Cerita Birahi Suster Cantik : HPH 3b ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru,
Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Birahi Suster Cantik : HPH 3b
Ketiganya dari perkampungan In-bong-san-ceng, merupakan
jago andalan Anlok
Kongcu. Ini menandakan pula kalau pertarungan yang
berlangsung ditujukan
untuk menghadapi anak buah An-lok Kongcu.
Tian Pek segera alihkan pandangannya ke arah lain, ia
lihat baik An-lok
Kongcu maupun ayahnya Kian-kun-ciang In Tiong liong, hadir
semua di situ,
wajah mereka tampak tegang dan menatap ke tengah
gelanggang tanpa
berkedip, kalah-menangnya pertarungan ini menyangkut
kehormatan mereka
sepenuhnya.
Ketenangan yang biasanya selalu menghiasi wajah An-lok
Kongcu kini lenyap tak
berbekas, buku kumalnya dipegang kencang2, sementara
butiran keringat
sebesar kacang mengucur keluar tiada hentinya.
Di pihak lain berdirilah pemuda baju putih yang pernah
dilihat Tian Pek di
kelenteng bobrok itu, meskipun di musim dingin ia tetap
menggoyangkan
kipasoya, senyum bangga menghiasi wajahnya, ia kelihatan
gembira sekali.
Tentu saja Tian Pek tak tahu apa sebabnya pemuda itu
berseri, tapi ia tahu
pastilah kebanggaannya itu berhubungan dengan pertarungan
yang sedang
berlangsung di tengah gelanggang.
Baik kakek berjenggot panjang maupun nenek berkeriput
serta Hwesio
berwajah kebocahan, semuanya telah menguasai gelanggang
dan kemenangan
jelas akan diraih oleh mereka.
Mc—in-sin jiu Siang Cong-thian bertempur sengit melawan si
kakek
berjenggot panjang, Hiat ciang-hwe-liong Yau Peng-gun
bertarung melawan
nenek keriputan, sedangkan Tok-kiam leng-coa bertempur
melawan paderi
setengah baya.
Di antara tiga partai yang bertarung ini ke adaan
Mo-in-sin jiu Siang Congthian
terhitung paling gawat, dari sini dapat ditarik kesimpulan
kalau ilmu silat si
kakek berjenggot panjang itu betul2 lihay tidak kepalang
Sebagaimana diketahui, Mo-in-sin-jiu Siang Cong-thian
berilmu silat tinggi,
baik keras maupun lembek dan kegesitan, semua dikuasainya
dengan sempurna,
bukan saja ia menempati kursi utama di perkampungan
In-bong-san-ceng, di
dunia persilatan pun iapun merupakan tokoh sakti yang maha
lihay.
Rupanya jago ini sadar kalau musuh yang sedang dihadapinya
terlalu kuat,
bukan saja ilmu sakti Mo-in-sin-jiu yang membuatnya
tersohor dimainkan
dengan berbagai gerakan, menebas, menyodok dan memukul,
bahkan telapak
tangan lain juga memainkan golok Ci-kim-tian-kong-to,
golok Ci-kim-tian-kong to
ini tajam luar biasa, dengan sendirinya seperti harimau
tumbuh sayap.
Sekalipun angin pukulan menderu dan cahaya golok
berhamburan memenuhi
angkasa, namun musuh memang jauh lebih tangguh, dengan
telapak tangan
kosong kakek berjenggot itu dapat mematahkan setiap
serangan Siang Cong
thian, malahan bagaimanapun dia terjang ke kiri maupun ke
kanan tetap tak
terlepas dari lingkaran pukulan si kakek.
Lama2 Siang Cong-thian makin keteter, napasnya jadi
ter-sengal2 dan mandi
keringat, jelas dia mulai kepayahan.
Sebaliknya si kakek berjenggot tetap tenang seperti
bertempur seenaknya,
baik bergerak ke kiri maupun bergerak ke kanan, semuanya
dilakukan dengan
enteng, walaupun begitu, Mo-in-sin-jiu sudah kewalahan dan
terancam bahaya.
Di pihak lain, Hiat-cianghwe-liong Yau Peng gun yang
bertempur melawan
nenek keriputpun tidak lebih unggul.
Tian Pek pernah terluka di tangan Hiat-ciang-hwe-liong,
sudah tentu ia tahu
betapa hebatnya pukulan Ang-se-hiat-heng-ciang orang, tapi
kini berhadapan
dengan nenek keriput itu, bukan saja pukulan pasir merah
berbisa itu tidak
berfungsi lagi malahan serangan gencar yang dilancarkan
dengan Sian-jin-ciang,
senjata aneh yang jarang digunakan itupun tidak banyak
memberi harapan
baginya.
Sebaliknya Tok-kiam-leng-coa Ji Hoe-lam bersenjata pedang
beracun Wi-toklam-
kiam serta Tiat sian-leng-coa, dengan susah payah dapat
memaksa paderi
setengah baya itu untuk bertarung sama kuat, untuk sesaat
sukar ditentukan
siapa bakal menang dan siapa bakal kalah.
Di pihak jago pimpinan An-lok Kongcu sudah ada dua
diantaranya yang jelas
akan kalah, tidaklah heran bila rekan2nya merasa tegang.
Tian Pek merasa heran, biasanya jago2 ke-empat keluarga
besar tak pernah
berteman. Bukankah mereka selalu bermusuhan ibarat api dan
air? Kenapa saait
ini semna jago menguatirkan peitarungan itu?
Wan-ji dan Cui-cui yang kejar mengejar, sekarang juga
melupakan pertikaian
di antara mereka, malahan ber-sama2 mengikuti jalannya
pertarungan tersebut,
mungkinkah pertarungan yang sedang berlangsung ini
mempunyai arti yang
sangat penting?
Sementara Tian Pek masih termenurg, tiba2 terdengar nenek
berkeriput itu
berseru: “Tua bangka yang tak mampus, kalau kau sudah di
atas angin, kenapa
tidak cepat kau singkirkan bocah keparat itu? Coba
lihatlah, di sekitar
gelanggang masih hadir begitu banyak orang yang ingin
mampus, lebih baik
cepatlah selesaikan pertarungan ini agar bisa disusul dengan
babak
selanjutnya!"
"Perempuan bangsat! Jagoan di daratan Tionggoan sini
kebanyakan cuma
gentong nasi belaka, aku merasa bosan untuk bertempur
lebih jauh!" jawab si
kakek berjenggot panjang.
Walaupun dia bicara dengan seenaknya, tapi kenyataan serangan
yang
dilancarkan makin dahsyat dan mematikan.
"Anak muka hitam!" ejeknya lagi, "bila kau
mampus nanti, jangan kau
dendam padaku, kalau ingin mengadu kepada Giam-lo-ong,
lebih tepat kalau
kau menuduh nenek busuk itu sebab dia yang suruh aku
membinasakan kau!"
Sejak punya nama di dunia persilatan, Mo-in-sin jiu Siang
Cong thian selalu
disanjung dan di-hormati, belum pernah ia dihina oleh
musuh seperti apa yang
dialami sekarang.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya jago tua itu, meskipun
dia tahu bahwa
ilmu silatnya masih bukan tandingan musuh, namun matanya
jadi melotot
marah.
Mendadak ia membentak keras, golok Ci-kim-tian kong-to di
tangan kanan
berkilat melepaskan sebuah bacokan dengan jurus Long-cian
liu-sah (pantai
terkikis oleh gulungan ombak), sementara tangan kiri
menghantam dengan jurus
Loan sek-peng in (awan berguguran batu berserakan), satu
gerakan dengan dua
serangan.
Kakek berjenggot panjang itu tersenyum. telapak tangannya
segera didorong
ke depan. "Duuk!" Mo-in-sin-jiu yang ampuh tiba2
menjerit seperti babi dijagal,
tubuhnya mancelat dua-tiga tombak jauhnya.
Entah bagaimana caranya, tahu2 golok Ci-kim-tian-kong-to
menembus
perutnya sendiri, darah segar berhamburan memenuhi
permukaan tanah,
dengan wajah pucat dia terkapar di tanah tanpa berkutik,
sudah jelas jiwanya
lebih banyak amblas daripada selamatnya.
Semua orang tadi terperanjat, belum pernah mereka dengar
ataupun
melihat, senjata yang jelas2 menyerang musuh, tahu2 malah
menembus perut
sendiri.
"Perempuan bangsat!" terdengar kakek berjenggot
tadi berseru sambil
tertawa, "mangsaku telah kubereskan, sekarang ingin
kulihat bagaimana dengan
hasilmu!"
"Hehehe, tidak sampai tiga gebrakan, akan kukirim
juga mangsaku ini ke
akhirat" sahut nenek keriput itu sambil tertawa
ter-kekeh2.
Hiat-ciang-hwe-liong sudah tersohor dengan wataknya yang
berangasan, bisa
dibayangkan betapa gusarnya mendengar cemoohan tersebut,
teriaknya dengan
gusar:
"Bangsat, jangan takabur dulu! Aku akan mengadu jiwa
dengan kau!” Sambil
membeatak telapak tangan kirinya di-gosok2 di depan dada,
kemudian serentak
ditolak ke depan, cahaya merah seketika membias pada
telapak tangannya itu.
Ter-kekeh2 si nenek keriput itu, ejeknya malah:
"Bocah bermuka merah, tak
ada gunaoya kau gosok telapak tanganmu sampai keluar
darahnya, nenek masih
sanggup kirim kau pulang ke rumah nenekmu . . . .”
Belum habis ucapannya, Hiat-ciang-hwe-liong telah
membentak, dengan
sepenuh tenaga dia menghantam dengan pukulan pasir merah.
Hawa panas menyengat segera membelah angkasa dan membanjir
ke depan.
Nenek berkeriput itu mendengus, kedua telapak tangannya
berputar dan juga
menyodok ke depan, segulung kabut tebal disertai hawa
dingin merasuk tulang
segera menapak gulungan hawa panas itu.
Begitu kedua kekuatan bertemu, Hiat-ciang-hwe-liong
menggigil dan bersin,
mukanya yang merah berubah pucat seperti mayat.
Semua orang ikut terperanjat, tak seorangpun yang tahu
ilmu pukulan aneh
apakah yang digunakan nenek itu sehingga tanpa menimbulkan
sedikit suarapun
pukulan pasir merah Ang-se-hiat-heng-ciang lawan berhasil
dihancurkan.
Hiat-ciang-hwe-liong sendiripun terkesiap, dia sadar ilmu
yang dilatihnya
dengan susah payah selama enam puluhan tahun kini sudah
musnah, betapa
sedih hatinya air mata lantas bercucuran.
Tapi sesaat kemudian, dengan mengertak gigi se-konyong2 ia
angkat senjata
Sian-jin-ciang dengan tangan kanan yang gemetar.
Sian-jin-ciang atau daun katus merupakan senjata
andalannya selama ini,
sebelum terjadi benturan maut tadi, senjata ini masih
dapat digunakan olehnya
dengan enteng, tapi kini, kendatipun ia mengerahkan
segenap kekuatannya
senjata tersebut tetap sukar diangkatnva.
Ssdikit demi sedikit Sian-jin-ciang diangkat oleh
Hiat-ciang-hwe-liong . . .
Melongo heran kawanan jago yang menonton itu, mereka tak
mengerti apa
sebabnya jago bermuka merah yang gagah perkasa itu
sekarang jadi lemah dan
tak bertenaga, malahan muka Hiat-ciang-hwe-liong 1antas
berubah jadi pucat,
air mata bercucuran dan sekujur badan gemetar keras,
disangkanya jago itu
kelewat sedihnya sampai meneteskan air mata.
Tersenyum si nenek keriput, katanya dengan menghina:
"Bocah muka merah,
bagaimana rasanya pukulanku ini? Hahaha, kau harus
berterima kasih kepadaku
sebab nenekmu telah sulap kau dari muka merah menjadi si
muka putih..”
"Perempuan bangsat, awas sergapan maut . . . . . .
" mendadak si kakek
berjenggot panjang itu memperingatkan. Sambil berteriak
dia lancarkan pula
suatu pukulan.
Tapi serangan tersebut tetap terlambat satu tindak,
sebelum pukulan dahsyat
itu bersarang di tubuh Hiat-ciang-hwe-liong, senjata
Sian-jin-ciang Hiat-cianghwe-
liong sudah terangkat setinggi dada, begitu ibu jarinya
menekan pegas,
"cret!" segulung asap berwarna putih segera
menyembur ke tubuh nenek
berkeriput itu.
Sementara itu pukulan dahsyat si kakek berjenggot pun
bersarang di badan
Hiat-ciang-hwe-liong dan membuatnya mencelat jauh ke
belakang.
Setelah mendapat peringatan dari rekannya, si nenek segera
melancarkan
pukulan kuat ke arah kabut putih.
"Cess!" cahaya berwarna biru bagaikan hujan
tersebar keempat penjuru,
kendatipun nenek keriput sudah berusaha menghindar dan
membendung
dengan angin pukulannya, tak urung ada pula beberapa titik
cahaya yaug
sempat menciprat pada rambutnya dan membakarnya.
Betapa hebatnya pancaran cahaya api itu, bukan saja nenek
itu menjadi
sasaran, malahan kawanan jago persilatan yang nonton juga
ada beberapa
orang di antaranya terkena letikan api sehingga baju
terbakar.
Jerit kaget berkumandang di sana sini, suasana jadi kalut,
beberapa orang
menjadi korban kebakaran buru2 menjatuhkan diri ke atas
tanah dan
bergulingan.
Nenek itu sendiri juga berusaha memadamkan kebakaran yang
menimpa
rambutnya, walaupun akhirnya api dapat dipadamkan, tak
urung rambutnya
sudah hampir kelimis terjilat api.
Kemarahan nenek itu sukar dikendalikan lagi, ia meraung
dan beruntun ia
menutuk tiga kali ke tubuh Hiat-ciang-hwe-liong yang
terkapar di tanah itu.
"Cret cret cret!" tiga lubang besar menghiasi
tubuh Hiat-ciang-hwe-liong yang
terluka parah, tanpa ampun isi perut dan darah
berhamburan.
"Tlmu apa itu? Sungguh lihay?" pikiran ini
melintas di benak setiap orang.
Wan-ji yang berada di samping gelanggang ikut terperanjat.
tanpa terasa dia
menjerit kaget: "Hah, ilmu jari Soh-hun-ci!"
Di antara sekian banyak jago persilatan yang hadir di sini
hanya dia seorang
yang kenal ilmu jari si nenek, sebab Sin-kau Tiat Leng
mewariskan juga ilmu jari
yang sama kepadanya. tentu saja kesempurnaannya masih
kalah jauh bila
dibandingkan dengan permainan si nenek ini.
Mendengar seruan tersebut, nenek keriputan berpaling ke
arah Wan-ji dan
berkata sambil tertawa: "Tak tersangka kau si budak
kecil ini mengetahui asalusul
ilmu jariku ... "
Gusar Wan-ji karena dirinya disebut "budak
cilik" oleh nenek itu, kontan
matanya mendelik.
Tapi sebelum ia sempat mengumbar amarahnya nenek keriput
itu telah
berpaling ke arah An-lok Kongcu dan berkata:
"Bagaimana sekarang? In-bongsan-
ceng kalian tentunya sudah menyerah bukan? Hayo lekas
serahkan benda
pusaka kepadaku!"
Meskipun murung wajahnya, An-lok Kongcu masih sempat
tertawa angkuh:
"Jangan ter-buru2, masih ada pertarungan babak
terakhir."
Si nenek lantas berpaling, dilihatnya pertempuran antara
paderi gemuk
melawan Tok-kiam-leng-coa masih berjalan dengan seimbang,
untuk sesaat sulit
menentukan menang dan kalah.
Memang tangguh ilmu silat paderi gemuk setengah baya itu,
dengan bacokan,
babatan, getaran, ketukan serta sodokan, setiap serangan
cukup dahsyat, tapi
dia jeri pada senjata Tok-kiam-leng coa yang berwujud
pedang dan rantai baja
berbisa, oleh sebab itulah untuk sementara keadaan tetap
berlangsung
seimbang.
Tok-kiam-leng-coa Ji Hoa-lam putar kedua macam senjata
beracunnya
sedemikian rupa hingga menyerupai kitiran dan terus
menyerang tanpa
berhenti.
Rantai baja seperti ular hidup dengan gerak melingkar,
memagut, melejit,
sebentar berputar bagaikan ruyung, sebentar pula bagaikan
tombak, semua
ancaman tertuju bagian mematikan di tubuh lawan.
Sebalikuya pedang birunya yang beracun diputar menciptakan
selapis dinding
cahaya berwarna biru, dengan membawa desingan angin
menderu dia kurung
sekujur badan si hwesio.
-----------
Tokoh2 macam apakah ketiga orang aneh ini dan siapa pula
si pemuda pelajar
berbaju putih?
Untuk apa jago2 dari keempat keluarga besar pcrsilatan
bertempur dengan
mereka?
--------------
Jilid-17.
Lama2 habislah kesabaran nenek keriputan itu, alisnya
bekernyit, dengan suara
serak seperti itik ia berteriak keras2: "Keledai
gundul yang cebol, biasanya kau
sok ngibul, kenapa sekarang tak mampu membereskan seorang
bocah
kerempeng begitu? Hayo cepat keluarkan semua Kungfu
simpananmu, bereskan
bocah itu, nyonya besar masih ada urusan lain."
Si kakek berjenggot tiba2 menyela: "Bocah itu tidak
tahan sekali hantam lagi,
masa kau tidak melihatnya, nenek bangsat!? Yang benar
kedua macam senjata
bocah itu memang susah dihadapi. . . ."
"Ah, banyak omong, coba lihat, biar nyonya besar yang
bereskan bocah itu!"
teriak nenek keriput sambil mendelik.
"Dia menyingsing lengan baju lalu bersiap melompat
maju.
"Eeh, tunggu sebentar!" teriak Kian-kun-ciang In
Tiong-liong yang berada di
samping. "Masa kalian sudah lupa dengan janji kita
sebelumnya? Apakah kalian
hendak mengingkari janji dan mau cari kemenangan dengan
main kerubut? Bila
demikian semua orang yang hadir di sini pasti juga takkan
tinggal diam."
Dengan lagak apa boleh buat terpaksa nenek keriputan itu
urung bertindak,
dengan tak sabar dia berseru: "Bangsat gundul!
Sebetulnya kau mampu
memenangkan pertarungan ini tidak ....!"
"Nenek sialan, kenapa kau gelisah sendiri?"
jawab paderi gemuk pendek itu
dengan mata melotot. "Pokoknya bocah ini akhirnya
kukirim ke langit barat....!"
Heran juga Tian Pek menyaksikan tingkah laku ketiga orang
itu, jelas ketiga
orang itu berasal dari satu golongan, tapi aneh, meraka
saling mencaci-maki
sendiri, siapa gerangan mereka bertiga?
Kian-kun-ciang In Tiong-liong menyatakan bahwa sebelum
bertarung telah
mengadakan perjanjian, janji apakah itu? Kenapa dari pihak
In-bong-san-ceng
tak seorang lagi yang tampil kedepan walau pun sudah dua
orang jago mereka
yang terbunuh? Kenapa orang2 itu tak ada yang membantu?
Makin dipikir semakin heran, maka akhirnya pemuda itu
menjawil seorang laki2
di sampingnya dan bertanya: "Hei, apa yang terjadi
ini?"
Laki2 itu berpaling. tapi setelah mengetahui pemuda itu
adalah Tian Pek, dengan
gemas dia melotot, kemudian dilihatnya pula dandanan
pemuda itu tak keruan,
dengan sinis dia mencibir, lalu tanpa mengucapkan sepatah
katapun dia alihkan
kembali pandangannya ke tengah gelanggang.
Ketika laki2 itu berpaling, Tian Pek sendiripun segera
mengenalinya sebagai
Liang Giok yang kakaknya, Liang Bong, telah dibunuhnya
ketika terjadi
pertarungan di tepi sungai Yan-cu-ki, karena itulah meski
sikap orang
mendongkolkan hati, ia tetap bersabar.
Dalam pada itu, Tok-kiam-leng-coa Ji Hoa-lam telah
melancarkan serangan
terlebih keji dan mengerikan, baik pedang beracun maupun
rantai bajanya
diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan desingan angin
tajam, rupanya
iapun menyadari, jika dia sampai kalah, maka reputasi
perkampungan In-bong
san-ceng pun ikut berantakan.
Serangan gencar yang dilancarkan Tok-kiam-leng-coa itu
membuat si Hwesio
gemuk jadi kelabakan dan keteter, suatu ketika tiba2
telapak tangannya
menghantam ke muka, kemudian ia berjumpalitan mundur ke
belakang.
Sekilas pandang orang akan menyangka Hwesio itu terjungkal
lantaran terluka,
Tok-kiam-leng- coa tidak me-nyia2kan kesempatan yang baik
itu, ular rantai baja
di tangan kirinya segera menutuk wajah si Hwesio,
sementara pedang beracun
di tangan kanan menusuk ulu hati lawan dengan jurus
Liu-seng-kan-gwat
(bintang meluncur mengejar rembulan).
Sungguh berbahaya posisi Hwesio gemuk itu sebab tubuhnya
belum tegak
berdiri, tampaknya serangan maut yang dilancarkan
Tok-kiam-leng-coa segera
akan bersarang telak di tubuhnya yang gemuk.
Tiba2 terdengar kakek berjenggot panjang berseru sambil
tertawa tergelak:
"Hahaha, keledai gundul! Kau memang hebat, kalau
sejak tadi kau gunakan cara
seperti ini, bukankah kemenangan sudah kau raih tanpa
bersusah payah?"
Semua orang tertegun keheranan mendengar ucapan tersebut,
bukankah si
Hwesio gemuk jelas bakal kalah? Kenapa kakek berjenggot
itu malahan bersorak
gembira?
Sementara itu rantai ular baja telah mengancam muka si
Hwesio gemuk, pedang
biru juga telah mengancam dadanya ....
Pada saat itulah tiba2 Hwesio gemuk itu melejit ke atas,
kakinya berlutut, kedua
tangannya menempel tanah, dengan menggembungkan perutnya
yang buncit
hingga menyerupai seekor katak, ia ber-kaok2 dua kali dan
mendorong telapak
tangannya ke depan. . .
"Blang! Blang!" desingan angin puyuh menggulung
ke depan, debu pasir
beterbangan, hebat sekali pukulan yang dilontarkan itu.
"Ilmu silat apa itu .... ?" semua orang menjerit
kaget.
Belum habis seruan tersebut, "bluk", dengan
telak pukulan si Hwesio gemuk
bersarang di tubuh Tok-kiam-leng-coa Ji Hoa-lam, tanpa
ampun lagi tubuhnya
bagaikan layang2 yang putus benangnya mencelat beberapa
tombak jauhnya.
Baik pedang beracun maupun rantai ulur berbisa yang
digunakan untuk
menyerang ikut mencelat pula jauh, waktu tubuh jatuh ke
atas tanah, jiwanya
sudah melayang.
Betapa terkejutnya kawanan jago itu, untuk beberapa saat
lamanya suasana jadi
hening dan tak seorangpun berani buka suara.
Per-lahan2 Hwesio gemuk itu bangkit berdiri, katanya
sambil tertawa: "Coba
iihat, bagaimana hasilnya? Tidak jelek bukan, nenek
busuk?"
"Hehat! Hebat! Rupanya kau bangsat gundul ini memang
masih punya ilmu
simpanan!" sahut si nenek keriputan sambil tertawa
lebar.
Setelah jago yang terakhir ikut tewas, kakek berjenggot
panjang lantas berpaling
ke arah An-lok Kongcu dan ayahnya, lalu berkata:
"Tentunya kalian tak dapat
bicara apa2 lagi bukan? Nah, mulai detik ini perkampungan
In-bong-san-ceng
telah berada di bawah kekuatan Hay-bwe-sam-sat!"
An-lok Kongcu berpaling sekejap ke arah ayahnya,
Kian-kun-ciang In Tiong-long,
air muka mereka berdua pucat pias seperti mayat, tanpa
mengucapkan sepatah
kata mereka menunduk, jelas sekali luar biasa sedih
mereka.
Mendadak si nenek keriput berteriak kepada para ksatria
yang hadir: "Hayo,
siapa lagi yang tidak puas? Silakan maju untuk menerima
kematian!"
Pemuda berbaju putih itu lebih jumawa lagi, sambil
menggoyangkan kipas
peraknya ia herkata: "Toan-hong Kongcu, Siang-lin
Kongcu serta An-lok Kongcu
telah menggabungkan diri dengan kekuatan kami, di antara
empat kelompok
besar didaratan Tionggoan tinggal Leng-hong Kongcu saja
yang belum
menyatukan sikapnya, Hei! Leng hong Kongcu, bagaimana
dengan keputusan
kalian? Mau lansung menyerahkan perkampungan
Pah-to-san-ceng kalian di
bawah kekuatan kami ataukah hendak mengutus dulu beberapa
orang untuk
mengantar nyawa?,,
Leng-hong Kongcu yang berperasaan dingin melirik sekejap
ke arah kawanan
jagonya, rupanya ia minta pertimbangan jago2nya apakah
diantara mereka ada
yang berani menerima tantangan musuh.
Kawanan jago dari perkampungan Pah-to-san-ceng di hari
biasa selalu garang
dan tinggi hati, kini sama tunduk kepala rendah2, tak
seorangpun berani beradu
pandang dengan Leng-hong Kongcu, tampaknya mereka takut
kalau dirinya akan
terpilih untuk menandangi tantangan musuh.
Terdengar pemuda berbaju putih tadi mengejek, "Huh,
Leng-hong Kongcu yang
bernama besar kiranya tak lebih hanya manusia keroco yang
tak berani
bertindak tegas. Hayo, cepat jawab, mau menyerah kalah
ataukah hendak
melakukan perlawanan?"
Sejak kecil sampai dewasa, belum pernah Leng-hong Kongcu
menerima
cemoohan orang lain dihadapan umum. Ia tahu jagonya sama
ciut nyalinya
setelah menyaksikan kelihayan musuh, selain itu iapun tahu
kendatipun mereka
maju, paling2 juga hanya mengantar kematian belaka.
Walaupun demikian, sudah tentu dia tak mau menyerah dengan
begitu saja
sebelum melakukan perlawanan, sebab menyerah kalah adalah
tindakan yang
paling memalukan. Sebab itulah ia menjadi serba susah,
wajah berubah jadi
merah padam, ia tak tahu apa yang harus dilakukan ....
Mendadak sesosok bayangan berkelebat tiba dari luar
gelanggang, setelah
berputar satu lingkaran di udara, dengan enteng orang itu
melayang turun. Gesit
dan cepat gerakan orang ini, indah pula gayanya.
Kiranyn pendntang ini adalah seorang latah berusia
setengah baya.
"Keponakanku, baik2kah selama berpisah?" tegur
orang itu setibanya di tengah
gelanggang.
Betapa girang Leng-hong Kongcu setelah mengetahui bahwa
orang ini tak lain
adalah Thian-ya-ong-seng Tio Kiu ciu. cepat sahutnya;
"Baik2-kah paman Tio
selama ini?"
Thian-ya-ong-seng mengangguk, lalu ia berpaling ke arah
pemuda berbaju putih
itu dan berkata dengan angkuh: "Bilamana kalian berminat,
aku orang the Tio
ingin belajar kenal dengan jago kosen dari lautan!"
"Apakah kau mewakili perkampungan Pah-to-san-ceng?
Kalau begitu, pilihlah
dua orang lagi, agar kita dapat bertanding sebanyak tiga
partai!"
"Aku orang she Tio hanya ingin nantang kalian dengan
nama Thian-ya-ong-seng,
aku tidak mewakili sesuatu aliran ataupun perguruan
manapun!"
"Bocah latah! Lalu buat apa kami membinasakan
kau?" sela si nenek keriput dari
samping.
"Sekalipun menang juga tak ada gunanya, paling2 hanya
membuang tenaga
percuma!"
"Hahaha, nenek tua, apakah kau tahu sumpahku di masa
lalu?" seru si manusia
lalah dari ujung langit sambil tergelak.
"Sumpah atau tidak juga tidak ada gunanya, yang
penting kau mewakili mereka
atau tidak, sehingga bila kau mampus maka kamipun bisa
mendapatkan hasil
yang lumayan."
Sejak malang melintang di dunia persilatan, belum pernah
Thian-ya-ong-seng
berjumpa dengan manusia yang lebih latah daripadanya,
ucapan si nenek
membuatnya gusar, tapi ia lantas tertawa malah:
"Sejak dulu aku orang she Tio
telah bersumpah, barang siapa dapat menangkan aku, maka
aku akan
mengangkat orang itu sebagai guruku. Sudah tiga puluh
tahun aku malang
melintang di dunia persilatan, tapi belum pernah kutemui
lawan tangguh yang
mampu mengalahkan aku. maka jika satu diantara kalian
berempat sanggup
mengalahkan diriku, segera aku mengangkatnya sebagai guru,
inikan imbalan
yang baik bagi kalian?"
"Hehehe, bocah latah, kau memang hebat!" si
nenek keriputan tertawa seram.
"Tapi sayang kau telah melupakan sesuatu, andaikata
salah seorang di antara
kami berhasil membinasakan dirimu, setiba di akhirat lalu
kau akan mengangkat
siapa menjadi gurumu?"
Untuk beberapa saat lamanya Thian-ya-ong-seng berdiri
tertegun, sungguh tak
disangkanya dirinya yang terkenal latah selama puluhan
tahun, akhirnya
bertemu dengan seorang yang berpuluh kali lipat lebih
latah daripadanya.
Sebelum jago latah ini sempat mengucapkan sesuatu, nenek
keriput itu berkata
pula: "Eeh, bocah latah, kau tak perlu ter-mangu2,
ketabuilah kami bertiga
disebut Hay-gwa-sam-sat, sedangkan Siauya ini ... !" —
Sambil berkata ia
menuding si pemuka baju putih itu.
Semua orang sama heran, nenek itu berani memaki kepada
siapapun, tapi
sikapnya terhadap pemuda berbaju putih itu ternyata sangat
menghormat.
"Siauya ini tak perlu dibicarakan dulu, biarlah
bicara mengenai kami bertiga ini,
barang siapa berani bertempur melawan kami, maka dia tak
mungkin hidup lagi
di dunia ini. Bocah latah, sekarang tentunya kau mengerti
bukan? Kalau kau
berani menantang kami, maka jiwamu pasti melayang, lalu
untuk apa
mengangkat guru segala? Kau cuma omong kosong
belaka?"
Betapa gusarnya Thian-ya-ong-seng demi mendengar perkataan
itu, ia tak tahan
lagi, sambil membentak telapak tangannya terus menghantam
si nenek.
Rupanya nenek itu tak menyangka musuh akan menyerang
secara tiba2,
serangan tersebut dilancarkan dengan cepat pula. Untung
pengalamannya
cukup luas, mendadak tubuhnya berputar dan tahu2 dia sudah
terlepas dari
ancaman lawan.
Thian-ya-ong-seng tidak memberi kesempatan kepada musuh
untuk berganti
napas, sebelum musuh itu berdiri tegak. dengan jurus
Heng-kang-toan-liu
(menyodet sungai membendung air) serta Long-ki-liu-sah
(tanah terkikis oleh
gulungan ombak) secara beruntun tiga serangan berantai
dilontarkan.
Dalam keadaan tak siap, si nenek terdesak hingga rada
kerepotan.
Ilmu pukulan Tui-hong-ki-heng-ciang ciptaan
Thian-ya-ong-seng memang
mengutamakan gerak cepat, apalagi ia dibikin marah akibat
ejekan musuh, jurus
serangan mematikan dilancarkan secara beruntun, dalam
waktu singkat dia
telah menyerang belasan kali.
Nenek itu terdesak hebat. bukan saja ia tidak memperoleh
kesempatan untuk
melancarkan serangan balasan, bahkan secara beruntun
terdesak mundur, bisa
dibayangkan betapa gemas nenek itu.
Sepanjang pertarungan itu si kakek berjenggot panjang itu
hanya membungkam
saja, dengan sinar mata tajam ia mengikuti gerak serangan
manusia latah
tersebut, mau-tak mau ia kagum juga oleh kelihayan musuh.
Pemuda berbaju putih itupun heran dan tercengang, kipas
peraknya berulang
kali diketukkan pada telapak tangannya . .
Hanya Hwesio cebol itu yang tak acuh, sambil berkeplok
tertawa ia berteriak:
"Hei, nenek busuk, siapa suruh kau mengibul, sekarang
kau baru tahu rasa
kecundang di tangan orang lain, hahaha . . . "
"Sialan. bangsat gundul, nyonya besar keteter hebat,
kau malahan nonton
doang," maki nenek itu sambil berkelit menghindari
pukulan musuh.
Thian-ya-ong-seng benci pada kelatahan nenek keriput itu,
dia ingin
menundukkan nenek tersebut, maka setelah di atas angin, ia
melancarkan lagi
tiga kali serangan berantai dengan jurus Hoan-kang-to-hay
(menjungkir sungai
membalikkan samudera), Hu-tong-to-hwe (menyeberangi air
mendidih
mengarungi lautan api) serta Pau-hi-bong-hong (hujan lebat
angin puyuh)
Bayangan telapak tangan ber-lapis2 menyelimuti angkasa,
nenek itu terkepung
di tengah angin pukulan yang men-deru2.
Sekarang si kekek berjenggot baru terperanjat' sedangkan
Hwesio gemuk itu tak
bisa tertawa lagi' wajahnya menampilkan rasa heran.
Nyata mereka tidak menduga di dalam dunia persilatan
Tionggoan masih
terdapat jagoan yang berilmu tinggi, tapi kedua orang itu
pun taat pada
peraturan persilatan, sekalipun nenek itu keteter hebat
mereka tidak terjun
membantu.
Sebenarnya ilmu silat nenek keriput itu sangat lihay. dia
terdesak oleh karena
dia terlampau pandang enteng rmusuhnya sehingga kena
didahului. Sedang
lawan justeru Thian-ya-ong-seng yang lihay dan
berpengalaman, seperti halnya
main catur, kalau sudah kalah satu langkah, dengan
sendirinya langkah
selanjutnya jadi terpengaruh.
Beberapa kali nenek itu berusaha merebut kembali posisinya
yang terdesak,
namun setiap kali usahanya itu menemui kegagalan, akhirnya
dia sendiri
semakin terdesak.
Dalam keadaan demikian, tiba2 si pemuda berbaju putih
ketuk2 kipas peraknya
pada telapak tangannya dengan berirama, kemudian ia
bersenandung nyaring:
"Bukit menjulang samudra membentang jalan terasa
buntu. . . ."
Demi mendengar syair tersebut, mendadak si nenek berpekik
nyaring, suaranya
keras melengking menembus awan.
Di tengah pekik nyaring itulah si nenek memutar badannya
secepat gasingan, ia
berputar terus menembus bayangan telapak tangan
Thian-ya-ong-seng dan
mengapung ke udara.
Bayangan putih kelabu itu melambung empat tombak tingginya
di tengah udara
si nenek kembali berpekik nyaring, di tengah lengkingan
yang memekak telinga
itu mendadak si nenek menukik ke bawah, dengan dahsyat
kedua telapak
tangannya membelah batok kepala lawan.
Thian-ya-ong-seng, sesuai julukannya, dia adalah seorang
yang latah, meski tahu
betapa dahsyatnya pukulan si nenek, nanun ia tidak
berusaha menghindar,
dengan jurus Thian-ong-to-tah (Raja langit menyanggah
pagoda) dia sambut
ancaman tersebut dengan keras lawan keras.
"Blang!" benturan keras menggelegar, bumi
se-akan2 berguncang.
Begitu dahsyatnya gulungan angin puyuh yang timbul oleh
benturan tersebut,
bukan saja debu pasir beterbangan, malahan ranting dan
daun pepohonan yang
berada belasan kaki di sekitar gelanggang ikut berguguran
oleh embusan angin
keras.
Akibatnya banyak jago silat yang tak sanggup
mempertahankan diri banyak
diantara mereka terdorong mundur dengan terperanjat.
Meski Thian-ya-ong-seng seorang yang cerdik, cuma sayang
tenaga dalamnya
masih kalah satu tingkat dibandingkan si nenek, apalagi si
nenek menghantam
dari atas, tentu saja posisinya lebih menguntungkan.
Akibatnya setelah terjadi bentrokan kekerasan itu,
Thian-ya-ong-seng tergetar
mundur lima-enam tombak jauhnya dengan sempoyongan, air
mukanya kontan
jadi pucat seperti mayat, hampir saja roboh.
Nenek itu melayang turun ke atas tanah, dengan wajah gusar
ia menghampiri
lawan. pelahan2 telapak tangannya diangkat, jari
telunjuknya ditegangkan,
tampaknya dia akan mengerahkan ilmu jari Soh-hun-ci yang
lihay.
Sejak tadi Tian Pek mengikuti jalannya pertempuran, kini
ia merasakan Thian-yaong-
seng sedang terancam bahaya, cepat ia melompat masuk
kedalam
gelanggang sambil mambentak: '
Tahan!"
Nenek rambut putih itu melengak, tapi setelah mengetahui
pendatang ini cuma
seorang pemuda, ia tertawa.
"Eh, bocah cilik!" serunya, "Apakah kaupun
bosan hidup? Berani kau merintangi
kehendak nenek?"
"Nenek sudah tua, kenapa masih berwatak berangasan
begini. Kau sudah
menangkan pertarungan, orang bilang siapa menang dia
jagoan, kalau nenek
sudah menang kan tak perlu membunuh orang?"
"Bocah busuk, apakah kau tahu peraturan
Hay-gwa-sam-sat?" bentak si nenek.
"Cayhe tidak tahu," jawab Tian Pek.
Waktu itu tenaga jari yang dikerahkan si nenek belum
buyar, hawa sakti masih
menyelimuti seluruh badannya, rambutnya yang beruban serta
bajunya yang
longgar bergoyang seperti terembus angin, malahan jari
tangannya yang terjulur
itu membengkak besar, dengan tertawa seram ia berkata
kepada Tian Pek:
"Kalau belum tahu peraturan kami, biarlah
kuberitahukan padamu! Selamanya
Hay-gwa-sam-sat tak pernah memberi kesempatan hidup kepada
orang yang
berani berkelahi dengan kami Nah, tahu tidak? Sekarang,
cepatlah enyah dari
sini!"
Tian Pek juga pemuda yang tinggi hati dan berwatak keras,
mendingan kalau
nenek itu berbicara dengan ramah dan halus justeru
sikapnya yang sebentar
tertawa sebentar marah ini telah mengobarkan api amarah
Tian Pek, segera ia
balas membentak: "Aku tak peduli siapa kau dan
peraturan Hay-gwa-sam-sat
segala, pokoknya kalian tak boleh melanggar peraturan
persilatan, aku takkan
mengizinkan kau membunuh orang yang sudah terluka!"
"Haha, jadi kau hendak turut campur urusanku?"
ejek si nenek sambil tertawa
seram. "Bagus! Kalau begitu kehendakmu, pasti akan
kupenuhi keinginanmu
untuk mampus!"
Tiba2 ia tinggalkan Thian-ya-ong-seng, serangan jari
tangannya yang telah
disiapkan langsung dilontarkan ke dada Tian Pek.
Anak muda itu bukan orang bodoh, tentu saja iapun tahu sampai
di manakah
kelihayan ilmu jari si nenek, apalagi sewaktu nenek itu
menghampirinya dengan
wajah seram, desiran angin tajam dingin telah memancar
lebih dulu dari ujung
jari musuh dan membuat pemuda itu tak berani bertindak
gegabah.
Serentak ilmu pukulan Lui-ing-hud-ciang yang baru
dipelajarinya disiapkan
menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, Thian-ya-ong-seng yang terluka parah sudah
agak mendingan
keadaannya setelah mengatur pernapasan, betapa malu dan
menyesalnya
ketika mengetahui bahwa sang penolong yang menyelamatkan
jiwanya tak lain
adalah Tian Pek yang pernah dikalahkannya dahulu.
Ia tahu Tian Pek pasti juga bukan tandingan si nenek,
segera ia berseru: "Tiansiauhiap,
cepat mundur! Biar aku orang she Tio yang menghadapi
dia!"
Ia memburu maju dengan sisa tenaga murni yang dimilikinya,
suatu pukulan
maut segera dilontarkan.
Nenek itu tertawa seram, ujung jarinya yang tertuju ke
dada Tian Pek tahu2
ditarik kembali, kemudian berputar setengah lingkaran
hingga angin tajam itu
berbalik mengarah pinggang Thian-ya-ong-seng.
Melihat si nenek malahan mengalihkan ancamannya kepada
Thian-ya-ong-seng,
cepat Tian Pek membentak, pukulan sakti Lui-ing-hud-ciang
serentak
dilontarkan.
Lui-ing-hud-ciang adalah ilmu dari benua barat, meskipun
tiada menimbulkan
deru angin sewaktu dilepaskan, namun memiliki daya tekanan
yang maha
dahsyat ibaratnya gulungan ombak samudra.
Waktu itu Soh-hun-ci ci nenek lagi ditujukan
Thian-ya-ong-seng, dia tak pandang
sebelah mata terhadap musuh yang sudah terluka ini.
Nenek itu terkejut ketika desir angin pukulan yang
dilontarkan Tian Pek
menyambar tiba, ia merasa daya tekanan yang terpancar dari
serangan itu aneh
sekali, kendati begitu, ia masih tidak menggubrisnya, ia
tidak percaya pemuda
ingusan memiliki ilmu silat yang luar biasa? Sebab itulah
Soh-hun-ci masih terus
menutuk ke tubuh Thian-ya-ong-seng.
"Hei, nenek tua, awas! . . ." tiba2 si Hwesio
setengah baya memperingatkan.
"Pukulan yang digunakan pemuda itu adalah
Lui-ing-hud-ciang yang maha sakti.
Kejut si nenek setelah mendengar peringatan tersebut,
serentak ilmu jari Sohhun-
ci ditarik kembali, dengan berputar setengah lingkaran,
dengan jurus
serangan Heng-sau-ngo-gak (menyapu rata lima bukit). dia
kurung Thian-ya-ongseng
serta Tian Pek di baWah angin jari saktinya.
"Blang! Bluk!" dua suara keras terdengar, sambil
menjerit kesakitan Thian-yaong-
seng mencelat ke belakang dan roboh telentang.
Sebaliknya si nenek mendengus tertahan karena tubuhnya
tergetar oleh
pukulan sakti Lui-ing-hud-ciang Tian Pek, dengan
sempoyongan nenek itu
terdorong mundur lima-enam langkah. ...
Tian Pek sendiripun merasakan sakit luar biasa pada
telapak tangannya. rasanya
seperti ditusuk jarum, ia tergeliat, sekuatnya ia
bertahan.
Hanya sekejap telapak tangannya sudah bengkak, diam2 ia
terkesiap: "Lihay
benar Soh-hun-ci ini!"
"Hei. bocah, kau murid siapa . . . ?" Hwesio
gemuk setengah baya itu melompat
maju dan menegur.
Belum gempat Tian Pek menjawab, si nenek sudah meraung
gusar dan
menubruk ke arahnya dengan kalap getaran mundur yang
diterimanya barusan
dianggapnya sebagai suatu penghinaan.
Tian Pek tak berani gegabah, dia angkat telapak tangannya,
tapi tahu2 telapak
tangannya sukar digerakkan dan tak bertenaga.
"Celaka! .... keluhnya dalam hati.
Untunglah pada saat yang gawat itu terdengar dua orang
membentak nyaring,
lalu muncul dua bayangan tubuh yang kecil ramping
menerjang ke dalam
gelanggang.
Serentetan cahaya tajam berwarna hijau serta desir angin
pukulan serentak
menerjang si nenek.
Memang lihay nenek rambut putih itu, walau pun mendadak
datangnya
ancaman maut itu, ternyata dengan enteng dan cekatan ia
mampu menghindari
serangan pedang dan pukulan tersebut.
Dengan berjumpalitan di udara ia berputar satu lingkaran,
lalu melayang turun
di kejauhan sana.
Ketika ia berpaling ternyata penyerang itu adalah seorang
gadis cantik jelita
serta seorang manusia aneh bermuka hijau berambut merah.
Memang betul gadis cantik serta manusia aneh bermuka hijau
dan berambut
merah itu tak lain adalah Tian Wan-ji serta Liu Cui-cui,
demi menyelamatkan
jiwa Tian Pek, mereka telah turun tangan bersama.
Sementara itu nenek berambut putih itu menjadi murka
setelah gagal melukai
Tian Pek, apalagi setelah dia sendiri yang terdesak mundur
malah. Sambil
meraung untuk kesekian kalinya dia menerjang musuh dengan
kalap.
"Hong-koh, hati2 dengan makhluk muka hijau berambut
merah itu!" tiba2 si
pemuda baju putih memperingatkan. "Tangkap dia dalam
keadaan hidup, yang
lain bantai saja sampai habis . . . ."
Walaupun sedang gusar, si nenek tetap patuh pada perintah
pemuda baju putih
itu, di tengah udara tutukan maut menuju Wan-ji, sementara
tutukan yang
menuju pada Lui Cui-cui berubah menjadi cengkeraman,
dengan mementang
kelima jarinya dia mencakar si nona.
Wan-ji mengegos kesamping, dengan dua jari saktinya ia
balas menutuk Hiat-to
penting Sim-hi-hiat serta Ki-hay-hiat si nenek dengan
Soh-hun- ci yang sama.
Hampir bersamaan waktunya Liu Cui-cui menabas tangan kanan
si nenek
dengan jurus Sia-gwe-teng-hui (rembulan condong
memancarkan sinar), cahaya
pedang hijau segera menyelimuti angkasa.
Kaget juga nenek berambut putih itu, ia tak menyangka ilmu
iari dan ilmu
pedang Wan-ji dan Cui-cui sedemikian hebatnya terutama
ilmu jari Wan-ji
ternyata mirip sekali dengan Soh-hun-ci andalannya
sendiri.
Serentak dia melejit ke udara dan melayang turun di
kejauhan sana.
"Hei, anak perempuan, dari siapa kau belajar ilmu
jari ini?" hardiknya lantang.
"Nenek busuk, itu bukan urusanmu, tak usah banyak
bacot" sahut Wan-ji kasar,
"Ingat saja baik2, bila kau berani melukai seujung
rambut engkoh Tian, maka
akan kucabut nyawamu!''
"Hehehe, bagus, bagus sekali perkataanmu." si
nenek tertawa seram. "Selama
ini aku tercatat sebagai manusia yang tak pakai aturan,
tak nyana hari ini aku
bertemu dengan budak ingusan yang lebih tak kenal aturan.
Nona cilik, coba
jawablah pertanyaanku ini, siapa pemuda itu? Apa
hubunganmu dengan dia?
Dan kenapa kau menguatirkan keselamatan jiwanya ...
."
Sebeium Wan-ji menjawab, Liu Cui-cui telah membentak
gusar, Pedang Hijau
terus menusuk ulu hati nenek itu.
Rupanya ia sakit hati karena melihat telapak tangan Tian
Pek membengkak dan
mukanya pucat, ia jadi marah dan segera menyerang.
Tajam dan kencang deru angin pedang itu, cahaya hijau
menyebar di udara,
menyelimuti sekeliling tubuh lawan.
Memang lihay sekali ilmu pedang Liu Cui-cui, malahan boleh
dibilang audah
mencapai puncak kehebatannya, sungguh serangan yang
mengejutkan.
Dengan terperanjat cepat nenek itu berkelit, tapi sayang
kurang cepat, "bret!"
ujung bajunya tertabas pedang hingga robek
Tampaknya Wan-ji juga sudah melihat keadaan Tian Pek yang
terluka, sebelum
nenek itu sempat berdiri tegak, dengan marah dia menyerang
lagi, dua
selentikan maut dilepaskan.
Dalam pada itu Liu Cui-cui juga menyerang pula, dengan
jurus Han-seng-penggwat
(bintang kecil mengejar rembulan), Pedang Hijau diputar
sedemikian rupa
hingga menciptakan selapis cahaya tajam yang menyilaukan
mata, ia terus cecar
si nenek.
Setelah dikerubut dua musuh tangguh, si nenek baru sadar
akan kehebatan
lawannya, kepongahannya lenyap, sebagai gantinya rasa
kaget dan panik
menghiasi wajahnya yang penuh keriput, dia tak menyangka
di kolong langit ini
masih ada manusia berilmu pedang selihay ini, apalagi
tutukan Soh-hun-ci Tian
Wan-ji tak boleh dipandang enteng, dalam waktu singkat dia
terdesak terus
menerus.
Berada dalam keadan seperti ini, dia tak berani menangkis
dengan kekerasan,
apa yang bisa dilakukan tidak lebih hanya berkelit dan
menghindar melulu, Jerit
kaget, sorak puji dan helaan napas kagum menggema di
sekeliling gelangggang,
meskipun para penonton terdiri dari kawanan jago silat
terkemuka, sebagian
besar sudah sering menjelajahi utara maupun selatan, belum
pernah mereka
menyaksikan permainan ilmu pedang sedahsyat itu.
Lebih2 si pemuda baju putih itu, iapun kejut dan gelisah,
lama2 ia tak tahan lagi,
serunya dengan lantang: "He, Siu-kongkong, Hud-eng
Hoatsu! Kenapa kalian
cuma berdiri saja? Tidak maju sekarang mau menunggu sampai
kapan lagi?"
Si kakek berjenggot panjang seram. si Hwesio gemuk
tersentak bangun dari
lamunannya, serentak mereka terjun ke gelenggang
pertarungan, yang satu
langsung membendung serangan Liu Cui-cui sedahg yang lain
menghadang
tutukan maut Tian Wan-ji.
Memang lihay ilmu pukulan si kakek berjenggot panjang,
bukan saja gaya
serangannya aneh, tenaga pukulannya juga mengerikan,
ketika kedua telapak
tangannya mulai menyerang, debu pasir ikut beterbangan,
banyak ranting
pohon tumbang terkena pukulan. deru keras dan dentuman nyaring
menciptakan irama maut yang mengerikan.
Lui Cui-cui bukan lawan empuk, ilmu pedang saktinya
terhitung jenis ilmu
pedang tingkat tinggi, ditambah pula Bu-cing-pek kiam
adalah pedang pusaka
yang tiada taranya ketika diputar kencang, terciptalah
selapis cahaya hijau tebal
menyilaukan mata, pedang itu berkelebat kian kemari
mengancam tempat
berbahaya di tubuh musuh.
Kawanan jago yang menonton di pinggir sama terpesona.
pertarungan antara
kakek berjenggot melawan manusia aneh bermuka hijau dan
berambut merah
alias Liu Cui-cui ini sungguh luar biasa.
Pemuda baju putih itupun berdiri tertegun kipas peraknya
dicengkeram erat2,
jelas terlihat betapa gelisahnya.
Dalam pada itu, si Hwesio gendut yang bernama Hud-eng
Hoatsu juga terlibat
dalam pertarungan seru melawan Wan-ji.
Ilmu pukulan si Hwesio gemuk sangat hebat angin pukulannya
men-deru2, Wanji
yang kecil dan ramping boleh dibilang terkurung di tengah
angin pukulannya.
Untung ilmu meringankan tubuh, Leng-gong-hoan-ing. yang
dikuasai Wan-ji
sudah mencapai kesempurnaan, ditambah pula selama seratus
hari ia
digembleng oleh Sin-kau (monyet sakti) Tiat Leng, semua
ini membuat
kungfunya mendapat kemajuan yang amat pesat.
Kendatipun ia terkurung oleh pukulan musuh yang gencar.
hal ini tidak
mengurangi kecepatan serta kelincahan gerak tubuhnya, dia
melejit,
melambung, melompat dan melayang diantara deru angin
pukulan yang
kencang.
Bukan saja indah menawan gaya tubuhnya, malahan kadangkala
sempat pula
melepaskan Soh-hun-ci untuk mengancam Hiat-to kematian di
tubuh musuh.
Menghadapi keadaan seperti ini, mau-tak-mau Hwesio gemuk
terpaksa pasang
matanya awas2, setiap saat dia harus berkelit dan
menghindar dengan gerakan
cepat, dengan begitu maka sementara ini pertarungan
berlangsung dalam
keadaan seimbang.
Dengan diambil-alihnya kedua lawan tangguh, si nenek
berambut putih
mendapat kesempatan lagi untuk menghadapi Tian Pek,
terpaksa anak muda itu
melakukan perlawanan yang gigih kendatipun tangannya yang
terluka sakitnya
tidak kepalang.
Ilmu silat Tian Pek saat ini sudah terhitung tangguh,
sayang dia bertindak kurang
hati2 sehingga dalam pertarungan pertama tadi tangannya
lantas terluka.
Karena tangannya terluka secara otomatis permainan
Lui-ing-hud-ciang yang
lihay itupun mengalami kemunduran, ia tak bisa melancarkan
lagi serangan
dengan sepenuh tenaga.
Selain itu, pakaiannya yang dibuat dari robekan selimut
sangat mengganggu
kegesitan tubuhnya, tidaklah heran di bawah serangan
gencar si nenek, ia
terdesak hebat hingga kelabakan setengah mati.
Begitulah, pertarungan berlangsung dengan serunya membuat
perhatian semua
orang berpusat ke gelanggang. Semuanya tercengang dan
berdebar.
Kalau permainan pedang manusia aneh bermuka hijau alias
Liu Cui-cui sangat
lihay dan tiada taranya hingga semua orang merasa heran,
hal ini memang
dapat dimengerti.
Akan tetapi Tan Pek adaiah pemuda yang dikenal oleh banyak
orang, anak muda
itu belum lama terjun ke dunia persilatan, namun setiap
kali muncul ilmu
silatnya selalu mengalami kemajuan pesat, kepandaiannya
kian lama kian
bertambah hebat, inilah yang mencengangkan orang, hampir
saja mereka tak
percaya dengan kenyataan tersebut.
Jika para jago tangguh dari empat keluarga besar juga
dikalahkan si nenek
rambut putih dengan cara yang mengenaskan, malahan
Thian-ya-ong-seng yang
dianggap jago paling tangguh pun terluka parah. Tapi Tian
Pek yang masih muda
dan cetek pengalaman dengan suatu pukulan malah berhasil
memaksa mundur
nenek rambut putih itu, bahkan sekarang masih sanggup
bertarung puluhan
gebrak, siapa yang tak heran dengan kenyataan ini?
Banyak pula yang kenal siapa Wan-ji, setelah menyaksikan
si nona sanggup
bertarung seimbang dengan Hud-eng Hoatsu, semua orang jadi
tercengang dan
kaget pula.
Diantaranya Leng-hong Kongcu dan anak buahnya jelas paling
bingung dan tidak
habis mengerti, Mereka tahu ilmu silat Wan-ji didapatkan
atas ajaran ayahnya
sendiri, yakni Ti-seng jiu Buyung Ham, sekalipun sudah
tergolong lumayan, tapi
kalau ingin menandingi Hud-eng Hoat-su yang telah berhasil
merobohkan
belasan jago dari keempat keluarga besar, hampir boleh
dibilang tak mungkin
terjadi.
Akan tetapi faktanya memang demikian, bukan saja dia
sanggup menandingi
Hud-eng Hoatsu yang disegani itu, malahan dia sanggup
melawannya dengan
sama kuat, siapa yang tak heran menyaksikan peristiwa ini?
Di antaranya Leng-hong Kongcu yang paliag tidak mengerti,
pikirnya: "Hanya
berapa bulan tidak bertemu, tampaknya Kungfu Moaymoay
(adik perempuan)
sudah memperoleh kemajuan yang pesat, entah darimana ia
mempelajari
Kungfu selihay ini?"
Sementara ia masih melamun, keadaan di tengah kalangan
telah mengalami
perubahan besar, diantaranya posisi Tian Pek paling
terdesak, di bawah
serangan gencar si nenek, jiwanya benar2 sudah terancam
bahaya.
Ketika melancarkan serangan jurus Hong-ceng-lui-beng
(angin berembus guntur
menggelagar), oleh karena lambungnya mesti dikembangkan
kemudian baru
mendorong telapak tangannya ke depan, kendatipun hasil
serangan yang hebat
itu dapat memaksa si nenek menyurut mundur tiga langkah
kebelakang, namun
karena kejadian itu pula tali pengikat bajunya yang tak
keruan itu jadi putus,
otomatis kain penutup badanpun melorot kebawah.
Dalam ketegangan mendadak terjadi pertunjukan
"bugil", karuan para penonton
sama tertawa ter-bahak2
Suasana jadi gaduh. Tian Pek sendiri jadi kelabakan,
dengan wnjah merah jengah
ia berusaha meraih kainnya yang merosot itu sambil menahan
serangan musuh
Tapi nenek itu malahan memanfaatkan kesempatan tersebut
dengan baik, ia
melontarkan serangan sambil tertawa mengejek: "Hei,
bocah cilik, tak ku sangka
kau semiskin ini sehingga beli bajupun tak mampu. Huuh,
awak sendiri kere,
kenapa suka mencampuri urusan orang lain, lihatlah nenekmu
akan mampuskan
kau!"
"Wees! Wees«!" beruntun ia menyerang tiga kali.
Berat tenaga serangan nenek itu, Tian Pek ingin menghindar
ke samping, apa
mau dibilang kakinya kurang leluasa bergerak lantaran
terganggu oleh tali baju
yang melorot itu, dalam keadaan seperti ini terpaksa dia
harus menyambut
datangnya ancaiman itu dengan keras lawan keras.
"Blum! Bluum! Bluum!" beruntun teijadi tigu kali
benturan keras.
Tian Pek merasa isi perutnya terguntang, darah dalam
rongga dadanya bergolak,
pandangannya jadi gelap dan hampir saja ia tak tahan.
Setelah tipa kali seranpan, nenek itu kembali latah, ia
tertawa ter-kekeh2,
tangan terangkat, segera ia menghantam lagi batok kepala
Tian Pek.
Waktu itu Tian Pek sudah dalam keadaan payah, ia merasa
daya tekan telapak
tangan nenek itu bagaikan gunung menindih kepalanya, buru2
ia angkat kaki
hendak menghindar
Apa lacur, dia lupa kainnya yang merosot ke bawah masih
melilit kedua kakinya,
baru saja dia bergeser, tubuhnya langsung sempoyongan dan
nyaris jatuh
tertelungkup.
Melihat ada peluang baik, nenek itu memburu maju terus
menghantam pula.
Tian Pek sudah mati langkah, terpaksa dia angkat telapak
tangannya untuk
menangkis dengan keras lawan keras.
"Blang!" daya pukulan yang dilontarkan si nenek
sekali ini jauh lebih dahsyat,
Tian Pek seketika itu merasakan dadanya seperti digodam
oleh martil sebesar
ribuan kati. napasnya jadi sesak, mata ber-kunang2, tanpa
ampun dia muntah
darah dan terjungkal ....
Dalam keadaan sadar tak sadar ia sempat mendengar gelak
tertawa si nenek
yang serak itu, menyusul angin pukulan yang lebih berat
untuk ketiga kalinya
menerjang dadanya.
Tian Pek mengeluh: "Habislah riwayatku, tak sangka
aku Tian Pek harus mampus
disini .... "
Pada detik terakhir itulah se-konyong2 cahaya pedang
berwarna hijau
menyilaukan berkelebat menyusul lantas terdengar bentakan
nyaring dan
tibanya gulungan angin tajam menyambar nenek itu.
Apa yang terjadi tak sempat oiketahui Tian Pek, ia telah
jatuh pingsan dan tidak
tahu apa2 lagi.
o oO 0O0 Oo o
Entah sudah berapa lama, akhirnya Tian Pek sadar kembali.
Lamat2, ia tak tahu dirinya masih hidup ataukah sudah
kembali ke alam baka,
suara pertama yang sempat terdengar olehnya adalah tetesan
air yang
menciptakan serentetan irama merdu.
Air itu menetes tiada hentinya. . ."Tiing. . .Ting!
Tang. . .Taang!" merdu
kedengarannya, nikmat dirasakannya, se-olah2 perpaduan
aneka ragam alat
musik yang memainkan nyanyian surga.
Yang lebih aneh lagi, ternyata diantara dentingan irama
itu lamat2 terdengar
pula suara nyanyian yang amat merdu, nyanyian itu lembut
dan enak didengar,
membuat siapapun yang mendengan se-akan2 terbuai ke alam
impian indah.
Tian Pek tidak tahu dirinya berada dalam mimpi ataukah
memang kenyataan?
Ia berusaha mengetahui di manakah sekarang dia berada? Ia
coba ingat kembali
segala apa yang pernah dialaminya tapi bagaimanapun jugs
ia tak berhasil
mengingat berada dimanakah ia saat ini?
Akhirnya ia membuka matanya. . .pemandangan pertama yang
dilihatnya adalah
langit nan biru.
Ia berpaling ke kiri, di sana sebuah bukit karang yang
tinggi batu karang yang
berbentuk aneh berserakan di suna siiu, rumput dan aneka
warna bunga
tumbuh di sekitarnya se olah2 menciptakan suatu
pemandangan yang indah,
tempat berteduh yang harmonis.
Tinggi sekali tebing karang itu, air terjun kecil berada
disampingnya
memuntahkan butiran air yang deras, ber-liuk2 di antara
celah2 karang yang tak
rata dan berubah menjadi beberapa pancuran air, suatu
pemandangan alam
yang indah mempesona.
"Aneh! Siapakah yang membawaku ke sini? Siapa yang
membaringkan aku di
tempat seindah ini?
Tempat apakah ini? Siapakah yang menaruh bunga indah ini
di sekeliling
tubuhku?"
Ia berpaling ke sebelah kanan, di situ terbentang sebuah
telaga yang jernih,
mendadak ia melenggong.
Kiranya ia melihat seorang nona jelita berambut panjang,
dengan tubuh yang
putih berada dalam keadaan telanjang bulat sedang bermain
air di telaga sana
sambil bernyanyi.
Mula2 gadis itu berendam di air, tapi sekarang ia telah
berenang ke tepian
kemudian per-lahan2 bangkit dari dalam air yang cetek.
Tian Pek jadi melongo, biarpun ia seorang pemuda yang
alim, diberi tontonan
gratis yang memerangsang ini, mau-tak-mau jantungnya
ber-debar2 juga.
Gadis telanjang itu tidak merasa bahwa ada sepasang mata
sedang menikmati
keindahan tubuhnya yang bugil dan merangsang itu, dia
masih bernyanyi kecil
sambil memetik setangkai bunga teratai putih dan
diselipkan pada sanggulnya.
Waktu itulah, tampaknya anak dara itu baru merasakan
adanya sepasang mata
yang sedang mengawasinya, ia berpaling dan menemukan Tian
Pek sedang
memandangnya dengan mata terbelalak.
Tiba2 anak dara itu berseru kegirangan: "O, engkoh
Pek, akhirnya kau sadar
kembali!"— Dengan kegirangan anak dara itu berlarian
mendekati Tian Pek.
Mata Tian Pek terbelaiak lebar, betapa tidak ia saksikan
gadis yang telanjang
bulat itu kian mendekat dan semua bagian tubuhnya
terpampang jelas,
terutama payudaranya yang berguncang keras dikala anak
dara itu sedang
berlari, serta pahanya yang putih mulus, perutnja yang
kecil dan. . . .Tiada
perasaan jengah atau kikuk di wajah gadis itu, malahan
dengan tertawa riang ia
lari menghampiri Tian Pek.
Sekarang anak muda itu dapat melihat jelas raut wajah
gadis itu, siapa lagi dia
kalau bukan Liu Cui-cui.
Sedari kecil Liu Cui-cui hidup di suatu pulau terpencil
dan jauh ditengah
samudera, ia tak mengenal adat istiadat daratan Tionggoan
yang serba kolot ia
pun tak mengerti apa artinya malu, apa artinya kikuk,
hatinya sepolos tubuhnya,
suci murni tiada setitik kotoran dan tiada sedikitpun dosa
orang hidup ini.
Apa yang dilakukan anak dara itu hanyalah sewajarnya
menurut apa yang dia
inginkan dan apa yang dia senangi.
Setiba di depan Tian Pek yang masih melongo, ia rentangkan
tangannya lebar2
terus jatuhkan diri ke dalam pelukan anak muda itu dengan
penuh kemanjaan.
"O, engkoh Pek . . . engkoh Pek sayang, akhirnya kau
sadar kembali. . . ."
teriaknya penuh kegirangan. "Mulai sekarang, kau
harus menemani aku
bermain. . . menemani aku berenang . O. tahukah kau. sudah
dua bulan aku
menjaga di sisimu? Bayangkan, betapa kesalnya kuhidup
sendirian dipulau
karang yang terpencil dan sepi ini. . . ."
Tian Pek tidak berkutik, rangkulan dan pelukan mesra gadis
telanjang ini
mengobarkan napsu berahinya.
Bagaimanapun Tian Pek bukan pemuda bangor, rangsangan
birahi itu dapat
dikendalikannya. iapun memohon: "Cui-cui, cepatlah
berpakaian. . .Aduh,
kenapa aku berbaring di sini.. .tempat apakah ini?"
Meski sedapatnya Tian Pek mengendalikan perasaannya yang
bergolak, tapi
digeluti dalam keadaan polos, betapapun cara bicaranya
menjadi gelagapan.
Cui-cui mencibir dan berbangkit, ia membusungkan dadanya
yang montok dan
mengomel: "Huh, berpakaian apa segala? Sejak kecil
aku dibesarkan di pantai,
tiduran di semak rumput, selalu juga begini, tidak pernah
memakai baju."
"Itu kan waktu masih kecil," kata Tian Pek
sambil tertawa, "di masa kanak2 tentu
saja kau boleh telanjang sambil berlarian, tapi sekarang
kau sudah dewasa. apa
tidak malu kalau telanjang bulat di depan orang?"
"Huuh, apa cuma kanak2 yang boleh telanjang? Beberapa
bulan yang lalu
akupun bermain di pantai dalam keadaan telanjang
begini."
"Itu pulau kosong tanpa penghuni, biar telanjang juga
tak ada yang lihat,
berbeda dengan daratan Tionggoan,dimana2 penuh manusia,
betapa pun kau
harus berpakaian. . .."
"Huh, omong kosong," tukas Cui-cui dengan wajah
cemberut. "Siapa bilang
pulau itu kosong? Di sana juga ada nelayan, justeru di
tempat inilah malah sepi
tanpa seorangpun yang ada disini!"
Tian Pek melongo dan tak mampu menjawab lagi, ia hanya
bisa memandangi
anak dara itu dengan terbelalak.
Ketika gadis itu berdiri, payudaranya persis berada di
depan mata Tian Pek,
tubuh yang halus merangsang segera membangkitkan semacam
perasaan aneh
dalam hati anak muda itu, ia merasa peredaran darahuna
bergerak terlebih
cepat, napas ter-engah2, wajahnya merah panas, matanya
melotot semakin
bulat. . . .
Melihat keadaan anak muda itu Cui-cui tertawa cekikikan:
"Eeh, engkoh Pek!
Kenapa kau pandang aku dengan sorot mata seperti
itu?"
"O. . kau. kau cantik sekali." sahut Tian Pek
seperti orang mengigau,
Berbungalah hati Cui-cui mendengar pujian itu, perempuan
mana yang tak
senang dipuji cantik oleh lelaki?
"Benarkah aku cantik? Kalau memang begitu, janganlah
memaksa aku untuk
berpakaian, biarkan aku berada dalam keadaan polos
begini!" pintanya.
Ucapan ini mengingatkan Tian Pek pada kejadian yang di
alaminya di Pah-to-sanceng
dahulu ketika ia merobek pakaian sendiri karena
terpengaruh irama
seruling Gin-siau-toh-bun Ciang Su-peng. Waktu itu iapun
merasa manusia
adalah makhluk di alam bebas, bertelanjang bulat adalah
pembawaan yang asli,
pakaian hanya hiasan buatan manusia, tanpa busana malah
terasa lebih bebas,
lebih murni, lebih alamiah ....
Akhirnya pemuda itu mengangguk, sahutnya dengan lirih:
"Benar, kau lebih
cantik telanjang bulat daripada berpakaian, aku .... aku .
. . ."
Cui-cui tertawa cekikikan, tiba2 ia melompat kesana dan
menyembunyikan diri
di belakang batu padas, serunya: "Baiklah asal kau
sudah tahu, aku tak mau
badanku kau lihat terus, aku ngeri melihat matamu itu
...."
Diiringi suara cekikikan tahu2 gadis itu muncul kembali,
hanya sekarang dia telah
mengenakan sebuah jubah panjang yang tipis bening dan
memancarkan sinar
mengkilap.
Cui-cui keluar dari balik batu dengan kepala tertunduk,
sekuntum bunga putih
menghias rambutnya, membuat anak dara itu ibarat bidadari
dari kahyangan.
"Ai, cantik benar dia," pikir Tian Pek dengan
perasaan kagum, "bila kupunya
teman hidup secantik dia, menetap di suatu tempat yang
terpencil dan jauh dan
keramaian, alangkah bahagianya."
"
Sementara itu Cui-cui telah mendekati Tian Pek sambil
membetulkan rambut
yang kusut terembus angin, ia berkata: "Engkoh Pek,
hayo duduklah dan cobalah
mengatur pernapasan, coba apakah luka dalammu telah
sembuh, kalau sudah
sehat kembali, aku ada sebuah benda bagus akan
kuperlihatkan kepadamu!"
"Barang bagus apa. Sekarang saja perlihatkan padaku,
kan sama saja?" pinta
Tian Pek.
"Tidak, kau mesti atur pernapasan dulu!" seru
Cui-cui dengan manja. "Bila
terbukti lukamu telah sembuh baru barang itu akan
kuperlihatkan padamu.
Terpaksa Tian Pek mengalah, ia berduduk' baru sekarang ia
tahu dirinya
menggunakan pakaian terbuat dari bahan yang sama seperti
apa yang
dikenakan Cui-cui.
Bahan pakaian itu sangat halus, lagipula memancarkan sinar
mengkilap, entah
terbuat dari bahan apa?
"Cui-cui, darimana kau dapatkan baju ini? Bagus amat
warna dan bahannya!" ia
berseru.
"Waktu kau sakit, aku mengumpulkan sutera ulat di
bukit ini dan menenunnya,
karena tiada jarum dan benang, maka kujahit dengan tali
sutera yang kasar,
Coba, tidak jelek kan baju ini?"
Tian Pek tersenyum dan mengangguk, dalam hati ia memuji
anak dara itu, bukan
saja wajahnya cantik. ilmu silatnya tinggi, ternyata
akalnya juga banyak dan
pandai membuat kerajinan tangan.
"Cui-cui, kau memang pintar," pujinya kemudian.
"Kutahu tidak gampang
membuat pakaian semacam ini, mungkin tidak sedikit waktu
yang kau gunakan
membuat pakaian ini."
"Tidak lama, cuma enam puluh hari?"
"Apa? Enam puluh hari!" seru Tian Pek
terperanjat, "Jadi sudah dua bulan aku
tak sadarkan diri?"
"Dua bulan lebih!" Cui-cui menegaskan dengan
tertawa "Masa kau lupa ketika
kau jatuh pingsan, waktu itu masih musim dingin, sekarang
kan sudah musim
semi?"
Ia mendengus, dengan agak murung bercam-pur kesal
tambahnya: "Masih
kurang lama pingsanmu itu? Tahukah kau, betapa kesepiannya
aku selama dua
bulan ini? Seorang diri aku menemani
kau yang tak sadar .... merawat dirimu, O. . .engkoh Pek,
dapatkah kau
merasakan betapa sedihnya aku selama ini?"
Tian Pek tidak memperhatikan kemurungan Cui-cui, ia hanya
teringat pada sakit
hati ayahnya belum terbalas, serunya mendadak dengan
gelisah: "Wah, kita
tidak bisa nongkrong terus disini, hayo kita lekas
berangkat ..." Sambil berseru
dia lantai berbangkit.
"Engkoh Pek, mau kemana kau?" seru Cui-cui
sambil menarik tangannya.
"Mencari keempat keluarga besar dan membalas sakit
hati ayahku!"
"Engkoh Pek, kau tak perlu balas dendam lagi, empat
keluarga besar telah
bubar, Cing-hu-sin Kim Kiu, Kian-kun-ciang In Tiong-liong,
Kun-goan-ci Sugong
Cing, Ti-seng-jiu Buyung Ham serta Pak-ong-pian Hoan Hui,
semuanya sudah
mati dibunuh orang ...."
"Cui-cui, jangan bicara tak keruan!" sela Tian
Pek tidak percaya. "Empat keluarga
besar bukan orang sembarangan, mereka adalah tokoh dunia
persilatan yang
berpengaruh dan berkedudukan tinggi, kawanan jago lihay
yang mereka
pelihara tak terhingga jumlahnya, mana mungkin tokoh2
selihay itu mampus
semua dibunuh orang . . . ."
Cui-cui tak senang karena Tian Pek tidak percaya pada
keterangannya.
Engkoh Pek, jadi kau anggap kubohongi kau?" serunya
dengan mendongkol.
"Tahukah kau, selama dua bulan terakhir ini telah
terjadi perubahan yang amat
besar di dunia persilatan? Bukan saja majikan keempat
keluarga besar telah
tewas dibunuh orang, malahan ketua dari sembilan aliran
besar, para pemimpin
golongan putih mau pun hitam serta para pentolan Lok-lim,
baik dari kalangnn
daratan mau pun lautan banyak yang tewas dan menyerah,
dunia persilatan
pada saat ini telah terjatuh ke dalam cengkeraman seorang
gembong iblis!"
"Bagaimana dengan Bu-lim-su-kongcu?" tanya Tian
Pek.
"Bu-lim-su-kongcu tak lebih hanya kawanan keroco yang
tak berarti lagi."
"Lalu siapakah gembong iblis itu?" Tian Pek
makin terkejut. "Masa ilmu silatnya
begitu hebat, sehingga dalam dua bulan ia berhasil
menaklukkan seluruh jago
dunia persilatan."
"Ai, sekalipun kuceritakan juga kau tidak tahu dia
sudah lama berdiam di Mokui-
to (pulau setan) dilaut selatan, orang menyebutnya sebagai
Hay-liong-sin
(dewa raga laut), disebut pula sebagai Lam-hay-it-kun
(Datuk sakti dari laut
selatan), sedangkan namanya yang asli adalah Liong
Siau-thiam!"
Tian Pek termenung dan meng-ingat2 nama itu, benar juga ia
merasa asing
sekali dengan nama itu dan rasanya belum pernah mendengar
nama itu, maka
dengan sangsi ia bertanya lagi: "Cui-cui, masakah
dengan mengandalkan
kekuatan Hay-liong-sin seorang, dunia persilatan dapat
ditaklukkan dan di kuasai
olehnya?"
Cui-cui tertawa, tuturnya: "Tentu saja tidak cuma dia
seorang, masih ada anak
buahnya yang tangguh, seperti Lam-hay-liong-li (naga
perempuan dari laut
selatan), Tho-hoa-su-lian (empat dewa bunga tho),
Mo-kui-to-pat-yau (delapan
siluman dari pulau setan) serta Hay-gwa-sam-sat (tiga
malaikat dari luar
samudera) yang pernah kau temui serta si pelajar berbaju
putih dan berkipas
perak itu."
"Siapakah pelajar baju putih yang membawa kipas perak
itu?" tanya Tian Pek
dengan mata terbelalak.
"Pemuda itu adalah putera tunggal Lam-hay-it-kun,
namanya Lam-hay-siau-kun
(pemimpin muda dari laut selatan) Liong Hui, ia disebut
juga sebagai Liong-sinthaycu
(pangeran naga sakti), sekali pun dalam penyerbuannya
kedaratan
Tionggoan memakai nama besar ayahnya, pada hakikatnya
Hay-liong-sin sendiri
tak pernah tampil kedaratan Tionggoan ini, semua
pertarungan dan semua
rencana di kepalai Liong Hui sendiri. Ya, boleh dikatakan
dunia persilatan
dewasa ini sudah menjadi milik keluarga Liong!"
Sekarang mau tak-mau Tian Pek mempercayai cerita Cui-cui,
katanya: "Tak
kusangka, benar2 tak kusangka, hanya dalam waktu dua bulan
lebih ternyata
dunia persilatan telah mengalami perubahan sebanyak
ini."
Tak tega Cui-cui melihat kekesalan Tian Pek, ia coba
menghibur: "Engkoh Pek,
lebih baik jangan kita urus dulu keadaan di dunia luar,
biarpun dunia mau
kiamat, yang pasti tempat kediaman kita ini tetap aman
sentosa, tanpa izinku
siapa pun tak dapat memasuki tempat ini. Engkoh Pek.
tenangkan hatimu,
buang jauh2 segala persoalan, cobalah mengatur pernapasan,
periksa dulu
keadaan lukamu apakah sudah sembuh atau belum?"
"Cui-cui, sekarang kita berada dimana .. . ."
kembali Tian Pek bertanya dengan
hati tak tenang.
"Engkoh Pek, kau tak perlu bertanya, kalau
kuceritakan, tiga hari tiga malam pun
tak akan selesai, aturlah pernapasan lebih dulu, kemudian
akan kuperlihatkan
suatu benda bagus padamu!"
Terpaksa Tian Pek menahan berbagai tanda tanya, kemudian
ia duduk bersila,
atur pernapasan dan mulai menjalankan latihan seperti apa
yang dipelajarinya
dari kitab Soh-kut-siau hun-thian-hud-pit-kip.
Benar juga, hawa murni dalam tubuhnya bisa mengalir dengan
lancar, bukan
saja tidak menemui rintangan apa2, malahan badan terasa
lebih segar dan lebih
bertenaga.
Ia mengakhiri latihannya dan membuka matanya:
"Cui-cui, hawa murniku telah
mengalir tanpa rintangan, aku pikir lukaku telah
sembuh!"
Wajah Cui-cui mulai berseri. betapa girangnya anak dara
itu setelah mengetahui
luka pemuda itu telah sembuh.
"Sebenarnya luka engkoh Pek tak seberapa berat dan
takkan pingsan begini
lama," ia menerangan. "Tapi Siaumoay sengaja
memberikan sejenis obat
mujarab Ci-tam-hoa (bunga Wijaya kusuma) kepadamu .
..."
"Apakah Ci-tam-hoa itu?" tanya Tian Pek,
"Ci-tam-hoa adalah sejenis obat mujarab yang tumbuh
di puncak Hoa-san,
bukan saja dapat menambah tenaga dalam dan menyembuhkan
racun yang
mengeram di tubuh seseorang, malahan bisa menambah umur
membuat orang
awet muda dan tahan lapar. Cuma obat ini pantang bagi
mereka yang bertenaga
dalam rendah, sebab daya kerja obat ini terlampau keras,
bila orang biasa
minum obat itu, maka isi perutnya akan terbakar dan
mengering, darah kental
akan meleleh dari ketujuh lubang inderanya dan kemudian
orang itu akan mati
dalam keadaan mengerikan ..." Setelah berhenti
sebentar, gadis itu
menyambung lebih jauh: "Kebetulan Siaumoay memiliki
setangkai Ci-tam-hoa
yang selalu kubawa tak tersangka engkoh Pek sendiri
menderita luka yang cukup
parah, setelah Siaumoay berhasil pukul mundur Hay-gwa-sam-sat
dan menolong
engkoh Pek kemari, kugunakan Ci-tam-hoa ini untuk menolong
kau. Kutahu
engkoh Pek memiliki dasar tenaga dalam yang kuat,
sekalipun obat ini panas
hawanya, namun engkoh Pek pasti sanggup tahan."
Sungguh haru dan berterima kasih perasaan Tian Pek setelah
mendengar
keterangan ini, serunya: "Cui-cui, kau sangat baik
kepadaku . . .entah cara
bagaimana harus kubalas budi kebaikanmu ini."
Cui-cui tersenyum, ia terhibur mendengar kata2 tersebut,
rupanya iapun tahu
pemuda itu terharu oleh perbuatannya.
"Engkoh Pek!" katanya kemudian, "aku tidak
mengharapkan apa2 darimu, aku
cuma berharap agar engkoh Pek tak akan melupakan diriku,
kuharap engkoh Pek
akan selalu mengingat diriku sepanjang masa. . . ."
Sesudah hening sesaat, ia melanjutkan: "Setelah
kuberikan obat Ci-tam-hoa
kepadamu, tiba2 sekujur badanmu merah membara, suhu
badanmu meningkat
dan panasnya melebihi bara, aku jadi panik, lima-enam hari
lewat dengan begitu
saja, sementara panas badanmu tak menurun dan kau tetap
berada dalam
keadaan tak sadar. waktu itu aku benar2 panik sekali . , .
Ai, kutakut salah
memberikan obat kepadamu sehingga mengakibatkan hal yang
lebih fatal, apa
boleh buat, dalam keadaan demikian aku hanya bisa
memberikan sari hawa
dinginku. . . ."
Sekalipun Cui-cui adalah seorang gadis polos masih
bersifat ke-kanak2an,
malahan di-hari2 biasa tak pernah merasa malu, namun
berbicara sampai di sini,
tak urung merah juga pipinya.
Tian Pek bukan orang bodoh, ia dapat meraba maksud perkataan
itu, apalagi dia
adalah seorang gadis yang pengorbanannya ini sungguh
sangat besar artinya,
kalau bukan cinta yang suci, tidak nanti ia bertindak
begitu.
Dengan pandangan yang mesra ditatapnya wajah Cui-cui tanpa
berkedip, ia
genggam tangannya yang putih lembut, lalu bisiknya:
"Adik Cui, adikku sayang,
engkau terlalu baik kepadaku engkau terlalu baik kepadaku
. ..."
Pancaran sinar kemesraan dari mata Tian Pek disambut
dengan penuh
kebahagian dalam hati Cui- cui, ia merasa susah-payahnya
selama dua bulan
lebih sebagai "ayam betina yang mengeram telur"
akhirnya mendapatkan
ganjaran yang setimpal.
Dengan malu2 dan muka merah ia tunduk rendah2, lalu ia
menyusup kedalam
pelukan Tian Pek sambil berbisik: "Engkoh Pek,
tentunya kau sudah mengerti
bukan mengapa aku bertelanjang bulat dihadapanmu? Selama
dua bulan ini tiga
jam setiap hari aku mesti telanjang bulat dan. . .dan
berbaring di atas tubuhmu.
Tadi baru saja kulakukan cara penyembuhan
Toa-in-lian-siang (menyembuhkan
luka dengan sari perempuan) bagimu, karena berkeringat
maka aku
membersihkan badan dalam telaga, tahu2 engkoh Pek telah
sadar. O, engkoh
Pek, tahukah kau bahwa aku telanjang bulat justeru
lantaran kau . . . . ? Aku
berkorban demi menyembuhkan lukamu. . .?"
Betapa terharu dan terima kasihnya Tian Pek sukar
dilukiskan, dalam keadaan
seperti ini, ia tak bisa berbuat apa2 kecuali merangkul
Cui-cui dengan penuh
kemesraan dan kehangatan ....
Cui-cui terbuai dalam kehangatan cinta, ia balas memeluk
erat2 serta
menyandarkan kepalanya didada Tian Pek yang bidang ....
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Tian Pek terhentak
bangun dari
lamunan ia mendorong tubuh Cui-cui dan berbisik: Cui-cui,
tadi kau berjanji mau
menunjukkan suatu benda bagus kepadaku. Benda apakah itu?
Sekarang
perlihatkan padaku!"
"Oya, kalau engkoh Pek tidak mengingatkan hampir saja
aku lupa. Nih? Lihatlah,
benda inilah yang hendak kuperlihatkan padamu."
Sambil berkata ia lantas mengeluarkan sejilid kitab yang
berwarna-warni.
Hampir saja Tian Pek tertawa geli, katanya: "Ah, kau
ini ada2 saja, itu kan
kitabku yang bernama Soh-kut-siau-hun-thiat-hud-pit-kip?
Jadi kitab ini kau
anggap sebagai barang bagus tadi?"
Merah jengah wajah Cui-cui: "Engkoh Pek,bukan kitab
Soh-hun-siau-kut ini yang
kumaksud, coba bukalah halaman kitab ini!"
Tian Pek melongo, ia tak mengerti kenapa sianak dara suruh
dia membuka kitab
itu pikirnya: "Aneh, kenapa aku mesti membuka halaman
kitab ini? Bukan baru
sekali kulihat lukisan didalamnya, paling sedikitpun sudah
berpuluh kali
kunikmati isinya, tulisannya pun sudah beratus kali kuraba
dengan tangan,
jangankan melek mata, sekali pun tutup mata aku apal
isinya."
Tapi ia tahu Cui-cui pasti mempunyai maksud tertentu,
kalau tidak tak namnt ia
bicara dengan ber-sungguh2. Maka walaupun tahu isi kitab
itu adalah gambar
telanjang Thian-sian-mo-li yang merangsang? toh dibuka
juga halaman yang
pertama.
"Apanya yang menarik lukisan ini?" serunya tidak
habis mengerti, "sudah
puluhan kali aku melihatnya . . . ."
Belum habis pemuda itu berkata, Liu Cui-cui telah membuka
lagi jubahnya
hingga telanjang bulat, kemudian sambil menggoyangkan
pinggul dan badan
meng-geliat2 seperti seekor ular kecil, merangsang sekali
gaya tubuh itu, apalagi
dilakukan dalam keadaan telanjang dengan bentuk badan yang
indah, hampir
saja Tian pek tak sanggup mengusai diri.
Air muka Cui-cui sekarang mirip benar perempuan yang haus
cinta, gerakgeriknya
menggiurkan penuh gairah, ia kini bukan lagi gadis yang
suci murni, tapi
mirip perempuan cabul.
Mula2 Tian Pek agak kaget, lalu gusar, menyusul nafsu
berahi lantas berkobar.
Cepat sekali munculnya nafsu berahi itu, bukan saja rasa
kaget dan marah tak
dapat mengatasi kobaran api berahi itu, bahkan peredaren
darahnya semakin
bergolak, terasa aliran hawa panas muncul dari pusar
menuju selangkangan,
hampir saja ia tak tahan.
Untungnya Cui-cui segera menghentikan gaya merangsang
tersebut dan
mengenakan kembali jubahnya.
"Engkoh Pek, bukankah gayaku barusan sangat indah
....?" kata si nona dengan
tersenyum.
Hilang rasa kaget dan sirap kobaran api birahi, sekuat
tenaga Tian Pek berusaha
mengendalikan perasaannya. katanya kemudian dengan kesal,
"Ai, adik Cui. kau
adalah gadis suci, kuharap selanjutnya janganlah kau
lakukan lagi gaya jelek
yang memalukan ini. . . ."
Cui-cui tertawa: "Engkoh Pek, berbicaralah yang
sejujurnya, masa kau hanya
melihat kulitnya dan tak dapat merasakan isi serta makna
yang sebenarnya?"
Tian Pek melongo tidak mengerti. ia memandang kembali
lukisan pertama yang
tertera dalam kitab Soh-kut-siau-hun-pit-kip.
Thian-sian-mo-li dalam lukisan tersebut berdiri dengan
sikap yang merangsang,
dengan guncangan payudara dan goyangan pinggul yang cukup
bikin hati
berdebar, terutama mimik wajahnya yang genit dan jalang
persis tak ubahnya
seperti apa yang dipraktekkan Cui-cui barusan.
Maka dengan tercengang ia bertanya: "Adik Cui,
gerakan yang kau praktekkan
bukankah gerakan Thian-sian-mo-li seperti lukisan dalam
kitab ini? Makna apa
lagi yang terselip dibalik gaya yang merangsang itu?"
"Engkoh Pek, tahukah kau siapa guruku?" tanya
Cui-cui dengan ber-sungguh2.
"Tidak kau terangkan, darimana aku tahu?"
"Guruku ialah Thian-sian-mo-li!"
"Ah, ti. . .tidak mungkin! Thian-sian-mo-li hidup
pada dua ratus tahun yang lalu,
mana ia bisa hidup sampai sekarang. . .."
Cui-cui mengerling sekejap ke arah Tian Pek, kemudian
sahutnya, "Kenapa kau
selalu mencurigai perkataanku? Masa aku membohongi kau?
Dan lagi
bagaimana pun juga tak akan kugunakan guruku sebagai bahan
bohongan!"
Melihat anak dara itu tak senang hati. cepat Tian Pek
memotong: "Cui-cui tak
perlu kita persoalkan dulu masalah ini, coba terangkan
dulu apa makna yang
tertera dalam lukisan tersebut!"
"Gaya yang tertera dalam kitab itu tak lain adalah
sejenis ilmu aneh yang dimiliki
guruku, ilmu itu adalah Coa-li-mi-hun-toa-hoat (ular sakti
perawan pembingung
sukma), menurut keterangan guruku ilmu ini lihaynya luar
biasa, betapapun
lihay ilmu silat seseorang, tak nanti bisa melawan
keampuhan daya rangsangan
ilmu tersebut, sekalipun dia adaalah seorang pederi saleh
yang sudah mati rasa
juga takkan sanggup mengendalikan diri. . . ."
Tiba2 Tian Pek teringat kembali pada cerita paman Lui
tatkala menyerahkan
kitab tersebut kepadanya dalam gua di bukit Siau-kun-san
tempo hari, ia
bercerita bagaimana Cia-gan-longkun dipengaruhi oleh
seorang perempuan iblis
sehingga mengalami kelumpuhan dalam latihan.
Maka sambil menghela napas panjang, katanya:
"Bagaimanapun lihaynya Coa-liim-
hun-toa-hoat dari gurumu itu toh kepandaian tersebut bukan
ilmu yang
murni, tapi ilmu hitam golongan jahat,. . . ."
Pemuda itu tidak meneruskan kata2nya, sebab ia merasa bila
ucapannya
dilanjutkan, bisa jadi Cui-cui akan mengira dia tidak
menghormati gurunya.
Betul juga dugaannya, Cui-cui jadi mendongkol dan tak
senang setelah
mendengar perkataan itu, matanya melotot dan mukanya
cemberut.
"Apa itu ilmu hitam?" serunya, "orang
beradu silat yang dituju adalah
kemenangan, siapa menang dia kuat, siapa kalah dia lemah,
apa dilawan dengan
rangsangan atau dilawan pakai golok dan pedang, toh tiada
berbedaannya. . ."
Jika Tian Pek diam saja niscaya kemarahan Cui-cui akan
mereda, bila pemuda itu
cerdik dan tahu perasaan perempuan, ia pasti akan
mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain. Apa mau dikata, Tian Pek memang
lugu dan tak tahu
perasaan perempuan, sekalipun diketahui Cui-cui tak senang
hati, toh ia
berbicara lagi dengan blak-blakan.
"Tentu saja jauh sekali bedanya," katanya,
"misalnya saja seorang akan pergi ke
suatu tempat. ia tidak melewati jalan yang lurus tapi
memilih jalan yang berlikuliku,
sekalipnn di mulai bersama, tapi selisihnya kan jauh
sekali. . . ."
"Aku tak suka pada obrolanmu, aku tak mau
membicarakan soal2 begitu dengan
kau," seru Cui- cui cepat, "sekarang aku akan
memberitahukan satu hal padamu,
ketahuilah bahwa di dalam seratus delapan buah lukisan
Thian-sian-mo-li ini
tersimpan serangkaian ilmu gerak tubuh yang lincah serta
serangkaian ilmu
langkah yang tak terhingga perubahannya. Ilmu pukulan itu
adalah Thian-hudhang-
mo-ciang (Budha suci penakluk iblis), sedang ilmu gerakan
tuhuh bernama
Bu-sik-bu-siang-sin (tiada berwarna tiada berwujud) dan
ilmu langkahnya
disebut Cian-hoan-biau-hiang-poh (embusan angin harum
beribu perubahan),
ke-tiga2nya adalah ilmu yang maha sakti, apabila seorang
memainkan jurus
Thian-hud-hiang-mo-ciang dengan menggunakan pedang, maka
akan terciptalah
ilmu pedang Thian-hud-hang-mo-kiam. Barang siapa berhasil
menguasai ilmu2
sakti itu, dia akan menjagoi kolong langit tanpa
tandingan. Engkok Pek. coba
pikirlah, bukankah aku telah memperlihatkan suatu benda
yang bagus bagimu?
Hm, tak tersangka kau malahan ber-olok2 dengan kata2 yang
tak sedap, aku
bermaksud baik, kau malah menganggap yang bukan.
bukan!"
Tian Pek jadi semakin terkejut, setelah Cui-cui selesai
bertutur, ia mengembus
napas panjang seraya berbisik: "Sungguhkah itu?
Mengapa aku . . ." Ia hendak
mengatakan: '"Mengapa sudah sekian lama kuapalkan
kitab Soh-kut-siau-hunpit-
kip, tapi tidak dapat kupecahkan rahasia ini?"
Tapi sebelum ia sempat melanjutkan kata2nya itu, Cui- cui
telah mencibir.
"Huuh, engkoh Pek ini bagaimana, selalu tidak percaya
pada perkataanku. Baik,
anggap saja semua perkataanku hanya omong kosong saja dan
tak perlu
dibicarakan lagi."
Dengan perasaan tak senang ia lantas putar badan dan
berlalu.
Tian Pek adalah pemuda yang keranjingan belajar silat,
sakit hati ayahnya baru
bisa dibalas bila ia dapat mempelajari ilmu silat yang
maha tinggi, apalagi
setelah mengetahui orang Lam-hay-bun yang menjajah daratan
Tionggoan rata2
berilmu tinggi, bila dia ingin melabrak mereka untuk
menegakkan keadaan dan
kebenaran dunia persilatan, maka lebih dulu dia harus
memiliki ilmu silat yang
lihay.
Maka demi dilihatnya gadis itu ngambek dan mau pergi,
cepat ia menghalangi
dan memberi hormat.
"Cui-cui, jangan marah," katanya,
"anggaplah aku yang salah, aku benar2
mempercayai ucapanmu sekarang berilah petunjuk kepadaku.
Ai, maklumlah
aku tak pandai bicara, sekarang aku sudah minta maaf
kepadamu, tentunya kau
bersedia untuk memberi maaf bukan?"
Tian Pek memang tak pandai berlagak, kali ini ternyata
bisa berbicara dengan
lucu, ditambah pula gaya memberi hormatnya yang lucu,
kontan Cui-cui tertawa
geli.
Melihat nona itu tertawa, Tian Pek ikut tertawa, katanya
dengan cepat: "Cui-cui,
apakah gaya rangsanganmu tadi merupakan salah satu jurus
serangan Thianhud-
hiang-mo-ciang?"
"Bukan!" sahut Lui Cui-cui. "Gerakan tadi
adalah salah satu jurus Coa-li-mi-hunhoat
yang disebut Giok-te-biau-hiang (tubuh indah menyiarkan
bau harum).
Menghadapi gerakan Giok-te- biau-hiang ini lawan akan
menyerang dengan
suatu pukulan miring ke bawah, maka akan terciptalah jurus
pertama dari Thianhud-
hiang-mo-ciang yang bernama Hud-cou-hiang-toh (Buddha suci
turun
tahta), jika segera menggeser langkah serta mengelak ke
samping akan menjadi
gerakan Bu-sik-bu-siang serta gerakan
Cian-huan-biau-hiang!"
Walaupun soal kecerdikan Tian Pek tidak seberapa hebat,
tapi bagaimanapun
dia adalah jago yang memiliki dasar ilmu silat yang kuat,
begitu dijelaskan oleh
Cui-cui, diapun lantas mengerti.
"Jadi kalau begitu. untuk berlatih
Thian-hud-hiang-mo-ciang ini harus ada dua
orang yang bekerja sama?" tanyanya.
"Kali ini kau memang cerdik! Dalam kitab
Soh-hun-siau-kut-pit-kip ini tersimpan
tiga jenis ilmu silat yang maha sakti dan harus dilatih
dua orang bersama,
bahkan harus dilatih bersamaku, bukannya aku membual,
meskipun dunia ini
sangat lebar, tapi kecuali aku seorang, jangan harap ada
orang kedua yang bisa
melakukannya . . . ."
Dengan mata yang jeli dan senyum yang misterius anak dara
itu melirik sekejap
ke arah Tian Pek, kemudian tambahnya: "Malahan
didunia ini juga cuma engkoh
Pek saja yang bisa melatih Thin-hud-hiang-mo ini!"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Tian Pek dengan
tercengang.
Cui-cui tahu, pemuda itu pasti takkan percaya dengan
keterangannya, maka ia
melanjutkan kata2 nya: "Engkoh Pek, tentunya kau
tidak percaya bukan? Guruku
sudah wafat, dikolong langit dewasa ini tiada orang kedua
yang bisa
menggunakan ilmu Coa-li-im-bun-toa-hoat dari
Thian-sian-mo-li ini kecuali aku.
Dan andaikata semua ini bukan demi kebaikan engkoh Pek,
tidak nanti aku
bersedia mengorbankan tubuhku . . . ."
Baru sekarang Tian Pek mengerti duduknya persoalan, cepat
ia menjura dalam2
kepada gadis itu,
"Cui-cui sekarang aku sudah paham, sekarang aku sudah
paham!" serunya.
"Bukankah selain kau dan aku yang bisa melatih ilmu
Thian-hud-hiang-mo ini,
bahkan kalau tak ada kitab Soh-kut-siau-hun- pit-kip
inipun tak bisa terlaksana
dengan baik, bukankah begitu? Ai, rupanya Thian sengaja
mengirim kau untuk
membantu aku. Hayolah sekarang juga bantu aku melatih ilmu
itu!"
"Tak susah bila ingin kubantu dirimu, tapi engkoh
Pek, setelah ilmu itu berhasil
kau kuasai, bagaimana caramu akan berterima kasih
padaku?"
"Terserah padanmu. asal aku berhasil melatih ilmu
sakti itu, apa yang kau
inginkan pasti kuturuti!"
"Engkoh Pek, kau sendiri yang berjanji, kelak jangan
kau ingkari."
"Jangan kuatir Cui-cui, perkataan seorang laki2 tidak
nanti dijilat kemkali. Nah,
lekaslah bantu aku berlatih ..."
Tiba2 Cui-cui menengadah dan tertawa ter-bahak2, tertawa
latah sehingga Tian
Pek melongo bingung.
Mendadak si nona melepaskan pakaiannya sehingga telanjang
bulat, kemudian
sambil mengerling genit katanya: "Hayolah engkoh Pek
sayang, kita mulai
berlatih ilmu. . ."
0O0 0O0 0O0
Suara roda kereta gemeratak dan ringkikan kuda yang
panjang berkumandang
memecahkan kesunyian di sebuah jalan raya berdebu,
serombongan kereta
pengawalan barang per-lahan2 bergerak melintasi jalan itu.
Puluhan kereta besar yang tertutup rapat bergerak dikawal
selusin manusia
berpakaian ringkas, sebuah panji bersulamkan sebuah
telapak tangan tertancap
disudut kereta dan berkibar tertiup angin gunung hingga
menerbitkan suara
gemerisik.
Sebagian besar Piausu yang mengawal barang itu
berperawakan tinggi besar dan
bermata tajam, sekilas pandang dapat diketahui bahwa
mereka adalah kawanan
jago silat pilihan.
Itulah rombongan Piausu dari perusahaan
Yan-keng-piau-kiok, tentu saja bagi
mereka yang berpengalaman, cukup melihat lambang telapak
tangan yang
tertera pada panji kereta, orang segera akan tahu bahwa
kereta kewalan itu
adalah barang kawalan dan Tiat-ciang-cin-ho-siok (telapak
baja menggetarkan
utara sungai Hoangho) di Pakkhia.
Di depan rombongan kereta besar yang kelihatan berat itu
bergeraklah belasan
orang Piausu, di antaranya adalah seorang Piausu tua yang
berusia enam
puluhan, dia inilah Ji-lopiauto atau lebih terkenal
sebagai Tiat-ciang-cing-ho-siok
itu.
======
Bagaimana ilmu sakti yang akan dilatih Tian Pek bersama
Cui-cui dalam keadaan
polos itu?
Apakah benar Su-tay-kongcu yang terkenal itu kini telah
jatuh pamornya?
HIKMAH PEDANG HIJAU
Diceritakan Oleh : GAN KL
Jilid ke - 18
Sudah lama Ji-lopiauthau tak pernah turun tangan sendiri,
itulah sebabnya orang
segera akan tahu bahwa barang kawalannya kali ini pasti
sangat penting dan
berharga, sebab kalau tidak, tak nanti Piauthau tua ini
akan turun sendiri.
Di sebelah kiri Ji-lopiauthau adalah seorang lelaki gemuk
berpakaian dinas,
rupanya seorang petugas pemerintah.
Sedangkan di sebelah kanannya mengikuti pula laki2 kurus
kering, tampangnya
seperti kunyuk dan berdandan seorang opas.
Kedua orang kurus-gemuk ini cukup terkenal namanya di
sebelah utara sungai
Hoang-ho, sebab mereka adalah Ban-leng-koan (pembesar
gemuk) The Pek-siu
serta Sik-kau (kunyuk batu) Ho Leng-san. Pengawalan
disertai opas, jelas barangbarang
ini milik pemerintah.
Waktu itu permulaan musim panas, sekalipun udara belum
sekering dan
sepanas pertengahan musim, namun peluh telah membasahi
tubuh orang-orang
itu.
Sebuah topi rumput lehar hampir menutupi wajah
Ji-lopiauthau yang penuh
berkeriput, ketika tiba2 ia lihat sebuah hutan terbentang
di depan, dengan dahi
herkerut ia berkata kepada anak buahnya: "Sampaikan
perintah kepada segenap
anggota rombongan, suruh mereka tingkatkan kewaspadaan dan
bersiap untuk
menjaga segala kemungkinan!"
Hutan belantara merupakan sarang dan tempat operasinya
kaum penyamun, Jilopiauthau
sudah lama bekerja sebagai pengawal barang, otomatia
pengalamannya pun amat luas, begitu melihat hutan, lantas
perintahkan anak
buahnya untuk siap siaga.
Si "kuda kilat" Lan Sam yang mendapat pesan itu
cepat membedal kudanya ke
depan rombongan, sambil melarikan kudanya ia berseru
lantang: "Perhatian!
Congpiauthau ada perintah, semuanya bersiap menghadapi segala
kemungkinan!"
Suara senjata dicabut dari sarungnya bergema di sana-sini,
di antara kilatan
cahaya senjata menyilaukan, kawanan Piausu itu telah
mempertingkat
kewaspadaan mereka.
Suasana tegang menyelimuti rombongan itu, begitu ketat dan
rapatnya
penjagaan seakan-akan menghadapi suasana genting.
Senyum lega dan bangga menghiasi wajah Ban-leng-koan yang
gemuk, tiba2 ia
berpaling kepada Ji-lopiauthau dan berkata tertawa:
"Hahaha, bagaimana pun
memang lebih mantap kalau pengawalan ini dipimpin langsung
oleh Jilopiauthau,
melihat kesiap-siagaan anak buah Lopiautau yang cekatan
ini,
sungguh lega hatiku."
"Betul!" sambung Sik-kau atau si kunyuk dengan
cepat, "tidak aeperti pengawal
barang tempo hari, rombongan dipimnin oleh seorang Piausu
muda yang baru
terjun ke dunia persilatan, eh, Tian Pek begitulah kalau
tidak salah namanya.
Sepanjang perjalanan, hatiku selalu berdebar, selalu
kuatir dan tidak tenteram!"
Menyinggung Tian Pek, mendadak Ban-leng-koan sambil
picingkan matanya dan
memandang hutan di depan, lalu dengan suara lirih la
membisikkan sesuatu ke
telinga Ji-lopiauthau: "Disinggung oleh saudara Ho,
aku jadi ingat kembali
kejadian masa lampau. Kalau tidak salah, ketika barang
kawalan Tian Pek
dibegal, peristiwa itu juga berlangsung di hutan ini.....
Ai, kukira kita kudu hati2,
jangan sampai sejarah terulang lagi."
Dengan wajah serius, Ji-lopiauthau mengangguk, namun ia
tidak menjawab.
Meskipun bisikan Ban-leng-koan itu diucapkan dengan suara
rendah, kebetulan
seorang Piausu yang bernama Ciu Toa-tong dengan julukan
"kerbau dungu"
yang berada di sebelah dapat mendengarnya, kontan ia
mendengus.
Kiranya pada pengawalan yang dulu sebetulnya dia yang
mendapat tugas
memimpin rombongan, tapi akhirnya Ji-lopiauthau mengutus
Tian Pek, atas
kejadian tersebut ia masih sakit hati, apalagi setelah
mendengar bahwa barang
kawalan itu dibegal dan Tian Pek lenyap tak berbekas,
untuk itu dia selalu
mencari kesempatan untuk melampiaskan rasa dongkolnya.
Maka tatkala Ban-leng-koan menyinggung kejadian itu, dia
lantas menjengek:
"Huuh! Dasar orang muda, mana bisa diserahi tugas
penting? Tempo hari sudah
kukatakan dia takkan mampu memikul tugas berat itu, tapi
Congpiauthau tidak
percaya, akhirnya terjadi musibah itu, malahan di tengah
jalan ia lalaikan tugas
dan kabur dengan begitu saja, sampai sekarang kabar
beritanya tidak
ketahuan....."
Selagi si kerbau dungu Ciu Toa-tong masih mengomel, tiba2
Ji-lopiauthau
pasang telinga dan mendengarkan sesuatu, kemudian dengan
terkejut
bercampur heran ia menghardik: "Toa-tong, tutup
mulutmu!"
Bentakan Ji-lopiauthau ini mengandung rasa kuatir,
jangankan orang yang
berpengalaman, sekalipun seorang yang tak berpengalaman
pun akan tahu pasti
ada sesuatu yang tidak beres.
Si kerbau dungu Ciu Toa-tong sudah lama mengikuti
pemimpinnya berkelana,
sudah tentu ia pun tahu akan seriusnya keadaan, sebab
kalau bukan masalah
yang penting, belum pernah Ji-lopiauthau menunjukkan sikap
luar biasa begini.
Sambil menahan rasa dongkolnya ia pun pusatkan perhatian
untuk memeriksa
keadaan di situ, sesaat kemudian, paras mukanya herubah
hebat.
Kiranya para peneriak jalan di depan telah masuk ke dalam
hutan, lalu suara
mereka lenyap tak berbekas, seakan-akan beberapa orang itu
tertelan begitu
saja oleh hutan.
Kalau peneriak jalan sudah bungkam dan jejaknya lenyap tak
berbekas, itu
tandanya telah terjadi sesuatu peristiwa besar, atau
kemungkinan jiwa beberapa
prang itu telah amblas.
Ban-leng-koan serta si kunyuk masih belum tahu apa yang
terjadi, mereka jadi
heran tatkala mendengar Congpiauthau menghardik Ciu
Toa-tong.
"Eeh, apa yang terjadi?" tanya mereka.
Ditatapnya sekejap kedua orang opas itu, kemudian dengan
wajah serius Jilopiauthau
berkata: "Tayjin berdua, bersiap-siaplah menghadapi
segala
kemungkinan yang tidak diinginkan!"
Tanpa menunggu reaksi kedua orang itu, dia putar kudanya
dan memberi tanda
agar rombongan berhenti.
Ji-lopiauthau memang tidak malu sebagai jago kawakan, di
bawah perintahnya
dalam waktu singkat, semua kereta barang itu lantas
membentuk satu lingkaran,
muka dan belakang kereta2 itu satu dan lainnya disambung
dengan rantai hesar,
dengan begitu terciptalah sebuah barisan bundar yang
bersambungan.
Separoh Piausu yang berada dalam rombongan diperintahkan
untuk melindungi
kereta barang, sementara Ji-lopiautau sendiri dengan
membawa sebagian
Piausu yang lain segera membedal kudanya masuk ke hutan
sana.
Sekarang Ban-leng-koan dan Sik-kau baru tahu apa yang
terjadi, namun mereka
agak lega juga setelah Ji-lopiauthau mengatur barisan
pertahanan, ketika
melihat Piausu itu meninjau ke hutan, mereka pun melarikan
kudanya dan
menyusul dari belakang.
Begitulah Ji-lopiauthau, kedua opas dan sekawanan Piausu
yang berjumlah tiga
puluhan orang segera membedal kudanya menuju ke hutan
belantara itu.
Sunyi, hening, tak sesosok bayangan manusia pun tampak di
dalam hutan itu,
kecuali embusan angin yang menggoncangkan ranting pohon,
tiada suara apa
pun yang terdengar.
Jangankan bayangan musuh, kedelapan orang peneriak jalan
pun tak diketahui
ke mana lenyapnya, untuk sesaat semua orang jadi heran,
tercengang dan tidak
habia mengerti.
Apabila kedelapan orang itu sudah menembus hutan,
sepantasnya suara mereka
masih kedengaran di depan sana, sehaiiknya kalau terbunuh,
sepantasnya ada
mayat mereka serta bangkai kuda, atau sekalipun kuda itu
dibegal, suara
teriakan manusia, ringkikan kuda dan jejak telapak kaki
akan kelihatan dan
kedengaran.
Tapi, kenyataannya suasana dalam hutan tetap sunyi senyap,
sedikit pun tak ada
suara apa pun, seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu.
Bagi orang yang belum berpengalaman, suasana sehening ini
tentu akan
dianggap aman, tapi dalam pandangan Ji-lopiauthau sekalian
yang sudah
berpengalaman, mereka sadar bahwa di balik kesunyian ini
justru terselip
keseraman, kengerian dan kemisteriusan. Dalam suasana
semacam inilah hawa
nafsu membunuh menyelimuti segala penjuru, malaikat elmaut
setiap saat
mengintai di balik pepohonan itu dan siap mencabut nyawa
mereka.
Ji-lopiauthau terhitung jago kawakan yang berpengalaman
dalam soal begini,
tapi sekarang ia tidak habia mengerti oleh kenyataan yang
terbentang di depan
mata, ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Ban-leng-koan maupun si Kunyuk Ho Leng-san menyadari pula
betapa gawatnya
keadaan, saking takutnya dengan muka pucat mereka saling
pandang dengan
melongo.
Kawanan Piausu lainpun terbelalak kuatir, seluruh
perhatian mereka tertuju ke
dalam hutan.....
Suasaua tetap hening, tiada suatu gerakan atau tanda yang
mencurigakan.
Lama-kelamaan Ban-leng-koan tak tahan, ia membedal kudanya
menghampiri Jilopiauthau,
kemudian bisiknya lirih: "Lopiauthau, apa yang
terjadi?"
Di tengah suasana hening dan tegang, pertanyaannya itu
semakin menambah
seram keadaan.
Ji-lopiautau tidak menjawab, walaupun dalam hati telah
mengambil keputusan,
bagaimana pun juga peristiwa ini akan diselidiki sampai
jelas, sebab dia adalah
Congpiauthau, tak mungkin baginya untuk melanjutkan
perjalanan dengan
begitu saja tanpa mengghiraukan keselamatan kedelapan
orang anggata
rombongannya.
Karena itu dengan memberanikan diri ia membedal kudanya
memasuki hutan,
sementara anak buahnya diperintahkan untuk bersiap siaga
penuh.
Setelah Congpiauthaunya masuk ke hutan, kawa-nan Piausu
lainnya rerpaksa
memberanikan diri menyusul dari belakang dengan rasa
tegang.
Andaikata mereka diharuskan menghadapi pertarungan
terbuka, sebagai lakilaki
yang hidupnya memang bergelimangan di tengah kilatan golok
dan ceceran
darah, tak nanti orang2 itu takut. Tapi kini, suasana
tetap sepi dan tak satu
manusia pun yang tampak, keadann seperti ini justeru
mendatangkan rasa
tegang, seram den ngeri dalam hati orang-orang itu.
Suasana dalam hutan cemara itu tetap hening, tiga puluhan
orang itu dengan
hati yang kebat-kebit bergerak menembus hutan dan akhirnya
muncul di ujung
hutan sebelah ujung sebelah sana, hutan seluas beberapa
lie itu sudah dilewati
tanpa terasa, namun tiada sesuatu yang kelihatan dan tiada
kejadian apa pun
yang muncul.
Jalan raya terbentang di depan sana, namun suasana di
jalan raya itu pun sunyi
senyap tak kelihatan bayangan seorang pun.
Kemanakah perginya kedelapan orang peneriak jalan itu?
Seolah-olah mereka
lenyap ditelan bumi, hilang tanpa bekas.
”Keparat, benar2 ketemu setan.. " gerutu si kerbau
dungu Ciu Toa-tong
yang berwatak berangasan.
Baru dia menyumpah, tiba2 dari arah belakang berkumandang
suara teriakan
gegap gempita, seakan-akan beribu prajurit berkuda
menyerbu di medan
tempur.
Suara hiruk-pikuk itu muncul dari belakang, semua orang
terperanjat dan segera
beramai memutar kuda dan menyerbu kembali ke dalam hutan.
Baru saja mencapai tengah hutan, tiba-tiba terjadi hujan
anak panah yang amt
deras, anak panah berhamburan dari empat penjuru dan semua
tertuju kepada
rombongan Piausu itu.
Belasan orang Piausu yang berada di barisan depan segera
terpanah dan roboh
terjungkal.
Ji-lopiauthau sadar telah terjebak, dengan gusar bercampur
gelisah serunya
lantang: "Sahabat, siapa kalian? Apa maksudmu
menjebak kami dengan siasat
busuk ini? Kalau punya nyali hayo unjukkan diri untuk
bertemu dengan diriku!"
Gelak tertawa nyaring segera terdengar berkumandang dari
pucuk pepohonan,
begitu keras suara tertawa itu hingga anak telinga terasa
sakit.
Terkejut kawanan Piausu itu, dari suara gelak tertawa
nyaring itu bisalah
diketahui orang itu memiliki tenaga dalam yang amat
sempurna.
Sementara kawanan Piausu itu masih terkejut dan panik,
terdengar angin
berkesiur, berturut-turut delapan orang laki2 berpakaian
ringkas melayang
turun dari atas pohon.
Kain hitam mengerudungi raut wajah setiap orang itu, yang
tampak hanya
matanya yang bersinar tajam, dandanan mereka aneh dan
mengerikan.
Karena orang2 itu mengerudungi wajahnya, dengan kain
hitam, Ji-lopiauthau
menyangka mereka adalah jago2 kalangan hitam yang
dikenalnya, segera ia
melarikan kudanya maju ke depan, serunya dengan lantang:
"Akulah Tiat-ciangcing-
ho-siok (telapak Baja menggetarkan utara sungai Huang-ho)
Ji Kok-hiong
adanya, bolehkah kutahu siapakah sahabat sekalian?"
Salah seorang yang berpakaian ringkas itu tertawa
terbahak2: "Hahaha, tak
perlu kau tahu siapa kami, pokoknya hari ini jangan kau
harap akan lolos dengan
selamat!"
Sejak tadi si kerbau dungu Ciu Toa-tong tiada tempat
pelampiasan, mendengar
ucapan tersebut, amarahnya tak terkendalikan lagi.
"Bajingan, besar amat nyalimu, berani kalian
mengincar barang kawalan Yankeng
Piau-kiok? Jangan omong besar, sambut dulu pukulan
Ciu-toayamu ini!"
Ia terus menerjang ke depan, suatu pukulan segera
menghantam kepala laki2
berkerudung itu.
Ciu Toa-tong disebut kerbau dungu oleh karena otaknya
bebal tapi tenaganya
kuat, ilmu andalannya adalah Tiat-se-ciang (pukulan pasir
besi) yang sudah
dilatihnya selama puluhan tahun, pukulannya cukup dahsyat.
"Ehm!" orang berkerudung itu mendengus,
"rupanya kau sudah bosan hidup!"
"Blang!" terjadi adu pukulan, Ciu Toa-tong
menjerit kesakitan, tubuhnya yang
besar mencelat dari punggung kudanya dan menumbuk pohon
hingga roboh tak
berkutik.
Betapa terkejutnya kawanan Piausu itu, mereka mengerti Ciu
Toa-tong memiliki
ilmu silat yang tangguh, dan sekarang hanya satu gebrakan
saja tubuhnya lantas
mencelat dan tewas, dari sini dapat diketahui bahwa Kungfu
lawan berkerudung
itu memang luar biasa lihaynya.
Selesai menghajar si kerbau dungu, orang itu tertawa
terkekeh-kekeh, katanya:
"Hehehe, tadinya aku mengira dia memiliki ilmu silat
yang luar biasa sehingga
berani membual. Huuh, tak tahunya cuma sebangsa kecoak
yang tak tahan
sekali gebuk! Kalau begitu, kalian yang sok anggap Piausu
jempolan tak lebih
cuma gentong nasi belaka? Hayo, siapa lagi yang sudah
bosan hidup? Silakan
maju untuk menerima kematian!"
Marah dan kejut setelah menyaksikan seorang Piausunya
dibunuh oleh
lawan hanya dalam satu gebrakan, sambil menarik muka ia
maju ke depan dan
berkata: "Hm, sobat, engkau tak sudi memberitahu
asal-usul, sekarang seorang
anak-buahku kau bunuh secara keji, tampaknya kau memang
hendak memaksa
Lohu minta petunjuk beberapa jurus padamu!"
Ia melompat turun dari kudanya, kedua tangannya berputar,
telapak baja
andalannya segera siap melabrak musuh.
Baru saja Ji-lopiautau siap menyerang, tiba2 dari belakang
seorang berteriak:
"Congpiautau, menyembelih ayam kenapa mesti memakai
golok? Biar aku yang
bereskan keparat ini untuk membalaskan dendam kematian
Ciu-toako!"
Piausu ini bernama Ki-bu-pah (raksasa tangguh) Ciu Leng,
dia bertenaga besar
dan disegani orang, perawakannya tinggi besar, se-hari2 ia
adalah sobat kental
Ciu Toa-tong, tentu saja ia marah sekali setelah Ciau
Toa-tong tewas di tangan
orang, maka sekarang iapun memburu ke depan.
Ji-lopiautau cukup kenal kungfu anak-buahnya, dia tahu
walaupun Ki-bu-pah
mempunyai tenaga raksasa, namun seorang kasar dan dungu,
tak nanti bisa
menandingi lawan, cepat jago tua ini berusaha mencegah.
Tapi dasar Ki-bu-pah memang berangasan, apalagi sudah
dipengaruhl oleh rasa
dendam, begitu sampai di tengah gelanggang, tanpa banyak
bicara telapak
tangannya lantas menghajar batok kepala dan dada musuh
dengan jurus Bengciong-
kik-lo (dentingan lonceng pukulan genderang).
"Bajingan, bayar nyawamu untuk Ciu-toako!"
hardiknya.
Orang berkerudung itu tertawa dingin, ia tidak menghindar
maupun berkelit,
malahan sambil memutar tubuhnya, dengan suatu gerakan
aneh, tahu2 ia
menyelinap ke belakang Ki-bu-pah yang kalap.
Gagal dengan tubrukannya, cepat Ki-bu-pah putar badan,
namun terlambat,
pada waktu itulah orang berkerudung itu sudah melepaskan
pukulan maut ke
punggungnya.
Ki-bu-pah mati langkah dan tak sempat menghindar.
Ji-lopiautau terperanjat, cepat ia memberi pertolongan, ia
potong tangan musuh
yang menghantam punggung Ki-bu-pah itu.
Tujuan Ji-lopiautau hanya ingin menolong Ki-bu-pah tak
terduga mendadak
seorang berkerudung yang lain segera menerjang maju dan
menangkis serangan
tersebut.
"Blang!" terjadi benturan keras, Ji-lopiautau
tergetar sempoyongan dan lengan
terasa kaku.
Sementara orang berkerudung itu tetap berdiri tegak
ditempatnya, sama sekali
tidak tergetar oleh benturan itu.
Melulu satu gebrak saja dapatlah Ji-lopiautau meraba
keampuhan musuh, dia
tahu kungfu kedelapan orang berkerudung itu rata2 sangat
lihay, itu berarti pula
bahwa keselamatan rombongannya hari ini terancam bahaya.
Sementara itu, serangan orang berkerudung yang lain telah
bersarang telak di
punggung Ki-bu-pah.
Untungnya karena bantuan Ji-lopiautau tadi sehingga
pukulan musuh tidak telak
mengenai tubuh Ki-bu-pah, dia cuma mencelat saja dan
tumpah darah.
Merah padam wajah Ji-lopiautau, hanya dalam satu gebrakan
dua orang
Piausunya telah satu tewas dan satu terluka parah,
kejadian ini sungguh suatu
pukulan berat bagi rombongannya, apalagi bila mendengar
suara pertarungan
yang sedang berlangsung di luar hutan sana, ia sadar
kereta barangnya sedang
dibegal orang.
Ia menjadi kalap, sambil membentak nyaring, beruntun dia
melancarkan
pukulan berantai yang hebat ke arah orang berkerudung itu.
Walaupun pada mulanya orang itu terdesak mundur oleh
serangan gencar Jilopiautau,
namun ia tidak panik, suatu saat ia lancarkan tendangan
berantai dan
dua pukulan maut. Dari posisi terdesak ia mulai balas
menyerang sehingga Jilopiautau
berbalik terdesak mundur.
Selama malang melintang di dunia Kangouw belum pernah
Ji-lopiautau
mengalami keadaan yang begini mengenaskan, sekarang bukan
saja keteter
hebat oleh serangan gencar orang berkerudung itu, malahan
jiwanya juga
terancam.
Kawanan Piausu lainnya menjadi kuatir dan panik, mereka
cemas melihat sang
Congpiautau terancam bahaya, entah siapa yang mulai dulu,
serentak kawanan
Piausu itu berteriak terus menyerbu maju.
Kedelapan orang berpakaian ringkas itu pun serentak
bergerak, mereka tidak
memakai senjata, dengan tangan kosong dalam waktu singkat
kawanan Piausu
itu sudah dibikin kocar-kacir dan lintang-pukang.
Pertarungan ini berlangsung tak seimbang, sekalipun jumlah
Piausu itu berkali
lipat lebih banyak, akan tetapi mereka semua bukan
tandingan kedelapan orang
berkerudung Itu.
Ban-leng-koan The Pek Siu serta si kunyuk Ho Leng-san
ketakutan setengah
mati, kaki mereka gemetar, hati ingin kabur, apa mau
dikata kakinya tidak
menurut perintah lagi. Mereka cuma bisa berdiri dan
terkencing2......
Ji-lopiautau sendiri pun sadar Kungfunya lebih cetek
dibandingkan musuh, ia
berusaha melepaskan diri, namun musun terus mencecarnya,
apa boleh buat,
terpaksa ia harus memberikan perlawanan mati-matian.
Sesaat kemudian, sebagian besar kawanan Piausu itu sudah
tewas atau
terluka.....
Mendadak dari balik hutan menggema suara suitan nyaring,
menyusul mana
muncul lagi lima orang berkerudung.
Melihat tibanya bala bantuan musuh, kawanan Piausu itu
semakin mengeluh,
delapan orang musuh saja kewalahan apalagi ditambah bala
bantuan.
Ji-lopiautau menghela napas panjang, keluhnya: "Ai,
rupanya takdir telah
menentukan demikian, habislah riwayatku hari
ini....."
Di luar dugaan, ternyata kelima orang berkerudung itu
tidak ikut terjun ke dalam
gelanggang, mereka hanya menyampaikan perintah dengan
bahasa isyarat agar
kedelapan orang itu segera mengundurkan diri.
Betul juga, serentak kedelapan orang berkerudung itu
melancarkan pukulan
dahsyat dan mendesak mundur kawanan Piausu itu, lalu
melompat mundur dan
kabur ke dalam hutan.
Ji-lopiautau serta para Piausunya cepat memburu keluar
hutan, terlihat
rekan2nya yang ditugaskan menjaga barang kawalan telah
terkapar
semua,dalam keadaan tewas dan luka parah, sedangkan
puluhan kereta barang
itu sudah hilang.
Merah membara mata Ji-lopiautau, bersama sisa Piausunya
yang masih hidup,
sekuat tanaga mereka melakukan pengejaran.
Kedua orang opas kenamaan dari ibukota, Ban-leng-koan
serta si kunyuk berdiri
mematung sambil melelehkan air mata.
Barang kawalan itu penting sekali artinya dengan segenap
anggota keluarga
mereka sebagai tanggungan, bila dibegal orang, sekalipun
mereka tak mampus
di medan pertempuran, kembali ke kota pun mereka takkan
hidup.
Bagi Ji-lopiautau, kecuali keselamatan keluarganya sebagai
tanggungan,
pekerjaan ini pun menyangkut soal nama baiknya, tidaklah
heran kalau dia
ngotot mengejar para pembegalnya meskipun sudah kalah
habis2an.
Kawanan Piausu lainnya dengan taruhan nyawa juga menyusul
dari belakang,
mereka sudah terlalu banyak berutang budi kepada
Congpiautaunya, sebagai
balas budi merekapun rela mengorbankan diri.
Dari pihak pembegal, kecuali kedelapan orang berpakaian
ringkas itu masih
terdapat pula empat orang berkerudung yang jelas adalah
kaum wanita, karena
potongan tubuhnya yang ramping, lalu ada lagi seorang
Hwesio berkepala
gundul yang berkerudung juga.
Ketiga belas orang ini bertugas memotong kekuatan para
pengejar serta
membinasakan Para Piausu yang coba mendekat, sementara
beberapa orang
pembegal lagi dengan kecepatan penuh melarikan kereta2
barang itu.
Di antara para pengejar, Ji-lopiautau yang telah beruban
itu mengejar paling
kencang.
Keadaan jago tua ini lebih mirip banteng terluka, matanya
merah berapi, sambil
mengejar setiap kesempatan telapak tangan bajanya lantas
menghantam
kawanan pembegal itu.
Di antara kawanan Piausu itu, memang Kungfu Ji-lopiautau
paling lihay, bukan
saja pukulannya yang dahsyat, ginkangnya juga paling
tinggi, dia mengejar terus,
ini membuat kawanan pembegal itu sukar melepaskan diri.
Lama2 habislah kesabaran Hwesio berkerudung yang sedang
kabur itu, tiba2 la
berhenti dan putar badan, ia berjongkok dengan tangan
menempel tanah
sehingga gayanya mirip seekor katak, ia berkaok2 nyaring,
lalu telapak
tangannya diayun ke depan, ia melepaskan pukulan dahsyat
ke dada Jilopiautau.
Terkejut Ji-lopiautau oleh pukulan hebat itu, ingin
menangkis namun terasa tak
bertenaga, ingin menghindar namun tak sempat, tampaknya
jago tua ini sukar
lolos dari ancaman maut itu.
"Mampuslah aku....!" keluhnya dalam hati.
"Blam!" terdengar suara menggelegar, keras
sekali suara itu membuat telinga
jadi mendengung, debu pasir berhamburan.
Ji-lopiautau menyangka jiwanya pasti melayang, ia pejamkan
matanya dan
pasrah nasib, siapa tahu setelah terjadi suara keras itu,
ia masih selamat tanpa
kurang suatu apa pun.
Dalam kaget dan herannya ia membuka matanya..... Tian Pek,
benar-benar Tian
Pek, si anak muda tampan itu tahu-tahu sudah berdiri di
depannya.
Ketika ia berpaling ke arah hwesio berkerudung tadi, ia
lihat kain penutup
wajahnya telah terlepas sehingga tampak mukanya yang pucat
seperti mayat,
orang itu sudah mundur beberapa kaki ke belakang, dengan
matanya yang
terbelalak lebar, ia menatap lawan.
"Hm, kiranya kau!" dengus Tian Pek kemudian.
"O, rumapanya kau!" Hwesio itu pun berseru.
Ji-lopiautau sendiri tak pernah menyangka jiwanya akan
ditolong oleh Tian Pek.
Ia pernah menolong anak muda itu, Tian Pek juga pernah
menjadi Piausu selama
beberapa hari di dalam perusahaannya, jago tua ini cukup
mengetahui sampai di
manakah taraf kepandaian silat pemuda itu.
Tapi sekarang, kenyataan berbicara lain, benar2 Tian Pek
yang telah
menyelamatkan jiwanya dari ancaman maut tadi, untuk sesaat
Ji-lopiautau jadi
tertegun.
{ 14 komentar... read them below or add one }
artikelnya bagus sekali sob,,menambah pengetahuan dan wawasan.. terima kasih banyak atas sharenya..semoga selalu menciptakan karya" terbaiknya,,,dan ditunggu UPDATEan terbarunya sob,,,pokoknya mantap deh! keren buat blog ente ! dan saya mohon dukungannya sob buat lomba kontes SEO berikut:
Ekiosku.com Jual Beli Online Aman Menyenangkan
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia
terima kasih atas dukungannya sob,, saya doakan semoga ente selalu mendapatkan kebaikan,, dan terus sukses!! amin hehe sekali lagi terima kasih banyak ya sob...thaks you verry much...
oh yes..oh no nya mana gan xixixixi
artikelnya bagus gan, jangan lupa kunjungi balik ya
makasih gan infonya sangat bermanfaat sekali,,
terimakasih infonya, sukses terus ya
terimakasih infonya, sangat bermanfaat sekali
terimakasih infonya
makasih infonya dan sukses terus ya
makasih infonya dan ditunggu ya updatean terbarunya
terimakasih infonya gan, semoga sukses selalu
artikelnya sangat bagus sekali gan, sukses terus ya buat blognya, dan kapan-kapan mampir juga dong ke blog saya ..
artikelnya oke banget gan, semoga sukses selalu ya
artikelnya sangat bermanfaat sekali, makasih gan buat infonya http://goo.gl/qVRTJa
Infonya cukup menarik gan, ditunggu ya updatean terbarunya http://goo.gl/FPcdnB
Posting Komentar