Cersil : Kampung Setan 5

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 23 September 2011

Kini tersadarlah Ho Hay Hong bahwa kedatangan
pemimpin partay itu adalah hendak menuntut balas
dendam kemat ian paman gurunya.
"Memang benar, sinaga api Tio Kang adalah paman
gurumu, tetapi aku membinasakan dia ada sebabnya,
kalau kau t idak percaya, tanyalah kepada Lam Kiang
Tay-bong locianpwee. Tio Kang itu adalah musuh
besarku yang dahulu merenggut jiwa ibuku!"
"Kau bohong, siapapun tahu bahwa kau siaohiap
dengan suka rela suka menjadi anjing nona ini !"
"Katakanlah dengan sebenarnya, apa maksud dengan
ucapanmu suka rela tadi? Apa maksud pula dengan
ucapan anjing itu? Hm, hm, apakah aku Ho Hay Hong
yang hidup sebagai orang laki-laki, t idak bisa menuntut
balas dendam sakit hati ibuku?"
"Mulutmu ingatkan menuntut balas, padahal yang
sebenarnya adalah supaya kau menyenangkan hat inya.
Apa kau kira aku tidak tahu ?"
"Kalau kau t idak percaya, sudahlah, kau menghendaki
bagaimana, terserah denganmu sendiri, jangan demikian
menghina aku"
Ketika teringat bahwa luka kekasihnya justru atas
perbuatan Tio Kang, maka seketika hawa amarahnya
memuncak. Dengan suara marah ia berkata pula:
"Nona ini tanpa sebab dilukai olehnya kau adalah
keponakan muridnya, sungguh kebetulan dapat
kugunakan untuk melampiaskan kemarahan hatiku." "Bocah she Ho, disini bukan daerah utara yang kau
boleh berbuat sesukamu, kau harus tahu bahwa aku
sudah memasang jaring, set iap waktu dapat mengunci
jiwamu!" berkata Chim Kiang sianseng sambil tertawa
dingin.
"Kalau aku takut kau gertak, Sekarang aku t idak akan
berani berlaku salah terhadapmu. Jangan banyak bicara
majulah!" berkata Ho Hay Hong sambil tertawa terbahak-
bahak.
Ia sudah yakin benar kepandaiannya sendiri, meskipun
lawannya itu merupakan seorang lawan tangguh yang
besar pengaruhnya, tetapi ia t idak menghiraukan,
dengan menudingkan jari tangannya, ia berkata pula:
"Mari, mari kita boleh bertempur sepuas-puasnya, biar
darah merah nant inya menyelesaikan persengketaan
kita!"
"Bengcu rimba hijau daerah utara benar saja hebat .
Baik, mari disinilah kita putuskan!" berkata Chim Kiam
sianseng sambil tertawa besar.
Suara tertawa demikian nyaring, hingga mengejutkan
serombongan burung-burung malam, begitupun Tiat Chiu
Khim juga sampai terkejut. Gadis itu bertanya dengan
heran:
"Hay Hong. kau ribut dengan siapa?"
"Chim Kiam sianseng." jawab Ho Hay Hong.
Tiat Chiu Khim berulang-ulang menyebut nama itu,
mendadak berkata:
"Bukankah dia itu pemimpin golongan Lempar batu?"
"Benar." "Apakah yang dia ingin Hay Hong, jikalau ia hendak
mencari onar denganmu, sekalian kau mintakan kembali
pedang pusaka garuda sakt i,"
Ho Hay Hong berpikir. ”Ya, hampir saja aku lupa”.
Matanya segera mengawasi pemimpin itu, benar saja
ia melihat pedang pusaka itu berada diatas
punggungnya.
"Chiu Kim, pedang pusakamu benar berada diatas
punggungnya!" berkata Ho Hay Hong sambil tertawa
nyaring:
"Kau yakin dapat merampas kembali." tanya Tiat Chiu
Kim.
Karena berbicara terlalu banyak, napas gadis itu
menurun, dan kemudian mulutnya menyemburkan darah
Menyaksikan keadaan itu, Ho Hay Hong mendadak
dengan kecepatan sepert i kilat tangannya bergerak
melancarkan serangan keatas sebuah pohon besar,
kemudian disusul oleh suara jeritan manusia, dari atas
pohon itu melayang seorang laki-laki yang jatuh ditanah.
Dengan marah sekali, ia mengambil sebuah jarum
halus dari bahu Tiat Chiu Kim, kemudian bertanya
kepada Chim kiam sianseng:
"Aku hendak tanya, apakah ini perbuatan mu ?"
"Ho Siaohiap kau jangan mengoceh saja, lihat lah dulu
biar jelas kau nant i boleh lagi."
Ho Hay Hong menyambar orang tua itu dan diangkat
t inggi tinggi, setelah diperiksanya ia baru melihat bahwa
orang itu mempunyai laut muka yang dicoreng-coreng
mendadak ia berseru: "Oh! Manusia hutan. Penemuan itu telah
menggerakkan hat inya, matanya berputaran diwajah
coreng-coreng manusia liar, lalu tangannya dimasukkan
ke dalam saku orang itu, seolah-olah mencari apa-apa.”
Sebentar kemudian, ia mengeluarkan tangannya
dengan perasaan kecewa, sebab di dalam tubuh orang
itu t idak didapatkan obat Liong Yen hiang yang
dibutuhkan,
"Ho siaohiap, aku kira meskipun kau sudah menduduki
kedudukan t inggi sebagai Bengcu rimba hijau daerah
utara, tetapi kekuatanmu yang sebenarnya masih selisih
jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian kakek
penjinak garuda. Akibat perbuatanmu ini kau nant i akan
merasakan sendiri" berkata Chim kiam sianseng sambil
tertawa dingin.
"Jangan khawat ir, aku berniat membinasakan
orangnya sudah tentu t idak takut ia datang menuntut
balas." berkata Ho Hay Hong. kemudian mengangkat
tangannya, sinar gemerlapan meluncur dari tangannya
menuju kearah barat.
Kiranya, senjata rahasia tadi adalah jarum yang
dibawa oleh manusia liar itu.
Ho Hay Hong sangat tajam pandangan matanya, ia
sudah lama melihat ada orang tersembunyi digerombolan
batu yang berada diarah barat maka dengan senjatanya
orang itu ia sambitkan kepada orang tersembunyi itu.
Benar sepert i apa yang diduganya, orang tersembunyi
ditumpukan batu itu mengeluarkan suara jeritan ngeri
sesosok bayangan orang lompat t inggi satu tombak kemudian suaranya habis dan orangnya jatuh ditanah,
binasa seket ika itu juga.
Chim Kiang sianseng dengan matanya yang tajam,
segera dapat melihat bahwa dijidat orang itu menancap
sebuah jarum, hingga dalam hat i diam-diam juga
terkejut . Ia sungguh t idak menduga bahwa kepandaian
pemuda itu mendapat kemajuan demikian pesat.
Ho Hay Hong berkata sambil tertawa dingin:
"Tak kusangka sianseng juga rela menjadi anjingnya
Kakek penjinak garuda, aku hendak tanya padamu
apakah manusia-manusia liar ini, kau yang membawa
dari kampung setan?"
"Ho siaohiap, tak ada gunanya kau banyak bicara, aku
membawa perintah Kakek penjinak garuda dari jauh
datang kemari, mencari kau membuat perhitungan dan
menangkap kembali muridnya yang mengkhianat i
dirinya!"
"Bagus, bagus, sekarang kau perintah manusia liar,
kemudian kumpul disatu tempat dan mengundurkan diri
diam-diam."
Ho Hay Hong sementara itu sudah meletakan Tiat Chiu
Khim ke tempat yang aman, kemudian bertanya kepada
Chim Kiang sianseng sambil tertawa dingin:
"Dengan seorang diri saja kau hendak bertempur
denganku?"
"Kau jangan sombong, dengan seorang diri sudah
cukup aku menundukkan kau."
Tangannya segera bergerak membabat Ho Hay Hang,
tetapi serangan itu mendadak beralih dan bergant i menjadi gerakan memotong. Yang aneh ialah set iap
gerakannya itu menimbulkan suara mengaum.
Ho Hay Hong mundur selangkah, kemudian maju
menyerbu, dua lawan itu mengadu kekuatan tenaga
masing-masing lantas lompat mundur sejauh satu
tombak.
Ho Hay Hong diam-diam berpikir: ”Menurut hasil
percobaan ini, kekuatan tenaga dalam ku ternyata t idak
kalah dengannya, mengapa aku t idak menggunakan ilmu
silat garuda Sakti?”
Sehabis berpikir, ia lantas bersiul nyaring, kemudian
lompat setinggi lima tombak.
Gayanya dan perobahan gerakannya, Chim Kiam
sianseng sudah pernah melihat dari kakek penjinak
garuda, maka wajahnya berubah seket ika, mulutnya
berseru:
"Ah ! Kau ternyata pandai ilmu garuda sakt i."
Dengan mendadak ia menghent ikan perlawanan,
mungkin kepandaian ilmu silat luar biasa itu sudah
tergores dalam sekali dalam sanubarinya, sehingga
menimbulkan rasa takut.
Ketika tangan Ho Hay Hong sudah mendekat i dirinya,
ia baru sadar dengan t iba-tiba. tetapi pedang pusaka
garuda Sakt i diatas punggungnya sudah direbut oleh Ho
Hay Hong yang hebat hanya menumbangkan Pohon-
pohon yang berada disitu tidak mengambil j iwa manusia.
Ho Hay Hong menghunus pedangnya, ujung pedang
mengeluarkan suara mengaum dan menimbulkan percikan seperti bunga mekar, secepat kilat menikam diri
Chim Kiam sianseng.
Chim Kiam Sian-seng segera mengeluarkan ilmu
serangannya yang dibanggakan. Selama itu serangan itu
menimbulkan suara angin menderu bagaikan angin
puyuh.
Ia sudah tahu bahwa hari itu menemukan lawan
tangguh yang dalam hidupnya belum pernah ia
ketemukan. Pandangannya berubah seketika. Set iap
serangannya dilakukan dengan hebat dan ganas, karena
serangan yang hebat itu, maka perlahan-lahan dapat
merubah kembali keadaan.
Ho Hay Hong yang menggunakan ilmu pedangnya
yang bisa digunakan untuk menghadapi lawan t idak
begitu tangguh, tetapi mendadak ia berpikir: ”Ilmu
pedangku ini meskipun aneh dan hebat, tetapi untuk
menghadapi lawan kelas satu sepert i dia ini, agaknya
kurang leluasa, mengapa aku t idak gunakan ilmu pedang
terbangku, mungkin lebih hebat .”
Pikiran itu hanya sekejap saja terlontar dalam otaknya,
sedang pedang panjangnya sudah di sodorkan lagi t iga
dim.
Hawa. dingin t imbul mendahului ujung pedang, Cim
Kiam sianseng yang dalam hidupnya pernah bercanda
dengan senjata tajam, saat itu. juga t imbul perasaan jeri.
Dengan cepatnya tangannya bergerak menyerang
pedang yang mengancam dirinya, kemudian
menggunakan kesempatan itu, ia maju selangkah dan
menyerang dengan tangan kanan. Lengan tangannya itu
ada mengandung kekuatan tenaga besar sekali, apalagi serangan itu merupakan serangan yang memat ikan yang
sulit dijaga oleh lawannya.
Pada saat itu, Ho Hay Hong Sudah tahu benar bahwa
serangan lawannya itu hebat sekali ia juga tahu kecuali
lompat t inggi untuk mengelakkan serangan itu, sudah
t idak ada jalan lain yang lebih baik.
Oleh karena keadaan mendesak, terpaksa ia lompat
t inggi menghindarkan serangan itu. .
Tetapi secepat kilat pikirannya berubah pula, dalam
anggapannya Chim Kiam sianseng bukanlah lawan
sembarangan, jikalau dirinya sendiri t idak berani
menempuh bahayanya untuk menjatuhkannya, karena
kekuatan kedua pihak yang berimbangan dalam waktu
singkat t idak mungkin bisa ditentukan.
Tujuannya ingin lekas menyelesaikan pertempuran itu
supaya t idak menghambat waktu, karena waktu baginya
memang benar-benar sangat berharga. Oleh karena itu
maka ia telah mengambil keputusan, bertekad hendak
menyelesaikan pertempuran sesingkat mungkin.
Bersamaan pada saat ia mengambil keputusan itu, dan
tubuhnya bergerak, dan digeser maju dengan t iba-tiba
menyambitkan pedang garuda sakti dari tangannya.
Pertempuran dengan cara mengadu jiwa itu adalah
caranya yang bisa dilakukan oleh orang-orang Kang ouw
yang kepandaiannya biasa. Dengan cara yang buruk itu
Ho Hay Hong telah gunakan untuk menghadapi jago tua
yang sudah ulung, sebaliknya malah membuat jago tua
itu terheran-heran tidak habisnya.
Karena t imbulnya pikiran semacam itu, mau t idak mau
telah mempengaruhi gerakannya. Sementara itu sinar pedang yang berkilauan sudah berada dihadapan
matanya.
Detik-det ik yang sangat berbahaya itu, yang masih
sanggup mengendalikan perasaan yang tergoncang
hebat , tetapi pedang yang tajam itu juga terpisah hanya
t iga dam saja dihadapan perutnya.
Ketika ia tersadar ujung pedang sudah menyentuh
bajunya, bukan kepalang terkejutnya. Dia mengerahkan
seluruh kekuatannya, tangannya menyapu.
Setelah terdengar suara benturan hebat , Ho Hay Hong
t idak dapat berdiri tegak, badannya terhuyung-huyung
dan rubuh terjengkang. Sedangkan Chim Kiam sianseng
mengeluarkan suara jeritan ngeri, juga rubuh ditanah.
Dengan mengertak gigi, tangannya memegang
perutnya perlahan-lahan ia mencoba bangun, tetapi baru
saja berdiri kakinya t idak kuat mengimbangi tubuhnya,
hingga akhirnya rubuh lagi.
Pedang garuda sakt i menancap diperutnya sedalam
setengah kaki, usus keluar berantakan. Darah merah
mengalir dari bekas lukanya sehingga membasahi tanah
disekitarnya.
Rasanya sudah t idak jauh dengan ajalnya, tetapi
dengan mengandalkan latihan yang t idak terputus,
selama beberapa puluh tahun, ia masih dapat
mempertahankan dirinya.
Wajahnya putih bagaikan kertas, keringat dingin
ngucur keluar, jago tua kawakan yang pernah malang
melintang didunia Kangouw itu, kini harus merasakan
betapa hebatnya penderitaan sebelum putus nyawanya. Dengan perasaan gusar ia mencabut pedang dari
perutnya, lalu disambitkan kepada Ho Hay Hong.
Tetapi Ho Hay Hong dapat mengelak, sehingga
pedang itu meluncur terus dan menancap disebuah
pohon besar. Dari sini dapat diukur betapa hebat
kekuatan tenaga pemimpin itu, di saat menghadapi
mautpun, ia masih dapat menggunakan tangannya
sedemikian hebat.
Dengan mata penuh kebencian ia memandang Ho Hay
Hong, mulutnya menggumam.
"Bocah, disamping merasa puas, kau jangan lupa
pembalasan atas perbuatanmu di kemudian hari."
Menyaksikan keadaan yang mengenaskan itu. Ho Hay
Hong merasa menyesal.
"Chim Kiam sianseng, mat ilah dengan tenang, aku
nant i akan kubur jenazahmu dengan baik . . ."
Chim Kiam sianseng t idak menghiraukan, ia
mendongak dan berkata sambil menghela napas:
"Oh Tuhan, aku Chim Kiam sianseng pernah menjagoi
kalangan Kangouw hampir seumur hidupku, tak
kusangka bisa binasa ditangannya. Apakah ini lantaran
dosaku dahulu yang sudah membunuh banyak jiwa."
Entah sejak kapan matanya mengembang air, dalam
keadaan demikian, ia menarik napas yang penghabisan.
Ho Hay Hong menghampiri, selagi mau mengangkat
tubuhnya untuk dikubur, mendadak terdengar riuh suara
tambur. Cepat ia menarik kembali tangannya, dalam hat inya
berpikir: ”mereka sudah tentu bisa mengurus
jenazahnya, tidak perlu aku campur tangan”
Ia lalu memondong tubuh Tiat Chiu-Khim kemudian
melanjutkan perjalanannya.
Pada waktu itu, Tiat Chiu Khim kembali membuka
matanya mulutnya mengeluarkan suara pelahan: "Suhu.
suhu"
Ho Hay Hong terkejut , pikirnya: ”apakah ia memanggil
kakek penjinak garuda?”
Mendadak t imbul kebenciannya, katanya kepada diri
sendiri: "Tua bangka biadab itu, apa ada harganya untuk
dipikiri."
Terdengar pula suara keluhan Tiat Chiu Khim: "Ah,
suhu aku sudah dekat mati."
Mendengar suara kekasihnya seperti orang mengigau
Ho Hay Hong bercekat. Ia kira lukanya kambuh, sehingga
menimbulkan panas dalam tubuhnya, maka perlu segera
ditolong.
Tetapi, kemana harus mencari seorang wanita yang
berkepandaian t inggi?
Ia berjalan sambil memandang wajah si nona, ket ika
menampak wajah sigadis semakin pucat , diam-diam
merasa sangat khawatir.
Buru-buru ia mengerahkan ilmunya lari pesat , lari
menuju kekota.
Tiba didalam kota, ia lalu mencari rumah penginapan
dan memesan sebuah kamar. Ia letakkan tubuh Tiat Chiu Khim diatas pembaringan
sedang ia sendiri keluar lagi. Untuk mencari seorang
wanita yang memiliki kekuatan tenaga dalam yang sudah
sempurna. Tetapi, bagaimana caranya untuk menemukan
wanita demikian ? Ia t idak pikirkan lagi.
Ia menyusuri hampir set iap jalan dalam kota, tetapi
t idak menemukan seorang wanita yang dimaksudkan.
"Apakah kau harus menyaksikan ia mati dalam
tanganku?" demikian ia berpikir dan bertanya-tanya
kepada diri sendiri.
Hatinya sedih, pikirannya semakin risau. Ia mulai
menyesal, mengapa Liong-yan-hiang yang t inggal
sisanya itu dihabiskan semua, kalau t idak, mungkin ia
sekarang masih bisa di tolong.
Tempat itu terpisah dengan kampung setan hanya
seperjalanan kira-kira seratus pal saja, kalau ia harus
pergi kesana, pulang baik Sudah menggunakan waktu
kira-kira setengah hari, ini masih belum terhitung
kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi dalam sepanjang
jalan, apalagi kalau menghadapi Kakek penjinak garuda
sendiri.
Dengan putus asa ia balik ke rumah penginapan.
Semua pelayan rumah penginapan merasa heran
menyaksikan sikapnya, yang tergesa-gesa dan gelisah,
tetapi ia tidak menghiraukan.
Baru saja membuka pintu kamar, sudah menyaksikan
Tiat Chiu Khim sedang bergulingan sambil merint ih.
Dengan hat i pilu ia berlutut dipinggir pembaringan,
tetapi kecuali menghibur, ia t idak bisa berbuat apa-apa
lagi. Tetapi, seratus patah kata hiburan, apa gunanya ?
Suara rint ihan si nona, seolah-olah ketukan mart il
mengetuk hat inya, hingga semakin pilu.
Airmata mengalir turun tanpa dirasa, ia berkata sendiri
sambil mendongakkan kepala: "Apakah aku harus
berpeluk tangan menyaksikan kematiannya? Apakah
kecuali orang perempuan, sudah t idak ada orang lagi
yang dapat meringankan penderitaannya?"
Mendadak suatu pikiran terlintas dalam otaknya, apa
yang dibutuhkan oleh sinona hanya kekuatan tenaga
dalam untuk membuyarkan hawa murni yang membeku
dalam tubuhnya, t idak menentukan harus kaum wanita
saja yang boleh menyembuhkan.
Ia mulai menyesalkan kebodohannya sendiri, mengapa
sejak tadi ia t idak dapat memikirkan. Orang lelakipun
dapat melakukan, hanya bagi kaum wanita sebetulnya
lebih leluasa dan lebih pantas daripada seorang lelaki
apalagi kalau bukan suaminya.
Ia menjadi girang, tetapi ketika tangannya diulurkan
untuk meraba tubuh si nona, segera menemukan
kesulitan lagi.
Bagaimana seandai nant i t imbul kesalah pahaman dari
pihak si nona ?
Pikirannya bimbang menghadapi gadis cant ik itu,
perasaan rendah diri t imbul lagi dalam pikirannya.
Selama itu ia t idak berani mengutarakan rasa hat inya
terhadap Tiat Chiu Khim, sebab dalam hat inya sudah
teraling o leh jaring yang t idak dapat ditembus, karena ia
t idak mempunyai keberanian untuk menembus jaring itu. Karena ia sebagai pemuda sebatang kara, apalagi
t idak ketahuan asal usulnya, maka selama itu ia selalu
dihinggapi oleh rasa rendah diri yang terlalu mencekam
hat inya. Dengan demikian maka ia tak berani membuka
mulut menyatakan cintanya.
Ia anggap Tiat Chiu Khim bagaikan bidadari yang t idak
dapat dijamah oleh tangannya sendiri, sebab ia adalah
seorang biasa.
Ia berdiri sekian lama dengan hat i bimbang t idak tahu
bagaimana harus berbuat ? Sementara itu, penderitaan
Tiat Chiu Khim semakin hebat .
Hati Ho Hay Hong semakin gelisah, beberapa kali ia
mengulurkan tangannya, tetapi kemudian ditariknya
kembali.
Mendadak ia bangkit dan memadamkan penerangan
lampu lilin, hingga keadaan dalam kamar menjadi gelap
gulita.
Kini ia agaknya mulai tenang.
Dalam anggapannya, seolah-olah perbuatannya itu
t idak ada orang yang menyaksikan, ket ika mengulurkan
tangannya lagi untuk membuka pakaian si nona,
jantungnya berdebar semakin keras.
Ia pejamkan matanya, pakaian Tiat Chiu Khim lembar
demi lembar dibukanya, setelah t inggal baju didalamnya,
pikirannya baru tenang lagi.
Diam-diam ia yang bernyali kecil, mengapa baru
menghadapi seorang wanita cant ik saja sudah demikian
tegang ? Tetapi ketika tangannya meraba tubuh si nona,
ketenangan mulai lenyap lagi, tangan itu gemetaran, ia
mengharap bahwa yang diraba itu adalah sebuah
patung.
Dilain pihak, ia juga takut kalau-kalau Tiat Chiu Khim
nant i mendusin, bagaimana anggapan nona itu kepada
dirinya? Salah-salah ia bisa dituduh sebagai lelaki bangor
yang hendak menodai kesuciannya.
Ketika tangannya menyentuh tubuh sinona dapat
masakan hawa hangat dari tubuh si nona yang kemudian
terus sepert i masuk kedalam hatinya.
Ia susut keringat yang membasahi jidanya, sambil
memejamkan matanya ia membuka baju penghabisan
yang menutupi tubuh si nona hingga tak ada selembar
kain menutup tubuh yang padat montok itu.
Meskipun keadaan gelap gulita, tetapi Ho Hay Hong
sepert i dapat memandang tubuh yang put ih halus padat
itu, hingga jantungnya berdebar keras sekali.
Akhirnya, ia t idak dapat mengendalikan perasaan
sendiri, ia sepert i sudah lupa akan dirinya sendiri,
pelahan-lahan menundukkan kepala, mencium pipi si
nona.
Pada saat itu. Tiat Chiu Khim seperti terjaga, sebentar
ia merint ih, kemudian membuka matanya.
Ho Hay Hong t idak menduga dalam keadaan demikian
gadis itu tersadar, hingga sesaat itu ia menjadi gugup,
terkejut dan ketakutan. Sepatah katapun t idak keluar
dari mulutnya. Ia harus bertindak secepat kilat, buru-buru menotok
jalan darahnya dan merebahkan diri sinona lagi.
Ia menghitung-hitung waktu, dua jam telah berlalu. Ia
buru-buru mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, ia
disalurkan kedalam tubuh Tiat Chiu Khim, melalui jalan
darah sinona yang berada dibawah perutnya.
Tidak ada seorangpun yang menyaksikan, tetapi Ho
Hay Hong merasa panas.
Hawa panas bergerak dari telapak tangan Ho Hay
Hong masuk kedalam tubuh Tiat Chiu Khim pelahan
lahan mencairkan hawa yang membeku dalam tubuh.
Tak lama kemudian, Tiat Chiu Khim, mulai
perdengarkan suara rint ihan pelahan, dan kali ini suara
itu agaknya t idak mengandung penderitaan.
Bahkan sebaliknya, suara itu sepert i mengandung rasa
nikmat, hingga diam diam hat i Ho Hay Hong merasa
terhibur.
Ia terus menyalurkan kekuatan tenaga dalam ke tubuh
gadis itu. hingga dalam waktu singkat ia sendiri sudah
mulai lelah.
Dengan pandangan mata yang tajam, ia dapat lihat
wajah sinona sudah mulai agak ke merah-merahan, tapi
ia tahu, bahwa saat itu sangat pent ing baginya, maka ia
t idak berlalu berlaku lengah, ia buru-buru menyalurkan
terus tenaganya.
Gadis itu mendadak mengeluarkan suara rint ihan lagi
kemudian mengoceh: "Suhu, maafkan perbuatanku
terhadapmu." Ho Hay Hong terkejut , tetapi ia t idak menghiraukan,
sebab itu bukanlah maksud yang sesungguhnya dari si
nona.
"Suhu suhu. terimalah aku kembali. Aku bersedia
mengabdi kepadamu seumur hidup." demikian si nona
mengoceh lagi.
Dari ocehan gadis itu, Ho Hay Hong dapat menarik
kesimpulan perangai gadis itu sebetulnya lembut dan
halus serta mengenal budi orang.
Meskipun dengan Kakek penjinak garuda sudah
berubah menjadi musuh, tetapi ia masih t idak melupakan
budinya yang sudah membesarkan dan mendidiknya
menjadi orang kuat .
Ia diam-diam merasa bersyukur bahwa mendapatkan
pasangan yang cant ik dan baik hati.
Dilain pihak, ia merasa benci terhadap kepribadian
Kakek penjinak garuda, orang yang usianya sudah
demikian lanjut, masih ingin mengawini seorang gadis
yang pantas menjadi cucunya.
Karena pikirannya bercabang, ia merasakan terlalu
let ih, badannya gemetaran.
Ia terkejut dan diam-diam berpikir: ”Kalau ditilik dari
keadaanku ini, kekuatan tenagaku rasanya belum cukup
untuk menyembuhkan lukanya.”
Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menempuh
bahaya, dengan menggunakan ilmunya Cie-yang Cin-
khie, karena Selain itu, t idak ada jalan lain lagi. Tetapi ilmu itu t idak mudah didapatkan, apabila
digunakan secara sembarangan, salah-salah bisa
membawa akibat yang membahayakan dirinya sendiri.
Tetapi, ia sudah mengambil keputusan, maka t idak
memikirkan segala rintangan. Dengan mengerahkan
ilmunya keujung jari tangannya, lalu disalurkan melalui
jalan darah dan masuk kedalam tubuh si gadis.
Tatkala hawa kedua pihak saling beradu, badan kedua
orang tersebut menimbulkan getaran hebat sejenak, Tiat
Chiu Khim mendadak berteriak dan membuka matanya.
Ho Hay Hong baru hendak mengucapkan syukur atas
berhasilnya t indakannya, apa mau selagi baru hendak
menarik kembali ilmunya, t iba-tiba dikejutkan oleh
teriakan Tiat Chiu Khim, sehingga hawa dalam badannya
terus naik kekepala, dan seketika itu juga matanya gelap
lalu jatuh pingsan.
Tiat Chiu Khim mengawasi dengan perasaan dingin,
matanya yang lebar sudah pulih cahayanya. Meskipun
berada ditempat gelap, tetapi agaknya dikejutkan oleh
jatuhnya tubuh Ho Hay Hong, hingga lama t idak bisa
membuka mulut .
Matanya menatap wajah Ho Hay Hong, agaknya baru
dapat mengenali dengan tegas, maka ia lalu berseru:
"Oh, kau Ho Hay Hong."
Selanjutnya ia memikirkan apa yang sebetulnya telah
terjadi.
Dari lobang jendela menghembus angin malam yang
dingin hingga badannya menggigil. Rasa dingin telah
menyadarkan dirinya, ia baru tahu bahwa kini tak ada selembar benangpun melekat pada tubuhnya. Rasa malu
t imbul pada dirinya hingga wajahnya berubah seketika.
Sejenak nampak ia ragu-ragu, kemudian tangannya
bergerak dan menyerang Ho Hay Hong !
Ho Hay Hong yang masih dalam keadaan pingsan
menggelinding jatuh, jidanya membentur tembok, hingga
mengeluarkan darah.
Tiat Chiu Khim masih, marah, untuk ke dua kalinya ia
hendak menyerang. Serangan kali ini agak berat , apabila
jatuh dibadan Ho Hay Hong, pasti akan menghancurkan
tulang-tulangnya.
Tiat Chiu Khim sedang marah, t idak biasa memikir
terlalu banyak, Tetapi selagi hendak turun tangan, t iba
t iba pikiran yang jernih t imbul dalam otaknya, dan telah
membatalkan maksudnya. Ia t idak suka membinasakan
seorang yang t idak berdosa, sebelum tahu betul apa
salahnya.
Ia menarik kembali lengannya, tetapi hembusan angin
yang sudah keluar dari tangannya telah menggempur
tembok sehingga menimbulkan suara nyaring.
Dimalam hari sunyi, suara gempuran pada tembok
pada dinding itu, telah mengejutkan para tamu yang
menginap dalam rumah penginapan itu. Sebentar para
tamu berduyun-duyun keluar dari masing-masing
kamarnya dengan membawa penerangan lilin.
Tiat Chiu Khim terheran heran, ia bertanya kepada diri
sendiri: ”Mengapa ia bawa aku kemari?”
Sebagai gadis yang tinggi hati, ia tidak dapat menahan
perlakuan sepert i itu, maka tangan diangkat lagi hendak penyerang. Ho-Hay Hong yang masih pingsan, sudah
tentu t idak berdaya. Selagi dalam keadaan bahaya, t iba-
t iba terdengar suara orang mengetuk pintu, kemudian
disusul oleh suara teguran dari luar: "Hai, hei apa yang
kalian lakukan?"
Tiat Chiu Khim membatalkan maksudnya buru-buru
mengenakan pakaiannya, kemudian membuka pintu dan
bertanya:
"Kau siapa ?"
Orang itu lalu menjawab.
"Maaf aku telah mengganggu kalian. Aku adalah
pelayan rumah makan ini. aku hendak tanya apa tadi
yang telah terjadi didalam kamar kalian ini? Mengapa
terdengar suara gempuran demikian nyaring?"
"Tidak ada apa-apa, silahkan kembali!"
Ia menutup kembali pintunya, t idak perduli pelayan
tadi sudah pergi atau belum, ia mengambil korek api
untuk menyalakan lilin.
Sebentar kemudian kamar menjadi terang benderang,
sementara suara langkah kaki pelayan juga semakin lama
semakin menjauh.
Ho Hay Hong masih tetap dalam keadaan pingsan,
napasnya lemah, Karena menggunakan tenaga terlalu
banyak, wajahnya pucat sekali.
Tiat Chiu Khim memandangnya sejenak lalu berkata-
kata sendiri: "Hm! Kau manusia rendah yang t idak tahu
malu, masih berlagak mati."
Ia menghampiri, diangkatnya tubuh Ho Hay Hong,
dipandangnya dengan seksama. Tetapi kenyataannya t idak sepert i apa yang ia
pikirkan, Saat itu wajahnya putih bagaikan mayat ,
keringat dingin membasahi sekujur badannya napasnya
sangat lemah, seolah-olah habis menggunakan tenaga
terlalu banyak. Ia terkejut menyaksikan keadaan
demikian, lalu bertanya-tanya kepada diri sendiri:
"Kenapa dia?"
Ia kini mulai memikir, sebentar segera dapat
mengetahui dari keadaan itu bahwa pemuda pujaannya
itu sepert i seorang kehabisan tenaga.
"Mengapa ia jadi demikian?" ia bertanya-tanya kepada
diri sendiri.
Timbullah pikirannya pula untuk menanyakan lebih
dahulu sejelas-jelasnya, kemudian baru ditolongnya.
Mukanya dirasakan panas, wajah yang tadinya put ih
mulai memerah hingga membuat dia nampak semakin
cant ik pada ketika itu. Ia yang seumur hidupnya t idak
pandang mata kepada orang laki, tak disangka kini
seluruhnya telah disaksikan semua oleh Ho Hay Hong.
Jikalau mengingat itu, kemarahannya lantas berkobar.
Maka ia lalu menggunakan kekuatan tenaga dalamnya
untuk menyadarkan pemuda itu.
Ho Hay Hong pelahan-lahan tersadar. Ia menarik
napas panjang, perlahan-lahan membuka matanya.
Dalam hat i Tiat Chiu Khim benci sekali padanya, ia
sebetulnya sudah pikir hendak membinasakannya saja.
Tetapi ketika melihat pemuda tersebut , membuka mata
gadis ini coba mengendalikan hawa amarahnya, pura-
pura tertawa, dan menanya dengan suara lemah lembut: "Kau sudah berasa enakan?"
Ho Hay Hong t idak tahu apa yang terkandung dalam
hat i gadis itu, ketika melihat sang gadis dalam keadaan
sehat dan segar bugar, dalam hat i merasa terkejut
bercampur girang.
Ia t idak dapat mengendalikan lagi perasaannya,
segera mengulurkan tangannya menggenggam dengan
tangan Tiat Chiu Khim, dan berkata dengan girang:
"Oh, kau sudah sembuh, aku sangat girang sekali!"
Tiat Chiu Khim membiarkan lengannya di pegang,
namun kemarahan dalam hatinya masih belum padam, ia
ingin segera memberi hajaran lagi kepada pemuda yang
t idak sopan itu.
"Terima kasih atas perhat ianmu, untung t idak terjadi
apa-apa atas diriku!" demikian ia berkata.
Ho Hay Hong t idak tahu bahwa ucapan tu
mengandung sindiran, ia berkata sambil tertawa:
"Chiu Khim, sekarang hanya kurang semacam obat
saja, dan kau akan sembuh sama sekali. Kita harus
segera berusaha untuk mengambilnya, supaya jangan
terjadi perubahan lagi."
Tiat Chiu Khim tercengang, dalam hat inya bertanya:
„Apa maksud perkataannya ini?“
Dengan menekan perasaannya ia bertanya: "Obat
apa?"
"Liong-yan-hiang !"
"Oh! Obat sepert i itu hanya kakek penjinak garuda
seorang saja yang memiliki." "Ya, justru karena itu maka tak mudah diambilnya,
nampaknya sekali ini kita harus menempuh bahaya."
berkata Ho Hay Hong sambil menganggukkan kepala.
Melihat wajah gadis yang berseri-seri hampir ia t idak
dapat menahan perasaan birahinya, ia berkata pula.
-oo0dw0oo-
Bersambung Jilid 27

Jilid 27
"CIU KHIM, kau ada harganya bagiku untuk pergi
menempuh bahaya, segalanya kau jangan kuat ir, aku
akan mengeluarkan seluruh tenaga untukmu!"
Tiat Chiu Kim masih tetap tersenyum dan berkata:
"Ah, kau begitu baik perlakukan diriku, t idak tahu aku
bagaimana harus membalas budi mu?"
Ucapannya itu sebetulnya hanya sekedar untuk
menutupi perasaannya sendiri, tetapi setelah
diucapkannya, mendadak pikiran jernih dalam otaknya.
„Pada akhirnya, sikap pemuda itu demikian sungguh-
sungguh dan selalu menyatakan maksudnya hendak
mengeluarkan tenaga baginya, apakah sebetulnya yang
telah terjadi?“
Memikir itu, ia jadi bimbang. Dicobanya untuk
menenangkan kembali pikirannya, mendadak merasa
bahwa urusan itu agak aneh. Pikirnya: „Jikalau ia ada
maksud hendak berbuat jahat terhadap diriku, niscaya
sudah lama berhasil, mengapa?“
Mukanya menjadi merah, ia teringat kembali
bagaimana ket ika dirinya diserang oleh Tio Kang. Ilmunya Pan Ciok Sin-kang orang tua itu sudah lama ia
kenal, dahulu ia sering minta orang tua itu supaya
menurunkan pelajaran itu padanya, tetapi selalu t idak
berhasil membujuk nya, tak ia duga orang tua yang
dahulu demikian baik hat i itu, ternyata sudah
menggunakan ilmunya itu untuk menyerang dirinya.
Biasanya orang yang terkena serangan ilmu itu, binasa
seket ika itu juga, tetapi oleh karena Tio Kang
mempelajari ilmu itu hanya setengah jalan saja, maka
belum mengert i betul sedalam-dalamnya
Walaupun demikian, ia berani memast ikan bahwa
orang yang terkena serangan itu, jarang yang dapat di
tolong jiwanya.
Ia tahu bahwa ia sendiri jelas sudah terkena serangan
ilmu itu, tetapi mengapa sekarang masih segar bugar?
Dalam hal ini jelas masih mengandung banyak rahasia
yang tidak mengert i!
Berpikir sampai disitu, hawa amarahnya baik seketika,
dengan perasaan bingung ia bertanya pada Ho Hay
Hong:
"Betulkah aku terkena ilmu Pan-Ciok Sin kang dari Tio
Kang?"
"Benar, aku sebetulnya t idak tahu ilmu apa yang
digunakan, tapi setelah diberitahukan oleh Lam-Kiang
Tay-Bong, aku diberi tahu bahwa jahanam itu
menggunakan ilmu dari kalangan Budha yang tert inggi."
"Mengapa aku sekarang masih dalam keadaan
selamat?" "Aku sudah mengeluarkan hawa murni yang membeku
dalam tubuhmu, sudah tentu tidak ada halangan lagi!"
Terkejut gadis itu bukan main setelah mendengar
keterangan Ho Hay Hong.
"Apa katamu?"
Ketika ditanya secara itu dan dipandang demikian rupa
oleh sinona, segera Ho Hay Hong menundukkan kepala
dan dengan kemalu-maluan ia menjawab:
"Maaf aku oleh karena aku dalam bahaya, aku tadi
terpaksa.melakukan....."
Ia t idak dapat melanjutkan kata-katanya untuk
menjelaskan perbuatannya.
Menyaksikan sikap jujur pemuda itu, tersadarlah Tiat
Chiu Khim atas kekeliruannya. Bahwa pemuda itu tadi
berlaku demikian atas dirinya semua, hanyalah hendak
menolong dirinya dari cengkeraman maut.
Ia ingin membukt ikan kebenaran dugaannya, maka
bertanya pula:
"Dengan cara bagaimana kau tadi menolong aku?"
Sejenak Ho Hay Hong nampak ragu-ragu, akhirnya ia
berkata juga:
"Aku mendapat keterangan dari Lam-kiang Tay bong
orang yang terkena serangan ilmu itu dalam waktu t iga
jam pasti binasa, kecuali jika menggunakan kekuatan
tenaga dalam untuk mengeluarkan hawa murni yang
mengeram dalam tubuhnya. Oleh karena itu, Aku buru-
buru minta diri kepada Lam kiang Tay bong dan
menggunakan waktu yang sangat berharga pergi
mencari seorang wanita yang sudah sempurna kekuatan tenaga dalamnya, hendak minta tolong padanya untuk
membantu menyembuhkan kau!"
Ia berkata sambil melirik sinona, ketika melihat gadis
itu tidak marah, ia lalu melanjutkan keterangannya:
"Tetapi aku lama mencari, t idak menemukan wanita
semacam itu. Karena melihat jiwamu dalam bahaya,
dengan mengambil resiko akan kau damprat aku
terpaksa turun tangan sendiri, menyembuhkan lukamu!"
"Waktu aku mendusin, mengapa aku melihatmu
ditanah dalam keadaan pingsan?"
"Kekuatan tenaga dalamku kurang sempurna, maka
kulakukan setengah jalan. Aku merasa t idak kuat. Dalam
keadaan krit is itu, terpaksa aku menempuh bahaya
menggunakan ilmuku Ci-yang Cin-khie. Tindakanku
akhirnya berhasil. Tetapi, waktu kau membuka mata aku
takut kau marah. Hatiku terlalu cemas, hingga t idak
mengendalikan tenagaku, oleh karenanya aku lantas
jatuh pingsan dan t idak ingat orang lagi."
Tiat Chiu Kim mengingat kembali apa yang dilihatnya
setelah dia tersadar dan menyalakan lampu, maka ia
anggap bahwa keterangan itu tidak salah lagi
Kini ia merasa terharu dan menyesal atas
perbuatannya tadi yang sudah memukul pada pemuda
tersebut, bahkan hampir saja membunuhnya.
Ho Hay Hong melihat gadis itu termenung memikirkan
apa yang telah terjadi, pikirannya merasa t idak tenang,
lalu berkata sambil menundukkan kepala:
"Nona, barangkali kau akan marah atas perbuatanku
yang lancang dan kurang sopan aku bersedia menerima hukumanmu, tetapi aku minta kau maafkan atas
perbuatanku tadi !"
Mata Tiat Chiu Khim yang jeli memandang Ho Hay
Hong, pemuda itu menundukkan kepala dengan sikap
t idak tenang.
Tangannya diulur, mengusap-usap muka Ho Hay Hong
dengan sikap mesra dan berkata dengan suara duka:
"Kau t idak perlu sesalkan perbuatanmu sendiri, akulah
seharusnya yang mengucapkan terima kasih padamu."
Ia menghela napas pelahan. Saat itu, lenyaplah semua
perasaan marah dan mendongkolnya diganti dengan
perasaan menyesal.
Ia t idak tahu apa sebabnya ia bisa berubah demikian
lemah. Dahulu anggapnya bahwa dia adalah seorang
gadis berderajat t inggi sehingga nampak tegas
kesombongannya. Tiada seorang lelaki dipandang dalam
matanya, tak disangkanya kali ini ia benar-benar sudah
ditundukkan oleh Ho Hay Hong.
Ketika Ho Hay Hong merasa mukanya di raba oleh
gadis itu, tergoncanglah hat inya.
"Chiu Khim, kau suka memaafkan aku?"
Tiada jawaban keluar dari mulutnya, ia mengedip-
ngedipkan matanya, sesaat itu seolah-olah berada di
awan. Tanpa dapat lagi mengenakkan perasaannya
dengan mendadak jatuhkan dirinya kedalam pelukan Ho
Hay Hong.
Ho Hay Hong terperanjat, hampir t idak dapat
membuka mulut untuk menyatakan kegembiraannya, hanya: "Chiu Khim kau....adik Khim." kata-kata itu saja
yang dapat dikeluarkan dari mulutnya.
Apa yang dirindukan selama itu, apa yang dipikirkan,
dalam kamar yang sempit itu kini sudah mendapat
jawabannya. Semua usaha dan jerih payahnya selama ini
telah mendapat imbalan yang setimpal.
Dalam matanya kecuali si dia, sudah t idak ada lain
orang lagi. Sedang dalam mata si gadis, juga kecuali si
dia, sudah tidak ada siapa-siapa lagi.
Dengan tangan agak gemetaran Ho Hay Hong
memeluk erat-erat tubuh kekasihnya. seolah-olah takut
terlepas lagi.
Sang waktu berjalan terus tanpa dirasa. Dua insan
yang kelelap dalam arus asmara itu t idak sadar bahwa
ada sepasang mata yang mengintai mereka dari luar
Diluar jendela, dibawah sebuah pohon beringin, tanpa
satu kepala orang dengan jenggot dan rambutnya yang
putih bagaikan perak menongol mengintip kedalam
kamar.
Dari rambut dan jenggotnya yang sudah putih, dapat
diduga bahwa orang yang mengintip itu adalah seorang
yang sudah lanjut usianya.
Sepasang matanya yang bercahaya terus ditujukan
kepada dua tubuh yang sedang berpelukan didalam
kamar itu adalah Ho Hay Hong dengan Tiat Chiu Khim.
Mendadak orang tersebut menghunus pedang dari
pinggangnya, yang ternyata terdapat ukiran dari huruf-
huruf kecil "KIM AP SIN KIAM" Ho Hay Hong masih belum tahu bahwa pedang KIM
AP SIN KIAM itu akan ditujukan kepadanya. Ia Sudah
kelelap dalam lautan asmara, ia anggap bahwa dalam
dunia ini hanya ia berdua Tiat Chiu Khim.
Ia berkata dengan suara pelahan kepada kekasihnya:
"Adik Chiu Khim, tahukah kau betapa besar cintaku
terhadapmu? Tetapi selama itu aku t idak berani
mengutarakan isi hat iku, karena aku takut kau akan
marah. Ow, keadaanmu masih terlalu lemah, maukah
kalau aku bantu dengan kekuatan tenaga dalamku?"
"Tidak usah, kau sendiri masih memerlukan waktu
istirahat yang cukup." jawab sinona.
Ho Hay Hong mengusap-usap rambutnya yang hitam
dan panjang, pelahan menundukan kepalanya,
memandang wajah sinona yang cant ik jelita. Wajah itu
kini nampak sangat tenang, t idak lagi ketus dingin dan
agung seperti yang sudah-sudah.
"Chiu Khim, sekarang aku baru tahu aku sebetulnya
serupa saja dengan manusia biasa, yang membutuhkan
cinta dan kehangatan. Selama itu aku suka berbuat atas
kehendakku sendiri dengan sendirinya sering mengalami
kejadian-kejadian yang agak mengecewakan.
Tetapi dengan sejujurnya, aku sedikitpun t idak
membenci kelakuanmu dahulu yang demikian dingin
terhadapku. Chiu Khim, ada kalanya karena memikirkan
dirimu, t idak jarang aku mengucurkan air mata dengan
diam-diam. Adakalanya juga t imbul pikiran hendak
mengundurkan diri dari dunia Kangouw dan
mengasingkan diri di tempat sunyi." demikian ia berkata
sambil tersenyum. Kemudian ia tersenyum get ir dan berkata pula.
"Akan tetapi, sekarang aku harus bangkit , aku sudah
dapat memahami, betapa indahnya jiwa dan
penghidupan itu. Kadang-kadang mendung dan kadang
cerah."
Ia masih hendak melanjutkan kata-katanya, satu
tangan yang hangat t iba-tiba meraba mukanya.
Dengan bernapsu ia memegang erat-erat tangan yang
hangat dan halus itu katanya dengan suara pelahan:
"Chiu Khim, marilah kita bergandengan tangan
meninggalkan dunia yang terlalu banyak panca roba ini,
pergi kedunia yang penuh damai!"
"Engko Hong, aku sepert i mendapat firasat t idak baik."
berkata Tiat Chiu Khim sambil menghela napas.
Ho Hay Hong terperanjat. "Firasat apa?"
"Aku merasa diantara aku dengan kau segera dialingi
oleh kabut gelap, mungkin tak bisa berkumpul lebih
lama.".
"Kenapa? Kenapa?" tanya Ho Hay Hong semakin
heran. "Adik Khim jangan kau pikirkan yang bukan-
bukan. Asal kita saling mengert i, betapapun besarnya
urusan, semua dapat dipecahkan. Kau cant ik dan pintar,
mengapa bisa t imbul pikiran dan kekuat iran demikian
rupa?"
"Tetapi aku selalu merasa bahwa antara kita agaknya
masih seperti asing."
Tidak menunggu kata-kata selanjutnya Ho Hay Hong
mempererat cekalannya. Bibir gadis itu dilumatnya habis. Tiat Chiu Khim semula masih coba meronta-ronta,
tetapi akhirnya memejamkan matanya.
Segala-galanya menjadi tenang. Pikiran Tiat Chiu Khim
yang selalu risau, membutuhkan hiburan seperti itu.
Tetapi hidupnya belum pernah mengalami kejadian
serupa itu hingga sekujur badannya gemetaran.
Dengan t iba-tiba Ho Hay Hong dapat menangkap
suara desiran angin, kemudian disusul dengan
meluncurnya sebuah benda berkeredepan dari luar
jendela.
Dengan wajah berubah, buru-buru di dorongnya tubuh
Tiat Chiu Khim. Sedang ia sendiri terus menjatuhkan diri
ke lantai.
Benda itu ternyata adalah sebilah pedang pendek
terus menancap diatas meja. Ia t idak memperdulikan
pedang pendek itu, lebih dahulu melesat dahulu melesat
kedepan jendela untuk melihat siapa orangnya yang
melempar pedang tersebut .
Dalam keadaan gelap ia hanya menampak sesosok
tubuh manusia lari kabur dengan kecepatan kilat,
sebentar sudah lenyap dari pandangan mata.
Ilmu meringankan tubuh orang itu sungguh hebat ,
hingga Ho Hay Hong hampir t idak percaya matanya
sendiri.
Ia berdiri terpaku sambil berpikir: Orang ini tengah
malam buta menyerang aku, entah siapa dia dan apa
pula maksudnya.
Kertas diambil oleh Ho Hay Hong yang segera
dibacanya. Bunyinya kira-kira sebagai berikut : "Bocah! Sungguh berani kau membinasakan murid
kesayanganku. Dosamu tak dapat diampuni. Dalam
waktu t iga hari ini, akan kuambil jiwamu. Dengan ini
sudah kuperingatkan padamu lebih dahulu, supaya
jangan sampai orang-orang dunia Kang-Ouw
menyesalkan dan mentertawakan, aku sebagai orang
t ingkatan tua menghina orang dari t ingkat muda!"
Dibawah tertanda tulisannya : Ing-siu.
Ho Hay Hong terkejut, cepat sekali dia mendapat
kabar. Begitu pikirnya. Rupanya dia juga dia sudah tahu!
Memikir lagi sampai disitu, Ho Hay Hong jadi teringat
kembali kepada kejadian-kejadian sebelumnya, apa yang
telah dilakukan bersama Tiat Chiu Khim. Ia menengok
kearah gadis itu, mukanya menjadi merah sendiri.
Melihat Ho Hay Hong melihat kearahnya, Tiat Chiu
Khim bertanya:
"Hay Hong, apa benar kau membunuh muridnya?"
"Ya. Muridnya adalah Long-gee-mo!" jawab Ho Hay
Hong sambil menunduk.
Mendengar disebutnya nama Long-gee-mo, gadis itu
rupanya merasa t idak senang. Tetapi karena urusan itu
bukan biasa lagi, maka ia lalu berkata:
" Habis, kau pikir bagaimana?"
"Aku juga t idak tahu harus berbuat apa."
"Kita tokh t idak boleh berpeluk tangan menunggu
kematian "
"Memang !" sahutnya agak cemas. Tetapi setelah
melihat pandangan mata Tiat Chiu Khim seolah-olah
hendak menjajagi isi hatinya, ia lalu berkata pula: "Musuh yang mengganggu kita harus lawan. Aku Ho
Hay Hong juga bukan anak kemarin sore, takut apa?"
Belum lagi menutup mulut , pintu kamar mendadak
terbuka. Sesosok tubuh manusia melompat masuk
bagaikan setan.
Ho Hay Hong terkejut , buru-buru ditariknya tangan
Tiat Chiu Khim, sedang tangan kirinya menyerang orang
itu.
Orang yang menyerbu masuk itu agaknya t idak
menduga akan disambut dengan hebat Ho Hay Hong.
Tetapi hanya terdengar suara dengusannya dari hidung,
tubuhnya t idak bergerak. Kemudian dengan gesit sekali
tahu tahu telah menerobos masuk antara Ho Hay Hong
dan Tiat Chiu Kim. Pedang yang menancap diatas meja
sudah tercabut, Setelah itu dia lompat keluar lagi melalui
jendela.
Namun demikian Ho Hay Hong masih sempat melihat
tegas wajahnya. Teringat akan ancamannya segera ia
berseru: "Ow, dia adalah Ing-siu?" Mendengar seruan Ho
Hay Hong, Tiat Chiu Khim terperanjat, ia bertanya: "Kau
kenal dia?"
"Tidak, tetapi aku dapat memast ikan dialah orangnya!"
Mata Tiat Chiu Khim mengawasi pohon beringin di luar
jendela, katanya dengan suara perlahan.
"Hay Hong, ia demikian berani dan kurang ajar, pasti
ada yang diandalkan. Bukannya aku t idak memandang
dirimu, Hay Hong. Dengan sejujurnya, kau t idak ada
gunanya melawan dia!"
Ho Hay Hong sedikitpun tidak marah, katanya: "Just ru karena itu, maka aku hendak belajar kenal
dengannya, tua bangka itu mungkin anggap kepandaian
dirinya sendiri terlalu t inggi, sedikitpun t idak pandang
mata kau dan aku. Sesungguhnya sangat menjemukan,
biar bagaimana aku harus melawan dia!"
"Dalam waktu kesulitan sepert i ini, aku tenang
sehingga t idak menimbulkan kesalahan!"
Ha Hay Hong menganggukan kepala, ia mengert i
maksud gadis itu, yang merasa kuat irkan
keselamatannya.
"Aku tahu benar riwayat dirinya. Pada enam puluh
tahun berselang, ia sudah merupakan seorang rimba
persilatan yang tergolong orang kuat . Tempat ini sudah
diketahuinya dengan jelas kalau kira tetap berdiam disini,
sungguh berbahaya. Kita harus lekas pergi!"
"Kemana saja kita boleh pergi, set idak-tidaknya jauh
lebih baik daripada tetap kita di sini. Mari jalan !"
Lebih dulu Ho Hay Hong lompat keluar melalui lobang
jendela, dengan sangat hat i-hati ia menghunus pedang
pusakanya memeriksa keadaan di sekitarnya.
Tiat Chiu Khim agaknya ingat sesuatu, ia bertanya:
"Hay Hong, pedang emasnya itu, apakah ada
keistimewaannya dari pedang biasa?"
"Adik Khim, kau sungguh pintar. Aku sebetulnya
hendak menyebutkan nama pedang itu, tetapi mendadak
lupa. Mungkin, rimba persilatan yang selama ini tenang,
sudah waktunya akan diganggu oleh kawanan iblis.
Pedang itu adalah pedang sakt i peninggalan dari zaman
purba yang dinamakan pedang Kim Ap Sin kiam iblis tua itu mendapatkannya dari gunung sua-giam-san daerah
utara, benar-benar t idak oleh dipandang ringan!"
"Pedang itu masih asing bagiku, agaknya belum
pernah dengar nama itu. Tetapi dari namanya saja dapat
diduga pasti pedang pusaka dari jaman kuno yang
tajamnya luar biasa!"
Berkata sampai disitu, wajah Tiat Chiu Kim yang cant ik
nampak mulai diliput i oleh perasaan murung, katanya
pula:
"Kepandaiannya sendiri entah sampai dimana
t ingginya, aku belum pernah menyaksikan tetapi dari
kepandaian muridnya yang t idak di bawah kepandaianku,
dapat diduga, aku barang kali sulit dihadapi!"
"Ya, aku sendiri sudah pikir begitu. Akan tetapi,
sekarang aku sudah menjadi pemimpin golongan rimba
hijau daerah utara, Biar bagaimana, juga t idak boleh
merendah terhadapnya!"
Dua muda mudi itu berjalan diatas jala raya yang sepi
sunyi dan gelap gulita.
Ho Hay Hong t idak takut Ing-siu, hanya dalam hat i
masih merasa berat buat meninggalkan kekasihnya.
Jikalau dahulu, sedikitpun ia tidak perlu kuat irkan semua
ini, dengan hat i tabah dapat ia menghadapi jago dari
t ingkat tua itu.
Tiat Chiu Khim memandang dirinya, mendadak
menghela napas, dari pandangan matanya yang sayu,
dapat diduga bagaimana perasaan hatinya pada saat itu! "Kalau kau mau mengendalikan hawa marahmu, aku
lebih suka mengikut i kau mengasingkan diri kegunung
yang sepi, untuk menghindarkan bencana ini!"
"Jikalau t idak beruntung aku harus mat i, t idak apalah.
Tetapi jiwaku akan hidup terus didalam hat i saudara-
saudara golongan rimba hijau, aku t idak menyesal lagi!"
Tiat Chiu Khim t idak berkata apa-apa lagi, ia dapat
mengert i bahwa kata-kata Ho Hay Hong itu dengan
secara tidak langsung menolak usulnya.
Sambil menggenggam gagang pedang pusakanya,
mata Ho Hay Hong memandang pedang pusaka yang
memancarkan sinar berkilauan, sementara dalam hatinya
berpikir: "Selewatnya malam ini, adalah besok pagi.
Waktu itu aku Ho Hay Hong yang menjadi pemimpin
golongan rimba hijau, harus menentukan sendiri hari
depanku. Namaku akan menjadi harum atau ludas,
dalam waktu satu hari itu dapat ditentukan. Maka aku
harus mengeluarkan seluruh kepandaianku, kalau perlu
adu jiwa dengannya."
Ia berjalan sambil melamun. Ketika berpaling kearah
kekasihnya buat menghibur beberapa patah. Sang
kekasihnya ternyata sudah tidak ada di sampingnya.
Bukan kepalang terkejutnya Ho Hay Hong, sejak
kapan Tiat Chiu Khim meninggalkan dirinya, ia juga t idak
tahu.
Dalam cemasnya ia buru-buru lari balik sambil berderu
memanggil-manggil nama kekasihnya.
Sekaligus ia sudah lari sepuluh pal lebih tetapi t idak
menemukan jejak sang kekasih maka ia mengira sudah
terjadi apa-apa atas dirinya. Ia mengingat kembali apa yang telah terjadi, belum
lama berselang bukankah nona itu mengikut i
dibelakangnya?
Kecuali ia yang menyingkir sendiri, dalam rimba
persilatan dewasa ini t idak mungkin ada orang lain
bagaimanapun lihaynya dia, yang bisa menyomot Tiat
Chiu Khim dari dekatnya tanpa diketahui sama sekali
olehnya.
Selain daripada itu jikalau orang yang menangkap
gadis itu berkepandaian amat t inggi, agaknya t idaklah
perlu sampai menggunakan cara demikian untuk
merampas Tiat Chiu Khim. Bukankah ada lebih baik bila
merampas secara terang-terangan?
Ho Hay Hong berdiri terpaku. Ia bertanya kepada
dirinya sendiri: ”Past i ia yang pergi sendiri! Tetapi apa
sebabnya? Ilmu meringankan tubuhnya lebih mahir dari
padaku, lagipula karena pikiranku sedang risau, sudah
tentu t idak tahu.”
Semakin dipikir semakin kuat dugaannya! sebab
kecuali itu, kemungkinan lainnya sedikit sekali, bahkan
boleh dikata t idak mungkin sama sekali.
Pikirannya pelahan-lahan mulai reda, tetapi sebentar
kemudian perasaannya tidak tenang lagi.
Ia sesungguhnya t idak dapat memikirkan apa
sebabnya yang sebetulnya. Apa sebab Tiat Chiu Khim
berlalu? Dan apa pula maksudnya.
Ia mulai memikir yang bukan-bukan. "Apakah oleh karena aku menolak keinginannya yang
baik lantas ia menjadi marah?" demikian ia bertanya
pada dirinya sendiri.
Tetapi, itu juga belum tentu, Karena ia tahu benar
sifat dan perangainya. Ia tahu asal gadis itu jauh
berbeda dengan orang biasa, adanya sombong dan tinggi
hat i, tetapi pikirannya t idak sampai demikian sempit.
"Mungkin ia pergi mencari bala bantuan!" demikian ia
berpikir lagi.
Kalau benar demikian halnya, mengapa t idak
berunding dulu dan lantas pergi?
Apalagi kesehatannya belum pulih kembali seluruhnya,
darimana ia harus minta bantuan?
Rupa-rupa pikiran berkecamuk dalam benaknya,
pelahan-lahan ia jadi kesal sendiri. Apakah ia merasa
kecewa terhadapku?
Ia mengingat-ingat kembali apa-apa yang telah
diucapkan Tiat Chiu Khim didalam rumah penginapan.
Alisnya lalu dikerutkan dan berkata kepada diri sendiri:
”Apakah ia sudah mempunyai kekasih? Jikalau t idak,
mengapa ia selalu merasa bahwa hubungan kita diliput i
oleh kabut? Ucapan itu jelas mengandung maksud
menolak cinta-ku.”
Oleh karena itu maka ia segera menarik kesimpulan:
”Mungkin, karena hendak membalas budiku yang
menolong jiwanya, ia pura-pura berlaku cinta
terhadapku. Aa, aa, aku t idak menduga bahwa
perbuatannya itu semata-mata hanya untuk membalas
budi. Akh. Tiat Chiu Khim mengapa kau t idak mau mengatakan secara terus terang? Mungkin pikiranku bisa
agak tenang, tetapi Sekarang, aih."
Pikirannya semakin risau, penderitaan hat in itu
dirasakan lebih berat daripada penderitaan lahir.
Ia tertawa getir sendiri dan akhirnya memutuskan
untuk melupakan gadis idamannya itu.
Ia melanjutkan perjalanannya dengan hat i berat dan
putus harapan.
Ia memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang
t inggi sekali. Dengan pikiran yang kusut ia berlari,
mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk melanjutkan
perjalanannya.
Ia t idak memikirkan tempat mana yang harus dituju,
matanya memandang kearah jauh, membiarkan kakinya
lari bagaikan bergeraknya mesin.
Dengan mendadak, dibelakangnya terdengar
serentetan orang tertawa.
Dalam keadaan terkejut , ia berpaling matanya segera
menatap kepada orang yang tertawa itu.
Ia terkejut karena mata orang itu bagaikan sinar
bintang dipagi hari, yang seolah-olah ingin menembusi
hat inya.
Ia t idak berani memandang terus, tanpa disadari ia
menundukkan kepala, sedang dalam hat inya berpikir:
”Siapakah dia? Apakah,.,., dia Tiat Chiu Khim.”
Teringat kekasihnya pikirannya terbuka. Ia maju beberapa langkah. ia baru lihat tegas bahwa
orang itu mengenakan kedok kulit manusia, sewaktu
mengeluarkan suara tertawa kulitnya t idak bergerak.
Sebagai seorang pintar, ia segera dapat mengenali
dari tubuh orang itu, maka seketika itu ia lantas berkata.
"Tidak perlu menyaru lagi, Ing-siu bukalah kedokmu."
Orang yang bertubuh t inggi besar itu berkata sambil
tertawa:
"Bocah, kau benar-benar pintar". Sementara itu ia
juga sudah membuka kedoknya, selembar muka merah
tertampak didepan mata Ho Hay Hong.
Mata Ho Hay Hong ditujukan kepada pedang pusaka
dipinggang orang tua itu, kemudian berkata:
"Jangan main gila lagi, kembalikan nona Chiu Khim
ku,"
Orang tua itu terkejut dan bertanya:
"Siapa nona Chiu Khim?"
Tetapi kemudian ia segera mengert i, sambil tertawa
terbahak-bahak ia berkata pula.
"Bocah, kau benar-benar tolol, sehingga sahabat
perempuanmu hilang juga t idak tahu. Sungguh sangat
memalukan, kau masih berani menganggap dirimu
sebagai pemimpin rimba hijau daerah Utara ?"
Menyaksikan sikap yang sungguh-sungguh, agaknya
memang t idak tahu benar, maka Ho Hay Hong lalu
berpikir: ”Apakah benar-benar Chiu Khim pergi atas
kemauannya sendiri.?” Seketika itu ia merasa sedih lagi, karena dari sini
dapat membukt ikan dugaannya sendiri. Namun demikian,
karena sedang berhadapan dengan musuh tangguh,
maka buru-buru mengendalikan perasaannya. Ia
berkata:
"Ing-siu, kau merintangi perjalananku, apakah hendak
menuntut balas buat kemat ian muridmu?"
Mata Ing-siu menatap wajah Ho Hay Hong, jawabnya:
"Benar, aku sebetulnya hendak membunuhmu
sekarang juga, tetapi setelah melihatmu, pikiranku
berubah lagi. Aku menghendaki supaya kau mat i
dihadapan jago rimba persilatan seluruh dunia, supaya
semua orang rimba persilatan tahu bahwa aku Ing-siu
bukan saja belum mat i, bahkan lebih hebat daripada Ing-
siu pada enam puluh tahun berselang!"
"Bicara memang gampang. Tetapi aku bukanlah
patung, mana aku mau membiarkan diri ku diperlakukan
dengan sesuka hat imu?"
"Hebat , hebat . Aku tahu bahwa kau yang masih muda
belia, sudah berhasil menduduki kursi pemimpin
golongan rimba hijau daerah utara. Kepandaian ilmu
silatmu sudah pasti tak dapat dibandingkan dengan
orang biasa. Tetapi kalau dibandingkan dengan aku, itu
sepert i telur diadu dengan batu."
Ho Hay Hong semangatnya bangun seketika,
mendengar perkataan itu bukan saja t idak marah,
sebaliknya malah tertawa terbahak-bahak. Ia berkata
dengan suara keras:
"Bagus, bagus. Aku jadi ingin sekali mencoba
kepandaianmu?" Ia maju lagi t iga langkah dan berkata dengan suara
berat:
"Aku mau tanya padamu. Bagaimana pertarungan ini
kita mulai?"
"Bocah! Keberanianmu memang patut dipuji, benar
t idak kecewa kau jadi jago muda. Tapi Sayang kau
terjatuh di tanganku Tentang pembukaan mudah saja.
Tempat boleh kau pilih, aku nant i akan datang untuk
mengambil jiwamu!"
Ho Hay Hong seketika itu melupakan rasa sedihnya
dengan semangat menyala nyala ia berkata.
"Aku tahu bahwa pedang pusakamu itu Kim Ap Sin
Kiam, benda peninggalan zaman purba. Tetapi pedang
garuda Sakt iku juga bukan pedang biasa, marilah kita
mengadu pedang siapa yang lebih tajam."
Ing-siu tampak terkejut ia bertanya "Kau pernah apa
dengan kakek penjinak garuda ? Mengapa kau
membawa-bawa pedang garuda saktinya?"
"Tentang ini kau t idak perlu tanya!" sahut Ho hay
Hong. "Kalau waktunya sudah t iba, kau datang saja
berhadapan denganku !"
"Baik, besok tengah hari kita bertemu lagi."
Ia melirik Ho Hay Hong sejenak, lantas berlalu.
Baru saja orang tua itu memutar tubuhnya, Ho Hay
Hong melihat sebuah makam menonjol maka lalu
bertanya:
"Tunggu dulu! Aku mau tanya padamu, ini kuburan
siapa?" "Tang-Siang Sucu!" jawabnya sambil tertawa dingin.
Mendengar jawaban itu, bukan kepalang terkejutnya
Ho Hay Hong, sehingga seketika itu berdiri menjublek.
Tang-siang Sucu meskipun jahat, tetapi bagaimanapun
juga masih terhitung saudara sekandungnya sendiri.
Ia berdiri terpaku sekian lama, mendadak wajahnya
berubah.
Ing-Siu juga t idak lantas pergi. Menyaksikan sikap Ho
Hay Hong, lantas bertanya.
"Kau berdua sama-sama membunuh muridku, sudah
seharusnya menerima hukuman mati. Kau menyesal juga
sudah terlambat."
Ia t idak tahu bahwa Tang-siang Sucu adalah saudara
sekandung Ho Hay Hong, dianggapnya kawan biasa saja.
Katanya pula.
"Meskipun kau merasa kasihan, t idak urung kau
sendiripun akan mati. Kau juga t idak usah pura-pura,
hari ini adalah hari kematian kawanmu, dan besok adalah
giliranmu. Aku selamanya dapat membedakan dengan
tegas, siapa musuh siapa tuan penolong t idak pernah
membunuh orang yang t idak berdosa, tetapi juga belum
pernah melepaskan musuh-musuhku begitu saja. Siapa
suruh kau t idak mencari keterangan dulu?"
Sehabis berkata demikian, lantas berjalan
meninggalkan Ho Hay Hong.
"Berhent i!"
Kemudian berkata dengan gemas: "Ing-siu! Kau membunuh saudaraku, maka sekarang
kau adalah musuh besarku, serahkanlah jiwamu!"
"Bocah, telah kuberikan kesempatan padamu untuk
hidup satu hari lagi. Apakah kau masih kurang puas!"
Ho Hay Hong mendekati Ing-siu dengan langkah lebar,
dengan mata beringas ia berkata:
"Orang lain boleh takut padamu, tetapi aku Ho Hay
Hong t idak ! Lekas hunus pedang pusakamu, mari kita
bertempur mat i-mat ian!"
Dengan cepat menghunus pedang garuda sakt inya
dan pasang kuda-kuda. Matanya menatap wajah Ing-siu,
katanya gusar:
"Lekas ! Jikalau t idak, aku akan berlaku kurang ajar
terhadapmu!"
Sejak dahulu, enam puluh tahun berselang Ing-siu
pernah menjagoi dunia Kang-ouw dan namanya dikenal
orang di seluruh rimba persilatan. Belum pernah ia
melihat seorang yang t idak takut mat i sepert i anak muda
didepan matanya ini. Maka alisnya lalu dikerutkan
kemudian berkata:
"Bocah, apa kira aku mudah kau hadapi?"
"Aku t idak perduli kau mudah di hadapi atau t idak.
Gant i jiwa saudaraku lebih dulu, jangan banyak bicara!"
Ing-siu tertawa terbahak-bahak, lama baru berkata :
"Bocah, menang atau kalah besok sudah tentu dapat
diketahui, perlu apa kau begitu tergesa-gesa?" Ing-siu adalah seorang yang kejam dan banyak
akalnya. Meskipun ia tahu sedang bermusuhan, tetapi ia
masih dapat berlaku sabar.
Ia telah mengambil keputusan, besok saja
membinasakan anak muda itu dihadapan jago-jago rimba
persilatan.
"Baik. besok ya besok. Jikalau t idak datang pada
waktunya, jangan sesalkan kalau aku datang
kerumahmu." berkata Ho Hay Hong marah.
Ing-siu tertawa terbahak-bahak, dengar membawa
hawa amarahnya ia terlalu.
Ho Hay Hong mengawasi dengan hat i panas,
kemudian ia memandang tanah kuburan dan
menggumam:
"Hay Thian. Hay Thian, hendaknya kau mat i dengan
meram. Aku akan menuntut balas dendam untukmu!"
Untuk pertama kalinya ia mengucurkan air matanya
bagi saudaranya yang jahat dan banyak dosa itu.
Dibawah sinar bintang di langit, dengan dit iup oleh angin
malam yang dingin, untuk pertama kalinya ia
mengungkapkan perasaannya !
Lama ia berdiri di depan kuburan, mendadak
dikejutkan oleh suara burung malam. Kini hat inya telah
dipenuhi oleh hawa amarah dan permusuhan, pikirannya
terhadap kekasihnya telah lenyap sama sekali.
Setelah bersembahyang didepan kuburan Tang-siang
Sucu, ia lantas berlalu. Perlahan-lahan ia menghilang di tempat gelap, ia
memulai perjalanannya untuk membuka lembaran baru
yang gilang-gemilang atau mati sebagai ksatria.
Keesokan pagi-pagi sekali, di kalangan Kang-ouw
mendadak tersiar berita yang mengejutkan.
Berita itu bagaikan halilintar disiang hari bolong,
merupakan suatu kejadian besar sejak adanya riwayat
dunia Kang ouw.
Berita besar itu adalah akan dilakukannya
pertandingan antara Ing-siu, jago tua kenamaan sejak
enam puluh tahun berselang dengan pemimpin golongan
rimba hijau daerah utara.
Berita besar ini ditiup-tiup demikian rupa sehingga
belum sampai satu hari, sudah menggemparkan seluruh
rimba persilatan.
Hampir set iap orang yang pernah menginjak dunia
Kang ouw atau yang mengerti ilmu silat, t idak ada yang
t idak tahu berita yang mengejutkan itu.
Hanya dalam waktu satu hari saja, hampir diset iap
rumah makan, jalan besar dan set iap gang, semua orang
membicarakan berita itu.
Sebab nama Ing-siu sudah lama terkenal, t iada orang
rimba persilatan yang t idak tahu. Sedangkan pemimpin
golongan rimba hijau daerah utara yang baru muncul
juga telah banyak perbuatannya yang patut dipuji.
Dua manusia besar itu hendak melakukan
pertarungan, berita itu benar-benar telah
menggemparkan seluruh rimba persilatan. Oleh karena itu juga saudara-saudara dari golongan
rimba hijau dari daerah utara yang dekat daerah selatan,
pada berbondong-bondong menuju ke selatan, untuk
menyaksikan pertandingan besar itu.
Dalam waktu satu hari saja, golongan rimba hijau
daerah selatan juga gempar. Pemimpin daerah utara
yang sudah lama dijeleki oleh mereka, kini ternyata
bert indak demikian berani, hingga pandangan mereka
berubah seketika.
Tempat ditunjuk oleh Ho Hay Hong untuk
mengadakan pertandingan itu, adalah tempat sebagai
daerah ternama didaerah selatan, yang letaknya kira-kira
sepuluh pal dari propinsi Ciat-kang.
Tempat itu merupakan sebuah danau yang
mempunyai pemandangan alam indah.
Hari itu, mulai dari pagi hari, jalanan yang menuju
kedanau itu telah dipenuhi oleh manusia-manusia yang
menuju ketempat itu untuk menyaksikan pertandingan
besar.
Hari itu udara cerah diatas langit hanya terdapat
beberapa gumpal awan putih yang tersebar dimana-
mana.
Ho Hay Hong dengan berpakaian ringkas dan seorang
diri, jalan diatas jalan raya yang menuju kedanau.
Sepanjang jalan tampak banyak mata ditujukan padanya
hingga semangatnya semakin menyala nyala.
Ia mengerti bahwa ini adalah Satu ujian paling berat
dalam seluruh hidupnya, mat i hidupnya tergantung
dalam pertempuran hari ini. Bukan hanya itu saja, bahkan nama baik golongan rimba hijau daerah utara
juga tergantung di dalam tangannya.
Ia berusaha keras menekan emosinya, supaya
melupakan berlalunya dua kekasihnya dan kemat ian
saudaranya. Ia berusaha setenang mungkin, supaya
dapat melawan musuhnya dengan sebaik-baiknya.
Ia t idak berani membayangkan apakah ia akan
berhasil, tetapi ia harus bertahan sekuat tenaga.
Sekalipun bukan tandingannya, atau harus hancur lebur
di medan pertempuran, ia juga akan melawan dengan
gigih.
Dalam keadaan demikian, ia t iba ditempat yang
hendak dijadikan medan pertempuran.
Sebelum ia t iba, tempat itu sudah penuh dengan
manusia yang berjejal-jejal ingin menyaksikan
pertempuran bersejarah itu.
Ho Hay Hong yang suka ketenangan, juga tak mau
mengagulkan diri. Begitu melihat Ing siu masih belum
datang, ia segera mencari suatu tempat yang agak
tenang, dan duduk seorang diri.
Baru saja ia duduk, dibawah sebuah pohon besar yang
t idak jauh dari tempat ia duduk mendadak terdengar
suara orang berkata: "Saudara-saudara, Ho Hay Hong
yang menduduki kursi pemimpin golongan rimba hijau
daerah utara itu, kabarnya adalah seorang muda yang
usianya terpaut t idak jauh dengan kita. Belum lama ia
muncul didunia Kang Ouw, sudah menggemparkan rimba
persilatan, benar-benar sangat mengagumkan!"
"Ng !" demikian terdengar jawaban suara lain orang,
"aku mempunyai satu pandangan lain, aku anggap seorang muda paling pantang namanya terlalu menonjol.
Meskipun ia sudah menjadi pemimpin golongan rimba
hijau daerah utara, tetapi kalau dibandingkan dengan
Ing-siu, masih selisih jauh. Dalam pertempuran ini
mungkin ia akan rugi!"
Terdengar pula suaranya orang ket iga: "Hm, jieko!
Aku lihat belum tentu sepert i apa yang kau duga. Orang
sengaja hendak menunjukkan kepandaiannya dirimba
persilatan daerah selatan, tidak mungkin memikirkan rugi
atau t idak rugi!"
Jelas suara orang itu mengandung nada mengiri dan
mengejek.
Hati Ho Hay Hong tergerak. Dan ia mendengar suara
lain berkata: "Sam suheng, sudahlah, semua t idak perlu
bertengkar memperbincangkan urusan orang lain. Biar
bagaimana sebentar lagi kita tokh akan dapat
menyaksikan sendiri."
Ho Hay Hong berpaling kearah orang-orang itu,
dibawah pohon besar itu ternyata ada duduk empat
orang muda, yang masing-masing menyoren pedang.
Ketika empat pemuda itu melihat Ho Hay Hong
memandang mereka dengan sinar matanya yang tajam,
semua terperanjat.
Ho Hay Hong juga segera mendapat kenyataan bahwa
mereka itu bukan orang-orang dari golongan jahat , maka
t idak menghiraukannya, tetap duduk sambil
mendongakkan kepala menant ikan kedatangannya Ing-
siu.
Dengan mendadak, terdengar suara tertawa nyaring
menggema diudara. Suara itu diulangi lagi berulang-ulang hingga
menimbulkan perhat ian semua orang yang ada disitu.
Empat pemuda itu juga lantas diam, celingukan
mencari cari.
Ho Hay Hong juga dapat merasakan bahwa kekuatan
tenaga dalam orang itu t idak dimiliki oleh orang
sembarangan. Ketika ia angkat muka, matanya segera
dapat lihat seorang yang mengenakan pakaian panjang
warna kelabu, berdiri menghadap kebarat . Ditengah-
tengah orang banyak, orang itu nampak sangat
menyolok.
Setelah Ho Hay Hong melihat tegas siapa adanya
orang itu, diam-diam terkejut , karena orang itu adalah
orang luar biasa berbaju kelabu dari kampung setan,
yang kepandaian ilmu silatnya didapatkan dari Kakek
penjinak garuda.
Ia heran mengapa orang itu juga datang kemari,
agaknya juga tertarik oleh pertempuran yang akan
datang.
Ho Hay Hong tidak takut , tetapi ia tidak ingin orang itu
mengacau jalannya pertempuran.
Ia t idak ingin dirinya diketahui oleh orang itu, maka ia
pindah ke bawah pohon, duduk berhadapan dengan
empat pemuda tadi.
Tak disangka-sangka, baru saja ia duduk
dihadapannya sudah berdiri t iga orang laki-laki berbadan
tegap berpakaian warna ungu, membentak padanya
dengan suara kasar: "Bagus, Tang Siang Sucu, kita cari-cari kau kemana-
mana, tak disangka kau berada sini mencari angin. Haha,
bangun, bangun Jangan berlagak gila!"
"Tuan-tuan ada keperluan apa?" balas menanya Ho
Hay Hong agak heran.
"Keperluan apa?" jawab t iga orang itu berbareng:
"Kurang ajar. Tang siang Sucu, kau juga pandai
berlagak, Tiga bulan berselang, kau telah membunuh
habis serumah tangga toako kita, dosamu apakah masih
perlu kita jelaskan lagi."
Mereka memandang Ho Hay Hong dengan seksama,
kemudian berkata pula sambil tertawa.
"Sungguh kebetulan, suhumu sekarang t idak berada
disini, maka kita dapat menggunakan kesempatan ini
untuk menuntut balas dendam.
Sehabis berkata orang itu memberi isyarat dengan
matanya, salah seorang lantas berkata dengan suara
keras:
"Bocah durhaka kita sudah mengundang seorang
pandai, untuk mengambil j iwamu !"
Orang itu jarinya menunjuk kepada seorang
pertengahan umur dengan berpakaian sepert i pelajar.
Lalu berkata pula sambil memperkenalkan orang itu.
"Tuan ini adalah ahli silat yang baru diundang oleh
golongan kita, Tiat bin Sie-Seng dari gunung Lo losan.
Haha, bocah, kau sekarang boleh mati dengan mata
meram !" Ho Hay Hong mengert i bahwa karena perbuatan
saudaranya, t idak nyana kini mereka telah salah faham
dan anggap ia yang melakukan kejahatan itu.
Ia tahu mereka datang dengan penuh amarah, maka
juga tahu bahwa pertempuran ini t idak dapat dielakkan
lagi.
Ia berpikir: ”saudara sudah mati, keluarga Ho hanya
t inggal aku sendiri, biarlah aku yang menalangi tanggung
jawabnya.”
Bagaimanapun juga Ho Hay Hong adalah saudara
sekandungnya. Meskipun ia t idak setuju perbuatannya,
tetapi kejadian sudah terjadi demikian rupa, juga t idak
bisa tinggal diam, maka ia lalu berkata dengan gagah:
"Baik, aku Tang siang Sucu akan melayani kehendak
kalian!"
Tiga orang dengan serentak mundur. Tiat bin Sie seng
lalu tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"Sudah lama aku mendengar namamu yang besar,
hari ini bertemu muka, benar saja memang bukan
seorang sembarangan. Sebetulnya aku ingin bersahabat
denganmu, tetapi karena tugas, aku t idak bisa berbuat
apa-apa, harap kau suka memaafkan!"
Ho Hay Hong tahu bahwa waktu sangat berharga
baginya, maka ia t idak mau membuang waktu dengan
cuma-cuma. Katanya sambil memberi hormat:
"Tuan datang dengan membawa tugas, sudah tentu
bukan atas kehendakmu sendiri. Jangan khawatir, aku
t idak akan membawa tuan kedalam kancah
permusuhan!" "Awas!" kata Tiat bin Sie-Seng sambil menganggukkan
kepala dan tersenyum.
Tangannya bergerak melakukan serangan membacok
dengan tangan kosong.
Hanya satu gerakan, Ho Hay Hong sudah tahu sampai
dimana t ingginya kepandaian pelajar itu, diam-diam
terkejut .
Lelaki berpakaian ungu ketika menyaksikan Ho Hay
Hong menggeser kakinya, lantas berkata sambil tertawa
menyeringai:
"Ha ha, haha! Bocah! Kau tahu juga, ini adalah ilmu
silat dari golongan Lo lo san yang sangat terkenal
didaerah selatan!"
Ho Hay Hong yang tahu bahwa ia berhadapan dengan
lawan tangguh, lalu memusatkan seluruh kepandaiannya,
dengan satu tangan ia maju menyerang dengan cepat .
Empat pemuda berbaju kuning nampaknya tertarik
oleh pertempuran itu, semua bangkit dari tempat
duduknya.
Tiat bin sieseng sendiri diam-diam juga mengakui
kepandaiannya Ho Hay Hong.
Ia juga segera mengeluarkan seluruh kepandaiannya
untuk menghadapi lawannya yang masih sangat muda
itu.
Pertempuran itu dengan cepat sudah menarik
perhat ian orang banyak, hingga pada datang berduyun-
duyun untuk menyaksikan.
Ho Hay Hong sangat khawat ir hal itu akan menarik
perhat iannya lelaki berbaju kelabu dari kampung setan maka ia hendak mengakhiri pertempuran itu dengan
cepat.
Serangan hebat segera dilancarkan kepada lawannya.
Tiat bin sieseng terkejut, ia t idak menduga lawannya
yang masih muda belia, memiliki kekuatan tenaga yang
demikian hebat . Kalau semula ia pikir hendak
memperkembangkan ilmu silatnya dari golongan Lo-lo-
san, yang dianggapnya akan dapat menggemparkan
rimba persilatan, kini harapan itu telah buyar sebagian.
Selagi Tiat-bin Sie seng memikirkan diri lawannya, Ho
Hay Hong mendadak lompat melesat menyingkir
meninggalkan lawannya.
Tiat-bin Sie seng heran atas sikapnya Ho Hay Hong
sebab belum kalah sudah lari, maka segera mengejarnya.
Sebaliknya dengan t iga lelaki baju ungu, mereka itu
mengira Ho Hay Hong t idak berani melawan hingga
kabur, lalu sambil tertawa:
"Manusia t idak tahu malu! Kita lihat kau hendak lari
kemana!"
Dengan serentak mereka juga lari mengejar.
Ho Hay Hong lari meninggalkan tempat dekat danau
yang akan dijadikan medan pertempuran, kemudian
berhent i disuatu tempat .
Tempat itu sangat tersembunyi, t iada manusia jalan
disitu, oleh karenanya ia boleh menunggu dengan
tenang. Atau kalau harus bertempur lagi, juga t idak takut
akan dikerumuni oleh banyak orang yang menonton. Setelah mereka berlalu, diantara penonton seorang
anak muda tampan yang muda sekali, yang usianya kira-
kira baru enam belas tahun juga turut mengejar.
Orang banyak menganggap hanya ingin menonton,
maka t iada seorangpun yang menghiraukannya.
Belum lama Ho Hay Hong t iba ditempat itu, Tiat bin
sieseng segera menyergap sambil berseru.
"Kau belum kalah mengapa lari? Apakah maksudmu
yang sebenarnya?"
Ho Hay Hong tanpa bicara segera menyambut Tiat-bin
Sie-seng dengan serangan hebat , sehingga lawannya
terpaksa mundur.
Tiat bin Sie seng agak mendongkol, ia kembali
mengeluarkan kepandaiannya untuk menyerang lagi.
Ia menggunakan gerakan-gerakan yang sangat lincah
menghujani Ho Hay Hong demikian rupa dengan
serangan-serangannya yang aneh-aneh, sehingga Ho
Hay Hong seolah-olah terkurung dalam serangan
tangannya.
Ho Hay Hong juga merasa heran menghadapi
serangan yang demikian aneh itu, maka ia t idak berani
gegabah. Ia lalu menggunakan ilmu silatnya Kun-hap
Samkay, melayani lawannya dengan seru.
Di bawah teriknya sinar matahari dua orang itu
bertempur sengit. Difihaknya Tiat-bin Sie-seng
nampaknya sudah bertekad bulat hendak menjatuhkan
lawannya, sedangkan Ho Hay Hong agak heran, sebab
lawannya itu hanya diundang untuk membantu saja, mengapa bertempur mat i-mat ian demikian rupa, agaknya
sepert i musuh besar.
Tetapi sudah menjadi kenyataan demikian, ia juga
t idak perlu berpikir terlalu banyak, maka dengan tekad
bulat pula hendak merubuhkan lawannya.
Ia t idak tahu bahwa Tiat-bin Sie Seng ada maksud
hendak menjagoi rimba persilatan, meskipun diluarnya
nampak berlaku merendah, tapi dalam hat inya hendak
menjatuhkan semua orang kuat dalam rimba persilatan.
Sementara itu t iga lelaki berbaju ungu, terus siap
sedia untuk menant ikan kesempatan, apabila Ho Hay
Hong terdesak, segera akan dibinasakan!
Pemuda tampan yang ikut menonton tadi, telah
sembunyikan dirinya jauh-jauh, bukan saja Hay Hong
t idak tahu, sedangkan dipihaknya orang-orang berbaju
ungu juga t iada seorang pun yang tahu.
Pertempuran berlangsung semakin seru, serangan
masing-masing juga semakin hebat. Kini dari f ihak orang-
orang berbaju ungu agaknya juga sudah mulai mendapat
firasat bahwa Tiat bin sie seng t idak mungkin dapat
merebut kemenangan, hingga mereka diam-diam merasa
khawat ir.
Yang mengherankan ialah Tiat-bin Sie seng sendiri
nampaknya t idak bisa merasa khawatir, bahkan
sebaliknya, diwajahnya yang putih bersih, set iap saat
terlintas suatu perasaan girang
Perasaan girang itu semakin nyata tertampak
mengikut i jalannya pertempuran, seolah-olah sudah
yakin benar ia pasti akan dapat meraih kemenangan. Hal ini t idak mengherankan, karena ilmu silatnya
dengan tangan kosong yang dinamakan gerak t ipu
membelah awan, memang benar-benar luar biasa aneh.
Juga keampuhannya, keistimewaan ilmu silatnya itu,
ada mempunyai suat kesanggupan mencari jalan
kelemahan lawannya dan kemudian dicecer secara hebat .
Ia semakin girang, karena mengetahui bahwa
serangan lawannya kalau dilihat dari luar memang hebat
sekali, tetapi kalau diperhat ikan benar-benar, lawannya,
itu pikirannya sepert i terpengaruh oleh perasaan kikuk
dan bingung.
Set iap kali melakukan serangan, sebelum serangannya
mengenakan sasarannya, telah dibatalkan dengan t iba-
t iba.
Dengan t iba-tiba satu pikiran terlintas dalam otak Tiat-
bin Sie-seng, ia segera menarik kesimpulan bahwa
lawannya itu mungkin belum memiliki kekuatan mahir
sepert i kekuatan tenaga dalamnya
Sementara itu Ho Hay Hong yang sedang bertempur
terus makin lama nampak makin gelisah sebab dalam
pikirannya selalu terganggu oleh bayangan Ing-siu yang
dikiranya saat itu sudah t iba dan menghinanya t idak
berani datang memenuhi janji.
Pikirannya semakin gelisah, serangannya semakin
t idak teratur.
Ia sendiri juga merasa heran, karena belum pernah
demikian bingung.
Dalam keadaan demikian, telinganya mendadak dapat
menangkap suara sambaran angin, dengan sendirinya ia mengelak dan menggerakkan tangan kirinya untuk
menangkis serangan lawannya, sedang tangan kanannya
membuat satu lingkaran yang ditujukan kepada dua
bagian jalan darah lawannya.
Setelah mengeluarkan serangannya itu, ia mulai
memusatkan kekuatan tenaganya dan pikirannya
Selagi berusaha untuk memusatkan pikirannya, suara
keras terdengar pula, dalam waktu sekejap mata, suara
itu sudah mendekat i dirinya.
Bukan kepalang terkejutnya Ho Hay Hong, ia t idak
menduga bahwa perubahan gerakan lawannya demikian
pesat, bahkan bisa menembusi serangannya sendiri yang
rapat .
Disamping terkejut, pikirannya seket ika itu jernih
kembali, tetapi hendak menarik kembali tangannya untuk
menangkis serangan lawannya sudah t idak keburu lagi.
Diantara suara ledakan keras ia terpaksa mengempos
hawa murni dan membusungkan dadanya.
Karena keadaan mendesak walaupun ia berhasil
menghindarkan diri dari serangan depan, tetapi t idak
berhasil mengelakkan sambaran angin dari serangan
tersebut, hingga bajunya robek sebagian.
Diantara sorak-sorai dari orang-orang berbaju ungu,
Ho Hay Hong dapat menampak tegas bahwa wajah Tiat-
bin Sie-seng menunjukkan sikap puas, bangga dan
jumawa, bibirnya tersungging satu senyuman yang
mengandung sindiran. Ini membuat panas hat inya,
hingga dengan t iba-tiba ia mendongakkan kepala dan
bersiul panjang. Tiat-bin Sie seng terkejut , ia dapat merasakan bahwa
suara siulan itu agak aneh, samar-samar sepert i
mengandung kemarahan sangat besar.
Ia melihat lagi wajah Ho Hay Hong, Saat itu nampak
pucat pasi, sedang kedua matanya bersinar buas, dua
tangannya dirangkapkan didepan dadanya, bergerak
t idak berhent i-hent i.
Dalam hat i lalu berpikir : ”Apa yang akan dilakukan
oleh anak muda ini ? Sikapnya yang buas ini, sungguh
menakutkan”
Selagi pikirannya belum tenang, suara bentakan
nyaring t iba-tiba keluar dari mulut Ho Hay Hong :
"Tiat-bin Sie-seng, serahkan jiwamu!"
Dua tangannya yang satu disodorkan yang satu ditarik
kembali, lambat-lambat bergerak kehadapan Tiat-bin Sie
Seng.
O-oodwoo-O
Bersambung Jilid 28

Jilid 28
TIAT-BlN SIE-SENG kembali dikejutkan oleh perbuatan
pemuda itu, ia t idak tahu apa yang sedang dilakukan
olehnya, ia hanya merasa sikapnya agak aneh, maka
t idak dihiraukan, malah ia berkata sambil tertawa dingin:
"Belum tentu, ucapan menyerahkan jiwa, rasanya masih
terlalu pagi!" Diluar dugaannya, belum lagi ia menutup mulutnya,
mendadak merasakan suatu tenaga yang hebat sedang
menggempur dirinya.
Sebagai satu ahli silat kenamaan, segera dapat
mengetahui bahwa serangan Ho Hay Hong itu
mengandung kekuatan tenaga dalam yang dinamakan
Ceng-khie.
Dengan cepat ia mengeluarkan ilmunya meringankan
tubuh, buru-buru lompat melesat .
Dengan alis berdiri, Ho Hay Hong mendadak
membalikkan tenaganya, seolah-olah mengerahkan
seluruh kekuatan tenaganya
Tiat-bin Sie-seng sudah cukup gesit , tetapi tokh masih
agak terlambat, kekuatan dari serangan Ho Hay Hong,
seolah-olah menekannya semakin hebat.
Dada Tiat bin Sie seng seperti digenjot oleh mart il
besar, orangnya terbang melayang bagaikan layangan
yang putus talinya.
Di tengah udara, mulutnya menyemburkan darah.
Ho Hay Hong sendiri juga terhuyung-huyung, ia coba
mempertahankan posisinya, matanya mengawasi tubuh
Tiat bin Sie seng yang terbang melayang sambil tertawa
dingin.
Tiat-bin Sie seng sesungguhnya t idak kecewa
menamakan diri sebagai orang kuat dari gunung Lo-lo-
san meskipun badannya terapung di tengah udara dan
sudah menyemburkan darah, ia masih bisa
mempertahankannya dan melayang turun ke tanah. Tindakan Tiat bin sieseng untuk menyelamatkan
dirinya itu, juga menarik perhat ian Ho Hay Hong.
Pada saat itu, keadaannya sendiri juga sudah terlalu
lelah, sudah t idak mempunyai tenaga lagi untuk
melanjutkan pertempuran.
Dengan kaki sempoyongan Tiat bin sieseng
mengeluarkan obat pil dari dalam botol obatnya yang lalu
ditelannya, matanya menatap wajah Ho Hay Hong.
Kemudian berkata padanya.
"Tak disangka kau juga melatih ilmu ceng-khie, Tiat
bin sieseng kali ini benar-benar sudah kesalahan mata
sudah seharusnya menerima kekalahan ini. Biarlah lain
waktu saja kita membuat perhitungan lagi!"
Sehabis berkata demikian, ia lantas berlalu dengan
langkah kaki yang berat sekali.
Rombongan laki-laki berbaju ungu itu kabur lebih dulu,
seolah-olah t idak mau memperdulikan nasib orang yang
dijagoi.
Ho Hay Hong mengawasi berlalunya Tiat bin Sie-seng,
t iba-tiba teringat sesuatu: ”pantas hari ini aku sepert i
orang yang kehabisan tenaga, kiranya tadi malam aku
sudah menghamburkan banyak tenaga untuk menolong
Tiat Chiu Khim.”
Ia tersenyum sendiri, pikirnya: ”Tang-siang Sucu
dimasa hidupnya selalu t idak bisa hidup denganku, tetapi
setelah binasa kalau ia tahu bahwa aku sedang berusaha
untuk menuntut balas dendam untuknya, ia pasti merasa
puas.” Ia berpikir lagi: ”kakek berdiam diutara, t idak tahu
keadaan sebenarnya tentang diri Tang siang Sucu, maka
kesan terhadapnya juga masih baik, bahkan ingin sekali
menemuinya. Nant i setelah mengetahui bahwa cucunya
sudah binasa, entah bagaimana sedihnya.” Pada saat itu
tenaganya sudah habis, bertahan juga merasa susah,
hingga diam-diam ia mengeluh !
”Jikalau saat ini Ing-Siu sudah t iba dan menunggu
terlalu lama, sehingga t idak sabaran dan meninggalkan
aku, selanjutnya ia pasti menyiarkan berita bahwa aku
telah mengundurkan diri sebelum pertandingan
berlangsung. Bagaimana aku ada muka untuk menemui
saudara-saudaraku didaerah utara?” Demikian ia berpikir.
Selagi dalam keadaan bingung, dari jauh tampak
seorang tua berjenggot panjang dan putih sambil
menggandeng seekor keledai, berjalan menghampiri.
Diatas punggung keledai terdapat tumpukan kayu
kering, jelas ia baru pulang mencari kayu dari hutan.
Menyaksikan keadaan itu, lalu berpikir: ”lebih baik
menunggu penghidupan sepert i orang tua ini, tanpa
sedih. Aku sendiri meskipun berkepandaian t inggi, belum
tentu bisa hidup senang dan tentram sepert i dia !”
Ia terus memandang orang tua itu, sementara dalam
hat inya terus berpikir: ”penebang-kayu biasa saja sepert i
dia, tokh bisa hidup sampai demikian tua, sebaliknya aku
sendiri yang memiliki kepandaian t inggi, belum tentu bisa
hidup hingga demikian tua.”
Orang tua itu ketika nampak Ho Hay Hong
memandang dirinya dengan penuh perhat ian, lalu
menundukkan kepala. Ho Hay Hong t iba-tiba mendapat satu pikiran:
”mengapa aku tidak meminjam keledainya.”
Ia segera, menghampiri orang tua itu dia berkata:
"Kakek, aku ada suatu urusan pent ing, hendak
meminjam keledaimu, entah."
Semua uang yang ada dalam sakunya dikeluarkan,
diselipkan ditangan orang tua itu seraya katanya:
"Uang ini untuk harganya keledai ini, kakek pikir
bagaimana ?"
Orang tua itu meskipun t idak tahu berapa banyak
uang perak dalam tangannya, tetapi setelah dihitung
diam-diam ia duga uang itu cukup untuk membeli t iga
ekor keledai, maka dengan senang hat i menyerahkan
keledainya kepada Ho Hay Hong.
Ia masih khawatir Ho Hay Hong kurang senang,
mulutnya berkata.
"Baik, baik, keledai ini kujual kepadamu."
Buru-buru ia menurunkan kayu keringnya, dibawanya
seikat lantas berlalu.
Ho Hay Hong menarik napas lega, ia pergi untuk
menemui musuhnya dengan menunggang keledai.
Dengan mendadak, dari belakangnya terdengar suara
orang memanggil padanya: "Cianpwee, tunggu dulu !"
Ho Hay Hong teringat , kemudian ia merasa geli. Sebab
Sebutannya cianpwee, sesungguhnya t idak tepat bagi
seorang yang masih berusia muda sepert i dirinya.
Oleh karenanya, maka ia t idak menghiraukannya dan
bedal keledainya. Dengan mendadak sesosok bayangan kuning
berkelebat melayang dari belakang dirinya, kemudian
berdiri di suatu tempat t idak jauh di hadapannya,
kemudian berkata.
"Cianpwee tunggu dulu !"
Keledai Ho Hay Hong kaget , binatang tersebut
mengeluarkan suara kaget, kaki depannya di angkat
t inggi-t inggi.
Ho Hay Hong yang berada diatas punggungnya,
karena dalam keadaan kehabisan tenaga maka tak
ampun lagi badannya kehilangan keseimbangan dan
jatuh di tanah.
Ia hendak berteriak, diluar dugaannya tubuhnya sudah
disambut oleh tangan orang.
Sambil mengeluarkan rint ihan pelahan ia bertanya:
"Kau siapa ?"
Dia berpaling, tampak olehnya wajah seorang pemuda
sedang memandang dirinya. Pemuda itu kira-kira baru
berusia enam belas tahun, wajahnya put ih bersih, bentuk
panca indra bagus sekali, jelas keluaran dari keluarga
baik-baik.
Karena ia tidak menjawab, ia melanjutkan pertanyaan.
"Kau siapa? Mengapa panggil aku cianpwe ?"
Pemuda tampan itu membuka bibirnya, tampak
giginya yang berbaris indah sekali.
"Cianpwee, namaku Lie Hui!" demikian jawabnya
sambil tertawa. "Ada keperluan apa ?" tanya Ho Hay Hong sambil
mengerutkan keningnya.
Pertanyaan itu baru saja keluar dari mulutnya,
kepalanya mendadak dirasakan berat hingga terpaksa
ditundukkan.
Ia tahu benar bahwa itu adalah akibat semalaman
yang sudah menggunakan tenaga terlalu banyak untuk
menolong jiwa kekasihnya.
Kesan Ho Hay Hong sangat baik terhadap pemuda itu,
tetapi keadaannya sendiri saat itu buruk sekali, maka
agak mempengaruhi perasaannya. Katanya dengan agak
kurang senang.
"Kau denganku masih asing, juga t idak ada hubungan
apa-apa. Kalau kau ada urusan sebentar kita bicarakan
lagi. Sekarang tolong bimbing aku naik keatas keledai."
Pemuda itu setelah mendengar perkataan Ho Hay
Hong, senyum yang tadi masih tersungging dibibirnya
mendadak menghilang dan digant i dengan sikap sedih.
Entah kenapa, Ho Hay Hong juga menaruh simpatik
terhadap pemuda itu.
Ia memandang wajah pemuda tanggung itu,
perasaannya semakin tertarik. Ia duga pemuda past i
sedang mengalami kesusahan.
Ia sendiri juga sedang dirundung nasib malang,
dengan sendirinya t imbul rasa simpati.
Kedua pipi pemuda yang tampan dan putih halus, saat
itu mendadak penuh air mata, dengan suara sedih dan
penuh keramahan ia berkata: "Cianpwee, maafkan aku, boanpwee t idak sengaja
mengganggu cianpwee, hanya... hanya."
Mendadak ia lihat wajah Ho Hay Hong menjadi pucat ,
maka buru-buru berkata: "Cianpwee, kau terluka?"
"Luka hanya sedikit saja, tetapi aku mungkin akan
binasa dalam waktu satu dua hari ini " jawab Ho Hay
Hong sambil tertawa.
Ia sebetulnya t idak ingin mengeluarkan perkataan
demikian, tetapi entah apa sebabnya, mendadak ada
suatu pikiran yang mendorongnya mengeluarkan
perkataan itu.
Pemuda itu terkejut, tanyanya:
"Cianpwee, kau. kau t idak mungkin. Kau demikian
gagah, pertempuran tadi aku sudah menyaksikan semua,
kegagahanmu benar-benar sangat mengagumkan
hat iku."
"Itu hanya akan menjadi suatu kenang-kenangan saja.
Lie Hui, lekas bimbing aku naiki keatas keledai!" kata Ho
Hay Hong.
Sebagai seorang pemuda berhat i keras bagaikan baja,
meskipun Saat itu ia tahu bukan tandingan Ing-sui, tetapi
ia masih bertekad hendak melaksanakan tersebut.
Pikirnya: ”Hm, Ing-sui, dan kakek penjinak garuda, kalian
dua iblis yang berkedok manusia, asal aku Ho Hay Hong
satu hari masih hidup, past i akan memperhitungkan
kejahatanmu."
Dengan perasaan agak kecewa, Lie Hui berkata:
"Cianpwee, kau t idak suka membantu boanpwee?" Mata Ho Hay Hong yang sayu melirik wajah pemuda
itu, mendadak t imbul rasa kasihan.
Sesaat itu, entah darimana datangnya kekuatan, ia
mendadak merasa ada itu kekuatan untuk membela
pemuda itu. Ia mengempos semangatnya, mendadak
melepaskan diri dari bimbingan pemuda itu dan lompat
turun dari atas keledai.
Muka pemuda itu mendadak merah, tetapi dengan
cepat berusaha menutupinya.
Ho Hay Hong tercengang, entah apa sebabnya
pemuda itu menunjukkan sikap malu demikian ?
Selagi hendak menggandeng keledainya, pemuda itu
sudah mendahului mewakilinya. Katanya dengan nada
minta dikasihani.
"Suhu, keledaimu ada disini!"
Mendengar perkataan itu, Ho Hay Hong kembali
tercengang, entah apa sebabnya pemuda itu mendadak
merubah panggilannya?
Pemuda itu ket ika melihat Ho Hay Hong tidak menolak
dipanggil suhu, nampaknya sangat girang. Katanya pula
sambil tersenyum!
"Suhu! Suhu naik diatas kuda, biarlah Lie Hui yang
menggandeng. Bagaimana?"
Sejenak Ho Hay Hong ragu, kemudian berkata dengan
sungguh-sungguh.
"Kau tak usah panggil aku suhu, jangankan karena
kau belum lama mengenal aku, sedangkan usiaku yang
demikian muda juga t idak pantas menjadi suhumu." Sehabis berkata ia lalu lompat keatas keledainya dan
membiarkan keledainya digandeng oleh pemuda itu.
Mendengar kata-kata Ho Hay Hong, entah apa
sebabnya Lie Hui kembali mengalirkan airmata. Bibirnya
bergerak, tetapi perkataan yang hendak keluar dari
mulutnya mendadak ditelannya kembali.
Sejenak ia nampak ragu-ragu, akhirnya berkata:
"Suhu kau, kau"
Ho Hay Hong yang pikirannya sudah dipenuhi oleh
tekadnya hendak menempur Ing-siu tahu apabila t idak
lekas pergi, pasti akan diganggu terus oleh pemuda itu,
sehingga menelantarkan usahanya. Terpaksa ia keraskan
hat i, berkata dengan tegas:
"Aku bukan suhumu, selanjutnya kau juga jangan
demikian memanggil aku."
Kemudian ia bedal keledainya, dilarikan dengan pesat.
Wajah Lie Hui berubah seket ika, sebentar barulah
lompat melesat dengan lincahnya, hendak merintangi
berlalunya Ho Hay Hong, katanya dengan marah:
"Cianpwee, percuma saja kau mempunyai kepandaian
set inggi itu ternyata apakah kau masih terhitung orang
atau satu pendekar budiman?"
Matanya memandang kearah jauh, agaknya
mengingat sesuatu kejadian hebat yang menggiriskan
hat inya. Diwajahnya yang put ih sebentar bentar terlintas
suatu perasaan kebencian, sebentar kemudian ia berkata
lagi:
"Cianpwee, membasmi kejahatan dan melindungi yang
lemah, adalah suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh set iap orang yang mengaku dirinya pendekar.
Apakah kau ...kau...."
Sekaligus ia mengeluarkan serentetan kata-kata
berapi-api, karena menekan emosinya yang meluap,
hingga tenggorokannya sepert i terkancing dan t idak bisa
melanjutkan kata-katanya lagi.
Ho Hay Hong mendengarkan dengan wajah menunduk
pelahan-lahan merasa agak malu.
Lie Hui menghela napas panjang, kemudian berkata
sambil menundukan kepala:
"Maaf, cianpwee, oleh karena tidak sanggup menahan
gejolaknya perasaan hat iku, sehingga mengeluarkan
perkataan yang terlalu menuntut aku....aku"
Ho Hay Hong dapat memahami perasaan hat inya
maka lalu berkata:
"Tidak apa, aku t idak salahkan kau!"
Ia berdiam sejenak, kemudian berkata pula dengan
tegas.
"Baik, Lie Hui. Kau ada kesulitan apa? Coba ceritakan!"
"Tidak!" kata Lie Hui. "Kecuali jika cianpwee menerima
baik aku sebagai muridmu."
Mendengar pernyataan itu. Ho Hay Ho merasa sulit .
Pikirnya: ”musuhku adalah seorang yang berkepandaian
sangat t inggi, dalam pertempuran ini mungkin t idak ada
harapan hidup lagi, mengapa aku harus menyusahkan
orang dan menyusahkan diriku sendiri?” Ia lalu berkata sambil tersenyum getir: "Ini dengan
terus terang, aku sendiri juga t idak bisa mengambil
keputusan!"
"Kenapa?"
Lie Hui menunjukan sikap heran tanyanya pula:
"Cianpwee, kau adalah seorang jago muda yang
banyak harapan, mengapa mudah putus asa?"
Mendengar perkataan itu, Ho Hay Ho tertawa
terbahak-bahak.
Suara tertawanya yang agaknya mengandung suara
hat i yang sedang risau, Lie Hui tahu bahwa ucapannya
yang tak disengaja itu mungkin merusak hat inya, maka
ia buru-buru menyatakan penyesalannya:
"Cianpwee semua adalah aku yang t idak baik sehingga
menimbulkan kemarahanmu, aku bersedia menerima
hukumanmu!"
Kata-katanya itu diucapkan dengan nada penuh rasa
penyesalan dan lemah lembut sehingga menimbulkan
rasa kasihan bagi yang mendengarkan.
Demikian juga dengan Ho Hay Hong, maka lalu
berkata sambil menggelengkan kepala: "Kau t idak salah!"
Dengan mata bersinar tajam ia berkata pula:
"Yang bersalah adalah keadaan, adalah beberapa
gelint ir manusia yang menganggap dirinya orang-orang
besar padahal manusia bermental rendah yang t idak
tahu malu!"
"Cianpwee, kau seolah-olah ada banyak musuh?" "Dugaanmu t idak salah, justru karena musuhku itu
terlalu lihay, maka aku t idak berani menjamin
keselamatan diriku sendiri."
"Dengan terus terang aku juga mempunyai banyak
musuh." kata Lie Hui lirih sambil menghela napas.
"Siapa-siapa musuhmu, coba kau sebutkan satu
persatu mungkin aku kenal."
"Anak buah golongan Kuku berbisa yang jahat , semua
adalah musuh-musuhku!"
Ketika menyebut nama Kuku berbisa, anak itu
mendadak menjadi marah, wajahnya penuh rasa
kebencian, lama sekali baru bisa melanjutkan kata-
katanya.
"Aku benci sekali terhadap orang-orang golongan
Kuku berbisa itu. Sungguh mat i, jika aku sanggup, aku
pasti basmi kawanan orang-orang jahat itu!"
Dalam keadaan marah, wajahnya tampak merah
semringah, tetapi sebentar sudah lenyap lagi.
Ho Hay Hong t idak melihat , hanya bertanya dengan
heran:
"Kau dengan golongan Kuku berbisa ada permusuhan
apa ?"
"Mereka telah membunuh ayah bundaku,
menghancurkan rumah tanggaku, aku ingin sekali bisa
membasmi orang-orang itu."
Ho Hay Hong baru mengert i, bahwa pemuda itu ada
permusuhan besar dengan orang-orang dari golongan
Kuku berbisa, pantas saja demikian membenci kepada
mereka ! Tetapi ia masih belum mau percaya begitu saja, maka
lalu bertanya:
"Orang-orang yang bertempur denganku tadi, semua
adalah orang-orang dari golongan Kuku berbisa,
mengapa kau t idak mau menggunakan kesempatan itu
untuk menuntut balas dendam?"
Mendengar pertanyaan itu, Lie Hui menundukkan
kepala dan berkata dengan hat i panas.
"Kepandaian ilmu silatku masih terlalu rendah, aku
khawat ir sebelum berhasil menuntut balas, sebaliknya
jiwaku sendiri yang melayang, maka aku harus giat
belajar ilmu silat , kemudian baru bisa menuntut balas."
Ho Hay Hong baru mengert i maksud pemuda itu,
pantas ia hendak mengangkat dirinya menjadi guru
kiranya ia sendiri belum memiliki kepandaian menghadapi
musuh-musuhnya.
Tetapi keadaannya sendiri juga t idak lebih baik
daripada pemuda itu, meskipun ia bersedia membantu,
tetapi barangkali juga t idak akan tercapai maksudnya.
Ia sebetulnya merasa Simpat i terhadap Li Hui, tetapi ia
sendiri belum tahu bagaimana nasibnya, mana ada waktu
untuk memberi pelajaran ilmu silat padanya.
Ia kini dihadapkan kepada dua pilihan: bantu padanya
atau tolak permintaannya?
Pelahan-lahan ia angkat muka, sementara hat inya
masih berpikir: ”kalau aku terima baik permintaannya
untuk membantu, aku sendiri masih ada banyak urusan
yang belum kuselesaikan. Dan kalau aku menyelesaikan
urusanku sendiri lebih dulu, bagaimana dengan dia?” Pikirannya bimbang, tidak bisa mengambil keputusan.
Lie Hui terus memandangnya dengan perasaan
tegang, agaknya ia tahu bahwa Ho Hay Hong pada saat
itu juga sedang menghadapi kesulitan besar dalam soal
yang menyangkut dirinya.
Ho Hay Hong merasa bahwa peristiwa yang menimpa
diri pemuda itu lebih hebat dari pada diri sendiri, lantas
ia lalu mengambil keputusan tegas.
"Baiklah! Untuk sementara aku terima baik
permintaanmu," demikian ia berkata.
"Hanya, ini masih melihat bagaimana nasibmu,
mungkin aku masih bisa hidup dan membantu kau
melaksanakan cita-citamu."
Ia tahu bahwa harapan hidup baginya t ipis sekali,
tetapi ketika ia menyaksikan sikap yang patut dikasihani
pemuda itu, ia lalu mengambil keputusan yang t idak
mengecewakan pemuda itu.
Dengan satu senyuman yang dipaksa, ia berkata pula:
"Jikalau nasibku baik, bisa menjatuhkan musuhmu,
maka pembalasan dendammu ini, boleh aku nant i yang
melaksanakan !"
Mendengar perkataan itu, bukan kepalang girangnya
Lie Hui, buru-buru jatuhkan diri lutut dihadapan Ho Hay
Hong sambil berkata.
"Terima kasih atas kebaikan Suhu, Lie Hu t idak akan
melupakan untuk selama-lamanya!"
Entah bagaimana, dalam keadaan girang seperti itu,
pipi Lie Hui kembali menjadi merah. "Bangun, bangun, jangan melakukan upacara terlalu
besar. Aku sudah terima baik permintaanmu, sudah tentu
t idak menyesal. Kau jangan khawat ir!"
Ia dongakkan kepala melihat keadaan cuaca, ternyata
matahari sudah mulai mendoyong ke barat . Karena
urusan sendiri sangat pent ing, maka t idak mau
membuang tempo lagi. Ia berkata lagi.
"Lie Hui kau bisa menggunakan ilmu meringankan
tubuh ?"
Lie Hui mengedip-ngedipkan mata yang lebar agaknya
merasa bingung, tetapi ia tidak berani berlaku ayal maka
lalu menjawab dengan sikap hormat .
"Murid diwaktu masih anak-anak, pernah belajar
sedikit dari ayah, tetapi terlalu jauh dari pada bisa."
Sehabis berkata matanya memandang Ho Hay Hong
dengan t idak berkedip. Kemudian menanya lagi dengan
perasaan heran:
"Suhu, mengapa kau tanya soal ini!"
Baru pertama kali Ho Hay Hong dipanggil suhu, sudah
tentu merasa agak canggung.
"Ilmu meringankan tubuhmu sekarang sudah
mencapai taraf bagaimana? Katakan saja terus terang,
tak usah malu-malu!" kata Ho Hay Hong.
Lie Hui tersenyum, pada dua pipinya tampak tegas
dua sujennya
"Menurut ayah, kepandaian ilmu meringankan
tubuhku, katanya sudah mendekat i ketaraf Co-siang-hui!"
Co-siang-hui berarti : Terbang diatas rumput. Ho Hay Hong merasa agak kecewa, katanya:
"Oh, itu masih selisih terlalu jauh. Menurut kepandaian
ilmu meringankan tubuhmu pada dewasa ini, barangkali
juga belum bisa mengejar larinya keledai!"
Lie Hui agaknya merasa malu, ia menundukkan kepala
dengan muka merah.
Ho Hay Hong segera mengert i, dengan tanpa
disengaja ia sudah menyinggung perasaan pemuda itu,
maka kemudian ia lalu berkata:
"Tetapi, kau juga t idak perlu putus harapan. Asal aku
beruntung t idak sampai mati dan bisa terlepas dari
cengkeraman iblis, aku pasti menurunkan semua
pelajaranku padamu!"
Lie Hui pelahan-lahan angkat muka, dari matanya
dapat diduga perasaan hat inya pada waktu itu, penuh
rasa girang dan berterima kasih.
"Suhu, untuk apa kau tadi menanyakan soal ini?
Bisakah suhu beritahukan padaku?"
"Aku akan pergi kedanau Keng-liong-t ie dengan
segera untuk menghadiri suatu pertemuan. Perjalananku
kali ini sangat pent ing bagi nasibku selanjutnya, orang
yang menjadi musuhku itu berkepandaian luar biasa, apa
lagi hat inya kejam dan tangannya ganas, ilmu
meringankan tubuhnya juga."
Berkata sampai disitu, mendadak diam, ia khawatir
akan menyinggung perasaan Lie Hui.
"Begini saja baiknya, aku sekarang ke danau Keng-
liong-t ie seorang diri, dan kau pergi kekota mencari
sebuah rumah penginapan, untuk sementara kau boleh diam disitu menunggu aku. Kalau t idak terjadi apa apa
atas diriku, besok aku bisa menyambut kau!"
"Danau Keng-liong-t ie?" tanya Lie Hui dengan penuh
keheranan. "Kau masih hendak pergi kesana? Suhu,
apakah t idak boleh kalau t idak pergi?"
Ia agaknya dapat menduga apa yang akan terjadi
disana, rasa khawatir sangat mengganggu hatinya.
Ia juga tahu bahwa "pertemuan" yang dimaksudkan
oleh Ho Hay Hong ditepi danau itu adalah suatu
pertempuran, dan antara dua jago rimba persilatan yang
akan disaksikan oleh tokoh-tokoh terkemuka di rimba
persilatan.
Dan dua jago yang akan bertanding itu tentunya
antara suhunya sendiri dengan jago tua yang bernama
Ing-Sui apakah ?
Ia t idak berani memikirkan lagi, mendadak terdengar
suara Ho Hay Hong: "Haha, aku harus pergi, sudah tentu
meski pergi! Danau Keng-liong-t ie t idak boleh
ketinggalan aku. Haha, Keng-liong-t ie danau Keng-liong-
t ie kan merupakan suatu tempat bersejarah bagiku:"
Wajahnya berubah, katanya pula sambil tertawa:
"Tetapi, ia mungkin juga akan menjadi tempat
kuburanku!"
Wajah Lie Hui pucat , matanya memandang suhunya
yang sudah sepert i seorang gila. Pikirannya terumbang-
ambing antara kekhawatiran dan ketakutan, ia tidak tahu
bagaimana harus berbuat.
"Kabarnya salah satu dari dua orang kuat yang hendak
mengadu kekuatan didanau Keng-liong-t ie itu bernama Ho Hay Hong, apakah itu suhu sendiri?" demikian ia
bertanya.
Kemudian dengan nada penuh tanda tanya ia bertanya
lagi.
"Suhu, apakah suhu adalah Bengcu dari golongan
rimba hijau daerah utara?"
Ho Hay Hong menganggukkan kepala membenarkan
pertanyaan pemuda itu, kemudian berkata sambil
tertawa girang:
"Dengar, kau boleh tunggu aku satu hari besok aku
t idak datang menyambut kau."
Tenggorokannya mendadak terkancing, t idak dapat
melanjutkan kata-katanya, setelah batuk-batuk dua kali,
ia berkata lagi dengan suara agak serak:
"Jikalau lewat besok pagi aku masih belum datang
menyambut kau, waktu itu mungkin sudah rebah di tepi
danau Keng-liong-t ie sebagai mayat. Kau juga t idak usah
menunggu lagi. Kau boleh mencari suhu yang lebih
pandai dari padaku!"
Memandang wajah murung dari mur idnya, t imbul rasa
pilu dalam hat i Ho Hay Hong.
Ia juga t idak dapat menjelaskan, rasa simpatik
terhadap anak muda itu t imbul karena tali persahabatan,
ataukah karena menemukan seorang yang mengalami
nasib serupa dengan dirinya.
Ia pesan lagi want i-want i:
"Ingat , lewat besok pagi kalau aku t idak datang
menyambut kau, anggap saja aku sudah mati dan kau boleh mencari guru lain yang berkepandaian lebih t inggi
dariku. Lupakan aku tahu tidak?"
Sehabis meninggalkan pesannya, ia bersiul panjang
untuk melampiaskan rasa sedihnya, kemudian berlalu
meninggalkan Lie Hui yang berdiri bengong seorang diri.
Lie Hui memandang berlalunya Ho Hay Hong dengan
mata berkaca-kaca dan hat i pilu. Ia berhasil menemukan
seorang guru kenamaan, Tetapi, guru itu kini sedang
dirundung nasib buruk, dan apa yang t idak habis
dipikirnya ialah, apa sebab ia sampai kebent rok dan
bermusuhan dengan Ing-sui ?
Jago tua yang namanya pernah menggemparkan
rimba persilatan itu, diwaktu ia masih anak-anak, sudah
sering dengar nama jago-jago itu disebut-sebut oleh
orang-orang t ingkatan tua
Sementara itu, dimata Ho Hay Hong yang masih
terbayang-bayang wajah muridnya. Ketika ia coba
berpaling, ia masih tampak muridnya berdiri bagaikan
patung dan melambaikan tangannya sambil mengusap
airmatanya.
Dari jauh ia masih mengingatkan lagi kepada
muridnya sambil melambaikan tangan:
"Ingat pesanku baik-baik, harap besok bisa bertemu
lagi!"
Dengan menahan perasaannya sendiri, ia bedal
keledainya hingga lari semakin pesat.
Dalam waktu sekejap mata, Ho Hay Hong sudah t iba
ditempat yang dituju. Tempat itu sekitarnya penuh pohon besar ditepi danau
terdapat sebuah tanah luas kira-kira delapan tombak
persegi, tanah kosong itu diatur demikian rapi, agaknya
memang disediakan untuk orang pertandingan ilmu silat .
Ditengah-tengah lapangan, berdiri sebuah t iang besar
yang diukir oleh seekor naga.
Ho Hay Hong tambat keledainya disebuah pohon besar
lalu berjalan menuju ketengah lapangan.
Disekitar lapangan sudah dipenuhi oleh lautan
manusia yang menimbulkan suara riuh.
Diam-diam ia tertawa bangga, dengan tak disangka-
sangkanya, belum seberapa lama berada didaerah
selatan namun ia sudah menarik banyak perhatian dari
orang-orang rimba persilatan.
Perasaannya agak tegang, ia tahu dalam pertempuran
ini, kecuali bertahan sekuat tenaga, juga masih
memerlukan bantuan nasib.
Ia berada disudut lapangan, duduk berdiam
memulihkan kekuatan tenaganya.
Selesai memulihkan tenaganya, matanya mencari-cari
dibawah t iang berukiran naga, tampak duduk seorang
tua t inggi besar.
Orang tua itu memakai rompi lebar, berpakaian
pendek ringkas, sebentar-sebentar tersenyum sambil
mengurut-urut jenggotnya yang putih panjang sikapnya
sangat jumawa. Dia adalah Ing-siu yang namanya
pernah menggemparkan dunia persilatan.
Ing-siu duduk menghadap keselatan, kepalanya
diangguk-anggukan berulang-ulang kepada para hadirin yang berada diseputar lapangan, kadang-kadang juga
meraba raba gagang pedang sakt inya.
Kali ini, untuk kedua kalinya ia muncul dikalangan
Kangouw, memang disambut hangat oleh kawan-
kawannya didunia Kangouw. hingga ia merasa bangga
dan gembira.
Ho Hay Hong merasa t idak senang melihat sikap
musuhnya, ia merasa sangat mual.
Disamping Ing-siu. berdiri seorang jago pedang
pertengahan umur yang sikapnya gagah.
Jago pedang ini nampaknya sangat gelisah, sebentar
menengok kebarat, sebentar menengok ke t imur, seolah-
olah ada yang dicari.
Ho Hay Hong mau menduga bahwa orang yang dicari
itu adalah dirinya sendiri. Ia menduga pasti bahwa jago
pedang itu kalau bukan kaki tangannya, tentu muridnya
Ing-siu.
Diam-diam menghela napas, karena pihak lawannya
sudah siap dengan sepenuh tenaga. Sedang ia sendiri
sudah terlalu banyak mengeluarkan tenaga, hingga
badannya masih merasa lemas, nampaknya sudah t idak
ada harapan untuk merebut kemenangan.
Pada saat itu, ia mengharap dengan sangat ada orang
yang terdekat dengannya, muncul dihadapan matanya,
supaya ia boleh meninggalkan pesannya yang terakhir ia
t idak suka bisa secara konyol.
Kekuatan tenaga dalamnya pelahan-lahan mulai pulih
kembali, tetapi belum seluruhnya. Ia tersenyum pahit,
dalam hat inya berpikir, biarpun kekuatanku sudah pulih semua barangkali juga bukan tandingan Ing-siu. Apa
yang dikatakan oleh Chiu Khim memang benar.
Ia merasa dirinya kurang tenang, karena menurut i
hawa napsu, sehingga menimbulkan kesalahan besar
dalam keadaan sekarang ini.
Kembali ia menarik napas panjang. Ket ika ia
memandang kearah jago pedang itu lagi, jago pedang itu
nampaknya sudah menunggu dengan t idak sabaran, lalu
bisik-bisik kepada empat wanita bersanggul yang berdiri
disampingnya, kemudian menganggukkan kepala kepada
orang yang memegang gembreng. Sebentar kemudian
suara gembreng berbunyi nyaring.
Ketika suara gembreng itu menggema di udara, suara
riuh para hadirin segera sirap, t idak satupun yang
membuka suara.
Secepat kilat semangat Ho Hay Hong terbangun ketika
mendengar suara gembreng itu.
Ia teringat kembali bagaimana gagahnya ia ket ika
menghadapi pemimpinnya dengan rimba hijau daerah
utara, hanya seorang diri ia berhasil merubuhkan banyak
orang kuat dari golongan rimba hijau.
Sehingga dalam waktu sekejap mata namanya
menjadi terkenal, dan kemudian menduduki kursi
pemimpin golongan rimba hijau daerah utara. Tetapi
mengapa sekarang demikian gelisah?.
"Hm ! Ing-siu belum tentu seorang jago yang sudah
kebal, aku harus merobohkannya." demikian ia berpikir.
Mana semangatnya lalu berkobar. Pada saat itu, jago pedang pertengahan umur itu
berjalan dengan pelahan, lebih dulu memberi hormat
kepada para hadirin, kemudian berkata:
"Tuan-tuan yang terhormat, pertemuan kawan-kawan
rimba persilatan hari, ini juga merupakan suatu
pertemuan terbesar selama beberapa puluh tahun ini.
Atas kedatangan dan kesediaan tuan-tuan untuk menjadi
saksi dalam pertempuran ini, siauw-te disini atas nama
suhu mengucapkan banyak-banyak terima kasih "
Ia berhent i sejenak dan tersenyum. "Tentang suhu
siaotee. Ing-siu locianpwee. tuan-tuan tentunya sudah
kenal baik, sebabnya suhu mengadakan pertandingan ini
dengan Ho Bengcu karena tertarik oleh kepandaian dan
kegagahan Ho Bengcu, yang dalam usia sangat muda
sudah berhasil menduduki tempat demikian t inggi dalam
rimba persilatan daerah utara.
”Siaotee sendiri meskipun belum pernah bertemu
muka dengan Ho Bengcu, tetapi dari perbuatan-
perbuatannya selama beberapa tahun ini, yang selalu
menggemparkan rimba persilatan, kalau t idak memiliki
kepandaian sungguh-sungguh, t idak mungkin dapat
mengelabui mata orang banyak.
”Maka Siaotee minta dengan hormat agar supaya
tuan-tuan memberikan keputusan yang adil.” Ia berhent i
sesaat , matanya berputaran.
"Lagi pula, siapa-siapa yang kiranya ada permusuhan
diantara tuan-tuan, juga boleh mempergunakan
kesempatan ini mengadakan perhitungan sekalian.
Menang atau kalah, harus diputuskan dengan suatu
pertandingan yang adil dan menggunakan kepandaian
masing-masing yang sebenarnya." Ia berhent i lagi sejenak untuk menunggui sirapnya
tepuk tangan riuh dari para penonton, kemudian
mendongakkan kepala untuk melihat keadaan cuaca,
kemudian berkata pula:
"Sekarang waktunya sudah t iba, tetapi masih belum
tampak Ho Bengcu, apakah"
Matanya celingukan mencari-cari kesekitarnya,
kemudian melanjutkan kata-katanya.
"Mungkin Ho Bengcu telah merubah maksudnya
semula, t idak suka unjukkan diri dihadapan tuan-tuan"
Berkata sampai disitu, ia tertawa nyaring dua kali
kemudian berpaling dan berkata kepada salah satu dari
empat wanita:
"Thian Hiang, Siap tabuh gembreng."
Salah seorang dari empat wanita, yang wajahnya
paling cant ik, pelahan-lahan mengangkat gembreng
ditangannya, menant ikan perintah.
Jago pedang itu berkata pula: "Apabila gembreng ini
nant i bersuara, ini berarti bahwa Ho Bengcu t idak
memenuhi janjinya, untuk datang kemari mengadakan
pertandingan. Sudah tentu perbuatannya itu hanya dapat
dilakukan untuk sementara tidak dapat sembunyikan diri
untuk selama-lamanya: Suhu sudah tentu mengert i
bagaimana untuk menghukum seorang yang t idak bisa
pegang janji!"
Kata-katanya itu diucapkan dengan suara t idak
nyaring tetapi dapat didengar jelas sekali oleh semua
orang yang berada disekitar lapangan. Gembreng sudah diangkat t inggi, hanya t inggal
menunggu perintah untuk dipukul.
Pada saat itu, banyak diantara penonton yang merasa
kecewa, sebab dianggapnya Ho Hay Hong t idak berani
memenuhi janj i, sehingga mereka t idak dapat
menyaksikan pertandingan dua jago silat yang past i akan
ramai sekali.
Suara para penonton banyak yang mencela Ho Hay
Hong yang tidak mempunyai cukup keberanian, sehingga
merendahkan kedudukannya sebagai Bengcu.
Ada juga yang beranggapan, seorang t ingkatan muda
t idak seharusnya melawan orang t ingkatan tua dengan
t idak munculnya Ho Hay Hong bukan berart i menurunkan
derajatnya, karena lawannya merupakan orang yang
patut dijadikan kakeknya, sebab pada enam puluh tahun
berselang Ing-siu namanya sudah kesohor dikolong
langit. Sedangkan dia sendiri hanya merupakan satu
keistimewaan diantara orang-orang dari t ingkatan muda.
Sementara itu, Ho Hay Hong bangkit dari duduknya,
tetapi bahunya mendadak merasa seperti ada yang
menekan.
Ia terkejut , dan setelah mengetahui siapa orangnya
yang menekan, ia semakin terkejut! "Kiranya kau!"
demikian ia berseru.
Sinar mata orang itu dengan dingin memandang
dirinya, orang itu bukan lain daripada orang berbaju
kelabu dari kampung setan.
"Ho siaohiap, sudah lama kita t idak bertemu!" kata
orang itu. Ho Hay Hong t idak habis mengert i dengan cara
bagaimana orang berbaju kelabu itu dapat menemukan
dirinya. Tetapi karena orang itu sudah berada dihadapan
matanya, terpaksa ia menahan sabar.
"Benar kita sudah lama t idak bertemu. Ada urusan
apa?"
Orang berbaju kelabu itu menekan bahu Ho Hay Hong
semakin kuat , karena kekuatan Ho Hay Hong belum pulih
seluruhnya, percuma saja ia meronta.
Tetapi orang berbaju kelabu itu ternyata t idak turun
tangan jahat terhadapnya, katanya sambil tertawa
dingin:
"Kawan, besar sekali ambisimu, sudah menduduki
kursi pemimpin golongan rimba hijau daerah utara,
masih hendak menempur Ing-sui, Nampaknya kau benar-
benar ada maksud hendak menjagoi rimba persilatan!"
Ho Hay Hong tahu bahwa orang itu mempunyai sifat
yang t idak mudah dimengerti olehnya, sebentar berlaku
baik, tetapi sebentar berlaku ganas. Dalam terkejutnya,
ia pura-pura berlaku tenang, jawabnya sambil
tersenyum.
"Setiap orang mempunyai tujuan sendiri, t idak boleh
dipaksa. Aku kira ambisimu sendiri, barangkali t idak
dibawahku!"
"Juga belum tentu. Tetapi orang yang ku-cinta telah
kau rebut!"
"Maksudmu apakah nona Tiat?" tanya Ho Hay Hong
sambil tertawa. Sewaktu ia bertanya demikian, diam-diam sudah
siapkan tenaga, karena khawatir orang yang bersifat
t idak menentu itu nant i menyerang dirinya untuk
melampiaskan kemarahannya.
Orang berbaju kelabu itu memandangnya dengan
sinar mata penuh kebencian, kemudian berkata sambil
tertawa dingin:
"Kumaksudkan memang nona Tiat, bukankah ia
sekarang sudah menyerahkan diri dalam pelukanmu?"
Ho Hay Hong diam-diam merasa mendongkol,
darimana orang itu tahu bahwa gadis itu kini sudah
berlalu dari sampingnya?
Ia t idak mau banyak bicara, diam-diam mengerahkan
kekuatan tenaganya yang masih ada, untuk menghadapi
segala kemungkinan.
Pada saat itu, dalam otaknya hanya berpikir: “apabila
aku t idak sanggup menghadap serangannya dan mati
disini, sedangkan pertempuran dengan musuhku belum
dimulai, bukankah akan merupakan suatu kejadian yang
sangat mengecewakan ?”
Ia juga tahu, bahwa "apabila" itu masih merupakan
sesuatu yang belum "pasti" hanya merupakan suatu
kemungkinan yang bisa terjadi tetapi juga mungkin tidak.
Ia t idak memikirkan mati hidupnya sendiri, karena
kedudukannya sendiri pada sekarang ini, maka mati dan
hidupnya juga menyangkut nama baik golongan rimba
hijau daerah utara. Ia t idak suka karena perbuatannya
nant i membawa akibat buruk bagi golongan rimba hijau
daerah utara. Orang baju kelabu itu ketika menampak sikap Ho Hay
Hong berubah demikian, diam-diam juga merasa heran.
Ia mengamat-amati sejenak, agaknya tersadar. Maka
nadanya lalu berubah:
"Tetapi, kau juga jangan gelisah, meskipun aku
seorang bodoh, tetapi juga mengert i, bahwa soal asmara
t idak boleh dipaksa. Nona Tiat sudah memilih dirimu, aku
juga t idak bisa berbuat apa-apa. Pendek kata, semua ini
disebabkan t indakan suhu yang keliru, sehingga
membuat kita sekarang menjadi begini."
Ia agaknya t idak suka terlalu banyak menyalahkan si
Kakek penjinak garuda, maka lantas diam.
Ho Hay Hong sebaliknya malah merasa heran, untuk
sesaat ia t idak dapat meraba apa maksud sebenarnya
yang terkandung dalam hat i orang itu ? Ia juga t idak
dapat menduga apa sebabnya ia datang kemari?
Tetapi ia segera berpikir: ”Mungkin, ucapannya yang
manis ini, hanya hendak memancing aku supaya t idak
memusatkan pikiranku, dan kemudian ia turun tangan !”
Ia sedikitpun t idak berani alpa, diluarnya ia pura-pura
mendengar ucapan orang itu dengan penuh perhat ian,
tetapi diam-diam masih selalu siap siaga. Karena ia
khawat ir orang ini akan menyerang dirinya secara
mendadak.
"Nona Tiat seorang wanita cant ik yang tak ada
bandingannya, kau mendapatkan dirinya sesungguhnya
merupakan suatu keberuntungan besar bagimu, maka
kau harus baik-baik perlakukannya," kata orang berbaju
kelabu itu. Entah apa sebabnya, ketika ia mengucapkan
perkataan itu, suara mendadak serak, sepert i
mengandung kesedihan.
Ho Hay Hong menganggukkan kepala. Sebetulnya ia
hendak berkata: "Aku bisa!" Tetapi belum sampai keluar
dari bibirnya, perasaan mendongkol mendadak t imbul
dalam hat inya, suatu perubahan besar t imbul dalam
perasaannya, maka kemudian berkata.
"Aku dengannya sedikitpun t idak ada hubungan apa-
apa sudah tentu ada orang yang perlakukan baik
padanya, kau juga t idak perlu tanya padaku!"
Orang berbaju kelabu itu tercengang, tanpa disadari
tangannya menekan semakin kuat , sehingga mata Ho
Hay Hong berkunang-kunang dan kemudian jatuh duduk
di tanah.
Dalam keadaan demikian, telinganya mendadak
terdengar suara orang itu: "Apa maksud perkataanmu
ini?"
Entah dari mana datangnya kekuatan yang
mendorong Ho Hay Hong mengeluarkan perkataan,
dengan ketus ia menjawab:
"Kau jangan perdulikan !"
"Past i telah terjadi kesalah pahaman antara kau
dengan dia. Jikalau t idak, kau tentu t idak sampai
demikian marah!" kata orang itu. Ia berdiam sejenak
kemudian berkata pula: "Aku menerima tugas datang
kemari mengawasi kau, lantas kau t idak bisa berbuat
sesukamu !" "Mengapa aku t idak bisa berbuat sesukaku?" tanya Ho
Hay Hong t idak mengert i, "apa kau hendak mengekang
kebebasanku ?"
"Ho siaohiap, kenapa kau marah terhadapku? Harus
kau ketahui bahwa adatku jahat , salah sedikit bisa
menimbulkan kemarahanku, ini t idak aneh bagimu
sendiri."
Ho Hay Hong marah dengan mendadak, kekuatan
tenaganya yang sudah dikerahkan sejak tadi, t iba-tiba
digunakan untuk menyerang orang baju kelabu itu.
Sebagai seorang yang keras kepala, ket ika mendengar
ucapan t idak enak dari orang itu, segera menimbulkan
kemarahannya. Meskipun tahu kekuatan tenaga sendiri
belum pulih kembali, ia juga t idak peduli.
Orang baju kelabu itu menggunakan tangannya
menangkis serangan Ho Hay Hong, kemudian
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, menyedot
tangan Ho Hay Hong.
Ho Hay Hong terkejut , ia hendak melepaskan diri dari
usaha lawannya, tetapi sudah t idak keburu lagi, hingga
dalam hati diam-diam mengeluh.
Kalau diwaktu biasa ia sedikitpun t idak menghiraukan
usaha lawannya itu, kini t idak perlu lagi memikirkan apa
akibatnya kalau ia memberi perlawanan mat i-mat ian.
Tetapi karena saat itu kekuatan tenaganya sudah kurang,
ia masih perlu hendak digunakan untuk menghadapi Ing-
siu, sesungguhnya t idak perlu mengadu jiwa dengannya.
"Ho Siaohiap, kau berulang-ulang beriak t idak sopan
terhadapku, terpaksa aku hendak mengambil jiwamu!"
kata orang berbaju kelabu. Sehabis berkata, sesuatu kekuatan tenaga yang luar
biasa hebatnya pelahan-lahan mulai masuk kedalam
tubuh Ho Hay Hong.
Ho Hay Hong memberi perlawanan sambil kertak gigi,
ia berusaha supaya hancur bersama-sama.
Akan tetapi, orang berbaju kelabu itu ternyata sudah
siap-siaga, sewaktu ia menggunakan kekuatan tenaga
dalamnya disalurkan ke dalam tubuh Ho Hay Hong, lebih
dulu sudah mengerahkan kekuatan tenaga murninya,
menjaga supaya jangan sampai kekuatan tenaga Ho Hay
Hong masih t inggal sedikit , jangan buyar.
Dalam keadaan t idak berdaya, Ho Hay Hong hanya
bisa menant ikan kemat iannya sambil pejamkan matanya.
Selagi menghadapi saat-saat kematian semacam itu,
keringat dingin mengucur keluar.
Dalam keadaan demikian. Orang berbaju kelabu itu
t iba-tiba mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya,
bagaikan anak panah menyusup kedalam tubuh Ho Hay
Hong.
Ho Hay Hong hanya merasakan puyeng kepalanya,
kemudian darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
Kini, ia merasa tubuhnya sepert i dibakar, wajahnya
yang pucat juga dengan sendirinya menjadi merah.
Tetapi ia t idak roboh, karena orang berbaju kelabu itu
telah menggunakan kekuatan tenaga dalam menahan
dirinya, sehingga t idak bisa bergerak.
Tak lama kemudian, keadaan Ho Hay Hong sudah
sepert i seorang kehabisan tenaga sementara itu
telinganya mendengar kata-kata orang itu. "Ingat , baik-baik perlakukan dirinya. Jikalau t idak, cepat atau lambat
aku past i akan mengambil j iwamu!"
Sehabis berkata, ia menarik pulang tangannya
kemudian bagaikan melesatnya anak panah menghilang
dari depan mata Ho Hay Hong.
Ho Hay Hong roboh ditanah setengah badannya
kejang ia tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya.
Tak lama kemudian, hawa murni dalam tubuhnya
pelahan-lahan kumpul kembali dan kemudian menyebar
kesekujur tubuhnya. Entah apa sebabnya, ia bukan saja
t idak mati bahkan badannya merasa segar kembali
sepert i semula.
Ia sangat girang dan lantas bangkit, ketika mencari
orang berbaju kelabu tadi orang itu ternyata sudah t idak
ada.
Ia menjadi heran sendiri, dalam hat inya t imbul suatu
pertanyaan: ”Mengapa, ia bukan saja t idak membunuh
aku sebaliknya diam-diam membantu aku memulihkan
kekuatan tenagaku? Apakah itu atas perintah Kakek
penjinak garuda?”
Alisnya dikerutkan ia pikir apakah benar demikian
halnya, permusuhan antara aku dengan kakek itu t idak
mudah diurus.
Selagi masih dalam keadaan bimbang, dari tepi danau
terdengar suara nyaring: "Hai, bocah she Ho ! Kau berani
menipuku, sehingga aku harus datang kemari secara sia-
sia? Kau benar-benar sangat jahat . Hm, dihadapan para
jago rimba persilatan seluruh dunia bukan aku takabur,
aku lihat kau bisa lari kemana, bisa sembunyi berapa
lama?" Mendengar ucapan itu Ho Hay Hong terkejut , ia
segera dapat mengenali suaranya Ing-siu. Sesaat itu
lantas naik darah. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu
membereskan pakaiannya, kemudian lompat melesat
set inggi t iga tombak lebih.
Ditengah udara matanya memandang ke bawah,
ketika menyaksikan banyak orang yang hendak
menyaksikan pertandingan itu, semangatnya terbangun.
Katanya sambil tertawa.
"Hahaha, Ing siu! Kau benar-benar sudah buta!
Walaupun kau t idak mencari aku, aku juga bisa
mencarimu. Hahaha"
Baru berhent i suara tertawanya, ia meluncur turun
ketanah dan berdiri dengan gagah.
Keadaan riuh kembali, semua mata ditujukan
kearahnya. Mereka sungguh tidak menyangka bahwa Ho
Hay Hong yang namanya menggemparkan dunia
Kangouw ternyata hanya seorang anak muda biasa saja.
Ing Siu nampak sedikit terkejut , ia tidak berani berlaku
sombong lagi, dengan tangan menggengam gagang
pedang sakt inya ia berkata sambil tertawa.
"Ho Bengcu benar2 seorang yang bisa pegang janji !"
Ho Hay Hong mendapat perhatian orang banyak
meskipun dalam hati merasa agak tegang, tetapi ia t idak
bisa berbuat lain, kecuali membalas sikap Ing siu dengan
sikap sombong pula. Katanya sambil tertawa terbahak-
bahak.
"Sudah tentu! Aku siorang she Ho t idak mudah
mendapatkan nama baikku. Mana bisa aku harus main sembunyi ? Suruh aku menjadi buah tertawaan orang
banyak?"
Dua lawan itu baru saling berhadapan, masing-masing
sudah menggunakan kata-kata yang tajam untuk saling
menyerang hingga semua penonton merasa khawatir,
tanpa sadar semua orang sudah mundur lebih jauh,
memberi tempat lebih luas bagi dua orang itu.
Pada saat itu, dari barisan para penonton muncul
beberapa laki-laki tegap, dengan sikap gagah mereka
berjalan menuju ketengah lapangan, menghampiri Ho
Hay Hong.
Tiba dihadapan Ho Hay Hong, rombongan lelaki itu
memberi hormat , sehingga Ho Hay Hong kelabakan,
Dengan sikap merendah Ho Hay Hong balas
menghormat, setelah ditanyakan apa maksudnya, ia baru
tahu bahwa lelaki tegap itu adalah kawanan dari rimba
hijau daerah utara yang berdiam diperbatasan daerah
selatan. Ketika pemimpinnya muncul, maka merasa
lantas maju untuk memberi hormat .
Ho Hay Hong merasa sangat terharu, sebab
kedatangan orang-orang itu merupakan suata dorongan
moril baginya untuk bertempur lebih bersemangat .
Ia lalu mengeluarkan lambang tanda kebesarannya
dan dikalungkan dilehernya sendiri, dibawah sinar
matahari, lambang kebesaran yang terbuat dari emas
murni itu memancarkan sinar berkilauan.
Jago pedang pertengahan umur itu nampaknya benci
sekali terhadap Ho Hay Hong, katanya dengan nada
suara dingin: "Ho Bengcu karena seorang besar, sehingga banyak
lupa, mengapa begini lambat baru datang sehingga
membuat kita menunggu terlalu lama. Aku seorang yang
t idak berguna, ingin minta pelajaranmu lebih dulu!"
Ho Hay Hong terkejut. Ia tanya. "Apa tuan murid Ing
siu locianpwee."
"Namun demikian, tetapi kepandaianku t idak berarti,
sebetulnya t idak pantas menjadi murid locianpwee!"
Beberapa laki laki dari golongan rimba hijau daerah
utara yang masih berdiri dihadapan Ho Hay Hong,
meskipun mereka t idak berkata apa-apa, tetapi wajah
mereka semua menunjukan rasa t idak senang. Hanya
karena memandang pemimpin mereka, sehingga t idak
berani berkata apa-apa.
Ho Hay Hong menyaksikan itu semua, sudah mengert i
perasaan mereka.
"Menyesal sekali, aku denganmu t idak mempunyai
permusuhan apa-apa!" demikian jawabnya.
"Ho Bengcu jelas memandang rendah diriku." kata
jago pedang pertengahan umur itu.
Sebelum habis ucapannya, seorang dari golongan
rimba hijau daerah utara sudah memotong.
"Orang yang berjanji hendak mengadakan
pertandingan ilmu silat oleh Ho Bengcu adalah Ing-siu-
cianpwee sendiri t idak termasuk kau, Menurut peraturan
rimba persilatan, kau t idak boleh campur tangan."
"Siapa nama tuan? Sudikah kiranya memberitahukan
padaku?" tanya jago pedang itu marah. Sijago pedang mengawasi laki-laki itu dengan sinar
mata mengandung permusuhan, sebab orang itu
dianggapnya sudah membuat malu dirinya dihadapan
orang banyak.
Orang dari rombongan rimba hijau itu t idak
menjawab, matanya memandang Ho Hay Hong lebih
dulu. Ketika tampak pemimpinnya t idak menunjukkan
perubahan sikap apa-apa, bahkan t idak memberi
teguran, hat inya merasa lega dan baru berani menjawab:
"Aku adalah seorang kecil dari kalangan Kang ouw
dalam hidupku t idak pernah mendirikan jasa apa-apa
bagi masyarakat. Maka kau juga tak usah tanya."
Mendengar jawaban halus yang mengandung
jengekan itu, jago pedang itu lantas marah.
"Heh, heh, kau ternyata sudah berani ngeledek aku!
Dengan terus terang, sekalipun Bengcu kalian sendiri,
juga t idak kupandang dimata apalagi kalian manusia-
manusia yang t idak arti ini"
Berdenyut keras hati Ho Hay Hong mendengar ucapan
sombong itu. Tetapi mengingat kedudukannya sendiri,
t idak ada gunanya marah atau melayani segala manusia
begituan, maka lantas tersenyum dan t idak berkata apa-
apa.
-ooo0dw0oo0-
Bersambung Jilid 29

Jilid 29
ORANG itu adalah salah seorang dari anggota
golongan rimba hijau daerah utara. Berhadapan Bengcunya, sekalipun korban jiwa ia t idak merasa
sayang. Maka ia lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Kalau kau mengatakan demikian, aku juga perlu
memperingatkanmu."
Ia berhent i sejenak, pikirnya hendak mengatakan
hampir setengah umurku aku seorang She Siauw sudah
kenyang berkelana didunia Kang-ouw, tapi selama itu
t idak mendapatkan nama apa-apa. Kalau aku t idak
menggunakan kesempatan ini untuk mengangkat
derajatku, niscaya seumur hidupku sudah t idak akan
dipandang orang lagi."
Dalam keadaan sepert i ini ia tahu, jikalau ia mau
berlaku nekad, menyerbu lawannya tanpa memikir apa
resikonya, jauh lebih dihargai dari pada sepak terjangnya
dimasa-masa yang lampau. Kemungkinan besar ia t idak
dapat pertahankan nyawanya lebih lama, tetapi namanya
akan tetap t inggal harum, hingga mat ipun t idak
menyesal.
Itu adalah pikirannya seorang kecil. Karena lama
namanya hampir dilupakan orang, hingga t imbul pikiran
yang bukan-bukan.
"Dengan terus terang, masih belum cukup derajatmu
bertempur dengan Bengcuku!" berkata orang ini sambil
tertawa terbahak-bahak.
Ucapan itu menggemparkan banyak orang. Ho Hay
Hong juga lantas terbangun semangatnya.
Ia sungguh t idak pernah menyangka bahwa seorang
anggota golongan rimba hijau biasa saja juga berani
mengeluarkan perkataan demikian! Tentu saja jago pedang pertengahan umur itu lantas
marah. Dengan muka merah padam dan mata beringas
ia menatap wajah orang itu, seolah-olah hendak
ditelannya bulat-bulat .
Ho Hay Hong sudah waspada. Dalam suasana gawat
sepert i itu, set iap saat bisa saja t imbul pertumpahan
darah.
Disamping harus melindungi jiwa saudara-saudaranya
ia juga harus menjaga muka jago pedang itu, supaya
jangan sampai terlalu kehilangan muka.
Ia hendak memberi teguran, tak ia duga bahwa anak
buahnya itu sudah maju menghampiri sijago pedang dan
berkata dengan suara keras:
"Apakah kau saja yang boleh membuka mulut? Tidak
boleh orang lain mengeluarkan perkataannya?!"
Orang itu berhent i kira-kira dua tombak di hadapan
sijago pedang, katanya dengan membusungkan dada.
"Kalau kau t idak senang, boleh membuat perhitungan
dengan aku! Aku seorang she Siau meskipun hanya
merupakan seorang kecil yang t idak mempunyai nama
didaerah utara, tetap juga bukan orang yang boleh kau
hina sesuka mu. Tidak percaya boleh coba!"
Mendengar kata-kata gagah berani dari anak buahnya,
Ho Hay Hong membatalkan maksudnya hendak menegur.
Ia tahu pertempuran tak dapat dielakkan lagi. Maka
kini ia lebih memperhat ikan sikap lawannya.
Dengan demikian, ia kini telah mengangkat t inggi
prestise anak buahnya dihadap orang banyak. Semua penonton lalu diam, t idak berani membuka
suara. Mereka sedang menant ikan suatu pertempuran
sangat dahsyat yang jarang tertampak dalam sejarah
rimba persilatan.
Jago pedang pertengahan umur dalam marahnya
malah tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, bagus ! Kau benar-benar seorang gagah
berani, aku benar-benar sangat kagum." demikian jago
pedang itu berkata.
Baru saja menutup mulut tubuhnya yang kekar sudah
lompat melesat set inggi t iga tombak. Ditengah udara ia
pentang dua lengannya, dari atas menyerang lawannya.
Orang she Siauw itu t idak seberapa t inggi kepandaian
ilmu silatnya. Tetapi ia sudah bertekat bulat hendak
membela pemimpinnya dengan jalan apapun. Maka
ketika diserang oleh lawannya, ia sedikitpun t idak gugup.
Sambil mengeluarkan suara bentakan keras, ia
menyambut serangan lawannya.
Dari gerakannya, Ho Hay Hong sudah dapat
mengetahui sampai dimana t inggi kepandaian anak
buahnya. Maka ia t idak t inggal diam lagi. dengan cepat
digesernya kakinya, cepat bagaikan kilat ia sudah
merintangi majunya jago pedang itu.
Kemudian dengan menggunakan serangan tenaga
dalam. Ia berhasil memaksa lawannya turun kebawah.
"Bagus ! Kalau t idak dihajar anaknya, orang tuanya
t idak akan mau keluar. Sekarang aku hendak menguji
kepandaianmu!" kata jago pedang pertengahan umur. Dengan kecepatan bagaikan kilat ia lantas menyerang
Ho Hay Hong, dengan t iga jari tangan ia menotok t iga
bagian jalan darah dibadan Ho Hay Hong.
Ho Hay Hong geser kakinya t iga langkah! berkata
dengan suara keras:
"Tunggu dulu ! Dengar dulu keteranganku, nant i baru
berkelahi!"
Para penonton kembali gempar. Dianggapnya Ho Hay
Hong jeri menghadapi lawannya.
Ho Hay Hong segera mengert i akan sikap orang
banyak, terpaksa membatalkan maksudnya semula, dan
menyambut serangan lawannya.
Begitu dua kekuatan saling beradu, jago pedang itu
lantas terdorong mundur t iga langkah, mukanya merah
membara, sepert i kepiting direbus.
Cepat ia menghunus pedangnya, kemudian
menyerang dengan gencar.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan Ing-siu: "Mundur!"
Jago pedang itu terkejut , buru-buru menarik
pedangnya dan berkata dengan perasaan bingung:
"Suhu kau.!"
"Mundur! kau bukan tandingannya!"
Jago pedang itu bersangsi sejenak, tetapi akhirnya
t idak berani menentang perintah gurunya dan terus
mundur ke samping.
Ing-Siu bertindak keluar dengan langkah lebar. Sesaat
kemudian bunyi gembreng nyaring sekali, sehingga
suaranya lama menggema diangkasa. Ho Hay Hong memerintahkan mundur para
saudaranya, katanya dengan suara tegas:
"Ing-siu ! Sekarang mari kita bereskan semua
permusuhan diantara kita berdua. Aku hanya hendak
tanya: Kita berkelahi dengan tangan kosong atau dengan
senjata tajam?"
"Kau muda dan aku tua, t ingkatan kita berbeda jauh.
Biarlah kau yang memilih dulu!" kata Ing-siu sambil
tertawa terbahak-bahak.
Ho Hay Hong mengert i sedang berhadapan dengan
lawan sangat tangguh, maka harus berlaku setenang-
tenangnya.
"Aku usulkan menggunakan pedang saja. Bagaimana
pikiranmu?" demikian ia berkata.
"Boleh juga! Aku tahu kau memiliki pedang garuda
sakt i. Kau hendak menggunakan pedang itu untuk
menyilaukan mata kawan-kawan rimba persilatan?" kata
Ing-siu.
"Pedang Kim-hiap Sim kiam yang baru kau dapatkan
adalah Sebilah pedang peninggalan jaman purbakala,
kedahsyatan pedang itu sesungguhnya t idak dibawah
pedang garuda Sakt i. Mengapa kau hanya mengatakan
pedangku saja? Haha!"
Ia menghunus pedangnya, pedang itu akan
menentukan nasibnya dikemudian hari. maka ia
mengharap dengan pedangnya itu dapat membuka
lembaran sejarah hidup baru yang gilang-gemilang dalam
rimba persilatan. Dan seandainya ia yang kalah dan mati
dimedan pertempuran, tetapi kemat ian secara lelaki itu
akan meninggalkan nama harum untuk selama-lamanya. Kematian secara lelaki, secara jantan itu t idak
terhitung memalukan. Ia menggumam sendiri sejenak,
kemudian pandangan matanya di tujukan keatas.
Pada saat itu, ia mengharapkan satu atau dua orang
yang terdekat dengannya dari orang yang berada disitu,
supaya dapat menyaksikan bagaimana ia melawan
musuhnya dengan gagah dan gigih.
Ia mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya. Setelah
memberi peringatan lebih dulu kepada lawannya, lalu
melakukan serangannya yang pertama dengan hebat .
Pedang pusaka Ing-siu juga sudah keluar dari
sarungnya dengan cepat dapat menutup serangan Ho
Hay Hong.
Ketika dua pedang saling beradu, seketika telah
menimbulkan suara amat nyaring, suara itu lama
menggema diudara.
Beradunya dua pedang itu sudah cukup mengejutkan
para penonton, beberapa orang yang t idak memiliki
dasar kuat tenaga dalamnya, telah digetarkan oleh suara
pedang. Sehingga buru-buru menutup telinga masing-
masing.
Badan Ho Hay Hong sedikit tergoncang, tetapi dengan
cepat ia dapat pertahankan posisinya. Dengan mau
menatap wajah lawannya, kembali ia menyerang.
Secepat kilat pula Ing-siu dapat menyambut
serangannya, hingga untuk kedua kalinya dua pedang
pusaka itu saling beradu lagi. Tetapi heran, kali ini t idak
menimbulkan suara nyaring sepert i yang pertama. Hal itu menimbulkan keheranan bagi semua penonton
sebab hal itu merupakan suatu kejadian yang sangat
janggal. Orang itu t idak mengert i bahwa dua orang kuat
kelas satu itu sudah mengeluarkan serangan mereka
yang paling dahsyat, barang siapa sedikit lengah saja,
segera terbinasa ditangan lawannya.
Ketika adu pedang untuk ketiga kalinya, kembali
menimbulkan suara nyaring. Serangan Ho Hay Hong
berubah menjadi gerak t ipu yang paling ampuh, tetapi
terdorong mundur t iga tombak oleh kekuatan Ing-siu.
Wajah semua penonton berubah seketika. Banyak
orang anggap Ho Hay Hong past i kalah, mereka
menduga t idak lama lagi Ho Hay Hong pasti mat i
dibawah pedang Ing-sui.
Ho Hay Hong mengeluarkan suara tertahan mundur
dua langkah lagi.
Wajahnya sudah pucat pasi. Selama t iga kali mengadu
tenaga tadi, dua kali ia sudah terasa terpukul hebat
dalam tubuhnya sebaliknya dengan Ing-siu yang memiliki
kekuatan tenaga dalam hebat sekali, tampak biasa saja.
Ho Hay Hong sebetulnya sudah terluka tetapi t idak
diketahui oleh para penonton.
Ia tahu benar bahwa kekuatan tenaga dalamnya
sendiri masih selisih jauh sekali dengan lawannya, maka
kalau selalu mengadu kekuatan dengan keras lawan
keras begitu, sesungguhnya sangat membahayakan
dirinya.
Diam-diam ia merubah takt ik, kini ia t idak lagi berani
mengadu kekuatan tenaga. Pada saat itu, serangan keempat Ing-siu telah
dilancarkan bagaikan angin meniup daun kering, cepat
mengancam wajah Ho Hay Hong. Ho Hay Hong putar
kaki kebelakangnya bagaikan gasing memutar, sedang
pedangnya disodorkan, dengan menggunakan gerak t ipu
dalam ilmu Silat Kun-hiap Sam-kay, menutup serangan
lawannya yang sangat kuat .
Ing-siu mengetahui, ia berkata sambil tertawa dingin:
"Kau kira dapat mewariskan kepandaian Kakek
Penjinak garuda, haha !"
Ho Hay Hong diam saja, t idak menghiraukan
perkataan lawannya. Dengan gerak t ipu menutup diri
dalam lawan ia menutup rapat sekujur badannya,
kemudian dengan satu gerak t ipu diluar langit ada langit
menyerang bagian bawah lawannya.
Para penonton sangat mengkhawat irkan keselamatan
Ho Hay Hong. Dalam pandangan mereka asal jago tua itu
melancarkan serangannya lagi. Ho Hay Hong pasti akan
mengalami bahaya.
Beruntung Ho Hay Hong t idak mengert i maksud
lawannya. Andai ia terus naik darah dan t idak dapat
mengendalikan perasaannya, seluruh keadaannya past i
dapat dikuasai oleh Ing-siu.
Sebetulnya Ing siu dapat membinasakan Ho Hay Hong
dalam waktu sepuluh jurus. Tetapi ia t idak mau
melepaskan kesempatan untuk menggemparkan dunia
Kang-ouw dengan cara sangat mudah.
Ia tahu bahwa munculnya ia kembali dikalangan Kang-
ouw kali ini, biar bagaimanapun terkenal namanya tentu
masih ada yang asing kepandaiannya sekarang. Ia bermaksud hendak menggunakan kesempatan ini untuk
menjatuhkan Ho Hay Hong, disamping harapannya yang
besar t indakannya itu nant i akan menggemparkan
seluruh dunia Kang ouw.
Ho Hay Hong tetap membisu, sebab saat itu ia masih
berada dalam posisi yang buruk.
Pedang Ing siu mendadak mengeluarkan suara sangat
aneh, sehingga menarik perhat ian semua orang. Entah
dengan cara bagaimana jago tua itu sudah menyalurkan
kekuatan tenaga dalamnya kedalam senjatanya,
sehingga pedang yang sudah hebat itu bertambah hebat
lagi.
Ho Hay Hong juga segera dapat merasakan
pengaruhnya. Karena begitu pedangnya menyentuh
pedang lawan, terasanya sepert i tersedot oleh semacam
kekuatan tenaga sangat gaib.
Semula ia t idak merasa terlalu aneh, tetapi sepuluh
jurus kemudian pelahan-lahan kekuatan tenaga murninya
terasa makin banyak berkurang, sehingga diam-diam
merasa terkejut .
Apabila kejadian sepert i itu berlangsung terus
menerus, sekalipun lawannya t idak bergerak, ia
sendirilah yang akan kehabisan tenaga.
Diam-diam ia merasa sedih dan mendongkol, sebab
kini ternyatalah bahwa kekuatan tenaganya masih jauh
dibawah Ing siu. Tadinya belum pernah terpikirkan
olehnya, apakah kekuatan tenaganya sendiri bakal dapat
menandingi kekuatan lawannya atau t idak.
Ia hanya menurut i hawa nafsunya sendiri, tanpa
memikirkan itu semua. Dan kini, kalau dipikir masak-masak, perbuatannya itu sesungguhnya sangat bodoh
sekali.
Tanpa disadari matanya melirik kearah para penonton
disekitarnya, yang saat itu sedang memandang dirinya
dengan penuh rasa kasihan.
Ia lantas naik darah. Selama hidupnya, yang paling
ditakut i olehnya justru diperlakukan demikian oleh orang,
sebab pandangan itu menimbulkan rasa rendah diri lagi
sepert i dulu.
Perasaan rendah diri itu sudah terlalu lama mencekam
hat inya, dan perasaan itu pulalah yang membuatnya
menjauhkan segala pergaulan dan kini, setelah dengan
secara susah payah mendapatkan kedudukan sebagai
pemimpin golongan rimba hijau daerah utara, barulah
rasa rendah diri itu lenyap bagaimana ia dapat
membiarkan rasa itu timbul lagi dalam lubuk hat inya?
Terdorong oleh tekadnya, ia kini menggunakan ilmu
silatnya garuda sakt i.
Jurus pertama garuda sakt i, terjun kedalam laut telah
digunakan, Ing siu yang menyaksikan itu, sejenak
terheran-heran, ia segera berdiri tegak, t idak berani
bergerak.
Wajah dan sikap Ing siu menunjukkan betapa besar
perhat iannya terhadap t ipu silat itu, peristiwa
menyedihkan dimasa yang lalu, t imbul kembali dalam
ingatannya, sebab t ipu silat garuda sakt i itu, pernah dari
tangan orang lain, merenggut dua jiwa saudaranya dan
membuatnya mengasingkan diri selama enam puluh
tahun tidak berani keluar. Kulit diwajahnya nampak berkerenyit , mendadak
mengeluarkan suara bentakan keras, tubuhnya yang
kokoh kekar bersama pedangnya melesat menyerbu
kedalam lingkaran gerakan Ho Hay Hong dengan
kecepatan bagaikan kilat.
Semua penonton dikejutkan oleh perbuatan jago tua
itu, semua t idak mengerti apa sebabnya Ing-siu demikian
kalap setelah menyaksikan lawannya melesat ke tengah
udara.
Secepat kilat pula, dua lawan yang sedang mengadu
pedang itu sudah memencar kembali. Diantara
berkelebatnya sinar pedang berkilauan, dua lawan itu
masing-masing lompat mundur satu tombak.
Jenggot Ing-siu yang panjang nampak tergoyang-
goyang, sepasang matanya terbuka lebar. Sedangkan
wajah Ho Hay Hong nampak semakin pucat badannya
basah kuyup, napasnya tersengal-sengal, pedang
ditangannya mengeluarkan bunyi suara mengaung,
ujungnya menancap ditanah.
Siapa kalah? Siapa menang? Ini merupakan suatu
pertanyaan besar, yang t idak dapat dijawab oleh semua
yang menonton.
Dalam keadaan demikian, semua penonton
menganggap bahwa kesudahan dari pertandingan tadi
adalah seri.
Ing-siu kini t idak berani unjuk senyuman lagi, juga
t idak berani berlaku jumawa sepert i tadi. Dengan wajah
murung ia bertanya:
"Apakah itu Kakek penjinak garuda yang mengajarkan
kau?" "Tidak perlu kau tahu! Nant i setelah ada yang menang
dan yang kalah, sudah tentu kau akan tahu sendiri!" Ho
Hay Hong bicara dengan napas memburu.
"Kau jangan anggap bahwa aku jeri terhadap ilmu silat
ini. Hm, ilmu silat ini sudah basi!" kata Ing-siu sambil
tertawa menyengir, tangannya lalu bergerak. Herannya
serangannya itu t idak mengeluarkan suara atau
hembusan angin, tetapi Ho Hay Hong mendadak
mengeluarkan seruan tertahan dan mundur beberapa
langkah.
Ia coba mempertahankan kedudukannya kembali
lompat melesat set inggi lima tombak dan menyerang
dengan kakinya. Setelah itu ia melayang dan undurkan
diri.
Ing-siu masih tetap berdiri tanpa bergerak, segera
menegurnya dengan nada suara dingin:
"Bocah, apa kau sudah menyerah?"
Entah apa sebabnya wajah Ho Hay Hong mendadak
berubah pucat. Pandangan matanya ditujukan
kesamping, tetapi kemudian mendadak ditarik kembali.
Dengan pikiran t idak tenang ia menjawab:
"Kalah menang masih belum ada ketetapan, mengapa
aku harus menyerah?"
Perubahan sikap Ho Hay Hong tadi t iada yang
menyaksikan, begitupun Ing-siu.
Beberapa puluh orang yang berada ditempat itu,
set iap orang berdiri tegak dengan mata membelalak
tanpa ada seorangpun yang berani bergerak, semua berdiri bagaikan patung, seolah-olah melihat kedatangan
iblis.
Ditengah-tengah orang banyak itu, nampak berdiri
seorang tua berambut putih, bertubuh t inggi besar
namun agak bongkok, dengan tenang menyaksikan
jalannya pertempuran.
Orang tua itu memakai topi lebar yang pinggirnya
hampir menutupi alis mata dan seluruh mukanya yang
sudah keriputan. Karena dua bahunya masing-masing
dihinggapi seekor burung garuda raksasa, hingga
munculnya orang tua itu segera menarik perhatian orang
banyak. semua mata ditujukan kepadanya dengan penuh
keheranan dan ketakutan.
Kedatangan orang tua aneh ditengah-tengah ramainya
penonton secara mendadak itu hanya diketahui oleh
orang ditempat dimana ia berdiri, yang lainnya masih
ramai dengan suara masing-masing.
Disisi orang tua itu berdiri seorang muda yang usianya
belum cukup t iga-puluh tahun dengan pakaiannya
berwarna kelabu, Disisi pemuda berbaju kelabu ini berdiri
seorang gadis jelita berpakaian warna put ih.
Mata t iga orang yang baru datang itu juga ditujukan
kedalam medan pertempuran dengan sikap berlainan.
Orang tua itu begitu serius, memperhat ikan jalannya
pertempuran, kulit mukanya yan sudah keriput nampak
merah, mulutnya menggumam: "Bocah ini sungguh
berani mati, sudah mencampuri kepandaian ilmu silat
garuda Sakti ku. Hm! ini pasti perbuatan Chiu Khim, t idak
salah lagi!" Ia berpaling memandang sigadis baju put ih sejenak,
sinar matanya menunjukkan betapa sangat marahnya.
Gadis itu seolah-olah t idak memperhat ikan sikap si
orang tua, ia menundukan kepala, dari mukanya
menunjukan kepedihan hat inya.
Sementara si pemuda baju kelabu, dengan tenang
sekali dia menyaksikan jalannya pertempuran, matanya
lebih banyak ditujukan kepada gerak-gerik Ho Hay Hong,
agaknya sangat tertarik perhatiannya oleh gerak t ipu
set iap serangan dari ilmu garuda Sakti yang diperlihatkan
Ho Hay Hong. Bibirnya memperlihatkan senyum dingin,
agaknya kenal baik dengan ilmu silat Ho Hay Hong.
Ho Hay Hong sungguh t idak menyangka bahwa Kakek
penjinak garuda, Tiat Chiu Khim dan pemuda baju kelabu
itu bisa mendadak datang kemedan pertempuran dengan
berbareng,
Pikirannya menjadi kacau memikirkan soal itu, tetapi
t idak dapat menemukan sebab-sebabnya.
Hanya sepintas selalu ia memandang kearah mereka
bert iga, sepert i t idak berani memandang lama-lama.
Tiat Chiu Khim telah memberi cinta kasih yang hangat
padanya, kepada Kakek penjinak garuda ia menaruh
dendam sakit hati, sedangkan pemuda berbaju kelabu itu
dengan mendadak tadi memberikan bantuan tenaga
padanya!
Tiga orang itu sepert i satu badan, tetapi berlainan
sikap dan kelakuannya, sehingga sulit baginya untuk
menghadapi persoalan mereka. Ho Hay Hong masih berada ditengah udara. Ketika
hendak melancarkan serangannya dengan ilmu garuda
sakt i, t iba-tiba matanya dapat melihat bayangan
kekasihnya. Ia sangat girang, dianggapnya Tiat Chim
Khim juga datang untuk menyaksikan jalannya
pertempuran.
Tetapi, kemudian ia telah dapatkan dirinya Kakek
penjinak garuda juga disitu. Semula sih dianggap
matanya yang salah, sebab ia sedikitpun t idak menduga
bahwa musuh besarnya bisa datang menyaksikan
pertempuran ini. tetapi kemudian ternyata betul.
Penemuan itu membuat pikirannya kalut , ia berusaha
untuk melupakan diri kekasihnya.
Tatkala ia melancarkan serangannya kepada Ing-siu,
sepintas lalu matanya melirik si-gadis. Ket ika dua mata
saling beradu, bibir gadis itu sepert i bergerak, hendak
mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya t idak sepatah
katapun keluar dari mulutnya.
Oleh karena pikirannya bercabang, dalam
pertempuran itu hampir saja ia binasa diujung pedang
lawannya. Untung ia buru-buru membatalkan
serangannya dan merubah gerak t ipunya, untuk
melindungi diri lebih dulu. Sedangkan di fihaknya Ing-Siu
juga belum ada maksud hendak mengambil jiwanya,
rupanya hendak mengalahkan Ho Hay Hong dengan
suatu cara yang menggemparkan dunia rimba persilatan.
Namun demikian, sudah cukup membuat Ho Hay Hong
mandi keringat dingin.
Ia t idak berani memandang lagi kearah gadis, seluruh
perhat iannya dipusatkan kepada serangan lawannya. Tetapi ia juga harus mengakui bahwa dengan
munculnya gadis kekasihnya, semangat dan tenaganya
seolah-olah bertambah, ia masih dapat pertahankan
kedudukannya, walaupun dengan sisa tenaga yang
hampir habis.
Ia mengerti perasaannya sendiri, ia juga tahu bahwa
usahanya untuk mempertahankan kedudukannya itu
semata-mata karena kehadiran kekasihnya, karena ia
t idak suka rubuh dihadapan kekasihnya.
Ia melupakan bahaya yang mengunci jiwanya, lupa
sudah kepada munculnya si Kakek penjinak garuda
secara tiba-tiba.
Dengan mendadak Ing-siu melemparkan pedangnya
dan berkata Sambil tertawa terbahak-bahak:
"Bocah she Ho! Aku sudah memberikan banyak
kesempatan bagimu, sekarang t idak lagi! Dalam sepuluh
jurus aku akan mengambil batok kepalamu. Awas! Kau
jangan gegabah. Ha! Ha! Hal"
Suara tertawa orang tua itu menggema diudara sekian
lama, hingga mengejutkan semua orang yang
mendengarkannya.
Dengan ucapan Ing-Siu itu, juga menyadarkan para
penonton, apa sebabnya pertandingan tadi berlangsung
sekian lama tanpa ada keputusannya.
Ternyata Ing-siu sengaja mengulur-ulur tempo dengan
maksud hendak pertontonkan kepandaiannya, maka
t idak mau lekas-lekas mengakhiri pertandingan.
Ho Hay Hong juga mengempos semangatnya. Tidaklah
mudah mendapatkan kedudukannya sepert i sekarang. Sekal ipun mati, ia lebih suka mati secara jantan, dan
kalau boleh musuhnya harus membayar mahal.
Ia mengeluarkan siulan panjang, asap putih keluar
dari mulutnya, ternyata ia sudah menggunakan
kekuatan, tenaga murni Cie-yang Cin-khie.
Ia juga melemparkan pedangnya, hingga menancap
diatas sebuah batu besar.
Dari fihak suporternya sementara itu terdengar suara
riuh yang memberi semangat padanya.
Ing-siu yang menyaksikan Ho Hay Hong hendak
melawan dirinya dengan tangan kosong lalu berkata
sambil tertawa besar.
"Bocah she Ho. Dalam rimba persilatan dewasa ini,
orang yang berani melawan aku dengan tangan kosong,
jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Oleh karena
itu, meskipun kau nant i mati, tetapi kematianmu ini
secara terhormat , sungguh patut dibanggakan!"
Ho Hay Hong yang mendengar ucapan itu, mendadak
tertawa terbahak-bahak.
Ing-siu sudah menghampiri dirinya dengan langkah
lebar, tangannya digerakan, telapak tangannya yang
lebar, nampak merah membara bagaikan besi habis
dibakar.
Ho Hay Hong tahu bahwa lawannya sudah
mengerahkan kekuatan tenaganya dikedua telapakan
tangannya, tetapi ia tidak takut. Bahkan dengan berani ia
maju menyongsong, hingga dua lawan itu jadi berdiri
berhadap-hadapan semakin dekat . Suasana semakin gawat , semua orang yang
menyaksikan pertandingan itu pada tahan napas. . .
Sebelum Ing-siu melancarkan serangannya yang
paling dahsyat , tiba-tiba terdengar suara wanita.
"Hay Hong-ko. kau."
Suara itu menarik perhatian semua orang hingga
semua mata lantas ditujukan ke arah Tiat Chiu Khim.
Mungkin hanya dialah penonton wanita satu-satunya
dalam pertempuran adu jiwa itu.
Ho Hay Hong segera mengenali suaranya Tiat Chiu
Khim. Dalam terkejutnya, pandangan matanya segera
ditujukan kearah wanita tersebut. Entah sejak kapan, si
Kakek penjinak garuda sudah t idak ada di sampingnya,
hanya t inggal lagi sipemuda baju kelabu yang
mengawani dirinya.
Tiat Chiu Khim seolah-olah hendak memberi
keterangan padanya, ia hendak menyapa Ho Hay Hong,
tetapi dengan cepat tangannya ditarik oleh pemuda baju
kelabu.
Ho Hay Hong t idak ada kesempatan untuk
menghadapi kekasihnya, ia mempersilahkan lawannya
menyerang lebih dulu.
"Kau dulu !" demikian Ing-siu menjawab sambil
tertawa mengejek.
Ho Hay Hong sangat mendongkol. Dengan t iba-tiba
melancarkan serangan.
Ing-siu menyambut i serangan Ho Hay Hong dengan
satu tangan tetapi serangan itu ternyata hebat sekali. Ketika dua tenaga saling beradu, jenggot Ing-siu
nampak berkibar-kibar, matanya terbuka lebar. Sambil
mendongakkan kepala, ia tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan difihaknya Ho Hay Hong tampak
sebaliknya, pemuda itu mundur terhuyung hingga enam
langkah, darahnya bergolak, hampir jatuh pingsan.
Suporter Ho Hay Hong dengan semangat berkobar-
kobar memberi dorongan padanya "Bengcu! Hayo lawan
terus, lawan terus. maju terus. ganyang!!!"
Tetapi seruan suporter Ho Hay Hong itu segera
disambut oleh suara tertawaan riuh dari para penonton
lainnya.
Orang she Siauw dari golongan rimba hijau daerah
utara segera lompat dan berkata dengan suara nyaring:
"Mengapa kalian tertawa ? Siapa yang merasa t idak
senang, boleh berhadapan denganku!"
Suara tertawa itu lantas sirap, ternyata t iada satu
orangpun yang berani keluar menyambut tantangan
orang she Siauw itu.
Ho Hay Hong merasa sangat terharu menyaksikan
perbuatan orang she Siauw itu. Sebagai seorang Bengcu,
sudah tentu harus pertahankan prest isenya. Oleh karena
itu maka ia bertekad hendak melawan sehingga tetes
darah yang penghabisan.
Dengan mendadak ia lompat melesat dan melancarkan
serangan tiba-tiba.
Ing-siu tampaknya t idak menghiraukan serangan itu,
dengan membalikkan satu tangannya yang merah membara menyambut serangan Ho Hay Hong, hingga
jago muda itu melayang turun lagi ketanah.
Dua kali gagal, Ho Hay Hong mulai agak putus asa.
Sementara itu, Ing-siu sudah maju menghampiri lagi
sambil melancarkan serangannya.
Ho Hay Hong menggunakan kekuatan tenaga
murninya "Cie-yang cin-khie" untuk menyambut
serangan lawannya.
Dalam mengadu kekuatan kali ini, Ing-siu terdorong
mundur setengah langkah, sedangkan Ho Hay Hong
terpental.
Waktu itu, napasnya memburu, kepalan puyeng,
tubuhnya sepert i dibakar, tetapi keringat dingin
mengucur keluar.
Ho Hay Hong benar-benar sudah sangat payah,
hampir t idak sanggup mempertahankan diri. Tetapi
dengan mendadak suatu kekuatan tenaga luar biasa
menyusup masuk dari belakang tubuhnya.
Dan tak lama kemudian kekuatan tenaganya sudah
pulih kembali sepert i sedia kala, bahkan dirasakan
semakin bertambah.
Ia terkejut dan terheran-heran, buru-buru berpaling
tetapi t idak tertampak ada orang di belakang dirinya.
Sebagai seorang yang paham ilmu silat, ia mengert i
bahwa ada orang berkepandaian t inggi dengan secara
diam-diam menyalurkan kekuatan tenaga dalam dari
jarak jauh. Ia heran karena orang yang mampu berbuat
demikian, seharusnya sudah pasti memiliki ilmu yang
telah mencapai taraf tert inggi. Ia juga merasa heran, mengapa orang berilmu itu
t idak unjukkan diri. Sebagai seorang yang sudah memiliki
ilmu demikian t inggi, t idak mungkin takut terhadap Ing-
siu. Siapakah dia sebenarnya ? Apa sebabnya hendak
membantu Ho Hay Hong ?
Matanya menyapu orang-orang diantara penonton,
tetapi tetap t idak menemukan orang yang membantu
dirinya secara diam-diam itu.
Ia mengerti ada orang diam-diam membantu dirinya,
tetapi sebagai seorang keras kepala dan t inggi hat i, ia
t idak suka menerima bantuan dengan cuma-cuma, maka
ia lalu beralih tempat , menghadap ke barat.
Perbuatan itu membikin bingung semua penonton,
mereka t idak mengert i apa sebabnya ia memutar badan
mengubah posisinya.
Baru saja ia berdiri, Ing-siu telah berkata sambil
tertawa.
"Bocah she Ho ! Kau sanggup menyambut i
seranganku, benar-benar merupakan satu bakat yang
sangat baik untuk dididik menjadi seorang kuat .
Sekarang marilah sambut i lagi seranganku!"
Ho Hay Hong mengangkat tangannya menyambut i
serangan Ing-siu. Kali ini kembali ia lantas rubuh.
Ing-siu sudah mengetahui dari sikap Ho Hay Hong,
bahwa serangan pertama t idak melukai diri anak muda
itu, maka serangannya kali ini telah ditambah dua bagian
kekuatan tenaganya. Tetapi Ho Hay Hong yang rubuh kebelakang, t iba-tiba
tertahan oleh suatu kekuatan gaib, hingga buru-buru
berdiri lagi.
Ini semakin membuat heran si orang tua, tapi dengan
sendirinya juga merasa t idak senang. Karena dibantu
secara demikian, dalam hat inya Ho Hay Hong
menganggap bahwa orang itu kasihan terhadap dirinya.
Dengan bangkitnya Ho Hay Hong kembali setelah
mendapat pukulan keras tadi, pandangan para penonton
terhadap dirinya mulai berubah. Mereka yang semula
mengira Ho Hay Hong pasti akan kalah, ternyata
sanggup melawan dengan gigih.
Ing-siu sendiripun t idak kalah herannya, jelas Ho Hay
Hong sudah rubuh tadi, tapi mengapa bangkit kembali ?
Kalau t idak memiliki kekuatan tenaga dalam luar biasa,
t idak mungkin dia bisa berbuat demikian.
ia mulai merasa curiga, anak muda itu mungkin benar-
benar memiliki ilmu yang sengaja disembunyikan.
Sekarang ia mulai hat i-hati mencari kesempatan sebaik-
baiknya untuk memberi pukulan terakhir.
Pikiran itu telah membuat lenyap kesombongannya.
Dalam hidupnya ia belum pernah merasa jeri terhadap
siapapun juga, tetapi kini pikirannya mulai goncang.
ia hanya tahu bahwa lawannya itu masih muda belia
yang dalam waktu sangat singkat sudah berhasil merebut
kedudukan sebagai pemimpin golongan rimba hijau
daerah utara.
Ia t idak tahu benar asal-usulnya anak muda itu tetapi
dari apa yang dihadapinya ia merasa bahwa lawannya itu
memang banyak menyimpan rahasia. Ia menghent ikan serangannya. Meskipun wajahnya
masih tampak senyuman, namun sudah t idak berani
memandang ringan lawannya lagi dan berdiri t iga
tombak didepan lawannya.
Bagi orang yang menaruh perhatian, segera dapat
melihat sikap ragu-ragu jago tua itu, sebab dari semula
ia selalu berdiri terpisah kira-kira dua tombak dari
lawannya, sedang kini ia terpisah agak jauh.
Sementara itu Tiat Chiu Khim yang menyaksikan Ho
Hay Hong sudah bangkit lagi lalu melambaikan tangan
kepadanya, tetapi segera dicegah oleh pemuda baju
kelabu.
Ho Hay Hong segera memikirkan maksud si gadis,
t iba-tiba sudah diserang lagi oleh lawannya. Ia terpaksa
mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya menyambut
serangan itu.
Untuk kesekian kalinya ia mengadu kekuatan tenaga
dengan jago tua itu. Kali ini ia t idak sanggup
pertahankan posisinya, t idak ampun lagi lantas terpental
t iga tombak lebih.
Kali ini Ing-siu benar-benar sudah bertekad hendak
mengambil jiwa lawannya, ia maju merangsek,
tangannya bergerak menyerang bagian jalan darah di
rusuk Ho Hay Hong.
Ho Hay Hong yang terpental ketengah udara,
sebetulnya hendak menggunakan ilmunya meringankan
tubuh untuk pertahankan kedudukannya, tetapi ternyata
sudah kehabisan tenaga, hingga t idak berdaya sama
sekali. Kini ia baru tahu betapa hebatnya kekuatan Ing-siu
kalau bukan kekuatan tenaga gaib yang menunjang
dirinya sedari tadi, barangkali ia kini rubuh menjadi
bangkai.
Dalam keadaan t idak berdaya, Ing-siu sudah maju
menyergap lagi. Ho Hay Hong mengharap pertolongan
tenaga gaib tadi, tetapi kali ini t idak muncul lagi, sedang
tangan Ing-siu sudah mengancam dirinya.
Dalam keadaan sangat krit is, t iba-tiba dapat satu akal.
Ditengah udara ia mengeluarkan suara bentakan keras:
"Lihat seranganku!"
Ing-siu yang mendengar suara itu, mendadak tarik
kembali serangannya, ia khawat ir tert ipu akal muslihat
Ho Hay Hong.
Dengan demikian, terluput lah lagi ia dari serangan
maut Ing-siu. Ketika kakinya menginjak tanah, rasa nyeri
masih belum lenyap. Untuk menutupi kelemahannya, ia
masih memberi pujian atas kegesitan lawannya.
Ing siu yang mendengar pujian itu, semakin percaya
bahwa anak muda itu benar-benar memiliki kepandaian
t inggi yang sengaja disembunyikan.
Kecuali Ho Hay Hong sendiri, semua orang t idak tahu
apa sebabnya Ing siu mendadak membatalkan
serangannya dan mundur teratur. Dengan demikian
maka kesudahannya kembali menjadi seri.
Ing Siu mulai naik pitam. Semula ia hendak
membinasakan lawannya dalam beberapa jurus dengan
serangannya yang terampuh. Tak disangkanya bahwa
lawannya yang masih sangat muda itu ternyata bukan
satu lawan ampuh, sehingga membuyarkan harapannya. Setelah beberapa jurus adu kekuatan tadi, ternyata
masih tetap seri, hingga orang tua yang namanya pernah
menggemparkan rimba persilatan itu, merasa kehilangan
muka. Kini ia terpaksa mengeluarkan ilmu simpanannya
yang sudah dilatih dengan tekun selama beberapa puluh
tahun, yang semula hendak digunakan untuk
mengalahkan musuh lamanya, si Kakek Penjinak garuda.
Meskipun ia belum tahu benar sampai di mana
kekuatan tenaga dalam Ho Hay Hong, tetapi jika diukur
dari usianya, t idak mungkin lebih hebat dari pada dirinya
sendiri.
ia lalu menggerakkan ilmunya kekedua tangannya,
kemudian berkata dengan nada suara dingin:
"Bocah awas! Ini adalah ilmu-ilmu Tay-lo Sin kang
yang telah kulat ih selama beberapa puluh tahun
sekarang kau coba sambutlah!"
Sehabis berkata demikian, meluncurlah dua tangannya
yang dinamakan Tay lo Sin kang itu.
Bagaikan seorang yang sudah berada di atas
punggung harimau, Ho Hay Hong t idak bisa turun atau
mundur begitu saja. Mau t idak mau ia terpaksa
mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya, untuk
menyambut serangan musuh.
Ketika kekuatan dua pihak saling beradu, Ho Hay
Hong merasa jantungnya tergoncang hebat, hingga
hampir jatuh pingsan.Dengan t iba-tiba kekuatan gaib itu
kembali menjalar kedalam tubuhnya, kekuatan
tenaganya pulih kembali, bahkan tambah berlipat ganda
Betapapun herannya, ia juga t idak berani memikirkan
lagi, karena lawannya sudah mulai menyerang lagi. Kali ini ternyata ia sedikitpun t idak bergeming. Ia
hendak menarik kembali tangannya, diluar dugaannya
sudah tersedot oleh kekuatan tenaga dalam Ing-sui.
Mengertilah ia kini bahwa lawannya hendak mengadu
kekuatan tenaga dalam dengan cara menyedot kekuatan
lawannya. Ia juga tahu bahwa mengadu, kekuatan
tenaga dalam secara demikian, adalah sesuatu cara yang
paling berbahaya.
Barang siapa yang belum cukup sempurna kekuatan
tenaga dalamnya bisa tersedot habis-habisan tenaganya
oleh lawannya, hingga bisa membawa akibat kemat ian.
Dalam keadaan demikian, Ho Hay Hong terpaksa
berlaku nekad. Ia kerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya, sedangkan kekuatan gaib itu juga masih tetap
mengalir dalam tubuhnya. Meskipun ia t idak tahu benar
siapa orang yang telah membantu terus-terusan secara
menggelap itu, tetapi ia t idak berani berpikir terlalu
banyak lagi.
Dalam mengadu kekuatan secara demikian, dua kali
Ing-siu pernah mencoba menambah kekuatan buat
menjatuhkan lawannya, tetapi setelah Ho Hay Hong
mendapat tambahan tenaga gaib dari orang yang
membantu dirinya secara menggelap, keadaan menjadi
seru lagi.
Ho Hay Hong mengert i bahwa kekuatan tenaga dalam
orang yang membantu dirinya itu jelas masih diatas Ing-
siu. Tetapi oleh karena disalurkan kedalam tubuhnya dari
jarak jauh, dengan sendirinya agak terhalang.
Ia kini mulai merasa dirinya dijadikan boneka oleh dua
orang kuat untuk mereka mengadu kekuatan. Orang yang menyalurkan tenaga gaib itu t idak mau unjuk diri,
jelas merupakan musuh Ing-siu. Maka meskipun ia
berhasil mengatasi kekuatan tenaga lawannya, tetapi
t idak merasa bangga atau girang.
Sementara itu. Ing-siu juga sudah mulai tahu bahwa
anak muda itu diam-diam telah dibantu oleh lain orang
yang lebih kuat dari dirinya sendiri.
Diam-diam ia terkejut , tetapi t idak tahu orangnya yang
melakukan perbuatan itu, ia juga t idak menduga bahwa
dalam rimba persilatan pada waktu itu, masih ada orang
yang memiliki kekuatan tenaga demikian hebat , tahu
jelas bahwa maksud orang itu sengaja hendak merusak
nama baiknya dihadapan orang banyak.
Ia mulai gusar dan penasaran. Oleh karena pikirannya
terganggu, hingga terdorong mundur beberapa langkah
oleh Ho Hay Hong.
Suatu kejadian yang cukup menggemparkan! Kejadian
yang sekaligus telah merubah pikiran para penonton
yang semula anggap Ho Hay Hong pasti kalah.
Jenggot putih Ing-siu berkibar-kibar, matanya
mendelik, wajah yang tadinya merah kini tampak pucat,
jidanya juga mulai berkeringat Jelas ia sedang berusaha
keras hendak mempertahankan kedudukannya.
Walaupun ia sudah berusaha mati-mat ian tetapi
karena kekuatan tangannya memang kalah set ingkat dari
lawannya yang menggelap, maka ia t idak berdaya.
Dibawah sorakan ramai-ramai penonton, mulut Ing-siu
mulai menyemburkan darah segar. Kemudian dengan
mata beringas ia berkata sambil tertawa nyaring: "Bagus, bagus! Bocah she Ho, peruntunganmu
memang bagus benar!"
Ho Hay Hong menggunakan kesempatan itu
mengerahkan kekuatan tenaganya ke jari tangannya,
kemudian memberi rangsakan hebat kepada lawannya.
Ing-siu yang masih tertawa terbahak-bahak mendadak
menerima serangan hebat Ho Hay Hong, jantungnya
tergoncang hebat, mulutnya kembali menyemburkan
darah.
Setelah mengeluarkan suara tertawa yang
mengerikan, orang tua itu akhirnya jatuh roboh ditanah.
Jago pedang pertengahan umur muridnya Ing siu,
tampak terkejut dan terheran-heran. Segera dihampiri
gurunya, tetapi ternyata sudah putus nyawanya.
Ho Hay Hong menyaksikan semua kejadian dengan
hat i bingung, sementara tenaga gaib yang membantu
dirinya juga sudah meninggalkan dirinya.
Jago pedang pertengahan umur itu dengan mata
beringas segera menyerang Ho Hay Hong hendak
menuntut balas atas kematian gurunya Tetapi dengan
mudah dapat dipukul mundur oleh Ho Hay Hong.
Ho Hay Hong t idak mau berbuat keterlaluan terhadap
jago pedang itu, maka t idak balas menyerang hanya
memberikan peringatan sekedarnya.
Jago muda itu juga mengert i bukan tandingan Ho Hay
Hong, maka lantas berlalu dengan membawa jenazah
gurunya.
Ho Hay Hong masih penasaran terhadap orang yang
membantu dirinya secara menggelap, maka setelah jago pedang itu berlalu, ia mulai mencari-cari disekitar danau
itu.
Tiba-tiba tampak Tiat Chiu Khim maju menyongsong
dengan diikut i oleh pemuda baju kelabu.
"Adik Khim, kau hendak kemana? Lekas kembali!!"
pemuda baju kelabu itu berkata.
Ho Hay Hong terkejut , ia masih belum tahu apa yang
harus dilakukan, Tiat Chiu him sudah berkata padanya:
"Engko Hay Hong aku…aku"
"Kau kenapa?" tanya Ho Hay Hong dingin.
"Aku sudah terluka." jawab sinona ambil menahan
rasa sakitnya.
Belum lagi Ho Hay Hong menjawab, pemuda baju
kelabu sudah memburu dan mencekal lengannya seraya
berkata:
"Aku tadi sudah pesan padamu jangan banyak
bergerak tetapi kau tidak mau dengar kata"
Ho Hay Hong diam-diam berpikir: ”nampaknya benar
ia telah terluka.”
Ia t idak tega menyaksikan penderita kekasihnya, maka
lantas menoleh dan berusaha mengendalikan
perasaannya.
Pemuda baju kelabu menarik tangan Tiat Chiu Khim
seraya berkata:
"Adik Khim, sudahlah. Jangan kau pikirkan dia lagi
salah-salah kau sendiri nant i yang akan celaka!" Tiat Chiu Khim hendak menangis, tetapi t idak bisa
mengeluarkan airmata, ia memandang Ho Hay Hong
sejenak, diam-diam hat inya mengeluh dan terpaksa
berlalu mengikut i pemuda baju kelabu.
Ho Hay Hong t idak dapat mengendalikan perasaanya
lagi, dengan cepat memburu.
Pemuda baju kelabu agaknya mengert i perasaan anak
muda itu, ia berpaling dan menegurnya:
"Orang she Ho. apa kau masih hendak mencelakakan
dirinya?"
"Apa maksud ucapanmu ini?" tanya Ho Hay Hong.
"Minggir urusan dalam perguruan kita, t idak perlu kau
campur tangan!"
Dengan menahan hawa amarahnya. Ho Hay Hong
berkata sambil tersenyum:
"Mengapa kau berkata demikian terhadapku? Kau
harus tahu bahwa aku belum pernah mencampuri urusan
dalam perguruanmu!"
"Aku t idak ada waktu untuk bicara denganmu! Adik
Khim, tenanglah!" kata pemuda baju kelabu yang segera
menarik tangan Tiat Chiu Khim.
Tiat Chiu Khim memandang Ho Hay Hong sejenak
mendadak meronta melepaskan tangannya dari cekalan
pemuda baju kelabu dan secepat kilat menubruk Ho Hay
Hong.
Ho Hay Hong kelabakan, ia berdiri terpaku. Sedang
Tiat Chiu Khim sudah sesapkan kepalanya didada anak
muda ini, sepatah katapun t idak keluar dari mulutnya. Ho Hay Hong t idak mengert i apa sebabnya sigadis
begitu ketakutan, ia hanya tahu past i ada sebabnya.
Pemuda baju kelabu yang semula terkejut, kemudian
berkata dengan suara gusar:
"Adik Khim kemari, kau berani melanggar pesanku?"
Tiat Chiu Khim t idak berani menjawab, gadis yang
gagah perkasa itu kini mendadak berubah demikian
lemah, hal itu sangat mengherankan Ho Hay Hong.
Karena Tiat Chiu Khim tetap membandel, pemuda baju
kelabu itu lantas marah.
"Baik, kau t idak dengar kata, jangan sesalkan kalau
aku nant i akan berlaku t idak pantas terhadapmu?"
Sehabis berkata demikian, tangannya lantas bergerak
melancarkan satu serangan.
Ho Hay Hong menangkis serangan itu dengan tangan
kiri, sedang tangan kanannya balas menyerang,
sementara itu mulutnya berkata:
"Harap saudara jangan sembarang bertindak,
jelaskanlah dulu duduk perkara!"
Tetapi pemuda baju kelabu itu t idak menghiraukan
dengan beruntun melancarkan serangannya.
Ho Hay Hong melihat pemuda itu t idak mudah dikasih
mengert i, dalam hat inya juga mendongkol. Tanpa
banyak bicara lagi, ia lantas balas menyerang dengan
tangan dan kakinya. Dengan demikian serangan pemuda
baju kelabu itu agak kendor.
Tiat Chiu Khim mendadak berseru: "Hay Hong, kita harus lekas kabur! Kakek penjinak
garuda berkata didekat sini!"
Ho Hay Hong dapat menerima usul si nona, dengan
cepat memondong tubuh si gadis dan melarikan diri.
Dengan t iba-tiba ia merasakan sambaran angin dari
atas kepalanya. Tanpa menoleh Ho Hay Hong juga
melancarkan serangan tangan dan lompat sejauh satu
tombak lebih. Kembali satu bayangan hitam melayang
diatas kepalanya, kiranya ada seekor burung garuda
raksasa yang menyerang dirinya.
Ia segera mengert i bahwa Kakek penjinak garuda
sudah datang, tetapi sebelum berhasil menyingkir,
bayangan Kakek penjinak garuda sudah berada
dihadapan matanya.
Dengan wajah dingin Kakek penjinak garuda
memandang mereka berdua, kemudian membuka
topinya yang lebar, hingga tampaklah seraut wajah yang
keriputan.
"Haha! Kau hendak kabur? Huh!" Tertawalah ia
terbahak-bahak.
Ho Hay Hong t idak takut, sebaliknya malah tertawa
terbahak-bahak.
"Kita telah bertemu lagi Kakek penjinak garuda.
Kedatanganmu sungguh sangat kebetulan."
Kata-kata Ho Hay Hong ini mengejutkan semua
penonton, mereka t idak menyangka bahwa orang yang
baru datang itu adalah Si Kakek penjinak garuda yang
sangat terkenal. "Aku hendak tanya padamu lebih dulu, darimana kau
dapat pelajaran ilmu garuda sakt i itu?" tanya si Kakek
penjinak garuda dengan sikap garang.
Ho Hay Hong ragu-ragu menjawab, ia memandang
kekasihnya.
"Lekas jawab!" demikian Kakek penjinak garuda
mendesak lagi.
"Bagaimana kalau aku t idak mau menjawab?" balas
menanya Ho Hay Hong dengan berani.
"Aku tahu, kepandaian itu pasti budak hina yang
mengajarkan padamu. Jikalau kau t idak mau mengaku
aku hendak bunuh dia lebih dulu !"
"Sungguh jumawa! Cianpwe ternyata seorang yang
t idak kenal aturan haha! Aku sekarang baru tahu
sifatmu!" kata Ho Hay Hong sambil tertawa.
"Kau jangan anggap karena tadi kau habis membunuh
Ing-siu yang namanya sangat terkenal, lantas t idak
pandang mata lagi padaku Kau harus tahu." Mendadak
berubah nada suaranya, "terus terang, dengan
kepandaian yang t idak berarti itu, masih belum mampu
menandingi burung garudaku. Apa yang kau buat
bangga?"
"Seekor burung saja ada harganya kau banggakan,
benar-benar lucu."
Dua ekor burung garuda itu agaknya mengert i kalau
mereka dihina, mendadak dua-duanya berbunyi nyaring
dan terbang keangkasa hendak menyerang Ho Hay
Hong. Kakek penjinak garuda pura-pura menggapaikan
tangannya, dua ekor burung garuda hinggap lagi dikedua
bahunya, tetapi matanya masih mengawasi Ho Hay
Hong.
"Kau mau menjawab atau t idak ?" tanya pula Kakek
penjinak garuda.
Ho Hay Hong khawat ir orang tua itu benar-benar
memberikan ancamannya, ini berarti menyusahkan diri
kekasihnya, maka buru-buru menjawab sambil tertawa
dingin:
"Tidak halangan kujelaskan padamu, ilmu garuda sakti
itu adalah Dewi ular dari gunung Ho-lan-san yang
mewariskan padaku. Kalau kau t idak percaya boleh
tanyakan sendiri!"
"Tidak mungkin ia memiliki ilmu pelajaran itu."
"Kau jangan berkata sembarangan! Beliau masih
hidup, kau boleh tanyakan sendiri !"
"Aku tak percaya!"
"Ilmu itu ada salinannya, asal bisa mendapatkan
salinannya siapapun juga bisa mempelajari!"
"Dimana kitab salinannya sekarang?"
"Sudah aku robek-robek."
"Baik, benar tidak ia wariskan ilmu itu padamu, tetapi
ia sekarang sudah khianat i aku, maka aku hendak hukum
padanya menurut peraturan dalam perguruanku, kau
serahkan padaku, lekas!" Karena kata-katanya itu bernada memerintah, maka
Ho Hay Hong juga t idak sudi menyerah begitu saja,
jawabnya dingin:
"Maaf, aku t idak bisa terima perintah semacam ini!"
"Apa?" tanya Kakek penjinak garuda marah,
"perempuan ini adalah muridku, dengan hak apa kau
hendak melindunginya?"
"Atas nama keadilan dan prikemanusian aku hendak
melindungi dirinya! Dengan sejujurnya, aku t idak puas
atas sepak terjang dan perbuatanmu terhadap muridmu
sendiri !"
Dihadapan umum Kakek penjinak garuda diperlakukan
demikian rupa, sudah tentu naik darah.
"Bocah, kau sungguh berani ! Kau nant i ku hancur
leburkan tulang-tulangmu!" demikian katanya.
Tiat Chiu Khim mendadak berkata sambil menghela
napas:
"Hay Hong, biarlah aku sendiri yang memikul semua
dosaku!"
"Tidak, aku memang sudah lama hendak menggempur
dia!" jawab Ho Hay Hong sambil mendongak keatas.
Sementara itu, salah satu anggauta golongan rimba
hijau daerah utara mendadak melemparkan pedang
garuda saktinya kepadanya seraya berkata:
"Bengcu. awas pedangmu nant i hilang!" Ho Hay Hong
menyambut pedang sakt inya, semangatnya lantas
terbangun, ia berkata sambil tertawa nyaring: "Kakek penjinak garuda, marilah menggunakan
kesempatan ini kita bereskan permusuhan kita!"
"Bangsat kecil ! Dengan mengandalkan apamu kau
berani menantang aku?" kata Kakek penjinak garuda.
Tangannya segera bergerak, hembusan angin hebat
lalu meluncur dari tangannya.
Ho Hay Hong mundur lima langkah, baru bisa berdiri
tegak.
Sambil mengawasi pedangnya Ho Hay Hong berkata
kepada kekasihnya.
"Adik Khim, kau jangan takut ! Kalau harus mati juga
biarlah kita mari bersama-sama!"
Tiat Chiu Khim menundukkan kepala, hat inya merasa
girang. Katanya dengan suara sedih:
"Hay Hong, sebelum mati, aku hendak memberi sedikit
penjelasan dulu padamu, kau tadi pasti salah faham
terhadap diriku, mengira aku kembali lagi kepadanya,
betul t idak?"
"Memang benar! Aku tadi memang berpikir demikian."
"Aku sudah dapat menduga pikiranmu. Sekarang aku
hendak berterus-terang padamu. Aku kembali
kepadanya, semata-mata buat keselamatanmu, tahukah
kau."
"Aku t idak tahu, aku sedikitpun t idak mengira!"
"Sejak aku meninggalkan kau, aku lantas lari ke
kampung setan, maksudku ialah hendak memancingnya
ia keluar, karena aku pikir kau pasti bukan tandingan
Ing-siu, maka itu." "Oh!" kata Ho Hay Hong seolah-olah baru sadar.
"Kiranya begitu? Adik Khim, aku benar-benar terlalu
goblok, belum pernah memikirkan hal itu!"
Tiat Chiu Khim tersenyum, sedikitpun t idak
mempunyai perasaan takut lagi.
"Aku tahu antara Ing-siu dan Kakek penjinak garuda
ada permusuhan hebat. Maka aku pancing ia keluar. Aku
pikir ia pasti akan kebentrok dengan Ing-siu, dengan
demikian jiwamu baru tertolong dari bahaya!"
Kata-kata itu keluar lagi dari mulut kekasihnya, sudah
tentu ia percaya sepenuhnya.
Pada saat itu, seekor burung garuda mendadak
menukik menyerang dirinya.
Dengan cepat ia mengambil keputusan, dengan
tenaga sepenuhnya ia meluncurkan pedangnya ke udara.
Burung garuda itu ternyata cerdik sekali, dengan
paruh dan kukunya ia berhasil memukul jatuh pedang
pusaka Ho Hay Hong. Tetapi burung itu t idak mengert i
bahwa Ho Hay Hong pandai mengendalikan pedang.
Selagi merasa bangga, pedang Ho Hay Hong yang
meluncur turun, tadi mendadak telah melesat balik lagi
keatas, turun menikam dirinya.
-ooo0dw0ooo-
Bersambung Jilid 30

Jilid 30 KALI ini burung garuda itu t idak dapat mengelakkan
serangan tersebut , hingga tubuhnya terbelah menjadi
dua potong.
Kakek penjinak garuda sangat marah, bentaknya
dengan suara keras:
"Bocah, kau sungguh berani mati! Hari ini harus
menggant i jiwa burung kesayanganku!"
Pemuda baju kelabu segera maju dan berkata kepada
gurunya:
"Suhu, harap jangan marah, biarlah teecu yang
membereskan bocah ini!"
Kakek penjinak garuda menotok dengan tangannya
hingga pemuda itu terdorong setombak lebih.
"Siapa suruh kau campur tangan? Lekas mundur!"
katanya marah.
Tanpa menunggu orang tua itu turun tangan, Ho Hay
Hong menggunakan pedangnya lebih dulu menyerang
seekor burung garuda yang masih hidup.
Kakek penjinak garuda dengan cepat mengerakkan
tangannya, hingga pedang itu jatuh ketanah.
Secepat kilat kakek itu menyambar pedang dan
berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Bocah! Kau gunakan pedang ini membunuh
burungku? Hahaha"
Sambil tertawa ia menyambitkan pedangnya kearah
Ho Hay Hong, mulutnya berkata.
"Aku juga hendak menggunakan pedang ini untuk
mengambil kepalamu!" Ho Hay Hong t idak berani berlaku gegabah, dengan
cara memutar ia mengelakkan serangan pedang
tersebut.
Tetapi pedang itu mendadak membalik, t idak
menyerang dirinya, sebaliknya meluncur kearah Tiat Chiu
Khim.
Ho Hay Hong lompat meleset ketengah udara, dengan
t inju tangan kirinya yang menggempur gagang pedang,
hingga pedang itu jatuh ketanah. Tetapi sebelum ia
berhasil memperbaiki posisinya, Kakek penjinak garuda
berada dihadapannya.
Ho Hay Hong terkejut untuk sesaat ia berdiri tertegun.
Si Kakek t idak lantas menyerang, melainkan
mengebutkan lengan jubahnya, hingga Ho Hay Hong
terpental mundur.
Setelah itu, barulah ia mengangkat tangannya hendak
melancarkan serangannya.
Wajah Tiat Chiu Khim pucat seketika, lalu t idak ingat
orang lagi.
Sebelum pukulan tangan Kakek penjinak garuda jatuh
keatas diri wanita malang itu, mendadak muncul seorang
pertengahan umur berpakaian pelajar lompat keluar dari
kalangan penonton seraya berseru:
"Kakek penjinak garuda! Apa kau masih mengenali
diriku?"
Kakek penjinak garuda membatalkan serangannya, ia
berpaling memandang orang itu kemudian berdiri
terpaku. Ho Hay Hong yang terhindar dari bahaya maut, buru-
buru lompat mundur. Ketika ia menampak siapa
orangnya yang muncul secara t iba-tiba itu, sesaat juga
berdiri tertegun.
Kiranya orang itu adalah Tee Soan-kiam Tok Bu Gouw.
Pada saat itu, sepasang matanya yang sayu
memandang Kakek Penjinak garuda dengan penuh
kemarahan. Bagai orang yang pintar, segera dapat
mengert i bahwa pandangan mata Tok Bu Gouw itu ada
mengandung permusuhan hebat.
Tok Bu Gouw didaerah utara merupakan orang kuat
yang sangat disegani, tetapi didaerah selatan sedikit
sekali orang yang mengenalnya. Namun dengan
perbuatannya yang berani menantang kakek Penjinak
garuda, itu saja sudah cukup membuat kagum para
penonton.
"Oh, kiranya kau!" demikian kata-kata permulaan yang
meluncur keluar dari mulut si Kakek Penjinak garuda
kepada penantang barunya, kemudian tertawa terbahak-
bahak.
"Bagus, bagus!" sambungnya. "Kecuali perempuan
hina yang sudah mampus, sekarang sang suami jahanam
dan anaknya yang durhaka! sudah berkumpul disini,
haha! Kalian berdua hidup didunia juga t idak ada
gunanya, lebih baik mati saja !"
Kata-kata itu mengejutkan semua penonton, sebab
mereka t idak mengert i duduknya perkara.
Tee soan-kiam sudah meloloskan pedangnya.
Wajahnya yang murung, mendadak beringas. Sambil
tertawa dingin ia berkata. ”Kakek penjinak garuda! Tahukah kau bahwa selama
beberapa puluh tahun aku hampir mati penasaran
memikirkan permusuhan kita? Hari ini ada kesempatan
bertemu disini, inilah waktunya yang paling baik untuk
membereskan permusuhan antara kita. Sekarang jangan
banyak bicara keluarkanlah ilmu kepandaian garuda
Sakt imu, aku ingin melihat , apakah ilmumu yang
menggemparkan rimba persilatan itu mampu
menundukkan aku siorang she Tok atau t idak?"
"Orang she Ho, aku tahu ilmu pedang Tee Soan-
kiammu sangat lihay, tetapi aku kakek penjinak garuda
adalah anak keturunan dewa, dalam dunia Kang-ouw
dewasa ini, belum pernah ada orang yang mengalahkan
aku, Ha! Ha! Ha." berkata Kakek penjinak garuda dingin.
Mendengar perkataan itu, dalam terkejutnya Ho Hay
Hong lantas t imbul rasa curiganya, ia lalu berpikir: ”Tee-
soan hong ini benar benar seorang she Ho, kalau begitu
apa yang di ucapkan tanpa sengaja oleh gadis baju ungu
dahulu, semua benar adanya.”
Sudah lama memang Ho Hay Hong mencurigakan asal
usul dari Tee soan-hong mengapa It-Jie Hui kiam selalu
mengalah terhadapnya?
Mengapa Tee soan-kiam selalu membela dan
melindungi dirinya? Semua ini sudah pasti bukan t idak
ada sebabnya! Tetapi ia masih belum tahu benar
hubungan apa antara ia dengan Tee-soan hong. Dan apa
sebabnya pula dari utara datang kemari? Jikalau belum
direncanakan lebih dulu dengan masak-masak, t idak
mungkin bisa secara begitu kebetulan. Menggunakan kesempatan itu ia melirik kepada
kekasihnya yang saat itu telah memejamkan matanya
dan ditunjang oleh pemuda baju kelabu.
Karena gadis itu masih dalam keada pingsan. Ia t idak
usah merasa khawatir akan diserang oleh Kakek penjinak
garuda. Sebab bagaimanapun ganasnya si Kakek itu,
t idak berani turun tangan terhadap seorang perempuan
yang tidak berdaya.
Apalagi dibawah sorotan mata orang banyak,
bagaimanapun juga orang tua itu tentu masih hendak
pertahankan kedudukan di mukanya.
Dan ket ika ia melongok kearah si kakek yang tua itu
sudah mulai bertempur dengan Tee-soan kiam dengan
hebatnya.
Ia segera dapat mengenali bahwa si kakek itu
menggunakan ilmu Silat Kun-hiap Samkay untuk
melawan Tee-soan kiam, sedangkan Tee-soan kiam
menggunakan ilmu pedangnya Tee soan-kiam yang
merupakan kebanggaannya.
Dalam waktu sangat singkat dua orang itu sudah
bertempur sepuluh jurus lebih, diluar dugaan semua
orang. Tee soan-kiam sedikitpun tak ada tanda-tanda
akan kalah.
Ho Hay Hong mulai merasa heran, sebab ia kenal baik
kepandaian ilmu Tok Bu Gouw. Menurut perhitungannya,
seharusnya sudah lama kalah, entah darimana datangnya
kekuatan tenaga yang menunjangnya sehingga ia dapat
bertahan sekian lama?
Tetapi dengan cepat ia segera dapat menyadari
sebab-sebabnya. Ternyata ilmu pedang yang dipelajari oleh Tok Bu Gouw, ialah ilmu pedang Tee soan-kiam,
memang ditujukan untuk menandingi ilmu garuda Sakt i
Kakek penjinak garuda.
Meskipun dalam ukuran kekuatan tenaga dalam, Tee
soan-kiam masih selisih jauh dengan Kakek penjinak
garuda, tetapi dengan ilmu pedangnya yang selalu
ditujukan kebagian bawah musuh, memaksa Kakek
penjinak garuda harus peras keringat.
Ketika pertempuran berjalan t iga puluh jurus, Kakek
penjinak garuda sudah berada atas angin. Tee-soan-kiam
telah berusaha melawan mati-mat ian, tetapi karena
kekuatan tenaga dalamnya masih kalah jauh, susah
baginya untuk bertarung lebih lama lagi.
Sejak diutara kesan Ho Hay Hong terhadap Tee-soan
kiam t idak begitu baik. Sebetulnya t idak ingin ia
membantu, tetapi karena mengingat jago pedang Tee-
soan-kiam itu datang justru untuk menolong jiwanya,
bagaimanapun juga ia t idak dapat berpeluk tangan lebih
jauh. Maka ia lalu lompat melesat turun kedalam arena.
Ia melancarkan serangannya dari samping tetapi
Kakek penjinak garuda yang diserang malah tertawa
terbahak-bahak. Seolah-olah t idak menghiraukan
serangannya. Didalam mata jago tua itu, hendak
mengambil jiwa dua orang itu sesungguhnya t idak terlalu
susah baginya.
Tetapi, suara kakek itu mendadak berhent i, kiranya ia
sudah mengetahui bahwa kekuatan tenaga dalamnya
sudah banyak kurang. Ia mengert i karena tadi ia
membantu Ho Hay Hong secara menggelap, hingga
kekuatan tenaga dalamnya terhambur terlalu banyak. Hal itu sesungguhnya sangat berbahaya bagi dirinya.
Apalagi ia kini harus menghadapi dua musuh tangguh
sekaligus. Ia sebetulnya boleh minta bantuan muridnya,
tetapi ia t idak mau berbuat demikian. Sebagai seorang
keras kepala, ia hendak menyelesaikan dua lawannya
dengan tangan sendiri.
Ketika pemuda baju kelabu mendekat i dirinya bahkan
disentaknya, supaya menyingkir jauh-jauh.
Dalam jurus ke empat mendadak terdengar suara
hebat yang memekikan telinga.
Tiga orang yang bertempur telah memisahkan diri
masing-masing. Tee Soan-kiam berdiri tegak bagaikan
patung dengan mata beringas menatap wajah Kakek
penjinak garuda, pedang di tangannya sudah terlempar
jatuh ditanah, mulutnya mengeluarkan darah.
Ho Hay Hong wajahnya pucat pasi, rambutnya awut-
awutan, bibirnya juga mengeluarkan darah. Lambang
emas kebesarannya sudah jatuh ditanah dan disimpan
oleh anak buahnya.
Kakek penjinak garuda terus tertawa terbahak-bahak,
tetapi suara tertawanya sudah t idak begitu nyaring
sepert i tadi.
Siapa yang menang? Siapa yang kalah? Tiada
seorangpun yang berani memberi keputusan.
Keheningan hanya berlangsung sejenak saja, pemuda
baju kelabu agaknya t idak bisa tinggal diam lagi. dengan
cepat lompat kehadapan Tee-soan-kiam dan menyerang
dengan pedang nya. Perbuatannya itu sudah melanggar perintah gurunya,
maka seket ika itu wajah Kakek penjinak garuda lantas
berubah.
Pemuda baju kelabu itu berlaga ganas, ia menyerang
hebat kepada lawannya, hingga Tee soan-kiam terus
mundur dalam keadaan t idak berdaya.
Tampak Tee-soan-kiam sudah hampir mati diujung
pedang muridnya. Kakek penjinak garuda membentak
dengan suara keras:
"Minggir ! Berani kau melanggar perintah ku ?"
Mata pemuda baju kelabu nampak marah membara, ia
dapat lihat bahwa gurunya sudah kehabisan tenaga,
hingga t idak mudah lagi menjatuhkan lawannya, ia juga
kenal baik adat gurunya yang keras kepala dan suka
membawa kemauan sendiri, sekalipun dalam keadaan
bahaya, juga t idak mengijinkan orang lain campur
tangan.
Disamping itu, ia juga ingat budi gurunya maka diam-
diam telah mengambil keputusan hendak membela
gurunya supaya jangan kehilangan muka, biar ia harus
korbankan, jiwanya sendiri sekalipun.
Oleh karena itu, maka ia t idak menurut perintah
gurunya, pedangnya digunakan, untuk menotok jalan
darah Tee-soan-kiam.
Kakek penjinak garuda makin marah, dengan t iba-tiba
dan tanpa mengeluarkan suara, tangannya menyerang
muridnya yang dianggapnya berani membangkang
Tak ampun lagi pemuda baju kelabu itu lantas roboh
sambil menjerit dan menyemburkan darah dari mulutnya. Tetapi ketika ia menoleh dan mengetahui bahwa orang
yang menyerang dirinya adalah gurunya sendiri, lalu
berkata dengan suara nyaring:
"Suhu, maafkan dosa muridmu yang telah
membangkang perintahmu."
Ia t idak melanjutkan kata-katanya dengan airmata
bercucuran dan memandang gurunya sejenak, kembali
menyerang lawannya.
Kakek penjinak garuda yang menyaksikan perbuatan
muridnya, lalu berkata sambil menghela napas panjang:
"Murid durhaka! Aku telah mendidik kau begitu banyak
tahun, pada akhirnya tokh masih tetap membangkang
perintahku. Apa boleh buat , dihadapan para tokoh rimba
persilatan, aku harus menghukum dulu kau yang
mendurhakai perguruan!"
Dihadapan mata orang banyak, Kakek penjinak garuda
sudah tentu harus melaksanakan ucapannya.
Demikianlah pemuda baju kelabu itu harus
mengorbankan jiwanya untuk mempertahankan prestise
gurunya.
Setelah menghukum mat i muridnya, Kakek penjinak
garuda teringat hubungan dengan muridnya, hingga
tanpa disadari airmatanya mengalir keluar.
Dalam suasana sunyi, kesedihan telah mencekam hat i
semua orang. Dalam keadaan demikian, entah dari mana
datangnya kekuatan tenaga. Tee-soan-kiam yang sudah
hampir kehabisan tenaga mendadak mengeluarkan suara
bentakan keras, kemudian lompat dan bagaikan anak
panah terlepas dari busurnya menyerbu Kakek penjinak
garuda. Perbuatan Tee-soan-kiam yang nekad segera
menggemparkan Semua penonton.
Kakek penjinak garuda juga agak terkejut , tetapi
tangannya dengan cepat bergerak menyerang lawannya.
Tee-soan-kiam t idak menyingkir, dengan kepalanya ia
menyeruduk dada Kakek penjinak garuda.
Ketika kepalanya beradu dengan dada kakek penjinak
garuda, hanya terdengar suara benturan keras, lalu
disusul oleh suara jeritan Tee Soan-kiam. Dengan sisa
tenaganya, dua tangannya menyerang dengan
berbareng.
Kakek penjinak garuda mengeluarkan suara tertahan,
kakinya menendang hingga Tee-soan kiam melesat
sejauh satu tombak lebih.
Kejadian secara t iba-tiba itu sangat mengejutkan Ho
Hay Hong. Ketika ia membuka matanya, Kakek penjinak
garuda sudah pucat Wajahnya dan mundur terhuyung-
huyung.
Ia t idak dapat menduga apa sebabnya Tee soan-kiam
berlaku begitu bodoh? Karena perbuatannya itu berarti
mengantarkan jiwanya sendiri.
Sementara itu Tee-soan-kiam yang jatuh ditanah,
terus dalam keadaan t idak berkut ik. Meskipun kepalanya
masih utuh, tetapi dalamnya mungkin sudah remuk
hancur bekas serangan Kakek penjinak garuda, hanya
t inggal napasnya yang masih belum putus.
Karena kematian Tee-soan-kiam itu di anggapnya
hendak membela dirinya, maka Ho Hay Hong buru-buru menghampiri. Ket ika ia memeriksa keadaannya,
wajahnya pucat seketika.
Dari mulutnya mengeluarkan suara rint ihan dan
serentetan kata kata yang sangat lemah:
"Anak, ayahmu selama itu merasa malu terhadap
dirimu, untung,,., sebelum ayahmu masih dapat
melakukan sesuatu untuk menolong jiwamu. Aih, hat i
hat i yang sudah lalu bagaikan impian, selamat t inggal
anakku semoga kau berhasil dalam hidupmu."
Dengan bibir tersungging senyuman ia
menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Ho Hay Hong yang menyaksikan kematian ayahnya,
dengan mata beringas memandang Kakek penjinak
garuda, serasa ingin sekali telan hidup-hidup musuh
besarnya itu.
Sinar mata Kakek penjinak garuda perlahan-lahan
tampak sayu, tangannya mengurut-urut dadanya
mengatur pernapasannya. Serangan nekad Tee-soan-
kiam tadi, ternyata telah melukai dadanya. Tetapi ia
adalah seorang tua keras kepala, meskipun sudah tahu
bahwa kekuatan tenaganya sudah hilang terlalu banyak,
tetapi masih tetap membandel. Ketika Ho Hay Hong
menghampiri, ia masih maju menyongsong sambil
tertawa terbahak-bahak.
Ho Hay Hong memandang dengan seksama, dalam
hat i mengert i bahwa orang tua itu keadaannya benar-
benar sudah payah. Tanpa berkata apa-apa ia lau
menyerang dengan sengit. Pada waktu itu, ia seolah-olah sudah melupakan
jiwanya sendiri, dalam anggapannya, musuh besarnya itu
sudah sepert i lawan biasa, yang t idak menakutkan lagi.
Oleh karena terjadi kejadian demikian, maka
kepercayaan terhadap diri sendiri jadi semakin tebal.
Pertempuran berlangsung sudah t iga puluh jurus.
Kakek penjinak garuda yang merupakan seorang terkuat
dalam rimba persilatan ternyata tidak bisa menjatuhkan
satu lawan yang masih amat muda belia itu, sudah tentu
sangat mendongkol. Mulutnya berkaok-kaok, rambut dan
jenggotnya pada berdiri.
Ketika pertempuran berlangsung lima puluh jurus,
Kakek penjinak garuda mendadak nampak begitu murka
dengan mengeluarkan suara pekikan nyaring ia
melancarkan serangannya dengan kedua tangan.
Serangannya itu demikian hebat, sehingga keadaan
disekitarnya seolah-olah tersapu oleh angin puyuh yang
sedang mengamuk.
Ho Hay Hong sedikitpun t idak takut . Dengan satu
tangannya menyambut i serangan hebat itu.
Setelah terdengar suara benturan nyaring, ia lantas
jatuh tak ingat diri.
Entah berapa lama sang waktu telah berlalu, Ho Hay
Hong yang rebah ditanah dalam keadaan pingsan telah
dikejutkan oleh suara lonceng kuil dibelakang bukit . Ia
segera membuka matanya dan memandang keadaan
sekelilingnya yang ternyata sudah sunyi senyap. Kakek penjinak garuda sudah t idak nampak lagi
bayangannya, Tiat Chiu Khim juga t idak ada lagi disitu.,
Disamping dirinya adalah jenazah Tee-soan-kiam.
Tidak jauh dari situ terdapat banyak mayat manusia
bergelimpangan yang t idak dikenalnya siapa-siapa
Ia segera dapat menduga mereka itu pasti adalah
orang-orang golongan rimba hijau daerah utara, yang
binasa ditangan Kakek penjinak garuda sewaktu mereka
mau berusaha menolong dirinya ket ika dia berada dalam
keadaan pingsan.
Diantara begitu banyak mayat orang she Siauw dalam
tangan orang tersebut masih menggenggam kencang
lambang emas kepunyaannya.
Pedang pusaka garuda sakt i juga sudah t idak ada
tetapi ia mengert i pedang itu pasti sudah dibawa oleh
Kakek penjinak garuda.
Dengan hat i sedih ia memandang matahari senja yang
mulai terbenam kebarat , sedih hat inya memikirkan nasib
kekasihnya yang terjatuh di tangan kakek penjinak
garuda. Ia merasa marah terhadap Kakek itu, tetapi apa
daya?
Dengan sangat hat i-hati ia mengubur semua jenazah
orang-orang yang pernah membantunya, kemudian
meninggalkan tempat itu dengan air mata berlinang.
Ia t idak mencari orang untuk minta keterangan,
dengan hat i penuh penasaran ditinggalkannya danau
Keng liong-t ie.
Satu jam kemudian, t ibalah ia disuatu kota dekat
danau itu. Ia berjalan tanpa tujuan. Mendadak teringat diri Lie
Hui yang sedang menant ikan kedatangannya. Ia telah
lolos dari lubang jarum Lie Hui pasti akan merasa girang
bisa bertemu lagi dengan gurunya.
Ia mencari rumah penginapan. Belum lagi melangkah
masuk, sudah disambut oleh seorang pelayan dengan
laku sangat terhormat.
"Aku tidak mau menginap, aku hanya hendak mencari
seseorang kawan," katanya sambil menggoyangkan
tangan dan kemudian memetakan bentuk dan perawakan
tubuh Lie Hui.
Wajah pelayan itu berubah seketika, dan sikapnya
menunjukkan perasaan takutnya.
"Tuan, silahkan tuan cari dilain tempat saja, karena
dalam rumah penginapan ini t idak ada orang yang tuan
cari itu." pelayan itu memberi keterangan dengan wajah
ketakutan.
Dari sikap pelayan itu Ho Hay Hong mengert i pasti
telah terjadi sesuatu atas diri Lie Hui, maka dengan cepat
menyambar bahu pelayan itu seraya berkata sambil
tertawa dingin: "Hai. apa sebetulnya yang telah terjadi?
kalau kau bermabukan secara terus terang. Jikalau t idak,
aku t idak akan mengampuni jiwamu!" Ia menekan keras
bahu pelayan itu, hingga berkaok-kaok kesakitan.
"Hamba benar-benar t idak tahu, harap sukalah tuan
maafkan hamba." pelayan itu mulai merint ih-rint ih.
"Kau mau memberi keterangan atau t idak terserah
padamu sendiri!" kata Ho Hay Hong marah. Ia menekan lebih keras lagi, hingga pelayan itu
menangis dan minta ampun seraya meratap:
"Tuan, ampunilah diri hamba, benar-benar hamba
t idak tahu menahu mengenai urusannya, harap tuan
minta keterangan pada Poh loya."
"Siapa itu Poh loya?"
"Poh loya adalah guru silat dalam rumah belajar silat
dikota ini Tetapi harap tuan jangan memberitahukan
kalau hal ini keluar dari mulut hamba, jikalau t idak"
"Dimana ia tinggal?"
Pelayan itu baru mau angkat tangan buat memberi
petunjuk, mendadak dengan wajah ketakutan
memandang kejalan, tubuhnya nampak menggigil.
Cepat Ho Hay Hong berpaling, Tertampak olehnya
seorang lelaki tua bertubuh tegap dengan sinar mata
marah berdiri sejarak kira-kira satu tombak diluar pintu.
Melihat sikap ketakutan sipelayan, ia segera mau
menduga bahwa lelaki tua itu past ilah orang yang
dinamakan Poh loya oleh pelayan tersebut.
Otaknya dikerjakan dengan cepat, dengan cara
bagaimana harus menghadapi lelaki tua itu, mendadak ia
tertawa dan berkata:
"Ha! Ha! Ha! Poh lao, tak kusangka baru t iga tahun
t idak bertemu, ternyata kau berada disini. Haha! Dasar
ada jodoh, dimana saja kita bisa bertemu. Mari kita
minum sepuas-puasnya!"
Ia maju menghampiri sambil mengulurkan tangannya
dengan sikap sangat mesra menjabat tangan orang she
Poh itu. Orang tua she Poh itu sejenak merasa heran, lama
baru berkata:
"Saudara siapa? Mengapa aku t idak kenal?"
Meskipun mulutnya berkata demikian, namun ia t idak
menolak angsuran tangan Ho Hay Hong.
"Haha! Poh loya benar-benar seorang pelupa. Masa
siaotee Sudah t idak kau kenal lagi? Mungkin selama ini
Poh loya sudah terlalu banyak kawan baru, sehingga
melupakan kawan lama!" berkata Ho Hay Hong sambil
tertawa.
"Ow, ow! Kau hiantee, aku benar-benar sudah tua,
benar-benar telah menjadi seorang pelupa. Mari, mari.
Kita duduk dirumah, kita boleh minum sambil ngobrol
sepuas-puasnya."
Meskipun dimulut ia berkata demikian, tetapi otaknya
terus dikerjakan, mengingat-ingat siapa kiranya pemuda
didepan matanya ini. Tetapi karena sahabatnya terlalu
banyak, kejadian serupa itu kadang-kadang memang bisa
saja terjadi, maka ia juga tidak heran lagi.
Berdiam sejenak, ia berkata lagi sambil tertawa.
"Eh, hiantee, Mengapa kau agak berubah? Lama t idak
ketemu, kau sekarang ternyata lebih ganteng dan lebih
gagah. Apa belakangan ini kepandaianmu mendapat
banyak kemajuan?"
Sampai disitu, Ho Hay Hong terpaksa membatalkan
maksudnya hendak menundukkan orang tua itu, maka ia
lalu pura-pura tertawa dan berkata: "Poh laoko jangan tertawakan siaotee. Siapa yang
t idak tahu bahwa dirumah perguruanmu ini terdapat
banyak orang pandai yang namanya tersohor ?"
"Astaga, aku t idak sangka kau sekarang juga pandai
bicara. Haha! Tak usah banyak bicara mari kita
mengobrol dirumah saja. Belakangan ini hiantee
mendapat kemajuan atau tidak."
"Kemajuan?" Ho Hay Hong tercengang tetapi ia segera
mengert i bahwa itu adalah istilah dalam pergaulan maka
lalu berkata sambil tertawa:
"Laoko jangan bicarakan soal itu lagi. siaotee seorang
bodoh, bagaimana dapat dibandingkan denganmu ?"
Dua orang itu berlalu dari rumah penginapan sambil
mengobrol disepanjang jalan.
Ditengah jalan, Poh loya mendadak ingat sesuatu, ia
merandak dan bertanya:
"Hiantee, kau. bukankah kau ini Tang siang Sucu ?"
Ho Hay Hong terkejut , ia diam saja.
Sementara itu nada orang she Poh itu juga lantas
berubah:
"Haha, hiante! Kau terlalu merendah, siapa t idak tahu
kau ditanah Lam-kiang mendapat i kedudukan t inggi?
Arak set iap hari tersedia, perempuan cant ik t inggal pilih
saja. Kau benar-benar sudah menikmati kebahagian
orang hidup. Dibandingkan denganmu, laokomu ini kalah
jauh sekali !"
Ho Hay Hong sebenarnya merasa benci kepada orang
tua itu, tetapi diluarnya tetap berlaku ramah. "Poh laoko, mengapa kau sampai berkata demikian?
Walaupun siaotee ada sedikit kemajuan, tokh t idak
melupakan kau, laoko."
Poh loya tertawa, kemudian berkata dengan sikap
sungguh-sungguh:
"Hiantee kabarnya kau belum lama ini telah kebentrok
dengan Ing-siu yang sudah lama t idak ada kabar
beritanya. Apakah itu benar?"
Ho Hay Hong kembali dikejutkan oleh pertanyaan ini.
Karena khawat ir orang she Poh itu sudah mengetahui
siapa dirinya yang sebenarnya, maka diam-diam sudah
siap sedia, namun masih mencoba menutupi sambil
berkata.
"Janganlah bicarakan soal itu lagi, laoko! semua
adalah Siaotee yang tolol, bisa sampai kebentrok dengan
iblis itu!"
"Muridnya Ing-siu, pemuda yang dinamakan Long-
gee-mo itu, pernah juga bertemu muka sekali denganku,
juga pernah kami bertanding dengan ilmu silat ."
Belum habis kata-katanya, mendadak melancarkan
satu serangan terhadap Ho Hay Hong hingga anak muda
ini terkejut bukan main.
Ia mengira orang she Poh itu benar-benar sudah
mengetahui rahasianya, maka buru-buru geser mundur
kakinya. Dua tangannya bergerak secara reflek dengan
kecepatan bagaikan kilat mengarah empat bagian jalan
darah ditubuh orang tua itu.
Orang she Poh itu berseru kaget, sama sekali tak
pernah menduga serangan Ho Hay Hong bisa demikian hebat , terpaksa ia melindungi jiwanya lebih dulu. Dengan
jalan bergulingan ditanah ia menggelinding sejauh
beberapa tombak baru berhent i dan berseru:
"Hiantee, t idak kecewa kau menjadi muridnya Lam-
kiang Tay-bong. Beberapa gerakanmu itu tadi saja,
sudah cukup membuat aku kewalahan!"
Ia menghela napas panjang dan berkata pula:
"Kepandaian ilmu silat muridnya Ing-siu sudah pernah
aku uji, ternyata t idak lebih t inggi dari kepandaianmu.
Hanya tak usah khawatir, Kalau ada urusan hanya
muridnya Long-gee-mo itu saja yang mewakili."
Ho Hay Hong sudah mengerti maksud orang She Poh
itu, maka lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Tentang Long-gee-mo, aku juga sudah bertempur
beberapa kali dengannya. Masih mujur dalam
pertempuran antara kami, selalu aku yang menang!"
"Aku kira itu bukannya mujur," kata Poh loya
merasakan perasaan kagumnya. "Kepandaian hiantee
memang jauh lebih t inggi dari padanya.
Dengan perasaan agak lega Ho Hay Hong berkata:
"Poh toako, dengan terus-terang. kedatanganku
kemari menengok kau, Sebetulnya dengan maksud
hendak menanyakan seseorang"
"Siapa?" Poh loya rupanya kaget.
Ho Hay Hong pura-pura marah dan berkata:
"Hanya seorang bocah saja, denganku ada
permusuhan dalam sebagai pembunuh sahabatku. Siaotee sudah bersumpah selama hidup ini harus dapat
mencincang dulu tubuhnya baru bisa merasa puas."
Sehabis berkata, ia lalu menjelaskan bentuk tubuh ciri-
ciri khas dan usia Lie Hui.
"Oh, kiranya dia!" Poh loya nampak lebih terkejut .
Dengan menekan perasaan girangnya Ho Hay Hong
berkata:
"Siapa? Dimana dia berada?" Ia berhent i sejenak dan
pura pura marah. "Kali ini apabila Siaotee bisa membalas
dendam sakit hat i sahabatku, sudah tentu t idak akan
melupakan budi laoko."
"Hiantee, kau harus tahu bahwa bocah itu adalah
tawanan pent ing dari golonganku, laokomu ini hanya
sebagai hiocu saja, sama sekali t idak berhak
menyerahkan dirinya kepadamu!" Poh loya menggeleng-
gelengkan kepala.
Kini barulah Ho Hay Hong tahu bahwa orang she Poh
ini adalah merupakan salah seorang anggauta kuku
berbisa. Diluarnya ia pura-pura berlaku kecewa, katanya
sambil menghela napas:
"Kalau begitu, jadinya toako t idak sudi membantu
siaotee?"
"Bukan begitu, hiantee! Jangankan hubungan kita
sudah begitu erat, dengan kedudukanmu sebagai
muridnya Lam-kiang Tay-bong saja, sudah cukup untuk
dianggap oleh golongan kami sebagai orang sendiri. Biar
bagaimana juga harus diberi muka. Hanya , hanya."
"Hanya apa? Apakah laoko masih merasa ragu-ragu?"
tanya Ho Hay Hong heran. "Dengan terus-terang. anakku yang t idak berguna itu
telah jatuh cinta padanya, sehingga aku merasa serba
salah."
"Apa?"
"Hiantee, bocah itu sebetulnya seorang gadis yang
menyaru ! Apakah kau belum tahu? Aku sesungguhnya
sangat menyesal dahulu terlalu memanjakan anakku,
sehingga dia sekarang tidak mau dengar nasehatku. Kau
pikir, toako ini hanya mempunyai seorang anak lelaki
saja, maka aku anggap sebagai jiwaku sendiri, meskipun
langit rubuh, aku juga memikirkan keselamatannya lebih
dulu. Bagaimana aku harus berbuat?"
Bukan kepalang terkejutnya Ho Hay Hong, sungguh
t idak menyangka bahwa Lie Hui adalah seorang gadis. Ia
coba membayangkan lagi sikap kemalu-maluan gadis itu,
karena waktu itu pikirannya sendiri sedang risau hingga
kurang perhatian.
Setelah berpikir sejenak, ia berkata dengan sikap
serius.
"Tapi laoko, kau harus ingat bahwa gadis itu adalah
musuhmu." Tidak mungkin ia boleh bercintaan dengan
anakmu. Lagipula, pemimpin atau orang-orang
golonganmu juga t idak mungkin mau mengijinkan
anakmu kawin dengan tawanannya. Berdasarkan atas ini,
perkawinan itu susah membawa bahagia bagi kedua
fihak. Maka kau harus mengambil keputusan tegas,
sekalipun putus hubungan dengan anakmu, juga lebih
baik daripada mengambil menantu musuh ! Aku pikir,
biarlah sekali ini anakmu merasa kecewa!" Ketika ia melihat Poh loya mulai tertarik mendengar
omongannya, ia lalu berkata pula:
"Sebaliknya, apabila perkawinan itu tetap
dilangsungkan, kau nant i akan menanam bencana besar.
Karena keturunannya pasti akan mengandung darah
permusuhan, kau adalah salah satu anggauta golongan
Kuku berbisa, juga sulit untuk."
Belum habis kata-katanya, Poh loya membelalak
memotong.
"Sudah, sudah! Jangan lagi kau teruskan hiantee."
Ho Hay Hong dapat menduga bahwa orang tua itu
mulai merasa jeri, maka lalu berkata pula:
"Sebagai sahabat siaotee merasa perlu menasehatkan:
Urusan semacam ini, siaotee kira sebaiknya supaya kau
pikir dulu masak-masak. Jangan lantaran cintamu kepada
anak, sehingga menimbulkan bencana besar dikemudian
hari!"
Poh loya menundukkan kepala. Meskipun mulutnya
bungkam, tetapi dalam hati sudah mempunyai rencana.
Sementara itu dua orang itu sudah t iba didepan pintu
rumah perguruan Kang-lam Bu-koan yang dahulunya
sangat mewah, tetapi kini keadaannya sudah mulai rusak
disana-sini.
Diatas pintu yang terbuat dari bahan logam itu
terpancang papan yang terdapat empat baris tulisan
terdiri dari huruf-huruf besar-POH LAY BU KOAN yang
masih baru.
Dari situ Ho Hay Hong segera mendapat tahu bahwa
orang she Poh itu adalah Poh Lay. Tak lama kemudian pintu terbuka, dari dalam muncul
dua pemuda berpakaian ringkas. Begitu melihat Poh Lay,
dua pemuda itu segera memberi hormat sebagaimana
layaknya.
Poh Lay ajak Ho Hay Hong masuk. Ketika melalui
lapangan pekarangan yang luas, disitu ada sepuluh lebih
murid-murid Poh Lay sedang melatih ilmu silat .
Poh Lay segera memerintahkan para muridnya
berhent i dan berkata kepada Ho Hay Hong sambil
tersenyum:
"Anak-anak yang t idak berguna ini sudah belajar
cukup lama tetapi masih belum bisa apa-apa. Kalau
hiantee ada waktu sekarang sudikah kiranya memberi
petunjuk seperlunya, aku kira sangat berguna bagi
mereka."
Sebelum Ho Hay Hong menjawab, nampak dua
pelayan wanita membawakan teh. Karena ingat akan
tujuannya sendiri, Ho Hay Hong t idak mau membuang
waktu, maka lalu menjawab:
"Laoko, tawanan wanitamu itu kau sekap dimana?
Sudikah kau ajak siaote melihat sendiri? Siapa tahu kalau
bukan dia!"
Berkata sampai disitu, ia pura-pura tertawa bangga
dan berkata pula:
"Biar bagaimana, aku harap perjalananku ini t idak
cuma-cuma, supaya arwah sahabatku itu bisa tentram."
Poh Lay agaknya masih keberatan, katanya sambil
menghela napas: "Hiantee, aku tidak berani merintangi maksudmu yang
hendak menuntut balas denda buat sahabatmu. Hanya
bagaimana dengan nasib anakku nant i? Sudah demikian
mendalam cintanya terhadap perempuan itu, mungkin
akan berakibat buruk buat dia pula."
"Poh laoko, dahulu kau begitu gagah berani dan tegas
dalam bertindak. Mengapa sekarang jadi demikian
lembek? Apakah kau t idak dapat memikirkan apa
akibatnya mempunyai menantu anak seorang musuh?
Tahukah kau bagaimana kau hendak berbuat seandainya
urusan ini diketahui oleh golonganmu ?"
Digertak demikian, akhirnya Poh Lay menyerah.
"Hiantee benar. Baiklah, biar aku nant i ajak kau
melihat . Hanya, kalau bertemu dengan anakku, aku
minta janganlah kau unjuk sikap keras."
Ho Hay Hong menganggukkan kepala. Poh Lay lalu
mengajaknya berjalan melalui lorong yang berliku-liku
dan gelap sekali. Akhirnya t ibalah mereka didepan
sebuah kamar tahanan yang dikurung oleh terali besi
yang kokoh kuat.
Dekat kamar tahanan, ada berdiri seorang pemuda
berpakaian mewah dengan menundukkan kepala dan
menarik napas berulang-ulang.
"Itulah anakku,!" berkata Poh Lay dengan suara
pelahan.
Ho Hay Hong menganggukkan kepala tanda mengert i.
Matanya lalu beralih kedalam kamar, segera tampak
olehnya seorang gadis berbaju putih sedang duduk
bersila. Gadis itu tubuhnya langsing, rambutnya awut-awutan.
Ketika mendengar suara t indakan kaki orang segera
bangkit dan berkata dengan suara gusar:
”Manusia rendah! mencelakakan diri orang dengan
akal t ipu busuk, apakah itu perbuatan orang gagah? Hm!
Kalau memang berani bunuhlah nonamu, perlu apa kau
sekap aku disini?"
Ho Hay Hong merasa sedih menyaksikan muridnya
dalam keadaan demikian, ia pikir t idak mau menarik
perhat iannya dulu, maka berdiri diam disamping.
Lie Hui yang sedang mengumpat caci Poh Lay
mendadak tercengang, melihat adanya Ho Hay Hong
disamping orang she Poh itu, bibirnya bergerak-gerak
hendak memanggil, tetapi Ho Hay Hong segera memberi
isyarat dengan matanya, hingga gadis itu membatalkan
maksudnya.
Ho Hay Hong berpaling dan berkata kepada Poh Lay:
"Apakah perempuan ini?", Ia pura-pura marah dan
berkata pula: "Aku sungguh girang bisa menuntut balas
sahabatku, hahahaha !"
Lie Hui terkejut mendengar ucapan itu, ia t idak
percaya bisa salah mata.
Ia mengingat-ingat lagi, wajah Ho Hay Hong dengan
cermat, t idak salah lagi dia adalah itu pemuda yang
menjadi gurunya, Tetapi ia t idak mengert i mengapa
suhunya bisa sampai berkata demikian?
Ho Hay Hong yang menyaksikan gadis itu, dihat i
merasa geli, katanya: "Poh laoko, budi kebaikanmu ini t idak dapat siaotee
lupakan dikemudian hari aku pasti akan membalas
budimu ini."
Poh Lay t idak senang mendengar perkataan itu
sebaliknya merasa sangat berduka. Matanya diam-diam
telah mencuri pandang kepada anaknya.
Benar seperti apa yang orang she Poh itu duga, ketika
Ho Hay Hong hendak membuka mulut lagi, pemuda
tersebut mendadak mengeluarkan suara bentakan keras,
kepalanya dipalingkan kelain arah dan berkata kepada
Ho Hay Hong dengan suara bengis:
"Siapa berani mengganggu seujung rambutnya saja,
akan aku cincang dia sampai menjadi berkeping-keping."
Herannya, Poh Lay sebagai ayah, terhadap anak
rupanya takut sekali. Ket ika melihat anaknya marah, ia
membujuk dengan suara lemah lembut:
"Ciu-jie, dia adalah paman Ho! Tang-siang Sucu yang
sering ayah sebut-sebut itu."
Mendengar perkataan Poh Lay, gadis baju putih itu
menundukkan kepala, agak merasa kecewa. Sedangkan
Ho Hay Hong diam-diam merasa geli, tetapi ia tidak mau
segera membuka kedok, karena hal itu bisa
membahayakan diri nona itu.
Pemuda anaknya Poh Lay itu agaknya masih marah
katanya:
"Tidak peduli siapa dia! Barang siapa yang berani
mengganggu nona itu, aku akan menghadapinya tanpa
ragu-ragu!" Kemudian dengan nada memintanya bertanya kepada
Lie Hui:
"Nona, jawablah dengan sejujurnya. Kau suka
menikah denganku atau t idak?"
Muka Lie Hui tampak merah, matanya mengerling
kearah Ho Hay Hong, kemudian menggelengkan kepala,
tanda t idak mau menerima permintaan pemuda itu.
Sipemuda yang menyaksikan keadaan demikian,
wajahnya berubah seketika. Kepalanya, menunduk,
sedang mulutnya menggumam: "Aaah, kau t idak suka
ataukah t idak mau? Apakah kau benar-benar hendak
menjadi setan tanpa kepala?"
Poh Lay menyaksikan semua itu tanpa bicara apa-apa,
agaknya- takut menyinggung perasaan anaknya.
Sebaliknya dengan Ho Hay Hong, ia t idak mau
perdulikan kesedihan pemuda itu, katanya dengan terus
terang:
"Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri yang t idak
boleh dipaksa, apalagi perempuan ini adalah musuh
sahabatku. Hai, kau jangan merindukan bidadari dalam
rembulan !"
Begitu pemuda tersebut mendengar ucapan Ho Hay
Hong, seketika lantas meluap hawa amarahnya, ia
menghunus pedangnya dan berkata sambil menuding Ho
Hay Hong:
"Tang-Siang Sucu! Kau berani mengoceh t idak karuan,
lihat aku bisa mengampuni dirimu atau t idak?"
Pedangnya lalu bergerak, menyerang Ho Hay Hong
dengan beruntun beberapa kali. Ho Hay Hong lompat mundur dua langkah, berkata
dengan suara gusar:
"Hai ! Berani kau menyerang aku? Sungguh besar
nyalimu."
Ia sengaja memandang Poh Lay dengan sinar mata
gusar, seolah-olah hendak paksa si ayah turun tangan
melarang anaknya.
Poh Lay ketakutan setengah mat i. Benar saja ia
membentak dengan suara keras:
"Ciu-jie, dia adalah pamanmu! Dia pamanmu Tang-
siang Sucu! Jangan!"
Tetapi pemuda itu t idak menghiraukan lagi, dengan
beruntun t iga kali menyerang Ho Hay Hong secara
ganas.
Ho Hay Hong pura-pura berlaku t idak senang,
katanya:
"Poh laoko! Kalau kau t idak sanggup mengajar
anakmu, siaotee terpaksa akan turun tangan!"
Dengan kepandaiannya yang luar biasa ia melayani
pemuda itu, hingga dalam waktu singkat pemuda
tersebut sudah terdesak mundur.
Wajah pemuda tersebut berubah, ia segera balas
menyerang dengan sengit.
Dengan tenang Ho Hay Hong menghadapi set iap
serangan pemuda yang sudah kalap itu.
Setelah sepuluh jurus berlalu pemuda itu mulai
keteter. Ia nampaknya sangat penasaran, karena merasa
dirinya dipermainkan lalu mengambil keputusan nekad
hendak adu jiwa dengan Ho Hay Hong.
Sambil tertawa terbahak-bahak Ho Hay Hong pentang
lima jari tangannya, kemudian terdengar Suara "t rang"
amat nyaring, pedang di tangan anak muda itu terlepas
dan jatuh ditanah.
Dengan mulut bungkam ia mengawasi pedangnya
ditanah, wajahnya pucat , kemudian berkata:
"Tang siang Sucu terima kasih atas kebaikanmu! Aku
t idak akan lupakan ini untuk selama-lamanya.
Bagaimanapun juga atas hinaanmu ini aku nant i akan
menuntut balas. Sampai ketemu lagi!"
Sehabis berkata demikian, ia memungut pedangnya
dan berlalu tanpa menoleh lagi. Poh Lay segera berseru:
"Ciu-jie, Ciu-jie! Jangan pergi, dengar dulu keterangan
ayah."
Pemuda itu sedikitpun t idak menghiraukan. Dalam
keadaan marah, perkataan ayahnya sedikitpun t idak
digubrisnya.
Poh Lay yang sangat cinta kepada anak lelaki satu-
satunya, t idak tega melihat kedukaan anaknya, maka
segera memburu.
Ho Hay Hong sangat girang, ia anggap ini adalah
kesempatan satu-satunya yang paling baik baginya,
maka segera mengerahkan kekuatan tenaganya,
membuka terali besi yang mengurung diri Lie Hui.
Lie Hui dengan cepat menubruk Ho Hay Hong dengan
berkata: "Dugaanku ternyata t idak salah, kau adalah suhu!"
Ho Hay Hong tersenyum, sambil mengusap-usap
rambutnya Lie Hui ia berkata:
"Anak sudah begini besar masih sangat aleman, apa
kau t idak malu?"
Belum habis kata-katanya, sudah dipotong oleh Lie
Hui:
"Suhu, jangan kata begitu lagi. Aku t idak senang!
Sejak kau pergi ke danau Kang-liong-t ie, set iap malam
hampir aku t idak bisa t idur, aku selalu pergi keluar kota
menunggu kedatanganmu. Diluar dugaanku aku telah
terjebak dalam akal muslihat mereka !"
"Kau benar-benar hebat ! Selama ini aku masih anggap
kau lelaki, t idak tahunya satu anak perempuan.
berandalan." kata Ho Hay Hong sambil tertawa.
Pipinya merah, Lie Hui menundukkan kepala. Lama ia
baru berkata pula:
"Suhu jangan menggoda saja, kita harus lekas keluar
dari sini !"
Ia berdiam sejenak, kemudian berkata lagi dengan
perasaan kagum.
"Suhu, kau sungguh hebat. Asal aku bisa memiliki
kepandaianmu separuhnya saja, aku sudah merasa
puas."
"Lie Hui, asal kau mau belajar dengan tekun, aku past i
akan menurunkan semua kepandaianku padamu, supaya
kau bisa mendapat sedikit muka dikalangan Kang-Ouw
dan menuntut balas dendam kepada semua musuh-
musuhLie Hui, aku telah membuat keputusan mengambil kau sebagai muridku, ini berart i aku akan mewariskan
semua kepandaianku padamu. Aku harap kau t idak
mengecewakan pengharapanku! Sementara suhumu
sendiri, untuk selanjutnya akan meninggalkan
penghidupan dunia Kang-ouw, t idak akan mengurusi
urusan duniawi lagi" kata Ho Hay Hong.
Lie Hui terkejut , katanya: "Suhu, mengapa suhu
berpikiran demikian?"
"Kau t idak mengert i!" jawab Ho Hay Hong sambil
tersenyum getir.
Lie Hui menggelengkan kepala dan berkata dengan
penuh rasa simpatik.
"Suhu, kau masih muda, urusan apa yang
menyebabkan kau menjadi putus harapan?"
Ho Hay Hong t idak bisa menjawab, hanya berkata
sambil tersenyum pahit:
"Tetapi pikiranku t idak muda lagi."
Lie Hui tercengang, setengah mengert i setengah tidak,
ia menghela napas. Ia masih hendak menanya lagi,
tetapi sudah didahului oleh Ho Hay Hong:
"Jangan tanya lagi! Kalau sekarang kita t idak lekas
pergi, sebentar kita akan mendapat banyak kesulitan."
Sambil menarik tangan Lie Hui hendak berlalu. Tetapi
Lie Hui berteriak. Ketika Ho Hay Hong menegasi, ia baru
tahu bahwa kaki Lie Hui yang putih masih terbelenggu
oleh rantai besi."
Ho Hay Hong tertawa dingin. Ia lalu mengerahkan
kekuatan tenaga dalamnya, dengan satu kali gentak
rantai besar yang membelenggu kaki Lie Hui telah putus. Bukan kepalang girangnya rasa hat i Lie Hui. Selagi ia
hendak menyatakan terima kasih, mendadak tampak
wajah Ho Hay Hong yang diliput i oleh kedukaan. Diam-
diam ia merasa heran, apakah gerangan yang
mengganggu pikiran suhunya yang masih muda itu ?
Gadis itu bulak-balik berpikir, tanpa disadarinya ia jadi
turut berduka, sehingga mengalirkan airmata.
Ho Hay Hong merasa heran, tanyanya.
"Kau kenapa? Apa kau merasa sakit?"
Lie Hui merasa malu, mukanya merah mendadak.
Dalam gugupnya ia hanya dapat menjawab sekenanya:
"Tidak, tidak suhu jangan khawat ir!
"Ilmu meringankan tubuhmu masih kurang sempurna,
aku khawat ir menghambat waktu, biarlah aku bawa kau
kabur."
Lie Hui menurut, ia menghampiri Ho Hay Hong. Oleh
Ho Hay Hong segera dikempitnya tubuh Lie Hui yang
kecil dan dibawa kabur dari kamar tahanan.
Secepat kilat Ho Hay Hong menggendong Lie Hui dari
rumah perguruannya itu.
Ditengah jalan ia agak ragu-ragu sejenak, tetapi
akhirnya ia lari menuju kearah barat . Ia masih
mengharap bisa menemukan gadis baju ungu ditengah
jalan, selain daripada itu ia juga bisa sekalian
menyambangi kuburan Tang-siang Sucu.
Ia teringat pula nasib Tiat Chiu Khim, lalu menghela
napas perlahan. Perubahan sikap itu segera diketahui oleh Lie Hui
tanyanya dengan suara lirih.
"Suhu kenapa kau bersedih" Muka Ho Hay Hong
dirasakan panas, dengan cepat menjawab:
"Kau tahu apa? Sudah jangan banyak pikiran!"
Tanpa menghiraukan bagaimana perasaan muridnya,
Ho Hay Hong melanjutkan perjalanannya.
Akhirnya t ibalah ditempat kuburan Tang-siang Sucu ia
dapat menemukan kuburan itu, karena disitu terdapat
sebuah gundukan tanah dan ada sebuah batu nisannya
yang tertuliskan, Makam Ho-Hay Thian.
Ho Hay Hong menangis didepan kuburan.
Lie Hui melihat nama diatas batu nisan itu hanya
berbeda satu hurup dengan nama suhunya, jelas orang
itu ada hubungan erat dengan suhunya, maka lalu
bertanya:
"Suhu, siapakah Ho Hay Thian itu?"
"Kakakku!" jawab Ho Hay Hong singkat.
"Ow! Dia meninggal dunia karena sakit apa?"
"Bukan karena penyakit , ia terbunuh oleh musuhnya!"
jawab Ho Hay Hong sambil tertawa getir. "Semasa hidup
kelakuannya kurang baik, tetapi bagaimanapun juga dia
adalah saudaraku. Mungkin kau juga sudah pernah
dengar nama julukannya? Dia adalah Tang siang Sucu."
Lie-hui terkejut mendengar nama itu.
"Ah, suhu! Dia tokh seorang jahat?" Sehabis berkata baru sadar bahwa ucapannya itu t idak
tepat , maka buru-buru dirubahnya:
"Suhu, seorang yang sudah mati, habislah
kesalahannya. Suhu jangan terlalu berduka, supaya
arwah empek juga merasa tentram,"
"Dia sudah mati, tetapi musuhnya juga sudah
kubunuh. Satu jiwa ditukar dengan satu Jiwa, t idak perlu
aku berduka!" kata Ho Hay Hong, dengan menekan
perasaan sedihnya, ia tertawa get ir dan berkata pula:
"Apalagi, musuh itu adalah si Ing siu yang namanya
sangat terkenal dan pernah menggemparkan dunia rimba
persilatan sejak beberapa puluh tahun berselang.
Sekarang Ing siu sudah binasa, saudaraku tentunya juga
sudah merasa puas!"
Mendadak ia merasa gemas terhadap Lam kiang Tay-
bong jago dari daerah Lam-kiang itu jelas seorang
pengecut yang takut menghadapi kenyataan. Melihat
muridnya dibunuh orang, juga t idak berusaha menuntut
balas.
"Oh, pertempuran didanau Keng liong-t ie itu apakah
suhu lakukan melulu, buat menuntut balas sakit hat i
empek?"
"Ya, Tuhan telah melindungi aku, Sehingga aku
berhasil membinasakan satu musuh terkuat dalam
dunia!"
Ho Hay Hong mendadak teringat kepada keselamatan
diri Tiat Chiu Khim. Karena gadis itu beberapa kali telah
menolong jiwanya, dan kini entah bagaimana nasibnya?
Maka ia telah mengambil keputusan, setelah membawa Lie Hui ketempat yang aman, hendak pergi lagi ke
kampung setan.
"Lie Hui, apakah kau pernah dengar kejadian yang
aneh didalam kampung setan?"
Mendadak ia merasa berat meninggalkan gadis piatu
itu, dalam keadaan demikian, ia merasa serba salah. Ia
tahu bahwa dirinya sendiri sangat pent ing bagi gadis itu,
terlepas soal mempelajari ilmu silat padanya untuk bekal
penuntutan balas dendam sakit hat inya, dalam dunia
yang luas ini, ia hidup sebatang kara tiada sanak kadang
yang dapat ditumpangi olehnya. Maka jikalau t idak
dibimbing dengan benar, adalah sangat berbahaya bagi
hari depannya.
Sebaliknya dengan Lie Hui sendiri, ia t idak tahu apa
yang jadi buah pikiran suhunya, ketika ditanya tentang
kampung setan, matanya terbuka lebar dan berkata
dengan heran:
"Suhu, untuk apa kau sebutkan nama tempat itu?"
Dari Sikap gadis itu Ho Hay Hong sudah dapat
menduga bahwa gadis itu tentunya sudah pernah
mendengar kabar segala kejadian dikampung setan yang
sangat misterius itu.
"Aku pikir hendak ajak kau kesana, apakah kau t idak
takut?" demikian ia bertanya.
Pertanyaannya itu sebetulnya hanya suatu percobaan
saja, maka ia perhatikan sikap muridnya. Sebab dari
sikap itu dapat diukur sampai dimana keberaniannya.
Sejenak Lie Hui nampak terkejut , tetapi kemudian lalu
berkata sambil tertawa: "Benarkah? Suhu!" "Apa kau t idak takut?"
"Aku sebetulnya paling takut terhadap setan, tetapi
ada suhu disampingku, apapun aku t idak takut ."
"Aku merasa berbesar hat i atas kepercayaanmu. Oleh
karena itu, maka aku juga berani memastikan bahwa kau
sebenarnya memiliki bakat baik untuk dididik! Tak lama
lagi. kau akan menggant ikan kedudukanku, dengan
menjunjung t inggi keadilan dan kebenaran, kau boleh
berkelana didunia Kang ouw. Bantulah fihak yang lemah
dan basmilah orang-orang kuat yang berbuat sewenang-
wenang. Tahukah?"
Lie Hui angkat muka, airmatanya berlinang-linang,
tetapi masih bisa tertawa.
"Suhu jangan khawatir, aku tidak akan mengecewakan
pengharapanmu!"
Ho Hay Hong menganggukan kepala, ia tertawa puas.
Untuk pertama kali Lie Hui menyaksikan Ho Hay Hong
tertawa demikian puas, hingga ia sendiri juga tertawa
gembira.
"Baiklah kalau begitu mari kita berangkat sekarang
juga!" Kata Ho Hay Hong.
Mendadak ia terdengar suara apa-apa, dengan cepat
segera berpaling.
-oo0dw0oo-
Bersambung Jilid 31

Jilid 31 PADA saat itu telinganya telah dapat menangkap satu
suara meskipun suara itu t idak nyaring, tetapi bagi Ho
Hay Hong yang ilmu kekuatan tenaga dalamnya sudah
cukup sempurna, dapat ia menangkap suara itu dengan
jelas.
"Jangan banyak tanya, lekas jalan. Sekarang
pertempuran didanau Keng-liong-t ie itu. sudah selesai,
kita harus cepat bert indak. Jikalau t idak, bocah itu nant i
setelah kembali kedaerah nya, kita t idak bisa berbuat
apa-apa lagi terhadapnya," demikian suara yang
tertangkap oleh telinga Ho Hay Hong.
Bukan kepalang terkejutnya Ho Hay Hong, karena ia
masih mengenali bahwa suara itu adalah suara toa-
suhengnya!
Matanya lalu ditujukan kejalan raya, tampak olehnya
beberapa bayangan orang sedang berjalan.
Tak lama kemudian, tampak beberapa orang-orang
Kang ouw yang memiliki kepandaian cukup sempurna.
Orang-orang itu tentunya datang dari daerah utara, dan
bukan t idak ada sebabnya mereka datang kemari
mencari dirinya.
Dengan gerakan sangat cekatan ia sembunyikan diri
dibelakang pohon dan berkata kepada Lie Hui dengan
suara perlahan:
"Lekas sembunyikan diri, orang-orang itu tentu bukan
orang-orang dari golongan baik-baik."
Lie Hui juga merasa tegang dengan cepat
sembunyikan diri ke belakang pohon, ia bertanya dengan
suara perlahan: "Suhu, mereka berjalan dijalannya sendiri, ada
hubungan apa dengan kita?"
"Kau jangan banyak tanya, aku suruh kau sembunyi
sudah tentu ada sebabnya!"
Waktu itu, kedua fihak berpisah semakin dekat, hingga
Ho Hay Hong dapat melihat dengan tegas wajah-wajah
orang itu. Dalam hat inya berpikir: "Toa-suheng sudah
menghianati suhu, menggabungkan diri dengan golongan
Liong-houw-hwee, mereka tentunya orang-orang dari
Liong houw-hwee."
Ia juga teringat bagaimana jahat dan kejamnya sang
Toa-suheng yang hanya memikirkan kepent ingan diri
sendiri t idak ingat budi gurunya. Ingat juga ia bagaimana
sewaktu Toa-suhengnya tersebut , memberontak
melawan gurunya.
Kalau bukan dia sendiri yang turun tangan dan
membela suhunya, Dewi ular dari gunung Ho-lan-san
mungkin sudah binasa ditangan nya. Dan kini setelah ia
mengetahui bahwa suhunya itu, ialah Dewi ular dari
gunung Ho-lan san, adalah orang yang menolong jiwa
ibunya, ia semakin merasa bahwa Toa-suhengnya itu
terlalu kejam, oleh karena itu juga, maka ia lalu marah
seket ika.
Orang-orang itu mengenakan pakaian seragam. Dan
Toa-suhengnya, Tan-song selaku pimpinan rombongan,
berjalan didepan.
Ho Hay Hong yang masih sembunyikan diri dibelakang
pohon begitu melihat Toa-suhengnya, lantas
mengeluarkan suara jengekan. Tan Song merandek dan memerintahkan semua
orangnya juga berhent i.
Ho Hay Hong lompat keluar dari tempat
persembunyiannya dan berkata sambil tertawa dingin:
"Toa-suheng, sudah lama kita tidak bertemu."
Begitu melihat Ho Hay Hong, Tan Song nampak
tercengang. Lama ia baru bisa berkata: "Oh, jiesutee !
Kau masih hidup?"
Ho Hay Hong segera dapat menduga maksud
kedatangan suhengnya itu, maka lalu berkata sambil
tertawa terbahak-bahak:
"Kiranya Toa-suheng telah mendengar juga kabar
akan diadakan pertempuran didanau Keng liong-t ie ?
Jadi, sengaja Toa-suheng datang kemari melulu buat
mengubur jenasahku ? Ha ha ha! Tetapi mungkin kau
akan kecewa, karena aku masih segar bugar. Ha ha !"
Lie Hui yang t idak tahu persengketaan antara dua
saudara seperguruannya itu, juga turut keluar dari
tempat persembunyiannya.
Kecant ikan telah menarik perhat ian Tan Song hingga
lama ia memandangnya. Ho Hay tong merasa t idak
senang, lalu berkata pada Lie Hui:
"Aku t idak perintahkan kau keluar, apa perlunya kau
keluar?"
"Mereka tokh bukan musuh!" kata Lie Hui.
"Siapa kata begitu padamu?" Ho Hay Hong kelihatan
sengit. "Bukankah dia suhengmu ? Dia. juga masih terhitung
supekku!"
Jiwa Lie Hui masih put ih bersih dan ke kanak-kanakan.
Ho Hay Hong terpaksa tekan perasaannya, memaafkan
dirinya.
"Kau t idak boleh panggil dia supek, ini adalah
perintahku!" demikian dia berkata. Kemudian ia memberi
penjelasan selanjutnya, Dia sudah mengkhianat i
suhunya! Murid yang murtad merupakan suatu
perbuatan, atau kejahatan paling besar dalam rimba
persilatan.
Oleh karena itu, maka suhumu terpaksa akan segera
mengambil t indakan untuk menghukum dia. Lekas kau
mundur kesamping! Kalau t idak ada perintahku, jangan
bergerak sembarangan!"
Lie Hui menurut , ia undurkan diri. Meskipun dalam hati
merasa heran tetapi t idak berani tanya.
"Kita berdua sebetulnya saudara seperguruan,
mengapa lantaran suhu kita yang jahat dan berbuat
keterlaluan, lantas saling bermusuhan ? Ho Sutee
sekarang aku menjabat Hwee-cu dari perkumpulan
Liong-how-hwee, anak buahku jumlahnya sangat banyak.
Meskipun kau sudah berhasil dalam usahamu dan
menduduki kursi pemimpin golongan rimba hijau daerah
utara, tetapi kalau t idak mendapat dukungan saudara-
saudara dari perkumpulan, kedudukanmu t idak akan bisa
kokoh. Kita berdua saudara masing-masing sudah
mendapat kedudukan baik, mengapa t idak melupakan
saja persengketaan yang lama ? Marilah kita bekerja
sama." kata Tan Song. "Toa Suheng kau jangan mimpi yang muluk-muluk!
Aku adalah Ho Hay Hong laki-laki jantan, t idak suka
mengadakan perhubungan dengan orang yang sudah
berkhianat dengan gurunya. Atas ajakanmu, aku ucapkan
terima kasih, tetapi maafkan aku t idak boleh t idak
sekarang ini harus mewakili suhu untuk bert indak
terhadap mu!" kata Ho Hay Hong sambil tertawa dingin.
Wajah Tan Song berubah seketika ia berkata:
"Sutee, ucapan yang bermaksud baik sepert inya
memang baik. Kalau kau t idak mau menurut, yang rugi
nant i adalah kau sendiri, Coba saja lihat apa yang terjadi
kemudian. Sudah putus hubunganku dengan suhu yang
jahat dan kejam, aku sudah bukan muridnya, asal kau
jangan juga tak ada hak mencampuri urusanku.
Lagi pula, sekarang aku sudah merupakan salah satu
pemimpin dari satu perkumpulan, juga t idak suka kau
perlakukan semaumu. Jika kau menerima baik
tawaranku, bagi kita kedua fihak sama-sama baiknya.
Jikalau t idak, kau didaerah utara tak akan ada orang
yang mau mendukung tidak lama pasti akan runtuh. Aku
masih ingat persaudaraan lama, maka aku merasa perlu
memperingatkan padamu. Pikirlah dulu masak-masak.
"Murid yang sudah murtad, siapa saja dapat
membunuhnya, t idak perlu aku pikir-pikir lagi." kata Ho
Hay Hong.
Ia sudah hendak bertindak, tetapi mendadak ingat
bahwa perkumpulan Liong houw wee sejak matinya
Thian lam Loj in mati ditangan Ing siu, kini telah dipimpin
olehnya. Perkumpulan orang-orang Kang-ouw itu kalau t idak mempunyai kedudukan cukup kuat tentunya t idak
bisa berdiri terus hingga sekarang.
Apalagi ia sudah lama berpisah dengan toa suhengnya
itu, mungkin kini sudah berhasil memperkuat kedudukan
perkumpulan itu. Maka ia tidak berani berlaku gegabah.
"Kita berdua sudah t idak bisa berdiri dan bersama-
sama ini sudah pasti. Oleh karenanya, maka satu-
satunya jalan penyelesaian ialah pertempuran. Sekarang
kau siap sedia baik pertempuran satu lawan satu atau
pertempuran total kau boleh pilih sendiri.
Aku pikir, selama ini kepandaianmu tentunya sudah
mendapat banyak kemajuan. Permusuhan antara kita
kalau dibiarkan terus, juga t idak baik, sekarang kita
boleh menggunakan kesempatan itu, boleh selesaikan
sebaik-baiknya!" demikian ia terkata.
"Kalau begitu kau katakan dengan maksud baik kau
tentunya mengira aku takut padamu, Aku tahu rejekimu
bagus sekali, belum lama kita berpisah, kau sudah
mendapat pengalaman ajaib bukan saja sudah berhasil
mendapat ilmu kepandaian luar biasa, tetapi juga sudah
berhasil menempat i kedudukan Bengcu rimba hijau
daerah utara.
Tetapi, kau jangan sombong! Aku hendak beritahukan
padamu suatu berita yang mengejutkan. Heh, heh,
gurumu si Dewi ular dari gunung Ho lan-san yang hina
dina itu, sekarang sudah kutawan dan sekarang sedang
menjalani hukuman ditempat markasku.
Kalau kau mempunyai kepandaian, kau boleh basmi
perkumpulan Liong houw-hwee, kemudian bebaskan gurumu, aku pikir, kau adalah muridnya yang tersayang,
kau tentunya t idak tega melihat ia menderita."
Ia berkata sampai disitu dan t idak melanjutkan kata-
katanya lagi, mendadak tertawa terbahak-bahak,
kedengarannya sangat menyeramkan.
Ho Hay Hong terperanjat, ia bertanya: "Apa? Suhu
berada dalam tanganmu?"
"Aku tahu, setelah mendengar berita ini kau pasti
terkejut , tetapi ini adalah suatu kenyataan. Kepandaian
ilmu silatnya sudah musnah, dia sudah menjadi seorang
yang t idak berguna, bagaimana sanggup melawan
kekuatan Liong houw hwee?" kata Tan Song dingin.
"Perbuatanmu yang mengkhianati gurumu ini saja
sudah merupakan suatu dosa terbesar yang t idak dapat
diampuni, dan sekarang kau berani menyiksa guru, maka
dosamu ini t idak cukup kau tebus dengan jiwamu saja.
Aku lihat sebaiknya kau jangan berbuat keterlaluan,
supaya t idak menimbulkan kemarahan orang banyak,"
kata Ho Hay Hong marah.
"Menimbulkan kemarahan orang banyak?" kata Tan
Song sambil tertawa besar." Jikalau aku takut, aku tentu
t idak berbuat demikian. Percuma saja kau menjadi
pemimpin golongan rimba hijau, apakah kau masih
belum mengert i keadaan rimba persilatan dewasa ini?
Kekuatan adalah keadilan!"
Mendengar jawaban itu, Ho Hay Hong t idak dapat
kendalikan hawa amarahnya lagi, maka lalu menyerang.
Diserang demikian hebat , Tan Song buru-buru lompat
mundur, wajahnya berubah. "Jisutee, dengar! Jiwa Dewi Ular gunung Ho-lan-san
sudah berada ditanganku, ini berarti bahwa mat i
hidupnya tergantung dengan keputusanku. Kalau kau
berlaku t idak sopan lagi, jangan sesalkan aku berlaku
kejam!"
Ho Hay Hong terkejut , buru-buru menarik kembali
serangannya dan bertanya. "Apa maksud ucapanmu ini?"
"Kecuali kau bersedia bekerja sama denganku, lain
alasan apapun tak ada gunanya, aku akan tetap bunuh
mati padanya!"
"Kau benar-benar berani berbuat demikian?"
"Mengapa t idak? Heh. mungkin kau Ho Hay Hong
belum mencari tahu keadaanku."
Ho Hay Hong juga tahu benar kekejaman dan
kejahatan bekas suhengnya itu, apa yang ia katakan,
pasti dapat dilakukan maka saat itu ia lantas merasa
serba salah.
Pada saat itu, dari belakang t iba-tiba terdengar suara
orang berkata: "Tan-siang Sucu. Kau benar benar t idak
memandang kawan, aku siorang tua ini baru kenal
adatmu. ."
Ho Hay Hong berpaling, ia lihat Poh loya lari
menghampiri dirinya dengan napas tersengal-sengal.
"Sungguh sial !" demikian ia berpikir "apabila ia datang
mencari onar denganku, benar-benar sangat
menyulitkan."
Selagi masih berpikir, Poh loya sudah berada
dihadapannya. Tanpa memperdulikan orang lainnya, ia langsung menyerbu Lie Hui, "Bagus sekali! Kau budak
hina ini juga berada disini, lekas ikut aku pulang!"
Ho Hay Hong segera lompat maju, pura-pura
melakukan serangan sambil berkata: "Tunggu dulu!"
Poh Lay tidak tahu bahwa serangan Ho Hay Hong itu
bukan sungguh-sungguh, karena jeri atas
kepandaiannya, maka buru-buru lompat mundur sambil
berkata:
"Tang-siang Sucu, apakah kau benar-benar hendak
memusuhi aku siorang tua?"
"Poh toako perempuan ini adalah musuhku bangkai
kawanku masih belum dingin: matanya juga belum
meram, terpaksa aku minta maaf padamu." kata Ho Hay
Hong.
"Tidak bisa, anakku satu-satunya lantaran dia
sekarang telah kabur, t idak kembali lagi. Dalam dunia
yang luas ini, seorang yang belum mempunyai
pengalaman seperti dia, bagaimana harus hidup? Aku
Poh Lay hanya mempunyai anak satu-satunya, biarpun
aku harus berbuat dosa terhadap pangcu Tong jiauw-
pang, aku juga harus cari ia kembali. Tang-siang Sucu,
Jikalau kau masih sudi ingat persahabatan kita yang lalu,
janganlah menyulitkan aku lagi!"
Berkata sampai disitu, orang tua itu mengalirkan air
mata dengan sedihnya.
Sementara itu, Lie Hui terus menggelendot dibadan Ho
Hay Hong, matanya terbuka lebar memandang Poh Lay,
sedang dalam hat inya merasa bingung, mengapa
suhunya yang bukan orang dari golongan rendah, sudah
bersahabat kental dengan Poh Lay? Ia sesalkan diri sendiri t idak memiliki kepandaian ilmu
silat t inggi, hingga t idak bisa membasmi kawanan Tok-
jiauw pang. Akan tetapi keadaan dan kenyataan
memaksa ia harus berlaku sabar, sebab jika ia hendak
menuntut balas dendam sakit hati orang tuanya ia harus
mempunyai semangat baja dan keuletan serta bertekun
mempelajari ilmu silatnya.
Ia pandang Poh Lay dengan sikap sebagai musuh
besar, tetapi hat inya merasa t idak senang. Sekarang ia
masih belum mengert i betul keadaan suhunya, apakah
suhunya nant i akan menyerahkan dia kepada musuh
besarnya?"
Terhadap pemuda wajah pucat yang tergila-gila
kepadanya, ia cuma bisa menyatakan maafnya, Sebab
meskipun besar cinta pemuda itu terhadap dirinya, tetapi
ia adalah anak dari musuh besarnya.
Sementara itu, Poh Lay yang tahu perkataannya tidak
berhasil menggerakkan hat i Ho Hay Hong, pikirannya
semakin gelisah dan sedih, hingga airmatanya mengalir
semakin deras katanya dengan suara gemetar:
"Yah, dimasa muda memang aku pernah juga
melakukan perbuatan yang t idak senonoh, juga pernah
meninggalkan anakku yang dilahirkan dengan
perkawinan t idak sah. Tetapi itu semua disebabkan
terhalang oleh orang tuaku, hingga kini suami istri harus
hidup terpencar.
Sekarang, Tuhan masih berbelas kasihan terhadap
diriku, aku hanya mempunyai anak lelaki satu-satunya
itu. Usiaku sudah lanjut, sudah tentu t idak bisa
mempunyai anak lagi maka semua pengharapanku kutumpahkan kepada anakku seorang itu, aku hanya
mengharap supaya ia bisa menjadi manusia baik-baik.
Tak kusangka kecintaanku itu malah merusakkan
dirinya, hingga ia berani jatuh cinta kepada anak
perempuan musuhnya. Tang-siang Sucu, kedukaanku ini
tak dapat kuucapkan dengan kata-kata kepadamu,
seandai kau bagaimana kau harus berbuat .,"
Ho Hay Hong diam t idak menjawab, pikirannya
bekerja keras, bagaimana harus menyelesaikan
persoalan ini. Ia hendak menolak permintaan Poh Lay,
tetapi ket ika menyaksikan keadaan yang menyedihkan
orang tua itu ia juga t idak tega hat i.
Selagi dalam keadaan gelisah, Poh Lay telah
mengeluarkan sebuah benda dan berkata dengan suara
gemetar:
"Sebelum dia, aku masih ada seorang anak
perempuan. Ibunya adalah seorang perempuan satu-
satunya yang kucinta, sehingga saat ini. Tetapi. Oleh
karena dihalangi oleh orang-tuaku, kita t idak dapat
melangsungkan perkawinan. Dan t idak lama kemudian,
ia juga meninggal dunia, karena mereras, sedang anak
perempuan itu juga t idak tahu dimana sekarang berada
Aih., kasihan anakku yang sudah menjadi piatu itu."
Ia menatap mukanya dan menangis sepert i anak kecil.
Benda yang digenggam dalam kepalannya telah terjatuh
tanpa terasa.
Ho Hay Hay yang menyaksikan tanpa di sengaja ketika
itu lantas merasa tertarik. Karena benda yang merupai
kalung rantai itu, diujungnya terdapat sebuah batu giok
tulen, di bawah sinar matahari batu giok itu memancarkan sinarnya yang berkilauan. Tetapi yang
menarik perhatiannya ialah benda itu mirip benar dengan
batu giok yang dimiliki oleh gadis baju ungu, kekasihnya
di utara.
Ia segera memunggutnya dan diperiksanya dengan
seksama.
Barang serupa itu, dahulu gadis baju ungu juga
pernah memperlihatkan padanya, bahkan hendak
dihadiahkan kepada Hwa-chiu Hoa-tho untuk
menyembuhkan luka-lukanya. Tetapi karena batu giok itu
ada menyangkut riwayat dirinya, maka ia melarang
diberikan kepada tabib keparat itu.
Ia masih ingat akan benda berharga itu, bahkan ia
dahulu pernah berjanji dengannya, hendak mencari tahu
siapa ayahnya.
Selagi ia berdiri tertegun, telinganya mendengar suara
Poh Lay: "Sewaktu aku berpisahan dengan kekasihku itu,
aku memberikan padanya batu giok yang serupa bentuk
dan warnanya."
Ho Hay Hong terkejut mendengar keterangan itu, ia
lantas teringat kata-kata kekasihnya: "Sewaktu ibu
hendak menutup mata, benda ini diserahkan kepada
engkong dan minta padanya jikalau aku sudah dewasa
supaya memberitahukan tentang riwayat diriku. Tetapi,
engkong sendiri juga t idak tahu siapa adanya ayahku,
maka benda ini diberikan padaku, suruh aku mencari
sendiri."
Diam-diam ia memandang muka Poh Lay, sementara
dalam hat inya berpikir: ”Jikalau benar dia adalah
ayahnya, bagaimana aku harus berbuat?" Ia tahu bahwa gadis baju ungu itu seorang gadis baik
dan beradat t inggi, sedangkan ayahnya adalah seorang
perkumpulan orang-orang jahat golongan Tok-jiauw-
pang. Ayah dan anak ini, kalau dibandingkan t idak
ubahnya bagaikan bumi dan langit.
Ia sangat cemas, apabila benar bahwa Poh Lay ini
adalah ayah gadis kekasihnya, ada kemungkinan akan
terjadi suatu tragedi yang mengenaskan.
Dan seandainya gadis baju ungu itu tahu bahwa
ayahnya adalah orang dari golongan jahat juga ada
kemungkinan ia akan bunuh diri.
Apakah Poh Lay t idak bisa undurkan diri dari golongan
Tok-jiauw-pang? Kemungkinan baginya masih ada, tetapi
sekalipun ia mau, barangkali juga t idak diizinkan oleh
golongannya.
Selain daripada itu, Poh Lay adalah salah seorang
kepercayaan golongan Tok-jiauw-pang, bagaimana Lie
Hui mau melepaskan usahanya untuk menuntut balas
dendam ?
Ia menarik napas dalam, t idak tahu bagaimana harus
membereskan persoalan yang sangat rumit itu.
Ia jadi t idak berani menghadapi kenyataan. Persoalan
itu sangat menakut i hatinya.
Mendadak t imbul suatu pikiran hendak merusak batu
giok itu, karena dengan dirusaknya batu giok itu, berart i
lenyaplah semua barang bukt i. Tetapi perbuatan itu
melanggar hat i nuraninya sendiri, bagaimanapun juga ia
t idak dapat melakukannya. Dalam keheningan suasana, t iba-tiba terdengar suara
Poh Lay: "Tang-siang Sucu, aku mohon padamu, biarlah
anakku itu tinggal hidup!"
Ia kira Ho Hay Hong tergerak hat inya, maka memberi
penjelasan lagi:
"Mengenai kerugianmu, aku siorang tua bersedia
mengorbankan segala apa untuk menggant ikannya. Asal
kau buka mulut, selama aku mempunyai kemampuan,
t idak akan mengecewakan kau."
"Jangan kata apa-apa lagi, bagaimanapun kau
meminta aku juga t idak akan menerima!" Ujar Ho Hay
Hong.
Mendengar jawaban itu, perasaan Lie Hui segera
tampak girang dan ujukkan senyumannya yang
menggiurkan.
"Suhu, kau sungguh baik hati! Seumur hidup aku tidak
akan melupakan budimu ini!" demikian ia berkata.
"Kita sudah menjadi guru dan murid, kau t idak perlu
berkata demikian."
Poh Lay tertawa menyeringai dan berkata: ”Tang-
siang Sucu. kau benar-benar seorang manusia palsu. Kau
membohongi aku dengan mengatakan bahwa budak ini
adalah musuh sahabatmu, sampai kau bawa lari
padanya, maka aku t idak boleh t idak harus pandang kau
sebagai sahabat!"
Ho Hay Hong mengert i maksudnya, dalam hat inya
berpikir: ”jika sekarang kubinasakan dia, bagaimana
nant i kalau diketahui oleh gadis baju ungu?”
Sementara itu Poh, Lay mendadak membentak. "Tang-Siang Sucu, kalau kau t idak memperhat ikan
kesulitanku lagi, aku terpaksa akan adu jiwa denganmu!"
Sebelum Ho Hay Hong menjawab Tan Song mendadak
berkata:
"Tua bangka benar-benar sudah lamur matamu! Dia
bukan Tang-siang Sucu!"
"Kalau begitu, siapa dia?" tanya Poh Lay.
"Siapa dia kau masih belum kenal, percuma kau
menjadi orang rimba persilatan. Kuberitahukan padamu,
dia adalah Bengcu golongan rimba hijau daerah utara Ho
Hay Hong yang namanya sangat kesohor itu!"
Ho Hay Hong t idak keburu mencegah, maka lalu
berkata dengan marah:
"Orang she Tan kau berani mengoceh t idak karuan,
benar-benar sudah bosan hidup!"
Dengan cepat ia bergerak menghampiri dan
menyerangnya.
Tan Song lompat mundur seraya berkata:
"Ho sutee coba kau tengok kebelakang."
Ho Hay Hong berpaling, tertampak olehnya bahwa Poh
Lay sudah menangkap Lie Hui, bahkan mengancam
hendak menotok jalan darahnya. Sementara itu, Lie Hui
coba meronta dengan wajah pucat dan mulut menganga.
Poh Lay berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Haha kiranya adalah Ho Bengcu. Tidak kusangka
sebagai seorang pemimpin kau masih mengaku sebagai
manusia rendah Tang Siang Sucu !" "Lepaskan dia, jikalau t idak, aku segera turun tangan
mengambil jiwamu!" berkata Ho Hay Hong marah.
"Dia sudah terjatuh dalam tanganku, kalau aku
hendak membinasakannya, itu sangat mudah sekali. Kau
si orang she Ho mesti berkepandaian t inggi, juga t idak
bisa berbuat apa apa. Hahaha!" kata Poh Lay sambil
tertawa terbahak-bahak.
Diluar dugaan semua orang, suara tertawanya
mendadak berhent i dan kemudian jatuh rubuh ditanah,
jiwanya melayang seketika.
Karena kejadian yang mengejutkan itu, orang baru
tahu bahwa seorang gadis cant ik berbaju ungu telah
jalan menghampiri.
Ho Hay Hong yang melihat kedatangan gadis baju
ungu itu, lalu berseru:
"Hei kau."
Gadis itu tersenyum manis, katanya dengan suara
duka.
"Dari jauh aku tadi sudah dengar suara bentakanmu!"
Lie Hui segera menubruk Ho Hay Hong. Gadis baju
ungu yang menyaksikan itu, lalu tersenyum dan berkata:
"Aku tadi lihat orang tua itu menggunakan nona ini
untuk memaksa kau maka lalu"
Ho Hay Hong mengucurkan keringat dingin, ket ika ia
menghampiri Poh Lay, orang tua itu ternyata sudah t idak
bernyawa. Kepalanya sepert i disambar pet ir, hampir saja
ia roboh. Walaupun ia biasa berlaku tenang, tetapi menghadapi
kejadian demikian, jantungnya tak urung berdebar juga.
Karena gadis itu t idak tahu bahwa orang yang
dibunuhnya itu justru adalah ayahnya sendiri.
Karena ia khawatir akan terjadi apa apa atas diri gadis
itu. maka ia buru-buru menyembunyikan batu Giok orang
tua tadi kedalam sakunya, kemudian berkata padanya.
"Terima kasih atas bantuanmu, kedatangan mu ini
sesungguhnya diluar dugaanku."
"Kau t idak perlu mengucapkan terima kasih kepadaku,
aku tahu diluarnya kau berlaku manis terhadapku tetapi
dalam hat imu sudah ada gadis lain yang menempat i,
maka t idak perhatikan diriku lagi," berkata gadis berbaju
ungu sambil menundukkan kepala.
"Kau jangan salah faham, aku justru mencari kau dan
hendak menanyakan padamu dimana kau selama ini
berada?" berkata Ho Hay Hong.
"Ho Hay Hong kau t idak perlu berlaku pura-pura
terhadapku aku mungkin kau sudah mengharap supaya
aku lekas mati, supaya kau bisa bersenang-senang
dengan gadismu itu."
Muka Ho Hay Hong merasa panas, ia t idak bisa
menjawab.
Sementara itu Lie Hui yang mendengarkan
pertengkaran mulut sejak tadi semakin merasa bingung,
lalu bertanya.
"Enci, Siapakah tadi gadis yang kau maksudkan tadi?"
"Dia adalah kekasihnya yang lama!" jawabnya dengan
hat i mendongkol. Lie Hui heran, matanya menatap wajah suhunya,
kemudian berkata.
"Suhu, mengapa aku belum pernah dengar bahwa kau
sudah punya kekasih?"
Kiranya gadis itu mengira bahwa gadis yang
dimaksudkan oleh gadis berbaju ungu tadi adalah dirinya
sendiri, maka ia mengajukan pertanyaan demikian.
Ho Hay Hong takut gadis berbaju ungu marah,
sehingga mericuhkan keadaan, maka setelah
menenangkan pikirannya, lalu menghampirinya dan
berkata dengan suara perlahan:
"Adik, apa kau t idak tahu bagaimana suasana di
tempat ini sekarang?"
"Kalau sudah tahu, lalu mau apa?" kata gadis baju
ungu t idak senang.
Meskipun mulutnya mengatakan demikian, tetapi
dalam hatinya sudah t idak marah lagi.
"Mungkin kau masih belum tahu bahwa orang-orang
ini semua adalah musuhku. ." kata Ho Hay Hong.
"Jangan bicara lagi. Siapa t idak tahu kau
berkepandaian t inggi? Dalam pertempuran di danau
Keng-liong-t ie bukan saja kau sudah berhasil
membinasakan jago iblis kenamaan, bahkan sudah
berhasil membinasakan seekor burung garudanya Kakek
perjinak garuda.
Kemudian kau bertempur lagi dengan Kakek penjinak
garuda itu sehingga beberapa puluh jurus. Sekarang
namamu sudah menjadi buah tutur hampir semua orang Kang-ouw, merupakan satu jago muda yang sangat luar
biasa tangkasnya.
Sebelum itu aku dengar banyak kabar yang
merupakan desas desus mengenal dirimu, aku kira kau
sudah mati, tak kuduga kau masih hidup bahkan berhasil
membinasakan musuh besarmu. Hm, di mana nona baju
putih itu sekarang ? Mengapa t idak bersamamu?"
Ho Hay Hong berdiri tertegun dengan mulut
menganga, lama baru berkata sambil tertawa getir.
"Aku tahu kesalah fahamanmu sudah terlampau
mendalam, t idak dapat dijelaskan dengan sepatah dua
kata. Tapi bagaimanapun juga kau anggap diriku, aku
tetap Ho Hay Hong di kemudian hari kau tentu akan
mengert i sendiri. Sekarang musuh tangguh berada
disekitar kita benar-benar tidak mudah dihadapi.
Apa lagi musuh menggenggam kelemahanku, ia
hendak memaksaku supaya tunduk kepadanya. Oleh
karena itu maka adikku, bagaimanapun juga kau marah
terhadapku aku masih hendak minta pertolonganmu
untuk satu hal saja."
Menyaksikan sikap tenang Ho Hay Hong gadis itu juga
terkejut , katanya dengan suara pelahan.
"Kau ingin aku melakukan tugas apa? lekas katakan
supaya hatiku tidak cemas!"
Ho Hay Hong tersenyum puas, ia pikir gadis itu masih
ingat cintanya hingga soalnya mudah diselesaikan.
ia lalu mengeluarkan lambang emas dari dalam
sakunya, diberikan kepada gadis baja ungu seraya
berkata. "Emas ini adalah tanda kepercayaan Beng-cu rimba
hijau daerah utara, Setelah kau berada didaerah utara
set iap anggota rimba hijau itu semua akan menurut
perintah orang yang membawa tanda ini. Sekarang kau
harus segera kembali keutara, kau perlihatkan tanda
emas ini kepada saudara-saudara rimba hijau disana
perintahkan kepada mereka supaya segera membasmi
perkumpulan Liong houw hwee dan menolong jiwa Dewi
ular dari gunung Ho-lan-san bersama kawan-kawannya.
Pesan kepada mereka, jangan sampai lalai, apabila
terjadi kealpaan, nant i kalau aku ketahui akan hukuman
seberat-beratnya. Lekas berangkat , tokoh-tokoh Liong-
houw-hwee semua berada disini, aku percaya kekuatan
mereka sudah t idak ada, hingga mudah dibasmi."
Mendengar perkataan itu. gadis baju ungu terkejut ,
dengan mata melirik kepada Tan Song ia berkata:
"Apakah t indakanmu ini t idak terlalu gegabah?"
"Tidak. Asal kau lakukan rencanaku ini, aku disini tidak
khawat ir akan mendapatkan bahaya. Lekas berangkat,
nant i setelah berhasil usaha kita, aku juga segera
kembali ke utara, kita bisa bertemu lagi di rumah
engkong. Kau jangan pergi kemana-mana, t idak lama
lagi aku akan kembali."
Perkataan penghabisan Ho Hay Hong melegakan hat i
si gadis baju ungu, hingga ia merasa girang. Kesusahan
hat inya selama itu, seketika itu juga lantas lenyap
bagaikan asap tert iup angin. Setelah meninggalkan
pesan kepada Ho Hay Hong supaya berlaku hat i-hati, ia
lantas memutar tubuhnya dan berangkat ke utara.
Pada saat ia angkat kaki, Tan Song mendadak berkata
sambil berkata dingin: "Kau hendak kemana?"
Kemudian tangannya bergerak sebilah pedang melesat
keluar dari tangannya langsung meluncur ke arah gadis
baju ungu.
Lie Hui terperanjat, belum sempat memanggil suhunya
pedang panjang dipundaknya sudah dihunus oleh
suhunya kemudian meluncur mengejar pedang Tan
Song.
Tan Song tertawa dingin kemudian mengempos
kekuatan tenaga dalamnya hingga pedangnya melesat
semakin t inggi dan terus mengejar sasarannya.
Dengan demikian pedang Ho Hay Hong t idak berhasil
menjatuhkan pedang Tan Song. Dalam ilmu
mengendalikan pedang ia memang masih kalah jauh
dengan bekas toa suhengnya itu tetapi karena keadaan
memaksa ia keluarkan juga kepandaiannya untuk
menolong jiwa kekasihnya.
Sementara itu gadis baju Ungu itu masih belum tahu
kalau dirinya terancam bahaya. Ia masih terus berlari
tanpa menoleh.
Ho Hay Hong cemas sekali, ia mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya hendak mengadu jiwa
dengan Tan Song.
Diluar dugaannya, selagi dalam keadaan sangat krit is,
t iba-tiba terdengar suara orang berkata:
"Apakah art inya ini? Ditengah hari bolong dan keadaan
aman bagaimana hendak mengadu jiwa?"
Suara orang itu sangat nyaring dan kuat sekali hingga
mengejutkan semua orang. Gadis berbaju Ungu itu mendadak lompat kekiri dan
membentak:
"Kau orang tua ini benar benar t idak kenal sopan!
Perlu apa merintangi perjalananku?" Belum habis kala
katanya, orang tua itu sudah tertawa lagi, kemudian
lompat ke samping dan tangannya menyambut pedang
Tan Song yang berkilauan.
Setelah itu, pedang Ho Hay Hong juga disambarnya
hingga dua bilah pedang itu berada dalam genggaman
tangannya.
"Tidak beres! Tidak beres! Bu-ing Khong khong-jie dan
Ceng-ceng-jie dijaman dahulu sudah mati semua, apakah
disini kembali muncul dua manusia itu?"
Sehabis berkata demikian, dua bilah pedang di
tangannya dilemparkan ke tanah, hingga menancap
sangat dalam. Kemudian ia berkata lagi:
"Ini t idak seimbang, pedang yang menyusul
belakangan jelas masih kurang mahir hingga t idak
berhasil mengejar pedang yang pertama, juga t idak
berhasil menolong si cant ik. Haha! Bocah ini benar-benar
t idak tahu diri."
Dengan kedatangan orang tua secara tiba-tiba itu, Ho
Hay Hong dan Tan Song terpaksa menghent ikan
pertempurannya.
Keduanya sama-sama merasa heran dan berpaling
mengawasi padanya.
Ternyata dia adalah seorang tua berjenggot dan
berambut panjang mengenakan jubah warna kuning. Gadis berbaju ungu sejenak nampak terkejut ,
kemudian bertanya kepada Ho Hay Hong:
"Engko Hong, apakah kau tidak halangan ?"
"Aku disini t idak ada halangan suatu apa, bagaimana
dengan kau?"
"Baik-baik saja, hanya dikacaukan oleh kedatangan
orang tua jubah kuning ini!"
"Syukurlah, lekas pergi, kalau terlambat nant i." kata
Ho Hay Hong sambil tersenyum.
Setelah gadis baju ungu melanjutkan perjalanannya,
orang tua jubah kuning itu perlahan-lahan menghampiri
dibelakangnya diikut i oleh seorang jago tua berpakaian
wanita hijau. Ketika melihat Ho Hay Hong lalu berseru:
"Oh, kau.!"
Tan Song mundur selangkah, matanya menatap orang
tua itu. Sebab Ho Hay Hong kenal dengan orang tua itu,
maka ia tidak berani berlaku gegabah.
Jago tua baju hijau itu lalu berkata kepada Ho Hay
Hong:
"Ho siaohiap, Sudah lama kita t idak ketemu,
bagaimana keadaanmu belakangan ini?"
Ho Hay Hong memandang orang tua jubah kuning
sejenak, baru berkata.
"Atas karunia Tuhan, selama ini baik-baik saja.
Bagaimana denganmu Khong ciok Gin cee Lo enghiong?"
Jago tua itu memang benar Khong ciok Gin cee, yang
sudah lama t idak terdengar kabar beritanya. Dengan t idak mudah aku baru berhasil mengundang
Siauw sianseng ini turun gunung. Aih. Terjadinya
perubahan dunia benar-benar diluar dugaanku," kata
Khong ciok Gin cee.
"Apa yang kau maksudkan?" tanya Ho Hay Hong yang
t idak dapat memahami perkataannya.
Sementara itu dalam hat inya sudah menduga bahwa
orang tua berbaju kuning itu tentunya adalah salah satu
dari lima jago luar biasa dari daerah Tionggoan ketua
partay Cong-lam pay, pendekar jubah kuning.
"Sungguh tak kusangka bahwa Ho siauwhiap adalah
saudara kandung Tang-siang Sucu." berkata Khong ciok
Gin-cee sambil menghela napas maka kuperkenalkan,
sianseng ini adalah ketua partai Cong lam-pay Pendekar
jubah kuning. Oleh karena kemat ian Su hiantee yang di
binasakan oleh saudaramu, sehingga rumah tangganya
kocar-kacir. Dan akhirnya membangkitkan kemarahan
pendekar jubah kuning, terpaksa turun gunung untuk
menuntut balas dendam kepada saudaramu."
"Memang benar, kelakuan saudaraku itu terlalu ganas
dan kejam, t idak mempunyai rasa prikemanusian, aku
sendiri juga merasa tidak puas atas sepak terjang. Tetapi
sekarang ia sudah meninggal dunia." kata Ho Hay Hong.
Berkata sampai disitu, ia t idak melanjutkan kata
katanya, dengan tenang memandang Pendekar jubah
kuning.
Orang tua itu mengerutkan keningnya dan berkata:
"Oh, orang she Ho yang Khong ciok Gin-cee Lo
enghiong pernah sebutkan itu, kiranya adalah kau?
Nampaknya memang memiliki bakat menjadi satu jago kenamaan. Tetapi musuh saudaramu terlalu banyak,
meskipun sudah mati juga belum cukup untuk menebus
dosanya."
Mendengar kata-kata yang sangat tajam, Ho Hay
Hong mau t idak mau harus waspada.
"Aku anggap orang yang sudah mati bagaimanapun
besar dosanya juga turut impas. Entah bagaimana
anggapan Ciangbun Tayhiap yang berkepribadian t inggi
ini?" kata Ho Hay Hong.
"Nampak Ho siaohiap hendak membela saudaramu,
aku kira"
Ho Hay Hong tahu bahwa ucapan selanjutnya
tentunya t idak mengandung maksud baik, maka segera
memotongnya:
"Ciangbun tayhiap t idak mau melepaskan maksud
permusuhan terhadap saudaraku, apakah hendak
membongkar kuburannya baru merasa puas?"
"Ho siaohiap benar-benar sangat lihay dan pandai
bicara aku siorang she Siauw benar-benar sangat kagum.
Memang betul, dendaman sebaiknya jangan ditarik
panjang. Tetapi perbuatan yang dilakukan oleh
saudaramu terhadap muridku serumah tangga,
sebetulnya sangat keterlaluan, maka t idak boleh
dihabiskan begitu saja. Peribahasa ada kata: hutang
ayah harus dibayar oleh anaknya. Saudaramu terlalu
banyak musuhnya, mau t idak mau Ho siaohiap harus
turut menanggungnya!" berkata Pendekar jubah kuning
sambil tertawa dingin. Khong-ciok Gin-cee lalu berkata: "Sauw tayhiap, anak
muda ini sifatnya jujur, benar-benar merupakan seorang
muda luar biasa yang jarang ada. Aku pikir"
Belum lagi Khong-ciok Gin-cee mengakhiri ucapannya,
Sudah dipotong oleh Pendekar jubah kuning:
"Lo enghiong, Su-to Siang adalah murid ku. Bolehkah
kau jangan turut campur tangan?"
Suasana menampak semakin meruncing, ke dua pihak
sama-sama mengotot mempertahankan pendiriannya.
Orang-orang Liong-houw yang semula mengira orang tua
jubah kuning itu adalah kawan Ho Hay Hong, kini malah
merasa girang.
Tan Song segera mengeluarkan perintah. Supaya
semua orang-orangnya mundur, memberi tempat bagi
mereka untuk bertempur.
Ho Hay Hong diam-diam berpikir: "Tang-Siang Sucu
dimasa hidupnya memang terlalu kejam, tetapi sekarang
sudah mati, seharusnya habis semua dosanya. Tak
kusangka orang tua ini masih hendak memperhitungkan
hutangnya kepadaku. Sesungguhnya sangat keterlaluan!
Hawa amarahnya t idak dapat dikendalikan lagi, maka
lalu berkata sambil tertawa nyaring: "Yah, yah kalau
tayhiap tetap hendak menuntut balas dendam kepada
orang yang sudah mati, ini berarti mencari onar
terhadapku. Aku Ho Hay Hong kalau masih tetap hendak
berbicara soal keadilan, kau tentunya anggap aku
seorang penakut. Begini saja, tayhiap anggaplah aku
sebagai Tang siang Sucu. Semua hutangnya boleh kau
perhitungkan denganku!" "Apa kau kira aku t idak berani?" kata Pendekar jubah
kuning sambil tertawa dingin dan berjalan menghampiri
Ho Hay Hong.
Khong ciok Gin cee buru-buru melintang ditengah-
tengah antara keduanya itu.
"Ciangbun tayhiap harap sabar dulu. harap tayhiap
suka pandang mukaku, lepaskan anak muda ini."
Perkataan itu diucapkan dengan sikap sungguh-
sungguh dan seolah-olah memohon dengan meratap,
hingga mengejutkan Pendekar jubah kuning.
Jikalau ia menurut i hat inya, melakukan serangan
terhadap Ho Hay Hong, ia berarti t idak memandang
muka Khong-ciok Gin-cee. Ia mengert i itu, sebagai
sesama orang Kang-ouw, bagaimanapun juga harus
menjaga muka. Maka lalu menjawab dengan berubah
nadanya:
"Tang siang Sucu mungkin belum mati, lo enghiong
jangan lepaskan pikiranmu untuk menuntut balas karena
mendengar keterangan sepihak dari anak muda ini!"
Khong-ciok Gin-cee terkejut , dalam hat inya berpikir:
itu memang benar, Ho siaohiap meskipun seorang jujur,
tetapi karena hendak membela saudaranya mungkin ia
terpaksa membohong.
Kemungkinan itu memang ada, selagi hendak
menanyakan kepada Ho Hay Hong, anak muda itu sudah
berkata sambil tertawa dingin.
"Ucapan Siauw tayhiap ini jelas terlalu memandang
rendah diriku seorang she Ho. Jikalau kau t idak percaya, boleh ikut aku sama-sama pergi menyaksikan sendiri
kuburannya. Apakah aku perlu membohongi tayhiap ?"
"Jikalau orang dalam kuburan bukan Tang siang Sucu.
sebaliknya kuburan kosong, bukan kah aku tert ipu
olehmu?" kata Pendekar jubah kuning dingin.
Mendengar ucapan itu, Ho Hay Hong sangat marah
dengan alis berdiri ia berkata dengan suara keras:
"Maksud Siauw tayhiap apakah suruh aku
membongkar kuburannya, supaya tayhiap bisa
menyaksikan sendiri betul atau palsu."
Ia sudah berlaku nekad, hendak menggempur jago
kenamaan itu.
Pada saat itu Tan Song mendadak berkata:
"Benar, hal itu sangat perlu !"
Ucapan orang she Tan ini mengandung maksud
mengadu domba, pertama-tama adalah Khong-ciok Gin-
cee yang merasa sangat t idak senang, menatapnya
sejenak, lalu berkata padanya:
"Kau anak muda ini jangan turut campur! Tak ada
bagiannya kau dalam urusan ini. Kau hendak mengadu
domba juga t idak ada gunanya !"
Muka Tan Song merah, tetapi ia t idak berani
membantah. Hanya dalam hat inya saja menyumpahi
orang tua ini.
Pendekar jubah kuning juga memandang sebentar
kemudian berkata:
"Ucapan orang ini mengandung maksud mengadu
domba, tentunya bukan orang baik-baik, aku selamanya mempunyai adat aneh, t idak mudah tert ipu. Mari jalan.
Khong ciok Lo enghiong, kita pergi periksa dulu, baru
nant i berurusan lagi dengannya !"
Sehabis berkata demikian, lantas bergerak dan
sebentar sudah menghilang.
Khong ciok Gin cee memandang Ho Hay Hong sejenak
berkata padanya dengan suara perlahan:
"Kuharap keteranganmu ini benar semua sampai kita
bertemu, lagi !"
Sehabis berkata demikian, lalu mengikut i jejak
pendekar jubah kuning.
Perubahan itu telah mengejutkan Ho Hay Hong, ia
t idak menduga bahwa pendekar jubah kuning itu sifatnya
demikian aneh.
Mendadak ia ingat kejahatan Tang Song yang hendak
mengadu domba, kalau pendekar jubah kuning bukan
seorang bersifat aneh, tentunya akan marah-marah dan
menyerang padanya. Oleh karena itu, maka ia lalu
menghampirinya sangat marah.
"Toa suheng, kau kejam! ilmu mengendalikan
pedangmu, nampak semakin maju, Sayang kau sudah
mengkhianat i suhu. Orang yang sudah berkhianat tak
berhak buka suara. Ha! Ha!!"
Munculnya anak Poh Lay secara mendadak, mungkin
ada suatu hal yang kebetulan. Dan untung baginya,
harapan Tan Song dan orang-orangnya agaknya belum
mengetahui kedatangannya.
Tetapi saat itu pikirannya menjadi bimbang tenaga
pemuda itu dapat digunakan untuk membantu dirinya, tetapi apabila ia sudah mengetahui kemat iannya ayahnya
mungkin juga bisa berabe.
Dengan berlaku pura-pura berpikir, ia menggunakan
ilmu menyampaikan suara kedalam telinga, berkata
kepada anak Poh Lay.
"Aku tahu kau adalah anaknya Poh Lay. sekarang
kekasihmu sudah berada ditangan musuh. Jikalau kau
t idak lekas bertindak memberi pertolongan, kau nant i
akan menyesal untuk selama-lamanya. Sekarang kau
jangan bersuara dulu, mereka mengetahui
kedatanganmu. Turut lah nasehatku, kau serang dua
orang yang mengancam Lie Hui dan kemudian menolong
jiwanya.
Pemuda itu agaknya tercengang, tetapi kemudian
geser kakinya. Kali ini gerakannya gesit sekali, sebentar
saja sudah berada dekat dengan rombongan orang-orang
Liong-houw hwee.
Ho Hay Hong diam-diam sangat girang, karena
gerakan pemuda itu membukt ikan bahwa usahanya telah
berhasil. Karena ia takut diketahui oleh Tan Song, maka
ia lalu mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya dan
berkata.
"Lekas bertindak, jangan sangsi!"
Suara itu hanya di tujukan kepada pemuda itu, t idak
didengar oleh lainnya.
Dengan t iba-tiba dua orang yang mengancam Lie Hui
tadi telah rubuh binasa, karena leher masing-masing
sudah terkena serangan belat i t ipis yang amat tajam. Setelah itu, sesosok bayangan lompat keluar dari
tempat sembunyinya dan berseru.
"Aaaa! Usahaku telah berhasil!"
Lie Hui dengan cepat menubruk suhunya hingga
membuat Ho Hay Hong hampir jatuh.
Tan Song sangat marah, tetapi ia tak berani
menyerang Ho Hay Hong, sebaliknya menyerbu anak Poh
Lay.
Ho Hay Hong buru-buru mendorong Lie Hui dan
menyerang Tan Song.
Tan Song mundur beberapa langkah, dan pemuda itu
juga sudah berhasil memperbaiki posisinya.
Ketika Lie Hui melihat pemuda itu, dalam hat i merasa
t idak senang. Meskipun ia tahu pemuda itu yang
menolong jiwanya, juga tetap t idak menghiraukannya.
Dengan cepat ia memutar tubuhnya dan menyerang
salah seorang berpakaian kuning pengawalnya Tan Song.
Orang itu ternyata cukup tangkas, meski pun di serang
secara mendadak, tetapi dalam beberapa gebrakan
sudah berhasil memukul mundur Lie Hui.
Pemuda anak Poh Lay ketika menyaksikan Lie Hui
terpukul mundur segera loncat maju, tangannya
bergerak, dua bilah belati pendek melesat dari tangannya
dan tepat telah mengenakan tubuh pengawal Tan Song
sehingga orang tersebut rubuh binasa seketika itu juga.
Dengan senjata belati pendeknya yang sangat berbisa
anak Poh Lay bert indak, barang siapa mendekati Lie Hui,
kontan di serangnya hingga semua jeri padanya. Walaupun pemuda itu membela dirinya mati-matian,
tetapi Lie Hui tetap t idak mau menyapa, karena hingga
saat itu, ia masih menganggap bahwa pemuda itu adalah
anak musuhnya"
Dalam pertempuran sengit, pemuda itu berhasil
membinasakan beberapa orang musuhnya, tetapi ia
sendiri juga tampak kewalahan dan perlahan-lahan mulai
lelah.
Dalam medan pertempuran itu, jumlah musuh nampak
makin sedikit , akhirnya t inggal Tan Song dan t iga
pengawalnya yang masih tetap melawan mat i-mat ian!
Tak lama kemudian Ho Hay Hong kembali sudah
membinasakan t iga pengawal itu, hingga t inggal Tan
Song seorang yang masih hidup.
Menyaksikan semua orangnya telah binasa secara
mengenaskan, Tan Song merasa pilu.
"Ho Hay Hong ! Dewi ular dari gunung Ho lan san juga
akan turut binasa bersamaku, kau jangan bangga
dengan kemenangan." demikian Tan Song berkata
dengan suara nyaring.
"Toa suheng, kalau boleh aku katakan dengan terus
terang aku sudah kirim orang ke utara untuk
memerintahkan orang-orangku didaerah utara
membasmi orang-orangmu. Ancamanmu ini aku
sedikitpun t idak takut . Sekarang aku mewakili suhu
hendak menghukum kau! Kau boleh pilih sendiri, kau
hendak turun tangan sendiri atau suruh aku yang
bert indak? bagaimanapun juga kau sudah t idak bisa
hidup lagi."
Tan Song terkejut , katanya: "Kau hendak membohongi aku? Hahaha Ho Hay Hong,
sejak kau mangkat dewasa aku sudah biasa membohongi
orang, apa kau kira dapat membohongi aku?"
"Dengan tanda kepercayaanku plat emas aku
perintahkan gadis baju ungu tadi untuk melakukan tugas
sepert i apa yang aku beritahukan padamu. Dalam waktu
beberapa hari saja perkumpulan Liong houw-hwee yang
kau banggakan akan segera lenyap dari muka bumi. Aku
bohong padamu juga tak ada gunanya, biar bagaimana
kau tokh sudah tidak bisa lagi menolong jiwamu sendiri."
Tan Song tahu bahwa ucapan itu bukan main-main
maka kemudian menggorok lehernya sendiri.
Ia sedang pikir hendak suruh Lie Hui menggali lubang
untuk mengubur jenazah Poh Loya. Siapa nyana pemuda
itu sudah melihatnya lebih dulu hingga lalu menjerit
kaget, matanya menatap jenazah ayahnya.
Ho Hay Hong terkejut , tapi segera mengert i apa
sebabnya:
Sesaat itu ia juga t idak bisa berbuat apa-apa, berdiri
terpaku menant ikan reaksi selanjutnya.
Pemuda itu mendadak menangis sepert i anak kecil,
kemudian jatuhkan diri dan menubruk jenazah ayahnya.
Setelah puas menangis, pemuda itu bangkit, matanya
menatap wajah Ho Hay Hong.
"Kaukah yang membunuh mat i ayahku?" demikian ia
bertanya.
Ho Hay Hong t idak menjawab, oleh karena yang
membunuh orang tua itu justru gadis berbaju ungu
kekasihnya sendiri. Ia juga t idak ingin hal itu nant i akan menggagalkan segala rencananya, maka sejenak,
akhirnya menjawab:
"Maaf, aku telah kesalahan tangan."
Lie Hui mendadak berseru:
"Tidak ! Suhu, kau."
"Maaf, ayahmu memang mati ditanganku." demikian
Ho Hay Hong dengan cepat memotong.
Pemuda itu berkata dengan suara keras.
"Apa? Apa kau kira sudah cukup dengan perkataan
maaf saja? Kau ! kau telah membinasakan ayahku, aku
terpaksa hendak menuntut balas terhadapmu!"
Dengan secara nekad ia benturkan kepalanya kepada
tubuh Ho Hay Hong, tetapi dapat didorong oleh tangan
Ho Hay Hong.
"Atas kesalahan tanganku ini, aku sendiri juga merasa
sangat menyesal. Kau jangan menurut i hawa napsumu
dulu, biarlah aku nant i pikirkan cara penjelasan yang
sebaik-baiknya."
"Orang yang sudah mat i tokh t idak bisa hidup lagi ?
Sekalipun kau memberikan harta kekayaan yang
berlimpah-limpah, juga t idak dapat menghapus
kebencianku ! Bagaimana kau hendak menyelesaikan
urusan ini?"
Ho Hay Hong bungkam, sulit baginya untuk
menjawab.
Lie Hui yang menyaksikan suhunya berada dalam
kesulitan, segera maju dan berkata: "Ayahmu mati ditanganku, kalau kau hendak
menuntut balas, boleh menuntut balas terhadapku, t idak
ada sangkut pautnya dengan suhu!"
"Betulkah keteranganmu itu?" tanya pemuda itu
terkejut .
Sesaat kemudian, perasaan kagetnya telah digant i
oleh perasaan marah, ia lupa segala kesedihannya dan
berkata dengan suara keras:
"Tidak peduli siapa, membunuh orang harus
menggant i jiwa. Kau harus tahu bahwa itu mut lak !"
Sehabis berkata demikian, dengan menggunakan ilmu
Tay-kie-na-chiu-hoat, menyerang Lie Hui.
Sambil mengelak, Lie Hui berseru. "Ketahuilah olehmu
bahwa orang-orang Tok-jiauw-pang semua adalah
musuh-musuhku, Kematian ayahmu sudah pada
tempatnya, kalau masih bisa dikubur dengan baik, itu
masih untung baginya. Tidak kusangka kau masih ada
muka begitu tebal hendak menuntut balas dendam
terhadapku. Em! Aku juga hendak menggunakan
kesempatan ini. untuk menuntut balas dendam kawanan-
kawanan Tok-jiauw-pang yang telah membasmi habis
semua orang-orang tua dan saudara-saudaraku!"
Demikian sengitnya Lie Hui, hingga ia balas
menyerang pemuda itu dengan seluruh kepandaiannya.
Pemuda itu menghadapi kesulitan lebih hebat lagi,
karena gadis itu merupakan gadis satu-satunya yang ia
cintai sepenuh hat i, tetapi kini harus dihadapinya sebagai
musuh. Maka sementara bertempur, dalam otaknya
sudah mengambil keputusan, apabila sudah berhasil
menuntut balas dendam sakit hat i kemat ian ayahnya, ia lantas hendak bunuh diri, untuk mengakhiri riwayat
hidupnya.
Kepandaian ilmu silatnya masih diatas Lie Hui, tetapi
Lie Hui, dengan pedang panjang di tangan, maka
keduanya jadi berimbang.
Ho Hay Hong yang menyaksikan pertempuran sengit
itu, t idak tahu bagaimana harus bertindak. Mendadak
dalam otaknya terlintas suatu pikiran. Sebaiknya aku
berkata terus terang bahwa Poh Lay sebetulnya mati di
tangan kekasih sendiri.
Sekarang ia berada jauh di utara, sudah tentu t idak
mudah dicari. Lagipula ia barangkali juga t idak berani
menghadapi kekasihku dengan keterlaluan, sebab
bukanlah sengaja membinasakan ayahnya.
-ooo0dw0ooo-
Bersambung Jilid 32

Jilid 32
BEGITU cepat ia mengambil keputusan, maka lalu
memisahnya dan berkata:
"Tunggu dulu, aku sekarang hendak memberitahukan
padamu dengan terus terang. Orang yang
membinasakan ayahmu itu bukan dia, juga bukan aku,
sebetulnya adalah kakak perempuanmu sendiri."
"Kau mengoceh sendiri, darimana aku ada punya
kakak perempuan?" pemuda itu berkata tanpa
menghent ikan gerakan tangannya. "Kau barangkali belum pernah dengar cerita ayahmu
bahwa dimasa mudanya, ia pernah mempunyai seorang
kekasih, yang kemudian melahirkan seorang anak
perempuan. Perempuan itu adalah kakakmu sendiri. Ini
adalah suatu hal yang sebenar-benarnya, yang mungkin
kau belum ketahui!"
"Aaaa! Sekarang aku ingat !" ia menghent ikan
gerakannya, menatap Ho Hay Hong tajam.
"Ayah memang pernah kata, dia. . . . dia. Ya, benar,
ayah dan pernah berkata padaku bahwa aku sebetulnya
mempunyai seorang kakak yang belum pernah bertemu
muka. Tetapi, kalian jangan coba memfitnah dia, hm!
Dalam dunia dimana ada satu anak begitu durhaka yang
membunuh mati ayahnya sendiri? Terang ucapanmu itu
bohong semata, kau hanya hendak menipu aku saja!"
Lie Hui sangat mendongkol mendengar ucapan
demikian. Ia sudah mau bertindak lagi, tetapi keburu
diketahui oleh Ho Hay Hong dan segera dicegah.
"Mungkin kau masih belum memahami aku, maka
t idak percaya omonganku. Kau harus tahu bahwa aku
sebagai pemimpin rimba hijau, t idak boleh mengeluarkan
perkataan sembarangan. Kakakmu tadi berada disini,
karena menyaksikan perbuatan ayahmu yang hendak
menyulitkan dirinya, maka lantas turun tangan dan
melukainya. Sekarang ia sudah pergi keutara, tak apa
jikalau kau t idak percaya, tapi dikemudian hari kau tentu
akan mengetahui sendiri!"
"Bohong! Bohong! Aku t idak mau dengar ocehanmu!"
dengus pemuda itu. "Percaya atau t idak, terserah padamu sendiri." Dengan
terus terang, karena satu sama lain belum pernah
bertemu muka, kakak perempuannya tentunya t idak
mengenali ayahmu. Rantai kalung itu juga aku dapatkan
dari tangan ayahmu, aku sudah sedia hendak
menjelaskan duduknya perkara kepadanya, apabila nant i
bertemu lagi.
Aku berani pastikan, apabila kakakmu mendengar
kabar dan mengetahui peristiwa ini, pasti akan terjadi
perubahan apa-apa pada dirinya, mungkin juga bisa
melakukan hal hal yang t idak diharapkan. Oleh karena
itu, maka aku pikir kesalahan tokh sudah terjadi,
disesalkan juga tak ada gunanya. Maka dari itu,
sebaiknya kita mencari daya upaya lain untuk
menyelesaikan urusan ini.
Dalam hal ini perlu meminta bantuan tenagamu, aku
pikir kau sudah t idak mempunyai lain saudara lagi, sudah
tentu t idak mengharapkan kehilangan saudaramu yang
t inggal satu-satunya didunia ini!"
"Memang mudah orang berkata, tetapi aku masih
belum mau percaya, apakah dia ada bukt inya ?"
"Kakakmu sejak anak-anak dibesarkan di rumah
kakeknya, dia juga memiliki sebuah rantai kalung yang
serupa bentuknya dengan rantai ini. Untuk mencari
ayahnya ia pernah melakukan perjalanan amat jauh.
Kalau kau t idak percaya, kau boleh sabar menunggu,
nant i-nant i apa bila ada waktu bertemu muka, kau akan
dapat menyaksikan sendiri rantai kalung yang dimilikinya,
mungkin kau akan percaya pada omonganku sekarang
ini!" Pemuda itu menundukan kepala dan berpikir sejenak
t iba-tiba berkata dengan suara perlahan:
"Kau pikir, bagaimana aku harus berbuat?"
Ho Hay Hong tahu bahwa hat i pemuda itu sudah mulai
goyah, maka lalu berkata sambil tersenyum:
"Bila sudah bertemu dengan dia, kau sebaiknya jangan
sebut-sebut dulu urusan ayahmu. Karena ia adalah
seorang wanita yang berperasaan halus dan tebal pula.
Aku khawat ir hal itu nant i akan menimbulkan kesusahan
hat inya dan nant inya akan ada efek-efeknya yang t idak
diingini. Kau boleh sabar menunggu, nant i apabila kau
berdua sudah berkumpul agak lama, barulah perlahan
lahan menceritakan padanya dan berikan nasehat supaya
jangan terlalu sedih."
"Apakah. hal ini aku dapat melakukan? Ah! Sungguh
tak kusangka. justru ia yang membunuh ayahnya sendiri.
Oh Tuhan." demikian pemuda itu menggumam sendiri
sambil menundukkan kepala. Ketika ia mengangkat
mukanya lagi, dua pipinya sudah basah oleh air mata.
Ho Hay Hong yang menyaksikan pemandangan
demikian, hat inya juga sangat terharu.
Sementara itu. Lie Hui mendadak berkata dengan
suara perlahan.
"Suhu, apakah ucapanmu itu tadi benar?"
"Sudah tentu benar, bagaimana Suhumu mengarang
cerita yang bukan-bukan?"
"Suhu gadis berbaju ungu itu apakah kekasihmu?"
Ho Hay Hong gelagapan dan merah mukanya, lama
baru bisa menjawab: "Juga boleh dikata begitu, tetapi apa yang terjadi
dikemudian hari, sekarang masih belum dapat kita
ramalkan!"
"Suhu, aku mungkin t idak bisa belajar ilmu silat
padamu lagi!"
"Kenapa? Apakah kau tidak ingin menuntut balas?"
"Bukan begitu. Gadis berbaju Ungu itu adalah
kekasihmu, juga menjadi kakak perempuan dia. Jikalau
gadis itu nant i menjadi istrimu, bukankah itu berarti aku
harus hidup disatu rumah dengan musuh sendiri?"
"Lie Hui, bagaimana kau bisa berkata demikian?"
"Ini tokh sudah merupakan suatu kenyataan suhu!
Apakah Suhu lupa bahwa dia adalah anak lelaki seorang
anggauta perkumpulan Tok jiauw-pang? Bukankah sama
art inya kakak perempuan itu adalah dia juga karena
masih ada sangkut paut diantara keduanya?"
Ho Hay Hong diam. Apa yang dikemukakan oleh gadis
itu adalah benar.
Pemuda itu t idak perhatikan apa yang sedang
dibicarakan oleh mereka, ketika melihat Ho Hay Hong
menatap wajahnya, baru membuka mulut:
"Aku pikir hendak mencari kakakku sekarang juga
harap kau tunjukkan jalannya!"
Lie Hui tiba-tiba berkata dengan suara perlahan:
"Suhu, aku t idak ingin ia berlalu begitu saja!"
"Dia adalah tuan penolongmu, Sebagai anak orang-
orang rimba persilatan kau harus dapat membedakan
antara budi dengan dendaman. Ayahnya hanya salah seorang anggota Tok jiauw-pang, meskipun ada
permusuhan denganmu, tetapi kepada ayahnya t idak ada
hubungannya dengan anaknya. Dia toh t idak berdosa
terhadapmu, maka kau janganlah bertindak keterlaluan
kepadanya mengert i?"
Mendengar perkataan suhunya, Lie Hui ketakutan, tak
berani bert indak.
Pada saat itu, Ho Hay Hong telah mengambil
keputusan menjodohkan mereka, maka lalu
menggunakan ilmu menyampaikan Suara ke dalam
telinga, berkata kepada pemuda itu.
"Jikalau kau cinta padanya dengan setulus hat i, kau
jangan berkata apa-apa, anggukkan saja kepalamu
sudah cukup !"
Pemuda terkejut, tetapi tokh t idak menganggukan
kepalanya. Sementara dalam otaknya diliput i berbagai
pertanyaan.
Ho Hay Hong lalu berkata pula:
"Kau juga t idak perlu mencari kakakmu, aku tahu
kematian ayahmu membuat hat imu kosong dan duka
tetapi aku telah mengambil keputusan hendak merubah
pandanganku terhadap dirimu, dan berusaha hendak
memperbaiki hubunganmu dengan ia. Sekarang, kau
boleh pulang meneruskan pekerjaan ayahmu sebagai
guru silat, nant i setelah ia menyelesaikan
pembayarannya, aku perintahkan dia pergi
membantumu. Bagaimana kau pikir?"
Pemuda itu pentang lebar tanyanya ia masih mengira
pendengarannya yang salah tetapi dari sikap dan ucapan
Ho Hay Hong yang sungguh-sungguh, t idak mungkin hendak permainkan dirinya, maka sesaat itu semua
perasaan rasa marah dan dendam telah lenyap tanpa
bekas.
"Tentang kakakmu, nant i setelah tugasku selesai juga
akan kuajak kemari menemui kau. Kau bekerjalah
dengan sungguh, pasti akan berhasil. Inilah pesanku
padamu, jangan kau mengecewakan pengharapanku!"
Dengan perasaan sangat terharu pemuda itu terus
menganggukkan kepalanya, hal mana membuat heran
hat i Lie Hui yang melihatnya.
Dalam keadaan bingung sepert i itu Ho Hay Hong
sudah mengajaknya pergi.
Pemuda itu berdiri terpaku di tempatnya, matanya
terus memandang bayangan Ho Hay Hong dan Lie Hui
yang perlahan-lahan menghilang dari depan matanya.
Tanpa disadarinya ia melambaikan tangannya, sedang
mulutnya menggumam:
"Selamat jalan penolongku yang baik."
Dilain pihak, Lie Hui mendadak menoleh dan berkata
dengan suara perlahan:
"Suhu, kau meninggalkan dia seorang diri disana, apa
t idak meninggalkan pesan apa-apa, padanya?"
Ho Hay Hong mendadak tertawa terbahak-bahak, ia
merasa geli memikirkan hat i wanita.
Dalam perjalanan menuju ke Utara itu, pada hari
keempat pagi-pagi sekali, Ho Hay Hong sudah menginjak
tanah daerah utara. Dalam otaknya terlintas semua peristiwa-peristiwa
masa silam yang dialaminya, bagaikan butiran-but iran
mut iara berkeredepan di depan mata.
Set iap peristiwa yang pernah dialaminya, semua ada
harganya untuk dijadikan kenangan. Umpama Tiat Chiu
Khim, Tang-siang Sucu, Kakek penjinak garuda Si Naga
api Thio Kang, Poh Lay dan lain-lainnya kesemua orang-
orang ini pernah pernah meninggalkan kesan dalam
sekali dihat inya dan t idak akan mudah dilupakan untuk
selama-lamanya.
Berakhirlah segala permusuhan? Ia t idak tahu.
Mungkin ini merupakan salah satu babak dalam
penghidupan di dunia Kang-ouw. Sedang kewajiban dan
tugasnya sebagai pemimpin rimba hijau masih belum lagi
dimulai.
Embun pagi dirasakan meresap dimukanya, ia sendiri
juga t idak mengert i apa sebabnya setelah menginjak
tanah daerah utara pikirannya jadi merasa gelisah.
Pertama-tama ia harus menyampaikan kabar kepada
kakeknya tentang kematian Tang-siang Sucu. Mungkin
orang tua yang t idak beruntung itu kini sedang
menant ikan kabar tentang cucunya yang hilang.
Soal kedua apakah suhunya kini sudah terlepas dari
bahaya ? Dan apakah perkumpulan Liong-houw-hwee
sudah terbasmi habis ? Dan lagi bagaimana harus
menyelesaikan soal perkawinannya dengan gadis berbaju
Ungu?
Soal ketiga ia kini sudah meninggalkan daerah selatan,
bagaimana dengan nasib Tiat Chiu Khim yang kembali
lagi ke kampung setan ? Soal keempat , Gadis berbaju ungu telah kesalahan
tangan membunuh mat i ayahnya sendiri, bagaimana
kalau ia nant inya tahu juga soal ini.
Soal kelima Hak-heng Lojin yang mungkin sudah
mendapat kabar tentang kemat ian dirinya dalam tangan
Kakek penjinak garuda, apakah ia nant i masih mau
menunjang dirinya menjadi Beng-cu.
Semua ini merupakan persoalan yang mengganggu
pikirannya, tetapi karena masih bisa pulang dalam
keadaan selamat, maka segala kesulitan masih ada
harapan untuk diselesaikan. Kecuali itu ialah terserah
kepada kehendak yang kuasa.
ia telah membayangkan dan itulah yang pasti entah
bagaimana girangnya It Jie Hui kiam nant i apabila
mengetahui dirinya masih bisa pulang dalam keadaan
selamat ?
Sementara itu dalam perjalanan itu Lie Hui terus
berdiam diri, t idak pernah menanya atau mengatakan
apa-apa. Ia agaknya sangat murung, entah apa yang
sedang dipikirkannya.
Dengan tak diduga-duga, dua orang wanita yang
sedang berjalan dijalan raya itu, mendadak
menghent ikan langkahnya dan memperhat ikan dirinya.
Ho Hay Hong terperanjat dan membuka matanya
lebar-lebar.
Lie Hui merandak dan bertanya dengan suara pelahan.
Ho Hay Hong t idak menjawab, langsung menghampiri
dua wanita itu dan menyapa pada mereka sambil
memberi hormat: "Nona Su-to, sudah lama kita t idak bertemu, tak
disangka kita berjumpa disini?"
Lie Hui diam-diam berpikir, banyak benar kenalan
wanita muda suhumu ini.
Dua wanita itu salah satu memang benar diantaranya
adalah Su to Cian Hui.
Ia membalas hormat dan menjawab sambil
tersenyum:
"Sudah sejak tadi aku melihatmu, karena kau t idak
perhat ikan aku tidak berani menegur lebih dulu.
"Ow, ya, aku lupa perkenalkan, padamu ini adalah
suhu"
Kini mengert ilah sudah Ho Hay Hong bahwa wanita
yang nampaknya masih pertengahan umur itu adalah
Bwee San Sin-nie, salah satu dari lima orang terkuat
dalam rimba persilatan pada masa itu.
Diam-diam ia merasa heran, karena wanita yang
usianya sudah lebih dari enam puluh tahun ini
nampaknya masih seperti baru empat puluhan.
Ia buru-buru memberi hormat dan menyatakan
kekagumannya.
"Dia adalah Ho Sianseng yang muridnya sering
sebutkan kepada suhu itu. Dia seorang pemuda baik dan
jujur serta mempunyai hari depan gilang gemilang,"
berkata Suto Cian-hui.
"Ho tayhiap sekarang sudah menjadi seorang besar
yang sangat tersohor namanya, apa kau t idak pernah
dengar orang kata, didanau Keng liong-t ie Ho Bengcu
pernah menjatuhkan Ing-siu hingga namanya menjadi buah tutur semua orang Kangouw Ho Bengcu itu adalah
Ho tayhiap ini!" Bwee san Sin-nie memberi keterangan
pada muridnya sambil tersenyum.
"Murid semula anggap Ho Bengcu itu orang gagah dari
daerah utara, tak disangka kelak dia benar-benar hebat,
Dalam cerita orang banyak, bukankah Ho Bengcu sudah
binasa di tangan si Kakek penjinak garuda? Mengapa
sekarang masih berdiri dihadapan kita dalam keadaan
segar bugar?" kata Suto Cian hui.
Ho Hay Hong buru-buru memberi penjelasan.
"Itu hanya cerita orang saja, aku sebenarnya belum
mati, hanya terluka dan t idak ingat orang, tetapi
sekarang sudah sembuh."
"Orang baik memang selalu dilindungi oleh Tuhan,
ucapan ini nampaknya sedikitpun t idak salah!" kata Suto
Cian Hui sambil menganggukkan kepala.
Ia memperhat ikan diri Lie Hui dan memandangnya
sejenak, kemudian berkata pula:
"Nona ini sungguh cant ik.!"
Ho Hay Hong segera memotong:
"Dia bernama Lie Hui muridku yang baru kuterima!"
"Anak perempuan ini nampaknya sangat cerdik,
sesungguhnya merupakan seorang yang berbakat baik
untuk belajar ilmu silat. Kalau Ho tayhiap, dalam waktu
singkat pasti akan dapat menjadikan dia seorang
terkenal!" berkata Bwee-san Sin-nie sambil tertawa.
Lie Hui yang dipuji oleh Bwee-San Sin-nie, mukanya
merah dan menundukan kepala, t idak berani buka suara. Selagi Ho Hay Hong hendak membuka mulut ,
mendadak tampak Su to Cian hui memandangnya
dengan sinar mata marah, hingga diam-diam hat inya
bercekat .
"Kabarnya Tang siang Sucu itu adalah saudaramu.
Apakah itu benar?" demikian gadis itu bertanya.
Ho Hay Hong diam-diam mengeluh, karena ia harus
menelan pil pahit lagi akibat perbuatan saudaranya
dimasa hidup.
Ia juga t idak ingin membohong, maka lalu
menjawabnya:
"Benar. Kemudian aku baru tahu kalau dia adalah
saudaraku!"
"Ho tayhiap benar-benar seorang jujur. Sekarang aku
ingin tahu, dimana sekarang saudaramu itu berada?"
"Dia sudah meninggal!" jawab Ho Hay Hong terus
terang.
Su-to Cian Hui terperanjat. "Benarkah ia sudah mati?"
"Tidak ada perlunya aku membohong, apalagi
membohongi dirimu. Beberapa lama berselang ia
dibinasakan oleh Ing-siu, jenazahnya dikubur ditanah
dekat danau Leng-liong-t ie. Justeru karena Ing-siu
membinasakan saudaraku itu, maka aku lalu menuntut
balas tanpa memikirkan apa akibatnya. Atas karunia
Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya aku berhasil juga
menuntut balas saudaraku itu!"
"Muridku, perjalanan kita ini jadi tersia-sia saja!"
berkata Bwee San Sin-nie sambil menghela napas. Su-to Cian Hui berdiri termenung, lama baru bisa
membuka mulut:
"Tidak bisa, kita harus menggunakan penyelidikan
dulu. Permusuhan yang menyangkut jiwa seisi rumah
tangga murid, kita t idak boleh dianggap ringan. Ho
tayhiap adalah saudaranya, set idak-tidaknya juga harus
turut pikul sedikit tanggung jawab. Bagaimana boleh
dilepaskan dengan mudah."
Mendengar perkataan itu Ho Hay Hong tertawa getir.
Ia memang sudah menduga lebih dulu akan terjadi hal
itu, maka lalu berkata:
"Kalau begitu, aku juga t idak bisa berbuat apa-apa,
terserah bagaimana nona hendak bert indak terhadap
diriku."
Entah apa sebabnya mata Suto Cian-hui mendadak
mengembeng air, katanya sambil kertak gigi:
"Suhu, bagaimana murid harus bertindak terhadapnya
?"
Menyaksikan emosi muridnya meluap-luap, Bwee-san
sin-nie merasa kasihan, dia menjawab dengan suara
lemah lembut:
"Tidak perlu kau bersedih musuhmu sudah mati,
bahwa suatu kejahatan sudah mendapat balasan yang
set impal. Sebetulnya kau harus merasa bergirang."
"Dan dia?" tanya Suto Cian Hui sambil menunjuk Ho
Hay Hong. "Apakah suhu hendak melepaskan begitu
saja?"
"Dia? Sepert i apa katamu tadi dia seorang baik dan
jujur serta mempunyai masa depan gilang gemilang. Kita Sebagai orang rimba persilatan yang harus menjunjung
t inggi keadilan dan kebenaran, t idak boleh menimpahkan
pada orang lain keatas pundaknya. Jalan, kita harus
mencari orang yang menjadikan pemuda musuhmu
menjadi orang jahat . Orang itu adalah Lam kiang Tay-
bong!"
Mendengar disebutnya nama Lam Kiang Tay bong. Ho
Hay Hong merasa gemas sekali, sebab ia t idak memimpin
Tang-siang Sucu kejalan benar sebaliknya membiarkan
berlaku sewenang wenang dan rupa-rupa kejahatan,
sehingga akhirnya mati secara mengenaskan.
Sebelum ia menyatakan pikirannya, Bwee-san Sin-nie
mendadak berkata sambil menunjuk seorang
penunggang kuda yang dilarikan kearah mereka:
"Dia datang, mari kita pergi mencari Lam kiang Tay-
bong."
Penunggang kuda itu adalah seorang pemuda tampan
bertubuh kekar. Begitu t iba di tempat lalu menegur Su
To Cian-hui:
"Adik Hui, kau kenapa? Siapa yang menghina kau?"
Mendengar pertanyaan itu, Ho Hay Hong terkejut, ia
t idak tahu ada hubungan apa antara pemuda tampan ini
dengan Su to Cian-hui.
"Tanyalah kepada Suhu!" jawab Su to Cian Hui.
Karena suaranya itu mengandung nada marah
pemuda itu semakin heran, matanya lalu menatap wajah
Ho Hay Hong, kemudian dengan mendadak ia berseru:
"Kau ini bukankah." Ditegur demikian Ho Hay Hong mendadak ingat siapa
adanya pemuda itu, maka lalu menjawab:
"Ow, kiranya kau!"
Jalan otaknya lalu terbayang kembali apa yang terjadi
ketika golongan rimba hijau daerah utara mengadakan
pertemuan dihadapan kelenteng tua, pada suatu malam
terang bulan.
Sepert i apa yang pembaca sudah ketahui malam itu
Kay-See Kim-kong telah memergoki seorang mata-mata
itu adalah pemuda tampan yang kini berada dihadapan
matanya ini.
Pada malam itu, dengan suatu akal yang bagus sekali
Ho Hay Hong telah berhasil menolong pemuda itu
sehingga terlepas dari kejaran orang-orang Kay-see kim-
kong.
Ia benar-benar t idak menduga bahwa orang yang
ditolongnya malam itu adalah kawan baik Su to Cian Hui.
Bwee-san Sin-nie diam-diam juga merasa heran
bahwa muridnya ternyata bersahabat demikian akrab
dengan Ho Hay Hong. Setelah ditanya, baru mengetahui
sebab-sebabnya, maka lalu berkata:
"Oh, jadi Ho tayhiap adalah itu orang yang waktu itu
pernah menolong jiwa muridku, ini benar-benar
merupakan jodoh."
Belum habis katanya, mendadak terdengar suara
jeritan Lie Hui, dilain pihak Suto Cian Hui telah
menyergap Ho Hay Hong dengan senjata di tangan.
Untung Ho Hay Hong berlaku gesit , serangannya itu
dapat dielakkan dengan mudah. Pemuda tampan itu yang menyaksikan perbuatan
gadis itu lalu berkata dengan suara nyaring:
"Sumoay, apakah kau sudah gila? Dia adalah seorang
pendekar budiman yang harus kita hormat i!"
Pada waktu-waktu biasanya, pemuda itu selain
menurut dan mengalah terhadap Su to Cian Hui, tetapi
kali ini mendadak demikian marahnya. Dengan satu
gerakan lompatan ia merebut pedang di tangan Suto
Cian Hai seraya berkata:
"Sumoay jangan gila-gilaan, ada urusan apa-apa, kita
boleh rundingkan dulu dengan secara sopan."
Bwee-san Sin-nie juga lantas memerintahkan
muridnya jangan berlaku gegabah.
Lie Hui sementara itu dengan mata melotot
memandang Su to Cian Hui, dihadapannya mengucapkan
perkataan yang agak kasar.
"Kalau kau berani berlaku kurang ajar lagi terhadap
Suhu, jangan sesalkan aku nant i t idak berlaku sopan
terhadapmu!"
Mendengar perkataan itu, Su to Cian Hui marah, ia
balas memaki:
"Kau mau apa? Dengan kepandaianmu yang t idak
berarti ini, apa kau sanggup menahan seranganku?"
"Benarkah kau t idak pandang mata padaku?" demikian
Lie Hui yang sifatnya masih kekanak-kanakan itu lalu
naik pitam dan akan menyerang dengan pedangnya.
Ho Hay Hong yang menyaksikan kejadian itu, buru-
buru mencegahnya. "Lie Hui, kau jangan berlaku kurang ajar, lekas
mundur!"
Lie Hui terpaksa undurkan diri dengan perasaan t idak
senang.
Bwee-San Sin-nie yang menyaksikan Ho Hay Hong
t idak marah, semakin baik kesannya terhadap dirinya.
"Perbuatan t idak sopan muridku tadi terhadap Ho
siaohiap, harap Ho siaohiap sudi pandang mukaku
janganlah dibuat pikiran. Bagaimana lagipun, juga Ho
siaohiap dengannya tokh bukan kenalan baru, satu hari
kelak, ia past i akan berubah pikirannya terhadapmu."
Pada saat itu, pemuda tampan itu baru mendapat
kesempatan perkenalan dirinya terhadap Ho Hay Hong.
"Namaku Lim Khee Bun, tempat t inggalku dikota
Ciang-ciu, kalau ada waktu, harap saudara mampir
dirumahku !"
Ia menggenggam erat tangan Ho Hay Hong dan
berkata lagi.
"Sebaiknya kita jalan bersama-sama ke selatan."
Tetapi karena tugas Ho Hay Hong belum selesai, maka
ia terpaksa menolak ajakannya.
Dari keterangan Bwee-san Sin-nie, ia baru tahu bahwa
pemuda Lim Khee Bun itu atas persetujuan gurunya telah
dijodohkan dengan Suto Cian Hui, tetapi karena urusan
menuntut balas dendam Su-to Cian Hui belum selesai,
maka perkawinannya masih ditunda.
Mendengar keterangan itu Ho Hay Hong teringat
kepada Thiat Chiu Khim, maka ketika Bwee-san Sin-nie ber t iga pamitan, ia hampir t idak dengar. Setelah mereka
berlalu jauh, ia baru sadar dan merasa malu sendiri.
Dengan membawa Lie Hui, ia melanjutkan
perjalanannya pulang. Dua hari kemudian, ia telah t iba
dikota Tin-kang, salah satu kota besar dan ramai di
daerah utara.
Baru melalui sebuah lorong, pandangannya telah
tertumbuk oleh suatu pemandangan yang mengenaskan.
Sebuah rumah besar dengan pekarangannya yang
sangat luas, telah berubah menjadi tumpukan puing,
rupanya habis mengalami kebakaran hebat .
Banyak orang berkerumun dan kasak-kusuk
membicarakan peristiwa itu. Banyak tanda darah
ditempat kejadian itu, t idak salah lagi, itu pasti pert ikaian
antara orang Kang ouw.
Ho Hay Hong berhent i sejenak untuk turut
menyaksikan, ia t idak merasa heran lagi, maka ajak Lie
Hui berlalu, untuk melanjutkan perjalanannya.
Pada saat ia hendak berlalu, sebilah belati pendek
mendadak berkelebat menikam dadanya.
Ho Hay Hong terkejut tangan kirinya bergerak
menyampok belat i pendek itu, hingga terjatuh ditanah.
Kini ia baru melihat dengan tegas bahwa orang yang
menyerang dirinya secara pengecut itu ternyata seorang
laki-laki berpakaian compang-camping. Orang itu
memandang padanya dengan sinar mata gusar.
Ia t idak kenal dengan orang itu, karena ia belum
pernah menginjak kota itu, maka juga t idak mungkin
mempunyai musuh disitu. "Mengapa tanpa sebab kau menikam aku secara
pengecut? Apa kau t idak takut hukum," demikian ia
menegur.
"Anak muda, kau t idak kenal aku, tetapi aku kenal
padamu!" berkata laki laki itu sambil tertawa dingin.
Kembali Ho Hay Hong merasa heran, ia maju t iga
langkah, menyambar tangan orang itu dan ditanya:
"Mengapa kau menikam aku? Lekas jawab!"
Orang itu berteriak-teriak kesakitan, tetapi masih
berlaku membandel, sambil tertawa meringis ia
menjawab:
"Ho Bengcu, t idak perlu aku membohong, dan kau
juga jangan berlaga pilon. Beberapa hari, berselang kau
telah memerintahkan anak buahmu membasmi Liong
houw-hwee, hingga banyak saudara-saudara kita kini
kehilangan tempat untuk meneduh. Heh, heh, Ho Bengcu
apa kau berani menyangkal?"
Mendengar perkataan itu, Ho Hay Hong baru sadar.
Diam-diam ia merasa girang, karena gadis baju ungu itu
ternyata sudah melakukan tugasnya dengan baik: ”Liong
houw-hwee benar-benar sudah dibasmi, kalau begitu
gurunya juga sudah diselamatkan.”
Tetapi sebelum jelas benar perkaranya, ia juga masih
belum merasa tenang, maka lalu berkata:
"Kau masih berani menegur aku? Apakah kau belum
tahu, sejak berdirinya Liong-houw-hwee, entah berapa
banyak kejahatan yang kalian lakukan? Kau sekarang
bertanya padaku, sudah t idak salah lagi kalau salah satu anggauta perkumpulan itu. Apakah kau t idak takut akan
kubasmi sekalian ?"
"Takut apa? Andai kata aku mati, dua puluh tahun lagi
sudah akan menjelma menjadi seorang gagah lagi-
Sebaliknya dengan kau, perbuatanmu ini sudah
menimbulkan kemarahan orang-orang dari golongan
hitam cepat atau lambat kau pasti akan binasa diujung
senjata!" kata orang itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Lie Hui merasa panas, tangannya lalu bergerak
menampar pipi orang itu sambil membentak:
"Bangsat kau terlalu brutal. Tutup mulutmu!"
"Budak hina kau membantu kejahatan juga akan mat i
t idak wajar!" hardik lelaki itu.
Melihat orang yang datang menonton semakin banyak
Ho Hay Hong menekan semakin keras:
"Kau harus menjawab terus terang semua
pertanyaanku rumah yang sekarang sudah menjadi
tumpukan puing ini apakah dahulu pusatnya Liong houw-
hwee?"
Orang itu masih coba membandel, tetapi karena t idak
sanggup penderitaan hebat , akhirnya menjawab:
"Benar, tempat ini dahulu adalah markasnya Liong
houw-hwee!"
"Orang-orang yang tertawan dalam rumah ini, apakah
semua sudah ditolong oleh anak buahku ?"
"Benar. Perkumpulan kita sejak dimusnahkan oleh
orang-orangmu, kini sudah t idak mempunyai kekuatan
melanjutkan usahanya!" katanya dengan sedih, "kasihan
saudara-saudaraku, mereka ada yang mati, ada yang terluka parah atau ringan, ada yang sudah kabur. Mereka
kebanyakan sembunyi didalam rimba, untuk menunggu
kedatangan pemimpin kita"
"Mengingat kedudukanmu yang t idak pent ing
kuampuni jiwamu lekas enyah dari sini!" berkata Ho Hay
Hong sambil melemparkannya jauh-jauh, "lain kali kalau
kau berani berbuat jahat lagi dan terjatuh kedalam
tanganku, aku t idak dapat mengampuni lagi!"
"Kau jangan bangga, nant i kalau hweecuku kembali
kau akan mendapat pembalasan yang set impal dengan
kejahatanmu."
"Lekas pergi, pemimpinmu t idak akan kembali untuk
selama-lamanya."
Orang itu masih belum mengerti maksud yang
terkandung dalam perkataan Ho Hay Hong, sambil
tertawa mengejek ia melarikan diri.
Ho Hay Hong t idak mau membuang waktu ia
mengajak Lie Hui meneruskan perjalanannya, tak lama
kemudian sudah keluar kota lagi.
Sepanjang jalan hampir tanpa mengaso, beberapa hari
kemudian sudah t iba digedung It-jie Hui Kiam.
"Apakah ini rumah suhu?" tanya Lie Hui ket ika melihat
Ho Hay Hong menuju kesebuah gedung besar.
"Bukan, ini adalah rumah kakekku!"
"Ow."
Tanpa mengetuk pintu lagi Ho Hay Hong terus masuk
kedalam dan langsung menuju ke ruangan tamu. Tak lama kemudian banyak orang menyerbu dirinya
dan menanyakan keadaannya.
Ia mengert i perasaan mereka sebab seorang yang
dianggapnya akan mati diperjalanan ternyata pulang
kembali dalam keadaan selamat.
Diantara begitu banyak orang hanya t idak tampak
dirinya gadis berbaju ungu maka ia segera menanyakan
kepada kakeknya:
"Engkong kemana dia?"
"Dia? Bukankah dia pergi bersamamu?"
Ho Hay Hong terkejut , "Kalau begitu jadi selama ini ia
belum pernah kembali?"
"Mengapa kau tanya demikian?"
Ho Hay Hong mendapat firasat jelek kalau t idak ada
halangan gadis itu semest inya sudah pulang kerumah.
Meskipun hat inya merasa gelisah, tetapi ia t idak mau
memberitahukan keadaan sebenarnya kepada kakeknya
sebab ia khawat ir kakek itu nant i menjadi risau.
Ia paksakan diri untuk tersenyum lalu menceritakan
pengalamannya sendiri kepada kakeknya dan
memperkenalkan Lie Hui kepada orang banyak.
Setelah itu, dengan alasan ada urusan yang harus
segera diselesaikan, ia minta diri dengan tergesa gesa:
Dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh ia
lari menuju ke Su-hay Piauw-kiok.
Su-hay Piauw kiok ini didirikan oleh pusat golongan
rimba hijau daerah utara, yang menjadi pengurus rumah pengiriman barang itu adalah seorang tua berbadan
bongkok yang sudah lanjut usianya.
Ia t idak kenal Ho Hay Hong, tetapi bersedia
menunjukkan jalannya untuk pergi kemarkas golongan
rimba hijau daerah utara.
Maksud Ho Hay Hong semula, hendak memerintahkan
saudara-saudara dari rimba hijau untuk mencari jejak
gadis baju ungu, sebab kecuali gadis itu masih ada
Suhunya sendiri Dewi ular dari gunung Ho-lan-san.
Atas petunjuk orang tua dari Su-hay Piauw kiok,
akhirnya ia dapat menemukan gedung kuno mirip
kelenteng yang menjadi pusat markasnya golongan
rimba hijau daerah utara.
Karena ia anggap diri sendiri sebagai pemimpinnya
maka ia t idak menghiraukan orang-orang yang menjaga
pintu langsung memasukinya.
Setelah melalui jalanan berliku-liku dan panjang
akhirnya dipegat oleh empat orang yang menjaga dipos
itu.
Ho Hay Hong menduga tempat itu past i tempat
pent ing, tetapi ia tetap t idak menghiraukannya dan terus
masuk kedalam pendopo.
Tiba diruangan pendopo yang luas itu, ia baru tahu
bahwa ditempat itu sedang dilakukan upacara
sembahyangan yang dihadiri oleh seluruh anggota
golongan rimba hijau daerah Utara.
Ditengah-tengah pendopo terdapat sebuah meja
sembahyang, didinding tergantung sebuah lukisan potret
yang mirip dengan Tang-siang Sucu tetapi diatas meja itu terdapat sebuah papan roh orang yang mati dengan
tulisan: Rohnya Ho Hay Hong Bengcu keempat belas.
Ho Hay Hong yang menyaksikan pemandangan itu,
diam-diam merasa geli, karena dirinya ternyata dianggap
sudah mati oleh semua anak buahnya.
Ia segera maju menghampiri meja sembahyang dan
dibalikkannya. Kemudian berkata dengan suara keras:
"Dimana Tok-heng Tayhiap?"
Sebab selama ia melakukan perjalanan ke selatan
jabatan itu diwakili oleh Tok-heng Tay hiap. Kecuali itu,
diantara anggauta golongan rimba hijau, juga hanya Tok-
heng Tayhiap yang kenal baik dengannya. Karena pada
saat itu tanda emas t idak ditangannya, maka juga hanya
orang itu yang dapat membukt ikan ident itasnya.
Dengan serta merta dari rombongan orang banyak itu
lalu muncul seorang tua yang rambut dan jenggotnya
sudah putih seluruhnya.
"Kau. kau." hanya itu saja yang keluar dari mulutnya.
"Aku belum mati!" kata Ho Hay Hong dengan suara
keras.
Ketika mendengar pernyataan itu, suasana lantas
menjadi gempar. Semua hadirin lantas berlutut sambil
berseru :
"Bengcu t iba, kita telah lalai menyambut , maafkan
dosa kita!"
Ho Hay Hong segera membalas hormat , kemudian
bertanya kepada Tok-heng Tayhiap sambil menunjuk
pakaian kebesaran diatas kursi: "Tok-heng Tayhiap, ini pakaian siapa?"
"Dengan terus-terang, pakaian kebesaran ini buat
untuk bengcu, tetapi kemudian kita mendengar kabar
bahwa Bengcu sudah wafat dalam pertempuran di danau
Keng-liong-t ie, maka sekarang hendak dilakukan upacara
sembahyangan roh Bengcu" jawab Tok-heng Tayhiap.
"Oh ! Jadi anggap kau aku sudah mati? Haha Lucu
juga!" kata Ho Hay Hong sambil tertawa terbahak-bahak.
Kemudian ia mengambil pakaian kebesaran itu dan
dipakainya. Selagi hendak memberi perintah kepada
orang-orangnya untuk mencari jejak gadis baju Ungu,
Tok-heng Tayhiap mendadak bertanya padanya:
"Bengcu ada satu hal aku hendak tanya, apakah tanda
kepercayaan emas itu masih berada ditangan Bengcu?"
Ho Hay Hong merasa tertarik oleh pertanyaan itu,
maka lalu menjawab dengan segera.
"Tidak ada!"
"Bengcu, tanda kepercayaan itu benarkah Bengcu
serahkan kepada gadis berbaju ungu untuk
menggunakan?" tanya Tok-heng Tayhiap dengan serius.
"Benar. Gadis baju ungu itu adalah sahabatku
terdekat !" jawabnya sambil menganggukkan kepala.
Wajah Tok-heng Tayhiap pucat seketika, ia berkata
dengan suara gelagapan.
"Oh, Kalau begitu aku benar-benar telah melakukan
kesalahan besar."
Mendengar itu Ho Hay Hong segera menanya:
"Tok-heng Tayhiap, apa katamu?" "Hamba sungguh berdosa besar, telah menawan nona
itu bersama kawannya." jawab Tok-heng Tayhiap dengan
suara gemetar.
Mendengar jawaban itu Ho Hay Hong diam-diam
menarik napas lega.
"Sekarang kau lekas suruh orang bawa ke mari,
kesalahanmu telah kau lakukan tanpa sengaja, aku juga
t idak menyalahkanmu," demikian ia berkata.
Tak lama kemudian, empat pemuda pakaian put ih
telah membawa keluar gadis baju ungu bersama Dewi
Ular dari gunung Ho lan san.
Melihat suhunya, Ho Hay Hong sangat terharu. Ia
buru-buru menghampirinya sambil memberi hormat .
Dewi ular dari Ho lan san semula terkejut tetapi
kemudian lantas sadar dan berkata:
"Dari mulut nona ini, aku sudah mengetahui segala-
galanya tentang pergaulanmu. Anak baik."
Entah bagaimana, perempuan tua itu sudah t idak
sanggup mengendalikan perasaannya airmata mengalir
turun membasahi kedua pipinya.
Ho Hay Hong semakin terharu katanya: "Suhu, suhu
nampaknya semakin kurus."
"Tidak apa, dalam hat iku merasa sangat gembira. Aih
ada siapa yang lebih gembira dari padaku bisa melihat
kau lagi dengan suksesmu yang gilang gemilang itu !"
Gadis baju ungu menyerahkan kembali tanda
kepercayaan emas kepada Ho Hay Hong seraya berkata: "Engko Hong, aku merasa girang dapat melaksanakan
tugas yang kau berikan padaku, perkumpulan Liong
houw hwee kini sudah ku basmi habis."
"Adikku aku merasa menyesal telah menyusahkan
dirimu !"
Mata gadis itu mendadak merah, dua butir airmata
keluar dari kelopak matanya.
Ho Hay Hong sangat terharu, buru-buru menanya:
"Adik, kau kenapa ?"
"Aku telah merasa berbuat salah terhadapmu aku.
aku." jawabnya dengan suara terisak-isak.
"Adik apa sebetulnya yang telah terjadi?" tanya Ho
Hay Hong heran.
Gadis itu nampak ragu-ragu. Dewi Ular dari gunung
Ho lan san mendadak dehem-dehem kemudian
mengusap-usap rambut gadis itu seraya berkata:
"Aih, anak! Kau katakanlah, jangan kau simpan
didalam hati saja !"
Gadis itu angkat kepala, kemudian berkata:
"Engko Hong, aku kini telah mengambil keputusan
hendak berkata terus terang, t idak perduli bagaimana
kau hendak sesalkan aku sekali."
Lalu menundukan kepala, dengan ujung bajunya
memesut air-mata dan berkata lagi dengan suara sangat
pelahan, hampir t idak kedengaran:
"Setelah aku membasmi orang-orang Liong houw
hwee lalu hendak pulang kerumah. Ditengah jalan aku
bertemu dengan dia, karena t idak dapat mengendalikan hawa amarahku, aku telah membohongi dia bahwa kau
mati dalam pertempuran dengan Kakek Penjinak garuda.
Ketika ia mendengar berita itu beberapa kali ia jatuh
pingsan dan akhirnya dengan hat i terluka ia berlalu tanpa
berkata apa-apa. Ah, Engko Hong, aku menyesal telah
berbuat salah terhadapmu, tetapi penyesalanku itu
datangnya sudah terlambat !"
"Siapa yang kau maksudkan dengan dia?" tanya Ho
Hay Hong dengan mata terbuka lebar, "Lekas kau
katakan siapa dia ?"
"Dia adalah gadis baju put ih yang sering berada
disampingmu itu !"
"Apa ?"
Muka Ho Hay Hong pucat seketika, lama baru bisa
berkata lagi:
"Tidak, tidak mungkin, ia sudah terjatuh dalam tangan
Kakek Penjinak garuda lagi."
"Kakek penjinak garuda sudah mat i!"
Ho Hay Hong kembali dikejutkan oleh berita itu
katanya: "Adikku, kau jangan berkata yang bukan-
bukan!"
Dewi Ular dari gunung Ho Lan San lalu berkata: "Hong
jie, apa yang dikatakan olehnya itu memang benar
semua !"
Gadis baju ungu itu menerangkan lagi: "Berita
kematian Kakek itu adalah dia yang memberitahukan
padaku. Setelah pertempuran didanau Keng liong t ie
selesai, Kakek Penjinak garuda tampak sangat sedih,
pada suatu malam mendadak menjadi gila. "Dalam keadaan gila itu ia berlari-lari dan akhirnya
menyeburkan diri kedalam danau. Jenazahnya di bawa
pergi oleh burung garudanya hingga sekarang masih
belum diketemukan. Setelah Kakek penjinak garuda
binasa, orang-orangnya didalam kampung setan lantas
pergi meninggalkan tempat itu."
Dewi Ular dari gunung Ho lan San memberi sedikit
tambahan:
"Gadis itu sebenarnya terluka bagian dalam, tetapi
setelah kembali kekampung setan lalu diobati oleh Kakek
penjinak garuda, hingga sembuh. Penyakit gila Kakek
penjinak garuda memang sudah lama ada, itu hanya
rahasianya sendiri, t idak diketahui oleh orang lain.
Sekarang ia sudah mati, bagi orang-orang rimba
persilatan dewasa ini, barangkali sedikit sekali jumlahnya
yang tahu. Aku lihat ia masih bisa hidup dalam usia
demikian lanjut juga sudah waktunya untuk masuk liang
kubur !"
Sejenak Ho Hay Hong berdiri bingung kemudian
menggumam sendiri: "Tidak mungkin, t idak mungkin
mana dia? Mana dia ?"
Dewi ular dari gunung Ho-lan san mendadak berkata
dengan sikap keren:
"Hay Hong, dalam hat imu cuma mengingat dia
bagaimana dengan gadis didalam matamu? Apakah
selama itu kau belum pernah membagi cintamu
kepadanya?"
Ho Hay Hong t idak bisa menjawab dalam hat i merasa
malu sendiri, t idak tahu bagaimana harus memberi
penjelasan. Untuk mengelakkan terjadinya hal yang t idak enak, ia
buru-buru alihkan pembicaraannya ke lain soal.
"Suhu, hingga sekarang muridmu masih belum
mengert i, mengapa suhu memberikan tugas semacam itu
kepada suheng?."
"Semua itu lantaran kau, aih! Sudahlah, jangan tanya
lagi!" jawab sang suhu sambil menghela napas.
"Suhu Toa-suheng kubunuh mati!"
Sang suhu nampaknya sedikitpun t idak heran katanya:
"Itu sudah kuduga lebih dulu. Kau harus tahu orang
jahat pasti akan memet ik buah yang set impal dengan
kejahatannya."
Ho Hay Hong t idak perhat ikan kata-kata suhunya,
pikirannya melayang kediri gadis kaki telanjang. Ingin
segera pergi mencari, karena gadis itu merupakan
kekasihnya yang pertama-tama menempat i hat inya. Cinta
pertama memang tidak mudah dihapus begitu saja!
Dihadapan gadis baju ungu ia berusaha sedapat
mungkin t idak membicarakan hal yang ada hubungannya
dengan gadis kaki telanjang, ia tahu bahwa kesalahan
sudah terjadi, ibarat nasi sudah menjadi bubur disesalkan
juga t idak ada gunanya.
Ia coba mengalihkan pembicaraannya ke-lain soal lagi
katanya:
"Suhu muridmu sudah menerima seorang murid, suhu
kini sudah menjadi Sucouw!"
Sang Suhu rupanya t idak tertarik oleh berita itu, ia
berkata: "Hay Hong aku sebetulnya hendak menjodohkan kau
dengan anak perempuanku tetapi cinta t idak bisa dipaksa
maka aku batalkan maksudku. Aku hanya mengharap
supaya kau perlakukan baik-baik dan cintailah padanya,
jangan sampai mengecewakan pengharapannya. Dengan
demikian berarti kau sudah membalas budiku.
Mengertikah kau?"
"Baik Suhu, harap Suhu jangan khawat ir!"
Gadis baju ungu mendadak lari keluar, hingga
mengejutkan Dewi ular.
"Kau hendak kemana?" demikian tegurnya.
Gadis itu t idak menjawab, dengan dua tangan
mendekap mukanya, sedang dadanya tampak naik turun,
seolah-olah sedang menekan perasaannya sendiri.
Ho Hay Hong buru-buru mencegahnya sambil berkata:
"Adik, kau jangan buat pikiran, aku tokh t idak sesalkan
perbuatanmu!"
"Aku t idak ingin bertemu denganmu lagi. Kau dengan
dia sebetulnya merupakan pasangan yang set impal,
dengan hak apa aku mengganggumu?" kata gadis itu
dengan suara terisak-isak.
Dibawah sinar mata anak buahnya, adegan itu sangat
t idak enak bagi Ho Hay Hong. Lama sekali ia baru bisa
membuka mulut .
"Adik, aku sebetulnya merasa salah terhadap kau
tetapi aku harap kau jangan marah, maafkanlah semua
kesalahanku!" Pada saat itu, dari luar t iba-tiba lari masuk seorang
laki-laki, orang itu lebih dulu memberi hormat kepada
Tok-heng Tayhiap, kemudian berkata:
"Saudara-saudara kita telah menangkap seorang
didaerah sungai Lam-kiang, kini sudah kita bawa kemari,
harap tayjin beri petunjuk, apa yang harus kita lakukan
selanjutnya."
"Kau laporkan kepada Bengcu, aku sudah t idak berhak
mencampuri urusan Bengcu." kata Tok-heng Tayhiap
sambil menunjuk Ho Hay Hong.
Orang itu ketika memandang Ho Hay Hong, sejenak
nampak terkejut, kemudian berlutut dihadapannya sambil
mengulangi laporannya tadi.
"Apa dosanya orang itu ? Kau jelaskan dulu!" kata Ho
Hay Hong.
Orang itu sudah seperti kehilangan ingatan,
kelakuannya sepert i orang gila, entah apa sebabnya,
ketika berada didaerah sungai Lam-kiang telah kebentrok
dengan saudara-saudara kita disana, dengan
mengandalkan kepandaian ilmu silatnya yang t inggi, ia
telah melukai banyak saudara-saudara kita, hingga
akhirnya dengan terpaksa kita menggunakan obat mabuk
membuatnya t idak ingat orang. Sekarang orang itu
sudah kita bawa kemari, harap Beng cu berikan
putusannya!"
"Bawa kemari!"
Orang itu berlalu, tak lama kemudian, ia balik lagi
bersama empat orang kawannya yang membawa
seorang perempuan muda berpakaian warna put ih. Perempuan itu cant ik sekali, namun mukanya
menunjukkan bahwa hat inya sedang berduka cita,
jalannya tidak tetap.
Gadis baju ungu mendadak menjerit dan berseru:
"Kau, kau bukankah nona Tiat Chiu Khim?"
Wajah Ho Hay Hong sesaat itu juga berubah pucat , ia
segera memerintahkan anak buahnya supaya
membebaskan tawanannya.
Orang-orang yang menangkap Tiat Chiu Khim pada
ketakutan, buru-buru membuka tali yang mengikat tubuh
nona itu, kemudian undurkan diri dengan diam-diam.
Tiat Chiu Khim memandang Ho Hay Hong sejenak,
pandangan matanya sepert i kabur, sesaat itu ia merasa
sepert i memimpi. Tetapi ketika ia melihat gadis baju
ungu dan Dewi ular dari gunung Ho-lan-san juga berada
disitu, ia baru tahu kalau dirinya dalam keadaan sadar.
Perasaan sedihnya tak terkendalikan lagi air mata
mengalir bercucuran, sehingga t idak dapat bersuara.
Ho Hay Hong segera memerintahkan semua anak
buahnya meninggalkan ruangan.
Setelah semua orang berlalu, Tiat Chiu Khim baru lari
menubruk Ho Hay Hong sambil berseru:
"Engko Hay Hong, apakah kau masih hidup ?"
Wajah gadis baju Ungu pucat seketika, matanya
dirasakan gelap, hampir saja jatuh pingsan.
Ho Hay Hong mendadak mundur selangkah dan
berkata: "Nona Tiat, sudah lama kita tidak ketemu! Bagaimana
keadaanmu selama ini?"
Meskipun ia berusaha mengendalikan perasaannya
tetapi rasanya berat sekali, hingga suaranya menjadi
serak.
Tiat Chiu Khim terkejut mendengar ucapan itu, maka
ia tidak berani maju lagi.
Dewi ular dari gunung Ho lan-san lalu berkata sambil
menghela napas:
"Hay Hong, kau keliru. Mereka berdua sama-sama
merupakan orang-orang yang mencintakan dirimu
dengan tulus hat i siapapun t idak bisa kehilangan kau.
Lekas kau hiburi ia sudah terlalu menderita karenamu."
Setelah itu, ia menghampiri gadis baju ungu dan bisik-
bisik di telinganya.
Ho Hay Hong mengerti maksud suhunya, sekarang ia
t idak ragu-ragu lagi, maka lalu berseru :
"Adik Khim kita akhirnya ketemu kembali !"
Ia pentang dua tangannya, memeluk tubuh Tiat Chiu
Khim.
Tiat Chiu Khim berkata dengan suara sedih:
"Engko Hay Hong, dengan payah aku mencarimu, hari
ini baru ketemu."
Ia masih hendak berkata lagi, tetapi sudah dipotong
oleh Ho Hay Hong:
"Semua aku sudah tahu. Adik Khim, hingga sekarang
aku baru mengetahui isi hat imu, semua yang sudah lalu
rasanya seperti impian buruk, kita jangan bicarakan lagi." Kemudian ia berbisik-bisik ditelinganya:
"Tentang dia, aku harap kau suka melupakan hal hal
sudah lalu yang t idak menyenangkan hat imu. Ia tadi
sudah menyatakan penyesalannya karena pernah
membohongimu."
"Engko Hay Hong, kau jangan khawat ir, aku t idak
benci padanya."
Dewi ular dari gunung Ho-lan-san menghampiri
mereka dan berkata sambil menghela napas:
"Anak-anak semua sudah menjadi dewasa, apa lagi
yang lebih menggembirakan dari pada ini? Hong-jie, aku
sudah mengambil keputusan, soal ia, (gadis baju ungu)
biarlah It-jie Hui Khiam yang bertindak sebagai wali
sedangkan dia (Tiat Chiu Khim), aku yang akan menjadi
walinya. Kau sekarang sudah menjadi Bengcu, tetapi aku
adalah suhumu, rasanya kau t idak akan menolak usul
ini?"
Demikianlah, atas usul suhunya sendiri, Ho Hay Hong
dengan berbareng menikah dengan dua gadis cant ik
jelita
TAMAT












Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Kampung Setan 5 dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Kampung Setan 5 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-kampung-setan-5.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Kampung Setan 5 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Kampung Setan 5 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Kampung Setan 5 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-kampung-setan-5.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar