/////
Sementara itu, Keng Hog dan Cong San sibuk mengurus mayat-mayat para tamu yang menjadi korban dan para sahabat kang-ouw yang juga tewas dalam pertandingan tadi. Setelah senja baru mereka, dibantu orang-orang kang-ouw dan penduduk di wilayah Pegunungan Cin-ling-san, menyelesaikan tugas mereka mengubur semua mayat termasuk mayat-mayat para bajak.
Jenazah nenek Tung Sun Nio dimasukan peti dan selama sehari semalam mereka mengadakan upacara sembahyang dengan penuh duka. Pada hari kedua, peti itu dikubur, diiringi tangis Yan Cu dan Biauw Eng. Setelah selesai, barulah Yan Cu teringat akan ucapan nenek Go-bi Thai-houw, maka ia menghampiri suaminya yang kelihatannya selalu bermuram sambil berkata,
"Kita harus cepat pergi ke Siauw-lim-si. Aku amat mengkhawatirkan keadaan gurumu, ketua Siauw-lim-pai."
"Hemmm.... mengapa?" Mendengar suara suaminya, Yan Cu memandang dengan heran. Suara itu demikian kaku dan dingin, sedangkan pandang mata suaminya selalu seperti hendak menghindari pertemuan secara langsung. Semenjak mereka bersembahyang sebagai suami isteri, mereka tidak memdapat kesempatan untuk banyak bicara dan berkumpul berdua saja sehingga pada saat itu dia hanya menjadi isteri dalam sebutan saja.
"Apakah yang terjadi, Sumoi?" Keng Hong yang mendengar percakapan mereka, bertanya, memandang Yan Cu dengan sinar mata penuh selidik. Juga Biauw Eng menghampiri dan memegang lengan Yan Cu sambil bertanya,
"Mengapa engkau mengkhawatirkan keadaan ketua Siauw-lim-pai?"
Dengan suara tersendat-sendat dan air mata kembali mengalir mengingat akan nasib subonya yang sebelum tewas di tangan Go-bi Thai-houw lebih dahulu harus mendengar betapa rahasia pribadinya yang tidak harum itu dibongkar oleh nenek iblis itu, yang tidak didengar oleh Cong San, Keng Hong dan Yan Cu, lalu menceritakan akan ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw.
"Pembongkaran rahasia Subo yang sudah sama kita ketahui itu didengar pula oleh lima orang hwesio Siauw-lim-pai sehingga mereka itu kelihatan marah. Mereka menghentikan pertandingan dan mendesak kepada mendiang Subo untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Subo mengaku dan.... dan para hwesio itu agaknya menjadi benci dan menyesal, sehingga mereka tidak mau membantu kami, bahkan baru turun tangan membantu mengeroyok Cui Im setelah didesak oleh Subo. Aku khawatir kalau-kalau mereka itu akan membawa perkara ini ke Siauw-lim-pai dan......."
"Ahhh! Begitukah? Pantas saja sikap mereka menjadi murung dan marah-marah kepadaku!" Cong San tiba-tiba berkata.
"Sikap mereka bagaimana, Cong San?" Keng Hong bertanya.
Cong San sejenak memandang Keng Hong dan pendekar muda yang sakti ini, seperti juga Yan Cu, melihat sesuatu yang aneh dalam pandang mata Cong San, seolah-olah pemuda itu menjadi dingin terhadapnya. Cong San membuang muka dan menggeleng kepala.
"Tidak apa-apa, hanya aku........ aku sekarang juga harus menyusul para suheng itu ke Siauw-lim-si! Aku akan berangkat sekarang!" Sambil berkata demikian, murid Siauw-lim-pai itu bangkit berdiri, membalikan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
"San-koko......!" Tiba-tiba Yan Cu meloncat bangun dan menghampiri Cong San yang membalikan lagi tubuhnya secara acuh tak acuh, "Apakah engkau tidak mengajak aku?"
"Ahhh..... maaf, kusangka kau....... akan mengabungi kematian subomu dan...... dan.....ah, aku menjadi bingung oleh urusan suhu sehingga terlupa........"
"Aku ikut bersamamu!" kata Yan Cu yang memandang suaminya dengan terheran-heran dan juga kasihan karena dia mengira bahwa suaminya benar-benar karena terlalu mengkhawatirkan keadaan gurunya dan karena pukulan batin yang terjadi akibat penyerbuan bajak-bajak itu menjadi seperti linglung!
"Marilah....." jawab Cong San, sikapnya masih dingin.
"Suheng, Biauw Eng cici, aku pergi dulu!" kata Yan Cu.
Biauw Eng dan Keng Hong hanya bisa mengangguk dan setelah mereka berdua pergi, mereka saling berpandangan dengan penuh keheranan. Keadaan di situ sunyi karena para tamu telah pulang semua, sunyi dan amat menyeramkan kalau mereka teringat akan peristiwa hebat yang terjadi dua hari yang lalu.
***
Keng Hong menjadi terharu sekali ketika memandang bayangan Yan Cu yang menghilang bersama suaminya. Ia merasa kasihan kepada sumoinya itu yang harus mengalami kedukaan hebat di saat pernikahannya. Saat yang mestinya menjadi saat yang paling mengembirakan bagi sumoinya berubah menjadi saat yang menyedihkan. Pemuda yang sudah banyak tergembleng oleh pengalaman-pengalaman pahit dalam hidupnya ini, walapun masih muda, sudah pandai menyisihkan diri pribadi ke samping dan lebih memprihatikan keadaan orang lain. Dia lupa bahwa malapetaka itu bukan hanya menimpa diri sumoinya, akan tetapi juga dia sendiri, akan tetapi tidak ada penyesalan untuk dirinya sendiri!
"Kasihan sekali Sumoi....., heran, mengapa sikap Cong San seperti itu?" Ia menggumam seperti bicara kepada diri sendiri.
"Aihhh...., aku mengerti sekarang!" Tiba-tiba Biauw Eng berseru. Sejak tadi dia pun memikirkan Cong San yang dingin dan wajahnya yang muram itu. "Dia cemburu!!"
Keng Hong tertegun, tidak mengerti. "Siapa yang cemburu?"
"Yap Cong San, hatinya penuh cemburu, pantas saja sikapnya seperti itu!"
"Hah? Cemburu? Kepada siapa?"
"Kepada Yan Cu tentu! Kalau tidak cemburu kepada isterinya, kepada siapa lagi?"
"Apa? Cong San cemburu kepada Yan Cu? Apa maksudmu? Dicemburukan dengan siapa?"
"Dengan siapa lagi kalau bukan dengan engkau, Keng Hong! Betapa bodohnya engkau?"
Keng Hong makin melongo. "Apa? Mencemburukan Yan Cu dengan aku? Dia sumoiku sendiri? Dan mengapa Cong San mencemburukannya dengan aku?"
Melihat keheranan suaminya, Biauw Eng tersenyum menggoda, "Justeru karena suhengnya engkau inilah maka dia cemburu setengah mati!"
Keng Hong mengerutkan keningnya melihat isterinya tersenyum seperti itu. "Eh, Mio-moi, jangan main-mani, Kau! Ini urusan penting dan besar. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi sehingga kau menduga Cong San cemburu?"
"Bukan hanya menduga, bahkan aku yakin. Dan semua ini gara-gara si keparat Bhe Cui Im!"
Mendengar ini, Keng Hong menjadi makin khawatir. Terbayanglah olehnya akan semua pengalamannya dahulu ketika dia pun termakan racun cemburu terhadap Biauw Eng akibat perbuatan Cui Im yang amat licik, maka dia cepat bertanya,
"Apa maksudmu? Ceritakanlah!"
Biauw Eng lalu menceritakan tentang ucapan-ucapan Cui Im yang merupakan racun berbahaya, fitnahan-fitnahan yang dilontarkan oleh Cui Im terhadap hubungan antara Yan Cu dan Keng Hong di depan Cong San.
"Melihat sikap Cong San, tidak salah lagi dugaanku bahwa tentu dia telah terkena racun itu dan menjadi cemburu terhadap isterinya, dalam hubungannya dengan engkau."
Wajah Keng Hong berubah merah sekali mendengar penuturan ini dan dia mengepal tinjunya. "Celaka! Kalau begitu aku harus cepat mengejar mereka untuk meyakinkan hati Cong San!"
Biauw Eng cepat memegang lengan suaminya yang sudah hendak melompat dan lari mengejar Cong San dan Yan Cu. "Tenanglah. Orang yang bersalah selalu ingin tergesa-gesa menyangkal kesalahannya, sebaliknya orang yang sabar akan tetap tenang karena yakin akan kebenarannya. Kalau Cong San demikian dangkal kepercayaannya terhadap isteri sendiri sehingga hatinya diracun cemburu, biarlah dia merasakannya dan mengalami penderitaan dari kebodohannya sendiri. Kalau engkau tergesa-gesa mengejar mereka dan menyangkal semua itu, hatinya bukan menjadi yakin malah akan lebih besar rasa cemburunya. Biarkan mereka pergi."
Keng Hong menghela napas panjang. "Engkau benar, isteriku. Engkau selalu benar karena dalam hal cemburu ini aku sendiri sudah merasakannya, sudah banyak menderita karena kebodohanku itu. Akan tetapi, menurut penuturan Yan Cu tadi, akan terjadi hal-hal yang hebat di Siauw-lim-pai, mengenai diri dan kedudukan Tiong Pek Hosiang berkenaan dengan urusannya di waktu muda dengan subo. Karena hal ini menyangkut diri mendiang suhu dan suboku, juga berarti menyangkut diri mendiang ayah kandungmu dan ibu tirimu, sudah sepatutnya kalau kita berusaha meredakannya dan mengunjungi Siauw-lim-pai."
Biauw Eng mengangguk-angguk kemudian menjawab tenang, "Sepatutnya, memang. Akan tetapi tidak semestinya. Urusan ketua Siauw-lim-pai dan para muridnya adalah urusan dalam partai itu sendiri. Cong San adalah murid Siauw-lim-pai, dan Yan Cu adalah isterinya, sudah semestinya kalau mereka itu menyusul ke Siauw-lim-si. Akan tetapi, kita berdua adalah orang-orang luar, bagaimana kita boleh lancang mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai? Jangan-jangan malah akan timbul salah faham dan akan mengakibatkan permusuhan.Keng Hong, engkau telah berhasil, sungguhpun tidak sempurna, untuk melenyapkan sikap bermusuh dunia kang-ouw terhadap mendiang ayahku dan engaku telah mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan dari permusuhan itu. Apakah tidak mengerikan kalau sampai fihak Siauw-lim-pai menjadi salah faham oleh campur tangan kita dan memusuhi kita? Alasan apa yang akan kaukemukakan, hak apa yang kau miliki untuk mencampuri urusan dalam mereka?"
Keng Hong merasa terpukul dan sejenak dia tidak mampu menjawab, hanya memandang wajah isterinya itu sampai lama, baru kemudian dia menjawab dengan ketenangan goyah,
"Eng-moi....... isteriku yang bijaksana, habis bagaimana baiknya menurut pendapatmu?"
"Kita tidak perlu mencampuri urusan pribadi ketua Siauw-lim-pai kalau kita tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan yang tidak enak, akan tetapi benar seperti katamu tadi bahwa urusan itu masih menyangkut pula diri mendiang ayahku dan ibu tiriku, sebaiknya kita melihat-lihat dari dekat dan melakukan perjalanan tamasya di dekat darah Siauw-lim-si. Bukankah kita dalam masa pengantin baru dan dalam suasana bulan madu? Adapun tentang Cong San yang cemburu, kelak engkau mengirim surat saja kepadanya, mencoba untuk meyakinkan hatinya dan mengusir perasaan cemburu yang berbahaya itu dari hatinya. Bagaimana, setujukah?"
Keng Hong menjadi girang sekali, wajahnya berseri dan dia memeluk isterinya.
"Engkau hebat, Moi-moi. Satu pertanyaan lagi."
"Perlukah itu?" "Perlu sekali, pertanyaan yang timbul dari sikap Cong San yang terkena racun omongan Cui
Im. Hatiku takkan tenteram sebelum mendapat jawabanmu."
"Tanyalah."
"Mendengar ucapan-ucapan Cui Im yang beracun, Cong San menjadi cemburu kepada Sumoi, bagaimana dengan engkau? Apakah engkau tidak cemburu kepadaku? Mengingat akan tingkah lakuku di masa lalu......"
"Hussshhh....... sudahlah. Aku bukan orang yang suka menangisi masa lalu, melainkan sorang yang melihat masa depan. Hal-hal yang telah lalu itu kuanggap sebagai ujian terhadap cinta kasihmu kepadaku, Keng Hong. Buktinya, pada saat terakhir engkau tetap memilih aku sebagai isterimu!"
"Biauw Eng......" Keng Hong menjadi terharu dan merasa bahagia sekali, dirangkulnya leher isterinya dan diciumnya bibir yang mengucapkan kata-kata bijaksana itu.
Akan tetapi hanya sebentar saja Biauw Eng membalas ciumannya, lalu merenggutkan dirinya terlepas dari ciuman dan pelukan suaminya. "Jangan di sini! Apa kau tidak malu?"
Keng Hong tersenyum mengoda. "Malu-malu kucing! Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang....."
Biauw Eng melotot dan bertolak pinggang, dengan sikap marah buatan. "Di depan makam subomu kau masih berani bilang di sini tidak ada orang?"
"Wah-wah-wah, kau benar..... aku salah lagi. Maafkan aku, Moi-moi, akan tetapi ada satu permintaan lagi dariku."
"Asal yang pantas, sebagai isterimutentu saja aku akan memenuhi permintaanmu."
"Setelah kita menikah, mengapa engaku masih saja menyebut aku dengan namaku begitu saja? Engkau benar-benar isteri yang kurang ajar!"
***
Biauw Eng menjadi merah kedua pipinya. "Maafkan aku....... Koko......"
Demikianlah, hanya mereka yang pernah mengalami masa pengantin baru sajalah yang dapat merasakan kebahagian yang dirasakan Keng Hong dan Biauw Eng di saat itu. Omongan-omongan yang kecil-kecil dan kosong, pandang mata yang saling mencurahkan percakapan tanpa kata denqan kasih sayang mendalam dan mesra, gerakan-gerakan yang kelihatan tidak berarti, senyuman-senyuman penuh madu, semua ini membuat sinar matahari kelihatan amat cerah, warna-warni di permukaan bumi menjadi lebih cemerlang dan dunia kelihatan indah sekali, seakan-akan dalam sekejap mata berubah menjadi sorga!
Ketika hendak berangkat meninggalkan bekas tempat tinggal nenek Tung Sun Nio yang kini menjadi makamnya, Biauw Eng memasuki bekas rumah yang terbakar untuk mencari sisa-sisa pakaian dan barang-barang berharga untuk dibawa pergi sebagai bekal dalam perjalanannya berbulan madu dengan suaminya. Ia melihat pakaian pengantin yan Cu bertumpuk di sudut kamar yang tadinya disediakan untuk kamar pengantin Yan Cu dan Cong San. Sambil menghela napas panjang, diam-diam ia mengkhawatirkan kebahagiaan Yan Cu dengan suaminya, diambilnya pakaian pengantin itu dengan maksud untuk dibawanya dan kelak diberikannya kepada Yan Cu. Pakaian pengantin tidak boleh dibuang begitu saja karena pakaian itu merupakan benda pusaka peringatan bagi seorang isteri. Akan tetapi, betapa kagetnta ketika ia melihat tanda-tandadarah di pakaian bagian bawah. Ia memegangi pakaian itu dengan alis berkerut. Jelas bahwa Yan Cu terluka dalam pertempuran tadi, akan tetapi mengapa Yan Cu diam saja, bahkan tidak kelihatan seperti orang menderita luka sama sekali? Tentu hanya luka ringan, akan tetapi sampai berdarah! Biauw Eng memutar otaknya, kemudian menganguk-anguk dan hatinya makin khawatir akan kebahagiaan Yan Cu, akan tetapi ia diam-diam menyimpan pakaian itu dan mengambil keputusan untuk tidak menceritakan kepada siapa juga.
Tak lama kemudian, suami isteri yang masih pengantin baru ini bergandengan tangan meninggalkan lereng Pegunungan Cin-ling-san, menuju ke timur di mana matahari pagi yang cerah menyinarkan cahaya keemasan. Pertama yang baik bagi mereka, seolah-olah mereka sedang mulai dengan perjalanan hidup baru, kepada sinar terang! Akan tetapi siapa tahu apa yang menanti di depan? Perjalanan hidup penuh lika-liku, penuh rahasia dan peristiwa yang tak terduga-duga sebelumnya, seolah-olah keadaan laut yang kadang-kadang tenang kadang-kadang bergelombang.
Cong San dan Yan Cu melakukan perjalanan yang cepat Ilmu ginkang mereka yang tinggi membuat mereka dapat lari cepat dengan kaki yang ringan sekali. Akan tetapi, hati mereka tidaklah seringan gerakan kaki mereka. Hati mereka berat dan terhimpit, tertekan oleh duka dan keraguan. Di sepanjang perjalanan itu, Cong San selalu murung dan pendiam, sedangkan Yan Cu yang mengira bahwa suaminya tentu amat gelisah memikirkan gurunya dan masih berduka oleh peristiwa yang menimpa saat pernikahan mereka, ikut pula berprihatin dan sekali-kali kalau ada kesempatan, berusaha menghibur suaminya yang disambut oleh Cong San dengan dingin.
Tidak keliru dugaan Biuaw Eng. hati Cong San terhimpit oleh rasa cemburu. Dan karena pemuda ini berusaha sekuat tenaga batinnya untuk mengusir dan melawan perasaan ini, maka terjadilah perang hebat di dalam hatinya yang membuatnya di sepanjang perjalanan itu murung dan pendiam. Terngiang dalam telingannya selalu ucapan Cui Im ketika dia bertanding melawan iblis betina itu.
"Yap Cong San, apakah kau kira isterimu itu belum ditiduri Keng Hong."
Ia mengerutkan alis dan berusaha mengusir gema suara ini, akan tetapi dia malah mendengar suara Cui Im yang melontarkan tuduhan-tuduhan keji,
"Kau pemuda tolol yang tidak mau melihat kenyataan! Engkau mengenal siapa Keng Hong. Aku berani bertaruh bahwa isterimu itu bukan gadis lagi. Karena hanya Biauw Eng satu-satunya gadis yang belum bisa dia dapatkan, maka dia memilih Biauw Eng. Isterimu adalah bekasnya, hi-hi-hik!"
Keparat betina bermulut keji Bhe Cui Im dan berusaha sekuat tenaga untuk melupakan semua ucapan itu. Fitnah belaka, pikirnya. Akan tetapi, seolah-olah setan selalu mendekati benaknya, tiba-tiba di depan matanya terbayang adegan yang dianggapnya tidak semestinya, di depan tubuh Tung Sun Nio yang telah menjadi mayat. Yan Cu menangis dan dirangkul oleh Keng Hong yang berbisik-bisik dengan sikap mesra! Setelah gadis itu menjadi isterinya, Keng Hong masih merangkulnya, apalagi sebelum menjadi isterinya! Mereka telah melakukan perjalanan berdua, selama berbulan-bulan. Yan Cu demikian cantik jelita tak mungkin ada pria yang tidak timbul gairahnya jika melihat Yan Cu. Dan Keng Hong seorang pria yang tampan dan gagah perkasa. Gagah perkasa dan lihai sekali, jauh melebihi dirinya! Juga dia sudah tahu akan sifat Keng Hong yang mata keranjang, suka akan wanita-wanita cantik. Hanya Biauw Eng yang belum bisa didapatkannya, maka Keng Hong memilih Biauw Eng! Yan Cu adalah bekasnya, pernah ditidurinya! Bekasnya! Pernah ditidurinya! Ucapan ini terngiang berkali-kali di dalam kepala dan langsung menusuk hati Cong San sehingga tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras,
"Tidak! Keparat! Tidak.....!!" Ia berhenti dan memejamkan kedua matanya tubuhnya bergoyang-goyang.
Yan Cu terkejut sekali dan mendepak pundak suaminya, "Koko, engkau kenapakah? Ada apakah?" Ia bingung dan khawatir menyaksikan suaminya.
Bisikan-bisikan mengejek memenuhi telinga Cong San. Huh, perempuan rendah seperti ini, lemparkan saja. Dia membujuk-bujukmu mengandalkan kecantikannya, tahu? Tidak, bantah suara lain di hati Cong San. Engkau gila oleh cemburu yang dibangkitkan oleh omongan beracun Bhe Cui Im. Dalam beberapa detik itu terjadi perang hebat dan akhirnya suara ke dua yang menang.
Cong San balas merangkul isterinya, mendekap kepala isterinya di dadanya. Yan Cu merasa demikian bahagia dan terharu sehingga ia menangis, menangis karena lega. Baru saat ini agaknya suaminya sadar dari cengkeraman duka dan gelisah.
Mendengar isterinya terisak menangis dan air mata yang hangat membasahi dadanya, Cong San membelai rambut yang halus hitam panjang mengharum itu. "Maafkan aku, Moi-moi. Aku seperti gila karena........ duka dan khawatir. Kalau sampai urusan suhu tersiar....., aihhh, kasihan sekali suhu. Dan para suheng itu....... mereka adalah orang-orang beragama yang amat fanatik, tentu akan terjadi apa-apa dengan kedudukan suhu sebagai ketua Siauw-lim-pai."
Yan Cu merenggangkan mukanya dan menengadah, memandang wajah suaminya dengan air mata masih membasahi pipinya, akan tetapi sinar matanya mesra penuh kasih dan mulutnya tersenyum penuh hiburan. "Jangan khawatir, suamiku. Suhumu adalah seorang sakti yang bijaksana sekali, tentu akan dapat mengatasi segala macam hal yang datang menimpa. Harap kau jangan terlalu banyak berduka dan bergelisah, karena kalau sampai engkau jatuh sakti....... ahhh, akulah yang akan bersedih dan bergelisah."
"Yan Cu.....! Isteriku, aku....... aku cinta padamu!"
Yan Cu tersenyum dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Matanya yang indah itu mengerling penuh kemanjaan dan kemesraan, bibirnya berbisik, "Kalau tidak mencinta, masa mau menjadi suamiku? Aku pun cinta padamu, Koko......"
Cong San menunduk dan menciumnya. Sejenak mereka berdekapan dan lenyaplah semua duka dan kegelisahan, bahkan dalam saat itu Cong San seolah-olah mendengar sumpah-serapah setan yang suaranya selalu membujuk-bujuknya tadi, suara..... Cui Im. Hampir dia tertawa sendiri, mentertawakan Cui Im, mentertawakan diri sendiri.
Akan tetapi dia teringat akan suhunya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Yan Cu. "Betapapun juga, kita tidak boleh terlambat. Aku harus hadir kalau para suheng hendak menuntut suhu karena peristiwa di waktu mudanya itu, dan aku akan membela suhu."
Mereka melanjutkan perjalanan, berlari cepat sambil bergandengan tangan.
Cemburu bagaikan api yang menyala dan membakar perlahan-lahan. Kalau tidak cepat dipadamkan, akan dapat mengakibatkan kebakaran besar di dalam hati. Semenjak muda, Cong San telah mendapat gemblengan batin dari gurunya sehingga biarpun ucapan-ucapan Cui Im merupakan racun hebat yang menyerangnya, merupakan api yang mulai membakar hatinya, namun dengan kebijaksanaan, tanpa adanya bukti, dia dapat menguasainya dan dapat memadamkan api cemburu yang berbahaya itu. Dia cukup bijaksana untuk menahan perasaannya sehingga ketika dia dilanda nafsu cemburu tadi, dia tidak pernah menyatakan sesuatu kepada Yan Cu, isterinya yang amat dicintanya itu, karena kalau sampai hal itu dilakukannya, tentu akan menimbulkan akibat yang lebih parah lagi.
***
Kedatangan Cong San dan Yan Cu di kuil Siauw-lim-si tepat pada waktu persidangan besar antara pimpinan Siauw-lim-pai diadakan. Cong San, sebagai murid termuda akan tetapi juga murid terpandai dari ketua Siauw-lim-pai, langsung memasuki ruangan persidangan itu tanpa ada yang berani mencegah. Begitu masuk, melihat wajah Tiong Pek Hosiang yang tenang namun pucat, menghadapi seluruh pimpinan Siauw-lim-pai yang terdiri dari hwesio-hwesio berkedudukan tinggi, para sute sang ketua sendiri dan para tokoh tua lainnya dalam suasana yang sunyi dan tegang, Cong San mengajak Yan Cu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tiong Pek Hosiang. Semua mata para dewan pimpinan memandang ke arah Cong San penuh keraguan dan ke arah Yan Cu penuh penyesalan. Mereka tadi sudah mendengar penuturan Thian Lee Hwesio dan empat orang sutenya akan peristiwa yang terjadi di lereng Cin-ling-san dan akan pembongkaran rahasia pribadi ketua Siauw-lim-pai oleh Go-bi Thai-houw dan pengakuan terang-terangan dari Tung Sun Nio, isteri mendiang Sin-jiu Kiam-ong. Tentu saja mereka menganggap dara yang cantik itu keturunan atau murid dari golongan-golongan sesat yang terkutuk sehingga mereka sependapat dengan Thian Lee Hwesio, yaitu bahwa gadis itu tidak patut menjadi isteri seorang murid Siauw-lim-pai yang paling mereka banggakan.
Tiong Pek Hosiang memandang muridnya dengan senyum di bibir, sikapnya tenang sekali dan di menganguk-angguk. "Baik sekali engkau mengambil keputusan untuk datang, Cong San. Engkau berhak untuk mengikuti persidangan ini, dan isterimu karena dia telah menjadi isterimu dan dia pun murid Tung Sun Nio, dia pun pinceng perbolehkan untuk mengikuti persidangan ini. Duduklah kalian di sana." Hwesio tua itu menuding ke kiri dan tanpa banyak cakap karena dia mengerti bahwa suhunya tentu telah mendengar akan pembongkaran rahasia pribadinya, Cong san mengajak Yan Cu duduk di atas bangku sebelah kiri, kemudian menanti dilanjutkan persidangan itu dengan hati tenang.
Hadirnya Thian Kek Hwesio yang duduk di kursi sama tinggi dengan ketua membuat hati Cong San makin tegang. Dia tahu apa artinya persidangan ini karena dia mengenal Thian Kek Hwesio sebagai tokoh Siauw-lim-pai yang selalu diangkat menjadi ketua penengah atau semacam hakim untuk mengadili jalannya persidangan! Hwesio ini bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, bermata lebar, sikapnya kasar akan tetapi dia jujur sekali dan karena kejujurannya inilah, karena semua orang tahu bahwa Thian Kek Hwesio ini menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan melebihi segala apa di dunia, maka dia selalu diangkat untuk mengadili perkara-perkara yang timbul di kalangan para anggauta Siauw-lim-pai sendiri. Dan memang dalam kedudukan atau tingkat, Thian Kek Hwesio menjadi orang ke dua setelah ketuanya. Biarpun Thian Kek Hwesio juga menerima pelajaran ilmu dari Tiong Pek Hosiang dan berarti masih muridnya, murid ke dua karena murid pertama, Thian Ti Hwesio telah tewas di tangan Cui Im, namun hwesio tinggi besar berkulit hitam ini telah sejak kecil menjadi hwesio dan sebelumnya telah menerima ilmu silat dan pelajaran agama dari ketua yang lama. Ilmu silatnya, biarpun tidak setinggi tingkat Cong San yang mewarisi kepandaian suhunya, namun sudah membuat hwesio ini merupakan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal.
"Thian Lee, teruskan kata-katamu yang terputus oleh datangnya Cong San tadi," terdengar ketua Siauw-lim-pai berkata dengan suara halus dan sikap tenang.
Thian Lee Hwesio mengusap keringat dari dahi dengan ujung bajunya. Tugasnya amat berat dan menekan hatinya. Betapa dia tidak akan merasa berat kalau harus menjadi penuntut gurunya sendiri, bahkan ketuanya sendiri? Namun, dengan keyakinan bahwa yang dilakukannya adalah demi kebenaran, dia lalu mengangkat muka dan berkata dengan suara nyaring.
"Teecu telah menceritakan semua yang terjadi di lereng Cin-ling-san dan semua kata-kata busuk yang diucapkan Go-bi Thai-houw. Seandainya kata-kata nenek itu hanya merupakan fitnah belaka, teecu bersumpah akan membela kebersihan nama Suhu dengan pertaruhan nyawa teecu. Akan tetapi karena yang bersangkutan telah mengaku, terpaksa teecu mengajukannya ke sidang ini, sekali-kali bukan untuk mencelakakan Suhu, melainkan semata-mata demi menjaga kebersihan dan kehormatan nama Siauw-lim-pai. Setelah nenek iblis itu membocorkan rahasia, tentu dia akan menyebar luaskannya ke dunia kang-ouw dan kalau hal ini terjadi, dan pasti akan terjadi karena ketika dia bicara di lereng Cin-ling-san, banyak pula orang kang-ouw yang mendengarnya, maka menurut pendapat pinceng beserta semua anggauta Siauw-lim-pai, kedudukan Suhu sebagai ketua tak mungkin dapat dipertahankan lagi. Selain itu, juga pernikahan sute Yap Cong San sebagai seorang tokoh muda Siauw-lim-pai yang diharapkan bersetia dan menjunjung tinggi nama Siauw-lim-pai, jika tidak dibatalkan dan dia melanjutkan hubungan jodoh itu dengan anggauta keluarga yang sudah demikian tercemar namanya, juga akan merendahkan nama besar Siauw-lim-pai. Teecu mewakili seluruh anggauta Siauw-lim-pai mohon keputusan yang seadilnya demi kehormatan Siauw-lim-pai!"
Hening setelah hwesio ini menghentikan kata-katanya. Suasanya menjadi sunyi dan tegang sekali, hampir semua orang yang hadir tidak ada yang berani memandang langsung ke arah ketua mereka. Di dalam hati, mereka semua membenarkan ucapan Thian Lee Hwesio yang tiadk mungkin dapat disangkal kebenarannya, akan tetapi, urusan ini bukanlah menyangkut diri seorang anggauta biasa dari Siauw-lim-pai, bukan seorang murid biasa melainkan ketua mereka sendiri! Mereka yang biasanya suka mengemukakan pendapatnya dalam persidangan seperti itu apabila ada seorang anggauta Siauw-lim-pai yang diadili, kini bungkam dan tidak membuka mulut!
Terdengar suara batuk-batuk yang memecahkan kesunyian, suara Thian Kek Hwesio yang juga selama hidupnya baru sekali ini menghadapi perkara yang menegangkan dan yang membuat hatinya amat tidak enak. Betapapun juga, diam-diam dia harus mengakui bahwa selama menjadi ketua, Tiong Pek Hosiang telah banyak jasanya untuk Siauw-lim-pai dan belum pernah melakukan penyelewengan, namun dia pun harus membenarkan pendapat dan tuntutan Thian Lee Hwesio yang dia merasa yakin tidak menuntut karena hati benci atau denam kepada ketua Siauw-lim-pai yang juga menjadi gurunya .
Setelah terbatuk-batuk, terdengarlah suara Thian Kek Hwesio, suara yang besar parau dan terdengar jelas satu-satu oleh mereka yang berada di situ, "Kami telah mendengar bunyi tuntutan dan menimbang bahwa isi tuntutan memang seluruhnya demi kepentingan nama Siauw-lim-pai, maka tuntutan dapat di terima untuk diteruskan kepada fihak tertuntut. Kami persilahkan ketua Siauw-lim-pai untuk mengajukan pembelaannya."
Kembali hening sejenak dan semua orang tanpa memandang muka ketua Siauw-lim-pai, menahan napas untuk mendengar apa yang akan diucapkan sang ketua menghadapi tuntutan berat itu. Akhirnya, Tiong Pek Hosiang menarik napas panjang dan berkata, "Omitohud..... betapa melegakan hati menghadapi hukuman yang timbul akibat dari perbuatan sendiri, dan betapa menggembirakan menyaksikan para anggauta Siauw-lim-pai sedemikian setia terhadap Siauww-lim-paidan berjiwa gagah, berdasarkan keadilan dan kebenaran sehingga kalau perlu berani menentang fihak atasan demi nama baik dan kehormatan Siauw-lim-pai! Pembelaan apa yang harus pinceng katakan! Ucapan Go-bi Thai-houw bukanlah fitnah belaka dan pinceng mengakui bahwa memang perbuatan maksiat itu prnah pinceng lakukan di waktu muda!"
Kini semua orang mengangkat muka memandang sang ketua dengan wajah pucat. Tadinya mereka masih mengharapkan bahwa ketua itu akan menyangkal karena mungkin saja orang-orang seperti Go-bi Thai-houw dan Tung Sun Nio itu sengaja mengeluarkan fitnahan untuk menjatuhkan nama baik ketua Siauw-lim-pai. Akan tetapi ternyata kini ketua mereka telah mengaku!
Biarpun wajahnya agak pucat, sikap ketua Siauw-lim-pai itu tenang sekali ketika ia memandang semua orang dan melanjutkan kata-katanya dengan mengucapkan syair pelajaran Agama Buddha,
"Tidak di langit tidak di tengah lautan tidak pula di dalam gua-gua atau di puncak gunung-gunung tiada sebuah tempat pun untuk menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari akibat perbuatan jahatnya!"
Cong San menjadi terharu sekali. Dialah satu-satunya orang diantara semua anggauta Siauw-lim-pai yang telah tahu akan berbuatan gurunya yang di waktu mudanya berjinah dengan isteri Sin-jiu Kiam-ong. Sudah semenjak pertama mendengarnya dia memaafkan suhunya, maka dia tidak dapat menahan dirinya lagi, cepat dia berkata,
"Maaf, Suheng....." katanya sambil memandang Thian Kek Hwesio, "bolehkan saya membela Suhu?"
Thian Kek Hwesio mengangguk. "Sidang pengadilan di Siauw-lim-pai selalu berdasarkan perundingan di antara saudara sendiri untuk mengambil keputusan yang paling adil dan tepat. Silahkan kalau Sute mempunyai sesuatu yang akan dikemukakan mengenai urusan ini."
***
"Tiada gading yang tak retak, tiada manusia tanpa cacad di seluruh jagad ini. Suhu pun hanya seorang manusia, dengan sendirinya, seperti seluruh manusia lain, juga mempunyai cacad berupa perbuatan yang dilakukan sebelum mendapat penerangan, sebelum sadar. Biarpun sebagai seorang anggauta Siauw-lim-pai saya tidak menjadi hwesio, namun pelajaran Sang Buddha sudah bertahun-tahun diajarkan oleh Suhu kepada saya. Teringat saya akan pelajaran yang berbunyi,
Tiada api sepanas nafsu tiada jerat sebahaya kebencian tiada perangkap selicin kedangkalan pikiran tiada arus sederas keinginan hati. Kesalahan orang lain sudah dilihat kesalahan diri sendiri sukar dirasai meniup-niupkan kesalahan orang lain seperti menapi dedak seperti seorang penipu menyembunyikan dadu lemparannyayang sial dari pemain lain."
Semua orang yang mendengar mengerti bahwa pemuda itu mengeluarkan ayat-ayat pelajaran untuk membela suhunya. Cong San melanjutkan kata-katanya penuh semangat,
"Agama kita mengajarkan orang memupuk rasa kasih sayang antara yang hidup, mempertebal pemberian maaf kepada orang bersalah, memperbesar sikap mengalah kepada orang lain. Marilah dengan modal pelajaran ini kita menghadapi Tiong Pek Hosiang, suhu kita, ketua kita dengan kesadaran dan pengertian bahwa biarpun Suhu telah mengakui perbuatannya yang menyeleweng dengan mendiang nenek Tung Sun Cio, akan tetapi perbuatan itu dilakukannya di waktu Suhu masih muda. Sekianlah pembelaan saya yang bukan hanya didasari semata-mata karena memberatkan Suhu daripada Siauw-lim-pai, melainkan dengan dasar kebenaran dan keadilan."
Suasana menjadi makin tegang, bahkan beberapa orang di antara para hadirin mulai merasa betapa suasana agak panas. Namun, Thian Kek Hwesio yang bersikap tenang dan keras, bagaikan sebuah batu karang kokoh kuat yang takkan mudah digoyangkan hantaman ombak, tidak mudah digerakan oleh tiupan angin taufan, kembali berkata,
"Pembelaan Yap Cong San sudah kami dengar dan kami terima. Sekarang kami persilahkan fihak penuntut untuk mengeluarkan pendapat dan sanggahannya terhadap pembelaan itu."
Thian Lee Hwesio berbisik-bisik dengan para sutenya, kemudian dia menghadap sidang dan berkata, "Apa yang dikemukakan oleh sute Yap Cong san sebagai pembela tak dapat kami sangkal kebenarannya. Sejak semula memang telah pinceng kemukakan bahwa para anggauta Siauw-lim-pai bukan sekali-kali menjatuhkan tuntutan dengan dasar membenci, melainkan semata-mata untuk melindungi kehormatan dan nama Siauw-lim-pai. Tidak dapat disangkal bahwa perbuatan itu dilakukan Suhu di waktu muda dan secara pribadi kami semua dapat memaklumi dan tidak akan merentang panjang urusan itu. Akan tetapi, sekali diketahui oleh dunia kang-ouw, akan bagaimanakah jadinya dengan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai yang tentu akan dikabarkan bahwa Siauw-lim-pai diketahui oleh seorang yang...... harap Suhu maafkan teecu, telah melakukan perbuatan seperti itu?"
Sekali ini bebar-benar semua orang menjadi tegang. Thian Lee Hwesio dalam mengajukan dan membela tuntutannya, terlalu berani dan terlalu.......benar! Cong San dapat menerima dan arus mengakui kebenaran ucapan itu, maka dia membungkam dan kini Tiong Pek Hosiang yang berkata,
"Omitohud..... semoga dosa yang hamba lakukan tidak sampai mendatangkan akibat buruk yang menimpa lain orang, kecuali hamba sendiri!" Dia memejamkan mata sejenak, kemudiam membukanya lagi dan memandang kepada semua yang hadir, lalu berkata,
"Pinceng sudah merasa bersalah dan pinceng siap menerima akibat daripada perbuatan pinceng sendiri, siap menerima hukuman yang akan diputuskan oleh sidang ini. Pinceng tidak akan membela diri, akan tetapi mengenai pernikahan antara Yap Con San dan Gui Yan Cu, pinceng harus membela Cong San, bukan sekali-kali karena pinceng berat sebelah dan pilih kasih, melainkan demi keadilan pula. Kalian semua maklum bahwa perjodohan antara mereka ini adalah tanggung jawab pinceng sendiri karena pincenglah yang mengikatkan perjodohan itu. Cong San tidak bersalah apa-apa dalam hal ini, hanya memenuhi perintah pinceng. Kalau keputusan itu dilaksanakan dan dianggap bersalah, biarlah pinceng yang menerima hukumannya pula. Kemudian terserah keputusan sidang ."
Kini semua orang memandang Thian Kek Hwesio. Mereka memandang penuh harapan, karena hanya kepada hwesio tua tinggi besar berkulit hitam inilah mereka menggantungkan harapan mereka untuk dapat mencari jalan keluar yang paling baik. Hwesio tinggi besar berusia tujuh puluh tahun lebih ini pun maklum bahwa tugasnya amat berat dan amat penting, maka setelah berdoa sejenak sambil memejamkan mata, mohon kekuatan batin, dia membuka mata dan berkata,
"Setelah mendengar semua pendapat yang dikemukakan oleh fihak penuntut, fihak tertuntut dan fihak pembela, atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa, atas nama Buddha yang maha kasih, atas nama kebenaran dan keadilan yang kita junjung bersama, kami telah mengambil kesimpulan dan telah mempertimbangkan untuk menjatuhkan keputusan yang hendaknya akan ditaati oleh semua fihak yang bersangkutan! Tiong Pek Hosiang telah melakukan perbuatan yang menyeleweng, akan tetapi karena perbuatan itu dilakukannya di waktu muda, di waktu belum menjadi anggauta, apalagi ketua Siauw-lim-pai, maka Siauw-lim-pai tidak berhak memberi hukuman atas perbuatannya itu yang dilakukannya sebagai orang luar di waktu itu. Akan tetapi, mengingat bahwa perbuatan itu merupakan lembaran riwayat yang hitam bagi pribadinya, sedangkan sekarang dia telah menjadi ketua Siauw-lim-pai, maka demi menjaga nama dan kehormatan Siauw-lim-pai, Tiong Pek Hosiang dipecat dari kedudukannya sebagai ketua Siauw-lim-pai. Untuk pemilihan ketua baru akan kita adakan kemudian. Mengenai pernikahan antara Yap Cong San dan Gui Yan Cu, mengingat akan pertimbangan yang sama pula, yaitu bahwa biarpun perbuatan itu dilakukan di luar kesalahannya akan tetapi akibatnya akan mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai, maka kami memutuskan untuk tidak mencampuri urusan pernikahan karena kami menganggap Yap Cong San bukan anak murid Siauw-lim-pai lagi. Selanjutnya harap Yap Cong San tidak membawa nama Siauw-lim-pai sebagai perguruannya."
Sunyi senyap setelah Thian Kek Hwesio mengucapkan keputusannya itu. Semua anggauta Siauw-lim-pai menundukan muka, tidak ada yang berani memandang kepada Tiong pek Hosiang yang selama ini menjadi ketua mereka yang mereka hormati, juga menjadi guru besar mereka.
"Suhu......!" Kesunyian dipecahkan oleh keluhan Cong San yang menubruk kaki gurunya dan berlutut sambil terisak penuh kedukaan, penyesalan dan keharuan. Tiong Pek Hosiang tersenyum, mengelus rambut kepala muridnya itu sambil membaca doa pelajaran Buddha,
"Dunia ini bagaikan sebuah gelembung sabun! dunia ini bagaikan sebuah khayalan! dia yang memandang dunia sedemikian takkan bertemu lagi dengan raja kematian! Pandanglah dunia ini sebagai sebuah kereta kendaraan raja yang bercat indah si dungu terpikat oleh keindahannya tapi orang bijaksana takkan terpikat olehnya. Dia yang tadinya lengah dan tak sadar kemudian menjadi sadar dan rendah hati akan menerangi dunia seperti bulan yang terbebas dari gumpalan awan."
"Suhu, betapa hati teecu tidak akan berduka dan menyesal? Suhu telah melakukan banyak perbuatan mulia dan telah berjasa besar terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi sekarang....."
"Hushhhhh..... Cong San, bangkitlah, hapus air matamu, usir semua kedukaan dan penyesalan hatimu. Pengadilan yang telah disidangkan oleh saudara-saudaramu sudah tepat, benar dan adil! Perbuatan sesat mendapat hukuman, ini sudah tepat dan patut. Mengapa disusahkan dan disesalkan? Siapa yang mengharuskan kita menyesal dan berduka menghadapi sesuatu yang menimpa diri kita? Tidak ada yang mengharuskan dan hanya kesadaran kita sendirilah yang menentukan. Apa yang menimbulkan susah dan senang? Bukan dari luar, muridku, melainkan dari dalam, dari hati kita sendiri yang dicengkeram nafsu mementingkan diri sendiri, nafsu iba diri. Jika dirugikan, kita susah, jika diuntungkan, kita senang.
"Bukankah itu picik sekali? Susah dan senang hanya permainan perasaan sendiri seperti air laut yang pasang surut. Suatu penipuan dari nafsu yang hanya dapat kita atasi dengan kesadaran karena kesadaran akan mengangkat kita lebih tinggi daripada permainan susah senang itu, mendatangkan ketenangan dan tidak akan mudah dipengaruhi oleh perasaan. Andaikata engkau belum dapat mencapai tingkat itu, masih harus memilih antara susah dan senang, mengapa engkau tidak memilih? Susah menimbulkan tangis, senang menimbulkan tawa. Baik diterima dengan susah atau senang, persoalannya tidak akan berubah. Mengapa harus menangis? Tangis hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik, karena dapat menimbulkan kelemahan batin sendiri, dapat mendatangkan keharuan pada orang lain. Tangis susah akan mudah mengukirkan dendam dalam hati, melahirkan dosa-dosa lain. Dalam menghadapi sesuatu, sama-sama menggerakan bibir, mengapa tidak memilih tawa daripada tangis? hasilnya lebih baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Cong San, ingatlah engkau bahwa yang terpenting daripada segala dalam menjalani penderitaan hidup ini hanyalah PENERIMAAN! Penerimaan akan segala hal yang menimpa diri kita disertai kesadaran bahwa segala yang terjadi adalah akibat daripada perbuatan kita sendiri, sesuai dengan kehendak Tuhan. Kesadaran ini akan menuntun kita untuk menerima segala peristiwa dengan penuh penyerahan kepada kekuasaan Tuhan, karenanya akan tetap tenang karena sudah waspada bahwa segala peristiwa yang terjadi takkan dapat dihindarkan oleh kekuasaan manusia yang sesunguhnya hanya mahluk lemah yang selalu menjadi permainan dari nafsu-nafsunya sendiri."
kakek itu berhenti sebentar dan bukan hanya Cong San yang mendengarkan dengan hati tunduk, melainkan semua anggauta Siauw-lim-pai, bahkan Yan Cu diam-diam merasa kagum akan kebijaksanaan kakek itu. gadis ini di dalam hatinya melihat seolah-olah kakek itu telah duduk di tempat yang begitu tinggi sehingga tidak akan terseret oleh gelombang penghidupan yang mempermainkan manusia.
"Pinceng merasa bersyukur kepada sidang pengadilan dan pinceng menerima keputusan tadi. Mulai saat ini, pinceng bukan lagi ketua Siauw-lim-pai, dan sesuai dengan peraturan perkumpulan kita, pinceng persilahkan kepada para tokohnya untuk mengadakan pemilihan ketua baru. Sebagai seorang anggauta yang masih berhak, pinceng pribadi mengusulkan agar Thian Kek Hwesio untuk menduduki jabatan ketua. Adapun pinceng sendiri, pinceng minta agar diperbolehkan menghabiskan usia yang tidak berapa ini untuk bersamadhi di dalam Ruang Kesadaran yang berada di ujung belakang."
"Apa yang Suhu katakan merupakan perintah bagi teecu sekalian," kata Thian Kek Hwesio. "Karena, biarpun Suhu bukan ketua Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi tetap menjadi guru teecu semua dan teecu mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Suhu demi kebaikan Siauw-lim-pai."
Tiong Pek Hosiang tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia yakin bahwa kalau Siauw-lim-pai dipimpin oleh muridnya tertua ini sebagai ketua, tentu akan mengalami kemajuan. Kemudian dia menoleh kepada Cong San dan Yan Cu. "Cong San, Yan Cu, sekarang pinceng mengusir kalian pergi dari Siauw-lim-si, karena tidak boleh orang luar tinggal di sini. Engkau pasti mengerti bahwa pengusiran terhadap dirimu ini hanya merupakan hal yang sudah ditentukan oleh sidang pengadilan dan oleh peraturan yang berlaku di Siauw-lim-pai. Nah, pergilah, Cong San. Engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi percayalah bahw Siauw-lim-pai tetap akan menganggapmu sebagai seorang sahabat baik!"
Biarpun Cong San sudah menerima wejangan suhunya, namun dia seorang muda yang masih diombang-ambingkan nafsu dan perasaan yang sedang bergelora, maka tentu saja dia tidak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Melihat keadaan suaminya, Yan Cu juga menangis sesenggukan. Mereka merdua maju berlutut ke depan Tiong Pek Hosiang.
"Suhu, teecu mohon diri......." Cong San berkata terisak.
Ting Pek Hosiang tersenyum dan menggerakan tangan. "Pergilah, muridku yang baik dan berhati-hatilah karena di luar sana menanti banyak cengkeraman-cengkeraman maut yang mengancam seluruh manusia. Yan Cu, semoga Tuhan memberkahi engkau dan suamimu." biarpun mulutnya tersenyum, namun sepasang alis yang putih kakek itu agak berkerut karena pandang matanya yang sudah waspada itu melihat awan gelap mengancam penghidupan kedua orang muda itu. Diam-diam dia hanya berdoa mohon kepada Tuhan agar melindungi mereka.
"Para suheng, sute dan saudara sekalian, saya mohon diri dan sudilah memaafkan segala kesalahan saya." Cong San memberi hormat kepada semua hwesio yang dibalas oleh mereka dengan terang.
"Selamat jalan,Yap-sicu, sahabat kami!" Thian Kek Hwesio berkata, suaranya lantang dan jelas, seolah-olah dia hendak mengingatkan bahwa hubungan antara Cong San dan Siauw-lim-pai sebagai murid dan perguruan sudah hilang, terganti oleh hubungan persahabatan!
Cong San lalu keluar dari Siauw-lim-si diikuti oleh Yan Cu dengan muka pucat dan muram. Setelah mereka agak jauh dari kuil itu dan tidak tampak lagi genteng kuil, Yan Cu memegang tangan suaminya dan berhenti. Wajahnya cerah dan ia tersenyum karena ia melihat kemuraman wajah suaminya dan mengambil keputusan untuk menghiburnya.
"Koko, harap kau jangan besedih lagi. Kalau kau berduka, aku ikut pula bersedih. Kita harus ingat akan wejangan suhumu yang bijaksana. Peristiwa itu telah lalu, mengapa disedihkan dan ditangisi? Lebih baik kita tertawa, tersenyum! Senyumlah, Koko! Kita pengantin baru, bukan? Sepatutnya kita bergembira. Hayo, senyumlah!"
Cong San menatap wajah isterinya. Wajah yang cantik jelita seperti bidadari, yang tersenyum-senyum sehingga bibirnya merekah dan tampak ujung deratan gigi yang seperti mutiara, mata yang berkaca-kaca biarpun mulutnya tersenyum. Nampak jelas kasih sayang membayang di mata itu, nampak jelas betapa isterinya berusaha menghiburnya, berusaha mengusir kesedihan hatinya. Hatinya terharu bukan main dan seolah-olah bendungan yang jebol dia merangkul isterinya dan merintih,
"Yan Cu, isteriku.....!!" Ia memeluk isterinya, mendekapnya dan terdengarlah isak tangisnya, membuat Yan Cu ikut pula sesenggukan.
"Koko..... hu-hu-huuuukkk...... jangan menangis, Koko.... suamiku......"
"Yan Cu....... ahhh, Moi-moi......."
Mereka berpelukan dan bertangisan.Setelah segala perasaan duka itu membobol keluar menjadi tangis, legalah hati Cong San dan dia memegang pundak isterinya, didorong perlahan sehingga mereka saling pandang. Kemudian, dengan air mata masih mengalir di sepanjang pipi, keduanya berpandangan dan tertawa lebar!
"Kita berbahagia...... tangis kita tangis bahagia.....!" bisik Cong San.
Seketika tersapu bersihlah awan kedukaan karena di depan mereka terbentang jalan lebar, menuju kebahagiaan.
"Suamiku, sekarang kita ke manakah?" yan Cu sambil merebahkan mukanya di dada suami itu, sikapnya penuh manja dan mesra.
Cong San mengelus rambut yang halus dan harum itu. "Isteriku, kaumaafkanlah aku. Karena urusan yang datang bertubi-tubi, aku yang terlalu mementingkan diri sendiri sampai seolah-olah mengabaikan engkau, isteriku yang tercinta, satu-satunya orang di dunia ini yang paling kukasihi. Semua ini gara-gara si iblis betina Bhe Cui Im. Hemmm...... sekali waktu aku harus membasminya!"
Yan Cu merangkul leher suaminya, menarik muka suaminya dan dengan manja ia menempelkan pipinya di atas pipi suaminya. "Suamiku, kini bukan saatnya bicara tentang dia. Yang penting, kemanakah kita sekarang?"
***
Dengan jantung berdebar penuh kebahagiaan Cong San mencium bibir isterinya. "Biarlah untuk beberapa hari ini kita berdiam di hutan pohon pek yang berada di depan itu. Di situlah aku dahulu seringkali melewatkan malam sunyi ketika aku masih belajar di Siauw-lim-si. Tempat itu indah sekali, kita hidup bebas di sana, jauh dari keramaian dunia, jauh dari manusia lain, hanya kita berdua! Di sana terdapat sumber air yang membentuk telaga kecil yang airnya jernih sekali. Dahulu seringkali aku tidur di pinggir telaga, bertilam rumput tebal, berlindung daun-daun pohon pek yang besar, bermimpi tidur bersendau-gurau dengan bidadari. Sekarang mimpi itu menjadi kenyataan dan engkaulah bidadarinya, isteriku."
"Ihhh.....!" Yan Cu cemberut. "Hidup seperti binatang liar di hutan? Bagaimana kalau ada orang melihat kita?"
"Tempat itu masih termasuk wilayah kekuasaan Siauw-lim-si, tidak ada yang berani datang ke sana. Para suheng tentu akan menjauhkan diri dan membiarkan kita bersenang di sorga dunia itu. Kita hanya beberapa hari tinggal di sana, kemudian kita pergi ke kota Leng-kok di mana tinggal seorang pamanku. Daripada kita melewatkan bulan madu di kamar-kamar penginapan yang sempit dan kotor, bukankah lebih senang berada di hutan yang indah bersih, luas dan tidak akan bertemu dengan manusia lain?"
Yan Cu tersenyum. "Aku hanya isterimu, Koko. Aku menurut, ke manapun kau pergi aku ikut, dan aku akan senang sekali, biar akan kaubawa ke...... neraka sekalipun!"
"Husshhhh! Kalau aku pergi ke sorga, engkau kudorong masuk lebih dulu, isteriku, akan tetapi kalau aku ke neraka, engkau akan kutinggalkan, biar aku sendiri yang menderita."
Sambil bergandengan tangan, kedua orang yang sedang dimabuk cinta kasih, sepasang pengantin baru ini berlari-larian memasuki hutan kecil yang berada di sebelah utara kuil Siauw-lim-si. Yan Cu menjadi gembira sekali ketika mendapat kenyataan bahwa hutan itu benar-benar amat indah, sunyi dan bersih. Telaga kecil yang berada di tengah hutan, tersembunyi antara pohon-pohon pek raksasa, memiliki air yang jernih sekali sampai tampak dasarnya, tampak ikan-ikan beraneka macam berenang di dalamnya. Tepi telaga ditumbuhi rumput-rumput hijau yang tebal dan lunak sepeti permadani hijau. Sunyi sekali kecuali suara air anak sungai yang dibentuk karena air telaga yang meluap, diseling kicau burung di pohon-pohon. Benar-benar merupakan sorga kecil.
Mereka bersendau-gurau, menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing semenjak kecil, diseling pelukan, ciuman dan cubitan manja. Ketika perut telah kenyang oleh daging kelinci yang ditangkap Cong San dan dipanggang Yan Cu, Cong San mengajak isterinya mandi. Yan Cu menggeleng kepala dengan muka merah.
"Tak tahu malu!" Ia pura-pura marah membentak. "Kalau kau mau mandi, sana jangan dekat-dekat. Mana boleh laki-laki dan wanita mandi bersama, bertelanjang bulat di sini tak mengenal malu? Sungguh tidak sopan!"
"Eh! Eh! Eh! Kita memang laki-laki dan wanita, akan tetapi kita pun suami isteri! Mengapa tidak boleh? Dan malu kepada siapa? Tidak ada yang melihat kita. Masa tidak sopan? Hayolah, bukankah engkau isteriku dan aku suamimu? Enak sekali mandi di sini, kalau kau tidak pandai renang, di pinggir dangkal, hanya setinggi perut. Dan biar aku yang mengajar kau berenang!" Cong San mulai menanggalkan bajunya.
Melihat dada suaminya bertelanjang, makin merah muka Yan Cu dan jantungnya berdebar tidak karuan.
"Eh, mengapa masih belum membuka pakaian?" Cong San menegur setelah selesai menanggalkan pakaian atasnya.
Yan Cu menunduk dan menggeleng kepalanya. Aku tidak mandi.....!"
"Wah, aku yang celaka! Punya isteri tidak pernah mau mandi!"
Yan Cu tertawa dan tangannya bergerak mencubit.
Aduhhh! Ampun! Aku menarik kembali kata-kataku, kau isteri yang selalu mandi sehingga kulitmu bersih, putih halus seperti salju, berbau harum keringatmu seperti bunga setaman...... nah, hayolah!"
"Aku akan mandi dengan berpakaian!"
"Mana bisa? Kita tidak membawa bekal, kalau pakaianmu basah, kau masuk angin, wah, aku yang repot! Eh, Yan Cu, setelah menjadi isteriku, kenapa engkau sungkan dan malu?"
"Tidak.....! Tidak mau.....!"
"Kupaksa!"
Sambil tertawa Yan Cu meloncat dan lari, dikejar oleh Cong San. Sejenak mereka berlarian memutari pohon-pohon seperti dua orang anak kecil bermain-main, tertawa-tawa dan akhirnya Yan Cu yang sengaja membiarkan dirinya ditangkap itu hanya menutup kedua matanya, napasnya terengah-engah ketika suaminya membantunya menanggalkan semua pakaiannya, kemudian ia memekik manja ketika suaminya memondongnya dan membawanya terjun ke dalam telaga! Mereka berenang, bersendau-gurau, bergelut dalam air, bersiram-siraman sambil tertawa-tawa atau kadang-kadang hanya berdiri di air setinggi perut sambil saling pandang, terpesona oleh keindahan tubuh masing-masing, tubuh manusia lain kelamin yang baru pertama kali itu selama hidup mereka lihat. Cong San mentertawakan Yan Cu yang dengan malu-malu berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan, dengan rambut. Ikan-ikan di dalam telaga berenang cepat melarikan diri terkejut ketakutan menyaksikan dua makhul besar itu berdekapan, berciuman agaknya mereka merasa iri hati dan ikan-ikan jantan mulai mengejar-ngejar ikan betina!
Sungguh bahagia, penuh madu asmara kebahagiaan penuh yang hanya dapat dirasa dan dinikmati sepasang pengantin baru. Pertemuan antara dua mahluk lawan kelamin, pertemuan lahir batin, badan dan jiwa, bebas lepas tidak ada rasa bersalah, tidak ada rasa malu karena di antara mereka tidak terdapat pelanggaran suatu hukum atau larangan. Pertemuan asyik masyuk seperti ini hanya dirasai oleh laki-laki dan wanita yang telah disyahkan oleh hukum manusia. Kasihanlah mereka yang mengadakan pertemuan lahir batin seperti ini yang melanggar larangan susila, yang melakukan hubungan di luar hukum berupa pernikahan syah. karena, biarpun badan mereka bertemu, batin mereka merasa bersalah, merasa berdosa dan melakukan pelanggaran sehingga kebahagiaan sesaat mereka itu tidak sepenuhnya, bahkan sesudahnya akan menimbulkan penyesalan, ketakutan dan kecewa. hanya sepasang suami isteri yang sudah sah pernikahannya saja yang akan dapat menikmati pertemuan pertama antara dua badan dan jiwa itu.
Setelah cuaca menjadi remang-remang karena matahari mulai surut ke barat, Cong San meloncat ke darat memondong tubuh isterinya. Yan Cu tidak menolak, hanya memejamkan mata setengah pingsan oleh ketegangan, kebahagiaan, dan rasa malu namun dengan penuh pemasrahan ia menyerahkan badan dan jiwanya kepada pria yang dicintainya, pria yang menjadi suaminya dan yang berhak penuh atas dirinya. Hanya pohon-pohon raksasa yang melindungi atas kepala mereka yang menjadi saksi, bersama bulan yang muncul mengintai dari balik awan, air telaga yang sunyi, rumput hijau tebal halus yang menjadi tilam tubuh mereka, diiringi bunyi-bunyi merdu gemerciknya air anak sungai dan desau angin mempermainkan pohon-pohon rumput, dan rambut Yan Cu yang panjang dan menyelimuti tubuh mereka berdua.
Yan Cu menggerang lirih penuh kelegaan hati menggerakan bulu matanya akan tetapi merasa terlalu malas untuk membuka mata. Tubuhnya terasa nyaman dan nikmat, lega, dan puas seperti hanya terasa oleh orang yang dapat tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi. Belum pernah ia merasa begitu lega dan nikmat, begitu kenyang tidur seperti ketika ia terbangun di pagi hari itu. Ia teringat dan bibirnya tersenyum, mukanya tiba-tiba terasa panas terdorong rasa malu dan jengah bercampur bahagia.
"Koko......!" Ia berbisik dan tanpa membuka mata lengannya merangkul ke sebelah kirinya. Kosong! Tangannya meraba-raba akan tetapi hanya rumput tebal yang terasa oleh jari-jari tangannya. Ia membuka matanya, mengejap-ngejapkan mata kemudian membukanya lebar-lebar. Rumput di sisinya masih rebah bekas tertindih tubuh Cong San, Akan tetapi suaminya tidak ada di situ.
Suaminya! Betapa mesra sebutan ini sekarang di hatinya. Cong San adalah suaminya, suami dalam arti kata sepenuhnya. Bukan hanya sebutan seperti beberapa hari yang lalu, semenjak mereka menikah lalu tertimpa peristiwa yang hebat. Kini Cong San adalah suaminya sepenuhnya. Akan tetapi ke manakah dia? Tumpukan pakaian suaminya tidak ada. Yan Cu menggigil, terasa dingin dan baru sadar bahwa tubuhnya tidak berpakaian, bahwa api unggun hanya tinggal asapnya saja. Cepat ia meloncat bangun, menyambar dan mengenakan pakaiannya, matanya mencari-cari. Cong San tidak berada di tempat itu!
"Ah, tentu dia mencari bahan sarapan," pikirnya dan Yan Cu duduk melamun dengan bibir tersenyum-senyum bahagia. Cinta kasihnya terhadap Cong San makin mendalam setelah orang muda itu kini menjadi suami sepenuhnya semenjak malam tadi. Teringat ia akan sendau-gurau mereka di telaga dan Yan Cu memandang ke arah air telaga dengan pandang mata mesra, seolah-olah ia berterima kasih kepada telaga itu. Terkenang ia akan semua yang terjadi kemarin, mereka berkejaran, ia berusaha menolak harus menanggalkan pakaian untuk mandi bersama, kemudian betapa mereka saling menggoda di air, dan akhirnya betapa kedua lengan yang kuat dari suaminya memondongnya keluar dari telaga, betapa di atas tilam kasur yang seperti permadani, mengalahkan segala kasur yang paling mewah di dunia ini, mereka memadu asmara suami isteri yang syah. Yan cu menarik napas panjang, penuh bahagia dan tiba-tiba ia terkejut. Dia belum mencuci muka, rambutnya terlepas. Aihhh! Suaminya tidak boleh melihat dia seperti ini! Tergesa-gesa karena khawatir kalau-kalau suaminya datang kembali sebelum ia siap, isteri muda ini lalu lari ke pinggir telaga dan mencuci mukanya, membasahi sedikit rambutnya dan membereskan rambutnya, digelung rapi, membereskan pakaian kemudia ia bercermin di air telaga yang jernih. Baru sekarang dia sibuk mempersolek diri, membasahi dan menggosok bibirnya sampai menjadi merah sekali, menggosok kedua pipinya, menata rambut di dahinya, anak rambut halus yang melingkar menghias dahi dan depan kedua telinga. Dengan ujung lidahnya yang kecil merah dibasahinya bibirnya sehingga bibir itu nampak merah basah seperti buah anggur merah.
***
Ahhh, lama benar suaminya. Ke manakah perginya? Yan Cu melihat gerakan di balik tetumbuhan dan melihat beberapa ekor kelinci berlari. Mengapa suaminya pergi begitu jauh dan lama untuk mencari bahan sarapan kalau di depan mata terdapat banyak kelinci gemuk? Yan Cu tertawa dan tangannya sudah bergerak hendak menyambar batu dan merobohkan beberapa ekor kelinci, akan tetapi segera ditahannya dan dibatalkan niatnya. Aihhh, hampir saja aku lancang, pikirnya. Suami sedang pergi mencari bahan sarapan, kalau datang membawa binatang buruan lalu melihat bahwa dia telah menangkap beberapa ekor kelinci, bukankah akan membikin suaminya kecewa sekali? Biarlah, dia akan menanti, menanti dengan sabar. Bukankah termasuk kewajiban seorang isteri untuk menanti suaminya dengan penuh kesabaran, kesetiaan dan cinta kasih? Yan Cu tersenyum lagi dan melanjutkan mempersolek diri, menata rambut dan merapikan pakaian, mereka-reka bagaimana dia harus bersikap dan bicara nanti jika suaminya kembali. Dia merasa malu sekali setelah malam tadi dan membayangkan betapa pandang mata suaminya tentu akan bicara banyak, betapa tanpa kata-kata, pandang mata suaminya akan dapat menggodanya. Jantungnya berdebar penuh kebahagiaan, ketegangan dan rasa malu.
Kalau saja Yan Cu tahu! Kalau saja isteri muda yang menanti penuh kebahagiaan ini mengetahui bahwa suaminya sama sekali bukan pergi mencari bahan sarapan. Aihhh, akan tetapi, bagaimana dia bisa tahu?
Pagi itu Cong San meninggalkan isterinya, setelah mengenakan pakaian dia berlari cepat seperti gila menuju ke kuil Siauw-lim-si. Wajahnya keruh sekali, pandang matanya muram dan rambutnya awut-awutan, kadang-kadang pandang matanya liar penuh kemarahan dan rasa penasaran. Pandang mata ini diiringi kepalan kedua tangan sampai otot-ototnya berbunyi dan giginya yang menggigit-gigit berkerot.
"Ah, Yap-sicu...... seperti ini datang berkunjung, ada keperluan apakah?" Hwesio penjaga pintu depan kuil menyambut kedatangan Cong San dengan pandang mata terheran-heran.
"Aku ingin bertemu dengan suhu!"
Hwesio itu merangkap kedua tangan depan dada. "Seingat siauwceng, Sicu tidak mempunyai suhu di Siauw-lim-si......" "Persetan segala kepura-puraan ini! Aku minta menghadap Tiong Pek Hoasing! Ada keperluan yang amat penting sekali!" "Akan tetapi, Tiong Pek Hosiang sedang bersamadhi, beliau telah memasuki Ruangan Kesadaran, tidak boleh diganggu."
"Aku tidak akan menggangunya, hanya ingin menyampaikan sesuatu. Sudahlah, harap jangan mempersulit aku. Biarlah aku pergi sendiri mencarinya di Ruang Kesadaran!" Cong San melangkah maju akan tetapi hwesio penjaga pintu itu berdiri menghalang dengan pandang mata heran.
"Sebagai bekas murid Siauw-lim-pai apakah Sicu tidak tahu akan peraturan di sini? Orang luar tidak boleh memasuki kuil begitu saja tanpa seijin para pimpinan!"
Cong San mengerutkan keningnya. "Aku tidak berniat buruk dan aku perlu sekali menghadap suhu.......eh, Tiong Pek Hosiang. Kepentingan ini akan kupertaruhkan dengan nyawa dan kalau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan memasuki kuil untuk menghadap beliau!"
Tiba-tiba terdengar suara yang karena dan nyaring, "Hemmmm, ada apakah ribut-ribut sepagi ini?"
Yang muncul adalah Thian Kek Hwesio, hwesio tua tinggi besar yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu, sikapnya tenang namun kerena dan penuh wibawa, membuat Cong San serta merta menjatuhkan diri berlutut.
"Suheng....... ah, maaf......... Losuhu...... mohon perkenan agar teecu boleh menghadap Locianpwe Tiong Pek Hosiang....., penting sekali......... mohon perkenan sekali ini saja."
Sejenak sepasang mata hwesio tua itu memandang penuh perhatian, kemudian dia menggerakan tangan menggapai. "Mari masuklah, Yap-sicu, kita bicara di dalam."
Cong San tidak berani membantah, bangkit dan mengikuti hwesio tua itu memasuki ruang tamu di mana tidak terdapat lain hwesio. Setelah dipersilahkan duduk, hwesio tua itu bertanya,
"Nah, sekarang katakanlah. Ada keperluan apakah Sicu pagi-pagi mendatangi kami?"
"Suheng...... ah, Losuhu, teecu sedang bingung sekali. Teecu ingin menghadap Tiong Pek Hosiang, ingin mohon nasihatnya......... ah, perkenankanlah, sekali ini saja karena urusan ini menyangkut penghidupan teecu......."
"Yap-sicu, pinceng ingin sekali mengabulkan permintaanmu, namun tidak mungkin karena suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan akan bertapa si sana sampai saat terakhir tiba. Beliau tidak boleh dan tidak bisa diganggu karena andaikata Sicu menghadapnya juga, suhu tidak akan dapat melayanimu. Suhu sudah melepaskan diri dari segala urusan dan ikatan dunia, dan urusan suhu itu pun amat penting bagi jiwanya. Apakah dengan urusanmu ini Sicu tega mengganggu dan menggagalkannya?"
"Tapi....... tapi......"
"Yap-sicu. Engkau adalah seorang muda yang gagah perkasa dan telah menerima gembelengan lahir batin yang cukup, mengapa begini lemah. Tidak ada kesulitan di dunia ini yang tidak dapat diatasi manusia, asalkan si manusia itu mempunyai dasar ikhtikad baik. Apalagi kalau diingat bahwa segala kesulitan adalah akibat dari perbuatan sendiri, maka untuk mengatasinya harus pula dicari sebab dalam diri sendiri. Yap-sicu, pinceng melihat awan gelap menyelubungi dirimu, penyesalan, kemarahan, kekecewaan menggelapkan nuranimu. Keadaanmu ini berbahaya sekali. Sicu dan dapat menjadi sebab timbulnya perbuatan-perbuatan yang penuh penyelewengan. Pinceng perihatin sekali kalau sampai Sicu melakukan perbuatan yang menyeleweng daripada kebenaran karena Sicu adalah..... sahabat baik kami. Karena itu, cobalah ceritakan kepada pinceng apa yang mengeruhkan hati Sicu, semoga saja Tuhan memberi kekuatan kepada pinceng untuk memasukan penerangan dalam hatimu, mengusir kekeruhan dan kegelapan."
Cong San menjadi bingung dan ragu-ragu. Ia maklum bahwa gurunya tak dapat diganggu lagi, apalagi mendengar bahwa gurunya bersamadhi sampai datang kematian kelak, bagaimana dia tega mengganggu gurunya dengan segala urusan dunia yang hanya menyangkut kepentingan pribadi?
"Tapi...... urusan ini...... tidak boleh diketahui oleh siapapun....... maka teecu lari ke......suhu...... ahhhh......" Dia menjadi bingung dan menundukan muka, keningnya berkerut dan matanya dipejamkan.
Biarpun wataknya kasar, polos, jujur dan tenang, namun hati Thian Kek Hwesio merasa kasihan juga kepada sutenya ini, yang kehilangan keanggautaannya dari Siauw-lim-pai bukan oleh kesalahannya, melainkan oleh keadaan. Di dalam hatinya, dia masih menganggap pemuda itu sebagai sutenya sendiri yang dikasihinya.
"Yap-sicu, pandanglah pinceng. Pinceng adalah sorang kakek yang pantas menjadi kakekmu. Dalam menanggapi dan memandang persoalan dunia, mata batin pinceng telah terbuka lebar, mengapa Sicu merasa segan menyampaikan kepada pinceng kalau Sicu tidak segan menyampaikannya kepada suhu? Nah, orang muda, engkau perlu sekali mendapat penerangan, maka ceritakanlah peristiwa apa yang mendatangkan kegelapan hebat seperti hawa siluman itu di hatimu."
Lenyaplah keraguan di hati Cong San. Kalau dia tidak dapat menumpahkan perasaan hatinya yang membuatnya seperti gila itu, tentu dia akan menjadi gila dan benar seperti ucapan bekas suhengnya ini, dia akan melakukan hal-hal yang mengerikan. Suhunya tak dapat diharapkan, maka satu-satunya orang yang kiranya akan dapat menolongnya dengan nasihat adalah pendeta tua inilah. Serta-merta dia turun dari kursi dan menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Kek Hwesio. Pendeta ini memandang kepada bekas sutenya sambil tersenyum tenang, membiarkannya saja tidak membangunkannya karena maklum bahwa pemuda itu harus menumpahkan sluruh perasaan yang menghimpitnya.
"Losuhu, teecu.... bersama isteri teecu...... mengunakan hutan pohon pek untuk melewatkan malam......."
***
"Pinceng sudah tahu akan hal itu Sicu. Hwesio pernoda telah melaporkan dan pinceng memerintahkan mereka membiarkan kalian berdua dan meninggalkan kalian, karena sebagai sahabat baik, kalian berdua berhak menggunakan tempat itu untuk berbulan madu. lalu, apakah yang terjadi?"
Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya Cong San dapat juga mengeluarkan perasaan melalui mulutnya, "Losuhu, malapetaka hebat menimpa diri teecu...... malam tadi...... ah, bagaimana teecu harus menceritakan? Malam tadi........adalah merupakan malam pertama bagi teecu berdua sebagai suami isteri....... semenjak pernikahan kami yang tergangu di Cin-ling-san....."
"Hemmmm, dapat pinceng maklumi. Selamat atas kebahagiaan kalian suami isteri, Sicu."
"Losuhu! Harap jangan memberi selamat kepada teecu yang celaka ini! Malam tadi......baru teecu ketahui dan....... ah, Losuhu...... ternyata banwa isteri teecu itu bukanlah perawan lagi!!"
Tadinya Cong San merasa betapa hatinya terhimpit dan setelah dia berhasil mengeluarkan hal yang menjadi racun di hatinya itu, dia merasa agak lega, mengira bahwa tentu bekas suhengnya itu akan terkejut sekali, mengucapkan doa dan ikut merasa penasaran dan marah karena dia maklum betapa besar kasih sayang suhengnya ini kepadanya. Akan tetapi, tidak ada akibat apa-apa, bahkan tidak ada suara keluar dari mulut suhengnya. Ia tercengang dan cepat mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Ternyata kakek itu tetap tenang, duduk dengan muka cerah dan mulut tersenyum. Sejenak mereka berpandangan dan ketika Cong San kelihatan makin terheran-heran, kakek itu berkata halus,
"Yap Cong San, bangkit dan duduklah!"
Seperti orang kehilangan semangat, Cong San bangkit dan duduk menghadapi Thian Kek Hwesio. Sampai beberapa lama hwesio itu tidak bicara, dan mereka hanya saling pandang, Cong San masih merasa tertekan dan bercampur heran, sedangkan hwesio tua itu memandang penuh selidik, sinar matanya seakan-akan menembus ke dalam untuk menjenguk isi hati Cong San.
"Yap-sicu, sekarang dengarlah semua ucapan pinceng dan segala pertanyaan pinceng harap dijawab sesuai dengan isi hatimu." Cong San hanya mengangguk, seluruh perhatiannya dicurahkan.
"Yap-sicu, apakah engkau benar-benar mencintai Gui Yan Cu yang kini telah menjadi isterimu?"
Pertanyaan yang aneh! Mengapa masti ditanya lagi? Kenyataannya bahwa dia suka menjadi suami gadis itu tentu saja sudah cukup membuktikan bahwa dia mencinta Yan Cu!
Akan tetapi dia harus menjawab semua pertanyaan, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab, "Tentu saja, Losuhu! Teecu mencinta Yan Cu dengan sepenuh hati dan jiwa teecu!"
"Engkau mencintanya sejak sebelum kalian menjadi suami isteri dan dikawinkan di Cin-ling-san?"
"Benar, Losuhu. Teecu jatuh cinta kepadanya semenjak pertemuan kami yang pertama kali."
"Cinta lahir batin?"
"Benar!" Cong San menjadi makin tidak mengerti dan menatap wajah tua itu penuh pertanyaan.
"Dan sekarang, setelah mendapat kenyataan bahwa dia bukan perawan lagi, perasaan bagaimanakah yang terdapat di hatimu?"
"Teecu marah, teecu benci, menyesal, kecewa dan dendam tercampur aduk menjadi satu. Teecu........ ah, teecu tidak tahu lagi apa yang teecu rasakan! Teecu ingin..... bunuh diri saja!"
Senyum di wajah tua itu melebar. "yap Cong San, kalau engkau benar mencinta Gui Yap Cu, maka yang baru saja mengucapkan kata-kata itu bukanlah hatimu, bukanlah dirimu yang sejati, melainkan nafsu-nafsumu. Kalau pinceng percaya akan kata-katamu yang terakhir tadi, kalau kata-katamu keluar dari hatimu yang sejati, maka berarti bahwa selama ini engkau bukan mencinta Gui Yan Cu, melainkan mencinta...... tanda keperawanannya!"
Cong San terlongo, matanya terbelalak. "Apa...... apa yang Suheng maksudkan?" Saking kaget dan bingung, dia sampai lupa dan menyebut suheng kepada hwesio itu. Thian Kek Hwesio tidak mencela, melainkan berkata, suaranya jelas dan penuh ketenangan.
"Kalau engkau mencinta Gui Yan Cu, tentu pribadinya yang kaucinta, lahir batinnya, dirinya segala termasuk kebaikan dan cacad yang ada pada dirinya. Kalau engkau kehilangan dia, barulah engkau akan berduka dan menyesal. Akan tetapi karena yang kaucinta adalah tanda keperawanannya, maka begitu engkau kehilangan tanda itu, engkau menjadi berduka dan menyesal. Betapa picik dan rendahnya cintamu, Yap-sicu. Cinta berada di dalam hati, bukan di kulit daging! Cinta yang hanya sedalam kulit daging hanyalah cinta berahi! Tanda keperawanan hanya merupakan persoalan kulit daging belaka. Kalau betul engkau mengaku cinta kepada isterimu, maka cintamu itu adalah palsu, cintamu itu hanyalah cinta berahi kalau kini engkau meributkan soal perawan atau bukan! Memilih seorang isteri bukan seperti milih seekor ayam yang hendak disembelih, kemudian merasa kecewa dan menyesal setelah mendapat kenyataan bahwa ayam itu sakit! Sama sekali bukan! Memilih seorang isteri berarti memilih jodoh, memilih teman hidup selamanya berdasarkan cinta kasih yang murni, siap untuk hidup berdampingan selamanya, senang sama dinikmati, susah sama diderita. Kalau kenyataan bahwa isterimu bukan perawan lagi melenyapkan cintamu, maka cintamu itu bukanlah cinta murni, melainkan cita yang semata-mata didasarkan pada hubungan jasmaniah saja!"
Ucapan itu bagaikan halilintar di siang hari menyambar kepala Cong San. Dia terbelalak, matanya tak pernah berkedip memandang wajah hwesio yang tenang dan mulutnya tersenyum, akan tetapi sinar matanya tajam berpengaruh itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan membantah.
"Akan tetapi, Losuhu. Cinta yang murni harus disertai kesetiaan, tidak boleh dikotori dengan perjinahan! Sudah terang bahwa dia telah berjinah dengan orang lain, dan ini merupakan penipuan terhadap teecu. Sebuah penipuan yang amat kotor menjijikkan!" Berkata demikian, terbayanglah wajah Cia Keng Hong di depan mata Cong San, dadanya menjadi panas penuh dendam dan kemarahan, napasnya menjadi terengah-engah.
Thian Kek Hwesio mengangkat tangan ke atas, seolah-olah hendak mencegah pemuda itu berlarut-larut kemudian terdengar dia berkata,
"Kata-katamu itu memang benar dan tepat, Yap-sicu. Namun, kesetiaan itu hanya berlaku kepada mereka yang telah saling mengikat dengan cinta kasih, terutama dengan pernikahan. Kalau dahulu, ketika kalian saling bercinta, kemudian ternyata bahwa dia melakukan hubungan baik perjinahan maupun cinta kasih dengan pria lain, itu berarti bahwa dia menyeleweng dan mengingkari hubungan cinta yang sudah merupakan ikatan janji dan tentu saja kalau terjadi demikian, engkau berhak, bahkan sebaiknya kalau engkau memutuskan hubungan cinta itu. Kalau setelah menjadi suami isteri, isterimu melakukan penyelewengan dan berjinah dengan pria lain, maka engkau pun berhak untuk merasa menyesal dan marah, berhak untuk menceraikannya. Akan tetapi, dalam hal ini, tidak terjadi pelanggaran seperti itu. Kalau isterimu itu dahulu, sebelum bertemu denganmu, melakukan hubungan dengan pria lain, hal ini bukanlah berarti dia menipumu, dia tidak bersalah kepadamu dan melanggar ikatan apa-apa denganmu. waspadalah, yap-sicu dan berpikirlah secara bijaksana. Kalau benar kenyataan bahwa isterimu bukan perawan itu berarti dia pernah melakukan hubungan badani dengan pria lain, maka hal itu terjadi dahulu dan merupakan peristiwa yang sudah lalu, sama sekali tidak ada sangkut-paut dengan hubungan cinta kasih di antara kalian."
***
Agak dingin rasa panas di hati Cong San. Sampai lama dia diam saja, otaknya diperas, terjadi perang di hatinya. Terbuka mata hatinya bahwa memang dia tidak adil sekali kalau harus membenci Yan Cu karena isterinya bukan perawan lagi. Sejak pertemuan pertama Yan Cu sudah bukan perawan lagi, dan sekarang hanyalah pembukaan rahasia itu. Akan tetapi mengapa gadis itu tidak berterus terang? Itu berarti menipunya! Ah, mana mungkin seorang gadis mengaku dan bicara tentang keperawanannya? Akan tetapi mengapa bersikap seolah-olah masih perawan, masih belum pernah melakukan hubungan jasmani dengan pria lain? habis, apakah dia harus berteriak-teriak memamerkan ketidakperawanannya"
Terjadi perbantahan di hati Cong San. Akan tetapi tiba-tiba terngiang di telinganya semua ucapan Cui Im ketika mereka bertanding di Cin-ling-san dulu. "Yan Cu bukan perawan lagi, dia adalah bekas Keng Hong, hi-hi-hik! Tan Cong San, engkau pemuda tolol!"
Panas lagi hati Cong San, panas oleh cemburu! Matanya melotot, mukanya merah sekali. Dia akan membunuh Keng Hong! Dia akan membunuh Yan Cu! Kemudian dia akan membunuh diri sendiri!
"Yap-sicu, tenanglah dan kalahkan nafsu di hatimu sendiri," tiba-tiba terdengar suara Thian Kek Hwesio yang tenang, sabar dan penuh wibawa. Cong San dapat mengendalikan lagi hatinya, akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya,
"Losuhu! Apakah Losuhu hendak mengatakan bahwa seorang gadis yang melakukan hubungan badani dengan seorang pria di luar pernikahan bukan merupakan perbuatan kotor, hina, menjijikkan dan terkutuk?"
"Semua perbuatan yang menyeleweng daripada kebenaran adalah terkutuk, Sicu, terkutuk oleh kesadarannya sendiri melahirkan hukum karma. Jika benar bahwa isterimu pernah melakukan pelanggaran itu, maka sama saja dengan dia menanam benih yang kelah setelah bersemi, buahnya akan dia petik sendiri. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirimu, dan...... hemmm, andaikata Sicu melakukan hal yang bukan-bukan menurutkan nafsu marah dan bertindak terhadapnya, nah hal itu dapat saja dianggap sebagai karma atau akibat perbuatannya yang sesat. Mengertikah engkau, Sicu? Akan tetapi, jangan lupa pula bahwa kalau Sicu melakukan sesuatu yang mengerikan terhadap urusan ini, sicu juga tersesat, tidak berbeda dengan yang telah dilakukan isteri Sicu, dan kesesatan ini pun berbuah kelak."
"Akan tetapi, Losuhu. Seorang perempuan yang telah begitu merendahkan dirinya, sebagai seorang gadis berjinah di luar nikah, perempuan seperti itu apakah masih dapat dipercaya akan menjadi seorang isteri yang baik?"
"Sicu bicara hanya menurutkan nafsu iba diri yang menggunakan kemarahan untuk membakar hati Sicu! Berjinah adalah satu dari sekian banyaknya perbuatan menyeleweng dari manusia, akan tetapi janganlah Sicu menempelkan sebuah perbuatan menyeleweng pada diri orang itu dan selanjutnya dicap sebagai penyeleweng seumur hidupnya!
Yap-sicu, manusia di dunia ini siapakah yang tidak pernah menyimpang dari kebenaran? Macam-macam penyelewengannya, dan kebetulan sekali perjinahan dianggap sebagai penyelewengan terbesar untuk kaum wanita, akan tetapi setiap penyelewengan adalah manusiawi, timbul dari kelemahan batin manusia. Betapapun juga, tidak boleh menilai seseorang dari perbuatan sesaat untuk menjadi tanda selama hidupnya! Contohnya, maaf, suhu, terpaksa teecu membawa nama suhu untuk menyadarkan yap-sicu, adalah suhu kita sendiri. Beliau pernah melakukan penyelewengan yang itu, akan tetapi apakah selanjutnya beliau hidup sebagai seorang yang menyeleweng dari kebenaran? Sama sekali tidak, sungguhpun hukum karma masih selalu mengikuti beliau! Sama saja dengan isterimu, Sicu. Seorang yang melakukan penyelewengan dari kebenaran, adalah seorang yang sedang sakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya! Dan harus diingat bahwa yang sakit dapat sembuh! Sebaliknya harus selalu menjadi ingatan kita bahwa yang sesat dapat saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Maka, selagi dalam sehat lahir batin, janganlah kita menekan terlalu berat kepada mereka yang sedang sakit lahir batinya, karena mereka itu dapat sembuh dan kita dapat jatuh sakit. Mengertikah, Sicu?"
Cong San menunduk. Semua wejangan itu meresap di hatinya dan dapat dia mengerti sepenuhnya. Hanya hati yang panas itu, betapa sukarnya menindas hati sendiri!
"Mohon petunjuk, Losuhu. Bagaimana teecu harus bersikap terhadap isteriku itu? Betapa teecu dapat melupakan perbuatannya, melupakan kenyataan bahwa isteri teecu bukan perawan lagi!"
"Cinta kasih yang murni akan dapat melenyapkan semua kekecewaan hati, Sicu. Cinta kasih yang murni akan memperbesar kesabaran dan memperkaya maaf di hati dengan kesadaran bahwa tiada manusia tanpa cacad, maka segala cacad orang yang dicinta tentu akan mudah dimaafkan. Menerima seseorang harus dengan mata terbuka, dengan kesadaran sehingga akan mudah menerima orang itu berikut cacad-cacadnya dan kelemahan-kelemahannya karena tahu bahwa diri sendiri pun bukanlah orang yang tanpa cacad."
"Akan tetapi, bagaimana teecu akan dapat melupakan tekanan batin ini? Apakah sebaiknya teecu secara teru terang menanyakan hal itu dan menuntut agar dia menceritakan penyelewengannya yang lalu?'
Hwesio itu menggeleng kepala. "Tidak bijaksana kalau Sicu berbuat demikian. Seorang wanita memiliki perasaan yang amat peka, mudah tersingung. kalau Sicu mengajukan pertanyaan itu, apa pun kenyataannya, Sicu akan menderita akibatnya. Kalau ternyata dia tidak berdosa, dia akan tersinggung dan menganggap Sicu tidak percaya kepadanya dan hal ini mengakibatkan dia pun berkurang kepercayaannya kepada Sicu. Sebaliknya, andaikata dia berdosa, dia akan mengambil dua macam sikap, pertama dia bisa merasa malu dan rendah diri, bahkan luka dihatinya itu, setiap penyelewengan tentu membekas dan menimbulkan luka penyesalan di hati, akan terbuka dan kambuh kembali, dia akan menganggap Sicu memandang rendah tidak menghargai dia dan hal ini hanya akan mengingatkan dia akan pria pertama yang pernah merebut hati dan tubuhnya. Kedua, kalau dia seorang yang tinggi hati, dia akan nekat dan malah menantang Sicu dengan perbuatan yang seolah-olah tidak peduli dan tidak mengindahkan lagi ikatan pernikahannya dengan Sicu karena dia menganggapnya toh sudah rusak. Sebaiknya, Sicu menenangkan diri, mengubur diri dengan cinta kasih dan penuh maaf, didasari perasaan iba kepada isteri yang pernah menyeleweng dari kebenaran sehingga harus menanti datangnya hukum karma."
"Losuhu berkata bahwa kalau dia tidak berdosa. Mungkinkah itu? Sudah jelas semalam...... bahwa.....”
***
"pinceng sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, sudah tahu apa yang Sicu maksudkan. Yap-sicu, tanda keperawanan seorang wanita bukan hanya dapat dibuktikan di waktu malam pengantin pertama. Banyak hal yang dapat terjadi, yang memungkinkan dia kehilangan tanda itu diluar hubungan jasmani dengan pria, misalnya karena sakit, karena jatuh dan sebagainya. Terutama sekali harus diingat bahwa isterimu adalah seorang wanita yang berilmu tinggi, yang sejak kecil telah digembleng dengan ilmu silat, dengan gerakan-gerakan ketangkasan, maka kehilangan tanda keperawanannya bukanlah hal yang aneh lagi. Sekali lagi, kalau memang Sicu mencintanya, mengapa ribut-ribut urusan tanda keperawanan yang tidak berarti? Jangan lupa, cinta kasih tempatnya di hati, bukan di........eh, maaf, bukan di situ!"
Wajah Cong San menjadi terang kini. Sejak tadi dia mengalami perdebatan dan perang di hatinya, dan wejangan-wejangan itu telah membantunya sehingga akhirnya kesadaran memperoleh kemenangan. Sekarang seperti baru terbuka mata hatinya betapa tolol dia tadi, betapa gobloknya, hendak mengorbankan ikatan cinta kasih murni antara dia dan Yan Cu hanya oleh soal sepele saja. Soal perawan atau bukan! Aihhh terlalu lama dia meninggalkan Yan Cu!
"Losuhu....., Suheng ....... terima kasih...... terima kasih....!" Karena teringat akan isterinya, Cong San berkelebat dan sekali meloncat telah lenyap dari ruangan itu.
Thian Kek Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul sambil tertawa, kemudian dia merangkap tangan di depan dada, memejamkan mata dan mengerutkan keningnya.
"Omitohud..... semoga Yap-sute mendapat penerangan di hatinya dan dapat menyingkir dari bahaya kegelapan." Ia berkemak-kemik membaca doa karena hatinya prihatin sekali. Dia pun dengan mata batinya yang waspada, dapat melihat awan gelap menyelubungi diri sutenya itu.
Hati Yan Cu mulai menjadi gelisah ketika sampai hampir tengah hari dia tidak melihat Cong San datang. Ke manakah perginya suaminya itu? Suaminya! Suaminya yang tercinta dan mengenangkan Cong San, dada wanita muda ini terasa hangat dan penuh. Ah, tentu ada sesuatu yang penting maka Cong San sampai meningalkannya tanpa pamit. Dia harus menanti dengan samabr.
Tiba-tiba Yan Cu melompat bangun, wajahnya pucat. Sesuatu! Jangan-jangan suaminya tertimpa bahaya! Siapa tahu. Bhe Cui Im, iblis betina itu masih berkeliaran. Dan Go-bi Thai-houw! Aihhh, kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya! "Bhe Cui Im, kalau sampai engkau mengganggu suamiku, aku bersumpah untuk menghancurkan kepalamu!" Ia mengepal tinju. Akan tetapi kembali ia menjadi gelisah. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya yang tercinta?
"Ahhh, Tuhan, semoga dia selamat. Koko, ke manakah engkau pergi??" Hampir Yan Cu menangis kalau saja dia tidak ingat bahwa betapa memalukan kalau suaminya datang melihat dia menangis, atau habis menangis, seperti anak kecil saja, ditinggalkan sebentar juga menangis. Seperti wanita lemah yang manja dan cengeng, sedikit-sedikit merengek! Yan Cu merasa heran menyaksikan perubahan hatinya sendiri. Dia, seorang wanita gemblengan, seorang pendekar wanita yang semenjak kecil menghadapi kekerasan tanpa berkedip mata, sekarang menjadi seorang wanita lemah, penakut dan mudah gelisah. Beginikah cinta? Aihhh, betapa hebat kekuasaan cinta. Dia tersenyum kalau teringat betapa dahulu bersama suhengnya, Cia Keng Hong, dia bicara tentang cinta!
Uihhh, betapa jauh bedanya pelajaran kosong tentang cinta itu dengan kenyataannya. Bumi dengan langit! Kiranya tidak semudah itu cinta dipelajari dengan kata-kata, tidak semudah itu untuk dapat diikuti dengan pikiran, tidak mungkin diselami oleh akal budi manusia. Cinta hanya dapat DIRASA, titik! Percuma saja bicara tentang dasar laut dari permukaannya! Seperti bicara tentang isi langit dari atas bumi!
Tiba-tiba lamunannya membuyar ketika pendengarannya yang tajam terlatih itu mendengar suara gerakan orang. Ia cepat membalikkan tubuh dan seketika wajahnya berseri, matanya terbelalak bersinar-sinar, bibirnya terbuka, "Koko.....!"
"Yan Cu...... ohhh, Yan Cu.....!!" Cong San dan Yan Cu seperti berlumba lari saling menghampiri, saling menubruk dan saling peluk dengan penuh rindu seolah-olah mereka telah bertahun-tahun saling berpisah! Kalau masih ada bekas-bekas kemarahan di hatinya, kini tersapu bersihlah dari hati Cong San dan diam-diam dia mengutuk diri sendiri. Isterinya demikian mencintanya, jelas terasa oleh hatinya getaran kasih sayang yang keluar dari tubuh Yan Cu, dari ujung jari-jari tangannya, dari dengus napasnya, dari sinar matanya, dari senyum manisnya. Aihhh, cinta kasih isterinya bersembunyi di balik setiap gerak-geriknya, di balik setiap suara yang keluar dari mulutnya, menempel di setiap bulu badannya, mengapa dia masih menyangsikan!
Ia mencium isterinya penuh kasih sayang dan kegelisahan mereka berdua lenyap ditelan dalam ciuman yang lama dan mesra itu. Akhirnya Yan Cu melepaskan diri, terengah-engah, tersenyum dan mengerling manja dan mulutnya dibikin cemberut.
"San-koko, engkau sungguh keterlaluan. pagi-pagi buta telah meninggalkan orang pergi tanpa pamit!"
Cong San yang melihat isterinya cemberut, matanya melerok, kakinya dibanting seperti seorang anak kecil ngambek ini, tersenyum geli dan dia pun lalu menjura dalam-dalam seperti orang memberi hormat kepada seorang ratu, "Mohon beribu ampun, ratuku pujaan hati! Melihat engkau tidur demikian nyenyak, kelihatan lelah sekali, hati kakanda mana mungkin tega membangunkanmu?"
"Ihhh! Siapa yang bikin orang lelah!" Yan Cu mendengus, akan tetapi ia merangkul leher suaminya ketika pinggangnya dipeluk, lalu bertanya dengan suara sungguh-sungguh,
"Suamiku, hatiku tadi benar-benar gelisah sekali. Tadinya kukira engkau mencari bahan santapan, akan tetapi sampai hampir siang engkau belum juga kembali. Ada terjadi apakah, Koko? tadi aku khawatir kalau-kalau engkau tertimpa malapetaka!"
Aduh, kekasihku, engkau tidak tahu betapa malapetaka hebat hampir saja merusak cinta kasih kita, di dalam hatinya Cong San mengeluh. Akan tetapi mulutnya berkata, "Kau maafkan aku. Aku..... aku teringat kepada suhu. Tadinya aku hanya ingin menengok sebentar selagi kau tidur dan sekalian menangkap kijang atau kelinci. Siapa kira, ketika sampai di sana, suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan bertapa sampai mati kelak. Hatiku terharu sekali sehingga aku sampai lama membujuk-bujuk agar suhu suka bicara untuk terakhir kalinya dengan aku, namun sia-sia. Ketika aku kembali, hatiku demikian penuh rindu kepadamu sampai aku lupa untuk menangkap bahan makanan. dan perutku lapar bukan main!"
"Apa kaukira aku pun tidak lapar sekali? Baru sekarang terasa setelah kau kembali, heran sekali!"
"Ha-ha-ha, memang cinta membuat orang selalu merasa lapar dan haus!"
"Aaahh, masa! Apa engkau selalu lapar dan haus setelah jatuh cinta kepadaku?"
"Tentu saja, kelaparan dan kehausan hanya kerling matamu dan senyum bibirmu yang akan dapat mengobati lapar dan dahagaku yang tak kunjung puas. Hemmm, siapa suruh engkau memiliki mata dan bibir seindah ini?" Cong San mencium mata dan bibir itu sampai Yan Cu terengah-engah.
"Eh-eh-eh, engkau benar-benar buas tak kenal kenyang! begini terus, kita berdua benar-benar kelaparan, lapar perut bukan lapar itu, hi-hi-hik!" Yan Cu meronta dan melepaskan pelukan Cong San, kemudian melarikan diri dikejar suaminya.
"Hayo kita berlumba menangkap kelinci. Berlumba menangkap yang termuda dan paling gemuk. Yang kalah harus menguliti dan memanggang dagingnya, melayani yang menang!" Yan Cu terkekeh menantang. Mereka lalu berlari-lari seperti dua orang kanak-kanak mencari kelinci, karena Cong San memang mengalah, Yan Cu mendapatkan kelinci yang muda dan gemuk sekali, sedang Cong San mendapatkan kelinci kurus yang terlepas kembali, ditertawakan Yan Cu. Akan tetapi Yan Cu bukan tidak tahu bahwa suaminya mengalah, maka dia membantu menguliti kelinci, memanggang dagingnya berdua, lalu makan berdua, mencari buah dan makan buah berdua pula. Tidak ada kesenangan lain yang lebih mengharukan hati daripada segala-galanya dilakukan berdua oleh suami isteri ini.
***
Selama dua pekan mereka berdua berbulan madu di tempat itu dan biarpun kadang-kadang Cong San merasa seperti ada jarum menusuk hatinya dan telinganya mendengar bisikan suara fitnah dan maki-makian Cui Im mengenai diri isterinya, namun dia telah dapat melenyapkannya kembali semua itu dan cintanya terhadap Yan Cu bersih daripada prasangka buruk. Soal malam pertama itu pun sudah dia buang jauh-jauh dari dalam hatinya dan dia mengambil keputusan untuk melupakannya dan tidak bertanya apa-apa kepada Yan Cu. Untuk menghilangkannya sama sekali, ketika suatu siang mereka berdua duduk di tepi telaga di bawah pohon yang teduh, sambil memangku isterinya dan membelai rambutnya, Cong San bertanya lirih,
"Isteriku......?"
"Hemmm......"
"Yan Cu moi-moi, apakah engkau cinta padaku?"
Yan Cu terbelalak, lalu membalikan tubuhnya, memandang wajah suaminya dan ia tertawa terpingkal-pingkal!
Cong San mengerutkan alisnya dan mukanya tiba-tiba berubah pucat dan Yan Cu tidak melihat perubahan muka ini karena dia sedang tertawa dan kedua matanya terpejam.
"Yan Cu, mengapa kau tertawa? Apakah yang lucu tentang pengakuan cintamu?"
Baru Yan Cu terkejut ketika pundaknya diguncang oleh suaminya. Ia berhenti tertawa dan memandang dengan mata terbelalak. Juga Cong San baru sadar bahwa dia telah bersikap kasar, maka dia memeluk isterinya dan berbisik, "Maaf..... ah, aku telah menjadi gila!"
Yan Cu merangkul leher suaminya. "Akulah yang minta maaf, suamiku. Tidak kumaksudkan untuk menyinggung hatimu. Aku memang merasa geli oleh pertanyaanmu yang kuanggap aneh. Masih belum dapat melihatkah engkau betapa cintaku kepadamu amat besar, dengan seluruh hati dan jiwaku? Aihhh, suamiku, pertanyaanmu benar aneh. Aku cinta padamu! Aku cinta padamu! nah, kalau kau belum puas boleh kuulangi sampai seribu kali, aku cinta padamu!, aku cinta padamu, aku cinta....." Terpaksa Yan Cu tak dapat melanjutkannya karena bibirnya telah dicium oleh Cong San dan ia merasa betapa bibir suaminya menggigil dan ada rasa olehnya sedu sedan naik dari dada suaminya ke mulutnya.
Dengan pengakuan itu, tersapu bersihlah segala keraguan hati Cong San. Tidak mungkin isterinya pernah berhubungan dengan pria lain. Tentu benar seperti yang dikatakan Thian Kek Hwesio, isterinya kehilangan tanda keperawanannya karena latihan ilmu silat yang berat. Atau...... andaikata...... semoga tidak demikian jika Tuhan menghendaki, andaikata benar Yan Cu pernah melakukan penyelewengan, dia sudah memaafkannya karena yang penting sekarang dan selama hidupnya Yan Cu adalah miliknya, tubuh dan hatinya, trutama sekali cintanya!
Mereka meninggalkan tempat yang menjadi sorga pertama bagi mereka itu, menuju ke kota Leng-kok. Paman Cong san adalah kakak mendiang ibunya, menerima kedatangan mereka dengan gembira dan ramah, kemudian berkat bantuan pamannya ini, Cong San dan isterinya membuka sebuah toko obat-obatan di kota itu, hidup dalam keadaan sederhana namun cukup dan kaya dengan cinta yang membuat mereka tidak membutuhkan benda-benda duniawi lainya lagi.
Suami isteri muda ini sama sekali tidak tahu bahwa kadang-kadang ada sepasang mata yang indah namun berkilat penuh kebencian mengintai mereka. Tidak tahu bahwa ada otak kepala beberapa orang manusia yang mencari-cari kesempatan untuk melakukan pukulan maut yang akan membuat kebahagiaan mereka hancur berantakan. Tidak tahu bahwa Bhe Cui Im, wanita yang diperhamba nafsu iblis itu tidak pernah melepaskan mereka dari intaiannya, hendak menjadikan jalan mereka jalan untuk memuaskan nafsu kebencian dan dendamnya!
Selama setengah tahun suami isteri muda ini tinggal di Leng-kok dan Yan Cu telah mengandung enam bulan! Tentu saja hal ini memperlengkap kebahagiaan mereka, membuat mereka selalu bersyukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan berkah dan kebahagiaan kepada mereka. Pekerjaan mereka pun maju dan nama Cong San terkenal sebagai Yap-sinshe ahli pengobatan, padahal yang sesungguhnya ahli dalam hal pengobatan adalah isterinya! Toko obat mereka makin besar dan mereka hidup tidak kekurangan lagi.
Keng Hong dan Biauw Eng yang melakukan perjalanan sambil menikmati bulan madu, saling melimpahkan cinta kasih yang mendalam, tidak merasakan lagi jauhnya perjalanan. Bagi dua orang yang seolah-olah merasa bahwa dunia ini hanya ada mereka berdua, semua tempat tampak indah menyenangkan. Baik bermalam di dalam rumah penginapan, atau di dalam hutan, di padang rumput, di lembah sungai, bagi mereka tiada bedanya. yang penting adalah merasa belaian tangan kekasih, merasai kehadiran pujaan hati dan mereka saling menumpahkan segala rindu dendam yang sudah bersemi di hati masing-masing semenjak tahunan yang lalu, saling menyiramkan cinta kasih tak mengenal puas.
Sesuai dengan nasihat Biauw Eng yang memandang segala sesuatu penuh perhitungan dan kewaspadaan, Keng Hong dan isterinya tidak langsung mengunjungi Siauw-lim-pai, hanya melihat dan mendengar dari jauh. Akhirnya dengan hati lega mereka mendengar bahwa tidak terjadi keributan di Siauw-lim-si, hanya bahwa ketua Tiong Pek Hosiang yang sudah amat tua usianya itu mengundurkan diri untuk bertapa di Ruangan Kesadaran, sedangkan kedudukan ketua telah dipilih Thian Kek Hwesio. Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi girang sekali, apalagi ketika mendengar bahwa Cong San dan Yan Cu setelah berbulan madu di hutan pohon pek, telah melanjutkan perjalanannya ke Leng-kok.
"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja ke Cin-ling-san, suamiku. Sayang sekali kalau tempat yang indah itu tidak dipelihara. Mari kita pulang ke sana, dan kita bangun kembali rumah mendiang ibu tiriku. Kita tinggal di sana untuk sementara waktu, lihat perkembangannya kelak karena aku tidak suka tinggal di kota yang ramai. Lebih senang di pegunungan yang sunyi, hanya berdua denganmu."
Keng Hong memegang lengan isterinya dan membelainya. "Sesukamulah, Eng-moi. Hidupku mulai sekarang hanya untuk menuruti kehendakmu, untuk membahagiakanmu, dan ke mana saja kau kehendaki untuk tinggal, aku setuju."
"Hong-ko, engkau baik sekali. Akan tetapi aku tidak begitu mau menang sendiri, aku tahu, seorang isteri harus ikut dengan suaminya ke manapun suaminya pergi. Aku hanya menghendaki kita tinggal di Cin-ling-san yang sunyi itu untuk selama setahun. Setelah anak kita lahir, aku menurut saja engkau akan tinggal di mana."
Keng Hong mencengkeram lengan isterinya, "Apa.....? A...... anak kita......?"
Biauw Eng tersenyum dan mengangguk.
"Tidak tahukah engkau bahwa aku...... telah....." Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan muka, kedua pipinya menjadi merah sekali. Keng Hong terbelalak, baru sekali ini selama hidupnya dia melihat Biauw Eng malu, dan baru sekali ini pula dia merasa betapa hantinya mengalami kegembiraan yang sukar dituturkan, jantungnya seolah-olah membengkak, dadanya melebar dan dia merasa seperti seekor burung merak mengembangkan bulu-bulunya penuh kebanggaan.
***
"Mengandung....." Biauw Eng isteriku, benarkah itu?"
Biauw Eng mengangguk dan Keng Hong bersorak seperti anak kecil mendapat hadiah, memeluk Biauw Eng dengan erat. Akan tetapi tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan berkata, "Aih..... aku harus hati-hati...... mulai sekarang, tidak boleh aku memelukmu erat-erat!"
"Mengapa tidak boleh? Kalau kau kurang kuat memelukku, aku akan mengira bahwa kau telah bosan denganku."
"Tidak, tidak, sungguh mati tidak! Aku harus memikirkan anak kita..... ha-ha-ha! Anak kita! Aku akan menjadi ayah! Ho-hoooooo!" Keng Hong menangkap tubuh isterinya, dipondongnya dan dia berputar-putar sambil tertawa-tawa.
Berangkatlah suami isteri yang salingmencinta ini menuju ke Cin-ling-san dan mereka segera membangun kembali rumah mendiang Tung Sun Nio yang telah dibakar para bajak anak buah Bhe Cu In. Para penduduk di lereng dan kaki Gunung Cin-ling-san amat menghormati kedua suami isteri ini, bahkan mereka yang maklum bahwa suami isteri ini adalah sepasang pendekar yang budiman dan sakti, lalu mendatangi mereka dan menyatakan ingin tinggal di lereng itu. Mereka merasa aman dan tenteram kalau tinggal di dekat suami isteri ini. Tentu saja Keng Hong dan Biauw Eng tidak keberatan, bahkan senang sekali bergaul dengan para petani yang jujur itu. Para petani mendirikan rumah mereka, bahkan membantu Keng Hong membangun rumah dan beberapa bulan kemudian sudah ada belasan keluarga petani yang tinggal di lereng itu. Banyak pula yang mendengar akan kesaktian sepasang pendekar budiman itu sehingga mereka yang selalu sering menderita oleh gangguan para perampok, mempunyai niat hendak hendak mendekati Keng Hong dan isterinya.
Mulailah Keng Hong hidup sebagai petani di pegunungan yang indah itu dan di waktu senggang secara iseng dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada anak-anak pegunungan. Sungguh tak disangkanya semua bahwa tempat itu akan menajdi perkampungan yang besar dan bahwa kelak dia akan menjadi pendiri dari Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan yang terdiri dari kaum petani penghuni Pegunungan Cin-ling-san!
Setelah lewat setengah tahun, pada suatu pagi Keng Hong bercakap-cakap dengan isterinya di halaman rumah mereka, sebuah pondok sederhana akan tetapi cukup besar dan menyenangkan.
"Heran sekali mengapa tiada berita dari Leng-kok." Keng Hong berkata.
"Ahhh, Cong San dan Yan Cu sudah hidup bahagia, kabarnya membuka toko besar di sana, mana ingat kepada kita orang-orang gunung ini?" Biauw Eng menjawab sambil tertawa dan menuangkan teh panas untuk suaminya. Gerakannya kaku karena perutnya yang sudah mengandung empat bulan itu menghalangi gerakannya.
Keng Hong memandang ke arah perut isterinya dengan terharu dan bangga. "Betapa akan girang hati mereka kalau mereka tahu bahwa aku sudah hampir menjadi ayah!"
"Ihhh! Masih lama sudah dibicarakan saja. Siapa tahu mereka pun sudah mempunyai calon anak."
"Aku rindu sekali untuk mendengar keadaan mereka. Dan..... kalau aku teringat peristiwa di sini dahulu, ingat akan wajah Cong San yang dingin, hatiku tetap tidak enak dan mengkhawatirkan keadaan Yan Cu sumoi. Isteriku, bukankah sekarang sudah cukup waktunya untuk menjelaskan kesemuannya kepada Cong San?"
"Ah, apakah kau hendak meninggalkan aku dalam keadaan mengandung?" Biauw Eng membentak, pura-pura marah.
"Sama sekali tidak, isteriku. Aku tidak akan meninggalkan engkau, bilamanapun juga. Kalau aku pergi, harus bersama engkau. Maksudku, menjelaskan dengan surat seperti yang kaunasehatkan dahulu itu. Sekarang saatnya tepat, aku mempunyai alasan untuk mengirim kabar tentang kita dan menanyakan kabar mereka. Nah, dalam surat itu dapat kusinggung tentang finah yang dilontarkan Cui Im itu, agar membersihkan hati Cong San dari rasa cemburu. Bagaimana?"
Biauw Eng mengangguk. "Kalau begitu, baik saja. Akan tetapi, siapa yang disuruh menghantarkan suratmu kepada mereka di Leng-kok?"
"Aku akan suruh seorang di antara pemuda di sini untuk mengantarkan surat. Dengan naik kuda kurasa dalam waktu tiga hari dia akan sampai di Leng-kok. Sebaliknya kusuruh A-liok, dia pernah pergi ke kota dan orangnya cukup cerdik, tentu akan dapat mencari alamat Cong San di Leng-kok."
"Baiklah, Koko. Akan tetapi yang hati-hati kau menulis surat dan urusan cemburu itu kau singgung sedikit saja jangan sampai terlalu menyolok."
"Akan kutulis sekarang dan nanti engkau perbaiki kalau kurang sempurna.”
Keng Hong lalu mengambil alat tulis dan kertas kemudian dengan alis berkerut dia mulai menulis sebuah surat dengan hati-hati dan sebaik mungkin. Setelah membuang waktu satu jam lebih akhirnya dia menyelesaikan surat itu dan memperlihatkannya kepada isterinya. Biauw Eng duduk di kursi, membaca surat itu penuh perhatian,
Saudara Yap Cong San dan Yan Cu sumoi yang baik.
Setengah tahun kita saling berpisah. Kami mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kami harap kalian hidup bahagia seperti kami yang kini menanti hadirnya seorang anak kurang lebih lima bulan lagi. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san. Kami harap kalian ada kesempatan untuk berkunjung, karena kami sudah rindu sekali.
Sebagai penutup surat ini, kami harap semoga kalian jangan mempedulikan fitnahan keji yang dilontarkan iblis betina Bhe Cui Im di Cin-ling-san dahulu, karena semua itu bohong belaka.
Sekian dan sampai jumpa!
Salam dari kami,
Cia Keng Hong dengan isteri.
Setelah membaca surat itu, Biauw Eng mengangguk. "Kurasa sudah cukup, Hong-ko. Kuharap sana Cong San cukup bijaksana dan cerdik untuk dapat mengerti kalimat terakhir dan melenyapkan sama sekali sisa-sisa penasaran di dalam hatinya."
Pada hari itu juga A-liok berangkat membawa surat itu dan menunggang seekor kuda sambil membawa bekal uang yang diberikan oleh Biauw Eng kepadanya.
Pemuda yang berusia dua puluh tahun ini girang dan bangga sekali bahwa dia dipercaya oleh "Cia-taihiap" dan isterinya untuk mengantar surat kepada sahabat mereka di tempat yang begitu jauh. Dia belum pernah ke Leng-kok, akan tetapi setelah menerima petunjuk Keng Hong, pemuda yang pernah beberapa tahun tinggal di kota besar ini merasa yakin akan dapat mencari alamat itu.
Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti keberangkatan A-liok yang membalapkan kuda dengan pandang mata penuh harapan. Tadi mereka telah berpesan kepada A-liok agar suka minta balasan surat sebagai bukti bahwa surat mereka telah diterima oleh Con San dan istrinya.
A-liok membalapkan kudanya dengan wajah berseri. hatinya girang dan bangga bukan main. Masih terbayang di depan wajahnya yang berseri itu betapa para penduduk dusun semua memandangnya dengan kagum. Dia bukanlah seorang pemuda dusun sembarangan! Dia memiliki kelebihan daripada penduduk gunung lainnya. Dia dipercaya oleh Cia-taihiap dan isterinya, diutus untuk menyerahkan surat, sebuah tugas yang penting sekali! Disuruh menunggang kuda dan dibekali uang lima tail perak! Dia seorang utusan yang penting. A-liok merasa dirinya penting dan gagah. Sedikit banyak dia telah menerima pelajaran dasar ilmu silat dari Cia-taihiapdan hatinya besar. Segala macam perampok cilik akan kugasak habis kalau berani menggangu tugasku yang maha penting ini, pikirnya bangga.
Hari telah senja ketika A-liok tiba di sebuah hutan. Dia harus cepat-cepat membalapkan kuda agar dapat sampai di dusun luar hutan ini kalau tidak mau kemalaman dan terpaksa bermalam di hutan. Dia tahu bahwa di luar hutan terdapat sebuah dusun di mana dia dapat bermalam dan membiarkan kudanya mengaso.
Tiba-tiba di sebelah depan muncul lima orang yang menghadang jalan. Jantung A-liok berdebar keras. Celaka, tentu perampok, pikirnya. Akan tetapi mengingat bahwa dia adalah orang kepercayaan dan utusan Cia-taihiap, hatinya membesar dan keberaniannya timbul. Ia menahan kendali kudanya dan berkata lantang,
"Sahabat-sahabat di depan harap membiarkan aku lewat. Aku adalah orang utusan dari Cia-taihiap di Cin-ling-san, dan aku tidak mempunyai sesuatu yang cukup berharga. Biarlah kelak kulaporkan kepada taihiap agar memberi ganjaran kepada kalian!"
Lima orang itu dipimpin oleh seorang setengah tua yang berpakaian mewah sekali seperti seorang bangsawan. Ketika lima orang itu tertawa-tawa geli menyaksikan sikap A-liok, orang itu membentak,
"Mengapa tertawa-tawa? Keparat, hayo tangkap dia!"
Seketika lima orang itu berhenti tertawa dan sambil menyeringai mereka menghampiri A-liok yang masih duduk di atas kuda. Seorang diantara mereka berkata,
"Petani busuk, turun kau!" tangannya meraih utuk menyeret kaki A-liok, akan tetapi A-liok menggerakan kakinya menendang.
***
"Crottt! Waduhhhhhhh!!" Orang itu terkena tendangan ujung kaki A-liok, tepat pada hidungnya sehingga kontan hidung itu mengucurkan kecap! A-liok sendiri terpental karena tendangan itu dan karena kudanya kaget meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas, tak dapat dicegahnya lagi A-liok terbanting ke belakang. Namun dengan gerakan seperti seorang hati silat kelas satu benar-benar, dia sudah meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan pinggulnya yang terbanting dan terasa nyeri. Ia melangkah maju, mengangkat dadanya dan tidak merasa bahwa jalannya agak terpincang. Dengan keras dia membentak,
"Apakah kalian buta? Berani menyerang utusan dan murid Cia Keng Hong taihiap, pendekar sakti di Cin-ling-san?"
Akan tetapi orang yang hidungnya kena tendangan ujung sepatu yang kotor dan bau itu dengan gerengan keras sudah menerjang maju dan memukul dadanya. A-liok baru belajar dasar-dasar ilmu silat selama beberapa bulan, akan tetapi karena yang mengajarnya adalah seorang sakti seperti Ci Keng Hong, dasar ini sudah cukup baginya untuk dapat memasang kuda-kuda yang kokoh dan sekali menggeser kaki dan dia sudah berhasil mengelak, sedangkan tangan kirinya meluncur ke depan menghantam ke arah kepala si penyerang.
"Blukkk........auuuuwwwwww!" Orang itu terkena pukulan kepalanya, terguling dan setengah pingsan karena matanya berkunang kepala berdenyut-denyut, sedangkan yang berteriak kesakitan adalah A-liok sendiri karena tangannya terasa sakit bukan main ketika kepalan tangannya bertemu dengan batok kepala yang keras! Ia menyeringai dan menghelus-elus tangan krinya.
Orang setengah tua berpakaian mewah yang memimpin lima orang itu menjadi marah. Dia menggerakan tangannya menampar ke arah A-liok yang kebetulan berada di dekatnya. A-liok kembali berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu seperti mengikuti dan cepat mengenai dadanya.
"Plakkk!" Tubuh A-liok terlempar dan bergulingan. Ia meloncat bangun, terhuyung dan terengah-engah. Napasnya sesak dan dadanya nyeri bukan main. Kedua matanya menjadi merah saking marahnya.
"kau......! Berani kau memukul A-liok, jago muda dari Cin-ling-san murid Cia-taihiap?" Pemuda dusun ini maklum bahwa orang berpakaian mewah itu lihai, maka dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang maju lalu menyerang, bukan menggunakan pukulan atau tendangan, melainkan menyeruduk dengan kepalanya seperti seekor kerbau gila mengamuk, menyeruduk ke arah perut laki-laki setengah tua berpakaian mewah itu. Laki-laki itu yang bukan lain adalah Mo-kiam Siauw-ong "Raja Muda" semua bajak sepanjang sungai Fen-ho, tersenyum mengejek. Menghadapi seorang muda dusun tolol seperti, dia mana sudi mengelak? Melihat serudukan itu, dia sama sekali tidak menangkis atau mengelak, malah memasang perutnya yang agak gendut menerima serudukan kepala pemuda itu.
"Dukkk!!"
Tubuh Mo-kiam Siauw-ong sama sekali tidak bergoyang terkena serudukan yang keras itu, sebaliknya, tubuh A-liok terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Pemuda itu berputar-putar seperti menari-nari di atas kedua kakinya yang terhuyung, kedua tangannya memegangi kepalanya yang seperti pecah rasanya, kedua matanya menjuling dan dunia menjadi gelap penuh bintang-bintang gemerlapan sebelum dia roboh dan tidak tahu apa-apa lagi, pingsan!
Akan tetapi tidak lama A-liok pingsan. Tubuhnya yang sudah biasa bekerja berat setiap hari, mencangkul di bawah terik panas matahari, membuat tubuhnya kuat dan daya tahannya besar. Ketika dia membuka mata dan mengeluh, ternyata kedua tangannya sudah terikat, demikian pula kedua kakinya. Ia miringkan tubuh memandang dan melihat betapa laki-laki berpakaian mewah yang lihai sekali tadi kini sedang memegangi sampul surat yang tadi berada di saku bajunya, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk.
"Aha, Sianli tentu akan girang sekali melihat surat ini." Mo-kiam Siauw-ong berkata. "Seret dia, kita bawa menghadap Sianli!"
Seorang penjahat menyambar kuncir rambut A-liok dan menyeretnya. A-liok berteriak-teriak, memaki-maki, bukan hanya rasa nyeri karena rambutnya ditarik, akan tetapi melihat suratnya dirampas dan bahkan uang bekalnya dipakai main-main di tangan seorang penjahat.
"Perampok rendah! Keparat hina! Hayo kembalikan surat itu, kembalikan uangku, dan lepaskan aku. Kalau tidak, kalian tentu akan dibasmi semua oleh Cia-taihiap! Kembalikan surat dan uangku, kalian maling-maling busuk, perampok, bajak!"
Akan tetapi mereka tidak mempedulikannya, dan sebuah hantaman pada belakang telinganya membuat A-liok roboh pingsan lagi. Dia tidak tahu betapa tubuhnya disampirkan ke atas punggung kuda, kemudian dibawa pergi cepat oleh enam orang yang menunggang kuda-kuda besar.
Kebencian membuat manusia menjadi seperti gila karena kebencian itu sendiri sebelum merugikan orang lain telah menjadi racun di hati sendiri. Kebencian Cui Im terhadap empat orang muda, Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, membuat wanita ini setiap detik merasa tersiksa hatinya. Belum akan reda dendam dan bencinya kalau dia belum berhasil mencelakakan musuh-musuhnya itu. Dan selama ini Cui Im tidak pernah diam. Di samping memperhebat ilmunya di bawah pimpinan Go-bi Thai-houw yang tinggal di Sun-ke-bun yang diperlakukan seperti seorang Thai-houw (permaisuri) benar-benar, atau lebih tepat seperti Ibu suri, Cui Im juga tidak pernah berhenti untuk melakukan pengintaian terhadap empat orang musuhnya dan mempelajari keadaan mereka. Dapat dibayangkan betapa menghebat iri hati, dendam dan bencinya ketika ia mendengar bahwa dua pasang suami isteri itu hidup penuh kebahagiaan, bahkan kini menanti lahirnya seorang anak masing-masing! Dia maklum bahwa untuk turun tangan secara kasar, menggunakan kekerasan, amat berbahaya. Selain dua pasang suami isteri itu, terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng yang tinggal di Cin-ling-san, memiliki kepandaian tinggi, juga kini pemerintah sedang bersikap keras dan akan membasmi setiap gerombolan penjahat yang berani mengacau. Kalau dia membawa anak buah bajak menyerbu ke Cin-ling-san, ia khawatir gagal menghadapi kelihaian Keng Hong dan Biauw Eng, biarpun dia dibantu oleh Go-bi Thai-houw yang akhir-akhir ini saking tuanya menjadi malas meninggalkan kamarnya yang indah dan lengkap. Menyerbu ke Leng-kok lebih banyak harapan karena dia dapat mengatasi kepandaian Cong San dan Yan Cu, akan tetapi hal itu berarti dia mendatangkan kekacauan di kota itu dan kalau sampai pemerintah turun tangan memusuhinya, dia bisa celaka. Pemerintah Ceng memiliki banyak sekali orang pandai. Apalagi dia sendiri kini mondok di tempat tinggal Coa-taijin, seorang kepala daerah, berarti seorang pegawai negeri pula. Tentu Mo-kiam Siauw-ong sebagai mantu kepala daerah tidak berani mengerahkan anak buahnya membantu. hal itu selain berbahaya, juga akan menyeret dan membahayakan kedudukan mertuanya.
Karena inilah maka Cui Im yang dimabuk dendam kebencian itu melakukan siasat dengan penuh kesabaran. Dia menyuruh Mo-kiam Siauw-ong yang sudah menjadi pembantunya yang setia untuk mengirim orang-orang menyelidiki keadaan empat orang musuhnya itu, mengintai dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka.
Demikianlah, ketika para pengintai itu melihat seorang pemuda dusun kenjadi utusan Keng Hong, segera mereka menghadang, bahkan dipimpin sendiri oleh Mo-kiam Siauw-ong yang kebetulan meronda dan melakukan pemeriksaan atas tugas anak buahnya. A-liok tertawan dan betapa girang hati Mo-kiam Siauw-ong ketika mendapatkan sepucuk surat Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Yap Cong San di Leng-kok. Penemuan ini merupakan jasa besar dan dia sudah membayang betapa Cui Im akan membalas jasa ini dengan mesra, sedikitnya semalam suntuk dia akan diterbangkan ke sorga oleh wanita yang cantik jelita, pandai merayu pria, berpengalaman dan amat lihai itu! Biarpun diam-diam Mo-kiam Siauw-ong tergila-gila kepada Cui Im, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengambil langkah lebih dulu, selain sungkan kepada Coa kun, adik iparnya yang kini menjadi kekasih tetap Cui Im, juga takut kepada ayah mertuanya, dan terutama sekali mana dia berani bersikap kurang ajar kepada Cui Im yang demikian lihai? Kecuali, tentu saja, seperti dahulu setelah menyerbu Cin-ling-san, kalau Cui Im menghendakinya, untuk memberi "hadiah" atas jasanya, tentu dia akan menerima dan meneguk cawan anggur manis memabukan itu sampai tiada tertinggal setetes pun!
Benar saja seperti dugaan Mo-kiam Siauw-ong Cui Im yang cantik dan kemerahan pipinya itu menjadi berseri. Wanita yang sudah berusia tiga puluh tahun lebih ini masih nampak cantik sekali, cantik dengan tubuh yang matang dan padat menggairahkan, ditambah lagi karena gerak-geriknya memang menarik, setiap lekuk-lengkung tubuhnya dimanfaatkan dalam gerak-gerik terlatih dan teratur itu.
"Bagus....... bagus........ Coa-kongcu, saatnya tiba aku dapat membalas mereka dan kepandaianmulah yang kubutuhkan untuk ini!" katanya sambil menarik tangan pemuda tampan yang kini mukanya menjadi agak pucat karena setiap malam harus melayani iblis betina yang tak mengenal puas dengan nafsu berahinya itu, masuk ke dalam kamar meninggalkan Mo-kaim Siauw-ong yang bengong terlongong dan kecewa!
Dua hari kemudian, seorang anggauta anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang muda dan perawakannya mirip A-liok, memakai pakaian yang dipakai A-liok dan menunggang kuda dari Cin-ling-san itu, meninggalkan Sun-ke-bun di malam hari bersama Mo-kiam Siauw-ong dan beberapa orang anak buahnya yang membawa pula tubuh A-liok yang terbelenggu. Setelah tiba di sebuah hutan pegunungan, A-liok yang dibuka sumbatan mulutnya segera memaki-maki,
"Mau diapakan aku? Eh, orang itu mengapa memakai pakaianku dan menunggang kudaku? Mana suratku dan uang bekalku? hayo kembalikan!"
Mo-kiam Siauw-ong memberi isyarat dan sambil tertawa-tawa anak buahnya menyeret tubuh A-liok yangmeronta-ronta turun dari kuda, terus menyeretnya ke tepi jurang dan tak lama kemudian terdengar pekik mengerikan ketika tubuh A-liok dibacok kemudian dilempar ke dalam jurang yang amat dalam. Mereka tertawa-tawa dan berangkat menuju ke Leng-kok.
Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya menanti di luar kota, sedangkan anak buahnya yang menunggang kuda Ci-ling-san itu memasuki kota Leng-kok, langsung menuju ke rumah yap Cong San. Dia meloncat turun dari atas punggung kuda, lalu berindap-indap mendekati toko obat yang sudah tutup karena hari telah malam. Seperti seorang pencuri, orang ini beberapa kali jalan mondar-madir di depan toko, bahkan beberapa kali menengok ke dalam. Sebagai seorang yang akan melakukan sesuatu yang tidak baik, sikapnya itu selain mencurigakan juga amat ceroboh, karena tentu saja Cong San yang sedang duduk di dalam toko yang hanya di buka pintunya itu menjadi curiga ketika melihat orang yang mengikat kudanya tak jauh dari situ kini berjalan mondar-madir dan melongok-longok ke dalam. Cong San mencelat keluar dan membentak,
"Engkau mau apakah? Apakah ada orang sakit? Atau hendak membeli obat?"
Akan tetapi orang itu tidak menjawab malah cepat pergi dengan langkah lebar dan tergesa-gesa seperti hendak melarikan diri dan menghampiri kudanya. Tentu saja Cong San menjadi makin curiga. Dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat memegang pundak orang itu dari belakang dan sekali menggerakan tenaga, orang itu dipaksa membalikkan tubuh menghadapinya.
"Hemmmm, kau mencurigakan sekali! Engkau siapa dan mau apakah?"
Orang itu merasa betapa jari-jarin tanganyang mencengkeram pundaknya luar biasa kuatnya, diam-diam ia menggigil dan dengan suara terputus-putus dia berkata, "hamba..... A-liok dan....... hamba tidak berniat buruk......hamba........hamba utusan Cia-taihiap dari Cin-ling-san......"
Cong San terkejut sekali, cepat melepaskan cengkeraman tangannya dan berkata dengan suara halus, "Ahhh, kalau benar begitu mengapa engkau tidak masuk saja ke toko mondar-madir, longak-longok mencurigakan? Marilah masuk, apakah engkau diutus oleh Cia Keng Hong taihaip?"
Akan tetapi orang itu menggeleng kepala dan suaranya gemetar, "Hamba..... tidak usahlah, hamba mau kembali saja. Lain kali hamba datang....."
Cong San mengerutkan kening dan kembali timbul kecurigaannya. "Eh, kenapa begitu? Aku adalah Yap Cong San, tentu Cia-taihiap mengutus engkau untuk menemuiku."
"Tidak..... tidak...... bukan...... hamba harus pergi......!" Orang itu hendak lari akan tetapi Cong San kembali memegang lengannya.
"Tunggu! hayo katakan, engkau diutus untuk menemui siapa dan menyampaikan apa?"
Orang itu meronta-ronta, tubuhnya menggigil dan suaranya gemetar, "hamba tidak berani........ tidak berani, lepaskan hamba........"
Cong San makin penasaran. Ia menggerakan jari tangannya dan seketika orang itu tertotok lumpuh dan tidak dapat mengeluarkan suara. Dengan mudah dia mencengkeram leher baju orang itu dan dibawanya masuk ke dalam tokonya, lalu menutupkan pintu dan mendudukan orang yang lemas itu ke atas kursi. Kemudian dia menggeledah orang itu dan menemukan sesampul surat dalam saku bajunya. Tangan Cong San gemetar ketika dia membaca tulisan Keng Hong di atas sampul itu, sebuah surat pribadi dari Cia Keng Hong yang ditujukan ke pada Gui Yan Cu! Apa artinya ini? Ia sudah membuka mulut hendak berteriak memanggil isterinya dan kakinya sudah bergerak hendak lari masuk. Akan tetapi dia teringat sesuatu dan ditahannya mulut dan kakinya. Isterinya sedang beristirahat seperti biasa. Memang setelah mengandung tua, dia tidak memperbolehkan isterinya bekerja dan mengharuskan banyak mengaso. dibacanya. Mukanya mendadak menjadi pucat dan berubah merah sekali, matanya terbelalak, cuping hidungnya berkembang-kempis, bibirnya menggigil seperti tangan dan kakinya. hampir dia tak percaya akan pandang matanya sendiri dan dibacanya surat itu sekali lagi, perlahan-lahan, namun tetap saja tidak berubah posisinya.
Yan Cu sumoi yang tercinta,
Setengah tahun kita saling berpisah.
Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san.
Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali berdua seperti dahulu memadu kasih?
Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.
Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong.
Cong San merasa betapa dadanya menjadi sesak dan panas, seolah-olah dada api membara membakarnya dari dalam. Si keparat Cia Keng Hong! Kiranya betul! Hampir dia lari masuk untuk melontarkan surat itu ke muka isterinya. Akan tetapi untungnya dia teringat akan keadaan isterinya. Isterinya mengandung tua, amat berbahaya bagi kandungannya kalau sampai batinnya terpukul. Jelas, isterinya dahulu adalah kekasih Keng Hong! Jelas sekali dari bunyi surat itu. Akan tetapi, hal itu sudah disangkanya dahulu, dan bukanlah dia sudah memaafkan? Sekarang surat ini datangnya dari Keng Hong. Si keparat Keng Hong laki-laki mata keranjang yang tak juga mau mengubah wataknya yang rendah dan kotor! Isterinya tidak bersalah dan amat kejamlah kalau menyalahkan isterinya dengan datangnya surat ini. Hanya Keng Hong yang bersalah, si keparat hina itu. Sudah menikah dengan Biauw Eng masih berani menurati Yan Cu yang telah menjadi isterinya. Makin diingat makin panas hatinya dan kalau saja pada saat itu Keng Hong berada di depannya, tanpa bicara apa-apa lagi tentu akan diserangnya dan diajak mengadu nyawa!
Dengan segala kekuatan batinya Cong San menekan hatinya yang panas dan diamuk cemburu, kemudian mengambil kertas dan pit-nya, memegang pit yang juga biasa menjadi senjatanya yang ampuh itu, ingin sekali dia mengunakan pit ini untuk menyerang Keng Hong daripada untuk menulis surat! Sampai tiga kali dia merobek-robek suratnya yang memaki-maki Keng Hong. Ah, dia harus berhati-hati. Urusan ini menyangkut nama dan kehormatan isterinya sendiri yang tidak berdosa, tidak tahu apa-apa. Dia boleh marah, boleh memaki Keng Hong, akan tetapi kalau dia sebut-sebut dalam surat urusan itu dan sampai surat itu dibaca orang lain, bukankah nama isterinya akan cemar?
Cia Keng Hong,
Aku masih cukup bersabar, akan tetapi sekali lagi engkau berani menulis surat tau melakukan perbuatan yang hina, aku Yap Cong San bersumpah untuk membunuhmu!
Tertanda : Yap Cong San.
Setalah memasukkan surat dalam sampul dan memasukan sampai ke dalam saku orang yang tertotok itu, dia lalu membebaskan totokannya, mencengkeram pundak orang itu dan melemparkan tubuhnya ke luar toko setelah dia membuka daun pintunya.
"Lekas minggat sebelum kuhancurkan kepalamu!" bentaknya.
"Baik, Taihiap...... baik......!" Orang itu berlari terhuyung-huyung, menghampiri kudanya, meloncat ke atas pungung kuda dan membalapkan kudanya ke luar kota Leng-kok.
***
Cong San menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi, surat dari Cin-ling-san itu seolah-olah terasa panas membakar di saku bajunya. Tiba-tiba dia meluruskan tubuhnya ketika mendengar langkah kaki Yan Cu keluar dari ruangan dalam.
"Apakah ribut-ribut tadi? Aku seperti mendengar ada tamu!" Yan Cu bertanya sambil memandang suaminya.
"Memang ada tamu, seorang dari luar kota membutuhkan obat untuk isterinya yang sakit demam."
"Ahhh, pantas aku mendengar derap kaki kudanya. Eh, apakah itu?"
Cong San cepat membungkuk dan mengambil tiga robekan kertas yang sudah dikepal-kepalnya tadi, surat-surat yang bernada keras terhadap Keng Hong. Ia merasa lega bahwa isterinya dengan perutnya yang besar itu tidak dapat membungkuk. kalau tidak sedang mengandung, tentu Yan Cu sudah membungkuk dan menyambar kertas-kertas itu. "Ah, bukan apa-apa. tadi kutulis catatan obat untuknya, akan tetapi sampai tiga kali keliru saja." Ia merobek-robek kertas itu sampai hancur, kemudian melemparkannya ke keranjang di sudut.
"Suamiku, kau kelihatan lelah sekali. Mengasolah."
Akan tetapi, Cong San yang rebah di samping isterinya, tak dapat tidur. Yan Cu telah tidur nyenyak dan malam itu sunyi sekali. Namun Cong San yang rebah tak bergerak itu merasa gelisah dan sama sekali tak pernah dapat tidur sekejap mata pun.
Dadanya terasa panas bukan main. Sekarang dia mendapatkan bukti bahwa antara Yan Cu dan Keng Hong memang pernah ada hubungan cinta. Hal itu tidak menyakitkan hatinya karena memang sudah diduganya dan sudah dia lupakan. Akan tetapi, sekarang Keng Hong datang dengan suratnya yang jelas menyatakan bahwa laki-laki tak tahu aturan itu masih mencintai Yan Cu! Cong San juga tidak marah mendapat kenyataan bahwa isterinya dicinta laki-laki lain. Tidak ada seorang pun suami di dunia ini yang akan marah kalau isterinya dicinta laki-laki lain, biar laki-laki sedunia jatuh cinta, malah akan mendatangkan kebanggaan bahwa wanita yang dicinta orang-orang lain itu menjatuhkan pilihan kepada dirinya! Tidak dia tidak akan peduli kalau tahu bahwa Keng Hong masih mencinta isterinya. Akan tetapi, melihat Keng Hong masih berani melanjutkan hubungan, berani mengirim surat, hal itu sudah melanggar batas kesopanan, seolah-olah sengaja menghinanya! Di samping ini, timbul perasaan tidak enak yang makin memanaskan hatinya, yaitu perasaan cemburu yang sudah berhasil dia padamkan sampai dua kali. Pertama, ketika cemburu mulai meracuni hatinya setelah mendengar fitnah yang dilontarkan dari mulut Cui Im sehingga dia menjadi cemburu sekali kepada Yan Cu. Cemburu yang pertama itu dapat dia atasi dan tundukan dengan keyakinan bahwa dia tidak perlu mempercaya mulut seorang iblis betina seperti Bhe Cui Im. Kemudian dia hampir gila ketika cemburu yang kedua kalinya menerkamnya, yaitu setelah pada malam pertama di tepi telaga dia mendapat kenyataan bahwa Yan Cu bukan perawan lagi. Ras cemburu membuat dia hampir melakukan hal yang bukan-bukan, bahkan membuat dia ingin membunuh diri. Namun, akhirnya dia dapat juga menundukan cemburu yang kedua kalinya itu berkat wejangan-wejangan suhengnya, Thian Kek Hwesio yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai.
Sekarang, kembali cemburu menggerogoti hatinya, sedikit demi sedikit, dengan giginya yang beracun sehingga terasalah panas membakar yang membuat dadanya seperti meledak. Rasa cemburu yang timbul dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya,
"Keng Hongamat mencinta Yan Cu, sampai sebesar apakah cinta Yan Cu kepada Keng Hong? Melihat bunyi surat yang menyatakan betapa besar kasih sayang Keng Hong kepada Yan Cu, mungkinkah sekarang Yan Cu dapat menghilangkan rasa cintanya terhadap Keng Hong? Tidakkah diam-diam isterinya yang kini tidur di sampingnya itu masih mencinta Keng Hong?"
Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar seperti bisikan halus itu seperti menusuk-nusuk jantungnya, dan betapapun Cong San berusaha mengusirnya, tetap saja bisikan-bisikan itu terus mengikuti hati dan pikirannya.
"Yan Cu menjadi isterimu hanya karena terpaksa! Sebetulnya dia mencinta Keng Hong!" Bisikan yang tadi bertanya-tanya itu kini berubah menjadi ejekan-ejekan yang menyakitkan hati dan tenaga.
Cong San miring ke kanan kemudian ke kiri menelungkup, telentang, namun suara itu tetap terdengar olehnya. Dia menjadi makin gelisah, suara terngiang-ngiang melengking memenuhi kedua telinganya dan dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat menekan ini, dia bisa menjadi gila. Maka dia cepat bangkit perlahan, duduk dan menatap wajah Yan Cu yang tidur dengan nyenyak disampingnya.
Yan Cu tidur dengan nyenyak sekali, bibirnya agak terbuka dan kelihatah tersenyum penuh ketenangan. Sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu terurai indah, sebagian menutup pipi dan lehernya, sebagian terurai di atas bantal putih. tangan kirinya terletak di atas bantal dengan lengan terangkat dan bajunya yang longgar tersingkap memperlihatkan sebagian pundak dan rambut halus di bawah pangkal lengan. Lengan kananya memeluk perutnya yang gendut seperti melindungi anak yang dikandungnya.
Betapa cantiknya, betapa suci bersih dari dosa wajah yang jelita itu. Melihat isterinya, perlahan-lahan rasa haru membuat dada Cong San yang tadinya panas itu menjadi hangat nyaman, napasnya yang sesak menjadi tenang dan bisikan jahat tadi kini hanya terdengar lapat-lapat seolah-olah setan yang berbisik-bisik menjadi ketakutan dan lari menjauh sambil memaki-maki.
Dengan penuh rasa cinta kasih mendalam, Cong San memnunduk dan mengecup dahi Yan Cu, perlahan-lahan sekali karena dia tidak ingin mengganggu isterinya yang tidur demikian pulasnya. Kemudian pandang matanya merayap ke bawah, mengagumi kulit leher dan pundak yang putih mulus, mengagumu bulu rambut halus di bawah pangkal lengan, terus menurun dengan rasa bangga memandang dada yang kini makin membesar mengikuti pertumbuhan kandungannya. Akhirnya matanya terhenti pada perut isterinya, memandang perut yang menggembung itu dan keharuan membuat dia hampir menitikkan air mata ketika dia melihat secara kebetulan perut di bagian kanan isterinya bergerak-gerak perlahan seolah-olah anak yang berada di kandungan menggerak-gerakan tubuhnya agar tampak oleh ayahnya!
"Yan Cu......!" Cong San berbisik dan mengelus perut yang bergerak perlahan itu.
"Apa kau yakin dia anakmu?"
Cong San tersentak kaget dan menarik tangannya seolah-olah akan di kandungan itu menggigit jari tangannya.
"Siapa tahu dia telah mengandung ketika menikah denganmu. Siapa tahu engkau bukan ayahnya, melainkan Keng Hong......!" Suara itu berbisik makin jelas di dalam telinganya.
"Tidaaaaaakkk!! Setean iblis keparat!!" Cong San membalik, tangannya terayun seolah-olah hendak memukul yang berbisik di belakangnya.
"Brakkk!!" Tiang kelambu di belakangnya patah oleh hantaman telapak tangannya.
Yan Cu bangkit duduk, terbelalak memandang suaminya, "Ehhh...... San-ko, apa yang terjadi.....?" Ia masih nanar karena baru bangun tidur, berkedip-kedip memandang suaminya dan menoleh ke arah tiang kelambu yang patah, membuat kelambu di bagian itu turun menutup suaminya.
Cong San menjambak-jambak rambutnya, lalu memeluk isterinya dan berkata, "Ahhh, aku...... aku mimpi..... bertempur melawan setan dan tak kusadari aku memukul tiang kelambu sampai patah."
"Ihhh....., apakah yang mengganggu hatimu, Koko? Mengapa engkau sampai mimpi yang tidak-tidak? Untung bukan aku yang kau pukul. Biar kuambilkan minum, engkau pucat sekali....."
"Tak usah, tidurlah, isteriku dan maafkan aku. Biar kusambung tiang ini." Setelah membetulkan tiang yang patah, Cong San lalu rebah miring dan merangkul isterinya. Yan Cu membalik menghadapi suaminya, menggeser tubuh makin dekat, menyembunyikan muka di dada suaminya.
"Kau..... kau tidak sedang gelisah, bukan?" Ia berbisik.
"Tidak tidurlah, sayang."
Yan Cu menarik napas lega dan Cong San mempererat pelukannya. Iblis itu tidak berbisik lagi dan dia tidak berani melepaskan pelukannya. hawa yang hangat dari tubuh Yan Cu seolah-olah mempunyai daya mujijat mengusir iblis itu dan akhirnya, menjelang pagi itu, dia dapat tertidur dengan Yan Cu dalam pelukannya.
Cong San sama sekali tidak tahu betapa laki-laki muda yang mengaku bernama A-liok tadi yang mengaku sebagai utusan Cia Keng Hong mengantar surat rahasia telah menghadap Cui Im bersama Mo-kiam Siauw-ong menyampaikan laporannya. Cui Im dengan hati-hati membuka sampul surat balasan Cong San kepada Keng Hong dan dia tertawa terpingkal-pingkal, wajahnya berseri-seri dan pandang matanya membayangkan kepuasan.
"Bagus sekali! Siasat pertama berhasil baik! Kalau Cong San masih belum terbakar, benar-benar dia seorang yang tolol! Engkau telah melakukan pekerjaan baik sekali, sekarang engkau harus terus pergi ke Cin-ling-san menyampaikan surat ini kepada Cia Keng Hong."
A-liok palsu itu menjadi pucat mukannya. "Akan tetapi.... tentu dia akan mengenal bahwa saya bukan A-liok dan celakalah saya....."
"Bodoh!" Cui Im membentak. " Kau tidak perlu ke tempat tinggalnya, cukup kau berhenti malam-malam di depan rumah seorang petani di kaki Gunung Cin-ling-san, teriaki supaya dia keluar, brikan surat dengan pesan agar disampaikan kepada Cia-taihiap dan kautambahkan bahwa engkau yang mengaku A-liok tidak akan kembali ke lereng Cin-ling-san. Dalam gelap takkan ada orang mengenalmu, dan petani bodoh itu tentu hanya akan mengenal pakaian dan kudamu, terutama nama palsumu."
***
Cui Im memberi hadiah beberapa potong uang perak kepada orang itu yang dengan girang sekali dan segera berangkat ke Cin-ling-san. Mo-kiam Siauw-ong lalu memerintahkan pelayannya menyediakan hidangan dan arak untuk merayakan hasil baik siasat mengacau kehidupan musuh-musuhnya itu.
"Siasat Sianli benar-benar hebat dan kepandaian menulis adik iparku benar-benar mengagumkan. Aku harus memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!" kata Mo-kiam Siauw-ong. Mereka minum sambil tersenyum-senyum gembira.
Go-bi Thai-houw yang dipersilahkan makan minum pula, mendengarkan dengan sikap malas-malasan. Kemudian terdengar ia berkata, "Tanpa akal bulus surat itu pun akan Tung Sun Nio itu takkan dapat hidup rukun dengan suaminya. Tendanganku tentu telah berhasil baik, menghilangkan tanda keperawanan dan dengan itu sajasudah cukup untuk merusak kebahagiaan mereka."
Cui Im yang pandai menjilat itu segera mengangkat cawan araknya dan berkata, "Semua siasat teecu mengandalkan kelihaian Subo seorang. harap Subo suka selalu membantu teecu menghancurkan mereka yang telah menggagalkan semua usaha kita, terutama Cia Keng Hong. Sebelum dia mampus, bagaimana Subo dapat mengangkat diri menjadi yang terlihai di seluruh dunia kang-ouw?"
"Hemmm, bocah itu mudah saja kukalahkan. Akan tetapi aku sekarang sudah merasa malas untuk bertempur, sudah enak sekali hidup di sini. Orang setua aku ini tinggal menanti mati, harus menghabiskan sisa hidup yang tak lama lagi dengan bersenang-senang."
Cui Im tidak berani mendesak, dan biarpun subonya berkata demikian, di dalam hatinya dia masih sangsi apakah benar subonya akan daapt mengalahkan Keng Hong dengan mudah. Apalagi kalau di samping musuh besarnya itu terdapat Biauw Eng yang tidak boleh dipandang ringan pula, karena selain Biauw Eng memang telah memiliki kepandaian tinggi, bekas sumoinya itu pernah menerima ilmu-ilmu aneh dari go-bi Thai-houw sendiri dan kini tentu saja menerima bimbingan Keng Hong yang menjadi suaminya.
"Sianli, setelah siasat pertama berhasil baik, kapan akan dilakukan siaat ke dua dan bagaimanakan siasat itu?"
Mendengar pertanyaan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im tersenyum. "masih belum tiba waktunya untuk melakukan siasat ke dua itu. Aku harus menunggu sampai Yan Cu melahirkan bayinya. Dalam keadaan mengandung seperti sekarang ini, siasat itu tidak akan dapat dijalankan."
"Wah, tentu masih lama sekali!" Coa Kun mencela.
"Apa artinya bebeerapa bulan lagi? Aku telah menanti setengah tahun untuk siasat pertama. Untuk dapat membalas dendam dengan berhasil baik, orang harus memiliki kesabaran dan menggunakan prhitungan yang seksama dan tepat agar tidak sampai ggal sehingga tidak sia-sialah kesabaran yang berbulan-bulan menindih hati."
"Sianli memang luar biasa sekali, sabar dan cerdik. Memang, orang perlu sekali memiliki kesabaran, karena kesabaran akan mendatangkan hadiah, biarpun lambat."
Mendengar ucapan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im melirik ke arah laki-laki tingi besar itu dan ia tersenyum lebar. "Siasat pertama ini hanya berhasil baik karena jasa Siauw-ong. Jasa besar harus diberi imbalan pahala, dan selanjutnya aku pun mengharapkan bantuan Siauw-ong dengan anak buahnya. harap malam nanti kau suka mengadakan waktu karena aku akan datang dan merundingkan siasat-siasat selanjutnya denganmu."
Mo-kiam Siauw-ong dapat menangkap maksud yang tersembunyi di balik kata-kata itu, apalagi ketika mereka bertemu pandang. jantungnya berdebar saking girangnya dan dia mengangkat cawan, menenggak habis araknya sambil berkata, Aku selalu siap sedia membantu Sianli, dan aku menanti kedatangan Sianli setiap saat."
Malam itu Coa Kun terbebas dari gangguan Cui Im dan tidur dengan nyenyaknya di bawah pengaruh hawa arak yang terlalu banyak diminumnya. Di dalam kamar lain, di sebelah belakang bangunan besar itu, Cui Im memenuhi janjinya kepada Mo-kiam Siauw-ong, menyelinap ke kamar laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar ini yang menyambut kedatangannya dengan pelukan dan ciuman penuh nafsu berahi yang bernyala-nyala. Mo-kiam Siauw-ong menikmati pahalanya sampai malam suntuk dan Cui Im pun menanggapi ini sebagai sebuah selingan yang bukan tidak menyenangkan.
Sementara itu, beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali Keng Hong dan Biauw Eng menerima kedatangan seorang petani yang tinggal di kaki bukit, yang datang menghadap membawa sampul surat sambil berkata,
"Malam tadi saya menerima surat ini untuk disampaikan kepada Cia-taihiap. Karena malam gelap, saya tidak berani mengganggu Taihiap dan baru pagi ini saya sampaikan."
Keng Hong cepat menerima surat itu dan ketika membaca sampulnya, dia saling pandang dengan isterinya.
"Dari mereka?" tanya Biauw Eng.
Keng Hong mengangguk, lalu bertanya kepada petani ini, "Siapakah yang memberikan surat ini kepadamu, Lopek?"
"Seorang penunggang kuda, katanya bernama A-liok. Selain minta agar supaya surat itu disampaikan kepada Taihiap, juga dia berpesan bahwa dia tidak akan kembali ke sini, Taihiap. Lalu dia pergi membalapkan kudanya."
"Aneh sekali, mengapa A-liok tidak pulang?" Biauw Eng berkata, alisnya berkerut karena ia merasa curiga.
"Bagaimana rupanya orang itu, Lopek? Apakah Lopek sudah mengenal A-liok?"
Petani tua itu menggeleng kepala. "Saya tidak dapat melihat wajahnya Taihiap. Malam gelap dan dia duduk di atas kuda. Hanya kudanya berbulu hitam dihias putih di dada dan keempat kakinya, dan pakaian orang itu berwarna biru, dengan topi bunder warna kuning. Dia masih muda, melihat bentuk badan dan suaranya."
"A-liok, tak salah lagi," kata Keng Hong, "Terima kasih, Lopek." Dia memberi hadiah uang kepada kakek itu yang ditolaknya. "Melakukan sesuatu untuk taihiap merupakan kesenangan, mengapa harus memberi hadiah? Sudah cukup, Taihiap, saya mau turun." Kakek itu lalu berjalan terbongkok-bongkok menuruni lereng.
Keng Hong mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan di situlah, di luar tahunya orang lain, mereka bicara serius. "Heras sekali, mengapa A-liok tidak langsung saja pulang dan menyerahkan surat balasan itu kepada kita?" Biauw Eng berkata. "Benar-benar mencurigakan urusan ini."
"Hemmm, agaknya aku salah mempercaya orang. A-liok pernah tinggal bertahun-tahun di kota. Begitu mendapatkan kuda baik dan sedikit uang, agaknya dia tidak mau kembali ke gunung dan akan merantau ke kota lagi. Sudahlah, yang penting, surat kita sudah diberikan dan malah dia sudah membawa balasannya, ini sudah cukup baik."
Keng Hong merobek pinggir sampul dan menarik keluar suratnya. Dibukanya lipatan surat dan begitu matanya melihat beberapa buah huruf yang ditulis dengan goresan penuh amarah itu, wajahnya berubah marah, matanya terbelalak dan dia terjatuh duduk di atas kursi, kedua tangan masih tetap memegangi surat seolah-olah kedua lengannya kaku dan dia tidak percaya akan apa yang dibacanya.
"Apa isinya?" Biauw Eng terkejut melihat suaminya dan ketika suaminya tidak menjawab, ia cepat merampas surat itu dan dibacanya.
"Manusia jahanam Yap Cong San.....!!" Biauw Eng memaki dan merobek kertas itu.
"Eiiiihhh, sabar, jangan robek-robek surat itu, untuk bukti!"
Biauw Eng melemparkan surat yang sudah dia robek menjadi dua itu kepada suaminya sambil berkata marah, "Sabar, katamu? Si keparat itu berani menghinamu seperti itu dan kau bilang supaya aku sabar? Hemmm, kalau saat ini dia berada di depanku, tentu dia akan merasai hajaran kedua tanganku!!"
***
"Nanti dulu, isteriku. Kita harus tidak boleh menurutkan perasaan dan menggunakan akal sehat. Aku tidak percaya kalau Cong San dapat menulis surat seperti ini kepadaku. Tentu ada sebab lain, dan melihat sikap A-liok yang melarikan diri dari aku curiga sekali."
"Curiga apa lagi? Sebab apa lagi? Dia telah gila, gila oleh cemburu! Masa engkau tidak tahu? Dia telah menjadi gila karena mencemburukan isterinya denganmu! Manusia tolol macam itu apa gunanya diajak berunding? Cis, aku tidak sudi mempunyai sahabat, apalagi saudara, macam itu! Pendeknya, mulai saat ini, kita tidak akan berhubungan dengan manusia itu lagi, dan kalau tanpa disengaja aku bertemu dengannya, aku tidak akan puas sebelum menghajarnya sampai dia minta ampun kepadamu."
"Ssttt, Biauw Eng isteriku, tenang dan sabarlah. Ingat, engkau sudah menjadi calon ibu anak kita, masa masih begitu pemarah dan ganas? Aku yakin bahwa Cong San tentu tidak sengaja menghinaku, dan di balik semua ini tentu ada rahasia lain. Dia telah menjadi korban racun fitnah yang dihamburkan oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im, tentu dia telah menderita batin hebat sekali kalau dia terkena racun itu, jangan kau tambah dengan sikap bermusuh dan membenci dirinya. Sebaiknya kita harus menolongnya........"
"Cukup! Memang aku isteri yang galak, wanita yang ganas! Engkau terang-terangan dihina orang, aku membelamu dan kau malah membela orang itu! Sekarang aku bingung sekali, apakah si keparat Cong San yang gila, ataukah engkau yang miring otak, ataukah aku yang edan!"
"Aihhh, isteriku yang baik, kaumaafkanlah aku!" Keng Hong merangkul. "Kita hentikan saja pembicaraan mengenai Cong San sampai lain kali. Betapapun juga, yang penting adalah kita berdua dan aku tidak ingin kita bertengkar karena dia atau siapapun juga. Kaumaafkan aku, kalau perlu, biarlah aku berlutut padamu!" Keng Hong bebar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng!
Biauw Eng terkejut sekali dan cepat ia pun berlutut, merangkul suaminya dan menangis sesenggukan dalam rangkulan Keng Hong. Keng Hong mengelus rambut isterinya, mengangkatnya bangkit dan menuntunnya duduk di kursi. "Aih, aku telah gila, Eng-moi. Masa aku harus membuat engkau marah hanya karena seorang yang gila oleh cemburu. Engkau benar, memang kita tidak perlu lagi memikirkan mereka. Kelak, kalau anak kita sudah besar, kita berdua.......eh, bertiga maksudku, akan menengok Leng-kok dan hendak kulihat apa sebetulnya yang terjadi atas diri Cong San sehingga membuat dia gila dan menulis surat macam ini kepadaku." Biauw Eng masih terisak. "Aku tak dapat menahan panasnya hati membaca surat yang memaki dan menghinamu, Hong-ko. Apapun yang terjadi, betapapun dia diracuni cemburu, dia tidak boleh menulis penghinaan macam itu. Biarlah aku menurut kata-katamu, suamiku. Kita tinggal diam saja dengan sabar, anggap saja dia gila. Kelak kalau keadaan mengijinkan, kita bersama pergi menjumpainya dan menuntut perbuatannya yang tidak pantas ini!"
"Baiklah, Eng-moi." Biarpun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Keng Hong merasa khawatir sekali, mengkhawatirkan nasib Yan Cu. Kalau benar Cong San menjadi gila oleh cemburu, habis bagaimana nasib sumoinya itu? Kalau saja Biauw Eng tidak sedang mengandung tua, tentu dia sudah lari ke Leng-kok untuk menyelidiki dan membikin terang perkara yang menggelapkan pikiran dan menekan hatinya itu. Dia harus bersabar karena dia mengenal watak Biauw Eng yang masih belum dapat melenyapkan keganasannya, apalagi kalau hal yang menyangkut suaminya yang tercinta. Apapun yang terjadi, yang paling penting adalah keselamatan dan kesehatan isterinya, Biauw Eng dan anak yang dikandungnya. Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan semenjak saat itu, biarpun hanya diam-diam dan dia menyembunyikan dari isterinya, batinya tertekan dan penuh keperihatinan akan nasib Cong San dan terutama Yan Cu, sumoinya yang amat disayangnya seperti adik sendiri itu.
Beberapa bulan lewat tanpa peristiwa yang penting, baik dalam kehidupan Keng Hong dan Biauw Eng maupun dalam kehidupan Cong San dan Yan Cu. Hanya bedanya, suami isteri Cong San dan Yan Cu kini kebahagiannya terselubung awan hitam, dan hal ini dirasai oleh Yan Cu. Sikap suaminya menjadi berubah sama sekali sejak suaminya mimpi buruk itu. Sikapnya kadang-kadang dingin, kadang-kadang suaminya kelihatan berduka mengerutkan kening dan tidak pernah mau mengaku, hanya memberi alasan yang tidak masuk akal. Yan Cu maklum bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya, akan tetapi dia hanya menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Agaknya suaminya masih belum dapat menghilangkan rasa penyesalan dan dukanya mengingat akan nasib gurunya, Tiong Pek Hosiang, dan mengingat bahwa dia telah dikeluarkan dari Siauw-lim-pai.
Lahirnya seorang anak laki-laki memang membahagiakan Yan Cu dan Cong San. Akan tetapi pandang mata Yan Cu yang awas itu dapat melihat bahwa kadang-kadang Cong San yang memondong dan menimang bayinya itu kelihatan seperti orang melamun dan ada bayangan ragu-ragu di wajahnya yang tampan. Hal ini benar-benar membuat hati Yan Cu prihatin sekali. Akhir-akhir ini Cong San tidak mengurus toko obatnya lagi, bahkan sering kali meninggalkan rumah dengan alasan hendak berjalan-jalan ke luar kota mencari hawa segar. Yan Cu yang ingin melihat suaminya terhibur, tidak mencegah dan diam-diam dia prihatin sekali. Dilimpahkan cinta kasihnya lebih daripada yang sudah-sudah dan ada kalanya suaminya menyambutnya dengan kehangatan cintanya, akan tetapi kadang-kadang suaminya menyambutnya dengan dingin dan tidak sewajarnya!
Pada suatu hari, Cong San pergi berjalan-jalan. Sehabis menyusui bayinya lalu menyerahkannya kepada Chie-ma, inang pengasuh yang membantunya merawat bayi, yan Cu duduk menjaga toko obat sambil termenung memikirkan suaminya. Jantungnya kadang-kadang berdebar tidak enak. Apakah cinta kasih suaminya sudah luntur bersama lahirnya putera mereka? Aihhh, tidak mungkin! Cong San kelihatan bahagia dan bangga dengan lahirnya anak yang mereka beri nama Yap Kun Liong, seorang bayi yang tangisnya nyaring, mungil dan telah memperlihatkan tanda bahwa anak itu memiliki kesehatan luar biasa dan sepasang matanya bersinar-sinar, seorang calon manusia yang bertulang kuat berdarah bersih. Akan tetapi mengapa suaminya kadang-kadang melamun seperti orang hilang ingatan kadang-kadang melihat bayinya seperti orang ragu-ragu, ada kalanya mengeluh dalam tidurnya seperti orang berduka dan menyesal dan ada kalanya pula seperti orang yang dibakar api kemarahan hebat?
Yan Cu menghela napas dan merasa gelisah sendiri. Terkenanglah ia kepada suhengnya, Keng Hong, dan Biauw Eng dan timbul rindunya. Mengapa mereka tidak datang berkunjung atau memberi kabar? Kalau mereka datang berkunjung, agaknya suhengnya yang dianggap seperti kakak kandung sendiri itu tentu akan dapat memecahkan rahasia yang mengganggu perasaannya ini. Ya, terhadap Keng Hong dia tidak akan ragu-ragu untuk menceritakan keadaan suaminya itu, dan tentu Keng Hong akan dapat membantunya. Agaknya mereka itu sibuk! Bagaimana kalau dia mengajak suaminya untuk pergi mengunjungi Keng Hong dan Biauw Eng? Akan tetapi Kun Liong masih terlalu kecil untuk dibawa pergi. Kalau ditinggalkan, ahhh, mana hatinya tega? yan Cu menjadi makin gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali dia mendesak suaminya, dengan bujuk rayu, dengan halus sampai kasar, agar suaminya suka menceritakan apa yang mengganjal hatinya, namun selalu Cong San menjawab tidak apa-apa!
Seorang laki-laki tua yang muncul di pintu toko mengagetkan Yan Cu dan menariknya kembali dari dunia lamunan.
"Ada keperluan apa, Lopek?" tanyanya halus.
"Apakah Yap-sinshe ada? Saya hendak berjumpa dengannya."
"Ah, dia sedang keluar. Ada keperluan apakah? Memeriksa orang sakit? Atau hendak membeli obat? Aku dapat melayani dan membantumu, Lopek."
"Benarkah Toanio dapat menolong saya? Saya datang dari kota Koan-ciu dan saya pernah diberi resep obat oleh Yap-sinshe untuk dibelikan di kota saya kalau obatnya habis, karena kota saya cukup jauh dari sini. Akan tetapi resep itu hilang! Saya ingin minta dibuatkan resep baru."
"Hemmmm, obat apa saja yang ditulisnya?"
"Mana saya tahu, Toanio! Maka saya harus bertemu dengan Yap-sinshe sendiri."
"Hemmmm, begini saja. Siapa yang sakit dan apa penyakitnya?"
"Yang sakit isteri saya, kakinya suka pegal-pegal kalau hawa sedang dingin sampai sukar dibuat jalan, kepalanya pening dan pandang matanya kabur. Setelah makan obat Yap-sinshe, agak mendingan, akan tetapi sekarang obatnya habis dan resepnya hilang."
Penyakit biasa saja, pikir yan Cu. "Baiklah, saya akan membuatkan resep untuk isterimu." Setelah berkata demikian, Yan Cu mengambil alat tulis dan menuliskan resep di atas kertas dengan huruf-huruf tulisannya yang rapi dan kecil indah. Setelah selesai, ia memberikan resep itu kepada orang tadi sambil berkata,
"Nah, ini obatnya tiga macam. Aturannya sudah kutulis, tentu toko obat akan memberi tahu. Ataukah engkau hendak membeli obat di sini?"
***
"Nanti di kota saya saja, Toanio, karena..... eh, saya tidak membawa uang."
"Terserah kepadamu, Lopek."
"Berapa saya harus bayar, Toanio?"
"Tidak usah, itu hanya pengganti resep yang hilang."
Kakek itu membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih lalu pergi dengan wajah girang. Yan Cu sudah melupakan karena telah tenggelam lagi dalam lamunannya. Kegelisahan hatinya menjadi keperihan dan kedukaan kalau ia ingat betapa suaminya kini seringkali menghibur diri di telaga tak jauh dari kota, dan pernah ia menyelidikinya sendiri dan melihat suaminya itu duduk menghadapi telaga sambil minum arak dan menulis sajak atau membaca buku! Makin yakinlah hatinya bahwa ada sesuatu yang mengganjal hati suaminya, yang tidak diceritakan kepadanya, bahkan dirahasiakan dan ganjalan hati itu tentu amat hebat sehingga suaminya perlu menghibur hati bersunyi diri di tepi telaga. Apa gerangan rahasia itu? Bagaimana ia akan dapat memecahkannya?
Beberapa hari kemudian, ketika wajah suaminya tidak sekeruh biasanya dan mereka berdua menghadapi meja makan siang, yan Su menggunakan kesempatan ini untuk berkata dengan suara halus,
"San-koko, ingin aku mengatakan sesuatu kepadamu."
Cong San memandang isterinya, pandang mata yang penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh kedukaan. Sinar mata suaminya itu seakan-akan mencegah Yan Cu bicara tentang sikap suaminya, karena toh takkan dijawabnya.
"San-koko, aku ingin sekali pergi mengunjungi Cin-ling-san. Sudah hampir setahun....."
Tiba-tiba Cong San bangkit berdiri, mukanya berubah dan kata-katanya singkat ketus ketika dia memotong, "Sudah sangat rindukah engkau?"
Yan Cu heran menyaksikan sikap suaminya, akan tetapi ia berkata dengan wajah berseri, "Benar, suamiku. Aku sudah sangat rindu kepada mereka! Marilah kita pergi berkunjung ke sana, sekalian kita berpesiar. Kita singgah di dalam hutan pek yang ada telaganya, milik Siauw-lim-si itu dan....."
"Tidak! Aku tidak mau pergi!" Tiba-tiba Cong San membalikkan tubuhnya dan keluar dari rumah.
"San-koko......!!” Teriak Yan Cu ini mengandung rasa kaget, heran dan juga marah. Akan tetapi suaminya sudah pergi dan ketika ia mengejar keluar, Cong San sudah lenyap dari depan toko. Yan Cu masuk kembali untuk menyembunyikan air matanya yang bercucuran agar tidak tampak orang lain.
Ia menjatuhkan diri di atas kursi, bersembunyi di belakang lemari toko dan menangis terisak-isak. Hanya ketika ia mendengar tangis bayinya saja ia menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan menekan batinnya, kemudian memanggil Chie-ma untuk membawa puteranya.
Chie-ma datang menggendong anak kecil itu. "Toanio, puteramu lapar, sudah waktunya minum susu."
Tanpa menjawab karena takut suaranya akan terisak, Yan Cu menerima puteranya yang menangis itu. Tangis anak itu segera berhenti dan mulutnya mulai menghisap susu ibunya. Keadaan menjadi sunyi sekali setelah anak itu berhenti menangis.
"Toanio....." Chie-ma berkata lirih sambil duduk berlutut di atas lantai, di depan nyonya majikannya yang sedang menyusui Kun Liong. Yan Cu mengangkat muka memandang pelayannya.
"Toanio, maaf, bukan sekali-kali hamba hendak berlancang mulut mencampuri urusan Toanio. Akan tetapi hamba merasa kasihan dan sebagai seorang tua yang lebih berpengalaman dalam hal kekeluargaan, maka hamba ingin memberi nasihat."
Tak terasa lagi dua titik air mata menitik turun ke atas pipi Yan Cu. Tidak ada gunanya disembunyikan, pelayan tua ini sudah tahu. "Bicaralah, Chie-ma."
"Tanpa disengaja hamba melihat majikan lari keluar dengan muka penuh kemarahan, dan hamba melihat Toanio habis menangis. Tentu Toanio bertengkar dengan majikan. Aihhh, Toanio, apakah Toanio tidak melihat betapa majikan mengandung penderitaan batin yang amat hebat? kasihan sekali dia, Toanio, dalam keadaan seperti itu, seorang suami amat membutuhkan kebijaksanan isterinya untuk dapat menghiburnya, untuk ikut memikul beban yang memberatkan hatinya. Biarpun hamba tidak tahu apa urusannya, akan tetapi dengan jelas dapat hamba lihat bahwa majikan menderita batin yang menyedihkan."
"Chie-ma, aku pun bukan seorang yang buta. Aku tahu, akan tetapi ahhh, soalnya dia tidak mau menceritakan apa yang menyusahkan hatinya itu. Kalau aku tidak tahu persoalannya, bagaimana aku bisa membantu? Dia sering berduka, marah-marah, dan setiap hari pergi minum arak di telaga. Aku cinta kepadanya, Chie-ma, dan aku ingin sekali menanggung penderitaannya, akan tetapi dia tidak pernah mau berterus-terang."
Chie-ma menarik napas panjang. "Kalau majikan tidak pernah mau berterus terang, itu hanya berarti bahwa dia sengaja hendak merahasiakan urusan itu, karena khawatir kalau-kalau Toanio menjadi berduka pula. Seorang suami yang mencinta isterinya memang kadang-kadang menyembunyikan hal-hal yang tidak menyenangkan dari isterinya, agar isterinya tidak ikut menderita."
"Ah, sikap demikian itu salah sama sekali, Chie-ma. Justeru karena diam saja tidak menceritakan persoalannya, membuat hatiku tertindih dan lebih sengsara daripada kalau tahu persoalannya. Menghadapi persoalan, kita dapat mempergunakan akal bagaimana untuk mengatasinya, akan tetapi menghadapi rahasia begini, benar-benar mebuat hati gelisah tidak karuan, menduga yang bukan-bukan."
"Aihhh..... persoalan orang-orang muda. Dahulu ketika suami hamba masih hidup sering kali hamba cekcok dengannya. Cekcok kecil-kecilan dalam rumah tangga merupakan bumbu penyedap penghidupan suami-isteri, kadang-kadang bahkan dapat menjadi pembangkit cinta. Akan tetapi kalau terjadi pertengkaran besar, hemmm, tidak ada kesengsaraan yang lebih berat dirasa daripada pertengkaran antara suami isteri. Sikap majikan mengingatkan hamba dahulu ketika suami hamba mencemburukan hamba dengan seorang tetangga. Aihhh, gila dia...........!"
Yan Cu tersentak kaget. "Cemburu.......?" Dia berkata lirih dan selanjutnya dia tidak mendengar suara Chie-ma yang bercerita tentang cemburu suaminya itu. Otaknya diputar, mengingat-ingat. Itulah yang mengganggu hati suaminya? Cemburu? Akat tetapi, apa yang dicemburukan dan mengapa? Tiba-tiba ia teringat percakapan mereka tadi. Cong San marah sekali ketika ia mengajak pergi ke Cin-ling-san. Begitulah kiranya? Mencemburukan dia dengan suhengnya? Tiba-tiba wajah Yan Cu menjadi merah. Tak mungkin. Ini timbul dari hatinya sendiri yang harus mengaku bahwa dahulu, sebelum bertemu dengan Cong San, memang ada perasaan cinta di hatinya terhadap Keng Hong. Akan tetapi cintanya berubah setelah ia bertemu dengan Cong San, berubah menjadi cinta saudara. tak mungkin suaminya cemburu karena Keng Hong yang tak pernah dijumpainya semenjak dia menikah, bahkan tak pernah berkirim berita. Tidak ada alasan sedikit juga bagi Cong San untuk mencemburukan dia dengan Keng Hong atau dengan laki-laki lain yang manapun juga.
"Laki-laki kalau sudah cemburu memang seperti gila," dia mendengar lagi omongan Chie-ma, "seperti mendiang suami hamba dahulu. Dia hanya menyangka tanpa bukti, dan karena tidak ada bukti dia tidak berani menuduh terang-terangan kepada hamba. Akan tetapi sikapnya sejak itu, minta ampun! kelihatan marah, berduka, dan sinar matanya penuh penghinaan. Kalau malam, ampun, dia manjanya setengah mampus, inginnya hamba bersikap seperti di waktu malam pertama pengantin! Kalau hamba bersikap dingin sedikit saja, seolah-olah hatinya yang dibakar cemburu itu disiram minyak dan dia marah-marah kepada diri sendiri tidak karuan! baru setelah terbukti bahwa cemburunya itu kosong, dia minta-minta ampun sampai berlutut di depan kaki hamba! Coba, siapa tidak mendongkol? Untung tidak ada palang pintu dekat dengan hamba, kalau ada tentu akan hamba gecek kepalanya!"
Yan Cu tersenyum juga mendengar cerita pelayannya. hatinya agak lega. Setidaknya, ada bahan baru baginya untuk berusaha menyingkap tabir rahasia sikap suaminya. Siapa tahu, mungkin suaminya cemburu kepadanya. Dan kalau hal ini benar, dia akan bertanya terus terang. Sekali suaminya terpancing dan suka bicara terus terang, dia yakin bahwa semua persoalan akan dapat ia atasi dan bereskan, karena suaminya bukanlah seorang yang tidak memiliki kecerdikan dan kebijaksanaan.
Sementara itu, dengan dada panas seperti akan meledak dan kepala berdenyut pusing, Cong San lari cepat menuju ke pinggir telaga. Tempat ini telah menjadi tempat di mana dia sering kali termenung seorang diri, menumpahkan segala perasaan yang tertekan sambil memandangi air telaga. Air yang bening dan tenang itu dapat menenangkan hatinya. Akan tetapi sekali ini, hatinya tidak dapat tenang, bahkan makin dipikir makin panaslah hatinya. Ucapan isterinya masih terngiang di telinganya dan yang terdengar hanyalah kata-kata "rindu" yang keluar dari mulut Yan Cu. Tentu rindu kepada Keng Hong! Kepada siapa lagi? Tak mungkin isterinya rindu kepada Biauw Eng, dan kalau isterinya menyebut "rindu kepada mereka" tentu yang dimaksudkan rindu kepada Keng Hong!
"Bresss!" Cong San memukul tanah di depannya dengan tinju, giginya berkerot menahan kemarahan.
Cemburu merupakan bahaya yang amat besar bagi hati orang mencinta. Seperti tetumbuhan yang hidup di dahan pohon lain, makin lama makin membesar menghisap sari penghidupan pohon itu, makin lama makin mengakar dan berkembang mengancam kebahagiaan hidup orang yang dihinggapi penyakit ini. Cemburu merupakan sebuah penyakit dalam tubuh cinta kasih, menunggangi nafsu berahi dan nafsu mementingkan diri sendiri (egoism). Cinta murni timbul dari perasan hati ke hati, menimbulkan berbagai keinginan untuk memiliki, dimiliki, membela, dibela dan dorongan hasrat untuk bersatu lahir batin. Di sinilah nafsu cemburu menyelinap dan mengotorkan cinta dengan menunggang berahi dan mempergunakan sifat ingin mementingkan diri sendiri dari si manusia yang digodakan sehingga menimbulkan lemah kepercayaan terhadap orang yang dicinta. Kalau kekasih yang dicemburukan itu ternyata memang melakukan penyelewangan cinta, maka hal itu segera dapat mengakhiri keadaan dari siksa cemburu dan persoalannya selesai, keputusannya tergantung dari kebijaksanaan kedua fihak. Akan tetapi, amatlah berbahaya kalau tidak ada bukti penyelewengan seperti halnya kecemburuan Cong San terhadap isterinya. hal ini benar-benar menyiksa batin. Makin dipikir, makin dicurigakan dan diragukan, makin menyiksa karena kelemahan kepercayaan terhadap isterinya ini merupakan pupuk yang paling baik bagi nafsu cemburu sehingga tumbuh dengan suburnya, setiap detik mengusik pikiran menggerogoti hati.
Cong San menyiksa hati sendiri. Sejauh ini, yang terbukti hanyalah penyelewengan di fihak Keng Hong yang jelas telah menulis surat kepada Yan Cu dan surat itu selalu berada di saku bajunya. Tidak ada bukti sama sekali bahwa isterinya masih mencinta Keng Hong. Akan tetapi pandangannya yang sudah dicengkeram nafsu cemburu, melihat gerak-gerik dan kata-kata Yan Cu seolah-olah merupakan gambaran isterinya itu mencinta Keng Hong dan rindu kepada bekas kekasihnya itu. Hal ini mendorong khayal dibenaknya, khayal yang memanaskan dadanya, membayangkan betapa dahulu isterinya berkasih-kasihan dengan Keng Hong, betapa isterinya itu sebetulnya lebih mencinta Keng Hong daripada dia. Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah dugaan yang tak dapat dia tekan-tekan dan dilenyapkan bahwa anak mereka, Kun Liong, belum tentu keturunannya, mungkin keturunan Keng Hong! Kalau teringat akan hal yang satu ini, sering kali Cong San menangis di tepi telaga. Bagi orang yang belum pernah merasakan betapa hebat kekuasaan nafsu cemburu, tentu akan mencela kelemahan hati Cong San dan akan menyalahkannya. Akan tetapi, patut dikasihani orang muda ini. Cemburu memang merupakan siksaan hebat, dan bagaimana Cong San tidak akan merasa cemburu setelah segala yang dia hadapi semenjak dia menikah dengan Yan cu? Dia mencinta Yan Cu lahir batin, mencinta sampai di setiap detik darah dan peluhnya, sampai menempel di setiap helai bulu badannya. Akan tetapi, kenyataan yang menyolok matanya sungguh hebat! Ucapan-ucapan keji dari Cui Im dan Go-bi Thai-houw, kemudian kenyataan bahwa isterinya bukan perawan lagi, ditambah pula surat dari Keng Hong, dan tadi isterinya merengek minta pergi mengunjungi Cin-ling-san karena rindu! Setelah kenyataan semua itu, betapa mungkin dia dapat bertemu muka dengan Keng Hong? Kalau dia tidak ingat bahwa di fihak isterinya belum ada bukti penyelewengan dan mencinta Keng Hong, tentu surat dari Keng Hong itu sudah cukup baginya untuk datang ke Cin-ling-san dan menantang Keng Hong bertanding mengadu nyawa! Dia tidak pernah menegur isterinya, tidak pernah membencinya, melainkan berkorban diri dengan menyiksa hati sendiri. Hal ini dia lakukan karena dia tidak ingin menyinggung hati isterinya yang dia cinta, sama sekali dia tidak sadar bahwa sikapnya ini bahkan menimbulkan kegelisahan dan kedukan di hati isterinya.
"Ya Tuhan, apa yang harus hamba lakukan?" Berkali-kali Cong San mengeluh di dalam hatinya ketika dia duduk seperti arca memandang air telaga tanpa melihat apa yang dipandangnya.
Tekanan batin ini membuat dia seperti buta dan tuli, sehingga dia yang telah memiliki pendengaran tajam terlatih tidak tahu bahwa ada orang menghampirinya dan kini berdiri antara tiga meter di belakangnya. barulah dia kaget dan meloncat bangun dan membalikkan diri ketika terdengar suara orang itu tertawa,
"Hi-hi-hik, orang muda yang tampan dan bodoh! Apakah baru sekarang engkau melihat kebodohanmu?"
"Iblis betina!" Cong San memaki ketika mengenal bahwa yang berdiri di depannya adalah Cui Im, orang yang dibencinya!
"Tahan!" Cui Im mengangkat tangan ke atas ketika melihat Cong San sudah akan menyerangnya. "Aku datang bukan untuk bertanding denganmu. Engkau tidak tahu betapa aku kasihan kepadamu, melihat engkau dipermainkan orang! Engkau seperti buta, tidak tahu betapa engkau dipermainkan isterimu dan Keng Hong!"
"Mulut busuk!" Cong San menerjang dan mengirim pukulan keras ke arah dada Cui Im. Dengan gerakan lincah Cui Im meloncat ke samping lalu mundur.
"Tahan, dengar dulu omonganku! Aku hanya ingin menolongmu, membuka matamu yang buta. kalau kau menghadapi Keng Hong, mana kau mampu menangkan dia? Aku akan membantumu membalas penghinaan yang dilakukan olehnya kepadamu."
"Aku tidak percaya mulutmu yang beracun, iblis betina!" Cong San menyerang lagi.
***
Cui Im meloncat jauh, lalu melemparkan sehelai kertas. "Nah, bacalah ini dan apakah kau tidak mengenal tulisan isterimu sendiri? Hi-hi-hik! Selama engkau menyiksa hati di pinggir telaga setiap hari, apakah kerjanya istrimu? Bertemu dengan kekasihnya di hutan sebelah utara telaga. Sekarang pun aku berani bertaruh mereka sedang berkasih-kasihan di sana. Sumoi tolol!"
"Keparat, kubunuh engkau!" Cong San menerjang lagi, akan tetapi Cui Im sudah menggerakan kaki tangannya melawan dengan jurus In-keng-hong-wi (Awan menggetarkan angin dan hujan). Jurus ini hebat sekali karena inilah ilmu Silat San-in-kun-hoat peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang sudah dipelajarinya. Angin pukulan yang dahsyat ini takkan dapat dihadapi orang yang tingkatnya setinggi Cong San sekalipun sehingga orang muda itu terhuyung ke belakang. Kalau Cui Im menghendaki, tentu dia telah roboh oleh hantaman ini, namun Cui Im tidak menghendaki demikian dan ketika Cong San meloncat lagi, wanita itu telah lenyap, cepat bukan main gerakannya. Cong San mengejar, akan tetapi kehilangan jejak musuhnya.
Dengan alis berkerut dia kembali ke tempat tadi, memandang kertas yang menggeletak di atas tanah. hari telah mulai senja, cuaca sudah agak gelap maka dari tempat dia berdiri, dia hanya melihat kertas yang ada tulisannya. Hatinya berkeras tidak mau percaya Cui Im, akan tetapi nafsu cemburu membuat dia membungkuk dan seperti di luar kehendaknya, tangannya menyambar kertas.
Begitu melihat huruf-huruf itu, jantungnya berdebar dan kepalanya pening. Tidak dapat disangkal lagi, itulah huruf-huruf tulisan Yan Cu! Betapa dia tidak mengenal tulisan isterinya yang setiap hari sering kali membuat resep obat, huruf-huruf yang indah dan kecil, rapi seperti bunga-bunga diatur dalam sebuah taman! Matanya terbelalak dan entah beberapa kali dia membaca isi surat itu.
Suheng, kekasihku.
Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tidak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku.
Baru membaca dua huruf ini saja naik hawa kemarahan dari perut Cong san dan matanya berkunang-kunang. Setelah dia menggosok matanya, baru dia dapat melanjutkan, keringatnya memenuhi muka dan lehernya, kedua tangannya menggigil.
Cong San roboh lemas, surat dikepalnya, napas terengah-engah. Di tempat biasa! Ah, iblis betina itu sengaja hendak menghancurkan kehidupannya, akan tetapi tidak membohong! Isterinya masih melanjutkan hubungan terkutuk itu bersama Keng Hong. Di tempat biasa! Di hutan sebelah utara telaga!
Cong San seperti gila. Melompat berdiri, memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk berlari cepat menuju ke utara. Matahari telah tenggelam di barat, dia mempercepat kedua kakinya berlari, takut terlambat untuk memergoki isterinya. Menangkap basah! Ya Tuhan, mengapa sampai terjadi begini? Surat dimasukan ke dalam saku baju, menjadi satu dengan surat dari Keng Hong dahulu, giginya berkerot dan dia tidak tahu apa yang akan dilakukan kalau berjumpa dengan Keng Hong dan isterinya.
Setelah memasuki hutan yang agak gelap, dia melihat dua bayangan manusia dan otomatis dia menghentikan larinya, lalu menyelinap di antara pohon-pohon, mendekati dengan hati-hati. Jantungnya berdebar sehingga kedua telinganya mendengar denyut jantungnya seperti tambur dipukul.
Tak salah lagi. laki-laki itu tentu Keng Hong! Dia mengenal bentuk tubuh dan potongan wajahnya, biarpun agak gelap. pakaiannya, gerakannya, siapa lagi kalau bukan Keng Hong si keparat? Dan wanita itu, masa dia tidak mengenal isterinya? Memang mereka membelakanginya, akan tetapi sanggul rambut itu, pakaian itu, dia mengenal betul. Isterinya! Berjalan perlahan, berbisik-bisik dengan Keng Hong yang merangkul pinggang isterinya! Kemudian mereka berhenti melangkah sebentar dan....... hampir Cong San pingsan menyaksikan betapa Keng Hong mencium bibir isterinya. Mereka berciuman, bibir dengan bibir, lama sekali dan melihat betapa lengan isterinya merayap naik dan melingkari leher Keng Hong, melihat betapa kedua tangan Keng Hong mendekap pinggang dan pinggul isterinya!
"Ya Tuhan......!" Keluhnya dan agaknya kedua orang terkutuk itu mendengar suaranya karena mereka itu menengok dan tiba-tiba mereka berkelebat lari dari tempat itu, cepat sekali.
"Keng Hong, manusia hina, tunggu!!" Cong San meloncat, mengejar, akan tetapi karena gerakan kedua orang itu cepat sekali dan hutan itu pun gelap, dia tidak dapat menyusul dan kehilangan mereka. Dengan marah seperti gila dia berteriak-teriak, memaki-maki dan mencari ubek-ubekan di dalam hutan itu sampai akhirnya dia menjatuhkan diri di atas tanah, memegangi kepala dengan kedua tangan, terengah-engah seperti akan putus napasnya, bukan karena lelah berlari-lari sejak tadi, melainkan terengah-engah karena kemarahannya.
Kemudian dia teringat. Apapun yang akan dia lakukan terhadap Keng Hong, dia harus berjumpa dengan isterinya lebih dulu! Dia harus membikin perhitungan dengan isterinya, membereskan persoalan ini. Maka dia lalu meloncat lagi, berlari menuju ke rumahnya.
Tokonya masih tutup dan kedatangannya disambut oleh Chie-ma yang menggendong Kun liong. Ketika pelayan itu melihat wajah Cong San, hampir dia berteriak kaget. Wajah itu menakutkan, matanya merah dan melotot, rambu awut-awutan, pakaiannya kotor terkena lumpur dan debu, giginya berkerot, napasnya terengah.
"Di mana Toanio?" Cong San bertanya dan kalau saja pelayan ini tidak mengenal betul wajah majikannya, tentu dia akan mengira bahwa yang bicara ini adalah orang lain. Suara majikannya demikian berubah!
"Toanio....... baru saja pergi, tergesa-gesa, entah ke mana akan tetapi kelihatannya bingung......"
"Lekas siapkan pakaian Kun Liong, bantal yang baik dan siapkan di kamar!"
Menyaksikan sikap majikannya dan mendengar suaranya, pelayan itu tidak berani banyak cakap lagi, dan biarpun terheran-heran namun dia melakukan perintah itu. Cong San menyalakan lampu besar di toko, tidak membuka tokonya lalu duduk terhenyak di kursi, menanti kedatangan isterinya.
Ke manakah perginya Yan Cu kalau tidak mengadakan pertemuan hina dan berzinah dengan Keng Hong, pikirnya. Keparat, wanita berhati palsu dan berkelakuan hina dan rendah!
"Brakkkkk.....!" Pintu terbuka dari luar dan muncullah Yan Cu dengan muka pucat. Ketika melihat Cong San duduk di atas kursi, Yan Cu berseru,
"San-koko.....!" Ia menubruk dan memeluk suaminya.
"Jangan sentuh aku!!" Cong San menangkis dan Yan Cu hampir roboh terguling kalau dia tidak cepat meloncat ke kiri, berdiri memandang suaminya dengan mata terbelalak kaget seperti melihat setan.
"Kau...... kau...... ada apakah.......? Apakah terluka? Apakah yang terjadi.........?" Yan Cu bertanya gugup dan bingung.
Cong San mendelik. "Perempuan........" Dia tidak melanjutkan makiannya dan naik sedu-sedan dari dadanya yang mencekik kerongkongannya. Tidak, dia tidak mungkin dapat mengutuk isterinya, tidak dapat dia memaki isterinya. Melihat wajah itu, wajah yang terbelalak pucat membayangkan ketakutan hebat, dia merasa kasihan. Ahhhh, dia mencinta isterinya betapa mungkin dia menyakitinya, baik tubuh maupun jiwanya.
"Yan Cu, engkau masih bertanya apa yang terjadi? Aihhh, begitu kejamkah hatimu? Begitu palsukah? Apa yang terjadi? Sepatutnya engkau yang menceritakan kepadaku, apa yang terjadi......." Ia terisak dan memejamkan matanya.
Yan Cu berlutut. "Suamiku......... apa yang terjadi? Aku diberitahu orang, entah siapa, bahwa engkau bertanding dengan seorang wanita...... aku khawatir sekali, menduga bahwa tentu iblis betina Cui Im yang menyerangmu. Aku berlari cepat menyusulmu ke telaga, akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Aku cepat pulang dan....."
***
"Cukuplah!" Cong San berteriak, menjerit karena suara itu adalah jeritan hatinya. Kalau isterinya menangis dan menyatakan penyesalannya, minta ampun dan menceritakan dengan terus terang, agaknya dia akan dapat memaafkan isterinya yang dia cinta. Ia siap melakukan pengorbanan apa pun juga. Akan tetapi isterinya malah membohong! Isterinya yang dia lihat tadi berciuman mesra dengan Keng Hong....... pakaian itu, rambut itu...... tidak, tidak salah lagi, kini malah membohong seolah-olah matanya buta!
"Yan Cu, tidak perlu membohong dan tidak perlu kiranya bicara lebih panjang kalau hal itu menyakitkan hatimu. Kalau engkau memang mencintanya, biarlah aku mengalah, aku mundur....."
"Suamiku! Ucapan apa yang kau keluarkan ini? Apa..... apa maksudmu? Demi Tuhan, apa maksudmu?" Yan Cu berteriak-teriak, tidak peduli apakah teriakannya akan terdengar tetangga.
Cong San hampir hilang kesabarannya. Yan Cu masih bermain sandiwara! Ini melampaui batas! Mengapa tidak berterus terang saja? Bukti-bukti sudah cukup. Ia bangkit berdiri, merogoh sakunya mengeluarkan dua buah surat yang selama ini mengganjal hatinya.
"Tulisan siapa ini?" Ia membeberkan surat kecil yang diterimanya dari Cui Im tadi.
Yan Cu memandang pucat, dari tempat ia berlutut ia tidak dapat membaca isi surat, akan tetapi ia mengenal tulisannya sendiri.
"Seperti tulisanku...... surat apakah itu?"
Cong San membanting kakinya dengan pengerahan sinkang sehingga kakinya amblas sampai beberapa senti meter di lantai. Tangannya bergerak dan surat Keng Hong melayang ke bawah. "Lihat surat kekasihmu ini! Utusannya datang untuk memberikannya kepadamu, akan tetapi aku merampasnya. Apakah masih perlu banyak membohong lagi?"
Dengan muka pucat dan mata terbelalak Yan Cu mengambil dua surat itu, membacanya dan wanita itu demikian heran, bingung, dan marahnya sehingga ia mengeluarkan jerit aneh dan terkulai lemas, roboh pingsan!
Hampir saja Cong San menubruk dan memeluk isterinya. Melihat wanita yang dicintainya itu roboh pingsan, hatinya tidak kuat. Akan tetapi, dia tahu bahwa tanpa sepatah pun kata Yan Cu telah mengaku, maka isterinya itu pingsan. Ia menguatkan hatinya, meloncat bangun dan lari ke dalam menyambar Kun Liong dari gendongan Chie-ma yang berdiri menggigil dan memandang dengan mata terbelalak, menyambar buntalan pakaian anaknya lalu melesat keluar dari kamar. Chie-ma menjerit dan lari keluar, hampir menginjak tubuh Yan Cu yang menggeletak di lantai.
"Toanio......! Aihhhh..... Toanio, apa yang terjadi ini........?" Chie-ma memeluk tubuh majikannya yang pingsan dan melolong-lolong, merasa seolah-olah dunia kiamat karena dia tidak tahu apa yang menyebabkan semua kejadian hebat ini.
Yan Cu siuman, mengeluh dan teringat. Cepat ia meloncat bangun sehingga Chie-ma terpelanting. "Mana suamiku.......?"
"Ahhhh, Toanio...... dia....... dia membawa Kun liong, lari......"
"San-koko........! Suamiku......! Ini semua fitnah.......!" Ia menjerit-jerit, lari masuk ke kamar, mencari-cari, lari keluar sehingga para tetangga yang kaget mendengar jeritan-jeritan itu keluar rumah. Mereka melihat Yan Cu berlari-larian cepat sekali, ke sana ke mari, tidak tahu hendak mengejar ke mana, kemudian nyonya muda itu terguling roboh, pingsan lagi di pinggir jalan!
Dengan bantuan para tetangga, Chie-ma menggotong tubuh Yan Cu memasuki toko. Setelah siuman, Yan Cu menangis, mengguguk. Kemudian ia turun, mengambil dua surat dan menyimpannya. Ia masih bercucuran air mata, akan tetapi tidak menangis lagi, wajahnya membayangkan sikap dingin yang mengerikan.
"Chie-ma, kau jaga baik-baik rumahku. Aku harus pergi mengejar suamiku," katanya dan tanpa banyak cakap lagi malam-malam itu Yan Cu lari keluar, mencari dan mengejar suaminya.
Chie-ma yang dikerumuni para tetangga hanya melolong-lolong, tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka karena sesungguhnya dia sendiri pun tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Setelah para tetangga pulang, Chie-ma masih menangis. Cemburu! Tentu itu sebabnya. Cemburu. "Ya Tuhan, lindungilah mereka...... aduhhh, kebahagiaan mereka hancur oleh cemburu....." ia menangis lagi semalam suntuk.
"Nih, kau pondong Giok Keng....."
Biauw Eng cemberut, cemberut buatan, menerima bayi yang baru berusia sebulan itu dari pondongan suaminya. "Ihhh, baru sebentar saja sudah diberikan kepadaku. Apakah kau kecewa mempunyai anak perempuan? Kau mengharapkan anak laki-laki, ya?"
"Wah-wah-wah, omongan apa itu?" Keng Hong mencium pipi anaknya yang montok kemerahan di pondongan Biauw Eng. "Biauw Eng isteriku yang jelita, aku bukanlah seperti ayah berpendirian usang yang mengutamakan anak laki-laki saja yang kelak akan dapat menjamin kehidupan orang tua di hari tuanya, hanya anak laki-laki saja yang dapat menyenangkan hati orang tua. Pendirian macam itu amat pandir dan picik, menilai anak seperti orang menilai barang dagangan saja, diperhitungkan rugi untung dalam soal benda! Betapa keji pandangan itu. Tidak, isteriku, aku sayang kepada anak kita, tiada bedanya andaikata dia laki-laki. Dan aku tidak ingin anak laki-laki saja!"
"Akan tetapi, semua orang tua mengharapkan anak laki-laki, bukan hanya karena dianggap sebagai jaminan di hari tua, melainkan juga sebagai penyambung keturunan!" Biauw Eng memancing, untuk yakin akan pendirian suaminya yang sudah ia kenal kebijaksanaannya itu.
"Phuhhh! Apa artinya keturunan? Apakah keturunan anak perempuan bukan menjadi keturunan kita pula? pandangan orang yang pikirannya picik itu terlalu melekat soal she (nama keturunan). Bagiku, sama saja. laki-laki atau perempuan tetap anak kita, bukan kelaminnya yang membahagiakan orang tua, melainkan kelakuan anak itu sendiri. Biar perempuan kalau menjadi seorang manusia utama yang mengutamakan kebijaksanan, tentu akan menjunjung tinggi nama orang tua dan mendatangkan kebahagiaan lahir batin, sebaliknya biarpun anak laki-laki kalau menjadi orang rendah (siauw-jin) hanya akan menyeret nama orang tua ke dalam lumpur kehinaan!"
"Wah, wah, wah, kau bicara begitu karena kebetulan anakmu perempuan! Apakah kau tidak ingin mempunyai anak laki-laki?"
"Wah, tentu saja! Akan tetapi, kita masih muda dan engkau...... hemmm, begini cantik, makin jelita setelah mempunyai anak!" Keng Hong merangkul dan mencium bibir isterinya yang dibalas dengan mesra dan bangga oleh Biauw Eng.
"Kalau benar begitu, mengapa kau tidak pernah lama memondongnya?"
Keng Hong memegang dan mempermainkan tangan-tangan kecil anaknya penuh rasa sayang. "Ahhh, aku...... takut dan ngeri."
"Hah? Apa maksudmu?"
"Dia begini kecil, kelihatannya begini....... ah, aku gemetar kalau memondongnya, takut kalau-kalau dekapanku akan menyakitkannya, takut kalau-kalau dia jatuh."
Biauw Eng tertawa. "Engkau cangung sekali dan kaku kalau memondong."
"Lihat, dia tersenyum! Ahhhh, senyumnya sudah memikat seperti senyum ibunya. Mulutnya seperti mulutmu, Eng-moi, dan hidungnya juga, dagunya juga, persis kau!"
"Akan tetapi matanya seperti matamu, Hong-ko dan lihat jari-jari tangannya, dan jari-jari kakinya, hi-hi-hik, pendek-pendek seperti jari-jarimu!"
"Wah, sejak kapan kau memperhatikan jari-jari kakiku?" Keng Hong melotot.
"Sejak...... ihhh, sejak......"
Mereka tertawa penuh bahagia. "Eng-moi, berjanjilah."
"Janji apa?"
"Janji bahwa engkau akan memberiku tiga lagi! Tiga orang adik Giok Keng, dua laki-laki dan seorang perempuan lagi, jadi dua laki-laki dua perempuan. Cukup, bukan?"
***
Biauw Eng menggeleng kepala. "Tidak cukup. Biar selosin!"
"Hushhh.....!"
"Biar kau repot kelak kalau mereka semua merengek minta baju baru dan sepatu baru. Baru tahu rasa kau!"
Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri di atas bangku di taman belakang rumah mereka, lengan kiri menekan siku di atas lutut, tangan kiri menunjang dagu, tangan kanan memijit-mijit pelipis, alisnya berkerut.
"Waduh, anak selosin....... dan aku hanya menjadi petani di gunung ini. Mana cukup? Dan mereka perlu pendidikan semua. Kalau kita tidak tinggal di kota, dan aku mempunyai penghasilan cukup besar, wah, kasihan sekali mereka.......! Aihhh, kita harus berusaha, isteriku, kalau tidak, kasihan dong mereka."
Biauw Eng memandang dengan mata terbelalak, mulutnya menahan tawa. "Benar, suamiku, tidak sedikit biayanya."
"Dua belas pasang sepatu baru, dua belas pasang pakaian, selosin perut di tambah kita berdua yang setiap hari harus diberi makan, wahh, kalau aku tidak bekerja keras, aduhhh, kasihan sekali mereka......!"
"Stop! Mereka siapa yang kau kasihani itu?"
"Siapa lagi? Anak-anak kita yang selosin itu......."
"Eh, mabuk atau mimpi kau? Anak kita cuman satu!"
Keng Hong bengong dan akhirnya tertawa, menampar kepalanya sendiri. "Aihhh, aku tidak merasa seolah-olah kita telah mempunyai selosin orang anak! Wah-wah-wah, kalau begitu jangan membalap, isteriku."
"Membalap apa?"
"Produksi anak itu lho! Lambat-lambat saja."
"Hushhh! Cabul kau, ya?"
Kembali mereka tertawa-tawa. Memang, tiada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan dalam hubungan suami isteri yang penuh kasih sayang, penuh pengertian, penuh kepercayaan dan kesetiaan. Apalagi kalau suami isteri itu sudah dikaruniai anak!
"Cia Keng Hong!"
Keng Hong dan isterinya yang sedang bersendau gurau dan menimang-nimang anak mereka itu terkejut dan menoleh.
"Cong San.......!!" Keng Hong melompat dan lari menghampiri Cong San dengan kedua tangan dilonjorkan untuk memeluk sahabat baiknya itu, wajahnya berseri dan hatinya girang bukan main.
Tiba-tiba dia berhenti dan memandang keadaan sahabatnya dengan mata terbelalak. Wajah Cong San pucat sekali, matanya merah, rambutnya mawut dan pakaiannya tidak karuan.
"Cong San...... apa....... yang terjadi?"
Saking marahnya, sukar bagi Cong San untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia membentak, "Manusia berhati palsu! Aku datang untuk mengadu nyawa denganmu!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cong San menerjang dengan pukulan hebat ke arah Keng Hong. Pendekar ini terkejut bukan main. Gerak reflex dari tubuhnya yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu membuat dia otomatis menangkis, akan tetapi karena dia tidak merasa berhadapan dengan musuh, tangkisannya itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga.
"Desss!!" Tubuh Keng Hong terlempar dan dia jatuh menggulingkan diri, lalu meloncat bangun sambil berseru, "Heiiiiii! Cong San, mengapa.......?"
Akan tetapi Cong San terlah menerjang lagi, kini dengan tendangan ke arah bawah pusar, tendangan maut! Keng Hong yang masih bingung itu cepat mengelak, akan tetapi kembali dadanya kena dihantam.
"Bukkk!" Tubuhnya terguling-guling untuk kedua kalinya.
"Engkau atau aku yang harus mampus!!" Cong San membentak dan meloncat ke depan, mengirim pukulan hebat yang dimaksudkan untuk membunuh.
"Plak-plak-plak-plak-plak!!" Bertubi-tubi datangnya pukulan Cong San yang selalu ditangkis oleh Keng Hong. Kalau Keng Hong menggunakan sinkangnya, tentu tangkisan itu sudah cukup membuat penyerangannya terjengkang. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu, maka biarpun dia bergerak cepat menangkis terus, karena tidak sungguh-sungguh melawan, kembali sebuah tendangan Cong San mengenai perutnya.
"Desss!!" Tendangan ini hebat bukan main karena yang dimainkan adalah ilmu menendang dari Siauw-lim-pai yang amat kuat dan cepat. kalau orang lain yang terkena tendangan ini, andaikata orang itu memiliki kekebalan juga, tentu isi perutnya mengalami getaran hebat dan akan menderita luka di sebelah dalam. Akan tetapi Keng Hong hanya terlempar dan terbanting lalu bergulingan tanpa menderita luka, luar maupun dalam. Pada detik berikutnya, tubuh Cong San sudah meloncat ke depan dan kakinya siap menginjak kepala Keng Hong dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Apalagi hanya kepala orang, batu pun akan pecah terkena injakan dahsyat ini. Dan biarpun Keng Hong seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Cong San, namun dia tidak berani menerima injakan pada kepalanya itu. Dia menjadi penasaran, cepat tangannya menyambar, menangkap kaki Cong San dan sekali dia mengerahkan tenaga mendorong tubuh Cong San terlempar dan terbanting ke atas tanah!
"Cong San sahabatku yang baik, apakah engkau telah gila?" Keng Hong melompat bangun.
Cong San sudah bangkit lagi dan mencabut senjatanya, sepasang Im-yang-pit hitam dan putih. "Memang aku telah gila! Aku tahu, kepandaianku masih terlalu rendah untuk melawanmu, akan tetapi aku tidak takut. Engkau atau aku yang harus mampus!" Setelah berkata demikian, Cong San menerjang maju lagi dengan sepasang senjatanya, menotok ke arah jalan darah yang mematikan.
Keng Hong cepat mengelak dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Peristiwa ini amat mengejutkan dan mendukakan hatinya sehingga dia tidak begitu mementingkan keselamatan dirinya sendiri. Desakan Cong San yang sudah amat marah sekali itu membuatnya membuatnya terhuyung dan melihat ini, Cong San makin beringas, mengirim serangan maut tanpa memperhatikan penjagaan diri sendiri.
"Cong San......!" Keng Hong berteriak, kaget bukan main karena maklum bahwa jurus serangan itu tak mungkin dielakan lagi, juga amat berbahaya dan satu-satunya jalan baginya hanya "mendahului" lawan dengan pukulan atau tendangan. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini. Keadaannya amat berbahaya dan biarpun dia memiliki sinkang kuat, namun masih diragukan apakah kekebalannya akan dapat menahan sepasang Im-yang-pit yang amat lihai itu.
Cong San yang wajahnya seperti berubah menjadi iblis itu menggerakan sepasang Im-yang-pit, yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menusuk ke arah ulu hati.
"Trang-trangggggg......!!"
Cong San terhuyung ke belakang, sepasang Im-yang-pitnya terpental dan hampir terlepas dari tangannya. Ternyata Biauw Eng telah berdiri di depannya dengan muka merah dan mata terbelalak seperti menyinarkan api. Dua buah senjata rahasianya, bola-bola berduri, tadi telah menyambar dan menangkis sepasang Im-yang-pit, dan kini sabuk suteranya yang putih sudah bergerak melayang-layang di atas kepala penuh ancaman.
"Yap Cong San! Kalau engkau sudah gila, aku masih bisa mengampunimu, akan tetapi kalau kau tidak gila, jangan kira engkau boleh menghina suamiku begitu saja! Apakah engkau sudah demikian jagoan sehingga hendak menjual laga di sini?" Sikap Biauw Eng seperti seekor singa betina diganggu anaknya, wajahnya yang cantik itu mangar-mangar kemerahan dan sinar matanya berapi-api.
Cong San masih memandang Keng Hong penuh kebencian. Tanpa menoleh ke arah Biauw Eng dia berkata suaranya dingin, "Sie Biauw Eng, aku tidak memusuhimu, tidak ada urusan sesuatu denganmu. Aku malah kasihan kepadamu. Akan tetapi, aku harus membunuh manusia hina Cia Keng Hong ini, atau aku sendiri yang akan mati di tangannya!" Kembali dia menerjang ke depan, menyerang Keng Hong dengan senjatanya yang digerakkan cepat, menggunakan jurus nekat yang hendak mengadu nyawa.
***
"Kalau begitu, engkaulah yang mampus!" bentak Biauw Eng dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih menyambar dan tahu-tahu sepasang Im-yang-pit telah terbang terlepas dari kedua tangan Cong San, terampas oleh ujung sabuk yang amat lihai. Dalam kemarahanya, Biauw Eng kembali menggerakan tangan dan kedua batang pit yang terlilit ujung sabuknya itu kini meluncur seperti dua batang anak panah ke arah tubuh Cong San!
"Eng-moi..... jangan......!!" Keng Hong berseru, namun terlambat karena sudah tampak sinar hitam dan putih sepasang pit itu meluncur cepat sekali ke arah Cong San. Keng Hong melempar diri ke depan, berhasil menyambar pit hitam, akan tetapi karena jaraknya amat dekat dan posisinya juga miring, pula dia tidak mengira isterinya akan membunuh Cong San, pendekar ini tak dapat meloloskan diri dari pit putih yang menyambar dan menancap di pundaknya.
Keng Hong berdiri tenang, mencabut pit putih dari pundaknya, membiarkan darah muncrat dari lukanya dan menyerahkan sepasang pit itu kepada Cong San sambil berkata, "Cong San, ada persoalan dapat dibicarakan, kalau memang aku bersalah, setelah kita bicara, masih belum terlambat bagimu untuk membunuhku. Dan percayalah, kalau aku bersalah, aku akan menyerahkan nyawa dengan suka rela."
Cong San menyambar sepasang pitnya dan membentak, "Mau bicara apa lagi? Kepura-puraanmu ini saja sudah menjadi jawaban, sudah menjadi bukti akan kerendahan budi dan kekotoran watakmu. Hayo, kaubunuh saja aku!"
Biauw Eng menarik tangan suaminya dengan kasar kebelakang, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Cong San sampai dekat sekali. Telunjuk kirinya menuding hampir menyentuh hidung Cong San dan suaranya melengking nyaring tanda bahwa nyonya muda ini sudah kehilangan kesabarannya.
"Yap Cong San, tak usah banyak bicara kalau begitu! Aku pun muak mendengarkan omonganmu. Kalau engkau tidak gila, tentu engkau sudah buta oleh cemburu, engkau manusia tolol. Memang tidak perlu bicara lagi, aku Sie Biauw Eng, saat ini menantangmu untuk mengadu nyawa! Hayo, keluarkan semua kepandaianmu, dan kalau aku tidak bisa membunuh engkau yang telah menghina suamiku, jangan sebut aku Sie Biauw Eng, dadanya bergelombang dan tangannya yang memegang sabuk sutera menggigil, kakinya melakukan gerakan dibanting-banting ke arah tanah dan Keng Hong menjadi pucat wajahnya. Celaka, pikirnya, kalau isterinya sudah seperti itu, biar setan pun takkan mampu menahannya dan kalau Cong San melawan, dia sendiri belum tentu akan dapat menyelamatkan Cong San dari tangan maut isterinya.
Akan tetapi Cong San tidak marah, malah menggeleng kepalanya dan suaranya penuh duka, "Sie Biauw Eng, sudah kukatakan tadi, aku tidak memusuhimu, aku bahkan kasihan kepadamu. Kita berdua menjadi korban, menderita nasib yang sama, bagaimana aku dapat memusuhimu? Aku pun tidak dapat bicara karena aku tidak mau merusak kebahagiaanmu. Biarlah sekali ini, memandang mukamu, aku mengundurkan diri. Akan tetapi jagalah engkau, Cia Keng Hong, sekali waktu aku akan menjumpaimu sendiri, tanpa campur tangan isterimu, dan saat itulah aku akan membunuhmu atau engkau terpaksa harus membunuhku. Sampai jumpa!" Cong San membalikkan tubuhnya dan lari dari situ. Keng Hong dan Biauw Eng mendengar suara sesenggukan keluar dari mulut orang yang lari itu.
"Kasihan dia...... sungguh heran, apakah yang terjadi........?" Keng Hong berkata lirih.
Biauw Eng membalikan tubuh menghadapi suaminya, matanya masih merah sekali dan ia berkata keras, "Cia Keng Hong, mengapa engkau begini pengecut?"
Keng Hong terbelalak memandang isterinya. "Ahhhhh??? Aku....... pengecut? Apa maksudmu?"
Biauw Eng membanting-banting kakinya. "Sungguh memalukan sekali, mempunyai suami seorang yang lemah, seorang pengecut! Engkau dihina orang, engkau diserang, engkau dimaki, dan engkau tidak membalas malah menaruh kasihan kepadanya! Di mana kegagahanmu?"
Keng Hong menghela napas. "Isteriku yang manis, sabarlah......." Keng Hong melangkah maju dan hendak merangkul isterinya, akan tetapi Biauw Eng menggerakan pundaknya mengelak dan mulutnya cemberut.
"Sabar apa? Aku dapat menduga bahwa dia itu tentulah cemburu kepadamu!"
"Dia menjadi marah karena mengira yang tidak-tidak, dia menuduh dan hatinya dikacau oleh dugaan yang keliru."
"Akan tetapi engkau yang dituduh, engkau difitnah. Kalau orang tidak bersalah, harus melawan! Kalau engkau diam saja dan mengalah, rela dihina, dimaki dan dipukul, hal itu berarti engkau memang bersalah!"
"Wah-wah-wah, apakah engkau pun menuduh aku pula?"
"Sikapmu sendiri yang membuat orang curiga! Kalau memang engkau bersih, mengapa engkau membiarkan dirimu dihina oleh Cong San?"
"Eng-moi, isteriku yang manis........"
"Bukan saatnya merayu! Hatiku sedang panas, tahu? Bicara seperlunya saja!"
Pada saat itu terdengar suara anak menangis dan Biauw Eng sadar dari keadaan marah luar biasa itu. Dia cepat membalik, meloncat dan memondong anaknya yang tadi ia letakkan di atas rumput ketika ia turun tangan membela suaminya. Sambil memondong anaknya, dia membalik menghadapi suaminya dan biarpun sikapnya masih marah, namun matanya tidak lagi berapi-api, kedua lengannya menimang-nimang anaknya yang segera berhenti menangis. Melihat ini Keng Hong menjadi terharu dan terasa benar olehnya betapa isterinya amat mencintainya, membelanya dan tadi bahkan ingin mengadu nyawa dengan Cong San untuk membelanya.
"Eng-moi, maafkan aku kalau aku mendatangkan penasaran di hatimu. Ketahuilah, aku tadi memang mengalah. Akan tetapi bukan mengalah karena kalah, bukan mengalah karena salah bukan pula mengalah karena takut, melainkan mengalah karena sadar, isteriku. Engkau sendiri tahu bahwa dia dalam keadaan tidak normal, seperti gila oleh kemarahannya, mungkin oleh cemburu yang tak berdasar. Nah, setelah aku sadar bahwa dia itu seperti gila, apakah aku pun harus menjadi gila seperti dia dan melayaninya?"
Mata Biauw Eng melotot, dan mata itu bertambah indah dalam pandangan Keng Hong yang tahu bahwa akan ada badai mengamuk dari mata melotot itu. "Apa??" Badai itu mulai menyerangnya. "Engkau.........! Engkau menganggap aku gila.......?"
"Lhohhh! Ehhhh..... apa lagi ini.........?"
"Masih pura-pura lagi! Kau bilang dia gila, yang melawannya sama gilanya, dan aku tadi melawannya, jadi kau memaki aku gila? Ceraikan saja kalau begitu!" Biauw Eng mengusap air matanya yang menetes turun.
Pucat wajah Keng Hong. Belum pernah dia melihat isterinya menitikkan air mata seperti ini, apalagi menantang dicerai! Dia menyesal sekali dan maklum bahwa urusan tidaklah sekecil yang dianggapnya semula. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata penuh penyesalan dan permohonan.
"Eng-moi, isteriku yang terkasih, ibu anakku yang tersayang. Ampunkanlah mulut suamimu yang lancang dan pandangan yang dangkal ini......."
Tiba-tiba Biauw Eng juga berlutut, menggunakan lengan kiri merangkul pundak dan ia terisak di atas pundak suaminya. "Engkau yang harus mengampuniku, suamiku........"
Bukan main besar dan bahagianya rasa hati Keng Hong, akan tetapi juga dia terheran-heran. "Biauw Eng, aku tadi gelisah sekali. Bayangkan saja, engkau begitu marah dan minta cerai!"
"Aku hanya main-mainan, mengancam karena hatiku jengkel sekali melihat Cong San yang menghinamu. Engkau benar, suamiku. Dia gila dan aku pun tadi hampir gila telah melayani seorang gila."
Begitu girangnya hati Keng Hong sehingga dia menghadiahkan ciuman mesra pada mulut yang mengeluarkan kata-kata itu, kemudian dia menciumi kepala puterinya.
"Kalau aku tadi ketularan kegilaanmu dan aku membalas, benar-benar menceraikanmu bagaimana?"
"Aku akan mati!" jawab Biauw Eng tegas. "Aku hanya mau bercerai darimu kalau mati!"
***
"Isteriku.......!" Keng Hong merangkul isteri dan puterinya dengan kedua lengan, kegelisahannya mengenai Cong San lenyap terselubung kebahagiaan yang dirasakan di saat itu.
"Eh, pundakmu....... harus segera diobati."
Keng Hong menjamah pundaknya yang tadi tertusuk pit. "Tidak apa-apa, lukanya hanya kecil, darahnya sudah mengering, sebentar pun sembuh. Pit dari Cong San tidak beracun, tidak berbahaya."
Disebutnya nama ini membuat mereka termenung, teringat kembali. Keng Hong mengerutkan keningnya, teringat dia akan Yan Cu. "Sungguh heran aku, apakah yang telah menimpa keluarga Cong San dan sumoi?"
Biauw Eng juga termenung. "Cong San telah menjadi seperti gila. bagaimana dengan yan Cu? Aihhh, aku pun khawatir sekali, suamiku. Tentu terjadi hal yang amat hebat menimpa mereka, dan aku khawatir........ hemmmmmm...... siapa lagi kalau bukan dia yang mengacau........"
Keng Hong mengerti karena dugaannya pun menuju ke sana, "Cui Im?"
Isterinya mengangguk dan mereka berpandangan. Melihat pandang mata isterinya, Keng Hong maklum bahwa isterinya menyesalkan pengampunannya terhadap Cui Im, maka dia berkata perlahan, "Aku tidak akan sudi mengampuninya lagi kalau benar dia masih belum bertobat dan masih mengacau dan merusak kebahagiaan sumoi dan suaminya."
"Suheng.......!!"
Keng Hong dan Biauw Eng meloncat dan membalikkan tubuh, memandang terbelalak kepada Yan Cu yang datang berlari-lari. Kalau saja Yan Cu tidak mengeluarkan suara memanggil tadi, tentu mereka berdua akan pangling. Wajah yang dahulunya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar, cantik jelita dan selalu riang gembira, berseri-seri itu kini kotor dan muram, matanya membendul dan merah kebanyakan menangis, air mata di pipi tidak dibersihkan, terkena debu membuat wajah itu cemang-cemong, rambutnya kusut tak disisir, pakaiannya pun kusut dan matanya membayangkan kedukaan hebat.
"Yan Cu.......!" Biauw Eng berkata lirih, penuh iba dan kaget.
"Sumoi, kau kenapakah........??' Keng Hong cepat melangkah maju menyambut.
"Jangan dekat! Jangan sentuh aku!!" Yan Cu tiba-tiba berhenti ketika melihat Keng Hong melangkah maju menyambutnya. Keng Hong terkejut sekali dan sejenak timbul kekhawatirannya bahwa jangan-jangan sumoinya ini pun menjadi gila!
"Sumoi, ada apakah? Engkau seperti marah dan membenciku, apakah salahku?"
"Suheng, engkau satu-satunya orang yang kumuliakan, satu-satunya orang yang kucinta seperti kakak, seperti pengganti orang tuaku. Mengapa engkau begitu kejam? Mengapa engkau merusak kebahagiaan hidupku? Mengapa engkau menceraikan aku dari suami dan anakku? Suheng, jawablah. Di depan enci Biauw Eng. Katakan terus terang, siapakah yang kau cinta dengan cinta kasih pria terhadap wanita, aku ataukah enci Biauw Eng?"
Kalau ada halilintar menyambarnya di saat itu, belum tentu Keng Hong akan sekaget ketika mendengar kata-kata sumoinya ini. "Sumoi........, yan Cu...... apa artinya semua ini? Aku sungguh tidak mengerti!"
Biauw Eng yang memondong anaknya sudah pula mendekat dan berkata, suaranya tegas, dingin dan berwibawa, "Yan Cu, tenanglah sebentar, tekan perasaanmu yang meluap-luap dan dilanda kedukaan itu. Kami dapat menduga bahwa tentu telah terjadi malapetaka hebat menimpa keluargamu, akan tetapi kami sama sekali tidak tahu maka ceritakanlah yang jelas. Atau, marilah kita masuk ke rumah di mana kita dapat bicara dengan tenang."
Yan Cu memandang Biauw Eng dan sungguh heran sekali hati Biauw Eng mengapa sinar mata wanita itu penuh iba ketika memandangnya. "Enci Biauw Eng, maafkan aku yang terpaksa melukai hatimu. Aku tidak bisa bicara banyak, akan tetapi karena perbuatan Suheng yang ternyata dia ada bedanya dengan watak gurunya, mendatangkan malapetaka hebat kepada diriku dan terpaksa aku menghancurkan hatimu. Enci Biauw Eng, kau ampunkanlah aku!"
"Sumoi, katakanlah, tidak perlu disembunyikan. Katakan semua, apa yang telah terjadi? Dosa hebat apakah yang telah kulakukan sehingga malapetaka menimpa keluargamu?" Keng Hong yang biasanya dapat menahan kesabaran itu, kini berseru keras karena dia gelisah sekali, menduga-duga apa gerangan yang terjadi sehingga dia dibenci Cong San dan kini dipersalahkan sumoinya sendiri.
Dengan muka pucat dan mulut terisak menahan tangis, Yan Cu mengeluarkan dua buah surat dari balik bajunya, dua buah surat yang dahulu dilemparkan suaminya kepadanya. Kini dia melemparkan dua buah surat itu kepada Keng Hong sambil berkata penuh duka,
"Mengapa engkau menulis surat macam itu kepadaku? Dan apa pula artinya pemalsuan surat dariku itu?" Yan Cu lalu menangis tersedu-sedu, kedua kakinya terasa lemas dan ia terjatuh, duduk di atas tanah sambil menangis.
Keng Hong menyambar dua buah surat itu. Matanya segera tertarik oleh tulisannya sendiri dan cepat dibacanya. Biauw Eng yang melihat betapa mata suaminya terbelalak dan mukanya berubah merah penuh kemarahan, cepat menghampiri dan ikut membaca. Matanya pun terbelalak ketika bibirnya bergerak-gerak membaca surat itu.
Yan Cu sumoi yang tercinta,
Setengah tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu.
Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-Ling-san.
Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali, berdua seperti dahulu memadu kasih?
Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.
Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong.
Sampai beberapa kali Keng Hong dan Biauw Eng membaca surat itu. Sekilat terasa bahwa amarah yang amat hebat membakar dada Biauw Eng karena dia mengenal betul tulisan suaminya! Akan tetapi melihat sikap suaminya, dia dapat menekan kemarahannya dan mengerti bahwa ada sesatu yang tidak wajar. Tidak cocoklah isi surat dengan sikap suaminya. kalau suaminya menulis seperti itu dan kini suratnya terbaca olehnya, tidak mungkin suaminya akan bersikap seperti itu, penuh rasa penasaran, kemarahan, kekagetan dan juga keheranan. Kalau benar-benar menulis seperti itu tentu berusaha agar jangan terbaca olehnya.
"Ibils terkutuk! Tulisanku dipalsu orang. Ini surat palsu, Sumoi!"
"Tulisannya persis tulisanmu. Aku sendiri pun akan berani bersumpah bahwa itu tulisanmu, Hong-ko," Biauw Eng berkata.
"Sumoi, telah terjadi hal yang hebat. Aku mengerti sekarang....... hemmm......" Kini Keng Hong membuka surat ke dua, tulisan tangan Yan Cu juga dia baca bersama Biauw Eng. Akan tetapi karena mereka kini sudah merasa yakin bahwa ada pemalsuan surat, mereka tidak begitu terkejut lagi membaca tulisan tangan Yan Cu yang membuat Cong San menjadi seperti gila itu.
Suheng, kekasihku.
Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tidak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku.
***
"Suheng, jadi engkau tidak menulis suratmu kepadaku itu? Dan......... dan surat dariku ini? Aku tidak menulisnya, akan tetapi huruf-hurufnya....... serupa benar dengan gaya tulisanku......"
"Tenanglah, Yan Cu. Dan ceritakan sekarang, apakah engkau pernah menerima surat kami beberapa bulan yang lalu, yang diantar oleh seorang pesuruh kami?"
Yan Cu menggeleng kepala. "Tidak pernah ada utusan kalian datang membawa surat."
Biauw Eng memandang suaminya dan alisnya berkerut. Hemmm, ini cocok dengan keanehan sikap A-liok yang aneh, yang tidak kembali dan hanya berpesan tidak pulang ke kampung. "Surat kita agaknya terjatuh ke tangan orang jahat dan tulisanmu dipelajari untuk mereka pakai membuat surat palsu ini. Tak salah lagi. Suratmu itu dipalsu, kemudian surat palsu ini diserahkan kepada Cong San di luar tahu Yan Cu."
"Akan tetapi A-liok........? Dia amat boleh dipercaya." Keng Hong membantah, sungguhpun dia percaya akan kecerdikan isterinya.
Biauw Eng menggeleng kepala. "Aku mempunyai dugaan bahwa A-liok telah terbunuh orang, surat kita dipalsukan. yan menyampaikan berita tidak pulang ke sini itu tentu bukanlah A-liok, melainkan kaki tangan penjahat. Aku dahulu sudah curiga bahwa tak mungkin A-liok berani berbuat seperti itu, akan tetapi karena tidak ada terjadi sesuatu, aku pun tidak perduli. Sekarang aku baru tahu bahwa kecurigaanku terhadap peristiwa itu benar."
Keng Hong mengepal tinju dan menghadapi Yan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian. "Sumoi, engkau yakin sekarang bahwa bukan aku yang menuliskan surat beracun ini kepadamu. Akan tetapi, tulisanmu ini........, kau bilang serupa dengan tulisanmu akan tetapi bukan tulisanmu?"
"Mengapa serupa sekali, akan tetapi engkau mengerti bahwa tidak mungkin aku menulis surat seperti itu, Suheng."
Keng Hong mengangguk-angguk. "Aku mengerti adikku. Engkau bukanlah seorang wanita seperti ini dan engkau amat mencinta suamimu. Akan tetapi bagaimana tulisanmu sampai dapat dipalsukan orang lain?"
Yan Cu menggigit bibir dan mengepal tinjunya. "tadinya tak terpikir olehku, sekarang aku ingat. Orang tua yang minta dituliskan resep baru itu! Hemmmm.......dari resep obat yang kutulis, seorang hali tentu saja akan dapat menirukannya! Akan tetapi mengapa........?? Mengapa ada pemalsuan-pemalsuan ini? Mengapa sikap suamiku selalu dingin dan murung? Mengapa ada yang hendak menghancurkan rumah tanggaku? Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan Cui Im!" Keng Hong berkata marah. "Aku akan mencarinya. Dia harus mempertanggungjawabkan ini. yang kukhawatirkan hanyalah Cong San. Dia pergi dari sini seperti orang yang sudah berubah jiwanya.........."
"Suheng.......! Dia........... dia ke sini........? Dan bersama Kun Liong.....?"
"Kun Liong? Siapa dia?"
"Anak kami! Dia pergi membawa anak kami......, maka aku mengejar ke sini........."
Keng Hong menggeleng kepala dan memandang sumoinya penuh rasa iba. "Dia datang seorang diri dan hendak membunuhku."
"Karena suhengmu mengalah dan terancam, terpaksa aku turun tangan menandinginya. Dia lari meninggalkan ancaman maut kepada Suhengmu. jadi engkau telah mempunyai seorang putera? Di manakah dia? Dibawa ke mana?"
Akan tetapi wajah Yan Cu sudah menjadi pucat sekali mendengar betapa suaminya telah datang hendak membunuh Keng Hong dan tidak tampak anaknya bersama suaminya itu.
"Su....... sudah lamakah dia pergi?"
"Baru saja, belum ada dua jam, dia berlari ke arah sana........" Biauw Eng menjawab dan menunjuk ke utara.
Tanpa menjawab dan tanpa pamit Yan Cu meloncat dan berkelebat cepat lari ke utara hendak menyusul suaminya.
"Sumoi........!" Keng Hong hendak mengejar, akan tetapi Biauw Eng memegang lengannya menahan.
"Suamiku, tenanglah. Dalam keadaan seperti ini kita harus bersikap tenang dan tidak boleh semberono. Kini kita telah mengerti mengapa Cong San menjadi seperti gila dan bersikeras hendak membunuhmu. Kiranya dia memang sudah gila oleh cemburu. Tidak mengherankan kalau dia membaca dua surat ini dan mungkin sekali dia menyaksikan hal-hal yang menambah besar cemburunya. Kalau engkau membantu Yan Cu mencarinya, kemudian bertemu dengannya, bukankah kedatanganmu berdua Yan Cu itu hanya akan menjadi minyak yang disiramkan kepada api yang berkobar? Tidak, hal itu akan menambah ruwet persoalan."
"Habis, bagaimana baiknya? Mungkinkah kita melihat kesengsaraan mereka dan mendiamkannya saja, melihat rumah tangga mereka hancur berantakan?"
"Tentu saja tidak, suamiku. Kita bertiga harus menyusul mereka dan kita bereskan urusan itu, kita sadarkan Cong San yang gila oleh cemburu. Terutama sekali, kita mencari biang keladinya yang kurasa bukan lain tentulah Cui Im."
"Bertiga?"
"Tentu saja, berasama Biok Keng."
"Ihhh! Perjalanan ini penuh bahaya, apalagi kalau diingat bahwa besar kemungkinan kita berhadapan dengan iblis betina itu. Mengajak Giok Keng berarti membahayakan keselamatan anak kita."
"Hemmmm, kalau kita tinggalkan di sini tanpa kita jaga, apakah hal itu tidak lebih berbahaya lagi? Kalau kita mampu menjaga diri sendiri, masa tidak mampu melindungi anak kita? Sebaliknya kalau kita berdua binasa, siapa pula yang akan dapat menjaga anak kita? Kita pergi bertiga, hari ini juga, Hong-ko."
Mau tak mau Keng Hong terpaksa harus membenarkan ucapan isterinya itu. Pula, menghadapi urusan Cong San benar-benar amat ruwet dan rumit, dia seorang diri belum tentu sanggup memecahkannya. Dia harus mengandalkan kecerdikan isterinya untuk mengatasi perkara itu, maka dia tidak banyak membantah dan berangkatlah suami isteri pendekar sakti itu bersama puteri mereka setelah menyerahkan pengurusan rumah mereka kepada para petani tetangga mereka.
Cong San terhuyung-huyung akhirnya roboh di bawah pohon besar dalam hutan. Terdengar menangis mengguguk. Baru sekali ini selama hidupnya pendekar itu menangis, hati dan pikirannya kacau balau, kehilangan pegangan. Ia berduka kehilangan cinta kasih isterinya, dia marah karena merasa tertipu melihat kenyataan bahwa semenjak dahulu isterinya adalah kekasih Keng Hong. Dia kini yakin bahwa isterinya menikah dengannya bukan sebagai seorang perawan lagi, bahkan dia meragukan apakah Kun Liong itu anaknya! Lebih hebat lagi, andaikata dia mau melupakan semua itu, melupakan semua peristiwa yang sudah-sudah, menuruti nasihat Thian Kek Hwesio, semua itu tidak ada gunanya karena sampai sekarang pun isterinya masih melanjutkan hubungan jinah dengan Keng Hong! Dunia serasa hancur lebur bagi Cong San. Yang lebih menyakitkan hati, dia tidak mampu membalas, tidak mampu membunuh Keng Hong, bahkan dia menanam permusuhan pula dengan Biauw Eng! Dia tidak mau melawan Biauw Eng, bukan hanya karena wanita itu pun memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi dari padanya, namun terutama sekali karena dia merasa kasihan kepada Biauw Eng! Di luar kesadarannya, Biauw Eng juga menjadi korban watak kotor suaminya, dan wanita itu sama sekali tidak bersalah. Betapa mungkin dia melawan mati-matian terhadap Biauw Eng? Tidak, dia tidak akan mengangkat senjata terhadap Biauw Eng, akan tetapi, dia harus membunuh Keng Hong! Membunuh manusia busuk itu atau mati dalam usahanya ini!
***
"Aihhh....." Dia mengeluh, duduk bersandar pohon, mengusap air matanya. "bagaimana aku dapat membunuh iblis itu? Ilmunya luar biasa tinggi, dan di sampingnya terdapat Biauw Eng yang membelanya. Aaaaaahhh........., mengapa Thian menyiksaku seperti ini? Di mana ada keadilan?"
Kalau pohon raksasa tua di mana Cong San bersandar itu dapat bergerak seperti manusia, tentu akan menggeleng kepala mendengar keluhan Cong San ini. Keluhan seorang manusia yang lajim terdengar di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini. Manusia selalu mengeluh kalau tertimpa sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, kalau terjadi sesuatu yang berlawanan dengan kehendak hatinya, dengan bayangan dalam pikirannya. Lalu ia merasa menderita, merasa sengsara dan berduka. Lalu timbul rasa penasaran. Lebih celaka lagi, dia lalu mempersekutu Thian di dalam keadaan mabuk oleh iba diri. Cong San lupa akan pelajaran-pelajaran kebatinan yang telah diterimanya sejak kecil. Oleh rasa iba diri yang menimbulkan pertentangan mencipta kemarahan dan kebenciaan, dia lupa bahwa dia telah melakukan hal yang amat kotor. Dia ingin menarik Tuhan agar berpihak kepadanya untuk dapat membalas Keng Hong! Dia baru akan merasa puas, baru akan menganggap Tuhan Maha Adil kalau Tuhan suka membantunya membunuh Keng Hong! Betapa piciknya pendapatnya yang melahirkan perbuatan setelah dikuasai oleh rasa sayang diri dan iba diri. Perasaan Ke-akuan ini membuat setiap orang ingin agar segala sesuatu di alam mayapada ini, dari yang tampak sampai yang tidak tampak, dari segala setan iblis, dewa malaikat sampai kepada Tuhan, semua bergerak demi kepentingan dan keuntungan Aku.
Berbahagialah manusia yang dapat mengenal diri pribadi, dapat menunjukkan pandang mata dan mendengarkan telinga ke dalam, bukan selalu keluar. Dapat mengenal isi pikiran dan melihat betapa pikiran selalu membayangkan hal-hal lalu yang penuh kenikmatan dan kesenangan sehingga timbul keinginan-keinginan, dapat mendengar suara hati yang terdorong oleh nafsu-nafsu yang timbul dari kenangan dan bayangan, dapat berdiri di atas itu semua tanpa penentangan, tanpa pengekangan paksa, melainkan dengan penguasaan sehingga semua itu akan mencair dan musnah dengan sendirinya, tanpa paksaan, tanpa pertentangan, bergulung menjadi satu ke dalam cahaya Cinta Kasih Murni.
"Yap Cong San, seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, mengapa bersemangat lembek dan lemah!"
Cong San melompat bangun, membalik dan menghadapi Bhe Cui Im dengan mata berapi penuh kebencian dan kemarahan. wanita yang amat cantik jelita, yang berpakaian mewah dan indah, pakaian yang ketat membungkus tubuh yang mempunyai lekuk-lengkung yang menggairahkan, yang menghamburkan bau harum dari seluruh rambut dan pakaiannya, tersenyum-senyum manis memandangnya. Namun, bagi Cong San, kecantikan itu menyembunyikan bayangan iblis yang mengerikan.
"Iblis betina!" ia membentak dan cepat dia telah mencabut sepasang Im-yang-pit di tangannya, langsung menubruk dan meyerang ke depan, mengirim totokan-totokan maut secara bertubi-tubi.
Namun sambil tersenyum simpul dan dengan gerakan yang indah, Cui Im dapat menghindarkan diri dengan amat mudah sehingga semua totokan itu mengenai angin saja.
"Cong San, betapa bodohnya engkau. Kalau engkau melawan aku, engkau takkan menang dan betapa mudah bagiku membunuhmu. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu dan engkau pun tidak boleh menyerangku. Aku butuh engkau, dan engkau pun butuh aku, Cong San."
Dalam keadaan seperti itu, Cong San tak mampu berpikir panjang, maka ucapan ini dia hubungkan dengan sifat mata keranjang dan gila laki-laki dari iblis betina ini. Kemarahannya memuncak dan dia menerjang lagi lebih nekat!
"Plak-plak...... Cusss!" Dua batang pit itu bertemu dengan telapak tangan Cui Im. Cong San merasa seolah-olah dua batang senjatanya berikut tenaga sinkangnya amblas ke dalam benda lunak dan kehilangan tenaganya, kemudian sebuah totokan jari tangan yang halus runcing menyentuh pundak, membuat dia terguling dan seluruh tubuh atasnya menjadi lumpuh. Namun dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya, berhasil membuyarkan pengaruh totokan, melompat berdiri dan siap menerjang lagi.
"Cong San, aku tahu engkau gagah dan tidak takut mati. Akan tetapi, tidak sayangkah engkau mati di tanganku sebelum engkau mampu membunuh Keng Hong yang telah menghancurkan kebahagiaanmu?"
Cong San tertegun. Dia tidak ingin mati sebelum sempat membalas Keng Hong! Akan tetapi dia pun tidak sudi menyerah terhadap iblis betina ini, maka dia menghardik, "Urusanku dengan dia tidak ada sangkut pautnya denganmu!"
Cui Im tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih rata seperti mutiara. "Tidak ada sangkut pautnya, akan tetapi kita senasib! Keng Hong telah menghancurkan kebahagiaanmu, juga dia telah menghancurkan kebahagiaanku. Engkau mendendam dan hendak membunuhnya, aku pun demikian. Engkau tidak berhasil, aku pun demikian, karena dia memang amat lihai. Karena itu, mengapa kita saling serang sendiri? Tadi kukatakan bahwa kita saling membutuhkan. Kalau kita bekerja sama menghadapi laki-laki mata keranjang itu, tentu kita akan berhasil membalas dendam."
Cong San meragu, menunduk. Dia tahu bahwa wanita di depannya ini, yang jahat dan keji seperti iblis, memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, bahkan wanita ini adalah sumoi dari Keng Hong. Wanita inilah satu-satunya orang yang ikut mempelajari kitab-kitab rahasia peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah tingkat Keng Hong!
"Bhe Cui Im, engkau tahu bahwa aku tidak sudi bersahabat denganmu, bahwa aku tidak sudi menyerah dan tunduk kepadamu. Akan tetapi, mengenai urusan Cia Keng Hong, kalau engkau ada usul menghadapinya, katakanlah agar dapat kupertimbangkan."
Cui Im merasa girang sekali. Dia pun sudah mengenal watak pemuda ini dan dia tahu bahwa kecantikannya, rayuannya sebagai wanita tidak mungkin dapat menggugurkan batin Cong San. Satu-satunya jalan untuk menarik pemuda ini bekerja sama dengannya hanyalah memanfaatkan api cemburu yang sedang berkobar di dadanya.
"Yap Cong San, kita bekerja sama untuk menghancurkan musuh kita, bukan untuk bersahabat. Engkau tetap bebas, hanya kita rencanakan bersama untuk memancing Keng Hong dan membunuhnya. Dia merusak hidupku, dan dia juga mempermainkan isterimu secara tidak tahu malu, seolah-olah isterimu dianggapnya seorang pelacur......."
"Tutup mulutmu! Aku melarang engkau menyebut-nyebut isteriku!" Sepasang pit di tangan Cong San menggigil dan diam-diam Cui Im tersenyum mengejek karena dia tahu bahwa kata-katanya yang disengaja tadi telah berhasil baik membakar hati Cong San.
"Maaf, aku bukan bermaksud menghina. Dengarlah, aku kini tinggal di Sun-ke-bun, mengumpulkan kekuatan untuk melawan Keng Hong. marilah kau ikut bersamaku ke sana dan kita rundingkan rencana menghukum si mata keranjang itu bersama guruku, Go-bi Thai-houw. Dengan tenaga kita bertiga, ditambah pembantu-pembantuku yang cukup banyak, aku percaya akhirnya Keng Hong akan mampus di tangan kita."
Terjadi perang batin di dalam hati Cong San. Kalau saja racun cemburu tidak sedemikian hebatnya membakar seluruh dirinya, membuat setiap bulu di tubuhnya, setiap helai rambut di kepalanya, membenci dan bernafsu membunuh Keng Hong tentu dia tidak akan sudi bersekutu dengan Cui Im dan antek-anteknya.
"Baik! Akan tetapi ingat, kerja sama antara kita hanya untuk membunuh Cia Keng Hong, setelah itu, kita bersimpang dan mungkin kelah kita akan saling berhadapan sebagai musuh!"
Kembali wanita cantik itu tersenyum manis. "Urusan besar di depan mata masih belum beres, mengapa memikirkan masa depan yang tiada ketentuan? Biarlah kita kini bekerja sama untuk menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng yang lihai, urusan kelak...... bagaiman nanti sajalah."
"Aku hanya membantumu menghadapi nyawa Keng Hong, tidak mau membantumu menghadapi Biauw Eng!"
Cui Im mengangguk. "Baiklah, kita tinggalkan Biauw Eng di luar. Betapapun juga, dia adalah sumoiku sendiri. Marilah kita berangkat."
Biarpun di sudut hatinya terdapat perasaan memberontak dan mencela perbuatannya sendiri yang mau bersekutu dengan seorang iblis betina seperti Cui Im, namun Cong San menghibur diri bahwa perbuatannya ini hanya dia lakukan karena semata-mata demi terlaksananya dendam di hatinya, khusus untuk menghadapi Keng Hong. Setelah itu, hemmm........... siapa tahu, mungkin dia akan melawan Cui Im! yang penting, Cia Keng Hong, laki-laki palsu, mata keranjang, berakhlak bejat itu, yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya, harus dibunuh lebih dulu!
Dengan wajah murung dan mulut selalu tertutup, tak pernah mengeluarkan kata-kata kalau tidak perlu sekali, Cong San melakukan perjalanan bersama Bhe Cui Im yang cantik jelita dan yang terlalu cerdik untuk menutupi berahi yang selalu menyelubunginya sehingga tidak satu kalipun dia mencoba-coba untuk merayu Cong San sungguhpun kesempatan untuk itu banyak sekali. Tidak, Bhe Cui Im adalah seorang wanita yang sudah matang, penuh pengalaman dan cerdik luar biasa. Kalau mengingat kepandaian Cong San, murid Siauw-lim-pai ini tidak akan dapat menolong banyak kepadanya dalam menghadapi Keng Hong. Akan tetapi, bukan tingkat kepandaian Cong San yang ia butuhkan dan diam-diam otaknya sudah bekerja untuk menggunakan orang muda ini dalam siasatnya menjebak Keng Hong.
***
Tanpa mengenal lelah Yan Cu melakukan perjalanan mencari suaminya. Hatinya agak terhibur setelah ia pergi ke Siauw-lim-pai dan mendapat kenyataan bahwa puteranya, Kun Liong, ternyata berada di kuil itu! Cong San telah menitipkan putera mereka itu di kuil Siauw-lim-pai sebelum berangkat pergi mencari Keng Hong untuk dibunuhnya.
Mendengar penuturan Yan Cu tentang keadaan Cong San, Thian Kek Hwesio menganggap urusan itu gawat sekali, maka dia tidak melarang ketika Yan Cu mohon pergi menghadap Tiong Peh Hosiang. Kakek itu bekas ketua Siauw-lim-pai ini hanya menarik napas panjang, kemudian dengan singkat berkata,
"Omotohud, agaknya sudah nasib dan karma pinceng harus terseret-seret urusan dunia. Pergilah engkau lebih dulu, pinceng akan menyusul."
Menerima kesanggupan kakek itu, agak besarlah hati Yan Cu, maka dia lalu pergi mencari suaminya. Dia mempunyai dugaan pula bahwa yang menimbulkan kehancuran rumah tangganya tentulah Bhe Cui Im, si iblis betina itu, seperti yang telah ia dengar dari Keng Hong pula. Teringatlah ia akan semua pengalamannya pada hari pernikahannya di puncak Cin-ling-san ketika Bhe Cui Im muncul bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong. Hemmm, Mo-kiam Siauw-ong! Terkenal sebagai raja kaum bajak sungai di lembah Fen-ho, murid Thian-te Sam-lo-mo. Agaknya dia akan bisa mendapatkan petunjuk tentang di mana adanya Cui Im kalau dia dapat bertemu dengan Mo-kiam Siauw-ong. Kalau dia tidak dapat menyusul suaminya, dia akan mencari Bhe Cui Im dan akan mengadu nyawa dengan iblis betina yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya itu!
Keputusan hati yang nekat ini membuat Yan Cu melakukan perjalanan tanpa mengenal lelah dan beberapa pekan kemudian ia telah tiba di daerah lembah Sungai Fen-ho. Ketika ia bertanya-tanya kepada para nelayan dengan muda ia mendengar keterangan bahwa Mo-kiam Siauw-ong yang dicarinya itu kini telah menjadi seorang berpangkat dan berpengaruh, yaitu menjadi putera mantu Coa-taijin, kepala daerah kota Sun-ke-bun di lembah Fen-ho! Mendengar ini, Yan Cu cepat menuju ke kota Fen-ho.
Tidak sukar baginya untuk mencari rumah kepala daerah, di mana tinggal pula bekas raja bajak yang dicarinya. Tentu saja di depan pintu gerbang gedung pembesar itu ia dilarang masuk oleh para pengawal. yan Cu yang karena kedukaan dan kemarahannya sudah nekat, lalu berkata nyaring,
"Kalau aku tidak boleh masuk, hayo suruh bajak Mo-kiam Siauw-ong lekas keluar menemuiku! Kalau dia tidak mau keluar, terpaksa aku akan memaksa masuk!"
Seorang pengawal cepat berlari masuk untuk melapor. Pada saat itu, Mo-kiam Siauw-ong, Bhe Cui Im, go-bi Thai-houw yang bersikap tak acuh, sedang berunding dengan Yap Cong San yang sudah beberapa hari tinggal di situ pula. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Cong San mendengar laporan pengawal bahwa di luar telah muncul isterinya! Agaknya isterinya dapat tahu bahwa dia berada di situ. Dia enggan bertemu dengan isterinya, sungguhpun jantungnya berdebar tegang dan penuh dengan kerinduan yang luar biasa!
"Bagus sekali kalau dia datang, memang kita membutuhkan dia!" Cui Im berkata, mencegah Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bangkit. "Engkau bukan lawannya, biar aku menangkapnya."
Tiba-tiba Yap Cong San meloncat berdiri, mukanya pucat. "Bhe Cui Im! Apa yang akan kau lakukan ini? Aku melarang siapapun juga mengganggu isteriku!"
Cui Im tersenyum memandang orang muda itu. "Aku kagum kepadamu, Cong San. Setelah semua yang diperbuatnya terhadapmu, engkau masih membelanya dan mencintanya! Aku tahu akan perasaanmu itu, Cong San, maka harap kau jangan salah sangka. Aku tidak akan mengganggunya, hanya menangkapnya untuk memancing munculnya Cia Keng Hong. Kalau dia mendengar bahwa kekasihnya yang tercinta kutangkap, tentu dia akan muncul ke sini!"
Sebutan "kekasihnya yang tercinta" yang sengaja dikeluarkan oleh mulut Cui Im itu berhasil membakar lagi hati Cong San. Dia mengangguk dan berkata,
"Jangan lukai dia, dan perlakukan dengan baik. Jangan sampai dia tahu aku berada di sini."
Cui Im mengangguk dan melirik ke arah gurunya. "Aku tahu dan jangan khawatir, Cong San. Akan tetapi, isterimu itu bukanlah seorang yang lemah. Untuk menangkap tanpa melukainya, aku harus mendapatkan bantuan Subo. Subo, harapa bantu teecu menangkap Yan Cu."
Go-bi Thai-houw terkekeh. "heh-heh-heh, apa sih sukarnya menangkap bocah itu?" Akan tetapi ia bangkit juga dan mengikuti Cui Im keluar dari dalam gedung.
Dengan muka agak pucat Cong San lalu meloncat bangun, berindap keluar untuk mengintai betapa isterinya ditangkap, siap untuk membela isterinya yang betapapun juga amat dicintanya itu kalau-kalau akan terancam keselamatannya di bawah tangan Cui Im yang dia tahu amat kejam.
Sementara itu, Yan Cu yang menanti di luar, mengharapkan keluarnya Mo-kiam Siauw-ong agar dia dapat bertanya tentang tempat tinggal Bhe Cui Im. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia menyaksikan berkelebatnya dua bayangan orang dan tahu-tahu Bhe Cui Im sendiri bersama Go-bi Thai-houw telah berdiri di depannya!
"Kau...... kau iblis betina.........!" Yan Cu berseru, matanya memandang penuh kebencian. Biarpun dia belum mempunyai bukti bahwa wanita inilah yang mencelakakannya, namun begitu bertemu saja sudah bangkit kembali kebenciannya. Tanpa bukti, tentu saja dia tidak dapat menuduhnya begitu saja.
"Hi-hi-hik, engkau isteri yang tidak setia! Apakah kau datang untuk mencari kekasihmu Cia Keng Hong?"
Muka Yan Cu menjadi merah sekali, matanya terbelalak dan kalau tadinya ia masih ragu-ragu untuk menuduh karena tidak ada bukti, ucapan Cui Im itu meyakinkan hatinya bahwa iblis inilah yang mengaturnya. Saking marahnya sampai sukar ia mengeluarkan suara. Pula, di tempat ramai itu, perlu apa dia bicara tentang kehancuran rumah tangganya itu? Hanya akan menimbulkan aib dan malu saja! Maka Yan Cu cepat mencabut pedangnya dan menerjang Cui Im sambil membentak,
"Tutup mulutmu yang kotor, iblis bentina!"
Cui Im mengelak sambil mengebutkan ujung lengan bajunya, tertawa mengejek menghindarkan bacokan dan tusukan pedang yang bertubi-tubi. Dibandingkan dengan tingkat kepandaian Yan Cu, tentu saja Cui Im menang jauh sekali. Kalau dia menghendaki, dalam waktu belasan jurus saja dia tentu sanggup merobohkan Yan Cu. Akan tetapi, merobohkan tanpa melukainya bukanlah hal mudah, dan Cui Im yang cerdik dan dapat menduga bahawa Cong San tentu mengintai, tadi sengaja menyebut-nyebut nama Keng Hong utuk memanaskan hati Con San, namun ia tetap tidak berani untuk melukai Yan Cu karena hal ini akan merugikan saja, akan membuat ia kehilangan bantuan Cong San yang amat dia butuhkan.
"Subo, harap bantu teecu!" Cui Im sambil melompat jauh ke belakang berseru, Yan Cu yang menjadi marah dan penasaran cepat mengejar ke depan.
Sinar merah menyilaukan matanya. Cepat Yan Cu menangkis dengan pedangnya ke arah sinar merah yang menyambar dari kanannya itu. ia menahan teriakan ketika pedangnya bertemu benda lunak halus dan ternyata itu adalah ujung kebutan merah di tangan Go-bi Thai-houw yang terus membelit pedang. Yan Cu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Dengan kebencian meluap Yan Cu menggerakan tangan kirinya meluncur ke depan, dua buah jari tangannya menusuk ke arah sepasang mata di wajah tua yang terkekeh dan menyeringai menjijikan itu.
***
Membayangkan ini semua, hati Cong San makin panas dan berkuranglah rasa kasihan di hatinya terhadap Yan Cu. Biarlah Cui Im mempergunakannya sebagai umpan untuk memancing datang Cia Keng Hong, pikirnya. Asalkan Yan Cu tidak dihina, tidak disiksa, karena kalau hal itu terjadi, tentu dia akan membelanya dengan taruhan nyawa. Betapapun jahatnya Yan Cu dalam pertimbangannya, tidaklah sejahat dan sekeji Cui Im si iblis betina!
Yan Cu ditahan dalam sebuah kamar yang cukup indah dan bersih. Kedua tangan dan kakinya terbelenggu, akan tetapi memakai rantai panjang sehingga wanita ini dapat bergerak leluasa, dapat makan dan tidur, akan tetapi tentu saja tidak leluasa bergerak untuk berkelahi! Jendela dan pintunya dari besi, memakai ruji besi yang kuat dan di luar jendela serta pintu terjaga ketat oleh pasukan pengawal. Cui Im menepati janjinya. Yan Cu diperlakukan baik tidak pernah diganggu dan mendapatkan makan yang cukup dan mewah. hal ini membuat Cong San berterima kasih dan lega hatinya, menambahkan kepercayaannya bahwa tidak terkandung niat buruk dalam hati Cui Im terhadap Yan Cu, melainkan semata-mata iblis betina itu mengajaknya bersekutu untuk menjatuhkan Keng Hong yang mereka benci bersama. Karena perlakuan Cui Im terhadap Yan Cu inilah yang membuat Cong San penurut dan dia menyetujui siasat perangkap yang dipasang oleh Cui Im apabila Keng Hong datang ke tempat itu, terpancing oleh umpan berita tertawannya Yan Cu. Cui Im sengaja menyebar orang-orangnya untuk mengabarkan bahwa Yan Cu tertawan olehnya di Sun-ke-bun!
Berita ini yang disebar itu sampai juga ke telinga Keng Hong dan Biauw Eng yang melakukan perjalanan, membawa puteri mereka. Kedua orang suami isteri pendekar sakti ini tidak merasa heran. Meraka memang telah menaruh dugaan bahwa Cui Im-lah orangnya yang bersembunyi di balik semua peristiwa yang menghancurkan kebahagiaan rumah tangga Cong San dan Yan Cu dan mereka sudah dapat mencari jejak musuh besar itu dan mendengar bahwa iblis betina itu tinggal di Sun-ke-bun bersama Mo-kiam Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw. Maka begitu mendengar akan tertangkapnya Yan Cu di tempat itu, mereka tidak merasa heran dan bersicepat menuju ke kota itu. Mereka berhenti di luar kota, menanti sampai malam tiba dan Biauw Eng sambil mengerutkan alisnya dan menidurkan puterinya dalam pondongan berkata,
"Suamiku, kita harus berlaku hati-hati sekali. Aku menduga bahwa semua ini dilakukan oleh Cui Im untuk memancingmu. Semua perbuatannya yang ditujukan kepada Cong San dan Yan Cu kuras hanyalah untuk mencelakakan kita."
"Mengapa kau menduga begitu, isteriku?"
"Cui Im menaruh kebencian besar terhadap kita, terutama terhadapmu. Adapun Cong San dan Yan Cu sesungguhnya hanya terbawa-bawa saja karena mereka adalah sekutu kita dahulu. Mereka telah gagal menyerang kita ketika perayaan pernikahan kita, dan agaknya untuk mengganggu kita di Cing-ling-san, mereka tidak berani. Maka Cui Im dan sekutunya lalu menggunakan siasat, menghancurkan Cong San dan Yan Cu untuk memancing kita datang."
"Aku tidak takut!" Keng Hong berkata penuh geram mengingat akan kekejaman Cui Im yang sudah berkali-kali mencelakakannya dan masih belum bertobat biarpun telah diampuninya.
"Aku pun tidak takut, akan tetapi kalau malam ini kita menyerbu ke sana, dengan Giok Keng di gendonganku, hemmm...... kurang leluasa juga........."
"Ssttt....... ada orang!" Tubuh Keng Hong sudah mencelat ke belakang setelah dia membisikkan peringatan ini dan dia melayang turun di depan seorang laki-laki yang berdiri di balik pohon. Hanya beberapa detik saja selisihnya, Biauw Eng juga sudah berada di samping suaminya.
"Hemmmm, kau lagi!!" Biauw Eng membentak penuh kemengkalan hati ketika melihat bahwa yang berada di situ bukan lain adalah Yap Cong San. "Apakah kau masih hendak menantang?"
"Sabarlah, lihat, dia terluka." Keng Hong mendekati Cong San yang berdiri menunduk dan tampak darah pada baju orang muda itu di bagian pundak kiri. "Cong San, apakah yang terjadi? Engkau terluka........!"
Cong San tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Lukaku tidak berarti......., akan tetapi harap kalian sudi menolong Yan Cu. Dia tertawan di gedung kepala daerah, aku berusaha menolongnya akan tetapi gagal, malah terluka. Kalau tidak ditolong,celakalah dia malam ini......."
"Hemmm, siapa saja di sana?" tanya Keng Hong.
"Penjagaan amat kuat. Bhe Cui Im, Gobi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong, beberapa orang kepala bajak yang lihai dan anak buah mereka yang banyak. Hanya kalian berdualah yang akan dapat menolong Yan Cu........, tolonglah........ sekarang juga......."
"Hemmmm, engkau masih ingat kepada isterimu? Setelah kau sakiti hatinya?" Biauw Eng mengejek.
"Tolonglah dia dulu, soal itu nanti kita bicarakan kelak berempat......." Cong San berkata lagi.
"Isteriku dia benar. Yang penting menolong Yan Cu........" kata Keng Hong. "Marilah!"
"Aku...... aku terluka, biarpun tidak berbahaya akan tetapi aku lemah tak dapat membantu........ kulihat kalian membawa anak, berbahaya kalau dibawa menyerbu. Kalau kalian masih ada kepercayaan kepadaku, tinggalkan anak kalian bersamaku, aku dapat menjaganya. Lebih aman daripada dibawa menyerbu ke tempat berbahaya itu......."
"Tidak!" Biauw Eng membentak. "Lebih baik kulindungi sendiri!"
"Eng-moi. Dia benar. Lebih baik kita titipkan kepada Cong San sementara kita menyerbu dan menolong Yan Cu."
"Aihhh! kau masih menaruh kepercayaan kepada orang ini yang hendak membunuhmu?"
"Jangan bicara begitu, Eng-moi. Kita tahu dan yakin, Cong San bukan orang jahat. Dia tentu akan melindungi Giok Keng dengan nyawanya. Serahkanlah, daripada anak kita terancam bahaya hebat kalau kita bawa menyerbu ke sana. engkau masih ingat akan kelihaian Go-bi Thai-houw, dan Cui Im tak boleh dipandang ringan pula."
Dengan alis berkerut Biauw Eng menyerahkan Giok Keng kepada Cong San sambil berkata, "Nah, terimalah dan jaga baik-baik. Awas, Yap Cong San, sedikit saja kau menggangu anakku, aku Sie Biauw Eng akan mencarimu biar sampai ke neraka sekalipun!"
"Eng-moi, jangan menuruti perasaan marah. Hayo kita cepat menolong Yan Cu. Cong san, kaujaga anak kami dan tunggu di sini!" Keng Hong lalu melompat dan diikuti oleh isterinya.
Sejenak Cong San bengong terlongong memandang anak perempuan mungil yang tidur pulas digendongnya itu. Ia menarik napas panjang dan mencium dahi anak itu. "Anak baik, kasihan engkau....... mempunyai ayah macam itu. Aku bersumpah akan melindungimu dan takkan membiarkan siapapun mengganggumu. Aku hanya benci kepada ayahmu dan maafkanlah, anak baik, aku terpaksa melakukan ini demi dendamku kepada ayahmu!" Setelah menengok ke kanan kiri, Cong San meloncat dan lenyap ke dalam kegelapan yang menyelubungi bumi.
Keng Hong dan isterinya mempergunakan ilmu kepandaian yang tinggi, melompati tembok kota dan langsung pergi mencari gedung besar tempat tinggal kepala daerrah. Sambil berloncatan cepat seperti dua ekor burung raksasa, Biauw Eng mencela suaminya. "Aku khawatir sekali. Orang yang sudah gila cemburu seperti dia itu, sukar untuk dapat dipercaya sepenuhnya dan kita telah menyerahkan anak kita ke tangannya!"
"Ahhhh, tidak melihatkan engkau betapa dia masih mencintai Yan Cu dan berusaha menolong isterinya sampai terluka Tidak aneh, mana dia mampu menandingi Cui Im dan kaki tangannya? Pula, andaikata dia gila oleh cemburu, tentu kepadakulah ditujukan dendam dan kebenciannya. Tidak mungkin dia menggangu Giok Keng."
Biarpun hatinya masih gelisah, akan tetapi kecurigaan Biauw Eng berkurang karena dia dapat membenarkan pendapat suaminya itu. Dengan hati-hati mereka lalu meloncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk, melanjukan penyelidikan mereka ke gedung kepala daerah melalui jalan atas.
hati suami isteri perkasa ini makin curiga karena ternyata dengan mudah saja mereka tiba di atas gedung kepala daerah tanpa menghadapi perlawanan dan serangan penjaga. Keadaan sunyi saja seolah-olah para pengawal ditiadakan malam itu! Ketika mereka tiba di atas sebuah ruangan belakang yang luas dan mengintai, tahulah mereka bahwa Cui Im memang telah siap menanti kedatangan mereka! Mereka melihat Cui Im, Mo-kaim Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya adalah teman-teman Mo-kaim Siauw-ong dari kalangan bajak, sedang duduk di ruangan luas itu menghadapi meja hidangan, makan minum sambil bercakap-cakap. Tiba-tiba percakapan dihentikan, dan terdengarlah suara Cui Im melengking nyaring,
"Keng Hong dan Biauw Eng, kalian sudah datang! Hi-hi-hi, jangan harap kalian akan dapat membebaskan Yan Cu sebelum kalian mengalahkan kami!"
"Cui Im manusia jahat, sekali ini aku tidak akan mengingat hubungan antara kita lagi!" Jawaban Keng Hong ini disusul melayangnya dua tubuh yang ringan dan gesit dari atas, meluncur memasuki ruangan yang luas itu.
"Wir-wir-wirrr!!" Dari empat penjuru ruangan itu menyambar anak panah beracun ke arah tubuh Keng Hong dan Biauw Eng, tiga puluh dua batang banyaknya, delapan batang dari setiap penjuru yang dilepas oleh empat sekali dua batang. Keng Hong yang lebih dulu turun, menggerakkan kedua tangannya sedangkan Biauw Eng yang turun beberapa detik berikutnya telah menggerakkan sabuk sutera putih. Dalam beberapa detik saja, Keng Hong telah berhasil mencengkeram enam belas batang anak panah, sedangkan ujung sabuk sutera isterinya juga telah membelit enam belas batang. Keng Hong berseru nyaring, empat kali tangannya bergerak dengan tubuh berputar ke empat penjuru. Terdengar jerit-jerit mengerikan dan dari atas tiang melintang di empat penjuru ruangan itu, jatuhlah enam belas orang pemanah yang dadanya termakan anak panah mereka sendiri. Tubuh mereka berkelojotan sebentar tak bergerak lagi.
Biauw eng memutar sabuk suteranya di atas kepala sambil tersenyum mengejek memandang ke arah Cui Im yang mengangkat kedua alisnya dengan marah, kemudian wanita muda yang jelita ini berseru, "Bhe Cui Im, terimalah sambutanmu sendiri!"
Sabuk sutera itu mengeluarkan suara bersiut dan enam belas batang anak panah itu meluncur seperti kilat menyambar ke arah meja di mana duduk Cui Im, Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong dan lima orang pembantunya terkejut dan cepat melempar diri ke belakang, terjungkal bersama kursi mereka dalam pengelakan yang tergesa-gesa dan kaget, akan tetapi Cui Im mengangkat sumputnya menangkisi anak-anak panah itu, sedangkan Go-bi Thai-houw menggunakan mulutnya yang peot meniupi anak-anak panah itu sehingga menyeleweng dan tidak mengenai tubuhnya!
"Hi-hi-hik, Biauw Eng, engkau masih suka membela suamimu yang telah mengkhianati pernikahanmu? Suamimu datang untuk menolong kekasihnya, apa kau tidak tahu? Suamimu, laki-laki mata keranjang gila wanita ini, mencinta Yan Cu, apa kau berpura-pura tidak tahu?"
"Cui Im, tidak perlu banyak cakap lagi. Kami tahu siapa engkau dan dapat menduga apa yang telah kau lakukan terhadap Cong San dan Yan Cu. Kami datang untuk membasmi kau dan kaki tanganmu, dan sekali ini kami tidak mau bekerja kepalang tanggung!" Jawab Biauw Eng.
"Cui Im, sekali ini aku tidak akan sudi mengampunimu lagi!" kata pula Keng Hong.
"Eh, eh, eh, laki-laki tampan, apa kau lupa betapa kita bersama menikmati malam itu? Apa kau lupa bahwa akulah gurumu dalam soal asmara? hemmmm, jantungku masih berdebar dan semua bulu di tubuhku masih meremang karena berahi kalau kuingat malam kita dahulu itu. Engkau pun cinta kepadaku, cinta tubuhku, mana engkau akan tega membunuhku?"
"Cui Im, perempuan tak tahu malu! majulah menerima kematian!" Keng Hong berteriak marah sekali, mukanya menjadi merah karena dia diingatkan akan pengalamannya yang amat memalukan dahulu.
Cui Im memberi isyarat kepada Mo-kiam Siauw-ong. Mantu kepala daerah ini lalu mengangguk kepada lima orang pembantunya yang cepat meloncat bangun sambil mengeluarkan tanda dengan suitan. Dari kanan kiri muncullah dua puluh orang dari empat penjuru yang segera bergerak dengan teratur di bawah pimpinan lima orang itu, mengurung Keng Hong dan Biauw Eng dengan membentuk sebuah lingkaran luas dalam jarak enam meter dari kedua orang suami isteri sakti itu. Keng Hong dan Biauw Eng menggerakan kaki, berdiri mengadu punggung, bersikap tenang, bahkan Biauw Eng yang sudah memegang sabuk sutera putih di tangannya itu memandang kepada Cui Im sambil tersenyum mengejek, seolah-olah mentertawakan bekas sucinya itu yang menggunakan orang-orang yang dipandangnya rendah dan tiada gunanya itu. Keng Hong juga bersikap tenang, masih belum mencabut pedang Siang-bhok-kiam karena kalau hanya menghadapi pengurungan dua puluh lima orang itu saja, apalagi dia dibantu isterinya, kiranya tidak perlu mengeluarkan pedang pusakanya itu.
Lima orang itu memberi isyarat dengan tangan kepada dua puluh orang anak buah mereka yang berjalan mengitari Keng Hong dan isterinya. Tiba-tiba tampak sinar hitam menggelapkan cahaya lampu yang menerangi ruangan itu dan ternyata dua puluh lima orang itu kini semua telah mencabut sebatang cambuk hitam yang panjangnya tidak kurang dari lima meter! Tahulah Keng Hong dan Biauw Eng bahwa para pengeroyok itu hendak menyerang mereka dari jarak jauh, mengandalkan senjata mereka yang panjang. Diam-diam suami isteri ini tertawa. Betapa tololnya Cui Im! Biarpun kelihatannya cerdik, mengeroyok dari jarak jauh, dua puluh lima orang ini akan dapat berbuat apakah terhadap mereka? Dengan sikap tenang dan pandang mata mentertawakan, Keng Hong dan Biauw Eng tetap berdiri tanpa bergerak, bahkan kini Baiuw Eng dengan muka membayangkan kesebalan, menyelipkan sabuk suteranya di pinggang, seolah-olah ia hendak menunjukan kepada Cui Im bahwa dia tidak perlu lagi menggunakan senjata menghadapi ancaman dua puluh lima orang pengeroyok itu.
Serangan itu tiba-tiba seperti telah disangka oleh suami isteri ini. Didahului oleh ledakan-ledakan seperti suara halilintar menyambung-nyambung, lalu tampak sinar hitam meluncur dari sekeliling tubuh mereka, datanglah serangan ujung cambuk bertubi-tubi ke arah tubuh mereka.
Sikap Keng Hong dan Biauw Eng masih tenang, namun kedua tangan mereka sudah bergerak menyambut dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Tiba-tiba tampak cahaya putih bergulung di depan Biauw Eng, sedangkan Keng Hong menggerakan kedua tangan seperti seorang kanak-kanak menangkapi kupu-kupu dan...... sekian banyak cambuk itu sebagian tergulung oleh sabuk sutera Biauw Eng, dan sebagian besar lagi ujungnya sudah tergenggam di kedua tangan Keng Hong. hampir berbareng suami isteri ini membuat gerakan, gerakan yang berbeda, bahkan berlawanan karena kalau Biauw Eng menarik sabuk suteranya dengan pengerahan tenaga, sebaliknya Keng Hong melepaskan ujung-ujung sabuk yang menegang karena ditarik oleh pihak pengeroyok. Akan tetapi akibatnya hebat sekali. Mereka yang cambuknya tertarik oleh Biauw Eng, ada yang sampai terguling-guling dan terseret, ada yang putus cambuknya dan ada yang terpaksa melepaskan gagang cambuk karena kulit tangan mereka terkupas! Adapun mereka yang ujung cambuknya dilepas oleh Keng Hong, ada yang mengelak dari sambaran cambuk sendiri sampai jatuh bangu, akan tetapi ada pula yang terpukul cambuk sendiri pada mukanya sehingga kehilangan bukit hidung atau daun telinga. Teriakan-teriakan kesakitan terdengar dan tentu saja pengepungan dua puluh lima orang itu menjadi kacau-balau.
"Bhe Cui Im, majulah sendiri! Apa gunanya memaksa tikus-tikus tiada guna ini?" Biauw Eng berseru mengejek.
***
Akan tetapi, lima orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong itu menjadi marah sekali dan tentu saja malu bahwa mereka dan anak buah mereka yang diandalkan tuan rumah ternyata dalam segebrakan saja telah kocar-kacir. Mereka meneriakkan aba-aba dan para anak buah mereka telah siap lagi, bahkan yang kehilangan cambuk sudah mengganti cambuknya. Lima orang itu memutar cambuk mereka sehingga terdengar suara bersuitan. Kemudian cambuk mereka menyambar, bukan ke arah Keng Hong dan Biauw Eng yang memandang heran dan geli, melainkan cambuk-cambuk itu menyambar ke arah api lilin di sudut-sudut ruangan dan....... ujung cambuk itu terbakar dengan cepat dan mudah. Api menjalar dari ujung cambuk sampai hampir ke gagang, tanda bahwa cambuk mereka itu memang mengandung bahan bakar yang amat peka. Kini lima orang itu memutar-mutar "cambuk api" mereka dan anak buah mereka pun memutar cambuk ke arah cambuk api pemimpin-pemimpin mereka dan terbakarlah semua cambuk yang kini menjadi dua puluh lima buah banyaknya!
Keng Hong dan Biauw Eng terkejut sekali ketika dua puluh lima batang api itu menerjang mereka dengan cahaya api yang menyilaukan mata. Ini hebat, pikir mereka. Mereka tidak takut akan kekuatan cambuk yang menyerang, namun berhadapan dengan api yang setidaknya akan dapat membakar pakaian dan rambut, amatlah berbahaya! Agaknya Cui Im dapat melihat kekagetan mereka maka terdengarlah suara ketawanya yang melengking di antara sinar api yang kini seperti membakar seluruh ruangan itu, mendatangkan bayangan-bayangan hitam merah seperti pemandangan di neraka! Cambuk-cambuk api itu datang dan Biauw Eng cepat mempergunakan ginkangnya, melesat dan bergerak menyelinap di antara cambuk-cambuk api yang datang menyambar. Gerakan ringan dan cepat sekali dan diam-diam nyonya muda ini bersyukur bahwa dia mentaati perintah suaminya, menyerahkan Giok Keng kepada Cong san. Andaikata tadi harus menghadapi serangan cambuk-cambuk api ini dengan menggendong anaknya, ihhhhh, ia bergidik ngeri karena maklum bahwa anaknya terancam hebat oleh lidah-lidah api!
Keng Hong menjadi marah. Dia harus memuji kehebatan barisan cambuk api ini dan kelihatan Cui Im mengatur siasat. Menghadapi api, tentu saja pedang Siang-bhok-kaim tak dapat dia pergunakan. Pedangnya terbuat daripada kayu dan tentu saja kayu takut akan api. Kalau pedangnya terbakar, hal itu merupakan malapetaka hebat. Juga tentu saja isterinya tidak dapat mempergunakan sabuk suteranya karena sabuk itu pun tentu akan terbakar kalau bertemu dengan cambuk yang bernyala-nyala. Para anak buah Cui Im yang menonton menjadi terbelalak, kagum dan tegang. Cambuk-cambuk api yang bergulung-gulung itu amat indah di waktu malam, akan tetapi lebih mengagumkan lagi adalah berkelebatnya bayangan Biauw Eng yang menyelinap ke sana-sini melalui gulungan-gulungan sinar menyala itu. Adapun Keng Hong masih berdiri tegak, tidak mempergunakan ginkang seperti isterinya, tidak mengelakan melainkan mengunakan kedua tangannya mendorong ke depan dan kanan kiri, namun angin pukulan kedua tangannya cukup kuat untuk membuat cambuk-cambuk api yang datang menyambar itu terpental kembali.
"Eng-moi, kita robohkan mereka dengan totokan-totokan!" Tiba-tiba keng Hong berseru dan dia pun kini berkelebat meniru isterinya, menggunakan langkah kaki yang aneh dan tubuhnya menyelinap di antara gulungan sinar, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menerjang ke kanan kiri. Biauw Eng juga masih berkelebat, akan tetapi kini tampak sinar putih sabuk suteranya meluncur ke kanan kiri seperti seekor ular hidup yang menyelinap di antara keroyokan sinar api bergulung-gulung. Terdengarlah pekik susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang. Dengan tendangan kaki, suami isteri yang sakti ini melempar-lemparkan tubuh para pengeroyok sehingga bertumpuk-tumpuk dan dengan dorongan pukulan yang mengandung sinkang amat kuatnya, Keng Hong membuat cambuk api itu terbang membalik dan menimpa tumpukan tubuh yang telah tertotok dan tak mampu bergerak. Terjadilah hal yang amat mengerikan. Dua puluh lima orang itu, termasuk pimpinan barisan, malang melintang bertumpuk-tumpuk dan dibakar hidup-hidup oleh cambuk api mereka sendiri. Pakaian dan rambut mereka mulai terbakar dan tercium bau hangus dan sangit.
Cui Im mengeluarkan pekik kemarahan. Sambil memerintahkan anak buahnya untuk menggunakan air menyiram api dan menolong mereka yang terbakar hidup-hidup, dia bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang maju dengan senjata di tangan.
Mula-mula Cui Im yang licik itu menyerang bekas sumoinya, Biauw Eng. Dia mengira bahwa tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi itu akan dapat merobohkan Biauw Eng dalam beberapa gebrakan saja. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gerakan Biauw Eng jauh lebih hebat daripada dahulu, maka tahulah dia bahwa Baiuw Eng telah menerima latihan dari Keng Hong sehingga bukan saja langkah kakinya amat aneh dan gerakannya amat gesit, juga ketika sabuk sutera itu menangkis pedang merahnya, ia merasa betapa tenaga bekas sumoinya itu kuat sekali. Ujung sabuk melibat ujung pedang merah, terjadi saling betot dan terdengar Keng Hong berkata,
"Eng-moi, lepaskan!"
Untung Biauw Eng cepat mengundurkan sabuk dan melepaskan libatan, kalau tidak, tentu sabuknya akan putus. Keng Hong yang tadinya diserang Go-bi Thai-houw, kini mencelat ke dekat Cui Im dan mendesak wanita itu dengan sinar pedang Siang-bhok-kiam sehingga wanita itu terpaksa melompat mundur saking hebatnya serangan ini. Go-bi Thai-houw yang maklum betapa lihainya Keng Hong, sudah menerjang maju dengan sepasang kebutannya sehingga dalam detik-detik berikutnya, Keng Hong sudah dikeroyok dua oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im.
Namun pendekar sakti ini memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga tidak saja tubuhnya terlindung oleh sinar hijau Siang-bhok-kiam, akan tetapi juga dari gulungan ini secara tiba-tiba dan aneh mencuat sinar-sinar yang menyambar ke arah kedua orang pengeroyoknya, diseling sambaran angin pukulan tangan kirinya yang amat kuat. Pertandingan ini hebat dan seru bukan main karena mereka semua mengerahkan seluruh kepandaian untuk saling membunuh!
Sementara itu, setelah suaminya menggantikannya untuk menghadapi Cui Im yang lihai, Biauw Eng menerima serbuan Mo-kiam Siauw-ong yang menyerangnya dengan ngawur dan dengan hati tidak tenang karena tadinya mantu kepala daerah ini bermaksud hanya membantu saja, lebih mengandalkan kepandaian Go-bi Thai-houw dan Cui Im. Siapa sangka, semua bantuan kawan-kawannya tiada guna, dan kini kedua orang wanita yang diandalkan itu mengeroyok Keng Hong sedangkan dia sendiri terpaksa menghadapi nyonya muda yang amat lihai seorang diri saja! Biarpun dia sudah memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmu yang dahulu dia pelajari dari ketiga orang kakek iblis Thian-te Samlo-mo, namun, menghadapi sinar putih sabuk sutera Biauw Eng, dia benar-benar merasa bingung dan terdesak hebat. Kemanapun pedangnya bergerak, selalu bertemu dengan sinar putih yang halus lembut namun amat kuat itu, dan beberapa kali hampir saja pedangnya kena terampas.
"Majuuuuuu.......! Keroyok......!!" Tiba-tiba Mo-kiam Siauw-ong yang merasa kewalahan itu bergerak dan belasan orang anak buahnya, yaitu para perwira pengawal, maju dengan senjata di tangan. Namun sekali Biauw Eng mengeluarkan lengking tinggi dan sinar sabuk suteranya membuat gerakan melengkung dan menyambar ke sekeliling tubuhnya, robohlah enam orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong it
***
Mo-kiam Siauw-ong terkejut dan marah , ketika melihat Biauw Eng yang memutar sabuk itu agak miring tubuhnya, dia cepat menubruk dan menusukkan pedangnya dari samping ke arah dada. Biauw Eng dapat melihat gerakan ini dan dapat mendengar suara angin tusukan, maka dengan tenang namun cepat sekali dia mengembangkan lengannya, membiarkan pedang meluncur melalui bawah lenganya, kemudian tanpa membalikkan tubuhnya, ujung sabuk suteranya menyambar ke belakang dan gerakan tiba-tiba ini tak dapat dielakkan lagi oleh Mo-kiam Siauw-ong dengan tepat. Biarpun dia telah miringkan kepala sehingga ujung sabuk itu tidak menotok ubun-ubun kepalanya, namun lengannya tersabat dan dia memekik keras, tubuhnya terhuyung dan dia roboh terguling! Untung baginya bahwa anak buahnya cepat menubruk Biauw Eng dengan senjata mereka sehingga wanita itu tidak sempat mengirim serangan maut, sebaliknya Biauw Eng lalu mengelebatkan sabuk suteranya dan robohlah empat orang pengeroyok. Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong sempat diseret pergi menjauh oleh anak buahnya dan dia mengeluh kesakitan sambil memegangi lehernya yang membengkak!
Go-bi Thai-houw dan Cui Im bukan merupakan lawan yang lunak bagi Keng Hong. Kini Cui Im lebih lihai daripada dalam pertemuan terakhir dahulu ketika Cui Im menyerbu ke Cin-ling-san. Cui Im telah digembleng oleh Go-bi Thai-houw dan kedua orang wanita iblis itu mengeroyok Keng Hong dengan kebencian meluap dan nafsu membunuh terkandung dalam setiap serangan. Betapapun juga, dengan ilmunya yang tinggi, terutama gaya bertahan dari ilmunya Thai-kek Sin-kun, pendekar sakti ini sama sekali tidak terdesak, bahkan membuat dua orang lawannya terpaksa harus bersikap hati-hati sekali karena sedikit saja terkena Siang-bhok-kiam yang penuh dengan getaran hawa sinkang mujijat itu, celakalah mereka.
Karena tidak ada lagi pengeroyok berani mendekatinya, Biauw Eng lalu menerjang maju membantu suaminya dan tentu saja terjangan nyonya muda yang lihai ini membuat Cui Im dan Go-bi Thai-houw menjadi makin terdesak hebat. Cui Im mulai menjadi gelisah dan beberapa kali ia menengok ke belakang, bukan untuk mencari jalan lari, melainkan dia mencari-cari Cong San. Akhirnya setelah bentrokan antara pedangnya dan Siang-bhok-kiam membuat terhuyung ke belakang, dia tidak dapat menahannya lagi dan berseru, "Yap-sicu, di mana engkau?"
"Aku di sini!!" Yap Cong San tiba-tiba muncul dari balik pintu, memondong anak perempuan kecil.
"Bantulah kami!" Cui Im berseru dan melompat dekat Cong San, kemudian secara tiba-tiba pedang merahnya menyambar ke arah kepala Cong San! Cong San terkejut sekali, tidak mengira bahwa iblis betina itu menyerangnya, maka cepat dia mengelak, akan tetapi ternyata serangan itu hanya pancingan belaka karena di lain saat, anak perempuan di gendongannya telah terampas oleh Cui Im, Cong San berdiri melongo dan alisnya berkerut.
"Mengapa kau tidak membantu kami?" Cui Im menegur, kemudian ia mengangkat anak itu tinggi-tinggi ke atas dan berteriak, "Keng Hong! Biauw Eng! Menyerahlah, kalau tidak anak kalian akan kupenggal lehernya!" Pedang merah ditempelkan di leher anak itu yang tiba-tiba menangis nyaring.
"Cui Im, iblis keji........!!" Keng Hong berteriak. "Cong San, kau manusia terkutuk!" Keng Hong hendak mengamuk, akan tetapi lengannya disentuh isterinya.
"Cui Im, kami menyerah, akan tetapi jangan menggangu anakku!" Biauw Eng berkata, suaranya menggetar penuh kecemasan biarpun sikapnya tetap tenang.
"Hi-hi-hik! Siapa mau ganggu anakmu? Subo, harap suka lumpuhkan mereka!"
Go-bi Thai-houw tertawa-tawa, dan kedua kebutannya berkelebat ke arah Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja kalau mereka menghendaki, mereka dapat menghindarkan diri, akan tetapi setelah anak mereka berada di tangan Cui Im, mereka tidak berani berkutik dan robohlah mereka dengan tubuh lemas dan lumpuh tertotok ujung kebutan Go-bi Thai-houw yang amat lihai itu.
"Ringkus dan belenggu mereka kuat-kuat!" Cui Im memerintah, Mo-kiam Siauw-ong yang sudah marah sekali meloncat maju. Lehernya masih bengkak, akan tetapi kedua tangannya masih dapat bergerak leluasa dan tenaganya masih besar untuk mengikat tubuh Keng Hong dan Biauw Eng dengan erat, bahkan dia tidak melepaskan kesempatan itu untuk menggerayangi tubuh Biauw Eng secara kurang ajar dengan maksud menghina. Namun Biauw Eng mematikan rasa dan Keng Hong juga memusatkan semua panca indria untuk menghadapi saat yang amat gawat itu.
"Yap Cong San, tidak kusangka sama sekali bahwa seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan berwatak pendekar seperti engkau telah tersesat begini jauh. Engkau menipu kami dan ternyata engkau bersekutu dengan iblis betina ini!" Keng Hong berkata, matanya mencorong memandang ke arah Cong San. Akan tetapi Cong San sama sekali tidak merasa kikuk atau malu, bahkan dia membalas dengan pedang mata penuh kebencian, kemudian dia melangkah maju dan menendang kepala Keng Hong yang rebah terlentang di atas lantai.
"Jangan bunuh dulu!" Cui Im berteriak. Cong San mengurangi tenaga dan tendangannya hanya membuat bibir Keng Hong berdarah.
"Yap Cong San, manusia pengecut tak tahu malu!!" Biauw Eng memaki sinar matanya seolah-olah hendak menghancurkan kepala bekas sahabat itu. "Begitukah sikap seorang laki-laki sejati? Menghina orang yang telah menyerah! Kalau tidak engkau yang menggunakan siasat keji dan busuk tak tahu malu, kami berdua akan membasmi kalian semua, termasuk engkau, manusia berwatak anjing!"
Cong San memandang Biauw Eng dan menghela napas. "Aku kasihan kepadamu, Biauw Eng. Bukan aku yang berwatak anjing, melainkan suamimu inilah! Dialah manusia anjing, wataknya seperti anjing, biarpun telah diberi makan kenyang di rumah, kalau keluar, ada tahi pun akan dimakannya! Bukan aku yang menghina suamimu, akan tetapi manusia yang bernama Cia Keng Hong inilah yang telah menghinaku. Bukan hanya menghina, dia malah menghancurkan kebahagiaan hidupku, dan tanpa kauketahui, telah menghancurkan pula kebahagiaan hidupmu."
"Ahhh, engkau manusia buta! Kukira engkau masih tetap gila, demikan gila oleh cemburu sehingga engkau tidak segang menipu kami. Engkau demikian gila sehingga tidak hanya mencelakakan kami, juga membikin sengsara isterimu yang amat mencintamu, dan mencelakakan pula anak kami!" Biauw Eng menjerit penuh kemarahan.
"Engkaulah yang buta, Biauw Eng. Suamimu seorang laki-laki hina, seorang suami yang menyeleweng dan tidak setia, seorang sahabat yang palsu dan laknat, dan engkau masih membelanya! Dialah yang merusak kehormatan dan kebahagiaan isteriku dan aku, maka dengan jalan apa pun aku harus dapat membalas dendamku, harus dapat membunuh seperti orang membunuh seekor anjing yang menjijikan!"
"Yap Cong San, jangan menambah dosamu dengan maki-makian keji." Keng Hong berkata tenang. "Isteriku benar, engkau bermata seperti buta. Engkau menjadi gila dan buta oleh cemburu kosong terhadap isterimu dan aku. Engkau menduga bahwa aku dan sumoi bermain gila, berzina. Padahal aku hanya mencinta isteriku seorang, dan isterimu hanya mencinta engkau suaminya! Betapa keji fitnah yang kaulontarkan kepadaku, terutama kepada sumoi. Aiiiihhhh, betapa inginku menghajarmu, menyeretmu ke depan sumoi dan menciumi kakinya mohon pengampunan!"
***
Melihat pembantahan itu, Cui Im hanya tersenyum dan saling pandang dengan Go-bi Thai-houw. Mereka merasa bangga sekali menyaksikan hasil daripada siasat mereka yang dilaksanakan dengan penuh kesabaran dan kecerdikan. Kini diam-diam mereka menikmati hasil itu dan merasa amat gembira. Sedemikian hebat rasa benci di hati Cui Im terhadap Keng Hong dan Biauw Eng sehingga selain ingin menyaksikan kedua orang ini mati di tangannya, juga dia merasa gembira kalau sebelum dibunuh mereka itu menderita tekanan-tekanan batin lebih dulu dan bertengkar dengan bekas sahabat terbaik!
"Cia Keng Hong, manusia iblis! tak perlu engkau berlagak pendekar budiman! Aku bukan anak kecil lagi dan aku bukan semata-mata melemparkan fitnah kosong! Telah lama aku menderita oleh perbuatanmu yang kotor, semenjak aku menikah! Aku telah menyabarkan diri, menekan batin sampai akhirnya meletus oleh kelanjutan perbuatan-perbuatanmu yang kubuktikan sendiri. Aku bukan diburu rasa cemburu kosong, melainkan dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan perbuatanmu yang menjijikan. Aku tidak akan menyalahkan bahwa engkau mencinta Yan Cu, akan tetapi setelah dia menjadi isteriku, mengapa masih juga engkau kejar-kejar? Manusia biadab.........!!"
"Hemmmmmm, bukti apakah yang kau sebut tadi, Cong San? Bukti surat-surat palsu itu?"
Cong San kelihatan kaget, dan Keng Hong melanjutkan. "Sumoi telah datang dan memperlihatkan dua surat itu. Surat yang huruf-hurufnya persis huruf tulisanku itu bukanlah surat yang kutulis. Pesuruhku yang menghantarkan suratku kepada kalian tidak pernah pulang ke Cin-ling-san. Surat yang memakai namaku itu adalah surat palsu, Cong San. Demikian pula, surat yang kauanggap tulisan isterimu itu bukanlah tulisan Yan Cu, melainkan dipalsukan orang. Ah, betapa buta engkau. Apakah tidak ada sedikit pun dugaan di hatimu siapa yang telah membuat surat-surat palsu itu?"
"Bohong.......!!" Cong san membentak. "Pengecut engkau! Setelah berani berbuat, mengapa hendak menyangkal pula? Semenjak dahulu, Yan Cu adalah kekasihmu, semenjak belum menjadi isteriku! Bahkan dia..... aku........ telah........"
"Yap Cong San, katakan saja bahwa ketika menikah denganmu, Gui Yan Cu bukan perawan lagi dan engkau menduga bahwa hal itu adalah perbuatan suamiku bukan?" Tiba-tiba Biauw Eng berkata dengan senyum mengejek.
Kembali Cong San terkejut, kemudian makin marah. "Setelah engkau tahu akan hal itu, engkau masih hendak menyalahkan aku dan membela manusia jahanam itu?"
"Tutup mulutmu dan jangan memaki suamiku. Engkaulah yang jahanam, Cong San! Engkaulah yang jahanam dan buta, engkaulah yang mempunyai hati dan pikiran kotor, yang membayangkan hal-hal keji yang bukan-bukan. Yan Cu memang kehilangan tanda keperawanannya, akan tetapi bukan karena berjina dengan suamiku, juga bukan dengan laki-laki lain. Kau mau tahu sebabnya? Bukalah telingamu baik-baik. Ketika iblis betina Cui Im menyerbu ke Cin Ling-san, isterimu kena ditendang oleh nenek iblis betina yang tersenyum-senyum itu, dan sengaja ditendangnya agar kehilangan tanda keperawanannya itu! Aku melihat sendiri pakaian pengantin Yan Cu yang berdarah! nah, tahukah engkau sekarang dan insyaflah engkau betapa tolol dan kejinya terhadap isterimu?"
Cong San menoleh dan memandang Go-bi Thai-houw dengan mata terbelalak penuh keraguan. namun nenek itu, juga Cui Im, hanya tersenyum mengejek.
"Hatimu sudah diracun cemburu, Cong San." Keng Hong melanjutkan keterangan isterinya. "Engkau sudah cemburu dan menuduh isterimu secara keji dalam hati sehingga engkau selalu cemburu. Hal itu dipergunakan oleh Cui Im untuk menipumu. Surat memang ada kubuat untuk engkau dan isterimu, surat biasa yang kusuruh antar seorang dari kampung kami. Akan tetapi pesuruh itu tak pernah pulang dan suratku tentu telah dipalsu oleh Cui Im sehingga engkau menjadi makin cemburu. Kemudian surat tulisan Yan Cu, memang dia pernah membuatkan resep untuk seorang laki-laki tua, tentu kaki tangan iblis betina itu dan surat isterimu dipalsu. Betapa tololnya engkau!"
Wajah Cong San berubah dan kini dia menoleh kepada Cui Im dengan pandang mata penuh keraguan. Cui Im tersenyum dan berkata,
"Yap Cong San, engkau tentu mengerti bahwa orang-orang yang sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup akan berusaha menolong dirinya dengan segala macam kebohongan. Bukankah engkau sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri pertemuan antara mereka dengan penuh kasih? Hi-hi-hik, kurasa engkau tidak begitu bodoh, dan kalau semua yang mereka fitnahkan itu benar, apakah aku masih akan enak-enak saja duduk di sini menanti kau curiga kepadaku?"
Cong San membalik, memandang Keng Hong penuh kebencian. "Manusia pengecut! Engkau membohong! Aku melihat sendiri engkau bertemu dengannya, engkau men..... menciumnya........ engkau......... kubunuh engkau!" Dia menerjang maju dan menggerakan tangan hendak memukul kepala Keng Hong.
"Wuuuttt...... plakkk!" Cui Im sudah melesat dari tempat duduknya dan menangkis pukulan maut itu. Cong San memandangnya dengan marah, akan tetapi Cui Im memegang lengannya dan menariknya menjauh, lalu membisiki telinganya,
"Bodoh! Dia sengaja memancing kemarahanmu agar dengan sekali pukul engkau dapat membunuhnya. Terlalu enak baginya. Dia harus mati disiksa!"
"Tidak!" Cong San menggeleng kepala. "Cukup bagiku asal dapat kubunuh dia! Aku tidak sekejam itu!"
"Hussshhh...... engkau tidak kejam, akan tetapi aku terlalu sakit hati. Pula, aku lebih dulu hendak mengorek rahasia ilmunya, baru dia boleh kaubunuh. Kau bersabarlah sampai tiga hari, terpaksa aku akan mencegahmu."
Cong San menarik napas panjang. Dia maklum bahwa dia tidak dapat menandingi iblis betina ini, dan harus dia akui bahwa tanpa kerja sama dengan Cui Im, tak mungkin dia dapat menundukkan Keng Hong. "Terserah. Akan tetapi, aku tidak ingin melihat kau membunuh Biauw Eng juga kau tidak boleh mengganggu anaknya!" Setelah berkata demikian, Cong San membalikan tubuh dan lari memasuki kamarnya.
"Hi-hi-hik, Cia Keng Hong. Bagaimana sekarang?"
"Iblis betina, kaubunuhlah aku. Siapa takut mati?" Jawab Keng Hong.
"Bhe Cui Im, bunuhlah kami, akan tetapi bebaskan anak kami. Dia tidak ikut dalam permusuhan kita!" Kata Biauw Eng.
Cui Im tertawa-tawa terkekeh-kekeh girang menyaksikan kekhawatiran Biauw Eng yang dibencinya. "Enak saja! Aku akan menyiksa Keng Hong sepuasku, tidak hanya menyiksa tubuhnya, akan tetapi juga menyiksa hatinya. Biar dia melihat isterinya dipermainkan banyak laki-laki di depan matanya sampai mati, kemudian anaknya akan kuberikan kepada segerombolan anjing kelaparan, biar dia melihat tubuh anaknya dirobek-robek mulut anjing. Baru kubunuh dia sekarat demi sekarat, ha-ha-ha-hi-hik!"
***
Biauw Eng dan Keng Hong bergidik dan wajah mereka pucat, akan tetapi mereka maklum iblis betina itu tentu akan mengeluarkan ancaman dan kata-kata yang lebih mengerikan lagi kalau mereka membantah, apalagi kalau mereka minta dikasihani, maka mereka menekan semua pikiran dan tidak mempedulikannya lagi. Untuk menyiksa hati Biauw Eng, Cui Im mencubit paha Giok Keng. Anak kecil itu yang sudah berhenti menangis, menjerit dan menangis lagi. Biauw Eng memejamkan matanya dan Cui Im tertawa-tawa gembira, melemparkan anak itu kepada seorang perempuan pembantunya.
"Jaga dia baik-baik, jangan sampai sakit. Aku ingin dia sehat-sehat dan gemuk ketika dikoroyok anjing! Siauw-ong, seret mereka berdua ke dalam kamar tahanan dan jaga yang kuat. Siapkan asap beracun dan begitu melihat mereka berhasil melepaskan diri, semperotkan asap beracun ke dalam kamar!"
Dengan kasar dua orang anak buah Mo-kiam Siauw-ong menyeret Keng Hong dan Biauw Eng dari ruangan itu. Mo-kiam Siauw-ong dengan menyeringai hendak mencengkeram dada Biauw Eng, akan tetapi Cui Im menghardiknya, "Siauw-ong! Siapapun tidak boleh menjamahnya. Kalau hukuman kujalankan, engkau boleh menjadi orang pertama yang menikmatinya. Bawa pergi!"
Mo-kiam Siauw-ong menyeringai kecewa, akan tetapi janji itu membuat dia mengangguk-angguk puas dan dia mengirim tendangan ke arah pinggul Biauw Eng.
Keng Hong menggigit bibirnya dan dia berjanji kepada diri sendiri bahwa sekali dia dapat lolos, dia tidak akan memberi ampun kepada Mo-kiam Siauw-ong, apalagi Bhe Cui Im! Akan tetapi, Keng Hong mendapat kenyataan dengan hati kecewa bahwa tempat tahanan mereka itu benar-benar amat kuat, sebuah kamar yang sempit hanya dua meter persegi, dari tembok berlapis baja dan pintunya juga dari baja, dengan lubang-lubang kecil, sedangkan depan pintu berjaga dua lusin pengawal yang semua memegang semprotan asap beracun yang dia tahu amat berbahaya. Maka pendekar yang masih lumpuh tertotok itu hanya menyerahkan nasibnya dan nasib isterinya ke tangan Tuhan.
Cui Im mengepal kedua tangannya. Kalau menurutkan kemarahan hatinya, ingin dia di saat itu juga memukul mati Keng Hong dan Biauw Eng. Berjam-jam lamanya dia membujuk Keng Hong.Menjanjikan kebebasan bagi anaknya, bahkan sampai kebebasan mereka semua kalau Keng Hong suka menurunkan Ilmu Thi-khi-i-beng dan Thai-kek Sin-kun kepadanya. Bujukan-bujukan halus sampai ancaman-ancaman yang paling mengerikan tidak dapat menggerakan hati Keng Hong yang tetap menolak dan menantang di bunuh daripada harus menuruti permintaannya.
"Cui Im, percuma saja kau membujuk. Apa kaukira aku tidak mengenal manusia berhati iblis macam engkau ini? Bujuk dan janjimu tidak ada harganya sedikit pun juga. Andaikata aku terbujuk dan menuruti kehendakmu, tetap saja engkau takkan memegang janji. Lebih baik menghadapi ancamanmu yang pasti kaulaksanakan, karena bujuk dan janjimu jauh lebih jahat daripada ancamanmu, lebih palsu. Tidak, aku tidak akan memberikan apa pun juga kepadamu. Dari pada ilmu ditinggalkan kepadamu, jauh lebih baik kubawa mati!"
Ketika Cui Im beralih kepada Biauw Eng dengan bujukannya bahwa Keng Hong menuruti permintaannya, anak dan Biauw Eng akan dibebaskan, Biauw Eng menjawab, "Aku setuju sepenuhnya dengan keputusan suamiku. Kalau dia menurut, tetap saja engkau akan membunuh kami. Aku tidak dapat mengharapkan kebebasan dari seorang iblis macam engkau, dan akan dikutuk Tuhanlah kalau kami meninggalkan sesuatu untuk orang seperti engkau ini karena ilmu itu hanya akan menambah kekejian dan kejahatanmu."
"Baik, kalian rasakan nanti pembalasanku. Aku beri waktu tiga hari. Kalau pada hari ketiga Keng Hong belum mau memenuhi permintaanku, dia akan menyaksikan betapa engkau diperkosa berganti-ganti oleh banyak laki-laki sampai mati! Kemudian, akan dia lihat pula anjing-anjing kelaparan memperebutkan daging anaknya. Setelah itu, baru akan kupotong dia sekerat demi sekerat!"
Namun, ancaman hebat itu kini tidak lagi mendatangkan kengerian dalam hati suami isteri yang sudah nekat mati bersama, mati bertiga dengan anak mereka itu. Dengan hati penuh kemarahan, kekecewaan dan kemengkalan, Cui Im kembali kekamarnya, melempar tubuhnya ke atas ranjang dan ia terlentang dan termenung, merasa betapa kosong hatinya. Dia merasa benar betapa dalam menghadapi ancaman maut dan siksa sebelum mati, suami isteri itu tetap tenang dan penuh kepercayaan akan cinta masing-masing! Dia merasa kosong, sunyi, merana dan sengsara!
Hampir saja ia melemparkan sesuatu untuk membunuh pelayan wanita yang muncul di pintu kamarnya untuk melenyapkan kemarahan hatinya. "Mau apa kau??" bentaknya.
Pelayan itu pucat mukanya. Dia sudah mengenal watak wanita iblis ini yang dengan mudah saja membunuh orang yang tak berdosa. "Hamba..... hamba....... diperintah Coa-kongcu untuk menghadap Paduka......." Saking amat takutnya dia bersikap amat merendah.
"Disuruh apa? Cepat bicara!"
"Kongcu mohon menghadap......."
"Pergilah! Suruh dia datang, rewel benar!"
Pelayan itu bergegas pergi dan tak lama kemudian, datanglah Coa Kun, putera Coa-taijin yang selama ini diharuskan bersembunyi agar tidak sampai terlihat oleh Yap Cong San. Akan tetapi pemuda yang sudah bertekuk lutut di bawah telapak kaki Cui Im itu merasa kehilangan dan tak dapat lagi menahan rindu berahinya yang sudah ditahan-tahan selama beberapa malam, maka malam ini setelah mendengar bahwa musuh-musuh yang ditakuti telah tertawan, dia minta diperkenankan mengunjungi kekasih pujaan nafsu berahinya itu.
Dalam kegairahannya yang memenuhi seluruh tubuh, Coa Kun berjalan melalui ruangan-ruangan dalam, tersenyum-senyum dan sinar matanya bercahaya penuh kegembiraan, menuju ke kamar Cui Im yang letaknya agak di belakang. Dia tidak tahu betapa bayangan Cong San dengan gerakan ringan mengintai dan mengikutinya. Cong San tidak sengaja mengikuti pemuda ini. Tadi, di dalam kamarnya, Cong San gelisah dan hati nuraninya mengganggu perasaannya. Terjadi perang hebat di dalam batinnya, antara kebenciannya yang meluap terhadap Keng Hong dan kesadarannya akan kenyataan betapa dia telah mendatangkan malapetaka hebat kepada bekas sahabat itu. Dia tidak menyesal kalau Keng Hong terbunuh, bahkan dia ingin membunuhnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi kalau dia teringat betapa Biauw Eng terbawa-bawa, betapa anak perempuan mereka pun terancam bahaya maut, benar-benar hal ini membuat Cong San menjadi gelisah sekali. Betapa mungkin dia akan mencegah kalau Cui Im membunuh Biauw Eng dan anaknya? Dan ucapan-ucapan yang dikeluarkan Keng Hong dan Biauw Eng tadi! Bagaimana kalau cemburunya tidak berdasar kenyataan dan bahwa semua itu diperbuat dengan sengaja oleh Cui Im? Dia mengenal betapa keji dan liciknya wanita iblis itu. Akan tetapi, surat dapat dipalsu, dan mungkin tanda keperawanan Yan Cu benar hilang oleh tendangan Go-bi Thai-houw, akan tetapi pertemuan dekat telaga antara Keng Hong dan Yan Cu dahulu itu? Mana mungkin dipalsukan? Dia melihat sendiri, jelas Yan Cu yang dikenal dari pakaian dan bentuk tubuhnya. Dan Keng Hong pun dia kenal benar. Mereka berciuman, begitu mesra....... bayangan ini membuat darah Cong San mendidih lagi, membuat cemburunya seperti api disiram minyak, berkobar membuat sesak napasnya dan panas tubuhnya.
Dia merasa panas dan keluar dari kamarnya, memasuki taman mencari hawa sejuk dan untuk menenangkan pikirannya. Dia harus minta agar Yan Cu dibebaskan sekarang juga. Setelah Keng Hong tertangkap, tidak perlu lagi isterinya ditawan. Dia akan memberi kebebasan sepenuhnya kepada Yan Cu. Kalau isterinya itu masih ingin melanjutkan hubungan suami isteri, dia akan memaafkan semua. Kalau ingin memutuskan, terserah. Dia akan melanjutkan hidup untuk puteranya yang dia titipkan di kuil Siauw-lim-si. Dia harus menemui Cui Im dan minta agar Yan Cu dibebaskan. Adapun Biauw Eng dan anaknya itu, setelah lewat tiga hari, akan dia tuntut kepada Cui Im agar dibebaskan pula. Kalau Cui Im memaksa hendak mengganggu mereka, atau bahkan membunuh mereka, dia akan membela dan mempertaruhkan nyawanya! Biauw Eng masih merupakan sahabatnya yang harus dia bela dengan taruhan nyawa!
Keputusan hati ini membuat Cong San tidak merasa begitu menderita batinnya. Dia merasa terhibur bahwa sesungguhnya dia tidaklah jahat! Tidak, dia tidaklah kejam! Kalau dia bersekutu dengan Cui Im untuk menjebak dan menangkap Keng Hong, hal itu hanya dilakukannya untuk membalas dendam kepada Keng Hong. Dan dia tidak jahat karena memang manusia seperti Keng hong itu patut dibunuh!
***
Perang di dalam hati Cong San ini sama sekali tidaklah aneh dan dapat diselidiki bahwa hal itu terjadi setiap hari, setiap saat bahkan setiap detik di dalam hati semua manusia! Tidak seorang pun manusia yang suka mengaku, baik dalam hatinya apalagi dalam mulutnya, bahwa dia melakukan sebuah perbuatan yang dianggap jahat oleh hukum masyarakat, dia tentu akan membela diri dan mencari alasan-alasan yang menguatkan keyakinannya bahwa dia tidak jahat, bahwa perbuatannya itu dilakukan karena terpaksa, dan lain-lain. Mata manusia ditujukan untuk memandang keluar sehingga tentu saja yang dilihatnya hanyalah kesalahan orang-orang lain yang berada di luar dirinya. Tak pernah sedetik pun mata manusia ditujukan ke dalam untuk mengenal dirinya, untuk melihat isi hati dan isi pikirannya, untuk menangkap basah kekotoran-kekotoran yang berkecamuk dalam dirinya, untuk mengenal kesalahan-kesalahan pada dirinya yang tidak berbeda, tidak lebih sedikit, daripada kesalahan-kesalahan orang lain yang dilihat oleh matanya. Kalau saja manusia suka melatih matanya untuk sewaktu-waktu ditujukan ke dalam! Tentu takkan seperti sekarang ini ketegangan dan permusuhan yang selalu memenuhi hubungan antara manusia. Akan tetepi kenyataannya tidak demikian. Semua mata ditujukan keluar selalu, untuk mencari dan menemukan kesalahan-kesalahan lain orang. Sayang! Seorang manusia yang suka melatih diri, menutup mata telinga terhadap hal-hal di luar dirinya, membuka telinga batin untuk mengenal sifat-sifat dirinya pribadi, orang demikian ini akan sadar bahwa dirinya tidaklah lebih baik atau lebih jahat daripada orang lain dan kesadaran ini akan menimbulkan perasaan senasib sependeritaan, akan menciptakan kasih sayang yang murni antar manusia, melenyapkan iri dan dengki, mengusir benci yang menjadi sumber daripada segala kesengsaraan dan penderitaan hidup. Kebencian membayangkan kegelapan neraka, sebaliknya cinta kasih menyinarkan cahaya sorga. Akan tetapi, memaksa diri melenyapkan benci, memaksa diri memelihara cinta, akan menimbulkan pertentangan dan persoalan baru yang akan berakhir dengan kegagalan. Mengubah benci dengan cinta tak dapat dipaksakan, melainkan berlangsung sewajarnya melalui kesadaran yang lahir dari dalam, dan kesadaran ini akan didapat apabila manusia tekun membuka mata batin dan belajar mengenal diri pribadi dan membebaskan diri daripada belenggu keakuan yang akan mengaburkan pandangan mata batin sehingga yang ingin dikenal hanyalah kebaikan-kebaikan dirinya sendiri saja!
Tiba-tiba Cong San menggerakkan kepalanya. Telinganya menangkap gerakan orang dan ketika dia melihat seorang laki-laki muda berjalan melenggang melalui lorong yang menghubungkan bangunan besar dengan belakang, hatinya berdebar penuh kaget. Cia Keng Hong! Bagaimana Keng Hong dapat lolos? Dan agaknya sedang menuju ke bangunan belakang di mana terdapat kamar tahanan Yan Cu! Ataukah Keng Hong berhasil meloloskan diri dan kini hendak mencari kamar Cui Im? Mungkin juga. Akan tetapi, dia lebih percaya bahwa tentu Keng Hong yang berhasil membebaskan diri itu pertama-tama hendak menolong kekasihnya, Yan Cu. Hatinya menjadi panas lagi dan dengan amat hati-hati karena maklum akan kelihaian Keng Hong, Cong San bergerak dari tempatnya dan membayangi dari belakang.
Cong San mengintai dengan mata terbelalak penuh keheranan ketika melihat bayangan itu mengetuk pintu kamar Cui Im, mendapat jawaban halus dari dalam kemudian memasuki kamar. Dari penerangan di depan kamar itu dia mendapat kenyataan bahwa orang itu bukanlah Keng Hong, sungguhpun wajah dan bentuk badannya serupa benar dengan Keng Hong. Orang itu adalah seorang laki-laki muda tampan yang tersenyum dengan kilatan mata penuh gairah ketika memasuki kamar Cui Im!
Kalau saja laki-laki itu tidak serupa benar dengan Keng Hong, tentu Cong San sudah pergi lagi, kembali ke kamarnya. Dia sudah cukup mengenal watak Cui Im, iblis betina yang cabul dan gila laki-laki dan tidaklah mengherankan kalau malam-malam Cui Im memasukan seorang laki-laki tampan. Akan tetapi, keadaan orang muda itu membuat jantung Cong San berdebar. Mengapa begitu serupa dengan Keng Hong? Dan orang itu yang memiliki gerakan bisa saja, bagaimana dapat memasuki tempat ini yang terjaga ketat oleh para pengawal? Hal ini hanya membuktikan bahwa laki-laki itu memang tinggal di dalam gedung, akan tetapi mengapa dia yang telah beberapa hari berada di situ tak pernah melihatnya! Melihat pakaian pemuda itu yang mewah seperti pakaian seorang bangsawan pelajar, tak mungkin dia itu seorang pengawal atau pegawai biasa!
Bermacam-macam dugaan yang mendebarkan jantung membuat Cong San menyelinap, mendekati kamar itu dengan hati-hati sekali. Dia maklum betapa lihainya Cui Im, dan sedikit suara saja akan cukup membuat wanita iblis itu tahu bahwa ada orang di luar kamarnya. Dengan hati-hati sekali, tanpa mengeluarkan suara, dia berhasil mendekati jendela kamar dan mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya untuk menangkap suara di dalam kamar. Dia berhasil. Di samping suara orang bercumbu, dengus dan tawa penuh nafsu berahi, dia mendengarkan percakapan yang membuat matanya terbelalak, wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil! Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri, dan dengan susah payah dia menekan perasaannya agar pernapasannya tidak menjadi sesak dan jangan sampai terdengar dari kamar itu.
"Ihhhhh, kau seperti harimau kelaparan saja! Baru juga sepekan......... bukankah kukatakan bahwa kau harus menjauhkan diri dariku lebih dulu dan bersembunyi saja di kamarmu? Kalau sampai Cong San tahu........"
"Aduh, Sianli! Dewiku, kekasihku, pujaan hatiku. Masa kau begitu tega? Hampir aku mati karena rindu padamu........ ahhhhh, kau begini cantik jelita, begini menggairahkan, begini harum.......! Engkau tentu dapat menghargai semua bantuanku, bukan? Ha-ha-ha, engkau benar-benar cerdik luar biasa. Si tolol Cong San itu benar-benar dapat tertipu! Ingin sekali sebelum kau membunuh Keng Hong, aku bertemu dengan orang yang hampir serupa dengan diriku itu. Apakah dia benar-benar seperti aku, Sianli?"
"Ah, tentu saja kau lebih tampan!" Terdengar Cui Im cekikikan di antara suara ciuman.
"Kenapa tidak segera kau bunuh saja dia yang amat berbahaya itu? Kalau sampai dia dapat lolos, akan sia-sia semualah segala usaha kita menipu Cong San dan memancing dia datang. Kau benar-benar pandai bersandiwara, dewiku. Ketika kau menyamar sebagai Yan Cu di dekat telaga itu....... ha-ha-ha, dan aku sebagai Keng Hong.........aihhh, benar-benar romantis ketika kita bercumbu. Sayang kau segara membawaku lari pergi, tidak melanjutkan........."
"Hushhh, gila kau! Kalau Cong San melihat bahwa yang bercumbu itu adalah engkau dan aku, bukan Keng Hong dan Yan Cu, apa artinya semua siasat kita? Engkau pun hebat, pandai sekali engkau memalsu gaya tulisan orang. Benar-benar seorang siucai yang luar biasa!"
Cong San berdiri menggigil di luar jendela kamar. Pandang matanya berkunang dan dia memejamkan matanya karena segala di depannya berputar. Seolah-olah kedua matanya dibuka orang, seolah-olah baru sekarang dia terbebas dari kebutan. Keng Hong dan Biauw Eng benar! Yan Cu tidak berdosa! Dan apa yang telah dia lakukan?
"Ya Tuhan.....!!" Hatinya merintih dan air mata bercucuran di atas kedua pipinya yang pucat. Ia tetap memejamkan kedua matanya. Malu dia membuka matanya. Malu melihat dunia. Malu menghadapi kenyataan. Dan dia menghina isterinya, memakinya, menuduhnya melakukan perbuatan jinah dengan Keng Hong! Dia mencemarkan nama dan kehormatan isterinya yang tak berdosa, seolah-olah dia melumuri setangkai bunga seruni putih bersih dengan lumpur kotor, membenamkan bunga itu dalam kotoran dengan kedua tangannya yang kejam! Dan dia telah memaki dan menghina Keng Hong, pendekar sakti yang budiman itu, yang dalam keadaan terhina masih tidak mau mencelakakannya, tidak mau melawannya ketika diserang! Dan dia bersekutu dengan Cui Im, menipu Keng Hong menggunakan siasat busuk, menggunakan anaknya sebagai umpan ! Dan dia mencelakakan Biauw Eng yang sama sekali tidak berdosa, seorang isteri yang setia dan mencinta suaminya, seperti Yan Cu! Dan dia kini menyeret pula Giok Keng, anak mereka yang masih bayi, ke dalam cengkeraman iblis betina Cui Im!
"Ya Tuhan..... apakah yang telah kulakukan semua itu........??"
Lamat-lamat telinga Cong San masih menangkap suara cumbu rayu yang kini amat menjijikan hatinya.
"Dewiku, lebih baik Keng Hong segera kau bunuh. Akan tetapi isterinya........ dan Yan Cu, aduh mereka amat cantik, sungguh sayang kalau dibunuh begitu saja........."
"Ihhhhh, dengan aku dalam pelukanmu kau masih sempat memikirkan perempuan lain?"
***
"Aduhhh! Ahhh, jangan terlalu keras mencubit, sayang. Lihat, pahaku sampai biru. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sayang sekali......."
"Sudah kuputuskan untuk menyerahkan mereka kepada para pengawal agar diperkosa beramai-ramai sampai mati!"
"Wah, sayang sekali! Mengapa begitu? Sebelum diobral kepad tikus-tikus pengawal itu, lebih baik kalau dihadiahkan dahulu kepadaku untuk beberapa malam.........."
"Biauw Eng sudah kujanjikan kepada Mo-kiam Siauw-ong........"
"Dan Yan Cu? Dia cantik sekali. Aku mengintai dari jendela kamar tahanannya, hem.....biarpun tidak secantik engkau, aku mengilar dibuatnya, Sianli, kau berikanlah dia kepadaku lebih dulu sampai aku puas, baru......."
"Sudahlah, nanti mudah diatur. Sekarang aku ingin kau mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatianmu untuk diriku seorang!"
Cong San mengepal tinjunya sampai ujung-ujung kukunya membikin lecet telapak tangannya. Kalau di tidak dapat menekan hatinya dan mengerjakan otaknya, tentu dia sudah memecahkan jendela itu dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi dia menahan diri karena maklum bahwa kalau dia melakukan hal itu, tentu dia akan roboh di tangan Cui Im.
Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati Cong San. Dia terduduk di atas lantai bawah jendela dan tak bergerak seperti patung. Penyesalan yang amat hebat membuat seluruh tubuhnya kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, kadang-kadang lemas dan lumpuh dan ada kalanya tubuhnya menegang dilanda kemarahan.
Menjelang pagi, dia mendengar suara laki-laki itu. "Tidurlah, Sianli. Aku akan kembali ke kamarku sebelum pergi. Ahhh, aku puas sekali, terobatilah rinduku, aku lelah dan mengantuk sekali aaahhhhh........." Laki-laki itu menguap dan terdengarlah langkah kakinya berat diseret meninggalkan kamar. Cong San tidak mendengar jawaban Cui Im. Tentu iblis betina itu telah tidur pulas.
Dengan mata sipit karena kantuk dan kaki diseret karena lelah pemuda yang bukan lain adalah Coa Kun sampai di lorong yang menghubungkan bangunan belakang dengan bangunan besar, berjalan menuju ke kamarnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Cong San telah berdiri di depannya dengan mata menyinarkan maut dan rambut awut-awutan seperti orang gila! Coa Kun terkejut dan hendak berteriak, akan tetapi Cong San mendahuluinya, menotok jalan darah di dada membuat pemuda bangsawan itu lumpuh dan tak berdaya diseret ke dalam taman dan dibungkam mulutnya.
"Manusia hina, hayo ceritakan apa yang telah kaulakukan dengan surat-surat palsu itu dan penyamaranmu sebagai Keng Hong!" Cong San mendesis dekat telinga pemuda itu dan mengendurkan bungkaman pada mulutnya.
Menggigil seluruh tubuh Coa Kun seolah-olah dia mendadak diserang dingin yang luar biasa. Dengan gagap dia menjawab, "Ampun......., aku........ aku hanya melakukan perintah Cui Im....... aku.......... aku......... aku tidak tahu apa-apa.........."
"Jawab! Apa yang terjadi dengan persuruh Keng Hong yang mengantarkan surat kepadaku?"
"Dia.......... di.......dibunuh......... aku dipaksa memalsukan suratnya........."
"Dan surat tulisan Yan Cu?"
"Aku........ dipaksa menulis surat palsu........., mencontoh tulisan istrimu......... dari resep obat........"
"Dan dekat telaga itu? Kau dan Cui Im menyamar sebagai Keng Hong dan isteriku? Jawab!"
Coa Kun sudah terkencing-kencing ketakutan sampai celananya basah dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk.
"Prokkkkk!!" Tangan Cong San menampar dan sekali pukul pecahlah kepala Coa Kun. Cong San masih belum puas dan menghujani tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu dengan pukulan dan tendangan sehingga remuk-remuk tulang tubuh pemuda bangsawan yang menjadi korban nafsu berahinya itu! Kemarahan menimbulkan kebencian hebat di hati Cong San, dan kebencian menimbulkan kekejaman mengerikan.
"Hemmm, akhirnya kau tahu juga, manusia tolol!"
Cong San membalik dan ketika dia memandang kepada Cui Im, matanya seperti mengeluarkan api dan napasnya seperti uap panas. "Iblis engkau.......! Iblis kejam......!" hanya itulah yang dapat keluar dari mulut Cong San. Kemarahan dan kebencian yang terdorong oleh penyesalannya mencekik leher. Dia menubruk maju, menyerang dengan sepasang Im-yang-pit di kedua tangannya.
Tentu saja Cui Im dapat mengelak dengan mudah. Sambil berkelebat kekanan kiri menghindarkan sambaran kedua senjata di tangan Cong San, Cui Im mengejek, "Engkau tahu atau tidak, aku memang sudah mengambil keputusan untuk membunuhmu pula. kau kira hanya Keng Hong dan Biauw Eng saja yang kukehendaki nyawanya? Hi-hi-hik! Engkau dan Yan Cu juga termasuk hitungan! Kalian berempat adalah musuh-musuh besarku. Hi-hi-hik! Akan tetapi, mengingat bahwa engkau telah berjasa dan membantuku, Hemmmmm.......... agaknya aku akan dapat mengampuni nyawamu asal engkau suka melayani aku. Engkau tampan, lebih menarik daripada Coa Kun yang telah kau bunuh itu. Bagaimana?"
"Iblis cabul, perempuan hina!" Cong San menerjang lagi dan terpaksa Cui Im bersikap hati-hati karena biarpun dia memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun Cong San bukanlah seorang pendekar sembarangan, melainkan seorang pendekar perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari Siauw-lim-pai. Betapapun juga, Cong San bukanlah lawan Cui Im. Dalam keadaan tenang saja Cong San masih kalah untuk dapat menandingi Cui Im. Apalagi dalam keadaan marah seperti itu. Kemarahan merupakan pantangan besar dalam setiap pekerjaan dan setiap perbuatan, karena kemarahan menimbulkan kelengahan dan menggelapkan akal. Di dalam kemarahannya yang meluap-luap itu, serangan Cong San lebih terdorong oleh nafsu membunuh daripada terkendalikan oleh akal, dan boleh jadi serangan-serangannya menjadi lebih berbahaya karena nekat, namun dia menjadi lengah dan tidak lagi mempedulikan segi penjagaan diri.
Keributan itu menarik datangnya para pengawal dan keadaan menjadi geger ketika mereka melihat betapa Coa-kongcu telah menggeletak menjadi mayat sedangkan Yap Cong San yang tadinya menjadi tamu itu bertempur melawan Cui Im. Melihat datangnya banyak orang, Cui Im membatalkan niatnya mempermainkan Cong San dan ia mencabut pedang merahnya. Tampak sinar merah berkelebat menyilaukan mata tersorot obor-obor yang dibawa oleh para pengawal. Dengan mempermainkan pedangnya yang hebat, ditambah tenaga sinkangnya yang lebih kuat, dalam belasan jurus saja pedang di tangan Cui Im berhasil membabat patah kedua pit di tangan Cong san, kemudian tangan kiri Cui Im menotok dan robohlah Cong San!
Para pengawal yang dipimpin Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang hendak menghujani tubuh Cong San dengan senjata, akan tetapi Cui Im membentak, "Jangan bunuh dulu! Ikat dia dan seret dalam kamar tahanan bersama dua orang tawanan! Juga Yan Cu seret ke sana, jadikan satu dalam kamar tahanan itu!"
Tidak ada yang berani membantah dan tubuh Cong San segera diikat kuat-kuat dan diseret ke dalam kamar tahanan dalam keadaan pingsan. Cong San roboh pingsan bukan oleh totokan yang melumpuhkan kaki tangannya, melainkan oleh pukulan batin yang menimbulkan penyesalan yang menyesak dada. Dia tidak melihat betapa Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya, kemudian suami isteri itu saling pandang dengan heran akan tetapi kemudian pandang mata mereka terhadap Cong San masih penuh dengan kemuakan. Juga Cong San tidak tahu betapa tak lama kemudian isterinya, Yan Cu, dalam keadaan terbelenggu erat-erat diseret pula ke dalam kamar itu. Yan Cu menangis ketika melihat Keng Hong dan Biauw Eng, juga suaminya, telah menjadi tawanan di situ.
***
Cong San mengeluh lirih dan membuka matanya. Ia tidak dapat menggerakan kaki tangannya yang terbelenggu pada sebuah pilar di dalam ruangan besar itu. Disapukannya pandang matanya ke sekeliling dan matanya terbelalak memandang isterinya yang terbaring di atas sebuah dipan, juga kaki tangannya terbelenggu dan terpentang ke kanan kiri, setiap kaki dan tangan terikat pada empat buah kaki dipan dan tubuhnya dalam keadaan terlentang.
"Isteriku.........!" Naik sedu sedan dari dadanya.
Yan Cu menoleh. Hanya kepalanya saja yang dapat ia gerakan. Ia memandang suaminya dengan pandang mata penuh cinta kasih dan kedukaan, pandang mata yang lebih runcing daripada ujung sebatang pedang pusaka, yang langsung menusuk jantung Cong San.
"Suamiku........" Yan Cu berkata lirih dan dalam sebutan ini terkandung semua perasaan hati yang mencinta yang menyediakan beribu kali maaf terhadap suaminya.
"Yan Cu....... aku........ aku berdosa padamu...... aku........ aku........!" Cong San tak dapat melanjutkan kata-katanya dan air matanya bercucuran membuat matanya tak dapat melihat lagi.
"Sudahlah, Koko. Syukur bahwa di saat terakhir engkau telah sadar. Kita bersama menghadapi kematian........ tidak ada apa-apa yang kusesalkan.........."
"Yan Cu........!" Ucapan isterinya yang penuh maaf dan kerelaan itu seperti meremas hati Cong San.
"Hanya menyesal sekali bahwa suheng dan isterinya terbawa-bawa........"kata pula Yan Cu.
Mendengar ini, baru sekarang Cong San melihat bahwa Biauw Eng juga berada dalam keadaan seperti isterinya, terlentang di atas sebuah dipan dan terbelenggu kaki tangannya yang terpentang. Keng Hong berdiri tak jauh dari situ, terikat pula kaki tangannya pada pilar, seperti dia. Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
Keng Hong........ aku berdosa besar padamu. Aku minta ampun karena dosaku tak mungkin dapat diampuni. Terlalu besar, terlalu hina dan aku rela kalau isteriku, engkau dan isterimu mengutukku. Tak mungkin kalain dapat mengampuniku, juga tidak Tuhan sendiri! Aku sendiri tidak dapat mengampuni dosaku......" Cong San terisak-isak seperti seorang anak kecil.
"Cong San, perbuatanmu terhadap aku tidak ada artinya bagiku. Engkau melakukannya dalam keadaan gila oleh cemburu. Aku dapat memahaminya, karena aku pun pernah menderita penyakit cemburu yang amat berbahaya itu. Akan tetapi yang amat menyakitkan hatiku adalah perbuatanmu terhadap Sumoi. Engkau benar-benar telah melakukan sikap yang amat keji dan kejam terhadap Sumoi. Engkau patut dihajar!"
"Keng Hong......." Cong San mengguguk, "Kalau engkau dapat melepaskan diri..... kau...... aku bunuhlah aku........ aku akan rela........."
"Cukup semua sikap dan ucapan kosong ini! Apa artinya penyesalan diri setelah terlambat? Kita semua mengalami kembali seperti dulu, berada dalam cengkeraman maut di tangan si iblis betina. Perlu apa banyak cakap lagi akan hal yang bukan-bukan? Heiii, Cui Im, lekas bunuh kami, tunggu apalagi?"
Biauw Eng berteriak.
"Hi-hi-hik!" Cui Im tertawa dengan wajah berseri gembira sekali. Dia duduk di atas sebuah kursi dan di sampingnya duduk Go-bi Thai-houw yang hanya termenung, seolah-olah dia tidak melihat atau mendengar semua itu, atau sama sekali tidak mengacuhkannya, seperti semua itu merupakan pertunjukan yang tidak menarik sama sekali. Mo-kiam Siauw-ong juga duduk di sebelah kiri Cui Im dan tampak pula belasan orang pengawal tinggi besar menjaga di pintu.
"Kalian ingin lekas mati agar segera terbebas dari siksaan lahir batin. Akan tetapi aku justeru menghendaki sebaliknya, agar kalian mati sedikit demi sedikit, agar kalian tersiksa lahir batin sehebat-hebatnya. Betapa benciku kepada kalian berempat!"
"Bhe Cui Im, perempuan rendah! Engkau telah mempermainkan aku, engkau manusia terkutuk! Engkaulah yang membuat aku menjadi gila dan berdosa. Ahhh, biarpun aku sudah mati nanti, aku akan menjadi setan dan selamanya akan kukejar engkau!" Cong San berteriak dan meronta, namun tubuhnya yang tertotok lemas sedangkan tali-tali yang melibat tubuhnya amat kuat.
Kembali Cui Im tertawa, kini memandang Keng Hong. "Keng Hong, manusia keras kepala. Sampai saat terakhir engkau tidak mau menyerahkan ilmu-ilmu itu kepadaku. Baiklah, sekarang engkau dan Cong San lihat dan dengar baik-baik betapa isteri kalian yang tercinta itu ditelanjangi, diperkosa berganti-ganti sampai mati! Lihat nanti betapa mereka menggeliat tersiksa, dengar betapa mereka merintih dan mengeluh, hi-hi-hik, dan saksikan nyawa mereka pergi sedikit demi sedikit dan tubuh mereka mengalami penghinaan yang paling hebat bagi seorang wanita!"
"Cui Im! Yang terhina bukankah kami, melainkan engkau sendiri. Lakukanlah sesukamu terhadap tubuh kami. Apa sih tubuh ini? Hanya daging darah dan tulang, hanya tanah! Engkau bisa merusak dan mengotori tubuh kami, akan tetapi jangan harap untuk memperkosa dan mengotori jiwa kami, jangan harap untuk melenyapkan cinta kasih kami terhadap suami kami masing-masing! Engkaulah yang akan tersiksa, Cui Im, tersiksa oleh iri, karena di dalam hidupmu tiada cinta, kosong dan hanya penuh penuh oleh kotoran menjijikkan, penuh nafsu berahi dan engkau lebih hina daripada binatang, lebih sengsara daripada iblis! Kami tidak akan sengsara, karena kami berempat bahwa segala penderitaan badan akan berakhir, namun cinta kasih kami takkan ikut berakhir. Tertawalah selagi engkau masih dapat tertawa, Cui Im, namun di balik tawamu itu hanyalah tangis kesengsaraan hati yang terselubung kepalsuan!" Biauw Eng berteriak dengan lantang.
Mendengar ini, wajah Cui Im berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah karena apa yang diucapkan bekas sumoinya itu tepat sekali seperti apa yang ia rasakan.
"Lekas mulai dengan siksaan!" Ia berseru kepada Mo-kiam Siauw-ong. "Hayo lakukan, siapa saja boleh lebih dulu, aku tidak peduli lagi!"
Mo-kiam Siauw-ong menyeringai dan memberi tanda kepada seorang pembantunya, seorang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bermuka buruk sekali. Pengawal ini mengangguk gembira dan melangkah ke arah dipan di mana Yan Cu rebah dengan kaki tangan terpentang, sedangkan Mo-kiam Siauw-ong menghampiri Biauw Eng. Dua orang wanita itu sudah mematikan rasa mengosongkan hati dan pikiran, memejamkan mata dan tubuh mereka itu biarpun bernyawa, sama halnya dengan sebuah mayat belaka. Dalam saat terakhir mereka telah menerima petunjuk dari Keng Hong tentang ilmu yang berdasarkan sinkang tinggi ini dan apa pun yang akan terjadi dengan tubuh mereka, sedikit pun mereka tidak akan merasakan dengan hati dan pikiran! Dengan sikap tenang Keng Hong memandang isterinya, sikap untuk menyaksikan hal yang paling hebat, akan tetapi Cong San hampir pingsan, matanya terbelalak wajahnya pucat dan dia menggigit bibirnya sampai berdarah.
"Cong San, tenanglah dan pandang baik-baik," tiba-tiba Keng Hong berkata. "Yang kau cinta adalah Gui Yan Cu, manusia wanita yang bernama Gui Yan Cu, bukan sekedar tubuhnya! Apapun yang akan terjadi atas tubuh Yan Cu, cintamu tidak akan berubah. Mengertikah engkau? Jangan pedulikan apa yang tampak oleh matamu, dan serahkan segalanya kepada Tuhan setelah kita sendiri tidak berdaya melakukan usaha."
***
Namun Cong San yang masih dikuasai penyesalan atas dosanya, tidak mungkin dapat bersikap seperti Keng Hong.
"Jangan.....! Cui Im, jangan.......! Siksalah aku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan ganggu dia.......!!!" Ia berteriak-teriak sekuat tenaga. Keng Hong hanya menggeleng-geleng kepala dan diam saja.
Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu yang sudah menerima pesan dari Cui Im, kini mematuhi perintah. Mereka tidak menubruk kedua orang wanita itu dengan buas, melainkan sengaja hendak menyiksa batin Keng Hong dan Cong San. Dengan perlahan mereka merenggut baju luar Biauw Eng dan Yan Cu.
"Brettttt! Brettttt!!" Baju luar kedua orang wanita itu robek dan terlepas sehingga tampaklah baju dalam mereka yang tipis, membayangkan dada ibu-ibu muda itu yang masih terlentang dengan mata terpejam tanpa bergerak sedikit pun.
Cong San terisak, hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Melihat sahabatnya seperti itu lebih mengganggu hati Keng Hong daripada menghadapi malapetaka yang menimpa dia dan isterinya. "Cong San, benar-benarkah engkau telah menjadi seorang pengecut dalam menghadapi kematian?" Suara Keng Hong menggetar penuh teguran dan suara ini berpengaruh sekali karena Cong San tiba-tiba menghentikan tangisnya, bahkan dia membelalakan mata memandang ke arah isterinya, merelakan semuanya biarpun hatinya seperti ditusuk-tusuk. Tanpa mengalihkan pandang dari isterinya, dia menjawab,
"Kalau saja hatiku tidak penuh perasaan dosa yang begini menekan, mungkin tidak seberat ini penanggunganku, Keng Hong. Semua yang menimpa dia, yang menimpa kalian, karena aku!"
Keng Hong tidak menjawab lagi karena dia pun maklum atau dapat menyelami sendiri ketika dia sadar daripada kesalahannya terhadap Biauw Eng dahulu. Namun, tentu saja dibandingkan dengan kesalahannya dahulu akibat cemburu pula, tidaklah sehebat kesalahan Cong San, tidak sejauh langkah-langkah yang diambil oleh Cong San yang diracuni cemburu!
Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu, dengan ditonton penuh iri dan gairah oleh para pengawal lain yang harus menanti giliran, kini dengan mata berkilat sudah mengulur tangan lagi untuk melanjutkan pekerjaan mereka menelanjangi dua orang wanita muda yang cantik jelita itu.
Tiba-tiba Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu berteriak kaget dan tubuh mereka terhuyung ke belakang, bahkan pengawal itu terus roboh sambil menjerit-jerit kesakitan, mengucek-ucek matanya, sedangkan Mo-kiam Siauw-ong menyumpah-nyumpah dan menggosok-gosok mukanya. Kiranya, biarpun kaki tangannya tak dapat bergerak sedikit pun, Biauw Eng dan Yan Cu tidaklah mau menyerahkan diri begitu saja kepada nasib. Memang mereka telah mematikan rasa, namun nalurinya sebagai seorang wanita yang hendak dinodai kehormatannya membuat mereka memberontak dan hendak melawan mati-matian sebelum saat terakhir. Inilah sebabnya maka mereka menggunakan usaha satu-satunya yang dapat mereka lakukan, yaitu meludah ke arah mata orang yang menghinanya. Dengan mengerahkan tenaga dalam ludah yang menyambar dari mulut mereka tak boleh dipandang ringan. Mo-kiam Siauw-ong dapat menyelamatkan matanya dan hanya mukanya yang terasa panas seperti tertusuk benda runcing, akan tetapi pengawal itu merasa sebelah matanya seperti ditusuk-tusuk dan bukan main nyerinya, membuat dia mengaduh-aduh.
"Omitohud........, kesesatan sekejam ini dilakukan manusia, bagaimana pinceng dapat membiarkannya saja?"
Semua orang menjadi terkejut ketika melihat di situ telah berdiri seorang hwesio tua yang entah kapan dan dari mana datangnnya, tahu-tahu telah berada di situ dan hwesio ini sudah melangkah maju mendekati Keng Hong.
"Tiong Pek Hosiang.......!" Bhe Cui Im berteriak kaget sekali ketika mengenal hwesio tua itu. "Engkau sudah bukan ketua Siauw-lim-pai, mau apa engkau datang dan mencampuri urusan kami?"
"Omitohud, Ang-kiam Bu-tek, berkali-kali engkau menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Pinceng datang dan mencampuri bukan karena kedudukan atau hubungan. Perbuatan yang dilakukan berdasarkan kedudukan, hubungan atau alasan lahir lainnya adalah perbuatan palsu. Pinceng datang dan menyaksikan perbuatan manusia yang kejam terhadap manusia lain, tak mungkin pinceng ikut mendiamkannya saja karena hal itu berarti pinceng ikut membantu perbuatan kejam. hentikanlah kesesatanmu, Ang-kiam Bu-tek, masih belum terlambat bagi semua manusia yang tersesat untuk menjadi sadar akan kesesatannya dan kembali ke jalan benar."
"Heh-heh-heh, Ouwyang Tiong, kau manusia sombong! Tidak ingatkah engkau, betapa dahulu engkau telah mengganggu isteri Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong? Dan engkau masih berani membuka mulut memaki orang lain tersesat?" Tiba-tiba Go-bi Thai-houw berteriak mengejek.
Tiong pek Hosiang berpaling kepada nenek itu dan merangkap kedua tangannya ke depan dada. "Omitohud....... siapakah yang tidak ingat akan kesesatan yang pernah dilakukannya? Namun, penyesalan saja tidaklah cukup. Oh Hian Wi, kesesatan hanya dapat di atasi oleh kesadaran akan kesesatannya. Orang yang sedang sesat adalah orang yang sedang sakit, bukan badannya yang sakit melainkan batinnya. Pinceng tidak memaki, tidak membenci, hanya menaruh kasihan karena segala kesesatan hanya akan menimbulkan kesengsaran bagi dirinya sendiri.
"Kalau begitu, mengapa kau menentang kami?" Cui Im menuntut.
"Bukan pribadimu yang pinceng tentang, Ang-kiam Bu-tek, melainkan perbuatanmu yang sesat. Sudah menjadi kewajiban pinceng untuk mencegah perbuatan kejam dari siapa pun juga terhadap siapa pun juga tanpa memandang bulu." Sambil berkata demikian, kakek itu menghampiri Keng Hong.
"Berhenti!!" Go-bi Thai-houw berteriak dan sekali ia menggerakkan tangannya, kebutan merah di tangannya tergetar dan belasan helai bulu kebutan itu meluncur seperti anak-anak panah kecil menyambar ke arah tubuh bekas ketua Siauw-lim-pai itu.
Namun kakek ini dengan tenang menggunakan tangan kirinya yang berlengan baju lebar mengebut sehingga semua bulu kebutan itu runtuh, sedangkan tangan kanannya meraba ke arah tali pengikat kedua lengan Keng Hong, merenggutnya dengan pengerahan tenaga sakti sehingga putuslah tali yang kuat itu!
"Locianpwe, terima kasih!" kata Keng Hong yang cepat menggunakan kedua tangannya mematahkan semua tali yang membelit-belit tubuhnya, kemudian dia meloncat dengan cekatan, pertama-tama dia membebaskan ikatan isterinya, kemudian membebaskan Yan Cu.
"Kakek yang bosan hidup!" Cui Im berseru nyaring dan menerjang Tiong Pek Hosiang dengan pedang merahnya. Kakek itu mengelak dan mengebutkan lengan bajunya, melangkah mundur. Pada saat itu, Go-bi Thai-houw sudah melayang dari kursinya, sepasang kebutannya menyambar-nyambar dengan serangan maut ke arah Tiong Pek Hosiang. Kakek ini tidak melawan, hanya mengelak sehingga dia terdesak oleh nenek itu dan Cui Im. Ujung kebutan biru yang menyambar ganas masih mengenai pundaknya, membuat kakek itu terhuyung, namun dia sama sekali tidak balas menyerang.
"Mampuslah!" Go-bi Thai-houw berteriak dan kembali sepasang kebutannya menyambar.
"Plakkk!" Kursi di tangan Keng Hong hancur terpukul kebutan, akan tetapi Tiong Pek Hosiang terbebas dari bahaya maut. Kakek ini segera mundur dan menarik napas panjang sambil berkata,
"Pinceng sudah bersumpah tidak akan bertanding lagi dengan siapa pun juga. Selamat tinggal, mudah-mudahan kalian berhasil, orang-orang muda yang berada di fihak benar. Pinceng menanti di Siauw-lim-si!" Tubuhnya berkelebat keluar. Beberapa orang pengawal berusaha menyerangnya, namun mereka itu terpental ke belakang karena seolah-olah ada hawa yang luar biasa melindungi tubuh kakek itu yang meloncat tenang keluar dari gedung itu.
***
Keng Hong dan Biauw Eng sudah mengamuk, menandingi Go-bi Thai-houw dan Cui Im, sedangkan Yan Cu cepat menghampiri suaminya dan membebaskan tali-tali yang mengikat tubuh Cong San. Yap Cong San hanya dapat memandang isterinya dengan mata basah, kemudian setelah dia terlepas, dia pun mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau terluka dan dengan nekat dia membantu Keng Hong dan Biauw Eng menerjang Cui Im dan Go-bi Thai-houw. Yan Cu tidak mau ketinggalan dan begitu ia maju, sekali pukul saja ia telah merobohkan pengawal yang tadi hendak memperkosanya dengan kepala pecah. Biauw Eng juga menerjang Mo-kiam Siauw-ong yang amat dibencinya karena tadi Mo-kiam Siauw-ong telah menghinanya, merobek baju luarnya dan meraba-raba tubuhnya. Mo-kiam Siauw-ong melawan dengan nekat, memutar pedangnya. Namun Biauw Eng yang biarpun bertangan kosong itu sudah marah sekali. Sambaran pedang lawan itu ia terima dari samping dengan jepitan jari-jari tangan kanannya. Mo-kiam Siauw-ong terbelalak, hampir tak percaya bahwa wanita itu berani menerima pedangnya dengan jari tangannya, ia mengerahkan tenaga hendak menggerakan pedang agar tangan lawannya itu terbabat putus, namun pada detik itu juga dia juga mengeluarkan jerit melengking mengerikan karena jari tangan kiri Biauw Eng telah bergerak ke depan dan lima buah jari tangannya itu menembus kulit dada memasuki rongga dadanya sampai ke pergelangan tangan, bahkan jari-jari tangan itu terus mencengkeram jantungnya! Mo-kiam Siauw-ong roboh berkelojotan dan Biauw Eng dengan tangan kiri berlumuran darah amat mengerikan itu sudah mengamuk lagi, membuat giris hati para pengawal.
Go-bi Thai-houw masih memandang rendah Keng Hong yang bertangan kosong. Dia menyerang dengan kebutannya dari kanan kiri, sedangkan Cui Im yang agak pucat mukanya karena tidak menyangka-nyangka bahwa keadaan akan menjadi demikian, kini menggunakan dua batang pedang. Di tangan kanannya terpegang pedang merahnya, sedangkan tangan kirinya memegang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong ketika orang muda itu tertawan. Sepasang pedang itu digerakkan dengan dahsyat, membentuk dua gulungan sinar hijau dan merah yang indah namun berbahaya sekali.
Keng Hong maklum akan kelihaian dua orang wanita iblis itu, maka beberapa kali dia berteriak menyuruh Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mundur setiap kali tiga orang itu berusaha membantunya, namun, karena para pengawal telah roboh banyak sekali sedangkan sisanya hanya berani menonton dari pinggiran, tiga orang ini tidak mempedulikan larangan Keng Hong dan tetap saja membantu Keng Hong dengan senjata-senjata rampasan.
Cong San membunuh banyak sekali pengawal, mengamuk seperti kerbau gila. Dia kini merampas sebuah golok besar. Sebagai murid Siauw-lim-pai tentu saja dia bukan hanya ahli menggunakan sepasang pit yang telah lenyap terampas musuh. Delapan belas macam senjata dapat dia pergunakan dengan mahir. Dengan golok rampasan itu dia lalu membantu Keng Hong, menerjang Cui Im dengan nekat. Golok besar di tangannya menjadi lingkaran sinar terang dan mengeluarkan bunyi bercuitan.
"Trakkk...........!"
"Cong San, mundur.........!" keng Hong berteriak.
Terlambat. Golok itu patah ketika bertemu dengan Siang-bhok-kiam, dan sinar merah dari pedang Cui Im menyambar ke arah leher Cong San. Murid Siauw-lim-pai ini cepat melempar diri ke samping, namun tetap saja ujung pedang merah menyerempet pundaknya sehingga terluka kulitnya dan berdarah. Cong San melempar diri ke belakang, terus ke atas lantai dan bergulingan. Ketika dia meloncat bangun, tangannya sudah menyambar sebatang pedang lain, pedang pengawal yang banyak berserakan di lantai, lalu dia maju lagi.
Karena mengkhawatirkan suaminya, Yan Cu menyerbu ke depan, dibantu Biauw Eng dan kedua orang wanita ini sudah mengeroyok Cui Im. Biarpun dengan maju bersama mereka merupakan dua orang lawan yang tidak ringan bagi Cui Im, namun karena mereka hanya memegang senjata rampasan biasa saja, sedangkan Cui Im bersenjata pedang merah dan Siang-bhok-kiam, maka keduanya tidak dapat melawan dengan leluasa dan terpaksa menghindarkan bertemunya senjata mereka dengan sepasang pedang pusaka ampuh itu. Hal ini membuat mereka selalu terdesak.
Keng Hong menghadapi Go-bi Thai-houw yang agaknya hendak memonopoli pendekar ini, selain dengan penasaran dia hendak mengalahkan Keng Hong yang bertangan kosong, juga ia hendak mencegah orang muda itu membantu yang lain menghadapi Cui Im. Sepasang kebutannya merupakan sepasang tangan maut yang setiap saat siap merenggut nyawa Keng Hong, namun pemuda itu selalu dapat mengelak, bahkan pada saat di mana dia tidak sempat mengelak lagi, dorongan tangannya yang penuh tenaga sinkang masih dapat menyelamatkannya dan membuat sinar kebutan menyeleweng.
Cong San sudah maju lagi dengan pedangnya. Bukan karena hendak membantu Biauw Eng dan Yan Cu kalau dia kini menyerang nekat ke arah Cui Im, melainkan terutama sekali karena kebenciannya terhadap Cui Im membuat matanya merah dan seluruh keinginannya hanya untuk membunuh orang yang telah menimbulkan malapetaka hebat kepada rumah tangganya itu. Dengan bantuan Cong San, kini Cui Im dikeroyok tiga dan mulailah keadaan mereka berimbang.
Beberapa kali Biauw Eng melirik ke arah suaminya dan alisnya berkerut. Hatinya mulai khawatir. Ia maklum betapa lihainya Go-bi Thai-houw dengan sepasang kebutannya. Kalau suaminya memegang Siang-bhok-kiam, dia tentu tidak perlu khawatir lagi. Suaminya kehilangan pedang pusaka itu yang kini berada di tangan Cui Im, dan suaminya juga tidak dapat menggunakan Thi-khi-i-beng, ilmu mujijat yang menyedot tenaga sinkang lawan, karena selain Go-bi Thai-houw memiliki sinkang yang tinggi, juga nenek ini sudah tahu akan bahayanya ilmu itu sehingga senjata kebutannya tidak dapat dipergunakan Keng Hong sebagai jembatan untuk menyedot sinkang lawan yang lihai itu.Memang benar bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimiliki suaminya dapat membentuk gaya pertahanan yang amat kuat, namun akan sukarlah bagi suaminya untuk dapat mengalahkan lawannya.
Kekhawatiran Biauw Eng ini agaknya dapat dilihat oleh Cui Im. Kekhawatiran yang banyak menurunkan daya serang Biauw Eng sebagai lawan terlihai di antara tiga orang pengeroyoknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cui Im dengan baiknya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi yang amat nyaring, menggetarkan jantung lawan dan tiba-tiba sinar pedang merah dan hijau itu berubah bentuk lingkaran yang menyambar dari kanan kiri, dalam arah yang berlawanan seolah-olah kedua pedang itu akan saling beradu! Hal ini mengejutkan dan mengacaukan tiga orang lawannya.
"Siuuuuuttttt..........sing-singgg........!!"
Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San berteriak kaget dan meloncat mundur sampai beberapa meter jauhnya. Pedang mereka patah semua, bahkan sinar pedang merah dan hijau telah menyerempet tubuh mereka. Bahu kiri Biauw Eng berdarah, mengalir dari bajunya yang robek. Paha Yan Cu juga tergurat pedang, berdarah, sedangkan Cong San hampir saja celaka karena ujung pedang Siang-bhok-kiam telah menggurat punggungnya sampai sepanjang dua puluh sentimeter lebih! Pucatlah wajah tiga orang ini dan Cui Im tertawa terkekeh-kekeh sambil menggerakan kedua pedangnya.
"Yan Cu, pinjamkan sabukmu!" Tiba-tiba Biauw Eng berteriak. Yan Cu mengerti bahwa Biauw Eng membutuhkan senjata yang cocok, maka tanpa ragu-ragu lagi ia melepaskan libatan sabuk suteranya yang berwarna merah muda. Melihat ini, Cui Im meloncat dan menusuk Yan Cu.
***
"Trang-trakkk!" Pedang yang tinggal sepotong di tangan Cong San terbabat patah lagi, tinggal gagangnya saja sedangkan tubuhnya terpental mundur, akan tetapi dia telah dapat memberi kesempatan kepada isterinya melolos sabuk suteranya. Gagang pedang itu dia lontarkan ke arah muka Cui Im yang dapat dielakkan dengan mudah.
Biauw Eng menerima sabuk sutera merah muda dan kini dia meloncat maju, didahului sinar merah muda yang panjang dari sabuk di tangannya. Yan Cu telah mengikat pinggangnya dengan robekan baju luarnya sendiri yang ia sambar dari dipan, kemudian ia memungut sebatang pedang. Cong San juga sudah mengambil sebatang pedang dari lantai.
"Jangan serang! Lindungi saja aku!" Biauw Eng berteriak kepada kedua orang itu. Yan Cu dan Cong San membatalkan gerakan mereka, dan kini mereka mengikuti gerakan Biauw Eng dari kanan kiri, siap menjaga dan melindungi kalau-kalau Biauw Eng terancam oleh sepasang pedang Cui Im yang amat berbahaya itu.
Dengan senjata yang jauh lebih cocok ini, biarpun tidak selemas sabuknya sendiri yang memang dibuat khusus untuk senjata, kini Biauw Eng seolah-olah merupakan seekor harimau yang diberi sayap! Tentu saja, biarpun selama ini dia telah digembleng oleh suaminya sendiri, dia masih belum dapat menandingi tingkat Cui Im yang selama ini juga memperdalam ilmunya di bawah asuhan Go-bi Thai-houw, namun dengan senjata sabuk ini Biauw Eng dapat melakukan perlawanan gigih, dapat pula membalas dengan totokan-totokan ujung sabuknya yang cukup berbahaya bagi Cui Im.
"Biauw Eng, sekali ini kau akan mampus di tanganku!" Cui Im membentak dan sepasang pedangnya bergerak cepat sekali sehingga tubuhnya lenyap terbungkus dua gulung sinar hijau dan merah. Biauw Eng juga menggerakkan sabuknya. Wanita ini maklum bahwa kalau suaminya tidak cepat menerima kembali Siang-bhok-kiam, keadaan mereka berempat akan berbahaya sekali. Tidak saja Cui Im dan Go-bi Thai-houw merupakan dua orang lawan yang amat berbahaya, juga ia melihat bahwa kini semua pasukan pengawal telah mengurung tempat itu. Tentu kepala daerah marah sekali menyaksikan kematian puteranya, Coa Kun, dan mantunya, Mo-kiam Siauw-ong dan akan menangkap atau membunuh empat orang itu.
Dengan gerakan pergelangan tangannya yang terlatih, tiba-tiba sinar merah muda bergulung-gulung membentuk lingkaran lebar dan tahu-tahu ujung sabuknya yang menangkis sinar hijau Siang-bhok-kiam berhasil membelit pergelangan tangan dan pedang! Biauw Eng mengerahkan seluruh tenaganya.
"Haiiiiittttt!!" Teriakannya melengking nyaring dan ia tidak mempedulikan sinar merah menyambar ke arahnya karena seluruh tenaga dan perhatiannya dipusatkan untuk merampas Siang-bhok-kiam!
"Cring-cring........ krekk-krekkk!!" Dua batang pedang Yan Cu dan Cong San yang menangkis sinar merah itu patah semua, dan sinar merah masih membabat ke depan.
Biauw Eng menjerit, leher dan pundaknya kena serempet sinar merah dan berdarah, juga Yan Cu dan Cong San terhuyung ke belakang, lengan kanan mereka berdarah, akan tetapi Biauw Eng berhasil merampas Siang-bhok-kiam dengan ujung sabuknya.
"Hong-ko, terimalah Sing-bhok-kiam!" Biauw Eng berseru dan pedang di ujung sabuknya itu meluncur ke arah Keng Hong. Pendekar sakti ini gembira akan tetapi juga terkejut, menyaksikan isterinya terhuyung dan terluka. Ia cepat menyambar pedangnya dan memutar pedang untuk menghalau desakan Go-bi Thai-houw sambil menoleh ke arah istrinya dan dua orang kawannya.
Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San cepat berloncatan ke belakang karena mereka telah menderita luka-luka. Biarpun tidak terlalu berat, namun banyak darah keluar dan terasa perih. Yan Cu dan Cong San sudah menyambar senjata dari lantai dan siap menghadapi terjangan Cui Im yang marah sekali. Biauw Eng sudah siap pula dengan sabuknya.
Akan tetapi Cui Im yang melihat betapa Keng Hong telah mendapatkan kembali Siang-bhok-kiam, menjadi marah dan khawatir. Tiga orang itu tidaklah terlalu berbahaya. Kalau Keng Hong dapat dirobohkan, tidak akan sukar baginya merobohkan tiga orang itu. Maka dengan kemarahan meluap ia melompat ke arah Keng Hong yang kini menghadapi Go-bi Thai-houw dengan Siang-bhok-kiam di tangannya.
Begitu dia mainkan Siang-bhok-kiam, Go-bi Thai-houw terkejut bukan main. Hebat sekali sinar pedang itu dan mengeluarkan hawa mujijat di tangan Keng Hong. Dia menggerakan sepasang kebutannya, menyerang bagian atas dan bawah tubuh Keng Hong.
"Cring-cringgg........!" Tangkisan Siang-bhok-kiam mengenai gagang kebutan dari baja, dan tampaklah banyak bulu-bulu kebutan merah dan biru membodol, beterbangan seperti kelopak-kelopak bunga tertiup angin.
"Trangggg.........!!" Sinar pedang di tangan Cui Im yang datang menusuk, di terima oleh Siang-bhok-kiam dan kedua pedang itu saling melekat karena dialiri tenaga sinkang mereka.
"Mampuslah!" Cui Im menggunakan tangan kirinya menampar ke arah dada Keng Hong, sedangkan pada saat itu, kebutan merah Go-bi Thai-houw yang tinggal separuh bulunya itu menotok ke arah mata Keng Hong!
Keng Hong menggerakan tangan kiri, menyambar kebutan merah, mencengkeram bulunya, membetot dan langsung melontarkan bulu-bulu yang tercabut itu ke arah muka Go-bi Thai-houw, sedangkan dorongan telapak tangan Cui Im ke dadanya dia terima begitu saja.
"Aihhhhhh........!!" Go-bi Thai-houw memekik dan terjengkang ke belakang, mukanya, mata dan hidungnya tertusuk bulu-bulu kebutannya sendiri. Ia berkelojotan di atas lantai, berusaha bangun dan jatuh lagi.
"Ayaaaaa.........! Cui Im terkejut bukan main ketika tiba-tiba tangannya melekat pada dada Keng Hong dan merasa betapa sinkangnya membanjir keluar melalui tangannya ke dalam tubuh lawan.
"Celaka.........!" Cui Im mengeluh dan berdaya sekuatnya untuk menarik kembali tangannya, namun makin keras ia berusaha, makin banyak sinkangnya molos keluar.
Go-bi Thai-houw yang sudah sekarat karena bulu-bulu kebutan itu menusuk muka sampai ke dalam kepalanya, mendengar teriakan Cui Im tiba-tiba bangkit dan kebutan biru di tangannya menotok ke arah leher Keng Hong yang pada saat itu sedang mengerahkan tenaga mujijat untuk mengalahkan Cui Im
"Cukkk....... ahhhh........!" Keng Hong terhuyung dan otomatis tangan Cui Im terlepas. Cui Im meloncat ke belakang, terpaksa meninggalkan pedangnya yang masih menempel di pedang Siang-bhok-kiam. Secepat kilat otaknya mencari akal untuk menyelamatkan diri karena dia melihat betapa dengan gerakan tangan kanannya, pedang merah rampasan itu meluncur lepas dari Siang-bhok-kiam dan menusuk leher Go-bi Thai-houw sampai tembus. Nenek iblis itu roboh dan tak bergerak lagi, kepalanya tidak menyentuh tanah karena ujung pedang merah menancap di lantai, mengganjal kepalanya dengan leher tertembus! Cui Im tidak menyerang lagi, melainkan meloncat cepat ke sebelah dalam gedung.
"Anak kita........!!!" Biauw Eng menjerit. Dia cerdik dan maklum akan niat hati Cui Im, maka bagaikan seekor harimau terluka, ia lupa akan luka-luka di tubuhnya dan melesat ke depan, mengejar. Keng Hong yang masih setengah lumpuh ketika mendengar teriakan isterinya ini, juga cepat melesat dan mengejar Cui Im.
Cong San dan Yan Cu kini dikurung dan mengamuk dikeroyok banyak sekali pengawal. Pedang rampasan mereka bergerak dan membentuk dua gulungan sinar membuat setiap orang pengeroyok roboh jika terlalu dekat.
***
Biarpun dengan hati penuh kegelisahan akan keselamatan anak mereka, Biauw Eng dan Keng Hong melakukan pengejaran secepat mungkin, sukarlah bagi mereka untuk dapat menyusul Cui Im karena mereka kurang mengenal jalan. Cui Im menyelinap dari ruangan ke ruangan lain, keluar masuk lorong dan kamar sehingga kedua orang yang membayanginya itu selalu tertinggal di belakang.
"Cui Im, jangan ganggu anakku!" Biauw Eng menjerit.
"Cui Im, demi Tuhan, bebaskan anak kami dan aku akan mengampunimu lagi!" Keng Hong juga berteriak. Setelah kini mereka semua bebas, tentu saja Keng Hong tidak menghendaki anaknya menjadi korban sendiri.
"Hi-hi-hik, biar aku mati, hatiku akan puas kalau sudah menyembelih anak kalian!" Cui Im tertawa sambil terus berlari.
"Ha-ha-heh-heh-heh, kalian terlambat!" Cui Im melompat masuk ke dalam sebuah kamar. Ketika Biauw Eng dan Keng Hong yang pucat mukanya itu menerjang masuk, kamar itu kosong dan Cui Im lenyap!
Cepat kejar dia......... ohhh........!" Biauw Eng terisak dan mereka menerobos masuk melalui pintu belakang kamar itu yang ternyata menembus ke sebuah ruangan lain.
Tiba-tiba Keng Hong memegang tangan Biauw Eng dan memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Mereka berdiri di depan pintu sebuah kamar dan mendengar suara Cui Im dan dalam kamar itu menembus keluar.
"Di mana dia? Di mana.........?"
Terdengar jawaban seorang wanita dengan usuar gemetar, "Ampun, Toanio...... hwesio tua itu....... tadi merampasnya dan membawanya pergi............"
"Apa........?!?" Dan aku membiarkan anak itu dibawa pergi?"
"Ampunkan hamba....... hamba........... tidak tahu bagaimana, tahu-tahu anak itu melayang dari pondongan hamba dan........"
Terdengar jerit mengerikan dan Keng Hong bersama Biauw Eng sudah menerjang pintu kamar itu sehingga roboh. Mereka melihat Cui Im berdiri membalikkan tubuh memandang mereka dan di situ menggeletak tubuh wanita pelayan dengan kepala pecah! Hati Keng Hong dan Biauw Eng lega bukan main. Meraka tahu bahwa tentu Tiong Pek Hosiang yang telah membawa pergi anak mereka!
"Cui Im, iblis betina, engkau hendak lari ke mana sekarang?" Biauw Eng membentak dan sabuk sutera merah muda di tangannya bergerak melayang ke atas lalu meluncur ke arah kepala Cui Im.
"Kalian ampunkan aku......." tiba-tiba Cui Im menangis, "aku.......... aku melakukan semua itu karena aku........ aku cinta kepadamu, Keng Hong.........!" Ucapan ini membuat Biauw Eng menjadi makin marah. Sabuknya menyambar turun dan ketika Cui Im mengangkat kedua tangannya menangkap ujung sabuk sutera, Keng Hong maklum bahwa bahaya besar mengancam isterinya. Ia cepat melontarkan Siang-bhok-kiam ke arah Cui Im dengan gerakan yang amat cepat. Pada saat itu, ujung sabuk sutera telah membelit kedua tangan Cui Im yang terangkat ke atas dan melesatnya Siang-bhok-kiam tak dapat dielakkan lagi oleh Cui Im yang tenaga sinkangnya sudah banyak berkurang , akibat terkena ilmu Thi-khi-i-beng dari Keng Hong tadi.
"Cappppp...........!!!" Pedang Siang-bhok-kiam tepat menusuk ulu hati Cui Im, menembus ke belakang dan tenaga lontaran itu membuat tubuh Cui Im terlempar ke belakang sampai ujung pedang menancap di tembok kamar di mana tubuh itu terpaku!
Keng Hong berdiri terbelalak, mukanya pucat sekali memandang ke arah Cui Im. wanita itu memandang kepada Keng Hong dan darah menetes dari dada dan mulutnya, akan tetapi ia masih sempat berkata,
"Aku....... aku cinta padamu, Keng Hong.........!" Kepalanya terkulai dan nyawanya melayang.
Biauw Eng melirik ke arah suaminya, melihat dua titik air mata menetes turun ke pipi suaminya, ia menggerakkan sabuk yang terlepas dari kedua tangan Cui Im, ujung sabuk menyambar ke depan, melibat gagang Siang-bhok-kiam kemudian mencabutnya. Siang-bhok-kiam dibawa melayang ke depan Keng Hong yang menerima dengan mata masih terus menatap tubuh Cui Im yang kini roboh terguling dan terlentang di atas lantai.
"Mari kita membantu Yan Cu!" Biauw Eng berkata agak ketus dan barulah Keng Hong sadar, memandang isterinya. Ia melihat sinar mata berkilat dari isterinya, maka dia cepat berkata,
"Maafkan aku, isteriku. Aku hanya teringat dia sebagai bekas sumoiku, pewaris kepandaian suhu........"
Keduanya lalu melompat keluar dan menyerbu ke dalam ruangan di mana Yan Cu dan Cong San masih mengamuk. "Kita keluar dari sini! Cepat!!" Keng Hong berkata dan membuka jalan darah dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangannya. Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengikutinya dan sepak-terjang mereka yang hebat itu membuat para pengeroyok cerai-berai dan jerih. Tak lama kemudian, empat orang itu sudah lari ke luar dari kota, dikejar pasukan pengawal yang dipimpin oleh Coa-taijin sendiri.
Akan tetapi, setibanya di luar tembok kota, tampak datang sebuah pasukan dari selatan.Coa-taijin terkejut ketika mengenal pembesar atasannya, maka cepat dia menyambut. Kiranya pasukan itu adalah pasukan seorang panglima dari kota raja yang datang untuk mengadili Coa-taijin karena menerima laporan Tiong Pek Hosiang bahwa kepala daerah Sun-ke-bun telah bersekutu dengan para bajak sungai, Coa-taijin menjadi tawanan dan dibawa ke kota raja dalam sebuah gerobak kerangkeng dan di sepanjang jalan disambut dan disoraki rakyat yang sudah lama tertindas pembesar lalim itu.
Mereka berempat berhenti berlari di sebuah hutan yang sunyi, terengah-engah dan saling pandang. Keng Hong memandang Cong San yang berdiri seperti patung dan menundukkan kepala, lalu pendekar ini menarik napas panjang, menghampiri isterinya dan tanpa bicara dia lalu menaruh obat di luka isterinya, membalutnya dengan robekan jubahnya.
Sejenak Yan Cu berdiri mengatur napas yang memburu, memandang suaminya, kemudian ia melangkah maju mendekat suaminya, tanpa mempedulikan luka-lukanya sendiri, mengeluarkan bubuk obat dari ikat pinggangnya dan hendak mengobati luka di pundak suaminya. Akan tetapi baru saja tangannya menyentuh pundak, Cong San mengangkat muka memandang, mukanya pucat, kedua matanya mencucurkan air mata dan dia melompat ke belakang.
"Jangan sentuh aku.........!!"
Yan Cu terkejut dan berdiri memandang terbelalak. Keng Hong dan Biauw Eng menoleh dan memandang dengan alis berkerut, kemudian Keng Hong membentak dengan marah,
"Cong San! Apakah engkau masih tetap gila??"
Dengan muka menunduk Cong San menjawab, suaranya terisak menangis, "Memang aku gila dan masih gila, aku tidak layak........ tidak layak.......!" ia tersedu.
Yan Cu melangkah maju, kedua pipinya basah air matanya yang mengalir turun.
"Engkau suamiku........, aku tidak sakit hati akan semua yang telah terjadi. Mari kuobati lukamu, Koko......."
Kembali Cong San melompat ke belakang. "Jangan.......! Jangan.........kausentuh aku........ aku.......... aku tidak tahan lagi......... aku terlalu kotor........ tak layak kau sentuh.......... kau terlalu suci dan aku......... tanganmu akan menambah penderitaan batinku. Aku......... aku manusia laknat, anjing pun terlalu bersih untuk mendekatiku........"
"Koko......... engkau suamiku..........!" Yan Cu menangis dan akan menubruk, akan tetapi Cong San mengelak dan melompat mundur.
"Jangan.........! Demi Tuhan.......... jangan sentuh aku atau engkau pun akan menjadi kotor. Aku......... dosaku tak mungkin dapat diampuni oleh siapapun......!" Cong San menangis tersedu-sedu seperti anak kecil dan dia menjambak-jambak rambutnya. Keng Hong hendak meloncat, akan tetapi ditahan oleh Biauw Eng yang memberi isyarat dengan mata agar suaminya diam saja dan tidak mencampuri urusan itu.
"San-koko......... ingatlah. Aku Gui Yan Cu, telah bersumpah menjadi isterimu. Aku isterimu, sejak dahulu sampai selamanya........ aku cinta padamu dan aku tidak menaruh dendam atas segala kesalahfahaman......."
"Kesalahfahaman? Aihhh, kalau saja benar demikian. Tidak.....! Tidaaaaaak......!! Aku telah buta, gila oleh cemburu! Aku telah menghina, menyiksa hatimu. Aku telah menuduh secara keji......... aku......... aku tidak layak kausentuh......... tidak layak untuk hidup lagi........!"
Seperti orang gila, rambutnya awut-awutan, mukanya basah air mata, tiba-tiba Cong San mencabut pedang rampasannya tadi.
***
"Suamiku.......! Jangan.......! Jangan lakukan itu........! Ingat anak kita........., Kun Liong..........!!" yan Cu menjerit daan meloncat ke depan hendak merampas pedang. Akan tetapi Cong San kembali meloncatmenjauhi dengan pedang telanjang di tangan, sikapnya tidak seperti orang waras lagi.
Jangan halangi aku! Jangan menambah dosa dan penderitaanku! Biarkan aku mati, aku tidak patut menjadi suamimu, tidak patut menjadi ayah Kun Liong, tidak patut menjadi sahabat Keng Hong! Tidak patut hidup lagi........., aku manusia iblis..........!"
Tiba-tiba Yan Cu mencabut pedang rampasannya pula. "Begitukah?? Kau nekat untuk memilih mati? Baiklah, suamiku. Aku sebagai isteri harus mentaati semua kehendakmu, dan sebagai isteri yang setia dan mencinta, aku harus mengikutimu ke manapun engkau pergi. Biarlah aku pergi dahulu untuk mencarikan jalan..........." Setelah berkata demikian, Yan Cu menggerakkan pedangnya, membacok ke arah lehernya sendiri!
"Trangg!!!" Pedang di tangan Yan Cu terlepas dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut, menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis. Cong San yang menangkis pedang isterinya sekuat tenaga berdiri seperti patung, pucat sekali mukanya, kemudian dia meloncat ke belakang dengan berkata, suaranya gemetar penuh penyesalan, "Yan Cu, menyebut namamu saja sudah tidak layak bagiku. Jangan kau bersikap seperti ini, karena hal itu menambah perihnya hatiku, menambah besarnya dosaku. Dosaku bertumpuk-tumpuk terhadap dirimu yang suci, dan percayalah, aku tidak ingin melihat engkau menderita lagi hanya karena aku, seorang manusia yang tidak berharga sama sekali. Aku harus mati, dan hanya jalan ini saja yang akan membebaskanmu daripada ikatan seorang suami yang tidak berharga sama sekali. Selamat tinggal!"
"Suamiku.........!!!" Yan Cu menjerit, namun Cong San sudah menusukan pedang ke arah dadanya sendiri.
"Trakkk!" Pedang Cong San patah dan terpental, bahkan dia sendiri terhuyung. Demikian hebat tangkisan Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, saking marahnya pendekar ini.
"Keng Hong, mengapa........ mengapa.........?" Cong San menegur, penuh keheranan melihat orang yang telah dikhianatinya, yang telah difitnahnya, telah diserang, dimaki dan dihinanya, bahkan hampir dibunuhnya itu menghalangi dia membunuh diri.
"Pengecut laknat!!" Keng Hong menyarungkan pedangnya dan membentak marah. "Setelah melakukan hal yang memalukan dan gila, kini engkau takut menghadapi akibatnya, takut menghadapi penyesalah sehingga ingin melarikan diri dengan kematian yang pengecut dan menjijikan. Beginikah seorang laki-laki? Kau patut dihajar!"
"Plakkkk!" Tamparan Keng Hong mengenai pipi Cong San, membuat dia terpelanting roboh. Cong San terkejut sekali dan ketika dia mencoba untuk bangkit, sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang lagi. Namun Cong San meloncat bangun dan tertawa.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Terima kasih, Keng Hong. Hajarlah aku! Bunuhlah aku untuk membalas kejahatanku terhadapmu, agar ringan hatiku, ha-ha-ha!"
"Laki-laki keparat dan pengecut! Mestinya engkau minta ampun kepada Yan Cu sumoi, mestinya engkau menebus dosa dengan membahagiakan dia, sebaliknya engkau malah hendak menghancurkan harapannya. Setan! Plak! Plak!" Dua tamparan membuat Cong San terguling lagi dan kedua pipinya sudah bengkak-bengkak membiru. Keng Hong mengejar dan terus menamparinya sampai tubuh Cong San terguling-guling dan terhuyung ke kanan kiri.
"Jangan serang suamiku!!" Tiba-tiba Yan Cu seperti seekor singa betina diganggu anaknya, meloncat dan mencengkeram pundak Keng Hong menarik tubuh Keng Hong ke belakang lalu menghantam dada Keng Hong penuh kemarahan.
"Bukkk!!"
Keng Hong terjengkang ke belakang!
"Yan Cu, jangan........!!" Cong San kaget sekali dan cepat menubruk isterinya yang masih hendak menyerang Keng Hong.
Keng Hong meloncat bangun. Itulah yang dikehendakinya dan kini dia berkata,
"Nah, buka matamu lebar-lebar, Yap Cong San! Isterimu demikian setia, demikian mencintamu sehingga rela dia melindungimu dan memukul suheng sendiri! Apakah untuk seorang isteri yang begini bijaksana, begini mencinta, engkau masih ingin menghancurkan harapan dan kebahagiaannya?"
Mengertilah kini Cong San mengapa Keng Hong tadi menghajarnya. Sama sekali bukan untuk membalas penghinaannya, melainkan untuk memancing kemarahan Yan Cu yang setia. Ia terisak, air matanya bercucuran, lalu memeluk Yan Cu dan berkata,
Isterinya, kau........ kau......... sudi mengampuni dosa-dosaku.........?"
"San-koko........! Suamiku.........! Yan Cu balas memeluk dan menangis terisak di dada suaminya.
Cong San menciumi isterinya, kemudian menarik isterinya maju berlutut. Ia menjatuhkan diri di depan Keng Hong sambil berkata terputus-putus, "Taihiap........ aku........ aku mohon ampun.......... ampunilah semua kesalahanku..........!"
Keng Hong mengejap-ngejapkan mata menahan air matanya, lalu mengangkat bangun kedua orang itu, lalu dirangkulnya. "Cong San, aku tidak pernah benci kepadamu karena aku tahu betapa jahatnya perasaan cemburu kalau sudah menguasai hati manusia. Dan jangan menyebut Taihiap segala........ kita masih sahabat seperti dahulu, bahkan keluarga........"
"Keng Hong.........!" Cong San merangkul pendekar sakti itu dan menangis seperti anak kecil. Yan Cu merangkul Biauw Eng yang menghampiri mereka dan kedua orang wanita ini pun bertangis-tangisan, tangis penuh rasa haru dan bahagia.
"Cong San, mintalah ampun kepada isterimu." Keng Hong berbisik dekat telinga sahabatnya. Cong San merenggangkan diri, memandang wajah Keng Hong dan mengangguk, kemudian dia menghampiri Yan Cu yang masih berpelukan dengan Biauw Eng.
"Isteriku, Yan Cu........"
Dua orang wanita itu saling melepas rangkulan dan Biauw Eng segera meninggalkan Yan Cu menghampiri suaminya sambil menghapus air mata dengan sabuk merah muda milik Yan Cu yang tadi dipergunakan sebagai senjata.
Cong San dan Yan Cu saling berpandangan. Yan Cu menggerakan bibirnya yang menggigil dan mencoba tersenyum, akan tetapi air mata tetap menitik turun.
"Yan Cu, aku mohon ampun kepadamu......." Tiba-tiba Cong San yang teringat akan kata-kata Keng Hong ketika mereka tertawan, menubruk kaki isterinya dan menciumi ujung sepatu Yan Cu, mencuci sepatu yang kotor berlumpur itu dengan air mata dan bibirnya!
Yan Cu sejenak mengangkat muka ke atas, matanya terpejam, kedua lengan berdekapan seperti mengucap terima kasih kepada langit, akan tetapi tubuhnya bergerak-gerak terayun dan tentu roboh pingsan kalau saja Cong San tidak cepat meloncat dan memeluknya.
"Suamiku........ kau tertipu orang........."
"Tidak, kau harus mengampuni aku, isteriku, barulah tercuci penyesalan di hatiku........"
"San-ko, aku ampunkan engkau.......... suamiku..........."
"Terima kasih, terima kasih, isteriku........."
Setelah keharuan mereka mereda dan saling menghujankan peluk cium pelepas rindu dendam yang selama ini menjadi jurang pemisah oleh cemburu, mereka saling mengobati luka masing-masing dengan muka masih basah melepas isak yang menyesak dada.
"Omitohud, di mana-mana manusia menangis........" Meraka berempat memandang dan kiranya yang mengucapkan kata-kata itu adalah seorang hwesio tua tinggi besar berkulit hitam, bermata lebar dan memondong seorang anak laki-laki. Di sebelah kanannya terdapat seorang hwesio tua lain, yang juga memondong seorang anak perempuan. Kedua anak itu tadinya tertidur, akan tetapi kini mereka terbangun dan seperti dikomando, keduanya menangis!
"Kun Liong.........!" Yan Cu cepat lari dan menerima puteranya dari pondongan Thian Kek Hwesio. yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai
"Giok Keng........!" Biauw Eng juga lari menerima puterinya dari pondongan Thian Lee Hwesio. Kedua orang ibu muda itu lalu menyusui anak masing-masing yang segera terdiam dan menyusu dengan lahapnya.
"Omitohud........! Di antara semua tangis, hanya tangis kedua orang anak ini, seperti tangis semua anak-anak lain di dunia, yang murni dan suci! Mereka menangis dengan wajar, tidak sedikit pun dicampuri perasaan hati dan pikiran. Betapa beningnya dan merdu tangis mereka, betapa bedanya dengan tangis orang-orang tua yang pinceng dengar. Kalian menangis karena penyesalan, terharu dan bahagia."
"Suheng........" Cong San menjatuhkan diri berlutut. "Di mana suhu.........?"
"Yap-sicu, harap ingat bahwa Sicu bukanlah murid Siauw-lim-pai. Suhumu menitipkan anak-anak inikepada pinceng dan karena pinceng tidak menghendaki Siauw-lim-pai terbawa-bawa oleh urusan orang luar, terpaksa pinceng menyusulkan mereka ke sini. Suhumu juga menangis sedih ketika pinceng pergi. Ahhh, dunia penuh dengan tangis-tangis manusia!"
Cong San terkejut sekali. "Suhu.......... menangis............?"
Thian Kek Hwesio menarik napas panjang, mengangguk. "yap, dia menangis karena terpaksa membantu kalian melakukan pembunuhan-pembunuhan. Tiada pilihan lain baginya, tidak menolong berarti kalian terbunuh, menolong berarti kalian membunuh. Sungguh pilihan yang amat sulit bagi orang tua itu dan makin membuka mata batin bahwa dunia ini penuh dengan makhluk-makhluk paling buas yang selalu saling bermusuhan dan saling membunuh, yaitu manusia!"
"Akan tetapi, Locianpwe!" Biauw Eng membantah. "Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang yang jahat! Cui Im dan kaki tangannya adalah manusia-manusia iblis yang patut dibasmi!"
Sepasang mata yang lebar itu memandang tajam. "Pendirian seperti itulah yang menimbulkan segala permusuhan. Menentang! Kata-kata itu seharusnya lenyap dari batin setiap manusia, kalau manusia ingin hidup di dalam dunia yang aman dan damai. Sekali mengambil sikap menentang, berarti menanam permusuhan. Menentang yang jahat? Apakah yang jahat itu? Apakah yang baik itu? Bukankah yang mengatakan baik atau jahat itu sang aku yang mendasarkan pendapatnya dengan rugi untung? Kalau sang aku diuntungkan lahir maupun batinnya, maka baiklah bagi sang aku. Kalau dirugikan, maka jahatlah bagi sang aku. Wahai orang-orang muda, mulai saat ini belajarlah kalian, belajar mengenal diri pribadi. Kenalilah bahwa yang kalian sebut Aku itu bukanlah aku yang sejati, melainkan aku yang palsu, aku yang sebetulnya hanyalah kedok belaka daripada nafsu badani! Aku yang palsu, kedok nafsu badani selalu penuh gairah hendak menyenangkan dan memuaskan badan yang tak kunjung puas seperti sebuah gentong yang dasarnya berlubang, tak mungkin dapat terpenuhi dan selalu kosong dan haus. Semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan AKU yang sejati. Manusia menjadi hamba daripada nafsunya sendiri sehingga seperti buta oleh loba dan tamak, mementingkan sang aku. Aku jangan diganggu, manusia lain sedunia masa bodoh. Milikku jangan diganggu, milik manusia lain sedunia masa bodoh. Dan karena setiap orang manusia yang menjadi hamba dari sang aku palsu ini, maka timbullah pertentangan dan mengakibatkan permusuhan, benci-membenci, dendam-mendendam, tipu-menipu, sakit-menyakiti dan bunuh-membunuh. Karena itulah maka Tiong Pek Hosiang menangis dalam kamar samadhinya!" Kakek itu menengadah dan menarik napas panjang.
"Suheng........ eh, Locianpwe, setelah saya sadar, setelah saya mendapat pengampunan dari isteri saya, sudilah Locianpwe menjelaskan mengapa saya sampai dapat menjadi gila oleh cemburu, padahal saya amat mencinta isteri saya?" Cong San yang melihat hwesio itu hendak pergi, cpat menahannya dengan pertanyaan ini.
Hwesio itu memenamkan kedua matanya, seolah-olah hendak mohon penerangan dari alam, kemudian terdengar dia berkata,
"Nafsu badani yang berkedok AKU amatlah berbahaya dan kuat! Semua sifat baik dapat dikotorinya dan dipalsukannya. Bahkan cinta kasih yang murni, sifat termulia di antara segala sifat, dapat pula dipalsukan dan dikotorkan! yap-sicu, pinceng percaya bahwa Sicu mencinta isterimu, dengan cinta kasih yang murni, namun Sicu terpedaya oleh sang aku. Yang menciptakan cemburu bukanlah cinta kasih yang murni, melainkan nafsu sayang diri yang berkedok sang aku itulah! Cinta kasih murni membuat orang ingin melihat yang dicintanya berbahagia, bukan? Apakah Sicu mempunyai keinginan di hati untuk melihat isteri Sicu bahagia hidupnya?" Cong San mengangguk. "Tentu saja, Locianpwe."
***
"Nah, itulah cinta kasih yang murni, bebas dari kepentingan sang aku! Andaikata terbukti bahwa isteri Sicu mencinta orang lain, andaikata isteri Sicu merasa berbahagia untuk hidup berdampingan dengan laki-laki lain, maka cinta kasih murni di hati tidak akan terluka, tentu Sicu, dengan dasar cinta kasih yang ingin melihat kebahagiaan isteri Sicu itu, akan mengalah dan membiarkan isteri Sicu berbahagia! Akan tetapi, Sicu menjadi cemburu. Mengapa? Karena cinta kasih Sicu telah dipalsu dan dikotori oleh sang aku palsu itulah! Maka timbullah kemarahan karena Sicu yang diganggu, Sicu yang dirugikan, isteri Sicu, milik Sicu, yang hendak direbut orang. Jadi, perasaan cemburu, sakit hati dan marah itu timbul bukan demi cinta kasih terhadap isteri Sicu, melainkan demi cinta diri, demi cinta yang berkedok sang aku. Mengertikah, Sicu?"
"Ohhhhh........! Betapa bodohnya aku...........! Dan betapa murni cinta kasih Yan Cu yang rela hendak mengorbankan nyawa demi kebahagiaanku, suaminya yang tidak berharga ini......." Cong San mengeluh dan merangkul isterinya yang masih menyusui puteranya.
"Cinta kasih murni tidak mengenal cacad, berharga atau tidak, pendeknya, cinta kasih murni tidak membuat penilaian!" kakek itu berkata lagi dengan mata setengah terpejam. "Lihatlah cinta kasih Tuhan kepada manusia dan segala mahluk. Sinar matahari diberikanNya kepada siapapun juga, baik pengemis maupun hartawan, pencuri maupun pendeta, dari semut sampai gajah, sinar matahari itu adalah curahan kasih suci yang bebas dari penilaian. Itulah cinta kasih murni! Lihatlah cinta kasih ibu terhadap anaknya, dari semua makhluk! Tiada penilaian apakah anaknya itu baik ataukah buruk, cinta kasih seorang ibu tetap takkan berubah! Itulah cinta kasih murni manusia, Aaahhh, pinceng telah terlalu banyak bicara, pinceng telah melaksanakan pesan Tiong Pek Hosiang mengembalikan anak-anak kalian. Selamat tinggal dan semoga kalian memperoleh kesadaran." Kakek itu bersama Thian Lee Hwesio meninggalkan hutan, berjalan dengan langkah lebar tanpa menoleh ke kanan kiri.
Keng Hong dan Biauw Eng saling pandang, demikian pula Cong San dan Yan Cu. Biarpun kata-kata Thian Kek Hwesio itu hanya sederhana saja, namun mereka merasa terpesona dan terbuka mata batin mereka, merasa ngeri kalau mengingat kembali perbuatan mereka yang sudah lalu.
"Semoga anak-anak kita akan menjadi manusia-manusia yang lebih sadar daripada kita," Keng Hong berbisik.
"Semoga demikian.........." Cong San menyambung.
"Dan semoga seluruh manusia di dunia ini, bersama-sama saya, akan suka belajar mengenal diri sendiri, sedikit demi sedikit menggosok bersih debu-debu nafsu yang mengeruhkan dan menjadi penghalang dari SINAR API yang berada dalam diri sendiri manusia, sehingga sinar itu akan menyorot keluar dan menerangi dunia, mendatangkan suasana DAMAI penuh KASIH dalam penghidupan manusia," demikian berkata pengarang sebagai penutup cerita "Pedang Kayu Harum" ini.
TAMAT
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum Tamat, cersil terbaru Cerita Silat Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum Tamat, Cerita Dewasa Cerita Silat Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum Tamat, cerita mandarin Cerita Silat Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum Tamat,Cerita Dewasa terbaru Cerita Silat Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum Tamat,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum Tamat
{ 4 komentar... read them below or add one }
uwah,,,panjanggnya,tapi menikmati,,,hehehe,,,keren,,,,,
wduuuhh panjang benerr dah dan belum kelar juga bacanya . . ananti saya mampir lagi dah . . .
ceritanya seru nih gan. tks
kerennn. smoga ada komik indonesia lg
Posting Komentar