang patah hati dan gagal dalam asmara itu. Biauw Eng sudah berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun dan gadis ini tetap tidak mau menikah dengan orang lain, tetap setia menanti munculnya Cia Keng Hong yang mungkin sekali sudah mati dalam dugaan Lam-hai Sin-ni. Andaikata masih hidup sekalipun, bagaimana kalau Keng Hong tidak suka membalas cinta kasih Biauw Eng? Bagaimana kalau pemuda itu kelak bahkan menikah dengan lain wanita? Ketika di Kun-lun-san pun pemuda itu sama sekali tidak memperdulikan sikap mencinta puterinya, bahkan sebaliknya, pemuda itu menjatuhkan fitnah yang bukan-bukan! Aku akan memaksanya! Demikian Lam-hai Sin-ni mengambil keputusan di hatinya. Kalau benar bocah setan itu masih hidup, kelak aku akan menyeretnya ke sini dan akan memaksanya menjadi suami Biauw Eng!
Biarpun hatinya selalu berduka memikirkan Keng Hong, namun Biauw Eng yang semenjak kecil digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu tidak pernah melalaikan latihannya. Selama bersunyi diri bersama ibunya di pantai selatan setiap hari gadis ini melatih ilmu silatnya dan kepahitan hidup membuat ilmunya menjadi lebih matang lagi, pandangannya terhadap ilmu yang dimilikinya lebih mendalam sehingga ia dapat menyempurnakan gerakan-gerakannya dan memperkuat sinkangnya.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Lam-hai Sin-ni sudah pergi meninggalkan Biauw Eng seperti biasa untuk berjalan-jalan sepanjang pantai. Nenek ini sudah amat tua dan kepahitan hidup akibat kekecewaannya melihat puterinya membuat ia seperti pikun dan kadang-kadang tidak perduli, berjalan-jalan setengah hari di sepanjang pantai, membiarkan ombak laut membasahi pakaiannya, atau kemudian ia duduk bersila di atas batu karang yang jauh dari tempat itu, seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu karang sendiri.
Biauw Eng melatih ilmu silatnya di tepi pantai, dibawah sinar matahari yang baru saja muncul dari permukaan laut sebelah timur. Tubuh gadis yang berusia dua puluh tiga tahun ini masih kurus, akan tetapi mukanya tidak pucat lagi, karena latihan-latihan setiap hari membuat ia sebetulnya amat sehat badannya. Mukanya kelihatan segar, akan tetapi sinar matanya sayu dan muram seolah-olah dalam hidupnya tidak ada kegembiraan lagi.
Asyik sekali Biauw Eng berlatih silat dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sabuk sutera putih, gerakannya kelihatan lambat namun sabuk sutera itu seolah-olah berubah menjadi seekor naga putih yang berain-main dengan ombak. Amat indah tampaknya, seolah-olah gadis itu seorang dewi lautan yang sedang menari-nari. Namun sesungguhnya di dalam keindahan "tarian" ini tersembunyi tenaga sinkang yang menyambar-nyambar dahsyat, dan sabuk sutera itu sendiri merupakan jangkauan tangan-tangan maut yang mengerikan. Saking tekun dan asyiknya, Biauw Eng yang biasanya amat waspada itu kini tidak tahu bahwa ada dua pasang mata semenjak tadi memandangnya. Dua pasang dari dua orang yang menghampiri tempat itu dan bersembunyi di balik batu karang. Dua orang itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dan Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek!
Setelah memesan kepada Siauw Lek yang memandang bengong penuh kekaguman kepada gadis yang menari-nari indah itu agar laki-laki ini tetap bersembunyi, Cui Im lalu meloncat keluar dari belakang batu karang, menjauhi batu karang itu, kemudian memanggil dengan suara yang penuh kerinduan, penuh keramahan dan amat manis.
"Sumoi..!!"
Dengan sikap tenang Biauw Eng menghentikan silatnya dan menengok. Sebelum menengok ia sudah mengenal suara sucinya, maka begitu melihat sucinya berdiri tak jauh dari situ.
Pertama-tama yang membuatnya terheran-heran adalah kenyataan bahwa dia sama sekali tidak tahu dan tidak mendengar akan kedatangan sucinya sampai begitu dekat! Sudah sedemikian jauhkah kemajuan sucinya ataukah dia yang kehilangan kewaspadaannya?
"Suci... kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini..?" Ia menegur, suaranya juga mengandung kegembiraan karena betapapun juga, Cui Im selain menjadi sucinya, juga menjadi teman bermain semenjak kecil sehingga di antara mereka ada perasaan kasih sayang seperti kakak dan adik.
"Sumoi...., ah, betapa rinduku kepadamu, Sumoi...!" Cui Im lari menghampiri adik seperguruan ini dan Biauw Eng melihat bahwa ketika berlari, gerakan Cui Im sama seperti dulu, tidak keliatan ada kemajuan. Hal ini memang karena kecerdikan Cui Im yang pada saat itu ingin membunyikan kepandaiannya dari sumoinya. Mereka berangkulan sejenak, dan sesungguhnyalah bahwa pada detik itu, tidak hanya di hati Biauw Eng, juga di hati Cui Im terdapat keharuan dan kegirangan yang sejujurnya. Namun hanya beberapa detik saja bagi Cui Im karena ia segera dikuasai kembali oleh nafsu-nafsunya dan apa yang ia lakukan kembali menjadi palsu ketika ia melepaskan rangkulan dan berkata, "Sumoi, bertahun-tahun kita tidak saling berjumpa. Di manakah subo? Aku tidak melihat beliau..."
"Ibu setiap hari berjalan-jalan mencari angin di sepanjang pantai. Suci, selama ini engkau kemana sajakah? Dan kini tiba-tiba engkau muncul disini, apakah ada keperluan penting?" Cui Im tersenyum dan memandang wajah sumoinya yang kurus. Di dalam lubuk hatinya ia tertawa, mentertawakan sumoinya itu karena ia dapat menduga mengapa sumoinya begini kurus. Akan tetapi senyum yang membayang dibibirnya adalah senyum ramah dan manis. "Sumoi, aku datang karena amat rindu kepada subo, dan terutama sekali kepadamu. Ku lihat engkau makin hebat saja ilmu silatmu, aku melihat engkau berlatih dari jauh tadi. Sumoi, tentu engkau sudah mewarisi ilmu simpanan subo, bukan?"
***
"Ilmu simpanan yang manakah, Suci? Semua ilmu dari ibu telah diturunkan kepada kita berdua, ilmu simpanan apalagi yang belum kita pelajari, Suci? Soalnya hanya bakat dan ketekunan masing-masing yang menentukan kemajuan seseorang."
"Ah, adikku yang manis, adikku yang budiman, terhadap sucimu yang amat sayang kepadamu, tegakah engkau membohong? Yang kumaksudkan adalah ilmu rahasia subo, Thi-khi-I-beng. Tentu engkau sudah mewarisinya, bukan?"
Wajah Biauw Eng kehilangan kegembiraannya yang tadi timbul melihat munculnya Cui Im. "Ah ... Itukah? Suci, engkau tentu masih ingat dan mengerti betapa ibu tidak suka kita bicara tentang ilmu itu. Ilmu itu adalah satu-satunya ilmu yang membuat ibu tidak puas karena ibu hanya dapat menguasai kulitnya saja. Karena merasa bahwa ilu itu sama sekali belum sempurna, maka ibu tidak mengajarkannya kepada kita. Mengapa sekarang engkau menyangka yang bukan-bukan, Suci ? Ibu tidak pernah mengajarkan ilmu itu kepadaku!"
"Hi-hi-hik, Sumoi, aku tidak tahu apakah engkau membohong atau tidak. Akan tetapi aku dapat membuktikan bohong tidaknya omonganu ini."
Mendengar perubahan pada nada suara sucinya, Biauw Eng melangkah mundur, memandang tajam dan berkat dengan suara dingin, "Suci, apa yang kau maksudkan?"
Biasanya kalau dia sudah mengeluarkan suara dingin seperti itu, sucinya selalu mmenjadi takut dan tunduk. Akan tetapi alangkah heran hati Biauw Eng ketika melihat sucinya itu tertawa mengejek dan berkata,
"Aku akan menyerangmu sehingga engkau terpaksa mengeluarkan Thi-khi-I-beng untuk menyelamatkan dirimu, Sumoi!"
Biauw Eng mengerutkan keningnya. "Hemmm, jangan berbuat yang tidak-tidak ,Suci. Aku tidak mempelajari ilmu itu, dan andaikan aku memilikinya pun untuk mengalahkanmu kiranya tidak perlu aku menggunakannya."
"Hi-hi-hik, begitukah pendapatmu, Sumoi? Alangkah lucunya! Kau kira aku masih berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li seperti dulu? Mungkin engkau dapat mengalahkan Ang-kiam Tok-sian-li, akan tetapi mana bisa engkau menang melawan Ang-kiam Bu-tek? Hi-I-hik, Bu-tek Su-kwi sekalipun takkan menang melawanku, apalagi engkau. Lihat seranganku!" Tiba-tiba tubuh Cui Im bergerak dan ia sudah mengirim pukulan yang dahsyat sekali ke dada sumoinya.
Melihat gerakan ini, Biauw Eng terkejut. Sekelebat saja ia mengerti betapa sucinya telah memperoleh kemajuan yang amat luar biasa. Cepat ia mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang. Semenjak dahulu ia dapat mengatasi ginkang sucinya dan mengandalkan ginkang ini saja ia dapat membuat sucinya tak berdaya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tahu-tahu tubuh sucinya sudah berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu ia telah diserang lagi sebelum ia sempat menurunkan kedua kakinya, dibarengi dengan suara ketawa mengejek dari mulut Cui Im.
"Aihhh..!" Biauw Eng terpaksa mengangkat tangan, mengerahkan sinkangnya untuk menangkis. Dahulu, selain menang dalam hal ginkang, juga sinkang jauh lebih kuat, maka sekali menangkis, ia mengerahkan sinkang untuk membuat tubuh sucinya terlempar ke belakang.
"Dukkk!" Dua lengan yang berkulit halus bertemu dan akibatnya bukan tubuh Cui Im yang terlempar, melainkan tubuh Biauw Eng yang terguling roboh didahului teriakan kagetnya! Biauw Eng yang merasa betapa tubuhnya terdorong tenaga ujijat dan lengannya seperti lumpuh, bergulingan dan terus meloncat bangun, memandang sucinya yang berdiri tertawa-tawa memandangnya.
"Hi-hi-hik, Sumoi, apakah engkau tidak cepat-cepat mengeluarkan ilmu Thi-khi-I-beng untuk mengalahkan aku?"
Hampir Biauw Eng tak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Sucinya ternyata lihai bukan main, tidak saja ginkangnya menjadi luar biasa cepatnya, juga ilmu silatnya aneh dan tenaga sinkangnya amat kuat! Mengertilah ia bahkan selama lima tahun tidak muncul ini, sucinya yang telah mempelajari ilmu-ilmu lain yang amat hebat. Dengan kemarahan Biauw Eng lalu melolos sabuk suteranya, sabuk sutera putih yang dahulu amat ditakuti Cui Im karena gadis itu tak pernah dapat mengatasi sabuk sumoinya ini dalam latihan-latihan mereka. Akan tetapi kini Cui Im sama sekali tidak gentar melihat sabuk itu, malah tertawa mengejek.
"Sabuk suteramu itu hanya patut untuk dipakai menari, Sumoi, tiada gunanya kau pakai melawan aku. Kalau Thi-khi-I-beng, barulah mungkin dapat kau pergunakan untuk melawanku."
"Suci, engkau jahat sekali. Percayalah, aku tidak memiliki ilmu itu dan buang jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu sebelum aku atau ibuku turun tangan menghajarmu."
"Hi-hi-hik, engkau hendak menghajarku? Lucu sekali! Sedangkan ibumu sekalipun tak mungkin dapat mengganggu selembar rambutku!"
"Durhaka!" Biauw Eng membentak dan sabuk suteranya sudah berkelebatan dan menyambar, menotok ke arah leher Cui Im. Namun gadis ini dengan mudahnya menyampok ujung sabuk itu dengan lengannya. Ketika Biauw Eng menggetarkan ujung sabuk untuk menangkap pergelangan tangan sucinya denngan belitan,ia terkejut sekali karena tiba-tiba ujung sabuknya itu terpental begitu bertemu dengan lengan Cui Im. Ia maklum bahwa sekali ini ia tidak boleh main-main, apalagi ketika Cui Im membalas dengan pukulan maut pada lambungnya! Sucinya tidak main-main dan agaknya benar-benar hendak memaksanya memberi tahu tentang Thi-khi-I-beng yang sama sekali tidak dimengertinya! Tahulah ia bahwa kini ia harus melawan mati-matian dan bahwa yang bertanding dengan dia bukanlah sucinya lagi, melainkan seorang musuh yang ganas dan amat lihai! Biauw Eng lalu mainkan sabuknya dengan cepat, mengeluarkan serangan-serangan yang paling dahsyat.
Pertandingan mati-matian bagi Biauw Eng yang makin lama menjadi makin kaget dan terheran-heran. Tidaklah mengherankan melihat sucinya itu memperoleh kemajuan, akan tetapi kemajuan yang disaksikan ini benar-benar sangat mustahil dan tak masuk akal. Kepandaian sucinya tidak saja jauh melampauinya, bahkan Biauw Eng merasa ragu-ragu apakah ibunya sendiri akan mampu menandingi kepandaian Cui Im! Dia sudah mengerahkan seluruh kecepatan dan tenaganya, sudah mainkan semua jurus-jurus paling hebat dari ilmu sabuknya, namun tetap saja ia tidak mampu mengenai tubuh Cui Im yang bersilat sambil tertawa-tawa mengejek, seolah-olah memamerkan kepandaiannya dan menggodanya.
"Lebih baik serang aku dengan ilmu Thi-khi-I-beng, mungkin saja berhasil!" Cui Im mengejek. Memang itulah maksud kedatangannya, selain untuk menundukkan dan mengalahkan bekas gurunya, Lam-hai Sin-ni orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, juga ia ingin sekali mendapatkan ilmu Thi-khi-I-beng itu.
Segala ilmu silat di dunia ini tidak ia takuti setelah ia mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari pusaka penuinggalan Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi karena di dalam kitab-kitab itu ia tidak menemukan ilmu Thi-khi-I-beng, dan melihat betapa dahsyatnya ilmu yang dimiliki Keng Hong dan juga oleh Lam-hai Sin-ni, ia merasa gentar sebelum dapat memiliki ilmu dahsyat itu.
Andaikata Biauw eng memiliki ilmu itu, tanpa diminta sekalipun tentu ia akan mempergunakannya terhadap lawan yang amat tangguh itu. Akan tetapi ia sesungguhnya tidak pernah mempelajari ilmu ini, maka kini sambil menggigit bibir saking penasaran, Biauw Eng menyerang terus dengan sabuk suteranya, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa nekat.
Di lain pihak, Cui Im menjadi gemas karena bekas adik seperguruannya ini tetap tidak mengeluarkan ilmu sedot yang ia inginkan, maka ia lalu berteriak keras dan mulailah tubuhnya bergerak-gerak aneh ketika membalas dengan serangan-serangan hebat, dengan totokan-totokan jari tangannya, dengan cengkeraman-cengkeraman. Biauw Eng menjadi makin kaget menyaksikan betapa hebatnya gerakan bekas sucinya itu. Ia memutar sabuk suteranya melindungi diri dan karena memang ilmu silat pasaran melainkan ilmu yang amat hebat, tidaklah begitu mudah bagi Cui Im untuk dapat meerobohkannya dalam waktu singkat. Biauw Eng terdesak hebat terutama sekali karena sucinya telah mengenal inti daripada semua ilmu silatnya, sebaliknya ia sama sekali tidak mengenal gerakan-gerakan Cui Im yang makin lama makin aneh itu.
Tiba-tiba ketika untuk ke sekian kalinya Biauw Eng menggerakkan pergelangan tangannya, membuat sabuk suteranya meluncur seperti seekor naga mematuk ke depan, ke arah leher Cui Im, bekas sucinya ini mengeluarkan pekik melengking dan tiba-tiba saja rambut yang panjang hitam di kepala Cui Im meluncur pula ke depan dan menangkis sabuk sutera-sutera! Kiranya, setelah mempelajari banyak ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab pusaka, Cui Im telah pula mempelajari penggunaan rambut kepalanya dengan dasar tenaga Iweekang dan kini rambutnya telah menangkis dan selanjutnya melihat sabuk sutera itu. Biauw Eng terkejut dan berusaha melepaskan sabuknya dari libatan rambut, namun sia-sia.
"Pergunakanlah Thi-khi-I-beng atau kau mampus!" Cui Im berkata dan tangannya kini bergerak dengan jari-jari tangan lurus menusuk leher Biauw Eng dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga takkan mungkin dapat ditangkis atau dielakkan lagi! Dan memang, andai kata Biauw Eng memiliki ilmu sedot itu, tidak ada lain jalan untuk menyelamatkan nyawanya kecuali menerima tusukan ini dengan mengandalkan ilmu sedotnya. Akan tetapi, karena memang Biauw Eng tidak memiliki ilmu itu, gadis ini yang maklum bahwa nyawanya terancam bahaya, cepat melepaskan sabuknya dan membuang diri ke samping untuk menghindarkan diri. Namun gerakannya kalah cepat dan biarpun ia dapat menyelamatkan lehernya, ia tidak mungkin lagi menyelamatkan pundaknya yang kena dihajar sehingga terdengar suara "krekkk!" dan tulang pundaknya yang kiri patah, tubuhnya terlempar dan roboh!
"Hemmm, menyebalkan! Kiranya kau benar-benar tidak mempelajari Thi-khi-I-beng!" kata Cui Im sambil melangkah maju mendekati sumoinya yang rebah miring dan menggigit bibir menahan sakit itu. "Ataukah engkau agaknya sengaja menyembunyikannya karena melihat bahwa engkau tidak mampu mengalahkan aku, biarpun dengan Thi-khi-I-beng sekali pun?
Hemmm, kalau begitu, engkau tetap keras kepala, Sumoi?" Sambil menahan rasa nyeri pada pundaknya, Biauw Eng bangkit duduk dan menggunakan jari tangan kanan untuk menotok pundak dan iga kirinya sendiri agat dapat mengurangi rasa nyeri, kemudian memandang sucinya penuh rasa kagum ketika bicara,
"Engkau hebat sekali, Suci! Benar-benar aku merasa kagum bukan main. Kepandaianmu luar biasa dan aku benar-benar mengaku kalah sekarang! Ibu sendiri tentu akan menjadi kagum sekali, Suci, siapakah gurumu yang tentu luar biasa sekali ilmu kepandaiannya? Dan sekarang setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, mengapa Suci datang hendak memusuhi ibu dan aku!
Wajah Cui Im kini menjadi bengis sekali. "Biauw Eng, bukalah telinga dan matamu baik-baik. Kenalilah ini Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kia Bu-tek! Baru tangan kosongku saja mampu mengalahkan sabuk suteramu, apalagi pedang merahku! Hemmm, kau mau tahu mengapa aku memusuhi ibumu? Bukan lain karena aku harus mengalahkan Bu-tek Su-kwi dan mereka tidak berhak lagi memakai julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) karena akulah satu-satunya Bu-tek di dunia ini!"
"Suci, tidak ingatkah engkau bahwa ibu adalah gurumu yang mendidikmu sejak kecil? Ibu sudah tua, kalau kita beri tahu tentu tanpa bertanding pun dia akan sudi mengalah kepadamu dan memberikan julukan kosong itu kepadamu."
"Huh, kalau dia mengalah berarti julukan itu benar kosong! Tidak, dia harus bertanding melawan aku, ingin aku merasai Thi-khi-I-beng yang tersohor itu! Kecuali kalau dia mau memberikan ilmu itu kepadaku, hemmm.... akan kupikir-pikir untuk mengampuni nyawa anjingnya!"
"Cui Im....!!" Biauw Eng berseru keras, membentak dengan marah. Pada saat itu, pandang mata Biauw Eng beralih pada seorang pria yang tiba-tiba muncul dan dengan loncatan ringan sekali menghampiri tempat itu sambil tersenyum-senyum.
"Eh, inikah sumoinya itu, adik Cui Im? Hemmm, manis sekali, hampir semanis engkau sayang agak kurus."
"Hi-hi-hik, dia patah hati, Twako.Eh, Biauw Eng, tahukah engkau siapa priaa yang ganteng ini?" Cui Im merangkul pundak Siauw Lek dengan sikap manja dan mesra sekali, bahkan lalu mencium pipi laki-laki itu setelah ia berdiri di atas ujung kakinya karena tingginya hanya sampai ke pundak Siauw Lek.
Wajah Biauw Eng menjadi merah saking merasa malu dan jengah. "Hemmm, sejak dulu masih belum sembuh engkau dari watakmu yang gila laki-laki, Cui Im. Siapa lagi dia ini kalau bukan pacarmu yang berganti sampai ratusan kali?"
"Hi-hi-hi, benar sekali, entah ke berapa ratus kalinya. Hemmm, sedap dan nikmat berganti-ganti pacar, sekali hidup pun sudah puas. Tidak seperti engkau sekali mempunyai pacar saja gagal!"
"Cui Im....!" Biauw Eng menegur dengan hati terasa perih. Kini kedua orang wanita ini tidak lagi menyebut sumoi dan suci, melainkan menyebut nama masing-masing karena mereka sama-sama maklum bahwa kini tak mungkin lagi saling mengakui sebagai saudara seperguruan.
"Wah, Moi-moi, biarpun kurus, dia masih segar. Kalau kau berikan kepadaku untuk selingan dan penyegar, aku pun tidak menolak!" Siauw Lek berkata sambil tertawa.
Cui Im juga tertawa genit. "Bagaimana, Biauw Eng. Dia tampan dan gagah juga, bukan? Biarpun tidak setampan Keng Hong, kurasa dia tidak kalah pandai dalam hal merayu...."
"Cui Im, tutup mulutmu yang kotor!" Biauw Eng membentak marah, menahan keinginan hatinya untuk bertanya apakah bekas sucinya ini tahu dimana adanya Keng Hong dan yang terpenting apakah Keng Hong masih hidup. Akan tetapi mendengar Cui Im dan Siauw Lek bercakap-cakap seperti itu, ia menahan keinginan hatinya dan membuang muka.
"Hi-hi-hik, Biauw Eng, apakah engkau masih alim seperti dahulu? Apakah engkau masih perawan seperti dahulu? Kalau begitu kebetulan, kau lihat ini baik-baik. Dia adalah murid Go-bi Chit-kwi..."
"Ohhhh...?? Jadi engkau... Engkau malah bersekutu dengan musuh besar gurumu sendiri? Cui Im, engkau manusia rendah, murid durhaka!"
"Dia inilah yang bernama Siauw Lek, berjuluk Kim-lian Jai-hwa-ong! Dia malang melintang di dunia kang-ouw, dalam hal kekejaman dan kepandaian tidak usah malu dan kalah kalau dibandingkan dengan Bu-tek Su-kwi, namun dia adalah pembantuku!"
"Bagus sekali! Kiranya engkau sudah bersekutu dengan murid musuh-musuhku, Cui Im? Hemmm, sungguh memalukan dan baiknya engkau datang mengantar kematian!" Suara ini keluar dari mulut Lam-hai Sin-ni dan diam-diam Cui Im harus mengakui bahwa biarpun sudah tua bekas gurunya ini memiliki ginkang yang luar biasa sehingga kedatangannya tidak ia ketahui.
Ia cepat membalikkan tubuhnya dan menekan perasaan hatinya yang berguncang. Biarpun ia telah merasa yakin akan kepandaiannya, namun menghadapi nenek bekas gurunya yang menjadi tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi, hati Cui Im gentar juga. Akan tetapi selain merasa yakin akan kemampuannya sendiri, hatinya juga besar karena disitu ada Siauw Lek yang tentu akan membantunya, maka ia berkata dengan nada suara dingin.
"Lam-hai Sin-ni, aku datang bukan sebagai muridmu lagi, melainkan sebagai penantangmu! Aku adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, satu-satunya jago wanita tanpa tanding yang akan menjadi ratu di antara golongan hitam!"
"Phuahhh....!" Cui Im, apakah engkau sudah menjadi gila?"
"Ibu, jangan lawan dia! Kalau dia mengkehendaki julukan kosong sebagai Bu-tek, serahkanlah saja!"
Lam-hai Sin-ni mengerutkan alisnya yang sudah putih lalu memandang puterinya. Sekali pandang saja maklumlah nenek ini bahwa puterinya terluka pundaknya, maka ia berkata, "Hemmm, engkau kalah oleh dia dan murid Go-bi Chit-kwi itu, Eng-ji? Kalah karena dikeroyok tidak mengherankan."
"Tidak, Ibu. Dia...Cui Im, sekarang lihai bukan main..."
Wajah nenek itu tampak tercengang. Dia merasa heran mendengar ini. Benarkah puterinya dikalahkan oleh Cui Im? Hampir ia tidak dapat percaya karena dahulu tingkat kepandaian Cui Im jauh dibawah tingkat Biauw Eng. Dan selama ini puterinya itu setiap hari berlatih sehingga tingkatnya telah mencapai kemajuan pesat sekali. Mungkinkah Cui Im sudah sedemikan lihainya sehingga mampu mengalahkan puterinya? Benarkah tidak dibantu oleh murid Go-bi Chit-kwi itu? Kini ia memandang bekas muridnya itu tajam-tajam lalu berkata,
"Cui Im, terus terang saja. Apa maksud kedatanganmu ini?"
"Lam-hai Sin-ni, sudah kukatakan bahwa aku hendak menjagoi dunia kang-ouw dan aku datang untuk menantangmu mengadu kepandaian. Hanya ada akibat dari pertandingan antara kita, yaitu engkau tewas di tanganku atau engkau dapat kuperingan dan tidak akan kubunuh akan tetapi engkau harus memenuhi permintaanku."
Biarpun ia sudah tua dan sudah pandai menguasai perasaanya, namun mendengar ucapan bekas muridnya ini, Lam-hai Sin-ni merasa betapa dadanya seperti akan meledak saking marahnya. Dengan kekuatan batinnya saja ia masih mampu mengendalikan dirinya dan suaranya amat dingin ketika bertanya,
"Hemmm, Bhe Cui Im, permintaan apakah itu?"
Sambil mempermainkan mata dan bibirnya dengan sikap mengejek sekali Cui I menjawab, "La-hai Sin-ni, aku tidak takut menghadapi iluu Thi-khi-I-beng, akan tetapi aku tertarik sekali akan ilmu itu dan ingin aku mengetahui rahasianya. Kalau engkau mengajarkan ilmu itu aku akan mengingat hubungan lama di antara kita dan aku tidak akan membunuhmu, melainkan hanya mengalahkanmu tanpa membunuh!"
"Bhe Cui Im, bocah keparat!" Lam-hai Sin-ni tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Engkau sungguh tekebur sekali! Belum juga mengalahkan aku sudah mengajukan syarat! Heh, Cui Im si sombong, jangan kira bahwa aku yang sudah tua ini akan mudah saja kaukalahkan. Kalau engkau mampu mengalahkan aku, jangankan baru Thi-khi-I-beng, bahkan nyawaku pun akan kuberikan kepadamu!" Baru saja habis ucapan nenek itu, tubuhnya sudah menerjang maju dengan kecepatan yang luar biasa sekali, bagaikan halilintar menyambar, dan dua buah pukulan beruntun menyambar ke arah ulu hati dan kepala Cui Im.
Biarpun Cui Im sudah yakin akan kepandaiannya, namun sikapnya tadi memang untuk memancing kemarahan dan untuk menyesuaikan sikap seorang "ratu" di dunia hitam, padahal dia sesungguhnya tidak berani memandang rendah bekas gurunya yang ia tahu lihai luar biasa itu.
Kini, melihat berkelebatnya tubuh gurunya, cepat ia sudah bergerak pula, miringkan tubuh mengurangi lowongan dan kedua tangannya bergerak menangkis.
"Plak-plak!"
Bagaikan disambar halilintar, tubuh dua orang wanita itu terpelanting ke belakang, namun dengan amat cepatnya keduanya sudah meloncat lagi saling terjang dan dalam detik selanjutnya terdengar lagi suara "plak-plak" bertemunya kedua lengan. Sampai lima kali mereka saling terjang dan beradu lengan, dan lima kali tubuh mereka terbanting ke belakang.
***
Lam-hai Sin-ni meloncat bangun, wajahnya merah sekali. Ia terheran-heran dan penasaran. Dalam mengadu tenaga sinkang melaui kedua tangan tadi, bekas muridnya ini membuktikan bahwa tenaga Cui Im tidak kalah kuat olehnya! Kalau nenek itu berdiri dengan muka merah dan tercengang, sebaliknya Cui Im berdiri dengan sikap tenang dan mulut tersenyum mengejek, hatinya gembira karena ia dapat membuktikan bahwa seperti yang diduganya, kini ia dapat mengimbangi tenaga sinkang bekas gurunya. Dia tidak takut pada gurunya menggunakan Thi-khi-I-beng, karena selain ia tahu bahwa kepandaian gurunya dalam ilmu itu belum sempurna dan tidak sekuat tenaga sedot Keng Hong, juga ia sudah bersiap-siap dan tahu bagaimana caranya menghadapi ilmu yang belum kuat itu. Ia mengandalkan rambutnya yang akan dapat ia pergunakan untuk menotok bagian tubuh gurunya yang menyedot sinkangnya.
"Bagaimana, Lam-hai Sin-ni, apakah sedemikian saja kepandaiamu?"
Sepasang mata yang sudah tua itu seperti mengeluarkan api. Biauw Eng yang menyaksikan pertandingan itu, sudah bangkit berdiri menahan rasa nyeri di pundaknya, dan berkata, "Ibu, sudahlah, hendaknya ibu mengalah dan memberikan Thi-khi-I-beng kepadanya. Ibu sudah tua, perlu apa memperebutkan ilmu itu? Berikan saja dan kita pergi dari sini, Ibu."
Ucapan puterinya ini menambah kemarahan hati Lam-hai Sin-ni. "Pengecut! Apakah engkau sudah menjadi pengecut karena cinta? Lebih baik aku mati sekarang daripada tunduk terhadap setan cilik ini!" Ia lalu menghadapi bekas muridnya itu lagi sambil menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis berada di tangannya. "Bhe Cui Im, kenalkah engkau akan pedang ini? Ataukah matamu telah buta sehingga tidak lagi mengenal pedang ini?"
Cui Im menjebikan bibirnya mengejek. "Pedang Liong-jiauw-kiam (Pedang Cakar Naga)?" Hemmm, pedang itu tidak menakutkan hatiku, Lam-hai Sin-ni!" kata Cui Im.
Dan tangannya bergerak lebih cepat lagi daripada gerakan nenek itu dan tampak sinar merah berkelebat. Pedang merahnya telah berada di tangannya.
"Bhe Cui Im, engkau tahu bahwa pedang ini tidak pernah kugunakan, karena memang pedang ini kusimpan untuk ku pakai menghadapi Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi tujuh setan itu telah mampus dan kini muncul murid mereka yang menjadi sahabatmu. Nah, pedang ini sekarang akan membasmi engkau bersama murid Go-bi Chit-kwi!"
"Hi-hi-hik, engkau dengar nenek ini mengoceh, Twako. Katanya hendak menggunakan pedang itu untuk membunuh kita, hi-hi-hik!"
"Ha-ha-ha, sudah biasa itu, Moi-moi. Burung tua mau mampus ocehannya paling merdu dan nenek-nenek tua mau mati suaranya paling lantang, ha-ha-ha!" Tangan Siauw Lek bergerak pula dan sinar hitam berkelebat.
Melihat ini, Lam-hai Sin-ni memekik panjang dan tubuhnya berkelebat, di dahului gulungan sinar pedangnya yang putih. Sinar pedang yang bergulung-gulung itu membentuk lingkaran-lingkaran lebar dan melayang ke arah dua orang lawannya yang sudah siap. Siauw Lek dan Cui Im tertawa dan tampaklah gulungan sinar pedang hitam dan merah yang amat lebar dan panjang yang segera membuat gerakan menggunting dan menjepit sinar pedang putih dari Lam-hai Sin-ni.
Biarpun pundak kirinya terluka dan patah tulangnya, namun begitu melihat ibunya dikeroyok oleh dua orang itu yang gerakan pedangnya hebat sekali, Biauw Eng menjadi khawatir dan ia cepat menggerakkan sabuk suteranya dengan tangan kanan dan menerjang maju untuk membantu ibunya. Ia disambut oleh sinar pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tertawa mengejek.
"Nona muda, engkau cantik jelita sekali. Sayang engkau kurus merana dan dingin. Marilah dekat Siauw Lek, aku akan membuat engkau hangat panas dan membuatmu gembira, ha-ha-ha!"
Biauw Eng maklum bahwa laki-laki murid Go-bi Chit-kwi itu lihai sekali dan tahu pula bahwa ucapannya itu adalah pancingan agar dia marah, maka dia menekan perasaannya dan tanpa menjawab tangan kanannya bergerak. Sinar-sinar putih berkerepan menyambar ke depan ketika sembilan buah senjata rahasia bola-bola putih berduri menyerang sembilan jalan darah di tubuh Siauw Lek dengan kecepatan luar ciasa. Jai-hwa-ong terkejut sekali, namun dia adalah seorang yang berilmu tinggi dan juga dia sendiri adalah seorang yang ahli dalam penggunaan senjata rahasia, maka tentu saja dia tidak menjadi gugup. Karena tadi di tempat persembunyiaannya ia sudah menyaksikan cara gadis itu bertanding menggunakan sabuk sutera melawan Cui Im dan maklum bahwa biarpun tulang pundak kirinya patah namun gadis ini masih merupakan seorang lawan yang tak boleh dipandang ringan, maka dia tidak mau mengelak untuk membiarkan dia terdesak dan memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerangnya, dengan susulan senjata rahasi atau senjata sabuk sutera. Cepat Siauw Lek memutar pedang hitamnya dan terdengar suara nyaring berkali-kali ketika semua senjata rahasia itu runtuh ke atas tanah. Kemudian melihat Biauw Eng sudah menggerakkan sabuk suteranya, dia tertawa dan mengangkat pedang menyambut.Terjadilah pertandingan hebat antara kedua orang ini dan diam-diam Siauw Lek merasa kagum melihat gadis yang sudah patah tulang pundaknya itu ternyata masih dapat menyerang hebat dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sebaliknya, di dalam hatinya Biauw Eng amat mengkhawatirkan ibunya karena ia sudah tahu betapa lihainya Cui Im sekarang. Akan tetapi, selain ia sendiri sudah terluka sehingga gerakannya tidak leluasa, juga ia mendapat kenyataan betapa murid Go-bi Chit-kwi ini juga lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau saja ia tidak terluka, agaknya ia akan dapat menandingi Siauw Lek dan biarpun ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat mengalahkan pria ini, namun ia yakin bahwa untuk merobohkan dia pun bukan merupakan hal mudah bagi lawannya.
Tulang pundaknya yang patah itu membuat gerakannya kaku dan tidak leluasa sekali dan gerakan-gerakannya membuat pundaknya terasa makin nyeri. Untung bagi Biauw Eng bahwa agaknya dalam pertandingan itu Siauw lek tidak berniat membunuhnya, karena kalau demikian halnya, agaknya Biauw Eng takkan dapat bertahan lama dan pedang hitam itu tentu dapat merobohkannya dalam waktu singkat. Memang demikianlah, Siauw Lek yang berwatak mata keranjang itu ingin sekali mendapatkan Biauw Eng sebagai korbannya, pertama karena memang Biauw Eng amat cantik jelita, lebih cantik menarik daripada Cui Im sendiri, juga jauh lebih muda di samping kenyataan bahwa gadis ini adalah seorang perawan. Juga belum pernah selama dalam petualangannya Siauw Lek mendapatkan korban seorang gadis yang demikian tinggi ilmu silatnya, juga putri dari Lam-hai Sin-ni. Sekarang dia tidak akan gagal mendapatkan puterinya!
Kalau pertandingan antara Siauw Lek dan Biauw Eng seperti kucing mempermainkan tikus dan tidaklah sungguh-sungguh di fihak Siauw Lek biarpun Biauw Eng melawan mati-matian karena pria itu hendak menangkap Biauw Eng tanpa melukainya, lain lagi sifat pertempuran yang terjadi antara Lam-hai Sin-ni dan Cui Im. Dua orang wanita bekas guru dan murid itu bertanding mati-matian dan makin lama Lam-hai Sin-ni menjadi makin terkejut dan heran menyaksikan gerakan -gerakan bekas muridnya ini yang luar biasa sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Cui Im dengan pedang merah itu amat dahsyat dan aneh, mengingatkan ia akan ilmu pedang Sin-jiu Kiam-ong!
Adapun ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan sinkang gadis ini pun meperoleh kemajuan yang mentakjubkan, bahkan sukar dapat dipercaya. Diam-diam ia menjadi curiga dan ketika mereka berdua mengadu pedang sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh mereka mencelat mundur beberapa meter jauhnya.
Lam-hai Sin-ni tidak dapat lagi menahan keinginan tahunya dan ia bertnya, "Perempuan iblis! Engkau berhasil menemukan pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong?" Cui Im tertawa mengejek. "Pusaka-pusaka berharga menjadi ahli nomor satu di dunia. Lam-hai Sin-ni, aku memang telah mewarisi pusaka itu dan karenanya aku yang akan menjadi tokoh nomor satu!"
Biauw Eng yang sedang didesak oleh cengkeraman-cengkeraman tangan kiri Siauw lek sedangkan sabuk suteranya selalu ditahan oleh pedang hitam. Dengan mata bersinar-sinar ia meloncat mundur menjauhi Siauw Lek dan membalikkan tubuh menghadapi Cui Im sambil bertanya,
"Cui Im! Kalau begitu engkau bertemu dengan Keng Hong! Dimana dia??"
"Hi-hi-hik, engkau mau bertemu dengan Keng Hong? Harus kau cari di dasar neraka….!"
"Cui Im! Dia... Dia....?" Wajah Biauw Eng menjadi pucat sekali dan kata-kata "mati" yang hendak ia tanyakan hanya terbisikkan di dalam hatinya saja.
"Cui Im, engkau harus mampus!" Lam-hai Sin-ni membentak marah karena keterangan Cui Im tentang Keng Hong itu tentu akan menimbulkan malapetaka bagi puterinya. Ia menyerang dengan hebat sambil meloncat ke depan, pedangnya berubah menjadi sinar putih yang panjang.
"Trang-trang-cring...!" Bunga api berpijar dan kembali sinar putih dan merah dari pedang kedua orang wanita itu sudah saling serang lagi dengan seru dan mati-matian sungguhpun kini La-hai Sin-ni tidak lagi merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cui Im, bahkan mulai merasa ragu-ragu apkah ia akan mampu mengalahkan bekas muridnya yang telah mewarisi pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, kekasihnya juga ayah kandung Biauw Eng itu. Adapun yang mendengar ucapan Cui Im tadi, seperti linglung dan berdiri bengong memandang bekas sucinya yang telah bertanding hebat melawan ibunya itu.
***
Kalau mau mencari Keng Hong ke dasar neraka? Apakah artinya itu? Apakah Keng Hong telah mati?
Siauw Lek yang melihat betapa Siauw Lek menjadi seperti kehilangan semangat, seperti telah berubah menjadi arca, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan dia segera menyimpan pedangnya dan menubruk ke arah Biauw Eng dari sebelah kiri gadis itu. Sebagai seorang gadis yang semenjak kecil di gembleng ilmu silat tinggi dan telah memiliki gerakan otomatis melindungi tubuhnya dari setiap serangan yang datang mengancam, biarpun dia sedang terlena dalam lamunan duka, Biauw Eng merasai serangan ini dan otomatis lengan kirinya bergerak memukul ke arah bayangan yang menubruknya dari kiri! Akan tetapi keluhan lirih terdengar dari mulut gadis ini ketika pundaknya terasa nyeri sekali oleh gerakannya sendiri. Dia lupa akan tulang pundak kirinya yang patah, maka cepat ia memutar tubuh hendak mmenghadapi terjangan lawan dengan tangan kanan. Namun terlambat karena Siauw Lek dan meringkusnya, dan dua kali menotok jalan darah di pungung dan pundaknya membuat Biauw Eng terguling roboh dengan tubuh lemas.
"Keparat jahanam! Jangan menganggu puteriku!" Lam-hai Sin-ni melengking nyaring dan saking marahnya melihat puterinya dirobohkan, gerakan pedangnya menjadi ganas sekali. Tidaklah percuma nenek ini menjagoi di antara datuk-datuk hitam karena memang kepandaiannya hebat sekali. Selain pedangnya bergerak cepat dan sinarnya saja sudah cukup merobohkan lawan, juga setiap dorongan dan pukulan tangan kirinya merupakan sambaran maut yang mematikan Cui Im yang telah mewarisi ilmu-ilmu rahasia yang mujijat merasa kewalahan juga ketika Lam-hai Sin-ni mengamuk dengan nekat. Gadis ini tadinya mengharapkan bekas gurunya untuk mengeluarkan Thi-khi-I-beng, akan tetapi ternyata Lam-hai Sin-ni tidak pernah mempergunakan ilmu itu sehingga ia menjadi habis sabar dan tidak mau memancing-mancing lagi.
Kini melihat Lam-hai Sin-ni mengamuk, melihat betapa Biauw Eng telah roboh, ia berseru, "Twako, bantulah aku merobohkan monyet tua ini!"
Siauw Lek yang sedang memandang tubuh Biauw Eng dengan hati puas, tertawa dan cepat mencabut pedang hitamnya lalu menerjang maju pembantu Cui Im, mungkin ilmu pedang Siauw Lek tidak sehebat gadis itu, akan tetapi karena diapun sudah mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Chit-kwi dan pengalamannya sudah banyak, tentu saja ia merupakan tenaga bantuan yang hebat pula. Hal ini terasa terdesak hebat setelah murid musuh besarnya itu maju membantu bekas muridnya.
Lam-hai Sin-ni sudah tua dan akhir-akhir ini ia menderita tekanan batin karena keadaan puterinya. Hal ini membuat tubuhnya menjadi lemah dan sering kali ia merasa jemu akan penghidupannya dan bertahun-tahun ia tidak pernah berlatih ilmu silat lagi. Kini ia harus menghadapi penggeroyokan dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tentu saja ia menjadi repot sekali dan biarpun ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun tetap saja ia makin terdesak dan terhimpit, napasnya mulai memburu dan tubuhnya basah oleh keringat.
"Hi-hi-hik, Lam-hai Sin-ni, belum juga kau keluarkan Thi-khi-I-beng?" Cui Im mengejek dan pedangnya meluncur seperti kilat menusuk ke arah leher bekas gurunya.
"Cringgggg...!" Lam-hai Sin-ni berhasil menangkis akan tetapi ia terhuyung ke belakang dan tangan yang memegang pedang gemetar.
"Nenek tua, mampuslah!" Siauw Lek membacokkan pedang hitamnya dari samping mengarah lambung.
"Trangggggg....!" Kembali Lam-hai Sin-ni yang terhuyung-huyung itu berhasil menangkis, akan tetapi karena keadaan tubuhnya sedang terhuyung, tangkisan ini hampir membuat ia roboh terguling kalau saja ia tidak cepat meloncat dan berjungkir balik.
Ia maklum apa yang ia mengeluarkan Thi-khi-I-beng. Akan tetapi ia tidak sudi memperlihatkan ilmu itu, apalagi karena ia tahu bahwa ilu itu tidak akan ada gunanya kalau ia pergunakan terhadap dua orang muda lihai yang tentu saja sudah mengadakan persiapan lebih dulu ini. Biar sampai mati, dia tidak akan memberikan ilmu Thi-khi-I-beng, kalau hal ini yang diinginkan Cui Im!
Ia melawan terus, akan tetapi napasnya makin memburu dan pandang matanya mulai berkunang, kepalanya terasa pening. Adapun dua orang muda itu yang melihat keadaan lawan makin lemah, terus mendesaknya. Cui Im mengenal akan kekerasan hati Lam-hai Sin-ni, maka ia tidak dapat mengharapkan akan berhasil membujuk bekas gurunya, akan berhasil membujuk bekas gurunya, dan pedangnya makin ganas saja menyambar-nyambar.
"Cui Im, biar aku mengadu nyawa denganmu!" Tiba-tiba Lam-hai Sin-ni yang sudah pening dan sudah gelap pandang atanya itu mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya melayang naik terus meluncur seperti burung garuda menyambar ke arah Cui Im dengan pedang di depan. Pedang ini menusuk ke arah tubuh bekas muridnya. Inilah jurusnya yang terakhir, jurus terlihai akan tetapi juga merupakan jurus bunuh diri atau mengajak lawan mati bersama. Julukan ini bernama Hui-seng-coan-in (Bintang Terbang Menembus Awan). Serangan yang dilakukan dengan tubuh melayang dengan luncuran kilat ini takkan dapt ditangkis atau dielakkan lagi oleh lawan, karena tangkisan lawan tentu akan dibarengi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan elakan tak mungkin dilakukan karena pedang dapat digerakkan mengejar tubuh lawan. Kalau lawan berkepandaian tinggi, jalan satu-satunya bagi lawan hanya membarengi dengan serangan balasan terhadap tubuh melayang yang tidak memperdulikan akan penjagaan diri melainkan sepenuhnya dicurahkan untuk menyerang itu.
Karena sifat jurus ini maka selama hidupnya Lam-hai Sin-ni tidak pernah mempergunakannya, maka kini ia benar-benar mengkehendaki mati bersama dengan bekas muridnya yang amat dibencinya itu.
Cui Im terkejut bukan main. Ia mengenal jurus ini dan tahu pula akan kehebatannya, maka cepat ia berkata kepada Siauw Lek, "Twako, tangkis pedangnya!"
Siauw Lek tidak mengenal jurus nenek itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu serangan ini hebat sekali, maka dia cepat mentaati perintah Cui Im dan menggerakkan Hek-liong-kiam menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Adapun Cui Im yang percaya penuh akan kesetiaan dan bantuan Siauw Lek, cepat menyusup ke bawah dan menggerakkan pedangnya yang berubah menjadi sinar merah menyambar ke arah kedua kaki bekas gurunya.
"Tranggg....!" Dess...! Crokkkk!!"
Amat cepat dan hebatnya benturan antara tiga orang itu, disusul teriakan kaget dan sakit dari mulut Siauw Lek yang roboh bergulingan dan rintihan perlahan Lam-hai Sin-ni yang roboh terlentang dengan kedua kaki buntung kena disambar pedang merah Cui Im! Siauw Lek bergulingan dan cepat duduk bersila sambil memejamkan atanya untuk mengatur pernapasan agar luka di dalam tubuhnya tidak terlalu hebat akibat pukulan tangan Lam-hai Sin-ni yang mengenai dadanya itu. Ketika ia tadi menangkis pedang Lam-hai Sin-ni , tangan kiri nenek itu otomatis menghantam dan mengenai dadanya membuat ia terpekik dan roboh bergulingan. Adapun Cui Im yang cerdik sudah menyerang kedua kaki Lam-hai Sin-ni tepat pada saat nenek itu memukul Siauw Lek sehingga ia berhasil membabat kedua kaki bekas gurunya itu sampai buntung sebatas lutut!
"Twako, kau tidak apa-apa...?" Cui Im menghampiri Siauw Lek, meraba punggung sahabatnya itu dan membantu Siauw Lek dengan pengerahan sinkang melalui telapak tangannya. Tak lama kemudian Siauw Lek membuka matanya dan mukanya yang tadi amat pucat menjadi merah kembali, tanda bahwa bahaya telah lewat dan dia tidak terluka hebat.
Mereka lalu bangkit berdiri menghampiri Lam-hai Sin-ni yang masih rebah terlentang dengan mata mendelik dan tangan kanan tetap memegang pedang. Darah mengucur keluar seperi pancuran dari kedua kakinya yang buntung.
"Lam-hai Sin-ni, aku telah merobohkan engkau. Sekarang berikan Thi-khi-I-beng kepadaku dan aku akan mengingat akan hubungan antara kita dan tidak akan membunuhmu," Cui Im berkata dengan suara dingin.
Dengan mata mendelik nenek itu memandang Cui Im. "Cui Im murid durhaka, manusia berhati iblis! Biar kau bunuh aku, jangan harap engkau akan dapat mempelajari Thi-khi-I-beng dari ku!"
"Hemmm, nenek keras kepala!" Cui Im berkata gemas.
"Moi-moi, mengapa bingung? Biar dia melihat aku permainkan puterinya, apakah dia masih akan keras kepala atau tidak!" Sambil berkata demikian Siauw Lek menghampiri Biauw Eng yang masih rebah tak bergerak, lemas karena ditotok jalan oleh Siauw Lek.
Lam-hai Sin-ni memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke arah puterinya. Ia maklum apa yang akan dilakukan murid Go-bi Chitkwi itu. Hampir saja ia menyerah, akan tetapi hatinya sendiri yang penuh kekejaman dan kelicikan segera membuat ia berpikir dan berpendapat lain. Kalau dia membuka rahasia Thi-khi-I-beng, apakah murid Go-bi Chit-kwi itu akan melepaskan Biauw Eng? Tak mungkin! Masa dia begitu bodoh. Dan apakah Cui Im benar-benar akan mengampuni nyawanya? Hal ini pun meragukan sekali. Lebih baik dia mati dan biarkan Biauw Eng dihina dan dicemarkan. Hal itu akan baik sekali malah bagi Biauw Eng! Akan mengguncang batin puterinya itu sehingga hatinya dipenuhi dendam, akan menimbulkan kembali semangatnya yang membeku karena cintanya kepada Keng Hong yang terputus. Biarlah! Kelak tentu Biauw Eng akan dapat membalaskan kematiannya.
"Cui Im perempuan rendah dan engkau murid Go-bi Chit-kwi yang hina! Lakukanlah apa yang kalian kehendaki akan tetapi jangan harap aku akan menyerahkan ilmu Thi-khi-I-beng kepada kalian!"
Cui Im menjadi marah sekali."Begitukah? Lam-hai Sin-ni, engkau tahu cara apa yang paling baik untuk menyiksa puterimu? Hi-hi-hik, ingatkah engkau betapa engkau sendiri yang mengajarkanku untuk menyiksa orang?"
"Perempuan keparat, apa pun yang kau lakukan, tidak akan menakutkan hatiku, tak usah banyak cerewet lagi!"
Cui Im menghampiri bekas gurunya itu dan Lam-hai Sin-ni yang kelihatannya sudah lelah sekali itu menggerakkan tangannya dan .... pedang di tangannya meluncur seperti anak panah ke arah dada Cui Im yang berdiri dala jarak amat dekat.
"Iiiiihhhhh..!" Cui Im menjerit dan cepat membuang diri ke belakang. Ia dapat menyelamatkan nyawanya, akan tetapi pedang itu tetap saja menyerempet pinggul kirinya ketika ia bergerak mengelak tadi sehingga bajunya robek dan juga kulit pinggulnya robek berdarah.
"Heh-heh-heh, apa bedanya hidup dan mati? Selisihnya sedikit sekali....!" Lam-hai Sin-ni tertawa mengejek sambil memandang wajah Cui Im yang pucat sekali. Memang harus diakui bahwa nyaris ia tewas di tangan bekas gurunya ia menerjang ke depan, pedangnya mengeluarkan sinar merah dan kedua lengan Lam-hai Sin-ni terlempar, buntung sebatas siku dan darah mengucur keluar. Lam-hai sin-ni sudah buntung kedua kakinya itu secara mengagumkan sekali telah dapat mmenggerakkan tubuhnya sehingga ia duduk tegak dan meramkan kedua matanya. Darah masih mengucur keluar dengan deras melalui kedua lengannya yang buntung dan hanya menetes-netes saja dari kedua kakinya yang buntung. Tiada keluhan keluar dari mulutnya dan wanita tua ini memejamkan mata dan mukanya tidak membayangkan penderitaan.
"Ibu....!" Biauw Eng menjerit. Baru sekarang ia berhasil mengeluarkan suara setelah sejak tadi ia hanya menjerit-jerit di dalam hatinya saja menyaksikan keadaan ibunya. Namun, biar sekarang ia sudah mampu mengeluarkan suara, ia masih belum dapat bergerak dan ia sudah merasa ngeri menghadapi Siauw Lek yang berlutut di dekatnya dan tak dapat di ragukan lagi apa yang hendak diperbuat orang itu terhadap dirinya. Namun, menyaksikan keadaan ibunya, Biauw Eng lupa akan bahaya mengerikan yang mengancam dirinya sendiri dan ketika ia berhasil membuka kembali totokan yang membuatnya gagu, pertama kali ia berteriak adalah menyebut ibunya. Cui Im berdiri memandang bekas gurunya. Ia maklum bahwa Lam-hai Sin-ni takkan hidup lebih lama lagi dan agaknya nenek itu pun tidak ingin hidup maka membiarkan darahnya mengucur keluar terus. Jeritan Biauw Eng menyebut ibunya membuat Cui Im menoleh dan sepasang alisnya berkerut ketika ia melihat Siauw Lek dengan pandang mata penuh berahi mulai meraba-raba pakaian Biauw Eng dan hendak menanggalkan pakaian gadis itu.
"Twako....!"
Jari-jari tangan yang penuh gairah itu terhenti dan Siauw Lek menoleh. Melihat pandang mata wanita itu, Siauw Lek melompat bangun dan tersenyum memandang Cui Im, "Eh, bukankah kau menghendaki supaya aku..."
"Tidak, Twako, wanita ini harus di bunuh!" Cui Im maju menghapiri Biauw Eng yang kini memandang kepadanya penuh kebencian yang meluap-luap.
"Setelah aku selesai, masih belum terlambat untuk membunuhnya, Moi-moi," Siauw Lek berkata dengan suara penuh harap.
Namun Cui Im mengelengkan kepalanya. "Tidak, dia semenjak dahulu mencela aku yang dikatakannya menjadi hamba nafsu berahi. Dia jijik terhadap pemuas nafsu berahi dan menganggap dirinya suci. Kalau sekarang sebelu mati dia diberi kesempatan merasakan, apalagi mendapat seorang laki-laki sehebat engkau, benar-benar terlalu enak buat dia!"
Siauw Lek menarik napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi dia hanya menggerakkan pundak, tidak berani membantah. Melihat kekecewaan pemuda itu, Cui Im menghampirinya, merangkul lehernya dan memberi ciuman mesra sehingga mau tidak mau Siauw Lek tersenyum kembali dan membalas ciumannya. Mereka berciuman di depan Biauw Eng yang memandang penuh kebencian.
"Twako, kekasihku yang baik, jangan murung dan kecewa. Aku hanya ingin melihat dia yang kubenci ini mampus tanpa merasai kenikmatan hidup. Jangan khawatir, setelah selesai urusanku di sini kita pesta, aku akan mmencarikan perawan-perawan jelita untukmu." Siauw Lek tertawa girang. Dia tahu apa artinya pesta yang dimaksudkan Cui Im. Sudah beberapa kali mereka mengadakan pesta seperti itu dan selama dalam petualngannya belum pernah ia merasai kesenangan seperti pada saat-saat itu. Cui Im lalu menghampiri Biauw Eng dan berlutut di dekat tubuh bekas sumoinya itu, wajahnya yang ayu tampak menyerakan penuh kekejian.
"Engkau perempuan tak berjantung! Bunuh saja aku!" Biauw Eng marah sehingga hanya dapat mendesis ucapan singkat itu.
"Hi-hi-hik, tentu saja, akan tetapi tidak begitu enak bagimu. Ibumu masih terlalu enak, tidak terlalu lama menderita, akan tetapi engkau lain lagi. Aku harus membuatmu menderita sampai lama sebelum mati. Cukup dengan sebatang jarum saja, Biauw Eng. Engkau mengenal jarum-jarum merahku, tahu bahwa sekali ku tusukkan Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) ke jalan darah tiong-cu-hiat ditengkukmu, racunnya akan perlahan-lahan menyiksamu dan baru setelah dua belas jam racun itu akan merusak jantungmu dan membunuhmu." Setelah berkata demikian, Cui Im mengeluarkan sebatang jarum merah dan dengan muka penuh kegemasan ia menancapkan jarum itu pada tengkuk Biauw Eng, tepat pada jalan darah yang dikehendakinya.
Biauw Eng yang tak dapat bergerak itu tentu saja hanya dapat memejakan mata menahan nyeri, dan begitu jarum ditusukkan, ia merasa betapa tengkuknya mulai gatal-gatal. Maklumlah ia bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Biauw Eng mengerti akan hal ini akan tetapi dia tidak takut, hanya penasaran.
"Cui Im , mengapa engkau begini membenci aku?"
"Mengapa? Karena engkau sudah lancang berani mencinta Keng Hong!" kata Cui Im sambil bangkit berdiri.
"Keng Hong.... ah apakah dia masih hidup? Di manakah dia..?"
Cui Im membanting kakinya. "Huh, ternyata sampai detik ini engkau masih mencintanya! Hi-hi-hik, dengarlah, aku tidak hanya akan menyiksa batinmu sehingga sampai mati engkau akan menjadi setan penasaran! Dengar baik-baik. Sampai detik ini Keng Hong masih hidup, akan tetapi aku telah menjebaknya di sebuah tempat yang takkan dapat dikunjungi manusia lain dan dia sendiri selama hidupnya takkan dapat keluar! Dia akan mati kering di tempat itu, hi-hi-hik, dia akan mati merindukanmu!"
"Ooohhhhhh...!" Biauw Eng yang tak mampu bergerak itu menangis. Dia sendiri menghadapi kematian dan menghadapi siksaan yang ia tahu akan amat sengsara sebelum ia mati, akan tetapi semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Keng Hong.
"Dan engkau tentu belum sadar, ya? Mengapa Keng Hong membencimu? Mengapa dia melontarkan segala tuduhan kepadamu di Kun-lun-san, di dalam sidang pengadilan Kun-lun-pai? Engkau dituduh membunuh murid-murid perempuan Hoa-san-pai, murid-murid partai lain? Hi-hi-hik, bekas sumoiku yang cerdik pandai, yang lihai ilmu silatnya, mengapa?" Biauw Eng sudah mulai merasakan akibat tusukan jarum merah pada tengkuknya.
Mulai terasa berdenyut-denyut pada tengkuknya yang menjalar ke dalam kepala, seolah-olah ada semut-semut menggigit tengkuk dan terus menggali ke dalam kepala! Akan tetapi ucapan bekas sucinya amat membangkitkan perhatian, maka dia bertanya lemah.
"Mengapa? Apakah engkau tahu mengapa?"
"Hi-hi-hik, tentu saja aku tahu. Aku telah mencuri beberapa buah senjata rahasiamu, aku mengenakan pakaian putih dan aku mengikuti Keng Hong secara diam-diam."
"Setan....! Kau... Kaukah yang melakukannnya menyamar seperti aku?" Biauw Eng membelalakkan matanya."Mengapa? Mengapa kau lakukan itu?"
Karena kau lancang berani mencinta Keng Hong. Biar dia marah kepadamu, biar kau dimusuhi dunia kang-ouw dan.. Dan aku membunuh setiap wanita yang diterima cinta kasihnya oleh Keng Hong si laknat! Berani dia menolak cinta kasihku dan berani pula dia menerima cinta kasih wanita lain! Hi-hi-hik, aku membunuh murid Hoa-san-pai itu yang masih dalam pelukannya! Dan aku bunuh dua orang murid wanita Kong-thong-pai yang masih merasai kehangatan cintanya. Dan sekarang kubunuh pula engkau...."
"Moi-moi, demikian besarkah cintamu terhadap Keng Hong itu?" Tiba-tiba Siauw Lek yang sejak tadi menonton dan mendengarkan saja bertanya.
Cui Im menggeleng kepala. "Sekarang aku benci padanya. Kalau aku mencintainya, masa aku menjebaknya sehingga dia terkubur hidup-hidup?"
"Cui Im, engkau.... engkau.... manusia berhati iblis...."
"Hi-hi-hik, lupakah engkau golongan apa kita ini, Biauw Eng? Ibumu adalah orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, golongan datuk-datuk hitam, manusia-manusia sesat dari dunia hitam! Aku kini menjadi ratu golongan hitam, habis kalau tidak kejam, bukankah akan ditertawai oleh tokoh-tokoh lain? Sekarang engkau rasakanlah penderitaanmu. Engkau akan tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat, nyawamu takkan tertolong lagi, dan engkau akan mati membawa kebencian Keng Hong yang menganggap engkau wanita kejam.
***
Yang menganggap engaku sama saja dengan aku yang malam-malam datang merayu dan mengemis cintanya! Engkau akan mati dan menjadi setan penasaran!"
"Biarpun sampai mati, aku akan tetap mengejarmu untuk membalas dendam!" Tiba-tiba Biauw Eng berteriak dan wajah Cui Im menjadi berubah agak pucat dan kakinya melangkah mundur. Ada sesuatu dalam suara bekas sumoinya ini yang membuat ia merasa ngeri sekali. Akan tetapi ia menutupi rasa ngerinya itu dengan suara ketawa terkekeh, kemudian menggandeng tangan Siauw Lek dan di ajaknya laki-laki itu pergi dari pantai selatan, meninggalkan Lam-hai Sin-ni yang mulai kehabisan darah dan Biauw Eng yang mulai tersiksa rasa nyeri yang tak terbayangkan hebatnya.
Biarpun sudah jauh meninggalkan bekas guru dan sumoinya, dan sudah berada di sebuah kamar besar bersama Siauw Lek dan enam orang culikan mereka, namun Cui Im masih saja gelisah dan telinganya masih mendengar ancaman bekas sumoinya. Ia membayangkan betapa sumoinya itu telah tewas, menjadi setan penasaran dan selalu mengejar hendak mencekiknya! Dia tidak gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimana sakti pun juga, akan tetapi melawan setan penasaran? Cui Im menggigil lalu memeluk seorang di antara tiga orang muda yang diculiknya dan dibawanya ke dalam kamar di sebuah gedung ini. Dengan kekejaman luar biasa Cui Im yang hendak memenuhi janjinya kepada Siauw Lek, malam ini mengadakan "pesta". Pesta antara mereka berdua yang gila, yang tak mungkin terpikirkan manusia lain. Mereka berdua menculik tiga orang pemuda remaja yang tampan-tampan dan tiga ornag perawan remaja yang cantik-cantik, kemudian membawa mereka berenam ke dalam sebuah kamar dari gedung yang kini kosong karena semua penghuni gedung telah mereka bunuh! Di dalam kamar yang besar ini, Cui Im dan Siauw Lek melakukan praktek-praktek kecabulan yang tiada taranya.
Mereka memaksa dengan ancaman tiga orang pemuda dan tiga orang gadis itu untuk melayani nafsu-nafsu mereka, yang mereka jadikan semacam pembangkit gairah berahi dan pada akhir pesta mereka berdua sendiri bermain cinta di depan tiga orang muda yang memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, seperti enam ekor kelinci yang hampir mati ketakutan. Dan pada keesokkan harinya, dengan tubuh lemas dan semangat segar penuh kepuasan san kegembiraan, Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan kamar itu yang kini dihias enam sosok mayat tiga pasang orang muda yang telanjang bulat dan mandi darah!
Biauw Eng masih rebah miring, tak mampu bergerak. Dia tadi hanya memandang saja penuh kebencian betapa sebelum pergi Cui Im telah mengangkat sebuah batu besar dan dengan pedang merahnya wanita itu membuat huruf-huruf di atas batu yang berbunyi: DI TEMPAT INI LAM-HAI SIN-NI DAN SONG-BUN SIU-LI DIBUNUH OLEH ANG-KIAM BU-TEK.
Kemudian Biauw Eng melirik ke arah ibunya dan air matanya mengalir turun ketika ia melihat ibunya yang sudah buntung kedua kaki tangannya itu duduk tegak dan kaku. Ia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah tewas dan hanya kekerasan hati ibunya mati dalam keadaan duduk tegak seperti itu. Dan dia sama sekali tidak berdaya dan akan mati pula! Dan Keng Hong masih hidup, akan tetapi juga menanti kematian yang diawali siksaan dan derita lebih panjang lagi. Dan dia mati sebagai seorang yang jahat dan dibenci oleh Keng Hong.
Biauw Eng mengeluh, terisak-isak. Tubuhnya mulai terasa amat sakit-sakit terutama sekali di bagian belakang kepalanya yang seperti digerogoti semut-semut api. Rasa nyeri yang hebat sekali, akan tetapi tidak terlalu hebat sehingga tidak sampai membuatnya pingsan. Ia maklum akan kehebatan racun jarum merah bekas sucinya itu. Memang ini yang dikehendaki oleh Cui Im.
Agar dia tidak pingsan dan terus sadar, terus merasai siksaan sedikit demi sedikit sampai racun merusak jantungnya dan dia mati dalam keadaan yang amat menderita.
Akan tetapi bukan rasa nyeri yang membuatnya mengeluh. Rasa nyeri di tubuhnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri dihatinya. Melihat ibunya mati demikian mengenaskan, menghadapi kematiaannya sendiri yang amat terhina, dan memikirkan Keng Hong, benar-benar merupakan siksaan batin yang membuat dia hampir menjerit-jerit, tepat seperti yang dikehendaki Cui Im!
Dia belum mati. Baru tiga empat jam berlalu, masih ada delapan jam lagi. Sebelum mati, mengapa putus asa? Kalau dia dapat hidup, dia dapat mencari Keng Hong, menolongnya dari bahaya maut, kemudian mencari Cui Im dan Siauw Lek untuk membalas dendam berikut bunga-bunganya! Akan tetapi, betapa mungkin ia dapat tertolong? Andaikata ia dapat membebaskan totokan dan mampu bergerakpun ia tidak akan dapat menolong nyawanya. Untuk mengobati racun jarum merah, dia tidak mempunyai obat penawarnya, juga ibunya tidak menyimpan obat ini. Obat ini tentu saja hanya dibawa oleh Cui Im yang mempergunakan racun itu pada senjata rahasianya. Untuk menyedot dan mengeluarkan racun tak mungkin. Mana bisa ia menyedot luka di tengkuknya? Pula, ia mengerti sifat racun merah itu. Tidak berbahaya bagi mulut yang menyedotnya, akan tetapi berbahaya bagi mata! Orang yang menyedot racun itu, tidak akan mati, akan tetapi akan rusak matanya, akan menjadi buta!
Biauw Eng memejamkan mata memutar otak mencari akal yang agaknya sudah buntu. Tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki menghampiri. Cepat ia membuka mata dan melihat bagian tubuh seorang laki-laki melangkah maju. Ah, masih ditambah ini lagi penderitaannya? Apakah dalam saat terakhirnya ini ia masih akan mengalami penghinaan, perkosaan dari seorang pria?
Tentu Siauw Lek yang datang kembali ini, pikirnya dan ia memejamkan matanya kembali, terlalu ngeri untuk mengalami penderitaan hebat yang akan menimpanya dengan mata terbuka. "Aiiiihhh, terlalu keji iblis betina itu..." Terdengar suara seorang laki-laki yang berlutut di dekat tubuh Biauw Eng. Agaknya dia memeriksa keadaan Biauw Eng yang disangkanya pingsan. Mendengar bahwa suara ini bukan suara Siauw Lek, Biauw Eng membuka matanya dan melirik keatas. Wajah yang tampan seorang pemuda yang usianya amat muda, paling banyak dua puluh dua tahun atau sebaya dengan dia. Wajah tampan dan sikap yang gagah dan sopan.
"Ah, syukurlah engkau tidak pingsan, Nona. Biar aku menolongmu, Nona."
"Dapatkah engkau membebaskan totokan pada punggung dan pundakku?" Biauw Eng bertanya, sikapnya tenang.
"Aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi bukan ahli tiam-hiat-hoat, Nona. Jalan darah mana yang harus ditotok?"
"Jalan darah kian-keng-hiat di pundak dan hong-hu-hiat di punggung belakang pundak. Bukan ditotok, melainkan dibebaskan.."
"Wah, sayang, aku tidak bisa, Nona. Katakanlah di mana adanya obat penawar racun jarum ini, dan aku akan..."
"Hemmm, tidak ada obat penawarnya!" Biauw Eng putus asa. Dia tadi inta dibebaskan hanya agar dia dapat memeriksa ibunya, bukan untuk dapat menolong diri sendiri. Kini pemuda ini terlalu rendah ilmu silatnya sehingga membebaskannya pun tidak mampu! Ia menghela napas dan berkat lagi,
"Engkau siapakah? Mengapa kesini?"
"Aku she Sim, bersama Lai Sek. Aku sengaja datang mencari Lam-hai Sin-ni dan engkau puterinya, untuk.... untuk membalas dendam atas kematian ciciku!"
"Uhhhh, dengan kepandaianmu seperti itu, engkau hendak melawan aku dan ibuku?" Biauw Eng bertanya penuh keheranan.
"Membalas dendam adalah satu hal, menang atau kalah adalah hal lain lagi. Akan tetapi, ketika aku datang tadi... aku melihat iblis-iblis itu, aku bersembunyi, merangkak-rangkak dekat dan mendengar semua.
Kemudian aku mengerti engkau telah terkena fitnah iblis betina itu, selama ini aku mengutuk namamu, menganggap engkau pembunuh ciciku, dan aku melihat betapa ibumu disiksa, dibunuh, kemudian betapa ibumu dihina dan dilukai. Aku harus menolongmu, harus! Benar-benarkah tidak ada obat penawarnya, Nona?"
"Sudah kukatakan tidak ada, engkau tidak dapat menolongku, sedangkan aku pun sendiri tidak bisa menolong diriku sendiri. Aku amat berterima kasih kepadamu, Sim-enghiong. Engkau seorang pemuda yang baik budi. Kalau engkau sudi untuk merawat ibuku... Mengubur jenazahnya.... biar sampai mati pun aku akan amat berterima kasih kepadamu...." Suara Biauw Eng mengandung isak karena teringat akan ibunya. Betapa sedih hatinya melihat ibunya disiksa dan dibunuh orang tanpa ia dapat menolongnya, bahkan jenazahnya pun tak mampu ia merawat dan menguburnya!
"Ah, tentu... Tentu ah, kasihan sekali engkau dan ibumu... hemmm, sungguh iblis betina itu kejam sekali...!" Sim Lai Sek menjadi bingung karena dia tidak tega melihat nona itu menderita tanpa dapat menolongnya. Melihat betapa wajah yang amat cantik jelita itu pucat dan bibir itu menyeringai sakit, dahi yang halus itu penuh peluh, ia merasa hatinya tersiksa sekali. Cepat dia bangkit dan menghampiri tubuh Lam-hai Sin-ni dengan hati ngeri, juga dengan penuh iba. Kaki tangannya buntung dan potongan kedua kaki dan lengan itu masih berserakan disitu. Mengerikan! Ternyata bahwa tubuh nenek itu sudah kaku, tak bernyawa lagi seperti yang diduga Biauw Eng.
Ketika tidak mendengar gerakan pemuda itu, Biauw Eng bertanya, "Sim- enghiong, apakah ibuku.. sudah meninggal ?"
"Be.... benar, Nona.."
***
Biauw Eng menarik napas panjang dan tiba-tiba ia merintih karena rasa nyeri yang luar biasa menusuk tengkuknya.
"Harap.... harap kau begitu baik hati... Menolongku, menguburkan jenazahnya..."
"Baiklah, Nona. Tenangkan hatimu, aku akan mengubur jenazah locianpwe."
Seperti pernah diceritakan di bagian depan cerita ini, Sim Lai Sek adalah Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai yang terbunuh oleh senjata rahasia yang dilepas oleh Cui Im, yang tewas dalam pelukan Keng Hong setelah gadis itu bersama Keng Hong melampiaskan perasaan mereka saling mencinta. Sim Lai Sek merasa sakit hati sekali dan pemuda ini mengikuti semua persoalan mengenai Keng Hong, menyaksikan pula Keng Hong diadili dan meyaksikan betapa Biauw Eng yang kemudian dilarikan ibunya, Lam-hai Sin-ni. Karena merasa sakit hati kehilangan cicinya, satu- satunya saudaranya dan yang amat dicintainya, Sim Lai Sek melatih diri dengan ilmu silat, kemudian mencari Lam-hai Sin-ni untuk membalas dendam kematian cicinya yang menurut pengakuan Biauw Eng sendiri dibunuh oleh gadis puteri Lam-hai Sin-ni itu. Ketika tadi ia tiba di situ, ia menyaksikan sepak terjang Cui Im dan Siauw Lek. Ia bersembunyi dan mengintai. Karena dua orang manusia iblis itu sibuk dengan kekejaman mereka, mereka tidak melihat atau mendengar kedatangan pemuda ini yang dapat mendengar dan menyaksikan semua. Terbukalah matanya bahwa Biauw Eng terkena fitnah, bahwa yang membunuh cicinya adalah wanita iblis itu! Akan tetapi menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian kedua orang manusia iblis itu, Lai Sek maklum bahwa kalau dia menyerang takkan ada gunanya. Ia menanti sampai berjam-jam barulah dia merasa yakin bahwa mereka tidak akan datang kembali maka dia lalu muncul menolong ibu dan anak itu
Dengan penuh semangat Lai Sek menggali lubang kuburan. Ia bertenaga besar dan tak lama kemudian dia sudah menggali sebuah lubang, kemudian dia mengeraskan hatinya mengangkat tubuh Lam-hai Sin-ni yang kaku, menaruhnya hati-hati ke dalam lubang berikut potongan-potongan kedua kaki tangannya, kemudian dia menguruk lubang itu dengan tanah galian. Biauw Eng meandang semua pekarjaan pemuda itu dan ketika Lai Sek menguruk tanah kuburan ia tak dapat melihat lagi karena kedua matanya penuh air mata yang tak dapat ia hapus karena kedua tangannya tak dapat ia gerakkan.
"Sudah selesai, Nona." Lai Sek berlutut di dekat Biauw Eng setelah dia membersihkan kedua tangannya. Melihat betapa gadis itu menggigit bibir menahan nyeri dan melihat air mata memenuhi bulu mata karena tak dapat dihapus, pemuda itu menjadi iba sekali hatinya dan seperti tak disadarinya dia menggerakkan tangan dan mengusap air mata dari kedua mata nona itu dengan ujung bajunya.
Sepasang mata yang merah itu memandang penuh keharuan dan rasa terima kasih menusuk perasaan Lai Sek. "Sim-enghiong.... kau .... kau manusia paling mulia yang pernah kujumpai... Dapatkah engkau mengangkat batu di sana itu dan meletakkannya di depan kuburan ibuku?" Lai Sek menengok memandang batu besar itu dan menganguk. "Ilmu silatku tidak seberapa tinggi, Nona , akan tetapi tenagaku besar. Agaknya batu itu akan terangkat olehku." Ia menghampiri batu itu, ketika membaca huruf-huruf terukir di atas batu, dia mengerutkan kening dan berkata,
"Perlukah batu buatan iblis betina ini dipasang di depan kuburan ibuu, Nona? Dia sombong sekali. Engkau belum... mati dia sudah menulisnya begini pasti...."
"Dia benar, aku tentu akan mati. Biarlah kau pasang batu itu agar kelak.... kalau Tuhan menghendaki , Keng Hong melihat batu itu dan mungkin dia masih.... ingat akan .... ah, terserahlah... Harap kau pindahkan batu itu.."
Lai Sek tidak membantah lagi, lalu menghampiri batu besar itu, menyingsingkan lengan baju lalu memeluk dan mengerahkan tenaga. Dengan susah payah dapatlah dia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan Lam-hai Sin-ni. Kemudian dia menghampiri Biauw Eng dan berlutut lagi. Nona itu memandangnya dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh rasa syukur dan terima kasih, bahkan bibir yang mengerut karena menahan sakit itu tersenyum.
"Aihhh... Apa saja yang takkan kulakukan untuk membalas budimu, Sim-enghiong... Sayang... Aku hanya dapat membawa namamu ke alam baka...." Mata itu masih memandang terbelalak dan air matanya mengalir dari pelupuk mata membasahi kedua pipinya yang pucat. "Selamat berpisah, sahabat terbaik Sim Lai Sek... Namamu terukir di sanubariku, kubawa mati... Pergilah sekarang dan biarkan aku dengan tenang menghadapi siksaan yang akan membawaku pergi menyusul ibu...."
Sim Lai Sek merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. "Tidak ....! Tidak....! Tidak....! Engkau tidak boleh mati begini saja, Nona! Seorang semuda engkau, secantik engkau..ah, tidak mungkin aku dapat membiarkan kau mati begini saja....!"
Gadis yang tadinya sudah memejamkan mata itu kini membuka matanya dan memandang heran. Saking herannya ia sampai lupa untuk sementara rasa nyeri yang makin menghebat. "Sim-enghiong... Kau...., kenapakah? Mengapa kau bersikap seperti ini... Mengapa... Mengapa engkau sebaik ini kepadaku...?"
"Lima tahun lamanya setiap hari aku menyumpahimu, mengutukmu, menganggap engkau sejahat-jahatnya orang berhati keji telah membunuh ciciku yang tak berdosa. Agaknya... Siapa tahu... Karena kutukan dan sumpahku itu engkau mengalami malapetaka sehebat ini, dan ternyata engkau...., tidak berdosa!
Dengan begini maka akulah yang berdosa kepadamu, Nona, aku harus menebus dosaku kepadamu ini. Akan tetapi bagaimana? Engkau terluka, hampir mati.... terluka jarum beracun??? Mungkin tidak ada obat penawarnya, akan tetapi kalau racunnya dikeluarkan...."
"Jangan...!!!" Biauw Eng menjerit.
"Mengapa jangan? Engkau akan selamat! Kalau racun itu kusedot keluar...ya, begitulah cara pengobatannya!" Sim Lai Sek mengulur tangannya hendak mencabut jarum merah yang menancap di tengkuk Biauw Eng itu.
"Sim-enghiong, jangan lakukan itu!" Biauw Eng menjerit, suaranya melengking penuh kengerian. "Engkau akan celaka....!!"
Sim Lai Sek tersenyum dan tidak menghentikan usahanya, kini jari tangannya menjepit jarum merah itu dan dicabutnya dengan tiba-tiba. Darah menghitam keluar dari luka di tengkuk itu.
"Nona, jangan menakut-nakuti aku. Biar celaka sekalipun, untuk menolongmu dan untuk menebus dosa, aku rela!" Setelah berkata demikian Sim Lai Sek membungkuk dan mendekatkan mulutnya pada tengkuk yang berkulit putih halus, akan tetapi di sekitar luka kecil itu membengkak merah.
"Tunggu dulu..., Sim-enghiong, ini tidak boleh... tunggu sebentar dan dengarkan kata-kataku." Biauw Eng di dalam hatinya meronta-ronta dan suaranya terdengar penuh permohonan sehingga Lai Sek mengangkat lagi mukanya.
"Ada apa lagi, Nona?"
"Dengar, Sim-enghiong. Aku tahu betul kedashyatan racun Ang-tok-cia ini. Dia itu bekas suciku sendiri, aku tahu bahwa luka jarum ini sama sekali tidak boleh disedot."
"Apakah takkan sembuh? Boleh coba-coba daripada tidak ditolong sama sekali."
"Bukan begitu!" Biauw Eng gugup. Mungkin sembuh, akan tetapi penyedotnya.... dia akan celaka, akan menjadi buta matanya! Jangan kau lakukan itu...."
Lai Sek kelihatan terkejut, kemudian dia menatap wajah Biauw Eng dan tersenyum. "Biar celaka, atau buta, bahkan mati sekalipun aku rela melakukannya untukmu, Nona." Ia menunduk kembali, akan tetapi Biauw Eng menjerit.
"Nanti dulu! Sim Lai Sek... Katakanlah terus terang, mengapa.... kau melakukan ini untukku? Kalau hanya untuk menebus rasa penyesalanmu telah salah menuduh saja, tidak mungkin. Katakanlah, mengapa....? Mengapa....??" .
Sim Lai Sek memandang wajah gadis itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu dan bertaut. Kemudian pemuda itu berkata, suaranya seret dan sukar keluar, namun dipaksa juga.
"Baiklah, Nona. Mengingat bahwa keadaan kita ini gawat sekali, kalau kau tidak kutolong engkau mati, kalau kutolong mungkin aku yang mati, biarlah kau mendengar sejelasnya, mendengar apa yang selama ini berada di dalam hatiku sebagai rahasia pribadiku yang tak diketahui siapapun juga. Kau mau tahu mengapa aku hendak nekat menolongmu dengan taruhan nyawaku? Biaklah, karena .... karena aku cinta kepadamu, Nona!"
Terbelalak mata Biauw Eng. Dugaan yang tepat namun ia tetap tidak tahu mengapa pemuda itu mencintainya. "Akan tetapi.... ah, mana mungkin? Engkau selamanya mendendam, menyumpah dan mengutuk aku yang tadinya kau anggap membunuh cicimu!"
Sim Lai Sek menundukkan kepalanya. "Itulah yang merusak hatiku selama bertahun-tahun ini. Semenjak aku melihatmu di Kun-lun-san, aku .... ah, si lemah ini, aku jatuh cinta kepadamu, Nona. Kemudian ketika mendengar engkau adalah pembunuh ciciku, hatiku sakit dan rusak, cintaku berubah kebencian dan penyesalan, kusumpahi dan kukutuk engkau. Kini, ternyata engkau tak berdosa, maka anehkah kalau cintaku tumbuh kembali, bahkan makin mendalam? Aku telah berdosa kepada orang yang kucinta sepenuh hatiku, dan kini untuk menebus dosa terhadapmu, Nona, jangankan hanya berkorban mata yang masih belum kupercaya, biar berkorban nyawa aku rela!"
Sinar mata Biauw Eng menjadi sayu, air matanya turun membanjir. Ia tidak kuasa berkata apa-apa lagi, maklum bahwa apa pun juga yang ia katakan, ia tidak akan berhasil mencegah pria yang begini cinta kasihnya. Bibirnya hanya bergerak dan terdengarlah bisikannya lirih, "Ouhhhhh.... biarkan aku mati.... biarkan aku mati..." Ia memejamkan mata dan menggigit bibir ketika merasa betapa mulut yang basah hangat dari pemuda itu mengecup tengkuknya lalu menyedot, betapa napas yang panas dari hidung pemuda itu menghembus-hembus anak rambut ditengkuknya. Ia tersedu dan merasa semangatnya terbang, hampir pingsan saking gelisah dan cemas hatinya terhadap pemuda itu.
Tanpa sedikit pun mengingat akan dirinya sendiri, Lai Sek sudah mengecup, menyedot, dan meludahkan darah hitam yang berbau amis. Hampir dia tidak kuat menahan akan tetapi dia menggeraskan hati dan menahan kepalanya yang menjadi pening. Ia menyedot lagi, meludah, menyedot, meludah, sampai akhirnya setelah hampir kehabisan napas dan hampir tidak dapat menahan rasa pening kepalanya, Lai Sek menyedot darah merah! Ia menjadi girang sekali, akan tetapi masih terus menyedot dan meludah sehingga darah merah secawan keluar yang berarti bahwa kini racun telah dikeluarkan semua. Lai Sek tertawa-tawa kemudian roboh terguling.
"Lai Sek....!" Biauw Eng menjerit lemah. Dia sudah terhindar bahaya racun, akan tetapi tubuhnya lemas dan totokannya belum punah, maka ia hanya dapat memanggil-manggil Lai Sek sambil menangis.
Totokan jari tangan Cui Im memang hebat sekali. Seperti juga jalannya racun jarum merahnya, totokannnya itu setelah lewat dua belas jam barulah dapat punah dengan sendirinya. Hari telah lewat senja dan hujan turun rintik-rintik di pantai laut selatan itu. Selama itu, Biauw Eng menanti tubuhnya terbebas totokan, rebah miring di samping tubuh Lai Sek yang pingsan di situ pula. Setelah ia dapat bergerak, pertama-tama yang ia lakukan adalah menubruk tubuh Lai Sek dan menangis tersedu-sedu, mengangkat muka pemuda itu untuk diperiksa, dan di dalam cuaca suram hampir gelap itu ia melihat betapa kedua mata pemuda itu membengkak merah! Ia menjerit dan mendekap muka itu ke dadanya, menempelkankan mukanya pada dahi pemuda itu sehingga air matanya membasahi muka Lai Sek sambil merintih, "Lai Sek.. ohhh, Lai Sek....!"
Hujan sudah berhenti, malam pun tibalah .Biauw Eng tidak bergerak pindah dari tempat dia duduk, kepala Lai Sek berada di atas pangkuannya. Jari-jari tangan gadis itu sejak tadi mengelus-elus rambut kepala Lai Sek, hatinya penuh keharuan dan ada rasa aman di hatinya. Kini hidupnya yang tadinya kosong karena Keng Hong kemudian karena kematian ibunya, terisi lagi oleh kewajiban baru. Ia hidup untuk pemuda ini! Untik membalas budi pemuda ini yang tiada taranya.
Sim Lai Sek bergerak perlahan. "Uuuhhh, gelapnya....!" Ia mengeluh, kepalanya bergerak-gerak di atas pangkuan Biauw Eng.
Ucapan itu memancing keluar air mata yang bercucuran dari mata gadis itu.
"Malam telah tiba, Lai Sek," katanya lirih menahan isak.
"Heh, apa? Siapa? Malam..? Eh, engkaukah ini, Nona? Mengapa..., mengapa engkau memangku aku....? Eh, mataku.... tak dapat melihat apa-apa...."
Biauw Eng menangis, menunduk dan merangkul leher Lai Sek, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Lai Sek terheran-heran, lalu meraba kedua matanya, jari-jari tangannya meraba sepasang mata yang bengkak dan tertutup, tak dapat dibuka dan teringatlah dia.
"Ah, aku.... aku telah menjadi buta..."
"Lai Sek.... mengapa engkau nekat....? Sudah kukatakan..." Biauw Eng tak dapat berkata lagi, terus menangis.
"Mataku buta? Biarlah! Akan tetapi engkau, sudah sembuh,benarkah, Nona? Engkau sudah dapat bergerak, sudah duduk. Bagus engkau sudah sembuh!" Lai Sek meraba-raba pundak dan tengkuk gadis itu, suaranya mengandung kelegaan hati dan kegirangan besar yang tak dibuat-buat, kegirangan yang membuat dia lupa akan keadaan matanya yang buta. Kegirangan yang terkandung dalam suara pemuda ini membikin Biauw Eng menjerit dan tangisnya makin menjadi.
"Kau kenapa, Nona?" Lai Sek meraba-raba dan jari-jarinya bertemu dengan air mata di pipi Biauw Eng.
"Kau menangis, Mengapa? Engkau menangisi aku, benarkah, Nona?"
"Lai Sek.., Lai Sek... Betapa aku tidak akan menangisi engkau? Hatiku hancur melihat penderitaanmu karena aku..."
Cinta memang perasaan yang aneh, mengatasi segala macam penderitaan hidup. Biarpun kedua matanya menjadi buta, kini merasa betapa gadis itu memeluknya, bahkan menciumi mukanya, menangis untuknya, Lai Sek menjadi girang dan merasa bahagia sekali!
"Ohhh, terima kasih, Nona. Terima kasih....! Engkau menangis karena mataku buta? Ah, aku mau seribu kali buta kalau engkau menaruh perhatian seperti ini, Nona! Engkau sudah sembuh, sungguh besar hatiku dan masih murah kesembuhanmu kalau hanya ditebus dengan kedua mataku! Aku girang, aku bersyukur kepada Thian Yang Maha Kuasa bahwa aku dapat menebus dosaku kepadamu, bahwa aku masih ada gunanya, terutama sekali untukmu. Nona, kau tolonglah bawa aku ke kota Liok-kun dan antarkan aku ke rumah pamanku di kota itu, kemudian boleh kau tingggalkan aku, Nona. Akan tetapi berhati-hatilah jangan sampai engkau bertemu dengan dua manusia iblis itu lagi, mereka amat berbahaya dan lihai."
"Lai Sek, kau kira aku ini orang macam apa? Tidak, aku merawatmu, mendampingimu dan takkan pernah meninggalkanmu. Kita akan selalu bersama sampai...., sampai kematian memisahkan kita," kata Biauw Eng penuh keharuan sambil memegang kedua tangan pemuda itu. Lai Sek mencengkeram kedua tangan yang kecil itu dan suaranya tergetar.
"Apa kau bilang, Nona? Engkau seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, berilu tinggi, engkau hendak menyia-nyiakan hidupmu di samping seorang seperti aku, yang sekarang telah menjadi seorang buta tiada guna? Tidak! Engkau tidak perlu mengorbankan dirimu hanya karena perbuatanku tadi, Nona. Sudah kukatakan bahwa aku hendak menebus dosa, dengan kedua mataku masih murah!"
"Sim Lai sek, aku sudah mengambil keputusan hidupku. Kecuali kalau engkau tidak sudi bersamaku, aku takkan pernah meninggalkanmu. Ataukah.... engkau tidak cinta lagi kepadaku?"
Genggaman tangan Lai Sek makin kencang. "Engkau tahu bahwa aku mencintamu, Nona. Aku mencintamu melebihi jiwa ragaku! Akan tetapi, karena cintaku, itulah maka aku tidak ingin engkau menyia-nyiakan hidupmu, menderita dan mengorbankan hidup untukku. Cintaku tidaklah sedangkal itu, Nona. Aku mencintamu, akan tetapi engkau tentu tidak mencin...."
"Hushhh, aku pun cinta kepadamu, Lai Sek.."
"Kau....? Kau..? Betapa mungkin ini? Biauw Eng, jangan mempermainkan aku, jangan.. sekejam itu....."
Akan tetapi Biauw Eng sudah menutup ucapan Lai Sek dengan mencium mesra pada mulut pemuda itu sehingga membuat Lai Sek gelalapan. Setelah melepaskan ciumannya, Biauw Eng berbisik, "Nah, masih ragukah engkau? Adakah seorang gadis suci mencium mulut seorang pria kalau dia tidak mencinta pria itu?"
"Kau mencintaku? Ya Tuhan, sukar untuk dipercaya! Mengapa kau mencintaiku? Karena aku telah menyelamatkan nyawamu?"
"Bukan, Lai Sek, karena kemuliaan hatimu. Kalau orang seluruh dunia ini semulia engkau, aku pun akan mencinta seluruh manusia di dunia ini."
"Biauw Eng....!" Lai Sek memeluk, merangkul, mendekap dan menangis tersedu-sedu. "Biauw Eng.... terima kasih.... terima kasih...." Dan keduanya berpelukan dan bertangisan.
***
Keng Hong menuruni puncak Kun-lun-san dengan wajah berseri gembira. Betapa hatinya tidak akan gembira oleh hasil yang dicapainya di Kun-lun-pai? Dia telah berhasil membersihkan namanya di Kun-lun-pai, telah berhasil mengubah rasa benci para tokoh Kun-lun-pai, terutama Kiang Tojin, menjadi rasa kagum berterima kasih dan bersahabat. Tentu saja ada yang berbalik membencinya karena sepak terjangnya di Kun-lun-pai, terutama sekali Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin akan tetapi hal ini sudah wajar. Setiap perbuatan yang mendatangkan senang kepada sefihak, tentu mendatangkan rasa tidak senang kepada fihak yang bertentangan. Pokoknya, ia harus mendatangkan rasa senang kepada di pihak yang benar dan baik, adapun rasa tidak senang di fihak yang salah dan jahat, bukanlah merupakan hal yang aneh.
Ia maklum bahwa tugas yang dihadapinya amat berat. Ia akan menghadapi banyak rintangan, akan menghadapi permusuhan dari orang-orang yang masih mendendam kepada gurunya, bahkan yang akhir-akhir ini mendendam kepada dirinya sendiri. Bagaimana caranya mengubah permusuhan menjadi persahabatan seperti yang dia hasilkan di Kun-lun-pai? Tugas menebus semua permusuhan dari hati tokoh-tokoh kang-ouw terhadap gurunya dan dia sendiri sudah amat berat, masih ditambah lagi dengan tugasnya mencari Cui Im dan menundukkan wanita itu, minta secara halus maupun kasar agar wanita itu mengembalikan kitab-kitab yang dicurinya, karena sesungguhnya kitab-kitab itu merupakan syarat penting baginya untuk melenyapkan permusuhan yang ditimbulkan gurunya ketika gurunya mencuri atau merampas kitab-kitab itu dari partai-partai besar. Tanpa mengembalikan kitab-kitab itu kepada pemiliknya yang berhak, bagaimana mungkin dia dapat mengubah permusuhan menjadi persahabatan ?
Ketika melewati sebuah puncak dan melihat puncak Bayangkara di depan Keng Hong berhenti dan memandang puncak Bayangkara dengan kening berkerut. Seperti puncak Bayangkara itulah tugasnya, menjulang tinggi dan puncaknya itu sendiri merupakan tugas pertama baginya.
***
Yaitu dia harus mengunjungi puncak itu dan berusaha melenyapkan permusuhan yang timbul dengan mereka yang berkuasa di puncak itu, ialah perkumpulan Tiat-ciang-pang. Memandang puncak Bayangkara, teringatlah dia akan semua pengalamannya ketika dia bentrok dengan perkumpulan Tiat-ciang-pang. Dan teringatlah dia akan Sim Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang menjadi sebab pertama bentrokannya itu. Ia membantu Ciang Bi dan adiknya, Sim Lai Sek, ketika mereka berdua itu dikeroyok anak buah Tiat-ciang-pang sehingga bentrokan menjadi berlarut larut, ditambah pula oleh perbuatan Cui Im yang menyamar sebagai Biauw Eng dan diam-diam membantunya, bahkan telah membunuh Ciang Bi. Keng Hong menghela napas panjang. Harus dia kujungi perkumpulan itu agar dia dapat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban, ketua dan wakil ketua dari Tiat-ciang-pang. Dengan hati mantap Keng Hong melanjutkan perjalanannya, menuju ke puncak Bayangkara. Ketika dia tiba di wilayah pegunungan ini dan berada di sebuah lereng yang agak tinggi, dia melihat dari jauh beberapa bayangan orang mendaki puncak, ada yang naik kuda, ada yang berjalan kaki . Ia berhenti memperhatikan. Dari gerakan mereka yang berjalan kaki dia dapat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian dan agaknya mereka hendak bertamu ke Tiat-ciang-pang. Ada apakah di Tiat-ciang-pang?
Selagi dia termangu-mangu, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi, suaranya halus terbawa angin lalu. "Kun-cu Song Ki Wi Ji Heng, Put Goan Houw Ki Gwee (Seorang budiman bersikap sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi bagiannya)"
Berseri wajah mendengar syair itu. Ia segera mengenal syair itu sebagai ujar-ujar Nabi Khong-cu dalam pelajaran Kitab Tiong-yong, dan dia mengenal atau dapat menduga pula siapa orangnya yang bernyanyi itu. Keng Hong tersenyum dan melangkah ke depan menuju ke arah datangnya suara nyanyian yang terbawa angin lalu.
Tepat seperti yang diduganya, dia melihat kakek bongkok berpunuk yang berpakaian selalu bersih berkaki telanjang, rambutnya panjang akan tetapi bagian atas kepalanya botak, duduk ongkang-ongkang di atas sebatang dahan pohon sambil bernyanyi dan diseling menengak arak dari guci araknya. Siauw-bin Kuncu, tokoh aneh yang dulu dia akali untuk memecahkan rahasia kalimat yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam! Tanpa disengaja kakek aneh inilah orangnya yang telah berjasa sehingga dia dapat menemukan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya. Kakek itu melanjutkan syair ujar-ujar di dalam kitab Tiong-yong, akan tetapi kini tidak dinyanyikan, melainkan diucapkan nyaring dengan gaya sedang memberi kuliah atau sedang berceramah di depan banyak murid, kedua lengannya dikembangkan, kepalanya bergerak-gerak mengikuti irama kata-kata yang seperti sajak dideklamasikan:
"Dalam keadaan kaya dan mulia dia berlaku sesuai dengan keadaannya, dalam keadaan miskin papa dia berlaku sesuai dengan keadaannya, berada di antara bangsa asing dia menyesuailan diri dengan sekelilingnya, dalam keadaan duka dan sengasara, dia menyesuaikan diri dengan keadaannya, maka seorang budiman selalu merasa cukup dan terteram, biarpun berada dalam keadaan yang bagaimanapun juga."
Keng Hong yang sudah sering kali membaca kitab Tiong-yong dan kini mendengar ayat ini dideklamasi dengan sungguh-sungguh, seolah-olah menjadi makian jelas maknanya bagi pemuda ini. Ujar -ujar itu mengandung inti sari pelajaran "MENYESUAIKAN DIRI DENGAN KEADAAN." Memang, seorang yang pandai menyesuaikan diri tanpa memaksa hati dan perasaan sendiri akan selalu merasa puas, tak pernah kekurangan dan tenang tenteram. Menginginkan sesuatu yang takkan dapat dijangkauannya bukanlah menyesuaikan diri namanya.
Bersikap tidak cocok dengan sekelingnya, ingin membawa kehendak sendiri, bukanlah menyesuaikan diri namanya! Ia mendengarkan terus terang karena biarpun sudah sering kali membaca ayat-ayat itu, kini mendengar diucapkan kakek itu dia merasa amat tertarik.
"Dalam kedudukan tinggi dia tidak menghina bawahannya, dalam kedudukan rendah dia tidak menjilat atasannya Dia memperbaiki kekurangaan sendiri tidak mengharapkan orang lain, maka ia tidak membenci atau mengutuk orang lain. Ke atas dia tidak mengutuk Tuhan, Kebawah tidak menyalahkan manusia."
Ujar-ujar itu adalah kelanjutan daripada ujar-ujar tadi dan inti sari pelajarannya adalah "MENERIMA KEADAAN PENUH KESADARAN." Jika seseorang dapat menerima keadaan yang menimpa dirinya dengan kesadaran, maka dia akan selalu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan itu dan sama sekali dia tidak akan menyalahkan Tuhan maupun manusia lain. Setiap kegagalan yang lajim disebut kesialan diterima dengan kesadaran penuh bahwa hal ini merupakan akibat daripada sebab, dan untuk mencari sebabnya tidak semetinya kalau melontarkan kesalahan kepada Malaikat maupun Setan. Orang bijaksana atau kuncu (budiman) akan menghadapi setiap kegagalan atau malapetaka yang menimpa diri dengan melakukan instropeksi (memeriksa diri sendiri) kemudian melakukan self-koreksi tanpa membenci atau menyalahkan siapapun juga. Keng Hong sudah mengerti akan semua ini dan dia mendengarkan terus.
"Seorang budiman selalu tenang dan tenteram menanti kurnia sewajarnya dari Tuhan. Adapun seorang yang rendah budi melakukan kejahatan Untuk mendapatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya."
Memanglah, tanpa adanya kesadaran tadi, seseorang yang sedang mengalai kegagalan akan udah menjadi mata gelap, menipiskan kepercayaan kepada Tuhan yang dianggapnya tidak adil sehingga dia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan jahat. Keng Hong maklum bahwa yang sedang diucapkan kakek ini adalah pelajaran fasal ke empat belas dari kitab Tiong-yong dan bahwa masih ada satu ayat lagi sebagai penutup dan yang paling penting dalam fasal hal ini, maka dia masih belum mau menegur dan mendengarkan terus. Kini kakek itu kembali menyanyikan ayat terakhir yang pendek dengan gaya seorang penyanyi wayang, lagaknya lucu sekali:
"Nabi Khong Cu bersabda : Prilaku seorang budiman seperti ilmu memanah, Apabila memanah tidak mengenai sasaran Dia mencari sebab-sebab kegagalan Kepada diri sendiri!"
Karena ayat-ayat itu sudah habis diucapkan si kakek bongkok, Keng Hong hendak memperkenalkan diri, akan tetapi tidak sempat karena kini kakek itu berkata-kata keras penuh celaan seperti orang arah,
"Anak panah luput dari sasaran adalah karena tidak becus, mengapa mencak-mencak mencari kesalahan dengan mencela anak panahnya bengkok, gendewanya kaku, sasarannya tidak nyata, angin besar, cuaca terlalu buruk dan lain omong kosong lagi? Ha-ha-ha, benar-benar manusia ini badut-badut dunia yang tidak lucu dan menjemukan. Guru besar, semua pelajaranmu baik dan tepat belaka, hamba kagum dan tunduknya, betapi sukar melaksanakannya! Aduhai ...., makin baik pelajarannya, mengapa makin bobrok budi pekertinya manusia?"
Keng Hong terkejut mendengar ucapan terakhir ini dan lalu dia muncul keluar sambil menegur, "Locinpwe, maafkan kalau saya mengganggu, Bukankah Locianpwe ini Siauw Kuncu?" Kakek itu yang masih duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon, menoleh dan memandang Keng Hong, kemudian menenggak araknya dan berkata seperti orang mabuk, "Memang benar, aku seorang di antara kuncu-kuncu yang memenuhi dunia ini! Betapa banyaknya kuncu macam aku sehingga sukar dihitung, seperti daun-daun kuning berserakan di musim rontok! Betapa sukarnya menerima setangkai bunga di musim rontok!"
"Apa pula artinya ucapan Locianpwe ini?"
"Artinya? Lihat saja, betapa kini banyak terdapat kuncu-kuncu berserakan! Setiap orang pelajar hafal akan seluruh kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu, dan mereka itu menganggap diri mereka sebagai kuncu-kuncu! Apakah kalau sudah hafal akan semua ujar-ujar kitab suci lalu menjadi budiman? Betapa mudahnya menghafal dan bicara ditambah lagak seorang kuncu, betapa mudahnya bicara tentang kebenaran, akan tetapi adakah yang dapat melaksanakannya dalam perbuatan? Mereka itu kuncu-kuncu dalam lagak dan kata-kata, dan karena itu aku menjadi seorang di antara mereka, berjuluk kuncu, aku pun seorang kuncu lagak dan kata, kuncu palsu!"
"Akan tetapi, Locianpwe, bukankah seseorang yang telah mengenal diri sendiri dan tahu akan kekurangan-kekurangannya, mempunyai harapan besar untuk memperbaiki dirinya dan hal ini sudah merupakan langkah seorang kuncu?"
"Engkau benar, akan tetapi betapa sukarnya mengalahkan diri sendiri! Betapa sukarnya menjadi kuncu bukan karena ingin disebut kuncu, betapa sukarnya melakukan perbuatan baik bukan karena ingin disebut baik! Betapa mungkin memisahkan malaikat dan setan kalau malaikat itu kita lekatkan di dada sedangkan setan melekat di punggung?
Heeeiiiii...! Engkau ini seorang muda sudah pandai bicara tentang ayat-ayat suci. Engkau hendak menjadi kuncu, pula? Eh, aku pernah melihat mukamu! Oho, benar engkau ini!" Kakek itu menepuk kepalanya yang botak lalu tubuhnya melayang turun ke depan Keng Hong. Semenjak dahulu Keng Hong kagum menyaksikan ginkang kakek itu, akan tetapi tentu saja kini dia melihat betapa ginkang kakek itu sebenarnya belum berapa tinggi. Hal ini adalah karena tingkat kepandaiannya sendiri telah melonjak secara luar biasa.
"Betapa senangnya bertemu dengan sahabat lama?" Kakek itu berkata seperti orang bernyanyi.
"Bukankah engkau orang muda yang memiliki pukulan mujijat dan mengerikan itu? Engkau.... ah, murid Sin-jiu Kiam-ong yang menimbulkan geger di seluruh dunia kang-ouw dan di kabarkan lenyap di puncak Kiam-kok-san? Kabarnya engkau sudah mati!"
Keng Hong tersenyum. "Thian masih melindungiku dan masih menganugerahi umur panjang padaku, Locianpwe. Berkat pertolongan Locinpwe, aku masih hidup sampai detik ini."
Siauw bin kuncu membelalakkan kedua matanya dan mengaruk-garuk kepalanya. "Au? Pertolonganku yang mana? Eh, orang muda, jangan engkau ketularan watak Sin-jiu Kiam-ong yang suka menggoda dan mempermainkan orang. Aku sudah tua, tak baik mempermainkan orang tua."
"Saya tidak mempermainkan Locianpwe, dan hanya menyatakan hal yang sesungguhnya. Ingatkah Locianpwe akan bantuan Locianpwe memecahkan rahasia tiga macam ujar-ujar dahulu itu? Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan! Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka! Nah, Locianpwe yang membantu saya memecahkan rahasianya!"
"Oh... Oh... Itukah? Dengan ukuran-ukuran itu...? Hemmm, kau hendak katakan bahwa rahasia itu adalah rahasia tempat penyimpanan peninggalan pusaka Sin-jiu Kiam-ong yang diperebutkan semua orang? Jadi engkau selama ini lenyap ke dalam tempat rahasia itu? Aihhh!"
Kakek itu menampar kepalanya." Kalau aku tahu.. tentu..." Kakek itu terhenti dan kini menampar mulutnya.
"Nah-nah, inilah yang paling berbahaya, musuh manusia nomor satu, yaitu diri sendiri, nafsunya sendiri yang mendorongnya melakukan hal apa saja demi untuk kepentingan diri sendiri sehingga lenyaplah segala norma kebajikan, lenyap dan terlupakan semua ayat-ayat suci agama. Ah, orang muda, jadi rahasia penyimpanan pusaka gurumu itu tersembunyi di dalam tiga baris ujar-ujar itu? Sunggah mengagumkan!"
"Benar demikian, Locianpwe. Karena itu, saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang menyelamatkan saya ketika dikejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw lima enam tahun yang lalu."
Kakek itu mengangkat tangan dan menggoyang-goyangnya seperti hendak mencegah pemuda itu melanjutkan ucapan terima kasihnya. "Seorang kuncu tidak mengangap bantuan sebagai pelepas budi, tidak menganggap kebajikan sebagai sesuatu yang dibanggakan melainkan sebagai suatu keharusan dan kewajiban. Orang muda, siapakah namamu? Aku sudah lupa lagi."
"Saya Cia Keng Hong, Locianpwe."
"Keng Hong, setelah engkau menemukan peninggalan pusaka gurumu, tentu engkau telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, bukan?"
"Ilmu, kepandaian tak dapat diwarisi, Locinpwe, hanya dapat dipelajari. Saya telah mempelajarinya sedikit-sedikit akan tetapi tentu saja masih jauh daripada sempurna."
"Wah, engkau pandai merendah, Keng Hong. Dahulu pun kepandaianmu sudah mengerikan, apalagi sekarang. Dan sekarang, kemana engkau hendak pergi, apa yang hendak kaulakukan setelah engkau memiliki ilmu kepandaian gurumu?"
"Locianpwe, saya mohon petunjuk, Locianpwe mengenai cita-cita yang menjadi tugas saya ini. Saya akan berusaha untuk menemui semua tokoh kang-ouw yang dahulu memusuhi suhu, dan akan saya usahakan sedapat mungkin untuk menebus kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh suhu terhadap para tokoh kang-ouw.
Bagaimana menurut pendapat Locianpwe? Apakah usaha saya ini tidak berlawanan dengan kebaktian seorang murid terhadap gurunya?"
"Di dalam kitab Tiong-yong, guru besar Khong Cu berkata! Hu-hauw-cia, Sian-kee-jin-ci-ci, Sian -sut-jit-ci-su-cia-ya (Berbakti ialah melanjutkan cita-cita mulia dan pekerjaan benar daripada leluhurnya). Kalau seorang murid melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan benar, berarti bahwa dia mengangkat tinggi nama gurunya. Kalau muridnya menjadi seorang baik, tentu gurunya dipuji orang. Sebaliknya kalau si murid menjadi seorang jahat tentu gurunya dimaki orang. Gurumu Sin-jiu Kiam-ong, di waktu hidupnya menjadi seorang petualang, ugal-ugalan dan karenanya menyusahkan banyak orang sehingga dimusuhi. Dia meninggalkan nama buruk. Kalau engkau sebagai muridnya dapat melakukan kebaikan-kebaikan, hal itu berarti engkau telah berbakti, karena dengan kebaikan muridnya, setidaknya nama buruk si guru akan tercuci sebagian. Akan tetapi, tujuan dan cita-cita baik saja belum ada gunanya kalau belum dilaksanakan, Keng Hong. Sekarang, engkau hendak kemana?"
"Terima kasih atas wejangan Locianpwe yang ternyata cocok dengan isi hati saya. Saya akan pergi ke puncak sana menemui para pimpinan Tiat-ciang-pang yang paling dekat dari sini. Tugas ini tidak ada sangkut pautnya dengan suhu. Seperti Locianpwe telah mengetahui, dahulu enam tahun yang saya pernah bentrok dengan Tiat-ciang-pang karena salah faham maka sekarang saya hendak menghapus pertentangan itu dengan mohon maaf kepada para pemimpinnya."
Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya. "Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Di sana sedang ada keramaian, dan mungkin setibamu di sana akan terjadi perkara besar di sana. Tidakkah kau melihat rombongan tamu yang menuju ke sana itu? Aku sendiri pun kalau ada minat, akan menonton keramaian."
"Saya tadi melihat rombongan itu, Locianpwe. Ada keramaian apakah?" "Pesta keramaian dari mereka yang menang! Mereka merayakan ulang tahun Tiat-ciang pang, juga merayakan kemenangan bala tentara Raja Muda Yung Lo yang berhasil merebut kekuasaan. Sebagai fihak yang pro tentara, tentu saja Tiat-ciang-pang mendapat pahala dan karena itu mereka merayakan kemenangan. Nah, kalau kau hendak menemui para pimpinannya, sekaranglah saatnya. Pergilah, Keng Hong, dan jangan lupa dasar tujuanmu, yaitu menjunjung nama guru yang hanya dapat kau capai dengan perbuatan benar. Selamat berpisah!" Kakek itu meloncat jauh lalu berloncatan dengan kedua lengan dikembangkan dan digerak-gerakkan seperti burung terbang!
Keng Hong menarik napas lega. Bercakap-cakap dengan kakek itu menambah keyakinannya akan benarnya usaha yang ditempuhnya. Ia maklum betapa berat tugasnya, namun keyakinan bahwa yang dia lakukan adalah benar memperingan tugas itu dalam hatinya. Ia lalu melanjutkan perjalannya menuju ke puncak Pegunungan Bayangkara di mana sudah tampak tembok besar yang menjadi bangunan pusat perkumpulan Tiat-ciang-pang.
Tiat-ciang-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan terkenal, apalagi setelah timbul perang ketika Raja Muda Yung Lo memimpin bala tentaranya dari utara menyerbu ke selatan dan perkumpulan ini membantu dengan penuh semangat. Setelah perang dimenangkan tentara utara, nama Tiat-ciang-pang meningkat dan makin banyaklah orang yang memuji-muji perkumpulan ini. Maka ketika perkumpulan itu merayakan ulang tahun sekalian merayakan kemenangan bala tentara utara, juga untuk mengadakan pemilihan ketua baru karena Ouw Beng Kok, ketua pertama itu hendak mengundurkan diri kan karena merasa sudah terlalu tua. Banyak sekali tamu berdatangan dari segenap penjuru, tokoh-tokoh kang-ouw dan bekas-bekas teman seperjuangan.
Keng Hong menyelinap di antara para tamu dan tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda ini karena memang Keng Hong tidak kelihatan menyolok dengan pakaiannya yang sederhana dan kelihatannya tidak membawa sepotong pun senjata, sama sekali tidak kelihatan seperti seorang tokoh kang-ouw yang pandai ilmu silat. Apalagi karena pada saat itu warna kulit muka Keng Hong sudah berubah hitam, karena dia sengaja menggunakan semacam getah pohon untuk menghitamkan muka. Kepandaian menyamar ini dia dapatkan dari sebuah di antara kitab-kitab suhunya, dan dia tahu bagaimana harus mengubah warna kulit mukanya menjadi hitam, putih, kuning, merah atau bahkan kehijauan, hanya mempergunakan getah-getah kulit pohon atau daun-daun. Karena kedatangannya dengan itikad baik, dia tidak ingin menimbulkan kekacauan dan tidak ingin dikenal anak buah Tiat-ciang-pang yang tentu akan mengacaukan urusan sebelum dia sempat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban.
Dari tempat duduknya di antara banyak tamu muda, Keng Hong memandang ke depan dimana para pipinan Tiat-ciang-pang dan par tau yang dianggap terhormat berkumpul. Bagian itu agak tinggi dan luas sehingga tampak jelas dari semua bagian dimana tamu-tamu yang dianggap "biasa" atau hanya para anggota-anggota rendahan dari Tiat-ciang-pang. Karena di situ berkumpul pula tamu-tamu dari pelbagai golongan sehingga sebagian besar tidak dikenal oleh para anggota Tiat-ciang-pang, maka kehadiran Keng Hong tidak menyolok.
Keng Hong dapat melihat bahwa Ouw Beng Kok ketua Tiat-ciang-pang atau Ouw-pangcu itu, kelihatan tua dan mukanya penuh keriput, namun tubuhnya yang agak kurus itu masih membayangkan tenaga yang kuat, dan Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri ketika melihat tangan kiri Ouw Beng Kok yang palsau, tangan besi yang amat hebat itu, karena tangan besi itulah yang menciptakan Tiat-ciang-pang.
***
Perkumpulan Tangan besi, sungguhpun para anggautanya tidak mempunyai tangan palsu dari besi, namun para tokohnya telah mempelajari ilu Tiat-ciang-pang (Tangan Besi) yang amat ampuh sehingga tangan mereka dari tulang daging dan kulit itu seolah-olah keras seperti besi. Di sebelah kirinya duduk seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang bermuka brewok dan bertubuh tinggi besar dan gagah. Sedangkan di sebelah kanannya duduk Lai Ban, wakil ketua Tiat-ciang-pang yang berjuluk Kim-to Si Golok Emas. Senjata itu tergantung dengan megahnya di punggung, dan berbeda dengan ketua Tiat-ciang-pang itu, wakilnya itu masih kelihatan gagah bersemangat biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih. Di belakang kedua orang ketua ini duduk para pembantu-pembantu pemimpin Tiat-ciang-pang dengan sikap keren. Dan di depan mereka, mengelilingi meja-meja besar yang ditaruh berjajar, duduk para tokoh yang terhormat, yaitu tokoh-tokoh kang-ouw dan tokoh-tokoh pejuang pembantu barisan dari utara.
Setelah semua tamu menghaturkan selamat dan saling memuji dalam merayakan kemenangan tentara utara, yang mereka lakukan sambil tertawa-tawa, menceritakan pengalaman pertandingan dalam perang saudara yang lalu, dan makan minum gembira, ketua Tiat-ciang-pang lalu mengumumkan kesempatan itu untuk mengadakan pemilihan ketua baru.
"Saya sudah tua dan lelah, perlu mengundurkan diri beristirahat dan memberi kesempatan kepada yang muda." Demikian Ouw Beng Kok menutup kata-katanya. "Sekarang, kebetulan sekali para sahabat dari berbagai golongan hadir sehingga dapat menjadi saksi peilihan ketua baru Tiat-ciang-pang. Menurut pendapat dan rencana saya, tentu saja kalau seluruh anggauta Tiat-ciang-pang menyetujui, dan saya harap demikian, saya akan menyerahkan jabatan ketua kepada putera saya ini. Mungkin banyak di antara para sahabat yang belum mengenal puteraku.
Puteraku ini bernama Ouw Kian, dan karena semenjak kecil dia membantu Raja Muda Yung Lo di utara yang kini menjadi kaisar kita, maka dia tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja bagi Tiat-ciang-pang. Akan tetapi, mengingat bahwa ilmu Tiat-ciang-kang telah di warisinya, dan karena diapun ingin sekali menyumbangkan tenaganya, dan sudah disetujui pula meninggalkan kerajaan, maka saya sendiri mengusulkan untuk mengangkatnya menjadi ketua Tiat-ciang-pang."
"Ha-ha-ha, Ouw-pangcu mengapa begini sungkan? Kalau yang pangcu usulkan untuk menggantikan adalah putera Pangcu sendiri, hal itu sudah sewajarnya. Ouw -pangcu selain menjadi ketua dari Tiat-ciang-pang, juga menjadi pendiri Tiat-ciang-pang, dan kalau kini Pangcu hendak mengundurkan diri lalu menunjuk putera Pangcu sebagai ketua baru, siapa yang akan menyatakan tidak setuju." Ucapan ini keluar dari mulut seorang di antara para tokoh yang hadir di situ. Para tamu lainnya sebagian besar menganggukkan kepala tanda setuju dengan pendapat ini. Akan tetapi Ouw Beng Kok mengerutkan alisnya yang tebal lalu berkata,
"Cu-wi sekalian (Tuan sekalian) tidak tahu akan keadaan Tiat-ciang-pang kami. Perkumpulan kami selama beberapa tahun ini telah mengalami kemajuan pesat sekali dan kini telah mempunyai belasan buah cabang perkumpulan di kota-kota dan jumlah anggauta kami seluruhnya tidak kurang dari seribu orang! Pada hari baik ini, seluruh pimpinan cabang yang sebagian adalah murid-murid saya, sebagian pula sahabat-sahabat seperjuangan yang jumlahnya tiga puluh orang lebih hadir pula. Saya tidak mau mengandalkan kedudukan sebagai pendiri dan ketua pertama untuk membawa kehendak sendiri dan kalau saya mengusulkan agar putera saya diangkat semata-mata adalah karena saya mengenal kecakapan putera saya dan tahu bahwa pada ssat ini, dia merupakan ahli Tiat-ciang-kang yang paling kuat. Namun, saya menyerahkan keputusannya dalam pemilihan umum yang diadakan para pimpinan pusat dan cabang.
Dan tentu saja mereka itu behak untuk memilih calon dan mengemukakan pendapat mereka demi kebaikan Tiat-ciang-pang."
Semua tamu menjadi kagum mendengar ucapan Ouw-pangcu ini dan diam-diam Keng Hong juga merasa kagum. Orang tua itu ternyata mempunyai watak yang adil dan tidak seperti pemimpin-pemimpin yang lain yang hanya ingin melaksanakan kehendaknya sendiri saja. Setelah mendengarkan ucapan ketua Tiat-ciang-pang yang disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw yang hadir di tempat itu, mulailah para dewan pimpinan cabang dan pusat ramai saling bicara sendiri. Memang di antara mereka telah terjadi perpecahan yang menjadi dua golongan, yaitu segolongan yang sejutu dengan pilihan ketua mereka untuk mengangkat Ouw Kian menjadi ketua baru. Akan tetapi segolongan lain tidak setuju dan lebih suka melihat Lai Ban wakil ketua Tiat-ciang-pang menjadi ketua baru.
Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan berduka seperti tikus bangkit berdiri dan setelah menjura kepada Ouw Beng Kok berkata, suarnya lantang,
"Hati kai lega setelah mendengar uraian Pangcu yang amat adil dan yang memberi kesempatan kepada kami untuk ikut mengajukan calon ketua baru. Oleh karena itu perkenankan saya mengajukan usul kepada Pangcu mengenai pencalonan ketua baru, sesuai dengan pendapat kawan-kawan yang mengambil keputusan demi kebaikan Tiat-ciang-pang yang kita cinta."
"Saudara Lu Tong adalah ketua cabang Bi-na-seng, bukan? Tidak perlu merasa sungkan, memang pemilihan ketua ini dei kebaikan perkumpulan kita. Boleh saja engkau mengajukan usul itu," jawab Ouw Beng Kok dengan sabar dan tenang.
"Terima kasih, Pangcu. Kami mengajukan calon kami yang sudah kami pilih dengan suara bulat, yaitu Ji-pangcu Lai Ban !" Sejenak pembicara yang bernama Lu Tong ini berhenti bicara karena segera bangkit berdiri dua puluh orang lebih teman-temannya yang bersorak menyebut nama Lai Ban sebagai wakil atau calon mereka.
Lai Ban bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan ke atas, suaranya nyaring berpengaruh, "Harap saudara-saudara tidak berisik dan suka duduk kembali, biar seorang saja mewakili saudara-saudara bicara!" Dan ternyata mereka yang bersorak itu segera terdiam, lalu duduk kembali. Lai Ban dengan sikap tenang juga duduk kembali, wajahnya tenang dan sungguh-sungguh.
"Kalau Saudara Lu Tong masih ada kata-kata harap lanjutkan."
"Kami memilih Ji-pangcu Lai Ban dengan alasan yang kuat. Pertama, kami rasa bahwa selain Pangcu sendiri, Ji-pangcu Lai Ban adalah orang ke-dua yang selama ini memimpin Tiat-ciang-pang. Ke-dua, dalam hal ilmu kepandaian, kami semua telah mengerti akan kelihaiannya yang hanya berada di bawah tingkat Pangcu sendiri atau mungkin juga setingkat. Kami menolak pengangkatan atau pencalonan Saudara Ouw Kian bukan sekali-kali karena tidak suka kepadanya, melainkan kami meragukan kepandaiannya. Sudah sering kali Tiat-ciang-pang dimusuhi orang-orang jahat yang berilmu tinggi, maka kalau dipimpin oleh seorang pemuda yang belum berpengalaman dan kepandaiannya tidak boleh diandalkan, bukankah hal itu melemahkan Tiat-ciang-pang?"
"Betul! Betul! Pilih Lai-pangcu sebagai ketua baru!" Kembali terdengar teriakan-teriakan riuh.
"Tidak! Kami memilih Ouw-siauw-pangcu!" teriak mereka yang berpihak Ouw Kian dan bahkan telah menyebutnya siauw-pangcu (ketua muda)!
Melihat keadaan menjadi ribut, Ouw Beng Kok bangkit berdiri, dan seperti yang dilakukan Lai Ban tadi, dia mengangkat kedua lengan ke atas dan seketika semua orang yang ribut-ribut itu diam. Ouw Beng Kok tersenyum dan berkata sabar, "Memang sudah menjadi hak Saudara Lai Ban untuk dipilih. Tadinya akupun mempunyai pendapat seperti saudara-saudara yang memilih Lai Ban.
Akan tetapi setelah yakin akan kepandaian puteraku, aku mempunyai pikiran bahwa lebih baik puteraku menjadi ketua dan Saudara Lai Ban menjadi wakilnya."
"Buktikan kepandaiannya! Kami ingin mengujinya!" Terdengar teriakn-teriakan. Ouw-pangcu tertawa lebar. "Memang tadinya untuk memperkenalkan, aku ingin agar Saudara Lai Ban sendiri yang menguji puteraku. Akan tetapi kalau di antara saudara ada yang penasaran dan ingin menguji dalam hal Ilmu Tiat-ciang-kang, silakan. Kian-ji (anak Kian ), kau layanilah mereka baik-baik."
Ouw Kian yang bertubuh tinggi besar dan bermuka brewok itu lalu meloncat ke tengah ruangan seperti panggung itu, mengangkat kedua tangan ke sekeliling dan berkata, suaranya ramah dan nyaring.
"Cu-wi sekalian hendaknya suka maafkan kalau kami orang-orang Tiat-ciang-pang terpaksa memperlihatkan kebodohan kami karena hal ini dilakukan demi memperlancar pemilihan ketua. Karena urusan ini adalah urusan dalam, maka cu-wi kami harap tidak mencampurinya dan menjadi saksi saja." Setelah memberi hormat kepada para tamu, Ouw Kian menghadapi golongan atau rombongan yang mencalonkan Lai Ban, lalu berkata, "Sudah sepatutnya kalau saudara mengenal baik tingkat kepandaian calon ketua perkumpulan kita. Aku menerima pencalonan bukan hanya untuk berbakti kepada ayah, juga untuk berbakti kepada perkumpulan. Kalau ada saudara yang meragukan tingkat Tiat-ciang-kang saya, silakan mencoba."
Dari golongan tadi, dipipin oleh Lu Tong meloncat keluar lia orang dan Lu Tong berkata mewakili mereka berlima, "Seorang ketua kita harus dapat menandingi lima orang pimpinan cabang, seperti juga dapat dilakukan oleh Ji-pangcu."
Ouw Kian tersenyum lebar. "Kalau memang demikian yang kalian kehendaki, silakan. Kalau memang kepandaianku masih jauh daripada mencukupi, tentu saja aku tidak pantas memimpin Tiat-ciang-pang." Setelah berkata demikian Ouw Kian lalu memasang kuda-kuda persiapan menghadapi penggeroyokan.
***
Dengan kedua lutut di tekuk rendah, tubuh atas tegak dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka di depan pusar. Lima orang ketua cabang yang tentu saja adalah ahli-ahli Tiat-ciang-kang dan sudah berlatih di bawah pimpinan Lai Ban sendiri, tentu saja mengenal kuda-kuda Tiat-ciang-kun-hoat ini dan mereka pun cepat mengurung dan memasang kuda-kuda.
"Kalian semua ingat! Hanya boleh menggunakan Tiat-ciang-kun-hoat!" terdengar Ouw Beng Kok berseru kepada enam orang yang sudah siap itu. Para tau menonton dengan hati berdebar. Mereka semua sudah mengenal kelihaian ilmu silat dari pada tokoh Tiat-ciang-pang. Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat (Ilmu Silat Tangan Besi) ini kabarnya terbagi tiga bagian. Pertama tentu saja hanya dimiliki Ouw Beng Kok sendiri yaitu dimainkan dengan sebelah tangan palsu dari besi. Tingkat ke dua adalah mereka yang mainkan ilmu silat ini dengan kedua tangan biasa yang sudah digembleng dengan latihan-latihan sehingga memiliki Tiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi), sedangkan ke tiga adalah anak buah yang hanya mengerti ilmu silatnya, akan tetapi tangan mereka belum memiliki tenaga Tiat-ciang-kang sepenuhnya. Bahkan di antara mereka ini, untuk menambah keampuhan ilmu silat mereka, ada yang menggunakan senjata sebuah tangan besi yang digengam di tangan kanan, menjadi penyambung tangan! Yang memiliki Tiat-ciang-kang secara mahir hanya ada beberapa orang saja dan diantaranya tentu saja Kim-to Lai Ban berada di tingkat teratas. Adapun kepandaian putera Ouw-pangcu ini memang belum ada yang mengetahuinya.
Di antaranya lima orang pengeroyok itu, yang memiliki Tiat-ciang-kang lumayan hanya Lu-Tong seorang. Empat orang kawannya hanya pandai ilmu silatnya, bahkan yang dua orang sudah mengeluarkan dua buah senjata tangan basi dan memekai di tangan kanan, sedangkan yang dua orang lagi hanya mengandalkan ilmu silat dan kekuatan yang besar, sungguhpun mereka belum memiliki Tiat-ciang-kang yang diciptakan dari tenaga sinkang.
Para tamu banyak yang bergerak mendekat panggung, termasuk Keng Hong yang menjadi tertarik hatinya. Sudah lama yang menjadi tertarik hatinya. Sudah lama mereka mendengar akan nama besar Tiat-ciang-pang dan sekali ini mereka akan menonton pertandingan yang khusus dilakukan dengan Ilmu Silat Tangan Besi yang hebat dan terkenal itu.
Tiba-tiba Lu Tong mengeluarkan seruan keras dan dia sudah mulai menyerang dengan pukulan tangan miring menuju lambung Ouw Kian. Serangannya ini disusul oleh empat orang kawannya yang juga sudah menerjang dengan pukulan tangan terbuka, atau cengkeraman, atau pukulan dengan tangan besi yang menjadi senjata mereka. Gerakan mereka itu cepat, kuat dan mantap sekali. Lebih-lebih Lu Tong, sehingga ketika mereka bergerak menyerang, tangan mereka mengeluarkan suara berkerotok dan angin pukulan menyambar dahsyat.
Namun Ouw Kian bergerak dengan tenang dan tepat. Ternyata dia telah menguasai Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dengan amat baiknya. Hal ini terbukti betapa dengan tenang dia menghadapi semua serangan itu dan jelas bahwa dia telah lebih dulu tahu kemana lima orang lawannya itu akan menyerang. Dengan lincah namun tenang tanpa membuang banyak gerakan sia-sia, Ouw Kian mengelak dan menangkis. Ia tidak mau mengerahkan banyak tenaga karena memang dia hendak memperlihatkan mereka bahwa dia telah mahir mainkan ilmu silat perkumpulan ayahnya. Kalau dia menggunakan Tiat-ciang-kun, apalagi kalau dengan pengerahan tenaga sepenuhnya tentu dalam segebrak saja dia mampu lima orang pengeroyoknya jungkir-balik
Mula-mula pertandingan itu berjalan dengan gerakan-gerakan mantap dan lambat, namun makin lama makin cepat gerakan lima orang pengeroyok itu. Mereka mulai menjadi penasaran karena sampai tiga puluh jurus lebih Ouw Kian hanya mengelak dan menangkis tanpa balas menyerang.
Tangkisan putera ketua itu hanya membuat tangan mereka terpental dan mereka tidak merasakan tenaga sakti yang hebat pada kedua tangan Ouw Kian, maka mereka berlima menjadi makin bersemangat karena menganggap bahwa dalam hal ilmu silat, Ouw Kian kalah cepat oleh Lai Ban, juga dalam hal tenaga sakti, pemuda ini kalah jauh!
Setelah menghadapi serangan-serangan para pengeroyoknya selama lima puluh jurus, Ouw Kian menganggap sudah cukup. Ia mengerahkan tenaga dan membentak keras, "Harap saudara berlima mundur!!"
Ucapan ini dibarengi dengan tangkisan kedua tangannya secara bertubi dan tepat sekali mengenai tangan kelima orang penggeroyoknya. Terdengar pekik kaget dan lima orang itu sudah terlempar ke belakang semua, menyeringai dan melongo ketika melihat betapa dua buah senjata tangan besi menjadi hancur, sedangkan tangan mereka merah sekali akan tetapi tidak terluka, hanya panas dan perih! Itulah akibat tersentuh ilmu sakti Tiat-ciang-kang! Terdengar tepuk tangan oleh mereka yang menyetujui pengangkatan putera ketua ini, bahakn para tamu yang menyaksikan kelihaian Ouw Kian ikut pula memuji dan bertepuk tangan. Keng Hong diam-diam juga kagum, terutama sekali cara Ouw Kian mengalahkan lima orang ketua cabang itu amat menyenangkan hatinya dan dari cara ini saja dapat diharapkan putera Ouw-pangcu itu akan menjadi seorang ketua yang baik. Dia tidak membikin malu ketua-ketua cabang itu, bahkan bersikap mengalah sekali.
Lu Tong bangkit berdiri, mukanya merah ketika dia meandang ke arah Lai Ban. Ia lalu menjura kepada Ouw Kian dan berkata, "Harus kami akui bahwa Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat dari Saudara Ouw Kian cukup baik, akan tetapi kami kira tidak sebaik kepandaian Lai-pangcu, dan kami tetap memilih Lai-pangcu karena betapapun juga, tentu Lai-pangcu lebih berpengalaman dalam memimpin Tiat-ciang-pang!"
Ouw Beng Kok segara berdiri dan berkata, "Saudara-saudara sekalian, hendaknya maklum bahwa keputusanku utnuk mengangkat Ouw Kian sebagai penggantiku menjabat ketua baru dari perkumpulan kita telah kupikirkan dan kuperhitungkan masak-masak. Tiat-ciang-pang didirikan tadinya dengan maksud untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta berdasarkan mengembangkan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat diantara para murid dan anggautanya. Oleh karena itu, sudahlah sepatutnya kalau yang enjadi ketuanya adalah orang yang paling mahir dalam ilmu itu. Pada saat ini, aku melihat bahwa yang paling mahir dalam ilmu kita itu adalah Ouw Kian, maka aku memilih dia. Kemudian barulah Lai-ji-pangcu sebagai wakilnya. Mungkian dalam kepandaian umumnya, puteraku masih kalah, akan tetapi aku mengkehendaki agat Tiat-ciang-kun-hoat dikembangkan tanpa pencampuran ilmu silat lain sehingga ilmu silat kita akan tetap dipertahankan keaseliannya. Hendaknya saudara sekalian dapat memaklumi akan hal ini,"
Ucapan itu berwibawa dan mempunyai dasar yang kuat sehingga mereka yang menentang pengangkatan Ouw Kian tidak dapat membantah lagi. Lu Tong mengerutkan keningnya, kemudian berkata,
"Ucapan Pangcu tak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi kami ingin menyaksikan lebih dulu apakah benar ilmu silat yang dimiliki Lai-pangcu kalah tinggi tingkatnya dengan putera Pangcu."
"Benar, harap diuji dulu!" Terdengar teriakan-terikan dari mereka yang mendukung pencalonan Lai Ban.
Kim-to Lai Ban kini bangkit dari tempat duduknya dan berkata, "Terima kasih atas kepercayaan saudara sekalian. Biarlah aku akan mnguji kepandaian Ouw-hiante dan memang aku pun ingin sekali menyaksikan sampai dimana kepandaian orang muda yang dicalonkan menjadi pemimpin kita ini. Aku hanya menyatakan tidak setuju akan pendapat pangcu bahwa Ilmu silat Tiat-ciang-kun-hoat tidak boleh dicampur dengan ilmu silat lain. Ilmu silat amat banyaknya di dunia ini dan kalau tidak memasukkan bagian-bagian yang baik dari ilmu silat lain, bagaimana Tiat-ciang-kun-hoat akan memperoleh kemajuan?
"Nah, Ouw-hiante, mari kita main-main sebentar!" Ia lalu meloncat dan menghadapi Ouw Kian yang masih berdiri di tengah ruangan.
Semua orang yang hadir di situ menjadi tegang hatinya. Kini mereka maklum bahwa mereka akan menghadapi sebuah pertandingan yang hebat dan jauh lebih seru daripda tadi. Dua jago Tiat-ciang-pang tua dan muda itu sudah saling berhadapan dan mereka memasang kuda-kuda yang sama.
"Ouw Kian, majulah!" Lai Ban membentak nyaring.
Namun Ouw Kian bersikap tenang dan berkata hormat, "Lai-susiok, engkau yang hendak mengujiku, silakan mulai." Ouw Kian menyebut susiok (paman guru) kepada Lai Ban karena memang wakil ketua itu dianggap adik seperguruan sendiri oleh Ouw Beng Kok sungguhpun ilmu Tiat-ciang-kang dia pelajari dari ketua Tiat-ciang-pang itu. Dahulu dia hanya sahabat orang she Ouw itu, dan memang Lai Ban telah memiliki ilmu kepandaian tingi, tetutama ilmu golok sehingga dia dijuluki Kim-to. Setelah dia mempelajari Tiat-ciang-kang, maka dia dianggap saudara dan ditarik sebagai wakil ketua ketika Ouw Beng Kok mendirikan perkumpulan itu. "Jagalah seranganku!' Lai Ban membentak dan dia sudah menerjang dengan gerakan kuat dan dahsyat. Ouw Kian maklum akan kelihaian wakil ketua ini, maka cepat dia menggeser kaki mengelak dan balas menyerang.
Terjadilah serang-menyerang dalam ilmu silat yang sama, makin lama makin seru dan cepat. Pandang mata mereka yang menonton sampai menjadi pening karena gerakan kedua orang itu sama-sama cepat sehingga tubuh mereka berkelebatan dan kadang-kadang sukar dibedakan mana yang tua mana yang muda. Akan tetapi dalam pandang mata Ouw BengKok dan juga para tokoh yang tinggi ilmunya termasuk Keng Hong, jelas tampak bahwa biarpun Lai Ban lebih matang gerakan-gerakannya karena menang pengalaman, namun dia kalah mahir dan juga agaknya kalah latihan.
***
Gerakan Lai Ban matang dalam pengalaman pertempuran, sebaliknya Ouw Kian adalah aseli dan orang muda ini lebih tekun berlatih Tiat-ciang-kun-hoat, apalagi di bawah bimbingan ayahnya sendiri, pencipta ilmu silat ini. Dia belum dapat mengalahkan Lai Ban akan tetapi sedikit demi sedikit setiap jurus serangannya makin mendesak Lai Ban sehingga wakil ketua ini mulai kelihatan sibuk dan mundur.
Lai Ban sebetulnya diam-diam amat mengharpkan menjadi ketua Tiat-ciang-pang. Ketika putera Ouw-pangcu yang sejak lama di utara itu tiba dan kemudian memperdalam Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat, diam-diam dia merasa tidak senang, apalagi ketika dia mendengar pernyataan Ouw-pangcu untuk mengangkat putera itu sebagai pengganti, hatinya makin iri dan tidak puas. Akan tetapi di depan Ouw-pangcu, dia tidak berani membantah dan hanya dia menghubungi para ketua cabang yang sebagian besar adalah murid-muridnya dan lebih setia kepadanya untuk mengajukan pencalonan dirinya di dalam pesta itu. Apalagi karena dia merasa yakin akan dapat mengalahkan keponakannya itu. Betapapun juga, karena khawatir menghadapi kegagalan , diam-diam jauh hari sebelumnya Lai Ban telah menemui sebuah perguruan lain di kota Liong-eng, yaitu perguruan Kim-to Bu-koan (Perguruan Silat Golok Emas). Lai Ban memang seorang murid pandai dari perguruan ini sebelum dia menjadi wakil ketua Tiat-ciang-pang. Akan tetapi guru Lai Ban yaitu tosu yang memimpin perguruan itu telah meninggal dunia dan kini perguruan dilanjutkan oleh Thian It Tosu, seorang suheng dari Lai Ban. Semenjak dipimpin Thian It Tosu, perguruan Kim-to Bu-koan menjadi mundur. Maka ketika Lai Ban yang terhitung sute dari Thian It Tosu datang dan mohon bantuan suhengnya agar niatnya menjadi ketua Tiat-ciang-pang tercapai, yaitu dukungan moril dan kalau keadaan memerlukan juga bantuan tenaga, tosu ini cepat berkata girang,
"Bagus sekali, Sute! Jangan khawatir, tentu pinto akan membantumu dan kalau si tua tangan palsu itu merintangimu, biarlah pinto yang menghadapinya. Akan tetapi tentu saja pinto tidak mau bekerja sia-sia dan engkau pun tentu sudah tahu akan kemunduran bu-koan kita dimana engkau pun menjadi anak muridnya. Demi nama besar bu-koan kita, pinto harap kelak Tiat-ciang-pang dapat digabungkan dengan Kim-to Bu-koan, dengan demikian bukankah kedua perkumpulan akan menjadi makin pesat dan besar?"
Demikianlah, ketika Tiat-ciang-pang mengadakan pesta, Thian It Tosu menerima undangan pula dan menjadi seorang di antara tamu-tamu terhormat yang hadir disitu. Sebagai suheng dari Lai Ban, tentu saja Ouw-pangcu menerimanya dengan kehormatan. Ketika terjadi pertandingan antara Lai Ban dan Ouw Kian, tosu ini memandang penuh perhatian dan diam-diam dia sudah siap sedia untuk membantu sutenya. Kalau saja Kim-to Bu-koan tidak hampir bangkrut kiranya tosu ini segan untuk mencampuri urusan pemilihan ketua perkumpulan lain yang menjadi urusan dalam perkumpulan itu sendiri. Akan tetapi dia mempunyai tujuan lain untuk menggabungkan kedua perkumpulan dan menghidupkan kembali Kim-to Bu-koan.
Pertandingan berlangsung makin seru dan Lai Ban sudah amat terdesak. Beberapa kali dia hampir terpukul, bahkan satu kali pundaknya kena diserempet pukulan tangan kiri Ouw Kian sehingga terasa ngilu. Hal ini membuatnya marah sekali. Ia tahu bahwa Ouw -pangcu tidak berlebih-lebihan ketika mengatakan bahwa tingkat kepandaian puteranya itu lebih tinggi daripadanya sendiri. Ia maklum pula bahwa dalam Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dia kalah mahir. Akan tetapi dia tidak percaya kalau tenaganya Tiat-ciang-kang kalah kuat, apalagi kalau diingat bahwa sebelum mempelajari Tiat-ciang-kang, dia telah mempelajari sinkang yang kuat, hasil pelajarannya sebagai murid Kim-to Bu-koan. Maka dia lalu mengeluarkan pekik nyaring, mengerahkan tenaga Tiat-ciang-kang sehingga tangannya berkerotokan bunyinya kemudian memukul dengan tenaga dahsyat ini.
Ouw Beng Kok terkejut. Pertandingan itu dimaksudkan untuk menguji Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat, dan kalau hendak menguji Tiat-ciang-kang, tentu saja bukan dengan cara menyerang sehebat itu. Tenaga Tiat-ciang-kang dapat diuji tanpa bertanding yang amat membahayakan keselamatan lawan. Namun pukulan sudah dilakukan dan ketua ini hanya dapat enahan napas. Tidak hanya Ouw Beng Kok yang kaget sekali, juga para pipinan cabang-cabang Tiat-ciang-pang dan terutama sekali Ouw Kian sendiri yang tiba-tiba diserang demikian hebatnya. Ia amat menghormati Lai Ban, dan selain menganggap orang tua ini sebagai paman gurunya, juga menganggapnya sebagai tokoh tua Tiat-ciang-pang yang amat diharapkan bantuannya kelak kalau dia menjabat ketua dan Lai Ban menjadi wakilnya. Kini menyaksikan serangan paman gurunya, Ouw Kian tidak dapat mengelak lagi dan demi untuk kemenangannya dalam pemilihan ketua, juga untuk memperlihatkan kepada Lai Ban yang tidak mengandung niat baik itu bahwa dalam hal tenaga Tiat-ciang-kang dia pun tidak kalah, Ouw Kian lalu mengerahkan pula tenaga sinkang pada kedua tangannya dan dia menyambut pukulan Lai Ban.
"Dessssss...!!"
Hebat sekali pertempuran dua tenaga sinkang itu, seperti bertemunya dua toya baja yang keras! Ouw Kian terhuyung ke belakang sampai lima langkah, akan tetapi Lai Ban terjengkang dan roboh bergulingan. Biarpun dia cepat melompat bangun dengan muka merah, namun jelaslah bagi semua orang bahwa dala pertempuran tenaga ini Lai Ban kalah setingkat oleh Ouw Kian! Ouw Kian cepat menjura dan berkata, "Maafkan aku dan terima kasih bahwa Susiok tadi mengalah."
Akan tetapi ucapan ini seperti minyak menambah api yang berkobar di dada Lai Ban. Secepat kilat tangannya bergerak dan sebatang golok telah berada di tangannya, berkilauan saking tajamnya.
"Ouw Kian, aku belum kalah! Dia yang terkuatlah yang patut menjadi ketua sebuah perkumpulan!" Cepat sekali Lai Ban sudah menerjang dengan goloknya. Golok bergagang emas itu menyambar ganas di dahului pukulan Tiat-siang-kang jarak jauh sehingga tentu saja hebat luar biasa!
"Ahhh...!" Ouw Beng Kok mendengus marah dan Ouw Kian juga kaget, cepat dia mengelak ke samping. Akan tetapi Lai Ban yang memang ahli bermain golok, tidak memberi kesempatan kepada lawannya, goloknya berkelebatan dan menjadi segulung sinar keemasan yang menyambar-nyambar. Kepandaian Ouw Kian dalam hal Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dan tenaga sakti Tiat-ciang-kang memang lebih tingi setingkat dibandingkan dengan Lai Ban, akan tetapi kalau Lai Ban mempergunakan goloknya tentu saja Ouw Kian bukan tandingannya. Biarpun sudah mengelak cepat, masih saja ujung golok menyerempet paha kiri Ouw Kian sehingga dia roboh terguling dengan paha mandi darah.
"Lai Ban, manusia curang!" Tiba-tiba Ouw Beng Kok membentak dan tubuuhnya meloncat ke depan. Ia menudingkan telunjuknya dengan marah sekali ke arah muka wakilnya itu lalu berseru keras, "Sungguh perbuatanmu amat mencemarkan dan memalukan Tiat-ciang-pang! Sudah jelas bahwa ujian ini hanya terbatas pada ilmu kita, mengapa engkau menggunakan golok melukai Ouw Kian?"
Beberapa orang pengurus cabang yang setia kepada Ouw Beng Kok segera menolong Ouw Kian memberi obat dan membalut luka di pahanya yang ternyata tidak hebat itu sehingga Ouw Kian sudah dapat berdiri kembali dan kini memandang kepada Lai Ban dan ayahnya penuh kekhawatiran. Ia tidak menghendaki bentrokan terjadi antara para pimpinan Tiat-ciang-pang sendiri.
Lai Ban berdiri menghadapi Ouw Beng Kok dengan golok di tangan, sikapnya menantang ketika dia berkata, "Ouw-twako, sudah kukatakan bahwa aku tidak cocok dengan pendapatmu bahwa ilmu Tiat-ciang-kun-hoat tidak boleh dicampur dengan ilmu silat lain.
Buktinya, setelah kucampur dengan Kim-to-hoat (Ilmu Golok Emas) memiliki kemampuan mengatasi Tiat-ciang-kun-hoat. Untuk menjadi ketua harus memiliki kepandaian yang paling tinggi, kalau tidak, bagaimana mungkin mampu memimpin perkumpulan? Kalau aku menjadi ketua, akan kupimpin perkumpulan kita menjadi maju dan besar, dan akan kuajar ilmu golok kepada para anggauta."
"Lai Ban! Engkau hendak berkhianat? Apa sih hebatnya ilmu golokmu? Biarlah aku mencobanya dengan menggunakan Tiat-ciang-kang tanpa senjata!" Setelah berkata demikian, Ouw Beng Kok menerjang maju dengan kedua tangannya, mempergunakan jurus Tiat-ciang-kun-hoat menyerang wakil ketua perkumpulannya sendiri!
Para penonton mulai menjadi gelisah. Peristiwa ini manjadi makin menegangkan dan hebat dan mereka dipaksa menjadi saksi pertikaian dalam perkumpulan itu. Mereka tidak berani ikut bicara karena maklum bahwa urusan itu tak berhak mereka mencampurinya. Mereka menjadi bingung dan hanya saling pandang, bahkan para anak buah Tiat-ciang-pang juga bingung, akan tetapi segera mereka terpecah menjadi dua golongan ,ada yang mendukung Ouw Beng Kok, ada yang mendukung Lai Ban.
Melihat serangan Ouw Beng Kok, Lai Ban melirik ke arah Thian- It Tosu sebagai isyarat agar suhengnya itu suka membantu karena dia maklum akan kelihaian si tangan besi ini, namun dia pun cepat menyambut dengan bacokan goloknya sambil melompat ke kiri. Terjadilah pertandingan yang lebih seru dan mati-matian. Akan tetapi, belasan jurus kemudian, ketika golok itu menyabar ke arah leher Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang ini tidak mengelak, bahkan secepat kilat dia menangkap golok itu dengan tangan kirinya yang palsu. Terdengar suara nyaring dan golok itu dapat dicengkeram, tak dapat terlepas lagi.
***
"Begini sajakah ilmu golokmu?" Ouw Beng Kok berseru kemudian memukul dengan dengan kanannya, menggunakan Tiat-ciang-kang. Terpaksa Lai Ban juga menggerahkan tenaga pada tangan kirinya, menangis.
"Plakkk!" Tubuh Ouw Beng Kok tergetar, akan tetapi dia masih tetap berdiri dan sekali dia mendorong, tubuh Lai Ban terlempar dan wakil ketua ini roboh sambil memegang goloknya, darah segar mengucur keluar dari mulutnya. Ia terluka, sungguhpun tidak hebat karena memang Ouw Beng Kok tidak hendak membunuhnya.
"Nah, Lai Ban. Masahkah hendak kau katakan bahwa Tiat-ciang-kang perlu dicampur dengan segala macam ilmu golok?" Ouw Beng Kok membentak.
"Siancai.... siancai.... ucapanmu sungguh-sungguh terkebur sekali, Ouw-pangcu!" tampak tubuh berkelebat dan Thian It Tosu yang berjubah kuning dan membawa golok di punggungnya telah berdiri di depan ketua Tiat-ciang-pang. Tosu tinggi kurus itu tersenyum mengejek dan berkata, "Ouw-pangcu, mengapa engkau mencela ilmu golok kami? Benar-benarkah engkau tidak memandang mata kepada Kim-to-hoat kami? Kalau begitu, pinto menantang Pangcu menghadapi ilmu golok perguruan kami, hendak pinto lihat sampai dimana sih hebatnya Tiat-ciang-kang yang tersohor!"
Ouw Beng Kok menoleh dan cepat menjura, kemudian berkata, "Maaf, Totiang. Urusan ini adalah urusan dalam perkumpulan kami sendiri dan sama sekali saya tidak memandang rendah ilmu golok Totiang. Saya hanya mencela Lai Ban karena dia adalah wakil ketua perkumpulan kami. Saya tuan rumah dan Totiang seorang tamu terhormat, bagaimana saya berani bersikap tidak hormat ? Harap Totiang sudi duduk kembali ." Setelah berkata demikian, Ouw Beng Kok kembali ke tempat duduknya dan meninggalkan Thian It Tosu karena dia tidak mau memancing keributan dalam pesta itu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa dia takut terhadap ketua Kim-to Bu-koan itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha, Ouw-pangcu benar cerdik! Tentu saja ilmu golok Lai-sute tidak mewakili ilmu golok kami yang sejati karena ilmu golok Sute sudah bercampur dengan segala macam ilmu silat cakar setan! Betapapun juga, apa yang diusulkan Sute tadi amatlah tepat. Mengapa di antara kita harus bertentangan? Alangkah akan baiknya kalau perkumpulan Tiat-ciang-pang dan Kim-to Bu-koan disatukan, kedua ilmu kita dipersatukan pula sehingga menjadi ilmu yang tinggi, sedangkan nama perkumpulan kalau diubah menjadi Kim-to-tiat-ciang-pang (Perkumpulan Golok Emas Tangan Besi) bukanlah lebih gagah dan mentereng? Bukan sekali-kali karena pinto terlalu kepingin mempelajari Tiat-ciang-kang, karena sampai detik ini pun pinto tidak pernah merasai kelihaian Tiat-ciang-kang, seperti juga para tokoh Tiat-ciang-pang belum merasai kelihaian kim-to sebenarnya. Tiat-ciang-kang mengandalkan tangan yang keras melebihi baja, dapat mencengkeram golok dan menghancurkan batu. Wah, tentu hebat sekali apakah di antara tokoh Tiat-ciang-pang ada yang begitu baik hati untuk mencengkeram tangan pinto agar pinto dapat merasai kehebatannya? Hayo, siapa sudi berjabat tangan dengan pinto dan menggunakan Tiat-ciang-kang?" Tosu itu mengulurkan tangan kanannya yang kurus, menantang untuk berjabat tangan!
Karena kini yang mencampuri urusan adalah orang luar, melihat sikap tosu itu yang amat memandang rendah Tiat-ciang-kang, semua anggota Tiat-ciang-pang menjadi penasaran dan marah. Akan tetapi karena makluk betapa lihainya tosu yang sombong ini apalagi ketika mendengar bahwa tosu itu adalah ketua Kim-to Bu-koan, suheng dari Lai Ban, mereka menjadi gentar. Hanya ada dua orang ketua cabang ynag merasa amat marah sudah melompat ke depan tosu itu dan mereka ini sambil menahan kemarahan, menjura dan berkata, "Kami memiliki sedikit tenaga Tiat-ciang-kang, biarpun belum sempurna biarlah kami mewakili Tiat-ciang-pang untuk menjabat tangan dengan Totiang."
Ouw beng Kok mengerutkan keningnya. Ia maklum bahwa kedua orang muridnya itu baru menguasai seperempat bagian saja dari Tiat-ciang-kang, akan tetapi karena ingin pula dia mengetahui sampai di mana kekuatan tosu itu dan apa kehendaknya, maka dia tidak melarang karena melarang pun hanya berarti jerih. Sebaliknya, Thian It Tosu memandang rendah, lalu mengulurkan kedua tangannya yang kurus dan berkata,
"Baik sekali ji-wi Sicu suka memberi pelajaran agar membuka mata pinto. Inilah kedua tanganku, kalau sampai hancur oleh remasan Tiat-ciang-kang ji-wi, pinto takkan menyesal." Dua orang ketua cabang itu lalu menyambut uluran tangan si tosu, yang kanan disambut dengan tangan kanan sedangkan yang kiri disambut pula dengan tangan kiri. Setelah mereka saling menggenggam tangan, dua orang ketua cabang itu mengerahkan tenaga Tia-ciang-kang mereka, mencengkeram dan meremas tangan yang kecil dan kelihatan lemah itu.
"Krek! Krek!" Tosu itu tertawa dan melepaskan tangannya sedangkan dua orang ketua cabang Tiat-ciang-pang itu meringis kesakitan, memegangi tangan mereka yang patah tulangnya!
"Siancai.... kiranya tangan ji-wi tidak seperti besi, melainkan seperti kerupuk!"
Mendengar ejekan ini, Ouw Kian tak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia melamgkah maju ke depan tosu itu sambil membentak, "Tosu sombong, biarlah aku mencoba tanganmu dengan tiat-ciang-kang!" Ia lalu mengulur tangan kanannya yang tampak kuat. Tanpa ragu-ragu tosu itu menerima uluran tangan Ouw Kian dan mereka saling cengkeram.
Berbeda dengan adu tangan tadi, kini mereka saling mengerahkan tenaga dan kedua tangan mereka sampai menggigil.
Diam-diam tosu itu kaget dan kagum karena memang Tiat-ciang-kang orang muda itu hebat. Akan tetapi karena tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan sinkangnya lebih kuat, maka perlahan-lahan Ouw-Kian merasa betapa tangannya dihimpit dan dicengkeram hebat. Ia mengerahkan tenaga, mempertahankan diri, namun sampai peluhnya memenuhi dahi, dia tidak mampu mendesak bahkan makin dihimpit sehingga tangannya terasa sakit sekali.
"Krekkk...!" Tulang tangan Ouw Kian ada yang patah, mukanya menjadi pucat saking nyerinya, akan tetapi tosu itu sambil tertawa-tawa tidak mau melepaskan cengkeramannya karena dia hendak mencengkeram hancur tangan Ouw Kian yang menjadi saingan sutenya ini. Hebat penderitaan Ouw Kian. Ia masih mengerahkan tenaga, namun rasa sakit membuat dia kurang kuat dan kembali terdengar suara "krek"! ketika tulang jari ke dua patah! Masih juga tosu itu belu mau melepaskan tangannya!
Melihat ini, semua orang menjadi pucat, dan Ouw Beng Kok cepat bangkit berdiri dan membentak, "Tosu jahanam, akulah lawanmu!" Ia menerjang maju.
Thian It Tosu tertawa, melepaskan tangannya dan mengirim tendangan kepada Ouw Kian yang sudah lemas itu sehingga tubuh Ouw Kian terlempar. Dengan ringan sekali tosu itu mengelak, mancabut goloknya dan balas menyerang dengan kelebatan goloknya dari samping dapat dielakkan pula oleh Ouw Beng Kok.
"Ha-ha-ha, kiranya pimpinan Tiat-ciang-pang hanya tukang mengeroyok belaka." Tosu itu mengejek. "Marilah Ouw-pangcu. Mari kita uji mana yang lebih lihai antara Tiat-ciang-kang ilmumu itu dengan ilmu pinto Kim-to-hoat!" Ia menggerak-gerakkan goloknya di depam dada dan tampak sinar berkeredepan. Ternyata ilmu golok tosu ini jauh melampaui ilmu golok Lai Ban. Hal ini dapat dilihat pula oleh Ouw Beng Kok yang diam-diam maklum bahwa sekali ini, untuk menjaga nama baiknya, dia harus bertempur mati-matian mengadu nyawa dengan tosu ini.
Ia sudah siap untuk mati kalau perlu, maka dia lalu memasang kuda-kuda dan membentak, "Tosu jahanam, aku mengerti maksudmu! Karena Kim-to Bu-koan bangkrut, engkau hendak membonceng sutemu Lai Ban dan menguasai perkumpulan perkumpulan kami! Engkau hanya akan dapat berhasil setelah melampaui mayatku, Thian It Tosu!"
"Ha-ha-ha, pinto memang akan melampaui mayatmu, bukan untuk menguasai perkumpulanmu, melainkan untuk membantu Sute agar perkumpulan kita menjadi besar, dipimpin secara benar, tidak seperti engkau yang hanya pandai menyombongkan Tiat-ciang-kun-hoat yang kosong melompong!"
"Tunggu dulu.....!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan semua orang memandang seorang pemuda muka hitam yang datang berlari dari ruangan tamu rendahan, kemudian menghampiri tengah ruangan di mana dua orang tua itu sudah siap akan bertanding. Tak seorang pun mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Keng Hong.
"Ouw-pangcu, harap jangan merendahkan diri melawan tosu tengik ini!" Keng Hong sengaja menghina tosu ini dengan makian keras. Semua orang terkejut dan Ouw Beng Kok juga memperhatikan. Akan tetapi karena dia tidak mengenal pemuda muka hitam itu adalah sederhana biasa saja yang mungkin hanya seorang di antara anggauta-anggauta rendahan Tiat-ciang-pang, dia lalu membentak,
"Engkau siapa? Mau apa mengganggu?"
Keng Hong maklum akan sifat kegagahan ketua Tiat-ciang-oang ini. Kalau dia mengaku dan memperkenalkan diri, tentu ketua itu tidak sudi dibantu orang yang dianggapnya musuh. Bahkan kalau dia mengaku orang luar sekalipun sudah tentu ketua itupun tidak mau merendahkan diri minta bantuan tenaga luar. Maka dia lalu menggunakan akal dan berkata,
"Ah, apakah Pangcu lupa kepada saya? Saya adalah seorang anggauta dari luar kota. Akan tetapi .... siang malam saya melatih diri dengan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dan tenaga Tiat-ciang-kang, saya melatih diri dengan tekun dan mendapat kenyataan bahwa kedua ilmu itu adalah ilmu-ilmu yang sukar dicari bandingnya di dunia ini. Sekarang ada tosu bau ini yang mengejek dan menghina ilmu kita, mana bisa teecu (murid) mendiamkan saja? Kalau masih ada muridnya, perlukah gurunya turun tangan? Apalagi hanya menghadapi seorang tosu yang begini tengik dan sombong, cukup teecu yang menanggulangi dan teecu yang mohon Pangcu tidak merendahkan diri melayaninya. Kalau teecu gagal, barulah tokoh-tokoh Tiat-ciang-pang lainnya yang maju!"
Ouw Beng Kok tertegun. Bukan main pemuda ini, begitu besar semangatnya. Ia kagum akan kesetiaan pemuda ini, akan tetapi dia mengingat-ingat belu juga mengenal siapakah pemuda ini dan kapan pemuda sederhana ini. Ia ragu-ragu. Tidak baik menyuruh seorang murid rendahan Tiat-ciang-pang maju dan sekali gebrak saja tewas. Selain tidak perlu mengorbankan nyawa murid yang masih rendah kepandaiannya, juga hal itu akan menjadikan buah tertawaan saja.
"Hemmm, Totiang ini lihai, mengapa kau begini sembrono?"
"Pangcu, tosu ini hanya lihai lagak dan suaranya saja. Orang macam ini adalah makanan teecu. Percayalah, teecu akan sanggup merobohkannya!"
Mendengar ucapan dan melihat lagak Keng Hong, terdengar suara ketawa di sana-sini. Mereka yang tertawa ini sebagian adalah anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, ada pula para tamu yang menganggap pemuda ini terlalu sebrono dan sombong. Kalau Ouw Kian yang menjadi putera Ouw-pangcu sendiri tidak mapu mengalahkan tosu lihai ini, apa lagi seorang bu-beng-siauw-cut (kerucuk) seperti pemuda muka buruk hitam itu!
Ouw-pangcu juga berpikir demikian dan karena tidak mau menjadi buah tertawaan, dia membentak, "Bocah lancang! Kalau kau sudah pandai Tiat-ciang-kun-hoat coba perlihatkan kepadaku!"
Sejak tadi Keng Hong menonton pertandingan adu silat yang menggunakan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat. Dia memiliki iangatan yang selain tajam juga kuat, sekali melihat dia sudah dapat menangkap beberapa jurus terpenting. Maka dia lalu meloncat ke depan, kedua kaki ditekuk rendah, tubuh tegak dan kedua tangan di miring di depan pusar.
"Coba silakan Pangcu periksa, tidakkah sudah baik sekali gerakan teecu?" Ia lalu bersilat dengan jurus-jurus Tiat-ciang-kun-hoat yang tadi dilihatnya. Gerakannya cukup gesit, akan tetapi hal ini menimbulkan rasa geli di hati Thian It Tosu sehingga dia tertawa bergelak.
"Eh, kenapa kau tertawa? Awas, sekali kena disodok tanganku yang mempunyai tenaga sakti Tiat-ciang-kang, perutmu akan ulas dan usus buntumu kumat sehingga engkau takkan dapat tertawa, menangis pun tidak bisa!" Keng Hong membentak, tentu saja ucapannya ini memancing suara ketawa terpingkal-pingkal lagi dari para penonton.
Ouw-pangcu mendongkol sekali. Celaka, pikirnya dalam terancam bahaya kehancuran namanya, masih muncul seorang badut gila! "Orang muda, pergilah dan jual kegilaanmu kepada orang lain!" Ia membentak.
"Pangcu, harap suka mundur sebentar. Saya adalah murid Tiat-ciang-pang, dan kini mendengar orang menghina perkumpulan, saya berhak untuk membela naa perkumpulan saya dengan taruhan nyawa. Pula, apa ruginya andaikata saya kalah atau mati? Paling-paling saya mati, akan tetapi Pangcu dapat memperhatikan gerakan-gerakan tosu bau ini. Apakah Pangcu takut saya mati? Saya sendiri tidak takut!"
Ouw-pangcu menarik napas panjang. Tentu saja kini tak dapat berkeras dan sambil mendengus marah dia lalu meloncat ke pinggir untuk memberi kesempatan kepada orang gila ini membunuh diri di tangan tosu yang lihai itu. Keng Hong menjura ke arah Ouw-pangcu, kemudian tubuhnya membalik dan dia sudah memasang kuda-kuda lagi, kuda-kuda dari Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat yang kaku!
Sikapnya mengancam, seperti seekor anak kucing mengancam harimau sehingga tosu itu kembali tertawa, diikuti suara ketawa para penonton.
"Eh, tosu bau. Ketahuilah bahwa Tiat-ciang-kun-hoat adalah Ilmu yang amat hebat, jauh lebih lihai daripada golokmu penyembelih babi itu! Macam engkau ini mau menatang Ouw-pangcu? Phuihhh, semut pun bisa mati kegelian mendengarnya."
Dimaki-maki dan diolok sedikian rupa oleh seorang "kerucuk", hati tosu itu menjadi panas sekali dan dia memaki marah, "Bangsat yang sudah bosan hidup! Apakah hidupmu hanya untuk mati konyol? Tidak tahukah engkau bahwa sekali babat dengan golokku aku dapat membuat tubuhmu putus menjadi delapan potong?"
Keng Hong menyeringai, sengaja memperlihatkan muka mengejek. "Wah-wah, aku tidak percaya akan menemui orang yang lebih tekebur daripada tosu bau yang tak pernah mandi ini! Apa kaukira aku seekor babi yang biasa kau sembelih diam-diam, babi tetangga lagi, kemudian kau ganyang mentah-mentah sambil menutupi muka dengan jubah pendetamu?"
Thian It Tosu sebetulnya enggan bertanding melawan bocah sinting itu, akan tetapi ucapan-ucapan Keng Hong seperti kilikan pada seekor jangkerik, membuat telinganya merah dan kemarahannya memuncak. "Bedebah! Jahanam bermulut busuk! Pinto akan membunuhmu dengan tubuh hancur!"
"Eiiittt, eiiittt....!" Keng Hong melangkah mundur dengan gaya dibuat-buat, bukan seperti orang bersilat, melainkan dengan pinggul megal-megol seperti badut menari, kemudian dia berdiri tegak, mengacungkan telunjuknya dan bernyanyi!
"Seorang pendekar tidak memperlihatkan kegagahannya! Seorang ahli perang tidak dikuasai kemarahan! Seorang yang pandai menundukkan musuh tidak bertengkar! Seorang yang pandai memimpin tidak menekan! Tapi engkau ini monyet berpakaian manusia, Jubah dan doa menjadi kedok belaka! Phuuuuiiih, sungguh menyebalkan!"
Karena Keng Hong bernyanyi sambil berlagak seperi seorang pemain wayang beraksi di panggung, banyak para tamu yang hadir tertawa terpingkal-pingkal, bukan hanya karena merasa lucu, melainkan juga terheran-heran betapa bocah itu begitu berani mempermainkan si tosu yang lihai dan yang mendatangkan rasa tidak suka di hati para tamu di samping rasa jerih.
Akan tetapi Thian It Tosu yang tadinya marah itu kini melongo. Sejenak dia tercengang ketika mengenal empat bait pertama dari nyanyian To-tik-keng, kitab suci para tosu! Ia disindir dengan ayat-ayatt kitab sucinya sendiri. Keheranannya berubah menjadi kemarahan memuncak ketika dia menerjang ke depan dengan pukulan maut ke arah kepala Keng Hong yang cepat mengelak, menggunakan gerakan jurus Tiat-ciang-kun-hoat seperti yang telah dilihatnya tadi.
"Eiiittt, jangan terburu nafsu, Totiang. Bukankah kau hendak mengalahkan Tiat-ciang-kang dengan ilmu golok penyembelih babi itu? Hayo cabutlah golokmu dan hadapi Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat kami yang mujijat!"
"Bocah gila kurang ajar! Tanpa golok pun aku sanggup sekali pukul membikin mampus engkau!"
Tiba-tiba Keng Hong menghentikan kuda-kudanya dan berdiri seenaknya, seolah-olah dia tidak jadi bersilat. Ia memandang ke arah penonton dan mengomel. "Coba, betapa liciknya tosu ini. Tadi dia bilang bahwa ilmu goloknya lebih hebat daripada Tiat-ciang-kang, kini kutantang dia, dia tidak berani mencabut golokmu. Jangan licik. Kalau kau menghadapi aku tanpa golok, andaikata aku menang sekalipun apa gunanya? Engkau pandai sekali menjaga agar jangan sampai ilmu golokmu kalah oleh Tiat-ciang-kang! Wah, benar-benar licin seperti belut kepala dua engkau!"
Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian It Tosu. Seperti meledak rasa perutnya oleh marah dan tak kuasa pula dia menahan hawa yang keluar dari perut melalui lubang di belakangnya. Nyaring keras bunyinya seperti seekor katak tergencet. Keng Hong sendiri sampai terbelalak heran, lupa untuk melucu ketika mendengar ini. Benar-benarkah tosu itu membuang kentut? Terlalu amat sangat, ah!
Meledaklah suara ketawa semua orang, bahkan Ouw-pangcu sendiri terpaksa menggunakan telapak tangan menutupi mulutnya yang tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Benar-benar orang yang tak tahu malu, pikirnya. Padahal tosu itu tidak sengaja membuang gas beracun, hanya saking jengkelnya saja. Karena kini menjadi buah tertawaan orang, dia mencabut goloknya dan tanpa mengeluarkan suara lagi dia menerjang maju. Agaknya dia ingin mencacah-cacah tubuh Keng Hong seperti orang mencacah daging untuk bakso, demikian cepat dan bertubi-tubi goloknya menyambar.
"Haiiiiitttt! Wah, goloknya sih tidak seberapa akan tetapi baunya ini yang membuat orang tidak tahan!" Keng Hong mengejek sehingga menimbulkan tertawa di samping keheranan mereka yang menyaksikan betapa Keng Hong yang menggunakan gerakan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat itu selalu dapat mengelak dari sambaran golok lawan!
Mula-mula Ouw Beng Kok duduk melongo dan kedua tangannya mencengkeram lengan kursinya saking tegang hatinya. Kemudian dia terheran-heran menyaksikan betapa gerakan pemuda aneh itu bersilat Tiat-ciang-kun-hoat yang amat kaku akan tetapi anehnya, tak pernah ujung golok tosu itu menyentuh tubuhnya! Kelihatannya kadang-kadang golok itu tak salah lagi akan mengenai tubuh, akan tetapi secara luar biasa sekali golok itu selalu menyeleweng seolah-olah si tosu tidak tega dan sengaja menyelewengkan goloknya sehingga luput!
"Haiii, hayaaaa..... Luput lagi, sayang! Baunya sudah agak kurang, tidak merusak hidung seperti tadi."
Lagaknya mempermainkan sekali. Diam-diam Thian It Tosu terkejut setengah mati. Ia sudah mengerahkan ginkangnya, sudah mengerahkan tenaganya, namun anehnya, goloknya selalu meleset setiap kali mendekati tubuh lawan, seolah-olah ada tenaga tersembunyi yang mendorong senjatanya ke samping! Makin lama makin cepat dia menyerang dan akhirnya bulu tengkuknya meremang sendiri karena bocah yang bersilat kaku tidak karuan dan jurusnya yang itu-itu juga selalu dapat menghindarkan bacokan-bacokan dan tusukan-tusukannya! Sebetulnya kalau Keng Hong hanya mengandalkan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat yang dia pelajari hanya dengan melihat jurus-jurus yang telah dimainkan dalam pertandingan terdahulu tadi, mana mungkin dia mampu menandingi ilu golok dari ketua Kim-to Bu-koan itu? Tentu dia sudah roboh dalam beberapa jurus saja. Akan tetapi, tentu saja pemuda ini bukan semata-mata mengandalkan ilmu silat yang sama sekali belum dikuasainya itu, melainkan mengandalkan kegesitan dan tenaga sakti yang sudah ada pada dirinya. Adapun gerakan-gerakan ilmu silat yang dia tiru dari jurus-jurus Tiat-cinag-kun-hoat hanya merupakan kembangannya saja. Ilmu silat hanyalah cara mengatur gerakan kaki tangan dan tubuh sepraktis mungkin, selain mengatur posisi tubuh agar dapat sebaiknya menghadapi lawan, juga agar gerakan dapat teratur dan tidak ngawur, dapat mengubah-ngubah kedudukan tubuh menjadi penyerang atau penjaga diri. Namun yang terpenting adalah menguasai kegesitan dan tenaga. Seekor monyet yang tidak mengerti ilmu silat sudah memiliki kegesitan sebagai pembawaan alam sehingga amatlah sukar untuk dapat memukul seekor monyet, demikian pula dengan binatang-binatang kecil lainnya yang memiliki kegesitan. Seekor gajah, biarpun tidak pandai ilmu silat, merupakan lawan yang amat berat karena binatang ini telah memiliki tenaga dahsyat sebagai pembawaan alam pula.
Keng Hong sudah memiliki ginkang dan sinkang yang amat luar biasa, sukar dicari bandingnya, apalagi dia telah melatih diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi yang mencakup semua dasar ilmu silat sehingga tentu saja dengan mudah dia mampu menghindarkan diri dari setiap sasaran golok Thian It Tosu. Hal ini bukan karena kelihaian Tiat-ciang-kun-hoat, melainkan karena gerakannya jauh lebih gesit daripada lawannya itu baginya merupakan gerakan-gerakan yang amat lamban dan mudah dielakkan. Jangankan memakai gerakan jurus Tiat-ciang-kun-hoat yang tidak dia kuasai benar, sedangkan kalau dia menghendaki, tanpa jurus apa pun dia akan sanggup menghindarkan setiap tusukan atau bacokan golok lawannya itu.
Para murid yang berfihak kepada Ouw Beng Kok, mulai bersorak-sorak ketika menyaksikan betapa "murid tak bernama" dari Tiat-ciang-pang mampu mempermainkan tosu sombong itu. Ouw Beng Kok sendiri sudah bangkit berdiri, makin lama makin terheran-heran melihat betapa jurus-jurus Tiat-ciang-kun-hoat yang paling banyak ada lima jurus yang dikuasai pemuda itu, ternyata mampu dipergunakan untuk menghadapi serangan Kim-to yang demikian lihainya. Dia sendiri belum tentu dapat menang menghadapi lima jurus yang diulang-ulang tanpa membalas sama sekali! Mulailah timbul kesangsian dan pertanyaan dalam hatinya. Dia tidak percaya, bahkan yakin bahwa pemuda itu sama sekali bukan murid Tiat-ciang-pang, melainkan seorang pemuda sakti yang sengaja hendak membela nama baik Tiat-ciang-pang, maka diam-diam dia merasa berterima kasih sekali.
Lima puluh jurus telah lewat dan sudah lebih dari seratus bacokan dan tusukan menyambar dan selalu dapat dielakkan oleh Keng Hong. Tentu saja pemuda ini tidak hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya yang mengelak begitu saja karena kalau hal ini dia lakukan ada bahayanya tubuhnya akan terciut dan terserempet golok
Ilmu golok yang dimainkan oleh Thian It Tosu amatlah hebat dan tosu itu sendiri sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Tidak, Keng Hong tidak hanya mengandalkan ginkangnya saja, melainkan diam-diam dia menyalurkan sinkang ke arah kedua lengannya sehingga setiap gerakan kedua tangannya membawa sambaran angin amat kuat yang cukup untuk membuat golok itu tertahan dan menyeleweng, tak pernah dapat menyentuh kulit tubuhnya.
Thian It Tosu sudah mandi peluh. Sebagian kecil karena serangan-serangannya yang tak kunjung henti disertai tenaga sepenuhnya, sebagian besar karena penasaran, marah dan juga gentar. Selama dia hidup, baru sekali ini dia bertemu lawan yang hanya mengelak saja dan bertahan sampai lima puluh jurus menghadapi hujan serangan goloknya!
"Heh-heh-heh, begini saja ilmu golok yang kau sombongkan, tosu bau?" Keng Hong mengejek.
"Wuuuuuutttt....!" Golok menyambar ganas ke arah lehernya. Keng Hong memperlambat gerakannya sehingga terdengar seruan tertahan disana sini yang mengira bahwa sekali ini leher pemuda itu akan terbabat putus. Akan tetapi pada detik terakhir, Keng Hong merendahkan tubuhnya dan mengkeretkan leher seperti kura-kura menarik kepalanya, dan sambaran golok itu luput lagi.
"Wah, sayang sekali, ya? Luput lagi! Eh, tosu bau, mengapa seranganmu sejak tadi luput melulu? Bukan ilmu golokmu yang buruk, melainkan engkau yang tidak becus mainkan golok!"
"Siuuutttt!" Golok membacok kepala. Seperti tadi, Keng Hong memperlambat elakannya dan baru miringkan tubuh setelah golok dekat sekali.
"Luput lagi! Thian It Tosu, engkau sudah yakin sekarang kelihaian Tiat-ciang-kun-hoat yang dapat mengatakan golokmu penyembelih babi?"
"Bocah setan!" Thian It Tosu menusukkan goloknya ke perut Keng Hong. Pemuda ini membuat gerakan jurus yang dilihatnya tadi, akan tetapi kalau jurus tadi hanya mengelak, kini dia tambah dengan penggunaan dua buah jari tangan telunjuk dan jari tengah kanan, diulur cepat dan menjepit punggung golok dari atas.
"Cettt!" Golok itu terhenti gerakannya! Thian It Tosu membetot-betot sekuat tenaga, namun tak mampu menarik kembali goloknya. Ia melotot dan penasaran sekali. Masa dia kalah oleh tenaga jepitan kedua tangan dan mengerahkan seluruh tenaga, bukan hanya tenaga sinkang, melainkan ditabah tenaga kasar, kedua kakinya menekan tanah di depan, tubuhnya mendoyong ke belakang! Orang yang dikuasai nafsu amarah kehilangan kewaspadaanya dan karena itu maka seorang ahli sifat akan tetap tenang dan sabar, tidak mau dikuasai kemarahan yang merupakan pantangan besar. Akan tetapi, setelah dipermainkan oleh Keng Hong, tosu itu lupa akan pantangan ini, dan sikapnya yang mengotot untuk mmembetot kembali goloknya amat menggelikan, seperti sikap seorang anak kecil memperebutkan barang mainan!
Keng Hong tersenyum dan menanti saat baik, kemudian secara tiba-tiba dia mendorong golok itu dengan kedua jari tangannya sambil melepaskan jepitan. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Thian It Tosu terjengkang dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk bunyinya. Masih untung dia cepat menggulingkan tubuh sehingga kepalanya tidak terbanting ke tanah. Ia melompat bangun dan berdiri terengah-engah, matanya melotot dan mukanya merah, rambutnya riap-riapan, pakaiannya kotor terkena tanah.
Melihat ini, Ouw Beng Kok yang sudah sejak tadi bangkit berdiri itu berkata, "Totiang, apakah Totiang tidak melihat kenyataan dan suka mengalah? Harap Totiang jangan mencampuri urusan dalam perkumpulan kami
"Heh, orang she Ouw! Engkau boleh maju mengeroyok sekali!" jawab tosu itu yang sudah marah bukan main. Mendengar ini wajah Ouw Beng Kok menjadi merah dan dia melangkah mundur, duduk kembali di atas kursinya, meneguk araknya dan mengambil keputusan untuk membiarkan pemuda aneh yang menolong nama baik Tiat-ciang-pang itu memberi hajaran kepada tosu sombong ini.
"Ha-ha-ha, tosu yang sombong. Sudah jelas bahwa ilmu golokmu sama sekali tidak mampu mengalahkan Tiat-ciang-kun-hoat yang kumainkan. Padahal aku belum mengeluarkan pukulan Tiat-ciang-kang yang jarang ada bandingnya di dunia ini, kutanggung sekali pukul akan membikin putus .....tali kolormu!"
Ucapan ini memancing ledakan suara tertawa lagi, bahkan ada yang bertepuk tangan saking gembiranya menyaksikan tosu yang hendak mengacau Tiat-ciang-pang itu benar-benar dipermainkan, tidak hanya dalam ilmu silat, akan tetapi juga dapat perbantahan. Pemuda "murid" Tiat-ciang-pang itu telah mempermainkan si tosu habis-habisan dengan ilmu silat dan kata-kata.
Thian It Tosu sebetulnya bukanlah seorang bodoh. Kalau bodoh tak mungkin dia bisa menjadi ketua Kim-to Bu-koan, sungguhpun perkumpulannya atau perguruannya itu namanya makin surut dan suram. Akan tetapi, sungguhpun dia dapat menduga bahwa pemuda ini seorang yang sakti, kemarahan telah membuat dia mata gelap dan nekat. Mendengar ejekan pemuda itu, dia mengggerakkan goloknya dengan cepat dan penuh tenaga. Di dalam hatinya dia tetap tidak percaya bahwa pemuda ini akan mampu merobohkannya dan mengira gerakan lincah saja, sungguhpun kenyataan yang baru saja dia alami, yaitu pemuda itu sanggup menjepit goloknya dengan dua buah jari merupakan hal yang telalu aneh baginya.
"Tosu nekat minta dihajar!" Keng Hong berseru dan kini dia melompat ke kiri menghindarkan diri dari terjangan golok, kemudian kedua tangannya bergerak cepat sekali melakukan pukulan dengan gaya Tiat-ciang-kang ke arah kepala dan tenggorokan! Dia tidak pernah mempelajari Tiat-ciang-kang, tentu saja dia tidak bisa mengerahkan tenaga itu,
Akan tetapi gaya pukulannya dapat dia tiru dan yang meluncur keluar dari kedua tangannya bukanlah tenaga Tiat-ciang-kang, melainkan tenaga saktinya sendiri yang puluhan kali lebih hebat daripada Tiat-ciang-kang!
Thian It Tosu terkejut bukan main ketika merasai adanya sambaran angin pukulan yang demikian dahsyat ke arah muka dan lehernya. Pukulan itu amat cepat maka dia cepat mengangkat golok dibabatkan ke atas diikuti tangan kirinya yang menjaga tubuh bagian atas. Golok berkelebat menjadi sinar berkilau, kedua tangan Keng Hong agaknya akan terbabat golok. Akan tetapi pemuda ini sesungguhnya hanya memancing saja dan pada saat lengannya sudah dekat sekali dengan golok, tiba-tiba dia mengubah gerakannya, tangannya menyelonong ke bawah.
"Brettt...."
Terdengar suara orang tertawa-tawa dan bersorak riuh-rendah ketika celana tosu itu putus kolornya dan karena celana itu besar, maka seketika merosot turun. Hebatnya, kakek ini ternyata tidak memakai pakaian dalam sehingga merosotnya celana yang berkumpul di bawah kakinya itu membuat tubuh bawahnya telanjang bulat sehingga tampak jelas semua bagian tubuh ini!
"Wah-wah-wah, tak tahu malu!" Keng Hong mengejek, memancing suara ketawa lebih hebat lagi.
Thian It Tosu hampir pingsan saking malu dan marah. Dengan tangan kirinya mendekap bagian rahasia tubuhnya, tangan kanan mengangkat golok tinggi-tinggi, dia menerjang maju, akan tetapi tubuhnya terguling karena dia lupa akan celananya dan kedua kakinya yang terbelit celana itu membuatnya terjerat dan roboh!
Thian It Tosu menjadi pucat wajahnya. Digigitnya goloknya, kemudian dia bangkit dan menarik celananya ke atas, mengikat celananya dengan kolor yang putus itu sedapatnya, kemudian menyambar lagi goloknya dan dengan mati-matian dia menerjang maju pemuda yang masih tersenyum-senyum.
Sekali ini Keng Hong tidak main-main lagi, tubuhnya bergerak ke depan dan sebuah tamparan dengan jari tangan terbuka membuat lawan terpental karena tangan kanan tosu itu telah patah oleh hantaman jari-jari tangannya! Tosu itu terhuyung mundur dan berdiri dengan muka pucat dan mulut meringis kesakitan.
"Thian It Tosu!" Kini Keng Hong berkata dengan suara nyaring dan penuh wibawa, tidak lagi bermain-main seperti tadi, sikapnya angkuh dan seperti seorang dewasa benar.
"Engkau adalah seorang tosu, bahkan ketua dari sebuah perguruan seperti Kim-to Bu-koan, akan tetapi mengapa engkau masih suka mengumbar nafsumu? Tiat-ciang-pang melakukan pemilihan ketua baru adalah urusan dalam, tidak boleh orang luar mencampurinya, akan tetapi mengapa engkau hendak menggunakan ketajaman golokmu untuk merebut kekuasaan? Andaikata engkau berhasil merebut kekuasaan, apakah kaukira para anggauta Tiat-ciang-pang akan sudi menerimamu? Dan apakah artinya kedudukan yang kau rebut kalau para anggauta tidak menerimanya? Apa artinya raja tanpa rakyat? Apa artinya jenderal tanpa prajurit? Apa artinya ketua tanpa anggauta? Totiang, engkau tentu maklum bahwa yang memperebutkan takkan mendapatkan dalam arti kata yang sesungguhnya. Lupakan Totiang akan pelajaran agama Totiang sendiri bahwa: To adalah :
"selalu menang tanpa merebut, mendapat sambutan tanpa berkata, semua datang tanpa memanggil, selalu berhasil tanpa rencana, Jalan langit lebar dan luas, Biar jarang namun tiada yang bocor."
"Mengapa Totiang sekarang mempergunakan kekerasan untuk merebut kedudukan yang bukan menjadi hak Totiang?"
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Keng Hong, semua orang tertegun, juga Ouw Beng Kok makin kagum, akan tetapi Thian It Tosu yang ditegur dengan menggunakan pelajaran dari kitab agamanya sendiri, menjadi makin marah.
Ia sudah merasa kepalang, kalau sekarang mundur berarti dia harus menderita malu yang luar biasa, dan hal ini akan menghancurkan sama sekali namanya. Maka tanpa menjawab dia lalu mmenerjang lagi dengan kedua tangan karena goloknya sudah lenyap. Biarpun tangan kanannya patah tulangnya dan sakit rasanya, namun kakek ini masih cukup kuat menerjang maju, bahkan menggunakan tangan kanan yang patah tulang lengannya itu untuk menyerang lagi.
Keng Hong menyambut serangan ini dengan taparan tangan yang mengenai leher kiri kakek itu. Tubuh Thian It Tosu terlempar ke arah Kim-to Lai Ban dan memang hal ini disengaja oleh Keng Hong. Lai Ban yang melihat tubuh suhengnya melayang itu, cepat menangkapnya dan ternyata bahwa tosu itu telah pingsan.
Ouw Beng Kok cepat meloncat maju dan menudingkan telujuknya ke arah Lai Ban sambil berkata, "Lai Ban, mulai detik ini engkau tidak kami akui lagi sebagai seorang anggauta Tiat-ciang-pang, dan para anggauta yang menyeleweng, kalau masih setia padanya dan tidak akan diakui selamanya sebagai anggauta Tiat-ciang-pang!"
Lai Ban yang masih memondongkan tubuh Thian It Tosu, tidak dapat bicara lagi. Ia hanya menundukkan mukanya dan membawa pergi tubuh suhengnya yang pingsan. Adapun para pendukungnya yang juga merasa bahwa mereka tidak ada muka lagi untuk terus berada di situ, satu demi datu lalu berdiri dan dengan muka tunduk mengikuti Lai Ban meninggalkan tempat itu.
Sepergi mereka yang mengacaukan pemilihan ketua ini, tentu saja dengan sendirinya Ouw Kian dipilih sebagai ketua baru menggantikan ayahnya, dan pesta dilanjutkan dengan meriah. Ouw Beng Kok lalu menarik tangan Keng Hong, diajak masuk ke dalam, diikuti oleh Ouw Kian. Lain orang tidak diperkenankan menyaksikan pertemuan di dalam.
Ouw Beng Kok mempersilakan Keng Hong duduk menghadapi meja, berhadapan dengan dia dan puteranya, kemudian ketua Tiat-ciang-pang yang selama ini menatap wajah Keng Hong penuh perhatian, lalu berkata,
"Sekarang tiba saatnya supaya Taihiap memperkenalkan diri. Siapakah Taihiap dan sungguhpun kami semua menghaturkan banyak terima kasih dan merasa bersyukur sekali atas bantuan Taihiap yang mencuci bersih nama baik perkumpulan kami, akan tetapi sungguh kami ingin mengetahui, mengapa Taihiap melakukan ini semua?"
Keng Hong yang kini tidak lagi bersikap ketolol-tololan seperti tadi, menghela napas panjang dan berkata, "Ouw -pangcu, sebelum saya memperkenalkan diri, saya mohon tanya bagaimana pendapat Pangcu tentang diri Lai Ban."
"Dia? Ah, sudah jelas bahwa dia seorang yang mengkhianati perkumpulan seorang yang tamak dan ingin merampas kedudukan. Hemmm, sayang aku tidak mendapat kesempatan untuk menghancurkan kepalanya!"
Keng Hong mengangguk-angguk. "Jadi Pangcu tentu dapat menerima kalau dikatakan bahwa dalam sepak terjangnya dahulu, banyak kemungkinan dia melakukan kesalahan-kesalahan, melakukan tindakan sewenang-wenang sehingga mengotorkan nama perkumpulan Tiat-ciang-pang?"
Ouw Beng Kok mengerutkan keningnya, kemudian mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, dan kalau hal itu terjadi, sungguh aku merasa menyesal sekali."
"Dan banyak hal seperti itu memang terjadi, Pangcu. Dahulu Lai Ban sering kali melakukan hal sewenang-wenang menanam bibit permusuhan dengan pertai-partai lain, memimpin anak buahnya yang memang tidak dapat dikatakan bersih kelakuannya. Sekarang saya mohon bertanya, Pangcu. Saya datang dan menyamar sebagai anggauta Tiat-ciang-pang untuk melawan Lai Ban dan tosu Kim-to Bu-koan itu untuk membuktikan niat baik saya. Andaikata saya mempunyai kesalahan-kesalahan yang timbul dari salah pengertian di masa lalu, sudilah kiranya Pangcu memaafkan saya dan menghapus semua kesalahfahaman yang timbul karena sepak terjang Lai Ban!"
Ouw Beng Kok menatap wajah pemuda itu dan mengerahkan seluruh ingatannya untuk mengenalnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa dia belum pernah bertemu dengan pemuda ini. Ia menghela napas dan berkata, "Dahulu aku amat percaya kepada Lai Ban, akan tetapi sekarang aku mengerti bahwa tentu banyak perbuatannya yang menyimpang sehingga menyelewengkan Tiat-ciang-pang. Aku akan melupakan segala persoalan antara engkau dan perkumpulan kami, Taihiap."
"Bagus, Pangcu. Seorang laki-laki yang dapat menyadari kekurangan diri sendiri, patut dikagumi. Sekarang, lihatlah baik-baik, tentu Pangcu sudah mengenal aku." Keng Hong lalu meraba mukanya, mengupas lapisan pada mukanya yang terbuat daripada getah pohon.
Biarpun mukanya belum bersih benar, namun sekarang berubah sama sekali dan tentu saja Ouw Beng Kok mengenal bekas "musuh besar" ini. Ia mencelat dari kursinya, memandang Keng Hong dan berkata, "Kau....... kau..... Murid Sin-jiu Kiam-ong.....!"
Keng Hong juga bangkit berdiri dan menjura. "Benar, Ouw-pangcu. Aku adalah Cia Keng Hong dan perbuatanku tadi hanya untuk membuktikan bahwa sesungguhnya aku sama sekali tidak memusuhi Tiat-caing-pang dan bukanlah musuh Tiat-ciang-pang. Kalau dulu terjadi peristiwa sehingga aku dimusuhi, semua adalah gara-gara sepak terjang Lai Ban dan anak buahnya terhadap murid-murid Hoa-san-pai." Ia lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia membantu kakak beradik Sim yang dikeroyok oleh anak buah Lai Ban.
Mendengar penuturan Keng Hong, Ouw Beng Kok mengangguk-angguk, kemudian berkata, "Peristiwa yang lalu baiklah kita anggap sebagai sebuah kesalahfahaman dan untuk semua perbuatan itu, saya mengharap Taihiap suka memaafkan. Akan tetapi saya juga mengharap agar peristiwa yang terjadi hari ini tidak sampai terdengar oleh dunia kang-ouw, karena sesungguhnya......"
Ketua ini ragu-ragu sejenak lalu melanjutkan, "Lebih baik saya berterus terang saja bahwa saya tidak ingin dunia kang-ouw mendengar bahwa Taihiap, murid Sin-jiu Kiam-ong telah membantu Tiat-ciang-pang. Dapatkah Taihiap berjanji?"
"Ayah! Mengapa begitu? Cia-taihiap sudah menolong kita...."
Keng Hong tersenyum memandang Ouw Kian dan berkata kepadanya. "Ouw-pangcu, aku dapat mengerti pendirian ayahmu. Memang benar sebaiknya begitu karena nama mendiang guruku dimusuhi oleh banyak tokoh kang-ouw, maka ayahmu tidak menghendaki kalau sampai timbul persangkaan bahwa Tiat-ciang-pang bersahabat dengan aku, murid guruku yang dimusuhi." Ia lalu menghadapi Ouw Beng Kok yang agak merah mukanya. "Harap Pangcu jangan khawatir. Aku pun tidak berniat memperkenalkan diri, maka aku sengaja menyamar. Tujuanku yang utama hanya ingin menghapus permusuhan di antara kita. Nah, selamat tinggal, Pangcu, aku harus pergi sekarang juga." Ia menoleh dan berkata, "Ilmu kepandaian Lo-pangcu tidak kalah oleh tosu itu, akan tetapi sebaiknya kalau kau menggembleng puteramu agar kelak sanggup menghadapi tosu itu kalau dia datang mengacau membalas dendam. Selamat tinggal!" Ia lalu berkelebat melalui jendela dan dalam sekejam mata saja, lenyap, meninggalkan ayah dan anak yang bengong dengan kagum itu.
***
Cia Keng Hong melakukan perjalanan naik turun gunung, keluar masuk hutan dan dusun-dusun. Beberapa pekan kemudian, tibalah dia di lereng Beng-san yang indah pemandangannya. Ia terkenang kepada Siauw-bin Kuncu karena di lembah inilah dia mula-mula bertemu dengan kakek itu. Teringat akan kakek itu, mau tidak mau Keng Hong tersenyum. Kakek, itu benar-benar yang amat ahli dalam filsafat, dan biarpun tidak sengaja, namun telah merupakan seorang yang amat berjasa baginya.
Karena merasa lelah, Keng Hong berhenti di lereng itu, mengaso di bawah pohon sambil memandang pemandangan di bawah yang amat indah mempesonakan. Ia teringat akan semua pengalamannya dan ketika dia mengenangkan Siauw-bin Kuncu, dia menarik napas panjang. Dia sendiri pun sejak kecil banyak membaca kitab-kitab filsafat, akan tetapi betapa banyaknya hal-hal yang amat sulit kalau menghadapi peristiwa dalam penghidupan. Pikiran dan hati selagi, tentu saja udah menangkap dan mengerti akan filsafat-filsafat yang tinggi, akan tetapi sekali nafsu menguasai diri, menghadapi peristiwa yang menimpa diri, semua filsafat diterbangkan angin, mata terbuka serasa buta dan otak yang terang menjadi gelap. Betapa sukarnya menguasai nafsu.
Gurunya sendiri, seorang yang sakti dan cerdik dan pandai, rupa-rupanya tidak kuasa menundukkan nafsunya sendiri, bahkan seperti mengumbarnya sehingga mengakibatkan permusuhan, atau lebih tepat dimusuhi oleh banyak sekali orang. Semua gara-gara nafsu pribadi. Dan dia sendiri? Ah, dia merasa malu kalau dia mengenang semua penglamannya, betapa dengan mudahnya dia tergelicir oleh bujuk rayu Cui Im, betapa dia terpeleset menghadapi keindahan tubuh dan kecantikan wajah wanita. Membuat dia mata gelap, digelapkan oleh nafsunya, membuat dia tunduk dan menuruti nafsunya, selain melayani Cui Im yang haus akan cinta berahi, juga dia menyambut uluran gadis-gadis yang kemudian korban karena cintanya. Teringat dia akan nasib Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai itu. Teringat pula akan nasib dua orang murid wanita Kong-thong-pai, Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Ia menghela napas dengan hati penuh penyesalan.Tiga orang gadis itu telah menjadi korban semua.
Benar, bahwa mereka tewas dalam tangan Cui Im, akan tetapi andaikata dia tidak melayani cinta kasih mereka, andaikata dia tidak bermain cinta dengan mereka belum tentu mereka itu akan dibunuh oleh Cui Im yang cemburuan, yang agaknya akan membunuh semua wanita yang dia layani cinta kasihnya! Dengan demikian, biarpun tidak langsung, sama artinya bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka.
Ah..... nafsu..... Dia harus belajar menguasai nafsunya sendiri. Teringat dia akan filsafat kitab kuno yang pernah dia baca. Pelajaran yang menyatakan bahwa nafsu itu sifatnya sama dengan kuda. Jasmani adalah keretanya dan kemajuan jasmani tergantung daripada tarikan kuda nafsu. Tanpa tarikan kuda nafsu, maka kereta jasmani tidak akan mendapatkan kemajuan. Akan tetapi, kuda yang sifatnya liar, seperti nafsu, perlu sekali dikendalikan dan ikuasai oleh tangan kusir yang pandai dan bijaksana. Kusir inilah sebenarnya yang harus menguasai segalanya, kusir inilah jiwa yang murni. Sang Aku sejati. Kusir ini yang seharusnya memelihara dan mengawasi kereta jasmani, agar kereta jangan rapuh dan rusak. Kusir ini pula yang harus dapat mengendalikan kuda, sehingga dapat mengemudikan kuda nafsu untuk menarik kereta jasmani menuju ke jalan yang tepat dan benar. Kalau sang kusir ini tidak pandai menguasai nafsu, kuda yang sifatnya liar itu akan membedal da membawa kereta ke mana dia suka, sehingga akhirnya banyak bahayanya kuda itu akan menjerumuskan kereta dan kusirnya sekali ke dalam jurang!
Betapa tepatnya perumpamaan itu. Nafsu pada diri manusia tidak semestinya dibunuh, melainkan dipelihara dan dikendalikan. Nafsu yang dikendalikan akan dapat membawa jasmani ke arah kemajuan, akan dapat mambawa diri ke tempat yang dikehendaki, dan akan dapat mendatangkan kenikmatan dan kesenangan hidup. Namun, kuda nafsu yang tidak dikendalikan akan bahaya sekali, akan membedal, meliar, mengganas, bahkan memperhamba diri dan akhirnya keruntuhanlah akibatnya.
Maka, tepat pula pelajaran dalam kalimat di kitab pelajaran para pemeluk Agama To, yaitu di dalam To-tik-king yang berbunyi :
Mengerti akan orang lain adalah pandai, mengerti akan diri sendiri adalah bijaksana. Menaklukkan orang lain adalah kuat tubuhnya, menaklukkan diri sendiri adalah kuat batinnya. Yang puas akan keadaan diri sendiri adalah kaya raya, yang memaksakan kehendaknya adalah orang nekat. Yang tahu akan kedudukannya akan berlangsung mati dalam kebenaran berarti panjang usia.
Keng Hong menarik napas panjang. Ah, kalau dia teringat akan semua filsafat dan pelajaran kebatinan yang pernah dibacanya, dia kini dapat melihat betapa gurunya telah menyia-nyiakan hidupnya dengan berkecimpung dalam lautan pemuasan hawa nafsu. Perlukah watak seperti itu dia contoh? Biarpun guru, akan tetapi dia beguru kepada Sin-jiu Kiam-ong hanya dalam hal mengejar ilmu silat, kalau dia melihat sifat-sifat yang tidak benar dari gurunya, tidak perlu dia mencontoh. Bahkan dia harus membetulkan kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan gurunya,seperti yang dia dengar dalam nasihat Siauw-bin Kuncu! Memiliki ilmu kepandaian saja, seperti yang telah dia miliki sekarang, tidak akan ada gunanya bagi manusia dan dunia, bahkan dapat mengakibatkan kerusakan, kalau dia tidak berpegang kepada kebenaran dan kebajikan. Ilmu tetap ilmu, akan tetapi dapat membangun atau merusak, tergantung daripada akhlak si pemilik ilmu. Manusia tetap manusia, akan tetapi ada dua macam, yaitu manusia utama dan manusia rendah, dan untuk menjadi satu di antara keduanya, hanya diri pribadilah yang akan mengusahakan dan menentukannya.
Teringatlah dia akan pelajaran Nabi Khong Cu yang menjawab pertanyaan-pertanyaan para muridnya tentang manusia utama yang tinggi budi dan manusia rendah yang rendah budinya.
Manusia utama mengerti mana yang benar, Manusia rendah mengerti mana yang menguntungkan dirinya. Manusia utama menyayang jiwanya, Manusia rendah menyayang hartanya. Manusia utama ingat akan hukuman dosa-dosanya, Manusia rendah ingat akan hadiah jasa-jasanya. Manusia utama mencari kesalahan diri sendiri, Manusia rendah mencari kesalahan orang lain.
Masih banyak sekali contoh-contoh dan dalam keadaan tenang di tempat sunyi di lereng Beng-san itu, Keng Hong teringat akan semua filsafat dan makin jelaslah terasa olehnya betapa dia keliru mengikuti cara hidup suhunya dahulu, dan betapa dia pun telah menyeleweng dan akan mencontoh gurunya kalau saja dia tidak lekas-lekas sadar dan bertaubat, mengubah wataknya dengan memperkuat batin sehingga dia akan dapat menjadi seorang kusir yang bijaksana dan pandai mengendalikan kuda-kuda liar berupa nafsunya sendiri.
"Aku akan berusaha, akan berusaha sekuat tenagaku...!" Demikian pemuda ini berjanji kepada diri sendiri. Dia lalu bangkit berdiri dan melanjutkan perjalannya menuruni lereng Pegunungan Beng-san.
Ketika lereng itu akan habis dituruninya, tiba-tiba telinganya menangkap suara teriakan-teriakan di sebelah bawah yang datangnya dari hutan di kakai gunung. Cepat dia meloncat ke atas pohon yang tinggi dan memandang ke bawah. Dari tempat tinggi itu tampaklah olehnya berkelebatnya bayangan-bayangan orang dalam pertempuran.
Dari tempat yang jauh itu dia tidak dapat melihat siapa orangnya yang bertanding, akan tetapi dia dapat melihat seorang dikeroyok oleh belasan orang dan dari gerakan mereka tahulah dia bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Ia menjadi tertarik sekali, cepat melompat turun dari atas pohon kemudian lari cepat menuruni lereng dan memasuki hutan itu.
Keng Hong menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat pertempuran dan setelah dekat dan bersembunyi di balik pohon, dia mendapat kenyataan bahwa yang sedang dikeroyok oleh tiga belas orang itu bukan lain adalah Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, nenek galak berpakaian serba hitam yang dulu pernah bersama tokoh-tokoh lain menyerang gurunya di Kiam-ong-san, bahkan yang ikut "mengadilinya" di Kun-lun-san ketika dia ditangkap. Nenek itu kini mainkan senjatanya yang hebat, yaitu pecut yang di tiap ujung cabang itu dipasangi kaitan. Gerakan nenek itu masih tangkas, jelas membuktikan bahwa nenek itu seorang ahli ginkang yang mahir, dan birpun dia dikeroyok tiga belas orang, namun sembilan cabang cambuknya itu dapat melayani para penggeroyoknya dengan ganas.
Keng Hong memperhatikan tiga belas orang laki-laki yang menggeroyok Kiu-bwe Toanio. Mereka itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, bermacam-macam bentuk tubuh mereka, akan tetapi rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka semua bersenjatakan golok besar dan ternyata bahwa gerakan mereka teratur sekali, merupakan gerakan barisan tiga belas orang yang mengurung dengan rapi sehingga biarpun nenek itu lihai ilmu cambuknya, sedemikian lamanya dia tidak mampu merobohkan seorang pun di antara para penggeroyoknya, bahkan pengepungan makin rapat.
"Ha-ha-ha Kiu-bwe Toanio, lebih baik kau menyerah saja dan menyerahkan nyawamu agar kau dapat mati dengan tubuh utuh! Engkau tidak akan dapat menandingi Cap-sha Toa-to (Tiga Belas Golok Besar) dari Beng-san!" seorang mengejek.
"Tar-tar-tar!" cambuk di tangan Kiu-bwe Toanio meledak-ledak menyambar, akan tetapi tanpa hasil dan kembali ia terkurung oleh sinar golok yang berkilauan sehingga nenek ini cepat memutar cambuk melindungi tubuhnya.
"Tiga belas perampok laknat dari Beng-san! Kalau aku tidak mampu membasmi perampok-perampok jahat macam kalian, percuma saja aku menyebut diri sebagai pendekar wanita!" Nenek itu berseru, suaranya garang dan semangatnya tak kunjung padam sungguhpun ia terancam bahaya maut dan terdesak terus.
"Ha-ha-ha! Mungkin dahulu engkau terkenal sebagai pendekar wanita yang cantik dan perkasa, akan tetapi sekarang engkau tidak lebih hanyalah seorang nenek tua keriputan yang sudah hampir mampus. Phuahhh, tua bangka tak tahu diri, sudah mendekati kuburan masih berlagak pendekar!"
Wajah nenek itu menjadi merah dan ia emutar cambuknya makin hebat sehinggaa terpaksa para penggeroyoknya meloncat mundur. Kiu-bwe Toanio menudingkan telunjuk tangan kirinya. "Penjahat-penjahat rendah! Kalian telah merampok dusun-dusun di sebelah selatan gunung, melakukan pembunuhan dan perkosaan, tidak pantang melakukan segala macam kekejian. Aku, Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang kebetulan lewat mendengar akan kejahatan kalian, kalau hari ini tidak mampu membasmi kalian, jangan sebut lagi aku seorang pendekar dan aku rela mampus tercacah-cacah golok kalian, Majulah!"
Keng Hong memandang kagum. Dia sudah mendengar dari suhunya siapa nenek ini. Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu semenjak muda terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang paling anti terhadap perampok. Wanita ini telah membuat nama besar karena dia telah membasmi banyak sekali sarang perampok, membunuh banyak kepala rampok-kepala rampok dan membubarkan gerombolan-gerombolan. Kini sampai menjadi nenek-nenek pun masih gigih membasmi perampok.
Seorang pendekar wanita yang patut dikagumi. Akan tetapi juga seorang pendekar wanita yang memusuhi gurunya!
Keng Hong tersenyum dan mengeleng-geleng kepala kalau dia teringat akan cerita gurunya mengenai wanita sakti ini. Ia mencoba untuk membayangkan Kiu-bwe Toanio di waktu muda. Memang tidak sukar. Wajah nenek itu masih membayangkan bekas kecantikan, dan tubuh itu masih ramping, hanya buah dadanya yang luar biasa besarnya itulah yang sukar dibayangkan bagaimana bentuknya di waktu nenek itu masih muda. Akan tetapi, kalau Sin-jiu Kiam-ong mau melayani cinta kasih wanita itu, tentu di waktu mudanya dahulu dia cantik menarik. Keng Hong menghela napas. Wanita ini pun menjadi korban petualangan gurunya. Wanita itu tentu dilayani cintanya oleh gurunya, seperti halnya dia melayani Cui Im, atau Ciang Bi, Bwee Ceng dan Swat Si. Melayani cinta wanita -wanita itu hanya seperti orang menikmati keindahan bunga. Akan tetapi nenek ini mencinta gurunya secara mendalam, maka menjadi sakit hati ketika ditinggalkan! Ah, nenek ini menjadi korban gurunya, dialah yang harus berusaha memperbaiki kesalahan itu. Kini secara kebetulan sekali dia mendapat kesempatan baik. Nenek itu kini terdesak hebat, bahkan terancam oleh tiga belas golok besar yang memang lihai itu.
Tanpa banyak cakap lagi Keng Hong meloncat keluar dari tempat sembunyiannya dan menerjang barisan tiga belas orang yang mengurung Kiu-bwe Toanio. Karena pemuda ini menerjang dari luar kepungan dan gerakannya amat hebat sehingga begitu kaki tangannya bergerak, tiga orang penggeroyok roboh terlempar keluar kepungan dan gerakannya amat hebat sehingga begitu tiga belas orang itu menjadi kacau-balau. Lima orang lalu membalikkan tubuh dan dengan marah sekali lalu menerjang Keng Hong dengan golok mereka sedangkan yang lima orang lagi masih mengeroyok Kiu-bwe Toanio. Nenek ini bagaikan sembilan ekor burung garuda menyambar-nyambar.
Tadi dikeroyok tiga belas orang ia terdesak hebat, akan tetapi setelah kini yang mengeroyoknya hanya tinggal lima orang, begitu ia memutar cambuknya, dua orang terjungkal roboh dengan leher terkait ujung cambuk dan urat lehernya putus-putus! Mereka roboh mengeluarkan suara seperti babi disembelih dari leher yang sudah rusak lagi. Kiu-bwe Toanio tertawa lagi dan betapapun keras melindungi diri, namun belasan jurus saja mereka bertiga pun menggeletak dan berkelojotan.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan kagumnya ketika nenek itu menoleh, ia melihat pemuda yang menolongnya itu agaknya telah sejak tadi merobohkan lima orang lawannya! Ternyata ia kalah cepat merobohkan para pengeroyoknya, padahal pemuda itu hanya bertangan kosong saja!
"Orang muda yang gagah perkasa! Sungguh mengagumkan sekali, aku Kiu-bwe Toanio harus mengakui bahwa kepandaianmu jauh melampauiku!" kata nenek ini yang masih terheran-heran dan kagum.
Keng Hong tersenyum dan menjura dengan hormat.
"Selamat berjumpa, Toanio. Agaknya Toanio telah lupa lagi kepadaku."
"Engkau... Siapakah...?" Nenek itu melebarkan atanya memandang lebih tajam dengan sepasang matanya yang sudah kurang awas. Ia melangkah dekat dan kini ia mengenal pemuda itu. Rasa kagetnya bertambah dan ia berseru, "Engkau.... engkau muridnya.....!"
Keng Hong mengangguk dan tersenyum. "Benar, Toanio. Aku murid mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dan karena itulah maka aku sengaja membantumu melawan para perampok ini, untuk membuktikan bahwa baik suhu maupun aku tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap Toanio. Dengan jalan ini aku yang mewakili suhu mohon maaf kepada Toanio apabila di waktu dahulu suhu pernah melakukan kesalaha-kesalahan terhadap Toanio yang semenjak muda sampai kini ternyata merupakan seorang pendekar wanita yang hebat!"
Nenek itu wajahnya berubah pucat, kemudian mengeluh, "Ahhh.... Kau murid Sie Cun Hong...." Tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan terguling roboh.
"Toanio......!" Keng Hong melompat dan menangkap lengan nenek itu sehingga tubuh itu tidak sampai terguling. Tubuh itu lemas tergantung pada lengan Keng Hong yang merangkul pinggangnya. "Kau kenapa, Toanio.....?" Keng Hong bertanya, khawatir.
"Terluka.... aku... Terluka oleh pukulan perampok-perampok laknat....."
Keng Hong tadi tidak melihat nenek itu terkena pukulan. Mungkin sebelum dia datang atau sesudah dia membantunya, pikirnya.
"Boleh kutolong engkau, Toanio? Mana yang terpukul?"
"Dadaku... tidak apa-apa, hanya aku telah lama menderita penyakit jantung, dan.. melihat engkau..... murid Sie Cun Hong...... Aduuuhhh..... Aku kaget dan jantungku....." Ia mencegah tangan Keng Hong yang hendak memeriksanya. "Tidak usah, hanya... Maukah engkau menolongku, membawaku ke pondokku... Tidak jauh hanya kira-kira tiga puluh li dari sini...."
"Baiklah, Toanio. Biar kupondong engkau!" Keng Hong cepat membungkuk hendak memondong nenek itu. Akan tetapi Kiu-bwe Toanio dengan kasar menolak lengannya.
"Jangan pondong aku!" Pemuda itu terheran menyaksikan kekasaran nenek itu. "Selama hidupku, baru satu kali ada pria menyentuh dan memondongku, hanya Sie Cun Hong.... ah, Cun Hong, laki-laki tidak setia..... semenjak itu, belum pernah ada pria menyentuhku.."
Keng Hong merasa geli hatinya, juga terharu menyaksikan betapa nenek ini ternyata amat mencinta dan setia kepada gurunya. "Habis, bagaimana aku dapat membawamu, Toanio?" tanyanya bingung.
"Kalau kau mau.... kau gendong saja aku di punggungmu... Begitu lebih sopan."
Keng Hong menahan senyumnya. Sudah nenek-nenek begini tua, masih mempunyai pikiran malu dipondong seorang pemuda seperti dia! Ah, wanita memang aneh, begini tua masih genit, pikirnya. "Baiklah, mari kugendong kau, Toanio." Keng Hong lalu membalikkan tubuh membelakangi nenek itu sambil berjongkok.
Kiu-bwe Toanio dengan tubuh lemas lalu naik ke punggung Keng Hong dan pemuda itu segera bangkit berdiri, menyangga kedua paha nenek itu yang peyot.
"Tar-tar-tar-tar-tar....!" Keng Hong mendengar pecut nenek itu meledak-ledak di atas kepalanya dan cabang-cabang cambuk itu menyambar ke depan, menghantam kepala delapan orang perampok yang tadi roboh di tangan Keng Hong. Delapan orang itu ia robohkan dan ia sengaja tidak membunuh mereka, berbeda dengan nenek itu yang tadi membunuh lima orang pengeroyoknya. Keng Hong terkejut. Kepala delapan orang itu remuk dan mereka tewas seketika.
"Aihhh, Tonio, mengapa kau....?"
"Kalau tidak dibunuh tentu mereka akan mendatangkan malapetaka kepada penduduk dusun-dusun. Kalau tidak dibunuh, apa artinya aku menentang para perampok laknat itu?" Keng Hong menghela napas. Dia memang tentu saja kalau nenek itu menentang para perampok, akan tetapi membunuhi lawan yang sudah roboh, sungguh merupakan perbuatan yang kejam, yang tentu tidak akan dapat dia lakukan.
"Toanio yang melakukan, Toanio sendiri yang merasakan," katanya dan dia mulai melangkah. "Kemana kita harus menuju, Toanio?"
"Maju terus, keluar dari hutan ini. Nanti kutunjukkan jalannya," kata si nenek yang biarpun tubuhnya lemas ternyata masih amat hebat cambuknya itu, sekali bergerak membunuh delapan orang!
Keng Hong melangkah keluar dari hutan dan selanjutnnya menurut petunjuk nenek itu menuju ke sebuah bukit. Tubuh nenek itu ringan sekali, dan menggendongnya merupakan pekerjaan yang mudah dan tidak berat bagi Keng Hong.
"Namamu siapa?"
"Keng Hong, Cia Keng Hong, Toanio."
"Hemmm, Keng Hong, tahukah engkau dosa apa yang dilakukan gurumu kepadaku?"
Tentu saja Keng Hong sudah mendengar penuturan gurnya tentang nenek ini, akan tetapi untuk menghilangkan rasa sunyi dalam perjalanan itu, dia ingin mendengar sendiri penuturan Kiu-bwe Toanio, maka jawabnya, "Aku hanya tahu bahwa Toanio dahulu mendendam kepada suhu, akan tetapi aku tidak tahu jelas persoalannya."
"Hemmm, gurumu seorang pria yang tidak setia, tidak kenal budi, tidak menghargai cinta kasih seorang wanita!" Sejenak nenek itu terengah-engah, agaknya hendak menekan kemarahannya yang timbul dari rasa sakit hati. "Aku dahulu seorang pendekar wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa. Tak terhitung banyaknya orang yang tergila-gila kepadaku, yang meminangku, akan tetapi semua kutolak karena aku belum dapat menjatuhkan hatiku kepada seorang pria. Aku ingin memilih seorang pria yang selain memiliki wajah yang mencocoki seleraku, juga memiliki kepandaian yang jauh melampauiku. Betapa sukarnya menemukan pria seperti idaman hatiku. Kemudian ... Hem, terjadinya hampir sama dengan munculmu tadi. Aku dikeroyok penjahat, lalu Sie Cun Hong muncul dan membantuku. Aku jatuh hati kepadanya. Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku. Dia muda dan tampan, seperti engkau, dia gagah perkasa seperti engkau. Akan tetapi dia hangat dan pandai merayu, tidak seperti engkau yang dingin dan kaku. Aku makin cinta kepadanya sehingga aku menyerahkan jiwa ragaku, aku terbuai dalam rayuan dan belaiannya, aku menyerahkan kehormatanku. Akan tetapi..... Akhirnya dia meninggalkan aku, tidak mau menjadi suamiku!"
"Bukankah suhu mencintaimu, Toanio?"
"Uhhh, cinta apa? Cinta mulut, cinta palsu, dia hanya ingin memiliki tubuhku seperti tubuh wanita-wanita! Dia seorang laki laki yang berhati palsu, hanya mempermainkan wanita. Terkutuk!"
Keng Hong menarik napas panjang lalu memberanikan diri bertanya, "Akan tetapi, mengapa Toanio dahulu suka menyerahkan... Kehormatan Toanio kepada suhu? Mengapa Toanio begitu.. begitu.... mudah.....?"
"Setan kau! Aku terjebak oleh bujuk rayunya! Aku mabuk oleh nafsu berahi yang dibangkitkannya! Kalau aku tahu.... ah, kalau aku tahu...." Nenek itu seperti meronta-ronta di gendongan Keng Hong. "Akhirnya sebelum meninggalkan aku, dia bilang bahwa cinta kasih antara pria dan wanita tidak seharusnya selalu di akhiri perkawinan! Cih, omongan laki-laki bangsat! Mau enaknya saja. Dia bebas dan enak saja mempermainkan ribuan orang wanita, laki-laki tetap dihargai. Akan tetapi wanita? Sekali menjadi permainan pria dan ditinggalkan, siapa sudi menghargainya lagi? Hidupku rusak oleh gurumu, maka aku penasaran sekali tidak dapat menghancurkan kepalanya! Akan tetapi, masih ada engkau muridnya!!"
Keng Hong terkejut sekali ketika merasa betapa ujung jari yang keras menyentuh ubun-ubun kepalanya. Ia maklum bahwa sekali dia melawan, jari-jari itu tentu akan mencengkeram dan tak mungkin ia mampu melindungi ubun-ubun kepalanya. Namun dia bersikap tenang dan bertanya,
"Apa maksudmu, Toanio?"
"Maksudku? Hi-hi-hik, maksudku, aku yang tidak berhasil membalas dendam kepadanya, masih dapat melampiaskan dendamku kepadamu, kepada muridnya. Dalam sekejap mata aku dapat membunuhmu, Cia Keng Hong murid Sie Cun Hong!"
Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri. Kalau nenek itu membuktikan ancamannya, tidak ada yang akan dapat menolongnya, juga kepandaiannya yang bertahun-tahun dia pelajari tidak akan ada gunanya. Tentu saja dia dapat menyerang nenek yang berada di punggungnya itu, akan tetapi serangan macam apa yang akan dapat melebihi kecepatan nenek itu menanamkan jari-jari tangan di ubun-ubun kepalanya?
Tentu dia kalah cepat dan akan tewas sebelum mampu bergerak. Pula, nenek itu berada di punggungnya karena semua gerakan tangan di awali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan tangan di awali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan kaki diawali gerakan pangkal paha. Tak mungkin dia mendahului nenek itu, maka berusaha menyerangnya sama dengan bunuh diri.
"Toanio, setelah aku membantumu dan mengendongu, mengantar engkau yang terluka ke pondok, engkau masih hendak membunuhku...?"
"Hi-hi-hik! Siapa menolongku? Apa kaukira aku kalah dikeroyok tiga belas ekor tikus tadi? Jangan sombong seperti gurumu! Dan kau tidak secerdik gurumu. Siapa bilang aku luka? Aku sehat segar tidak terluka apa-apa. Akan tetapi kini aku berada dipunggungmu dan kau akan dapat berbuat apa? Engkau telah mewarisi banyak ilmu gurumu, tentu aku tidak dapat membunuhmu mengandalkan kepandaian. Sekarang, aku tidak akan membunuhmu asal saja engkau suka mengajarkan Ilmu Thi-khi-I-beng kepadaku."
Keng Hong merasa geli dan juga muak. Yang baik maupun yang jahat, sekali manusia dikuasai oleh angkara murka dan mengkehendaki sesuatu yang tidak dimilikinya, sama saja, memuakkan! Kelakukan jahat yang tidak segan merugikan orang, tidak segan melakukan kecurangan, timbul dari hati yang angkara murka, yang mengehendaki sesuatu yang bukan menjadi haknya!
Akan tetapi dia tidak berdaya, dan tidak ada pilihan lain. Biarpun hatinya merasa berat untuk membuka rahasia ilmu yang pada waktu itu tidak ada orang lain yang mengetahuinya, akan tetapi kalau dia menolak tentu dia akan tewas. "Toanio, apakah kalau aku memberi ilmu itu kepadamu, Toanio pasti akan membebaskan aku?"
"Tentu saja!"
"Bagaimana kalau Toanio melanggar janji?"
"Plakkk!" Kepala Keng Hong ditampar sehingga dia merasa pening dan pandang matanya berkunang.
"Sekali lagi engkau meragukan janji seorang pendekar seperti aku, tentu engkau akan kubunuh! Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu bukan seorang rendah budi yang tidak bisa memegang jani. Janji lebih berharga daripada nyawa, tahu?"
"Hemmm, kalau begitu boleh. Harap Toanio turun dari punggungku dan aku akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepada Toanio."
"Mana bisa? Kalau aku turun, benar-benarkah engkau akan mengajarkan Thi-khi-I-beng ?"
"Tentu, Toanio."
"Bagaimana kalau melanggar janji?" Engkau bukan pendekar seperti aku. Engkau adalah murid Sie Cun Hong yang plin-plan, mulut laki-laki perayu, berani sumpah tak berani mati. Mana bisa aku percaya?"
Hati Keng Hong mendongkol bukan main, akan tetapi apa dayanya? Ia menekan kemarahan hatinya dan tersenyum. "Terserah kepada Toanio akan percaya kepadaku ataukah tidak. Akan tetapi kalau Toanio tidak turun dari punggung, bagaimana aku dapat mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadamu?"
Sejenak nenek itu berpikir, kemudian berkata, "Baiklah, sekarang kau bersumpahlah! Bersumpahlah demi arwah gurumu, demi nenek moyangmu bahwa engkau tidak akan menipu aku. Setelah aku turun dari punggungmu engkau tidak akan menyerangku dan benar-benar akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadaku."
Keng Hong makin mendongkol, akan tetapi dia menekan hatinya, bahkan dia mengejek sambil tersenyum, "Apakah Toanio tidak takut kalau-kalau aku melanggar sumpah, seperti yang Toanio katakan tadi bahwa mulut laki-laki berani bersumpah tak berani mati?"
"Cerewet! Bersumpahlah!"
Keng Hong lalu mengucapkan sumpah seperti yang dikehendaki nenek itu. Kiu-bwe Toanio melompat turun, siap dengan cambuknya kalau-kalau pemuda itu melanggar sumpahnya. Akan tetapi Keng Hong malah duduk bersila dan berkata.
"Marilah bersila di depanku, Toanio. Aku akan mengajarkan Thi-khi-I-beng kepada Toanio."
Dengan hati penuh gairah Kiu-bwe Toanio duduk bersila di depan KengHong. Nenek itu menganggap ilmu menyedot hawa sinkang lawan itu merupakan ilmu mujijat yang tiada taranya sehingga kalau ia memiliki ilmu itu tentu dia akan menjadi seorang tokoh nomor satu di dunia kang-ouw! Keng Hong juga menduga demikian maka diam-diam hatinya geli. Ah, betapa dangkalnya pendapat itu, pikirnya. Ilmu tidak dapat diukur tinggi atau dalamnya, tidak ada batasnya dan setiap macam ilmu pasti akan ada yang mengatasinya.
"Toanio, ilmu ini sesungguhnya merupakan ilmu yang amat sukar dipelajari dan amat sulit, karena bukan hanya membutuhkan dasar tenaga sinkang yang amat kuat, akan tetapi juga harus melatih tenaga dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan tenaga menyedot yang otomatis. Terus terang saja, mendiang suhu tidak menguasai ilmu ini, dan saya pun selama hidup belum pernah mempelajari Ilmu Thi-khi-I-beng, dan ilmu menyedot sinkang lawan yang kumiliki timbul secara mujijat pada saat saya menerima pemindahan sinkang dari suhu."
Ia lalu menceritakan pengalamannya ketika tanpa dia sadari dia telah memiliki ilmu mujijat yang tak dapat dikendalikannya itu.
"Kemudian, berkat kitab-kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, saya dapat menemukan cara untuk mengatur tenaga mujijat itu, dan menurut pendapat saya, seorang seperti Toanio yang telah memiliki sinkang cukup kuat akan dapat mempelajari ilmu itu asal saja Toanio bersabar. Kalau Toanio sudah mulai dapat mempergunakan tenaga menyedot itu, jangan sembarangan Toanio pergunakan secara berlebihan, melainkan sedikit demi sedikit."
"Hemmm, orang muda. Engkau tidak perlu menasihati aku yang sudah menjadi seorang ahli sebelum engkau terlahir di dunia ini. Lekas ajarkan ilmu itu."
"Agar Toanio bisa mendapatkan penambahan tiba-tiba saya harus mengoper sebagian tenaga saya dengan Toanio, harap Toanio tidak melawan dan meneria sinkang saya itu, sehingga akan timbul tenaga menyedot di pusar Toanio, kemudian baru saya akan ajarkan cara melatih tenaga menyedot itu."
"Lakukanlah, aku siap!" kata nenek itu dengan hati penuh ketegangan karena ia ingin sekali memiliki ilmu itu.
Keng Hong lalu menggeser duduknya di belakang telapak tangannya ke punggung nenek tadi sambil mengerahkan sinkang dari pusar. Tenaga yang amat kuat menerobos melalui kedua telapak tangannya. Nenek itu terkejut dan kagum. Hebat bukan main tenaga yang memasuki tubuhnya dan kalau saja ia tidak menaruh kepercayaan besar, tentu ia akan melawan tenaga itu karena biasanya tenaga itu dipergunakan menyerang lawan. Namun ia membuka pusarnya dan menerima tenaga yang membanjir memasuki tubuhnya, berkumpul di pusar. Karena ia membuka pusarnya, maka tenaga itu memenuhi tubuh dan ia merasa betapa timbul daya menyedot di tubuhnya yang membuat tenaga sinkang pemuda itu membanjir makin banyak.
Setelah merasa bahwa bantuannya seperti yang dulu dilakukan gurunya kepadanya, sudah cukup untuk membangkitkan daya sedot dari pusar nenek itu, Keng Hong menghentikan pemindahan tenaganya dan dia melepaskan kedua tangannya, kemudian duduk bersila dengan wajah pucat. Hampir setengah tenaga sinkangnya telah dia buang dan dia pindahkan ke tubuh Kiu-bwe Toanio!
Juga nenek itu duduk bersila sambil memejakan mata, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia merasa seolah-olah hendak terbang oleh gelora tenaga yang memenuhi tubuhnya. Sampai berjam-jam keduanya duduk bersila, yang seorang berusaha memulihkan kekuatannya yang banyak terbuang, yang seorang lagi berusaha mengendalikan tenaga yang membanjiri tubuhnya.
Kemudian terdengar suara Keng Hong, lemah dan lirih namun cukup jelas, "Toanio, kau kendalikan tenaga yang berlebihan itu, tekan tenaga itu melalui jalan darah Ci-kiong-hiat-to kemudian terus disalurkan melalui Tiong-teng-hiat. Setelah berkumpul lalu kau kerahkan melalui Thai-hiat-to menuju ke pusar. Setelah kau ulangi sampai lancar betul, coba kau kerahkan kembali tenaga dari pusar menuju ke seluruh bagian tubuh yang kiranya terserang lawan, kemudian tiba-tiba menggosongkan bagian itu sehingga sinkang Toanio tertarik kembali bersama-sama sinkang lawan itu." Keng Hong terus memberi penerangan seperti dia pelajari dari kitab-kitab di tepat rahasia gururnya.
Kiu-bwe Toanio mendengarkan penuh perhatian. Memang dia adalah seorang ahli silat yang pandai dan pengertiannya tentang penggunaan sinkang sudah cukup, maka setelah keterangan-keterangan itu diulangi beberapa kali saja ia sudah dapat menangkap inti sarinya dan mulailah nenek ini berlatih. Diam-diam Keng Hong merasa kagum dan juga geli hatinya melihat betapa nenek ini amat tekunnya berlatih. Kagum menyaksikan semangat yang tidak kalah oleh semangat orang muda ini dan geli memikirkan betapa manusia amat serakahnya, juga dalam hal mengejar ilmu. Usia sudah begitu tua, hidup pun tentu tidak akan lama lagi, bersusah payah mempelajari ilmu itu untuk apa?
Kiu-bwe Toanio berlatih sampai tiga hari tiga malam dengan tekun, lupa makan lupa tidur. Keng Hong tidak mau mengganggunya dan pemuda ini terpaksa makan buah-buah yang dapat dia cari di dalam hutan dan minum air sungai. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Toanio melompat bangun dari atas tanah dimana ia berlatih sambil duduk bersila dan berkata, "Keng Hong, kurasa aku sudah dapat menguasai Thi-khi-I-beng! Coba kau serang aku, hendak kucoba ilmu ini!"
Keng Hong tersenyum menyaksikan kegembiraan wajah nenek itu."Toanio memang hebat dan tekun sekali. Aku tidak akan merasa heran kalau Toanio sudah berhasil dalam waktu tiga hari. Akan tetapi amat perlu dijaga agar Toanio tidak keburu nafsu, dan hanya mepergunakan ilmu apabila perlu saja. Dasar sinkang Toanio sungguhpun sudah kuat, akan tetapi belum tentu akan dapat menerima serbuan sinkang lawan yang disedot dan hal ini amat berbahaya, demikian menurut petunjuk jalan kitab yang kubaca."
"Kitab petunjuk gurumu? Heh, siapa bisa percaya Sie Cun Hong? Dia selalu membohong. Hayo, kau pukul aku untuk mencoba ilmu ini."
"Toanio....."
"Hemmm, orang muda. Engkau sudah berjanji untuk mengajarkan Thi-khi-I-beng kepadaku, mana bisa aku tahu buktinya, bahwa pelajaran ini benar atau palsu? Kalau sudah kubuktikan hasilnya, baru aku tahu bahwa selama ini kau tidak membohong dan tidak melanggar sumpahmu sendiri. Hayo, kaupukullah aku sekarang juga."
Keng Hong menarik napas panjang dan merasa serba salah. Nenek ini memiliki kekerasan hati dan kehendaknya sukar dibantah. Maka dia lalu melangkah maju dan berkata, "Hati-hatilah, Toanio!" Tangannya melayang dan menepuk pundak nenek itu, sengaja mengerahkan sedikit sinkang untuk menguji "daya sedot" nenek itu.
"Plakkkkk!"
Keng Hong merasa betapa tenaga sinkang di tangannya yang menempel di pundak nenek itu tersedot melalui pundak dan tangannya tak dapat dia lepaskan kembali, juga hawa sinkangnya molos keluar. Akan tetapi tentu saja dia tahu bagaimana caranya melepaskan tangan. Kalau dia menyimpan hawa sinkangnnya, otomatis tangannya akan terlepas. Tiba-tiba dia terkejut sekali karena tangan nenek itu sudah menyentuh dadanya, tepat di bagian jantung.
"Jangan lepaskan tanganmu, jangan tarik kembali sinkangmu atau.... engkau akan ku bunuh!"
Keng Hong yang merasa terkejut itu menjadi penasaran."Toanio, apa yang hendak kau lakukan ini?" Pemuda itu merasa betapa tenaganya terus menerobos melalui telapak tangannya yang melekat pada pundak Kiu-bwe Toanio.
"Hemmm, kau bocah murid Sie Cun Hong. Di dunia ini tidak boleh ada dua orang yang menguasai Thi-khi-I-beng! Hanya akulah seorang yang memilikinya," kata nenek itu sambil terus mengerahkan tenaga menyedot. Muka nenek itu kini menjadi merah sekali, matanya melotot dan napasnya terengah-engah. Keng Hong menjadi pucat. Ia maklum bahwa kalau sinkangnya habis, dia akan menjadi lemas atau bahkan dia dapat tewas karenanya. Kalau dia menghentikan saluran sinkangnya, tenti nenek itu akan menotok dadanya dan dia akan tewas pula. Tidak ada pilihan lain baginya. Ia akan mengisap terus tubuh itu dengan sinkangnya, kemudian sebelum kehabisan tenaga sama sekali, dia akan menghentikan dan pura-pura roboh kehabisan tenaga.
"Hi-hi-hik, hawa sinkangmu kuat sekali, bocah bagus! Aduhhhhh, tubuhku panas....aduh , seperti dibakar...!"
"Hentikan, Toanio, hentikanlah......."
"Tidak! Dan jangan kau berani melepaskan tanganu atau menarik kembali sinkangmu, hemmm, sedikit saja engkau bergerak, engkau akan mati!" Jari tangan nenek itu menegang di dadanya, siap mencengkeram.
"Toanio...... hentikanlah, demi keselamatanmu sendiri. Aku tidak akan melawanmu, akan tetapi kalau tidak kau hentikan, kau.... kau akan celaka...."
"Hi-hi-hik! Engkau.... Aahhh.... Hahhh.... panas....! Engkau anak kemarin sore....hi-hi-hik .... jangan mencoba menipuku. Aku akan celaka kalau kaulepaskan..... Engkau lihai, tentu akan menyerangku.... heh-heh-heh, akan ku sedot sinkangmu sampai habis.... hi-hi-hik.... aaahhhhh.....!!"
Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan jerit melengking, mengerikan dan dari mulutnya tersumbar darah. Keng Hong yang melihat betapa jari tangan nenek itu sedetik kejang, cepat melompat ke belakang sehingga mukanya tidak terkena semburan darah.
Ia cepat maju lagi untuk menolong ketika melihat tubuh nenek itu terkulai. Betapa kaget dan menyesal hatinya melihat nenek itu terus muntah-muntah darah. Dengan mata yang tidak bersinar lagi nenek yang sudah rebah terlentang itu memandangnya.
"Kau...... kau benar....aaahhhh, Cun Hong....... Kau tunggulah aku..!" kepala itu terkulai lemas, matanya terpejam dan napasnya terhenti. Keng Hong memeriksa tubuh itu dan melepaskan lengan yang dipegang kembali sambil menarik napas panjang. Nenek itu sudah tewas. Tentu jantungnya pecah karena tidak kuat menerima pengoperan sinkang yang terlalu penuh, terlalu kuat. Ia merasa kasihan dan terharu betapa dalam saat terakhir, nenek itu masih menyebut nama gurunya. Ah, nenek bekas pendekar wanita perkasa yang selalu membasmi kejahatan, yang selalu menaruh dendam kepada gurunya, telah tewas. Bukan karena kesalahannya, sungguhpun nenek itu seolah-olah mati "dalam tangannya" melainkan karena kesalahan nenek itu sendiri. Nenek yang gagah perkasa ini begitu dikuasai nafsu angkara murka karena hendak memonopoli Ilmu Thi-khi-I-beng, lupa akan kesadaran dan kebenaran, lupa akan wataknya sebagai seorang pendekar yang selalu harus menjunjung tinggi kebenaran, sehingga akhirnya mengorbankan nyawanya dalam pelaksanaan perbuatannya sendiri yang terdorong oleh nafsu kemurkaan. Sungguh sayang! Dengan hati penuh penyesalan bahwa "Jalan keluar" yang ditempuhnya seperti yang dicita-citakannya untuk menebus kesalahan-kesalahan gurunya dahulu kembali gagal, bahkan telah mengorbankan nyawa nenek itu, sungguhpun dia tahu bahwa hal itu bukan terjadi karena kesalahannya, Keng Hong lalu menggali tanah dan mengubur jenazah nenek itu sebagaimana mestinya. Setelah selesai mengubur jenazah Kiu-bwe Toanio dan sejenak mengheningkan cipta memberi penghormatan terakhir.
Keng Hong lalu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya. Ia harus dapat mencari Cui Im, harus dapat merampas kembali kitab-kitab dan pusaka-pusaka milik beberapa buah partai yang dahulu diambil gurunya kemudian dilarikan oleh Cui Im. Karena teringat bahwa Cui Im berasal dari selatan di mana Lam-hai Sin-ni menjadi tokoh utamanya, Kenga Hong lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.
Di sepanjang perjalanannya Keng Hong bertanya-tanya tentang keadaan. Ia mendengar bahwa perang telah selesai dengan kemenangan fihak utara. Raja muda Yung Lo yang memperebutkan kedudukan dan perang melawan keponakannya, lalu naik tahta Kerajaan Beng-tiauw (tahun 1403). Keadaan mulai aman dan raja atau Kaisar Yung Lo memnidahkan kota raja ke utara (Peking).
Keng Hong melakukan perjalanan berbulan-bulan, melintasi sungai Cialing dan melewati Pegunungan Ta-pa-san. Ia menyeberangi sungai Han-sui dan bermalam selama dua malam di kota Han-tiong yang terletak di pantai sungai itu sebelah utara, kemudian melanjutkan perjalanan. Pemuda ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada malam kedua, dia berada sekota dengan Sie Biauw Eng, gadis yang selama ini menjadi kenangannya! Tidak tahu bahwa Biauw Eng bersana seorang buta bermalam di sebuah penginapan yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah penginapan di mana dia bermalam!
Bagaimanakah Biauw Eng si gadis yang selalu berpakaian putih seperti orang berkabung itu bisa berada di kota Han-tiong? Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak ibunya terbunuh oleh Cui Im dan dia sendiri diselamatkan nyawanya oleh pemuda murid Hoa-san-pai, Sim Lai Sek sehingga pemuda itu mengiorbankan kedua matanya ynag menjadi buta, Biauw Eng tidak tega meninggalkan pemuda yang amat mencintanya dan ia rela untuk menjadi teman Lai Sek, kalau perlu selama hidupnya!
Ia merasa berhutang budi kepada pemuda itu dan melihat cinta kasih pemuda itu yang demikian mendalam, ia berusaha keras untuk membalas cintanya, sungguhpun hatinya sudah terampas oleh Keng Hong yang selamanya takkan dapat ia lupakan itu! Akan tetapi Keng Hong mungkin sudah mati! Biarpun ia mendengar kata-kata Cui Im yang membayangkan seolah-olah Keng Hong masih hidup akan tetapi kalau pemuda pujaan hatinya itu selamanya terasing dan takkan mungkin muncul di dunia ramai, apa gunanya ia tunggu-tunggu?
Hari itu ia bersama Lai-Sek tiba di Han-tiong dalam perjalanan mereka ke utara. Lai Sek mempunyai seorang sahabat baik yang kini telah menjabat pangkat di kota raja dan menurut usul Lai Sek dapat mengharapkan pertolongan sahabatnya itu.
"Tidak mungkin kita terus menjadi orang-orang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap?" demikian pemuda itu berkata kepada wanita yang dicintanya. "Di kota raja, sahabatku tentu akan suka membantu kita. Kita dapat membuka toko obat, atau dapat membuka bukoan (perguruan silat). Dengan kepandaian yang kau miliki, kita tentu akan dapat hidup layak di sana, dan jika kita sudah mempunyai tempat tinggal tetap, aku akan minta bantuan sahabatku itu untuk merayakan pernikahan kita. Kita akan hidup berumah tangga dengan bahagia, mempunyai anak-anak di sekililing kita. Ah, Biauw Eng kekasihku, betapa akan bahagianya kita!"
Biauw Eng memandang wajah tampan yang matanya buta itu denga hati terharu. Pemuda ini amat rindu akan kebahagiaan, seperti juga dia! Manusia manakah di dunia ini yang tidak mencita-citakan kebahagiaan hidup? Dan apakah dia akan bahagia, menjadi isteri Lai Sek? Biauw Eng menarik napas panjang dan hatinya menjeritkan nama Keng Hong. Lai Sek memegang lengannya. "Mengapa engkau menghela napas, kekasihku?"
Biauw Eng balas memegang tangan itu. "Aku menurut saja segala kehendakmu, Koko. Bagiku, kalau engkau bahagia, aku pun ikut bahagia. Kebahagiaanku terletak pada kebahagiaanmu, Koko."
Memang, dia tidak membohong. Dia tidak mempunyai siapapun juga di dunia ini. Keng Hong seperti telah mati. Satu-satunya orang yang dekat dengannya, dekat lahir batin, hanyalah Sim Lai Sek, pemuda yang sudah mengorbankan matanya untuknya. Untuk membalas budi, satu-satunya jalan hanya membahagiakan pemuda ini, dan agaknya itulah kebahagiaanya baginya.
Mereka melakukan perjalanan seenaknya, tidak tergesa-gesa keadaan Lai Sek yang buta. Biauw Eng membeli dua ekor kudaa dan mereka menunggang kuda. Kuda yang ditunggangi pemuda itu dituntunnya. Di sepanjang jalan, Lai Sek menceritakan pengalaman dan keadaan dirinya. Dia sudah yatim piatu, dan dahulu hanya hidup berdua dengan cicinya, Sim Ciang Bi yang tewas di tangan Cui Im pula. Kini dia sebatangkara, tiada bedanya dengan Biauw Eng sendiri. Biauw Eng makin kasihan dan suka kepada pemuda ini. Apalagi ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda ini, betapapun besar rasa kasih sayangnya kepadanya, ternyata amat sopan dan tidak pernah melakukan sesuatu yang terdorong oleh nafsu berahi. Kemesraan satu-satunya dari pemuda ini terhadap dirinya hanya tercurah kepada suaranya apabila bicara dengannya, dan paling banyak hanya pada sentuhan jari tangannya kepada lengan atau pundaknya. Hal ini saja membuktikan bahwa Lai Sek benar-benar seorang pemuda yang baik, dan cintanya terhadap dirinya murni, tidak dimabuk nafsu berahi. kalau ia buat perbandingan, sungguh jauh bedanya antara Keng Hong dan Lai Sek. Keng Hong amat romantis, bahkan mendekati mata keranjang sehingga pemuda pujaannya itu mau melayani cinta berahi seperti Cui Im, bahkan, seperti yang ia dengar, telah pula melayani cinta badani cici Lai Sek dan beberapa orang wanita lain lagi. Akan tetapi, entah bagaimana, ia tidak pernah dapat melupakan Keng Hong.
Bahkan, setiap kali Lai Sek bicara dengan suara menggetar penuh cinta kasih, setiap kali jari tangan Lai Sek yang menggetar penuh perasaan mesra menyentuh tangannya, di depan matanya terbayang wajah Keng Hong!
Mereka tiba di kota Han-tiong menjelang senja, lalu bermalam di sebuah rumah penginapan. Seperti biasa, mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingaan. Karena lelah, kedua orang ini setelah makan mala lalu tidur nyenyak. Biauw Eng tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di dalam sebuah kamar penginapan lain berbaring tubuh Keng Hong. Juga ia tidak tahu betapa tak jauh dari rumah penginapan itu, tampak beberapa orang hwesio beberapa kali jalan di depan penginapan dan kini menjaga rumah penginapan itu sambil bicara bisik-bisik tentang dia!
Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Biauw Eng bersama Lai Sek meninggalkan rumah penginapan untuk melanjutkan perjalanan, lima orang hwesio tergesa-gesa berangkat pula meninggalkan kota itu dan dari jauh membayangi perjalanan dua orang muda itu. Biauw Eng dan Lai Sek melalui lembah-lembah Gunung Cin-ling-san, mencari jalan yang termudah, menuju ke kota Sian. Pemandangan di sepanjang lembah Pegunungan Cin-ling-san amatlah indahnya, akan tetapi Biauw Eng yang berhati-hati itu sama sekali tidak pernah mau bicara tentang segala keindahan itu, maklum bahwa hal ini akan menyakiti hati temannya, mengingatkan Lai Sek akan kebutaannya. Diam-diam ia merasa terharu kalau mengingat betapa pemuda itu kini tidak lagi mampu menikmati segala macam keindahan karena telah menjadi buta, buta karena dia!
Menjelang tengah hari, mereka melewati sebuah lereng yang penuh dengan hutan. Mereka berhenti untuk makan perbekalan mereka. Akan tetapi baru saja Biauw Eng membantu Lai Sek yang meloncat dari kudanya, tiba-tiba ia menarik Lai Sek ke pinggir dan diajak duduk di bawah pohon, kemudian mengikatkan kedua ekor kuda mereka pada batang pohon.
Telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda dan tak lama kemudian ia dapat melihat lima orang penunggang kuda menuju ke tempat itu dari belakang. Lai Sek juga mendengar derap kaki kuda yang sudah mendekat itu dan dia merasa bahwa Biauw Eng dalam keadaan tegang karena sejak turun, gadis itu tidak bicara sesuatu dan dia pun tidak mendengar gerakan gadis itu.
"Ada orang datang...." katanya.
"Kau duduklah saja, Koko. Syukur kalau mereka itu hanya orang-orang lewat, kalau mereka berniat jahat, bisa aku yang melayani mereka."
Hati Lai Sek tenang-tenang saja. dia percaya penuh akan kelihaian kekasihnya. Melakukan perjalanan di samping Biauw Eng, baginya jauh lebih aman dibandingkan dengan perjalanan yang dia lakukan dahulu bersama cicinya, biarpun dia belum buta. Kepandaian Biauw Eng jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian cicinya ditambah dia sendiri, beberapa kali lipat lebih tinggi! Betapapun juga, karena dia tidak akan dapat menyaksikan sendiri apa yang akan terjadi, hatinya menjadi tidak enak.
Setelah para penunggang kuda yang berjumlah lima orang itu datang dekat, Biauw Eng melihat bahwa mereka itu adalah lima orang hwesio! Hemmm, tentu ada sesuatu, pikirnya. Para hwesio tidak akan tega naik kuda kalau saja tidak ada kepentingan yang amat mendesak. Betul saja dugaannya karena setelah melihat Biauw Eng dan Lai Sek, lima orang hwesio itu menghentikan kuda mereka dan meloncat turun. Dari gerakan mereka yang sigap, tahulah Biauw Eng bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, lebih-lebih pemimpin mereka, seorang hwesio tua yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, dan bermata lebar. Hwesio tua inilah yang menegur Biauw Eng dengan suaranya yang kasar dan keras.
"Bukankah nona ini Song-bun Siu-li Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni yang dulu menjadi tawanan di Kun-lun-san?"
Biauw Eng memandang tajam, akan tetapi tidak mengenal hwesio tua berusia enam puluh tahun lebih dan empat orang hwesio lain yang usianya tidak kurang dari lima puluh tahun itu. Ia mengangguk, di dalam hatinya ia dapat menduga bahwa tentu hwesio ini hadir pula ketika Kun-lun-pai "mengadili" Keng Hong, lalu berkata tenang, "Benar seperti yang dikatakan Losuhu, aku adalah Sie Biauw Eng. Tidak tahu apakah maksud hati Losuhu berlima, agaknya menyusul dan mencariku?"
"Song-bun Siu-li, ketahuilah bahwa pinceng adalah Thian Kek Hwesio dan ini adalah para sute pinceng. Kami adalah orang-orang dari Siauw-lim-pai yang sengaja datang untuk menemuimu. Setelah engkau tahu bahwa kai adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, tentu engkau tahu apa maksud kedatangan pinceng berlima."
Biauw Eng mengerutkan alisnya. "Aku tidak mempunyai urusan apa-apa dengan fihak Siauw-lim-pai!" dengan suara tegas ia berkata. Sungguh aku tidak tahu, ada urusan apakah maka Losuhu mencariku dan apakah kehendak Losuhu?"
Sejenak hwesio hitam itu memandang tajam, lalu berkata, "Hemmm, Song-bun Siu-li, perlu apa engkau berpura-pura lagi? Ketika berada di Kun-lun-san, engkau embela murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong, tentu engkau bersekongkol dengan dia. Kami menghendaki kebalinya kitab-kitab kami yang dicuri Sin-jiu Kiam-ong, maka dengan sendirinya engkau adalah musuh kami. Ke dua, bukankah Ang-kiam Tok-sian-li yang kini berganti julukan Ang-kiam Bu-tek itu adalah sucimu, murid dari ibumu? Nah, dia telah membunuh suheng Thian Ti Hwesio! Mau berkata apa lagi engkau?"
"Ahhh....!" Song-bun Siu-li Biauw Eng berseru karena ia benar-benar kaget mendengar betapa sucinya telah membunuh seorang tokoh Siauw li-pai. Kemudian ia menghela naps dan berkata,
"Tentang ... Murid Sin-jiu Kiam-ong, aku sama sekali tidak ada hubungan, Losuhu. Bahkan aku... Ah, aku tidak tahu dimana dia kini berada!
Aku tidak tahu tentang kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong, dan hal itu sama sekali bukanlah urusanku. Adapun mengenai urusan bekas suciku Bhe Cui Im yang kini bukan lagi menjadi suciku, aku sama sekali tidak tahu dan juga tidak ada sangkut-pautnya. Nah, Losuhu sudah mendengar semua dan sekarang apalagi yang hendak Losuhu lakukan?"
"Omitohud....! Siapa percaya omongan puteri Lam-hai Sin-ni? Kau tanya apa yang hendak kulakukan? Pinceng dan para sute hendak membunuhmu!"
"Tidak....! Tidak boleh...!" Losuhu sekalian adalah hwesio-hwesio yang berhati mulia, mengapa hendak membunuh orang yang tidak berdosa? Teecu juga hadir dalam persidangan di Kun-lun-pai itu dan teecu yakin bahwa nona Sie Biauw Eng tidak berdosa sama sekali!"
Lima pasang mata memandang kepada Lai Sek yang sudah bangkit berdiri dan tadi bicara penuh semangat itu. Thian Kek Hwesio memandang tajam dan mengingat -ingat, akan tetapi dia tidak mengenal siapa adanya peuda buta ini, juga tidak ingat bahwa dahulu dala persidangan itu terdapat seorang buta.
"Engkau siapakah?" tanya hwesio itu dengan suara keren.
"Teecu adalah Sim Lai Sek, murid Hoa-san-pai yang pada waktu itu hadir pula bersama kedua supek Hoa-san Siang -sin-kiam!"
"Omitohud...!" Engkau adik murid wanita Hoa-san-pai yang diperkosa murid Sin-jiu Kiam-ong? Dan kini engkau bersahabat dengan wanita ini? Matamu menjadi buta, tentu dibutakan olehnya!"
"Tidak, tidak.... harap Locianpwe jangan salah menuduh. Nona Sie Biauw Eng ini sama sekali tidak berdosa. Semua pembunuhan itu dilakukan oleg Ang-kiam Tok-sian-li yang mendurhakai gurunya, bahkan... Lam-hai Sin-ni sendiri dibunuhnya...."
"Koko, diamlah, jangan ikut campur!" Biauw Eng membentak . Gadis ini sementara dahulu memiliki kekerasan hati. Ia tidak takut menghadapi ancaman para hwesio Siauw-lim-pai ini, juga ia tidak senang kalau kematian ibunya diketahui orang lain,
Apalagi kalau kematian itu disebabkan tangan sucinya sendiri, murid ibunya! Hal ini adalah urusan dalam, urusan antara diam dan Cui Im, dan tidak perlu diketahui orang lain.
"Losuhu, pendeknya, aku tidak mempunyai urusan sedikit pun dengan Siauw-lim-pai, dan kalau Losuhu tidak percaya omonganku, terserah, Losuhu sekalian mau apa. Aku tidak takut!"
"Omitohud... Siapa dapat percaya omonganmu?" seru Thian Kek Hwesio.
"Suheng, terpaksa kita harus melanggar pantangan membunuh." Seorang di antara empat orang sute Thian Kek Hwesio itu berseru sambil mencabut toya yang tadinya terselip di pinggangnya. Tiga orang hwesio lainnya juga sudah mencabut toya mereka dan mengurung Biauw Eng.
"Song-bun Siu-li, karena orang seperti engkau ini hanya mengotorkan dunia dan membahayakan keselamatan hidup manusia lain, terpaksa pinceng berlima harus turun tangan membasmi dari muka bumi!" Sambil berkata demikian, Thian Kek Hwesio sudah membuka bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Hwesio ini memang terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya sendiri!
"Para Losuhu tunggu dulu...!" Sim Lai Sek yang buta itu menggerak-gerakan kedua tangannya ke atas dengan muka penuh kegelisahan!" Nona Sie Biauw Eng tidak bersalah apa-apa! Dia bukan orang jahat, sebaliknya, dia seorang yang paling mulia di dunia ini.., harap jangan membunuh dia....!"
"Omitohud.... orang yang sudah terancun cinta, bukan hanya buta mata juga buta hatinya...." kata seorang di antara para hwesio itu sambil menggeleng-geleng kepala karena kasihan.
"Koko, kau duduklah ! Aku tidak takut kepada hwesio-hwesio ini!" Biauw Eng berseru, hatinya panas melihat sikap Lai Sek yang seolah-olah merendahkan dia karena pemuda itu takut. "Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, majulah!" Ia menantang sambil meloloskan sabuk suteranya dan siap menghadapi para pengeroyokan para lawan itu.
Thian Kek Hwesio berseru keras dan jubah di tangannya sudah menyambar dengan kekuatan yang hebat. Angin kekuatan jubah ini saja sudah membuat pakaian dan rambut Biauw Eng berkibar seperti tertiup angin besar. Biauw Eng maklum bahwa hwesio tinggi besar berkulit hitam ini amat lihai, maka cepat ia mengejek ke kiri dan menggerakkan ujung sabuknya membalas dengan totokan ke arah jalan darah di dada Thian Kek Hwesio. Akan tetapi dua batang toya telah menangkisnya dari kanan kiri sehingga ujung sabuknya membalik. Ternyata tangkisan dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu juga mengandung tenaga yang dahsyat. Pada detik selanjutnya, dua buah toya lagi menyambar, yang sebuah menyerampang kaki, yang sebuah lagi mengemplang kepala! Biauw Eng terkejut, cepat mengelak sambil meloncat mundur agar tinggi, sabuknya diputar di depan tubuh mengancam lawan.
Thian Kek Hwesio adalah seorang tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya hebat, tenaganya pun dahsyat sekali. Adapun empat orang hwesio lainnya adalah sute-sutenya, dan sungguhpun kepandaian dan tenaga sinkang mereka tidak setinggi suheng mereka namun mereka inipun termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi ketika mereka mengeroyok Biauw Eng mereka yang maklum akan kelihaian gadis itu, telah menggunakan gerakan - gerakan teratur dari Lo-han-tin (Barisan Kakek Gagah) sehingga mereka itu bergerak saling bantu, seolah-olah lima orang lihai itu dikendalikan oleh sebuah pikiran dan perasaan.
Biauw Eng terdesak hebat. Terpaksa gadis ini mengerahkan semua kepandaiannya untuk menjaga diri. Ia terus terdesak hebat. Menurut penilaiannya, kalau ia melawan mereka seorang demi seorang, biar Thian Kek Hwesio sendiri tidak akan dapat mengalahkannya.
Akan tetapi pengeroyokan mereka benar-benar amat teratur sehingga ia tidak mampu menekan seorang saja untuk erobohkan ereka seorang demi seorang. Gadis itu kini memutar sabuk suteranya dengan memegang senjata itu bagian tengah sehingga kedua ujung sabuk menyambar-nyambar dan ujungnya berubah menjadi banyak saking cepatnya gerakannya. Kalau hanya mengandalkan senjatanya untuk menangkis hujan serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia pun mengerahkan ginkangnya yang luar biasa untuk berloncatan kesana ke mari, mengelak dan menangkis. Gerakan Biauw Eng amat ringannya, pakaian dan sabuknya yang putih berkibar-kibar dan dia laksana seeokor kupu-kupu bersayap putih yang dikejar-kejar hendak ditangkap oleh lima orang anak-anak. Biauw Eng maklum bahwa kalau dia terus mempertahankan diri dengan mengelak dan menangkis, akhirnya dia tentu takkan kuat bertahan dan akan tewas di tangan lima orang hwesio yang lihai ini. Juga ia mulai merasa penasaran dan marah sekali, maka ia mengambil keputusan untuk berlaku nekat. Setidaknya ia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka. Kalau dia harus mati, dia harus dapat membunuh sedikitnya seorang di antara mereka.
Tiba-tiba jubah di tangan Thian Kek Hwesio menyambar ke arah pahanya, membabat dari kanan ke kiri. Biauw Eng melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Selain tubuhnya mencelat ke atas, sebatang toya menusuk ke arah perutnya dan dua toya menghantamnya dari kanan! Cepat ia menggunakan sehelai ujung sabuknya membelit toya dari depan, terus menggunakan sinkangnya secara tiba-tiba menarik toya itu ke kanan sehingga toya itu menangkis dua toya dari kanan. Pada detik itu, sebatang toya lagi menyambar dari kiri, pada saat kakinya sudah turun ke tanah. Inilah kesempatannya, pikirnya. Ia menggunakan tangan kiri meraih toya itu sambil menggerakkan tubuhnya miring, toya itu ia betot sehingga hwesio yang memegang toya tertarik ke depan, sebelah ujung sabuknya menyambar dan menotok pundak hwesio itu yang seketika menjadi lemas sambil mengeluarkan rintihan perlahan.
Akan tetapi pada detik itu pula, amat cepat datangnya, jubah di tangan Thian Kek Hwesio sudah datang menghantam kepalanya! Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak bagi Biauw Eng, juga untuk menangkis dengan sabuk jaraknya sudah terlampau dekat. Terpaksa ia mengerahkan sinkang ke lengan kanannya dan menangkis jubah itu dengan lengannya. Kalau jubah itu mengandung saluran sinkang menjadi kaku, tentu akan tertangkis menjadi lemas dan biarpun sudah tertangkis, ujungnya masih meliuk ke belakang dan ujung yang mengandung punggung Biauw Eng dengan kuatnya.
Biauw Eng mengeluh dan cepat meloncat ke belakang, masih sempat mengebutkan sabuknya ke depan dibarengi tangan kirinya yang mengeluarkan senjata rahasianya untuk kode bunga bwee sebanyak tiga buah yang menyambar ke arah kedua mata Thian Kek Hwesio dan ulu hatinya! Namun hwesio ini mendengus dan mengebutkan jubahnya sehingga tiga buah senjata itu runtuh semua.
Thian Kek Hwesio menghampiri sutenya yang kena ditotok oleh sabuk sutera gadis itu, lalu menotok punggung dan pundak sutenya. Dalam waktu singkat saja hwesio itu sudah sembuh kembali, sedangkan Biauw eng pun telah dapat mengembalikan tenaganya sungguhpun ia merasa betapa dadanya sesak, tanda bahwa ia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya sebagai akibat hantaman ujung sabuk pada punggungnya tadi. Akan tetapi luka di dalam dada itu tidak dirasakanya, malah menambah kemarahannya sehingga ia menerjang maju sambil berseru keras.
"Haaaiiiiiitttt!" Sabuk sutera berubah menjadi sinar putih dibarengi meluncurnya senjata rahasia bola putih berduri yang menyambar ke arah lima orang penggeroyoknya. Akan tetapi, kelima orang hwesio itu sudah siap dan dapat mengelak atau menangkis, juga sambil melompat mundur menghindarkan diri dari ancaman sabuk sutera yang menjadi sinar putih panjang.
Thian Kek Hwesio yang berpemandangan tajam itu dapat mengetahui bahwa lawan lihai itu terluka dan bahwa gerakan-gerakan Biauw Eng adalah gerakan orang nekat yang hendak mengadu nyawa, maka dia memberi aba-aba kepada para sutenya untuk bersikap waspada dan kini mereka mengurung dengan sikap tenang namun dengan pertahanan yang amat kuat. Biauw Eng biarpun lihai, namun kalah pengalaman. Gadis ini terpengaruh oleh nafsu marah dan terus mengamuk seperti harimau terluka. Namun semua serangannya gagal semua, bahkan semua persediaan senjata rahasianya habis, dilemparkan ke arah para lawannya. Setelah semua senjata rahasianya habis, ia mengamuk dengan sabuk suteranya yang merupakan tangan-tangan maut menyambar nyawa lawan. Namun karena para hwesio itu sudah bersiap siaga, semua serangannya dapat tertangkap dan dielakkan. Mereka kini mengurung makin rapat, tidak tergesa-gesa membalas serangan karena Thian Kek Hwesio maklum bahwa kalau tenaga gadis itu sudah melemah atau hampir habis, tidak akan sukar lagi dia dan sutenya untuk merobohkan lawan yang amat lihai ini.
Sim Lai Sek yang bermata buta berdiri dengan tubuh kejang kaku, kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, jari-jari tangannya bergerak-gerak, kadang-kadang mengepal kadang-kadang terbuka mencengkeram saking tegangnya hatinya. Ia menyesal sekali dan baru sekarang dia merasa menyesal akan kebutaan matanya karena dia tidak dapat melihat jalannya pertepuran atau lebih melihat jalannya pertempuran atau lebih tepat lagi, dia tidak dapat melihat bagaimana keadaan kekasihnya yang dikeroyok oleh lima orang hwesio yang dia tahu tentu amat kosen itu. Bagi dia yang hanya dapat mendengarkan jalannya pertempuran itu, terasa bukan main lamanya dan ketegangan hatinya akin memuncak, apalagi ketika dia mendengar kekasihnya mengeluh lirih.
Tepat seperti perhitungan Thian Kek Hwesio, makin lama Biauw Eng makin menjadi lemah dan tenaganya berkurang. Wajah gadis yang tadinya merah saking marahnya, kini menjadi pucat dan leher gadis itu basah oleh peluhnya. Sambaran sabuknya tidak sekuat tadi lagi, dan sinar putih dari sabuknya biarpun masih menyambar-nyambar naun tidak sepanjang tadi. Mulailah Thian Kek Hwesio membalas dengan serangan-serangan yang amat kuat. Serangan hwesio ini merupakan pertanda bagi par sutenya untuk turun tangan menyerang. Serangan mereka tidak bertubi-tubi terlalu cepat seperti tadi, melainkan secara bergiliran. Akan tetapi karena setiap serangan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, maka tentu saja Biauw Eng menjadi sibuk sekali. Sekali kali menangkis dengan sabuknya, ia merasa telapak tangannya tergetar. Kedua telapak tangannya sudah berkeringat dan hal ini membuat sabuk yang dipegangnya menjadi licin sekali sehingga setiap kali ia melibat ujung toya lawan dan hendak membetotnya, sabuknya malah terbawa dan kalau ia tidak melepaskan libatannya, tentu bukan senjata lawan yang terampas, malah senjatanya sensiri yang akan terampas lawan!
Kini bagi lima orang hwesio itu, tinggal tunggu waktu tidak lama lagi untuk dapat merobohkan Biauw Eng. Akan tetapi, mereka adalah hwesio-hwesio yang memiliki watak gagah dan welas asih. Mereka tidak ingin menyiksa gadis itu, melainkan hendak merobohkan dengan sekali pukul agar dapat terus menewaskannya. Pula, mereka terpaksa melakukan pengeroyokan karena mereka melakukan pengeroyokan karena mereka maklum bahwa kalau maju satu-satu, mereka tentu kalah. Dalam pandangan mereka, Biauw Eng sama jahatnya dengan ibunya yang menjadi datuk hitam, sama jahatnya dengan Cui Im yang membunuh Thian Ti Hwesio, maka bagi mereka yang juga menjadi orang-orang gagah, adalah merupakan "kewajiban" untuk mengenyahkan tokoh sejahat ini dari muka bumi!
Karena Biauw Eng tak pernah mengeluh, dan karena senjata yang dipergunakan gadis ini adalah senjata lemas sehingga tidak pernah terdengar beradunya senjata keras, maka Lai Sek mendengarkan gerakan kaki dan angin gerakan tubuh dan senjata mereka, sama sekali tidak tahu betapa keadaan wanita yang dikasihinya itu terancam bahaya maut.
Pada saat yang amat kritis bagi Biauw Eng itu, tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan sambaran angin dahsyat yang aat luar biasa ebuat lia orang hwesio itu melompat mundur. Tahu-tahu seperti datangnya setan saja, di tengah-tengah tempat itu telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sederhana. Melihat pemuda ini, mata Biauw Eng terbelalak, mukanya yang sudah pucat menjadi makin pucat, napasnya yang biarpun tadi telah sesak akan tetapi masih bisa, kini menjadi terengah-engah dan hidungnya kembang-kempis, bibirnya yang pucat itu bergerak meneriakkan sesuatu yang tak ada suaranya. Mulutnya jelas menjerit "Keng Hong" akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya itu.
Pemuda itu memang Keng Hong. Dia pun datang dari kota Han-tiong dan tadinya dia berniat untuk menuju ke selatan dari kota ini mengambil jalan sungai, yaitu menurut sepanjang Sungai Han-sui, akan tetapi melihat Cin-ling-san dari jauh, tiba-tiba saja timbul keinginan hatinya untuk mendaki pegunungan itu. Ketika dia tiba di dalam hutan di lerang itu, dari sebuah puncak dia melihat pertempuran. Hatinya tertarik dan dia cepat berlari menghampiri dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girang hatinya ketika melihat bahwa gadis yang dikeroyok oleh lima orang hwesio itu bukan lain adalah Biauw Eng, gadis idaman hatinya yang selama ini selalu dikenangnya dengan hati sedih. Ia hanya memandang heran sebentar saja kepada pemuda buta yang berdiri gelisah di bawah pohon. Begitu melihat betapa Biauw Eng terdesak dan terhimpit, keadaannya berbahaya bukan main, dia cepat menerjang maju, menggunkan kedua tangannya mendorong dengan kekuatan sinkang sehingga lima orang hwesio yang mengeroyok gadis itu berlompatan ke belakang.
Keng Hong menahan keharuan hatinya bertemu dengan gadis itu, dan kini dia menghadapi para hwesio dengan sikap hormat, menjura dan berkata halus, "Maafkan kalau saya berani lancang tangan mencampuri urusan ini, Ngo-wi Lo-suhu. Akan tetapi, bukankah segala urusan dapat diselesaikan dengan cara dingin dan damai? Perlukah sesama manusia saling serang dan berbunuh-bunuhan? Losuhu sekalian yang bijaksana tentu maklum bahwa tidak ada kesalahan yang sedemikian besarnya sehingga yang bersalah perlu dibinasakan."
Thian Kek Hwesio dan para sutenya memandang dengan mata terbelalak, kalau tadi mereka kaget menyaksikan tenaga sinkang pemuda yang menengahi ucapan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Thian Kek Hwesio berseru, "Haiiiii! Bukankah engkau bocah murid Sin-jiu Kiam-ong?"
Keng Hong mengangkat muka memandang Thian Kek Hwesio penuh perhatian. Baru sekarang dia teringat. Ia adalah seorang di antara dua orang hwesio yang memusuhi gurunya, bahkan hadir pula ketika dia diadili di Kun-lun-san! Cepat dia menjura dengan hormat dan berkata,
"Ah, kiranya Locianpwe dari Siauw-li-pai yang berada di sini? Maaf, maaf....! Benar Locianpwe, saya adalah Cia Keng Hong, murid suhu Sin-jiu Kiam-ong. Nona ini adalah nona Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni dan...."
"Yang dulu kau tuduh sejahat-jahatnya dan telah membunuh banyak orang bukan? Mengapa sekarang kau membelanya?"
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. "Ah, maaf, Locinpwe. Dahulu saya adalah seorang yang sebodoh-bodohnya, tidak dapat membedakan mana yang benar mana yang salah, tidak dapat membedakan mana yang suci mana yang kotor! Sekarang baru terbuka mata saya bahwa nona Sie Biauw Eng adalah seorang gadis yang tidak berdosa. Saya berani menanggungnya, aka harap Locianpwe sudi memaafkan apabila dia bersalah."
"Omitohud....! Kalau ada yang lebih aneh dari ini, benar-benar pinceng masih kurang pengalaman! Gadis yang kaubela ini jahat, ibunya datuk hitam, dan sucinya... ... Si iblis betina itu telah membunuh suteku, Thian Ti Hwesio. Kalau ibunya seperti itu, sucinya seperti itu mana bisa diharapkan dia ini seorang yang baik? Suci murni katamu! Heh, Cia Keng Hong, dia harus mati di tangan kami yang selain bertugas menyebarkan ajaran tentang mencari kebenaran, juga bertugas membasmi segala kejahatan sampai ke akar-akarnya! Dan engkau sendiri, kalau engkau tidak bisa mengembalikan kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri suhumu, engkau pun harus pula dibasmi. Kami tidak berhasil membunuh Sin-jiu Kiam-ong yang jahat, kini kami dapat membunuh muridnya, hal itu sudah cukup baik!" suara Thian Kek Hwesio terdengar keren dan berwibawa.
Keng Hong tersenyum sabar biarpun hatinya merasa penasaran sekali. "Locianpwe, bukankah ajaran yang Locianpwe sebarkan adalah pelajaran yang berdasarkan kasih yang luas? Cinta kasih barulah murni kalau diberikan tanpa dikehendaki balasan, tanpa pamrih. Contohnya, adalah cinta kasih dari Tuhan sehingga diberikannya hawa untuk kita isap, diberikannya sinar matahari untuk menghidupkan kita. Demikian suci murni cinta kasih Tuhan sehingga siapapun juga manusia maupun binatang, manusia yang disebut baik maupun yang jahat, yang berdosa maupun yang tidak, dapat mengecap kenikmatannya daripada cinta kasihNya. Adakah matahari kehilangan sinarnya kalau menimpa tubuh orang-orang berdosa dan dianggap jahat? Adakah hawa menjadi berkurang manfaatnya kalau terisap oleh manusia yang dianggap berdosa? Locianpwe, kalau Locianpwe menyebarkan pelajaran berdasarkan cinta kasih yang sejati, mengapa cinta kasih itu luntur menjadi berubah kebencian dan nafsu membunuh setelah Locinpwe bertemu dengan orang-orang seperti nona Sie Biauw Eng dan saya?"
Sejenak lima orang hwesio itu tercengang, akan tetapi kemudian Thian Kek Hwesio menjadi marah sekali. Ia melompat ke depan dan membentak,
"Bocah! Kau tahu apa tentang kasih Tuhan dan kasih manusia? Kalau ada manusia jahat, kita mengenyahkannya bukan karena kita membencinya, melainkan karena kita mengingat akan manusia-manusia lain yang terancam keselamatannya oleh si jahat itu, sehingga kita membunuh si jahat justeru berdasarkan cinta kasih kita kepada manusia!"
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba Keng Hong tak dapat menahan dorongan hatinya dan dia tertawa bergelak. Lima orang hwesio itu kaget dan memandangnya dengan mata terbelalak.
"Sungguh amat lucu alasan yang kaukemukakan itu, Locianpwe! Aku tidak percaya bahwa dalam pelajaran sebuah agama terdapat pendirian seperti itu! Wewenang apakah yang ada dirimu maka Locianpwe boleh memutuskan siapa yang jahat dan siapa yang harus mati? Dari siapakah Locinpwe mendapatkan wewenang untuk membunuh dengan alasan demi untuk kasih. Mana mungkin menegakkan kasih dengan pembunuhan? Betapa palsunya! Betapa lucu dan menjemukan manusia yang mempergunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi, mencapai kemuliaan duniawi. Betapa munafiknya manusia yang bahkan memaksa Tuhan agar bersekutu dengannya demi tercapainya nafsu pribadi. Ah, ha-ha-ha, benar ucapan suhu dahulu bahwa dunia ini merupakan panggung dan para manusia ini tiada lain hanyalah sekumpulan badut-badut yang menggelikan akan tetapi juga menjemukan, sekumpulan badut yang sebagian besar memakai topeng-topeng menutupi muka mereka. Ngo-wi Locianpwe, apakah Ngo-wi memakai topeng jubah pendeta dan kepala tanpa rabut? Ha-ha-ha!"
Tiba-tiba, Keng Hong berhenti terbawa dan baru sadarlah dia betapa dia telah tertawa dan bicara seolah-olah di luar kesadarannya.
Rasa girang yang luar biasa sekali ketika Biauw Eng dalam keadaan selamat dan sehat membuat hatinya ringan dan dadanya lapang, dan sifatnya yang gembira seperti dulu kumat kembali. Dia sama sekali bukan bermaksud menghina para hwesio itu, melainkan bicara sesungguhnya seperti yang keluar dari hatinya karena memang dia merasa penasaran dan geli hatinya mendengar alasan yang dikemukakan Thian Kek Hwesio yang ingin membunuh Biauw Eng dan dia sendiri.
Thian Kek Hwesio menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Keng Hong lalu membentak, "Bocah! Kiranya engkau malah lebih menyeleweng dan lebih jahat daripada gurumu senadiri! Engkau sudah patut dihukum mati agar rohmu dihukum dalam neraka tingkat paling rendah! Jangan mengira bahwa pinceng tukang membunuh dan suka membunuh! Akan tetapi, kalau dapat pinceng umpamakan, perempuan itu dan engkau adalah dua ekor ular yang berbisa dan berbahaya sekali bagi keselamatan umum. Demi untuk mengamankan manusia-manusia lain, pinceng berlima berusaha untuk membunuh dua ekor ular itu! Nah, kau bersiaplah, bocah yang sombong dan jahat, yang berani menghina agama!"
Thian Kek Hwesio yang sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya, menerjang maju dengan senjata jubahnya, dihantamkannya jubah itu ke arah kepala Keng Hong. Empat orang sutenya juga sudah mengurungnya dengan toya melintang di depan dada.
Sambaran jubah itu dengan mudah dapat dielakkan oleh Keng Hong, akan tetapi ketika empat batang toya menyambar dari berbagai jurusan, pemuda ini menggerakkan kedua tangannya menangkis toya-toya itu dengan lengan.
"Plak-plak-plak-plak-plak-plak!"
Empat orang hwesio itu terkejut dan melompat ke belakang. Toya mereka tadi membalik dan telapak tangan mereka terasa panas dan pedas, hampir saja mereka melepaskan toya mereka.
"Locianpwe sekalian adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan hendak mempergunakan kepandaian untuk membunuh orang. Akan tetapi aku pun memiliki kepandaian yang hendak ku pergunakan untuk membela diri! Dan hendaknya di ingat bahwa aku bukanlah seorang lemah yang mudah saja dibunuh. Aku telah mempelajari ilmu-ilmu yang kiranya akan dapat mengatasi kepandaian Ngo-wi membatalkan niat buruk hendak membunuh orang dan kembali ke Siauw-liam-si, bertapa dan berdoa bagi keselamatan dan perdamaian di dunia."
Ucapan Keng Hong ini sungguh-sungguh, akan tetapi oleh kelima orang hwesio itu dianggap sebagai sindiran dan penghinaan. Thian Kek Hwesio berseru panjang dan menerjang lagi, diikuti empat orang sutenya yang merasa penasaran. Serangan mereka hebat sekali, datang bagaikan angin taufan mengamuk.
Sekali lagi Keng Hong menggerakkan kedua tangannya menangkis sambil memutar tubuh sehingga kedua lengannya merupakan sepasang toya dan sekaligus menangkis empat toya dan sebuah jubah yang menghantamnya. Kembali lima orang lawannya terpental ke belakang sambil berteriak kaget.
Kini Keng Hong bertolak pinggang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh, matanya bersinar-sinar dan keningnya berkerut, "Losuhu, aku mengerti bahwa mendiang guruku berhutang dua buah kitab kepada Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab Seng-to-ci-keng dan I-kiong-hoan-hiat. Dan kuberitahukan kepada Losuhu bahwa kedua buah kitab itu telah dicuri orang. Akan tetapi aku bersumpah demi roh suhuku bahwa aku akan mencari pencuri itu, akan merampas kembali kedua buah kitab dan akan kuantarkan kembali ke Siauw-lim-si disertai maafku terhadap Siauw-lim-pai atas perbuatan suhu. Nah, kuharap Ngo-wi dapat mengerti dan suka menghabiskan pertandingan yang tidak ada manfaatnya ini."
"Siapa percaya ocehanmu?" Thian Kek Hwesio menyerang lagi, dan empat orang sutenya juga menerjang maju, kini menggunakan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan seluruh tenaga sinkang dalam menggerakkan senjata mereka.
Tiba-tiba tubuh Keng Hong berkelebat, sedetik lenyap dari pandang mata lima orang penggeroyoknya saking cepatnya dan pada detik-detik berikutnya, terdengar seruan-seruan kaget Thian Kek Hwesio dan empat orang sutenya karena tiba-tiba saja ke dua lengan mereka menjadi lemas dan senjata-senjata mereka terampas dari tangan mereka. Ketika mereka membalik dan memandang, ternyata sebuah jubah dan empat batang toya itu kini telah berada di tangan pemuda itu!
"Sudah jelas bahwa Ngowi Losuhu tidak dapat menandingi aku, dan sudah kunyatakan dengan sumpah bahwa aku akan mencari dua buah kitab itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-pai, mengapa Ngo-wi masih berkeras saja? Beginikah sikap orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang terkenal di seluruh dunia?" Keng Hong berkata dan sekali tangannya bergerak, jubah dan empat batang toya itu melayang kepada pemilik masing-masing. Lima orang hwesio itu cepat menyambar senjata mereka dan Thian Kek Hwesio yang menyambut jubahnya terhuyung dua langkah, sedangkan empat orang sutenya terhuyung-huyung sampai lima langkah ketika menyambut toya masing-masing.
Diam-diam Thian Kek Hwesio terkejut dan kagum bukan main. Pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini setelah lenyap di puncak Kiam-kok-san, kini telah menjadi seorang yang amat lihai, dan menurut penilaiannya biarpun hanya bertanding dua gebrakan saja, pemuda ini malah lebih lihai daripada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Maka dia lalu menjura dan berkata,
"Pinceng berlima tidak buta, dapat melihat lawan yang jauh lebih pandai. Pinceng mengaku kalah dan hendak melaporkan semua ini kepada ketua Siauw-lim-pai. Namun hendaknya kauketahui orang muda, bahwa Siauw-li-pai bukan perkumpulan yang boleh kaupermainkan begitu saja. Kalau kelak engkau tidak memenuhi janjimu, akhirnya sudah dapat dipastikan bahwa engkau akan tewas di tangan kami!" Setelah berkata demikian, Thian Kek Hwesio mengenakan jubah yang tadi dia pakai sebagai senjata, kemudian menghampiri kuda dan meloncat ke punggung kuda, pergi meninggalkan tempat itu diikuti empat orang sutenya yang juga sudah menunggang kuda masing-masing. Derap kaki kuda terdengar makin menjauh dan setelah bayangan mereka lenyap, barulah Keng Hong membalikkan tubuhnya, memandang Biauw Eng.
Biauw Eng semenjak tadi berdiri seperti kena pesona, tidak bergerak-gerak hanya memandang Keng Hong ketika pemuda ini menghadapi lima orang hwesio Siauw-lim-pai, lupa akan keadaan, lupa kepada Lai Sek yang juga berdiri dan agak miringkan kepala untuk dapat mendengar lebih seksama, dan keningnya berkerut ketika dia mengerahui bahwa yang datang adalah Cia Keng Hong, musuh besarnya, orang yang dia anggap telah membunuh cicinya! Terbayanglah dia betapa ketika dia terbangun dari tidur dahulu, dia melihat cicinya berada dalam pelukan Keng Hong, bermain cinta dengan pemuda ini, dan kemudian betapa cicinya tewa dalam pelukan pemuda ini pula. Teringat akan hal ini, kebenciannya terhadap Keng Hong makin mendalam. Akan tetapi karena Keng Gong mengahadapi lima orang hwesio itu dan membela Biauw Eng, tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa, hanya mendengarkan penuh perhatian.
Keng Hong yang memandang Biauw Eng, tak terasa melangkah maju sehingga dia berdiri berhadapan dengan gadis itu, hanya terpisah tiga empat langkah lagi. Sejenak mereka saling berpandangan, dan hati Keng Hong penuh keharuan melihat gadis yang kini makin cantik jelita dalam pandangan matanya, agak kurus dan layu, seolah-olah kehilangan semangat hidup. Akan tetapi manik mata yang jeli itu kini memancarkan sinar kegairahan dan kebahagiaan ketika memandangnya.
"Biauw Eng....!" Keng Hong berbisik penuh ragu, penuh harap dan penuh permohonan maaf. Kalau dia teringat akan sikapnya terhadap gadis ini di puncak Kun-lun, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan ingin dia menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu untuk minta ampun. "Biauw Eng.... Kau .... Kaumaafkan aku....??" Ucapan ini lirih dan menggetar.
"Keng Hong....!" Biauw Eng juga menyebut nama yang selama ini terukir di hatinya. Hatinya menjeritkan nama ini akan tetapi bibirnya hanya berbisik lirih. Getaran hatinya membuat kedua lengannya terulur, seolah-olah ia hendak menyambut mustika yang selama ini hilang dan kini muncul kembali. Akan tetapi kedua lengannya itu lemas kembali. Kedua matanya menjadi basah ketika mulutnya melanjutkan bisikan, "... Syukurlah...engkau.... engkau.... masih hidup...."
Melihat betapa kini dua butir air mata seperti butiran-butiran mutiara menitik turun dari balik bulu mata itu, kaki Keng Hong menggigil. Biauw Eng menangis? Gadis yang terkenal berdarah dingin, yang dijuluki Si Cantik Berkabung, yang berhati dingin seperti salju dan keras seperti baja, kini menitikkan air mata? Ah, tentu sakit rasa hati gadis ini teringat akan segala fitnah keji yang dia lontarkan dahulu itu di puncak Kun-lun-san! Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri berlutut sambil melangkah maju sehingga dia berlutut dekat sekali di depan kaki Biauw Eng.
"Maafkan aku.... Ampunkan aku, Biauw Eng ..... aku .... Aku mengaku bersalah kepadamu, Sudikah engkau memaafkan aku.....?"
"Jangan.... jangan berlutut, Keng Hong. Ah, Keng Hong..... Keng Hong....." Tubuh gadis itu terhuyung hendak roboh. Keng Hong meloncat bangun dan cepat memeluk tubuh gadis itu. Biauw Eng terisak, merapatkan mukanya di dada orang yang semenjak dahulu dicintanya sepenuh hatinya ini. Diantara isaknya ia hanya dapat berbisik, "Keng Hong..... Keng Hong.....!" Seolah-olah bisikan itu merupakan jeritan hatinya yang penuh rindu dan duka. Ketika merasa betapa tubuh yang lemas itu menggetar dalam pelukannya, betapa dadanya terasa basah hangat oleh air mata yang menyerap masuk menembus bajunya, Keng Hong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia menggunakan kedua lengannya mendekap kepala dan muka itu dengan erat, seolah-olah ia hendak memasukkan kepala itu ke dalam dadanya, dan dua butir air mata membasahi bulu matanya dan akhirnya menitik turun ke atas pipinya.
"Biauw Eng, betapa besar dosaku kepadamu. Betapa kejinya perbuatanku terhadapmu. Engkau telah menolongku berkali-kali dan aku membalasnya dengan lontaran fitnah keji yang tak tahu malu. Betapa bodohnya aku..."
"Keng Hong... Keng Hong.....!" Biauw Eng terisak, hanya mampu memanggil nama yang dicintanya dan dirindukannya ini berkali-kali, kedua lengannya memeluk dan melingkari pinggang Keng Hong, didekapnya erat-erat seolah-olah ia takut kalau akan terpisah dan kehilangan pemuda ini lagi.
"Biauw Eng, maafkanlah aku akan segala kesalahanku dahulu. Aku dahulu seperti gila, seperti buta kedua mataku..."
Tiba-tiba Biauw Eng merenggutkan dirinya, terlepas dari pelukan Keng Hong, wajahnya pucat dan matanya terbelalak mencari Lai Sek. Ketika melihat pemuda itu masih berdiri seperti patung di bawah pohon, ia lalu meloncat lari menghampiri dan berseru. "Sim-koko.. ah, Koko....!" Gadis yang mendengar Keng Hong mengatakan matanya seperti buta itu teringat akan Lai Sek dan kini ia menangis di pundak pemuda buta itu, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Keng Hong seperti sadar dari sebuah mimpi. Kini dia memandang pemuda buta yang tadi dia lupakan. Mendengar Biauw Eng menyebut she pemuda itu, dan setelah dia memandang penuh perhatian, dengan hati yang tidak karuan rasanya, teringatlah dia bahwa pemuda itu adalah Sim Lai Sek, adik kandung mendiang Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai yang pernah berenang di lautan cinta bersamanya dan bahkan kemudian tewas dalam pelukannya karena senjata rahasia milik Biauw Eng yang dilepaskan oleh Cui Im.
"Engkau Sim Lai Sek....!"
"Bagus kalau engkau masih mengenalku, Cia Keng Hong manusia rendah budi, berwatak hina dan pengecut!" Sim Lai Sek melepaskan rangkulan Biauw Eng dan penuh amarah berjalan maju.
Akan tetapi kakinya tersandung akar pohon dan tubhnya terguling. Cepat Biauw Eng menyambar lengannya sehingga pemuda buta ini tidak sampai hatuh, kemudian Lai Sek menudingkan telunjuknya kearah Keng Hong sambil berkata dengan sura nyaring penuh kebencian.
"Cia Keng Hong manusia terkutuk! Engkau telah merayu dan membujuk ciciku, menodainya dengan cintamu yang palsu, kemudian membunuhnya! Dan engkau laki-laki pengecut ketika di puncak Kun-lun-san melemparkan fitnah kepada nona Sie Biauw Eng! Sungguh manusia tak tahu malu, sekarang masih pura-pura membelanya dan minta maaf dengan rayuan lidahmu yang bercabang seperti lidah ular...!" Saking marahnya, napas pemuda buta ini terengah-engah.
"Koko...!" Biauw Eng berseru menahan isak.
Keng Hong tersenyum pahit."Sim Lai Sek, aku telah bersalah dan engkau boleh memakiku sesukamu, akan tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak membunuh encimu!"
"Apa? Tidak membunuhnya?" Pemuda itu saking marahnya melangkah maju lagi tiga tindak dan telunjuknya menuding. "Engkau tidak membunuhnya dengan tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu! Tanganmu tidak berlumur darah enciku, akan tetapi hatimu berlepotan darahnya! Kalau engkau tidak membujuknya, tidak menodainya, apakah perempuan iblis Bhe Cui Im yang menjadi kekasihmu itu akan turun tangan membunuhnya karena cemburu? Karena engkaulah enciku mati! Engkau yang membunuhnya! Engkau....!"
Menghadapi pemuda buta yang menudingnya dan mengucapkan kata-kata keras itu. Keng Hong menjadi pucat mukanya dan melangkah mundur dua tindak. Ia merasa jantungnya seperti ditusuk karena tuduhan itu sama benar dengan rasa penyesalan hatinya. Secara tidak langsung dia telah membunuh Sim Ciang Bi dan gadis-gadis lainnya karena dialah yang menjadi sebab kematian mereka. Ia melirik ke arah Biauw Eng yang memandangnya dengan air mata bercucuran.
"Terserah kepadamu, Sim Lai Sek. Aku tidak akan membantah. Biauw Eng aku tahu bahwa engkau cinta kepadaku, seperti yang kaukatakan di depan ibumu, di depan banyak orang di Kun-lun-san. Dahulu aku seperti buta, lebih buta dari pemuda gagah ini, buta oleh nafsu tetapi sekarang terbuka mata hatiku dan aku tahu pula dengan penuh keyakinan bahwa aku mencintamu, Biauw Eng...."
"Keparat jahanam!" Lai Sek meloncat maju dan memasang kuda-kuda pembukaan ilmu silat Hoa-san-pai. "Setelah membujuk dan membunuh enciku, kini engkau hendak membujuk Biauw Eng? Tidak boleh! Engkau harus membunuh aku lebih dulu. Hayo, kita sama-sama jantan dan biarpun aku buta, aku siap mempertaruhkan nyawaku mempertahankan gadis yang kucinta, mari bertanding sampai mati Keng Hong!"
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 2, cersil terbaru Cerita Silat Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 2, Cerita Dewasa Cerita Silat Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 2, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 2
{ 2 komentar... read them below or add one }
cerita silat yang sangat luar biasa,,,, thanks
seru,, pedang kayu yang hebat....
Posting Komentar