Renjana Pendekar 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 12 September 2011

Selang tak lama, terdengar dibalik pintu ada suara orang bertanya: "Dimana si pengantar
surat ?”.
Pwe-giok tahu pertanyaan orang itu berlebihan, sebab jelas-jelas diketahuinya pengantar surat
berada diluar, untuk apa mesti bertanya lagi. Segera ia membetulkan bajunya dan menjawab:"
Di sini!"
Tanya jawab ini sebenarnya memang tidak perlu, tapi kalau tiada permainan begini, rasanya
sandiwara ini menjadi kurang menarik.
Akan tetapi setelah bertanya-jawab, dari dalam tetap tiada orang muncul. Pwe-giok menunggu
lagi sejenak, sekalipun ia cukup sabar, tidak urung ia tidak tahan dan mengulangi lagi
jawabnya: "Di sinilah pengantar suratnya...." dua kali dia mengulangi ucapannya itu, suaranya
juga tambah keras, tapi di balik pintu tetap sunyi senyap tanpa reaksi apa-apa.
457
Ia menunggu lagi sebentar, tiba-tiba ia berseru dengan tertawa: "Jelas-jelas anda tahu
kedatangan pengantar surat, mengapa tinggal diam dan tidak menggubrisnya? Apakah anda
tidak suka menerima surat ini? Sungguh cayhe tidak paham apa maksud anda?"
Namun di balik pintu tetap tiada suara jawaban.
Pelahan Pwe-giok berkata lagi: "Namun Cayhe sudah menerima tugas dan harus
melaksanakan kewajiban. Kalau surat sudah ku antar kemari, betapapun harus kuserahkan
kepada yang wajib terima". Sembari bicara ia terus mendorong pintu dan melangkah ke
dalam.
Halaman dalam kelihatan guram, suasana juga hening, bahkan kedua orang yang
membawanya kemari tadi juga sudah menghilang entah ke mana.
Tanpa melirik ke kanan maupun ke kiri, Pwe-giok langsung menuju ke ruangan tengah sana
dengan melintasi halaman itu.
Di ruangan pendopo biara itu tampak asap dupa bergulung-gulung, patung Thay-siang-lo-kun
di altar kelihatan khidmat, sebuah Hiolo (tungku dupa) terbuat dari perunggu yang biasanya
terletak di tengah-tengah pendopo kini sudah disingkirkan ke pinggir.
Hiolo itu tingginya melebihi manusia, tampaknya biarpun bertenaga raksasa juga sukar
memindahkannya kecuali kalau belasan orang bertenaga kuat menggesernya bersama. Tapi
Hiolo itu cuma berkaki tiga, bagian lain boleh dikatakan licin sekali dan sukar dipegang,
biarpun belasan orang hendak mengangkatnya sekaligus rasanya juga sulit.
Sungguh Pwe-giok tidak paham siapakah yang memindahkan Hiolo raksasa itu dan cara
bagaimana menggesernya?
Terlihat setelah Hiolo itu dipindahkan, di ruang pendopo itu kini sudah dipasang 12 kursi
besar dari kayu merah. Namun ke 12 kursi itu belum satupun diduduki orang.
Sampai di sini Pwe-giok tidak melangkah lebih maju lagi. Sekarang iapun paham duduknya
perkara. Pikirnya: "Rupanya merekapun tahu orang sakit itu juga akan menggunakan alasan
mengirim surat balasan dan sekaligus mencari tahu kekuatan mereka, sebab itulah mereka
sama menyingkir dan tiada seorangpun mau memperkenalkan diri. Tapi orang se Ji dan Lim
Soh-Koan dan lain-lain kan tidak perlu lagi menyembunyikan jejak mereka, yang tidak ingin
memperlihatkan wajah aslinya mungkin adalah tokoh andalan mereka yang lihai itu."
Lalu siapakah tokoh andalan mereka itu? Mengapa mesti bertindak misterius begini? Apakah
mungkin dia kuatir kedatangannya diketahui oleh si sakit? Bisa jadi si sakit akan kabur
bilamana mengetahui kedatangannya?
Timbul juga rasa ingin tahu Pwe-giok, ia mengerling sekeliling ruangan itu, mendadak ia
menjura terhadap kursi besar dibagian tengah yang kosong itu dan berkata: "Cayhe Ji Pwegiok
sengaja berkunjung kemari untuk menemui Bengcu."
Dia menjura dengan sikap yang sangat hormat, sama seperti saat itu Ji Hong-ho benar-benar
berduduk dikursi itu. Dalam keadaan demikian, bilamana Ji Hong-ho tidak mau kehilangan
pamornya sebagai seorang Bengcu, maka mau-tak-mau dia harus memperlihatkan dirinya.
458
Selang sejenak, benarlah terdengar suara Ji Hong-ho berkumandang dari belakang sana,
katanya dengan tertawa:" Sungguh tidak pernah kuduga si pengantar suratnya ialah Ji-kongcu,
maaf jika tiada penyambutan yang layak."
Ramah juga nada ucapannya, tapi belum lama lagi lenyap suaranya, sekonyong-konyong
seorang berteriak disamping:" Jadi kau inilah pengantar surat Hong Sam?"
Baru sekarang Pwe-giok tahu orang sakit itu bernama Hong Sam, didengarnya orang itu
bicara dengan keras dan cepat, jelas orang yang berbicara ini berwatak keras dan pemberang.
Pada umumnya orang yang berwatak keras dan pemberang tentu sukar melatih Kungfu
dengan baik, tapi tenaga dalam orang itu justru begini kuat, setiap katanya bergetar seperti
bunyi genta sehingga anak telinga pendengarnya terasa sakit.
Tanpa melihat orangnya saja Pwe-giok tahu tinggi ilmu silat orang ini benar-benar belum
pernah dilihatnya selama hidup ini.Jelas memang lebih tinggi setingkat dibandingkan para
ketua dari ke-13 perguruan terkemuka jaman ini.
Selagi Pwe-giok tercengang, agaknya orang itu tidak sabar menunggu lagi, dengan gusar ia
menegur pula: "Kutanya padamu, mengapa tidak lekas kau jawab?"
Maka Pwe-giok lantas berkata: "Betul Cayhe memang mengantar surat bagi Honglocianpwe..."
"Kau pernah apanya Hong Sam?" tanya pula orang itu dengan suara bengis.
"Cayhe dan Hong-cianpwe bukan sanak bukan kadang, hanya .... "
"Bukan sanak bukan kadang?" orang itu memotong dengan gusar. "Lalu untuk apa kau
menjadi pengantar suratnya? Apakah kau makan kenyang dan terlalu iseng?"
Setiap kali ucapannya belum habis lantas dipotong oleh orang itu, diam-diam Pwe-giok
mendongkol dan juga geli, pikirnya: "Watak orang ini begini keras, jelas pula seorang
pemberang, entah cara bagaimana dia berhasil meyakinkan Kungfu setinggi ini?"
Walaupun dalam hati merasa heran, tapi dimulut iapun tidak berani ayal, jawabnya: "Tugas
mengantar surat adalah pekerjaan yang mudah, tidak merugikan diri sendiri, tapi berguna bagi
orang lain, mengapa tidak kulakukan?"
"Hm," orang itu mendengus. "Di mana suratnya?"
"Surat Hong-locianpwe yang ku antar ini adalah surat lisan," jawab Pwe-giok.
"Surat lisan?" Orang itu menegas. "Apakah untuk memegang pensil saja dia tidak punya
tenaga lagi?"
Berkata sampai di sini mendadak ia tertawa terbahak-bahak, begitu keras dan nyaring suara
tertawanya sungguh-sungguh sangat mengejutkan, seluruh ruangan pendopo itu seolah-olah
bergetar oleh gema suara tertawanya.
459
Pwe-giok tambah terkejut juga. Ia tunggu setelah suara tertawa orang mereda barulah ia
menjawab dengan suara tegas: "Hong-locianpwe menyuruh Cayhe menyampaikan kepada
Anda sekalian bahwa tengah malam nanti beliau siap menanti kunjungan kalian, diharap
kalian datang tepat pada waktunya.."
"Dia berharap kami datang tepat pada waktunya, memangnya dia mengira aku tidak berani
pergi kesana?" kata orang itu dengan gusar.
"Maksud Hong-locianpwe hanya ......" "Darimana kau tahu maksudnya?" sela orang itu
dengan meraung gusar. "Kau ini kutu macam apa? Selesai mengantar surat, tidak lekas enyah
dari sini, apakah kau minta ku gencet pecah kepalamu?"
Pwe-giok tersenyum tak acuh, jawabnya "Jika demikian, baiklah Cayhe mohon diri."
Sedikitpun pihak lawan tidak mempersulit dia, seharusnya dia bersyukur dan merasa senang
tapi dalam hati Pwe-giok sekarang justru merasa tertekan. sebab kedatangannya ini meski
hanya mengantar surat, sesungguhnya masih ada dua maksud tujuan lain, satu diantaranya
adalah demi kepentingan si sakit dan tujuan lainnya adalah demi kepentingannya sendiri.
Tujuannya bukan saja ingin menyelidiki kekuatan musuh bagi si sakit, Pwe-giok juga ingin
menemui Ang-lian-hoa untuk menjelaskan seluk-beluk apa yang terjadi ini. Betapapun ia
tidak ingin Ang-lian-hoa ikut campur urusan yang ruwet ini.
Tapi sekarang tujuannya mencari tahu kekuatan lawan tidak berhasil, Ang-lian-hoa juga tidak
ditemuinya, malahan gelagatnya dia harus segera meninggalkan tempat ini, jadi kunjungannya
ini boleh dikatakan sia-sia belaka.
Halaman yang suram itu penuh berserakan daun kering yang belum tersapu, suasana hening.
Pwe-giok telah meninggalkan pendopo dan menyusuri halaman itu, selagi dia merasa gegetun
pada perjalanannya ini, tiba-tiba terdengar suara "sret" yang perlahan, sinar pedang
menyambar tiba secepat kilat, tulang rusuk belakang yang terarah.
Begitu cepat serangan ini sehingga sukar untuk menghindar bagi sasarannya.
Meski perasaan Pwe-giok sedang tertekan, namun dia tidak pernah melupakan
kewaspadaannya, dengan tidak kalah cepatnya ia berputar dan kedua tangannya masingmasing
menggores satu lingkaran.
Itulah jurus ajaib ajaran si orang sakit tadi, sekarang dikeluarkannya secara mendadak, entah
betapa hebat daya serangannya, yang jelas segera terdengar suara "pletak", pedang musuh
yang menusuk ke tengah lingkaran yang digarisnya itu mendadak patah menjadi dua. Padahal
tangan Pwe-giok tidak pernah menyentuh pedang lawan, hanya tenaga dalamnya saja sudah
cukup mematahkan pedang baja musuh. Daya serangannya ini sungguh mengejutkan, sampai
Pwe-giok sendiripun terkesiap.
Waktu Pwe-giok berpaling, dilihatnya di bawah pohon berdiri seorang dengan memegang
pedang buntung, agaknya orang inipun terkejut oleh pedangnya yang patah mendadak itu.
Orang ini bertubuh jangkung dan bergaya, kiranya Lim Soh-koan adanya.
460
Setelah tahu siapa penyerangnya, hati Pwe-giok jadi paham duduk perkaranya. Nyata orang
ini masih tetap menaruh curiga padanya dan sekarang sengaja hendak mencoba dan
memancing gaya Kungfunya untuk mengetahui asal-usulnya.
Maklumlah, bilamana seorang mendadak diserang, secara naluri tentu akan dipergunakannya
Kungfu aslinya untuk menjaga diri. Hal ini dilakukannya secara otomatis, jadi tidak mungkin
pura-pura, andaikan pura-pura juga tidak sempat lagi.
Tak tahunya, Pwe-giok baru saja mendapat ajaran Kungfu yang maha hebat dan setiap saat
selalu diulang-ulang ingat dalam hati. Kini mendadak mengalami serangan, tanpa terasa
Kungfu baru ini lantas digunakannya. hal inipun dilakukannya secara naluri, sedikitpun tidak
berpura-pura.
Keruan Lim soh-koan tercengang dan berdiri seperti patung dengan wajah sebentar pucat
sebentar hijau, sampai lama sekali tidak sanggup bicara.
Jika orang lain tentu akan mengucapkan beberapa kata ejekan, tapi dasar Pwe-giok memang
pemuda berbudi, dia cuma tersenyum hambar saja dan berkata: "Cepat amat pedang anda."
Iapun tidak ingin menyaksikan sikap Lim Soh-koan yang serba susah itu, sambil bicara ia
terus memutar pergi lagi ke depan. tak terduga, pada saat itu juga seorang membentaknya:
"Berhenti!"
Begitu keras suara bentakan itu, daun kering sama rontok tergetar, telinga Pwe-giok pun
mendengung, pandangannya serasa kabur, tahu-tahu sesosok bayangan orang melayang tiba
seperti burung raksasa, cara melayangnya juga sedemikian cepat, belum lagi daun rontok
jatuh di tanah, orang itu sudah berada di depan Pwe-giok.
Dilihatnya orang ini bersinar mata tajam, muka berewok, rambutnya juga semrawut dan kaku
menegak.
Dari suara bentakannya yang keras serta wajah yang aneh ini, setiap orang tentu akan mengira
orang ini pasti tinggi besar dan gagah perkasa. tak tahunya orang ini ternyata seorang tua
kurus kecil, tingginya hanya sebatas dada Pwe-giok, memakai jubah pertapaan biru, ikat
pinggangnya terdiri dari seutas rami, pada tali pinggang itulah terselip sebilah pedang pendek.
namun sarung pedangnya penuh bertaburan batu permata yang bercahaya gemerlapan dan tak
ternilai harganya.
Melihat betapa garangnya orang ini, betapa hebat gerakan tubuhnya serta dandanannya yang
aneh, diam-diam Pwe-giok terkejut juga. tapi dengan tersenyum ia lantas menegur: "Cianpwe
ada pesan apakah?"
Tojin jubah biru pendek kecil itu membelalakkan matanya yang bersinar tajam, tanpa
berkedip ia pandang Pwe-giok, bentaknya kemudian: "Sesungguhnya ada hubungan apa
antara kau dengan Hong Sam?"
"Tadi kan sudah kukatakan, Cayhe dan Hong-locianpwe bukan sanak ..... "
461
"Kentut!" bentak Tojin jubah biru sebelum lanjut ucapan Pwe-giok. "Kalau kau tiada
hubungan sanak keluarga dengan Hong Sam, darimana kau dapat belajar jurus 'Heng-hun-pouh,
Hong-bu-kiu-thian' (awan berarak dan hujan mencurah, burung Hong menari di surga)
ini?"
Suaranya sungguh keras sebagai bunyi genta, setiap kali dia bicara, rasanya Pwe-giok pasti
berjingkat. siapapun tidak dapat membayangkan suara sekeras itu. Tidak ada yang tahu bahwa
Khikang (tenaga dalam) Tojin kerdil ini sudah terlatih sangat sempurna, waktu bicara biasa
saja selalu disertai tenaga dalam yang maha kuat sehingga setiap katanya tercetus seperti
bunyi genta.
Pwe-giok menghela napas, jawabnya kemudian: "Jurus ini baru saja diajarkan Honglocianpwe
kepadaku sesaat sebelum ku berangkat ke sini. terus terang, semula Cayhe
sendiripun tidak tahu apa nama jurus ini."
"Kentut, kentut busuk," Tojin kerdil itu meraung pula. "Jika Hong Sam mau sembarangan
mengajarkan jurus serangan andalannya ini kepada orang lain, maka dia bukan lagi Hong Sam
tapi kunyuk!"
Diam-diam Pwe-giok merasa geli melihat orang tua beribadat ini selalu mengucapkan katakata
kasar. Tapi bila melihat sikapnya yang marah benar-benar itu, mau-tak-mau ia menjadi
kuatir, cepat ia menjawab pula: "Soalnya hong-locianpwe kuatir ku bikin malu padanya,
makanya ......"
Tojin jubah biru itu semakin murka, teriaknya: "Baik, seumpama benar dia mau mengajarkan
jurus serangannya itu kepadamu, tapi dalam waktu sesingkat ini kaupun dapat menguasainya
sebagus ini, maka kau hakekatnya bukan manusia."
Rupanya Tojin kerdil ini suka mengukur orang lain atas dirinya sendiri. Dia sendiri bukan
orang yang berbakat, bukan orang yang berotak cerdas. Kungfunya yang sakti itu dilatihnya
secara mati-matian berdasarkan kegiatan dan ketekunan melulu, maka sama sekali ia tidak
percaya di dunia ini ada manusia cerdas yang diberitahu satu segera tahu tiga, diajar sekali
lantas paham seluruhnya.
Justeru lantaran pada waktu berlatih Kungfu dia lebih banyak mengalami pahit getir daripada
orang lain, maka Kungfunya berhasil dikuasai, wataknya lantas berubah menjadi berangasan
dan mudah marah, seringkali dia melampiaskan rasa gusarnya yang tak berdasar pada orang
lain.
Pwe-giaok tahu sukar baginya untuk menjelaskan, ia hanya menyengir dan berkata: "Jika
Cianpwe tidak percaya, apa yang dapat kukatakan lagi ......."
"Sudah tentu tak dapat kau katakan," tojin kerdil itu berjingkrak, "di depanku masa kau bisa
bermain gila? Tapi kalau ku tantang kau untuk bergebrak, tentunya kau akan bilang aku orang
tua menganiaya anak muda ...... " mendadak ia meraung lebih keras: "Ya, kau hendak bilang
aku orang tua menganiaya anak muda, begitu bukan?"
Pwe-giok jadi tertawa geli, jawabnya: "Kata-kata ini diucapkan oleh Cianpwe sendiri, mana
Cayhe pernah ......"
462
"Baik, anggap kau tidak bilang begitu, lalu apa yang kau tertawakan?" bentak Tojin kerdil itu.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas gegetun, pikirnya: "Orang kasar dan ingin menang
sendiri begini sungguh jarang ada." Karena bicaranya selalu dianggap salah, terpaksa dia
tutup mulut.
Siapa tahu tutup mulut juga dianggap salah oleh Tojin jubah biru itu, bentaknya pula:
"Mengapa kau tidak buka mulut? Apakah mendadak kau berubah bisu?"
Pwe-giok menyengir, jawabnya: "Jika Cianpwe tidak sudi bergebrak denganku, biarlah Cayhe
mohon diri saja."
Tapi Tojin kerdil itu lantas membentak: "Nanti dulu! Bila kau bukan murid Hong Sam, maka
akan kulepaskan kau pergi, tapi sekarang justeru ingin kulihat Kungfu lihay apalagi yang
diajarkan Hong Sam kepadamu?" Bicara sampai di sini, mendadak ia berpaling dan
membentak: "Murid orang lain sedang bergaya di sini, tapi dimana muridku? Apakah dia
sudah mampus?"
Belum lenyap suaranya, tertampaklah seorang berlari keluar dari pendopo, ia memberi hormat
kepada Tojin kerdil itu dan bertanya: "Suhu ada pesan apa?"
Semula Pwe-giok mengira murid tojin jubah biru ini pasti Dian Ce-hun adanya, siapa tahu
yang muncul ini adalah seorang tosu kecil yang berwajah cakap dan sopan santun, jubah
pertapaannya berwarna hijau dan sangat bersih, mukanya juga putih bersih bersemu kemerahmerahan,
sepintas pandang orang akan mengira dia adalah anak perempuan.
Dalam pada itu Tojin jubah biru sudah tidak sabar lagi, kembali ia meraung pula: "Aku ada
pesan apa? Masa kau perlu tanya lagi padaku? Apakah kau ini orang mampus dan tidak
tahu?"
Tosu cilik itu menjawab dengan mengiring tawa: "Apakah Suhu menghendaki Tecu menjajal
Ji-kongcu ini?"
"Kalau sudah tahu, kenapa kau tanya pula padaku?" teriak si Tojin kerdil dengan lebih keras.
Baru sekarang Pwe-giok tahu bahwa watak tojin jubah biru itu memang begitu aslinya, jadi
bukan cuma terhadap orang lain saja dia berteriak dan menghardik, terhadap muridnya sendiri
juga dia main bentak dan maki.
Dilihatnya si Tosu cilik sedang mendekatinya dengan tersenyum, dengan sopan ia memberi
hormat, katanya: "Tecu Sip-hun, ingin mohon petunjuk beberapa jurus kepadamu, mohon
Kongcu mengalah sedikit padaku."
Tosu cilik ini bukan saja sopan santun bicaranya dan cakap orangnya, mukanya juga selalu
dihiasi senyuman manis, wataknya ternyata sangat halus, sungguh berselisih 180 derajat
dibandingkan perangai gurunya.
Guru yang begitu dapat mempunyai murid begini, sungguh Pwe-giok merasa heran. Tapi
setelah dipikir lagi, apabila tiada murid yang berwatak sabar, mana bisa meladeni guru yang
pemberang begitu. Andaikan tidak diusir oleh Tojin jubah biru tidak sampai tiga hari juga
463
pasti akan kabur dengan sendirinya saking tidak tahan apalagi disuruh belajar silat dengan
sabar?
Perangai Pwe-giok sendiri juga halus dan sopan, orang lain bersikap ramah padanya, iapun
membalasnya dengan lebih ramah, maka ia lantas membalas hormat Tosu cilik itu dan
menjawab: "Ah, totiang terlalu rendah hati, sebenarnya Cayhe tidak berani bergebrak dengan
Totiang, hanya saja ....."
Mendadak si tojin jubah biru membentak: "Mau berkelahi hendaklah cepat mulai, pakai
cerewet apalagi?"
"Jika demikian, silahkan Totiang memberi petunjuk," ujar Pwe-giok dengan menyengir.
Sip-hun lantas memberi hormat dan berkata: "Kalau begitu, terpaksa Tecu berbuat kurang
hormat." Cara bertindaknya ternyata tidak bertele-tele, begitu bilang mulai, segera ia
memukul lebih dahulu.
Jurus serangannya ini sungguh luar biasa dahsyatnya, siapapun tidak menyangka orang
lembut dan ramah seperti dia bisa melancarkan pukulan seganas ini.
Pwe-giok tidak sempat memperlihatkan rasa terkejutnya, cepat ia berputar sehingga serangan
lawan dapat dielakkan, akan tetapi pukulan lawan berikutnya segera melanda tiba pula.
Guru yang keras tidak nanti melahirkan murid yang lemah, jika watak gurunya begitu keras,
anak didiknya dengan sendirinya juga suka pada kekerasan, ini terbuktilah dari pukulanpukulannya
yang dahsyat dan ganas.
Pwe-giok merasa tosu cilik yang sopan santun dan selalu tersenyum itu kini telah berubah
sama sekali. Yang dihadapinya sekarang seolah-olah seorang pengganas yang buas dan tidak
kenal sopan.
Dengan cepat belasan jurus telah berlalu, Pwe-giok terdesak hingga bernapas saja hampir
tidak sempat. Ada beberapa jurus mestinya dapat dipatahkannya dengan Kungfu
perguruannya sendiri, tapi kalau dia memperlihatkan Kungfu "Bu-kek-pay", bukankah asalusulnya
akan konangan.
Terpaksa ia menciptakan jurus sebisanya dan bergerak menurut keadaan, akan tetapi terbatas
oleh macam-macam kekuatiran, sebaliknya tekanan lawan sedemikian hebat, maka jurus
serangan yang dikeluarkannya tidak begitu leluasa.
Terdengar si Tojin jubah biru lagi meraung pula: "anak busuk, mengapa tidak kau keluarkan
Kungfu ajaran Hong sam, apakah kau takut rahasia Kungfunya diketahui olehku? ...... Keras
sedikit, keparat! Kemana kau semalam? Mengapa sekarang kelihatan lemas? ...... Bagus,
itulah Yong-hu-pwe-ci, Beng-hou-khay-san (si perkasa menyandang panah, harimau buas
keluar gunung) ...... Sontoloyo, masa seranganmu ini kau anggap Yong-hu-pwe-ci? Lebih
mirip kau lagi menggaruk punggung orang yang gatal!"
Beberapa kalimat bagian depan dengan sendirinya ditujukan memaki Pwe-giok, tapi kalimatkalimat
belakangan adalah digunakan memaki muridnya. dia mengira Pwe-giok tidak berani
mengeluarkan ilmu silat perguruannya karena kuatir rahasia ilmu Hong Sam dapat
464
diketahuinya. Padahal Pwe-giok sendiri lagi mengeluh, sebab kemampuannya hanya itu-itu
saja, untuk menangkis saja sekarang rasanya sulit.
Namun si Tojin jubah biru masih mencela serangan muridnya kurang keras, padahal betapa
hebat dan kuat serangan Sip-hun sudah cukup membuat melongo orang-orang yang
menyaksikannya.
Karena terbatas oleh kekuatiran gaya Kungfu aslinya akan diketahui musuh, maka setiap kali
Pwe-giok hendak menyerang selalu harus mengingat-ingat apakah jurus serangan ini ilmu
silat perguruan asalnya atau bukan. Dengan cara demikian, bukan saja gerak-geriknya
menjadi lebih lambat, tenaga juga banyak terbuang.
Setelah belasan jurus lagi, Pwe-giok sudah mandi keringat, bilamana terancam bahaya,
terpaksa ia menggunakan jurus "Heng-hun-po-ih, Hong-bu-kiu-thian" ajaran Hong Sam itu
untuk mendesak mundur musuh. Tapi setelah beberapa kali gebrak lagi, kembali ia terdesak
dan terancam bahaya.
Begitulah sudah berulang-ulang ia menggunakan jurus sakti ajaran Hong Sam itu, untung
setiap kali diulang, setiap kali bertambah lancer dan daya serangnya juga tambah kuat.
Sampai akhirnya, terpaksa Sip-hun harus menyingkir terlebih dahulu bila Pwe-giok
menggunakan jurus sakti itu. Setelah jurus itu lewat, barulah Sip-hun menubruk maju dan
menyerang lagi sehingga Pwe-giok tambah mengeluh.
Didengarnya si Tojin kerdil lagi meraung-raung pula: "Anak busuk, lebih baik kau keluarkan
seluruh ajaran Hong Sam, kalau cuma satu jurus ini apa gunanya? Bila bukan muridku ini
terlalu tidak becus, tentu kau sudah mati lima puluh kali sejak tadi. "
Nyata dia anggap Hong Sam telah banyak mengajarkan kungfunya kepada Pwe-giok, sebab ia
menilai kekuatan anak muda itu bukanlah jago muda yang baru muncul, malahan
kepandaiannya sudah tergolong kelas satu di dunia Kang-ouw, tapi selain satu jurus "Henghun-
bo-ih" itu ternyata tiada jurus lain yang dikeluarkannya.
Sudah tentu keadaan Pwe-giok mirip si bisu dicekoki pil pahit, hanya bisa mengeluh tapi tak
dapat menjelaskan. Ia tidak tahu bahwa raungan Tojin kerdil itu justru telah membantunya
malah. Kalau tidak, betapa tajam pandangan Lim Soh-koan dan begundalnya, bila melihat
caranya berusaha menutupi gaya silat aslinya, tentu mereka akan curiga lagi dan kesulitan
yang akan timbul kelak tentu akan bertambah banyak.
Sementara itu Pwe-giok sudah mandi keringat, setiap orang percaya dia tidak mampu
bertahan hingga 20 jurus lagi.
Tak terduga tenaga pembawaan Pwe-giok maha kuat, keuletannya sungguh di luar dugaan,
setelah belasan jurus lagi keadaannya masih tetap begitu, biarpun keringat tambah banyak
menghias jidatnya, tapi dia tetap bertahan.
Mau-tak-mau semua orang jadi melongo heran, cuma keheranan mereka sekarang bukan lagi
karena kedahsyatan serangan Sip-hun melainkan karena daya tahan Pwe-giok yang luar biasa
itu.
465
Di luar pendopo sekarang sudah penuh berkerumun orang, semuanya tercengang.
Lim Soh-koan menggeleng dan bergumam: "Bocah ini kelihatan lemah lembut, tak tersangka
sekuat kerbau. Kalau bukan Sip-hun suheng orang lain mungkin sukar melayani dia."
Dia sendiri hanya satu gebrakan saja pedangnya telah dipatahkan Pwe-giok, maka sekarang
dengan sendirinya ia sengaja menyanjung puji setinggi langit kungfu anak muda itu sekedar
untuk menutupi kekalahannya tadi.
Tapi Dian Ce-hun hanya tersenyum hambar saja, katanya: "Seumpama dia benar seekor
kerbau yang kuat, memangnya kita tidak mempunyai kepandaian menaklukkan kerbau?"
Dia bicara dengan suara lirih, ia mengira orang lain pasti tidak mendengarnya. Siapa tahu si
Tojin jubah biru mendadak berjingkrak gusar, nyata telinganya sangat tajam dan dapat
mendengar apa yang dikatakan Dian Ce-hun itu, dengan gusar ia berteriak: "Baik, jika begitu
besar kepandaianmu, biarlah kulihat kesanggupanmu saja!"
Saat itu Sip-hun sedang memukul kedua sisi tubuh Pwe-giok dengan kedua telapak
tangannya. Pwe-giok sendiri lagi bingung karena tidak tahu cara bagaimana mematahkan
serangan tersebut. Untunglah mendadak dilihatnya tubuh Sip-hun terus mengapung ke atas,
ternyata kuduknya telah dicengkeram oleh Tojin jubah biru terus dilemparkannya.
"Telur busuk yang tak berguna!" demikian terdengar Tojin jubah biru memaki. "Lebih baik
menggelinding ke samping sana dan saksikan kemampuan orang lain yang katanya sekali
turun tangan lantas dapat menundukkan bocah she Ji itu."
Meski di mulut ia memaki muridnya sendiri, yang benar ia berolok-olok kepada Dian Ce-hun,
sebab ia sendiri tahu siapapun juga tiada yang mampu mengalahkan Ji Pwe-giok hanya
dengan sekali dua gebrak saja.
Ji Hong-ho dan Lim Soh-koan saling pandang sekejap menyaksikan tindakan Tojin jubah biru
itu, diam-diam mereka merasa geli, piker mereka: "Tak tersangka watak orang ini yang suka
membela murid sendiri sampai tua tetap tidak berubah."
Dalam pada itu Sip-hun yang dilemparkan itu sempat berjumpalitan satu kali di udara, lalu
melayang turun dengan enteng, wajahnya lantas menampilkan senyuman ramah pula, dia
memberi hormat kepada Pwe-giok dan berkata: "Tadi aku telah berlaku kasar, mohon Kongcu
sudi memaafkan."
"Ah, Totiang telah bermurah hati padaku," jawab Pwe-giok dengan tersenyum dan membalas
menghormat.
Kedua orang saling pandang dengan tertawa, tiada yang menyangka beberapa detik
sebelumnya mereka telah saling labrak dengan mati-matian.
Sementara itu Tojin jubah biru telah melototi Dian Ce-hun dan membentak: "Nah, sekarang
ingin kulihat gurumu yang rudin dan kecut itu telah mengajarkan Kungfu lihay macam apa
kepadamu? Kenapa tidak lekas kau maju kemari, apakah perlu kumohon lagi padamu?"
466
Dian ce-hun menghela napas, katanya sambil nyengir: "Jika totiang menghendaki
pertunjukanku yang jelek ini, terpaksa Tecu menurut. Cuma jangan para Cianpwe
mentertawakanku." dia menyingsingkan lengan baju dan melangkah ke depan.
Kesempatan itu digunakan Pwe-giok untuk berganti napas sambil memandang sekeliling
orang-orang yang hadir di situ.
Dilihatnya Ji Hong-ho tersenyum simpul berdiri berjajar dengan "Tong Bu-siang" itu, Lim
soh-koan berdiri di belakangnya dengan tangan masih memegang pedang buntung. Rupanya
saking asyiknya dia mengikuti pertarungan seru tadi sehingga lupa membuang pedang patah
itu.
Kecuali mereka bertiga, yang lain-lain terasa asing bagi Pwe-giok, hanya saja setiap orangnya
tampak tenang dan kereng, jelas semuanya tokoh-tokoh Bu-lim kelas tinggi.
Selagi Pwe-giok merasa heran karena tidak melihat Ang-lian-hoa, tiba-tiba dilihatnya di atas
tungku perunggu raksasa di ruangan pendopo sana menongkrong satu orang, siapa lagi dia
kalau bukan Ang-lian-hoa.
diam-diam Pwe-giok menghitung, termasuk tojin jubah biru dan muridnya, yang hadir ini
semuanya berjumlah 11 orang. Jadi masih kurang satu orang.
Setelah berpikir, akhirnya Pwe-giok paham persoalannya: "Selisih seorang ini jelas ialah Hayhong
Hujin, dengan sendirinya dia enggan bercampur dengan orang-orang ini."
Didengarnya tojin jubah biru lagi membentak: "Anak busuk, kau melamun apa? Orang lain
menganggap kau sebagai kerbau dan hendak menaklukan kau. Orang ini tidak seperti muridku
yang tidak becus, jika kau tahu gelagat, lekas berjongkok dan biarkan orang menunggangi kau
si kerbau ini."
Ucapannya ini tampaknya memaki Ji Pwe-giok, padahal sama saja dia menyuruh anak muda
itu untuk berkelahi sekuatnya agar jangan sampai dikalahkan orang. Bahwa muridnya tidak
sanggup mengalahkan Pwe-giok, dengan sendirinya ia tidak ingin orang lain mampu
mengalahkan Pwe-giok.
Setiap orang yang hadir di situ adalah orang Kangouw kawakan, tentu saja semuanya dapat
menangkap arti ucapannya, meski merasa geli, tapi tiada seorangpun yang berani tertawa.
Dian Ce-hun tersenyum terhadap Pwe-giok, katanya: "Tenaga sakti anda sungguh
mengejutkan tadi Cayhe sudah merasakannya, sekarang ingin kubelajar kenal pula dengan
Kungfu anda yang hebat, hendaklah Anda tidak perlu sungkan-sungkan ..."
"Sungkan?" si tojin jubah biru meraung pula. "Memangnya bocah ini berlaku sungkan
terhadap muridku?!"
Perangai kasar tojin kerdil ini sungguh jarang ada bandingannya, bahkan Dian Ce-hun dan
Pwe-giok sudah bergebrak hingga berpuluh jurus, dia masih tetap marah-marah saja.
Pertarungan sekarang berbeda lagi dengan tadi. Sekalipun orangnya lemah-lembut, tapi
serangan sip-hun tadi mengutamakan keras dan dahsyat. Kini Dian Ce-hun sebaliknya
467
menggunakan gaya serangan yang lunak, tapi penuh variasi. Meski sudah berlangsung
beberapa puluh jurus, tapi serangannya masih tetap serangan pancingan dan tiada satupun
yang benar-benar diarahkan sasarannya.
Meski Pwe-giok tidak dapat memainkan ilmu silat perguruan asalnya, tapi silat Bu-kek-bun
mengutamakan ketenangan, untuk menghadapi serangan Dian Ce-hun yang banyak variasinya
itu menjadi sangat cocok.
Namun ginkang dian Ce-hun memang sangat hebat, cepat dan sukar diduga laksana naga
meluncur di tengah awan dengan gerak perubahan yang tidak menentu, jangankan Pwe-giok
tidak dapat meraba posisi lawan, sampai yang menonton disampingpun merasa bingung,
seorang Dian Ce-hun seolah-olah telah berubah menjadi berpuluh orang.
Terdengar seorang tua berbaju ungu dan berjenggot panjang berkata dengan gegetun: "Dian
jitya berjuluk Naga Sakti, tak tersangka putera kesayangannya juga memiliki Ginkang
setinggi ini. Tampaknya biarpun Ginkang si Elang dari Bu-lim-jit-kim (tujuh burung dari
dunia persilatan) juga tak melebihi Dian-kongcu ini,"
Seorang lagi menanggapi dengan tertawa: "Bu-lim-jit-kim memang tiada satupun yang
memiliki kepandaian sejati. Sun Tiong si Elang itu meski tertua dari Jit-kim, tapi bila
dibandingkan anak murid Sin-liong (Naga Sakti), jelas bedanya terlalu jauh."
Orang ini sudah ubanan, perawakannya pendek kecil, namun kelihatan gesit dan tangkas, jelas
ginkangnya pasti juga tidak lemah. Maka meski di mulut dia memuji orang lain, namun
sikapnya ternyata ingin membanggakan dirinya sendiri, agaknya baru merasa puas bilamana
orang lain mau memujinya beberapa kata.
Benar juga, Lim Soh-koan lantas berkata dengan tertawa: "Ucapan Hui-lo (kakek Hui)
memang tepat. Tapi mengapa kau lupa pada dirimu sendiri. Siapakah di dunia kangouw yang
tidak kenal ginkang Bu-eng-cu To-toaya yang tiada bandingannya. Seumpama engkau tidak
dapat menandingi kesempurnaan Dian-jitya, bila dibandingkan Dian-kongcu ini.... Hahaha!"
Kakek pendek kecil yang berjuluk Bu-eng-cu atau tanpa bayangan itu tampaknya berseri-seri
oleh pujian Lim Soh-koan itu, dia berharap orang akan terus bicara. Siapa tahu, setelah
tertawa, lalu Lim Soh-koan tidak melanjutkan lagi.
Untung si kakek berbaju ungu lantas menyambungnya :" Betul, jahe memang selalu pedas
yang tua. Betapapun tinggi ginkang Dian-kongcu ini, mana bisa menandingi kesempurnaan
ginkang To-heng."
Bu-eng-cu To Hui tambah senang karena diumpak dan ditiup, tapi wajahnya justru tidak
memperlihatkan setitik senyumpun, ia malah berkata dengan sungguh-sungguh: "Agaknya
Hiang-heng tidak tahu, orang kalau sudah tua, tulangnya juga tambah berat, mana dapat
kutandingi Dian-siauhiap yang muda dan perkasa itu. Apalagi ginkang hanya kepandaian
sampingan saja dan tidak banyak gunanya, bicara ilmu pukulan Hiang-heng, itulah baru
benar-benar kungfu sejati."
Kakek baju ungu she Hiang itu berjuluk 'Sin-kun-bu-tek' atau pukulan sakti tanpa tanding, ia
menjadi gembira karena dipuji, sambil terbahak-bahak ia menjawab: "Ah, To-heng terlalu
memuji padaku."
468
Begitulah semula mereka hanya memuji kehebatan ginkang Dian Ce-hun, tapi akhirnya
berubah arah dan malah saling membual akan keunggulannya sendiri-sendiri.
Tentu saja si Tojin jubah biru sangat mendongkol, segera ia meraung: "Wah, ada orang
kentut! Alangkah busuk kentutnya!" Sambil berkata iapun seraya mendekap hidung.
Ucapannya ini ibarat pelawak di panggung hanya sebagai umpan belaka dan memerlukan
rekan lain untuk menanggapinya, jika tiada tanggapan, jadinya akan putus sampai di situ saja.
Tak terduga Sip-hun lantas menanggapinya dengan tersenyum: "Suhu, mana ada orang kentut
di sini!"
Tojin jubah biru mendengus: "Hm, kautahu apa? Kalau kita kentut biasanya keluar dari
pantat, tapi ada sementara orang kentut dengan mulut. Kentut yang keluar dari mulut itulah
baunya lebih bacin, tahu!"
Seketika muka To Hui, Lim Soh-koan dan kakek she Hiang berubah merah seperti kepiting
rebus, meski dalam hati sangat gusar, tapi tiada seorangpun berani memberi reaksi. Padahal
dengan nama dan kedudukan ketiga orang ini, biasanya mana mereka pernah diolok-olok
orang. Tapi sekarang, entah mengapa tampaknya mereka sangat jeri terhadap Tojin jubah biru
ini.
Hanya dalam hati ketiga orang itu sama menggerutu: "Muridmu sendiri tidak mampu
mengalahkan orang, sekarang bocah she Dian ini tampaknya akan berhasil, tentu kau akan
kehilangan muka, untuk apa kau melampiaskan dongkolmu atas diri kami?"
Tojin jubah biru memang tidak ingin mendapat malu, tadinya ia bermaksud mencari tahu
betapa hebat kungfu Hong Sam melalui Ji Pwe-giok, bilamana sudah tahu, kalau tengah
malam nanti harus saling gebrak, tentu dia sudah mempunyai pegangan. Tapi setelah
muridnya gagal memancing keluar kungfu Pwe-giok yang lain, sekarang Tojin jubah biru ini
justru berharap sekali hantam dapatlah Pwe-giok merobohkan Dian Ce-hun.
Namun apa yang terjadi justru jauh dari kehendaknya, bukan saja Pwe-giok tidak mampu
merobohkan Dian Ce-hun, bahkan ujung baju lawan saja tidak dapat menyentuhnya.
Padahal sejak mengalami macam-macam petaka dan kenyang derita, selama ini belum pernah
ada orang dapat merobohkan Pwe-giok dengan ilmu silat. Sudah tentu ia bukan pemuda yang
sombong, tapi setidak-tidaknya iapun merasa kungfunya sendiri sudah cukup lumayan.
Siapa tahu sekarang hanya dalam waktu singkat saja, telah ditemuinya dua lawan tangguh
yang belum pernah dilihatnya selama hidup ini. Kungfu kedua orang ini bukan saja jauh
melebihi dirinya, usianya juga tidak lebih tua. Tampaknya di dunia kangouw ini memang
masih banyak 'harimau tidur dan naga bersembunyi', entah betapa banyak lagi orang kosen.
Kungfu yang dimilikinya boleh dikata masih jauh untuk dapat menandingi mereka.
Seketika Pwe-giok menjadi kesal, dengan sendirinya tenaga pukulannya menjadi kendur. Bila
orang lain, mungkin akan putus asa menyerah kalah. Tapi wataknya adalah halus di luar keras
di dalam, meski menyadari bukan tandingan lawan, betapapun ia pantang menyerah. Meski
Dian Ce-hun masih terus melancarkan serangan dan selalu mendahului, tapi untuk
469
merobohkan Pwe-giok dalam waktu singkat juga sulit, mau tak mau ia menjadi gelisah
sendiri.
Dalam pada itu Tojin jubah biru telah berteriak pula: "Berapa jurus tadi kau bergebrak dengan
bocah she Ji ini?" Pertanyaannya ini ditujukan kepada muridnya.
Maka Sip-hun lantas menjawab: "Belum sampai 300 jurus!"
"Dan sekarang sudah berapa jurus mereka saling labrak?" Tanya pula si Tojin kerdil.
"Juga mendekati 300 jurus!" kata Sip-hun.
"Hahahaha!" Tojin kerdil itu bergelak tertawa. "Sekarang tentunya kaupun tahu bahwa orang
yang suka membual, kebanyakan juga tidak mempunyai kepandaian sejati. Orang muda
sebaiknya lebih giat belajar kungfu kaki dan tangan, daripada berlatih kungfu mulut!"
Muka Dian Ce-hun tampak sebentar merah sebentar pucat, gerak tubuhnya juga bertambah
cepat. Mendadak ia berkata kepada Pwe-giok dengan suara tertahan: "Lambat atau cepat
akhirnya kau toh pasti kalah, untuk apa kau bertahan mati-matian? Bila tiba saatnya tentu aku
tidak kenal ampun lagi, akan lebih baik jika sekarang kau mengaku kalah saja."
"Mengaku kalah?" Pwe-giok menegas.
"Ya, jika sekarang kau mengaku kalah, bukan saja takkan kulukai kau, bahkan aku menjamin
akan mengantar kau pulang dengan selamat."
Pwe-giok tersenyum, mendadak ia menghantam sekuatnya. Pukulan inilah merupakan
jawabannya.
Keruan Dian Ce-hun menjadi marah, dampratnya: "Keparat, kau tidak mau tahu maksud baik
orang, lihat saja apakah kau mampu lolos dari sini?"
Sementara itu belasan jurus sudah lalu pula, karena ia bertekad akan mengalahkan Pwe-giok
sebelum mencapai 300 jurus, mendadak ia melayang ke udara sambil bersiul panjang, dari
atas seperti ular naga melingkar, segera ia menubruk ke bawah.
Inilah jurus serangan rahasia perguruan "Naga Sakti" yang disebut "Keng-liong-pok-bengsam-
sik" (tiga jurus adu nyawa si naga sakti). Dahsyatnya sukar ada tandingannya. Tapi dari
namanya yang disebut "mengadu nyawa", jelas serangan ini baru akan dikeluarkan bilamana
keadaan kepepet. Sebab kedahsyatan serangan ini juga merupakan modal terakhirnya,
bilamana tidak kena sasarannya, dirinya sendiri yang akan celaka.
Sebab itulah bilamana tidak terpaksa, anak murid "Naga Sakti" tidak akan mengeluarkan jurus
maut ini. Sekarang Dian Ce-hun tidak kepepet, dia hanya ingin merobohkan lawan lebih
cepat, maka telah digunakannya jurus maut yang membawa resiko ini. Dengan sendirinya
iapun sudah memperhitungkan lawan pasti tidak mampu menghindarkan serangannya ini.
Seketika Pwe-giok merasa udara penuh bayangan musuh, sekujur badan sendiri telah
terkurung di bawah angin pukulan lawan, ke manapun dia menghindar tetap sukar lolos.
470
Begitu keras angin pukulan musuh sehingga dia hampir tidak dapat bernapas, bila dia balas
menghantam, bisa jadi kedua tangan sendiri akan patah.
Pada waktu itu dia masih ragu itulah, telapak tangan musuh sudah menindih tiba dari atas
kepala.
Dalam keadaan demikian, tiada pilihan lain lagi baginya kecuali memejamkan mata dan
menanti ajal belaka.
Dengan sendirinya serangan Dian Ce-hun itupun menggemparkan para penonton.
Sampai-sampai Ji Hong-ho berseru kuatir: "Lihay amat serangan ini, pantas di dunia
Kangouw tersiar semboyan 'Naga Sakti muncul, matipun tidak menyesal'!”
Bahwa suatu jurus serangan mematikan dapat membuat korbannya mati tanpa menyesal,
maka betapa lihaynya dapatlah dibayangkan.
Tak terduga, baru saja lenyap suara ucapan Ji Hong-ho, sekonyong-konyong terdengar suara
orang menjerit, yang menjerit ternyata bukan Ji Pwe-giok melainkan Dian Ce-hun. Terlihat
bayangan tubuhnya yang sedang menubruk ke bawah sekuatnya itu mendadak mengapung
lagi ke atas dan mencelat hingga jauh.
Yang mengikuti pertarungan ini hampir seluruhnya adalah jago kelas satu di dunia persilatan,
bahkan rata-rata adalah tokoh kawakan Kangouw, sedikit kejadian ini mana dapat membuat
mereka melengak, Tapi sekarang, ketika tubuh Dian Ce-hun mencelat, baik Ji Hong-ho, Lim
Soh-koan dan lain-lain hampir semuanya berubah pucat.
Apakah benar-benar Hong Sam telah mengajarkan ilmu maha sakti kepada Pwe-giok
sehingga pada detik terakhir itu, pada saat terancam bahaya dia dapat mematahkan serangan
maut Dian Ce-hun itu ?
Padahal jelas-jelas Pwe-giok sudah tak bisa berkutik dan hanya menanti ajal belaka, mana dia
mampu lagi mengelabuhi pandangan tokoh-tokoh ulung ini dengan sesuatu gerak
serangannya?
Terdengar suara gemersak, tubuh Dian Ce-hun telah menumpuk daun pohon, lalu "bluk", ia
jatuh ke bawah dengan muka pucat seperti kertas, dengan mata mendelik ia pandang Tojin
jubah biru dan berkata dengan suara parau: "Kau...kau..." belum lanjut ucapannya, darah segar
tersembur dari mulutnya, pingsanlah dia di bawah pohon.
Pandangan semua orang tanpa terasa juga terpusat ke arah Tojin jubah biru.
Tapi Tojin kerdil itu lantas berjingkrak gusar, teriaknya: "Apa yang kalian pandang?
Memangnya kalian kira aku yang menolong bocah she Ji ini? Hm, selama hidupku ini bilakah
pernah ku main sergap? Apalagi terhadap anak busuk pembual ini?"
Kedua tangan Tojin kerdil ini memang selalu terselubung didalam lengan jubahnya yang
longgar, tampaknya memang benar-benar tidak pernah bergerak. Karena itu, pandangan
semua orang lantas beralih lagi ke arah Ji Pwe-giok.
471
Pwe-giok masih berdiri di tempatnya, seperti kesima, nyata yang membikin Dian Ce-hun
mencelat tadi bukan dia sendiri. Jika demikian, lantas siapa gerangan yang membantunya itu?
"Huh!" jengek si Tojin kerdil. "Orang sebanyak ini hanya berdiri melongo saja, sampai siapa
orang yang turun tangan juga tidak tahu, cis, sungguh memalukan!"
Setelah berludah, lalu ia memutar pergi dengan langkah lebar.
Wajah semua orang sama merah dan menunduk malu.
Pada saat itu juga mendadak Pwe-giok melompat ke atas dan melayang pergi melintasi pucuk
pohon, hanya sekejap saja bayangannya sudah lenyap.
Lim Soh-koan memandang Ji Hong-ho sekejap, katanya: "Bengcu....."
"Biarkan dia pergi," ucap Ji Hong-ho dengan tersenyum tak acuh. "Betapapun nanti
malam....."
Lim Soh-koan mendekati Dian Ce-hun dan membangunkannya, dengan tersenyum ia
bergumam: "Sekalipun dia dapat lolos tengah malam nanti, mustahil dia mampu lolos dari
cengkeraman Dian jitya? Naga sakti pemburu sukma, naik ke langit maupun menyusup ke
bumi.... Hahaha, masakah dia mampu naik ke langit atau menyusup ke bumi?"
Jilid 19________
Setelah melayang keluar dari biara itu, detak jantung Ji Pwe-giok belum lagi hilang.
Sesungguhnya siapakah gerangan orang yang telah menyelamatkannya? Pada detik yang
paling gawat itu, dia hanya merasa ada angin keras menyambar lewat di atas kepalanya dan
mengenai dada Dian Ce-hun.
Tapi tenaga yang maha dahsyat dan tidak kelihatan itu bukan dikeluarkan oleh si Tojin jubah
biru, sebab dia dan muridnya berdiri di depan Pwe-giok, sedangkan tenaga serangan yang
tidak kelihatan itu datangnya dari belakangnya.
Sungguh Pwe-giok tidak tahu siapakah yang telah menolongnya dan sebab apa menolongnya?
Tenaga pukulan sekuat itu hakekatnya belum pernah dilihatnya selama ini.
Sekilas ia telah menoleh dan memandang ke arah datangnya tenaga pukulan dahsyat itu,
dilihatnya ranting pohon bergoyang, namun tiada bayangan seorangpun yang terlihat.
Selain tenaga dalamnya maha dahsyat, ginkang orang itupun sangat mengejutkan. Di dunia ini
ternyata masih ada tokoh kosen begini, sebelumnya mimpipun tak pernah dibayangkan Pwegiok.
Baru sekarang ia tahu tokoh ajaib di dunia persilatan ini masih sangat banyak dan sukar
dijajaki.
Ia menghela nafas panjang. Mendadak didengarnya daun pohon gemerisik di depan sana,
sesosok bayangan orang melayang tiba dan menghadang di depannya, sambil bergelak
tertawa orang itu berseru, "Hahaha, setelah kau lukai putera tunggal gabungan tujuh keluarga
Dian, lalu kau hendak angkat kaki begitu saja?"
472
Suara tertawanya keras bagai bunyi genta. Siapa lagi dia kalau bukan si Tojin jubah biru.
Pwe-giok terkesiap dan menyurut mundur, ia lantas memberi hormat dan menjawab,
"Pandangan Totiang maha tajam, tentunya sudah tahu bahwa tadi bukan Cayhe yang turun
tangan selihay itu."
"Habis siapa?" tanya Tojin jubah biru dengan sinar mata gemerdep.
"Untuk itu justeru Cayhe ingin mohon petunjuk kepada Totiang," ujar Pwe-giok.
Tojin itu menjadi gusar, katanya, "Jadi kaupun tidak tahu siapa yang telah menyelamatkan
kau?"
"Kalau Totiang saja tidak dapat melihat jelas siapa gerangannya, mana Cayhe mempunyai
mata setajam itu?" jawab Pwe-giok.
"Jadi maksudmu mataku ini kurang tajam?" Tojin itu bertambah gusar. "Huh, orang yang suka
bertindak secara sembunyi2 begitu mana ada harganya kuperhatikan." Mendadak ia menarik
leher baju Pwe-giok dan bertanya dengan sekata demi sekata, "Dia Hong-sam atau bukan?"
Dengan tak acuh Pwe-giok menjawab, "Memangnya Hong-sam sianseng orang yang suka
main sembunyi2 begitu?"
"Bukan Hong-sam, habis siapa?" hardik Tojin itu dengan suara bengis. "Hanya dengan
sepotong ranting kayu saja orang itu mampu melukai putera Dian Jit hingga tumpah darah,
kecuali diriku dan Hong-sam, siapa pula yang sanggup berbuat demikian?"
"Sesungguhnya Cayhe memang juga tidak percaya masih ada orang lain," ujar Pwe-giok.
Sejenak Tojin itu melototi anak muda itu, katanya kemudian, "Apapun juga, Dian cilik terluka
pada waktu bergebrak dengan kau, bilamana Dian tua tahu, mana dia mau mengampuni kau?
Antara ke tujuh Dian bersaudara itu, ke enam orang yang tua masih mendingan, tapi Dian
Jit… haha, kalau dia mau merecoki kau, biarpun kau lari ke langit atau masuk ke bumi juga
tak dapat lari."
"Cayhe sendiri tidak bermaksud lari," ujar Pwe-giok.
"Tidak lari? Memangnya kau kira sanggup melawan dia?" jengek Tojin jubah biru.
"Cayhe juga tidak bermaksud melawan dia," kata Pwe-giok pula.
"Tidak lari juga tidak melawan, memangnya kau ada akal lain? Kau kira Dian Jit mau bicara
aturan dengan kau?"
Pwe-giok berdiam sejenak, katanya kemudian dengan tak acuh, "Urusan sudah kadung begini,
kukira nanti akan ada akal."
"Busyet, masih muda belia, cara bicaramu se-olah2 sudah kakek2," kata Tojin itu dengan
tertawa. "Jika kau tidak punya akal, aku sudah mempunyai akal."
"Mohon petunjuk Totiang," kata Pwe-giok.
473
"Kalau kau mengangkat guru padaku, kujamin di dunia ini tiada orang berani mengganggu
satu jarimu."
"Mengangkat guru kepada Totiang?" Pwe-giok menegas dengan melengak.
"Ya, jangan kau kira aku sukar mencari murid maka ku penujui kau," teriak Tojin itu, "hanya
lantaran kulihat kau ini lumayan, pemberani dan keras kepala, biarpun Dian cilik telah
memancing kau dengan berbagai cara, ternyata kau tetap tidak mau mengkhianati aku."
"Hah, kiranya Totiang telah mendengar ucapannya," Pwe-giok tertawa geli.
"Bila tidak kudengar ucapannya ketika membujuk kau menyerah saja padanya, hm, biarpun
kepalamu pecah menyembah padaku juga tidak sudi kuterima kau sebagai murid."
Pwe-giok menghela nafas panjang, katanya, "Maksud baik Totiang sungguh sangat
mengharukan, untuk mana Wanpwe mengucapkan terima kasih banyak2. Cuma... Wanpwe ini
seorang yang bernasib jelek, selama hidup ini Wanpwe tidak ingin mengangkat guru lagi
kepada siapa pun."
"Jadi kau tidak mau?" Tojin itu menegas dengan murka.
Pwe-giok menunduk dan tidak bicara lagi.
"Kau tidak menyesal?" tanya pula si Tojin dengan suara bengis.
Pwe-giok tetap tidak bersuara.
Tojin itu tambah marah, ia mendamprat, "Kau goblok, tolol, sinting..." mendadak ia membalik
tubuh dan menghantam, "blang…” sebatang pohon cukup besar di sebelahnya telah
dihantamnya hingga patah menjadi dua, pohon patah itupun tumbang dan menerbitkan suara
gemuruh.
Sambil menghantam Tojin itupun menengadah dan bersiul panjang, waktu Pwe-giok
berpaling, suara siulan Tojin kerdil itu sudah berada di kejauhan.
Pwe-giok menghela nafas pula, mendadak di dengarnya ada seorang juga sedang menghela
nafas panjang, "Sayang, sungguh sayang...!"
"Siapa itu?" bentak Pwe-giok tertahan.
Maka muncul seorang dari kegelapan pohon sana dengan langkah ke-malas2an, siapa lagi dia
kalau bukan Ang-lian-hoa.
Mencorong sinar mata Ang-lian-hoa, katanya sambil menatap Pwe-giok, "Kau kenal padaku
tidak?"
Bergolak darah panas di rongga dada Pwe-giok ketika dapat berjumpa dengan sahabat karib di
tempat sepi ini, hampir2 saja dikeluarkannya seluruh isi hatinya tanpa menghiraukan segala
akibatnya.
474
Namun di bawah bayang2 pohon yang rimbun sana apakah betul tiada terdapat lagi orang
lain?
Terpaksa diam2 Pwe-giok hanya menghela nafas, jawabnya kemudian sambil memberi
hormat, "Nama Ang-lian-pangcu termasyhur di seluruh dunia, siapakah yang tidak kenal
padamu?"
Ang-lian-hoa juga seperti menghela nafas, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, "Eh, apakah
kau tahu siapa gerangan orang yang hendak mengambil murid padamu tadi?"
"Siapa?" tanya Pwe-giok.
Ang-lian-hoa tersenyum, jawabnya, "Usiamu terlalu muda, mungkin kau belum pernah
mendengar nama Lo-cinjin?"
"Lo-cinjin?" tukas Pwe-giok, "itukah Lo-cinjin dari Hoa-san?"
"Betul, kecuali Lo-cinjin, siapa lagi yang memiliki Kungfu selihay dan pemberang begitu?"
"Pantas orang sama bilang dia benar2 salah seorang di antara kesepuluh tokoh utama jaman
ini, baru sekarang kupercaya..." tiba2 ia memandang Ang-lian-hoa sekejap dan tidak
meneruskan.
"Baru sekarang kau percaya orang yang disebut "tokoh" seperti kami ini hakikatnya seperti
anak kecil bilamana dibandingkan dia, begitu bukan?" Ang-lian-hoa merandek dengan
tertawa. Dia tahu Pwe-giok tidak sanggup menjawabnya, maka ia sendiri lantas melanjutkan,
"Betapa tinggi khikang orang ini konon sudah mencapai tingkatan yang tertinggi dan boleh
dikatakan jago nomor satu di dunia ini. Bahkan watak orang ini sangat aneh, selama ini
hampir tidak pernah menghargai orang lain. Tapi sekarang dia mau menerima kau sebagai
murid dan kau sebaliknya tidak mau, sungguh aku pun merasa sayang bagimu."
Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum hambar, "Apakah
kedatangan Pangcu ini hanya ingin memberitahukan kepadaku mengenai urusan ini?"
"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan lagi padamu?" jawab Ang-lian-hoa perlahan.
"O, silahkan bicara," kata Pwe-giok.
Kembali sinar mata Ang-lian-hoa mencorong terang dan menatap Pwe-giok lekat2, ucapnya
dengan suara tertahan, "Nona Lim Tay-ih, mengapa dia hendak membunuhmu?"
Pwe-giok tersenyum pedih, jawabnya, "Apakah dia... tidak memberitahukan padamu?"
"Belum pernah kutanyai dia," kata Ang-lian-hoa.
"Jika Pangcu belum menanyai dia, mengapa malah tanya padaku?"
Mendadak Ang-lian-hoa berkata dengan suara bengis, "Sebab adalah sementara anak
perempuan betapapun tidak mau ngomong apa2, tapi kaum lelaki kita, seorang jantan sejati,
475
berbuat apapun seharusnya membusungkan dada dan berani bicara secara terus terang, betul
tidak?"
Dengan rawan Pwe-giok menjawab, "Orang yang seperti Pangcu sudah tentu dapat
membusungkan dada untuk menghadapi segala, tapi ada sementara orang biarpun ingin
membusungkan dada juga tidak.. tidak dapat."
Sampai sekian lama sinar mata Ang-lian-hoa yang tajam itu menatap Pwe-giok, katanya
kemudian dengan suara tertahan, "Sesungguhnya ada urusan apakah yang tak dapat kau
bicarakan?"
"Maaf, tiada sesuatu yang dapat kukatakan," jawab Pwe-giok dengan tersenyum pedih.
Kembali Ang-lian-hoa menatapnya sejenak, lalu ia menengadah dan menghela nafas
menyesal, katanya, "Orang baik2 rela terjerumus ke dalam kegelapan, sungguh sayang!"
"Sesungguhnya Cayhe juga merasa sayang bagi Pangcu," kata Pwe-giok tiba2.
"Apa yang kau sayangkan bagiku?" tanya Ang-lian-hoa dengan agak melengak.
"Keluhuran Pangcu sudah lama terkenal di seluruh kolong langit ini, mengapa sekarang juga
sudi menggabungkan diri dengan kaum munafik itu untuk mengerubuti seorang anak
perempuan yatim piatu?"
Air muka Ang-lian-hoa rada berubah, mendadak ia bergelak tertawa dan berakta, "Kau bilang
yatim piatu? Maksudmu ia anak perempuan yatim piatu?" mendadak suara tertawanya
berhenti, lalu bertanya dengan bengis, "Tahukah kau mengapa kami mencarinya ke sini?"
"Justeru ingin kutanyakan?" jawab Pwe-giok.
"Selama beberapa tahun ini sudah ada 20 orang lebih menghilang secara misterius dan
jejaknya tidak pernah diketemukan, orang2 itu ada yang berasal dari utara dan ada yang dari
selatan, masing2 boleh dikatakan tiada hubungannya sama sekali. Tapi setelah diselidiki
secara cermat, akhirnya diketahui bahwa di antara orang2 yang hilang itu terdapat satu titik
persamaan."
"O, apa itu?" tanya Pwe-giok.
"Satu2nya hal yang sama adalah sebelum mereka menghilang, semuanya pernah dilihat orang
tinggal di Li-toh-tin ini."
"O, hanya begitu?"
"Ya, tapi yang paling penting adalah sesudah kelihatan di Li-toh-tin sini, lalu tiada orang
melihat mereka lagi."
"Hal ini rada membingungkan aku?" ujar Pwe-giok.
"Dengan lain perkataan, umpama orang itu kemarin kelihatan berada di Li-toh-tin sini, besok
dia lantas lenyap tanpa bekas dan entah ke mana perginya."
476
"Oo...."
"Petunjuk ini sebenarnya tidak begitu jelas, tapi setelah 20 orang lebih sama2 menghilang
dengan cara begitu, maka persoalannya menjadi lain. Para sanak keluarga orang2 yang hilang
itu lantas mengangkat tiga orang wakil mereka ke Li-toh-tin sini untuk menyelidiki urusan ini
dengan lebih jelas."
"Siapakah ketiga orang itu?" tanya Pwe-giok.
"Biar kukatakan nama mereka juga tidak kau kenal," kata Ang-lian-hoa. "Cukup kukatakan
ketiga orang itu tentunya orang2 yang cerdik dan pandai, kalau tidak masa mereka terpilih?"
"O, lalu bagaimana hasil penyelidikan mereka?"
"Apapun tidak dihasilkan oleh mereka."
"Oo? Kenapa begitu?"
"Sebab setiba di Li-toh-tin ini, selamanya merekapun tidak pernah kembali lagi.
"Hah? Lantas bagaimana?"
"Dengan sendirinya urusan ini sangat menggemparkan dan akhirnya dilaporkan kepada Bulim-
bengcu."
"Ehm, memang harus begitu."
"Tapi Ji bengcu baru saja kehilangan anaknya, beliau sedang berduka dan belum sempat
memikirkan urusan ini," tutur Ang-lian-hoa. "Dengan sendirinya urusan ini jatuh ke tangan
Kay-pang. Bilamana kaum tukang minta2 itu mau menyelidiki sesuatu, tentunya akan jauh
lebih leluasa daripada orang lain."
"Ya, betul juga," Pwe-giok menyengir.
"Sebab itulah selama setengah bulan ini di Li-toh-tin mendadak kaum pengemis bertambah
banyak. Mereka mengemis pada setiap orang dan setiap rumah, tentu saja tiada orang
menaruh curiga kepada mereka bahwa sebenarnya mereka sedang menyelidiki sesuatu rahasia
yang membikin panik kaum Bu-lim."
"Justeru lantaran itulah, maka di kolong langit ini siapapun tidak berani merecoki Kaypang
kalian," kata Pwe-giok dengan tersenyum.
Ang-lian-hoa tersenyum bangga, sambungnya lagi, "Setelah penyelidikan selama belasan hari
terus menerus, akhirnya diketahui penduduk Li-toh-tin ini adalah rakyat jelata yang patuh dan
tertib, hanya sebuah loteng kecil di belakang Li-keh can itu berdiam dua orang yang sama
sekali tidak diketahui asal-usulnya. Sebab itulah mereka berdua lantas menjadi sasaran
penyelidikan selanjutnya."
"Kemudian?" tanya Pwe-giok.
477
"Sehari suntuk mereka mengintai di sekitar loteng kecil ini, belum lagi menemukan sesuatu
yang mencurigakan, tahu2 si ... si nona cilik yang tinggal di atas loteng kecil itu malah sudah
melihat gerak-gerik kaum jembel itu, malamnya, lima murid kami yang pasang mata di sana
telah dikerjai, kantung yang membedakan tingkatan mereka yang selalu di panggul di
punggung mereka itu tahu2 lenyap secara aneh."
Dia merandek sejenak, lalu menyambung dengan menarik muka, "Padahal anak murid Pang
kami sangat memandang penting kantung yang mereka bawa, tapi orang dapat mencuri
kantung yang melengket di punggung mereka itu tanpa diketahui, maka tahulah mereka
bahwa nona cilik itu ternyata seorang kosen, jelas orang sengaja hendak memperingatkan
mereka agar mereka jangan ikut campur urusan ini."
"Siapa tahu, urusan menjadi runyam malah, bukan?" tanya Pwe-giok. "Betul, sebab hidup
orang Kay pang justeru suka ikut campur urusan."
"Dan lantaran urusan ini pula maka Pangcu datang ke Sujwan sini."
"Bukan cuma itu saja, mestinya Pang kami akan mengadakan rapat besar di Thay-heng-san
untuk menjatuhkan hukuman bagi pengkhianat, karena adanya urusan ini terpaksa tempat
rapat kamipun berpindah ke sini."
Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, "Dan sekarang Pangcu sudah
merasa pasti bahwa hilangnya ke-20 orang itu ada sangkut pautnya dengan nona Cu yang
tinggal di atas loteng itu?"
"Betul, setelah menerima laporan murid Kaypang, Ji-bengcu lantas mengumpulkan para tokoh
Bu-lim dan datang ke Li-toh-tin ini dengan pura2 main catur Li-keh-can yang terletak di
depan loteng kecil itu, tapi diam2 tempat itu telah dijaga dan di intai, akhirnya dapat
dipastikan bahwa yang tinggal di situ adalah anak keturunan Siau-hun-kiongcu dan Hongsam."
"Kiranya di balik persoalan ini masih ada liku2 begini, tadinya kukira urusan ini sangat
sederhana," ujar Pwe-giok sambil menghela nafas.
Gemerdep sinar mata Ang-lian-hoa, mendadak ia berkata dengan suara kereng, "Jika kau mau
terima nasehatku, lebih baik cepat kau tinggalkan tempat ini, kalau tidak, bila tengah malam
nanti tiba, segalanya akan hancur lebur dan hal itu tentu akan sangat disesalkan."
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian, "Tapi kukira urusannya tidak sederhana
sebagaimana disangka Pangcu."
"Pokoknya beginilah nasehatku, mau percaya atau tidak bergantung padamu sendiri," kata
Ang-lian-hoa. Dia pandang Pwe-giok sekejap, seperti mau omong apa2 lagi, tapi urung
diucapkan, lalu melayang pergi.
Buru2 Pwe-giok menyusuri hutan tadi. Penduduk Li-toh-tin masih berkumpul di situ,
tampaknya mereka tambah cemas.
478
Padahal Pwe-giok juga tidak kurang cemasnya, selama setengah hari ini sudah banyak rahasia
yang didengarnya, namun pikirannya masih penuh diliputi tanda2 tanya yang sukar
dipecahkan.
Setelah menyusuri hutan itu, di depan adalah sebuah tanjakan, bila tanjakan itu sudah dilintasi
barulah sampai di kota kecil itu. Pada saat itulah dari balik tanjakan sana Pwe-giok
mendengar suara rintihan orang kesakitan.
Cepat Pwe-giok memburu ke sana, dilihatnya seorang berambut putih sedang berjongkok di
samping sepotong batu besar dan sedang merintih.
Masih musim rontok, hawa belum terlalu dingin, tapi nenek ini memakai baju kapas yang
sangat tebal. Melihat Pwe-giok, segera ia berkeluh dan berseru, "Siau... Siauya, tol...
tolonglah, bantu nenek ini!"
Nenek ini tampaknya cuman sakit keras biasa namun Pwe-giok selalu waspada, betapapun ia
merasa sangsi, ia coba tanya, "Apakah nenek penduduk Li-toh-tin ini?"
"Ya, ben... benar..." jawab nenek itu.
"Orang2 sama berkumpul di hutan sana, mengapa nenek berada sendirian di sini?"
Nenek itu mengucek matanya dengan tangannya yang kurus kering sambil berkata,
"Janganlah Siauya mentertawakan diriku jika kukatakan, hidup nenek ini sebatang kara, tidak
punya sanak keluarga seorangpun, orang lain sama menganggap nenek ini kotor dan sudah tua
renta, tiada seorangpun mau memperhatikan diriku, selama ini hanya Siau Hoa (si belang)
saja yang mendampingi aku."
Sambil omong, meneteslah air matanya, dengan suara tersendat ia menyambung pula, "Tapi
orang itu tidak... tidak mengijinkan kubawa Siau Hoa, seharian ini Siau Hoa tentu akan mati
kelaparan... O Siau Hoa yang baik, Siau Hoa sayang, jangan kau kuatir, sebentar lagi nenek
pasti datang menjenguk kau." segera ia hendak merangkak bangun, tapi jatuh terkulai pula.
Cepat Pwe-giok memayangnya bangun, katanya sambil berkerut kening, "Apakah Siau Hoa
itu cucu nenek? Mengapa mereka tidak mengijinkan kau bawa serta dia?"
"Betul, Siau Hoa adalah cucuku sayang," tutur si nenek sambil menangis. "Cucu orang lain
suka ribut, suka nakal, tapi Siau Hoa sangat jinak, sangat penurut, sepanjang hari hanya
menunggui aku, menangkap tikus saja tidak mau."
"Hah, menangkap tikus?" Pwe-giok melengak, akhirnya ia tertawa geli sendiri dan bertanya,
"O, kiranya Siau Hoa kesayangan nenek itu adalah seekor kucing?"
Tapi nenek itu lantas menangis ter-gerung2, katanya, "Betul, dalam pandangan orang muda
seperti kalian ini Siau Hoa hanya seekor kucing, tapi dalam pandangan nenek yang sudah
hampir masuk liang kubur ini, Siau Hoa justeru adalah jiwaku, sukmaku, tanpa dia bagaimana
aku akan melewatkan hari2 selanjutnya...?" Dia meronta dan hendak merangkak ke depan,
serunya dengan parau, "O, Siau Hoa sayang, cucu sayang, sebentar nenek akan memberi
makan ikan padamu, janganlah kau menangis, biarpun perut nenek akan robek kesakitan juga
akan merangkak pulang untuk memberi makan padamu."
479
Memandangi rambut si nenek yang putih perak dan tubuhnya yang bungkuk, Pwe-giok
membayangkan kehidupan orang tua yang sengsara dan kesepian ini, tanpa terasa ia menjadi
terharu dan ikut pedih, dengan suara keras ia lantas berseru, "Jika Lo-thaythay (nenek) tidak
mampu berjalan lagi, biarlah ku gendong kau saja."
"Kau... kau sudi?" tanya si nenek sambil kucek2 matanya.
"Jika nenekku sendiri masih hidup, beliau tentu juga akan sayang pada Siau Hoa seperti
dirimu," ujar Pwe-giok sambil tertawa ramah.
Maka tertawalah si nenek sehingga kelihatan mulutnya yang ompong dengan gigi yang
tinggal dua, katanya, "Ai, Siauya memang orang baik, tadi begitu mendengar aku akan
memberi makan kepada Siau Hoa, mereka lantas merintangi aku dan melarang aku pulang,
hanya Siauya saja... Ai, begitu melihat Siauya memang sudah kuduga engkau pasti seorang
yang baik hati."
Begitulah sambil mendekam di atas punggung Pwe-giok ia masih terus mengoceh terus dan
memuji Pwe-giok setinggi langit, katanya anak muda itu baik hati, cakap lagi, kelak pasti
akan mendapatkan bini yang cantik dan pintar.
Muka Pwe-giok menjadi merah. Untung tidak lama mereka sudah memasuki kota kecil itu.
Pwe-giok lantas tanya, "Dimanakah Lo-thaythay bertempat tinggal?"
"Tempat tinggalku paling mudah dikenali, sekali pandang saja lantas tahu," kata si nenek.
"O, apakah di depan sana?" tanya Pwe-giok pula dengan tertawa.
"Eh, jadi sudah kau lihat? Memang betul di loteng kecil itulah," kata si nenek.
Air muka Pwe-giok seketika berubah.
Maklumlah, di kota kecil ini hanya terdapat loteng itu, satu2nya loteng kecil itu adalah tempat
tinggal Hong-sam dan Cu Lui-ji, sekarang si nenek ternyata mengaku juga bertempat tinggal
di situ.
Diam2 Pwe-giok merasakan gelagat tidak enak, tapi sebelum ia bertindak sesuatu, tahu2
kedua kaki si nenek yang tadinya lemas itu seketika berubah menjadi kuat dan menjepit
tubuhnya seperti tanggam.
Biarpun Pwe-giok memiliki tenaga sakti pembawaan, tapi terjepit oleh kedua kaki si nenek,
jangankan hendak meronta, bernapas saja terasa sesak.
Keruan ia terkejut, serunya, "He, Lothaythay, ap... apa kehendakmu?"
"Aku cuman berharap Siauya akan mengantar ku pulang ke rumah," kata si nenek.
"Tapi... tapi tempat itu..."
480
"Hahhh!" mendadak si nenek mengakak, suara tertawanya seperti bunyi kokok beluk di
malam sunyi dan membuat bulu roma Pwe-giok sama berdiri.
Di dengarnya si nenek berkata pula dengan terkekeh2, "Barangkali Siauya belum tahu bahwa
tempat itulah rumah nenek, yang tinggal di sana, seorang adalah cucuku dan seorang lagi
adalah buyut perempuanku."
Pwe-giok menarik nafas dalam2, sedapatnya ia menahan perasaannya, katanya dengan
perlahan, "Jika Lothaythay ada sengketa apa2 dengan Hong-sian sianseng dan ingin
mencarinya, mengapa engkau perlu ku gendong ke sana? Padahal dengan tenaga kaki nenek
yang kuat, masa tidak dapat naik ke sana?"
Nenek itu tertawa, "Siauya, kau ini orang baik, tapi cucuku itu sedikitpun tidak berbakti
padaku, bila dia melihat nenek datang sendirian ke sana, bukan mustahil sekali depak aku
akan ditendangnya ke bawah loteng."
"Dan sekarang apa yang kau inginkan dariku?" tanya Pwe-giok dengan tersenyum getir.
"Asalkan kau gendong aku ke atas loteng dan katakan kepada mereka bahwa aku ini seorang
nenek yang sudah sakit parah, kau yang menolongku ke sana untuk minta mereka
memberikan obat padaku."
"Kemudian?" tanya Pwe-giok.
"Urusan selanjutnya tidak perlu lagi kau ikut campur... Hehe, kau sendiripun tidak mampu
ikut campur," kata si nenek dengan ter-kekeh2.
Diam2 Pwe-giok membatin "Ya, setelah ku gendong dia ke atas loteng, tentunya dia takkan
melepaskan aku dan akupun tidak perlu ikut campur apa2 lagi." Berpikir demikian, sekujur
badannya lantas basah kuyup oleh keringat dingin.
"Tapi hendaknya sekarang janganlah Siauya merencanakan tindakan yang tidak2, sebab
biarpun usia nenek sudah lanjut, untuk meremas patah tulang lehermu kukira tidak lebih sukar
daripada kupatahkan sepotong ranting kayu."
Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Lo thaythay, tiada sesuatu yang kukagumi padamu selain
ceritamu tentang si belang tadi, sungguh sedikitpun tidak menimbulkan curigaku."
*****
Pintu di bawah loteng kecil itu hanya dirapatkan saja tanpa dipalang dari dalam.
Di atas loteng Kwe Pian-sian lagi duduk termenung, Ciong Cing mendekap di pangkuannya,
seperti sudah tertidur.
Gin-hoa-nio meringkuk di pojok sana, mukanya yang semula ke-merah2an itu kini tampak
pucat seperti mayat, ia sedang memandangi tempat tidur sana dengan terbelalak, matanya
yang hidup se-olah2 dapat bicara itu kini tampak sayu dan hampa seperti sudah berubah
menjadi seorang linglung.
481
Si sakit, Hong-sam sianseng masih tetap berbaring di tempat tidur dengan tenang, cuma air
mukanya tambah merah dan segar, napasnya juga sudah normal.
Cu Lui-ji berjaga di sampingnya, air mukanya tampak mengunjuk rasa girang.
Pada saat itulah Pwe-giok naik ke atas loteng, begitu melangkah ke atas, dengan suara keras ia
lantas berseru, "Nenek ini mendapat sakit keras di tengah jalan, terpaksa ku gendong dia
pulang... kan tidak dapat kulihat dia mati sakit di tepi jalan bukan?"
Mendengar ini, Kwe Pian-sian berkerut kening. Ciong Cing tetap masih pulas dalam tidurnya.
Gin-hoa-nio tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, sedangkan Hong-sam sianseng tetap
diam2 saja tanpa membuka matanya.
Hanya Cu Lui-ji saja yang tersenyum, katanya, "Nenek ini menderita penyakit apa? Biar
ku..." mendadak suaranya terhenti, tanpa berkedip ia pandang nenek itu dengan wajah kerut
dan takut seperti melihat setan saja.
Nenek itu menyembunyikan mukanya di belakang gendongan Pwe-giok, katanya dengan
setengah merintih, "O, kasihanilah nona, berikan obat kepada nenek!"
Siapa tahu mendadak Cu Lui-ji lantas menjerit, "Oh-lolo... Oh-lolo... kau Oh-lolo!"
Tubuh Kwe Pian-sian tergetar demi mendengar nama Oh-lolo atau nenek Oh ini, air mukanya
juga tampak kejut dan jeri se-akan2 ingin kabur saja kalau bisa.
Tangan Pwe-giok juga berkeringat dingin, dia masih ingat kepada cerita ayahnya dahulu
bahwa yang paling jahat dan paling keji di dunia sekarang adalah Oh-lolo. Perempuan yang
paling tinggi ginkangnya dan paling mahir menggunakan racun juga Oh-lolo. Pernah dia
dikerubuti tiga diantara "Kesepuluh tokoh-tokoh jaman ini, dia terkurung di suatu lembah
pegunungan dan bertahan tujuh hari tujuh malam, akhirnya dia tetap dapat lolos dengan
selamat.
Begitulah terdengar Oh-lolo menghela nafas di gendongannya sambil berkata, "Tahu aku
bakal dikenali budak cilik ini, untuk apa ku-buang2 tenaga sebanyak ini?" Dia menggapai
Lui-ji dan berkata pula, "Eh, budak cilik, cara bagaimana kau kenal pada nenek? Coba
jelaskan, nanti nenek memberikan permen padamu!"
Tapi Cu Lui-ji telah memegangi tangan Hong sam sianseng, katanya dengan suara gemetar,
"Li... lihatlah Sacek, Oh-lolo tidak mati, sekarang dia datang lagi.
Hong Sam tetap tidak membuka matanya, dengan perlahan dia berucap, "Orang ini bukan Ohlolo.”:
"Tapi, kukenal dia... kukenal dia," kata Luji. "Dia masih tetap memakai bajunya yang tebal
itu, sanggulnya memakai tusuk kundai kayu hitam, sepatunya yang dipakainya juga serupa
dengan waktu itu."
"Dia bukan Oh-lolo," jengek Hong Sam. "Oh-lolo sudah mati!"
"Tapi dia... dia sudah hidup kembali!" seru Lui-ji.
482
"Orang yang terkena Hoa-kut-tan (pil penghancur tulang), jangankan dapat hidup kembali,
menjadi setan pun tidak dapat," kata Hong Sam dengan kereng.
Mendadak nenek itu bergelak tertawa, tertawa latah.
Suara seperti bambu patah, pergesekan benda logam, lolong serigala di hutan, bunyi kokok
beluk dan sebagainya adalah suara yang paling menakutkan dan paling menusuk telinga, tapi
suara tertawa nenek ini jauh lebih tidak enak didengar dan jauh lebih menakutkan daripada
suara2 yang disebutkan tadi.
Setelah tertawa seperti orang gila sampai sekian lamanya, lalu nenek itu berkata, "Pantas
kucari kian kemari tidak dapat menemukan adik perempuanku yang keji itu, kiranya dia
memang telah dibunuh oleh kau si setan penyakitan ini... Oo, baik sekali matinya, dia
memang sudah hidup cukup lama dan sudah waktunya harus mati... tapi sesudah dia mati, aku
menjadi sebatang kara begini, cara bagaimana aku dapat hidup sendirian!..."
Dari tertawa mendadak berubah menjadi menangis, suara tangisannya berpuluh kali lebih
menusuk telinga daripada suara tertawanya tadi, kaki Pwe-giok terasa lemas dan hampir2 saja
tidak kuat berdiri.
Akhirnya Hong Sam membuka matanya, sinar matanya berkelebat, setelah menatap si nenek
sekejap lalu katanya dengan bengis, "Kau inikah kakak Oh-lolo?"
Nenek itu menjawab, "Dia adalah aku dan aku adalah dia, dia Oh-lolo, akupun Oh-lolo, kami
kakak beradik berdua sama dengan satu dan tidak terpisahkan."
Tiba2 Kwe Pian-sian paham duduknya perkara, pikirnya, "Pantas orang Kangouw sama
bilang jejak Oh-lolo tidak menentu dan sukar diraba, pada satu hari yang sama ada orang
melihat dia muncul di Holam, tapi ada orang lain yang melihat dia berada di Soa-tang, kiranya
Oh-lolo ini terdiri dari dua kakak beradik kembar yang selamanya berdandan sama."
Tiba2 terdengar si nenek alias Oh-lolo tadi menangis tergerung-gerung sambil berteriak, "Kau
setan penyakitan busuk, kau telah membunuh adikku, bolehlah kau bunuh saja diriku
sekalian."
"Jadi kau kemari minta kubunuh?" jawab Hong Sam dengan tak acuh. "Baiklah, boleh kau
maju sini!"
"Lihatlah para hadirin!" teriak Oh-lolo. "Di dunia ini ternyata ada orang sekeji ini. Adik
perempuanku sudah dibunuhnya dan sekarang ia ingin membunuhku pula... kau setan
penyakitan ini apakah benar2 tiada punya hati nurani manusia sama sekali?"
"Jika kau tidak ingin mati boleh kau pergi saja," kata Hong Sam pula dengan ketus.
"Pergi ya pergi, jika aku tidak dapat membunuh kau, untuk apalagi berada di sini, hanya kheki
saja bila melihat kau!" kata Oh-lolo.
483
Mendengar si nenek menyatakan mau pergi, segera Pwe-giok hendak membalik tubuh, untuk
turun ke bawah. Padahal ia tahu sekali turun, maka selama hidupnya pasti akan terkekang di
bawah tangan nenek aneh itu.
Siapa tahu belum lagi dia membalik tubuh, se-konyong2 kedua kaki Oh-lolo menggantol
sekuatnya sehingga tubuh Pwe-giok bagian atas menubruk ke depan tanpa kuasa.
Dirasakannya suatu arus tenaga menyalur ke lengannya, tanpa terasa kedua tangannya terus
terangkat dan menghantam ke arah Hong Sam yang masih terbaring itu.
Cara ini benar2 sesuai dengan namanya, yaitu "Cio-to-sat-jin" atau pinjam golok membunuh
orang.
Sebab kalau hantaman Pwe-giok itu berhasil, tentu saja sangat baik, tapi kalau Hong Sam
melancarkan serangan balasan, paling2 yang akan terluka ialah Pwe-giok. Oh-lolo yang
mendekap di belakang punggungnya tentu sempat mengundurkan diri bilamana kejadian tidak
menguntungkan.
Maklumlah, sebelumnya Oh-lolo sudah memperhitungkan keadaan Hong Sam, lawan ini
berbaring tertutup selimut, jelas tidak dapat mengelak, baginya hanya ada dua jalan, yakni
menerima pukulan kedua tangan Pwe-giok itu atau balas menghantam. Dengan lain perkataan,
apabila Hong Sam tidak mati, maka yang akan mati ialah Pwe-giok.
Tapi kalau Hong Sam mati, apakah Oh-lolo akan membiarkan anak muda itu hidup terus?
Jadi pergi-datang, akhirnya Pwe-giok pasti akan mati.
Keruan Cu Lui-ji menjerit kaget. Dilihatnya tangan Hong Sam yang kurus kering seperti kayu
itu mendadak terjulur keluar dari selimut, entah cara bagaimana tahu2 telapak tangan Pwegiok
kena ditangkapnya.
Sesaat itu Pwe-giok merasakan suatu arus tenaga maha dahsyat timbul dari tangan Hong Sam
siansing, tapi hanya satu putaran segera tenaga itu menyurut kembali.
Menyusul tenaga yang dikerahkan Oh-lolo ke tangannya tadi lantas ikut arus tenaga Hong
Sam siansing itu dan mengalir keluar.
Seketika Pwe-giok merasa kedua tangannya dialiri oleh arus tenaga yang panas dan bergerak
tanpa berhenti, keruan ia terkejut, tapi segera ia tahu apa yang terjadi. Nyata Hong Sam
siansing telah menggunakan lengannya sebagai jembatan untuk menghisap tenaga murni Ohlolo.
Di dunia ini ternyata adalah kungfu ajaib begini, sungguh sukar untuk dibayangkan oleh
siapapun.
Agaknya Oh-lolo juga sudah tahu apa yang terjadi, saking takutnya ia berteriak, "Hong Sam...
Hong-locianpwe... berhenti... ampun, aku... aku menyerah padamu!"
Dengan perlahan Hong Sam berkata, "Sebenarnya aku tidak mau sembarangan mengambil
tenaga murni orang lain, tapi kau yang lebih dulu ingin mencabut nyawaku..."
484
"Aku tidak berani lagi, Hong-locianpwe, kumohon sudilah engkau mengampuni diriku," pinta
Oh-lolo dengan suara parau.
Pwe-giok jadi heran dan geli. Kwe Pian-sian juga melenggong.
Mendadak Oh-lolo menggigit telapak tangannya sendiri, kedua kakinya memancal sekuatnya
di punggung Pwe-giok, orangnya terus mencelat pergi dari gendongan Pwe-giok.
"Blang", kepalanya menumbuk langit2 rumah, lalu jatuh ke bawah lagi dan terduduk di lantai
dengan nafas ter-engah2, mendadak ia berlutut menyembah kepada Hong Sam dan berkata,
"Ya, ku tahu akan kesalahanku, kumohon sudilah engkau mengampuni diriku."
Dengan hambar Hong Sam menjawab, "Kau dapat lolos dari tanganku, sungguh tidak
mudah... baiklah, pergilah kau!" lalu ia tersenyum kepada Pwe-giok dan berkata, "Untung
bagimu!"
Tadi waktu tubuh Oh-lolo mencelat ke atas, seketika Pwe-giok merasakan tenaga yang
menghisap di telapak tangannya hilang mendadak. Kini di antara kedua tangannya masih
terasa ada hawa hangat yang bergerak tiada hentinya.
Selagi bingung didengarnya Cu Lui-ji berkata kepadanya dengan tertawa, "Tenaga murni
orang yang dipinjam Sacek ada sebagian besar tertinggal di tubuhmu, kau telah mendapatkan
keuntungan tanpa sengaja, masa kau belum lagi tahu?"
Pwe-giok melengak, ia pandang tangan sendiri, lalu pandang Oh-lolo pula, dalam hati entah
bergirang atau berduka.
Dilihatnya Oh-lolo sedang melangkah ke tangga loteng dengan tubuhnya yang bungkuk dan
kelihatan lemas. Meski berjalan dengan tertunduk, tapi sinar matanya yang buas penuh
kebencian masih terus melirik ke arah Hong Sam.
"Jangan kau pergi dulu!" kata Hong Sam mendadak.
Oh-lolo terjingkat, tanyanya dengan suara gemetar, "Hong-samya ingin pesan apa lagi?"
"Selamanya aku tiada hubungan apa2 dengan orang Kangouw, apalagi bermusuhan," ucap
Hong Sam dengan perlahan. "Jika sekarang kau pergi begini saja, tentu dalam anggapanmu
adik perempuanmu telah kubunuh tanpa alasan."
"Mana kuberani berpikir begitu," ujar Oh-lolo dengan kepala tertunduk.
"Bolehlah kau tinggal di sini, dengarkan ceritaku sebab apakah kubunuh dia," kata Hong Sam
pula.
"Jika Hong-samya mau bercerita, dengan sendirinya terpaksa kudengarkan," ujar Oh-lolo.
Meski di mulut dia bilang akan mendengarkan karena terpaksa, padahal di dalam hati ia
sangat berharap agar Hong Sam lekas bercerita.
485
Pwe-giok juga tahu apa yang akan diceritakan Hong-sam sianseng sekarang adalah lanjutan
kisahnya yang pernah diceritakan itu. Sudah tentu minatnya terhadap cerita ini tidak di bawah
Oh-lolo.
Tak tahunya sebelum Hong Sam berbicara lebih lanjut, tiba2 Cu Lui-ji menyela, "Kukira
lebih baik Sacek istirahat saja dan biarkan kuceritakan kepada mereka."
"Kejadian waktu itu apakah masih kau ingat dengan baik?" tanya Hong Sam dengan
menyesal.
Lui-ji menggigit bibir dan menjawab dengan sekata demi sekata, "Meski waktu itu aku masih
kecil, tapi apa yang terjadi seolah2 terukir dalam-dalam hatiku. Asalkan ku pejamkan mata
segera dapat kulihat setiap... setiap raut wajah itu."
Meski dia bicara dengan perlahan, tapi rasa bencinya membuat orang mengkirik, tanpa terasa
Oh-lolo juga merasa seram, katanya dengan mengiring tawa, "Jika demikian, silahkan nona
lekas bercerita."
Tiba2 Lui-ji melotot ke arahnya dan berkata, "Ingin kutanya padamu lebih dulu, tahukah kau
siapa aku ini?"
Dengan menyengir Oh-lolo menjawab, "Di dunia ini, kecuali ibu seperti Cu-kiongcu itu, siapa
lagi yang dapat melahirkan anak perempuan seperti nona Cu ini?"
Lui-ji melototinya sekejap dengan gemas, per-lahan2 ia pejamkan mata dan mulai bercerita
dengan perlahan, "Waktu itu sudah jauh malam, ibu belum lagi tidur, beliau sedang
menjahitkan baju baru bagiku, sepotong baju merah yang disiapkan untuk kupakai pada tahun
baru. Ibu bermaksud pula menyulam seekor Kilin (binatang lambang rejeki) pada baju merah
itu, beliau membisiki diriku, katanya beliau berharap lambang Kilin itu akan membawa
seorang adik lelaki yang mungil bagiku."
Kenangan itu masih terasa hangat dan indah, wajah Lui-ji yang pucat itupun menampilkan
cahaya yang cantik lantaran kenangan yang hangat ini.
Tersembul senyuman manis pada ujung mulut Lui-ji, lalu ia menyambung ceritanya, "Anak
kecil mana yang tidak suka pada baju baru, dengan sendirinya akupun ingin cepat2 memakai
baju baru. Maka meski sudah larut malam, aku masih menunggui ibu menjahit dan tidak mau
tidur."
Oh-lolo ber-kedip2, katanya dengan tersenyum, "Siau-hun-kiongcu ternyata mau menjahit
baju, sungguh tak pernah terbayangkan oleh siapa pun juga."
"Bukan saja menjahit, bahkan ibuku juga mencuci, menanak nasi, menyapu lantai... pendek
kata segala pekerjaan rumah tangga selalu ditanganinya sendiri, masa kau tidak percaya?"
"Apa yang dikatakan nona masakah perlu kuragukan?" jawab Oh-lolo.
"Sementara itu sudah dekat tengah malam, pada umumnya penduduk di kota kecil ini suka
tidur lebih dini, suasana sudah sunyi, tiada terdengar suara apapun, keadaannya serupa
sekarang ini."
486
Angin meniup di luar jendela, suasana memang benar2 hening, entah mengapa dalam hati
masing2 sama timbul rasa seram se-akan2 mendapat firasat tidak enak.
Lui-ji melanjutkan ceritanya, "Tatkala mana ibuku agaknya juga merasakan alamat tidak baik,
pikiran beliau tampaknya juga sedang kacau. Saat itu beliau sedang menyulam mata Kilin,
tapi telah salah sulam tiga kali. Pada saat itulah se-konyong2 terdengar suara menggelepar di
luar, seekor burung malam tiba2 terbang dari atap seberang rumah."
Bicara sampai di sini, senyuman yang menghiasi wajah Lui-ji sudah lenyap, perasaan setiap
orang juga ikut tegang.
"Aku terkejut," sambung Lui-ji pula, "Ku jatuhkan diri ke pangkuan ibu. Sembari menepuk
punggungku dengan perlahan, mendadak ibu meraup segenggam jarum sulam terus
ditaburkan ke lubang angin di ujung atap sana."
"Burung malam terbang terkejut, jelas itu tandanya ada Ya-heng-jin (orang pejalan malam),"
kata Oh-lolo dengan tertawa. "Ibumu memang tidak malu sebagai seorang tokoh Kangouw
kawakan dengan taburan jarum itu, mustahil kalau bocah di luar itu tidak menggeletak."
"Hm, yang di luar jendela itu tak-lain-tak-bukan ialah Oh-lolo!" jengek Lui-ji.
Oh-lolo melengak, ucapnya dengan menyengir, "O, be... begitukah?"
"Tapi begitu jarum itu ditaburkan ibuku, keadaannya seperti batu tenggelam di lautan,
sedikitpun tidak menimbulkan reaksi apa2, maka tahulah ibu telah kedatangan lawan tangguh,
ibu lantas memanggil bangun ay..." dia memejamkan mata dan menghela nafas panjang, lalu
menyambung lagi, "Memanggil bangun Tonghong Bi-giok dan menyerahkan diriku
kepadanya. Tatkala mana kulihat air muka ibu mendadak berubah pucat. Tapi Tonghong Bigiok
itu sebaliknya tampak bergirang."
Pwe-giok menghela nafas gegetun, pikirnya, "Lelaki yang tidak berbudi dan tidak setia
begitu, pantas kalau Lui-ji tidak sudi mengaku ayah padanya."
Terdengar Lui-ji melanjutkan lagi ceritanya, "Dalam pada itu di luar jendela ada orang
berseru dengan tertawa, "Lihay amat hujan jarum yang ditaburkan ini, cuma sayang, terhadap
nenek macam diriku ini menjadi tiada gunanya hujan jarum ini…"
Karena uraian ini, tanpa terasa pandangan semua orang lantas beralih ke arah Oh-lolo.
Nenek itu terbatuk, lalu bertanya, "Waktu itu nona berumur berapa?"
"Empat tahun," jawab Lui-ji. "Masa anak umur empat dapat mengingat sejelas itu apa yang
pernah diucapkan orang lain?" ucap Oh-lolo dengan tertawa.
Dengan hambar Lui-ji menjawab, "Ada sementara orang biarpun hidup sampai nenek2 tapi
makin tua makin pikun. Sebaliknya ada orang yang sekalipun baru berumur empat, tapi sudah
banyak yang dipahaminya, apalagi..."
487
Tanpa berkedip ia pandang Oh-lolo, lalu menyambung sekata demi sekata, "Bilamana ada
orang telah membunuh ibumu pada waktu kau baru berumur empat, maka apapun yang
dikatakannya waktu itu, tentu takkan kau lupakan selamanya biarpun cuma satu kata saja."
Mengkirik Oh-lolo oleh pandangan tajam si nona, ia tertunduk dan berkata, "Adik
perempuanku itu memang keterlaluan, suka campur urusan orang lain."
Lui-ji mendengus, sambungnya pula, "Setelah mendengar ucapan tadi, segera ibuku dapat
menerka siapa yang berada di luar jendela. Beliau lantas berseru, "Oh-lolo, selamanya kita
tiada sengketa apa2, untuk apa kau cari diriku?..." pada waktu itulah daun jendela di sekeliling
rumah lantas terbuka serentak, di dalam rumah tahu2 sudah bertambah belasan orang. Cepat
sekali kedatangan orang2 itu, meski mereka melayang masuk dari luar jendela, tapi rasanya
seperti arwah yang muncul dari bawah bumi."
"Kiranya mereka datang belasan orang sekaligus..." kata Oh-lolo. "Rumah kami memang
tidak besar, tentu saja belasan orang itu segera memenuhi seluruh ruangan," tutur Lui-ji pula.
"Ibuku lantas terkepung di tengah, jalan mundur saja sudah tertutup buntu."
"Bagaimanakah bentuk orang2 itu?" tanya Oh-lolo.
"Yang menjadi kepalanya bertubuh jangkung, berkopiah dan berbaju pertapa, tampaknya
seperti orang yang beribadat dan menimbulkan rasa hormat orang..." tutur Lui-ji. "Padahal
sesungguhnya dia hanya seorang Siaujin (orang kecil, rendah) yang keji."
"Orang ini tentunya Tonghong-sengcu adanya," kata Oh-lolo dengan tertawa.
"Ada seorang lagi yang bermuka penuh berewok, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam
seperti pantat kuali, senjata yang dibawanya mirip sebuah pagoda."
"Ah, kiranya Li-thian-ong juga ikut," tukas Oh-lolo.
"Ada pula seorang tua, rambutnya sudah putih seluruhnya, giginya juga sudah ompong
semua, wajahnya senantiasa tersenyum seperti seorang nenek yang welas asih, padahal
hatinya lebih keji dan buas daripada binatang."
Tidak perlu dijelaskan lagi semua orang tahu siapa gerangan yang dimaksudkan, tanpa terasa
pandangan semua orang lantas beralih pula ke arah Oh-lolo.
"Makian yang tepat," kata Oh-lolo dengan tersenyum. "Bilamana kulihat dia, tentu juga akan
ku maki dia se-kenyang2nya." "Sudah tentu ibuku terkejut melihat munculnya orang2 itu, tapi
segera beliau dapat menenangkan diri dan bertanya apa maksud tujuan kedatangan mereka?"
"Ya, biarpun orang2 itu bukan orang sembarangan, tapi Cu-kiongcu tentu juga tidak takut
terhadap mereka," kata Oh-lolo dengan menyengir.
"Tapi Tonghong Tay-beng itu lantas mencaci maki, katanya ibu telah memikat anaknya,
banyak pula kata2 tidak baik yang diucapkannya. Meski ibu sangat marah mendengar makian
orang, tapi beliau menyadari orang itu adalah ayah-mertuanya. Ibu tidak berani
memperlihatkan sikap kasar, beliau mengira apa yang terjadi ini hanya salah paham belaka,
maka berusaha memberi penjelasan."
488
"Huh, si tua Tonghong itu paling suka membela orang sendiri, mana dia mau terima
keterangan ibumu," kata Oh-lolo.
"Benar juga, dia bahkan tidak memberi kesempatan bicara kepada ibuku," tutur Lui-ji. "Ibuku
pikir biarkan Tonghong Be-giok saja yang bicara langsung kepada ayahnya, siapa tahu,
mendadak Tonghong Bi-giok melompat ke belakang ayahnya, lalu menuding dan
mendamprat ibuku, caci-makinya bahkan jauh lebih kotor daripada Tonghong Tay-beng."
"Lelaki kebanyakan memang tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik)," kata Oh-lolo
dengan menyesal.
Dalam pada itu Ciong Cing sudah mendusin, perasaannya jadi tersinggung, kembali ia
menangis perlahan.
Lui-ji juga mengembeng air mata, tuturnya pula, "Sampai sekarang barulah ibuku tahu pribadi
Tonghong Bi-giok ternyata begini rendah, nyata cintanya selama ini telah diserahkan kepada
manusia demikian, sesaat itu mendadak ibu merasa putus asa dan lemas lunglai, iapun malas
bicara lagi, ia hanya tanya apakah Tonghong Tay-beng dan Tonghong Bi-giok mau
membesarkan diriku atau tidak?"
Bercerita sampai di sini air mata Lui-ji sudah mengucur deras, bahkan Gin-hoa-nio yang
berhati keras itupun ikut menangis. Perasaan semua orang juga sangat sedih, satu per satu
sama menunduk dan tidak bersuara.
Selang agak lama barulah Lui-ji mengusap air matanya dan melanjutkan ceritanya, "Dengan
sendirinya Tonghong Bi-giok menyatakan sanggup, malahan katanya aku ini anaknya, dengan
sendirinya akan dijaga se-baik2nya. Untuk terakhir kalinya ibuku memandangnya sekejap,
lalu hendak membunuh diri di depannya."
Tanpa terasa semua orang sama menjerit kaget, tapi merekapun tahu ibu si nona itu takkan
mati secepat itu, sebab seterusnya diketahui masih terjadi lagi macam2 urusan.
Dengan pedih Lui-ji berkata pula, "Tatkala mana usiaku masih kecil, namun samar2 sudah
dapat ku terka apa yang terjadi, akupun menangis keras2, namun ibuku sudah nekat dan tidak
menggubris ratapanku, segera ia angkat belati hendak membunuh diri. Pada detik terakhir
itulah se-konyong2 sesosok bayangan putih melayang masuk pula dari luar, begitu cepat dan
gesit gerakan orang itu, tahu2 belati di tangan ibuku sudah dirampasnya."
Semua orang sama berseru heran, "Hei, siapa lagi orang ini?" Lui-ji tidak menjawabnya, ia
meneruskan ceritanya. "Waktu itu meski aku tidak paham tinggi rendahnya ilmu silat, tapi
dapat juga kulihat ginkang orang itu ternyata jauh lebih tinggi daripada ibuku."
"Oo...?" Oh-lolo berseru heran, tanpa terasa ia melirik ke sana, seketika pandangan semua
orang ikut beralih kepada Hong Sam sianseng, dalam hati masing2 samar2 sudah dapat
menduga siapa si pendatang itu.
"Merasa niatnya dirintangi orang, ibuku menjadi gusar, sebelah tangannya lantas
menghantam. Namun dengan enteng dan gesit orang itu dapat menghindarkan serangan ibu.
Kukira sekarang kalian tentu tahu siapa penolong ibuku itu?"
489
"Ehmm," semua orang sama mengangguk.
Lui-ji memandang Hong Sam sekejap, tersembul senyuman hangat pada ujung mulutnya, lalu
katanya, "Waktu itu Sacek masih seorang Kongcu yang gagah dan cakap. Hari itu dia
memakai baju putih mulus seperti salju, ketika melayang tiba dari luar sungguh gayanya
seperti malaikat dewata yang baru turun dari kahyangan."
Oh-lolo berdehem dua kali, katanya, "Kecakapan Hong Sam kongcu, pada masa itu pernah
kudengar juga."
"Padahal Tonghong Tay-beng dan begundalnya juga terhitung tokoh Bu-lim yang top, tapi
melihat gerakan Sacek yang luar biasa, ginkangnya yang tiada bandingannya, mau-tak-mau
mereka sama melongo. Betapapun Tonghong Tay-beng memang lebih tabah, segera ia
menegur Sacek, "Siapa kau? Apa maksud kedatanganmu ini?"
"Rupanya Tonghong Tay-beng sudah terlalu lama tinggal di lautan sana sehingga tidak kenal
lagi kepada Hong-sam sianseng, hal ini dapatlah dimaklumi, tapi Li-thian-ong, adik
perempuanku dan lain2 masa juga tidak dapat menduga pendatang itu ialah Hong-sam
sianseng? Di kolong langit ini, kecuali Hong-sam kongcu, siapa lagi yang berusia semuda itu
dan menguasai Kungfu setinggi itu?"
"Semula ibuku juga melenggong, setelah mendengar teguran Tonghong Tay-beng itu,
mendadak Oh-lolo menjerit kaget dan menyebut nama Sacek. Barulah ibuku tahu telah
kedatangan penolong yang dapat dipercaya, ia merasa tidak perlu kuatir lagi akan difitnah dan
dikeroyok orang."
Sampai di sini Hong Sam yang berbaring itu menghela nafas panjang, katanya dengan rawan,
"Siapa tahu aku... aku..."
Cepat Lui-ji mendekatinya dan berlutut, ucapnya dengan menangis, "Kejadian itu mana boleh
menyalahkan Sacek? Kenapa Sacek berduka?"
Hong Sam termenung sejenak dan memejamkan matanya, katanya kemudian, "Baiklah, lan...
lanjutkan ceritamu!"
Lui-ji berdiri dengan menunduk kepala, iapun memejamkan mata dan berdiam sejenak, habis
itu barulah dia menyambung kisahnya, "Waktu itu Sacek lantas membongkar seluk beluk
rencana busuk yang diatur Tonghong Bi-giok yang bersengkongkol dengan ayahnya itu,
Sacek mendamprat Tonghong Bi-giok habis2an akan ketidak-setiaan dan ketidak berbudinya.
Begundal Tonghong Tay-beng sama melengak heran dan sangsi, entah mesti percaya atau
tidak terhadap keterangan Sacek itu."
"Biarpun dalam hati mereka tak percaya, di mulut mungkin merekapun tidak berani bicara,"
kata Pwe-giok.
"Hanya Li-thian-ong yang biasanya sombong dan suka meremehkan orang lain, meski
Tonghong Tay-beng juga sudah pernah mendengar nama Sacek, tapi iapun belum kenal
betapa lihaynya Sacek, kedua orang sama merasa penasaran menghadapi Sacek yang cuma
490
sendirian itu. Diam2 kedua orang itu saling memberi tanda, serentak mereka melancarkan
serangan maut terhadap Sacek."
"Kedua orang itu mungkin sudah bosan hidup," kata Oh-lolo dengan gegetun.
"Memang," kata Lui-ji. "Orang macam apakah Sacek, sudah tentu beliau sudah
memperhitungkan kemungkinan tindakan mereka itu. Beliau tetap tenang2 saja, waktu itu dari
jauh kulihat senjata Li-thian-ong yang berwujud pagoda baja itu sedikitnya berbobot beberapa
ratus kati sedang menghantam kepala Sacek, begitu dahsyat sehingga tempat aku berdiri juga
merasakan angin damparannya yang keras. Apalagi Tonghong Tay-beng ikut menyerang
sekaligus, sungguh aku menjadi kaget dan kuatir, saking ketakutan aku sampai menangis."
Tanpa terasa semua orang ikut berdebar.
Tapi Lui-ji lantas menyambung, "Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak Sacek bersiul
panjang nyaring menggema angkasa, namun suaranya tidaklah menusuk telinga, sebaliknya
kedengarannya sangat merdu."
"Itulah yang disebut kicauan burung Hong menggema ribuan li, menggetar sukma kabur sukar
dicari!" seru Oh-lolo.
"Di tengah suara siulan nyaring itu," demikian Lui-ji melanjutkan, "entah cara bagaimana
tahu2 tubuh Li-thian-ong mencelat, senjata andalannya, yaitu pagoda baja juga sudah
berpindah ke tangan Sacek, dengan enteng Sacek memuntir, seketika pagoda baja itu berubah
menjadi untir2."
Semua orang sama melengak, sungguh mereka tidak pernah mendengar bahwa di dunia ada
Kungfu setinggi ini.
"Agaknya Tonghong Tay-beng juga terkena serangan Sacek," sambung Lui-ji pula, "dia
tampak ketakutan, tapi Sacek hanya memandangnya dengan tertawa dingin, katanya,
"Mengingat menantu perempuanmu, biarlah kuampuni jiwamu!" Sembari bicara Sacek terus
menelikung untir2 baja tadi hingga berubah menjadi sebuah gelang, lalu dilemparkan,
terdengar suara "brak" di kejauhan, sebatang pohon cukup besar seketika patah menjadi dua
dan tumbang."
Bicara sampai di sini, Lui-ji menghela nafas lega, lalu katanya, "Setelah Sacek
memperlihatkan kungfunya, orang2 itu tiada satupun yang berani bergerak lagi."
Semua orang ikut merasa lega juga meski diketahui ibu anak dara itu akhirnya tidak terhindar
dari kematian. Dan ini pula yang membuat mereka heran, entah mengapa kemudian Siau-hunkiongcu
tewas juga dan entah sebab apa Hong-sam sianseng juga terluka.
Cuaca sudah remang2, senja sudah tiba, di atas loteng mulai suram.
Pwe-giok tidak tahan, ia membuka suara, "Apakah kejadian itu kemudian berkembang lagi
lebih mengejutkan orang?"
Lui-ji menuang secangkir teh dan melayani minum Saceknya, habis itu perlahan2 barulah ia
menyambung lagi, "Melihat perbawa Sacek sudah menaklukan musuh, ibu lantas mendekati
491
Sacek dan memberi hormat serta mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Sacek tanya
kepada ibuku, lantas bagaimana akan menyelesaikan urusan ini?"
"Meski Tonghong Bi-giok itu berdosa kepada ibumu, tapi kukira ibumu pasti tidak tega
mencelakai dia," ujar Kwe Pian-sian dengan gegetun.
"Betul, hati perempuan biasanya memang lemah," tukas Oh-lolo.
"Tapi diantaranya ada juga yang berhati keras, bahkan tidak kepalang kerasnya dan
menakutkan," sambung Kwe Pian-sian dengan tersenyum.
Seperti tidak mengikuti ucapan mereka, pandangan Lui-ji menatap keremangan senja di luar
jendela dengan termangu, sejenak kemudian barulah ia menyambung ceritanya, "Karena
pertanyaan Sacek tadi, ibu hanya menangis saja dan tidak bicara. Sacek bertanya pula apakah
lelaki tidak setia itu perlu dibunuh saja? Namun ibu tetap tidak buka mulut, melainkan cuma
menggeleng saja. Maka berkatalah Sacek, "Jika demikian, suruh dia enyah saja sejauh2nya!..."
ia menghela nafas, lalu melanjutkan, "Siapa tahu, ibu lantas menangis tergerunggerung
mendengar ucapan Sacek itu."
"Aneh juga," kata Pwe-giok, "ibumu tidak tega membunuhnya, juga tidak mau melepaskan
dia, sesungguhnya apa kehendaknya?"
Dengan menunduk Lui-ji berkata, "Ibuku... dia..."
Mendadak Hong-sam sianseng menukas, "Boleh kau istirahat dulu, biarkan ku sambung
ceritamu."
Lui-ji mengusap air matanya dan mengiakan dengan menunduk.
Hong Sam lantas berkata, "Waktu itu akupun heran, kalau Cu Bi tidak tega membunuhnya
dan juga tidak mau melepaskan dia pergi, lalu tindakan apa yang harus kulakukan?"
Dia berhenti sejenak, setelah menghela nafas lalu sambungnya, "Pikiran wanita selamanya
memang tak dapat ku raba. Selagi aku merasa bingung, tiba2 Oh-lolo itu menyeletuk, katanya
dia tahu maksud Cu Bi."
"Memang hanya perempuan saja yang mengetahui isi hati sesama perempuan," kata Pwegiok.
"Dengan sendirinya ku silahkan dia bicara," tutur Hong Sam pula. "Maka Oh-lolo lantas
mendekati Cu Bi, tanyanya dengan tersenyum, "Maksud Kiongcu apakah ingin rujuk kembali
dengan Tonghong-kongcu?..." Tentu saja aku menjadi gusar, kupikir sudah jelas Tonghong
Bi-giok itu sedemikian rendah dan tak berbudi terhadap Cu Bi, bilamana Cu Bi tidak
membunuhnya sudah tergolong untung baginya, masa sekarang Cu Bi ingin berhubungan baik
pula dengan dia? Sudah tentu aku tidak percaya, maka aku lantas tanya Cu Bi, apakah
memang begitu maksudnya? Sampai beberapa kali kutanya dia, namun sama sekali dia tidak
mau menjawab meski dia tidak menangis lagi."
"Kalau tidak menangis dan juga tidak menjawab, hal itu berarti diam2 telah membenarkan,"
kata Gin-hoa-nio mendadak.
492
Hong Sam tersenyum pahit, ucapnya, "Sampai lama akhirnya barulah ku paham isi hatinya,
memang betul begitulah kehendaknya. Kurasakan hal itu sungguh terlalu enak bagi keparat
Tonghong Bi-giok itu, tapi Cu Bi sebagai orang yang paling berkepentingan sudah
menghendaki begitu, terpaksa akupun tak dapat berbuat apa2."
"Di dunia ini hanya cinta kasih antara lelaki dan perempuan saja yang tak dapat dipaksakan
oleh siapapun," kata Pwe-giok.
"Melihat sikapku sudah lunak dan tidak merintangi lagi, orang2 itu sama merasa lega," tutur
Hong Sam pula. "Segera Tonghong Tay-beng menarik anaknya maju ke depan, ayah dan anak
itu ber-sama2 meminta maaf kepada Cu Bi. Dalam keadaan demikian aku menjadi lebih2
tidak dapat bicara apa2 lagi."
"Dan bagaimana pula sikap Tonghong Bi-giok itu?" tanya Pwe-giok.
"Sudah tentu wajahnya penuh rasa menyesal," jawab Hong Sam. "Tadinya wajah Cu Bi penuh
rasa gusar, tapi kemudian telah berubah cerah, sinar matanya menjadi terang pula, tampaknya
awan mendung sudah buyar dan segala sesuatu akan menjadi terang. Siapa tahu tiba2 datang
lagi usul Oh-lolo."
"O, usul apa?" tanya Pwe-giok.
"Katanya, meski Tonghong Bi-giok dan Cu Bi sudah suka sama suka, tapi sebelum ada ijin
orang tua serta perantara comblang, betapapun ikatan mereka sebagai suami isteri belum
resmi, sebab itulah sekarang juga dia ingin menjadi comblang bagi mereka agar Tonghong Bigiok
dan Cu Bi dapat terikat menjadi suami isteri di depan ayahnya, dan akupun diminta
menjadi wali bagi Cu Bi."
"Ehm, bukankah itu usul yang bagus?" kata Oh-lolo.
"Hm, semula akupun merasa usulnya memang bagus," jengek Hong Sam. "Maka be-ramai2
semua orang lantas sibuk mengatur seperlunya, di atas loteng kecil inilah diadakan perjamuan
untuk merayakan peresmian pengantin baru mereka."
"Perjamuan?" Pwe-giok menegas dengan terbelalak. "Tentunya tiada perjamuan yang tanpa
arak!"
"Betul, perjamuan tentu harus lengkap dengan suguhan arak," kata Hong Sam.
"Jangan2 di dalam arak itulah terjadi sesuatu?" ucap Pwe-giok pula.
Hong Sam menghela nafas panjang, katanya, "Usiamu masih muda belia, tapi nyatanya
pengalaman dan pengetahuanmu sudah jauh lebih luas daripada diriku pada waktu itu."
Diam2 Pwe-giok membatin, "Mungkin lantaran Cianpwe memandang dirimu tiada tandingan
di kolong langit ini dan tidak menaruh perhatian terhadap orang lain, dan tentunya juga tidak
menyangka ada orang berani mencelakai kau dengan cara yang licik."
493
"Sudah tentu pikiran ini tidak berani diutarakannya, tapi didengarnya Hong Sam telah
menyambung pula, "Dalam hatimu tentu kau anggap aku terlalu tinggi hati dan mengira orang
lain tidak berani berbuat apapun kepadaku, soalnya kau tidak mengetahui keadaan pada waktu
itu..." ia menghela nafas panjang, lalu meneruskan, "Apabila waktu itu kaupun di sana dan
melihat setiap orang sama riang gembira, tentu kaupun takkan curiga bahwa sebenarnya
dirimu sedang diincar."
"Jika orang ingin mengerjai Cianpwe, mana bisa sikapnya itu diperlihatkan kepada
Cianpwe?" ujar Pwe-giok tak tahan.
Air muka Hong Sam tampak guram, sampai lama ia tidak bersuara.
Sementara itu Lui-ji sudah cukup beristirahat, segera ia menyela, "Sudah tentu masih ada
alasan lain. Pertama Sacek menganggap orang2 itu adalah tokoh Kangouw terkenal, tentunya
tidak sampai bertindak secara keji dan rendah."
Pwe-giok tersenyum pahit, katanya, "Terkadang orang2 yang sok anggap dirinya kaum
pendekar budiman itulah sering2 dapat bertindak secara kotor dan menakutkan. Sebab kalau
orang2 macam begitu sampai berbuat sesuatu kebusukan, bukan saja orang lain takkan
berjaga-jaga, bahkan juga takkan percaya."
Lui-ji juga terdiam sejenak, katanya kemudian, "Kedua, dengan Kungfu Sacek waktu itu,
sekalipun beliau menenggak habis secawan arak beracun juga takkan menjadi soal, arak
beracun itu pasti dapat didesaknya keluar. Apalagi Sacek menyaksikan sendiri arak yang
disuguhkan itu dituang dari satu poci yang sama."
Kwe Pian-sian memandang Oh-lolo sekejap, lalu berkata, "Kalau racun biasa tentu tidak
beralangan bagi Hong locianpwe, tapi cara penggunaan racun Oh-lolo boleh dikatakan tiada
bandingannya di kolong langit ini, biarpun tenaga dalam Hong locianpwe maha tinggi,
betapapun perutnya bukan terbuat dari baja."
"Baru kemudian Sacek tahu bahwa racun bukan melalui arak yang disuguhkannya itu,"
sambung Lui-ji pula. "Tapi racun dipoles pada cawan arak yang digunakan Sacek dan ibuku,
sungguh racun yang maha lihay."
"Bila di dalam arak beracun, rasa arak tentunya akan berubah," kata Pwe-giok. "Setelah
Hong-locianpwe minum cawan pertama, apakah belum dirasakan ada kelainan pada arak itu
dan mengapa sampai minum lagi cawan yang kedua?"
Kwe Pian-sian tidak tahan, ia menyeletuk pula, "Seumpama Hong-locianpwe tidak dapat
merasakannya, Cu-kiongcu sendiri kan juga seorang ahli racun, masa beliau juga tidak dapat
merasakannya?"
"Justeru lantaran racun dipoles pada cawan arak, sedangkan araknya dingin, ketika cawan
pertama dituang, serentak semua orang angkat cawan dan menghabiskannya, dengan
sendirinya racun yang larut ke dalam arak waktu itu tidak banyak," demikian Lui-ji menutur
dengan gegetun. "Dan kemudian...?" tanya Kwe Pian-sian.
"Kemudian racun yang larut ke dalam arak tentunya makin lama makin cepat dan banyak,"
tutur Lui-ji. "Tapi dalam pada itu arak yang diminum Sacek dan ibuku juga tidak sedikit lagi,
494
daya rasa mereka lambat-laun sudah mulai tumpul... tentunya kalian maklum, saat itu hati
ibuku tentunya sangat gembira. Dalam keadaan terlalu gembira, kewaspadaan seseorang
biasanya tentu akan sangat berkurang."
"Sungguh hebat," ujar Kwe Pian-sian, "tampaknya waktu menaruh racun, setiap kemungkinan
sudah diperhitungkan masak2 oleh Oh-lolo. Kemahiran menaruh racun orang ini sungguh
sukar ditandingi siapapun juga."
Membayangkan betapa rapi cara Oh-lolo menaruh racun serta tindakannya yang keji, tanpa
terasa semua orang sama mengkirik, apalagi sekarang terdapat pula seorang Oh-lolo di depan
mereka, tentu saja timbul rasa was-was dan jemu mereka terhadap nenek ini.
Kebetulan Pwe-giok berdiri di sampingnya, sekarangpun ia merasa ngeri dan cepat
menjauhinya. Bahkan Ciong Cing menjadi ketakutan, memandang saja tidak berani.
Lui-Ji lantas berkata, "Sekian lama mereka minum arak, mendadak ibuku menyembah
beberapa kali kepada Sacek dan ber-ulang2 menyatakan terima kasihnya atas pertolongan
jiwa Sacek."
Ya, akupun merasa heran dalam keadaan begitu tiba2 dia menyatakan terima kasihnya
padaku," tukas Hong Sam dengan menyesal. "Tapi akupun tidak bilang apa2. Kulihat Cu Bi
lantas mendekati Tonghong Bi-giok dan memegang tangannya dengan tersenyum manis,
katanya, "Berkat bantuan para Cianpwe yang hadir di sini sehingga dapatlah kita menjadi
suami isteri secara istimewa. Betapapun hatiku sangat berterima kasih, Dengan sendirinya
Tonghong Bi-giok menyambutnya dengan tertawa dan berkata, "Ya, tentu saja akupun sangat
berterima kasih."
"Dengan tertawa Cu Bi berkata pula, "Kata orang, cinta suami-isteri harus sehidup semati.
Meski aku tak dapat lahir bersama kau pada hari dan saat yang sama, hendaklah kita dapat
mati pada hari dan saat yang sama, apakah kau bersedia?" aku menjadi heran pada hari
bahagianya mengapa tanpa sebab dia bicara tentang kematian."
"Dalam pada itu kudengar Tonghong Bi-giok telah menjawabnya dengan tertawa, "Dalam
suasana bahagia begini, mengapa kau bicara hal2 yang tidak enak ini?" Cu Bi memandangnya
tajam2, ucapnya dengan tersenyum, "Kuminta sukalah kau jawab bersedia atau tidak?" kulihat
tertawa Tonghong Bi-giok sudah berubah menjadi menyengir, terpaksa ia mengangguk,
"Sudah tentu aku bersedia…" Belum habis ucapannya, mendadak Cu Bi memuntir tangannya,
krek, tulang lengan Tonghong Bi-giok telah dipuntirnya hingga patah!"
Tanpa terasa semua orang sama menjerit kaget. Maka dapatlah dibayangkan betapa
terkejutnya Tonghong Tay-beng dan lain2 ketika menyaksikan apa yang terjadi waktu itu.
Dengan pedih Pwe-giok berkata, "Mungkin waktu itu Cu-kiongcu sudah merasakan dirinya
telah keracunan dan tak tertolong lagi, maka lebih dulu ia menghaturkan terima kasih kepada
pertolongan Hong-locianpwe, itulah penghormatan perpisahannya dengan Cianpwe."
Gin-hoa-nio menghela nafas gegetun, katanya, "Tatkala mana dia tetap tenang2 saja, kiranya
dia sudah bertekad akan gugur bersama dengan lelaki tidak setia dan tak berbudi itu."
495
"Tapi waktu itu aku belum lagi tahu persoalannya, baru hendak kutanyai dia sebab apa dia
bersikap begitu, tahu2 Tonghong Tay-beng dan begundalnya telah berteriak kaget terus
menubruk ke arahnya," tutur Hong Sam. "Namun lebih dulu Cu Bi telah mencekik leher
Tonghong Bi-giok sambil membentak, "Berhenti! Siapapun diantara kalian berani maju lagi
setindak, segera ku cekik mampus dulu jahanam ini!" Karena itu Tonghong Tay-beng dan
lain2 menjadi kuatir dan tidak berani sembarangan bertindak.
"Habis itu barulah Cu Bi berkata kepadaku dengan pedih bahwa arak telah diberi racun jahat,
racun sudah merasuk tulang dan tak dapat ditolong lagi, karena itu dia hanya memohon agar
aku suka menjaga Lui-ji. Diam2 akupun mengerahkan tenaga, akupun merasakan diriku juga
sudah keracunan, bekerjanya racun sebenarnya sangat lambat, tapi lantaran aku mengerahkan
tenaga, seketika kaki dan tanganku berubah menjadi biru hangus. Melihat keadaanku, tambah
pedih Cu Bi, sebab tahulah dia bahwa racun yang berada dalam tubuhku jauh lebih hebat
daripada dia dan jelas tak tertolong lagi."
Mendengar sampai di sini, hati semua orang seperti tertindih oleh batu, dadapun terasa sesak.
Lui-ji mengusap air mata, katanya dengan perlahan, "Waktu itu aku lagi duduk di suatu kursi
kecil dan asyik makan bakso buatan Ibuku sendiri. Melihat kejadian itu, hampir aku keselak
bakso. Pada saat itu juga kembali Sacek bersiul nyaring pula laksana kicauan burung Hong
itu. Kulihat Oh-lolo menjadi pucat, berulang ia menyurut mundur sambil berteriak, "Racun itu
adalah buatan Tonghong-sengcu yang diracik dengan 81 jenis daun2an, jika kau banyak
bergerak, kematianmu tentu akan tambah cepat dan tak tertolong...!"
"Kenapa racun itu dikatakan buatan Tonghong Tay-beng?" tanya Pwe-giok dengan heran.
Kwe Pian-sian tersenyum, katanya, "Oh-lolo itu licik dan licin, melihat kegagahan Honglocianpwe
yang maha sakti itu, mana dia berani mengaku racun itu berasal dari dia? Apa yang
diucapkannya itu tidak lain hanya ingin membelokkan perhatian Hong-locianpwe agar
Tonghong Tay-beng yang dilabraknya."
"Orang sekeji itu sungguh sangat menakutkan," ujar Pwe-giok.
"Tapi dia terlalu menilai rendah kekuatan Sacek," tutur Lui-ji pula "Meski waktu itu racun
sudah bekerja, namun Sacek menahannya ke dalam perut dengan lweekangnya yang maha
sakti, sambil bersiul nyaring Sacek terus menubruk ke arah Tonghong Tay-beng. Tapi ibuku
lantas berteriak, "Bukan Tonghong Tay-beng yang membuat racun itu, tapi Oh-lolo. Lekas
Hong-locianpwe membekuknya dan memaksa dia menyerahkan obat penawarnya, dengan
begitu mungkin masih dapat tertolong."
"Pada saat ibu bicara itulah, tahu2 kedua tangan Tonghong Tay-beng sudah tergetar patah
oleh pukulan Sacek, menyusul dadanya kena dihantam pula sehingga tumpah darah dan roboh
terkapar. Melihat tokoh semacam Tonghong Tay-beng saja tidak tahan sekali pukul Sacek,
keruan para begundalnya ketakutan setengah mati, segera ada di antaranya bermaksud
melarikan diri. Namun sudah terlambat, Sacek sudah kadung murka, terdengarlah suara krakkrek,
blak-bluk berturut2, suara tulang patah dan orang roboh, para tokoh Bu-lim kelas tinggi
yang memenuhi ruangan itu tiada satupun yang hidup, darah muncrat memenuhi lantai dan
dinding." Baru sekarang Pwe-giok menarik nafas lega, segera ia bertanya, "Dan bagaimana
dengan Oh-lolo?"
496
"Hanya Oh-lolo saja yang belum mati, Sacek cuma mematahkan kedua kakinya, akhirnya
memaksa dia agar menyerahkan obat penawarnya," tutur Lui-ji.
"Tapi racun itu katanya diracik dengan 81 jenis tumbuh2an, mungkin dia sendiri juga tidak
mempunyai obat penawarnya. Sungguh sayang!" kata Kwe Pian-sian.
"Ya, memang betul," kata Lui-ji. "Ibu tahu keterangan Oh-lolo itu tidak dusta, maka minta dia
menyebut nama ke-81 jenis tumbuh2an berbisa itu, asalkan tahu namanya tentu dapat mencari
obat penawarnya dengan lengkap, sekalipun untuk itu diperlukan waktu cukup lama."
"Betul juga," ujar Kwe Pian-sian.
"Dan dibeberkan tidak olehnya?" tanya Pwe-giok.
"Rase tua itu ternyata takut mati, asalkan ada kesempatan hidup, mana dia mau menyianyiakannya?"
kata Lui-ji. Tapi baru saja dia menguraikan dua-tiga nama jenis racun, sekonyong2
dari samping menyambar tiba secomot jarum dan bersarang di punggungnya.
Terdengar Tonghong Tay-beng bergelak tertawa dan berseru, "Hong Sam, kau bunuh diriku,
kaupun harus mati bersamaku. Di dunia ini tiada seorangpun yang mampu menyelamatkan
kau." Rupanya lwekangnya sangat hebat, meski terkena pukulan Sacek, tapi seketika belum
mati, ia kuatir Oh-lolo memberitahukan resep obat penawar maka Oh-lolo dibunuhnya lebih
dahulu!"
Kisah sedih yang ber-liku2 ini akhirnya tamat juga. Namun betapa pedih hati anak dara itu
setelah menceritakan kemalangan yang menimpa keluarganya tentulah dapat dibayangkan.
Entah berapa lama lagi, terdengar Oh-lolo menghela nafas panjang, gumamnya, "Ai, kiranya
akulah yang salah, akulah yang salah..." ia ulangi beberapa kali ucapannya itu, tiba2 ia
berbangkit dan menjura dalam2 kepada Hong-sam sianseng, ucapnya sambil menunduk
menyesal, "Kiranya adik perempuanku bukan dibunuh oleh Samya, sebaliknya dia yang
telah.. telah membikin susah Samya hingga begini, seumpama Samya yang membunuhnya
juga aku tidak dapat bicara apa2 lagi."
Nenek ini dapat mengucapkan kata2 bijaksana begini, sungguh di luar dugaan siapapun juga.
Sikap Hong Sam tampak sangat kesal, katanya, sambil memberi tanda, "Sudahlah, orang yang
pantas mati sudah mati semua, kejadian yang lampau tidak perlu diungkit lagi, kau boleh..
boleh pergi saja."
"Terima kasih Samya," kata Oh-lolo sambil melangkah ke ujung tangga. Tiba2 ia menoleh
dan berkata pula, "Tonghong Tay-beng itu sok pintar, sesungguhnya iapun keliru besar."
"Oo? Keliru apa?" tanya Hong Sam.
"Dia mengira di dunia ini tiada orang yang sanggup menawarkan racun di tubuhnya Samya,
nyata dia lupa bahwa masih ada seorang nenek reyot macam diriku ini," kata Oh-lolo.
Jilid 20________
"Tapi masih ada satu hal yang tidak diketahui nona," kata Oh-lolo dengan tertawa.
497
"Oo? Hal apa?" tanya Lui-ji.
"Racun itu sebenarnya adalah buatanku, makanya adik perempuanku tidak mempunyai obat
penawarnya," tutur Oh-lolo.
Seketika Lui-ji melonjak kegirangan, teriaknya, "Betul, biarpun racun buatan adik
perempuannya, dengan sendirinya iapun paham cara bagaimana menawarkannya."
Keterangan Oh-lolo ini membuat semua orang terkejut dan juga bergirang.
Saking senangnya muka Cu Lui-ji menjadi merah, serunya dengan suara parau, "Jadi pada...
padamu terdapat obat penawarnya?"
Oh-lolo mengeluarkan sebuah kotak kecil, katanya, "Inilah obat penawarnya."
Kejadian ini datangnya sungguh terlalu mendadak dan terlalu beruntung, benar2 sukar untuk
dipercaya. Cu Lui-ji terbelalak memandangi kotak kecil yang dipegang nenek itu, sekujur
badan sampai bergemetar.
"Obat ini sebenarnya tidak ingin kuberikan," kata Oh-lolo sambil menghela nafas. "Tapi
Samya benar2 seorang berbudi, bilamana orang baik semacam Samya sampai tidak tertolong,
memangnya di dunia ini tidak ada keadilan lagi?"
"Tak ter... tak tersangka kau masih punya Liangsim (hati nurani yang baik)," seru Lui-ji
dengan ter-putus2.
Mendadak ia rampas kotak kecil yang dipegang Oh-lolo itu dan didekap erat2 di dalam
pangkuannya se-olah2 takut direbut orang lagi. Air matapun bercucuran, serunya saking
kegirangan, "Sacek... O, Sacek! Akhirnya... akhirnya kita tertolong! Sudah lama kita seperti
bermimpi buruk dan mimpi buruk kini sudah berakhir. Sacek, apakah engkau bergembira?"
Tampaknya Hong Sam juga sangat terangsang dan hampir tak dapat menguasai perasaannya.
Setelah mengalami siksa derita sekian tahun, kini dapat terlepas dari lautan derita itu, tentu
saja iapun bergirang.
Lui-ji mendekap di depan tempat tidur, saking gembira ia terus menangis ter-gerung2.
Hong Sam membelai rambutnya dengan perlahan, seperti ingin omong apa2, tapi suaranya
tersendat sehingga tiada terucapkan sekatapun.
Tampaknya Oh-lolo juga sangat terharu, desisnya dengan hati lega, "Orang baik tentu
mendapat ganjaran yang baik, keadilan tentu terdapat pada hati setiap orang. Ai, rasanya
sekarang nenek harus pergi saja."
Tapi baru saja ia membalik tubuh, mendadak Pwe-giok menghadang di depannya dan
menegur, "Apakah obat itu benar2 obat penawar?" Oh-lolo tersenyum, katanya, "Ai, anak
muda, mungkin sudah terlalu banyak orang jahat yang kau temui, makanya kau tidak percaya
kepada siapapun. Apakah kau lihat nenek seperti aku ini tega membikin celaka orang macam
Hong-sam sianseng?"
498
"Memang betul sudah terlalu banyak orang jahat yang kutemui, makanya baru sekarang ku
tahu biarpun orang semacam Hong-locianpwe terkadang juga bisa dicelakai orang," jawab
Pwe-giok dengan perlahan.
Tiba2 Kwe Pian-sian juga menimbrung, "Apalagi, Hong-locianpwe sudah pinjam ilmu
silatmu, tapi kau berbalik hendak menolongnya? Betapapun aku menjadi ikut curiga apakah di
dunia ini benar2 ada orang baik hati seperti kau ini?"
Padahal sejak mula ia sudah curiga, cuma urusannya tidak menyangkut kepentingannya, maka
dia diam saja. Kini Pwe-giok sudah mendahului membongkar hal itu, maka iapun
membonceng biar kelihatan berjasa.
Karena ucapan mereka berdua, hati Cu Lui-ji jadi cemas lagi, perlahan ia berbangkit, katanya
dengan melotot terhadap Oh-lolo, "Coba ka... katakan, obatmu ini sesungguhnya obat
penawar atau bukan?"
Oh-lolo menghela nafas, jawabnya, "Kalau nona tidak percaya, boleh kau kembalikan saja
obat itu kepadaku."
"Mana boleh," jawab Lui-ji dengan suara bengis. "Pendek kata jika obat ini bukan obat
penawar, segera kucabut nyawamu!"
"Habis cara bagaimana barulah nona mau percaya?" tanya Oh-lolo sambil menggeleng.
"Coba kau sendiri makan dulu satu biji obat ini," kata Lui-ji.
Pwe-giok mengira sekali ini Oh-lolo pasti akan mengalami 'senjata makan nenek', tak terduga
tanpa sangsi Oh-lolo terus menerima kembali kota obatnya, katanya dengan tertawa, "Jika
demikian, akan ku makan satu biji obat ini."
Tiba2 Kwe Pian-sian menyeletuk lagi, "Apa bila kau sudah makan obat penawar lebih dulu,
sekalipun obat ini adalah racun, tentunya tidak beralangan biarpun kau makan seluruhnya."
Oh-lolo menghela nafas, katanya, "Wah, jika begini jadinya serba salah bagiku."
Dia mengerling, tiba2 ia berkata pula dengan tertawa, "Tapi masih ada satu cara yang dapat
kubuktikan isi kotak ini obat penawar atau racun."
Dengan menggreget Lui-ji berkata, "Sebaiknya kau dapat membuktikannya, kalau tidak...
hmmm!"
Dilihatnya Oh-lolo mengeluarkan pula sebuah kotak kayu kecil, kotak inipun diukir dengan
indah, dicat dengan warna merah darah.
"Kotak inilah berisi racun yang pernah digunakan adik perempuanku itu," kata Oh-lolo. Lalu
dari dalam kotak ia mencolek setitik bubuk obat berwarna jambon terus ditelan.
Semua orang sama terkejut, tapi Oh-lolo malah tertawa, katanya, "Tampaknya mata nona
bersinar aneh, kekuatan tubuhmu pasti lain daripada orang biasa. Racun yang dapat
499
membinasakan orang lain kukira takkan beralangan apapun bagi nona." Dia tersenyum, lalu
menyambung, "Entah apa yang kukatakan ini betul atau tidak?"
"Hmk!" Lui-ji hanya mendengus saja. Meski tidak bersuara, tapi di dalam hati diam2 ia
mengagumi penglihatan nenek yang tajam ini.
"Tapi terdapatnya kelainan nona yang hebat ini juga bukan berasal dari pembawaan lahir,
betul tidak?" tanya Oh-lolo pula.
Lui-ji tidak lantas menanggapi, tapi akhirnya ia bersuara, "Betul, hal ini disebabkan aku harus
mencobai racun apakah yang diidap Sacek, maka aku bertekad akan mencicipi setiap macam
racun di dunia ini, dari cara bekerjanya racun yang kucicipi ini akan kupelajari bagaimana
kadar racunnya dan cara bagaimana menawarkannya."
"Betul, racun apapun juga, asalkan makannya tidak melebihi dosisnya tentu takkan
membinasakan. Apalagi kalau sudah banyak memakannya, kelak akan timbul daya tolak mu
terhadap racun ini." Setelah menghela nafas, lalu Oh-lolo menyambung pula, "Tapi urusan ini
tampaknya sangat mudah dilakukan, padahal tidak sembarang orang mampu
melaksanakannya. Sungguh aku sangat kagum terhadap tolak dan kesabaran nona."
Bilamana membayangkan seorang nona cilik seperti Cu Lui-ji setiap hari harus mencobai
macam2 racun, sedikit lengah saja akibatnya adalah mati. Untuk ini semua orang merasa tidak
punya keberanian seperti nona cilik ini dan mau-tak-mau mereka bertambah kagum dan
hormat kepadanya.
Namun Cu Lui-ji hanya menanggapi dengan hambar, "Inipun bukan sesuatu yang luar biasa.
Kau tahu, ada sementara racun bukannya pahit, sebaliknya rasanya sangat manis."
"Ya, obat yang mematikan kebanyakan rasanya manis, obat penolong jiwa rasanya malah
pahit," kata Oh-lolo dengan tertawa. "Tapi menurut pendapatku, obat racun yang ditemukan
nona itu pasti bukan racun yang sukar dicari. Jika racun sebangsa racun ular, kelabang,
ketungging dan sebagainya, tentunya takkan berbahaya bagi nona, tapi bila racunku ini..."
Lui-ji menengadah, seperti mau omong apa2, tapi seketika tak dapat bersuara apapun, sebab
tiba2 dilihatnya muka Oh-lolo yang berkeriput itu kini telah berubah menjadi ungu kebiru2an,
bahkan matanya juga bercahaya ungu, tampaknya menjadi beringas dan menakutkan.
Bukan cuma Lui-ji saja yang terkesiap, ketika semua orang ikut memandang si nenek, hati
semua orangpun terperanjat.
Namun Oh-lolo berkata pula dengan tertawa, "Racun yang baru saja kumakan kini sudah
mulai bekerja. Sebagai seorang ahli racun tentu nona dapat melihatnya, cara bekerja racun ini
apakah serupa dengan keadaan Hong-sam sianseng waktu keracunan dahulu?"
Sampai di sini, suara nenek itu sudah mulai kaku dan hampir tidak jelas terdengar, tubuhnya
juga mulai berkejang.
"Betul, memang begini keadaannya," jawab Lui-ji dengan muka pucat. Lalu Oh-lolo
mengeluarkan satu biji pil dari kotak yang diterimanya kembali dari Lui-ji tadi dan diminum.
500
Meski semua orang berdiri cukup jauh, namun terendus juga bau amis dan busuk dari pil yang
ditelan Oh-lolo itu.
Melihat sikap orang2 itu, Oh-lolo berkata dengan tertawa, "Obat yang mujarab selain pahit
biasanya juga berbau busuk bukan? Tapi obat penyelamat jiwa biarpun berbau tentu juga akan
diminum orang. Sebaliknya kalau racun juga berbau busuk, lalu siapa yang mau
meminumnya?"
Ciong Cing yang sejak tadi berdiam diri itu kini mendadak menghela nafas dan berucap, "Ya,
kata2 ini sungguh mengandung makna yang sangat dalam. Tapi di dunia ini ada berapa orang
yang menyadari hal ini?"
"Eh, nona cilik, ingatlah dengan baik," kata Oh-lolo dengan tersenyum. "Terkadang mulut
lelaki yang manis jauh lebih menakutkan daripada racun yang mematikan."
Ciong Cing memandang Kwe Pian-sian sekejap, lalu menunduk dan tidak bicara lagi.
Selang sejenak, air muka Oh-lolo telah berubah normal kembali. Racun yang diminumnya
meski lihay, tapi obat penawarnya juga sangat mujarab. Nenek itu menghela nafas panjang2,
lalu berkata dengan tertawa, "Nah, sekarang nona percaya tidak?"
Lui-ji menunduk dan berkata, "Tadi aku salah menyesali engkau, hendaklah engkau jangan
marah."
"Mana bisa ku marah padamu?" ujar Oh-lolo. "Memang lebih baik kalau ber-hati2."
Sekarang Lui-ji sudah tidak sangsi sedikitpun, ia merasa malu dan juga berterima kasih,
segera ia terima lagi obat penawar itu dan terus berlari ke tempat tidur Hong-sam.
Sorot mata Oh-lolo menyapu pandang sekejap ke arah Ji Pwe-giok dan Kwe Pian-sian,
katanya dengan tersenyum, "Sekarang nenek boleh pergi bukan?"
Meski di dalam hati Pwe-giok masih merasakan sesuatu yang tidak beres pada urusan ini, tapi
bukti terpampang di depan mata, apa yang dapat dikatakannya lagi? Terpaksa ia memberi
hormat dan berkata, "Maaf jika tadi aku bersikap kasar padamu."
Oh-lolo tertawa, tiba2 ia mendekati Kwe Pian-sian.
Teringat sikapnya tadi rada kurang hormat terhadap si nenek, baru sekarang Kwe Pian-sian
menyesal telah menyalahi orang semacam ini, seketika mukanya menjadi rada pucat, cepat ia
berkata, "Harap Cianpwe jangan... jangan..."
"Tidak perlu kau takut," kata Oh-lolo dengan tertawa, "tiada maksudku hendak mencari
perkara padamu. Meski tadi kau rada2 membikin sirik hatiku, tapi akupun tidak menyalahkan
kau, malahan kurasakan kau inipun seorang berbakat, kelak jika perlu boleh coba2 kau cari
diriku untuk ber-bincang2 lebih banyak."
Dia pandang Ciong Cing sekejap dengan tertawa, lalu berkata pula, "Eh, nenek ompong
semacam diriku ini tentunya takkan menimbulkan rasa cemburumu bukan?"
501
Kwe Pian-sian melenggong hingga sekian lamanya, dilihatnya nenek itu telah melangkah ke
bawah loteng, ia menggeleng kepala dengan menyengir, katanya, "Ai, nenek ini sungguh
seorang yang aneh dan sukar untuk diraba..."
Akhirnya Hong-sam telah minum juga obat penawar itu. Mahluk2 berbisa yang memenuhi
kolong selimutnya itu dengan sendirinya telah digiring oleh Cu Lui-ji ke dalam sebuah karung
goni. Kalau racun sudah ditawarkan, untuk apa pula mahluk2 yang menjemukan itu.
Cu Lui-ji tampak berjingkrak kegirangan, seperti burung cucakrowo saja dia mengoceh tiada
hentinya, bertanya ini dan itu. Maka Pwe-giok lantas menceritakan pengalamannya secara
ringkas waktu ditugaskan menjadi utusan Hong-sam.
Hong-sam duduk bersila di tempat tidur, dia berkerut kening dan berkata, "Kiranya tokoh
andalan mereka adalah Lo-cinjin. Konon khikang orang ini tidak lemah, bagaimana menurut
pengalamanmu?"
"Ya, memang tidak bernama kosong," ujar Pwe-giok.
"Betapapun hebat Khikang nya juga tiada gunanya, sekarang racun dalam tubuh Sacek sudah
dipunahkan, betapapun banyak jago mereka, datang satu sikat satu, datang dua sikat sepasang.
Takut apa?!" ujar Lui-ji dengan tertawa.
Pwe-giok diam sejenak, akhirnya ia tidak tahan dan berkata, "Menurut apa yang kulihat dan
kudengar sehari ini, Hong-cianpwe memang seorang berbudi luhur dan sukar dibandingi
siapapun. Cuma kedatangan mereka inipun bukannya tidak beralasan."
"O, apa alasan mereka? Coba ceritakan!" kata Lui-ji dengan mendelik.
Dengan suara berat Pwe-giok berkata, "Yaitu disebabkan tindakan nona..."
Lui-ji melonjak bangun dengan gusar, teriaknya, "Mereka pasti bilang padamu bahwa banyak
orang Kangouw telah hilang, semuanya telah kubunuh, begitu bukan?"
Pwe-giok menarik nafas dalam2, jawabnya, "Ya, memang begitu kata mereka."
"Tapi apa kau tahu sebab apa orang2 itu masuk ke rumah ini?" jengek Lui-ji.
"Tidak tahu," jawab Pwe-giok.
"Karena ada di antaranya ingin mengganggu diriku, ada yang ingin merampok, mereka sendiri
yang bermaksud jahat, makanya kubereskan mereka, salah mereka sendiri," tutur Lui-ji. "Jika
kau lihat kawanan penjahat itu, mungkin kaupun takkan mengampuni mereka."
"Meski ucapan nona juga beralasan, tapi..."
"Tapi apa?" sela Lui-ji. "Sacek menolong orang dan akibatnya keracunan, meski dengan
Lwekangnya yang kuat beliau dapat menahan bekerjanya racun, tapi juga tak dapat bertahan
terlalu lama, terpaksa kami harus berusaha mendesak keluar kadar racun di dalam tubuhnya.
Sebab itulah Sacek memerlukan bantuan tenaga orang lain, kalau tidak, mungkin sudah lama
502
beliau meninggal. Nah, coba katakan Sacek yang pantas mati atau keparat2 itu yang harus
mampus?"
Pwe-giok termenung sejenak, ia menghela nafas panjang, katanya, "Urusan di dunia ini
memang sukar ditentukan benar dan salahnya oleh orang di luar garis. Agaknya aku... akupun
salah."
"Di dalam persoalan ini memang masih ada sesuatu yang agak luar biasa, yaitu meski Sacek
dapat menggunakan semacam kungfu istimewa untuk menghisap tenaga dalam seseorang dan
dipinjam pakai, akan tetapi tenaga pinjaman itu pun akan terbuang dengan sangat cepat, sebab
itulah hanya sebentar saja beliau perlu mencari pinjaman tenaga baru orang lain lagi..."
"Kalau Hong-locianpwe dapat menggunakan tenaga dalamnya untuk mendesak keluar kadar
racunnya, mengapa perlu menggunakan pula mahluk2 berbisa itu?" Kwe Pian-sian ikut
bertanya.
"Soalnya setelah Sacek mendesak keluar racunnya, namun pori2 kulitnya akan menghisap
kembali hawa berbisa yang didesak keluar itu," tutur Lui-ji. "Semula Sacek tidak paham
kejadian ini sehingga beliau membuang tenaga percuma selama beberapa bulan, akhirnya
barulah disadari apa yang terjadi, maka selanjutnya mahluk2 berbisa itu lantas di kerudung di
dalam selimut untuk menghisap hawa berbisa yang keluar dari tubuh Sacek... sekarang
tentunya kalian paham duduknya perkara?"
Pwe-giok lantas berkata, "Setelah keracunan, Hong locianpwe telah dibuat marah lagi
sehingga tenaga murninya buyar, dengan sendirinya beliau tak dapat pergi ke tempat lain dan
terpaksa merawat dirinya di loteng kecil ini, begitu bukan?"
"Ya, sesudah Sacek membunuh kawanan penjahat itu, beliau sendiripun ambruk," tutur Lui-ji.
"Kalau saja Sacek tidak membawa Hoa-kut-tan sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus
membereskan mayat sebanyak itu."
"O, jadi orang2 yang lenyap setelah masuk kemari, dengan sendirinya juga berkat Hoa-kuttan?"
tanya Kwe Pian-sian.
Lui-ji mendengus, katanya, "Hoa-kut-tan ini adalah obat mustajab yang sukar diperoleh,
sesungguhnya terlalu boros kugunakan obat berharga itu bagi orang2 yang lebih rendah
daripada binatang itu."
Pwe-giok menghela nafas panjang, katanya, "Sebelumnya kurasakan berbagai urusan ini
sangat tidak masuk di akal dan sukar dipecahkan, baru sekarang macam2 tanda tanya dalam
benakku dapat terjawab dan tersapu bersih."
Dalam pada itu, se-konyong2 Ciong Cing menjerit kaget, "Hei, li... lihatlah, mengapa...
mengapa Hong-locianpwe berubah menjadi begini?"
Waktu semua orang berpaling, tertampaklah nafas Hong-sam megap2 dengan tubuh
bergemetaran. Sudah jelas yang diminumnya tadi adalah obat penawar, tapi sekarang dia
seperti terserang racun jahat lagi.
503
Keruan semua orang melongo kaget. Saking cemasnya hampir saja Cu Lui-ji menangis,
dirangkulnya Hong-sam sambil berseru dengan suara ter-putus2, "Sacek, ken... kenapa kau?"
Namun mata Hong-sam terpejam rapat, bahkan tampak menggertak gigi hingga bunyi
gemertak dan tak sanggup bicara.
Tidak kepalang kuatir Lui-ji, serunya, "Kalianpun melihat obat tadi jelas2 obat penawar,
mengapa bisa... bisa jadi begini? Sebab... sebab apakah menjadi begini?"
Mendadak Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Ku tahu apa sebabnya."
Lui-ji melompat ke depan Gin-hoa-nio dan bertanya dengan suara parau, "Benar kau tahu?"
"Ehmm," Gin-hoa-nio mengangguk.
"Masa isi kotak Oh-lolo ini bukan obat penawar?" tanya Lui-ji. "Memangnya telah
dicampurnya dengan racun? Atau waktu menyerahkannya kepadaku dia telah main gila
dengan menukar obat penawar dengan racun?"
"Isi kotak ini memang benar2 obat penawar," jawab Gin-hoa-nio. "Di depan kalian iapun
tidak berani main gila. Umpama dia berani main2, masakah mata orang sekian banyak dapat
dikelabui semua?"
"Habis kenapa jadi begini?" seru Lui-ji dengan membanting kaki.
Gin-hoa-nio menghela nafas perlahan, katanya kemudian, "Untuk membuat semacam racun
dari kombinasi sekian puluh jenis bahan racun, kukira tidaklah sederhana sebagaimana bila
kita membuat gado2 atau Cap-jai."
"Ya, betul juga," Kwe Pian-sian meng-angguk2.
"Sebab kadar racun setiap jenis racun kan berbeda-beda," tutur Gin-hoa-nio lebih lanjut.
"Bahkan ada di antara racun itu satu sama lain saling bertentangan. Apabila kau
mencampurkan beberapa jenis menjadi satu, terkadang kadar racunnya malah akan lenyap
sama sekali. Teori ini serupa kalau kita mencampurkan beberapa macam warna menjadi satu,
kadang2 malah akan berubah menjadi warna putih."
"Betul," kata Kwe Pian-sian, "jika cara mencampur racun itu pekerjaan yang gampang, tidak
nanti Oh-lolo mendapat nama besar di dunia persilatan."
"Dan bila kau campur ber-puluh2 jenis bahan racun menjadi satu, maka dosis dari tiap2 jenis
racun itu harus sudah ditakar dengan tepat, sedikitpun tidak boleh lebih banyak atau
berkurang, perbandingan dosis inilah rahasia yang paling besar dan penting dalam hal
membuat racun. Dan obat penawarnya, dengan sendirinya juga harus dibuat dengan cara
perbandingan dosis yang sama pula, tidak boleh selisih sedikitpun, kalau sebaliknya, maka
tidak menimbulkan khasiat apapun."
"Ya, memang begitu," tukas Kwe Pian-sian.
504
"Dan setelah lewat sekian tahun," sambung Gin-hoa-nio lagi, "racun yang mengeram di dalam
tubuh Hong-sam sianseng tentu kadarnya sudah kacau balau, sebab kadar racun ada yang
berat dan ada yang ringan, ada yang sudah didesak keluar oleh tenaga dalamnya. Sebab itulah
obat penawar pemberian Oh-lolo ini sama sekali tidak mempunyai khasiat menawarkan racun
yang mengeram di tubuh Hong-sam sianseng, sebaliknya malah mengganggu racun yang
sudah ditahan secara susah payah itu dan akhirnya racun itu buyar dan bekerja lagi."
Dia menghela nafas, lalu menyambung pula, "Dan di sinilah letak kelihaian cara Oh-lolo
menggunakan racunnya."
Mendadak Cu Lui-ji menjambret baju Gin-hoa-nio dan membentak dengan suara parau, "Jika
kau tahu sejelas ini, mengapa tak kau katakan sejak tadi?"
Gin-hoa-nio tersenyum hambar, jawabnya, "Jika kau jadi diriku, apakah akan kau katakan?"
Lui-ji jadi melengak dan tak bisa bicara. Maka Gin-hoa-nio menyambung lagi, "Mungkin juga
baru saja dapat kuketahui teori yang kukatakan ini."
Sekarang semua orangpun dapat memahami uraian Gin-hoa-nio itu, teringat bahwa dengan
obat penawarnya saja Oh-lolo juga bisa bikin celaka orang, betapa keji dan betapa jauh tipu
muslihatnya itu sungguh membuat orang bergidik.
Keringat tampak bercucuran dari kepala Hong-sam, jelas dia sedang mengerahkan tenaga
dalam untuk menghimpun kembali kadar racun yang sudah buyar itu. Melihat air mukanya
yang penuh derita itu, dapatlah dibayangkan betapa gawatnya urusan ini.
Lui-ji menunduk perlahan, air matanya kembali berderai.
"Nona tidak perlu cemas," Ciong Cing berusaha menghibur, "kalau sebelum ini Hong-sam
sianseng dapat menahan bekerjanya racun, tentu akan lebih mudah baginya untuk berbuat
sesuatu."
"Mestinya betul ucapanmu, tapi... tapi tenaga Sacek sekarang sudah jauh daripada sebelum
ini," kata Lui-ji sambil menangis.
"Apalagi," tukas Gin-hoa-nio, "Dalam keadaan gawat begini dia tidak dapat sembarangan
menggerakkan tenaga murninya, sedangkan musuh akan datang dua-tiga jam lagi, lalu
bagaimana baiknya?"
Dia berucap se-akan2 ikut gelisah bagi keadaan Hong-sam sianseng, padahal siapapun dapat
mendengar nadanya itu mengandung rasa syukur dan senang karena orang lain mendapat
celaka.
Dengan gemas Cu Lui-ji lantas mendamprat, "Memangnya kau senang ya? Hm, kalau kami
mati, kaupun jangan harap akan hidup!"
Namun dengan dingin Gin-hoa-nio menjawab, "Betapapun aku sudah cacat begini, mati atau
hidup bagiku tidak menjadi soal lagi."
*****
505
Sang waktu terus berlalu, perasaan semua orang juga semakin tertekan.
Meski Kwe Pian-sian tidak perlu ikut berkuatir bagi mati atau hidupnya Hong-sam sianseng,
tapi bila teringat dirinya masih harus bersandar padanya untuk menghadapi kedatangan Anglian-
hoa dan lain2, bila Hong-sam mati, semua orang yang berada di atas loteng inipun jangan
harap akan hidup.
Sekarang waktunya tinggal dua jam lagi.
Mendadak Pwe-giok berbangkit dan berseru, "Nona Cu, silahkan kau bawa Hong-sam
sianseng dan cepat pergi saja... yang lain2 juga silahkan pergi semua!"
"Dan.. dan kau?" tanya Lui-ji.
"Saat ini di-mana2 tentu sudah dijaga oleh mereka, tapi dengan kekuatan nona dan Kwe-heng
kukira tidak sulit untuk menerjang pergi," kata Pwe-giok. "Yang kukuatirkan hanya kalau Locinjin
dan rombongannya keburu menyusul kemari, maka aku..."
"Kau sengaja tinggal di sini untuk menghadangnya?" sela Lui-ji.
"Biarpun kepandaianku kurang tinggi, tapi untuk merintangi mereka sementara waktu kukira
masih sanggup, dengan demikian nona dan rombongan mungkin sempat pergi agak jauh,"
setelah berhenti sejenak lalu Pwe-giok menyambung pula, "sebab daripada kita menanti
kematian di sini, akan lebih baik aku sendiri saja yang mengadu jiwa dengan mereka. Apalagi,
orang yang hendak mereka cari bukanlah diriku, akupun belum pasti akan mati di tangan
mereka."
"Jika yang dicari mereka bukan dirimu, untuk apa kau mengadu jiwa?" tanya Lui-ji.
"Kukira setiap orang pada suatu waktu tentu rela akan mengadu jiwa, bukan?" jawab Pwegiok.
Tiba2 Gin-hoa-nio menjengek, "Hm, tadinya kukira kau ini seorang yang sangat teliti dan
hati2, dapat menghargai jiwanya sendiri, tak tersangka sekarang kaupun dapat berbuat hal2
bodoh dan emosi begini."
"Seorang kalau tidak punya emosi, apakah dia terhitung manusia?' jawab Pwe-giok.
Kwe Pian-sian berdiri dan siap untuk pergi, katanya dengan tertawa, "Seorang lelaki sejati
harus tahu apa yang harus dilakukannya dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Ji-heng
memang tidak malu sebagai seorang pendekar sejati, maka kamipun tidak enak untuk
membantah kehendakmu."
"Betul, tekadku sudah bulat, silahkan kalian lekas pergi saja," kata Pwe-giok.
Tak terduga mendadak Hong-sam membuka mata dan menatap Pwe-giok tajam2, ucapnya
dengan kereng, "Caramu bertindak ini, apakah kau kira orang she Hong ini manusia yang
tamak hidup dan takut mati?"
506
"Sama sekali Cayhe tidak bermaksud demikian," jawab Pwe-giok dengan menghela nafas.
"Cuma..."
"Soal mati atau hidup memang sulit diramalkan, tapi bilamana menghadapi pilihan, seorang
lelaki sejati kenapa mesti gentar mati?" kata Hong-sam pula dengan tegas.
"Ya, Tecu tahu," jawab Pwe-giok.
"Jika kau tidak tahu tentu kau takkan tinggal di sini, betul tidak?"
Pwe-giok mengiakan pula.
"Jika demikian, kenapa kau suruh aku lari?" seru Hong-sam dengan gusar. "Memangnya agar
aku dapat menyempurnakan keluhuran budimu sebagai seorang pendekar sejati?"
"Ah, Tecu tidak berani," jawab Pwe-giok dengan menunduk dan kikuk.
Dengan lemas Kwe Pian-sian berduduk kembali, ucapnya dengan menyengir, "Kalau begitu,
biarlah kita semua tinggal saja di sini dan bertempur mati2an menghadapi mereka. Cuma,
kalau kita dapat bertahan satu jam saja sudah untung."
Sorot mata Hong-sam tampak gemerdep, katanya pula sambil menatap Pwe-giok, "Menurut
pendapatmu, apakah kita pasti akan kalah?"
Membayangkan betapa hebat kekuatan lawan, Pwe-giok menjadi ragu2 untuk menjawab,
katanya dengan tergagap, "Cianpwe sendiri tidak dapat turun tangan, kemenangan pihak kita
memang sukar diramalkan."
Hong-sam menepuk tempat tidurnya keras2, ucapnya dengan bengis, "Kematianku tidak perlu
disayangkan, tapi matipun aku pantang dihina orang."
"Apapun juga Sacek tidak boleh turun tangan," seru Lui-ji dengan kuatir.
Hong-sam memandang sekejap pula kepada Pwe-giok, lalu berkata dengan perlahan. "Jika
aku dapat meminjam pakai tenaga dalam orang lain, masakah aku tidak dapat meminjamkan
tenagaku kepada orang lain?"
"Jika Sacek meminjamkan tenagamu kepada orang lain, lalu cara bagaimana akan sanggup
menahan serangan racun dalam tubuhmu?" kata Lui-ji dengan suara gemetar.
"Akan lebih baik aku mati keracunan daripada mati terhina," seru Hong-sam dengan gusar.
"Hanya tidak tahu adakah orang yang sudi bertempur mati2an bagiku?"
Terbeliak mata Kwe Pian-sian dan Gin-hoa-nio, kalau dapat memindahkan segenap tenaga
dalam Hong-sam ke dalam tubuhnya sendiri, hal ini sungguh sangat menarik. Tapi segera
terpikir pula kekuatan Hong-sam sekarang tersisa tidak banyak, andaikan sisa tenaga itu dapat
dipinjamkan seluruhnya kepadanya mungkin juga sukar melawan Lo-cinjin yang maha sakti
itu. Teringat demikian, hasrat mereka jadi dingin lagi.
507
Tiba2 Ciong Cing berkata, "Kalau Cianpwe dapat meminjamkan tenagamu kepada orang lain,
mengapa tidak kau gunakan tenagamu itu untuk menghadapi musuh?"
"Tenagaku yang kusalurkan ke tubuh orang lain akan berjalan perlahan seperti air di sungai,
aku sendiri mungkin dapat menyimpan sedikit sisa tenaga untuk menahan serangan racun,"
tutur Hong-sam. "Sedangkan bila aku harus bergebrak dengan musuh, tenagaku akan meledak
seperti air bah yang sukar ditahan. Dalam keadaan payah seperti diriku sekarang, tidak sampai
tiga kali gebrak saja pasti racun akan bekerja dengan hebat dan membinasakan diriku. Apalagi
pihak lawan sangat banyak dan rata2 sangat lihay, betapapun tidak mungkin dalam tiga kali
gebrak kubinasakan mereka satu per satu."
"Jika... jika demikian, entah bolehkah Tecu membantu Cianpwe?" tanya Ciong Cing dengan
tergagap.
"Kau tidak dendam padaku dan bersedia membantuku, kebaikan dan keberanianmu ini
sungguh harus dipuji," jawab Hong-sam. "Cuma sayang badanmu lemah, bakatmu juga
kurang, bilamana kusalurkan tenagaku, mungkin malah akan membikin celaka padamu."
Pada waktu bicara, seperti tidak sengaja sorot matanya mengerling sekejap pula ke arah Pwegiok.
Maka Ciong Cing lantas berkata, "Ji-kongcu, apakah... apakah engkau tak dapat..."
"Sudah tentu akupun sangat ingin membantu Hong locianpwe," kata Pwe-giok dengan
gegetun, "Tapi aku kan tidak dapat menggunakan kesempatan pada waktu orang
kesempitan..."
Ciong Cing berteriak, "Ini kan keinginan Hong-locianpwe sendiri, dia yang meminjamkan
tenaganya padamu, mana bisa dikatakan menggunakan kesempatan pada waktu orang
kesempitan."
Pwe-giok termenung sejenak, tiba2 ia memberi hormat dan berkata kepada Hong-sam, "Entah
Hong-locianpwe sudikah menerima Tecu sebagai murid?"
Nyata, watak Pwe-giok memang jujur dan tulus, bahkan juga pintar dan cerdik. Dengan
tindakannya ini, bila murid meminjam kungfu sang guru, maka soalnya jadi adil dan cukup
berdasar, murid mewakilkan guru bertempur, orang lainpun tak dapat bilang apa2 lagi.
Tak terduga Hong-sam lantas menjawab, "Kau tidak mau menggunakan kesempatan pada
kesempitan ku, mana aku dapat pula memperalat keluhuran budimu dan menyuruh kau
mengangkat guru padaku?... Sebabnya kau mengangkat guru padaku tentunya bukan demi
kepentinganmu, melainkan karena ingin membela diriku, begitu bukan?"
Pwe-giok melengak, jawabnya, "Tapi ini..."
Hong-sam tertawa dan menyela, "Jika kau sudi memanggil Hengtiang (kakak) padaku, maka
puas dan senang lah aku. Hubungan antara kakak dan adik kan jauh lebih akrab daripada
antara guru dan murid? Dan kalau ada saudara seperti dirimu ini menghadapi musuh bagiku,
matipun aku tidak menyesal lagi."
508
Belum habis ucapan Hong-sam, tanpa disuruh segera Cu Lui-ji berlutut dan menyembah
kepada Pwe-giok dan memanggil paman.
Panggilan paman ini membuat Pwe-giok terkesiap dan juga bergirang. Kalau dirinya dapat
mengikat saudara dengan tokoh Bu-lim yang hebat ini, tentu saja suatu kehormatan besar
baginya. Tapi bila teringat betapa berat tugasnya pada pertarungannya nanti, hanya boleh
menang dan tidak boleh kalah, maka perasaannya lantas mirip cuaca di luar, terasa kelam dan
tertekan.
*****
Mendadak angin meniup keras, malam semakin larut. Deru angin se-akan2 hendak merobek
sukma.
Di atas loteng kecil itu tetap tiada penerangan, gelap dan hening seperti kamar mayat. Hongsam
sianseng duduk bersila di tempat tidurnya tanpa bergerak sedikitpun seperti orang mati.
Padahal setiap orang yang berada di atas loteng itu memang sudah tidak banyak bedanya
daripada orang mati. Kecuali suara bernapas yang semakin berat, selebihnya tiada terdengar
apa2 dan juga tiada terlihat apa2.
Lui-ji bersandar di samping Hong-sam sianseng, tidak meninggalkannya barang sedetikpun.
Ia se-akan2 merasakan semacam firasat tidak baik, merasa waktunya bersandar di tubuh sang
Sacek ini sudah tidak banyak lagi.
Pwe-giok juga duduk diam saja di tempatnya, dengan tekun dia bermaksud mencairkan tenaga
dalam yang diperolehnya tadi agar dapat digerakkan dengan sesukanya, akan tetapi
perasaannya tetap sukar untuk ditenangkan.
Hanya setengah hari yang lalu, mimpipun dia tidak pernah membayangkan akan dapat
bertempur melawan seorang tokoh besar semacam Lo-cinjin. Walaupun pertempuran itu tidak
dapat dikatakan dimenangkan olehnya, tapi kejadian itu cukup membuatnya bergembira.
Maklumlah, di seluruh kolong langit ini ada berapa gelintir manusia yang pernah bertempur
melawan Lo-cinjin?
Sejak tadi Kwe Pian-sian terus berdiri di depan jendela, memandang jauh keluar sana, ke
tengah kota yang mati seperti kuburan itu.
Entah daun jendela rumah siapa yang tidak tertutup rapat, karena tertiup angin sehingga
menerbitkan serentetan suara 'blang-blung' yang keras. Anjing geladak yang meringkuk di
pojok jalan sana terkadang mengeluarkan suara gonggongan yang menyeramkan. Panji
reklame hotel Li-keh-can juga masih berkibar dihembus angin, beberapa genteng jatuh hancur
tertiup angin dan menjangkitkan suara gemertak.
Malam yang dingin dan seram dengan angin puyuh sekeras ini dan suasana setegang ini,
setiap suaranya cukup membuat orang merinding. Tapi kalau keadaan menjadi senyap tanpa
suara, rasanya menjadi semakin menegangkan sehingga membuat dada setiap orang merasa
sesak nafas.
509
Se-konyong2 di ujung jalan yang jauh sana muncul sebuah lentera, cahaya lentera yang guram
itu tampak ber-goyang2 di bawah hembusan angin yang kencang. Tampaknya seperti api
setan (cahaya phosphor) yang berkelip di kejauhan.
Kwe Pian-sian mengembus nafas panjang2, katanya, "Itulah dia... akhirnya datang juga dia!"
*****
Datangnya kelip lentera itu sangat lambat, tapi akhirnya sampai juga di depan rumah
berloteng kecil itu.
Di bawah cahaya lampu yang ber-kelip2 guram itu, kelihatan bayangan orang yang tidak
sedikit dengan sorot mata yang gemerdep, setiap bayangan orang itu melangkah dengan
perlahan, berat dan mantap, setiap pasang mata sama bersinar tajam penuh semangat.
Menyusul suara seorang yang lantang dan halus berucap perlahan, "Murid Thian-biau-koan
dari Jingsia, Sip-hun, khusus datang kemari untuk menyampaikan surat, maka mohon
bertemu."
"Orang macam apakah Sip-hun ini?" tanya Lui-ji dengan suara bisik2.
"Murid Lo-cinjin," jawab Pwe-giok.
Lui-ji lantas menjengek, "Hm, masuklah, pintu kan tidak terpalang!"
Selang sejenak, terdengarlah suara tangga berbunyi, seorang naik ke atas dengan perlahan.
Bunyi tangga sangat perlahan dan teratur, suatu tanda orang yang datang ini sangat sabar,
bahkan kungfu bagian kakinya sangat mantap.
Maka terlihatlah Tosu muda dengan wajah yang cakap dan tersenyum simpul, meski masih
muda, namun sikapnya tampak alim seperti pertapa tua, siapapun yang melihatnya pasti akan
merasa suka padanya.
Seperti juga waktu pertama kalinya Pwe-giok bertemu dengan dia, semua orang pun heran
mengapa seorang Lo-cinjin yang terkenal berangasan dan pemberang itu bisa mempunyai
seorang murid sehalus ini. Keruan Cu Lui-ji sampai melotot heran.
Di dalam loteng kecil itu benar2 terlalu gelap, Sip-hun baru saja naik ke situ, ia seperti tidak
dapat melihat apa2, namun sedikitpun dia tidak gugup, dia cuma berdiri tenang saja di
tempatnya.
Lui-ji lantas mendengus, "Kami berada di sini semuanya, kenapa kau berdiri kesima di situ?"
Sip-hun tidak menjadi marah, juga tidak balas ber-olok2, ia hanya memandang si nona
sekejap, lalu menunduk dan melangkah maju, katanya sambil memberi hormat, "Sip-hun
menyampaikan salam hormat kepada Locianpwe!"
"Tidak perlu banyak adat," jawab Hong-sam.
510
Dengan hormat Sip-hun menyodorkan sebuah kartu dengan kedua tangannya, katanya, "Bulim-
bengcu Ji-locianpwe dan guruku sama menunggu di luar pintu, entah Hong-locianpwe
sudi bertemu atau tidak?"
"Kalau Sacek bilang tidak, memangnya mereka takkan naik kemari?" jengek Lui-ji.
Sip-hun menjawab dengan tetap menunduk, "Tecu hanya melaksanakan tugas belaka, urusan
lain tidak tahu menahu."
"Habis apa yang kau tahu?" tanya Lui-ji.
"Apapun tidak tahu," jawab Sip-hun.
"Hm, murid Lo-cinjin kenapa tidak becus begini?" ejek Lui-ji.
"Guru pandai tidak mempunyai murid baik, memang inilah yang selalu disesalkan oleh
guruku," kata Sip-hun dengan tersenyum.
Nyata bukan saja dalam hal bertanya-jawab Tosu muda ini selalu sopan santun, bahkan
apapun orang mencemoohkan dia, semuanya dia terima tanpa membantah, sedikitpun tidak
marah. Sungguh aneh.
Selama hidup Cu Lui-ji belum pernah melihat orang muda yang berwatak seramah dan
sesabar ini, keruan ia menjadi melenggong sendiri.
Dalam pada itu berkatalah Hong-sam sianseng, "Lo-cinjin mempunyai murid seperti kau ini,
beliau boleh dikatakan sangat bahagia dan tiada penyesalan sedikitpun."
"Ah, Cianpwe terlalu memuji, Tecu menjadi malu diri," jawab Sip-hun cepat sambil memberi
hormat.
"Jika demikian, bolehlah kau sampaikan kepada gurumu, katakan orang she Hong menantikan
kedatangannya di sini," kata Hong-sam kemudian.
Kembali Sip-hun memberi hormat sambil mengiakan.
Perlahan ia lantas membalik tubuh dan melangkah turun, tetap ramah dan sabar, sedikitpun
tidak gugup dan ter-buru2.
Lui-ji menjengek pula, "Hm, sudah jelas datang hendak membunuh orang, tapi justeru
berlagak ramah segala, sungguh memuakkan!"
Suaranya cukup keras dan sengaja diperdengarkan kepada Sip-hun, akan tetapi Sip-hun tidak
memberi reaksi apa2, seperti tidak mendengar saja.
Dengan suara tertahan Hong-sam sianseng berkata, "Orang2 ini sama2 berkedudukan sebagai
seorang guru besar suatu aliran tersendiri, dengan sendirinya tindak tanduk mereka menjaga
gengsi agar tidak menurunkan derajat mereka. Hendaklah diketahui, menghormati orang lain
adalah sama dengan menghormati dirinya sendiri."
511
Meski di mulut Lui-ji tidak berani bicara apa2 lagi, namun di dalam hati dia tetap penasaran
dan tidak bisa menerima sikap kawanan pendatang itu.
Yang diminta naik ke atas loteng akhirnya datang juga. Mereka tetap tidak mau kehilangan
sopan santun, lentera yang mereka bawa digantungkan pada tangga loteng dan tidak dibawa
serta ke atas, di tengah remang2 cahaya lentera itu, seorang telah mendahului naik ke atas
loteng.
Tertampak orang itu berwajah putih bersih, sikapnya tenang dan sopan. Dia inilah Ji Hong-ho.
Hendaklah diketahui, meski ilmu silat dan nama Lo-cinjin lebih tinggi setingkat daripada Ji
Hong-ho, tapi jelek2 Ji Hong-ho bergelar Bu-lim-bengcu atau ketua perserikatan dunia
persilatan, siapapun tidak boleh berjalan di depannya.
Diam2 Lui-ji membatin, "Hm, jelas2 mereka tahu kami takkan pergi, makanya mereka
sengaja berlagak tertib dan sopan begini untuk naik ke sini, kalau tidak, mustahil kalau
mereka tidak menerjang kemari seperti kawanan anjing gila."
Begitu melihat Ji Hong-ho, seketika darah panas bergolak dalam dada Ji Pwe-giok, hampir
saja ia tidak dapat menahan emosinya, syukur dia masih dapat menahan diri.
Dilihatnya Ji Hong-ho sedang memberi hormat dan berkata, "Wanpwe Ji Hong-ho dari
Kanglam, sudah lama mengagumi nama kebesaran dan keluhuran budi Hong-locianpwe, hari
ini Cianpwe sudah menerima kunjunganku, sungguh sangat beruntung dan berterima kasih."
"Jadi Anda inilah Bu-lim-bengcu seluruh dunia sekarang ini?" tanya Hong-sam sianseng
dengan hambar...
"Ah, tidak berani," jawab Ji Hong-ho dengan rendah hati.
Hong-sam sianseng lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia seperti tidak sudi
memandangnya lagi, se-olah2 memandang hina terhadap Bu-lim-bengcu ini dan juga rada
kecewa. Dengan dingin ia hanya berkata, "Baik sekali, silahkan duduk."
Dalam pada itu tiba2 terendus bau harum semerbak menusuk hidung, seketika air muka Kwe
Pian-sian berubah, memangnya dia berduduk jauh di pojokan sana, sekarang dia malah terus
melengos dan meringkuk di belakang Ciong Cing dengan sembunyi2.
Segera Ji Pwe-giok tahu Hay-hong Hujin yang telah datang. Hatinya juga mulai berdetak, ia
tidak tahu apakah Lim Tay-ih ikut datang atau tidak?
Di bawah remang cahaya lentera, Hay-hong Hujin kelihatan anggun, cantik tiada
bandingannya.
Iapun melihat Pwe-giok berada di situ, dia seperti tersenyum, lalu dia memberi hormat kepada
Hong-sam dan berkata, "Kun Hay-hong dari Kohsoh menyampaikan salam hormat kepada
Hong-kongcu, baik2kah Kongcu?"
512
Perempuan sejelita ini, sekalipun sama2 perempuan juga ingin memandangnya beberapa
kejap lebih banyak. Siapa tahu Hong-sam sianseng tetap bersikap tawar saja, jawabnya tak
acuh, "Baik, silahkan duduk."
Menyusul muncul lagi seorang dengan baju compang-camping, gagah dan angkuh tanpa
memberi hormat.
Tapi sinar mata Hong-sam lantas gemerdep, tegurnya, "Apakah ini Pangcu dari Kaypang?"
"Ya, Ang-lian-hoa," jawab orang itu.
Tanpa menunggu dipersilahkan duduk, segera ia berduduk di ambang jendela.
Ji Hong-ho dan Kun Hay-hong masih tetap berdiri, sebab di atas loteng kecil ini hakekatnya
tidak ada tempat duduk lain.
Se-konyong2 terdengar suara 'dung' satu kali, seorang Tojin pendek kecil melangkah ke atas
loteng. Begitu mendadak dan cepat, tahu2 dia sudah muncul di ujung tangga loteng, se-olah2
cara naiknya hanya satu kali langkah saja lantas sampai di atas.
Dengan sorot mata yang tajam Tojin ini menatap Hong-sam sianseng dan menegur, "Kau
inikah Hong-sam?!"
"Dan kau inikah Lo-cinjin?" mendadak Lui-ji mendahului menjawab.
Lo-cinjin menjadi gusar, "Kurang ajar! Masa namaku boleh sembarangan dipanggil oleh
budak ingusan seperti kau ini?"
Tidak kurang ketusnya, Lui-ji balas menjengek, "Hm, memangnya nama Sacek juga boleh
sembarangan di-sebut2 oleh orang kerdil semacam kau?"
Saking gusarnya Lo-cinjin sampai melotot, matanya se-akan2 menyemburkan api, mendadak
ia berteriak, "Sip-hun, naik ke sini!"
Baru lenyap suaranya, dengan sangat hormat tahu2 Sip-hun sudah berdiri di sampingnya,
katanya dengan perlahan, "Adakah suhu memberi sesuatu pesan?"
"Cara bicara budak cilik ini tidak bersih, coba kau sikat mulutnya," bentak Lo-cinjin.
Sip-hun mengiakan.
Meski cukup cepat mulutnya mengiakan, tapi kaki tetap tidak bergerak, tetap berdiri di
tempatnya.
Lo-cinjin menjadi gusar, bentaknya pula, "Ayo, kenapa tidak lekas kau hajar dia?"
Tapi Sip-hun lantas menunduk dan tetap tidak bergeser selangkahpun.
"He, apakah kau tuli?" teriak Lo-cinjin dengan murka.
513
"Tecu tidak tuli," jawab Sip-hun, tetap perlahan dan halus.
"Kalau tidak tuli, kenapa tidak lekas kau hajar dia?" omel Lo-cinjin lagi.
"Tecu tidak berani," kata Sip-hun dengan menunduk.
"Kurang ajar! Memangnya apa yang kau takuti?" damprat Lo-cinjin sambil mencak2.
"Sekalipun Hong-sam akan merintangi kau, tentu aku yang akan menghadapi dia. Biarkan
murid lawan murid dan guru melawan guru, kenapa kau takut, kenapa kau tidak berani?"
"Memang Tecu tidak ... tidak berani," jawab Sip-hun.
Mendadak sebelah tangan Lo-cinjin terus menampar, 'plok', kontan muka Sip-hun merah
bengap.
"Kau mau maju ke sana tidak?" bentak Lo-cinjin dengan murka.
Meski muka Sip-hun seketika tembem seperti kue apem karena gamparan sang guru, tapi dia
tetap tenang dan sabar, sedikitpun tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, jawabnya dengan
suara halus, "Selamanya Tecu tidak berani bergebrak dengan kaum wanita."
Kontan Lo-cinjin berjingkrak dan menampar pula sambil membentak, "Bila perempuan itu
akan membunuh dirimu, apakah akan kau julurkan kepalamu untuk dipenggal sesukanya?"
Sembari berjingkrak, sekaligus ia telah menggampar beberapa kali.
Sip-hun tetap berdiri diam saja, semua gamparan sang guru itu diterima tanpa menghindar dan
tidak mengelak, malahan dengan tersenyum ia menjawab, "Nona cilik ini kan tidak
bermaksud membunuh diriku."
Semua orang sama melongo heran dan geli menyaksikan pertunjukan gratis tersebut. Sungguh
tak terbayangkan oleh mereka bahwa di dunia ini terdapat guru begini dan juga murid
demikian.
Lui-ji sangat senang juga menyaksikan pertunjukan lucu itu, diam2 iapun mendongkol
terhadap Tojin pemberang itu, ia tidak tahan, tiba2 ia berkata pula, "Yang ku maki adalah
dirimu, mengapa kau tidak berani turun tangan sendiri?"
Lo-cinjin berjingkrak seperti orang kebakaran jenggot, teriaknya murka, "Jika aku bergebrak
dengan budak ingusan seperti kau ini, apakah takkan ditertawakan orang hingga copot
giginya?"
"Huh, tiada hujan tanpa angin menghajar muridnya secara tidak se-mena2, apakah perbuatan
demikian tidak takut ditertawakan orang hingga copot giginya?" jengek Lui-ji.
Semua orang mengira Lo-cinjin pasti akan tambah murka dan bukan mustahil sekali hantam
Cu Lui-ji bisa dibinasakannya.
514
Tak terduga, sampai sekian lama Lo-cinjin melototi anak dara itu, akhirnya, bukannya murka,
sebaliknya ia malah bergelak tertawa dan berseru, "Hahaha! Sungguh budak yang hebat, besar
amat nyalimu!"
Bahwa dia tidak menjadi marah, semua orang jadi melengak pula.
Dalam pada itu Hay-hong Hujin sedang memandangi Cu Lui-ji, tiba2 ia bertanya dengan
suara lembut, "Eh, adik cilik, berapakah usiamu tahun ini?"
Dengan acuh tak acuh Lui-ji menjawab, "Kukira selisih tidak banyak dengan engkau?"
"Selisih tidak banyak?" Hay-hong Hujin menegas dengan tertawa geli. "Apakah kau tahu
berapa umurku?"
Lui-ji tidak lantas menjawab, ia pandang orang sejenak, lalu menjawab dengan sikap
sungguh2, "Melihat wajahmu, kukira usiamu kira2 baru dua puluhan."
"Apa iya!?" ucap Hay-hong Hujin dengan tertawa, tanpa terasa ia meraba mukanya sendiri.
"Dan kalau melihat tubuhmu, kukira juga baru berumur dua puluhan," kata Lui-ji pula sambil
memandangi tubuh orang yang bernas itu.
Maka senanglah hati Hay-hong Hujin, ia tertawa nyaring seperti bunyi keleningan, katanya,
"Ai, adik cilik ini benar2 pintar bicara."
Maklumlah, setiap perempuan di dunia ini tentu suka dipuji. Tiada seorang perempuan yang
tidak senang kalau orang memujinya masih cantik dan awet muda. Lebih2 perempuan yang
sudah setengah baya, biarpun muka sudah mulai keriput, tapi pasti gembira kalau orang bilang
dia baru berumur delapan belas.
Dengan lagak seperti sangat kagum Lui-ji lantas berkata pula, "Apalagi kalau melihat
tangannya yang putih dan halus ini, kukira umurmu paling2 baru delapan belas."
Hay-hong Hujin tertawa senang pula, tanpa terasa ia menjulurkan kedua tangannya, se-akan2
hendak dipertunjukkan kepada semua orang.
Di luar dugaan, dengan perlahan Lui-ji lantas menyambung lagi, "Dan kalau ketiga macam
tadi dijumlahkan, total jenderal menjadi 58, maka kukira umurmu belum lagi genap 60, betul
tidak?"
Ucapan Lui-ji ini hampir saja meledakkan tertawa semua orang, sampai2 Hong-sam yang
selalu bersikap dingin itupun merasa geli.
Akan tetapi di hadapan Hay-hong Hujin, siapapun tidak berani tertawa.
Sudah barang tentu, yang paling runyam adalah Hay-hong Hujin sendiri, sungguh ia tidak
menyangka dirinya akan terkecoh oleh seorang dara cilik, seketika ia menjadi merah padam
dan tidak dapat bersuara lagi.
515
Syukurlah Pwe-giok lantas bertindak. Betapapun ia masih ingat kebaikan Hay-hong Hujin
ketika menemuinya di bawah sinar purnama dengan lautan bunga yang semerbak itu. Iapun
teringat kepada murid Hay-hong Hujin, yaitu Lim Tay-ih, tunangannya atau calon isterinya.
Maka ia coba menyimpangkan persoalan dan bertanya kepada Ji Hong-ho, "Yang berkunjung
kemari apakah cuma Anda berempat saja?"
Ji Hong-ho tersenyum, jawabnya, "Kami tahu tempat kediaman Hong-locianpwe ini agak
kurang leluasa menerima kunjungan orang banyak, sebab itulah beberapa sahabat terpaksa
kami tinggalkan menunggu di bawah sana."
Cu Lui-ji mendengus, "Hm, tentunya kau kira melulu kalian berempat saja sudah lebih
daripada cukup untuk menghadapi kami bukan? Atau, kalian kuatir kami akan lari, maka lebih
dulu begundal kalian telah diatur menjaga di sekitar tempat ini?"
Ji Hong-ho tidak menjadi marah, dengan tak acuh ia menjawab, "Nona memang pintar bicara,
tapi kalau nona mengira dengan kata2 yang tajam dapat kau bikin jeri kami, maka salahlah
kau. Coba pikirkan, dengan tokoh2 besar seperti Lo-cinjin dan Hay-hong Hujin ini, apakah
beliau ini sudi bertengkar mulut dengan seorang nona cilik hanya untuk kepuasan seketika
saja?"
"Tapi mengapa sekarang kau sendiri bertengkar mulut denganku?" jawab Lui-ji. "Memangnya
karena kau merasa harga diri dan kedudukanmu terlebih rendah?"
Ji Hong-ho jadi melengak dan mendongkol, ia pikir kalau adu mulut dengan seorang anak
dara hanya akan menurunkan pamornya sendiri saja, terpaksa ia berlagak tidak dengar olok2
Cu Lui-ji, ia berdehem, lalu berkata terhadap Hong-sam, "Maksud kedatangan kami ini,
kukira Hong-locianpwe tentunya sudah tahu."
"Oo!" demikian Hong-sam sianseng hanya bersuara seperti orang ingin tahu.
Ji Pwe-giok juga berdiri tenang dan mendengarkan di samping.
Lalu Ji Hong-ho menyambung ucapannya, "Tentunya Hong-locianpwe juga tahu bahwa orang
yang kami cari dan akan kami ambil ialah nona Cu ini."
"Ooo?" kembali Hong-sam bersuara seperti keheranan.
Maka Ji Hong-ho melanjutkan lagi, "Soalnya nona Cu ini beberapa tahun akhir2 ini telah
berbuat berbagai urusan yang menimbulkan rasa ketidakpuasan para kawan Kangouw. Dalam
kedudukanku selaku Bengcu, terpaksa kupenuhi permintaan orang banyak dan secara
sembrono berkunjung kemari demi mencari keadilan. Dalam hal ini, asalkan Hong locianpwe
dapat memakluminya dan membiarkan kami membawa pergi nona Cu ini, maka Cayhe akan
menjamin persoalan ini pasti akan ku selesaikan secara adil dan jujur, bahkan pasti takkan
mengganggu ketenangan Hong-locianpwe yang perlu tetirah lebih lama lagi."
"Ooo!?" lagi2 Hong-sam hanya bersuara singkat saja.
Ber-turut2 ia bersuara 'O' tiga kali tanpa memberi reaksi sedikitpun. Hal ini membuat Ji
Hong-ho jadi melengak malah, sebab ia tidak tahu apa artinya 'O' itu, apakah setuju dan
menerima dengan baik atau menolak permintaannya?"
516
Sampai sekian lama baru terdengar Hong-sam sianseng menghela nafas panjang, lalu berkata,
"Bahwa kau berani datang kepada orang she Hong untuk mengambil orang, sungguh nyalimu
tergolong tidak kecil."
Ji Hong-ho tertawa hambar, ucapnya, "Ini disebabkan Hong-sam sianseng sekarang sudah
bukan lagi Hong-sam sianseng di masa dahulu."
Hong-sam tidak menjadi marah. Tiba2 sorot matanya beralih ke arah Lo-cinjin, katanya,
"Yang bicara adalah dia, yang akan bertempur mungkin ialah dirimu, begitu bukan?"
Lo-cinjin bergelak tertawa, jawabnya, "Hahahaha! Memang betul, walaupun Hong-sam
sekarang sudah bukan lagi Hong-sam dahulu, tapi apapun juga, kecuali diriku, mungkin
belum juga ada orang yang mampu melawan kau."
"Hehe, bagus," jengek Hong-sam sianseng. "Site (adik ke empat, maksudnya Ji Pwe-giok),
bolehlah kau maju bergebrak dengan dia."
Pwe-giok mengiakan terus melompat maju, ucapnya sambil memberi hormat kepada Locinjin.
"Silahkan Totiang memberi petunjuk beberapa jurus."
Bahwa yang ditantang ialah Hong-sam sianseng dan dia tidak maju sendiri, juga bukan Cu
Lui-ji yang maju melainkan Ji Pwe-giok yang diajukan sebagai jagonya, hal ini benar2 di luar
dugaan siapapun juga. Lo-cinjin, Ji Hong-ho, Ang-lian-hoa, dan Kun Hay-hong sama
melenggong bingung.
Segera Lo-cinjin berteriak dengan gusar, "Busyet! Masa kau suruh aku bergebrak dengan
bocah yang masih berbau pupuk ini. Memangnya apa maksudmu sebenarnya?"
"Masa maksudnya tidak kau pahami?" tanya Cu Lui-ji dengan perlahan.
"Ya, aku justeru tidak paham!" teriak Lo-cinjin.
"Rupanya tidak cuma badanmu saja kerdil, otakmu juga kerdil," demikian Lui-ji ber-olok2.
"Soalnya hanya dengan sedikit kemahiran mu ini lantas ingin bergebrak dengan Sacek sendiri,
maka kau masih ketinggalan sangat jauh. Kelak kalau kejadian ini tersiar, bukankah di dunia
Kangouw akan ramai orang bilang Sacek hanya mampu mengalahkan seorang kecil macam
kau."
Seketika Lo-cinjin berjingkrak pula, kembali ia meraung gusar, "Tapi kenapa aku juga
disuruh bergebrak dengan anak ingusan ini? Sedangkan mengalahkan muridku saja dia tidak
mampu..."
"Hm, berdasarkan apa kau berani meremehkan dia?" jengek Hong-sam sianseng. "Seumpama
Hong-sam sekarang bukan lagi Hong-sam dahulu, akan tetapi Ji Pwe-giok sekarang jelas juga
bukan Ji Pwe-giok pada waktu yang lalu."
Sinar mata Ji Hong-ho tampak gemerdep, tiba2 ia berkata, "Jika demikian, jadi urusan hari ini
cukup diandalkan padanya dan segala persoalannya akan dapat diputuskan berdasarkan
pertempurannya ini?"
517
"Ya, begitulah!" jawab Hong-sam sianseng dengan tegas.
"Dan kalau dia kalah, lalu bagaimana?" tanya Ji Hong-ho.
"Bila Sicek (paman ke empat) kalah, segera ku ikut pergi bersama kalian dan terserah akan
diapakan kalian!" seru Lui-ji lantang.
"Apakah ucapan ini dapat dipercaya?" tanya Ji Hong-ho pula.
"Hm, orang macam kau juga berani menyangsikan kepercayaanku?" jengek Hong-sam
sianseng.
Terunjuklah rasa kegirangan pada sinar mata Ji Hong-ho, cepat ia berseru, "Jika demikian,
ayolah Totiang, lekas turun tangan, mau tunggu kapan lagi?"
"Kau juga menyuruh aku bergebrak dengan anak kemarin ini?" raung Lo-cinjin.
Dengan tersenyum Ji Hong-ho menjawab, "Tapi Ji-Kongcu ini sekarang sudah menjadi
saudara Hong-sam sianseng, bila Totiang bergebrak dengan dia kan tidak dapat dianggap
orang tua melabrak anak muda lagi?"
"Betul," tukas Hay-hong Hujin, "jika saudara Hong-sam sianseng yang bergebrak dengan
Totiang, apapun juga tak dapat dikatakan telah menurunkan derajat Totiang."
"Akan tetapi, bagaimana dengan janji pihak kalian apabila Totiang kalian yang kalah?" tanya
Lui-ji tiba2.
Kembali Lo-cinjin berjingkrak, teriaknya dengan gemas, "Jika aku kalah, segera aku
menyembah padanya dan memanggilnya Suhu!"
"Wah, untuk ini kukira tidak perlu," kata Lui-ji dengan tertawa. "Jika Sicek menerima seorang
murid yang setiap hari senantiasa marah2 saja seperti dirimu ini, bisa jadi Sicek akan kepala
pusing tujuh keliling."
Lo-cinjin meraung pula dengan gusar, "Dalam 50 jurus, bilamana tidak dapat ku robohkan
dia, seketika juga ku angkat kaki dari sini."
Sebenarnya dia masih enggan bertarung dengan Pwe-giok yang dianggapnya tidak sepadan.
Tapi sekarang dia sudah benar2 murka sehingga berubah menjadi tidak boleh tidak harus
bertarung dengan Pwe-giok, kini tiada seorangpun yang dapat mencegah akan niatnya itu.
Dengan tertawa Lui-ji menjawab, "Jangankan cuma 50 jurus... jadikan saja 500 jurus juga
belum tentu dapat kau sentuh ujung baju Sicek. Hanya saja, meski demikian pernyataanmu,
lalu bagaimana pula dengan begundalmu itu?"
"Baiklah, jadi 500 jurus begitu," kata Ji Hong-ho dengan tersenyum. "Dalam 500 jurus itu bila
Lo-cinjin tidak dapat mengalahkan Ji-kongcu ini, seketika juga kami akan angkat kaki dari
sini dan takkan mengganggu gugat padamu lagi."
518
"Apakah pernyataannya juga mewakili kau?" tanya Lui-ji sambil memandang Hay-hong
Hujin.
"Ji-kongcu adalah sahabatku, yang kuharap semoga Lo-cinjin hanya merobohkannya saja
tanpa melukainya," ucap Hay-hong Hujin dengan tersenyum.
"Dan kau?" tanya Lui-ji terhadap Ang-lian-hoa.
Sinar mata Ang-lian-hoa tampak guram, siapapun tidak tahu apa yang sedang dipikirkan ketua
Kaypang ini. Dia hanya menjawab dengan dingin, "Setuju!"
Semua orang, termasuk Ang-lian-hoa, siapapun tidak percaya Ji Pwe-giok mampu melawan
Lo-cinjin hingga 500 jurus. Sebab mereka sudah sama menyaksikan kepandaian Pwe-giok,
kalau anak muda itu mampu melawan Sip-hun hingga 500 jurus, hal ini boleh dikatakan
cukup hebat, dan sekarang kalau dia sanggup menahan 50 kali serangan Lo-cinjin, maka hal
ini benar2 suatu keajaiban.
"Jika sudah diputuskan begini, jadi semua orang sudah setuju, tiada orang lain lagi yang bakal
rewel?" demikian Lui-ji menegas.
"Siapa yang berani rewel?" Lo-cinjin meraung pula. "Jika ada yang berani rewel, segera
kupuntir kepalanya di sini juga.
Dia seperti tidak sabar lagi, segera ia berteriak pula, "Nah, bocah she Ji, ayolah mulai serang
dulu, aku akan mengalah tiga jurus padamu."
Sejak tadi Pwe-giok diam2 saja tanpa memberi komentar.
Ia tahu tugas yang dipikulnya sekarang maha berat, sesungguhnya dia sangat tegang dan rada
kebat-kebit, tapi ketika benar2 sudah berhadapan dengan Lo-cinjin, rasa tegangnya lantas
mulai kendur.
Diam2 ia berkata kepada dirinya sendiri, "Sabarlah! Apapun juga Lo-cinjin juga cuma
seorang manusia belaka, kenapa aku harus jeri kepadanya?"
Karena lagi memikirkan dirinya sendiri, apa yang dipercakapkan orang lain tiada satu katapun
diperhatikannya, apa yang diperbuat orang lain juga sama sekali tidak dilihatnya.
Perhatiannya kini sudah tercurahkan seluruhnya ke tubuh Lo-cinjin saja.
Tiba2 ia melihat kedua mata Lo-cinjin, kedua alisnya dan kedua tangannya tidak sama rata
besarnya, yang sebelah kanan lebih kecil sedikit daripada yang sebelah kiri. Pada lubang
hidungnya kelihatan menongol tiga utas rambut hitam dan sangat kasar, rambut hidung itu
terlalu panjang hingga ber-getar2 di atas bibir. Pada leher bajunya di depan dada ada sebagian
tergores robek sehingga kelihatan baju dalamnya yang putih.
Lalu diketahui pula kelopak mata kiri Lo-cinjin sedang me-lonjak2, mungkin sedang kedutan,
ujung mulutnya juga ber-kerut2 seperti orang kejang. Kelima jari tangan kanan juga sama
bergemetar, tapi jari tangan kiri terjulur kaku lurus.
519
Apa yang dilihat Pwe-giok itu sebenarnya sedikitpun tidak menarik perhatian orang, akan
tetapi dalam keadaan perhatian Pwe-giok lagi dipusatkan kepada Lo-cinjin seorang saja,
setiap ciri yang paling kecil, tiba2 berubah menjadi begitu leas dan begitu nyata baginya.
Selamanya belum pernah Pwe-giok memperhatikan seseorang dengan sedemikian cermat,
selamanya pula tak terpikir olehnya akan dapat melihat keadaan seseorang dengan sedemikian
jelas.
Ia masih terus memandangnya, sampai akhirnya hidung Lo-cinjin itu bagi pandangannya itu
seolah2 telah berubah menjadi sebesar mangkuk, berapa banyak pori2 di atas hidung orang
rasanya seperti dapat dilihatnya dengan jelas...
*****
Lo-cinjin sedang berteriak dan meraung, namun Pwe-giok seperti tidak mendengarnya. Sudah
dua kali Lo-cinjin mendesaknya agar anak muda itu lekas mulai, tapi dia masih tetap berdiri
tenang seperti orang linglung, sedikitpun tidak bergerak.
Semua orang menjadi heran, ada yang berpikir, "Jangan2 anak muda ini menjadi ketakutan
dan kesima."
Tanpa terasa tersembul senyuman girang pada ujung mulut Ji Hong-ho.
Lo-cinjin tidak sabar lagi, kembali ia berjingkrak dan meraung, "He, apakah kau..."
Di luar dugaan, sekali ini baru saja kakinya melonjak dan suaranya baru saja bergema, Ji Pwegiok
yang kelihatannya linglung seperti patung itu mendadak melompat maju secepat terbang.
Secepat kilat telapak tangannya juga lantas menabas ke dengkul Lo-cinjin.
Hendaklah dipahami bahwa tokoh besar seperti Lo-cinjin ini, kungfunya boleh dikatakan
sudah mencapai tingkatan yang terlebur menjadi satu dengan jiwa raganya. Pada waktu biasa,
setiap gerak geriknya, sengaja atau tidak sengaja selalu bertindak sesuai dengan kungfunya.
Seperti halnya seorang penari mahir, setiap gerak geriknya pada waktu biasa juga pasti
bergaya jauh lebih indah daripada orang lain.
Sebab itulah, meski Lo-cinjin tampaknya berdiri seenaknya, namun seluruh tubuh se-akan2
juga senantiasa terjaga rapat dan tiada setitik lubangpun untuk diserang.
Tapi, tidak perduli siapapun juga, bilamana sedang marah, selagi berjingkrak seperti orang
kebakaran jenggot, maka setiap gerakannya tentu juga rada teledor, apalagi kalau kedua kaki
sudah terapung di udara dan bukan lagi menendang lawan, maka di bagian bawah pasti akan
memperlihatkan ciri kelemahan.
Dengan memusatkan segenap perhatiannya mengamati lawan, tujuan Pwe-giok justeru ingin
mencari titik kelemahan Lo-cinjin. Maka begitu lawan memperlihatkan kelemahan pada
bagian bawahnya, serentak dia melesat maju, tebasan telapak tangannya justeru menyerang
titik yang paling lemah di tubuh lawan pada sat itu, bagian yang hampir tidak terjaga sama
sekali.
520
Tentu saja Lo-cinjin terkejut, perawakannya yang kurus kecil itu se-konyong2 berputar di
udara, sekaligus kaki dan tangannya balas menyerang Pwe-giok .
Gerakan mengelak sambil balas menyerang atau menyerang untuk menyelamatkan diri ini
ternyata tindakan yang tepat dan hebat. Di sini terbukti bahwa Lo-cinjin memang tidak malu
disebut sebagai tokoh kelas top pada jaman ini, sekalipun menghadapi bahaya tetap tidak
bingung.
Pada saat itulah Cu Lui-ji lantas menjengek, "Huh, mau mengalah tiga jurus? Hm...!"
Seperti diketahui, tadi Lo-cinjin menyatakan hendak memberi tiga jurus kepada Pwe-giok.
Tapi sekarang dia bukan cuma mengelak saja, tapi balas menyerang, dengan sendirinya tidak
dapat dianggap sebagai jurus mengalah.
Mendadak terdengar Lo-cinjin bersuit panjang, di tengah suara suitan nyaring itu tahu2
tubuhnya sudah menyurut mundur ke belakang.
Padahal tangan dan kakinya sedang menyerang ke depan, tapi mendadak tubuhnya dapat
menyurut mundur dalam keadaan terapung, kelihatannya jadi seperti ada orang menariknya
dari belakang.
Kejadian ini bila dilihat orang biasa, mungkin akan menyangka Tojin kecil itu mahir ilmu
gaib atau sedang main sulap.
Tapi yang hadir di atas loteng ini sekarang hampir boleh dikatakan seluruhnya terdiri dari
jago2 silat kelas satu, semuanya dapat melihat suara suitan Lo-cinjin tadi bukannya tidak ada
gunanya. Dengan bersuit itulah Lo-cinjin mengerahkan hawa murni di dalam tubuhnya dan
dipancarkan. Karena pancaran hawa murni inilah tubuhnya lantas tertolak mundur.
Soal sebab apa pancaran hawa itu dapat membuat orang berbalik terdorong ke belakang, teori
ini dengan sendirinya belum dapat dimengerti orang pada jaman itu. tapi di sini pula setiap
orang dapat menyaksikan betapa hebat Khikang (ilmu mengerahkan hawa dalam perut) Locinjin.
Sampai2 Ang-lian-hoa yang tidak suka sembarangan memuji orang, tanpa terasa iapun
berseru, "Khikang yang hebat!"
Ji Hong-ho tersenyum puas dan bangga, tanyanya pada Ang-lian-hoa, "Menurut pendapat
Pangcu, Ji-kongcu ini kira2 mampu menahan berapa jurus serangan Cinjin?"
Wajah Ang-lian-hoa menampilkan perasaan sayang dan menyesal, jawabnya sesudah berpikir
sejenak, "Kukira paling banyak hanya antara seratus jurus saja."
Ji Hong-ho lantas berpaling ke arah Hay-hong Hujin dan bertanya dengan tersenyum, "Dan
bagaimana pandangan Hujin?"
"Pandangan Ang-lian-pangcu maha tajam, masakan pendapatnya bisa keliru?" ujar Hay-hong
Hujin dengan tersenyum.
521
Sejak awal hingga sekarang Hay-hong Hujin dan Ang-lian-hoa sama sekali tidak memandang
barang sekejap pun ke arah Kwe Pian-sian, se-olah2 di pojok sana hakekatnya tidak terdapat
sesuatu, apalgi ada orang bersembunyi di situ.
Tentu saja diam2 Kwe Pian-sian bergirang karena jejaknya tidak diperhatikan lawan yang
ditakuti itu. Tapi sekarang demi mendengar ucapan mereka, seketika hatinya cemas. Pikirnya,
"Loteng ini hanya sejengkal luasnya, sekalipun aku bersembunyi di sudut segelap ini,
mustahil dengan ketajaman mata mereka tak dapat melihat diriku? Jelas mereka yakin benar2
tiada seorangpun di atas loteng ini yang mampu lolos, makanya mereka sengaja berlagak tak
acuh terhadapku."
Berpikir demikian, seketika keringat dingin membasahi tubuhnya.
Dalam pada itu Lo-cinjin benar2 telah mengalah tiga jurus kepada Pwe-giok, kini dia sudah
mulai melancarkan serangan balasan.
Gaya serangannya tiada memperlihatkan sesuatu tipu istimewa atau gerakan yang luar biasa,
tampaknya tidaklah sesuai dengan nama kebesarannya.
Akan tetapi setelah belasan jurus, daya tekanannya mulai kelihatan hebatnya, serangannya
tambah mantap dan berat.
Gaya serangannya memang tiada sesuatu perubahan yang istimewa dan mengherankan, akan
tetapi antara jurus serangan yang satu dengan serangan berikutnya terpadu sedemikian
rapatnya, terkadang antara dua jurus kelihatan berlawanan, gerak tangan dan arah yang dituju
jelas berbeda. Bila orang lain yang memainkan dua jurus serangan demikian pasti akan
kerepotan atau kalau bisa tentu juga sangat dipaksakan, namun bagi Lo-cinjin ternyata dapat
dimainkan dengan sangat lancar dan serasi se-olah2 jurus yang satu dengan jurus lain
memang sambung menyambung.
Semula Cu Lui-ji rada meremehkan Tojin kerdil ini, diam2 ia lagi melengak, "Hm, rupanya
Lo-cinjin yang termasyhur juga cuma begini saja kemampuannya."
Akan tetapi setelah mengikuti beberapa jurus lagi, mau-tak-mau perasaannya mulai tertekan.
Gerak serangan Lo-cinjin yang kelihatannya lumrah saja itu, makin dipandang makin lihay
dan makin menakutkan. Serangannya tidak banyak variasinya, kalau menghantam ya
menghantam begitu saja seperti sebuah martil besar atau sebuah kapak raksasa, tapi serangan
demi serangan susul menyusul, sambung menyambung tanpa putus.
Melihat gencarnya serangan Lo-cinjin itu, para penonton saja merasa tegang sehingga
bernapas saja hampir2 tak sempat, apalagi Ji Pwe-giok yang langsung menghadapi serangan
dahsyat itu.
Dalam cemasnya, Cu Lui-ji coba memandang Hong-sam sianseng sekejap, meski di mulut
tidak bersuara, namun sorot matanya tiada ubahnya seperti ingin bertanya, "Apakah Sacek
yakin jago kita akan sanggup menahan 300 jurus serangan lawan?"
522
Tak terduga Hong-sam sianseng malah terus memejamkan matanya, terhadap pertarungan
mati2an, pertarungan yang menyangkut mati atau hidup, pertarungan yang menyangkut hina
atau jaya namanya itu, sama sekali ia tidak menghiraukan lagi.
Hanya sekejap saja 30 jurus lebih sudah berlangsung, setiap jurus serangan Lo-cinjin semakin
dahsyat dan tambah lihay. Tampaknya Pwe-giok hanya mandah diserang saja, sampai2 tenaga
untuk balas menyerang saja sudah tidak ada lagi.
Begitu berat rasanya Pwe-giok menghadapi lawannya terbukti dari sikapnya yang kelihatan
prihatin, setiap kali dia hendak bergerak, tampaknya kudu berpikir lebih dulu. Padahal
pertarungan di antara tokoh silat kelas tinggi mana ada peluang baginya untuk berpikir segala.
Maka setelah mendekati 50 jurus, unggul dan asor atau kalah dan menang tampaknya sudah
jelas, sudah pasti. Semua orang yakin, apabila Ji Pwe-giok sanggup bertahan sampai 100 jurus
lebih, maka hal inipun sudah terhitung ajaib.
Tiba2 terdengar Ji Hong-ho berkata dengan tertawa, "Haha, pertarungan sebagus ini, sungguh
jarang ditemui selama ratusan tahun ini. Kalau tontonan menarik ini di-sia2kan, sungguh
terasa sangat sayang."
Dengan tersenyum Sip-hun lantas menanggapi, "Jika demikian, biarlah Tecu mengerek semua
kerai jendela loteng ini agar setiap orang dapat ikut menyaksikannya, boleh?"
"Hah, bagus sekali usulmu!" seru Ji Hong-ho dengan bergelak.
Tanpa menunggu perintah lagi, terus saja Sip-hun melipat semua kerai jendela.
Suara angin di luar masih men-deru2 dan menyeramkan, malam tambah kelam, bumi dan
langit se-olah2 penuh diliputi oleh suasana ketegangan.
Di atas wuwungan rumah di sekeliling loteng kecil itu ternyata sudah penuh ditongkrongi
orang, semuanya ingin menonton pertarungan menarik ini meski harus menahan dinginnya
udara malam. Dan begitu kerai jendela dikerek, seketika orang yang menongkrong di atas
wuwungan rumah itu bertambah banyak.
Tadi Kwe Pian-sian bermaksud kabur pada waktu keadaan kemelut, tapi sekarang barulah ia
sadar biarpun mendadak dia tumbuh sayap juga jangan harap akan dapat mabur.
Jilid 21________
Kwe Pian-sian menghela napas, ia tahu tiada gunanya lagi main sembunyi-sembunyi.
Sekalian ia lantas berdiri, dia mengangguk pelahan terhadap Hay-hong Hujin dengan
tersenyum, sikapnya seolah kejut, heran dan juga girang, seperti kekasih yang mendadak
berjumpa kembali setelah berpisah sekian tahun lamanya. Kaceknya cuma dia tidak terus
berlari maju dan merangkul atau memegang tangannya untuk menyatakan rasa rindunya
selama berpisah itu.
Namun Hay-hong Hujin tetap tidak memandangnya barang sekejap pun, seakan-akan di situ
tiada terdapat seorang macam Kwe Pian-sian. Sebaliknya ia malah berkata terhadap Ji Hongho
dengan tersenyum, "Ada satu hal yang sangat mengherankan aku?"
523
"Hujin mengherankan hal apa?" tanya Ji Hong-ho.
"Coba Bengcu memberi komentar, bagaimana daya pukulan Lo-cinjin kalau dibandingkan
mendiang Thian-kang Totiang?" tanya Hay-hong Hujin.
Ji Hong-ho tersenyum, jawabnya, "Ilmu sakti Kun-lun-pay tiada bandingannya. Betapa hebat
kekuatan ilmu pukulan Thian-kang Totiang bahkan sudah lama dikagumi oleh sesama rekan
dunia persilatan, cuma....."
"Cuma kalau dibandingkan Lo-cinjin masih selisih satu tingkat, begitu bukan?" tukas Hayhong
Hujin.
Ji Hong-ho hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Diam tanpa menyangkal berarti
membenarkan.
Maka Hay-hong Hujin berkata pula, "Belasan tahun yang lalu aku ikut almarhum guruku ke
Kun-lun-san, kebetulan menyaksikan Thian-kang Totiang sedang bergebrak dengan orang,
lawannya seperti seorang Lama dari benua barat, kekuatannya juga sangat mengejutkan."
"Mungkin itulah Ang-hun Lama, satu di antara tiga tokoh Lama besar yang terkenal, orang ini
sudah lama bermusuhan dengan Kun-lun-pay, bukan cuma satu kali saja dia menyatroni Kunlun-
san."
"Waktu itu jarak berdiri kami dengan kalangan pertempuran mereka sedikitnya ada tujuh atau
delapan tombak, akan tetapi setiap kali Thian-kang Totiang menyerang, dengan jelas kulit
muka terasa perih oleh samberan angin pukulannya, bahkan ujung baju juga sama tergetar dan
berkibar. Tapi sekarang Lo-cinjin bertempur di depan kita dalam jarak sedekat ini, mengapa
sedikitpun tidak kurasakan tenaga pukulannya."
"Hal ini disebabkan Lo-cinjin sudah dapat menguasai tenaga pukulannya dengan sesuka hati,
setiap kali dia memukul, tenaga pukulannya hanya dipusatkan kepada Ji-kongcu seorang saja,
sedikitpun tidak terbuang ke tempat lain, dan bila serangan tidak kena sasaran, segera ia tarik
kembali tenaga pukulannya, sebab itulah beban yang harus dihadapi Ji-kongcu cukup berat,"
setelah tertawa, lalu Ji Hong-ho menyambung, "Kalau tidak begitu, jangan kau dan diriku,
bahkan seluruh loteng kecil ini mungkin sudah tergetar runtuh sejak tadi."
Hay-hong Hujin menghela napas, ucapnya dengan pelahan, "Untung aku bukan Ji Pwe-giok,
kukira saat ini dia tentu sangat tidak enak."
"Hm, juga belum tentu tidak enak sebagaimana dugaanmu," jengek Cu Lui-ji.
"He, kau tahu? Darimana kau tahu?" tanya Hay-hong Hujin dengan tertawa.
Namun Cu Lui-ji tidak menggubrisnya lagi, dia sibuk bergumam dan menghitung jurus
pertempuran mereka, "Sembilan puluh.... sembilan satu..... sembilan dua....."
Cara menghitungnya sesungguhnya terlalu cepat, padahal sampai saat itu antara Lo-cinjin dan
Ji Pwe-giok paling-paling baru bergebrak delapan puluh jurus. Akan tetapi rombongan Ji
524
Hong-ho sudah yakin Pwe-giok pasti tidak sanggup bertahan sampai 300 jurus, sebab itulah
tiada orang yang perduli cara berhitung Lui-ji itu.
Saat mana Pwe-giok sudah mirip sebuah paku, meski terus menerus dihantam oleh sebuah
palu raksasa, tapi bila palu ingin membuat bengkok pakunya juga tidak terlalu gampang.
Tiba-tiba Pwe-giok merasakan daya serang Lo-cinjin itu meski hebat, tapi ternyata tidak
terlalu mendesak, terkadang bila dia menghadapi serangan berbahaya dan seketika sukar
menemukan cara untuk mematahkannya, Lo-cinjin berbalik seperti sengaja memberi
kelonggaran padanya dan memberi waktu berpikir baginya.
Hal ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Pwe-giok, caranya menyerang atau menangkis
sengaja lebih diperlambat.
Sebaliknya Cu Lui-ji yang menghitung jumlah gebrakan mereka tambah cepat malah,
berturut-turut ia berseru, "Seratus satu, seratus dua, seratus tiga....."
Ji Hong-ho memandang Ang-lian-hoa sekejap, ucapnya dengan tersenyum, "Seratus jurus
sudah lalu, tak nyana dia masih sanggup bertahan."
"Ya, sungguh tak tersangka." jawab Ang-lian-hoa dengan tak acuh.
Tiba-tiba Sip-hun berkata: "Tenaga dalam Ji-kongcu ini tampaknya mendadak bertambah
lipat ganda, betul tidak?"
"Ya," jawab Ang-lian-hoa.
"Tenaga dalam seorang dapat bertambah sebanyak ini hanya dalam waktu setengah hari ini,
hal ini benar-benar sukar untuk dimengerti," ujar Sip-hun dengan gegetun.
Ji Hong-ho tersenyum, katanya, "Tapi Toheng tidak perlu kuatir, biarpun tenaga dalamnya
lebih kuat lagi juga tetap tidak mampu menahan seratus jurus serangan gurumu."
"Tapi saat ini seratus jurus kan sudah lebih?" ujar Sip-hun.
"Ah, hal itu disebabkan gurumu sengaja hendak mengetahui tinggi-rendah dan asal-usul ilmu
silat lawan saja." kata Ji Hong-ho. "Kalau tidak, pada jurus ke-86 tadi jelas Ji-kongcu sudah
tidak sanggup bertahan lagi. Betul tidak?"
Ucapannya itu ditujukan kepada Sip-hun, tapi suaranya itu justeru diperkeras seakan-akan
kuatir tidak terdengar oleh Lo-cinjin.
Benar saja, Lo-cinjin lantas tertawa dan berkata, "Betul, aku memang ingin tahu Kungfu hebat
apa yang diajarkan Hong Sam kepada bocah ini. Tapi sekarang rasanya sudah cukup bagiku!"
Di tengah suara gelak tertawanya itu mendadak ia pergencar serangannya.
Tak terduga, setiap serangannya selalu dapat dipatahkan oleh Pwe-giok, kalau lawan bergerak
dan menyerang cepat, maka iapun ikut cepat.
525
Hendaklah maklum, sekalipun Ji Pwe-giok sangat pintar dan cerdik, walaupun Hong-sam
sianseng juga tidak sayang mengajarkan segenap Kungfunya, tapi dalam waktu singkat yang
cuma setengah hari itu apa yang dapat dipahaminya tentu juga sangat terbatas dan tidak
banyak.
Sebab itulah jurus serangan yang digunakannya untuk melawan Lo-cinjin ini kebanyakan
adalah ciptaannya sendiri secara darurat dan karena itu pula gerak-geriknya dengan sendirinya
tidak leluasa.
Akan tetapi setelah lewat seratus jurus, tiba-tiba kecerdasannya tambah meningkat, kini jurus
serangan baru ciptaannya sudah tambah banyak, gerak perubahan jurus serangannya juga
tambah apal. Hal ini serupa main catur dengan orang yang ahli, biarpun baru mulai belajar,
lama-lama tentu juga akan terdesak hingga mendapatkan ilham, tanpa terasa akan memainkan
beberapa langkah ajaib yang sama sekali tak disadarinya.
Dan jurus serangan ciptaan Pwe-giok sekarang juga timbul lantaran terdesak dan terpaksa.
Dalam pada itu Cu Lui-ji masih terus menghitung, "Seratus enam puluh satu, enam dua, satu
enam tiga...."
Tiba-tiba Ji Hong-ho tertawa, katanya, "Ah, apakah hitungan nona tidak salah? Sampai saat
ini kan baru jurus ke 153 saja?"
Tadinya ia anggap tidak menjadi soal meski nona cilik itu menghitung lebih cepat beberapa
jurus, tapi sekarang setelah menyaksikan ketahanan Ji Pwe-giok yang luar biasa, bahkan jurus
serangannya yang baru bertambah lihay, akhirnya ia tidak tahan dan menyatakan
keberatannya terhadap cara hitung Cu Lui-ji.
Lui-ji tertawa terkikik-kikik, katanya, "Bukankah kalian penuh keyakinan akan menang?
Kenapa sekarang kaupun mulai berkuatir? .... Satu enam tujuh, satu enam delapan.... satu
enam sembilan...." begitulah dia masih terus menghitung dengan caranya sendiri, cara
bagaimana orang memprotesnya sama sekali tak dihiraukannya.
"Ya, jika nona tetap menghitung cara demikian juga tidak beralangan, hanya saja nanti harus
dipotong delapan jurus," ujar Ji Hong-ho dengan tertawa.
Mendadak Lo-cinjin meraung gusar, "Biarpun dia menghitung lebih banyak delapan jurus
juga tidak menjadi soal, memangnya dia mampu menyambut 300 jurus seranganku?" - Sambil
menggerung, suatu pukulan dahsyat terus dilontarkan.
"Nah, kalian sudah dengar sendiri, jago kalian menyatakan cukup 300 jurus saja akan
mengalahkan Sicek," seru Lui-ji dengan tertawa. Lalu dia terus menghitung, "Satu tujuh
puluh...."
Dalam pada itu Pwe-giok telah membuat suatu lingkaran dan berhasil mematahkan hantaman
dahsyat lawan. Akan tetapi, biarpun serangan lawan sudah dipatahkan, namun tenaga pukulan
lawan yang maha dahsyat itu masih terus menindihnya.
"Blang", tahu-tahu papan loteng berlubang, Ji Pwe-giok benar-benar seperti sebuah paku,
langsung diketok ambles ke bawah melalui lubang itu.
526
Saat itu Lui-ji baru menghitung sampai, "Satu tujuh satu......." dan karena terkejut, seketika
hitungannya terhenti.
Ji Hong-ho tertawa senang, katanya, "Meskipun Ji-kongcu kalah, tapi dia mampu menahan
ratusan jurus serangan Lo-cinjin, betapapun dia memang hebat."
"Apa? Kalah? Siapa bilang Sicek kalah?" tanya Lui-ji dengan melotot.
"Hah, semua orang menyaksikan dengan jelas, masakah ini belum terhitung kalah?" ujar Ji
Hong-ho dengan tertawa.
Belum lagi Lui-ji menanggapi, sekonyong-konyong terdengar suara "blang" pula, tahu-tahu
Pwe-giok telah muncul lagi dengan menerobos lubang papan loteng tadi. Menyusul sebelah
tangannya lantas menghantam ke arah Lo-cinjin.
"Hahaha! Apa yang kau lihat sekarang? Jelas bukan?" seru Lui-ji sambil berkeplok tertawa.
"Yang pecah adalah papan loteng dan bukan perut Sicekku, masa kau anggap Sicek sudah
kalah? Hahaha, sungguh lucu! Jika papan loteng berlubang lantas dianggap kalah, sekarang
juga dapat kulubangi papan loteng ini tiga puluh lubang sekaligus."
Dan tanpa menunggu jawaban Ji Hong-ho ia terus menyambung hitungannya, "Satu tujuh
sembilan, satu delapan puluh, satu delapan satu...."
Sekali ini hitungannya tidak lebih banyak lagi daripada gebrakan yang sesungguhnya, sebab
pada waktu dia bicara tadi antara Lo-cinjin dan Ji Pwe-giok sudah bergebrak delapan kali..
Ji Hong-ho menjadi bungkam dan tak dapat menyangkal. Ia tersenyum, katanya kemudian,
"Ji-kongcu, papan loteng ini telah menyelamatkan jiwamu, hendaknya jangan kau lupakan hal
ini."
Pwe-giok dapat menerima ucapan lawan itu, ia sendiri tahu bilamana tadi papan loteng itu
tidak jebol, tentu dia akan dirobohkan oleh tenaga pukulan Lo-cinjin yang maha dahsyat itu.
Kalau melulu mereka berdua yang bertanding, dengan sendirinya dia harus menyerah kalah
secara jujur.
Akan tetapi pertarungan ini justeru menyangkut pula keselamatan orang lain, mau tak mau Ji
Pwe-giok harus melanjutkan pertandingan ini, apapun yang diucapkan Ji Hong-ho
dianggapnya sebagai angin lalu saja dan pura-pura tidak mendengar.
Setelah dua-tiga puluh gebrakan pula, kini senyuman yang menghiasi wajah Ji Hong-ho sudah
tidak nampak lagi, agaknya iapun melihat betapa tangkasnya Ji Pwe-giok dan sukar dijajaki.
Angin pukulan semakin menderu, bayangan orang berkelebat. Di sekeliling loteng kecil yang
penuh kerumunan penonton itu ramai orang berbisik-bisik membicarakan pertandingan
dahsyat ini. Terdengar ada yang sedang berkata, "Sekarang dua ratus jurus sudah berlalu,
apakah kau kira anak muda itu mampu bertahan seratus jurus lagi?"
"Hal ini sukar dipastikan." jawab seorang lain.
527
"Sungguh tak terduga bocah ini ternyata seorang yang tahan gebuk," demikian sambung
seorang lagi. "Pada waktu mulai tadi, tampaknya dia sangat lemah, mungkin sepuluh jurus
saja tidak tahan, tapi makin bergebrak makin tangkas, sekarang malah kelihatan penuh
bersemangat."
Mendadak Lo-cinjin berjingkrak murka dan meraung, "Kalian semuanya tutup bacot! Jika ada
yang berani kentut lagi, seketika juga kumampuskan dia!"
Karena bentakan ini, suara bisik-bisik itu serentak cep-klakep, semuanya diam, tiada yang
berani buka mulut lagi. Namun dalam hati setiap orang cukup maklum bahwa Lo-cinjin
sendiri sekarang juga mulai gopoh.
Dalam pada itu suara hitungan Cu Lui-ji bertambah lantang, "Dua ratus sebelas, dua ratus dua
belas... dua ratus tiga belas.... "
Mencorong juga sinar mata Kwe Pian-sian menyaksikan pertandingan hebat itu.
Hanya Pwe-giok saja yang tahu keadaannya sendiri, hatinya terasa mulai tenggelam..... Tibatiba
ia merasa dirinya tidak sanggup bertahan lagi, mungkin 30 jurus saja tidak kuat bertahan
pula.
Pada saat itulah tiba-tiba Hong-sam sianseng membuka matanya, wajahnya yang sejak tadi
selalu tenang itu menampilkan juga setitik rasa cemas, hanya dia dan Ji Pwe-giok saja yang
tahu bahwa tenaga dalam yang dipinjamkan kepada Pwe-giok itu sudah hampir terkuras habis.
Hendaklah diketahui bahwa meski Hong-sam sianseng sejak tadi memejamkan mata, tapi dari
angin pukulan kedua pihak dia dapat mengikuti apa yang terjadi, dari tenaga pukulan kedua
pihak dapat dibedakannya unggul dan asornya. Sebab itulah meski tadi Ji Pwe-giok berada
dalam keadaan terserang, tapi dia tidak merasa kuatir, sebab waktu itu dia tahu tenaga dalam
Pwe-giok masih kuat, sekalipun Lo-cinjin sudah di atas angin juga sukar hendak merobohkan
anak muda itu.
Tapi sekarang meski tenaga pukulan Pwe-giok masih tetap kuat, namun untuk menarik
kembali pukulannya justeru terasa payah, bahkan setiap kali menghantam, setiap kali
tenaganya juga menyusut.
Sampai akhirnya menyusutnya tenaga Pwe-giok juga bertambah cepat, begitu cepat seakanakan
dibetot orang dari luar.
Ia tahu bilamana tenaga dalamnya sudah terkuras habis, maka jangan harap akan mampu
menahan sekali hantam Lo-cinjin yang kuat seperti gugur gunung dahsyatnya itu.
Mendadak dilihatnya kepalan Lo-cinjin memukul ke depan dengan gaya menusuk seperti
pedang yang tajam, dalam gugupnya Pwe-giok tidak sempat berpikir lagi, langsung dia
menangkis, karena itu tubuhnya lantas tergetar hingga sempoyongan.
Betapa lihay Lo-cinjin, segera ia tahu lawan sudah tidak tahan lagi, seketika semangatnya
terbangkit, beruntun dia menghantam pula tiga kali sehingga Pwe-giok terdesak ke pojok.
528
Semua orang sama melongo heran, ada yang terkejut dan ada yang bergirang, kalau tadi
mereka tidak paham mengapa Pwe-giok sanggup bertahan, maka sekarang mereka pun tidak
mengerti sebab apa mendadak ia tidak tahan.
Dalam pada itu Cu Lui-ji masih terus menghitung, "Dua dua enam, dua dua tujuh, dua dua
delapan...." meski hitungannya tidak pernah terputus, namun suaranya sudah mulai gemetar.
Kini hanya sisa tujuh puluhan jurus saja, namun untuk sekian jurus ini jelas Ji Pwe-giok tidak
sanggup bertahan lagi. Keadaan ini sekalipun Ciong Cing juga dapat melihatnya.
Hay-hong Hujin menghela napas gegetun, katanya, "Mungkin takkan sampai hitungan dua
ratus enam puluh....."
"Dua ratus lima puluh saja sudah jauh daripada cukup," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum.
Mendadak Lo-cinjin menukas dengan membentak, "Kubilang cukup dua ratus empat puluh
saja!" - Berbareng dengan bentakannya, kepalan kiri dan telapak tangan kanan terus
menghantam sekaligus.
Saat itu Lui-ji lagi menghitung sampai: "Dua ratus tiga puluh delapan....."
Seketika itu juga Pwe-giok merasa angin pukulan dan bayangan telapak tangan beterbangan
dan entah cara bagaimana harus menangkisnya. Apalagi sekalipun dia dapat menangkis juga
sukar menahan tenaga dalam yang maha dahsyat seperti gugur gunung itu.
Tampaknya dia pasti akan terpukul roboh dan tiada pilihan lain....
Wajah Ji Hong-ho kembali menampilkan senyuman gembira, Ang-lian-hoa juga telah
melompat turun dari ambang jendela, Hay-hong Hujin sedang menggeleng kepala, Sip-hun
merangkap kedua tangannya di depan dada seperti lagi berdoa....
Tubuh Pwe-giok tampaknya sudah mulai mendoyong ke belakang karena terdesak oleh angin
pukulan yang kuat, seperti sebuah gendewa yang terpentang dan segera akan tertarik patah
mentah-mentah.
"Mengaku kalah tidak?!" bentak Lo-cinjin mendadak.
Pwe-giok tidak menjawab, ia menggertak gigi dan bertahan sekuatnya sambil menggeleng
sebagai tanda pantang menyerah.
Segera Lo-cinjin menambah tenaga lagi, teriaknya dengan gusar, "Masih tahan kau? Tidak
roboh sekarang?!"
Akan tetapi Pwe-giok justeru tidak mau roboh, tubuhnya semakin melengkung dan semakin
rendah dengan keringat memenuhi kepalanya, namun matipun dia tidak mau roboh.
Pandangan semua orang terpusat kepada Pwe-giok, sampai berkedip saja tidak. Angin di luar
jendela meniup makin santer seakan-akan merobek bumi raya ini. Sedangkan semua orang
yang berada di dalam sama ikut tegang, suasana sunyi menyesakkan napas.
529
Tiba-tiba terdengar suara keriat-keriut yang timbul dari tulang punggung Pwe-giok, nyata
badannya seakan-akan ditindih patah menjadi dua oleh tenaga tekanan yang maha dahsyat itu.
Ciong Cing sudah mengucurkan air mata, sekujur badannya tampak gemetar. Kwe Pian-sian
juga cemas, berulang-ulang ia mengusap keringatnya.
Sekonyong-konyong Ciong Cing berteriak dengan suara parau, "Ji-kongcu kumohon padamu,
kumohon dengan sangat, hendaklah kau rebah sajalah!"
Hay-hong Hujin menghela napas panjang, ucapnya, "Ai, anak bodoh, untuk apalah kau
bertahan susah payah begitu?....."
Pandangan Cu Lui-ji sudah samar-samar karena kelopak matanya mengembeng air mata, air
mata pun mulai meleleh ke pipinya. Saat ini sampai Lui-ji juga hampir-hampir membujuk
Pwe-giok agar rebah dan mengaku kalah saja.
Remuk redam hati Lui-ji, ia sudah tidak tega memandangnya lagi.
Ang-lian-hoa juga tidak tahan, mendadak ia berseru, "Hong-sam sianseng, apakah kau
menghendaki dia mati tertindih begitu barulah mau mengaku kalah?"
Hong Sam tidak menjawabnya, sejenak kemudian barulah ia berkata dengan rawan, "Urusan
sudah begini, terpaksa aku...."
Tapi mendadak Pwe-giok berteriak: "Tidak, kita belum kalah, aku belum lagi roboh, aku
masih tahan!"
Lo-cinjin menjadi gusar, dampratnya, "Anak busuk, tabiat busuk, memangnya kau minta
benar-benar kuhancurkan kau?!" - Saking gusarnya ia terus mendesak maju satu langkah.
Tak terduga, tiba-tiba kakinya kebetulan menginjak pada sesuatu yang lunak, kiranya dia
menginjak di atas sebuah karung goni. Padahal tenaga injakannya itu tidak kepalang kuatnya,
betapapun kukuhnya karung goni itu juga pecah terinjak.
"Bret", karung goni itu robek, sekonyong-konyong beratus-ratus makhluk berbisa yang sukar
dibedakan jenisnya itu sama merayap ke atas tubuhnya.
Karena kejadian yang tak terduga-duga ini, semua orang sama melenggong.
Lo-cinjin menjadi kaget dan juga gusar, cepat tangannya mengebas dan kaki bergoyang,
maksudnya hendak membikin rontok binatang melata itu tergetar jatuh dari tubuhnya, habis
itu akan diinjaknya hingga hancur.
Akan tetapi binatang melata yang sudah terlanjur merayap ke atas tubuhnya itu terlalu
banyak, seketika sukar dibersihkannya.
Maka terjadilah adegan aneh dan lucu, Lo-cinjin seperti lagi menari, sebentar tangannya
berputar, lain saat kakinya melangkah, mendadak tangan menepuk tubuh sendiri pula. Kalau
saja Khikangnya tidak mencapai tingkatan yang sempurna dan hawa murni meliputi seluruh
530
tubuhnya sehingga sekeras baja, mungkin tubuhnya sudah babak belur digigit oleh kawanan
makhluk berbisa itu.
Mata Cu Lui-ji seketika terbeliak, mendadak ia pergencar hitungannya, "Dua empat satu, dua
empat dua, dua empat tiga......" sekaligus tanpa ganti napas ia terus menghitung, hanya
sekejap saja hitungannya sudah mencapai "dua delapan puluh."
Baru sekarang Ji Hong-ho terkejut dan mengetahui permainan anak dara itu, cepat ia
membentak. "He, tidak, tidak boleh, tidak dapat dianggap!"
Namun Lui-ji tidak menghiraukannya, ia masih terus menghitung. "Dua delapan satu, dua
delapan dua, dua delapan tiga, dua delapan empat ......"
Mendadak Lo-cinjin meraung keras-keras satu kali, ia injak ke sana-sini dan menginjak mati
kelabang yang terakhir, pada saat itu pula hitungan Cu Lui-ji juga genap "tiga ratus".
Suasana di atas loteng kecil itu seketika sunyi senyap seperti kuburan, selang sekian lamanya
barulah terdengar Ji Hong-ho tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Sudah tentu caramu
menghitung ini tidak sah."
"Hm, sah atau tidak adalah urusan nanti, yang jelas sekarang Sicekku roboh atau tidak?!"
jengek Lui-ji.
Dalam pada itu Ji Pwe-giok lagi bersandar di dinding dengan napas terengah-engah, namun
tubuhnya masih berdiri tegak tanpa ambruk.
Terpaksa Ji Hong-ho bungkam dan tak dapat menjawab.
Dengan melotot Lui-ji lantas berkata pula, "Dan kalau Ji-sicek tidak sampai roboh, sedangkan
jago kalian Lo-cinjin juga sudah selesai melancarkan serangan 300 jurus, dengan sendirinya
pertarungan ini telah dimenangkan oleh pihak kami, kenapa kau menyangkal dan berdasarkan
apa tidak kau anggap sah?" jengek Lui-ji.
"Tapi beberapa puluh jurus Lo-cinjin yang terakhir tadi bukan ditujukan untuk melayani Jikongcu,
hal ini disaksikan oleh semua orang, masa aku mengada-ada?"
"Hm, itu kan cuma alasanmu sendiri," jengek Lui-ji. "Jika dia sedang bergebrak dengan
Sicekku, maka setiap jurus dan gerakan yang digunakannya berarti ditujukan kepada Sicek,
jadi setiap gerakan, setiap jurus yang dilontarkan harus dihitung. Kalau dia menghantam dan
menyerang secara ngawur, itu kan salah dia sendiri, kenapa menyalahkan orang lain?"
"Tapi makhluk berbisa itu....."
"Binatang berbisa itu kan terbungkus baik-baik di dalam karung goni, siapapun tidak
mengganggunya, juga kami tidak melepaskannya, sebaliknya tanpa sebab jago kalian telah
menginjaknya hingga mati semua, untuk itu malahan aku hendak minta ganti rugi padanya."
Sudah tentu Ji Hong-ho tahu ucapan anak dara itu hanya pokrol bambu saja, tapi seketika ia
menjadi bungkam dan tidak sanggup menjawab. Ia melenggong sejenak, akhirnya dia
531
berpaling ke arah Lo-cinjin, katanya dengan menyengir: "Kukira urusan ini Lo-cinjin
dipersilahkan memutuskannya sendiri."
Sinar mata Lo-cinjin gemerdep, mendadak ia berseru, "Bocah ini ternyata mampu menahan
300 jurus seranganku, dia benar-benar anak yang hebat."
"Tapi cinjin sendiri tidaklah benar-benar melontarkan 300 jurus serangan ke arahnya," seru Ji
Hong-ho.
Lo-cinjin mendelik, katanya, "Siapa bilang aku tidak melontarkan 300 jurus padanya? Jika dia
bertanding denganku, dengan sendirinya setiap gerakanku harus dihitung satu jurus. Kalau
jurus seranganku tidak mampu merobohkan dia, itu juga urusanku, kalian tidak perlu ikut
campur."
Seketika Ji Hong-ho melongo dan tak dapat bersuara lagi.
Saking bergirang, akhirnya Cu Lui-ji menubruk maju dan mendekap tubuh Ji Pwe-giok,
teriaknya gembira: "Sicek, O, Sicek, kita menang, kita menang........"
Ji Hong-ho tersenyum, sikapnya sudah tenang kembali, katanya: "Jika Lo-cinjin menyatakan
kalian yang menang, ya dengan sendirinya kalian yang menang."
"Nah, kedua kalimat ucapannya ini masih menyerupai ucapan seorang Bu-lim-bengcu," kata
Lui-ji dengan tertawa.
"Dan sekarang silahkan kalian pergi saja, orang she Ji menjamin pasti tiada orang yang akan
mempersulit kalian," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum hambar.
"Apa katamu? Pergi? Siapa yang pergi?..." Lui-ji menegas dengan mata melotot. "Tempat ini
adalah rumah kami, kenapa kami yang harus pergi? Yang benar kalau omong!"
Air muka Ji Hong-ho rada berubah, tapi Lo-cinjin lantas membentak, "Memang tidak
seharusnya mereka pergi, kitalah yang harus pergi!...."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong dari luar jendela menerobos masuk dua orang.
Seorang diantaranya bersinar mata tajam mencorong, muka burik, dengan suara bengis ia
berteriak, "Betul, kita harus pergi. Tapi sebelum pergi kita memenggal dulu kepala mereka."
"Kau ini barang apa?" damprat Lui-ji dengan gusar.
Ji Hong-ho tersenyum, katanya, "Inilah Tio Kun, Tio-tayhiap yang berjuluk "Boan-thian-sing"
(bintang bertaburan di langit), kedua telapak tangan besinya dan ke 72 buah Kim-ci-piaunya
terkenal di sekitar Kamsiok dan Samsay." –
Lalu ia tunjuk seorang lagi yang bermuka lonjong seperti kuda berbaju kuning dan bertubuh
tinggi kurus, sambungnya, "Yang ini adalah Wi Hong, Wi-tayhiap yang berjuluk "Jian-lihong-
ki" (Kuda sakti seribu li), terkenal sebagai kaki cepat nomor satu di daerah Hopak dan
Holam."
"Huh, manusia baik-baik kenapa suka disebut sebagai kuda?" jengek Lui-ji. "Coba kawanmu
si burik ini, biarpun mukanya tidak rata kan juga tidak mau dipanggil sebagai Tio si bopeng,
532
meski mukamu serupa kuda kan sepantasnya mencari suatu nama yang lebih enak di
dengar?!"
Muka kuda Wi Hong yang memang panjang itu rasanya semakin panjang oleh karena olokolok
Cu Lui-ji itu, segera ia balas menjengek, "Hm, meski Lo-cinjin bermaksud mengalah
kepada kalian, tapi kami tidak nanti melepaskan kau. Menghadapi kawanan siluman seperti
kalian ini kukira juga tidak perlu bicara tentang peraturan Kangouw apa segala. Nah, budak
cilik, kalau tahu gelagat, ikutlah pergi bersama tuanmu!"
Selagi telapak tangannya yang lebar seperti daun pisang itu terangkat dan hendak meraih ke
arah Lui-ji, sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Sip-hun sudah berdiri
di depannya dengan mengulum senyum.
"Guruku sudah menyatakan akan melepaskan mereka, maka Wi-tayhiap hendaknya juga suka
berbuat sama dengan melepaskan mereka," kata Sip-hun dengan ramah.
Tapi Wi Hong lantas menjawab dengan suara bengis, "Urusan kaum Cianpwe dunia Kangouw
mana ada hak bicara bagi orang muda seperti kau ini? menyingkir!" - Tangan yang baru saja
ditarik kembali itu mendadak mendorong pula ke depan.
Akan tetapi Sip-hun masih tetap berdiri di tempatnya dengan tertawa, sama sekali ia tidak
berkelit atau bergerak. Namun gontokan Wi Hong yang keras itu ternyata tidak mampu
membuat Sip-hun bergeming sedikitpun.
Air muka Wi Hong berubah pucat, belum lagi dia bertindak lebih lanjut, Lo-cinjin telah
mendekatinya dan berkata dengan suara tertahan, "Muridku ini memang tidak tahu aturan,
apakah kau ingin mengajar adat padanya?"
Semua orang sudah menyaksikan sikap Lo-cinjin yang kasar itu terhadap muridnya, selain
main bentak juga main pukul. Wi Hong mengira Tosu cilik yang selalu tertawa dan ramah ini
tentu tidak disukai sang guru, maka ia tidak meragukan ucapan Lo-cinjin tadi, dengan tertawa
ia menjawab, "Cayhe memang sembrono dan ingin meng......"
Belum habis ucapannya, kontan Lo-cinjin berjingkrak dan meraung murka, "Kau ini kutu
busuk macam apa? Kaupun sesuai untuk mengajar muridku? Huh, tanganmu yang berbau
busuk ini berani menyentuhnya? Baik!"
Baru saja kata "baik" diucapkan, mendadak pula ia turun tangan, secepat kilat pergelangan
tangan Wi Hong dicengkeramnya, menyusul lantas terdengar suara "krak-krek", tulang
pergelangan tangan itu telah dipatahkannya mentah-mentah.
Keruan Wi Hong meraung kesakitan, segera kaki kanannya menyapu. Dia terkenal sebagai
kaki sakti nomor satu di daerah utara, dengan sendirinya tenaga kakinya tidak boleh dibuat
main-main, sekalipun sepotong cagak batu, sekali disampuk dengan kakinya juga akan
hancur.
Namun Lo-cinjin tidak berkelit juga tidak menghindar, dia sengaja menerima serampangan
kaki lawan dengan keras, maka terdengar suara "krek" yang lebih keras, yang patah ternyata
bukan kaki Lo-cinjin melainkan kaki Wi Hong sendiri.
533
Belum lagi Wi-hong sempat menjerit kesakitan, lebih dulu dia sudah kelengar.
Tanpa memandang sekejappun terhadap pecundangnya itu, Lo-cinjin berpaling ke arah Tio
Kun, tanyanya dengan dingin: "Kau anggap kata-kataku seperti orang kentut, kaupun
menghendaki kepala mereka, begitu bukan katamu tadi?"
Muka Tio Kun pucat pasi seperti mayat. Tapi apapun juga dia tergolong tokoh yang sudah
terkenal, di depan orang banyak, betapapun dia tidak mandah diperlakukan kasar begitu,
betapapun dia ingin menjaga kehormatannya.
Dia tertawa terkekeh, lalu berkata: "Baiklah, kalau Cinjin tidak mau ikut campur lagi urusan
ini, boleh serahkan saja kepada kami."
"Serahkan padamu? Huh, kau ini apa?" teriak Lo-cinjin dengan murka. "Apakah karena orang
sudah kehabisan tenaga dan hampir tidak bisa bergerak lagi, maka kau ingin menarik
keuntungan tanpa mengeluarkan tenaga, begitu?"
Begitu habis ucapannya, sekali cengkeram, tahu-tahu leher baju Tio Kun telah dijambretnya,
tubuhnya terus diangkat. Padahal perawakan Lo-cinjin jauh lebih pendek dan kecil daripada
lawannya, tentu saja hal ini membuat semua orang tercengang.
Tio Kun terkejut dan juga gusar, tanpa pikir kedua telapak tangannya terus menghantam ke
bawah dan tepat mengenai pundak kanan-kiri Lo-cinjin.
Seperti sudah diceritakan, Tio Kun terkenal dengan telapak tangan besinya, tapi ketika kena
hantam di tubuh Lo-cinjin, telapak tangan besinya telah berubah menjadi tangan tebu, 'Krakkrek",
kontan tulang tangannya patah semua, kembali ia menjerit ngeri, dari setiap burikan di
mukanya tampak menetes keluar air keringat.
Begitulah dengan tangan kanan Lo-cinjin mencengkeram Tio Kun dan tangan kiri
mengangkat Wi Hong, meski Tojin ini kurus kecil, tapi dua lelaki kekar itu dapat diangkatnya
dengan enteng dan seenaknya, hal ini benar-benar membuat para penonton sama melongo.
Malahan Lo-cinjin seperti sama sekali tidak mengeluarkan tenaga meski kedua tangan
mengangkat dua lelaki besar itu, dia seperti membekuk dua ekor ayam jago saja, ayam jago
yang sudah keok tentunya.
Melihat Kungfu yang mengejutkan ini baru sekarang semua orang teringat kepada Ji Pwegiok,
baru sekarang mereka dapat menilai betapa hebatnya anak muda itu.
Pikir saja, kalau dua tokoh Kangouw terkenal seperti "Boan-Thian-sing" dan "Jian-li-sin-ki"
tidak sanggup menahan sekali gebrak dengan Lo-cinjin, sebaliknya Ji Pwe-giok yang masih
muda belia dan kelihatan lemah lembut itu ternyata sanggup bergebrak dan bertahan sampai
300 jurus.
Waktu semua orang berpaling ke arah Ji Pwe-giok, pandangan mereka terhadap anak muda
ini sekarang jelas sudah berbeda daripada tadi.
Ji Hong-ho juga sedang memandang Pwe-giok dengan lekat-lekat, sampai lama sekali dia
menatap anak muda itu.
534
Tiba-tiba Lo-cinjin berteriak gusar, "Nah, siapa lagi yang berani menganggap ucapanku
sebagai kentut? Ayo, bersuara!?"
Suasana menjadi hening, baik orang yang berada di atas loteng maupun yang nongkrong di
sekeliling wuwungan rumah itu tiada seorang pun yang berani bersuara.
"Hmmk!" Lo-cinjin mendengus keras-keras satu kali, lalu melangkah turun ke bawah loteng.
Sip-hun lantas merangkap kedua tangannya di depan dada dan memberi hormat dengan
tersenyum, katanya, "Beruntung hari ini Tecu sempat berjumpa dengan para Cianpwe,
sungguh aku merasa sangat bangga dan bahagia. Semoga selanjutnya dapat sering-sering
mendapat petunjuk lagi dari para Cianpwe."
Meski dia bicara terhadap semua orang, namun matanya terus menerus hanya memandang
kepada Cu Lui-ji.
Lui-ji lantas mendamprat perlahan, "Huh, Tosu bermata maling, lekas kau enyah saja!"
Entah mendengar atau tidak, kembali Sip-hun memberi hormat dengan sopan, lalu iapun
melangkah pergi, sampai di ujung tangga mendadak ia berhenti dan berpaling, katanya
dengan tersenyum, "Silahkan Bengcu jalan dahulu!"
Ji Hong-ho tersenyum, ucapnya, "Hong-locianpwe, selamat tinggal, Ji-kongcu, selamat
tinggal.... Kumohon diri sekarang juga."
Tiba-tiba Hay-hong Hujin berjalan ke arah Kwe Pian-sian.
Keruan orang she Kwe itu menjadi kebat-kebit dan muka pucat.
Tak tersangka Hay-hong Hujin tetap tidak memandangnya barang sekejap pun, yang dituju
adalah Ciong Cing, katanya terhadap nona ini dengan tertawa, "Apakah kau ini murid Ji Siokcin?"
Ciong Cing menunduk kikuk. Tiba-tiba ia merasa dirinya tidak boleh tampak lemah di depan
saingan cintanya, seketika dia menengadah dan menjawab, "Ya!"
Hay-hong Hujin menghela napas, ucapnya kemudian. "O, kasihan, sungguh kasihan. Ai,
sayang, sungguh sayang....."
"Aku..... aku..... " seketika Ciong Cing menjadi bingung dan tidak tahu bagaimana harus
menjawabnya. Ketika melihat wajah Hay-hong Hujin yang bersifat menghina itu, seketika ia
naik pitam, ia tidak pedulikan lagi bagaimana akibatnya, dengan nekat ia berteriak, "Kasihan
apa? Perempuan yang sudah dibuang oleh lakinya itulah yang harus dikasihani!"
Hay-hong Hujin hanya tersenyum hambar saja dan tidak meladeni lagi, dengan lemah gemulai
ia melangkah pergi, ia anggap tidak berharga untuk meladeni olok-olok itu.
Sekujur badan Ciong Cing sampai bergemetar, air mata akhirnya meleleh membasahi pipinya.
535
Yang paling ditakuti seorang perempuan adalah kalau dihina oleh bekas kekasih orang yang
dicintainya sekarang. Hal ini akan sangat menyakitkan hatinya, sebab akan dirasakannya
bahwa orang yang dipandangnya seperti jiwanya, seperti sukmanya, nyatanya tidak lebih
adalah barang bekas orang lain, barang yang sudah dibuang orang lain.
Ang-lian-hoa melototi Kwe Pian-sian sejenak, lalu ia pandang Hong Sam dan pandang pula Ji
Pwe-giok. Mendadak ia berjumpalitan keluar jendela.
Waktu Pwe-giok memandang keluar, ternyata orang-orang yang memenuhi wuwungan
sekeliling loteng kecil itu pun sudah pergi seluruhnya.
Pwe-giok menghela napas panjang, napas yang lega dan akhirnya ia pun roboh terkulai....
*****
Lentera yang tergantung di tangga loteng itu ternyata tidak dibawa pergi oleh rombongan Ji
Hong-ho. Pintu juga tidak ditutup kembali, angin meniup masuk membuat sumbu lentera
bergoyang-goyang.
Cahaya lentera yang redup itu menyinari wajah Ji Pwe-giok yang pucat bagaikan kertas.
Lui-ji menubruk maju dan mendekap tubuh anak muda itu, serunya dengan menangis, "O,
Sicek, entah cara bagaimana aku harus berterima kasih padamu?!"
Keadaan Hong-samsianseng juga sangat payah, ia menghela napas panjang dan berkata
dengan lemah, "Di hadapan Sicek kenapa kau bicara tentang 'terima kasih'?”
Lui-ji menunduk, air matapun bercucuran memenuhi wajahnya.
Pwe-giok tersenyum hambar, katanya, "Apapun juga kita kan sudah menang, apalagi yang
kau sedihkan?"
Sambil mengusap air matanya Lui-ji berkata, "Aku tidak sedih, tapi..... tapi tidak terlalu
bergembira."
Baru kata "gembira" terucapkan, tangisnya sukar dibendung lagi.
Tiba-tiba Kwe Pian-sian berdehem, lalu berkata dengan tertawa, "Sungguh tidak nyana Locinjin
yang termasyhur dan tiada tandingannya di dunia ini sekarang juga keok di bawah
tangan saudara Ji kita. Setelah pertarungan ini, siapa pula di dunia Kangouw yang takkan
kagum kepada Ji-heng...."
Mendadak Lui-ji berseru, "Dia adalah Sicekku, berdasarkan apa kau berani menyebutnya 'Jiheng'
(saudara Ji)?"
Kwe Pian-sian berdehem-dehem, ia tidak menanggapi dampratan anak dara itu, katanya pula,
"Ya, selanjutnya nama Ji-kongcu pasti akan termasyhur dan mengguncangkan seluruh dunia,
hanya saja...."
"Hanya saja apa?" tanya Lui-ji dengan mendongkol.
536
"Hanya saja, tempat ini bukan lagi tempat yang boleh didiami untuk selamanya," kata Kwe
Pian-sian. "Menurut pendapatku, akan lebih baik kalau lekas pergi saja dari sini."
"Pergi dari sini?" Lui-ji menegas dengan melotot. "Di sinilah rumahku, kenapa kami harus
pergi?"
"Nona tahu, meski Ji Hong-ho dan begundalnya tadi mengalami kekalahan, tapi mereka pasti
penasaran dan tidak terima, jika dikatakan mereka benar-benar sudah kapok dan tidak berani
mengganggu lagi ke sini, kukira siapapun takkan percaya." demikian ulasan Kwe Pian-sian.
"Tapi kalau mereka benar-benar hendak mencari kita, biarpun lari juga tiada gunanya, sebab
akhirnya toh pasti akan ditemukan mereka," jengek Lui-ji. "Apalagi, memangnya kau kira
Sacekku ini adalah orang yang suka main lari? Jika mau lari tentu sudah sejak dulu-dulu lari,
untuk apa kami menunggu di sini sampai sekarang?"
"Memang betul juga ucapan nona," kata Kwe Pian-sian. "Tapi.... tapi kalau tetap tinggal di
sini kukira juga bukan... bukan cara yang baik...."
"Jika kau ingin pergi, boleh silahkan pergi saja sesukamu, tiada orang yang akan menahan
dirimu," jengek Lui-ji pula.
Muka Kwe Pian-sian sebentar pucat sebentar merah, ia tidak bicara lagi, juga tidak berani
pergi.
Kalau Ang-lian-hoa dan Hay-hong Hujin ada kemungkinan sedang menunggunya diluar sana,
apakah dia berani pergi?
*****
Angin menderu-deru di luar, suasana di atas loteng kecil itu justeru sunyi senyap, bila teringat
kepada Ji Hong-ho dan rombongannya itu pasti tidak mau berhenti begitu saja, pikiran setiap
orang menjadi tertekan.
Di tengah suara angin yang menderu-deru itu tiba-tiba terdengar suara anjing mengaing, suara
mengaing yang melengking dan seram seperti jeritan setan.
Tanpa terasa Ciong Cing merinding, katanya, "Mengapa...... mengapa suara anjing itu
sedemikian menakutkan?"
Bulu roma Cu Lui-ji juga berdiri, tapi ia menanggapi dengan tertawa, "Bisa jadi Ji Hong-ho
telah menginjak ekor anjing itu."
Baru habis ucapannya, sekonyong-konyong suara lengking anjing tadi tak terdengar lagi,
mengaingnya sangat mendadak, berhentinya juga secara mendadak. Meski suara
mengaingnya menyeramkan dan menakutkan, tapi suara yang lenyap mendadak itu terlebih
membuat orang mengkirik.
Di jagat raya ini seketika seperti penuh diliputi alamat yang tidak baik.
537
Lui-ji ingin bicara apa-apa untuk memecahkan ketegangan, tapi sukar baginya untuk bicara
dan juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Pada saat itu juga, sekonyong-konyong terdengar suara "blung" yang dahsyat, menyusul api
lantas berkobar dan menjulang tinggi ke langit.
Begitu cepat nyala api itu, hanya sebentar saja hampir setengah langit sebelah sana telah
terbakar hingga merah menganga.
"Keji amat tindakan Ji Hong-ho ini, dia hendak membakar mati kita," seru Kwe Pian-sian
dengan kuatir.
Air muka Pwe-giok berubah agak pucat juga, katanya, "Pantas lebih dulu dia telah mengusir
seluruh penduduk kota ini, rupanya memang sudah direncanakannya akan
membumihanguskan Li-toh-tin ini. Hm, dia sok anggap dirinya seorang pendekar budiman,
sekarang ternyata tidak segan-segan berbuat serendah ini."
Kobar api makin lama makin dahsyat dan makin mendekati loteng kecil itu, cuma belum lagi
berbentuk suatu lingkaran yang mengepung.
Cepat Kwe Pian-sian melompat bangun, serunya dengan suara parau, "Ayo cepat! Lekas kita
terjang keluar, mungkin masih keburu!"
Lui-ji memandang ke arah Hong Sam. Dilihatnya air muka Hong-samsianseng sangat prihatin
dan tidak memberi komentar apapun.
Dengan tak sabar Kwe Pian-sian berseru pula dengan melotot, "Urusan sudah begini, masa
kalian belum lagi mau pergi?!"
Pwe-giok menghela napas, katanya, "Ya, memang betul, urusan sudah kadung begini, apapun
jadinya terpaksa kita harus menerjang ke luar!"
"Tapi.... tapi luka Sacek...." Lui-ji merasa ragu.
"Biarkan ku gendong Hong-lo.... Hong-samko dan kau ikut saja di belakangku," kata Pwegiok
dengan tersenyum getir.
"Dan aku bagaimana?" tukas Gin-hoa-nio yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara. "Tentunya
kalian tidak akan meninggalkan diriku di sini bukan?!"
Lui-ji menggertak gigi, katanya, "Biarkan ku gendong Sacek saja dan kau.... kau gendong
dia."
Kwe Pian-sian memandang Ciong Cing sekejap, akhirnya iapun menggendong nona itu,
serunya "Ayolah, kalau tidak berangkat sekarang mungkin tidak keburu lagi!"
"Betul, lekaslah kalian pergi semua," kata Hong-sam sianseng.
"He, Sacek, kau...."
538
Belum lanjut ucapan Lui-ji, dengan menarik muka Hong-sam sianseng lantas membentak
dengan suara bengis. "Sacek tidak apa-apa, masa aku perlu kau gendong dan melarikan
diri?..... Memangnya Sacek adalah manusia pengecut demikian?"
Cahaya api yang berkobar dengan hebatnya telah menyinari mukanya yang kelihatan merah
padam.
"Jika demikian, biarlah Siaute saja yang......"
Belum lanjut ucapan Pwe-giok, dengan gusar Hong Sam berkata pula, "Kelak bila orang
Kangouw mengetahui Hong Sam telah melarikan diri dengan digendong orang, lalu kemana
lagi akan ku taruh mukaku ini? Kalau sudah begitu, biarpun hidup apa bedanya lagi dengan
mati?"
"Tapi..... tapi urusan dalam keadaan luar biasa," seru Pwe-giok, "Samko, apakah..... apakah
engkau tak dapat memaklumi keadaan?....."
"Sudahlah," ucap Hong Sam dengan tegas, "Tekadku sudah bulat, tiada gunanya kau bicara
lagi, lekas kalian berangkat saja!"
Hampir gila Lui-ji saking cemasnya. Tapi ia pun kenal watak sang paman, bilamana Hongsam
sianseng sudah mengambil keputusan demikian, di dunia ini mungkin tiada seorangpun
yang mampu mengubah pendiriannya.
Pwe-giok berkata pula dengan rawan, "Ku tahu Samko kuatir pada keadaanku yang sudah
lemah ini, maka lebih suka mati sendiri daripada menambah bebanku, tapi hendaklah Samko
mengetahui, Siaute masih..... masih cukup kuat....."
Hong-sam sianseng terus memejamkan mata dan tidak menggubrisnya lagi biarpun apa juga
yang dikatakan Pwe-giok.
Nyala api bertambah hebat dan menjilat ke sekitarnya, hanya sekejap saja api sudah dekat
bangunan loteng kecil itu.
Agaknya Ji Hong-ho dan begundalnya telah memasang bahan-bahan pembakar yang mudah
menyala, sebab itulah api menjalar dengan amat cepat.
Akhirnya Kwe Pian-sian berkata dengan suara serak, "Jika kalian tidak pergi, terpaksa ku
pergi lebih dulu, hendaklah kalian.... kalian...." dia seperti mau omong apa-apa lagi, tapi
urung. Dengan beringas ia terus melompat keluar dengan memondong Ciong Cing.
Terdengar suara tangis Ciong Cing sayup-sayup berkumandang dari luar jendela sana, sejenak
kemudian lantas tidak terdengar apa-apa lagi.
"Kalian pun harus pergi, mengapa masih diam saja di sini?" bentak Hong Sam dengan suara
bengis.
Tapi Lui-ji malah berduduk di sampingnya dan berkata, "Sacek tidak pergi, akupun tidak
pergi."
539
"Kau berani membangkang ucapanku?" bentak Hong Sam dengan gusar.
Lui-ji tersenyum pedih, ucapnya, "Apapun ucapan Sacek akan ku patuhi, tapi sekali ini......
sekali ini aku......"
Mendadak Hong Sam angkat tangannya dan mendorong anak dara itu hingga jatuh
tersungkur, lalu bentaknya, "Kau berani membangkang kataku, biar ku pukul mampus kau
lebih dulu."
"Biarpun Sacek pukul mampus diriku tetap aku takkan pergi," jawab Lui-ji tegas.
Hong Sam menjadi kewalahan, ia menghela napas dan menggeleng.
"Ji Pwe-giok!" teriak Gin-hoa-nio mendadak, "Apakah kau juga tidak mau pergi? Apakah kau
hendak mengiringi kematian mereka?"
Tapi Pwe-giok tetap berdiri saja dengan tenang, tampaknya ia pun terkesima.
Ia tahu kalau tetap tinggal di sini dan menunggu mati terbakar, hal ini sungguh perbuatan
yang terlalu bodoh. Tapi apapun juga dia tidak dapat menyelamatkan diri dengan
meninggalkan Cu Lui-ji dan Hong Sam.
Dengan suara parau Gin-hoa-nio berteriak, "Gila, kalian semua orang gila.... Sungguh sial aku
berkumpul dengan kalian!"
Sekuatnya ia meronta ke depan jendela, tanpa pikir ia terus melompat keluar. Akan tetapi sisa
tenaganya sekarang tidak seberapa lagi, baru saja terjun ke bawah segera terdengar ia menjerit
kesakitan, mungkin kakinya terkilir.
Pwe-giok tahu bilamana Gin-hoa-nio hendak lolos di tengah berkobarnya api sehebat itu,
maka peluangnya boleh dikatakan sangat tipis, tanpa terasa ia menghela napas.
Segera Hong Sam berteriak pula dengan beringas, "Kalian benar-benar hendak mati
bersamaku?"
Pwe-giok memandang Lui-ji sekejap, lalu berkata, "Siaute ingin...."
"Bagus, jadi kalian baru mau pergi setelah ku mati, begitu?" seru Hong Sam sambil tertawa
latah, mendadak ia angkat sebelah tangannya terus menghantam kepalanya sendiri.
Keruan Pwe-giok dan Lui-ji menjerit kaget, berbareng mereka memburu maju.
Syukurlah pada saat itu juga mendadak terdengar suara "blang" yang sangat keras, dinding
sekeliling hancur lebur, pecahan papan beterbangan, seorang tiba-tiba menerjang masuk
seperti malaikat yang baru turun dari langit!
Di bawah cahaya api yang berkobar-kobar itu, pandangan Pwe-giok juga cukup tajam, betapa
wajah orang yang menerjang masuk itu seharusnya dapat dilihatnya dengan jelas.
540
Namun gerak tubuh orang itu sungguh terlalu cepat, baru saja terdengar suara gemuruh tadi,
mungkin Hong Sam sendiri juga tertegun, tahu-tahu Pwe-giok melihat sesosok bayangan
menyerempet lewat di sebelahnya, Hong Sam terus diangkatnya, lalu melayang pergi secepat
kilat. Jadi bagaimana wajah pendatang ini, tua atau muda, lelaki atau perempuan, sama sekali
Pwe-giok tidak tahu.
Lui-ji berteriak dengan kaget, "Hai, siapa kau? Kenapa kau menyerobot Sacekku?"
Belum lenyap suaranya, bayangan orang tadi sudah melayang pergi beberapa tombak jauhnya.
Terdengar suara Hong-sam sianseng membentak di kejauhan, "Siapa kau?"
Lalu suara orang yang parau menjawab, "Aku!"
Agaknya Hong-sam sianseng lantas menghela napas panjang, napas yang lega, lalu tidak
bicara lagi.
Dalam pada itu Pwe-giok dan Lui-ji juga sudah memburu keluar, dilihatnya bayangan orang
di depan sana melejit-lejit seperti gundu yang dilemparkan, bila lidah api menjilat ke depan,
sekali tangannya mengebas dengan perlahan, kobaran api lantas menyurut, hanya sekejap saja
bayangan orang itu sudah menerjang keluar lautan api.
Meski Pwe-giok dan Lui-ji masih terus mengejar dengan sepenuh tenaga, tapi jaraknya makin
lama makin jauh.
"Tinggalkan Sacekku.... Kumohon, tinggalkan Sacekku!" Lui-ji berteriak-teriak dengan suara
parau.
"Wuttt", mendadak gulungan api menyambar lewat, waktu mereka memandang ke depan,
bayangan tadi sudah lenyap. Lui-ji berlari lagi beberapa langkah dan akhirnya jatuh mendekap
di atas tanah serta menangis tergerung-gerung.
Pwe-giok pun iba melihat tangis Lui-ji itu, cepat ia memburu maju untuk membangunkan
anak dara itu. Baru sekarang Lui-ji mengetahui tanpa terasa mereka sudah menerjang keluar
lautan api.
Rambut Lui-ji dan bajunya tampak ada bintik-bintik api, beberapa bagian tubuh Pwe-giok
juga hangus terbakar. Tapi dalam keadaan cemas dan gelisah, keduanya sama sekali tidak
merasakan hal itu.
"Kenapa kau menyerobot Sacekku? Cara bagaimana aku dapat hidup lagi selanjutnya?"
demikian Lui-ji meratap dengan sedihnya.
Pwe-giok menghela napas melihat betapa berduka anak dara itu, ucapnya dengan rawan,
"Tampaknya orang tadi tidak bermaksud jahat, coba kalau tiada dia, mungkin kita sudah
terkubur di tengah lautan api itu."
"Tapi.... tapi bagaimana dengan.... dengan Sacek?" kata Lui-ji.
541
"Agaknya Sacekmu kenal dengan orang ini, mungkin sekali mereka adalah sahabat." ujar
Pwe-giok. "Kalau kita melihat betapa tinggi Kungfunya tadi, bila Sacekmu dibawa pergi
olehnya, kita justeru boleh merasa lega malah."
Terhibur juga hati Lui-ji, suara tangisnya mulai lirih. Ucapnya dengan masih tersedu sedan,
"Ya, memang kedengaran tadi Sacek.... Sacek bertanya satu kali padanya, lalu..... lalu tidak
bertanya pula, agaknya mereka memang kenal.... Tapi kalau dia membawa pergi Sacek,
mengapa.... mengapa tidak membawa serta diriku sekalian?"
Dengan suara lembut Pwe-giok berkata, "Hal ini disebabkan..... disebabkan dia tidak kenal
padamu."
"Memang." ujar Lui-ji dengan air mata meleleh, "Semua sahabat Sacek di masa dahulu,
satupun tidak ku kenal. Ya, aku tidak kenal siapapun, sebaliknya juga tiada orang yang kenal
diriku. Aku… aku...." teringat kepada nasibnya yang sengsara, tanpa terasa ia menangis sedih
pula.
Pwe-giok terharu, hidung pun terasa beringus, air matanya juga hampir-hampir menetes.
Pelahan ia mengebut bintik api yang masih membara di atas tubuh Lui-ji, lalu katanya dengan
tertawa ewa, Tapi Sicek kan kenal padamu dan kau pun kenal Sicek, betul tidak?"
Sambil menangis Lui-ji terus menjatuhkan diri ke pangkuan Pwe-giok, ucapnya dengan suara
terputus-putus, "Sicek, kau.... kau takkan meninggalkan diriku bukan?"
Diam-diam Pwe-giok menghela napas, tapi dimulut ia menjawab dengan tersenyum, "Masa
Sicek akan meninggalkan kau?.... Pendek kata, kemana pun Sicek pergi pasti akan kubawa
serta dirimu."
Padahal nasibnya sendiri sekarang juga terkatung-katung, ia sendiri pun ditinggalkan sanak
keluarga dan handai taulan, ia pun tak tahu sekarang harus pergi ke mana. Kalau mengurus
diri sendiri saja repot, mana dia sempat mengurus orang lain lagi?
Sekonyong-konyong terasa hawa panas menyambar dari belakang, rupanya kobaran api telah
menjalar pula ke tempat mereka ini.
Dari jauh terdengar suara ramai orang menangis dan meratap, di tengah hiruk-pikuk itu pun
terseling suara orang mencaci maki, Mungkin penduduk Li-toh-tin menjadi kalap ketika
melihat rumah dan harta benda mereka telah musnah terbakar menjadi abu.
Tiba-tiba terdengar suara seorang berteriak lantang, "Hendaknya kalian jangan susah dan
bingung, pokoknya segala kerugian kalian akan kami ganti sepenuhnya."
Diam-diam Pwe-giok berkerut kening, pikirnya, "Biarpun Li-toh-tin ini kota kecil dan
kebanyakan penduduknya adalah kaum miskin, tapi kalau beratus keluarga jumlahnya kan
jadi tidak sedikit, tapi mereka ternyata bersedia memberi ganti rugi, apakah tujuan mereka
cuma hendak membakar mati beberapa orang ini?"
*****
Angin sudah mulai berhenti, tapi malam bertambah kelam.
542
Suara ribut di kejauhan juga mulai sepi, Cu Lui-ji duduk termenung tanpa bergerak, sejak
Pwe-giok membawanya ke tanah pekuburan yang sunyi ini, belum lagi dia berucap satu kata
pun.
"Api yang mereka kobarkan itu pasti tidak cuma untuk membakar mati kita saja." kata Pwegiok
tiba-tiba.
Dengan sorot mata yang kabur Lui-ji memandangi sebuah kuburan baru di depan sana, ia
hanya menanggapi ucapan Pwe-giok itu dengan suara," Oo?"
"Sebab kalau mereka menghendaki jiwa kita, pasti mereka sudah memasang perangkap di
sekitar tempat yang akan mereka bakar agar kita tak dapat lolos. Tapi sekarang dengan sangat
mudah kita dapat lari keluar, bahkan seorangpun tidak kita pergoki."
"Ehmm!" Lui-ji mengangguk.
"Sebab itulah kupikir, tujuan mereka hanya ingin mengusir kepergian kita saja....."
"Hanya ingin mengusir kita, dan mereka tidak sayang membumihanguskan kota kecil ini,
tidak sayang untuk membayar ganti rugi harta benda sebanyak ini..... Apakah mereka sudah
gila?" demikian tukas Cu Lui-ji.
"Sudah tentu di balik tindakan mereka ini masih ada sebab lain.... ya, pasti masih ada sebab
lain....."
Lui-ji tersenyum getir, katanya, "Semula kurasa sudah jelas duduknya perkara, tapi ucapan
Sicek ini tambah membingungkan aku."
"Semua kejadian yang tidak masuk akal ini hanya ada suatu penjelasannya," kata Pwe-giok
tanpa menghiraukan ucapan Lui-ji itu.
"Penjelasan bagaimana?" tanya anak dara itu.
"Pada loteng kecil tempat tinggal kalian itu pasti tersembunyi sesuatu rahasia besar yang
sangat mengejutkan orang," kata Pwe-giok.
"Rahasia besar?!" Lui-ji melengak.
"Ya, lantaran rahasia itulah maka Tonghong Bi-giok merasa berat meninggalkan ibumu meski
banyak kesempatan baginya untuk pergi," kata Pwe-giok pula, "Karena rahasia itulah maka
Oh-lolo dan lain-lain juga datang, juga lantaran rahasia inilah maka Ji Hong-ho dan
komplotannya tidak segan menyalakan api."
Terbeliak mata Lui-ji, ia bergumam, "Tapi rahasia apakah itu?"
"Apakah kau ingat, sebelum ibumu wafat, pernahkah beliau membicarakan sesuatu yang luar
biasa kepadamu?" tanya Pwe-giok dengan suara tertahan.
543
"Ibu tidak pernah bercerita apa-apa," ujar Lui-ji sambil berkerut kening. "Beliau cuma
memberitahukan padaku bahwa tempat inilah rumahku, tempat inilah satu-satunya benda
yang dapat ditinggalkannya kepadaku, aku disuruh menyayanginya, makanya selama ini aku
tidak mau pergi dari sini...." mendadak suara ucapannya terhenti, matanya tambah terbelalak.
Kedua orang saling pandang sekejap, lalu serentak sama-sama berdiri.
Dalam pada itu api di kejauhan sudah semakin kecil, tampaknya sudah hampir padam.
Akan tetapi api tidak padam seluruhnya, dari ujung dinding, dari kusen pintu atau jendela
yang hangus itu terkadang masih tersembur keluar lidah api dengan membawa asap yang
tebal.
Sejauh mata memandang, udara penuh diliputi kabut asap yang tebal sehingga apapun tidak
terlihat jelas.
Pelahan Pwe-giok dan Lui-ji menuju kembali ke tengah tumpukan puing itu.
Di bawah alingan asap, mereka menyelinap diantara reruntuhan puing, tidak lama kemudian
dapatlah dilihat mereka bangunan berloteng kecil itu sudah terbakar roboh.
Hanya Li-keh-can saja, hotel yang dibangun jauh lebih kukuh daripada rumah penduduk itu
tidak seluruhnya runtuh, api sudah padam lebih cepat, tiang belandar sudah terbakar
seluruhnya, tapi sebagian besar dinding temboknya masih tegak.
Berjalan di atas reruntuhan puing itu, Lui-ji merasa telapak kakinya masih panas seperti
menginjak bara.
Waktu ia mengintai ke balik asap tebal sana, dilihatnya di sekitar sana ada beberapa laki-laki
berseragam hitam sedang mondar-mandir membersihkan sisa kebakaran, tapi Ji Hong-ho dan
komplotannya tidak kelihatan, juga penduduk asli Li-toh-tin tidak nampak satupun.
Pwe-giok juga sedang mengintai dari pojok dinding sana.
Dengan suara mendesis Lui-ji bertanya, "Sicek, sekarang juga kita mulai mencari atau
menunggu kedatangan mereka?"
"Sudah bertahun-tahun kau tinggal di sini dan tidak kau temukan rahasia itu, dalam waktu
singkat mana dapat kita menemukannya. Apalagi kobaran api sekarang sudah mereda,
kuyakin selekasnya mereka akan datang lagi ke sini."
"Kalau begitu, apakah kita perlu mencari suatu tempat untuk bersembunyi?"
"Ya, betul," jawab Pwe-giok.
"Wah, sembunyi di mana baiknya?" kata Lui-ji sambil memandang sekitarnya. "Eh, lihat
Sicek, bagaimana kalau di rumah sana?"
"Rumah itu kurang baik," kata Pwe-giok, "Meski saat ini mereka belum menggeledah sampai
sini, tapi selekasnya mereka pasti akan kemari."
544
"Habis sembunyi di mana?" tanya Lui-ji
"Dapur!" kata Pwe-giok.
Waktu Lui-ji memandang ke sana, dilihatnya dapur yang terbuat dari kayu itu sudah habis
terbakar, ia berkerut kening dan berkata, "Dapur sudah terbakar, mana dapat dibuat
sembunyi?"
Pwe-giok tertawa, katanya, "Meski dapur sudah terbakar, tapi di dalam dapur kan masih ada
sesuatu tempat yang takkan musnah terbakar."
Terbeliak mata Cu Lui-ji, serunya dengan suara tertahan, "He, maksudmu tungku? Betul,
hanya batu tungku saja yang takkan musnah terbakar untuk selamanya. Hah, sungguh bagus
gagasanmu ini Sicek!"
Tanpa ayal lagi mereka terus berlari ke arah dapur hotel, terlihat di pojok sana ada sebuah
gentong air yang tidak rusak, cuma air di dalam gentong juga terbakar hingga menguap
seperti digodok.
Pwe-giok menyingkirkan wajan besar di atas tungku, air gentong lantas di tuang ke dalam
tungku. Setelah hawa panas di dalam tungku hilang, mereka lantas menyusup ke dalam perut
tungku dan wajan tadi ditutup lagi di atasnya.
Li-keh-can adalah satu-satunya hotel di Li-toh-tin, tamunya cukup banyak, setiap hari ratarata
harus melayani makan-minum dua-tiga puluh orang.
Dengan sendirinya tungku yang digunakan beberapa kali lebih besar daripada tungku rumah
penduduk.
Pwe-giok dan Lui-ji bersembunyi di dalam tungku besar itu sehingga serupa sembunyi di
dalam sebuah kamar sempit. Lubang tungku yang biasanya digunakan untuk menambah kayu
bakar itu menjadi mirip sebuah jendela bagi mereka.
Dinding papan dapur itu sudah terbakar ludes, maka melalui "jendela' ini dapatlah Pwe-giok
dan Lui-ji mengikuti gerak-gerik bangunan berloteng kecil di depan sana.
Di loteng kecil itulah Lui-ji dilahirkan dan dibesarkan, tapi sekarang bangunan itu sudah
berwujud tumpukan puing, tanpa terasa air mata Lui-ji berlinang-linang pula.
Tapi sedapatnya ia tidak memperlihatkan rasa sedih itu, katanya dengan tertawa, "Sicek, kau
lihat tidak? Tungku di rumahku sana juga tidak musnah terbakar."
"Ya, seperti ucapanmu tadi, tungku takkan terbakar rusak untuk selamanya," kata Pwe-giok
dengan suara halus. "Dan bumi juga selamanya takkan rusak terbakar. Bilamana kau suka
pada tempat ini, kelak masih boleh membangun sebuah rumah berloteng seperti tempat
tinggalmu yang dulu."
545
Termangu-mangu Lui-ji memandang ke sana, air mata kembali bercucuran, katanya dengan
hampa, "Rumah loteng memang masih dapat dibangun, tapi hari-hari kehidupan seperti
dahulu tidak mungkin datang kembali lagi."
Pwe-giok juga terkesima oleh ucapan anak dara itu.
Karena ucapan Lui-ji itu, tanpa terasa ia pun terkenang kepada kehidupannya yang bahagia
dan tenteram di masa lalu, teringat olehnya pohon waringin yang rimbun di halaman
rumahnya itu, di bawah pohon itulah setiap musim panas ayahnya suka menyaksikan dia
berlatih menulis, terbayanglah senyuman welas-asih sang ayah....
Semua itu baru saja terjadi setengah tahun yang lampau, tapi bila terkenang sekarang rasanya
seperti sudah jelmaan hidup yang lalu, tanpa terasa matanya menjadi basah lagi. Ucapnya
dengan rawan, "Ya, segala apa yang sudah berlalu takkan kembali lagi untuk selamanya."
"Dahulu," demikian Lui-ji bertutur dengan pelahan, "sebelum fajar menyingsing, tentu aku
sudah mulai memasak bubur, terkadang kubuatkan telur dadar, sedikit sayur asin dan kacang
goreng, maka nafsu makan Sacek lantas bertambah dan satu kuali bubur disikatnya habis, lalu
beliau akan memuji bubur yang ku masak itu harum dan enak, sayur asin dan kacang
gorengnya lezat dan gurih, tapi sekarang....." dia menghela napas, lalu menyambung dengan
menunduk. "Meski tungku di sana belum rusak terbakar, selanjutnya masih dapat ku masak
bubur di tungku itu, namun siapakah yang akan makan bubur yang ku masak itu."
Terharu Pwe-giok, tanpa terasa ia berkata, "Akulah yang akan makan bubur yang kau masak
itu."
"Benar?" tanya Lui-ji sambil menengadah.
Sementara itu hari sudah terang, sinar sang surya menembus ke dalam tungku melalui lubang
kecil itu sehingga kelihatan wajah Lui-ji yang masih basah oleh air mata itu. Sinar matanya
gemerdep memancarkan cahaya kegirangan sehingga mirip setangkai bunga teratai putih
dengan butiran embun yang mekar di pagi cerah di musim semi.
Tergetar juga hati Pwee-giok, cepat ia melengos dan tidak berani memandangnya lagi.
Lui-ji menghela napas, katanya, "Ku tahu ucapan Sicek tadi hanya untuk menyenangkan
hatiku saja. Orang semacam Sicek tentu masih banyak urusan penting yang harus dikerjakan,
mana kau sempat datang padaku untuk makan bubur yang ku masak."
Suaranya begitu lirih dan rawan sehingga hati Pwe-giok kembali terharu, jawabnya dengan
tertawa, "Sicek tidak berdusta.... Biarpun banyak urusan yang harus ku selesaikan, tetapi
begitu pekerjaanku selesai, suatu hari aku pasti akan datang ke sini untuk makan bubur yang
kau masak."
Lui-ji tertawa senang seperti bunga yang baru mekar, ucapnya, "Jika begitu, aku akan masak
satu kuali bubur dan menunggu kedatanganmu."
"Setiap hari makan bubur saja tentu juga akan bosan," kata Pwe-giok dengan serius.
"Sebaiknya setiap dua-tiga hari satu kali harus kau buatkan nasi goreng istimewa bagiku,
kalau tidak aku bisa kurus kelaparan karena makan bubur melulu."
546
Lui-ji terkikik-kikik, katanya, "Makan bubur kan waktu pagi, makan siang tentunya lain,
selain nasi goreng, akan kubuatkan pula Ang-sio-tite (kaki babi saus manis), Jau-koh-kek-kiu
(ayam goreng jamur) dan hidangan lain yang lezat, tanggung tidak sampai tiga bulan Sicek
akan tambah gemuk satu kali lipat."
Melihat si nona tertawa girang, Pwe-giok juga bergembira. Tapi bila teringat kepada nasibnya
sendiri, sakit hati ayah belum terbalas, iblis itu masih memalsu dan menyamar sebagai "Ji
Hong-ho" gadungan dengan komplotan jahatnya sehingga segenap kawan Kangouw sama
tertipu, sebaliknya dirinya harus berjuang sendirian, entah kapan intrik musuh baru dapat
terbongkar. Untuk bisa hidup tenang dan gembira untuk makan bubur yang di masak anak
dara ini, mungkin harus menunggu sampai pada penjelmaan yang akan datang.
Selagi Pwe-giok termenung, tiba-tiba Lui-ji menegur, "He, Sicek.... mengapa engkau
menangis?!"
Cepat Pwe-giok mengusap matanya yang basah, jawabnya dengan tertawa, "Ah, anak bodoh,
Sicek sudah tua, mana bisa menangis. Karena asap maka keluar air mata."
Lui-ji termangu sejenak, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa, "Sicek, masa kau anggap
dirimu sudah tua? Jika Sacek tidak menyuruhku agar panggil Sicek padamu, sebenarnya lebih
tepat kalau ku panggil Siko (kakak ke empat) padamu."
Pwe-giok memandangi wajah si nona yang berseri itu dan tak dapat menjawab. Entah manis,
entah kecut, entah getir, sukar untuk dijelaskan....
T A M A T Bagian Pertama... bersambung ke imbauan pendekar
Anda sedang membaca artikel tentang Renjana Pendekar 3 dan anda bisa menemukan artikel Renjana Pendekar 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/renjana-pendekar-3.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Renjana Pendekar 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Renjana Pendekar 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Renjana Pendekar 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/renjana-pendekar-3.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar