Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 4 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 13 September 2011

Bab 75. Antara Hidup dan Mati
Suara itu monoton dan datar. Tidak tinggi, tidak rendah.
Tidak mengandung emosi sedikitpun. Hiang Siong kenal
baik dengan suara ini. Satu-satunya orang yang bersuara
seperti ini adalah Hing Bu-bing!
Hing Bu-bing!

1281
Hiang Siong terperanjat. Ia menoleh perlahan….betul,
Hing Bu-bing adanya!
Pakaiannya tampak lusuh. Ia kelihatan lelah dan letih.
Namun matanya…..
Matanya yang kelabu mati masih tetap dingin seperti
sedia kala. Tatapannya masih dapat membuat darah
orang yang dipandangnya membeku seketika.
Hiang Siong mengalihkan pandangan dari matanya ke
tangannya.
Tangan kirinya masih digendong dengan kain pembalut.
Warnanya terlihat kelabu seperti abu, seperti tangan
yang menggapai-gapai dari liang kubur.
Tangan ini dulu bisa membunuh, namun kini hanya
membuat mual orang yang melihatnya.
Hiang Siong tertawa kecil dan berkata, “Walaupun aku
mungkin tidak mengerti cara yang canggih membunuh
orang, setidaknya aku masih bisa membunuh. Mungkin
Hing-siansing tahu cara yang canggih membunuh orang,
tapi sayangnya, membunuh tidak bisa dilakukan dengan
mulut, harus dengan tangan.”
Mata Hing Bu-bing menyipit. Ia menatap Hiang Siong dan
berkata perlahan, “Kau tidak melihat tanganku?”
“Ada banyak macam tangan. Apa yang kulihat adalah
tangan yang tidak bisa membunuh.”

1282
“Kau pikir tangan kananku tidak dapat membunuh?”
“Ada banyak macam manusia juga. Ada yang mudah
dibunuh, ada yang tidak.”
Tanya Hing Bu-bing, “Macam manakah engkau?”
Hiang Siong mengalihkan pandangannya dan berkata
dingin, “Macam yang tidak bisa kau bunuh.”
Matanya penuh kebencian, seolah-olah ingin memancing
Hing Bu-bing untuk menyerang. Seolah-olah mencari-cari
alasan untuk membunuhnya.
Tiba-tiba Hing Bu-bing tertawa terbahak-bahak.
Ia sama seperti Siangkoan Kim-hong. Ia tampak lebih
mengerikan saat tertawa.
Tanpa sadar Hiang Siong mundur selangkah.
Kata Hing Bu-bing, “Jadi selama ini kau membenciku?”
Hiang Siong mengertakkan giginya dan berkata,
“Rasanya tidak banyak orang di dunia ini yang tidak
membenci dirimu.”
“Dan kau ingin membunuhku?”
“Dalam hal ini, aku juga bukan satu-satunya.”
“Lalu mengapa menunggu sampai sekarang?”

1283
“Kau harus menunggu kesempatan yang terbaik untuk
membunuh. Seharusnya kau lebih mengerti akan hal ini
daripada siapapun juga.”
Tanya Hing Bu-bing, “Dan kau pikir kesempatan itu
sudah datang sekarang?”
Sahut Hiang Siong, “Benar.”
Hing Bu-bing mengeluh dan berkata, “Sayangnya aku
punya rahasia yang tidak kau ketahui.”
“Rahasia apa?”
Mata Hing Bu-bing tertuju pada lehernya saat berkata,
“Tangan kananku pun bisa membunuh. Sebenarnya,
dibandingkan dengan tangan kiri, tangan kananku bisa
membunuh lebih cepat!”
Saat mengucapkan kata yang terakhir, pedangnya telah
menembus leher Hiang Siong!
Tidak ada yang melihat dari mana datangnya pedang itu
dan bagaimana pedang itu menembus leher Hiang Siong.
Yang terlihat hanyalah selarik sinar dan semburan darah.
Dengan suara ‘Ge’, nafas Hiang Siong berhenti. Matanya
seolah-olah hendak melompat keluar.
Mata Si Golok Kepala Setan dan Si Pedang Pintu
Kematian pun terlihat hendak melompat keluar.
Keduanya perlahan-lahan mundur ke arah pintu.

1284
Hing Bu-bing tidak menoleh. Ia berkata dingin, “Kalian
berdua berpikir masih bisa pergi setelah mengetahui
rahasiaku?”
Selarik sinar kembali berkelebat!
Darah muncrat membasahi lantai. Di bawah cahaya
lentera, butiran-butirannya bagaikan untaian mutiara
merah yang berkilauan.
Obat yang manjur rasanya selalu pahit, dan racun yang
mematikan selalu manis bagai madu.
Ada hal-hal tertentu dalam hidup ini yang tidak dapat
dimengerti….bahkan hal-hal yang sangat jelek dan
menjijikkan, jika dilihat dari sudut pandang lain bisa
tampak indah dan berharga.
Itulah sebabnya, pedang yang membunuh selalu tampak
berkilau dan darah yang tercurah selalu tampak
gemerlapan.
Itulah sebabnya ada pepatah, ‘Kecantikan pudar dalam
sekejap mata. Hanya keahlian sejati yang bertahan
abadi’.
‘Keahlian sejati’ tidak pernah tampak cantik.
Pedang yang membunuh sama saja dengan pisau
pemotong sayuran. Dua-duanya terbuat dari baja yang
sama. Perbedaannya adalah sedalam apa kau
melihatnya.

1285
Ada juga pepatah yang mengatakan, ‘Biarkan aku
menikmati sekejap saja kecantikan itu. Biarkanlah hal-hal
yang abadi menunggu sampai selamanya, mereka tidak
berguna bagiku’.
Beberapa saat yang lalu, Hiang Siong adalah Si Meteor
Kembar Angin dan Hujan yang sangat disegani, Ketua
Cabang Kedelapan Kim-ci-pang.
Tapi kini, ia hanyalah seorang mati. Tidak banyak
berbeda dari orang-orang mati yang lain.
Hing Bu-bing memandangi mayatnya. Air mukanya
berubah agak aneh. Seolah-olah baru pertama kali
melihat orang mati.
Apakah ini pertama kalinya ia merasakan ‘kematian’?
Apakah setelah orang merasa benar-benar sebatang
kara, barulah ia dapat merasakan ‘kematian’?
Lim Sian-ji menghela nafas panjang.
Ia telah menahan nafas sangat lama. Baru kini akhirnya
ia berani menghembuskan nafas lega.
Ia tersenyum manis pada Hing Bu-bing dan berkata,
“Aku tidak menyangka bahwa kau akan datang untuk
menyelamatkan aku.”
Hing Bu-bing tidak mengangkat kepalanya. Ia menyahut
dingin, “Kau pikir aku datang untuk menyelamatkanmu?”

1286
Lim Sian-ji mengangguk dan berkata, “Aku tahu
maksudmu.”
Perlahan Hing Bu-bing mengangkat wajahnya dan
berkata, “Apa yang kau tahu?”
“Kau menyelamatkan aku karena Siangkoan Kim-hong
ingin membunuhku.”
Hing Bu-bing terus menatapnya.
“Kau membencinya. Jadi apapun yang direncanakannya,
kau akan menggagalkannya.”
Hing Bu-bing masih terus menatapnya.
“Bahkan sekarang pun, aku tahu orang macam apakah
engkau. Dan akupun tahu bahwa Siangkoan Hui mati
dalam tanganmu.”
Mata Hing Bu-bing beralih pada pedangnya.
Katanya, “Kau tahu terlalu banyak.”
Lim Sian-ji tertawa dan berkata, “Aku pun tahu kau tidak
akan membunuhku. Karena jika kau membunuhku, kau
melakukan apa yang diinginkan Siangkoan Kim-hong.”
Ia tersenyum lembut dan menambahkan, “Kau tidak
hanya akan membiarkan aku hidup, kau juga akan
membawaku pergi bersamamu. Betul kan?”
“Membawamu pergi bersamaku?”

1287
“Karena jika kau tidak ingin aku mati di tangan
Siangkoan Kim-hong, dan kaupun tidak ingin aku
membocorkan rahasiamu, kau tidak punya pilihan. Kau
harus membawaku pergi bersamamu.”
Suaranya menjadi makin lembut dan merayu, “Sepenuh
hati, aku rela pergi bersamamu. Ke mana pun juga kau
pergi, aku akan ikut.”
Hing Bu-bing terdiam sesaat, lalu melirik A Fei.
Seolah-olah ia baru menyadari A Fei ada di situ.
Lim Sian-ji pun meliriknya. Ia menghampiri A Fei dan
mencium pipinya.
Lim Sian-ji tidak berbicara apa-apa lagi.
Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.
Lalu ia pergi keluar mengikuti Hing Bu-bing.
A Fei diam tidak bergerak.
Mulutnya terasa kering.
Ia terus mematung.
Sinar matahari masuk melalui jendela. Hari sudah pagi.
A Fei masih tidak bergerak.

1288
Ia terbaring di lantai basah kuyup oleh darah dari mayat
di sampingnya.
Ia tergantung di antara hidup dan mati hanya dengan
seutas benang……
***
‘Tanggal X X, sepuluh li di luar tembok barat, di bawah
pohon dekat paviliun.
Siangkoan Kim-hong’
Musim dingin telah tiba. Angin barat bertiup merontokkan
sisa-sisa daun kering yang tersisa di atas pohon.
Surat itu berwarna sama seperti daun kering yang
menguning. Warna kuning yang membawa hawa
kematian. Warna kuning yang membawa rasa kelayuan
dan kengerian.
Surat itu hanya terdiri dari 17 kata. Singkat dan
sederhana. Sama seperti cara Siangkoan Kim-hong
membunuh. Tidak pernah banyak gaya.
Surat itu diantarkan oleh seorang pegawai penginapan.
Setelah membacanya, tangannya terus gemetaran.
Sun Sio-ang menyambar surat itu dan membacanya.
Rasa dingin mencekam merembes dari tulang
punggungnya naik sampai ke bahu dan turun ke
tangannya. Ujung-ujung jarinya tiba-tiba terasa kaku
kedinginan.

1289
Besok…harinya adalah besok….
“Menurut kalender, besok bukanlah hari baik. Ada banyak
hal yang salah,” gumam Sun Sio-ang.
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Mengapa harus
cari hari baik untuk membunuh?”
Tatapan Sun Sio-ang tajam menusuk Li Sun-Hoan.
Sampai sekian lama, lalu ia pun bertanya dengan
lantang, “Bisakah kau membunuhnya?”
Mulut Li Sun-Hoan terkatup rapat. Senyum di bibirnya
sedikit demi sedikit lenyap.
Tiba-tiba Sun Sio-ang bangkit berdiri dan keluar dari
kamar itu. Li Sun-Hoan tidak dapat menerka apa yang
akan diperbuatnya. Gadis itu segera kembali berlari
masuk dengan kuas, tinta, dan kertas di tangannya.
Kuas yang bergagang mengkilap dan kertas berkualitas
tinggi.
Ia tidak memandang Li Sun-Hoan saat berkata, “Kau
bicara, aku menulis.”
Li Sun-Hoan terhenyak. “Apa yang kau ingin aku
katakan?”
“Apakah kau punya keinginan yang belum kesampaian?
Atau masalah yang belum selesai?”

1290
Suaranya sangat tenang, namun kuas di tangannya
terlihat gemetar.
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Apakah kau mau
aku mengatakannya sekarang? Aku kan belum mati.”
“Setelah kau mati, kau tidak bisa mengatakannya lagi
padaku,” jawab Sun Sio-ang datar.
Selama itu, kepalanya terus menunduk. Matanya tertuju
pada kuas di tangannya. Namun ia tidak dapat
mengabaikan tatapan mata Li Sun-Hoan.
Mata gadis itu mulai basah. Ia menggigit bibirnya kuatkuat
dan berkata, “Kau boleh bilang apa saja. A Fei,
contohnya. Adakah yang kau ingin aku katakan
kepadanya? Atau adakah yang kau ingin aku perbuat
baginya?”
Rasa pedih terbayang jelas dalam mata Li Sun-Hoan. Ia
menghela nafas dan berkata, “Tidak ada.”
“Tidak ada? Sama sekali tidak ada?”
“Aku bisa saja menasihatinya untuk tidak membunuh
seseorang, tapi bagaimana aku dapat membujuknya
untuk tidak mencintai seseorang?”
“Bagaimana jika ada orang yang ingin membunuhnya?”
tanya Sun Sio-ang.
Li Sun-Hoan tertawa pahit. “Sekarang ini, siapa yang
ingin membunuhnya?”

1291
“Siangkoan Kim-hong…..”
“Jika Siangkoan Kim-hong telah membiarkan ia pergi.
Tidak mungkin tiba-tiba saja ia mau membunuhnya
sekarang. Kalau memang Siangkoan Kim-hong ingin
membunuhnya, ia pasti sudah mati sejak lama.”
“Bagaimana di kemudian hari?” desak Sun Sio-ang.
Li Sun-Hoan memandang ke luar jendela, ke kejauhan,
dan berkata perlahan, “Saatnya bangun tetap akan tiba,
setelah mimpi yang paling panjang sekalipun. Jika saat
itu tiba, ia akan mengerti segala sesuatu. Apapun yang
kukatakan padanya saat ia masih tidur, tidak akan ada
gunanya.”
Sun Sio-ang terdiam cukup lama, lalu berkata,
“Bagaimana dengan dia?”
Seakan-akan Sun Sio-ang harus mengumpulkan segenap
kekuatannya untuk mengatakan kalimat itu.
Tentu saja Li Sun-Hoan tahu siapa yang
dimaksudkannya.
Rasa pedih di matanya terlihat semakin dalam. Tiba-tiba
ia berjalan ke arah jendela dan membukanya.
Sun Sio-ang, dengan kepala tetap tertunduk, berkata
lirih, “Jika kau….kau ada pesan untuknya, apa saja…..”
Li Sun-Hoan memotongnya cepat, “Tidak ada. Sama
sekali tidak ada.”

1292
“Tapi kau…..”
Kata Li Sun-Hoan, “Selama ia hidup, akan ada orang
yang menjaganya. Saat ia meninggal, akan ada orang
yang mengurus penguburannya. Ia tidak memerlukan
aku. Kematianku hanya akan membawa kelegaan
baginya.”
Suaranya tenang, namun ia tidak memaLingkan
wajahnya. Ia terus memandang ke luar.
Mengapa ia takut untuk menoleh?
Sun Sio-ang memandang tubuhnya yang kurus dari
belakang. Setetes air mata jatuh ke atas kertas kosong
itu.
Tanpa suara ia menyeka air matanya dan berkata, “Tapi
pasti ada yang hendak kau katakan. Mengapa kau tidak
mau memberitahukannya kepadaku?”
Li Sun-Hoan balik bertanya, “Mengapa kau begitu ingin
aku bicara?”
“Kau beri tahu aku sekali saja dan aku akan
mengingatnya selama-lamanya. Setelah kau meninggal,
aku akan melaksanakannya satu per satu. Dan
kemudian….”
Li Sun-Hoan segera berbalik dan bertanya, “Dan
kemudian apa?”
“Dan kemudian aku pun akan mati!” jawab Sun Sio-ang.

1293
Ia berdiri tegak dan memandang lurus pada Li Sun-Hoan.
Ia tidak memaLingkan wajahnya dan ia tidak berusaha
menyembunyikan apapun juga.
“Meng….Mengapa kau ingin mati?”
“Aku tidak bisa menghindar dari kematian, karena
setelah kau pergi, hidup akan lebih menderita daripada
mati.”
Ia terus menatap Li Sun-Hoan tanpa berkedip.
Lalu gejolak hatinya mulai mereda dan tenang. Jelas
sudah bahwa gadis itu telah bertekad bulat. Tidak ada
orang yang bisa membujuknya untuk berubah pikiran.
Li Sun-Hoan merasa hatinya seperti ditusuk. Ia
membungkuk dan mulai batuk-batuk keras.
Setelah batuknya mereda, Sun Sio-ang mendesah dan
berkata dengan tenang, “Jika kau ingin aku terus hidup,
kau tidak boleh mati…. Siangkoan Kim-hong belum tentu
ingin bertemu denganmu untuk berduel. Ia pun cukup
segan padamu.”
Tiba-tiba ia menghambur ke arah Li Sun-Hoan, meraih
tangannya dan be kata, “Kita bisa lari, lari sejauh
mungkin. Kita lupakan semuanya. Aku….Aku bisa
membawamu pulang ke rumahku. Tidak ada yang tahu
tempat itu. Sekalipun Siangkoan Kim-hong ingin
mencarimu, ia tidak mungkin dapat menemukan engkau
di sana.”

1294
Li Sun-Hoan tidak menjawab. Ia tidak mengatakan
sepatah kata pun.
Ia hanya menatap gadis itu lekat-lekat.
Angin dingin berhembus masuk ke dalam kamar itu.
Segulung asap ikut masuk memenuhi kamar itu dan
menghalangi pandangannya.
Suara Tuan Sun yang bijak kedengaran memenuhi
ruangan itu, “Apapun yang kau katakan, ia tidak akan
melarikan diri.”
Sun Sio-ang menghentakkan kakinya dan berkata dengan
kesal, “Bagaimana Kakek bisa tahu kalau ia tidak akan
pergi?”
“Jika ia adalah macam orang yang melarikan diri, kau
tidak akan mempunyai perasaan apa-apa terhadap dia.”
Sun Sio-ang terdiam, lalu membalikkan badannya dan
menutup mukanya.
Li Sun-Hoan mengeluh dan berkata, “Cianpwe….”
Tuan Sun menyelanya dan berkata, “Aku tahu apa yang
kau pikirkan, tapi….aku hanya bisa menasihatinya untuk
tidak membunuh seseorang. Aku tidak bisa
membujuknya untuk tidak mencintai seseorang….”
Cinta. Satu-satunya hal dalam hidup ini yang tidak dapat
dipaksakan.

1295
Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk lagi. Kali ini lebih keras
dari sebelumnya.
***
‘Sepuluh li di luar tembok barat, di bawah pohon dekat
paviliun.’
Paviliun itu bersegi delapan. Tempatnya tepat di kaki
gunung, di sebelah luar hutan.
Hutan itu sudah gundul. Cat pada tiang-tiang paviliun itu
pun telah mulai mengelupas.
Angin barat menderu-deru. Dataran yang luas itu terdiam
dalam keheningan.
Li Sun-Hoan berjalan masuk keluar hutan. Sepertinya ia
telah berjalan melewati setiap inci hutan itu.
‘Besok, harinya adalah besok.’
Matahari mulai condong ke barat. Hari akan segera
berlalu.
Esok hari, di bawah matahari senja yang sama, seluruh
permusuhan antara Li Sun-Hoan dan Siangkoan Kimhong
akan diselesaikan.
Ini akan menjadi pertarungan yang terhebat sepanjang
sejarah!

1296
Li Sun-Hoan menghela nafas panjang dan mengangkat
kepalanya. Matahari terbenam memancarkan sinarnya ke
seluruh jagad raya, memenuhinya dengan keindahan dan
keagungan yang tiada taranya.
Tapi, di mata seorang yang hampir mati, apakah
matahari terbenam pun akan tampak indah?
Tuan Sun dan Sun Sio-ang duduk diam dalam paviliun
itu. Tiba-tiba Sun Sio-ang bertanya, “Waktunya berduel
masih lama. Mengapa ia datang ke sini begitu awal?”
“Dalam duel dua orang ahli, yang harus diperhitungkan
bukan hanya kekuatan dan kelemahan ilmu silatnya,
namun kau juga harus memperhatikan cuaca, keadaan
sekitar, dan orang-orang lain. Karena Siangkoan Kimhong
memilih lokasi ini, ia pasti punya alasan,” jawab
Tuan Sun.
“Apa alasannya?”
“Ia pasti sudah terbiasa dengan keadaan di tempat ini.
Bahkan ia mungkin telah memasang perangkap di sini
sebelumnya.”
“Jadi Li Sun-Hoan harus datang ke sini lebih dulu dan
memeriksa keadaan sekitar, apakah Siangkoan Kim-hong
telah memasang perangkap dan di mana ia
memasangnya.”
“Benar sekali. Jenderal-jenderal jaman dulu pun selalu
memeriksa medan laga sebelum perang yang penting
berlangsung. Perang apapun itu, jika seseorang

1297
memeriksa dengan seksama medan laganya, ia pasti
akan mempunyai keuntungan.”
“Tapi mengapa ia berjalan bolak-balik di tempat itu
saja?” tanya Sun Sio-ang.
Jawab kakeknya, “Jalan bolak-balik pun ada maksudnya.”
“Hah?”
“Ia ingin berjalan melewati setiap jengkal tanah di situ
dan memeriksa keadaan permukaan tanah. Ia ingin tahu
apakah tanahnya lembut atau keras, kering atau
lembab.”
“Dan untuk apa dia tahu?”
“Karena tiap jengkal tanah itu berbeda dan dapat
mempengaruhi kemampuan meringankan tubuhnya. Jika
dengan tujuh puluh persen tenagamu, kau dapat
melompat tujuh meter di atas tanah yang lembab, di atas
tanah yang keras, kau dapat melompat sepuluh meter.”
“Perbedaannya tidak begitu jauh.”
Tuan Sun mengeluh. “Jika dua orang orang ahli
bertempur, kesalahan mereka tidak boleh lebih besar dari
satu inci!”
Tiba-tiba Li Sun-Hoan berjalan mendekat dan berdiri
tepat di depan paviliun itu. Ia menghadap ke barat, ke
arah terbenamnya matahari di atas hutan yang gundul
itu. Dalam sosoknya terkandung segulung perasaan yang

1298
kuat, namun tidak seorang pun dapat menerka apa yang
ada dalam pikirannya.
Sun Sio-ang tidak tahan untuk tidak bertanya pada
kakeknya, “Dan sekarang apakah yang sedang
dilakukannya, berdiri mematung seperti itu?”
Bab 76. Taktik yang Cemerlang
Jawab Tuan Sun dengan suara rendah, “Siangkoan Kimhong
pasti datang awal esok hari.”
“Mengapa begitu?” tanya Sun Sio-ang.
“Karena siapa yang datang lebih awal, punya
kesempatan untuk memilih lokasi yang paling
menguntungkan. Tidak mungkin Siangkoan Kim-hong
menyia-nyiakan kesempatan ini.”
“Lalu mengapa Li Sun-Hoan tidak datang lebih awal lagi
saja?”
“Mungkin dia tidak ingin berlomba datang lebih awal.
Atau mungkin juga ia punya alasan yang lain sama
sekali.”
Tuan Sun terkekeh pelan dan menambahkan, “Li Tamhoa
bukan orang biasa. Kadang-kadang aku pun dibuatnya
bingung, tidak mengerti apa maksud perbuatannya.”
Kata Sun Sio-ang, “Dalam pandanganku, seluruh tempat
ini tampak sama saja. Aku tidak bisa menentukan tempat
mana yang paling menguntungkan.”

1299
“Tempat di mana ia berdiri saat ini,” kata Tuan Sun.
“Apa istimewanya tempat itu?”
“Jika Siangkoan Kim-hong berdiri di situ, Li Sun-Hoan
pasti harus berdiri tepat di depannya.”
“Mmmm.”
“Waktu berduel telah ditentukan, yaitu pada saat
matahari terbenam.”
“Aaah, sekarang aku mengerti. Jika seseorang berdiri di
situ, punggungnya akan tepat menghadap cahaya
matahari terbenam, jadi cahaya itu tidak akan
mempengaruhinya sama sekali. Namun, orang yang
berada tepat di depannya, akan silau oleh cahaya itu.
Dan jika sekali saja kau berkedip, lawanmu akan
mempunyai kesempatan yang sempurna untuk
menyerangmu.”
“Tepat sekali.”
“Namun mengapa Siangkoan Kim-hong memilih untuk
berdiri di situ?”
“Hanya dengan cara berdiri di situ, baru ia tahu
kelemahan tempat itu. Lalu ia dapat mencari tempat
yang lain,” kata Tuan Sun. “Jika kau melihat hutan di
sana, sinar matahari senja pun dipantulkan oleh embun
yang membeku di atas dedaunan. Jadi berdiri di situ pun
akan silau juga.”

1300
Kini Li Sun-Hoan berjalan menuju sebatang pohon tepat
di hadapan mereka.
Mata Sun Sio-ang terus mengikuti gerakannya. Tiba-tiba
selarik sinar menyilaukan matanya…. Pohon itu
mempunyai paling banyak embun yang membeku, dan
sinar matahari yang dipantulkannya pun paling banyak.
Tanya Tuan Sun, “Kini kau mengerti?”
Sun Sio-ang tidak menjawab. Tiba-tiba tubuh Li Sun-
Hoan melesat ke atas pohon dan dengan cepat mengitari
pohon itu.
“Semua orang tahu bahwa ‘Pisau Kilat si Li tidak pernah
luput’. Namun ilmu meringankan tubuhnya pun ternyata
sangat tinggi. Tidak banyak orang di dunia ini yang dapat
menandinginya,” seru Tuan Sun.
“Tapi, apa yang sedang dilakukannya di pohon itu?”
tanya Sun Sio-ang.
“Ia sedang memeriksa tiap ranting dan cabang pohon itu,
berapa kuatnya mereka itu. Ada dua alasan mengapa ia
melakukannya.”
“Dua alasan?”
“Yang pertama, ia ingin memastikan bahwa pohon itu
belum ‘dikerjai’ oleh Siangkoan Kim-hong.”
“Dikerjai?”

1301
“Ketika ia sedang berhadapan dengan Siangkoan Kimhong,
apa yang akan terjadi jika tiba-tiba ranting-ranting
pohon itu patah?”
“Kalau patah yang pasti akan jatuh ke bawah.”
“Jatuh ke mana?”
“Ke tanah.” Tiba-tiba Sun Sio-ang jadi mengerti
maksudnya. “Atau di depannya, sehingga menghalangi
pandangannya. Atau mungkin di atas kepalanya. Yang
pasti, itu akan memecahkan konsentrasinya dan
memberikan keuntungan bagi Siangkoan Kim-hong.”
“Lagi pula, jika ia tidak punya pilihan lain, ia bisa naik ke
atas pohon itu. Apa yang akan terjadi jika tiba-tiba pohon
itu berubah menjadi medan laga?” tanya Tuan Sun.
“Oleh sebab itulah, ia harus memeriksa segala sesuatu
dengan seksama. Pohon itu dan juga segala sesuatu di
sekitar sini,” jawab Sun Sio-ang.
“Akhirnya kau mengerti.”
“Ya, kini aku mengerti. Siapa sangka ada begitu banyak
persiapan sebelum berduel.”
“Apapun yang kau kerjakan, jika kau telah mencapai
tingkatan yang tertinggi, selalu akan lebih rumit dan
mendetil. Bahkan dalam hal menyulam atau memasak
sekalipun.”

1302
Tuan Sun melirik pada Li Sun-Hoan dan melanjutkan,
“Walaupun waktu duelnya ditentukan esok hari,
sebenarnya duel itu telah dimulai sejak pertama kali
mereka bertemu. Yang diuji adalah perhatian mereka
akan hal-hal yang mendetil, kesabaran mereka, dan
pengetahuan mereka. Kesempatan mereka menang telah
ditentukan sejak saat itu, namun pemenang akhirnya
baru ditentukan esok hari saat berduel.”
“Namun apa yang dilihat orang adalah apa yang terjadi
di saat yang sangat singkat itu. Ada pepatah, ‘Menang
kalah dalam pertarungan antara dua jagoan ditentukan
oleh satu langkah saja’. Namun siapa yang dapat
membayangkan betapa banyak persiapan di balik satu
langkah itu,” kata Sun Sio-ang.
Wajah Tuan Sun menjadi muram. Ia memantik api dan
menyalakan pipanya. Matanya tertuju pada api dalam
pipa itu. Katanya, “Seorang ahli silat yang sejati selalu
hidup kesepian. Orang hanya melihat mereka dalam
kejayaan dan kesuksesan mereka. Tidak ada yang
melihat betapa banyak pengorbanan mereka. Karena
itulah, tidak ada orang yang dapat memahami mereka.”
Sun Sio-ang menundukkan kepalanya dan bermain-main
dengan ujung lengan bajunya. Katanya, “Tapi apakah
mereka tidak ingin dimengerti oleh orang lain?”
Sementara itu, Li Sun-Hoan mengencangkan ikat
pinggangnya dan dengan sedikit tekanan di kakinya ia
melompat ke atap paviliun itu.

1303
Tuan Sun menghembuskan asap dan berkata, “Semua
orang selalu menganggap Li Sun-Hoan sebagai orang
yang berantakan dan sembarangan. Siapakah yang
pernah melihat sisi kerapiannya? Namun untuk hal-hal
yang penting, ia tidak melewatkan satu detil yang terkecil
sekalipun.”
Sun Sio-ang mendesah dan berkata, “Mungkin karena ia
telah membiarkan begitu banyak hal berlalu…..”
Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya dan bertanya, “Tadi
Kakek bilang pertempuran ini sudah berlangsung sejak
lama. Dalam pandanganmu, siapakah yang saat ini
berada di atas angin?”
Jawab Tuan Sun, “Sepertinya tidak ada yang tahu
jawabannya.”
Ia menggigit-gigit bibirnya lagi.
Jika pikirannya sedang kusut, ia selalu menggigit-gigit
bibirnya. Semakin kusut pikirannya, semakin kuat
gigitannya.
Saat ini, ia hampir menggigit bibirnya sampai lepas.
“Apa pendapatmu?” tanya kakeknya.
“Mmm…. Siangkoan Kim-hong terlihat begitu percaya
diri.”
“Betul. Dan ini karena pada tahun-tahun terakhir ini ia
selalu berhasil dalam usahanya. Hanya saja, mungkin

1304
kematian anaknya bisa mempengaruhi sedikit
konsentrasinya.”
Kata Sun Sio-ang, “Juga Hing Bu-bing. Kepergiannya bisa
dianggap sebagai kehilangan yang besar bagi Siangkoan
Kim-hong.”
Kata Tuan Sun, “Inilah sebabnya ia ingin segera berduel
dengan Li Sun-Hoan, karena ia takut rasa percaya dirinya
sedikit demi sedikit mulai berkurang.”
Tuan Sun mengeluh dan melanjutkan, “Itulah sebabnya,
duel ini bukan hanya menyangkut hidup Siangkoan Kimhong
dan Li Sun-Hoan, tapi juga menyangkut seluruh
dunia persilatan.”
Sun Sio-ang tampak kaget. “Apa betul pengaruhnya
sedemikian besar, Kek?”
“Yang pertama, jika Siangkoan Kim-hong menang, rasa
percaya dirinya pasti akan melambung semakin tinggi.
Perbuatannya pasti akan semakin berani dan aku kuatir,
tidak akan ada yang dapat menghalanginya.”
Mata Sun Sio-ang berkejap-kejap. “Sebetulnya, kurasa
tidak mungkin Siangkoan Kim-hong bisa menang.”
“Kenapa begitu?”
“Pisau Kilat si Li tidak pernah luput! Pisaunya tidak
pernah gagal!” seru Sun Sio-ang.

1305
“Tapi Siangkoan Kim-hong pun tidak pernah kalah,” kata
Tuan Sun lirih.
Sun Sio-ang tertawa keras dan berkata, “Apakah Kakek
sudah lupa? Siangkoan Kim-hong pernah kalah sekali.”
“Oh?”
“Hari itu, di paviliun di luar kota Lokyang. Bukankah
Kakek mengalahkannya?”
Tuan Sun diam saja.
“Kakek, sebelum ini, aku belum pernah minta apapun
darimu. Tapi kali ini, aku minta tolong satu saja.”
“Apa itu?” tanya Tuan Sun sambil meniup pipanya dan
menyelubungi dirinya sendiri dengan asap putih.
Kata Sun Sio-ang, “Aku mohon Kakek memastikan Li
Sun-Hoan tetap hidup, bagaimanapun caranya….”
Tiba-tiba ia berlutut di hadapan kakeknya dan berkata,
“Kakek adalah satu-satunya orang di dunia ini yang dapat
mengatasi Siangkoan Kim-hong. Kakeklah satu-satunya
yang dapat menolong Li Sun-Hoan. Dan Kakek pasti tahu
bahwa jika Li Sun-Hoan mati, aku sungguh tidak sanggup
hidup tanpa dirinya.”
Lautan asap itu telah lenyap.
Namun asap tebal seolah-olah membayangi mata Tuan
Sun.

1306
Kabut musim gugur, muram dan sedih…..
Namun secercah senyum menghiasi wajahnya.
Matanya menatap ke kejauhan, dan dengan lembut
tangannya membelai rambut cucunya. Katanya, “Dari
semua cucu-cucuku, kaulah yang paling nakal. Kalau kau
mati, siapa yang akan mencabuti jenggotku dan
menjambak rambutku?”
Sun Sio-ang bangkit perlahan. “Jadi Kakek berjanji?”
Tuan Sun menganggukkan kepalanya dan berkata,
“Selama ini kau hanya menunggu aku mengatakannya,
bukan?”
Pipi Sun Sio-ang bersemu merah dan ia pun menyahut,
“Kakek kan tahu setelah seorang gadis menjadi dewasa,
ia tidak bisa terus tinggal di rumah. Hatinya akan
berpaling ke tempat lain.”
Tuan Sun tertawa dan berkata, “Namun kulitmu masih
tebal. Aku tidak tahu, apakah ada orang yang
menginginkanmu atau tidak.”
Sun Sio-ang beringsut dan mendekatkan bibirnya ke
telinga kakeknya. Ia berbisik, “Aku tahu. Dan jika ia tidak
menginginkan aku, aku punya cara untuk membuatnya
menginginkan aku.”
Tuan Sun memeluknya, seolah-olah ia kembali menjadi
seorang gadis kecil dan berkata dengan lembut, “Kau
adalah cucu kesayanganku, tapi kau terlalu nakal dan

1307
terlalu berani. Tadinya aku sungguh kuatir kau tidak akan
menemukan jodohmu, tapi kini paling tidak kau telah
menemukan orang yang betul-betul kau sukai. Aku hanya
bisa berbahagia untukmu.”
Kata Sun Sio-ang sambil cekikikan, “Aku memang
sungguh beruntung bertemu dengan dia. Tapi ia juga
beruntung bertemu dengan aku. Dalam dunia ini, tidak
banyak orang yang seperti aku.”
Tuan Sun tersenyum. “Memang kau adalah satu-satunya
dalam dunia ini.”
Ia duduk di pangkuan kakeknya dengan hati ringan dan
gembira.
Karena ia bukan saja memiliki kakek yang hebat, namun
ia juga memiliki orang yang sangat mengagumkan dalam
hatinya.
Keluarga, kekasih, ia punya keduanya. Apalagi yang
diinginkan seorang gadis?
Ia merasa ialah orang yang paling berbahagia di seluruh
dunia.
Ia merasa, masa depannya sungguh gilang gemilang.
Kini hari sudah mulai malam. Kegelapan telah menelan
habis sinar matahari yang cerah.
Tapi seakan-akan ia tidak menyadarinya.

1308
‘Cinta dapat membutakan mata manusia’.
Walaupun ini adalah perkataan kuno, kebenarannya tidak
pernah berubah.
Jika Sun Sio-ang dapat membuka matanya sekarang, ia
akan melihat betapa dalam kesedihan dan kepedihan
dalam sorot mata kakeknya. Walaupun orang lain dapat
melihat kesedihan itu, tidak akan ada yang bisa menebak
apa sebabnya.
Malam semakin dekat, hembusan angin semakin dingin.
Suasana begitu hening, hanya suara dahan dan
dedauLam-yang-hu berdansa mengikuti irama angin.
Di manakah Li Sun-Hoan?
Sun Sio-ang sudah tidak sabar. Ia berjalan keluar dan
berseru, “Apa yang kau lakukan di atas sana? Mengapa
kau belum turun juga?”
Tidak ada jawaban.
Ke mana perginya Li Sun-Hoan?
Apakah ada jebakan licik di atas atap paviliun itu?
Apakah Li Sun-Hoan sudah terjebak?
Atap paviliun itu terbuat dari genteng berwarna merah
dengan hiasan keemasan di puncaknya.

1309
Di atas puncak itu ada sebuah kotak hitam terbuat dari
besi.
Kotak besi hitam yang sederhana, sama sekali tidak ada
hiasannya. Tidak juga ada jebakan yang akan
melontarkan panah beracun pada orang yang
membukanya.
Tapi, apa maksudnya kotak besi itu berada di atas
puncak atap paviliun itu?
Dalam kotak besi itu ada sehelai rambut.
Sehelai rambut yang hitam panjang. Tidak ada
istimewanya.
Namun entah berapa lama Li Sun-Hoan terpekur
memandangi sehelai rambut itu. Ketika Sun Sio-ang
berseru memanggilnya, seolah-olah ia tidak mendengar
apa-apa.
Apa istimewanya sehelai rambut ini?
Sun Sio-ang tidak habis pikir.
Tidak ada seorang pun yang habis pikir.
Wajah Li Sun-Hoan tampak begitu mendung, matanya
mulai kelihatan merah.
Sun Sio-ang belum pernah melihat dia seperti ini
sebelumnya. Bahkan ketika mereka minum begitu banyak
arak, mata Li Sun-Hoan selalu segar dan terang.

1310
Apa yang mengakibatkan perubahan yang begitu tibatiba
ini?
Mereka meletakkan sehelai rambut itu di meja batu
dalam paviliun.
Sun Sio-ang tidak tahan untuk tidak bertanya, “Rambut
siapa ini?”
Tidak ada jawaban. Tidak ada yang bisa menjawab.
Kelihatannya mirip dengan rambut siapapun juga di
dunia ini.
Kata Sun Sio-ang, “Rambut sepanjang ini, pastilah
rambut seorang wanita.”
Ia tahu bahwa pernyataannya tidak sepenuhnya betul
karena laki-laki pun bisa berambut sepanjang itu.
Memotong rambut dapat diartikan tidak hormat terhadap
orang tua.
Dalam cerita-cerita, selalu dikisahkan anak-anak gadis
yang berdandan seperti pria akan segera ketahuan jika
rambut mereka yang asli terlihat.
Namun cerita itu hanya dapat menipu anak-anak kecil.
Anehnya, cerita-cerita semacam itu masih juga
diceritakan sampai saat ini.

1311
Sun Sio-ang menghentakkan kakinya dan berkata,
“Rambut siapapun juga, ini kan cuma sehelai rambut
saja. Apa sih anehnya?”
“Ada,” kata Tuan Sun singkat.
“Ada apanya?” tanya Sun Sio-ang.
“Ada yang aneh. Ada yang sangat aneh tentang rambut
ini.”
“Apa anehnya?”
“Segalanya aneh,” jawab Tuan Sun. “Mengapa sehelai
rambut berada dalam kotak besi? Bagaimana kotak besi
itu berada di atas puncak atap paviliun ini? Siapa yang
meletakkannya di sana? Apa alasannya?”
Sun Sio-ang terkesima.
Tuan Sun menghela nafas dan berkata, “Jika tebakanku
tepat, ini adalah perbuatan Siangkoan Kim-hong.”
Tanya Sun Sio-ang, “Siangkoan Kim-hong? Mengapa ia
melakukannya?”
“Karena ia ingin Li Sun-Hoan melihat sehelai rambut itu.”
“Tapi…tapi dia….”
“Ia pasti telah mengira bahwa Li Sun-Hoan pasti datang
sebelumnya untuk memeriksa keadaan tempat ini.
Mungkin ia telah mengira bahwa Li Sun-Hoan pasti akan

1312
memeriksa atap paviliun ini, sehingga dengan sengaja ia
meletakkan kotak besi ini di atas sana.”
“Tapi apa istimewanya sehelai rambut ini? Memangnya
kenapa kalau Li Sun-Hoan melihatnya? Bukankah ini
sungguh bodoh?” tanya Sun Sio-ang tidak mengerti.
Namun saat ia mengatakan kalimat itu, ia merasa
memang ada yang salah, ada yang betul-betul salah.
Siangkoan Kim-hong bukanlah orang melakukan hal-hal
bodoh yang tidak berguna.
Mata Tuan Sun tertuju pada Li Sun-Hoan dan bertanya,
“Apakah kau tahu rambut siapa ini?”
Li Sun-Hoan terdiam beberapa saat. Akhirnya ia
mendesah dan menjawab, “Aku tahu.”
“Tapi apakah kau sungguh-sungguh yakin?” tanya Tuan
Sun.
Nada suaranya tajam dan tegas.
Li Sun-Hoan hanya dapat menjawab, “Aku…..”
“Kau tidak yakin, kan?”
Ia tidak menunggu jawaban Li Sun-Hoan. Segera ia
menambahkan, “Siangkoan Kim-hong melakukannya
karena ia ingin kau percaya bahwa sehelai rambut ini
adalah milik Lim Si-im, dan bahwa ia telah jatuh ke
dalam tangannya. Ia ingin kau terganggu, sehingga ia

1313
berkesempatan untuk membunuhmu. Mengapa kau jatuh
dalam jebakannya?”
“Betul. Jika Nyonya Lim telah jatuh ke dalam tangannya,
mengapa ia tidak membawanya saja ke sini untuk
mengancammu?” tambah Sun Sio-ang.
Jawab Li Sun-Hoan, “Karena ia tidak bisa
melakukannya….. Orang lain mungkin bisa, namun dia
tidak bisa.”
“Mengapa?”
“Karena jika ada orang yang tahu ia menggunakan cara
serendah itu untuk mengalahkan Li Sun-Hoan, ia akan
menjadi bahan tertawaan seluruh dunia.”
“Namun ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya
membiarkan engkau melihat sehelai rambut.”
“Karena itulah, taktiknya sungguh cemerlang,” sahut Li
Sun-Hoan.
Sun Sio-ang masih terus mendebatnya, “Tapi rambut ini
belum tentu miliknya.”
“Mungkin juga, mungkin juga tidak…. Tidak ada yang
bisa memastikan,” kata Li Sun-Hoan.
“Lalu mengapa tidak kau lupakan saja, dan anggap saja
kau tidak pernah melihat rambut itu. Dengan begitu,
jebakannya gagal total.”

1314
“Sayang sekali, aku sudah melihatnya.”
Kata Sun Sio-ang, “Karena ia tidak mengatakan apa-apa,
maka kau malah menjadi curiga. Karena ia tahu bahwa
kau akan menjadi curiga, maka ia membuat rencana
seperti ini. Walaupun kau tahu maksud yang sebenarnya,
kau tetap memilih untuk terjebak dalam permainannya.”
Li Sun-Hoan menghela nafas panjang dan berkata,
“Mengapa aku selalu dihadapkan pada situasi seperti
ini?”
Bab 77. Rahasia Hin-hun-ceng
Lalu Li Sun-Hoan pun tersenyum dan berkata, “Yah,
begitulah hidup. Kadang-kadang, walaupun tahu kau
sedang berjalan menuju perangkap, kau harus terus
berjalan maju.”
Kata Tuan Sun, “Benar. Jika itu adalah orang yang
sangat kusayangi, aku pun akan masuk ke dalam
perangkap itu.”
Sun Sio-ang menghentakkan kakinya dengan kesal
sambil memandang dua laki-laki itu. Katanya, “Walaupun
kalian berdua bersedia ditipu, aku tidak mau!”
“Ah, kau pun sudah masuk perangkapnya. Kau pun telah
curiga bahwa rambut itu adalah milik Nyonya Lim. Kau
pun telah terusik. Jika kau harus berduel dengan

1315
seseorang sekarang, walaupun dia bukan tandinganmu,
kau pasti akan kalah di tangannya,” kata Tuan Sun.
“Tapi….tapi…..”
Jika ia dihadapkan pada situasi seperti itu, ia tidak tahu
apa yang akan diperbuatnya.
Siangkoan Kim-hong memang bermaksud mengacaukan
pikiran Li Sun-Hoan. Apakah Li Sun-Hoan percaya itu
adalah rambut Lim Si-im atau tidak, bukan masalah. Jika
Li Sun-Hoan mulai berpikir, itu artinya rencana Siangkoan
Kim-hong telah berhasil.
Bagaimana mungkin hal ini tidak mengganggu pikiran Li
Sun-Hoan?
Wanita itu menghiasi setiap mimpinya. Bagaimana
mungkin ia melupakannya begitu saja?
Walaupun ia tahu itu bukan rambut Lim Si-im, Li Sun-
Hoan akan tetap merasa kuatir dan pikirannya akan
kalut. Hanya karena Siangkoan Kim-hong telah berhasil
membuat dia berpikir tentang Lim Si-im.
Masalahnya bukan terletak pada milik siapakah sehelai
rambut itu, namun pada kepribadian Li Sun-Hoan.
Ini adalah satu-satunya cara mengatasi Li Sun-Hoan. Jika
cara yang sama digunakan untuk orang lain, mungkin
tidak akan berhasil sama sekali, karena orang lain
mungkin tidak berpikir terlalu panjang dan dalam.

1316
Inilah sebabnya mengapa Siangkoan Kim-hong sangat
berbahaya.
Ia tahu caranya mengatasi tiap-tiap musuh. Walaupun
caranya sering kali tampak aneh, bahkan bodoh, caranya
selalu terbukti efektif.
Karena ia memahami betul strategi tempur militer ‘Selalu
menyerang pikiran lawan’.
Li Sun-Hoan duduk di lantai dan menyelonjorkan kaki
dan tangannya.
Walaupun ia tidak mengatakan apa-apa, Tuan Sun dan
Sun Sio-ang tahu benar apa yang berada dalam
pikirannya: pergi ke Hin-hun-ceng untuk memastikan
bahwa Lim Si-im berada di sana.
Sebelum memulai perjalanannya, ia harus melepas lelah
terlebih dahulu.
Setiap kali ia membuat keputusan penting, ia selalu
berusaha menenangkan tubuh dan pikirannya.
Ini adalah salah satu kebiasaannya.
Kebiasaan yang sangat baik.
Sun Sio-ang memandang dia lekat-lekat.
‘Jadi ia belum melupakan wanita itu. Bahkan, wanita itu
lebih penting daripada segala sesuatu. Tidak seorangpun

1317
dapat menggantikan tempatnya di hatinya….tidak juga
aku.’
Mata Sun Sio-ang menjadi merah. Ia tidak tahan untuk
tidak bertanya, “Apakah kau harus pergi?”
Li Sun-Hoan tidak menjawab.
Kadang-kadang tidak menjawab adalah jawaban yang
terbaik.
“Ia harus pergi. Kalau tidak pergi, pikirannya tidak
mungkin bisa tenang,” kata Tuan Sun.
“Tapi….bagaimana jika ia memang tidak ada di sana?”
tanya Sun Sio-ang ragu.
Mata Li Sun-Hoan menjadi kelam, sekelam malam tanpa
bulan. “Bagaimana pun juga, aku harus pergi. Apa yang
akan terjadi kemudian akan kuputuskan kemudian.”
“Tapi jika kau pergi, artinya kau langsung masuk ke
dalam perangkap Siangkoan Kim-hong,” kata Sun Sioang.
“Hmmm?”
“Tujuan Siangkoan Kim-hong adalah supaya kau pergi ke
Hin-hun-ceng. Waktu duel sudah ditetapkan, yaitu esok
hari. Hin-hun-ceng letaknya cukup jauh. Sekalipun kau
dapat pergi ke sana dan pulang kembali sebelum waktu
berduel, kau akan sangat kelelahan, sedangkan dia pasti
sudah cukup beristirahat dan menghimpun tenaganya.”

1318
Kata Li Sun-Hoan datar, “Ada hal-hal yang kau tahu
seharusnya tidak kau lakukan, tapi tetap saja kau
lakukan.”
“Tapi jika kau pergi, itu sama saja dengan menyerahkan
nyawamu kepadanya dengan cuma-cuma. Apakah dia
betul-betul sangat berharga bagimu? Lebih berharga
daripada nyawamu sendiri?” tanya Sun Sio-ang menusuk.
Li Sun-Hoan terdiam sejenak. Lalu ia mengangkat
kepalanya dan memandang lurus pada Sun Sio-ang.
Mata Sun Sio-ang sudah basah oleh air mata. Ia segera
memaLingkan wajahnya, menghindari tatapan Li Sun-
Hoan.
Kata Li Sun-Hoan, “Aku hanya berharap kau mengerti
hatiku. Jika kau ada pada posisiku, kau pasti akan
berbuat sama. Dan jika kau berada dalam posisinya, aku
pun pasti berbuat yang sama bagimu.”
Sun Sio-ang tidak bergeming, seakan-akan ia tidak
mendengar apa yang baru saja dikatakan Li Sun-Hoan.
Namun air matanya mengalir semakin deras.
Ketika seorang wanita mencintai seorang laki-laki, ia
ingin menjadi wanita satu-satunya dalam hidup sang
pria. Ia tidak ingin siapapun juga berada dalam dunia
mereka.
Tapi apapun yang terjadi, Lim Si-im sudah berada dalam
hati Li Sun-Hoan sejak lama.

1319
Sun Sio-ang berdiri di situ tidak bergerak. Apakah
perasaannya sekarang? Manis? Kecut? Atau pahit?
Tuan Sun menghela nafas panjang dan berkata, “Ada
yang harus dilakukannya. Biarkanlah dia pergi.”
Sun Sio-ang mengangguk perlahan dan tersenyum.
Senyum yang pahit, tapi paling tidak ia masih bisa
tersenyum.
Dengan mata basah ia tersenyum dan berkata, “Tiba-tiba
saja aku merasa sangat bodoh. Ia sudah mengenal
wanita itu jauh sebelum ia mengenalku. Bahkan mereka
sudah mengukir sejarah jauh sebelum aku ada dalam
hidupnya. Jika ada orang yang boleh merasa kesal,
dialah lebih berhak merasa kesal daripada aku.”
“Jika seseorang dapat mengakui bahwa dirinya bodoh,
itu menunjukkan bahwa ia telah menjadi pandai,” kata
kakeknya sambil tertawa.
“Tapi ada sesuatu yang harus kulakukan juga,” kata Sun
Sio-ang.
“Apa itu?”
“Aku akan pergi bersamanya. Aku harus pergi
bersamanya.”
“Itu tidak jadi soal, tapi…..” Tuan Sun berbicara sambil
menoleh pada Li Sun-Hoan.

1320
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Dia bilang dia
harus pergi, maka dia harus pergi.”
Kata Tuan Sun sambil tertawa, “Aku perlu waktu 60
tahun untuk belajar bahwa berdebat dengan wanita itu
sia-sia saja. Kelihatannya kau belajar jauh lebih cepat.”
Li Sun-Hoan bangkit berdiri dan berkata, “Karena kita
harus pergi, lebih baik kita pergi secepatnya. Kau…..”
“Jangan berasumsi bahwa semua wanita itu lamban dan
pLim plan. Banyak wanita yang tegas seperti pria. Kalau
sudah bilang pergi, ya pergi,” kata Sun Sio-ang.
Kata Tuan Sun, “Kalau kalian sudah tiba di sana, jangan
lupa sekalian menengok Jisusiok dan melihat
keadaannya.”
“Pasti, Kek,” kata Sun Sio-ang. Lalu ia melirik Li Sun-
Hoan dan berkata, “Jika ia tidak ingin aku masuk
bersamanya ke dalam Hin-hun-ceng, aku akan
menunggunya di tempat Jisusiok.”
“Pendekar Kedua Sun sudah tinggal dekat Hin-hun-ceng
lebih dari dua belas tahun. Apakah kalian tahu
sebabnya?” tanya Li Sun-Hoan.
Ia selalu menganggap hal ini sangatlah aneh.
Dua belas tahun yang lalu adalah saat ia memutuskan
untuk meninggalkan rumahnya untuk selama-lamanya.
Pada saat yang hampir sama, Si Bungkuk Sun
memutuskan untuk tinggal tepat di seberang Hin-hunKANG
ZUSI at http://cerita-silat.co.cc/
1321
ceng. Ia sudah begitu lama memikirkannya, tapi tetap ia
tidak menemukan apa hubungannya.
Si Bungkuk Sun tidak punya hubungan apa-apa dengan
Keluarga Li. Ia pun tidak ada hubungan dengan Liong
Siau-hun. Lim Si-im sudah menjadi yatim piatu dari kecil
dan hidup bersama keluarga Li sejak itu.
Lim Si-im adalah gadis yang sangat pendiam. Mungkin
seumur hidupnya ia tidak pernah meninggalkan Puri itu,
tidak mungkin ia punya hubungan dengan orang penting
dalam dunia persilatan.
Jika Si Bungkuk Sun hanya melaksanakan perintah
seseorang, siapakah yang menyuruhnya berjaga-jaga
tepat di muka Hin-hun-ceng?
Apa sebenarnya yang dijaga oleh Si Bungkuk Sun?
Mungkin hanya ada satu orang di muka bumi ini yang
tahu jawaban semua pertanyaannya. Orang itu adalah
Tuan Sun.
Ia hanya bisa berharap bahwa Tuan Sun mau
memberitahukan kepadanya rahasia ini.
Namun ia harus kecewa.
Tuan Sun meletakkan pipa di bibirnya dan mulai
mengisapnya.
Sun Sio-ang memandang sekejap pada kakeknya dan
berkata, “Ada satu hal yang selalu kuanggap aneh.”

1322
Li Sun-Hoan memandang padanya dan menunggu ia
melanjutkan perkataannya.
Lanjut Sun Sio-ang, “Liong Siau-in menebas putus
tangannya sendiri di hadapan Siangkoan Kim-hong.
Apakah kau mengetahuinya?”
Li Sun-Hoan mengangguk dan mendesah, “Ia memang
anak yang agak aneh. Perbuatannya pun selalu sulit
dimengerti.”
“Yang kuanggap aneh adalah bahwa ia bisa memotong
tangannya sendiri.”
“Hah?”
“Pada saat itu, Siangkoan Kim-hong sudah hampir
membunuh mereka. Maka ia bertindak lebih lebih dulu,
supaya Siangkoan Kim-hong tidak jadi membunuh
mereka. Dengan berbuat begitu, ia bukan saja
menyelamatkan nyawanya sendiri, namun ia pun menjadi
lebih terhormat karena ia berani mengorbankan diri demi
menyelamatkan ayahnya.”
Sun Sio-ang mengeluh dan menambahkan, “Ini
menunjukkan kepandaian dan kecerdikannya. Tapi
memang ia selalu pintar dan banyak akal. Aku tidak
heran akan hal itu.”
“Lalu, apa yang membuatmu merasa heran?” tanya Li
Sun-Hoan.

1323
“Kau telah memusnahkan ilmu silatnya. Seharusnya,
kekuatannya pasti lebih lemah daripada orang biasa.
Setuju?”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku sungguh tidak tahu apakah
perbuatanku saat itu benar atau salah.”
Sun Sio-ang tidak menggubrisnya. “Tulang manusia itu
tebal dan keras. Hanya orang-orang dengan kekuatan
pergelangan tangan yang sangat kuatlah yang dapat
memotong putus tangannya sendiri dengan sekali
tebasan. Kecuali yang digunakan adalah pedang yang
sangat sangat tajam atau pedang mustika.”
“Apakah pedangnya seperti itu?”
“Sama sekali bukan!”
“Namun ia hanya menebas sekali dan tangannya
langsung putus,” kata Li Sun-Hoan mulai tidak mengerti.
“Bahkan ia tidak kelihatan mengerahkan tenaga
sedikitpun,” kata Sun Sio-ang.
“Ternyata pandanganmu jauh lebih tajam daripada aku.
Setelah mendengarkan penjelasanmu, akupun merasa
ada kejanggalan.”
“Lagi pula, jika orang biasa baru tertebas tangannya,
tidak mungkin mereka sanggup menahan sakit. Orang
biasa pasti langsung pingsan,” kata Sun Sio-ang.

1324
“Betul sekali. Orang yang kuat sekalipun tidak akan
mampu menahan sakitnya, kecuali mereka mempunyai
dasar tenaga dalam yang sangat kuat,” kata Li Sun-
Hoan.
“Tapi, Liong Siau-in kan hanya seorang anak kecil yang
lemah. Bagaimana mungkin ia dapat menahan rasa sakit
tangannya tertebas?”
Li Sun-Hoan diam saja, namun matanya mengejapngejap,
seakan-akan ia baru menemukan ide yang baru.
Kata Sun Sio-ang lagi, “Bukan saja ia bisa menahan rasa
sakit yang demikian hebat, ia masih sanggup berbicara,
bahkan memungut tangannya yang putus itu. Bagaimana
orang biasa sanggup melakukan hal seperti ini?”
“Apa kau pikir ia sudah memulihkan kembali ilmu
silatnya? Penampilannya yang kelihatan lemah itu cuma
pura-pura saja?” tanya Li Sun-Hoan.
“Aku tidak tahu,” jawab Sun Sio-ang.
“Waktu aku memusnahkan ilmu silatnya, aku
mengerahkan tenaga cukup banyak. Tidak mungkin ia
bisa pulih, kecuali…..”
Ia memandang Sun Sio-ang dan melanjutkan, “Kecuali
kabar burung itu memang benar. Bahwa ada kitab ilmu
silat yang sudah lama hilang yang tersembunyi dalam
Hin-hun-ceng dan Liong Siau-in berhasil
menemukannya.”

1325
“Aku tidak tahu.”
“Apakah alasan Pendekar Kedua Sun berjaga di depan
Hin-hun-ceng lebih dari dua belas tahun ini ada
hubungannya dengan kitab ilmu silat itu?”
“Aku tidak tahu,” kembali Sun Sio-ang menjawab
demikian.
Kata Tuan Sun, “Kalau kau ingin dia tahu, mengapa tidak
kau ceritakan saja selengkapnya?”
Sun Sio-ang memandang kakeknya dan berkata, “Aku
takut diomeli.”
Tuan Sun tertawa dan berkata, “Satu-satunya cara
membuat wanita menyimpan rahasia, adalah tidak
memberitahukan rahasia itu kepada mereka.”
“Tapi aku kan tidak bilang apa-apa….”
“Caramu bahkan lebih baik lagi. Kau tidak perlu
mengatakannya, tapi kau membuat aku harus
mengatakannya,” kata Tuan Sun.
“Walaupun aku mengatakannya, aku kan cuma
memberitahukan kepadanya. Dia kan bukan orang luar,”
kata Sun Sio-ang membela diri.
“Ya, dia bukan orang luar.”
Waktu Li Sun-Hoan mendengarnya, ia tidak tahu harus
merasa apa.

1326
Ia tahu bahwa ia sudah berhutang begitu banyak dalam
hidupnya, sampai ia tidak tahu bagaimana harus
membayarnya.
Ketika seorang wanita telah menganggap seorang pria
bukan lagi orang luar, artinya ia telah menentukan
pilihannya. Walaupun orang itu kemudian bertambah
satu kakinya atau mukanya berubah menjadi kuda, ia
tidak akan pernah bisa lolos lagi.
Nada suara Tuan Sun kini menjadi serius dan berkata,
“Memang benar ada kitab ilmu silat yang tersembunyi
dalam Hin-hun-ceng. Itu bukan hanya kabar burung.”
“Punya siapa? Mengapa aku tidak pernah tahu?” tanya Li
Sun-Hoan.
Tuan Sun menyalakan pipanya lagi dan meniupnya. Asap
putih bergulung-gulung ke segala arah. Ia bertanya,
“Apakah kau pernah mendengar tentang Wang
LianHua?”
“Tentu saja. Semua orang di dunia pernah
mendengarnya.”
“Awalnya, Wang LianHua adalah musuh bebuyutan dari
pendekar besar Sim Long. Baru belakangan mereka
menjadi sahabat sehidup semati. Wang LianHua selalu
merupakan tokoh antara baik dan jahat. Walaupun
kadang-kadang jahat, ia tidak pernah betul-betul jahat.
Walaupun kadang-kadang licik dan rakus, ia bisa juga
menjadi adil dan setia. Ia pernah menyakiti Sim Long

1327
beberapa kali, namun Pendekar Shen selalu
mengampuninya,” kata Tuan Sun.
[Kisah tentang Sim Long dan Wang LianHua diceritakan
dalam karya Gu Liong yang lain, “Pendekar Baja”]
Kata Li Sun-Hoan, “Aku pun mendengar bahwa Wang
LianHua akhirnya memutuskan untuk mundur dari dunia
persilatan bersama dengan Sim Long dan pergi ke
sebuah pulau di lautan lepas. Kejadiannya sudah lama
sekali.”
“Betul. Akhirnya Sim Long berhasil membujuk Wang
LianHua untuk berbalik ke jalan yang lurus.”
Ia mendesah, lalu melanjutkan, “Sangat mudah untuk
membunuh seseorang, yang sulit adalah membuat orang
berubah. Pendekar Shen memang adalah orang yang
luar biasa. Jika kau dilahirkan beberapa tahun lebih awal,
aku yakin kalian berdua pasti menjadi sahabat kental.”
Li Sun-Hoan tidak dapat menahan rasa kagum yang
terpancar dari matanya terhadap Pendekar Sim Long. Ia
tidak menyadari bahwa di kemudian hari, keharuman
namanya dan kisahnya pun, juga kekaguman generasi
yang akan datang terhadap dirinya, tidak lebih kecil
daripada Pendekar Sim Long.
Kata Tuan Sun, “Sim Long memiliki bakat yang luar
biasa, namun Wang LianHua pun bukan orang biasa.
Kalau ia biasa-biasa saja, bagaimana mungkin ia bisa
menjadi musuh bebuyutan Pendekar Shen?”

1328
Jika di antara dua manusia ada perbedaan besar dalam
hal kepandaian dan bakat, mereka tetap bisa menjadi
sahabat, namun mereka tidak mungkin menjadi musuh
besar. Itulah sebabnya, hanya Siangkoan Kim-honglah
yang layak menjadi musuh bebuyutan Li Sun-Hoan.
Kata Li Sun-Hoan, “Katanya ia adalah orang yang paling
berbakat yang pernah hidup dalam dunia persilatan.
Bukan hanya dalam hal ilmu silat namun juga dalam ilmu
pengetahuan. Pengetahuannya dalam berbagai bidang
sangat luas dan dalam, tidak ada tandingannya.”
“Betul sekali. Ia sangat mahir dalam ilmu astrologi dan
ramalan, musik, catur, sastra, juga kesenian. Ia pun ahli
dalam bidang kedokteran dan juga penyamaran. Belum
tentu sepuluh orang dapat mempelajari semua
pengetahuannya, namun ia seorang diri mampu
mendalami seluruhnya.”
Lanjut Tuan Sun lagi sambil mendesah, “Tapi karena
minatnya terlalu luas, ia tidak mengkhususkan diri dalam
ilmu silat. Kalau tidak, dengan kepandaian dan bakatnya,
kurasa ia tidak akan dapat dikalahkan oleh Sim Long.”
Tiba-tiba Li Sun-Hoan teringat akan A Fei.
Apakah bakat A Fei lebih besar daripada Wang LianHua?
Namun ia hanya berkonsentrasi pada satu bidang,
pedang. Oleh sebab itu, ilmu pedangnya menjadi sangat
dalam dan dalam proses menuju pada tingkatan tidak
terkalahkan.

1329
‘Sangat disayangkan, orang berbakat selalu memilih
untuk melakukan hal-hal yang bodoh’.
Li Sun-Hoan mendesah dan tidak ingin memikirkannya
lagi.
Kata Tuan Sun lagi, “Setelah Wang LianHua bertobat, ia
menyadari bahwa apa yang telah dipelajarinya ternyata
bukan hanya terlalu campur aduk dan acak-acakan, tapi
juga sangat kontemporer. Awalnya ia ingin membakar
saja ‘Ensiklopedi LianHua’ yang telah disusunnya.”
“Ensiklopedi LianHua?” tanya Li Sun-Hoan.
“Isinya adalah seluruh pengetahuan yang dipelajarinya
seumur hidupnya,” papar Tuan Sun.
“Mengapa ia ingin membakarnya?”
Bab 78. Pertempuran yang Mengerikan
Li Sun-Hoan merasa heran mengapa Wang LianHua ingin
memusnahkan kitab yang merupakan hasil karya, jerih
payah seumur hidupnya.
Tuan Sun menjelaskan, “Kitab itu bukan hanya berisikan
teori-teori ilmu silat. Kitab itu juga berisikan ilmu tentang
racun, cara mengubah wajah, memanggil dan
menjinakkan serangga dari suku Miao, teknik hipnotis
dari Persia….”

1330
Ia mendesah dan melanjutkan, “Jika kitab seperti itu
jatuh ke tangan yang salah, konsekuensinya sangat
fatal.”
Kata Li Sun-Hoan, “Ya, sangat menyeramkan.”
Kata Tuan Sun, “Di lain pihak, kitab ini adalah darah dan
keringat seumur hidupnya. Ia tidak sanggup
memusnahkannya. Jadi sebelum ia mundur dari dunia
persilatan, ia menitipkan kitab itu pada seseorang yang
betul-betul dapat dipercayainya.”
Setelah mendengarnya, perlahan-lahan Li Sun-Hoan
dapat merangkaikan kisah itu dalam benaknya dan
menyimpulkan bahwa kitab ilmu silat yang tersembunyi
dalam Hin-hun-ceng adalah ‘Ensiklopedi LianHua’.
Namun masih ada beberapa hal yang tidak dapat ia
mengerti. Contohnya, kepada siapakah Wang LianHua
mempercayakan kitab itu?
“Ia mempercayakannya kepadamu!” kata Tuan Sun.
Li Sun-Hoan terperanjat. “Aku?”
Tuan Sun tertawa dan berkata, “Selain Li Tamhoa, siapa
lagi dalam dunia ini yang lebih layak menerima kitab
seperti itu?”
Lalu Tuan Sun melanjutkan, “Ia mempercayakan
‘Ensiklopedi LianHua’ kepadamu bukan hanya untuk kau
jaga, namun ia ingin menyerahkannya kepada seorang

1331
murid yang berhati mulia, supaya ilmu warisannya dapat
terus hidup dan berkembang.”
“Tapi aku sama sekali tidak tahu akan hal ini.”
“Karena pada saat yang sama, kau memutuskan untuk
pergi.”
“Dua belas tahun yang lalu….betul. Saat itu aku harus
pergi ke perbatasan dan pulang dengan luka parah. Jika
bukan karena Liong Siau-hun menyelamatkan nyawaku,
mungkin aku sudah…..”
Saat itu, ia merasa seperti tenggorokannya tersumbat
sesuatu dan ia tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
Ini adalah salah satu peristiwa dalam hidupnya yang
tidak akan pernah dilupakannya.
Karena peristiwa itulah seluruh hidupnya berubah
total….dari kebahagiaan menjadi kenestapaan!
“Walaupun Wang LianHua tidak berjumpa denganmu, ia
bertemu dengan Nona Lim. Karena ia harus segera
berangkat, ia tidak dapat menunggu lagi dan akhirnya ia
terpaksa meninggalkan ‘Ensiklopedi LianHua’ pada Lim
Si-im.”
Tidak ada yang lebih memahami hubungan antara pria
dan wanita lebih baik daripada Wang LianHua. Ia bisa
langsung tahu bahwa ada hubungan yang lebih jauh dari
sekedar teman antara Lim Si-im dan Li Sun-Hoan.

1332
Namun mengapa Lim Si-im tidak pernah menyampaikan
hal ini kepadanya?
“Dari manakah Cianpwe mendengar kisah ini? Apakah
sumbernya bisa dipercaya?” tanya Li Sun-Hoan.
“Sangat bisa dipercaya.”
Sun Sio-ang tidak bisa menahan diri untuk diam saja.
“Kami mendengarnya langsung dari Jisusiok. Waktu Tuan
Wang mengunjungi Hin-hun-ceng dan bertemu dengan
Nona Lim, pamanku menunggu di luar.”
Ia mengeluh lalu menambahkan, “Sejak hari itulah,
Jisusiok tidak pernah pergi dari tempat itu!”
“Apakah Wang LianHua menyuruhnya untuk mengawasi
aku?” tanya Li Sun-Hoan.
Jawab Tuan Sun, “Karena Tuan Wang telah memilih
engkau untuk memikul tanggung jawab yang berat itu,
sudah pasti ia tidak meragukan engkau. Namun ia tidak
merasa yakin dengan kemampuan ilmu silatmu saat itu.
Ia kuatir, jika cerita itu sampai tersebar, orang-orang
akan berlomba-lomba mencuri kitab itu. Oleh sebab
itulah ia menyuruh Jisuheng untuk tinggal di sana,
membantumu jika sewaktu-waktu engkau
memerlukannya.”
Kata Sun Sio-ang, “Dalam petualangannya di dunia
persilatan, Jisusiok pernah ditolong oleh Tuan Wang.
Pamanku adalah orang yang selalu ingin membalas budi,

1333
jadi ketika Tuan Wang memintanya untuk melakukan hal
ini, ia melakukannya dengan senang hati.”
Sambung Tuan Sun, “Namun kemudian, ia mengetahui
bahwa Nona Lim tidak pernah memberikan kitab itu
kepadamu. Dan karena engkau telah pindah ke
perbatasan, ia menjadi sangat kuatir dan tidak berani
pergi dari tempat itu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Pendekar Kedua Sun memang
seseorang yang sungguh memegang teguh janjinya. Ia
menganggap permintaan seseorang sebagai urusan
pribadinya. Hanya saja….”
Tambahnya, “Hanya saja, bagaimana dia tahu bahwa
Nona Lim tidak pernah memberikan ‘Ensiklopedi LianHua’
kepadaku? Bahkan aku tidak tahu adanya kitab seperti
itu.”
Tuan Sun mengisap pipanya sekali, lalu menjawab, “Kau
saja tidak tahu, apalagi aku.”
Li Sun-Hoan tidak berbicara lagi.
Ia tidak bisa percaya bahwa Lim Si-im menyembunyikan
sesuatu dari dirinya. Sesuatu yang begitu penting.
Kata Tuan Sun, “Wang LianHua bukan hanya pandai
membunuh orang, ia pun sering menolong orang.
Metode penyembuhannya sungguh luar biasa. Bahkan
ada yang bilang bahwa ia bisa membuat orang mati
hidup kembali, menambahkan daging di atas tulang.”

1334
Kata Sun Sio-ang, “Dan Liong Siau-in adalah putra Lim
Si-im satu-satunya. Seorang ibu akan melakukan apapun
juga demi anaknya. Itulah sebabnya mengapa aku kuatir
ia….”
Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
Li Sun-Hoan mengerti apa yang hendak dikatakannya….
Siapapun juga mengerti apa yang hendak dikatakannya.
Pasti Lim Si-im telah memberikan ‘Ensiklopedi LianHua’
pada putranya. Selama itu, ia telah menyembunyikannya
dan menyimpan rapat-rapat rahasia itu.
Tapi mengapa ia tidak pernah mengatakannya kepada Li
Sun-Hoan?
Saat pertama kali Li Sun-Hoan bertemu dengannya, ia
adalah seorang gadis kecil.
Hari itu turun salju.
Bunga Bwe di halaman baru saja bermekaran. Salju yang
terhampar di bawah pohon-pohon Bwe terlihat begitu
putih dan bersih.
Saat itu Li Sun-Hoan sedang berada di bawah pohon
Bwe, membuat orang-orangan salju. Ia sedang berjalan
ke sana ke mari mencari potongan arang yang paling
hitam untuk mata orang-orangan salju itu.
Itu adalah salah satu saat terindah dalam hidupnya.

1335
Bukan karena ia suka membuat orang-orangan salju. Ia
hanya membuat orang-orangan salju supaya ia bisa
memberi mata pada orang-orangan salju itu. Gumpalan
salju itu seolah-olah menjadi hidup. Dan ia begitu
menikmati dan puas memandangnya.
Ia suka membuat sesuatu. Ia benci merusak.
Ia selalu cinta akan kehidupan.
Dan setelah itu, diam-diam ia akan meruntuhkan orangorangan
salju itu, karena ia tidak ingin orang lain mencuri
kebahagiaannya. Pada saat itu, ia belum mengerti bahwa
ada kebahagiaan yang tidak mungkin dapat direnggut
oleh orang lain.
Di kemudian hari, ia baru menyadari bahwa kebahagiaan
itu sama seperti sebuah kantong ajaib. Semakin banyak
engkau memberi, semakin banyak engkau
mendapatkannya.
Demikian pula halnya dengan penderitaan.
Jika kau ingin orang lain ikut merasakan kesulitanmu,
penderitaanmu sendirilah yang akan semakin bertambah.
Wajah orang-orangan salju itu itu bundar.
Ia sedang berpikir-pikir, di mana hendak diletakkannya
matanya. Tiba-tiba, ibunya yang sedang sakit parah,
yang hampir tidak pernah bangkit dari tempat tidurnya,
berjalan ke halaman menggandeng seorang gadis kecil
berjubah merah.

1336
Jubahnya merah terang, lebih cerah daripada bungabunga
Bwe yang bermekaran di situ.
Namun wajah gadis kecil itu begitu pucat, lebih pucat
dari salju yang putih.
Merah dan putih adalah warna kesukaannya. Putih
melambangkan kesucian, merah melambangkan
semangat.
Saat pertama ia memandang gadis itu, ia merasakan
kasih sayang yang besar terhadapnya. Rasanya ia ingin
segera menghampirinya dan memegang tangannya eraterat
supaya ia tidak diterbangkan angin.
Kata ibunya, “Ini adalah putri bibimu. Bibimu harus pergi
ke tempat yang sangat jauh, jadi mulai sekarang ia akan
tinggal bersama-sama dengan kita.
Kau selalu bilang, kau ingin adik perempuan. Nah, ini aku
sudah menemukannya untukmu. Kau harus selalu baik
padanya, jangan membuatnya sedih.”
Namun seakan-akan ia tidak mendengar perkataan
ibunya.
Karena gadis kecil itu telah berlari ke arahnya dan
menatap orang-orangan salju buatannya.
Tanya gadis kecil itu, “Mengapa dia tidak punya mata?”
Tanyanya, “Kau ingin meletakkan matanya?”

1337
Gadis itu mengangguk.
Ia memberikan dua potong arang itu kepadanya.
Inilah pertama kalinya ia membagi kebahagiaannya
dengan orang lain.
Sejak saat itu, ia selalu membagi apapun yang dimilikinya
dengan gadis itu. Ketika orang memberi biskuit padanya,
ia selalu menyimpannya di kantongnya. Ketika ia
bertemu dengan gadis itu, barulah ia membelahnya
menjadi dua, dan makan bersama dengan dia.
Selama ia dapat melihat sorot mata bahagia di mata
gadis itu, kebahagiaan itu tidak dapat digantikan dengan
apapun juga di dunia ini.
Ia bersedia membagi hidupnya dengan gadis itu.
Gadis itu pun merasa demikian. Ia tahu. Ia percaya.
Saat mereka berpisah sekalipun, ia selalu merasa di
hatinya yang terdalam bahwa ialah satu-satunya yang
dapat berbagi kesusahan, kegembiraan, rahasia, segala
sesuatu dengan gadis itu.
Bahkan sampai sekarang pun ia masih
mempercayainya…..
Gang yang sempit. Salju telah menimbun dari sehari
sebelumnya.

1338
Salju itu mulai mencair dan tanah menjadi lembab dan
berlumpur. Ada bagian tanah yang kering dekat tembok,
tapi Li Sun-Hoan sengaja berjalan di salju yang
bercampur lumpur. Ia menikmati rasa sejuk saat kakinya
masuk ke dalam lumpur yang lembut itu.
Entah mengapa, hal itu dapat menenangkan hatinya.
Dulu, ia benci lumpur. Lebih baik ia mengambil jalan
memutar yang jauh daripada harus berjalan lewat
lumpur.
Namun kini ia menyadari bahwa lumpur pun ada sisi
baiknya. Ia menahan pijakan langkahmu, dan pada saat
yang sama melindungi dan menyelimuti kakimu dengan
kelembutannya.
Bukankah ada juga orang-orang di dunia ini yang seperti
lumpur? Mereka terus menerus melapangkan dada dari
rasa benci dan hinaan orang lain, tanpa pernah
menyimpan dendam dan menuntut balas….
Jika tidak ada tanah dan lumpur dalam dunia ini,
bagaimana biji-bijian bisa tumbuh? Bagaimana pohon
yang tinggi besar bisa ada?
Mereka tidak pernah mendendam dan merasa benci
karena mereka sadar sepenuhnya akan harga diri
mereka.
Li Sun-Hoan menghela nafas panjang dan mengangkat
kepalanya.

1339
Temboknya tampak baru saja dibersihkan, namun papan
nama di depan warung Si Bungkuk Sun sudah tua dan
kusam.
Dari tempat ia berdiri, ia tidak bisa melihat siapa pun
juga di dalam sana.
Hari belum gelap, sehingga lilin dan lentera pun belum
dipasang.
Waktu hari mulai gelap, apakah lentera kecil di pondok
kecil itu pun akan dinyalakan?
Benak Li Sun-Hoan berkelana, berpikir tentang hal-hal
yang tidak ingin dipikirkannya. Selama dua tahun ia
selalu duduk di kursi di sudut sana menunggu dan
memandangi lentera kecil itu.
Si Bungkuk Sun dengan setia menemaninya. Ia tidak
pernah bicara, tidak pernah bertanya.
Sun Sio-ang pun mendesah dan berkata, “Waktu makan
malam belum tiba. Warungnya pasti masih sepi. Apa
yang sedang dilakukan Jisusiok sekarang ya? Apakah ia
sedang sibuk membersihkan meja?”
Si Bungkuk Sun tidak sedang membersihkan meja.
Ia tidak akan pernah membersihkan meja-meja itu lagi!
Mereka melihat tangan di atas meja.

1340
Tangan itu menggenggam lap meja. Menggenggamnya
erat-erat.
Pintu tertutup rapat. Mereka menggedornya kuat-kuat,
namun tidak ada jawaban. Mereka memanggil keraskeras,
tapi tidak ada yang menyahut.
Sun Sio-ang tampak lebih kuatir daripada Li Sun-Hoan. Ia
mendobrak pintu dan melihat tangan itu.
Tangan itu telah terpotong di pergelangannya.
Sun Sio-ang sangat terkejut dan segera menghampiri
meja.
Itu adalah meja tempat Li Sun-Hoan selalu duduk dan
minum arak selama dua tahun.
Wajah Li Sun-Hoan menjadi pucat. Ia mengenali tangan
itu. Selama dua tahun, tangan itulah yang dengan setia
menuangkan arak ke cawannya, tidak terhitung berapa
kali banyaknya.
Ketika ia mabuk, tangan itulah yang membimbing dia
masuk ke kamarnya.
Ketika ia sakit, tangan itulah yang menyeduhkan obat
untuknya.
Tapi sekarang, tangan itu telah berubah menjadi
seonggok daging kering yang mati. Darahnya sudah
membeku dan otot-ototnya kejang. Jari-jari yang

1341
memegang lap meja itu menggenggam begitu kuat
seakan-akan berpegangan pada nyawanya.
Apakah ia sedang mengelap meja saat seseorang tibatiba
menebas tangannya?
Meja itu terlihat bersih mengkilap.
Ketika ia mengelap meja itu, apakah ia teringat pada Li
Sun-Hoan?
Tiba-tiba Li Sun-Hoan merasa sakit di dadanya seperti
tertusuk sembilu.
Air mata Sun Sio-ang sudah mengalir deras ke pipinya
saat ia bertanya, “Apakah kau tahu tangan siapa ini?”
Li Sun-Hoan mengangguk perlahan.
“Di manakah dia….di manakah tubuhnya?” Suara Sun
Sio-ang terdengar gemetar.
Tiba-tiba ia berlari ke luar. Warung kecil itu kosong,
kosong sama sekali.
Ketika ia masuk kembali, Li Sun-Hoan masih berdiri di
samping meja itu. Pandangannya masih tetap tertuju
pada tangan itu.
Empat jarinya tertekuk memegang lap itu. Satu jari
menunjuk ke arah luar. Lurus bagai anak panah,
menunjuk ke arah jendela warung itu.

1342
Jendela itu terbuka lebar.
Li Sun-Hoan menengadah dan memandang ke luar
jendela.
Sun Sio-ang mengikuti arah pandangannya dan
memandang ke luar jendela juga. Tiba-tiba keduanya
berlari ke sana dan melompat ke luar secara bersamaan.
Di luar, angin bertiup menembus sumsum. Air di selokan
pun sudah membeku.
Di luar sana ada gang kecil yang tidak lebih besar
daripada selokan itu. Mungkin juga sebenarnya itu bukan
gang, tapi hanya selokan kering.
Mereka menyusuri gang itu sampai ujungnya dan melihat
ada sebuah pintu kecil. Mereka tidak tahu rumah
siapakah itu. Bahkan mungkin pintu kecil itu tidak pernah
digunakan.
Itu hanyalah sebuah gang buntu.
Pintu itu tidak terkunci. Di pegangannya terlihat sebuah
cap tangan berwarna merah. Tangan yang berlumuran
darah.
Sun Sio-ang segera berlari ke sana dan memeriksanya.
Lalu ia menoleh ke arah Li Sun-Hoan.
Bibirnya sudah berdarah karena digigitnya begitu keras.
Katanya, “Siangkoan Kim-hong sudah memperhitungkan
bahwa kau akan datang ke sini.”

1343
Mulut Li Sun-Hoan tetap terkatup.
Lanjut Sun Sio-ang, “Ia tahu bahwa kau tidak akan
langsung pergi ke Hin-hun-ceng karena kau tidak ingin
bertemu dengan Liong Siau-hun. Ia menduga pasti kau
akan menemui Jisusiok terlebih dahulu.”
Li Sun-Hoan tetap diam.
“Ini semua adalah jebakan yang sudah dipersiapkannya
bagimu.”
Mulut Li Sun-Hoan masih terkancing.
“Jadi kau tidak boleh masuk ke sana.”
“Dan kau?” tanya Li Sun-Hoan tiba-tiba.
Sahut Sun Sio-ang, “Bagiku tidak ada masalah. Bukan
aku yang ingin dibunuh oleh Siangkoan Kim-hong.”
“Jadi kau boleh masuk.”
“Tidak ada yang bisa menghalangi aku masuk,” kata Sun
Sio-ang tegas.
Li Sun-Hoan menghela nafas panjang dan berkata,
“Sepertinya kau tidak memahami aku sebaik Siangkoan
Kim-hong.”
“Oh?”

1344
“Jika ia memang memasang perangkap untukku, ia tahu
aku pasti akan masuk melalui pintu ini. Sekalipun ada
orang yang menggergaji kedua kakiku, aku tetap akan
merangkak masuk ke dalam sana!”
Sun Sio-ang menatapnya. Air matanya yang hangat
kembali membasahi wajahnya.
Ia menghampiri Li Sun-Hoan dan memeluknya. Kini air
matanya membasahi wajah Li Sun-Hoan.
Ia menyeka wajah Li Sun-Hoan, seolah-olah ia sedang
menggunakan air matanya untuk menghapus kelelahan
Li Sun-Hoan. Karena memang hanya ada satu hal yang
dapat menghapus kelelahan seorang laki-laki, yaitu air
mata kekasihnya.
Lengan dan kaki Li Sun-Hoan yang tegang mulai
mengendur. Akhirnya ia pun tidak dapat menahan diri
dan membalas pelukan Sun Sio-ang.
Keduanya saling berpelukan begitu erat.
Karena inilah kali pertama mereka saling berpelukan, tapi
mungkin juga untuk yang terakhir kalinya!
Seakan-akan matahari pun tidak ingin menyinari gang
kecil itu. Suasana terasa sangat suram dan keruh.
Di balik pintu, kegelapan lebih pekat lagi.

1345
Ketika mereka mendorong pintu itu terbuka, tercium bau
busuk yang sangat menusuk yang membuat mereka
merasa ingin muntah.
Bau daging dan darah yang membusuk!
Lalu mereka mendengar suara-suara yang sangat aneh.
Seperti seekor binatang yang sedang kesakitan
menunggu ajalnya. Seperti hantu yang sedang menjeritjerit
minta dilepaskan dari siksaan neraka.
Tapi suara itu memang kedengaran dari bawah tanah!
Ada lebih dari dua puluh orang di bawah sana. Mereka
mengertakkan gigi bagaikan binatang yang sedang
bertempur hidup dan mati.
Tidak ada yang buka mulut. Diancam dengan pisau
sekalipun, tidak ada yang berani buka suara.
Tadinya ada 26 orang. 9 sudah gugur. 17 orang yang
tersisa dipisahkan menjadi dua. Kelompok yang lebih
kuat jumlahnya lebih banyak daripada kelompok yang
lebih lemah.
Mereka berjumlah 12 dan semuanya berpakaian kuning.
Mereka semua mempunyai senjata yang tidak lazim,
salah satunya bersenjatakan sipoa besi.
Kelompok yang lain awalnya berjumlah 9 orang, namun
kini tinggal 5. Salah satunya buta.

1346
Ada juga seseorang yang tinggi kekar berikat pinggang
merah. Ia tidak bersenjata.
Tubuhnya adalah senjatanya!
Terlihat selarik sinar menyambar, sebuah golok penyisik
ikan menyerang bahu kirinya. Seperti sebuah kampak
memotong kayu. Golok yang tajam itu membelah
dagingnya, namun tertahan oleh tulang bahunya!
Orang berbaju kuning itu berusaha keras menarik
goloknya, namun orang tinggi kekar itu sudah
menghantam dadanya dengan telapak tangannya.
Terdengar suara gemeretak tulang-tulang yang patah.
‘Peng’. Tubuh itu sudah melayang dan jatuh berdebam.
Tapi orang tinggi kekar itu sudah tidak bisa lagi
menggerakkan tangan kirinya. Tiba-tiba ia berseru,
“Kalian semua pergi dulu, aku akan tinggal dan menahan
mereka. Cepat!”
Tidak ada yang bergerak mundur. Tidak seorang pun
menjawabnya juga.
Seseorang yang sudah rebah di tanah berusaha berdiri
dan berkata dengan suara parau, “Kita tidak bisa
mundur. Walaupun mati, kita harus membawanya
bersama dengan kita!”
Mereka berada di terowongan bawah tanah. Di sana,
lentera menyala sepanjang hari, sepanjang tahun.

1347
Lentera itu dipasang di dinding. Dalam cahayanya yang
remang-remang terlihat bahwa yang baru saja bicara
adalah seorang wanita. Seorang wanita yang tinggi besar
dan gemuk. Di wajahnya tampak bekas luka yang
memanjang dari mata sampai ke sudut mulutnya.
Mata kanannya buta. Dengan mata kirinya ia sedang
memandang orang tinggi kekar itu.
Tatapan itu penuh dengan dendam kesumat. Dendam
kesumat yang tidak akan padam, sekalipun dalam
kematian.
Si Wanita Tukang Jagal, Ang-toanio!
Dan siapakah orang tinggi kekar itu? Mungkinkah ini
adalah orang yang sudah bertahun-tahun tidak didengar
kabarnya, Thi Toan-kah?
Saat ini, wanita itu sudah tidak mungkin bangun lagi.
Matanya masih terbuka lebar, masih menatap Thi Toankah.
Dia telah mati tanpa kesakitan, tanpa ketakutan sedikit
pun.
Karena yang ada di benaknya hanyalah membalas
dendam. Selain membalas dendam, ia tidak memikirkan
dan tidak merasakan yang lain.
Thi Toan-kah mengatupkan giginya saat sebilah pedang
kembali menusuk tubuhnya. Ia menghentakkan kakinya

1348
dan berkata, “Kalian benar-benar tidak mau pergi? Jika
kalian semua mati, siapa yang akan membawaku pergi?”
Si buta tertawa dingin dan berkata, “Sekalipun kami
semua mati, kami tetap akan membawa jiwamu pergi
bersama dengan kami!”
Walaupun ilmu silatnya lebih tinggi daripada mereka
yang tidak buta, ia tetaplah seorang buta. Ia bergantung
sepenuhnya pada telinganya untuk mengetahui gerakan
lawan dan menentukan posisi mereka.
Namun jika ada orang yang berbicara, telinganya tidak
akan setajam biasanya. Sebelum dua kalimatnya selesai,
sebuah kait harimau telah menyambar dan menoreh
dadanya.
Kait itu dipuntir dan ditarik ke atas, sehingga daging dan
darah menggantung di situ.
Thi Toan-kah hampir tidak tahan dan ingin muntah
melihatnya.
Walaupun sudah sering membunuh, ia bukanlah orang
yang kejam. Walaupun tubuhnya sangat keras, hatinya
teramat lembut.
Namun kini tangannya pun sudah menjadi lembut. Ia
tidak lagi mampu membunuh.
Tiba-tiba ia berteriak, “Lalu bagaimana jika aku mati di
tanganmu?”

1349
Si buta kembali tertawa dan berkata, “Kami tidak ada
sangkut pautnya dengan apa yang terjadi di sini. Kami
hanya datang untuk mencarimu.”
Seorang lagi berkata dengan suara kasar, “Jika
‘Tionggoan-pat-gi’ tidak bisa mencabut nyawamu dengan
tangan kami, kematian kami akan sia-sia belaka!”
Wajah orang itu burikan dan ia menggunakan dua buah
golok, satu pendek satu panjang. Ia adalah keturunan
Sekte Utara Si Golok Yin Yang, Kongsun Uh.
Thi Toan-kah pun tertawa. Dalam situasi seperti ini,
mengapa seseorang malah tertawa?
Tapi itu adalah tawa yang membuat bulu kuduk orang
berdiri. Lalu katanya, “Jadi kalian hanya ingin
membunuhku dengan tangan kalian sendiri. Itu gampang
saja…..”
Ia melayangkan tangannya ke belakang dan mendorong
seseorang berpakaian kuning ke belakang. Lalu tiba-tiba
ia berlari cepat, langsung ke arah golok Kongsun Uh.
Kongsun Uh terbelalak, tidak percaya apa yang terjadi,
saat golok pendeknya menembus dada Thi Toan-kah!
Darah muncrat membasahi dadanya.
Raungannya terputus saat ia jatuh tersungkur ke tanah.
Di punggungnya tertancap tombak berbunga sepanjang
satu meter.

1350
Rumbai berwarna merah yang menghiasi mata tombak
itu masih terayun-ayun.
Thi Toan-kah pun jatuh tersungkur. Dari mulutnya terusmenerus
terdengar gumaman.
“Semua hutangku kini sudah terbayar lunas, mengapa
kalian belum pergi juga?”
Ia hanya memandang kosong saat sebuah tombak
menusuk ke arahnya. Ia tidak berusaha menangkisnya,
tidak berusaha mengelak.
Bab 79. Persahabatan yang Tulus dan Setia
Kongsun Uh berteriak lagi saat ia berusaha merangkak
mengangkat tubuhnya, “Kita pasti telah salah sangka. Ia
pasti tidak…..”
Suaranya putus.
Sebatang tombak lagi menusuk punggung Kongsun Uh!
Dan tombak itu pun dicabut. Dalam keremangan cahaya
lentera di dinding sana, tampak kabut tipis menyelimuti
terowongan itu.
Kabut tipis berwarna merah muda.
Kabut darah!
Awalnya ada 26 orang. Kini 16 orang sudah gugur.

1351
Tapi pembantaian berdarah ini tampaknya belum selesai.
Kini kelompok yang kuat dan kelompok yang lemah
tampak makin besar perbedaannya.
Seorang penjual obat dengan enam luka di tubuhnya
berkata dengan suara serak, “Thi Toan-kah sudah mati,
mari kita pergi dari tempat ini!”
Hanya tinggal 3 orang yang hidup dari kelompok mereka.
Dan mereka kini berada di pihak yang kalah. Tidak
mungkin mereka bisa terus bertahan.
Seseorang dengan kapak di tangannya, Kapak Pembelah
Gunung Hua, mengertakkan giginya dan berkata,
“Jisuheng, apakah kita harus mundur?”
Si buta menjawab, “Mundur? ‘Tionggoan-pat-gi’ lebih
baik mati daripada mundur. Siapa yang mengatakan kata
‘mundur’ sekali lagi akan kubunuh sekarang juga!”
Salah seorang yang berpakaian kuning tertawa dan
berkata, “Bagus! Kalian memang punya nyali! Maka hari
ini, biarlah kami yang melaksanakan impian kematian…..”
Suaranya tiba-tiba terputus. Matanya melotot seperti
mata ikan mati.
Kematiannya tiba-tiba dan hampir tanpa suara. Hanya
terdengar bunyi ‘Gaak’ ‘Gaak’ yang lemah dari
tenggorokannya.
Nafasnya belum putus, namun ia sudah tidak bisa lagi
melanjutkan perkataannya. Ia mencoba sekuat tenaga,

1352
namun tiada sepatah katapun yang bisa keluar. Karena di
lehernya terlihat ada sebilah pisau menancap.
Pisau sepanjang 15 cm.
Pisau Kilat si Li!
Tiba-tiba semua gerakan berhenti. Mata semua orang
tertuju pada pisau itu.
Tidak ada yang tahu dari mana datangnya pisau itu, tapi
semua orang tahu siapa yang sudah tiba.
Setiap orang di terowongan bawah tanah itu ternganga
mulutnya.
Li Sun-Hoan berdiri tepat di hadapan mereka semua.
Tapi tidak seorang pun berani menoleh memandangnya.
Mereka kuatir, saat mereka menoleh, pisau pencabut
nyawa itu tiba-tiba bersarang di leher mereka.
Mereka semua adalah anggota papan atas yang setia
dalam Kim-ci-pang. Tidak seorang pun pengecut dan
takut mati. Namun saat ini, mereka semua sudah lemah
dan kehabisan tenaga. Mereka sudah melihat terlalu
banyak kematian, terlalu banyak darah yang tertumpah.
Hal ini telah banyak melunturkan semangat mereka. Lagi
pula, ‘Pisau Kilat si Li’ sudah terkenal di seluruh dunia. Ini
bukan pisau biasa, pisau ini seakan-akan punya jiwa dan
roh yang haus darah!

1353
Empat kata itu kini terasa semakin erat hubungannya
dengan arti kematian.
Atau mungkin baru sekarang mereka sungguh-sungguh
mengerti arti kematian.
Mayat teman seperjuangan mereka masih tergeletak
dekat kaki mereka.
Sedetik yang lalu ia masih merupakan manusia hidup
yang bernafas.
Lalu pisau yang mengerikan itu telah mengubahnya
menjadi tubuh yang kaku dan mati.
Hidupnya menjadi tidak berarti, bahkan sebelum ia
menyadarinya.
Tidak ada yang lebih mengerikan daripada perubahan
mendadak. Yang menakutkan bukanlah kematian itu,
namun penantian akan kematian itu sendiri.
Tiba-tiba Si Buta bertanya, “Li Tamhoa?”
Walaupun ia tidak bisa melihat apapun juga dan tidak
terdengar suara apapun juga, entah bagaimana ia bisa
merasakan kehadiran Li Sun-Hoan. Ia bisa merasakan
hawa membunuh yang begitu kental.
“Ya,” jawab Li Sun-Hoan.
Si Buta menghela nafas, lalu duduk bersila.

1354
Kim Hong-pek dan Si Penebang Kayu mengikutinya dan
duduk perlahan. Mereka duduk tepat di antara genangan
darah yang mengalir dari tubuh Kongsun Uh dan Thi
Toan-kah. Dari sorot mata mereka, seakan-akan mereka
sedang duduk di dunia yang lain.
Dalam dunia itu, tidak ada lagi dendam, tidak ada lagi
penderitaan.
Li Sun-Hoan berjalan perlahan ke kelompok orang
berpakaian kuning itu.
Tangannya kosong. Tidak ada pisau di sana.
Namun seolah-olah pisau itu ada di matanya.
Ia menatap mereka dan bertanya, “Di mana orang yang
mereka bawa?”
Orang-orang berbaju kuning itu menunduk memandangi
kaki mereka.
Li Sun-Hoan mengeluh dan berkata perlahan, “Aku tidak
ingin memaksa kalian, namun kuharap kalian pun tidak
memaksaku juga.”
Salah satu dari mereka yang berdiri tepat di hadapannya,
yang wajahnya sudah basah oleh keringat dingin dan
yang tubuhnya sudah gemetar hebat, tiba-tiba bertanya,
“Apakah kau bertanya mengenai Si Bungkuk Sun?”
“Ya.”

1355
Orang itu tersenyum janggal lalu berseru, “Baik! Akan
kubawa kau padanya. Ikuti aku!”
Senjatanya adalah kait kepala harimau. Setelah
kalimatnya selesai, tangannya naik ke atas. Ujung
kaitnya menembus lehernya sendiri.
Ia tidak bisa lagi menahan penantian yang mengerikan
ini. Kematian adalah jalan keluar yang paling cepat.
Li Sun-Hoan menyaksikan tubuhnya berdebam jatuh ke
tanah. Tangannya terkepal erat.
Si Bungkuk Sun sudah mati!
Kematian si kait kepala harimau itulah jawabannya.
Tapi bagaimana dengan Lim Si-im?
Tiba-tiba sinar ketakutan terpancar dari mata Li Sun-
Hoan. Perlahan matanya terangkat dari tubuh yang mati
itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara Thi Toan-kah. Keringat dan
darah sudah membasahi wajahnya dan menutupi
matanya. Ia hampir-hampir tidak bisa melihat dan
nafasnya tersengal-sengal. Katanya, “Ih Beng-oh, Ihjiko…..”
Wajah Si Buta yang biasanya kaku seperti batu mulai
bergerak-gerak. Ia mengatupkan giginya dan menjawab,
“Aku di sini.”

1356
“Apa….Apakah hutangku sudah terbayar lunas?”
“Hutangmu sudah terbayar lunas.”
“Ada satu hal lagi yang ingin kukatakan,” kata Thi Toankah.
“Katakan saja.”
“Walaupun aku sudah bersalah terhadap Ang-heng, aku
tidak pernah mengkhianatinya. Aku hanya….”
Ih Beng-oh segera memotongnya dan berkata, “Kau
tidak perlu bicara lagi, aku sudah mengerti.”
Ia benar-benar mengerti.
Seseorang yang mengkhianati sahabatnya tidak mungkin
mau mengorbankan dirinya dalam situasi seperti tadi.
Bukan hanya Ih Beng-oh yang mengerti. Kim Hong-pek
dan Si Penebang Kayu pun mengerti betul.
Sayang sekali mereka terlambat menyadarinya.
Air mata mulai meleleh dari mata Ih Beng-oh. Mata yang
sudah buta bertahun-tahun lamanya.
Li Sun-Hoan melihatnya. Melihatnya dengan jelas.
Itulah pertama kalinya ia menyadari bahwa orang buta
pun dapat meneteskan air mata.

1357
Air mata yang hangat pun telah mengalir dari matanya
sendiri.
Air mata yang hangat itu jatuh ke atas wajah Thi Toankah
yang mulai dingin. Ia berlutut dan menyeka keringat
dan darah dari wajah Thi Toan-kah.
Akhirnya Thi Toan-kah membuka matanya dan segera
setelah dilihatnya Li Sun-Hoan, ia berseru gembira,
“Siauya! Siauya….kau benar-benar telah datang!”
Ia sungguh penuh dengan suka cita, ia berusaha bangun,
namun terus-menerus roboh kembali.
Li Sun-Hoan berlutut di sampingnya dan berkata, “Aku
sudah datang. Kita punya banyak waktu untuk bercakapcakap
nanti.”
Thi Toan-kah berusaha keras menggelengkan kepalanya
dan tersenyum pedih. Katanya, “Kini aku bisa mati tanpa
menyesal. Tidak ada lagi yang perlu kukatakan.”
Li Sun-Hoan tersenyum dengan mata penuh air mata,
“Tapi masih banyak yang seharusnya kau katakan. Kau
tidak pernah mengkhianati Ang-heng. Mengapa tidak kau
ceritakan seluruhnya? Mengapa kau menunda-nunda
begitu lama?”
Sahut Thi Toan-kah, “Aku menundanya bukan demi
diriku sendiri.”
“Lalu demi siapa?”

1358
Thi Toan-kah kembali menggelengkan kepalanya.
Lengan dan kakinya mulai mengejang karena kesakitan,
namun wajahnya tetap tenang dan damai. Bahkan seulas
senyum gembira terkulum di sudut bibirnya.
Kematiannya sungguh penuh kedamaian.
Salah satu hal yang paling sulit dilakukan dalam hidup ini
adalah mati dengan damai!
Li Sun-Hoan terus berlutut di sampingnya. Seluruh
tubuhnya mati rasa.
Ia tahu demi siapa Thi Toan-kah mati.
Kemungkinan besar Thi Toan-kah tiba di Hin-hun-ceng
sebelum Li Sun-Hoan dan mengetahui rencana Siangkoan
Kim-hong untuk menjebaknya, maka ia mengikuti
rombongan orang berbaju kuning ini ke dalam
terowongan bawah tanah. Jika Thi Toan-kah tahu bahwa
ada kemungkinan Li Sun-Hoan berada dalam bahaya,
tidak mungkin Thi Toan-kah hanya berpangku tangan.
Kemana pun juga, ia akan pergi menolongnya.
Namun bagaimana ia bisa tahu rencana Siangkoan Kimhong?
Dan apa sebenarnya rahasia antara dia dengan Ang
Thian-kiat, atau Ang-heng itu? Yang sampai matipun
tidak dibeberkannya?

1359
“Apakah sebenarnya yang kau sembunyikan? Walaupun
kau bisa mati tanpa penyesalan, bagaimana aku bisa
hidup dengan tenang jika kau berakhir seperti ini?” kata
Li Sun-Hoan dengan muram.
“Kurasa aku tahu apa yang disembunyikannya,” kata Kim
Hong-pek tiba-tiba.
“Kau…..kau tahu?” tanya Li Sun-Hoan tidak percaya.
Wajah Kim Hong-pek selalu tampak kelam dan sedih.
Namun kini warnanya hijau seperti sedang sakit.
Ia mengertakkan gigi dan berkata, “Persahabatan dan
kesetiaan Ang toako sudah terkenal sangat luas. Kurasa
kau pun pasti mengetahuinya.”
“Ya, aku tahu.”
“Selama itu adalah permintaan sahabatnya, ia tidak akan
pernah menolak. Karena itu, pengeluarannya pun
menjadi tidak sedikit. Namun ia tidak seperti engkau, ia
tidak mempunyai ayah yang menjabat sebagai Menteri
Kerajaan.”
Li Sun-Hoan tersenyum.
“Jadi ia selalu hidup dalam kemiskinan. Seseorang yang
miskin, namun mempunyai banyak sahabat, tapi juga
menginginkan penghormatan, harus memikirkan cara lain
untuk membayar hutang-hutangnya,” kata Kim Hongpek.

1360
“Maksudmu…. Ang-heng terlibat urusan yang tidak
halal?” tanya Si Penebang Kayu terbelalak.
“Betul, aku secara tidak sengaja mendengarnya. Tapi aku
tidak sanggup mengatakannya, karena aku tahu bahwa
Ang-heng melakukannya karena ia sangat terdesak
kebutuhan,” kata Kim Hong-pek.
Lalu ia melanjutkan dengan lantang, “Lagi pula semua
orang yang ditipu Ang-heng memang pantas mendapat
ganjaran! Walaupun ia memang menipu dan
memanfaatkan orang, ia tidak pernah melakukan yang
bertentangan dengan moral dan hati nuraninya.”
Tanya Ih Beng-oh, “Lalu apa hubungan Thi Toan-kah
dengan kasus ini?”
“Setelah ada banyak yang aneh, orang mulai curiga dan
menyelidiki transaksi-transaksinya. Salah satu sahabat
Thi Toan-kah adalah inspektur yang bertanggung jawab
akan kasus ini. Mereka berdua sudah mencurigai Ang
toako sejak lama, namun mereka tidak punya bukti.”
“Mungkin itulah sebabnya Thi Toan-kah pura-pura
bersahabat dengan Ang toako, supaya ia dapat
menyelidiki lebih jauh dan menemukan bukti-bukti yang
kuat,” kata Si Penebang Kayu.
“Mungkin itulah yang terjadi.”
Kim Hong-pek melanjutkan, “Namun Thi Toan-kah tidak
ingin mengungkapkannya karena Ang toako selalu baik
padanya. Ia sudah menganggap Ang toako sebagai

1361
sahabatnya, dan ia tidak mungkin mengungkapkannya
dan merusak reputasi Ang toako setelah ia meninggal.
Oleh sebab itulah ia menanggung semua kesalahan dan
tuduhan kita. Ia bukan melarikan diri demi dirinya
sendiri.”
Tanya Ih Beng-oh, “Lalu mengapa kau tidak pernah
memberitahukannya kepada kita semua?”
“Aku….? Bagaimana aku dapat mengungkapkannya? Ang
toako begitu murah hati dan baik kepadaku. Thi Toankah
saja tidak mau mengatakannya, bagaimana mungkin
aku tega melakukannya?”
“Bagus sekali! Kau memang sahabat sejati Ang toako!”
kata Ih Beng-oh.
Terlihat senyum dingin menghiasi wajahnya, namun
seluruh tubuhnya bergetar hebat.
Kata Kim Hong-pek, “Aku tahu bahwa ini memang tidak
adil bagi Thi Toan-kah, tapi aku tidak punya pilihan lain,
aku sungguh-sungguh tidak punya pilihan lain…..”
Suaranya makin lirih saat ia berbicara, dan tiba-tiba
diangkatnya sebatang golok. Golok yang sama yang telah
mengambil nyawa Thi Toan-kah. Ia mengarahkannya
pada tubuhnya sendiri dan menusuk dadanya, tepat di
tempat golok itu menusuk dada Thi Toan-kah.
Walaupun ia mengerang kesakitan, di wajahnya
terbayang senyuman yang sama dengan senyuman Thi
Toan-kah. “Aku sudah berhutang begitu banyak

1362
kepadanya, namun sekarang, paling tidak hutang itu
sudah kubayar lunas!”
Dan ia pun mati dengan tenang…..
Salah satu hal yang paling sulit dilakukan dalam hidup ini
adalah mati dengan tenang.
Tiba-tiba Ih Beng-oh tertawa seperti orang kesurupan.
“Bagus sekali! Kau sudah berani untuk mengatakan
kebenaran, juga berani untuk membayar hutang darah
ini, kau sungguh-sungguh adalah sobat sejatiku! Paling
tidak kita, ‘Tionggoan-pat-gi’ tidak pernah sekalipun
mempermalukan diri kita sendiri!”
Lama-kelamaan suara tawanya menjadi seperti tangisan
yang memilukan.
Lalu Si Penebang kayu pun berlutut di hadapan tubuh Thi
Toan-kah yang berlumuran darah, dan membungkuk
sekali. Kemudian ia menoleh pada Ih Beng-oh dan
berkata, “Jisuheng, aku pergi duluan.”
Tawa Ih Beng-oh pun terhenti mendadak dan sikapnya
kembali menjadi dingin dan tenang. Sahutnya, “Baiklah.”
Kapaknya terangkat ke atas, darah tersembur ke tanah,
ia pun mati. Bahkan lebih cepat, lebih tenang.
Jika Li Sun-Hoan tidak melihat dengan mata kepalanya
sendiri, ia tidak akan pernah percaya bahwa ada orangorang
yang sama sekali tidak takut akan kematian seperti
mereka ini.

1363
Ih Beng-oh menoleh pada Li Sun-Hoan. Di wajahnya
tidak tergambar emosi apapun. Katanya, “Aku masih
belum pergi, karena masih ada yang harus kukatakan
kepadamu.”
Li Sun-Hoan hanya bisa menganggukkan kepalanya.
“Mungkin sekarang kau sudah bisa menebak bahwa kami
telah bersembunyi di sini sejak lama. Kami sudah
mengira bahwa cepat atau lambat, Thi Toan-kah akan
kembali ke sini. Oleh sebab itu, kami tahu banyak hal
yang telah terjadi di sini.”
Lanjut Ih Beng-oh perlahan-lahan, “Kami tahu akan
rencana Siangkoan Kim-hong sejak awal. Liong Siau-hun
pun mengetahuinya. Aku selalu merasa heran, mengapa
kau mau berteman dengan orang semacam dia.”
Tentu saja Li Sun-Hoan tidak bisa menjawabnya.
“Thi Toan-kah mengetahui akan perangkap ini dari Liong
Siau-hun. Ia sengaja membocorkan rahasia ini, karena ia
ingin mengantarkan Thi Toan-kah ke dalam liang
kuburnya. Tapi dia tidak menyangka bahwa kami
mengikutinya kemari, karena kami tidak akan
membiarkan dia mati di tangan orang lain.”
Lanjutnya lagi, “Namun tentang Nyonya… Nyonya Lim Siim,
ia sama sekali tidak berada dalam bahaya. Ia tidak
berada di tangan Siangkoan Kim-hong. Jika kau mampir
ke Hin-hun-ceng, kau pasti akan menjumpainya di sana.”

1364
Li Sun-Hoan merasakan kehangatan di dadanya. Apakah
itu rasa terima kasih? Apakah itu rasa bahagia?
“Dan sekarang, segala permusuhan di antara kami telah
selesai. Aku hanya bisa berharap bahwa kau sudi
menguburkan kami bersama-sama. Dan jika ada yang
bertanya tentang ‘Tionggoan-pat-gi’, aku berharap kau
bisa menjelaskan kepada mereka bahwa walaupun kami
telah berbuat kesalahan dalam hidup kami, kami telah
berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya dalam
kematian kami,” kata Ih Beng-oh.
Orang-orang berjubah kuning yang masih hidup diamdiam
meloloskan diri keluar. Walaupun Li Sun-Hoan
melihat mereka pergi, ia tidak merasa perlu untuk
menghalangi mereka.
Ia pun tidak merasa perlu untuk menghalangi Ih Bengoh.
Karena ia tahu pasti, Ih Beng-oh tidak mungkin bisa
terus hidup.
Jikalau seseorang bisa mati dengan tenang, apa lagi
yang diinginkannya?
Kematian tidak berarti apapun juga bagi mereka.
Kini, saat Li Sun-Hoan memandangi lantai yang penuh
mayat, ia pun bergidik. Ia menyadari betapa brutal dan
mengerikannya pembalasan dendam itu.

1365
Namun sedalam apapun dendam mereka, kini semuanya
telah selesai.
Perkataan Ih Beng-oh sungguh tepat. Walaupun mereka
melakukan kesalahan dalam hidup mereka, mereka telah
mati dengan terhormat, dengan gagah, dengan hati
nurani yang bersih.
Begitu sedikit orang dalam dunia ini yang dapat mati
seperti mereka.
Lengan dan kaki Li Sun-Hoan terasa begitu dingin,
sampai ia menggigil. Namun dalam dadanya, terasa api
yang membara.
Ia menjatuhkan diri, berlutut dalam genangan darah
mereka.
Darah ksatria sejati!
Ia berlutut dengan hati tenang. Ia sungguh lebih suka
berada di sini, bersama dengan orang-orang benar yang
mati, daripada bersama dengan senyuman orang-orang
licik yang hidup.
‘Pria sejati tidak lupa diri oleh kesukaan dalam hidup dan
tidak terguncang oleh ketakutan dalam kematian’. Jika
seseorang bisa mati tanpa penyesalan, apakah yang
harus ditakuti dari kematian?
Tapi sungguh-sungguh teramat sulit untuk mati seperti
itu!

1366
Selama itu, Sun Sio-ang sama sekali tidak menginjakkan
kaki di tempat itu. Bukan karena ia takut, namun karena
ia tidak tahan melihat adegan berdarah seperti itu. Ia
baru menyadari, laki-laki memang berbeda dari wanita.
Ia baru menyadari bahwa menjadi wanita pun
merupakan suatu anugerah.
***
Malam.
Dalam warung kecil itu ada setitik cahaya dan dua orang
manusia.
Cahayanya guram, namun hati mereka lebih muram
lagi…..
Lilin itu berada tepat di hadapan Li Sun-Hoan. Arak pun
ada di hadapan Li Sun-Hoan. Namun seakan-akan ia
tidak bertenaga untuk mengangkat cawan itu. Yang bisa
dilakukannya adalah menatap cawan itu saja dengan
pandangan kosong.
Cahaya lilin menari dan berkelap-kelip.
Setelah sekian lama, akhirnya Li Sun-Hoan menghela
nafas panjang dan berkata, “Mari kita pergi.”
“Ak….Aku ikut denganmu?” tanya Sun Sio-ang ragu.
“Kita datang bersama. Tentu saja kita pulang bersama.”

1367
“Pulang? Tapi, apakah kau tidak jadi berkunjung ke Hinhun-
ceng?”
Li Sun-Hoan menggeleng.
“Tapi bukankah tujuan kedatangan kita ke sini adakah
untuk mengunjungi Hin-hun-ceng?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Sekarang tidak perlu lagi.”
“Kenapa?”
Li Sun-Hoan menatap lurus pada lilin itu dan berkata, “Ih
Beng-oh telah mengatakan padaku bahwa dia tidak
berada dalam bahaya. Itu sudah cukup bagiku.”
“Dan kau percaya begitu saja pada perkataannya?”
“Ia adalah tipe orang yang bisa dipercaya.”
Sun Sio-ang mengejapkan matanya dan bertanya,
“Tapi….bukankah kau ingin bertemu dengannya?”
Li Sun-Hoan terdiam. Lalu perlahan menjawab,
“Berjumpa dengannya akan seperti tidak berjumpa.
Karena ia tidak berada dalam bahaya, tidak ada gunanya
aku pergi ke sana.”
“Tapi kau kan sudah sampai di sini. Tidak ada salahnya
kau menjumpainya,” kata Sun Sio-ang mendesak.
Kembali Li Sun-Hoan terdiam. Lalu tiba-tiba ia tersenyum
dan berkata, “Tiba-tiba aku merasa bahagia. Karena

1368
perasaanku sudah tenang, tidak ada bedanya aku
berjumpa dengan dia atau tidak.”
Sun Sio-ang mengeluh dan tersenyum. “Kau memang
orang aneh. Orang lain tidak akan pernah mengerti apa
yang kau lakukan.”
“Cepat atau lambat kau akan mengerti.”
Gadis itu menatap Li Sun-Hoan bengong. Lalu katanya,
“Namun paling tidak kau harus menguburkan mereka
dengan sepantasnya.”
“Mereka bisa menunggu, Siangkoan Kim-hong tidak,”
sahut Li Sun-Hoan
Lalu ia tersenyum pahit dan menambahkan, “Orang mati
memang jauh lebih sabar daripada orang hidup.”
Bab 80. Kesalahan Fatal
“Ternyata kau tidak begitu setia kawan seperti yang
kusangka. Paling tidak, kau lebih setia kawan pada yang
hidup daripada yang mati,” ejek Sun Sio-ang nakal.
Tiba-tiba Li Sun-Hoan bertanya, “Kemarin, kapan kita
berangkat?”
“Malam hari, seperti sekarang ini.”
“Dan kapan kita tiba hari ini?” tanya Li Sun-Hoan.
“Hampir petang, hari belum lagi gelap.”

1369
“Dan bagaimana kita bisa sampai ke sini?” tanya Li Sun-
Hoan lagi.
“Kita naik kereta untuk beberapa saat, kemudian kita
berjalan kaki sampai pagi tadi. Setelah itu kita naik
kuda.”
“Jadi jika kita kembali dengan cara yang sama, kita tidak
mungkin bisa sampai sebelum matahari terbenam.”
“Betul,” jawab Sun Sio-ang.
“Tapi sekarang, kita sudah terjaga begitu lama. Kekuatan
kita tidak sebesar kemarin. Jadi kita tidak mungkin
berjalan secepat kemarin.”
Sahut Sun Sio-ang, “Dan lagi kemarin, hampir-hampir
aku tidak bisa mengikutimu. Tidak heran kakek bilang
bahwa kecepatanmu berjalan hampir sama dengan
kecepatan pisaumu.”
“Jadi walaupun kita pergi sekarang, belum tentu aku bisa
datang tepat waktu untuk duel dengan Siangkoan Kimhong?”
Sun Sio-ang terdiam.
Li Sun-Hoan mengangkat kepalanya dan memandang
gadis itu. Katanya, “Seharusnya kau mendorong aku
untuk segera kembali. Kau kan tahu, aku tidak bisa
terlambat untuk duel itu.”

1370
Sun Sio-ang memaLingkan wajahnya dan menggigit
bibirnya. Seakan-akan ia sedang menghindari tatapan
mata Li Sun-Hoan.
Kemudian ia berkata dengan lembut, “Aku ingin kau
berjanji padaku.”
“Apa itu?”
“Kali ini, mari kita pulang dengan kereta. Jangan kita
berjalan ataupun naik kuda.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau ingin aku beristirahat selama
perjalanan.”
“Ya. Jika kau tidak beristirahat, kau akan kehabisan
tenaga sebelum menghadapi Siangkoan Kim-hong. Kau
tidak akan bisa berduel jika belum apa-apa kau sudah
terpuruk ke lantai.”
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Baiklah, aku
menurutimu. Kita pulang dengan kereta.”
Seketika wajah Sun Sio-ang berbinar karena gembira.
“Kita bisa membawa arak dalam kereta. Jika kau tidak
bisa tidur, aku akan minum bersamamu sepanjang
perjalanan.”
“Kalau aku mulai minum, lama-lama aku pasti akan
tertidur,” sahut Li Sun-Hoan.
“Bagus. Selama kau bisa beristirahat dalam perjalanan,
Siangkoan Kim-hong tidak akan mampu melawanmu.”

1371
“Kau sungguh yakin akan diriku,” kata Li Sun-Hoan
sambil tersenyum.
Gadis itu menatap Li Sun-Hoan lekat-lekat. Katanya,
“Tentu saja aku yakin padamu. Kalau tidak mengapa
aku….”
Wajahnya menjadi bersemu merah. Tiba-tiba ia berlari
keluar dan berseru dengan riang, “Aku akan pergi
mencari kereta. Kau siapkan araknya ya. Dan jika masih
ada waktu, pergi dan temuilah dia. Aku berjanji, aku
tidak akan cemburu.”
Kuncir rambutnya melambai-lambai saat ia berlari dan
dalam hitungan detik, ia sudah tidak kelihatan lagi.
Li Sun-Hoan memandanginya sampai ia tidak terlihat lagi,
baru ia bangkit berdiri dan berjalan keluar.
Ia menengadah. Di balik tembok itu, terlihat ruangan
kecil di pojok atas.
Cahaya masih tampak bersinar dari kamar itu.
Namun bagaimana dengan orang di dalamnya?
Apakah ia sedang sibuk menjahit pakaian untuk putra
kesayangannya?
Cinta seorang ibu akan anaknya bagaikan seutas benang
yang tiada putusnya.

1372
Namun masih belum dapat menandingi panjangnya
kesepian. Tidak ada satupun di dunia ini yang dapat
menandingi panjangnya kesepian hidup.
Bulan demi bulan, tahun demi tahun. Benang yang tidak
habis terjahit. Kesepian yang tidak dapat disembuhkan.
Wanita itu telah mengubur hidupnya, dan ruang kecil itu
adalah kuburannya.
Seseorang……seorang wanita…..tanpa masa muda, tanpa
cinta, tanpa suka cita. Untuk apa ia hidup?
‘Si-im, Si-im, kau telah menderita begitu banyak.’
Tiba-tiba Li Sun-Hoan membungkuk dan mulai terbatuk.
Batuk darah!
Bagaimana mungkin ia tidak ingin menemuinya?
Walaupun tubuhnya masih berdiri di situ, hatinya telah
melayang pergi ke ruang kecil itu.
Walaupun hatinya telah melayang ke kamar itu,
tubuhnya masih berdiri tidak bergerak di luar.
Ia tidak berani pergi ke sana. Ia tidak sanggup.
Walaupun mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa bertemu
dengannya, ia masih tetap tidak sanggup….. Berjumpa
dengannya sama seperti tidak berjumpa. Dan walaupun
ia pergi menjumpainya, apakah yang bisa diperbuatnya?

1373
Wanita itu bukan lagi miliknya. Ia sudah bersuami,
mempunyai seorang anak, hidup dalam dunianya sendiri.
Ia sepenuhnya berada di dunianya sendiri, dunia yang
lain.
Li Sun-Hoan menyeka darah dari bibirnya dan mencoba
menelan kembali darah yang masih ada dalam mulutnya.
Bahkan darahnya pun terasa pahit, amat sangat pahit.
‘Si-im….Si-im, aku akan merasa puas selama kau hidup
damai sejahtera. Apakah itu di surga atau di neraka,
suatu hari nanti kita akan bertemu kembali.”
Namun, apakah Lim Si-im hidup damai sejahtera?
Di tengah hembusan angin malam yang dingin, Li Sun-
Hoan terlihat lebih lemah daripada setangkai bunga
seruni.
Li Sun-Hoan berdiri sendirian di tengah angin barat yang
menderu. Apakah ia sedang berharap bahwa angin barat
itu akan menerbangkan dirinya pergi?
Akhirnya, Sun Sio-ang pun kembali. Ia memandang Li
Sun-Hoan dan bertanya, “Kau….Kau tidak pergi
menemuinya?”
Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya. “Kau berhasil
menemukan kereta?”

1374
“Kereta sudah menunggu di depan sana. Jika kau tidak
ingin menemuinya, mari kita segera pergi.”
“Ayo, kita pergi!” jawab Li Sun-Hoan.
Kereta itu berguncang-guncang sepanjang perjalanan.
Arak pun bergoyang-goyang dalam cawannya.
Arak yang cukup umur.
Kereta itu sepertinya berusia lebih tua daripada arak itu.
Dan kudanya lebih tua lagi.
Li Sun-Hoan menggeleng-gelengkan kepalanya dan
berkata sambil tersenyum, “Jika kuda yang menarik
kereta ini adalah Si Surai Merah milik Jenderal Guan,
pasti kereta ini langsung menjadi barang antik. Hebat
juga kau bisa menemukan kereta seperti ini.”
Sun Sio-ang tidak bisa menyembunyikan tawanya. Ia
mengangkat dagu sambil berkata, “Kau tidak puas atas
persiapanku?”
“Tidak, tidak, aku sangat puas. Sangat sangat puas.”
Li Sun-Hoan memejamkan matanya dan menambahkan,
“Saat aku masuk ke dalam kereta ini, aku langsung
teringat pada sesuatu di masa lalu.”
“O ya? Apa itu?”

1375
“Aku teringat akan kuda kayu mainanku waktu aku masih
kecil. Rasanya sama seperti terayun-ayun di atas kereta
ini.”
Sebelum ia selesai bicara, ia merasa ada sesuatu yang
dijejalkan ke dalam mulutnya.
“Habiskan kurma itu dan cepat tidur,” kata Sun Sio-ang
sambil tersenyum.
Sahut Li Sun-Hoan, “Seandainya aku bisa tertidur dan
tidak bangun lagi, ah, sungguh menyenangkan.
Sayangnya…..”
Sun Sio-ang segera memotongnya dan berkata, “Aku
bersusah-payah mendapatkan kereta ini supaya kau bisa
beristirahat. Jika kau bisa tidur nyenyak, besok pagi kita
bisa berganti kereta.”
Li Sun-Hoan menghabiskan cawan araknya dan berkata,
“Kalau begitu, aku akan minum beberapa cawan lagi
supaya aku bisa tidur nyenyak.”
Arak di cawannya bergoyang-goyang. Kuncir Sun Sio-ang
pun terayun-ayun ke kiri ke kanan.
Matanya bercahaya dan teduh, seperti sinar bintang yang
menerangi langit malam di luar sana.
Cahaya bintang tampak seperti mimpi.
Li Sun-Hoan mulai mabuk.

1376
Di malam yang begitu indah, ditemani wanita yang
begitu cantik, bagaimana mungkin ia tidak mabuk?
Karena ia sudah mabuk, bagaimana mungkin ia tidak
jatuh terlelap?
Li Sun-Hoan bersandar pada salah satu sisi kereta dan
mengangkat kakinya ke atas kursi kereta itu. Ia
bergumam, “Orang bijak dan para pendekar selalu
dihantui kesepian dan tidak punya sahabat kecuali guci
araknya….. Namun ternyata, minum semalam suntuk pun
sama menderitanya.”
Lalu semuanya hening. Hanya kesunyian yang tinggal.
Akhirnya ia jatuh terlelap.
Sun Sio-ang memandangnya sampai lama. Lalu ia
menjulurkan tangannya dan membelai rambutnya
dengan lembut. “Tidur, tidurlah dengan tenang. Setelah
kau bangun, segala kesedihan dan persoalan akan
berlalu. Dan bila saatnya tiba, aku tidak akan
membiarkanmu minum sebanyak ini lagi.”
Mata Sun Sio-ang bersinar semakin terang, penuh
dengan harapan dan suka cita.
Ia masih sangat muda.
Orang-orang muda selalu optimis menghadapi dunia ini.
Mereka selalu beranggapan bahwa segala sesuatu akan
terjadi sesuai dengan rencana mereka.

1377
Ia belum mengerti bahwa dunia ini tidak berjalan seperti
itu. Apa yang terjadi selalu saja jauh dari bayangan dan
rencana kita. Jika saat itu ia tahu seberapa jauhnya
kenyataan yang akan terjadi dari bayangannya, bajunya
pasti sudah basah kuyup oleh air mata.
Kusir kereta pun sedang menghirup araknya dengan
santai.
Ia tidak terburu-buru.
Karena si wanita muda penyewa keretanya telah
memerintahkannya begitu!
‘Pelan-pelan saja di jalan. Kami tidak tergesa-gesa pergi.’
Sang kusir tersenyum sendiri. Jika ia sedang naik kereta
bersama kekasih hatinya, ia pun tidak akan tergesa-gesa
pergi.
Ia sungguh iri pada Li Sun-Hoan. Ia merasa, Li Sun-Hoan
adalah orang yang sangat beruntung.
Namun jika ia tahu situasi macam apa yang sebenarnya
sedang dihadapi oleh Li Sun-Hoan dan Sun Sio-ang,
mungkin ia tidak akan sanggup menelan arak dalam
cawannya.
Hari esok telah tiba.
Waktu Li Sun-Hoan bangun, cahaya matahari telah
menerangi seluruh kereta dari jendela.

1378
Ia tidak tahu berapa lama ia sudah tertidur. Apakah ia
sungguh kelelahan? Apakah karena arak?
Li Sun-Hoan memungut cawan arak dan menciumnya,
lalu diletakkannya kembali.
Kereta itu masih bergoyang-goyang ke kiri ke kanan
selagi melaju di sepanjang jalan itu. Jalan kereta itu
sangat lambat, bahkan kadang-kadang berhenti sejenak,
seakan-akan kusirnya pun tertidur.
Sun Sio-ang masih tidur di pangkuan Li Sun-Hoan.
Rambutnya yang panjang terurai di atas kaki Li Sun-Hoan
bagaikan aliran air.
Li Sun-Hoan melongok ke luar jendela, namun ia tidak
bisa melihat bayangan kereta itu.
Matahari tepat berada di atas.
Setelah beberapa lama, Li Sun-Hoan melihat batu
penunjuk di sisi jalan. Pada batu itu terukir nama desa
yang akan mereka masuki.
Waktu perjanjian dengan Siangkoan Kim-hong tinggal
sebentar lagi.
Namun ternyata mereka baru setengah perjalanan.
Dalam sekejap tangan Li Sun-Hoan menjadi dingin dan
mulai gemetaran.

1379
Ada kalanya ia merasa kuatir, sedih, gelisah. Ada kalanya
pula ia merasa bahagia. Jarang sekali ia merasa marah.
Saat ini, ia belum marah betul, namun sudah dekat
sekali.
Tiba-tiba Sun Sio-ang terjaga dan merasa tubuh Li Sun-
Hoan menggigil. Ia memandang wajah Li Sun-Hoan dan
melihat ekspresi kemarahannya. Belum pernah ia melihat
Li Sun-Hoan seperti itu.
Ia menundukkan kepalanya. Matanya langsung memerah
dan ia bertanya, “Apakah kau marah padaku?”
Mulut Li Sun-Hoan terkatup. Terkatup erat.
“Aku tahu kau akan marah padaku, tapi aku akan tetap
melakukannya. Aku tidak peduli apakah kau akan
membentakku atau memukul aku. Tapi kau harus tahu
bahwa aku melakukannya demi kebaikanmu,” kata Sun
Sio-ang.
Li Sun-Hoan mengeluh panjang. Seluruh tubuhnya yang
tegang mulai mengendur. Hatinya pun mulai lumer.
Sun Sio-ang melakukan semuanya demi dirinya.
Apa salah Sun Sio-ang? Selama ia sungguh-sungguh
menginginkan yang terbaik bagi Li Sun-Hoan, bagaimana
mungkin ia menyalahkan gadis itu?

1380
Kata Li Sun-Hoan, “Aku mengerti perasaanmu. Aku tidak
menyalahkanmu. Tapi, bisakah kau juga berusaha
mengerti perasaanku?”
“Kau…..kau pikir aku tidak mengerti perasaanmu?”
“Jika kau sungguh mengerti perasaanku, kau akan tahu
bahwa sekalipun kau berhasil mencegah aku bertemu
dengan Siangkoan Kim-hong kali ini, bagaimana dengan
nanti? Cepat atau lambat, aku harus berhadapan
dengannya. Mungkin juga besok,” kata Li Sun-Hoan.
“Kalau besok, semuanya akan berbeda.”
“Apa yang akan berbeda besok?”
“Besok, Siangkoan Kim-hong sudah mati. Mungkin ia
tidak akan melewati malam ini,” kata Sun Sio-ang.
Caranya berbicara sungguh aneh, seakan-akan ia sudah
tahu pasti apa yang akan terjadi.
Li Sun-Hoan tidak bisa menebak mengapa Sun Sio-ang
kedengaran begitu pasti. Ia berpikir-pikir sejenak.
Kata Sun Sio-ang, “Tidak akan ada yang menyalahkan
kalau hari ini kau tidak hadir. Itu kan semua salah
Siangkoan Kim-hong. Jika ia tidak memaksamu pergi ke
Hin-hun-ceng, kau tidak mungkin terlambat datang.”
Li Sun-Hoan masih berkutat dengan pikirannya.
Wajahnya sedikit demi sedikit berubah.

1381
Perasaan Sun Sio-ang semakin ringan saat ia bersandar
di lengan Li Sun-Hoan. Katanya, “Kalau Siangkoan Kimhong
sudah mati, tidak ada yang akan bilang bahwa…..”
Tiba-tiba Li Sun-Hoan memotongnya, “Apakah kakekmu
yang menyuruhmu berbuat begini?”
Sun Sio-ang mengedipkan matanya dan berkata sambil
berkelakar, “Mungkin ya, mungkin tidak.”
“Apakah ia yang pergi menghadapi Siangkoan Kimhong?”
tanya Li Sun-Hoan.
“Betul sekali. Kau pasti tahu, Siangkoan Kim-hong
melihat kakek sama seperti seekor tikus kecil melihat
kucing. Kurasa, kakeklah satu-satunya orang di dunia ini
yang bisa menghadapi Siangkoan Kim-hong.”
Lalu Sun Sio-ang meraih tangan Li Sun-Hoan dan hendak
melanjutkan perkataannya. Namun akhirnya ia terdiam,
karena ia merasa tangan Li Sun-Hoan begitu dingin
seperti es.
Waktu hati manusia diliputi ketakutan, mengapa
tangannya selalu dingin membeku?
Namun apakah yang ditakutinya?
Melihat ekspresi wajah Li Sun-Hoan, Sun Sio-ang pun
takut bertanya.

1382
Akhirnya Li Sun-Hoan bertanya, “Apakah kakekmu sendiri
yang ingin pergi, atau engkaukah yang memintanya
pergi?”
“Apakah….Apakah itu ada bedanya?” tanya Sun Sio-ang
tergagap.
“Ya, sangat jauh perbedaannya.”
“Akulah yang meminta dia pergi. Karena untuk
menghadapi orang seperti Siangkoan Kim-hong, tidak
jadi masalah siapa yang membunuhnya. Tidak harus kau
yang melakukannya.”
Li Sun-Hoan mengangguk, sepertinya ia pun setuju
dengan pendapatnya. Namun ekspresi wajahnya tampak
berbeda.
Ia bukan hanya kelihatan takut, tapi juga kelihatan
sangat berduka.
Sun Sio-ang tidak bisa menahan diri, tanyanya, “Apakah
kau kuatir?”
Li Sun-Hoan tidak perlu menjawab. Wajahnya telah
menjawab dengan jelas.
“Aku tidak mengerti apa yang kau kuatirkan…. Kau
menguatirkan Kakek?” tanya Sun Sio-ang.
Li Sun-Hoan mendesah dan menjawab dengan suara
rendah, “Aku menguatirkan dirimu.”

1383
“Menguatirkan diriku? Kenapa?” tanyanya tidak mengerti.
“Semua orang pasti pernah membuat kesalahan dalam
hidupnya. Ada kesalahan yang bisa diperbaiki, tapi ada
juga yang selamanya tidak dapat ditarik kembali.”
Kini dalam pandangan matanya, bukan hanya tampak
duka namun juga kepedihan yang begitu mendalam.
Ia menatap lurus pada gadis itu, lalu melanjutkan, “Jika
kau membuat kesalahan yang tidak mungkin diperbaiki,
apapun juga niatmu, kau harus menanggung beban itu
selamanya seumur hidupmu. Walaupun orang lain sudah
mengampunimu, kau tidak akan pernah bisa
mengampuni dirimu sendiri. Suatu perasaan yang sangat
tidak menyenangkan.”
Li Sun-Hoan sangat memahami perasaan ini.
Karena satu kesalahan yang diperbuatnya, ia harus
membayar harga yang sangat mahal.
Sun Sio-ang balik menatapnya dan tiba-tiba merasakan
suatu firasat buruk. Tanyanya, “Apakah kau kuatir aku
akan melakukan suatu kesalahan?”
Setelah lama terdiam, Li Sun-Hoan balik bertanya,
“Selama bertahun-tahun ini, apakah kau selalu bepergian
dengan kakekmu?”
“Ya.”
“Apakah kau pernah melihat beliau bertempur?”

1384
“Mmmm, rasanya tidak pernah….” Jawab Sun Sio-ang.
Bab 81. Tragedi yang Tidak Terduga
Lalu dengan cepat Sun Sio-ang menambahkan, “Tapi itu
karena Kakek tidak punya kesempatan, tidak perlu
bertempur.”
“Tidak pernah perlu?” tanya Li Sun-Hoan.
“Beliau tidak ada tandingannya.”
“Bagaimana dengan Siangkoan Kim-hong?”
“Dia…..”
Sun Sio-ang tiba-tiba terdiam, tidak melanjutkan
kalimatnya. Apakah tiba-tiba ia terpikir akan sesuatu?
Kata Li Sun-Hoan, “Kakekmu pasti tidak setuju akan
sepak terjang Siangkoan Kim-hong.”
“Ia…Ia sungguh jengkel dengan perbuatan Siangkoan
Kim-hong,” sahut Sun Sio-ang.
“Tapi beliau tidak pernah pergi menantangnya.”
Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. Sahutnya, “Tidak
pernah…..”

1385
“Mengapa beliau membiarkan Siangkoan Kim-hong
membabi buta begitu lama? Dan mengapa ia baru mau
menghadapi Siangkoan Kim-hong setelah kau
memintanya?”
Mulut Sun Sio-ang terasa kering. Ia pun kehilangan katakata.
Kata Li Sun-Hoan, “Waktu ilmu silat seseorang telah
mencapai puncaknya, ia pasti akan mulai merasa takut.
Takut orang lain bisa menandinginya, takut kalau setelah
itu kemampuan mereka akan menurun. Dan bila saat itu
tiba, ia akan menghindarinya dengan segala cara. Secara
ekstrem, menghindar untuk melakukan apapun juga.”
Ia mendesah dan menambahkan, “Semakin ia tidak ingin
bertindak, semakin cepat ia menjadi tidak bisa bertindak.
Ada yang tiba-tiba memutuskan untuk mengasingkan
diri, ada yang merusak diri sendiri – ingin segera
mengakhiri segalanya dengan kematian…. Inilah yang
biasanya terjadi sepanjang sejarah manusia. Kecuali jika
orang itu bisa melangkah melewati dunia materi dan
masuk ke tingkat di mana tidak ada lagi emosi manusia
yang bermain. Menjadi tidak peduli lagi akan seluruh
dunia dan umat manusia di dalamnya.”
Sun Sio-ang merasa tubuhnya mengejang, dan keringat
dingin mulai membasahi tengkuknya.
Karena ia tahu pasti bahwa kakeknya bukanlah orang
yang ‘tidak berperasaan’.
Ia masih peduli akan banyak hal, akan banyak orang.

1386
Kata Li Sun-Hoan lagi, “Mungkin aku salah…..”
Tiba-tiba Sun Sio-ang menghambur ke arah Li Sun-Hoan
dan memeluknya erat-erat.
Tubuh gadis itu menggigil luar biasa.
Ia ketakutan, sangat sangat ketakutan.
Li Sun-Hoan membelai rambutnya. Apakah itu rasa
kasihan? Simpati? Kesedihan?
Seseorang yang tidak berperasaan tidak akan berbuat
demikian.
Seseorang yang tidak berperasaan tidak akan membuat
kesalahan.
Namun mengapa alam selalu memaksa mereka yang
penuh cinta membuat kesalahan-kesalahan fatal?
Apakah salah menjadi seseorang yang penuh perasaan?
Pecahlah tangis Sun Sio-ang dan ia mulai sesenggukan.
“Tolong, tolong kembali segera bersamaku. Jika kita
segera kembali…..apapun harganya…..aku bersedia
melakukan apapun juga.”
Terdengar suara ringkik kuda dari jendela kereta. Kini
mereka sedang berada di kandang kuda.
Salah satu keahlian Li Sun-Hoan adalah memilih kuda
yang baik. Banyak orang tahu bahwa Li Sun-Hoan bukan

1387
hanya ahli dalam hal wanita, tapi juga dalam hal kuda.
Tidaklah mudah menjadi seorang ahli dalam dua bidang
ini.
Kuda dan wanita. Dua-duanya sangat sulit dimengerti.
Ia segera memilih dua ekor kuda yang tercepat.
Wanita yang tercantik belum tentu yang terbaik. Kuda
yang tercepat belum tentu yang terkuat. Wanita cantik
sering kali kurang tulus, kuda yang cepat sering kali
kurang ketahanannya.
Dua ekor kuda terguling.
Dua orang berlari kesetanan.
Matahari sudah mulai tenggelam.
Kedua orang itu terus berlari sekuat tenaga. Mereka tidak
peduli apa yang dipikirkan orang yang di sekitarnya.
Mereka tidak peduli akan kelelahn tubuh mereka sendiri.
Mereka tidak peduli akan apapun juga.
Malam pun semakin dekat.
Tidak ada orang lagi di jalan.
Malam ini, bulan dan bintang entah pergi ke mana. Tidak
ada setitik cahaya pun yang tampak.

1388
Hutan yang gelap berada di samping jalan. Di luar hutan
itu tampak siluet sebuah paviliun.
Bukankah ini tempat perjanjian duel?
Di tengah malam yang gelap itu, sepertinya ada secercah
cahaya di kejauhan.
Cahaya itu tampak semakin terang, dan sesosok manusia
terlihat dari jauh.
Sun Sio-ang mendesah lega dan seluruh tubuhnya yang
tegang mulai rileks.
Sungguh merupakan suatu keajaiban ia bisa berlari
begitu lama. Mungkin juga karena rasa takutlah yang
menggerakkan kakinya.
Rasa takut memang bisa membangkitkan kekuatan
manusia yang terpendam.
Namun kini, ia telah melihatnya. Ia telah melihat apa
yang diharapkannya. Nafasnya yang tersengal-sengal
langsung seolah-olah berhenti dan ia pun tersungkur ke
tanah.
Li Sun-Hoan belum berani bernafas lega.
Ia melihat cahaya itu terombang-ambing dan ia melihat
cahaya itu berkelap-kelip aneh. Kadang-kadang sangat
terang, kadang-kadang redup tiba-tiba.
Mendadak cahaya itu berkobar seperti lentera raksasa.

1389
Pada suatu hari dulu, di luar sebuah kota yang lain,
dalam paviliun yang lain, Li Sun-Hoan pernah melihat
kelap-kelip lampu persis seperti ini.
Pada saat itu, Tuan Sunlah yang berada di paviliun itu
sedang mengisap pipanya.
Selain Tuan Sun, Li Sun-Hoan belum pernah melihat
orang lain bisa mengisap pipa seperti itu.
Li Sun-Hoan merasa air mata yang hangat membasahi
bola matanya.
Sun Sio-ang masih rebah di tanah, perlahan menangis
sambil berusaha bangkit berdiri lagi.
Ini adalah air mata bahagia. Air mata penuh rasa terima
kasih.
Tuhan belum mengijinkan ia membuat kesalahan fatal.
Li Sun-Hoan membantunya bangkit berdiri dan mereka
berdua segera berjalan menuju paviliun itu.
Paviliun itu sudah penuh asap dan seseorang duduk
tepat di tengahnya.
Wangi asap itu sudah sangat dikenal oleh Sun Sio-ang.
Ia merasakan kehangatan dalam dadanya. Segera
dilepaskan pegangan tangan Li Sun-Hoan dan dengan
cepat ia berlari ke paviliun itu.

1390
Ia hanya ingin segera memeluk kakeknya dan
mengatakan padanya betapa ia sungguh berterima kasih.
Sebelum tiba pun ia sudah berseru-seru, “Kakek! Kami
sudah sampai…..kami sudah sampai!”
Tiba-tiba cahaya di paviliun itu padam.
Lalu terdengar seseorang berkata dengan kaku, “Bagus.
Aku memang menunggu kalian berdua!”
Suara itu dingin, tidak bersahabat, tegas. Tanpa nada,
tanpa perasaan.
Langkah Sun Sio-ang terhenti. Kehangatan yang baru
dirasakannya langsung berubah menjadi kebekuan.
Sangat dingin sampai ia tidak bisa bergerak lagi.
Suara itu seperti sebuah pentungan yang menghajar dia
dari langit jatuh berdebam kembali ke bumi.
Lalu empat buah lentera menyala terang.
Empat lentera kuning yang tergantung di tongkat bambu.
Dibawah gemerlap cahaya keemasan itu, duduklah
seseorang. Dingin seperti emas, anggun seperti emas,
bahkan hatinya pun sepertinya terbuat dari bongkahan
emas.
Ia sedang mengisap pipa.
Pipa yang diisapnya adalah pipa Tuan Sun.

1391
Tapi orang itu adalah Siangkoan Kim-hong!
Orang yang sedang mengisap pipa di paviliun itu adalah
Siangkoan Kim-hong!
Angin dingin bertiup kencang, hujan es mengguyur bumi.
Tidak ada yang menyadari kapan hujan mulai turun.
Sun Sio-ang berdiri mematung dalam hujan. Seluruh
tubuhnya mengejang, kaku sekujur tubuh.
Ia ingin berteriak, namun tidak bertenaga. Ia ingin
menyeruduk masuk, namun tubuhnya tidak bisa
bergerak.
Dadanya mulai sesak, ia ingin muntah.
Tapi bahkan setetes air mata pun tidak bisa keluar.
Li Sun-Hoan berjalan lebih lambat daripada Sun Sio-ang.
Kini ia terus berjalan menuju ke paviliun itu. Langkahnya
tetap dan pasti.
Namun nafasnya telah berhenti.
Ia berjalan perlahan masuk ke paviliun itu dan
berhadapan dengan Siangkoan Kim-hong.
Siangkoan Kim-hong tidak menoleh ke arahnya. Matanya
masih terfokus pada pipa di tangannya.
“Kau terlambat.”

1392
Setelah terdiam lama, Li Sun-Hoan menyahut, “Ya, aku
terlambat.”
Mulut Li Sun-Hoan terasa kering. Pahit. Seolah-olah
lidahnya sedang menjilati sebatang besi berkarat.
Rasanya sangat sulit diutarakan.
Apakah ini rasa ketakutan?
Kata Siangkoan Kim-hong, “Lebih baik terlambat
daripada tidak hadir.”
Kata Li Sun-Hoan, “Seharusnya kau tahu, cepat atau
lambat aku pasti datang.”
Lalu Siangkoan Kim-hong berkata, “Sayangnya, orang
yang seharusnya datang, datang terlambat. Dan orang
yang tidak seharusnya datang, datang awal.”
Setelah perkataan itu, keduanya terdiam. Mereka berdiri
saling berhadapan, saling pandang satu dengan yang
lain. Tidak seorangpun bergerak sedikitpun.
Mereka berdua menunggu kesempatan.
Sekali mereka bergerak, tidak akan mungkin ditarik
kembali!
***
Di tengah-tengah hujan dan angin, di tengah-tengah
hutan yang gelap, ada dua orang lagi, dua pasang mata
lagi.

1393
Kedua pasang mata itu tertuju pada Siangkoan Kim-hong
dan Li Sun-Hoan.
Sepasang mata yang tenang dan lembut, bagaikan air
yang mengalir. Terang dan bercahaya, bagaikan bintang.
Di seluruh dunia, sulit ditemukan sepasang mata seindah
ini.
Sepasang mata yang satu lagi berwarna kelabu, seolaholah
menyatu dengan kegelapan malam yang tidak
berjiwa. Di seluruh neraka pun, sulit ditemukan sepasang
mata yang begitu mengerikan seperti ini.
Jika ada setan dan dedemit yang bersembunyi di hutan
itu pun, mereka pasti sudah kabur sejak tadi.
Sepasang mata itu bisa membuat setan dan dedemit
gemetar lututnya.
Lim Sian-ji dan Hing Bu-bing telah berada di sana
sebelum yang lain tiba. Mereka sudah bersembunyi di
sana sejak lama.
Lim Sian-ji berdiri di samping Hing Bu-bing dan
berpegangan kuat-kuat pada lengannya.
Hing Bu-bing tidak bersuara dan tidak bergerak
sedikitpun.
Bisik Lim Sian-ji, “Jika kau ingin membunuhnya, ini
adalah kesempatan yang paling baik. Tidak akan ada lagi
kesempatan sebaik ini.”

1394
Sahut Hing Bu-bing, “Saat ini ada orang lain yang sedang
berusaha membunuhnya. Aku tidak perlu lagi
menyerang.”
“Aku bukan menyuruhmu membunuh Li Sun-Hoan.”
“Lalu siapa?”
“Siangkoan Kim-hong. Bunuh Siangkoan Kim-hong!”
pekik Lim Sian-ji tertahan.
Tubuhnya gemetar sedikit saking gembiranya. Kukukukunya
tertanam di kulit tangan Hing Bu-bing.
Hing Bu-bing tidak bergerak. Ia pun tidak merasa sakit
sedikitpun.
Namun ada api yang berkobar di matanya. Seperti
kobaran api neraka.
“Saat ini, ia sedang berkonsentrasi penuh pada Li Sun-
Hoan. Ia tidak bisa menghadapi orang lain lagi. Lagi pula,
ia tidak tahu sama sekali mengenai tangan kananmu.
Kau pasti dapat membunuhnya,” kata Lim Sian-ji.
Hing Bu-bing masih tidak bergeming.
“Kau kan tahu peraturan Kim-ci-pang. Kalau Siangkoan
Kim-hong tidak ada lagi, kaulah yang akan menjadi ketua
yang baru,” desak Lim Sian-ji lagi.
Ia mulai menggerutu dengan suara pelan.

1395
Suaranya sungguh tidak enak didengar. Seperti suara
anjing yang akan melahirkan.
“Walaupun kau tidak menginginkan kedudukan itu, kau
harus membalas perbuatannya dulu terhadapmu. Supaya
waktu ia masuk ke neraka, ia akan menyesal telah
memperlakukan engkau seperti itu,” Lim Sian-ji terus
membujuknya.
Mata Hing Bu-bing masih berkobar dengan api dari
neraka. Dan kobaran api itu makin lama makin besar.
“Ayo, cepat. Kalau kau melewatkan kesempatan ini,
kaulah yang akan menyesal, bukan dia.”
Akhirnya Hing Bu-bing mengangguk dan menjawab,
“Baiklah, aku pergi!”
“Cepatlah, aku akan menunggumu di sini. Setelah kau
berhasil, aku akan menjadi milikmu seorang untuk
selama-lamanya.”
Kata Hing Bu-bing, “Kau tidak perlu menungguku.”
“Kenapa?”
“Karena kau akan ikut bersamaku!”
Tiba-tiba Lim Sian-ji merasa ada sesuatu yang salah.
Setitik rasa takut terlihat dalam matanya yang indah.
Hing Bu-bing mencekal pergelangan tangannya.

1396
Lim Sian-ji tidak suka menangis. Ia merasa wanita yang
menangis adalah wanita yang lemah, wanita yang
menjijikkan dan sangat bodoh.
Lagi pula, ia masih punya banyak cara untuk membuat
laki-laki melakukan kehendaknya.
Namun saat ini ia sungguh merasa kesakitan dan air
mata pun tidak dapat dibendungnya.
Ia serasa mendengar tulang-tulang tangannya
gemeretuk. “Apa kesalahanku? Mengapa kau
memperlakukan aku seperti ini?”
“Seumur hidupmu, kau telah membuat satu kesalahan
besar,” kata Hing Bu-bing.
“Apa itu?”
“Kau tidak boleh menganggap semua orang mencintaimu
seperti A Fei mencintaimu!”
***
Li Sun-Hoan berdiri membelakangi hutan itu.
Ia tidak melihat Lim Sian-ji dan Hing Bu-bing, saat
mereka keluar dari sana. Perhatiannya tercurah pada
Siangkoan Kim-hong. Namun ia dapat melihat ekspresi
aneh di wajah Siangkoan Kim-hong.
Tiba-tiba perhatian Siangkoan Kim-hong terpecah.

1397
Tidak pernah ia memberi kesempatan pada lawan seperti
ini. Dan sudah tentu ia tidak akan pernah lagi
melakukannya.
Namun Li Sun-Hoan tidak menyerang. Pisaunya masih
tetap berada di tangannya.
Karena ia dapat merasakan hawa membunuh yang
mengerikan datang dari arah punggungnya.
Pisaunya tidak hanya disambitkan oleh tangannya, tapi
oleh seluruh tubuh dan seluruh keberadaannya. Jika ia
menyambitkan pisau saat itu, ia tidak mungkin bisa
melindungi diri dari serangan dari arah belakangnya.
Kakinya berputar dan bergeser tujuh kaki. Kini ia melihat
Hing Bu-bing.
Hing Bu-bing berdiri tepat di belakangnya.
Lalu ia pun melihat Lim Sian-ji. Ia belum pernah melihat
Lim Sian-ji kelihatan sangat tertekan seperti itu.
Hujan turun semakin lebat.
Mereka semua sudah basah kuyup.
Walaupun empat lentera tergantung di sudut-sudut
paviliun itu, namun cahayanya redup karena malam
gelap gulita.

1398
Hing Bu-bing masih berdiri dalam kegelapan. Ia tampak
seperti bayangan saja. Seolah-olah ia tidak betul-betul
ada di sana.
Namun Li Sun-Hoan telah mengalihkan pandangannya.
Dari Siangkoan Kim-hong pada Hing Bu-bing.
Siangkoan Kim-hong pun mengalihkan pandangannya.
Dari Li Sun-Hoan pada Hing Bu-bing.
Karena mereka kini merasa bahwa kemenangan bukan
lagi terletak di tangan mereka, namun di tangan Hing Bubing.
Hing Bu-bing mulai tertawa. Tertawa sangat keras.
Seumur hidupnya, belum pernah ia tertawa sekeras itu.
Siangkoan Kim-hong menghela nafas dan berkata,
“Teruslah tertawa, karena kau memang berhak tertawa.”
Tanya Hing Bu-bing, “Mengapa engkau tidak tertawa?”
“Tawaku tidak bisa keluar.”
“Kenapa?”
“Kau tahu sebabnya,” jawab Siangkoan Kim-hong.
“Memang benar. Aku tahu sebabnya,” kata Hing Bu-bing.
Kini ia berhenti tertawa dan perlahan-lahan meluruskan
tubuhnya. Katanya, “Karena kini, akulah yang bisa

1399
menentukan nasib kalian. Kalian berdua tidak akan
berani menyerang aku.”
Ia memang benar. Tidak ada yang berani menyerang dia.
Jika saat itu Siangkoan Kim-hong menyerang Hing Bubing,
itu berarti membiarkan dirinya terbuka bagi Li Sun-
Hoan. Tidak mungkin ia mengambil resiko sebesar itu
dan memberi kesempatan pada Li Sun-Hoan.
Hal yang sama juga berlaku bagi Li Sun-Hoan.
Kata Hing Bu-bing, “Aku dapat membantumu membunuh
Li Sun-Hoan, atau aku dapat membantu Li Sun-Hoan
membunuhmu.”
Sahut Siangkoan Kim-hong, “Kurasa memang demikian.”
“Benarkah? Bukankah bagimu aku hanya seorang cacad
yang sudah tidak berguna lagi?”
“Setiap orang pasti pernah sekali-sekali salah menilai.”
“Bagaimana kau tahu kau telah salah? Mungkin aku
memang hanya seorang cacad yang tidak bisa apa-apa
lagi.”
Sahut Siangkoan Kim-hong, “Tangan kananmu lebih kuat
daripada tangan kirimu.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”

1400
“Lim Sian-ji bukan wanita lemah. Sulit bagi siapa saja
untuk menahannya dengan satu tangan saja.”
Perlahan Hing Bu-bing menganggukkan kepalanya dan
berkata, “Ternyata kau memang tahu. Sayang sekali kau
tahu sedikit terlambat.”
Kata Siangkoan Kim-hong, “Aku tahu. Dan aku juga tahu
bahwa aku telah membuat kesalahan.”
Tanya Hing Bu-bing, “Kau menyesal akan apa yang telah
kau perbuat kepadaku?”
“Aku sangat menyesal. Seharusnya aku sudah
membunuhmu saat itu!”
“Mengapa kau tidak membunuhku saat itu?”
“Aku tidak sanggup.”
Hing Bu-bing memandang Siangkoan Kim-hong dengan
tatapan aneh, “Bahkan kau pun ada kalanya tidak
sanggup membunuh?”
“Aku masih manusia.”
“Jadi sekarang kau pikir aku pun tidak akan
membunuhmu?”
Siangkoan Kim-hong melirik Lim Sian-ji, “Dia pasti
menginginkan kau membunuhku.”
“Memang begitu.”

1401
“Tapi jika kau memang ingin membunuhku, kau tidak
akan membawanya ke sini bersamamu.”
Tiba-tiba tawa Lim Sian-ji meledak.
Kini ia terjatuh ke tanah dan tertawa seperti orang
kesurupan. Pemandangan yang sangat aneh.
Kata Lim Sian-ji, “Sudah tentu ia takut membunuhmu.
Kalau kau mati, ia pun tidak akan bisa hidup. Kini aku
baru mengerti bahwa ia hanya hidup demi dirimu. Ia
datang ke sini karena ia menginginkanmu untuk
menghargainya. Walaupun di mata orang lain, ia tidak
berharga sepeser pun juga.”
Kata Siangkoan Kim-hong, “Kau tahu, ia dapat
membunuhmu dengan sangat mudah?”
“Kau pikir ia sanggup membunuhku?.... Waktu kau ingin
membunuhku, ia malah ingin menyelamatkan aku. Kau
tahu kenapa?”
Jawab Siangkoan Kim-hong dingin, “Karena ia ingin
membunuhmu di hadapanku.”
“Kau salah. Ia tidak ingin membunuhku di hadapanmu.
Ia ingin kau membunuhku dengan tanganmu sendiri,,,,,”
Lim Sian-ji tertawa lagi dan melanjutkan, “Waktu kau dan
aku sedang bersama, ia menjadi gila karena cemburu.
Saat itu, kupikir ia cemburu padamu, tapi sekarang baru
aku tahu bahwa ia cemburu padaku. Ia membenci siapa
saja yang kau sukai. Bahkan putramu sendiri, tidak

1402
terkecuali…. Kau tahu siapa membunuh anakmu,
bukan?”
“Selama ia membunuh demi aku, aku tidak peduli siapa
yang dibunuhnya,” sahut Siangkoan Kim-hong datar.
Senyum di bibir Lim Sian-ji perlahan lenyap. Ia menghela
nafas panjang dan berkata, “Aku selalu menganggap
bahwa aku mengerti jalan pikiran laki-laki, tapi aku
sungguh tidak mengerti pikiran kalian berdua. Aku
sungguh tidak mengerti hubungan macam apa yang ada
di antara kalian berdua.”
Lalu ia pun tersenyum dingin dan menambahkan, “Yang
aku tahu, apapun juga itu, itu pasti sangatlah
menjijikkan. Aku tidak peduli apa yang kalian ingin
katakan. Aku tidak mau mendengarnya.”
Kata Siangkoan Kim-hong, “Yang kau tahu terlalu sedikit,
yang kau katakan terlalu banyak.”
“Tapi apapun juga yang kukatakan, aku tidak mungkin
dapat membujukmu untuk membunuh dia, bukan?”
“Tidak mungkin!”
Lalu Lim Sian-ji menoleh pada Hing Bu-bing dan
bertanya, “Dan aku pun tidak mungkin membujukmu
untuk membunuh dia, bukan?”
“Benar,” jawab Hing Bu-bing.

1403
Lim Sian-ji mengeluh dan berkata, “Sepertinya aku
sebentar lagi akan mati dalam tangan kalian.
Pertanyaannya adalah, tangan siapa? Tanganmu? Atau
tanganmu?”
Hing Bu-bing tidak menjawab.
Ia menggerakkan tangannya dan melemparkan Lim Sianji
ke dekat kaki Siangkoan Kim-hong.
Kali ini, Lim Sian-ji tidak berusaha bangkit. Ia tidak
bergerak sedikit pun. Ia hanya meringkuk seperti sebuah
bola.
Tapi ia adalah seorang wanita.
Kau bisa menyuruhnya tidak bergerak dan tidak
melawan, namun kau tidak mungkin menutup mulutnya.
Bab 82. Penghiburan dalam Keheningan
Jika kau pernah memperhatikan dengan seksama
seorang wanita yang hampir mati, maka kau pasti tahu
bahwa bagian tubuhnya yang menjadi kaku paling
terakhir adalah lidahnya. Ini karena bagian tubuh yang
paling sensitif dalam tubuh wanita adalah lidahnya.
Kata Lim Sian-ji, “Seharusnya aku tahu kaulah yang akan
membunuhku. Seluruh alasan mengapa ia membawaku
ke sini adalah untuk menyaksikan engkau membunuhku

1404
dengan kedua tanganmu. Pada saat itu, barulah ia
merasa puas.”
Tanya Siangkoan Kim-hong, “Dan apakah kau merasa
puas bisa mati di tanganku?”
“Tergantung dari bagaimana kau akan membunuhku.
Kuharap bukan kematian yang cepat. Dengan mati
perlahan-lahan, barulah seseorang dapat menikmati rasa
kematian yang sesungguhnya.”
Tiba-tiba Lim Sian-ji mulai tertawa. “Kan hanya ada satu
kesempatan untuk mati. Walaupun aku harus
menanggung kesakitan yang luar biasa, itu pasti
menyenangkan.”
Kata Siangkoan Kim-hong, “Dan jika kau mati perlahanlahan,
kau masih bisa mengoceh satu dua kalimat lagi.
Bicara memang bisa mengurangi sedikit kesakitan dalam
kematian. Juga bisa mengurangi kengeriannya.”
“Tidak mungkin kau membunuhku dengan cepat bukan?
Aku tahu kau menikmati melihat orang mati perlahanlahan
dan menderita. Dan selama ini, aku telah
memperlakukan engkau dengan cukup baik, bukan? Aku
telah mempercayakan seluruh kekayaan yang
kudapatkan dengan susah-payah kepadamu, dan
membiarkan engkau menggunakannya dengan bebas.
Waktu kau menyuruh orang membunuhku, itu sudah
jelas bahwa kau sudah tidak menginginkan aku dalam
hidupmu lagi.”

1405
“Benar. Kini kau tidak berharga sepeser pun. Oleh sebab
itu, aku tidak ingin membunuhmu dan mengotori
tanganku.”
Ia menendang wanita itu ke arah Li Sun-Hoan.
Kali ini Lim Sian-ji tidak bisa berkata apa-apa. Bajunya
yang basah kuyup melekat erat pada tubuhnya.
Kemolekan lekuk tubuhnya tidak dapat diungkapkan
dengan kata-kata.
Memang dia adalah wanita tercantik sejagad raya. Ia
bukan saja sangat mempesona, ia pun sangat pandai.
Ia sebenarnya bisa menjadi orang besar.
Namun kini, kematian yang layak pun tak bisa
didapatkannya.
Seharusnya ia bisa menjadi seperti malaikat yang hidup
bahagia di antara awan-awan, namun kini ia hanyalah
seperti seekor anjing yang terpuruk dalam lumpur.
Bagaimana bisa sampai seperti ini?
Apakah ini karena ia tidak tahu menghargai apa yang
dimilikinya?
Hujan bertambah lebat lagi.
Li Sun-Hoan hanya memandangi Lim Sian-ji yang
merangkak dalam lumpur. Ia merasa sedih dan simpati.

1406
Bukan kepadanya, tapi pada A Fei.
Lim Sian-ji membawa kemalangan ini pada dirinya
sendiri, tapi A Fei?
A Fei tidak melakukan apa pun yang salah.
Walaupun ia memilih orang yang salah untuk dicintai, ia
sama sekali tidak salah untuk jatuh cinta.
Siangkoan Kim-hong memandang Li Sun-Hoan dan
berkata, “Aku tidak membunuhnya karena aku merasa
kau punya lebih banyak alasan untuk membunuhnya
daripada aku. Jadi kuserahkan dia padamu.”
Li Sun-Hoan terdiam sampai lama. Akhirnya ia mengeluh
panjang dan berkata, “Lagi-lagi kau meremehkan aku.”
Hening sejenak, lalu Siangkoan Kim-hong mengangguk
perlahan. Katanya, “Benar, aku sudah meremehkan
engkau. Kau pun tidak akan membunuhnya.”
Lalu ia pun menambahkan, “Untuk membunuh, kau
memerlukan niat membunuh. Seluruh niat membunuhmu
harus terfokus padaku. Buat apa menyia-nyiakannya
untuk orang seperti dia.”
Kata Li Sun-Hoan, “Untuk membunuh, harus membunuh
orang yang tepat. Untuk membunuh, harus membunuh
di tempat yang tepat.”
“Ada yang salah dengan tempat ini?” tanya Siangkoan
Kim-hong.

1407
“Tadinya sih tidak ada. Tapi sekarang ada.”
“Apa yang salah?”
“Terlalu banyak orang di sini.”
“Hing Bu-bing membuatmu merasa tidak nyaman?”
“Ya.”
Li Sun-Hoan tidak berusaha menutup-nutupi. Walaupun
Hing Bu-bing tidak menyerangnya, ia tetap merupakan
ancaman.
Karena pedangnya dapat keluar kapan saja. Tidak ada
seorang pun di dunia ini yang sanggup melawan
gabungan kekuatan mereka berdua.
Siangkoan Kim-hong menundukkan kepalanya dan
berkata, “Aku mengerti maksudmu. Namun sekarang ia
sudah datang, tidak ada yang bisa menyuruhnya pergi,
bukan?”
Bagian kalimatnya yang terakhir ditujukan pada Hing Bubing.
“Benar,” jawab Hing Bu-bing.
Walaupun ia berdiri cukup jauh dari Siangkoan Kim-hong,
siapapun yang melihat pasti tahu bahwa mereka berdua
tampak seperti satu kesatuan, satu kekuatan adi daya
yang tidak bisa dibendung.

1408
Li Sun-Hoan mendesah. Tiba-tiba ia teringat pada A Fei.
Kalau saja A Fei ada di sini….
Siangkoan Kim-hong seolah-olah bisa membaca pikiran Li
Sun-Hoan dengan tepat. Katanya, “Jika A Fei yang dulu
ada di sini, mungkin kau masih punya kesempatan.
Sungguh sayang…..ia sungguh mengecewakan.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tidak pernah kecewa padanya.
Berapa kali pun manusia jatuh, ia pasti akan bisa bangkit
kembali.”
“Kau sungguh percaya ia adalah orang semacam itu?”
“Tentu saja.”
Kata Siangkoan Kim-hong, “Sekalipun kau benar, pada
saat ia bisa bangkit lagi, kaulah yang telah mencium
tanah. Dan aku bisa menjamin, kali ini kau jatuh, kau
tidak akan mungkin akan bangun lagi.”
Kata Li Sun-Hoan, “Sekarang…..”
Siangkoan Kim-hong menyelanya, “Sekarang kau tidak
punya kesempatan sedikitpun.”
Tiba-tiba Li Sun-Hoan tertawa dan berkata, “Kalau
begitu, paling tidak kau harus memberiku kesempatan
untuk menentukan tempatnya. Orang yang hampir mati
paling tidak boleh memilih tempat di mana ia akan mati.”

1409
Sahut Siangkoan Kim-hong, “Kau salah. Orang yang akan
membunuhlah yang punya kekuasaan. Orang yang akan
dibunuh tidak punya hak apapun juga. Namun…..”
Ia menatap Li Sun-Hoan dan melanjutkan, “Namun kali
ini aku membuat perkecualian bagimu. Kau bukan hanya
sahabat baik, kaupun adalah musuhku yang berharga.”
“Terima kasih,” kata Li Sun-Hoan.
“Jadi di mana kau ingin mati?”
“Seseorang yang sudah menderita seumur hidupnya,
pasti ingin mati dalam kenyamanan.”
Kata Siangkoan Kim-hong, “Mati itu tidak pernah
nyaman.”
“Aku hanya ingin tempat yang tidak basah oleh air hujan,
supaya aku bisa berganti pakaian. Aku tidak ingin mati
basah kuyup di tempat kotor berlumpur seperti ini.”
Ia tersenyum dan menambahkan, “Sejujurnya, selain
waktu sedang mandi, aku lebih suka tubuhku tetap
kering.”
Kata Siangkoan Kim-hong, “Aku sudah sering mendengar
bahwa kau sama sekali tidak takut mati, tapi aku tidak
pernah percaya. Aku tidak percaya ada orang di dunia ini
yang tidak takut mati. Namun sekarang…..aku bisa
melihat bahwa yang kudengar itu benar adanya.”
“O ya?”

1410
“Kalau orang masih bisa bicara seperti itu walaupun tahu
sebentar lagi akan mati, itu sungguh menunjukkan
bahwa baginya tidak ada lagi perbedaan antara hidup
dan mati. Oleh sebab itulah aku merasa agak aneh.”
“Aneh?”
“Satu-satunya yang harus ditakuti selama kita hidup
adalah kematian. Tapi jika pada kematian pun kau tidak
takut, mengapa kau harus pilih-pilih apakah kau basah
atau kering waktu mati?”
Ia memandang Li Sun-Hoan dan melanjutkan, “Oleh
sebab itu, aku pikir kau pasti punya maksud-maksud lain
meminta ini.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Dan maksud apakah itu?”
“Mungkin ada orang yang akan berpikir bahwa kau hanya
berusaha mengulur waktu. Karena untuk sebagian orang,
pada saat mereka menghadapi kematian di depan mata,
mereka akan terus berusaha dengan segala cara untuk
menundanya, bahkan semenit saja. Mungkin mereka pikir
akan ada semacam kesempatan atau seorang
penyelamat akan datang, atau paling tidak mereka bisa
hidup semenit lebih lama.”
“Dan kau pikir, itukah maksudku?”
“Tentu saja tidak. Aku tidak pernah meremehkanmu,”
kata Siangkoan Kim-hong. “Kau tahu pasti bahwa tidak
akan ada mujizat. Tidak ada seorang pun di dunia ini

1411
yang dapat menyelamatkanmu. Dan juga, aku tahu
bahwa kau tidak takut mati.”
“Kalau begitu, menurutmu apakah maksudku?”
“Kurasa kau hanya mencari kesempatan agar mereka
berdua bisa lolos. Kau tahu pasti bahwa aku tidak akan
membunuh siapapun sebelum membunuhmu. Seseorang
tidak akan makan roti banyak-banyak kalau tahu ada
hidangan yang lezat yang akan datang.”
Kata Li Sun-Hoan, “Perumpamaan yang buruk.”
“Mungkin, tapi tidak meleset jauh.”
Li Sun-Hoan memaksakan diri untuk tersenyum. “Apakah
kau peduli apakah kedua orang itu hidup atau mati?”
“Aku tidak peduli.”
Memang bukan urusannya.
Kalau pun mereka hidup, mereka bukan ancaman
baginya.
Jika ia ingin mereka mati, ia bisa membunuh mereka
kapan pun juga.
Li Sun-Hoan tidak sanggup melihat pada Sun Sio-ang.
Tapi apapun yang akan terjadi, ia masih hidup saat ini. Ia
masih bernafas.

1412
Itu sudah cukup baginya.
Apalagi yang dapat diperbuatnya bagi gadis itu?
“Tapi aku sudah bilang bahwa aku akan membuat
perkecualian bagimu, karena kau berbeda dari orang
lain,” kata Siangkoan Kim-hong. “Kau sudah hidup begitu
bersih, paling sedikit aku harus memastikan kau tidak
mati secara kotor, seperti anjing liar mati dalam lumpur.”
Mati. Bagaimana ia akan mati? Di mana ia akan mati?
Ini semua tidaklah penting.
Yang terpenting adalah bahwa ia dapat mati dengan
tenang.
Namun bagaimana dengan Sun Sio-ang?
Selama itu, ia tidak sanggup memandangnya. Ia tidak
berani.
Karena ia tidak bisa memecahkan konsentrasinya.
Namun kini ia harus pergi. Gadis itu pasti tahu bahwa
mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa melihat Li Sun-
Hoan. Ia bukan hanya akan pergi ke negeri asing, ia
akan pergi meninggalkan dunia ini.
Bagaimana ia akan mengikuti Li Sun-Hoan kali ini?
Li Sun-Hoan kuatir ia akan memaksa pergi mengikuti dia
dan mati bersama.

1413
Kalau ia melakukannya, Li Sun-Hoan mungkin harus
memukulnya sampai pingsan atau menutup Hiat-to (jalan
darah)nya dan perlahan-lahan membujuknya untuk terus
hidup tanpa dirinya.
Akan menjadi adegan yang sangat sedih dan menyayat
hati.
Li Sun-Hoan sungguh berharap ia tidak harus
melakukannya. Sun Sio-ang sudah cukup mempunya
beban yang berat yang harus dipikul dalam hatinya.
Ditambah dengan beban yang lain, mungkin hatinya akan
hancur berkeping-keping.
Walaupun ia adalah gadis yang berkemauan keras,
hatinya agak lemah.
Sun Sio-ang tidak melakukan apa yang dipikirkan Li Sun-
Hoan. Ia bahkan tidak menghampirinya untuk
mengucapkan selamat tinggal.
Apa alasannya?
Akhirnya Li Sun-Hoan tidak dapat menahan diri dan
menoleh memandangnya.
Gadis itu tidak jatuh pingsan, tidak bergeser sedikit pun
dari tempat dia berdiri dari semula.
Ia menatap Li Sun-Hoan lekat-lekat.
Walaupun wajahnya penuh dengan kepedihan, tatapan
matanya masih tetap tenang dan teduh. Walaupun ia

1414
tidak mengatakan sepatah katapun, matanya seolah-olah
berkata pada Li Sun-Hoan, ‘Kalau inilah yang harus kau
perbuat, perbuatlah dengan konsentrasi penuh. Jangan
biarkan diriku menghalangimu. Aku mengerti dan aku
tidak akan menghalangimu. Aku percaya sepenuhnya
kepadamu.’
Walaupun Li Sun-Hoan hanya memandangnya sekilas,
beban yang berat dalam hati Li Sun-Hoan terangkat
seketika.
Karena ia menyadari, betapa kuatnya gadis itu dan
betapa ia tidak ingin Li Sun-Hoan menguatirkan dirinya.
Tanpa Li Sun-Hoan harus membujuknya, ia pasti akan
berusaha sekuat tenaga untuk terus hidup.
Ia hanya ingin menjadi sumber penghiburan dan
kekuatan bagi Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan tidak dapat mengungkapkan dengan katakata,
betapa ia berterima kasih pada Sun Sio-ang. Karena
hanya dialah yang mengerti betapa besar arti pengertian
dan dukungan Sun Sio-ang bagi dirinya saat itu.
Tiba-tiba ia menyadari betapa beruntungnya dia
mengenal gadis itu.
Li Sun-Hoan sudah melangkah pergi. Langkahnya lebih
mantap dan lebih tenang daripada waktu ia datang tadi.
Sun Sio-ang hanya memandangi kepergiannya tanpa
bicara. Setelah sekian lama, ia menoleh ke arah Lim
Sian-ji.

1415
Lim Sian-ji sedang berusaha keras untuk bangkit berdiri
dari tanah yang berlumpur itu.
Ia berusaha sekuat tenaga untuk kelihatan anggun dan
gagah, namun ia tahu bahwa usahanya itu sia-sia belaka.
Karena itu, dalam hatinya ia merasa sangat kesal dan
jengkel.
Sun Sio-ang memandangnya tanpa perasaan di
wajahnya.
Tanpa perasaan adalah salah satu cara untuk
menunjukkan rasa muak.
Lim Sian-ji tertawa dingin. Katanya, “Aku tahu bahwa
saat itu kau memandang rendah padaku. Tapi kurasa,
kau lebih buruk lagi daripada aku. Kau tahu sebabnya?”
Jawab Sun Sio-ang, “Tidak tahu.”
“Ia telah membunuh kakekmu, dan sekarang ia akan
membunuh Li Sun-Hoan. Tapi yang bisa kau perbuat
hanya berdiri di sini seperti sebatang kayu kering.”
“Lalu apa yang harus kuperbuat?”
“Pertanyaan itu seharusnya ditujukan pada dirimu
sendiri…. Jangan bilang bahwa kau tidak tahu apa yang
kau rasakan dalam hatimu.”
“Aku tahu.”

1416
Kata Lim Sian-ji, “Jadi seharusnya kau merasa sedih,
menyesal, berduka cita.”
“Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku tidak berduka?
Waktu seseorang bersedih hati atau berduka cita, ia tidak
harus menunjukkannya dengan kata-kata, namun
dengan perbuatan,” jawab Sun Sio-ang.
“Lalu dengan apakah kau tunjukkan perasaanmu?
Dengan perbuatan seperti apa?”
“Apakah yang dapat kuperbuat sekarang?”
“Kau tahu bahwa Li Sun-Hoan sedang berjalan menuju
pada kematiannya. Setidaknya kau berusaha
mencegahnya….”
“Kau pikir aku bisa mencegahnya?” Sun Sio-ang
mendesah dan berkata, “Kalau aku melakukannya,
pikirannya akan menjadi lebih kalut dan ia akan mati
lebih cepat lagi.”
“Tapi kau…..kau tidak meneteskan setetes air mata pun.”
Sun Sio-ang terdiam sejenak sebelum menyahut, “Aku
memang ingin menangis sekarang, ingin membanjiri
wajahku dengan air mata. Namun saatnya belum tiba.”
Tanya Lim Sian-ji tidak mengerti, “Apa lagi yang kau
tunggu?”
“Besok…..”

1417
“Setelah esok tiba, akan ada esok hari lagi.”
“Karena selalu akan ada hari esok, selalu akan ada
harapan baru,” kata Sun Sio-ang.
Lalu perlahan ia melanjutkan, “Walaupun aku telah
melakukan kesalahan, itu sudah berlalu dan aku harus
hidup menanggung akibatnya. Walaupun aku ingin
menangis meraung-raung, aku harus menunggu sampai
besok. Karena ada yang harus kukerjakan hari ini!”
Hanya orang bodoh yang menangisi masa lalu.
Orang-orang yang gagah berani, mengakui kesalahan
mereka, sehingga mereka memiliki kekuatan untuk
menghadapi masa kini. Bukannya menenggelamkan diri
dalam kubangan air mata.
Air mata tidak dapat menghapuskan penghinaan, tidak
dapat memperbaiki kesalahan di masa lampau. Jika
seseorang ingin memperbaiki kesalahan yang ia perbuat,
satu-satunya yang dapat diperbuatnya adalah menggali
semangatnya dan memulai segala sesuatu lagi dari awal,
mulai saat ini.
Lim Sian-ji berdiri mematung.
Ia mengatakan segala sesuatunya hanya untuk membuat
Sun Sio-ang sedih. Karena ia tahu Sun Sio-ang
memandang rendah pada dirinya, ia pun ingin membuat
Sun Sio-ang memandang rendah pada dirinya sendiri.
Tapi ia telah gagal.

1418
Sun Sio-ang jauh lebih kuat dan jauh lebih gagah
daripada perkiraan Lim Sian-ji.
Bab 83. Cinta yang Dalam dan Luas
Setelah beberapa saat terdiam, Lim Sian-ji mencibir dan
bertanya, “Apa sih yang begitu penting yang harus kau
kerjakan hari ini?”
“Kalau seorang wanita ingin mendukung kekasihnya, itu
bukan berarti bahwa ia harus ikut serta dalam
kematiannya, atau bahwa ia harus mati demi kekasihnya.
Tapi ia harus memberikan penghiburan dan kelegaan
kepada kekasihnya, supaya ia bisa melakukan apa yang
harus dilakukannya dengan tenang. Ia harus membuat
kekasihnya merasa dirinyalah yang terpenting dalam
hidupnya, dan ia tidak merasa diabaikan,” kata Sun Sioang.
“Itu saja?”
“Selain itu, apa lagi yang dapat kuperbuat baginya?”
Memang tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Itu saja sudah cukup.
Laki-laki yang beruntung memiliki wanita seperti ini akan
merasa puas sepenuhnya.
Kata Sun Sio-ang, “Aku tahu kau sedang berusaha
membuatku merasa sedih, tapi aku tidak
menyalahkanmu. Aku merasa kasihan padamu.”

1419
“Kasihan padaku? Mengapa aku harus dikasihani?”
“Kau pikir kau masih muda, cantik, dan pandai. Kau pikir
semua laki-laki di dunia ini akan bertekuk lutut di
hadapanmu. Oleh sebab itu, pada saat kau bertemu
dengan laki-laki yang sungguh-sungguh mencintai dan
sayang padamu, kau tidak bisa menghargainya. Malah
kau menggebahnya pergi dan menganggapnya seperti
seorang tolol. Tapi suatu hari nanti kau akan menyadari
bahwa orang yang sungguh-sungguh mencintaimu
tidaklah banyak. Cinta sejati tidak dapat dibeli dengan
kecantikan dan usia muda.”
Dengan lembut Sun Sio-ang melanjutkan, “Dan bila
saatnya tiba, kau akan menyadari bahwa kau tidak
memiliki apapun juga. Bahwa hidupmu kosong dan tidak
berarti. Saat seorang wanita berada pada posisi seperti
itu dalam hidupnya, ia sungguh patut dikasihani.”
Tanya Lim Sian-ji, “Kau….Kau pikir aku seperti itu?”
Suaranya bergetar. Seluruh tubuhnya pun bergetar.
Apakah ia merasa kesal? Dingin? Atau takut?
Sun Sio-ang tidak menjawabnya. Ia hanya memandang
dingin pada wajah Lim Sian-ji yang pucat dan gelisah,
pada tubuhnya yang penuh lumpur. Jauh lebih buruk
daripada jawaban apapun yang mungkin diberikannya.
Lim Sian-ji tertawa tiba-tiba tiba-tiba. “Kau benar, aku
memang meremehkan dia dan menganggapnya tidak
lebih daripada seorang tolol yang dimabuk cinta. Tapi

1420
kalau sekarang aku pergi mencari dia, dia pasti akan
merangkak kembali kepadaku.”
“Lalu mengapa tidak kau coba?” tantang Sun Sio-ang.
“Tidak perlu kucoba. Aku sudah tahu hasilnya. Ia tidak
mungkin dapat hidup tanpa diriku.”
Walaupun bibirnya berkata begitu, tubuhnya sudah
berputar dan melangkah pergi.
Ia mengerahkan seluruh kekuatannya dan berlari sekuat
tenaga, karena ia tahu bahwa inilah kesempatan
terakhirnya. Jika kesempatan ini berlalu, berakhir sudah
baginya. Sun Sio-ang masih berdiri di situ sejenak
sebelum memaLingkan wajahnya.
Bumi telah tertutup oleh kekelaman yang tiada berujung.
Dari balik rintik air hujan muncul sesosok bayangan
manusia….
Tidak ada yang tahu kapan orang itu datang, tidak ada
yang tahu sudah berapa lama ia berada di sana.
Yang pertama terlihat oleh Sun Sio-ang adalah matanya.
Mata seorang wanita.
Matanya tampak suram. Mungkin mata itu sudah begitu
banyak mencucurkan air mata sehingga cahayanya
sudah pudar. Namun kesedihan dan dukacita tanpa katakata
yang terkandung di dalamnya dapat membawa lakilaki
yang paling gagah sekalipun meneteskan air mata.

1421
Lalu tampaklah wajahnya.
Bukan wajah yang luar biasa cantik.
Wajah itu sangat pucat, seakan-akan sudah begitu lama
tidak kena sinar matahari.
Tapi entah mengapa, saat Sun Sio-ang melihatnya, ia
serasa sedang melihat wanita yang tercantik di seluruh
bumi.
Rambutnya berantakan dan pakaiannya basah kuyup,
seperti orang yang sedang putus asa. Namun anehnya,
jika orang yang melihatnya, mereka tidak akan
menyangka demikian.
Karena ia masih terlihat begitu muda, begitu anggun.
Apapun situasinya, ia dapat menyentuh perasaan orang
lain dengan pribadinya yang unik dan kekuatannya yang
luar biasa.
Sun Sio-ang belum pernah melihat wanita ini
sebelumnya, namun hanya dengan sekali pandang ia
langsung tahu siapa dia.
Lim Si-im.
Hanya wanita seperti dialah yang dapat membuat orang
seperti Li Sun-Hoan jatuh ke dalam jurang cinta begitu
dalam.
Sun Sio-ang menghela nafas panjang.

1422
‘Mengapa semua orang menganggap Lim Sian-ji adalah
wanita tercantik di dunia? Wanita inilah yang seharusnya
mendapatkan predikat itu. Apalagi pada masa mudanya.
Bahkan saat ini pun, ia jauh lebih mempesona daripada
Lim Sian-ji.’
Mungkin karena malam yang hujan, atau mungkin karena
ia adalah seorang wanita, tapi itulah pikirannya yang
sejujurnya.
Selera wanita terhadap wanita memang berbeda dari
selera pria.
Lim Si-im pun sedang menatapnya. Perlahan ia berjalan
mendekat dan berkata, “Kau…..kau adalah Nona Sun,
bukan?”
Sun Sio-ang mengangguk dan berkata, “Aku tahu siapa
engkau. Aku sering mendengar tentang dirimu dari dia.”
Lim Si-im tersenyum, senyum yang penuh derita.
Tentu saja ia tahu siapakah ‘dia’ yang disebut oleh Sun
Sio-ang.
Kata Sun Sio-ang, “Jadi kau sudah berada di sini dari
tadi.”
Lim Si-im menundukkan kepalanya dan berkata, “Aku
mendengar bahwa ia akan berduel di sini, maka aku
datang untuk berbicara sedikit kepadanya. Tapi sudah
lama aku tidak pergi keluar rumah dan aku tersesat
dalam perjalanan.”

1423
Ia tersenyum sedikit dan menambahkan, “Tapi tidak
mengapa. Apa yang tadinya akan kukatakan kepadanya
bisa kusampaikan kepadamu.”
Suaranya pelan dan lembut. Seakan-akan ia perlu
berpikir sebelum mengucapkan setiap kata.
Tiap kata yang keluar dari mulutnya jelas dan kaku.
Orang yang mendengarnya berbicara saat itu mungkin
akan menganggap bahwa ia adalah wanita yang tidak
berperasaan.
Namun Sun Sio-ang sungguh memahami dirinya.
Perkataannya terdengar dingin dan datar karena ia sudah
begitu banyak menanggung kesedihan dan penderitaan
dalam hidupnya.
Sun Sio-ang merasa simpati yang begitu besar dalam
hatinya terhadap wanita ini. Ia tidak tahan untuk tidak
bertanya, “Aku tahu bahwa ia ingin sekali bertemu
denganmu. Dan kau pun sudah jauh-jauh datang ke sini,
mengapa kau tidak mengikutinya untuk bertemu
dengannya sekali lagi?”
“A….Aku tidak bisa.”
Awalnya memang ia ingin bertemu dengan Li Sun-Hoan.
Tapi saat dia tiba, sudah ada orang yang berada di
sampingnya. Ia tidak ingin menunjukkan diri karena ia
kuatir akan perasaan yang akan timbul dalam hatinya.
Karena ia tahu pasti, jika ia bertemu dengan Li Sun-Hoan
lagi, ia tidak akan dapat mengendalikan dirinya lagi.

1424
Walaupun ia tidak mengatakannya, Sun Sio-ang paham
sepenuhnya.
Kata Sun Sio-ang, “Sebelumnya aku tidak mengerti
mengapa ada orang yang mau menuruti semua
perkataan orang lain dan membiarkan orang lain
menentukan nasibnya. Baru sekarang aku tahu bahwa ia
bukan menuruti perkataan orang itu karena takut
padanya, tapi karena mencintainya begitu rupa dan tahu
bahwa apapun yang diperbuat orang itu adalah demi
kebaikannya.”
Selama itu Lim Si-im berusaha keras menahan diri, tapi
saat itu pertahanannya runtuh.
Air mata membanjiri wajahnya.
Karena setiap kata yang diucapkan Sun Sio-ang terus
menusuk ke dalam hatinya. Tiap kata bagaikan sebatang
jarum yang menghunjam jauh ke dalam sanubarinya.
Ia pernah bertanya pada dirinya sendiri, ‘Aku tidak punya
apa-apa lagi. Aku merasa hampa, sama persis seperti
Lim Sian-ji. Tapi salah siapakah ini? Apakah akulah yang
bersalah waktu dulu itu?’
Tadinya ia begitu geram pada Li Sun-Hoan, begitu benci
padanya.
Hidupnya berakhir sedih dan tragis seperti ini, semuanya
karena kesalahan Li Sun-Hoan!

1425
Tapi baru sekarang ia menyadari bahwa yang salah
bukanlah Li Sun-Hoan, tetapi dirinya sendiri.
‘Mengapa waktu itu aku mendengarkan perkataannya?
Mengapa tak kukatakan dengan tegas kepadanya bahwa
aku sungguh mencintainya dan aku tidak akan menikah
dengan siapapun juga kecuali dia?’
Sun Sio-ang berkata dengan lembut, “Aku tidak tahu
pasti apa yang terjadi di antara kalian berdua, tapi aku
tahu bahwa…..”
Lim Si-im menyelanya tiba-tiba, “Tapi sekarang aku tahu.
Sekarang, setelah bertemu denganmu, aku tahu bahwa
akulah yang salah.”
“Kenapa begitu?” seru Sun Sio-ang.
“Karena…..jika aku berani berbuat seperti engkau, sekuat
dan setegas engkau, aku tidak akan berakhir seperti ini.”
“Tapi kau…..”
Kembali Lim Si-im memotongnya, “Sekarang aku tahu
bahwa aku tidak pantas menjadi istrinya. Hanya
engkaulah yang pantas untuknya.”
Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. “Aku…..”
Lim Si-im tidak memberinya kesempatan berbicara.
“Karena hanya kau yang bisa menghibur dan
mendukungnya. Apapun yang dilakukannya,

1426
kepercayaanmu kepadanya tidak pernah berubah. Tapi
aku…..”
Ia mendesah, dan setetes air mata bergulir ke pipinya.
Sun Sio-ang terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia
tersenyum dan berkata, “Tapi di kemudian hari kau akan
punya banyak kesempatan untuk bertemu dengannya.
Apapun yang terjadi di masa lalu itu sudah lewat. Kini
kalian berdua dapat….”
Lim Si-im memotongnya cepat, “Kau pikir ia masih punya
kesempatan? Masih ada harapan?”
“Tentu saja masih ada!”
Sun Sio-ang tersenyum dan berkata, “Mungkin semua
orang beranggapan bahwa ia sudah kehilangan
kepercayaan diri. Jika seseorang sudah kehilangan rasa
percaya dirinya, apa lagi harapannya?”
“Betul sekali,” sahut Lim Si-im.
“Tapi aku tahu pasti bahwa ia bersikap demikian hanya
untuk memancing agar Siangkoan Kim-hong menjadi
lengah. Jika Siangkoan Kim-hong mulai meremehkan
lawannya, ia pun akan menjadi kurang hati-hati.”
Mata Sun Sio-ang berbinar dan menambahkan lagi, “Jika
Siangkoan Kim-hong kurang hati-hati, Li Sun-Hoan pasti
bisa mengalahkannya!”

1427
Lim Si-im mendesah dan berkata, “Ia punya rasa percaya
diri yang begitu besar karena kau begitu yakin pada
dirinya. Dukungan dan semangatmu sangat berharga
baginya. Aku rasa kau tidak menyadari seberapa
pentingnya dirimu baginya.”
Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. “Aku
menyadarinya.”
Ia tidak hanya yakin pada Li Sun-Hoan, ia pun yakin
pada dirinya sendiri.
Lim Si-im memandang gadis itu dengan perasaan yang
tidak terkatakan. Apakah itu iri hati? Cemburu? Atau
kasihan pada dirinya sendiri? Atau mungkin, ia hanya
merasa sangat berbahagia bagi Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan telah berkubang dalam kesedihan lebih dari
setengah masa hidupnya. Hatinya pasti merasa sangat
lelah. Hanya orang seperti Sun Sio-anglah yang dapat
memberikan penghiburan kepadanya. Sekalipun ia bisa
menang kali ini, akan tiba saatnya suatu hari nanti ia
akan kalah.
Walaupun tidak ada orang yang dapat menjatuhkannya,
ia pasti bisa menjatuhkan dirinya sendiri!
Lim Si-im kembali mendesah dan berkata, “Bahwa ia bisa
berjumpa denganmu, itu adalah anugerah Tuhan,
menggantikan seluruh penderitaan dalam hidupnya. Ia
pantas untuk berbahagia, tapi…..”

1428
Tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana dengan Hing Bu-bing?
Walaupun ia dapat mengalahkan Siangkoan Kim-hong,
tidak mungkin ia dapat mengalahkan serangan gabungan
mereka berdua.”
Sahut Sun Sio-ang, “Mungkin Hing Bu-bing tidak akan
menyerang sama sekali. Siangkoan Kim-hong sudah
begitu yakin bahwa dia tidak mungkin kalah, sehingga ia
tidak akan meminta bantuan Hing Bu-bing. Saat ia
menyadarinya, sekalipun Hing Bu-bing ingin membantu,
itu sudah sangat terlambat.”
Pemikirannya sungguh tepat. Ini adalah kesempatan Li
Sun-Hoan satu-satunya.
Jika mereka ingin mengalahkan Li Sun-Hoan, ini juga
satu-satunya kesempatan mereka – pisau terbangnya
tidak akan memberikan kesempatan kedua bagi siapapun
juga.
Pertanyaannya adalah, siapakah yang dapat
memanfaatkan kesempatan yang satu-satunya ini?
Kata Lim Si-im, “Jadi maksudmu, jika Hing Bu-bing tidak
menyerang bersamaan dengan Siangkoan Kim-hong, Li
Sun-Hoan masih punya kesempatan?”
“Benar.”
“Bagaimana kau bisa yakin bahwa Hing Bu-bing tidak
akan menyerang?”

1429
“Aku tidak bisa yakin,” jawab Sun Sio-ang. “Namun aku
yakin setelah dua jam, tidak ada satu pun dari mereka
yang bergerak.”
“Meskipun kau benar, bagaimana kita bisa tahu apa yang
terjadi selama dua jam ini?” tanya Lim Si-im kuatir.
“Sesuatu akan terjadi.”
“Apa itu?”
“A Fei,” jawab Sun Sio-ang singkat.
Walaupun Lim Si-im tidak mengatakan apa-apa,
wajahnya menunjukkan kekecewaan.
Semua orang pasti merasa kecewa terhadap A Fei.
Kata Sun Sio-ang, “Tidak seorang pun percaya padanya
lagi, tapi itu hanya karena saat ini ia masih mengenakan
belenggu yang berat pada tubuhnya.”
“Belenggu?”
“Ya, belenggu. Dan hanya ada satu orang yang dapat
membebaskan dia dari belenggu itu.”
“Siapa?” tanya Lim Si-im penuh harap.
“Hanya pemukul genta yang dapat melepaskan ikatan
genta.”
“Maksudmu…..Lim Sian-ji?”

1430
“Tepat sekali. Kalau ia bisa menyadari bahwa Lim Sian-ji
tidak pantas memperoleh cintanya, maka ia akan
terbebas dari seluruh belenggu yang mengikatnya.”
Lim Si-im terdiam sejenak. Lalu ia berkata, “Mungkin kau
benar. Namun ia telah jatuh begitu lama dan begitu
dalam, bagaimana mungkin ia dapat bangkit kembali
dalam waktu yang sangat singkat?”
Jawab Sun Sio-ang, “Untuk alasan lain mungkin dia tidak
akan bisa, namun untuk Li Sun-Hoan ia pasti bisa.”
Lalu dengan perlahan ia menambahkan, “Untuk orangorang
yang sangat kita kasihi, kadang-kadang kita bisa
membuat hal-hal yang luar biasa.”
Lim Si-im menghela nafas panjang. “Jadi begitu….”
Kata Sun Sio-ang, “Jadi sekarang aku harus pergi
mencari A Fei dan memberitahukan padanya apa yang
terjadi.”
“Tunggu…..ada lagi yang ingin kusampaikan padamu,”
kata Lim Si-im tiba-tiba.
“Apa itu?”
“Sudah lama aku tidak pergi dunia luar, tapi aku tahu
begitu banyak tentang apa yang terjadi. Apa kau tidak
merasa heran?”

1431
“Sama sekali tidak. Karena aku tahu kau memiliki putra
yang sangat cerdas,” jawab Sun Sio-ang sambil
tersenyum.
Lim Si-im menundukkan kepalanya dan berkata, “Apapun
yang terjadi, ia tetap adalah anakku. Tidak ada satupun
dalam dunia ini yang kumiliki kecuali dia seorang….. Oleh
sebab itu aku berharap kau dapat memberitahukan
kepadanya, memintakan maaf kepadanya…..”
“Ia tidak pernah membenci siapapun juga. Kau
seharusnya sudah tahu.”
Lim Si-im terdiam. Seolah-olah ada lagi yang ingin
dikatakannya, namun ia tidak tahu bagaimana harus
memulainya.
Tanya Sun Sio-ang, “Apakah ini mengenai ‘Ensiklopedi
LianHua’?”
Lim Si-im tampak terkejut. “Kau sudah tahu?”
Sun Sio-ang tersenyum dan menyahut, “Aku juga sudah
memberitahukan kepadanya. Jisusiokku….”
“Benar. Waktu Tuan Wang datang, Tuan Sun juga ada
bersamanya.”
“Jadi kitab itu memang ada padamu?”
“Ya. Tapi aku tidak pernah memberitahukan kepadanya
selama ini.”

1432
“Mengapa?”
Jawab Lim Si-im, “Karena pada saat itu aku merasa
bahwa ilmu silat tidak mendatangkan kebaikan baginya,
malahan akan membahayakan dirinya. Semakin tinggi
ilmu silat seseorang, akan semakin banyak persoalan
yang timbul, jadi…..”
“Jadi kau tidak memberitahukan kepadanya karena kau
ingin dia menjadi orang biasa, dengan kehidupan yang
sederhana.”
“Itulah alasan utamanya. Tapi tidak seorang pun akan
mempercayai aku…..”
“Aku percaya padamu,” kata Sun Sio-ang.
Ia mendesah dan menambahkan, “Jika aku ada di
tempatmu, mungkin aku pun akan melakukan hal yang
sama.”
Hanya seorang wanitalah yang dapat memahami
perasaan wanita lain.
Hanya seorang wanitalah yang dapat memahami bahwa
seorang wanita sanggup berbuat apapun juga demi lakilaki
yang dicintainya. Di mata orang lain, mungkin
perbuatannya dianggap bodoh, namun di mata mereka,
tidak ada alasan lain yang lebih penting daripada ini.
Kata Lim Si-im, “Namun sekarang aku menyesal.
Seharusnya aku memberikan kitab itu kepadanya.”

1433
“Kau menyimpannya demi kebaikannya sendiri,” kata Sun
Sio-ang.
“Tapi…..kalau ia sempat mempelajari isi ‘Ensiklopedi
LianHua’, sekalipun Siangkoan Kim-hong dan Hing Bubing
bersama-sama menyerang dia, dia tidak mungkin
terkalahkan.”
“Ah, jadi karena itu kau merasa bersalah. Karena itulah
kau meminta maaf.”
Lim Si-im mengangguk. Katanya, “Aku tahu ia tidak akan
menyalahkan aku, tapi jika aku…..jika aku tidak
mengakui hal ini kepadanya, aku tidak akan dapat hidup
dengan diriku sendiri.”
“Tapi kau salah,” kata Sun Sio-ang.
“Salah?”
“Jika ia mempelajari isi “Ensiklopedi LianHua’, ia tetap
bukan tandingan Siangkoan Kim-hong.”
“Kenapa?”
“Tahukah kau mengapa ilmu pedang A Fei begitu ditakuti
orang?”
“Karena dia…..” Lim Si-im tidak tahu jawabannya.
“Ia bisa menjadi sangat cepat dan tepat karena ia sangat
berdedikasi pada pedangnya, lebih daripada orang lain.
Sama seperti Li Sun-Hoan. Jika ia mempelajari ilmu silat

1434
yang lain, ia akan kehilangan fokus. Pisaunya tidak
mungkin bisa menjadi secepat dan seakurat sekarang.”
Lim Si-im kembali menundukkan kepalanya.
“Bagaimanapun juga, kuharap kau berkenan
menyampaikan perasaanku kepadanya.”
Kata Sun Sio-ang, “Kalian berdua akan punya
kesempatan untuk bertemu. Mengapa tak kau katakan
sendiri kepadanya?”
Setelah beberapa saat terdiam, Lim Sian-ji mengertakkan
giginya dan bertanya, “Apa sih yang begitu penting yang
harus kau kerjakan hari ini?”
“Kalau seorang wanita ingin mendukung kekasihnya, itu
bukan berarti bahwa ia harus ikut serta dalam
kematiannya, atau bahwa ia harus mati demi kekasihnya.
Tapi ia harus memberikan penghiburan dan kelegaan
kepada kekasihnya, supaya ia bisa melakukan apa yang
harus dilakukannya dengan tenang. Ia harus membuat
kekasihnya merasa dirinyalah yang terpenting dalam
hidupnya, dan ia tidak merasa diabaikan,” kata Sun Sioang.
“Itu saja?”
“Selain itu, apa lagi yang dapat kuperbuat baginya?”
Memang tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Itu saja sudah cukup.

1435
Laki-laki yang beruntung memiliki wanita seperti ini akan
merasa puas sepenuhnya.
Kata Sun Sio-ang, “Aku tahu kau sedang berusaha
membuatku merasa sedih, tapi aku tidak
menyalahkanmu. Aku merasa kasihan padamu.”
“Kasihan padaku? Mengapa aku harus dikasihani?”
“Kau pikir kau masih muda, cantik, dan pandai. Kau pikir
semua laki-laki di dunia ini akan bertekuk lutut di
hadapanmu. Oleh sebab itu, pada saat kau bertemu
dengan laki-laki yang sungguh-sungguh mencintai dan
sayang padamu, kau tidak bisa menghargainya. Malah
kau menggebahnya pergi dan menganggapnya seperti
seorang tolol. Tapi suatu hari nanti kau akan menyadari
bahwa orang yang sungguh-sungguh mencintaimu
tidaklah banyak. Cinta sejati tidak dapat dibeli dengan
kecantikan dan usia muda.”
Dengan lembut Sun Sio-ang melanjutkan, “Dan bila
saatnya tiba, kau akan menyadari bahwa kau tidak
memiliki apapun juga. Bahwa hidupmu kosong dan tidak
berarti. Saat seorang wanita berada pada posisi seperti
itu dalam hidupnya, ia sungguh patut dikasihani.”
Tanya Lim Sian-ji, “Kau….Kau pikir aku seperti itu?”
Suaranya bergetar. Seluruh tubuhnya pun bergetar.
Apakah ia merasa kesal? Dingin? Atau takut?
Sun Sio-ang tidak menjawabnya. Ia hanya memandang
dingin pada wajah Lim Sian-ji yang pucat dan gelisah,

1436
pada tubuhnya yang penuh lumpur. Jauh lebih buruk
daripada jawaban apapun yang mungkin diberikannya.
Lim Sian-ji tertawa tiba-tiba tiba-tiba. “Kau benar, aku
memang meremehkan dia dan menganggapnya tidak
lebih daripada seorang tolol yang dimabuk cinta. Tapi
kalau sekarang aku pergi mencari dia, dia pasti akan
merangkak kembali kepadaku.”
“Lalu mengapa tidak kau coba?” tantang Sun Sio-ang.
“Tidak perlu kucoba. Aku sudah tahu hasilnya. Ia tidak
mungkin dapat hidup tanpa diriku.”
Walaupun bibirnya berkata begitu, tubuhnya sudah
berputar dan melangkah pergi.
Ia mengerahkan seluruh kekuatannya dan berlari sekuat
tenaga, karena ia tahu bahwa inilah kesempatan
terakhirnya. Jika kesempatan ini berlalu, berakhir sudah
baginya. Sun Sio-ang masih berdiri di situ sejenak
sebelum memaLingkan wajahnya.
Bumi telah tertutup oleh kekelaman yang tiada berujung.
Dari balik rintik air hujan muncul sesosok bayangan
manusia….
Tidak ada yang tahu kapan orang itu datang, tidak ada
yang tahu sudah berapa lama ia berada di sana.
Yang pertama terlihat oleh Sun Sio-ang adalah matanya.
Mata seorang wanita.

1437
Matanya tampak suram. Mungkin mata itu sudah begitu
banyak mencucurkan air mata sehingga cahayanya
sudah pudar. Namun kesedihan dan dukacita tanpa katakata
yang terkandung di dalamnya dapat membawa lakilaki
yang paling gagah sekalipun meneteskan air mata.
Lalu tampaklah wajahnya.
Bukan wajah yang luar biasa cantik.
Wajah itu sangat pucat, seakan-akan sudah begitu lama
tidak kena sinar matahari.
Tapi entah mengapa, saat Sun Sio-ang melihatnya, ia
serasa sedang melihat wanita yang tercantik di seluruh
bumi.
Rambutnya berantakan dan pakaiannya basah kuyup,
seperti orang yang sedang putus asa. Namun anehnya,
jika orang yang melihatnya, mereka tidak akan
menyangka demikian.
Karena ia masih terlihat begitu muda, begitu anggun.
Apapun situasinya, ia dapat menyentuh perasaan orang
lain dengan pribadinya yang unik dan kekuatannya yang
luar biasa.
Sun Sio-ang belum pernah melihat wanita ini
sebelumnya, namun hanya dengan sekali pandang ia
langsung tahu siapa dia.
Lim Si-im.

1438
Hanya wanita seperti dialah yang dapat membuat orang
seperti Li Sun-Hoan jatuh ke dalam jurang cinta begitu
dalam.
Sun Sio-ang menghela nafas panjang.
‘Mengapa semua orang menganggap Lim Sian-ji adalah
wanita tercantik di dunia? Wanita inilah yang seharusnya
mendapatkan predikat itu. Apalagi pada masa mudanya.
Bahkan saat ini pun, ia jauh lebih mempesona daripada
Lim Sian-ji.’
Mungkin karena malam yang hujan, atau mungkin karena
ia adalah seorang wanita, tapi itulah pikirannya yang
sejujurnya.
Selera wanita terhadap wanita memang berbeda dari
selera pria.
Lim Si-im pun sedang menatapnya. Perlahan ia berjalan
mendekat dan berkata, “Kau…..kau adalah Nona Sun,
bukan?”
Sun Sio-ang mengangguk dan berkata, “Aku tahu siapa
engkau. Aku sering mendengar tentang dirimu dari dia.”
Lim Si-im tersenyum, senyum yang penuh derita.
Tentu saja ia tahu siapakah ‘dia’ yang disebut oleh Sun
Sio-ang.
Kata Sun Sio-ang, “Jadi kau sudah berada di sini dari
tadi.”

1439
Lim Si-im menundukkan kepalanya dan berkata, “Aku
mendengar bahwa ia akan berduel di sini, maka aku
datang untuk berbicara sedikit kepadanya. Tapi sudah
lama aku tidak pergi keluar rumah dan aku tersesat
dalam perjalanan.”
Ia tersenyum sedikit dan menambahkan, “Tapi tidak
mengapa. Apa yang tadinya akan kukatakan kepadanya
bisa kusampaikan kepadamu.”
Suaranya pelan dan lembut. Seakan-akan ia perlu
berpikir sebelum mengucapkan setiap kata.
Tiap kata yang keluar dari mulutnya jelas dan kaku.
Orang yang mendengarnya berbicara saat itu mungkin
akan menganggap bahwa ia adalah wanita yang tidak
berperasaan.
Namun Sun Sio-ang sungguh memahami dirinya.
Perkataannya terdengar dingin dan datar karena ia sudah
begitu banyak menanggung kesedihan dan penderitaan
dalam hidupnya.
Sun Sio-ang merasa simpati yang begitu besar dalam
hatinya terhadap wanita ini. Ia tidak tahan untuk tidak
bertanya, “Aku tahu bahwa ia ingin sekali bertemu
denganmu. Dan kau pun sudah jauh-jauh datang ke sini,
mengapa kau tidak mengikutinya untuk bertemu
dengannya sekali lagi?”
“A….Aku tidak bisa.”

1440
Awalnya memang ia ingin bertemu dengan Li Sun-Hoan.
Tapi saat dia tiba, sudah ada orang yang berada di
sampingnya. Ia tidak ingin menunjukkan diri karena ia
kuatir akan perasaan yang akan timbul dalam hatinya.
Karena ia tahu pasti, jika ia bertemu dengan Li Sun-Hoan
lagi, ia tidak akan dapat mengendalikan dirinya lagi.
Walaupun ia tidak mengatakannya, Sun Sio-ang paham
sepenuhnya.
Kata Sun Sio-ang, “Sebelumnya aku tidak mengerti
mengapa ada orang yang mau menuruti semua
perkataan orang lain dan membiarkan orang lain
menentukan nasibnya. Baru sekarang aku tahu bahwa ia
bukan menuruti perkataan orang itu karena takut
padanya, tapi karena mencintainya begitu rupa dan tahu
bahwa apapun yang diperbuat orang itu adalah demi
kebaikannya.”
Selama itu Lim Si-im berusaha keras menahan diri, tapi
saat itu pertahanannya runtuh.
Air mata membanjiri wajahnya.
Karena setiap kata yang diucapkan Sun Sio-ang terus
menusuk ke dalam hatinya. Tiap kata bagaikan sebatang
jarum yang menghunjam jauh ke dalam sanubarinya.
Ia pernah bertanya pada dirinya sendiri, ‘Aku tidak punya
apa-apa lagi. Aku merasa hampa, sama persis seperti
Lim Sian-ji. Tapi salah siapakah ini? Apakah akulah yang
bersalah waktu dulu itu?’

1441
Tadinya ia begitu geram pada Li Sun-Hoan, begitu benci
padanya.
Hidupnya berakhir sedih dan tragis seperti ini, semuanya
karena kesalahan Li Sun-Hoan!
Tapi baru sekarang ia menyadari bahwa yang salah
bukanlah Li Sun-Hoan, tetapi dirinya sendiri.
‘Mengapa waktu itu aku mendengarkan perkataannya?
Mengapa tak kukatakan dengan tegas kepadanya bahwa
aku sungguh mencintainya dan aku tidak akan menikah
dengan siapapun juga kecuali dia?’
Sun Sio-ang berkata dengan lembut, “Aku tidak tahu
pasti apa yang terjadi di antara kalian berdua, tapi aku
tahu bahwa…..”
Lim Si-im menyelanya tiba-tiba, “Tapi sekarang aku tahu.
Sekarang, setelah bertemu denganmu, aku tahu bahwa
akulah yang salah.”
“Kenapa begitu?” seru Sun Sio-ang.
“Karena…..jika aku berani berbuat seperti engkau, sekuat
dan setegas engkau, aku tidak akan berakhir seperti ini.”
“Tapi kau…..”
Kembali Lim Si-im memotongnya, “Sekarang aku tahu
bahwa aku tidak pantas menjadi istrinya. Hanya
engkaulah yang pantas untuknya.”

1442
Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. “Aku…..”
Lim Si-im tidak memberinya kesempatan berbicara.
“Karena hanya kau yang bisa menghibur dan
mendukungnya. Apapun yang dilakukannya,
kepercayaanmu kepadanya tidak pernah berubah. Tapi
aku…..”
Ia mendesah, dan setetes air mata bergulir ke pipinya.
Sun Sio-ang terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia
tersenyum dan berkata, “Tapi di kemudian hari kau akan
punya banyak kesempatan untuk bertemu dengannya.
Apapun yang terjadi di masa lalu itu sudah lewat. Kini
kalian berdua dapat….”
Lim Si-im memotongnya cepat, “Kau pikir ia masih punya
kesempatan? Masih ada harapan?”
“Tentu saja masih ada!”
Sun Sio-ang tersenyum dan berkata, “Mungkin semua
orang beranggapan bahwa ia sudah kehilangan
kepercayaan diri. Jika seseorang sudah kehilangan rasa
percaya dirinya, apa lagi harapannya?”
“Betul sekali,” sahut Lim Si-im.
“Tapi aku tahu pasti bahwa ia bersikap demikian hanya
untuk memancing agar Siangkoan Kim-hong menjadi
lengah. Jika Siangkoan Kim-hong mulai meremehkan
lawannya, ia pun akan menjadi kurang hati-hati.”

1443
Mata Sun Sio-ang berbinar dan menambahkan lagi, “Jika
Siangkoan Kim-hong kurang hati-hati, Li Sun-Hoan pasti
bisa mengalahkannya!”
Lim Si-im mendesah dan berkata, “Ia punya rasa percaya
diri yang begitu besar karena kau begitu yakin pada
dirinya. Dukungan dan semangatmu sangat berharga
baginya. Aku rasa kau tidak menyadari seberapa
pentingnya dirimu baginya.”
Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. “Aku
menyadarinya.”
Ia tidak hanya yakin pada Li Sun-Hoan, ia pun yakin
pada dirinya sendiri.
Lim Si-im memandang gadis itu dengan perasaan yang
tidak terkatakan. Apakah itu iri hati? Cemburu? Atau
kasihan pada dirinya sendiri? Atau mungkin, ia hanya
merasa sangat berbahagia bagi Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan telah berkubang dalam kesedihan lebih dari
setengah masa hidupnya. Hatinya pasti merasa sangat
lelah. Hanya orang seperti Sun Sio-anglah yang dapat
memberikan penghiburan kepadanya. Sekalipun ia bisa
menang kali ini, akan tiba saatnya suatu hari nanti ia
akan kalah.
Walaupun tidak ada orang yang dapat menjatuhkannya,
ia pasti bisa menjatuhkan dirinya sendiri!
Lim Si-im kembali mendesah dan berkata, “Bahwa ia bisa
berjumpa denganmu, itu adalah anugerah Tuhan,

1444
menggantikan seluruh penderitaan dalam hidupnya. Ia
pantas untuk berbahagia, tapi…..”
Tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana dengan Hing Bu-bing?
Walaupun ia dapat mengalahkan Siangkoan Kim-hong,
tidak mungkin ia dapat mengalahkan serangan gabungan
mereka berdua.”
Sahut Sun Sio-ang, “Mungkin Hing Bu-bing tidak akan
menyerang sama sekali. Siangkoan Kim-hong sudah
begitu yakin bahwa dia tidak mungkin kalah, sehingga ia
tidak akan meminta bantuan Hing Bu-bing. Saat ia
menyadarinya, sekalipun Hing Bu-bing ingin membantu,
itu sudah sangat terlambat.”
Pemikirannya sungguh tepat. Ini adalah kesempatan Li
Sun-Hoan satu-satunya.
Jika mereka ingin mengalahkan Li Sun-Hoan, ini juga
satu-satunya kesempatan mereka – pisau terbangnya
tidak akan memberikan kesempatan kedua bagi siapapun
juga.
Pertanyaannya adalah, siapakah yang dapat
memanfaatkan kesempatan yang satu-satunya ini?
Kata Lim Si-im, “Jadi maksudmu, jika Hing Bu-bing tidak
menyerang bersamaan dengan Siangkoan Kim-hong, Li
Sun-Hoan masih punya kesempatan?”
“Benar.”

1445
“Bagaimana kau bisa yakin bahwa Hing Bu-bing tidak
akan menyerang?”
“Aku tidak bisa yakin,” jawab Sun Sio-ang. “Namun aku
yakin setelah dua jam, tidak ada satu pun dari mereka
yang bergerak.”
“Meskipun kau benar, bagaimana kita bisa tahu apa yang
terjadi selama dua jam ini?” tanya Lim Si-im kuatir.
“Sesuatu akan terjadi.”
“Apa itu?”
“A Fei,” jawab Sun Sio-ang singkat.
Walaupun Lim Si-im tidak mengatakan apa-apa,
wajahnya menunjukkan kekecewaan.
Semua orang pasti merasa kecewa terhadap A Fei.
Kata Sun Sio-ang, “Tidak seorang pun percaya padanya
lagi, tapi itu hanya karena saat ini ia masih mengenakan
belenggu yang berat pada tubuhnya.”
“Belenggu?”
“Ya, belenggu. Dan hanya ada satu orang yang dapat
membebaskan dia dari belenggu itu.”
“Siapa?” tanya Lim Si-im penuh harap.

1446
“Hanya pemukul genta yang dapat melepaskan ikatan
genta.”
“Maksudmu…..Lim Sian-ji?”
“Tepat sekali. Kalau ia bisa menyadari bahwa Lim Sian-ji
tidak pantas memperoleh cintanya, maka ia akan
terbebas dari seluruh belenggu yang mengikatnya.”
Lim Si-im terdiam sejenak. Lalu ia berkata, “Mungkin kau
benar. Namun ia telah jatuh begitu lama dan begitu
dalam, bagaimana mungkin ia dapat bangkit kembali
dalam waktu yang sangat singkat?”
Jawab Sun Sio-ang, “Untuk alasan lain mungkin dia tidak
akan bisa, namun untuk Li Sun-Hoan ia pasti bisa.”
Lalu dengan perlahan ia menambahkan, “Untuk orangorang
yang sangat kita kasihi, kadang-kadang kita bisa
membuat hal-hal yang luar biasa.”
Lim Si-im menghela nafas panjang. “Jadi begitu….”
Kata Sun Sio-ang, “Jadi sekarang aku harus pergi
mencari A Fei dan memberitahukan padanya apa yang
terjadi.”
“Tunggu…..ada lagi yang ingin kusampaikan padamu,”
kata Lim Si-im tiba-tiba.
“Apa itu?”

1447
“Sudah lama aku tidak pergi dunia luar, tapi aku tahu
begitu banyak tentang apa yang terjadi. Apa kau tidak
merasa heran?”
“Sama sekali tidak. Karena aku tahu kau memiliki putra
yang sangat cerdas,” jawab Sun Sio-ang sambil
tersenyum.
Lim Si-im menundukkan kepalanya dan berkata, “Apapun
yang terjadi, ia tetap adalah anakku. Tidak ada satupun
dalam dunia ini yang kumiliki kecuali dia seorang….. Oleh
sebab itu aku berharap kau dapat memberitahukan
kepadanya, memintakan maaf kepadanya…..”
“Ia tidak pernah membenci siapapun juga. Kau
seharusnya sudah tahu.”
Lim Si-im terdiam. Seolah-olah ada lagi yang ingin
dikatakannya, namun ia tidak tahu bagaimana harus
memulainya.
Tanya Sun Sio-ang, “Apakah ini mengenai ‘Ensiklopedi
LianHua’?”
Lim Si-im tampak terkejut. “Kau sudah tahu?”
Sun Sio-ang tersenyum dan menyahut, “Aku juga sudah
memberitahukan kepadanya. Jisusiokku….”
“Benar. Waktu Tuan Wang datang, Tuan Sun juga ada
bersamanya.”
“Jadi kitab itu memang ada padamu?”

1448
“Ya. Tapi aku tidak pernah memberitahukan kepadanya
selama ini.”
“Mengapa?”
Jawab Lim Si-im, “Karena pada saat itu aku merasa
bahwa ilmu silat tidak mendatangkan kebaikan baginya,
malahan akan membahayakan dirinya. Semakin tinggi
ilmu silat seseorang, akan semakin banyak persoalan
yang timbul, jadi…..”
“Jadi kau tidak memberitahukan kepadanya karena kau
ingin dia menjadi orang biasa, dengan kehidupan yang
sederhana.”
“Itulah alasan utamanya. Tapi tidak seorang pun akan
mempercayai aku…..”
“Aku percaya padamu,” kata Sun Sio-ang.
Ia mendesah dan menambahkan, “Jika aku ada di
tempatmu, mungkin aku pun akan melakukan hal yang
sama.”
Hanya seorang wanitalah yang dapat memahami
perasaan wanita lain.
Hanya seorang wanitalah yang dapat memahami bahwa
seorang wanita sanggup berbuat apapun juga demi lakilaki
yang dicintainya. Di mata orang lain, mungkin
perbuatannya dianggap bodoh, namun di mata mereka,
tidak ada alasan lain yang lebih penting daripada ini.

1449
Kata Lim Si-im, “Namun sekarang aku menyesal.
Seharusnya aku memberikan kitab itu kepadanya.”
“Kau menyimpannya demi kebaikannya sendiri,” kata Sun
Sio-ang.
“Tapi…..kalau ia sempat mempelajari isi ‘Ensiklopedi
LianHua’, sekalipun Siangkoan Kim-hong dan Hing Bubing
bersama-sama menyerang dia, dia tidak mungkin
terkalahkan.”
“Ah, jadi karena itu kau merasa bersalah. Karena itulah
kau meminta maaf.”
Lim Si-im mengangguk. Katanya, “Aku tahu ia tidak akan
menyalahkan aku, tapi jika aku…..jika aku tidak
mengakui hal ini kepadanya, aku tidak akan dapat hidup
dengan diriku sendiri.”
“Tapi kau salah,” kata Sun Sio-ang.
“Salah?”
“Jika ia mempelajari isi “Ensiklopedi LianHua’, ia tetap
bukan tandingan Siangkoan Kim-hong.”
“Kenapa?”
“Tahukah kau mengapa ilmu pedang A Fei begitu ditakuti
orang?”
“Karena dia…..” Lim Si-im tidak tahu jawabannya.

1450
“Ia bisa menjadi sangat cepat dan tepat karena ia sangat
berdedikasi pada pedangnya, lebih daripada orang lain.
Sama seperti Li Sun-Hoan. Jika ia mempelajari ilmu silat
yang lain, ia akan kehilangan fokus. Pisaunya tidak
mungkin bisa menjadi secepat dan seakurat sekarang.”
Lim Si-im kembali menundukkan kepalanya.
“Bagaimanapun juga, kuharap kau berkenan
menyampaikan perasaanku kepadanya.”
Kata Sun Sio-ang, “Kalian berdua akan punya
kesempatan untuk bertemu. Mengapa tak kau katakan
sendiri kepadanya?”
Bab 84. Mata yang Terbuka
Lim Si-im terpekur lama, lalu ia mengangkat wajahnya.
Kini wajahnya menjadi sangat tenang dan damai.
Katanya, “Tidak akan ada lagi kesempatan bagi kami
untuk bertemu di kemudian hari.”
Sun Sio-ang mengerutkan alisnya. “Mengapa?”
“Karena…..karena aku akan pergi ke tempat yang jauh.”
“Kau……mengapa kau harus pergi?”
“Aku harus pergi!”
“Kenapa?” tanya Sun Sio-ang tidak mengerti.

1451
“Aku sudah mengambil keputusan yang bulat.”
Sun Sio-ang tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Lim Si-im tersenyum dan berkata, “Kelemahanku yang
terbesar adalah selalu ragu-ragu. Mungkin inilah pertama
kalinya aku bertekad bulat. Aku hanya berharap tidak
ada orang yang membujukku untuk berubah pikiran.”
“Tapi…..tapi inilah pertama kalinya kita berjumpa. Paling
tidak, ijinkanlah aku bertemu denganmu sekali lagi.
Masih banyak yang ingin kubicarakan denganmu,” pinta
Sun Sio-ang.
Lim Si-im berpikir sejenak, lalu menjawab, “Baiklah. Kita
akan bertemu lagi di sini, besok pagi-pagi sekali.”
Setelah mengatakan itu, Lim Si-im pun pergi.
Seolah-olah Sun Sio-ang adalah satu-satunya orang yang
tersisa di bumi ini.
Selama itu, tidak setetes air mata pun keluar dari
matanya. Namun kini, ia merasa matanya mulai basah.
Ia pun berkeputusan bulat.
Selama Li Sun-Hoan masih hidup, ia akan membawanya
datang ke sini.
Sejak pertama kali bertemu dengan Li Sun-Hoan, ia
sudah memutuskan untuk mendedikasikan seluruh
hidupnya bagi laki-laki itu.

1452
Ia belum pernah meragukan keputusannya.
Tapi saat ini, ia merasa begitu egois. Jadi kini ia
memutuskan bahwa ia akan mengorbankan
kebahagiaannya demi Li Sun-Hoan!
Karena ia merasa bahwa Lim Si-im memerlukan Li Sun-
Hoan lebih daripada dia.
‘Mereka berdua telah menderita begitu lama. Mereka
berhak merasakan kebahagiaan sekarang. Apapun yang
terjadi, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk
mempersatukan mereka.’
‘Lim Si-im adalah miliknya. Tidak ada seorang pun yang
berhak memisahkan mereka.’
‘Liong Siau-hun pun tidak berhak. Ia tidak pantas bagi
Lim Si-im.’
‘Tapi aku……’
Dan ia pun berkeputusan bulat untuk tidak memikirkan
dirinya sendiri. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat dan
menyeka air matanya. Lalu berkata pada dirinya sendiri,
‘Walaupun aku ingin menangis, aku harus menunggu
sampai besok. Masih banyak yang harus dikerjakan hari
ini…..’
Ia mengangkat dagunya.
Sekelilingnya gelap gulita. Malam telah larut.

1453
Namun, saat malam gelap gulita telah tiba, hari yang
terang-benderang pun tidak lama lagi akan tiba.
Ada orang yang mengatakan bahwa hanya ada dua
macam manusia di dunia ini: baik dan jahat.
Lim Sian-ji sudah pasti bisa digolongkan jahat, tapi
bagaimana dengan Lim Si-im dan Sun Sio-ang?
Walaupun mereka adalah orang-orang yang baik,
keduanya sangat berbeda.
Ketika persoalan dan kesulitan muncul, Lim Si-im hanya
akan bertahan, dan bertahan….
Ia merasa bahwa kegagahan seorang wanita adalah
untuk bisa terus bertahan.
Namun Sun Sio-ang berbeda. Ia akan selalu melawan!
Jika ia sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, ia akan
bertempur habis-habisan.
Ia adalah gadis yang tegas, cerdas, berani dan penuh
percaya diri. Ia tidak takut mencintai, tidak takut
membenci. Dan jika seluruh jiwanya diperiksa dengan
seksama, tidak akan ditemukan setitikpun kegelapan
ataupun kesedihan.
Karena orang-orang seperti dialah, dunia ini menjadi
begitu hidup, maju tanpa kenal rintangan.

1454
‘Wanita-wanita dunia ini memimpin umat manusia ke
masa depan’.
Perkataan ini sungguh pantas bagi dirinya.
***
‘Kalau aku pergi dan mencarinya sekarang, ia pasti akan
datang merangkak kepadaku.’
‘Tanpa diriku, tidak mungkin ia bisa terus hidup.’
Apakah Lim Sian-ji begitu yakin akan hal ini?
Memang ia pantas menjadi begitu yakin, karena ia tahu
betul bahwa A Fei sungguh-sungguh mencintainya.
Tapi di manakah A Fei sekarang?
‘Ia pasti masih ada di pondok kecil itu, karena pondok itu
adalah ‘rumah kami’. Barang-barangku masih ada di
sana. Keberadaanku masih ada di sana.’
‘Ia pasti sedang menantikan kepulanganku.’
Tiba-tiba Lim Sian-ji merasa begitu rileks.
‘Mungkin selama dua hari terakhir ini ia tidak melakukan
apapun juga kecuali minum arak. Mungkin rumah itu
sudah berantakan sekarang. Mungkin mayat-mayat itu
masih bergelimpangan di sana.’

1455
Saat ia memikirkan itu, mengerutkan alis pun Lim Sian-ji
tidak berani.
‘Tapi bagaimanapun juga, saat ia melihat aku, ia akan
berusaha mati-matian untuk melakukan apa saja yang
kuminta. Aku tidak perlu mengangkat seujung jaripun.’
Lim Sian-ji menghela nafas lega. Ketika wanita seperti
dia sudah jatuh ke dasar jurang, namun masih ada
tempat pelarian, masih ada orang yang menantikan
kepulangannya dengan sabar, tidak heran ia merasa
sangat bersuka cita.
‘Aku memang terlalu kejam padanya dulu. Aku sudah
menekannya kelewat batas. Mulai sekarang aku akan
memperlakukan dia dengan baik.’
‘Laki-laki itu seperti anak kecil. Jika kau ingin mereka
berkelakuan baik, kau harus memberi mereka permen
terlebih dulu.’
Tiba-tiba ia merasakan kehangatan dalam dadanya.
‘Kalau dipikir-pikir, dia bukanlah orang yang
menyebalkan. Bahkan mungkin ia jauh lebih baik
daripada semua laki-laki yang pernah kutemui seumur
hidupku.’
Lim Sian-ji baru menyadari bahwa sebenarnya ia pun
sedikit banyak telah jatuh cinta pada A Fei.

1456
Hanya terhadap A Feilah ia memiliki perasaan yang tulus.
Semakin dipikirkannya, semakin ia menyadari betapa
berbahagianya dia saat A Fei ada di sisinya.
‘Aku sungguh-sungguh harus memperlakukan dia dengan
lebih baik mulai sekarang. Laki-laki seperti dia jarang ada
di dunia ini. Mungkin aku tidak akan menemukan laki-laki
lain yang seperti dia.’
Dan semakin dipikirkannya, semakin dalam ia menyadari
bahwa ia tidak boleh membiarkan A Fei pergi dari
hidupnya.
Mungkin selama ini sebenarnya Lim Sian-ji pun
mencintainya. Tapi cinta A Fei terhadapnya sungguh jauh
lebih besar dan dalam, sehingga Lim Sian-ji tidak
menghargainya.
Jika ia tidak begitu dalam mencintai Lim Sian-ji, mungkin
Lim Sian-ji akan lebih menginginkannya.
Inilah kelemahan manusia. Kontradiksi sifat dasar
manusia.
Itulah sebabnya mengapa laki-laki yang pintar tidak akan
menunjukkan seluruh perasaan mereka kepada wanita
yang mereka cintai. Lebih baik mereka simpan di dalam
hati.
‘A Fei, jangan kuatir. Mulai sekarang, aku tidak akan lagi
menyakitimu. Aku akan setia mendampingimu tiap hari,
tiap saat. Mari kita lupakan masa lalu, dan mulai dengan
lembaran baru hidup kita.’

1457
‘Selama kau memperlakukan aku sama seperti dulu,
mulai sekarang akulah yang akan menuruti semua
perkataanmu.’
Tapi bisakah A Fei memperlakukan dia sama seperti
dulu?
Lim Sian-ji mulai ragu, rasa percaya dirinya mulai
memudar.
Belum pernah ia merasa seperti ini, karena belum pernah
sebelumnya ia menyadari betapa berharganya A Fei bagi
dirinya. Saat ini, ia bahkan tidak peduli apakah A Fei
akan memperlakukannya dengan baik atau tidak.
Hanya pada saat seseorang begitu menginginkan
sesuatu, ia akan sangat takut kehilangan.
Perasaan selalu ingin lebih dan selalu tidak puas adalah
salah satu kelemahan umat manusia.
Yang lebih menyedihkan adalah, semakin banyak kita
ingin, semakin besarlah rasa tidak puas itu.
Lim Sian-ji mengangkat kepalanya dan melihat pondok
kecil yang berdiri sendirian di tepi jalan itu.
Ada cahaya dari dalam sana.
Ia berhenti sejenak. Dirobeknya lengan bajunya, dan
dibersihkannya wajahnya dengan air hujan. Lalu dengan
lembut dirapikannya rambutnya dengan jari-jemarinya.

1458
Ia tidak ingin A Fei melihatnya dalam kondisi yang
menyedihkan.
Karena saat ini, ia tidak sanggup lagi kehilangan A Fei.
Cahaya dalam pondok itu terlihat sangat terang.
Sebatang lilin menyala di atas meja.
Sepanci besar bubur tampak berada di samping lilin itu.
Rumah itu tidak tampak kotor atau berantakan seperti
yang dibayangkan Lim Sian-ji. Tidak ada lagi mayat yang
kelihatan. Bekas-bekas darah pun sudah tidak tampak.
Semuanya serba bersih dan rapi.
A Fei sedang duduk di depan meja sambil menghirup
semangkuk bubur panas.
Ia selalu makan perlahan-lahan karena ia tahu benar
bahwa makanan itu harus dihargai. Oleh sebab itulah ia
makan perlahan, untuk menikmati setiap suapan.
Tapi sepertinya ia tidak sedang menikmati saat itu.
Di wajahnya tergambar kepahitan, seakan-akan ia makan
dengan terpaksa.
Mengapa ia memaksa diri untuk makan? Apakah karena
ia terpaksa makan demi bertahan hidup?
Malam sudah sangat larut.

1459
Seorang laki-laki duduk menghadapi meja sendirian
sambil mengirup buburnya.
Jika kau tidak melihatnya sendiri, sangat sulit
membayangkan betapa sedih dan memilukannya
pemandangan ini.
Dengan perlahan pintu terbuka.
Saat ia melihat A Fei, ia merasakan kehangatan menjalari
sekujur tubuhnya.
Ia sendiri tidak pernah menyangka bahwa ia bisa
memiliki perasaan seperti ini.
Karena darahnya selalu dingin.
A Fei seperti tidak menyadari ada yang masuk ke rumah
itu. Kepalanya masih menunduk, sibuk mengirup
buburnya. Seolah-olah bubur itulah satu-satu hal yang
nyata baginya di dunia ini.
Namun otot-otot wajahnya mulai menegang.
Lim Sian-ji tidak bisa menahan diri lagi. Ia
memanggilnya, “Fei sayang….”
Suaranya masih tetap manis dan lembut seperti dulu.
Akhirnya A Fei mengangkat wajah dan memandangnya.
Matanya masih tetap bercahaya. Apakah karena air
mata?

1460
Mata Lim Sian-ji pun mulai tampak basah. “Fei sayang,
aku sudah kembali…..”
A Fei tidak bergerak, tidak menyahut.
Seolah-olah ia sudah membeku dan tidak bisa bergerak
lagi.
Perlahan Lim Sian-ji berjalan ke arahnya dan berkata,
“Aku tahu, kau pasti akan menungguku. Karena akhirnya
aku menyadari bahwa kaulah satu-satunya yang baik
kepadaku di dunia ini.”
Kali ini ia tidak berpura-pura.
Ia mengatakannya dari lubuk hatinya yang terdalam.
Perasaannya terhadap A Fei sangat tulus.
Lanjut Lim Sian-ji, “Aku sadar sekarang bahwa semua
orang yang lain hanya ingin memanfaatkan diriku….dan
aku pun hanya memanfaatkan mereka. Oleh sebab itulah
aku tidak peduli bahwa mereka itu memanfaatkan aku.
Tapi seberapa buruknya aku memperlakukan engkau,
kau tetap setia kepadaku.”
Ia tidak memperhatikan perubahan di wajah A Fei.
Ia berjalan semakin dekat. Begitu dekat, sampai-sampai
ia tidak melihat apa yang seharusnya terlihat jelas.
“Aku telah memutuskan bahwa aku tidak akan pernah
menipumu lagi. Tidak pernah akan menyakitimu lagi.

1461
Apapun yang kau inginkan, akan kudengarkan, akan
kulakukan, dan aku berjanji…..”
Prak! Sumpit di tangan A Fei patah menjadi dua.
Lim Sian-ji merengkuh tangan A Fei dan meletakkannya
di dadanya.
Suaranya sungguh manis, semanis madu.
“Aku telah begitu bersalah padamu di masa lalu. Aku
akan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya di
kemudian hari. Aku ingin kau mengerti bahwa seluruh
perbuatan baikmu terhadap aku tidaklah sia-sia belaka.”
Dadanya terasa hangat dan lembut.
Siapapun yang meletakkan tangannya di dada itu tidak
akan mungkin ingin melepaskannya lagi.
Tapi tiba-tiba A Fei menarik tangannya.
Lim Sian-ji terperanjat. “Kau….kau….kau tidak
menginginkan aku lagi?”
A Fei hanya menatapnya terdiam. Seolah-olah inilah
pertama kalinya ia melihat Lim Sian-ji.
“Semua yang kukatakan itu benar adanya. Walaupun aku
pernah bersama dengan laki-laki lain di masa lalu….aku
tidak pernah punya perasaan apa-apa terhadap mereka.
Itu semua palsu…..”

1462
Suaranya terhenti, karena saat itulah ia melihat ekspresi
wajah A Fei.
A Fei kelihatan seperti ingin muntah.
Lim Sian-ji mundur dua langkah dan berkata,
“Kau……kau tidak suka aku mengatakan yang
sebenarnya? Apakah kau lebih suka aku berdusta?”
A Fei memandang lurus padanya cukup lama, dan
akhirnya berkata, “Ada satu hal yang kurasa sangat
ganjil.”
“Apa itu?”
A Fei bangkit berdiri dan berkata perlahan tapi pasti,
“Bagaimana aku bisa jatuh cinta pada wanita seperti
engkau!”
Lim Sian-ji merasa kejang seluruh tubuhnya.
A Fei tidak mengatakan apa-apa lagi.
Ia tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Satu kalimat itu
saja sudah cukup.
Sudah cukup untuk mengirim Lim Sian-ji ke neraka yang
paling gelap.
Perlahan A Fei melangkah keluar.
Seseorang tidak mungkin dapat menahan rasa sakit,
penghinaan dan olok-olok terus-menerus.

1463
Mungkin ada orang dapat menerima dibohongi terusmenerus,
tapi ada batasnya orang bisa menerima
penghinaan – ini berlaku untuk wanita, juga untuk pria.
Ini berlaku untuk istri, juga untuk suami.
Lim Sian-ji merasa hatinya terperosok semakin dalam,
dan semakin dalam….
A Fei membuka daun pintu.
Tiba-tiba Lim Sian-ji melompat dan terpuruk dekat
kakinya. Ia menarik lengan baju A Fei dan menangis
tersedu-sedu, “Bagaimana mungkin engkau
meninggalkan aku seperti ini….. Hanya engkaulah yang
kumiliki sekarang…..”
Tapi A Fei tidak menoleh.
Perlahan ditanggalkannya bajunya yang terus diganduli
oleh Lim Sian-ji.
Ia melangkah keluar dengan dada telanjang menerjang
hujan.
Hujan yang sangat dingin.
Namun air hujan yang sangat bersih.
Akhirnya ia dapat melepaskan diri dari Lim Sian-ji.
Melepaskan diri dari belenggu yang mengikat hatinya.
Sama seperti baru saja membuang baju yang sudah lama
dan usang.

1464
Lim Sian-ji masih berpegangan pada baju itu. Ia tahu
benar bahwa tidak ada lagi tempat baginya untuk
berpegangan.
‘Pada akhirnya, kau menyadari bahwa kau tidak memiliki
apa-apa dan hidupmu begitu hampa….”
Air mata mengalir deras di wajahnya.
Saat itulah ia menyadari betul bahwa ia sebenarnya
begitu mencintai A Fei.
Mungkin ia menyiksa A Fei karena ia mencintainya, dan
karena ia tahu bahwa A Fei mencintainya.
Mengapa wanita suka menyiksa laki-laki yang paling
mereka cintai?
Baru sekarang ia menyadari betapa berharganya A Fei
dalam hidupnya.
Karena baru sekarang, ia kehilangan A Fei.
Mengapa wanita sering kali tidak menghargai apa yang
mereka miliki, dan baru menyadari betapa berharganya
sesuatu setelah semuanya hilang?
Mungkin laki-laki pun seperti ini.
Lim Sian-ji tertawa seperti orang kesurupan sambil
merobek-robek baju A Fei di tangannya.

1465
‘Apa yang kutakuti? Aku masih muda dan cantik. Kalau
aku mau, aku bisa mendapatkan laki-laki manapun
juga…. Aku bisa mendapatkan sepuluh laki-laki dalam
sehari.’
Ia sedang tertawa, tapi tawanya terasa lebih memilukan
daripada air mata.
Karena ia sebenarnya tahu, bahwa laki-laki memang
mudah didapatkan, namun cinta sejati tidak dapat dibeli
dengan kecantikan dan usia muda.
Bagaimanakah nasib Lim Sian-ji sekarang?
Tidak ada yang tahu.
Seakan-akan ia hilang ditelan bumi.
***
Dua, tiga tahun kemudian, di kompleks pelacuran yang
paling terkenal di ChangAn tersiar kabar ada seorang
pelacur yang sangat unik. Ia tidak pernah minta bayaran.
Yang diinginkannya hanya laki-laki.
Bahkan ada yang bilang bahwa ia melayani sedikitnya
sepuluh laki-laki dalam sehari.
Awalnya, begitu banyak pria yang berminat kepadanya,
namun sejalan dengan waktu, laki-laki yang
menginginkannya pun semakin berkurang.

1466
Mungkin karena pelacur itu begitu cepat menjadi tua,
tapi lebih mungkin karena lama-kelamaan orang
menyadari bahwa ia bukan seperti manusia. Ia seperti
induk serigala yang memangsa laki-laki bulat-bulat.
Ia bukan saja suka menghancurkan laki-laki, namun
penyiksaan yang dilakukan terhadap dirinya sendiri jauh
lebih mengerikan.
Ada orang bilang bahwa ia adalah wanita yang dulunya
dijuluki ‘wanita tercantik di seluruh dunia’, Lim Sian-ji.
Tapi ia sendiri tidak pernah mengakuinya.
Beberapa tahun setelah itu, di sebuah daerah paling
kumuh di ChangAn, terdengar lagi ada seorang wanita
aneh yang menjadi cukup terkenal.
Ia bukan terkenal karena kecantikannya, tapi karena ia
begitu buruk rupa. Sampai-sampai tidak bisa
diungkapkan dengan kata-kata.
Yang lucu adalah, ketika ia mabuk berat, ia selalu
mengatakan bahwa dulunya ia adalah si ‘wanita tercantik
di seluruh dunia’.
Tentu saja tidak ada yang percaya.
***
Hujan semakin dingin.

1467
Walaupun A Fei telah basah kuyup dari kepala hingga
ujung kaki, entah mengapa ia merasa segar. Karena
hujan telah membuatnya menyadari bahwa ia bukanlah
sebatang kayu kering. Inilah pertama kalinya dalam dua
tahun ini ia merasa begitu hidup.
Lagi pula, ia merasa begitu lega. Seakan-akan beban
ribuan ton telah diangkat dari bahunya.
Sayup-sayup terdengar orang memanggil dari kejauhan,
“A Fei…..”
Suaranya begitu pelan. Mungkin beberapa hari yang lalu,
ia tidak akan bisa mendengar suara ini.
Tapi sekarang, matanya tidak lagi buta. Telinganya tidak
lagi tuli.
Ia menghentikan langkahnya dan bertanya, “Siapa itu?”
Seseorang segera bergegas ke arahnya. Dengan dua
kuncir panjang, dua mata besar.
Seorang gadis muda yang cantik. Ia kelihatan sangat
kelelahan.
Akhirnya Sun Sio-ang menemukan A Fei.
Ia berlari ke arah A Fei dengan nafas tersengal-sengal,
“Kau tidak mengenali aku lagi….”
A Fei segera memotong perkataannya, “Aku ingat siapa
engkau. Kita bertemu dua tahun yang lalu. Kau sangat

1468
pintar bicara. Aku juga melihat engkau dua hari yang
lalu, tapi kau tidak mengatakan apa-apa.”
Sun Sio-ang tersenyum dan berkata, “Kelihatannya
ingatanmu masih bagus.”
Hatinya merasa lega, karena ia melihat A Fei berdiri,
bahkan berdiri tegap.
‘Ada orang yang bisa bangkit, seberapa kali pun mereka
jatuh.’
Li Sun-Hoan dan A Fei memang benar-benar sehati
sejiwa.
A Fei tahu apa yang akan ditanyakan gadis itu.
Tapi Sun Sio-ang tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak
tahu bagaimana harus bertanya.
Kata A Fei, “Katakan saja apa yang ingin kau katakan,
karena kau adalah sahabat Li Sun-Hoan.”
Tanya Sun Sio-ang, “Apakah kau telah berjumpa
dengannya?”
“Ya.”
“Di mana dia sekarang?”
“Dia tidak ada lagi hubungan dengan aku, mengapa kau
menanyakannya?”

1469
Di masa lalu, jika ada orang yang berbicara tentang Lim
Sian-ji kepadanya, ia selalu merasa tercekat. Mendengar
namanya saja dapat membuat hatinya bergetar.
Namun kini ia terlihat sangat tenang.
Sun Sio-ang menatapnya menyelidik, lalu menghela
nafas lega. “Ternyata kau benar-benar sudah terbebas
dari belenggumu.”
“Belenggu?” tanya A Fei bingung.
“Setiap orang di dunia ini memliki kurungan dan
belenggu mereka masing-masing. Tapi hanya sedikit saja
yang dapat membebaskan diri.”
“Aku tidak mengerti.”
Kata Sun Sio-ang, “Kau tidak perlu mengerti. Yang
penting kau sudah berhasil melakukannya.”
A Fei terdiam lama. Akhirnya ia berkata, “Ah, aku
mengerti sekarang.”
“Kau sungguh-sungguh mengerti?....” Kini Sun Sio-anglah
yang bingung. “Kalau begitu, aku ingin tahu, dengan cara
bagaimana kau dapat membebaskan diri dari
belenggumu?”
A Fei berpikir sejenak sebelum menjawab sambil
tersenyum, “Mataku tiba-tiba terbuka.”

1470
‘Mataku tiba-tiba terbuka’. Sungguh suatu kalimat yang
sederhana. Tapi pada kenyataannya, sangat sulit untuk
mengalaminya.
Waktu Sang Budha mengalami pencerahan di bawah
pohon bodhi, ia pun mengalami mata yang tiba-tiba
terbuka.
Bodhidharma bermeditasi selama sembilan tahun
sebelum matanya terbuka.
Bagaimanapun kejadiannya, jika matamu sudah terbuka,
pikiranmu pun akan terbebaskan dari segala macam
persoalan. Tapi sebelum itu dapat terjadi, seseorang mau
tidak mau harus mengalami berbagai macam pencobaan
dan kesukaran hidup.
Kata Sun Sio-ang, “Kau pasti telah begitu menderita
sebelum mencapai pencerahan itu.”
Namun kelihatannya A Fei tidak berminat untuk
mendiskusikannya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah Li Sun-
Hoan menyuruhmu untuk mencari aku?”
“Tidak,” jawab Sun Sio-ang.
“Di manakah ia saat ini?”
Sun Sio-ang terdiam. Senyumnya pun lenyap.
“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya A Fei
mendesak.

1471
Wajah Sun Sio-ang bertambah kelam saat ia menjawab,
“Sejujurnya, aku pun tidak tahu di mana tepatnya ia
berada saat ini. Aku pun tidak tahu apakah ia masih
hidup atau….”
Wajah A Fei langsung memucat. “Apa maksudmu?”
“Mungkin aku dapat menemukan di mana ia berada,
namun hidupnya….”
“Ada apa dengan hidupnya?” Nada suara A Fei semakin
tinggi.
Sun Sio-ang menatap matanya sambil berkata, “Hidup
matinya terletak di tanganmu seorang!”
Bab 85. Salah Siapa?
Hujan masih turun dengan lebat di luar, namun di dalam
rumah begitu kering. Ada sebuah jendela kecil di
ruangan itu yang letaknya jauh di atas.
Jendela itu selalu tertutup. Cahaya matahari jarang
masuk melaluinya dan hujan tidak dapat menembusnya.
Temboknya dicat begitu tebal dan putih, sampai-sampai
tidak lagi dapat diketahui apakah tembok itu terbuat dari
tanah, bata, ataukah besi. Namun yang pasti, tembok ini
sangat sangat tebal, begitu tebal, seolah-olah ingin
memisahkan orang yang di dalam dengan dunia luar.

1472
Tidak ada benda apapun dalam ruangan itu kecuali dua
buah tempat tidur dan sebuah meja besar. Tidak ada
kursi, tidak ada bangku, bahkan satu cawan pun tidak
kelihatan.
Ruangan dan sekelilingnya tampak lebih sederhana dan
menderita daripada tempat tinggal seorang pendeta
miskin.
Siapa sangka, ini adalah tempat kediaman orang yang
terkaya, yang paling berpengaruh, paling berkuasa di
seluruh dunia persilatan, Ketua Kim-ci-pang, Siangkoan
Kim-hong?
Tapi Li Sun-Hoan tidak punya gairah untuk terkejut.
Siangkoan Kim-hong berdiri tepat di sampingnya dan
bertanya, “Apakah tempat ini cukup memuaskan?”
Sambil tersenyum terpaksa Li Sun-Hoan menjawab,
“Paling tidak di sini kering.”
“Memang kering sekali. Aku bisa menjamin bahwa kau
tidak akan menemukan setetes pun air di tempat ini,”
kata Siangkoan Kim-hong. “Di sini tidak pernah
disuguhkan, teh, arak, ataupun air. Bahkan setetes air
mata pun tidak pernah dicucurkan.”
“Bagaimana dengan darah? Adakah yang pernah
mencucurkan darah di sini?”
“Tidak pernah. Sekalipun ada orang yang ingin mati di
sini, darah mereka harus habis tercurah sebelum sampai

1473
di pintu itu. Jika aku tidak menginginkan orang masuk ke
sini, hidup ataupun mati, mereka tidak akan bisa masuk
ke sini.”
Li Sun-Hoan tertawa kecil. Katanya, “Sejujurnya, hidup di
tempat seperti ini pasti tidak nyaman. Tapi mati di sini,
tidak ada masalah.”
“O ya?”
“Karena tempat ini memang terasa seperti kuburan saja,”
kata Li Sun-Hoan ringan.
“Karena tampaknya kau suka mati di sini, akan
kukuburkan kau di sini juga,” kata Siangkoan Kim-hong
sambil tersenyum. Senyumnya terlihat sadis. Ia
menunjuk lantai tempat ia berdiri dan menambahkan,
“Aku akan menguburkanmu tepat di bawah sini. Jadi
setiap kali aku berdiri di sini, setiap kali aku akan tahu
bahwa Li Tamhoa ada di bawah kakiku, dan aku akan
merasa segar kembali.”
“Segar?”
“Kalau aku tidak selalu segar, suatu hari nanti mungkin
saja akulah yang akan berada di bawah kaki orang lain.
Tapi kalau aku terus mengingat akan kisahmu, aku akan
selalu berjaga-jaga.”
“Tapi kalau seseorang selalu segar dan berjaga-jaga
setiap saat, pasti ia akan merasa menderita.”

1474
“Aku tidak pernah merasa menderita. Sekalipun tidak
pernah selama hidupku ini,” kata Siangkoan Kim-hong
yakin.
“Mungkin karena kau pun tidak pernah merasa bahagia
selama hidupmu….. Aku sungguh ingin tahu, sebenarnya
untuk apakah kau hidup?” tanya Li Sun-Hoan.
Mata Siangkoan Kim-hong berkedip. Ia terlihat seperti
tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lalu ia menjawab,
“Ada orang-orang yang tidak tahu untuk apa mereka
hidup. Tapi yang lebih buruk lagi adalah orang-orang
yang tidak pernah tahu untuk apa mereka mati.”
“Hmmm?”
Siangkoan Kim-hong menatap Li Sun-Hoan dan berkata,
“Seperti kau ini. Kau tidak akan pernah tahu untuk apa
kau mati.”
“Sebenarnya, aku memang tidak pernah ingin tahu,” kata
Li Sun-Hoan.
“Mengapa tidak?”
“Karena aku tidak merasa bahwa kematian adalah
persoalan besar.”
Li Sun-Hoan tidak menunggu Siangkoan Kim-hong
menyahut. Ia melanjutkan lagi, “Di matamu, saat inipun
aku sudah mati, bukan?”

1475
“Kau memang sangat memahami dirimu,” kata Siangkoan
Kim-hong.
“Karena kematianku sudah tidak dapat dihindarkan,
mengapa harus pusing akan ini dan itu?”
Tiba-tiba Li Sun-Hoan duduk di lantai dan
menyelonjorkan kakinya dengan nyaman. Lalu ia
tersenyum dan berkata, “Kalau aku sekarang ingin
duduk, aku akan duduk. Kalau aku ingin memejamkan
mata, aku akan memejamkan mata. Apakah kau bisa
berbuat demikian?”
Siangkoan Kim-hong mengepalkan tangannya.
Kata Li Sun-Hoan lagi, “Ah, tentu saja kau tidak bisa,
karena kau masih kuatir akan begitu banyak hal. Kau
masih harus waspada terhadap diriku.”
Sambungnya, “Paling tidak, saat ini aku bisa hidup lebih
nyaman daripada engkau.”
Siangkoan Kim-hong tersenyum dan berkata, “Karena
aku sudah berjanji aku tidak akan membiarkan engkau
mati basah kuyup, tadinya aku berencana akan segera
menyerang setelah pakaianmu kering. Namun sekarang
aku berubah pikiran.”
“Oh?”
“Aku bukan hanya akan memberimu seperangkat pakaian
kering, aku juga akan memberimu seguci arak. Karena
perkataanmu itu sungguh menyenangkan bagi telingaku.

1476
Bisa mendengar perkataan seperti itu dari mulut seorang
mati, benar-benar menyenangkan,” kata Siangkoan Kimhong.
***
Liong Siau-in meringkuk di bawah selimutnya, tertidur
lelap. Di lantai terlihat beberapa jejak kaki yang basah
dan berlumpur.
Lilin masih menyala, namun cahayanya yang pudar
membuat kamar penginapan itu tampak semakin muram
dan tidak bergairah.
Perlahan-lahan Lim Si-im membuka pintu kamar dan
masuk ke dalam.
Langkah-langkah kaki seorang ibu memang selalu ringan.
Ia lebih suka terjaga semalaman daripada
membangunkan anaknya yang tercinta dari tidur
lelapnya.
Namun Liong Siau-in bukan anak-anak lagi. Ia lebih
dewasa daripada kebanyakan orang di dunia ini.
Walaupun begitu, dalam tidurnya ia masih terlihat seperti
seorang anak kecil yang lugu.
Wajahnya masih sangat muda, begitu pucat dan kurus.
Apapun yang telah dilakukannya, ia hanyalah seorang
anak yang kesepian, yang tidak tahu apa-apa. Masih
bingung dan tidak mengerti akan dunia di sekitarnya.

1477
Lim Si-im berjalan mendekati tempat tidur dan
menatapnya. Ia merasa kepahitan dalam hatinya.
Ini adalah putra tunggalnya, darah dagingnya. Satusatunya
tambatan hatinya di dunia ini.
Dulu, ia merasa lebih baik mati daripada harus berpisah
dengan anaknya.
Namun kini…..
Lim Si-im mengangkat lilin kecil itu dan masih beberapa
kali menoleh melihat kepadanya sekali lagi.
‘Aku hanya ingin memandangnya sekali lagi. Sekali lagi
saja. Karena di kemudian hari…..’
Ia sungguh takut berpikir akan hari depan. Ia tidak ingin
berpikir tentang hari depan.
Air mata tidak terbendung lagi dari matanya.
Walaupun mata Liong Siau-in tertutup rapat, air mata
pun mulai mengalir dari sana.
Badannya mulai menggigil. Apakah ia kedinginan?
Ataukah ia sedang bermimpi buruk?
Lim Si-im membungkuk, hendak merapikan selimutnya.
Ia terkejut ketika menyadari bahwa selimut itu basah.
Baju Liong Siau-in pun basah kuyup.

1478
Ia berusaha menenangkan dirinya. Katanya, “Jadi kau
pun pergi ke luar.”
Mata dan mulut Liong Siau-in terkatup rapat.
Tanya Lim Si-im, “Apakah kau membuntuti aku?”
Akhirnya Liong Siau-in menganggukkan kepalanya.
“Jadi kau sudah mendengar semua yang kukatakan?”
Tiba-tiba Liong Siau-in mengambil bungkusan dari bawah
selimutnya dan berteriak, “Ini, ambil saja.”
Lim Si-im mengerutkan keningnya dan bertanya, “Apa
ini?”
“Apa Ibu benar-benar tidak tahu apa ini? Bukankah Ibu
pulang kembali hanya untuk mengambilnya?”
Kesedihan tergurat di wajah Lim Si-im. Katanya,
“Aku…..Aku pulang untuk menjumpaimu.”
“Kalau bukan karena ini, apakah Ibu maih mau datang
untuk menjumpaiku?” kata Liong Siau-in dengan sinis.
Tiba-tiba ia membuka matanya dan menatap ibunya
lekat-lekat.
Kesedihan pun tergambar nyata di wajahnya. “Ibu sudah
memutuskan untuk meninggalkan aku. Jika bukan karena
ini, Ibu pasti sudah pergi sejak lama.”

1479
“Kau benar. Aku memang sudah memutuskan untuk
pergi ke tempat yang jauh. Tapi aku….”
Liong Siau-in memotong perkataannya dengan tajam,
“Ibu tidak perlu mengatakannya. Aku tahu ke mana Ibu
akan pergi.”
“Kau tahu?”
“Ibu akan pergi untuk menyelamatkan Li Sun-Hoan,
bukan?”
Kembali Lim Si-im terkejut mendengarnya.
“Ibu bermaksud untuk menggunakan ‘Ensiklopedi
LianHua’ untuk menyelamatkan Li Sun-Hoan, bukan?”
tanya Liong Siau-in menuduh.
Ia kembali menyorongkan bungkusan itu dan berkata,
“Lalu mengapa tidak segera Ibu ambil saja? Mengapa Ibu
masih saja di sini?”
Tubuh Lim Si-im seperti sempoyongan. Ia merasa hampir
tidak bisa berdiri tegak lagi.
Liong Siau-in terus berbicara dengan ketus, “Kalau Ibu
menunjukkan ‘Ensiklopedi LianHua’ ini kepada Siangkoan
Kim-hong, ia pasti akan bersedia menemuimu, karena ia
adalah orang yang suka belajar ilmu silat. Ia tidak akan
bisa menahan rasa ingin tahunya.”
Ia mengertakkan giginya dan melanjutkan, “Ibu
bermaksud menggunakan kesempatan ini untuk

1480
menyelamatkan Li Sun-Hoan, karena Ibu tahu tidaklah
mudah untuk menghadapi Siangkoan Kim-hong. Jadi Ibu
ingin mengulur waktu lebih lama lagi dengan
menggunakan kitab ini, supaya Li Sun-Hoan bisa hidup
sedikit lebih lama, supaya A Fei punya kesempatan untuk
datang dan menolongnya.”
Lim Si-im tidak bisa menjawab.
Liong Siau-in memang benar-benar cerdas. Ia seakanakan
dapat menembus pikiran ibunya.
Jadi sekarang Lim Si-im tidak bisa berkata apa-apa.
“Li Sun-Hoan selalu baik pada Ibu. Sampai-sampai
sekalipun Ibu mengorbankan anakmu sendiri, bahkan
mengorbankan nyawamu sendiri, tidak ada yang bisa
bilang bahwa Ibu salah.”
Suara Liong Siau-in semakin bergetar saat ia melanjutkan
perkataannya, “Tapi apakah Ibu pernah memikirkan
orang lain? Pernahkah Ibu memikirkan diriku? ANAKMU?
Aku...Aku…”
Lim Si-im merasa hatinya seperti ditusuk beribu-ribu
jarum. Ia hanya bisa meraih tangan anaknya dan
berkata, “Tentu saja aku memikirkanmu. Aku….”
Liong Siau-in mendorong tubuh ibunya kuat-kuat dan
berteriak marah, “Tentu saja Ibu memikirkanku. Ibu pasti
akan mengajakku pergi menemui mereka besok pagi,
bukan? Mereka tahu Ibu mengorbankan dirimu untuk

1481
mereka, jadi pastilah mereka akan bersedia
memeliharaku dan memperlakukanku dengan baik.”
Lanjutnya lagi, “Tapi bagaimana Ibu bisa yakin kalau itu
dapat menyelamatkan dia? Kalau Ibu mati di
hadapannya, bukankah hatinya akan menjadi semakin
galau? Dan sekalipun A Fei sempat datang untuk
menolongnya, mungkin saja ia tidak akan sanggup
bertahan.”
Lim Si-im pun mulai gemetar.
Kata Liong Siau-in, “Dan sekalipun ia bisa selamat, dan ia
bersedia untuk memeliharaku, aku tidak akan ikut
dengan dia. Aku tidak ingin melihat dia sama sekali!”
“Mengapa?” tanya Lim Si-im.
“Karena aku sangat membencinya!”
“Tapi kau telah mempelajari…..”
Liong Siau-in memotongnya cepat, “Aku tidak
membencinya karena ia telah memusnahkan ilmu
silatku.”
“Lalu kenapa kau membencinya?”
“Aku benci karena bukan dia yang menjadi ayahku!
Mengapa dia bukan ayahku? Mengapa aku tidak bisa
menjadi anaknya? Kalau saja ia adalah ayahku, ia tidak
mungkin meninggalkan aku dan segala sesuatu tidak
mungkin jadi seperti ini!”

1482
Lalu ia menelungkup di tanah dan menangis menjadijadi.
Hati Lim Si-im hancur berkeping-keping. Seluruh
tubuhnya luluh lantak.
Ia tiba-tiba merasa tidak sanggup lagi berdiri dan jatuh
terduduk ke kursi di sampingnya.
‘Kalau saja anak ini adalah anaknya, kalau saja ia adalah
suamiku…..”
Belum pernah sebelumnya ia berani berpikir seperti itu.
Namun jauh dalam relung hatinya yang tergelap,
bagaimana mungkin ia tidak diam-diam
mengharapkannya?
Seorang anak dari pasangan yang tidak bahagia akan
lebih lagi tidak berbahagia dan menderita lebih banyak
lagi.
Kesalahannya hanya terletak pada orang tua, bukan pada
anak. Namun, mengapa ia harus ikut menderita
penghukuman dan ketidakbahagiaan dengan mereka?
Lim Si-im berusaha menguatkan dirinya untuk bangkit
berdiri dan berjalan mendekati anaknya. Air mata telah
berderai membasahi seluruh wajahnya. Katanya,
“Anakku, aku telah begitu bersalah padamu…. Sungguh
bersalah padamu…… Dengan orang tua seperti kami,
pasti sangatlah sulit bagimu menjadi seorang anak…..”

1483
Tiba-tiba terdengar suara bergetar yang parau dari balik
jendela.
“Kau tidak bersalah sama sekali. Akulah yang bersalah.”
Liong Siau-hun.
Tidak akan ada yang bisa mengenalinya. Ia kelihatan
begitu lusuh dan lelah.
Ia berdiri di depan pintu, takut untuk melangkah masuk.
Liong Siau-in mengangkat kepalanya. Bibirnya bergerakgerak,
seolah-olah hendak memanggil ‘Ayah’.
Namun suaranya tidak bisa keluar!
Liong Siau-hun mendesah dan berkata, “Aku tahu bahwa
kau tidak lagi menginginkan aku sebagai ayahmu.”
Lalu ia menoleh pada Lim Si-im, katanya, “Dan aku tahu
kau tidak lagi menginginkan aku sebagai suamimu.
Hidupku sungguh tidak berarti.”
“Kau….”
Ia tidak membiarkan Lim Si-im melanjutkan. Segera ia
berkata, “Tapi aku sungguh telah mencoba sekuat
tenaga menjadi ayah yang baik, menjadi suami yang
baik. Tetapi kelihatannya aku sudah gagal, semua yang
kulakukan adalah salah besar.”
Lim Si-im hanya menatapnya.

1484
Liong Siau-hun adalah lelaki yang tenang dan tegas.
Selalu penuh vitalitas dan energi.
Namun sekarang?
Rasa kasihan memenuhi hatinya. Kata Lim Si-im, “Aku
pun telah bersalah kepadamu. Aku bukan istri yang
baik.”
Liong Siau-hun tertawa. Tawa yang pahit. “Itu bukan
kesalahanmu. Semuanya adalah kesalahanku. Jika aku
tidak pernah berjumpa denganmu, jika aku tidak pernah
berjumpa dengan Li Sun-Hoan, semuanya tidak akan jadi
begini. Semua orang akan hidup bahagia dan sejahtera.”
Apakah nasibnya sungguh berubah karena satu peristiwa
itu?
Jika ia tidak pernah bertemu dengan Li Sun-Hoan,
apakah ia tidak akan pernah menjadi seperti ini?
Lim Si-im mulai menangis lagi. Katanya, “Apapun yang
telah kau perbuat, itu adalah untuk melindungi
keluargamu, untuk melindungi istri dan anakmu.
Jadi….itu bukanlah kesalahan. Aku sungguh-sungguh
tidak menyalahkanmu.”
Kata Liong Siau-hun, “Kalau kita berdua tidak bersalah,
lalu siapa yang salah?”
Lim Si-im memandang keluar, ke malam hujan yang
gelap. “Siapa yang salah….? Siapa yang salah….?”

1485
Ia tidak menemukan jawabannya.
Tidak seorang pun tahu jawabannya.
Ada banyak hal dalam hidup ini yang tidak akan pernah
dimengerti oleh manusia. Yang tidak akan diketahui
jawabannya.
Kata Liong Siau-hun, “Sebenarnya aku berencana untuk
tidak menemui kalian berdua lagi. Karena kaulah yang
pergi kali ini, kupikir kau akan pergi untuk selamalamanya.
Itulah sebabnya aku tidak berusaha memohon
padamu untuk tetap tinggal….”
Ia mengeluh panjang dan air matanya pun mulai
menetes. “Aku tahu bahwa yang telah kuperbuat telah
menyakitimu, telah membuatmu sangat kecewa. Tapi
aku sungguh tidak bisa untuk tinggal diam. Aku harus
mengikuti kalian. Walaupun hanya bisa memandang
kalian dari kejauhan, itu sudah cukup bagiku.”
Tangis Lim Si-im tidak tertahan lagi. “Jangan katakan
lagi…..jangan…..”
Liong Siau-hun menganggukkan kepalanya dan berkata,
“Memang aku seharusnya tidak banyak bicara lagi.
Apapun yang kukatakan, sudah terlambat.”
Kata Lim Si-im, “Kau tahu bahwa aku berhutang begitu
banyak kepadanya. Aku tidak bisa membiarkannya mati
begitu saja.”

1486
Kata Liong Siau-hun, “Aku pun berhutang banyak
kepadanya. Oleh sebab itulah, aku minta kau
menyerahkan persoalan ini kepadaku.”
Sepertinya ia telah membulatkan tekad.
“A…Apa yang akan kau perbuat? Jangan katakan….”
Tiba-tiba Liong Siau-hun menutup Hiat-to (jalan darah)
Lim Si-im. “Kau tidak boleh mati, kau tidak bisa mati.
Akulah yang harus mati. Semakin lama aku hidup,
semakin banyak orang yang akan menderita. Jika aku
mati, semua orang akan menjadi lebih baik.”
Ia segera merebut ‘Ensiklopedi LianHua’ dan berlari
keluar.
Dari kejauhan, terdengar suaranya sayup-sayup,
“Anakmu, jagalah ibumu baik-baik. Tentang ayahmu
yang tidak berguna ini…..terserah padamu apakah kau
mau menerimanya atau tidak.”
Mata Liong Siau-in menatap nanar air hujan di luar.
Ia tidak lagi menangis.
Namun sorot matanya terlihat jauh lebih menyedihkan
daripada air mata.
Begitu lama ia terkesima. Lalu tiba-tiba ia berteriak
keras, “Ayah, aku menerimamu! Hanya kaulah seorang
yang pantas menjadi ayahku! Hanya kau seorang yang

1487
bisa kuanggap ayah! Selain engkau, tidak ada, tidak
ada…..”
Ini adalah penyesalan seorang anak terhadap ayahnya.
Suatu ikatan yang kuat antara ayah dengan anak, yang
tidak bisa digantikan oleh apapun juga di dunia ini.
Sayang sekali, ayahnya tidak akan dapat mendengar
perkataan itu.
Semua orang akan mengalami saat pencerahan yang
tiba-tiba itu.
Apakah ia baru mengerti setelah terbentur oleh jalan
buntu? Atau karena ia memang memiliki rasa hormat
yang murni?
Darah lebih kental daripada air.
Hanya darah yang dapat menghapuskan segala
kebencian dan kehinaan.
Bahkan hidup ini pun dimulai dari darah.
Bab 86. Menebus Dosa dengan Darah
Sebuah halaman yang luas dan lega.
Halaman itu tidak jauh berbeda dari halaman rumah
keluarga-keluarga kaya yang lain.

1488
Namun sekali orang menjejakkan kaki di tangga yang
menuju ke pintu utama, orang itu pasti akan merasakan
kekelaman dan aura kematian yang menyelimutinya.
Liong Siau-hun menapaki anak tangga itu.
Di halaman depan, suasana begitu hening, tidak seorang
pun nampak di sana. Namun begitu ia melangkahkan
kaki di anak tangga itu, sekelompok orang segera
mengepungnya.
Delapan belas orang yang berjubah kuning. Liong Siauhun
tidak bisa melihat wajah mereka.
Tapi itu memang tidak penting. Memang tidak penting
tahu siapakah mereka satu per satu. Anggota Kim-cipang
semuanya sama saja.
Mereka tidak punya mulut, karena mereka tidak perlu
bicara. Sekalipun mereka bicara, yang keluar adalah
suara Siangkoan Kim-hong.
Mereka tidak punya mata, karena mereka tidak perlu
melihat. Apa yang mereka lihat adalah apa yang
diinginkan oleh Siangkoan Kim-hong untuk mereka lihat.
Mereka hanya memiliki sepasang telinga kecil, karena
satu-satunya suara yang perlu mereka dengar adalah
suara Siangkoan Kim-hong.
Kelihatannya mereka pun tidak punya lagi jiwa. Itulah
yang membuat mereka selalu bekerja dengan cepat.

1489
Oleh sebab itu, dalam sekejap saja, mereka telah
mengelilingi Liong Siau-hun.
Liong Siau-hun menarik nafas dalam-dalam dan berkata,
“Ah, jadi memang di sinilah Markas Besar Kim-ci-pang.”
“Siapa kau? Apa kerjamu di sini?”
“Aku mencari seseorang.”
“Siapa yang kau cari?”
“Apakah Siangkoan Kim-hong pangcu telah kembali?”
tanya Liong Siau-hun.
Nama ‘Siangkoan Kim-hong’ sepertinya dapat
memcengkeram jiwa mereka. Ketika mereka mendengar
nama itu disebut, langsung berubahlah perangai mereka.
“Pangcu belum kembali. Dan kau adalah…..”
“Aku harus menemui dia. Ada sesuatu yang harus
kuberikan kepadanya.”
“Tunggulah sebentar. Pangcu sedang menemui tamu
saat ini.”
Liong Siau-hun kembali mendesah. “Apakah saat ini ia
sedang bersama dengan Li Sun-hoan?”
“Ya.”
“Kalau begitu, aku harus menemuinya sekarang juga.”

1490
“Bolehkah kami mengetahui nama Tuan yang
terhormat?”
“Margaku Liong, dan aku mempunyai sesuatu yang
sangat penting yang harus kuberikan kepadanya
sekarang juga. Jika kalian berani mencampuri urusan
yang maha penting ini, apakah bahu kalian cukup kuat
untuk menanggung akibatnya?”
“Jadi margamu Liong….. Apakah kaulah yang
mengangkat saudara dengan Pangcu beberapa hari yang
lalu?”
“Ya.”
Ketika kata ‘Ya’ itu keluar dari mulutnya, kilatan pedang
yang dingin segera menyambar.
Sebilah pedang dan dua golok menyerang ke arahnya
secara bersamaan.
Liong Siau-hun berseru, “Apa-apaan ini?”
Walaupun suaranya keras dan jelas, tidak ada seorang
pun yang mengindahkannya. Tidak ada seorang pun
yang menjawabnya.
Liong Siau-hun pun mengaum dan meninju ke depan.
Ilmu silatnya tidak lemah, tinjunya sangat cepat dan
penuh tenaga. Satu tinju yang membawa keganasan
seekor macan.

1491
Namun ia hanya memiliki sepasang tinju.
Musuhnya memiliki dua puluh dua macam senjata,
termasuk kait, pedang kembar, cambuk ganda, sepasang
potlot.
Potlot adalah senjata yang terpendek, namun juga yang
paling berbahaya. Orang yang menggunakannya adalah
murid ‘Si Pedang Hidup dan Mati’ yang legendaris,
seorang ahli jalan darah. Dalam Kitab Persenjataan orang
ini tidak berada di bawah ‘Si Palu Hujan dan Angin’,
Xiang Song.
Pedangnya adalah Pedang Pinus Menyambar. Arahnya
selalu tersembunyi di balik jurus-jurusnya. Serangannya
selalu fatal, dan kekuatannya bergerak mendahului
pedangnya.
Di antara para ahli pedang di dunia, tidak lebih dari
sepuluh orang yang dapat menandinginya.
Tapi yang paling ganas adalah golok.
‘Golok Sembilan Cincin’. Gema dari cincin-cincin yang
saling bertabrakan itu dapat mengguncangkan jiwa.
Liong Siau-hun segera tersekap dalam libatan angin
golok itu.
Potlot Sang Hakim pun berhasil menutup salah satu jalan
darah Liong Siau-hun.
Tidak ada suara nafas, yang terdengar hanya jerit
kesakitan.

1492
Karena leher Liong Siau-hun telah tertembus. Suara yang
akan keluar pun jadi tertahan dan putus.
Hanya ada darah.
Darah yang muncrat dari lehernya bagaikan anak panah
mencelat ke atas.
Ia langsung tumbang ke tanah.
Darah membasahi seluruh tubuhnya.
Ia sudah mati sebelum sempat memejamkan matanya.
Matanya masih menatap orang-orang itu. Bola matanya
melotot.
Walaupun ia memang datang untuk mati, mengapa
mereka tidak membiarkannya bertemu dengan
Siangkoan Kim-hong walau sebentar saja?
Karena perintah yang mereka terima adalah ‘Bunuh Liong
Siau-hun di tempat’!
Dan ini adalah perintah Siangkoan Kim-hong!
Perintah Siangkoan Kim-hong kokoh bagaikan gunung.
Kini ‘Ensiklopedi LianHua’ tergeletak begitu saja, basah
oleh darah.
Tidak seorang pun meliriknya.

1493
Siapa yang akan tertarik oleh benda yang dimiliki Liong
Siau-hun?
Jadi inilah nasib akhir ‘Ensiklopedi LianHua’ yang begitu
misterius itu. Berakhir sama seperti banyak kitab ilmu
silat hebat yang lain, hilang untuk selama-lamanya.
Apakah ini kemalangan umat manusia? Atau malah
keberuntungannya?
Kitab itu dibawa pergi bersama dengan jenazah Liong
Siau-hun.
Anggota Kim-ci-pang memang sangat lihai dalam
melenyapkan tubuh orang mati. Mereka punya cara
tersendiri yang unik untuk melenyapkan jenazah itu.
Manusia itu memang unik.
Mereka bisa mengorbankan banyak hal untuk mencapai
sesuatu, namun hal-hal yang berada di depan hidung
mereka sendiri, terkadang tidak terlihat.
Apakah ini kebodohan manusia? Atau malah
kebijakannya?
***
A Fei tidak punya pedang lagi.
Namun itu tidaklah penting, karena tiba-tiba saja ia
dipenuhi oleh rasa percaya diri dan semangat yang
membara.

1494
Di tepi jalan ada sebuah hutan bambu kecil. Dan dari
tempat ia berdiri saat itu, ia dapat melihat halaman
Markas Besar Kim-ci-pang.
A Fei mematahkan satu cabang bambu dan
membelahnya menjadi tiga bagian memanjang. Ia
mengasah salah satu ujungnya dan membalutkan kain di
ujung yang lain.
Gerakannya sungguh cepat dan akurat. Tidak ada tenaga
yang terbuang percuma.
Tangannya pun kokoh dan kuat.
Sun Sio-ang memandanginya dari samping. Ia merasa
sangat aneh, tapi sangat tertarik juga.
Tapi mau tidak mau ia mulai merasa ragu. Ia memungut
salah satu pedang bambu itu dan merasakan ringannya,
bagaikan selembar daun willow.
Lalu ia berseru tertahan, “Apakah pedang semacam ini
cukup untuk menghadang Siangkoan Kim-hong?”
Bab 87. Lahir Kembali
A Fei terdiam sekejap, lalu menjawab, “Tidak ada pedang
yang cukup baik untuk bisa menghadang Siangkoan Kimhong.”
Sun Sio-ang pun merenung sejenak dan menyahut,
“Lalu…..apa yang harus kita perbuat untuk
mengalahkannya?”

1495
A Fei tidak menjawab.
A Fei tahu apa yang harus diperbuat untuk mengalahkan
Siangkoan Kim-hong, namun kata-kata tidak bisa keluar
dari mulutnya.
Ada banyak kata-kata di dunia ini yang tidak bisa keluar
dari mulut manusia.
Sun Sio-ang mengeluh, katanya, “Dan kau pun harus
menghadapi banyak orang di samping Siangkoan Kimhong.”
Tanya A Fei, “Aku hanya ingin tahu, apakah kau yakin
bahwa Siangkoan Kim-hong memang ada ke sini?”
“Kurasa dugaanku cukup akurat.”
“Mengapa?”
“Karena di sini, ia bisa berbuat apa saja tanpa diketahui
orang luar.”
Tanya A Fei, “Bisa mengalahkan Li Sun-hoan adalah
prestasi yang sangat membanggakan. Mengapa ia ingin
menyembunyikannya dari orang lain?”
“Kalau seseorang sedang menikmati apa yang
disukainya, ia tidak ingin dilihat oleh siapapun juga.”
“Aku tidak mengerti.”

1496
Sun Sio-ang berusaha menjelaskan, “Apa makanan yang
paling kau sukai?”
“Aku suka semua makanan sama saja.”
“Kalau aku, aku sangat suka kacang kenari. Setiap kali
aku makan kacang kenari, rasanya seperti berada di
nirwana. Terlebih lagi di malam musim salju yang dingin.
Aku suka bersembunyi dan menikmati kacang kenariku
sendirian.”
Ia terkikik geli dan melanjutkan, “Tapi kalau ada orang di
sampingku yang melihat aku makan, kacang kenari itu
jadi tidak senikmat kalau aku makan sendirian.”
“Jadi maksudmu Siangkoan Kim-hong menganggap
bahwa membunuh Li Sun-hoan adalah suatu
kenikmatan?”
Sahut Sun Sio-ang, “Itulah sebabnya, aku pun yakin
bahwa Siangkoan Kim-hong tidak akan membunuh Li
Sun-hoan dengan segera.”
“Kenapa?”
“Kalau aku hanya punya sebuah kacang kenari, tentu
saja aku akan lambat-lambat memakannya. Semakin
lambat aku makan, semakin lama kenikmatan itu dapat
kurasakan. Karena aku tahu, berat rasanya setelah
kacang kenari itu habis.”
Perasaan yang hampa.

1497
Namun ia tidak sanggup menucapkan kata ‘hampa’ itu.
Lanjut Sun Sio-ang, “Di mata Siangkoan Kim-hong, hanya
ada satu Li Sun-hoan di dunia ini. Setelah ia
membunuhnya, ia pasti akan merasa sama seperti aku
setelah memakan kacang kenariku yang terakhir. Tapi
aku tahu akan lebih berat lagi Siangkoan Kim-hong.”
Perlahan A Fei menyelipkan pedang bambu itu di ikat
pinggangnya. Tiba-tiba ia tersenyum dan berkata,
“Kurasa tidak akan berat perasaanku setelah
membunuhnya.”
Sebelum kalimatnya selesai, ia telah melangkah pergi
dengan cepat.
Ia tidak berlari tergesa-gesa karena ia ingin siap pada
saat sampai di sana. Dalam menghadapi orang seperti
Siangkoan Kim-hong, persiapan adalah kunci utama.
Tibalah ia di pekarangan itu. Lalu A Fei menegangkan
ototnya dan melemaskannya kembali dengan perlahanlahan.
Ini adalah cara yang terbaik untuk menenangkan
dan mempersiapkan diri.
Akhirnya ia melangkah menapaki anak tangga dan
menuju ke pintu gerbang itu.
Tiba-tiba, entah dari mana beberapa orang bermunculan
– semuanya ada delapan belas orang, semuanya
berjubah kuning.

1498
Mereka adalah pasukan garis depan Kim-ci-pang. Ilmu
silat mereka semua sulit ditemukan tandingannya.
A Fei menarik nafas panjang dan berkata, “Walaupun aku
tidak ingin membunuh, aku tidak bisa bertoleransi pada
orang yang menghadang jalanku.”
Seseorang menjawab dengan suara dingin, “Aku tahu
siapa kau! Dan memangnya kenapa kalau kami
menghadang jalanmu?”
“Maka kau akan mati!”
Suara itu tertawa mengejek. “Membunuh anjing pun kau
tidak akan mampu!”
Sahut A Fei tenang, “Aku tidak suka membunuh anjing,
dan kau pun bukan anjing.”
Tidak ada kelebat sinar yang tampak, karena pedang
bambu memang tidak memantulkan cahaya.
Namun pedang bambu pun bisa membunuh. Paling tidak,
di tangan A Fei pedang bambu pun bisa membunuh.
Sebelum tawa orang itu selesai, pedang bambu itu telah
menembus lehernya.
Tapi sekarang, pedang bambu itu malah tampak
berkilauan.
Berkilau karena tetes-tetes darah segar!

1499
Sepasang Potlot Sang Hakim, Kait Kembar, Golok
Sembilan Cincin, dan lima senjata yang lain menyerbu A
Fei dengan tenaga serangan yang hebat.
Sepasang goliong menyambar cepat ke arah pedang
bambunya.
Sun Sio-ang merasa agak kuatir. Ia tahu bahwa
pengalaman tempur A Fei kurang baik. Ia selalu
menghadapi musuhnya satu lawan satu. Sangat jarang ia
dikepung dan diserang oleh beberapa orang sekaligus.
Pedangnya memang cukup cepat untuk menghadapi satu
lawan, namun apakah cukup cepat juga untuk
menghadapi banyak lawan sekaligus?
Sun Sio-ang ingin sekali bergegas ke sana untuk
memberikan bantuan.
Namun sebelum ia sempat bergerak, ia telah melihat tiga
orang tergeletak di tanah.
Sun Sio-ang bisa bersumpah bahwa ia melihat sepasang
golok itu menebas pedang bambu A Fei, tapi entah
bagaimana, yang tergeletak di tanah itu bukanlah A Fei.
Hanya si pemegang Potlot Sang Hakim yang mengetahui
apa sebabnya.
Jurus menutup jalan darahnya selalu sangat akurat, dan
juga bertenaga besar. Ia yakin sekali, jurusnya akan
mengenai tubuh A Fei.

1500
Tapi beberapa saat saja sebelum potlot di tangannya
mengenai tubuh A Fei, ia merasa seluruh tenaganya
lenyap.
Pedang bambu A Fei telah menembus lehernya.
A Fei hanya lebih cepat sekejap saja daripada dia.
Tapi sekejap itulah yang menentukan.
Akhirnya, Sun Sio-ang pun terjun dalam pertempuran itu.
Tubuhnya menelusup dengan lincah ke sana kemari,
bagaikan seekor kupu-kupu yang cantik.
Di antara jago-jago wanita dalam dunia persilatan,
banyak yang berilmu tinggi dalam hal meringankan tubuh
dan senjata rahasia, karena keduanya tidak memerlukan
banyak tenaga. Sangat jarang ditemukan jago wanita
yang ahli dalam hal tenaga dalam dan pukulan telapak
tangan.
Sun Sio-ang pun tidak terkecuali.
Senjata rahasianya terbang melesat dengan cepat,
namun gerakan tubuhnya lebih cepat lagi. Posisi
langkahnya tidak lazim dan sangat rumit. Tidak mungkin
ada orang yang bisa menangkapnya.
Ia masih yakin bahwa ilmu pedang A Fei hanya bisa
digunakan untuk menghadapi satu lawan dan tidak cukup
jika digunakan untuk melawan banyak orang.

1501
Cara A Fei memainkan pedangnya memang sangat unik.
Sama sekali berbeda dari ilmu-ilmu pedang dari
perguruan besar yang sering kita lihat.
Karena dalam jurusnya tidak ada menebas atau
memotong. Yang ada hanya menusuk.
Hanya menusuk untuk membunuh.
Tapi entah bagaimana, A Fei dapat menusuk ke segala
arah, dan ia dapat menusuk dari berbagai posisi.
Tusukannya bisa dimulai dari dadanya, kakinya, bahkan
telinganya!
Ia dapat menusuk ke depan, ke belakang, ke kiri, ke
kanan.
Tiba-tiba seseorang berguling ke arahnya dari belakang,
dan bagaikan badai salju, berbagai macam senjata pisau
beterbangan ke arah A Fei.
Golok Penjelajah Bumi!
Ilmu golok ini sungguh sulit dipelajari, namun jika
seseorang berhasil menguasainya dengan baik,
kekuatannya bukan main-main.
Tapi A Fei seakan-akan mempunya mata di belakang
kepalanya. Dengan lincah ia berkelit dari tombak yang
menusuk dari depan dan melontarkan tusukan kuat dari
bawah pinggangnya ke belakang, menusuk orang yang

1502
menggunakan jurus Golok Penjelajah Bumi itu. Tepat di
lehernya!
Pada saat yang sama, seseorang melompat ke depan
dari belakang si pemegang tombak. Dengan senjata di
kedua belah tangannya, ia mengeluarkan jurus
‘Mendorong Gunung Maju ke Depan’ ke arah A Fei.
Jurusnya sangat unik, dan senjatanya lebih unik lagi.
Senjatanya adalah ‘Gada Emas Sayap Burung Hong’.
Senjata ini sangat jarang dijumpai. Gagangnya dipenuhi
oleh duri-duri tajam. Walaupun gada itu biasanya
digunakan untuk memukul, tapi bisa juga digunakan
untuk mengangkat dan melukai musuh dengan ujungnya.
Orang yang tidak beruntung, yang terkena serangan
senjata ini, pastilah tubuhnya akan terkoyak habis.
Seharusnya A Fei segera melompat ke belakang untuk
menghindari serangan itu.
Tapi jika ia melakukannya, ia akan kehilangan
momentum menyerang, dan beberapa senjata yang lain
bisa melukainya!
Tapi sudah tentu ia tidak bisa balik menyerang secara
langsung. Gada Emas Sayap Burung Hong dapat
merobek-robek tubuhnya dengan mudah.
Ini terlihat jelas bagi siapapun yang menyaksikan.

1503
Tapi pada saat A Fei kelihatannya sudah di ujung tanduk,
tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara.
Sun Sio-ang sempat melihatnya dari sudut matanya dan
ia memekik tertahan.
Pada saat itulah, pedang A Fei menusuk ke bawah dari
kakinya. Sepasang gada itu pun teracung ke atas.
Bsst! Ujung pedang bambunya telah tertancap di leher
lawannya.
Gada Emas Sayap Burung Hong itu hanya terpaut
beberapa inci saja dari dada A Fei. Namun orang yang
memegangnya tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh di
lehernya dan ia pun tersungkur ke tanah. Dengan
segenap kekuatannya sekalipun, ia tidak bisa
mengacungkan gadanya lebih ke atas sedikit lagi.
Bola matanya seolah-olah akan melompat keluar. Ia tidak
bisa lagi mengendalikan otot-otot di tubuhnya. Dari
pinggang ke bawah, rasanya terasa sangat dingin.
Kakinya lemah lunglai dan ia pun tersungkur ke tanah.
Hanya wajah ketakutannya yang masih terpatri di situ.
Ia tidak bisa percaya ada pedang secepat dan seakurat
itu dalam dunia ini!
Tapi kini ia pun tidak mungkin lagi dapat memungkirinya.
Tiba-tiba, keheningan mencekam segala penjuru. Tidak
seorang pun bergerak lagi.

1504
Semuanya terpana memandang kematian Si Gada Emas
Sayap Burung Hong yang mengenaskan itu. Semuanya
bisa mencium bau anyir yang keluar dari tubuhnya yang
mati.
Beberapa dari mereka mulai bergolak perutnya, serasa
ingin muntah.
Tapi mereka bukan ingin muntah karena bau anyir itu.
Mereka muntah karena tercekam rasa takut. Seolah-olah
baru saat itulah mereka tahu betapa mengerikan dan
mengenaskannya ‘kematian’ itu.
Bukan karena mereka takut mati. Hanya saja mati
dengan cara seperti itu sungguhlah mengenaskan.
A Fei pun tidak melanjutkan serangannya. Ia berlalu dari
kerumunan orang itu.
Ada sembilan orang yang tersisa, dan pandangan
kesembilan pasang mata itu mengikuti langkah A Fei saat
ia berlalu dari situ.
Salah seorang dari mereka membungkukkan badannya
dan mulai muntah-muntah. Seorang yang lain menjerit
seram. Seorang yang lain lagi tersungkur ke tanah dan
kejang-kejang.
Ada juga yang segera berlari ke kamar kecil.
Bagaimana Sun Sio-ang dapat menahan diri untuk tidak
menangis dan tidak ikut muntah-muntah? Hatinya
sungguh dicekam oleh ketakutan yang sangat, juga oleh

1505
kesedihan. Ia tidak bisa mengerti mengapa hidup
manusia bisa tiba-tiba menjadi begitu tidak berharga dan
rendah.
A Fei terus melangkah maju dengan pedang di
tangannya.
Darah masih menetes dari ujungnya.
Pedang ini bukan saja dapat merenggut nyawa manusia,
namun juga bisa melucuti harga dirinya.
Pedang yang sangat kejam!
Namun bagaimana dengan si ahli pedang?
Sebuah pintu besar menyambutnya di ujung sana.
Pintu itu tertutup rapat, dan terkunci dari dalam.
Ini adalah kediaman pribadi Siangkoan Kim-hong. Ia
sedang menunggu di dalam. Demikian pula Li Sun-hoan.
Siangkoan Kim-hong belum keluar. Artinya Li Sun-hoan
belum mati.
Sun Sio-ang penuh dengan rasa suka cita dan ia pun
segera menghambur ke depan pintu itu.
Tapi tubuhnya mendadak mengejang!

1506
Pintu itu terbuat dari besi, dan paling tidak tebalnya satu
kaki. Tidak ada seorang pun di seluruh dunia ini yang
dapat menjebolnya.
Dan sudah tentu, Siangkoan Kim-hong pun tidak akan
begitu saja membuka pintu dan mempersilakan mereka
masuk.
Sun Sio-ang merasa kepalanya berkunang-kunang,
seakan-akan ia baru saja melangkah dari tepi jurang ke
dalam neraka yang tidak berujung.
Ia tidak sanggup berdiri tegak lagi, dan ia pun tersungkur
di depan pintu itu. Ia pun menangis meraung-raung.
Rencananya sudah gagal. Seluruh usahanya tidak
membuahkan hasil apapun.
Mungkin lebih baik kalau ia sudah gagal di permulaan.
Tapi, ia sudah berhasil sampai sejauh ini dan tiba-tiba
saja harapannya putus begitu saja. Sungguh
menyakitkan.
Kekecewaan semacam ini sangat sulit untuk ditanggung.
A Fei yang tadinya berdiri dengan tenang, kini meraung
bagaikan binatang buas yang terluka, dan dengan
kekuatan penuh ia menyeruduk ke arah pintu besi itu.
Namun ia langsung terpental, lalu tersungkur pula ke
tanah. Dengan cepat ia kembali berdiri dan menusukkan
pedangnya dengan sekuat tenaga.

1507
Pedang bambu itu pun patah menjadi dua.
Tidak ada sebilah pedang pun yang dapat menembus
pintu besi itu, apalagi sebilah pedang bambu!
Bab 88. Kemenangan dan Kekalahan
Kaki A Fei tertekuk saat ia tersungkur dan tubuhnya
mulai mengejang. Baru ia sadar bahwa mereka tidak
punya jalan keluar yang lain lagi. Perasaan itu
membuatnya menjadi setengah linglung.
Namun sudah percuma untuk menangis menggerunggerung
sekalipun.
Li Sun-hoan berada di balik pintu besi ini, disiksa
perlahan-lahan menantikan kematiannya.
Dan apa yang bisa dilakukan kedua sahabatnya hanyalah
menunggu dengan pasrah di luar.
Tapi apakah sebenarnya yang mereka tunggu? Apakah
mereka menunggu Siangkoan Kim-hong membuka pintu
itu?
Jika Siangkoan Kim-hong membuka pintu, itu berarti
hidup Li Sun-hoan telah berakhir.
Jadi apa yang mereka nantikan? Mereka sedang
menantikan suatu kematian.

1508
Tidak mungkin Siangkoan Kim-hong akan menyayangkan
nyawa mereka pula. Saat Siangkoan Kim-hong keluar
dari pintu itu adalah saat mereka menandatangani surat
kematian mereka.
Sun Sio-ang berlari ke arah A Fei dan berusaha menarik
A Fei bangun.
“Ayo, cepatlah lari,” kata Sun Sio-ang.
“Kau…..Kau menyuruh aku lari?”
“Tidak ada lagi yang dapat kau lakukan sekarang,
aku…..”
Tanya A Fei, “Bagaimana dengan engkau?”
Sun Sio-ang menggigit bibirnya dan berpikir lama. Lalu ia
menunduk dan berkata, “Situasiku berbeda.”
“Berbeda?”
“Aku sudah memutuskan sejak lama bahwa jika ia mati,
aku pun tidak akan hidup tanpa dia. Tapi kau…..”
Kata A Fei, “Aku memang tidak bermaksud ikut mati
menemani dia.”
“Oleh sebab itulah kau harus secepatnya lari.”
“Aku pun tidak bermaksud untuk lari.”
“Kenapa?”

1509
Jawab A Fei singkat, “Kau pasti tahu kenapa.”
Kata Sun Sio-ang, “Aku mengerti, kau pasti ingin
membalaskan kematiannya. Tapi itu kan tidak harus
sekarang. Kau bisa menunggu….”
“Aku tidak bermaksud untuk menunggu.”
“Tapi jika kau tidak menunggu, maka…..maka…..”
Tanya A Fei, “Maka apa?”
Bibir Sun Sio-ang mulai berdarah.
Serunya lantang, “Maka kaulah yang akan mati!”
A Fei memandangi bekas noda darah di pedang
bambunya.
Darah itu sudah kering.
Kata Sun Sio-ang, “Aku tahu, apapun yang akan terjadi,
kau akan tetap mencoba. Tapi usahamu akan sia-sia
belaka.”
Kata A Fei, “Dan apa gunanya juga kau menunggu di sini
untuk mati bersama dengan dia?”
Sun Sio-ang tidak punya jawaban.

1510
Kata A Fei lagi, “Kau menunggu di sini karena kau tahu
bahwa ada hal-hal tidak akan berhasil, namun tetap saja
harus kau lakukan.”
Sun Sio-ang akhirnya mengeluh panjang dan berkata,
“Makin lama perkataanmu semakin mirip dengan
perkataannya.”
A Fei terdiam dan menganggukkan kepalanya.
Ia mengakuinya. Tidak mungkin ia menyangkalnya.
Setiap orang yang pernah berteman dengan Li Sun-hoan
tidak mungkin tidak terimbas oleh sikapnya yang tidak
pernah mementingkan diri sendiri.
Jika ia tidak pernah bertemu dengan Li Sun-hoan,
mungkin A Fei telah kehilangan kepercayaan terhadap
sesama manusia sejak lama.
‘Jangan percaya kepada siapapun juga, dan jangan
pernah menerima kebaikan orang lain; kalau kau tidak
menurutinya, hidupmu akan penuh dengan berbagai
macam penderitaan.’
Ibu A Fei harus menanggung duka dan derita seumur
hidupnya. Tidak pernah sekalipun A Fei melihat ibunya
tersenyum. Ia telah meninggal dalam usia muda,
mungkin karena ia telah putus harapan dalam hidupnya.
‘Aku bersalah kepadamu. Seharusnya aku menunggu
sampai kau dewasa, baru aku meninggalkan dunia ini.
Tapi aku sungguh tidak tahan lagi, aku merasa sangat

1511
lelah…. Maafkan aku, aku tidak dapat meninggalkan apaapa
untukmu, hanya sedikit pesan ini saja. Aku harus
hidup menderita seumur hidupku untuk mempelajarinya,
jadi jangan pernah lupa akan pesanku ini.’
A Fei tidak pernah lupa akan pesan ibunya.
Waktu ia meninggalkan alam bebas dan masuk ke dalam
kehidupan bermasyarakat, ia tidak sedang berusaha
mencari penghidupan yang lebih baik. Sebaliknya, ia
ingin membalas dendam terhadap umat manusia, siapa
pun juga, atas penderitaan ibunya.
Tapi ironisnya, orang yang pertama ditemuinya adalah Li
Sun-hoan.
Li Sun-hoan telah membuatnya sadar bahwa hidup itu
tidak melulu penderitaan dan duka nestapa. Li Sun-hoan
membuatnya sadar bahwa kematian bukanlah suatu hal
yang buruk dan mengerikan, seperti yang dulu dipikirnya.
Ia telah belajar begitu banyak dari Li Sun-hoan.
Awalnya ia sungguh yakin bahwa moralitas dan
keluhuran budi itu tidak ada dalam dunia nyata.
Tapi Li Sun-hoan telah menyentuh hidupnya begitu rupa,
bahkan lebih daripada ibunya sendiri.
Karena yang didengungkan Li Sun-hoan adalah ‘cinta’,
bukan ‘benci’.
Cinta memang selalu lebih mudah diterima daripada
benci.

1512
Namun kini, begitu sulitnya A Fei memadamkan api
kebencian yang sedang berkobar dalam hatinya.
Kobaran kebencian ini mendorongnya untuk
menghancurkan. Menghancurkan orang lain,
menghancurkan diri sendiri, menghancurkan segala
sesuatu.
Ia sungguh merasa bahwa hidup itu sama sekali tidak
adil. Bahwa orang seperti Li Sun-hoan harus berakhir
seperti ini.
Sun Sio-ang menghela nafas dengan berat. Katanya,
“Jika Siangkoan Kim-hong tahu kita berdiri di sini
menantikan dia, ia pasti sangat berbahagia.”
A Fei mengertakkan giginya dan berteriak, “Biar saja dia
berbahagia! Hanya orang baik saja yang selalu
menderita. Kebahagiaan hanya dianugerahkan kepada
orang-orang jahat!”
Tiba-tiba terdengar suara berseru, “Kau salah besar!”
Walaupun pintu besi itu begitu berat, ternyata saat pintu
itu dibuka, tidak kedengaran derit sedikit pun.
Oleh sebab itulah, mereka berdua tidak menyadari
bahwa pintu itu telah dibuka.
Seseorang melangkah perlahan keluar dari sana…..dan ia
adalah Li Sun-hoan!

1513
Ia kelihatan lelah dan letih, namun ia hidup.
Yang terpenting adalah ia hidup!
A Fei dan Sun Sio-ang menoleh dan menatapnya dengan
mulut ternganga. Air mata langsung mengalir membasahi
wajah mereka.
Air mata bahagia. Dalam kegembiraan dan kesedihan,
selain air mata, tidak ada lagi yang perlu dilakukan, tidak
ada lagi yang perlu diucapkan. Tidak seorang pun
bergerak.
Mata Li Sun-hoan pun telah terasa panas dan basah oleh
air mata. Dengan tersenyum ia berkata, “Kau salah
besar. Orang yang baik tidak akan menderita dalam
keputusasaan. Dan penderitaan yang dialami orang yang
jahat akan jauh lebih besar daripada kebahagiaannya.”
Sun Sio-ang memburu ke arahnya dan jatuh ke dalam
pelukan Li Sun-hoan. Ia menangis tersedu-sedu.
Ia tidak bisa berhenti menangis saking bahagianya.
Setelah beberapa saat, akhirnya A Fei mendesah dan
tidak dapat membendung pertanyaannya. “Di manakah
Siangkoan Kim-hong?”
Li Sun-hoan membelai rambut Sun Sio-ang dengan
lembut sambil menjawab, “Ia pasti menderita sekarang,
karena ia telah membuat satu kesalahan.”
“Kesalahan apa yang diperbuatnya?”

1514
“Sesungguhnya ia punya begitu banyak kesempatan
untuk membunuhku. Ia bisa memojokkanku sampai aku
tidak bisa lagi mempertahankan diri. Tapi ia tidak
menggunakan kesempatan itu.”
Bagi seseorang seperti Siangkoan Kim-hong, mengapa ia
sengaja melepaskan kesempatan sebaik itu?
Sun Sio-ang pun ikut bertanya, “Kenapa bisa begitu?”
Li Sun-hoan tersenyum dan berkata, “Karena ia ingin
berjudi.”
Mata Sun Sio-ang berkilat dan ia berkata, “Ia pasti tidak
percaya akan perkataan ‘Pisau Terbang Li Kecil, sekali
sambit tidak pernah luput’!”
“Ia tidak percaya ….. ia tidak percaya pada siapapun
juga. Tidak ada satu pun dalam dunia ini yang
dipercayainya,” kata Li Sun-hoan.
Tanya Sun Sio-ang, “Dan bagaimana jadinya?”
“Jadinya, ia sudah kalah!”
Ia sudah kalah!
Tiga kata yang sederhana.
Kemenangan dan kekalahan ditentukan dalam sekejap
saja.

1515
Tapi betapa menegangkannya, betapa menakjubkannya
satu kejap itu!
Satu kilatan cahaya itu pasti begitu mengerikan. Namun
juga begitu mempesona.
Satu-satunya kekecewaan Sun Sio-ang adalah bahwa ia
tidak bisa menyaksikan apa yang terjadi dalam satu
kejap itu.
Ia tidak perlu melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Hanya memikirkannya saja, membuat jantungnya
berdegup kencang!
Meteor pun begitu indah dan menawan.
Meteor meluncur membelah langit malam dengan
cahayanya yang terang berkilat, membuat siapapun yang
melihatnya pasti tergugah hatinya.
Tapi meteor tidak dapat dibandingkan dengan kilatan
sinar sebilah pedang.
Cahaya meteor tidak hidup lama.
Namun kegemilangan sebilah pedang akan bercahaya
selama-lamanya!
Pintu itu telah terbuka.
Tidak ada yang bisa memisahkan dunia ini lagi.

1516
Jika seseorang ingin mengasingkan diri dari dunia, ia
pasti telah terlebih dulu ditolak oleh dunia ini!
A Fei melangkah masuk ke dalam.
Yang pertama terlihat olehnya adalah pisau itu, pisau
yang penuh misteri.
Pisau Terbang Li Kecil!
Pisau itu tidak menembus leher Siangkoan Kim-hong,
namun cukup untuk mengambil nyawanya.
Pisau itu masuk tepat di pangkal lehernya, menembus
tulang bahunya, dan mengarah ke atas. Pisau itu pasti
dilepaskan dari tempat yang sangat rendah.
Wajah Siangkoan Kim-hong kelihatan ketakutan dan
tidak percaya. Sama seperti ekspresi sebagian besar
orang yang dibunuh Li Sun-hoan sebelum dia.
Semua kehidupan diciptakan sama. Terutama di hadapan
kematian, kita semua sama. Tapi sayang, banyak orang
menyadarinya setelah hasil akhir ditentukan.
Wajah Siangkoan Kim-hong penuh dengan rasa terkejut,
ragu, dan tidak percaya.
Ia sama seperti yang lain, ia tidak percaya ada pisau
yang begitu cepat.

1517
Bahkan A Fei pun sulit percaya. Ia tidak bisa
membayangkan bagaimana Li Sun-hoan menyambitkan
pisau itu.
Ia ingin sekali Li Sun-hoan menceritakan segala sesuatu
dengan detil, tapi ia tahu bahwa Li Sun-hoan tidak akan
melakukannya.
Kegemilangan cahaya dalam satu kejap itu. Kecepatan
sambitan pisaunya. Keduanya tidak dapat diterangkan
dengan kata-kata.
‘Ia sudah kalah!’
Tangan Siangkoan Kim-hong masih terkepal erat, seolaholah
sedang berpegangan pada sesuatu. Apakah ia masih
tidak mau percaya akan apa yang terjadi sampai
akhirnya?
A Fei tiba-tiba merasa muram, seakan-akan ia bersimpati
pada orang ini. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia merasa
begitu.
Mungkin ia bukan bersimpati pada Siangkoan Kim-hong,
melainkan pada dirinya sendiri.
Karena ia adalah manusia, dan Siangkoan Kim-hong pun
adalah manusia. Semua manusia memiliki rasa sedih dan
penderitaan yang serupa.
Walaupun bukan ia yang kalah, apakah yang ia pegang
erat-erat? Apakah yang sesungguhnya telah
didapatkannya?

1518
A Fei terpekur sekian lama, lalu menolehkan kepalanya.
Yang ditemukannya adalah Hing Bu-bing.
Seolah-olah Hing Bu-bing tidak menyadari ada orang
yang masuk ke situ. Walaupun selama itu ia berdiri tepat
di belakang A Fei, seakan-akan ia sedang berdiri di dunia
lain.
Walaupun matanya menatap lurus pada Siangkoan Kimhong,
sebenarnya ia sedang menatap dirinya sendiri.
Hidup Siangkoan Kim-hong adalah hidupnya. Ia adalah
bayangan Siangkoan Kim-hong.
Ketika hidup sudah musnah, bagaimana mungkin
bayangannya bisa tetap ada?
Kapan pun dan di mana pun, setiap kali Hing Bu-bing
berdiri di dekatnya, orang akan merasakan aura
membunuh melingkupi dirinya.
Tapi sekarang, aura itu sudah hilang lenyap.
Ketika A Fei masuk ke dalam situ, ia bahkan tidak
menyadari ada jiwa lain di sana.
Walaupun Hing Bu-bing masih hidup, yang tinggal
hanyalah tubuhnya yang hampa. Ia bagaikan sebilah
pedang yang telah kehilangan ketajamannya. Sama
sekali tidak ada fungsinya lagi.

1519
A Fei mengeluh panjang dalam hatinya. Ia sungguh
mengerti perasaan Hing Bu-bing.
Karena ia pun pernah mengalami perasaan yang sama.
Setelah beberapa lama, Hing Bu-bing berjalan menuju
mayat Siangkoan Kim-hong dan mengangkatnya dengan
kedua tangannya.
Ia masih belum melihat ada orang lain di situ. Dengan
perlahan, ia berjalan menuju ke pintu.
Tanya A Fei, “Kau tidak ingin membalas dendam?”
Hing Bu-bing tidak menoleh. Kecepatan langkahnya pun
tidak berubah.
A Fei tertawa dingin. “Kau takut ya?”
Hing Bu-bing tiba-tiba berhenti.
Kata A Fei, “Masih ada pedang di pinggangmu. Mengapa
kau takut untuk menghunusnya? Kecuali pedang itu
hanya untuk pajangan saja.”
Hing Bu-bing memutar badannya.
Mayat itu jatuh ke tanah dan pedang pun melayang
keluar dari pinggangnya.
Pedang itu berkelebat maju, menyerang langsung ke
arah leher A Fei!

1520
Ia memang sangat cepat, secepat biasanya. Tapi entah
bagaimana, ketika pedang itu sudah sampai setengah
kaki dari targetnya, pedang bambu A Fei telah tiba di
lehernya!
A Fei telah membuat tiga pedang bambu. Ini adalah yang
kedua.
Ia memandang Hing Bu-bing dan berkata perlahan, “Kau
memang luar biasa cepat, namun kau tidak bisa lagi
membunuh. Tahukah kau kenapa?”
Hing Bu-bing menurunkan pedangnya.
“Karena keinginanmu untuk mati lebih besar daripada
musuhmu. Itulah sebabnya kau tidak bisa lagi
membunuh.”
Mata Hing Bu-bing yang biasanya mati, mendadak
bercahaya, penuh kesedihan. Setelah lama memandang
A Fei, akhirnya ia menjawab singkat, “Ya.”
Kata A Fei, “Aku bisa membunuhmu.”
“Ya.”
“Tapi aku tidak akan membunuhmu.”
“Kau tidak akan membunuhku?” tanya Hing Bu-bing
kaget.
“Aku tidak akan membunuhmu karena engkau adalah
Hing Bu-bing!”

1521
Otot-otot wajah Hing Bu-bing bergerak-gerak.
Ini adalah perkataan yang tepat sama, yang
diucapkannya kepada A Fei saat pertama kali mereka
bertempur. Namun hari ini, perkataannya telah berbalik
menjadi perkataan A Fei.
Ia memikirkan perkataan ini dengan murka. Seolah-olah
api telah berkobar di matanya, bagaikan seonggok abu
yang tiba-tiba tersulut lagi.
A Fei memandangnya dan berkata, “Kau boleh pergi
sekarang.”
“Pergi…..?”
“Kau pernah memberikan kesempatan kedua kepadaku.
Kini aku pun memberikan kesempatan kedua
kepadamu….kesempatan yang terakhir.”
Ia memandangi punggung Hing Bu-bing yang melangkah
keluar. Perasaan yang aneh bergelora dalam hatinya.
‘Gigi balas gigi, darah balas darah.’
Apa yang dulu diberikan Hing Bu-bing kepadanya, kini
telah dibayarnya lunas.
Ketika hati manusia sudah mati, hanya dua hal yang bisa
membuat orang itu terus hidup.
Yang satu adalah cinta, yang lain adalah benci.

1522
A Fei bisa terus hidup karena cinta. Dan kini ia ingin
memperpanjang hidup Hing Bu-bing oleh kebencian.
Tapi sungguh, ia hanya ingin Hing Bu-bing terus hidup.
Jika ini adalah balas dendam, ini adalah cara membalas
dendam yang tidak mementingkan diri sendiri. Kalau
semua balas dendam dilakukan dengan cara ini, sejarah
umat manusia akan jauh lebih cerah. Dan tidak dapat
diragukan bahwa kehidupan umat manusia akan
berlanjut untuk selama-lamanya.
Dalam bentuk apapun, balas dendam itu selalu
memuaskan hati.
Namun apakah saat ini A Fei sungguh bergembira?
Ia hanya merasa lelah, sangat sangat lelah…..dan
pedang di tangannya pun terlepas, jatuh ke tanah.
Selama itu Sun Sio-ang hanya memandangnya dari jauh.
Baru saat itu, ia berani menghela nafas lega.
‘Amat mudah membunuh seseorang. Yang teramat sulit
adalah meyakinkan seseorang untuk mau terus hidup.’
Ini adalah perkataan Li Sun-hoan.
Siapapun dia, apapun situasinya, metode yang
digunakannya selalu sama, yaitu dengan cinta kasih,
bukan kebencian. Karena Li Sun-hoan tahu, kebencian

1523
hanya akan membawa kehancuran. Namun kekuatan
cinta dapat memberikan hidup yang kekal.
Cintanya hanya akan bertambah lebar seiring dengan
waktu. Kepribadiannya akan selalu mengutamakan
sesama manusia, untuk selama-lamanya.
Sun Sio-ang baru menyadari bahwa A Fei telah berubah
menjadi sama seperti Li Sun-hoan.
Ia tidak tahan dan melirik ke arah Li Sun-hoan.
Li Sun-hoan tampak begitu letih dan lelah, sampaisampai
tidak bisa lagi berbicara.
Sun Sio-ang menatapnya sampai lama, baru akhirnya
tersenyum dan berkata, “Kalian berdua baru saja
mengalahkan dua pesilat yang paling tangguh di seluruh
dunia. Dua kekuatan gabungan yang terbesar baru saja
kalian hancurkan. Kalian berdua seharusnya bergembira,
tapi tidak kulihat secercah pun cahaya kebahagiaan di
wajah kalian. Seolah-olah kalian berdualah yang baru
saja kalah.”
Bab 89. Penutup
Li Sun-hoan terdiam beberapa saat. Lalu ia mendesah
dan berkata perlahan, “Ketika seseorang menang, ia
selalu merasa sangat kelelahan dan kesepian.”
“Kenapa?” tanya Sun Sio-ang.

1524
“Karena ia telah berhasil, ia telah mencapai tujuannya.
Tidak akan ada lagi yang diharapkannya, yang dinantinantikannya.
Tapi orang yang menderita kekalahan
justru akan semakin terpacu untuk berusaha lebih giat
lagi.”
Sun Sio-ang kembali menggigit bibirnya dan berkata,
“Jadi ternyata, kemenangan pun tidak terasa manis.”
Li Sun-hoan terdiam. Lalu ia menyahut sambil
tersenyum, “Walaupun rasa kemenangan pun sulit
ditanggung, itu masih lebih ringan daripada rasa
kekalahan.”
Keberhasilan dan kemenangan tidak akan memberikan
kepuasan, tidak juga membawa kebahagiaan.
Kebahagiaan sejati hanya dapat diraih saat menjalani
perjuangan yang kau alami seumur hidupmu.
Jika kau sempat menikmati kebahagiaan seperti itu,
hidupmu sungguh tidak sia-sia.
Paviliun adalah tempat orang bertemu untuk
mengucapkan salam perpisahan. Perpisahan memang
selalu membawa perasaan yang mengharu-biru.
Oleh sebab itu, hanya dengan mengucapkan kata
‘paviliun’, kesedihan pun sudah bisa terasa.
Hujan telah berhenti. Rerumputan basah dan kelihatan
kacau.

1525
Di luar paviliun, dekat jalan raya, sepasang muda-mudi
sedang mengucapkan salam perpisahan mereka.
Seorang pemuda yang bersemangat dan seorang gadis
yang penuh gairah. Tampak jelas, bahwa mereka sedang
dimabuk cinta. Ia seharusnya tetap tinggal dan
menikmati kegembiraan masa mudanya. Mengapa ia
berkeras ingin pergi?
Terlihat pedang di sisinya. Namun pedang setajam
apapun tidak dapat memisahkan cinta masa muda dan
mimpi-mimpinya. Mata pemuda itu terlihat merah,
sepertinya ia habis menangis.
“Kau telah menemaniku sejauh ini. Sudahlah, kau pulang
saja.”
Si gadis menundukkan kepalanya dan bertanya,
“Kapankah engkau akan kembali?”
“Aku belum tahu. Mungkin setahun, dua tahun,…..”
Air mata si gadis kembali mengalir membasahi pipinya. Ia
berkata, “Mengapa kau harus membuatku menunggu
begitu lama? Mengapa kau harus pergi?”
Si pemuda menegakkan tubuhnya dan menjawab, “Aku
telah mengatakannya kepadamu. Aku ingin menemukan
mereka, dan mengalahkan mereka satu per satu!”
Pandangan mata si pemuda menuju ke kejauhan. Cahaya
terang terpancar dari matanya. Lanjutnya, “Orang-orang
yang tercantum dalam Kitab Persenjataan. Siangkoan

1526
Kim-hong, Li Sun-hoan, Guo Song Yang, Lu Feng Xian…..
Aku ingin semua orang tahu bahwa aku lebih hebat
daripada mereka semua. Dan setelah itu…..”
Potong si gadis, “Dan setelah itu apa? Kita sudah begitu
berbahagia sekarang. Setelah kau kalahkan mereka
semua, apakah kita akan lebih berbahagia?”
Jawab si pemuda, “Mungkin juga tidak. Tapi, ini harus
kulakukan!”
“Kenapa?”
“Karena aku tidak bisa menyia-nyiakan setengah hidupku
tanpa arti seperti ini. Aku ingin membuat nama bagi
diriku sendiri. Aku ingin terkenal seperti Siangkoan Kimhong
dan Li Sun-hoan. Dan aku yakin, aku pasti
berhasil!”
Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia sungguhsungguh
sudah bertekad bulat.
Si gadis memandang kepadanya dengan tatapan kagum.
Matanya penuh dengan kelembutan dan kehangatan.
Akhirnya ia mendesah dan berkata dengan lembut, “Aku
pun yakin bahwa kau akan berhasil. Sampai kapan pun
kau pergi, aku akan menunggumu di sini dengan setia.”
Hati mereka penuh dengan kesedihan karena akan
berpisah, namun juga penuh dengan harapan akan
kebahagiaan yang akan datang.

1527
Tentu saja kedua orang itu tidak akan menyadari
kehadiran orang lain.
Dari balik hutan, ada dua pasang mata yang sedang
menatap mereka.
Ketika si pemuda mulai melangkah menapaki jalan raya
yang panjang di hadapannya, Sun Sio-ang menghela
nafas dan berkata, “Kalau saja dia tahu nasib seperti apa
yang dialami Siangkoan Kim-hong, mungkin ia tidak akan
begitu mudah meninggalkan kekasih hatinya….”
Apa yang terjadi setelah seseorang membuat nama
untuk dirinya sendiri?
Sun Sio-ang memandang Li Sun-hoan dengan mata
penuh air mata. Lanjutnya, “Ia ingin menjadi terkenal
seperti engkau, tapi kau…..apakah kau memang lebih
berbahagia daripada dia? Kurasa…..Kurasa jika kau
berada di tempatnya, kau tidak akan berbuat seperti itu.”
Mata Li Sun-hoan masih terpaku pada sosok si pemuda
yang berjalan semakin jauh, dan akhirnya hilang dari
pandangan. Jawabnya, “Jika aku ada di tempatnya, aku
pun akan berbuat seperti itu.”
“Kau……”
“Manusia harus selalu memiliki tujuan dan ambisi. Dan
terkadang, kita harus berani meninggalkan segala
sesuatu demi meraih cita-cita itu. Apapun hasilnya,
apakah itu keberhasilan atau kegagalan, itu tidaklah
penting.”

1528
Senyum kepuasan tergambar di sudut bibir Li Sun-hoan.
Matanya pun cerah dan bercahaya. Lanjutnya, “Ada
orang yang akan menganggap itu sangat bodoh, namun
tanpa pikiran seperti itu, apa jadinya dunia kita ini?”
Kini mata Sun Sio-ang pun penuh kelembutan dan
kekaguman, sama seperti mata si gadis tadi. Ia, seperti si
gadis di paviliun itu, sangat bangga akan kekasihnya.
A Fei yang sejak tadi berdiri agak jauh, perlahan-lahan
berjalan mendekati mereka.
Namun Sun Sio-ang masih menggenggam tangan Li Sunhoan
erat-erat, tidak ingin dilepaskannya. Ia tidak
merasa malu. Ia tidak menganggap bahwa rasa cintanya
terhadap Li Sun-hoan harus disembunyikan.
Kalau bisa, ia bahkan ingin menyerukan pada seluruh
dunia betapa ia mencintai Li Sun-hoan.
Kata A Fei, “Kelihatannya ia tidak akan datang.”
Mereka berencana untuk bertemu dengan Lim Si-im di
situ.
Mereka sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi di
antara Lim Si-im dan Liong Siau-hun. Sama seperti si
pemuda tadi, tidak tahu apa yang telah terjadi pada
Siangkoan Kim-hong.
Ada hal-hal yang lebih baik tidak kita ketahui.

1529
Ketika ia berpikir tentang Lim Si-im, tanpa terasa
genggaman tangan Sun Sio-ang pada Li Sun-hoan
mengendur.
Tapi dengan segera ia kembali menggenggamnya kuatkuat,
bahkan lebih dari sebelumnya. Katanya, “Ia telah
berjanji untuk bertemu denganku di sini. Aku yakin, ia
pasti akan datang.”
“Ia tidak akan datang!” kata A Fei.
“Kenapa?” tanya Sun Sio-ang.
“Karena ia tahu bahwa tidak ada gunanya ia datang
kemari.”
Sun Sio-anglah yang bertanya, tapi waktu A Fei
menjawab, matanya terarah kepada Li Sun-hoan.
Li Sun-hoan pun tidak berusaha melepaskan genggaman
tangan Sun Sio-ang.
Dulu, setiap kali ia mendengar orang menyebut nama
Lim Si-im, ia akan merasa sedih dan tertekan. Seolaholah
seluruh tubuhnya dikunci dengan belenggu.
Ia selalu menanggung beban kesedihan ini di
punggungnya.
Namun kini, kesedihan itu tidak lagi seberat sebelumnya.
Apakah yang telah membebaskannya?

1530
Perasaannya terhadap Lim Si-im telah terpupuk begitu
lama. Tentu saja perasaan itu menjadi teramat dalam.
Tapi, walaupun ia baru mengenal Sun Sio-ang sebentar
saja, mereka berdua telah mengalami kesukaran yang
paling berat bersama-sama. Mereka telah melalui lautan
api hidup dan mati.
Oleh sebab itukah, perasaan mereka menjadi lebih
dalam?
Saat itu, Lim Si-im telah lama pergi.
A Fei benar – ia tidak datang, karena ia tidak perlu
datang.
Liong Siau-hun muda (Liong Siau-in) pun pernah
menanyakan pada ibunya, “Mengapa kau tidak
memperbolehkan aku menemuinya sekali lagi saja?”
Lim Si-im balas bertanya, “Untuk apa kau menemuinya?”
“Aku hanya ingin ia tahu, mengapa ayah sampai mati,”
kata Liong Siau-hun muda (Liong Siau-in) sambil
mengertakkan giginya.
Apapun yang telah diperbuat Liong Siau-hun di masa
lalu, ia telah membasuhnya bersih dengan darahnya
sendiri.
Sebagai seorang anak, ia pasti ingin seluruh dunia
mengetahuinya.

1531
Tapi Lim Si-im tidak berpikir demikian. Katanya, “Ia
melakukan apa yang dilakukannya, hanya karena ia
merasa itulah yang harus dilakukan. Bukan karena ia
ingin memohon pengampunan orang lain, juga bukan
karena ingin seluruh dunia mengetahuinya.”
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan lagi, “Bukan saja ia
telah melunasi hutang-hutangnya, ia pun telah melunasi
hutang-hutang kita. Selama kita hidup berbahagia, aku
yakin ayahmua akan bisa beristirahat dengan tenang.”
Lim Si-im pun tidak ingin berjumpa dengan Li Sun-hoan,
karena ia tahu bahwa perjumpaan itu hanya akan
membawa kesedihan belaka.
Mereka pun tidak berusaha mencari mayat Liong Siauhun,
karena mereka tahu bahwa Kim Ci-pang (Partai
Uang Emas) selalu membuang mayat orang yang mereka
bunuh dengan cepat dan efisien.
Dan jika mereka memaksa mencari, yang akan mereka
dapatkan hanyalah kesedihan. Hal ini pun dipahami oleh
Sun Sio-ang. Mayat kakeknya pun tidak akan pernah
ditemukan.
Ada hal-hal dalam hidup ini yang tidak bisa dikendalikan.
Siapapun tidak dapat mengendalikannya.
Walaupun hal-hal ini sulit diterima, kita hanya dapat
mencari jalan untuk melaluinya, dan hidup terbebas dari
belenggunya.

1532
Mereka telah bertekad bulat untuk terus hidup! Karena
kematian bukanlah solusi permasalahan mereka –
kematian bukanlah solusi permasalahan apapun juga.
Ada sekelompok orang lain yang sedang mengucapkan
salam perpisahan di paviliun itu.
Kali ini, A Feilah yang mengucapkan salam perpisahan. Ia
berkata bahwa ia ingin bertualang pergi ke lautan luas,
mencari rempah-rempah yang dapat membuat manusia
hidup selama-lamanya dan mencari dewa umur panjang.
Tentu saja ia berbohong, namun Li Sun-hoan tidak
berusaha mencegahnya pergi.
Karena asal-usul A Fei pun merupakan suatu misteri. Ia
tidak suka membicarakannya, bahkan dengan Li Sunhoan
sekalipun. Namun setiap kali Li Sun-hoan menyebut
nama Shen Lang, Xiong Mao Er, Wang LianHua, Zhu
QiQi, dan para pendekar lain dari generasi sebelumnya,
wajah A Fei selalu berseri-seri dengan suatu ekspresi
yang aneh.
Apakah ada hubungan antara A Fei dengan para
pendekar di masa lalu itu?
Apakah itulah sebabnya ia memutuskan untuk bertualang
di lautan lepas?
Li Sun-hoan tidak berusaha menanyakannya.

1533
Karena ia tahu bahwa masa lalu seseorang tidaklah
penting. Manusia bukanlah anjing, bukan juga kuda.
Silsilah keturunan bukanlah hal yang penting sama sekali.
Kita ingin menjadi orang seperti apa, itu semua ada di
tangan kita masing-masing.
Itulah yang terpenting dan terutama.
Ketika sahabat berpisah, biasanya ada ucapan-ucapan
selamat, juga ada banyak kesedihan dan emosi. Tapi di
antara Li Sun-hoan dan A Fei, yang ada hanyalah ucapan
selamat, tidak ada kesedihan sama sekali.
Karena yang satu tahu pasti bahwa yang lain akan hidup
berbahagia. Bahwa akan ada banyak kesempatan untuk
bertemu kembali di kemudian hari.
Terutama ketika A Fei melihat tangan Li Sun-hoan,
hatinya menjadi tenteram.
Tangan Li Sun-hoan masih menggenggam erat tangan
Sun Sio-ang.
Tangan itu telah memegang pisau terlalu lama. Telah
memegang cawan anggur terlalu lalu lama. Pisau itu
terlalu kejam dan cawan anggur terlalu dingin. Tangan
itu pantas untuk merasakan kehangatan mulai sekarang.
Adakah dalam dunia ini yang lebih hangat daripada
tangan kekasih hatimu?

1534
A Fei tahu bahwa Sun Sio-ang akan menghargai tangan
itu, lebih daripada orang lain. Walaupun tangan itu masih
penuh dengan luka-luka pertempuran panjang di masa
lalu, dengan berjalannya waktu ia pasti dapat pulih
kembali.
Tentang dirinya sendiri, tentu saja ia pun mempunyai
luka-luka lama.
Tapi ia tidak ingin membicarakannya lagi.
‘Masa lalu sudah berlalu……’
Perkataan ini sepertinya sangat sederhana, tapi orang
yang mampu melakukannya sungguh teramat sedikit.
Namun Li Sun-hoan dan A Fei, mereka berdua telah
berhasil lepas dari masa lalu mereka masing-masing.
Tiba-tiba A Fei berkata, “Aku akan kembali tiga tahun
lagi.”
Ia memandang tangan mereka berdua yang masih
bertaut dan tersenyum. “Waktu aku kembali, sebaiknya
kau segera mentraktirku minum arak.”
Sahut Li Sun-hoan, “Itu sudah pasti, tapi tiga tahun
adalah waktu yang sangat lama.”
“Namun arak yang ingin kuminum itu arak yang spesial.
Aku tidak tahu apakah kalian berdua bersedia
menjamuku dengan arak itu.”

1535
Tanya Sun Sio-ang, “Arak apa sih yang kau inginkan?”
“Tentu saja arak pernikahan kalian,” jawab A Fei sambil
tersenyum lebar.
Arak pernikahan. Tentu saja arak pernikahan.
Karena arak pernikahan memang membutuhkan tiga
tahun lamanya. Tiga tahun untuk berduka atas kematian
kakeknya.
Wajah Sun Sio-ang langsung bersemu merah.
Kata A Fei, “Aku telah mencicipi berbagai macam arak,
kecuali yang satu ini. Kuharap kalian berdua tidak
mengecewakan aku.”
Semakin merah wajah Sun Sio-ang dibuatnya. Ia
menundukkan kepala, namun mencuri-curi pandang pada
Li Sun-hoan.
Ekspresi wajah Li Sun-hoan pun tampak aneh. Kata ‘arak
pernikahan’ sama sekali tidak disangkanya. Setelah
terdiam beberapa saat, akhirnya ia berkata, “Aku telah
mengundang orang minum berbagai macam arak, namun
aku belum pernah mengundang orang untuk minum arak
pernikahan. Kau tahu sebabnya?”
Tentu saja A Fei tahu jawabannya, namun Li Sun-hoan
tidak menginginkan dia menjawabnya.
Jadi Li Sun-hoanlah yang menjawab sendiri
pertanyaannya, “Arak pernikahan itu terlalu mahal.”

1536
“Terlalu mahal?” tanya A Fei heran.
Li Sun-hoan tersenyum dan berkata, “Ketika seorang pria
menjamu orang lain dengan arak pernikahannya, itu
berarti ia mengakui ia bersedia membayar hutanghutangnya
sedikit demi sedikit seumur hidupnya.
Sayangnya, aku bukan orang yang suka mengecewakan
sahabat-sahabatnya.”
Sun Sio-ang memekik dan menghambur ke pelukan Li
Sun-hoan.
A Fei pun tertawa.
Ia sudah tidak tertawa seperti ini begitu lama.
Dengan satu tawa itu, tiba-tiba ia merasa bertambah
muda. Semangat dan rasa percaya dirinya meluap-luap.
Harapan dan cita-citanya pun bertunas kembali.
Bahkan sepotong kayu kering pun tampak begitu hidup
di matanya. Karena ia tahu bahwa dari kayu lapuk itu
akan muncul kehidupan yang baru. Tidak berapa lama
lagi tunas-tunas pohon baru akan bermunculan di sana.
Ia tidak menyangka begitu besarnya pengaruh ‘tawa’ itu.
Ia tidak hanya mengagumi Li Sun-hoan, ia pun sangat
berterima kasih kepadanya. Karena tidak mudah bagi
seseorang untuk melepaskan tawa yang sudah
terpendam begitu lama. Tapi jika seseorang bisa
membangkitkan tawa orang lain, itu lebih berharga lagi.

1537
‘Menambahkan kaki pada gambar ular’ adalah suatu
tindakan yang tidak perlu, juga suatu tindakan yang tolol.
Namun sudah ada begitu banyak ketidakpuasan dalam
dunia ini. Mengapa kita tidak membantu menguranginya
dengan sedikit tawa?
Tawa adalah seperti minyak wangi. Tidak hanya
membuat diri sendiri menjadi lebih baik, namun juga
membuat orang lain bergembira.
Apa salahnya bersikap sedikit tolol, kalau itu bisa
membawa tawa bagi orang lain?
TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 4 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang dan anda bisa menemukan artikel Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 4 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pisau-terbang-li-pendekar-budiman-4.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 4 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 4 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 4 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pisau-terbang-li-pendekar-budiman-4.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar