Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 17 September 2011

01 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala - Wo Lung Shen-SD Liong

Karya: Wo Lung-shen
Saduran: SD Liong
Jilid 1 Kitab Tat mo Ih kin keng dari Siau Lim si
Bagian 1
Jari maut.
Dengan gerak Ceng-ting-sam-tiam-cui atau Kecapung-tiga-kali-menyambar-air, pemuda
itu melambung dan bergeliatan tiga kali diudara lalu melayang turun diatas wuwungan
kuil.
Sejenak ia tertegun. Mengapa malam itu kuil Siauw-lim-si tampak sunyi, padahal Siauwlim-
si termasyur sebagai pusat jago-jago sakti. Akhirnya ia menyadari bahwa ia harus
menemukan ruang Perpustakaan sebelum paderi-paderi bangun bersembahyang subuh.
Pada ruang disebelah muka, terdapat pintu dengan dua buah tiang tinggi, diukir naganagaan.
Cepat ia melayang turun, loncat pula keatas pintu lalu melambung hinggap dipuncak
gedung.
Hampir saja ia putus asa karena tak melihat apa-apa. Seluruh kuil Siauw-lim-si yang
dibangun diatas gunung Kosan seolah-olah tertutup kegelapan malam. Melihat beberapa
belas bangunan ruang, achirnya ia tiba dihutan itu. Dua buah lampu merah tergantung
pada sebatang pohon siong. Dibawah penerangan lampu itu terdapat sebuah bangunan,
pintunya terbuka.
Seorang paderi tua duduk menghadapi giok-ting (padupaan kumala) yang membaurkan
asap wangi. Dua orang paderi kecil duduk dikanan kirinya. Mereka pejamkan mata
bersemadhi.
Pemuda itu tersirap. Mata kedua paderi kecil itu berkilat-kilat tajam sekali, pertanda
memiliki lwekang yang tinggi. “Kuil itu tentu penuh dengan paderi yang berilmu tinggi,
rencanaku tentu gagal, lebih baik kuangkat kaki dari sini ……..”
Baru pemuda itu berputar tubuh, suara hatinya mendamprat, “Ji Han-ping, pengecut
benar engkau! Mengapa engkau takut mati? Bukankah kitab pusaka Tat-mo-ih-kin-keng
itu…..”
Benaknya melintas peristiwa yang lampau. Peristiwa ngeri yang tak mudah dilupakan.
Dua butir airmata menitik turun dan serentak menyala pula semangatnya, ia harus
mendapatkan kitab pusaka itu!

Ia berjalan dari samping gedung itu, dibelakang terdapat deretan ruang yang
dihubungkan sebuah lorong batu merah. Pada ujung lorong sebuah bangunan bertingkat,
bertangga titian batu marmer putih. Girangnya bukan kepalang ketika papan diatas pintu
gedung itu berbunyi, “Gedung Perpustakaan”.
Tetapi disamping itupun terdapat papan maklumat berbunyi “Dilarang masuk”.
Han Ping mencabut pedang, ketika hendak membacok pintu, sekonyong-konyong
terdengar suara orang berseru, “Harap sicu simpan pedang sicu! Kuil ini tempat ibadah,
dilarang bertindak sembarangan!”
Han Ping berpaling, seorang paderi bertubuh kekar, tegak pada jarak beberapa meter,
jubahnya putih, lehernya berkalung seuntai tasbih mutiara, matanya menatap Han Ping.
“Kuil Siauw-lim-si mempunyai sepuluh pantangan, sudah tigapuluh tahun loceng tak
pernah bertempur ……..” kata paderi tua itu. “Ruang perpustakaan ini merupakan daerah
terlarang, tak boleh orang sembarangan masuk. Loceng bertugas menjaga disini, mungkin
sicu keliru masuk, silahkan melanjutkan perjalanan agar jangan membikin susah loceng!”
Han Ping tertegun, kata-kata paderi tua itu memang beralasan. Tetapi ia harus
mendapatkan kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Karena sampai beberapa saat diam saja, paderi
tua tertawa dingin, “Benar, memang dalam dunia persilatan orang selalu bertempur
sampai ada yang kalah, baru selesai. Menilik berani masuk kemari, sicu tentu memiliki
kepandaian sakti, peringatan loceng tadi, tentu sukar sicu terima ……..”
Kemudian ia menjemput sebatang jarum berbentuk daun pohon siong yang runcing
seperti daun cemara. “Dunia persilatan mengatakan bahwa kaum Siauw-lim-si
mengutamakan ilmu kekuatan atau gwakang ……..”
Paderi itu menjamah tasbih mutiara dengan tangan kiri, lalu menusuk biji mutiara itu
dengan jarum. Ujung jarum siong itu perlahan-lahan menyusup kedalam mutiara dan pada
lain saat tembus kebelakang. Tasbih mutiara paderi Siauw-lim-si, dibuat daripada kayu
Lam-bok yang kerasnya seperti baja. Jika tak memiliki lwekang sakti, tak mungkin paderi
tua itu sapat menusuk dengan jarum daun siong!
Paderi tua itu tersenyum, “Ilmu menusuk dengan jarum runcing ini, termasuk ilmu
lwekang. Jika sicu dapat melakukan hal itu, saat ini juga aku segera minta berhenti
sebagai penjaga Ruang Perpustakaan ini. Tetapi jika sicu tak dapat melakukan, harap sicu
lekas tinggalkan tempat ini. Sukalah sicu mempertimbangkan kata-kata loceng ini.”
Habis berkata paderi tua itu segera rangkapkan kedua belah tangan dan pejamkan
mata.
Han Ping tersirap, ia menyadari kepandaiannya kalah sakti dengan paderi itu. Diamdiam
ia memutuskan, yang penting ia sudah tahu letak ruang Perpustakaan itu, lebih baik ia
datang besok malam lagi. Sejenak ia menengadah memandang gedung bertingkat itu, lalu
berputar diri dan melangkah pergi.
“Sebab dan Akibat, merupakan lingkaran hukum karma. Omitohud, siancai!” tiba-tiba
paderi tua itu menghela napas.

Hang Ping berhenti dan berpaling, tampak paderi tua itu tegak berdiri di depan ruang
Perpustakaan, bagaikan malaikat penjaga pintu Achirat. Ketika Han Ping melintasi hutan
siong dan tiba di lorong yang lebar, ia berhenti. Di lihatnya cakrawala memburat kuning,
pertanda fajar segera datang.
Pada saat ia mencari jalan keluar dari kuil itu, tiba-tiba dari balik sebatang pohon besar
terdengar suara tertawa dingin, “Ah, sicu benar-benar mempunyai selera besar, tengah
malam masih memerlukan berkunjung ke kuil Siauw-lim-si. Hanya sayang, sicu bisa masuk
tetapi tak mungkin keluar!”
Serempak denga kata-kata yang terachir, seorang paderi tinggi besar loncat
menghadang. Melihat paderi itu tak membawa senjata, Han Ping menyahut angkuh,
“Siauwlim-si merupakan kuil yang termasyur di seluruh dunia, bukan suatu tempat yang
terlarang, Hmm, mengapa aku tak boleh berkunjung kemari?”
Paderi tinggi besar itu tertawa dingin. “Tampaknya ucapan sicu itu memang benar,
tetapi para tamu yang hendak berkunjung, seharusnya pada siang hari. Cara sicu
menyelundup pada malam hari dengan membekal senjata itu, dapat dianggap sebagai
tindakan menghina kuil ini!”
Paderi itu menengadah dan tertawa kecil serunya pula, “Setiap orang persilatan tentu
memaklumi, mudah masuk kedalam Siauw-lim-si tetapi tak mudah bisa keluar. Sicu tentu
mengandalkan kepandaian tinggi maka berani masuk kemari!”
Siauw-lim-si dianggap sebagai sumber ilmu silat dari dunia persilatan. Paderi Siauwlimsi
amat diindahkan orang karena selain memiliki pengetahuan agama yang tinggi, pun
rata-rata memiliki ilmu silat sakti. Kuil itupun terkenal mempunyai peraturan yang keras.
“Lalu bagaimana maksudmu?” melihat sikap paderi tinggi besar itu makin congkak, Han
Ping marah.
“Sederhana sekali,” paderi itu tertawa ringan, “jika engkau yakin mampu menerobos
keluar, silahkan, tetapi jika merasa tak mampu, lekas Han Ping tertawa dingin, “Sudah
kusadari apa akibatnya masuk kedalam kuil ini.”
Paderi itupun tertawa kecil, “Karena sicu membekal kegagahan semacam itu, kiranya
tentu tak keberatan apabila mencoba ilmu silat kuil Siauw-lim-si.”
Han Ping tak mau menyahut, tangan kiri bergerak menebas, tangan kanan memukul.
Pernyataan paderi itu telah dijawab dengan serangan dalam jurus Song-liong-jiang-cu
atau sepasang-naga-berebut-mustika.
Diam-diam paderi besar itu terkejut menyaksikan serangan si anak muda yang
demikian dahsyat.
“Hmm, maka dia begitu sombong, kiranya dia mempunyai andalan!” pikir paderi itu
seraya berputar ke samping. Selekas terhindar dari tebasan tangan Han Ping, cepat ia
tamparkan tangan kanan. Jurus itu disebut Hui-tim-ceng-than atau Mengebut-debumembersihkan-
kotoran. Hebatnya bukan alang kepalang, menangkis dan membalas
mendahului gerakan orang.

Han Ping terpaksa menyurut mundur tiga langkah. Secepat kilat ia menyerang lagi,
tangan kiri bergerak dalam jurus Pek-hun-jut-yu atau Awan-putih-keluar-gunung. Tangan
kanan berkilat dalam jurus Long-bak-kiau-yan atau Ombak-menghempas-batu-karang.
Sekaligus dua buah serangan dilancarkan!
Serangan itu dapat memaksa paderi tinggi besar mundur selangkah. Diam-diam ia
membatin, “Rupanya anak ini mempunyai guru yang ternama, tentu bukan tokoh
sembarangan ……..”
Ia bermaksud hendak menanyai perguruan Han Ping, tetapi anak muda itu tak
memberinya kesempatan lagi ……..
Han Ping memburu lagi dengan serangan yang cepat dan gencar. Jurusnya serba aneh,
sukar dinilai dari perguruan mana. Dalam beberapa kejab saja, pemuda itu sudah
melancarkan tendangan berantai sampai empat buah dan pukulan tiga kali.
Dalam ancaman maut, paderi tinggi besar tak mempunyai keluangan untuk bertanya
lagi.
“Hmm,” ia mendengus, sepasang tangannya segera bergerak mengirim serangan
balasan. Lo-han-kun ilmu silat tangan kosong kuil Siauw-lim-si yang termasyur,
dilancarkannya. Lo-han-kun itu terdiri dari 108 buah jurus, dahsyatnya bukan kepalang.
Lohan-kun merupakan salah satu dari ke 72 ilmu silat istimewa dari cabang Siauw-lim-si,
pukulannya berlambar tenaga keras. Maka begitu dilancarkan, sepasang tangan paderi
tinggi besar itu tak ubah seperti sepasang palu besi yang menghantam batu karang.
Sepuluh jurus kemudian, paderi tinggi besar itu berhasil mengembalikan kedudukannya
yang buruk, dan bahkan dua tiga puluh jurus kemudian Han Ping terdesak dibawah angin.
Ternyata paderi tinggi besar itu, anggauta dari tiga-serangkai paderi yang mengepalai
bagian Kwat-si-wan atau Bagian Peradilan kuil. Dia bergelar Pek Heng. Paderi yang
memakai gelar nama Pek, termasuk angkatan keempat dari kuil Siauw-lim-si, sebagai
kepala pemegang hukum kuil, sudah tentu Pek Heng dipilih berdasarkan ketaatan, tingkah
laku, kecerdasan dan kesaktiannya.
Tetapi ternyata pemuda itu cukup tangguh, sampai 30 jurus, keduanya masih
bertempur dengan berimbang.
Kiranya setelah menyadari tak dapat menangkis pukulan besi dari lawannya, Han Ping
merobah cara berkelahinya. Ia kembangkan kelincahan dan kegesitannya, dengan cara itu
dapatlah ia bertahan sampai sekian lama.
Paderi Pek Heng sebenarnya seorang yang sudah tinggi kebatinan dan ajaran
agamanya. Tetapi dia tetap seorang manusia. Bahwa dirinya sebagai salah seorang kepala
Bagian Peradilan yang amat disegani oleh anak murid paderi Siauw-lim-si, ternyata tak
mampu mengalahkan seorang anak muda tak terkenal. Diam-diam malulah paderi itu, rasa
malu mengembangkan timbulnya rasa marah. Padahal nafsu marah sudah ia tindas
dengan latihan semedhi berpuluh tahun.
Saat itu Lo-han-kun mencapai jurus yang ke 48, disebut Cang-bi-soh-pik, lalu jurus
yang ke 50 yaitu Hok-hou-ciang-liong atau Harimau-menerkam-naga-menukik. Pada saat

itulah Pek Hek tak dapat menguasai diri lagi. Nafsu menang mencengkam hatinya.
Seketika ia pertinggi saluran tenaga dalamnya. Pukulannya berobah makin dahsyat sekali!
Tiang-bi-soh-pik atau Alis-memanjang-tangan-menjulai dan Hok-hou-ciang-liong,
merupakan jurus yang paling hebat dari Lo-han-kun. Ditambah pula dengan pengerahan
tenaga dalam yang telah diyakinkan selama berpuluh tahun, menjadikan serangan
sedahsyat gelombang samudera yang bergulung-gulung mendampar keras.
Sedari paderi Pek Heng melancarkan ilmu silat Lo-han-kun, sebenarnya Han Ping sudah
tak tahan. Maka ketika paderi itu memperhebat tenaga dalamnya patahlah perlawanan
pemuda itu.
Dia gugup dan cepat menyurut mundur, kemudian menyelinap keluar. Sekalipun
demikian, ia masih terdera aleh angin yang dipancarkan pukulan Pek Heng. Begitu kaki
menginjak tanah, ia masih terhuyung-huyung lima langkah kemudian baru dapat berdiri
tegak.
Dan saat itu ia rasakan darah dalam dadanya bergolak keras, kepalanya pusing dan
mata berkunang-kunang. Han Ping menyadari, jika melanjutkan pertempuran dengan
paderi itu, tentu ia bakal celaka. Dengan kerahkan semangat ia berputar diri dan terus lari
kesebelah kanan. Untunglah Pek Heng tak mengejar, paderi itu hanya tegak berdiri
memandang anak muda itu.
Setelah melintasi dua buah tikungan, Han Ping berhenti untuk memulangkan napas.
Pada saat ia hendak loncat ke atas rumah, tiba-tiba dari bawah serambi yang gelap
loncat keluar dua orang paderi. Mereka menghadang dengan senjata Hong-pian-jan yang
panjang.
Paderi yang berdiri disebelah kanan tertawa dingin, “Berani memasuki kuil pada malam
hari tentulah sicu tahu akan peraturan kuil ini, jika tak mau serahkan diri, silahkan melolos
senjata bertempur!”
Han Ping menyadari bahwa tak mungkin terhindar dari pertempuran, mencabut
pedang, tangan kiri bergerak mengimbangi gerak tangan kanan yang memainkan pedang
dalam jurus Hong-hong-tiam-thau atau Burung-hong-mengangguk-kepala. Sekaligus
menyerang ke dua paderi itu.
“Serangan yang ganas!” teriak kedua paderi itu dengan marah seraya menyurut
mundur dan serempak menyapukan Hong-pian-jan. Hong-pian-jan berbentuk seperti
sekop, panjang dan berat. Han Ping tak berani adu senjata, ia menghindar dan balas
menyerang.
Pertempuran dengan paderi Pek Heng telah memberinya pelajaran bahwa paderi
Siauw-lim-si memang tak boleh dibuat main-main. Maka di dalam menghadapi ke dua
paderi itu, ia tak mau meremehkan. Sekali gerak ia menyerang dengan jurus yang
dahsyat. Honghong-tiam-thau, merupakan salah sebuah jurus dari ilmu pedang Tui-hongkiam
(pedang pemburu angin). Perbawanya menyerupai gelombang bengawan
Tiangkiang, dahsyat dan tak berkeputusan.
Keindahan dari ilmu pedang Pemburu angin itu cepat dan berantai. Setiap serangan
selalu disusuli dengan lain serangan yang tak menyempatkan musuh balas menyerang.

Bagaikan air bah yang melanda atau kilat yang menyambar-nyambar. Ke dua paderi itu
terdesak dan untuk beberapa saat tak dapat balas menyerang.
Tetapi betapapun halnya, kedua paderi itu merupakan paderi Siauw-lim-si yang tinggi
kepandaiannya. Ilmu permainan hong-pian-jan merekapun luar biasa, sekalipun terdesak
oleh ilmu pedang Pemburu-angin, tetapi hong-pian-jan itupun mengembang gulungan
sinar yang menyelubungi diri mereka, dengan demikian sekalipun tak dapat balas
menyerang, tetapi tak mungkin dapat di lukai. Barulah setelah ilmu pedang Pemburu-angin
selesai dimainkan semua, kedua paderi itu mulai lancarkan serangan balasan. Diantar oleh
deru angin yang
dahsyat, dalam dua jurus saja, mereka telah merobah kedudukannya, dari fihak yang
diserang menjadi penyerang.
Saat itu Han Ping menyadari bahwa ia tak mampu bertahan lagi. Diam-diam ia
mengeluh, “Aku tak sayang mati, hanya menyesal bahwa tujuanku untuk mencuri kitab
pusaka Tat-mo-ih-kin-keng bakal tak terlaksana selama-lamanya ……..”
Terlintas oleh cita-citaku itu, timbullah semangatnya untuk menyelamatkan diri.
Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam, dengan jurus Kim-si-jan-wan, ia desak paderi
yang menyerang dari sebelah kanan. Kemudian loncat mundur beberapa langkah terus
loncat keatas rumah. Secepat kilat ia merogoh sebatang senjata rahasia Yan-wi-gin-soh
atau Ekorwalet-perak, Siap ditimpukkan apabila kedua paderi itu mengejarnya.
Diluar dugaan ternyata kedua paderi itu tak mau mengejar. Mereka tertawa dingin lalu
menyusup lagi ke bawah serambi yang gelap. Pada saat itu insyaflah Han Ping bahwa kuil
Siauw-lim-si yang tampaknya sunyi itu ternyata padat dengan penjagaan yang ketat.
Memang mudah orang masuk kesitu tetapi jangan harap dapat keluar lagi. Dua kali
pertempurannya dengan paderi penjaga tadi, cukup memberi pelajaran bahwa paderi
Siauw-lim-si rata-rata memang berilmu tinggi. Seketika padamlah semangatnya yang
menyala-nyala untuk berhasil mencuri kitab pusaka itu ……..
Tetapi Han Ping seorang pemuda yang berhati keras, sekalipun tahu tak mungkin
berhasil namun tak mau ia menyerah begitu saja. Setelah sejenak memulangkan
semangat, dengan menghunus pedang ditangan kanan untuk melindungi diri, tangan kiri
pun siap dengan senjata rahasia Ekor-burung-walet, kemudian setelah menentukan arah,
ia segera gunakan ilmu ginkang untuk lari keluar.
Ternyata apa yang di duganya itu benar, setiap ruang dan paseban kuil terdapat
penjagaan pendam yang ketat. Baru Han Ping melintasi dua buah gedung
sekonyongkonyong ia mendengar suara paderi menyebut, “Omitohud, harap pelahan
sedikit, sudah lama pinto menunggu di sini!”
Han Ping hentikan larinya, menengadah ke atas, di lihatnya tiga orang paderi berjubah
kelabu tegak berjajar menghadang jalan, mereka masing-masing mencekal golok kwat-to
yang berkilat-kilat tajam. Han Ping sudah menyadari sia-sia ia memberi penjelasan. Maka
dengan mendengus dingin, segera ia putar pedangnya dalam jurus Tiang-hong-koan-jit
atau Pelangi-mengaling-matahari. Orang dan pedang bersama loncat menerjang.

Ketika paderi itu bergerak, memecah diri di tiga penjuru, paderi yang di tengah
menangkis serangan Han Ping. Tringgg …….. bunga api muncrat berhamburan. Benturan
senjata itu mematahkan lingkaran pedang Han Ping yang diperuntukan melindungi diri.
Tetapi paderi itupun tersurut mundur dua langkah.
Paderi itu tertawa dingin….
”Ah, sicu ternyata hebat sekali, Pinto beruntung sekali dapat berjumpa dengan orang
berilmu ……..”
Tiba-tiba ia maju menabas.
Han Ping tak mau lagi beradu kekerasan, ia menghindar ke samping lalu secepat kilat
menusuk tiga kali. Itulah salah satu jurus yang paling istimewa dari ilmu pedang
Pemburuangin, walaupun di lancarkan susul-menyusul tetapi karena cepatnya seperti
suatu serangan yang serempak.
Paderi itu gugup dan loncat mundur, pada saat Han Ping hendak ayunkan tubuh
menerobos dari kepungan, tiba-tiba ke dua paderi yang berada di samping serempak
membentak, ”Ilmu pedang lihay!”
Dua buah golok kwat-to yang berkilat-kilat menghambur dari kanan kiri, terpaksa Han
Ping gunakan jurus Ya-hwe-soh-thian atau Api-liar-membakar-langit…….. Tringg, tringg
…….. dengan pedang ia menangkis golok, dengan senjata Ekor-burung-walet di tangan kiri
ia menusuk dada paderi yang menyerang dari samping kanan.
Jika saat itu ia timpukkan senjata rahasia Ekor-burung-walet itu, tentulah ia dapat
melukai salah seorang paderi, tetapi ia berpendapat lain. Dalam pertempuran secara
merapat tidaklah selayaknya kalau menggunakan senjata rahasia, akan di anggap curang
oleh kaum persilatan, maka ia memutuskan untuk menggunakan senjata rahasia yang
berada di tangan kiri itu untuk senjata biasa. Tusukan Ekor-burung-walet itu telah
mengejutkan si paderi.
Hendak menangkis, sudah tak keburu. Terpaksa ia mengisar dua langkah ke samping.
Dengan tindakan itu, berarti ia menghalang jalan bagi kawannya yang berada di
sebelah kiri.
Kesempatan itu tak disia-siakan Han Ping, cepat ia loncat menyelinap dari samping
mereka, tetapi belum lagi ke dua kakinya menginjak tanah, sebatang golok berkilat-kilat
melayang kearah kepalanya! Ternyata paderi yang mengepung di tengah tadi lah yang
loncat menghadang jalan Han Ping.
Karena masih melayang di atas, Han Ping tak dapat menghindar. Terpaksa ia
menangkis, terdengar dering senjata beradi keras. Dalam posisi kaki masih di atas tanah,
Han Ping tergempur dan terpental ke belakang sampai dua langkah jauhnya. Dan ke dua
paderi tadi pun segera mengepungnya lagi, kini ia di serang dari tiga jurusan pula.
Diam-diam Han Ping mengeluh…. ”Jika satu lawan satu, aku dapat mengalahkan
mereka. Tetapi mereka bertiga maju berbareng untuk mengepung aku. Aku harus cari akal
untuk memecahkan rantai kepungan mereka!”

Tengah ia memutar otak untuk mencari akal, tiba-tiba terdengar genta atau lonceng
besar berdering tiga kali. Dan sebelum gema suara genta itu sirap, sekonyong-konyong
ketiga paderi itu serempak maju menyerangnya. Melihat orang main kerubut, marahlah
Han Ping.
Cepat ia mainkan ilmu pedang Pemburu-angin dengan gencar. Seluruh tenaga dan
perhatian dicurahkan dalam ilmu permainannya. Sinar pedang menyambar-nyambar
laksana halilintar, angin menderu-deru bagai prahara. Han Ping berhasil menguasai ke tiga
lawannya. Tui-hong-kiam atau ilmu pedang Pemburu-angin, merupakan ilmu pedang
istimewa dalam dunia persilatan. Sayang karena kurang pengalamannya, Han Ping tak
dapat mengembangkan sebagaimana layaknya. Tetapi karena di rangsang oleh
kemarahan, ia mengamuk dan mainkan pedangnya dengan gencar sekali. Sepuluh jurus
kemudian, ketiga paderi itu terdesak, hanya membela diri tak mampu balas menyerang.
Diam-diam Han Ping gembira, semangatnya makin menyala, tiga jurus istimewa Hongcuan-
jan-hun (angina-menyapu-sisa-awan), Coa-hwat-lam-hay (gelombangmendamparlaut
kidul) dan Cok-boh-thian-keng (batu-hancur-menggemparkan-alam), sekaligus telah di
lancarkan.
Ketiga paderi itu terdesak mundur, Han Ping cepat loncat menerobos keluar kepungan.
Berpaling kebelakang, tanpak ketiga paderi itu tegak memandangnya dengan
terlongong-longong ……….
“Hemm, jika penghadang-penghadang nanti setingkat dengan ketiga paderi itu, aku
mempunyai harapan untuk keluar dari kuil ini, diam-diam Han Ping menimang dalam hati.
Semangatnyapun bergelora lagi.
Tetapi baru ia hendak teruskan langkah, tiba-tiba dari arah belakang terdengar sebuah
suara menegurnya, “Ilmu pedang Tui-hong-kiam sicu baru mencapai enam bagian
kesempurnaan. Sayang mereka tak mampu menahan sicu!”
Han Ping terkejut. Taburkan pedangnya menjabat, ia meloncat menerjang. Tetapi
ternyata tempat itu kosong melompong. Di tengah keheranan tiba-tiba Han Ping terkejut
mendengar suara orang berseru dari arah belakang, “Siauw-lim-si penuh dengan alat
pekakas rahasia. Hanya mengandalkan ilmu pedang Tui-hong-kiam, mungkin sukar keluar
dari sini.
Lebih baik lemparkan senjata dan ikut loni menghadap Hong-tiang. Hud bersifat
pemurah, tentulah tak sampai mencelakai sicu!”
Mengenali arah datangnya suara itu, jelas dari belakang. Secepat kilat Han Ping
berputar diri dan menusuk. Ah, kali ini orang itu tak dapat melenyapkan diiri lagi. Seorang
paderi tua yang tegak berdiri di belakang. Tetapi hai ………., mengapa paderi itu diam saja
menghadapi tusukan?
Entah bagaimana, serasa ada suatu kekuatan gaib yang menyuruh Han Ping menarik
pulang pedangnya dan mundur selangkah.

“Mengapa tak menghindari tusukanku? Betapapun kesaktianmu, tetapi tak mungkin
tubuhmu mampu menahan pedang pusakaku ini!” tegurnya.
Paderi tua itu tersenyum, ujarnya, “Perbuatan baik atau jahat, hanya berlangsung
dalam sekejap mata. Bahwa sicu yang sudah acungkan ujung pedang ke dada loni, tetapi
tiba-tiba menarik pulang kembali, menandakan sicu mempunyai jodoh dengan Hud-ya.
Omitohud, siancay, siancay!”
Hang Ping memandang tajam kepada paderi itu. Seorang paderi tua yang alisnya sudah
putih semua, menjulai panjang sampai sejari dan menutupi wajah berseri senyum,
sikapnya berwibawa. Menimbulkan rasa pengindahan orang.
Han Ping terpengaruh sekali oleh kepribadian paderi tua itu. Serta merta ia memberi
hormat, “Terima kasih atas petunjuk losu, tetapi kalau disuruh buang senjata dan
serahkan diri, wanpwe maaf, tak dapat melakukan.
Paderi tua itu tertawa …..
“Dengan begitu, apakah sicu benar-benar hendak menguji kepandaian loni?”
“Wanpwe pribadi tiada halangan untuk menyerahkan diri, tetapi sayang wanpwe harus
bertanggung jawab untuk menjaga nama perguruan. Terpaksa wanpwe memberanikan diri
untuk mohon pelajaran pada lo-suhu. Apabila dalam sepuluh jurus lo-suhu dapat
menundukkan wanpwe, wanpwe akan rela menyerah dan ikut lo-suhu menghadap hongtiang!”
Tiba-tiba paderi tua itu membeliakkan sepasang alisnya yang putih, ujarnya, “Rasanya
sepuluh jurus terlalu banyak. Menangpun loni tentu akan dianggap menindas orang yang
lebih muda. Begini sajalah, silahkan sicu menyerang dengan ilmu pedang Tui-hong-kiam
yang termasyur itu. Kembangkan sepenuh kemampuan sicu untuk menyerang, jika losu
sambil mundur setengah langkah saja, bukan saja sicu menang, pun loni akan bersedia
menerima hukuman hong tiang dan akan mengantar sicu keluar dari kuil ini dengan
Selamat!”
Han Ping tercengang. Pikirnya, “Betapapun kesaktianmu, tetapi tak mungkin engkau
begitu gegabah omong besar. Aku tak percaya engkau mampu menghadapi taburan
pedang pusakaku!”
Berkatalah ia menyahut pernyataan paderi itu, “Losu seorang ulama yang ternama,
kiranya tentu maklum bahwa setiap patah kata harus ditepati. Bagi kaum persilatan, janji
itu adalah kehormatannya!”
“Murid penganut Budha dilarang berdusta. Silahkan sicu segera mulai!” kata paderi tua
itu seraya pejamkan kedua matanya.
Han Ping mendengus. “Maaf, wanpwe akan melaksanakan perintah lo-suhu!” serunya
seraya geliatkan pedang menusuk dada paderi tua itu.
Terdengar mulut paderi tua itu menyebut “Omitohud”, badannya sedikit dimiringkan
kesamping dan tusukan Han Ping itu tak mengenai sasarannya. Tidak melainkan kedua
kaki paderi itu masih melekat di tempatnya, bahkan kedua matanyapun masih memejam.

“Ahhh ……….!” Han Ping mengeluh kejut, ia mundur dan tertegun.
Terdengar paderi tua itu tertawa jernih dan berseru, “Sicu tak perlu cemas, Loni takkan
balas menyerang!”
Kata-kata itu membangkitkan penasaran Han Ping, maju kemuka, ia menabas pinggang
paderi itu.
Sekonyong-konyong tubuh paderi tua itu menekuk ke belakang dan untuk yang kedua
kalinya babatan pedang Han Ping itupun hanya mengenai angin saja. Karena tusukan itu
dilancarkan dengan sepenuh tenaga maka ketika tak mengenai, tubuh Han Ping ikut
menjorok ke samping, “Wuuut …..” tiba-tiba angin menyambar dan tahu-tahu kain
kerudung hitam yang menutupi mukanya telah di sambar oleh tangan si paderi tua.
Menghindar babatan pedang, menyambar kain selubung muka dan tegak lagi dengan
tenang. Demikianlah yang dilakukan oleh paderi tua beralis putih!
Saat itu Han Ping benar-benar dirangsang kemarahan. Dengan menggembor keras, ia
taburkan pedangnya menyerang paderi tua itu. Dalam sekejap mata lima buah serangan
telah dilancarkan sederas-derasnya.
Kelima serangan itu diambilkan dari jurus-jurus ilmu pedang Pemburu-angin yang
paling dahsyat. Dan dilancarkan dengan kecepatan yang sepenuh-penuhnya. Jika tetap
berdiri di tempatnya, tak mungkin paderi tua itu mampu menghindarkan diri.
Tetapi apa yang disaksikan saat itu, benar-benar membuar Han Ping tak percaya
kepada pandang matanya. Paderi tua itu bergeliatan indah gemulai. Condong ke kanan,
miring ke kiri, membungkuk ke muka, menjerembab ke belakang, tanpa mengisar kakinya
sejaripun juga, paderi tua itu telah dapat menghindar kelima serangan pedang itu!…..
Han Ping menghela napas, ia buang pedangnya dan berkata, “Kesaktian lo-suhu benarbenar
belum pernah wanpwe menyaksikan pada lain orang. Kini wanpwe menyerah dan
bersedia ikut menghadap hongtiang!”
Paderi alis putih itu tak segera menyahut. Sepasang matanya yang tajam berkilat-kilat
menatap Han Ping. Beberapa saat kemudian baru ia menghela napas perlahan. Ujarnya,
“Menilik ucapan dan sikap sicu, rasanya sicu bukan orang rimba persilatan. Tengah malam
memasuki kuil Siauw-lim-si tentu ada sebabnya, maukah sicu memberi tahukan hal itu
kepada loni?”
Han Ping tertawa hambar ….., “Tak sekali-kali wanpwe berani berdusta. Terus terang
saja, kedatangan wanpwe kemari ini adalah karena hendak meminjam kitab pusaka Tatmoih-
kin-keng dari Siauw-lim-si!”
Tubuh paderi alis putih itu agak gemetar. Serunya pula, “Siauw-lim-si memiliki
tujuhpuluh dua buah kitab berisi pelajaran ilmu kesaktian, dan kesemuanya itu merupakan
ilmu pusaka Siauw-lim-si yang termasyur, mengapa sicu hanya hendak meminjam Tat-moihkin-
keng saja?”

Han Ping menghela napas. “Wanpwe mempunyai dendam permusuhan sedalam lautan.
Musuh wanpwe itu luar biasa saktinya. Maaf, ke 72 buah ilmu kesaktian Siauw-lim-si itu
belum tentu dapat menundukkannya.”
Paderi alis putih itu tertawa, “Separuh bagian saja sicu dapat mempelajari ke 72 macam
ilmu kesaktian Siauw-lim-si itu, sicu tentu tiada yang mampu menandingi lagi!”
Paderi tua itu berhenti untuk menghela napas. “Tetapi hidup manusia itu terbatas,
berapa tinggikah umur manusia itu? Tak mungkin kiranya dengan usianya yang terbatas
itu seorang manusia akan dapat meyakinkan berpuluh-puluh ilmu kepandaian yang
berbeda-beda. Sejak Tat Mo sucou mendirikan kuil ini, sudah berlangsung turun menurun
sampai pewaris angkatan ke 31. Murid-murid Siauw-lim-si pun beratus-ratus ribu
jumlahnya. Namun tiada seorangpun yang mampu memahami separuh dari ke 72 ilmu
pusaka Siauw-lim-si. Untuk memahami ilmu tersebut keseluruhannya, sampai matipun
takkan selesai!” kata paderi beralis putih itu pula.
Han Ping heran, mengapa paderi tua itu tak segeranya mengajaknya menghadap
pimpinan kuil tetapi bicara sendiri begitu panjang lebar! Han Ping hendak membuka mulut
tetapi kembali didahului oleh paderi tua itu lagi.
“Bahwa sicu tak menginginkan kitab dari ke 72 ilmu pusaka tetapi menghendaki kitab
Tat-mo-ih-kin-keng yang memuat pelajaran ilmu lwekang, tentulah karena sicu mendapat
petunjuk dari seorang sakti. Ketahuilah, kitab Tatmo-ih-kin-keng itu merupakan salah satu
dari tiga pusaka Siauw-lim-si. Taruh kata sicu berhasil mengambil kitab itu, tentu akan
mengalami kesulitam besar. Pimpinan kuil tentu akan mengerahkan seluruh tenaga untuk
mengejar jejak sicu. Kemanapun sicu akan menyembunyikan diri. Dan ketahuilah juga,
bahwa tulisan dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng itu terdiri dari sastra yang dalam sekali
artinya, taruh kata sicu seorang sasterawan, belum tentu sicu dapat memahaminya.
Kecuali mendapat petunjuk dari orang sakti yang mengerti seluk beluk ilmu pelajaran itu,
tak mungkin sicu akan berhasil meyakinkannya.”
Paderi beralis putih itu berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Sejauh yang loni tahu,
dewasa ini dalam dunia hanya ada seorang yang faham ilmu itu. Asal sicu mempunyai
rejeki belajar padanya, cukup dalam waktu setahun saja, sicu tentu sudah hebat. Dan
dalam waktu tiga tahun, kemungkinan sicu tentu sudah dapat memahami semua ilmu
pelajaran itu!”
Mendengar itu, terbeliaklah mata Han Ping. Serunya serta merta, “Dimanakah orang
itu? Mohon lo-suhu sudi memneri petunjuk pada wanpwe. Wanpwe akan mohon locianpwe
itu sudi menerima wanpwe sebagai murid ……….”
Dalam mengucap kata-kata yang terachir itu nada Han Ping terdengar rawan.
Benaknya kembali terlintas bayang-bayang peristiwa ngeri yang lampau. Gerahamnya
bercaterukan keras, beberapa titik airmata menetes turun. Geram dan dendam dan serta
merta ia berlutut memberi hormat dihadapan paderi itu.
Wajah paderi itu memancarkan sinar kasih dan dengan menghela napas ia berkata,
“Dia adalah suhengku sendiri. Kecerdasannya menonjol, bakat gemilang. Sayang, karena
suatu kechilapan, dia telah melanggar peraturan kuil dan dihukum oleh mendiang suhu
loni.

Sampai kini sudah sepuluh tahun dalam ruang penjara. Walaupun suhu sudah mukswa
(meninggal), tetapi suheng masih tetap tak dikeluarkan dari penjara. Pada saat pertama
dia di hukum, loni pernah berjanji hendak menolongnya. Karena memberi pernyataan itu
loni di hukum juga selama sepuluh tahun, tiap malam harus belajar kitab ajaran Budha.
Jika sicu dapat menolongnya tentulah sicu dapat mohon padanya supaya memberi
petunjuk pelajaran ilmu lwekang dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Dengan demikian citacita
sicu tentu tercapai dan lonipun dapat menunaikan janji loni kepadanya!”
Han Ping memberi hormat lalu bangkit. “Wanpwe berjanji akan melaksanakan petunjuk
lo-suhu. Untuk itu wanpwe tak sayang mengorbankan jiwa raga. Tetapi dengan
kepandaian wanpwe yang tak berarti seperti sekarang ini, dapatkah wanpwe
melaksanakan hal itu? Mohon lo-suhu sekali lagi sudi memberi petunjuk.”
Kembali paderi itu menghela napas. “Sesungguhnya sejak mendiang suhu sudah wafat,
tiada seorangpun yang mampu menandingi kesaktian suheng. Jangankan hanya ruang
penjara dari tembok biasa, sekalipun dari dinding besi, suheng tentu dapat lolos. Tetapi
diatas pintu penjara itu telah di tempeli Surat Hukuman yang ditulis oleh suhu sendiri.
Karena takut melanggar peraturan perguruan, terpaksa suheng tak berani menerobos
keluar. Maka sesungguhnya mudah sekali untuk membebaskannya. Asal sicu melenyapkan
Surat keputusan hukuman pada pintu itu, suheng tentu akan bebas …..”
Kembali paderi tua itu berhenti lagi. “Tetapi perlulah loni memberitahukan lebih dahulu
kepada sicu. Suheng loni itu berwatak aneh, berhati dingin dan congkak luar biasa.
Setengah abad hidup dalam pengasingan, entah apakah perangai sudah berobah atau
belum.
Loni tak berani menjamin adakah dia mau menurunkan pelajaran Tat-mo-ih-kin-keng
kepada sicu atau tidak. Kalau dia menolak, lonipun tak berani memaksanya. Tetapi
andaikata dia menolak karena sicu sudah menyelesaikan janji yang pernah loni ucapkan
kepadanya itu, loni akan membalas budi sicu dengan memberi pelajaran lima macam ilmu
pusaka Siauw-lim-si kepada sicu. Asal sicu berhasil memahami pelajaran itu, sekalipun
tidak menjagoi dunia persilatan, tetapi dalam dunia persilatan dewasa ini sukarlah terdapat
orang yang mampu menandingi sicu. Sicu, loni tak memaksa engkau harus melakukan
permintaan loni ini. Sicu setuju atau tidak harap suka mengambil keputusan sendiri!”
Han Ping menjawab tegas, “Atas petunjuk lo-suhu yang berharga, wanpwe merasa
berterima kasih seumur hidup. Tentang apakah lo-cianpwe itu mau memberi ilmu
pelajaran kepada wanpwe atau tidak, memang tergantung dari peruntungan dan rezeki
wanpwe sendiri.
Dalam hal itu, sekali-kali tak dapat menyesali lo-suhu!”
Paderi alis putih itu tertawa ….., “Obat takkan mematikan orang sakit. Mendapat
penerangan batin dari ajaran Budha hanya orang yang berjodoh. Asal sicu dari sini menuju
ke utara, kira-kira tigaratus tombak tentu akan tiba pada gedung yang diterangi dengan
tiga buah lentera merah yang digantung tinggi. Itulah gedung peradilan Kwat-si-wan. Kirakira
sepuluh tombak disebelah kiri gedung itu terdapat sebuah lapangan yang penuh
ditumbuhi pohon bambu. Setiap anak murid Siauw-lim-si dilarang masuk kesitu. Asal sicu
masuk ke halaman itu, sicu berada disebuah daerah yang aman. Tetapi bagaimana
akibatnya sicu masuk kedalam halaman itu tergantung dari nasib sicu sendiri …..”

Han Ping memungut pedang yang dilemparnya tadi. Kemudian ia menghaturkan terima
kasih kepada paderi alis putih itu, serta menyatakan bahwa ia takkan melupakan budi
bantuan dari paderi tua itu selama-lamanya. Habis itu, Han Ping terus berputar tubuh dan
melangkah ke utara. Tapi sekonyong-konyong paderi tua loncat menghadang jalan.
“Dalam perjalanan nanti sicu tentu akan mengalami rintangan. Ilmu pedang Tuihongkiam
yang sicu miliki, meskipun tergolong ilmu pedang yang termasyur, tetapi jangan
harap dapat mengatasi rintangan-rintangan itu. Loni akan memberi dua buah jurus ilmu
pedang. Di waktu perlu boleh sicu menggunakannya, tetapi sekali-kali jangan melukai
orang!” kata paderi alis putih itu seraya meminta pedang dari Han Ping.
Sambil mengucapkan ilmu pedang itu secara lisan ia mainkan pedang menurut ucapan
itu. Han Ping berotak cerdas, dalam waktu yang singkat ia dapat memahami ilmu pedang
itu.
Sekali lagi ia memberi hormat terima kasih kepada paderi itu, lalu melanjutkan
langkahnya.
Ternyata ia tergesa-gesa sekali untuk mencari gedung yang dikatakan paderi alis putih
tadi. Setiap dirintangi penjaga ia terus langsung menggunakan ilmu pedang ajaran paderi
tua.
Dan hasilnya memang hebat sekali, penjaga-penjaga itu terdesak mundur semua.
Cepat sekali Han Ping sudah dapat melintasi empat rombongan penjaga. Dan akhirnya
tibalah ia di samping gedung Kwat-si-wan. Ia segera membiluk kesebelah kiri, ah,
memang di sebelah muka tampak sebuah lapangan pohon bambu menyerupai hutan kecil.
Tiba-tiba kegirangannya itu dibuyarkan oleh sebuah bentakan dari belakang, “Hai …..,
siapakah berani memasuki daerah terlarang ini?” Semula suara itu terdengar pada jarak
beberapa tombak jauhnya, tetapi ketika mengucap kata-kata terakhir, orang itu sudah
berada dibelakang Han Ping. Ditilik dari gerakannya yang begitu gesit, tentulah pendatang
itu seorang sakti. Saat itu sebenarnya Han Ping hanya terpisah dua tombak dari hutan
pohon bambu. Dalam kejutnya ia enjot tubuh melayang ke hutan bambu itu seraya
tabaskan pedangnya ke belakang.
“Lepaskan!” teriak orang itu dengan murka. Seketika Han Ping rasakan pergelangan
tangannya kesemutan dan terlepaslah pedangnya. Tubuhnyapun terdorong ke bawah oleh
hamburan tekanan tenaga orang itu. “Bluk …..! jatuhlah Han Ping ke tanah. Untunglah
tujuan orang itu hanya memukul jatuh pedangnya. Dan secepatnya Han Ping bergulingan
ke tanah. Ketika mencapai tepi hutan bambu secepatnya ia loncat bangun!
Tetapi tepat pada saat itu juga sesosok tubuh yang terbungkus jubah
bergerombyongan menukik dari udara. Cepatnya bukan kepalang sehingga Han Ping tak
mampu melihat bagaimana keadaan orang itu. Tetapi ia menyadari bahwa orang itu tentu
sakti. Apabila sampai terkungkung dalam kekuasaan serangannya, sukar untuk lolos.
Dengan menghimpun seluruh semangatnya, Han Ping nekad loncat.
“Apakah sicu benar-benar tak mau berhenti dan ingin cari mati?” orang itu membentak
bengis seraya tamparkan tangannya.

Han Ping sedang melayang setombak tingginya. Hanya ada dua pilihan baginya,
menangkis serangan itu atau gunakan ilmu Cian-kin-tui atau Tindihan-seribu-kati, untuk
meluncur turun. Seketika terlintas dalam benaknya bahwa pada saat itulah satu-satunya
kesempatan baginya untuk dapat mencapai hutan bambu, sekalipun harus dibayar dengan
pengorbanan jiwanya. Seketika ia kerahkan seluruh lwekangnya dan mendorong kedua
tangannya menyambut serangan orang itu.
Sesungguhnya posisi Han Ping tidak menguntungkan sekali, ia seperti telur membentur
tanduk. Han Ping rasakan gelombang tenaga pukulan orang itu sedahsyat ombak
mendampar gunung. Jantung pemuda itu berguncang keras, telinganya mengiang-ngiang
dan darahnya bergolak-golak. “Huaaak ….. “ ia muntah darah dan rubuh tak ingat diri lagi.
Entah berapa lama pingsan, tiba-tiba ia rasakan badannya dingin dan tersadar. Ketika
membuka mata, ternyata hari sudah terang tanah. Pakaiannya basah lembab tercurah
embun pagi. Ia bergeliat duduk dan memandang keatas. Ia kesima melihat gumpalan
mega putih berarak di langit. Benar-benar ia asing sekali dengan keadaan disekeliling
tempat itu.
Ditampar-tampar kepalanya untuk memulihkan ingatannya. Helas ….. mengapa otaknya
serasa kosong melompong tak ingat apa-apa lagi? Akhirnya ia bangun, baru berjalan dua
langkah, ia rubuh lagi. Kepalanya seperti tertindih oleh papan besi seribu kati beratnya.
Kedua kakinya terasa lentuk tak bertenaga sama sekali. Akhirnya ia terpaksa berjalan
dengan merangkak …..! Tiba-tiba di dengarnya doa nyanyian pagi, tetapi tak dapat
menemukan ingatannya yang hilang.
Bagian 2
Tawanan.
Tiba-tiba nyanyian itu bernada tinggi dan setelah terdengar ucapan Omitohud, nyanyian
itupun sirap seketika. Han Ping menghela napas lalu duduk ditanah. Saat itu matahari
mulai merayap dipagar tembok, sinar keemas-emasan meningkah darah kental yang
berlumuran di dadanya. Di usapnya pelahan-lahan noda darah itu, ia tertawa rawan lalu
pejamkan mata. Sesungguhnya ia memiliki dasar keyakinan ilmu lwekang yang baik,
sekalipun kehilangan ingatannya, tetapi luka yang dideritanya itu tak sampai
membahayakan jiwanya. Maka mulailah ia menyalurkan hawa dan tenaga murni dalam
tubuhnya. Kira-kira satu jam kemudian, ia mendengar suara orang menghela napas berat.
Ia bangkit dan berpaling ke belakang. Diantara hutan bambu seluas beberapa tombak itu,
tampak tiga buah rumah pondok tua. Pintunya yang berwarna putih dan hitam terkancing
rapat. Pagar tembok pondok itupun sudah tak terawat dan penuh pakis hijau, memberi
kesan yang merawankan.
Suara helaan napas tadi berasal dari dua buah pondok tersebut. Saat itu semangatnya
sudah berangsur-angsur segar kembali. Sekalipun masih susah berjalan, tetapi tidak
terhuyung-huyung seperti tadi. Dengan perlahan-lahan ia menghampiri kedua pondok itu.
Secarik maklumat dilekatkan dengan zegel tulisan pada maklumat itu sudah tak dapat
dibaca lagi. Tetapi andaikata dapat dibacapun, karena ingatannya kosong, ia tentu tak
ingat apa maksudnya. Dan hal itu menyebabkan ia berani menghampiri pondok itu.

Andaikata pikirannya sadar dan mengerti bunyi tulisan pada maklumat itu, pasti nyalinya
jadi ciut!
Dengan pikiran yang kosong ia segera merobek maklumat itu dan melemparkannya ke
tanah.
Kemudian ia mendorong daun pintu dengan kedua tangannya, Braaak ….., sepasang
daun pintu hancur berantakan. Aah ….. kiranya berpuluh-puluh tahun dibenam hujan,
dibakar matahari, daun pintu itu menjadi lapuk. Han Ping melangkah masuk, dan …..
pertama-tama ia disambut dengan hamburan debu tebal sehingga kepala, muka dan
tubuhnya terbaur kotoran debu. Setelah mengibas debu pada pakaiannya, ia mulai
memandang kedalam ruang pondok itu. Di atas sudut ruang penuh dengan sarang labalaba,
hampir dikata seluruh ruang itu penuh debu kotoran. Suatu tanda bahwa tempat itu
sudah lama tak dihuni orang.
Haai ….., tiba-tiba Han Ping terkejut, pandang matanya menangkap dua sinar berkilat.
Dan ketika diamati dengan seksama, ternyata sinar kilat itu berasal dari sepasang mata
seorang manusia yang duduk bersila di atas ranjang kayu di sudut ruang. Dari gumpalan
rambut putih yang menjulai sampai kebahu, orang aneh itu mengenakan jubah warna
kelabu.
Seharusnya Han Ping berteriak kaget dan takut menyaksikan pemandangan yang seram
itu. Tapi karena pikirannya kosong melompong ia bahkan malah maju menghampiri.
Sedikitpun ia tak memiliki rasa takut sama sekali.
Tiba-tiba orang aneh itu membuka mata, sinar yang memancar dari kedua matanya
luar biasa tajam dan berpengaruh sehingga orang tentu akan menggigil ketakutan. Bahkan
Han Ping yang kehilangan ingatannya itu pun menjadi kaget dan berhenti. Sepasang
gundu mata manusia aneh yang berkilat tajam itu menumpah lekat-lekat pada Han Ping,
sehingga pemuda itu serasa terbang semangatnya. Ingin rasanya ia hendak menyurut
mundur saja.
Sejenak rambut orang aneh itu bergoyang pelahan lalu pejamkan matanya lagi. Dan
setelah tertegun sepeminum teh lamanya, akhirnya Han Ping melangkah ke samping
orang aneh itu.
Tanpa membuka mata, sekonyong-konyong orang aneh itu menyambar lengan Han
Ping.
“Pyuur …..,” lengan baju yang digerakkan itu menghambur debu tebal, lengan bajunya
pun ikut hancur lebur. Kiranya, saking bajunya tua sekali jadi lapuk juga. Beberapa jalan
darah Han Ping terasa kesemutan dan rubuhlah pemuda itu di samping orang tersebut.
“Braaak ….” kepalanya terantuk pada ujung ranjang dan ujung ranjang itupun hancurlah.
Sekalipun tak dapat berkutik, tetapi Han Ping masih sadar pikirannya. Ia tak dapat bicara
melainkan memandang orang itu dengan bingung.
Orang aneh itu menghela napas, “Sudah enampuluh tahun loni tak berjumpa dengan
orang ……….”
Jenggotnya berkibar-kibar, suatu pertanda bahwa dia tegang sekali.

Han Ping tak dapat bicara, dan andaikata dapat pun, karena kehilangan kesadaran
otaknya ia tentu tak bicara dengan genah.
Tiba-tiba orang aneh itu ulurkan tangan kanannya, mengusap tubuh Han Ping,
kemudian tangan kirinya pun ikut mengurut-urut. Seketika Han Ping rasakan tubuhnya
disaluri hawa panas yang nyaman. Tak berapa lama tertidurlah pemuda itu. Ternyata
orang aneh itu telah mengobati luka Han Ping dengan menyaluri tenaga murninya.
Peristiwa semalam terlintas dalam benak pemuda itu pula. Masih mengiang dalam
telinganya akan ucapan paderi tua alis putih itu, “Orang itu adalah suheng dari loni,
kecerdasannya menonjol, bakatnya gemilang sekali. Hanya karena suatu kechilapan dia
telah dimasukkan kedalam penjara kuil. Sampai sekarang sudah limapuluh tahun …..”
Bayangan pesan paderi alis putih membangunkan semangat Han Ping. Diamatinya
orang aneh yang tengah duduk bersila diatas ranjang kayu itu dengan seksama.
Rambutnya mengurai panjang sampai ke tubuh, tangan dirangkap ke dada dan mata
dipejamkan. Orang aneh itu tengah bersemedhi mengheningkan cipta.
Kini Han Ping makin yakin bahwa orang aneh yang duduk diatas ranjang itu adalah
tokoh yang disebut oleh paderi tua beralis putih, yakni suheng dari paderi itu yang telah
dipenjara selama enampuluh tahun.
Diam-diam Han Ping menghela napas panjang ….., pikirnya, enampuluh tahun bukanlah
waktu yang sedikit, waktu itu hampir meliputi dua pertiga dari hidup manusia.
Hidup seorang diri dalam kesepian dan pengangsingan selama enampuluh tahun sukar
terlukiskan penderitaan yang dialaminya …..!
Teringat penderitaan itu, tiba-tiba Han Ping teringat akan penderitaan yang dialaminya
sendiri. Rasa sependeritaan nasib itu telah menimbulkan kesan mesra di hati Han Ping,
serentak ia berbangkit dan berlutut memberi hormat kepada orang aneh itu. Ketika
tangannya menjamah ranjang yang diduduki orang aneh itu berhamburan gumpalan debu
membawa hancuran kayu ranjang….., karena sudah enampuluh tahun tak dirawat dan
termakan serangga, maka tempat tidur yang tampaknya masih utuh itu, begitu tersentuh
tangan langsung hancur jadi abu.
Buru-buru Han Ping menarik pulang tangannya seraya berseru, “Wanpwe Ji Han Ping,
menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan lo-cianpwe!”
Orang aneh itu tertawa dingin ….., “Nyalimu besar sekali, berani masuk kedalam ruang
penjara ini ….., hemm….., siapakah yang memberi petunjuk padamu?”
Han Ping terdiam beberapa jenak, lalu menyahut, “Wanpwe mendapat petunjuk dari
Pek Bi (alis putih) lo-siansu supaya menghadap lo-siansu disini guna mohon supaya losiansu
sudi menerima wanpwe sebagai murid.”
“Apa kau bilang? Engkau hendak menjadi muridku?” tiba-tiba orang aneh itu membuka
matanya.

“Wanpwe mempunyai dendam permusuhan sedalam lautan, tetapi tak mampu
membalas dendam itu. Maka wanpwe hendak mohon kepada lo-siansu supaya sudi
mengajarkan beberapa jurus ilmu kesaktian kepada wanpwe.”
Orang itu kembali tertawa, nadanya penuh dengan kehambaran dan keangkuhan.
Kemudian katanya, “Mengajarkanmu beberapa jurus ilmu silat? Ha – ha – ha, benarkah
di dunia ini terdapat hal yang seenak itu?”
“Asal lo-siansu sudi memberi pelajaran silat sehingga wanpwe dapat melakukan
pembalasan sakit hati, wanpwe bersumpah akan melaksanakan apapun yang lo-siansu
perintahkan!” kata Han Ping.
Tiba-tiba orang aneh itu menghela napas rawan, ujarnya. “Apakah pernyataanmu itu
hanya senda gurau atau sesungguhnya?”
“Jika wanpwe sampai inkar janji, biarlah wanpwe mati ditumpas langit dan bumi!”
Han Ping memberi pernyataan dengan tandas.
Tiba-tiba sepasang mata lebar dari orang aneh itu berkilat-kilat menatap Han Ping,
serunya, “Hemm, mereka datang hendak menangkapmu!” habis berkata ia terus pejamkan
matanya lagi.
Han Ping terkejut dan berpaling, dalam lapangan yang penuh ditumbuhi pohon bambu
itu tak tampak barang seorangpun jua. Ia menyangsikan keterangan orang aneh itu.
Tetapi sekonyong-konyong terdengar suara bok-hi (sepasang kayu yang dibenturkan satu
sama lain untuk mengantar doa sembahyang kaum paderi). Menyusul terdengar suara
orang berseru nyaring, “Ciang-bun Hong-tiang tiba!” Ciang-bun adalah pewaris dan Hongtiang
berarti ketua kuil. Berpuluh bayangan melesat kesamping. Dua orang paderi
berjubah kuning dan bertubuh tinggi besar melesat masuk ke dalam sanggar pondok.
Mereka berhenti di depan pintu serta memandang lekat-lekat ke arah orang aneh itu.
Wajah kedua paderi itu menampilkan rasa kejut, mereka tersipu-sipu memberi hormat
kepada orang aneh itu, lalu berdiri di muka pintu dengan tundukkan kepala penuh
kehormatan.
Han Ping memandang kepada kedua paderi yang berdiri di luar pintu itu. Kedua paderi
itu dan kokoh sekali sikapnya. Wajah mereka berseri merah, kedua pelipisnya menonjol
keluar, pertanda dari ahli ilmu lwekang yang tinggi tingkatnya. Han Ping terkejut, cepat ia
merabah punggungnya hendak mencabut pedang. Tetapi ternyata pedang tak ada. Ia
teringat semalam pedangnya telah dihantam jatuh oleh seorang yang diduga tentulah
salah seorang paderi sakti dalam kuil Siauw-lim-si.
Alat bok-hi kembali dibunyikan tiga kali. Dua orang paderi berjubah merah muncul pula
dari balik pagar tembok halaman. Merekapun serupa dengan kedua paderi jubah kuning
tadi, memandang kedalam ruang sanggar, lalu memberi hormat kepada orang aneh itu
kemudian berpencar diri dan berdiri berhadap-hadapan di muka pintu.
Melihat cara mereka loncat dari balik pagar tembok, Han Ping sudah menduga bahwa
kedua paderi itu tentu golongan paderi berkedudukan tinggi dalam kuil Siauw-lim-si. Han
Ping diam-diam menghela napas, nyalinya mulai gentar. Ia merasa tak mungkin menang
melawan salah seorang dari keempat paderi itu. Ia berpaling kearah orang aneh itu, dan

ternyata orang aneh itu masih pejamkan matanya. Sedikitpun tak mengacuhkan peristiwa
yang terjadi diluar pintu sanggar kamar tahanannya.
Serempak pada saat itu, tiga orang berturut-turut loncat masuk dari pagar tembok.
Yang tengah, seorang paderi berjubah kuning dengan garis jahitan benang merah,
sedang yang di kanan kirinya, dua paderi kecil berumur kira-kira 14 – 15 tahun. Yang
sebelah kiri memondong kebut Hud-tim, yang disebelah kanan memegang sebatang
tongkat mustika yang aneh bentuknya. Mereka melangkah perlahan-lahan ke sanggar
tempat tawanan itu. Paderi yang dikawal dua paderi kecil berusia sekitar limapuluhan,
bermuka persegi, telinga lebar dan alis memanjang sampai ke pipi. Sikapnya penuh
wibawa dan bermuka agung.
Han Ping terkejut. Pikirnya, “Paderi ini memiliki kewibawaan yang luar biasa, tentulah
tokoh yang berkedudukan tinggi dalam kuil Siau-lim.”
Pada saat paderi itu tiba dimuka pintu sanggar, keempat paderi yang tegak berjajar di
depan pintu serempak memberi hormat.
“Omitohud!” seru paderi jubah kuning itu sambil merangkap kedua tangannya, “Ciangbun
Hong-tiang angkatan ke 32 Goan Thong, dengan hormat menghadap supeh!”
Habis berkata paderi itupun terus berlutut memberi hormat ke arah ruang sanggar.
Keempat paderi dan kedua paderi kecil itupun serta merta turut berlutut.
Mendengar ucapan itu, jenggot orang aneh itu bergetaran. Dengan masih duduk di atas
ranjang kayu, tubuhnya agak membungkuk dan berseru, “Maaf, karena masih
menjalankan hukuman dari siansu (mendiang guru) terpaksa loni tak dapat menyambut
Ciangbun sebagaimana layaknya!”
Pederi berwibawa yang menyebut dirinya sebagai Goan Theng itu tersenyum lalu
berbangkit, “Murid tak berani …..” tiba-tiba pandang matanya tertumbuk akan maklumat
keputusan hukuman yang telah lenyap dari atas pintu, seketika berobahlah wajahnya.
“Karena terpancang oleh peraturan, murid terpaksa tak dapat sering-sering
menyambangi supeh. Harap supeh suka maafkan,” katanya.
Orang aneh yang dipanggil supeh atau paman guru oleh paderi Goan Thong itu tertawa
hambar, “Dalam hal itu memang bukan salahmu. Tetapi dengan maksud apa engkau
berkunjung kemari ini?”
“Semalam murid telah mendapat laporan dari paseban Kwat-si-wan bahwa seorang tak
dikenal telah menyelundup kelingkungan tempat persemedhian supeh sini. Mengingat
tempat ini merupakan daerah yang dilarang oleh dua orang Ciang-bun Hongtiang dari
angkatan yang terdahulu, maka anak murid Siauw-lim-si tak boleh masuk kemari, apalagi
orang luar. Murid tak berani melanggar tugas, maka murid sengaja mengundang Lok-giokhud-
ciang sebagai lambang dari pimpinan Siauw-lim-si turun menurun untuk menyelidiki
peristiwa ini!” Habis berkata Goan Thong mengambil tongkat Lok-giok-hud-ciang atau
tongkat pusaka kuil Siaulim-si yang terbuat dari batu kumala hijau dari paderi kecil yang
berada disamping kanan.
Lalu mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi diatas kepalanya.

Ternyata walaupun mulut sedang bicara dengan ketua Siauw-lim-si paderi Goan Thong
tetapi orang aneh berambut gimbal itu tetap pejamkan mata. Ia hanya mengandalkan
indra pendengarannya untuk menangkap gerak gerik beberapa paderi yang berada dimuka
pintu itu.
Tetapi demi mengetahui tongkat pusaka Lok-giok-hud-ciang diacungkan keatas,
sekonyong-konyong orang aneh itu serentak membuka mata. Dua kilap cahaya mata yang
luar biasa tajamnya, telah mengejutkan para paderi yang berada diluar ruang. Hanya Goan
Thong yang tetap tenang, sedikitpun wajahnya tak berobah. “Mohon supeh sudi
memandang tongkat pusaka Siauw-lim-si, murid hendak mengeluarkan perintah untuk
menangkap orang itu.” serunya.
Tongkat pusaka Lok-Giok-Hud-Ciang adalah tongkat kepemimpinan kuil Siau-limsi yang
disimpan oleh setiap ciangbun hong-tiang atau pewaris ketua kuil. Tak peduli angkatan
dan golongan paderi Siauw-lim-si yang manapun, begitu berhadapan dengan tongkat
pusaka itu, harus berlutut memberi hormat dan mentaati segala perintah pemimpin kuil.
Oleh karena bukan anakmurid Siauw-lim-si maka Han Ping tak mengerti peraturan
mengenai tongkat pusaka itu. Yang diketahuinya, tongkat itu batangnya memancarkan
cahaya kilau kemilau bercampur gurat-gurat garis merah darah. Tentulah sebatang
tongkat mustika yang jarang terdapat keduanya di dunia.
Kurang lebih sepeminum teh lamanya, orang aneh dalam penjara itu memandang
tongkat mustika, dalam saat-saat itu berulang kali pancaran matanya mengalami
perobahanperobahan. Tiba-tiba memancar sinar kemarahan dan dendam kebencian, tetapi
pada lain saat memancarkan sinar kerawanan dan kedukaan. Akhirnya ia memejamkan
mata lagi, di atas ranjang kayunya ia berlutut memberi hormat. Menyaksikan kepatuhan
orang aneh itu, tersenyumlah Goan Thong. Kemudian ia memberi pesan kepada kedua
paderi yang berjubah merah, “Hou-hwat berdua, silahkan menjatuhkan keputusan kepada
tamu itu!” Kedua paderi jubah merah itupun mengiakan dengan hormat, mereka segera
masuk kadalam ruang penjara dan menghampiri perlahan-lahan ketempat Han Ping.
Ham Ping gugup, ia bingung untuk mengambil keputusan, menyerahkan diri atau
melawan! Sekonyong-konyong telinganya seperti tersusup oleh suara lengkingan tajam,
mirip dengan dengung nyamuk, “Mundurlah kesisi ranjangku ini lalu berdayalah untuk
menangkis serangan mereka, jangan khawatir, betapapun mereka menyerang dengan
hebat engkau tentu tetap selamat.” Suara itu seperti berasal dari jauh, tetapi tiap-tiap
patah kata, melengking jelas ditelinga Han Ping dan anehnya, kedua paderi jubah merah
yang melangkah diambang pintu itu sama sekali tak dapat mendengar. Mereka tetap maju
perlahan-lahan, langkah kakinya amat berat, pertanda memiliki ilmu lwekang tinggi.
Han Ping tak berani berayal lagi, cepat ia menyurut mundur. Punggungnya melekat
pada ranjang kayu, dengan demikian ia seolah-olah melindungi orang aneh yang duduk
dibelakangnya.
Kedua paderi itu memberi hormat dengan membungkuk badan, serunya. “Ketua Siaulim
angkatan ke tigapuluh bersama pejabat bagian Peradilan, Pek Ti dan Pek Kia telah
menerima amanat dari Ciangbun untuk menangkap tamu yang berani masuk ke daerah
terlarang ini, mohon dengan hormat su-cou memberi izin kepada murid sekalian untuk
bertindak …..” habis berkata paderi itupun tundukkan kepala berdiri tegak.

Orang aneh itu menyahut dengan nada dingin, “Karena ciang-bun-jin sudah
mengeluarkan tongkat pusaka sudah tentu loni tak berani melanggar perintahnya. Jika
kalian hendak melaksanakan perintah, silahkan, loni takkan ikut campur!” Karena orang
aneh itu terhalang oleh tubuh Han Ping maka tak dapat terlihat bagaimana perobahan air
mukanya saat itu. Tetapi dari nada ucapannya jelas bahwa orang aneh itu tak senang hati.
Kedua paderi itupun tengadahkan kepala dan menyahut, “Murid hanya sekedar
memenuhi kewajiban sebagai Hou-hwat, sama sekali tiada mempunyai kepentingan
pribadi. Mohon sucou sudi memafkan.”
Paderi yang berdiri disebelah kiri segera bertindak, ia ulurkan tangan untuk
mencengkeram bahu Han Ping.
Han Ping terkejut, belum tangan paderi Peh Ti itu menjamah, angin gerakannnya sudah
menyambar keras sekali, buru-buru ia menampar. Tetapi ternyata Peh Ti memang
menghendaki supaya Han Ping bergerak begitu. Sekali mengisar kesamping kanan,
secepat kilat ia menyambar siku lengan Han Ping. Pukulannya luput, membuat Han Ping
gugup. Ia menyadari bahwa kedudukannya berbahaya sekali, ia hendak menarik kembali
tangannya itu, tetapi sudah tak keburu lagi. Lengan kanannya terasa kesemutan karena
dijepit oleh sepasang jepitan besi. Tenaganyapun serasa lumpuh.
Hou hwat atau Pemegang Hukum yang mengiring Goan Thong itu, terdiri dari murid
angkatan muda yang tinggi kepandaiannya. Mereka memiliki kecerdasan dan bakat yang
terpilih, maka tanpa harus menjalani latihan bersemedhi di ruang Tat-mo-wan selama tiga
tahun, mereka langsung diberi pelajaran ilmu silat oleh Tiang-lo atau tetua kuil. Ilmu
menangkap orang dengan tangan kosong dari paderi Peh Ti itu, merupakan salah satu dari
ke 72 macam ilmu kesaktian kuil Siauw-lim-si. Han Ping bingung menghadapi
cengkeraman istimewa itu, hampir ia putus asa dan hendak menyerah. Tetapi tiba-tiba
punggungnya serasa dijamah tangan orang dan serempak dengan itu serangkum hawa
panas mengalir keseluruh tubuhnya. Perasaannya nyaman, semangat segar dan nyalipun
timbul kembali, ia meronta …..
Peh Ti mengerang tertahan. Paderi yang bertubuh tinggi besar itu telah dilontarkan
sampai empat lima langkah ke belakang. Sudah tentu tangannya yang mencengkram siku
lengan Han Ping, pun terlepas.
Peristiwa itu bukan hanya Peh Ti seorang, pun Peh Kia yang menyaksikan di samping,
ikut terperanjat. Bahkan Goan Thong taysu, ketua siau lim si yang berada beberapa
langkah di belakang mereka, tampak berobah wajahnya. Mereka benar-benar terkejut
bahwa seorang anak muda yang baru berumur 17-18 tahun, ternyata memiliki tenaga
dalam yang sedemikian hebatnya!
“Sicu hebat sekali. Pinto pun hendak minta pelajaran beberapa jurus,” seru Peh Kia
seraya terus ayunkan tangan menampar.
Sesungguhnya Han Ping sendiripun terlongong heran karena mampu melontarkan
paderi Peh Ti. Ia hamper tak percaya atas dirinya sendiri. Ia kaget gelagapan ketika
kepalanya tersambar angin keras. Serangan Peh Kia itu jauh lebih hebat dari Peh Ti.
Disamping luar biasa cepatnya, pun gerakannya hamper tak mengeluarkan suara apa-apa.

Dalam gugupnya karena tak sempat menghindar lagi, Han Ping nekad menangkis.
Krek…. Ketika saling berbentur, seketika Han Ping rasakan tangannya seperti ditindih oleh
sebuah bukit rubuh.
Melihat kegagalan Peh Ti, Peh Kia telah tumpahkan seluruh tenaga dalam pukulannya.
Dalam hal ilmu lwekang, Han Ping terpaut jauh sekali dengan Peh Kia. Sudah tentu ia tak
mampu menahan tekanan paderi itu. Seketika ia rasakan darah dalam tubuhnya bergolak
keras. Kepala pening, mata berkunang-kunang dan tulang lengannya seperti meledak
patah.
Tetapi anak muda itu menyadari. Bahwa sekali ia kendorkan pertahanannya,
gelombang tenaga dari paderi itu tentu akan menghancurkannya. Maka terpaksa ia
bertahan sekuat tenaganya. Tiba-tiba tangan orang aneh yang masih melekat di
punggungnya itu, kembali menekan lekat-lekat. Seketika serangkum hawa hangat
menyusup ke dalam dada. Tenaga murni dalam tubuhnya tumbuh lagi, semangatnyapun
bergelora pula dan uh,… dengan sekuat tenaga ia menyiapkan tangannya ke atas.
Uh… terdengar mulut Peh Kia mendengus perlahan dan tubuhnya mencelat keudara.
Duk… tubuh paderi yang tinggi besar itu membentur dinding tembok. Sedemikian keras
benturan itu sehingga tembok berhamburan gugur….
Pondok atau sanggar hukuman itu sudah berpuluh puluh tahun tak pernah disapu.
Kecuali tiang beranda atau penglari, banyak sudah tiang-tiang lainnya yang lapuk.
Sekaligus 13 batang tiang rusak berguguran jatuh!
Tebalnya debu kotoran yang berhamburan menyelubungi ruangan, telah menyebabkan
paderi Peh Ti, Peh Kia dan Han Ping tak dapat melihat gerak gerik masing-masing. Bahkan
Goan Thong taysu, ketua siau lim si yang tinggi lwekangnya, pun hanya dapat
meneropong keadaan dalam ruang itu secara samar-samar. Dilihatnya Peh Kia menderita
luka yang tak ringan. Setelah membentur dinding, sampai saat itu belum dapat berdiri lagi,
sedang Peh Ti menutupi muka dengan lengan jubah. Tangan kanan disongsongkan
kemuka untuk melindungi Peh Kia. Sementara Han Ping masih tetap duduk bersila sambil
menutupi muka dengan lengannya.
Hampir sepeminum teh lamanya barulah kabut debu itu perlahan-lahan mulai menipis.
Peh Ti cepat mengangkat Peh Kia dibawa loncat keluar. Goan Thong kerutkan alis. Ia
memeriksa luka Peh Kia.
“Organ dalam tubuhnya, menderita goncangan keras. Lukanya tidak ringan. Lekas
bawa keruang Tat-mo-wan dan segera diberi pertolongan,” kata ketua Siauw-lim-si itu.
Setelah Peh Ti melakukan perintah itu, Goan Thong suruh kedua paderi kecil menjaga
diluar pintu. Kemudian dengan mencekal tongkat pusaka Lok-giok-hud-ciang, ia
melangkah masuk kedalam ruang….
Melihat itu buru-buru kedua paderi berpangkat Hou hwat mengikuti, mengawal
disamping kanan kiri ketuanya.
Melihat ketua Siauw-lim-si yang masuk, tergetarlah hati Han Ping. Sikap Goan Thong
taysu memancarkan keperbawaan yang membuat orang jeri dan mengindahkan.

Tiba-tiba tangan si orang aneh yang melekat dipunggungnya itu mengencang dan
telinganya pun terngian suara yang halus, “Lekas lepaskan pukulan. Jangan biarkan dia
mendekat kemari!”
Serentak Han Ping rasakan tubuhnya disaluri lagi oleh suatu aliran hawa panas. Han
Ping tak berani membantah. Ketika ia mengangkat tinjunya, tiba-tiba ia terkesiap
memandang wajah Goan Thong taysu yang berwibawa itu. Tinju yang diangkat itu,
perlahan-lahan diturunkan pula.
Sekonyong-konyong kedua paderi Hou hwat yang mengapit di kanan kiri Goan Thong
taysu itu loncat menerjang. Han Ping terkejut dan serempak songsongkan kedua
tangannya.
Sebenarnya gerakan pemuda itu hanya diperuntukkan menahan kedua paderi. Tetapi
diluar dugaan kedua Hou hwat itu mengerang tertahan dan tubuh mereka terlempar
keudara!
Kejut Goan Thong taysu bukan kepalang. Tongkat pusaka digigit dengan mulut lalu
kedua tangannya menyambuti tubuh kedua Hou hwat tersebut. Gerakan ketua Siauw-limsi
itu memang hebat dan cepat sekali. Tetapi tenaga pendorong kedua Hou hwat itu bukan
olah-olah dahsyatnya. Walaupun dapat menyambuti, tetapi kuda-kuda kaki Goan Thong
taysu tergempur dan terhuyung-huyunglah ketua Siauw-lim-si itu sampai tiga langkah
kebelakang….
Han Ping tercengang-cengang. Benar-benar ia tak percaya akan kemampuan yang
dimiliki saat itu.
“Lekas hantam lagi supaya dia keluar dari ruang ini!” kembali suara lembut seperti
dengung nyamuk itu melengking ditelinganya pula. Dan serempak dengan itu, kembali
aliran hawa panas itu menyalur ke tubuhnya.
Diluar kesadaran, Han Ping segera lepaskan sebuah hantaman kepada Goan Thong
taysu.
Saat itu Goan Thong taysu belum sempat meletakkan tubuh kedua Hou hwat. Karena
tak keburu menangkis, ia kerahkan hawa murni dan busungkan dada menyambut pukulan
anak muda itu.
Tampaknya ringan-ringan saja pukulan Han Ping itu. Namun ternyata suatu peristiwa
yang hebat telah terjadi pada saat itu. Tubuh Goan Thong taysu gemetar. Dadanya serasa
dihantam dengan sebuah palu godam yang ribuan kati beratnya. Darahnya bergolak keras,
kuda-kuda kakinya tergempur dan ketua Siau –lim-si itu dipaksa harus terhuyung mundur
sampai tiga langkah. Setiap telapak kakinya, menimbulkan bekas setengah dim dalamnya.
Dalam kalangan murid Siauw-lim-si angkatan ke 32, Goan Thong lah yang paling sakti
sendiri. Ilmu lwekangnya tinggi, pukulannya dahsyat, Tetapi menerima pukulan dari
seorang anak muda yang tak terkenal, ia dipaksa harus mundur dan muntah darah…
Namun dia adalah seorang paderi yang terkemuka. Walaupun menderita luka tak
ringan, ia tetap tenang. Setelah meletakkan kedua Hou hwat, ia mencekal tongkat pusaka
lagi.

“Murid memang bersalah, berani mengganggu supek. Apapun hukuman yang murid
terima, murid tak penasaran. Tetapi murid telah menerima budi dari siansu (mendiang
suhu) untuk menjabat sebagai ketua ke 32. Dalam rangka melaksanakan tugas itu, murid
selalu taat akan peraturan dan terpaksa harus bertindak. Sanggar tempat kediaman supek
ini, telah dinyatakan sebagai tempat terlarang oleh sucou angkatan ke 30. Setiap murid
Siauw-lim-si dilarang menginjak daerah ini. Maka tidaklah seharusnya kita biarkan seorang
luar masuk kemari. Hal itu bukan saja menodakan nama baik Siauw-lim-si, pun berarti
melanggar maklumat sucou. Karena itu murid terpaksa memberanikan diri untuk
mengundang tongkat Lok-giok-hud-ciang. Tetapi sungguh tak murid sangka, bahwa supek
ternyata melindungi orang itu. Mungkin supek mempunyai alas an dalam tindakan supek
itu. Tetapi muridpun tak berani tinggal diam dan terpaksa hendak mohon tanya kepada
supek. Apakah tindakan supek meminjam tangan orang untuk melanggar amanat tongkat
pusaka, bukan berarti melanggar peraturan kaum kita? Murid sendiri tak berani
menetapkan keputusan maka murid hendak memanggil para tianglo untuk berunding dan
mengambil keputusan. Setelah selesai, murid akan menghadap kemari lagi untuk
menerima hukuman supek…”
Habis berkata, ketua Siauw-lim-si itu terus melangkah pergi.
Ternyata Goan Thong taysu memiliki perasaan yang luar biasa tajamnya. Ketika Han
Ping bertempur melawan Peh Ti dan Peh Kia, sesungguhnya Goan Thong taysu sudah
curiga jangan-jangan supeknya atau orang aneh yang dipenjarakan itu, diam-diam telah
membantu pemuda tersebut. Kecurigaan itu menjadi suatu kenyataan ketika ia sendiri
beradu pukulan dengan pemuda itu. Ia tak percaya pemuda yang baru berumur paling
banyak 20-an tahun itu, mampu memiliki tenaga dalam yang sedemikian dahsyatnya.
Sekalipun belum pernah berhadapan muka dengan supek atau paman guru yang
dipenjara selama 60 tahun itu, namun gurunya pernah menceritakan tentang peristiwa
malang yang menimpa supeknya itu.
Supeknya itu seorang tunas yang berbakat paling gilang gemilang sendiri sejak 10
angkatan ketua Siauw-lim-si. Dalam usia 18 tahun, ketika diadakan ujian ilmu silat
dipasebaan Lo han tong, dia telah menundukkan semua saudara seangkatan dalam
perguruan kuil Siauw-lim-si. Para pelatih dan penguji memberi pujian yang tinggi atas hasil
yang dicapainya.
Pada usia 20 tahun, dia ditugaskan untuk mengembara di dunia persilatan. Sejak 300
tahun yang terakhir, dia adalah paderi yang paling muda usianya yang diizinkan untuk
melakukan tugas berkelana itu. Dalam waktu 2 tahun saja, namanya telah
menggemparkan seluruh wilayah Kanglam dan Kangpak…
Sayang, tunas yang sedemikian cemerlang, karena tak sengaja telah melanggar
pantangan perguruan, telah dijebloskan dalam penjara. Sampai kini Siauw-lim-si sudah
berganti dua kali ketua, dia tetap berada dalam penjara.
Membayangkan akan kemalangan supeknya itu, Goan Thong taysupun menghela
napas. Sejenak ia berhenti dan berpaling memandang ke sanggar pengasingan supeknya
itu. Tampak pemuda itu masih duduk dimuka ranjang kayu, mengalingi supeknya.
Tiba-tiba Goan Thong taysu rasakan dadanya sakit dan hendak muntah darah lagi.
Cepat-cepat ia menekan semangat dan menghilangkan segala kekacauan pikirannya.

Setelah memusatkan seluruh pikirannya dalam beberapa saat, darahnya yang bergolak itu
tenang kembali.
Dengan diiring kedua paderi kecil dan dua orang Hou hwat, ketua Siauw-lim-si itu pun
tinggalkan sanggar pengasingan.
Setelah rombongan Goan Thong taysu lenyap dari pemandangan, barulah Han Ping
membalik tubuh menghadapi paderi tua yang telah membantunya.
“Tanpa bantuan locianpwe, wanpwe tentu sudah hancur binasa,” katanya seraya
member hormat kepada tokoh aneh itu.
Bagian 3
Pertaruhan.
Orang aneh itu tertawa dingin “Agama Buddha, menyanjung peribudi Kebaikan dan
Welas asih. Sekalipun loni tak membantumu, merekapun takkan melukai engkau. Hm,
karena berani masuk kedaerah terlarang dalam kuil Siauw-lim-si, sudah selayaknya engkau
harus menerima penderitaan yang setimpal!” katanya.
Han Ping terbeliak. Bukankah orang aneh itu sendiri yang menyuruhnya melalui ilmu
menyusupkan suara, untuk menghantam rombongan Goan Thong taysu? Mengapa
sekarang ia yang dipersalahkan?
Namun Han Ping tak berani mengutarakan keganjilan itu. Ia diam saja.
Tiba-tiba orang aneh itu menengadahkan kepala dan tertawa nyaring. Nada ketawanya
menggetar urat-urat dijantung dan menegakkan bulu roma Han Ping. Diam-diam pemuda
itu memperhatikan bahwa dalam nada ketawa yang luar biasa dahsyatnya itu, pun
mengandung hamburan rasa kecewa, duka, penasaran dan kemarahan. Sehingga sukar
untuk mengatakan bagaimana perasaan yang sesungguhnya dari orang aneh itu.
Karena tak tahu apa yang harus dilakukan , Han Ping hanya berlutut terlongong
longong….
Kira-kira sepeminum the lamanya, barulah orang aneh itu hentikan tertawanya. Dibalik
hamburan rambut putihnya yang terurai menutup muka, samar-samar Han Ping
memperhatikan bahwa sepasang mata orang aneh itu berlinang-linang airmata….
Han Ping tersirap. Serentak timbullah kesadarannya. Orang aneh yang berada di
hadapannya itu, ternyata menderita kedukaan dan kehampaan batin. Seorang tokoh yang
memiliki kesaktian tiada tandingan didunia, harus menghabiskan masa mudanya dalam
tempat pengasingan yang memisahkan diri dari keramaian dunia. Ah, siapakah yang
takkan kecewa dan putus asa mengalami derita nasib yang sedemikian itu ….?
“Engkau menghendaki ilmu pelajaran apa dari aku?” tiba-tiba orang aneh itu berseru.
Han Ping terkejut dan tersipu-sipu menyahut “Wanpwe ingin mendapat pelajaran dalam
kitab Tat-mo-ih-kin-keng!”

Orang aneh itu gelengkan kepala dan tertawa hambar, “Masakah engkau juga ingin
merasakan derita menghadapi dinding tembok selama 20 tahun ditempat pengasingan?”
“Apa? Harus memakan waktu 20 tahun?” Han Ping terkejut.
Orang aneh berambut gimbal panjang itu tersenyum. Itulah yang pertama kali Han Ping
dapat menikmati senyum simpul yang wajar dari orang aneh itu, Tetapi ketika
memandang dengan seksama, anak muda itu terbeliak kaget. Ternyata wajah orang aneh
itu berwarna merah segar. Dan karena tersenyum, wajahnya makin berseri-seri. Jelas,
orang aneh itu merasa puas dan gembira atas hasil kesaktiannya yang dicapai saat itu.
Sekonyong-konyong seri gembira pada wajahnya itu lenyap seketika. Pancaran
matanya yang bersemangat itupun ikut meredup. Dia menghela napas panjang lalu
pejamkan mata seraya berkata, “Ilmu pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng itu,
termasuk jenis pelajaran lwekang yang tinggi. Jangankan 20 tahun, bahkan 30 tahun
mempelajarinya, belum tentu dapat berhasil. Ketahuilah, ilmu kesaktian yang cemerlang,
bukanlah suatu hasil secara kebetulan. Sekalipun beruntung mendapat hal-hal yang luar
biasa, tetapi juga harus melalui latihan yang keras baru dapat berhasil. Pula ilmu itu
kebanyakan termasuk aliran liar. Jika gagal mencapai kesempurnaan, pasti akan
terjerumus dalam aliran Pian Kek (mengutamakan kekerasan). Suatu hal yang akan
menimbulkan bahaya dikemudian hari. Seumur hidup, loni baru tahu akan seseorang yang
mempelajari ilmu kesaktian dari suatu aliran tersendiri dan berhasil mencapai
kesempurnaan….”
Orang aneh itu berhenti sejenak lalu melanjutkan pula dengan nada yang sarat dan
tubuh agak gemetar: “Dia… dia seorang wanita…”
Han Ping mendengus kejut, “Apa? Apakah di dunia persilatan dewasa ini, masih ada
orang yang melebihi kesaktian locianpwe…?”
Tiba-tiba ia teringat akan derita nasib yang dialaminya selama ini. Ya, kecuali sakti,
musuhnya itu luar biasa ganasnya. Hanya dalam setengah malam saja, orang itu sudah
membunuh 12 orang jago silat yang berilmu tinggi….
Peristiwa berdarah itu, kembali melintas dalam benak Han Ping. Seketika darahnya
bergolak meluap kerongga dada, membanjirkan airmata yang berderai-derai memancur
dari matanya….
Tiba-tiba orang aneh itu ulurkan tangan membelai-belai kepalanya. Hiburnya dengan
penuh kasih saying, “Nak, kutahu engkau tentu menyandang nasib yang menyedihkan
maka engkau nekad berani mencuri kitab Tat-mo-ih-kin-keng kemari. Engkau tentu
hendak belajar ilmu kesaktian agar dapat membalas dendam sakit hati….”
Orang aneh itu berhenti sejenak lalu menyambung pula, “Tetapi hal itu hanya suatu
harapan yang sia-sia, Jangan harap dengan kepandaian yang engkau miliki sekarang ini,
engkau mampu mencuri kitab pusaka Siauw-lim-si. Karena bukan hanya engkau seorang,
tetapi puluhan bahkan ratusan tokoh-tokoh dunia persilatan yang berusaha hendak
mencuri kitab itu, tetapi tiada seorangpun yang berhasil…”
“Tujuan wanpwe hendak belajar ilmu kesaktian itu hanyalah untuk membalas dendam.
Setitik pun wanpwe tak mengandung maksud hendak menguasai dunia persilatan,” kata
Han Ping.

“Ilmu pelajaran dalam kitab itu ditulis dalam bahasa sastra tinggi. Hanya mempelajari
sastra itu saja, engkau harus membutuhkan waktu paling sedikit tiga tahun. Kemudian
untuk mempelajari ilmu itu sampai berhasil, engkau harus bersedia mengorbankan masa
mudamu selama 20 tahun!”
Saat itu Han Ping merasa bahwa yang dihadapinya bukanlah orang aneh yang berhati
dingin dan angkuh, melainkan seorang tua yang ramah dan berbudi.
“Dua puluh tahun bukanlah waktu yang pendek. Pada waktu itu, kemungkinan
musuhmu itu sudah tak berada di dunia lagi,” kata orang aneh itu pula.
“Kalau begitu, dalam hidup sekarang ini wanpwe tiada mempunyai harapan untuk
membalas sakit hati?”
Orang aneh itu merenung beberapa jenak.
“Ilmu Pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng itu, sekalipun luas dan dalam sekali.
Tetapi tak dapat digunakan secara nyata untuk mengalahkan musuh. Karena sukar untuk
memilih dan meyakinkan bagian pelajaran ilmu silat yang mana yang sesuai. Dengan
begitu sukarlah untuk meyakinkannya secara memilih, tetapi harus secara menyeluruh
semua. Maka sukarlah harapanmu itu dapat terlaksana.”
Dari ribuan li jauhnya, Han Ping menempuh perjalanan. Tanpa menghiraukan segala
kesukaran dan jerih payah. Tujuannya semata-mata hanya hendak mencuri kitab pusaka
yang termasyur itu. Tetapi setelah mendengar penjelasan dari orang aneh itu,
semangatnya serasa tersiram air dingin.
“Kalau begitu, sia-sia saja wanpwe hendak mempelajari kitab pusaka itu?” ia menegas.
“Sesungguhnya dalam perguruan kuil Siauw-lim-si ini banyak sekali ilmu pelajaran silat
yang sakti. Engkau berhasil memahami beberapa macam ilmu silat yang dapat digunakan
secara nyata, jauh lebih berguna daripada mencuri kitab Tat-mo-ih-kin-keng itu!” kata
orang aneh itu pula.
“Musuh wanpwe itu adalah jago nomor satu dalam dunia persilatan hitam dewasa ini.
Ilmu kepandaian sakti, ganasnya bukan kepalang dan kakitangannya pun berjumlah
banyak sekali. Dia seorang yang licin dan kaya akan tipu muslihat!”
Orang aneh itu menghela napas. Ujarnya, “Sudah 60 tahun loni tinggal disanggar ini.
Loni sudah dapat memahami semua pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng itu. Tetapi
saat ini loni tak merasa yang paling menang sendiri dalam dunia persilatan. Sekalipun loni
rela untuk melanggar peraturan perguruan memberikan pelajaran kepadamu, tetapi belum
tentu engkau berhasil membalas sakit hatimu….” tiba-tiba ia pejamkan kedua mata dan
diam merenung.
Sesaat tampak rambut dan jenggotnya bergetaran. Ubun-ubun kepalanya
mengeluarkan uap. Agaknya dia tengah berjuang untuk memecahkan suatu kesulitan.
Han Ping mulai gelisah. Ia merasa saat itu merupakan detik-detik yang menentukan
dalam hidupnya. Mungkin ia beruntung akan mendapat warisan pelajaran dalam kitab Tatmo-
ih-kin-keng yang termahsyur. Atau mungkin dia akan diusir oleh orang aneh itu!

Tiba-tiba orang aneh itu menghela panjang. Sikapnya yang tegang, perlahan-lahan
tenang kembali. Perlahan-lahan ia membuka mata dan berkata, “Perobahan selama 60
tahun, telah membuat dunia persilatan melupakan loni. Lonipun sudah tersingkir dari
dunia keramaian. Sayang masih ada suatu hal yang belum dapat terlaksana sehingga
mengganggu ketenangan hati loni dalam persiapan menuju ke alam yang kekal….”
Tiba-tiba suara genta bertalu, memutuskan ucapan si orang aneh yang belum selesai
itu. Han Ping tegang sekali dan wajah orang aneh yang sudah tenang itu kembali
meregang pula.
“Genta itu merupakan pertandaan memanggil sidang darurat. Para tianglo dan kepala
bagian dari Siauw-lim-si akan berkumpul di ruang Tat-mo-wan untuk merundingkan
keputusan mengenai diri loni,” kata orang aneh itu setelah genta berhenti bertalu.
“Locianpwe adalah supek dari ketua Siauw-lim-si yang sekarang. Masakan mereka
berani akan menindak locianpwe?”
Orang aneh itu tertawa hambar, “Memang peraturan Siauw-lim-si memisahkan tajam
sekali garis perbedaan antara orang muda dan tua. Tetapi kedudukan seorang Ciangbujin
diatas semua kaum dan tingkat angkatan. Tadi memang aku kelewat keras menggerakkan
tangan sehingga mulutnya sampai berdarah. Hal itu memang tak seharusnya terjadi. Asal
dia memerintahkan, Paderi-paderi tinggi dari tingkat Hui, Goan, Peh dan Thian tentu akan
segera menyerang loni!”
Han Ping terkesiap. Paderi Siauw-lim-si berjumlah ribuan orang. Paderi-paderi berilmu
tinggi yang termasuk dalam ke 4 angkatan itu, ratusan jumlahnya. Jika mereka maju
serempak, sekalipun pendiri Siauw-lim-si yakni Tat Mo hidup kembali, juga tak mungkin
mampu melawan. Dengan demikian gentinglah keadaan orang aneh itu ….
Diluar dugaan orang aneh itu tertawa meloroh, “Ho, anak muda, marilah kita bertaruh!”
Han Ping terbeliak, “Bertaruh? Locianpwe hendak bertaruh apa? Baiklah, wanpwe
menurut saja!”
“Pertaruhan ini mudah sekali. Duduklah, nanti kita bicara dengan tenang!”
Karena sikap orang aneh itu begitu tenang sekali menghadapi ancaman bahaya,
semangat Han Ping pun timbul. Segera ia mengambil tempat duduk.
Orang aneh itu tak segera berkata melainkan berkeliaran memandang ke sekeliling
ruang. Rupanya dia belum bersedia apa yang harus dipertaruhkan. Tetapi sampai
beberapa saat, dia belum mendapatkan sesuatu.
Han Ping makin tercengang. Menurut anggapannya, kepandaian orang aneh itu telah
mencapai tingkat sempurna, Sembarang saja dia mengatakan acara pertaruhan itu,
tentulah akan menang. Tetapi mengapa orang aneh itu seperti mendapat kesulitan?
Tiba-tiba orang aneh itu kebutkan tangan kirinya kemuka Han Ping. Seketika Han Ping
rasakan matanya gelap tersambar angin. Buru-buru ia menutup kelopak matanya. Ketika
beberapa saat membuka mata lagi, orang aneh itu tertawa tergelak-gelak.

“Rasanya cara inilah yang paling adil. Cobalah terka, benda apa yang tergenggam
dalam kedua tanganku ini?” katanya.
Han Ping mengamati orang aneh itu. Memang kedua tangan orang itu menggenggam,
wajahnya berseri gembira. Rupanya dia gembira sekali atas cara pertaruhan yang
dilakukan itu.
Han Ping pun turut tersenyum senang. Pada saat ia hendak membuka mulut menerka
sejadinya, tiba-tiba orang aneh itu menyurut senyuman tawanya dan berkata dengan nada
bengis.
“Ingat, pertaruhan ini membawa akibat yang besar bagimu! Jika engkau menerka
salah, segera kuhalau engkau dari sini. Selanjutnya jangan harap loni mau menurunkan
pelajaran ilmu silat kepadamu!”
Tiba-tiba terdengar genta kuil bertalu tiga kali gema suaranya berkumandang
menembus telinga, menyusup dinding tembok.
Gema talu genta itu belum reda, sekonyong konyong dari luar sanggar terdengar suara
orang dalam nada perlahan tetapi sarat, “Apakah selama ini toa-suheng sehat sehat saja?
Siaute datang hendak menjenguk toa-suheng.”
Wajah orang aneh itu serentak berobah.
“Buddha serba pemurah. Selama ini aku sehat walafiat. Kapan sute kembali ke kuil?”
sahutnya dengan nada dingin.
Terdengar suara helaan napas yang panjang. Dan sebelum helaan napas itu reda,
orangnyapun sudah tiba di muka pintu sanggar.
Seorang paderi tua sekitar umur 80 tahun, berjubah kelabu, tengah berdiri dimuka
pintu.
“Sudah tiga hari ini siaute dating,” sahutnya.
“Apakah sute membawa perintah dari Ciangbujin untuk menangkap aku?”
“Omitohud! Siaute tak berani melakukan hal itu.”
“Jika perintah itu diberikan atas nama tongkat pusaka Kumala Hijau, apakah engkau
membangkang?”
Paderi tua itu terkesiap, sahutnya, “Itu lain pula persoalannya. Sudah tentu siaute tak
berani!”
Orang aneh itu tertawa, serunya, “Kalau tak mengemban titah tongkat Kumala Hijau,
silahkan sute tinggalkan tempat yang terlarang ini agar jangan mendapat hukuman…” kata
orang aneh itu seraya tak menghiraukan si paderi tua, terus berpaling kepada Han Ping.
“Jika engkau dapat menerka, loni akan meluluskan permintaanmu itu ….!”

Jilid 2 Hui Gong Thaysu, mewariskan ke Han Ping
Han Ping seorang pemuda cerdik. Ia cukup menyadari pentingnya pembicaraan itu.
Berhasil atau gagalnya usaha untuk mendapat ilmu kesaktian tergantung pada pertaruhan
itu. Ia membenam diri dalam kepukauan. Sampai beberapa saat, ia tak mau bicara.
Dalam pada saat itu karena diperlakukan begitu dingin oleh suhengnya, paderi Hui Ko
tersinggung perasaannya. Ia masih teringat akan budi kebaikan suhengnya yang telah
banyak tercurah kepadanya. Adakah budi kebaikan itu harus hapus dalam sekejap karena
mentaati perintah pemegang Tongkat Kumala Hijau?
Ah… Beberapa butir airmata menitik dari sudut mata paderi itu. Dengan hati pedih, ia
undurkan diri.
Han Ping memandang kesekeliling ruang dengan teliti. Mudah-mudahan ia dapat
memperoleh sesuatu yang bisa membantunya memecahkan benda yang tergenggam di
tangan paderi aneh itu.
Tiba-tiba segumpal debu berguguran dari atas. Ketika menengadah, Han Ping meilhat
seekor kelelawar terbang melayang. Seketika timbullah pikiran Han Ping.
“Bukankah locianpwe menggenggam seekor kelelawar?” serunya serentak
Tubuh paderi aneh berambut panjang itu agak gemetar. Seketika ia membuka
genggaman tangannya dan benarlah. Seekor kelelawar terbang melayang.
Melihat itu girang Han Ping bukan kepalang. Tetapi ketika berpaling memandang kea
rah paderi aneh itu, ia melihat suatu perobahan pada wajahnya. Sambil merangkapkan
kedua tangan, paderi tua itu tengah berdoa dengan suara perlahan. Entah apa yang
diucapkan dalam doanya itu, Han Ping tak dapat menangkap.
Berapa saat kemudian, orang aneh itu turunkan kedua tangannya dan tertawa, “Nasib
dan jodoh memang sudah suratan takdir. Karena engkau menang, silahkan mengatakan
apa kehendakmu. Sedapat mungkin loni tentu akan melakukannya. Waktunya tinggal
sedikit, loni hanya mengusahakan, gagal atau berhasil tergantung dari bakat dan
rezekimu!”
Han Ping menyadari bahwa tak lama lagi, paderi Siau-lim-si tentu akan menyerang
sanggar itu. Tempo tinggal sedikit sekali.
“Murid ingin belajar ilmu lwekang dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng,” sahutnya.
Seketika wajah orang aneh itu berubah muram. “Adalah karena sudah berjanji dalam
pertaruhan tadi, maka loni akan memberimu pelajaran ilmu sakti. Diantara kita tidak
terikat hubungan guru dan murid. Kelak apabila engkau keluar didunia persilatan, engkau
bebas menggunakan ilmu itu tetapi sekali-kali jangan mengatakan bahwa engkau anak
murid Siau-lim-si!”
Han Ping tertegun, Akhirnya ia membenarkan pernyataan orang aneh itu. Memang ilmu
kesaktian yang menjadi pusaka warisan kuil Siau-lim-si tentu takkan sembarangan

diajarkan kepada orang luar. Hal itu tentu menjadi pantangan dalam peraturan kuil Siaulim-
si.
“Baiklah, locianpwe. Wanpwe akan mentaati pesan locianpwe itu,” sahutnya.
Wajah orang aneh itu tampak tenang kembali. Dengan tersenyum ia berkata, “Mari kita
bertaruh lagi, setujukah engkau?”
Han Ping kerutkan dahi. Ia heran mengapa orang aneh itu gemar sekali bertaruh.
Diam-diam ia menimang, “Tanpa terduga-duga, tadi aku telah beruntung menang. Tetapi
kalau sekarang ini kalah, apakah dia hendak berganti haluan? Apakah dia hendak
membatalkan keputusannya untuk memberi pelajaran ilmu silat kepadaku?”
Tiba-tiba orang aneh itu tertawa, “Jangan banyak prasangka. Pertaruhan tadi tetap
berlaku dan loni tetap akan memberimu pelajaran ilmu sakti. Pertaruhan kali ini lain lagi
hadiahnya. Jika engkau menang, loni akan memberimu sebuah pusaka untuk engkau
gunakan membalas dendam. Tetapi jika loni yang menang, loni hanya akan minta engkau
supaya mencari jejak dari seorang sahabat loni. Beritahukan kepadanya tentang keadaan
loni selama ini….”
Berkata sampai disini orang aneh itu berhenti dan pejamkan mata. Wajahnya menampil
kerut kedukaan dan mulutnya segera mengucap doa dengan perlahan, “Buddha yang
welas asih, maafkanlah dosa murid!”
Han Ping menduga, orang yang hendak dicari itu tentulah mempunyai hubungan yang
luar biasa dengan orang aneh itu.
“Urusan semudah itu, mengapa locianpwe perlu mengajukan pertaruhan? Sudilah
locianpwe memberitahu namanya. Jika wanpwe berhasil keluar dengan selamat dari kuil
ini, wanpwe tentu akan mencarinya sampai ketemu!” cepat ia memberi pernyataan.
Orang aneh itu gelengkan kepala, “Seumur hidup loni belum pernah minta tolong pada
orang. Apalagi dalam keadaan seperti yang kita hadapi sekarang ini. Maka hanya dengan
jalan bertaruhlah, cara yang paling baik!”
“Kalau locianpwe tetap menghendaki begitu, silahkan mengatakan acara pertaruhan
itu,” akhirnya Han Ping mengalah.
“Ah, tidak adil!” kata orang aneh itu, “tadi aku yang membuat acaranya, sekarang
giliranmu yang mengatakan acaranya!”
Han Ping berpikir sejenak. Ia merogoh kedalam saku dan mengeluarkan dua buah
uang, katanya, “Dua buah uang ini setelah masuk kedalam saku lagi, akan wanpwe rogoh.
Silahkan nanti locianpwe menebak, berapa biji uang yang tergenggam dalam tangan
wanpwe itu. Jika tepat, locianpwe menang.”
“Bagus, cara itu juga adil. Hayo, lekas mulai!” kata orang aneh itu serentak
mengatupkan mata.
Sebenarnya Han Ping hendak sengaja member kesempatan agar gerakannya
menggenggam uang itu dapat diketahui si orang aneh. Tetapi ia terkejut sekali ketika
melihat orang aneh itu pejamkan mata.

“Ah, paderi tua ini benar benar aneh dan jujur sekali wataknya. Dengan tak mau
melihat gerakan tanganku, pertaruhan ini hanya mengandal pada keberuntungan. Ah,
bagaimana caranya agar dia sempat melihat gerakan tanganku nanti,” diam-diam ia
membatin dan merancang rencana.
Tiba-tiba ia mendapat akal. Di waktu tangan kanannya merogoh uang disaku, ia akan
sengaja membenturkan kedua uang logam itu agar berbunyi. Dengan demikian paderi
aneh yang sakti itu tentu dapat menangkap suara benturan uang itu dan dapat menerka
dengan tepat.
Rencana itu cepat dilakukan dengan cermat. Kemudian berseru, “Silahkan locianpwe
menerka, berapa biji uang yang wanpwe genggam ini!”
Tanpa membuka mata, orang aneh itu berseru, “Hanya sebuah…”
“Benar, locianpwe menebak jitu…” dengan cepat ia mengembalikan uang ke dalam
saku lagi. Padahal yang digenggam itu bukan sebuah uang logam melainkan dua buah.
Tiba-tiba orang aneh itu menyambar tangan kanan Han Ping. Seketika Han Ping
rasakan tangannya kesemutan dan terbukalah genggamannya. Dua buah uang logam
jatuh berkerincingan di lantai….
Wajah orang aneh itu berubah, ia menghela napas, “Ah, hatimu terlalu jujur, Loni telah
memutar balik kenyataan…” ia lepaskan cengkramannya dan berkata pula, “Takdir sudah
menentukan begitu. Tak perlu engkau memikirkan hal itu. Lekas pusatkan perhatian dan
pikiranmu. Lenyapkan segala keresahan hatimu. Loni segera hendak memaparkan ilmu
pelajaran Mengendorkan urat, Membersihkan tulang, dan Mengosongkan pikiran dalam
kitab Tat-mo-ih-kin-keng!”
Habis berkata orang aneh itu cepat mengangkat tangan kanan dan dilekatkan pada
jalan darah di kepala Han Ping. Seketika Han Ping rasakan suatu aliran hawa panas
menyusup ke dalam ubun-ubun kepala terus menyalur keseluruh tubuh. Buru-buru ia
kerahkan semangat untuk menyambut penyaluran itu. Tiba-tiba ia rasakan pikirannya
jernih dan terang sekali.
Mulailah orang aneh itu mengajarkan pelajaran lwekang dalam kitab Tat-mo-ih-kinkeng
secara lisan.
“Lima indra menengadah ke langit, semua perhatian dipusatkan satu. Salurkan dan
lakukan pernapasan untuk menembus buku-buku tulang belulang, menguatkan urat-urat
nadi, merobah yang lemah menjadi kuat….”
Baru orang aneh itu mengucap sampai disitu, tiba-tiba lonceng berdentang nyaring.
Doa pujian bergema. Pemusatan pikiran Han Ping goyah lagi.
Orang aneh itu menghela napas, “Paderi Siau-lim-si dari empat angkatan Hui, Goan,
Pek dan Thian sudah siap diluar pondok ini. Menilik gelagatnya, sukar terhindar dari
pertempuran dahsyat. Jika engkau tak mampu menenangkan pikiranmu dari gangguan
gemerincing senjata, akupun sukar menjadikanmu!”

“Jangan kuatir, locianpwe,” buru-buru Han Ping memberi janji, “aku akan berusaha
sekuat mungkin untuk menenangkan pikiranku!”
Tetapi tugasmu berat sekali. Entah engkau mampu melaksanakan atau tidak.
Tergantung dari bakat dan rezeki” kata orang aneh itu, “karena disamping harus melawan
serangan mereka, engkaupun harus mampu menangkap pelajaran lisan yang kuberikan
tentang ilmu Penguasaan Pikiran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Jika lengah atau keliru
menangkap, bukan saja jerih payahku akan sia-sia, pun engkau sendiri, mungkin akan
menderita akibat yang tak diinginkan!”
Tiba-tiba lonceng dan suara puji doa dari paderi sirap. Dan dari luar sanggar terdengar
suara orang berseru lantang, “Ketua Siau-lim-si ke 32, bersama anakmurid empat
angkatan Hui, Goan, Pek dan Thian, telah datang menghadap disanggar Hui-sim-sian-wan.
Murid telah diutus untuk menyampaikan berita, mohon Hui Gong cousu sudi menyambut
kedatangan ketua kita!”
Dengan tenang orang aneh itu menyahut, “Sudah 60 tahun lamanya gelaranku tiada
orang yang menyebut.”
“Ah, apakah locianpwe yang bergelar Hui Gong siansu?” Tanya Han Ping. Samar-samar
ingat ia akan keterangan seseorang. Nama itu amat berkesan dalam sanubarinya.
Paderi tua berambut panjang yang ternyata Hui Gong siansu, tidak menyahut
pertanyaan si anak muda. Tetapi ia menjawab pertanyaan orang yang berseru diluar
pondok, “Maaf, aku masih menjalani hukuman. Tak dapat menyambut kedatangan ketua!”
Diluar pondok tiada penyahutan. Kira-kira sepeminum teh lamanya, baru kedengaran
suara orang berseru nyaring, “Atas nama tongkat Kumala Hijau, ketua membebaskan
hukuman yang diberikan ketua Siau-lim-si ke 30 yang dahulu dan mengundang Hui Gong
sucou supaya menyambut kunjungannya!”
Sambil masih duduk diatas tempat tidur, Hui Gong memberi hormat, “Aku tetap tak
berani melanggar hukuman yang diberikan mendiang guru. Maka terpaksa tak dapat
menyambut keluar, melainkan dari tempat tidur sini saja!”
Bum…. Tiba tiba pintu pondok Hui-sim-sian-wan yang selama 60 tahun tertutup,
didobrak pecah.
Hui Gong berobah wajahnya. Ia membisiki Han Ping, “Lekas pusatkan pikiranmu.
Jangan terpengaruh oleh keadaan di sekeliling. Dengarkan baik-baik uraianku tentang isi
kitab Tat-mo-ih-kin-keng!”
Memandang kemuka, Han Ping melihat sejumlah besar paderi menerobos masuk ke
dalam ruangan.
“Lekas pejamkan mata!” tiba-tiba Hui Gong lekatkan tangannya ke punggung Han Ping.
Anak muda itupun pejamkan mata dan pusatkan pikirannya.
“Mata dipejam, pikiran dikosongkan. Satukan perhatian, salurkan hawa. Setelah hawa
mempersatukan semangat, salurkanlah ke seluruh jalan darah di tubuh. Kemudian
kosongkan semangat dan pusatkan dalam pikiran ….”

Demikian Hui Gong mulai member pelajaran ilmu lwekang dalam kitab Tat-mo-ih-kinkeng
secara lisan. Oleh karena kata-kata dalam kitab itu sukar dimengerti, Hui Gong
mengulang dan menjelaskan setiap patah kata dan cara cara penggunaannya.
Han Ping memiliki dasar latihan lwekang yang baik dan otaknyapun cerdas. Dia dapat
menangkap keterangan paderi tua itu dan mencatatnya dalam hati.
Hui Gong memberi penjelasan dengan cara yang mudah dimengerti. Ringkas, jelas.
Sekonyong-konyong dua buah tangan yang kuat, mencengkram kedua siku lengan
pemuda itu. Karena sedang menumpahkan pikiran, baik Hui Gong maupun Han Ping, tak
mengetahui sama sekali akan kemunculan orang yang tahu-tahu mencengkram siku
lengannya itu.
Han Ping meronta tetapi cengkraman itu makin mengencang laksana capit baja yang
kokoh. Makin meronta makin celaka.
Seketika Han Ping rasakan tubuh lunglai tiada bertenaga. Tulang sikunya serasa
pecah….
Ketika mengamati, ternyata dua orang paderi mengapitnya di kanan kiri dan
mencengkram lengannya.
“Nyalimu besar sekali, berani menyelundup ke daerah terlarang kuil ini….,” paderi yang
di sebelah kanan mendengus.
Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu Han Ping menampar
kebelakang. Sudah dua kali ia mendapat bantuan dari Hui Gong siansu. Ia sudah
mempunyai pengalaman.
Kedua tangan ditarik dan didorongkan. Seketika kedua paderi itu mendesah dan
terhuyung-huyung beberapa langkah lalu jatuh terduduk….
Memandang ke pintu, Han Ping melihat ketua Siau-lim-si yakni Goan Thong taysu
sedang tegak berdiri mencekal tongkat Kumala Hijau, tongkat kepemimpinan Siau-lim-si.
Di sebelah kirinya tampak paderi tua alis putih yang dijumpai Han Ping semalam. Paderi
yang memberi petunjuk untuk menjumpai Hui Gong siansu.
Sedang disebelah kanan ketua Siau-lim-si itu seorang paderi tua berjubah kelabu
berumur 80-an tahun. Dia adalah adik seperguruan dari Hui Gong, yakni Hui Koh siansu,
paderi yang disuruh menyampaikan berita kepada Hui Gong siansu tadi.
Sementara dibelakang ketua Siau-lim-si itu berjajar 4 orang paderi tua yang rata-rata
berumur 60-an tahun mengenakan jubah warna merah tua.
Selain itu masih terdapat tiga deret rombongan paderi yang mengiringi disekeliling
ketua Siau-lim-si itu. Setiap deret dengan lain deret, baik umur dan warna jubahnya
berbeda satu sama lain.
Mereka adalah paderi paderi sakti dari tiga angkatan Goan, Pek dan Thian. Paderi
angkatan Hui, karena sudah tua-tua dan banyak yang meninggal, hanya tinggal Hui Gong,
Hui In, Hui Koh dan Hui Seng empat orang.

Karena Hui Gong dipenjara, Hui Seng menjadi kepala bagian Perpustakaan, maka hanya
Hui In dan Hui Koh yang menemani ketua Siau-lim-si kesanggar tempat Hui Gong
dipenjara situ.
Goan Thong ketua Siau-lim-si tertawa dingin, “Goan Thong, ketua Siau-lim-si yang ke
32, dengan hormat menghadap Supek!”
Ketua Siau-lim-si itu menjura memberi hormat.
Hui Gong si paderi aneh, tertawa, “Sudahlah, aku tak berani menerima penghormatan
sedemikian besar!”
Hui In dan Hui Koh melangkah ke muka dan berlutut, serunya, “Hui In dan Hui Koh
menghaturkan hormat kepada suheng!”
Hui Gong lambaikan tangannya berseru tawa “Pada waktu mendiang suhu
menjebloskan aku di sanggar Hui-sim-sian-wan sini, kalian tentu menyaksikan, bukan?”
Hui In dan hui Koh berbangkit, “Kala itu suhu sedang murka, sute tak berani buka
suara sehingga suheng harus mengalami penderitaan selama 60 tahun…”
“Titah guru tak boleh dilanggar. Sekalipun mendiang suhu telah menghukum diriku,
tetapi sedikitpun aku tak mempunyai rasa dendam,” tukas Hui Gong.
“Pada waktu Ji Suheng diangkat jadi ketua, pernah kami berdua mohon kepadanya
supaya membebaskan suheng. Tetapi Ji Suheng mengatakan tak berani melanggar
keputusan almarhum suhu….”
Tiba-tiba Hui Gong tertawa gelak-gelak, “Adalah karena almarhum suhu kelewat cinta
kepadaku maka dia menghukum aku seberat-beratnya. Ji Sute tak salah. Dia hanya
mentaati perintah suhu…”
Paderi aneh itu berhenti sejenak lalu menghela napas, “Selama 60 tahun dalam penjara
ini, sudah kuhapus segala rasa budi-dendam. Dalam hidupku sekarang, aku tak mau pergi
dari pondok ini …”
Tiba-tiba sepasang mata paderi aneh itu berkilat-kilat memandang Goan Thong,
katanya pula, “Pada waktu suhumu menyerahkan kedudukan ketua kuil kepadamu,
apakah dia meninggalkan sesuatu pesan kepadamu?”
“Pada waktu itu almarhum suhu hanya menyerahkan Tongkat Kumala Hijau pada
murid. Lain-lain pesan tidak ada!” kata Goan Thong.
Hui Gong tertawa dingin, “Pada waktu kakek gurumu menyerahkan kedudukan
pimpinan kuil kepada gurumu, apakah engkau juga hadir?”
“Atas perkenan kakek guru, murid diizinkan hadir!”
“Jika begitu, engkau tentu mendengar apa pesan yang ditinggalkan kakek gurumu?”

Goan Thong merenung sejenak lalu menyahut dengan tegas, “Rasanya kecuali
menyerahkan tongkat pusaka itu, kakek guru tak meninggalkan pesan apa-apa lagi.”
“Benarkah itu?” Hui Gong tertawa hambar.
“Murid tak berani membohong pada supek,” sahut Goan Thong.
Tiba-tiba Hui Gong tertawa panjang. Rambutnya bergetar-getar. Beberapa lama
kemudian, baru ia berhenti tertawa dan menghela napas. Katanya seorang diri, “Kalau
begitu, apakah suhu benar-benar melupakan aku?”
Heran Hui In melihat nada ucapan suhengnya itu. Segera ia bertanya, “Jika suheng
mempunyai kesulitan dan kandungan hati, maukah memberitahukan kepada kami? Aku
berjanji akan melaksanakan sekuat tenaga apa yang menjadi keinginan suheng!”
Dengan kata-kata itu, Hui In hendak memperingatkan Hui Gong, bahwa waktu tinggal
sedikit sekali. Sekali Goan Thong memberi perintah dengan Tongkat Kumala Hijau maka
paderi paderi sakti dari empat angkatan yang berada disitu tentu akan segera menyerang
Hui Gong.
Peristiwa yang terjadi benar-benar diluar perhitungan Hui In. Maksudnya memberi
tunjuk kepada Han Ping tentang sanggar penjara itu, adalah karena ia hendak meminjam
tangan pemuda itu untuk menyingkirkan surat keputusan hukuman yang terpancang pada
gedung penjara itu. Dengan demikian Hui Gong, kakak seperguruannya itu, mempunyai
kesempatan melarikan diri.
Tetapi ternyata Hui Gong tak mau melarikan diri dan kini ketua Siau-lim-si dengan
membawa tongkat Kumala Hijau telah memimpin paderi paderi sakti dari empat angkatan
untuk mengurung sanggar penjara.
Dalam kedudukan sebagai angkatan Hui, sesungguhnya Hui In mempunyai kedudukan
yang tinggi. Tetapi sekalipun begitu ia tak berani membangkang perintah yang
diamanatkan oleh Tongkat Kumala Hijau. Tongkat itu merupakan lambang pusaka
kekuasaan yang tertinggi dalam kuil Siau-lim-si. Barang siapa berani menentang akan
dianggap murtad atau berhianat!
Hui Gong tertawa hambar, “Sejak mendiang suhu menjebloskan aku disanggar Hui-simsian-
wan ini, tempat ini merupakan daerah terlarang dari kuil kita. Paderi paderi murid
Siau-lim-si dilarang datang kemari. Walaupun Goan Thong sutit menjadi ketua Siau-lim-si,
tetapi juga tak boleh melanggar larangan ini. Apalagi berani memberi perintah
membobolkan pintu sanggar Hui-sim-sian-wan yang tertutup selama 60 tahun….”
Tiba-tiba Hui Gong berubah wajahnya dan berserulah ia dengan bengis, “Surat
keputusan hukuman yang tertempel pada pintu pondok ini, harus dijaga baik-baik. Anak
murid Siau-lim-si yang berani menghancurkannya berarti melanggar keputusan para
leluhur pemimpin kuil!”
Nyaris dan tegas sekali Hui Gong melantangkan kata katanya itu sehingga para paderi
yang berjajar diluar sanggar tampak berobah wajahnya.
Goan Thongpun terkesiap. Tetapi pada lain kejap ia berseru marah, “Setelah mendapat
kepercayaan dari mendiang kakek guru untuk menjabat ketua yang ke – 32, sudah tentu

murid tak dapat berpeluk tangan tak menghiraukan urusan penting yang terjadi dalam
kuil ini. Dengan mengandalkan kedudukan sebagai angkatan tua, supek menghina murid
dan menentang perintah Tongkat Kumala Hijau. Supek melindungi dan membantu orang
luar, melukai beberapa murid kuil. Tindakan supek itu merupakan tindak pidana yang
belum pernah terjadi dalam sejarah berdirinya kuil ini. Oleh karena itu terpaksa murid
memanggil para tetua dan kepala-kepala bagian untuk memusyawarahkan fasal-fasal
pelanggaran dan hukumannya. Menurut keputusan permusyawarahan besar itu, supek
ternyata dianggap bersalah karena melanggar empat macam larangan kuil. Salah satu
yang paling berat adalah berani melanggar perintah Tongkat Kumala Hijau. Kesalahan itu
sudah cukup harus ditebus dengan tindakan bunuh diri di hadapan arwah para leluhur
kakek guru. Bahkan saat ini dihadapan empat angkatan Hui, Goan, Pek dan Thian, Supek
tetap berani menentang perintah pemimpin kuil dengan kata kata yang kasar. Suatu hal
yang benar-benar menyedihkan dan benar benar layak dibasmi….”
“Tutup mulutmu!” Hui Gong membentak dengan keras. Nadanya yang begitu dahsyat
sampai menggetarkan atap gedung Hui-sin-sim-wan!
Hui In si paderi alis putih menghela napas panjang, serunya, “Atas nama para tetua
kuil, kuminta Ciangbujin (ketua) jangan marah. Hui Gong suheng termasuk tokoh yang
tertua pada saat ini. Sekalipun mendiang suhu telah memenjarakannya dalam sanggar
Hui-sim-sian-wan sini, tetapi suhu tak mengusirnya dari lingkungan kuil. Dengan demikian
Hui Gong suheng masih tetap orang kita sendiri. Kuil kita, menjunjung dan menghormati
angkatan tua. Sukalah Ciangbujin mendengar apa yang hendak dikatakan Hui Gong
suheng. Mungkin terdapat sesuatu yang kita belum mengetahui.”
Walaupun kurang senang, tetapi mengingat Hui In itu tokoh angkatan tua yang
berkedudukan tinggi pula berkepandaian sakti, terpaksa Goan Thong tak berani berlaku
kurang adat. Cepat ia tindas kemarahannya dan berkata dengan tertawa, “Sudah tentu
murid tak berani membantah petunjuk susiok. Jika susiok menganggap tindakan Hui Gong
supek itu masih mengandung sesuatu yang dapat kita pertimbangkan, murid bersedia
mendengarkan dengan segala kerendahan hati!”
Lemah lembut penuh rasa hormat ucapan ketua Siau-lim-si itu kedengarannya. Tetapi
sesungguhnya ucapan itu bernada suatu sindiran yang tajam sehingga muka Hui Gong
merah padam.
Sebagai tokoh dari angkatan Hui, selama ini Hui Gong sangat diindahkan oleh seluruh
paderi Siau-lim-si. Sejak berpuluh-puluh tahun belum pernah ia mendengar orang yang
berani menyindirnya. Saat itu, dihadapan sekian banyak paderi dari beberapa angkatan,
Goan Thong telah menyentilnya dengan kata kata yang tajam. Betapa perasaan tokoh tua
itu, benar benar sukar dilukiskan….
Tetapi sebagai seorang paderi tua yang tinggi kedudukannya, Hui In memiliki toleransi
yang besar sekali, ia hanya tertawa hambar dan segera berseru kepada Hui Gong, “Siaute
telah mendapat kemurahan hati Ciangbujin untuk mengajukan pertanyaan pada suheng.
Jika suheng hendak mengatakan sesuatu, silahkan memberitahukan kepada siaute!”
Hui Gong menghela napas rawan, “Soal ini sudah 40 tahun lamanya terpendam dalam
hatiku. Suatu soal yang sukar untuk kuterangkan. Tetapi dikala suhu hendak mukswa
(meninggal), apakah beliau benar-benar berobah pendiriannya….?”

Hui Gong paderi tua yang bernasib malang itu, merenung beberapa saat. Kemudian ia
baru melanjutkan kata-katanya pula, “Ah, mungkin didalam peristiwa itu tentu terselip
sesuatu. Tetapi soal ini menyangkut kebesaran nama Siau-lim-si, lebih baik tak kukatakan
saja!”
Hui In terkesiap, pikirnya, “Menilik ucapannya, agaknya telah terjadi suatu peristiwa
rahasia didalam pengangkatan Ji Suheng sebagai ketua Siau-lim-si dahulu!”
“Omitohud!” tiba tiba Hui Koh yang sejak tadi berdiam diri, saat itu membuka suara,
“Suheng adalah murid yang paling disayangi suhu. Walaupun karena kesalahan, suheng
dipenjarakan dalam gedung Hui-sim-sian-wan sini dan tak diangkat sebagai ketua Siaulim-
si yang ke 31, tetapi dalam soal pelajaran ilmu silat, kepandaian suheng tetap jauh
diatas kami bertiga. Aku, Hui In suheng dan Hui Seng sute, selalu teringat akan budi
suheng yang mewakili suhu untuk memberi pelajaran silat kepada kami bertiga. Maka
kami amat berduka sekali apabila terkenang akan penderitaan yang suheng alami dalam
penjara ini. Tetapi karena tak berani melanggar pesan suhu, terpaksa kami jarang
menjenguk suheng kemari. Ah, tak kira setelah 60 tahun kemudian, ternyata suheng
menimbulkan kegoncangan yang belum pernah dialami kuil Siau-lim-si selama ini,
sehingga Ciangbujin yang sekarang sampai perlu mengundang murid-murid dari empat
angkatan untuk menyelesaikan perkara ini. Jika suheng tak dapat memberi penjelasan,
persoalan ini tentu sukar mendapat penyelesaian secara memuaskan!”
Hui Koh berhenti sebentar lalu berkata pula, “Kalau dengan kebesaran jiwa, suheng
dapat menahan penderitaan selama 60 tahun lamanya demi menjaga nama Siau-lim-si,
kiranya tentulah suheng takkan mau menentang perintah Tongkat Kumala Hijau yang kita
junjung itu. Bukankah sayang pengorbanan suheng selama berpuluh-puluh tahun dalam
penjara ini, akan hancur musnah dalam sehari saja?”
Luka hati yang berpuluh tahun terpendam dalam sanubari Hui Gong saat itu seperti
diungkit lagi oleh kata-kata sutenya, Hui Koh siansu. Paderi yang bernasib malang itu
menghela napas.
“Karena sute berdua begitu mendesak, jika aku tetap berkeras tak mengatakan,
tentulah akan menimbulkan kecurigaan pada sekalian murid Siau-lim-si angkatan sekarang
dan yang akan datang,” katanya.
Setelah menghela napas lagi, ia berkata, “Pada waktu mendiang suhu memasukkan aku
ke dalam sanggar Hui-sim-sian-wan ini, beliau telah memberi pesan kepadaku. Agar
selama 20 tahun dalam penjara itu, kugunakan untuk menyelesaikan dua hal yang
penting. Pertama, agar aku merenungkan, dan menyadari kesalahan-kesalahan yang telah
kulakukan selama itu. Dan kedua, agar aku memahami dan menghayati tulisan dalam
kitab Tat-mo-ih-kin-keng …”
Berkata sampai disitu, tiba-tiba Hui Gong berhenti. Serentak sepasang matanya
memancarkan sinar api yang mengerikan dan berserulah ia dengan nada keras, “Hui Im
dan Hui Koh, majulah kalian kemari!”
Perintah yang penuh wibawa itu membuat Hui In dan Hui Koh tak dapat membantah.
Hui Gong tertawa dingin, “Pada waktu suhu menutup mata, kemanakah kalian?”

“Pada saat itu siaute sedang menjalankan titah suhu ke gunung Po Lo San di Lamhay,”
sahut Hui In.
“Sedang siaute sedang menjalankan amal di daerah luar perbatasan,” kata Hui Koh.
Hui Gong merenung sejenak, katanya, “Aku menyangsikan suhu….”
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya. Tetapi rambutnya yang panjang tampak bergetaran.
Suatu petanda bahwa ia sedang berusaha untuk menindas kegoncangan hatinya.
Wajah Goan Thong ketua Siau-lim-si, berobah membesi. Tetapi diapun berusaha
menguasai kemarahannya.
“Sejak kakek guru Tat Mo mendirikan kuil ini, sampai sekarang sudah turun pada ketua
yang ke 32,” katanya kepada rombongan paderi yang berada di belakangnya, “Aku merasa
bahwa diriku yang bodoh ini tentu tak sanggup menerima pimpinan kuil. Tetapi karena
perintah mendian suhu, terpaksa aku tak berani menolak. Berkat bantuan para paman
guru, beruntunglah selama belasan ini kuil tak tertimpa suatu peristiwa apa-apa…”
Ketua Siau-lim-si itu terhenti sejenak, lalu, “Ah, siapa tahu bahwa di lingkungan kuil ini
sendiri telah timbul peristiwa yang tak terduga-duga. Paderi angkatan tertua dan paling
tinggi kepandaian dalam kuil ini yakni Hui Gong taysu, telah bertindak tak benar.
Membangkang amanat Tongkat Kumala Hijau, menghapus larangan yang diberikan
mendiang kakek guru, membantu orang luar yang mengacau kuil dan melukai beberapa
anak murid Siau-lim-si. Dan pada saat ini pula, berani memutar balikkan peristiwa yang
lampau untuk memfitnah guru yang sudah wafat. Mempengaruhi pikiran lain-lain murid
supaya kacau. Sebagai pucuk pimpinan kuil, tak dapat kubiarkan hal ini …..“
“Karena tindakan Hui Gong sudah tak dapat dibiarkan lagi menurut hokum kuil, harap
Ciangbujin segera memberi perintah untuk menghukumnya!” serempak terdengar
rombongan paderi di belakang itu memberi sambutan menggemuruh.
Goan Thong mengangguk, “Goan Thay taysu kepala bagian gedung Tat-mo-wan. Harap
memimpin 4 orang murid untuk menangkap murid Siau-lim-si yang murtad Hui Gong!”
Seorang paderi yang berdiri pada ujung barisan empat paderi di samping Goan Thong,
segera memberi hormat, “Goan Thay kepala dari gedung Tat-mo-wan, siap melakukan
perintah!”
Sekali jubahnya tampak bergetaran, paderi Goan Thay sudah melesat kemuka pintu
sanggar hukuman dan menjura, “Murid melakukan perintah Ciangbujin untuk menangkap
supek. Harap supek suka maafkan!”
Serempak tiga paderi yang bertubuh perkasa, maju mendampingi Goan Thay.
Di dalam sanggar, terdengar Hui Gong tertawa nyaring, “Tempat yang terasing sini
sudah ditetapkan sebagai daerah terlarang oleh mendiang suhu. Murid-murid Siau-lim-si
harus mentaati. Barang siapa berani masuk tentu akan menerima hukuman!”
“Beberapa kali supek telah melanggar perintah ketua, berarti sudah tak mematuhi
peraturan kuil!” seru Goan Thay dengan keras, “Melanggar perintah supek bukan berarti
berani terhadap angkatan tua!”

Dalam pada itu, diam-diam dia sudah kerahkan lwekang. Sambil lintangkan kedua
tangan melindungi dada, ia maju menyerbu ke dalam sanggar.
Hui Gong lekatkan tangan ke punggung Han Ping, bisiknya, “Lekas pusatkan semangat.
Berikan perlawanan dan dengarkan penjelasanku mengenai pelajaran dalam kitab Tat-moih-
kin-keng. Waktunya hanya tinggal sedikit, berhasil atau gagal tergantung pada
kecerdasanmu!”
Pada saat itu juga Han Ping rasakan serangkum hawa murni telah menyalur ke dalam
tubuh dan terus ke dada. Tak ayal lagi, ia segera menampar dengan tangan kiri kepada
paderi Goan Thay. Berbaring dengan itu telinga Han Ping terngiang lengking suara macam
nyamuk, “Dalam ayat pelajaran tentang Membersihkan Urat, jika sumbernya menderita,
jika pokoknya kurang…”
Ternyata Hui Gong telah gunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jib mulai memberi
pelajaran.
Belum kaki paderi Goan Thay menginjak lantai, segera ia dilanda oleh gelombang
tenaga dahsyat. Dia termasuk salah seorang dari tiga serangkai paderi angkatan Goan
yang berilmu tinggi. Ilmu lwekang yang dalam. Dan diapun telah menguasai dua belas
macam ilmu sakti dari Siau-lim-si.
Cepat-cepat paderi itu mengempos semangat dan lintangkan kedua tangannya
melindungi dada lalu tiba-tiba didorongkan ke muka. Bumm…!!
Terdengar ledakan keras. Debu bergulung-gulung menghitam di seluruh ruangan
sehingga mata sukar melihat isi ruangan.
Kuatir Goan Thay akan menggunakan kesempatan keadaan yang gelap itu untuk
menyerbu, Han Ping menyusuli pula dengan sebuah hantaman.
Betapa tinggi dasar latihan lwekang yang dimiliki Goan Thay, tetapi bagaimanapun ia
tak mampu menahan tenaga lwekang dari Hui Gong yang disalurkan melalui tubuh Han
Ping itu. Darah paderi ketua bagian gedung Tat-mo-wan itu bergolak-golak keras dan
tenagapun habis.
Pukulan kedua yang disusulkan Han Ping telah membuat paderi itu batuk-batuk. Pada
saat ia hendak menghindar mundur, tiba-tiba dari belakang serangkum tenaga dahsyat
telah melandanya. Terpaksa ia menyelinap ke samping.
Ternyata angin dahsyat itu berasal dari pukulan yang dilontar kelima paderi anak buah
Goan Thay. Paderi-paderi yang berjubah kelabu itu segera menyerbu kedalam ruang
sanggar.
Kiranya Goan Thong sudah memperhitungkan bahwa Goan Thay tentu tak dapat
menahan pukulan pembelah angkasa atau Biat-gong-ciang dari Hui Gong. Maka pada
waktu Goan Thay maju. Ketua Siau-lim-si itu sudah perintahkan lima paderi tua bagian
gedung Kian-si-wan untuk membantu.
Kelima paderi itu dari angkatan Goan. Tugasnya sebagai penilik dari aktifitas para
paderi dalam menjalankan ibadahnya. Mereka mendapat pelajaran ilmu silat dari guru

yang sama. Sejak kecil sudah dilatih untuk berkelahi secara maju berlima. Bukan hanya
dalam ilmu permainan senjata, pun dalam melancarkan pukulan lwekang maupun
memancarkan tenaga lwekang, mereka merupakan suatu kesatuan yang saling bantu
membantu secara kompak sekali.
Kelima paderi itu masuk kedalam sanggar tepat pada saat Han Ping lontarkan pukulan
kedua. Goan Kim taysu yang mempelopori dimuka, cepat menangkis seraya berseru
Omitohud.
Seruan itu merupakan suatu kode. Dan keempat saudara seperguruannya segera
kerahkan lwekang. Masing-masing segera lekatkan kedua tangan ke punggung kawannya
yang berada di depannya. Mendapat saluran dari 4 orang saudara seperguruannya, tenaga
pukulan Goan Kim taysu menjadi lipat empat kali dahsyatnya.
Tiba-tiba hui Gong mendengus. Sambil masih mengucapkan isi pelajaran kitab Tat-mih-
kin-keng, ia tambahkan saluran lwekang ke punggung si anak muda. Seketika tubuh
Han Ping yang sudah condong ke muka itu, dapat tegak kembali. Darahnya yang
bergolakpun tenang lagi. Ketika memandang kemuka, kejutnya bukan kepalang. Kelima
paderi itu sudah terdesak sampai satu meter kebelakang. Cepat ia menghantam lagi.
Sesungguhnya Goan Thay taysu dan saudara seperguruannya itu hendak loncat keatas.
Tetapi karena melihat Han Ping menghantam, merekapun cepat-cepat bersatu menangkis.
Han Ping rasakan telapak tangan Hui Gong yang melekat di punggungnya itu,
menyalurkan hawa hangat yang menyerap ke dadanya. Semangatnya memberingas dan
tenaganya tambah penuh. Secepat kilat, ia mendorong ke muka.
Hm… Goan Thay dan kelima paderi Goan itu mendesah tertahan. Mereka tak kuasa lagi
mempertahankan diri. Seketika tubuhnya terangkat dan terlempar keluar pintu…
Bum… Goan Thay dan Goan Kim terbentur dinding gedung penjara itu. Separuh dari
dinding tersebut bengkah dan berantakan.
Han Ping hampir tak percaya bahwa dirinya memiliki tenaga yang begitu sakti. Ia
tertegun.
“Lekas pusatkan semangatmu dan dengarkan uraian kitab Tat-mo-ih-kin-keng!”
Tiba-tiba Hui Gong menampar ubun-ubun kepala Han Ping…
Karena tukar menukar pukulan itu, debupun membaur menggelapkan ruang penjara.
Kawanan paderi itu tak dapat melihat jelas apa yang sedang dilakukan Hui Gong.
Saat itu Goan Thay dan para penilik kuil, merangkak bangun dan masuk ke dalam
barisan paderi lagi. Hanya Goan Kim taysu seorang yang menderita luka agak berat.
Sampai saat itu ia tak dapat bangun.
Goan Thong ketua Siau-lim-si tak lekas-lekas memberi perintah supaya menolong Goan
Kim taysu tetapi tegak terlongong longong. Rupanya dia tengah mempertimbangkan suatu
keputusan yang penting.

Para paderipun tampak serius wajahnya. Suasana hening lelap. Paderi-paderi itu
memang sudah mendengar bahwa paderi tua yang dijebloskan dalam penjara itu
sesungguhnya tokoh yang paling tinggi kepandaiannya dalam kuil Siau-lim-si. Tetapi setitik
pun mereka tak membayangkan bahwa kesaktian Hui Gong ternyata mencapai taraf yang
sedemikian tingginya.
Tiba-tiba Goan Thong bolang balingkan Tongkat Kumala Hijau. Seketika rombongan
paderi itu tegak menunduk siap mendengarkan amanat ketua mereka.
“Hui In, Hui Koh, berdua susiok, harap menyambut perintah Tongkat Kumala Hijau.
Majulah berdua dan usahakan sekuat tenaga untuk menangkap murid penghianat. Goan,
Pek dan Thian tiga angkatan supaya siapkan diri dalam barisan Lo-han-tin dan hentikan
antaran makanan kepada murid hianat itu!”
Hui In sipaderi beralis putih, berkata bisik bisik, “Harap Ciangbujin jangan marah
dahulu. Aku masih mempunyai daya…”
“Heh, heh,” ketua Siau-lim-si tertawa sinis, “Apakah susiok hendak membangkang
perintah Tongkat Kumala Hijau?”
“Ah, tidak,” sahut Hui In.
“Karena Hui Gong telah melukai lagi paderi Siau-lim-si, membangkang perintah Tongkat
Kumala Hijau dan meremehkan peraturan kuil. Kesalahannya tak dapat diampuni. Susiok
berdua pasti sudah maklum bahwa Tongkat Kumala Hijau ini merupakan lambing
kekuasaan kuil Siau-lim-si. Karena Hui Gong berani melanggar peraturan maka dia bukan
lagi murid Siau-lim-si. Silahkan susiok berdua mencabut senjata dan kalau perlu bunuhlah
murid penghianat itu!” seru Goan Thong pula.
Wajah ketua Siau-lim-si itu tampak meregang tegang. Rupanya dia tak mau
berkompromi lagi.
Hui In dan Hui Koh tiba-tiba tertawa, serunya “Sudah tentu kami berdua akan
melaksanakan perintah Tongkat Kumala Hijau!”
Sekali loncat, keduanya menyerbu ke dalam sanggar penjara.
Lebih dahulu Hui Koh mengangkat Goan Kim taysu yang masih menggeletak di lantai.
Setelah dibawa keluar, ia masuk lagi.
Keadaan Goan Kim taysu cukup mengenaskan. Muka dan mulutnya berkumur debu
kotoran. Walaupun tak mati tetapi lukanya amat berat.
Peraturan kuil Siau-lim-si memang keras sekali. Tiada seoarangpun yang berani
menyatakan apa-apa. Dan karena yang diperintah menyerbu itu Hui In dan Hui Koh,
rombongan paderi yang lain-lain tak berani turun tangan.
Saat itu debu kotoran yang berhamburan memenuhi ruang sanggar, sudah mulai
menipis. Kini kawanan paderi Siau-lim-si itu dapat melihat jelas keadaan dalam ruang.
Hui Gong tengah duduk diatas bale-bale tempat tidur. Sambil lekatkan tangannya ke
punggung Han Ping, paderi itu tampak berkomat kamit bibirnya.

Ternyata ia menggunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jib-bi yang tinggi untuk
melanjutkan uraiannya tentang pelajaran kitab Tat-mo-ih-kin-keng.
Tetapi karena menggunakan ilmu menyusup suara tingkat tinggi maka hanya Han Ping
sendiri yang dapat menangkap sedangkan lain-lain orang sama sekali tak dapat
mendengarkannya.
Karena tak dipedulikan, berserulah Hui In dengan nyaring, “Ciangbujin sudah
mengeluarkan perintah Tongkat Kumala Hijau agar kami berdua menangkap Hui Gong
suheng!”
Hui Gong tak menyahut melainkan memandang kepada kedua sutenya itu. Kemudian
membisiki Han Ping, “Lekas pusatkan semangatmu. Akan kuberimu tenaga murni, plak…!”
Tiba-tiba paderi itu menampar kepala Han Ping. Seketika Han Ping rasakan tubuhnya
gemetar sehingga hilang tenaga.
Merasa tak diacuhkan, Hui Koh berseru pula, “Tongkat Kumala Hijau turun temurun
merupakan lambing kekuasaan pimpinan Siau-lim-si. Kami tak berani melanggar perintah,
harap suheng suka maafkan!”
“Harap kalian sampaikan pada Ciangbujin supaya suka memberi waktu tiga hari
kepadaku. Nanti pada waktunya tentu aku menebus dosa. Tetapi jika saat ini aku tetap
didesak, hm, jangan sesalkan aku bertindak ganas!” Hui Gong mendengus dingin.
Ucapan Hui Gong yang tegas itu membuat Hui In dan Hui Koh tertegun. Mereka
berpaling ke arah ketua Siau-lim-si.
“Murid hianat itu sudah berturut-turut melukai anak murid kita. Tak mungkin
permintaannya dikabulkan. Jika dia sampai berhasil lolos, Siau-lim-si tentu ditertawakan
orang. Kami yang hadir disini merasa malu terhadap para leluhur kakek guru…”
Cepat-cepat Goan Thong mendahului seraya mengacungkan Tongkat Kumala Hijau dan
berseru nyaring, “Atas nama Tongkat Kumala Hijau, kuminta dengan hormat agar Hui In
dan Hui Koh berdua susiok, segera menangkap murid hianat itu!”
Hui Gong tiba-tiba rentangkan mata lebar-lebar dan tertawa tergelak-gelak, “Sekalipun
aku dianggap menentang perintah Tongkat Kumala Hijau, tetapi Ciangbujin juga
melanggar keputusan mendiang suhu karena berani mendobrak pintu ruang penjara Huisim-
sian-wan sini. Atas tindakan Ciangbujin itulah maka akupun berani menentang
perintah…”
Kemudian paderi tua itu menatap kedua sutenya, Hui In dan Hui Koh, serunya tawar,
“Silahkan kalian menilai kekuatan kalian berdua. Sekalipun kalian berdua maju berdua,
apakah kalian yakin dapat menandingi aku?”
Kepandaian silat dari kedua paderi itu, sebagian besar dulu Hui Gong yang
mengajarkan. Kedua paderi itu menganggap Hui Gong yang menjadi suhengnya itu,
sebagai suhunya. Sudah tentu mereka sungkan untuk berkelahi dengan suhengnya itu.
Tetapi dilain pihak, mereka tak berani melanggar perintah Tongkat Kumala Hijau.

Hui In, Hui Koh tertegun beberapa saat.
“Untuk yang ketiga kalinya atas nama Tongkat Kumala Hijau, meminta Hui In dan Hui
Koh berdua susiok supaya lekas menangkap murid hianat. Demi untuk membersihkan
nama kuil Siau-lim-si!” tiba-tiba Goan Thong berseru bengis.
Hui In kerutkan alis. Tiba-tiba ia berseru seraya lontarkan pukulan, “Toa Suheng,
maafkanlah kekurang ajaran siaute!”
Hui Gong ganda tertawa. Sambil masih lekatkan tangan kanan ke punggung Han Ping,
kelima jari kiri melentik. Lentikan jari itu menimbul suara desis angin yang menyongsong
pukulan Hui In.
Hui In terperanjat ketika angin pukulan pecah, dan lima aliran angin tajam melanda
tubuhnya. Buru-buru ia perdahsyat pukulan seraya meloncat mundur.
Pada waktu Hui In melepas pukulan, diam-diam Hui Koh menimang dalam hati,
“Selama 60 tahun ditawan dalam Hui-sim-sian-wan ini, ilmu kepandaian suheng Hui Gong
tentu makin maju. Dengan mudah tentu dapat lolos. Tetapi ternyata ia rela menderita dan
tak berani melanggar keputusan guru. Bahwa kali ini tiba-tiba ia menentang perintah
Tongkat Kumala Hijau bukan lain karena disebabkan anak muda itu. Jika dapat
menangkap pemuda itu, mungkin pendirian Toa Suheng akan berubah. Nama baik Toa
Suheng harus diselamatkan dari noda tuduhan berhianat…”
Keputusan itu cepat melintas dalam benak Hui Koh. Ia kerahkan lwekang. Dengan ilmu
silat istimewa Peh-poh-sin-kun atau Pukulan sakti seratus langkah, ia menghantam ke
dada Han Ping.
Sesungguhnya Hui Koh termasuk paderi angkatan tua yang memiliki pribudi tinggi.
Tetapi demi melindungi nama baik suhengnya, terpaksa ia berlaku ganas.
Berkat penguasaannya ilmu pelajaran dalam Tat-mo-ih-kin-keng, mata dan telinga Hui
Gong luar biasa tajamnya, ia terkejut melihat tindakan Hui Koh. Secepat kilat ia tutupkan
tangan kiri ke dada Han Ping, lalu mendorong kemuka.
Hui Koh mendengus tertahan seraya melayang keluar dari ruangan. Waktu menarik
mundur tangannya, ia menampar kepala pemuda itu.
Tamparan itu membuat Han Ping sadarkan diri. Ia rasakan kepalanya memancarkan
tenaga hangat ke seluruh tubuh. Rasanya nyaman sekali. Tetapi beberapa saat kemudian
tubuhnya menggigil, keringat mengucur deras dan tak sadarkan diri lagi.
Saat itu pukulan Hui In telah dipatahkan oleh ilmu Jari Sakti dari Hui Gong. Sebagai
paderi angkatan Hui yang tinggi kedudukannya, serta menguasai 36 macam ilmu sakti
Siau-lim-si, sudah tentu Hui In tahu bahwa ilmu jari sakti itu memang khusus untuk
mematahkan pukulan Peh-poh-sin-kun, pukulan Biat-gong-ciang atau membelah angkasa
dan lain-lain pukulan lwekang yang dahsyat.
Disadarinya pula bahwa Hui Gong masih kenal kasihan dan tak mau menggunakan
lwekang penuh dalam melancarkan jari sakti Tan-ci-sinkangnya. Maka Hui In tahu diri dan
cepat loncat mundur. Hui Koh pun mengikuti tindakannya.

Melihat kedua paman gurunya loncat keluar dari dalam sanggar penjara, diam-diam
timbullah kecurigaan dalam hati Goan Thong taysu. Ia menuduh kedua paman gurunya itu
tentu masih berat hati untuk menyerang Hui Gong dengan sungguh-sungguh.
Ketika ketua Siau-lim-si itu hendak menegur, tiba-tiba Hui Koh muntah darah. Terpaksa
Goan Thong batalkan tegurannya.
“Apakah sute terluka berat?” seru Hui In.
Hui Koh menghela napas, sahutnya, “Aku terkena tenaga membal dari gerakan jarinya
sehingga dadaku terluka…”
Sekonyong-konyong dari arah dalam sanggar penjara terdengar suara Hui Gong, “Lekas
tutup mulut agar daya pukulan itu jangan sampai mengembang kemana-mana. Pejamkan
mata, salurkan pernapasan. Jika tak mendengar nasehatku, dalam waktu 12 jam, lukamu
tentu makin parah. Engkau akan muntah darah dan mati. Ketahuilah, bahwa pukulan Pehpoh-
sin-kun yang engkau lepaskan tadi telah kupentalkan kembali kepadamu. Engkau
sendiri yang cari penyakit, jangan sesalkan aku berlaku kejam!”
Buru-buru Hui In menasehati Hui Koh supaya lekas menuruti petunjuk Hui Gong.
Setelah itu Hui In memberi penjelasan kepada ketua Siau-lim-si Goan Thong taysu.
“Bukan karena aku tak menyerang sungguh-sungguh. Tetapi memang kepandaian Hui
Gong suheng itu terpaut jauh sekali dengan kami berdua. Jika tak lekas-lekas loncat
keluar, kemungkinan akupun turut terluka karena ilmu jari sakti Tan-ci-sinkang!” katanya.
“Apa? Tan-ci-sinkang?” Goan Thong terbeliak.
Hui In mengangguk, “Benar! Dari 72 ilmu kepandaian sakti kuil Siau-lim-si, ada 3
macam yang sukar dipelajari. Diantara ke 3 macam ilmu yang paling sukar dipelajari itu,
salah satu adalah ilmu jari sakti Tan-ci-sinkang itu. Sejauh pengetahuanku, sejak 300
tahun yang terakhir ini, belum lagi terdapat anak murid Siau-lim-si yang mampu
mempelajari ilmu jari sakti itu. Hui Gong suheng…”
Sesungguhnya Hui In hendak menyanjung kesaktian Hui Gong. Tetapi tiba-tiba ia
teringat bahwa hal itu dapat menimbulkan salah paham kepada Goan Thong, murid
keponakannya yang kini menjabat sebagai ketua Siau-lim-si.
Goan Thong tertawa dingin, “Karena murid hianat itu menghapus ketaatannya selama
60 tahun dengan tindakan menentang perintah Tongkat Kumala Hijau, terpaksa aku harus
bertindak. Silahkan Hui Koh susiok beristirahat mengobati luka. Percayalah, aku tentu akan
berusaha mencuci noda yang melumuri kuil kita!”
“Dia telah menyelami isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng, Kesaktiannya sukar diukur. Pada
hematku, lebih baik memberi kelonggaran waktu 3 hari kepadanya…” kata Hui In.
“Harap susiok jangan kuatir!” buru-buru Goan Thong menukas kata-kata paman
gurunya dengan mengacungkan Tongkat Kumala Hijau, “Aku tak yakin kalau dia mampu
menghadapi seluruh kekuatan dari paderi Siau-lim-si!”

Terdengar suara tertawa hina dari dalam sanggar penjara, “Aku telah minta waktu 3
hari lagi akan menebus dosa. Jika Ciangbujin tetap hendak mendesak, akibatnya hanya
suatu malapetaka bagi kuil Siau-lim-si!”
Goan Thong merenung beberapa saat. Kemudian sahutnya, “Dengan memandang
muka mendiang suhu, kululuskan waktu 3 hari kepadamu. Jika pada waktu itu engkau
tidak menepati janji menebus dosa dengan membunuh diri, akan kubakar sanggar Huisim-
sian-wan ini!”
Ia gerakkan Tongkat Kumala Hijau dan barisan paderi Siau-lim-si segera mengatur diri
dalam formasi barisan Lo-han-tin. Sanggar Hui-sim-sian-wan tempat penjara paderi Hui
Gong dikepung ketat.
Melihat itu, Hui Gong menghela napas panjang. Tangannya yang melekat di punggung
Han Ping, ditariknya. Terdengar pemuda itu mendesah dan membuka mata.
Sambil menunjuk pada barisan anak murid Siau-lim-si, berserulah Goan Thong dengan
perlahan, “Ruang Hui-sim-sian-wan ini telah dikepung oleh barisan Lo-han-tin. Dewasa ini
mungkin hanya beberapa tokoh persilatan yang mampu menerobos dari kepungan Lo-hantin.
Tiga hari kemudian, engkau harus seorang diri menembus barisan itu.”
Ucapan itu jelas ditujukan kepada Han Ping. Sebelum menyelundup ke dalam kuil Siaulim-
si, pemuda itu memang sudah mendengar tentang kemahsyuran barisan Lo-han-tin
itu. Sesudah masuk ke kuil dan bertempur dengan beberapa paderi, sesungguhnya nyali
anak muda itu sudah buyar.
Kini mendengar ancaman Goan Thong, dia terbeliak kaget. Serunya gugup “Lo-han-tin
termahsyur di seluruh jagad. Bagaimana aku mampu menerobosnya?”
Saat itu Goan Thong taysu bersama Hui In siansu dan lain-lain sudah tinggalkan
sanggar Hui-sim-sian-wan. Di luar gedung itu tampak sunyi tetapi tegang. Seratus delapan
paderi sakti Siau-lim-si yang tergabung dalam barisan Lo-han-tin, siap sedia di pos
masing-masing.
Tampak wajah Hui Gong berobah-robah. Sebentar memancar kemarahan, sebentar
berseri cerah. Rupanya dia tengah terbenam dalam mengenangkan masa yang lampau,
mungkin sedang mempertimbangkan suatu keputusan yang penting.
Tiba-tiba ia pejamkan mata dan rangkap kedua tangan ke dada. Mulutnya berkemak
kemik mendoa. Dia tak menghiraukan pertanyaan Han Ping tadi.
Beberapa saat kemudian, ia membuka mata. Memandang kepada Han Ping, ia berkata,
“Dalam keadaan sudah begini, terpaksa aku harus mengesampingkan segala keraguan!”
Han Ping tak mengerti apa yang dimaksud paderi tua itu. Ia memberanikan diri untuk
meminta penjelasan.
Hui Gong tersenyum, ujarnya, “Terus terang, sebenarnya aku mengandung maksud
takkan memberikan dua macam ilmu kepandaian pusaka dari Siau-lim-si kepada orang
luar. Tetapi mengingat keadaan sudah begini, jika tak kuajarkan kedua ilmu itu kepadamu,
engkau pasti tak dapat menerobos barisan Lo-han-tin itu!”

Serentak Han Ping berseru dengan tegang, “Jika lo suhu sungguh-sungguh mau
membantu cita-citaku untuk membalas sakit hati, bukan saja seumur hidup takkan
kulupakan budi lo suhu, pun …”
Dengan wajah dan nada yang serius, Hui Gong menukas, “Pelajaran yang kuberikan
kepadamu ini, atas dasar karena aku kalah bertaruh. Siapa yang engkau sebut sebagai
suhu itu? Ingat, Jika engkau masih memanggil dengan sebutan itu, tentu segera kuusir
engkau dari sini!”
Han Ping terkesiap, tersipu-sipu ia mengiakan.
Hui Gong menghela napas perlahan. Wajahnya pun tenang kembali. Sekonyongkonyong
tangan kirinya mengulur kebelakang. Ternyata ia mencabut sebatang pedang
pendek dari punggungnya. Sekali menjentik perlahan, terdengar suara mendengingdenging
dan merekahlah pancaran sinar yang menyilaukan mata. Serempak dengan itu
serangkum hawa dingin menebar keseluruh ruangan sehingga Han Ping menggigil.
Sambil mencekal pedang itu, Hui Gong tertawa, “Dua kali kita bertaruh. Yang pertama,
aku kalah bertaruh dengan pembayaran ilmu kepandaianku. Dan yang kedua, akupun
kalah lagi dengan hadiah sebuah pusaka dunia persilatan. Pedang pendek ini sudah
menemani aku selama 60 tahun dalam kesunyian. Untung aku kalah bertaruh dengan
engkau. Kalau tidak, pedang pusaka yang menjadi incaran setiap kaum persilatan ini, pasti
akan ikut aku terpendam selama-lama dalam penjara Hui-sim-sian-wan sini!”
Habis berkata, Hui Gong menyerahkan pedang itu kepada Han Ping. Pemuda itu tak
berani menolak. Ia berlutut memberi hormat dan menyambut pemberian itu.
Seri wajah Hui Gong yang penuh welas asih lenyap berganti dengan kerawanan. Ia
menghela napas, ujarnya, “Anak muda, walaupun pedang ini merupakan pusaka yang
diincar setiap orang persilatan, tetapi bagiku benda itu merupakan kesialan….”
Tiba-tiba paderi yang bernasib malang itu berhenti. Menengadah memandang atap
rumah yang tiris, seri wajahnya berobah-robah tak menentu. Tampaknya ia hendak
menumpahkan rahasia kandungan hatinya tetapi akhirnya ia menindas keinginan itu.
“Kecuali menggunakan untuk membalas sakit hatimu, sebaiknya simpanlah pedang ini.
Karena pedang ini mengandung rahasia dari sebuah pembunuhan yang menggoncangkan
dunia persilatan. Mungkin beberapa tokoh sakti yang mengejar jejak pedang ini, masih
hidup. Sekali mereka tahu dimana pedang itu berada, tentu akan terjadi huru hara….”
Katanya pula.
Kemudian ia menjemput sarung pedang yang terbuat dari pada tembaga, katanya,
“Pedang itu memang sebuah pusaka yang luar biasa tajamnya. Dapat membelah segala
macam logam dan batu mustika. Tetapi sarung pedang ini, jauh lebih berharga dari
pedang itu!”
Memandang sarung pedang itu, Han Ping tak melihat sesuatu yang luar biasa. Ia tak
percaya tetapi sungkan untuk mengatakan.
Rupanya Hui Gong dapat membaca isi hati pemuda itu. Ia tersenyum, “Aku sudah
berjanji kepada seseorang takkan membocorkan rahasia sarung pedang itu. Dikemudian
hari, adalah engkau dapat menyingkap rahasia yang menggemparkan dunia persilatan itu

atau tidak, tergantung dari rezekimu!” Habis berkata dengan tangan bergemetaran, paderi
itu menyerahkan sarung pedang kepada Han Ping.
Ketika Han Ping memasukkan pedang ke dalam sarung tembaga itu, terdengarlah bunyi
mendering yang bening. Diam-diam ia terkejut.
Hui Gong mulai menjelaskan isi pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng lagi. Malam
itu ia menguraikan tentang pelajaran gerakan tangan. Menangkap musuh, menampar jalan
darah, mencengkram urat nadi dan lain-lain. Sambil menjelaskan, sambil memberi contoh.
Kesemuanya meliputi ilmu kesaktian yang jarang terdapat sehingga semangat Han Ping
seperti terbenam dalam keasikan.
Berkat cara mengajar Hui Gong itu jelas sekali dan disertai dengan contoh gerakan
yang gampang dimengerti, timbullah harapan Han Ping bahwa kelak ia tentu dapat
menuntut balas kepada musuhnya.
Cepat sekali sang waktu berjalan. Tak terasa satu malam dan dua hari telah
berlangsung. Boleh dikata selama itu Hui Gong seolah-olah berkejaran dengan waktu. Ia
hamper tak meneguk setetes airpun juga. Sehabis ilmu gerakan tadi, ia menumpahkan
seluruh pelajaran tentang isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Apabila tiba pada pelajaran ilmu
yang luar biasa sukarnya, tak jemu-jemunya Hui Gong mengulang lagi sampai Han Ping
mengerti benar-benar.
Dengan cara mengajar yang luar biasa gigihnya itu, pada hari ketiga pagi-pagi, dia
telah dapat menguraikan isi Tat-mo-ih-kin-keng itu sampai selesai.
Ketika memandang ke langit di luar sanggar, dilihatnya matahari sudah naik
sepenggalah tingginya. Sambil mengurut-urut jenggot, berkatalah paderi itu seraya
tertawa, “Dalam waktu tiga hari tiga mala mini, telah kuberikan semua yang kuketahui
dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Asal engkau mengingatnya baik dan giat berlatih tentu
akan mencapai taraf yang sempurna. Pelajaran terakhir dalam kitab pusaka itu ialah
tentang ilmu memecahkan barisan Lo-han-tin. Camkanlah, bahwa dewasa ini di dunia
persilatan, orang yang mampu membobolkan barisan Lo-han-tin, hanyalah engkau
seorang. Tindakanku ini, tiadalah mengecewakan perasaan saudara-saudara
seperguruanku…”
Ia berhenti untuk menghela napas, lalu melanjutkan pula, “Kini dari waktu yang
kujanjikan kepada ketua Siau-lim-si, kira-kira hanya tinggal sejam lagi. Dalam waktu yang
singkat ini, akan kuberikan kepadamu seluruh tenaga sakti yang kuyakinkan selama 30
tahun, agar dapat membantumu memecahkan barisan Lo-han-tin itu!”
“Ha?” Han Ping terbelalak.
Hui Gong tertawa rawan, “Kebesaran agama tiada terbatas. Nanti sejam kemudian
engkau tentu mengakui bahwa kata-kataku tadi bukan kata-kata kosong!”
Sekonyong-konyong paderi sakti itu menggembor sekuat-kuatnya sehingga debu
bertebaran, atap berderak-derak. Han Ping merasa seperti disambar petir. Tubuhnya
menggigil dan pingsanlah ia seketika.
Ketika ia sadarkan diri, dilihatnya diluar sanggar, Goan Thong taysu sambil mendekap
Tongkat Kumala Hijau, tengah berjalan mendatangi dengan diiringi oleh 4 paderi kecil.

Han Ping terkejut dan cepat berpaling, “Locianpwe, ketua…”
Ia berhenti seketika karena melihat Hui Gong duduk bersila pejamkan mata seperti
patung. Seketika sesosok bayangan ngeri melintas dalam benaknya. Serentak gemetarlah
tubuhnya. Perlahan-lahan ia ulurkan tangannya untuk menjamah tubuh paderi yang telah
melimpahkan budi besar kepadanya itu.
Dan… membanjirlah airmata Han Ping bercucuran membasahi mukanya.
“Locianpwe…” ia berlutut dihadapan paderi itu dengan menangis tersedu sedan.
Hui Gong siansu, paderi yang cemerlang kepandaiannya dan merupakan tokoh sakti
nomor satu dalam kuil Siau-lim-si selama 300 tahun terakhir ini, telah mukswa atau
meninggal.
Setelah menderita selama 60 tahun dipenjara, ia mati menebus dosa. Ia mati secara
ksatria…
Ooo)*(ooO
Bagian 4 Pedang Pemutus Asmara
Keringlah sudah Han Ping menumpahkan airmatanya. Dipandangnya jenazah Hui Gong
dengan terlongong-longong. Dalam kehidupan manusia, tiga hari hanya sekejap mata.
Tetapi bagi Han Ping waktu yang singkat itu sangat besar sekali artinya. Dalam tiga hari
itulah Hui Gong telah mencurahkan seluruh kepandaiannya kepadanya…
Diam-diam Han Ping memaki dirinya sendiri. Mengapa ia berlagak sok pintar sehingga
ia memenangkan pertaruhan yang kedua. Dengan kemenangan itu ia telah memperoleh
sebuah pedang pusaka dengan warisan latar belakang sejarah yang penuh diselubungi
rahasia.
Bukan karena menyesal memikul beban warisan itu, tetapi menyesal karena hal itu
telah membangkitkan pula riwayat duka dari seorang tua yang telah melimpahkan budi
besar kepadanya…
Tiba-tiba terdengar suara genta kuil bertalu nyaring. Seketika tergugahlah ia dari
lamunan kedukaan. Memandang keluar, tampak Goan Thong taysu berdiri diambang pintu
dengan sikap yang seram.
Disebelah kiri tampak Hui In si paderi beralis putih dan disebelah kanan Hui Koh yang
sudah sembuh dari lukanya. Di belakang mereka empat paderi kecil tegak berjajar dengan
menghunus golok kwat-to.
Melihat rombongan paderi Siau-lim-si itu, berkobarlah kemarahan Han Ping. Setelah
menyimpan pedang pendek pemberian Hui Gong, ia melangkah kepintu.
Goan Thong tak mengacuhkan anak muda itu. Matanya memandang lekat-lekat pada
paman gurunya Hui Gong yang tengah duduk bersila seperti orang semedhi.

Setelah mencapai kesempurnaan dalam keyakinan ilmu silat, walaupun sudah mati
namun tampaknya Hui Gong itu masih seolah-olah seperti orang yang sedang bersemedhi
saja. Dan tambahan pula rambutnya yang memanjang terurai menutupi muka betapapun
tajam pandangan mata ketua Siau-lim-si itu, namun sukar untuk mengetahui keadaan
paman gurunya yang sebenarnya.
Melihat keadaan Hui Gong yang tak mengacuhkan perjanjiannya, Goan Thong
memandang kelangit seraya berseru, “Batas waktu perjanjian tiga hari sudah tiba. Apakah
supek masih hendak meninggalkan pesan kepada murid?”
Diulangnya beberapa kali pertanyaan itu namun Hui Gong diam saja. Akhirnya
marahlah ketua Siau-lim-si itu.
“Waktu tiga hari yang supek minta untuk menebus dosa kini sudah sampai. Tetapi
mengapa supek berlagak membisu….”
Tiba-tiba kata-kata ketua Siau-lim-si itu terputus oleh sebuah tertawa hina, “Hm, kaum
persilatan selalu menjunjung tinggi pada guru. Tetapi engkau sebagai murid menghina
angkatan tua, mendesak seorang paman guru supaya melakukan bunuh diri, masih berani
bertindak garang…”
Dampratan itu ditutup dengan sebuah pukulan ke arah Goan Thong.
Sesungguhnya Goan Thong sudah tahu bahwa Han Ping sudah tiba dipinggir pintu.
Adalah karena ia tak memandang mata kepada pemuda itu, maka ia tak bersiaga. Pada
saat terkejut mengetahui kedahsyatan tenaga pukulan pemuda itu, ia sudah tak keburu
menangkis lagi.
Tetapi ia seorang ketua kuil Siau-lim-si yang termahsyur. Sudah tentu ia tak mau
kehilangan gengsi dihadapan murid-muridnya. Ia tak mau loncat menyingkir melainkan
kerahkan lwekang ke bahu kiri untuk menahan pukulan itu.
Goan Thong tak menyangka sama sekali bagaimana perobahan pemuda itu sekarang.
Dengan ilmu Hud-bun-gui-ting-hwat atau ilmu menyalurkan tenaga lwekang dari
perguruan agama, Hui Gong telah memberikan peyakinan lwekangnya selama berpuluhpuluh
tahun kedalam tubuh pemuda itu.
Pukulan Han Ping dahsyat sekali perbawanya. Hek… Goan Thong mendesah tertahan
ketika tubuhnya mencelat keluar sampai beberapa langkah. Dan habis memukul Goan
Thong. Han Ping memekik keras seraya loncat keluar menerjang barisan Lo-han-tin….
Walaupun terpukul rubuh namun Goan Thong seorang tokoh yang memiliki tenaga sakti
hebat. Sekali mengempos semangat, ia cepat menindas darah yang bergolak dalam
tubuhnya dan terus loncat bangun, Serempak dengan itu delapan paderi loncat
menghampiri, “Harap Ciangbujin beristirahat ke samping. Lo-han-tin segera akan
bergerak.”
Walaupun berkedudukan sebagai ketua, namun Goan Thong tak berani membantah
permintaan itu. Karena Lo-han-tin adalah barisan kebanggan Siau-lim-si yang paling
diandalkan untuk menghadapi musuh yang tangguh. Dan sejak beratus-ratus tahun ini,
belum pernah terdapat seorang musuh yang mampu lolos dari kepungan Lo-han-tin. Goan
Thong segera mundur kesamping.

Peristiwa Han Ping dapat memukul rubuh ketua Siau-lim-si itu, benar-benar diluar
dugaan Hui In dan Hui Koh. Oleh karena itu, walaupun berada di kanan kiri Goan Thong,
namun kedua paderi tua itu tak keburu memberi pertolongan.
Serbuan Han Ping itu segera mendapat sambutan hangat dari barisan paderi yang
tergabung dalam Lo-han-tin. Serentak pemuda itu dicecar dengan hujan pukulan deras
dari tiga penjuru.
Hui In memerintahkan kepada keempat paderi kecil itu supaya mengawal ketua mereka
keluar Lo-han-tin. Jangan sampai terlambat hingga tak dapat keluar. Habis itu ia ajak Hui
Koh masuk ke dalam Hui-sim-sian-wan, menjenguk keadaan Hui Gong.
Han Ping lepaskan dua buah pukulan untuk mengundurkan barisan paderi yang
menyerangnya. Kemudian ia hendak merintangi Hui In dan Hui Koh. Tetapi belum sempat
ia bergerak, lapisan kedua dari barisan Lo-han-tin sudah menyerbunya. Pukulan yang
serempak dilontarkan oleh barisan itu, menimbulkan gelombang tenaga prahara.
Barisan Lo-han-tin atau barisan malaikat itu, terdiri dari beberapa lapis. Setiap lapis
mempunyai corak serangan sendiri-sendiri. Ada regu yang menyerang dengan pukulan,
ada yang bertempur dengan tenaga dalam. Hal itu untuk membingungkan lawan agar tak
mudah menduga.
Karena sedikit lengah hamper saja Han Ping terancam bahaya. Buru-buru ia kerahkan
tenaga dan dorongkan kedua tangannya. Delapan paderi yang serempak menyerangnya
itu, berhasil dapat dibendung. Akibat dari adu pukulan itu, Han Ping agak terhuyung.
Tetapi kedelapan paderi itu mencelat ke belakang.
Tetapi secepat itu pula, lapisan ketiga sudah menyerangnya. Gaya serangan mereka
pun berbeda. Kedelapan paderi yang menjadi anggota regu ketiga itu menyerang dari
kanan dan kiri.
Han Ping kerutkan dahi. Dengan menggembor keras, ia siapkan kedua tangannya ke
kanan kiri.
Sesaat dapat mengundurkan mereka, regu keempatpun sudah menyerang Han Ping.
Deras dan dahsyat.
Memang sejak keluar dari sanggar penjara, Han Ping telah dilanda gelombang serangan
yang tak putus-putusnya. Jangankan maju selangkah, sedang untuk bernapas saja
rasanya tak sempat lagi.
Setelah berturut-turut dapat mengundurkan 12 regu barisan paderi, diam-diam Han
Ping gugup juga. Pikirnya, “Jika terus menerus begini, entah sampai kapan serangan
mereka akan berhenti. Aku hanya seorang diri dan mereka merupakan rantai yang tak
putus-putus. Lama kelamaan tentu aku akan kehabisan tenaga. Daripada mati konyol,
baiklah kugunakan serangan kilat untuk menerjang keluar!”
Baru ia hendak melaksanakan rencananya itu, tiba-tiba terdengar dua buah suitan
nyaring dan barisan Lo-han-tin itu pun serentak berhenti serta mundur ke pos masingmasing.

Barisan Lo-han-tin keseluruhannya terdiri dari 108 paderi. Terbagi menjadi 12 regu.
Setiap regu beranggotakan 9 orang. Begitu berhenti bergerak, mereka lintangkan tangan
kanan kemuka dada. Garang dan rapi sekali.
“Ah, memang barisan Lo-han-tin itu tak bernama kosong maka dari itu Hui Gong
locianpwe sampai perlu khusus memberi pelajaran cara untuk menerobosnya,” diam-diam
Han Ping menimang, “Menilik gerak-geriknya barisan ini memang mempunyai daya
ketahanan yang luar biasa kuatnya. Barang siapa menyerangnya tentu binasa. Tokoh sakti
yang manapun juga, tentu akan gentar apabila berhadapan dengan barisan Lo-han-tin….”
Saat itu suasana hening lelap. Rupanya barisan Lo-han-tin itu sedang menunggu
perintah. Dalam pada itu, sempatlah Han Ping untuk melanjutkan penimangannya,
“Walaupun Hui Gong locianpwe telah memberikan pelajaran cara untuk membobolkan Lohan-
tin, tetapi mengapa sampai saat ini aku masih bingung? Apakah memang otakku yang
tumpul sehingga tak mengerti inti pelajarannya itu? Atau apakah memang barisan Lo-hantin
itu sudah mengalami perobahan-perobahan yang lain dari dulu?”
Tengah ia terbenam dalam larutan renungan, tiba-tiba terdengar nyanyian doa yang
menggemuruh berkumandang sampai jauh. Ke 108 paderi anggota barisan Lo-han-tin
itupun serempak ikut menyanyi.
Han Ping saat itu rasakan matanya berkunang-kunang. Tubuhnya serasa seperti
menderita suata tenaga tekanan yang tak tertampak. Ia merasa dirinya seolah-olah berada
dalam sebuah kisaran yang deras. Makin lama makin tenggelam…
Han Ping terkejut. Ia menyadari apa artinya gerakan ke 108 anggota barisan Lo-han-tin
yang tak henti-hentinya mengibas-ngibaskan lengan jubah mereka. Kiranya mereka
tengah melancarkan kebutan tenaga dalam ke arah dirinya. Buru-buru ia mengempos
semangat dan kerahkan lwekangnya untuk bertahan.
Tiba-tiba barisan Lo-han-tin itu melantangkan doa nyanyian yang nyaring lagi. Han Ping
tergetar hatinya dan menduga tentulah barisan itu akan bergerak pula.
Cepat ia mendapat pikiran. Tiba-tiba ia maju dua langkah dan siap hendak
menghantam lapisan barisan yang terpisah satu tombak disebelah muka.
Cepat sekali ia bergerak. Baru musuh memperhatikan dia bergerak maju dua langkah
atau dia sudah menyurut kembali ketempatnya semula. Dan pancingan itu ternyata
berhasil. Ternyata benar seperti yang diduga. Dari belakang, melanda serangkum
gelombang tenaga dahsyat.
Han Ping cepat berputar tubuh sambil dorongkan kedua tangannya ke muka. Tetapi
alangkah kejutnya ketika mendapatkan bahwa tiada seorang paderi pun yang maju
menyerang dari belakang. Yang ada hanya sebuah regu terdiri dari 9 orang paderi,
masing-masing tengah mendorongkan tangan kanan.
Plak… terdengar letupan ketika tenaga yang dipancarkan dari dorongan sepasang
tangan Han Ping itu beradu dengan dorongan tangan kanan ke 9 paderi.
Secepat kilat, Han Ping menarik mundur sebelah tangannya untuk dihantamkan ke
samping kanan dan berbareng dengan itu siku lengan kirinya mengendap kebawah lalu
dibenturkan kebelakang!

Tetapi gerakan menyikut kebelakang itu hanya gertakan kosong. Namun karena
sekarang lwekang nya maju hebat, gerakan siku lengan itu mampu memantulkan tenaga
dahsyat yang dapat membendung angin pukulan musuh dibelakang.
Beberapa sosok tubuh berlincahan silih berganti. Regu barisan dimuka beralih, diganti
oleh regu dibelakang. Mereka bergerak secara selapis demi selapis.
Melihat suasana pertempuran macam itu, tersadarlah Han Ping, “Celaka, mengapa aku
tetap terpancing dalam adu lwekang begini? Bukankah cara ini akan memeras habis
tenagaku? Sekalipun Lo-han-tin itu ketat dan sekokoh baja, namun harus kuterjang. Kalau
toh mati, biarlah aku mati secara ksatria…”
Setelah melakukan beberapa gerakan untuk menahan serangan musuh, sekonyongkonyong
Han Ping melambung ke udara. Uh… ia terkejut sendiri ketika mendapatkan
dirinya dapat melayang sampai tiga tombak tingginya. Suatu hal yang belum mampu ia
lakukan sebelum bertemu dengan Hui Gong.
Selagi masih melayang, ia mencuri lirik . Dilihatnya didepan dan samping pintu sanggar,
penuh dengan beberapa paderi tua. Goan Thong taysu pun berada disitu. Tampak ketua
Siau-lim-si itu mengikuti jalannya pertempuran dengan cemas.
Terjangan Han Ping dapat mengacaukan Lo-han-tin. Tetapi dengan cepat mereka dapat
menutup lubang itu dan berjajar merapat, membentuk suatu tembok manusia. Ada suatu
hal yang aneh dalam pandangan Han Ping. Yakni barisan paderi itu sama pejamkan mata.
Wajah mengerut serius, bibir bergetar-getar seperti tengah mengucap doa.
Ketika Han Ping meluncur kebumi, dia tak mendapat sambutan apa-apa. Suasana
hening lelap. Diam-diam iapun pusatkan pikiran untuk merenungkan pelajaran terakhir
dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Sesaat ia teringat akan pelajaran yang menerangkan
tentang cara untuk menghadapi musuh yang diam. Ketenangan harus dihadapi dengan
ketenangan juga.
Semangatnya timbul pula. Tetapi pada saat hendak loncat lagi, tiba-tiba kawanan
paderi itu serempak melantangkan doa dan dari 4 penjuru mereka serempak menyerang
Han Ping.
Han Ping kerahkan lwekang lalu menghantam mereka. Regu paderi yang semula saling
bercekalan tangan itu, cepat cepat lepaskan tangannya dan mengendap ke bawah.
Gerakan itu dilakukan dengan cepat dan serempak, sehingga angin pukulan Han Ping tak
mengenai mereka melainkan menyambar diatas kepala paderi-paderi itu. Angin langsung
melanda ke regu kedua yang berada dibelakang.
Regu itupun serempak merapat ketengah lalu serempak menangkis pukulan pemuda
itu.
Suatu cara bertempur yang baru. Ketika perhatian Han Ping terpikat oleh cara baru itu,
tiba-tiba regu barisan kesatu tadi menyelinap kesamping dan menyerang pemuda itu lagi.
Dengan mengembor keras, Han Ping siakkan kedua tangannya seraya loncat ke udara.
Uh… tiba-tiba ia mendengus kaget ketika kedua kakinya dicengkram orang.

Ternyata yang mencengkram itu adalah dua orang paderi yang menyerang dari
belakang. Ketika Han Ping pusatkan perhatian melayani musuh dimuka, ia tak menyangka
kalau kedua paderi itu loncat menyergapnya dari belakang.
Dalam keadaan seperti saat itu, Han Ping terpaksa harus bertindak. Jika tak melukai
musuh, tentu dirinya sendiri yang akan celaka. Cepat ia gunakan ilmu Kin-na-jiu untuk
mencengkram bahu kedua paderi itu.
Jurus yang digunakannya itu termasuk jurus yang paling lihay dari Kin-na-jiu atau ilmu
menangkap dengan tangan kosong, ajaran Hui Gong siansu.
Sesungguhnya ia sudah paham akan uraian lisan yang diberikan Hui Gong itu. Tetapi
baru pertama itu menggunakannya. Sekali menyambar, ia dapat mencengkram bahu
kedua paderi itu lalu kakinya mendepak kedua paderi yang mencengkram kakinya itu.
Sebenarnya jika mau, ia dapat mendepak remuk kedua paderi itu. Tetapi ia masih ingat
akan paderi yang telah memberi kesaktian kepadanya. Hui Gong adalah tokoh Siau-lim-si,
ia harus ingat budi kepada gurunya itu dan sumber partainya.
Pertimbangan itu melintas cepat sekali pada benaknya. Tiba-tiba terdengar kedua
paderi yang mencekal kakinya itu mengerang tertahan lalu terpelanting kebelakang.
Serempak dengan itu, dua paderi nyelonong maju dan dapat menghantam tubuh Han
Ping. Duk, Han Ping terpental sampai beberapa langkah. Tetapi cepat-cepat ia dapat
berdiri tegak tak kurang suatu apa.
Kedua paderi itu terbeliak kaget. Ternyata karena terburu oleh nafsu kedua paderi itu
telah meninggalkan formasi barisan. Dan pukulan mereka tak mengenai jalan darah yang
berbahaya.
Han Ping menggembor keras seraya berputar menerjang ke barisan musuh.
“Lekas mundur!” seru kepala regu barisan yang berada dibelakang Han Ping. Serempak
regu itu menghantam.
“Hm, kalian terlambat!” kata Han Ping dalam hati. Segera ia keluarkan ilmu Kin-na-jiu
yang terdiri dari 12 jurus. Cepat sekali ia sudah berhasil mencengkram jalan darah empat
orang paderi. Keempat paderi itu tak dapat berkutik lagi.
Han Ping mendapat akal. Menyambar tubuh salah seorang dari keempat paderi yang
kena ditutuknya itu, ia lemparkan kearah barisan yang paling dekat dari tempatnya. Habis
melontar, ia menyambar seorang lagi dan dilemparkan ke arah regu sebelah kiri. Mereka
kacau. Pemimpin regu itu cepat memberi perintah tetapi anak buahnya agak enggan.
Mereka menyadari bahwa yang dilemparkan itu adalah kawan sendiri. Jika menghantam
keras, paderi itu tentu akan remuk. Namun untuk tidak semata-mata membangkang
perintah pemimpinnya, mereka pun ayunkan tangan juga. Hanya saja, pukulan mereka
menggunakan tiga bagian tenaga.
Uh… akibatnya ke 9 paderi itu terdampar mundur setengah langkah.

Pengalaman itu menjadi pelajaran bagi barisan paderi yang lain. Ketika Han Ping
melempar seorang paderi lagi, regu yang dilempari itu menyongsong dengan tenaga
penuh…
Melihat itu Hui In tak dapat tinggal diam lagi, “Terpaksa aku harus maju…,” katanya.
Menderita lemparan manusia, barisan didepan dan disebelah menjadi kacau. Kekacauan
itu disebabkan karena Han Ping melempar lebih keras dan habis melempar ia menyelinap
maju menghantam lagi.
Dari 9 anggota regu, yang 4 orang menyambuti lemparan manusia tadi. Dan yang 5
menangkis serangan Han Ping. Lemparan Han Ping menggunakan tenaga kuat. Keempat
anak buah barisan itu tak kuat menahan dan rubuh terlentang.
Han Ping hendak menggunakan siasat seperti tadi. Menutuk, menyambar dan
melempar paderi itu ke lain barisan. Tetapi baru ia hendak ulurkan tangan tiba-tiba
terdengar suara orang melantang doa Omitohud yang keras sekali. Menyusul serangkum
angin kuat melandanya.
Han Ping siap-siap. Ia gunakan ilmu Kin-na-jiu ajaran Hui Gong siansu lagi. Ternyata
yang menyerang itu adalah Hui In siansu sendiri. Dia tahu sumber ilmu silat yang
digunakan Han Ping itu. Buru-buru ia tarik pulang tangannya tetapi tulang lengannya
tertampar oleh ujung jari Han Ping.
Sekalipun hanya dengan ujung jari namun karena dilambari oleh tenaga dalam warisan
Hui Gong mau tak mau tokoh paderi tua Hui In itu agak tergetar tubuhnya. Diam-diam ia
terperanjat melihat kesaktian pemuda itu.
Kini ia tak berani memandang rendah lagi. Cepat ia salurkan lwekang ke arah kedua
tangannya untuk siap dilancarkan.
“Apakah engkau benar-benar hendak menghancurkan Siau-lim-si dulu baru mau pergi?”
tegur Hui In.
Han Ping terkejut dan buru-buru menyahut, “Ah, masakan murid berani…”
Tiba-tiba Hui In menggerung keras . Kedua tangan nya mendorong. Han Ping terkejut
dan buru-buru menyongsong. Bum… terdengar letupan keras dan keduanya masingmasing
mundur selangkah.
Paderi tua itu mengempos semangat. Terdengar tulang-tulang lengannya berkeretan.
Han Ping cepat mendahului menyerang ke dada. Hui In mundur setengah langkah untuk
mengurangi tekanan lawan, kemudian baru balas menghantam.
Dua pukulan saling beradu, menimbulkan letupan keras. Han Ping tiba-tiba
menggembor dan melambung ke udara terus melayang kesebelah kanan dari sanggar
penjara.
Saat itu barisan Lo-han-tin sudah menyusun formasinya lagi. Beberapa paderi yang
ditutuk jalan darahnya dan dilemparkan oleh Han Ping, saat itu sudah diberi pertolongan.
Mereka sudah dapat masuk dalam barisan lagi. Begitu melihat Han Ping melayang di
udara, buru-buru barisan Lo-han-tin itupun bergerak memindah posisi.

Tetapi ternyata Han Ping melayang kedalam hutan bambu yang terletak disebelah
kanan sanggar penjara itu. Walaupun mereka dapat mengejar kedalam hutan, tetapi tak
mungkin membentuk barisan Lo-han-tin lagi.
“Sungguh cerdik sekali anak itu. Tak kecewa kuberinya petunjuk….” diam-diam Hui In
siansu memuji.
Ia menghampiri ketua Siau-lim-si dan berseru nyaring, “Harap Ciangbujin memberi
petunjuk. Apakah perlu mengirim beberapa jago sakti untuk mengejarnya? Jelas anak itu
sudah terluka parah!”
Goan Thong taysu tertegun. Segera ia hujamkan Tongkat Kumala Hijau ketanah,
serunya, “Tak usahlah! Biarkan dia pergi…”
Bukan melainkan ketua itu saja, pun sekalian anak murid Siau-lim-si tampak rawan
semangatnya. Barisan Lo-han-tin yang tiada tandingannya di dunia ternyata dibobolkan
oleh seorang pemuda tak dikenal…
Sementara Han Ping begitu melayang turun ke tanah, terus melambung lagi ke udara,
melayang keatas pagar tembok. Berpaling kebelakang, tampak barisan Lo-han-tin masih
tegak dalam formasinya. Garang dan rapi, sedikitpun tak mengunjukkan keadaan kacau.
Teringat akan pertempuran yang dialaminya beberapa detik berselang, diam-diam
menggigillah perasaan Han Ping. Jika tiada dibantu Hui In dengan sebuah pukulan, Han
Ping tak yakin kalau dirinya mampu menerobos kepungan barisan itu.
Diam-diam ia kerahkan peredaran darahnya. Jalan darah di seluruh tubuhnya terasa
lancar. Kini ia baru yakin bahwa dirinya tak menderita suatu luka apapun.
Sesungguhnya karena sudah mendapat penyaluran lwekang dari Hui Gong, sekalipun
Hui In memukulnya dengan sepenuh tenaga, iapun masih dapat bertahan diri. Tetapi
maklumlah. Perobahan besar pada dirinya itu berlangsung dalam waktu yang sangat
singkat sekali sehingga ia sendiri hampir tak percaya.
Setelah tertegun beberapa saat, barulah ia melayang turun keluar pagar tembok kuil.
Dan karena Goan Thong melarang, maka tiada seorang paderi Siau-lim-si yang
mengejarnya.
Selama dalam perjalanan keluar dari lingkungan Siau-lim-si itu, memang ia masih
mendapat.
Memang saat itu kepandaiaan yang dimilikinya dapat digolongkan setaraf dengan jago
kelas satu. Sekalipun paderi angkatan Hui dari Siau-lim-si belum tentu dapat
merintanginya. Sayang ia sendiri tak menyadari akan hal itu.
Setelah beberapa lama berlari, tiba-tiba ia teringat bahwa selama tiga hari tiga malam
ini, ia belum makan apa-apa. Kini perutnya terasa merintih-rintih minta diisi.
Tiba-tiba dihadapannya menjulang sebuah puncak yang tinggi. Jalan terbelah menjadi
dua simpang. Yang sebelah kiri menuju ke sebuah lembah. Yang sebelah kanan menjurus

kesebuah hutan. Karena tak faham jalanan disitu, ia mengambil jalan yang sebelah kanan
dan tiba disebuah hutan.
Pikirnya didalam hutan ia tentu akan dapat mencari buah-buahan untuk pengisi perut.
Siapa tahu, walaupun sudah menyusup sampai ratusan tombak kebagian dalam hutan itu,
tetap ia tak berhasil menemukan pohon buah-buahan. Karena bingung, ia pesatkan
larinya.
Hutan itu seluas 4-5 li. Disamping kanan dan kirinya, berdinding batu karang yang
menjulang tinggi. Penuh ditumbuhi semak rumput setinggi lutut. Ia terpaksa tak dapat
menggunakan ilmu lari. Maka sepenanak nasi lamanya baru ia dapat melintasi hutan itu.
Kini ia berhadapan dengan sebuah mulut gunung dan mulailah ia lari lagi sekencangkencangnya.
Tengah ia berlari tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara nyaring, “Omitohud!”
Dari balik sebatang pohon besar, muncullah seorang paderi tua yang bertubuh kurus,
alisnya putih memanjang ke mata. Dia tegak berdiri dengan rangkapkan kedua tangannya
kedada. Ah, kiranya paderi tua Hui In siansu.
Han Ping hentikan larinya dan menjura memberi hormat, “Jika locianpwe tak memberi
bantuan, tak mungkin aku dapat menerobos keluar dari barisan Lo-han-tin yang
termahsyur itu…”
Hui In menghela napas dalam. Pada seri wajahnya yang angker, memantul kerut
kedukaan. Ujarnya, “Engkau beruntung telah mendapat ilmu kesaktian Siau-lim-si.
Misalnya ilmu Kin-na-jiu yang terdiri dari 12 jurus itu, sudah cukup menggetarkan
hatiku…”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan berkata, “Sebenarnya aku hendak pinjam
tenagamu untuk membebaskan suhengku dari penderitaan 60 tahun didalam sanggar Huisim-
sian-wan itu. Ah, siapa tahu, hal itu kebalikannya malah seperti mempercepat
kepergiannya kealam kelanggengan.”
Wajah Han Ping berobah seketika. Airmatanya berlinang-linang. Sambil kepalkan
tinjunya kiri ia berseru tandas, “Budi Hui Gong locianpwe lebih besar dari gunung Thaysan.
Aku harus membalaskan sakit hatinya!”
Hui In menghela napas pula tegurnya, “Siapakah yang hendak engkau cari itu?”
Dirangsang oleh rasa kedukaannya tanpa banyak pikir lagi Han Ping menyahut, “Ketua
Siau-lim-si yang sekarang, Goan Thong taysu!”
“Ah, jika menurut pertimbangan kedosaannya, seharusnya engkau mencari aku!”
“Losuhu bertujuan hendak menolong orang, mana aku berani mempersalahkan losuhu!”
seru Han Ping.
Hui In tertawa hambar, ujarnya, “Sebab dan Akibat merupakan Hukum Karma yang tak
dapat dipaksa dan dirobah. Hui Gong suheng, seorang yang berbakat gemilang. Sepak
terjangnya memang sukar dinilai menurut pertimbangan orang biasa. Enam puluh tahun
yang lalu, dia merupakan tokoh yang paling menonjol dari Siau-lim-si. Bahkan beberapa

tokoh yang tergolong angkatan tua dalam kuil Siau-lim-si, juga kalah sakti. Suhu makin
sayang sekali kepadanya. Tak nanti suhu mempunyai maksud untuk memenjarakan
seumur hidup. Sayang karena suhu cepat meninggal dunia, maka Surat Keputusan
hukuman yang dibuatnya itu masih melekat terus pada sanggar penjara. Akupun merasa
curiga atas Surat Keputusan itu. Tetapi karena kekuasan seorang ketua itu besar dan
mutlak, apalagi yang menjabat ketua kuil yang ke31 itu adalah suhengku yang nomor dua,
sebelum mendapat bukti-bukti yang jelas, aku tak berani mengutak-atik Surat Keputusan
itu ….”
Paderi tua itu berhenti dan tundukkan kepala merenung beberapa saat. Kemudian
berkata lagi, “Ah, tetapi hal ini merupakan persoalan kuil Siau-lim-si. Jika engkau tak
menerima suatu pesan apa-apa dari toa suheng, baiklah kita jangan membicarakan hal itu
lagi!”
“Walaupun tidak memberi pesan apa-apa, tetapi budi Hui Gong locianpwe itu sebesar
lautan. Selekas kuberhasil meyakinkan ilmu pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng,
urusan itu tentu akan kuungkap sampai terang!” kata Han Ping.
Hui In kerutkan alis, “Urusan itu menyangkut nama baik kuil Siau-lim-si di dunia
persilatan. Jangan engkau bertindak sembarangan. Saat ini aku hendak tinggalkan kuil
mengembara keseluruh penjuru dunia. Dalam dunia yang begini luas, mungkin kita takkan
berjumpa lagi. Maka sengaja kuperlukan mengejarmu sampai ditempat ini agar dapat
bertemu muka sekali lagi”
Han Ping terkesiap. Ia percaya paderi tua itu tentu hendak menanyakan sesuatu hal
yang penting. Ia segera mempersilahkannya.
Hui In tertawa, “Benar, memang aku hendak bertanya kepadamu. Tetapi tempat ini
bukan tempat bicara yang tepat, mari ikut aku!”
Ia berputar tubuh ayunkan langkah kemuka. Han Ping pun mengikutinya. Kira-kira satu
li jauhnya, mereka tiba disebuah lembah gunung yang sepi. Diatas sebuah batu marmer,
tampak senampan kue bakpao. Hui Kok siansu tegak disamping batu itu.
Menunjuk makanan diatas marmer hijau, Hui In mempersilahkannya. Karena lapar, Han
Ping pun tak sungkan lagi. Dalam beberapa kejab, bakpao pun sudah disapunya bersih.
Hui In memandang Hui Koh, tanyanya, “Apakah sute tahu pedang itu berada ditangan
suheng?”
Hui Koh mengangguk, “Enam puluh tahun yang lalu kulihat sendiri toa-suheng bermainmain
diatas puncak Sau-si-hong dengan membawa pedang itu. Tiga bulan kemudian dia
dijebloskan kedalam Hui-sim-sian-wan. Pedang itu masih berada pada suheng!”
Hui In berpaling kearah Han Ping, “Engkau dengar sendiri betapa pentingnya pedang
pendek itu. Jika berada padamu, aku hendak pinjam lihat!”
Han Ping tertegun tak dapat menjawab.
Hui In menghela napas tertahan, “Bukan hendak menakut-nakuti tetapi jika pedang itu
benar berada padamu, bagimu tiada gunanya malah mendatangkan bahaya besar.”

“Benar, memang setiap pusaka tentu menimbulkan bahaya. Jika tak mendengar
nasehat kami, dikuatirkan bahaya itu segera menimpa!”
Han Ping pemuda yang masih berdarah panas. Jika kedua paderi itu mengatakan
hendak melihat pedang pusaka itu, tentu ia tak keberatan. Tetapi karena Hui In – Hui Koh
melakukan tekanan, Han Ping penasaran.
“Terima kasih atas perhatian berdua losuhu kepadaku. Benar, memang Hui Gong
locianpwe telah menghadiahkan sebatang pedang pendek kepadaku. Beliau pesan wantiwanti,
selain digunakan untuk membalas sakit hati, tak boleh sembarangan diperlihatkan
orang. Tentang riwayat pedang itu, aku tak tahu. Jika losuhu sudi menceritakan, aku
senang sekali mendengarkan!”
Han Ping tahu bahwa kedua paderi itu mempunyai maksud hendak merebut pedang
pusaka. Tetapi dengan cerdik ia mengelak.
Hui Koh mengerut marah. Tetapi pada lain saat wajahnya tenang kembali. Katanya
dengan wajah membesi, “Karena mendapat pelajaran dari toa suheng, engkaupun
tergolong anakmurid Siau-lim-si. Sikap yang engkau unjuk terhadap angkatan yang lebih
tua, merupakan suatu pelanggaran besar dalam peraturan Siau-lim-si!”
“Hui Gong locianpwe tak mau aku mengakui aku sebagai muridnya. Karenanya aku
bebas dari ikatan peraturan Siau-lim-si!”
Hui Koh marah sekali.
“Jika bukan murid Siau-lim-si, bagaimana toa suheng mau memberikan ilmu
kepandaiannya kepadamu!” bentaknya.
Wajah Hui Koh membara merah…
Jilid 3 Hui Gong Thaysu, mewariskan ke Han Ping
Bagian 5
Rawe-rawe rantas
Selintas teringatlah Han Ping akan pesan almarhum Hui Gong siansu. Bahwa dia jangan
mengaku guru kepadanya. Hal itu kiranya mempunyai persoalan.
“Hui Gong locianpwe memberi pelajaran kepadaku itu karena kalah bertaruh.
Demikianpun dengan penyerahan pedang pusaka itu, juga karena kalah bertaruh!”
katanya dengan tertawa.
Sejenak Hui In berpaling kepada Hui Koh, ujarnya, “Memang seorang berbakat
cemerlang seperti toa suheng, sukar kita ukur dengan penilaian biasa!”
“Pedang pendak itu amat penting sekali. Apakah begini saja kita lepas tangan?” kata
Hui Koh.

Agak mengkal Hui In menjawab , “Betapa besar budi toa suheng dulu kepada kita. Jika
engkau mempunyai hati hendak merampas pedang itu, ah, sungguh kurang pantas!”
Tersipu-sipu Hui Koh tundukkan kepala, “Setitikpun aku tak mempunyai pikiran
demikian. Tetapi sekarang toa suheng sudah meninggal, sudah tentu kita tak dapat
melihat pedang itu dibawa orang!”
“Sudah tentu toa suheng telah mempertimbangkan tindakannya memberi pedang itu
kepadanya. Karena anak itu bukan dari merampas, jika kita….“ tiba-tiba Hui In berhenti
sejenak lalu berpaling kearah Han Ping, “Rupanya engkau mempunyai rezeki besar telah
mendapat warisan ilmu kesaktian Siau-lim-si. Walaupun hanya tiga hari tiga malam berada
dalam sanggar Hui-sim-sian-wan, tetapi kemungkinan engkau telah memiliki ilmu lwekang
melebihi dari orang yang meyakinkan lwekang selama 30 tahun. Jika tak salah, kecuali
memberikan seluruh kepandaiannya kepadamu, toa suhengpun tentu gunakan ilmu Guiting-
tay-hwat untuk menyalurkan tenaga murni kepadamu. Kuharap engkau sungguhsungguh
meyakinkannya dengan giat dan mempergunakannya dengan tepat sesuai pesan
dan harapan toa suheng!”
Habis berkata Hui In terus berputar tubuh dan mengajak sutenya pergi. Han Ping tak
sempat bicara lagi.
Setelah kedua paderi tua itu lenyap dari pandangan, barulah Han Ping melanjutkan
perjalanan menuruni gunung. Menjelang petang hari ia tiba disebuah kota.
la mencari sebuah rumah penginapan. Setelah makan malam, tiba-tiba ia teringat akan
pedang pusaka itu. Timbullah keinginannya untuk memeriksa lebih lanjut. Buru-buru pintu
dan jendela dikancing rapat lalu mengeluarkan pedang itu.
Dibawah sinar lilin, tampak sarung kerangka pedang yang terbuat dari pada tembaga
kuno itu terdapat banyak gurat-guratan. Mirip ukir-ukiran bunga bukan bunga, tulisan
bukan tulisan. Sampai setengah malam ia memperhatikan gurat-guratan itu, tetapi belum
dapat mengetahui artinya.
Kemudian ia melolos batang pedangnya. Terasa hawa dingin membaur sehingga sinar
lilinpun agak meredup. Dan ketika digerakkan, pedang itu memancarkan sinar kemilau
sehingga sinar lilin berobah seperti kuning emas.
Memang pernah ia mendengar cerita orang tentang pedang pusaka seperti pedang
Kan-ciang, pedang Bok-sia dan lain-lain yang dapat memapas logam seperti memapas
tanah liat. Tetapi sesungguhnya ia tak percaya. Maka terkejutlah ketika mendapatkan
bahwa pedang yang dicekalnya itu memancarkan sinar yang sedemikian dahsyatnya.
Kemudian timbullah keinginannya untuk mencoba. Diambilnya sebuah cangkir porselen
dan dipapasnya.
Cres…. cangkir itu tetap utuh. Han Ping terkesiap. Ketika memeriksa dengan seksama
ternyata dibagian tengah cangkir itu terdapat sebuah guratan halus. Amboi…. ternyata
cangkir itu sudah terbelah menjadi dua. Adalah karena pedang itu kelewat tajam maka
cangkir tak sempat membiak pecah.
Han Ping benar-benar terperanjat. Terlintas dalam benaknya bagaimana sikap Hui Gong
siansu ketika menyerahkan pedang itu kepadanya. Tegang dan serius sekali.

Peristiwa yang dialami selama beberapa hari ini, melalang dibenaknya. Pertemuannya
dengan paderi sakti Hui Gong, benar-benar meninggalkan kesan yang takkan dilupa
seumur hidup. Kesan yang lebih banyak mengandung kerawanan hati….
Tiba-tiba seperti terngiang lagi ucapan Hui Gong kepadanya, “pedang ini walaupun
tajamnya dapat membelah segala macam logam, tetapi sarung pedang dari tembaga ini,
jauh lebih hebat dari pedangnya…..”
Serentak ia tersadar dari lamunan, “Hui Gong taysu tentu tak bohong. Sarung pedang
itu tentu mengandung rahasia besar!”
Dimasukkannya pedang itu kedalam sarungnya. Kemudian diperiksanya sarung pedang
tembaga itu dengan teliti.
Setelah meneliti beberapa jenak, akhirnya ia menemukan gurat-gurat seperti jaring
laba-laba itu agaknya mirip dengan sebuah peta. Peta dari sebuah puncak gunung.
Disekeliling puncak itu terdapat titik-titik yang tak teratur. Rupanya merupakan tanda dari
sesuatu atau semacam huruf.
Han Ping makin tertarik. Dibersihkannya dengan lengan baju dan diperiksanya pula
dengan cermat. Berkat ketajaman matanya, dapatlah ia lebih meneliti. Temyata guratgurat
pada sarung pedang itu, memang merupakan sebuah peta. Tetapi apa arti peta itu,
ia tak tahu.
“Jika engkau mengizinkan aku sitetamu tak diundang ini masuk, tentu akan
kuberitahukan rahasia itu….!” tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara bernada sarat dari
luar jendela.
Han Ping tak asing lagi dengan suara itu. Cepat ia menyimpan pedang pusaka lalu
membuka pintu. Tampak Hui In taysu tegak diluar pintu, mata setengah mangtup, muiut
menyungging senyuman.
Han Ping memberi hormat, “Memang kuperlukan petunjuk-petunjuk losuhu…”
Hui In tertawa, “Engkau masih muda tetapi cerdas sekali. Semula aku tak menduga
bahwa suteku Hui Koh itu mempunyai pikiran hendak merebut pedang itu. Syukur engkau
tak mengeluarkan pedang itu.”
Merasa bahwa dalam peristiwa tadi, ia berlaku kurang hormat, Han Ping minta maaf.
Hui In menghela napas, ujarnya, “Sejak suhu menutup mata, sebagian besar
kuhabiskan waktuku untuk mengembara keluar. Sudah lama tak bergaul dengan Hui Koh
sute. Memang tak kukira bahwa dalam usia yang sudah begitu tua, dia masih mempunyai
hati temaha!” Hui lnpun melangkah masuk ke dalam kamar.
Setelah mempersilahkan paderi itu duduk, Han Ping mengunci pula pintu lalu
mengeluarkan pedang pusaka dan diangsurkan kehadapan Hui In.
“Pada waktu memberikan pedang ini, Hui Gong locianpwe mengatakan bahwa sekalipun
pedang ini sebuah pedang pusaka yang luar biasa, tetapi sarung pedangnya jauh lebih
hebat. Dan beliau pesan wanti-wanti agar jangan sembarangan memperlihatkan pedang
ini kepada orang. Kemudian Hui Gong locianpwe menerangkan pula bahwa pedang ini

mengandung rahasia dari sebuah pembunuhan ganas yang menggemparkan dunia
persilatan. Kecuali digunakan untuk membalas sakit hati, tak boleh sembarangan
kugunakan. Karena saat itu temponya amat mendesak sekali, maka tak sempat lagi
kutanyakan keterangan mendalam kepada Hui Gong locianpwe. Maka mohon losuhu suka
memberi petunjuk segala sesuatu mengenai rahasia pedang pusaka ini!” kata Han Ping.
Hui In melolos pedang pendak itu dan ditaburkan. Seketika terasa hawa dingin yang
meremang kebulu roma . “Hebat, hebat, sungguh tak mengecewakan kemashyurannya….”
“Tetapi sayang pedang itu agak pendak dari pedang biasa,” Han Ping menyambuti.
Hui In memasukkan kembali pedang itu kesarungnya, “Setelah mendapat ilmu warisan
dari toa suheng dan memiliki pedang pusaka semacam ini, kelak engkau pasti akan
menjagoi dunia persilatan. Eh, jangan meremehkan. Sekalipun pendak tetapi
ketajamannya tak kalah dengan pedang pusaka Kan-ciang, Bok-sia dan lain-lain.
Gunakanlah pedang sebaik-baiknya untuk menjalankan amal perbuatan yang luhur
sehingga tak mengecewakan harapan toa suheng!”
Tergetar hati Han Ping mendengar tugas yang terletak dibahunya, “Sungguh baru saat
ini kusadari tentang rendahnya kepandaianku dan beratnya harapan mendiang Hui Gong
locianpwe. Jika losuhu sudi menerima, dengan rela hati akan kuserahkan pedang pusaka
ini….”
Hui In menggeleng, “Umurku tinggal tak berapa lama, perlu apa pedang itu bagiku.
Simpanlah pedang ini!” – Ia serahkan kembali pedang pusaka itu kepada Han Ping.
Tiba-tiba paderi itu menghela napas, “Apakah ketika menyerahkan, mendiang toa
suheng tak menerangkan soal itu?”
“Memang benar. Hui Gong taysu tak mengatakan apa-apa dan aku pun tak berani
bertanya,” jawab Han Ping.
Tiba-tiba wajah paderi itu mengerut serius, ujarnya, “Selain berilmu silat tinggi dan
cerdas, juga toa suheng itu mengerti tentang ilmu meramal. Bahwa dia tak mengatakan
suatu apa tentang itu kepadamu, tentulah ada maksudnya. Sesungguhnya aku tak berani
banyak mulut. Tetapi karena pedang itu memang mempunyai hubungan penting sekali,
mau tak mau aku harus memberitahukan kepadamu. Tujuh puluh tahun yang lalu, pedang
pusaka ini sebenarnya menjadi milik dari seorang pendekar wanita yang termahsyur sakti
dan cantik jelita. Tetapi sampai dimana kecantikannya itu, sayang aku belum pernah
melihatnya sendiri. Hanya menurut cerita orang, jika dia tertawa, orang tentu akan runtuh
imannya. Lawan yang sedang berhadapan, tentu rela membuang senjatanya dan
menyerah. Sayang dibalik kecantikannya yang gilang gemilang itu, sikapnya dingin sekali.
Setiap musuh yang membuang senjata dan berlutut menyerah dibawah ujung pakaiannya,
ia tentu menggunakan ujung pedang pusaka ini untuk menusuk dada orang itu dengan
perlahan-lahan….”
“Apa? Apakah orang itu mandah saja dadanya ditusuk dan tak mau melawan sama
sekali?” seru Han Ping.
“Kabar-kabar itu memang sukar dipercaya. Tetapi ada asap tentu ada api. Dan cerita
orangpun hampir sama saja. Hal itulah yang membuat orang cenderung untuk percaya!”

Walaupun tak membantah tapi diam-diam Han Ping tak percaya didunia terdapat
peristiwa semacam itu. “Betapapun cantik laksana bidadaii tapi tak mungkin sekali
bertemu, orang terus menyerah dan rela dibunuhnya….” katanya dalam hati.
Rupanya Hui In seperti dapat membaca kesangsian hati anak muda itu. Ia tertawa
hambar, lalu melanjutkan ceritanya pula.
“Kabar-kabar itu telah tersiar luas didunia persilatan selama berpuluh-puluh tahun. Baru
belasan tahun terakhlr ini, kabar itu mulai lenyap. Menurut cerita orang, selama ini entah
sudah berapa ratus jago-jago persilatan yang mati dibawah ujung pedang wanita cantik
itu. Diantaranya terdapat banyak tokoh-tokoh yang ternama. Memang kemungkinan berita
itu terlalu dibesar-besarkan tetapi tentu juga bukan isapan jempol….” – ia berhenti
sejenak, menghela napas dan berkata pula, “Jika engkau tahu nama pedang itu, tentu
baru mempercayai akan berita-berita itu!”
Diam-diam Han Ping mau percaya juga. Hui In seorang paderi tua, tentulah tak omong
sembarangan. Katanya, “Masakan aku berani tak mempercayai ucapan losuhu?”
“Banyak korban berjatuhan dibawah ujung pedang wanita cantik itu sehingga dunia
persilatan menjuluki pedang itu dengan nama Pedang Pemutus Asmara. Ada pula yang
mengatakan Pedang Pelenyap Asmara. Julukan itu berarti, apabila bertemu dangan
pedang itu, jangan sekali-kali terpikat hati. Begitu hati tergerak, tentu akan mati. Nama itu
makin lama makin terkenal sehingga orang tak tahu apakah nama yang asli dari pedang
itu semula.”
Mata Han Ping yang tajam, mengikuti dengan tajam mimik perubahan wajah paderi itu.
Ia tersenyum, “Menilik pedang ini luar biasa tajamnya, tentulah setiap orang ingin
memilikinya. Tetapi Hui Gang locianpwe menandaskan padaku, bahwa sarung
kerangkanya jauh lebih berharga dari pedangnya. Kiranya losuhu tentu mengetahui akan
hal itu”.
Hui In gelengkan kepala, “Toa suheng Hui Gong, cerdas luar biasa. Mana aku mampu
mengetahui jalan pikirannya?”
“Kalau begitu, losuhu juga tak tahu?” Han Ping menegas.
Sejenak Hui In merenung, katanya, “Jika toa suheng mengatakan sarung pedang itu
jauh lebih berharga dari pedangnya, tentu tak mungkin salah. Tetapi bagaimana nilainya,
aku tak berani sembarangan menduga-duga. Hanya yang jelas, pedang pusaka ini
memang penuh berlumuran darah manusia. Dan sejauh pengetahuanku, dewasa ini masih
banyak tokoh-tokoh persilatan yang berkeliaran keseluruh penjuru dunia untuk mencari
pedang pusaka ini. Bahwa engkau ternyata yang diserahi menjaga pedang ini oleh toa
suheng, benar-benar suatu tugas kewajiban yang maha berat. Munculnya pedang pusaka
ini dari penjagaan ketat seorang tokoh sakti seperti toa suheng, pasti akan menimbulkan
kegemparan didunia persilatan. Dapat dipastikan bahwa suasana diluar tentu akan
bargolak-golak…”
“Walaupun pedang ini telah membunuh banyak jiwa manusia, tetapi sesungguhnya
tergantung pada pemakainya. Entah bagaimanakah hubungan antara pedang dan
orangnya itu?”

“Pedang Pemutus Asmara, sekalipun bukan biang keladi dari sekian banyak
pembunuhan, tetapi merupakan kunci dari sekian banyak pembunuhan yang ganas.
Kabarnya semula pedang itu milik seorang pendekar aneh dari daerah Hun-lam yang
menamakan dirinya sebagai Hong Tim koayhiap (pendekar Atas Angin). Entah bagaimana
kemudian jatuh ditangan wanita cantik itu. Setelah wanita cantik itu lenyap, pedang itu
jatuh ditangan seorang wanita yang luar biasa jeleknya. Wanita jelek ini setingkat lebih
tinggi kepandaiannya dari wanita cantik itu. Tetapi akhirnya wanita jelek itupun menjadi
momok yang lebih ganas. Korban yang mati dibunuhnya hampir mencapai seribu orang.
Tiap hari tentu terjadi sebuah pembunuhan sehingga seluruh penduduk Kanglam-Kangpak,
tak dapat tidur nyenyak setiap malam….”
Hui In berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Pada hakekatnya, pedang ini berlumuran
darah ribuan orang Harap engkau jaga baik-baik dan gunakan dijalan yang luhur.”
Selesai menutur, Hui In minta diri. Han Ping tak berani menahannya dan terpaksa
mengantar sampai diluar. Ketika bayangan paderi itu sudah lenyap, ia masih tegak
termenung-menung didepan pintu. Beberapa saat kemudian baru ia masuk kedalam
kamar.
Saat itu sudah malam. Tetamu-tetamu sudah masuk tidur. Hanya kamar Han Ping yang
masih menyala penerangannya.
Baru ia melangkah kedalam kamar, tiba-tiba tubuhnya agak tergetar dan tahu-tahu
pergelangan tangannya yang kanan, dicengkram orang. Luar biasa sekali gerakan orang
itu sehingga Han Ping tak sempat menghindar.
Pergelangan tangan merupakan salah sebuah jalan darah penting dari 36 jalan darah
yang berbahaya ditubuh manusia. Sekali pergelangan tangannya dikuasai orang, Han Ping
rasakan separoh tubuhnya kesemutan. Hilang daya perlawanannya.
Sesaat kemudian terdengar suara melengking macam nyamuk mengiang dibelakang
tubuhnya, “Maafkan, aku terpaksa berlaku kurang adat kepadamu. Pedang Pemutus
Asmara itu benda yang berbahaya. Sekalipun tak kuambil, engkaupun tentu tak mau
menjaganya!”
Han Ping terkejut. Nyata suara itu adalah suara Hui Koh siansu, sute keempat dari
mendiang Hui Gong siansu. Serentak bangkitlah amarahnya. Pada saat ia hendak
berontak, tiba-tiba timbul pikirannya. Lebih baik ia sabar dulu menunggu perkembangan.
Ia menyadari, melakukan kekerasan dapat menimbulkan bahaya. Pergelangan tangannya
dikuasai oleh seorang tokoh seperti Hui Koh.
“Apakah losuhu tak merasa rendah derajat melakukan tindakan ini?” katanya sambil
menghias tertawa.
Merahlah wajah Hui Koh, sahutnya, “Sesungguhnya belum pernah aku melakukan
tindakan curang terhadap orang. Tetapi saat ini karena terpaksa, apa boleh buat. Karena
engkau telah menerima warisan ilmu kesaktian dari toa suheng dan toa suhengpun
bahkan menggunakan ilmu Gui-ting-tay-hwat untuk menyalurkan lwekangnya kepadamu,
dari pada membuang waktu dan tenaga, terpaksa kubertindak begini….”
Dalam pada berkata-kata itu, tangannya kiri memijat lebih keras dan tangan kanan
cepat mencengkram dada Han Ping….

Mendengar Hui Koh menyebut-nyebut nama Hui Gong taysu, seketika teringatlah Han
Ping akan pelajaran Menutup jalan darah dari paderi sakti Hui Gong itu. Buru-buru ia
kerahkan tenaga murni untuk menutup jalan darah pada lengannya sebelah kanan.
Saat itu tangan kanan Hui Koh sudah menyentuh pedang pusaka yang berada dalam
baju Han Ping. Ketika paderi itu hendak mencabutnya, sekonyong-konyong Han Ping
berputar diri dan secepat kilat tangannya kiri menerkam pergelangan tangan kanan paderi
itu.
Gerakan Han Ping itu luar biasa cepatnya dan sama sekali tak terduga oleh Hui Koh.
Paderi itu tak menyangka bahwa dalam keadaan pergelangan tangannya sudah
dicengkeram ternyata pemuda itu masih mampu melakukan serangan balasan yang begitu
hebat. Ia tak sempat menghindar lagi. Jalan satu-satunya, hanya memperkeras pijatannya
pada pergelangan tangan Han Ping. Tetapi diapun kecele. Ia tak mengetahui bahwa
pemuda itu dapat menutup jalan darahnya sendiri. Sekalipun lengan kanannya kesemutan
mati rasa, tetapi Han Ping masih dapat mengerahkan lwekangnya kelengan kiri. Pemuda
itupun memijat sekeras-kerasnya….
Sesaat terjadi pijat-memijat. Hui Koh memijat pergelangan tangan kanan Han Ping. Han
Pingpun memijat pergelangan tangan kiri paderi itu. Untung pemuda itu masih mengingat
bahwa Hui Koh itu adalah sute dari Hui Gong, mendiang paderi sakti yang telah melepas
budi besar kepadanya. Maka ia tak mau menggunakan tenaga penuh.
Sekalipun demikian, tetap Hui Koh tak kuat bertahan. Separoh tubuhnya seperti mati
rasa, tenaganya hilang. Tangannya kanan yang mencengkeram pergelangan tangan
pemuda itu, pun ikut mengendor….
Tetapi dia adalah paderi angkatan Hui yang sakti. Dalam menghadapi bahaya itu,
pikirannya tetap tenang. Sambil kerahkan lwekang untuk bertahan, ia segera melakukan
serangan balasan. Ia gerakkan lutut kiri untuk membentur perut Han Ping!
Han Ping terkejut atas serangan yang tak diduga-duga itu. Terpaksa ia lepaskan
cengkeramannya dan loncat mundur.
Dalam kekalahan dapat merebut kemenangan, membuat nafsu Hui Koh menyala-nyala.
Sambil kerahkan lwekang, ia tertawa mengejek, “Hm, engkau sungguh hebat! Mari kita
bermain-main barang beberapa jurus lagi!”
Melangkah maju, ia menghantam.
Tanpa mengisar kaki, Han Ping miringkan tubuh untuk menghindar lalu balas memukul
dan menusuk dengan jari.
Serangan balasan dengan tinju dan jari itu memaksa Hui Koh menyurut mundur. Tetapi
secepat itu pula ia lancarkan serangan kilat sekaligus tiga-empat pukulan.
Han Ping tetap gunakan pukulan dan jari untuk memecahkan serangan dahsyat dari
paderi yang kalap itu. Dan pada saat serangan lawan agak lambat, Han Ping cepat
lancarkan serangan balasan. Tiga kali memukul dan empat kali menendang.

Karena kuatir membikin kaget para tetamu, mereka tak mau melakukan pertempuran
secara keras melainkan gunakan cara gerak cepat. Kelincahan, ketangkasan dan ketepatan
bergerak, memegang peranan penting. Kaki mereka tak beralih tempat melainkan tubuh
yang bergeliatan miring, condong kebelakang dan setempo berayun-ayun kekanan kiri.
Sepintas pandang pertempuran itu memang tak berapa dahsyat. Tetapi sesungguhnya
cara bertempur merapat itu, luar biasa bahayanya. Sekali salah gerak atau lengah atau
lambat, jalan darah tentu terancam. Akibatnya, kalau tidak luka berat tentu binasa.
Memang selama 3 hari itu, Hui Gong telah memberikan ilmu pelajaran dari kitab Tatmo-
ih-kin-keng dan bermacam-macam ilmu sakti dari Siau-lim-si. Tetapi waktu 3 hari itu
terlalu singkat untuk meyakinkan secara mendalam. Dan baru pertama kali itu Han Ping
sempat menggunakan dalam pertempuran. Sudah tentu gerakannya masih janggal dan
kurang sempurna. Untunglah ia memiliki kecerdasan yang tinggi dan mendapat penyaluran
lwekang dari Hui Gong taysu. Ia dapat mengingat semua pelajaran lisan dari paderi sakti
itu.
Setelah berlangsung beberapa lama, semangat Han Ping makin mantap. Gerakan
tangannya pun makin tepat dan terarah. Serangan makin dahsyat dan jurus
permainannyapun makin luar biasa.
Hui Koh diam-diam terkejut menyaksikan perobahan hebat pada diri pemuda itu. Hanya
dalam waktu 3 hari saja, pemuda itu sudah berobah menjadi seorang manusia baru. Cepat
ia lancarkan dua buah serangan dahsyat lalu loncat mundur.
Han Ping membungkukkan tubuh memberi hormat . “Terima kasih atas pelajaran yang
locianpwe berikan!”
Hui Koh tersipu-sipu balas menghormat. Diam-diam ia menimang dalam hati. Jika
menggunakan kekerasan, sukar merebut pedang pusaka itu.
Ia tertawa. “Engkau memiliki bakat dan kecerdasan yang hebat maka tak heran kalau
toa suheng mau menurunkan seluruh ilmu kepandaiannya kepadamu! Sekalipun untuk itu,
toa suheng telah melanggar peraturan biara.”
Sahut Han Ping, “Sekalipun menerima pelajaran dari Hui Gong locianpwe, tetapi aku
bukan dianggap sebagai muridnya l”
Diam-diam Hui Koh memaki pemuda itu sebagai seorang yang licik. Namun wajahnya
tetap mengulas senyum, serunya, “Dari saling bertukar pukulan tadi, kuketahui bahwa
engkau telah memperoleh ilmu pusaka dari biara Siau-lim-si!”
Han Ping tersipu-sipu mengucap kata-kata merendah.
“Sebagai murid tunggal pewaris dari toa suheng, sesungguhnya kita masih mempunyai
hubungan….”
“Dengan tandas, Hui Gong locianpwe menegaskan bahwa sekalipun memberi pelajaran,
tetapi aku bukan muridnya!” cepat-cepat Han Ping menukas.

Melihat anak muda itu berulang kali menolak dirinya murid Siau-lim-si, Hui Koh tertawa
tawar, “Baiklah. Seperti diriku sendiri. Sebagian besar ilmu kepandaianku ini adalah toa
suheng yang mengajarkan. Sekalipun aku dan toa suheng itu saudara seperguruan tetapi
pada hakekatnya dia adalah guruku!”
Han Ping hanya tersenyum saja.
Hui Koh menghela napas pelahan, ujarnya lebih lanjut, “Karena engkau tak mau
mengakui sebagai murid Siau-lim-si, akupun takkan memaksamu. Tetapi bahwa toa
suhenglah yang memberi pelajaran ilmu kesaktian padamu, engkau tentu tak dapat
menyangkal lagi!”
“Benar, sekalipun atas dasar kalah bertaruh lalu mengajarkan ilmu kepandaian itu tetapi
aku tetap berterima kasih sekali kepada Hui Gong locianpwe!” sahut Han Ping
“ltulah!” seru Hui Koh, “karena engkau mempunyai perasaan begitu, seharusnya
janganlah engkau mencemarkan nama baik dan pribadi toa suheng sebagai tunas
cemerlang biara Siau-lim-si sejak 300 tahun yang terakhir ini. Jangankan paderi-paderi
yang seangkatan gelarnya, sekalipun paderi-paderi angkatan yang lebih tua, juga tak
mampu menandingi kepandaiannya. Andaikata dia tak rela dipenjarakan dalam sanggar
Hui-sim-sian-wan itu, tentu tiada seorang tokoh Siau-lim-si yang mampu melawannya….”
“Guru adalah wali yang harus dlhormati. Murid tak boleh membantah perintahnya. Hui
Gong locianpwe adalah seorang manusia yang cerdas dan berkepribadian luhur. Sudah
tentu ia tak mau melakukan tindakan yang murtad!” sambut Han Ping dengan wajah
serius.
Melihat anak muda itu mulai masuk kedalam perangkapnya, diam-diam Hui Koh
bergirang dalam hati. Tetapi sebagai tokoh yang berpengalaman luas, ia tak mau
menunjukkan rasa kegirangan itu pada kerut wajahnya. Dengan wajah tenang dan serius,
berkatalah ia, “Toa suheng rela menghabiskan waktu 60 tahun dalam penjara. Tahukah
engkau apa sebabnya?“
Han Ping masih muda. Ia tak tahu kalau paderi itu mulai menebarkan jaring-jaring tipu
muslihat. Serentak wajahnya berobah, serunya, “Memang sekalipun harus menerima
hukuman, tetapi tak seharusnya Hui Gong locianpwe menjalani hukuman yang
menghabiskan usianya. Apalagi suhunya amat sayang sekali kepada Hui Gong locianpwe.
Tak mungkin seorang guru akan memendam seorang murid yang mempunyai bakat
sedemikian gilang gemilang, dalam penjara yang terpencil. Sayang suhu itu sudah
meninggal pada 40 tahun berselang sehingga sukar untuk meminta penjelasannya. Tetapi
menurut kesan dari penyelidikan yang kulakukan beberapa hari ini, dalam peristiwa itu
rasanya tcrselip suatu rahasia yang mencurigakan. Hm, apabila kelak dikemudian hari
masih mempunyai rezeki, aku tentu akan berusaha untuk membongkar rahasia itu….”
Berkata sampai disini, tiba-tiba ia berhenti. Rupanya ia menyadari kalau kelepasan
omong.
Hui Koh menghela napas, “Lepas dari peristiwa itu mengandung kecurigaan atau tidak,
tetapi toa suheng itu memang seorang tokoh teladan yang sukar dicari keduanya.
Namanya tetap harum dan akan dipuja murid-murid Siau-lim-si sampai beratus-ratus
tahun yang akan datang. Sekalipun aku ikut berduka atas nasib yang dideritanya, tetapi

akupun merasa bangga mempunyai seorang suheng yang sedemian hebat dan
cemerlang!” katanya dengan nada dan wajah bermuram durja.
Membayangkan betapa siksa derita yang dialami Hui Gong taysu selama 60 tahun
dalam sanggar penjara itu, Han Ping ikut berduka. Sebagai seorang yang mengingat budi,
airmatanya bercucuran turun….
Hui Koh makin girang. Setelah berhasil mengaduk perasaan pemuda itu, ia buru-buru
melanjutkan kata-katanya pula, “Pada usia 20 tahun, mulailah toa suheng keluar
mengembara. Beberapa tahun kemudian, namanya sudah termahsyur didaerah Kanglam
dan Kangpak. Setiap orang persilatan yang mendengar namanya, tentu menggigil
ketakutan. Selama itu entah berapa banyak dharma kebaikan yang telah dilakukan. Tetapi
ah…. tak dinyana tak disangka, akhirnya ia harus mengalami nasib yang sedemikian
mengenaskan dalan penjara perguruannya. Walaupun aku seorang murid agama Buddha,
tetapi hati kecilku mengatakan bahwa nasib yang dideritanya itu benar-benar tak adil!”
Han Ping benar-benar tertikam ulu hatinya mendengar ucapan paderi itu, Airmatanya
makin membanjir deras.
Kata Hui Koh pula, “Yang menjadi gara-gara mengapa toa suheng sampai dipenjara itu,
bukan lain adalah karena pedang pendek itu. Sekali pedang itu muncul diluar, dunia
persilatan tentu akan dilanda oleh prahara pertumpahan darah yang hebat. Apabila orang
tahu bahwa pedang itu berada ditanganmu, bukan hanya nama biara Siau-lim-si yang
akan berlumuran noda, pun keharuman nama toa suhengku itupun akan ikut tercemar.
Disebabkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka terpaksa aku bertindak securang tadi
untuk merebut pedang itu dari tanganmu!“
Tersirap darah Han Ping mendengar penjelasan itu. Serentak bertanyalah ia, “ Kalau
begitu, losuhu tentu mengetahui riwayat pedang pusaka itu. Jika losuhu suka menguraikan
hubungan antara Hui Gong locianpwe dengan pedang pusaka itu, aku bersedia
menghancurkan pedang itu dihadapan losuhu agar pedang itu tak muncul lagi didunia
persilatan untuk selama-lamanya! “
Han Ping terdorong oleh perasaan untuk membalas budi paderi Hui Gong yang besar.
Dia tak menginginkan, setelah meninggal dunia nama orang tua yang berbudi itu akan
tercemar lagi. Itulah sebabnya, tanpa banyak pikir, ia telah mengeluarkan pernyataan
yang begitu tegas.
“Hm, sungguh budak yang licin sekali” diam-diam Hui Koh memaki. Ia merasa sukar
untuk menyiasati anak muda itu.
“Memang besar sekali hubungannya dengan diri toa suheng. Sesungguhnya hal itu tak
layak diberitahukan orang. Permintaanmu itu benar-benar menyulitkan aku!“
“Budi Hui Gong locianpwe kepadaku, melebihi gunung besarnya. Asal untuk
kepentingannya, sekalipun masuk kedalam lautan api, aku tetap akan melakukannya.
Harap losuhu jangan ragu-ragu lagi!”
“Ceritanya panjang sekali. Apakah engkau masih ingat nama pedang pusaka itu?” tanya
Hui Koh.

“ Hui In losuhu memberitahukan bahwa pedang itu bernama Pedang Pemutus Asmara.
Tetapi Hui In losuhu tak menerangkan riwayatnya dan hubungannya dengan Hui Gong
locianpwe.”
“Hal itu tak dapat menyalahkannya. Karena kecuali aku, mungkin didunia ini hanya
sedikit sekali orang yang tahu peristiwa itu….”
la berhenti merenung sejenak lalu melanjutkan pula, “Peristiwa itu sudah 60 tahun
berselang. Pada saat toa suheng mendapatkan pedang itu, suhu bersama ji suheng Hui In
sedang pergi ke Laut Selatan. Segala urusan biara, diserahkan kepada susiok. Adalah
karena usia susiok sudah sangat lanjut, maka akulah yang disuruh mewakili susiok.
Pada hari itu toa suheng pulang, Kuminta dia yang menggantikan tugasku untuk
mengepalai pimpinan biara. Tetapi begitu bertemu muka, toa suheng tak menghiraukan
soal itu. Dia minta aku supaya menjadi saksi. Dia telah berjanji dengan orang. Nanti tiga
hari kemudian pada malam hari, dibawah puncak Siau-si-hong akan mengadakan
pertandingan adu kepandaian. Dia pesan supaya aku jangan memberitahukan hal itu
kepada lain orang. Sekalipun bersangsi, tetapi karena sangat mengindahkan toa suheng,
akupun tak berani banyak bertanya. Tiga hari kemudian menjelang tengah malam, toa
suheng benar-benar mengajak aku menuju puncak Siau-si-hong. Ternyata lawannya sudah
lebih dahulu datang disitu.”
“Apakah yang datang itu seorang wanita?” tanya Han Ping.
Hui Koh tersenyum, “Yang datang itu dua orang. Seorang pria dan seorang wanita.
Yang pria mengenakan pakaian tempur, menyanggul sebatang pedang pusaka. Bertubuh
tinggi besar, gagah perkasa. Yang wanita bertubuh langsing. Karena mengenakan kedok
muka, tak dapat kulihat bagaimana wajahnya. Tetapi menilik potongan tubuhnya, tentulah
seorang jelita.”
“Apakah mereka bertempur memperebutkan Pedang Pemutus Asmara itu?”
Hui Koh menghela napas, “Kalau hanya soal pedang pusaka itu, tak mungkin akan
menimbulkan peristiwa yang hebat. Ternyata selain soal pedang itu, pun menyangkut
soal-soal dendam pribadi sehingga pertandingan itu merupakan pertandingan yang
menentukan mati atau hidup. Suatu pertandingan yang benar-benar jarang terjadi dalam
dunia persilatan….”
“Apakah losuhu masih ingat pembicaraan mereka sebelum mulai bertanding?” tukas
Han Ping.
Hui Koh merenung. Rupanya dia tengah menggali ingatannya. Beberapa waktu
kemudian baru ia berkata pula, “Dengan pertanyaan itu, apakah engkau hendak mendesak
supaya aku menceritakan rahasia pribadi dari toa suheng?”
Han Ping kerutkan alis, menengadahkan kepala. Berapa saat kemudian ia menyahut,
“Jika losuhu tak mau menceritakan, akupun tak berani mendesak. Tetapi menilik Hui Gong
locianpwe itu seorang ksatria luhur, tak mungkin dia melakukan sesuatu yang
merendahkan martabatnya. Andaikata kesalahan melukai orang, tentulah karena dalam
keadaan terpaksa!”

Han Ping telah menempatkan pribadi Hui Gong sebagai seorang dewa. Dia tak
menghendaki dewa pujaannya itu sampai tercemar namanya.
“Benar, memang dalam pertandingan itu, toa suheng telah melukai orang. Tetapi
menurut apa yang kusaksikan saat itu, jika toa suheng tak bertindak begitu, memang
sukar untuk menyelesaikan pertandingan itu. Begitu bertemu tanpa berkata apa-apa,
keduanya terus saling mencabut senjata dan lari menuju kesebuah lembah dibawah
puncak gunung itu. Aku dan gadis berkedok itu mengikuti dari belakang….” Hui Koh
berhenti sejenak untuk menenangkan napas.
“Ternyata kepandaian dari pemuda itu hanya terpaut sedikit dari toa suheng. Mereka
berlari bagaikan bintang jatuh dari langit sehingga dalam beberapa kejab saja telah
meninggalkan aku dan gadis berkedok itu jauh dibelakang. Pada saat kami berdua tiba
dilembah, ternyata toa suheng sudah bertempur dengan pemuda itu.
“Pada waktu itu, aku baru saja lulus dari pelajaran ilmu silat. Umurku diantara 24 tahun
dan toa suheng hanya lebih tua sedikit dari aku. Tetapi dia sudah diagungkan dunia
persilatan wilayah Kanglam-Kangpak sebagai seorang pendekar besar. Ah, yang lampau
tak mungkin kembali lagi. Segala kenangan hidup itu hanya seperti impian. Gunung masih
tetap menghijau tetapi toa suheng kini sudah tiada….”
“Bagaimana dengan penyelesaian pertandingan itu? Hui Gong locianpwe tentu yang
menang,” Han Ping menukas kata-kata Hui Koh yang menyimpang dari ceritanya itu.
“Bermula jalannya pertandingan memang berimbang,” kata Hui Koh melanjutkan
ceritanya, “ilmu pedang pemuda itu memang luar biasa hebatnya. Toa suheng seperti
terkurung oleh sinar pedang pemuda itu sehingga aku yang melihat disamping
gelanggang, gelisah bukan kepalang. Pada saat pertempuran mencapai 300 jurus, haripun
sudah hampir menjelang fajar. Tiba-tiba toa suheng lancarkan serangan balasan dan
pemuda itu terdesak mundur beberapa langkah. Akhirnya karena terus mundur, pemuda
itu tiba diujung tebing gunung. Apabila toa suheng terus mendesaknya, dia tentu akan
terpelanting jatuh kedalam jurang. Tetapi toa suheng seorang ksatria yang berbudi. Dia
hanya berseru supaya lawannya membuang senjata dan menyerah. Diluar dugaan, pada
saat toa suheng hentikan serangannya untuk berseru itu, sekonyong-konyong pemuda itu
menyelonong tusukkan pedangnya dengan gerak yang luar biasa cepatnya. Sekalipun saat
itu toa suheng tak meninggalkan kewaspadaan, tetapi ia tak menduga lawan akan
bertindak sedemikian curang. Lengan kiri toa suheng tertusuk pedang. Perbuatan pemuda
itu telah menimbulkan kemarahan toa suheng. Tiga kali ia taburkan goloknya dan
walaupun tidak sampai binasa tetapi luka yang diderita pemuda itu tak mungkin akan
sembuh selama-lamanya….”
Tiba-tiba Hui Koh berhenti menutur.
“Pemuda itu layak menerima buah dari kecurangannya. Hui Gong locianpwe tak salah!”
seru Han Picg membela Hui Gong.
Bagian 6
Cendrawasih putih.
“Hanya sampai disini sajalah ceritaku.” kata Hui Koh, selanjutnya bagaimana
pembicaraan antara toa suheng dengan pemuda itu setelah kalah, maaf, tak dapat

kukatakan kepadamu. Yang jelas pertandingan itu bukan karena memperebutkan Pedang
Pemutus Asmara, tetapi ada lain sebab utama. Sekalipun demikian, pedang itu tetap
merupakan kunci dari rahasia sekian banyak pembunuhan ganas didunia persilatan. Setiap
kali pedang itu muncul, tentu terjadi pertempuran darah hebat. Hal itu berakibat akan
mencemarkan nama baik toa suheng, menggegerkan dunia persilatan dan menimbulkan
banjir darah. Jika benar-benar engkau mengingat budi toa suheng, sebaiknya berikanlah
pedang itu kepadaku. Demi untuk menjaga nama baik toa suheng dan biara Siau-lim-si.
Tetapi jika engkau keberatan, akupun takkan memaksa! “
Sesaat terpengaruhlah hati Han Ping akan kata-kata paderi itu. Seketika ia
mengeluarkan pedang pusaka itu terus hendak diserahkan kepada Hui Koh. Tetapi tibatiba
dimasukkannya kedalam baju lagi. Ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya.
Wajah Hui Koh berubah membesi, tegurnya, “Apakah maksudmu mempermainkan aku
itu?”
“Jangan salah paham, losuhu,” kata Han Ping, “mana aku berani mengolok-olok losuhu.
Hanya aku teringat akan pesan Hui Gong locianpwe supaya menjaga pedang ini baik-baik.
Sesungguhnya aku tak keberatan menyerahkannya kepada losuhu. Tetapi aku tak berani
melanggar pesan almarhum Hui Gong locianpwe.”
“Harap losuhu jangan kuatir,” kata Han Ping, “Pedang ini akan kusembunyikan disebuah
tempat yang sangat rahasia. Agar jangan muncul di dunia persilatan lagi. Dengan cara itu
aku dapat menunaikan pesan mendiang Hui Gong locianpwe dan menjaga nama baiknya!”
Dalam pada berkata-kata itu, diam-diam Han Ping bersiap-siap. Ia mulai curiga atas
gerak gerik paderi itu.
Hui Koh yang licin, cepat menghapus kerut kemarahannya dengan senyum tertawa,
“Karena agaknya engkau mencurigai aku, baiklah, akupun tak mau mengganggumu lagi.
Hanya kuharap engkau dapat menjaga pedang itu baik-baik. Jangan sampai jatuh ke
tangan orang lain!”
“Harap losuhu jangan kuatir. Selama hayat masih dikandung badan, Han Ping tentu
akan menjaga pedang ini dengan sepenuh tenaga.”
Han Ping memberi jaminan.
“Kalau begitu, aku hendak minta diri!” baru berkata begitu, paderi itu sudah melesat
keluar. Sebelum Han Ping sempat mengucap apa-apa, bayangan paderi itupun sudah
lenyap.
Han Ping tegak diambang pintu. Ia terkenang akan peristiwa yang dialaminya beberapa
hari terakhir ini. Kesemuanya itu seperti dalam impian saja. Terbayang akan wajah dari
beberapa tokoh Siau-lim-si yang dijumpainya selama ini…
Hui Gong yang angkuh dan bersikap dingin. Hui In yang berwajah ramah dan Hui Koh
yang licin banyak muslihat. Sama-sama saudara seperguruan, bukan saja ilmu
kepandaiannya berbeda, pun watak mereka juga berlainan….

Tengah Han Ping melamun, tiba-tiba terdengar sebuah batu kerikil menimpa atap
rumah sebelah muka. Walaupun batu itu menimbulkan suara kecil, tetapi cukup menarik
perhatian Han Ping. Cepat ia hendak loncat ke atas rumah tetapi pada lain saat ia teringat.
Oh, lebih baik ia pura-pura tak mendengar. Ia masuk kedalam kamar, mematikan lilin lalu
masuk tidur.
Sebenarnya ia hanya pura-pura tidur. Ia telah mempunyai rencana untuk menjebak
orang itu. Beberapa saat kemudian, ia bangun dan menghampiri ke bawah jendela.
Setelah menunggu sekian lama tak mendengar sesuatu yang mencurigakan lagi, hampir
saja ia kembali ke tempat tidur. Tetapi ia penasaran. Jelas ia mendengar bunyi batu kerikil
tadi. Dan biasanya itulah pertanda ‘tanya jalan’ dari kaum persilatan yang hendak
melakukan penyelidikan diwaktu malam.
Sejak Han Ping menderita nasib yang malang. Tetapi justru kemalangan itu telah
menggembleng dirinya, memperbesar kesabaran hatinya. Perlahan-lahan dibukanya daun
jendela lalu loncat keluar.
Sejak mendapat penyaluran lwekang dari Hui Gong siansu, kini dia memiliki kesaktian
yang dapat digolongkan setaraf dengan jago kelas satu. Gerakan loncat keluar jendela itu,
sama sekali tak menerbitkan suara.
Begitu menginjak tanah, cepat ia ayunkan tubuh melambung keatas rumah dan
bersembunyi di balik wuwungan. Sambil kerahkan persiapan, memandang kesekeliling
penjuru.
Ah, kiranya memang benar dugaannya itu, Sesosok bayangan hitam tiba-tiba muncul
dari rumah disebelah belakang terus lari menuju ketimur.
Sesungguhnya ia tak berminat mengejar.Tetapi demi teringat akan pedang Pemutus
Asmara dan nama baik Hui Gong siansu, terpaksa ia gunakan ilmu lari cepat untuk
mengejar. Ia ingin menyelidiki apakah orang itu bertujuan hendak merebut pedang
Pemutus Asmara.
Bayangan hitam itu bergerak sepesat angin. Dalam beberapa kejab saja sudah tiba
diluar kota. Ketika mencapai sebuah tempat yang sunyi, tiba-tiba bayangan itu
melenyapkan diri kesebuah bangunan gedung besar.
Han Ping hentikan larinya. Memandang kesekeliling penjuru ia heran. Mengapa sebuah
bangunan gedung yang sedemikian besar, didirikan disebuah tempat sunyi dan hanya
terpencil sendiri tiada tetangganya.
Tetapi ketika memandang kesebelah kanan gedung itu, ia terkejut. Ternyata tempat itu
merupakan sebuah tanah perkuburan yang penuh dengan gunduk-gunduk hitam. Sedang
disebelah kiri gedung itu, sebuah tanah lapang seluas satu bahu, penuh dengan tempat
air. Sementara di muka gedung terdapat beberapa belas batang pohon Pek-yang yang
tingginya beberapa tombak. Berselang-selang terdengar burung hantu mengukuk,
menambah keseraman suasana.
Gedung itu merupakan sebuah bangunan yang aneh bentuknya. Temboknya berwarna
merah, mirip sebuah biara tetapi bukan biara.

Walaupun Han Ping seorang pemuda yang berilmu tinggi, tetapi menyaksikan
pemandangan tempat itu, ia bergidik juga. Ia berputar diri, hendak kembali pulang.
Sekonyong-konyong terdengar angin malam mengantar suara lengking tertawa.
Nadanya bergemerincing macam mutiara berhamburan jatuh kelantai. Biasanya nada
tertawa semacam itu tentu berasal dari tertawa seorang wanita cantik. Tetapi dalam saat
dan tempat seperti kala itu, lengking tertawa itu kebalikannya malah menambah
keseraman suasana….
Han Ping terperanjat. Suara tertawa itu terus berkepanjangan macam sungai mengalir.
Seolah-olah orang yang tertawa itu memiliki napas yang amat panjang sekali.
Sesungguhnya gentar juga hati Han Ping. Untuk membangun nyali, ia menjemput
sebutir batu kerikil lalu dilontarkan kearah suara tertawa itu sekuat-kuatnya. Lontaran itu
diarahkan kesebuah makam batu marmer hijau yang menonjol tinggi.
Bum…. seketika suara tertawa itupun lenyap. Dari balik makam itu muncul sesosok
bayangan putih. Bayangan itu perlahan-lahan bergerak menghampirinya.
“Setan….?” hati pemuda itu meremang. Tetapi secepat itu pula ia membentak, “Hai
siapa engkau? Jangan pura-pura menyaru jadi setan untuk menakuti orang!”
Dengan dilambari tenaga dalam, bentakan Han Ping seperti menggeledek kerasnya.
Tetapi rupanya wanita baju putih itu tak mengacuhkan dan tetap melangkah maju.
Han Ping menggigil dan kucurkan keringat dingin karena membayangkan bahwa wanita
itu tentu bukan manusia melainkan bangsa setan kuburan.
Dalam pada saat itu wanita baju putihpun sudah tiba di hadapannya. Han Ping
mendesak terus mengangkat tinjunya kanan. Ketika hendak dihantamkan, tiba-tiba wanita
itu menyiak rambut yang menutupi mukanya.
“Uhh….” ketika melihat wajah wanita itu, serasa terbanglah semangat Han Ping. Sambil
mengerang tertahan ia menyurut mundur tiga langkah. Sebelum tinju diayun, tangannya
sudah lemas….
Wanita baju putih itu tertawa mengekeh dan maju pula beberapa langkah. Mengangkat
tangan kirinya, wanita itu kebutkan lengan bajunya kemuka Han Ping.
Han Ping menekuk tubuhnya kebelakang dan mundur selangkah untuk menghindari.
Kemudian mengempos semangat, mengembangkan tenaga dalamnya, lalu membentak,
“Manusia atau setankah engkau! Jika terus mendesak maju, jangan salahkan aku
bertindak keras!”
Garang sekali kedengaran bentakan itu. Tetapi sesungguhnya hatinya tetap gentar.
Tetapi wanita itu tetap tak mengacuhkan. Dengan langkah bergoyang gontai, ia tetap
maju dan tangan kanannya menyiak rambut.
Melihat wajah aneh dari wanita itu, Han Ping tak tahan lagi. Ia menghantamnya,
wut….! terlanda oleh angin pukulan yang dahsyat, tubuh wanita itu melambung keudara
dan melayang sampai setombak jauhnya….

Han Ping makin berdebar. Jika bangsa manusia, tak mungkin kuat menahan
pukulannya. Tetapi wanita itu bahkan malah melambung keudara macam layang-layang
tertiup angin. Huh, apalagi kalau bukan bangsa setan!”
Demikianlah apabila perasaan dicengkeram oleh rasa takut. Padahal pukulan Han Ping
itu hanya menggunakan tiga bagian tenaganya. Tetapi ia tak menyadari.
Sejenak mengambil napas, wanita baju putih itu melangkah maju pula. Dan sekonyongkonyong
ia balas tamparkan lengan bajunya kepada Han Ping.
Han Ping menggembor keras dan menyongsong dengan hantaman. Dalam pada
menggembor itu perasaan takutnya lenyap berganti dengan rasa kemarahan sehingga
tenaganyapun mengembang dahsyat.
Wanita baju putih itu mengerang tertahan, Seperti yang tadi, pun ia seolah-olah
menurut saja dihembus oleh angin pukulan Han Ping yang melemparkannya kebelakang.
Karena dapat mengundurkan wanita itu, besarlah hati Han Ping. Sekali lagi ia menyusuli
sebuah hantaman yang dahsyat.
Rupanya wanita itu terkejut dan menyadari kelihayan pemuda itu. Ia berjumpalitan
diudara dan menghindar kesamping.
Han Ping terkesiap menyaksikan gerakan si wanita yang sedemikian gesit dan tangkas.
Sambil bersiap menjaga diri, ia membentak lagi, “Hai, siapakah engkau! Apa guna engkau
menyaru seperti setan? Jika tak mau menjawab, hem…. jangan salahkan aku berlaku
ganas!“
Sebagai jawaban, wanita itu menyiak rambut dimuka, tertawa melengking dan
menghantam. Melihat wajah wanita itu penuh bintik hitam dan jelek sekali, kembali
menggigillah hati Han Ping.
Dalam pada itu, siwanita sudah menyelonong kesamping. Han Ping gelagapan dan
hendak menghantam tetapi wanita itu cepat mendahului menjentikkan jarinya kemuka
Han Ping. Serangkum hawa wangi membaur dan serentak dengan itu Han Ping rasakan
tenaganya hilang, tubuh lemas dan rubuhlah ia ditanah ….
Wanita itu mengemasi rambutnya. Tampaknya wajahnya yang aneh itu amat
menyeramkan sekali. Ia menghampiri Han Ping, membungkuk diri lalu merogoh kedalam
baju pemuda itu, mengambil pedang Pemutus Asmara. Dicabutnya pedang itu, diamatamatinya
beberapa jenak.
Ketika hendak menyarungkan pedang itu ke dalam kerangkanya, sekonyong-konyong
punggungnya tersambar angin keras. Dan sebelum ia sempat mengetahui apa-apa,
sebuah tangan yang kuat telah mencengkeram pergelangan tangan kanannya.
“Heh, heh, ilmu menjentikkan obat bius dari taci beradik hun dan Bong, ternyata tak
bernama kosong. Saat ini baru mataku terbuka!” menyusul terdengar suara orang
mengekeh sinis. Nadanya macam tambur pecah, parau dan menyakiti telinga.

“Lepas!” Wanita baju putih itu membentak seraya menekuk siku lengannya
digempurkan kebelakang.
“ Huh, budak nakal! Sebagai penangkap burung belibis, masakan aku sampai kena
terpatuk burung itu, Apakah engkau hendak memanggil tacimu? Heh, heh, dia sudah
kututuk jalan darahnya dan kusimpan dalam sebuah tempat yang aman. Jika engkau
hendak mengangkangi pedang pusaka itu sendiri, ho, jangan sesalkan aku bertindak
kejam!”
Memang wanita baju putih itu sudah memperhitungkan bahwa sikutannya tak mungkin
dapat mengenakan orang itu. Tetapi yang penting, diwaktu menyikut itu ia melengking
sekeras-kerasnya. Dan lengkingan itu adalah suatu teriakan sandi untuk memanggil
tacinya. Ah, siapa tahu ternyata tacinya telah diringkus orang itu….
Kuncuplah nyalinya. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam untuk menahan
cengkeraman orang itu seraya berkata dengan nada ramah, “Lepaskan pergelangan
tanganku dulu…. “
Orang itu menukas dengan tertawa dingin, “Dikalangan persilatan, siapakah yang tak
kenal akan taci beradik Hun dan Bong yang banyak tipu muslihatnya. Sudahlah jangan jual
lagak dihadapanku. Hm, jangan harap engkau mampu mengelabuhi aku si Kim loji. Kalau
kenal gelagat, lekas serahkan sarung pedang itu. Mengingat pedang itu, pedang Pemutus
Asmara kuberikan kepada kalian berdua. Jika masih banyak tingkah, ha, ha, pedang dan
sarungnya sekali tentu akan kuambil semua!”
Dalam pada berkata-kata itu ia tambahkan tenaga cengkeramannya sehingga siwanita
baju putih rasakan separoh tubuhnya seperti mati rasa.
Menyadari bahwa melawan berarti mati, akhirnya wanita baju putih itu gunakan tangan
kirinya untuk menyodorkan sarung pedang kebelakang, “Inilah!”
Karena jalan darahnya dikuasai orang, ia tak dapat berpaiing kebelakang. Tetapi ketika
menyodorkan sarung pedang itu, diam-diam ia telah merapatkan jempol dan jari
telunjuknya. Begitu orang itu menyambuti, secepat itu ia akan menjentikkan bubuk Bihun-
hun….
Tetapi orang dibelakangnya itu seekor rase tua yang julig sekali. Tak mungkin ia dapat
disiasati begitu. Serunya dengan tertawa sinis, “ Aku sudah tua, kurang pantas kalau
berjabatan tangan dengan nona. Harap lemparkan saja sarung pedang itu ketanah nanti
akan kuambilnya sendiri!“
Wanita baju putih mati kutu. Terpaksa ia lontarkan sarung pedang itu ketanah, “Setiap
perintahmu sudah kuturut. Apakah engkau belum membuka jalan darahku….“
Sebagai jawaban yang diterimanya, seketika itu ia rasakan punggungnya kesemutan.
Sebelum sempat menjerit, ia sudah rubuh ketanah. Pedang Pemutus Asmara yang dicekal
ditangan kanannyapun ikut jatuh. Hampir saja menimpa muka Han Ping.
Kesunyian malam yang gelap pekat, tiba-tiba dipecahkan oleh suara gelak tertawa yang
nyaring. Dan beberapa kejab saja, suara tertawa itu sudah beberapa tombak jauhnya.

Wanita baju putih itu gelisah bukan kepalang ketika mengetahui orang itu ngacir pergi.
Tetapi karena jalan darahnya tertutuk, ia tak dapat barkutik.
Orang yang menyebut dirinya sebagai Kim loji itu telah membawa sarung pedang.
Tetapi ia benar-benar memegang janji. Pedang Pemutus Asmara, ditinggal disamping
siwanita.
Wanita itu memandang pedang pusaka yang menggeletak disampingnya. Tetapi tak
dapat mengambil.
Tanah lapang dalam hutan disitu, kembali sunyi senyap. Suara tertawa Kim loji pun
sudah lenyap. Hanya angin malam yang mendesir-desir dan daun-daun kering yang
berhamburan.
Kira-kira sepenanak nasi lamanya, Han Ping menguak lalu bergeliat bangun. Wanita
baju putih yang masih berusaha menyalurkan lwekang untuk menembus jalan darahnya
yang tertutuk, terkejut ketika melihat pemuda itu sudah siuman. Tenaga dalam yang
tengah dipusatkan buyar lagi seketika.
“Heran, obat pembius Bi-hun-hun itu, paling tidak 4 jam lagi baru orang dapat tersadar.
Mengapa belum sejam saja, pemuda itu sudah bisa bangun? Celaka….” diam-diam ia
mengeluh dalam hati.
Setitikpun ia tak menyangka bahwa terjaganya Han Ping dari pingsan itu. bukan lain
karena bantuan pedang Pemutus Asmara. Pedang itu jatuh hanya beberapa senti didekat
kepala pemuda itu. Hawa dingin yang dipancarkan dari pedang pusaka itulah yang
menyusup kehidung Han Ping. Berkat lwekang yang disalurkan oleh Hui Gong taysu,
lwekang Han Ping berobah hebat sekali. Begitu hawa dingin itu menyalur kedalam tuhuh,
cepat sekali ia dapat siuman.
Begitu membuka mata, ia menjerit dan loncat mundur sampai setombak jauhnya!
Kiranya wanita baju putih yang menggeletak tak jauh disebelahnya, rambutnya tersiak
sehingga kelihatan wajahnya yang mengerikan. Sebuah wajah yang berwarna merah,
penuh dengan bintik-bintik hitam seperti orang bopeng….
Sesaat teringatlah Han Ping akan pedang Pemutus Asmara. Cepat ia meraba bajunya,
ah, kosong…. Ia berpaling. Dilihatnya pedang pusaka itu menggeletak disamping siwanita
baju putih. Cepat ia menghampiri dan memungutnya. Tetapi ketika mencari sarung
pedang, ternyata benda itu tak kelihatan.
Dilihatnya wanita baju putih tengah memandang kepadanya. Rupanya saperti orang
yang tertutuk jalan darahnya. Kini Han Ping memperoleh kesadaran pikirannya. Wanita itu
bukan bangsa setan tetapi seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Rasa
takutnja, lenyap seketika.
Sanibil melangkah menghampiri ia membentak, “Lekas bilang. siapa engkau ini?
Mengapa menyaru sebagai setan? Mana sarung pedangku itu! Jika masih herlagak gilagilaan,
tentu kucincang tubuhmu!“
Sepasang gundu mata wanita itu berkeliaran beberapa kali tetapi mulutnya tetap
membisu.

Han Ping mengendap kebawah. Didengarnya dada wanita itu menghamburkan napas.
Ah, kini ia tak ragu lagi. Wanita itu seorang manusia.
Timbul pikirannya untuk memberi pertoiongan agar dapat dimintai keterangan. Tetapi
pada lain kejab, terlintaslah lain rencana. Lebih dulu ia menutuk jalan darah kedua siku
lengan wanita itu, baru kemudian membuka jalan darah pada punggung yang ditutuk Kim
loji tadi.
Wanita itu menghela napas dan perlahan-lahan menggeliat duduk. Tetapi kedua
lengannya masih tak dapat digerakkan.
Sambil melintangkan pedang pusaka dimuka wanita itu, Han Ping membentaknya,
“Mana sarung pedangku ini, lekas bilang!’“
Karena punggungnya sudah sembuh, wanita itupun dapat bicara. Ia tersenyum,
“Sarung pedang sudah dibawa lari orang!”
Gemetar tubuh Han Ping mendengar keterangan itu, “Siapa yang mengambil? Kemana
larinya!”
Wanita baju putih itu menghela napas perlahan, sahutnya, “Percuma saja
memberitahukan padamu. Selain sakti. orang itu banyak sekali akal muslihatnya. Kami taci
beradik telah termakan tipunya!”
“Hm, jika engkau tak menyaru jadi setan, masakan sarung pedang itu dapat hilang”
dengan geram Han Ping menusuk dada wanita jelek itu.
Walaupun kedua tangannya tak dapat bergerak tetapi wanita jelek itu masih dapat
berguling-guling menghindar lalu loncat bangun.
Saat itu rasa takut Han Ping sudah lenyap. Ia lancarkan sebuah hantaman dahsjat.
Wanita jelek baju putih itu terkejut bukan kepalang. Pikimja, “Umurnya baru 18 tahun
tetapi mengapa tenaga dalamnya begitu hebat…. “
Cepat ia menyingkir kesamping seraya berseru nyaring, “Tahan dulu, aku hendak
bicara! “
Han Ping tertegun. Sambil menutup dada dengan tangan kiri dan tangan kanan
mencekal pedang Pemutus Asmara, ia mengancam, “Jika sarung pedang itu tak engkau
kembalikan, hm, jangan harap engkau dapat melihat matahari esok!”
Wanita jelek itu menatap wajah Han Ping lalu tertawa mengikik.
“Apa yang engkau tertawakan!” bentak Hai Ping makin murka.
“Karena kedua lenganku engkau tutuk, aku pun tak dapat menaburkan obat pembius
lagi. Mengapa engkau masih begitu ketakutan?”
“ Siapa takut padamu!”

“Kalau tidak takut mengapa engkau masih bersikap tegang seperti menghadapi seorang
musuh besar!“
Mendengar orang masih berani menyindirnya Han Ping tak dapat mengendalikan
kemarahannya lagi. maju selangkah, ia mengangkat tangannya kiri hendak dihantamkan.
Diluar dugaan wanita baju putih itu tak mau menghindar melainkan memandang tinju
pemuda itu seraya tertawa dingin, “Apakah engka benar-benar berani membunuh aku?”
“Hm, mengapa tak berani!” dengus Han Ping.
Wanita jelek baju putih itu tertawa mengikik, “Hi, hi, jika engkau membunuhku,
kemanakah engkau hendak mencari sarung pedangmu itu?”
Han Ping gelagapan seperti orang disiram air dingin. Ia mengakui kata-kata wanita
jelek itu memang tepat. Satu-satunya yang tahu siapa pencuri sarung pedangnya itu
hanya siwanita jelek baju putih. Tak terasa tinju yang sudah diangkalnya itu perlahanlahan
diturunkan pula.
Kembali wanita jelek itu tertawa, “Orang yang melarikan sarung pedangmu itu adalah
salah seorang durjana termahsyur didunia persilatan. Biasanya dia tak suka segala macam
benda pusaka. Bahkan pedangmu yang luar biasa tajamnya itu pun tak diambilnya. Aneh,
mengapa dia hanya mengambil sarung pedang itu? Ah, sarung pedang itu tentu jauh lebih
berharga dari pedangnya!”
Ucapan wanita jelek itu bagaikan palu besi menghantam uluhati Han Ping. Serentak ia
teringat akan kata-kata mendiang Hui Gong siansu, bahwa sarung pedang itu jauh lebih
berharga berlipat kali dari pedang Pemutus Asmara.
Hanya sehari semalam ia tinggalkan biara Siau-lim-si dan sarung pedang itu sudah
dirampas orang. Geram dan sedih Han Ping tak terlukiskan.
“Ah, jika sarung pedang itu tak dapat kurebut kembali, aku berdosa kepada Hui Gong
siansu .. ,” dengan berlinang-linang ia membulatkan tekadnya untuk membalas budi paderi
sakti itu.
Melihat Han Ping terpukau seperti kehilangan semangat, wanita jelek baju putih itu
tercengang heran.
Sesungguhnya jika ia ayunkan kaki menendang Han Ping, pemuda itu tentu rubuh.
Tetapi entah bagaimana ia tak mau melakukan perbuatan itu. Bahkan dengan nada yang
lembut ia bertanya, “Mengapa engkau tampak berduka sekali? Betapalah harganya sebuah
sarung pedang saja? Heh, apakah pedang pusaka ini benda merupakan bingkisan untuk
pengikat janji dari kekasihmu?”
Han Ping gelagapan. Bentaknya marah, “Jangan mengoceh tak keruan! pedang ini
adalah pemberian dari seorang locianpwe kepadaku! Beliau pesan agar pedang ini kujaga
baik-baik. Bahwa sekarang ternyata sarung pedang itu dicuri oiang, seharusnya aku bunuh
diri selaku penebus dosa terhadap kepercayaan locianpwe itu!”
Wanita baju putih itu tertawa, “Apa? Orang yang memberi pedang itu sudah meninggal
dunia?”

“Hm, omong asal omong saja, tak ubah seperti tong kaleng yang bergrombyangan.
Sama dengan wajahmu yang buruk tak sedap dinikmati mata!” damprat Han Ping.
Wanita baju putih itu membantah, “Ih, bagaimana engkau tahu aku berwajah buruk?”
“Huh, engkau anggap wajahmu itu seperti bidadari?” Han Ping mengejek.
Wanita baju putih itu kerutkan alis. Cepat ia alihkan pembicaraan, “Menilik engkau
begitu sedih, tentulah sarung pedang itu penting sekali bagimu!”
“Sudah tentu,” sahut Han Ping, “betapapun halnya, sarung pedang itu harus dapat
kurebut kembali!”
sejenak wanita baju putih itu tundukkan kepala merenung. Sesaat kemudian berkatalah
ia, “Jika engkau percaya padaku, bukalah siku lenganku yang engkau tutuk ini. Nanti
kubantumu mencari sarung pedang itu!”
Han Ping tertegun. Diam-diam ia menimang, “Aku sih masih dapat mengatasinya.
Tetapi yang paling menakutkan adalah ilmunya menjentikkan obat bius. Jika kubebaskan
dan dia menjentikkan obat bius itu lagi, bukankah aku bakal celaka?”
Rupanya wanita baju putih tahu apa yang diresahkan Han Ping, ia tertawa dingin,
“Mengapa engkau bersangsi? Jika tadi pada saat engkau sedang termenung-menung,
kujentikkan obat bius itu kepadamu, apakah engkau mampu menghindar….”
Ia menghela napas, katanya pula, “Engkau tentu mendendam kepadaku karena
kubuatmu pingsan dan kurampas pedang pusakamu. Tetapi akupun tertipu orang. Orang
yang memikatmu datang kemari itulah pencuri yang sebenamya. Ah, tak kira durjaha tua
itu licik sekali sehingga kami berdua taci adik dapat disiasati….”
“Hai, engkau masih mempunyai taci? Dimanakah dia sekarang?” Han Ping terkejut
seraya memandang kesekeliling penjuru.
“Dia telah ditutuk jalan darahnya oleh durjana tua itu. Entah dimana
disembunyikannya, aku sendiri tak tahu. Setelah kaubuka jalan darah sikuku ini, kita nanti
mencarinya!” kata wanita baju putih.
“Hm, kapankah aku meluluskan permintaanmu itu?” dengus Han Ping.
“Huh, kalau tak mau membebaskan sikuku, tak apalah. Tetapi jangan harap engkau
dapat mengejar jejak pencuri sarung pedangmu itu!” balas wanita itu terus berputar tubuh
dan melangkah pergi.
Han Ping loncat mencengkeram baju wanita itu terus diangkatnya keatas, diputar-putar
beberapa kali. Dalam pada memutar itu ia menutuk jalan darah siku lengan wanita itu
yang tertutup itu, kemudian melemparkannya sampai setombak lagi jauhnya . , . .
Tahu setelah membebaskan jalan darahnya, wanita itu akan menjentikkan obat bius,
maka Han Ping terpaksa menggunakan cara yang seistimewa itu.

Tubuh wanita baju putih itu bergeliatan di udara. Setelah berjumpalitan dua kali,
dengan kepala menukik kebawah ia meluncur turun. Pada saat hampir tiba dibumi, sekali
lagi kedua tangannya menampar kebumi. Dengan meminjam tenaga tamparan itu,
tubuhnya berjungkir balik keatas dan pada lain saat tegaklah kedua kaki wanita itu
ditanah….
“Kutahu engkau tentu mau membebaskan jalan darahku. Dan ternyata dugaanku itu
tak salah!” ia tertawa mengikik seraya maju menghampiri pelahan-lahan….
Han Ping mundur beberapa langkah. Sambil lintangkan tangan didada, ia membentak,
“Berhenti! Jika berani maju selangkah lagi, jangan sesalkan aku kejam!”
Tetapi wanita jelek itu tetap tak menghiraukan. Ia tetap maju seraya mengusap
mukanya dengan tangan kanan. Seketika wajah merah yang penuh bintik-bintik
mengerikan itu…. copot!
“Engkau masih takut? Apakah aku mirip dengan bangsa setan?” seru wanita itu dengan
tertawa. Secepat kilat kedua tangannya meraih rambut kepalanya dan tahu-tahu rambut
panjang yang gimbal itu telah berganti dengan sebuah rambut bersanggul yang indah….
Dihadapan Han Ping kini bukan lagi seorang wanita jelek tetapi seorang gadis yang
cantik jelita.
Tetapi pemuda itu memang aneh. Bukannya terpesona memandang kecantikan si nona
tetapi ia malah menaburlan pedang Pemutus Asmara sehingga hawa dingin dari pedang
pusaka berhamburan kesekeliling penjuru.
Nona baju putih itu terkejut dan menyurut mundur. Seketika marahlah ia, “Mau apa
engkau ini!”
“Hm, apakah engkau masih mau menggunakan lain macam ilmu siasat lagi? Jangan
harap engkau mampu menyiasati aku!” sahut Han Ping.
Nona itu tertegun tetapi pada lain saat ia tersenyum serunya, “Engkau takut aku
menggunakan jentikan obat bius untuk mencelakai engkau lagi!” – Nadanya lemah lembut
penuh sifat kekanak kanakan.
“Segala macam ilmu Hitam, tentu tidak suci. Mengapa engkau merasa bangga?” sahut
Han Ping.
“Umurmu masih muda belia tetapi mulutmu garang sekali. Hm, seluruh dunia persilatan
siapakah yang tak kenal akan ilmu jentikan obat Bi-hun-hun dari kaum Lembah Raya lblis
digunung Hun-bong-san….”
“Betapapun sakti ilmu mencelakai orang dengan segala macam obat bius itu, namun
kemenangan yang diperolehnya itu bukan suatu kemenangan yang gilang gemilang.
Segala macam ilmu setan dari golongan Hitam itu, bukanlah suatu kepandaian ilmu silat
yang sejati. Huh, menilik gerak gerikmu sepertinya engkau tak tahu bahwa didunia
beradab terdapat kata yang dinamakan Malu!”

Dampratan halus yang tajam itu telah mem buat si nona baju putih tertegun. Beberapa
saat kemudian baru ia menghela napas, ujarnya, “Sampai sekian besar, belum pernah aku
menerima dampratan orang semacam ini.”
Mendengar sikap dan nada nona itu masih seperti kanak-kanak, Han Pingpun tertawa.
“Mengapa engkau tertawa? Aku berkata dengan sebenarnya, apakah masih salah lagi?”
“Rupanya hatimu masih murni, masih dapat diperbaiki,” kata Han Ping.
Dara itu tertawa, “Ah, belum tentu. Setiap kali aku marah, aku dapat membunuh orang
tanpa berkedip. Taciku ini jauh lebih lihay dari aku. Tak sedikit jago-jago silat yang sakti,
mati ditangan taciku. Tetapi apabila hatinya senang, wah, dia luar biasa baik dan ramah
kepada orang….”
Mendengar dara itu mengoceh jauh-jauh, Han Ping segera menukas, “Maaf, aku tiada
tempo mendengarkan kata-kata nona tentang hal-hal yang tidak penting itu. Harap segera
memberitahukan siapakah yang telah melarikan sarung pedangku itu!”
“Dia tak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Muncul perginya tak dapat didugaduga.
Dalam dunia yang begini luas, kemanakah engkau hendak mencarinya? Lebih baik
kita tolong taciku dulu agar dia mau membantu mencarikan orang itu, Selain luas
pengalaman, taciku itu pintar dab banyak akal. Tentu dapat merencanakan pencarian itu!”
Han Ping mengeluh dalam hati. Sekalipun tampaknya dara itu masih muda belia dan
masih seperti kanak-kanak, tetapi rupanya sudah banyak pengalamannya dalam dunia
persilatan. Terhadap dara semacam itu, tentu sukar untuk memaksa. Bahkan salah-salah
malah dapat menimbulkan salah paham.
Diam-diam Han Pingpun mengakui bahwa karena ia masih hijau dalam dunia persilatan,
tentu sukar untuk mencari jejak pencuri itu. Dan agaknya sebelum tacinya ditolong, dara
baju putih itu tak mau mengatakan nama dari pencuri itu.
Akhirnya Han Ping memutuskan untuk bersabar beberapa waktu lagi. Setelah berhasil
mendapat keterangan nama dan tempat tinggal pencuri itu, barulah ia lepaskan diri dari
libatan dara itu.
Karena melihat Han Ping tak bicara, dara itu berkata pula, “Mengapa engkau diam saja?
Apakah engkau masih mencurigai aku? Ai, memang tak dapat mempersalahkan engkau.
Karena tindakanku menyaru jadi setan dan membiusmu pingsan tadi sehingga engkau
kehilangan sarung pedang, engkau tentu masih membenci kepadaku. Tetapi karena nasi
sudah menjadi bubur, maka kita harus menghadapi kenyataan ini, Kim lokoay itu
bersahabat baik dengan ayahku dan Kami pun biasanya memanggil paman kepadanya,
Tetapi ternyata begitu melihat keuntungan, dia cepat berpaling muka. Dengan keji, dia
mencelakai taciku….”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, “Hm, licik benar setan tua itu. Dia telah
mengatur rencana yang licin sekali. Sengaja ia tinggalkan pedang itu agar begitu engkau
sadarkan diri tentu terus membunuhku. Dengan begitu, aku mati secara gelap dan engkau
tak bisa mendapat keterangan siapa yang mencuri sarung pedang itu. Untuk mempertebal
kecurigaanmu, dia sengaja menutuk jalan darahku supaya aku tak dapat bicara. Dia
memperhitungkan engkau tentu marah dan segera membunuhku. Andaikata ayahku

dikemudian hari menyelidiki peristiwa pembunuhan ini, ayahpun takkan menduga kalau
Kim lokoay itu yang melakukan. Ho, dia tentu tak mengira sama sekali bahwa sepandaipandainya
tupai melompat sesekali akan tergelincir juga. Engkau tak membunuh aku
bahkan membebaskan jalan darahku dan menanyakan perihal urusan ini…. “
Han Ping tertawa tawar, “Yang kutanyakan adalah tentang sarung pedang ini!”
“Entah bagaimana maksudmu, tetapi yang jelas engkau tak membunuhku. Ini sudah
cukup membuat aku berterima kasih kepadamu!”
“Ah, tak perlu!” tukas Han Ping,“yang kuminta hanyalah supaya engkau
memberitahukan siapa pencuri sarung pedangku itu. Dan ini sudah cukup memuaskan
hatiku!”
“Ai, engkau ini bagaimana?“ lengking dara itu, “bukankah sudah kukatakan bahwa dia
tak mempunyai tempat tinggal yang tentu. Masakan aku mau membohongimu? Hm, jika
engkau tetap curiga padaku, lebih baik aku pergi saja dan seumur hidup tak menghiraukan
engkau lagi!“
“Huh, apa rugiku engkau tak menghiraukan diriku. Akupun tak mengharap engkau
mengurus aku!“ Han Ping memaki dalam hati. Namun ia tak mengatakan dengan mulut. Ia
harus bersabar sedapat mungkin.
Tiba-tiba dara itu tertawa segar, “Jangankai engkau. Sedang aku yang sudah kenal baik
pada setan tua itu tetap tak berdaya mencari jejak nya. Hanya tacikulah yang dapat
memikirkan daya untuk memecahkan persoalan ini!“
Kembali Han Ping mendamprat dalam hati. Selalu mulut dara itu membanggakan
tacinya. Padahal jika tacinya itu lihay, masakan kena dicelakai orang.
“Dimana tacimu sekarang? Bagaimana kita hendak mcncarinya?“ akhirnya Han Ping
bertanya juga.
Dara itu merenung beberapa jenak. Tiba-tiba ia menjerit terus lari….
Han Ping tertegun. Pada lain saat ia menyadari kalau dara itu hendak melarikan diri.
Cepat ia hendak gunakan ilmu Pat-poh-kam-sian, sebuah ilmu meringankan tubuh yang
hebat.
Tiba-tiba dara itu berpaling dan melambaikan tangannya, “Lekaslah! Jika terlambat, taci
tentu tiada tertolong jiwanya!“
Han Ping cepat menyusul. Tetapi ia tetap menguatirkan kemungkinan dara itu akan
menjentikkan obat bius lagi maka ia tak mau lari menyusul rapat-rapat dan hanya
mengikuti dibelakangnya dalam jarak tertentu.
Ternyata kedua muda mudi itu memiliki ilmu ginkang atau meringankan tubuh yang
hebat. Dalam beberapa kejab saja mereka sudah lari sampai 3-4 li dan tiba disebuah
belantara yang penuh dengan rumput kering.
Dara itu berhenti. sejenak memandang kesekeliling ia segera menghampiri seonggok
tumpukan rumput kering. Diobrak-abriknya rumput kering itu. Setelah tumpukan rumput

habis dilempari kemana-mana, ia segera memanggul seorang nona berpakaian hitam yang
rambutnya terurai tak keruan dan mukanya pucat lesi.
Baru dara itu loncat keluar dari tumpukan rumput kering itu, tiba-tiba api menyala dan
terbakarlah rumput kering itu.
Melihat peristiwa itu, bergidiklah hati Han Ping, “Hm, orang itu kejam sekali. Padang
rumput kering itu seluas 2 li. Sekali terbakar nona baju hitam itu tentu hangus jadi abu!”
Cepat ia loncat maju. Maksudnya hendak memadamkan api. Tetapi karena tumpukan
rumput itu kering, dalam sekejab saja sudah tak dapat ditolong lagi.
“Mundurlah, lekas! Setan tua itu licik sekali. Jangan sampai terkena siasat…. “ belum
dara baju putih menyelesaikan peringatannya, sekonyong-konyong dari dalam tumpukan
rumput kering itu segumpal api mencurah keluar. Dengan cepat api itu menjilat tempat
seluas 3-4 tombak. Asap bergulung-gulung tebal sehingga napas sesak dan mata sukar
dibuka….
Han Ping terkejut. Untung ia tak gugup. Cepat ia gunakan gerak Burung bangau
menerobos langit. Tubuhnya melambung keudara, lalu berjumpalitan diatas sehingga
seperti orang berdiri. Setelah itu ia gunakan ilmu lari cepat Pat poh leng gong lari diudara
dan melayang turun dua tiga tombak jauhnya. Benar dengan gunakan jurus luar biasa itu
ia selamat dari lautan api tetapi tak urung bajunya terbakar juga.
Saat itu si dara sudah meletakkan si nona baju hitam ditanah dan terus hendak
menolong Han Ping. Melihat pemuda itu dapat menyelamatkan diri, ia girang dan lari
menghampiri untuk mengebut-ngebut baju Han Ping yang termakan api.
“Wah, ilmu ginkangmu hebat benar. Jika aku, tentu sudah terbakar mati, paling tidak
tentu terluka berat,” dara itu tertawa memuji.
Baru pertama kali itu Han Ping dipuji oleh seorang gadis. Ia tersipu-sipu. Rasa benci
kepada dara itu agak menurun. Ia mengucap kata-kata merendah dan mengatakan bahwa
lukanya tak seberapa.
“Memang yang terbakar hanya bajumu, tak sampai melukaimu,” dara itu tertawa lalu
lari menghampiri tacinya lagi lalu dipanggulnya, “api tak dapat ditolong lagi, mari kita cari
lain tempat untuk menolong taciku ini!”
Melihat wajah nona baju hitam itu, buru-buru Han Ping palingkan muka dan bertanya
kepada si dara baju putih, “Eh, apakah tacimu itu juga memakai kedok muka?”
Dara itu tertawa, “Taciku jauh lebih cantik dari aku. Tak percaya? Silahkan melihat
sendiri!”
Han Ping berpaling dan benarlah. Nona baju hitam yang jelek rupanya itu ternyata
seorang gadis yang cantik sekali. Sekalipun dalam keadaan pingsan, kecantikannya tetap
menonjol.
“Kalian berdua ternyata gadis cantik-cantik, mengapa memakai kedok muka seperti
setan?” tanya Han Ping.

“Anak buah Lembah Setan semua memakai kedok muka. Sejak kecil mula aku dan taci
suka menyaru jadi setan. Dikemudian hari, engkau….” tiba-tiba dara itu berhenti bicara
lalu memandang Han Ping, ujarnya, “ah, tak perlulah kiranya membicarakan soal itu lagi.
Karena rahasia dari Lembah Setan, tak boleh diberitahukan orang. Apabila ketahuan, aku
tentu akan menerima hukuman!”
Han Ping mendesah dan tak mau bertanya lagi. Ia mengikuti berjalan dibelakang dara
baju putih.
Beberapa lama kemudian, dara itu tiba-tiba berhenti dan berpaling kebelakang,
“Apakah engkau tak senang hati?”
“Tidak apa-apa,” Han Ping tertawa hambar.
Dara baju putih itu menghela napas, “Kaum persilatan jarang sekali yang tak tahu
nama Lembah Setan dari gunung Hun-bong-san. Tetapi yang pernah datang ke Lembah
Setan, sedikit sekali jumlahnya. Kecuali mendapat izin dari pemimpin lembah dan disambut
oleh orang-orang Lembah Setan, orang tentu tak menyadari kalau sudah memasuki
lembah itu….”
“Ah, aku tak percaya,” Han Ping tertawa.
Dara itu hendak bicara lagi tetapi tiba-tiba tak jadi. Ia hanya menghela napas. Ia
melanjutkan langkah menuju kesebuah bangunan gedung besar, katanya, “Kita masuk
kedalam gedung ini, membuka jalan darah taci lalu melanjutkan perjalanan lagi.”
Memandang bangunan gedung yang besar megah, berkatalah Han Ping, “Apakah kita
tak sungkan masuk kegedung orang pada waktu tengah malam buta begini?”
Dara itu tertawa, “Menilik sikapmu seperti seorang pelajar itu, rupanya engkau bukan
seperti orang dari dunia persilatan. Gedung ini kosong tiada penghuninya. Kalau tak
percaya, mari kita masuk!”
Melihat keadaan gedung itu sunyi senyap, diam-diam Han Ping membenarkan kata-kata
si dara.
Si dara sudah mendahului loncat kepagar tembok. Ternyata gedung itu sebuah rumah
besar terdiri dari berlapis-lapis ruang. Dan tampaknya si dara itu seperti pulang
kerumahnya sendiri. Sambil memanggul tacinya, ia langsung menuju kebagian belakang.
Dalam mengikuti dibelakangnya, diam-diam Han Ping heran dan curiga. Mengapa dara
itu sangat paham akan keadaan gedung. Diam-diam ia bersiap-siap menghadapi
kemungkinan apabila dara itu hendak melancarkan siasatnya menabur obat bius lagi.
Setelah melintasi dua buah halaman, tibalah dara itu disebuah halaman kecil yang
penuh dengan pot bunga. Ia tertawa “Eh, siapakah yang menyusun halaman ini begini
indahnya?”
la naik kesebuah kamar yang berada dititian ketiga, lalu membuka pintunya.
Tiba dimuka pintu, tiba-tiba Han Ping membau bau yang harum. Ia terkejut dan
mundur dua langkah. Kamar itu tentu kamar seorang gadis, ia tak mau ikut masuk.

Tiba-tiba kamar menyala penerangannya. dan terdengarlah dara baju putih itu
meneriakinya supaya masuk.
“Ah, ini kamar wanita, tak pantas kalau aku masuk,” sahut Han Ping
Dara itu tertawa mengikik, “Selain aku dan taci, didalam sini tiada orangnya lagi, hayo,
masuk lah!”
Han Ping menimang. Kedua gadis itu adalah gadis persilatan. Terhadap mereka rasanya
tak perlu terlalu memakai peradatan. Segera ia melangkah masuk.
Sebuah kamar yang indah megah. Dindingnya berkilau laksana batu mustika, lantainya
tertutup permadani, penuh dengan hiasan yang indah-indah. Diujung dinding terdapat
sebuah ranjang kayu ukir-ukiran, bantal dan kain sprei disulam indah. Jelas tentu kamar
seorang gadis.
Dara itu rebahkan tacinya diatas ranjang lalu duduk bersila melakukan pertolongan
dengan mengurut jalan darah yang tertutuk.
Ternyata orang tua yang disebut Kim loji itu telah menggunakan tutukan keras pada
nona baju hitam. Sehingga walaupun sudah siuman, keadaannya masih lemah. Setelah
membuka mata, perlahan-lahan ia duduk. Dingin sekali sikapnya. Seolah-olah ia tak
merasa bahwa baru saja ia diselamatkan dari bahaya maut. Han Ping menganggap, nona
itu kelewat angkuh.
“Cici, kita telah ditipu sisetan tua Kim. Jika tiada dia yang menolong, kita tentu sudah
mati,” kata si dara baju putih seraya menunjuk kepada Han Ping.
Nona baju hitam itu hanya tertawa dingin. Memandang kepada pemuda itu, ia
bertanya, “Siapakah engkau? Mengapa engkau menolong kami berdua saudara?”
Han Ping terkesiap. Ia benar-benar tak mengira kalau akan mendapat teguran yang
sedemikian tak kenal aturan, tak tahu terima kasih.
“Sama sekali aku tak bermaksud menolong, melainkan karena hendak mencari sarung
pedangku yang hilang!” sahut Han Ping.
Menatap pedang pusaka anak muda itu, bertanya pula nona baju hitam itu,
“Kemanakah sarung pedangmu itu?”
Si dara baju putih cepat menyambuti, “Sarung pedangnya diambil oleh Kim lokoay. Kita
bantu mencarikannya!”
“Hm, mengapa kita harus membantunya? Mengingat dia sudah menolong kita, biarlah
dia pergi membawa pedangnya!”
Hampir meledak dada Han Ping karena marahnya. Untung sebelum ia memberi reaksi,
si dara baju putih sudah mendahului berkata, “Tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Dia
membantu aku menolongmu. Kita cari Kim lokoay dan merebut sarung pedang itu!”

Si nona baju hitam merapikan rambut yang kusut masai lalu turun dari ranjang dan
menghampiri Han Ping.
Han Ping terkejut. Diam-diam ia bersiap. Selain kerahkan tenaga dalam, pun menutup
pernapasannya untuk menjaga kemungkinan nona baju hitam itu akan menaburkan obat
bius. Dilihatnya si dara baju putih tak henti-hentinya memberi isyarat tangan sambil
tersenyum. Maksudnya melarang dia jangan sembarang bertindak.
“Tahukah engkau siapakah Kim loji yang melarikan sarung pedangmu itu?” tanya nona
baju hitam itu ketika tiba dihadapan Han Ping. “Lebih baik hapus saya keinginanmu
merebut sarung pedang itu!”
Karena tengah menahan napas, maka Han Ping tak dapat bicara. ya hanya geleng
kepala tanda menolak anjuran nona itu.
Melihat sikap pemuda itu; si nona baju hitam tertawa, “Eh, mengapa tak mau bicara?
Kim loji itu adalah tokoh persilatan yang termahsyur. Semua orang persilatan takut dan
mengindahkan kepadanya. Jika engkau hendak merebut kembali sarung pedang itu,
bukankah seperti mengantar jiwa dengan sia-sia?”
Han Ping tetap jeri terhadap bubuk bius.
Sebenarnya ia tak mau bicara. Tetapi ketika mendengar kata-kata nona baju hitam itu
seperti tak mengandung maksud jahat, ia merasa bingung. Baik menyahut atau tidak.
Tiba-tiba si dara baju putih loncat turun dari ranjang seraya tertawa, “Ah, cici; dia
memiliki ilmu silat yang tinggi. Mungkin lebih lihay dari cici sendiri. Andaikata dia tak dapat
menghadapi Kim loji, kalau kita bantu, tentu menang!”
Wajah nona baju hitam itu menampil keraguan, sahutnya, “Engkau tentu tahu sendiri
bagaimana kesaktian Kim loji itu. Kita berduapun tak menang. Sekalipun tambah seorang
lagi, tetap sama saja!”
Dengan ucapan itu si nona baju hitam jelas meremehkan kepandaian Han Ping.
“Tetapi jelas bahwa kepandaiannya tak dibawah kita berdua. Jika tak percaya, silahkan
cici mencobanya!” seru si dara. Ia agak mengkal karena tacinya tak percaya.
“Memang aku tetap tak percaya,” sambil tertawa dingin, sekonyong-konyong nona baju
hitam itu merangsang dengan kedua tangannya untuk menutuk dua buah jalan darah
ditubuh Han Ping. Gerakan itu cepat dan tak terduga-duga.
Sekalipun sudah bersiap tetapi tak urung Han Ping terkejut juga melihat kecepatan dan
ketepatan nona itu menyerang. Diam-diam ia mengakui memang kepandaian nona itu
lebih lihay dari adiknya, si dara baju putih.
“Ah, jika tak kukeluarkan jurus istimewa, sukarlah mengalahkannya dalam waktu yang
cepat,” diam-diam ia memutuskan cara menghadapi nona itu.
Sambil mencekal pedang Pemutus Asmara ditangan kanan, tubuhnya condong merebah
kesamping kiri. Lalu tangannya kiri tiba-tiba nyelonong kebelakang punggung untuk
menangkap pergelangan tangan si nona.

Jurus itu dinamakan Pok-liong-pak-hay atau menangkap naga dari laut utara. Salah
sebuah dari keduabelas jurus ilmu Kin-na-jiu atau ilmu merebut senjata musuh, ajaran
mendiang Hui Gong siansu yang sakti.
Si nona baju hitam terlongong kaget….
Jilid 4 Pertempuran sengit dengan Si Bungkuk
Bagian 7
Si Bungkuk
Sekalipun baru pertama kali itu Han Ping menggunakan, tetapi karena ilmu Kin-na-jiu
ajaran mendiang Hui Gong siansu itu suatu ilmu kesaktian yang jarang terdapat didunia
persilatan, maka selagi sinona baju hitam terlongong-longong, tahu-tahu tangannya kena
dicengkeram.
Mengingat kepentingan mencari sarung pedang, tak mau Han Ping cari perkara dengan
kedua nona itu. Ia hanya gunakan dua bagian tenaganya untuk mencekal lalu
mendorongnya sampai tiga langkah. Sedang ia sendiri tetap tegak ditempat semula.
Nona baju hitam itu termangu. Kemudian menghela napas, ujarnya : “Adikku benar,
kepandaianmu memang lebih tinggi dari kami berdua, Jika kita bertiga bersatu, mungkin
dapat menghadapi Kim lokoay itu!”
Sesungguhnya tak puas hati Han Ping mendengar kedua taci beradik itu tak habishabisnya
memuji kepandaian Kim lokoay. Namun ia tak mau membantah. Apabila salah
ucap, salah-salah dapat menyebabkan kedua nona itu ngambek, tak mau membantu
mencari sarung pedang.
Saat itu sidara baju putih sandarkan kepala kedada tacinya dan bertanya manja :
“Kalau begitu, cici suka meluluskan, bukan?”
Nona baju hitam tersenyum. Ia mengangguk : “Karena dia sudah memberi pertolongan
pada kita, sudah selayaknya kitapun harus membantu kesukarannya. Tadi aku masih
menyangsikan kepandaiannya dan kuatir kita tak mampu menghadapi tua bangka Kim itu
....”
Sidara baju putih tertawa mengikik : “Adakah cici sekarang sudah percaya ?”
Tiba-tiba nona baju hitam itu mengerut tegang dan berkata dengan dingin : “Belum
yakin sekali. Karena kalau dia seorang diri yang menghadapi Kim lokoay, tentu tetap kalah
!”
Si Baju putih takut pada tacinya dan tak berani berkata apa-apa lagi.
Setelah menyaksikan sikap dan pembicaraan kedua taci beradik itu, diam-diam Han
Ping mendapat kesan. Kedua nona itu mempunyai perangai yang mudah berobah dan
sukar diduga. Ia harus hati-hati terhadap mereka. Jangan sampai seperti kata pepatah

'Yang dikejar tak tercapai, yang dikandung berceceran'. Sarung pedang tak dapat
diketemukan, pedang pusakapun ikut hilang.
Tampak sinona baju hitam berdiam diri merenung. Pada lain saat ia melonjak, serunya :
“Lekas, jika terlambat, Kim lokoay tentu sudah pergi jauh. Sukar kita mengejarnya !”
Sidara baju putih dan Han Ping tak mengerti maksud nona baju hitam itu. Sidara baju
putih segera menanyakan.
Sinona baju hitam tertawa dingin. Tiba-tiba ia meniup padam penerangan kamar.
Sudah tentu Han Ping terkejut. Dalam kegelapan, sukarlah untuk menjaga kemungkinan
kedua nona itu menggunakan bubuk bius. Ia mundur dua langkah.
“Mengapa takut ?” tegur sinona baju hitam, “tanpa memadamkan lampu, jika memang
hendak menaburkan bubuk bius, bukankah tetap dapat kulakukan ?”
Tersipu-sipu Han Ping mendengar sinona menyindirnya. Karena tak dapat menjawab, ia
hanya tertawa menyeringai.
“Kim lokoay selalu bekerja dengan teliti. Dia tak mau membunuh kami berdua saudara
karena takut akan pembalasan ayah. Walaupun dia sakti, tetapi tetap takut juga kepada
pihak Lembah Setan. Maka dia menggunakan siasat pinjam tangan orang. Pada saat
adikku menyaru jadi setan, dia telah menutuk jalan darahku lalu menimbuni tubuhku
dengan rumput kering ...” kata sinona baju hitam.
“Waktu mengajak kami supaya membantunya merebut pedang pusaka itu, diam-diam
Kim lokoay telah menyiapkan rencana untuk mencelakai kami”, sinona baju hitam
melanjutkan ceritanya pula. “Dalam tumpukan rumput kering itu ia menyulut sebatang
dupa yang ditancapkan diatas obat pasang. Begitu dupa itu terbakar habis, apinya tentu
menjilat obat pasang dan terbakarlah rumput kering itu. Rupanya ia ngotot sekali untuk
membakar aku. Untuk menjaga kemungkinan hal itu gagal, ia membuat sumbu yang
panjang dan dililitkan pada tumpukan rumput yang menutup diriku....”
“Apakah saat itu cici belum pingsan ?” tanya sidara baju putih.
“Pertama kali dia tak menggunakan tutukan berat sehingga aku masih dapat melihat
apa yang dilakukan. Saat itu aku masih mengejeknya mengapa dia begitu takut kepadaku.
Diam-diam aku yakin, dalam setengah jam lagi tentu dapat bergerak. Hatikupun lengah.
Siapa tahu ternyata bangsat tua itu licik sekali. Setelah selesai mengatur persiapan, dia
menutuk lagi dua buah jalan darahku !”
Han Ping menghela napas : “Hm, dunia persilatan memang berbahaya. Kawan makan
kawan sendiri,” pikirnya.
“Eh, mengapa menghela napas ?” tegur nona baju hitam itu,” banyak pengalamanku
yang jauh lebih hebat dari itu !”
Han Ping tertegun. Dengan gadis yang berwatak dingin dan aneh itu, sukarlah diajak
berkawan. Diam-diam timbul kesan tak senang. Tetapi karena masih membutuhkan
tenaganya untuk mencari sarung pedang itu, terpaksa ia menahan perasaannya.

“Tetapi sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali tentu jatuh juga,” kata sinona
baju hitam pula, “kukira setelah terbit, kebakaran, Kim lokoay tentu akan kembali
meninjau lagi kesitu. Kalian berdua harus pura-pura menggeletak ditempat tadi, pura-pura
masih pingsan. Dan aku nanti akan bersembunyi didekat tempat kalian. Begitu Kim lokoay
muncul dan berjongkok hendak mencelakai, moay-moay cepat gunakan bubuk bius
menaburnya supaya pingsan. Dengan demikian tanpa bertempur kita dapat merebut
kembali sarung pedang itu. Tetapi apabila rencana itu gagal, aku akan keluar membantu.
Dengan tenaga kita bertiga, walaupun tak dapat menang tetapi sekurang-kurangnya dapat
bertahan. Hanya saja harapan untuk merebut sarung pedang itupun tipis !”
Habis berkata ia terus menyuruh adiknya dan Han Ping supaya lekas pergi.
Tiba ditempat tadi, sidara baju putih terus rebahkan diri ditanah. Han Ping meragu
sebentar lalu ikut menggeletak disebelahnya. Pedangpun diletakkannya disamping.
Memandang keangkasa, kedengaran nona baju hitam itu menghela napas : “Kukira Kim
lokoay tentu tak mau datang kemari !”
“Mengapa ?” tanya Han Ping.
Dara baju putih itu tertawa hambar : “Jika dia berani datang kembali, tentu takkan lolos
dari taburan bubuk biusku dan engkau tentu dapat mengambil kembali sarung pedangmu
!”
“Benar, memang sarung itu pemberian dari seorang locianpwe yang tak boleh
kuhilangkan !” sahut Han Ping.
“Apakah setelah mendapat sarung pedang itu, engkau akan berpisah dengan kami
berdua ?” tanya sidara.
Tak terduga Han Ping akan menerima pertanyaan yang diucapkan dengan nada beriba
itu. Sebelum ia sempat mencari kata-kata untuk menyahut, tiba-tiba terdengar suara
bentakan bengis : “Apa itu berpisah atau tidak berpisah, sudahlah jangan membicarakan
soal itu !”
Yang membentak itu sinona baju hitam dan sidara baju putih rupanya takut kepada
tacinya itu. Dia tak mau berkata apa-apa lagi. Kemudian ia mengenakan kedok muka lagi.
Seketika seorang dara yang cantik jelita segera berobah menjadi seorang makhluk yang
berwajah seram.
Sekalipun tahu kalau hanya memakai kedok, tetapi karena bentuk wajah kedok itu
seram sekali, Han Ping segera palingkan muka.
Saat itu sudah menjelang tengah malam. Suasana ditempat itu makin sunyi dan seram.
Hanya desir angin dan bunyi burung hantu yang terdengar menambah keseraman
suasana.
Tengah Han Ping tertegun memandang kebakaran dipadang rumput itu, tiba-tiba
tangannya terasa disambar sebutir pasir. Ketika berpaling dari arah selatan tampak
sesosok bayangan lari mendatangi. Cepat sekali bayangan itu tiba ditempat kedua pemuda
itu menggeletak.

Orang itu menunduk dan mengamat-amati Han Ping serta sidara baju putih. Dia
tertawa sinis lalu memandang kearah kebakaran.
Dalam pada itu diam-diam Han Ping sempat memperhatikan bahwa orang itu tak
membekal senjata, mengenakan baju biru, jenggot putih bertubuh kekar tetapi agak
bungkuk. Dengan tajam Han Ping memandang keseluruh tubuh orang itu tetapi ia tak
melihat sarung pedang.
Kemudian Han Ping melirik kearah sidara baju putih untuk mencari keterangan apakah
orang itu yang mencuri sarung pedangnya.
Celaka, sidara baju putih tampak malah pura-pura tak tahu. Kerut wajahnya
bergemerucutan. Suatu tanda bahwa ia sendiri juga tak kenal dengan orang tua bungkuk
itu.
Sementara sinona baju hitam yang bersembunyi, juga tak meperlihatkan suatu tanda
apa-apa.
Sudah tentu Han Ping bingung. Jika pendatang itu memang bukan sipencuri sarung
pedang, kiranya tak perlu harus pura-pura pingsan lagi. Tetapi celakanya ia tak dapat
menghubungi kedua gadis itu dan merekapun tak memberi isyarat suatu apa, ia sungkan
bertindak sendiri.
Sebelum tahu apa yang hendak dilakukan, tiba-tiba Han Ping dikejutkan oleh suitan
nyaring dari si Bungkuk. Suaranya melengking dahsyat menembus awan sehingga
kesunyian malam seolah-olah dipecahkan.
Han Ping tergetar hatinya. Ia cemas ilmunya lwekang kalah dengan orang itu.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suitan berulang kali dan tak lama bermunculanlah
beberapa sosok tubuh orang.
Han Ping terperanjat. Ia heran mengapa dalam tempat sedemikian sunyi muncul sekian
banyak tokoh-tokoh berilmu tinggi.
Suitan dari empat penjuru itu makin lama makin dekat dan pada beberapa saat mereka
tiba disamping si Bungkuk. Empat lelaki baju hitam muncul dan berdiri setombak jauhnya
dari si Bungkuk.
Belasan mata mereka mencurah kearah Han Ping dan sidara baju putih yang
menggeletak ditanah. Mereka tegak menjulur tangan. Sikapnya amat menghormat sekali
kepada si orang tua Bungkuk,
Tiba-tiba si Bungkuk menghentakkan kakinya ketanah dan hentakan itu menyebabkan
pedang pusaka mencelat keatas !
Han Ping terkejut sekali. Dalam pengamatannya sejak muncul, si Bungkuk itu tak
memandang kearah pedang pusaka. Seolah-olah seperti tak tahu. Maka gerakannya itu,
benar-benar diluar dugaan Han Ping.

Pedang pusaka adalah merupakan janjinya kepada Hui Gong siansu. Dan janji baginya
adalah kehormatan dan nyawanya. Saat itu Han Ping tak mau berpeluk tangan lebih jauh.
Dalam gugupnya, ia segera melenting keatas menyambar pedang pusaka itu.
Tepat pada saat itu si Bungkukpun tengah julurkan tangan kanan untuk menyambar
pedang. Keduanya bergerak cepat sekali. Ujung jari tangan Han Ping menyentuh tangkai
pedang. Tangan si Bungkukpun tiba. Semula hendak menyambar tangkai pedang tetapi
karena kedahuluan orang, tangannya dirobah menjadi gerak serangan. Dengan jari
telunjuk dan tengah, menutuk siku lengan Han Ping.
Tutukan itu cepat dan tak terduga-duga. Betapapun tinggi kepandaian Han Ping,
namun ia terpaksa harus melindungi siku lengannya. Cepat ia balikkan tangan untuk
menabas siku lengan orang.
Akibat perobahan serang menyerang itu, keduanya gagal untuk meraih tangkai pedang.
Dan jatuhlah pedang pusaka itu ketanah lagi....
Kepandaian si Bungkuk itu ternyata mengejutkan orang. Ia surutkan lengan yang
hendak ditebas tangan Han Ping, maju merapat, ia menusuk lambung lawan. Sekaligus
dua gerakan telah dilancarkan. Masih ditambah lagi dengan sebuah tendangan kearah
pedang pusaka.
Karena batang pedang Pemutus Asmara itu berkilat-kilat tajam dan memancarkan hawa
dingin, maka kedua orang itu tak berani sembarangan mencengkeram dibagian batang.
Han Ping miringkan tubuh untuk menghindarkan lambungnya dari tutukan si Bungkuk.
Bukannya mundur dia bahkan maju selangkah dan menusuk dengan kedua jari kearah jari
lawan. Kemudian kakinya kanan diayun untuk menyongsong tendangan orang. Dengan
demikian tusukan jari disongsong dengan tusukan jari. Tendangan disambut dengan
tendangan.
Si Bungkuk terkejut melihat gerakan lawan yang sedemikian luar biasa. Cepat-cepat ia
mundur dua langkah.
Pertarungan secara merapat itu memang tampaknya tiada sesuatu yang
mengagumkan. Tetapi bagi pandangan seorang ahli, pertempuran itu merupakan
pertempuran maut yang ganas. Sedikit lambat bergerak saja tentu akan berakibat
kematian. Adalah karena keduanya bergerak cepat sekali maka keempat lelaki baju hitam
dan sidara baju putih tak sempat berbuat suatu apa.
Adalah karena takut si Bungkuk menendang pedang pusaka ketempat anak buahnya,
Han Ping menendang keras sekali. Tetapi karena tendangannya luput, tubuhnya agak
menjorok kemuka. Hal ini disebabkan karena ia masih belum dapat menguasai gerak
permainannya dengan sempurna.
Cepat-cepat ia berputar tubuh hendak meraih pedangnya tetapi saat itu juga dua
batang pedang telah menyerangnya dari atas dan bawah. Ternyata penyerangnya itu
adalah dua dari keempat baju hitam yang berdiri dibelakang si Bungkuk.
Kehilangan sarung pedang dirasakan suatu pukulan berat pada batin Han Ping. Sudah
tentu dia tak mau kehilangan batang pedangnya.

Dengan menggembor keras ia miringkan diri menghindar kesamping. Kemudian
gerakkan sepasang tangannya. Yang sebelah kiri menabas musuh sebelah kanan. Tangan
kanan gunakan ilmu Kin-na-jiu atau dengan tangan kosong merebut senjata, menyambar
pedang musuh yang menyerang dari kiri.
Adalah karena gugup maka Han Ping menghantam sekeras-kerasnya sehingga lawan
terpaksa loncat kebelakang. Dan tangan kanan secepat kilat menyambar lengan musuh
disebelah kiri. Sekali memelintir dan mendorong, pedang orang itupun sudah berpindah
ketangannya.
Dua belas jurus ilmu Kin-na-liong-jiu merupakan salah satu pelajaran dari kitab Tat-moih-
kin-keng yang jarang terdapat didunia persilatan. Dalam masa itu hanya beberapa
tokoh saja yang mampu memecahkan gerakan luar biasa itu.
Mendapat hasil yang cemerlang, semangat Han Ping makin berkobar. Segera ia putar
pedang rampasannya itu untuk menangkis pedang dari dua lawan yang menyerangnya.
Karena melihat kedua kawannya, yang satu dihantam murdur dan yang satu direbut
pedangnya, kedua lelaki baju hitam yang lain segera maju menyerang.
Setelah berhasil menangkis, kaki kiri Han Ping maju setengah langkah. Dengan tangan
kiri ia lepaskan sebuah pukulan dan dengan pedang yang dicekal ditangan kanan, ia
menyongkel pedang pusaka yang menggeletak ditanah.
Tetapi alangkah kejutnya ketika pedang pusaka Pemutus Asmara yarg sudah berhasil
dicongkel keatas itu tiba-tiba jatuh lagi ketanah. Ah, kiranya pedang yang diperuntukkan
mencongkel itu telah kutung sendiri karena tertindih pedang Pemutus Asmara ....
Han Ping terlongong kaget. Tiba-tiba tiga batang pedang menusuknya dari tiga jurusan.
Dan serempak dengan itu dari arah belakang terdengar jerit lengkingan yang tajam.
Keempat lelaki berpakaian hitam itu ternyata bukan tokoh-tokoh lemah. Setelah
mendapat pengalaman pahit dari Han Ping, kini mereka maju dengan hati-hati. Ketiga
lelaki berpakaian hitam itu masing-masing mencari tempat untuk mengadakan hubungan
kerjasama dalam menyerang Han Ping.
Dengan pedang kutung Han Ping melayani ketiga penyerangnya. Disamping itu ia harus
menjaga pedang pusaka jangan sampai terambil musuh. Karena melakukan tugas
rangkap, Han Ping menahan diri sehingga hanya menangkis dan menghalau serangan
saja.
“Berhenti !” sekonyong-konyong terdengar bentakan bengis. Dan ketika lelaki baju
hitam itupun hentikan serangannya dan mundur.
Menggunakan kesempatan itu Han Ping membungkuk hendak menjemput pedang
pusakanya. Tetapi tiba-tiba terdengar jeritan mengaduh. Ketika berpaling dilihatnya si
Bungkuk tengah mencengkeram pergelangan tangan kanan sidara baju putih. Sedang
tangannya kanan dilekatkan pada punggung dara itu.
“Jika engkau berani mengambil pedang itu, budak perempuan ini tentu akan
kuhancurkan tubuhnya !” seru si Bungkuk dengan nada bengis. Tergetarlah hati Han Ping,

Ia tegak berdiri dan berteriak murka : “Hm, seorang tua bangka tak malu menyakiti
seorang gadis !”
Si Bungkuk tertawa gelak-gelak, serunya: “Jika sungguh-sungguh hendak kubunuh
adalah semudah orang membalikkan telapak tangannya. Yang penting, aku hendak
meminta engkau meluluskan sebuah hal !”
Han Ping termangu, serunya : “Engkau hendak menekan aku dengan menjadikannya
seorang Sandra ? Hm, hm ....”
Si Bungkuk marah sekali : “Engkau tak kenal siapa diriku ini ? Hm, masakan aku sudi
melakukan perbuatan semacam itu !”
“Lalu apa maksudmu, silahkan menerangkan saja. Jika tenagaku mampu, aku tentu
akan melakukannya !”
Wajah si Bungkuk berobah tenang bahkan menyungging senyum. “Sudah berpuluhpuluh
tahun aku berhadapan dengan musuh-musuh yang lihay tetapi aku benar-benar
kagum atas kepandaianmu. Terus terang aku merasa penasaran. Ingin aku menguji
kepandaian lagi denganmu. Bagaimana ?”
Sejenak memandang kearah, keempat lelaki baju hitam. Han Ping hendak berkata
tetapi telah didahului si Bungkuk lagi : “Jangan kuatir. Pertandingan itu hanya terbatas kita
berdua saja. Dalam pertempuran satu lawan satu itu, tak boleh ada yang membantu. Jika
engkau yang menang, aku segera angkat kaki dari sini. Tetapi jika aku menang,
engkaupun harus tinggalkan pedang itu !”
“Jangan termakan tipunya ! Lekas jemput pedang itu !” tiba-tiba sidara baju putih
melengking.
Si Bungkuk kerutkan alis, serunya marah : “Kita mengadu kepandaian secara terangterangan.
Siapa yang kalah dan siapa yang menang. Mengapa engkau menuduh suatu
tipu?”
“Pedang pusaka itu adalah milik kami. Engkau menang, engkau hendak mengambilnya
tetapi kalau engkau kalah engkau hanya angkat kaki saja. Ih, masakan didunia terdapat
hal yang seenak begitu !” sahut sidara.
Si Bungkuk tertawa gelak-gelak: “ Pedang itu merupakan pusaka kuno yang jarang
terdapat didunia. Setiap pusaka harus mempunyai pemilik yang tetap. Jika pedang itu
dikuasai orang yang tak pandai ilmu silatnya, tentu akan menimbulkan keonaran besar...”
Ia berhenti sejenak. Ditatapnya Han Ping dengan tajam lalu berkata pula : “Sekali aku
tak bermaksud hendak merampas barang orang dengan sewenang-wenang. Karena
melihat tadi engkau mengeluarkan beberapa jurus permainan yang luar biasa, tergeraklah
seleraku untuk mengadu kepandaian. Siapa yang menang, dialah yang layak memiliki
pedang pusaka itu. Memang orang yang mempunyai kepandaian seperti aku banyak sekali
jumlahnya didunia persilatan. Maka jika dengan seorang tua semacam aku saja engkau tak
mampu mengalahkan, percuma saja engkau memiliki pedang itu. Karena hal itu berarti
mengundang kematianmu saja. Pun andaikata nanti aku menang, aku tak berani
menggunakannya sendiri. Hendak kuserahkan pedang pusaka itu kepada orang yang lebih

hebat kepandaiannya. Agar pusaka itu benar-benar mendapat tuan yang sepadan. Dengan
demikian dunia persilatan akan mendapat seorang anggota yang benar-benar cemerlang!”
Sebagai seorang muda, sudah tentu Han Ping masih berdarah panas. Mendengar katakata
si Bungkuk itu, seketika bergeloralah semangatnya. Ia tertawa nyaring.
“Pedang ini pemberian dari seorang locianpwe yang telah banyak melepas budi
kepadaku. Jika aku tak mampu menjaga pedang itu, perlu apa aku hidup dalam dunia ?
Usul tuan memang baik sekali. Jika aku kalah, biarlah aku segera mati saja untuk
menghapus rasa malu ....” tiba-tiba ia hentikan bicara. Ia merasa telah kelepasan omong.
Si Bongkok tersenyum, ujarnya : “Pedang pusaka itu tentu mempunyai sejarah hebat.
Yang menyimpan pedang itu, tentulah seorang tokoh yang luar biasa. Menurut kesimputan
dari pengalamanku selama berpuluh-puluh tahun dalam dunia persilatan, tentulah takkan
jauh dari dugaanku itu .... “
Berkata sampai disini tiba-tiba ia alihkan pandang matanya kearah pedang pendak
Pemutus Asmara. Tiba-tiba matanya berkilat-kilat tajam dan cepat-cepat memandang
kepada Han Ping lagi. Diamati pemuda itu dari ujung kaki sampai keatas kepala. Seolaholah
hendak mencari sesuatu.
Tergetarlah hati Hanping. Diam-diam ia telah membulatkan tekad. Pedang itu
menyangkut kehormatan mendiang Hui Gong siansu. Tak nanti ia mau menuturkan
riwayat paderi yang berbudi itu kepada siapapun juga.
“Jika engkau memang berminat sungguh-sungguh hendak memiliki pedang ini,
mengapa tak lekas turun tangan !” serunya. Sekonyong-konyong ia loncat kemuka.
Menghantam dengan tangan kiri, kaki kanan mengungkit batang pedang pusaka keatas
lalu cepat-cepat disambar dengan tangan kanan.
Gerakan menghantam dan meraih pedang pusaka itu seolah-olah dilakukan dengan
serempak. Dan hanya dalam sekejab mata, pedang itupun berhasil berada dalam
tangannya lagi.
Tetapi tiba-tiba si Bungkuk memutar tubuhnya kesamping, menghindari pukulan lalu
memelintir tangan sidara sekeras-kerasnya. Dara itu mengerang kesakitan....
Marah Han Ping bukan kepalang.
“Sudah berjanji mengadu kepandaian untuk memenangkan pedang pusaka itu,
mengapa masih menganas seorang anak perempuan ? Hm, jika engkau hendak menekan
aku dengan menjadikan nona itu sebagai sandra, jangan sesalkan aku bertindak kejam
padamu !” serunya.
Si Bungkuk tertawa dingin : “Jika engkau sudah setuju merebut pedang itu dengan
kepandaian, mengapa engkau menyambar pedang itu lebih dulu ?”
“Kamu berjumlah banyak, lebih baik kuambil pedang itu lebih dulu. Terus terang, aku
merasa sulit bertempur sambil mengawasi pedang itu. Harap jangan kuatir, jika engkau
benar-benar mampu mengalahkan aku, tak nanti aku ingkar janji !” jawab Han Ping.
Si Bungkuk tertawa sinis : “Akupun tak takut engkau mengingkari janji !”

Ia lepaskan lengan sidara baju putih, lalu maju menyerang. Sekaligus dua buah
serangan dilancarkan. Tangan kiri menghantam dengan jurus Mendorong ombak
membantu alun. Tangan kanan memukul dengan jurus Menabas awan puncak gunung.
Kedua pukulan itu disaluri dengan dua macam tenaga dalam.
Sejak digembleng oleh Hui Gong siansu, beberapa kali Han Ping telah mengalami
pertempuran maut. Sekalipun tahu bahwa kepandaiannya sudah bertambah maju namun
ia belum jelas sampai dimana tingkat kemajuan yang telah dicapainya.
Mengempos semangat, ia siap menanti serangan musuh. Begitu melihat serangan
lawan sedemikian hebat, ia tak berani memandang rendah. Ia gerakkan tangan kiri
menahan pukulan dan sambil miringkan tubuh ia menghindari serangan tangan kanan, lalu
mengirim tendangan berantai ....
Si Bungkuk meraung marah. Rambut dan jenggotnya menjungkat tegak. Dengan
sepasang tangan ia menyongsong kedua kaki Han Ping. Gerakan itu telah menimbulkan
tamparan angin yang keras sekali.
Han Ping terkejut. Diam-diam ia memutuskan untuk menghindari adu kekerasan.
Ternyata tenaga dalam si Bungkuk itu hebat sekali. Cepat ia menjejak tanah dan
berjumpalitan diudara lalu melayang turun dua tiga meter jauhnya.
Si Bungkuk tertawa dingin. Ia menyerbu lagi, menyerang dengan kedua tangannya.
Han Ping kerahkan tenaga dalam kearah lengan kiri sedang tangan kanan tetap
menjaga pedang pusaka. Dengan tangan kiri itu ia mainkan ilmu pukulan cap-pik-lo-hanciang
atau 18 jurus pukulan malaikat.
Ilmu pukulan isttmewa itu berlambarkan tenaga keras. Memang bukan olah-olah
dahsyatnya. Tetapi apabila orang yang memainkan tenaganya kurang sempurna,
kebalikannya malah akan mencelakakan dirinya sendiri. Karena ilmu pukulan itu paling
memeras tenaga dalam. Setiap pukulan harus dilambari dengan tenaga dalam yang besar.
Kedahsyatan pukulan itu dapat menghancurkan batu.
Adalah karena melihat si Bungkuk melancarkan pukulan dahsyat, seketika teringatlah
Han Ping akan ajaran mendiang Hui Gong tentang ilmu cap-pik-lo-han-ciang-hwat itu. Dan
tanpa banyak pikir lagi, ia terus memainkannya.
Untunglah sebelumnya, mendiang Hui Gong sudah menyalurkan tenaga dalam yang
telah diyakinkan selama berpuluh tahun. Dengan begitu tenaga dalam yang dimiliki Han
Ping sudah setingkat dengan tokoh kelas satu.
Selekas ia mainkan ilmu pukulan keras itu, bukan melainkan si Bungkuk saja yang
terkejut, bahkan ia sendiripun terkesiap kaget. Benar-benar ia tak mengira bahwa dirinya
telah memiliki tenaga dalam yang sedemikian hebat.
Pukulan keras disambut dengan pukulan keras telah menimbulkan deru angin yang luar
biasa hebatnya sehingga pada jarak beberapa meter, pasir dan debu guguran batu
berhamburan kemana-mana. Keempat lelaki baju hitam dan sidara baju putihpun
terlongong-longong ....

Memang dalam permulaan, gerak pukulan Han Ping masih kaku. Karena disamping
belum pernah menggunakan, iapun harus mengingat kelanjutan jurus pukulan itu beserta
perobahannya. Tetapi setelah beberapa waktu bertempur, gerak pukulannyapun makin
mantap dan paham. Seketika timbullah kepercayaan pada dirinya. Pukulannyapun makin
bertambah dahsyat perbawanya.
Si Bungkuk memang seorang tokoh ahli tenaga keras. Pukulannya terkenal dahsyat.
Setiap orang yang bertempur melawannya tentu tak mau mengadu kekerasan.
Kebanyakan tentu menggunakan kelincahan untuk menghadapinya.
Tetapi kali ini ia ketemu batunya. Diluar dugaan, anak yang masih muda belia itu
ternyata berani mengimbangi adu kekerasan. Padahal Han Ping tak menyadari tetapi
anggapan si Bungkuk tentulah pemuda itu memang sengaja hendak mengadu kekerasan.
Si Bungkuk penasaran sekali. Ia kerahkan seluruh tenaga dalam. Pukulannyapun
bertambah dahsyat. Diibaratkan setiap gerak pukulannya itu dapat membelah gunung ...
Melihat si Bungkuk makin lama makin perkasa, diam-diam Han Ping terkejut juga.
Tetapi dasar anak muda yang masih berdarah panas. Bukannya ia berganti siasat,
kebalikannya malah penasaran. Iapun kerahkan tenaga dalam untuk menghadapinya.
Beberapa saat kemudian, diam-diam si Bungkuk mencuri lirik kearah Han Ping. Tampak
pemuda itu tetap gagah. Sama sekali tak menampakkan tanda-tanda kesukaran dan
kepayahan.
Diam-diam ia merasa heran : “Menilik umurnya paling banyak dia baru 19 tahun.
Sekalipun sejak lahir terus berlatih tenaga dalam, pun tetap tak mungkin mencapai tingkat
yang sedemikian hebatnya. Aneh, aneh! Ha, adakah dia juga serupa dengan pemimpin
kita yang memiliki bakat luar biasa itu ?”
Adalah karena menimang itu maka konsentrasi pikirannya agak terganggu. Sekonyongkonyong
serangkum gelombang angin pukulan dahsyat melandanya. Dia terkejut dan
cepat loncat kesamping.
Bobolnya perlawanan si Bungkuk itu tak disia-siakan Han Ping. Dia tak mau memberi
kelonggaran lagi. Memburu maju, ia mencecer lawan dengan tiga buah pukulan.
Dalam adu pukulan keras itu, setitik lubang kelemahan berarti kerugian besar. Begitu
kehilangan posisi, si Bungkuk menjadi terdesak dibawah angin.
Untung si Bungkuk sudah kenyang makan asam garam pertempuran. Sekalipun
terancam bahaya, ia tetap tak kalut. Segera ia gerakkan kedua tangannya dengan jurus
Memindah gunung menimbun laut. Seluruh tenaga dalam dikerahkan kearah kedua
tangannya.
Krak . . . . karena hanya menggunakan tangan sebelah kiri, begitu saling beradu
pukulan, Han Ping tersurut mundur tiga langkah.
Si Bungkuk berhasil merebut kembali kedudukannya yang telah kacau itu. Tampak
keempat lelaki baju hitam sudah mencabut senjata masing-masing. Mereka mencemaskan
kedudukan si Bungkuk yang berbahaya tadi. Apabila terjadi sesuatu pada si Bungkuk,
mereka sudah siap membantu. Untunglah keadaan berobah sehingga legalah hati mereka.

Pertempuran berlangsung lagi. Tetapi suasananya sudah berobah : “Jika Han Ping
tampak bersemangat sekali karena sudah mendapat kepercayaan atas kepandaian yang
dimiliki saat itu. Kebalikannya si Bungkuk sudah gentar nyalinya. Dia terkejut dan tak habis
mengagumi kesaktian pemuda yang masih begitu muda umurnya tetapi memiliki kesaktian
yang sedemikian mengejutkan.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba terlintaslah pikiran Han Ping untuk menyusupkan ilmu
Kin-na-liong-jiu-hwat yang ilmu menangkap musuh dengan tangan kosong, dalam ilmu
pukulan cap-pik-lo-han-ciang yang tengah dilancarkan itu. Lo-han-ciang keras, Kin-naliong-
jiu aneh dan sukar diduga musuh. Suatu kombinasi yang serasi !
Setelah mendapat pikiran itu, segera ia hendak melaksanakannya. Tetapi pada saat ia
hendak merobah gerak permainannya, tiba-tiba terdengar suara parau dari seorang tua
yang membentak dari samping : “Au Bungkuk, lekas berhenti . . . .”
Menyusul dengan bentakan itu, tiba-tiba serangkum gelombang tenaga lunak, melanda
kearah kedua orang yang sedang bertempur itu.
Si Bungkuk cepat menarik pukulannya. Demikianpun Han Ping. Ketika berpaling
kesamping, tampak seorang tua bertubuh kate tegak berdiri tak jauh dari gelanggang
pertempuran, Orang tua kate itu mengenakan pakaian hitam. Kurus kering, rambutnya
putih dan jenggotnya menjulai panjang sampai kedada.
Melihat si Kate, si Bungkuk deliki mata dan mendamprat : “Oh kate, mengapa engkau
mengacau ? Kalau tak terima, silahkan coba-coba kemari !”
Orang kate itu hanya tertawa dingin; “Engkau kira aku Oh kate ini takut padamu ?
Sayang saat ini aku tak ada tempo melayani engkau. Tuan telah memberi perintah,
menunggu kedatanganmu dirumah penginapan Ban-seng-can di kota Lokyang sampai
besok siang. Jika terlambat datang, jangan tanya dosa !”
“Hm, setan kate, besar sekali nyalimu! Engkau berani memalsu perintah tuan kita.
Tetapi huh, jangan harap engkau dapat menipu aku !” seru si Bungkuk.
Sambil tertawa jemu, si Kate merogoh baju dan mengeluarkan sehelai panji kecil yang
bersulam burung cendrawasih putih. Melihat panji itu, si Bungkuk dan keempat lelaki baju
hitam serta merta tundukkan kepala dan memberi hormat.
“Hai, Au Bungkuk, apakah setelah melihat pertandaan tuan kita ini, engkau tak mau
segera berlutut menerima perintah ?” seru si Kate seraya mengangkat panji cendrawasih
putih tinggi-tinggi keatas.
Diam-diam Han Ping menduga, si Bungkuk yang berwatak keras itu tentu marah karena
dipermainkan si Kate. Tetapi diluar dugaan, ternyata si Bungkuk menurut perintah dan
segera berlutut menghadap panji itu.
Si Kate tersenyum : “Au Bungkuk, sampai jumpa lagi di Lokyang !” - ia menyimpan lagi
panji itu terus lari pergi.
Si Bungkuk cepat berdiri dan berteriak memaki si Kate : “Oh kate, hutangmu ini, lain
hari pasti akan kuselesaikan !”

Si Bungkuk melambaikan tangan kiri lalu mendahului lari tinggalkan tempat itu.
Keempat lelaki baju hitampun segera mengikuti si Bungkuk. Gerakan mereka pesat
sekali. Dalam beberapa kejab, bayangan mereka sudah tak tampak lagi.
Menyaksikan peristiwa itu, Han Ping tak habis mengerti. Ia mendapat kesan bahwa
kesaktian si Bungkuk itu tak dibawah Hui Koh taysu.
Diam-diam ia heran. Siapakah gerangan orang tua bungkuk itu?
Bagian 8
Putri Lembah Setan
Selintas terdengarlah ia akan sikap keempat lelaki baju hitam yang begitu menghormat
kepada si Bungkuk. Apakah si Bungkuk itu seorang ketua partai persilatan ?
Tetapi dugaan itu cepat terhapus ketika membayangkan sikap si Kate terhadap
orangtua bungkuk itu. Meskipun si Kate itu belum berkelahi dengan si Bungkuk tetapi jelas
bahwa yang melerai dengan pukulan tadi adalah orang kate itu. Kepandaian orang kata itu
jelas tak dibawah si Bungkuk. Tetapi pun tak terpaut jauh. Hanya bedanya si Bungkuk
memiliki lwekang keras dan si Kate lwekang lunak.
Siapakah orang tua bertubuh pendek itu ? Dan siapakah tuan atau majikan yang
mereka sebut itu ?
Dan mengapa pula si Bungkuk begitu hormat sekali kepada panji burung cendrawasih
putih ? Ah, kesemuanya itu merupakan teka teki yang pelik tetapi menarik hati.
“Ah, mengapa aku tak menuju Lokyang melihat mereka ?” akhirnya ia bertanya pada
diri sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara helaan napas rawan dan disusul teguran halus : “Apakah
yang tengah engkau pikirkan ?”
Han Ping terkejut dan berpaling. Ternyata yang bertanya itu sidara baju putih. “Aku
tengah memikirkan diri si Bungkuk itu”, sahutnya.
Saat itu sidara sudah menanggalkan kedok mukanya dan tersenyum : “Orang tua
bungkuk itu memang sakti. Tetapi dia tetap kalah dengan engkau!”
Mendengar pujian, kebalikannya Han Ping malah menghela napas : “Kemanakah tacimu
tadi ?”
“Ih, aku kan tak pergi kemana-mana dan tetap berada disini menyaksikan kalian
bertempur !” tiba-tiba dari arah samping terdengar lengking seorang gadis. Merdu tetapi
dingin nadanya.
“Saat ini sudah menjelang fajar, rasanya Kim loji tentu tak kembali kesini”, kata Han
Ping sambil memandang langit.

Terdengar derap langkah kaki dan muncullah sinona baju hitam sambil membuka
kedoknya.
“Siapa bilang dia tak datang ?” serunya. “Datang ?” Han Ping terkejut.
“Hm, sudah lama dia datang . . . .”
Han Ping memandang kesekeliling penjuru tetapi tak melihat seseorang. Buru-buru ia
menegas “Dimana ?”
Sinona baju hitam menyahut jemu : “Sudah siang-siang ngacir, perlu apa engkau cari
kemana-mana ?”
Han Ping makin gugup : “Sarung pedang itu penting sekali bagiku. Mengapa engkau tak
mau memberitahukan kedatangannya kepadaku ?”
Seenaknya saja nona itu membereskan rambutnya yang terurai kemudian baru tertawa
acuh tak acuh : “Engkau sedang berkelahi, perlu apa kuberitahu ? Bukankah engkau tak
dapat melepaskan diri dari pertempuran itu ?”
Han Ping banting-banting kaki : “Ah, kalau begitu tentu tak mungkin mencarinya lagi !”
“Bukan sarung pedang milikku, perlu apa aku ngotot mencarinya ?” jawab sinona baju
hitam.
Han Ping terkesiap, serunya : “Apa ? Engkau tak peduli ?”
Nona baju hitam itu tersenyum : “Habis apakah aku diharuskau mengurusnya ?”
Han Ping tertegun beberapa jenak lalu berkata : “Benar, memang sarung pedang itu
milikku. Jika nona tak sudi menghiraukan, akupun tak dapat memaksa !”
Habis berkata ia berputar tubuh terus melangkah pergi.
Sidara baju putih kejapkan mata kepada tacinya dan berbisik : “Ci, benarkah engkau
tak mau menghiraukan ?”
Nona baju hitam itu tak mengacuhkan pertanyaan adiknya. Ia tertawa dingin dan
sengaja berseru nyaring : “Menghilangkan benda pemberian seorang cianpwe dan tak
mampu mencarinya lagi, tentulah tiada muka muncul didunia persilatan. Hm, lebih baik
kita pulang saja tak perlu berkeliaran diluar !”
Han Ping berjalan setombak jauhnya. Begitu mendengar ucapan sinona, tergeraklah
hatinya. Diam-diam ia teringat akan pesan mendiang Hui Gong siansu supaya jangan
sampai sarung pedang itu hilang
Tentulah sarung pedang itu mengandung rahasia yang penting sekali. Rahisia yang
menyangkut diri Hui Gong siansu dan kehormatannya.
Memikir sampai disitu, ia berhenti.

“Adik, mari kita pergi !” kembali terdengar sinona baju hitam mengajak adiknya.
“kurasa Kim loji tentu belum jauh. Jika mengetahui kita berdua belum mati, dia tentu takut
kita memberitahukan ayah. Maka dia pasti akan mencari kita. Kita berdua bukan
tandingannya. Jika sampai bertemu dengannya, dia tentu akan membunuh kita. Daripada
mati sia-sia, lebih baik kita lekas pulang ke Lembah Setan saja !”
Tampaknya kata-kata itu ditujukan kepada sidara baju putih tetapi sesungguhnya
sengaja diperdengarkan kepada Han Ping.
Namun pemuda itu berhati tinggi. Walaupun tahu akan mengalami kesukaran mencari
Kim loji, tetapi ia tetap tak mau meminta pertolongan kedua gadis itu. Jika menuruti suara
hatinya ia tetap tinggalkan kedua gadis itu. Namun kalau mengingat pesan mendiang Hui
Gong siansu, ia terpancang.
Saat itu Han Ping merasa serba salah. Hendak kembali kepada sinona atau teruskan
langkahnya !
Tiba-tiba sidara baju putih melesat dari sisinya dan berpaling kepadanya seraya tertawa
: “Taci memang benar. Engkau sedang berkelahi, bagaimana ia dapat memanggilmu ? Jika
Kim loji tahu taciku belum meninggal, Kim loji tentu akan ngacir pergi. Dia sahabat baik
ayahku. Jika kami berdua saudara pulang kedalam lembah dalam keadaan tak kurang
suatu apa, apabila kami melaporkan perbuatan Kim loji kepada ayah, ayah tentu tak
percaya. Taruh kata percaya, pun karena kami berdua tak kurang suatu apa, ayah tentu
takkan menarik panjang urusan itu !”
“O ..... “ baru Han Ping mendesus, sidara sudah mendahului bicara lagi : “Tetapi tadi
Kim loji tak melihat taciku. Dengan demikian keadaannya lain. Karena tak tahu bagaimana
nasib taciku, dia tentu cemas dan berusaha untuk menyelidiki. Jika taciku mati, dia tentu
akan membunuhku juga untuk menghilangkan jejak perbuatannya . . . .”
Tiba-tiba sinona baju hitam menyelutuk; “Lekas cari tempat bersembunyi ! Sam-siok
mencari kita !”
Habis berkata nona itu terus mendahului menyusup kedalam kegelapan.
Han Ping memandang keseluruh penjuru. Kecuali nyala api kebakaran padang rumput
itu, tiada seorangpun yang dilihatnya. Dimanakah yang disebut sam-siok atau paman
nomor tiga oleh sinona baju hitam itu?
“Ah, dia banyak tipu muslihatnya. Aku harus hati-hati jangan sampai termakan
siasatnya” diam-diam Han Ping berjanji dalam hati.
Sidara baju putihpun cepat lari kesebelah kiri tetapi ketika berpaling dan melihat Han
Ping masih tegak ditempatnya, ia gugup. Ia berputar tubuh dan loncat kesamping pemuda
itu terus menyambar lengannya : “Lekas bersembunyi ! Jika sam-siok sampai tahu kami
berdua bersamamu dislni, ah, jangan harap engkau hidup . . . .”
Dalam berkata-kata itu, sidara menarik Han Ping kedalam sebuah gerumbul semak
yang lebat.

Sebelum bersembunyi, kedengaran sidara menghela napas panjang : “Engkau ini
bagaimana ? Apakah engkau benar-benar tak pernah terdengar cerita orang tentang samsiok
kami itu ?”
Melihat dara dalam kemengkalannya masih seperti kanak-kanak, Han Ping tersenyum :
“Siapakah sam-siok kalian itu ? Aku belum pernah melihatnya, bagaimana dapat
mengetahui ?”
Tiba-tiba mulut dara itu merekah tawa : “Memang kalau kukatakan sam-siok, engkau
mungkin tak kenal. Tetapi kalau kubilang Ting Yam sam Imam pencabut nyawa, kiranya
engkau tentu sudah mendengar ....”
“Ting Yam sam si Imam pencabut nyawa ? Han Ping mengulang.
“Ya, siapakah tokoh persilatan yang tak kenal akan nama itu ? Hm, jika dia datang lebih
pagi, tak mungkin Kim loji dapat melarikan diri . . . .”
Han Ping tertegun beberapa jenak. Katanya sesaat kemudian : “Aku memang jarang
mengembara didunia persilatan. Karena tak pernah mendengar nama sam-siokmu itu.”
Dara itu berkata setengah tak percaya : “Menilik kepandaianmu, engkau tergolong
tokoh kelas satu. Dan tentu murid sebuah partai ternama. Jika dugaanku tak keliru, kalau
bukan murid Siau-lim-si, engkau tentu murid Bu-tong-pay. Masakan sebelum
meninggalkan perguruan, suhumu tak pernah memberi pesan apa-apa kepadamu.
Misalnya tentang tiga marga besar yang menguasai dunia persilatan yakni It-kiong dan jikoh
?”
It-kiong artinya Istana kesatu. Ji-koh artinya dua lembah.
“Yang memberi pelajaran ilmu silat kepadaku bukan tokoh Siau-lim-si pun juga bukan
dari Bu-tong-pay. Aku seorang persilatan liar, tak tergolong murid suatu partai persilatan
yang manapun juga. Karenanya tak mempunyai guru yang memberi pesanan semacam
itu,” sahut Han Ping. Dia tetap memegang pesan Hui Gong siansu untuk tak mengatakan
dirinya murid Siau-lim-si. Sekalipun menjawab begitu tetapi diam-diam ia mengagumi
pandangan sidara yang jitu,
Sidara gelengkan kepala lalu menghela napas : “Ai, tanpa pengalaman apa-apa berani
berkelana didunia persilatan, benar-benar amat berbahaya sekali. Orang yang memberi
pelajaran kepadamu itu, benar-benar kelewat lengah. Masakan tentang seluk beluk
keadaan dunia persilatan. dia tak mau memberitahukan kepadamu. Ketahuilah, dunia
persilatan itu penuh ranjau maut dan perangkap tipu muslihat. Banyak persoalan yang tak
selalu harus diselesaikan dengan kepandaian silat. Apalagi engkau memiliki pedang pusaka
yang jarang terdapat. Sudah tentu akan menjadi intaian orang !”
Tergerak juga hati Han Ping. Ia tak menyangka bahwa dara yang sering masih
menunjukkan sifat kekanak-kanakan itu, ternyata dapat bicara seperti seorang yang sudah
berpengalaman.
Diam-diam ia menimang : “Walaupun aku telah memperoleh rezeki besar sehingga
hanya dalam waktu yang sangat singkat sekali telah dicipta menjadi seorang tokoh kelas
satu, tetapi karena dendam sakit hatiku belum tertumpas, takkan sembarangan
kukeluarkan pedang pusaka itu. Musuhku besar itu seorang tokoh sakti dan licin.

Lahiriah ia membawa sikap yang baik dan ksatria sehingga tokoh-tokoh persilatan
menaruh perindahan besar kepadanya. Tetapi batinnya, dia seorang momok yang ganas.
Andaikata saat itu suhuku tak mengorbankan puteranya sendiri yang dikatakan sebagai
putera keluargaku, aku tentu sudah dihabiskan oleh jahanam itu. Ah . . . aku memang
selamat tetapi suhu menjadi korban. Setelah mengorbankan puteranya, jahanam itu tetap
membunub suhuku juga . . . .”
Teringat akan peristiwa pembunuhan keluarganya dahulu, hati Han Ping seperti disayat
sembilu.
Syukurlah pemuda itu segera tersadar bahwa ia masih menghadapi tugas yang berat.
Ia harus menghadapi musuhnya itu seorang diri. Karena untuk mengajak orang
membantunya, tipis sekali harapannya. Seluruh tokoh-tokoh persilatan amat menghormati
musuhnya besar itu.
Menilik bicaranya, tentulah sidara baju putih itu lebih paham tentang seluk beluk
keadaan didunia persilatan. Maka timbullah pikirannya untuk meminta keteranganketerangan
yang diperlukan guna memudahkan usahanya mencari balas pada musuhnya
itu.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah tangan yang menggenggam tangan kanannya dan
serentak terdengar suara bisikan menegur : “Lekas sembunyi ! Sam-siokku segera datang
!”
Kali ini Han Ping melepaskan pandang matanya dengan tajam. Tetapi kecuali padang
rumput yang terbakar itu, tetap ia tak melihat seseorangpun jua.
Tengah ia merasa heran, tiba-tiba sebuah aliran api berwarna hijau meluncur belasan
tombak diudara dan lenyap. Menyusul terdengarlah suitan aneh yang menusuk telinga.
Genggaman tangan sidara makin kencang : “Itulah pertandaan sam-siok memanggil
kami berdua. Mudah-mudahan dia tak datang kemari !”
Han Ping diam-diam geli mengapa dara itu begitu ketakutan setengah mati kepada
pamannya “Andaikata pamanmu memergoki engkau, kan tak apa-apa. Mengapa engkau
seperti melihat setan . Diam-diam ia berkata dalam hati. Dan karena geli, iapun tertawa.
Sidara terkejut dan berpaling. Karena ia berada dekat sekali, maka ketika berpaling itu
hidungnya hampir berbentur dengan pipi Han Ping. Serentak Han Ping terbaur hawa yang
harum-harum menyegarkan.
Han Ping mengisar mundur dan lepaskan genggaman sidara. Ia tertawa : “Eh. mengapa
engkau begitu takut sekali kepada pamanmu itu ?”
Sidara mengangguk. Ia menghela napas perlahan : “Sam-siokku itu berwatak aneh dan
berangasan. Sekali tangannya bergerak tentu membunuh. Jika melihat kami melanggar
pantangan lembah, meskipun anak kemenakannya sendiri, pun tentu dibunuhnya !”
“Apa ?” Han Ping terkejut.
“Engkau takut ?” dara itu tertawa.

“Bukan karena takut kepada pamanmu hanya merasa heran mengapa seorang paman
sampai hati membunuh anak kemenakannya sendiri. Ah, kalau begitu pamanmu ketiga itu
tentu benci kepada kamu taci beradik, bukan ?”
Dara itu melongok keluar. Wajahnya tampak tegang sekali : “Bukan begitu. Dia
memang bengis sekali terhadap orang tetapi amat menyayang kami berdua”.
“Kata-katamu sungguh membingungkan”, Han Ping bersungut-sungut, “kalau dia
menyayang kalian mengapa engkau begitu takut kepadanya ?”
Dara itu menatap wajah Han Ping. Bibirnya hendak bicara tetapi tak jadi. Ia hanya
menghela napas rawan. Dua butir airmata tampak meredup diujung matanya.
Sejak kecil Han Ping mengalami peristiwa yang menggoncangkan. Dia merasa malu
atas sepak terjang ayahnya yang tak baik. Begitu pula kelakuan ibunya yang melanggar
adat susila, telah menyebabkan dia menderita rasa rendah diri terhadap orang. Hidup
dalam keluarga yang tak layak jalan hidupnya itu telah menyebabkan batin Han Ping
berobah. Ia mempunyai rasa benci kepada kaum wanita.
Sejak berangkat dewasa dan setelah mempunyai perasaan kedewasaan, ia tak pernah
bicara dengan anak perempuan. Han Ping tumbuh sebagai pemuda yang suka menyendiri,
acuh tak acuh, dingin dan angkuh.
Sekalipun ia mendapat seorang guru yang menyayang dan menggemblengnya dengan
ilmu silat dan budi pekerti, namun kesan semasa kecilnya itu tetap melekat disanubarinya
....
Adalah setelah ia mengetahui bahwa ternyata ayahnya telah dibunuh orang secara
penasaran, barulah timbul perobahan dalam sikap dan perangainya. Perasaan rendah diri
karena kecewa itu, telah berobah menjadi rasa dendam kesumat yang menyala-nyala.
Dengan bekal tujuan hidup itu ia nekad menyelundup kedalam gereja Siau-lim-si untuk
mencuri kitab pusaka Tat-mo-ih-kin-keng. Syukur nasibnya baik sehingga dalam keadaan
yang tak terduga-duga ia telah mendapatkan peruntungan yang luar biasa. Bertemu Hui
Gong siansu dan digemblengnya dengan ilmu kesaktian yang hebat....
Merenung sampai hal itu, timbullah pertanyaan dalam hatinya : “Mengapa setiap orang
yang sayang padaku tentu akan pendek usianya. Orang tua yang melahirkan aku, guru
yang mengasuhku, suheng yang menemani aku bermain-main dan Hui Gong siansu yang
menurunkan seluruh kepandaiannya kepadaku ... Mereka semua sayang kepadaku tetapi
mengapa mereka meninggalkan aku ? Apakah aku Ji Han Ping benar-benar seorang
manusia yang sial ?”
Han Ping berwatak keras. Namun mengenangkan orang-orang berbudi yang telah tiada
itu airmatanya pun bercucuran ....
Tiba-tiba sebuah tangan halus menyongsongkan sehelai saputangan kepadanya dan
disertai dengan ucapan berbisik yang merdu : “Eh, mengapa engkau menangis ?”

Han Ping gelagapan. Buru-buru ia mengusap airmatanya. Diam-diam ia memaki dirinya
: “Hm, seorang lelaki jantan tak boleh menangis. Mana boleh aku mengucurkan airmata
dihadapan seorang gadis ?”
Seketika ia busungkan dada dan tertawa : “Siapa bilang aku menangis ?”
Dara itu menghela napas : “Akulah yang salah karena menangis sehingga
menyebabkan engkau turut sedih . . .”
Han Ping gugup : “Mana bisa . . .”
“Sudahlah, jangan bicara lagi. Aku sudah tahu,” tukas dara itu, “rahasia Lembah Setan
sebenarnya tak boleh dibilangkan orang. Tetapi biarlah kuberitahukan kepadamu secara
diam-diam. Setelah engkau tahu bagaimana pantangan Lembah Setan, tentu engkau akan
memaklumi mengapa aku takut kepada pamanku !”
Han Ping hendak membantah tetapi tiba-tiba terdengar suitan aneh melengking
diudara. Wajah sidara berobah tegang dan buru-buru menarik tangan Han Ping diajak
mendekam didalam gerumbul semak. Tangannya mendekap mulut sipemuda. Maksudnya
meminta Han Ping tahan napasnya.
Cepat sekali suitan itu mendekat dan pada lain saat tiba ditempat Han Ping dan si
Bungkuk bertempur tadi.
Han Ping meluluskan permintaan sidara. Ia menahan pernapasannya dan meninjau
keluar. Memandang dengan seksama, tampaklah seorang imam setengah tua,
mengenakan jubah hitam tegak berdiri sambil menggendong kedua tangannya
kepunggung. Tubuhnya kurus kering tetapi tinggi. Punggungnya menyanggul sebatang
pedang. Tangannya mencekal sebatang hud-tim atau kebut kaum paderi. Matanya
memandang kesekeliling penjuru seperti mencari sesuatu.
Sekonyong-konyong ia berbalik tubuh dan memandang gerumbul semak tempat Han
Ping dan sidara bersembunyi. Tiba-tiba tangannya kiri mengayun dan segunduk api
melayang. Begitu jatuh ditanah, api itu menebar menjadi segenggam sinar kehijau-hijauan
yang cukup menerangi seluas setombak jauhnya....
Untung tempat yang dipilih sidara untuk bersembunyi itu sebuah gerumbul semak yang
lebat. Sekalipun dipancari sinar api hijau tetap meremang dan sukar ditembus mata.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, api hijau itupun padam. Tiba-tiba imam aneh itu
bersuit lagi lalu melambung dua tombak tingginya dan melayang turun empat tombak
jauhnya. Ketika terdengar suitan lagi ternyata sudah jauh.
Han Ping menggeliat duduk. Ia menghela napas untuk melonggarkan kesesakan
dadanya.
“Apakah imam jubah hitam itu pamanmu ?” tanyanya.
Sidara mengangguk : “Benar, Dia adalah Soh Hun Ih su atau Imam Pencabut nyawa
yang merontokkan nyali setiap tokoh golongan Hitam maupun Putih. Entah berapa banyak
jumlahnya tokoh-tokoh persilatan yang binasa ditangannya . . .”

Han Ping menghela napas : “Manusia yang ditakuti orang karena ganas dan penuh
berlumuran darah pembunuhan, bukanlah manusia yang baik. Tetapipun masih lebih baik
setingkat dari manusia yang lahirnya baik tetapi hatinya kejam melebihi serigala !”
Ia menghamburkan rasa penasarannya atas kematian kedua ayah bunda dan suhunya.
Sidara tertawa mengikik : “Orang yang selalu dirundung kecemasan seperti engkau ini,
jika berkelana didunia persilatan, kemungkinan akan mati karena belum-belum sudah
dicekik kecemasan. Ketahuilah, dunia persilatan penuh beraneka ragam manusia-manusia
yang aneh. Kelak jika engkau bertemu dengan orang dari Lembah Seribu Racun, engkau
tentu akan mengakui kebenaran ucapanku ini”.
“Lembah Seribu Racun ? Ah, benar-benar ngeri nama itu !” seru Han Ping.
Tiba-tiba dari luar gerumbul terdengar suara menyelutuk : “Mengapa ngeri ? Bukankah
Lembah Raja Setan itu juga menyeramkan ? Huh, kurang pengalaman tentu banyak
keheranan !”
Sidara cepat loncat keluar, serunya : “Ci, apakah sam-siok takkan kembali kesini lagi ?”
Sinona baju hitam tertawa dingin : “Sukar dikata. Kita keluar bersamanya. Jika dia
pulang sendirian dan ditegur ayah, dia tentu sukar menjawab !”
Sidara tertegun, serunya : “Kalau begitu, mari kita lekas-lekas tinggalkan tempat ini !”
“Ah, kemanapun sama saja,” sahut sinona baju hitam, “jika paman tetap mencari, tak
mungkin kita dapat lolos !”
Han Pingpun keluar dari tempat persembunyiannya dan menyelutuk : “Pamanmu
sendiri, mengapa kalian takut diketemukan ...”
Sinona baju hitam menukas : “Rahasia Lembah Raja setan, hanya sedikit sekali orang
yang mengetahui. Apalagi pemuda hijau semacam engkau. Bagaimana engkau berani
sambung lidah !”
Han Ping tertegun. Mukanya merah padam tak dapat bicara.
Melihat itu sinona baju hitam tertawa, serunya : “Huh, anak sudah berumur 19an tahun
mengapa masih bermalu-malu !”
Melihat sikap sinona yang sebentar-sebentar berobah, dingin, sinis, gembira lalu dingin
lagi, benar-benar membuat Han Ping muak. Tetapi karena masih memerlukan bantuannya
mencari sarung pedang, ia terpaksa menahan perasaannya.
Sidara mengisar kesamping Han Ping, Ia tertawa dan berbisik : “Memang watak taciku
begitu. Jangan engkau taruh dihati !”
Han Ping tertawa hambar. Diam-diam ia berkata dalam hati : “ Huh, kalian orang-orang
Lembah Raja setan ini, gerak gerik dan bicaramu sungguh tak menurut garis-garis
keumuman. Aku tak dapat bergaul lama-lama dengan kalian. Begitu sarung pedang sudah
kutemukan, tentu segera kutinggalkan kalian selama-lamanya,

Tiba-tiba terkilas lain pikiran : “Dahulu sebelum suhu menutup mata, pernah juga
menceriterakan
tentang peraturan-peraturan golongan Hitam dan Putih. Sayang saat itu aku tak
menaruh perhatian sehingga aku tak tahu apa-apa dan menjadi buah tertawaan orang . . .
.”
Kemudian ia terbayang akan saat dimana suhunya telah ditutuk orang dan pada saat
hendak menghembuskan napas masih dapat paksakan diri meninggalkan pesan,
“Nak, ayahbundamu telah dicelakai orang secara penasaran. Hutang darah ini memang
harus engkau impaskan. Tetapi kemungkinan tipis sekali engkau dapat melaksanakan
pembalasan itu karena seluruh kaum persilatan golongan Putih dewasa ini, bersahabat
baik dengan musuh ayahmu itu . . . .” suhunya tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena napasnya keburu berhenti untuk selama-lamanya.
“Karena segenap kaum persilatan golongan Putih bersahabat baik dengan orang itu,
terpaksa aku harus mencari hubungan dengan golongan Hitam. Menilik gerak geriknya
yang aneh dan serba tak menurut garis peraturan orang-orang, Lembah Raja setan itu
tentulah bukan manusia baik . . . .” ia menimang lebih lanjut. Sesungguhnya hal itu
berlawanan dengan hati nuraninya. Tetapi apa boleh buat . . . . Ia menghela napas.
Sinona baju hitam tertawa dingin, tegurnya : “Ih, mengapa menghela napas ? Hm,
sungguh bukan anak laki-laki !”
“Siapa yang engkau maki ?” Han Ping marah dan loncat kemuka gadis itu.
“Mau apa engkau ?” nona itu tertawa mengekeh.
“Sekali lagi engkau berani menghina semau-maumu sendiri, biarpun kehilangan sarung
pedang itu, aku akan memberimu hajaran !” seru Han Ping.
“Huh, aku tak percaya engkau berani memukul aku l” ejek sinona.
“Mengapa tak berani !” Han Ping menutup kata-katanya dengan sebuah tamparan.
Plak .... sebelah pipi gadis itu begap dan merah seketika. Ujung mulutnya mengucur
beberapa tetes darah . . . .
Han Ping tahu bahwa nona itu berkepandaian tinggi. Tamparannya tentu tak mungkin
mengenai. Diluar dugaan nona itu tak mau menghindar sama sekali. Seolah-olah rela
menerima tamparan.
Sambil mengusap darah dimulutnya, diluar dugaan, nona baju hitam itu malah
tersenyum.
“Bagus ! Jika engkau gunakan tenaga lebih besar lagi gigiku pasti rontok !” nona itu
berseru memuji. Tak tampak marah sama sekali.
Sidara baju putih tercengang. Ia paham bagaimana perangai tacinya itu. Dingin dan
angkuh dan gemar memukul orang. Ia kira tacinya tentu akan menyerang Han Ping yang

berani menamparnya itu. Namun diluar dugaan ternyata tacinya tidak marah bahkan
kebalikannya malah memuji ....
Han Ping merasa tak enak dalam hati karena sinona baju hitam tak mau menghindari
tamparannya itu dan tak mau balas menyerang. Dengan jujur ia segera menghaturkan
maaf : “Karena kalap, aku telah kelepasan tangan. Harap nona suka maafkan. Apakah
nona terluka berat ?”
“Tidak ringan tidak berat, cukupan saja. Ayo, kita pergi !” seru sinona baju hitam.
“Kemana ?” sidara terkejut.
“Membantunya mencari Kim loji dan merebut kembali sarung pedangnya !” sahut
sinona baju hitam sambil tertawa melengking.
Heran Han Ping tak kunjung habis. Pikirnya : “Biasanya nona itu angkuh dan sinis.
Tetapi mengapa setelah kutampar malah mau membantuku ?”
Tiba-tiba nona baju hitam itu menghela napas perlahan dan berkata kepada adiknya :
“Ah, tak perlu engkau katakan akupun sudah tahu apa isi hatimu !”
Merahlah selebar wajah dara itu. Ia tersipu-sipu tundukkan kepala.
Walaupun cerdik tetapi Han Ping kurang pengalaman. Ia tak tahu ada yang sedang
dikasak-kusukkan oleh kedua taci-beradik itu. Melihat sinona baju putih tundukkan kepala
kemalu-maluan, buru-buru ia menyelutuk : “Atas kesediaan nona berdua membantuku
mencari sarung pedang itu, Han Ping mengucapkan beribu terima kasih. Dan lebih dulu
terimalah penghormatanku !” - Habis berkata pemuda itu terus membungkukkan memberi
hormat.
“Eh, dimana saja engkau mempelajari adat istiadat yang menjemukan itu ?” tegur
sinona baju hitam.
Sedangkan sidara lain sikapnya dengan tacinya. Ia buru-buru balas memberi hormat
kepada Han Ping seraya tertawa mengikik.
Tiba-tiba sinona baju hitam berpaling kepada adiknya : “Apakah engkau sudah
memberitahukan nama kita kepadanya ?”
“Belum, silahkan taci yang bilang kepadanya,” sahut sidara.
Menunjuk pada sidara, nona baju hitam itu memperkenalkan kepada Han Ping : “Dia
bernama Ting Hong. Dirumah panggilannya adalah ji-atau!”
Kemudian nona baju bitam itu merogoh keluar sebutir pil dan terus ditelannya.
“Kemudian tertawa : “Engkau memikir apa lagi ? Lekas berangkat !”
Sejenak sidara memandang Han Ping lalu memandang tacinya : “Apakah kita akan
mengajaknya bersama ?”
“Sudah tentu bersamanyalah ! Kalau tidak, walaupun dapat menemukan Kim lokoay,
kitapun tentu kalah.” sahut sinona baju hitam.

Bukan girang karena perobahan sikap tacinya itu bahkan diam-diam malah kuatir :
“Watak taci selama tentu kejam dan tak mau menerima hinaan orang. Mengapa saat ini
tiba-tiba berobah lain sekali ? Apakah karena menyadari kalah sakti dengan pemuda itu, ia
lantas pura-pura membantu tetapi apabila mempunyai kesempatan lalu mencelakainya ?
Jika benar begitu, berbahaya kiranya keadaan pemuda itu. . .”
“Adik Hong, apa yang engkau pikirkan ?” tiba-tiba sinona baju hitam menegur.
“Aku tengah memikirkan . . . kita . . .”, karena tak dapat menemukan jawaban, sidara
tersekat-sekat.
“Nona Hong memang tajam pikiran, pandai...”
“Sudahlah, jangan menimbun pujian terlalu tinggi !” tukas sidara mengerat kata-kata
Han Ping. Kemudian menunjuk kepada sinona baju hitam, dara itu memperkenalkan :
“Taciku itu bernama Ting Ling”.
Han Ping tersenyum : “Sesuai dengan namanya yang indah, nona berdua memang jauh
berlainan dengan orang biasa ...”
“O, o, tak nyana engkau juga pandai merangkai kata-kata sanjungan yang indah.
Sudahlah jangan berkepanjangan, kita lekas berangkat !” seru sinona baju hitam atau Ting
Ling seraya menarik Ting Hong diajak lari.
Han Ping mengikuti dari belakang. Hatinya bergolak tak keruan. Sejak kecil dia hanya
berteman dengan suhengnya dan jarang berkumpul orang. Sekarang ia mengadakan
perjalanan dengan dua orang gadis cantik yang aneh perangainya. Tak tahu ia bagaimana
perasaannya.
Ketika muda mudi itu menggunakan ilmu lari cepat. Pada waktu fajar, mereka tiba
disebuah kota.
“Celaka !” tiba-tiba Han Ping berteriak.
“Mengapa ?” tanya Ting Hong.
“Kemarin rekening rumah penginapan berikut makanan, belum kubayar !”
“Itu biasa saja, perlu apa engkau berkaok-kaok seperti melihat setan ?” tegur Ting Ling.
Han Ping terkesiap ketika melihat pipi nona baju hitam itu masih begap. Menilik
kepandaian sinona, dalam waktu sejam saja luka itu tentu sudah pulih. Tentulah kemarin
ia terlalu keras menamparnya.
Melihat pemuda itu memandang pipinya yang begap. Ting Ling sinona baju hitam
tertawa menyeringai. Buru-buru ia mengenakan kedok muka lagi. Seketika gadis itu
berobah menjadi seorang wanita setengah tua yang berwajah hitam.
Bagian 8 Lembah Seribu racun.

Han Ping tertawa dan berpaling kearah sidara. Ternyata dara itupun sudah berobah
menjadi seorang wanita setengah tua karena memakai kedok kulit yang sukar dibedakan
dengan wajah yang asli.
Sambil berjalan menuju kekota, diam-diam Han Ping menduga. Kedua nona itu tentu
membekal beberapa macam kedok muka sehingga setiap saat dapat berganti wajah.
“Hai, jika aku juga memiliki beberapa perangkat kedok muka, tentu berguna sekali
dalam usahaku menuntut balas !” diam-diam timbullah suatu keinginan dalam hatinya.
Matahari baru mulai menampakkan diri diufuk timur. Toko-toko, warung-warung dan
kedai-kedai dalam kota itu belum sama buka. Rupanya kedua nona itu paham akan
jalanan dalam kota itu. Setelah melintasi beberapa tikungan dan gang, mereka tiba
disebuah rumah penginapan.
Jongos rupanya baru bangun dan mulai membersihkan meja. Kedua nona itu tanpa
menyapanya terus melangkah masuk kedalam. Jongos itu gelagapan. Tetapi ketika
mengetahui kedua nona yang masuk, ia tak mencegahnya.
Han Ping mengikuti masuk. Setelah melintasi dua buah halaman, mereka tiba disebuah
ruangan yang sunyi. Ting Ling sinona baju hitam segera mendorong pintu ruangan dan
menanggalkan kedok mukanya.
“Semalam engkau tentu letih sekali bertempur melawan si Bungkuk. Beristirahatlah dulu
disini. Setelah makan, nanti kita lanjutkan perjalanan mencari Kim lokoay lagi !” kata nona
itu.
Han Ping merenung sejenak lalu tertawa : “Ah, aku tidak letih. Sehabis makan, kita
teruskan mencari orang itu”.
“Perlu apa engkau terburu-buru begitu ?” tukas Ting Ling tersenyum, “Jika tak dapat
menemukan bagaimana keadaan kami berdua saudara, Kim lokoay tentu takkan lekaslekas
pergi jauh. Sekalipun kita tak mencarinya, dia tentu akan mencari kita juga. Jangan
kuatir, silahkan beristirahat memulangkan tenagamu ! Dalam waktu lima hari, kutanggung
tentu dapat menemukan Kim lokoay”.
Seumur hidup belum pernah Han Ping mendapat pelayanan yang begitu ramah dari
seorang wanita. Sejak kecil ibunya sudah meninggal. Ia tak ingat lagi bagaimana wajah
ibunya. Sesungguhnya ia seorang pemuda yang baik hati tetapi karena mengalami nasib
malang dan ngeri, dia berobah menjadi keras wataknya. Tujuan hidupnya hanya
membalas dendam kepada musuh.
Tetapi musuhnya seorang yang termahsyur dalam dunia persilatan. Hal itu
menyebabkan ia mempunyai perasaan muak terhadap kaum persilatan golongan Putih.
Sekalipun merasa bahwa kedua nona itu termasuk golongan bukan Putih, tetapi karena
kedua nona itu memperhatikan kepentingannya, ia pun tak dapat menjauhi. Mungkin hal
itu disebakan karena sejak kecil ia sudah kehilangan kasih sayang ibunya. Dari lingkungan
hidup sejak kecil itulah maka telah melahirkan perangai yang campur aduk.
Saat itu sidara Ting Hongpun sudah membuka kedok mukanya dan tertawa
melengking, serunya : “Taci seorang yang cermat. Perhitungannya selalu tak meleset. Jika

ia mengatakan dalam tempo 5 hari dapat menemukan Kim loji, tentulah takkan meleset.
Lepaskan kekuatiranmu dan beristirahatlah !”
Habis berkata ia mengambil secawan teh wangi dan diberikan kepada pemuda itu.
Han Ping menurut. Memang telah menghabiskan tenaganya dalam pertempuran
melawan dua tokoh sakti : Hui Koh taysu dan si Bungkuk.
Han Ping segera bersemedhi menurut ajaran Hui Gong. Seketika pikirannya kosong dari
segala keresahan dan gangguan.
Sejenak memandang kearah pemuda itu, Ting Ling memesan adiknya : “Adik Hong,
jagalah dia baik-baik. Walaupun kepandaiannya tinggi tetapi dia tak mempunyai
pengalaman. Ah, jika kita memang hendak mencelakainya, saat ini juga kita dapat
merenggut jiwanya !” - nona itu terus melangkah keluar.
Bermula sidara Ting Hong berdebar ketika melihat tacinya melirik pemuda itu. Ia kuatir
tacinya akan membalas tampaian dari Han Ping. Diluar dugaan ternyata tacinya tidak
berbuat apa-apa.
Dara itu terlongong-longong memandang bayangan tacinya. Ia benar-benar heran atas
perobahan sikap tacinya itu.
Sejak menerima pelajaran semedhi dari Hui Gong, baru pertama kali itu Han Ping
menggunakannya. Dan ternyata hasilnya memang hebat. Menjelang tengah malam, ia
merasa semangatnya segar dan tenaganya pulih kembali.
Ketika membuka mata dilihatnya sidara masih duduk ditepi ranjang sambil memandang
keatap wuwungan dengan terlongong-longong. Rupanyi dara itu tengah memikirkan
sesuatu yang sulit.
Tiba-tiba dara itu menghela napas dan berkata seorang diri ?”Ah, adakah taci yang
berwatak dingin dan angkuh itu juga jatuh hati kepadanya . . .”
Mendengar itu tersiraplah darah Han Ping. Segera ia berbatuk-batuk kecil. Sidara
terkejut dan berpaling.
“Ih, engkau ini benar-benar membikin orang mati kaget. Mengapa sudah bangun tak
mau memanggilku ?” Ting Hong tertawa lalu loncat dari pembaringan.
Tepat pada saat itu pintu terpentang dan masuklah Ting Ling seraya membuka kedok
mukanya.
“Entah apakah yang terjadi dikota Lokyang sini. Banyak sekali orang-orang persilatan
dari golongan Hitam datang”, serunya.
“Hai, kalau begitu sam-siok tentu juga belum pergi dari kota itu !” Ting Hong terkejut.
Sinona baju hitam Ting Ling merenung sejenak lalu menyahut : “Semalam sam-siok tak
sayang melontarkan pertandaan Api Hijau untuk mencari kita. Kemungkinan tentu ada
apa-apa yang penting...”

“Apakah Kim lokoay itu juga belum pergi dari kota itu ?” buru Han Ping menukas.
Ting Ling menghela napas : “Tadi aku keluar untuk mencari keterangan tentang jejak
Kim Lo ji. Tetapi begitu keluar dari rumah penginapan aku hampir kesompokan dengan
Kimleng Sam hiong. Tiga jago dari Kimleng itu biasanya mondar mandir didaerah Kanglam
dan jarang muncul didaerah Tionggoan. Kalau kali ini mereka bertiga muncul, tentulah ada
sebabnya. Timbul kecurigaanku dan hendak kuikuti. Tetapi mereka berkuda sehingga aku
tak mampu mengejar Ketika tiba di Se-kwang ternyata ketiga orang itu sudah lenyap.
Menurut keterangan dari beberapa orang yang kutanya, kemungkinan ketiga jago itu tentu
menuju kekota Lokyang !”
“Selain Kim-leng Sam-hiong, siapa lagikah yang taci jumpai ?” tanya sidara.
“Memang kalau bersua dengan Kimleng Sam hiong saja, aku tentu tak heran. Tetapi
selain mereka, akupun melihat anak buah Lembah Seribu racun dan si Tangan geledek Ca
Giok ketua muda dari Ca-ke-poh. Kalau orang-orang Lembah Seribu racun itu muncul di
Tionggoan, tidaklah begitu mengherankan. Karena mereka memang sering keluyuran
didaerah ini. Tetapi kemunculan ketua muda dari Ca-ke-poh itu, bukanlah suatu peristiwa
yang biasa. Jika tiada urusan yang penting, dia tentu tak muncul di Tionggoan. Mengenai
orang-orang Lembah Seribu racun, walaupun belum kulihat beberapa tokoh-tokohnya
yang penting, tetapi jumlah orang-orang Lembah Seribu racun itu banyak sekali. Lebih
kurang 20an orang. Suatu hal yang belum pemah terjadi selama ini . . .”
“Menurut dugaanku, tokoh-tokoh penting dari Lembah Seribu racun tentu berada disini
juga. Yang mengherankan, orang-orang itu semua menuju kebarat . . .” kata Ting Ling
seraya berhenti merenung.
Ting Hong kenal watak tacinya. Jika memikir hal-hal yang berat, tentu menengadahkan
kepala. Ia memberi isyarat mata kepada Han Ping supaya jangan mengganggu.
Setelah lewat beberapa jenak, tiba-tiba Ting Ling memandang kearah Han Ping :
“Mengapa Kim Lokoay mengajak kami berdua bersekutu merampas sarung pedangmu,
tentulah bukan suatu hal yang kebetulan melainkan tentu mengandung suatu rahasia
besar. Tetapi untuk beberapa waktu, masih sukar kuungkap ...”
Berhenti sejenak, nona baju hitam itu melanjutkan pula : “Menilik kedudukan Kim
lokoay dalam dunia persilatan, jika bukan benda pusaka yang tak ternilai harganya, dia
tentu tak mau turun tangan merebutnya. Pedangmu yang begitu hebat, dia tak mau dan
hanya mengambil sarungnya saja. Tentulah sarung pedang itu jauh lebih berharga dari
pedangnya. Dan untuk mencapai maksudnya itu, ia tak segan membunuh kami berdua.
Mungkin dia kuatir kami akan membocorkan hal itu. Ah, dia sahabat baik ayah. Diapun
takut kepada kemahsyuran nama Lembah Raja setan. Tetapi jika ia tetap berani
mencelakai kami berdua saudara, tentulah sarung pedang itu benda yang luar biasa
nilainya. Jika tidak mengandung rahasia dendam atau pembunuhan besar yang
menyangkut kepentingan dunia persilatan, tentulah mempunyai lain nilai yang tiada
taranya.”
Diam-diam Han Ping terkejut. Ia tak menduga bahwa seorang gadis yang baru berumur
18-19 tahun ternyata mempunyai kecerdasan dan pandangan yang sedemikian luas. Diamdiam
Han Ping mengaguminya.

Sejenak mata-mata sinona baju hitam itu menyapu kearah Han Ping dan Ting Hong,
kemudian berkata lagi : “Juga kedatangan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan didaerah
Lokyang ini, tentulah bukan suatu peristiwa yang biasa. Jika dugaanku tak salah,
kemungkinan tokoh-tokoh penting dari Ji-koh dan Sam-poh, tentu datang juga. Hal ini
benar-benar suatu peristiwa yang luar biasa. Dalam beberapa hari ini tentu akan timbul
peristiwa yang menggemparkan Suatu pertempuran yang ramai dan layak disaksikan.
Karena kita berada disini, kita pun harus melihat juga. Menilik pedangmu itu mudah
merangsang keinginan orang, sebaiknya engkau sembunyikan saja agar jangan
mengandung kesulitan. Begitu pula kita bertigapun harus menyamar supaya jangan
menarik perhatian orang.
Ting Hong merenung sejenak lalu tertawa.
“Kami berdua taci beradik sering keluar kedunia persilatan dengan mengenakan kedok
muka. Dikuatirkan orang-orang Ca-ke-poh dan Lembah Seribu racun itu tetap akan
mengenali kami. Maka menurut hematku, kali ini kita menyaru saja sebagai anak laki dan
mengenakan kedok muka. Dengan demikian kemungkinan orang tak mudah mengenali !”
sidara tertawa.
Ting Ling menggeleng.
“Betapapun kita menyaru dengan cara apa saja, hanya orang biasa yang dapat
terkelabuhi. Tetapi terhadap tokoh-tokoh lihay itu, jangan harap kita dapat lolos dari mata
mereka yang tajam....”
Ia berhenti sejenak, memandang Han Ping dan berkata pula : “Aku sudah menyediakan
suatu rencana. tetapi tentu akan memberatkan engkau!”
“Silahkan bilang, asal tidak kelewat sukar, aku tentu bersedia” sahut Han Ping.
“Karena sering keluar kedunia persilatan, kami kenal banyak tokoh-tokoh persilatan.
Terutama orang-orang dari Lembah Seribu racun, mereka ganas dan licin. Anak buah dari
Tangan geledek Ca Giok itu benar-benar seperti setan siluman. Kami berdua sudah
beberapa kali berjumpa dengan mereka. Walaupun dengan menyaru apa saja, sukar untuk
lolos dari mata mereka. Siasat yang paling tepat ialah begini : kita dapat mengetahui
mereka tetapi jangan mereka melihat kita.”
“Ho, bagaimana mungkin ?” kata Han Ping, “kalau kita dapat mengetahui mereka,
masakan mereka tak dapat mengetahui kita !”
Ting Ling tertawa melengking : “Hal itu kedengarannya memang ganjil. Tetapi jika
sudah kuterangkan tentu biasa juga. Engkau seorang baru dalam dunia persilatan.
Walaupun memiliki kepandaian sakti, tetapi orang tentu belum mengetahui. Asal berhatihati,
jangan terlalu menonjolkan diri, dan lagi memakai kedok muka tentulah sukar orang
mengetahui . . . .”
“Benar, memang aku baru pertama kali ini mengembara. Sekalipun tak memakai kedok
muka, tentu tak dikenal orang. Hanya bagaimana dengan nona berdua . . . .”
“Ah, paling tidak seorang Kim lokoaypun sudah kenal padamu. Begitu pula si Bungkuk
itu. Jika engkau tak mau mengenakan kedok muka, mereka tentu akan mengenalimu”.

Mendengar kata-kata nona itu beralasan juga, mau tak mau Han Ping memuji dalam
hati. Dia mengagumi nona itu cermat dan teliti sekali. Hal-hal kecil yang orang tak
memperhatikan, pun tak terlepas dari penelitiannya.
“Sekarang ini keadaan memaksa. Terpaksa sementara akan menyulitkan dirimu. Tetapi
apabila keadaan sudah mengizinkan, kami taci berdua akan bersedia menyaru jadi
budakmu, untuk mernbayar terima kasih atas jerih payahmu dalam beberapa hari ini,”
Ting Ling tertawa.
“ Hampir setengah hari tetapi nona belum mengatakan jelas bagaimana rencana itu,”
Han Ping tertawa.
Ting Ling tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah kedok muka dari kulit lalu menghampiri
Han Ping dan memasangkannya.
“Kuminta engkau menyaru jadi sais (kusir) kereta kami berdua taci beradik,” katanya
dengan tertawa.
Sidara Ting Hong tertawa mengikik : “Bagus, rencana taci hebat sekali ! Asal tenda
kereta kita tutup tapi diberi sedikit lubang kecil, kita tentu dapat melihat keadaan diluar.
Ting Ling mengangguk : “Selama beberapa tahun ini memang banyak tambah
pengalaman. Akupun sudah menyediakan kereta. Jika engkau tak keberatan menyaru
sebagai sais, marilah kita berangkat sekarang.”
“Nona memang cerdik sekali. Tetapi entah apakah penyamaranku ini bakal dapat
mengelabuhi orang-orang itu ?” tanya Han Ping.
Ting Ling mengeluarkan sebuah cermin : “Coba saja engkau lihat sendiri apakah mirip
tidak dengan seorang sais kereta ?”
Ketika berkaca, ternyata Han Ping dapatkan dirinya saat itu berobah menjadi seorang
lelaki tua yang berumur 40an tahun. Dahinya penuh keriput.
“Hai, mirip juga !” ia tertawa.
“Memang kedok muka yang kubawa itu, halus semua buatannya sehingga sukar
diketahui kalau kedok. Yang penting sekarang ini, engkau harus membiasakan diri untuk
mengurangi pancaran sinar matamu agar jangan menimbulkan kecurigaan orang bahwa
engkau memiliki tenaga dalam yang tinggi. Nah, marilah kita berkemas,” kata Ting Ling.
Setelah membayar rekening rumah penginapan, mereka keluar. Ternyata dimuka
rumah penginapan sudah tersedia sebuah kereta dengan dua ekor keledai tegar. Ting Ling
memberi topi dan pakaian warna biru kepada Han Ping.
Demikianlah sais Han Ping dengan kedua penumpangnya dua orang gadis cantik,
segera berangkat menuju kedalam kota Lokyang.
Disepanjang jalan, beberapa kali Han Ping melihat penunggang-penunggang kuda yang
melarikan kudanya dengan pesat. Dari dandanan dan gerak geriknya, Han Ping menduga
bahwa penunggang-penunggang kuda itu tentulah tokoh-tokoh persilatan.

Ditilik dari sikapnya yang tergopoh-gopoh, rupanya mereka sedang mengejar waktu.
Tentulah mempunyai urusan yang sangat penting.
Ada beberapa penunggang kuda yang berpaling memandang kearah kereta Han Ping,
tetapi mereka terus melanjutkan perjalanan lagi. Agaknya mereka tak menaruh kecurigaan
terhadap kereta itu.
Diam-diam Han Ping memuji kecerdikan Ting Ling mengatur siasat penyamaran itu.
Orang tak menaruh perhatian pada kereta yang ditarik keledai.
Sekonyong-konyong seekor kuda mencongklang pesat dan melampaui kereta. Dan
entah bagaimana penunggangnya tiba-tiba ayunkan cambuk kearah tenda kereta yang
tertutup itu.
Bukan main marah Han Ping saat itu. Hampir saja ia tak dapat menahan diri. Untung
sesaat ia teringat akan pesan Ting Ling tadi. Maka pura-pura ia terkejut dan mengisar
kesamping.
Saat itu sipenunggang kuda itu berada beberapa meter dimuka kereta. Ia tertawa
nyaring, serunya : “Ho, budak kedua perempuan yang pintar, sayang aku mempunyai
urusan penting . . .!
Han Ping mengawasi penunggang kuda itu dengan tajam. Seorang lelaki berumur 31an
tahun. Wajahnya hitam seperti pantat kuali, pipinya kiri terdapat bekas luka. Setelah
berpaling memandang kearah Ting Ling dan Ting Hong, ia mencongklang pesat.
Ting Ling mmutup tenda yang tersingkap itu dan berbisik kepada Han Ping : “Engkau
telah memainkan perananmu bagus sekali. Menyaru naga untuk menangkap naga.
Menyamar harimau untuk menangkap harimau!”
Han Ping hanya tertawa dan melarikan kereta menuju ke Lokyang.
Dalam perjalanan itu, Han Ping berusaha untuk menyembunyikan diri. Terutama ia tak
mau memandang setiap penunggang kuda yang lari melampaui keretanya. Memang tak
henti-hentinya tokoh-tokoh
persilatan sakti yang membanjiri jalan menuju ke Lokyang.
Tiba-tiba dari samping kereta terdengar suara orange tertawa perlahan “Tolong tanya,
apakah kereta ini juga menuju ke Lokyang ?”
Hari Ping terperanjat. Didapati yang bertanya itu seorang pengemis tua yang berambut
gimbal dan wajah kotor. Pakaiannya putih, bersepatu rumput dan menggendong sebuah
buli-buli arak dipunggungnya.
Tetapi ada sesuatu yang aneh. Walaupun mukanya mesum dan rambutnya tak keruan,
pengemis tua itu memiliki sebaris gigi yang kecil-kecil dan bersih. Suatu hal yang berbeda
dengan keadaan seorang pengemis tua.
Han Ping kerutkan kening ....

Jilid 5 Tokoh tokoh sakti berdatangan ke Lokyang
Bagian 9
Naga-harimau-ular.
“Benar, keretaku ini memang hendak menuju ke Lokyang,” akhirnya Han Ping
menyahut.
Pengemis tua itu tertawa, “Apakah kereta ini milikmu sendiri?”
“Ah, begitulah,” sahut Han Ping, “dengan mengandalkan hasil kereta ini aku akan
membiayai keluargaku lima jiwa!”
“Ah, kalau begitu sungguh kebetulan,” kata pengemis tua, “aku pengemis tua ini
hendak meminjam keretamu untuk menghadiri upacara kematian besar-besaran di
Lokyang. Entah apakah engkau setuju?”
Han Ping menggeleng, “Sayang, keretaku ini sudah disewa oleh lain penumpang.”
Pengemis tua itu tiba-tiba tertawa gelak-gelak.
“Para paderi yang mengembara, mencari makan di empat penjuru. Dan aku bangsa
pengemis makan paderi itu. Orang yang mengembara hanya mengandalkan pada kenalan
dan sahabat. Seperti aku, pengemis yang mencari makan dengan jalan meminta-minta,
selalu mengandalkan kemurahan hati para tuan-tuan yang bermurah hati untuk
memberikan sisa makanannya. Jika setiap orang pelit seperti engkau, aku si pengemis
tentu dulu-dulu sudah mati kelaparan. Tak mungkin aku dapat hidup sampai detik ini.
Biarlah aku minta izin kepada tuan penumpangmu itu. Aku takkan duduk dalam gerbong
kereta melainkan sudah cukup berterima kasih kalau diberi tempat di sebelahmu yang
masih kosong itu. Apalagi aku hanya seorang diri, kiranya tentu takkan mengganggumu
….”
Habis berkata pengemis itu terus menyingkap tenda kereta.
“Nanti dulu, sabarlah. Penumpangku ini kaum putri,” buru-buru Han Ping mencegah.
Pengemis tua itu tersenyum. Tahu-tahu kakinya memanjat roda dan terus menyelinap
duduk di sebelah Han Ping.
“Uh, mengemudikan kereta juga suatu mata pencaharian. Sudah tentu engkau hanya
memandang ongkos. Tetapi sekalipun aku si pengemis tua ini tak punya uang sepeser
pun, tak nanti akan membikin engkau kecewa. Dahulu ketika mengembara di Pakkhia, aku
telah menemukan sebutir kelereng mutiara air. Berpuluh tahun kubawa benda itu kemanamana.
Sekalipun kelaparan, aku tetap tak mau menukarkan benda itu dengan nasi. Tetapi
hari ini terpaksalah. Apa boleh buat, harus kulepaskan ….”
Dalam pada berkata-kata itu si pengemis tua mengeluarkan dari dalam saku bajunya
sebutir mutiara sebesar buah kelengkeng. Ditimpa sinar matahari, mutiara itu berkilaukilauan.
Benda itu cepat disusupkan ke tangan Han Ping lalu dia sandarkan kepalanya
pada sandaran dan tidur mendengkur.

Han Ping hendak mendorongnya. Tetapi pengemis itu mendengkur keras sekali
sehingga Han Ping kewalahan dan membiarkannya.
Setengah hari kemudian, tibalah kereta itu di luar kota Lokyang. Sebuah kota yang
bertembok tinggi dan megah. Hanya sekejap Han Ping menengadahkan mata memandang
keadaan tembok kota itu. Ketika berpaling lagi, astaga …. pengemis tua itu sudah lenyap!
Kejut Han Ping bukan kepalang. Pikirnya, “Ah, ilmu ginkang pengemis tua tadi bukan
main hebatnya. Mengapa tak kudengar sama sekali gerakannya waktu pergi!”
Dan mutiara itu masih terletak di ujung tempat duduknya.
Tiba-tiba dari dalam gerbong kereta, Ting Ling berseru, “Lekas masuk ke dalam kota
dan carilah rumah penginapan. Nanti kuberitahukan sejelasnya tentang diri pengemis tua
itu!”
Sambil ayunkan cambuk, tangan kiri Han Ping mengambil mutiara dan menyusupkan ke
dalam tenda kereta. Sebuah lengan halus menyambutinya. Entah siapa, Ting Ling atau
sidara Ting Hong.
Lokyang itu sebuah bekas kota kerajaan kuno. Suasananya lain dengan desa dan kota
kecil yang dilalui sepanjang perjalanan tadi. Di kedua tepi jalan besar penuh berjajar
gedung-gedung besar yang bertingkat. Jalan penuh dengan orang berjalan sehingga
kereta Han Ping tak leluasa jalannya.
Akhirnya berhasillah ia mencari sebuah rumah penginapan. Ketika memandang papan
nama rumah penginapan itu, ia terkesiap. Rumah penginapan itu memakai merk Bangseng-
khek-cau atau Hotel Megah Ria.
Selintas ia teringat akan peristiwa semalam ketika bertempur dengan si Bungkuk.
Bukankah kemunculan si kakek pendek yang membawa sehelai panji burung cenderawasih
putih itu, menyuruh si Bungkuk datang ke hotel Megah Ria di kota Lokyang situ?
“Apakah paman hendak menginap disini?” tiba-tiba jongos hotel lari menghampiri dan
menegurnya, “Masih ada sebuah ruangan kosong. Selama dua hari ini banyak sekali
tetamu yang menginap disini. Jika paman hendak ….”
Han Ping terkejut mendapat penyambutan itu. Belum ia menyahut, tiba-tiba terdengar
derap kuda menghampiri dan suara orang berseru dengan nada parau, “Hai, apakah masih
ada kamar kosong?”
Jongos itu berputar tubuh ke arah pendatang itu. Tetapi belum ia membuka mulut, Han
Ping sudah mendahului, “Ya, kami akan pakai kamar itu!”
Ternyata yang muncul itu dua orang penunggang kuda. Yang seorang, seorang lelaki
berwajah hitam seperti pantat kuali dan pipinya terdapat bekas luka bacokan. Sedang
kawannya seorang lelaki bertubuh kate. Si Hitam itulah yang tadi dijumpai dalam
perjalanan.
Tiba-tiba si Hitam itu tertawa nyaring “Bagus, bagus, kebetulan sekali. Jongos, lekas
mandikan kuda kami ini dan kasih makan yang kenyang ….”

Jongos ketakutan melihat sikap orang berwajah hitam itu. Dengan meringis, ia
meratap, “Maaf, tuan. Kamar yang kosong hanya tinggal sebuah dan tuan yang berkereta
ini sudah memesannya!”
Si Hitam deliki mata. Ketika hendak mendamprat, tiba-tiba si Kate mencegahnya,
“Kalau sudah dipesan lain orang, tak boleh kita merebut. Mari cari lain hotel!”
Habis berkata si Katepun menarik lengan si Hitam. Keduanya loncat ke atas kuda
masing-masing dan mencongklang pergi.
Setelah kedua orang itu jauh, barulah jongos hotel itu berpaling kepada Han Ping dan
menyesalinya, “Jika engkau tak mau tinggal disini, akupun tak memaksa. Tetapi mengapa
tak mau lekas-lekas menjawab sehingga hampir mencelakai aku. Menilik usiamu sudah
cukup tua dan sering berpergian tentulah tahu tata cara. Mengapa sama sekali engkau tak
dapat melihat gelagat….”
Han Ping tertawa lalu loncat turun dari keretanya, “Penumpangku ini kaum putri.
Apakah kamarmu itu bersih?”
“Dalam kota Lokyang sini terdapat tak kurang dari 100an rumah penginapan. Hotel
Megah Ria ini adalah yang nomor satu. Entah apakah peruntunganmu besar atau kami
yang sial. Mengapa begitu keluar aku melihat keretamu berhenti disini.”
Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya dan matanya mendelik, mulut melongo karena
melihat tenda kereta tersingkap dan turunlah dua orang gadis yang cantik jelita ….
Setelah sadar, buru-buru jongos itu menghampiri kedua gadis itu dan mengantarkannya
masuk.
Hotel Megah Ria itu sebuah hotel yang besar. Luas tanahnya sampai beberapa bahu.
Kamarnya beratus-ratus buah. Para tetamu terkesiap dan memandang kedua nona itu
dengan terpesona.
Sesungguhnya sewaktu dalam gerbong kereta dari lubang tenda, Ting Ling telah
memperhatikan keadaan tetamu-tetamu itu. Setelah tak melihat orang yang mengenalnya
barulah ia turun dari kereta. Dengan gaya dan sikap seperti gadis yang lemah gemulai.
Mereka berjalan bergandengan tangan sambil tundukkun kepala seperti gadis pingitan
yang bersikap malu-malu. Sekalian tetamu makin terlongong-longong.
Setelah melintasi dua buah ruangan besar, jongos itu berpaling kepada kedua gadis,
“Jnilah ruangan yang paling bagus dari hotel kami. Selain tenang pun hiasannya mewah
sekali ….”
Ia membuka pintu dan melangkah masuk. Memang Han Ping dapatkan ruangan itu
tenang, bersih dan mewah. Temboknya terbuat dari batu marmer hijau, merupakan
sebuah villa tersendiri. Di ruangan tetamu dihias dengan beberapa pot bunga seruni yang
tengah mekar dan menyiarkan hawa yang harum. Di kanan kiri ruangan besar terdapat
sebuah dua buah ruangan kecil.
“Jika masih ada yang kurang, nona boleh minta apa lagi,” kata jongos itu.

Ting Ling puas dengan keadaan tempat itu. Ia memberinya sekeping emas, “Titip dulu,
besok kita perhitungkan lagi.”
Melihat keping emas yang ditaksir tak kurang dari dua tail itu, sikap sijongos makin
menghormat, “Apakah nona hendak pesan hidangan?”
“Nanti saja kalau periu, tentu kupanggilmu,” sahut Ting Ling.
Jongos segera minta diri. Ketika berpaling ke arah Han Ping, wajah tawanya berganti
kerut gelap. Menunjuk pada ruang kecil di samping, ia berkata, “Engkau tidur di ruangan
itulah….”
Tiba-tiba kata-katanya terputus oleh munculnya seorang lelaki berpakaian hitam yang
tanpa bilang apa-apa terus hendak menerobos masuk ke dalam ruangan besar.
Cepat-cepat si jongos hadangkan lengannya mencegah, “Tuan, kamar ini sudah
ditempati tetamu kaum putri ….”
Orang itu tertawa hina, “Sekalipun ratu, aku fak takut. Jangankan hanya perempuan
biasa, Enyah!”
Ia ulurkan lengan kiri dan menjeritlah si jongos ketika tubuhnya terpelanting sampai
beberapa langkah. Buk …. ia jatuh menyusur lantai. Tetapi keping emas masih
digenggamnya.
Melihat keberandalan itu, Han Ping melangkah menghadang di muka pintu, bentaknya,
“Siang hari bolong mengapa saudara main berandalan. Kamar ini dihuni tetamu putri,
mengapa saudara hendak masuk?”
Sejenak orang berpakaian hitam itu memandang Han Ping. Tiba-tiba ia maju selangkah
dan menampar dada Han Ping. Gerakannya cepat dan keras sekali.
Han Ping menyambar dengan tangan kiri. Ia gunakan ilmu Kin-na-liong-jiu atau ilmu
tangan kosong merebut senjata musuh. Cret, siku lengan orang itu tercengkeram, sekali
diayun ke muka dan didorong ke belakang, orang itu terlempar delapan langkah jauhnya
dan jatuh terduduk di lantai ….
Payah juga keadaannya. Sampai beberapa saat baru ia dapat berdiri. Melirik kepada
Han Ping, orang itu perdengarkan tertawa hina lalu melangkah keluar.
Sijongospun bangun. Buru-buru ia menghampiri Han Ping dan tertawa cengar cengir,
“Ah, maaf, maaf, aku punya mata tetapi tak dapat melihat gunung Thaysan. Sungguh tak
kuketahui bahwa paman seorang berilmu!”
“Ah, jangan kelewat memuji. Aku ingin mendapat keterangan tentang seseorang, entah
apakah engkau dapat membantuku?” Han Ping tersenyum tawar.
“Setiap tetamu hotel sini tentu aku tahu semua. Siapakah yang engkau tanyakan itu?”
“Seorang tua bertubuh kekar tetapi bungkuk dan seorang tua bertubuh kurus pendek,
apakah mereka tinggal disini?” kata Han Ping.

Sejenak jongos itu merenung. lalu berkata, “Kedua orang itu tak pernah kulihat tinggal
di hotel sini. Memang pada hari-hari terakhir ini banyak sekali orang-orang persilatan yang
berkunjung ke kota sini. Semua hotel dan rumah penginapan penuh. Sekalipun mereka
royal mengeluarkan uang tetapi mereka termasuk orang-orang yang sukar dilayani. Salah
sedikit saja tentu turun tangan main tempeleng. Semalam aku tak tidur karena harus
melayani mereka sehingga tadi pagi aku bangun kesiangan. Kemungkinan kedua orang itu
datangnya pagi tadi dan aku tak melihatnya. Tetapi jangan kuatirlah. Nanti akan kucari
mereka dan kuberimu keterangan.”
Sambil berkata, jongos itu terus pergi.
Tiba-tiba tangan Han Ping ditarik orang masuk ke dalam ruangan. Ternyata yang
menarik itu adalah si dara Ting Hong.
Tampak Ting Ling duduk di sebuah kursi sambil bertopang dagu. Entah sedang memikir
apa. Begitu melihat Han Ping masuk, kedengaran nona itu menghela napas.
“Ah, hari ini kita bertiga hampir saja kehilangan jiwa. Sungguh tak nyana, Pengemis
sakti Cong To yang sudah lama menghilang dari dunia persilatan, juga muncul di Lokyang
sini. Melihat naga-naganya, Lokyang bakal menjadi arena pertempuran dahsyat!”
“Apa? Pengemis tua yang bonceng di kereta itu Pengemis sakti Cong To yang
termahsyur itu?” Han Ping terkejut.
Tiba-tiba ia teringat akan pesan mendiang Hui Gong, “Dikalangan tokoh-tokoh
persilatan, hanya Pengemis sakti Cong To yang bermusuhan juga dengan musuhmu itu.
Dia tak sudi berhubungan.”
Melihat sikap Han Ping ketika mendengar soal Pengemis sakti Cong To, Ting Ling
tersenyum, “Eh, engkau kenal padanya?”
Han Ping menggeleng, “Tidak, hanya suhu pernah mengatakan tentang orang itu.”
“Kalau begitu suhumu tentu bersahabat baik dengan Pengemis sakti Cong To?”
“Juga tidak. Suhupun hanya mendengar cerita orang saja!”
“Menilik kepandaian ilmu silatmu, suhumu tentulah seorang tokoh termahsyur. Apakah
engkau tak keberatan untuk memberitahukan nama gurumu?”
“Ah, suhu sudah meninggal. Maaf, tak perlu kuberitahukan.”
Sejenak Ting Ling kerutkan kening. Pada lain saat ia tertawa , “Baiklah, kalau engkau
keberatan, kami berduapun takkan mendesak ….”
Kata-kata Ting Ling itu terputus oleh deburan daun pintu yang keras. Mengira kalau
jongos sudah mendapat keterangan tentang diri si Bungkuk, buru-buru Han Ping keluar
membuka pintu.
Tetapi yang tegak di luar pintu ternyata bukan jongos hotel, melainkan seorang
pemuda dengan empat orang pengiring. Pemuda itu berusia 24an tahun, cakap dan
gagah. Sedang salah seorang pengiringnya ternyata orang yang dilempar Han Ping tadi.

Pemuda yang mengenakan baju biru itu menatap Han Ping tajam-tajam lalu memberi
hormat seraya bertanya, “Tolong tanya, apakah saudara datang dari gunung Hun-bongsan?”
“Aku hanya seorang sais, bukan dari Hun-bong-san.”
Pemuda itu tersenyum, “Lembah Raja setan di gunung Hun bong termahsyur dengan
pembuatan kedok muka. Tolong saudara sampaikan pada kedua nona di dalam ruangan
bahwa Ca Giok dari Ca-ke-poh di Ik-tang hendak mohon bertemu.”
Diam-diam Han Ping terkejut. Selama dalam perjalanan ia tak berjumpa dengan
siapapun. Mengapa pemuda itu tahu akan kedatangannya di hotel situ?
Dipandangnya pemuda itu dengan lekat. Seorang pemuda yang cakap, sikap dan nada
ucapannya halus dan sopan. Kecuali dari sinar matanya yang berkilat-kilat tajam, tidaklah
tampak lain-lain ciri istimewa pada pemuda itu.
Han Ping tampak gelisah. Jika ia menyangkal, jelas pemuda itu sudah yakin bahwa
kedua nona itu berada di kamar situ. Tetapi kalau ia meluluskan permintaannya, ia tak
berani mengambil keputusan sendiri karena kuatir kedua nona itu akan marah.
Untunglah pada saat ia termangu-mangu dalam keraguan, sidara Ting Hong muncul
dan menyambut pemuda itu dengan tegur tertawa.
“Taci sedang ganti pakaian, tak sempat menyambut. Mari, silahkan masuk,” kata Ting
Hong.
Pemuda itu mengucap terima kasih. Ia suruh keempat pengiringnya kembali lalu ikut
sidara masuk.
“Sungguh luar biasa sekali!” seru Ting Ling ketika menyambut pemuda itu. “Jarang
sekali saudara berkunjung ke Tionggoan. Tentulah urusan ini penting sekali. Entah apakah
saudara sudi memberitahukan hal itu?”
Ternyata pemuda itu Ca Giok, putra dari marga Ca yang memiliki Ca-ke-poh atau
gedung keluarga Ca di Hopak. Ca-ke-poh menduduki tempat sejajar dengan Lembah Raja
setan, Lembah Seribu racun dalam kemahsyuran di dunia persilatan.
Ca Giok tertawa, “Nona benar. Memang kedatanganku ke Lokyang ini mempunyai
kepentingan. Mengingat antara marga Ca-ke-poh dan Lembah Raja setan mempunyai
hubungan baik, maka aku memberanikan diri untuk bertamu di tempat nona sini.”
“Ah, saudara Ca terlalu sungkan. Silahkan mengatakan saja. Asal kami mampu, tentu
takkan menolak,” kata Ting Ling.
Sejenak pemuda cakap dan gagah itu tertawa lalu berkata, “Terima kasih. Maksudku
hendak mempersatukan kekuatan Lembah Raja setan dengan Ca-ke-poh dalam
menghadapi peristiwa ini. Apabila berhasil, kita bagi rata ….”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Sewaktu datang, setitikpun tak
kubayangkan bahwa peristiwa ini akan menjadi begini besar. Baik golongan Hitam maupun

Putih telah mengutus tokoh-tokohnya yang penting untuk ikut serta dalam hal ini. Menilik
gelagatnya, kota Lokyang akan timbul prahara besar. Karena tak menyangka hal itu, maka
aku hanya membawa sedikit pengiring. Kekuatan itu tak cukup untuk menghadapi
peristiwa yang akan timbul nanti. Maka kuberanikan diri untuk mengutarakan maksudku
tadi. Tetapi apabila nona berdua keberatan, akupun tak berani memaksa.”
Ting Hong merenung sejenak lalu berkata, “Saudara Ca berpandangan luas. Entah
apakah selama dalam perjalanan ini pernah bertemu dengan Pengemis sakti Cong To?”
Seketika berobahlah wajah Ca Giok, serunya menegas, “Apa? Pengemis tua itu juga
datang?”
Ting Ling tertawa, “Aku dan adik Hong melihatnya sendiri. Tak mungkin salah!”
Ca Giok berdiam sejenak. Katanya perlahan-lahan “Kepandaian dan pribadi pengemis
tua itu, tentulah nona berdua sudah mengetahui. Jika dia benar-benar datang …”
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya, tertawa dingin dan ayunkan tangannya. Seutas
benang perak yang lembut seperti rambut, segera meluncur keluar dari ruangan itu. Dan
menyusul tubuhnya melayang ke jendela ….
Ting Ling terkejut. Nona yang biasa berotak cerdas itu tak dapat menduga apa maksud
Ca Giok.
Kepandaian Tangan geledek Ca Giok memang sakti. Dan kemahsyuran nama marga Cake-
poh sudah tersebar di seluruh dunia persilatan. Jika tiada sesuatu tak mungkin Ca Giok
akan bertindak demikian.
Begitu tiba di belakang jendela, Ca Giok ulurkan tangan menyambar keluar, tertawa
dingin lalu masuk ke dalam ruangan lagi. Dari jauh samar-samar terdengar suara orang
tertawa mendengus ….
Ting Ling terperanjat. Ca Giok mencekal seekor ular kuning emas sepanjang setengah
meter. Kepala ular itu dipijitnya hancur, darah bercucuran menyiarkan bau. yang anyir.
Sedang tubuh ular itu masih bergeliatan kian kemari.
Kedua taci beradik itu sejak kecil dibesarkan di lembah pegunungan. Tahulah mereka
bahwa ular kuning emas itu seekor ular yang amat berbisa sekali.
“Saudara Ca, cepat lepaskan! Ular itu berbisa sekali!” teriak Ting Hong.
Ca Giok memandang ular itu, tertawa, “Orang Lembah Seribu racun memang licik
sekali. Sebelumnya mereka telah menyediakan ular-ular berbisa. Pada waktu hendak
kutangkap orang itu menyongsong songsongkan ular berbisa ini. Ha, ha, binatang begini
kecil, mampu berbuat apa terhadapku!”
“Ai, saudara benar-benar tak kecewa digelari orang sebagai Tangan geledek. Tangan
saudara Ca benar-benar secepat kilat menyambar. Ah, aku sangat kagum.” Ting Ling
tertawa memuji.
Wajah Ca Giok tampak tenang kembali. Ular itu dilemparkan keluar jendela.

“Jelas sudah, dewasa ini kota Lokyang penuh bertebaran maut. Bahwa orang Lembah
Seribu racun berani bergerak di siang hari, tentulah mereka sudah mempunyai persiapan
yang cukup tangguh!” kata jago muda dari marga Ca itu. “Terpaksa aku hendak minta diri
dulu untuk melihat keadaan di luar. Hanya kumohon sukalah kedua nona
mempertimbangkan usulku tadi. Nanti malam, aku berkunjung kemari lagi.”
“Maaf, saudara Ca, kami tak dapat mengantar. Sampai jam 10 malam nanti, tetap
kutunggu kedatangan saudara,” kata Ting Ling.
Setelah memberi hormat, Ca Giok segera tinggalkan ruangan itu.
Selama itu, Han Ping berdiri di pinggir pintu. Setelah Ca Giok pergi, barulah ia berkata
kepada kedua nona itu, “Pemuda itu hebat sekali. Tangannya cepat seperti kilat. Rasanya
tak kalah dengan si Bungkuk!”
Ting Ling suruh Ting Hong menutup pintu lalu mempersilahkan Han Ping masuk. Tibatiba
nona itu loncat ke tepi jendela dan melongok keluar. Kemudian ia menutup jendela itu
lalu berkata bisik-bisik, “Saat ini, kita berada dalam daerah berbahaya. Orang-orang
Lembah Seribu racun luar biasa licinnya. Ibarat liang semutpun mereka mampu memasuki.
Sekali tak hati-hati, jiwa tentu melayang ….”
Tiba-tiba tirai pintu tersingkap dan masuklah Ting Hong diiringi seorang jongos. Jongos
itu bukan jongos yang menyambut tadi. Memakai kopiah dan tundukkan kepala sambil
membawa sepenampan teh. Setelah menuangkan teh ke dalam tiga buah cawan, jongos
itupun pergi.
Sejenak Ting Hong memandang ke arah tacinya lalu mengikuti jongos itu.
Dengan matanya yang tajam, “Ting Ling mengamati warna teh dalam cawan itu. Ia
tersenyum menyeringai tetapi tak berkata apa-apa. Setelah Ting Hong masuk lagi, barulah
Ting Ling bertanya “Pintu sudah engkau tutup rapat?”
Ting Hong mengangguk.
Ting Ling mengangsurkan cawan teh kepada Han Ping, “Cobalah periksa teh ini, apakah
ada yang mencurigakan?”
Han Ping memeriksa. Teh itu jernih kehijau-hijauan, baunya harum sekali. Seperti teh
wangi yang kebanyakan.
“Eh, apakah ada sesuatu yang tak wajar pada teh ini?” tanyanya heran.
Ting Ling menghela napas perlahan . “Ah, kelicikan muslihat dunia persilatan, jika
diceritakan tentu membuat nyali orang rontok. Sekalipun memiliki kepandaian sakti, suatu
ketikapun masih lengah. Mungkin engkau menganggap kami berdua ini terlalu bercuriga
kepada orang sehingga tampaknya gerak-gerik kami memang aneh. Tetapi sesungguhnya
jika tak bertindak begitu, tentu mudah terkena siasat gelap orang. Misalnya seperti teh
wangi dalam cawan ini. Memang baunya harum dan warnanya jernih seperti teh wangi
yang kebanyakan. Sukar diketahui dimana ketidak wajarannya. Tetapi sebenarnya teh itu
sudah dicampuri racun….”
Han Ping terbelalak, “Kalau begitu, jongos tadi juga ….”

“Jongos itu jika bukan orang Lembah Seribu racun, tentulah orang yang disuruh
mereka. Tetapi mengapa pihak Lembah Seribu racun itu hendak mencelakai kita, benarbenar
aku tak mengerti ….” kata Ting Ling lalu merenung.
Sejenak kemudian ia berkata pula, “Tetapi baiklah. Biarlah siasat mereka kita gunakan
untuk menyiasati mereka. Kita lihat saja mereka akan berbuat apa terhadap kita.”
Ia mengambil ketiga cawan teh itu lalu dibawa masuk. Teh dituang ke bawah ranjang
lalu ia keluar lagi. Diserahkannya cawan yang sudah kosong itu kepada Ting Hong dan
Han Ping.
“Kita pura-pura minum cawan teh beracun ini. Aku dan adik Hong akan menggeletak di
samping meja ini dan engkau berbaring di belakang pintu sana ….” katanya kepada Han
Ping. “Jika tak berani masuk ke dalam sarang harimau, tentu takkan mendapat anak
harimau. Jika tak terpaksa sekali, harap jangan turun tangan. Tunggu perintahku dulu ….”
Waktu mengatakan kata-kata ‘perintah’, Ting Ling sungkan sendiri. Dipandangnya Han
Ping dengan tersenyum.
Walaupun setengahnya masih belum percaya penuh, tetapi Han Ping melakukan juga.
Ia rebah di belakang pintu. Sedang Ting Hong selalu percaya penuh terhadap tacinya.
Tanpa ragu-ragu lagi ia terus menggeletak di atas kursi.
Setelah melihat kedua orang itu rebahkan diri di tempat yang ditunjuk, Ting ling lalu
pindahkan letak cawan teh masing-masing. Setelah itu iapun rebahkan kepalanya di atas
meja.
Lebih kurang seperempat jam kemudian, tiba-tiba terdengar pintu diketuk orang.
Hampir saja Han Ping hendak bangun tetapi dicegah dengan isyarat tangan oleh Ting Ling.
Karena pintu tak dibuka, tak berapa lama ketukan pintu itupun lenyap dan suasanapun
sunyi kembali. Bahkan sampai malam tiba dan lewat makan malam, tetap belum tampak
sesuatu yang mencurigakan lagi.
Han Ping tak sabar. Dipandangnya Ting Ling dengan pandang kesangsian. Tetapi nona
itu hanya mengangguk kepala dan tersenyum, sebagai isyarat supaya pemuda itu suka
bersabar beberapa waktu lagi.
Tiba-tiba terdengar suara musik yang halus. Suara itu berasal dari tempat yang jauh
dan mengalun masuk ke dalam kamar. Dan ketika musik yang menyerupai bunyi seruling
itu berhenti, terdengarlah suara mendesis-desis. Dan ketika Han Ping membukai mata,
hampir saja ia melonjak bangun.
Dari belakang daun jendela, menyusup masuk dua ekor ular plonteng (kulitnya
berkembang garis-garis), sebesar cawan teh. Ketika kedua ular itu mengangkat kepalanya,
panjang tubuhnya tak kurang dari setengah meter.
Han Ping segera bersiap. Pada saat ia hendak menghantam ular itu, tiba-tiba dilihatnya
kedua nona itu masih enak-enak tidur. Seolah-olah tak mengacuhkan kemunculan ular itu.
Han Ping malu sendiri. Jika kedua gadis itu tak takut, masakan dia seorang anak lelaki

begitu ketakutan setengah mati. Ia batalkan niatnya hendak menghantam ular. Diam-diam
ia memperhatikan saja gerak-gerik binatang itu.
Kedua ular itu merayap ke samping Ting Ling. Salah seekor mengangkat kepala dan
memagut sinona. Tetapi Ting Ling sudah siap. Secepat kilat ia menyambar kepala ular itu
dan menjejak ular yang lainnya.
Seorang yang memiliki kepandaian silat memang mudah menangkap ular. Tetapi hal itu
diperlukan keberanian yang mantap. Karena sekali sambarannya luput, ular itu tentu akan
menggigitnya.
Diam-diam Han Ping memuji kecerdikan dan ketangkasan Ting Ling.
Ular yang terjejak oleh ujung kaki sinona, terhempas ke lantai dan mati seketika.
Sedang ular yang dipijit kepalanya itu masih berusaha untuk melilit tangan sinona. Tetapi
sekali tangan Ting Ling menyurut dan menjulur, remuklah tulang ular itu.
Dengan cepat, Ting Ling menaruh kedua bangkai ular itu di bawah jendela. Setelah itu
ia duduk di kursinya lagi. kepalanya dibaringkan di meja seperti orang yang pingsan.
Malampun tiba. Keadaan di luar ruangan sunyi senyap. Han Ping dan Ting Hong hampir
tak sabar lagi. Tetapi Ting Ling tenang-tenang saja. Berulang kali nona itu memberi isyarat
supaya mereka bersabar.
Lewat beberapa waktu kemudian, tiba-tiba terdengar suara halus di luar jendela dan
tirai jendelapun bergetaran. Kemudian sesosok bayangan melesat masuk.
Han Ping menutupi mukanya dengan lengan ba ju tetapi ia masih dapat melirik ke
sekeliling. Dilihatnya seorang lelaki kate, mukanya berkerudung kain hitam, melangkah
perlahan-lahan ke dalam ruangan, Sikapnya tenang seperti masuk ke dalam kamarnya
sendiri.
Begitu tiba di dekat kedua nona, tiba-tiba ia berbalik tubuh dan secepat kilat kedua
tangannya menutuk Ting Ling dan Ting Hong.
Saat itu barulah Han Ping menyadari. Cara orang kate itu melangkah dengan perlahan
ternyata memang mempunyai maksud. Dia berhati-hati sekali memilih posisi mendekati
tempat kedua nona. Kemudian secara tak terduga-duga dan secepat kilat turun tangan.
Tindakan orang kate itu memang tepat sekali. Ting Ling dan Ting Hong tak sempat lagi
menangkis. Mereka kena tertutuk.
Kemudian orang aneh itu membuka kerudung mukanya dan tertawa perlahan, “Hm,
silahkan kalian mengerahkan segala macam muslihat. Tetapi jangan harap mampu
mengelabui aku!”
Han Pingpun tak dapat berbuat apa-apa kecuali tergetar hatinya. Diam-diam ia menilai
kepandaian orang kate itu tak kalah dengan si Bungkuk serta Tangan geledek Ca Giok.
“Ah, apakah dunia persilatan penuh dengan orang-orang yang berilmu sakti begitu?”
diam-diam timbul rasa rendah diri dalam hati Han Ping.

Belum sempat ia berbuat apa-apa, tiba-tiba orang aneh bermuka panjang itu menyulut
api. Seketika ruangan terang benderang.
Keheranan Han Ping makin memuncak. Masakan seorang penjahat berani berbuat
sedemikian ugal-ugalan.
Orang aneh itu memandang kedua bangkai ular dan cawan teh di meja. Ia tersenyum,
“Kedua budak perempuan ini memang lihay. Jika terlambat sedikit saja, kemungkinan
akupun termakan siasat mereka!”
Saat itu pengerahan tenaga dalam Han Ping sudah memuncak. Pada saat ia hendak
loncat menerjang, tiba-tiba orang aneh itu berputar tubuh dan memandangnya sambil
tertawa dingin “Bangun! Kedua majikanmu sudah kututuk jalan darahnya. Mengapa
engkau masih pura-pura pingsan?”
Han Ping terkejut. Perlahan-lahan ia kendorkan pengerahan tenaga dalamnya. Lalu
bangun.
Orang aneh itu memandang Han Ping dari kaki sampai ke ujung kepala. Tegurnya,
“Engkau juga dari gunung Hun-bong-san?”
“Aku sais kuda dan kedua nona itu menyewa keretaku .” kata Han Ping dengan sikap
pura-pura ketakutan.
“Angkatlah kedua nona itu ke ranjang di dalam kamar!” seru orang aneh itu.
Han Ping tertegun. Ia gelisah karena harus memondong gadis remaja.
“Mengapa tak lekas-lekas mengerjakan perintahku? Apakah engkau sudah bosan
hidup?” dengus orang itu.
Diam-diam Han Ping menimang. Orang aneh itu dekat sekali dengan kedua nona. Jika
ia bertindak tetapi tak dapat sekali pukul merubuhkan orang itu, berbahayalah
keselamatan jiwa kedua nona itu.
Dengan pertimbangan itu terpaksa ia menurut. Diangkatnya Ting Hong ke dalam ruang
dan dibaringkan di tempat tidur. Orang aneh itu mengikuti di belakangnya dengan
menyulut lilin.
Setelah merebahkan sidara, timbullah pikiran untuk mengangkat Ting Ling lagi. Ia
hendak melihat apakah yang akan dilakukan orang itu terhadap kedua nona. Maka tanpa
diperintah, ia terus memondong Ting Ling ke dalam kamar.
Sambil mengacungkan lilin, orang aneh itu memandang kedua nona dan tertawa dingin,
“Untuk sementara biarlah kalian tidur nyenyak!”
Habis berkata ia melangkah perlahan-lahan keluar. Ketika melalui Han Ping, sekonyongkonyong
orang itu berbalik diri dan menutuk jalan darah di dada Han Ping.
Saat itu sebenarnya Han Ping sedang menimang, apakah ia harus bertindak saat itu.
Belum mengambil keputusan, ia sudah didahului orang itu. Karena jaraknya dekat dan tak
menduga, Han Ping tak dapat menghindar atau menangkis lagi. Ia jatuh terkulai ke lantai.

Tetapi ia memiliki tenaga dalam yang tinggi. Sekalipun tertutuk, tetap belum pingsan.
Diam-diam pemuda itu menimang, “Orang ini kepandaiannya tinggi. Belum tahu aku dapat
mengalahkannya atau tidak. Apalagi jalan darahku tertutuk lebih dulu. Jika dia tahu
keadaanku, tentu akan menurunkan tangan ganas ….”
Dengan perhitungan itu, buru-buru ia menutup pernapasan dan pura-pura pingsan.
“Huh, budak hina, lwekangmu hebat juga. Hampir aku kena engkau kelabui,”dengus
orang itu seraya ayunkan kakinya ke tubuh Han Ping. Pemuda itu mencelat dan
membentur dinding, bluk…
Karena harus pura-pura pingsan, terpaksa ia menutup pernapasan. Dan kerena
menutup pernapasan itu dia tak dapat mengerahkan tenaga dalam. Diam-diam ia
mengeluh kesakitan. Tetapi pengorbanan itu berhasil menghilangkan kecurigaan orang itu.
Habis menendang, orang itupun meniup padam lilin lalu melangkah keluar.
Ruangan gelap gulita. Tetapi Han Ping tak mau gegabah bergerak. Setelah lama tiada
mendengar suara apa-apa lagi, barulah ia membuka mata. Dan setelah mendapat
kepastian orang itu sudah pergi, barulah ia berani menyalurkan pernapasan lagi.
Dadanya yang tertutuk itu terasa sakit sekali, darah tak dapat menyalur. Baru hendak
melakukan semedhi, tiba-tiba terdengar pintu didebur dan masuklah dua orang lelaki
dengan membawa api.
“Kabarnya kedua budak perempuan dari Lembah Raja setan itu cantik sekali. Sekarang
kita dapat melihatnya dengan jelas,” kata salah seorang dengan tertawa perlahan.
Kawannya yang di belakang menyambut, “Kudengar kedua putra pemimpin kitapun
menaruh hati kepada kedua budak perempuan itu. Sudah pernah mengutus orang untuk
meminang tetapi ditolak.”
Orang di sebelah depan yang memegang korek itu menyulut lilin di meja dan menyuluhi
kedua nona yang terbaring di ranjang.
“Ai, benar-benar sepasang juwita yang cantik seperti bidadari. Tak heran kalau kedua
putra pemimpin kita tergila-gila,” katanya tertawa.
Tiba-tiba orang yang di belakang itu meniup padam lilin dan berbisik, “Besar sekali
nyalimu. Siapa tahu kemungkinan pemimpin kedua kita berada di luar ruangan. Mengapa
engkau berani nyalakan lilin? Apakah engkau tak sayang jiwamu?”
Tahulah Han Ping dari pembicaraan itu bahwa kedua orang tak dikenal itu disuruh
untuk mengawasi keadaan kedua nona.
“Ah, kalau mereka disuruh jaga disini celakalah, aku tentu tak dapat melakukan
penyaluran darah,” diam-diam Han Ping mengeluh.
Orang yang berdiri di belakang itu tertawa, “Kalau engkau suka melihat orang, silahkan
masuk. Aku tetap menjaga di luar saja. Tetapi, awas, jangan berbuat yang tidak patut,
jiwamu bisa amblas!”

Kawannya yang di muka tertawa, “Jangan kuatir, bung. Aku tentu dapat menjaga diri!”
Tetapi kalau melihat gerak-gerikmu, benar-benar aku curiga,” kata kawannya di
belakang seraya mencabut golok dan duduk di pinggir ranjang. Ternyata dia tak mau
keluar dan hendak menilik tingkah laku kawannya.
Pada waktu kedua orang itu masuk, Han Ping tak sempat merebahkan diri. Untung ia
cepat mendapat akal. Buru-buru ia bersandar pada tembok dan kepalanya mengulai.
Kedua orang itu hanya mencurahkan perhatian kepada kedua nona. Mereka tak melihat
bahwa Han Ping berada disitu juga. Sekalipun lolos dari perhatian, tetapi Han Ping tetap
setengah mati karena tak dapat bergerak.
Dalam keheningan itu, terlintaslah ia akan ajaran mendiang Hui Gong siansu. Mulai ia
mencari dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng tentu pelajaran membuka jalandarah.
Ia pusatkan seluruh perhatian untuk mengingat semua isi kitab itu. Memang sukar
sekali untuk menelaah tulisan dalam kitab itu. Ia coba merangkainya dengan pelajaran
lisan dari Hui Gong mengenai penggunaan secara praktek dari ilmu dalam kilab sakti itu.
Akhirnya ia memperoleh kemajuan besar dalam menyelami inti sari kitab itu.
“Apakah nona berdua sudah tidur?” sekonyong-konyong di luar ruangan terdengar
orang berseru.
Han Ping terkejut. jelas yang berseru itu adalah Ca Giok, sipemuda tampan yang
gagah. Seketika pikirannya terganggu dan kacaulah pemusatannya tadi.
Kedua orang itupun terperanjat sekali. cepat mereka menghunus senjata dan
berjingkat-jingkat menghampiri ke belakang pintu sebuah kamar di luar. Sedang kawannya
bersembunyi di belakang pintu kamar kedua. keduanya siap mengacungkan golok. Begitu
Ca Giok masuk, tentu segera ditabasnya.
Untunglah sebelum timbul gangguan itu, Han Ping sudah berhasil menemukan ilmu
pelajaran tentang membuka jalan darah. Ketika kedua orang itu berada di luar, diapun
lantas kerahkan tenaga dalam untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk itu.
Rupanya Ca Giok cerdik sekali. Ia seperti mendapat firasat bahwa di dalam kamar
kedua nona itu seperti terjadi sesuatu. Pemuda itu tidak jadi masuk dan terus pergi.
Beberapa saat kemudian, Han Ping coba menjulurkan kaki dan tangannya. Ah, ternyata
dapat digerakkan. Jalan darahnya yang tertutuk itu sudah berhasil dilancarkan kembali.
Ketika ia hendak bangun menolong kedua nona, tiba-tiba pintu terbuka.
Orang yang berada di balik pintu, rupanya sudah berpengalaman. Dia tak mau cepatcepat
turun tangan. Golok tetap diacungkan ke atas, siap ditabaskan.
Saat itu Han Ping sudah membiasakan diri dalam ruangan yang gelap. Ia dapat melihat
keadaan dalam ruangan situ. Dilihatnya orang yang di belakang pintu itu, turunkan
goloknya dan mengambil keluar dua batang piau yang ujungnya runcing dan berwarna
biru gelap.

Pada saat ia hendak menimpukkan piau itu, tiba-tiba segulung api melayang ke dalam
ruangan. Seketika itu ruangan terang benderang.
Orang yang sembunyi di balik pintu terkejut sekali. Pada saat ia hendak memadamkan
api itu, sesosok bayangan melesat masuk dan secepat kilat melayang ke sudut ruangan.
“Ho, kukira yang berada dalam ruangan ini makhluk ganas yang berkepala tiga
bertangan enam. Kiranya hanya kawanan cinjil beracun. Kalau tahu begitu, tak perlu aku
membuang banyak tenaga begini ….” terdengar suara pendatang itu tertawa nyaring.
Han Ping tak asing lagi. “Yang bicara itu adalah Tangan geledek Ca Giok. Ia mendapat
akal. Buru-buru ia mengulai kepala dan bersandar ke tembok lagi.
Ca Giok melangkah tenang-tenang ke dalam ruangan dalam. Setitikpun ia tak
menghiraukan bahaya yang akan diterima dari orang yang bersembunyi di balik pintu.
Orang itu memberi isyarat mata kepada kawannya yang bersembunyi dipintu kedua.
Kemudian ia loncat menyerang Ca Giok.
Ca Giok tetap tenang-tenang saja. Sama sekali ia tak mengacuhkan serangan itu.
Bahkan ia berpaling memandang ke arah pintu kedua.
Pada saat golok hampir mengenai kepalanya, barulah ia mencondong ke kanan lalu
tangan kiri secepat kilat mencengkeram siku lengan kanan penyerang itu.
Tring …. golok terlepas jatuh. Dan sebelum orang itu sempat menjerit, Ca Giok sudah
menyusuli sebuah tendangan ke perut orang. Orang itu rubuh. Mulut, hidung, mata dan
telinganya mengeluarkan darah. nyawanya melayang ….
Han Ping sempat melirik apa yang terjadi saat itu. Melihat keganasan Ca Giok
membunuh orang, diam-diam ia merasa ngeri. Seorang pemuda cakap yang tampaknya
halus pekerti seperti seorang sasterawan ternyata buas dan ganas. Demikian pikirnya.
Ca Giok melintangkan mayat orang itu ke muka sebagai perisai, lalu loncat menyerbu
ke dalam pintu kedua.
Rupanya orang itupun tergetar menyaksikan kematian kawannya. Begitu Ca Giok tiba di
ambang pintu, baru dia taburkan kedua piau beracun itu.
Ca Giok tampaknya tak mengacuhkan. Tetapi sesungguhnya diam-diam dia sudah siap.
Begitu piau melayang, Ca Giokpun serempak menyongsongkan mayat orang tadi dan
tangan kanannya balas menghantam.
Bluk!, terdengar orang itu terkapar rubuh. Dadanya termakan pukulan lwekang Pehpoh-
sin-kun atau Pukulan sakti seratus langkah dari keluarga Ca.
Ca Giok menyulut korek dan melangkah masuk. Lepaskan perisai mayat, ia melangkah
ke meja dan menyalakan lilin. Ruangan terang benderang. Lebih dulu ia mengangkat
kedua mayat itu ke sudut ruang kemudian menghampiri ke tempat tidur kedua nona.
Setelah memeriksa, ia gelengkan kepala. Terpaksa ia mengurut bagian jalan darah mereka
yang tertusuk lalu menamparnya perlahan-lahan. Kedua nona itu menguak napas lalu
duduk. Ca Giok mundur dan berdiri di samping ranjang.

Ting Ling berkeliaran memandang keadaan ruangan lalu turun dari pembaringan.
Sambil mengemasi rambutnya, ia tertawa, “Karena ketololan, Kami berdua saudara
termakan serangan gelap musuh. Terima kasih atas pertolongan saudara Ca,” ia memberi
hormat kepada pemuda itu.
Ca Giok tertawa, “Ketiga manusia beracun dari Lembah Seribu racun itu, yang kesatu
dan kedua jarang muncul keluar, yang rnencelakai nona berdua tentulah Manusia beracun
nomor tiga yakni Leng Kong Ih!”
“Waktu mencelakai kami, dia mengenakan kerudung muka sehingga tak tampak
wajahnya. Sungguh memalukan sekali, walaupun ditutuk jalan darah kami tetapi kami tak
sempat mengetahui Manusia beracun yang nomor berapakah yang rnencelakai kami itu?”
Ting Ling tersenyum.
Ting Hong yang sudah sadar, tak tertarik dengan pembicaraan itu. Diam-diam ia melirik
ke arah Han Ping yang rebah bersandar pada tembok.
Diam-diam Ting Lingpun menaruh perhatian atas keselamatan pemuda itu. Ia heran
mengapa Han Ping begitu mudah ditutuk jalan darahnya. Padahal menilik kepandaiannya,
walaupun pemuda itu tak dapat mengalahkan beberapa tokoh tua dari Lembah Seribu
racun, tetapi paling tidak dia tentu dapat menempur mereka sampai 100an jurus.
Walaupun tak menang tetapi masih dapat membela diri. Apalagi orang dari Lembah Seribu
racun itu lebih dulu menutuk jalan darah kedua nona sehingga tentulah Han Ping
mempunyai kesempatan untuk berjaga-jaga.
Memang sinona baju hitam Ting Ling itu cermat sekali. Secepat ditolong Ca Giok, ia
sudah memperhatikan keadaan dalam ruangan situ. Ternyata tiada bekas-bekas terjadinya
suatu pertempuran.
“Ah, mengingat tokoh Manusia beracun dari Lembah Seribu racun itu tubuhnya
mengandung racun, kemungkinan pemuda itu tentu lebih dahulu termakan senjata
beracun mereka,” akhirnya nona itu menarik kesimpulan.
Ting Ling cepat berpikir dan cepat pula bertindak. Dengan tenang ia menghampiri ke
tempat Han Ping. Sebelumnya lebih dahulu ia berpaling kepada Ca Giok dan berkata,
“Orang Lembah Seribu racun itu memang ganas benar. Sekalipun terhadap seorang sais
yang tak tahu apa-apa, merekapun tak mau memberi kelonggaran.”
Habis berkata ia lalu lekatkan tangannya ke dada Han Ping. Maksudnya untuk
memeriksa denyut jantung pemuda itu. Tetapi di luar dugaan begitu tangannya
menyentuh dada, Han Ping segera menguak, menggeliat dan berbangkit.
Ting Ling terkesiap. Tetapi cepat nona itu menyadari bahwa pemuda itu sebenarnya
hanya berpura-pura pingsan. Ia kerutkan dahi, bersenyum memandang Han Ping lalu
berputar tubuh.
Oleh karena teraling oleh tubuh sinona, Ca Giok tak dapat melihat jelas apa yang telah
terjadi. Ia mengira kalau nona itu memang dapat membuka jalan darah Han Ping dengan
cepat.

“Aha, ilmu kepandaian dari Lembah Raja setan benar-benar luar biasa. Cara nona
membuka jalan darah orang itu dalam waktu yang singkat, benar-benar sangat
mengagumkan sekali,” Ca Giok tertawa memuji.
Memang Ca Giok sudah tahu bahwa Han Ping tentulah bukan sais biasa. Tetapi ia tetap
menduga salah. Karena pada sangkanya, Han Ping tentulah salah seorang anak buah
Lembah Raja setan yang menyaru jadi sais.
“Ah, saudara Ca kelewat menyanjung,” Ting Ling tertawa hambar, “Siapakah orang
persilatan yang tak mengetahui kebesaran nama dari It-kiong, Ji-kok dan Sam-tay-poh.
Bagaimanapun juga, kepandaian kami berdua tetap kalah jauh dengan saudara Ca!”
“Ai, nona kelewat merendah diri,” sahut Ca Giok, “dalam 13 propinsi daerah Kanglam-
Kangpak, siapakah yang tak kenal akan nama besar dari kedua bersaudara gunung Hunbong?”
Karena melihat Han Ping tak kurang suatu apa, legalah perasaan Ting Hong. Dara itu
segera menukas pembicaraan Ca Giok, “Menurut tata susila dunia persilatan, kami harus
membalas budi pertolongan saudara Ca. Harap saudara Ca segera mengatakan, asal kami
mampu tentu akan melakukan perintah saudara dengan sepenuh tenaga.
Ca Giok memandang sejenak kepada Han Ping, Ia hendak mengucap sesuatu tetapi tak
jadi.
Ting Ling yang cerdas segera dapat mengetahui maksud Ca Giok, serunya, “Sais itu
sebenarnya penyaruan dari seorang murid Lembah kami. Harap saudara Ca jangan raguragu,
silahkan mengatakan!”
Ca Giok tersenyum, “Maaf, aku hendak mohon tanya tentang keputusan usulku
semalam itu. Adakah nona bersedia kerjasama dengan pihakku?”
“Pihak Lembah Seribu racun sudah jelas memusuhi kami. Dalam keadaan seperti ini,
memang tiada lain pilihan lagi. Kalau saudara Ca sungguh bermaksud begitu, kami tentu
akan menyambut dengan gembira,” sahut Ting Ling.
“Sudah tentu tawaran itu dengan itikad yang tulus. Berapakah anak buah yang nona
bawa?”
Ting Ling tersenyum, “Terus terang sudah 3 bulan kami pergi dari Lembah Raja setan.
Dan tiga hari yang lalu, aku mendapat surat dari ayah supaya ke Lokyang membantu
pamanku mengurus suatu pekerjaan penting. Sayang dalam surat yang dibawa oleh
seorang anak buah kami itu, ayah tak menceritakan sifat pekerjaan penting itu. Kamipun
bergegas menuju ke kota ini tetapi tampaknya paman belum datang. Mungkin di tengah
perjalanan mempunyai lain urusan. Tetapi kupercaya paman tentu tak berani melalaikan
tugas. Kalau tidak hari ini tentu besok pagi dia pasti datang.”
Nona itu memang cerdik. Ia kenal akan pribadi Ca Giok yang berotak cerdas dan
cermat. Jika memberi tahu dengan terus terang, tentu takkan dipercaya maka ia
merangkai sebuah cerita lain yang dapat diterima.
Rupanya Ca Giok percaya.

“Kemungkinan Ting locianpwe sudah datang tetapi karena sedang menyelidiki urusan
itu maka tak sempat menemui nona.”
“Mudah-mudahan begitulah agar aku jangan kehilangan pimpinan,” kata Ting Ling.
Ca Giok merenung. Sesaat kemudian ia tertawa, “Memang hal itu aku sendiripun
kehilangan paham. Jangankah nona yang tak diberitahukan oleh ayah nona, sedang aku
sendiri yang hendak ikut menyelidiki urusan itu, pun masih bingung!”
Mendengar itu, sidara Ting Hong tak dapat menahan diri dan bertanyalah ia, “Menilik
tokoh-tokoh semacam Manusia beracun dan Pengemis sakti Cong To juga muncul sendiri
di kota ini, urusan itu tentulah suatu peristiwa besar!”
Ca Giok tertawa “Malah bukan terbatas hanya Pengemis sakti Cong To dan Manusia
beracun saja, bahkan semua tokoh-tokoh ternama dalam dunia persilatan berbondongbondong
datang kemari. Pendek kata, setiap orang persilatan yang mendengar berita,
tentu akan ikut datang kemari.”
“Hm, seorang anak perempuan yang sudah dewasa, mengapa bicara masih tak
menurut atur an!” Ting Ling mendamprat adiknya Ia memberi isyarat mata kepada Ting
Hong dan pura-pura marah.
Ca Giok tersenyum, “Ah, janganlah nona memarahi adik nona. Memang jika aku
menjadi adik nona, pun tentu akan menanyakan juga peristiwa itu. Apalagi peristiwa itu
sudah menjadi rahasia umum. Entah apakah ayah nona pernah menceritakan tentang diri
tokoh It Ki dari Laut Selatan yang mengacau pertempuran para tokoh-tokoh persilatan di
gunung Heng-san?”
“Ka1au tak salah memang ayah pernah bercerita tentang hal itu. Tetapi mempunyai
hubungan apakah hal itu dengan peristiwa di Lokyang ini?”
“Dunia persiatan walaupun terbagi menjadi beberapa partai persilatan dan masingmasing
mempunyai ilmu pelajaran dan gaya keindahan sendiri-sendiri, tetapi dalam
golongan Putih, partai Siau-lim-si yang dianggap orang paling terkemuka sendiri. Partai
Siau-lim-si memiliki 72 macam ilmu kepandaian istimewa. Tetapi selama itu belum pernah
terdapat tokoh Siau-lim-si yang mampu menguasai ke 72 ilmu kepandaian itu.
Duaratus tahun yang lalu, paderi Hwat Seng taysu yang dianggap sebagai bintang
cemerlang gereja Siau-lim-si, pun hanya mampu menguasai 49 macam ilmu kepandaian
saja. Dan itu pun sudah dianggap sebagai satu-satunya murid Tat mo sucou yang paling
istimewa ….”
“Benar, memang ayah sering menceritakan tentang paderi sakti itu?” Ting Ling tertawa,
“tetapi pada jaman ini Siau-lim-si muncul lagi seorang paderi Hui Gong yang luar biasa.
Enam puluh tahun yang lalu pada waktu ia masih mondar mandir di dunia persilatan,
tokoh-tokoh dunia Rimba Hijau (penyamun) sama pontang panting menyembunyikan diri.
Tetapi aneh sekali, paderi hebat itu tak lama kemudian melenyapkan diri dan tak ketahuan
alas rimbanya. Pernahkah saudara Ca dengar peristiwa itu?”
Mendapat pertanyaan itu, Ca Giok hanya tersenyum. Ujarnya “Pengetahuan nona
ternyata luas sekali. Ya, memang ayahku pernah bercerita. Tetapi karena kemunculan
paderi sakti di dunia persilatan itu hanya singkat sekali waktunya, walaupun

kemahsyurannya berkumandang memenuhi seluruh penjuru dunia persilatan, tetapi
sayang tak banyak meninggalkan kesan-kesan peristiwa yang dilakukan. Maka saat ini
hanya sedikit sekali orang yang tahu tentang diri paderi luar biasa itu. Masih kalah dengan
Hwat Seng taysu yang namanya tetap harum sampai dua ratusan tahun lamany a ….”
“Ah, jika Hui Gong taysu mempunyai kesempatan 10 tahun berkelana saja, mungkin
kemahsyuran namanya tak kalah dengan Hwat Seng taysu. Sayang paderi sakti itu telah
…” karena tak sabar mendengar mendiang Hui Gong dipandang rendah, Han Ping cepat
menyelutuk.
Sejenak Ca Giok memandang ke arah anak muda itu lalu bertanya pada Ting Ling
apakah Han Ping itu juga anak murid ayah Ting Ling.
Nona yang cerdik itu cepat menangkap kata-kata Ca Giok. Pemuda itu dengan halus
mendamprat Han Ping. Bahwa sebagai seorang murid biasa, tak patut turut campur bicara
dengan orang yang tingkatnya lebih atas.
Sejenak merenung. Ting Ling memberi jawaban, “Ah, saudara Ca memang tajam sekali.
Benar, memang dia adalah murid ayah yang paling disayang. Sebenarnya menurut
tingkatan, kami berdua harus rnenyebutnya sebagai suheng.”
Mendengar Han Ping seorang murid kesayangan dari pemimpin Lembah Raja setan,
buru-buru Ca Giok memberi hormat, “Maaf, aku telah berlaku kurang hormat kepada
saudara!”
Sebenarnya mengkal sekali Han Ping kepada Ting Ling. Tetapi karena keadaan
mendesak, terpaksa ia menahan diri. Namun wajahnya tetap mengunjuk kurang senang
sehingga ia tak balas memberi hormat kepada Ca Giok dan hanya rnengucap beberapa
patah kata yang bernada dingin “Saudara Ca hanya mendengar dari sumber berita dunia
persilatan saja sehingga tak mengetahui pribadi Hui Gong taysu yang sesungguhnya.
Ketahuilah, sejak sepeninggal Tat Mo cousu, hanya paderi Hui Gong yang dianggap
sebagai penggantinya. Paderi itu benar-benar memiliki bakat yang luar biasa. Harap
jangan sernbarangan meremehkannya!”
Mendengar kata-kata kasar dari Han Ping, meluaplah kemarahan Ca Giok. Tetapi
sebagai seorang yang penuh toleransi, walaupun marah, wajahnya tetap tak berobah.
“Mohon tanya nama saudara yang mulia?” katanya dengan tertawa hambar.
“Ah, namaku yang rendah adalah Ih jin,” sahut Han Ping.
Tiba-tiba Ca Giok melangkah maju dua tindak dan menjabat tangan Han Ping, “Ah,
sungguh beruntung sekali dapat berkenalan dengan saudara.”
Tampaknya Ca Giok menjabat dengan akrab. Tetapi sesungguhnya dia kerahkan tenaga
untuk menguji orang.
Han Ping sudah siap ketika orang melangkah ke hadapannya. Dia kerahkan lwekang
untuk menyambut. Kedua jago muda itu mengadu kesaktian tenaga dalam masingmasing.
Dan berobahlah wajah Ca Giok seketika.

“Lembah Raja setan bersahabat dengan Ca-ke-poh. Selanjutnya harap saudara Ih jin
suka sering-sering memberi pelajaran,” kata jago muda dari Ca-ke-poh itu dengan
tersenyum seraya menarik tangannya dan mundur dua langkah.
“Hebat benar kepandaian orang ini. Mungkin lebih tinggi dari aku. Ah, kemahsyuran
nama Lembah Raja setan benar-benar bukan nama kosong,” pikirnya.
Tiba-tiba terlintas lain pemikiran dalam benaknya. Jika benar sakti, mengapa tadi Han
Ping begitu mudah dapat ditutuk oleh orang Lembah Seribu racun? Apakah kepandaian
dari tokoh Manusia beracun itu lebih unggul dari Han Ping?
Ia terlongong-longong karena tak dapat memecahkan keanehan itu.
Kedua nona itu banyak pengalamannya. Cepat mereka dapat mengetahui bahwa dalam
adu tenaga dalam tadi, Ca Gioklah yang menderita kerugian.
Ting Hong tersenyum, “Tentang tokoh It Ki dari Laut Selatan yang mengacau
pertemuan para tokoh-tokoh persilatan di gunung Heng-san agaknya mempunyai
hubungan dengan kemunculan para tokoh-tokoh persilatan di kota Lokyang saat ini.
Maukah saudara Ca memberitahukan kepada kami?”
Ca Giok menghela napas perlahan.
“Pertemuan para tokoh-tokoh di gunung Heng-san pada 10 tahun yang lalu benarbenar
merupakan peristiwa besar dalam dunia persilatan. Selain dihadiri oleh tokoh-tokoh
dari pihak It-kiong, Ji-kok dan Sam-poh, pun Ksatria tunggal dari Sin-ciu yakni Ih Thian
heng juga datang. Para pemimpin dan tokoh terkemuka dalam golongan Hitam dan Putih,
sama datang sendiri menghadiri. Karena tujuan pertemuan yang diselenggarakan oleh Ih
Thian heng itu tak lain adalah untuk meredakan dendam permusuhan yang terjadi dalam
golongan Hitam dan Putih. Juga pimpinan partai Siau-lim-si dan Bu-tong-pay datang
menghadiri. Memang dalam hal itu nama Ih Thian heng mempunyai pengaruh besar akan
berhasilnya pertemuan besar itu. Tetapi yang penting, tujuan pertemuan itu benar-benar
akan merobah suasana dunia persilatan yang selalu kacau karena adanya pertentangan
antara golongan Hitam dan Putih yang tak berkeputusan itu ….”
Ca Giok berhenti sejenak lalu melanjutkan.
“Keputusan pertemuan itu amat penting sekali bagi dunia persilatan. Jika kedua
golongan itu tak dapat didamaikan, tiada lain jalan kecuali akan terjadi suatu pertemuan
yang menentukan siapakah yang lebih berhak menancapkan kaki dalam dunia persilatan.
Pada saat pertemuan berjalan belum lama, tiba-tiba muncullah seorang tua bertubuh
kurus dan rambutnya putih bersama seorang dara kecil. Ia mengatakan datang dari Laut
Selatan. Di hadapan beratus-ratus tokoh persilatan, kakek itu berani memberi penilaian
rendah terhadap ilmu kepandaian silat dari tionggoan. Bermula para hadirin mengira kakek
itu seorang sinting. Mengingat kedudukan masing-masing sebagai ketua partai atau tokohtokoh
yang ternama, hadirin itu tak mau meladeni si kakek. Tetapi setelah mendengar
kata-kata lebih lanjut dari kakek berambut putih itu, seketika heninglah suasana
pertemuan. Dalam penilaiannya terhadap ilmu silat dunia Tionggoan, kakek itu telah
memberi tanggapan yang tajam dan tandas sekali.

Beberapa saat kemudian kakek itu mengeluarkan sebuah kitab bersampul kuning.
Diacungkannya kitab itu ke atas lalu tertawa, “Dalam kitab ini, terdapat pelajaran untuk
memecahkan semua ilmu silat dalam dunia persilatan Tionggoan. Begitu pula terdapat
pelajaran lwekang Bu-siang-lwekang-sim-hwat dari perguruan Laut Selatan. Barang siapa
yang hadir disini mampu menerima 10 jurus seranganku, akan kuhaturkan kitab ini
kepadanya.
“Telah kuterangkan bahwa yang hadir dalam pertemuan besar itu kebanyakan adalah
tokoh-tokoh sakti pada masa itu ….”
Berkata sampai disitu, tiba-tiba Ca Giok mendengar suara dengusan tertahan dan suara
itu seperti masuk ke dalam ruang. Sedemikian halus suara itu sehingga sukar didengar.
Ca Giok berhenti bercerita lalu mengangkat salah sebuah mayat. Ting Lingpun cepat
meniup padam lilin. Ruangan gelap seketika.
Han Ping dan Ting Hong serempak menyelinap ke sudut ruangan. Ketika berbentur
tubuh, Ting Hong terkejut. Didapatinya tubuh Han Ping agak gemetar.
“Adakah dia terluka waktu mengadu lwekang dengan Ca Giok tadi?” diam-diam dara itu
cemas.
Buru-buru dara itu mencekal tangan Han Ping. Didapatinya tangan pemuda itu agak
dingin. Ting Hong makin terkejut. Hampir ia menjerit.
Memang selain tubuh gemetar, tangan Han Pingpun terasa dingin. Untunglah dara itu
banyak pengalaman. Dia masih dapat menguasai keterkejutannya.
Tiba-tiba ia mendapat pikiran. Diletakkan tangan pemuda yang masih dicekalnya itu ke
tangan Ting Ling. Juga Ting Ling tak kurang kejutnya. Buru-buru ia mengisar ke samping
pemuda itu.
Han Ping terkejut karena tangannya dilekat Ting Hong ke tangan Ting Ling. Buru-buru
ia menarik tangannya dan menyelinap ke samping Ca Giok.
Beberapa saat kemudian, keempat anak muda itu sudah dapat melihat keadaan dalam
ruangan yang gelap itu.
Ting Ling kemalu-maluan karena Han Ping lolos ke samping Ca Giok. Namun nona itu
tetap tenang.
“Menilik gerakannya masih begitu gesit, rupanya dia tak menderita luka apa-apa. Dan
tadi jelas dalam adu lwekang dengan Ca Giok, dia lebih unggul. Kalau memang terluka
tentu tak dapat bertahan lama. Ah, mungkin karena lain sebab.”
Tiba-tiba di luar jendela terdengar suara orang tertawa dingin, “Mengingat
perikemanusiaan, aku tak mau bertindak ganas. Lekas nyalakan lilin dan bukakan pintu
untukku. Asal kalian tak melukai orang suruhanku itu, dengan memandang muka si Setan
tua, aku takkan mengganggu kalian berdua budak perempuan. Tetapi jika kalian berani
menggunakan siasat kepadaku, hm, jangan salahkan aku seorang kejam!”

Jago-jago muda yang berada dalam ruangan itu, memiliki indera pendengaran yang
tajam. Mereka benar-benar heran mengapa mereka sama sekali tak mendengar
kedatangan orang di luar jendela itu.
Sekonyong-konyong Ca Giok ayunkan tangan kanan. Sebuah jarum perak sehalus
rambut, meluncur keluar jendela.
Senjata rahasia yang lembut itu sama sekali tak mengeluarkan suara. Apalagi pada
malam hari yang gelap. Tentu sukar dihindari. Memang senjata gelap jarum Sengat tawon
dari keluarga Ca termahsyur di seluruh dunia. Sebagai putra keluarga Ca, sudah tentu Ca
Giok mahir dalam ilmu timpukan jarum itu. Sekaligus ia mampu menimpukkan sampai 20
batang jarum. Pula ia dapat menimpukkan dengan berturut-turut.
Saat itu karena tangan kiri mencekal mayat, ia hanya sebelah tangan untuk menimpuk.
Tetapi secepat taburan pertama dilepaskan, Ia sudah merogoh lagi segenggam jarum.
Tetapi di luar jendela tetap sunyi senyap. Beberapa saat kemudian terdengar orang tadi
berseru sinis, “Kukira kalian berdua dapat membuka jalan darah sendiri, kiranya ditolong
orang lain. Jarum Sengat tawon keluarga Ca memang hebat sekali tetapi mana mampu
melukai diriku….”
Tiba-tiba suara orang itu berhenti. Terdengar angin mendesus perlahan dan rupanya
orang itu sudah pergi dengan mendadak.
Saat itu Ting Ling, Ting Hong dan Han Ping sama berdiri merapat pada tembok. Sedang
Ca Giok melindungi dirinya dengan perisai mayat dan tegak di tengah ruangan. Keempat
jago muda itu siap menghadapi segala kemungkinan.
Kira-kira sepeminum teh lamanya di luar jendela tetap tak terdengar suara apa-apa.
Karena tak sabar lagi, Han Ping melesat ke muka jendela dan merapat pada tembok.
Ketika ia hendak ulurkan tangan membuka daun jendela, tiba-tiba Ca Giok berseru
mencegahnya, “Saudara Ih, dunia persilatan penuh tipu muslihat, awas, jaga serangan
mendadak dari musuh!”
Sejenak Ca Giok berhenti lalu sengaja berseru lagi dengan nyaring, “Ca Giok dari Ca-kepoh
berada disini. Siapakah kojin yang berada di luar jendela itu? Harap niemberitahukan
narnanya!”
Sesungguhnya Ca Giok sudah menduga bahwa yang berada di luar itu tentu tokohtokoh
Manusia beracun dari Lembah Seribu racun. Tetapi pemimpin yang nomor berapa,
Ca Giok tak dapat meuduga. Maka sengaja ia bertanya demikian. Ia memperhitungkan
ketiga Manusia racun dari Lembah Seribu racun itu adalah tokoh-tokoh ternama. Mereka
tentu malu kalau tak mau memegang kelaziman dunia persilatan dan tentu menjawab.
Tetapi ternyata perhitungan jago muda itu melesat. di luar tetap tiada penyahutan
suatu apa.
Melihat itu Han Ping tak dapat menahan diri. Setelah memandang kepada ketiga
kawannya, sekonyong-konyong ia mendorong daun jendela. Sambil melindungi dada
dengan tangan kiri, ia melayang keluar.
Ah, ternyata di luar tiada terdapat apa-apa. Hening lelap di empat penjuru.

Karena menguatirkan keselamatan Han Ping kedua nona itupun menyusul loncat keluar,
begitu pula Ca Giok. Setelah melepaskan perisai mayat, ia loncat menyusul. Begitu berada
di luar, ia terus loncat lagi ke atas rumah dan memandang ke sekeliling penjuru.
“Aneh, tak mungkin si tua beracun itu ketakutan melarikan diri ….” kata Ting Hong.
Tiba-tiba Ca Giok bertepuk tangan tiga kali. Dari empat penjuru berloncatan keluar tiga
lelaki bersenjata golok. Mereka memberi hormat kepada Ca Giok.
Tetapi Ca Giok tak sempat bicara kepada mereka. Ia melayang turun keluar halaman
lalu loncat lagi ke atas rumah sambil membawa sesosok tubuh orang dan melayang turun
ke dalam ruangan tengah. Ketiga lelaki tadi cepat mengikuti.
Diam-diam Han Ping memuji kesaktian Ca Giok.
“Apakah masih dapat ditolong?” tanya Ting Ling.
Ca Giok tertawa hambar, “Aku menghantam mati dua anak buah mereka. Dia
membunuh seorang anak buahku. Dua ditukar satu, masih untung.”
Ia menyerahkan mayat itu kepada salah seorang dari ketiga lelaki tadi, ujarnya,
“Kemanakah larinya pembunuh itu?”
Karena tubuh mayat itu masih hangat, Ca Giok menduga kematian anak buahnya itu
tentu belum berapa lama.
Salah seorang dari ketiga anak buahnya itu menyahut, “Pembunuh itu gesit sekali.
Mengenakan jubah panjang, kepala dan mukanya memakai kain selubung hitam dan
bertubuh pendek sekali ….
“Kutanyakan kemanakah larinya!” tukas Ca Giok.
“Karena Sau Poh-cu pesan kami tak boleh bergerak sebelum mendapat perintah maka
kamipun tak berani gegabah mengejarnya. Bermula orang itu mendekam di luar jendela
tetapi entah apa sebabnya mendadak loncat ke atas rumah dan melarikan diri.”
Anak buah Ca-ke-poh menyebut Ca Giok dengan panggilan Sau Poh-cu atau tuan
muda. Dan memanggil ayahnya Ca Giok dengan sebutan Poh-cu atau pemimpin marga Cake-
poh.
Anak buah yang berdiri di sebelah kanan, menjawab, “Geiakan orang itu sepesat angin.
Kalau tak salah lihat, dia menuju ke arah barat laut!”
Ca Giok tertawa seram. Belum mengucap apa-apa, ketiga anak buah itu ketakutan
setengah mati dan tersipu-sipu berlutut, “Memang kami tak berguna sehingga melalaikan
perintah sau-poh-cu. Kami bersedia menerima hukuman!”
Han Ping terkejut melihat kewibawaan Ca Giok terhadap anak buahnya. Tetapi bagi
Ting Ling dan Ting Hong, hal itu tak mengherankan. Memang lima golongan yang
termahsyur di dunia persilatan yakni It-kiong, Ji-kok dan Sam-poh itu mempunyai

peraturan yang keras sekali. Setiap anak buahnya yang melakukan kesalahan tentu
dihukum mati.
Rupanya Ca Giok memang sengaja hendak memamerkan kewibawaan Ca-ke-poh di
hadapan Han Ping dan kedua nona itu.
“Hm, walaupun kalian bertiga memiliki enam buah mata tetapi tak mampu melihat arah
lolosnya pembunuh itu. Menurut peraturan, kalian harus dihukum mati. Tetapi mengingat
saat ini tenaga kalian masih dibutuhkan, maka untuk sementara kalian hanya menerima
hukuman potong sebuah jari tangan. Kelak akan dipertimbangkan lagi dengan jasa-jasa
yang kalian lakukan!”
Bagaikan menerima titah dari raja, ketiga lelaki itu ulurkan tangan kiri dan masingmasing
lalu memapas sebuah jarinya sendiri.
Karena baru pertama kali itu menyaksikan cara hukuman yang begitu kejam, Han Ping
merasa ngeri juga. Tidak demikian dengan kedua nona. Mereka hanya ganda tertawa saja.
Setelah hukuman dilaksanakan, Ca Giok berpaling ke arah kedua nona dan Han Ping,
serunya, “Ah, sungguh memalukan sekali orang-orangku itu. Terpaksa kuberi hukuman!”
Setelah itu ia berpaling kepada anak buahnya, “Lekas bawa kedua mayat musuh dan
kawanmu ke hutan dan kuburlah mereka. Setelah itu kalian tunggu kedatanganku di hotel.
Percuma kalian berada disini!”
Dengan laku hormat sekali ketiga lelaki itu menghaturkan terima kasih atas kemurahan
hati tuan muda mereka. Mereka lalu mengerjakan perintah.
Setelah ketiga orang itu pergi, Ca Giok berkata pula kepada Ting Ling bertiga,
“Sebenarnya hendak kututurkan peristiwa dalam kota Lokyang ini kepada nona bertiga.
Agar nona bertiga mengetahui dan dapat memberi rencana tindakan yang akan kita
lakukan. Tetapi ternyata muncul gangguan tadi. Menurut hematku, pendatang gelap itu
tentulah salah satu dari ketiga tokoh Manusia racun dari Lembah Seribu racun. Tetapi
anehnya, mengapa dia mendadak ngacir pergi? Tentulah dia melihat seseorang yang
penting. Kemungkinan orang yang sedang dicari oleh sekalian tokoh-tokoh ke Lokyang itu
sendiri! Harap nona bertiga suka ikut mengejar pembunuh itu. Lain waktu, tentu akan
kuceritakan lagi sejelasnya. Walaupun berjumpa dengan Manusia racun tetapi kita
berempat tentu dapat menghadapinya!”
“Baiklah,” kata Ting Ling seraya mendahului loncat ke atas rumah. Ting Hong, Han Ping
dan Ca Giok segera menyusul. Di atas wuwungan rumah mereka memandang ke seluruh
penjuru tetapi tak melihat sesuatu.
“Kita menuju ke barat laut,” kata Ting Ling.
“Ah, kemungkinan anak buahku itu salah. Lebih baik kita kembali saja,” ujar Ca Giok.
“Tetapi lebih baik kita coba dulu,” kata Ting Ling.
Sejak berada di atas wuwungan, Han Ping memandang cermat keempat penjuru. Tibatiba
di sebelah muka beberapa tombak jauhnya, sesosok tubuh melambung ke atas

sampai dua tombak tingginya lalu meluncur ke arah timur laut dan lenyap dalam
kegelapan malam.
Han Ping terkejut “Huh, hebat sekali orang iiu. Dunia persilatan benar-benar penuh
dengan orang-orang berilmu.”
“Ketiga Manusia racun itu sakti sekali. Kemungkinan kita tak dapat mengejar mereka.
Lebih baik kita mengerjakan lain urusan yang penting ialah mencari ….”
“Ada orang datang, lekas sembunyikan diri,” tiba-tiba Han Ping menukas seraya
mendekam dan sembunyi di balik wuwungan rumah.
Jika kedua nona itu cepat mengikuti tindakan Han Ping, adalah Ca Giok yang agak
kurang percaya. Masakan Han Ping lebih tajam matanya dari dirinya. Diam-diam ia
memperhatikan sekeliling penjuru. Ia terkejut ketika melihat dua sosok tubuh meluncur
cepat dan pada lain kejap sudah berada di atas rumah sebelah muka, lalu loncat turun.
Diam-diam Ca Giok malu dalam hati karena kalah tajam dengan Han Ping. Ia mengajak
Han Ping mengejar dan minta kedua nona itu untuk menjaga di belakang.
Ca Giok meloncat ke udara, berjumpalitan dengan gaya yang indah dan melayang turun
ke bawah. Diam-diam Han Ping memuji ilmu kepandaian pemuda itu. Iapun menyusul
dengan gaya lain. Tubuhnya dalam posisi rebah melambung ke udara, bergeliatan dan
berputar-putar melalui sebuah rumah lalu melayang turun.
Melihat kedua pemuda itu mengunjuk kepandaian masing-masing, Ting Hong memberi
penilaian, “Ilmu kepandaian Ca Giok memang hebat tetapi gayanya hanya biasa. Tetapi
gerakan Han Ping itu benar-benar jarang terdapat. Entah dari perguruan manakah ilmu
ginkangnya itu!”
“Memang menurut wawasanku selama ini, ilmu kepandaian pemuda itu sukar diukur
tingkatnya. Misalnya ketika bertempur dengan si Bungkuk, bermula permainannya kacau
tetapi makin lama malah makin mantap, hebat dan gagah. Seolah-olah dia memiliki
sumber tenaga dalam yang tak pernah habis ….” kata Ting Ling.
“Adik Hong, kulihat selama ini engkau menaruh hati pada pemuda itu tetapi dia tak
membalas perhatianmu. Dalam hal ini engkau harus lebih berhati-hati agar jangan kecewa
sendiri.”
Muka dara itu merah, bantahnya, “Taci biasanya keras dan angkuh. Selamanya taci tak
mau dirugikan orang, tetapi mengapa ….”
Sesungguhnya dara Ting Hong hendak bertanya mengapa tacinya mandah saja
ditampar pipinya oleh Han Ping. Tetapi Ting Hong sungkan bertanya dan hentikan katakatanya.
Ting Ling tertawa, “Nyalimu sekarang bertambah besar sehingga berani adu mulut
dengan aku. Aku hanya memberi nasehat tetapi jika engkau tak mau mendengar, kelak
segala akibat harus engkau pikul sendiri.”

“Ah, masakan aku berani menentang taci. Hanya kulihat Han Ping itu seorang pemuda
baik. Sekalipun kepandaiannya sukar diukur, tetapi hatinya baik sekali. Tidak seperti
pemuda yang berhati culas.”
Ting Ling cibirkan bibir, ucapnya, “Aku tak mengatakan dia pemuda licin tetapi kulihat
hatimu memang sudah limbung!”
Kembali p’ipi dara itu memerah. Ditatapnya Ting Ling, “Sesungguhnya ada sesuatu
yang kukandung dalam hati. Entah apakah layak hal itu kutanyakan pada taci.”
“Ah, bukankah kita ini saudara sekandung? Silahkan engkau hendak bertanya apa
kepadaku!”
Ting Hong berhati baik. Ia selalu mendengar kata dan taat kepada tacinya.
Ting Hong merenung sebentar lalu susupkan kepalanya ke dada tacinya, “Jika pemuda
itu keras kepala dan tak mau berhubungan dengan kita, bagaimanakah daya taci untuk
menghadapinya?”
Ting Ling terkesiap. Ia menengadah memandang cakrawala, ujarnya, “Hanya ada dua
garis, sahabat atau musuh. Jika tak mau berhubungan dengan kita, tiada lain jalan kecuali
harus menghancurkannya!”
Tersirap darah Ting Hong mendengar kata-kata tacinya itu. Tetapi ia pura-pura
mengulas senyum, katanya, “Cara itu memang baik agar jangan dimanfaatkan orang lain!”
“Adik Hong, apakah kata-katamu itu benar-benar keluar dari sanubarimu?” Ting Ling
tersenyum lirih dan sebelum Ting Hong menjawab, Ting Ling sudah loncat ke atas
wuwungan.
Ting Hong tahu bahwa tacinya itu cerdas. Setiap memperhitungkan sesuatu tentu
tepat. Dara itu tak mau berbantah. Percuma saja dan lebih banyak bahayanya dari pada
gunanya.
Sekilas dara itu mendapat pikiran. Diam-diam ia memutuskan siasat, “Aku takkan
membicarakan hal itu lagi kepadanya. Biarlah taci tak dapat meraba keadaan kemudian
diam-diam aku akan berusaha untuk memberi kisikan kepada pemuda itu supaya waspada
….”
Setelah menenangkan pikiran, Ting Hong segera menyusul tacinya.
Dilihatnya Han Ping bersembunyi di balik sebatang pohon dan tengah memandang ke
arah rumah di sebelah muka. Sementara Ca Giok bersembunyi di belakang jambangan
bunga, memandang ke arah rumah itu juga.
Ternyata rumah itu juga merupakan sebuah bangunan yang terpisah sendiri,
menyerupai sebuah paviliun dari hotel Megah Ria. Selain dikelilingi pohon-pohon, pun
penuh dihias dengan jambangan bunga seruni.
Kamar samping dari gedung paviliun itu, masih terang dengan penerangan lilin. Dari
kaca jendela tampak bayangan dari kedua sosok tubuh tadi. Bayangan itu jelas

menunjukkan perawakan mereka. Si Bungkuk dan si Kate yang tempo hari bertempur
dengan Han Ping itu.
Ting Ling yang melihat kedua orang itu, diam-diam terkejut, “Kedua orang itu kalau tak
salah adalah tokoh-tokoh Bungkuk dan Kate yang termahsyur dalam dunia persilatan.
Tetapi mereka sudah 10an tahun tak pernah keluar. Apakah mereka juga akan ikut dalam
ramai-ramai di Lokyang ini?”
Tampak kedua orang Kate dan Bungkuk itu menjura lalu berdiri tegak seperti menerima
titah. Sayang karena jendela tertutup rapat, Ting Ling dan kawan-kawannya tak dapat
mendengar apa yang dibicarakan mereka itu.
Tiba-tiba penerangan dalam rumah itu padam dan lenyaplah bayangan kedua orang
Bungkuk dan Kate itu.
Terdengar pintu terbuka, empat lelaki bersarung pedang, keluar dari gedung itu.
Kemudian kedua orang Bungkuk dan Kate itupun keluar.
Han Ping dan Ca Giok yang bersembunyi secara terpisah, memasang telinga.
Kedengaran si Bungkuk tertawa, “Rupanya kota ini penuh dengan tokoh-tokoh persilatan
yang mencari kita. Kalau bertempur secara terang, kita tak takut. Tetapi yang dikuatirkan
adalah tipu muslihat gelap. Nona majikan kita walaupun pandai, tetapi sebagai seorang
gadis, tentu tak leluasa untuk menghadapi mereka. Sedang Nenek Ih sudah lanjut usianya
dan kurang leluasa memintanya turun tangan. Dengan begitu tugas menghadapi
lingkungan berbahaya ini, tentu jatuh dibahu kita berdua. Walaupun orang itu mengaku
sebagai murid dari majikan kita yang tua dan rnembuktikan pula dengan beberapa
permainan ilmu istimewa partai kita, tetapi tak bolehlah kita percaya penuh. Kepergianmu
ini memang untuk menilik apakah benar tempat yang ditinggali itu sesuai dengan
keterangannya, sebuah gedung yang mewah dan tenang. Tetapi disamping itu, yang
penting engkau harus dapat menyelidiki tentang kebenaran dirinya ….”
Rupanya siorangtua Kate tak sabar lagi mendengarkan ocehan si Bungkuk, cepat ia
menukas “Bungkuk, maukah engkau jangan ngaco belo seperti itu!”
Tiba-tiba orang Kate itu mengendapkan tubuh dan pada lain saat melambung sampai 2-
3 tombak tingginya. Pada saat kakinya menginjak atap rumah, ternyata jauhnya sudah
beberapa tombak. Dan sekali loncat lagi, ia sudah tak kelihatan bayangannya.
Menyaksikan kepandaian orang kate itu, Han Ping, Ca Giok dan kedua saudara Ting
terkejut.
Setelah melihat si Bungkuk pergi, tiba-tiba si Bungkuk mengacungkan tangannya.
Keempat lelaki tadi serempak mencabut pedang dan loncat berpencaran ke samping.
Masing-masing terpisah 4-3 langkah.
Setelah itu si Bungkuk tertawa dingin dan berseru, “Tengah malam tuan-tuan
berkunjung kemari, aku Au Bungkuk merasa berterima kasih. Jika terdapat penyambutan
yang kurang layak, harap dimaafkan!”
Han Ping menyadari bahwa dirinya telah diketahui orang. Baru ia hendak menyahut,
tiba-tiba di atas puncak pohon yang dibuat tempat bersembunyi itu, menghambur suara
tertawa sinis, “Ah, terima kasih. Sudah lebih dari 10 tahun saudara Bungkuk tak pernah

muncul di dunia persilatan. Kukira saudara sudah pindah ke dunia baka atau bersembunyi
mengasingkan diri di daerah pegunungan sepi. Sama sekali tak terduga bahwa kedua
locianpwe Bungkuk dan Kate mau juga merendahkan diri berhamba pada lam-hay (Laut
Selatan)? Benar aku ikut berduka atas kejatuhan nama kalian berdua!”
Diejek sedemikian rupa, si Bungkuk hanya ganda tertawa. Nadanya sedingin es di kutub
sehingga membuat orang menggigil ….
Lama sekali si Bungkuk menghambur tertawanya yang luar biasa itu, baru ia berkata,
“Amboi, tak kukira kalau engkau. Bagus, bagus, sudah lama kita tak berjumpa. Maka
dalam perjumpaan ini baiklah kita manfaatkan untuk menyelesaikan hutang piutaug kita.
Besok menjelang tengah malam, aku Au Thocu (Bungkuk) akan menunggu kedatanganmu
dimakam kuburan lima li di luar kota sebelah utara. Jangan mengecewakan undanganku
ini!”
Orang yang bersembunyi di atas pohon itu tertawa hina lalu melayang turun di hadapan
si Bungkuk.
Han Ping terkejut. Orang yang muncul itu juga bertubuh kate. Tetapi mukanya
berkerudung kain hitam. Ya, ya, tak salah lagi. Han Ping ingat orang itulah yang menutuk
jalan darah kedua nona Ting.
Orang pendek itu perlahan-lahan membuka kain kerudungnya. Setelah sejenak
memandang ke sekeliling penjuru, ia berkata, “Walaupun sudah berpisah 10 tahun tetapi
saudara Bungkuk masih dapat mengenal suaranya. Sungguh hebat!”
“Jangan kata engkau masih dapat bicara, sekali sudah menjadi abu, tetapi aku tentu
masih dapat mengenalimu!” sahut si Bungkuk.
Orang pendek itu tertawa hambar, “Malam ini banyak sekali tetamu-tetamu. Di sekitar
tempat tinggal nona majikan saudara ini, tak kurang 10 tokoh persilatan yang menunggu.”
Tiba-tiba dari balik serambi rumah sebelah utara terdengar suara orang tertawa
meloroh. Nadanya penuh ejek.
“Makhluk tua beracun, jangan main gertak. Kalau si Au Bungkuk sudah menantangmu,
besok malam aku si pengemis tua tentu menyaksikan!” seru orang itu terus lenyap dalam
kesunyian malam.
Sahut orang pendek itu, “Hm, pengemis tua, jangan jual kegarangan. Andaikata aku
Leng Kong siau tak makan yang ini, tentu akan melayanimu!”
“Saudara Leng, tak perlu menghambur kemarahan. Saudara Cong sudah pergi, nah,
sampai ketemu besok malam ….” tukas si Bungkuk seraya memberi hormat, “Sudah 10
tahun aku si Au Bungkuk tak menginjak tionggoan. Atas kunjungan saudara sekalian pada
malam ini menghaturkan terima kasih. Sayang pada malam begini, tak leluasa kuganggu
tuanku untuk menyambut keluar. Dengan ini aku menghaturkan maaf kepada tuan-tuan
sekalian.”
Habis berkata, si Bungkuk terus masuk ke dalam ruangan.

Keempat pengawalnya tadi bergerak sambil membolang balingkan pedangnya. Mereka
mengatur diri dalam bentuk barisan segi empat, menjaga pintu gedung.
Setelah melihat daun pintu gedung itu tertutup rapat, siorangtua pendek yang dipanggil
Leng Kong siau itu tertawa dingin lalu berputar diri dan melangkah perlahan-lahan ke arah
pohon.
“Awas, saudara Ih ….” baru Ca Giok berseru kepada Han Ping, sekonyong-konyong
Leng Kong siau loncat menerkam Han Ping. Gerakannya laksana kilat dan arahnya tepat
sekali
Setelah dalam dua hari menyaksikan betapa kotor dan licik orang-orang persilatan, Han
Pingpun sudah bersiap-siap. Sekalipun Ca Giok tak memberi peringatan, iapun mengetahui
juga serangan sipendek Leng Kong siau itu.
Begitu tangan kiri Leng Kong siau hampir mengenai tubuhnya, tiba-tiba ia mengisar ke
samping mengitari batang pohon. Selekas itu terus memukul dengan jurus, Naga sakti
keluar dari awan.
Sekalipun mengetahui setelah mendapat saluran ilmu lwekang dari Hui Gong siansu,
sekarang tenaganya bertambah sakti. Namun Han Ping belum mengetahui sampai dimana
kesaktian yang dicapainya itu. Dan oleh karena mengetahui bahwa orang pendek itu salah
seorang dari ketiga Manusia racun yang termahsyur, mau tak mau ia agak berdebar juga.
Pukulannya itu dilancarkan dengan tenaga sepenuhnya.
Semula memang Leng Kong siau tak memandang mata kepada Han Ping. Ia yakin
bahwa cengkeramannya tentu akan berhasil. Jago-jago silat yang ternama, jarang sekali
mampu menghindari cengkeramannya. Apalagi dianggapnya Han Ping hanya seorang
murid kerucuk dari lembah Raja setan.
Pada saat ia ulurkan tangan, tiba-tiba ia teringat akan gerakan orang itu ( Han Ping )
ketika melambung ke atas rumah. Buru-buru ia tambahi tenaganya.
Tetapi akhirnya cengkeramannya itu tetap luput juga. Diam-diam ia terkejut lalu
kerahkan seluruh semangatnya. Ia hendak menghantam lawan dengan pukulan Biat-gongciang
atau pukulan Membelah angkasa supaya binasa.
Tetapi sebelum sempat bertindak, angin pukulan Han Ping sudah melandanya.
Leng Kong siau seorang yang sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan.
Begitu melihat pukulan orang sedemikian dahsyatnya, buru-buru ia menangkis dengan
lwekang yang telah dikerahkan ke lengan kanannya.
Terdengar letupan keras dan hamburan debu seperti dilanda angin prahara.
Karena pukulan Han Ping datangnya cepat sekali maka Leng Kong siau dalam
gugupnya, hanya dapat melancarkan setengah bagian dari pengerahan lwekangnya.
Akibatnya ia tersurut mundur tiga langkah dan terlongong-longong ….
Han Ping sendiripun juga tertegun. Ia tak menyangka bahwa pukulannya dapat
menyurutkan seorang tokoh kenamaan seperti Leng Kong siau, salah seorang dari Manusia
racun Lembah Seribu racun!

Karena kuatir akan keselamatan Han Ping, maka pada saat kedua orang itu adu
pukulan, Ca Giokpun loncat menghampiri.
Tetapi Leng Kong siau memang sakti. Mendengar desis sambaran angin, ia tahu bahwa
salah seorang kawan dari pemuda lawannya itu tentu datang membantu. Tanpa berpaling
kepala, ia ayunkan tangannya memukul ke belakang.
Walaupun tanpa melihat tetapi pukulan Leng Kong siau itu tepat sekali mengarah Ca
Giok.
Tangan geledek Ca Giok, jago muda dari Ca-ke-poh juga banyak sekali pengalamannya.
Sewaktu melambung di udara, dia sudah bersedia. Begitu Leng Kong siau menampar ke
belakang, ia tamparkan kedua tangannya ke bawah. Dengan meminjam tamparan itu,
tubuhnya melambung tinggi ke atas. Wut …. angin pukulan Leng Kong siau tadi melanda
di bawah kakinya.
Karena pukulannya luput, Leng Kong siau menghindar ke kiri. Pada saat ia bergerak
menghindar, Ca Giokpun melayang turun ke tanah. Melihat Han Ping mampu adu pukulan
dengan Leng Kong siau, nyali Ca Giok bertambah besar.
“Jika kita berdua maju menghadapinya, walaupun belum tentu menang terhadap
Manusia beracun itu, tetapipun tak mungkin kalah,” pikirnya.
Seketika ia tertawa nyaring, serunya, “Sudah lama nian aku mendengar kemahsyuran
nama Leng locianpwe, sayang selama ini belum mempunyai kesempatan untuk
menghadap. Maka perjumpaan malam ini, benar-benar suatu rezeki besar bagiku.”
Sepasang mata Leng Kong siau yang tajam, berkilat-kilat memandang Ca Giok.
Kemudian tertawa sinis, “Kudengar Ca Cu-jing mempunyai seorang putra yang sakti
seperti naga. Apakah eng kau ini putranya? Siapakah namamu?”
“Ah, sungguh kelewat tinggi locianpwe memuji. Aku yang rendah ini bernama Ca Giok.
Harap locianpwe jangan percaya desas desus yang tersiar di dunia persilatan itu ….” baru
jago muda dari Ca-ke-poh memberi jawaban sampai di situ, tiba-tiba dari arah gedung
terdengar suara seorang gadis mendamprat halus.
“Hai, siapakah yang tengah malam buta berani ramai-ramai mengganggu orang tidur
itu? Jika masih terus ribut-ribut membikin gaduh dan mengganggu tidurku, jangan
persalahkan aku berlaku kejam. Akan kubuat kalian mati tanpa terkubur.”
Suara gadis itu garang sekali. Seolah-olah menganggap tokoh-tokoh yang berada di
luar itu sebagai cacing belaka ....
Jilid 6 : Villa misterius yang penuh jebakan
Bagian 10
Bayang-bayang maut.

Leng Kong Siau tertawa hina. Seketika meluaplah kemarahannya. Tetapi pada lain saat
ia tertegun. Dua musuh dari Lembah Raja setan dan Ca-ke-poh sudah cukup berat. Jika
tambah seorang lagi tentu payah.
Akhirnya ia menahan kemarahan dan loncat keatas rumah seraya tertawa : “Seluruh
tokoh-tokoh persilatan sudah berdatangan ke Lokyang untuk mengepung kalian dari Laut
Selatan. Aku tak berani melancangi mereka maka untuk sementara kuberimu hidup
beberapa hari. Nah, sampai lain kali !”
Sekali loncat jago pendek dari Lembah Seribu racun itu loncat menghilang dalam
kegelapan.
Berkata Ca Giok dengan bisik-bisik kepada Han Ping, “Tokoh-tokoh Lembah Seribu
racun rata-rata sakti dan licin. Walaupun malam ini mereka mundur dengan membawa
kekalahan tetapi kita tak perlu mengejar.
Demikian kedua jago muda itu segera loncat turun. Kedua nona Ting menyambut
kedatangan mereka dengan senyum berseri.
Ca Giok menyulut lilin, katanya dengan tertawa : “Saudara Ih benar-benar sakti,
mampu menghadapi salah seorang tokoh Lembah Seribu racun. Jarang sekali orang
persilatan yang mampu bertahan terhadap pukulan Manusia racun itu. Kali ini benar-benar
mataku terbuka lebar !”
“Ah, saudara Ca kelewat memuji. Siapakah yang tak kenal akan kemahsyuran saudara
?” Han Ping merendah.
Mendengar itu diam-diam si dara Ting Hong terkejut dan berseru kepada Han Ping :
“Suheng habis mengadu pukulan dengan si Tua beracun. Apakah saat ini merasakan
sesuatu yang kurang wajar pada tubuh suheng ?”
“Apa ?” Han Ping terkejut juga.
“Sekujur tubuh ketiga tokoh tua dari Lembah Seribu racun itu berlumuran racun.
Dikuatirkan dia memiliki ilmu pukulan yang mengandung ratiun. Cobalah engkau
melakukan pernapasan agar jangan sampai terkena tipu mereka !”
Han Ping menurut. Setelah melakukan pernapasan ia menyatakan tak kurang suatu
apa.
“Kalau begitu aku dan taci baru lega”, kata Ting Hong.
Ting Ling melirik adiknya dan tertawa : “Cerita saudara Ca tentang tokoh It Ki dari Laut
Selatan mengacau pertemuan di gunung Heng-san tadi, benar-benar menarik perhatian
kami. Sayang dikacau tua bangka beracun itu. Entah apakah saudara Ca masih
mempunyai selera untuk melanjutkan cerita itu lagi ? Kami gembira sekali
mendengarkannya !”
Ca Giok tersenyum, ucapannya : “Ketika Manusia racun tadi pergi dan mengucapkan
beberapa patah kata untuk menutupi rasa malunya, bukankah nona berdua dan saudara
Ih mendengar juga ?”

“Yang disebut majikan kecil oleh si Bungkuk tadi jika bukan anak murid dari It Ki,
tentulah mempunyai hubungan yang rapat dengan tokoh dari Laut Selatan itu. Bahkan
kemungkiran adalah anaknya. Soal itu sudah jelas”, kata Ting Ling, “tetapi yang
kuherankan, mengapa hampir seluruh tokoh persilatan dan bahkan tokoh-tokoh yang
jarang muncul, semua berbondong-bondong datang ke Lokyang. Apakah tujuan mereka
benar seperti yang dikatakan Leng Kong Siau itu ialah hendak menyerang orang-orang
dari Laut Selatan ?”
“Nona Ting Ling benar cerdas sekali”, puji Ca Giok, “tetapi janganlah nona percaya
akan kata-kata orang tua beracun itu. Kata-kata itu hanya untuk menutupi rasa malunya.
Bagaimana mungkin terjadi perserikatan itu ? Yang datang ke Lokyang, pada umumnya
adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Sebelumnya mereka tak pernah mengadakan
pertemuan, bagaimana mungkin mereka bersekutu. Taruh kata mereka mengadakan
pertemuan, pun juga akan terbentur pada pemilihan pimpinan. Kecuali Ih Thian heng yang
bergelar Ksatria tunggal dari Sin-ciu itu datang sendiri, berkat kedudukan dan
kemahsyuran namanya, mungkin pertemuan itu baru berhasil . . . .”
“Hai !” tiba-tiba Ting Hong menjerit dan serentak loncat ke tempat Han Ping : “Suheng,
apakah engkau merasa tak enak badan ?”
“Tidak apa-apa”, sahut Han Ping dengan nada gemetar karena tergetar hatinya.
Ca Giok kerutkan dahi, serunya : “Manusia racun itu memang berlumuran racun ganas.
Jika saudara !h merasakan sesuatu yang kurang wajar, harap bilang terus terang”.
Han Ping menghaturkan terima kasih tetapi ia mengatakan tak kurang suatu apa.
Atas permintaan Ting Ling, Ca Giokpun melanjutkan ceritanya lagi.
“Sesungguhnya kedatangan para tokoh persilatan itu hanya secara kebetulan saja dan
sebelumnya tidak saling berjanji. Terus terang, mereka masing-masing mempunyai tujuan
untuk mencari untung sendiri-sendiri . . . .”
“Hai, apakah orang-orang Laut Selatan itu membawa benda permata yang berharga ?”
tanya Ting Hong.
“Kalau hanya benda permata yang betapapun berharganya, tak mungkin Manusiamanusia
racun dari Lembah Seribu Racun akan datang sendiri. Bahkan aku sendiripun
takkan jauh-jauh datang kemari”, kata Ca Giok.
“Kalau begitu mereka tentu membawa pusaka dunia persilatan yang tak ternilai
harganya. Karena pusaka-pusaka begitulah yang dapat menarik para tokoh-tokoh
persilatan itu datang ke Tionggoan”, kata Han Ping.
“Saudara Ih benar”, jawab Ca Giok “dalam dunia persilatan memang terdapat beberapa
partai yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kepandaian istimewa. Tetapi yang
paling banyak dan luar biasa adalah dari partai Siau-lim-si. Sayang, tunas yang berbakat
sukar dicari. Walaupun partai Siau-lim-si memiliki 72 macam ilmu pusaka, tetapi sampai
sekian ratus tahun, tiada seorang murid Siau-lim-si yang mampu menguasai ke 72 macam
kepandaian sakti itu. Ilmu kepandaian itu tiada batasnya tetapi umur manusia terbatas.
Mungkin sampai matipun tak dapat memahami ke 72 macam ilmu kesaktian dari Siau-limsi
itu. Ilmu silat terbagi menjadi dua dasar, luar dan dalam. Ahli tenaga dalam

mementingkan latihan hawa murni dalam tubuh. Sedang ahli tenaga luar, menitikberatkan
pada latihan kekuatan.
Sesungguhnya diantara kedua dasar itu, sukar ditarik garis pemisah yang tajam. Setiap
partai masing-masing mempunyai cara sendiri untuk memberi pelajaran pada anak
muridnya. Dan karena itu. masing-masing partai mempunyai kelebihan sendiri-sendiri.
Seluruh partai persilatan menganggap Siau-lim-si merupakan sumber ilmu kesaktian
yang paling lama dan paling banyak. Pelajaran yang diberikan oleh partai Siau-lim-si itu
menurut cara yang berdasar pondamen yang kuat. Ilmu silatnya lebih mantap dan kaya
dengan perobahan yang sukar diduga orang. Kesemua pelajaran ilmu silat sakti itu
tercantum dalam sebuah buku yang disebut Tat-mo-ih-kin-keng. Beratus-ratus tahun
lamanya kitab pusaka dari Siau-lim-si itu menjadi incaran kaum persilatan. Banyak nian
jago silat yang coba-coba hendak mengambil kitab itu tetapi selama ini belum pernah
seorangpun yang berhasil. Karena tempat simpanan kitab itu dirahasiakan. Hanya
beberapa paderi tua yang mengetahui tempatnya. Ada suatu keistimewaan pula dalam
gereja Siau-lim-si. Masing-masing murid, karena jumlahnya yang terlampau banyak,
mempunyai tingkat kepandaian sendiri-sendiri. Tergantung dari hasil latihan mereka.
Memang kalau satu lawan satu, nona berdua dan saudara Ih tentu dapat mengalahkan
mereka. Tetapi apabila paderi-paderi Siau-lim-si itu bersatu dalam sebuah barisan, jangan
harap kita mampu lolos dari kepungan mereka.
Entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh persilatan yang harus membayar dengan jiwa
dalam usaha mereka hendak mencuri kitab pusaka Tat-mo-ih-kin-keng itu . . . .”
Baru Ca Giok bercerita sampai disitu, tiba-tiba di luar jendela terdengar orang tertawa :
“Hebat, sungguh hebat ! Meskipun masih muda tetapi pengalaman sau pohcu luas sekali.
Aku benar-benar iri kepada Ca Cu Jing yang beruntung mempunyai putra seperti engkau !”
Ca Giok serentak berbangkit dan memberi hormat ke arah jendela : “Ah, locianpwe
akhirnya datang juga. Sudah lama kutunggu”.
Ting Ling dan Ting Hong tampak agak berobah wajahnya. Setelah memandang Han
Ping, merekapun menghampiri ke jendela.
Jendela terbuka, lampu menyala dan di dalam ruangan muncul seorang imam bertubuh
tinggi kurus. Tangan mencekal kebut pertapaan, punggung menyanggul pedang.
Diam-diam Han Ping tergetar hatinya. Imam itu bukan lain adalah orang yang mencari
kedua saudara Ting di padang rumput, yakni paman ketiga mereka yang bernama Ting
Yan San bergelar Soh-hun-ih-su atau Imam Pencabut nyawa.
Mata Ting Yan San yang berkilat-kilat memandang kedua nona, lalu beralih pada Ca
Giok dan terakhir tertuju kepada Han Ping.
Pemuda itu menyadari berhadapan dengan seorang manusia ganas. Diam-diam ia
bersiap-siap.
Melihat kerut wajah pamannya tak senang, teganglah kedua nona itu. Tetapi mereka
tak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan Ting Ling yang biasanya cerdas, pun
kehilangan paham.

Kedua nona itu cukup kenal perangai pamannya yang sukar diraba dan gemar
membunuh. Asal tak menyenangkan matanya, tentu dilenyapkan. Dan yang menyulitkan
kedua nona itu ialah mereka tahu Han Pingpun berwatak keras kepala. Tak gampang
ditundukkan.
Pada saat Ca Giok dan kedua nona itu tersipu-sipu menyongsong dan memberi hormat
kepada Ting Yan San, Han Ping hanya tegak berdiam diri saja.
Ting Hong yang gelisah segera menarik ujung baju tacinya. Tetapi Ting Ling tak
memberi reaksi apa-apa. Sesungguhnya Ting Ling juga tak kurang gelisahnya tetapi ia
benar-benar tak tahu bagaimana harus bertindak. Untung Ca Giok tak mengetahui
ketegangan itu.
Sekonyong-konyong si Pencabut nyawa tertawa mengekeh. Nadanya seseram burung
hantu mengukuk di tengah malam.
Ting Ling dan Ting Hong berdebar keras. Mengira kalau pamannya hendak turun
tangan, kedua nona itu serempak berseru : “Paman !”
Sepasang alis panjang menegak dari Ting Yan San mengerut. Ia melirik kedua nona itu
lalu tiba-tiba berpaling kepada Ca Giok : “Apakah dari Ca-ke-poh hanya engkau seorang ?”
Ca Giok menjura, sahutnya “Karena ada urusan, ayah tak dapat datang dan suruh aku
bersama beberapa murid kemari untuk menambah pengalaman !”
Ting Yan San tersenyum : “Di kalangan Rimba Hijau (kaum penyamun) daerah
Kangpak, sering terdengar berita tentang jejakmu. Benar-benar tak nyana seorang muda
yang berumur 23an tahun temyata sudah termahsyur di dunia persilatan !”
“Ah, locianpwe kelewat memuji. Aku masih hijau. Adalah karena melaksanakan perintah
ayah maka aku datang kemari. Harap locianpwe suka memberi petunjuk .”
“Peristiwa ini besar sekali artinya. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang jarang muncul,
saat ini sama berada di Lokyang. Apalagi mereka dijaga oleh si Bungkuk dan si Kate.
Kepandaian kedua orang tua itu, yang satu memiliki tenaga dalam lunak dan yang satu
ahli tenaga dalam keras. Jika satu lawan satu, memang masih dapat diperhitungkan
kemungkinan menang. Tetapi kalau kedua orang itu bersatu, tenaga dalam lunak dan
keras saling bantu membantu, hebatnya bukan kepalang. Untuk memperoleh benda
pusaka itu, tidak semudah seperti yang dibayangkan orang. Dan andaikata berhasil, pun
masih harus menjaga kemungkinan akan timbulnya perebutan di antara sesama kaum
persilatan dunia tionggoan sendiri. Masing-masing tentu tak mau mengalah. Barang siapa
yang memperoleh kitab pusaka itu, tentu akan menjadi bulan-bulan sasaran sekalian
orang !”
Kata Ca Giok : “Terima kasih atas petunjuk locianpwe yang berharga. Apabila locianpwe
hendak memberi perintah, aku bersedia melakukan. Lembah Raja setan dan Ca-ke-poh
mempunyai hubungan yang erat. Mohon locianpwe suka memberi rencana apa yang harus
kulaksanakan !”
“Hm, pintar benar pemuda itu merangkai kata-kata yang sedap didengar telinga. Pantas
kalau dalam usia semuda itu ia dapat menjagoi dunia persilatan. Dikuatirkan paman akan
terjebak dalam jerat yang halus”, diam-diam Ting Ling membatin.

Pencabut nyawa Ting Yan San tertawa meloroh : “Heh, heh, sudah beberapa malam ini
kupikirkan hal Itu dan akhirnya kutemukan suatu rencana. Tetapi . . . .”, ia berhenti dan
tiba-tiba wajahnya mengerut serius kemudian tertawa sinis, “tetapi akibatnya tidak kecil.
Baiklah untuk sementara ini tak kukatakan dulu”.
“Rase tua yang licik”, diam-diam Han Ping mendamprat dalam hati. Karena bicara
sekian lama, ternyata tak ada hasilnya.
Ca Giok tersenyum : “Akupun telah mempersiapkan rencana, tetapi entah sesuai atau
tidak.”
“Apa ? Engkau juga punya rencana merebut kitab itu ? Bolehkah kudengar rencanamu
itu !” tiba-tiba Ting Yan San merah mukanya. Kalau tadi ia mengatakan tak mau bilang
bagaimana rencananya, mengapa ia minta orang suruh mengatakan rencananya ?
“Jika locianpwe ingin mengetahui, sudah tentu aku tak berani menyembunyikan. Tetapi
jika kukatakan, dikuatirkan akan bocor terdengar orang lain.”
Habis berkata ia menghampiri meja dan menulis diatas meja dengan air teh. Begitu
membaca, si Pencabut nyawa Ting Yan San tertawa gelak-gelak “Hebat, hebat, walaupun
masih muda tetapi engkau sungguh cerdik. Apa yang engkau katakan itu, hampir sama
dengan pikiranku.”
Ting Ling mencuri lirik ke arah meja. Dilihatnya tulisan air teh itu berbunyi :
“Mengadu domba dan menarik keuntungan dari air keruh.”
Nona itu tertawa : “Rencana yang hebat tetapi hanya mudah ditulis di atas kertas !”
Ca Giok terkesiap, ujarnya tertawa : “Ai, memang lama nian kudengar kecerdasan nona
yang cemerlang. Bolehkah kuminta petunjuk nona ?”
“Huh, apakah engkau benar-benar mempunyai lain rencana yang lebih baik”, Ting Yan
San kerutkan dahi.
“Aku sendiri tak punya rencana apa-apa. Tetapi kuberani pastikan rencana saudara Ca
itu tentu sukar dilaksanakan”, sahut Ting Ling.
“Sebabnya ?” tanya Ca Giok.
“Bukankah sau pohcu mengatakan bahwa yang berkumpul di Lokyang ini adalah
benggolan-benggolan dunia persilatan. Apakah mereka juga tak punya rencana juga ?
Untuk mengadu domba mereka, masakan begitu mudah ?”
“Benar, benar,” Ca Giok mengiakan.
Ting Ling tersenyum, lanjutnya : “Rencana sau pohcu kebetulan akan terlaksana malam
nanti. Bukankah sau pohcu mendengar juga tentang tantangan si Bungkuk kepada si
Manusia racun Leng Kong Siau ? Tetapi rencana sau pohcu itu baru berhasil apabila benarbenar
kedua pihak telah mengikat dendam permusuhan yang hebat. Kalau pertentangan
mereka itu hanya berlandaskan merebut kitab pusaka itu, rencana sau pohcu tetap sukar

berhasil. Benar kesempatan itu dapat kita kembangkan menjadi suatu tindakan untuk
bantu menghancurkan pihak yang kuat. Tetapi yang kita hadapi adalah gembonggembong
yang mahir dalam pengalaman, bukan anak kemarin sore. Mereka tentu cepat
mencium bau dan akibatnya kita sendiri yang runyam !”
“Hebat, sungguh hebat buah pikiran nona. Tak kecewa orang mengagumi
kecerdikanmu, nona Ting”, Ca Giok memberi pujian terhadap analisa Ting Ling yang tajam
dan tepat.
Ting Ling tertawa hambar : “Ah, saudara Ca terlalu sungkan. Sekalipun aku dapat
menunjukkan kelemahan dari rencana itu tetapi aku tak mampu melahirkan lain rencana
yang lebih bagus dari itu. Harap sau pohcu maafkan”
“Ah, jangankan aku memang sudah tak punya siasat lain, sekalipun punya, juga tak
berani gegabah menonjolkan ketololanku”.
Ting Yan San menyeringai : “Hal ini memang harus dipikir secermat-cermatnya, tak
perlu terburu-buru. Besok kita bicarakan lagi”.
Kata-kata bernada mempersilahkan tetamu pergi itu cepat dapat ditanggapi Ca Giok. Ia
berbangkit dan tertawa : “Hari sudah larut malam, tak enak aku mengganggu disini. Besok
pagi kita bertemu lagi”, katanya seraya memberi hormat kepada Ting Yan San lalu
melangkah keluar.
Ting Yan San tertawa meloroh : “Selamat tidur. Maaf, aku tak mengantar sau pohcu' .
Sekali lagi pemuda itu memberi hormat lalu keluar. Setelah pemuda itu pergi, tiba-tiba
wajah Ting Yan San mengerut gelap dan memandang Han Ping : “Siapakah engkau !”
katanya seraya maju menghampiri.
Melihat itu cepat Ting Ling maju ke muka Han Ping seraya berseru : “Paman . . .”
“Enyah !” bentak Ting Yan San murka, “kalian berdua budak perempuan memang
bernyali besar !”
“Harap paman jangan marah dulu. Dengarkanlah aku hendak memberi penjelasan”,
seru Ting Ling.
Ting Yan San tertawa sinis. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan menghantam.
Sebenarnya Han Ping sudah tak tahan. Tetapi karena Ting Ling melindungi di mukanya,
terpaksa ia bersabar. Tetapi karena Ting Yan San menghantam, dia tak mau bersabar lagi.
Tetapi ketika ia hendak menangkis, tiba-tiba Ting Hong loncat menerjang pukulan yang
diarahkan kepada Han Ping itu seraya berseru : “Paman !”
Pukulan Ting Yan San itu dilancarkan dengan dahsyat. Ia menghendaki sekali pukul,
dapat membinasakan pemuda itu. Setitikpun ia tak menyangka bahwa anak
kemenakannya akan nekad menyongsong pukulan itu. Karena sudah terlanjur dilontarkan,
tak mungkin ia menariknya kembali.

Namun betapapun halnya, karena ia tak sampai hati memukul anak kemenakannya
yang disayangi itu, sedapat mungkin ia berusaha untuk mengempiskan perut, menyedot
kembali tenaga dalam yang menghambur pada pukulannya itu.
Ting Hong menjerit tetapi serempak dengan itu Ting Yan San rasakan suatu tenaga
dalam melancar balik kepadanya. Ia terkejut. Dengan geram tenaga dalam yang hendak
disedot tadi, dilancarkan kembali.
Karena posisi si dara Ting Hong berada di tengah-tengah antara Han Ping dan Ting Yan
San, maka Ting Honglah yang menjadi sasaran tenaga dalam Ting Yan San itu. Dan kali
ini, benar-benar Ting Yan San tak dapat menarik kembali.
Suatu keajaiban timbul. Tenaga pukulan Ting Yan San telah terhapus oleh aliran tenaga
dalam yang tak tampak.
“Paman . . . .” teriak Ting Hong dengan nada meratap lalu berlutut memberi hormat.
Melihat dua kali menerima pukulannya, dara itu tak kurang suatu apa, kejut Ting Yan
San bukan alang kepalang. Dia termangu-mangu lalu bertanya : “Hai, budak perempuan,
apakah engkau tak terluka ?”
“Ah, bukankah paman telah berlaku murah kepadaku tadi ?” dara itu balas bertanya.
Ting Yan San kerutkan alis dan berputar ke arah Ting Ling. Buru-buru nona itu memberi
keterangan : “Tadi aku dan adik Hong telah ditutuk jalan darahku oleh Manusia racun dari
Lembah Seribu racun. Untunglah saudara Ji ini menolong. Setelah menghalau pergi
Manusia racun itu, dia lalu membuka jalan darah kami”.
“Apa ? Masakan dia mampu menandingi kesaktian si Tua beracun itu !” teriak Ting Yan
San.
“Masakan aku berani membohongi paman. Saudara Ji itu memang yang menolong kami
berdua,” Ting Ling memberi penegasan.
Dan si dara Tingpun menambahi : “Jika tiada saudara Ji itu, tentulah paman takkan
berjumpa lagi dengan Hong dan taci !”
Mendengar kesungguhan kedua kemenakannya itu, Ting Yan San hampir percaya.
Namun dia mendenguskan hidung dan memandang Han Ping sampai beberapa saat.
Ujarnya : “Bukalah kedok mukamu !”
Han Ping tertawa dingin. Tanpa menjawab, ia melangkah keluar. Secepat kilat Ting Yan
San mencengkeram bahu pemuda itu : “Mau pergi ? Hm, mungkin tak semudah itu !”
Han Ping agak miringkan tubuh kesamping, tangan kiri menebas lengan kanan Ting Yan
San dengan jurus Thui-jong-pit-gwat (Mendorong jendela menutup bulan), seraya berseru
: “Belum tentulah. . . .!”
Melihat serangan yang cepat dan tepat mengarah sasaran yang berbahaya itu, diamdiam
Ting Yan San terperanjat. Cepat pula ia menyurutkan tangan kanannya sehingga
tebasan Han Ping tak berhasil.

“Paman !” teriak Ting Ling. Tetapi saat itu Ting Yan San sudah kebutkan hudtimnya
menyerang lawan.
Jarak dekat dan kebutan dahsyat. Namun Han Pingpun tak mau unjuk kelemahan.
Sembari kedua kakinya masih tetap terpancang ditempat semula, separoh tubuhnya
menelentang ke belakang. Dan secepat tamparan kebut lewat di atas kepalanya, ia segera
luruskan tinjunya kanan menghantam dada Ting Yan San.
“Hm,” dengus si Pencabut Njawa Ting Yan San seraya menangkis dengan tangan kiri.
Walaupun tak percaya kalau anak muda itu sanggup menandingi salah seorang Manusia
racun dari Lembah Seribu racun seperti yang dituturkan Ting Ling tadi. Namun diam-diam
iapun tak berani memandang rendah. Ia gunakan tiga perempat bagian tenaga dalam
untuk menangkis pukulan Han Ping.
Begitu kedua pukulan beradu, seketika itu juga Ting Yan San rasakan tangannya
kesemutan dan tubuhnya bergetar hampir tak kuat berdiri. Bukan kepalang kejut Pencabut
nyawa itu.
Menggunakan kesempatan lawan tertegun, Han Ping loncat ke luar jendela. Melihat
gerakan orang itu sedemikian pesat seperti tak menderita luka, kejut si Pencabut nyawa
makin membesar. Ia berpaling memandang Ting Ling dan Ting Hong. Ting Hong hanya
termangu memandang ke luar jendela dan mendengus dingin.
Sementara Ting Ling menghela napas perlahan, ujarnya : “Paman telah mendesak
orang itu pergi. Ibarat telah melepaskan harimau. Jika pihak lain dapat menggunakannya,
bukan saja kita akan kehilangan tenaga yang kuat, tetapi kita bakal tambah musuh yang
berat !”
Sebenarnya Ting Yan San hendak memaki kedua gadis itu tetapi didahului kata-kata
Ting Ling yang tajam itu, kemarahannyapun berkurang. Sesaat ia tak dapat bicara apaapa.
Ting Hongpun menambahi ucapan tacinya : “Tindakan paman mengusirnya itu, selain
menghapus jerih payah taci selama ini, juga akan berakibat besar dalam usaha kita untuk
merebut kitab pusaka itu . . . .”
Disesali oleh kedua kemenakannya itu, Ting Yan San kerutkan dahi dan mendengus :
“Bagaimana kalian kenal padanya ? Mengapa dia menolong kalian ?”
Ting Hong terkesiap tetapi Ting Ling hanya tersenyum simpul, ucapnya : “Betapapun
besar nyali kami berdua, tetapi kami tetap tak berani melanggar pantangan lembah kita.
Orang itu selain berkepandaian tinggi, pun memiliki pedang Pemutus Asmara yang
termahsyur di dunia persilatan.”
“Apa ?” Ting Yan San terbeliak, “Pedang Pemutus Asmara ? Hm, mengapa siang-siang
kalian tak mau memberitahukan kepadaku. . . .” lapun memandang ke luar jendela.
“Nanti dulu, paman,” buru-buru Ting Ling berseru, “Jangankan sekarang dia sudah
pergi, taruh kata dapat paman kejar, belum tentu paman mampu mengalahkannya. Harus
diperoleh dengan kecerdikan akal, bukan dengan kekerasan !”

Teringat bagaimana hasil pertempurannya dengan Han Ping tadi, ragulah hati si
Pencabut nyawa. Ia bertanya kepada Ting Ling : “Benarkah kesaktian pamanmu ini tak
mampu mengalahkannya ?”
“Menurut apa yang kusaksikan, kemungkinan tipis paman dapat mengalahkan orang
itu. Dan bahayanya jika sekali pukul gagal, berarti akan mengejutkan si ular. Lebih baik
untuk sementara ini biarkan dia pergi. Untunglah soal pedang Pemutus Asmara itu hanya
kami berdua yang mengetahui. Karena lain orang tiada yang tahu, tak perlulah kiranya kita
buru-buru mengejarnya. Dengan siasat yang sempurna, perlahan-lahan kita tentu berhasil
mendapatkannya.
Memang dalam Lembah Raja setan, Ting Ling terkenal sebagai nona yang pandai
menyusun siasat. Setiap kali Lembah Raja setan menghadapi persoalan besar, tentulah
Ting Ling ikut campur. Dan setiap pendapat nona itu tentu dianggap tepat. Bukan
melainkan semua anak murid Lembah Raja setan mengindahkan, bahkan tokoh ketiga dari
Lembah Raja setan yakni Ting Yan San itu, pun menaruh kepercayaan kepadanya. Nafsu
amarah yang menyala di dada si Pencabut nyawa itu, hilang lenyap bagaikan awan
terhembus angin ketika mendengar kata Ting Ling.
Jika dalam ruang rumah penginapan itu terjadi percakapan antara Ting Yan San dan
kedua kemenakannya, adalah Han Ping setelah loncat ke luar jendela terus lari menuju ke
barat. Dia marah sekali sehingga lari pesat dan tak berapa lama sudah berada di luar kota.
Malam makin dingin. Dihembus oleh angin dingin itu, kemarahan Han Pingpun mereda.
Tiba-tiba ia teringat bahwa sarung pedang pemberian Hui Gong taysu masih ditangan Kim
lokoay. Jika ia memanjakan diri dalam nafsu kemarahan, bukankah ia termakan siasat
kedua nona Ting itu ? Bukankah ia tak kenal dengan Kim lokoay itu ? Bagaimanakah ia
hendak mencarinya !
Memikirkan hal itu diam-diam ia menyesal. Tetapi ia seorang yang keras kepala. Ia
segan kembali ke rumah penginapan untuk bertanya kepada kedua nona Ting. Tetapi
iapun tak rela kalau sarung pedang itu sarnpai jatuh ke tangan orang. Beberapa saat ia
kehilangan paham. Tak tahu bagaimana harus bertindak. Akhirnya ia berjalan tanpa arah.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang menegur perlahan : “Malam begini
larut, mengapa saudara Ih masih berjalan-jalan di tempat yang begini sunyi ?”
Han Ping terkejut. Sambil bersiap ia berpaling ke belakang. Beberapa langkah di
sebelah muka, tegak seorang pemuda gagah. Ah, kiranya si Tangan geledek Ca Giok.
Memang pada putra dari Ca-ke-poh itu, Han Ping mengaku bernama Ih jin.
“Ah, apakah saudara Ca belum pulang ke rumah penginapan ?” Han Ping tersipu-sipu
menjawab.
Agak merah wajah jago muda dari Ca-ke-poh itu. Ia tertawa : “Malam indah dan
tenang, mata sukar dibawa tidur. Terpaksa kukeluar mencari angin. Dan kebetulan
berjumpa dengan saudara Ih. Baru saja kita berpisah di hotel, tahu-tahu saat ini sudah
berjumpa di luar kota. Hidup manusia itu memang aneh . . . . “
Ca Giok menutup kata-katanya dengan tertawa lebar dan menghampiri maju.

Setelah menyaksikan kekejaman orang-orang Lembah Seribu racun dan Lembah Raja
setan, diam-diam Han Ping mempunyai rasa tak suka kepada mereka. Begitu pula
terhadap apa yang disebut Sam-poh diantaranya ialah marga Ca-ke-poh itu.
Tetapi karena kurang pengalaman, maka tak senang itu cepat terunjuk pada kerut
wajahnya. Segera ia berseru dengan nada dingin.
“Ucapan saudara Ca tentulah mempunyai sebab. Tetapi maaf, karena malam ini aku
mempunyai urusan penting, terpaksa tak dapat menemani saudara menikmati keindahan
malam indah ini . . .” habis berkata Han Ping terus berputar diri dan melangkah pergi.
Sebagai putra dari marga Ca-ke-poh yang termahsyur dan memang sejak masih muda
sudah mengangkat nama dalam dunia persilatan, Ca Giok mempunyai gengsi yang tinggi.
Biasanya ia hanya tahu memerintah dan setiap perintahnya harus dijalankan. Bahwa saat
itu dia disambut dengan sikap yang tak acuh dari Han Ping, benar-benar membuatnya
kesima sehingga untuk beberapa saat ia tertegun.
Tetapi dia seorang pemuda yang kuat menyimpan dendam. Menerima hinaan semacam
itu, ia tetap dapat mengendalikan diri. Setelah Han Ping lenyap dalam kegelapan malam,
ia tertawa dingin dan melangkah pergi perlahan-lahan.
Han Ping lari menurutkan langkah kakinya. Setelah 5-6 li baru ia berhenti. Dan ketika
tak mendapatkan Ca Giok mengejar, ia berjalan lagi perlahan-lahan. Pikirannya hanya
terpusat pada dua hal.
Pertama, harus lekas-lekas merebut kembali sarung pedang itu agar jangan menodai
nama baik Hui Gong taysu. Dan kedua, mencari tempat yang sunyi untuk meyakinkan ilmu
pelajaran yang diberikan mendiang Hui Gong taysu. Setelah itu baru ia menyelidiki
kematian ayah bundanya dan membalas dendam. Mengenai berkumpulnya tokoh-tokoh
persilatan di Lokyang itu, ia tak perduli.
Sekarang yang harus dikerjakan dahulu ialah mencari Kim lokoay untuk merebut sarung
pedang. Tetapi dengan cara bagaimana, walaupun ia sudah memeras otak, namun belum
berhasil memperoleh daya yang tepat. . . .
Tiba-tiba terdengar anjing menyalak dan menyusul segelombang angin melandanya.
Ketika menengadah ke langit ternyata hari sudah fajar. Mentari pagipun mulai
menyingsing. Seekor anjing hitam yang besar tubuhnya, berlari-lari menyerangnya.
Han Ping terkejut melihat anjing sebesar itu. Ia menghindar ke samping dan
memukulnya. Tetapi dengan gesit, anjing hitam itu menyurut ke belakang dan
menghindari pukulan.
“Bagus !” malah timbullah kegembiraan Han Ping melihat anjing hitam itu dapat
menghindari pukulannya. Secepat kilat tangan kiri menyambar kaki belakang binatang itu.
Sambaran itu menggunakan jurus Merogoh kantong mengambil mutiara. Salah sebuah
jurus istimewa dari Siau-lim-si.
Ilmu menyambar dengan tangan kosong itu, hebatnya bukan kepalang. Jarang orang
persilatan yang mampu menghindar.

Diluar dugaan anjing hitam itu rupanya mengerti gerak silat. Tiba-tiba anjing itu
memutar kepala dan menggigit paha kiri Han Ping.
Han Ping terkejut. Cepat ia endapkan tangan dan gunakan salah sebuah jurus ajaran
Hui Gong taysu. Menyambar kaki anjing terus diputar-putar seperti kitiran. Tatkala hendak
dilempar, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa nyaring : “Bagus, jurus Menjaring angin
menangkap bayangan yang indah . . . .”
Han Ping terkejut. Ia kenal akan suara itu. Buru-buru ia kendorkan tenaganya dan
lemparkan anjing itu perlahan-lahan. Anjing terhampar beberapa langkah.
Memandang ke muka tampak seorang pengemis tua yang bermuka mesum tegak
berdiri setombak jauhnya. Pakaiannya compang camping, sepatu rumput dan rambutnya
terurai kusut masai. Punggungnya menyanggul sebuah buli-buli arak besar. Ai, kiranya si
pengemis yang kemarin membonceng keretanya . . . .”
Tiba-tiba bibir pengemis tua itu bergerak dan terdengarlah suitan nyaring. Anjing hitam
berbulu bundel itu menyalak lalu lari pergi.
Diam-diam Han Ping heran menyaksikan larinya si anjing yang sepesat angin. Sesaat ia
teringat akan si pengemis tua dan buru-buru berputar tubuh memberi hormat :
“Locianpwe . . . .”
Terdengar suara sepatu rumput diseret dan pengemis tua itupun sudah berada dua
tombak jauhnya. Sudah tentu Han Ping gugup dan berseru nyaring : “Locianpwe, harap
berhenti dulu sebentar. Aku hendak mohon petunjuk.”
Han Ping ingat bahwa mendiang Hui Gong taysu pernah mengatakan. Di kalangan
persilatan golongan Putih, hanya Pengemis sakti Cong To seorang yang tak mau
berhubungan dengan pembunuh ayah bunda Han Ping.
Sejak kecil ia belum pernah melihat wajah kedua orangtuanya. Dendamnya terhadap
musuh itu menyebabkan ia menaruh perindahan kepada pengemis tua yang tak sudi
berhubungan dengan pembunuh itu. Ia hendak mendekati pengemis tua itu untuk mencari
keterangan tentang jejak musuh besarnya. Untuk itu, ia rela menerima sikap dingin dari si
pengemis.
Buru-buru ia mengejar. Tetapi pengemis tua itupun makin pesat. Han Ping penasaran.
Ia gunakan ilmu meringankan tubuh ceng-ting-sam-tiam-cui atau Kecapung tiga kali
menyambar air. Dengan tiga kali loncatan, dapatlah ia menyusul di samping pengemis tua
itu.
“Apakah paman yang disebut Pengemis sakti Cong locianpwe ?” tegurnya.
Tanpa berpaling muka, pengemis tua itu tertawa dingin : “Bagus, budak kecil. Engkau
hendak menantang pengemis tua adu lari ?”
Sekali kedua bahunya bergetar, pengemis tua itu tiba-tiba loncat dua tombak jauhnya.
Han Ping kerutkan dahi, pikirnya : “Kalau kuhadang di mukamu, coba saja engkau mau
mempedulikan aku atau tidak . . . .”

Ia empos semangat dan gunakan ilmu meringankan tubuh sakti. Bagaikan bintang
jatuh di angkasa, tubuhnya meluncur jauh ke muka.
Walaupun tidak berpaling tetapi rupanya pengemis tua itu dapat mengetahui gerak
gerik Han Ping. Begitu Han Ping bergerak, iapun pesatkan larinya . . . .
Demikianlah keduanya tanpa terasa telah terlibat dalam balapan lari yang sengit.
Sedemikian serunya balapan itu berlangsung sehingga walaupun di bawah sinar matahari,
tetapi yang tampak hanya dua sosok benda hitam saling kejar mengejar . . .
Dalam beberapa kejap, mereka telah menempuh jarak 5-6 li. Jarak keduanya tetap
terpisah dua tombak. Setapakpun Han Ping tak dapat lebih maju dari jarak itu. Sedang si
pengemis tuapun tak dapat lebih maju lagi dari jarak tersebut.
Sekonyong-konyong pengemis tua itu kebaskan kedua tangannya dan tubuhnya segera
melambung setombak tingginya. Melampaui sebuah gunduk tanah tinggi lalu menghilang
di baliknya !
Han Ping terpaksa hentikan larinya. Ternyata gunduk tanah tinggi itu merupakan
sebuah hutan buah hutan kecil di luar kota Lokyang. Sejenak meragu, akhirnya Han Ping
mendaki bukit kecil itu juga. Sedesir angin pegunungan mengantar bau arak yang wangi.
Menurut arah hembusan angin itu, Han Ping melihat di bawah bukit itu, sebuah kuil kecil
yang luasnya hanya sebesar sebuah kamar. Gulung-bergulung asap, meluncur keluar dari
kuil kecil itu.
Memandang ke sekeliling penjuru, sunyi senyap tiada tampak apa-apa. Si pengemis tua
seolah-olah hilang lenyap ditelan bumi.
Sejenak merenung, terlintaslah suatu kesadaran dalam benak Han Ping yang cerdas.
Pikirnya : “Selama balapan lari tadi, dia selalu mempertahankan jarak dua tombak, tidak
lebih tidak kurang. Jelas dia tentu sengaja hendak membikin panas hatiku supaya aku
mengikutnya kemari. . . .”
Tanpa ragu-ragu lagi Han Ping segera menuju ke kuil kecil itu.
Ternyata dugaannya tepat. Pengemis tua itu memang berada dalam kuil kecil. Tetapi
bukan seorang diri melainkan bersama seorang pemuda yang berpakaian bagus. Mereka
tengah duduk berhadapan, menghadapi sebuah kuali besi yang tengah ditaruh di atas
tungku batu. Kuali itu menghamburkan uap bergulung-gulung. Tetapi entah apa yang
sedang dimasak itu.
Sikap pemuda itu sangat hati-hati sekali. Dengan sebilah bambu, ia mengipasi api di
dalam tungku. Sebentar-sebentar menambahi kayu bakar.
Sementara si pengemis tua, tangannya kiri mencekal sebuah kaki ayam dan tangan
kanan menggenggam buli-buli araknya. Sambil menggerogoti paha ayam itu, sambil
meneguk arak. Enak-enak saja tampaknya dia menikmati hidangan itu. Seolah-olah tak
mengacuhkan keadaan di sekelilingnya. Walaupun sudah beberapa saat Han Ping berdiri di
ambang pintu, namun kedua orang itu tetap tak mengetahui.
Tiba-tiba pengemis tua itu tertawa dingin, ujarnya : “Ing, lekas carilah, dari mana
datangnya bau busuk ini !” - Ia menutup kata-katanya dengan melontarkan paha ayam

yang tinggal tulangnya itu ke arah Han Ping. Hebat, walaupun hanya tulang paha ayam,
tetapi dapat menimbulkan deru angin yang tajam sekali.
Han Ping miringkan kepala untuk menghindari lontaran itu.
Si pemuda berpakaian bagus berpaling dan mengamati Han Ping, serunya : “Guru,
ternyata seorang setan kecil yang asing. Perlukah diringkusnya ?”
Mendengar dirinya dihina, bukan main marah Han Ping. Tetapi pada lain kilas ia
teringat. Bahwa karena bergaul dengan kedua nona Ting, tentulah orang mengira dia anak
buah Lembah Raja setan.
Han Ping menghapus kemarahannya dan melangkah masuk, memberi hormat kepada
pengemis tua itu : “Atas petunjuk locianpwe, aku . . . .”
Pengemis tua itu menukas dingin : “Aku paling muak bicara dengan manusia yang
berbau hawa setan. Lenyapkan dulu semua hawa setan tubuhmu itu baru engkau datang
kemari lagi !”
Han Ping terbeliak. Kini ia tersadar. Buru-buru ia keluar dan menanggalkan kedok
mukanya serta pakaian sais. Setelah barang-barang itu dibuang, barulah ia masuk ke
dalam lagi. Kini yang masuk itu bukan seorang sais berwajah jelek tetapi seorang pemuda
cakap yang perkasa.
“Bagus, ternyata masih dapat diajar !” pengemis tua itu tertawa meloroh.
Han Ping menjura memberi hormat lagi sahutnya : “Aku yang rendah bernama Ji Han
Ping. Baru pertama ini berkelana di dunia persilatan sehingga masih hijau dalam
pengalaman. Maka mohon locianpwe sudi memberi petunjuk. Kudengar keksatriaan
locianpwe maka dengan memberanikan diri, aku hendak mohon petunjuk.”
Pengemis tua itu kerutkan alis, ucapnya : “Jika hendak bicara dengan si pengemis tua,
jangan memakai bahasa yang bertele-tele !”
Merahlah muka Han Ping, sahutnya : “Benarkah locianpwe ini Pengemis sakti Cong
locianpwe yang termahsyur itu ?”
Tiba-tiba pemuda berpakaian bagus itu mengangkat kepala dan deliki mata kepada Han
Ping : “Tokoh-tokoh dunia persilatan dewasa ini, belum pernah melihat guruku. Engkau
tentu mendengar cerita orang bahwa tanda pribadi guruku itu adalah buli-buli araknya
yang berwarna merah. Hm, apakah engkau buta ? Kalau tak kenal guruku, masakan
engkau tak dapat melihat buli-buli arak warna merah itu ?”
Han Ping melirik. Dilihatnya pemuda itu memiliki sepasang alis yang melengkung tajam
seperti pedang. Matanya berkilat-kilat tajam. Seorang pemuda yang cakap dan gagah.
Sayang sedikit, kulitnya hitam.
Kluk, kluk, kluk . . . . terdengar pengemis tua itu tiga kali meneguk buli-buli araknya.
Lalu tertawa meloroh : “Benar, memang si pengemis tua ini Cong To. Apakah engkau
masih penasaran dalam adu lari tadi ?”
“Ah, masakan aku berani berlaku kurang ajar begitu,” sahut Han Ping.

Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak : “Mata si pengemis tua ini menyaksikan
sendiri engkau beradu pukulan dengan si Tua racun dari Lembah Seribu racun. Dan
tadipun engkau telah mengeluarkan jurus Menjala angin menangkap bayangan yang
hebat. Rupanya engkau tentu bukan budak sembarangan, ho. Tetapi mengapa engkau
galang gulung dengan kedua budak perempuan anak setan itu ? Karena engkau mengaku
telah sesat dan hendak kembali ke jalan terang, dan hendak mengikat persahabatan
dengan pengemis tua ini, engkau harus terlebih dulu menceritakan tentang tiga angkatan
leluhurmu. Lebih dulu bilanglah, siapa gurumu. Coba saja, apakah telinga pengemis tua ini
sedap mendengar namanya atau tidak ?” Habis berkata kembali pengemis tua itu
meneguk buli-buli araknya.
Mendengar bicara si pengemis itu tak keruan, timbullah keraguan dalam hati Han Ping
“Konon kabarnya Pengemis sakti Cong To itu seorang datuk persilatan yang termahsyur.
Tetapi mengapa pengemis ini bicaranya tak keruan. Adakah dia bukan Pengemis sakti itu .
. . . ?”
Dengan keraguan itu, ia tertawa hambar dan menjawab : “Maaf, perintah locianpwe ini
sukar kululuskan . . . .”
Serentak pemuda berpakaian bagus itu berbangkit dan mengangkat batang bambu ke
atas. Dengan batang bambu yang ujungnya terbakar itu, ia rnemberingas memandang
Han Ping. Pada saat ia hendak turun tangan, tiba-tiba si pengemis tua tertawa gelak-gelak
: “Ing, duduklah. Engkau tak menang dengan dia !”
“Aku benar-benar tak leluasa mengatakan hal itu, bukan sengaja hendak menolak
permintaan locianpwe,” kata Han Ping pula.
Pengemis tua tersenyum serunya : “Baiklah, karena engkau tak mau menuturkan asal
usulmu jangan harap engkau mendapat keterangan sepatahpun dari mulut pengemis tua
ini !”
Baru Han Ping hendak membuka mulut, tiba-tiba sesosok tubuh melesat masuk dan
tahu-tahu muncul seorang pengemis kecil berumur sekitar 18 tahun. Pakaiannya mirip
dengan si pengemis tua. Hanya tidak menyanggul buli-buli arak.
Sejenak memandang ke arah Han Ping, pengemis muda itu berbisik-bisik kepada
pengemis tua : “Mereka sudah memilih hotel Megah Ria di Lokyang. Tokoh-tokoh
persilatan yang berbondong-bodong ke Lokyang itu terus memburu jejaknya. Dan tak
lama lagi tentu akan tiba di kaki bukit sini !”
Wajah pengemis tua itu serentak berobah serius. Sepasang matanya berkilat-kilat
memancar. Ditatapnya Han Ping : “Hai, engkau akan pergi sendiri atau membantuku ?”
“Aku bersedia melakukan perintah locianpwe apa saja,” Han Ping berseru gugup.
Pengemis tua itu tersenyum, ujarnya : “Kalau begitu ikutlah dengan pengemis kecil ini.
Tetapi engkau harus mendengar perintahnya. Jika suka engkau boleh ikut, jika tidak aku
pengemis tuapun tak mau memaksamu. Baiklah kita saling membelakangi pantat, engkau
ke timur. sipengemis tua ke barat !”

“Guru, dia terlalu bernafsu, mungkin ada udang di balik batu !” teriak si pemuda
berpakaian bagus.
Pengemis sakti tertawa : “Mata pengemis tua ini belum pernah salah melihat. Mungkin
kali ini akan termakan satu kali, tetapi biarlah dapat merasakan bagaimana rasanya tipu
siasat itu !”
Habis berkatas, si pengemis sakti lambaikan tangannya. Tiba-tiba rasakan lengan
bajunya ditarik orang dan tahu-tahu ketika berpaling ternyata pengemis kecil tadi sudah
berada setombak jauhnya di luar pintu. Diam-diam Han Ping memuji kepandaian pengemis
muda itu. Iapun segera menyusul.
Pengemis kecil itu tersenyum. Tampak sebaris giginya kecil-kecil dan putih. Suatu
perbedaan yang menyolok dengan mukanya yang mesum kotor dan rambutnya yang
morat marit.
Tiba-tiba Han Ping merasa angin menghembus dari sampingnya. Ketika memandang ke
muka, kiranya pengemis tua dan pemuda berpakaian bagus itu lari berlomba-lomba
rnelintasi puncak bukit dan lenyap.
Melihat itu si pengemis kecil berhenti termangu-mangu. Han Ping yang berdiri di
samping pengemis kecil itu, merasa heran. Mengapa tadi pengemis kecil itu begitu ngotot
lari tetapi sekarang diam-diam tegak seperti patung ?
Tiba-tiba pengemis kecil itu menghela napas perlahan. Ia berpaling kepada Han Ping
dengan wajah rawan. Mulut hendak bicara tetapi tak jadi. Setelah tertegun beberapa lama,
barulah ia berkata dengan bisik-bisik : “Apakah engkau kenal dengan guruku itu ?”
Han Ping menggeleng : “Belum !”
“Habis, mengapa engkau menurut perintahnya ?” tanya pengemis kecil itu pula.
Han Ping tertegun, ujamya : “Walaupun tak kenal orangnya tetapi sudah lama
kukagumi namanya yang harum !”
Pengemis muda itu tertawa rawan : “Tetapi umur orang tua itu hanya tinggal setengah
bulan . . .”
“Apa ?” teriak Han Ping terkejut.
Pengemis muda itu memandang gumpalan awan putih di langit. Dua butir airmata
menitik dari sudut matanya. Mulutnya berkemak-kemik mendoa : “Oh, Allah yang Maha
Kuasa, guru selalu menjalankan dharma hidup yang bersih. Menengadahpun lapang dada,
menundukpun tak malu. Entah sudah berapa banyak menteri-menteri setia dan anak-anak
berbakti yang telah diselamatkan. Dia selalu menyibukkan diri untuk menolong orang.
Tetapi ah, pada saat ia tertimpa bahaya, tiada seorangpun yang dapat menolongnya . . . .”
Kata-kata yang diucapkan dengan nada lemah dan rawan itu benar-benar memilukan
hati orang.

Seketika bergeloralah darah Han Ping. Serentak ia berkata : “Siapakah yang hendak
mencelakai gurumu itu. Walaupun aku seorang bodoh, tetapi aku bersedia untuk
menghadapi orang itu !”
Tiba-tiba pengemis muda itu berpaling menatap Han Ping, serunya : “Guruku seorang
yang amat sakti, di dunia ini siapakah yang mampu mencelakainya ?”
Han Ping termangu. Ia tak mengerti bagaimana maksud ucapan pengemis muda itu.
Tegurnya : “Benar-benar aku tak mengerti maksudmu.”
Pengemis muda itu menghela napas : “Kecuali guru memang rela menyerahkan diri
dicelakai orang ....”
“Ah, masakan di dunia terdapat orang yang berpikiran semacam itu. Aku benar-benar
bingung !” kata Han Ping.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara cambuk menggeletar nyaring dan pengemis muda
itu melonjak kaget, terus berlari ke atas bukit.
Han Ping cepat menyusul. Tampak dari kejauhan sebuah kereta yang ditarik 4 ekor
kuda, tengah mencongklang di sepanjang jalan. Dan menuju ke barat laut. Kereta itu dicat
warna kuning emas. Di muka kereta terdapat 4 penunggang kuda yang mempelopori
jalan. Dan di belakang kereta dikawal belasan penunggang kuda.
Han Ping terkesiap ketika samar-samar melihat si Bungkuk dan si Katepun ikut dalam
rombongan itu. Tetapi diantara rombongan pengawal berkuda itu, yang paling menonjol
adalah seorang lelaki setengah tua yang menunggang seekor kuda putih. Pelana kudanya
tertabur dengan emas dan batu permata sehingga tampak bergemerlapan menyilaukan
mata ketika ditimpa sinar matahari.
Rombongan kereta itu mencongklang pesat maka Han Ping tak dapat melihat jelas.
Tetapi dari jenggotnya yang menjulai panjang kedada, dapatlah ditaksir usia lelaki
penunggang kuda putih itu.
Tiba-tiba pengemis muda itu tertawa hambar. Ia berpaling kepada Han Ping : “Sekalian
tokoh-tokoh persilatan sedang bersiap-siap untuk merebut kitab pusaka. Tetapi aku, demi
kepentingan mati hidupnya guru, harus mendapatkan kitab pusaka yang diidam-idamkan
oleh tokoh-tokoh persilatan itu. Memang tipis sekali harapannya. Sudah tentu tokoh-tokoh
persilatan yang berkumpul di Lokyang itu tak mau berpeluk tangan. Juga kedua tokoh
Kate dan Bungkuk dengan rombongan berkuda itupun tak mudah kuhadapi !”
Pengemis muda itu tundukkan kepala seperti putus asa.
Sejenak Han Ping pertajam pandangan mata memandang rombongan kereta itu.
Rombongan berkuda itu mengawal ketat kereta itu seperti laku panglima yang dijaga
keselamatannya oleh para pengawalnya.
“Sebenarnya siapakah yang berada di dalam kereta itu ?” akhirnya ia bertanya,
“mengapa sampai menggerakkan seluruh tokoh-tokoh persilatan datang ke Lokyang ?”

Pengemis muda itu menghela napas perlahan ujarnya : “Panjang sekali kalau hendak
diceritakan. Maaf, saat ini tiada tempo untuk memberi tahu kepadamu secara jelas. Kita
pecah diri mengejar jejak kereta itu. Jika tak perlu, jangan sekali-sekali bertempur !”
Sekali loncat, pengemis muda itu sudah berada setombak jauhnya. Dan dua tiga kali
loncatan lagi, iapun menghilang.
Melihat pengemis muda itu tak mau memberitahukan tentang rahasia kereta, Han Ping
merasa dipandang rendah. Seketika timbullah darah mudanya, pikirnya : “Hm, engkau
begitu tak memandang mata kepadaku. Baik, aku hendak melakukan sesuatu yang
mengejutkan orang. Setelah engkau menyaksikan, barulah kutinggalkan rombonganmu !”
Han Ping seorang pemuda yang tinggi hati. Adalah karena mengagumi nama Pengemis
sakti Cong To, maka ia menahan kesabaran menerima perlakuan Cong To yang
memanaskan hati. Tetapi ia benar-benar tak sudi diperlakukan sedemikian rupa oleh si
pengemis muda.
Han Ping tak mempedulikan segala apa lagi. Ia loncat turun dari puncak bukit dan terus
lari mengejar rombongan kereta misterius itu.
Pemuda itu tak mempunyai pengalaman dalam dunia persilatan. Hanya karena
dirangsang oleh darah muda, maka ia bertindak. Tanpa tedeng aling-aling lagi, ia langsung
mengejar kereta itu. Oleh karena memiliki tenaga dalam yang hebat, maka larinyapun
pesat sekali. Hanya kurang lebih sepenanak nasi lamanya, ia sudah dapat mengejar di
belakang rombongan kereta.
Pikirnya, rombongan pengawal kereta itu tentu akan menghadangnya. Dan kesempatan
itu hendak ia gunakan untuk alasan menempur mereka. Tetapi diluar dugaan, rombongan
pengawal itu tak mengacuhkannya sama sekali.
Setelah berjalan 4-5 li, tiba-tiba kereta itu membelok menuju ke sebuah lembah.
Han Ping tertegun. Pada lain saat ia lanjutkan langkahnya lagi. Sudah terlanjur, ia tak
mau kepalang tanggung. Dengan terang-terangan ia melangkah mengikuti rombongan
kereta itu.
Jalanan di lembah tak rata sehingga kereta itu acapkali berderak-derak bergoncangan.
Setelah membelok beberapa tikungan, akhirnya kereta itu menuju ke sebuah bangunan
gedung yang besar dan mewah. Di sekeliling gedung yang berpagar tembok batu merah
itu, penuh ditumbuhi pohon siong yang rindang sekali. Sehingga seluruh bentuk bangunan
itu tak dapat terlihat jelas.
Kereta indah itu melintasi gerumbul hutan siong, berbelok-belok beberapa kali dan tibatiba
lenyap dari pemandangan. Tetap derap lari kuda penariknya masih terdengar.
Si Kate dan si Bungkuk dan rombongan pengawal berkuda, ikut lenyap. Hanya tinggal
lelaki berkuda putih yang masih berada di luar hutan.
Saat itu jarak Han Ping dengan penunggang kuda putih hanya 3-4 tombak. Mereka
dapat melihat jelas muka masing-masing. Ternyata penunggang kuda putih itu seorang
lelaki setengah tua yang kepala, mata, telinga dan alis serba besar dan tebal. Jenggotnya
yang menjulai sampai ke dada makin menambah perkasa perbawanya.

Tiba-tiba orang itu tertawa nyaring, serunya : “Apakah saudara tak merasa terlalu
menyolok sekali cara saudara mengikuti kami itu ?”
Han Ping mendengus : “Jalanan besar adalah milik rakyat. Apakah yang kalian boleh
tempuh aku tak boleh melaluinya ?”
Lelaki yang bajunya disulam benang-benang emas itu terkesiap mendengar jawaban
Han Ping. Tetapi pada lain kejap ia tertawa nyaring lagi, serunya : “Bagus, walaupun
masih muda ternyata memiliki kegagahan yang mengesankan. Sungguh kagum. Memang
sikapmu ini lebih ksatria dari pada kawanan tikus yang main sembunyi itu !”
Habis berkata, lelaki itu memutar kudanya dan masuk ke dalam hutan siong.
Han Ping tak dapat berbuat apa-apa. Ia hendak cari perkara tetapi karena orang tak
mau melayani, iapun tak dapat melaksanakan rencananya. Kalau nekat menyerbu ke
dalam gedung, ia masih sungkan. Beberapa saat lamanya ia tegak termangu-mangu . . . .
Tiba-tiba dari belakang terdengar orang tertawa perlahan : “Bukankah itu saudara Ih jin
?”
Han Ping berpaling. Setombak jauhnya tampak seorang tua yang memakai caping.
Berpakaian biru, sepatu kain dan memelihara jenggot kambing, Han Ping tak kenal dengan
orang itu.
Orang itu tertawa : “Ah, masakan saudara tak kenal lagi dengan aku Ca Giok ?”
Sejak mendapat perlakuan dingin dari Pengemis sakti Cong To, timbullah keraguan Han
Ping dalam menilai orang baik maupun buruk. Bukankah Pengemis sakti Cong To yang
dikaguminya itu ternyata berlaku sinis kepadanya ? Sebaliknya orang-orang yang
sebenarnya tak disukai seperti Ca Giok, malah berlaku hormat dan mengindahkan
kepadanya.
Beberapa saat lamanya timbul pertentangan dalam batin Han Ping sehingga ia tak tahu
apa yang harus dilakukan.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara Ca Giok yang sudah berada disampingnya : “Apakah
yang sedang saudara pikirkan sedemikian asyiknya itu ? Sumoaymu berduapun tiba di
tempat ini, mari kuantarkan saudara kesana . . . .”
Han Ping gelengkan seperti dibangunkan dari mimpi. Buru-buru ia membuka mulut :
“Ah, terima kasih atas kebaikan saudara Ca. Tetapi aku benar-benar tak berani membikin
repot saudara !”
Ca Giok tersenyum : “Disini bukan tempat yang sesuai untuk bicara. Jika saudara tak
jemu padaku, marilah kita bicara ke samping kiri gunung ini.”
Melihat orang bersikap sedemikian manis, diam-diam Han Ping malu sendiri karena
teringat akan sikapnya yang dingin kepada Ca Giok tadi malam. Ia menghaturkan terima
kasih dan menerima tawaran Ca Giok.

Demikian mereka mendaki ke puncak gunung. Kata Han Ping : “Dengan mendaki
puncak gunung ini kecuali akan dapat melihat seluruh keadaan gedung itu, pun akan
dapat menikmati pemandangan di sekeliling penjuru dan tahu segala gerak gerik yang
akan terjadi. Saudara Ca sungguh tepat sekali !”
Ca Giok tersenyum : “Saudara Ih jangan kelewat memuji diriku. Mungkin setelah naik di
puncak, saudara akan kecewa !”
Ca Giok mendahului mendaki dengan gerakan segesit kera. Diam-diam Han Ping
memuji tetapi disamping itu iapun berkata dalam hati : “Orang ini licin dan congkak sekali.
Tetapi entah mengapa dia berlaku sedemikian ramah kepadaku . . . .”
Sengaja ia perlambat larinya dan menjaga jarak dua tombak di belakang Ca Giok. Dan
supaya jangan dicurigai, ia pura-pura seperti sukar mengejar Ca Giok.
Sebenarnya Ca Giok hendak menggunakan kesempatan mendaki itu untuk menguji
kepandaian Han Ping. Maka sengaja ia tumpahkan seluruh kepandaiannya untuk
berlincahan bagai kecapung menyambar air. Dalam beberapa kejap saja ia sudah
mencapai puncak.
Ketika berpaling ke belakang, dilihatnya Han Ping masih berada tiga tombak jauhnya.
Dan caranya mendakipun menggunakan kedua tangan dan kaki. Diam-diam Ca Giok
kerutkan dahi, batinnya : “Aneh, mengapa kalau dia mampu menahan pukulan Pembelah
angkasa dari Manusia racun tetapi ilmu meringankan tubuh begitu rendah . . . .”
Saat itu Han Pingpun sudah tiba di puncak. Napasnya terengah-engah seperti orang
yang kehabisan napas.
Tetapi Ca Giok seorang pemuda yang cerdik. Tidaklah begitu mudah Han Ping hendak
mengelabuinya. Mendengar suara napas Han Ping, tahulah dia bahwa pemuda itu sedang
bermain sandiwara : “Hm, jika engkau tak berlebih-lebihan bernapas terengah-engah,
mungkin aku kena engkau kelabui. Tetapi dengan pura-pura terengah-engah itu, engkau
malah membuka kedokmu. Masakan mendaki puncak yang hanya beberapa tombak
tingginya ini saja, engkau sudah kehabisan tenaga. Bahkan orang yang kepandaiannya
rendahpun juga takkan kehabisan tenaga seperti engkau. . . .”
Ca Giok membuka caping bambunya lalu mengusap mukanya. Wajah seorang tua
segera berganti dengan wajah yang asli, seorang pemuda yang cakap dan gagah.
“Entah bagaimana sejak bertemu dengan saudara Ih, aku mempunyai rasa kagum dan
kesan yang tak mudah kulupakan. Maka begitu melihat tubuh saudara, cepat sekali dapat
kukenali. Jika saudara tak menampik, ingin sekali aku bersahabat dengan saudara.”
Memang Han Ping masih bodoh. Ia tak tahu bahwa Ca Giok sudah mengetahui
sandiwaranya mendaki ke puncak tadi. Karena orang bersikap mengindah sekali, hilanglah
kesan buruk Han Ping terhadap pemuda itu. Ia mengucapkan terima kasih atas
kepercayaan Ca Giok.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang berkata dengan nada dingin : “Hm,
bagaimana engkau tahu orang-orang sama berkumpul ?”

Seketika wajah Ca Giok berobah. Tetapi ia tetap berlaku setenang mungkin. Ia alihkan
pandang matanya ke bawah bukit.
Ketika Han Ping berpaling, tampak setombak dari tempatnya, tegak si pengemis muda
yang beberapa saat telah berpisah dengan dia tadi. Pengemis muda yang tak diketahui
kemunculannya itu, mengunjukkan wajah marah dan memandang Han Ping dingin-dingin
lalu perlahan-lahan berpaling muka.
Sesungguhnya Han Ping hendak menegur. Tetapi karena pengemis muda bersikap
begitu dingin, marahlah Han Ping. Iapun mendengus dan palingkan muka kepada Ca Giok.
“Bangunan gedung yang hebat ! Tak kalah dengan istana raja muda. Pemiliknya kalau
bukan bangsa pembesar dan penguasa daerah, tentulah kepala kaum rimba hijau disini,”
katanya kepada Ca Giok.
Sesungguhnya hanya sembarangan saja Han Ping berkata itu. Tetapi diam-diam Ca
Giok tergetar juga. Namun sebagai seorang cerdas, dia selalu dapat menguasai getaran
perasaannya. Katanya sambil tersenyum : “Harap saudara Ih suka mengamati dengan
jelas, apakah ada sesuatu yang luar biasa dalam gedung itu ?”
Tiba-tiba pengemis muda yang berada di belakang itu tertawa dingin : “Hm. makhluk
yang tak dapat diangkat derajatnya !”
Dimaki begitu, marahlah Han Ping. Serentak berputar tubuh ia balas membentak :
“Berhenti ! Siapa yang engkau maki tadi !”
Saat itu sebenarnya si pengemis rnuda sudah berputar diri hendak pergi. Mendengar
bentakan Han Ping, iapun berhenti : “Maki siapapun, apa pedulimu !”
“Hak apa engkau memaki orang ? Apakah engkau kira aku takut padamu, pengemis
busuk !” damprat Han Ping. Tiba-tiba ia teringat akan diri Cong To yang juga seorang
pengemis. Diam-diam ia menyesal karena kelepasan bicara.
Milihat Han Ping berhenti, pengemis muda itu tertawa dingin dan lanjutkan langkahnya
perlahan-lahan.
Ca Giok menarik lengan Han Ping, ujarnya sambil tertawa: “Memang orang yang
berkelana di dunia persilatan, tentu berjumpa dengan macam-macam gangguan. Harap
saudara Ih jangan terlalu bersungguh-sungguh !”
Han Ping hanya tertegun memandang bayangan pengemis muda itu. Melihat sikap Han
Ping seperti ada hubungan dengan pengemis muda itu, diam-diam Ca Giok curiga. Selintas
memancar hawa pembunuhan dalam keriput dahinya. Namun mulutnya tetap tertawa :
“Eh, apakah saudara Ih kenal dengan pengemis kecil itu ?”
Han Ping mengangguk : “Memang pernah berjumpa tetapi tak berhubungan !”
Ca Giok menghibur agar Han Ping jangan terlalu memusingkan diri pengemis kecil itu.
Melihat Ca Giok begitu memperhatikan dirinya, Han Ping tergerak hatinya. Ia
menghaturkan terima kasih atas nasehat pemuda itu.

Memandang kearah gedung yang berada di tengah hutan siong itu, Han Ping melihat
daun jendela salah sebuah ruang di tingkat atas, terbuka lebar. Sesosok wajah cantik
tersembul keluar dari balik kain tirai.
Buru-buru Ca Giok menarik tangan Han Ping diajak bersembunyi di balik pohon siong.
Bagian 11
Bendera berkibar.
Kedua pemuda itu sama-sama memiliki mata yang tajam sekali. Walaupun tempat
mereka bersembunyi jauh dengan gedung besar itu tetapi mereka dapat melihat jelas
bahwa yang melongok keluar dari jendela ruang di tingkat atas itu seorang nona.
Rambutnya yang dikundai menurut style istana, agak mencondong ke sebelah kanan.
Ting Ling dan Ting Hong memang cantik. Tetapi jika dibanding dengan gadis itu, amat
kentaralah perbedaannya. Gadis itu benar-benar bagaikan dewi di istana bulan. Jika tak
melihat sendiri orang tentu tak percaya bahwa gadis itu seorang insan manusia. Orang
tentu mengira sebuah lukisan.
Sebesar itu jejaka Han Ping tak suka dengan wanita. Tetapi melihat kecantikan gadis
itu, hatinya berdetak keras juga.
“Sungguh cantik sekali,” diam-diam ia memuji dalam hati.
Angin berhernbus menyiak daun-daun pohon siong kian kemari sehingga mengelilingi
pandang mata Han Ping dan Ca Giok.
Rupanya jelita itu takut angin. Ia menurunkan kain tirai. Setelah angin berlalu, ternyata
jelita itu sudah tak menampakkan diri lagi.
Ca Giok menghela napas : “Saudara Ih, bagaimana pandanganmu terhadap gadis itu ?”
Sesungguhnya saat itu benak Han Ping masih tercengkam dengan bayangan si jelita. Ia
gelagapan mendapat pertanyaan Ca Giok. Diam-diam ia memaki dirinya sendiri : “Ji Han
Ping, ah, dendam sakit hatimu masih belum terimpas, mengapa engkau terpikat oleh
wajah cantik ? Ingat jangan sampai semangatmu melempem !”
Serentak ia mengempos semangat dan menghela napas panjang. Setelah menghapus
bayangan si jelita, ia tertawa : “Benar, memang cantik sekali !”
Sebagai putra dari marga Ca-ke-poh yang termahsyur, Ca Giok menikmati penghidupan
yang serba mewah. Rumahnya memelihara banyak bujang-bujang gadis yang cantikcantik.
Jika bukan yang membeli, tentu merupakan barang antaran dari tokoh-tokoh
Rimba Hijau kepada ayahnya. Jelita-jelita dari daerah Kanglam dan Kangpak bahkan dari
Se-gak ( daerah perbatasan barat), rombongan penari dan penyanyi-penyanyi, semua
tersedia. Karena mereka merupakan gadis pilihan, maka rata-rata tentu cantik sekali.
Ca Giok memperhitungkan Han Ping tentu terpikat oleh paras cantik. Tetapi ternyata
pemuda tu bersikap dingin-dingin saja. Diam-diam Ca Giok mengaguminya.

Beberapa saat kemudian dari gedung yang megah itu berkibar sehelai bendera merah.
Pada bendera itu terdapat beberapa tulisan berbunyi.
MASUK SELANGKAH, MATI JANGAN PENASARAN.
Melihat tulisan itu teringatlah Han Ping akan pengemis muda yang menghinanya.
Serentak mengeloralah darah Han Ping : “Mari kita kesana !”
Ca Giok tertawa : “Kalau mau kesana, pun jangan sekarang. Aku bersedia menemani
saudara, tetapi harus nanti malam saja kita pergi. Sekarang kita cari tempat untuk
beristirahat dulu. Kemungkinan nanti malam kita akan menghadapi pertempuran !”
Han Ping mengiakan. Kedua anak muda itu segera mencari sebuah tempat yang sunyi
di dalam lembah. Setelah malam tiba, merekapun kembali ke puncak bukit tadi.
Ternyata bendera merah tadi siang kini sudah berganti dengan sebuah lentera merah
yang besar. Sedang jendela dari ruang di tingkat atas itu, terbuka lagi. Seorang nenek
berambut putih bersandang tongkat bambu, tengah menyisir rambut seorang gadis baju
ungu. Ruangan itu diterangi dengan sebuah lentera besar yang indah.
Ca Giok heran. Mengapa hanya di ruang tingkat atas itu saja yang diberi penerangan
terang benderang. Sedang semua tempat gelap gulita.
“Hm, tentu sebuah perangkap untuk memancing orang ke sana !” diam-diam Ca Giok
menimang.
Han Pingpun mendapat kesan yang sama. Ia berpaling kepada Ca Giok. Dilihatnya
pemuda itu tengah memandang ke arah kamar di atas loteng. Diam-diam Han Ping
tertawa. Karena yang dipandang sedemikian asyiknya oleh Ca Giok itu bukan lain ialah si
gadis jelita yang tengah bersolek itu.
Ketika mendengar Ca Giok menghela napas dan mengisar pandang matanya, buru-buru
Han Ping palingkan muka pura-pura melihat keadaan di sekeliling gedung itu.
“Hai, apakah saudara dapat melihat keadaan di sekeliling gedung yang gelap gulita itu
?” Ca Giok bertanya heran.
“Sekalipun tidak jelas tetapi karena di langit bertabur bintang, samar-samar masih
dapat melihat juga” sahut Han Ping.
Walaupun dalam hati terkejut tetapi Ca Giok tetap tertawa berseri : “Apakah yang luar
biasa dalam lingkungan gedung itu ?”
“Bermula aku malu Karena tak dapat menemukan apa-apa dalam gedung itu. Pada hal
tadi siang saudara Ca mengatakan bahwa gedung itu bukanlah bangunan biasa. Akhirnya
setelah menyusuri pandang ke segenap sudut dengan seksama, memang saudara benar.
Ruang tingkat atas yang sekian banyak, ternyata tiada sebuahpun yang selesai dibangun.
Kemungkinan gedung itu tentu penuh dilengkapi alat-alat rahasia !” kata Han Ping.
Mendengar itu diam-diam Ca Giok terperanjat. Seorang yang memiliki pandangan
sedemikian tajam tentulah memiliki tenaga dalam yang tinggi. “Aneh, pada hal dia lebih
muda dari aku, mengapa sudah mencapai kepandaian yang sedemikian tingginya. Tetapi

kalau menilik bicara dan gerak geriknya, dia bukan seorang persilatan” ia menimang dalam
hati.
Akhirnya ia memutuskan. Setelah melakukan penyelidikan ke dalam gedung yang
misterius itu, hanya dua tindakan. Kalau memang mungkin, ia hendak menggunakan
tenaga Han Ping dalam kelanjutan perjuangan merebut kitab pusaka. Tetapi jika pemuda
itu ternyata membahayakan, dalam kesempatan masuk ke dalam gedung itu nanti, lebih
baik dia dibunuh saja.
Setelah mengambil ketetapan, ia tersenyum, tanyanya : “Kudengar ilmu meramal dari
Lembah Raja setan itu termahsyur sekali. Sebagai murid kesayangan, saudara tentu
mempelajari ilmu itu. Maka dalam memasuki gedung itu nanti, harap saudara memberi
bantuan sepenuhnya !”
“Atas kepercayaan saudara, sudah tentu aku tak berani mengecewakan”, kata Han Ping
terkesiap,”tetapi terus terang, sebenarnya aku ini bukan anak murid Lembah Raja setan.
Kedua nona Ting itu hanya sembarangan memberi keterangan dan akupun sungkan
menyangkal !”
Ca Giok yang cerdas sesungguhnya memang sudah curiga. Tetapi ia pura-pura tak tahu
hal itu. Dan pura-pura pula ia terkejut mendengar keterangan Han Ping : “Kalau begitu
kedua nona itu tentu berbohong. Lalu siapakah nama saudara yang sebenarnya ?”
“Namaku sebenarnya Ji Han ping !”
“Dan tentu bukan murid Lembah Raja setan ?” tanya Ca Giok pula.
“Perjumpaan ku dengan kedua nona Ting itu hanya secara kebetulan saja. . . .”
Kata-kata Han Ping itu terputus oleh suara orang mendengus dingin dan sesosok tubuh
yang melambung ke udara, melampaui kepala kedua pemuda itu, terus meluncur turun ke
bawah puncak.
Ca Giok terperanjat. Walaupun puncak bukit itu tidak seberapa tinggi, tetapi paling
tidak tentu ada 10an tombak tingginya.
Kepandaian yang diunjuk orang itu, benar-benar mengejutkan sekali. Dan dalam
beberapa kejap orang itupun sudah lenyap dalam kegelapan malam.
“Hm, siapakah yang memiliki kepandaian sesakti itu ?” kata Ca Giok.
“Pengemis sakti Cong To !” sahut Han Ping.
“Apa ? Pengemis sakti Cong To ? Apakah saudara tak salah lihat ?” Ca Giok terkejut.
“Benar, memang dia.”
Ca Giok menghela napas : “Saudara benar-benar tajam sekali, aku sangat kagum !” -
Diam-diam ia terkejut dalam hati : “Kalau menilik gerak geriknya, anak ini tidak seperti
orang persilatan. Tetapi mengapa ia kenal akan Pengemis sakti Cong To ? Apakah dia
memang pura-pura berlagak bodoh ?”

Tiba-tiba Han Ping teringat akan perlakuan Pengemis sakti Cong To dan muridnya
kepadanya. Seketika menggeloralah darah mudanya. Ia mengajak Ca Giok turun bukit
mengejar. Dan bahkan tanpa menunggu pernyataan Ca Giok, ia terus loncat ke bawah
bukit.
Ca Giok cemas. Ia kuatir tak mampu menyamai ilmu ginkang pemuda itu. Tetapi karena
Han Ping sudah bergerak, terpaksa ia mengikuti juga.
Begitu tubuh hampir tiba di bumi, ia berjungkir balik untuk mengurangi daya berat
gerakannya. Dengan cara itu dapatlah ia tegak berdiri di tanah, tak tampak mendapat
malu karena terhuyung.
Memandang ke muka, tampak Han Ping tengah memandang lekat-lekat pada gerumbul
hutan siong di hadapannya. Diam-diam Ca Giok bersyukur karena dirinya tadi tak
diperhatikan pemuda itu.
Tetapi pada lain kejap, Ca Giok terkesiap kaget ketika melihat dua orang lelaki
bersenjata golok, tengah berputar-putar kian kemari dalam hutan siong itu. Tingkahnya
seperti orang yang tersesat jalan. Tetapi anehnya, mereka hanya berputar-putar seluas
dua tombak saja.
“Pernahkah saudara Ji mempelajari tentang ilmu barisan yang disebut Ngo-heng-tin ?”
tanya Ca Giok.
Han Ping menggeleng : “Belum pernah. Apakah saudara Ca mengerti ilmu itu ?”
“Pernah kudengar ayah menceritakan tentang barisan Pat-kwa, barisan Kiu-kiong
beserta cara-cara pemecahannya. Sayang otakku tumpul sehingga hanya sedikit sekali
yang kumengerti,” kata Ca Giok. Tetapi diam-diam pemuda itu menghitung jarak pohon
siong itu satu dengan lainnya.
Melihat pemuda itu tengah menghitung-hitung pohon siong, Han Pingpun tak berani
bertanya apa-apa lagi. Ia menunggu di samping.
“Hm, kecuali berkepandaian tinggi, pemuda ini juga pandai tentang ilmu barisan.
Benar-benar pantas kujadikan sahabat,” diam-diam Han Ping menilai.
Beberapa saat kemudian, wajah Ca Giok mengerut serius. Tetapi tiba-tiba ia tertawa :
“Amboi, pemilik gedung itu hebat benar. Dia dapat menyatukan barisan Pat-kwa dengan
Kiu-kiong sehingga hampir saja aku terkelabui.”
“Oh, kalau begitu saudara sudah menemukan cara untuk memecahkannya ?” tanya Han
Ping.
“Di hadapan ayah, kedua macam barisan itu tak berarti apa-apa. Sekalipun aku tak
dapat memahami ajaran ayah seluruhnya, tetapi rasanya masih mampu menjadi petunjuk
jalan saudara. Harap saudara mengikuti di belakangku dan turutkan saja langkah kakiku
agar jangan terperosok dalam perangkap mereka !”
“Saudara Ca pintar dan banyak pengalaman. Aku menurut sajalah,” kata Han Ping.

Ca Giok hanya tertawa merendah lalu loncat ke udara dan melayang ke tepi hutan
siong. Han Pingpun segera mengikuti. Begitu Han Ping meluncur ke tanah, Ca Giok segera
melangkah ke dalam hutan. Han Ping tetap mengikutinya.
Sembilan langkah masuk ke dalam barisan Kiu-kiong, tiba-tiba Ca Giok melangkah ke
kanan tiga tindak. Dan ternyata, tak menemui suatu rintangan apa-apa. Dalam beberapa
kejap, keduanya telah melintasi lima buah gerumbul pohon siong.
Kini mereka berhadapan dengan sebuah padang rumput yang menyerupai sebuah
taman. Beraneka warna pobon-pohon bunga tengah mekar dengan megah. Disana sini
terdapat beberapa guguran daun dan ranting, entah dari mana asalnya.
Ca Giok mendapatkan bahwa pohon-pohon bunga itu berlainan jaraknya dengan
pohon-pohon siong tadi. Tidak mirip barisan Pat-kwa, juga bukan barisan Kiu-kiong.
“Aneh, mengapa pohon-pohon bunga ini seperti ditanam tak teratur letaknya,” pikirnya.
Ia coba melangkah maju lima tindak. Ah, ternyata tak terdapat perobahan apa-apa.
Nyalinyapun besar. Ia terus melangkah maju.
Karena Ca Giok sudah membuktikan dapat melintasi barisan pohon siong, kepercayaan
Han Ping makin besar. Ia segera mengikuti langkah pemuda itu.
Ketika mencapai 4-5 tombak jauhnya, tiba-tiba terdengar bunyi suitan yang nyaring
sekali. Di atas sebatang pohon besar di sebelah muka, muncul sebuah lentera merah.
Melihat itu, timbullah kecurigaan Ca Giok. Tiba-tiba dengan menggembor keras, ia
melambung ke udara seraya menghantam lentera itu dengan pukulan Peh-poh-sin-kun.
Sebuah ilmu silat istimewa warisan marga Ca.
Bum . . . lentera itu terdampar ke udara dan padam jatuh ke tanah.
Tiba-tiba dari dalam hutan muncul beratus-ratus lampu merah yang bergerak-gerak
memecah diri dalam suatu bentuk barisan.
Bermula kedua pemuda itu tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Tetapi beberapa
saat kemudian, mereka mulai merasa aneh. Barisan lampu merah itu makin lama makin
berkurang jumlahnya. Sepeminum teh lamanya, hanya tinggal belasan buah jumlahnya,
tak henti-hentinya bergerak kira-kira empat lima tombak dari tempat Ca Giok dan Han
Ping.
“Saudara Ca, lampu-lampu merah itu tentu digerakkan orang. Mari kita tangkap
seorang dua orang”, kata Han Ping yang tak sabar lagi.
Sesungguhnya Ca Giok juga heran. Tetapi sampai saat itu belum juga ia mengetahui
rahasia lampu-lampu merah itu. Percaya atas pengetahuannya tentang barisan Ngo-heng
dan Kiu-kiong, ia menerima ajakan Han Ping.
Tetapi begitu kedua pemuda itu loncat menerjang ke muka, belasan lampu merah itu
serentak padam. Tetapi dari samping kiri tiba-tiba muncul tiga buah lampu merah.

Ca Giok tertawa hina. Selagi masih melayang di udara ia empos semangat dan hentikan
diri. Tangan kanan cepat merogoh dua buah mata uang terus disambitkan ke arah ketiga
lampu merah di samping kiri itu.
Sambitan itu tepat sekali. Dua buah lampu segera padam dan menyusul lampu yang
ketigapun padam.
Hutan bunga itu kembali sunyi. Pikiran kedua pemuda itu terganggu oleh barisan lampu
merah tadi. Ketika melihat ke sekeliling, ternyata mereka tersesat kehilangan arah jalan.
Sebagai seorang yang banyak pengalaman, Ca Giok insyaf bahwa ia tak boleh gugup.
Sekali pikiran kacau, kalau tidak terkepung dalam barisan bunga, tentu akan termakan
serangan gelap dari musuh.
“Tenanglah, saudara Ji”, katanya, “kita tak boleh gugup agar jangan kehilangan
kewaspadaan. Inti dari pada barisan Bunga yang aneh itu tak lain tak bukan tentu suatu
perangkap. Marilah kita bersemedi menenangkan pikiran. Setelah itu baru kita pikirkan lagi
cara untuk menghancurkan barisan itu !”
Ca Giok terus duduk pejamkan mata dan menyalurkan tenaga dalam. Han Ping
terpaksa mengikutinya.
Pelajaran semedhi yang dimiliki Han Ping berasal dari persemedhian kaum paderi yang
berlandaskan pada tenaga dalam. Begitu melakukan semedhi, indra pendengarannya
menjadi tajam luar biasa.
Begitu bersemedhi, telinga Han Ping terngiang suatu bunyi mendengung-dengung dari
kejauhan datangnya.
Ia membuka mata dan melirik. Tampak Ca Giok masih tetap tenang seperti tak terjadi
suatu apa. Han Ping malu sendiri. Walaupun ia mendengar bunyi itu namun ia sungkan
untuk mengganggu Ca Giok.
Bunyi mendengung itu makin lama makin keras dan disambut pula oleh bunyi dari
empat penjuru. Han Ping bertindak sendiri. Ia kerahkan indra penglihatannya untuk
memandang ke sekeliling. Dalam kegelapan malam, samar-samar ia melihat beribu-ribu
titik hitam tengah beterbangan menyerbu datang.
Saat itu Han Ping tak dapat bersabar lagi. Ia menjagakan kawannya ,”Saudara Ca, lekas
bangunlah !” serunya seraya loncat berdiri.
Ca Giokpun loncat bangun. Celaka, saat itu belasan tawon yang luar biasa besarnya dan
beracun, berhamburan ke samping mereka.
Han Ping menggembor keras dan menghantam. Belasan tawon besar itu berguguran
jatuh. Tetapi pada lain saat terdengar pula suara bergemuruh mirip ombak laut. Beriburibu
ekor tawon beracun membanjir datang dari empat penjuru. Betapapun saktinya kedua
pemuda itu, namun mereka gugup juga dibuatnya.
Ca Giok merobek lengan bajunya. Dengan mencekal robekan kain itu, sepasang
tangannya bergerak cepat untuk rnenampar serbuan binatang itu.

Han Pingpun meneladani cara kawannya itu. Ia merobek lengan baju dan
menggunakannya untuk menghalau kawanan tawon. Dengan cara itu, mereka berbasil
menghancurkan beribu ekor tawon.
Patah tumbuh hilang berganti. Demikian rupanya tekad kawanan tawon itu. Seekor
tawon jatuh, muncul sepuluh ekor. Sepuluh hancur, muncul seratus ekor. Seratus ekor
remuk, muncul seribu ekor. Angkasa seolah-olah tertutup oleh gumpalan awan gelap dari
ratusan ribu tawon-tawon beracun.
Ca Giok memeras otak untuk mencari cara menghalau serbuan tawon itu. Tetapi
sampai sekian lama, belum juga ia berhasil mendapat akal.
“Entah berapa ratus ekor tawon yang menyerbu ini. Jika terus menerus begini, sekali
lengah, tawon itu tentu akan menyusup dan mematikan diriku dengan sengatannya yang
beracun”, diam-diam Ca Giok mengeluh. Ia kuatir, sekalipun mampu menjaga serbuan
binatang itu, tetapi lama kelamaan tenaganya tentu habis dan akhirnya akan menjadi
sasaran binatang beracun itu.
“Dari pada mati konyol cara begini, lebih baik aku menerjang ke dalam padang bunga.
Sekalipun tentu terdapat alat perangkap tetapi tentulah tak sengeri serbuan tawon ini”,
akhirnya ia memutuskan rencana.
Serentak ia kerahkan tenaga untuk menghalau gerombolan tawon yang menyerbunya.
Setelah dapat mengundurkan mereka, ia segera berseru : “Saudara Ji. entah sampai
kapan kita akan menyudahi pertempuran ini. Kurasa lebih baik kita menerjang ke dalam
padang bunga itu. Biar ada alat perangkap tetapi tentulah tak sengeri begini. Bagaimana
pendapat saudara ?”
Han Ping setuju, sahutnya : “Malah lebih baik kita serbu saja ke dalam gedung itu dan
menempur mereka. Mati pun lebih puas !”
“Baik, marilah kubukakan jalan !” Ca Giok tertawa seraya memutar robekan kainnya
untuk menghalau kawanan tawon.
Melihat itu Han Pingpun tak mau berpeluk tangan. Sambil menggembor keras, ia loncat
ke udara dan menyapu dengan kedua robekan kain. Sejak menerima pelajaran dari Hui
Gong taysu, baru pertama kali itu Han Ping benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya.
Ternyata perbawanya memang hebat. Angin tamparannya itu mirip prahara berhembus.
Seluas dua tombak jauhnya, kawanan tawon itu berguguran hancur ke tanah.
Han Ping kesima sendiri menyaksikan kedahsyatan tenaganya itu sehingga ia lupa
bahwa saat itu ia masih terapung di udara. Bluk, tahu-tahu ia jatuh terbanting ke tanah !
Ca Giok terkejut : “Saudara Ji, bagaimana . . . .”
Han Ping cepat loncat bangun, sahutnya : “Karena asyik menghantam tawon sampai
aku lupa menahan napas hingga jatuh ke tanah !”
Walaupun dalam hati terkejut namun mulut Ca Giok tetap menyungging tawa dan
memuji : “Sekali pukul dapat menghancurkan ribuan ekor tawon dalam jarak lingkaran 10
langkah, mungkin dalam dunia persilatan dewasa ini hanya terdapat beberapa orang saja.
Benar-benar kali ini aku mendapat pengalaman yang berharga sekali !”

Sekalipun mulut memberi pujian tetapi batin Ca Giok merasa heran. Jelas Han Ping itu
memiliki kepandaian sakti tetapi mengapa berpura-pura seperti tak tahu pengalaman apaapa.
Apakah maksudnya ?
Dalam pada keduanya bicara itu, kawanan tawon yang tak kenal mati itu kembali
menyerbu dari empat penjuru. Malah mereka sekarang terbang lebih rendah.
Ca Giok menamparkan robekan kain seraya berseru : “Saudara Ji, mari kita serbu
gedung bertingkat itu. Coba saja kita buktikan sampai dimanakah keistimewaan dari
perguruan Laut Selatan itu !”
Memang Han Ping sendiripun mempunyai niat untuk menjajal kepandaiannya. Sekalian
untuk menghapus hinaan dari pengemis sakti Cong To dan muridnya.
“Bagus memang paling bagus kita dapat mengobrak-abrik mereka !” serunya dengan
gembira dan mendahului menerjang maju.
Tiba-tiba terdengar suara harpa mengiang. Diseling dengan tiupan seruling yang
melengking tajam. Datangnya dari jauh namun cukup jelas nadanya. Serta mendengar
seruling berbunyi, kawanan tawon itu menggila saling berlomba untuk menyerbu kedua
pemuda itu. Dari bawah dan atas, kanan kiri.
Han Ping dan Ca Giok memutar robekan bajunya semakin gencar. Tetapi kawanan
tawon itu laksana air bah. Makin lama makin banyak dan deras.
Setelah menghalau kawanan tawon yang hendak maju merapat, Han Ping kembali
hendak mempertunjukkan kepandaiannya seperti tadi. Loncat ke udara dan menyapu.
Tetapi tiba-tiba dua ekor tawon yang berada di udara, menukik ke atas kepala Ca Giok.
Saudara Ca, hati-hatilah !” teriaknya kaget seraya menyapukan robekan baju.
Sebenarnya Ca Giok sudah mengetahui ancaman itu. !a cepat miringkan kepala ke
samping dan memberi kesempatan Han Ping menghantam mati kedua ekor tawon itu.
Tetapi betapapun, hal itu merupakan suatu kelambatan. Dan kawanan tawon itu sudah
cukup mendapat keluangan untuk menyerbu ke bawah.
Dalam gugupnya, Han Ping menghantam dengan jurus Membakar awan menarik bulan.
Kawanan tawon itu terhalau mundur. Baru ia hendak bernapas longgar, tiba-tiba lengan
kanannya terasa kesemutan. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam untuk menutup jalan
darahnya. Sementara tangannya kiri menampar-nampar untuk menghalau serbuan tawon
dari sebelah kanan dan kiri.
Kiranya waktu Ca Giok miringkan tubuh ke samping tadi, seekor tawon telah
menyelinap ke bawah. Dan karena Han Ping tengah menghalau kawanan tawon yang
menyerbu dari atas, ia tak memperhatikan tawon yang menyelundup itu dan menyengat
tangan kanannya.
Tawon itu sejenis tawon yang besar dan mengandung racun hebat. Usaha Han Ping
untuk menutup jalan darahnya, tetap tak berhasil penuh. Ia tetap rasakan suatu kesakitan

yang nyeri menusuk ke jantungnya. Tangannya kanan sama sekali tak dapat digerakkan
lagi.
“Saudara Ca, tanganku kanan tersengat racun tawon, tak dapat digerakkan lagi. Racun
itu mulai bekerja di tubuhku. Lekas engkau berusaha menyerbu keluar, jangan
menghiraukan diriku lagi !” serunya.
Diam-diam Ca Giok kerahkan tenaga dalam. Setelah dapat mengundurkan kawanan
tawon ia melirik ke arah Han Ping.
“Hai . . . . !” diam-diam ia berteriak kaget melihat keadaan Han Ping saat itu.
Lengan kanan Han Ping membengkak sebesar dua kali dari semula.
“Celaka, tawon apakah yang memiliki racun begitu ganas ? Padahal ratusan ribu ekor
tawon tengah menyerang. Kalau pemuda yang lebih sakti kepandaiannya dari diriku,
masih kena terserang, apalagi aku ! Rasanya malam ini kita berdua tentu celaka !”
pikirnya.
Sekonyong konyong jago muda dari marga Ca-ke-poh itu tertawa nyaring . . . .
Jilid 7 Pemuda yang angkuh
Bagian 13
Lalu lalang.
“Ha, ha, engkau anggap Ca Giok ini orang macam apa !” seru putra marga Ca-ke-poh
itu, “sama-sama menempuh bahaya, sama-sama menderita. Mati hidup pun harus
bersama !”
Pemuda itu menutup kata-katanya dengan menamparkan lengan bajunya lebih gencar.
Han Ping tergetar semangat. Sambil bersuit nyaring dan menahan rasa sakit pada
lengan kanannya, ia tamparkan tangan kiri dengan seluruh tenaganya.
Karena marah, Han Ping telah menggunakan ilmu tenaga dalam Bu-siang-sin-kang
ajaran Hui Gong siansu. Karena baru pertama kali itu menggunakan, tak tahu ia
bagaimana perbawanya.
Ribuan ekor tawon beracun berhamburan jatuh di tanah. Tekanan merekapun
berkurang. Tetapi Han Ping sendiripun juga menderita. Karena menumpahkan tenaganya,
ia tak dapat menguasai jalan darah pada lengannya yang terkena racun itu. Akibatnya
racun meliar menyerang ke ulu hati. Dadanya terasa linu kesemutan. Hawa murni lepas
membinal ke seluruh tubuh.
“Saudara Ca, tinggalkan aku, aku sudah tak ada harapan lagi !” akhirnya ia berseru.
Ketika Ca Giok berpaling, dilihatnya Han Ping sudah terhuyung-huyung tak dapat berdiri
tegak. Ca Giok cepat menghalau kawanan tawon lalu meminta Han Ping supaya duduk
bersemedhi.

Setelah melihat pemuda itu dapat menahan serangan tawon, Han Ping segera menurut.
Berkat ilmu semedhi ajaran Hui Gong siansu, dalam waktu yang singkat dapatlah ia
menghimpun lagi tenaga murninya yang telah berpencaran itu. Rasa nyeri pun berkurang
separuh.
Ia tak tahu sampai dimana tingkat tenaga dalamnya. Hanya setelah merasakan agak
baik, ia makin bersemangat. Seluruh semangat ditumpahkan untuk mengerahkan seluruh
tenaga murni dan menyalurkannya ke sekujur tubuh. Ternyata berhasillah ia menghalau
racun yang sudah menyerap ke dalam tubuh itu. Racun mulai mengucur keluar.
Sambil menempur kawanan tawon, diam-diam Ca Giok memperhatikan keadaan Han
Ping. Dilihatnya pemuda itu duduk bersemedhi pejamkan mata. Ubun-ubun kepalanya
mengepul uap. Diam-diam Ca Giok : “Heran, mengapa pemuda itu sedemikian hebat
tenaga dalamnya. Dalam 10 tahun lagi, tentu tiada tandingnya. Hm, jika saat ini tak
kulenyapkan kelak tentu berbahaya sekali ...”
Seketika timbullah nafsu pembunuhan dalam hati pemuda Ca itu. Robekan baju
dipindah ke tangan kiri dan tangan kanan dikepalkan keras-keras. Pada saat ia hendak
turun tangan, tiba-tiba terlintas pikiran baru : “Ah, jika sekarang kulenyapkan, aku tentu
kehilangan seorang tenaga yang berharga. Keadaan saat ini amat berbahaya sekali.
Lembah Seribu racun, Lembah Raja setan dan tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan
sama berkumpul disini. Begitu pula Pengemis sakti Cong Topun muncul. Kedua tokoh aneh
si Kate dan si Bungkuk dan lelaki berkuda putih yang berpakaian kim-ih (pengawal istana)
merupakan batu perintang yang tak mudah diialui. Jika sekarang kubunuhnya, aku tentu
menderita kerugian sendiri. Ah, lebih baik kupertangguhkan pembunuhan itu sampai pada
lain waktu yang sesuai. Saat ini akan kugunakan tenaganya untuk menghadapi musuhmusuh
yang tangguh !”
Cepat sekali pemuda itu berpikir dan mengambil keputusan. Ia pindahkan lagi robekan
lengan baju ke tangan kanannya. Dan mulailah ia menghantam kawanan tawon itu lagi
seraya bertanya kepada Han Ping : “Bagaimana, apakah keadaanmu bertambah baik ?”
Han Ping membuka mata, mengangguk tersenyum lalu pejamkan mata lagi.
Tiba-tiba suara suitan melengking tinggi, mendesak suara harpa. Suitan itu bagaikan
iblis merintih-rintih menyayat hati.
Sebagai seorang yang berpengalaman tahulah Ca Giok bahwa tak lama tentu akan
terjadi suatu perubahan yang tak menguntungkan. Diam-diam ia curahkan seluruh
perhatiannya untuk mengamati ke sekeliling penjuru.
Juga Han Ping terganggu pikirannya. Ia membuka mata dan memandang ke sekeliling.
Dengan demikian dua kali ia telah menghentikan penyaluran tenaga dalamnya. Suatu hal
yang sesungguhnya merupakan pantangan besar. Tiba-tiba racun yang berhasil digiring
keluar dari kulitnya itu, kembali merangsang balik ke dalam tubuhnya. Tetapi karena Ia
sedang bersemedhi, perobahan itu tak terasa olehnya.
Suitan itu makin melengking tinggi dan beberapa saat kemudian terdengarlah suara
mendesis-desis dari empat penjuru.
“Ular beracun !” teriak Ca Giok yang cepat dapat mengenali apa artinya bunyi itu.

Han Ping memandang tajam-tajam ke sekeliling. Memang benar. Beberapa tombak
jauhnya, dilihatnya benda-benda yang bergerak-gerak mendatangi.
“Benar, memang ular beracun”, ia menghela napas.
Ca Giok memperhatikan bahwa sekalipun di empat penjuru terdapat banyak pohonpohon
bunga, tetapi tak tampak barang sebatang pohon yang dapat dijadikan tempat
sembunyi. Namun ia masih tetap bersikap tenang sekali, serunya tertawa : “Dari atas
diserang tawon beracun dan dari bawah diserbu ular berbisa. Saudara Ji, malam ini kita
tentu binasa . . . .”
Tiba-tiba Han Ping berbangkit, serunya : “Atas kesungguhan hati saudara melindungi
diriku aku berterima kasih sekali. Keadaanku sekarang sudah banyak sembuh. Silahkan
saudara mundur biarlah aku yang menempur kawanan ular itu. Mudah-mudahan saudara
dapat lolos dari bahaya disini !”
“Tidak !” sahut Ca Giok tegas, “aku merasa bahagia apabila mati berdampingan dengan
saudara,”
Dalam pada itu kawanan ularpun sudah tiba. Han Ping menghantam. Sepuluh ekor ular
yang maju paling depan, hancur seketika. Tetapi serempak dengan itu, dadanya terasa
sakit. Racun tawon mulai merangsang lagi. Diam-diam ia kerutkan dahi. Namun kuatir
menurunkan moril Ca Giok, ia tahankan sakit sekuat mungkin.
Tiba-tiba api memancar dan terdengarlah suara orang tertawa. Ketika berpaling kedua
pemuda itu melihat seorang pengemis tua tengah duduk di tanah sambil mencekal
sebatang obor. Obor digoyang-goyangkan kian kemari untuk menghalau kawanan tawon.
Sedang tangannya kanan memeluk sebuah buli-buli arak warna merah. Buli-buli itu tak
henti-hentinya diteguk ke mulutnya. Setiap habis meneguk tentu disemburkan ke sekeliling
penjuru. Beberapa saat kemudian tiba-tiba obor itu diturunkan ke bawah dan menyalalah
suatu lingkaran api yang luas. Tampaknya ia enak-enak saja duduk di tengah lingkaran api
itu. Ah, siapa lagi pengemis aneh itu kalau bukan Pengemis sakti Cong To !
Rupanya Ca Giok tahu juga keadaan Han Ping saat itu, buru-buru ia mencegah :
“Jangan banyak menggunakan tenaga lagi, saudara Ji. Ingat, racun tawon dalam tubuhmu
itu setiap saat masih dapat merangsang lagi !”
Han Ping mengangguk : “Memang kurasakan racun itu sudah menyerang ke arah ulu
hatiku. Harap saudara cepat-cepat tinggalkan tempat celaka ini !”
Ca Giok tersenyum ujarnya : “Hanya satu jalan hidup bagi kita. Ialah kita harus
bersembunyi dalam lingkaran api pengemis Cong To itu. Tawon dan ular takut api. Tak
mungkin mereka berani mengejar kita. Tetapi sayang selama ini pengemis sakti itu tak
baik hubungannya dengan ayahku. Dikuatirkan dia tak mau memberi tempat bagi kita !”
Han Ping menerima ucapan Ca Giok itu dengan arti yang jujur. Segera ia berkata :
“Kudengar Pengemis sakti Cong To itu berjiwa luhur. Jika tahu kita dikepung tawon dan
ular beracun, dan dia tak mengizinkan kita meneduh di tempatnya, tentu akan menodakan
namanya. Dan jika benar dia menolak, lebih baik menempurnya sampai mati !”

“Baiklah, harap saudara simpan tenaga untuk menempur pengemis tua itu. Mari
kubawamu kesana !” kata Ca Giok seraya menampar kawanan tawon dan ular lalu secepat
kilat ia menyambar tubuh Han Ping, terus dibawa loncat.
Sebenarnya Ca Giok mampu untuk loncat dua tombak. Tetapi karena harus membawa
orang, ia hanya dapat loncat sejauh satu setengah tombak saja.
Melihat akan melayang turun ke tempat gerombolan ular, Han Ping berseru : “Saudara
Ca, lepaskan aku !”
“Jangan meronta !” sahut Ca Giok seraya gunakan ilmu cian-kin-tui atau memberatkan
tubuh, untuk mempercepat dirinya turun ke bumi. Beberapa ekor ular terpijak mati, lalu
dengan gunakan tenaga pijakan itu, ia ayunkan tubuh ke udara dan melayang ke dalam
lingkungan lingkaran api.
Pengemis sakti Cong To tak mencegah, pun tak menyambut. Ia hanya gerakkan
obornya untuk menyalakan kembali bagian lingkaran api yang padam karena tertiup angin
gerakan Ca Giok. Beberapa ekor tawon yang hendak menyelundup berguguran mati
karena disongsong obor.
Setelah meletakkan Han Ping, Ca Giok memintanya supaya bersemedhi menyalurkan
tenaga murni untuk mengumpulkan racun dan diusahakan untuk menghalaunya keluar.
Han Ping sejenak melirik ke arah Cong To. Dilihatnya pengemis sakti itu menutup
lingkaran api pertahanan diri. Sebenarnya ia hendak mengucap terima kasih. Tetapi demi
melihat sikap Cong To yang dingin dan seolah-olah tak mengacuhkan, mengkallah hatinya.
“Hm, setiap kali aku selalu merendahkan diri sebagai seorang muda terhadap seorang
locianpwe. Tetapi engkau selalu bersikap dingin kepadaku...,” ia menggumam dalam hati
lalu berpaling muka dan duduk bersemedhi pejamkan mata.
Ca Giok cukup paham akan watak pengemis sakti itu. lapun tak menghiraukan. Diamdiam
siap sedia untuk melindungi Han Ping.
Tetapi dia berdiri di samping Han Ping dan Pengemis sakti berdiri di samping lain. Jadi
Han Ping berada di tengah-tengah mereka. Dengan begitu entah siapakah yang
sesungguhnya menjadi pelindung. Ca Giok melindungi Han Ping atau Ca Giok menjadikan
pemuda itu sebagai perisai apabila Cong To bertindak.
Gerombolan ular dan kawanan tawon beracun tetap mengejar tetapi tak dapat masuk
dalam lingkaran api.
Kiranya api itu berasal dari semburan arak Pengemis sakti yang disulut dengan obor.
Karena arak habis terbakar, apipun makin redup. tiba-tiba Pengemis sakti meneguk lagi
buli-buli araknya, lalu disemburkan keluar. Rupanya arak itu keras sekali, begitu terjilat api
terus terbakar.
Diam-diam Ca Giok memperhatikan juga gerak gerik Pengemis sakti itu. Melihat bulibuli
dituang tinggi ke atas, Ca Giok menduga isinya tentu tinggal sedikit.
“Celaka, kalau arak habis, kita tentu diserbu binatang itu lagi !” diam-diam ia mengeluh.

Tetapi ketika memandang ke arah Pengemis sakti, dilihat wajah tokoh itu tenangtenang
saja.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan kawanan ular yang berada di sebelah
rnuka, berbondong-bondong mundur.
Ternyata pohon-pohon yang berada di sekeliling situ karena terbakar api daunnya
berguguran jatuh sehingga api makin membesar. Barisan depan dari kawanan ular itu
kepanasan dan menyurut ke belakang tetapi karena yang di belakang tak sempat bergerak
mundur, mereka saling berdesak dan akibatnya ular-ular di barisan depan itu mendesisdesis
kesakitan.
Diam-diam Ca Giok bergirang dalam hati. Pohon itu lebat daunnya. Jika daun-daun itu
berguguran, api tentu takkan padam dan bahkan bertambah besar. Asal Pengemis sakti itu
tak memusuhi dan mau diajak kerja sama, tentulah bahaya dapat diberantas.
Tiba-tiba Pengemis sakti itu tertawa gelak-gelak : “Tawon racun, ular berbisa, sudah
kuterima dan ternyata hanya begitu saja. Apakah masih ada lain macam acara, silahkan
mengeluarkan agar aku si pengemis tua dapat tambah pengalaman. Jika tidak ada lain
acara lagi, harap panggil pulang kawanan binatang itu dan suruh orang datang kemari.
Ingin sekali pengemis tua menerima pelajaran dari ilmu kepandaian kaum Laut Selatan
yang terkenal sakti. Apabila tak menarik pulang binatang-binatang itu, jangan sesalkan
tindakan si pengemis tua yang akan membakar hangus mereka !”
Sebagai sambutan, suara harpa dan suitan itu tiba-tiba berubah tenang nadanya. Dan
kawanan tawon serta ular itupun mulai bergerak mundur. Beberapa saat kemudian
bersihlah tempat itu dari tawon dan ular.
Pengemis sakti Cong To serentak berbangkit, melemparkan obornya dan memandang
Ca Giok dingin-dingin. Sekali tangannya berayun, tubuhnyapun melambung ke udara dan
melayang turun tiga tombak jauhnya.
Setelah pengemis sakti itu pergi, Ca Giok berpaling ke arah Han Ping. Dilihatnya kepala
pemuda itu basah kuyup dengan keringat. Rupanya ia sedang mencapai keadaan yang
gawat.
Diam-diam timbullah pikirannya jahat : “Saat ini seluruh tenaga murninya sedang
berpusat pada serapan bawah. Jika kuhantam salah sebuah jalan darahnya yang penting,
tentu dia mati seketika. Jika tak mati, orang ini tentu akan merupakan bahaya besar di
kemudian hari. Tetapi kalau dibunuh, pun aku kehilangan tenaga yang berharga. Namun
kalau dilepaskan begini saja, mungkin takkan kuperoleh lagi kesempatan sebagus ini. . . .”
demikian silang selisih pikirannya tak menentu.
Akhirnya ia berbangkit, mengerahkan seluruh tenaga dalam. Pada saat ia hendak
mendaratkan pukulan maut ke pusar belakang Han Ping, sekonyong-konyong dari
belakang terdengar suara tertawa melengking : “Ai, harap sau pohcu menaruh kasihan !”
Ca Giok terkejut dan menyisihkan pukulannya ke samping. Wut. . . angin pukulan itu
mendampar sekelompok api sehingga padam.
Saat itu Han Pingpun membuka mata dan berpaling memandang ke arah onggok api
yang terhantam pukulan Ca Giok itu. Dilihatnya api itu hanya beberapa langkah dari

tempat duduknya. Diam-diam ia berterima kasih kepada Ca Giok. Berpaling ke belakang, ia
memberi sebuah senyum kepada pemuda Ca itu.
Tangan geledek Ca Giok menghela napas perlahan, ujarnya : “Karena kuatir
mengejutkan saudara yang masih menyalurkan tenaga dalam, terpaksa kupadamkan api
itu dengan pukulan. Tetapi tetap membangunkan saudara”.
Tenang dan mantap sekali Ca Giok mengucapkan kata-katanya yang palsu itu.
Sedemikian rupa ia menguasai mimik wajahnya sehingga Han Ping percaya penuh.
Tetapi saat itu dua sosok tubuh langsing melayang ke dalam lingkaran api dan pada
lain saat sepasang jelita Ting Ling dan Ting Hong sudah berdiri di samping kedua pemuda
itu. Kedua nona itu masih mengenakan kedok. yang satu berpakaian hitam dan adiknya
berpakaian putih.
Ting Ling menyingkap kedok mukanya, tertawa : “Kepandaian berbohong dari sau
pohcu memang hebat sekali. Ucapannya semerdu seruling nafiri tetapi isinya bohong
belaka. Namun dapat membawakan dengan nada dan kerut wajah yang yakin dan tenang.
Ah, sungguh beruntung sekali kami berdua dapat menyaksikan kepandaian sau pohcu itu
!”
Ca Giok tersenyum : “Ah, harap nona berdua jangan salah paham. Begitu bertemu
dengan saudara Ji kumintanya supaya menernui nona berdua. Tetapi dia tak mau. Akupun
tak dapat suatu apa !”
Mendengar itu seketika Ting Hong membuka muka lalu menatap ke arah Han Ping,
tegurnya “Benarkah itu ?”
“Benar”, Han Ping mengangguk.
Bukan kepalang kejut dara itu. Ia tertawa dingin : “Mengapa engkau takut ketemu kami
berdua. Apakah kami akan memakanmu ?”
“Aku tak tahan melihat sikap pamanmu yang begitu dingin angkuh. Hm, jika tak
mengingat kalian berdua, tentu sudah kuajak berkelahi !”
Setelah menenangkan diri, Ting Ling tertawa : “Kalau begitu engkau tentu benci kepada
kami berdua juga ?”
Sekalipun Han Ping tak mengerti maksud yang sesungguhnya dari pertanyaan itu,
tetapi Ia dapat merasa bahwa ucapan nona itu memang mengandung sesuatu yang lain.
Ia tertegun.
“Bukan begitu. Kalian memperlakukan aku baik sekali”, pada lain saat Ia menjawab.
Ting Ling tertawa : “Kalau tak membenci kami berdua, bolehkah kami menjadi kawan
seperjalananmu ?”
Ca Giok kerutkan alis. Waktu hendak membuka mulut, tiba-tiba ia mendapat lain pikiran
dan buru-buru tertawa : “Lembah Raja setan dan marga Ca, selamanya baik sekali
hubungannya. Kalau nona berdua suka bersamaku dan saudara Ji ini, sudah tentu kami
menyambut dengan girang sekali ....”

Ting Hong tertawa dingin : “Baru berkenalan berapa hari saja, sudah sedemikian erat
sekali hubungannya”.
Ca Giok tersenyum tak menyahut. Han Ping deliki mata kepada dara itu tetapi juga tak
berkata apa-apa.
Ting Ling menampar perlahan adiknya dan pura-pura mendamprat : “Uh, budak setan,
mengapa bicara tanpa mengindahkan kesopanan ?”
“Ah, tak perlulah nona marah kepada adik nona. Aku suka dengan sikap wajar dari
nona Hong”, kata Ca Giok.
“Ih, engkau anggap bicaraku itu merdu didengar ?” Ting Hong tertawa mengejek.
“Nadanya halus, melengking tinggi penuh berirama merdu sehingga orang tentu
terpikat mendengarnya”, sahut Ca Giok.
“Jadi engkau senang mendengarkan ?” tanya dara itu pula.
“Jika tiada lain urusan, tentu aku bersedia mendengarkan sampai tiga hari tiga malam”,
sahut Ca Giok.
Tiba-tiba dara itu mencemberut, serunya agak bengis : “Tetapi apakah engkau yakin
aku tentu suka bicara ?”
“Ah, sudah tentu aku tak berani memastikan”.
Ting Ling memberi kejapan mata kepada adiknya dan pura-pura membentaknya :
“Budak hina, mengapa bicara tak keruan yang tak berguna. . . .”
Ia berpaling ke arah Ca Giok dan memintakan maaf untuk adiknya.
“Ah, tak jadi apa . . . .” baru Ca Giok menyahut, tiba-tiba delapan orang baju hitam
muncui dari gerumbul pohon. Mereka membawa ember air dan menyiram api.
Ca Giok hentikan kata-katanya dan siapkan sebatang jarum Hong-wi-ciam (sengat
tawon). Kalau mereka berani mengganggu, akan diserangnya lebih dulu.
Ting Ling dan Ting Hongpun segera melangkah di hadapan Han Ping. Kedua nona itu
siap melindunginya.
Tetapi rupanya kedelapan baju hitam itu tak mengacuhkan. Habis memadamkan api,
mereka pergi lagi.
“Cici, mengapa mereka tak melihat kita ?” tanya Ting Hong kepada tacinya.
Ting Ling sendiripun heran. Jelas diperhatikannya bahwa gerak langkah kedelapan
orang itu lincah sekali. Suatu pertanda mereka tentulah berkepandaian tinggi. Tetapi
mengapa mereka tak melihat kehadiran beberapa orang disitu ?”

Tetapi Ting Ling seorang nona yang pandai menyimpan perasaan. Walaupun heran
tetapi ia tak mau sembarang berkata apa-apa. Malah ia menanyakan pendapat Ca Giok
tentang orang-orang itu.
“Ilmu kepandaian kaum Laut Selatan, terkenal penuh muslihat. Setiap tindakan mereka
tentu mengandung maksud. Mereka tentu kuatir api yang dilepas Pengemis sakti Cong To
itu akan menghabiskan tanaman mereka. Kemungkinan sikap mereka tak mengacuhkan
kita ini adalah supaya kita masuk lebih lanjut ke daerah mereka.”
“Hebat, sau pohcu memang pandai meneropong gerak gerik orang. Lalu apakah kita
juga akan lanjutkan langkah sesuai yang mereka harapkan itu ?” tanya Ting Ling.
Diam-diam Ting Hong heran atas sikap tacinya yang selalu menanyakan pendapat Ca
Giok. Pada hal Ia tahu bahwa tacinya itu seorang yang cerdas dan cermat.
Setelah merenung sejenak, Ca Giok menjawab : “Apakah kita hendak melanjutkan
langkah ke daerah mereka, aku sendiri tak dapat memutuskan. Sebaiknya kita tanyakan
pendapat saudara Ji.”
Han Ping serentak berbangkit, serunya : “Karena sudah terlanjur berada disini, dari
pada mundur lebih baik kita lanjutkan untuk melihat-lihat keadaan disana”. - Ia terus
mendahului ayunkan langkah.
Terpaksa Ca Giok menyusul di sampingnya dan kedua nona Ting itu mengikuti di
belakang mereka.
Kira-kira 6-7 tombak jauhnya, tiba-tiba terdengar daun-daun dan gerumbul pohon
berderak-derak mendesirkan suara berisik.
Han Ping yang sudah merasakan siksaan dari racun tawon, sangat hati-hati sekali. Ia
berhenti dan memandang ke sekeliling penjuru.
Ca Giok tertawa “Ah tak perlu saudara curiga. Di sebelah muka sana terjadi
pertempuran dahsyat. Daun-daun itu bergoyang karena hamburan pukulan mereka !”
Han Ping terkejut. Ia duga kemungkinan tentu Pengemis sakti Cong To yang
bertempur. Walaupun ia mengkal atas sikap acuh tak acuh dari tokoh itu tetapi mengingat
Pengemis sakti itu merupakan satu-satunya tokoh persilatan yang menentang Sin-ciu Itkun
atau Ksatria tunggal dari Sin-ciu, ia tetap menaruh perhatian kepada pengemis aneh
itu.
Buru-buru ia cepatkan langkah. Setelah melintasi sebuah hutan kecil dari pohon-pohon
bunga, tampak dua orang tengah bertempur seru. Si Bungkuk sedang perang tanding
dengan pemuda berpakaian bagus yang berada dalam biara rusak bersama Pengemis sakti
Cong To itu. Mereka bertempur dengan tangan kosong tetapi serunya bukan main.
Ca Giok dan kedua nona Ting tak kenal siapa pemuda berpakaian bagus itu. Tetapi
karena melihat pemuda itu dapat mengimbangi kesaktian si Bungkuk, diam-diam mereka
terperanjat juga.

Tiba-tiba Han Ping teringat kata-kata si pengemis muda yang mengatakan bahwa
Pengemis sakti Cong To akan menyerahkan jiwanya kepada pemuda berpakaian bagus itu.
Diam-diam Han Ping curahkan perhatian mengikuti pertempuran itu.
Atas dasar keterangan pengemis muda itu. Han Ping memastikan pemuda berpakaian
bagus itu tentu amat sakti. Tetapi alangkah kejutnya ketika menyaksikan bahwa
kepandaian pemuda itu ternyata tidak terlalu berlebih-lebihan. Sukar dipercaya bahwa
pemuda itu mampu mengalahkan Pengemis sakti Cong To.
Berlawanan dengan penilaian Han Ping, Ca Giok dan kedua nona Ting itu mengagumi
kepandaian pemuda berpakaian bagus yang mampu menandingi si Bungkuk.
Kedua orang itu bertempur makin keras dan seru. Setiap gerakan tangan dan kaki tentu
mengarah bagian maut dari lawannya, Kedahsyatan pukulan mereka sampai menimbulkan
deru angin dahsyat sehingga pakaian Han Ping dan kawan-kawannya tertiup berkibaran.
Tiba-tiba Han Ping teringat bahwa dunia persilatan itu penuh dengan tipu muslihat yang
licik. Ia menimang : “Adakah pemuda berpakaian bagus itu sudah mengetahui kedatangan
Pengemis sakti ke sini sehingga Ia sengaja menyimpan kepandaiannya yang asli ?”
Diam-diam timbul keinginannya untuk mencoba kepandaian pemuda itu. Hanya dengan
cara itu, baru ia dapat mengetahui benar-benar bagaimana sesungguhnya kepandaian
pemuda itu.
Han Ping seorang pemuda polos yang tak punya perigalaman. Apa yang dipikirkan,
terus saja dilaksanakan.
“Hai, berhenti !” serentak ia berseru kepada mereka.
Saat itu pertempuran sedang mencapai puncak ketegangan yang menentukan. Karena
teriakan Han Ping, pemuda itu terkejut. Hanya sedetik ia terpencar perhatiannya tetapi
akibatnya cukup besar. Si Bungkuk dengan cepat menyelinap ke belakang dan secepat
kilat menghantam bahu kiri dan membentur pantat pemuda itu dengan lututnya.
Gerakan itu bukan alang kepaiang cepat dan dahsyatnya sehingga tampaknya tak
mungkin pemuda itu dapat menghindar.
Tiba-tiba pemuda itu mengangkat kaki kanan, lalu dengan ujung tumit kaki kiri ia
berputar diri menghindar serangan itu. Dan serempak menampar dengan tangan kanan.
Gerakan menghindar sambil balas menyerang itu benar-benar luar biasa. Dari diserang
menjadi penyerang. Si Bungkuk rupanya tak menyangka sama sekali akan gerakan itu. Ia
terpaksa mundur tiga langkah.
Melihat itu diam-diam Han Ping mendamprat : “Hm, pemuda itu benar-benar licin
sekali. hampir saja aku dapat dikelabuinya”.
Tetapi karena sudah terlanjur berseru, Ia pun tak mau mundur. Ia menampar kepada
kedua orang yang bertempur itu seraya membentak : “Suruh berhenti mengapa kalian tak
mau mendengar ?”

Kedua orang itu sebenarnya hendak melangkah maju lagi tetapi karena gelombang
angin tamparan Han Ping itu mereka masing-masing mundur selangkah lagi.
Ca Giok dan kedua nona itu terkejut melihat tindakan Han Ping tetapi mereka tak
berusaha mencegah.
Ketika mengetahui siapa pengganggunya, si Bungkuk tertawa dingin : “Hm, kiranya
engkau . . . .”
Han Ping tak mengacuhkan si Bungkuk tetapi tetap memandang pemuda berpakaian
bagus, serunya : “Bertempur adu kepandaian, setiap saat maut mengancam. Jika tak
mengeluarkan kepandaian sungguh-sungguh, tentu akan celaka sendiri”.
Pemuda itu menduga Han Ping hendak membantunya. Tentulah Han Ping menyuruhnya
mundur dan hendak menempur si Bungkuk. Dengan dugaan itu, ia tak curiga dan hanya
bersenyum saja lalu berdiri di samping. diam-diam pemuda itu merenung : “Sekalipun
sudah kukerahkan seluruh kepandaianku tetapi aku tak dapat mengalahkan si Bungkuk.
Hm, tetapi tak boleh kuunjuk kelemahan”.
Pemuda itu tertawa : “Ah, menghadapi manusia semacam itu, perlu apa harus
mengeluarkan seluruh kepandaian . . . .”
Tiba-tiba Han Ping mengangkat tangannya dan menyerangnya. Sudah tentu pemuda
berpakaian bagus itu terperanjat sekali. Ia tak mengira akan diserang secara liar begitu.
Dan lebih terkejut pula ketika mendapatkan bahwa tenaga pukulan Han Ping lebih unggul
dari si Bungkuk tadi. Karena tak bersiap, pemuda itu tak berani menangkis. Ia mengangkat
kakinya kanan, tubuhnya condong ke samping dan tahu-tahu ia sudah menghindar dua
langkah.
Hebat sekalipun cara penghindaran itu, namun Han Ping tetap membayanginya. Habis
memukul, Han Ping sudah maju merapat. Tangan kiri gunakan jurus Menyusup laut
mencari mutiara untuk menutuk sepasang mata. Dan tangan kanan gunakan gerak Kinliong-
khiu untuk mencengkeram lengan kiri pemuda itu.
Memang sebelumnya Han Ping sudah mengatur rencana untuk menghadapi pemuda
itu. Ilmu Kin-liong-chiu yang terdiri dari 20 jurus itu, merupakan ilmu tangan kosong untuk
menangkap musuh yang jarang terdapat di dunia persilatan.
Sekalipun pemuda itu cukup sakti tetapi ia tak mampu menghindar dari serangan
istimewa itu. Dalam gugupnya ia gunakan jurus Rajawali merentang sayap untuk
menangkis tusukan jari Han Ping. Tetapi Ia tak berdaya menghindar lengannya dari
cengkeraman Han Ping. Seketika Ia rasakan lengannya kesemutan ....
Begitu mudah dapat mencengkeram lengan pemuda itu, Han Ping tertegun sendiri.
Pikirnya : “Pengemis sakti Cong To seorang tokoh sakti. Dan pemuda ini hanya biasa saja
kepandaiannya. Aneh, mengapa Pengemis sakti kalah dengan pemuda ini ? Ah, mustahil !
Tetapi tampaknya pengemis muda itu bicara dengan sungguh. Ah, benar aneh ini. . . .”
Han Ping memang berotak cerdas tetapi ia tak mempunyai pengalaman sehingga ia tak
dapat memecahkan persoalan itu. Ia tak menyadari bahwa gerak Kin-liong-chiu yang
digunakan itu memang merupakan ilmu kepandaian istimewa dari Siau-lim-si yang jarang
terdapat di dunia persilatan. Apalagi pemuda lawannya itu sama sekali tak berjaga-jaga

sehingga mudah tercengkeram lengannya. Andaikata pemuda itu mengetahui bahwa Han
Ping hendak memusuhinya, tentulah ia bersiap-siap dan tentulah tak semudah itu Han
Ping akan mendapat kemenangan.
Ca Giok, kedua nona Ting dan si Bungkuk terkejut menyaksikan Han Ping dapat
menangkap pemuda itu. Mereka tak mengetahui ilmu apa yang digunakan Han Ping tadi.
Sedangkan karena pikirannya melamun, Han Ping tertegun dan cengkeramannyapun
kendor. Pemuda itupun meronta seraya menyerempaki dengan memukulkan tangan kanan
ke dada Han Ping.
Han Ping gelagapan. Tetapi ia sudah tak keburu menghindar lagi. Terpaksa ia mengisar
tubuh dan menangkis dengan tangan kanannya.
Tetapi serempak dengan itu, Ca Giok pun mendahului lepaskan sebuah pukulan ke arah
pemuda itu seraya membentak : “Kawanan tikus jangan curang !”“
Ca Giok cerdas sekali. Dia selalu waspada. Demi melihat Han Ping terlongong, dia cepat
kerahkan tenaga. Pada saat pemuda itu bergerak, iapun menyerempaki dengan
melontarkan pukulan Pek-poh-sin-kun ke arah pemuda itu.
Pemuda itu terkejut dan loncat mundur. Dengan begitu terpaksa ia tarik kembali
pukulannya kepada Han Ping tadi.
“Sudahlah saudara”, Han Ping tertawa mencegah Ca Giok, “sebelum tujuan kita hendak
menguji kepandaian dari orang Laut Selatan, perlu apa kita mengadu jiwa dengan orang
yang tak kita kenal itu ?”
Memang setelah hantamannya luput, Ca Giok hendak memburu. Ia heran mengapa Han
Ping mencegahnya : “Apakah saudara kenal dengan pemuda itu ?”
“Pernah bertemu sekali tetapi belum pernah tegur menegur”, sahut Han Ping.
Pemuda itu mendengus, berputar tubuh hendak angkat kaki tetapi si dara Ting Hong
menghadangnya. Sambil memandang kepada Han Ping dara itu tertawa “Apakah
melepaskannya ?”
“Kita tak bermusuhan, mengapa perlu dirintangi ?” sahut Han Ping seraya memberi
hormat kepada pemuda itu : “Aku hanya ingin menerima pelajaran dari saudara. Tak ada
lain maksud apa-apa lagi. Harap saudara suka maafkan !”
Bukan saja pemuda itu bahkan Ca Giok dan kedua nona Ting itu tak mengerti apa yang
dimaksud Han Ping.
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring memecah angkasa. Asalnya dari dalam hutan. Si
Bungkuk tertawa dingin, serunya “Ilmu kepandaian dari Lam-hay bun, merupakan
kumpulan dari ilmu silat Tionggoan kuno dan baru serta daerah Se-gak. Merupakan
sumber ilmu silat baik golongan Putih maupun Hitam, jenis yang luar biasa maupun Lurus.
Sekalipun kalian memiliki kepandaian sakti tetapi hanyalah ibarat anai-anai membentur
api. Atau kunang-kunang hendak beradu dengan rembulan. Jika maju selangkah ke muka
lagi, berarti memasuki daerah terlarang dari desa Jui-lo-san. Jika kalian berani mati,

silahkan coba. Maaf, aku tak dapat menemani . . . .”, si Bungkuk berputar tubuh terus
loncat masuk ke dalam gerumbul pohon.
Memandang ke arah si Bungkuk, tampak bangunan bertingkat yang tegak dengan
megah dan terang benderang penerangannya. Dari tempat Han Ping kira-kira 10 tombak
jaraknya, dapat mencapai di bawah bangunan tingkat itu.
Han Ping berpaling kepada pemuda berpakaian bagus itu, serunya : “Apakah saudara
datang bersama guru saudara ?”
“Mengapa ?” sahut pemuda itu dingin-dingin.
Han Ping tertawa hambar : “Ah, maaf, siapakah nama saudara yang mulia ?”
“Ah, jangan kelewat menyanjung. Aku yang rendah orang sho Ho” pemuda itu
menyahut dingin.
“Apakah saudara Ho anak murid dari Pengemis sakti Cong To ?”
Pemuda itu merenung sejenak lalu menyahut : “Aku dan Cong locianpwe tergolong
dalam satu perguruan Kim pay-bun. Tetapi Cong locianpwe lebih tinggi tingkatnya”.
Ca Giok memandang ke arah kedua nona, ujarnya : “Partai-partai dalam dunia
persilatan berjumlah banyak sekali, sukar dihitung. Baru pertama kali ini kudengar nama
Kim-pay-bun itu !”
Sesungguhnya Ca Giok hendak bertanyakan hal itu kepada kedua nona. Tetapi ia malu.
Maka ia gunakan kata-kata yang berlingkar-lingkar.
Ting Ling tersenyum : “Jika sau pohcu yang berpengalaman luas tak tahu tentang
partai itu, sudah tentu kami yang bodoh lebih tidak . . .”
Belum selesai nona itu mengucap, pemuda berpakaian bagus cepat menukas :
“Memang dari dahulu kala, partai Kim Pay-bun itu hanya diwariskan dua orang. Jangankan
kalian, hm, sekalian tokoh-tokoh tua dalam dunia persilatan, hanya sedikit sekali orang
yang tahu tentang partai itu !”
“Siapakah nama mulia dari saudara Ho ? Apakah saudara tak keberatan
memberitahukan ?” kata Han Ping
Pemuda itu kerutkan dahi, sahutnya : “Namaku Heng Ciu. Perlu apa engkau bertanya
begitu jelas ?”
“Karena aku mengagumi pribadi saudara dan ingin bersahabat,” Han Ping tertawa.
“Hal ini kelak kita bicarakan lagi. Memang watakku tak suka terlalu rapat dengan orang
yang baru saja berkenalan” sahut Heng Ciu si pemuda berpakaian bagus itu.
“Jual mahal benar”, Ca Giok tertawa mengejek.
Tetapi diluar dugaan Han Ping tidak marah, bahkan tertawa : “Ah, setiap orang
memang mempunyai pendirian sendiri. Tak boleh dipaksa. Kalau saudara Ho tak mau

mengikat persahabatan, aku pun tak dapat memaksanya. Sekalipun aku tak tahu
bagaimana riwayat partai Kim-pay-bun itu, tetapi kuyakin tentu termasuk partai daerah
Tionggoan. Oleh karena Lam-hay-bun menghina ilmusilat Tionggoan, tentulah saudara Ho
akan ikut membersihkan hinaan itu”.
“Dalam hal itu, aku dapat paksakan diri menyetujui”, sahut Ho Heng Ciu.
Ting Ling heran mengapa Han Ping yang biasanya angkuh dan keras kepala, saat ini
begitu sabar menghadapi si pemuda baju bagus itu. Tetapi ia tak berani menyatakan
sesuatu.
Ting Hong muak melihat kecongkakan pemuda Ho itu. Ia menyelinap di belakang Ca
Giok, lalu menampar muka Heng Ciu. Plak .... karena sedang bicara dengan Han Ping dan
tak menyangka akan ditampar, Heng Ciu berbinar-binar kepalanya. Kedua belah pipinya
terbekas guratan lima jari si nona.
Dengan menggeram, Heng Ciu balas menampar tetapi dara itu loncat ke samping dan
bersembunyi di belakang Ca Giok. Ho Heng Ciu perkeras tenaga dalam untuk memukul
lagi.
“Mengapa saudara Ho memukul aku ?” Ca Giok gerakan tangan kanan menangkis.
Adu tenaga dalam itu membuat keduanya terkejut. Kedua bahu Ca Giok berguncangguncang,
tubuh terhuyung-huyung beberapa kali. Sedang Heng Ciu tersurut mundur dua
langkah.
Ting Ling deliki mata kepada adiknya : “Budak hina yang berandalan, mengapa baru
kenal saja engkau berani berolok-olok !”
Habis mendamprat, Ting Ling berpaling ke arah Ho Heng Ciu dan minta maaf atas
kekurang ajaran adiknya.
Heng Ciu berpaling ke samping. Tampak Ting Hong dengan pakaian warna putih
bersembunyi di belakang Ca Giok. Melihat Ting Hong sudah cukup besar untuk disebut
dewasa marahlah Heng Ciu.
“Beberapa usia adik nona itu ? Apakah nona tak sungkan menyebutnya masih kecil ?”
dengus Heng Ciu.
Ting Ling tersenyum : “Aku sudah memintakan maaf sendiri. Menurut tata susila,
seorang pria tak boleh berkelahi dengan wanita. Masakan engkau hendak balas
menamparnya ?”
“Mengapa aku tak berani ?” sahut Heng Ciu.
Ca Giok menyelutuk “Tetapi tanpa sebab apa-apa, saudara juga memukul aku. Jika aku
menuruti jalan pikiran seperti itu, tentulah malam ini kita harus bertempur mati-matian”.
“Sekalipun kalian berempat maju semua, akupun tak gentar !” sahut Heng Ciu murka.

“Ucapan yang takabur sekali”, Ca Giok tertawa mengejek, “Apakah saudara sudah lupa
waktu tangan saudara kena tercengkeram tadi ? Hm, jika saudara Ji tak bermurah hati,
mungkin saat ini saudara sudah terkapar di hadapan kita !”
Merahlah wajah Ho Heng Ciu. Ketika ia hendak menumpahkan kemarahannya, Han Ping
maju menghampiri.
Heng Ciu sudah kenal kelihaian Han Ping. Melihat pernuda itu bergerak. Heng Ciu
mendahului memukulnya.
Han Ping mengisar ke samping lalu mundur tiga langkah. Angin pukulan Heng Ciu
menyambar Ting Ling Nona itu buru-buru berputar diri untuk menghindar.
Heng Ciu terkejut. Ia tak bermaksud memukul nona itu. Buru-buru ia hendak
menghaturkan maaf, tetapi mulut berat berkata. Karena tak tahu apa yang harus
dilakukan, Heng Ciu terlongong memandang wajah Ting Ling.
Ting Lingpun seorang nona yang berwatak kelas dan manja. Sejak menerima tamparan
dari Han Ping, tak pernah ia melupakan hal itu. Dan setiap kali teringat, merahlah muka
karena marah. Tetapi entah bagaimana, ia tak dapat membenci pemuda itu.
Rupanya dendam yang terkandung dalam hatinya terhadap Han Ping itu, sekarang
ditumpahkan kepada Heng Ciu. Seketika meluaplah amarah nona itu. Sambil mendekap
dada untuk melindungi diri. Ia deliki mata kepada Heng Ciu. Keduanya saling
berpandangan dan diam-diam sama mengerahkan tenaga dalam. Mereka saling menunggu
siapa yang akan lebih dulu turun tangan.
Semula memang Ting Hong hendak membuat onar. Ia mengkal sekali terhadap sikap
Heng Ciu yang angkuh itu. Tetapi setelah urusan berlarut sedemikian rupa hingga melibat
tacinya, ia gugup juga. Tiba-tiba ia mendapat akal dan terus loncat ke samping Han Ping.
Ia hendak mencari perlindungan pada anak muda itu.
Heng Ciu memang tak mengerti hubungan antara keempat anak muda itu. Ia duga
mereka berempat tentulah sahabat-sahabat karib. Cepat Ia berkisar menghadap ke arah
Ting Hong dan siap menyerangnya.
Melihat adiknya terancam, tanpa banyak pikir lagi Ting Ling terus menghantam Heng
Ciu.
“Nanti dulu nona Ting !” tiba-tiba Han Ping berseru mencegah seraya menyongsong
pukulan si nona. Karena pencegahan itu, dapatlah Heng Ciu loncat menghindar ke
samping.
Tindakan Han Ping itu benar-benar mengejutkan Ting Hong, ia duga pemuda itu tentu
akan membantu tacinya. Tetapi ternyata malah melindungi Heng Ciu,
Sambil loncat di tengah tengah Heng Ciu dan Ting Ling, Han Ping berkata : “Kita
sebenarnya tak saling kenal mengenal dan tak mempunyai dendam permusuhan suatu
apa. Mengapa kita harus saling baku hantam ? Aku terpaksa melerai, entah apakah
saudara-saudara menyetujui tindakanku itu . . . .”

Malam itu Heng Ciu merasa serba salah. Habis bertempur dengan si Bungkuk, lalu
mengadu tenaga dengan Han Ping, tukar pukulan dengan Ca Giok, ditampar Ting Hong
dan ngotot dengan Ting Ling. Dalam beberapa peristiwa itu ia selalu menderita kerugian.
Sambil mengusap-usap tengkuknya ia menggerutu : “Ah, sial benar, sungguh seperti
melihat setan . . . .”
Sesungguhnya ia hanya menumpahkan kesialan yang diderita malam itu. Tiada maksud
untuk memaki orang. Tetapi kata-kata itu telah menimbulkan salah paham.
Kedua nona Ting panas hatinya. Han Ping pun marah karena kemarin dia juga dimaki
“berbau setan” oleh pengemis sakti Cong To.
“Kalau bicara harap saudara sedikit pakai kesungkanan. Aku mengalah tetapi bukan
berarti takut kepadamu !” serunya dengan marah.
Heng Ciu terkesiap. Tiba-tiba ia menjawab murka : “Jika kalian hendak mengeroyok,
silahkan turun tangan. Cara mencari-cari kesalahan begini, bukanlah laku seorang jantan
!”
Ca Giok mendengus : “Segala penyakit asalnya dari mulut. Begitupun segala bahaya.
Jika saudara tidak ingin cari perkara, sebaiknya harus menghemat mulut, jangan bicara
yang tak berguna !”
Ting Hong tertawa mengikik : “Jika engkau omong seenakmu sendiri, berarti engkau
menyediakan mukamu untuk ditampar !”
Han Ping teringat akan ucapan si pengemis muda. Diam-diam Ia menimang. Jika
sampai bentrok dan pemuda Ho itu sampai angkat kaki, kelak tentu sukar untuk
mencarinya. Akhirnya ia terpaksa menahan sabar, katanya dengan tertawa : “Harap
saudara Ho jangan salah paham. Terus terang, aku dan kedua nona ini memang paling
benci kalau mendengar dimaki berbau setan. Kalau saudara tadi memang tak bermaksud
apa-apa, kamipun takkan menarik panjang urusan ini !”
Heng Ciupun segera teringat ketika di dalam biara gunung, ia mendengar Han Ping
dimaki begitu oleh Pengemis sakti. Segera ia tertawa dan menghaturkan maaf kepada Han
Ping serta kedua nona.
Diam-diam Heng Ciu menyadari bahwa di antara keempat pemuda itu, hanya Han Ping
seorang yang bersikap bersahabat. Ca Giok dan kedua nona itu bersikap memusuhinya.
Setiap ucapan yang salah sedikit saja, mereka akan mempergunakan untuk alasan
menyerangnya. Menyadari gelagat itu, terpaksa ia menahan kesabaran dan bersikap baik
terhadap Han Ping,
Sebenarnya situasi tadi memang genting. Ca Giok dan kedua Ting sudah siap
menghancurkan pemuda itu setelah melihat Han Ping menegur dengan tajam. Tetapi
ternyata keadaan berobah lagi, Pemuda itu berbaik lagi dengan Han Ping.
Karena hari sudah petang, Han Ping mengajak kawan-kawannya untuk melanjutkan
langkah ke halaman gedung bertingkat itu. Sengaja ia berkata dengan suara nyaring agar
didengar orang-orang dari Lam hay bun. Dan ia sendiripun segera mempelopori maju.

Kedua nona Ting segera mengikuti di belakangnya lalu Heng Ciu dan paling belakang
adalah Ca Giok.
Setelah melalui beberapa petak tanaman pohon bunga, mereka tiba di muka gedung
bertingkat yang terang benderang penerangannya. Tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa nyaring dan pada lain kejap muncullah lelaki yang mengenakan baju benang emas
yakni pengawal gedung yang tadi menyiram api.
“Mengingat tadi engkau berseru lantang untuk memberitahukan kedatanganmu,
akupun akan memberi pengecualian juga. Dengarlah ! Dalam lingkungan seluas tiga
tombak di gedung Mega Biru sini, penuh dipasangi alat-alat perangkap. Sekali salah
tindak, tubuh tentu hancur lebur. Jika kalian tak percaya, silahkan mencoba !”
Habis berkata orang itu menatap rombongan Han Ping dengan tajam. Tanpa berkata
apa-apa lagi, ia berputar tubuh dan melangkah masuk ke dalam gedung yang disebut
Mega Biru itu.
Han Ping memandang ke arah gedung bertingkat itu dengan penuh perhatian.
Dilihatnya empat penjuru keliling gedung itu tiada tampak sesuatu yang aneh. Satusatunya
yang agak berbeda ialah pohon-pohon bunga yang ditanam dalam kebun rumput
gedung itu jaraknya jauh satu sama lain. Kira-kira terpisah sepuluh langkah. Pohon-pohon
itu adalah pohon Pek-yang. Dan lain hal yang menyolok aneh, hanya tingkat bagian atas
dari gedung itu saja yang terang benderang, sedang bagian bawah gelap sama sekali.
Han Ping menduga tentu pohon-pohon itu ditanam dengan maksud tertentu. Tetapi ia
tak tahu apa artinya. Berpaling kepada Ca Giok ia bertanya : “Harap saudara Ca suka
meninjau keadaan pohon-pohon itu. Apakah ada sesuatu yang aneh ?”
Ca Giok merenung beberapa saat lalu berpaling ke arah Ting Ling : “Lembah Raja setan
termahsyur dengan ilmu barisan. Kiranya nona tentu sudah mewarisi kepandaian dan
tentu dapat melihat apa yang disiapkan orang-orang Lam-hay-bun itu. Aku tak berani
lancang memberi ulasan yang salah . . .”
Kemudian ia berkata kepada Han Ping : “Harap saudara Ji tanyakan hal itu kepada
kedua nona Ting. Pengetahuanku terbatas. Masakan di hadapan ahli, aku berani
mengunjuk diri !”
Dalam pada saat itu, Ting Lingpun memandang susunan pohon-pohon itu dengan
seksama. Diam-diam ia memaki Ca Giok yang licin.
Kiranya pohon-pohon itu tidak disusun menurut bentuk barisan Kiu-kiong-pat-kwa-tin.
Nona itu kerutkan alis.
“Pohon pek-yang dan pohon-pohon bunga dalam kebun rumput itu, walaupun
mencurigakan tetapi bukanlah merupakan barisan Kiu-kiong-pat-kwa-tin. Mungkin di
antara pohon-pohon itu hanya dipasangi alat-alat perangkap. Ca-ke-poh termahsyur
tentang alat-alat rahasia. Sau pohcu tentulah paham akan ilmu itu. Maukah sau pohcu
membawa kami kesana ?”
Ca Giok menghela napas, ujarnya : “Terima kasih atas pujian nona. Sekalipun aku tak
paham tentang ilmu alat-alat rahasia itu, tetapi aku bersedia menjadi pelopor”

Habis berkata pemuda itu terus melangkah maju mendahului di muka Han Ping. Tetapi
diam-diam dalam hati ia memaki Ting Ling yang dianggapnya benar-benar seorang nona
yang licin dan banyak akal muslihatnya. Dengan mudah nona itu dapat mengembalikan
beban yang ditimpakan kepadanya kepada Ca Giok.
Tiba-tiba Han Ping maju dan menarik lengan Ca Giok : “Masuk ke daerah terlarang ini
adalah atas kemauanku. Bagaimana mungkin kubiarkan saudara yang terancam bahaya ?
Lebih baik akulah yang berjalan di depan sendiri !”
“Ah, mengapa saudara Ji masih mengadakan perbedaan begitu tajam. Bukankah aku
yang menjadi pelopor jalan juga sama saja artinya ?” Ca Giok tersenyum.
Tiba-tiba Ting Hong menyelutuk : “Sudahlah, tak perlu kalian ribut-ribut. Lebih kita
minta saudara Ho ini yang menjadi pelopor saja !”
“Itu tergantung pada keberanian saudara Ho”, sahut Ca Giok.
“Mengapa tak berani”, sahut Heng Ciu terus melangkah maju. Tetapi dicegah Han Ping
: “Jangan saudara, lebih baik aku saja yang menjadi pelopor !”- Han Ping terus loncat ke
muka dan diam-diam kerahkan tenaga dalam berjaga-jaga. Dan sekali enjot, ia melayang
ke arah salah sebuah pohon. Ia ulurkan tangan kiri menyambar bunga.
“Hai, jangan menjamah pohon bunga itu. Lekas menyisih ke samping !” teriak Ting
Ling.
Han Ping terkejut dan buru-buru tarik pulang tangannya lalu loncat ke samping. Tepat
pada saat ia loncat ke samping itu, tiba-tiba daun dari pohon bunga itu berguguran jatuh.
Dari bekas ranting yang gugur daunnya itu, menghambur air sejauh satu tombak luasnya.
Han Ping duga, semburan air itu tentu mengandung racun. Segera ia ayunkan tangan
menghantam pohon itu. Krak . . . pohon bunga itupun rubuh. Han Ping terkesiap sendiri.
Ia tak mengira bahwa pukulannya sedemikian dahsyatnya.
Tiba-tiba dari pangkal pohon yang rubuh itu menyemburkan air setinggi dua tombak
lalu berhamburan turun ke empat penjuru.
Sejak menderita siksaan terkena racun tawon, kini Han Ping lebih hati-hati. Melihat
hujan air beracun itu, cepat-cepat ia loncat balik ke tempat kawan-kawannya lagi.
Pangkal kutungan pohon itu terus menerus muntahkan air ke atas. Beberapa waktu
kemudian barulah hujan air racun itu berhenti.
Kedua nona Ting, Ca Giok dan Heng Ciu terkejut ketika Han Ping terancam hujan racun,
Baru setelah pemuda itu melayang balik ke tempatnya semula, Ca Giok menghela napas
perlahan, ucapnya : “Jika aku yang mengambil tempat saudara Ji, kemungkinan tentu
sudah tertimpa hujan air beracun itu !”
Setelah mengawasi dengan seksama, berkatalah Ting Ling : “Jika pohon bunga itu
ternyata hanya buatan orang, kemungkinan besar pohon-pohon pekyang dan padang
rumput itupun juga buatan orang. Didalamnya tentu terdapat alat rahasia yang lebih ngeri.
Menilik gelagatnya, tidaklah mudah untuk melintasi kebun rumput itu . . . .”

Nona itu tak melanjutkan kata-katanya ketika melihat tingkat kedua dari gedung itu
tiba-tiba padam penerangannya.
“Ah, betapapun bahayanya, tetapi kita tak dapat mundur . . . .” kata Han Ping.
“Aku mempunyai saran entah dapat digunakan atau tidak”, tiba-tiba Heng Ciu
menyelutuk.
Ca Giok tertawa dingin : “Eh, tak kira kalau saudara Ho pandai juga tentang siasat.
Rencana apakah yarg hendak saudara ajukan ? Bukankah dengan menggunakan api ?”
Diam-diam pemuda Ho itu terkejut, pikirnya : “Ke empat pemuda ini, selain memiliki
kepandaian sakti, juga memiliki kecerdasan yang tinggi. Apa yang kupikirkan, ternyata
dapat diduganya”,
Namun Heng Ciu tetap tenang dan hanya tertawa hambar : “Benar, jika kita hendak
menghindari bahaya, lebih baik kita gunakan api menyerang mereka. Alat rahasia dan
segala jenis binatang beracun apapun, tentu akan hancur !”
Ting Ling tertawa perlahan : “Pendapat saudara Ho itu, mungkin tak mudah
dilaksanakan. Selain mereka tentu sudah memperhitungkan kemungkinan itu, pun rnereka
tentu sudah siapkan jago-jago sakti yang tak mudah kita kalahkan !”
“Ah, maaf, memang kecuali rencana itu, aku tak mempunyai lain saran lagi” buru-buru
Heng Ciu menyusuli kata.
Tir.g Ling tertawa dingin : “Jika saudara Ho menyangsikan keteranganku tadi, tak
apalah kalau kita coba-coba menggunakan api itu. Tetapi dikuatirkan sebelum api itu
menjalar ke atas tingkat, jiwa kita tentu sudah melayang !”
“Hm, aku tak percaya akan terjadi hal yang sedemikian anehnya !” kata Heng Ciu
seraya mengeluarkan sebuah benda hitam : “Hendak mencoba, benarkah pohon-pohon
bunga buatan manusia itu tak dapat dihancurkan !”
Ting Ling melirik dan kerutkan alis, serunya : “Pelor belerang !”
Heng Ciu terkesiap, ujarnya : “Benar, memang pelor Siau-hong-tan. Nona sungguh
berpengalaman luas”.
Ca Giok menyelutuk : “Huh, orang persilatan manakah yang tak kenal akan
keistimewaan ilmu menggunakan api dari Lembah Raja setan ? Sayang saudara Ho sendiri
yang kurang pengalaman !”
Ting Ling deliki mata dan tertawa : “Ah, sau pohcu kelewat memuji diriku. Oleh karena
saudara Ho hendak mencoba gunakan api, lebih baik kita mundur ke belakang agar jangan
menemaninya terkubur di tempat ini !”
Ca Giok cukup kenal akan watak nona itu. Jika tak perlu tentu tak mau bicara
sembarangan. Cepat ia mundur dua langkah dan berkata kepada Han Ping : “Saudara Ji,
mari kita mundur untuk menyaksikan keramaian ini”.
Sejenak berpikir, Han Ping menyahut : “Ini...”

Pemuda itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Ting Hong sudah menarik
lengan bajunya : “Ciciku selalu tepat memperhitungkan sesuatu. Jika dia mengatakan tak
dapat menggunakan api, tentulah tak dapat . . . .”
Marahlah Heng Ciu : “Aku tak percaya sama sekali . . . .” ia merogoh korek dan
menyulut.
Tiba-tiba sesosok tubuh melayang di udara seraya berseru : “Suheng, berhentilah !”- si
pengemis muda yang rambutnya kusut masai, melayang di samping Heng Ciu.
Heng Ciu berpaling dan tertawa dingin : “Kemanakah suhu ?”
Pengemis muda itu tersipu-sipu memberi hormat kepada Heng Ciu : “Suhu sedang
melihat Au Bungkuk bertempur lawan Leng Kong siau”.
Heng Ciu meniup padam korek dan berkata dengan murka : “Saat perjanjian segera
tiba, mengapa dia masih mempunyai kegembiraan untuk melihat pertandingan. Hm,
kulihat dia memang sudah jemu hidup !”
Ucapan itu membuat Ca Giok dan kedua nona Ting terkesiap. Sedang Han Pingpun
gemetar. Diam-diam ia mendamprat : “Orang persilatan paling menjunjung tinggi kepada
gurunya. Tetapi dia malah seenaknya saja memaki gurunya sendiri. Suatu hal yang jarang
terdapat dalam dunia persilatan . . . .”
Pengemis muda itu hanya tertawa tawar : “Andaikata suhu mempunyai kesalahan,
tetapi tak selayaknya di depan sekian banyak orang, suheng menghinanya. Apalagi waktu
dari perjanjian itu masih belum saatnya . . . .”
“Hm, engkau berani memberi nasehat kepadaku ?” tiba-tiba Heng Ciu menampar muka
pengemis muda itu.
Melihat gerakan tangan Heng Ciu menimbulkan deru angin dahsyat, Han Ping menduga
pengemis muda itu tentu menghindar. Tetapi ternyata dugaannya itu meleset. Pengemis
muda itu tetap tegak di tempat dan menerima tamparan itu. Plak.... pengemis itu bergetar
tubuhnya dan mengisar dua langkah ke samping. Mulutnya berlumuran darah dan
bercucuran turun . . . .
Heng Ciu tertawa dingin : “Hm, rupanya engkau tahu aturan. Baik, kuberimu
keringanan takkan kutampar lagi !”
“Tata susila antara yang muda dengan yang tua, aku tak berani melanggar. Sekalipun
suheng membunuhku, akupun tetap tak mau membalas”, sahut si pengemis muda.
Tiba-tiba Heng Ciu marah lagi : “Bagus, engkau berani menyindir aku !”- Ia ayunkan
tangan menamparnya lagi.
Secepat kilat Han Ping melesat dan mencengkeram lengan Heng Ciu, serunya : “Harap
bicara dengan mulut, jangan dengan tangan !”

Heng Ciu sudah kenal kelihaian Han Ping. Jika pemuda itu sampai ikut campur, urusan
tentu menjadi runyam. buru-buru ia tertawa : “Apakah saudara hendak memintakan
ampun untuknya ?”
“Maaf, aku tak berani lancang mencampuri urusan dalam perguruan saudara. Tetapi
kumohon suka memandang mukaku dan jangan memukul sute saudara lagi . . .”
“Pengemis kecil ini tak pernah menerima budi orang. Urusan antara kami berdua
suheng dan sute, tak perlu orang lain campur tangan !” tiba-tiba pengemis muda itu
menyelutuk.
Han Ping tertegun : “Apa ? Apakah aku salah karena melerai itu ?”
Pengemis muda itu tertawa dingin : “Suheng memaki dan memukul aku, sudah
selayaknya. Siapa suruh engkau mencampuri urusan ini ?”
“Ho, rupanya engkau memang senang ditampar !”
Pengemis muda itu menengadah ke atas dan tertawa nyaring : “Aha, hal itu tergantung
dari aku si pengemis muda rela ditampar atau tidak !”
Heng Ciu mundur dua langkah. Rupanya ia menarik diri dari persoalan itu dan hendak
menjadi penonton saja.
Karena beberapa kali menerima ejekan pengemis muda itu, murkalah Han Ping : “Hm,
belum tentu hanya suhengmu saja yang dapat menampar mukamu !”
“Huh, aku tak percaya ! Siapakah yang berani menampar pengemis ini ?” pengemis
muda itu makin menantang.
Meluaplah darah Han Ping. Maju selangkah ia mengangkat tangan kiri dan secepat kilat
memukul dengan tangan kanan. Itulah salah sebuah jurus istimewa ajaran mendiang Hui
Gong taysu.
Pada saat tangan kiri Han Ping diangkat, secepat kilat pengemis muda itu hendak
menerkam pergelangan tangan Han Ping. Setitikpun ia tak menyangka bahwa Han Ping
akan menyusuli dengan pukulan tangan kanan. Dalam gugupnya, pengemis itu buang
tubuhnya mundur lima langkah.
Tetapi Han Ping tetap membayangi. Baru pengemis itu dapat berdiri tegak, Han
Pingpun sudah tiba. Mencengkeram bahu pengemis itu dengan tangan kiri, Han Ping
ayunkan tangan kanan menampar mukanya. Tetapi tiba-tiba ia menarik pulang tangannya
di tengah jalan . . . .
Sekalipun begitu, sekalian orang yang menyaksikan adegan itu, mengetahui bahwa Han
Ping telah memberi kemurahan pada pengemis muda itu. Tetapi tiada seorangpun yang
tahu, ilmu pukulan apa yang digunakan Han Ping untuk menampar itu. Diam-diam
merekapun mengakui. Andaikata ditampar dengan ilmu itu, mereka merasa tak mampu
menghindar lagi.
Sejak mengembara di dunia persilatan, belum pernah pengemis muda itu menerima
hinaan seperti saat itu. Ia terlongong-longong. . . .

Han Ping mundur dua langkah dan berpaling kepada kedua nona serta Ca Giok : “Kita
harus mencari daya untuk melintasi daerah berbahaya ini. Apakah kita akan mundur begini
saja ?”
Ca Giok kerutkan dahi berkata : “Alat-alat rahasia yang terpendam di daerah berbahaya
itu, hebat dan ketat sekali. Untuk membobolkannya kiranya hanya ada dua cara”
Atas permintaan Han Ping, Ca Giok menerangkan : “Menurut hematku, dalam dunia
persilatan dewasa ini, hanya ada seorang yang mahir tentang alat-alat rahasia itu. Sayang
orang itu jauh sekali tempatnya ...”
“Bukankah yang sau pohcu maksudkan itu si Penghitung sakti Nyo Bun giau, ketua
marga Nyo-ke-poh di Kimleng itu ?” Ting Ling menyelutuk tawa.
Ca Giok mengiakan : “Benar, kecuali orang itu, sukar kucari lagi orang yang mahir
tentang soal alat-alat rahasia !”
“Memang siapakah orang yang tak kenal akan kepandaian Nyo Bun giau tentang ilmu
itu ? Tetapi apakah kita harus pergi ke Kimleng mengundangnya ? Kalau begitu, tak usah
engkau katakan lagi !”
Ca Giok tertawa : “Jangan terburu nafsu, nona Ting. Aku belum bicara habis, untuk
memasang segala macam perkakas rahasia itu, lebih dulu tentu direncanakan dalam
bentuk gambar. Jika kita dapat memperoleh rencana gambar itu, mudahlah untuk
menghancurkannya !”
Ting Hong tertawa mengejek : “Jangankan kita tak tahu dimana letak rencana gambar
itu. Andaikata tahu bahwa misalnya gambar itu ditaruh di atas tingkat kedua dari gedung
itu, kalau kita tak mampu melintas kesana, tetap percuma saja. Kurasa cara yang engkau
sarankan itu juga tak dapat dilaksanakan !”
“Aku hanya mengemukakan cara-cara menghancurkan barisan musuh dan tak
menyinggung tentang dapat atau tidaknya cara itu dijalankan”, bantah Ca Giok membela
diri.
“Apakah tiada lain cara lagi kecuali harus memperoleh rencana gambar itu ?” tukas Han
Ping.
“Masih ada sebuah cara lagi”, sahut Ca Giok, “tetapi pun harus mencari pusat
penggerak alat-alat rahasia itu. Asal kita rusakkan pusat penggeraknya, seluruh alat-alat
rahasia tentu akan macet !”
“Ha, cara itu boleh kita coba”, Han Ping menyambut gembira, “Tetapi entah dimanakah
letak pusat penggerak itu ?”
“Menurut dugaanku, kemungkinan besar pusat penggerak alat-alat rahasia itu tentu
berada di atas tingkat kedua itu !” kata Ca Giok.
“Cobalah saudara hitung, berapa jauh jaraknya dari sini ke tingkat kedua itu.” kata Han
Ping.

Ca Giok mengatakan kalau di antara empat tombak lebih sedikit.
“Eh, apakah engkau hendak gunakan ilmu ginkang Teng-ping-tok-cui (naik alang-alang
melintasi air) melayang kesana ?” tanya Ting Ling.
“Kecuali dengan ilmu itu, apakah masih ada lain macam ilmu lagi ?” sahut Han Ping.
“Tetapi menilik gugurnya daun-daun pohon bunga tadi, di dekat alat-alat rahasia itu
tentu terdapat orang yang menggerakkannya. Sekalipun engkau memiliki ilmu sakti lari di
atas rumput, rasanya sukar juga untuk menghindari bahaya. Lebih baik kita mundur dulu
dan merundingkan rencana yang lebih sempurna. Mungkin kita dapat menemukan rencana
yang tepat dan besok malam kita serbu lagi !” kata Ting Ling.
“Tetapi kalau mundur, bukankah kita akan ditertawai mereka ? Harap saudara
membantu dari belakang sini, aku hendak mencobanya !” kata Han Ping.
Tiba-tiba pengemis muda yang terlongong-longong di samping tadi, maju selangkah
dan berkata : “Aku akan menemanimu !”
Han Ping merenung sejenak lalu mengiakan : “Baiklah . . .”
“Hai, mana bisa !” Ting Hong cepat menyelutuk, “Hati orang sukar diduga. Jangan
sampai engkau dicelakai orang secara menggelap. Lebih baik aku saja yang menemanimu
!”
“Aku seorang lelaki, mana mau mencelakai orang secara pengecut. Budak setan,
jangan mengukur baju orang dengan bajumu sendiri !” damprat si pengemis muda.
“Cis, pengemis busuk yang pura-pura suci, siapakah yang engkau maki sebagai budak
setan itu ?” teriak Ting Hong.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.
Nadanya nyaring memecah angkasa.
“Apakah jelek orang meminta nasi itu ? Rasanya lebih utama dari pada raja setan, putri
setan yang berlumuran kejahatan !” seru orang itu. Dan pada lain saat sesosok tubuh
melayang di belakang si pengemis muda.
Sekalian orang terkejut. Ternyata pendatang itu bukan lain adalah Pengemis sakti Cong
To.
Heng Ciu buru-buru maju memberi hormat : “Suhu . . . .”
“Sudahlah, saat ini masih kurang 3 hari dari waktu perjanjian. Harap menunggu,” seru
Cong To.
“Ah, murid tak berani lancang,” sahut Heng Ciu.
Cong To memandang kepada si pengemis muda. Tiba-tiba wajah pengemis sakti itu
memberingas, tegurnya : “Siapakah yang memukulmu ?”

“Harap suhu jangan marah. Murid dan sute tadi bergurau,” buru-buru Heng Ciu
menerangkan.
Cong To menengadah ke langit dan tertawa keras.
“Bagus, bagus, engkau memukul dengan bagus sekali. Ha, ha, memukul bagus sekali . .
. .” serunya dengan penuh hamburan nada kemarahan yang tertahan. Tetapi nada tertawa
itu makin lama makin rawan, makin menyayat hati.
Pengemis muda menghela napas panjang, ujarnya : “Harap suhu jangan murka.
Memang sudah selayaknya suheng memukul sampai dua kali kepadaku tadi.”
Cong To hentikan tertawanya. Sepasang matanya berkilat-kilat memandang Heng Ciu :
“Sudah 10 tahun aku tak melihatmu. Tentulah sekarang kepandaianmu jauh lebih maju !”
Walaupun dipandang sedemikian rupa oleh gurunya, tetapi tangannya Heng Ciu tak
gentar bahkan mengunjuk sikap yang angkuh. Ia balas tertawa dingin : “Ah, harap jangan
kelewat memuji. Mungkin masih kalah tinggi dengan sute.”
“Baiklah, kalian berdua cobalah menguji kepandaian, agar dapat kulihat siapa yang
lebih tinggi” kata Cong To.
“Waktu tiga hari itu, sebentar saja sudah akan tiba. Mengapa suhu masih mempunyai
selera untuk bermain mata,” kata Heng Ciu seraya mengeluarkan sebuah lencana emas
sebesar genggam tangan dan diacungkan ke atas.
Melihat lencana itu, serentak Cong To berlutut ke tanah. Si pengemis mudapun ikut
berlutut juga.
Sekalian orang terkejut. buru-buru mereka memandang ke arah lencana yang dipegang
Heng Ciu.
Sikap Heng Ciu makin congkak. Dengan tertawa sinis ia berseru : “Peraturan perguruan
Kim-pay-bun, apakah kalian masih ingat ?”
Cong To menghela napas.
“Murid telah menerima budi Kim Pay sucou yang besar. Mana berani menghina
perguruan sendiri dan melupakan budi itu,” serunya.
“Asal kalian masih ingat, cukuplah . . . .” kata Heng Ciu.
Tiba-tiba Ca Giok menyelutuk : “Dalam kata maupun tindak, harap saudara Ho suka
mengingat bahwa lencana emas itu hanya dapat mengikat anak murid Kim-pay-bun.
Tetapi lain orang tak percaya apa-apa !”
Rupanya Ca Giok kuatir, pemuda Ho itu akan menggunakan kesempatan itu untuk
memerintahkan Pengemis sakti Cong To menindak dirinya selaku balas dendam. Jika hal
itu terjadi, ia tentu celaka.
Heng Ciu tertawa gelak-gelak : “Anak murid Kim-pay-bun patuh sekali kepada perintah
Kim-pay ini. Setiap yang diperintahkan tentu akan dikerjakan sampai selesai . . . .”

Tiba-tiba serangkum angin menghembus. Tahu-tahu Ting Ling menyelonong hendak
merebut lencana emas di tangan Heng Ciu.
Kiranya nona itu juga mengandung pikiran yang sama seperti Ca Giok. Dia kuatir Heng
Ciu akan memerintahkan Cong To dan pengemis kecil itu untuk mencelakai dirinya. Maka
ia nekad hendak merebut lencana itu. Andaikata tak berhasil, pun sekurang-kurangnya,
dapat mendesak Heng Ciu agar tak sempat memberi perintah semacam itu lagi.
Heng Ciu terkejut, ia tak menduga akan diserang begitu rupa. Dalam gugupnya ia
turunkan tangan kanan yang mencekal lencana itu ke bawah untuk menghindari sambaran
Ting Ling. Tetapi Ting Ling bergerak cepat sekali. Walaupun Heng Ciu tepat bertindak
menyelamatkan lencana, tetapi tak urung siku lengannya tersambar ujung jari si nona.
Sakitnya bukan alang kepalang dan lencanapun hampir saja terlepas jatuh.
Luput menyambar, Ting Ling susuli pula dengan gerakan tangan kiri dan tendangan
kaki kanan. Ia mengarah dua buah jalan darah di tubuh Heng Ciu.
Heng Ciu mendengus dan menyurut mundur tiga langkah untuk menghindar.
Pada saat Ting Ling bergerak tadi, diam-diam Ca Giokpun sudah siap. Begitu Heng Ciu
mundur ke tepi padang rumput, cepat ia berteriak dan lepaskan sebuah hantaman.
Pukulan itu dilancarkan dengan perhitungan waktu yang tepat sekali. Jika Heng Ciu
mundur mundur lagi, tentu akan terjeblus dalam perkakas rahasia orang Lam-hay-bun.
Tetapi kalau berani menangkis, karena tak sempat mengerahkan tenaga dalam, tentu
celaka. Kalau tidak mati pasti akan terluka berat. Apalagi nanti Ting Ling, tentu akan
menyusuli dengan serangan berikutnya.
Pada saat maut hendak merenggut jiwa Heng Ciu, tiba-tiba Cong To menggeram dan
lepaskan pukulan untuk menggempur pukulan Ca Giok.
Pukulan Peh-poh-sin-kun yang dilepas Ca Giok itu, dilambari dengan sembilan bagian
tenaganya. Ia memang hendak melukai Heng Ciu syukur dapat menghancurkannya. Tetapi
karena dilanda dari samping oleh pukulan Cong To, Ca Giok terdorong ke muka. Dengan
demikian pukulannyapun mencong ke atas.
Melihat itu Ting Ling cepat lancarkan tiga kali serangan kepada Heng Ciu. Tetapi saat
itu Heng Ciu sudah longgar dan dapat menangkis serangan si nona. Sambil goyangkan
Lencana emas, berserulah pemuda itu : “Cong To, murid angkatan ke 12 dari Kim-paybun,
bersiaplah menerima perintah . . . .”
Mendengar itu, Ting Ling melengking dan menyerang dengan jurus Bunga mengebut
pohon.
Sambil menangkis dengan tangan kiri, Heng Ciu berteriak kepada Pengemis sakti Cong
To : “Lekas bertindak untuk melindungi Lencana emas dan cepat menghan . . . .”
Baru Ia berseru demikian, Ting Lingpun juga menyerangnya lagi sekaligus dua buah
jurus. Tangan kiri menusuk mata, tangan kanan menghantam dada.

“Cong To murid angkatan ke 12 dari Kim-pay-bun, dengan hikmat menerima perintah !”
Cong To berseru dan serempak loncat ke tengah Heng Ciu dan Ting Ling. Hanya perlahan
saja ia mendorong Ting Ling.
Melihat itu timbullah keinginan si nona untuk menjajal kesaktian Pengemis sakti yang
termahsyur itu. Setelah mengerahkan tenaga, ia balas mendorong dengan kedua
tanganrja.
Ketika dua buah tenaga saling berbentur, segera Ting Ling rasakan sesuatu yang tak
wajar. Sekalipun gerakan Pengemis sakti itu perlahan saja tampaknya, tetapi ternyata
memancarkan tenaga yang hebat sekali. Ia rasakan jantungnya berdetak keras. Buru-buru
ia loncat mundur. Karena Cong To memang tak niat mencelakainya, pula karena nona itu
cepat dapat menyadari bahaya, dapatlah ia terhindar dari akibat yang lebih hebat.
Heng Ciu tertawa dingin, serunya : “Murid perguruan Kim-pay-bun, paling taat pada
perintah lencana. Jika pemegang lencana dihina orang, sudah tentu murid Kim-pay-bun
tak boleh tinggal diam. Kuberimu waktu dalam 3 jurus, harus menghancurkan orang yang
berani merebut lencana tadi, sebagai hukuman dari tindakan mereka yang lancang !”
Seketika berobahlah wajah Cong To mendengar perintah itu. Ia berpaling kepada Heng
Ciu. Tetapi sebelum sempat bicara, Heng Ciu sudah mendahului mengayunkan Lencana
emas ke atas kepala dan berseru dengan marah : “Dalam 3 jurus jika tak mampu
membunuh orang itu, akan menerima hukuman menurut peraturan Kim-pay-bun”.
Kata-kata itu diucapkan dengan serius dan bengis. Dan anehnya, seorang tokoh
termahsyur seperti Pengemis sakti Cong To hanya tundukkan kepala menerima perintah
itu dengan menghela napas.
“Murid angkatan ke 12 dari Kim-pay-bun, dengan hikmat akan melaksanakan perintah
Kim-pay !” seru pengemis sakti terus mengangkat tangan kanan dan menghantam ke arah
Ting Ling.
Pukulan itu dilancarkan dengan tenaga penuh sehingga menimbulkan deru angin yang
menderu-deru hebat, mirip dengan ombak samudra dilanda angin prahara.
Han Ping terkejut dan cepat melindungi di muka Ting Ling, serunya : “Harap locianpwe
suka memberi kemurahan !”- Ia menangkis dengan tangan kanan.
Sekalian orang terkejut melihat kedahsyatan pukulan Cong To. Bahkan Ting Hong
menjerit dan memejamkan mata.
Tetapi dara itu dikejutkan oleh suara Han Ping yang tertawa nyaring dan berseru
memuji kedahsyatan tenaga Cong To. Buru-buru ia membuka mata. Ah, ternyata pemuda
itu tak kurang suatu apa. Dara itu menghela napas longgar.
“Cici apakah dia tak kurang suatu apa dalam menangkis pukulan pengemis itu ?”
tanyanya.
Ting Ling menghela napas perlahan, sahutnya : “Kulihat tenaga dalamnya hanya
terpaut sedikit di bawah Cong To . . . .”

Yang paling terkejut melihat peristiwa itu adalah Heng Ciu. Diam-diam ia memutuskan :
“Menilik usianya, pemuda itu masih muda tetapi sudah memiliki tenaga dalam yang
sedemikian hebatnya. Jika beberapa tahun lagi, dia tentu jauh lebih berbahaya dari
sekarang. Ah, lebih baik kusuruh Cong To untuk melenyapkannya agar jangan
menimbulkan bahaya dikemudian hari . . . .”
Segera ia mengacungkan lencana emas dan berseru : “Bunuh juga orang yang berani
melindungi perampas lencana itu !”
Cong To makin terkesiap. Ia sayang kepada Han Ping tetapi takut melanggar perintah
Kim-pay. Ia menghela napas. Tetapi akhirnya perlahan-lahan ia mengangkat tangan kanan
dan didorongkan ke muka dengan tenaga penuh.
Sekalipun dalam benturan tadi, Han Ping rasakan darahnya bergolak keras, tetapi ia
seorang pemuda yang berdarah panas berkepala keras. Tak mau ia unjuk kelemahan di
hadapan sekian banyak orang. Ia paksakan diri mengerahkan tenaga dalam untuk
menenangkan darahnya yang bergolak. Beberapa jenak kemudian ia dorongkan kedua
tangannya untuk menyambut serangan Cong To.
Pukulan Cong To itu tampaknya biasa saja. Tetapi sesungguhnya pukulan kedua Itu
jauh lebih keras dari pukulan yang pertama tadi. Ketika saling berbentur Han Ping tersurut
mundur dua langkah. . . .
Pengemis sakti Cong To kerutkan alis dan berseru nyaring : “Terimalah pukulan
pengemis tua yang ketiga. Jika engkau tak mati, biarlah aku yang menerima hukuman
perguruan !”
Ia menutup kata-katanya dengan lontaran pukulan. Pukulan itu dilambari dengan
seluruh tenaganya. Kedahsyatannya tak terperikan. Anginnya sampai menyambar pakaian
Ca Giok dan kedua nona Ting.
Han Ping benar-benar keras kepala. Ia tak mau menghindar dan menangkis dengan
kedua tangan didorongkan ke muka.
Desss . . tubuh Han Ping terlempar ke udara dan melayang jatuh beberapa meter
jauhnya.
Pengemis sakti Cong To menghela napas panjang, serunya : “Sudahlah, sudahlah.
Pengemis tua rela menerima hukunan perguruan. Tetapi juga kagum setulus hati !”
Perlahan-lahan pengemis sakti itu berputar tubuh dan memberi hormat ke arah Kimpay
: “Murid ke 12 dari Kim pay-bun, menyerahkan diri menerima hukuman !”
Heng Ciu mendengus dingin. Lencana disimpan kembali dan ia lari tinggalkan tempat
itu. Pengemis sakti Cong To dan pengemis kecil segera lari mengikutinya. Tak lama
mereka pun lenyap.
Setelah mereka pergi, barulah Ca Giok dan kedua nona itu segera menghampiri Han
Ping.

Han Ping tegak seperti patung. Wajahnya pucat seperti kertas. Ting Hong mengucurkan
airmata. Ketika ia menjamah pemuda itu, tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang
berseru mencegahnya : “Jangan !”
Ketiga orang itu berpaling ke belakang. Tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar
dan berwajah gagah berwibawa, tegak pada jarak lima langkah jauhnya.
Bahwa kedatangan orang itu sedikitpun tak mengeluarkan suara, benar-benar membuat
Ca Giok dan kedua nona itu tercengang-cengang.
Lelaki pendatang itu ternyata mengenakan pakaian kim-ih atau baju bersulam yakni
pakaian seragam dari penjaga gedung bertingkat itu.
Lelaki itu melangkah ke samping Han Ping, memandangnya beberapa jenak lalu berkata
dengan nada dingin kepada Ca Giok dan kedua nona : “Dia menderita luka dalam yang
parah. Sekalipun dapat disembuhkan tetapi paling tidak harus memakan waktu beberapa
hari. Demi memandang keadaannya, malam ini akan kuberi kelonggaran. Lekas kalian
tinggalkan tempat ini !”
Ting Ling tertawa dingin. Ia menepuk punggung Han Ping. Pemuda itu menguak dan
muntahkan segumpal darah segar ....
Ca Giokpun cepat menutuk jalan darah di perut Han Ping, lalu memanggulnya : “Kita
angkat kaki dari sini !” - terus melangkah pergl.
Kedua nona itupun segera mengikuti mengawal di belakang.
Baru beberapa langkah jauhnya, terdengar pengawal gedung tadi berteriak : “Berhenti
!”
Sambil membenam jarinya ke dalam bubuk Bi-hun-hun, Ting Ling berpaling : “Mengapa
? Apakah engkau menyesal ?”
Pengawal gedung itu melesat ke tempat ketiga muda mudi itu, tegurnya : “Apakah dia
terkena racun sengatan tawon ?”
Sejenak merenung, Ca Giok menyahut : “Benar, tetapi apa bahayanya seekor tawon
saja ? Apakah dapat membahayakan jiwa ?”
Sahut pengawal gedung itu dengan dingin : “Untunglah dia yang terkena, andaikata
engkau, hm, mungkin racun tawon itu sudah bekerja . . . .”
Ia mengeluarkan sebuah kantong dan mengambil botol batu kumala putih. Dituangnya
dua butir pil berwarna hitam lalu : “Dua butir pil ini, khusus untuk mengobati segala
macam racun. Sebelum engkau obati, berilah dia minum pil ini.”
Ting Hong menyambuti pil itu : “Bagaimana jika pil ini bukan obat pemunah racun . . .
.”
“Jika tak percaya, jangan diberikan kepadanya !” teriak pengawal itu dengan murka lalu
berputar tubuh dan melangkah pergi.

Kuatir Ting Hong akan menyelutuk lagi, buru-buru Ca Giok mendahului : “Memang
dalam dunia persilatan terdapat tata susila yang melarang orang mencelakai orang yang
sudah terluka. Harap nona jangan curiga lagi,” - ia terus lanjutkan langkah.
Ting Ling pun suruh adiknya menyimpan pil itu baik-baik.
Pengawal gedung itu ternyata memegang janji. Kira-kira dua tiga tombak jauhnya,
terdengar suara suitan berbunyi nyaring. Hutan pohon bunga yang penuh dengan
penjaga-penjaga itu, tiada seorangpun yang bergerak merintangi perjalanan mereka.
Setelah keluar dari tempat itu, mereka berhenti di dalam sebuah lembah. Tempat itu
kira-kira tiga li jauhnya.
Han Ping dibaringkan di tanah dan mulailah Ca Giok mengurut-urut tubuh pemuda itu.
Setelah dapat duduk, Han Ping menghela napas : “Pukulan pengemis tua itu telah melukai
organ dalam tubuhku. Lukanya cukup parah, mungkin tak dapat sembuh dalam waktu
yang singkat. Kalian . . . .”
Ia berhenti sejenak lalu : “Jika saudara Ca dan nona berdua mempunyai lain urusan
yang penting,silahkan. Tak perlu mengurusi diriku,” habis berkata Han Ping menggeliat
bangun dan hendak pergi.
Ting Hong buru-buru mencegahnya : “Lukamu begitu berat, hendak kemana engkau ?”
Han Ping deliki mata dan menyahut dingin : “Apa pedulimu ? Minggirlah !” - Ia
menyiak.
Ting Hong tahu pemuda itu tinggi lwekangnya. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam
untuk menangkis.
Ternyata dalam keadaan terluka saat itu tenaga dalam Han Ping masih belum kembali.
Tenaga dorongan itu hanya tenaga luar, sedang tenaga tangkisan Ting Hong
menggunakan tenaga dalam. Seketika tubuh pemuda itu bergetar dan terdampar ke
belakang sampai tiga langkah dan jatuh terduduk. Huak . . . beberapa kali ia muntah
darah ....
Plak . . . . Ting Ling menampar pipi adiknya dan mendamprat : “Budak hina, mengapa
engkau menggunakan kekuatan sungguh-sungguh !”- Ting Ling terus melesat ke samping
Han Ping dan berjongkok.
Ting Hong menangis : “Ah, aku lupa kalau dia sedang menderita luka dalam ...”- dara
itupun cepat menghampiri ke samping Han Ping dan bertanya dengan tergugu : “Apakah
engkau terluka ?”
Han Ping menggeliat bangun. Sambil mengusap mulutnya yang berdarah ia tertawa :
“Aku tak menyalahkan engkau !”- Ia terus berputar tubuh dan melangkah ke muka.
Ting Ling terkesiap : “Harap berhenti dulu, saudara Ji. Dengarkanlah aku hendak bicara
sedikit !”
“Saudara terluka berat. Jika memang mau pergi, lebih baiklah kalau menyalurkan darah
dulu”, seru Ca Giok.

Han Ping berpaling : “Rasanya tak perlu, aku masih kuat bertahan. Apakah yang
saudara berdua hendak mengatakan kepadaku ?”
Ting Ling menghela napas : “Adalah karena hendak melindungi aku maka engkau
terluka oleh pukulan pengemis tua itu. Dengan pergi begitu saja, bagaimanakah perasaan
hatiku ?”
Hari Ping tertawa hambar : “Harap nona tak usah pikirkan hal itu. Memang demikianlah
watak hidupku. Jika belum mati, kelak kita pasti akan berjumpa lagi. Tak perlu saudara
memikirkan diriku dan menelantarkan urusan penting !”
Kata Ca Giok : “Baru beberapa hari berkenalan, rasanya hubungan kita sudah seperti
sahabat lama. Tak peduli bagaimana pandangan saudara kepada diriku, tetapi aku
mengagumi sekali pribadi saudara. Sekalipun karena perangai saudara tak suka menerima
pertolongan orang, tetapi dalam keadaan terluka berat saudara hendak pergi itu, benarbenar
membuat hatiku tak enak sekali . . . .”
Tiba-tiba dari tempat gelap tak jauh di sebelah samping mereka, terdengar orang
menyelutuk : “Aha, benar-benar tak menyangka kalau Ca Cu jing mempunyai seorang
putra yang begitu baik hati. Sungguh membuat aku si orang tua kepingin sekali !”
Ca Giok kenal siapa orang itu. Ia tertawa murka : “Apakah itu bukan Leng locianpwe !”
Terdengar suara tertawa macam tambur pecah. “Benar, ternyata engkau kenal
suaraku.” sesaat muncullah seorang lelaki kate yang berwajah panjang tirus. Sepasang
matanya berkilat-kilat tajam. Ia menghampiri Han Ping dan ketiga pemuda kawannya.
ltulah Leng Kong-siau, salah seorang tokoh dari ketiga Manusia racun Lembah Seribu
racun !
Ting Ling cepat melesat ke muka Han Ping, dan memberi hormat “Paman Leng, Ling ji
menghaturkan hormat !”'
Leng Kong-siau batuk-batuk dua kali, tertawa : “Ah, kelewat menjunjung. Bilakah
engkau begitu menaruh hormat kepada pamanmu Leng ini ?”
Ting Ling tertawa : “Dalam dunia persilatan, Siapakah yang tak tahu akan persahabatan
antara Lembah Raja setan dengan Lembah Seribu racun ?”
Wajah Leng Kong-siau berobah gelap. Dengan tertawa dingin Ia menyahut : “Setiap
orang mengatakan bahwa cerdas sekali, banyak akal kaya muslihat. Rasanya hal itu
memang benar. Asal terhadap paman Leng ini, jangan engkau terlalu banyak memberi
bubuk obat !”
Ting Ling tertawa : “Dalam wilayah Kanglam sampai ke Kangpak, siapakah yang tak
....”
Leng Kong-siau menukas dengan tertawa gelak-gelak : “Percuma engkau merangkai
pujian setinggi langit, karena pamanmu Leng ini tetap takkan terkecoh. Nama Tiga
manusia beracun, masakan hanya gelar kosong doang ? Minggirlah !”

Dengan matanya yang tajam dapatlah Ca Giok menerka bahwa Leng-Kong-siau hendak
menindak Han Ping. Diam-diam pemuda itu menimang : “Kepandaian manusia tua
beracun ini, tiada yang menandingi. Jika dia benar-benar hendak membunuh Han Ping,
pemuda itu tentu takkan lolos. Pemuda itu memang aneh tabiatnya. Sebentar bersikap
angkuh, sebentar bersikap perwira. Wataknya sukar diduga, sukarlah kupakai tenaganya.
Lebih baik kubiarkan si tua beracun itu mengakhiri jiwanya. Biarlah kedua budak
perempuan itu menubruk bayangan kosong”.
Dengan pertimbangan itu, ia sengaja membisiki Han Ping supaya pemuda itu
menyalurkan tenaga dalam : “Kemungkinan akan terjadi pertempuran dahsyat”, ujarnya.
Sekalipun hanya dengan bisik-bisik tetapi telinga Leng Kong-siau yang tajam tetap
dapat menangkap pembicaraan itu.
Belum Han Ping menyahut, tiba-tiba Ting Ling tertawa mengikik : “Sungguhpun paman
Leng sudah kenal dengan kami berdua taci beradik, tetapi kami benar-benar belum
mengetahui kedudukan paman dalam Lembah Seribu racun. Entah jatuh pada urutan
nomor berapakah paman Leng ini ?”
Pertanyaan itu membuat Leng Kong-siau tertegun heran. Ia benar-benar tak tahu apa
yang dimaksud si nona dengan mengajukan pertanyaan semacam itu, tanyanya : “Perlu
apa engkau tanyakan hal itu ?”
Ting Ling tertawa : “Tiada seorangpun dari Lembah Seribu racun yang tidak beracun.
Tiada seorangpun dari Lembah Raja setan yang tidak seperti setan. Jika paman Leng
berani menjawab pertanyaanku, kutanggung paman tentu menyadari gelagat dan
tinggalkan tempat ini.”
Leng Kong siau merenung sejenak, tertawa : “Benarkah begitu ? Aku ingin coba-coba.
Dengarlah, aku termasuk dalam urutan nomor dua. Benarkah engkau mempunyai akal
setan yang hebat ?”
“Ih, kiranya paman kedua Leng,” Ting Ling tertawa.
“Ah, ah, jangan menyanjung !”
“Entah berapakah usia paman tahun ini ?” tanya si nona pula.
Leng Kong siau kerutkan alis dan membentak marah : “Budak setan, siapa sudi
meladeni bicara seperti itu ! Lekas menyingkir, jangan sampai membakar kemarahanku.
Hm, apa engkau tak sayang batok kepalamu akan kupisahkan dari lehermu !”
Namun Ting Ling tetap ganda tertawa : “Seluruh orang persilatan tahu bahwa lembah
Seribu racun itu mahir dalam ilmu meramu racun. Tetapi sedikit sekali orang yang tahu
bagaimana riwayat asal usul kepandaian kaum Lembah Raja setan itu !”.
Mendengar Itu tanpa disadar, tertariklah hati Leng Kong-siau. Dan bertanyalah ia
serentak : “Umurku sekarang 64 tahun. Dilahirkan pada bulan 7 tanggal 3, biar engkau
tahu semualah dan jangan bertanya-tanya lagi !”
“Ai, hari lahir paman hanya terpaut lebih dulu dua hari dari hari jadi Lembah Seribu
racun. Rupanya hawa setan tidak berat tetapi juga tidak ringan. . . .”

Sudah tentu Leng Kong-siau segera menyadari bahwa dirinya hendak dipermainkan
nona itu yang mengoceh tak keruan. Rupanya nona itu tentu hendak main siasat mengulur
waktu.
Sambil melangkah maju ia membentak : “Jangan ngoceh tak keruan seperti setan !
Awas, berani mempermainkan aku, tentu kubunuhmu dulu !”
Ting Lingpun tahu bahwa cara bermain siasat mengulur waktu seperti itu tentu tak
dapat mengelabui Leng Kong siau. Tetapi betapapun ia harus melanjutkan siasat mengulur
waktu itu beberapa saat lagi.
Dengan tenang ia tertawa : “Jangan marah, paman Leng. Malam ini hendak
kupersembahkan kepadamu cara memanggil arwah !”
“Jangan ngaco belo ! Siapa sudi percaya di dunia benar-benar terdapat kepandaian
semacam itu !” bentak Leng Kong-siau.
Melihat siasatnya tak mempan, guguplah Ting Ling. Ia tampil selangkah ke muka Leng
Kong-siau, serunya : “Jika paman kedua Leng tak percaya hal itu, jangan marah kalau aku
berlaku kurang hormat !”
Leng Kong-siau ayunkan tangan kiri, lepaskan hantaman ke arah Ting Ling. Untunglah
Ting Ling sudah siap. Ia selalu memperhatikan setiap gerak gerik orang. Tahu bahwa
hantaman itu dilambari tenaga dalam yang hebat, ia tak berani menangkis melainkan
mundur dua langkah.
“Karena paman Leng menekan sekali, terpaksa aku berlaku kurang hormat, “serunya
seraya ayunkan tangan kanan ke udara untuk menarik perhatian Leng Kong siau. Dan
serempak dengan itu tangan kiri merogoh obat bubuk dari bajunya.
Sekonyong-konyong terdengar suara suitan panjang memecah angkasa. Dan pada lain
kejap, sesosok bayangan melesat tiba. Tepat pada saat tangan Ting Ling diturunkan,
orang itupun sudah tiba di hadapan Leng Kong siau. Berpakaian serba hitam, wajahnya
contrang contreng mirip setan. Tegak di hadapan Leng Kong-siau tanpa berkata.
Kemunculan orang itu tak saja membuat Leng Kong-siau terkejut, pun Ting Ling juga
tersirap kaget. Tetapi nona itu cepat dapat mengembalikan ketenangannya.
“Tak peduli pendatang ini kawan atau Iawan, yang penting apabila perlu, aku harus
mengajak Ca Giok dan adik Hong untuk mengenyahkan Leng Kong-siau,” diam-diam ia
memutuskan dalam hati.
Setelah menentukan rencana, Ia tertawa dingin : “Dalam dunia yang begini luas, segala
keanehan tentu dapat terjadi. Paman Leng sekarang tentu percaya omonganku tadi.
Leng Kong siau menengadahkan kepala dan tertawa gelak-gelak, serunya : “Dalam
sepanjang hidupku, pernah melihat segala macam manusia. Tetapi tak pernah melihat
bangsa setan siluman. Bahwa kali ini dapat berhadapan muka, benar-benar suatu
pengalaman yang menyenangkan sekali !”
la menutup kata-katanya dengan hantamkan tangan kanannya ke dada orang aneh itu.

Ting Ling tahu kelihaian tokoh Lembah Seribu racun itu. Ia cemas orang aneh itu akan
binasa di bawah tangan Leng Kong-siau. Cepat ia hendak membantu. Tetapi orang aneh
itu mendahului dengan memutar tubuh menghindar beberapa langkah dan secepat kilat
tangannya mencengkeram bahu Leng Kong-siau.
Ting Ling tertegun menyaksikan gerakan orang yang amat cepat sekali. Terpaksa ia
tunda tindakannya memberi bantuan.
Leng Kong-siau miringkan tubuh ke samping seraya balas menyambar pergelangan
tangan orang aneh itu . . . .
Jilid 8 Lencana Emas Perguruan Kim Pay Bun
Bagian 14
Lencana emas.
Gerakan orang aneh itu memang aneh. Perobahannyapun sukar diduga. Pada saat Leng
Kong siau balas mencengkeram, orang aneh itupun sudah merobah cengkeramannya
menjadi gerak menebas.
Setelah dapat menghindari cengkeraman, jari orang aneh itu cepat menutuk ke bahu
Leng Kong siau.
Diam-diam Leng Kong siau terperanjat. Ia menengok ke belakang dan mundur tiga
langkah, bentaknya : “Menyembunyikan muka menyaru seperti setan, bukanlah tingkah
seorang jantan. Jika tak mau mengunjuk diri, jangan salahkan aku, Leng loji ini akan
menurunkan tangan ganas !”
Tetapi orang aneh itu tak menggubris. Tegak di samping, ia berdiam diri. Dalam
kegelapan malam, benar-benar menyerupai setan jejadian.
Leng Kong siau makin marah, bentaknya : “Benarkah engkau ini setan? Masakan aku
takut !”- majukan langkah, ia menabur orang itu dengan serangan gencar. Tiga buah
pukulan dan dua kali tendang, dihamburkan.
Leng Kong siau adalah tokoh yang sudah lama termahsyur di dunia persilatan.
Serangan yang berlambar kemarahan itu, dilancarkan dengan dahsyat dan cepat. Dan
yang diarah adalah jalan darah lawan.
Tetapi orang aneh itu tampaknya tak terkejut. Tubuhnya bergeliatan ke kanan kiri. Tiga
pukulan dua tendangan dari Leng Kong siau itu, dapat dihindarkan semua !
Ca Giok yang menyaksikan pertempuran itu, mendapat kesan bahwa kepandaian orang
aneh itu tidak di bawah Leng Kong siau. Paling tidak berimbang. Tentu dapat melayani
Leng Kong siau sampai 100an jurus. Diam-diam pemuda licin itu menimang. Jika ia
bersama kedua nona Ting, menempur Leng Kong siau, tidaklah sukar untuk mengalahkan.
Cepat pemuda itu menetapkan rencana. Ia harus memanfaatkan situasi malam itu
untuk melenyapkan Leng Kong siau . . . .

Ca Giok seorang pemuda yang kuat menahan perasaannya. Sekalipun hatinya penuh
nafsu pembunuhan tetapi sikapnya tetap tenang sekali. Ia membisiki Han Ping supaya
berhati-hati menjaga diri. Setelah itu ia maju dua langkah ke samping kedua tokoh yang
sedang bertempur itu. Diam-diam kerahkan tenaga dalam, siap untuk dilancarkan setiap
saat. Namun untuk menghapus kecurigaan, ia tetap mengulum senyum seperti tak terjadi
apa-apa. Matanya memandang kian kemari sehingga orang tak mengetahui keadaannya.
Tiga kali serangannya dapat digagalkan si orang aneh, Leng Kong siau tetap belum
mengetahui dari aliran partai persilatan manakah orang aneh itu. Diam-diam ia terkejut :
“Kepandaian orang ini memang hebat. Sekalipun bukan tandinganku, tetapi sukar juga
untuk mengalahkannya dalam waktu singkat. Kedua budak perempuan dari Lembah Raja
setan itu walaupun tak seberapa lihai, tetapi mereka mahir menggunakan tipu siasat. Dan
ilmu pukulan Peh-poh-sin-kun dari marga Ca, termahsyur sekali. Jika mereka bersatu
menggempur aku, sungguh berat sekali . . . .”
Dengan perhitungan itu, segera Leng Kong siau mundur beberapa langkah dan tertawa
gelak-gelak.
“Masakan aku mempunyai waktu untuk main-main dengan kalian anak-anak muda ini !”
berputar tubuh, ia terus melangkah pergi.
Ca Giok memberi hormat dan tertawa nyaring : “Bagaimana ? Apakah locianpwe begitu
saja hendak pergi ?”
Leng Kong siau berhenti dan berpaling. Belum sempat ia membuka mulut, Ting Ling
sudah mendahului tertawa : “Aku ingin menghaturkan selamat jalan kepada paman Leng .
. . .”
Kerja sama rangkaian kata-kata yang diucapkan Ting Ling dan Ca Giok itu, membuat
Leng Kong siau maju mundur serba salah. Sebagai seorang tokoh tua dalam dunia
persilatan, kedudukannya cukup tinggi. Jika malam itu sampai diejek oleh anak-anak saja,
benar-benar ia akan kehilangan muka. Bila hal itu sampai tersiar di luaran bukan saja akan
merugikan nama Tiga manusia racun, pun tentu menjadi buah tertawaan orang.
Terlintasnya renungan itu, cepat membakar lagi api kemarahannya. Ia tertawa dingin
lalu berseru sinis “Apakah kalian suka mengantar aku ?”
Dalam pada berkata-kata itu, diam-diam Leng Kong siau kerahkan tenaga dalam, siap
dilancarkan setiap saat.
Ca Giok berpaling ke arah orang aneh itu. Dilihatnya orang itu berdiri diam. Diam-diam
pemuda itu memperhitungkan : “Jika orang itu tak ikut turun tangan, sekalipun aku dan
kedua nona itu bersatu, mungkin masih sukar mengalahkan si Tua beracun itu.
Segera ia tersenyum, ujarnya : “Locianpwe adalah sahabat ayahku. Seharusnya aku
mengantar locianpwe. Tetapi sayang, aku masih mempunyai lain urusan penting dan
terpaksa tak dapat menghormat perjalanan locianpwe”.
Karena mengetahui orang aneh itu tampaknya takkan menyerang Leng Kong siau,
buru-buru Ca Giok beralih nada. Ia setengahnya meminta agar Leng Kong siau segera
pergi saja. Agar jangan menimbulkan kesulitan yang tak diinginkan.

“Bagus, bagus !” Leng Kong siau tertawa gelak-gelak, “kalau ketemu ayahmu,
sampaikan salamku - ia berputar tubuh dan melangkah perlahan-lahan, lenyap dalam
kegelapan malam.
Setelah Leng Kong siau pergi, barulah Ting Ling memandang ke arah orang aneh yang
mukanya bercontrengan itu. Ia memberi hormat : “Atas bantuan saudara, kami taci
beradik menghaturkan terima kasih . . . .”
Tiba-tiba orang aneh itu loncat dua tombak jauhnya. Begitu menginjak tanah terus
ayunkan tubuh lagi loncat ke dalam kegelapan.
Kedatangan orang itu secara tak terduga-duga, kepergiannyapun mendadak. Tanpa
mengucap sepatah kata, tanpa menghiraukan terima kasih Ting Ling, ia terus
melenyapkan diri. Sampaipun Ting Ling yang biasanya cerdas, saat itu benar-benar tak
dapat mengetahui arah menghilangnya orang itu . . . .
“Cici, mengapa dia lenyap ?” tanya Ting Hong.
Ting Ling tersadar dari keterlongongannya. Dia gelagapan : “Apa ?”- ketika memandang
ke empat penjuru, ternyata Han Pingpun tak tampak lagi.
Kiranya ketika Ca Giok dan kedua nona itu tengah menumpahkan perhatiannya kepada
Leng Kong siau dan si orang aneh, diam-diam Han Ping telah menyelinap pergi.
Ca Giok menghela napas, ujarnya “Orang itu memang angkuh wataknya. Tak mau
menerima budi orang. Karena dia memang hendak menyingkiri kita, sekalipun kita
mencarinya, pun akan sama saja sikapnya !”
Ting Ling merenung sejenak : “Sau pohcu benar, jika dia tak mau bersama kita,
percumalah kalau kita mencarinya !”
“Tetapi cici, dia sedang terluka parah”, Ting Hong berseru cemas. Tetapi cepat Ting
Ling mengejapkan matanya kepadanya : “Tak apalah. Kalau dia tak mau bersama kita,
habis, apa daya kita ?”
Ting Hong selalu mengindahkan tacinya. Mendengar kata-kata Ting Ling begitu, iapun
tak berani membantah lagi.
Ca Giok memberi hormat dan menyatakan hendak minta diri. Setelah pemuda itu pergi,
Ting Ling segera mengajak adiknya lari melanjutkan perjalanan. Kira-kira belasan tombak
jauhnya, mereka berhenti.
“Apakah engkau sungguh-sungguh hendak mencarinya?'' tanya Ting Ling kepada
adiknya.
“Tetapi sekarang kemanakah hendak mencarinya, ah . . . .” Ting Hong menghela
napas.
Ting Ling membelai-belai rambut adiknya dan menghiburnya dengan tertawa : “Adikku,
janganlah engkau marah kepadaku. Bilakah taci pernah mencelakaimu dan

membohongimu ? Tadi terpaksa kutampar mukamu, pun juga demi kepentinganmu.
Apakah engkau masih marah ?”
Ting Hong tertawa rawan : “Ah, masakan aku berani kepada taci . . . .”
Ting Ling menghela napas : “Banyak orang mengatakan bahwa aku, seorang taci yang
julig. Kerap kali membohongimu. Maka memang tak dapat dipersalahkan jika engkau
menaruh kekuatiran kepadaku. Padahal kita ini saudara sekandung. Bahwa sebagai taci
aku tak dapat merawatmu, masakan aku masih tegah untuk menipumu. Memang ada
kalanya kumaki dan bahkan di hadapan orang kutampar mukamu, tetapi kesemuanya itu
demi kebaikanmu, Biarlah tacimu ini yang dianggap galak dan engkau lebih lemah lembut .
. . .”
Bicara sampai disitu, Ting Ling mengucurkan beberapa butir airmata. Tubuhnya agak
getar seperti orang yang menahan kesedihan.
Belum pernah Ting Hong mendapatkan tacinya yang keras itu menangis di hadapannya
seperti saat itu, buru-buru ia memegang tangan Ting Ling : “Cici jangan banyak pikiran.
Tak nanti aku mengandung hati dendam kepadamu . . . .”
Dara itu benar-benar tak tahu apa sebab tacinya tiba-tiba menangis itu. Setelah
menangis beberapa saat, Ting Ling mengusap airmatanya dan tertawa : “Asalkan engkau
sudah tahu bagaimana perasaanku menyayang kepadamu, sekalipun aku menderita
sedikit, tetapi hatiku girang”
“Ah, memang kutahu kalau cici sayang kepadaku”, Ting Hongpun tertawa. Tetapi diamdiam
dara itu masih ingat bagaimana Ting Ling telah memaki dan menamparnya di
hadapan Han Ping.
“Hm, bukan engkau tetapi akulah yang menderita . . . .” dengus Ting Hong dalam hati.
Ting Ling menghela napas, serunya : “Budak tolol, apakah engkau benar-benar tak
mengerti ?”
Ting Hong gelengkan kepala : “Aku . . . . aku memang tak begitu mengerti maksud
cici”.
Ting Ling tertawa rawan : “Sudahlah, jangan memikir lagi. Kelak kalau engkau
berjumpa dengan Ji Han Ping, tentu mengerti sendiri !”
“Ci, aku semakin tak mengerti !”
“Memang orang limbung paling beruntung. Jika engkau sepandai tacimu, mungkin
engkau akan menderita”'. Ting ling mencekal tangan adiknya diajak ke lereng gunung
yang agak gelap, “Lekas sembunyi, Han Ping segera akan keluar !”
Sekalipun tak mengerti maksudnya, karena percaya kepada tacinya, Ting Hong terus
bersembunyi di belakang tacinya.
Tak berapa lama, dari arah kegelapan muncul sesosok tubuh orang yang berjalan
perlahan-lahan menuju ke utara.

Ketika mengawasi dengan seksama, Ting Hong tersirap kaget. Orang itu memang Han
Ping.
“Cici, mengapa engkau tahu dia belum pergi ? Mari kita mengejarnya !” bisiknya.
“Jangan keburu bergirang dulu. Jika dia mengetahui kita, dia tentu akan menghindari
lagi !” kata Ting Ling.
“Lalu bagaimana ? Apakah kita biarkan saja dia berlalu ?” tanya Ting Hong.
Ting Ling tertawa : “Apa yang hendak engkau kejar ? Budak perempuan yang sudah
berumur 17 an tahun, mengapa engkau tak malu mengucap begitu ?”
Merahlah muka Ting Hong, bantahnya : “Dia telah menolong jiwamu, masakan engkau
sampai hati tak menghiraukannya ?”
Ting Ling tertawa : “Siapa bilang tak menghiraukan ? Kita ikuti saja dari kejauhan dan
lihat saja hendak kemana dia itu”.
“Benar, nanti apabila dia sudah rubuh, baru kita tolong,” seru Ting Hong dengan
tertawa dan terus mendahului ayunkan langkah.
Setelah diam-diam meninggalkan Ca Giok dan kedua nona Ting, Han Ping
menyembunyikan diri dalam kegelapan. Ia tahu kalau terluka parah, jika berjalan tentu
mudah ketahuan.
Kedua nona itu tahu pula bahwa Han Ping lebih sakti dari mereka. Alat pendengaran
pemuda itu tajam sekali. Mereka tak berani mengikuti secara dekat.
Tetapi persangkaan itu salah. Karena saat itu Han Ping benar-benar terluka parah
sekali. Akibat dari hantaman si Pengemis sakti Cong To tenaga murninya telah
berhamburan tetapi untunglah kesadaran pikirannya masih cukup terang. Ia berjalan
terhuyung-huyung kian kemari seperti orang mabuk. Ia tak mengetahui bahwa di
belakangnya diikuti kedua nona Ting.
Setelah melintasi sebuah puncak bukit, tibalah ia di sebuah kuil gunung. Saat itu
lukanya semakin berat, Darahnya makin panas, kedua kakinya serasa tak dapat
digerakkan lagi. Akhirnya ia harus menyerah dan beristirahat. Dengan langkah sarat ia
paksakan diri masuk ke dalam kuil itu, jika tak dapat menyembuhkan lukanya, biarlah ia
mati disitu.
Karena pikirannya mulai limbung maka apa yang dikandung dalam hati itu tanpa
disadari, diucapkan dengan mulutnya, Untung kata-kata itu tak terdengar oleh kedua nona
yang mengikuti dari jauh. Sekalipun begitu ketika melihat Han Ping masuk ke dalam kuil,
kedua nona itu segera pesatkan langkahnya untuk menyusul, cepat sekali Ting Hong
loncat ke belakang Han Ping. Ketika ia ulurkan tangan hendak menyambar tangan Han
Ping, tiba-tiba ia ditarik orang.
Ting Hong tak mau berpaling karena tahu yang mencegah itu tentulah tacinya sendiri.
Ia mundur dua langkah dan miringkan kepala memandang tacinya : “Cici . . . .”

Ting Ling gelengkan kepala memberi isyarat supaya Ting Hong jangan bicara.
Kemudian menarik adiknya ke samping di tempat gelap.
Pendengaran Han Ping sudah tak tajam lagi. Ia tak dapat mendengar gerak gerik kedua
nona yang mengikuti di belakang. Dengan mendekap dada ia melangkah terhuyunghuyung
ke dalam biara.
Kuil itu, sebuah kuil tua yang sudah rusak. Penuh ditumbuhi rumput tinggi. Di waktu
malam keadaannya makin menyeramkan.
Dengan kerahkan sisa tenaganya, Han Ping lari ke dalam ruang kuil. Huak . . . . ia
muntah darah dan rubuh tak sadarkan diri.
Dia rubuh di depan meja sembahyangan. Darahnya menyembur ke arah arca yang
rusak. Dan ketika rubuh, tubuhnya menghantam meja terus terkapar ke belakang meja
itu.
Entah berapa lama ia dalam keadaan pingsan, tetapi ketika membuka mata, ia rasakan
mukanya tersiram air dingin. Berulang kali ruang kuil itu terpancar oleh pancaran kilat dan
deru dari guruh di angkasa.
Kiranya malam itu hujan turun dengan lebat. Karena atap kuil banyak yang tiris, airpun
masuk ke dalam dan mencurah ke muka Han Ping. Kini pikiran pemuda itupun sadar lagi.
Setelah mendapat penyaluran tenaga murni dari mendiang Hui Gong taysu,
sesungguhnya tenaga murni Han Ping itu mempunyai dasar yang kokoh sekali. Adalah
karena setelah terluka tak mempunyai kesempatan untuk beristirahat, maka lukanya
makin berat. Kini setelah beristirahat, karena pingsan tadi, darahnya yang bergolak itupun
mulai tenang dan kesadaran pikirannya bertambah. Ia menggeliat duduk.
Suasana kuil yang sunyi dan seram, membangkitkan kenangan Han Ping. Ia teringat
akan kematian kedua orangtuanya, gurunya yang merawatnya sampai dewasa dan paderi
Hui Gong yang telah menurunkan ilmu kesaktian. Kepada merekalah Han Ping merasa
berhutang budi. Dan kepada merekalah ia telah dibebani hutang darah yang harus
diimpaskan semua . . . .
Tiba pada kesimpulan lamunan itu, tersiraplah hatinya seketika. Diam-diam ia
menimang : “Ji Han Ping, Ji Han Ping ! Bagimu sendiri, mati itu memang tak penting.
Tetapi bagaimana dengan dendam sakit hati orangtuamu ? Dan bagaimana pula janjimu di
hadapan Hui Gong taysu tempo hari ? Walaupun beliau tak mengucapkan dengan jelas,
tetapi engkau tentu sudah mengetahui apa yang dimaksudkannya Betapa besarlah
harapan dari orang tua dan Hui Gng taysu yang diletakkan pada bahumu ! Mengapa
engkau begitu pengecut hendak menghindari tanggung jawab dengan jalan mati secara
sia-sia begini . . . .”
Mengenangkan hal itu, seketika lenyaplah keputus-asaan Han Ping. Gelora hidup
menyala pula dalam hatinya !
Ia menenangkan hati dan mulailah ia memikirkan daya untuk hidup. Berkat pikirannya
yang cerdas, dengan cepat ia teringat akan ajaran Hui Gong taysu tentang Tat-mo-ih-kinkeng.
Mulailah ia mengingat dan menghafalkan apa yang diajarkan Hui Gong taysu.

Tat-mo-ih-kin-keng merupakan sebuah kitab pusaka tentang ilmu silat sakti. Selain luas
isinya, pun sastra yang digunakan, amatlah dalam sekali artinya.
Setalah merenung keras, barulah Han Ping teringat akan bagian pelajaran untuk
mengobati sendiri luka yang dideritanya. Tetapi pengobatan itu memerlukan waktu tiga
hari dan harus dijaga oleh tokoh-tokoh sakti. Karena kalau sewaktu melakukan
pengobatan itu diganggu musuh, tentu akan celakalah.
Kuil itu rasanya tepat sekali. Sunyi dan seram. Hanya sayang tak ada yang jaga. Karena
sekali melakukan pengerahan tenaga untuk mengobati itu, tiga hari tiga malam sukarlah
pengerahan itu dihentikan. Sekali ada seorang musuh muncul, tak mungkin lagi ia
melawan.
Sejenak Han Ping bersangsi. Tetapi hasrat untuk hidup lebih menyala keras. Dan ia
merasa tak banyak mempunyai musuh. Tanpa banyak pikir lagi, Han Ping segera duduk
bersila dan mulailah ia menyalurkan tenaga dalam menurut ajaran Hui Gong taysu.
Seketika ia rasakan tenaga murni mulai mengumpul dan hawa hangat mulai merangsang
ke dada lalu mengalir ke arah tangan dan kakinya. Pada lain saat, hati, perasaan dan
semangat serta pikiran Han Ping manunggal satu, menjelang kehampaan . . . .
Setelah sekali berhasil menjalankan peredaran darah, semangatnya makin segar. Pada
saat hendak menjalankan penyaluran yang kedua kalinya untuk mengenyahkan darah
bercampur racun yang mengeram dalam dada, tiba-tiba ia mendengar suara orang
berkata setengah meratap.
Jika suheng tak mau mengingat budi suhu yang telah mengajar kepandaian kepada
suheng, sukalah suheng memandang mukaku seorang adik seperguruan yang telah
melayani dan mempunyai ikatan batin sebagai saudara seperguruan dengan suheng.
Mohon suheng suka membebaskan suhu dari hukuman. Aku bersedia untuk menggantikan
suhu menerima hukuman perguruan kita !” demikian kata-kata orang itu.
Darah Han Ping tersirap seketika. Ia kenal suara orang itu. Karena tak tahan, ia
membuka mata dan memandang keluar. Tampak pengemis sakti Cong To sedang berlutut
di hadapan meja sembahyangan Sedang di sampingnya berlutut si pengemis kecil sambil
mengacungkan sebatang obor. Pemuda berpakaian bagus, Ho Heng Ciu tampak berdiri di
hadapan mereka sambil tangan kanannya mengangkat lencana emas dari perguruan Kimpay-
bun. Wajahnya memberingas, memancar sinar pembunuhan.
Terhadap ratapan si pengemis kecil, tampaknya Heng Ciu tak mengacuhkan.
Dipandangnya Cong To lekat-lekat dan tertawalah ia dengan dingin, serunya : “Suhu telah
melepas budi padaku selama 10 tahun lebih. Hatiku berterima kasih tak terhingga . . . .”
Cong To menghela napas : “Yang lalu biarlah berlalu. Lebih baik jangan diungkit lagi !”
Heng Ciu tertawa keras, ucapnya : “Pada permulaan masuk dalam perguruan, memang
suhu memperlakukan aku dengan baik. Tetapi sejak menerima sute, mulailah suhu pilih
kasih dan mengabaikan diriku. Banyak sekali ilmu kepandaian perguruan Kim-pay-bun
yang istimewa, secara diam-diam telah diberikan kepada sute. Hal itu benar-benar tak
dapat kuderita lagi. . . .”
Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To mengangkat kepala. Matanya berkilat-kilat
memandang ke muka Heng Ciu dan tertawa dingin.

Heng Ciu menggigil. Buru-buru ia mengangkat lencana emas makin tinggi dan makin
nyaringlah ia berteriak : “Peraturan yang telah dicanangkan oleh pendiri perguruan Kimpay-
bun mengatakan. Orang yang memegang Kim-pay ini, bagaikan wakil pribadi dari
kakek guru pendiri perguruan. Tak peduli tinggi atau rendah, semua murid harus tunduk
pada perintah . . . .”
Tiba-tiba kilat memancar menerangi seluruh ruang sehingga obor yang dipegang
pengemis kecil itu suram seketika dan terkeratlah kata-kata Heng Ciu tadi.
Mendadak si pengemis kecil menengadahkan muka dan tertawa gelak-gelak. Nadanya
melengking tinggi, menusuk anak telinga.
“Mengapa engkau tertawa !” bentak Heng Ciu marah.
Pengemis kecil itu berhenti tertawa dan menyahut perlahan-lahan : “Suheng
mengatakan bahwa suhu diam-diam telah mengajarkan padaku ilmu kepandaian istimewa.
Apakah suheng menyaksikan sendiri atau hanya dugaan saja? Ketahuilah, hormat bakti
kepada guru merupakan peraturan yang diutamakan kaum persilatan. Bagaimana kita
dapat sembarangan menghina suhu. Aku, pengemis kecil belum pernah bohong seumur
hidup. Memang benar ada beberapa ilmu kepandaian yang suheng belum mempelajari.
Tetapi ketika suhu mengadiarkan kepadaku, kala itu suheng sudah meninggalkan
perguruan. Jika sepatah saja pengemis kecil bohong, biarlah Tuhan mengutukku !”
Tiba-tiba kilat memancar lagi. Halilintar memecah bumi. Heng Ciu terkejut. Ia
memandang ke arah wuwungan kuil.
Cong To menghela napas perlahan, serunya : “Apa yang hendak kau jatuhkan kepada
si pengemis tua, silahkan segera menyatakan. Aku sudah tua, tak begitu menghiraukan
lagi soal mati atau hidup.”
Heng Ciu tertawa dingin : “Rupanya suhu ingin sekali segera mati agar impas
segalanya, bukan ?”- ia menengadah tertawa nyaring lalu : “tetapi, tidak semudah yang
suhu inginkan . . . .”
“Lalu bagaimana maksudmu ?” Cong To menggeram.
“Urusan suhu belum selesai, jika mati, sungguh mengecewakan sekali”, kata Heng Ciu.
Cong To tertawa tawar : “Benar, pamanmu guru masih selalu ingat akan kitab pusaka
dari perguruan Lam-hay-bun. Ingin sebelum pengemis tua dan kecil mati, supaya
mengambil kitab pusaka itu dulu. Setelah menyerahkan kitab pada kalian barulah kalian
menghukum mati. Benar atau tidak ?”
“Menilik kepandaianmu, dewasa ini tiada tandingannya lagi dalam dunia persilatan. Jika
mengambil secara diam-diam gagal, dapatlah merebutnya secara terang-terangan !” Heng
Ciu tertawa.
“Nama dan kewibawaan suhu, setiap orang persilatan amat mengindahkan. Jika suheng
benar-benar tak mau membebaskan suhu, lebih baik segera menyempurnakannya saja
agar jangan sampai menodai namanya !” kata si pengemis muda.

Sahut Heng Ciu dingin : “Aku sedang bicara dengan suhu. Mengapa engkau berani
sambung mulut? Kuberimu hukuman 20 kali menampar mulut !”
Pengemis kecil itu memandang sejenak ke arah Cong To. Obor dipindah ke tangan kiri
dan mulailah ia ayunkan tangan kanan untuk menampar mukanya sendri. Tar, tar, tar, tar.
. . . hingga 20 kali baru berhenti.
Rupanya pengemis kecil itu menampar mukanya sendiri dengan sungguh-sungguh.
Kedua belah pipinya merah begap dan mulut mengucur darah.
Ho Heng Ciu tersenyum : “Peraturan perguruan Kim-pay-bun amat keras sekali.
Terutama terhadap guru dan angkatan tua harus hormat dan taat. Tetapi engkau berani
banyak usil mulut. Jika tak mengingat sebagai saudara seperguruan malam ini tentu akan
kujatuhkan hukuman potong kedua belah tanganmu . . . .”
Cong To tertawa nyaring : “Sudahlah, tak perlu membikin susah sutemu. Pengemis tua
sudah tak sabar menunggu lagi. Jika engkau tak lekas menurunkan amanat Kim-pay untuk
menjatuhkan putusan terhadap pengemis tua, aku segera akan menghantam ubun-ubun
kepalaku sendiri sampai binasa di hadapan Kim-pay sebagai bakti terima kasihku terhadap
kakek guru !”
Ucapan itu mempunyai pengaruh besar sekali. Heng-ciu tertegun. Diam-diam pemuda
itu menimang “Ah, jika dia benar-benar bunuh diri, sekalipun sebuah duri dalam daging
sudah lenyap, tetapi kitab pusaka Lam-hay-bun itu tentu sukar diperoleh. Tujuan susiok
(paman guru) adalah untuk mendapat kitab pusaka itu. Jika aku tak dapat
mempersembahkan kitab itu, dikuatirkan ia akan marah !”
“Kali ini tindakan murid kepada suhu, adalah atas perintah susiok. Kiranya suhu tentu
sudah memaklumi”, katanya dengan tersenyum.
Cong To menghela napas dan tundukkan kepala tak menyahut.
“Susiok telah menyerahkan benda lambang kekuasaan tertinggi dari Kim-pay-bun
kepadaku. Beliau menegaskan, asal suhu dapat menyerahkan kitab pusaka Lam-hay-bun
itu kepadaku, beliau bersedia untuk bertemu muka lagi dengan suhu.”
“Benarkah itu ?” mata Cong To berkilat-kilat.
“Bagaimana murid berani membohongi suhu ?” sahut Heng Ciu.
Tiba-tiba Cong To menghela napas pula, ujarnya : “Pengemis tua akan berusaha sekuat
tenaga. Tetapi orang-orang Lam-Hay-bun itu tinggi-tinggi kepandaiannya. Akan
berhasilkah usahaku, sukar untuk diramalkan”.
“Murid tahu betul bahwa kepandaian suhu sangat tinggi. Jika memang mau berusaha
sungguh-sungguh, tentu tiada kesukarannya”, kata Heng Ciu.
Tiba-tiba wajab Cong To berobah bersungguh, katanya serius : “Tiga hari lagi,
undanglah dia ke kuil ini. Jika pada waktu itu pengemis tua tak mampu menyerahkan kitab
Lam-hay-bun, aku akan menebus dosa di hadapan Kim-pay . . . .”

“Beliau mau menerima undangan itu atau tidak, murid belum tahu. Tetapi murid pasti
akan menyampaikan pesan suhu itu kepada beliau”, kata Heng Ciu.
“Jika dia tak datang, andaikata aku berhasil merebut kitab Lam-hay-bun, juga takkan
kuserahkan kepadamu. Asal kuusir sutemu sebelum aku mati dihadapan Kim-pay, dia
tentu bebas dari peraturan Kim-pay-bun !” kata Cong To.
Gentarlah hati Heng Ciu mendengar ucapan itu. Pikirnya : “Setan tua ini benar-benar
berwibawa sekali. Setiap orang persilatan jeri kepadanya. Satu-satunya yang paling
ditakuti hanyalah terhadap susiok saja. Jika beliau tak datang, pengemis tua ini tentu tak
mau menyerahkan kitab itu kepadaku. Dan kalau dia mengeluarkan pengemis kecil dari
perguruan dan menyuruhnya membawa kitab itu pergi, selain susiok akan menubruk
angin, pun akan menimbulkan bahaya di kemudian hari”
Cepat ia mengambil kesimpulan dan tersenyum : “Kalau suhu benar-benar ingin
berjumpa susiok, murid akan berusaha keras untuk membujuk agar beliau suka datang
kemari . . . .”
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula : “Dalam usaha untuk mengambil kitab pusaka itu,
suhu tentu akan menghadapi pertempuran seru. Maka kali ini murid dapat membebaskan
hukuman kepada suhu. Tiga hari menjelang tengah malam kita bertemu lagi disini !”
Cong To berbangkit dan memberi hormat ke arah Kim-pay, katanya : “Tiga hari lagi
pengemis tua akan menunggu kedatangan kalian disini !”
Sekali bahunya menggeliat, ia meluncur keluar dan lenyap.
Pengemis kecilpun berdiri : “Terima kasih atas budi suheng sehingga pengemis kecil
masih memiliki sepasang tangan !”
Obor dilemparkan keluar, ruangan gelap dan kedua saudara seperguruan itupun loncat
keluar dari ruang kuil.
Saat itu hujan sudah berhenti. Tetapi cakrawala masih diliputi awan tebal. cuaca gelap.
Sejak mengikuti peristiwa itu, Han Ping menahan napas. Dia menyadari bahwa saat itu
tenaga murninya masih belum pulih. Jangankan tokoh persilatan, bahkan seorang biasa
saja dapat memukulnya mati. Setelah memastikan bahwa Cong To, Heng Ciu dan
pengemis kecil itu sudah pergi barulah ia berani membuka napas dan melanjutkan
pengobatan dengan penyaluran tenaga murni.
Tetapi pikirannya tak tentram. Ia masih mempunyai kesan terhadap persoalan
Pengemis sakti Cong To dengan muridnya si pemuda baju biru itu. Ia menaruh perindahan
kepada Pengemis sakti maka tanpa disadari perhatiannyapun menumpah kepada Cong To.
Lama sekali baru ia dapat menindas dan mengosongkan pikirannya. Kala itu haripun
sudah terang tanah. Ia memperoleh pengalaman baru dalam hal penyembuhan dengan
penyaluran tenaga dalam. Ia berhasil menyatukan pikiran, mengerahkan tenaga murni ke
seluruh tubuh dan menghampakan keakuan . . . .
Ilmu ajaran tenaga dalam dari Hui Gong taysu, berasal dari aliran perguruan agama.
Padri sakti itu telah menyalurkan seluruh tenaga murni ke tubuh Han Ping sehingga ia

sendiri kehabisan tenaga murni itu dan meninggal. Sekalipun Han Ping belum dapat
mengembangkan tenaga murni setaraf dengan Hui Gong, tetapi sekurang-kurangnya ia
telah mencapai 5-6 bagian. Suatu tingkat yang belum mampu untuk menggerakkan
tenaga murni menurut sekehendak hati, namun sudah cukup untuk menyerapkannya ke
dalam urat-urat nadi tubuhnya.
Ketika ia melakukan penyaluran tenaga dalam untuk yang kedua kalinya, saat itu sudah
tengah hari. Telinganya terngiang oleh lengking tertawa yang tak henti-hentinya. Ia
terkejut dan membuka mata. Ah, ternyata kedua nona Ting tengah duduk di tengah ruang
dan bercakap-cakap dengan riang tertawa.
“Adikku, sekarang sudah menjelang tengah hari, kita harus mengisi perut”, kata Ting
Ling.
“Benar, memang perutku sudah lapar !” Ting Ling mengambil bakul yang terletak di
samping dan ditaruhkan di hadapan mereka. Ternyata bakul itu berisi kue bakpau.
“Perut kosong, bakpaupun enak juga,” katanya sambil melahap kue itu.
“Ci, arak dan sayuran itu tentu sudah dingin. Biarlah kutambahi kayu bakar untuk
memanasinya,” kata Ting Hong.
“Bagus, patung-patung arca penunggu kuil ini entah sudah berapa puluh tahun tiada
orang yang menyembahjangi. Baiklah, kita akan melakukan hajat baik. Arak dan sayuran
itu kita hidangkan dulu kepada malaikat penunggu disini baru kita makan”, kata Ting Ling.
Ting Hong tertawa dan berbangkit sedang Ting Lingpun segera mengeluarkan isi bakul.
Ternyata mereka sudah mempersiapkan bekal yang lengkap.
Sehari semalam tak makan, walaupun berkat tenaga dalam yang tinggi Siu-lam dapat
tahan lapar, tetapi karena hidungnya terbaur bau arak yang wangi dan masakan yang
sedap, berontaklah isi perutnya merintih-rintih . . . .
Tak berapa lama muncullah Ting Hong dengan membawa kayu bakar. Kedua nona itu
membuat api di ujung ruang. Memanasi arak dan masak sayur. Ternyata Ting Ling pandai
masak. Han Ping hampir tak tahan mencium bau masakan yang lezat. Hampir saja ia
hendak memanggil kedua nona itu untuk minta hidangan. Tetapi setiap kali mulut hendak
berteriak, ia dapat menelannya kembali. Ia tahu bahwa kedua nona itu memang sengaja
hendak memperolok-olok dengan bau masakan lezat. Walaupun lapar sekali, ia tetap tak
mau minta makan. Dengan sekuat tenaga ia tahan rasa lapar dan pejamkan mata
menyalurkan tenaga dalam.
Pada waktu untuk yang ketiga kalinya ia menyalurkan peredaran darah, saat itu hari
sudah menjelang petang. Ketika membuka mata, tampak kedua nona itu tegak di samping
sambil mengulum senyum tawa.
Ting Ling berjongkok perlahan-lahan, ujarnya : “Sehari semalam tak makan, apakah
tidak lapar ? Makanlah, mumpung arak dan sayurnya masih hangat !”
Han Ping menundukkan kepala. Ia terkesiap. Di hadapannya terhidang beberapa
pinggan masakan lezat.

“Eh, kalian tahu aku berada disini ?” tanyanya sesaat kemudian.
“Mengapa tidak ? Sekalipun engkau bersembunyi di ujung langit, kami tetap dapat
mencarimu !” Ting Hong tertawa.
Ting Ling menarik adiknya supaya ikut berjongkok, kemudian berkata kepada Han Ping
: “Ih, jangan angkuh-angkuhlah. Sama sekali engkau tak tahu hidangan yang kami
sediakan di hadapanmu. Jika kami bermaksud jahat, sekalipun engkau mempunyai nyawa
rangkap sepuluh lembar, pun tak mungkin engkau dapat menjaga . . . .”
Nona itu menghela napas, katanya pula : “Engkau memang gegabah sekali. Masakan di
tempat yang begini sunyi engkau berani melakukan persemedian tanpa penjagaan suatu
apa. Jangankan orang jahat, sedang apabila muncul binatang buas kemari, katakan
misalnya ular berbisa, bukankah jiwamu terancam bahaya maut ? Memang kutahu engkau
berani mati. Tetapi mati dalam mulut harimau atau ular berbisa, adalah suatu kematian
yang mengecewakan. Mengecewakan harapan orang tua dan budi suhumu yang telah
menggemblengmu dengan jerih payah !”
Kata-kata itu diucapkan Ting Ling dengan lemah lembut dan bersungguh-sungguh.
Diam-diam Han Ping malu hati dan merasa bersyukur. Akhirnya ia menghela napas : “Ah,
terima kasih atas nasehat nona . . .”
Ting Hong menyelutuk tertawa : “Kalau sekarang sih tak mengapa. Ada ciciku yang
menjagamu, engkau boleh menyalurkan tenaga dalam mengobati lukamu !”
“Ah, bagaimana aku berani menyuruh . . . .”
“Sudahlah, lekas makan dan yang penting segera mengobati luka.”
Han Ping menurut, setelah makan, ia mulai bersemedhi pula menyalurkan tenaga
dalam.
Cepat sekali tiga hari telah berlalu. Di bawah penjagaan dan rawatan kedua nona itu,
dapatlah Han Ping menjalankan pengobatan dengan tenaga dalam, Ia merasa
semangatnya segar kembali.
Pada petang itu ketika terjaga dari persemedhian, Han Ping benar-benar rasakan
tenaga murninya sudah mulai mengokoh, urat-urat nadinya lancar.
“Sebelum tengah malam, lukaku tentu sembuh sama sekali. Tak tahu bagaimana aku
harus menghaturkan terima kasih atas kebaikan nona berdua . . . .”
Ting Ling tertawa : “Sudahlah, jangan mengatakan soal kebaikan. Kita hanya
membantu merawatmu sekedarnya. Jangan banyak memikir yang bukan-bukan . . . .”
“Hai, celaka !” tiba-tiba Ting Hong menjerit.
“Mengapa ?” Han Pingpun terkejut. Ting Ling pun menegur adiknya.
Ting Hong mengeluarkan obat pemberian dari penjaga gedung bertingkat tempo hari :
“Aku lupa untuk menyuruhkan minum obat penawar ini !”

Han Ping geleng-geleng kepala tertawa : “Ah, tak perlu minumlah. Aku sudah hampir
sembuh !”
“Dunia persilatan penuh dengan akal muslihat yang tak diduga. Tetapi obat itu
kemungkinan memang bermanfaat juga”, kata Ting Ling, “mungkin karena tertindas oleh
tenaga dalam, racun dalam tubuhmu itu tak dapat bekerja. Tetapi jika dalam tubuh masih
mengandung racun juga suatu bahaya. Lebih baik minum sajalah !”
Diambilnya obat itu dari Ting Hong lalu dituang sebutir dan dibaunya dan dijilatnya :
“Minumlah, jangan kuatir !”
Han Ping terpaksa menurut. Tetapi begitu masuk ke dalam perut, ia rasakan sesuatu
yang tak wajar : “Siapakah yang memberikan pil itu kepadamu. . . .”- ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena saat itu tubuhnya panas seperti dibakar sehingga sukar
untuk mengerahkan tenaga dalamnya.
“Ci, bagaimana ini ?” Ting Hong gugup.
Ting Ling sendiripun kaget. Tetapi ia tetap tenang. Dirabanya kening Han Ping. Diamdiam
nona itu menimang dalam hati : “Jika pil tadi beracun, setelah obat itu mereda
khasiatnya, dia tentu marah kepada kami berdua. Dengan tenaga dalamnya yang tinggi,
tentu ia dapat menekan lukanya itu dan pada saat-saat masih dapat bernapas, ia tentu
akan menyerang kami berdua. Sekalipun kami berdua tak bermaksud hendak
mencelakainya, tetapi karena urusan berbalik begini, dia tentu akan membunuh kami.
Baiklah aku berjaga-jaga menghadapi kemungkinan itu”.
Ting Ling seorang nona yang licin dan kaya dengan tipu muslihat. Sekalipun terhadap
pemuda yang dicintainya, dalam detik-detik terakhir ia tetap memperhitungkan laba rugi.
Dan terkilaslah cita-cita membunuh apabila keadaan perlu diam-diam ia kerahkan tenaga
dalam. Begitu Han Ping hendak bergerak, akan ia dahului lebih dulu menghancurkannya.
Ternyata setelah tubuhnya membara, keringat deras mulai membasahi sekujur badan
Han Ping, Ia pejamkan mata dan mulailah terlintas rasa kecurigaannya terhadap kedua
nona itu.
Keringat Han Ping menyiarkan bau busuk tetapi Ting Ling malah lega perasaannya, ia
membisiki adiknya : “Racun dalam tubuhnya telah dikeluarkan oleh daya obat tadi.
Sediakan saja air untuk membasuh muka”.
Dugaan Ting Ling memang benar. Tak sampai sepeminum teh, Han Ping membuka
mata dan menegur Ting Hong : “Siapa yang memberi obat itu kepadamu. Hendak
kutamparnya !”
“Eh, mengapa engkau hendak memukul orang yang bermaksud baik menolongmu
?”Ting Ling tertawa.
“Dia memberi racun kepadaku !”
Ting Ling tertawa : “Salahmu terlalu kesusu meminum hingga obat itu bekerja serentak.
Tetapi ada baiknya juga. Karena keras, racun dalam tubuhmu cepat didesak keluar melalui
keringat. Sekarang lukamu baru sembuh benar-benar. Lekas menyalurkan napas lagi,
malam ini mungkin terjadi sesuatu”.

Teringat serentak Han Ping akan Heng Ciu yang malam itu hendak mengundang paman
gurunya ke kuil untuk berjumpa dengan Pengemis sakti Cong To. Jika kedua belah pihak
terjadi perselisihan paham tentu akan timbul pertempuran.
“Kuharap nona berdua suka bersembunyi di luar. Siapa tahu dalam kuil ini akan terjadi
pertempuran dahsyat. Kalian berada disini tiada banyak bermanfaat padaku tetapi
sebaliknya membahayakan kalian”.
Ting Ling tertawa : “Kamipun sudah tahu. Lekas salurkan peredaran tenaga dalammu,
siapa tahu engkau akan ikut campur dalam pertempuran itu”.
“Aku sudah menguji kepandaian Pengemis sakti Cong To. Memang lihai sekali. Ho Heng
Ciupun tak menang dengan pengemis kecil itu. Meskipun belum pernah mengetahui
kesaktian paman guru pemuda itu, tetapi tentulah seorang tokoh hebat juga. Andaikata
mereka melihat aku disini sedang mengobati luka, mereka tentu takkan berbuat apa-apa.
Tetapi kalau nona berdua juga berada disini, tentulah lain keadaannya. Jika terbit
perkelahian, saat ini kita bukan tandingan mereka !”
Sejenak Ting Ling merenung : “Memang beralasan juga”, katanya, jika kami berdua
disini tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka. Tetapi, pun kalau tinggalkan engkau
seorang diri, juga berbahaya. Jika ketahuan mereka tentu takkan membiarkan saja !”
Han Ping tertawa. Ia menerangkan bahwa mereka tentu menduga bahwa ia datang ke
kuil situ tanpa sengaja karena hendak merawat luka.
Ting Ling menghela napas : “Mencuri lihat pelajaran dari lain partai, merupakan
pantangan besar. Kecuali mereka tak mengetahui dirimu, engkau tentu selamat. Tetapi
sekali mereka tahu, jangan harap mau memberi ampun. Sekalipun tidak dibunuh tentu
akan dicungkil biji matamu atau dipotong lidahmu, kedua tanganmu dan yang paling
ringan dipapas dua buah jari tanganmu. Meskipun perguruan Kim-pay-bun tidak tergolong
partai besar, tetapi juga seorang partai persilatan. Sudah tentu mereka menjalankan juga
peraturan dunia persilatan dalam hal memberi hukuman. Kiranya yang paling selamat, kita
segera angkat kaki dari sini sebelum mereka datang”.
“Tidak”, Han Ping menolak, “pengalamanku yang terakhir kali, menyangkut kepentingan
dunia persilatan, menang atau kalah. Jika menggunakan kekerasan, tentu akan sia-sia
saja”.
“Bagaimana kalau kupakai sebilah papan untuk menggotohgmu. Engkau dapat
menyalurkan tenaga dalam sembari memberi petunjuk jalan. Kami yang memanggul
papan itu”. Ting Hong tertawa.
Han Ping gelengkan kepala : “Tidak, pada saat menyalurkan hawa murni tubuh, tak
boleh berguncang. Sebaiknya kalian tinggalkan tempat, jangan mengurus aku lagi !”
Memandang ke langit, Ting Ling berkata : “Sekarang masih banyak waktu, Mungkin
dalam waktu singkat ini engkau dapat menyelesaikan pengobatanmu terakhir. Sekarang
setiap detik berharga sekali. Lekas gunakan sebaiknya agar nanti jangan menyesal !”
“Jika pengobatanku ini dapat selesai sebelum tengah malam, keadaannya
menguntungkan. Tetapi kalau tak dapat selesai, tentu lain keadaannya,” kata Han Ping.

Ting Ling mendesak supaya pemuda itu lekas mulai bersemedhi. Han Pingpun menurut.
Karena tubuhnya sudah bersih dari racun, kini darahnya menyalur lancar. Dalam waktu
singkat saja ia sudah dapat mengosongkan pikirannya.
Ketika membuka mata, ternyata ruang kuil sudah diterangi oleh lilin. Melongok ke arah
luar, tampak Pengemis sakti Cong To dan si pengemis kecil, sudah datang. Keduanya
tegak berdiri di tengah ruang menghadapi Ho Heng Ciu yang tengah mencekal Kim-pay.
Muka pemuda itu tampak gelisah.
Pengemis sakti Cong To mengulum senyum dingin. Wajahnya sayu muram. Sedang
wajah si pengemis kecilpun tampak gelisah. Ia berdiri di samping gurunya dengan kepala
menunduk . . . .
Perlahan-lahan Han Ping menghela napas . Ia berpaling ke belakang. Tampak Ting Ling
dan Ting Hong, bersembunyi di belakang. Ia kerutkan dahi dan hendak mendamprat.
Tetapi tiba-tiba Ting Ling memberi isyarat dengan lekatkan jari ke mulutnya. Han Ping
terpaksa menelan kembali kata-kata ucapannya.
Tempat persembunyian Han Ping dan kedua nona itu terletak di belakang meja arca.
Suatu tempat yang teraling oleh bayangan permukaan meja. Jika tak memperhatikan
dengan seksama, sukar untuk melihat ketiga anak muda itu. Dan Ting Ling memang
cermat sekali. Sebelumnya ia memang sudah menghilangkan semua bekas yang
dipergunakannya. Oleh karena Cong To dan si pengemis kecil sedang ditimpa masalah
tegang merekapun tak sempat memperhatikan keadaan di sekeliling ruang itu. Sedangkan
Heng Ciu jarang keluar ke dunia persilatan. Dia tak dapat menduga tentang kemungkinan
itu. Dengan demikian dapatlah Han Ping dan kedua nona Ting bersembunyi dengan aman.
Pengemis sakti Cong To menghela napas panjang, tanyanya kepada pengemis kecil :
“Jam berapakah sekarang ini ?”
Pengemis kecil melongok ke cakrawala dan mengatakan bahwa saat itu kurang lebih
jam setengah sebelas malam.
Heng Ciu tertawa dingin, ucapnya : “Jika susiok sudah berjanji datang, tentu akan
menetapi janjinya !”
Kembali Cong To menghela napas dan perlahan-lahan duduk bersila, pejamkan mata
bersemedhi. Dengan lwekangnya yang tinggi dapatlah ia sekejap mata saja sudah
mengosongkan pikirannya.
Baru beberapa saat, tiba-tiba ia mendengus dan membuka matanya lagi. Belum sempat
ia membuka mulut, terdengarlah bunyi harpa dan pada lain saat masuklah seorang wanita
cantik berpakaian sutra hijau, diiring oleh empat dayang saja berpakaian warna merah . . .
.
Heng Ciu menyingkir dua langkah ke samping dan membungkuk tubuh memberi
hormat : “Murid Ho Heng Ciu dengan hormat menyambut kunjungan susiok”.
Wanita cantik berpakaian sutra hijau itu tersenyum. Sejenak ia memandang pemuda itu
lalu melangkah ke tempat Pengemis sakti Cong To.

Cong To berbangkit memberi hormat dengan ucapan tertawa ramah : “Sudah 10 tahun
lebih kita tak berjumpa. Keadaan sumoay masih serupa dulu.”
Wanita cantik itu tertawa hambar : “Suheng mencari aku kemari, entah hendak
memberi petunjuk apa saja ?”
Pengemis sakti Cong To termahsyur di daerah Kanglam-Kangpak. Tiada seorang tokoh
persilatan yang tak mengindahkan kepadanya. Tetapi anehnya, ia seperti kehilangan
kewibawaannya ketika berhadapan dengan wanita cantik itu. Beberapa saat kemudian
barulah ia dapat membuka mulut dengan tergugu-gugu : “Dalam hal ini, sesungguhnya
aku tak berani menerima kehormatan sumoay, tetapi . . . .”
Cukup lama kiranya wanita cantik itu memberi waktu Cong To untuk bicara. Tetapi
karena sampai sekian jenak belum juga Cong To mengatakan kelanjutan dari
perkataannya itu, akhirnya wanita cantik itu kerutkan alis dan menukas : “Karena ternyata
tiada sesuatu yang penting, lebih baik aku kembali saja . . . .”- habis berkata wanita cantik
itu berputar tubuh dan melangkah pergi.
“Harap sumoay berhenti dulu. Aku hendak bicara”, buru-buru Cong To berseru
mencegah.
Tampak wajah wanita cantik itu mengerut kurang senang, ucapnya : “Lekas
katakanlah, aku tak punya waktu berada disini lama-lama”.
Cong To menghela napas : “Peristiwa yang lampau, kini sudah lalu. Apakah sumoay
masih mendendam dalam hati ?”
Wanita cantik baju hijau itu tertawa mengekeh : “Ah, suheng terlalu sungkan.
Bagaimana aku berani mendendam padamu ? Hm, hm, aku tiada tempo lagi untuk
mengenangkan peristiwa yang sudah lapuk !”
“Kalau begitu, baiklah kuberanikan diri untuk bicara lebih lanjut. Demi memandang
wajah mendiang suhu kita, sudilah kiranya sumoay menyerahkan Kim-pay itu kepadaku.
Agar ilmu kepandaian dari partai Kim-pay-bun kita tak sampai musnah di dunia persilatan.
Tentang diriku, terserah saja bagaimana sumoay hendak memberi keputusan. Aku sudah
tua, sudah tak menghiraukan lagi soal mati atau hidup !”
Wanita cantik itu menyahut tawar : “Kakek guru pendiri partai Kim-pay-bun, sudah
meninggalkan pesan. Siapa yang berhasil mendapatkan Kim-pay itu, dialah yang menjadi
ahli waris partai. Karena Kim-pay itu berada di tanganku, sudah tentu kuanggap diriku
menjadi ketua Kim-pay-bun. Kata-kata suheng tadi benar-benar menghina pesan yang
ditinggalkan kakek guru pendiri partai. Dan ternyata suheng masih berani
mengucapkannya !”
Mendapat dampratan itu, Cong To tertegun diam. Pada saat ia hendak membuka mulut,
wanita cantik itu sudah mendahului : “Dan lagi suheng kan sudah mempunyai anganangan
mati. Jika kuserahkan Kim-pay itu, dikuatirkan muridnya yang tak becus itu, tak
mampu melindungi Kim-pay kita. Jika Kim-pay sampai jatuh ke tangan orang atau direbut
lain orang, hal itu tentu merupakan hinaan maha besar bagi kakek guru kita turun
menurun !”

Heng Ciu mengeluarkan pandang ke arah Cong To dan si pengemis kecil, ujarnya :
“Setelah membenam diri dalam gunung terpencil, susiok telah berhasil mempelajari
berbagai ilmu kepandaian Kim-pay-bun yang sakti. Kali ini keluar dengan membawa citacita
hendak mencanangkan diri kepada dunia persilatan. Partai-partai persilatan dan tiga
marga It-kiong, Ji-koh, Sam-taypoh yang termahsyur itu akan diajak untuk mengukur
kepandaian !”
“Apa ?” Cong To terbeliak kaget, “Menurut peraturan yang digariskan kakek guru, turun
temurun jabatan ahli waris itu hanya diberikan kepada dua murid. Memang boleh saja
menjalankan dharma kebaikan di dunia persilatan. Tetapi jika hendak meningkatkan sepak
terjang untuk menguasai dunia persilatan, tentu harus memperluas menerima muridmurid.
Hal itu bertentangan dengan pesan kakek guru. Mengapa hendak dilaksanakan ?”
Tiba-tiba wajah si cantik itu mengerut gelap, ujarnya dingin-dingin : “Mengapa hal itu
tak boleh? Walaupun turun temurun hanya diwariskan pada dua orang, tetapi tidak ada
peraturan yang membatasi jumlah penerimaan murid. Jika kuterima murid secara luas,
akan kubagi tingkatan mereka menurut tinggi rendahnya kepandaian. Dengan demikian
tidak menyimpang dari garis ketentuan perguruan kita tetapi dapat pula mengembangkan
kemajuan partai Kim-pay-bun”.
“Dengan demikian sumoay sudah memutuskan untuk memperbesar perguruan kita dan
tak menghiraukan segala apa lagi !”
“Karena Kim-pay berada dalam tanganku, akulah ketua partai Kim-pay-bun. Engkau
berani menghina aku, masakan aku tak berani menjatuhkan hukuman kepadamu ?” seru
wanita cantik itu dengan murk a.
Cong To menengadahkan muka dan tertawa nyaring : “Selama malang melintang di
dunia persilatan, pengemis tua itu tak pernah mengedipkan mata menghadapi musuh
yang bagaimana saktinya. Hanya sebuah hal yang paling mengecewakan hidupku yakni
tak dapat merebut kembali Kim-pay perguruan kita. Jika malam ini menghadap Kim-pay,
rasanya matipun tak menyesal . . . .”
Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat lengan baju menutupi mulutnya yang merekah
tawa : “Memang kemunculanku di dunia persilatan kali ini, telah kudengar sanjung pujaan
orang terhadap kemahsyuran nama suheng. Dan ternyata apa yang kusaksikan, memang
suatu kenyataan. Nama suheng amat menggetarkan di seluruh wilayah Kanglam-Kangpak
!”
“Ah, ah, jangan terlalu menjunjung pengemis tua . . . .”
“Tentulah kemahsyuran nama suheng itu bukan jatuh dari langit”, tukas si wanita
cantik, “melainkan dengan modal keberanian yang menyala-nyala dan kesaktian yang
gilang gemilang. Apabila karena hal itu, suheng binasa begitu saja, apakah tak sayang
akan kemahsyuran nama suheng ?”
Ting Ling berbisik ke dekat telinga Han Ping : “Wanita itu luar biasa licinnya. Entah ia
hendak memasang jerat apa kepada Pengemis sakti . . . .”
Pengemis sakti tertawa nyaring : “Pengemis tua memang bodoh sehingga tak mengerti
apa maksud ucapan sumoay itu . . . .”

Setelah menghadapi pembicaraan beberapa saat, rupanya Pengemis sakti itu mendapat
pulang keberaniannya lagi.
Wanita cantik itu tiba-tiba mengisar langkah, menatap si pengemis sakti. Wajahnya
berseri-seri laksana bunga segar mekar.
Rupanya Cong To tak berani beradu pandang dengan seri wajah si wanita yang riang.
Ia tundukkan kepala dan menyurut mundur dua langkah.
Melihat itu, pengemis kecil kerutkan alis dan mengisar ke samping gurunya. Sedang
Heng Ciupun cepat beringsut di belakang si wanita cantik, menjamah bahu wanita cantik
dan ditariknya mundur tiga langkah.
Heng Ciu dahulu adalah murid Pengemis sakti. Karena wanita cantik itu adik
seperguruan dari Pengemis sakti. Dengan demikian Heng Ciu adalah murid kemenakan
dari wanita cantik itu. Tetapi perbuatan Heng Ciu menarik bahu wanita yang menjadi bibi
gurunya itu, benar-benar merupakan tingkah laku yang liar.
Melihat itu berobahlah wajah Pengemis sakti. Ia mendengus dingin dan serentak
mengangkat tangan kanan tinggi di atas kepalanya.
Heng Ciu cepat mengangkat Kim-pay dan membentak : “Hayo, berlutut !”
Melihat itu Pengemis sakti terpaksa berlutut. Pengemis kecilpun segera ikut berlutut.
Waktu ditarik mundur tadi, si wanita cantik hanya kerutkan alis tetapi tak marah. Ia
melirik Heng Ciu tetapi tak mencegah perbuatan Heng Ciu yang mengacungkan Kim pay
itu. Wanita cantik itu menyisih ke samping. Ia memandang ke sekeliling.
Sepasang mata Heng Ciu memancar penuh dendam kemarahan kepada Cong To :
“Murid telah melaksanakan perjanjian yakni mengundang susiok kemari bertemu dengan
suhu. Entah apakah tugas yang telah kita sepakati dalam perjanjian itu, telah suhu
lakukan ?”
Pengemis sakti sapukan matanya kepada Heng Ciu, lalu memandang kepada si wanita
cantik, serunya : “Dalam peraturan perguruan kita tercantum bahwa Kim-pay kita itu tak
boleh dijabat oleh dua orang. Orang yang memegang Kim pay harus dianggap sebagai
pribadi kakek guru, Sumoay mengatakan bahwa sumoay memiliki Kim-pay, karenanya
sumoaylah yang menjadi ketua partai. Tetapi apa sebab sumoay membiarkan Kim-pay itu
berada di tangan orang lain ? Kepada siapakah aku harus tunduk perintah ?”
Wanita cantik itu tertawa : “Dalam kedudukan sebagai ketua partai Kim-pay-bun,
kuangkat Heng Ciu mewakili aku mengeluarkan amanat. Apakah hal itu tak boleh ?”
Pengemis-sakti Cong To menghela napas : “Ya, ya, sudahlah . . . . Pengemis tua tak
ingin melihat Kim-pay perguruan kita dihina orang. Lebih baik dari pada menjadi buah
tertawaan orang, pengemis tua mati saja di bawah perintah Kim-pay. Hm, lebih baik mati
dari pada mata tak kuat memandang hal-hal yang kotor . . . .”
Heng Ciu tertawa dingin : “Sekalipun engkau kepingin mati tetapi dikuatirkan tak
semudah itu . . . .” - tiba-tiba ia mengangkat Kim-pay tinggi-tinggi, serunya : “Tiga hari
yang lalu telah kuberi amanat Kim-pay. Engkau harus dapat merebut kitab pusaka dari

perguruan Lam-hay-bun. Kini saat perjanjian itu sudah penuh. Mengapa engkau tak lekaslekas
menghaturkan kitab pusaka itu ? Apakah maksudmu ?”
“Pengemis tua sudah berusaha sekuat tenaga untuk merebut kitab itu, tetapi tokohtokoh
Lam-hay-bun merintangi keras. Oleh karena mereka sakti-sakti, terpaksa sampai
detik ini aku belum berhasil merebut kitab mereka. Atas kesalahan itu, pengemis tua
bersedia menerima hukuman partai !”
Heng Ciu berpaling kepada wanita cantik itu : “Cong To belum berhasil mendapatkan
kitab pusaka. Bagaimana kita akan menindaknya ?”
Wajah wanita itu berobah, kebutkan lengan baju dan menlesat ke hadapan Cong To.
Tegurnya dingin : “Jika belum mendapatkan kitab itu, perlu apa engkau suruh aku datang
kemari ?”
Tiba-tiba pengemis kecil menyelutuk : “Meskipun suhu belum berhasil mendapat kitab
itu, tetapi beliau telah berusaha dengan sekuat tenaga. Beliau telah bertempur sehari
semalam sehingga habis tenaga. Sejak ikut pada suhu, belum pernah pengemis kecil
menyaksikan suhu bertempur dengan orang sampai begitu hebat. Karena seorang diri,
suhu tak dapat menghadapi lawan yang berjumlah lebih banyak dan menggunakan siasat
bergilir. Pengemis kecil tidak punya kepandaian, meskipun ingin membantu tetapi tak
mampu turun tangan . . .”
Wanita cantik itu tertawa sinis dan membentaknya : “Tutup mulutmu ! Dalam urusan
besar ini, bagaimana engkau berani turut campur mulut !”
Cong To tertawa gelak-gelak : “Untunglah pengemis tua tak dapat merebut kitab itu.
Jika dapat, tentu akan berdosa terhadap arwah para kakek pendiri perguruan Kim-paybun”.
Wanita cantik itupun tertawa mengikik : “Engkau sangka kalau tak mendapat kitab
pusaka dari Lam-hay-bun itu aku tak berani memperluas perguruan kita . . . . ?”
Nadanya agak gentar dan tiba-tiba ia berganti dingin : “sikap suheng memandang
kematian seperti pulang ke rumah itu, benar-benar membuat aku kagum. Tetapi kita
tunggal seperguruan dan mengingat budi suheng yang telah banyak membantu kepadaku
ketika sedang menuntut pelajaran, jika suruh aku turun tangan sungguh hatiku tak
sampai”.
Mendengar itu, berseri rianglah wajah si pengemis kecil. Serta merta ia berlutut
memberi hormat : “Sejak berpisah dengan susiok, tak seharipun suhu tak mengenangkan .
. . .”
Tiba-tiba wanita cantik ulurkan tangan mendorong Cong To lalu bertanya sambil
tertawa : “Benarkah siang malam suheng mengenangkan diriku ?”
Cong To menghela napas : “Jika sumoay hendak menghukum diri pengemis tua ini,
silahkan turun tangan saja. Cara menyiksa batin begini, sungguh membuat pengemis tua
tak dapat mati dengan meram !”
Tiba-tiba teringatlah si pengemis kecil bahwa makin susioknya itu tertawa manis, makin
ganaslah tindakannya. Diam-diam hatinya tergentar. Serentak ia berbangkit dan loncat

melindungi si Pengemis sakti seraya berseru : “Jika hendak menghukum, silahkan susiok
menghukum pengemis kecil ini ! Tetapi mohon sudilah rnembebaskan suhu. Sekalipun
pengemis kecil menderita siksaan yang bagaimana hebatnya, tetap pengemis kecil
berterima kasih atas budi susiok !”
Wanita cantik itu perlahan-lahan mengangkat kaki sehingga tampak celana warna
merah dan telapak kaki yang mungil.
Dengan merekah senyum tawa yang menyengsamkan, berkatalah ia : “Seorang murid
yang begitu menghormat gurunya, sungguh jarang sekali kujumpai di dunia !”- perlahanlahan
kakinya menjulur dan mendepak dada si pengemis kecil.
Tampaknya gerak kakinya itu seperti orang menari, perlahan dan indah sekali. Tetapi
ternyata pengemis kecil itu menjerit dan muntah darah terus rubuh di tanah, mencelat
beberapa langkah ke belakang,
Pengemis sakti Cong To menyaksikan peristiwa itu dengan mata berapi-api. Serentak ia
membentak : “Tindakan sumoay terhadap seorang angkatan muda begitu apakah tidak
terlalu kejam ?”
Wanita cantik itu tertawa riang : “Aku mendapat kesan, hubungan kalian guru dan
murid tak ubah seperti ayah dan anak saja. Jika suheng binasa, diapun tentu berduka dan
ingin menemani suheng. Maka lebih baik kusempurnakan keinginannya sekali agar kalian
dapat tetap berkumpul di alam baka !”
Cong To tertawa. Ia berpaling kepada muridnya si pengemis kecil, serunya : “Kau Ji,
mulai saat ini, engkau sudah bukan anak murid Kim-pay-bun lagi . . . . !”
Pengemis kecil itu bergeliat duduk, sahutnya : “Budi suhu terhadap murid adalah
melebihi gunung besarnya. Sekalipun murid harus mati disini, tetapi murid tak mau keluar
dari perguruan !”
“Pengemis tua mengucap perkataan tentu harus dilaksanakan. Bagaimana engkau
berani membantah ! Lekas enyah dari sini !”
Wanita cantik itu tertawa : “Jalan darahnya telah kututuk, sekalipun tidak mati tetapi
takkan sembuh dalam waktu yang singkat. Sesungguhnya mengingat kepandaian suheng
yang tinggi, tentu suheng dapat menyembuhkannya. Tetapi sayang suheng sendiripun
akan kehilangan kemampuan untuk mengobatinya . . . .”
Habis berkata, wajah wanita itu mengerut gelak. Tiba-tiba ia ulurkan dua buah jari
tangan kanannya ke arah dada Cong To.
Dalam detik-detik elmaut hendak merenggut jiwa si Pengemis sakti, tiba-tiba terdengar
suara bentakan keras : “Tahan !”
Serangkum angin pukulan menghambur keluar dari belakang meja arca. Wanita cantik
itu menyisih ke samping. Ketika berpaling, ia melihat seorang pemuda cakap yang gagah
dan dua orang nona cantik muncul dari belakang meja sembahjang.
Kiranya Han Ping mengetahui semua pembicaraan dan peristiwa yang berlangsung di
ruangan kuil itu. Ting Ling dan Ting Hong kuatir Han Ping tak tahan dan menerobos

keluar. Kedua nona itu berusaha keras untuk mencegahnya jangan mencampuri urusan si
Pengemis sakti dengan sumoaynya.
Tetapi tindakan kedua nona itu kebalikannya malah menimbulkan semangat
kegagahannya.
Lebih-lebih ketika melihat kecabulan si wanita yang begitu mesra dengan Ho Heng Ciu.
makin merahlah mata Han Ping. Darahnya meluap-luap . . . .
Pada saat si wanita genit hendak menutuk dada Cong To, tak dapat lagi Han Ping
menahan kesabarannya. Serentak ia loncat membentak dan lontarkan pukulan Biat-gongciang
atau Pembelah angkasa. Kedua nona Ting itu terpaksa mengikuti tindakan Han Ping.
Ternyata setelah sempat menyalurkan darah untuk mengobati lukanya selama tiga hari
itu, luka Han Ping boleh dikata sudah hampir sembuh sama sekali. Tenaganyapun pulih
kembali. Ia tak menyadari hal itu tetapi bagi si wanita cantik, pukulan pemuda itu
mengejutkan sekali kedahsyatannya. Wanita cantik itu tak mau adu kekerasan melainkan
menghindar ke samping.
Kedua nona Tingpun terkejut menyaksikan kedahsyatan tenaga pukulan Han Ping.
Diam-diam mereka girang juga.
Marah sekali wanita genit itu karena diserang dari belakang. Tetapi ketika berpaling dan
melihat Han Ping seorang pemuda cakap, redalah amarahnya. Sepasang matanya berkaca
minyak dan mulutnya mengulum senyum manis seraya berseru : “lh, siapakah engkau ?
Tahukah engkau bahwa mencuri lihat atau mencuri dengar urusan dalam suatu partai,
merupakan larangan besar ?”
Han Ping tertawa hambar : “Sudah lebih dulu tiga hari yang lalu aku berada disini
mengobati luka. Adalah salahmu sendiri mengapa tak mau memeriksa tempat ini hingga
pembicaraanmu sampai terdengar orang. Hal itu tak boleh menyalahkan aku !”
Han Ping benar-benar tak punya pengalaman sehingga jujur sakali bicaranya. Sampai
sedang mengobati luka, pun dikatakan.
Sepasang mata yang tajam dari wanita cantik itu menatap wajah Han Ping. Ia gelenggeleng
kepala tertawa : “lh, tak nyana orang muda seperti engkau dapat mengatakan
kebohongan dengan wajah tak berobah . . . .”
“Tutup mulutmu ! Aku seorang anak laki-laki, masakan mau membohongimu !” bentak
Han Ping murka.
Wanita cantik itu tersenyum : “Baiklah, anggap saja engkau bicara sejujurnya !
Siapakah kedua budak perempuan itu ?”
“Apakah pedullmu dengan mereka ?” balas Han Ping.
“Kalau tak boleh peduli, apakah tak boleh bertanya ?” wanita cantik itu tertawa.
Melihat wanita cantik itu bertingkah genit terhadap Han Ping, marahlah Ting Hong. Ia
cepat mendamprat : “Huh, sungguh tak sedap dipandang mata tingkah laka yang berbau
cabul itu !”

Mata wanita cantik menggeliar, memancarkan sinar pembunuhan. Namun mulutnya
masih tenang-tenang berkata : “Siapakah yang nona maki itu ?”- ia melangkah
menghampiri Ting Hong.
“Bagaimana engkau tahu siapa yang kumaki itu. Huh, siapa yang berbuat tentu
tersinggung !” sahut Ting Hong.
Sedangkan Ting Ling yang bermata tajam, telah memperhatikan bahwa wanita genit itu
mengandung maksud jahat. buru-buru ia meneriaki adiknya supaya mundur. Tetapi
gerakan wanita itu cepat sekali. tiba-tiba ia mengendap, melesat ke samping dan
menampar bahu Ting Hong.
Rupanya lengan baju wanita genit itu memang khusus untuk menampar musuh. Karena
lengan baju itu dapat merentang panjang.
Ting Hong terkejut sekali. Daiam gugup, ia menyelinap ke samping dua langkah.
Tamparannya luput, tanpa berpaling kepala, wanita cantik itu kibaskan lengan baju ke
belakang menghantam Ting Hong.
Ting Hong tak menyangka bahwa lengan baju wanita itu dapat menjulur panjang dan
dapat pula mengarah sasaran dengan tepat. Ia tak keburu menghindar lagi.
Pada saat Ting Hong terancam bahaya, tiba-tiba Han Ping membentak keras dan
menghantam punggung wanita itu.
Wanita itu cepat berputar diri. Tangan kanannya yang menampar Ting Hong tiba-tiba
ditarik pulang untuk menyingkap rambutnya yang longsor. Sedang tangan kiri menampar
Han Ping.
Berjaga diri sambil menyerang, dilakukannya serempak dalam sebuah gerak yang indah
sekali. Setitikpun tak mirip gerak orang berkelahi, melainkan seperti orang sedang menari.
Walaupun mengetahui bahwa tamparan lengan baju wanita itu mengandung tenaga
dahsyat, tetapi Han Ping tak mau menghindar. Ia menangkis dengan tangan kiri. Hal itu
mengejutkan si wanita genit. Ia tak menyangka pemuda itu berani adu kekerasan. Buruburu
ia endapkan tangannya ke bawah untuk menghindari benturan seraya tertawa. “lh,
cara berkelahi yang nekad ! Apakah engkau tak takut terluka ?”
Wanita itu berputar tubuh, menyingkir tiga langkah ke samping.
Kesempatan itu dimanfaatkan Han Ping, ia menyusup maju. Tangan kiri memukul,
tangan kanan gunakan ilmu Kin-liong-chiu untuk menangkap siku lengan orang.
Tangan kiri menghambur tenaga, tangan kanan melincah tangkas. Tenaga dan
kelincahan serempak digunakan. Tangan kiri seperti palu godam menghantam karang,
tangan kanan segesit ular meluncur . . .
Karena menyingkir ke samping itu, si wanita cantik kehilangan posisi. Ditambah dengan
gerakan Han Ping yang luar biasa anehnya, membuat si wanita terbeliak kaget. Buru-buru
tubuhnya mencondong ke samping untuk menghindari pukulan. Tetapi siku lengannya

yang kiri tak dapat lolos dari cengkeraman Han Ping. Seketika ia rasakan lengannya
kesemutan . . . .
Peristiwa itu selain mengejutkan Ho Heng Ciu dan kedua nona Ting, pun Pengemis sakti
Cong To juga terkesiap kaget. Ia mengetahui ilmu menyambar dengan tangan kosong itu,
jauh berlainan dengan ilmu menyambar yang terdapat di dunia persilatan. Gerakannya
aneh, perobahannya sukar diduga.
Si wanita genit diam-diam terkejut. Cepat ia kerahkan tenaga dalam ke arah lengannya.
Seketika lengan si wanita yang halus itu berobah keras seperti batu. Tetapi ketika ia
hendak meronta dari cekalan Han Ping, ternyata pemuda itu sudah melepaskannya dan
mundur tiga langkah.
“Untuk membayar penarikan lengan bajunya yang mengebut bahuku tadi, akupun
melepaskan cengkeramanku. Kita tak saling berhutang !” seru Han Ping.
Mendengar itu Ting Ling kerutkan dahi : “Wanita baju hijau itu jelas memiliki
kepandaian sakti. Belum tentu Han Ping seorang diri mampu mengalahkannya. Apalagi
sebagai ketua Kim-pay-bun, ia dapat menyuruh Cong To untuk turun tangan. Hm, benarbenar
goblok sekali Han Ping itu. Pura-pura menjadi ksatria perwira tetapi telah
menghilangkan kesempatan yang bagus. Tak mungkin dia mampu menangkap wanita itu
lagi . . . .”
Begitupun Heng Ciu. Dia juga tak puas melihat susioknya, si wanita cantik itu, batalkan
tamparannya kepada Han Ping. Begitu pula ketika melihat Han Ping lepaskan
cengkeramannya selama membalas budi, makin besarlah cemburu hati Heng Ciu. Tanpa
menunggu perintah si wanita cantik lagi, Heng Ciu terus mengangkat Kim-pay dan berseru
keras : “Cong To, murid tingkatan kedua belas dari Kim-pay bun, sambutlah amanat Kim
pay !”
Cong To mengangkat kedua tangannya memberi hormat : “Murid Cong To dengan
hormat menerima perintah !”
“Dalam 100 jurus engkau harus dapat membunuh pemuda she Ji itu. Tidak boleh gagal
!”
Cong To berbangkit dan berputar diri menghadapi Han Ping. Melihat Han Ping tegak
berdiri dengan gagah parkasa dan tak menunjukkan rasa gentar sedikitpun juga,
tersiraplah darah Cong To. Pikirnya : “Jelas dia bukan tandinganku tetapi dia tak takut
sama sekali. Keangkuhan dan keberaniannya benar-benar mengagumkan . . . .”
“Diam-diam timbul rasa sayang kepada pemuda itu.
Melihat si Pengemis sakti tak lekas turun tangan, Heng Ciu mengangkat Kim-pay makin
tinggi dan mendesak Cong To supaya lekas bertindak.
Tiba-tiba wanita genit itu melesat ke samping Heng Ciu dan ulurkan tangan kanan,
ujarnya : “Berikan Kim-pay itu kepadaku. Urusan malam ini, serahkan padaku !”
Heng Ciu terkesiap : “Mengapa ?” Wanita cantik itu tertawa : “Aku dan gurumu, adalah
saudara seperguruan. Sejak kecil bergaul sampai besar. Begitu berjumpa, tentu harus
melakukan penghormatan . . . .”

Nadanya lemah lembut tetapi wajahnya memancarkan hawa pembunuhan yang ganas.
Dan Heng Ciu yang cukup mengetahui tentang perangai susioknya itu tak berani
membantah lagi. Segera ia menyerahkan Kim-pay.
Setelah menyambuti Kim-pay, berpalinglah wanita baju hijau itu ke arah Cong To : “Tak
peduli engkau setuju atau tidak terhadap tindakanku untuk mengembangkan perguruan
kita, tetapi aku sudah mengambil ketetapan. Apalagi belum tentu akan menggunakan
nama Kim-pay-bun itu. Jika engkau dapat memperoleh kitab pusaka dari Lam-hay bun,
akupun bersedia menukarkan Kim pay yang kuperoleh dengan jerih payah selama
bertahun-tahun ini, kepadamu !”
Cong To menghela napas : “Pengemis tua sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi ilmu
kepandaian orang-orang Lam-hay-bun itu memang hebat. Kim-pay perguruan kita itu
adalah barang peninggalan dari kakek guru pendiri Kim-pay bun. Asal Pengemis tua masih
hidup, tentu akan berusaha untuk mendapatkannya. Jika sumoay mengembalikan Kim-pay
itu berarti sumoay telah mengembalikan kedudukan pengemis tua ini . . . .”
Wanita baju hijau itu tersenyum : “Setelah memperoleh kedudukan sebagai pimpinan
engkau tentu menjalankan peraturan perguruan. Yang pertama kali tentu akan
menangkap aku atas tuduhan menghianati perguruan. Kemudian menghukumku nenurut
peraturan perguruan, benar tidak ?”
“Benar,” sahut Cong To tegas, “itu memang sudah menjadi peraturan yang ditetapkan
oleh kakek guru. Setiap murid Kim-pay-bun harus taat !”
“Jika aku tak mentaati perintah Kim-pay ? Bagaimana tindakanmu ?” tanyanya sambil
tertawa.
Sahut cong-To dengan tandas : “Atas budi kakek guru, pengemis tua ini telah diangkat
menjadi ketua Kim-pay-bun angkatan ke 12. Sudah tentu pengemis tua akan berusaha
sekuat tenaga untuk menjamin dan melaksanakan segala peraturan perguruan. Asal
sumoy suka menyerahkan Kim-pay itu kepadaku, tentu segera akan kuatur
pelaksanaannya !”
Wanita cantik itu tertawa : “Mengatur pelaksanaan peraturan perguruan adalah
urusanmu. Mentaati atau tidak, terserah kepadaku. Tetapi yang jelas, sekarang engkau
belum mendapatkan Kim-pay itu. Tak perlu engkau membayangkan hal yang tidak-tidak.
Sebelum mendapatkan kitab pusaka Lam-hay-bun, jangan mimpi untuk memperoleh Kimpay.
Kim-pay ditukar dengan kitab, masing-masing mempunyai kepentingan dan
kebutuhan sehingga tak saling rugi. Berpuluh tahun aku menderita untuk
mendapatkannya. Kalau engkau menggunakan tenaga untuk merebut kitab pusaka, itu
sudah selayaknya !”
Cong To menghela napas : “Pengemis tua sudah kehilangan kepercayaan untuk
merebut kitab itu. Tetapi tetap akan kuusahakan sekuat tenagaku.”
Wanita cantik itu merenung beberapa jenak, tiba-tiba ia tertawa : “Dalam hal itu aku
bersedia membantumu, tetapi engkaupun harus berjuang sungguh-sungguh . . . .” -
wanita itu berhenti lalu berpaling ke arah Han Ping, ucapnya : “Mengapa engkau kerutkan
dahi ? Jika hendak menantang adu kesaktian dengan aku, mari kita cari sebuah

tempatyang sunyi. Disitu kita dapat bertanding dengan sepuas-puasnya dan menentukan
siapa yang lebih unggul !”
Han Ping menyambut tantangan itu dengan tertawa dingin : “Sudan tentu akan
kulayani !”
Wanita cantik berpaling lagi kepada Cong To, katanya : “Murid kesayanganmu itu telah
kututuk jalan darahnya. Telah kuberinya kelonggaran, walaupun lukanya berat, tetapi
tidak sampai membahayakan jiwanya. Dengan kepandaianmu tidaklah sukar untuk
mengobatinya. Biar Ho Heng Ciu kutinggal disini. Jika engkau memerlukan bantuanku,
biarlah dia memberitahukan kepadaku, aku pasti segera datang . . . .”
Tiba-tiba wanita cantik itu tertawa melengking serunya : “Suheng, selamatlah. Sumoay
hendak mohon diri . . . .”- ia terus melangkah perlahan-lahan keluar dari ruang kuil.
Demi kepentingan susiok, murid sanggup berkorban sampai mati, tetapi . . . .” teriak
Heng Ciu.
Wanita cantik itu kerutkan alis dan tertawa : “Kalau sedia berkorban sampai mati,
mengapa engkau takut-takut lagi ? Jangan kuatir, tinggallah disini !”
“Murid . . . .”
“Tak perlu banyak bicara !” bentak wanita cantik itu dengan marah, “dua tiga hari lagi
akan kukirim orang untuk menjemputmu !” - habis berkata ia terus lanjutkan langkah.
Ke empat gadis baju merah pengiringnya, pun segera berputar tubuh dan mengikuti di
belakang si wanita genit.
Ting Ling seperti ditusuk jarum. Apa yang lain orang tak memperhatikan, nona itu
selalu cermat. Melihat gerakan ke empat gadis dayang-dayang itu, tahulah ia bahwa
mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Dan memandang ke arah Ho Heng Ciu, ternyata
pemuda itu seperti orang yang kehilangan ibunya. Wajahnya berduka sekali, tegak berdiri
terlongong-longong memandang bayangan wanita cantik tadi. Diam-diam Ting Ling geli
dalam hati.
Karena Han Ping tak ikut menyusul, wanita genit itu berpaling menuding Han Ping,
serunya tertawa : “Bukankah engkau hendak menantang berkelahi ? Mengapa engkau tak
menyusul kemari ?”
“Huh, apa engkau sangka takut padamu !” teriak Han Ping murka seraya ayunkan
langkah keluar ruang.
“Tunggu !” cepat-cepat Ting Hong meneriakinya.
Han Ping terkejut, serunya : “Engkau memanggil aku ?”
“Ya,” sahut Ting Hong, “wanita itu licin seperti siluman rase. Perlu apa engkau
mendengar kata-katanya ? Kalau mau bertanding, perlu apa harus mencari tempat yang
sepi . . . .”

“Benar, wanita itu memang bukan sesungguhnya hendak adu kepandaian dengan
engkau. Dia tentu mempunyai maksud lain !” seru Ting Ling.
Dahi wanita cantik itu mengerut hawa pembunuhan. Sekali ayunkan tubuh, ia melayang
ke dalam ruangan lagi. Sambil tertawa mengikik ia menegur Ting Ling : “Adik ini
mengatakan kalau aku mempunyai lain maksud. Cobalah katakan, maksud apa itu ?”-
Sambil berkata-kata, si wanita genit perlahan-lahan mengisar mendekati Ting Ling.
Ting Ling seorang nona yang cerdas. Tetapi betapapun, dia tetap seorang gadis. Atas
pertanyaan si wanita genit, wajahnya tersipu merah.
“Siapa yang tahu isi hatimu. Hm, jelas sudah hatimu tentu mempunyai rencana lain !”
ia mendamprat wanita itu.
Sesungguhnya amarah wanita itu sudah menyala. Tetapi wajahnya tetap tenang dan
malah tertawa riang : “Kata-kata adik ini, sukar dimengerti. Seorang anak perempuan
yang masih begitu muda, mengapa mempunyai pikiran yang tak keruan? Mulut adalah
cermin hati . . . .”
Cong To tak mengira bahwa sumoay yang sudah tak berjumpa selama 20 tahun itu, kini
ternyata berobah menjadi seorang wanita yang cabul. Malunya bukan kepalang. Cepatcepat
pengemis sakti itu mendengus dan berpaling muka.
Ting Ling yang lincah pikiran, serta mendengar dengusan si pengemis sakti, ia segera
tersadar dan cepat melesat beberapa langkah ke samping.
“Hm, budak yang licin !” diam-diam wanita itu memaki.
Sambil membungkuk badan seperti orang memberi hormat, wanita genit itu berseru
tertawa : “Mengapa engkau lari ?”
Sekali tubuh menjulur keatas lagi, tiba-tiba wanita itu melesat serta menampar.
Wanita genit itu memang sakti. Apalagi serangan itu dilancarkan dengan nafsu
kemarahan. Cepat dan dahsyatnya bukan kepalang.
Baru Ting Ling menginjak tanah, segera ia merasa dilanda oleh serangkum hawa panas,
seperti air mendidih. Seketika tubuh nona itu menggigil. Keringat bercucuran membanjir
keluar . . . .
Setelah melepaskan pukulan, wajah si wanita genit yang semula berseri merah segar,
saat itu berobah pucat lesi. Ia loncat keluar ruang lagi lalu lari pesat.
Sesungguhnya Han Ping memang kurang pengalaman. Walaupun ia tahu bahwa
pukulan yang diderita Ting Ling itu bukan ilmu pukulan biasa, tetapi ia tak tahu caranya
mencegah tindakan si wanita genit.
Agaknya Ting Ling sudah merasa sesuatu yang tak wajar pada dirinya. Ia tertawa
hambar, ujarnya : “Aku terkena pukulan gelap dari wanita itu . . . .”
“Apa ? Taci terluka ?” Ting Hong terkejut. Dilihatnya muka tacinya membegap merah
dan dahinya penuh butir-butir keringat.

“Aku segera akan mati terbakar . . . .” kata Ting Ling seraya mengusap dahinya. Dari
seorang gadis yang biasanya keras dan angkuh, saat itu nada suara Ting Ling lemah
lembut. Napasnyapun sesak seperti tengah menderita kesakitan hebat.
Han Ping terkejut. Ia tak sangka wanita genit itu memiliki ilmu pukulan yang
sedemikian ganasnya. Ia tak sampai hati melihat Ting Ling menderita kesakitan begitu.
Dihampirinya nona itu dan dirabanya kening Ting Ling. Ia berjingkat kaget. Kening Ting
Ling membaurkan hawa yang panas sekali.
“Hai, ilmu pukulan apa ini . . . ?” diam-diam ia terkejut dalam hati. Tiba-tiba ia teringat
bahwa Pengemis sakti Cong To adalah suheng dari wanita baju hijau tadi. Mungkin
pengemis tua itu dapat menolong.
“Sebagai suheng dari wanita baju hijau tadi, kiranya locianpwe tentu mengetahui
pukulan apa yang digunakan untuk memukul nona Ting ini ?” katanya kepada Cong To.
Sebagai tokoh yang termahsyur, setiap orang persilatan tentu mengindahkan sekali
kepada Cong To. Han Ping kurang pengalaman apalagi dalam keadaan bingung. Ia tak
menghiraukan segala peraturan lagi.
Pengemis sakti Cong To kerutkan dahi lalu menjawab dengan dingin : “Pukulan itu,
pengemis tua sendiri pun tak tahu !”
Betapapun juga sebagai seorang gadis, Ting Ling merasa malu keningnya dijamah
seorang pemuda dan dilihat oleh orang. Ia tersenyum dan menolak dengan halus : “Ah,
sudahlah, aku masih dapat bertahan sendiri. Tak perlu engkau sibuk-sibuk.”
Sejenak Han Ping berpaling memandang nona itu lalu berpaling lagi menatap Cong To :
“Locianpwe seorang tokoh yang harum namanya dan sangat kukagumi. Melihat seorang
nona sedang menderita kesakitan hebat dan tak menolong. Apakah hal itu berkenan
dalam hati locianpwe ?”
Serangkai ucapan yang keras tetapi beralasan sekali. Mau tak mau Cong To tergerak
juga hatinya. Ia maju menghampiri ke tempat Ting Ling. Setelah memeriksa sejenak, ia
berpaling kepada Han Ping.
“Dia terkena pukulan lwekang Sam-yang-cin-gi !” serunya.
Han Ping tertegun.
“Apakah locianpwe dapat menolongnya ?”
Cong To merenung diam. Beberapa saat kemudian ia berkata : “Pukulan lwekang Samyang-
cin-gi, merupakan ilmu pukulan yang paling sukar dari perguruan kami. Pengemis
tua tak mampu menolongnya !”
“Kalau begitu, pukulan Sam-yang-cin-gi itu tiada obatnya lagi ?” Han Ping menegas.
Tiba-tiba Heng Ciu menyelutuk : “Memang bisa ditolong tetapi harus susiokku yang
turun tangan. Kecuali dia, tiada seorangpun di dunia ini yang mampu menolongnya !”

Mendengar tacinya tak dapat tertolong lagi, hati Ting Hong berduka sekali. Air matanya
bercucuran. Ia berlutut memeluk tubuh tacinya : “Ci, mari kita pulang. Kemungkinan ayah
dapat menolongmu !”
Ting Ling memegang lengan adiknya, gelengkan kepala tertawa : “Mungkin aku tak
kuat bertahan lagi. Engkau pulang sendiri saja. Apabila berjumpa ayah bilanglah kalau aku
mati di tengah jalan karena menderita sakit. Jangan bilang karena terkena pukulan Samyang-
cin-gi !”
“Jangan kuatir !” tiba-tiba Han Ping berseru, “tentu akan kutangkap wanita baju hijau
itu dan kupaksanya supaya mengobati engkau !”
Tiba-tiba pemuda itu melesat ke samping Heng Ciu, sekali menyambar ia
mencengkeram siku lengan pemuda she Ho itu.
Ho Heng Ciu pernah merasakan kelihaian Han Ping serta menyaksikan pemuda itu
bertempur dengan susioknya yakni si wanita baju hijau itu. Ia menyadari kalau
kepandaiannya kalah unggul dengan Han Ping. Cepat-cepat ia loncat menghindar ke
samping.
Tetapi Han Ping sudah siapkan rencana untuk meringkus pemuda itu. Begitu Heng Ciu
menghindar ke samping, secepat itu pula Han Ping menghantam dengan tangan kiri.
Pukulan itu tepat sekali waktunya sehingga anginnya tepat menyambar di belakang
Heng Ciu. Pemuda itu terpaksa loncat balik ke tempatnya semula. Disitu Han Ping sudah
menunggu menerkamnya. Ilmu menangkap dengan tangan kosong Kin-liong-chiu ajaran
mendiang padri Hui Gong merupakan ilmu simpanan gereja Siau-lim-si yang jarang
dimainkan. Oleh karenanya walaupun jago-jago kelas satu, juga tak pernah melihat ilmu
sambaran dengan tangan kosong semacam itu.
Dalam keadaan terdesak, Heng Ciu nekad hendak menghantam tetapi tiba-tiba ia rasa
siku lengannya kesemutan dan tenaganya lenyap. Tahu-tahu pergelangan tangannyapun
telah dicengkeram Han Ping.
Cong To deliki mata kepada Han Ping. Tampaknya pengemis sakti itu hendak turun
tangan. Tetapi entah bagaimana ia malah berputar tubuh dan menghampiri muridnya, si
pengemis kecil.
Sekali Han Ping keraskan cengkeramannya, Heng Ciu rasakan darah pada lengan
kirinya itu melancar balik ke atas lagi, terus menyusup ke jantung.
Pergelangan tangannya serasa pecah tulangnya.
Keringatpun bercucuran seperti hujan.
Saat itu Cong To sudah berjongkok hendak menolong si pengemis kecil. Tetapi serta
melihat wajah Heng Ciu mengerut derita kesakitan, serentak ia berbangkit lagi dan
membentak Han Ping : “Dalam perguruan pengemis tua, selamanya tak membenarkan
orang luar turut campur dalam perguruan. Lekas lepaskan cekalanmu !”
Hanya sejenak Han Ping berpaling memandang Cong To lalu bertanya garang kepada
Heng Ciu : “Dimanakah tempat wanita baju hijau itu ?”

Heng Ciu deliki mata kepada Cong To. Ia marah sekali karena pengemis sakti itu tak
mau menurun tangan. Tetapi ia percaya, pengemis sakti itu pasti menolongnya. Seketika
nyalinya timbul. Dengan keras hati ia tahan kesakitan dan menyahut angkuh : “Tidak tahu
!”
Han Ping tertawa dingin. Ia keraskan cengkeramannya. Saat itu Heng Ciu rasakan
tulang tangannya seperti terpisah. Sakitnya sampai menusuk ke ulu hati sehingga ia
mengerang tertahan.
Dengan marah Han Ping menggeram : “Engkau mau mengatakan atau tidak . . . .”
“Lepaskan !” tiba-tiba Cong To membentak seraya menerjang.
Tetapi Han Ping sudah siap. Lebih dulu ia menutuk iga Heng Ciu lalu mendorongnya ke
muka. Kemudian tangan kirinya menyongsong pukulan Cong To. Begitu pukulan pengemis
sakti itu tertahan, Han Pingpun cepat mundur tiga langkah.
Sesungguhnya walaupun pukulan Cong To itu dahsyat sekali tampaknya, tetapi karena
ia tak mau sungguh-sungguh melukai pemuda itu, maka pukulan itupun tak disaluri tenaga
penuh. Tujuannya hanya menolong Heng Ciu saja.
Pada saat Han Ping mundur ke belakang itu, ia pun lepaskan cengkeramannya pada
lengan Heng Ciu. Karena jalan darahnya tertutuk, begitu digoyangkan sedikit saja, Heng
Ciu sudah rubuh ke belakang. Untung Cong To cepat menyambutnya dan segera
mengurut jalan darah yang tertutuk itu.
“Karena locianpwe bertindak begitu, jangan sesalkan aku berlaku kurang hormat !”
bentak Han Ping seraya dorongkan tangan ke arah Cong To.
Sebagai seorang tokoh yang berpengalaman, tahulah Cong To bahwa dorongan tangan
pemuda itu mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Ia heran mengapa dalam waktu
yang singkat, pemuda itu telah mencapai kemajuan yang sedemikian pesatnya.
Cong To cepat bertindak. Dengan tangan kiri ia dorong tubuh Heng Ciu supaya keluar
dari lingkaran dorongan Han Ping. Sedangkan tangannya kanan menampar ke belakang,
menangkis pukulan Han Ping.
Han Ping pernah menelan pil pahit dari pengemis sakti itu. Ia tahu tenaga dalam
pengemis itu melebihi dirinya. Jika adu kekerasan, ia tentu kalah. Cepat ia mundur ke
belakang.
Pada waktu terjadi benturan angin tenaga dalam dari kedua orang itu, Cong To
terpental empat langkah. Bukan karena ia kalah tinggi tenaga dalamnya tetapi karena
pukulannya tadi hanya menggunakan enam bagian dari tenaga dalamnya.
Selekas mundur ke belakang, ternyata Han Ping loncat melayang kehadapan Cong To
lagi, serunya : “Locianpwe seorang tokoh perwira dan berbudi luhur. Tetapi mengapa
bukan menolong gadis yang terluka itu kebalikannya malah merintangi aku ? Tindakan
locianpwe itu dikuatirkan akan menodai nama baik locianpwe !”

Cong To murka : “Dalam setiap tindakan, aku tak perlu bertanya lagi kepada siapapun
juga. Meskipun Ho Heng Ciu itu seorang murid murtad, tetapi dia tetap masih murid
perguruan Kim-pay-bun. Pengemis tua terpaksa tak dapat membiarkan siapa saja
mencelakainya di hadapanku !”
“Apakah sekalipun murid Kim-pay-bun itu bersalah melanggar peraturan perguruan,
locianpwe juga tetap hendak melindunginya ?” Han Ping menegas.
“Itu kami sendiri yang akan memberi hukuman, orang luar tak perlu mengurusi !”
Han Ping tertawa hambar : “Kim-pay berada di tangan wanita baju hijau itu. Kedudukan
locianpwe tak lebih hanya seorang murid Kim-pay-bun. Dengan hak apa locianpwe hendak
menghukum seorang murid yang berhianat ?” tajam sekali ia mengajukan pertanyaan itu.
Sahut Cong To dengan tandas : “Pengemis tua ini adalah ahli waris Kim-pay-bun yang
ke 12. Sekalipun tidak memegang Kim-pay, tetapi tetap menguasai perguruan dan anakanak
murid. Siapa bilang pengemis tua ini tak berhak ?”
Anda sedang membaca artikel tentang Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1 dan anda bisa menemukan artikel Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/persekutuan-tusuk-kundai-kumala-1.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/persekutuan-tusuk-kundai-kumala-1.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar