Cerita Dewasa Pembantu Menjeng : Bara Naga 1
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Pembantu Menjeng : Bara Naga 1 Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Pembantu Menjeng : Bara Naga 1 Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
BARA NAGA
Oleh : Yin Yong
Disadur : Gan KL
Kisah suka
duka dari Si Naga Kuning Siang
Cin dalam
membela kebenaran, bersama
teman karibnya
Pau Seh-hoa dalam
membela An-Lip
yang dari cengkeraman
Siang-gi-pang
serta bersama Seebun Tio Bu
dan Jin Jin
berjuang membantu para
pahlawan
padang rumput Bu Siang-pay
melawan Hek
Jiu-tong.
Termasuk kisah
percintaannya dengan
teman mainnya
masa kecil, perempuan
tercantik di
kota Tiang-an Kun Sim-ti yang
penuh dengan
suka dan duka.
Karya Gan K.L
Jilid 01
Gunung itu
hitam, batu2 gunung yang berbentuk aneh itupun hitam, bunga dan
rumput yang
tumbuh di sela2 batupun berwarna hitam. Semuanya serba hitam,
serba gelap,
sehingga suasana bertambah kelam dan dingin..
Gunung itu
tidak tinggi, tapi suasana di sini membuat orang berdiri bulu romanya
merinding
dengan jantung berdetak.. Pohon cemara yang berjajar enam di pucuk
gunung juga
berwarna hitam, keenam cemara ini sanaa menjulurkan cabang
dahannya
laksana enam raksasa yang pentang tangan hendak menerkam
mangsanya.
Cuaca terasa
lembab, mendung mega mengambang rendah dan tebal. Waktu itu
musim rontok,
angin menghembus kencang, men-deru2 seperti orang menangis,
suaranya
menambah misteriusnya keadaan sekeliling-nya.
Segumpal darah
tiba2 muncrat dari balik batu hitam sebelah sana, terhembus angin
kencang hingga
tercecer ke mana2, seorang laki2 tinggi besar dengan langkah
sempoyongan
seperti orang mabuk berputar dua kali terus jatuh terpelanting, batok
kepalanya
ternyata sudah remuk, darah tercampur otak meleleh keluar, keadaannya
tampak
mengenaskan.
"Wut",
sesosok bayangan orang melambung tinggi ke atas laksana sebatang galah
besar yang di
luncurkan ke udara dengan keras menumbuk dinding gunung, lalu
terpental
balik pula, membentur batu padas hitam di belakangannya suara
"pletak"
dari tulang2
yang patah terdengar jelas sampai jauh, batu gunung hitam yang dingin
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
2
dan berlumut
kini dilapisi cairan darah, dengan cepat batu gunung itu telah
menyerapnya
sehingga warnanya semakin hitam rnenyeramkan.
Angin gunung
seperti mengamuk sehingga ke enam cemara di pucuk gunung itu menari2
lebih keras
seperti raksasa yang marah, lebih seram dan mengerikan, suasana
tegang
mencekam alam pegunungan.
Di balik batu2
padas besar sana, di tengah sebuah tanah lapang yang tidak begitu
luas, tujuh
orang berjubah warna hitam, semuanya berusia setengah umur, wajah
mereka tampak
dingin kaku dan kejam, mereka berdiri setengah bundar, bola mata
mereka
mendelik memancarkan sinar dingin, tak ubahnya binatang buas yang
mengincar
mangsanya, yaitu sesosok bayangan orang berwarna kuning muda.
Orang ini
berdiri tepat di tengah lingkaran, jubahnya yang kompreng berwarwa
kuning
me-lambai2 tertiup angin, biji matanya bening memancarkan cahaya
cemerlang
hidungnya mancung, bibirnya yang tebal merah laksana cabai, warna
kuning jubah
yang dipakai tampak sangat serasi, tenang dan mantap, kuning angsa
ini se-olah2
memancarkan cahaya keagungan, dilandasi kulit badannya yang putih
halus dengan
sikapnya yang gagah perwira.
Kedelapan
orang ini berdiri berhadapan dan saling tatap, sementara tidak kelihatan
ada sesuatu
gerakan, dua orang yang telah binasa tadi se-olah2 tiada sangkut paut
dengan mereka.
Pelan sekali
orang berbaju hitam yang berdiri paling kiri mulai bergerak sedikit,
pemuda jubah
kuning itu tampak mengulum senyum dengan santai, kedua
tangannya yang
panjang berpangku di depan dada, orang berbaju hitam itu kelihatan
amat jeri,
kulit muka mereka yang kasar dan berkeringat itu kelihatan tegang dan
rada pucat.
Mata tunggal orang
berbaju hitam di sebelah kanan tampak mendelik sebesar
jengkol,
dengan keras hidungnya mendengus sekali, maka si baju htam di sebelah
kiri seketika
menggertak gigi, laksana kilat menyambar, sebat sekali dia melompat
maju, bayangan
telapak tangan beterbangan di udara serapat jala, dengan enteng
dan cepat
menerjang ke arah pemuda jubah kuning.
Seiring dengan
gerakan orang di sebelah kiri enam orang yang lain serempak
menubruk maju
pula, masing2 melancarkan serangan yang berbeda, angin pukulan
segera membadai,
bayangan hitam saling sambar menyambar.
Kejadian hanya
sekejap saja, sekejap orang mengedipkan mata, maka tertampak
sesosok
bayangan orang se-olah2 kehilanga imbangan badannya seperti sekeping
batu yang
dilontarkan ke udara, seperti kedua orang yang mendahului tadi, tanpa
bertenaga
sedikitpun meluncur menumbuk batu gunung yang runcing.
"Bluk",
suaranya menusuk telinga, keadaan lekas sekali kembali tenang seperti
semula, dalam
posisi setengah lingkar mergelilingi pemuda jubah kuning, cuma
jumlah kawanan
baju hitam sekarang tinggal enam orang.
Tidak
kelihatan perubahan perasaan sedikitpun pada wajah pemuda jubah kuning,
tenang dan
mantap, setenang permukaan air empang, se-akan2 dunia kiamat juga
tidak
membuatnya gugup dan risau.
Kedua pihak
sementara lama berdiam diri, mendadak bayangan orang kembali
saling tubruk
dan berkelebat silang menyilang, tertampak sesosok bayangan orang
seperti
dilontarkan oleh kekuatan yang maha besar mencelat jauh dan terbanting
keras, lekas
sekali keadaan menjadi tenang kembali pada posisi semula, sudah tentu
orang berbaju
hitam yang berdiri setengah lingkar itu kini bersisa lima orang saja.
Pemimpin
orange baju hitam ini mungkin ialah si laki2 mata tunggal setengah baya
itu, mukanya
tampak kurus tirus, tulang pipinya menonjol, alisnya jarang, setiap kali
dia
menyeringai, dua gigi taringnya tompak menongol keluar, mata tunggalnya kini
semakin
mendelik, putih matanya sudah merah membara, demikian pula air muka
keempat
temannya, tegang dan jeri, tapi nekat, mukanya sudah basah kuyup oleh
keringat,
sinar mata mereka mulai menampilkan kegoyahan hati mereka yang tidak
tenteram lagi.
Si mata
tunggal menyapu pandang sekilas ke arah teman2nya, kalau permainan
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
3
dilanjutkan
dengan cara terdahulu, maka sekarang tiba giliran orang nomor satu
dihitung dari
sana yang harus bertindak lebih dulu, orang ini berusia setengah umur
juga,
perawakannya kekar, jambang lebat, tapi laki-laki kekar ini tampak menggigit
bibir, biji
lehernya naik turun menelan ludah, sorot matanya tampak memancarkan
rasa cemas dan
ketakutan. Memang, bagi seorang normal biia tahu jiwa raga yang
dikaruniai
oleh bapak-ibu dalam sekejap ini akan musnah, maka betapapun besar
hatinya pasti
juga akan merasa berat untuk meninggalkan kehidupan ini.
Pemuda jubah
kuning tenang2 saja memandanginya, ujung mulutnya menjungkit
seperti
tertawa tapi tak tertawa, dia menarik napas panjang, cahaya matanya yang
cemerlang
seketika berubah dingin kejam, sorot mata dingin kejam ini justeru
menatap tajam
muka laki2 berjambang dengan sinis.
Mendadak laki2
berjambang menggerung murka, tiba2 ia melompat maju sambil
berputar dan
meliuk beberapa kali, dengan gerakan aneh dan gaya yang lucu ia
menerkam.
Pemuda jubah
kuning tertawa lebar, cepat ia bergerak, dikala keempat musuh yang
lain serempak
ikut menyerang dan belum lagi mencapai posisi yang dapat melukai
dirinya, di
tengah bayangan telapak tangan musuh yang menari turun naik, kedua
telapak
tangannya yang setajam golok telah menabas dengan gerak cepat yang
sukar diikuti
oleh mata telanjang, tahu2 laki2 berjambang menjerit ngeri, seperti
kawan2 nya
yang mendahuluinya, badannya mencelat tinggi, dalam sekejap itu,
telapak tangan
musuh dengan telak telah bersarang enam belas kali di tubuhnya,
tapi hanya dia
saja yang tahu, selamanya iapun tak dapat menceritakan
penderitaanya
ini kepada siapapun juga.
Posisi kembali
seperti semula, sisa empat orang laki baju hitam ini tidak mungkin
dapat
mengurung lawan dengan melingkar lagi, kini mereka berdiri berjajar menjadi
satu baris,
keringat membasahi seluruh badan sampai pakaian hitam mereka
melekat
kencang di atas tubuh, dengus napas mereka yang berpadu
memperdengarkan
ketegangan perasaan mereka yang sudah mulai panik, takut dan
putus asa,
mati dan hidup segera akan menentukan nasib mereka.
Dengan gerakan
kalem dan indah si pemuda jubah kuning mengebaskan lengan
jubahnya yang
kuning, warna kuning jubahnya menampilkan rona bersih dan suci, ia
mendongak
memandang langit, sikapnya tak ubahnya seperti anak sekolahan yang
lembut dan
ramah, se-olah2 sedang menikmati panorama nan indah.
Tatkala dia
mendongak itulah, sinar kemilau berkelebat, sesosok bayangan orang
tiba2 menubruk
tiba, pada waktu yang sama tiga bayangan orang lain dari tiga
jurusan yang
berbeda juga serentak menyerang ketiga arah yang mungkin akan
digunakan
mengundurkan diri.
Tapi anak muda
itu tidak bergerak, bergemingpun tidak, hampir sulit dilihat mata
telanjang,
tahu2 kedua tangannya bergerak, gerakan yang mempesona, karena
gerakan itu
sedemikian aneh dan luar biasa, begitu kejam dan keji, bersamaan
waktunya
ketika musuh yang rnenubruk tiba itu dipukul mental dengan keras, gerak
tangan dengan
landasan kekuatan hebat pemuda baju kuning ternyata masih
berlebihan
untuk menyerang, pula ketiga musuh yang serempak tiba dari tiga jurusan.
Dua bayangan
dengan empat telapak tangan saling bentrok, di tengah bentrokan
sekejap itu,
keadaan menjadi runyam, seorang roboh telentang, celakalah temannya
yang
Lwekangnya tidak setangguh dia, baru dia menyadari situasi tidak
menguntungkan,
telapak tangan kanan si pemuda jubah kuning setajam golok tahu2
membelah tiba
menyerempet lehernya, hanya gerakan enteng dengan serempetan
yang ringan
saja, tapi akibatnya sungguh fatal, batok kepalanya terpanggal mencelat
entah ke mana.
Aksinya
terjadi dalam sekejap dan berakhir dalam sekilas pula, si pemuda jubah
kuning tampak
menggendong tangan dengan kepala tetap mendongak, dengan
napas yang
terhela enteng terasa wajar se-olah2 sejak tadi ia hanya menikmati
panorama dan
tak pernah terganggu oleh apa dan siapapun. Hanya Thian yang tahu,
dalam gerakan
sekejap itu, dua jiwa telah melayang direnggut elmaut.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
4
Kini tinggal
dua orang lagi, keduanya berdiri memaku bagai patung, sorot mata
mereka yang
redup bagai titik sinar kunang2 yang sudah mulai pudar, sisa
cahayanya
hampir padam, terasa betapa besar ketakutan, dendam dan benci hati
mereka.
Dingin dan
tawar pandangan si pemuda jubah kuning mengawasi kedua orang di
depannya,
wajahnya trdak menampilkan rasa puas dan senang karena menang,
tiada rasa
beruntung, sikapnya lebih mirip seorang yang merasa memang patut
menerima
anugerah kemenangan dari akhirnya suatu pertempuran.
Kedua orang
baju hitam beradu pandang sekejap, si mata tunggal yang mendelik
garang dan
buas tadi kini telah kuncup nyalinya, temannya yang tinggal satu ini
berperawakan
gemuk dan tinggi besar, wajah laki2 raksasa ini sangat jelek,
mukanya penuh
daging lebih yang bergelantungan di selembar mukanya, di bawah
dagunya ada
tahi lalat besar warna hitam, ujung tahi lalat ini tumbuh tiga lembar
rambut kasar
yang bergoyang gemetar, karena jelek mukanya sehingga tidak
kentara betapa
besar perubahan air mukanya, tapi dari gerak tiga utas rambut di tahi
lalatnya itu
dapat diketahui bahwa laki2 raksasa ini sudah mulai goyah
keberaniannya.
Sejak mula
sampai detik ini belum pernah si pemuda jubah kuning bersuara barang
sekecap, namun
sorot mata dan air mukanya menampilkan kepandaian silatnya
yang maha
tinggi, se-olah2 dia sudah yakin akan akhir dari pertempuran seru ini,
sikapnya yang
gagah dan perbawanya yang angker menampilkan pula suatu
kekuatan yang
tak terlawan oleh siapapun.
Hampir tidak
terasakan oleh siapapun, lambat dan lambat sekali, akhirnya kedua
orang baju
hitam itu diam2 menyurut mundur. inilah gerak otomatis dari rasa takut,
tak pernah
terbayang dalam benak mereka bahwa hidup yang biasa mereka kenyam
dengan segala
kejayaan selama ini, kini segalanya akan sirna.
Si pemuda
jubah kuning melengos ke sana, dengan tenang dia menatap keenam
pucuk pohon
cemara di belakangnya yang serba hitam itu, dahan pohon cemara
masih bergerak
turun naik tertiup angin seperti sedang menari, gumpalan awan
bergulung2 di
angkasa menambah suasana menjadi semakin seram.
Pelan2 si
jubah kuning menghela napas, sekonyong2 ia berseru nyaring dan
berkumandang
bagai datang dari tempat nan jauh sekali: "Nay-hosan ini sungguh
sunyi, rimbun
dan menyeramkan!"
Diam2 bergidik
kedua orang baju hitam, tanpa sadar mereka saling adu pandang
sekejap,
pelan2 si jubah kuning berpaling kembali, sorot matanya memandang jauh
ke bawah
gunung yang kelam sana dan bergumam pula: "Kehidupan di dunia
memang terus
berputar, ada hidup juga ada mati, siang dan malam saling berganti,
tukar menukar
tak putus2, tiada sesuatu apapun dalam kehidupan duniawi ini yang
kekal, bunga
ada saatnya berkembang dan layu, manusia dilahirkan dan akan
menjadi tua,
musim berganti, siang berganti malam, kejadian hari ini pasti berbeda
dengan esok,
bunga akan layu dan gugur, meski akhirnya mekar lagi, tapi sudah
bukan bunga
yang semula itu. Demikian pula manusia, sekali dia mangkat,
selamanya dia
tidak akan kembali dalam keadaan semula meski ada inkarnasi, dan
sekarang
.........
Bening dan
tajam matanya menatap kedua orang baju hitam bergantian. "Hari ini
akan
menjelang, selamanva hari ini takkan berulang, senja hari memang elok
laksana
gambaran dalam syair yang melukiskan suatu akhir nan abadi, bila manusia
mangkat di
kala senja ini, dia akan membawa kenangan yang khidmat, baru dan
tenang."
Sungguh
memelas, dalam keadaan seperti ini sudah tentu kedua laki2 baju hitam
tiada minat
buat mendengarkan kata2 bersanjak si pemuda jubah kuning, tanpa
sadar kembali
mereka menyurut mundur, tiga bola mata mereka tak berani berkedip
menatap si
pemuda jubah kuning.
Tertawa tawar
pemuda jubah kuning dan berkata pula: "Nama gunung ini tidak baik,
dia bernama
Nay-ho, (apa boleh buat), tentunya kalian juga tahu, di neraka terdapat
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
5
pula sebuah
jembatan yang bernama Nay-ho-kio?"
Naik turun
pula biji leher si mata tunggal, setelah mengerang gusar, dia berkata
dengan suara
serak: "Siang Cin, kau kejam sekali . . . . "
"Tidak,"
ajar pemuda jubah kuning, "aku tidak kejam, manusia hidup di dunia fana
ini
jangan selalu
dirundung kesusahan, kalau derita hidup terlalu menekan jiwa, lebih
baik dilupakan
saja, sudah tentu tidak mudah melupakan derita nestapa itu, tapi aku
punya suatu
cara yang terbaik, kalau tidak melupakan dendam hari ini, inipun
merupakan
derita batin, akan kugunakan cara yang terbaik itu untuk melenyapkan
penderita
kalian, bukankah sikap dan tindakanku ini amat arif bijaksana, hm?"
Laki2 gendut
itu tiba2 menbanting kaki, teriaknya dengan menggerung gusar: "Koko,
apa pula yang
kita tunggu? Kau kuatir setelah kita mati tiada orang akan menuntut
balas bagi
kematian kita?"
"Pasti
ada," timbrung pemuda jubah kuning "bila nasib kalian mujur, kalian
tidak akan
mati sia2 di
sini."
Bola mata si
mata tunggal melotot buas, napasnya mulai memburu, si jubah kuning
menegakkan
alisnya, tiba2 dia berkelebat maju, sejak pertempuran di mulai tadi,
baru pertama
kali ini dia bertindak menyerang musuh lebih dulu.
Warna kuning
berkelebat bagai cahaya lalu, baru saja si mata tunggal dan si gendut
terperanjat
tahu2 bayangan orang sudah berada di depan mereka, bergegas
keduanya
melompat mundur ke kiri kanan, empat telapak tangan serempak
menebas
miring, tapi serangan mereka msngenai tempat kosong, seperti menyerang
sebuah
bayangan belaka, belum lagi sempat mereka menarik tangan dan ganti
serangan, si
gendut tiba2, menguik keras seperti sapi digorok lehernya, mulutnya
menyemburkan
darah segar, ia ter-huyung2 dan jatuh tersungkur.
Jantung si
mata tunggal serasa beku demi mendengar pekik si gendut menjelang
akhir hayatnya
tak sempat memperhatikan temannya, sigap sekali kedua tangannya
menyodok,
menyusul kedua kaki menendang secara berantai. Tapi sayang sekali,
dalam suatu
gerak kisaran yang aneh, pemuda jubah kuning tahu2 sudah
menangkap
kedua kakinya malah, seperti seorang atlit pelempar peluru, tubuh si
mata tunggal
diputar sekali, se-olah2 ingin melampiaskan dendamnya, badannya ia
lempar
sekuatnya. Si mata tunggal me-ronta2 di tengah udara, se-akan2 ingin
melepaskan diri
dari daya luncuran keras yang bakal merenggut jiwanya. Tapi dia
gagal, dikala
kaki tangannya mencak2 di udara itulah, sang waktu telah menjadikan
penyesalan dan
dendamnya secara abadi, punggungnya dengan telak dan keras
menunduk
dinding batu gunung yang hitam itu, daya tolak benturan itu membuat
badannya
mencelat balik ke arah yang berlawanan hingga sejauh tujuh kaki.
Dengan tenang
si jubah kuning saksikan adegan ngeri ini, sesaat dia terdiam, lalu
pelan2
menghampiri si mata satu yang kempas kempis menunggu ajal, muka si mata
satu selintas
pandang kelihatan lucu dan aneh, kerut2 kulit mukanya mirip kulit
binatang yang
dikeringkan sehingga tak mirip wajah manusia lagi, mulutnya terbuka
lebar, dua
gigi siungnya mencuat keluar, alisnya yang jarang2 tampak gemetar
mengikuti
dengus napasnya yang tinggal satu dua, selebar mukanya berlepotan
darah, sekujur
badanpun bernoda darah, bola mata tunggalnya seperti hampir
mencotot
keluar mendelik ke arah pemuda jubah kuning.
Tenang si
jubah kuning balas menatapnya, katanya kalem: "Ko Kuh, kalau kau
menderita,
maka derita ini akan segera berakhir."
Berkeriut
kerongkongan si mata satu, bola mata tunggalnya terbalik memutih,
sekuatnya dia
menggerakan mulut yang megap2: "Siang . . . . . . Siang Cin . . . . . .
kau . . . .
.kau memang pantas . . . . . . di. . . . . dijuluki durjana."
Si jubah
kuning, dia bernama Siang Cin, dengan tawar mengawasi Ko Kuh,
suaranyapun
tawar: "Yang kuat menang yang lemah mampus, ini sudah hukum alam.
Ko Kuh,
mungkin akan datang suatu ketika akupun akan terjungkal entah di mana,
memang kondisi
dan keadaan kita berbeda, tapi akhirnya akan sama, cepat atau
lambat kita
pasti akan bertemu di Nay-ho-kio."
Bola mata Ko
Kuh membalik, sorot matanya sudah pudar, badannya tampak
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
6
mengejang,
sekuatnya dia berteriak: "Menunggumu . . . . . kami Kian-pau-kiuliong
. . . . . . .
. seluruhnya akan menunggu kedatanganmu." Bahwa suaranya yang
sumbang masih
bergema terbawa angin lalu, tapi jiwa si pembicara sudah melayang
setelah
berkelejetan beberapa kali.
Siang Cin
meluruskan badan, pandangannya menyapu keenam pucuk pohon
cemara raksasa
hitam dan bergumam: "Musim rontok hampir berselang, hawa mulai
dingin . . . .
. . " - Pelan2 dia membalik tubuh terus turun gunung, bagai segumpal
awan kuning,
mengambang enteng, melayang secepat terbang dan lenyap tak
berbekas.
Nay-ho-san
tetap berdiri tegak menjulang angkasa dibungkus mega setenang
raksasa yang
tidur pulas, keadaan remang2, suasana mulai dingin mencekam, seolah2
tidak
menyadari arti kehidupan, dia tidak mengenal hidup yang merana dan
derma manusia
dalam pergulatan kehidupan ini, yang jelas dia hanya tahu bahwa
segala yang
terjadi adalah "apa boleh buat".
0-0-0-0-0-0-0-0-0
Angin sepoi2
menerobos jubah kuning yang halus melambai, Siang Cin tengah
beranjak di
tanah tegalan yang cukup luas di lereng pegunungan, pohon randu yang
memagari
sepanjang jalan tinggal rantingnya yang kering.
Sebuah sungai
ber-liku2 menembus hutan cemara di sebelah depan, pohon2
cemara yang
mulai gundul itu tetap tumbuh di musim rontok yang hampir berselang
ini. Alis
Siang Cin tampak terpentang lebar, langkahnya kalem dan mantap, akhirnya
menuju ke tepi
sungai dan duduk dengan tenang, ia melamun mengawasi air yang
mengalir
hening, begitu khusuk, begitu tenang, se olah2 dia tengah menanti dan
ingin
menangkap sesuatu apa di tengah air yang gemericik itu, entah apa yang ingin
ditangkapnya
itu sudah lalu atau akan datang.
Tiba2
terdengar derap langkah yang ter-seok2, langkah yang gugup dan tak teratur,
tanpa melihat
orang akan tahu bahwa orang yang tengah ber-lari2 ini sedang diburu
oleh rasa
kebingungan, takut dan kesakitan.
Sekilas Siang
Cin mengerling ke sana, di jalanan sana tampak bayangan seorang
tengah bersempoyongan,
orang ini berjambang, kulitnya hitam dengan alis gombyok
dan mata
besar, tapi keadaannya sekarang sungguh amat mengenaskan, sekujur
badan
berlepotan darah, rambut awut2an, mukanya menampilkan penderitaan yang
luar biasa,
bola matanya yang mendelik menunjuk keberangan hatinya, mulutnya
megap2, buih
berhamburan dari mulutnya, keadaannya sungguh amat menyedihkan.
Mendadak laki2
besar itu terbanting ketanah, cepat dia merangkak bangun, tapi
kembali jatuh
tersungkur mencium tanah, di tengah bunyi cambuk yang menggeletar
di udara,
punggung orang itu segera dihiasi tanda silang berdarah dari bekas luka2
cambukan.
Waktu Siang
Cin memandang ke belakang orang itu, kiranya beberapa tombak di
sebelah sana
ada seorang laki2 berpakaian pelajar dengan jubah putih bertubuh
tinggi dengan
tangan kiri memegang sebuah cambuk kulit sepanjang sembilan kaki,
sikapnya adem
ayem seperti sedang melepaskan lelah sehabis makan, se-akan2
cuma menghajar
seekor anjing yang telah mencuri ayam peliharaannya, laki2 besar
itulah yang
menjadi bulan2an cambuknya, agaknya laki2 besar itu sudah dihajarnya
babak belur
sepanjang jalan.
Dengus napas
laki2 besar itu bagai binatang yang meregang jiwa di ambang
pejagalan,
agaknya dia sudah menahan segala siksa derita yang tak terperikan itu.
tak urung
mulutnya masih mengeluh tertahan juga, sekuatnya dia berusaha merayap
bangun sambil
berusaha menghindari cambuk orang, begitu besar siksa deritanya,
tapi pemuda
pelajar itu sedikitpun tak mengenal kasihan, ujung cambuknya masih
terus menggeletar
menghujani punggungnya.
Cuilan pakaian
laki2 besar yang basah oleh cairan darah berhamburan seperti kupu
terbang,
matanya melotot gusar, giginya menggigit kencang bibirnya sampai
berdarah,
darah muncrat ke mana2 terbawa lecutan cambuk, tapi sekuatnya laki2
besar itu
mengertak gigi, sedikitpun dia pantang merintih dan minta ampun.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
7
Pemuda pelajar
itu mencibir, ia menengadah ke atas, cambuknya terayun melingkar
di udara.
"Tar", tahu2 ujung cambuknya membelit leher laki2 itu, sekuatnya dia
menyendal
sehingga badan laki2 yang besar itu terbawa mencelat jauh dan
terbanting
keras.
Rebah
celentang di tanah dan kelejetan badan laki itu, kaki tangannya menggelepar,
luka di
sekujur badan yang berlepotan darah menjadi kotor tercampur debu dan pasir,
keringat
membasahi pakaian yang sudah ter-koyak2, tapi kedua matanya tetap
melotot, tetap
mendelik menatap pemuda pelajar itu tanpa berkesip, sorot matanya
menampilkan
bara dendam yang tak terperikan.
Pemuda pelajar
balas menatapnya dengan kalem dan penuh rasa kemenangan,
katanya
dingin:
"An Lip,
jalan yang kau tempuh tak jauh lagi, akhirnya kau akan tiba di tempatnya, di
sana akan
datang seorang yang memberikan ganjaran setimpal padamu."
Beberapa kali
laki2 besar itu kelejetan, sekuatnya dia angkat kepala dan
memperdengarkan
tawa kering, suaranya serak: "Orang she Gui, tak . . . . tak usah
kau temberang,
aku .. . . An Lip . . . . tidak . . . . tidak sudi . . . . minta ampun
padamu."
.
Pemuda pelajar
she Gui mendengus dongkol, ucapnya, bengis: "Minta ampun juga
tak berguna,
An Lip sudah puluhan tahun kau menjadi anggota Pang kita, tak
tersangka kau
lupa diri dan khianat, diam2 kau melakukan perbuatan serong dengan
gundik Pangcu
yang tersayang. An Lip, sungguh aku ikut malu akan perbuatan
kotormu, tak
kira di Siang-liong-gi-pang bisa muncul orang seperti dirimu."
Laki2 besar
bernama An Lip menampilkan rasa hambar dan pedih, dengan penuh
rasa duka
nestapa dia pejamkan mata, kerongkongannya berkerok2, sekuatnya dia
menelan ludah,
tapi dia tak membantah atau membela diri atas tuduhan orang.
Memangnya
dalam keadaan seperti sekarang ini, membantah dan membela diri
demi
kebersihan nama pribadinya tetap akan sia2 belaka.
Dengan gagang
cambuk kulit ular ditangannya, pemuda pelajar she Gui menggaruk2
pipinya,
katanya dingin: "Aku Gui Ih sejak menjabat kepala bendera merah Siang gi
pang, boleh
dikatakan cukup akrab dengan kau, tentunya kau cukup kenal
perangaiku,
aku paling benci pada manusia cabul dan segala kejahatan seks dan
yang membuatku
serba susah sekarang adalah orang yang harus kuhukum sesuai
hukum yang
berlaku di dalam Pang kita justeru talah kau"
An Lip tampak
kelejetan sekali lagi, tapi dia tetap tak bersuara, pelajar itu, Gut Ih,
berkata lagi,
suaranya agak tawar: "Tak mungkin aku menolongmu membebaskan
penderitaan
ini, karena aku harus menjalankan perintah, loyalitasku terhadap Sianggi-
pang tak
terpengaruh oleh persahabatanku dengan kau, terpaksa kaulah yang
harus bersabar
sepanjang jalan ini, setelah tiba di tempat tujuan, gundik Pangcu
akan sama2
dibakar bersama kau, waktu itu kau tidak menderita lagi, cepat sekali
segalanya akan
menjadi tenang dan tenteram." - Tiba2 ia menarik muka, suaranya
berubah kereng
dan melengking: "Sekarang, bangunlah kau!"
An Lip
mengertak gigi, pelan2 dia merayap bangun, baru dua langkah dia bertindak
sempoyongan,
tanpa bicara lagi Gui Ih ayun cambuknya menghiasi dua jalur lecutan
berdarah di
punggungnya pula, ujung cambuk mengeluarkan suara nyaring, tatkala
merobek kulit
daging punggung An Lip. Kontan An Lip terhuyung maju beberapa
langkah, tapi
dia tidak jatuh, seperti orang mabuk langkahnya sempoyongan dan
setengah
berlari ke depan, kini dia sudah hampir mendekati tempat di mana Siang
Cin duduk
santai di tepi sungai.
Seringan kapas
terembus angin Gui Ih melangkah dibelakangnya, cambuk kulit
kembali
terayun melingkar kekanan-kiri, tanpa mengenal kasihan sedikitpun dia terus
menghajar
laki2 besar alias An Lip yang terhuyung ke depan itu, sekilas matanya
mengerling ke
arah Siang Cin dengan tatapan waspada.
Lecutan pecut
kembali menghajar batok kepala An Lip, kontan An Lip mendekap
kepala sambil
menjerit tertahan, ia terjerembab jatuh ke depan, sekujur badannya
tampak mengejang,
giginya gemeratak menggigit tanah berpasir di depannya,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
8
kesepuluh
jarinyapun mencakar ke dalam tanah saking menahan sakit yang tak
terkatakan.
Gui Ih
mendekatinya, dengan suara ketus dingin ia membentak: "An Lip, berdirilah."
Dengan sisa
tenaganya An Lip coba merangkak bangun, tapi sayang tenaga tidak
memadai
keinginannya, tiga kali dia mengulangi usahanya, tapi tetap tak mampu
merangkak
bangun, muka Gui Ih semakin membesi, sekali sendal cambuknya
kembali
melingkar membawa deru angin berkesiur "Tar, tar, tar". puluhan kali
kembali dia
menghajar An Lip sampai ter-guling2, kaki tangan menggelepar sekujur
badan
mengejang.
Tiba2
terdengar suara mantap tenang mengandung sindiran berkumandang: "Tentu
kau tahu,
hajaran cambuk yang mengenai badan serupa itu tentu menimbulkan
derita yang
tak terperikan betul tidak?"
Dengan sigap
Gui Ih menarik tangan seraya melompat mundur, sorot matanya yang
tajam menyapu
ke arah datangnya suara, di pinggir sungai, di samping jalan sana, di
tempat yang
mendekuk turun, Siang Cin tengah mengawasinya dengan pandangan
lucu, bibirnya
tampak mencibir mengandung cemooh yang sinis.
Secara naluri
Gui Ih merasakan adanya ancaman serius, lapat2 terasakan
kedatangan
orang yang tak dikenal ini teramat aneh dan tak terduga, nadanya tidak
bersahabat
sama sekali. Sedikit miringkan tubuh, Gui Ih menengadah, kedua tangan
mengepal
dengan gaya atas dan bawah di depan dada. Inilah gaya Siang gi-pang
yang khusus
ditujukan kepada orang luar agar orang tahu akan asal usul dan
jabatannya
dalam Pang.
Dinging saja
sikap Siang Cin sambil mengangkat alis, dengusnya: "Aku mengerti,
kau ini
sahabat dari Siang-gi-pang."
Gui Ih
seketika menarik muka, katanya: "Tentunya tuan juga segolongan,
Siang-gipang
tengah
menghukum anggotanya yang melanggar aturan, tuan adalah manusia
yang bisa
berpikir, harap minggir dan tidak mencampuri urusan kami."
Siang Cin
mengawasi An Lip yang masih menggelepar menahan sakit di tanah,
katanya
tenang: "Kupikir, kau harus membebaskan dia."
Berubah hebat
air muka Gui Ih, dengan bengis dia menatap orang, katanya ketus:
"Aturan
Kang-ouw tidak tuan hiraukan lagi? Kau berani mencampuri urusan keluarga
orang lain?
Ketahuilah Sianggi-pang bukan golongan lemah yang boleh dibuat
permainan."
Aneh kerlingan
mata Siang Cin, katanya pelahan sambil menghampiri: "Sekarang,
akan kucoba
dirimu untuk membuktikan ucapanmu barusan."
Entah mengapa,
tanpa terasa Gui Ih mundur setapak, sekuatnya dia menahan
gejolak
amarahnya, teriaknya bengis: "Berhenti sahabat, mungkin kau belum tahu
apa akibatnya
dari kesemberonoanmu ini?"
Siang Cin
tidak berhenti karena ancaman orang, dia tetap berlenggang menghampiri
semakin dekat,
katanya dengan tenang: "Aku tahu, malah lebih tahu daripada kau
sendiri."
Sambil
mengertak gigi, mendadak Gui Ih berkisar setengah lingkaran, badan bagian
atas bergerak
enteng, sementara cambuk kulit di tangan kanan mendadak tertuding
lempeng kaku
seperti galah, menusuk ke ulu hati lawan.
Se-akan2 tidak
memperlihatkan, gerakan apa2, tapi kenyataan Siang Cin sudah
menggeser tiga
kaki, sukar dilihat bagaimana dia bergerak, se-olah2 sejak tadi dia
memang sudah
berdiri di situ, maka ujung cambuk ular Gui lh yang mendesis
kencang
menusuk tempat kosong.
Jantung Gui Ih
betul2 hampir melompat keluar dari rongga dadanya, seketika Gui Ih
rasakan
kepulanya sedikit pening dirangsang darah mendidih tak sempat memikirkan
langkah
selanjutnya, badan melengkung bagai busur tiba2 melambung ke atas
setombak
lebih, tatkala badannya terapung itulah, cambuk kulit ular bagai hujan lebat
berderai
menghajar musuh.
Sukar untuk
dipercaya, sungguh menakjubkan, Siang Cin dengan warna kuningnya
yang anggun
ternyata dapat berkelit pergi datang di tengah sambaran cambuk yang
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
9
deras dan
kencang, gerak geriknya halus gagah mempesona.
Sambil
berjumpalitan di udara, cambuk Gui Ih kembali melingkar dengan deru angin
kencang
menyapu tiba. Siang Cin berdiri tegak sekukuh gunung, sedikit memiringkan
badan,
mendadak dia balas menerjang.
Gui Ih menjadi
gugup dan secepatnya melompat minggir, tapi dalam gebrakan
sekilas yang
berlangsung secepat kedipan mata itu, tahu2 cambuk di tangan sudah
berpindah ke
tangan lawan, sekilas matanya sempat melirik, hanya terlihat sebuah
tangan dengan
jari yang putih halus menepuk pundak kirinya, tak sempat dia berpikir,
telapak tangan
putih itu tahu2 sudah menyentuh tubuhnya, semacam tenaga kuat
seketika
membuatnya terpental beberapa tombak jauhnya, terus ter-guling2..
Sebagai kepala
bendera merah Siang-gi-pang, betapa tinggi Kungfu dan Lwekang
Gui Ih, begitu
badan menyentuh tanah, dengan sigap sekali dia hendak melejit
bangun, tak
terduga sebuah kaki dengan sepatu warna kuning tahu2 sudah
menginjaknya
rebah di tanah pula, kaki orang tepat menginjak di punggungnya.
Suara orang
tetap tawar dan dingin, berkata: "Gui Ih, pulanglah dan laporkan kenada
majikanmu Sam
bak siu su Tam Kip, katakan akulah yang membawa orangmu."
Dengan susah
payah Gui Ih memalingkan kepalanya ke atas, selebar mukanya
berlepotan
lumpur, dia mengerung gusar: "Kunyuk, tinggalkan namamu"!
Punggung tiba2
terasa enteng, kaki yang menginjak punggungnya tahu2 sudah
berpindah,
sebuah suara berkumandang di kejauhan terdengar jelas olehnya:
"Gelombang
bergulung, mega berlapis, hujan membadai, angin menderu, semuanya
bagai gumpalan
asap berlalu . . . . "
Sekujur badan
Gui Ih tiba2 merinding dan gemetar, bola matanya mendelik, bibirnya
bergetar,
gumamnya jeri: "Ui liong Siang Cin . . . Oh, Thian, dia adalah Siang Cin
si
Naga Kuning .
. . . "
Dalam sekejap
ini, laki2 yang disiksanya tadi telah lenyap, sudah tentu dia dibawa
kabur oleh
Siang Cin alias si Naga Kuning.
- o0-oo-Oo -
Malam telah
larut, tiada sinar rembulan, hanya kerlip bintang2 yang jarang2 di
cakrawala,
angin musim rontok terasa mengiris kulit, keheningan malam terasa
menghantui
sanubari orang.
Itulah sebuah
rumah mungil yang dibangun dengan rangka kayu cemara dan usuk
bambu kuning,
rumah mungil itu dikelilingi pepohonan randu di tepi sebuah sungai
yang mengilir
tenang bening, di depan dan di belakang rumah penuh di taburi
tanaman bunga
seruni, meski di malam hari, warna-warni seruni yang menyolok
dengan bau
harumnya yang semerbak amat melegakan perasaan. Sebuah jembatan
bambu tiga
lekukan menembus ke belakang menambah gaya bangunan rumuh
mungil ini
tampak lebih artistik.
Malam semakin
kelam, sesosok bayangan berkelebat dengan kecepatan yang luar
biasa, begitu
enteng laksana kapas meski sebelah tangannya menyeret seorang lagi,
tapi
gerakannya tetap lincah dan gesit, hanya tiga kali lompatan dia telah melampui
jembatan bambu
itu dan tanpa bersuara hinggap di pelataran depan rumah.
Orang itu
mengenakan jubah kuning angsa, kedua bola matanya tampak bercahaya
di malam
gelap. Dia adalah si Naga Kuning Siang Cin, pelan2 dia membaringkan
laki2 besar
yang di tolongnya tadi, lalu dia mengetuk pintu.
Menyusul
terdengar suara nyaring merdu bak kicau burung kenari berkumandang
dari dalam
rumah: "Siapa itu?"
Siang Cin
mengedip, katanya dengan suara tertahan: "Raja naga kembali ke istana
dengan
kebesarannya."
Suara
cekikikan lantas terdengar di dalam rumah, tawa riang yang mengandung rasa
terhibur dan
lega, pintu rumah yang terbuat dari bambu kuning berkeriut terbuka
pelan2,
bayangan semampai dengan menenteng sebuah pelita minyak berdiri di
ambang pintu,
begitu pelita terangkat, matanya memandang ke arah Siang Cin,
seketika
mulutnya bersuara kaget heran, katanya kemudian: "Cin, kau membuat
onar
lagi?"
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
10
Siang Cin tersenyum
lebar tanpa bersuara, laki2 besar tadi dipapahnya masuk ke
rumah, di
bawah penerangan pelita minyak wajah pemegang pelita tampak cantik
molek,
secantik bidadari dalam lukisan.
Dalam ruangan
yang tidak begitu besar terdapat seperangkat meja kursi dari bambu,
lukisan kerai
bambu tampak tergantung di dinding, asap dupa wangi mengepul dari
Hiolo kecil di
meja sembahyang di bawah jendela sana, sebuah harpa terletak di atas
meja, di
samping harpa terletak sebatang pedang, seprei yang bersulam indah
warna warni
melembari permukaan dipan bambu, di depan dipan beraling sebuah
pintu angin
yang berukir indah, suasana serba tenteram, bersih tak berdebu, indah
mengesankan.
Setelab
menaruh pelita di atas meja pelan2 pemegangnya membalik badan dan
menghampiri
Siang Cin yang tengah memapah laki2 tadi duduk di kursi bambu,
kedua bola
matanya yang bundar besar tampak jeli bercahaya, manis mesra lagi,
tanyanya
dengan suara lembut: "Siapakah Congsu ini, Cin?"
Siang Cin
membasahi bibirnya dengan lidah, sahutnya : "Dia bernama An Lip, orang
Siang gi-pang,
karena main patgulipat dengan gundik Pangcunya, dia dihukumi dera
yang berat dan
akhirnya akan dibakar hidup2, tatkala kulihat dia dihajar sedemikian
rupa oleh
pelaksana hukum Siang gi-pang ." Alis yang lentik laksana bulan sabit di
atas mata si
cantik tampak berkerut, katanya dengan prihatin: "Aduh
kasihan . . .
. . . . . dia pingsan?"
Siang Cin
menghela napas, katanya setelah duduk di kursi sebelah: "Luka2nya
sudah kucuci
dan kububuhi obat, dia dihajar begitu rupa, tapi dia memang laki2 sejati,
jangankan
minta ampun, mengeluhpun tidak pernah, menyatakan terima kasih
padaku juga
belum sempat lantas jatuh pingsan, kupikir setelah terang tanah baru
keadaannya
akan lebih baik."
Bola mata nan
bening jeli si cantik menatap Siang Cin, katanya lembut: "Kau tentu
amat capai
juga Cin, kuseduhkan secangkir teh untukmu, lalu kubuatkan
makanan . . .
. . . . "
"Ci, tak
usah repot," ujar Siang Cin dengan tertawa. ""Bibi Ciu kan ada?
Biar
dia . . . . .
"
Hidung si
cantik yang mancung tampak mengernyit, katanya manja: "Hui, kau ini,
kalau sudah
ngelayap, paling cepat 10 hari atau setengah bulan baru mau pulang,
kalau pulang
pasti di tengah malam buta, memangnya bibi Ciu harus selalu
menunggu
kedatanganmu, kecuali aku kakakmu yang bodoh ini . . . . "
Siang Cin
menggosok mukanya dengan telapak tangan, ia berkedip lalu
memicingkan
matanya, katanya: "Ya, sudah kutahu kau selalu menanti
kepulanganku,
maka akupun tidak tega membikin repot kau . . . . "
Sinar mata si
cantik menjadi redup, ter-sipu2 dia alihkan sorot matanya, katanya
masgul:
"Aku tahu akan diriku . . . . dik, aku tidak akan menuntut berlebihan, kau
sudah cukup
baik terhadapku ...."
Siang Cin
berdiri, tanyanya dengan tenang: "Ci jangan kau singgung kejadian masa
lalu, soal itu
sudah berselang, sekarang bukankah kita baik2 saja?"
Si cantik
terharu katanya sambil menggeleng rawan: "Kehidupan yang tenteram
seperti ini
takkan lama kita nikmati, Cin, sudah tiba masanya kau berumah tangga,
kelak bila kau
sudah mempersunting isterimu, aku, diriku yang menjadi kakakmu ini
terhitung apa
pula."
Pelan dan
lembut Siang Cin tarik tangan yang halus dingin itu, ucapnya pelahan: "Ci
dalam hatimu
kautahu bahwa aku Siang Cin bukan laki2 seperti yang kaukatakan,
walau kita
bukan saudara sekandung, tapi selama ini kupandang kau sebagai kakak
kandungku
sendiri . . . . "
Bergetar
badannya, pelahan si cantik angkat kepala sambil mengulum senyum,
walau dia tahu
senyum getir ini mengandung rasa resah, hambar dan kehilangan.
Katanya
kemudian: "Cin, aku senang mendengar omongan ini, sungguh, hatiku amat
terhibur . . .
." sembari bicara lekas2 dia putar. tubuh beranjak ke dalam, katanya
dengan rada
gugup: "Cin, kau istirahat sebentar, biar kuseduhkan teh untukmu."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
11
Jelas terasa
oleh Siang Cin nada perkataan si cantik yang mengandung isak tangis
tertahan,
pertanda betapa pilu dan rawan hatinya, diapun mengawasi bayangan
semampai nan
menggiurkan itu lenyap dibalik pintu, akhirnya dia menghela napas.
Angin
berkesiur di luar jendela, malam semakin larut, kabut semakin tebal, bunga api
pelita di atas
meja tampak memanjang lalu mengkeret dan menyala terang
benderang
pula. Benak Siang Cin sukar menahan gejolak keresahan, dia mengerti
dari mana
datangnya keresahan ini, yaitu dari kakak angkatnya ini, perempuan
tercantik di
kota Tiang-an - Kun Sim-ti.
Pelahan2 Siang
Cin mengembuskan napasnya yang panjang, masih segar dalam
ingatannya
pada enam tahun yang lalu betapa nekat dan mati2an Kun Sum-ti
menolak
keputusan sang ayah yang ingin mengawinkan dia. Ayahnya sudah lanjut
usia - Kun
Keh-boh, seorang pujangga yang memperoleh gelar tertinggi dalam
kalangan
pejabat pemerintah, dengan kekerasan telah menghajarnya dengan
sebatang
pentung dan menyeretnya naik ke tandu, akan diusungnya ke rumah
keluarga Oh,
salah seorang bangsawan ternama di kota Tiang-an untuk dikawinkan
dengan
puteranya yang bungsu. Belakangan dia mendapat kabar, setelah masuk
kerumah
mertuanya itu Kun Sim-ti mogok makan dan minum, sepanjang hari tak
pernah berucap
sepatah katapun, tapi suaminya, Oh Hian, justeru berpesta pora
dengan
perempuan2 cantik di luaran, setiap malam pulang seteiah mabuk serta
menganiaya dan
menyakitinya, belum ada setahun sejak pernikahan itu. Oh Hian
ditemukan mati
tidak wajar di kamarnya, maka keluarga Oh sama menuduh Kun
Sim-ti sebagai
pembunuh suami, maka nasibnya lantas terjerumus ke dunia yang
lebih
mengenaskan, sejak itu dia hidup dalam kegelapan yang tak pernah melihat
sinar
matahari, tak kenal apa itu hidup riang dengan tawa gembira, sampai suatu
ketika Siang
Cin telah menolongnya. Itulah kejadian tiga tahun yang lalu.
Seribu hari
lebih ini terasa berlalu dengan cepat, kejadian dulu bagai baru
berlangsung
kemarin dulu. Dalam waktu singkat Siang Cin yang semula masih hijau
pelonco telah
menjadi tokoh persilatan yang sudah kenyang liku2 kehidupan Bu-lim.
Tanpa terasa
Siang Cin mengulum senyum hambar, yang betul, sudah lama dirinya
terhitung
seorang tokoh persilatan, cuma jarang orang tahu bahwa dia membekal
Kungfu luar
biasa. Akhirnya Siang Cin geleng2 kepala, baru sekarang lubuk hatinya
yang paling
dalam menyadari kenapa dulu Kun Sim-ti rela mati daripada dikawinkan
dengan pemuda
yang tidak dicintainya, sebab tidak lain karena dia sudah cinta
padanya,
begitu murni dan suci dan begitu besar cintanya dengan segala
pengorbanannya.
Sorot matanya
rada kabur, Siang Cin menggigit bibirnya sambil melamun, terbayang
ketika Kun
Sim-ti menceritakan kejadian itu sambil sesenggukan, se olah2 bunyi
guntur di
siang bolong seketika dia melenggong dan berdiri kaku.
Keluarganya
memang kenal turun temurun dengan keluarga Kun Sim-ti, orang tua
merekapun
adalah saudara angkat. biasanya kalau iseng, sering dia keluyuran ke
rumah keluarga
Oh. dia suka bergaul dengan kakak angkat yang lemah lembut dan
welas asih
ini, betapa dia menikmati raut wajahnya nan mekar mengulum senyum
manis dengan
sikapnya yang agung suci setiap gerak geriknya terasa indah bak
lukisan tapi
tak pernah terbayang dalam benaknya soal "cinta", lebih tak pernah
terpikir
olehnya bahwa kakak angkat yang lebih tua empat tahun ini betul2 jatuh cinta
ke-pati2
padanya.
Waktu itu
Siang Cin hanya menghela napas maklum saat itu dia baru berusia lima
belas, tapi
bukankah biasanya dia suka mengagulkan diri berpengetahuan dan
pengalamannya
cukup banyak dan luas? Apa betul begitu banyak yang di
ketahuinya?
Tidak, kadang2 dia memang suka melamun, sering berkhayal yang
muluk2,
khayalan yang lucu dan menggelikan . . . . . . .
Tiba2
terdengar suara lembut menyadarkan lamunannya: "Cin, apa yang kau
pikirkan?"
Entah kapan
Kun Sim-ti sudah berdiri di sampingnya, wajahnya nan molek tampak
pucat, matanya
tampak merah seperti habis menangis, tangannya menjinjing
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
12
nampan
berwarna hitam, sebuah cangkir porselin yang terukir indah terletak di
nampan, air
teh di dalam cangkir masih mengepul, terendus bau teh yang harum
sedap.
Bergegas Siang
Cin berdiri menerima cangkir itu, katanya pelahan: "Ci, kaupun
duduklah."
Kun Sim-ti
menatapnya penuh tanda tanya, pelan2 dia duduk di samping, sementara
Siang Cin
sudah menghirup tehnya seteguk, katanya memuji". "Wah, wangi,
betul."
"Inilah
oleh2 yang kau bawa tempo hari . . . . ."
Sambil menatap
lembut raut muka orang, Siang Cin berkata pelan. Teh seperti ini
sering juga
aku meminumnya di luaran, tapi selalu kurasakan teh yang kuminum di
rumah jauh
lebih sedap dan menyegarkan, cukup lama juga aku ber-pikir2, akhirnya
baru kusadari
apa sebabnya .."
Kun Sim ti
mengedipkan matanya yang jeli, tanyanya: "Sebab apa?"
Siang Cin
tertawa riang, ucapnya: "Sebabnya karena orang yang menyeduh teh ini
berlainan."
Merah jengah
muka Kun Sim ti, omelnya malu" "Ah, kau memang banyak tingkah,
dik, senakal
masa kecilmu dulu .. "
Tiba2 Siang
Cin memandangnya dengan terlongong, pandangan yang polos dan
membawa rasa
kehangatan yang menimbulkan pikiran yang suci tanpa memikirkan
hal2 yang
tidak senonoh, walaupun hakikatnya Siang Cin sudah menahan bara
nafsunya yang
telah sekian lama bergejolak dalam sanubarinya.
Memang badan
sedikit gemerinjing, tapi tanpa berkedip, tanpa malu dan takut Kun
Sin-ti balas
menatapnya lekat2, bibirnya nan tipis merah bagai delima merekah seolah2
menantang,
memang rasa kesalnya selama ini selalu mengganjal dalam hati,
menjadikan
pikiran suka murung dikala berada seorang diri, selalu dia penuh harap,
harapan yang
dilandasi keinginan yang berkobar mendekati gila, semoga Siang Cin
suatu ketika
bisa memberikan sesuatu padanya, meski sesuatu itu terlalu kecil
artinya.
Dulu sering
juga mereka berdiri berhadapan saling tatap, tapi mereka sama tahu dan
dapat
menyelami alam pikiran masing2, se-akan2 ada sebuah dinding tak kelihatan
yang
menjadikan penghalang yang tak tertembuskan untuk ini, mereka tahu selain
rasa jengkel
memang masih banyak pula alasan dan sebabnya.
Seperti
biasanya, pelan2 akhirnya Siang Cin mengalihkan sorot matanya, dengan
perasan berat
dia habiskan teh secangkir yang masih panas itu.
Maka Kun
Sim-ti lantas tahu bahwa kali ini dia tidak akan memperoleh apa2 lagi.
Betapapun dia
adalah seorang perempuan yang berperasaan halus, perempuan
yang harus
jaga harga diri, sungguh tak berani dia menurunkan pamor sendiri untuk
memohon
sesuatu itu kepada Siang Cin, yang dia doakan hanyalah suatu ketika
Siang Cin akan
memberikan peluang, memberi kesempatan untuk dia melimpahkan
perasaan
hatinya yang selama ini terpendam dalam hati. Memang dia merasa benci
juga, dia
paham tanpa menyatakan isi hatinya tentu juga Siang Cin sudah tahu.. tapi
kenapa
sikapnya selama ini tetap begitu dingin, kurang agresif, meski sikapnya
selalu mesra
penuh kasih sayang, tapi cepat sekali mencair dikala keadaan hampir
mendekati
titik beku.
Siang Cin
duduk bersandar di kursi, setelah menghela napas panjang dia
meluruskan
kaki dan tangannya, katanya hambar: "Ci, masihkah kau ingat pohon
cendana di
taman belakang rumahmu itu?"
Diam2 Kun
Sim-ti menyeka air mata, ia mengangguk pelahan, meski Siang Cin
tengah menengadah
memandangi langit2, tapi gerakan sekecil apapun tak lepas dari
pengawasannya,
dia paham apa yang menyebabkan orang berlaku demikian,
dengan tenang
melanjutkan: "Sekarang tiba musimnya kayu manis itu berkembang
biak, aku amat
suka mencium baunya yang manis harum, bila aku menyedot napas
panjang sambil
memejamkan mata, seolah2 rebah bergelimang di tumpukan bunga
di tengah
awang2, sungguh nyaman segar. Kuingat, suatu ketika kakak Seng dari
tetangga
sebelah pernah memaksa kita menjadi pasangan pengantin dan . .. ."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
13
Kun Sim-ti
tertawa rawan, katanya pilu: "Waktu itu aku menerima saja paksaannya,
tapi kau tidak
punya keberanian, seperti kejadian beberapa tahun kemudian dikala
aku dipaksa
kawin, kaupun tidak punya keberanian menerima aku .... .. "
Mengejang
jantung Siang Cin, lekas dia batuk2 lirih untuk menutupi perasaannya
yang tertusuk
katanya: "Waktu itu aku masih kecil, Ci, sungguh, aku tidak tahu
bahwa kau
sangat suka dengan permainan itu . . . . "
Kun Sim-ti
menunduk, dengan suara lirih dan selembut sutera ia berkata: "Akhirnya
kau tahu juga,
tapi sudah terlambat . . . . "
Tergetar
perasaan Siang Cin, cangkir diangkatnya dan diteguk hingga habis seluruh
isinya, hanya
dia sendiri yang tahu asmara yang terpendam selama ini dalam hatinya,
tapi cintanya
itu memang sudah terlambat? "Ci .. .." dia membasahi bibir dengan
ujung lidahnya
dengan suara semakin rendah: "pergilah kau istirabat, biar aku
istirahat di
sini saja."
Kun Sim-ti
menatapnya, lama dan lama sekali, akhirnya dia menghela napas, lalu
memutar tubuh
dan masuk kedalam.
Letak rumah
itu jauh di luar kota, di sini tiada kentongan tanda waktu, tapi dari
perasaan dan
pengalaman yang dimiliki Siang Cin dapat meraba saat itu sudah
menjelang
kentongan keempat, tidak lama lagi fajar akan menyingsing.
Pelan2 dia
berdiri, laki2 besar yang terluka parah itu tiba2 menggeliat miring di atas
kursi dan
mengeluarkan keluhan lirih, Siang Cin mengawasinya, pelan2 kelopak
mata orang itu
mulai bergerak, maka terbayang oleh Siang Cin akan bola mata orang
yang melotot
sebesar mata sapi siang tadi.
Agaknya
kelopak mata An Lip, laki2 besar ini, seberat ribuan kati rasanya, sekuatnya
dia berusaha
membuka mata, tapi rasa kantuk tak kuasa ditahannya lagi,
didengarnya
suara tawar lembut mengiang di telinganya: "Sudah siuman?"
Sekuatnya An
Lip menggerakkan kepala, pelan2 dia membuka secercah kelopak
matanya,
tampak remang2 sebuah wajah ganteng yang putih halus
berbentuk
lebar wajah yang gagah ini seperti pernah dilihatnya entah di mana,
rasanya
seperti sudah lama sekali.
Siang Cin
berdiri dihadapan orang, dengan cermat dia awasi rona muka orang,
katanya
kemudian dengan tertawa: "Rona merah di bola matamu sudah pudar,
sahabat,
sungguh siksaan yang lumayan beratnya untukmu."
Mengejang dan
bergetar sekujur tubuh An Lip, seketika dia terbayang pada adegan
yang seram dan
menyakitkan itu, seketika pula dia teringat akan keadaan sendiri
sekarang,
sekuatnya dia rneronta bangun dan berteriak haru: "Inkong, Inkong (tuan
penolong),
terimalah sembah hormatku . . . . "
Lekas Siang
Cin memapahnya, katanya ramah: "Bila kau ingin berterima kasih
padaku, akupun
akan menerimanya dengan senang hati, maka tak perlu kau banyak
adat
lagi."
An Lip
menghela napas lega, katanya sambil mencucurkan air mata: "Inkong kalau
bukan
pertolongan Inkong, jiwa An Lip ini tentu sudah sejak kemarin melayang,
Inkong . . ..
"
Bertaut kedua
alis Siang Cin, suaranya rendah berat: "Aku bernama Siang Cin."
"Siang
Cin", nama ini laksana ular berbisa yang tiba2 memagut ulu hati An Lip,
kaget
sampai
badannya gemetar, ia melongo dan lidaiinya terjulur, sesaat dia tergagap:
"Siang .
. . , Siang Cin . . . . naga .. . . naga kuning?"
Mulut Siang
Cin berkecek sekali, lalu berkata: "Agaknya kau rada tegang? Sahabat,
kedua tangan
orang she Siang memang berlepotan darah, tapi masih bisa
membedakan
antara jahat dan baik." .
Meski
berjambang lebat tapi wajah An Lip yang merah masih kelihatan, sikapnya
tampak
tersipu, katanya: "Tidak Inkong, bukan begitu maksudku, jangan salah
paham . . . .
Nama besarmu yang amat tersohor . . . . "
"Namaku
tersohor?" Siang Cin menyeringai, "yang benar sudah beberapa kali
pada
saat2 aku
harus mampus ternyata nyawaku ditarik balik hidup2. Kau tahu, manusia
siapapun tentu
tidak mau mati, betul tidak?"
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
14
Sejenak An Lip
melenggong, lalu meng-angguk2, Siang Cin mengucek hidung
dengan dua
jarinya, katanya pula: "Kenapa Siang-gi-pang menyiksamu begitu rupa
ehm?"
Melenggong
sebentar An Lip dan menunduk, laki2 besar ini ternyata mencucurkan
air mata,
Siang Cing melengos sedikit, katanya kemudian: "Kabarnya kau main
serong dengan
gundik Pangcu mereka?"
Mendadak An
Lip angkat kepala, kulit mukanya berkerut, teriaknya tak terkendali:
"Main
serong? Dia yang merebut calon isteriku, menghancurkan masa depanku yang
bahagia,
setiap hari aku harus munduk2 di depan moncongnya yang cengar-cengir
seperti
tertawa iblis, selalu memperoleh lirikan dingin dan cemooh yang memalukan
dari bakal
isteriku, tapi aku harus tetap pura2 membusungkan dada sebagai laki2
pemberani. O,
Thian, senyuman yang dipaksakan, wajah ayu nan layu, aku terpaksa
hanya
mengawasinya dengan mendelong, dia jatuh ke pelukan laki2 lain, yang dapat
kulakukan
hanya berdoa, menelan liur, aku harus memaki diriku sendiri sebagai
manusia
pengecut, kenyataan dia sudah menjadi gundik Pangcu . . . ." bicara punya
bicara, laki2
yang kekar yang dihajar tanpa mengeluh ini ternyata pecahlah isak
tangisnya.
Siang Cin
menarik sebuah kursi bambu lalu duduk di depannya, sambil bertopang
dagu, dia
biarkan saja orang menangis dan melepaskan duka nestapanya. Sudah
tentu Siang
Cin sendiri juga dapat meresapi betapa besar sedih dan rasa dendam
orang, meski
bukan pengalaman sendiri, tapi dia cukup dapat merasakan juga
penderitaan
semacam ini, kadangkala banyak persoalan di dunia ini yang sukar
diresapi dan
dirasakan sendiri, tapi asal kau bisa berpikir dengan bijak, maka kau
akan dapat
menyelaminya.
Lama juga baru
An Lip menghentikan tangisnya, agaknya dia teramat letih dan
kehabisan
tenaga, apalagi setelah melimpahkan rasa duka dan dendamnya, badan
menjadi
lunglai.
Tanpa bicara
Siang Cin angsurkan selembar sapu tangan sutera warna kuning,
sambil menyeka
air mata, An Lip berkata malu2 dengan mata merah: "Inkong, An Lip
tak kuasa
mengendalikan perasaan, harap dimaafkan . . . . ."
"Bukan
salahmu," ucap Siang Cin tertawa, sejak jaman dahulu kata cinta memang
suka menyiksa
manusia."
An Lip
tertunduk, air mata masih bercucuran maka cepat dia seka dengan sapu
tangan. Siang
Cin berkata pula: "Saudara, Pangcu kalian itu sebetulnya punya
berapa isteri
dan gundik?"
"Seluruhnya
ada tujuh gundik." sahut An Lip gemas.
Siang Cin
tertawa lagi, katanya: "Apa yang kau katakan barusan seluruhnya
benar?"
Bola mata An
Lip yang sebesar mata sapi melotot pula, katanya sambil menuding
langit dan
bumi, bersumpah: "Inkong, jiwa An Lip telah Inkong tolong, masa An Lip
berani membual
dihadapan Inkong? Kalau sepatah kataku tidak benar, boleh Inkong
penggal
kepalaku."
Siang Cin
mengangguk dan berkata: "Kalau demikian calon isterimu itu sudah
digagahi
orang, apa kau masih rela mengawininya? Ehm, maksudku, sudah tentu
kalau dia
masih mau ikut padamu."
Sejenak An Lip
melenggong, mendadak ia berteriak: "Sekalipun dia menjadi pelacur
murahan juga
selamanya aku tidak akan melupakan dia."
Se-konyong2
Siang Cin merasa kepalanya menjadi pusing. beberapa patah kata
orang terasa
pedas dan menusuk sanubarinya. Dengan tajam dia tatap laki2 yang
lahiriah
kelihatan kasar itu dengan suara pelahan ia bertanya: "Kenapa?"
An Lip menelan
liur, sedikit gagap dan tersengal, tanpa ragu dia berkata: "Bila
engkau
mencintai seseorang sepenuh hati, cinta yang murni dan suci pasti takkan
luntur, apapun
yang pernah terjadi tak perlu dipertimbangkan lagi."
Sekian lama
Siang Cin terlongong, katanya lirih:
"Baik
saudara, akan kubantu rebut kembali bakal isterimu."
Saking haru
dan senang, bergemetar badan An Lip, mulutnya terpentang, katanya:
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
15
"Betul?
Tapi .... tapi Inkong, itu berarti kau harus menyerempet bahaya dan
bermusuhan
dengan Siang gi pang . . . . ."
Siang Cin
tertawa pongah, katanya: "Memangnya kenapa, masa si Naga Kuning
Siang Cin
tidak mampu menghadapi para kurcaci Siang-gi-pang itu? Lalu bagaimana
anggapanmu?"
Lekas An Lip
geleng kepala, katanya bingung:
"Tidak
Inkong, bukan begitu maksudku, aku hanya mengira . . . . . demi persoalanku
seorang apakah
perlu sampai menimbulkan keonaran besar . . . . . "
Siang Cin
menarik napas, katanya tawar: "Kalau kurasa perlu, maka hal itu pasti
cukup
berbobot."
Bergolak darah
di rongga dada An Lip, beribu kata ingin dia utarakan, maksud hati
yang tak
terbatas ingin dia tuturkan, tapi terlalu banyak dan luas, terlalu tebal untuk
dicairkan
dalam sekejap ini, kecuali mencucurkan air mata tak kuasa dia
mencurahkan
isi hatinya.
Api pelita di
atas meja ber-goyang2, sinarnya yang kelap kelit terasa seram,
bayangan kedua
orang di sisi rumah memanjang di dinding sampai ke tanah. Mereka
tiada yang
buka suara lagi, biarlah suasana hening lelap ini mencekam keadaan, tapi
di dalam
kesunyian ini, keduanya merasakan adanya saling pengertian dan
ketulusan
antar sahabat.
Siang Cin
berkedip, katanya: "Kalau letih boleh saudara istirahat saja di atas
kursi,
aku akan
keluar melihat keadaan."
An Lip tersentak
kaget, katanya sambil mengawasi tajam: "Keadaan? Inkong,
memangnya ada
sesuatu yang tidak beres? Keadaan sekeliling terasa tenang dan
tenteram . . .
. . "
Sembari
berdiri Siang Cin menggeleng, katanya: "Justeru terasa tidak aman,
kudengar suara
lambaian pakaian yang tertiup angin serta daun kering yang terinjak
kaki, ada
beberapa orang tengah berlari ke mari. jumlahnya cukup banyak."
Jantung An Lip
seketika berdebur, katanya tegang: "Mungkinkah, mungkinkah
orang2
Siang-gi-pang memburu kemari?"
Sejenak
berpikir, Siang Cin menyabut: "Mungkin saja, tapi tidak jadi soal."
Sekuatnya An
Lip himpun tenaga dan menarik napas, ia hendak meniup padam
pelita di atas
meja, cepat Siang Cin mencegah: "Biarkan lampu tetap menyala,
saudara, aku
senang akan sinar pelita yang remang2 hening ini."
Dengan rasa
heran An Lip berpaling mengawasi Siang Cin, sungguh dia tidak habis
mengerti dan
sukar menyelami kenapa laki2 yang disegani kaum persilatan ini
sekarang
melakukan tindakan yang melanggar kebiasaan Kangouw umumnya tapi
hanya sekejap
itu, dikala dia dengar suara kesiur angin dan berpaling itulah, dalam
rumah sekarang
hanya tinggal dia seorang diri.
Bukan melalui
pintu, juga tidak lewat jendela yang setengah terbuka, tapi Siang Cin
telah melam
bung ke atas belandar, di atas belandar ada sebuah keranjang bambu
yang dapat
digeser dan bergerak bebas, dari lubang keranjang di atap rumah inilah
dia menerobos
keluar.
Menjelang
fajar, hawa terasa dingin menusuk tulang. Begitu keluar dan mencapai
wuwungan,
Siang Cin lantas mendekam diam tak bergerak.
Alam gelap
gulita, hening lelap, hanya suara keresakan daun pohon yang dihembus
angin,
manakala hari hampir terang tanah, alampun terasa menjadi lebih gelap,
umumnya tidur
manusia pada waktu itupun lebih nyenyak.
Sebuah
bayangan samar2 tampak berkelebat, selincah kucing, seenteng burung
walet dia
berlompatan hinggap dipagar bambu di atas jembatan, di belakangnya
menyusul dua
bayangan orang pula, kedua bayangan ini lantas terpencar ke sisi
rumah, pelita
dalam rumah tetap menyala, sinarnya terasa tenang, suasana terasa
mantap.
Kecuali tiga
orang yang berkelebat datang dengan gerak-gerik sembunyi2, menyusul
datang pula
seorang yang berlenggang seperti tuan besar, langsung menuju ke atas
jembatan
bambu, lalu tampak sesosok bayangan lain, langkahnya lembut teratur dan
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
16
sopan mengikut
dibelakangnya.
Bayangan orang
yang bersikap congkak ini membalik, dengan hormat dia menjura
kepada
bayangan lembut dan sopan itu, lapat2 kelihatan bayangan lembut sopan itu
adalah seorang
pemuda berusia likuran tahun, jubahnya serba biru, dandanan
perlente ini
lebih mirip anak seorang bangsawan.
Pemuda itu
tampak memberi anggukan kepala kepada orang di depannya, maka
orang itu
beranjak pula dengan langkah yang pongah, kiranya dia memang kepala
besar,
kepalanya yang gede itu bila diukur pasti tidak lebih kecil daripada kepala
keledai, tiba
di ujung jembatan segera dia pentang mulut memperdengarkan
suaranya yang
seruk keras bagai gembrang: "Perhitungan lama di Sia-mo-nia harus
diselesaikan,
orang she Siang, payah juga Sin-losu mencarimu."
Suara orang
itu serak sumbang, logatnya sukar dimengerti, suaranya terdengar
seperti bunyi
pasir yang rontok menusuk telinga, kedua membusung tangannya
bertolak
pinggang, perutnya yang gendut itu mirip perut babi.
Siang Cin
mendekam di atas wuwungan mengerut kening, diam2 ia menghela napas,
tanpa suara
pula dia melayang turun dari atap rumah bagai bayangan setan pelan2
mengapung
turun ke depan laki2 tambun itu.
Begitu
bayangan muncul, seperti membawa bau anyirnya darah, si kepala besar
memancarkan
sorot matanya yang masih ngantuk, sikapnya yang pongah tadi
seketika
lenyap, tanpa disadari dia menyurut mundur tiga tindak, jembatan bambu
yang terinjak
kakinya sampai berkeriut hampir patah.
Ujung mulut
Siang Cin menyungging senvuman aneh yang mencemooh, lengan
jubahnya yang
gondrong kuning mengebas, katanya dengan nada tawar seperti
biasa:
"Sin-suya, dunia ini rupanya cuma sebesar daun kelor, tak nyana kita
bertemu
pula di
sini."
Muka babi
Sin-suya itu tampak pucat lesi, kulit daging pipinya tampak mengencang,
bola matanya
yang mirip mata kura2 mendelik, ter sipu2 dia membetulkan letak
jubahnya yang
kesempitan membungkus badannya yang gendut, katanya sambil
menyegir:
"Orang she Siang, dirodok kau, hakikatnya aku tiada permusuh apa2
dengan kau,
urusanku dengan Kik Cu hong dari Tay hian pay di Siau-mo-nia kan
tiada sangkut
pautnya dengan kau, tapi kau mencampuri urusanku, bukan saja
memunahkan
Kungfu dua saudara angkatku, kau bikin aku kehilangan tempat
berpijak di
Siau-mo-nia, perhitungan ini orang she Siang, terserah bagaimana kau
hendak
membereskannya padaku."
Seperti sedang
mengingat2 Siang Cin menengadah, katanya kemudian: "Kik Cuhiong
dari
Tay-hian-pay ada hubungan intim denganku, dulu gurunya pernah
berdampingan
denganku memukul mundur delapan belas Lama kasa merah di
perbatasan
Tibet, maka tak mungkin aku berpeluk tangan melihat Sin-suya bertiga
mengeroyok dia
seorang, terpaksa kubantu dia sekadarnya."
Saking murka
daging tubuh Sin-suya tampak bergetar, raungnya: "Membantu
sekadarnya?
Memangnya makmu yang suruh kau sekaligus menamatkan jiwa dua
saudaraku?"
Pancaran sinar
mata Siang Cin yang semula bening tiba2 berubah dingin tajam,
suaranya
bernada mengancam: "Sin-losu, dikalangan Kangouw kau memperoleh
gelar
Tho-san-sin, sudah sekian tahun kau malang melintang di Kangouw,
seharusnya kau
juga paham apa akibatnya berani kau bertingkah di depan Naga
Kuning."
Seperti
dikemplang tongkat besi Sin-losu menyurut mundur, baru saja mulutnya
terpentang mau
bicara, pemuda yang sejak tadi berdiri di seberang jembatan sana
tiba2 tertawa
lebar, katanya menimbrung: "Menyaksikan sikapmu yang gagah dan
congkak ini,
maka tahulah aku bahwa saudara tentu si Naga Kuning Sang Cin
adanya."
Terangkat alis
Siang Cin, suaranya tetap tawar: "Mana berani, setelah kulihat
lagakmu ini,
akupun lantas tahu bahwa kau ini Giok-mo-cu (iblis kemala ) Keh Kisin."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
17
Pemuda yang
berpakaian ketat warna biru tua itu memang benar adalah Giok-mo-cu
Keh Ki-sin
yang baru muncul tiga tahunan di daerah Thian-lam. Dia murid didik Singkok-
bun di
Thian-lam, belakangan dia berguru pula pada jago kosen nomor satu di
perbatasan
Hun-lam Hoan-jit-kiam-khek Han Siau-kan, Setelah lulus dari perguruan
dia angkat
saudara dengan It-tiau-tay Mo Kim, Cengcu dari Gih-tay-ceng yang
kenamaan di
Bu-lim, malah adik Mo Kian yang masih perawan Mo Hun-cu telah main
cinta dengan
Giok-mo-cu yang kabarnya pernah merobohkan Tiam-jong-ngo-eng
(kelima jagoam
Tiam-jong-pay), menurut kabar yang tersiar di kalangan Kangouw
sejak lulus
perguruan dan berkelana di Bu-lim Giok-mo-cu belum pernah
menemukan
tandingan.
Giok-mo-cu Keh
Ki-sin tertawa lantang, katanya: "Pandangan saudara memang
tajam, julukan
Naga Kuning ternyata tidak bernama kosong."
Siang Cin
mendengus, katanya: "Sin-suya, malam begini gelap, hawa dingin lagi,
jauh2 Suya
meluruk kemari, memangnya kau mau bikin perhitungan lama di Siaumo-
nia
dulu?"
Sin-suya
berkecek mulut, matanya mengerling ke arah Giok-mo-cu Kch Ki-sin tanpa
berani memberi
komentar, maka Giok-mo-cu tertawa, katanya kalem: "Memang
begitulah
menurut pendapatku."
Mendadak Siang
Cin tertawa juga, katanya kepada Keh Ki-sin: "Saudara, kau datang
untuk membantu
Sin-suya?"
Wajah Giok
mo-cu menyungging senyuman ramah, katanya mengangguk: ""Betul,
seperti pula
waktu saudara membantu Kik Cu-hong dari Tay hian-pay di Sian-mo-nia
dulu."
Dengan tak
acuh Sang Cin mengebaskan lengan bajunya, katanya: "Saudara Keh,
tahukah kau,
selama tiga tahun ini, tidak mudah kau mengejar nama dan
mengangkat
gengsi?"
"Sudah
tentu aku tahu," sahut Koh Ki-sin tertawa.
Siang Cin
menepekur sejenak sambil menengadah, katanya: "Kau tahu apa akibat
dari sikapmu
yang temberang ini?"
""Sudah
tentu," sahut Koh Ki-sin sambil manggut.
"Baiklah,
Cukup sampai di sini peringatanku, sebabai seorang pandai, kuharap kau
tidak
melakukan tindakan bodoh, sekarang kalau kau ingin mengundurkan diri masih
kuberi
kesempatan . . .. "
Senyum lebar
yang menghias muka Keh Ki-sin seketika lenyap, desisnya: "Siang Cin,
sejak hari
ini, tidak akan ada tempat berpijak lagi dalam Bu-lim untukmu, sampaikan
saja kotbahmu
kepada bini di rumahmu."
Sin-suya
ter-loroh2 geli, serunya: "Orang she Siang, jangan di sini kau memupur
wajahmu
sendiri, nanti kupenggal kepalamu dan kujadikan bola untuk main
tendangan."
Diam saja
Siang Cin, pandangannya menjelajah keempat penjuru, katanya: "Sinsuya,
ingatlah,
turun
tangan harus
cepat, laksana meteor melanglang angkasa."
Seperti
tersengat Sin-suya menghentikan tawanya, cepat ia bergerak, tahu2 ia
mengeluarkan
sebilah Siang-jin-jan (pacul dua muka) sepanjang dua kaki, matanya
yang sipit
sebesar kacang tampak mendelik menatap Siang Cin,
Mundur
selangkah Siang Cin berkata: "Musim rontok adalah musimnya daun pohon
rontok . . . .
ucapan
"rontok" terulur memanjang bergema di angkasa, belum lagi gema suara
ini
lenyap,
bayangan telapak tangan tiba2 menyambar ke arah Sin-suya, cepatnya
bagai halilintar.
Menggerung
keras bagai kerbau gila, dengan sigap Sin-suya berkelit, meski tambun
badannya, tapi
selicin belut tiba2 dia berkisar lima kaki jauhnya, paculnya yang
mengkilap
berputar membawa sinar panjang bagai rantai menggulung maju, tapi
bayangan telapak
tangan lawan mendadak menciut, bagai iblis tahu2 menyelinap
masuk ke
tengah lingkaran pacul yang diputar kencang itu.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
18
Giok-mo-cu Keh
Ki sin tertawa dingin, mendadak dia menyergap maju, jelas dia
melihat
bayangan kuning angsa ada di depannya, tapi belum lagi dia sempat
menyerang,
deru angin telapak tangan yang maha kuat tahu2 sudah menyerampang
tenggorokannya
dengan cepat dan setajam golok.
Kedua tangan
Keh Ki-sin membalik, ia melancarkan pukulan yang aneh, tapi
kupingnya
sempat mendengar suara "bret", suara kain pakaian yang robek,
diiringi
jeritan
Sin-losu: "Kunyuk kurangajar, kau memang keji . . . . "
Belum lagi
raungan Sin-suya buyar, bayangan pukulan telapak tangan tahu2 sudah
menyambar
lewat pipi Keh Ki-sin, sampukan anginnya yang tajam serasa mengiris
pipi Keh
Ki-sin tujuh kali.
Sudah tentu
jantungnya berdetak keras, diam2 Keh Ki sin mengumpat, gerak tubuh
apakah ini?
Ilmu pukulan telapak tangan apa pula? Kenapa begitu cepat?
Mungkinkah
manusia dapat mencapai gerak cepat yang luar biasa ini?
Keh Ki-sin
mengertak gigi, mendadak dia melompat menyingkir, tapi begitu dia
menyingkir,
sebat sekali dia melejit balik pula, pulang-pergi ini dilakukan hampir
dalam waktu
yang sama, berbareng sebilah pedang tajam yang memancarkan
cahaya
warna-warni, bagai pelangi yang menyorot turun dari tengah angkasa,
dengan cepat
luar biasa menusuk lurus ke arah Siang Cin.
Bayangan
kuning tampak berkelebat memutar mengiris ke cahaya warna-warni
pedang tajam
itu, belum sempat Keh Ki-sin melanjutkan jurus kedua, bayangan
telapak tangan
yang berada tahu2 sudah menempel pakaiannya, saking kejut lekas
dia
menjengking ke belakang sekuatnya, tak urung dia tetap terdorong dua langkah
oleh tenaga
pukulan lawan itu.
Pacul dua muka
Sin-suya segera menyerampang dari samping, mata paculnya yang
tajam kemilau,
terasa dingin, keadaan Sin-suya yang lengan baju kirinya sukah
koyak itu amat
runyam, keadaannya lucu dan menggelikan, dengan menggreget dia
ingin menelan
bulat2 lawannya baru terlampias dendamnya.
Kelam rona
muka Siang Cin, kedua tangan menepuk sekali, tiba2 ia bergoyang ke
kiri-kanan
sehingga pacul dua muka itu menyamber lewat, berbareng sebelah tangan
seperti tak
acuh dan menyongsong dada Sin-losu yang gembur penuh daging
berminyak itu.
Melengking
keras jeritan kaget Sin-losu, sekuatnya dia berusaha menggelinding ke
samping, tak
urung kulit daging pundak kanannya laksana dipapas tajam golok,
darah muncrat
keluar dari kulit dagingnya yang terbeset.
Dengan sebat
sekali kembali Siang Cin menghindarkan libatan sinar pedang warnawarni
yang
menggulung tiba, malah sempat pula dan melontarkan cemooh kepada
Sin-losu:
"Suya, tahanlah kesabaranmu." -- Di tengah berkata itu, sekaligus ia
melakukan
tujuh belas kali pukulan jarak pendek yang luar biasa, selintas pandang
dia hanya
sekali menggerakan tangannya, sasarannya menepuk punggung pedang
Keh Ki-sin,
tapi kenyataan Keh Ki-sin sendiri merasakan batang pedangnya bergetar
tujuh belas
kali sampai lengannya terasa kemeng, sementara pukulan telapak
tangan
terakhir lawan tahu2 sudah menyelonong menggempur batok kepalanya.
Menghadapi
serangan kilat ini, cepat2 Giok mo cu gunakan ujung pedangnya
menutul tanah,
tubuhnya bertolak mundur kebelakang, didengarnya Sin losu tengah
mencak2:
"Hayo kawan2 maju semua, ganyang durjana ini!"
Seiring dengan
aba2nya, dari kolong jembatan sesosok bayangan tiba2 melompat
keluar,
selincah kucing tiba2 menerkam, dengan senjata bernama Ci-kim-to (golok
tebal) di
tangannya membawa sejalur sinar dingin segera membacok.
Bayangan kuning
muda kembali berkelebat kurang jelas cara bagaimana jadinya,
"Trang",
tahu-tahu Ci-kim-to mencelat ke udara, sementara bayangan tubuh itu
seperti ingin
berlomba kecepatan, diiringi jeritan yang menyayat hati ikut mencelat
terbang ke
udara, darah menyembur deras dari mulutnya.
Dari dua sisi
rumah kembali menerjang keluar dua bayangan orang, hampir dalam
waktu yang
sama pula dari seberang jembatan bambu ber-turut2 jaga muncul empat
puluhan orang
yang bersenjata lengkap, cahaya warna-warni kilauan pedang kembal
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
19
menderu tiba,
otak Siang Cin bekerja cepat, sesekali dia melejit ke depan rumah, di
sana
didengarnya Sin-suya lagi ber teriak2: "Sin-losu bersumpah kepada
ibubapaknya
kalau kali ini
tak bisa membabar akar orang she Siang, kita takkan
berkecimpung
lagi di Kaugouw. Hayo gasak, bakar juga rumahnya!"
Dalam
kegelapan cahaya pedang warna-warni itu tampak menyolok, hawa pedang
yang tajam
kembali berhamburan, Siang Cin berkelit beruntun sembilan kali, mautidak-
mau dia harus
memuji kehebatan lawan: "Saudara Keh, Han Siau-kan ternyata
tidak
sembarang mengajarkan ilmu pedangnya padamu."
Siang Cin tahu
bahwa Giok-mo-cu Keh Ki-sin kini telah keluarkan keahlian ilmu
pedangnya,
Hoan-jit kiam-hoat.
Bayangan empat
puluhan orang bagai gelombang ombak samudera mendampar tiba,
yang datang
mendahului adalah lima orang laki2 setengah umur yang berperawakan
kurus tinggi
laksana galah, sekilas pandang Siang Cin lantas menyambut mereka
dengan tertawa
lebar: "Ngo-heng-ciok-cu, permusuhan kita agaknya sukar
diakurkan."
"Cis!"
laki2 paling depan yang berjenggot pendek berludah, gada ditangannya
menari
memenuhi udara, serunya: "Siang Cin, hari ini kau mengaku kalah
saja."
Siang Cin
tidak menanggapi, sebat sekali ia menerjang keluar cahaya pedang
warna-warni
terus membuntuti gerakannya, tapi tiga-empat bayangan orang belum
lagi sempat
berteriak tahu2 sudah jungkir balik sejauh beberapa kaki.
Senjata tampak
bersimpang siur dengan kilauan cahayanya yang serabutan.
bayangan
orangpun saling terkam dan tubruk, dalam sekejap itu, tujuh delapan jiwa
kembali
melayang direnggut maut.
Tiba2, selarik
sinar merah menjulang tinggi ke atas, lalu diiringi ledakan yang cukup
keras disertai
percikan api yang terus berkobar menjilat apa saja yang gampang
terbakar.
Sekali
tempeleng Siang Cin bikin laki2 berikat kepala hitam terbanting mampus
dengan kepala
pecah, sekilas melirik ke sana, dilihatnya rumah bambu yang mungil
kesayangannya
itu sudah dijilat jago merah, asap yang mengepul tinggi semakin
membara
sehingga alam sekeliling yang semula gelap menjadi terang benderang.
Bibirnya
terkancing rapat, sebat sekali dia menggenjot tubuh, ia meluncur ke sana,
tapi cahaya
pedang warna-warni itu masih terus membayanginya.
Waktu Siang
Cin tiba di depan rumahnya hawa panas cukup membuat sesak napas
manusia,
sesosok bayangan orang sejak tadi sudah mendekam di sana, kini
mendadak dia
melejit maju sambil ayun sebatang Liang-gin-kau (ganco perak
bercahaya)
mengincar perut Siang Cin.
- - - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - --
Siapakah dan
apa latar belakang pembakaran rumah bambu Siang Cin ini?
Bagaimana
nasib Kun Sim ti dan An Lip masih berada di dalam rumah itu?
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
20
Jilid 02
Perhatian
Siang Cin ditujukan untuk memadamkan api, dalam keadaan kepepet
tanpa siaga,
tak ada peluang baginya untuk berkelit, apabila berkelit berarti
membuang
waktu, se-olah2 tangan kirinya memang sejak tadi sudah mencengkeram
ujung ganco
perak lawan, tahu2 dia seret laki2 yang menyergap ini, mulutnyapun
menyeringai
seram: "To ciok-cu, serahkan saja jiwamu."
Pembokong
dengan ganco perak ini memang salah satu dari lima laki2 kurus tinggi
yang berjuluk
Ngo heng-ciok-cu tadi, dia orang nomor empat dari kelima Ngo-heng
yang bergelar
To-ciok-cu Phoa Lik, saking kaget dan ketakutan, baru saja dia
hendak
melempar senjatanya, tahu2 jiwanya sudah melayang, batok kepalanya
dikepruk
hancur oleh Siang Cin.
Baru saja
Siang Cin hendak menerobos masuk, hawa pedang berwarna-warni itu
menyambar pula
ke seluruh badannya, situasi yang dia hadapi kini cukup jelas, jika
dia balik
menghadapi Hoan-cit kiam hoat Keh Ki-sin, itu berarti dia akan tertahan dan
membuang
waktu, bila dia langsung menerjang ke dalam rumah yang sudah terjilat
api, akibatnya
cicinya pasti akan cidera.
Pikiran
bekerja dengan cepat, Siang Cin segera mengambil keputusan, gerakannya
tetap kencang
dan tak berhenti, ia tetap meluncur maju, sesaat sebelum badannya
terjun ke
tengah kobaran api, dikala badannya, masih terapung dan menarik diri
itulah, dia
merasakan sakit di bawah ketiaknya, tapi beberapa jurus pukulannya juga
telah di
lontarkan dalam waktu sesingkat itu, dengan telak iapun merasakan telapak
tangannya
mengenai sesuatu yang keras, tak sempat dia perhatikan, tapi dia tahu
bahwa dia
sudah mendapat imbalannya.
Gubuk bambu
yang dibangun serba sederhana dan mungil ini, kini sudah ditelan si
jago merah,
asap mengepul dan api menjilat kian kemari suara bambu yang dimakan
api
berkretekan menyebabkan Siang Cin kebingungan dan tak bisa membuka mata
karena pedas
oleh asap yang tebal.
Dua putaran
Siang Cin lari kian kemari di tengah lautan api sambil berteriak
sepertiorang
gila:
"Cici . .
. . bibi Ciu . . . . An Lip . . . . " Jawabannya adalah suara bambu pecah
yang
terjilat api,
suara wuwungan gubuknya yang mulai ambruk, sementara di luar orang
ber teriak2
mencaci maki dengan sengit.
Sejak malang
melintang di Kangouw Siang Cin tak kenal, gugup atau gelisah, tak
pernah merasa tegang
dan kuatir, reaksi di kancah pertempuran besar yang
menimbulkan
banjir darah, di tengah malam buta di tanah pekuburan yang sepi
menyeramkan,
di tengah kepungan musuh yang ber-lapis2, tak pernah ia merasa
tegang, gugup
dan gelisah, tapi sekarang, dalam sekejap ini, dia telah meresapi, dia
paham-betapa
pahit getirnya pengalaman seperti ini.
"Cici . .
. . oh . . . . cici . . . . " seperti orang gila dia menerjang ke
belakang, dimana
adalah kamar
tidur Kun Sim-ti, tiang yang telah terjilat api, kebetulan runtuh menimpa
kepalanya,
sekali pukul dia bikin tiang itu mencelat menjebol atap, tanpa pedulikan
api yang
menyambar kian kemari, tanpa hiraukan api sudah mulai menjilat badannya,
seperti
kehilangan ingatan dia terus menerjang masuk, dilihatnya Kun Sim-ti telah
rebah di
lantai, pakaiannya yang bersih itu kini sudah berlepotan darah, dinding
hangus yang
telah berkobar kebetulan runtuh hampir menindih badannya.
Mata sudah
membara, laksana diburu setan, sekuatnya ia menubruk maju, begitu
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
21
cepat sehingga
sukar melukiskan gerakannya, sesaat sebelum dinding bambu yang
ambruk hampir
menindih badan Kun Sim-ti, dengan punggung dia tahan dinding
bambu yang
terbakar itu, sekilas ia melihat An Lip yang telah terjilat api tengah
berguling2
di lantai,
laki2 kekar ini lagi mencekik leher seorang laki2 besar berbaju putih,
laki2 baju
putih ini sudah mendelik matanya, lidahnyapun terjulur keluar, rambutnya
sudah mulai di
jilat api, sementara badiknya menembus dada An Lip di bawah tulang
pundaknya.
Seluruh rumah
sudah terjilat api, Siang Cin mengertak gigi, dengan tangan kanan
memeluk Kun
Sim ti, sedikit miringkan tubuh, tangan kirinya meraih leher baju An Lip,
matanya
menjelajah keadaan sekitarnya, di bawah penerangan api yang berkobar,
hawa di dalam
rumah sudah mencapai suhu yang paling tinggi, dilihatnya sepasang
sepatu hitam
terjulur keluar disebelah sana. "Bibi Ciu. . .." ia berteriak.
Tersendat
suara Siang Cin, itulah mak inang yang mengasuh dan membesarkannya
sejak kecil,
sekian tahun berkelana di Kangouw, dengan bekal kepandaian yang
tiada taranya
ini, ternyata mak inang yang membesarkannya tak mampu
dilindunginya.
Sungguh pedih serta luluh hatinya. Akhirnya dia ambil putusan,
dengan kedua
tangan mengempit dua orang laksana panah yang menjulang ke
angkasa dia
terjang atap rumah yang ber kobar2 terus meloncat keluar, tujuh tombak
tingginya dia
meluncur meninggalkan kobaran api yang beterbangan diembus angin.
"Hari
belum terang tanah, cuaca masih gelap, badan Siang Cin yang masih berkobar
itu menjadi
sasaran pandangan yang jelas, maka hujan panahpun berhamburan ke
arahnya dari
berbagai penjuru, begitu kencang, rapat dan tak terhitung jumlahnya.
Sedikit miring
dan mendak, dengan cepat luar biasa badan Sang Cin anjlok turun ke
bawah, kira2
masih tiga tombak dari tanah, tahu2 ia berkisar laksana baling2
sehingga
tubuhnya doyong miring ke sana dan meluncur turun ke sungai, "Byuur",
api yang
menjilat tubuh mereka seketika padam mengepulkan asap dan lenyap
diembus angin,
di-tengah jerit kaget dan keheranan orang –banyak, tiba2 dengan
badan basah
kuyup itu Siang Cin meluncur keluar dari air terus melompat ke daratan,
belum lagi
hinggap di tanah, kedua kakinya dengan tepat mendepak dada dua laki2
yang tengah mengayun
golok di tepi sungai.
Sesosok
bayangan kurus tinggi tiba2 muncul, Kim-kung-tui (bandulan emas) sebesar
kepala bayi
menderu tiba, dengan rambut yang sudah awut2an, Siang Cin
mengegos ke
samping, bandulan emas itu menyempet lewat dalam detik2 yang
singkat ini,
sikut kiri Siang Cin menyodok telak lambung si penyerang.
"Ngek",
darah menyembur dan muncrat beterbangan, sambil merendahkan badan
sebelah kaki
Siang Cin terayun pula, empat laki2 yang menyerbu tiba kena
disapunya
jatuh lintang pukang dengan kaki "patah, semuanya menjerit kesakitan
dan terguling2
di tanah.
Meski kedua
tangan mengempit dua orang, tapi gerak-gerik Siang Cin masih tangkas,
lincah dan
cekatan laksana pusaran angin, dalam sekejap mata, enam laki2 kembali
terbaring
tanpa nyawa, kalau bukan didepak pecah kepalanya, pasti tertendang
remuk dadanya.
Bayangan orang
tampak berkelebat memburu datang, tapi darah korbannya mengalir
semakin
banyak, tubuh manusia gelimpangan tanpa nyawa, tapi mereka tidak
merasa jeri,
se-olah2 tak melihat dan mendengar, yang satu roboh, dua menubruk
tiba, inilah
lukisan nyata dari neraka, di mana jagal manusia tengah berlangsung.
Tegang dan
ketakutan Sin losu terbelalak kedua bola matanya, sungguh tak pernah
dibayangkannya
bahwa si Naga Kuning ternyata betul2 mempunyai kekuatan
terpendam yang
bukan olah2 hebatnya, tekad juangnya begitu gigih dan tak
terpadamkan.
Giok-mo-cu Keh
Ki-sin tampak duduk di bawah pohon, wajahnya pucat pasi,
napasnya
ter-engah2 kedua tangan mendekap dada, butiran keringat dingin
bercucuran,
dengan suara lemah serak dia bertanya: "Su . . . . Suko, apa di depan
sana?
Sin-losu
bergidik seram, suaranya tergagap: "Siang Cin ternyata tidak
kabur......."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
22
Berkilau sorot
mata Giok mo cu, serunya: "Dia mampus?"
Sin-losu
menelan liur, sahutnya hambar: "Tidak . . . . dia.... dia menyerbu kembali
dan banyak
korban . . . . . . "
"Huuuaaah,"
sekumur darah tertumpah dari mulut Keh Ki-sin, badan yang
menggelendot
itu seketika menjadi lunglai, lekas Sin losu memburu datang, sekilas
bola matanya
jelilatan, lalu dia membanting kaki penuh kebencian, mendadak ia
berkelebat ke
dalam kegelapan, dikala Sin-losu ngacir . . . yang terjadi. . itulah, satu
di antara Ngo
heng ciok cu kembali terjungkir balik sejauh dua tombak.
Se konyong2
seorang menjerit melengking: "Mana Sin-suya? Mana Keh-kongcu?
Mereka
melarikan diri."
"Ngacir?
Keparat, kita ditinggalkan mengadu jiwa di sini . . . . . . " suara caci
maki
yang bernada
gusar segera saling sahut.
Dalam pada itu
dengan sebat Siang Cin telah hindarkan bacokan Hou thau-to, sekali
sodok dengan
sikutnya dia bikin laki2 penyerang itu terpental dengan muntah darah,
suara ribut
berkumandang di mana2, bayangan orang berlarian dan lenyap di tempat
gelap, sekejap
saja semuanya sudab lari mencawat ekor.
Dengan langkah
sempoyongan Siang Cin berusaha menegakkan badannya, sekilas
matanya
menjelajah sekelilingnya, segera dia berlari pula ke depan terus melejit
tinggi hinggap
di pucuk pohon beringin yang tinggi lebat.
Tak lama
kemudian fajarpun menyingsing, cahaya mentari yang keemasan
memancar
cemerlang, cuaca pagi yang cerah, hawa sejuk, tapi keadaan di sini
sungguh
mengerikan.
Bersandar di
dahan pohon beringin yang lebat, dengan hati2 dan pelan2 Siang Cin
merebahkan An
Lip, laki2 kekar ini mengalami luka2 yang cukup parah, untungnya
badik yang
menembus dada itu menusuk miring ke atas, sehingga luka2nya tidak
fatal. Siang
Cin mencabut keluar badik itu, karena tidak membawa obat, untuk
mencegah darah
keluar terlalu banyak dia balut luka2 itu dengan sobekan kain
bajunya, kini
orang tengah tidur lelap, kalau tidak tentu sudah meraung kesakitan
dan jatuh
semaput waktu badik itu dicabut keluar dari dadanya.
Siang Cin
paham bahwa luka2nya sendiri juga tidak ringan, tapi sementara ini dia
tidak sempat
urus diri sendiri, Kun Sim-ti telah lelap dalam pelukannya, wajahnya
nan jelita bak
bidadari kini telah melepuh merah berair, bukan di pipinya saja, juga di
pundak, lengan
dan sekujur badannya terbakar.
Siang Cin
merasa syukur bahwa pertolongannya tepat pada waktunya, dia tahu asal
dirawat dan
istirahat untuk waktu yang cukup lama. Wajah Kun Sim-ti pasti tidak
akan
menimbulkan cacat apa2, tapi bila setengah langkah dia terlambat, wajah nan
jelita ini
pasti rusak, akibatnya sungguh tak berani Siang Cin membayangkan.
Selain luka2
terbakar pundak Kun Sim-ti juga terbacok golok, lukanya cukup dalam,
darah sudah
berhenti, membeku hitam membiru, semakin dipandang perasaan
Siang Cin
menjadi pedih seperti di sayat2.
Rumah bambunya
yang mungil itu, kini telah tinggal puing2nya saja, sisa bambu
yang masih
terbakar mengepulkan asap, taman di pekarangan depan rumahnya kini
sudah acak2an
tak keruan, mayat tampak bergelimpangan di sana darahpun
berceceran.
ditambah berbagai alat senjata yang berserakan, pemandangan
sungguh amat
mengerikan.
Siang Cin
menarik napas panjang, di bawah ketiak kanannya ada sejalur luka
panjang, tapi
kulit daging sekitarnya kini sudah pati rasa, cuma luka terbakar
dipunggung
yang kini masih menyiksanya, rasanya seperti ditusuk ribuan jarum, atau
di gigit
ribuan semut.
Siang Cin
menjadi kehilangan akal, padahal yang luka parah harus selekasnya diberi
pertolongan,
tapi umpama dia sanggup menyeret kedua orang luka parah ini dan
mencari tabib,
kan bisa celaka kalau jejaknya sampai konangan musuh? Siang Cin
tahu, selama
beberapa tahun belakangan ini, permusuhan yang dia ikat selama
berkecimpung
di Kangouw jauh lebih banyak dari pada teman2 yang dikenalnya.
Dikala memeras
otak itulah, derap kaki kuda yang mencongklang pesat sayup2
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
23
datang dari
kejauhan, derap kaki kuda terdengar kacau dan berpacu kencang, naluri
Siang Gin
segera merasakan adanya gejala tidak menguntungkan bakal tiba.
Tak lama
kemudian, derap kuda itu berhenti di luar hutan, dengan cepat dua puluhan
orang dengan
mengenakan seragam abut ketat muncul dari balik pohon sana,
semuanya
adalah laki2 yang bermuka bengis dan jahat, gerak-gerik mereka cukup
tangkas terus
menyebarkan diri, tak lama kemudian muncul pula lima puluhan orang
yang
berseragam sama ber-bondong2 memasuki hutan, tanpa di beri aba2 mereka
langsung
memecah diri menjadi sebuah lingkaran, busur panah siap di tangan
mereka sama
diarahkan kegelanggang seperti sedang menghadapi pemandangan
yang seram.
Baru saja ke
delapan puluhan orang di sini selesai membenah diri, muncul pula dua
puluhan orang
dengan dandanan yang beraneka ragam, meluncur tiba dari berbagai
penjuru hutan,
lalu muncul pula seorang laki2 berusia tiga puluhan, bibir merah gigi
putih, dengan
jubah mentereng yang di bagian dada bersulam huruf "GI", empat
laki2 yang
berwajah kereng mengiring di belakangnya, di belakang ke empat orang
ini beranjak
pula seorang laki2, dia bukan lain adalah Gui Ih yang kemarin menghajar
An Lip dengan
cemetinya, Gui Ih adalah pelaksana hukum dari seksi bendera merah
Siang-gi-pang.
Siang Cin
menyengir getir, sungguh amat kebetulan, dalam keadaan seperti ini,
pihak
Siang-gi-pang ternyata meluruk datang pula hendak membuat perhitungan
dengan
dirinya.
Agaknya laki2
jubah kelabu dengan huruf "Gi" yang tersulam di depan dada itu
menjadi
melenggong menyaksikan pemandangan di depan mata, wajahnya yang
cakap itu
mengernyit, terlihat bekas luka di jidatnya, codet ini sebesar mata uang,
kini kelihatan
bersemu merah, sekilas dia menyapu pandang sekitarnya, lalu berkata
dengan suara
kereng: "Gui-angki, selama enam belas jam ini, dengan berbagai daya
upaya dan
mengerahkan puluhan tenaga terpercaya baru kita berhasil menemukan
alamat si Naga
Kuning, tapi sekarang kita hanya menemukan puing2 dengan mayat
yang tak mampu
berbicara lagi.".
Agaknya Gui Ih
juga tertegun sekian saat dia melongo, sahutnya kemudian: "Bahwa
gubuk yang
terbakar itu jelas adalah tempat tinggal orang she Siang, bocah itu
terlalu banyak
mengikat permusuhan, bukan mustahil para musuhnya telah
mendahului
kita mengobrak-abrik tempatnya ini . . . . "
Tangan si
jubah kelabu mengelus hurus "Gi" di depan dadanya, dengusnya dengan
kurang senang:
"Menurut penyelidikanmu, berapa banyak anak buah Siang Cin yang
tinggal
bersama dia?"
Berpikir
sebentar Gui Ih menjawab dengan suara lirih: "Kecuali seorang mak inang
rasanya tiada
orang lain yang tinggal bersama dia, selamanya dia malang melintang
seorang diri .
. . . "
Mendelik mata
si jubah kelabu, katanya keras, "Ada puluhan mayat menggeletak di
sini, sukar
dipercaya dengan seorang diri dia mampu menjagal orang sebanyak ini,
apalagi mereka
bersenjata semuanya." - Sampai di sini dia berpaling ke kanan dan
berkata kepada
laki2 tua berjenggot pendek: "Jing-sim tong Cui tongcu, kau pimpin
beberapa
orang, geledah sekeliling sana."
Laki2 tua itu
membungkuk sambil mengiakan, lalu melompat ke depan, sepuluhan
orang anak
buahnya segera ikut berlari di belakangnya, mereka mulai memeriksa
semua mayat satu
persatu, dari kejauhan tiba2 laki2 tua itu menjerit: "Hah, bukankah
ini Cui
ciok-cu Ong Bu, orang ketiga dari Ngo-heng-ciok cu." - Belum lenyap gema
suaranya
kembali ia menjerit pula: "Heh, inikan Bok-ciok-cu Phoa-lat. Ah. ini Tio
Wijiang.
Cong-thau-bak
dari Thian-king-kau, Wah, Cap-ji-hwi-so dari Lam-bu-san juga
menggeletak
seluruhnya. Ini Nyo Cayseng, guru pelatih dari Ban-keh po. Ai, ini Liang
Tam, Hupangcu
dari Ui-hong pang di Toa-ih-ho . . ."
Setiap kali
mendengar teriakan si laki2 tua, air muka si jubah kelabupun berubah
semakin kelam,
akhirnya dia tidak tahan lagi, serunya: "Cui tongcu, carilah mayat
orang she
Siang." --- Sampai di sini dia melotot, pula ke arah Gui Ih dengan muka
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
24
merah cepat
Gui Ih berlari ke sana ikut bantu mencari, perhatiannya hanya tertuju
pada mayat
Siang Cin saja.
Sesaat
kemudian, dengan tangan berlepotan darah Cui-tongcu kembali, katanya
sambil
menggeleng: "Lapor Pangcu, seluruhnya ada tiga puluh dua mayat,
semuanya jago2
silat yang punya nama di tiga propinsi utara, paling tidak mereka
sudah cukup
disegani oleh sesama kaum persilatan, beberapa tahun belakangan ini
kita sudah
cukup luas bergaul di Kangouw, di. antara 32 mayat dt sini ada dua
puluhan lebih
yang kukenal . . . . " setelah menghela napas dia menyambung:
"Umpama
Nyo Cay-seng, Nyo-lote, dua hari yang lalu masih minum arak bersamaku,
tak tersangka
hari ini aku harus mengubur mayatnya di sini."
Si jubah
kelabu melotot tanpa bersuara, tak lama kemudian Gui Ih pun telah balik,
katanya dengan
ragu2: "Di bawah puing terdapat dua mayat yang sudah menjadi
arang, satu
laki dan satu perempuan, dari pakaiannya jelas si perempuan itu adalah
mak inang . .
. . . "
Si jubah
kelabu menggentak kaki, tanyanya gusar: "Dan yang laki2?"
Gus Ih ragu2,
sahutnya kemudian: "Sudah menjadi abu dan sukar dikenal lagi, cuma
pakaian yang
dikenakan tampaknya bukan warna kuning . . . . . "
"Hayo,
geledah seluruh pelosok!" teriak si jubah kelabu dengan mendelik.
Delapan
puluhan orang serempak mengiakan mereka lantas memencar mengobrak
abrik ke mana
saja yang dipandang bisa digunakan bersembunyi.
Cui-tongcu
dari Jing-sim-tong itu agaknya. berkedudukan cukup tinggi, ia berdiri di
depan si jubah
kelabu dengan nada berat dia berkata: "Pangcu, bicara terus terang,
betapa tinggi
kepandaian si Naga Kuning Siang Cin belum pernah kita saksikan,
paling tidak
juga pernah kita dengar, pemandangan di depan mata merupakan bukti
nyata, maka
menurut pendapatku jika Pangcu suka bersabar, urusan ini kiranya bisa
disudahi saja.
. . . . "
Codet di jidat
si jubah keiabu tampak semakin merah, sedapat mungkin dia menekan
amarahnya,katanya
kurang senang: "Cui-tongcu, peristiwa ini menyangkut nama dan
wibawa Siang
gi-pang kita, jika kita harus berpeluk dengan menghadapi usik orang
lain tanpa
memberi sedikit hajaran padanya, memangnya Siang gi pang masih punya
wibawa untuk
bertengger di kalangan Kangouw, bagaimana kita dapat memimpin
anak buah yang
berjumlah sekian banyak?"
Cui tongcu
mengelus jenggot, katanya kalem: "Ucapan Pangcu memang tidak salah,
tapi kita juga
harus menimbang, gengsi dan wibawa yang akan kita pertahankan
harus kita
rebut, kalau sebaliknya, kukira ini bukan cara yang baik."
Mendelik si jubah
kelabu, dingin suaranya: "Cui tongcu ini sudah menjadi keputusan
Pang kita yang
tak boleh diubah, peduli betapapun besar pengorbanan yang harus
kita
pertaruhkan, sakit hati ini tetap harus kita tuntut."
Cui tongcu tak
bersuara lagi, diam2 dia mengundurkan diri ke samping. Di pucuk
pohon beringin
Siang Cin dapat mertyaksikan semua ini dan mendengar pula
dengan jelas,
dengan senyuman getir ia mengawasi orang2 Siang gi-pang yang
mondar mandir
menggeledah kian kemari.
Cepat sekali
sang surya naik semakin tinggi, Si jubah kelabu menunggu dengan
tidak sabar
lagi, sambil menggendong tangan dia mondar-mandir tidak tenang,
keempat laki2
kekar berdiri berjajar di belakangnya dengan meluruskan tangan.
Siang Cin tahu
keempat orang ini adalah Su-koay-Cu yang kenamaan dari Siang-gipang,
mereka adalah
pengawal pribadi Sam-bak-siu-su Tan Sin, Pangcu Siang-gipang.
Si jubah
kelabu Sam-bak-siu-su Tan Sin, mendadak mengayun tangan ke atas,
teriaknya
dongkol: "Sudah, berhenti! Semuanya pulang saja! Aku tidak percaya
orang she
Siang itu mampu terbang ke langit atau selulup ke bumi,"
Lekas
Cui-tongcu menepuk tangan, serunya: "Perintah Pangcu, penggeledahan
dihentikan."
Orang2 yang
sudah menyebar luas ke dalam hutan itu segera putar balik dan
berkumpul di
tempat semula, belum lagi mereka sempat membentuk formasi
lingkaran
tadi, dari luar hutan tiba2 terdengar suara "pletak-pletok", suara
beradunya
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
25
papan kayu. .
Baru saja Tan
Sin berpaling dengan pandangan heran, anak buahnya di luar hutan
sudah
menghardik: "Berhenti saudara di depan itu Siang-gi-pang sedang ada
perkara di
sini. Bendera kami berkibar di sana, memangnya saudara tidak
melihatnya?"
Suara
"pletak-pletok" tak terdengar lagi, diganti suara aneh yang bernada
melengking:
"Eh, maknya dirodok, di siang hari bolong juga berani main begal di sini?
Penyamun
keroco juga pasti melihat tempat dan waktu bila mau beroperasi, kalian
ini penyamun
keparat dari mana yang tidak bisa melihat gelagat? Untung tuan
besarmu hanya
membawa batok kepala yang bertengger di leher tok, tiada sekeping
uang yang bisa
kau peras dari badanku, memangnya kalian mau berbuat apa
terhadapku."
Hardikan di
luar kembali berkumandang: "Saudara yang baik, tentunya kaupun
sudah kenyang
berkecimpung di Kangouw, jangan bertingkah dan berlagak pilon di
depan kami,
kalau tahu diri lekas menyingkir saja."
Suara aneh
seperti orang banci tadi berteriak pula: "Wah aneh, tuanku sudah biasa
berkeliaran
main terobos rumah dan selundup dalam hutan, ke langit bisa terbang,
ke bumi aku,
bisa selulup, kemana aku suka pergi boleh sesuka hatiku, siapapun
tiada yang
berani mengusik seujung rambutku, memangnya kalian tetap mengadang
di tengah
jalan ini dan tidak mau menyingkir?"
Tan Sin
menarik muka, jengeknya: "Keparat ini jelas sengaja mencari gara2, suruh
mereka biarkan
dia kemari, akan kulihat ke mana dia mau pergi."
Seorang laki2
baju abu2 segera berlari keluar hutan, tak lama kemudian, suara
"pletak-
pletok" seperti ketokan kayu penjual bakmi berkumandang pula Eh ternyata
beranjak
kemari, menuju ke arah orang banyak ini.
Siang Cin yang
ada di pucuk pohon dia sudah menjadi gelisah, dia tahu orang yang
suka mengetok
kepingan kayu bila berjalan ini adalah teman karibnya sehidupsemati,
pendekar aneh
yang bergelar Liang kui pan dari Hou-keh-can, namanya Pau
Seh-hoa.
Tingkah
lakunya lucu dan aneh, bajik dan dermawan, kini dia mengenakan celana
panjang biru
yang sudah luntur, ikat pinggungnya adalah seutas tali rami yang
kelihatan
mengkilap karena kotor berminyak, kakinya pakai sepatu rumput yang
butut dan
sudah berlubang alasnya, rambut yang awut2an laksana sarang ayam
tersunggih di
atas kepalanya, matanya yang sipit seperti kurang tidur tumbuh di
bawah jidatnya
yang lebar, hidung besar, mulutnya yang lebar dengan gigi kuning
prongos,
mulutnya selalu kerkecap mengiringi bunyi pletak-pletok dua keping kayu
yang
bergantung di belakang pantatnya, papan kayu warna hitam terbuat dari kayu
kenari.
Dengan tajam
Tan Sin tatap kedatangan tamu yang tak di undang ini, Pau Seh-hoa
unjuk tawa
lucu kepada Pangcu besar ini dengan gigi yang prongos, tiba2 matanya
melirik dan
mulut yang lebar itu menciut, katanya- "Rumah di sini sudah dibakar?"
Dingin tatapan
Tan Sin, katanya: "Memangnya kenapa?"
Pau Seh hoa
mengernyit hidung, seperti tawa tidak tertawa dia berkata; "Kalian yang
melakukan?"
Tan Sin
menengadah, jengeknya: "Kalau benar mau apa?"
Pau Seh-hoa
pandang sekelilingnya, mendadak sikapnya berubah, suaranya bukan
saja dingin
kaku, katanya ketus: "Lalu bagaimana dengan saudaraku Siang Cin?"
Tan Sin
menjengek: "Aku justeru ingin tanya padamu tentang dia."
Sekilas
melengak, mendadak Pau Seh-hoa terbahak2. "Slut", dia membuang ingus,
lalu miringkan
kepala dan berkata sambil menuding Tan Sin: "Ya, ya, aku tahu
kawan, dengan
bekal kemampuan kalian yang tak becus ini. terbukti dengan korban
yang
gelimpangan itu sekarang berbalik kau tanya pada tuan besarmu malah
Hahaha, hohoho
Siang-lote O, Siang-lote, memang hebat kau, kau benar2 hebat . . . .
"
Dikala gema
tawanya masih mendengung, tiba2 dari sebelah sana menggeledek
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
26
suara
hardikan, seorang laki2 baju hijau dengan jambangnya yang kasar mengayun
golok besar
menubruk tiba, goloknya membacok ke muka Pau Seh-hoa.
"Hait,
kurang-ajar! Tidak pakai aturan . . . . " demikian seru Pau Seh-hoa, tapi
tanpa
bergeming
sedikitpun, malah kepalapun tidak tampak bergerak, entah bagaimana,
tahu2 kedua
tangannya bergerak, "pletak", "klontang", golok besar si
penyerang
tahu2 terbang
ke angkasa, sementara laki2 penyerang itu terlempar ke belakang
jatuh terduduk
dengan kaki tangan mencak2.
Tangan Pau
Seh-hoa tampak bergerak membalik dua keping kayunya entah sejak
kapan tahu2
sudah berada di tangan dan kini sedang dilempar naik turun buat
mainan, sambil
geleng2 kepala kembali ia mengoceh dengan nada nyentrik:
"Keparat
yang tidak tahu adat, hari ini sekedar kuhajar kau supaya selanjutnya tahu
sopan santun .
.."
Mulutnya
mengoceh, sikapnyapun tak acuh, malah kelihatan pongah, tapi dengan
jelas dilihat
Pau Seh hoa betapa hebat perubahan air muka Tan Sin, mukanya
sedingin es
dan membesi hijau, anak buah Siang-gi-pang di sekelilingpun serentak
memegang
gagang senjata, panah terpasang di busur siap menanti aba2 untuk
menyerang,
suasana cukup tegang.
Cui-tongcu
yang berjenggot kambing itu batuk2, katanya dengan suara ketus:
"Saudara
ini kiranya seorang kosen, siapa benar dan siapa salah kenyataan yang
akan
membuktikan, sekarang saudara boleh sebutkan namamu dulu."
Mata sipit Pau
Seh hoa terbelalak, lidahnya terjulur menjilat bibir dari kiri ke ujung
kanan,
suaranya kini berganti dingin dan kasar. "Hm. Siang gi-pang terhitung
perkumpulan
kentut apa? Pau-loya sudah cukup bersikap ramah, tapi kalian justeru
mau main kayu?
Main serang secara serampangan, memangnya Pau-loya ini anak
kura2?
Dengarkan dengan baik, "dua keping kayu- Pau Seh-hoa ialah orang yang
berdiri di
depan kalian ini."
Manusia punya
nama, pohon ada bayangan, peribahasa ini memang tepat. Seketika
berdetak
jantung Cui tongcu demi mendengar orang memperkenalkan diri, sekilas ia
tertegun. Pau
Seh-hoa tidak hiraukan sikap orang, mulutnya ber kecek2 lalu berkata
dengan mimik
tertawa tidak tertawa: "Bagaimana? Tan- toapangcu agaknya masih
penasaran?"
Sam-bak sin-su
Tan Sin belum pikun, sudah tentu dia tahu macam apa tokoh "dua
keping
kayu" dari Hou keh-san ini, beberapa tahun yang lalu dengan dua keping
kayunya itu
Pau Seh hoa pernah menyapu habis kaum berandal Toa-lo-cian, hongpian
dan
"Sam-wi tui dari Sam jay seng yang berkuasa di Kwan tang. Memangnya
siapa yang
berani mengusik Hou eng (elang harimau) yang menunggui Ui-ji-eng,
semacam rumput
sakti yang dapat memunahkan ratusan macam racun di Hian-busan?
Tapi seorang
diri dengan senjata dua keping kayunya Pau-siansing ini telah
sikat elang2
ganas itu, puluhan elang telah dibinasakan, dengan senang Pau Sehhoa
memboyong Ui
ji-eng turun gunung dengan kemenangan gemilang. Kejadian
baru tahun
yang lalu pentolan It tia liong, Liu-to Ce Seng sek mengajak Pau Seh hoa
duel sampai
mati. dalam tujuh belas jurus orang she Pau ini telah mengetuk remuk
batok kepala
lawannya. Nama Ce Seng sek cukup disegani di utara sungai besar,
anak kecil
yang menangispun seketika berhenti ketakutan bila mendengar namanya.
Begitulah, Tan
Sin tampak guram, katanya sambil menahan marah: "O, kiranya kau
Pau . . . ..
Pau-tayhiap dari Hou-keh-san."
Pau Seh-boa
tertawa lebar, katanya: "Ah, jangan begitu sungkan, memangnya
macam apa
tokoh Tayhiap itu? Merampas yang kaya membantu si miskin,
mendukung si
lemah menumpas yang jahat, dia harus punya wibawa dan gagah
perkasa, nama
kebesarannya mampu menggoyahkan gunung, darahnya yang panas
dapat
meluluhkan musuh, berjiwa baja bernyali besi, orang seperti Siang loteku itu
baru boleh
disebut Tayhiap. Kalau aku orang she Pau ini, aku ini cuma gelandangan
kaum Kangouw
saja."
Mengawasi
puing2 di depan sana, Tan Sin bertanya dengan suara rendah: "Ada
hubungan apa
antara tuan dengan orang she Siang itu?"
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
27
Pau Seh-hoa
unjuk gigi prongosnya yang kuning, katanya: "Sahabat sehidup
semati."
Bergetar badan
Tan Sin, teriaknya: "Jadi tuan mau memikul perbuatan busuknya?"
Berkedip mata
sipit Pau Seh-hoa seperti orang mabuk, jengeknya: "Andai kata
Siang-gi-pang
kalian bermusuhan dengan Siang-lote, boleh kau membuat
perhitungan
dengan aku orang she Pau."
Pelan2 Tan Sin
menyurut selangkah, tampak perubahan pada air mukanya, diam2 ia
menimang
kekuatan sendiri serta mempertimbangkan kira2 sampai di mana
kemampuan
musuh, bila kekuatan dan kemampuan ini saling bentrok betapa pula
akibatnya.
Secara iseng
Pau Seh hoa memainkan keping kayunya secara akrobatik, kepingan
kayunya itu
menari naik turun ber-putar2 secara menakjubkan, hidungnya yang
besar ikut
ber-gerak2 seperti mengejek menambah kocak permainannya.
Keadaan
menjadi beku, pihak Siang gi pang banyak orang dan kekuatanpun besar,
tapi mereka
juga mengerti, musuh yang mereka hadapi adalah seekor ular sakti
berbisa, ular
berbisa yang pandai tertawa.
Lekas Cui
tongcu beranjak maju ke samping Tan Sin, lalu ber-bisik2 di telinganya,
jelas
kelihatan rona muka Tan Sin berubah berulang kali dan tampak semakin jelek,
tapi sedapat
mungkin dia menahan gejolak marahnya. Pelan2 akhirnya Tan Sin
melangkah
keluar hutan dengan muka bersungut, lima-enam langkah kemudian
tiba2 dia
berpaling, katanya: "Saudara Pau!"
"Hm, ada
apa, aku sudab pasang kuping?"
Tan Sin
menarik napas, katanya: "Kejadian hari ini pasti akan selalu kami ingat
dan
akan membuat perhitungan
kelak."
Pau Seh- hoa
cekikikan, suaranya tak kalah dingin: "Sudah tentu, ingin dilupakan
juga tidak
bisa, ya toh?"
Tanpa bersuara
lagi Tan Sin mengulap tangan, cepat sekali dia undurkan diri
membawa
seluruh anak buahnya, Gui Ih jalan paling belakang, sebelum keluar hutan
dia berpaling
sambil mendelik ke arah Pau Seh-hoa.
Mulut Pau Seh
hoa ber kecek2. "Pletak" dia adu kedua keping kayunya seraya
mengejek
dengan suara melengking: "Awas batok kepalamu, bantal."
Gusar tapi tak
tahu apa maksud ucapan orang, Gui Ih hanya mendelik murka. Hal ini
malah
mendatangkan gelak tawa Pau Seh-hoa, serunya: "Memangnya bantal salah?
Eh,
menyulam!"
Dengan tatapan
kebencian, lekas Gui Ih melangkah pergi. Hutan kembali menjadi
sunyi mencekam
dan seram. Sang surya tetap memancarkan cahayanya, suhu
panasnya
semakin mengeringkan noktah2 darah yang berceceran, bau anyirnya
darah lekas
sekali terembus angin lalu, Mayat2 yang bergelimpangan itu ada yang
mendelik, ada
yang membentang mulut, satu dan lain berbeda tapi sama
mengerikan,
memang beginilah kehidupan insan persilatan yang berkecimpung di
Kangouw, tak
kenal persaudaraan, tak kenal sesama manusia, sekali bermusuhan,
mati adalah
akhir dari persengketaan itu.
Mata Pau Seh
hoa yang sipit itu menampilkan rasa hambar yang sukar diraba, dia
mendongak
seperti melihat cuaca, lalu pelan2 duduk tersimpuh di tanah, akhirnya ia
menengadah ke
arah pohon beringin di depan sana, di mana Siang Cin sembunyi
dibalik
dedaunan yang rimbun. Katanya: "Dengarkan Siang-tayhiap, sang naga di
angkasa,
lekaslah kau turun saja, memangnya enak berayun di atas dahan pohon
yang
bergontai?"
Siang Cin yang
sembunyi dibalik dedaunan tertawa, akhirnya dia menyingkap daun
serta melongok
keluar, katanya: "Lo Pau, amat kebetulan kedatanganmu, tepat pula
waktunya
kehadiranmu."
Hidung Pau
Seh- hoa yang besar mengendus2, katanya: "Kau terluka?"
Siang Cin
tertawa, katanya: "Tidak terlalu parah, malah Kun-cici dan seorang kawan
yang terluka
cukup parah."
Cepat berdiri
dan langsung Pau Seh-hoa melejit ke atas pohon, dahan pohon
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
28
berkeresek
sekian lama, akhirnya dia gendong An Lip melompat turun. Dengan
penuh
perhatian dan hati2 sekali Siang Cin juga bawa Kun Sim-ti melayang turun,
sementara Pau
Seh hoa sudah keluarkan obat serta membalut luka2 An Lip, katanya
dengan suara
lirih: "Kondisi kepala besar ini cukup baik, mujur nasibnya. kalau badik
itu sedikit
menceng ke bawah, terpaksa dia harus menitis kembali pada kelahiran
yang akan
datang."
Dengan
menggigit bibir Siang Cin menatap wajah Kun Sim-ti yang terbakar hangus
itu, sungguh
pedih hatinya, sementara Pau Seh hoa tengah membersihkan noda
darah di
pundak An Lip, tanpa berpaling dia berkata: "lote di pinggangku tergantung
sebuah kotak
rotan, di dalam ada tiga kaleng bubuk, yang warna merah untuk obat
luar, yang
warna hijau boleh diminum, sedang sekaleng lagi yang putih boleh kau
gunakan
sendiri untuk membubuhi luka2mu."
Tanpa bicara
Siang Cin menghampiri mengambil kotak yang disebut, Kun Sim ti
dibopongnya ke
bawah pohon yang lebih terlindung, dengan hati2 dia baringkan Kun
Sim ti, dengan
seksama dia mencuci bersih luka2 serta membubuhi obat, gerak
geriknya
ringan dan lembut.
Hening sesaat
lamanya, akhirnya Siang Cin membuka pertanyaan: "Lo Pau, obatmu
ini diracik
dari bahan apa?"
Pau Seh-hoa
tertawa, cemoohnya: "Kenapa? Memangnya tidak manjur?"
Kumandang tawa
Siang Cin, katanya: "Bukan, malah manjur sekali, rasanya dingin
nyaman meresap
kulit daging."
Pau Seh-hoa
tengah mencekok sebotol obat cairan ke mulut An Lip, katanya tawar:
"Ui
ji-eng, rumput sakti dari Hiun-bu-san, binatang buas elang harimau saja
menjaganya,
merekapun tahu kasiat rumput ini, apalagi manusia?"
Dengan langkah
enteng Siang Cin muncul dari balik pohon, raut mukanya yang
tampan
memancarkan cahaya terang, lukanya ternyata juga telah terbalut cukup rapi.
"Lo Pau,
sebelum kau sempat mengerjakan dua keping kayumu aku bisa memberi
persen dua
kali tamparan ke mulutmu sebagai hukuman bagi mulutmu yang ngoceh
tak keruan
tadi, kau percaya?"
Lekas Pau
Seh-hoa goyang kedua tangannya, serunya : "Percaya, percaya, seribu
kali percaya.
Orang she Pau
tak pernah jeri menghadapi siapapun juga, tapi terhadap
tamparanmu itu
aku paling takut. Wah, tak pernah kulupakan demontrasi yang
pernah kau
pamerkan di sarangku di tengah sungai Hwi-yang-kang dulu, sebelum
batu seberat
lima puluh kati yang kau lempar ke udara itu jatuh ke bawah, dengan
kedua tanganmu
sekaligus kau dapat menyampuk jatuh seratus tiga puluh tujuh ekor
burung gereja
. . . . . . . "
Tertawa lebar
Siang Cin, ia berkata: "Soalnya di Hou-keh san tempat kediamanmu
Itu tiada
burung gereja lebih banyak lagi, kalau tidak, dalam waktu sesingkat itu bisa
lebih banyak
lagi burung gereja yang dapat kupukul jatuh."
"Crot",
Pau Seh-hoa berludah, matanya melotot, serunya: "Ha, baru dipuji sudah
lantas mau
makan hati? kau memang takabur."
"Lo
Pau," ucap Siang Cin sambil menggosok hidungnya, "omong2, sejak kini
Sianggi
pang mungkin
tidak akan berpeluk tangan lagi terhadap dirimu."
Pau She-hoa
menggeliat, katanya: "Ya, Kongcu, semua itu kan hadiahmu padaku?"
Terpancar
sinar dingin pada sorot mata Siang Cin, katanya tenang: "Kuharap jangan
karena
persoalan ini Siang-gi pang sampai mengalami keruntuhan."
"Karena
soal apa?" tanya Pau Seh- hoa.
Secara ringkas
Siang Cin ceritakan pengalaman An Lip.
Pau Seh-hoa
berdiam sebentar, katanya kemudian: "Lote, kau ini memang
keterlaluan,
bukan saudaramu ini suka cerewet, kau memang suka bunga, mega,
rumput,
sanjak, lukisan dan segala keindahan, tapi semua ini serba menyebalkan
bagiku. Kau
mem-buang2 tenaga hanya demi persoalan sepele ini, kukira tidak
setimpal,
perempuan bukan melulu . . . . "
Tajam tatapan
Siang Cin, bola matanya yang bening memancarkan cahaya yang
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
29
lembut dan
tulus, tapi Pao Seh hoa yang ditatapnya menjadi kikuk sendiri, serunya:
"He,
kenapa kau pandang aku begitu rupa?"
Siang Cin
tersenyum, katanya dengan suara rendah: "Jangan terlalu nyentrik Lo Pau,
perempuan yang
pernah kau cintai dua belas tahun yang lalu memang tidak bersalah,
kau sendiri
yang salah. Tidak pantas lantaran dia meninggalkan kau lantas kau
lampiaskan
rasa sirikmu kepada perempuan yang lain, kalau dunia ini tanpa
perempuan,
hidup ini akan terasa tawar dan tiada artinya."
"Sudahlah
Lote, jangan bicara soal itu lagi," ujar Pau Seh-hoa, "perempuan itu,
hm,
memang tidak
punya liangsim, kalau dia punya perasaan tidak seharusnya dia merat,
bila suatu
ketika dia kutemukan, kalau tidak kubeset kulitnya hidup2 jangan panggil
aku orang she
Pau."
Siang Cin
tertawa, katanya: "Siapa suruh kau bermain patgulipat dengan perempuan
lain di luar
tahunya? Ini namanya kau tidak setia terhadap kekasihmu."
"Tidak
setia?" Pau Seh-hoa berteriak. "Busyet, itu kan cuma iseng saja.
Memangnya
laki2 mana
yang tak pernah berbuat iseng di luaran? Memang nya soal beginian juga
harus dibuat
perkara, malah main minggat segala? Kalau tidak bicara soal ini aku sih
tidak marah,
sekali menyinggung soal perempuan itu, ingin rasanya aku
mencacahnya
serta membakarnya menjadi abu .... "
Siang Cin
geleng2 kepala dan tak bicara lagi, dia menghampiri Kun Sim-ti, Pau Sehhoa
mengawasi
dengan melenggong, perasaannya hampa seperti kehilangan apa2.
Mendadak dia
memanggil Siang Cin ingin bicara, tapi ragu2, akhirnya dia ganti
haluan:
"Lote, mayat bergelimpangan, kau belum lagi menjelaskan apa yang telah
terjadi?"
Siang Cin
bersenyum, katanya: "Karena persoalan di Siau-mo-nia dulu itu, Sin-suya
meluruk
kemari. Kau masih ingat kejadian dulu itu?"
"Mereka
meluruk kemari," Pau Seh-hoa bergumam sambil celingukan, "tapi
meninggalkan
sekian banyak mayat . . . . "
Di balik pohon
sana pelan2 Siang Cin beg jongkok menatap muka Kun Sim-ti yang
dibalutnya
hingga cuma sepasang matanya saja yang masih kelihatan, kedua
matanya
terpejam, namun bulu matanya yang panjang melengkung kelihatan elok
dan indah.
Tiba2 badan
Kun Sim-ti sedikit bergeming, lekas Siang Cin, memanggil dengan
suara halus
"Cici. . ."
Pelan2 kelopak
mata itu bergerak, sorot matanya yang sayu masih membayangkan
adegan seram
menakutkan semalam, ia pandang Siang Cin, lama dia menatap
tanpa
berkedip, akhirnya ujung matanya mulai basah:
Sekuatnya
Siang Cin mengunjuk senyum, katanya lembut "Ci, kau sudah baik?
Segalanya
sudah lalu ...."
Mata Kun
Sim-ti terpejam sebentar lalu terpentang pula, sorot matanya mengandung
rasa kuatir
dan prihatin, Siang Cin mengerti, lekas dia berbisik: "Aku tidak apa2,
hanya sedikit
terluka bakar."
Rasa lega dan
terhibur jelas kelihatan dari sorot matanya, hal ini dapat di resapi oleh
Siang Cin,
setelah menelan liur dia berkata: "Kau lapar tidak?
Biar kusuruh
bibi Ciu . . .. suruh bibi Ciu membuat sarapan untukmu . . . . "
Pelahan Kun
Sim-ti menggeleng, butiran air matanya akhirnya menetes di atas kain
perban, lekas
Siang Cin bantu menyekanya dan katanya: "Kau amat letih, tidurlah
lagi, aku
selalu menunggu di sisimu. Oh, ya, Pau-toako juga datang, bentuknya
masih seperti
dulu, tetap berkepala pengemis."
Tersenyum
rawan pada wajah yang sayu, Kun Sim-ti pejamkan matanya, bukan
lantaran dia
ingin mengejar impian, tapi dia ingin menyimpan persaan hangat dalam
hatinya yang
hampa.
Musim semi
hampir berlalu, sinar surya mulai terasa panas menyengat kulit dengan
belaian lembut
Siang Cin bikin Kun Sim-ti kelelap dalam tidurnya, lalu ia keluar
sambil
membopongnya, di luar An Lip sudah siuman, dia tengah berbincang dengan
Pau Seh hoa.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
30
Melihat Siang
Cin, bergegas An Lip hendak berbangkit, tapi Pau Seh-hoa lekas
mencegah,
katanya: "Eh, kau si berewok ini kenapa begini bandel? Sekujur badan
terluka masih
banyak tingkah? Kongcuya datang, sikapmu yang hormat sudah cukup
diresapi
olehnya."
Siang Cin
pandang wajah si berewok yang pucat dan lemah itu, katanya: "Kalian
sudah
berkenalan?"
An Lip mengangguk,
sahutnya; "Berkat kerendahan hati Pau-cianpwe, beliau sudi
memperkenalkan
nama besarnya ......."
"Persetan!"
omel seru Pau Seh-hoa "kalian sama sebangsa kutu buku yang suka
main kalimat.
. . . . . "
Siang Cin
anggap tidak dengar ocehan orang, katanya: "Lo Pau, mari kita cari
tempat lain
untulk istirahat, nanti malam aku masih ada urusan."
Pau Seh-hoa
baru saja berdiri, katanya keheranan: "Ada urusan, memangnya
badanmu ini
berotot kawat dan bertulang besi? Lukamu separah itu, kau masih mau
urus apa
lagi?"
Siang Cin
tertawa, katanya: "Malam nanti aku akan menolong kekasih An Lip itu."
Bersinar mata
An Lip,.tapi ia menjadi kuatir, katanya: "Jangan . . . . . tak perlu
tergesa2,
luka Inkong
(tuan penolong) sendiri tidak ringan ...."
Berkedip mata Siang
Cin, katanya: "Memang, kalau bisa aku memang tidak perlu terburu2,
cuma kulihat
Tan Sin teramat penasaran, saking dongkol dan masgulnya
mungkin dia
akan melampiaskannya kepada calon isterimu itu . . . . "
Bergidik An
Lip, mulutnya melongo dan tak mampu berbicara, ia tahu ini bisa saja
terjadi, dia
cukup tahu betapa watak Tan Sin, bila kekuatiran itu betul2 terjadi, maka
imbalan yang
telah dia pertaruhkan menjadi sia2 belaka.
Pau Seh-hoa
menjilat bibirnya, katanya: "Sekarang sudah lewat lohor, kita memang
harus cari
tempat untuk berteduh dan cari makanan untuk isi perut, kalau tetap
tinggal di
sini, salah2 bisa celaka."
Siang Cin
manggut2, katanya sambil menerawang sekelilingnya, lalu mendahului
beranjak ke
luar hutan, Pau Seh-hoa lantas berjongkok, jangan kira badannya kurus
kering, tubuh
An Lip segede itu, segera digendongnya, keruan An Lip merah jengah,
serunya gugup:
"Jangan, tidak usah Cianpwe, biar aku jalan sendiri."
Tanpa hiraukan
seruan orang segera Pau Seh-hoa beranjak mengikuti langkah
Siang Cin,
sekeluar dari hutan, seperti lomba lari saja dia berpacu sekencang angin
dengan Siang
Cin, meski sama menggendong orang, tapi gerak langkah mereka
ternyata tak
kalah kencang daripada lari kuda.
Siang Cin
memilih jalan yang ber-liku2 yang menembus ke puncak gunung, arahnya
ke timur,
kabut tebal beterbangan di lereng gunung, keadaan menjadi remang2 dan
sukar
menentukan arah.
Mereka berlari
berjajar, Pau Seh-hoa berteriak: "Anak muda, memangnya mau ke
mana kau?
Apakah kau kuat menahan luka2mu?"
Tanpa mengendorkan
larinya Siang Cin menjawab dengan suara keras pula: "Dua
puluhan li
dari sini ada sebuah tempat yang indah, kita sementara menetap di sana
saja untuk
beberapa hari. Lukaku memang tidak ringan, tapi setelah dibubuhi obat
mujarab
milikmu, kini sudah jauh lebih baik ......."
Pau Seh hoa
ter-gelak2 bangga, dia kayuh langkahnya lebih kencang, serunya: "Dua
puluhan li
kemudian, tempat apakah itu?"
Siang Cin
menyeka keringat di mukanya, katanya dengan tertawa: "Tempat nan
indah permai,
kau pasti kerasan dan berat meninggalkan tempat itu.
Kedua orang
harus memanjat lereng gunung yang cukup tinggi pula, kini mereka
mulai
menyusuri jalan pegunungan yang naik turun dan berbatu terus menerobos ke
dalam hutan
lebat. Pau Seh hoa berludah kental sambil menggerutu: "Dirodok,
setengah tahun
tak melihatmu, sekali bertemu kau ajak lomba lari dan main teka teki
lagi,
pegunungan belukar seperti ini mana ada tempat indah segala . . .. ..."
Siang Cin
tersenyum, mereka langsung menuju ke hutan, keadaan di sini remang2,
lebatnya daun
hampir seluruhnya menutupi cahaya sinar matahari sehingga keadaan
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
31
di sini
menjadi lebih gelap, suasana hening pula, yang terdengar hanya kresekan
dedaunan yang
diembus angin.
Langkah Siang
Cin mulai diperlambat di antara tumpukan reruntukan daun kering
sehingga
mengeluarkan suara gemerisik, dengan penuh perhatian Pau Seh-hoa
mengawasinya,
tanyanya: "Apakah kau tak merasa letih."
Siang Cin
menyeka keringat, setelah menghambur napas dia berkata: "Rasa sakit
dilukaku
seperti membetot syarafku. . . . . . ."
"Istirahat
saja sebentar?" kata Pau Seh hoa.
Siang Cin
menggeleng dan menjawab dengan tertawa: "Tidak, istirahat setiba di
tempat tujuan
saja, sudah tidak jauh lagi."
Tahu akan
watak Siang Cin yang keras dan tekadnya yang besar, maka Pau Sehhoa
tidak banyak
kata lagi, tanpa bersuara mereka terus berlari dalam hutan. Tak
lama kemudian,
di kejauhan sana tampak pemandangan yang jauh berbeda dengan
keadaan di
luar hutan sana.
Sebuah gunung
dengan angker laksana sengaja diadangkan di situ, begitu angker
dan kelihatan
perkasa sekali, puncaknya nan tinggi mencakar langit ditelan mega,
dari pinggang
gunung, ada dua belas jalur air terjun yang mencurahkan airnya
laksana
rangkaian rantai perak. Di atas pinggang gunung, pemandangan sekeliling
diliputi kabut
tebal, kebetulan angin mengembus buyar kabut tebal hingga kelihatan
sebuah tebing
yang menonjol keluar di atas pinggang gunung, letaknya kebetulan
berada di atas
jalur2 air terjun, warnanya serba menghijau. Dapatlah dibayangkan
betapa bahagia
dan menyenangkan bila menetap di atas sana, pagi hari
menyaksikan
matahari terbit di ufuk timur, bila magrib melihai sang surya terbenam
di balik
pegunungan yang berhawa sejuk seperti ini, memangnya siapa yang tidak
kerasan
tinggal di sini.
Pau Seh-hoa
ber-kecek2 kagum, serunya memuji: "Kongcu, tempat ini memang luar
biasa, indah
permai, sungguh aku tak habis mengerti cara bagaimana kau bisa
menemukan
tempat ini."
Menengadah
memandang ke atas, sikap Siang Cin tampak lega, katanya dengan
tenang:
"Serba puitis bukan suasana di sini."
Pau Seh hoa
ter-kekeh2, katanya: "Memang senang hidup di tempat ini, cuma terlalu
sepi . . . .
"
Tanpa bicara
lagi Siang Cin mulai memanjat ke atas, langkahnya tetap secepat
terbang, Pau
Seh-hoa tetap mengintil tak ketinggalan, teriaknya: "Naik dari mana,
Lote?"
Siang Cin
berpaling sambil memberi tanda gerakan tangan, dia membelok masuk ke
sebuah lekukan
seperti selokan gunung, dalam selokan yang menjurus semakin
tinggi itu
kiranya ada sebuab jalan kecil beralas batu putih, orang mengira ini buatan
manusia yang
benar memang ciptaan alam, begitu aneh jalan berliku ini melingkar
naik makin
tinggi ke atas, tak ubahnya seekor ular raksasa yang melingkari gunung.
Berjalan di alas
batu yang tidak rata ini ternyata sedikitpun tidak makan tenaga,
maka Pau
Seh-hoa berteriak heran: "Kongcu, apakah kau yang suruh sang malaikat
membuat jalan
pegunungan ini?"
Siang Cin
mengendurkan langkahnya serta mengencangkan ikat pinggang, katanya:
"Bukan
begitu, tapi sang malaikat yang tahu kalau aku akan menetap di atas sini,
maka pada
ribuan tahun yang lalu ketika menciptakan alam permai ini sekalian
membuat jalan
pegunungan ini."
Pau Seh-hoa
ter-gelak2 geli, sambil menikmati pemandangan di kedua sisi jalan,
batu
berserakan, dahan kering sama bergantungan, tampak pula bekas lumut
mengering
tanda derasnya air yang mengalir di sini, di waktu hujan jalan gunung ini
memang
merupakan selokan kecil yang mengalirkan air ke bawah gunung.
Setelah
berputar sekian lamanya mengitari lamping gunung, akhirnya mereka
menjurus ke
jalan lurus menembus ke lembah pegunungan, Siang Cin memilih jalan
ke arah kanan,
di mana ada sederetan pohon Siong yang berjajar menjulang tinggi
ke angkasa, di
sini Sang Cin menghentikan langkah, katanya sambil menoleh:
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
32
"Lembah
kecil tadi kunamakan lak-kui-kok (lembah kenangan), bagaimana
pendapatmu
tentang nama ini?"
"Lembah
Kenangan Apa maksudmu?" tanya Pau Seh-hoa.
"Hidup di
sini kan tidak perlu pikirkan urusan tetek-bengek lagi. Tapi manusia kan
harus hidup
bermasyarakat bukan."
Pau She-hoa
manggut2, bersama Siang Cin dia menyusuri deretan pohon terus
membelok ke
kiri, pemandangan di sini berubah seratus delapan puluh derajat,
kembang seruni
mekar bak permadani membentang luas di embus angin
pegunungan,
bau harum semerbak laksana menyambutmu dengan senyum dikulum.
Tiada manusia
yang menanam serta merawatnya, tapi bunga serum di sini hidup
subur dan
mekar segar.
Di ujung
rumpun seruni sebelah sana, terdapat sebuah kolam kecil yang letaknya
membelakangi
tebing, sumber air mengalir dari atas tebing, kolam itu ternyata
seluruhnya
terbuat dari batu putih, airnya jernih, siapapun pasti ingin minum airnya
yang dingin
dan sejuk.
Di samping
kolam terdapat dinding yang besar melintang datar, di balik dinding
tembok gunung
inilah terdapat sebuah rumah mungil yang dibangun dengan kayu
pohon cemara,
pagar kayu mengelilingi rumah, semuanya serba merah gelap. Di
balik tembok
panjang di depan pekarangan rumah mungil itulah letak tebing dengan
air terjun
tadi. Dari sini terlihat jelas di samping tebing sana tumbuh subur sepucuk
pohon
flamboyan dengan bunganya yang lagi mekar, kembangnya yang berwarna
merah
kekuningan itu beterbangan ditiup angin gunung.
berdiri di
atas tebing dapat memandang puncak2 gunung di kejauhan yang
berbentuk
aneka ragam dan aneh2, tangan terjulur dapat menjamah mega yang
mengambang tak
berujung pangkal, seperti tinggal di atas langit rasanya, meski
hawa di sini
agak dingin, tapi kehidupan di alam permai seperti ini laksana hidup
dewa di
kahyangan.
"Aku
menetap di sini seorang diri," ucap Siang Cin sambil melepas pandang ke
seluruh
pelosok, "maksudku sering kemari, jadi bukan selama itu terus hidup di
sini.
Di sini antara
langit dan bumi rasanya sambung menyambung, manusiapun hidup
laksana
dewata, hidup di sini dapat merenungkan banyak persoalan yang tak
mungkin di
selami khalayak ramai di tengah kehidupan kota, betul tidak Lo Pau."
Pau Seh hoa
ter-kekeh2, katanya: "Kongcuya, orang she Pau tak semahir kau
menggunakan
istilah muluk2. Sekarang yang penting lekas cari makanan untuk
tangsal perut
yang sudah keroncongan ini."
An Lip yang
digendongnya lantas berkata dengan rikuh: "Pau cianpwe, sekarang
boleh kau
turunkan Cayhe."
Pau Seh hoa
mengiakan, pelan2 ia turunkan An Lip serta bertanya: "Jalan
pegunungan
naik turun, tentu bergoncang keras, luka2mu kambuh tidak?"
"Tidak,
tidak," sahut An Lip tertawa sambil menggeleng dengan muka merah.
"Sudah
jauh lebih
baik ......"
Sekilas Pau
Seh-boa meliriknya dengan senyum di kulum, lalu dia berpaling hendak
ajak Siang Cin
bicara, tapi melihat keadaan Siang Cin segera dia telan pula kata2
yang sudah
hampir terlontar dari mulutnya. Siang Cin tampak termenung, seperti
melamun tapi juga
seperti tengah memusatkan perhatian, pandangannya tertuju ke
dalam rumah,
sorot matanya tampak ganjil.
Diam2 Pan Seh
hoa mendekati serta berbisik: "Kenapa Lote, ada gelagat yang tidak
beres?"
Sorot mata
Siang Cin tak beralih, katanya dengan suara tertahan: "Dalam rumah ada
orang."
Pau Seh-hoa
terperanjat, tanyanya gugup: "Darimana kau tahu?"
Mundur
selangkah Siang Cin berkata: "Lumut di undakan di depan pintu tampak ada
bekas tapak
kaki, pegangan pintu menjuntai turun, pagar kayu itupun kelihatan
terbuka dengan
paksa."
Pau Seh-hoa
mengangguk, katanya dengan suara dingin: "Kalau begitu gusur saja
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
33
keluar dan
lemparkan ke bawah tebing."
Sejenak
berpikir Siang Cin berkata pula: "Kukira bukan cuma seorang saja."
Dengan tertawa
Pau Seh-hoa segera menuju ke muka pintu serta berteriak kedalam:
"Kalau
ada orang di dalam rumah, lekaslah menggelinding keluar. Pau loya baru
datang,
kebetulan dapat melemaskan tulang dan mengendurkan otot di sini."
Pintu yang
terbuat dari kayu pohon siong tetap tertutup rapat, tiada reaksi apa2. Pau
Seh-hoa
melangkah maju dan berteriak pula: "Maknya, tidak mau keluar,
memangnya
perlu kuseret keluar? Jangan sok jadi kura2 ..... .."
Pelan2 dan
hati2 sekali Siang Cin baringkan Kun Sim-ti di atas rumput, tapi dia tetap
mengawasi ke
dalam rumah:
Pau Seh-hoa
juga mengawasi ke dalam rumah dengan pandangan menyelidik,
sesaat
kemudian dia berpaling memberi lirikan kepada Siang Cin, ia menepuk
pinggang
sendiri, lalu mulutnya memberi tanda pula.
Sedikit
bimbang, akhirnya Siang Cin mengangguk. tangan kanan merogoh saku di
balik jubah
kuningnya yang sudah koyak.
Melihat
gerakan orang, Pau Seh hoa tertawa lebar, seperti merasa puas segera dia
menghadap ke
arah rumah dan ber-kaok2: "Nah ini dia, hai, orang di dalam rumah,
kalau tidak
lekas keluar, orang she Pau akan menyeretmu keluar ........"
Pelan2 Part
Seh-hoa menaiki undakan batu, sekonyong2 dia menerjang ke arah
daun pintu,
tapi sedetik sebelum badannya menjebol daun pintu, pintu yang semula
tertutup rapat
itu mendadak terpentang, sebatang cundrik warna kuning kemilau
tahu2
menyamber keluar laksana ular memagut menusuk jidatnya.
Pau Seh-hoa
menjerit kaget, cepat ia doyong kebelakang, tapi dikala badannya
mendoyong ke
belakang itu, tanpa mendengar adanya kesiur angin, tak terlihat
bayangannya,
"Trang", terjadi bentrokan keras memekak telinga, cundrik baja yang
menjulur
keluar itu tahu2 tersampuk mental ke samping oleh sesuatu benda yang
menerjang tiba
tepat pada waktunya. .
Dalam waktu
sesingkat itu pula, tampak Pau Seh-hoa selicin belut sudah menyingkir
jauh, belum
sempat dia menarik napas lega, ujung matanya sempat melirik ke arah
Siang Cin,
tampak orang tengah memegang sebatang pisau melengkung berkilau
berbentuk
seperti arit.
Benda yang
menyampuk balik cundrik itu kiranya adalah senjata melengkung tajam
yang dipegang
Siang Cin itu, benda itu berbentuk arit kecil yang tidak bergagang,
tipisnya
laksana kertas, tajamnya tidak menimbulkan cucuran darah bila tubuh,
terpapas,
senjata ini terbuat dari baja murni campur emas, tajam dan lihay sekali,
Siang Cin
memiliki dua belas batang senjata rahasia semacam itu, namanya Toa
liong-kak
(tanduk naga besar).
Dengan senjata
Toa liong-kak ini entah sudah berapa banyak jago kosen persilatan
yang terbunuh
oleh Siang Cin, tapi selamanya dia jarang dan tidak suka pamer di
depan umum,
karena sekali dia turun tangan dengan senjata ampuh ini membunuh
orang
segampang membabat rumput.
Sambil pegang
Toa liong kak yang melengkung itu. Siang Cin tenang2 mengawasi
ke rumah,
katanya: "Saudara yang ada di dalam, sudah saatnya kau keluar."
Pau Seh-hoa
seka keringat dingin. serunya gusar: "Maknya dirodok, kalau tuan
besarmu hari
ini tidak mencincang tubuhmu, anggaplah aku dilahirkan kuntilanak."
Cundrik yang
mental balik tadi menyentuh pintu sehingga kayunya tergores, pelan2
terdengar
suara kresekan di dalam rumah, Siang Cin tetap bersikap tenang dan
prihatin,
sebaliknya Pau Seh hoa sudah keluarkan kedua keping kayunya, dengan
memaki gusar
ia menerjang ke depan pintu pula.
Bayangan
seseorang pelan2 muncul dari dalam rumah dan berdiri di ambang pintu,
itulah seorang
laki2 tua berbadan reyot dan berwajah kurus kusut, pakaiannya yang
berwarna
kelabu luntur itu sudah bertambal di sana sini, mukanya kuning, rambut
ubanan dengan
kerut keriput di kulit mukanya, langkahnya terseret, berdiripun
menggelendot
di pinggir pintu.
Pau Seh hoa
merandek, dia tatap laki2 tua ini, serunya: "Hai, orang tua, kau tadi
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
34
yang membokong
tuan Pau ini dengan senjatamu itu?"
Dengan
pandangan sayu si orang tua menatap Pau Seh hoa, sesaat baru dia
bersuara
dengan serak: "Aku Kiang Kiau hong karena menghindari kejaran musuh,
secara
kebetulan menemukan tempat kalian ini, saking kepayahan tanpa pikir
terpaksa kami
pinjam tempat kalian untuk berteduh sementara. Untuk kelancangan
mana harap
tuan suka memberi maaf . . . "
Mendengar
orang bicara dengan ramah, rasa marah Pau Seh hoa buyar sebagian,
dua kali
hidungnya mendengus, katanya: "O, omonganmu memang beralasan, cuma
kelancanganmu
tadi memang keterlaluan, untung kau berhadapan dengan orang she
Pau, kalau
orang lain, bukankah jiwanya sudah melayang di tanganmu?"
Belum lagi
laki2 tua itu menjawab, di belakangnya kembali muncul bayangan
seorang yang
ramping, eh, kiranya seorang gadis remaja yang jelita. Wajahnya bulat
kwaci, alisnya
melengkung, bola matanya yang jeli diimbangi mulutnya yang kecil
seperti delima
merekah itu menambah manis wajahnya. Usianya masih kurang dari
20, berbaju
putih dengan gaun panjang yang kelihatan sedikit kotor, tapi justeru
memperlihatkan
kesederhanaannya.
Sikapnya
tampak kuatir, begitu muncul di belakang si orang tua, dengan suara
tersendat dia
berkata: "Cong . . . . Congsu, hal itu tidak bisa salahkan ayahku,
aku . . . .
aku, soalnya aku belum sempat melihat jelas . . . . "
Pau Seh hoa
melirik dingin ke arah gadis remaja ini, kemudian dia tertawa terkekeh,
ujarnya:
"Kiranya tadi perbuatan nona? Serangan telak, tenaga hebat, tak kira nona
memiliki
kepandaian dan tenaga selihay itu, .sungguh harus dipuji . . . ."
Wajah si gadis
seketika menjadi jengah, ingin bicara tapi ragu dan takut2, dia
menunduk pula
sambil memain ujung baju.
Siorang tua
menarik napas panjang, katanya: "Terlampau lama kami ayah beranak
menderita
lahir batin, bak umpama burung yang takut mendengar suara busur,
karena mengira
musuh mengejar tiba, maka puteriku turun tangan tanpa kenal
ampun, tuan
ini orang bijak, harap suka maklum dan maaf . . "
Pau Seh-hoa
tak enak mengoceh lagi, dia berpaling menatap Siang Cin, dilihatnya
Siang Cin
tertawa tawar, maka Pau Seh-hoa membalik ke arah ayah beranak itu,
katanya:
"Tempat ini amat tersembunyi, entah bagaimana kalian bisa
menemukannya?"
Gemetar bibir
si orang tua, katanya serak; "Karena terdesak dan demi mencari hidup,
hutan
belantara dan gunung betapapun tingginya juga harus kami jelajahi, asalkan
dapat
menemukan tempat untuk berteduh dan aman, kebetulan kami sampai di sini,
kami tak
bermaksud jahat, untuk ini harap tuan2 maklum."
"Saudara
sedang sakit?" tanya Pau Seh-hoa.
Guram wajah si
orang tua, katanya dengan lemah: "Dulu pernah aku menderita sakit
rematik,
beberapa hari ini buron tanpa kenal lelah dan kelaparan lagi, darah
tertumpah tak
tertahankan. Ai, sudah tua, tulang2 inipun sudah reyot rasanya." "
Di belakang
sana dengan kalem Siang Cin berkata: "Kalau begitu, Lo Pau, biarkan
Lotiang ini
tinggal di sini beberapa hari, di belakang masih ada kamar kosong, cuma
kalian harus
tinggal di tempat seadanya."
Wajah Pau Seh
hoa masih menampilkan rasa ragu, sebentar dia berpikir, lalu
berkata:
"Saudara ini, siapa nama besarmu?"
Siorang tua
rada melenggong, katanya: "Tadi sudah kusebutkan, aku Kiang Kiau
hong."
Mulut Pau Seh
hoa mengulang nama orang, katanya: "Belum pernah kudengar
nama ini,
saudara tua, tolong tanya lagi, kau termasuk aliran atau perguruan mana?"
Si orang tua
bimbang sejenak, katanya kemudian: "Lohu adalah guru silat dari Siau-
Kong-pa di
Lok-te, beberapa murid pernah kuajari kepandaian, tapi tak pernah
berkecimpung
di kalangan Kangouw, sudah tentu tuan tidak tahu nama Lohu yang
rendah
ini?"
Pau Seh-hoa
berdehem dua kali, katanya: "Lalu, siapakah musuh besarmu itu?"
Terunjuk serba
susah di wajah Kiang Kiang-hong, bibirnya bergerak tapi tak keluar
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
35
sepatah kata.
Pau Seh-hoa tertawa melengking, katanya: "Memangnya musuhmu itu
seekor Naga
Kuning?"
Dengan
keheranan Kiang Kiau hong menelan ludah katanya tergagap: "Naga Kuning?
Naga Kuning
yang mana? Harap saudara suka menjelaskan ...."
Siang Cin
melangkah maju beberapa tindak, Toa liong kak telah dia simpan, katanya
sambil menjura
pada Kiang Kiau-hong: "Cayhe Siang Cin, silakan Lotiang duduk di
dalam."
Haru dan
terima kasih Kiang Kiau-hohg, ia menjura pada Siang Cin, katanya:
"Engkoh
muda ini sungguh bajik dan bijaksana, Lohu sungguh merasa lega dan
bersyukur,
bila penyakitku tidak kumat lagi, kami akan segera berangkat, se-kali2 tak
berani bikin
repot engkoh muda ini . . . . "
"Jangan
sungkan," ucap Siang Cin, "kamar di sebelah kanan itu boleh tetap
kalian
tempati. bila
Lotiang perlu apa2, silakan bilang saja, sama2 orang yang hidup
berkelana,
bila menghadapi kesukaran adalah jamak, kalau kita saling bantu."
Beruntun Kiang
Kiau-hong menjura dua kali, anak gadisnya lalu membimbingnya
masuk ke
kamar. Setelah bayangan mereka lenyap, Pau Seh boa menyeka mulut
serta berkata
lirih: "Lote, tidak pantas kau terima mereka begini saja. Menurut
dugaanku,
kakek itu rada mencurigakan, jangan2 dia sengaja main tipu .. . . . . . .
"
Siang Cin
tertawa tawar, katanya : "Kuharap tiada kejadian apa2, kalau tidak,
mereka akan
menyesal setelah kasip " - Lalu dia putar balik, dengan hati2 dia
pondong Kun
Sim-ti ke dalam rumah, An Lip berjalan mengikutinya.
Itulah ruang
tamu yang sederhana dan membawa harum kayu cendana, beberapa
kursi dan
bonggol pohon asli yang di ukir sedemikaan rupa sehingga tampak sangat
indah, meja
kayu yang ceplok2 kuning di pojok sana terdapat sebuah pedupaan
yang masih
mengepulkan asap dupa yang harum.
"Lo Pau
" ucap Siang Cin sambil berpaling, "kau dan An Lip sementara
istirahat dulu
di sini."
Pau Seh-hoa
mengendus2 dengan hidungnya, katanya sambil duduk dengan santai:
"Lekas
pergi, aku tahu kamar tamu yang serba antik ini pasti akan menjadi tempak
tinggalku."
Siang Cin tak
bicara lagi, dia lantas masuk ke kamar sebelah kiri, kamar ini ternyata
juga
sederhana, bau kayu cendana juga merangsang hidung, di dinding bergantung
buah beberapa
lukisan, sebuah dipan kayu berkasur dan beralaskan tikar anyaman,
rotan, selimut
bantal tersedia lengkap.
Pelahan Siang
Cin rebahkan Kun Sim-ti, sekian lama dia menatap wajah orang
tanpa berkedip
matanya nan indah itu masih terpejam, tenang tanpa membayangkan
rasa
kesakitan.
Setelah
termenung sekian saat, akhirnya Siang Cin mengemuli badan Kun Sim-ti.
diam2 dia
mengundurkan diri keluar. Pau Seh-hoa duduk di kursi sana, melihat dia
keluar lantas
berkaok: "O, tuan besarku, sudah kukatakan perut telah berkeruyukan,
rasanya
sungguh tersiksa, kau sebaliknya masih enak2 seperti tak kenal lapar saja,
memangnya kau
ingin membikin kita lekas menuju sorga?"
"Sssst",
Siang Cin mencegah orang berkaok2 lagi, sekali tarik dia ajak Pau Seh-hoa
keluar, dia
melihat cuaca, memandang gumpalan awan di kejauhan sana. katanya
kemudian:
"Lo Pau, nanti akan kutraktir kau makan panggang bebek, kau suka
makan yang tua
atau yang masih muda?"
"Panggang
bebek?" teriak Pau Seh-hoa menelan ludah, tapi lekas dia geleng kepala,
katanya tidak
percaya: "Panggang bebek kentut, ditempat seperti ini mana ada
panggang
bebek? Jangan kau menggelitik seleraku, kalau ada semangkuk nasi putih
dengan sayur
asin saja sudah lebih cukup bagiku sekarang."
Belum lagi dia
habis bicara, tiba2 didengarnya suara kebasan angin yang ramai
disertai suara
burung belibis dari kejauhan, tampak di udara di kejauhan sana tengah
terbang
mendatangi sekelompok belibis liar.
Keruan Pau
Seh-hoa melengak, serunya keheranan: "Eh, ternyata ada bebek liar,
untuk apa
belibis ini jauh2 terbang ke tempat ini? Wah, sungguh menarik, semuanya
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
36
gemuk2."
Siang Cin
membasahi bibirnya, tuturnya: "Kolam kecil di depan itu kunamakan Cengsim
ti (kolam
pembersih hati), rasa airnya harum dan agak hangat, di tengah bunga
seruni yang
tumbuh secara liar di pinggir kolam terdapat semacam rumput yang
berbatang
coklat ke-hitam2an sebesar jari kelingking, buahnya berwarna merah,
kelompok bebek
liar itu setiap hari pasti terbang kemari melalap buah2 merah dari
tetumbuhan
liar yang aneh itu serta minum air kolam itu, agaknya mereka amat suka
pada ke dua
macam makanan dan minuman ini."
Sementara itu
sayap gerombolan bebek liar itu telah hampir menutupi angkasa di
atas rumah,
tak kurang dari seratusan bebek liar yang sekaligus hinggap di puncak
tebing,
kelompok bebek liar itu tak pernah kacau saling berebut makanan gerak
langkah mereka
cukup teratur dan rapi, cuma suaranya yang berisik itu memang
agak menusuk
pendengaran.
Mulut Pau
Seh-boa terpentang lebar, sambil pentang lengan bajunya dia siap
menubruk maju
menangkap barang dua tiga ekor, tapi Siang Cin lekas menariknya,
katanya
pelahan: "Jangan buru2, biar aku saja yang bekerja." - Lalu dia
melangkah
ke tembok batu
gunung raksasa itu, tangan terulur ke dalam sebuah lubang, dari situ
dia merogoh
keluar beberapa utas benang putih kemilau, entah benang terbuat dari
apa, yang
terang benang itu kuat dan bisa mulur, pada setiap ujung benang tergantol
satu biji buah
merah, Siang Cin memberi tanda kedipan mata pada Pau Seh-hoa,
sekali sendal,
benang lemas ditangannya itu tiba2 menjadi lempeng lurus seperti
kawat baja
meluncur ke depan, benang2 itu bergontai pergi datang di tengah
rombongan
bebek liar itu, maka lima bebek sekaligus pentang sayap mengejar buah
merah itu
hendak mematuknya.
Siang Cin
tersenyum, ketika dia tarik balik ke lima jalur benangnya itu lima ekor
bebek itupun
ikut hinggap di bawah tembok, sedikitpun tidak menimbulkan suara
berisik.
Lekas Pau
Seh-hoa memburu ke sana serta memeriksa, ternyata kelima utas
benang perak
itu telah tembus menusuk badan bebek laksana jarum, semua itu
dilakukan
tanpa menimbulkan keributan pada rombongan bebek liar itu.
Siang Cin ikut
memunguti bebek itu serta menyimpan benang peraknya, katanya
tertawa:
"Karena selamanya aku tak pernah menangkap mereka secara kasar atau
membunuhnya
secara terang2an, maka mereka percaya bahwa aku bersikap baik
dan
bersahabat, setiap hari mereka datang kemari tanpa hiraukan diriku. Dan harus
disesalkan aku
justeru menggunakan daging mereka sebagai hidanganku setiap hari,
kalau aku
gunakan caramu tadi menangkap dan mengudak mereka, umpama dapat
menangkap
beberapa ekor, selanjutnya merekapun takkan berani kemari lagi."
Sambil
mengangguk Pau Seh-hoa melelet lidah, katanya: "Sudahlah, tak usah
banyak
komentar tuan muda, anggaplah kau yang benar dan pandai, sekarang lekas
kita panggang
saja."
Siang Cin
tertawa geli melihat kelakuan temannya yang kocak itu. mereka lantas
bawa bebek itu
ke dalam rumah, dengan giat Pau Seh hoa bantu Siang Cin
menyalakan api
di tungku, memasak air dan mencabuti bulu, tanpa terasa air liurnya
bertetesan.
Sambil menahan
sakit An Lip juga maju membantu, cukup lama juga mereka bekerja,
tahu2 bau
bebek panggang yang sedap merangsang hidung.
Menghirup
napas panjang Pau Seh-hoa bersuara seperti merintih: "O, sedapnya,
sekaligus aku
bisa menghabiskan dua ekor . . . . . "
Sambil,
membalik sundukan bebek panggang An Lip tertawa, katanya: "Selera
Paucianpwe
sungguh besar,
kalau Cayhe mungkin setengah ekor saja tidak habis .... . . "
Pau Seh hoa
tergelak2, katanya sambil menuding An Lip: "Anak muda, hatimu lagi
melayang jauh
ke tempat bekas binimu itu, mana ada selera makan minum segala?
Haha . . . . .
. "
Sementara itu
Siang Cin sedang membubuhi bumbu pada bebek panggang,
timbrungnya
tertawa: "Lo Pau, memangnya mulutmu itu tidak bisa bicara hal2 yang
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
37
baik?"
Pau Seh hoa
mulai sibuk menyobek daging bebek panggang yang besar dan dijejal
ke dalam mulut,
sambil ber-kecap2 dan mengunyah tak hentinya dia memuji betapa
lezat bebek
panggang itu.
Di kala dia
melalap bebek panggang itulah, pintu kamar di sebelah kanan terbuka,
anak perempuan
jelita tadi tampak keluar dengan malu2, tanpa terasa iapun
mengernyitkan
hidung, memandang SiangCin, lalu berpaling ke arah bebek
panggang yang
sedang dilalap Pau Seh-hoa, bibirnya bergerak seperti hendak
mengatakan
apa2, tapi urung.
Dengan
menjilat minyak di bibirnya, Pau Seh-hoa bertanya: "Eh, ada keperluan apa
anak
manis?"
Sesaat lamanya
anak perempuan itu bimbang, lalu berkata dengan malu2:
"Ayah . .
. . ayahku, beliau kurang enak badan, kupikir, kupikir bolehkah kumohon
sedikit kuah
panas, supaya sesak napas ayah lekas berkurang."
Siang Cin
meraih poci dan diangsurkan, katanya tertawa: "Ambillah, ini air teh yang
baru
diseduh."
Dengan malu2
anak perempuan itu menerimanya, sekilas ia mengerling ke arah
Siang Cin,
kerlingan yang mengandung makna mendalam, kerlingan yang aneh,
tiada perasaan
lembut, tapi lebih cenderung pada perasaan kesal, tak nampak
sikapnya yang
lembut dan malu2 tadi. Siang Cin tak pernah lepas perhatiannya atas
gerak- gerik
si nona, sekilas dilihatnya orang melenggong, dikala dia menoleh dan
memperhatikan,
orang lantas menunduk sambil menyatakan terima kasih terus
mengundurkan
diri..
Mendadak Pau
Seh hoa panggil anak perempuan itu, tanyanya: "He, anak manis,
siapa
namamu?"
Anak perempuan
tampak itu melengak, dia menunduk, sahutnya lirih: "Aku Kiang
Ling
...."
Sambil
mengunyah daging bebek, Pau She-hoa mengangguk seraya berceloteh:
"Em,
bagus, namamu memang enak didengar . . . . "
Suara batuk di
kamar sebelah terdengar semakin keras dan men-jadi2, lekas anak
perempuan itu
mengundurkan diri setelah mengangguk kepada orang banyak.
Mengawasi
punggung orang An Lip berkata lirih: "Anak perempuan ini sungguh
berbakti
terhadap ayahnya, lemah lembut lagi . . . . . . "
Pau Seh-hoa
menyeringai dan menyambung " . . . . . dan wajahnya ayu, dada
montok dan
menggiurkan."
Siang Cin
menaruh seekor bebek yang habis dipanggangnya di atas baki, lalu
menyunduk pula
dua ekor, dia sibuk sendiri tanpa memberi komentar apa2.
Kembali Pau
Seh boa merenggut paha bebek di tangan kanannya, katanya dengan
mulut kecap2:
"Kongcuya, kenapa tidak kau utarakan pendapatmu? Kau toh cukup
ahli dalam
menilai perempuan."
Siang Cin
tertawa tawar, katanya: "Aku sedang me-nimang2, apakah kiranya
penilaianku
cukup setimpal atau tidak terhadap manusia atau sesuatu yang ada di
depan
mata."
Seperti
terketuk hati Pan Seh-hoa oleh kata2 ini, sekilas dia melenggong, akhirnya
dia menunduk
tanpa bercuit lagi. Maka keadaan sesaat menjadi sunyi, semua
berdiam diri,
hanya suara minyak panggang bebek yang terbakar yang gemericik,
lekas sekali
bau sedap bebek panggang yang sudah masak merangsang hidung,
kelima ekor
bebek itu sudah selesar dipanggang, warnanya coklat ke-kuning2an dan
berminyak,
sungguh menimbulkan selera yang tak terhingga.
An Lip dan Pau
Seh-hoa mendapat jatah satu ekor, Siang Cin antarkan seekor ke
kamar sebelah
kanan, dengan prihatin dia mengetuk pintu, tak lama kemudian daun
pintu pelan2
terbuka, anak perempuan yang bernama Kiang Ling itu menongol
keluar,
sikapnya kelihatan ragu dan takut2 penuh tanda tanya.
Siang Cin
tertawa ewa, katanya: "Bebek panggang yang seekor ini kami berikan
kepada nona
untuk dimakan bersama ayahmu."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
38
Kiang Ling
melengak, agaknya dia tidak mengira akan pemberian ini, dengan malu2
lekas dia
menunduk, katanya: "Ini . .. . mana boleh kami terima? Bikin repot Congsu
saja . . . .
"
Siang Cin
angsurkan baki ditangannya, tanpa berkedip dia berkata: "Sesama hidup
dirantau harus
saling membantu, nona tidak usah sungkan." - Habis berkata dia
putar tubuh
menyurut mundur, mendadak Kiang Ling memanggilnya dengan suara
lirih,
terpaksa Siang Cin berhenti, tanyanya: "nona masih ada pesan apa?"
"O,"
sengaja Kiang Ling menarik panjang suaranya, dia unjuk senyum manis,
katanya:
"Siang hiapsu . ... "
Siang Cin
menggoyang tangan, katanya; "Tidak berani, Cayhe, adalah orang liar,
kaum Kangouw
yang hidup bergelandangan." Dia membalik dan kembali ke tempat
duduknya.
Sementara itu
Pau Seh-hoa sudah hampir habis sikat seekor bebek. Tanpa terasa
sang surya
sudah mulai doyong ke barat, hari sudah dekat maghrib.
- - - - - - -
- - - - - - - - - - - -- - - - - -- - - - - - --
Siapakah si
orang tua Kiang Kiau-hong dan anak perempuannya yang bersembunyi
di tempat
Siang Cin ini?
Cara bagaimana
Siang Cin akan bantu rebut kembali pacar An Lip?
- Bacalah
jilid ke-3 -
Jilid 03
Pelan2 Siang
Cin menggeliat melemaskan otot, setelah mengisi sekedar perutnya,
Siang Cin
masuk kamar berganti seperangkat pakaian ketat dengan jubah kuning di
bagian
luarnya.
An Lip
menatapnya, katanya dengan lirih: "Inkong, sekarang juga mau
berangkat?"
Siang Cin
mengangguk, katanya: Ya, apakah markas pusat Siang-gi-pang berada di
atas
Ji-long-san?"
"Betul,
Ji long san kelihatan tidak angker, tapi keadaan di sana amat berbahaya,
penjagaan
pihak Siang-gi-pang juga sangat ketat, markas pusatnya berada di
sebuah rumah
yang digali di dalam sebuah batu gunung raksasa."
Pau Seh-hoa
menyemburkan sekerat tulang dari mulutnya, katanya: "Kongcuya,
jangan kau
terlampau pongah akan kemampuanmu.. jika kau betul2 ingin menolong
perempuan itu,
baiklah, biar aku saja yang mewakili kau."
Sang Cin
tersenyum, katanya: "Terima kasih, Kun-cici kutinggalkan disini. mohon
kau suka
merawat dan menjaganya baik2, sebelum tengah malam nanti aku pasti
pulang."
An Lip
kelihatan bimbang, katanya dengan kikuk dan tidak tenteram: "Inkong,
luka. . . . .
lukamu belum lagi sembuh, aku . . . . . aku merasa. . . . . . "
"Tidak
jadi soal" ujar Siang Cin sambil mengulap tangan, "luka2 seringan ini
masih
kuat kutahan,
tolong kau bantu menjaga rumah ini."
"Lote,"
seru Pau Seh hoa sambil berdiri, "luka2 mu itu tidak boleh dibilang
ringan,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
39
nanti malam
kau harus menempuh bahaya, bukan mustahil harus mengadu jiwa pula,
jika terjadi
apa2 di luar perhitungan lalu bagaimana? Biar aku ikut bersamamu."
Mengawasi Pau
Seh-hoa. Siang Cin berkata kalem: "Lo Pau, sungguh aku sangat
berterima
kasih akan kesediaanmu, tapi kita berdua tidak boleh pergi semua
meninggalkan
rumah ini, satu di antara kita harus jaga rumah dan melindungi Kuncici.
Kau kenal akan
watakku, sesuatu persoalan yang sudah dijanjikan untuk
dibereskan
oleh Pendekar Naga Kuning selamanya tidak pernah dijilat kembali, pula
toh aku bukan
orang, yang gampang kecundang."
Pau Seh-hoa
berkata dengan mendongkol: "Bukan aku ingin menambah beban
padamu, kalau
kau dalam keadaan sehat tentu aku tak peduli akan sepak terjangmu,
tapi kondisi
badanmu sekarang, betapapun aku tak tega melepasmu pergi begini
saja."
Siang Cin
menggeleng, katanya tegas; "Pendek kata, Lo Pau, kau tidak boleh ikut,
Kun-cici
memerlukan perlindunganmu "
Sambil
membanting kaki Pau Seh hoa berteriak gusar; "Baiklah, aku tidak akan
pergi
biar aku
menunggu gubuk kura2 ini." - Dengan gregetun dia duduk pula di kursinya.
Pada saat
itulah daun pintu kamar sebelah kanan kembali terbuka, Kiang Ling
tampak
beranjak keluar membawa baki poci teh, melihat Pau Seh-hoa yang bersungut2,
dilihatnya
pula sikap An Lip yang serba susah, sekilas dia tatap dengan
hambar, lalu
dia serahkan baki dan poci itu kepada Siang Cin dan berkata: "Terima
kasih, Siang-
hiapsu."
Dengan tak
acuh Siang Cin terima baki dan poci itu dan ditaruh di atas meja. dia
hanya
mengangguk pada Kiang Ling, lalu menjura ke arah Pau Seh hoa, katanya:
"Lo Pau,
aku akan berangkat, nanti malam kita berkumpul lagi." -- Lalu dia putar
badan dan
keluar.
Tapi baru dia
sampai di ambang pintu, tiba2 `Pau Seh-hoa memburu ke depannya,
dengan lekat
dia tatap muka orang, sesaat kemudian baru berkata dengan lirih:
"Jangan
marah padaku saudaraku."
Siang Cin
tertawa lebar, jawabnya: "Sudah tentu."
"Perhatikan
akan luka2mu sendiri," pesan Pau Seh hoa pula.
Dengan
pandangan tulus Siang Cin balas tatap mata orang. Habis itu mendadak ia
berkelebat
keluar.
An Lip
melenggong memandang keluar jendela, gumamnya: "Thian selalu melindungimu,
Inkong
....."
Kiang Ling
juga tertegun, pandangannya terarah keluar pula, suasana seketika
menjadi
hening, sorot matanya se-olah2 ada sesuatu yang tak terkatakan, membawa
perasaan
hampa, risau dan masgul.
Pau Seh-hoa
menghela napas, dengan tawar dia lirik kearah Kiang Ling lalu berkata
tak acuh:
"Penyakit bapakmu sudah baikan tidak? Bocah ayu?"
Merah muka
Kian Ling, sahutnya malu2: "Sudah agak mendingan, cuma ayah
memang sukar
dilayani."
Pau Seh-hoa
berdehem sambil duduk, katanya: "Di daerah Loh, terutama Siau-angpa
tempat
tinggalmu itu, ada sebuah jembatan gantung dari rantai, apakah sampai
sekarang masih
terpasang membentang di atas sungai Gun-cui-ho?"
Kiang Ling
tertegun sebentar, tapi segera dia tertawa, katanya: "Ya, jembatan itu
masih ada,
cuma sudah jauh lebih rusak dari dulu, rantainya sudah karatan."
Dinging saja
Pau Seh-hoa menatap Kiang Ling, sorot matanya mengandung
perasaan
sinis, katanya pula: "Apakah ribuan sirip batu diseberang sungai itu juga
tetap
utuh?"
Kiang Ling
menjulurkan lidahnya yang kecil membasahi bibir, katanya pelan2: "Ada
apa Congcu,
kenapa mendadak engkau menanyakan semua ini?"
Pau Seh-hoa
tertawa, sikapnya tampak tenang, katanya kalem: "Bapakmu bilang
kalian datang
dari Siau-ang-pa. Em, orang she Pau ini dulu pernah melancong ke
tempat itu,
maka sambil lalu kutanya secara iseng, mungkin kau jarang perhatikan
hal itu di
Siau-ang-pa?" .
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
40
Berkedip Kiang
Ling. kembali dia mengunjuk sikap malu2 seorang gadis remaja,
katanya:
"Bukannya tidak memper-hatikan, cuma pertanyaan Congsu terlalu janggal,
aku dibesarkan
di Siau-ang-pa, mana mungkin tidak tahu akan hal2 itu?"
Pau Seh-hoa
tertawa pula, katanya: "Bocah ayu, pergilah istirahat, kalau perlu apa2
boleh panggil
kami saja, tidak usah sungkan."
Sekilas mata
Kiang Ling mengerling ke arah poci teh di atas meja sana, tanpa
bersuara
pelan2 dia kembali ke kamarnya, tinggal An Lip yang masih duduk melongo
kebingungan,
kelihatan curiga tapi tidak mengerti.
Setelah Kiang
Ling menutup pintu kamarnya lekas An Lip bersuara: "Pau-cianpwe,
barusan
....."
Lekas Pau
Seh-hoa memberi tanda kedipan mata, katanya sambil ter gelak2:
"Barusan
sengaja kugoda genduk ayu itu, wajahnya cantik, perawakannya padat
menggiurkan
bukan?"
An Lip segera
tutup mulut, nalurinya merasakan adanya sesuatu yang tidak beres
dalam tanya
jawab tadi, cuma dia tidak berani utarakan, dilihatnya Pau Seh-boa
menuding ke
arah pintu kamar kanan dan memberi tanda kedipan mata, maksudnya
supaya dia
bantu mengawasi.
Suasana kembali
menjadi tenang sunyi, dengan perasaan sedikit tegang, tanpa
berkedip An
Lip memperhatikan pintu kamar kanan, sementara Pau Seh-hoa duduk
memejamkan
mata, tidur2 ayam, tapi jelas kelihatan bulu matanya masih ber-gerak2.
"Apakah
bakal terjadi sesuatu peristiwa besar?
Paling tidak
saat ini masih sulit untuk merabanya, tapi suasana yang hening terasa
mencekam.
Pe-lahan2 di
dalam rumah mulai guram, haripun sudah petang, maklumlah musim
rontok, malam
hari biasa datang lebih cepat, terasa sekali perbedaan ini di atas
gunung yang
tinggi ini.
Tanpa
bersuara, pintu kamar kanan mulai bergerak, pelan2 kepala Kiang Ling
menongol ke
luar pintu, di tangannya tampak memegang baki tempat bebek
panggang tadi,
masih ada sisa setengah ekor malah.
Segera An Lip
menelan air liur, dengan suara serak dia berkata: "O, nona, ada apa?"
Kiang Ling
terjingkat, katanya sambil mendekap dada: "O, kukira Congau berdua
sudah tidur,
di luar begini sunyi . . . . apakah aku yang membangunkah kalian . .
An Lip
berdiri, katanya: "Tidak apa, serahkan saja baki itu padaku."
Kiang Ling
mengerling ke arah Pau Seh-hoa, katanya lirih: "Apakah Congsu itu
sudah
pulas?"
Sambil
menerima baki An Lip menjawab dengan suara tertahan: "Ya, sehari ini
Paucian
pwe bekerja
berat, terlalu letih, baru saja tidur . . . . "
Mengawasi kain
balutan di badan An Lip, Kiang Ling bertanya: "Congsu sendiri
terluka?"
An Lip
menyengir, katanya: "Ah, hanya luka2 ringap saja, tidak apa2"
Bola matanya
menjelajah keadaan ruang tamu ini, agaknya Kiang Ling, sengaja
mencari
kesempatan untuk berdiam lebih lama di sini, dasar An Lip orangnya lugu,
tidak bicara
kalau tidak diajak omong, maka keduanya tetap berdiri diam tanpa
bersuara,
suasana menjadi serba kikuk.
Tiba2 Pau
Seh-hoa menggeliat, matanyapun terbuka, katanya: "Ada apa bocah
ayu?"
Dengan sikap
was2 Kiang Ling bersenyum kearah Pau Seh-hoa: "Tidak apa2, aku
mengembalikan
baki."
Baru saja Pau
Seh-hoa mau buka suara, mendadak dilihatnya tubuh Kiang Ling
sempoyongan ke
depan, lekas Pau Seh-hoa ulur tangan hendak memapahnya, tapi
mendadak dia
tarik kembali tangannya, sementara kedua tangan Kiang Ling
terpentang ke
depan seperti hendak menangkap sesuatu untuk menahan diri,
syukurlah
hanya beberapa langkah dia sudah dapat menguasai diri.
Perasaan
curiga Pau Seh -hoa terlebur dalam tawanya yang lebar dengan
mengunjuk
giginya yang kuning, katanya: "Kenapa kau bocah, ayu?"
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
41
Tangan Kiang
Ling menyeka keringat di jidatnya, sabutnya lemah: "Kepalaku
mendadak
pusing . . mungkin beberapa .hari ini terlalu kerja berat, kurang, tidur
lagi . . . .
pandanganku terasa berkunang2."
Seperti
tertawa tidak tertawa Pau Seh-hoa mencibir, katanya: "Kalau begitu
lekaslah
tidur, jangan
kian kemari, kalau bapak-anak sama2 ambruk kan berabe."
Seperti
memperoleh firasat apa2 dari perkataan Pau Seh-hoa, muka Kiang ling
tampak tegang
sebentar lalu mengeridor pula dengan langkah lemas pelan? dia
mengundurkan
diri, agaknya badannya memang kurang sehat.
Mendadak Pau
Seh-hoa mengendus2 seperti anjing pelacak, keningnya berkerut,
lalu geleng2
kepa)a. pandangannya penuh tanda tanya merijelajah sekelilingnya,
akhirnya
mulutpun menggumam: "Memangnya ada apa sih, kelihatannya tidak beres,
hatiku terasa
tidak tenteram. . . . . . . "
Ji-long-san,
kira2 lima puluhan li jauhnya dari tempat tinggal Siang Cin, luka2 Siang
Cin sudah
dibalut rapi dan takkan mengganggu gerak-geriknya yang cekatan bagai
terbang.
Dua gugusan
gunung yang berbentuk aneh dengan batu2 runcing berbagai bentuk
tampak di
depan mata, di tengah kedua gugus gunung itu membujur satu jalur
gundukan tanah
yang tidak begitu tinggi se olah2 sebatang pikulan yang memikul
kedua gugus
gunung.
Siang Cin
mengatur pernapasan sambil duduk di atas batu, lukanya kembali terasa
sakit,
sebetulnya dia tahu dengan kondisinya sekarang, dia perlu istirahat dan tak
boleh menguras
tenaga, tapi iapun tahu kalau tidak lekas bertindak mungkin urusan
bisa terlambat,
dia sadar membantu orang harus cepat hingga beres.
Markas pusat
Siang-gi-pang sudah berada di depan mata, lebih baik kalau tidak
terjadi
pertumpahan darah. Berpikir demikian serta merta hidungnya mengendus bau
anyirnya
darah, napas serasa sesak dan mual.
Laksana seekor
kucing di tempat gelap dia bergerak tanpa mengeluarkan suara.
Sebuah jalan
beralas batu hijau ber-liku2 menuju ke atas gunung, kecuali orang tolol,
kerapun akan
tahu bahwa jalan beralas batu hijau ini tidak boleh sembarang dilalui.
Tenang2 Siang
Cin, periksa keadaan sekitarnya, dengan hati2 dan penuh
perhitungan ia
terus menggeremet ke atas gunung, lekas sekali dia sudah selamat
melewati enam
pos penjagaan.
Dengan hati2
dia melompati seutas tali benang sutera, pada tali ini terikat beberapa
kelintingan
tembaga, ujung tali terikat pada setumpukan batu besar yang akan
menggelundung
jatuh dan menindih orang2 yang coba menyelundup ke atas, lebih
hebat lagi di
atas terpasang pula karung2 kapur yang akan ditembakkan melalui
pegas batang
pohon yang diatur sedemikian rupa. Di sebelah depan yang tinggi,
pagar
pasanggerahan yang terbikin dari barisan batang2 pohon telah kelihatan.
Enam belas
laki2 kekar berseragam abu2 berjaga di depan pintu gerbang, ada tiang
yang terpasang
sebuah panji yang berwarna kelabu tersulam huruf 'GI" yang besar,
panji besar
itu ber-kibar2 tertiup angin, di atas pagar sana kelihatan bayangan orang
mondar-mandir,
sinar golok kemilau di tengah kegelapan, penjagaan di sini ternyata
sangat keras
dan ketat.
Siang Cin
terus menggremet maju ke sana, akhirnya tiba di bawah pagar kayu yang
cukup gelap
dan tidak tersinari oleh lampu yang terkerek tinggi di payon dengan
mendekam Siang
Cin pegang kaki pagar, sedikit kerahkan tenaga pelahan2 pagar
kayu sebesar
paha itu yang terikat dengan kawat telah berhasil dibongkarnya, tali
kawat itu
dengan mudah dipuntirnya putus pula tanpa mengeluarkan suara, cuma
pagar kayu
yang terbongkar dan berlubang itu sedikit miring.
Selicin belut
Siang Cin menerobos ke dalam dilihatnya puluhan bangunan rumah
besar kecil,
ada yang berloteng tapi semuanya terbangun dari papan kayu pilihan
yang kukuh
dengan pondasi batu, di kejauhan sana ada gundukan bukit kecil, di atas
tanah bukit
inilah bertengger sebuah bangunan gedung yang mentereng dan angker,
gedung ini berkapur
putih bersih.
Siang Cin
terus menyelinap ke depan tanpa di ketahui, akhirnya dari depan
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
42
dilihatnya
seorang laki2 kekar sedang mendatang dengan langkah gopoh, lekas
Siang Cin
sembunyi di tempat gelap, dikala laki2 itu lewat di sampingnya, secepat
kilat dia
tutuk Hiat to pinggang orang.
Tanpa
mengeluarkan suara, laki2 itu diseret Siang Cin ke pojok tembok, sorot mata
orang
kelihatan kaget, ketakutan tercampur heran pula. Pelahan Siang Cin menepuk
punggungnya,
lalu berkata dengan suara lirih kereng: "Kalau kau masih ingin hidup,
jangan
berteriak, kalau tidak, besok pagi kau tak bisa melihat matahari lagi"
Laki2 itu
membuka mulut tapi tiada suara yang keluar, akhirnya dia manggut2.
Siang Cin
berkata dingin: "Calon isteri An Lip di mana?"
"Calon
isteri... isteri siapa?" tanya laki2 itu dengan bingung.
"An
Lip," ulang Siang Cin. "An Lip yang berewok itu."
"O,
ya," ajar laki2 itu, "dia . . . . . memberontak . . . . . gendaknya
itu kini disekap di
penjara bawah
tanah . . . . . letaknya di rumah batu tak jauh di sana itu."
Siang Cin
memandang ke tempat yang ditunjuk, memang di sana ada sebuah rumah
batu,
kelihatannya seram dan menyendiri di sebuah tanah lapang yang kosong.
Setelah
menelan air liur, laki2 itu berkata pula: "Kentongan kedua malam ini,
gendak
An Lip itu
akan menjalani hukuman, mungkin akan dibakar hidup2."
Dengan heran
Siang Cin tatap laki2 ini, dia tidak tanya soal ini, mengapa dia malah
bercerita?
Agaknya laki2 itu maklum akan sorot mata Siang Cin yang mengandung
pertanyaan,
maka dia menambahkan: "Terus terang Hohan, perkara An Lip telah
menjadi
rahasia umum bagi seluruh anggota Sianggi-pang kami, siapa benar siapa
salah, dalam
hati masing2 sama tahu, apalagi sejak kecil aku sangat intim dengan
An Lip, aku
tahu bahwa Hohan ke mari hendak menolong calon isteri An Lip,
perempuan itu
memang bukan orang bejat."
"Kalau
demikian, aku tidak akan menyakiti kau," ucap Siang Cin tertawa.
"Cuma
untuk
sementara biarlah engkau ngendon saja di sini." --- Lalu dia tutuk Hiat-to
orang,
tanpa bersuara
laki2 itu jatuh pingsan.
Dengan
beberapa kali lompatan Siang Cin melayang ke samping kiri rumah batu itu,
karena rumah
batu ini dibangun di tengah lapangan, maka tiada tempat untuk
sembunyi,
empat laki2 memeluk golok tampak berdiri tegak di depan rumah,
sementara
puluhan orang lagi yang juga bersenjata lengkap mondar-mandir di
halaman, maka
bukan soal mudah untuk mendekati rumah batu, apalagi lagi
lapangan
kosong itu ada puluhan tombak.
Baru saja
Siang Cin hendak berdiri, tiba2 kepalanya terasa pusing, pandangan
menjadi gelap,
cepat dia geleng2 kepala serta memijat jidat, mengapa dalam
keadaan
segenting ini dia pusing kepala? Memangnya terlalu letih dan terlalu banyak
keluar darah
karena luka2nya pagi tadi?
Sejenak dia
berdiam serta menenangkan perasaan, akhirnya dia melangkah keluar
dari tempat
gelap, dengan langkah berlenggang dia menuju ke rumah batu itu, baru
saja beberapa
langkah, dua kali suara tepukan tangan sudah berkumandang dari
depan disusul
suara orang menghardik: "Siapa?"
Segera Siang
Cin balas bertepuk tiga kali seraya, menyahut dengan suara tertahan:
"Aku!"
Agaknya pihak
sana melenggong, sementara itu Siang Cin telah berkelebat maju,
katanya:
"Kalian tentu lelah, saudara2, segera Pangcu akan tiba."
Bayangan
seorang tampak memapak ke arahnya, katanya penuh rasa curiga:
"Saudara
dari mana? Kenapa jawaban sandimu tadi tidak cocok?"
Dalam pada itu
Siang Cin lantas melangkah maju semakin dekat, dengan tenang dia
menjawab:
"Baru saja sandi dirubah, kenapa tidak cocok? Pangcu suruh kutanya
apakah
peralatan hukuman sudah disiapkan?"
Masih dalam
jarak dua tombak, orang itu masih curiga, katanya: "Berganti sandi?
Kenapa aku
tidak diberitahu?"
Siang Cin
terkekeh pelahan, tahu2 dia sudah berada di samping orang, tak kelihatan
cara bagaimana
dia turun tangan, tahu2 laki2 itu sudah roboh menggeletak, bagai
angin puyuh
dia bergerak, dua laki2 yang berada di kanan-kirinyapun sekaligus
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
43
dibikin tak
berkutik, hakikatnya mereka tidak melihat jelas siapa pendatang yang
turun tangan
ini!
Baru saja
keempat laki2 yang jaga di depan rumah merasakan gelagat jelek, belum
sempat mereka
bersuara, tahu2 bayangan orang berkelebat, seperti orang mabuk
saja mereka
sama jatuh saling tindih. Sekali kelebat Siang Cin menerobos masuk,
dua laki2 yang
duduk di belakang sebuah meja serentak menubruk maju sembari
menghardik.
Siang Cin
mendengus dan mengisar tangannya terayun serta menebas miring, sekali
putar lagi,
seperti orang di luar tadi, kedua orang inipun jatuh mencium lantai tanpa
mengeluarkan
suara.
Inilah sebuah
ruangan kosong melompong, tanpa pajangan apapun, di kiri-kanan
ada sebuah
pintu, pintu terbuat dari batu dan tertutup rapat. Siang Cin langsung
menerjang ke
pintu kanan, telapak, tangannya menggempur dengan sekali hantam
"Byar",
pintu batu itu dipukulnya hancur, di dalam adalah sebuah lorong gelap, pada
kedua sisi
lorong terdapat delapan kamar tahanan, dengan suara tertahan Siang Cin
berteriak:
"Siapa calon isteri An Lip? Lekas jawab pertanyaanku."
Beruntun tiga
kali dia bersuara, reaksinya malah suara keributan pada kedelapan
kamar tahanan
itu, tahu waktu amat mendesak, lekas Siang Cin membalik
menerjang ke
pintu sebelah kiri, sekali pukul dia runtuhkau pintu batu pula, belum
lagi taburan
debu mereda dia sudah menerjang masuk seraya berteriak pula: "Siapa
calon isteri
An Lip? Kudatang menolongmu, lekas jawab pertanyaanku."
Dua kali dia
berteriak, pada ujung kamar sana mendadak seorang perempuan
berteriak
dengan suara meratap: "Aku . . . . aku inilah. . . . "
Tanpa pikir
dan sangsi lagi, Siang Cin langsung menerjang ke sana, belum lagi
kakinya
menginjak tanah, tangannya sudah mematahkan jeruji kamar tahanan yang
terbuat dari
kayu, keadaan di sini gelap remang2, walau keadaannya compancamping
dan tidak
terurus, tapi kelihatan sesosok tubuh yang ramping, bayangan
seorang
perempuan tampak bergerak dengan langkah lemah, kiranya kaki
tangannya
terborgol rantai.
Siang Cin
kerahkan tenaga pada telapak tangap, sekali tabas ia putuskan rantai itu
serta bertanya
dengan suara gugup: "Apakah kau tunangan An Lip?"
Perempuan itu
manggut2 dengan menahan isak, sabutnya serak,, "Tan . . . . Tan Sin
akan . . . .
akan membakarku malam ini . . . . "
"Dia
takkan membunuhmu," ucap Siang Cin, sekali raih dia kempit orang, secepat
kilat dia
melayang keluar. Tapi baru saja dia keluar dari pintu batu yang digempurnya
hancur itu
cahaya obor yang terang benderang tahu2 menyilaukap matanya, di luar
rumah tanpa
bersuara sudah dipagari banyak laki2 seragam abu2 yang tak terhitung
jumlahnya,
senjata mereka tampak berkilau dibawah sinar obor, wajah mereka rata2
tampak sadis,
terasa suasana amat tegang.
Yang berdiri
dan menjadi pimpinan pengepungan ini kiranya bukan lain daripada
Sam-bak-siu-su
Tan Sin adanya, jago2 kelas tinggi Siang-gi-pang telah dikerahkan.
Codet di
tengah alias Tan Sin tampak membara, sorot matanya menatap dingin,
lama dia
menatap Siang Cin tanpa bergerak.
Perempuan yang
terhimpit di bawah ketiak Siang Cin tampak gemetar ketakutan,
mukanya pucat,
kaki-tangannya lunglai, agaknya dia amat ketakutan, semula dia kira
selekasnya
akan lolos dari segala siksa derita, tak tahunya elmaut justeru sudah
mengadang
didepan mata.
Terangkat alis
Tan Sin, dengan ketus ia berkata: "Orang she Siang akhirnya toh kau
terlambat
setindak."
Dengan tenang
Siang Cin menggelendot di dinding batu, sikapnya yang tenang itu
se-akan2 tidak
tahu situasi yang tegang mendebarkan jantung ini. "Terus terang,
kalian yang
tidak beruntung, kenapa lebih cepat kalian datang kemari"
Menyeringai
Tan Sin dan berkata: "Siang Cin, malam ini kukira kau takkan bisa pergi
seenak perutmu
sendiri."
Sang Cin
mengejek: "Jangan takabur Tan Sin, kau akan memperoleh ganjaran yang
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
44
setimpal
"
Seperti mekar
hidung Tan Sin, secapat mungkin dia menekan amarahnya, katanya
penuh
kebencian: "Jangan kau hina orang keterlaluan orang she Siang, kau ingin
bertingkah di
tempat Siang-gi-pang, hm, kau belum cukup punya kemampuan, orang
lain takut
terhadapmu, tapi orang she Tan tidak memandang sebelah mata padamu."
Siang Cin
menarik napas, kembali rasa pening merangsang dirinya, dadapun terasa
mual:
"Tan Sin," ucapnya kemudian, "perempuan ini milik orang lain,
kenapa kau
sengaja bikin
mereka tercerai berai? Kalau kau tidak peduli mati hidup perempuan ini,
orang lain kan
mengharapkan dapat hidup rukun dan bahagia sampai hari tua ..... ."
"Tutup
bacotmu," bentak Tan Sin murka. "An Lip memelet gundikku. dosanya
pantas
dihukum
pancung, kini kau keparat ini berani hantu dia menculik orangku, kau kira
Siang-gi-pang
kami boleh sembarangan dihina."
Siang Cin
mendengus, katanya: "Jangan emosi, Tan Sin, demi seorang perempuan,
bila kau
terjungkal kan tidak setimpal."
Dibarengi
suara gerungan, Gui Ih tampak muncul di samping Tan Sin, dia
mengangguk
pada Tan Sin, lalu berputar menghadapi Siang Cin, katanya dengan
gemas:
"Siang Cin segera kau sendiri akan maklum siapa yang bakal terjungkal
gara2 seorang
perempuan."
Rasa pening
yang merangsang kepala Siang Cin bertambah berat, sekerasnya
Siang Cin
geleng kepala, suaranya sudah berubah serak: "Tan Sin, sekali lagi
kutegaskan,
kau mau memberi jalan tidak?
Tan Sin
menyeringai, katanya: "Gampang saja memberi jalan asalkan kau mampu
mencabut nyawa
seluruh orang Siang-gi-pang."
Tiba2 Siang
Cin tertawa aneh, katanya: "Tan-toapangcu, kau kira Siang Cin tidak
mampu
melakukannya?"
Mendengus hina
Tan Sin menantang: "Kami sedang menunggu aksimu itu."
Siang Cin
memperlihatkan tawanya yang acuh tak acuh, dengan langkah lambat
seperti orang
malas dia beranjak ke arah pintu.
Tan Sin
meraung seraya mengulap tangan, orang2 Siang gi-pang yang memagari
pintu serentak
memecah diri lompat ke samping, di belakang mereka masih ada tiga
puluhan orang
berbaju abu2 yang bertiarap, tangan setiap orang sama memegang
bumbung perak
sepanjang dua kaki, tampak jelas alat di ujung bumbung bagian
belakang siap
ditarik untuk melancarkan serangan, entah bahan peledak atau
senjata
rahasia apa.
Terkesiap
Siang Cin, tapi dengan tenang ia berkata: "Tan Sin, kau siap bertindak
kasar dan
nekat?"
Otot hijau di
jidat Tan Sin tampak membesar, suaranya mendesis dari deretan
giginya yang
gemeretuk geram: "Turunkan perempuan itu, tutuk pula Hiat-to
pelemasmu
sendiri."
Siang Cin
tertawa, katanya: "Kau tahu bahwa saat ini tak mungkin kulakukan
Toapangcu."
Dingin sorot
rnata Tan Sin, sekilas ujung bibirnya bergetar, maka Siang Cin lantas
tahu apa yang
akan dilakukan orang. Selama ber-tahun2 ini Siang Cin sudah biasa
dengan
tradisinya sendiri yaitu turun tangan lebih dulu, adalah logis kalau kali ini
iapun tidak
mau kalah cepat bertindak daripada lawan2nya yang sudah menguasai
situasi.
Sesosok
bayangan kuning laksana anak panah melesat ke pinggir pintu, hampir
pada waktu
yang sama di bawah gerungan kasar serta makian kalang kabut
terdengar
suara jepretan yang bersahutan ber-gulung2 gumpalan asap yang
membara
membawa ekor cahaya panjang memapak luncuran bayangan kuning itu.
Hampir tak
terikuti oleh mata telanjang, bayangan kuning itu mendadak jatuh
menelungkup di
belakang pintu, tidak jelas cara bagaimana tiba2 dia bisa berdiri pula,
tapi ketika
bayangan kuning itu berdiri, dua Thocu Siang-gi-pang meraung keras
dengan badan
terlempar tiga tombak jauhnya.
Baru sekarang
kobaran api yang menyala itu menerjang masuk ke dalam kamar, di
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
45
tengah suara
ledakan dan kobaran api yang menjilat apapun, karena itu seketikapun
terjilat
kobaran api, padahal lapisan batu marmar biasanya tidak mempan dijilat api
kini telah
berkobar dengan asap tebal warna hijau kebiruan. Maklumlah semburan
bahan peledak
yang mengandung minyak dan pospor itu akan menyala dimanapun
bila kena
hawa, siapapun bila terciprat meski cuma sedikit saja, kecuali potong
bagian yang
keciprat itu, kalau tidak, seluruh badan orang akan terbakar hangus.
Ternyara tiga
puluhan laki2 yang menyanding bumbung perak itu cukup tabah dan
yakin akan
senjata ganas mereka, melihat semprotan pertama tidak mengenai
sasaran, cepat
mereka keluarkan sebutir bahan peledak warna merah sebesar
mangga segera
terus dimasukkan ke dalam bumbung . . . . .
Sementara itu
Siang Cin telah kerjakan telapak tangannya, tiga puluh satu jurus,
serentak dia
gempur mundur lima jago kosen Siang-gi-pang, di mana matanya
melirik,
sekilas dia sudah menguasai situasi sekelilingnya., cahaya keemasan yang
benderang
melebar dengan deru suaranya yang mirip pekik setan memberondong
ke berbagai
penjuru.
Cahaya
keemasan itu tampak berputar, kelihatan masih jauh, tapi tahu2 batok
kepala
sembilan orang sudah sama putus dan bergelinding ke tanah. Maka
gemerantang
pula bumbung perak yang berjatuhan, ditambah jerit kaget dan
ketakutan
orang banyak, suasana menjadi kacau.
Sambil mencaci
kalang kabut tampak Tan Sin menerjang maju, Kek-cu-kau (gaetan
kalajengking)
senjata andalannya segera menyerang dengan kalap.
Dengan cepat
Siang Cin berkisar sejauh lima tombak, di kala badannya berputar
laksana angin
puyuh itu, puluhan orang berbaju abu2 kembali roboh tak bernyawa
lagi, tiada
seorangpun melihat cara bagaimana musuh menamatkan jiwa mereka.
Tiga bayangan
orang menubruk tiba bersama dari tiga jurusan, tenaga pukulannya
kuat dan
mantap, ketiga orang ini adalah para Tongcu Siang-gi-pang, yakni Bing-gitong
Tongcu
It-pi-kan-san (satu tangan menyanggah gunung) Ih Giam, Jing-sim-tong
Tongcu Siu li
ciam (jarum dalam baju) Cui Hi dan Ting-long-tong Tongcu Ci Jan (si
janggut ungu)
Ban Pek-hou.
Siang Cin
segera pasang kuda2, kaki berdiri kukuh tak bergeming, telapak tangan
bergerak
melingkar, damparan angin pukulan berpusar yang tidak kelihatan segera
memapak ketiga
Tongcu yang menubruk tiba itu.
Suara keras
benturan telapak tangan segera memecah kesunyian, tampak ketiga
Tongcu
Siang-gi-pang itu sama mengerang kesakitan, ketiganya tergetar mundur
dengan muka
pucat dan meringis kesakitan.
Sam-bak-siu-su
Tan Sin kembali menerkam laksana serigala kelaparan, mulutpun
ber-kaok2:
"Cincang keparat ini, meski harus banjir darah, jangan biarkan dia
pergi."
Ujung kaitan
kalajengking kembali menyambar, dengan gaya serangan yang aneh ia
menggantol
leher Siang Cin, berbareng cambuk kulit ular juga sekaligus melecut ke
kaki dengan
suara yang menggeletar.
Siang Cin
mengencangkan kempitannya pada perempuan tadi, bersamaan dengan
gerakannya
ini. sekaligus dia melejit menyingkir dari rangsakan Tan Sin, berbareng
sikutnya
menyodok ke arah Gui lh, si penyerang dengan cambuk itu.
Gui Ih
menjerit seraya melompat pergi sejauh mungkin dengan gugup, sungguh tak
terbayang
olehnya, entah dengan gerakan apa tahu2 lawan tiba di depannya dan
menyerang
dengan sikutnya. Dikala dia melompat menyingkir inilah, Ting-long-tong
Tongcu si
jenggot ungu Ban Pek-hau menggerung, dia melejit maju, sepuluh kali
pukulan
telapak tangan dan sembilan kali tendangan dilontarkan ke punggung Siang
Cin.
Se-konyong2
badan Siang Cin berguntai ke kiri-kanan, telapak tangannya bergerak
membabat ke
leher lawan, jurus babatan telapak tangan ini tampaknya sepele, tapi
serangan ini
justeru mengejutkan Ban Pek-hao, cepat dia mengelak ke belakang, tak
urung baju di
pundaknya terserempet sobek, sudah tentu tak terpikir oleh si jenggot
ungu Ban
Pek-hou bahwa Siang Cin telah batas menyerangnya dengan jurus Kui-sohun
(setan
merenggut nyawa), salah satu jurus ilmu pukulan kebanggaannya.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
46
Ih Giam, si penyanggah
gunung, bersenjata Siang-hoan-kim-to (golok emas
bergelang), ia
menerjang maju dari samping dengan bacokan golok, sementara
kedua kakinya
laksana kitiran berbareng menyapu, pada hal Siang Cin kembali lagi
diserang rasa
pusing, pandangannya tiba2 menjadi gelap, untung kupingnya masih
dapat
mendengar suara dan membedakan arah, cepat ia berkelit, menyusul jurus
Kui-so hun dia
lancarkan pula untuk menggempur mundur Sin li-ciam (jarum dalam
baju) Cui Hi
yang merunduk dari sehelah kiri.
Berkeringat
codet di jidat Tan Sin, matanya mendelik, bagai harimau kelaparan dia
putar sepasang
gaetan dan merangsak dengan membabi buta, sementara empat
Thocu Siang-gi
pang yang masib segar kinipun terjun ke arena pertempuran
membantu Tan
Sin.
Rasa lelah dan
pening Siang Cin terasa semakin berat dan membuat kondisi
badannya
semakin payah, Siang Cin tahu gelagat tidak menguntungkan, disadarinya
bahwa dirinya
telah terkena racun, tapi sungguh dia tidak habis mengerti, kapan dan
di mana dia
terkena racun ini?
Bayangan Siang
Cin berlompatan kian kemari menghindari serangan dari berbagai
arah, di
tengah gerakan yang sebat itu terasa oleh Siang Cin adanya gangguan yang
menghambat
gerak-geriknya, terpaksa dia lontarkan pukulan dahsyat untuk
kemudian
melompat ke sana sejauhnya.
Sambil
ber-kaok2 Tan Sin mendahului mengudak, makinya: "Naga Kuning, beginikah
sepak
terjangmu selama kau tenar di dunia Kangouw?"
Siang Cin
tidak tanggapi cemooh orang, dia jawab dengan gerakan tangan, tiga jalur
cahaya
keemasan yang melengkung seperti sabit tahu2 meluncur dari tanganya,
Toa-liong-kak
tahu2 menyambar, tanpa berpaling juga dia yakin akan senjata
ampuhnya ini,
di mana senjata rahasia ini menyambar tiba segera terdengar jeritan
ngeri, sekali
lepas jarang Toa-liong-kak tidak minum darah korbannya.
Sekuatnya dia
kerahkan sisa hawa murninya, dikala tenaganya rnasih bekerja
dengan normal
seringan asap tertiup angin, cepat sekali ia melayang jauh kesana
dan
menghilang.
Beruntun
beberapa kali naik turun dia berlompatan, akhirnya dia tiba di selat antara
kedua puncak
Ji-long-san, tapi keringat sebesar kacang telah membasahi mukanya,
sekuatnya dia
menahan napasnya supaya tidak menderu kencang, dia tahu sekali
dia mengembus
napas, tenaga yang tersisa akan buyar seketika.
Perempuan yang
dikempitnya agaknya jatuh pingsan, lunglai tak bergerak, kaki
tangannya
terjulur, rambutnya terurai awut2an, kini bobot badan orang terasa berat
sekali. Tapi
Siang Cin bertahan sekuat tenaga sambil mengayun langkahnya berlari
lagi bagai
terbang, tenggorokan sudah terasa kering dan getir, rasa panas
merangsang
dada pula, sekuatnya dia mengedip mata, karena pandangannya
seakan2
berselaput, sehingga alam sekelilingnya kelihatan remang2.
Jarak lima
puluhan li ini, se-akan2 tidak bisa tercapai lagi, begitu lama dan jauh
sekali
rasanya, gunung gemunung seperti sambung menyambung tak ter-putus2,
kegelapan dan
dingin dengan deru angin yang seram bagai pekik tangis setan
penasaran.
Dengan tangan
kirinya yang kosong ia seka keringat, terasa oleh Siang Cin bahwa
jantungnya
memukul keras, pakaiannya yang rangkap luar dalam sudah basah
kuyup oleh
keringat dan melengket di bajunya. Dia telan air liurnya yang terasa getir,
kakinya segera
bertambah tenaga dan berlari sekencang mungkin, tapi kakinya kini
seperti
terborgol oleh rantai yang berat, kaku dan susah digerakkan.
Lama sekali
akhirnya Siang Cin menghela napas lega karena dia sudah lewat Sukui-
kok (lembah
kenangan) dan tiba di deretan pohon Siong itu, rumah kayu yang
mungil itupun
sudah kelihatan. Ya, cahaya lampu yang remang2 tampak menyorot
keluar dari
jendela, cahaya lampu tampak redup dan tenang, ingin rasanya Siang Cin
lekas masuk ke
rumah dan menjatuhkan diri di ranjang dan tidur nyenyak.
Kembali dia
mengencangkan kepitan perempuan di bawah ketiaknya, dengan
menyeret
langkahnya yang berat Siang Cin terus lari. Syukurlah akhirnya tiba di
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
47
depan rumah,
setelah naik undakan dan akhirnya dia menggelendot di depan pintu
sekian lama
untuk menenangkan hati dan mengatur napas, kemudian ia mengetuk
pintu dengan
rada gemetar: "Lo Pau buka pintu, aku sudah pulang . . . "
{ 1 komentar... read them below or add one }
artikelnya bagus sekali sob,,menambah pengetahuan dan wawasan.. terima kasih banyak atas sharenya..semoga selalu menciptakan karya" terbaiknya,,,dan ditunggu UPDATEan terbarunya sob,,,pokoknya mantap deh! keren buat blog ente ! dan saya mohon dukungannya sob buat lomba kontes SEO berikut:
Ekiosku.com Jual Beli Online Aman Menyenangkan
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia
terima kasih atas dukungannya sob,, saya doakan semoga ente selalu mendapatkan kebaikan,, dan terus sukses!! amin hehe sekali lagi terima kasih banyak ya sob...thaks you verry much...
Posting Komentar