Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3 ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru,
Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3
Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3
Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3
Pau Seh-hoa
lantai menggerutu gusar: "Lote, kau gila . . . . . . kau. . . . . .
. "
Siang Cin
menggeleng, lalu berpaling ke arah orang tadi yang menggelendot lemas
di kaki
dinding sana, rasa kejut masih terbayang di wajahnya. Wajahnya nan
jelita
tampak pucat, napasnya juga memburu, kedua bola matanya terbelalak, tanpa
berkesip
memandangi Siang Cin.
Dia bukan
lain daripada Sek Pin, adik Sek Kui, Wancu (ketua perkampungan)
pertama dari
Ceng siong san ceng.
Dengan
tertawa, tenang saja Siang Cin menyapa: "Manusia hidup di mana2 selalu
bersua
nona!".
Sek Pin
mengenakan pakaian ungu ketat, gaun panjang dengan ikat pinggang sutera
warna putih,
bagian luarnya mengenakan mantel kulit rase, topi kain yang lebar,
wajah yang
pucat bagai orang yang baru sembuh dari sakit, keringat basah di
ujung
hidung, sikapnya tampak gelisah dan takut.
Pelan2 dia
merangkak bangun dan mengelus dada, katanya gugup: "Siang Cin,
besar
amat nyalimu,
seorang diri berani kau menerobos ke Lo-koh-ce gunung palsu ini,
kini Cengcu
dan lain2 sudah tahu perbuatanmu, seluruh kekuatan dikerahkan,
daerah ini
sudah terkepung rapat .. ... ."
Siang Cin
mengangguk, katanya: "Hal ini memang sudah kuduga."
Suara orang
ribut2 dari lorong di mana kamar ular dan gajah bersayap semakin
dekat,
terdengar pula suara benda2 dipukul, obor bergerak dengan bunga apinya
yang
bertebaran.
Melihat
keadaan kelima orang dihadapannya, terbayang rasa iba dan simpatik pada
muka si
nona, tapi sikapaya tampak teguh untuk bertindak menuruti nuraninya yang
suci murni,
sekilas dia berpaling ke lorong gana, lalu tanpa ragu berkata:
"Siang
Cin, waktu sudah mendesak, bawalah orang2mu ikut aku."
Sedikit
melengak dan ragu2, Siang Cin berkata dingin: "Tentunya ini bukan sebuah
jebakan?"
Ujung bibir
Sek Pin tampak mencibir sinis, wataknya yang keras seketika meledak
mengobarkan
amarah dan penasaran, katanya merasa terhina. "Kalau betul begitu,
tak perlu
aku bersusah payah kemari."
Siang Cin menatap
tajam pada Sek Pin, akhirnya ia mengangguk, katanya: "Baik,
tunjukkan
jalannya."
Tanpa bicara
lagi Sek Pin membalik dan menerobos ke dalam lubang darimana tadi
dia datang,
Siang Cin ikut di belakangnya, lalu An Lip yang memayang isterinya,
terakhir adalah
Pau Seh hoa. Di balik batu undakan sebelah kanan menurut
petunjuk Sek
Pin, Siang Cin menginjak sebuah tombol rahasia, maka pintu batu
yang
bergeser tadi pelan2 bergerak merapat.
Lorong bawah
tanah ini seperti menjurus ke pusar bumi, miring turun, terasa
lembab dan
dingin agaknya sudah sekian tahun tak terpakai lagi, bau apek busuk
yang umumnya
hanya tercium di tempat gelap yang jarang terkena sinar matahari
menyesakkan
pernapasan, tanah licin berlumut, jauh dekat tak bisa dibedakan,
karena gelap
gulita, Sek Pin terus menggremet maju sambil me raba2, sepatah
katapun tak
bersuara. .
Siang Cin
melangkah maju lebih dekat, dengan suara lirih dia berkata: "Nona Sek,
nona sudi
menyerempet bahaya menolong kami, tak peduli Siang Cin dapat keluar
dengan hidup
atau mati, bila masih.ada kesempatan pasti takkan kulupakan budi
luhur
nona."
Sek Pin maju
terus tanpa bersuara, sesaat kemudian baru dia berkata rawan: "Tak
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
97
usah kau
berterima, kasih, memang ini kehendakku sendiri."
Terketuk
hati Siang Cin, ia menyesal, katanya kemudian: "Jangan berkata begitu
nona,
pengorbananmu teramat besar . .... " lalu Siang Cin menambahkan dengan
nada berat:
"Nona, apakah engkohmu tahu apa yang kau lakukan sekarang? Kecuali
dirimu
adakah orang lain yang tahu akan tindakanmu malam ini?"
Sek Pin
menahan isak tangisnya, katanya sedih: "Engkohku tidak tahu, tapi cepat
atau lambat
akhirnya dia akan tahu juga. Dia tidak akan mengakuiku lagi sebagai
adik, ia
pasti akan menghukum aku ... aku dan Hoan-gwat .... "
"Siapakah
Hoan-gwat?" tanya Siang Cin.
Sek Pin
terpeleset ditanah yang licin dan hampir saja jatuh, lekas Siang Cin
memapaknya,
Sek Pin berkata sotelah menghela napas: "Hoan-gwat adalah pelayan
yang paling
kusayang, kami tumbuh dewasa bersama sejak kecil."
Berjalan
beberapa jauh lagi baru Siang Cin berkata pelahan: "Lorong rahasia ini
terang
sangat panjang, tembus ke mana?"
Kini Sek Pin
berjalan lebih hati2, katanya: "Hampir lima tahun lorong ini tidak
dipakai
lagi, letaknya antara dua puluh kaki di bawah tanah, panjangnya dua li,
karena
tanahnya yang sering longsor, maka pembangunan lorong rahasia ini sudah
dihentikan
lima tahun lalu, lorong ini tembus ke gunung di belakang perkampungan
. .. .
"
"Mungkinkah
ergkohmu takkan curiga akan lorong rahasia yang terbengkalai ini?
Tidak curiga
bahwa kau yang menolong kami? Kecuali lorong rahasia ini, adakah
jalan
rahasia lain untuk masuk ke Lo-koh-ce?"
Berpikir
sekian lama baru Sek Pin berkata pula: "Sudah lima tahun lorong ini
tidak
terpakai, banyak orang tahu bahwa lorong ini sudah buntu dan tak bisa
digunakan
lagi, bulan yang lalu, tanpa sengaja Hoan-gwat dengan . .. . dengan
temannya
bertemu di sini, didapatinya longsoran tanah di sini ternyata sudah
bergerak
lagi, sehingga terbuka sebuah terowongan selebar tiga kali. Waktu itu
secara diam2
Hoan-gwat beritahukan padaku, semula tidak kuperhatikan, tak nyana
hari ini
begini besar manfaatnya, menolong kau sekaligus juga mencelakakan
diriku . . .
. "
Siang Cin
geleng2, baru saja dia mau bicara Sek Pin sudah menyambung:
"Engkohku
pasti tidak
tahu kalau lorong di sini masih dapat digunakan dan lebih penting
lagi bahwa
dia tak menduga akan perbuatanku yang durhaka ini, oleh karena itu,
dalam waktu
singkat mereka takkan memburu kemari, tapi bila mereka telah masuk
lewat jalan
rahasia lain dan kehilangan jejak kalian, pasti mereka akan menduga
kalian telah
kabur lewat lorong rahasia yang terbengkalai ini."
Berpikir
sebentai, tiba2 Siang Cin berkata: "Menurut perhitungan waktu,
seharusnya
mereka segera akan tiba di tempat kurungan kami dari jalan rahasia
yang lain,
tapi kenapa setelah kita pergi sekian lama masih belum kelihatan
bayangan
mereka?"
Sek Pin
menunduk malu, sesaat baru dia bersuara pula: "Aku kuatir mereka tiba
lebih dulu
maka . . . . maka kunci pintu yang disimpan engkohku telah kucuri . .
. . "
Siang Cin
mengangguk maklum, sebabnya orang2 Ceng-siong-san-ceng ribut
dilorong
tempat
binatang buas itu ialah karena pintu jalan rahasia yang lain terkunci dan
tak bisa
dibuka, terpaksa mereka harus masuk menurut jalan yang ditempuh Siang
Cin, walau
harimau bertanduk sudah mati tapi gajah bersayap yang terluka dan
ular2 merah
itu mungkin menjadi rintangan bagi mereka.
Jalan
semakin datar, maka langkah mereka bertambah cepat pula, tiba2 Siang Cin
berkata pula
dengan setulus hati: "Nona Sek, kami sangat berterima kasih atas
pengorbanan
dan pertolongan . ... . ..."
Tanpa
berpaling Sek Pin berkata dingin: "Sekarang kalian harus berusaha
meninggalkan
Cengsiong-san-eeng secepatnya, satu jam yang lalu Im-bing long-kun
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
98
Ih King-hok
telah tiba, mungkin sekarang dia sudab berada dalam barisan orang2
Cengsiong
san-ceng."
Mendengar
nama ini mau tak mau Siang Cin terkesiap, tanyanya: "Ih King-hok? Ih
King-hok
dari Ang-tong-nia itu?"
Sek Pin juga
terperanjat mendengar nada ucapan Siang Cin, langkahnya
diperlambat,
tanyanya heran: "Sudah tentu, memangnya di dunia ini ada Ih King
hok
kedua?" setelah merandek sebentar, dia berkata pula kuatir: "Kau juga
kenal
dia? Siang
Cin, belum pernah aku melihat kau seprihatin ini . . . .. orang ini
membuatmu
takut?"
Sambil
tertawa tawar Sang Cin berkata. "Tidak, mungkin ada orang yang mampu
mengalahkan
Naga Kuning, tapi TIada seorangpun yang mampu membuat Naga
Kuning
jeri. Aku
hanya merasa heran, Ih King-hok bertabiat aneh, tinggi hati, sUka
menyendiri.
tak pernah mencampuri urusan duniawi, bagaimana mungkin sekarang
dia
bergaul
dengan orang2 Ceng - siong - san ceng yang terkenal jahat dan sampah
dari kaum
persilatan ini?"
Dengan
mendengus Sek Pin berkata kurang senang: "Hm, bicaralah yang bersih,
kaum
jahat dan
sampah persilatan apa? Setiap orang punya pendiriannya. Kau
menjelekkan
orang lain, belum tentu orang akan memuji sepak terjangmu . . . . .
. "
Tertawa
Siang Cin dan berkata:. "Ya, memang, kalau tidak, mayat takkan
bergelimpangan
sebanyak itu."
Saking
dongkol Sek Pin membanting kaki langkahnya dipercepat, Siang Cin menarik
lengan Kun
Sim-ti dalam gendongannya, lalu memberi tanda ke belakang sambil
menyusul
dangan langkah cepat, jalan rahasia sepanjang dua li itu mungkin sudah
akan tiba di
ujung.
Kini terasa
jalan yang mereka tempuh mulai menanjak naik, turun dan naik pula,
tidak lama
kemudian, dari depan sudah terasa ada embusan angin yang segar.
Menarik
napas panjang, Siang Cin berkata: "Sudah sampai."
Sek Pin mangangguk
sambil menuding kedepan, Siang Cin pusatkan perhatian
memandang ke
sana. Tertampak sebuah tangga batu berputar naik ke atas, mulut
terowongan
tertutup oleh sesuatu benda yang hitam gelap. Siang Cin tertawa, dia
tahu itulah
tumpukan rumput kering, karena dari sela2 lubang tumpukan benda
hitam itu
dia dapat melihat sinar bintang yang kelap-kelip di cakrawala.
Setiba di
undakan Sek Pin tampak tegang dan gelisah, setelah menarik napas,
sekilas ia
bimbang dan takut, akhirnya dia menepuk tangan dua kali, cepat dari
luar mulut
lorong berkumandang pula dua kali tepukan balasan.
Sek Pin
berteriak tertahan: "Hoan-gwat . . . . ."
Benda hitam
yang menutup mulut terowongan tampak digeser ke pinggir, ternyata
memang
tumpukan rumput kering, seorang dara jelita segera menongol, tanyanya
gugup dan
tegang: "Siocia, sudah datang semua?"
"Ya,"
sahut Sek Pin. "Hoan-gwat, bagaimana keadaan di luar?"
Wajah jelita
di atas itu tampak takut2 dan ngeri: "Hampir saja aku mati
ketakutan,
sinar pedang dan golok gemilapan di dalam dan luar kampung, bayangan
orang
simpang siur, baru saja kulihat The moacu membawa sebarisan anak buahnya
berlari
lewat di depan sana. Siocia, lekas kalian naik kemari . . . . "
Mendadak
Siang Cin melangkah maju, katanya.. "Untuk Menjaga kemungkinan, biar
aku naik
lebih dulu." Habis berkata ia terus melayang ke atas, baru saja
tubuhnya
muncul, seorang nona berpakaian hitam di mulut gua itu segera hendak
menjerit
kaget.
Tapi Siang
Cin sempat mendekap mulut si gadis yang hampir menjerit, katanya
tenang: "Jangan
berisik, aku Siang Cin."
Gadis itu
mengenakan pakaian serba hitam, dengan kerudung warna hitam pula,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
99
wajahnya
bundar kwaci manis dan mungil, usinya sekitar delapan belasan, kalau
tidak
lantaran kaget sehingga mukanya tampak pucat, mungkin dia akan kelihatan
lebih
jelita.
Siang Cin
unjuk tawa ramah kepada dara remaja ini, lalu dia membalik bantu
menarik Sek
Pin keluar, disusul An Lip dan isterinya lalu Pau Seh-hoa.
Mulut gua
ini berada di sisi sebuah batu gunung, sekelilingnya adalah rumput
alang2 yang
tumbuh tinggi setengah badan orang, bayangan puncak tinggi tampak
berdiri
tegak di kejauhan, angin malam meniup kencang sehingga rumput dan
pepohonan
bergerak mengeluarkan suara berisik, suasana pegunungan yang liar
dan
sepi ini
terasa seram dari menggiriskan.
Pau Seh hoa
memandang sekelilingnya dan menarik napas panjang ber-ulang2
untuk
menghirup
hawa segar. Siang Cin juga memandang jauh ke kegelapan alam,
katanya
lirih:
"Lo Pau, pegunungan ini merupakan tempat sembunyi paling baik bagi
kita."
Pau Seh hoa
memegang dagu, sahutnya dengan serak: "Ya, untuk sementara saja,
memangnya
kita berani pelesir di jalan raya sekarang?"
Pelan2 Siang
Cin berpaling pada Sek Pin, Si nona tengah mengawasinya dengan
tatapan
tajam, katanya pelahan: "Siang Cin, kau boleh pergi."
Menghela
napas masgul, Siang Cin berkata; "Apakah engkohmu akan
menghukummu?"
Tampak
senyum aneh menghias wajah Sek Pin, tapi senyum ini lantas beku oleh
kerongkongan
yang seperti tersumbat, lekas dia berpaling, lalu berkata dengan
sedih:
"Tergantung betapa banyak yang dia ketahui . . . . . . . " sampai di
sini
dia membalik
pula, deagan lagak tenang ia menyambung: "Paling tidak, sekarang
dia belum
tahu, atau mungkin bila aku bisa menutupi perbuatanku dengan baik,
mungkin
selamanya dia tidak akan tahu "
Siang Cin
rnemandangnya, dia tahu orang senugaja menghibur diri, urusan tak
mungkin
begitu mudah, orang2 Ceng siong-san-ceng tidak bodoh, terutama Sek Kui
si durjana
itu.
Pau Seh hoa
menghampirinya, katanya serak: "Kongcuya, sekarang kita boleh
berangkat
bukan?"
Siang Cin
menengadah memandang angkasa, bibirnya bergetar, sesaat kemudian
baru
berkata:
"Kami akan berangkat nona Sek, kau harus jaga dirimu baik2, demikian
pula nona
Hoan gwat."
Sek Pin diam
saja, sinar matanya tampak kabur, dengan berat dan seperti tak
terasa dia
mengangguk, se-olah2 mengandung derita batin yang tak terperikan,
takut karena
dirinya telah melakukan suatu kesalahan atau jeri menghadapi
hukuman yang
bakal menimpa dirinya? Atau mungkin karena menyesal akan
perbuatannya
sendiri?
Sedikit
membungkuk kepada Sek Pin sebagai tanda hormat, Siang Cin lantas
melangkah
pergi,
baru
beberapa langkah dia berjalan, tiba2 Sek Pin memburu maju tanyanya dengan
muka pucat
dan suara gemetar: "Kau . . . . . Siang Cin, apakah kau akan datang
lagi?"
Diam
sebentar, akhirnya Siang Cin berkata:
"Aku
akan kembali, nona Sek, aku pasti akan datang lagi."
Sek Pin
menyurut mundur dengan perasaan ngeri, badannya gemetar menghadapi
tatapan
Siang Cin yang penuh rasa dendam membara, tubuhnya gemetar
mendengar
nada ucapnya
yang kaku dingin itu, katanya pula dengan duka nestapa: "Kembali
dengan kedua
tanganmu yang berlepotan darah itu?"
Menguwasi
muka orang Siang Cin berkata dengan tegas: Kau tahu aku pasti berbuat
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
100
begitu, nona
Sek, aku juga takkan melupakan kebaikan dan pertolonganmu malam
ini, sejak
masih bocah Siang Cin sudah pandai membedakan antara budi dan sakit
hati."
Langkah
Siang Cin berlima semakin jauh, jalan yang mereka tempuhpun semakin
jelek dengan
batu gunung yang runcing dan licin. Pau Seh-hoa berpaling,
dilihatnya
Sek Pin berdiri ditempatnya seperti dibungkus kegelapan, pelayannya
Hoan-gwat
masih tetap mendampinginya, Pau Seh-hoa dapat meresapi betapa
masgul
hati si nona
yang terpencil dalam kesunyian.
Pau Seh-hoa
berjalan dengan payah, lama sekali baru dia berkata: "Kongcuya, apa
kau akan
naik ke puncak gunung?"
Siang Cin
menggeleng, katanya tawar: "Tidak, kita hanya berputar melalui kaki
gunung."
Di atas
punggungnya Kun Sim-ti menghela napas lelah, katanya lirih: "Dik, kau
tidak
letih?"
Berdetak
jantung Siang Cin, dengan haru dia usapkan telinganya ke pipi si nona,
dia tahu
bukan hanya soal sepele ini yang ingin diajukan oleh Kun Sim-ti, dalam
hatinya
tentu ingin tahu siapakah Sek Pin. Tapi dia tidak bertanya, di sinilah
letak
kebesaran jiwa Kun Sim-ti dan dalam hal ini dia lebih unggul dari wanita
yang lain.
Siang Cin
memandang jauh ke bawah, ke arah Ceng-siong-san-ceng, cahaya obor
masih
kelihatan bergerak kian kemari, perkampungan besar itu seperti diliputi
suasana
tegang dan dibungkus kabut hitam, se olah2 mereka ingin mengaduk setiap
jengkal
tanah di sana untuk menemukan jejak Siang Cin.
Pau Seh hoa
menepuk pundaknya, katanya: "Kongcuya, tak perlu memandang ke
sana
lagi, aku
tahu apa yang sedang kau pikirkan. Sekarang lebih penting kita cari
tempat untuk
menyembuhkan luka2 ini, apalagi kita harus sembunyi dan
menghindari
kejaran
musuh."
Memandang
bayang2 hitam di puncak kejauhan Siang Cin mengangguk, katanya
dengan
rasa lelah:
"Kau betul, memang itulah yang kita perlukan sekarang."
Dengan
tertatih saling gandeng mereka, maju terus di lereng pegunungan yang
belukar ini,
lambat dan sukar sekali perjalanan yang harus mereka tempuh. tapi
mereka tetap
maju ke depan, menuju ke pinggir gunung, ke arah datangnya sang
fajar. Ya,
tak lama lagi hari akan terang tanah.
Lereng bukit
itu berserakan batu2 gunung, di belakang lereng sana adalah sebuah
bukit yang
penuh semak belukar, di bawah lereng adalah sebidang hutan yang daun
pohonnya
sudah sama rontok, di antara hutan dan serakan batu2 gunung itu
terdapat
sebuah jalan pegunungan yang melingkar menjurus ke atas. Tatkala itu,
suasana
sekeliling sunyi senyap.
Di antara
batu2 yang berserakan di lereng itu terdapat sebuah batu padas besar
yang datar
licin, bagian atasnya mencuat keluar seperti tergantung di tengah
lereng, di
bawah batu padas raksasa ini ada pula puluhan batu2 besar kecil yang
ditumpuk
mirip sebuah dinding yang tidak teratur, sementara batu padas yang
mencuat
keluar kebetulan mengalingi sinar matahari, dapat untuk berlindung dari
angin dan
hujan, dilihat dari luar sukar diketahui apa dan bagaimana keadaan di
balik
tumpukan batu itu, tapi dari celah2 batu orang dapat melihat keadaan di
luar dengan
jelas.
Sekarang
Siang Cin, Kun Sim-ti, Pau Seh hoa berlima tengah beristirahat di sini,
Siang Cin
menggelendot pada sebuah batu, ber-malas2 dengan setengah
memejamkan
mata. Kun
Sim ti rebah tenang
di
sampingnya, An Lip dan bakal isterinya duduk setengah rebah di ujung kaki
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
101
batu, sedang
Pau Sehhoa mondar mandir sambil menggerutu entah apa yang
membuatnya
gelisah.
Hawa sejuk
nyaman, kadang kala terdengar juga kicau burung, tapi gema suaranya
seperti
berada di tempat jauh.
"Sret".
Pau Seh-hoa berludah, dengan gelisah dia mendekat ke samping Siang Cin,
lalu
berduduk, Siang Cin membuka mata memandangnya, muka Pau Seh-hoa bukan
saja
kurus kering
tapi juga berwarna kuning dan kuyu, bibirnya yang pecah tampak
putih tak
berdarah, sementara kedua matanya tampak cekung, rambut yang
memang
awut2an itu
tampak bagai rumput kering, sikap dan gerak geriknya kelihatan loyo
dan lemas.
Siang Cin
menghela napas, katanya: "Lo Pau, melihat keadaanmu, sungguh aku ikut
bersedih."
Pau Seh-hoa
tergelak2 dengan suara kering, katanya sambil unjuk giginya yang
kuning:
"Sudahlah, kau yang cakap ini kini juga tidak lebih bagus daripadaku,
pendeknya,
derita yang kita alami sudah cukup kenyang."
Siang Cin
mengawasi angkasa dengan memicingkan mata, agak lama kemudian
baru dia
berkata:
"Memang benar, Ceng-siong san-ceng memang teramat kejam, tapi akupun
lebih suka
berhadapan dengan musuh macam begini, karena hal itu akan
membuatku
tidak
mengenal kasihan lagi dikala menuntut balas kelak. Memang mereka bekerja
dengan
sempurna, sempurna dalam kekejaman."
Pau Seh-hoa
menggeram tertahan, "Kongcu," katanya kemudian," kau hanya tahu
bahwa mereka
menghajarku tiga kali, saking kelaparan mataku ber-kunang2, mereka
membawa
kelelawar untuk menghisap darahku, tapi masih ada satu yang belum kau
ketahui . .
. . . . . "
Tenang Siang
Cin memandang Pau Seh-hoa, tanyanya: "Apa pula yang satu ini?"
Muka Pau Seh
hoa tampak berkerut, dengan penuh dendam dia mengepal kedua
tinjunya,
pelan-pelan kepalanya tertunduk, rambutnya yang panjang awut2an
menutupi
jidatnya, sementara matanya terlongong mengawasi ujung kaki tanpa
bergeming,
belum pernah Siang Cin melihat kelakuan Pau Seh-hoa seperti ini
selama dia
kenal dan bergaul dengan dia selama puluhan tahun. Dia tahu kecuali
temannya ini
mengalami suatu pukulan lahir batin yang kelewat batas, atau
mungkin
suatu penghinaan besar, jelas dia tidak akan bersikap seaneh ini.
Pelan2 Siang
Cin mengusap bahunya, katanya: "Ceritakan padaku, Lo Pau,
pengalaman
yang satu itu. Bila ada yang terhina dan hal yang memalukan, biar aku
ikut
meresapi dan memperoleh bagiannya."
Pelan2 Pau
Seh hoa angkat kepalanya yang bergetar, sekuatnya dia menekan
gejolak
emosinya,
lama kemudian baru dia membuka mulut sambil tertawa: "Bukannya tak
boleh
kuceritakan pengalamanku itu, cuma setiap kali aku teringat adegan itu,
sungguh
ingin rasanya aku membenturkan kepalaku supaya mampus saja seketika."
"Katakan
Lo Pau, dengan cara apa mereka menyiksamu?"
Menarik
napas dalam2, seperti berusaha menekan darahnya yang mendidih, setelah
bungkam
sekian saat, Pau Seh-hoa mengawasi Siang Cin dengan tersenyun getir,
lalu
katanya: "Mereka paksa aku menelan pil berwarna merah, setiap kali ada
orang yang
masuk bersama. Ternyata kepandaian kedua keparat ini tidak lemah,
mereka
menutuk Hiat-toku lebih dulu sehingga aku tak bisa meronta, pil merah itu
rasanya
getir dan wangi, karena pernah aku mempelajari ilmu pengobatan, maka
aku
tahu bahwa
obat itu kemungkinan adalah obat perangsang pembangkit nafsu, cuma
tak pernah
kuduga bahwa mereka bakal menggunakan obat perangsang yang
khasiatnya
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
102
begitu besar
dan kuat, apalagi sekaligus mereka mencekok aku lima butir, lalu
aku diseret
keluar lorong, di sana . . . . . . sudah menunggu tiga orang
perempuan
yang genit, secara kekerasan mereka membelejeti pakaianku, di tengah
tawa cekikik
jari tangan yang halus menggelitik badanku, satu persatu aku
membawakan
adegan yang memalukan, lebih rendah daripada hewan, aku
merasakan
lebih
terhina dari seekor anjing, lebih bodoh dari babi, sungguh aku hampir
kehilangan
perikemanusiaan . . . . . . . "
Siang Cin
mendengarkan dengan diam dan tenang, tidak menampilkan perasaan
apapun,
sesaat kemudian baru dia berkata perlahan: "Mereka sengaja hendak
menguras
tenaga murnimu sekaligus untuk menghinamu pula, Lo Pau, beberapa kali
mereka memaksamu
melakukan hal itu setiap harinya?" "
"Timbul
rona merah pada muka Pau Seh hoa yang kempot, giginya gemertak,
katanya
dengan
geram: "Empat kali atau lima kali."
Menatap
lembut dan lengang, Siang Cin baru berkata: "Lo Pau, aku tidak senang
menghibur
dengan kata2 yang tak berguna, memang suatu penghinaan yang
kelewat
batas, bila
aku sendiri yang mengalami, akupun tak tahan, apakah beberapa
perempuan
itu tahu akan cara mengisap sari kejantananmu?"
Gemetar
kulit muka Pau Seh-hoa yang kurus, katanya mengangguk: "Mungkin saja,
setelah
berakhir, aku pasti merasa amat letih, kehabisan tenaga sampai pingsan
beberapa
kali, tulang sekujur badan seperti terlepas, ada kalanya untuk
bernapaspun
terasa sesak."
Diam sesaat
lamanya, akhirnya Siang Cin bertanya: "Apakah Kun cici dan isteri An
Lip tahu
akan hal ini?"
Pau Seh-hoa
menggeleng, katanya: "Tidak tahu, tapi An Lip agaknya dapat meraba."
Terbayang
tekad menuntut balas pada sorot mata Siang Cin, katanya penuh
pengertian:
"Waktu kau dipaksa melakukan itu. kecuali ketiga perempuan itu siapa
pula di
antara mereka yang menonton dari samping? Maksudku mereka yang
tersangkut
langsung dengan kejadian ini."
"Kecuali
ketiga perempuan itu, yaitu kedua raksasa dan dua orang keparat yang
memaksaku
menelan pil merah itu, kedua jahanam itu berperawakan tinggi kurus,
seorang
bercodet di ujung kanan matanya, seorang bermuka burik, usianya sekitar
tiga
puluhan, wajah kedua orang jelas tak bermoral . . . . "
"Kau
tidak salah lihat dan keliru mengingatnya?" Siang Cin menegas.
Menggeram
dalam tenggorokan Pau Seh-hoa: "Umpama mereka hancur lebur jadi
abu
tetap bisa
kukenali wajah kedua binatang yang berkedok manusia itu, selama aku
tidak mati,
pasti takkan pernah kulupakan."
Siang Cin
mengangguk, ujarnya: "Makhluk aneh penjaga pintu sudah kusingkirkan,
kini tinggal
kedua orang berwajah buruk itu yang masih hidup, kecuali itu, kita
harus
mencari tahu siapa orang di belakang layar yang menjadi biang keladi
kejadian
ini?"
Seperti
mendadak maklum ke mana arti perkataan Siang Cin, Pau Seh-hoa bertanya
pelan:
"Menurut pendapatmu, Kongcuya?"
"Maksudku
mereka takkan lama mengenang kejadian itu, mereka harus
melupakannya,
cara untuk
membikin mereka melupakan hal itu amat mudah kukira tak usah
kujelaskan,
tentunya kau sudah mengerti."
"O, ya,
Kongcuya, kulihat kau se-olah2 terbungkus darah, kenapa jarimu bengkak
dan
membusuk? Demikian pula kulit daging dadamu seperti terkelupas . . . . . . .
"
Siang Cin
menekuk jarinya dan berkata: "Mereka menusuk kuku-jariku dengan jarum
baja yang
telah dilumuri racun, menggunakan semacam alat penghisap untuk
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
103
menyedot
kulit dagingku. lalu garam dipoleskan pada luka2 badanku, masih ada
pula cara2
keji lain, segan aku membicarakannya . . . . "
Gemeretak
gigi Pau Seh hoa menahan dendam kebencian, desisnya beringas: "Kita
akan mencuci
dendam dan penghinaan ini dengan darah mereka...."
Secara
ringkas Siang Cin ceritakan pengalamannya dan bagaimana dia berhasil
lolos
kembali, akhirnya dengan letih dia berkata: "Racun bius yang mereka
gunakan
dalam gubuk mungil itu amat lihay, boleh dikatakan tidak berbau dan tak
berwarna,
tahu2 kita semua sudah terpedaya, lain kali kita harus jauh lebih
hati2 dalam
hal ini . . . . "
Pau Seh-hoa
mengangguk dan berkata: " Gadis tadi kau memanggilnya Sek Pin?
Apakah dia
adik Sek Kui, si anjing buduk itu?"
Siang Cin
tertawa. "Betul" sahutnya.
"Kenapa
dia suka rela menempuh bahaya menolong kita, semua ini sungguh luar
biasa . . .
. " setelah menepekur agak lama dia angkat kepala. Melihat Siang Cin
seperti lagi
tertawa tapi tidak tertawa, maka tokoh Kangouw yang keras hati ini
lantas
berseloroh: "Nah, tentu kau bocah bergajul ini yang memikat anak perawan
orang, orang
hanya tahu bahwa tanganmu gapah terhadap musuh, tapi tiada yang
tahu bahwa
dalam main pat-gulipat kau juga cukup ahli, dalam keadaan begitu kau
masih sempat
mengembangkan bakatmu, sungguh aku tak berani
membayangkannya.
Dari
sikapnya
terhadapmu, menurut pengamatanku, se-olah2 kalian sudah bersahabat
puluhan
tahun."
Mengawasi
kesepuluh jari2nya yang bengkak menghitam, Siang Cin berkata prihatin:
"Lo
Pau, apakah luka di muka Kun-cici bisa disembuhkan?"
Serta merta
Pau Seh-hoa menoleh ke arah Kun Sim-ti yang rebah di sebelah sana,
sahutnya
ragu2: "Sukar dikatakan, tapi besar kemungkinan bisa disembuhkan . . .
. "
Menggigit
bibir, Siang Cin berkata sungguh2: "Peduli dengan imbalan apapun atau
dengan
segala pengorbanan harus kuperjuangkan harapan yang ada itu Lo Pau, ini
bukan
untukku, tentunya kau tahu, bagi seorang perempuan betapa besar arti
wajahnya, karena
kecantikan menyangkut watak pembawaan perempuan."
"Aku
mengerti," ujar Pau Seh hoa sambil meng-gosok2 tangan "Kongcuya, aku
akan
berusaha,"
lalu dia meraba2 perut, kebetulan perutnya berkeruyukan, dengan
tertawa dia
berkata: "Kongcu, perut yang kurangajar ini mulai menggerutu . . .
."
Belum habis
Pau Seh-hoa bicara, tiba2 Siang Cin memberi tanda supaya dia
menaruh
perhatian,
lalu berpaling serta mendengarkan dengan seksama.
Dengan hati2
Pau Seh hoa merambat ke sana dan mengintip lewat celah2 batu,
kecuali
beberapa kali terdengar kicauan burung, di luar sepi dan kosong tak
terlihat
apapun.
Tapi Siang
Cin masih mendengarkan penuh perhatian, sikapnya serius tak bergerak.
Sembari
melongok Pau Seh-hoa berkata lirih: "Kukira kau melihat setan di siang
hari bolong,
tiada gerakan apa2 di luar sana . . . . . " belum lenyap suaranya,
kulit
mukanya tiba2 mengencang, tidak salah, sayup2 memang didengarnya suara
derap tapal
kuda yang lagi mendatangi, masih jauh sekali se-akan2 derap kuda
yang datang
dari balik awan.
Berpaling
cepat, Pau Seh-boa menuding ke arah datangnya suara, Siang Cin sedikit
manggut,
katanya: `Berapa jauh kira2 tempat ini dari Ceng siong-san-ceng?"
Berpikir
sebentar akhirnya Pau Seh-hoa berkata: "Kurang lebih dua puluh li atau
tiga puluh
li."
Ber- kedip2
Siang Cin, katanya lirih: "Apa kau masih mampu beraksi, Lo Pau?"
Pau Seh- hoa
meringis, katanya, "Sudah tentu, cuma jauh tidak sehebat biasanya."
Siang Cin
tertawa getir, katanya: "Kalau yang datang musuh, lindungilah
Kun-cici,
kalian harus mundur ke atas gunung biar aku yang mengadang mereka,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
104
jangan
membantah, soalnya kondisiku sekarang lebih kuat daripadamu dan lagi
untuk lari
aku bisa lebih cepat, betul tidak?"
Bergetar
bibir Pau Seh-hoa, apa boleh buat akhirnya dia berkata: "Baiklah, tapi
kau harus
tahan hidup, aku tidak mengharapkan kawan yang masih muda, belum
lagi
menikmati
kebahagiaan berumah tangga sudah mangkat . , . . "
Menepuk bahu
Pau Seh-hoa, Siang Cin tertawa, ucapnya: "Sudah tentu,
memangnya
aku ingin
mati."
Maka Pau
Seh-hoa mendekati An Lip berdua supaya mereka bersiap, Sang Cin juga
membangunkan
Kun Sim ti, kini suasana terasa mencekam, hawa pegunungan
seperti
menjadi
beku, lapat2 bau anyir darah seperti tercium pula.
Derap tapal
kuda yang ramai itu semakin nyata dan keras beradu dengan batu2
pegunungan,
dengan cermat Siang Cin mengintip keluar dari celah2 batu, Kun
Sim-ti
menggelendot di sampingnya, sekujur badan terasa lemas dan gemetar.
Nah, itu
dia, sudah datang semakin dekat, kini sudah kedengaran dengus napas
kuda yang
kepayahan. Pau Seh hoa menggertak gigi sambil menengadah, sinar
matanya
memancarkan rasa dendam kesumat, jari2nya terkepal kencang se-akan2
ingin
meremas hancur batok kepala musuhnya.
Di bawah
lereng bukit yang terdapat batu berserakan itu, pada jalan pegunungan
yang
melingkar berliku itu, dari pengkolan sebelah kiri tertampaklah debu
mengepul
tinggi, penunggang kuda pertama kini sudah kelihatan.
"Nah
itu, sudah terlihat," ucap Siang Cin lirih sambil berpaling memberi tanda.
Lekas dia
berpaling ke sana lagi, dalam sekejap itu dilihatnya sepuluhan
penunggang
kuda telah muncul, di belakang masih ada, dari suaranya kemungkinan
ada lima
puluhan lebih penunggang kuda.
Semua
penunggang kuda mengenakan pakaian ringkas warna putih mengkilap
terbuat
dari sutera,
semuanya mengenakan mantel seragam dari warna yang sama,
semuanya
memelihara
rambut panjang, hingga semampir di belakang pundak, jidat dilingkari
gelang emas,
di belakang punggung mereka memanggul jenis senjata yang sama
pula,
yaitu golok
besar yang melengkung dengan sarung kulit harimau, tumbak pendek
bersula dua
terpegang miring di depan dada, kelihatan dandanan rombongan orang
ini amat
aneh dan menyolok, tapi barisan ini nyata membawa wibawa keperkasaan.
Pemimpinnya
adalah tiga orang yang luar biasa, seorang bermuka putih halus,
berkumis dan
jenggot hitam, berusia pertengahan umur, seorang pemuda berwajah
bersih
dengan sikapnya yang dingin, orang ketiga mungkin buta sebelah matanya,
dengan
secuil kain bundar yang bertali dia menutup matanya itu, tepat di tengah
alisnya
melintang kebawah pipi sebuah garis bekas luka yang berwarna merah,
diantara
ketiga orang ini, tampang orang terakhir inilah yang paling jelek, tak
ubahnya
seekor binatang liar yang ganas, buas dan sukar dijinakkan.
Memang
rombongan berkuda ini ada lima puluhan lebih, setiba di bawah lereng batu
berserakan
itu, laki2 pertengahan umur yang memelihara jenggot pendek itu tiba2
mengangkat
tinggi tangan kanannya, maka barisan berkuda itupun berhenti, dengan
pandangan penuh
tanya matanya menjelajah ke arah lereng, lalu kepada dua orang
di
kanan-kirinya entah membisiki apa2.
Cahaya
mentari nan cemerlang di pagi hari ini menerangi barisan berkuda ini,
pakaian
mereka yang putih mengkilap memancarkan cahaya bersih yang
menyilaukan
mata.
Mengerut
kening Siang Cin di belakang batu, katanya pelahan: "Mereka bukan orang
Ceng
siong-san ceng . . . ."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
105
Sambil
berjongkok Pau Seh-hoa berkata dingin: "Mereka sudah berhenti?"
Sorot mata
Siang Cin tertuju keluar, katanya bingung: "Ya, kita tidak
meninggalkan
jejak apa2 sehingga menimbulkan perhatian mereka bukan?
Dandanan
orang2 ini
rada aneh, selamanya belum pernah kulihat dan belum pernah dengar. ..
."
Pelan2 Pau
Seh hoa mendekat, iapun mengintip keluar, sesaat kemudian baru
berkata
penuh curiga: "Aneh, memangnya mereka ini orang2 gagah dari mana?
Gelagatnya
mereka akan naik kemari mengadakan pemeriksaan, memangnya
mereka suka
iseng . . .
. "
Sembari
berpikir Siang Cin berkata pelan2: "Berhadapan dengan mereka lebih
mending dari
pada orang2 Cong siong-san ceng. Kukira, bila mereka bukan
makhluk2
aneh yang
bertabiat nyentrik, mungkin kita bisa mengadakan kontak dan bicara
secara damai
. . . . "
"Crot",
Pau Seh-hoa berludah, desisnya benci: "peduli mereka siapa, bila berani
cari gara2,
biar dia nanti rasakan kelihayanku . . . "
Tiba2 Siang
Cin mengulap tangan, katanya: "Awas hati2, mereka sudah naik
kemari."
Pau Seh-hoa
coba melongok ke bawah lereng, setengah dari penunggang seragam
putih itu
sudah turun dari kuda, di bawah pimpinan si pemuda berwajah kaku
dingin,
mereka membentuk setengah lingkaran terus merambat ke atas.
Diam dan
seksama Siang Cin mengawasi orang2 baju putih yang tidak terang
asal-usulnya
dari tumpukan batu, setengah lingkaran itupun menyurut kecil, kini
jelas
terlihat muka mereka, mimik muka yang sukar dijajaki ke mana alam pikiran
mereka
tertuju.
"Apa
keinginan mereka?" tanya Pau Seh-hoa sambil menelan ludah, "Apa pula
yang
hendak
dilakukannya?"
Se-konyong2
salah seorang berbaju putih menjerit girang, waktu Siang Cin menoleh
kesana,
tangan orang itu tengah teracung tinggi memegang sebuah benda, itulah
sobekan
ujung pakaian warna hijau pupus yang berlepotan darah, secuil kain dari
sobekah baju
perempuan. Dari warna kain itu jelas itulah sobekan dari gaun yang
dipakai Kun
Sim-ti.
Kun Sim-ti
yang ada di samping Siang Cin bergetar, dengan jari2nya yang halus
runcing dia
meraba bagian gaunnva yang robek, memang di bawah ujung kiri
terobek
secuil.
"Tak
usah kuatir," Siang Cin menepuk bahu Kun Sim-ti, "Kak, urusan toh
harus
diselesaikan,
tiada yang perlu ditakuti."
Orang2 baju
putih di luar itu sudah berhenti, pandangan mereka penuh waspada
akan keadaan
sekeliling, pandangan mereka tertuju ke arah tumpukan batu yang
melingkar di
atas sana, entah sejak kapan golok besar melengkung di punggung
mereka sudah
dicabut keluar, jenis golok melengkung panjang besar ini,
berpunggung
tebal dan berat, mata goloknya tajam luar biasa, dari pinggang golok
sampai
keujungnya berbentuk melengkung bak bulan sabit, sekilas pandang
kelihatan
jauh lebih menyeramkan dari senjata umumnya. - -"
Dengan golok
yang mengkilap tajam itu mereka berdiri pada posisi yang paling
menguntungkan,
leluasa dan cepat untuk melancarkan serangan ke dalam sela2
batu
yang
berserakan itu.
Posisi macam
ini cukup dimengerti oleh Siang Cin, dengan penuh perhatian dia
mengawasi
gerak gerik orang2 baju putih.
"Kongcu,"
kata Pau Seh-hoa dengan suara tertahan, "agaknya takkan terhindar . .
. ."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
106
"Memangnya,
kapan kita pernah menghindar," jengek Siang Cin, "kita hanya
menunggu, Lo
Pau, hanya menunggu kesempatan."
Mendadak di
luar berkumandang sebuah suara, suara kasar, kaku dan dingin:
"Sahabat
di balik batu berserakan itu, dengarkanlah, bila kalian kawanan
gerombolan
Hek-jiu-tong. silakan lekas keluar saja, muslihat kalian takkan bisa
mengelabuhi
Bu-siang-pay dari padang rumput di kaki Kiu-jin-san."
"Bu-siang-
pay", ketiga huruf ini laksana tiga bola emas yang menggelinding
masuk
telinga Siang Cin, sekilas dia melenggong, katanya pelahan: "Inikah orang2
Bu-siang-pay?
Em, pernah kudengar namanya, cuma tiada kesempatan melihat . . . .
""
Pau She hoa
membasahi bibir, denga serak ia berkata: "Keparat, apakah
Bu-siang-pay
kurang puas merajai sekitar Kiu-jin-san dan padang rumput, untuk
apa pula
lari ke sini dan berkaok2 lagi?"
Belum Siang
Cin menjawab, suara kaku dingin tadi berkunrandang pula: "Bila
sahahat di
belakang batu bukan orang2 Hek-jiu-tong, maka silakan buktikan bahwa
kalian tidak
bermusuhan, silakan keluar untuk berbincang beberapa patah kata"
Kembali Pau
Seh hoa memaki dengan suara palahan: "Bedebah. bocah ingusan
berani
bertingkah
di sini . . . . "
Setelah
menepuk kedua pipi Kun Sim-ti, lalu Siang Cin berkata kepada Pau
Seh-hoa:
"Lo Pau, perhatikan baik2, aku akan keluar."
"Hati2
. . . . " lekas Pau Seh-hoa berseru.
Sekali enjot
tubuh, dengan enteng Siang Cin melejit ke atas tumpukan batu,
pakaiannya
yang rombeng melambai tertiup angin, mengelus luka2 di muka dan
badannya
yang masih berlepotan darah kering, tak ubahnya seorang panglima
perang
yang baru
saja berhasil menjebol kepungan musuh.
Orang
berbaju putih seketika terbeliak, serentak mereka menggeram, golok
melengkung
serempak bergerak melintang di depan dada dan siap tempur.
Dingin saja
Siang Cin memandang orang2 baju putih itu, sikapnya kelihatan gagah,
keras dan
angkuh. Pemuda berwajah kaku dingin itu agaknya terpengaruh juga oleh
sikap
perwira Siang Cin, sesaat dia melenggong, lalu maju selangkah ke depan,
katanya
dengan ketus: "Sahabat, mohon tanya siapa namamu yang mulia?"
Sekilas
menatap muka orang, Siang Cin menjawab dengan tenang dan singkat: "Aku
she
Siang."
Bimbang
sebentar, pemuda itu bertanya pula: "Kawanan Hek-jiu-tong apakah ada
sangkut paut
dengan saudara Siang?"
"Apa
itu Hok jiu-tong, selamanya tidak kenal," sahut Siang Cin dengan
tersenyum.
Si pemuda
lantas memandang ke bawah, ke arah kawan2nya, terpancar cahaya
kemilau
dari gelang
emas yang melangkar di kepalanya, orang2 baju putih yang berada di
lereng bukit
agaknya juga sudah tahu keadaan di atas, bayangan seorang tampak
melompat
turun dari kuda dengan beberapa kali lompatan secepat terbang terus
melambung ke
atas.
Mata Siang
Cin amat tajam, sekilas pandang dia sudah melihat jelas, pendatang
ini adalah
laki2 pertengahan umur bermuka putih dengan jenggot pendek itu.
Cepat sekali
laki2 ini sudah hinggap di samping si pemuda, sikapnya gagah,
lekat2 dia
menatap Siang Cin, lalu berkata lirih dengan si pemuda, akhirnya di
menghadap
kemari serta menjura, katanya "Cayhe Loh Bong-bu, Cuncu Hiat ji-bun
dari Bu
siang-pay di padang rumput di kaki Kiu jin san"
Mendengar
orang memperkenalkan diri, timbul rasa simpatik Siang Cin, tapi juga
meningkatkan
kewaspadaannya, dia tahu Bu siang-pay adalah organisasi besar,
berdisiplin
keras dan terkordinir dengan baik dan rapi, jago2 kosen tak
terhitung
jumlahnya, kekuatannya besar dan pengaruhnya luas, ,jabatan Cuncu
dalam
Bu-siang-pay kira2 setingkat dengan jabatan Tongcu dari Pang atau Pay yang
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
107
ada di
Tionggoan, jabatan yang tinggi, agung dan berwibawa, kalau tidak memiliki
Kungfu yang
lihay takkan mungkin bisa menduduki jabatan tinggi ini.
Setelah
membalas hormat, Siang Cin berkata kalem: "Sudah lama kudengar
kebesaran
Bu
siang-pay, syukur hari ini berjumpa di sini."
Loh Bong-bu
tertawa ramah, katanya: "Dari laporan kawan kami, Ceng yap-cu,
katanya tuan
she Siang?"
"Ya,
itulah she ku yang asli," sahut Siang Cin tersenyum.
Berpikir
sebentar, dengan hati2 Loh Bong-bu berkata pula: "Seharusnya tidak
pantas
kutanyakan, tapi bolehkah Cayhe tahu kenapa keadaan Siang-heng begini
rupa,
kelihatan letih dan kotor?"
Dari
rangkaian kata orang yang hati2 diucapkan, Siang Cin merasa geli dan
menaruh
simpatik, segera Siang Cin berkata: "Soal sederhana, di tengah jalan
bentrok
dengan musuh, dalam keadaan terkepung oleh musuh yang berjumlah lebih
banyak,
adalan jamak kalau mengalami cidera seperti ini, beginilah jadinya
keadaan
kami."
Loh Bong-bu
mengawasi Siang Cin dengan rasa kasihan dan kagum, katanya
dengan
tulus hati:
"Siang heng, meski kita baru saja kenal, tapi pepatah bilang di
empat
penjuru lautan semuanya adalah saudara, Apalagi bila di tengah jalan
melihat
keadaan ganjil lantas melolos senjata dan memberi bantuan adalah
kewajiban
setiap insan persilatan kita, mungkin Cayhe terlalu semberono, tapi
bila
Siang-heng ada kesulitan, Cayhe ingin sekadar membantumu. Siang-heng,
melihat
keadaanmu sekarang, agaknya ada kesulitan apa2 yang tidak ingin kau
utarakan ..
. . . .. "
Tanpa
berkesip Siang Cin pandang orang, demikian dengan tulus Loh Bong-bu balas
memandangnya,
keduanya saling menyelami relung hati masing2 yang paling dalam.
Lama sekali,
akhirnya Siang Cin tersenyum, katanya: "Loh-cuncu, lebih dulu Cayhe
menyampaikan
rasa terima kasih."
Loh Bung-bu
tertawa, katanya riang: "Tidak, sebaliknya Cayhe yang harus
berterima
kasih dan bersyukur bahwa Siang-heng sudi merendah diri bersahabat
denganku,
bolehkah Caybe tahu nama besar Siang heng?"
Siang Cin
tertawa, lekas dia merangkap kedua tangan, katanya: "Siang Cin."
Dua patah
kata yang datar ini bagi pendengaran Loh Bong-bu seperti bunyi guntur
di siang
bolong, ia tergetar melongo, katanya kemudian: "Siang . . . . . . . .
Siang Cin?
Siang Cin si Naga Kuning?"
"Itulah
julukan yang diberikan teman2 Kangouw, jangan dianggap . . . . . . . "
"Siang-heng,"
tukas Loh Bong-bu sambil mengawasi Siang Cin, "tak perlu Cayhe
mengagulkan
kau, nama orang dan bayangan pohon, semua ini tak mungkin
dipalsukan,
nama besar Siang-heng menggetarkan Bu lim, tersiar luas di utara dan
selatan
sungai besar, sekalipun ada yang tidak tahu keperkasaan Naga Kuning
menjagoi
tiga sungai lima danau, tapi siapa pula yang tidak maklum bahwa
keganasan
Naga Kuning justeru menggetar nyali setup insan persilatan? Tapi
Siang-heng,
siapa pula yang mampu membuatmu begini rupa?"
Dengan
tertawa getir Siang Cin berkata: "Berkecimpung di kalangan Kangouw, logis
kalau
adakalanya mengalami nasib jelek, ini tidak terhitung sia2 . . ."
"Mohon
penjelasan," pinta Loh Bong-bu.
Sambil
menggosok telapak tangan, tenang2 Siang Cin mulai bicara: "Cayhe ada dua
musuh, suatu
ketika menyamar sebagat orang yang terluka dan dikejar musuk serta
minta
perlindungan padaku, Cayhe menerima mereka. Tak nyana kami terjebak oleh
muslihat
yang menggunakan obat bius berkadar keras, tidak kepalang derita yang
kami alami,
tapi dengan akal akhirnya Cayhe berhasil menjebol penjara. Sudah
tentu
setelah mengalami pertempuran sengit, dalam kondisi yang payah kami
mengalami
luka2 seberat ini."
Loh Bong-bu
naik pitam setelah mendengar cerita Siang Cin, katanya: "Membokong
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
108
orang dengan
cara keji dan rendah semacam itu mana boleh dianggap Enghiong?
Siang-heng,
kawan dari aliran manakah yang melakukan perbuatan rendah dan
kotor
itu?"
Siang Cin
berkata pelahan: "Ceng-siong-san-ceng!"
"Ceng-siong-san-ceng?
Sungguh memalukan," teriak Loh Bong-bu dengan mendelik
gusar,
"Ha It can juga terhitung tokoh yang disegani dalam Bu lim, sampai hati
juga dia
berbuat sehina ini, Siang-heng, cara bagaimana kau sampai bermusuhan
dengan
mereka?"
"Ha It
cun Cengcu dari Ceng siong-san ceng adalah saudara angkat Kongsun
Kiau-hong,
Kongsun Kiau hong ada permusuhan dengan Cayhe, Ha It-cun hanya
bantu
menuntut
balas. Di samping itu, masih ada pula seorang nona yang bernama Kiang
Ling,
mungkin putera Ha It-cun ada main cinta dengan budak ini, pantas kalau dia
ikut campur
permusuhan ini."
Berpikir
sejenak akhirnya Loh Bong-bu berkata: "Siang-heng, orang bersahabat
mengutamakan
keluhuran budi dan kejujuran, meski kita buru berkenalan, tapi
sudah lama
Cayhe mengagumimu, jika Siang-heng sudi, Cayhe akan pimpin anak
buahku ke
Ceng-siong-san-ceng untuk bantu kau menuntut balas."
Lekas Siang
Cin merangkap kedua tangan, katanya haru dan berterima kasih: "Loh
cuncu, orang
she Siang menerima tawaranmu dengan senang hati, cuma
permusuhan
ini akan
Cayhe selesaikan sendiri, Ceng siong-san-ceng bukannya sarang harimau
rawa naga,
paling2 mereka hanya pandai main muslihat, tak perlu Loh-cuncu
merepotkan
diri"
Loh Bong-bu
menggoyang tangan, katanya "Siang heng, jangan berkata demikian,
maksudku
hanya ingin mempererat persahabatan, bagaimana kalau Cayhe
perintahkan
anak buahku
bantu teman-teman Siang-heng turus gunung dan merawat luka2nya di
kota?"
Siang Cin
melengak, tanyanya: "Dari mana Cuncu tahu kalau temanku perlu
perawatan?"
Loh Bong-bu
ter gelak2, katanya: "Bukankah Siang-heng tadi menjelaskan bahwa
teman2mu
juga tersangkut dalam perkara ini? Kita bicara sekian lamanya, belum
juga
terlihat teman2mu muncul, mungkin karena luka2nya cukup berat. Kalau tidak
tentu sejak
tadi sudah keluar."
Siang Cin
tertawa tawar, katanya: "Baiklah, terima kasih."
Dengan
tertawa Loh Bong bu lantas berseru kepada anak buahnya: "Lo Ce,
perintahkan
membawa usungan kulit biruang kemari, siapkan tenaga untuk
membawa
Siang
tayhiap dan kawan2nya."
Lalu dengan
tertawa dia berkata kepada pula Siang Cin: "Siang heng, berapa
temanmu?"
"Empat
orang," sahut Siang Cin.
Loh Bong-bu
berpaling pula ke arah si pemuda yang berjuluk Ceng-yap cu(si daun
hijau) dan
bernama Lo Ce, katanya: "Siapkan empat usungan."
Cepat Lo Ce
mengiakan dan lari ke bawah, sekali bergerak Loh Bong-bu melompat
naik ke
samping Siang Cin, maka iapun dapat melihat keadaan di balik tumpukan
batu.
Tertawa
getir Siang Cin berkata: "Lo Pau, inilah Loh cuncu, ketua Hiat ji-bun
dari
Bu-siang-pay."
Dengan payah
Pau Seh-hoa menggeser badannya, katanya: "Kami ini Lung pan cu
Pau
Seh-hoa
terimalah hormatku."
Lekas Loh
Bong-bu balas menghormat, serunya girang: "Bagus, kiranya pendekar
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
109
aneh dari
Hau-keh-san, Pau heng, selamat bertemu."
Setelah
menghela napas Pau Seh hoa berkata: "Jangan sungkan, sejak lama aku
juga
sudah dengar
nama besar Cap kau-hwi-ce Loh-cuncu, cuma sayang sekarang
bertemu
di tempat
dan dalam keadaan begini, sungguh Lo Pau amat menyesal."
Loh Bong-bu
melompat turun, katanya sambil membungkuk: "Pau-heng, terlalu berat
kata2mu.
kaum persilatan mana yang tak pernah kecundang? Bahwa kau masih bisa
bangkit
kembali itulah seorang Enghiong sejati."
Sementara
itu Ceng-yap cu Lo Ce telah kembali dengan membawa puluhan laki2,
tiap
dua orang
membawa sebuah usungan yang terbuat dari kulit biruang.
Sejenak
melihat cuaca, Loh Bong bu berkata: "Siang heng, apakah sekarang juga
kita boleh
berangkat?"
"Cayhe
masih kuat bertahan, tak perlu lima usungan, empat saja cukup." kata
Siang Cin.
"Siang
heng," bujuk Loh Bong bu, "lukamu sendiri juga tidak ringan . . . .
"
Dengan tegas
berkatalah Siang Cin: "Selama hidup manusia harus berani
mengalami
pukulan
lahir batin, kalau sanggup bertahan, maka bertahanlah sekuat tenaga,
kalau tidak,
sekali ambruk, untuk merangkak bangun lagi tentu akan memakan
banyak
tenaga."
Lekat
tatapan Loh Bong bu, dari kata2 Siang Cin ia seperti memahami sesuatu,
tapi Loh
Bong-bu tidak bicara, segera dia perintahkan anak buahnya memapah Kun
Sim ti, An
Lip dan isterinya ke atas tandu, semula Pau Seh-hoa menolak, tapi
akhirnya dia
menurut juga.
Setelah
berputar keluar dari serakan batu di samping gunung, anak buah
Bu-siang-pay
yang memikul usungan, di bawah pimpinan Ceng-yap-cu Lo Ce
dengan
tenang
mereka turun dari lereng bukit itu, Siang Cin dan Loh Bong-bu berjalan di
belakang.
Sementara
itu, si mata satu dari anak buahnya yang masih menunggu di bawah
sana
sudah turtrn
dari kuda dan menyambut kedatangan mereka.
Loh Bong-bu
memanggil si mata tunggal, katanya sambil tertawa: "Te Yau,
kuperkenalkan
seorang Enghiong."
Si mata
tunggal hanya menatap Siang Cin sekejap tanpa memperlihatkan perasaan
apa2, codet
di mukanya tampak berkerut, dengan langkah ogah2an dia melangkah
maju dan
menjura, katanya: "Poan-hou-jiu Te Yau dari Hiat ji-bun Bu-siang-pay."
Timbul juga
perasaan iba Siang Cin, sedikitpun tiada rasa marah akan sikap
orang,
karena dia maklum, seorang yang badannya mengalami cacat atau
kekurangan
pasti akan
mempunyai tabiat yang aneh pula, entah suka menyendiri atau bersikap
kaku dingin,
yang terang mereka punya kebiasaan tidak suka bergaul dengan orang
banyak,
kebanyakan mereka memencilkan diri, seperti membangun lingkungannya
sendiri,
untuk menutupi kekurangan pribadinya ini, maka sikapnya sering angkuh
dan kasar.
Loh Bong-bu
melotot kurang senang, sekalipun Siang Cin sudah merangkap tangan,
katanya,
menjura: "Sungguh beruntung dapat bertemu dengan To heng, Cayhe
Naga
Kuning Siang
Cin."
Mata kanan
Te Yau yang tunggal mendadak terbeliak, terpancar cahaya aneh dari
mata
tunggalnya, itulah pancaran rasa kaget, heran dan terharu pula, dengan
darah
bergolak dia maju setapak, Siang Cin ditatapnya lekat2, sesaat kemudian,
sikapnya
berubah bagai seorang lain, serunya riang: "Kau, kau ini Naga
Kuning?"
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
110
.
Loh Bong-bu
membentak gusar: "Te Yau, jangan kurang ajar."
Siang Cin
mengangguk, katanya ramah: "Betul, memang Cayhe adanya."
Tenggorokan
Te Yau berbunyi keruyukan saking terharu, lekas dia berputar ke arah
Loh Bong-bu
dan memohon dengan sangat: "Cuncu, kukira kini saatnya tiba untuk
melampiaskan
keinginanku yang terkatung selama beberapa tahun ini, harap Cuncu
suka
meluluskan . . . . "
Loh Bong-bu
mengerut kening, katanya serba susah: "Tidak boleh, tidakkah kau
lihat
Siang-heng dalam keadaan terluka . . . ."
Tergerak
hati Siang Cin, sedikit banyak dia dapat menangkap arti percakapan
kedua orang,
maka dengan tenang dia berkata: "Loh-cuncu, bile Te-heng
memerlukan
tenaga
bantuanku, boleh silakan terangkan saja, sedikit luka luar ini tidak
terhitung
apa2"
Ragu
sebentar, Loh Bong bu mengelus jenggot, lalu katanya pelan2: "Siang-heng,
soal ini
agak . . . . ya, agak menyulitkan, ada Ngo-coat (lima kampiun) di bawah
pimpinanku,
bicara terus terang setiap orangnya memiliki kepandaian khas yang
tidak lemah,
tapi persoalan justeru terletak pada kepandaian khusus itulah, apa
lagi usia
mereka masih muda, berdarah panas lagi, di samping sombong dan
jumawa
. . . .
suatu ketika, kira2 tiga tahun yang lalu, seorang diri Te Yau berlatih
di lapangan
di pinggir hutan di padang rumput besar, Poan hou-jiu yang dia
yakinkan
memang cukup terkenal, di kala dia berlatih itulah, Ho-lothau yang suka
iseng
mendadak berlari datang serta tertawa sambil tepuk tangan, Te Yau tanya
apa yang dia
tertawakan, dengan suara yang di-bikin2 Ho-lothau menerangkan: "Te
lote, Kungfu
yang kau yakinkan memang cukup lihay. Tapi bila Poan-hou jiu yang
kau latih
ini kebentur dengan Joan-ciang si Naga Kuning Siang Cin, pasti kau
akan
kecundang. Poanhou-jiu yang kau yakinkan ini mengutamakan kecepatan dan
sukar
diraba, tapi Joan-ciang yang diyakinkan si Naga Kuning Siang Cin itu juga
mengutamakan
cepat dan aneh, tapi Kungfu yang orang latih justeru jauh lebih
hebat
daripada apa yang kau latih sekarang" Sudah tentu mendengar olok2 ini Te
Yau amat
marah, ia lupa berlatih dan berlari pulang. Sejak tiga tahun yang lalu
ke mana saja
dia berada pasti mencari jejakmu, begitu besar keinginannya untuk
bertanding,
untuk ini entah berapa kali aku pernah menegurnya, tapi tekadnya
begitu besar
. . . . "
Siang Cin
tertawa, katanya: "Ah, Te-heng terlalu percaya obrolan orang lain,
Cayhe hanya
bernama kosong belaka, terhitung apa kepandaian yang kuyakinkan ini,
mana bisa
dijajarkan dengan Kungfu Te-heng?"
Merah muka
Te Yau, katanya penuh permohonan: "Tidak, Siang tayhiap terlalu
sungkan, bagaimana
juga Cayhe mohon kepada Siang-tayhiap untuk memberi
kesempatan
menjajal ilmu yang pernah kuyakinkan ini, supaya hatiku bisa tenteram
dan takluk
lahir batin."
"Te-heng"
kata Siang Cin dengan rendah hati, "kukira urungkan saja niatmu, kau
akan kecewa?
Dengan
kecewa Te Yau memandangi Loh Bong-bu.
Loh Bong-bu
menggeleng, katanya: "Ah dasar Ho lothau yang banyak mulut, banyak
tingkah . .
. ."
"Lo-cuncu,"
tanya Siang Cin, "siapakah Ho-lothau yang kausebut itu?"
Belum Lo
Bong bu menerangkan Te Yau sudah mendahului: "Ho-lothau adalah Yu
hun-hou-cay
Ho Siang-gwat, Cong-tong cu dari Bu siang-pay kami."
Dengan
tertawa getir Siang Cin berkata: "Usia Ho Siang-gwat sudah 70, beliau
adalah
Locianpwe, kenapa dia membuat gara2 terhadap angkatan muda."
Losiansing
ini juga terlalu tinggi menilai Cayhe?" "Siang-heng," ucap Loh
Bong-bu
sungguh2, "Ho-lothau memang bertabiat aneh, senang dan marah tidak
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
111
menentu,
sampaipun Ciangbunjin kami juga kewalahan terhadapnya. Tapi
terhadapmu
dia betul
amat kagum, kalian belum pernah ketemu, tapi dalam kehidupan se-hari2
dia selalu
menyatakan kekagumannya terhadapmu, semua ini memang kenyataan,
bukan
dihadapan
Siang hrng sengaja aku membual?"
Siang Cin
hanya angkat pundak saja. Maka Te Yau mendesak pula: "Siang-tayhiap,
harap engkau
suka memberi muka padaku, jangan tolak permohonanku . . . . . "
Siang Cin
berpaling ke arah Loh Bong-bu, dilihatnya Loh Bong-bu tertnwa, katanya
kikuk:
"Andaikata Siang-heng mau memberi petunjuk, baiklah, boleh kau hajar adat
bocah ini .
. . . , cuma, tentunya akan menyulitkan Siang-heng . . . . . "
Baru Siang
Cin mau bicara, Te Yau telah menimbrung pula sambil menjura:
"Siangtayhiap,
kecuali
kagum pada kepandaianmu yang tinggi, dengan ini akan sekaligus
menguji
sampai di mana taraf kepandaian yang telah kuyakinkan selama ini,
se-kali2
tiada niat buruk apa2, untuk ini harap Siangtayhiap maklum dan suka
memberikan
pelajaran untuk memperluas pandanganku yang cupet ini . . . ."
Bong-bu
berdehem, katanya: "Siang-heng cobalah kau pertimbangkan apakah bisa
kau
terima ....
."
Pau Seh hoa
rebah di usungan di sebelah, tak tahan lagi ia menyeletuk:
"Kongcuya,
coba kau perlihatkan dua gerakan saja, kan tidak suruh kau
menggantung
diri, cara ini juga biasa bagi setiap insan persilatan yang
berkecimpung
di Kangouw, peduli kalah atau menang nanti, cukup dia kali bergelak
tawa dan
urusanpun berakhirlah?"
Loh Bong bu
tertawa, katanya: "Ucapan Pau-heng memang tepat, anggaplah untuk
menambah
pengalaman kita semua."
"Terlalu
berat kata2 Loh-cuncu . . . . . . " ucap Siang Cin, lalu dia berpaling
kepada Te
Yau, katanya: "Te heng, kuharap nanti kau tidak kecewa .
Te You
berjingkrak girang, serunya: "Jadi engkau meluluskan?"
Kata Siang
Cin terpaksa: "Begitu besar hasrat kalian, Cayhe jadi tidak enak
untuk
menolak?"
Te Yau
berseru girang dengan merangkap kedua tangan: "Kalau begitu, terimalah
hormatku."
Ia membungkuk tubuh, tidak tampak tubuhnya bergerak, lutut juga tidak
tertekuk,
tapi bagai busur melenting tahu2 tubuhnya meluncur ke depan dengan
gerakan yang
indah dan hinggap di atas batu padas. Pelan2 Siang Cin melangkah
maju,
sementara Loh Bong bu memberi aba2 kepada anak buahnya agar minggir
sehingga
terluang tanah lapang sebagai arena. Lima puluhan pasang mata tanpa
berkedip
tertuju ke dalam arena, semua tahan napas dan menunggu dengan
berdebar,
wajah mereka
tampak serius, meski katanya pertandingan ini hanya saling ukur
kepandaian,
tapi bagi setiap orang persilatan sama tahu kalah menang dari hasil
pertandingan
ini akan sama dengan pertempuran umumnya.
Sebelah kaki
Siang Cin memancal enteng, dengan ringan tubuhnya lantas melayang
ke atas
sebuah batu yang berjarak dengan tempat Te Yau berdiri kira2 setombak
lebih. Hawa
masih sejuk, mentari masih memancarkan cahayanya yang hangat, Tapi
ujung hidung
Poan-hou-jiu Te Yau telah basah oleh butiran keringat kecil2,
mantel
luarnya sudah dicopot, kedua mata tanpa berkesip mengawasi Siang Cin,
gelang emas
di jidatnya tampak mengkilap tersorot sinar matahari.
Rebah di
atas usungan, dengan penuh perhatian Kun Sim-ti juga menonton,
sebetulnya
ia tidak menginginkan pertandingan seperti ini dikala kondisi Siang
Cin masih
seburuk itu.
Loh Bong-bu
mengelus jenggotnya yang pendek, pelan2 dia menggeser mendekati
Siang Cin,
dengan suara rendah dan memohon dengan setulus hati: "Siang-heng,
cukup saling
sentuh saja."
Siang Cin
berpaling dengan tertawa, katanya lirih: "Harap Te-heng bermurah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
112
hati."
Loh Bong bu
mundur keluar gelanggang, di mana Te Yau telah menjura, katanya:
"Silakan
Siangtayhiap."
Siang Cin
angkat sebelah tangan, katanya tertawa: "Silakan Te-heng."
Badan yang
kurus sedikit berjongkok, kaki Te Yau seperti terpasang pegas yang
berdaya
pantul keras, tiba2 ia melenting ke atas, dengan membawa segulung angin
yang dahsyat
ia menubruk turun, betapa cepat dan tangkas gerakannya.
Siang Cin
berdiri tegak dan tenang, setelah bayangan lawan melambung ke atas dan
menukik ke
arahnya, baru Siang Cin sedikit goyang tubuh ke kanan, pada saat itu
Te Yau telah
menghardik seraya melontarkan pukulannya, selarik cahaya setengah
lingkar
menyambar dengan ganas, begitu Siang Cin bergoyang ke kanan, cahaya
itupun ikut
berganti haluan ke kanan, sambil terapung di udara ternyata kedua
kaki Te Yau
dapat bergerak dengan leluasa, ia memancal lalu tubuhnya bergulung
dalam
lingkaran kecil di udara, sementara telapak tangannya kembali menghantam,
dalam
sekejap sudah berada di pinggir telinga Siang Cin.
Siang Cin
mengegos, hanya sekejap Te Yau merasa pukulan lawan yang berlapis
dan
bersusun
rapat itu bagai gelombang samudra menerpa ke arahnya, cepat dan
berputar ke
kiri terus melayang ke sana, bayangan tangan yang bergerak sambung
menyambung
itu tahu2 sirna, keduanya bergerak sama cepat dan menakjubkan
sekali,
memang nyata
jago kosen sama2 tinggi ilmunya.
Maka telapak
tangan saling gempur dengan telapak tangan di udara, bayangan
saling gubat
di angkasa, terdengar rangkaian suara tepukan yang ramai, di tengah
bayangan
yang menari itu, dua sosok bayangan orang tahu2 melorot turun kedua
arah yang
berlawanan serta jumpalitan dengan gaya masing2 yang mempesona,
belum
lagi kaki
menyentuh bumi, tahu2 keduanya berputar balik dan saling labrak pula.
Sementara
itu, tanpa berkedip Loh Bong-bu mengikuti pertempuran di udara itu,
diam2 ia
menggeleng kepala.
Bayangan
kedua orang di udara bagai gumpalan asap samar2 saling berkelebat,
belum lagi
pandangan penonton sempat mengikuti apa yang terjadi, kedua orang ini
sudah
melayang turun dengan gagah indah dan tenang, baru kaki mereka
menyentuh
tanah,
berkumandang suara tepukan yang keras, ini berarti kecepatan gerak mereka
sudah
melampaui kecepatan suara, maka setelah mereka turun baru ledakan
pukulan
berkumandang
di udara.
Nampak jelas
butiran keringat di wajah Te Yau, air mukanya tampak bersemu merah,
deru
napasnya juga lebih kasar dari biasanya, dalam dua kali bentrokan singkat
ini,
keduannya seperti baru saja mengalami suatu pertempuran sengit yang lama
dan
menghabiskan seluruh kekuatannya, dia lesu dan
nampak pula
merasa malu.
Sementara
Siang Can berdiri tenang di samping sana, sikapnya wajar dan adem
ayem
seperti tak
pernah terjadi apa2, se olah, sejak tadi dia memang berdiri di sana
dengan bebas
tanpa bergeming sedikitpun. Kini dia tengah mengebut debu yang
melekat
dipakaiannya yang telah koyak2 itu, sikapnya. ke-malas2an tapi juga
gagah.
Bergelak
tawa Loh Bong-bu memapak maju sambil mengacungkan jempol,
serunya:"Bagus,
bagus, sekali, Siang-heng, Cayhe hari ini betul2 terbuka
matanya,
dalam gerakanmu tadi cepatnya bagai terbang. Haha, se-olah2 sekaligus
ada puluhan
orang yang bantu kau menggerakkan tangan kakimu .....
"Loh-cuncu
terlalu memuji," ,ucap Siang Cin. "Soalnya Te heng sudi mengalah
padaku."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
113
Semakin
jengah Te Yau, ia mengencangkan ikat pinggangnya, dengan tergagap ia
berkata:
"Siang-tayhiap, apa yang dikatakan Ho-cuncu memang tidak salah, engkau
memang jauh
lebih kuat daripadaku."
Sambil
menggoyang tangan Siang Cin berkata: "Pelajaran silat hakekatnya tiada
batasnya,
masing2 memiliki kelebihan kelihayannya sendiri2, siapapun takkan
berani
menyatakan dia lebih unggul daripada yang lain. Te-heng, dengan tarap
yang telah
kau capai ini, sudah harus dibanggakan."
Dengan rasa
ikhlas dan kagum Te Yau melangkah maju, katanya dengan hormat:
"Siang-tayhiap,
dalam pertempuran tadi meski dua kali kita saling gempur,
hakikatnya
aku telah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuanku, seluruhnya
Cayhe
melancarkan sembilan kali pukulan, tapi engkau melancarkan belasan kali,
dalam waktu
yang sama, dalam situasi dan kondisi yang sama pula, jelas sekali
bahwa taraf
kepandaianmu jauh melampauiku, sungguh2 Cayhe merasa tunduk lahir
batin, malah
menurut hematku, engkau belum lagi mengerahkan seluruh
kekuatanmu .
. . . . .
"
Siang Cin
tersenyum, katanya: ."Ya, kira2 hantya begitu sajalah, bahwasanya
Cayhe juga
tidak memiliki apa2 yang melampaui orang lain . . . . . . "
- - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Apakah Siang
Cin menerima bantuan pihak Bu siang-pay untuk menuntut balas pada
Ceng siong
san-ceng?
Organisasi
macam apakah Hek jiu-tong atau gerombolan tangan hitam dan apa latar
belakang
permusuhannya dengan pihak Bu siang-pay?
Bacalah
jilid ke 7 -
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
114
Jilid 07
Sesungguhnya
apa yang dirasakan Te Yau memang tepat dan benar2 terjadi, dikala
bertanding
tadi Siang Cin memang belum lagi mengerahkan seluruh kekuatannya,
paling2 dia
hanya melancarkan salah satu kepandaiannya yang lihay dan aneh,
yaitu
Kui-ing cap sa-sek (tiga belas gerak bayangan setan) untuk menandingi
Poan-hou-jiu
kebanggaan Te Yau, hakikatnya dia belum menggunakan Joanciang
yang
khas, karena
dalam Bu-lim orang hanya tahu bahwa Joan-ciang (ilmu pukulan lunak)
yang
diyakinkannya itu sangat hebat, aneh dan mengerikan, tapi jarang orang tahu
bila dia
sudah mengembangkan Joan-ciang, sebelum tangannya mencium darah
takkan
berhenti.
Dalam pertandingan persahabatan ini. jelas bukan tempat baginya untuk
mengembangkan
Joan-ciang.
Loh Bong-bu
tertawa, katanya; "Te Yau, adakah terasa olehmu bahwa tak ada tapi
tenaga tidak
memadai pada dirimu? Terutama gerak kaki tangan se akan2 terkekang
oleh lawan
dan tak mampu mengembangkannya."
Merah muka
Te Yau, tapi dia mengangguk dengan jujur, dengan nada malu2 dia
berkata:
"Sekarang baru benar2 kusadari apa yang diibaratkan seperti kunang2
dibanding
rembulan . . . . . . "
Loh Bong-cu
ter-gelak2, katanya: "Anak muda, kecundang di tangan Siang-heng
bukanlah hal
yang memalukan, betapa banyak jago kosen yang pernah roboh di
tangahnya,
di antaranya tidak sedikit pula tokoh2 jauh lebih hebat daripadamu."
Cepat Siang
Cin berkata: "Ah, Loh-cuncu, laki2 sejati tidak perlu mengagulkan
diri, soal
ini tidak perlu dibicarakan pula . . . . . . "
Te Yau
membungkuk hormat, katanya: "Siang tayhiap, kalau tidak ke pesisir takkan
tahu betapa
luasnya langit, kalau tidak memanjat gunung takkan tahu betapa
tingginya
gunung, banyak terima kasih atas pengajaranmu ini, selanjutnya Cayhe
pasti akan
rajin berlatih untuk mengejar kemajuan yang lebih tinggi."
Lega hati
Siang Cin melihat watak Te Yau yang berjiwa besar ini, dia genggam
tangan Te
Yau,
katanya:
"Bicara soal watak sebagai manusia, Te-heng, kau jauh lebih tinggi
daripada
kepandaian silatmu."
Ingin Te Yau
bicara, tapi dirasakannya tangan Siang Cin yang menggenggam
tangannya
menjejalkan sesuatu entah apa, diam2 dia memeriksanya, ia terkejut,
kiranya
ujung tombaknya yang telah putus sebagian, letak kutungan ujung tombak
itu tampak
rata dan licin seperti dibacok putus oleh sebuah golok pusaka. Tapi
Te Yau tahu
yang memapas kutung ujung tombak pasti bukan golok pusaka, tapi
adalah
telapak tangan Siang Cin. Sudah tentu dia lebih maklum lagi, bila Siang
Cin mau
mencelakai jiwanya, maka sejak tadi dia sudah takkan berdiri di sini,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
115
dia menatap
Sang Cin, mata tunggalnya tampak mencorong penuh rasa kekaguman.
haru, terima
kasih, heran dan kaget pula.
Di sana Loh
Bong-bu telah melihat cuaca pula, katanya: "Siang-heng, kita boleh
berangkat,
kalau tertunda lebih lama kita bisa terlambat tiba dikota." Sampai di
sini seperti
tidak tahu apa2, dia menambahkan: "Te Yau, lekas kau kenakan
mantelmu,
pakaianmu basah kuyup melekat badan, nanti masuk angin."
Te Yau
melengak segera dia maklum, ia menyengir lekas dia membalik mengambil
mantel serta
mengenakannya. kini Te Yau tahu bahwa Loh Bong-bu sudah melihat
ujung
tombaknya terpapas kutung. Bahwa Cap-kiu-hwi-ce dapat mencapai
kedudukannya
yang tinggi sekarang, pandanganya tentu saja sangat tajam.
Seorang
laki2 baju putih menghampiri dengan menuntun seekor kuda kuning yang
gagah,
setelah mengucap terima kasih Siang Cin segera mencemplak ka punggung
kuda, Loh
Bong-bu memberi aba2 agar rombongannya berangkat, di belakang ada
delapan kuda
dengan masing2 dua kuda mengangkut satu usungan, karena kuda2
itu
sudah
terlatih baik maka orang2 yang rebah di atas usungan bisa tidur tenang dan
tidak merasakan
goncangan keras.
Dengan
gembira Loh Bong bu berkata: "Siangheng, tiga puluh li lagi kita akan
tiba di Ho
thau-toh, di sana kita bisa makan dan istirahat, kemudian kita dapat
bermalam di
Lam-tin, di sana ada beberapa hotel besar bersih dengan serpis yang
memuaskan."
"Baiklah.."
ucap Siang Cin, "keadaanku memang perlu mencari tempat untuk
melepaskan
lelah." Sampai di sini tiba2 dia menambahkan: "Loh-cuncu, agaknya
kalian
bermusuhan dengan Hek-jiu-tong (komplotan tangan hitam)?"
"Betul,"
ucap Loh cuncu setelah berdiam sebentar, "kalau dikatakan memang
memalukan.
Di padang rumput yang luas itu kami mendirikan sebuah Toa-bong-ceng
(perkampungan).
Bahwasanya Toa bong-ceng merupakan pusat kekuasaan Busiang
pay
kami,
Bu-siang-lan-tai di depan Toa-bong-ceng dan Ceng-hun kek d! Kiu jin-san
hanya
merupakan cabang belaka . . . . . . ."
Setelah
berpikir sejenak kemudian Loh Bong-bu berkata pula: "Se giok lau di Toa
bong-ceng
adalah tempat tinggal pribadi Ciangbunjin yang terlarang bagi siapa
saja,
sementara keluarga Ciangbunjin seluruhnya tinggal di Se-giok-lau itu . . .
. ."
Agaknya Loh
Bong bu ragu2 untuk melanjutkan uraiannya, setelah batuk2 dua kali
akhirnya dia
berkata pula: "Ai, soal ini sebetulnya tidak enak dibicarakan,
walau dalam
Bu lim sekarang sebagian telah dengar berita jelek ini, tapi kami
mendapat
perintah sedapat mungkin menutup persoalan ini."
"Kalau
begitu, lebih baik tak usah kau terangkan," kata Siang Cin.
Loh Bong bu
tertawa kikuk, katanya: "Siangheng jangan salah mengerti, umpama
sekarang Cayhe
tidak bicarakan soal ini dengan kau, cepat atau lambat Siang heng
juga akan
tahu, cuma Cayhe merasa bila membicarakan soal ini, hati menjadi
dongkol dan
penasaran . . .. . . . ."
Setelah
celingukan dia melanjutkan dengan suara lebih lirih: "Tiga tahun yang
lalu dalam
perjalanan pulang ke Toa-bong-ceng, Ciangbunjin pernah menolong
seorang yang
rebah terluka di tengah hujan salju, orang itu sudah kempas-kempis
tinggal
menunggu ajal, tapi Ciangbunjin menolongnya dan dibawa pulang, dengan
susah payah
merawat dan mengobati luka2nya sampai sembuh, dia memang
seorang
yang cakap
dan ganteng, berotak encer dan cerdik pandai, bibir merah gigi putih,
siapa saja
pasti merasa senang dan simpatik padanya, maka Ciangbunjin
menjadikan
dia kacung
di kamar bukunya, kerjanya hanya meladeni segala keperluan pribadi
Ciangbunjin
di Se-giok-lau. Ai, siapa tahu bahwa pemuda cakap itu hanya luarnya
manis
hatinya jahat, manusia rendah budi berhati binatang. Selama tiga tahun
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
116
ini, bukan
saja dengan akalnya yang licin dan mulutnya yang manis . . . . . .
ah, lebih
tepat kalau dikatakan menghasut dan memikat, bukan saja keparat itu
berhasil
memikat puteri tunggal Ciangbunjin malah Ci-giok-cu ( mutiara ungu )
milik
Ciangbujin yang disimpan ditempat rahasia itupun dicurinya. Sudah tentu
bukan
kepalang gusar Ciangbunjin, maka kami beramai memperoleh perintah untuk
mengejar
keparat itu, Ciangbunjin ada pesan, mati atau hidup kami harus
menyeretnya
pulang . . . . . . . "
Lalu apa
sangkut pautnya soaI ini dengan Hek-jiu- tong?" tanya Siang Cin.
Loh Bong-bu
meng-geleng2 katanya: "Hasil penyelidikan kami setelah
menghabiskan
banyak
tenaga dan pikiran, eh, kiranya bocah keparat itu adalah tokoh ketiga
Hek-jiu-tong.
Bahwa dia rebah terluka di atas salju dulu itu bukan lantaran
dilukai oleh
kawanan begal melainkan terluka oleh musuh yang mencegatnya di
tengah
jalan. Dua bulan yang lalu, kami bertiga kelompok ditugaskan mengejarnya
ke
Tionggoan, tapi selama ini bayangan bocah itu tak pernah kami jumpai, pada
hal sudah
tujuh kali kami bentrok secara langsung dengan orang2 Hek jiu-tong,
komplotan
jahat itu memang mahir menggunakan senjata rahasia beracun dan
menyerang
dengan akal licik pula. Tadi waktu kami lewat dilereng bukit, karena
melihat
keadaan di sana cukup berbahaya, kuatir terjebak musuh, maka kami
berhenti
mengadakan pemeriksaan ala kadarnya, rupanya memang ada jodoh dan
berkenalan
dengan Siang-heng . . . . "
Berpikir
sebentar, Siang Cin berkata, "Tahukah siapa nama bocah yang menipu dan
membawa
minggat puteri tunggal Ciangbunjin kalian?"
"Ji-ih-kim-kiam
Khong Giok-tek."
Siang Cin
menopang dagu, katanya: "Agaknya pernah kudengar nama ini. Em,
tentunya dia
amat licik dan banyak muslihatnya?"
"Memang
" kata Loh Boh-bu dengan gregeten, betapa cerdik dan hati2 Ciangbunjin
kami,
akhirnya toh kena dikelabui dan tertipu mentah2. Pernah beberapa kali
Cayhe
melihat dia, sikapnya memang ramah dan sopan santun, mulutnya manis dan
pandai
ber-muka2, lahirnya dia bekerja dengan giat dan rajin, hakikatnya tak
pernah
terbayang dalam benak kami bahwa ada orang luar yang berani main kayu
dalam markas
pusat kami, biasanya dia pura2 lembut, keberanian menyembelih
ayampun
tiada, kalau bicara halus dan munduk2, sopan dan pemalu seperti gadis
pingitan . .
. . "
Siang Cin
berkata: "Mohon tanya, ke mana tujuan perjalanan Loh-cuncu kali ini?"
Loh Bon-bu
berkata setelah menghela napas: "Menyerbu langsung ke sarang
komplotan
tangan hitam."
Siang Cin
menggeleng, katanya: "Loh-cuncu, bukan Cayhe banyak mulut dan
berkomentar,
bila hanya dengan kekuatan yang kau bawa ini, Bu-siang-pay hendak
menyerbu ke
sarang Hek-jiu-tong, ku kira kekuatan kalian jauh daripada memadai,
keadaan
pihak Hek-jiu-tong memang Cayhe tidak tahu, tapi pernah juga Cayhe
dengar
tentang mereka, kekuatan mereka memang tidak sebesar Bu-siang-pay, tapi
juga tidak
lemah, jago2 kosen Hek-jiu-tong cukup banyak, anak buah merekapun
jahat dan
kejam, apalagi mereka berhubungan erat dengan komplotan hitam lainnya,
dengan
tenaga yang tidak memadai ini kalian hendak menyerbu ke tempat yang jauh
itu, mungkin
tidak akan memperoleh keuntungan . . . "
Alis Loh
Bong-bu bertaut, katanya dengan prihatin: "Apa yang Siang-heng katakan
sudah Cayhe
pikirkan, tapi perintah Ciangbunjin mana kami berani membangkang?
Pertama
Cayhe hanya ingin paksa Khong Giok-tek menyerahkan orang dan benda
mestika yang
dicurinya, jadi tidak harus menumpahkan darah. sementara bala
bantuan dari
markas kami, yaitu Thi ji-bun dan Wi-ji-bun dalam waktu tujuh hari
ini akan
berkumpul di kaki Au-than-san, setelah merundingkan strategi yang akan
kami tempuh
baru akan bergerak, menurut hematku, kekuatan kami akan cukup
besar."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
117
Siang Cin
mengawasi pernandangan alam nan permai, alam pikirannya melayang
pada
sebuah
persoalan yang lain, sesaat lamanya, baru dia berkata pula: "Loh-cuncu,
kukira Khong
Giok tek tidak akan sudi menyerahkan apa yang kalian tuntut."
Dengan
tertawa getir Loh Bong-bu berkata: "Memang mungkin, tapi dia harus siap
menerima
hukuman yang setimpal dengan perbuatannya."
"Apakah
kalian hanya ingin mengajak orang pulang serta merebut mestika saja?"
tanya Siang
Cin.
"Itu
langkah pertama, bila sekiranya tidak sampai menimbulkan akibat lain, maka
langkah
kedua adalah menawan hidup2 Khong Giok tek, hal ini tadi sudah
kuterangkan."
"Kalau
demikian perhitungan kalian, mungkin pertempuran besar dan banjir darah
tidak
terhindar lagi . . . . . ."
"Inipun
sudah dalam perhitungan kami, kalau situasi menghendaki demikian, ya apa
boleh buat,
tapi tak peduli bagaimana hasil tujuan perjalanan yang terang
Bu-siang-pay
takkan memberi kesempatan pada Hek-jiu-tong untuk bernapas,
umpama
kami harus
gugur di medan laga, jago2 Bu-siang-pay kami akan ber-bondong2
keluar
dari padang
rumput dan menyerbu ke sana."
"Kalau
Hek-jiu-tong tahu kekuatan tidak memadai, mereka pasti minta bala bantuan
dari
komplotan lainnya, beroperasi tidak di daerah kekuasaan sendiri betapapun
Bu-siang pay
pasti akan mengalami pukulan yang berat juga, maaf Cayhe bicara
secara
blak2an, harap Loh-cuncu tidak berkecil hati."
"Kenyataan
memang demikian, seharusnya aku berterima kasih akan petunjuk
Siang-heng,
masa aku menyalahkan kau malah?" sampai di sini Loh Bong bu lalu
menambahkan
lagi: "Persoalan ini, biarlah kita bicarakan lain waktu saja, yang
penting
sekarang harus selekasnya cari tempat untuk merawat luka2 Siang-heng
dan
teman2mu."
"Ya,
benar," ucap Siang Cin.
Derap tapal
kuda berdetak di tanah pegunungan yang keras, seketika Loh Bong-bu
melirik
Siang Cin, sorot matanya mengandung permohonan yang sangat, bibirnya
sudah
bergerak sedikit, tapi akhirya dia telan kata2 yang ingin dilontarkan,
alisnya
berkerut dan wajahnya tampak murung, masgul dan gelisah.
Sebetulnya
Siang Cin tahu sikap Loh Bong-bu itu, iapun tahu apa yang ingin
diutarakan
olehnya. Hal inilah membuat Siang Cin serba susah, ia tahu jelas
macam apakah
gerombolan Hek-jiu-tong, apa yang dia beritahukan kepada Loh
Bong-bu tadi
hanya sekelumit keadaan luarnya saja, jadi keadaan sebenarnya dalam
Hek jiu-tong
belum dia beberkan:
Sementara
pihak Bu-siang-pay kelihatannya hanya melihat bentuk luarnya saja dari
Hek-jiu-tong,
tidak tahu seluk beluk di dalamnya, padahal Hek-jiu-tong adalah
salah satu
komplotan penjahat yang paling ganas di Bu-lim, pentolannya ada
sepuluh
orang, satu lebih kejam dari yang lain. Kungfu merekapun termasuk kelas
wahid,
kekuatan Hek-jiu-tong sudah melebar sampai di propinsi Ho-pak dan Ho-lam,
usaha mereka
ialah penyelundupan garam gelap dan membegal, bila perlu
merekapun
main bunuh
secara kejam, umumnya mereka tidak mematuhi aturan Kangouw, tak
mengerti apa
itu keadilan dan kebenaran, demi keuntungan pihak sendiri mereka
tidak peduli
siapa lawan, asal sikat dan ganyang, cara yang digunakanpun
melampaui
batas perikemanusiaan. Oleh karena itu, sesama kaum Kangouw tiada
yang
berani
mengusik dan mencari perkara pada mereka, padahal mereka jarang
beroperasi
keluar daerah kekuasaan sendiri, sejak Hek-jiu-tong berdiri, selama
10 tahun ini
bukan saja mereka tidak pernah mengalami musibah besar, malah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
118
kekuatan
mereka semakin berkembang dan melebar kemana2.
Sejak keluar
kandang, meski Naga Kuning Siang Cin malang melintang dan disegani
orang, tapi
selama ini belum pernah dia bentrok dengan pihak Hek jiu-tong.
Bagaimana
keadaan Hek-jiu-tong sering didengarnya dari cerita orang, jadi
seluk-beluk
mereka banyak yang dia ketahui. Bu-siang-pay memang besar dan kuat,
tapi mereka
berada jauh di padang rumput sana, sebagai harimau galak yang
meninggalkan
gunungnya, bila betul2 harus bertempur jauh dari sarang sendiri,
betapapun
mereka harus berpikir lebih matang sebelum bergerak.
Cepat sekali
rombongan besar ini sudah berderap di jalan pegunungan yang kecil
dan berliku
naik-turun, tak lama lagi mereka akan keluar dari lekuk gunung dan
menempuh
perjalanan di jalan raya.
Sambil
membetulkan rambut panjangnya ke beIakang kepala Loh Bong-bu berkata:
"Siang-heng
....."
Siang Cin
menoleh, katanya: "Ada petunjuk apa Loh-cuncu?"
Menatap jauh
ke depan, Loh Bong-bu berkata serba rikuh: "Ada suatu hal, ingin
Cayhe . . .
. . . "
Diam2 Siang
Cin menghela napas, dia tahu apa yang hendak diajukan orang,
apakah
dia harus
menerima permintaan orang? Walau baru bertemu di tengah jalan dan
baru
berkenalan,
tapi kaum persilatan mengutamakan setia kawan, apalagi sikap orang
begini
simpatik dan murah hati? "Silakan berkata," sahut Siang Cin kemudian.
Setelah
berpikir sekian lama dengan sikap serba susah, akhirnya Loh Bong-bu
berkata
getir: "Siang heng, Cayhe, Cayhe . . . . ai, sukar untuk kuutarakan . .
. . "
Akhirnya
Siang Cin berkata tegas: "Baiklah, orang she Siang tidak akan berpeluk
tangan dalam
persoalan ini . . . . "
Loh Bong-bu
berjingkrak girang dan hampir jatuh dari kudanya mendengar janji
Siang Cin,
seperti ketiban rejeki matanya terbeliak, mulutnya megap2:
"Siang-heng,
kau maksudmu sudi bantu kami untuk menghadapi Hek-jiu-tong?"
"Cayhe
kira, begitulah maksud Cuncu semula," ucap Siang Cin dengan tertawa.
Loh Bong-bu
tertawa gembira, katanya: "Tentu tentu, cuma baru berkenalan, Cayhe
tidak enak
memohon bantuan kepada Siang heng, tapi Siang heng memang pandai
menerka isi
hati orang, sungguh tak terkira rasa terima kasibku . . . . "
Pelan2
menepuk kepala kudanya, Loh Bong bu tak bersuara pula, sesaat kemudian
baru berkata
pula, "Siang-heng, pihak Hek jiu tong mungkin juga akan bermusuhan
dengan kau .
. . . "
Dengan tajam
Siang Cin pandang orang, katanya: "Loh-cuncu, berkelana di
Kangouw,
bahaya
demikian siapapun sukar menghindarkannya, kalau sudah hidup di Kangouw,
sebagai
insan persilatan, maka dia harus berani menghadapi tantangan yang penuh
liku2
kekejaman, kalau tidak ya jangan terjun ke dunia persilatan."
Loh Bong-bu
berkeplok tangan, serunya memuji: "Komentar bagus!"
"Ah,
tidak, hanya sekedar menghibur diri belaka," kata Siang Cin.
Tanpa terasa
rombongan besar ini sudah tiba di bawah bukit dan mulai menempuh
perjalanan
di jalan raya, sebelah kiri adalah sawah ladang yang luas dan subur,
sebelah
kanan adalah hutan lebar yang rimbun, jalan raya ini lurus lempeng, maka
dari
kejauhan kelihatan bangunan rumah yang tersebar di sepanjang sungai sana.
Menuding ke
rumah2 di kejauhan itu Loh Bongbu berkata: "Nah, di sana itulah Ho
thau-toh,
kutahu di sana ada sebuah restoran yang baik."
Siang Cin
manggut2, tiba2 dia berkata: "Oh, ya, bagaimana letak kota itu dari
Ceng
siong-san-ceng?"
Lob Bong-bu
menerawang sekitarnya, katanya kemudian: "Pagi tadi kita mengitari
Ceng-siong-san-ceng
jadi Ho-thau-toh terletak tepat di sebelah selatannya."
"Jadi
kota ini masih dalam lingkungan kekuasaan pihak Ceng-siong-san-ceng, Loh
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
119
cuncu, kita
harus lebih berhati2."
Kuharap
mereka tidak mencari kesulitan untuk diri sendiri," ujar Loh Bong bu.
Kini sang
surya sudah tinggi di cakrawala, maka kerongkongan mereka mulai terasa
kering,
ingin minum dan istirahat.
Setengah jam
kemudian setelah menyusuri sungai akirnya mereka naik keatas
tanggul dan
memasuki Kota tambangan yang tidak begitu besar ini, mengawasi arus
sungai
dengan airnya yang keruh menguning, Siang Cin berkata pelahan, Loh-cuncu:
"Apa
nama sungai ini?"
Loh Bong bu
sedang mengatur anak buahnya yang membawa usungan untuk
menyeberang,
cepat ia
menoleh dan menjawah: "O. namanya Se-jiang-ho sawah ladang seluas
ribuan ha di
kedua sisi sungai tumbur subur karena air sungai ini, setiap musim
semi air
pasang hampir setinggi tanggul."
Tanpa
menunjukkan perasaan Siting Cin manggut-manggut: "Loh Bong-bu sibuk
mengatur
anak buahnya pula, dengan barisan yang rapi dan teratur rombongan
besar
ini memasuki
kota, melalui jalan raya yang hanya satu2nya di kota kecil ini.
Para petani
yang bekerja di ladang sama menoleh dan memandang keheranan,
demikian
pula penduduk kota ber-bondong2 keluar menonton barisan besar berkuda
ini, wajah
mereka sama menampilkan rasa heran dan curiga, maklum kota sekecil
ini penduduk
jarang melihat rombongan besar berkuda berseragam lengkap dengan
senjata
lagi.
Barisan
akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan, dua anak buah
Bu-siang-pay
yang di tugaskan kemari lebih dulu tampak sudah menunggu di depan
restoran,
tanya Loh Bong bu: "Restoran itu masih buka tidak?"
Salah
seorang laki2 itu membungkuk. sahutnya: "Lapor Cuncu, masih buka, Tecu
sudah pesan
hidangan yang cukup untuk makan enam puluh orang."
"Ehm,"
Loh Bong-bu bersuara singkat lalu menoleh dan berkata: "Siang-heng,
marilah
turun."
Dengan
enteng Siang Cin melompat turun, para penunggang kuda yang lain juga
turun be
ramai2, dengan suara lirih Loh Bong-bu memberi pesan apa2 kepada
Ceng-yap-cu
Lo Ce, setelah Kun Sim-ti, Pau seh-hoa dan lain2 digotong masuk baru
Siang Cin
masuk terakhir.
Ruang
restoran ini cukup lebar, lantainya dari batu marmer, seorang laki2 gemuk
dengan kain
putih melingkar di depan perut beranjak keluar dengan langkah
tergopoh.
Mengawasi si
tambun ini, Loh Bong-bu tertawa katanya: "Gui-poancu (Gui si
gemuk),
melihat tampangmu yang merah gembira ini, mungkin kau sudah tambah
rejeki?"
Gui poancu
adalah taukeh atau majikan pemilik restoran ini, dengan ter gelak2 ia
berkata:
"Loh-ya, engkau memang suka berkelakar, restoran sekecil ini di kota
yang serba
miskin pula, kalau tidak gulung tikar sudah mending, mana bisa tambah
rejeki
segala? Kalau bisa mencari sesuap nasi untuk kehidupan keluarga sudah
lebih dari
lumayan."
Loh Bong-bu
menggeleng katanya: "Poancu, kau memang pandai bicara."
Sembari
silakan tamunya duduk. Gui poancu perintahkan juga para pelayan
meladeni
tamunya,
dari luar restoran ini kelihatan kuno, tapi keadaan di dalam ternyata
rapi dan
bersih, tempatnya juga amat luas, lima belas meja berjajar menjadi
sebuah meja
panjang di tengah ruang, kursinya dari bangku panjang, di luar
jendela
tampak Se-jing-ho dengan pemandanganya nan permai.
Loh Bong bu
persilakan Siang Cin dan Kun Sim-ti duduk di dekat jendela,
sementara
pelayan yang hanya tiga orang muda sibuk bekerja sesuatu petunjuk si
gemuk,
menyuguh minuman dan menyiapkan piring mangkok.
"Sebelum
ini pernah engkau datang kemari Lohcuncu?" tanya Siang Cin setelah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
120
melihat
sekelilingnya "Pernah lewat dua kali," sahut Loh Bong bu tertawa,
"setiap
kali si gendut itulah yang menyediakan hidangan untuk kami."
Berpikir
sebentar Siang Cin berkata pula: "Apakah orang ini dapat dipercaya?
Maksudku
mungkinkah dia menaruh apa2 di dalam hidangan?"
Serta merta
Loh Bong-bu melirik ke arah si gendut yang lagi sibuk di sana,
katanya;
"Kupikir, tak mungkin . . . . . . ""
"Hati2
lebih baik," ucap Siang Cin sambil tersenyum.
Pau Seh hoa
mengertak gigi, katanya: "Kalau ada yang berani main licik sekotor
itu, orang
she Pau pasti akan mengunyahnya hancur."
Melirik
kepada Pau Seh-hoa, belum lagi Siang Cin bicara, Gui-poancu sudah
datang,
katanya dengan tertawa lebar: "Loh-ya, engkau orang tua dan para tuan2
ini hendak
pesan makanan apa?"
"Hidangar
apa yang paling baik dalam persedianmu boleh kau keluarkan seluruhnya,
yang terang
setelah kami makan kenyang kau boleh tutup restoranmu saja."
"Loh-ya
memang malaikat pembawa rejeki bagi kami, kalau Loh-ya bisa datang
setiap hari,
restoranku ini pasta kubangun menjadi tingkat tiga, hahaha . . . .
. . "
sembari bicara dia terus mundur berlari masuk dapur.
Pelan2 Loh
Bong-bu tanggalkan mantel, sambil menghabiskan waktu mulailah
mereka
bicara bebas
sambil berkelakar.
Tanpa terasa
waktu berjalan dengan cepat, kira2 setengah jam kemudian, hidangan
masih belum
juga disuguhkan, malah ketiga pelayan yang semula mondar-mandir
keluar masuk
kini juga jarang unjuk diri, apalagi Gui-poancu, dia seperti lenyap
ditelan
bumi.
Setelah
meneguk secangkir teh, perut yang tambah keroncongan lagi, Loh Bong-bu
bersuara
heran, katanya dengan kereng pada seorang pelayan yang kebetulan
beranjak
keluar: "Siau-ji-ko, memangnya kenapa majikan kalian? Sekian lamanya
kenapa
hidangan belum lagi disuguhkan? Memangnya kau masak pakai api lilin?"
Pelayan ter
sipu2 mengiakan terus berlari ke belakang, kebetulan Gui poancu
tengah
beranjak keluar dari dalam, tampak kedua tangannya mengusung sebuah
baki
besar, di
atas baki penuh berisi daging ayam, itik, ikan dan udang goreng saus,
lengkap
dengan cabai, tomat, dan acar.
Dua laki2
berpakaian kotor penuh minyak ikut di belakang Gui-poancu, dandanannya
mirip koki,
kepala dibungkus kain hitam kedua orang ini juga membawa dua nampan
besar,
isinya adalah berbagat macam masakan yang berbeda.
Loh Bong-bu
mendengus keras2: "Goi-poancu, cepat juga kau menyiapkan
hidangannya."
Gui-poancu
minta maaf dengan tertawa ngakak, dia taruh baki di atas meja. Diam2
Siang Cin
memperhatikan sorot matanya yang kelihatan guram, tawanya juga kaku
dan suaranya
sumbang, jelas yang tidak wajar.
Ia melirik
pula kedua koki yang mengintil di belakang Gui-poancu, cara kedua
orang ini
membawa nampan ternyata amat mahir dan kelihatan gesit, padahal isi
nampan
begitu banyak dan penuh, langkahnya cekatan bergerak di antara bangku2,
cara
kerjanya juga cepat tak ubahnya seperti koki di restoran lain.
Sambil
menerima sumpit yang diangsurkan Gui-poancu, Loh Bong-bu berkata
dengan
tertawa:
"Nah, ayam, itik, ikan dan daging, semuanya lengkap, Loui, jangan lupa,
bawakan dua
poci untuk kami, bakpau pangsit juga keluarkan, lihat, ada tamu
perempuan,
mereka suka makanan yang empuk2."
Gui-poancu
mengiakan, tapi tampak agak ragu, tiba2 salah seorang koki tadi
berteriak:
"Ciangkui, sumpitnya masih kurang berapa pasang."
Orang ini
bicara sambil menaruh mangkuk piring, sementara mukanya menoleh ke
sini
mengawasi gerak-gerik si gendut. Gui-poancu seperti gemetar sedikit katanya
tersipu:
"Oh, ya, sebentar kuambilkan . . . . "
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
121
Beberapa
patah percakapan ini seketika mengetuk hati Siang Cin, tanpa diketahui
hadirin yang
lain diam2 ia mengawasi kedua koki, tapi badan orang tidak menunjuk
sesuatu
tanda yang mencurigakan. Siang Cin menjadi bimbang, apakah dugaannya
meleset.
Lalu di mana kedua pelayan muda yang tadi meladeni tamu2nya?
Sementara
itu Gui-poancu tampak keluar pula dengan membawa sumpit, dikala dia
membagikan
sumpit, Siang Cin sudah perhatikan muka orang yang penuh butiran
keringat
segede kacang, padahal kini bukan musim panas.
Arak
disuguhkan oleh koki yang lain, orang ini bermuka putih dengan handuk
melingkar di
leher, sebuah tahi lalat warna merah tumbuh di ujung mata kirinya,
dua helm
bulu panjang tumbuh menjuntai, kedua tangannya tampak berotot kasar,
mengkilat
berminyak, dikala menyuguhkan arak, selalu dia unjuk tawa lebar, tak
ubahnya
pelayan yang ramah untuk menarik simpatik para tamunya.
Mengawasi
orang Siang Cin bertanya: "Mana kedua pelayan tadi? Kenapa tidak
disuruh
bantu di luar" Orang kami terlalu banyak, kalau hanya mengandal tenaga
kalian,
kapan kami baru bisa melanjutkan perjalanan?"
Koki ini
menjura, katanya tertawa: "Maksud tuan mungkin Siau-gu dan Ah-mao?
Mereka
adalah tenaga baru, belum mahir dan hanya disuruh mengerjakan tugas
kasar, kalau
melayani tamu sebanyak ini, mungkin bisa berantakan, maka mereka
kini
ditugaskan di dapur "
Siang Cin
tertawa, katanya: "O, lidahmu ternyata lincah berbicara."
Si Koki
menunduk, lekas dia mengundurkan diri tanpa bicara, tapi dikala dia
menunduk
itulah, mata Siang Cin yang tajam sekilas dapat menangkap waiah si koki
yang putih
itu ber-kerut2, itulah pertanda perasaan yang menaruh dendam.
Sebagai tuan
rumah Loh Bong-bu mendahului angkat cangkir araknya, katanya:
"Siang-heng,
Pau-heng, An-heng dan kedua nona mari habiskan secangkir arak ini."
Siang Cin
juga angkat cangkirnya, bola matanya bentrok dengan pandangan Pau
Seh-hoa,
tampak terpancar sinar aneh dari matanya seperti memaklumi sesuatu dia
tatap Siang
Cin, dan diluar tahu siapapun ia mengangguk pelahan.
Loh Bong-bu
berkata pula: "Hadirin sekalian, marilah kita habiskan secangkir
ini."
Siang Cin
serba salah, ia tak sempat memberi tanda, hatinya gelisah, baru saia
dia hendak
mencegah, dilihatnya Loh Bong bu telah angkat cangkirnya yang sambil
menengadah
dia tuang arak yang berwarna kuning itu. Tapi arak bukan dituang ke
dalam mulut,
melainkan dituang ke dalam lengan bajunya yang longgar itu.
Maka Siang
Cin lantas tertawa lebar, katanya gembira: "Bagus, bagus sekali !"
Bersama Pau
Seh hoa iapun tiru cara orang.
Di bawah
meja jari Siang Cin menulis di telapak tapak tangan Kun Sim-ti, dengan
maksud:
"Kau jangan minum, kau dan istri An Lip tidak usah minum."
An Lip dan
istrinya tampak ragu2, Pau Seh hoa sengaja berkata: "Tidak, Lo An
harus minum
secangkir, aku orang she Pau yang menyuguh."
An Lip
menjadi gugup, ia bilang tak berani minum, sementara Ceng yap cu tampak
mendatangi
dan berdiri di samping meja, katanya: "Lapor Cuncu, mohon diberi izin
para Tecu
boleh mulai makan."
"Sudah
tentu," seru Loh Bong-bu ter gelak2, katanya: "Lain kali ingat,
disiplin
di padang
rumput tidak perlu dilaksanakan di luaran" ia merandek sejenak, lalu
menambahkan:
"Tapi kalian harus ingat peraturan lama Bu-siang pay kita bila
menginap di
mana saja. Nah, ayam sudah berkokok, elang terbang datang dari
langit,
golok tersembunyi di bawah payon, membabat bayangan nan tidak kelihatan
itu ... .
"
Waktu Loh
Bong-bu mengucapkan kata2 yang aneh ini, sikapnya tampak kaku dan
kereng,
sudah tentu An Lip, Kun Sim-ti bertiga merasa heran, lekas Ceng-yap cu
membalik
badan, secepat angin dia sudah berkisar ke sana, dikala badannya
berputar
itulah, kedua telapak tangannya secara beruntun telah bertepuk lima
kali.
Perubahan
berlangsung dengan cepat, selagi gema tepuk tangan Ceng-yap-cu yang
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
122
nyaring
masih berkumandang di dalam ruangan, semua anak buah Bu-siang pay
serempak
melompat berdiri, golok melengkung di punggung serentak tercabut ke
luar.
Tiada
sedikitpun rasa ragu dan bimbang, puluhan anak murid Bu-siang pay
mendadak
menerjang ke
luar jalan raya, sekelompok menyebar kedua sisi rumah, sementara
sisanya
menyebar ke berbagai pojok ruangan, sehingga terbentuklah sebuah
lingkaran
besar, hanya sekejap mereka telah menduduki posisi yang
menguntungkan,
bayangan
beberapa orang berkesiur kencang, meja kursi sama tertumbuk roboh,
dikala kedua
koki itu menyadari apa yang terjadi, tahu2 mereka sudah terkepung
di tengah
lingkaran.
Saat mana
Gui-poancu tengah mengangkat daging panggang, seperti mendadak
terserang
angin duduk, seketika dia berdiri kaku mematung, mukanya yang gemuk
penuh daging
menonjol itu sungguh lucu, seperti tertawa tapi juga mirip orang
menangis
seperti ketakutan tapi juga girang. Mulutnya melongo lebar, sementara
kedua
matanya melotot.
Kedua koki
itu berdiri tepat di tengah ruangan mereka celingukan bingung, dengan
sorot mata
mohon bantuan mereka menoleh ke arah si gendut she Gui yang berdiri
mematung dan
gemetar di sana.
Pelan2 Loh
Bong-bu berdiri, katanya mengejek: "Te Yau, periksa ke belakang."
Poan hou jiu
Te Yau mengiakan, sebat sekali ia melesat ke pintu belakang,
sementara
Loh Bong-bu letakkan cangkir ke atas meja, katanya sambil memandang
Gui gendut:
"Lo Gui, apakah kau di paksa?"
Bergetar
tubuh Gui gendut yang penuh daging itu, serta merta ia mengerling ke
arah kedua
koki, kedua orang yang dipandang diam saja tanpa unjuk perasaan apa2.
Mendadak Loh
Bong-bu menggebrak meja, teriaknya bengis: "Untuk apa kau lihat
mereka? Kau
kira golok lengkung Bu siang-pay kurang tajam?"
Dengan
menyengir kulit daging si gendut tampak ber-goyang2 saking ketakutan,
mulutnya
terpentang lebar, tapi sepatah katapun tak mampu bicara sungguh kasihan
keadaannya.
Siang Cin
tertawa, katanya: "Loh-cuncu, Guiponcu terang dipaksa, kita tidak
perlu
mendesak dia, kukira kedua koki ini bisa memberi keterangan, karena
merekalah
biang keladinya."
Seketika
kedua koki itu ketakutan, mereka meratap: "Ciangkui, sudah sekian tahun
kami
membantumu, seingatku kecuali sering mencuri minum dua cangkir arak
selamanya
tak pernah berbuat salah, Ciangkui, tolonglah kau memberikan
kesaksian,
kami kan tak pernah melakukan kejahatan apa2 . . . . . ."
Gui-poancu
seka keringatnya dengan lengan bajunya, jari2nya tampak gemetar,
sesaat
kemudian baru dia dapat bersuara dengan tersendat: "Tidak . . . . . tidak
salah,
Loh-ya, mereka . . . . . . . mereka berdua."
Dengan
tersenyum Siang Cin mengulap tangan katanya: "Sahabat baik, dihadapan
orang jujur
tidak perlu membual, cara kalian ini hanya bisa rnenggertak si lemah
dan
mengelabui yang bodoh, dihadapan kami kau tak perlu main sandiwara, tak
berguna"
Semakin
hijau muka koki tadi, katanya sedih: "Tuan ini, sudilah engkau suka
menjelaskan,
hamba kan bekerja baik2 dan tidak berbuat salah, mendadak tuan2
mencabut
senjata dan mengepung kami, memangnya kami pernah melakukan
kejahatan
apa? Umpama
membunuh orang kan juga harus dibikin terang persoalannya, entah
kesalahan
apa yang telah hamba lakukan?"
Melotot
gemas dan dendam Loh Bong-bu, bentaknya gusar: "Keparat yang licik."
"Kesalahan
sih ada," ucap Siang Cin dengan tertawa, "cuma arak, hidangan yang
kalian masak
ini rasanya koh ganjil sekali, kalian kan koki di restoran ini,
nah, silakan
kalian cicipi dulu hasil karya kalian sendiri, kalau apa yang
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
123
kukatakan
terbukti benar, maka kalian harus lekas bikin lagi hidangan yang
lain."
Seketika
berubah air muka kedua koki, sekuatnya mereka seperti menahan diri, si
muka putih
yang bernama Mao-ci menelan air liur, katanya dengan serak: "Tuan ..
Ini kan
hidangan untuk tuan2 sekalian, mana hamba berani mencicipinya lebih dulu
........."
"Hm."
Loh Bong-bu menggeram, "disuruh makan, maka kalian harus mencicipi dulu,
nanti
kubayar dua kali lipat."
Sudah tentu
tambah buruk air muka kedua koki ini, mereka bimbang dan saling
pandang,
koki yang bermata juling mengertak gigi hendak bergerak, tapi koki muka
putih
bernama Mao-ci menggeleng kepala. Golok besar melengkung telah terhunus
mengelilingi
mereka dengan sinar yang gemerdep demikian pula tombak pendek
bersula
telah terpegang di tangan kiri, agaknya Mao ci cukup tahu diri nelihat
situasi
dihadapan mata, sedikit bergerak tanpa perhitungan, jelas mereka akan
menjadi
sasaran empuk bidikan tombak2 pendek bersula itu.
Berkejang
muka Mao-ci, tiba2 sikapnya berubah tenang, katanya: "Baiklah, kalau
demikian
pesan tuan2, biarlah hamba mencicipinya." Waktu menoleh ke arah
temannya,
sorot matanya seperti mohon diri, seperti juga menyesali nasibnya yang
jelek. Lalu
dengan langkah lebar dia menghampiri meja Siang Cin, ia mencomot
sepotong
paha ayam serta menjemput cangkir arak di depan Loh Bongbu, sekilas
ragu2, lalu
dia angkat paha ayam ke mulutnya.
Tiada orang
bersuara, puluhan pasang mata tertuju ke muka Mao-ci, suasana terasa
seram.
Dengan
menyengir Mao-ci pentang mulutnya, Sikap Siang Cin tampak dingin kaku,
sorot
matanya ber kilat2, dengan tajam diawasi gerak-gerik orang.
Lagaknya
Mao-ci mau makan paha ayam itu tapi ketika paha ayam itu hampir
menyentuh
bibirnya, tangan kirinya tiba2 menggentak, arak itu dia siramkan ke
muka Loh
Bong-bu, sementara paha ayam mendadak juga dilempar ke arah Siang
Cin,
begitu
barang2 di kedua tangannya disambitkan, sigap sekali ia berputar, tahu2
tangan kanan
sudah mencabut sebilah belati yang tajam berkilau.
Hanya
sedikit mengegos dengan mudah Siang Cin hindarkan, samberan paha ayam,
perawakannya
yang kurus bergerak gemulai, hampir tidak kelihatan melakukan
gerakan
apapun, tahu2 Mao-ci menjerit keras, tubuhnya berputar dan darahpun
terhambur
dari mulutnya. Sebat sekali Siang Cin melompat maju, dikala badan
Mao-ci masih
berputar2, telapak tangan kirinya terayun, kembali darah muncrat,
Mao-ci
mencelat tinggi membentur langit2, "klotak", dengan keras ia
terpental
balik dan
jatuh terguling di lantai, dengan berlepotan darah. Siang Cin
menghardik:
"Jangan bergerak!"
Baru saja
koki bermata juling hendak menubruk maju dengan belatinya, hardikan
Siang Cin
bagai bunyi guntur telah membikinnya bergetar, sedikit merandek itu,
tujuh batang
golok sabit telah menyamber tiba, puluhan tombakpun meluncur datang
dengan deru
angin yang kencang, orang merasa pandangan mendadak kabur, dikala
dia
menggerakkan belatinya itu, kaki Siang Cinpun menyapunya, golok sabit dan
tombak
berdering saling bentur, mendadak Siang Cin melambung ke atas, berbareng
ia tarik baju
kuduk orang itu serta diangkat ke atas,
Sekali
tendang Loh Bong bu bikin meja kursi jungkir balik, lalu dia sudah
berkelebat
maju, beruntun dia gampar laki bermata juling itu beberapa kali,
keruan gigi
rompal bibir pecah dan darahpun berhamburan dari mulut orang itu.
Sekali raih
Loh Bong-bu menjambak rambut orang, hardiknya gusar: "Keparat,
betapa
tinggi kepandaianmu, berani membokong Cuncu Bu-siang-pay? Katakan, dari
aliran setan
atau golongan iblis mana kau?"
Melotot bola
mata laki2 yang juling (keroh) itu, Loh Bong bu mendengus, telunjuk
tangannya
mencolok, secara mentah2 dia cukil keluar sebuah biji mata orang.
Raung
kesakitan bergema, kaki tangan berkelejetan seperti orang terserang ayan,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
124
wajah Loh
Bongbu biasanya putih bagai batu jade kini berubah hijau kelabu,
sekali raih
pula dia betot biji mata orang yang bergelantung di pipi orang,
kembali dia
hendak cukil biji mata orang yang sebelah kiri.
Lekas Siang
Cin menarik mundur orang itu, katanya: "Loh-cuncu, biarkan dia
hidup,
nyawanya lebih berguna dari pada membunuhnya."
Loh Bong bu
menggerutu: "Bangsat, kalau tidak kuremukkan tulang belulangnya,
sungguh tak
terlampias amarahku."
Siang Cin
tersenyum, katanya: "Cepat atau lambat dia pasti mati, sekarang lebih
baik mengompes
keterangannya. Loh-cuncu, sampai sekarang kita belum tahu dia
dari aliran
mana." - Sembari bicara Siang Cin mencengkeram baju leher orang,
katanya
dingin: "Sahabat baik, apa yang harus kau katakan, kini sudah tiba
saatnya kau
beberkan."
Sekujur
badan orang itu gemetar, mukanya berkerut dan berlumuran darah,
keadaanya
sungguh seram dan mengerikan.
"Anak
muda," tiba2 Loh Bong-bu tertawa, "ini baru mulai, bila setiap
pertanyaan
tidak kau
jawab dengan jelas, sedikit akan kusiksa kau hingga mangkat ke alam
baka."
Mendadak
mata tunggal orang itu mendelik, katanya dengan meraung penuh
dendam:
"Loh
Bong bu, kalau tuan besarmu mati, beribu anggota Hek jiu tong akan menuntut
balas bagi
kematianku, kau anjing tua ini akan mati lebih mengenaskan
daripadaku,
kalau berani, hayo bunuhlah sekarang, buktikan saja apakah anggota
Hek-jiu-tong
memang takut mati seperti omonganmu."
Ceng-yap-cu
Lo Ce yang berdiri di samping menghardik, golok sabit di tangannya
tiba2
membacok, bentaknya: "Baik, coba rasakan ini!"
Sekali tarik
Siang Cin singkirkan tawanannva, "Siiuut", golok sabrt menyamber
lewat dan
"crat" bangku panjang di sebelah tertabas kutung menjadi dua, dengan
mata membara
Lo Ce putar badan serta mengayun golok pula, lekas Siang Cin
mencegah.
"Berhenti dulu, Lo-heng . . . . "
Lekas Loh
Bong-bu angkat tangan mencegah Lo Ce, Katanya kemudian: "Sahabat
baik,
mulutmu
ternyata berbisa juga. Baiklah Cap kau hwi ce Loh Bong-bu ingin
menyaksikan
sendiri kawanan anjing Hek-jiu-tong dapat berbuat apa terhadapku?"
Siang Cin
mengertak gigi, jari2nya yang mencengkeram kuduk orang semakin
mengencang:
"Sahabat, kalau kau tidak ingin disiksa, maka bicaralah, masih ada
berapa
banyak kaki-tangan Hek-jiu-tong di sekitar sini? Di mana mereka sembunyi?
Siapa pula
yang jadi pemimpin? Dengan cara licik apa pula kalian hendak
mencelakai
kami? Bagaimana gerakan orang2 Hek-jiu-tong akhir2 ini?"
Orang itu
malah memejamkan mata, dengus napasnya berat, dadanya turun-naik,
mukanya
kotor berlumurah darah yang mulai mengering, jelas sekuatnya dia
menahan
derita,
sepatah katapun dia tidak jawab pertanyaan Siang Cin.
Loh Bong-hu
berseru gusar: "Siang-heng, ganyang saja dia."
Berpikir
sejenak Siang Cin berkata: "Sahabat, akan kuberi waktu selama satu
sulutan
dupa, bila kau menjawab beberapa pertanyaanku tadi, segera kau boleh
meninggalkan
tempat ini."
"Cuh,"
tiba2 orang itu menghamburkan darah di mulutnya, katanya sambil tertawa:
"Kau .
. . . ingin aku menjual Hek-jiu-tong? Haha jangan menilai! Kau ingin aku
menjawab
pertanyaanmu, anak muda, boleh kau tunggu bila mentari terbit dari
barat . . .
. "
"Ciiiiaaaat"
- "Bluk", mendadak telapak tangan Loh Bong-bu mendarat di dada
orang itu,
terdengar suara tulang retak dan patah, orang itu meraung
se-keras2nya,
gumpalan darah tertumpah dari mulutnya, darah yang tercampur
gumpalan2
merah, karena dada terpukul keras sehingga isi dadanya remuk dan ikut
tersembur
keluar.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
125
Siang Cin
menghela napas, sekali dorong "Byuuuarr", mayat orang itupun
terlempar
keluar
jendela dan tercebur ke dalam sungai.
Kun Sim-ti
menunduk kepala dan menutup mukanya dengan kedua tangannya di
meja
sana,
pundaknya tampak ber-goyang2, dulu dia tidak tahu apa yang dinamakan
kejam, apa
yang dinamakan dendam kesumat, sekarang dia dapat meresapinya.
Bahwa derita
yang menimpa manusia bukan cuma pukulan batin melulu, derita yang
nyata di
depan mata sekarang juga cukup mengerikan dan amat menyedihkan pula,
kiranya
demikianlah kehidupan insan persilatan yang kecimpung di Bu lim.
Tanpa
bersuara Siang Cin mengawisi jari2nya yang masih membengkak hijau
ke-biru2an,
pelan2 dia menggeleng kepala serta berkata: "Hek-jiu-tong dapat
menggembleng
anak buahnya sehebat ini, memang bukan kerja yang gampang.
Yang
kusangsikan
sekarang apakah setiap anggota Hek-jiu-tong juga keras kepala dan
tak takut
mati seperti kedua orang ini?"
Loh Bong-bu
berkata sinis; "Siang heng. Cayhe sudah bentrok beberapa kali dengan
orang2
Hek-jiu-tong, aku harus mengakui bahwa mereka memang punya keberanian
yang luar
biasa, tapi tidak semuanya demikian."
Bercahaya sorot
mata Siang Cin, katanya: "Kalau demikian, Loh cuncu, boleh kita
tandangi Hek
jiu-tong secara besar2an, cuma untuk itu, mungkin harus mengalami
banyak
kesukaran."
"Cayhe
mengerti," ucap Loh Bong-bu baru tapi penuh semangat, "kami harus
bertempur
dengan segala kekuatan, kamipun mohon supaya Siang heng suka
membantu."
Tertawa
tawar Siang Cin berkata: "Kalau Cayhe sudah berjanji, pasti akan
kutepati
sampai titik darah terakhir."
Terhibur
hati Loh Bong-bu, lekas dia menjura, sementara seorang tampak berlari
masuk,
sekujur badannya berlepotan lumpur, basah kuyup oleh keringat dan air
kotor,
langsung dia memburu kearah Loh Bong bu serta berteriak: "Loh cuncu,
mata2
Hek-jiu-tong telah menyelundup ke restoran ini, dua koki dan dan pelayan
restoran
mereka gantung di belakang, waktu Tecu beramai menolongnya turun, kami
sempat lihat
beberapa orang berlari menyusuri tepi sungai ke arah barat, Te
toa-suheng
membawa beberapa orang telah mengejar ke sana, dengan susah payah
akhirnya
musuh dapat disusul dan terjadilah baku hantam sengit, baru beberapa
gebrak
mereka ngacir pula, Toa-suheng suruh Tecu pulang memberi laporan . . . .
. "
Loh Bong bu
mendengus, tanyanya: "Mereka juga perkenalkan diri sebagai anggota
Hek-jiu-tong?"
Dengan napas
tersengal2 murid Bu-siang-pay itu mengangguk: "Ya, peminpinnya
seorang yang
tidak punya hidung .... perawakannya gemuk . . . ."
Tiba- Siang
Cin menepuk paha, sikapnya tampak gelisah dan gugup, katanya:
"Celaka,
Loh cuncu, lekas kita susul mereka, kalau terlambat mungkin bisa celaka
semuanya."
Sikap Siang
Cin yang gugup membuat Loh Bong bu tegang juga, katanya dengan
nada
curiga:
"Siang
heng, apa yang tidak beres?"
Sembari
melangkah keluar Siang Cin memberi tanda, katanya ter-gesa2:
"Tinggalkan
beberapa
orang tunggu di sini, Loh heng, sisanya yang lain lekas ikut kita,
laki2 gemuk
tak berhidung yang di terangkan saudara ini adalah salah satu
pentolan Hek
jiu tong, yaitu Ang bin-cu (hidung malam) Kau Hui-hui, orang kelima
dari Hek
jiu-tong.""
"Kau
hui hui?" Loh Bong-bu mengulang nama yang aneh ini, mendadak dia
berpaling,
serunya:
"Lo Ce kau pimpin dua puluh Tecu bertugas jaga di sini, sisanya ikut
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
126
aku mengejar
musuh."
Ceng yap-cu
Lo Ce mengiakan, bayangan orang bergerak, derap orangpun beranjak
keluar, di
bawah pimpinan Siang Cin dan Loh Bong bu, dengan cepat sebarisan
orang
berlari menuju kebelakang.
Di ujung
serambi adalah dapur dan gudang rangsum, di belakang dapur ada
undakan
batu yang
menjurus turun ke tepi sungai, dimusim rontok air sungai tak pernah
pasang maka
pesisir membentang panjang dengan pasirnya yang menghitam legam,
tapak kaki
tampak acak2an di atas pasir menjurus ke arah barat.
Siang Cin
membetulkan pakaiannya yang koyak, sakali narik napas, segera ia
melayang ke
depan secepat terbang.
"Ginkang
yang hebat!" Loh Bong-bu berseru memuji, sambil memberi tanda, bagai
anak panah
melesat iapun menyusul dibelakang Siang Cin, sekejap saja kedua
orang
ini sudah
melayang jauh ke depan, anak buahnya jauh ketinggalan di belakang.
Pesisir
sungai ini berbelak-belok, ada kalanya teraling oleh batu karang yang
menjurus ke
tengah sungai, tapak kaki masih tampak acak2an ke arah depan,
sejauh
mata
memandang bayangan Te Yau dan lain2 belum lagi kelihatan.
Siang Cin
berlari kencang berdampingan dengan Loh Bong-bu mulai menampilkan
rasa
gelisah,
diam2 ia seka keringat yang membasahi hidung, katanya gemas: "Te Yau
keparat itu
memang sembrono terlalu serakah mengejar pahala dan suka menang
sendiri,
kalau sekali ini dia terjungkal, coba nanti kalau aku tidak membeset
kulitnya . .
. . . ."
Sambil
melompati gundukan pasir Siang Cin berkata, "Anak muda semuanya
demikian,
tapi dengan
bekal kepandaian Te-heng, untuk bisa merobohkan dia musuh harus
memeras
keringat dalam waktu yang cukup lama juga, untuk ini Loh-heng tidak
perlu
kuatir."
Mendadak Loh
Bong-bu berteriak kaget, tarnpak di atas pasir di depan sana tiga
orang
seragam putih menggeletak di pinggir sungai, muka mereka terbenam dalam
pasir,
sekujur badan berlepotan darah, air sungai membasahi tubuh mereka, air
sungai berubah
merah, jiwa mereka terang sudah melayang.
Dengan
kencang Siang Cin tarik tangan orang serta menyeretnya lari ke depan
tanpa
memeriksa ketiga orang itu, gigi Loh Bong-bu gemeretak menahan gejolak
hatinya.
Tanpa
berhenti Siang Cin terus seret orang berlari, sikapnya tenang2 seperti tak
pernah
terjadi apa2, katanya: "Sudah kulihat, Loh-heng, yang perlu dipikirkan
sekarang
ialah cara bagaimana menagih dan mencari imbalan untuk dendam sakit
hati
ini."
Menggigit
kencang bibirnya, Loh Bong-bu tidak bersuara, mereka berdua harus
mengitari
sebuah batu karang besar yang menongol di depan, di balik sana kiranya
adalah rawa
dengan rumput gelagah yang tumbuh subur dan membentang luas
sepanjang
sungai.
Sekilas
memandang. "Nah, itulah," serta merta Siang Cin berseru lirih,
berbareng
ia melayang
ke sana, kiranya di tengah semak2 rumput sana beberapa bayangan
orang tengah
saling tubruk dan bertempur dengan sengit.
Tampak
seorang murid Bu siang-pay yang bergelang emas di kepalanya tengah
meronta2
roboh ke dalam air, dadanya berlubang dan berdarah, menyusul seorang
laki2
berpakaian abu2 juga melolong roboh dan kelejetan di tengah semak2,
sebilah
golok sabit menembus perutnya, isi perutnya ikut kedodoran keluar.
Siang Cin
melompat maju di tengah udara sebelah kakinya sempat menendang jatuh
seorang
laki2 kurus berbaju hitam. Masih ada tiga murid Bu-siang-pay yang
bertempur
sengit melawan lima orang anak buah Hek-jiu-tong yang berpakaian
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
127
warna-warni.
Sekilas
pandang Siang Cin lantas melihat Poan-hou-jiu Te Yau, dengan ilmu
pukulan
kebanggaannya Te Yau tengah bertempur mati2an melawan seorang laki2
berpinggang
besar, muka penuh daging menonjol dan berperawakan tinggi,
sepasang
mata laki2
itu melotot beringas, sikapnya sadis, yang lebih mengerikan lagi
ialah laki2
besar ini ternyata tidak punya hidung. Dari depan mukanya kelihatan
rata, kedua
lubang hidungnya tampak buruk dan menjijikkan.
Laki2 gemuk
ini ternyata memiliki kepandaian yang ganas dan keji, iapun main
dengan
kepalan tangan, setiap gerak tangannya membawa deru kekuatan yang
dahsyat,
tipu serangannya juga aneh dan banyak perubahan, rumput berterbangan,
air muncrat
ke sana-sini, Poan-hou-jiu Te Yau sudah terdesak, jelas kelihatan
Poan-hou-jiu
Te Yau sudah kewalahan dan tak mampu melawan lebih lama lagi,
meski
sekuat
tenaga dia tetap berjuang dengan gigih.
Bagai burung
raksasa Siang Cin langsung menubruk ke arah laki2 tidak berhidung
itu, dengan
jurus Gwat-bong-ing tangan bergerak maju tapi sebat sekali lantas
ditarik
balik pula, cepat laki2 gemuk itu berputar, "bret", tahu2 juga biru
yang
dipakainya
sobek tepat di depan dadanya,
Tidak
kepalang kejut si gemuk, cepat ia melompat mundur, ia menatap tajam ke
arah Siang
Cin.
Siang Cin
berdiri di tengah lumpur, sapanya sambil unjuk senyum: "Kau Hui-hui,
selamat
bertemu."
Daging yang
benjal benjol di selebar muka Kau Hui-hui ber-gerak2, dengan gusar
dia tatap
Siang Cin sekian lamanya, katanya dengan suara serak pecah seperti
gembreng:
"Kau, siapa kau?"
Poan hou jiu
sempat ganti napas, dengan serak dia memaki: "Kau Hui-hui, dia
inilah raja
akhirat yang akan mengantar nyawamu ke neraka."
Dengan rasa
hina dan mengejek Kau Hui-hui berludah, jengeknya: "Katakan, siapa
kau?"
Mendadak
sesosok bayangan berkelebat di udara, seringan daun jatuh Loh Bong bu
telah
melayang turun, dia mengawasi Te Yau sebentar, tanyanya kereng: "Terluka
tidak?"
Paras muka
Te Yau, dia betulkan letak tutup matanya, sahutnya dengan tergagap:
"Tidak,
tidak apa2 . . . . "
"Tunggu
apa lagi kau di sini, lekas bantu para saudaramu berantas kawanan
binatang
tangan hitam itu!" demikian seru Loh Bong-bu gusar.
Te Yau
mengiakan dan cepat lompat ke sana. Kau Hui hui melotot, dia maju setapak
ke depan,
Siang Cinpun tersenyum, dia juga maju setapak lebih dekat.
Otot hijau
yang merongkol di jidat Kau Hui-hui bergerak2, mukanya yang tak
berhidung
tampak menjijikan, ia melotot beringas ke arah Siang Cin dan berkata
lantang:
"Orang yang berani merintangi sepak terjang Kau Hui hui pasti seorang
yang punya
asal-usul, anak muda, sebutkan namamu?"
Sorot mata
Siang Cin menatap luka jari2nya yang telah mulai mengering, katanya
tawar:
"Naga Kuning Siang Cin dari angkatan muda memberi salam hormat kepada
Cianpwe
Kau-longo."
Mata Kiau
Hui hui mendelik lebih lebar, lama dia mengawasi Siang Cin kataaya
kemudian"
"Orang she Siang, gerangan apa yang menimbulkan hasratmu main2
dengan
orang Hek
jiu-tong, apakah sudah kau pikirkan apa akibat dari campur tanganmu
ini?"
Alis
terangkat, Siang Cin berkata tenang: "Sudah tentu, paling2 jiwa
melayang."
merandek sebentar,
lalu disambungnya dengan tertawa: "Tapi, jiwaku ini harus
diimbali,
beberapa jiwa kalian, malah bukan mustahil, hm, kau sendiri harus ikut
serta ke
alam baka."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
128
Gigi Kau
Hui-hui gemeratak, pada saat itu sebuah jeritan, berkumandang dari
sebelah
sana, tapi dia seperti tidak mendengar, katanya pula: "Siang-Cin,, kau
akan
menyesal . . . . "
Siang Cin,
menjawab: ""Entah sudah berapa tahun dan betapa banyak urusan telah
kubereskan,
tapi selamanya Naga Kuning tidak pernah menyesal."
"Hayolah,
Kau Hui-hui" Loh Bong-bu meraung tidak sabar: "Biarlah cuncu dari Bu
Siang-pay
menghadapimu."
Sekilas ia
melirik Loh Bung bu, Kiau Hui-hui berkata sinis: "Orang she Loh, tak
perlu kau
menampilkan diri, sudah lama Kiau longo tahu siapa kau keparat ini."
Ditengah
gelak tawanya mendadak Loh Bong bu menubruk maju secepat kilat,
sekaligus
dia lontarkan sepuluh pukulan dan tujuh belas kali tendangan.
"Ciiiaat"
Kau Hui hui menggembor keras, badannya yang besar tangkas luar biasa
berkelit ke
samping, sementara kedua telapak tangannya dengan gencar membelah
dan menabas,
Serangan balasan ini membawa damparan angin angin kencang,
ekuatannya
mampu membelah batu mematah pilar.
Di tengah
muncratnya air dan daun yang melayang, golok sabit Loh Bong-bu
menyambar
kian kemari, terjadilah pertempuran sengit dengan Kau Hui hui yang
melawan
dengan bertangan kosong.
Dengan tawar
Siang Cin berkata: "Kau Hui-hui, ilmu pukulanmu nyata memang
lumayan,
tapi kurang cepat, ingatlah pertempuran jago kosen mengutamakan
ketangkasan,
terpaut sedetik saja akibatnya jiwapun bisa melayang."
Golok Loh
Bong-bu bergerak semakin gencar, lincah dan mantap, dengan tangkas
Kau
Hui-hui
berkisar ke samping, kedua telapak tangan berputar cepat menimbulkan
gejolak
angin keras, jengeknya dingin: "Orang she Siang, kau boleh terjun
sekalian,
Kau-longo tidak akan mundur karenanya."
Dengan
memicingkan mata Siang Cin saksikan kedua orang saling serang lagi
puluhan
jurus, katanya kemudian: "Jangan gelisah saudara, mungkin nanti kau
masih punya
kesempatan."
Darah tampak
berhambur dari belakang semak2 sana, seorang laki2 berpakaian
warna
hitam dengan
sulaman benang putih sebagai hiasan tampak terhuyung beberapa
langkah,
mungkin telah kehabisan tenaga, pelan2 dia tersungkor roboh ke dalam
air, di kuduknya
tampak merekah besar sebuah luka tabasan golok yang mengerikan,
darah masih
menyembur deras, jiwa anak buah Hek jiu-tong ini jelas akan menyusul
teman2nya
yang telah mangkat lebih dulu.
Kau Hui hui
sedikitpun tidak terpengaruh, seperti tidak mendengar dan melihat,
dia tetap
bergerak lincah menempur Loh Bong bu dengan sengit, bayangan mereka
berlompatan
naik turun di antara semak2 gelagah, sekejap saja mereka telah
bertempur
tiga puluhan jurus.
Dinilai
secara menyeluruh, Loh Bong-bu adalah orang pertama dari Hiat ji-bun di
Bu-siang-pay,
dalam Bu-siang-pay tingkat kepandaiannya termasuk kelas wahid,
kaum
persilatan di utara bila menyinggung nama Cap-kau-hwi-ce (sembilan belas
bintang
terbang) pasti akan mengacungkan jempol dan memuji "bagus",
Si-bun-cap-sa-sek,
ilmu goloknya dikombinasikan dengan tiga belas biji senjata
rahasia
bintang terbang segi enam yang dibuat dari baja asli, entah telah
merobohkan
berapa banyak tokoh2 persilatan. Tapi kini menghadapi Kau Hui hui dia
harus
menguras tenaga, walaupun lambat-laun sudah menempatkan dirinya di atas
angin.
Jauh di luar
semak2 sana terdengar derap langkah orang banyak berlari datang
dengan
cahaya kemilau senjata tajam, dua puluhan murid Bu-siang-pay baru
sekarang
menyusul tiba, dengan golok sabit mereka membabat rumput dan
membuka
jalan maju
ke-semak2 cepat sekali sisa2 orang2 Hek-jiu-tong yang masih hidup
telah
terkepung oleh mereka.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
129
Tiba2 Kau
Hui-hui bergontai ke kanan kiri, ketika golok lawan menyambar lewat,
berbareng ia
pun menghantam sambil bersuara keras memberi aba2: "Anak2 tangan
hitam, lekas
lari"
Empat anak
buah Hek-jiu-tong bagai memperoleh pengampunan serentak
mengembor
sambil
angkat langkah seribu ke arah semak2 yang lebih lebat.
Golok sabit
Poan-hou-jiu Te Yau sempat membacok tempat kosong, teriaknya
bengis:
"Setengah
lingkar, cepat!"
Beberapa
murid Bu-siang-pay yang tengah mengudak serentak berhenti, cepat
mereka
menyingkir
kedua samping mengambil posisi setengah lingkaran, Te Yau diam
sejenak
mengawasi keempat orang Hek-jiu-tong yang lari seperti dikejar setan
itu,
mendadak ia memekik panjang, tumbak bersula di tangannya tiba2 meluncur
bagai
lembing memecah udara, dua puluhan murid Bu-siang-pay serentak juga
menimpukkan
tumbak masing2, keempat orang Hek-jiu-tong yang sedang lari itu
satu
persatu
melolong terus roboh berkelejetan kesakitan di tengah semak, entah
kepala,
punggung, kaki tangan keempat orang itu sama tertusuk tumbak bersula,
sebelum ajal
mereka tetap berusaha melarikan diri, namun rasa sakit tak tertahan
lagi darah
mereka mewarnai air yang sudah keruh ini.
Di bawah
rangsakan golok sabit Loh Bong-bu, Kau Hui-hui terus bertahan dengan
serangan
balasan yang gencar, dia tahu kematian seluruh anak buahnya, tapi
tampangnya
yang kelihatan beringas sadis itu sedikitpun tidak menampilkan rasa
murka dan
dendam, gerak-geriknya tetap tangkas, meski air merendam sebatas
lutut,
mereka terus mengembangkan kegesitan masing2 dan saling labrak dengan
sengit
kembali tiga puluh jurus telah berselang.
"Kau
Hui-hui," Siang Cin berseloroh dengan menggosok telapak tangan, "apa
kau
tidak ingin
menyelamatkan jiwa?"
Mendadak Kau
Hui-hui melancarkan pukulan dahsyat Siang jong-ciang dikala Loh
Bong-bu
melompat berkelit, dia berkata dengan menyeringai: "Siang Cin, kalau
Kau-longo
ingin pergi, kalianpun tak kuasa merintangi."
"Sudah
tentu," Siang Cin mengedip mata, "tapi kau boleh coba."
Cap-kau-hwi-ce
Loh Bong-bu menghardik lantang, golok sabit membabat ke
kanan-kiri
lalu membacok naik-turun, begitu gencar dan ganas rangsakannya, hawa
di sekitar
gelanggang seperti berpusar menimbulkan angin lesus, denging suara
yang timbul
dari sambaran goloknya laksana tangisan setan. Inilah jurus ilmu
golok
Tan-hun-liok-hoan ( enam gelang mega mendung ) dari Liong-hun-cap-sa-sek
yang lihay.
Dengan gelak
tertawa Kau Hui-hui melompat naik turun, serunya: "Loh Bong-bu,
beginilah
baru memenuhi seleraku."
Mendadak
golok menusuk lurus kedepan, pada hal bagian atas tubuh Loh Bong-bu
doyong ke
belakang, namun dalam gerakan singkat itu, entah bagaimana tahu2 tiga
benda
sebesar kepalan tangan, yaitu bintang segi enam kemilau biru laksana kilat
melesat
mengincar leher perut dan selangkang Kau Hui hui, baru saja ketiga
bintang
terbang ini berkelebat di udara, kembali ia menimpuk lagi tiga bintang
terbang dan
mengincar kanan kiri kepala musuh.
"Heit,"
tiba2 Kau Hui-hui melompat ke atas, badannya yang besar bagai gentong
air itu
melayang ke samping, kedua tangannya berbareng memukul, di tengah
samberan
bintang2 yang lebat, dengan golok sabit tergigit di mulut Loh Bong-bu
ayun tangan
ber-ulang2, tiga belas biji bintang terbang memancarkan cahaya biru
berhamburan
seperti hujan.
Kau Hui-hui
yang terapung di udara tampak bergetar sekali, tiba2 dia menggeliat,
bagai anak
panah terlepas dari busurnya tubuhnya melenting beberapa tombak
jauhnya.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
130
Siang Cin
menyeringai, serunya: "Kau-longo, kau takkan bisa lolos." Di tengah
kumandang
suaranya, Siang Cin terus menubruk ke arah Kau Hui hui.
Kau Hui-hui
masih berusaha menahan tubuhnya di udara, sekilas tampak mukanya
telah
berubah pucat menghijau, kedua matanya melotot berdarah ke arah Siang Cin.
sekali
menyendal lengan kanan, seutas sabuk sutera tiba2 melecut kencang ke
depan, sabuk
ini ternyata berisi terbagi beberapa ruas yang diikat kencang,
laksana ular
hendak membelit tubuh Siang Cin.
Siang Cin
tertawa ejek, telapak tangannya berkelebat dengan kecepatan tinggi,
berbareng
dia miringkan tubuh ke kanan.
Sabuk itu
tiba2 berbunyi bagai ledakan, kabut putih seketika berhamburan di
udara,
begitu dihembus angin seketika melebar bagai kabut tebal tapi bersamaan
dengan itu
terdengar pula rintihan tertahan, meski lirih masihi sempat didengar
Siang Cin,
lekas dia menahan napas serta berteriak: "lekas menyingkir."
Dengan
bergerak melawan arah angin Siang Cin melambung setingginya, dari
tempat
ketinggian
ia menyapu pandang sekelilingnya, orang Bu-siang pay di bawah tampak
lari pontang
panting menyingkirkan diri, semua menutup mulut dan hidung
sementara
Loh Bong-bu berusaha mengitari kabut dan mengudak musuh.
Di tengah
udara Siang Cin mendatarkan tubuh dan berputar lambat2 dengan kedua
tangan
terpentang, sementara kedua kaki memancal, tubuhnya yang kurus seketika
meluncur
bagai anak panah, matanya tidak lepas mengawasi keadaan semak2
sekitarnya,
tapi setelah bubuk kapur putih sirna tertiup angin, kecuali rumput
yang
bergontai tertiup angin, mana lagi ada jejak musuh.
Dengan
ringan Siang Cin melayang turun, berdiri diam dan pasang kuping
mendengarkan
dengan seksama, arus sungai di kejauhan terdengar gemercik,
suasana
sunyi
senyap, entah di mana si hidung merah menyembunyikan diri.
Terlihat Loh
Bong-bu lari mendatangi, katanya dengan napas memburu: "Siang-heng,
kau melihat
dia?
Siang Cin
menggeleng, katanya: "Mungkin melarikan diri dengan menyelam kalau
Kau
Hui hui
tidak jaga gengsi, tentu dia sudah selulup dan berenang ke tengah
sungai"
Loh Bong-bu
mengawasi air keruh dan berbau busuk, kalau harus lari dengan
menyelam di
air seperti ini, wah, cukup nekat juga dia . . . . "
"Demi
menyelamatkan jiwa sudah tentu Kau Hui-hui tidak peduli air kotor atau
berbau,"
ucap Siang Cin tertawa.
"Hahaha,"
Loh Bong bu bergelak tertawa, katanya: "Siang heng, menurut
pandanganku
keparat tak berhidung itu agaknya terluka."
Siang Cin
manggut2, katanya: "Betul, dia terkena tiga biji bintang terbangmu.
Loh-heng,
kepandaian menimpuk senjata rahasia yang kau yakinkan sungguh hebat
dan dapat
dikatakan sebagai ahli."
Lekas Loh
Bong-bu goyang tangan, katanya: "Mana, permainan begini mana dapat
disebut
sebagai ahli? Dihadapan Siang-heng mana berani kuterima pujian yang
berlebihan."
"Loh-heng
jangan merendahkan diri sendiri, sekarang silakan Loh-heng menoleh ke
belakang
.......
Dengan ragu2
Loh Bong bu menoleh, seketika berubah air mukanya. Ternyata
tempat
pertempuran di
mana tadi Kau Hui-hui menebar bubuk kapur putih, tetumbuhan
rumput telah
layu menguning, permukaan air yang keruh itu dilapisi kapur putih
yang ikut
terombang-ambing oleh riak air, di antara kapur putih yang terapung
itu tampak
bangkai ikan dan udang. Hanya sekejap saja kadar racan bubuk putih
itu telah
memperlihatkan kekuatannya yang ganas.
"Keji
amat . . . . " Loh Bong-bu mendesis dengan mengertak gigi.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
131
Siang Cin
menepuk pundaknya, katanya: "Tak usah marah, Loh-heng, beginilah
permusuhan
dan pertempuran, sesungguhnya apa yang kita lakukan tadi juga tidak
kalah ganas
daripada musuh."
Menyarungkan
golok sabitnya Loh Bong-bu berkata: "Tapi kan harui ada batasnya,
kekejaman
orang2 Hek-jiu-tong boleh dikatakan sudah melampaui takaran."
Siang Cin
tak bersuara lagi, di sana Poan hou-jiu tengah ber teriak2 dan lari
datang,
"Cuncu, kami harus pulang atau terus mengudak musuh?"
Loh Bong-bu
mendelik ke arah anak murid Bu siang-pay yang masih berdiri
menjublek,
semprotnya dongkol: "Nasib kalian lebih mujur, hayo lekas urus
saudara2
yang gugur, kenapa melamun. . ." Te Yau membungkuk sambil mengiakan,
ia
memberi
gerakan tangan dan memimpin anak buahnya mengundurkan diri.
Mengawasi
mereka
pergi, Loh Bong-bu menghela napas, katanya: "Lima orang kembali gugur
dalam
pertempuran ini . . . . Ai, mereka adalah anak2 pilihan dari padang
rumput..."
Pelahan
Siang Cin beranjak ketepi, katanya: "Mati atau hidup soal biasa,
Loh-heng,
sudah kodrat alam, siapapun takkan terhindar. Cuma ada perbedaan
dalam
cara saja
bagi masing2 orang, tapi akhir dari segala yang berbeda inipun sama
juga
......."
Sepanjang
jalan kedua orang terus berbincang hingga memasuki restoran, tiga
jenazah
murid Bu siang pay sudah dibawa pulang, waktu mereka menaiki undakan
restoran,
Ceng-yap-cu Lo Ce memapak maju, katanya serak dengan menahan suara:
"Lapor
Cuncu, tadi kedatangan petugas hukum dari pejabat setempat, maka menurut
hemat Tecu
lebih baik kita lekas berangkat, dengan obat khusus bikinan kita
Yong-ki-hoe-kut-san
(puyer pelebur tulang) Te-suheng telah mencairkan ketiga
jenazah
saudara . kita yang gugur tadi . . . ."
"Sudah
dimasukkan dalam kaleng belum?" tanya Loh Bong-bu.
"Sudah
disimpan baik2," sahut Ceng- yap-cu dengan suara tersendat.
Loh Bong-bu
mengangguk lalu ajak Siang Cin masuk ke dalam, Gui-poancu yang
bertubuh
gerrbrot dengan koki dan pelayannya sama duduk di kursi pojok sana
dengan
melamun. Loh Bong-bu mendekatinya, begitu melihat wajah Loh Bong-bu
yang
kereng,
seketika gemetar si gendut, katanya dengan suara gemetar: "Loh-ya . . .
. engkau
orang tua . . sukalah . . . . memberi ampun . . . . "
Loh Bong-bu
memapahnya bangun, katanya ramah: "Tak usah takut, Lo Gui,
peristiwa
ini bukan
salahmu, aku tahu kau diancam mereka, kalau aku sendiri juga terpaksa
berbuat demikian"
"Apa .
. . . apa benar bukan salah hamba?" si gendut masih gemetar. "Loh-ya,
hamba memang
diancam. Dia . . . . mengancam leherku dengan belati. . . pelayan
dan koki
juga mereka belenggu dan digantung. . . . lalu menuang bubuk merah ke
dalam
hidangan . . . . hamba tahu pasti musuh tuan menaruh racun dalam makanan,
tapi . . . .
ai, hamba memang pantas mampus, hamba tidak berani buka mulut,
belati yang
tajam kemilau itu terasa seperti masih mengancam tenggorokan.…
kedua
orang itu
bilang, kalau hamba berani membocorkan rahasia ini, akan . . . . akan
disembelih.
"Sekarang
kau tidak usah takut lagi," ucap Loh Bong-bu tertawa, "orang2 itu
sebagian
besar sudah tak bisa melihat matahari lagi. Nah, Lo Gui, sediakan pula
hidangan
yang tiada racunnya."
Gui-poancu mengiakan,
dua pelayannya segera memapahnya berdiri, koki diperintah
menyiapkan
hidangan baru, sambil menunggu masakan Loh Bung-bu berkata
kepada
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
132
Ceng-yap-cu:
"Tadi apakah sudah kau bereskan kedua mayat orang Hek-jiu-tong?"
Kata -Lo Ce
dengan tersenyum: "Sudah tentu, untuk mayat kedua orang itu telah
menghabiskan
setengah botol obat bubuk milikku."
Tak lama
kemudian tampak Gui-poancu muncul dengan penuh keringat membawa
daging
panggang,
ayam panggang, ikan goreng dan lain2 yang dijinjing kedua pelayannya
di atas baki
besar, si gendut juga menenteng keranjang yang berisi bakpao yang
masih
mengepul hangat, setelah menaruh hidangan di atas meja, si gendut berkata
dan mohon
maaf: "Loh-ya, inilah sisa yang semula siap untuk jualan besok,
persediaan
tidak lengkap, silakan tuan2 makan seadanya, mumpung masih panas,
kalau sudah
dingin rasanya tidak enak . . . . . . . . " lalu dia comot sebuah
bakpau terus
digerogoti lebih dulu, setelah menelan beberapa kerat bakpao,
dengan
tertawa dia berkata pula: "Rasanya cukup enak, tidak beracun . . . . . .
Mengawasi si
gendut Loh Bong-bu tertawa, katanya: "Lo Gui, kau memang
pedagang
yang cerdik,
hatimupun baik." Sambil melirik Ceng-yap-cu Lo Ce, Loh Bong-bu
menambahkan:
"Lo Ce, suruh saudara2 kita lekas tangsal perut, selekasnva kita
harus
berangkat."
Lo Ce
mengiakan, dengan teratur anak murid Bu-siang-pay mulai sibuk makan dan
minum
sekenyangnya, saat mana tampak Te Yau bersama beberapa murid Busiang-
pay
yang
kelihatan kehabisan tenaga beranjak masuk, badan masih berlepotan darah
dan
lumpur,
tampak lesu dan berduka cita, langsung mereka mendekati meja mengambil
makanan
masing2 dan dimakan tanpa bicara.
Semula Loh
Bong-bu sudah siap mendamperat mereka, tapi melihat keadaan
mereka
terpaksa dia
urungkan maksudnya, sementara itu dengan suara pelan Siang Cin
ceritakan
kejadian barusan kepada Pau Seh-hoa dan lain2, Pau Seh-hoa lantas
berkomentar:
"Kelompok orang2 Hek-jiu-tong memang pengecut, kalau merasa kuat
mereka
melawan dengan gigih, kalau merasa kewalahan lantas ngacir, aku orang
she
Pau merasa
sebal dan kesal bila lihat tampang mereka, kalau luka2ku sudah
sembuh
nanti, coba
saja kalau tidak kucari mereka dan mengganyangnya habis2an."
Loh Bong-bu
berduduk pula, katanya tertawa: "Mengganyang orang2 Hek-jiu-tong
berarti
melatih tinjumu, baiklah engkau pasti akan memperoleh bagiannya."
Dalam
sekejap hidangan sebanyak itu telah dimakan habis, si gendut dengan
langkah
cepat membawa keluar poci teh yang hangat serta mengisi cawan masing2,
sebelum dia
membalik, Loh Bong-bu telah menyuapkan sebuah kantong kulit kecil ke
telapak
tangannya, si gendut lantas tertawa berseri, sejenak jari2nya bergerak
meraba dan
memijat, dia lantas tahu bahwa isi kantong adalah lima belas bentuk
uang emas
murni.
Si gendut bergelak
tertawa, katanya sambil munduk2: "Ai, masa sebanyak ini,
padahal
pelayanan yang sederhana, tapi Loh-ya telah membayar seroyal ini, ai,
memangnya .
. . . "
Loh Bong-bu
tertawa, katanya: "Tak usah sungkan, terima saja, hari ini mungkin
kau sudah
dibikin ketakutan setengah mati."
Dengan
tertawa lebar si gendut menjura terus mengundurkan diri, cepat sekali dia
sudah keluar
pula menyuguhkan teh ke meja2 lain, seorang diri dia telah
menyuguhkan
teh pada lima puluhan tamu-tamunya.
Kata Siang
Cin setelah termenung: "Setelah meninggalkan Ho-thau-toh, Loh heng,
ke mana,
pula tujuan selanjutnya?"
Kata Loh
Bong-bu lirih: "Memasuki daerah Hek-yang menyusuri sungai menuju ke
hulu, tiba
di Hu-than-san, pada sebuah kelenteng bobrok kita akan bergabung
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
133
dengan dua
kelompok kawan kita, lalu langsung menyerbu ke sarang Hek-jiu-tong."
"Berapa
luasnya Hu-thau-san?" tanya Siang Cin.
"Tidak
begitu besar, luasnya sekitar tiga li, letak kelenteng bobrok itu di
sebelah
sayap kiri gunung di belakang hutan cemara, dulu dinamakan Lo kun san,
sekarang
keadaannya sudah tak terurus lagi, beberapa tahun yang lalu pernah aku
lewat di
sana."
Berpikir
sejenak Siang Cin, berkata: "Tiga puluh li setelah melewati Hu-yang-ho
akan tiba
Cap-ji-koay, pusat sarang Hek-jiu-tong, Cayhe belum pernah ke sana,
tapi pernah
kudengar bahwa tempat itu terkenal sangat berbahaya, pihak
Hek-jiu-tong
kini tentu sudah menambah kekuatan penjaganya, maka kita semua
harus
membuat suatu rencana penyerbuan yang betul2 baik dan sempurna."
Loh Bong-bu
mengangguk, Kata Siang Cin lebih lanjut: "Menggempur musuh
ditempat
yang jauh
akan banyak makan tenaga kita sendiri dan akan banyak menimbulkan
kerugian,
maka menurut pendapat Cayhe, lebih baik gunakan akal menyelundup
kesarang
musuh untuk menimbulkan keributan di dalam sarang mereka, apalagi
beberapa
kawan Cayhe ini perlu perawatan baik disuatu tempat yang tenteram . . .
. . "
"Kongcu,"
teriak Pau Seh hoa, "jangan kau menggunakan cara yang bodoh ini, dapat
bergerak
tidak aku cukup tahu sendiri, memangnya perlu kau pikirkan tempat aman
persembunyian
diriku segala?"
"Hm,"
jengek Siang Cin, "jangan kau bertingkah, ini bukan tugas melancong
menonton
keramaian seminggu lagi akan kucoba kepandaianmu, kalau kondisimu
sudah
pulih, aku
pasti takkan merintangi kau."
Sudah tentu
Pau Seh-hoa menggerutu, dia terus menggeragot sebuah bakpau dan
melalapnya
dengan mendongkol.
Cepat sekali
mereka sudah makan kenyang, di bawah aba2 Loh Bong-bu,
barisanpun
segera
meninggalkan restoran, setiba di jalan raya luar kota, kuda mulai
dilarikan,
karena perut kenyang, orang dan kuda sama bersemangat tinggi,
maklumlah,
perjalanan ke depan lagi akan lebih sukar di tempuh.
- - - - - -
- - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - -
Dengan cara
bagaimana Siang Cin akan membantu pihak Bu-siang-pay mengobrakabrik
Hek-jiu-tong
?
Rahasia apa
di balik peristiwa permusuhan Hek-jiu-tong dan Bu-siang-pay yang
menyangkut
kisah cinta anak murid mereka itu ?
Bacalah
jilid ke- 8 –
Jilid 08
Hu-yang-bo
mengalir dengan tenang di musim rontok yang hampir berakhir ini,
suasana
terasa sunyi, salju akan turun tak lama lagi. Alam seakan kelabu, gunung
gemunung
tinggi menjulang ke angkasa dibalut kabut tebal.
Cap-kau hwi
ce Loh Bong bu menghentikan kudanya, dia memeriksa sekitarnya, Huyang
bo di
sebelah kiri, sebelah kanan adalah hutan gundul, empat puluhan murid2
Bu siang pay
dengan kuda mereka menyelinap ke dalam hutan, itulah sebuah
jalanan
yang tidak
begitu lebar dan bercabang dua jurusan. jalan sebelah kiri memanjang
miring ke
sebuah bukit batu yang curam, dilihat dari kejauhan tak ubahnya
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
134
seperti
sebuah kampak raksasa.
Siang Cin
bercokol di punggung kuda berwarna cokelat, setelah membersihkan
kotoran di
badannya, kini dia mengenakan jubah kuning kemilau, wajahnya yang
masih pucat
mulai bersemu merah, sinar matanya begitu terang dan cerah.
Sambil
mengerut kening Loh Bong-bu berkata: "Mengitari daerah hutan gundul
sebelah kiri
itu, perjalanan akan lebih dekat ke Hu thau-san. Lokun san terletak
di tengah
hutan di bawah gunung itu, Hu-than san mirip kepala orang yang botak,
tapi
beberapa pucuk pohon masih dapat tumbuh di situ . . "
Siang Cin
berkata tenang: "Menyusur Hu- yang-ho dan tiba di Hu-than-san, jarak
ke
Cap-ji-koay kurang dari tiga puluh li, di sini sudah termasuk daerah yang
sering turun
hujan, bergerak di daerah seperti ini harus lebih hati2 dan waspada
kedua
kelompok Bu siang pay kalian yang lain tentunya sudah tiba di sana."
Loh Bong bu
mengangguk sahutnya: "Dua bulan yang lalu, hanya terpaut beberapa
waktu saja
kami meninggalkan padang rumput, kecuali tertunda sepuluhan untuk
menempatkan
kawan2 Siang-heng di tempat yang aman, selama ini perjalanan tidak
pernah
tertunda, kukira mereka pasti sudah tiba lebih dulu."
Siang Cin,
mengawasi kedua tangannya yang kini telah mengenakan sarung tangan
kulit
menjangan, katanya kemudian: "Mari, maju lebih lanjut, kalau tiada alangan
apa2,
pastilah bala bantuan kalian sudah tiba Ehm, setelah sepuluh hari merawat
diri,
kesehatanku terasa sudah pulih, bagi pihak Hek-jiu-tong tentu hal ini
adalah kabar
jelek"
Loh Bong bu
bersiul sekali, kuda dikeprak ke depan, katanya sambil menoleh:
"Sudah
tentu, terutama selama sepuluh hari ini Cayhe telah membuat sebuah peta,
dengan susah
payah membuat pula dua belas Toa liong kak, kalau orange Hek
Jiu-tong
tahu, pasti pecah nyali mereka."
Siang Cin
juga larikan kudanya pelan2, Loh Bong-bu berkata pula: "Siang-heng,
mungkin kau
tidak tahu betapa sukarnya membuat dua belas Toa-liong-kak sesuai
dengan
permintaanmu, tak boleh lebih panjang, atau lebih pendek meski satu mili,
tidak boleh
lebih tebal. juga tidak boleh lebih tipis, bagian yang tajam juga
harus
diasah, di tengah batangan harus diukir Naga, untuk membuatnya dengan
baja
murni
sungguh sukar dicari, untung di Thay-goan-hu berhasil kukumpulkan sembilan
pandai besi,
lima hari lima malam mereka kubayar lipat untuk menyelesaikan
permintaanmu,
tapi sekali kau coba ternyata masih kau cela, bobotnya kurang
berat, Wah,
serba berabe . . . . . . . "
Memandang
jauh ke puncak Hu-than-san, kata Siang Cin: "Untuk membikin
Toa-liong-kak,
caranya memang lain daripada yang lain dan tak pernah kubocorkan
kepada
siapapun, kalau bukan lantaran untuk menghadapi Hek jiu tong, sebetulnya
Cayhe tidak
ingin cepat2 rnembikinnva lagi, selama ber-tahun2 orang yang
membikinkan
Toa-liong-kak yang kuperlukan adalah seorang pandai besi tua yang
dulu pernah
menjadi kepala pandai besi di istana raja, hasil karyanya memang
luar biasa,
dan yang terpenting adalah pandai besi tua ini selamanya tutup
mulut, tak
pernah membocorkan rahasa pembuatan Toa-liong-kak."
Loh Bong-bu
bertanya ragu2: "Siang-heng, ada satu hal yang tersiar di kalangan
Kangouw
entah benar . . . . . . ..
"Soal
apa, katakan saja," sahut Sing Cin.
"Konon
orang yang pernah ajal dibawah Toa liong-kak Siang-heng itu jumlahnya
sudah
mencapai lima ratus lebih, malah tidak sedikit di antaranya adalah jago2
ternama dari
Bu-lim . . . . . . "
"Tidak
sebanyak itu," ucap Siang Cin, "tapi kalau tiga ratusan mungkin ada .
. .
. . . .
"
Rombongan
berkuda itu kini beranjak di tegalan berumput yang jarang dilalui
manusia,
kecuali suara berisik rumput yang terinjak, hanya suara embusan angin
sepoi2.
Tidak lama kemudian, Hu-thau-san yang gundul tampak berdiri menjulang
itu semakin
dekat, ada beberapa pucuk pohon yang setengah hijau setengah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
135
menguning
daunnya kelrhatan tumbuh di celah2 batu di atas bunung, dipandang dari
kejauhan,
tanah pegunungan yang kelabu, penuh mirip sekali dengan warna tulang
manusia yang
mulai membusuk.
Siang Cin tak
bersuara di punggung kudanya, wajahnya kaku, kuda yang berjalan
naik turun
menyebabkan badannya ikut bergontai, biji matanya nan bening
memancarkan
cahaya yang kemilau. .
"Apa
yang kau pikirkan Siang-heng?" tanya Loh Bong-bu.
" Kun
Cici," sahut Siang Cin dengan blak2an.
"Kun
cici?" Loh Bong-bu melengak, tapi segera dia ketawa geli, katanya:
"Apakah
nona pendiam
karena luka terbakar itu.?"
Siang Cin
mengangguk, sahutnya: "Betul, memang dia."
Seperti
biasa suka mengelus jenggotnya, Loh Bong-bu tertawa: "Apakah kalian
saling
mencintai?"
Sekilas
melirik, Siang Cin berkata pelahan: "Ya, sudah sejak beberapa tahun yang
lalu."
Tanya Loh
Bong-bu dengan heran : "Kalau demikian, kenapa kalian tidak menikah?"
Siang Cin
mengebaskan lengan baju, katanya lirih: "Loh-heng, cinta bukan suatu
hal yang
mudah untuk dilanjutkan menjadi suami isteri, masih banyak sebab dan
aral
rintangan, ada yang nyata, ada pula yang tak kelihatan . . . . . "
Siang Cin
menjilat bibir, lalu tanyanya: "Dan kau Loh-heng, kau sudah menikah?"
Loh Bong-bu
menghela napas, katanya: "Terus terang, sudah sepuluh tahun aku
berkeluarga,
sudah punya dua anak, laki dan perempuan."
"Loh-heng,
memang kau lebih beruntung," ucap Siang Cin dengan tulus.
Loh Bong-bu
menghela napas, katanya: "Ai, tapi itu merupakan beban yang tidak
ringan,
beban keluarga merupakan beban lahir batin, kalau tidak, sejak beberapa
tahun lalu
aku sudah mewarisi jabatan Lan-cian-tong Cuncu dari Bu-siang-pay
kami."
"O."
hanya sepatah ini keluar dari mulut Siang Cin, dia tidak bicara lagi, dia
tahu apa
tugas Lan-cian-tong dari Bu-siang-pay, yaitu tugas khusus mengurus
keluar
masuknya rangsum, hasil pertanian dan peternakan suku bangsa mereka di
padang
rumput nan luas itu.
Padang
rumput adalah tanah warisan Bu-siang-pay turun temurun, sawah ladang
berlaksa ha,
ternak tidak terhitung banyaknya, setiap tahun pada waktu yang
telah
ditentukan mereka menjual hasil panen mereka keluar perbatasan, dibarter,
dengan
barang2 keperluan suku bangsa mereka se-hari2, itulah tugas khusus
Lan-cian-tong.
Dalam Bu-siang-pay, Cuncu Lan-cian-tong amat terpandang dan kaya
raya pula.
tapi kerjanya cukup berat, berbahaya lagi, setiap tahun lebih sering
tugas keluar
dan jarang kumpul dengan keluarga.
Barisan kuda
mulai mengitari kaki bukit, di sini ada lereng, batu yang menjulur
jauh ke sana
laksana naga terbang menembus awan, di bawah batu2 raksasa. yang
bergelantung
itulah letak kelenteng bobrok di kaki bukit, pohon2 beringin yang
sudah tua
dan besar berbaris di depan kelenteng.
Loh Bong bu
menghentikan kudanya, dengan cermat dia awasi kelenteng bobrok itu
dari
kejauhan, sesaat kemudian baru dia berkata: "Siang-heng, tiada tanda apa2
di kelenteng
itu, mungkin kedua kelompok barisan bantuan kami belum tiba menurut
waktu yang
ditentukan?".
Siang Cin
memandang ke depan dengan tenang, katanya kalem: "Tujuh hari
menurut
ketentuan
sudah lewat, mereka seharusnya sudah tiba lebih dulu, betapa besar
kekuatan
gabungan dari kedua kelompok barisan itu, umpama kebentrok dengan
pihak
Hek jiu-tong
juga, tak mudah kalah dalam waktu singkat, apalagi hal ini tak
mungkin . .
. . "
"Siang-heng,
memang mungkin, tapi juga sukar,"
Hek-
jiu-tong tak boleh main2 terhadap mereka, Thi-ji-bun dipimpin langsung oleh
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
136
Liat-hwe
kim-lun Siang Kong ceng sebagai Cuncunya. Demikian pula Wi-ji-bun
dipimpin
sang Cuncu Hwi-ih Kim Bok, Anak buah sang cuncu ada Tok-ciang, Thi tan
dan Hek-oh
cu, sementara anak buah Kim cuncu ada Ang oh, To-hu dan Lo-kian-tui,
semuanya
adalah jago2 kosen yang sukar dilayani, kalau Hek-jiu-tong ingin
merobohkan
mereka, ha, mungkin cuma mimpi di siang bolong .. . . .."
"Ya,
aku cuma kira2 saja," ajar Siang Cin tertawa.
"Nama
Bu-siang-pay betapa besarnya, sudah lama Cayhe mendengar"
Loh Bong-cu
tertawa rikuh, katanya: "Ai. Siang-heng. mungkin apa yang kukatakan
terlalu
takabur, harap Siang-heng jangan kecil hati. Cayhe kira Hek jiu-tong
adalah
kawanan badut yang tidak perlu ditakuti. . . . . . ."
"Hek
jiu-tong tidak perlu dikuatirkan," ucap Siang Cin, "hanya saja kita
tidak
boleh
memandang rendah musuh, Loh-heng, sekarang silakan suruh orangmu
memeriksa
ke sana,
kemungkinan rombongan kedua barisan itu sengaja sembunyi di dalam
kelenteng.
Diam2 panas
muka Loh Beng cu, lekas dia menggapai ke sana, Poan hou-jiu Te Yau
segera
datang menghadap.
"Te Yau,"
kata Loh Bong bu, "gunakan isyarat dan cari huhungan dengan orang di
dalam
kelenteng, kalau tiga kali tanda rahasia tidak memperoleh jawaban, itu
tandanya
terjadi perubahan, kalian harus cepat bergerak menggerebek kelenteng
itu."
Te Yaw
mengangguk dan segera bedal kudanya, semua orang sama mengawasi dia
melarikan
kudanya keluar hutan.
Tiba2
terdengar suara lengking panjang yang berkumandang, mirip ringkik kuda
juga seperti
lolong serigala.
Siang Cin
tahu inilah cara untuk saling memberitahu jejak masing2 dari
Bu-siang-pay
yang turun temurun, dengan tenang dia menunggu reaksi dari sebelah
depan,
sementara Loh Bong-bu di sebelahnya kelihatan menahan napas dengan
tegang.
Maka
terdengarlah suara lolong panjang yang sama bergema menyambut lolong tadi,
tapi bukan
berkumandang dari kelenteng dan bukan dari dalam hutan, tapi bergema
dari celah2
lembah di sebelah kiri bukit, di mana tumbuh pepohonan yang lebat.
Akhirnya Loh
Bong- bu menarik napas panjang, dengan lega dia tertawa katanya:
"Lo
Siang dan keparat she Kim itu memang pandai permainkan orang, tidak kumpul
di tempat
yang ditentukan, malah sembunyi di lembah yang dingin, bukankah
menyiksa
diri sendiri malah?"
Sejenak
mendengarkan pula dengan cermat, akhirnya Siang Cin berkata: "Mungkin
ada terjadi
apa2 sehingga mereka harus ganti batuan dan menyembuniykan diri di
sana
Loh-heng, mari kita temui mereka."
Loh Bong-bu
manggut2, ia memberi aba2 terus keprak kudanya maju bersama Siang
Cin, tampak
Pon-hoan jiu sedang bedal kudanya mendatangi, serunya: "Lapor
Cuncu,
orang kita
sudah tiba, tapi sembunyi di lembah .. ....."
Sambil
mengiakan Loh Bong bu membedal kudanya ke arah lembah, empat puluhan
kuda
ikut berlari
di belakangnya, derap kaki kuda yang gemuruh menggebu bukit dan
menimbulkan
gema yang keras.
Mengitari
kelenteng bobrok itu mereka menyusuri jalanan kecil yang biasa dilalui
pencari
kayu, maka tampak sebuah lembah sempit yang diapit dinding gunung tinggi
se-olah2
Iembah ini hasil dari bacokan kampak raksasa, mulut lembah penuh semak
belukar,
kalau tidak diperhatikan sukar juga untuk mencari jalan masuknya, tapi
puluhan
laki2 berkuda dengan seragam yang sama telah muncul di mulut lembah,
dengan
tangkas mereka menyingkirkan perintang yang sengaja mereka atur di mulut
lembah itu.
Loh Bong bu
melompat turun dan teriaknya: "Di mana Siang dan Kim-cuncu?"
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
137
Puluhan
laki2 itu beramai memberi hormat kepada Loh Bong bu, belum sempat
mereka
menjawab
dari dalam lembah sudah berkumandang gelak tawa yang keras, lalu lima
orang tampak
keluar.
Lima orang
ini dipimpin seorang laki2 tua berwajah bersih berperawakan kurus
tinggi,
jenggotnya sudah memutih perak, seorang lagi di sebelahnya berwajah
merah,
matanya besar terang, sikapnya gagah perkasa. Melihat kedua orang ini Loh
Bongbu
lantas tertawa ter-bahak2, serunya: "Kalian tua bangka yang belum mampus
ini,
bukankah kelentleng bobrok itu lebih nyaman daripada lembah lembab ini?
Main
sembunyi segala, bikin kami kuatir saja."
"Paras
elok, memang kau sok membual, kau sendiri datang terlambat, sepanjang
jalan aku
sudah banyak menderita kelaparan dan kedinginan, kau tidak menghiburku
tapi malah
mengoceh tak keruan, kau harus dipukul."
Laki2 muka
merah juga cekakakan, katanya: "Betul, memang harus dihajar, belasan
hari kami
berkuatir bagimu, kalau kau tidak tahu diri begini, lebih baik kami
sembunyi
saja supaya kau keparat ini mencari ubek2an."
Loh Bong-bu
mendekati mereka dan berjabatan tangan, katanya: "Memangnya kau
kira
rombongan
kami tidak menderita? Kalian datang diam2, kami harus berjalan
terang2an,
golok tajam orang2 Hek-jiu tong seluruhnya ditujukan padaku, sedang
kalian enak2
langsung tiba di sini dengan aman, pahala menghancurkan musuh
kelak
harus
diserahkan seluruhnya padaku."
Orang tua
berjenggot putih memukul pundak Loh Bong-bu, katanya tertawa: "Jangan
mengagulkan
diri, ketahuilah selama belasan hari ini orang2 Hek jiu tong telah
lima kali
menggeledah daerah ini? Di tengah jalan pernah juga bentrok dengan
barisan
pelopor kita, tiap waktu kita harus menunggu sambil menahan napas, kami
juga kuatir
bila musuh mengirim orang2nya mencegat kalian, kalau sampai
demikian,
kelak Ciangbunjin pasti akan mendamperat kami, lebih celaka lagi
binimu itu
bisa minta ganti suami padaku."
Laki2 muka
merah ter-gelak2, katanya: "Sebelum berangkat, binimu itu pesan
wanti2
padaku agar memperhatikan kesehatanmu, jangan sampai kedinginan dan
telat
makan, jaga
badan dan lekas pulang dan banyak lagi, haha . . . . " mendadak dia
berhenti
tertawa, dia menatap Siang Cin yang berdiri di belakang. Dengan
terseyum
Siang Cm mengangguk.
Loh Bong-bu
baru ingat, cepat ia berteriak: ""ah, aku jadi lupa dan telantarkan
tamu agung.
He, kawan, biar kuperkenalkan kalian dengan seorang tokoh besar."
Siang Cm
melangkah maju, laki2 tua berjenggotpun memapak maju, katanya sambil
menjura: "Siang
Kong-ceng, pejabat Thi-ji-bun Bu-siang-pay."
Laki2 muka
merah juga maju sambil merangkap kedua tangan, katanya: "Wi-ji-bun
Kim Bok dari
Bu-siang pay"
Siang Cin
membungkuk dengan gayanya yang lembut, katanya: "Cayhe Siang Cin."
"Apa?"
si jenggot perak Siang Kong-ceng dan si muka merah Kim Bok sama
berteriak,
keduanya tanya berbareng: "Siang Cin, Siang Cin si Naga Kuning?"
"Tidak
berani, memang Cayhe adanya," sahut Siang Cin.
Kedua tangan
Loh Bong-bu menepuk pundak Siang Kong-ceng dan Kim Bok,
katanya
dengan
tertawa: "Meski dunia ini sangat luas, masa ada dua si Naga Kuning Siang
Cin? Hahaha,
kalian tua bangka ini mimpipun tak pernah menyangka bukan?"
Siang
Kong-ceng menggeleng kepala, sekian lama dia mengawasi Siang Cin, ia
bergumam:
"Siang Cin si tangan gapah sangat terkenal di Bu lim, tentang wataknya
yang
nyentrik, dingin dan angkuh lagi, semula kukira dia berparas jelek dan buas
. . .
."
Kim Bok juga
berkata tergagap: "Tidak nyana dia masih semuda ini . . . . . . "
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
138
"Jangan
menilai orang dari wajah dan usianya, kalau bicara soal gagah perkasa,
kau tua
bangka she Kim ini boleh menjadi pelopornya."
Siang Cin
tertawa, katanya: "Sudah lama Loh-heng menyebut nama besar kalian,
kaum
persilatan umumnya juga sangat kagum terhadap kalian, hari ini dapat
bertemu,
sungguh Cayhe sangat gembira dan amat bangga."
Hwi-ih ( si
sayap terbang ) Kim Bok membuka mulut tapi urung bicara, seperti
senang tapi
juga kikuk. Sementara Liat-hwe-kim-lun ( si roda emas berapi ) Siang
Kong-ceng mengelus
jenggot, katanya: "Siang-lote terlalu memuji, nama kami
berdua meski
digabung mungkin belum ada setengahnya ketenaranmu, terutama
tidak
kusangka
bahwa engkau masih begini muda."
"Siang-cuncu
terlalu memuji," ucap Siang Cin, ""Cayhe hanya bernama kosong
saja.
. . . . .
""
Loh Bong-bu
lantas menarik Siang Kong-ceng dan Kim Bok ke samping serta
ber-bisik2
kepada mereka, belum lagi Siang Kong-ceng memperlihatkan reaksinya,
Kim Bok
lantas berjingkrak dan tergelak2: "Siang-lote, jadi kau datang hendak
membantu
kami? Bagus sekali, biarlah kita berjuang berdampingan, setelah
berhasil
merebut kembali puteri Ciangbunjin, orang she Kim akan ajak kau minum
seratus
cangkir."
Siang
Kong-ceng mendekat dua langkah, katanya sambil menjura dalam2: "lote,
terima kasih
akan kesudianmu membantu."
Cepat Siang
Cin balas menghormat, katanya: "Inilah kewajiban setiap insan
persilatan,
menghadapi kelaliman siapapun pantang berpeluk tangan, buat apa
pakai terima
kasih segala?"
Siang
Kong-ceng tertawa, serunya sambil menoleh: "Pek-yang, Siu-cu, Piau-cu,
hayo kalian
berkenalan dengan Siang-tayhiap."
Tiga orang
yang sejak tadi berdiri di belakang itu kini maju bersama, seorang
berwajah
pucat, sorot matanya hijau mengkilat seperti kunang2, pemuda ini
menjura
serta memperkenalkan diri: "Jan Pek -yang."
Siang Cin
pandang pemuda ini dengan tajam, dia tahu, pemuda ini adalah Tok-ciang
(si pukulan
sakti) dari Thi-ji-bun yang terkenal aneh wataknya dan berangasan
lagi.
Di sebelah
Jan Pek-yang adalah pemuda yang bersikap angkuh, alis tebal dengan
bibir tipis,
dia memberi hormat dan berkata: "Thi-tan (peluru besi) Ang Sin cu."
Menyusul
laki2 bertubuh tambun berkulit hitam dengan selebar mukanya mengkilap
berminyak
tertawa lebar, suaranya kasar serak: "Aku ini Khu Hok-kui, Hok artinya
rejeki, Kui
artinya agung."
Siang Cin
balas menjura, ketiga orang lantas mundur pula ketempatnva semula.
Sambil
mengelus jenggot Loh Bong-bu berkata dengan heran: "Lo Kim, mana anak
buahmu,
kenapa satupun tidak kelihatan?"
Kim bok
mendengus, katanya: "Memangnya harus gegabah seperti kau? Mereka
membawa
orang
menyebar ke Cap-ji-koay, kalau Hek-jiu-tong boleh mengintip gerak-gerik
kita, kenapa
kita tidak mengawasi tingkah laku mereka?"
Dengan
kuatir Loh Bong-bu berkata: "Si jagal dan jenggot merah berwatak jelek,
jangan2
menggagalkan urusan .. . . "
Kim Bok
mendengus: "Dia berani? Sudah kupesan Lo-kian-tui untuk mengawasi dia,
setiap gerak
geriknya harus patuh akan petunjuk Lo-kian-tui."
Berpikir
sebentar, Loh Bong-bu berkata pula: "Berapa banyak anak buah yang
kalian bawa
kemari?"
"Masing2
seratus orang," sahut Kim Bok.
"Lalu
berapa orang yang ditugaskan ke Cap-ji-koay?" tanya Loh Bong-bu pula.
Siang
Kong-ceng tertawa, dia mewakili Kim Bok menjelaskan: "Seluruh anak
Thi-ji-bun
yang datang kemari telah dikerahkan semuanya, hanya dia seorang yang
masih
ber-malas2an di sini." - Sampai di sini Siang Kong-ceng berpaling ke arah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
139
Siang Cin,
katanya: "Siang-lote, silahkan masuk ke lembah dulu untuk istirahat."
"Betul,"
seru Loh Bong bu sambil menyeret Siang Cin, katanya sambil berjalan:
"Memang
gegabah, kenapa hanya berdiri makan angin di luar?" lalu dia berpaling
dan berkata:
"Te Yau, panggil anak2 masuk ke lembah, suruh Jan Pek-yang ikut
mengatur . .
. .
Murid2
Hiat-ji-bun di bawah pimpinan Te Yau mulai membagi diri, Tok-ciang Jan
Pek yang
ikut mengatur. maka suasana yang semula hening menjadi ramai oleh
gelak
tawa mereka.
Melewati
mulut lembah yang sempit dan tertutup oleh semak2 dan dahan2 pohon,
akhirnya
mereka memutar lagi kebelakang sebuah batu gunung, batu yang menonjol
ini
kebetulan mengalangi sebuah mulut gua setinggi manusia, gua ini tidak dalam,
mulutnya
sempit tapi di dalam cukup lebar, lantainya dialasi rumput kering yang
tebal,
keadaan agak gelap, enam obor besar tertancap dl dinding.
Mereka,
masuk gua dan berduduk. Mengawasi sekeliling gua Loh Bong-bu bertanya:
"Gua
ini buntu?"
"Bukan
saja buntu, lembah di sinipun lembah mati, sementara murid2 yang lain
terpaksa
pasang tenda di luar."
"Aku
tahu, waktu nasuk tadi kulihat anak2 tersebar di mana2, tubuh sama
dibungkus
selimut, meski tidak berisik tapi mereka bersendau gurau dengan riang
gembira."
"Siang-cuncu,"
tiba2 Siang Cin menyeletuk, "penjagaan di sekitar sini apakah
sudah diatur
baik2?"
"Dan
kuda ditaruh di mana?" Loh Bong-bu menambahkan.
"Ada
sepuluh tempat penjagaan di sekeliling lembah, juga sudah diatur belasan
rintangan di
sepanjang jalan Hu-thau-san di tempat yang berbahaya, kalau malam
nanti belum
juga mulai beraksi, anak2 Hiat ji-bun kalian harus bergilir jaga.
Sementara
kuda kami sembunyikan di dalam lembah"
"Menurut
hematku, malam ini juga dipilih beberapa orang untuk menyelundup ke
Cap
ji koay
mencari tahu keadaan di sana, besok pagi kita tentukan waktunya yang
tepat untuk
menyerbu ke sarang musuh."
Siang Cin
mengangguk, katanya pelahan: "Lebih baik kalau malam nanti dikerahkan
seluruh
kekuatan, karena untuk menyelundup ke Cap ji-koay tanpa diketahui musuh
terang tidak
mungkin, lebih baik sekaligus terjang saja, dengan kerja sama luar
dalam kita
sapu habis seluruh musuh."
"Sayap
Terbang" Kim Bok berkeplok gembira, serunya: "Aku setuju usul
Siang-lote,
sekian hari
kita sembunyi di lembah ini, tentu orang2 kita sudah bosan dan gatal
pula
tangannya, bagaimanapun juga berilah kesempatan untuk melampiaskan
kekesalan
mereka."
Sambil
melonjorkan kakinya Loh Bong-bu berkata: "Kalau malam ini juga beraksi,
aku harus
tidur sebentar, demikian pula anak2 Hiat-ji bun perlu waktu untuk
memulihkan
tenaga, tak lama lagi hari pun akan gelap."
Pelan2 Loh
Bong bu merebabkan diri tapi baru saja kepala menyentuh jerami,
mendadak dia
berjingkrak bangun pula, serunya seperti ingat sesuatu: "Lo Siang,
permainan
khusus yang kita bikin itu apa sudah kau bawa lengkap?"
"Sudah
kubawa lengkap," ajar Sang Kong-ceng sambil tertawa, "setiap orang kuberi
jatah satu
sabuk berminyak bakar, tiga biji granat belirang, sepuluh batang
panah yang
sudah direndam minyak, ditambah lagi Bian-hok-ci-cu (labah2) satu
dos, semua
itu cukup untuk membuat geger seluruh penghuni Cap ji koay . . . . "
Menarik
napas lega pelan2 Loh Bong-bu merebahkan diri pula, sementara Siang Cin
juga
memejamkan mata, dalam hati dia berpikir: "Hek-jiu-tong biasanya pandai
bertempur
secara gerilya, licik dan ganas pula, tapi berhadapan dengan tamu2
dari padang
pasir ini mungkin mereka takkan memperoleh keuntungan, apalagi
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
140
perlengkapan
yang dibawa Bu-siang-pay ini serba aneh, keji dan cukup
memusingkan
musuh,"
Tengah
berpikir, tiba2 Siang Kong-ceIg berpaling ke arahnya dan menutur: "Bian
hok-ci cu
adalah serangga berbisa yang hanya tumbuh di pegunungan Tiang-peksan,
selamanya
tak pernah dia keluar dari sarangnya, badannya putih, kira2 sebesar
jari tangan,
bila kulit daging orang tergigit, daliam waktu enam jam seluruh
badan akan
membengkak hitam dan mati setelah air kuning berbau busuk
merembes
keluar dari
pori2. Tapi di mana ada Bian-hok-ci-cu disekitarnya pasti tumbuh
sejenis
rumput aneh dengan buahnya yang coklat dan dua lembar daunnya,
buahnya
yang coklat
itu mengeluarkan bau harum memabukkan, dalam jarak beberapa
tomhak
dapat
tercium, kalau buah itu ditumbuk dan dihaluskan menjadi bubuk, ditambah
gula dan
dimasak menjadi sirup, bila orang memakannya, Bian-hok-ci-cu takkan
berani
mendekat, malah kalau disentuh dengan tangan, dia segera mengkeret . . .
. "
Seperti
ingat apa2 Siang Cin berkata: "Kenapa buahnya tidak dimakan langsung,
tapi harus
dimasak dengan gula dan dijadikan sirup?"
Kim Bok
tertawa, katanya: "Siang-lote, setiap makhluk di dunia ini satu sama
lain saling
mengatasi, di luar sarang Bian-hok-ci-cu pasti tumbuh rumput sejenis
itu, maka
binatang berbisa ini selamanya mengeram dalam sarangnya, setapakpun
tak berani
keluar."
"Kalau
demikian, selaih dapat untuk menjaga gigitan labah2 itu, apakah buah
itupun dapat
menawarkan racun lainnya?"
"Khasiatnya
sama," sahut Siang Kong-ceng, "sangat mujarab, kami namakan buah
coklat ini
Ceng-ci."
Kim Bok
menyela: "Sekali memakannya, khasiat sirup Ceng-ci ini dapat bertahan
sepuluh
tahun tanpa kuatir digigit Bian-hok-ci-cu, untung kanii memiliki obat
mujarab ini,
kalau tidak, kolesom yang tumbuh subur di Tiang-pek-san siapa yang
berari
memetiknya." "
Bicara
sampai di sini dengan keras Kim Bok bertepuk tangan dua kali, bayangan
seorang
berkelebat di luar gua, seorang pen»uda perawakan tinggi melangkah
masuk, dengan
membawa sebuah mangkok porselin hertutup.
"Lote,"
ucap Siang Kong-ceng, "sirup Ceng-ci sudah tersedia, silakan kau
meminumnya."
Siang Cin
berdiri, dari tangan pemuda dia terima mangkok itu serta membuka
tutupnya,
bau harum seketika merangsang hidung, dia menghirup napas panjang
serta
mengawasi sirup berwarna kehijauan di dalam mangkok sebentar, lalu
menenggaknya
habis.
"Bagaimana
rasanya?" tanya Siang Kong-ceng tertawa.
"Em,
manis dan semerbak." sahut Siang Cin.
"Mulai
sekarang," ucap Kim Bok dengan muka merah, "Bian-hok-ci-cu hanya
khusus
ditujukan
kepada orang2 Hek-jiu-tong saja."
Semua orang
sama bergelak tertawa. Tidak lama datanglah hidangan malam, ada
ayam
panggang,
dendeng dan makanan kering lain, sekaleng arak keras meski rasanya
kurang
sedap, tapi harum dan membakar tenggorokan.
Setelah
kenyang makan, haripun sudah gelap, angin pegunungan mengembus
kencang
hawa mulai
dingin, hujan gerimis lagi.
Dalam gua
sempit orang telah bersimpuh, memejamkan mata menghimpun
semangat dan
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
141
tenaga, di
luar gua, ratusan murid Bu-siang-pay juga sibuk mempersiapkan diri,
mereka
berteduh dalam kemah, yang kasihan adalah orang yang bertugas jaga,
mereka hanya
membalut badan dengan selimut yang cukup tebal.
Sang waktu
terus merambat tanpa terasa, sementara angin semakin kencang,
hujanpun
semakin deras.
Obor yang
tertancap di dinding gua semakin pendek, bau asapnya semakin
menyesakkan
napas. Siang Kong-ceng yang duduk bersila tiba2 membuka mata,
sekilas dia
melirik keluar gua, mendadak dia tepuk tangan dua kali, katanya
lantang:
"Hai, waktunya sudah tiba."
Loh Bong-bu
mendahului melompat berdiri, lalu menggeliat, ia masih ngantuk,
katanya:
"Begini cepat, jam berapa sekarang?"
"Mendekati
kentongan pertama," ujar Siang Kong-ceng, "baiklah kita bekerja
sesuai
rencana tadi, selundupkan beberapa kawan ke sarang musuh untuk
membikin
onar,
sementara barisan besar siap menyerbu dari luar, semoga berhasil menyapu
habis
komplotan jahat itu serta merebut kembali puteri Ciangbunjin."
"Cuaca
bagus," ujar Lob Bong bu sambil melongok keluar gua.
"Ya,
angin kencang dan gelap gulita lagi," kata Kim Bok.
"Siang-lote,"
kata Clang Kong-ceng kepada Siang Cin, "adakah persoalan yang
belum sempat
kau bicarakan?"
Siang Cin
menggeleng, maka Siang Kong-ceng tepuk tangan tiga kali pula, seorang
murid
Bu-siang-pay berlari masuk, setelah membetulkan pakaian putihnya, Siang
Kong-ceng
berkata dengan lantang dan kereng: "Perintahkan Jan Pek yang menarik
seluruh
murid yang dinas jaga, beritahukan pula kepada Ang Siu-cu untuk
mengumpulkan
semua orang di luar lembah, dalam waktu setengah sulutan dupa
lagi
Lo Ce harus
pimpin sepluluh orang membuka jalan ke arah Cap ji-koay, beritahu
mereka
supaya memeriksa perlengkapan, dua sulutan dupa kemudian barisan besar
harus
berangkat."
Murid
Bu-siang-pay itu mengiakan terus mengundurkan diri, sementara empat orang
dalam gua
juga sibuk bebenah, sambil menerima sebuah sabuk minyak sepanjang
tiga
kaki Loh
Bong-bu bertanya kepada Siang Cin: "Siang heng, Caybe ingin tanya,
apakah
selamanya kau tidak pernah menggunakan senjata?"
"Sampai
sekarang ini memang belum pernah memakai senjata," sahut Siang Cin.
"bukan
Cayhe suka mengagulkan diri, soalnya permainan senjata Cayhe belum
sempurna,
kalau pakai senjata rasanya kurang leluasa, lebih baik bertangan
kosong saja
"
Siang Kong
ceng melirik ke arah Siang Cin, katanya prihatin: "Siang-lote terlalu
rendah hati,
kukira bila Lote menggunakan senjata, kepala musuh bisa kau penggal
seperti
membabat rumput ...."
"Senjata
Lote tentu luar biasa," timbrung Kim Bok, "sekali dikeluarkan pasti
menggemparkan
Bulim.
"Hanya
besi karatan, apa artinya?" sahut Siang Cin tertawa.
Di luar gua
mulai terdengar suara berisik dan langkah orang banyak diselingi
ringkik
kuda, barisan sudah mulai bergerak, tujuannya adalah Cap-ji-koay, sarang
utama Hek
jiu-tong.
Bayangan
seorang tiba2 muncul di mulut gua, itulah Thi-tan Ang Siu-cu, alisnya
yang tebal
bertaut kencang, serunya: "Lapor Cuncu bertiga, segala persiapan
sudah
sempurna, tinggal tunggu perintah untuk berangkat."
Siang Kong-ceng
mengangguk, tanyanya: "Apakah Pek-yang dan murid2 yang dinas
jaga sudah
kembali?"
"Seluruhnya
sudah siap di luar lembah menunggu perintah," sahut Ang Siu-cu.
Siang Kong
ceng menyapu pandang tiga orang yang lain dalam gua, Siang Cin
hanya
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
142
tersenyum
saja, sementara Loh Bong bu dan Kim Bok sama mengangguk, Siang
Kong-ceng
lantas berseru: "Perintahkan segera berangkat, murid2 Thi ji-bun di
tengah,
Hiat-ji-bun paling akhir, kau dan Pek-yang masing2 di sayap kanan dan
kiri, hati2
jangan sampai membuat gaduh dan mengagetkan musuh."
Thi tan Ang
Sin-cu mengiakan terus mengundurkan diri, mantel putihnya melambai
tertiup
angin, betapa gagah dan tegap langkahnya.
Barisan
berkuda terus berpacu ke depan, di sebelah kanan mengalir Hu-yang-ho
dengan
airnya yang kemilauan.
Liat-
hwe-kim lun Siang Kong ceng mendekati Siang Cin, katanya lirih: "Setengah
jam lagi
akan tiba Cap ji-koay menurut laporan beberapa murid siang tadi,
jalanan
tempat itu terdiri dari dua belas jalan yang melingkar ke atas gunung,
para petani
di sekitair sini menamakan gunung itu sebagai Pik-ciok-san, karena
gunung itu
hanya batu2 cadas hitam melulu, di puncak gunung ada sebuah
perkampungan
besar yang berlapis dengan tembok2 sebagai benteng, di sanalah
pusat Hek-jiu-tong
. . . . . . ."
Termenung
sebentar, Siang Cin berkata: "Belum pernah kupergi ke Cap-ji-koay,
tapi dari
namanya dapat diduga pasti sangat rumit, pihak kalian belum lagi jelas
seluk-beluknya,
tapi didesak oleh keadaan, terpaksa harus menempuh bahaya,
bahwa
mereka
mendirikan perkampungan dengan batu2 besar, maka senjata berapi kalian
mungkin
kurang bermanfaat."
"Soal
ini tak usah dikuatirkan," ujar Siang Kong ceng, "dalam perkampungan
Hek-jiu-tong
pasti ada bangunan dari kayu atau bambu, kalau di luar tidak bisa
dibakar,
membakar yang di dalam kan sama juga."
Loh Bong-bu
menyusul maju, katanya lirih: "Ada murid yang kembali memberi
laporan
tidak? Tempat tujuan sudah hampir sampai."
Siang
Kong-ceng menjawab: "Belum ada, mungkin sebentar lagi,"
Tengah
bicara, dari arah depan terdengar kuda mendatangi.
Barisah
tidak berhenti dengan kecepatan sama terus laju ke depan, kedua
penunggang
kuda tadi menarik kendalinva hingga kuda berdiri dengan kaki
belakang,
setelah berputar sekali lalu maju ke samping Siang Kong-ceng, salah
satu yang
berbadan agak gemuk berkata dengan cepat: "Lapor Cuncu, penjagaan
orang2
Hek-jiu-tong di Cap-ji-koay amat ketat, pos penjagaan tersebar di-mana2,
barisan
rondapun hilir mudik, enam jalan menuju Cap ji-koay terang benderang
oleh sinar
obor, sementara enam jalan berliku yang lain gelap gulita, tapi
perkampungan
di puncak bukit terang benderang, bayangan orang banyak kian
kemari
seperti ada
perayaan, ramainya bukan main."
Siang
Kong-ceng mendengus, tanyanya: "Apakah mata2 yang ditugaskan menyusup
ke
sarang musuh
tidak ketahuan jejaknya?"
"Tidak,"
sahut orang itu, "musuh belum tahu .. ."
"Lekas
kembali dan beritahukan mereka supaya lebih waspada, jangan
sembarangan
bertindak,
barisan besar segera akan tiba, suruh mereka siap tempur," seru Siang
Kong-ceng.
Murid gemuk
itu mengiakan, lalu memberi tanda kepada temannya, kedua kuda
kembali
dibedal pergi ditelan kegelapan. Keadaan ternyata jauh daripada
perhitungan
semula, mungkinkah Hek-jiu-tong mengadakan pesta besar2an pada
saat
situasi segenting
ini? Memangnya muslihat apa yang tengah mereka atur?
Siang
Kong-ceng memeras otak, sesaat baru dia bergumam: "Apakah mereka
sengaja
mau
memperlihatkan bahwa mereka tidak jeri? Ataukah memberi peringatan kepada
kita bahwa
mereka tidak gentar sedikitpun?" Tiba2 Siang Cin yang ada di samping
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
143
berkata:,
"Menurut dugaanku mungkin mereka sedang mengadakan pesta
pernikahan."
Siang
Kong-ceng melengak, katanya dengan air muka berubah: "Apa…..? Kau
bilang
mereka
sedang mengadakan pesta pernikahan?"
Loh Bong-bu
juga bingung katanya tergagap: "Siang-heng, maksudmu . . . . ."
"Betul,"
ucap Siang Cin, "kukira Ji ih kim-kiam Khong Giok-tik yang menculik
puteri
Ciangbujin kalian itu tengan melangsungkan pesta pernikahan, malam ini
mereka
menikah menjadi suami isteri."
Sekian lama
Siang Kong-ceng melongo, mendadak dia berjingkrak murka: "Tidak
mungkin
terjadi, Khong Giok-tik sedang bermimpi, mimpi yang kosong."
"Anak
domba yang sudah berada di mulut harimau memangnya bisa berbuat apa?"
ujar
Siang Cin.
"Tapi
Yang-ji berhati keras dan suci bersih, dia takkan menyerah begitu saja
seperti
gadis lemah umumnya . . . . " Siang Kong-ceng marah2.
"Memang,
justeru di sinilah letak persoalan ini. Nikah adalah urusan dua orang,
harus suka
sama suka dan tak mungkin main paksa, kalau putri Ciangbunjin kalian
tidak setuju
dikala upacara berlangsung dia menangis dan meronta di depan umum,
tentu Khong
Giok-tik akan kehilangan muka"
"Jadi
maksud Siang-heng, Yang-ji suka rela?" tanya Loh Bong-bu.
"Cayhe
tidak berani bilang begitu," kata Siang Cin sambil larikan kudanya.
Pucat muka
Siang Kong-ceng, katanya dengan gregeten: "Harus dicegah, perbuatan
kotor dan
gila, mereka memaksa dan mengancam seorang gadis yang lemah,
keparat .
. . . "
{ 24 komentar... read them below or add one }
artikelnya bagus sekali sob,,menambah pengetahuan dan wawasan.. terima kasih banyak atas sharenya..semoga selalu menciptakan karya" terbaiknya,,,dan ditunggu UPDATEan terbarunya sob,,,pokoknya mantap deh! keren buat blog ente ! dan saya mohon dukungannya sob buat lomba kontes SEO berikut:
Ekiosku.com Jual Beli Online Aman Menyenangkan
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia
terima kasih atas dukungannya sob,, saya doakan semoga ente selalu mendapatkan kebaikan,, dan terus sukses!! amin hehe sekali lagi terima kasih banyak ya sob...thaks you verry much...
mantap nih sob critanya
crita yg cukup menarik
crita yg inspiratif
di tunggu updatean barunya
artikel yang bagus dan bermanfaat..makasih buat infonya
Menarik sekali..
Artikel yang Anda berikan sangat bermanfaat,,
salam semangat..
terima kasih telah berbagi berita nasional yang telah anda berikan.
salam sejahtera Indonesia
Waw rasa ngantuk saya jadi hilang setelah baca artikel bapak,, makasih pak!!!!
share nya semoga bermanfaat dan bertambah lagi ilmunya !!! trimakasih atas infonya pencerahan baru untuk say
Thanks atas artikelnya, makin nambah wawasan saya
terima kasih telah berbagi berita nasional yang telah anda berikan.
salam sejahtera Indonesia
ceritanya manteppppp
nama pemerannya orang cina ya, kirain apa
mantabb banget sob.
makasih informasinya
salam sehat selalu .
Makasih infonya guys..
http://goo.gl/sJuXNQ
Terimakasih Informasinya ..
http://goo.gl/voadAK
waduh..jadi ingat kho ping ho hehehe
manfaat xamthone untuk jantung
Obat jamtun koroner
Obat jamtun koroner
panjang sekali ceritanya bikin mata ngantuk jadinya,,,
Ramuan Herbal Untuk Maag Kronis
ciri ciri wanita yang tidak subur ( sulit hamil / mandul )
Obat Herbal Penguat Tulang Sendi
triflex capsule green world
Posting Komentar