"Kalau aku tak berhasil membalaskan dendam ibu, biarlah aku mampus di sini!"pikir gadis ini sambil memutar pedangnya yang makin kacau gerakannya.
Tiba-tiba Toat-beng Hui-houw tertawa seperti ringkik kuda, disusul oleh gerengan seperti harimau dan tangan kirinya yang penuh kuku panjang itu berhasil merampas pedang Sui Ceng. Sekali kuku-kukunya bergerak, terdengar suara"krak!" dan pedang itu patah-patah menjadi tiga! Sui Ceng masih tidak mau melompat atau mengaku kalah, bahkan dia lalu menghantam dengan tangan kiri ke dada lawan!
Toat-beng Hui-houw tertawa besar dan sekali dia menangkis dengan tenaga sepenuhnya, Sui Ceng terhuyung ke kiri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Toat-beng Hui-houw untuk menggunakan kuku-kukunya yang berbisa mencakar kearah dada Sui Ceng! Nona ini maklum akan datangnya serangan maut. Cepat dia miringkan tubuhnya, akan tetapi kalah cepat. Terdengar baju robek dan pundaknya terkena cengkeraman itu. Sui Ceng mengerahkah lweekang dan meronta sehingga cengkeraman itu dapat terlepas, namun ia lalu terhuyung-huyung dan roboh. Pundaknya terasa panas sekali sampai menembus ke jantungnya. Racun-racun berbahaya dari kuku telah memasuki luka di pundaknya.
"Ha, ha, ha, kau boleh menyusul ibumu!" seru Toat-beng Hui-houw sambil menghampiri tubuh nona yang telentang pingsan itu, siap untuk mengirim pukulan terakhir. Kiu-bwe Coa-li meramkan mata, dan Kun Beng sudah siap melompat menolong tunangannya.
Tiba-tiba kelihatan pemuda dusun bermuka merah itu berlari-lari dan berteriak-teriak,
"Tidak adil......! Tidak adil.......!" Ia berlari terus dengan kacau, menyeruduk Toat-beng Hui-houw yang hendak membunuh Sui Ceng. Melihat datangnya pemuda dusun ini, Toat-beng Hui-houw menjadi heran dan juga marah.
"Mau apa kau??" bentaknya sambil mendorong pundak Kwan Cu. Pemuda ini tahu bahwa dorongan itu akan melukainya, akan tetapi karena dia mengandalkan kepandaian Yok-ong, dan pula dia ingin menolong nyawa Sui Ceng, dia pura-pura tidak tahu. "Reeettt!” Robeklah baju pundaknya dan kulit pundaknya tergores oleh kuku tangan Toat-beng Hui-houw.
-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 5 - KPH - tamat
"Toat-beng Hui-houw, kau terlalu sekali! Pemuda itu adalah orang luar, mengapa kau melukainya?" bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Sebetulnya bukan Pak-lo-sian terlalu sayang kepada pemuda yang aneh mukanya itu, melainkan karena pemuda itulah yang telah menolong nyawa Sui Ceng, maka dia membelanya. Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan mundur, lalu menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang kepada Kwan Cu sambil membentak,
"Eh, kepiting rebus! Apa-apaan kau datang mencari kematian?" Biarpun bertanya begini, di dalam hatinya Toat-beng Hui-houw merasa heran sekali. Bisa dikukunya amat hebat, sekali gurat saja orang tentu akan roboh dan pingsan atau sekaligus mampus. Akan tetapi mengapa pemuda yang terang-terangan sudah terluka pundaknya ini tidak lekas-lekas roboh pingsan? la tidak tahu bahwa Kwan Cu telah mengerahkan tenaga dan seluruh hawa murni yang dia dapat dari latihan menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sehingga bisa itu untuk sementara tertahan oleh hawa yang mengepul naik dari pusarnya menuju kepundak yang tergurat kuku berbisa tadi.
Kwan Cu dengan kedua tangan tuding sana tuding sini, mengeluarkan suara mengomel panjang pendek dan berteriak-teriak, "Mana ada pertandingan macam ini? Masa seorang kakek-kakek tua melawan seorang gadis muda yang lemah? Tidak adil sekali. Seharusnya, gadis melawan gadis, kakek melawan kakek, pemuda melawan pemuda dan bocah melawan bocah. Ini baru senang ditonton. Masa kakek yang kukunya panjang mengerikan ini harus bertanding dengan gadis yang begini halus?" Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengangkat tubuh Sui Ceng dan dengan lagak seperti orang merasa berat menggendong tubuh itu, dia berlari-lari ke arah Yok-ong.
"He, kau mau bawa dia ke mana?" teriak Kun Beng yang segera mengejar.
"Dia mati, harus dikubur baik-baik," jawab Kwan Cu tanpa menoleh.
Yok-ong menyambut Kwan Cu dan tanpa dilihat orang lain, raja tabib ini menotok tiga jalan darah di tubuh Sui Ceng lalu menyuruh Kwan Cu memberikan tubuh gadis itu kepada Kun Beng yang datang berlari-lari.
"Berikan dia padaku!" kata Kun Beng.
"Eh, eh, eh, kau ini pemuda mau apakah? Kalau dia harus dibawa ke sana biarlah aku menggendongnya ke sana. Mengapa menggendong tubuhnya saja orang harus berebut? Kau agaknya ingin sekali menggendongnya!" Kwan Cu lalu membawa gadis itu berlari-larian kembali menuju ke tempat Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Semua orang memandang kepada pemuda muka merah ini dan merasa lucu juga kasihan. Bahkan Kiu-bwe Coa-li sendiri merasa terharu melihat seorang petani bodoh masih memiliki perikemanusiaan begitu besar .
-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 5 - KPH - tamat
Kwan Cu tadi ketika membawa Sui Ceng kepada Yok-ong, memang sengaja memberi kesempatan kepada Yok-ong untuk mengobati gadis itu, kemudian tanpa diketahui oleh siapapun juga, dia menerima sebuah pil besar berwarna putih dan mendapat bisikan dari Yok-ong. Kini pil besar itu telah dimasukkan ke dalam mulutnya. Ia menurunkan gadis itu di atas tanah.
"Kau baik sekali, orang muda," kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Sayang dia takkan dapat tertolong lagi," kata Kiu-bwe Coa-li. Suaranya tenang-tenang saja akan tetapi kalau orang melihat matanya ia akan bergidik. Mata itu membayangkan nafsu amarah dan bayangan-bayangan maut terbayang di situ.
Akan tetapi Kwan Cu tidak mempedulikan mereka semua, kini dia lalu mendekatkan mukanya pada leher Sui Ceng.
"Petani busuk, kau mau apa?" Kun Beng membentak marah dan mengangkat tangan hendak memukul.
"Diamlah kau! Mengapa begitu ribut?" bentak Pak-lo-sian sambil memandang kepada muridnya dengan alis dikerutkan. Kun Beng merundukkan mukanya yang menjadi sedih luar biasa. Pak-lo-sian maklum akan kedukaan hati muridnya ini maka dia menghibur, "Lihat, petani muda ini agaknya hendak berusaha mengobatinya."
Memang benar, Kwan Cu telah menempelkan bibirnya pada luka di pundak Sui Ceng. la membuka mulutnya dan menggunakan giginya menggigit kulit di sekitar luka! la menggigit keras-keras, lalu mengumpulkan pil putih yang sudah dihancurkannya dengan ludah dikumpulkan di ujung lidah dan sambil mengerahkan lweekangnya, dia meniupkan hancuran obat itu ke dalam luka! Hal ini tentu saja tidak terlihat oleh siapapun juga, bahkan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai saling pandang lalu mengangkat pundak. Dalam pandangan mereka, pemuda petani yang aneh ini hanya menggigit pundak itu saja!
"Eh, apa yang kaulakukan itu?" Kembali Kun Beng bertanya karena pemuda itu tidak kuat melihat si muka merah seakan-akan mencumbu kekasihnya dan menciumi pundaknya!
Kwan Cu mengangkat mukanya dan dengan mukanya yang merah ketololan itu dia tersenyum menyeringai. Orang-orang melihat betapa gigi dan bibir pemuda ini berlepotan darah! "Aku sudah usir setannya, sudah usir setannya!"
Kun Beng tak dapat menahan sabarnya lagi. Ia mengira bahwa pemuda muka merah ini gila dan dalam gilanya telah menggigit dan bahkan minum darah dari Sui Ceng. Dengan pengerahan tenaga sekuatnya dia lalu menendang pantat Kwan Cu yang masih berjongkok. Tubuh Kwan Cu bagaikan sebuah bal karet melayang kembali ke tengah lapangan di mana Toat-beng Hui-houw masih berdiri memandang semua itu.
-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 5 - KPH - tamat
Tubuh Kwan Cu yang melayang-layang tadi kini turun dan seperti yang tidak disengaja, tubuh pemuda muka merah ini melayang turun tepat di atas kepala Toat-beng Hui-houw. Sebetulnya kakek bermuka harimau ini mendongkol sekali dan kalau menurutkan hatinya, sekali pukul saja dia dapat menghancurkan tubuh pemuda yang dianggapnya tolol itu. Akan tetapi tadi dia telah mendengar celaan dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ketika dia melukai pemuda muka merah itu, maka kini dia tidak mau melanjutkan perbuatannya. Pula dia memang melihat sendiri betapa pemuda tani ini terlempar kepadanya bukan karena kehendak sendiri, melainkan karena ditendang oleh pemuda murid Pak-lo-sian itu. Maka dia lalu mengulur tangan dan sekali sambar dia sudah memegang leher baju Kwan Cu dan melontarkan tubuh pemuda itu ke tempatnya yang tadi, yakni didekat Yok-ong, juga dekat Kwa Ok Sin, Jeng-kin-jiu, dan Liok-te Mo-li.
Sambil berteriak-teriak ketakutan tubuh Kwan Cu terputar-putar di udara dan meluncur ke dekat Liok-te Mo-li. Nenek ini mengulur tangan dan menangkapnya, lalu melepaskannya di dekat Yok-ong sambil berkata,
"Orang muda, kau bersemangat besar. Aku kagum sekali!"
Kwan Cu tidak banyak cakap, lalu duduk di dekat Yok-ong, diam-diam menerima obat pemunah bisa dan menelannya menurut petunjuk Yok-ong.
"Kau lancang sekali, hampir-hampir terbuka rahasia kita," kata Yok-ong.
"Teecu tidak bisa membiarkan Sui Ceng tewas," jawab Kwan Cu.
Sementara itu, Pak-lo-sian menegur muridnya.
"Kun Beng kau benar-benar tidak tahu budi. Lihat, nona Bun tertolong nyawanya karena perbuatan pemuda muka merah tadi, dan kau bahkan menendangnya. Sungguh memalukan aku yang menjadi gurunya!"
Kun Beng terkejut dan ketika dia melihat, benar saja, Sui Ceng telah siuman kembali dan warna biru hitam pada pundaknya telah lenyap! Kiu-bwe Coa-li sedang memeriksa jalan darah muridnya dan ia mengangguk puas.
"Aneh sekali, nyawamu tertolong oleh suatu keajaiban, Sui Ceng." kata nenek ini sambil memandang ke arah Kwan Cu yang masih duduk merengut.
Kun Beng menjadi girang dan juga malu. Ia lalu melompat ke tengah lapangan dan menghadapi Toat-beng Hui-houw.
"Sahabatku kalah olehmu, marilah kaucoba mengalahkan aku!"
Pak-lo-sian mengomel, "Kun Beng benar-benar berani mati dan gegabah sekali. Mana dia bisa menangkan siluman itu? Swi Kiat, suruh dia kembali!" Gouw Swi Kiat mentaati perintah suhunya dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat di sebelah Kun Beng. Akan tetapi sebelum dia dapat menyampaikan pesan suhunya, Toat-beng Hui-houw yang mengira bahwa dia hendak dikeroyok dua, sudah tertawa bergelak dan siap untuk menyerang. Ia tidak gentar menghadapi dua orang pemuda ini dan dia dapat menduga bahwa mereka ini adalah murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Toat-beng Hui-houw, kau mundurlah. Jasamu sudah cukup. Karena sekarang yang maju adalah murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, biarkan pinceng yang menghadapinya." Yang berkata demikian ini adalah Bian Kim Hosiang, ketua Bu-tong-pai. Kata-kata ini amat mengherankan oleh karena biasanya, seorang ciangbunjin (ketua partai) tidak mau turun tangan dengan begitu mudahnya, apalagi menghadapi seorang anak murid partai lain, kecuali kalau menghadapi ketua lain partai. Akan tetapi dalam hal ini, tindakan Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong pai ini dapat dimengerti. Ia merasa sakit hati sekali terhadap Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Kiu-bwe Coa-li yang disangka membunuh sutenya secara pengecut sekali. Maka kini dia hendak membalas dendam, hendak mengalahkan murid Pak-lo-sian dan kemudian setelah itu, kalau Pak-lo-sian merasa sakit hati baru dia akan melayani Dewa Utara itu.
"Benar, pinto juga ingin merasai kelihaian murid Pak-lo-sian!" kata Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai. Seperti halnya Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, juga ketua Kim-san-pai ini berpikiran sama. Melihat bahwa yang maju adalah dua orang murid Pak-lo-sian, maka dia juga ikut maju untuk memberi hajaran sebagai pembalasan.
Swi Kiat menjadi bingung ketika tiba-tiba dua orang pendeta dari fihak lawan itu melayang dan menghadapi dia dan sutenya. Ia tidak keburu menyampaikan pesanan suhunya, karena kalau fihak lawan sudah keluar dan dia bersama sutenya kembali, hal itu akan mendatangkan rasa malu yang luar biasa sekali. Tentu dia dan sutenya dianggap takut dan melarikan diri dari dua orang pendeta ini. Swi Kiat yang menjadi bingung itu melirik ke arah suhunya dan Pak-lo-sian mengerti akan kebingungan hati muridnya. Kakek ini belum tahu duduknya perkara. Biarpun tadi beberapa kali dua orang ketua dari Bu-tong dan Kim-san itu menyindir dan memakinya, namun dia tidak sekali-kali mengira bahwa dia disangka membunuh murid-murid mereka secara curang. Ia sudah kenal kepada dua orang ketua ini dan tahu bahwa mereka bukanlah orang-orang jahat dan kejam. Maka dia lalu berkata sambil tersenyum.
"Anak-anak bodoh! Ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai hendak memberi pelajaran, mengapa tidak lekas-lekas menerimanya?"
Mendengai ini, Swi Kiat lenyap keraguannya dan dia lalu siap sedia dengan senjatanya yang lihai, yakni sepasang kipas yang disebut Im-yang-siang-san. Murid pertama dari Pak-lo-sian ini memang sudah mewarisi keahlian bersilat kipas dengan Ilmu Silat Im-yang San-hoat yang amat lihai. Adapun Kun Beng memang sejak tadi sudah mengeluarkan tombaknya.
-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 5 - KPH - tamat
Bian Kim Hosiang tertawa mengejek. "Biarpun murid-murid kami terbunuh secara curang mempergunakan ilmu kotor atau ilmu siluman, akan tetapi kami tidak serendah itu dan kami akan merobohkan kalian secara jujur." Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sehelai saputangan panjang. Ia menggulung-gulung saputangan itu, menjadi gulungan kain, kemudian sekali dia menggerakkan tangan, gulungan kain itu menjadi kaku seperti sebatang toya! Benar-benar seperti Kauw-ce-thian (raja monyet dalam dongeng kuno yang mempunyai wasiat tongkat kim-kauw-pang) mainkan tongkat wasiatnya! Dengan senjata buatan sendiri ini, ternyata bahwa Bian Kim Hosiang tidak saja memandang ringan pada lawannya, juga dia telah memperlihatkan bahwa tenaga lweekangnya bukan main besarnya. Sambil memutar toya kain ini Bian Kim Hosiang menghadapi Kun Beng yang bersenjata tombak.
Adapun Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai, orangnya lebih sabar daripada ketua Bu-tong-pai, juga kepandaiannya tidak kalah. Bin Kong Siansu terkenal sebagai tokoh besar yang telah memperkembangkan dan memperbaiki Ilmu Pedang Kim-san Kiam-hoat yang sudah tersohor lihai itu sehingga Ilmu Pedang Kim-san Kiam-hoat boleh direndengkan dengan ilmu-ilmu pedang dari partai-partai besar, bahkan ada yang menyatakan bahwa ilmu pedang ini sesumber dengan ilmu pedang dari Thian-san-pai yang banyak dikagumi orang. Tosu ini menghadapi Swi Kiat dan mengulur tangan mencabut keluar sebatang pedang tipis.
"Orang muda, majulah untuk menerima hukuman dari dosa yang diperbuat oleh gurumu," katanya perlahan.
Swi Kiat tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata-kata ini, akan tetapi melihat betapa Kun Beng sudah mulai bertanding melawan Bian Kim Hosiang, dia pun menjura kepada ketua Kim-san-pai itu, lalu dengan sepasang kipasnya, dia melakukan penyerangan hebat. Bin Kong Siansu menggerakkan pedangnya dan sekali saja pedangnya bergerak, dua sinar berkelebat ke arah sepasang kipas di tangan Swi Kiat. Tentu saja pemuda ini terkejut dan tidak membiarkan kipasnya rusak dalam segebrakan saja. Sebagai seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, dia sudah dapat melihat bahwa pedang lawannya tadi melakukan semacam gerak tipu seperti Goat-kan-ji-jit (Bulan Mengejar Dua Matahari) dan hendak menusuk bolong sepasang kipasnya. Maka cepat dia mengelak dan kini sepasang kipasnya mulai digerakkan dalam permaiann silat kipas yang amat lihai dari suhunya, yakni Im-yang San-hoat. Sepasang kipas ini dimainkan dengan gerakan yang saling bertentangan, misalnya kalau kipas kanan menyambar dari kanan, kipas kiri menyambar dari kiri, atau kalau yang pertama menyambar dari atas, yang ke dua menyusul dengan serangan dari bawah dan sebagainya. Yang amat sukar adalah betapa lawan tidak dapat menduganya, yang kanan ataukah yang kiri yang menjadi penyerang sesungguhnya dan mana pula yang hanya pancingan belaka.
Namun Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Tingkatnya masih melebihi Swi Kiat, demikian pula ilmu ginkang dan lweekangnya, maka dengan pedangnya yang digerakkan secara cepat dan kuat, dia dapat menggagalkan semua serangan balasan dari pemuda itu, sebaliknya dia terus menggencet lawannya.
Bagaimana dengan Kun Beng? Sama saja keadaannya dengan suhengnya. Kepandaian ketua Bu-tong-pai sudah sejajar dengan kepandaian tokoh-tokoh besar lainnya. Biarpun Bian Kim Hosiang hanya mempergunakan toya terbuat daripada kain, namun setiap kali tombak di tangan pemuda itu terpukul senjata aneh ini, Kun Beng merasa telapak tangannya sakit-sakit.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai tahu benar bahwa kedua orang muridnya takkan dapat mencapai kemenangan. Hal ini pun tidak dianggap memalukan, karena dia sudah tahu bahwa dia sendiri kiranya takkan mudah mengalahkan ketua-ketua dari Kiam-san-pai dan Bu-tong-pai itu, apalagi kedua muridnya itu boleh di bilang sudah patut dipuji, karena menghadapi dua orang ciangbunjin itu masih dapat mempertahankan diri sampai lima puluh jurus! Pula, semenjak tadi sebagai guru, Pak-lo-sian memperhatikan semua gerakan ilmu silat muridnya dan dia tidak melihat adanya kesalahan-kesalahan. Mereka terdesak bukan karena kalah lihai ilmu silat yang mereka pelajari, hanya karena tingkat mereka masih kalah tinggi, baik dalam hal tenaga dalam mau pun kecepatan atau pengalaman bertempur. Ia pun tidak gelisah ketika pada saat hampir bersamaan Swi Kiat tersabet pedang pundaknya sehingga pemuda ini terhuyung-huyung lalu roboh mandi darah dan Kun Beng mengeluh kesakitan ketika pangkal pahanya terpukul oleh toya kain yang kadang-kadang keras seperti baja itu sehingga pemuda ini pun roboh. Pak-lo-sian dapat melihat bahwa luka-luka yang diderita oleh dua orang muridnya itu tidak berbahaya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat dua orang pendeta itu memburu maju dan mengangkat senjata untuk membinasakan dua orang muridnya. Pucatlah wajah Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Dia adalah seorang tokoh besar yang tidak mau berlaku curang atau menyalahi peraturan biarpun kedua orang muridnya terancam bahaya maut, namun baginya lebih baik kematian dua muridnya atau biarpun dia sendiri akan mati, dia tidak nanti akan melanggar peraturan yang jujur.
Kwan Cu melihat dua orang pemuda itu menghadapi bahaya maut, otomatis hendak bergerak, akan tetapi dia kalah dulu oleh Liok-te Mo-li, wanita seperti setan yang pernah dijumpainya, yakni ibu dari Kong Hoat, nelayan muda yang "cengeng" itu. Nenek ini melompat dan ginkangnya memang amat hebat sehingga sekali melompat ia telah berada di tengah lapangan.
"Traaang!" Pedang di tangan Bin Kong Siansu sampai mengeluarkan bunga api ketika terbentur dengan tongkat hitam yang dipegang oleh Liok-te Mo-li ketika nenek ini menangkis tusukan pedang ketua Kim-san-pai yang diarahkan ke tenggorokan Swi Kiat, sedangkan tongkat itu bergerak lagi amat cepatnya menangkis toya kain di tangan Bian Kim Hosiang!
-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 5 - KPH - tamat
Ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai terkejut sekali. Tenaga nenek ini ternyata bukan main hebatnya dan melihat wajah nenek ini, mereka merasa bulu tengkuk mereka berdiri. Memang Liok-te Mo-li berwajah menyeramkan, apalagi pada saat itu ia sedang marah, maka wajahnya menjadi lebih hebat lagi. Kedua orang tokoh besar dunia kang-ouw itu terheran-heran karena selamanya mereka belum pernah melihat nenek aneh ini.
"Siapakah kau dan mengapa kau mencampuri urusan pertandingan yang dilakukan dengan jujur?" membentak Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai dengan marah.
Liok-te Mo-li tertawa, suara ketawanya juga amat menyeramkan, karena biarpun perlahan saja namun amat menusuk anak telinga.
"Hi-hi-hi! Aku mendengar bahwa kalian adalah ketua-ketua partai besar Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, mengapa seganas itu hatimu? Aku tidak peduli tentang pertempuran antara kedua fihak dan kedatanganku ini adalah karena undangan dari Kiam Ki Sianjin. Akan tetapi, biarpun di dalam undangan disebutkan akan diadakan musyawarah besar, kenyataannya apa yang kulihat? Pertandingan-pertandingan yang berat sebelah! Tadi kulihat kakek seperti siluman yang kukunya panjang itu menghina seorang nona muda, sekarang kulihat pula dua ekor monyet tua menghina dua orang muda dan hendak membunuhnya! Aku tidak memihak siapa-siapa, akan tetapi melihat orang-orang muda dihina orang-orang tua bangka, aku Liok-te Mo-li tidak nanti tinggal diam saja!"
Terkejutlah dua orang ketua partai ini mendengar nama ini. Nama ini sudah amat terkenal sebagai nama yang amat menakutkan karena sepak terjang Liok-te Mo-li memang aneh dan kadang-kadang mendirikan bulu roma saking hebatnya. Sebelum mereka sempat membuka mulut, tiba-tiba dari rombongan Kiam Ki Sian-jin melompat dua orang, yakni Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong. Dua kakak beradik seperguruan dari Tibet ini memandang dengan marah. Terdengar suara Kiam Ki Sianjin yang memang menyuruh dua orang kawannya ini maju.
"Ji-wi Bengcu (dua ketua) dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai harap mengundurkan diri dan biarkan Hek-i Hui-mo dan sutenya menghadapi nenek yang usil tangan dan gatal mulut ini!"
Karena kedatangan ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai ke tempat itu memang hanya bertujuan membalaskan sakit hati mereka atas kematian murid mereka dan mereka tidak ingin melibatkan diri dalam permusuhan dengan golongan atau orang-orang lain, keduanya lalu mengangkat pundak dan mengundurkan diri. Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempergunakan kesempatan itu untuk melompat ke depan dan menyambar tubuh dua orang muridnya yang terluka untuk dirawat.
Hek-i Hui-mo sudah pernah bertemu dengan Liok-te Mo-li, bahkan dulu pernah dia bertempur dengan nenek ini ketika Liok-te Mo-li membasmi gerombolan perampok di daerah Tibet dan karena kepala perampok itu terhitung "anak buah" dari Hek-i Hui-mo maka terjadi bentrok di antara mereka. Namun pertempuran itu masih belum diketahui mana yang kalah dan mana yang menang karena Liok-te Mo-li keburu melarikan diri setelah melihat fihak Hek-i Hui-mo mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengeroyoknya.
"Hm, Hek-i Hui-mo, siluman jahat! Dengan adanya kau di sini, mudah di ambil kesimpulan fihak mana yang tidak benar! Manusia macam kau tentu selalu membantu yang jahat," kata Liok-te Mo-li. "Kau hendak mengeroyokku seperti dulu? Kau sekarang sudah mengekor kepada bala tentara kerajaan? Nah, terimalah hadiahku ini!" Sambil berkata demikian, Liok-te Mo-li yang tiba-tiba naik darahnya melihat Hek-iHui-mo, menggerakkan kedua tangannya sambil mengempit tongkatnya. Sinar lembut melayang dari kedua tangannya, langsung menyerang Hek-i Hui-mo, Coa-tok Lo-ong dan para kawan mereka yang berdiri di rombongan Kiam Ki Sianjin.
Hek-i Hui-mo, Coa-tok Lo-ong, dan tokoh-tokoh besar seperti Kiam Ki Sian-jin dan lain-lain cepat mengebutkan ujung lengan baju dan ada yang mengelak ketika jarum-jarum halus itu menyambar, akan tetapi beberapa orang yang kurang tinggi kepandaiannya tidak sempat lagi menghindarkan diri. Tiga orang perwira pengikut Kiam Ki Sianjin menjerit dan roboh dengan muka berubah pucat. Nyawa mereka sukar ditolong karena jarum-jarum ini telah memasuki tubuh dan bergerak melalui jalan darah, langsung menyerang urat-urat nadi yang berbahaya!
"Aduh celaka, Liok-te Mo-li tidak dapat menahan nafsu dan membuat gara-gara!" kata Kwa Ok Sin sambil berdiri dan membanting-banting kakinya. Jeng-kin-jiu juga menggeleng-geleng kepala, akan tetapi tidak bisa berbuat sesuatu karena hal itu sudah terjadi tanpa dapat dicegah lagi.
"Tiga orang itu takkan dapat diselamatkan lagi," kata Yok-ong perlahan kepada Kwan Cu. Pemuda ini sudah hendak bangun dan membantu Liok-te Mo-li ketika melihat nenek ini dikeroyok oleh Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong, akan tetapi tiba-tiba pundaknya dipegang oleh Yok-ong yang berbisik,
"Jangan bergerak. Mereka terlalu lihai, aku sendiri pun tidak berani sembarangan bergerak. Liok-te Mo-li mencari penyakit sendiri dan memperbesar permusuhan. Kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti."
Biarpun Kwan Cu tidak takut sedikitpun juga menghadapi tokoh-tokoh besar di fihak Kiam Ki Sianjin, akan tetapi dia pikir bahwa omongan Yok-ong ini betul juga, maka dia berdiam diri. Betapapun juga, sepak terjang Liok-te Mo-li tidak dia setujui, biarpun nenek ini membela keadilan, akan tetapi dia terlalu ganas sehingga sekali turun tangan ia telah menewaskan tiga orang perwira yang sebetulnya tidak tahu apa-apa.
Sementara itu, Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong telah maju dan mengeroyok Liok-te Mo-li. Tentu saja nenek ini menjadi sibuk sekali. Memang kepandaiannya sudah tinggi, namun kepandaian Hek-i Hui-mo juga tidak boleh dibuat main-main. Apalagi selama beberapa tahun ini kepandaian Hek-i Hui-mo meningkat tinggi sekali, setelah dia mempelajari ilmu silat aneh dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu seperti yang dia dengar dibacakan oleh pujangga Tu Fu. Selain itu, dia dibantu oleh Coa-tok Lo-ong yang tingkat kepandaiannya juga tidak lebih rendah daripada suhengnya dan Liok-te Mo-li. Kalau hanya menghadapi seorang di antara dua tokoh Tibet ini, agaknya pertandingan akan berjalan lebih ramai dan seimbang, akan tetapi dikeroyok dua seperti itu, Liok-te Mo-li benar-benar amat terjepit dan terdesak.
Sepasang senjata Hek-i Hui-mo amat berbahaya, yakni seuntai tasbih di tangan kiri dan sebatang Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) di tangan kanan. Ia melakukan serangan bertubi-tubi dengan kedua senjatanya, setiap serangan cukup keras untuk menghancurkan batu karang. Adapun Coa-tok Lo-ong mainkan senjatanya yang mengerikan, yakni sebatang tongkat yang sebetulnya adalah seekor ular berbisa yang masih hidup! Ular hidup ini tadinya dia simpan di dalam saku bajunya yang lebar dan ular itu tidak dapat bergerak karena memang sudah ditekan pusat tulang belakangnya sebelum digulung dan dikantongi. Sekarang dia buka totokan pada tubuh ular itu dan dengan memegangi ekornya dia mainkan ular itu dengan hebatnya! Dapat dibayangkan sendiri betapa berbahayanya senjata seperti ini karena selain dikerahkan dengan penyaluran tenaga lweekang sehingga dapat dipakai memukul dan menotok, juga ular itu sendiri bergerak-gerak sambil mengeluarkan semburan bisa sehingga sukar sekali dihadapi.
Baiknya Liok-te Mo-li amat besar tenaganya sehingga ketika dia memutar tongkatnya, angin menderu dan debu beterbangan, tubuhnya terbungkus oleh sinar tongkat dan debu. Namun dia sudah tua, keuletan tenaganya terbatas dan sebentar saja setelah dapat mempertahankan selama delapan puluh jurus, ia mulai terengah-engah. Liok-te Mo-li terkejut menghadapi kenyataan betapa majunya kepandaian Hek-i Hui-mo dan bahwa sute dari pendeta Tibet ini pun lihai sekali. Ia maklum bahwa akhirnya ia akan kalah dan roboh juga, maka diam-diam ia mengeluarkan sesuatu dari saku jubahnya.
Tak terasa lagi Kwan Cu memegangi tangan Yok-ong yang dekat dengan lengannya. Kwan Cu memandang ke arah Liok-te Mo-li dengan wajah ngeri, sebaliknya Yok-ong terkejut bukan kepalang ketika merasa betapa tangannya diremas oleh tangan Kwan Cu. Ia merasa betapa tulang-tulang tangannya seperti akan remuk. Dari tangan pemuda itu keluar hawa yang luar biasa sekali sehingga raja tabib ini merasa seluruh lengannya lumpuh, sebentar panas sekali dan sebentar pula dingin bukan main. Ia melongo dan memandang kepada Kwan Cu, lalu dia mencoba mengerahkan seluruh hawa murni dan tenaga lweekang dari tubuhnya untuk melawan tenaga yang keluar dari tangan Kwan Cu. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika lweekangnya tidak kuat menghadapi tekanan itu!
Akan tetapi perlawanannya menginsyafkan Kwan Cu bahwa tanpa disengaja dia telah memijit tangan Yok-ong dengan pengerahan tenaga sakti Im-yang Bu-tek Sin-kang yang dia pelajari dari kitab rahasia itu, maka cepat-cepat dia melepaskan pegangannya. Untuk mengalihkan perhatian Yok-ong, dia segera berbisik,
"Locianpwe, apakah yang dikeluarkan oleh Liok-te Mo-li itu?" Sebenarnya dia sudah melihat nyata bahwa nenek itu mengeluarkan daun Liong-cu-hio, daun aneh yang amat mengerikan itu, daun yang mengandung bisa luar biasa sekali dan boleh disebut raja dari sekalian bisa!
Benar saja, perhatian Yok-ong tertuju kepada nenek itu dan sekali pandang saja muka Yok-ong menjadi pucat. "Ahhh, mungkinkah ia memegang Liong-cu-hio? Celaka sekali....... !" Ia hendak melompat dan mencegah nenek itu mempergunukan daun itu, namun terlambat. Sambil tertawa-tawa aneh Liok-te Mo-li tiba-tiba melontarkan belasan helai daun itu kearah lawannya dan orang-orang yang berdiri di rombongan Kiam Ki Sianjin!
Coa-tok Lo-ong dan Hek-i Hui-mo adalah tokoh-tokoh kenamaan yang sudah tidak asing lagi dengan segala macam bisa, maka mencium bau aneh dari daun-daun itu, mereka cepat melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Kemudian, dengan tongkatnya, Hek-i Hui-mo mengemplang dari atas, tepat mengenai pergelangan tangan kiri nenek itu.
"Krak!" remuklah pergelangan lengan itu sedangkan ular di tangan Coa-tok Lo-ong juga berhasil memagut leher nenek itu. Liok-te Mo-li menjerit dan terhuyung mundur, akan tetapi jeritnya disusul oleh suara ketawanya yang mendirikan bulu roma dan tiba-tiba tangan kanannya menyebarkan beberapa helai daun lagi sambil menggigit tongkatnya! Kemudian, secepat kilat, dibarengi suara ketawanya yang menyayat hati, sebelum dua orang lawannya sempat menyerang, ia mengemplang kepalanya sendiri dengan tongkat yang dipegangnya. Ia roboh dengan kepala pecah dan tidak bernyawa lagi.
Akan tetapi, akibat dari penyebaran daun-daun itu hebat bukan main. Teriakan-teriakan ngeri terdengar ramai sekali di rombongan Kiam Ki Sianjin dan belasan orang perwira dan anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai roboh dengan tubuh hangus! Sekali saja terkena sambitan daun itu, hanguslah bagian tubuh yang terkena dan sebentar lagi seluruh tubuh menjadi hangus seperti terbakar! Yang hebat lagi, orang lain yang hendak menolong, baru saja menjamah tubuh kawan yang hangus itu, menjerit dan tangannya menjadi hangus pula!
Tentu saja para tokoh yang berkepandaian tinggi, dapat menyelamatkan diri dan dapat mengelak dari sambaran daun-daun itu, akan tetapi kali ini kerugian mereka benar-benar hebat sekali sehingga di fihak Kiam Ki Sianjin menjadi gempar. Kiam Ki Sianjin sendiri marah bukan main. Ia menantang pihak Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Pak-lo-sian jangan enak-enakan mengandalkan campur tangan dari luar! Hayo keluarkan lagi jago-jagomu!"
Coa-tok Lo-ong lalu mempergunakan sebatang pisau kecil untuk menusuk-nusuk daun-daun Liong-cu-hio itu, lalu dibungkuslah daun-daun itu dengan hati-hati dan disimpannya di saku baju. Ia kelihatan girang sekali mendapatkan daun-daun yang berbahaya ini.
"Lebih celaka lagi kalau daun-daun itu disimpan oleh manusia seperti itu." kata Yok-ong perlahan. Wajah orang tua ini kelihatan gelisah sekali melihat akibat pertempuran yang demikian mengerikan.
Pak-lo-sian telah menanggalkan baju luarnya. Ia melihat betapa dua orang muridnya telah terluka. Sui Ceng telah terluka pula. Dua orang murid Kun-lun-pai yang masih ada tidak boleh diandalkan, maka dia hendak maju sendiri.
"Nanti dulu, Pak-lo-sian. Ingat bahwa kau adalah wakil kami, maka kau harus maju terakhir. Biarkan pinto maju lebih dulu untuk membalas kematian murid-murid pinto," kata Seng Thian Siansu.
Pak-lo-sian menggeleng kepalanya. "Tidak bisa, Siansu. Kau adalah orang tertua maka berilah kesempatan kepadaku yang lebih muda."
"Omongan apa yang kalian keluarkan ini? Akulah yang akan maju lebih dulu." kata Kiu-bwe Coa-li.
"Tidak bisa!" bantah Pak-lo-sian.
"Tar! Tar! Tarrr!" Cambuk Kiu-bwe Coa-li berbunyi. "Aku maju lebih dulu dan habis perkara!" Kata-katanya ini disusul oleh gerakannya yang amat cepat dan tahu-tahu ia telah berada di tengah lapanganan.
Melihat majunya Kiu-bwe Coa-li yang dianggap sebagai pembunuh murid mereka. Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu naik darahnya dan serentak mereka maju lagi sebelum didahului oleh orang lain. Hal ini menggirangkan hati Kiam Ki Sianjin sehingga dia memberi isyarat mencegah Hek-i Hui-mo yang hendak maju. Memang inilah maksud dari Kiam Ki Sianjin, yakni hendak mengadukan mereka. Ia tahu betul akan kelihaian Kiu-bwe Coa-li.
"Bagus, sekarang kami mendapat kesempatan membalas kematian murid-murid kami!" seru Bian Kim Hosiang yang cepat menyerang. Kini Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai ini tidak lagi mempergunakan toya yang dibuatnya dari kain, melainkan dia menyambar sebuah toya kuningan yang aseli, yakni senjatanya yang sejak tadi dibawa-bawa oleh seorang muridnya. Serangan toyanya amat hebat dan sambaran senjatanya ini mendatangkan angin yang berbunyi mengaung. Namun Kiu-bwe Coa-li tidak menjadi gentar, bahkan sambil mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya, dia mengelak dan membalas. Sembilan ekor cambuknya menari-nari di udara, masing-masing mengeluarkan bunyi yang nyaring dan mengurung tubuh ketua Bu-tong-pai itu dari segala jurusan dengan totokan-totokan mautnya! Sebentar saja kedua orang tokoh besar itu telah saling serang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan seluruh kepandaian mereka yang amat tinggi.
Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai juga amat benci kepada Kiu-bwe Coa-li yang dianggap membunuh sutenya secara curang, maka dia pun lalu menggerakkan pedangnya mengeroyok. Perlu diketahui bahwa dua orang pendeta yang tewas secara aneh, yaitu Bin Hong Siansu adalah sute dari Bin Kong Siansu, sedangkan yang keduanya, yakni Bian Ti Hosiang adalah murid kepala dari Bian Kim Hosiang. Mereka adalah orang-orang penting dari kedua partai persilatan itu, maka kematian mereka mendatangkan kegemparan dan dendam yang hebat.
Sejak tadi, Pak-lo-sian sudah beberapa kali mendengar ucapan kedua orang ketua partai persilatan itu, maka diam-diam dia merasa amat heran dan tidak mengerti mengapa mereka menyebut dia dan Kiu-bwe Coa-li sebagai pernbunuh-pembunuh curang. Kini melihat Kiu-bwe Coa-li dikeroyok dua orang, dia menjadi penasaran dan cepat dia melompat ke dalam gelanggang pertempuran, mempergunakan kipasnya menangkis pedang di tangan Bin Kong Siansu sambil berseru.
"Bin Kong Siansu, tahan dulu!"
Bin Kong Siansu menjadi makin marah melihat majunya Pak-lo-sian. Memang Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian yang dicarinya maka dia bersama ketua Bu-tong-pai datang di situ.
"Kebetulan sekali, kau harus mampus bersama siluman wanita itu!" bentaknya sambil menyerang.
"Nanti dulu, Siansu. Kau dan Bian Kim Hosiang agaknya amat membenci kami berdua, ada apakah?"
"Masih berpura-pura? Benar-benar tua bangka jahanam tak tahu malu. Kau dan Kiu-bwe Coa-li secara curang dan tak bermalu telah membunuh suteku dan murid kepala dari Bu-tong-pai, sekarang masih berpura-pura tanya lagi?" jawab ketua Kim-san-pai sambil menyerang terus.
"Eh, eh, eh, omongan kosong apa yang kaukeluarkan ini?" tanya Pak-lo-sian dan lagi-lagi dia menangkis.
"Kami ada bukti dan saksi, tak perlu banyak mulut lagi. Kalau kau berani, terimalah ini!" Bin Kong Siansu menyerang untuk ketiga kalinya dan kali ini serangannya amat hebat sehingga terpaksa Pak-lo-sian melayaninya.
"Kalau kau menyerangku sebagai seorang yang berfihak kepada penjilat kaisar, aku akan mengadu nyawa denganmu. Akan tetapi kau menyerangku karena salah sangka, aku tidak mau melayanimu." Sambil berkata demikian, Pak-lo-sian hendak meninggalkan lawannya.
"Pengecut tua bangka, kau hendak mempermainkan orang dengan siasatmu! Bin Kong Siansu, jangan percaya mulut tua bangka yang memang ahli siasat dan akal bulus ini!" tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi dan tahu-tahu seekor ular melayang dan menyerang ke arah kepala Pak-lo-sian. Tokoh utara ini cepat mengebut dengan kipasnya sehingga kepala ular itu terdorong angin kipas dan dia melanjutkan dengan menotokkan ujung gagang kipas ke arah penyerangannya. Coa-tok Lo-ong, penyerang itu, cepat mengelak karena dia maklum akan kelihaian lawannya.
Bin Kong Siansu tadinya juga merasa heran melihat penyangkalan Pak-lo-sian, akan tetapi ucapan dari Coa-tok Lo-ong ini membuat dia tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia membantu Coa-tok Lo-ong, memutar pedang dan menyerang Pak-lo-sian. Dengan demikian, Siangkoan Hai dikeroyok dua! Bagaimana Bin Kong Siansu bisa ragu-ragu lagi? Surat peninggalan yang ditandatangani oleh sutenya dan murid kepala Bu-tong-pai sudah menjadi bukti yang nyata, apalagi masih ada saksi hidup yang kini pun berada dan hadir di tempat itu, yakni Siok Tek To-jin. Maka dia percaya penuh akan kata-kata Coa-tok Lo-ong dan menganggap bahwa seorang yang begitu curang membunuh sutenya, tentu takkan segan-segan untuk mempergunakan siasat untuk mencoba menyangkal perbuatannya itu.
Melihat Pak-lo-sian sudah dikeroyok dua oleh Bin Kong Siansu dan Coa-tok Lo-ong, Hek-i Hui-mo lalu melompat pula dan membantu Bian Kim Hosiang mengeroyok Kiu-bwe Coa-li. Pertempuran menjadi makin ramai dan hebat dengan masuknya Hek-i Hui-mo ini.
"Tidak adil....! Sungguh tidak adil........!" bentak Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang "menggelundung" naik dan menyerbu di tempat pertempuran. "Adu kepandaian macam apa ini? Sungguh tak tahu malu, kiranya hanya main keroyokan saja."
"Eh, Jeng-kin-jiu, kau mau apakah?" tiba-tiba berkelebat bayangan dan di depannya sudah menghadang Kiam Ki Sianjin dan Toat-beng Hui-houw. "Apakah kau mau membantu fihak pemberontak yang mengacaukan negara?"
"Aku tidak membantu mana-mana! Aku hanya menghendaki agar pertempuran-pertempuran yang berat sebelah ini dihentikan! Aku sudah menyesal sekali dahulu dapat diperkuda oleh An Lu Shan sehingga aku kesalahan tangan membunuh Ang-bin Sin-kai sahabat baikku. Sekarang ini, kalian tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, yang mewakili semua orang gagah di dunia, yang katanya memiliki kedudukan batin lebih tinggi daripada orang biasa, apakah hanya untuk seorang raja saja kalian sampai mengadu nyawa mati-matian?"
"Habis apa kehendakmu?" tanya Kiam Ki Sianjin sambil tersenyum mengejek.
"Kiam Ki Sianjin, ketika kau masih mengeram di dalam goa di gunungmu, aku sudah berada di istana, akan tetapi kau sekarang bersikap seakan-akan kau sudah menjadi seorang jenderal! Alangkah sombongmu. Dengarlah baik-baik kalau memang kau seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kalau pibu (adu kepandaian) ini memang akan diteruskan, berlakulah jujur dan tidak secara pengecut. Biarkan seorang melawan seorang, jangan main keroyokan. Aku sudah ribuan kali bertempur dan ratusan kali menghadapi pibu, akan tetapi selama hidupku baru kali ini menyaksikan pibu yang demikian tidak tahu malu!"
"Jeng-kin-jiu, kau adalah orang luar. Biarpun aku sudah memanggilmu ke sini, akan tetapi ternyata kau menarik diri sendiri dan menjadi penonton dan orang luar. Kau peduli apa? Kau lihat sendiri, mereka bertempur atas kehendak mereka, tidak ada yang memaksa. Kalau mereka memang suka berdamai, mengapa mereka memaksa hendak mengadakan adu kepandaian? Sudahlah, kami tak hendak menyeret kau dalam pertandingan ini, lebih baik kau keluar dan turun dari gunung ini."
"Tak mungkin! Aku bisa membiarkan kalian bertanding kalau memang adil, akan tetapi aku paling benci kecurangan dan ketidakadilan. Tak boleh aku berpeluk tangan saja melihat hal ini terjadi di depan mataku!" Sambil berkata demikian, Jeng-kin-jiu siap untuk menyerang dan membantu Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian yang dikeroyok dan didesak hebat oleh para pengeroyoknya.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar ledakan dua kali dan asap tebal sekali berwarna hitam campur putih, memenuhi tempat itu. Jeng-kin-jiu yang berada agak jauh dari ledakan ini, kaget dan cepat melompat mundur ke dekat Kwa Ok Sin kembali karena mencium bau yang amat keras. Akan tetapi semua orang yang berada di gelanggang pertempuran, kecuali Coa-tok Lo-ong dan Hek-i Hui-mo, menjadi terhuyung-huyung dan bernapas terengah-engah lalu roboh terguling! Mereka yang roboh ini adalah Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu!
Apakah yang terjadi? Tak seorang pun mengetahuinya bahkan Yok-ong hanya berseru perlahan kepada Kwan Cu "Itulah asap berbisa obat pembius yang sering dipergunakan oleh penjahat dari See-than (negeri barat)! Heran dari mana datangnya asap itu?"
Akan tetapi biarpun Kwan Cu juga tidak melihat siapa yang mempergunakannya dia telah tahu dengan baik bahwa yang mengeluarkan obat bius itu tentulah Coa-tok Lo-ong sute dari Hek-i Hui-mo karena dahulu di kuil tempat tinggal Siok Tek Tojin, dia pernah mencium bau asap itu.
Hek-i Hui-mo tertawa bergelak sedangkan Coa-tok Lo-ong cepat menciumkan obat penawar di depan hidung Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu. Dalam beberapa detik saja mereka ini telah siuman kembali dan menjadi terheran-heran. Akan tetapi, Hek-i Hui-mo cepat menghampiri tubuh Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li, lalu menotok mereka sehingga sebelum orang lain dapat mencegahnya, kedua tulang pundak Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li telah terlepas sambungannya! Mereka untuk beberapa lama takkan dapat bersilat sebelum tulang itu disambung kembali!
"Ji-wi Pai-cu dari Bu-tong dan Kim-san, sekarang musuh-musuh besar Ji-wi sudah roboh. Tidak membalas dendam sekarang, mau tunggu kapan lagi?" kata Kiam Ki Sianjin kepada ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Akan tetapi kedua orang ini yang mempunyai kedudukan tinggi dalam partai mereka, tentu saja merasa malu untuk membinasakan lawan yang roboh karena pengaruh obat bius. Melakukan hal itu dianggap amat rendah. Akan tetapi kalau tidak membunuh mereka sekarang, bukanlah hal yang mudah untuk merobohkan kedua orang tokoh besar itu selagi mereka sadar. Karenanya, dua orang ketua partai ini menjadi ragu-ragu dan bersangsi.
"Kalau Ji-wi tidak tega, biarlah aku yang membunuh mereka!" kata Coa-tok Lo-tong sambil melompat maju ke arah Kiu-bwe Coa-li dan serentak dia menggerakkan ularnya ke arah tenggorokan Kiu-bwe Coa-li!
“Bangsat rendah, pergilah kau!" tiba-tiba dari samping, Coa-tok Lo-ong merasa ada sambaran angin yang dahsyat sekali, karena dia tidak dapat mengelak lagi, dia membatalkan serangannya terhadap Kiu-bwe Coa-li dan mempergunakan tangan kirinya untuk menangkis.
"Duk!" dua tangan beradu dan Coa-tok Lo-ong terlempar sampai dua tombak lebih, akan tetapi Jeng-kin-jiu yang menyerangnya juga terpental ke belakang sampai empat kaki! Ternyata bahwa dua orang tokoh ini hampir sama kehebatan tenaga mereka, akan tetapi ternyata bahwa tenaga raksasa dari Jeng-kin-jiu masih unggul. Berkat tingginya lweekang mereka, adu tenaga tadi tidak mendatangkan luka di dalam tubuh.
"Jeng-kin-jiu, kau bukan orang luar lagi sekarang, akan tetapi pembantu pemberontak!" bentak Hek-i Hui-mo yang cepat mengayun tongkat kepala naga menyerang kepala Jeng-kin-jiu.
"Bangsat Hek-i Hui-mo, lupakah kau akan perundingan kita dulu?" seru Jeng-kin-jiu sambil menangkis ayunan tongkat itu dengan toyanya. Pertemuan tongkat dan toya yang digerakkan dengan tenaga raksasa ini menimbulkan suara keras dan orang-orang yang berada di dekat situ merasai getaran yang hebat. Sebagaimana diketahui dahulu memang Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu keduanya membantu An Lu Shan, bahkan ketika tokoh-tokoh besar berjiwa patriot seperti Ang-bin Sin-kai, Pak-lo-sian dan yang lain-lain datang menyerbu istana, mereka inilah yang melindungi An Lu Shan dan menyelamatkan nyawa kepala pemberontak itu. Akan tetapi kemudian, melihat betapa rakyat Han berjuang terus, bahkan dipimpin oleh orang-orang pandai, Jeng-kin-jiu baru terbuka matanya bahwa hal yang dia kerjakan bukanlah main-main belaka. Ia boleh disuruh menghadapi tokoh-tokoh kang-ouw yang bagaimana pandai pun, akan tetapi menghadapi gelombang perjuangan rakyat bangsanya sendiri, dia bergidik dan merasa ngeri. Oleh karena ini dia lalu mengajak berunding dengan kawan-kawannya, yakni Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw dan yang lain-lain, menyatakan kekhawatirannya karena ternyata bahwa yang mereka lindungi adalah musuh rakyat jelata, bukan musuh Kaisar Tang sebagaimana yang tadinya mereka kira. Jeng-kin-jiu semenjak itu lalu mengasingkan diri di atas gunung, menyesali perbuatannya yang telah membikin banyak orang gagah gugur termasuk Ang bin Sin-kai. Sebaliknya, Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw dan yang lain-lain kena dibujuk lagi oleh Kiam Ki Sianjin sehingga mereka kini kembali membantu kaisar asing. Hal ini adalah karena Hek-i Hui-mo memang berdarah Tibet maka dia tidak peduli akan perjuangan bangsa Han.
Kini dua orang tokoh besar yang sama gemuknya dan sama pula lihainya itu bertanding. Kalau tadinya Kwan Cu sudah mau melompat maju melihat Coa-tok Lo-ong mempergunakan asap obat bius, kini dia mengurungkan niatnya lagi. Kejadian itu semua terjadi demikian cepat dan kini Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian telah tertotok pundak mereka, menggeletak dalam keadaan masih pingsan. Melihat betapa fihak Pak-lo-sian kini tinggal Seng Thian Siansu ketua Kun-lun-pai yang amat tua itu, Kwan Cu sudah ingin sekali membantu mereka, akan tetapi kembali niatnya ini terpaksa dia tunda karena kini dia asyik menyaksikan pertarungan antara Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo. Hatinya berdebar tegang. Kedua orang ini termasuk pengeroyok-pengeroyok dan pembunuh-pembunuh Ang-bin Sin-kai, juga dia masih ingat betul bagaimana ketika dia masih kecil, dua orang tokoh besar ini pun pernah menawan dan ikut menyiksanya untuk memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Akan tetapi tiba-tiba semacam perasaan yang aneh terasa olehnya. Biarpun dia akui bahwa dua orang yang bertempur itu adalah musuh-musuh dan pembunuh gurunya, jadi keduanya juga musuh yang harus dia balas, namun melihat mereka berdua saling serang itu hati Kwan Cu condong Kepada Jeng-kin-jiu dan dia mengharapkan kemenangan bagi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu! Hal ini sebetulnya tidak mengherankan bagi kita, karena memang anak ini ketika pertama kali muncul di dunia ramai, ditemukan oleh Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai sebagai orang satu-satunya yang selamat dari kapal yang tenggelam oleh badai dan ombak. Kemudian, bahkan Jeng-kin-jiu yang memberi nama Kwan Cu kepadanya sedangkan Ang-bin Sin-kai yang memberi nama keturunan Lu. Biarpun tokoh-tokoh aneh itu tidak menyatakan, akan tetapi setidaknya Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai adalah seperti "ayah-ayah angkat" bagi Kwan Cu. Tentu saja dia lebih sayang kepada Ang-bin Sin-kai karena pengemis sakti ini selain menjadi gurunya, juga sikapnya lebih baik terhadapnya.
Ketika Kwan Cu memperhatikan jalannya pertempuran, ternyata bahwa betapapun lihainya Jeng-kin-jiu dengan toyanya, namun tongkat dan tasbih Hek-i Hui-mo masih lebih lihai lagi. Memang, dahulu ketika mereka masih memperebutkan Kwan Cu dan rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tingkat atau ketangguhan ilmu silat mereka seimbang. Akan tetapi, semenjak dia mendengar isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng salinan yang dibaca oleh pujangga Tu Fu, dia lalu mendapat kemajuan yang hebat dan juga aneh, seperti halnya Kiu-bwe Coa-li yang juga ikut mendengarkan. Tadi ketika dikeroyok kalau saja tidak keburu Coa-tok Lo-ong melepaskan asap berbisa yang amat ampuh, agaknya takkan ada yang sanggup mengalahkan atau meroboh kan Kiu-bwe Coa-li.
Kwan Cu melihat betapa Jeng-kin-jiu ternyata masih kalah setingkat, menjadi ikut penasaran. Dalam hal tenaga, agaknya Jeng-kin-jiu tidak kalah, akan tetapi ilmu tongkat dari Hek-i Hui-mo benar-benar aneh dan ditambah pula dengan tasbihnya yang merupakan tangan maut menyambar-nyambar, keadaan Jeng-kin-jiu amat terdesak. Tiba-tiba Kwan Cu mengeluarkan seruan tertahan, seruan yang mengandung kemarahan besar, akan tetapi dia tidak berbuat sesuatu, karena kesadarannya mengingatkan bahwa yang bertempur adalah musuh-musuh besar gurunya. Ia mengeluarkan seruan ketika melihat kecurangan yang terjadi dalam pertempuran itu. Tanpa disangka-sangka, Coa-tok Lo-ong menyerang Jeng-kin-jiu dengan senjata rahasia yang amat halus dan tidak dapat dilihat oleh mata.
"Itu jarum-jarum Coa-tok-ciam........ " Yok-ong juga berseru perlahan.
Jeng-kin-jiu bukanlah seorang yang disebut tokoh nomor satu di selatan kalau dia tidak tahu akan serangan gelap ini. Biarpun jarum-jarum itu amat halus dan tidak kelihatan oleh mata, namun dia masih dapat mendengar suara angin senjata rahasia ini dan cepat-cepat dia mengebutkan tangan baju sebelah kiri. Ia tidak dapat berbuat lain karena pada saat itu, Hek-i Hui-mo sedang melakukan serangan yang hebat dan mendesaknya, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyingkirkan diri. Oleh karena ini, biarpun dia dapat mempergunakan ujung lengan baju menyampok jatuh banyak jarum-jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) namun dia tidak dapat sama sekali membebaskan diri dari ancaman jarum-jarum yang dilontarkan dalam gelombang ke dua. Tiga batang jarum hitam yang amat halus telah mengenai tubuhnya, sebatang di paha, sebatang di pundak dan sebatang lagi merasuki punggungnya.
Kalau orang lain yang terkena jarum-jarum ini, tentu akan roboh pada saat itu juga. Akan tetapi Jeng-kin-jiu adalah seorang yang tubuhnya sudah penuh oleh hawa murni dan tenaga lweekangnya sudah dapat dia salurkan sampai ke ujung-ujung kuku. Maka begitu merasa tiga bagian tubuhnya itu gatal-gatal dan sakit, dia cepat mempergunakan Ilmu Pi-khi-koan-hiat (Menutup Hawa Menghentikan Jalan Darah) sehingga racun dari Coa-tok-ciam yang memasuki tubuhnya tidak dapat menjalar dan hanya mengeram di sekitar jarum itu saja.
Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa terkurung, Jeng-kin-jiu lalu memutar toyanya dengan tenaga raksasa, dia maju dan menyerang membabi-buta. Terutama sekali dia mengejar Coa-tok Lo-ong yang sudah melukainya dengan cara amat curang itu.
Coa-tok Lo-ong terkejut sekali karena tahu-tahu hwesio gemuk bundar itu sudah tiba di depannya dan memukul dengan kerasnya. Ia mengelak dan berbareng dari samping menyabetkan ularnya ke arah dada Jeng-kin-jiu. Akan tetapi, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mengulur tangan kiri, menangkap kepala ular itu dan sekali remas saja, hancurlah kepala ular itu! Berbareng dengan itu, kembali dia mengirim serangan dengan toyanya. Coa-tok Lo-ong cepat menyingkir dan sebentar saja Jeng-kin-jiu yang mengamuk seperti singa gila itu telah dikurung oleh Hek-i Hui-mo dan lain-lain. Bahkan kini para perwira juga ikut mengepungnya. Akan tetapi mereka ini hanya mengantar nyawa dengan sia-sia saja karena sebentar saja di tangan Jeng-kin-jiu telah menghancurkan kepala beberapa orang pengeroyok.
"Mundur semua......!" seru Kiam Ki Sianjin yang kini ikut mengepung pula. "Biarkan para cianpwe yang membunuh anjing gila ini!"
Akan tetapi keributan semua ini sebetulnya tidak ada gunanya. Pada saat dia mengamuk, terpaksa untuk menyalurkan tenaga lweekang pada gerakan-gerakannya, kadang-kadang Jeng-kin-jiu harus melepaskan Ilmu Pi-khi-koan-hiat sehingga racun-racun itu mulai menjalar di tubuhnya. Maka tiba-tiba dia merasa kedua matanya gelap. Sambil meramkan mata, hwesio yang kosen ini masih saja mengamuk terus, dan dia hanya melindungi tubuh dan melakukan serangan semata-mata menurutkan pendengaran telinganya saja.
Namun hal ini tidak berlangsung lama. Racun telah sampai di jantungnya dan tanpa mengeluarkan keluhan sedikit pun, Jeng-kin-jiu roboh dan tewas dengan toya masih berada dalam genggaman tangannya! Melihat hal ini, semua orang tertegun dan untuk beberapa lama keadaan menjadi sunyi.
"Inilah seorang yang gagah perkasa benar-benar, patut ditiru oleh kita semua. Demikianlah hendaknya sikap seorang gagah dan namanya takkan terlupa oleh keturunan kita!" kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang berulang-ulang.
Pada saat pertempuran terjadi, Sui Ceng telah menghampiri gurunya dan berlutut di depan tubuh gurunya dengan muka sedih. Demikian pula Kun Beng dan Swi Kiat telah berlutut di depan Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Dua tokoh besar ini telah siuman dari pingsannya dan kini mereka hanya memandang murid-murid mereka dengan senyum tawar. Mereka tak berdaya, dan biarpun mereka dengan bantuan murid-murid mereka dapat duduk, namun kedua pundak mereka tak dapat digerakkan lagi sehingga tak mungkin mereka menghadapi lawan dalam pertempuran.
"Sekarang boleh dilakukan hukuman terhadap Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian yang membunuh murid-murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai!" kata Coa-tok Lo-ong tanpa mengenal malu sambil memandang kepada dua orang ketua partai Bu-tong-pai dah Kim-san-pai.
"Asal mereka sudah mengaku dan memberi tahu mengapa mereka melakukan pembunuhan secara curang terhadap muridku, pinto sudah puas dan bersedia memaafkan mereka," kata Bin Kong Sian-su ketua Kim-san-pai. Mendengar ini, Bian Kim Hosiang juga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai mendengar omongan itu lalu tertawa bergelak. Biarpun kedua pundak dan lengannya tidak dapat digerakkan lagi, namun tubuhnya masih kuat dan sekali menggerakkan kaki, dia telah melompat berdiri, kedua muridnya berdiri di kanan-kirihya. Sikapnya masih gagah, hanya kedua lengannya saja yang tergantung tak berdaya.
"Dua orang Ciangbunjin dari Bu-tong dan Kim-san agaknya sudah gila, buta atau memang sudah kembali menjadi anak-anak kecil. Aku Siangkoan Hai, selama hidup tidak pernah berbuat curang, sungguhpun sudah berkali-kali dicurangi orang seperti yang baru saja kualami ini. Maka dua orang Ciangbunjin harap membuka mata lebar-lebar dan mempergunakan pula otaknya!"
"Benar, kalian ditipu oleh jahanam-jahanam tak tahu malu seperti Coa-tok Lo-ong, masih keenakan saja, mana orang-orang macam kalian ini pantas menjadi ketua dari partai-partai besar?" kata Kiu-bwe Coa-li yang juga sudah berdiri, Sui Ceng berdiri di sebelahnya dan kini cambuk berekor sembilan itu dipegang oleh Sui Ceng. Biarpun gadis ini masih agak lemah dan pundaknya masih terasa sakit, ia dengan gagah berdiri di samping gurunya, siap membelanya mati-matian.
Mendengar kata-kata Kiu-bwe Coa-li yang tidak disengaja mendakwa kepada Coa-tok Lo-tong, sute dari Hek-i Hui-mo ini berubah mukanya. Akan tetapi Kiam Ki sianjin yang mendalangi semua itu, menjadi khawatir sekali. Tokoh-tokoh besar yang pro rakyat kini sudah tak berdaya, tidak membasmi mereka sekarang mau tunggu kapan lagi? Kalau mereka ini sudah tewas, berapa besar kekuatan pemberontak?
"Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li, biarpun kalian sekarang sudah dikalahkan, aku masih membuka kesempatan bagimu. Kalau kalian suka tunduk dan berjanji akan membantu kami atau akan membujuk agar supaya para pemimpin pemberontak mengundurkan diri, kami akan memberi ampun kepada kalian dan murid-murid serta kawan-kawanmu."
"Bangsat tua, siapa sudi mendengar omongan-omonganmu? Mau bunuh lekas bunuh, habis perkara!" kata Kiu-bwe Coa-li dan biarpun kedua lengannya sudah lumpuh tak dapat digerakkan lagi, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat dan sepasang kakinya siap untuk mengirim tendangan maut.
"Kiam Ki Sianjin, anjing penjilat belang! Apa sih sayangnya kalau tulang-tulangku yang keropos ini dihancurkan? Aku akan mati sebagai seorang gagah, bukan seperti kau yang kelak mampus seperti anjing penjilat kelaparan yang tidak dipakai lagi oleh majikanmu, penjajah asing!" Pak-lo-sian Siangkoan Hai mencaci.
Naik darah Kiam Ki Sianjin mendengar ini dan dia lalu mencabut pedangnya. Ia adalah seorang tokoh besar yang dijuluki Pak-kek-sian-ong, bagaimana dia bisa menelan mentah-mentah hinaan ini?
"Kalau begitu mampuslah kalian!" bentaknya.
Akan tetapi tiba-tiba Seng Thian Siansu melompat dan pedangnya menangkis pedang di tangan Kiam Ki Sianjin.
"Nanti dulu, Kiam Ki Sianjin. Biarpun kawan-kawanku telah kalah oleh akal busuk, akan tetapi di fihakku masih ada aku orang tua. Kalau aku sudah kalah, boleh kalian berbuat sesuka hatimu terhadap kami. Hayo, majulah, aku menyediakan selembar nyawaku yang tidak berharga!" Biarpun sudah amat tua dan lemah, ketua Kun-lun-pai ini berdiri dengan gagahnya, pedangnya siap di tangan melakukan gerak Sian-jin-tit-louw (Dewa Menunjuk Jalan), membuka kuda-kudanya dengan tenang sekali.
Seng Thian Siansu adalah ketua Kun-lun-pai, seorang tua yang banyak dikenal dan disegani orang. Sebagai seorang ciangbunjin dari partai yang amat besar, dia dihormati sekali dan karenanya kali ini setelah dia yang maju, dari fihak Kiam Ki Sianjin tidak ada yang berani mengeroyok. Akan tetapi mereka ini tidak menjadi gentar, karena para tokoh ini maklum bahwa Seng Thian Siansu sekarang berbeda dengan Seng Thian Siansu sepuluh dua puluh tahun yang lalu. Kakek ini sudah terlalu tua dan kabarnya sudah beberapa kali menderita sakit tua sehingga amat lemah dan tidak memiliki lagi tenaga besar .
Toat-beng Hui-houw hendak mencari jasa, maka sambil tertawa-tawa dia melompat maju menghadapi Seng Thian Siansu.
"Aku mohon pengajaran dari Siansu yang namanya tersohor di kolong langit," katanya sambil menyeringai dan menggerakkan kedua tangan sehingga sepuluh kukunya terulur panjang. Kemudian dengan gerakan cepat sekali dia maju menyerang dengan sepasang tangannya yang digerakkan seperti seekor harimau mencakar. Tidak ketinggalan kedua kakinya mengirim tendangan bertubi-tubi sehingga dia benar-benar kelihatan seperti seekor harimau menyerang.
Seng Thian Siansu adalah seorang ketua dari partai besar, tentu saja ilmu kepandaiannya amat tinggi. Ia adalah ahli waris dari ilmu silat Kun-lun-pai dan tentang kepandaian, dia jauh lebih menang daripada Toat-beng Hui-houw. Akan tetapi sayang sekali, sudah ada belasan tahun dia termakan oleh usia tua sehingga tenaganya sebagian lenyap dan juga kegesitannya berkurang banyak. Bagaikan sebatang pedang pusaka yang ampuh, apa dayanya kalau sudah dimakan karat? Maka begitu pedangnya yang menangkis serangan Toat-beng Hui-houw terbentur oleh kuku tangan kakek seperti siluman ini, dia merasa telapak tangannya tergetar dan pedangnya terpental. Dengan cepat Seng Thian Siansu terkurung dan terdesak hebat oleh Toat-beng Hui-houw yang menyerang sambil tertawa-tawa mengejek. Akan tetapi dia salah kira kalau dapat dengan mudah mengalahkan kakek yang usianya sudah tinggi sekali itu. Ilmu pedang dari Seng Thian Siansu sudah mencapai tingkat mendekati kesempurnaan, maka daya tahannya juga amat luar biasa. Sayang sekali, seperti sudah dituturkan di atas, tenaga kakek ini sudah amat terbatas, demikian pula kecepatannya. Ia sudah mulai terengah-engah, akan tetapi dengan semangat penuh dia masih terus mempertahankan diri.
Kwan Cu sudah bergerak hendak melompat, akan tetapi kembali Yok-ong mencegahnya.
"Bagaimana kita bisa membantu kalau mereka bertempur satu lawan satu?" katanya.
Kwan Cu menjadi bingung. Sejak tadi dia hendak membantu fihak Pak-lo-sian, akan tetapi kesempatan baik belum ada. Tentu saja dia pun harus tunduk pada Yok-ong yang mengemukakan alasan-alasan kuat. Sebagai orang gagah dia harus bisa memegang aturan.
Seng Thian Siansu kini benar-benar terdesak hebat. Pada suatu saat, Toat-beng Hui-houw yang merasa penasaran sekali mengapa sebegitu lama belum juga dia bisa mengalahkan kakek tua renta itu, membentak keras dan kedua tangannya dapat menangkap tangan ketua Kun-lun-pai itu yang memegang pedang. Seng Thian Siansu merasa tangan kanannya sakit sekali bagaikan terjepit oleh jepitan baja. Kuku-kuku kedua tangan Toat-beng Hui-houw amblas ke dalam tangannya dan menghancurkan tangan itu. Akan tetapi, sambil menahan sakit, ketua Kun-lun-pai ini menggunakan tangan kirinya untuk memukul sambil mengerahkan seluruh tenaga terakhir ke arah dada Toat-beng Hui-houw.
"Blek!" Toat-beng Hui-houw mengeluarkan gerengan seperti seekor macan terpukul. Tubuhnya terhuyung dan dia muntahkan darah segar. Biarpun tenaga kakek Kun-lun-pai itu tidak begitu besar, akan tetapi karena rasa sakit pada tangan kanannya, tenaganya bertambah dan pukulan itu hebat sekali. Akan tetapi, dia sendiri terpaksa harus melepaskan pedangnya dan tangan kanannya sudah bukan berupa tangan lagi. Jari-jarinya putus dan tangan itu hancur! Seng Thian Siansu maklum bahwa selain tangan kanannya hancur juga darahnya telah kemasukan racun yang keluar dari kuku-kuku tangan Toat-beng Hui-houw, maka dia lalu duduk bersila meramkan mata, menanti datangnya maut dengan tenang.
Sebaliknya, Toat-beng Hui-houw akhirnya roboh pingsan. Pada saat semua orang masih bengong melihat pertempuran yang berakibat hebat itu, tiba-tiba Sui Ceng melompat, menyambar pedang Seng Thian Siansu yang jatuh di atas tanah dan sebelum ada orang yang dapat mencegahnya, gadis ini mengayun pedang dan putuslah leher Toat-beng Hui-houw!
Sesaat semua orang terkesima, akan tetapi segera gegerlah orang-orang yang berada di fihak Kiam Ki Sianjin. Beberapa orang melompat maju dan Kiam Ki Sianjin sendiri berseru,
"Curang sekali......!"
Bun Sui Ceng setelah memenggal kepala Toat-beng Hui-houw, lalu tertawa nyaring dan berkata, "Ibu, terbalaslah sudah dendam hatimu terhadap siluman ini!" Kemudian dengan air mata mengucur gadis ini berdiri dengan gagahnya menghadapi Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya.
"Bukan Seng Thian Siansu yang curang, akan tetapi aku sendiri Bun Sui Ceng yang sengaja memenggal kepala siluman ini, untuk membalas sakit hati ibuku yang tewas di tangannya. Siapa tidak terima? Boleh maju! Untuk perbuatanku tadi, aku sanggup menghadapi segala akibatnya!"
"Tangkap dia!"
"Bunuh dia!"
"Basmi semua pemberontak!"
Teriakan-teriakan ini terdengar saling susul dan semua orang yang berada di fihak Kiam Ki Sianjin, kecuali orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, serentak maju hendak menggempur Sui Ceng dan yang lain-lain.
"Tahan dulu.......!!" Tiba-tiba bayangan yang amat cepatnya melayang dan menyambar-nyambar, diikuti bayangan lain yang juga amat gesitnya. Bayangan pertama adalah Kwan Cu yang tak dapat menahan hatinya lagi, apalagi ketika melihat betapa Sui Ceng berada dalam bahaya hendak dikeroyok. Begitu tiba ditempat itu, Kwan Cu menggerakkan kedua tangannya ke arah para pengeroyok. Dengan amat cepat, tanpa dapat terlihat oleh lain orang, dia telah memukul mundur semua orang dengan pukulan-pukulan Pek-in-hoat-sut. Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya hanya merasa adanya angin yang kuat sekali mendorong mereka mundur beberapa tindak dan ternyata tahu-tahu pemuda dusun yang tadi dianggap tolol telah berdiri menghadapi mereka sambil bertolak pinggang.
Adapun bayangan ke dua adalah Hang-houw-siauw Yok-ong. Berbeda dengan Kwan Cu raja tabib ini dengan cepat sekali seperti burung menyambar-nyambar, telah dapat menyambar tubuh Thian Seng Siansu, kemudian berturut-turut dia menyambar tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li, dibawa ke belakang, kemudian tanpa mempedulikan Sesuatu dia mengobati tokoh-tokoh yang terluka ini. Pertama-tama dia mempergunakan obat untuk mengobati luka di tangan Seng Thian Siansu karena keadaan kakek ini yang paling hebat. Setelah menotok beberapa jalan darah, Yok-ong lalu memberi obat pada tangan yang rusak dan memberi pil ke dalam mulut kakek ini yang memandangnya dengan penuh keheranan dan kekaguman.
Setelah itu, barulah Yok-ong memeriksa di pundak Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li. Karena dia amat lihai dalam ilmu mengobatan, tulang pundak yang sudah terlepas dan kalau menurut ahli pengobatan lainnya baru akan sembuh sedikitnya dua pekan, sebentar saja Yok- ong sudah dapat menyambungnya dengan baik!
"Sayang tak boleh mengerahkan tenaga lweekang di kedua lengan pada hari ini, harus menanti sampai dua hari." kata Yok-ong kepada dua orang tokoh itu.
"Eh, muka hitam! siapakah kau yang sudah berpura-pura dungu dan bodoh, menyamar sebagai petani ini?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan heran sekali.
Pak-lo-sian tertawa. "Ha-ha-ha, didunia ini yang dapat mengobati orang seperti ini hanyalah Hang-houw-siauw Yok-ong. Bukankah kau Yok-ong?"
Akan tetapi Yok-ong tidak menjawab, hanya menudingkan telunjuk ke depan dan mukanya berubah terheran-heran Sehingga dia menjadi bengong. Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li juga memandang ke depan. Mereka melihat betapa Sui Ceng sudah mundur, juga kini Sui Ceng, Kun Beng, swi Kiat dan dua orang anak murid Kun-lun-pai, memandang dengan bengong ke tengah lapangan adu silat tadi. Memang apa yang mereka lihat amat mengherankan hati mereka.
Kwan Cu dengan tangan bertolak pinggang menghadapi Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya. Pemuda ini kelihatan marah sekali, akan tetapi mukanya kelihatan amat lucu karena muka yang berwarna merah seperti udang direbus itu tidak dapat digerakkan sehingga seperti topeng saja.
"Kalian ini pengkhianat-pengkhianat bangsa dan anjing-anjing penjilat selalu memutarbalikkan duduknya perkara. Diri sendiri pengecut dan curang mengatakan orang lain curang. Sungguh tak tahu malu!"
Karena Kwan Cu sengaja mengubah suaranya, Kiam Ki Sianjin tidak mengenalnya. Akan tetapi karena melihat betapa pukulan anak muda ini benar-benar lihai, dia berlaku hati-hati dan menjawab,
"Bocah dusun! Bagaimana kau bisa bilang begitu? Memang fihak Pak-lo-sian amat curang, kalau tidak curang, mengapa gadis itu membunuh Toat-beng Hui-houw yang sedang tak berdaya?"
"Nona itu membunuh siluman Toat-beng Hui-houw bukan untuk mengeroyok dan bukan untuk berlaku curang. Kalian sudah mendengar sendiri bahwa ibunya terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw! Pembalasan dendam tidak boleh dicampur-adukkan dengan perbuatan curang. Andaikata kalian menganggapnya mengeroyok, biarlah itu dianggap pula sebagai pembalasan karena bukankah kalian tadi juga mengeroyok ketika kedua locianpwe Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian maju?"
"Setan kecil! Kalau kau memang murid seorang pandai dan mengaku sebagai orang gagah atau pendamai, ternyata kau berat sebelah! Mungkin sekali Toat-beng Hui-houw membunuh ibu gadis itu, akan tetapi siapa tahu kalau memang ibu gadis itu penjahat besar?"
Kwan Cu tertawa dan dia menjura kepada Kiam Ki Sianjin dengan penghormatan yang sifatnya mengejek.
"Harap Locianpwe suka mendengarkan dongenganku sebentar. Toat-beng Hui-houw, adalah suheng dari Tauw-cai-houw, saikong yang berwatak keji dan suka makan daging anak-anak kecil. Pada suatu hari pendekar wanita Pek-cilan Thio Loan Eng yang namanya sudah tersohor di seluruh penjuru dunia, menewaskan bangsat keji itu dengan pedangnya. Bukankah itu sudah adil? Lalu siluman tua ini, Toat-beng Hui-houw, melakukan pembalasan terhadap Pek-cilan Lihiap. Inipun boleh-boleh saja karena memang dia suheng dari Tauw-cai-houw. Akan tetapi tahukah Locianpwe bagaimana cara Toat-beng Hui-houw membalas dendam? la menawan Pek-cilan Lihiap, kemudian selagi pendekar wanita itu masih hidup, dia menggigit lehernya dan mengisap darahnya sampai habis!"
Terdengar seruan-seruan kaget, dua orang ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai beserta anak murid mereka bergidik mendengar perbuatan yang amat keji dan di luar perikemanusiaan ini! Bun Sui Ceng menjadi pucat dan ia mengeluarkan pertanyaan tanpa disadarinya.
"Siapa dia yang mengerti semua peristiwa itu?"
Pertanyaan ini terdengar pula oleh Kiam Ki Sianjin yang juga menjadi penasaran, maka tanyanya.
"Orang muda, siapakah namamu dan apa kehendakmu sekarang?"
"Namaku? Aku adalah Ang-bin Siauw-bu-beng (Si Kecil Tak Bernama Yang Bermuka Merah). Dan kehendakku? Tak lain kedatanganku ini untuk mendongeng!"
Semua orang, baik dari fihak Kiam Ki Sianjin maupun di fihak Pak-lo-sian Siang-koan Hai, tak seorang pun yang pernah mendengar nama julukan Ang-bin Siauw-bu-beng, maka mereka memandang heran. Apalagi ketika Kwan Cu menyatakan bahwa kedatangannya untuk mendongeng! Sui Ceng hampir tak dapat menahan ketawanya karena ia merasa amat lucu. Bagaimana di tengah-tengah medan pertandingan mati-matian yang telah mengorbankan begitu banyak nyawa orang, pemuda muka merah yang buruk rupa ini datang hendak mendongeng? Sungguh menggelikan.
Akan tetapi Kiam Ki Sianjin marah bukan main. Ia adalah seorang ahli silat kelas satu, masa sekarang dia boleh di permainkan begitu saja oleh seorang badut muda ?
"Jangan kau main-main, lekas pergi kalau kau tidak ingin remuk tulang-tulangmu. Siapa sudi mendengar ocehan dan dongenganmu?" Sambil berkata demikian, dia mendorong dengan kedua tangannya dengan sikap seperti orang mau mengusir. Akan tetapi sebenarnya dalam dorongannya ini, dia mengerahkan tenaga Jian-mo-kang yang luar biasa dahsyatnya.
Kwan Cu hanya merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah kedua tangannya diangkat seperti orang yang mencegah orang yang hendak memukulnya. Kiam Ki Sianjin terkejut bukan main. Tadi dia mengerahkan tenaga Jian-mo-kang dan dia tahu bahwa jangankan pemuda aneh ini, biarpun batu yang beratnya beribu kati akan terguling terkena dorongannya ini. Baru angin dorongannya saja sudah bertenaga sedikitnya tiga ratus kati. Akan tetapi, pemuda itu dengan merendahkan tubuh dan mengangkat kedua tangan, ternyata dari angkatan tangan ini keluar sebuah tenaga tersembunyi yang dari bawah mendorong tangan Kiam Ki Sianjin ke atas sehingga dorongan tenaga Jian-mo-kang lewat di atas kepala Kwan Cu mengenai angin kosong! Daun-daun pohon yang berada di sebelah belakang Kwan Cu, seperti tertiup angin ketika terkena sambaran tenaga Jian-mo-kang yang menyeleweng ke atas ini dan rontoklah banyak daun pohon itu!
"Locianpwe, ampunkan selembar nyawaku dan jangan bunuh aku dulu sebelum boanpwe (aku yang rendah) mendongeng,". kata Kwan Cu sambil tersenyum. "Tadi sudah kuceritakan dongeng tentang Toat-beng Hui-houw sehingga kita semua kini tahu akan macam orang itu dan kiranya sudah sepatutnya kalau nona yang lihai itu membunuhnya. Sebelum mendongeng tentang para locianpwe yang masih hidup, aku akan mulai dengan yang sudah tewas, yakni Jeng-kin-jiu Locianpwe. Dia itu memang sekarang tewas sebagai seorang gagah, akan tetapi harus disayangkan bahwa kematiannya itu merupakan penebusan dosa dari penyelewengan hidupnya. Benar-benar sayang. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu adalah seorang tokoh besar dari selatan yang biarpun amat aneh namun belum pernah berlaku curang dan jahat. Akan tetapi, seperti yang dikatakan oleh guru besar Khong Cu, musuh manusia yang paling berbahaya adalah dirinya sendiri! Melihat kehidupan mulia dan enak, Jeng-kin-jiu telah kena dibujuk dan menjadi kaki tangan An Lu Shan, bahkan mengajar para pangeran, sama sekali tidak peduli bahwa majikannya itu adalah penindas bangsanya. Kemudian, lebih celaka lagi, dengan kawan-kawannya yang sama-sama menyeleweng batinnya, dia melakukan pengeroyokan dan membunuh seorang pendekar besar yang namanya akan tetap wangi selama dunia berkembang, yaitu Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Adapun Liok-te Mo-li nenek yang aneh itu, memang ia gagah perkasa dan lihai sekali, juga selalu di waktu dahulu ia membasmi orang-orang jahat. Sayang dia terlalu ganas dan kejam, menyebar maut seenaknya saja maka akhirnya ia pun tewas karena curangnya orang-orang jahat pula!"
Mendengar ucapan-ucapan Kwan Cu makin mengacau, apalagi melihat betapa musuh-musuh besarnya, yakni Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian telah tertolong dan telah diobati oleh seorang kakek muka hitam yang aneh, Bian Kim Ho siang dan Bin Kong Siansu menjadi marah dan keduanya melompat maju.
"Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, dua manusia durhaka! Jangan kalian bersembunyi dibalik kegilaan badut kecil ini. Kalian sudah sembuh? Hayo kita bertanding lagi sampai salah seorang di antara kita mampus!" bentak Bian Kim Hosiang.
"Fihak Pak-lo-sian sudah kalah semua, di sana tidak ada jagonya lagi. Menurut perjanjian mereka harus mengaku kalah dan mentaati perintah kehendak kami!" Kiam Ki Sianjin berkata keras, tanpa mempedulikan lagi kepada pemuda muka merah itu.
Pak-lo-sian dan Seng Thian Siansu saling pandang, lalu tersenyum pahit.
"Kiam Ki Sianjin, kami adalah orang-orang gagah yang sekali mengeluarkan ludah takkan dijilat lagi!" Seng Thian Siansu mengangguk-anggukkan kepalanya yang rambutnya sudah putih semua. Mereka memang sudah tidak berdaya. Kiu-bwe Coa-li sudah tak dapat menggerakkan kedua lengannya, demikian pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Seng Thian Siansu sendiri tangannya sudah remuk, tak mungkin berkelahi lagi. Murid-murid Pak-lo-sian juga terluka, demikian pula Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li. Adapun dua orang murid Kun-lun-pai kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat lawan. Mereka terpaksa harus mengaku kalah.
"Jadi kau sudah mengaku bahwa fihakmu kalah, Pak-lo-sian?" tanya Kiam Ki Sianjin dengan muka kegirangan.
"Memang..... kami......"
Tiba-tiba Kwan Cu melanjutkan kata-kata Pak-lo-sian ini dengan cepat.
"Kami belum kalah! Aku Ang-bin Siauw-bu-beng mewakili fihak Pak-lo-sian Cianpwe menjadi jagonya!"
Tiba-tiba Yok-ong melompat di dekat Kwan Cu. Semua orang lagi-lagi tertegun karena gerakan kakek muka hitam itu demikian cepatnya sehingga sekali lihat saja tahulah semua orang bahwa kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Siauw-bu-beng, tak boleh kau meninggalkan Lohu! Kalau kau yang muda berani maju, mengapa aku tidak?" Yok-ong adalah seorang ahli silat yang kepandaiannya sudah hampir sempurna, maka tentu saja dia pun dihinggapi penyakit "gatal tangan" seperti ahli-ahli silat lain apabila melihat adu kepandaian, apalagi menghadapi begitu banyak jago-jago silat. Maka dia tidak dapat menahan hatinya untuk "main-main" sebentar, dan di samping ini dia juga merasa khawatir melihat Kwan Cu menghadapi para tokoh besar itu. Ia tahu bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi berapa tinggikah kepandaian seorang bocah yang masih belum matang?
Yok-ong lalu menjura kepada Kiam Ki Sianjin setelah mengejapkan mata kepada Kwan Cu.
"Kiam Ki Sianjin, sudah lama sekali aku mendengar namamu yang menjulang setinggi awan. Sekarang, bertemu dengan kau sebagai kaki tangan kaisar, sungguh menyenangkan sekali. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu dan kesempatan ini, dan mohon petunjukmu dalam ilmu pukulan."
Kwan Cu maklum akan "penyakit" ahli silat yang menghinggapi Yok-ong, maka sambil memainkan mata kepada dua orang ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, dia berkata,
"Ji-wi Locianpwe harap mundur dulu, nanti saja kalau tiba giliran kita, Ji-wi maju lagi!"
Kata-kata ini memanaskan perut Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, dan kalau saja yang mengeluarkan kata-kata main-main ini bukan seorang bocah, tentu dia sudah mengirim serangan. Akan tetapi Bin Kong Siansu sudah menarik tangannya diajak mundur. Kwan Cu juga mundur, akan tetapi dia berdiri tidak jauh di belakang Yok-ong, karena dia merasa curiga dan khawatir kalau-kalau Yok-ong akan dicurangi pula.
Biarpun Kiam Ki Sianjin dapat menduga bahwa kakek muka hitam ini lihai, namun sebagai seorang tokoh besar dia tidak sudi bertanding melawan orang yang tidak terkenal, maka dia lalu menjura dan berkata,
"Sahabat telah mengetahui namaku yang rendah, sebaliknya aku belum tahu dengan siapa aku berhadapan. Ini tidak adil sekali."
Yok-ong tertawa, suara ketawanya halus dan merdu seperti ketawa seorang yang amat sopan.
"Kiam Ki Sianjin, yang akan bergerak adalah tangan kaki kita, perlu apa memperkenalkan nama? Akan tetapi karena kau mendesak, baiklah. Namaku adalah Hek-bin Lo-bu-beng (Si Tua Tak Bernama Yang Bermuka Hitam)!"
Kwan Cu tertawa geli. Kiranya kakek Raja Tabib ini meniru dia, menambah kata-kata Muka Hitam di depan nama julukan baru, yakni Lo-bu-beng.
Kiam Ki Sianjin menjadi merah mukanya. "Hm, kau dan bocah itu sengaja tidak mau memperkenalkan nama. Akan tetapi tidak apalah. Apakah kau maju sebagai jago dari fihak pemberontak?"
"Sesukamu, boleh saja kau menganggap begitu. Akan tetapi sebetulnya lebih tepat kalau dikatakan bahwa aku maju sebagai wakil dari mereka yang tertindas. Kiam Ki Sianjin, keluarkanlah pedangmu, aku sudah lama mendengar bahwa kau adalah seorang ahli pedang yang jempolan!"
Kiam Ki Sianjin diam-diam berpikir dan mencari akal. Kalau orang ini sudah tahu bahwa dia pandai main pedang, tentulah orang ini sudah bersedia lebih dulu menghadapi pedangnya, dan boleh dipastikan bahwa kakek muka hitam ini tentulah seorang ahli dalam penggunaan senjata pula.
"Tak perlu menggunakan senjata," katanya, "mari kita mengadu tenaga lweekang saja. Apakah kau berani menerima?" Kiam Ki Sianjin adalah seorang yang semenjak muda meyakinkan ilmu lweekang sampai tingkat tinggi dan dalam hal kepandaian ini, kiranya dia tidak usah kalah oleh lima tokoh besar, yakni Pak-lo-sian, Jeng-kin-jiu, Ang-bin Sin-kai, Hek-i Hui-mo, dan Kiu-bwe Coa-li. Maka, mengira bahwa Si muka hitam ini ahli senjata, dia lalu memilih adu tenaga lweekang supaya mendapat kemenangan dengan mudah.
Yok-ong pura-pura terkejut dan menggeleng-geleng kepalanya. "Ayaaa... mengapa kau mengajak yang aneh-aneh?"
"Berani tidak?" tanya Kiam Ki Sianjin mendesak, girang karena melihat si muka hitam kelihatannya ragu-ragu dan terkejut. Kalau si muka hitam menolak, berarti orang itu mengaku kalah dan boleh dihukum menurut sesuka hati yang menang.
"Apa boleh buat, kau tuan rumah dan aku tamu yang harus menghormati kehendak tuan rumah. Dengan cara bagaimana kau hendak mengajakku mengadu kekuatan itu?" tanya Yok-ong.
"Tidak berbahaya, sama sekali tidak berbahaya! Kita mengadu telapak tangan dan mendorong, siapa yang jatuh di atas tanah dia yang kalah!" kata Kiam Ki Sianjin sambil tertawa-tawa. Semua orang terkejut. Memang ada banyak cara meng adu lweekang, akan tetapi yang paling berbahaya adalah adu lweekang dengan menempelkan telapak tangan dan saling mendorong. Dalam adu lweekang macam ini, sembilan bagian orang yang kalah akan tewas atau setidaknya menderita luka dalam yang hebat sekali.
Akan tetapi anehnya, si muka hitam agaknya tidak mengerti akan bahaya itu dan dengan tertawa-tawa dia berkata,
"Aha, tidak tahunya kau akan mengajak aku main-main seperti anak kecil saja. Baiklah, memang aku pun tidak mempunyai niat buruk di dalam hatiku. Kalau menang baik, kalau kalah paling-paling hanya terdorong jatuh, apa susahnya?"
"Sahabat Lo-bu-beng, hati-hatilah! Dia punya tenaga Jian-mo-kang!" kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang juga merasa khawatir kalau-kalau si muka hitam yang pandai mengobati itu akan binasa di bawah tangan Kiam Ki Sianjin yang lihai.
Yok-ong menoleh dan tersenyum kepada jago tua dari utara itu.
"Biarlah, kami hanya main-main dan saling dorong, bukan saling pukul. Apa sih bahayanya?"
Akan tetapi pada saat dia menoleh, Kiam Ki Sianjin sudah mengerahkan tenaga dan meluruskan kedua lengan ke depan, lalu membentak,
"Lo-bu-beng, bersiaplah!"
Yok-ong memutar tubuhnya dan bukan saja dia, juga tokoh-tokoh 1ain yang hadir di situ maklum bahwa kembali Kiam Ki Sianjin mempergunakan kesempatan untuk mencari kedudukan yang lebih menguntungkan. Dalam adu tenaga seperti ini, siapa yang mengerahkan tenaga dan meluruskan lengan lebih dulu, dia berada dalam kedudukan menyerang, sedangkan yang menempelkan tangan dan meluruskan lengan terakhir berada dalam kedudukan menahan. Akan tetapi agaknya si muka hitam ini tidak tahu akan hal ini bahkan tanpa menarik napas panjang seperti orang yang hendak mengumpulkan tenaga lweekang, akan tetapi dengan tertawa-tawa dia lalu memasang kuda-kuda dengan tumit diangkat, lalu meluruskan tangan menempelkan telapak tangan ke telapak tangan Kiam Ki Sianjin.
Begitu kedua telapak tangan menempel, Kiam Ki Sianjin lalu mengempos semangat dan napasnya, dan mendorong sambil mengerahkan tenaga Jian-mo-kang yang dahsyat. Tadi sudah dituturkan tentang kehebatan tenaga Jian-mo-kang ini, yang hanya pukulannya saja sudah cukup untuk menggulingkan batu seberat tiga ratus kati dan kalau tangan itu menempel pada batu yang beratnya seribu kati, batu itu akan terdorong roboh. Akan tetapi ketika tangannya menempel pada telapak tangan Yok-ong, dia merasa betapa telapak tangan si muka hitam itu lunak dan halus sekali seperti kapas! Ia terkejut dan tahu bahwa lawannya mempergunakan Bian-ciang-kang (Telapak Tangan Kapas) yang menggunakan tenaga "lemas" untuk menghadapi tenaga "keras" Menghadapi tenaga ini, Kiam Ki Sianjin kehilangan kekuasaan tenaganya, seakan-akan semua tenaga Jian-mo-kang yang dikerahkan itu "amblas" ke dalam telapak tangan lawan, atau seperti sepotong besi yang berat masuk ke dalam air! Cepat dia hendak menarik kembali telapak tangannya untuk mengubah gencetan dari arah lain, akan tetapi alangkah kagetnya ketika telapak tangannya itu telah "menempel" pada telapak tangan si muka hitam, tidak dapat ditarik lepas! Telapak tangan lawannya itu seakan-akan mengeluarkan daya luar biasa yang menyedot kulit telapak tangannya sendiri.
Sebagai seorang ahli silat dan ahli lweekeh, Kiam Ki Sianjin maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli dalam mempergunakan tenaga "Im-kang", maka kalau dia melanjutkan usahanya menarik kembali tangannya, dia akan kehilangan keseimbangan tenaga dalamnya. Dengan nekat dia lalu mendorong lagi, kini dia mengimbangi kekuatan lawan, kalau lawan mempergunakan tenaga Yang-kang, dia pun mengerahkan tenaga Yang-kang, kalau tenaga Im-yang, dia pun mengerah kan lweekang mempergunakan tenaga Im-yang.
Sebaliknya Yok-ong diam-diam juga memuji bahwa tenaga lweekang dari lawannya benar-benar hebat dan sudah tinggi sekali, tidak kalah jauh oleh tenaganya sendiri. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya dan mempergunakan tenaga yang mendorong lawan. Kini tenaga Yang dari kedua fihak bertanding hebat, disalurkan melalui lengan tangan, terus ke telapak tangan sehingga dari empat telapak tangan yang beradu itu mengepul uap putih sedangkan masing-masing merasa betapa telapak tangan mereka menjadi panas sekali!
Keringat dingin memenuhi dahi Kiam Ki Sianjin, sedangkan Yok-ong hanya merah saja wajahnya. Dari sini saja sudah dapat dilihat bahwa tenaga si muka hitam itu sudah lebih tinggi, apalagi kalau orang lain yang melihatnya, karena wajah Yok-ong yang tertutup warna hitam itu tidak berubah sama sekali! Memang, Kiam Ki Sianjin sudah merasa betapa telapak tangannya seakan-akan terbakar dan kalau dia teruskan, tentu kedua telapak tangannya akan hangus. Akan tetapi, untuk menarik mundur sudah tidak ada waktu lagi, maka dia berlaku nekad dan mengerahkan seluruh tenaga Jian-mo-kang.
Hek-i Hui-mo melihat keadaan Kiam Ki Sianjin, menjadi gelisah sekali. Ia lalu melangkah maju dan dengan tangan kirinya, dia mendorong punggung Kiam Ki Sianjin. Dengan perbuatannya ini, biarpun dia membantu, namun dia sama sekali tidak menyentuh lawan atau si muka hitam, sehingga dia tidak akan disebut curang. Akan tetapi, bantuannya ini bagi orang lain akan kelihatan aneh dan bahkan merugikan Kiam Ki Sianjin, namun sesungguhnya dari telapak tangannya yang menempel punggung Kiam Ki Sianjin, dia menyalurkan tenaga lweekangnya yang setingkat dengan Kiam Ki Sianjin, membantu orang tua ini menghadapi si muka hitam.
Segera kelihatan akibat bantuan ini. Bagaikan terdorong oleh tenaga raksasa, tubuh Yok-ong terdorong ke belakang! Juga dia merasa telapak tangannya panas sekali, sedangkan Kiam Ki Sianjin menjadi lega karena rasa panas di tangannya berkurang banyak. Tentu saja Yok-ong tidak kuat menahan serangan dua tenaga ahli lweekeh yang dipersatukan atau disambung ini dan dia tahu bahwa dia akan kalah.
Kwan Cu menjadi mendongkol dan marah sekali. Ia melangkah maju dan hendak mendorong punggung Yok-ong seperti yang dilakukan oleh Hek-i Hui-mo, akan tetapi Yok-ong menggerakkan kepalanya, digelengkan beberapa kali sehingga Kwan Cu mundur kembali. tiba-tiba terdengar Yok-ong berseru keras dan nyaring sekali. Dengan pengerahan tenaga seadanya, dalam sedetik dia dapat mendorong tangan Kiam Sianjin. Memang hebat sekali tenaga lweekang dari raja tabib ini, karena biarpun yang menahan di depannya ada dua orang, namun pengerahan seluruh tenaganya ini untuk sesaat dapat membuat Kiam Ki Sianjin dan Hek-i Hui-mo terdorong ke belakang! Hal ini sebetulnya adalah berkat obat-obat penguat tubuh yang diminum oleh raja tabib ini, sehingga dia memang mempunyai kekuatan tubuh luar biasa sekali.
Akan tetapi, pengerahan tenaga tadi hanyalah siasat belaka dari Yok-ong karena dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akhirnya akan kalah juga. Setelah dia berhasil mendorongkan keadaan lawan dan kini kedua lawannya mengerahkan seluruh tenaga, tiba-tiba dia mengerahkan kedua tangan ke bawah dan melepaskan tempelan tangannya, lalu tubuhnya mengelak ke bawah terus ke kanan.
Hebat sekali akibat akal ini. Kiam Ki Sianjin sudah mengerahkan tenaga sebesarnya, dibantu pula oleh Hek-i Hui-mo yang mendorong punggungnya. Sekarang dilepas secara tiba-tiba, tak dapat dicegah lagi dia terdorong ke depan. Apalagi masih ada Hek-i Hui-mo yang mendorong punggungnya, maka dilain saat kedua orang tokoh besar ini terjungkal ke depan, jatuh bangun dan saling tindih! Baiknya mereka adalah ahli-ahli yang berkepandaian tinggi, maka cepat mereka dapat menyimpan kembali tenaga mereka dan hanya mengalami benjut-benjut saja. Namun batu-batu yang tertimpa tangan mereka pada remuk!
Kwan Cu bertepuk tangan gembira dan sebentar saja Pak-lo-sian juga terkekeh-kekeh, diikuti pujian dari semua orang di fihaknya.
"Kiam Ki Sianjin sudah kalah......!" seru Kwan Cu berulang-ulang sambil bertepuk-tepuk tangan.
Dengan muka merah sekali Kiam Ki Sianjin dan Hek-i Hui-mo bangun berdiri mengibas-ngibaskan pakaian mereka yang terkena debu, untuk beberapa lama tidak mampu bicara. Kemudian Hek-i Hui-mo melangkah maju dan dengan alis berdiri dia menudingkan kepada Yok-ong.
"Siluman muka hitam! Tidak bisa kau dibilang menang, karena kemenanganmu itu hanya karena siasat busukmu belaka!"
Yok-ong tidak meladeninya karena raja tabib ini adalah seorang yang amat hati-hati menjaga kesehatannya. Setelah mengalami adu tenaga yang demikian hebatnya, dia tidak banyak bicara, hanya berdiri diam dan mengatur pernapasan mengumpulkan kembali tenaganya. Melihat ini, Kwan Cu maklum bahwa kakek sakti ini perlu diberi waktu untuk beristirahat dulu karena fihak lawan masih amat kuat. Ia yang segera maju dan mencela Hek-i Hui-mo.
"Locianpwe, kau disebut ahli silat nomor satu dari barat, akan tetapi mengapa kau tadi membantu Kiam Ki Sianjin dan sekarang bahkan menyalahkan kakekku? Sudahlah, nanti akan datang giliranmu, sekarang lebih baik kau meniru perbuatan kakekku, mengumpulkan tenaga untuk pertandingan selanjutnya. Sekarang aku akan melanjutkan pembicaraanku dengan kedua ciangbunjin (ketua) dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai."
Hek-i Hui-mo sudah mengertak gigi dan hendak menyerang Kwan Cu, akan tetapi dua orang ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai sudah melompat maju dan berkata kepada Hek-i Hui-mo,
"Memang benar apa yang dikatakan oleh Siauw-ang-mo (Setan Kecil Merah) ini. Biarkan kami berdua mendengarkan kata-katanya lebih lanjut," kata Bin Kong Siansu. Kemudian dia menghadapi Kwan Cu dan berkata,
"Anak muda, kau tadi bilang mewakili Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian musuh besar kami, sebenarnya bagaimana maksudmu? Kami jauh-jauh datang sengaja hendak memberi hukuman kepada mereka yang secara curang dan terlalu telah membunuh dan menghina orang dari partai kami, apakah kau hendak menghalangi?"
Kwan Cu tersenyum dan menjura dengan hormat. "Mana berani boanpwe menghalangi niat dari Ji-wi Ciangbun yang lihai? Akan tetapi, boanpwe sekal-kali tidak akan merintangi apabila Ji-wi hendak membunuh atau membalas dendam kepada Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian kedua Cianpwe itu. Hanya saja, hukuman itu hendaknya dijalankan setelah boanpwe selesai mendongeng."
"Keparat! Kau berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, masih berani melawak dan hendak mempermainkan kami?" bentak Bian Kim Hosiang yang adatnya memang keras.
"Sama sekali tidak melawak dan mempermainkan, akan tetapi dengarlah saja, Ji-wi Locianpwe tentu akan suka mendengar dongeng ini." Sebelum orang membantah pula, Kwan Cu cepat melanjutkan omongannya,
"Kurang lebih sebulan yang lalu, di sebuah kuil di selatan kota raja terjadi hal yang amat aneh. Kuil itu terjaga oleh seorang tojin bemama Siok Tek Tojin, dan pada hari itu di dalam kuil datanglah seorang hwesio pendek bundar membawa pedang dan seorang tosu. Mereka bermalam di kuil itu."
"Dia adalah Bian Ti Hosiang murid kepala Bu-tong-pai!" seru Bian Kim Hosiang.
"Tosu itu tentulah suteku Bin Hong Siansu!" Bin Kong Siansu juga berseru.
"Kebetulan sekali terkaan Ji-wi Locianpwe memang benar," Kwan Cu melanjutkan kata-katanya sambil tersenyum. "Pada malam hari, dua orang pendeta itu terbunuh orang di dalam kamarnya."
"Benar! Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li yang membunuh mereka secara pengecut!" teriak Bian Kim Hosiang dengan mata merah memandang kepada dua orang tokoh besar itu.
Kwan Cu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Memang pembunuhnya mengaku bahwa mereka adalah Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li."
Kiu-bwe Coa-li melompat dengan marah. "Buang kentut busuk! Kalau kedua tanganku dapat digerakkan, kepala kalian sudah hancur!"
Juga Pak-lo-sian melompat dan berkata marah, "Bohong sama sekali!"
Kwan Cu menengok dan berkata, "Sabar..... sabar..... boanpwe belum habis bercerita. Memang pembunuh-pebbunuh keji itu mengaku bernama Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li. Mereka membunuh secara curang sekali, dan mempergunakan obat bius sehingga dua orang pendeta itu pingsan lalu mereka dibunuh. Kebetulan sekali, pembunuh yang aselinya melarikan diri di dalam gelap dan kehilangan sepotong jubah hitamnya! Adapun orang kedua adalah Siok Tek Tojin yang bersekongkol dengan penjahat jubah hitam itu."
Terdengar seruan kaget di antara orang-orang yang berdiri dekat Kiam Ki Sianjin. Siok Tek Tojin melompat maju dengan golok di tangan. "Jahanam bau! Kau berani membawa-bawa nama pinto dengan obrolan kosong itu?" Tanpa menanti apa-apa lagi Siok Tek Tojin menusukkan goloknya ke arah dada Kwan Cu. Tusukan ini cepat sekali dan kuat. Akan tetapi Kwan Cu tidak mengelak maupun menangkis, hanya memandang dengan mulut tersenyum bodoh. Semua orang di fihak Pak-lo-sian terkejut, bahkan Sui Ceng mengeluarkan jerit tertahan karena disangkanya bahwa pemuda muka merah yang membantu fihaknya itu akan terkena tusukan.
Jangankan Sui Ceng, bahkan Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li sendiri mengira bahwa pemuda aneh itu tentu akan tertusuk golok. Siok Tek Tojin sudah girang sekali, apalagi melihat pemuda itu menoleh kepada Sui Ceng sambil berbareng mengeluarkan kata didahului dengan bentakan, " Aha! Nona, kau baik sekali mengkhawatirkan keselamatanku!"
Kalau dibicarakan memang sungguh aneh sekali dan semua orang yang berada di situ tentu tidak akan percaya kalau tidak melihat dengan mata mereka sendiri. Pemuda itu tidak mengelak, bahkan kini kepalanya menengok ke belakang dan dadanya terbentang tanpa perlindungan menerima tusukan golok. Yok-ong makin membelalakkan matanya dan menahan napas. Akan tetapi...... setelah ujung golok dekat dengan dada Kwan Cu, tiba-tiba berbareng dengan bentakan "Aha!" tadi, golok itu menyeleweng ke pinggir seakan-akan terdorong oleh tenaga tidak kelihatan yang menyampoknya dari samping!
Siok Tek Tojin merasa heran bukan main dan dia juga penasaran. Apakah dia diserang penyakit demam sehingga tangannya lemah dan menggigil? Ia kini menyerang lagi, bukan menusuk, bahkan membacokkan goloknya yang menyeleweng tadi ke arah leher Kwan Cu. Pemuda ini sekarang sudah memandangnya kembali dan sambil tersenyum, Kwan Cu lagi-lagi tidak mengelak, hanya mengeluarkan seruan kaget.
"Ayaaa.....! Kau galak sekali!"
Dan kembali terjadi keanehan. Mata golok yang sudah menyambar dekat dengan leher, tiba-tiba menyeleweng dan bahkan membalik hendak menyerang pundaknya sendiri!
"Ilmu siluman...... !" beberapa orang berbisik. Akan tetapi hanya Yok-ong, Pak-lo-sian, Kiu-bwe Coa-li, Kiam Ki Sianjin dan Hek-i Hui-mo saja yang setengah dapat menduga akan tetapi mereka masih sangsi akan semacam ilmu sinkang (tenaga dalam yang sakti) yang pernah mereka dengar namun belum pernah mereka saksikan yakni tentang lweekang yang dapat disalurkan melalui suara itu sehingga dengan bentakan-bentakan saja orang yang memiliki kepandaian ini dapat merobohkan lawan atau menangkis pukulan! Benar-benarkah pemuda ini dapat memiliki kepandaian seperti itu? Hanya seorang yang sudah yakin yakni Yok-ong. Dia menduga bahwa pemuda yang dia kenal Kwan Cu adanya itu tentu telah mewarisi kepandaian dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan kalau hal ini betul maka tidak heran kalau Kwan Cu memiliki sinkang sehebat itu.
Siok Tek Tojin masih penasaran dan hendak menerjang lagi akan tetapi tiba-tiba Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai melompat maju dan menahannya.
"Siok Tek Toyu biarkan pemuda itu melanjutkan dongengannya agar kita dapat mendengar baik-baik." Ketua Kim-san-pai ini menahan sambil memegang lengannya. Siok Tek Tojin merasa lengannya lumpuh dan menggigil ketika terpegang oleh ketua Kim-san-pai ini, maka tahulah dia bahwa pencegahan itu bukan main-main. Ia lalu menjura dan mengundurkan diri.
Kwan Cu tertawa. "Tentu Cu-wi Locianpwe ingin sekali mendengar siapa orangnya yang berjubah hitam dan yang sesungguhnya merupakan pembunuh tulen dari Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Sian Su. Sebelum boanpwe menyebutkan namanya baiklah boanpwe melanjutkan dongeng ini. Siok Tek Tojin yang sudah bersekongkol, lalu pura-pura menolong dua orang pendeta yang sudah hampir tewas itu, menceritakan bahwa dia pun diserang oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, dan karena dua orang pendeta itu memang mendengar percakapan antara Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian di luar jendela yang tentunya diatur pula oleh si jubah hitam dan Siok Tek Tojin, maka mereka percaya penuh dan tidak ragu-ragu membuat sehelai surat yang ditujukan kepada Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tentu saja mereka menulis bahwa mereka terbunuh oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian!"
Kiam Ki Sianjin membentak, "Orang muda, jangan kau sembarangan bicara! Urusan ini bagaimana kau berani mengacaukan? Sudah ada bukti surat dan saksinya Siok Tek Tosu bahwa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian membunuh Ji-wi Beng-yu dari Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Bagaimana kau dapat mengarang cerita busuk tanpa bukti-bukti?"
"Bukti? Locianpwe menghendaki bukti? Belum selesai ceritaku! Setelah si jubah hitam itu lari di malam gelap, dia bertemu dengan seorang yang berhasil mencuri sedikit kain dari jubahnya. Inilah sobekan kain itu!" Kwan Cu mengeluarkan kain yang dulu dia ambil dari jubah Coa-tok Lo-ong, kemudian katanya sambil tersenyum sindir, "Orang berjubah hitam itu sekarang hadir di sini! Tanyakan apakah ini bukan kain dari jubahnya! Dan bukti ke dua, ketika dia mengeluarkan asap obat bius di kelenteng itu sama benar dengan obat bius yang tadi merobohkan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian kedua Locianpwe yang mulia. Nah, dialah orangnya yang membunuh dua tokoh Kim-san-pai dan Bu-tong-pai kemudian menggunakan nama kedua orang Locianpwe itu dengan maksud mengadu domba!"
Baru saja ucapan ini habis dikatakan, Coa-tok Lo-ong mengeluarkan seruan keras,
"Jadi kaukah orang muda yang kurang ajar itu?" Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan asap hitam mengebul di dekat Kwan Cu.
"Para Locianpwe, awas!" Dengan cepat sekali Kwan Cu mendorong tubuh Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu. Dua orang ketua itu terpental dan bergulingan sampai lima tombak lebih. Mereka mengalami kekagetan hebat, akan tetapi mereka selamat, terbebas dari pengaruh asap hitam yang jahat. Adapun Yok-ong yang melihat ini, cepat membagi-bagi pil penawar racun di antara Pak-lo-sian sekawanannya sehingga mereka tak usah takut menghadapi serangan asap itu.
Kwan Cu sendiri lalu menahan napas dan meniupkan hawa murni dari tenaga sinkangnya sehingga dia tidak sampai mengisap asap, dan selain itu, dia pun lalu menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut sehingga seluruh tubuhnya mengebulkan uap putih yang menolak asap hitam ini. Cepat melompat dan sudah berada di depan Coa-tok Lo-ong.
"Kau sudah mengaku sendiri? Bagus!" bentak pemuda ini.
Coa-tok Lo-ong marah sekali, cepat dia lalu memukul dengan tangannya. Ia merasa menyesal mengapa ular hidupnya sudah mati diremas oleh Jeng-kin-jiu tadi. Dengan mati-matian dia lalu menyerang Kwan Cu dengan tangan kosong, akan tetapi tentu saja Kwan Cu tidak mau memberi kesempatan lagi. Ia mainkan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut yang lihai itu dan dalam beberapa jurus saja, sebuah pukulan tangan kiri Kwan Cu tanpa mengenai kulit dadanya sudah membikin Coa-tok Lo-ong terlempar dalam keadaan pingsan! Kwan Cu melompat dan menangkap lehernya, lalu melontarkan tubuh penjahat itu ke arah Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu.
"Ji-wi Locianpwe, inilah pembunuh dari orang-orangmu!" Bin Kong Siansu dan Bian Kim Hosiang kini tidak ragu-ragu lagi, cepat sekali keduanya bergerak dan dalam sekejap mata saja tubuh Coa-tok Lo-ong menjadi sasaran senjata mereka hingga tewas dalam saat itu juga!
Hek-i Hui-mo menggereng keras melihat sutenya tewas dan dia menyerang kedua ciangbunjin ini. Karena marahnya, Hek-i Hui-mo menggerakkan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan kebutannya, yang satu menyerang Bian Kim Hosiang, yang ke dua menyerang Bin Kong Siansu. Dua orang ciangbunjin ini adalah tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi, maka tentu saja mereka cepat menangkis. Akan tetapi tangkisan mereka membuat keduanya terjengkang. Demikian hebat dan luar biasa tenaga dari Hek-i Hui-mo!
Hek-i Hui-mo membentak, "Kalian membunuh suteku, harus membayar kembali dengan nyawa!"
Akan tetapi tiba-tiba ada angin besar yang datang dari pukulan luar biasa menahan sepasang senjata yang hendak membunuh kedua ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai ini. pukulan ini datangnya dari Kwan Cu yang sudah menghadang di depannya.
"Hek-i Hui-mo, kau masih ada perhitungan denganku!" kata Kwan Cu.
Hek-i Hui-mo marah sekali. Ingin dia sekali serang menghancurkan kepala pemuda yang sudah membuka rahasia sutenya, bahkan yang sudah merobohkan sutenya sehingga sutenya itu tewas di dalam tangan kedua ciangbunjin dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Akan tetapi dia pun ingin sekali tahu siapa adanya pemuda muka merah yang aneh ini.
"Kau siapakah? Mengapa memusuhi kami?"
"Dengarlah dulu aku mendongeng!" kata Kwan Cu dengan suara keras sehingga terdengar oleh banyak orang. "Hek-i Hui-mo ini semenjak dahulu terkenal sebagai seorang pendeta Tibet yang selalu menimbulkan kekacauan. Di Tibet sendiri dia telah mengacau agama di sana, bahkan mendirikan golongan yang disebut Golongan Jubah Hitam, dibantu oleh sutenya Coa-tok Lo-ong yang jahat. Dulu pernah dia mengancam jiwa seorang anak kecil untuk memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kemudian dia pernah pula menawan pujangga besar Tu Fu untuk dipaksanya membaca kitab kuno Im-yang Bu-tek Cin-keng. Baiknya kitab itu palsu, sama palsunya dengan hatinya sendiri. Kemudian, sebagai anjing penjilat pemberontak, bersama-sama Jeng-kin-jiu dan Toat-beng Hui-houw, dia membunuh secara curang pendekar besar Ang-bin Sin-kai."
"Dia itu murid Ang-bin Sin-kai! Dia Lu Kwan Cu !" tiba-tiba Kiam Ki Sianjin berseru keras dan kaget. Memang ketika tadi Kwan Cu mainkan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut dan tubuhnya mengebulkan uap putih, Kiam Ki Sianjin sudah curiga, kini mendengar omongan Kwan Cu, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda ini tentulah Kwan Cu adanya!
Mendengar ini, Kwan Cu tersenyum. Ia merogoh saku dan mengeluarkan seguci kecil arak yang tadi memang dia terima dari Yok-ong. Dituangnya arak ini di tangan, lalu dibuat mencuci mukanya yang sebentar saja berubah, tidak lagi kemerahan seperti udang direbus, melainkan menjadi muka seorang pemuda yang tampan dan gagah.
"Memang aku Lu Kwan Cu, datang untuk membalas dendam!" katanya.
"Kwan Cu....!" terdengar teriakan kaget dan ini adalah suara Sui Ceng. Gadis ini menjadi bengong dan tak terasa lagi matanya basah oleh air mata. Hatinya tidak karuan rasanya. Tak disangka-sangkanya bahwa Kwan Cu-lah pemuda itu, tidak dinyana-nyana bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Dan ia pernah memandang rendah kepada Kwan Cu, dan...... dan Kwan Cu pernah menyatakan cinta kasih hatinya secara terang-terangan! Teringatlah Sui Ceng akan pengalaman yang sudah-sudah dan tahulah dia bahwa ketika mereka ditawan oleh bajak sungai, Kwan Cu sengaja berlaku ketolol-tololan. Tak terasa lagi merahlah mukanya dan hatinya berdebar tidak karuan.
Hek-i Hui-mo menjadi pucat, akan tetapi dia tidak dapat menyembunyikan keheranannya. Jadi bocah gundul yang dulu menjadi permainan para tokoh besar itu, sekarang telah menjadi seorang pemuda yang demikian lihainya? Ia mengeluarkan seruan keras dan kedua senjatanya cepat menyerang Kwan Cu.
Kali ini Kwan Cu tidak main-main lagi. Sekali tangannya bergerak, tercabutlah Liong-coan-kiam, pedang peninggalan Menteri Lu Pin. Dengan pedang ini dia bersumpah hendak membalas dendam. Jeng-kin-jiu sudah tewas oleh bekas kawan-kawannya sendiri dan hal ini menggirangkan hatinya, karena Kwan Cu memang menaruh hati sayang kepada hwesio itu. Ia girang karena pada akhir hidupnya, Jeng-kin-jiu membuktikan bahwa sesungguhnya dia mempunyai dasar watak yang gagah perkasa dan baik. Toat-beng Hui-houw sudah tewas di tangan Sui Ceng, hal ini pun menyenangkan hatinya karena memang gadis itu lebih berhak membalas sakit hati ibunya. Sekarang musuh besar gurunya tinggal Hek-i Hui- mo, maka setelah mencabut pedangnya dia lalu mainkan ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat sambil mulutnya berbisik,
"Suhu, dengan ilmu pedang Suhu, teecu akan membalaskan sakit hati suhu! Saksikanlah dari tempat istirahatmu, Suhu!"
Tentu saja Hek-i Hui-mo sudah tahu dan kenal akan ilmu pedang peninggalan Ang-bin Sin-kai ini, maka dia memandang rendah. Betul bahwa tingkat kepandaiannya dahulu setingkat dengan Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah pemuda itu mainkan pedangnya, dia kaget setengah mati. Baru beberapa gebrakan saja, sinar pedang Liong-coan-kiam telah berhasil membabat putus sebagian dari rambut kebutannya. Bukan main! Biarpun ilmu pedang ini tiada bedanya dengan yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai, namun gerakannya jauh berlainan. Gerakan ilmu pedang di tangan pemuda ini jauh lebih cepat dan kuat, berlipat ganda kuatnya sehingga biarpun Hek-i Hui-mo sudah mengerahkan tenaga, namun tetap saja tergetar tangannya setiap kali tongkatnya terbentur oleh pedang itu yang cepatnya bukan main sehingga beberapa kali hampir saja Hek-i Hui-mo terlambat mengelak atau menangkis!
"Eh, eh, eh, kiranya kau benar-benar Hang-houw-siauw Yok-ong!" terdengar Pak-lo-sian berseru dan tertawa bergelak.
Mendengar ini, Kiam Ki Sianjin cepat menengok dan ternyata bahwa kakek muka hitam yang amat lihai dan yang tadi mengalahkan Kiam Ki Sianjin dalam mengadu lweekang, kini seperti Kwan Cu telah mencuci mukanya dan dia itu bukan lain adalah Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Tabib!
Gentarlah hati Kiam Ki Sianjin melihat ini. Pemuda itu saja sudah amat lihai dan sukar dikalahkan, sekarang di fihak musuh ada pula Yok-ong, maka kalau pertempuran dilakukan seorang melawan seorang, fihaknya tentu akan kalah. Apalagi pada saat itu dia melihat Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu, berlari menghampiri Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Kiu-bwe Coa-li. Dua orang ciangbunjin ini lalu berkata dengan muka merah,
"Kami berdua yang bermata buta dan bertelinga tuli telah salah sangka, mendakwa Ji-wi yang putih bersih sehingga kami patut dihukum mampus."
"Ah, tidak apa, Ji-wi Bengyu. Kalian menjadi korban tipu muslihat dari para penjilat," kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li mengejek,
"Sungguh memualkan perut, kedua ciangbunjin yang bernama besar ternyata masih mudah saja diberi makan tai oleh anjing-anjing itu!"
Mendengar ini, dua orang tua ini menjadi pucat dan kemudian, makin merah wajahnya. Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Semua anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai melihat ini, beramai-ramai lalu datang dan ikut berlutut pula!
"Kami orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, bersedia menerima binasa untuk menebus dosa!" kata kedua orang ketua ini.
Melihat ini, Kiu-bwe Coa-li merasa terharu. "Ji-wi jangan seperti anak kecil. Orang-orang yang berdosa adalah penjilat-penjilat penjajah, mereka berada di depan dan terang-terangan mereka memusuhi kita. Mengapa tidak lekas-lekas memukul mereka?"
Serentak orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai bangkit berdiri dan memandang kepada Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya dengan mata penuh kemarahan. Melihat ini, Kiam Ki Sianjin lalu mengeluarkan sebuah terompet dari tanduk dan meniupnya keras sekali. Itulah tanda bagi semua tentara yang memasang baihok (barisan sembunyi) untuk bergerak!
Maka keluarlah barisan yang mengepung bukit itu dari segenap jurusan, dengan senjata di tangan mereka berbaris rapi dan mulai menyerbu ke atas. Juga Kiam Ki Sianjin dibantu oleh kawan-kawannya lalu mencabut senjata dan menyerbu!
Kwan Cu masih bertempur ramai dengan Hek-i Hui-mo. Melihat hal ini dia lalu berseru,
"Yok-ong Locianpwe, harap jangan melawan dan menyelamatkan kawan-kawan berlari lebih dulu. Biar teecu yang menahan mereka!" Begitu ucapan ini habis dikeluarkan, dia lalu menggerakkan pedangnya secara luar biasa sekali dan tangan kirinya juga mainkan Pek-in-hoat-sut dengan jurus-jurus yang paling berbahaya. Mana Hek-i Hui-mo kuat menahan serangan dari seorang yang sudah mengisap semua pelajaran tinggi dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Tenaga yang dipergunakan oleh Kwan Cu pada saat itu, adalah tenaga sepenuhnya, maka terdengarlah suara keras. Tongkat Kepala Naga putus oleh pedang Liong-coan-kiam yang terus menyabet sehingga pinggang Hek-i Hui-mo terbabat putus menjadi dua!
Kemudian Kwan Cu mengamuk hebat. Pertama-tama yang diserbunya adalah Kiam Ki Sianjin karena di antara semua lawan, yang terberat adalah kakek ini. Kiam Ki Sianjin dibantu oleh banyak kawannya mengurung Kwan Cu dan sebagian pula menyerbu kepada Yok-ong dan kawan-kawannya. Akan tetapi, Yok-ong lalu memberi tanda kepada Pak-lo-sian dan yang lain-lain untuk mengikuti dia mundur. Sambil mundur, mereka ini tidak tinggal diam saja. Yok-ong menggunakan kaki tangannya merobohkan setiap orang yang berani dekat. Pak-lo-sian Siangkoan Hai sambil tertawa terbahak-bahak menggunakan kedua kakinya. Biarpun kedua tangannya tak dapat digerakkan, namun sepasang kakinya berpesta-pora dan menendang para pengeroyok. Siapapun juga yang kena tendangannya pasti terpental jauh untuk bangun dihadapan Giam-lo-ong (Raja Maut)! Demikian pula Kiu-bwe Coa-li yang mengamuk dengan sepasang kakinya.
Seng Thian Siansu yang sudah tua dan yang remuk tangan kanannya, hanya mempergunakan tangan kiri menangkap-nangkapi para pengeroyok dan melempar-lemparkan mereka. Adapun Sui Ceng, Kun Beng dan Swi Kiat juga mengamuk hebat membabati para tentara yang tentu saja bukan menjadi lawan mereka yang seimbang. Dua orang murid Kun-lun-pai juga mengamuk, demikian pula Bian Kim Hosiang, Bin Kong Siansu, dan para murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
Namun jumlah tentara yang naik banyak sekali sehingga kalau pertempuran itu diteruskan, tenaga mereka pasti akan kalah juga.
"Lari, ikut padaku!" kata Yok-ong dan Raja Tabib ini lalu membawa semua kawannya menuju ke jalan rahasia yang tadi pernah dia perlihatkan kepada Kwan Cu. Karena mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan ilmu lari cepat, apalagi para tentara juga gentar menghadapi mereka, sebentar saja Yok-ong sudah dapat membawa mereka memasuki goa dan melarikan diri melalui terowongan di bawah tanah.
Kwan Cu masih mengamuk hebat. Tidak terbilang banyaknya orang yang roboh di bawah amukan pedangnya. Lama-lama dia merasa tidak tega melihat banyaknya orang tewas. Entah sudah berapa puluh musuh yang tewas, mayat mereka bertumpuk-tumpuk dan bergelimpangan. Darah membanjir membuat hatinya ngeri. Namun dia tidak sempat merobohkan Kiam Ki Sianjin yang amat kosen.
"Untuk apa membunuhi orang-orang yang hanya menjadi alat?" pikirnya, maka dia mulai mundur. Akan tetapi, dimana-mana dia terkurung oleh tentara yang seperti semut banyaknya itu.
Di bawah hujan senjata yang luar biasa banyaknya itu, tiba-tiba meluncur anak-anak panah yang cepat sekali datangnya. Kwan Cu salah hitung. Ia mengira bahwa panah-panah itu datangnya dari tentara biasa yang memang semenjak tadi kalau ada kesempatan lalu menghujankan anak panah mereka. Akan tetapi semua anak panah itu dengan sekali sampok saja dengan tangan kirinya, sudah runtuh berhamburan. Kali ini, dia pun menggunakan tangan kirinya menyampok, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia merasa kulit lengan kirinya sakit dan berdarah, tanda bahwa yang melepaskan adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar.
Lebih kaget lagi ketika anak-anak panah seperti itu makin gencar datangnya. Ketika Kwan Cu melihat ke arah pelepas anak-anak panah itu, dia melihat bahwa yang melepaskan adalah Kiam Ki Sianjin dan Kam Cun Hong, perwira tinggi kepercayaan Si Su Beng. Memang, dalam hal ilmu silat panglima she Kam ini tidak sangat hebat kepandaiannya, akan tetapi dalam ilmu memanah, dia ahli dan lihai sekali.
Kwan Cu sibuk menangkis, namun tetap saja sebatang anak panah meleset dari lengannya dan menancap di dadanya sebelah kiri dekat pundaknya! Baiknya tubuhnya telah terisi oleh sinkang yang luar biasa, maka dia keburu menolak anak panah itu dan yang menancap tidak sampai menembusi dagingnya dan tidak melukai anggauta tubuh sebelah dalam. Namun, ini sudah cukup mengejutkan Kwan Cu yang cepat melompat dan mempergunakan ilmu ginkangnya, melompati kepala para pengeroyoknya dan sebentar saja dia sudah lenyap!
Kiam Ki Sianjin memimpin kawan-kawan dan anak-anak buahnya melakukan pengejaran namun pemuda itu tidak kelihatan lagi karena dia sudah masuk kedalam jalan terowongan di bawah tanah, mengejar rombongan Yok-ong yang sudah lari terlebih dulu. Dengan amat berang dan kecewa, Kiam Ki Sianjin mengobrak-abrik hutan, membakari alang-alang, dan akhirnya menjelang senja dia menarik mundur pasukannya dan kembali ke kota raja dengan hati penasaran, kecewa, dan juga gentar.
***
Yok-ong berhasil membawa rombongannya keluar dari kurungan tentara kerajaan dan mereka muncul di dalam sebuah hutan yang besar di sebelah kiri Bukit Tai-hang-san, sebelah selatan kota Tai-goan. Setelah menghaturkan terima kasih, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu memimpin anak murid masing-masing untuk kembali ke Bu-tong-san dan Kim-san.
Adapun Yok-ong, Pak-lo-sian, Kiu-bwe Coa-li, Bun Sui Ceng, The Kun Beng, dan Gouw Swi Kiat masih menanti di situ dengan hati gelisah karena Kwan Cu belum juga muncul. Setelah menanti beberapa lama, Seng Thian Siansu bersama dua orang muridnya juga berangkat, dan menerima obat dari Yok-ong, Seng Thian Siansu merasa terharu dan berterima kasih sekali, lalu pulanglah dia ke Kun-lun-san. Tiga orang ketua partai besar ini berjanji akan mendidik murid-murid mereka, karena negara membutuhkan orang-orang gagah untuk menghadapi keganasan penjajah.
Di antara mereka yang menanti munculnya Kwan Cu, yang kelihatan gelisah sekali adalah Yok-ong karena kakek ini merasa suka sekali kepada Kwan Cu. Akan tetapi sebenarnya, hati Sui Ceng lebih gelisah daripada Yok-ong, cuma saja gadis ini tentu saja menyembunyikan perasaannya. Mereka menanti munculnya Kwan Cu sambil tiada hentinya memuji dan membicarakan murid Ang-bin Sin-kai itu. Tahulah mereka semua bahwa pemuda itu tentu telah mewarisi ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Tak lama kemudian, muncullah Kwan Cu dari goa itu.
"Kwan Cu..... kau terluka..... ?" Sui Ceng berseru lebih dulu tanpa dapat menahan mulutnya ketika melihat baju pemuda itu penuh darah dan sebatang anak panah menancap pada dada kirinya. Juga Yok-ong menghampiri dan hendak memeriksa lukanya, akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepalanya.
"Tidak apa..... tidak apa, hanya luka sedikit. Biarlah sementara waktu anak panah ini tidak dicabut dulu." Kata-kata ini cukup memberitahukan bahwa anak panah itu mengandung racun. Memang, kalau dicabut maka racun yang berada diujung anak panah akan lebih lekas menjalarnya dan berbahaya sekali, akan tetapi kalau dibiarkan dulu dan dengan pengerahan tenaga lweekang, racun itu tidak mudah menjalar.
Yok-ong merasa heran mengapa pemuda itu belum mau diobati. Akan tetapi Kwan Cu tidak mengacuhkan lukanya, bahkan lalu berkata,
"Aku sudah khawatir sekali kalau Cu-wi sudah pergi dari sini. Aku ingin sekali menyampaikan sesuatu mengenai diri Sui Ceng." Semua orang melongo. Sui Ceng menjadi merah mukanya dan Kun Beng memandang dengan rasa cemburu.
"Apa kehendakmu mengenai diri muridku?" Kiu-bwe Coa-li bertanya dengan marah.
"Suthai, aku pernah ditinggali pesan oleh ibu dari Sui Ceng, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, bahwa aku harus melindungi Sui Ceng. Sekaranglah waktunya aku harus mentaati pesan itu. Terang-terangan kukatakan bahwa perjodohan antara Sui Ceng dan Kun Beng harus dibatalkan!"
Sui Ceng menjadi pucat, juga Kun Beng menjadi pucat, sedangkan Swi Kiat memandang dengan mata bersinar-sinar sambil menduga-duga mengapa Kwan Cu mengemukakan hal yang memang menjadi isi hatinya.
"Kwan Cu, sepak terjangmu tadi mengagumkan hatiku, akan tetapi omonganmu sekarang ini benar-benar membikin aku marah sekali," kata Kiu-bwe Coa-li. "Katakanlah alasan-alasannya mengapa kau bicara begitu."
Melihat Kwan Cu ragu-ragu, Pak-lo-sian yang juga merasa tersinggung karena Kun Beng adalah muridnya, mendesak, "Kwan Cu, lekas ceritakan mengapa kau menghendaki demikian."
Kwan Cu memandang kepada Kun Beng, lalu kepada Swi Kiat, kemudian dia bicara dengan suara lantang, "Bukan hak dan kewajiban teecu untuk menceritakan alasan itu. Lebih baik Kun Beng dan Swi Kiat yang bercerita tentang diri Kun Beng dan Gouw Kui Lan."
Pucatlah wajah Kun Beng dan tubuhnya gemetar. Melihat ini, Sui Ceng menjadi berdebar. Ia sudah jatuh cinta kepada tunangannya ini dan sekarang hal apakah yang akan didengarnya? Swi Kiat menggigit bibirnya, karena hal ini menodakan nama baik adiknya, nama baik keluarganya. Sakit hatinya mendengar Kwan Cu membongkar rahasia ini. Tadinya dia hendak mengurus hal ini dengan Kun Beng secara diam-diam jangan sampai terdengar oleh orang lain.
Pak-lo-sian membanting kakinya diatas tanah. "Kalian muridku berdua! Mengapa diam saja? Hendak menyembunyikan rahasia dari gurumu?"
Kun Beng hanya menundukkan kepalanya, tak berani bergerak. Swi Kiat lalu menelan ludah beberapa kali kemudian terpaksa dia menuturkan dengan suara gemetar tentang perbuatan Kun Beng terhadap Kui Lan, adiknya. Bukan main kagetnya semua orang mendengar ini. Sui Ceng menjadi pucat sekali dan air matanya mengalir turun membasahi pipinya.
Kiu-bwe Coa-li lalu bangkit dan berkata, "Sui Ceng, tidak ada apa-apa lagi yang perlu dibicarakan. Perjodohanmu putus sampai di sini! Hayo kita pergi!" Kiu-bwe Coa-li lalu melompat dan berlari pergi dari situ.
Sui Ceng ragu-ragu, lalu menghampiri Kwan Cu. Sambil menggigit bibir dia berkata, "Kau iri hati, kau... kau....!" Tangannya menampar dan "plak!" pipi Kwan Cu sudah ditamparnya. Pemuda itu hanya memandangnya dengan tenang. Sui Ceng terisak lalu berlari mengejar gurunya.
Pak-lo-sian marah bukan main. "Kun Beng, murid macam engkau harus binasa, memalukan nama baik gurumu!" Kakinya menendang, akan tetapi bukan Kun Beng yang terjungkal, melainkan Swi Kiat! Pemuda ini telah menubruk dan memasang dirinya sehingga dia mewakili sutenya. Tubuhnya terlempar bergulingan. Pak-lo-sian terkejut sekali, akan tetapi Swi Kiat yang patah tulang pundaknya terkena tendangan, telah maju berlutut,
"Suhu, mohon mengampuni nyawa sute. Dia dia adalah suami adik teecu, dia harus mengawini Kui Lan !"
Melihat ini semua, Kun Beng tiba-tiba berdiri dan sambil tertawa bergelak, dia melompat dan sebentar kemudian lenyap dari situ. Mendengar suara ketawa ini, semua orang bergidik, dan Yok-ong berkata seorang diri, "Kasihan….. suara ketawa itu menunjukkan bahwa batinnya terpukul hebat dan mungkin otaknya terkena getaran" Ini hanya berarti bahwa ada kemungkinan Kun Beng menjadi gila!
Pak-lo-sian marah dan mengejar Kun Beng diikuti oleh Swi Kiat. Namun mereka tak dapat menemukan jejak Kun Beng lagi. Yok-ong lalu menghampiri Kwan Cu dan alangkah kagetnya ketika dia melihat pemuda itu menangis terisak-isak. Ternyata bahwa Kwan Cu merasa menyesal setengah mati melihat akibat daripada pembongkaran rahasia itu. Ia dapat merasa betapa Sui Ceng terluka hatinya, Kiu-bwe Coa-li kecewa, Pak-lo-sian Siangkoan Hai malu dan marah, Swi Kiat berduka dan Kun Beng mungkin.... gila!
"Locianpwe...... aku...... aku berdosa besar......."
"Sudahlah, hati yang menanggung cinta kasih memang membikin orang menjadi buta dan sembrono. Biar kuobati lukamu." Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepalanya dan pergi sambil menundukkan mukanya. Yok-ong tahu akan kekerasan hati pemuda ini, maka dia lalu memasukkan sebungkus obat di kantong pemuda itu sambil berkata,
"Pakai obat ini pada lukamu, pasti akan sembuh." Akan tetapi Kwan Cu tidak menjawab dan terus berjalan dengan kepala tunduk. Mukanya pucat dan kakinya limbung. Yok-ong menggeleng-geleng kepalanya dan segera pergi karena tahu bahwa dia tidak dapat menghibur pemuda yang luka hatinya itu.
Kwan Cu berjalan terus tanpa tujuan, memasuki hutan yang besar itu. Dadanya yang terluka sakit sekali rasanya, namun dia tidak ambil peduli. Kematian bukan apa-apa baginya pada saat itu. Rasa panas di pipinya lebih menyakitkan hati daripada rasa panas pada luka di dadanya. Anak panah itu masih menancap di dada, tidak dipedulikannya pula.
"Kwan Cu.... !" Ia menengok dan meliha Sui Ceng berdiri di depannya. "Kau.... kau kenapa?"
Kwan Cu melihat air mata mengalir di pipi gadis itu. la menarik napas panjang, "Kau tentu tak mau mengampuni aku..... " katanya lemah.
"Lukamu itu….. ! Mengapa belum diobati?"
Kwan Cu menundukkan mukanya dan tiba-tiba timbul pikiran yang amat aneh di kepalanya. Dengan tangan, dia menekan anak panah itu yang tentu saja masuk makin dalam ke dadanya! Ia merasa sakit sekali, akan tetapi dengan senyum aneh dia berkata, "Lebih baik aku mati saja " Rasa sakit tak tertahankan lagi dan Kwan Cu roboh terguling dalam keadaan pingsan! Tubuhnya sebetulnya kuat sekali dan biarpun anak panah itu menancap makin dalam, dia takkan apa-apa kalau batinnya tidak menerima pukulan hebat akibat peristiwa tadi.
Ketika dia siuman kembali, dia melihat dirinya duduk dan bersandar pada pohon. Bajunya yang atas sudah tidak ada, entah ke mana. Ia bertelanjang sebatas pinggang ke atas. Akan tetapi dia tidak memperhatikan semua ini, karena dia melihat Sui Ceng telah duduk di depannya dan sedang merawat luka di dadanya. Anak panah itu telah dicabut dari dadanya dan kini dengan saputangannya, Sui Ceng tengah membersihkan lukanya.
Darah muda Kwan Cu memanaskan seluruh tubuhnya. Alangkah cantiknya wajah yang berada dekat di depannya. Alangkah indahnya rambut yang terurai itu, bibir yang merah dan penuh, mata yang masih membayangkan tangis.
"Sui Ceng.... kau baik sekali.... " Gadis itu tidak menjawab, hanya menggigit bibir menahan isak, akan tetapi kedua tangannya masih tetap bekerja membersihkan darah dari luka yang membiru itu.
"Sui Ceng..... alangkah..... alangkah cantiknya engkau......"
Dua tetes air mata mengalir di pipi gadis ini, matanya dikejap-kejapkan karena pandangan matanya terganggu dan bibirnya gemetar.
"Sui Ceng, sekali lagi..... aku.... aku cinta kepadamu..... " suara Kwan Cu menjadi bisik-bisik karena kepalanya sudah berdenyut-denyut pula, pandangan matanya berkunang-kunang. "Kau.... kauampunkan aku, Sui Ceng, aku...... aku berdosa besar..... "
Air mata dari mata gadis itu turun makin banyak dan kini bukan hanya bibirnya yang gemetar, bahkan sepuluh jari tangannya yang merawat luka ikut menggigil. Akan tetapi ia tetap membungkam dan matanya tak pernah melirik wajah Kwan Cu.
"Sui Ceng..... " suara Kwan Cu lemah dan lirih sekali, "biarkan....... aku mati...... aku lebih suka mati daripada menyakiti hatimu..... " Dan tiba-tiba kepala Kwan Cu terkulai, dia pingsan lagi untuk kedua kalinya!
Melihat ini, Sui Ceng menjadi kaget sekali. Ia memeluk tubuh pemuda itu dan menggoyang-goyangnya. "Kwan Cu....... dengarlah..... aku ! Jangan mati, Kwan Cu.....!" Namun Kwan Cu tetap tidak bergerak.
Tubuh Kwan Cu tanpa dia ketahui sendiri, telah memiliki kekuatan yang aneh berkat latihan-latihan lweekang menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Racun yang dipasang di ujung anak panah yang dilepaskan oleh Kiam Ki Sianjin, adalah racun pemberian dari Coa-tok Lo-ong dan amat ganas. Kalau saja di dalam tubuh Kwan Cu tidak mengalir hawa murni dari sinkang yang sudah dilatihnya, pasti racun itu akan cepat menjalar dan menewaskannya.
Berkat kekuatan ini Kwan Cu siuman kembali. Ia mendengar suara orang memanggil-manggil namanya dari jauh. Suara itu makin lama makin dekat dan ketika dia membuka matanya, dia melihat Sui Ceng menangis sambil memanggil-manggil namanya. Ia tidak tahu bahwa wajahnya sudah pucat seperti mayat dan detak nadinya sudah berhenti, maka gadis itu mengira bahwa dia sudah mati! Padahal, hentian detak nadi ini adalah akibat dari pengerahan lweekang yang sudah tak dapat diukur tingginya lagi. Tadi sebelum pingsan Kwan Cu menahan sakit dan mengerahkan lweekangnya sehingga dia berhasil menghentikan jalan darahnya, maka ketika Sui Ceng meraba urat nadi, tidak merasa ada detaknya lagi.
"Sui Ceng, terima kasih..... kau......kau menangis untukku......" katanya.
Sui Ceng memandang muka yang tadinya berada di atas pangkuannya itu. Melihat Kwan Cu "hidup kembali" ia cepat-cepat menurunkan kepala pemuda itu diatas tanah dan berkata, "Kwan Cu, jangan kau mati....."
Kwan Cu tersenyum. "Tidak, Sui Ceng. Kalau kau menghendaki aku hidup, katakanlah bahwa kaumaafkan aku."
"Aku.... aku maafkan kau, Kwan Cu."
Sinar gembira membayang di wajah Kwan Cu. Ia mengerahkan tenaga dan berhasil bangkit duduk. Dirogohnya saku bajunya dan dikeluarkannya bungkusan obat pemberian dari Yok-ong.
"Yok-ong locianpwe memberi obat ini untukku. Campurlah dengan air dan masukkan ke dalam luka di dadaku."
Sui Ceng cepat menerima bungkusan itu dan pergi mencari air yang mudah didapat di dalam hutan itu, lalu tanpa banyak cakap ia mengobati luka di dada Kwan Cu. Luar biasa manjurnya obat dari Yok-ong ini, karena begitu obat itu dijejalkan ke dalam luka, rasa panas lenyap dan obat yang tadinya berwarna putih bersih setelah terkena air itu, kini perlahan-lahan berubah hitam! Tak lama kemudian, darah kehitaman keluar dari luka itu. Kwan Cu bersila, meramkan mata sambil mengempos semangatnya, mempergunakan hawa dalam tubuh untuk mendesak keluar semua racun yang mengotori darahnya sehingga darah hitam yang keluar dari lukanya makin deras, akhirnya keluarlah darah merah. Setelah ini baru Kwan Cu menghentikan penggunaan tenaga dalam, lalu membuka matanya dan memakai pakaiannya lagi.
Semenjak tadi, Sui Ceng memandang kepada pemuda itu dengan air muka sebentar kagum sebentar duka.
"Sui Ceng, kau benar-benar berhati mulia seperti ibumu. Kau sudah pergi dengan gurumu, mengapa bisa datang di tempat ini?"
Sui Ceng menjawab dengan kepala tunduk. " Aku.... aku merasa menyesal sekali telah berlaku kasar padamu, telah....... telah menampar mukamu. Kau maafkan aku, Kwan Cu."
Kwan Cu tertawa bergelak. "Sepatutnya kau membunuhku, Sui Ceng, tidak hanya menamparku. Kalau ada orang yang minta maaf, akulah orangnya, bukan kau."
Hening sesaat. Keduanya duduk dibawah pohon dan setelah kini sembuh dari sakitnya, Kwan Cu merasa sungkan dan kikuk. Merah mukanya kalau dia teringat betapa tadi dia kembali mengeluarkan kata-kata menyatakan cinta kasih kepada gadis ini. Keheningan suasana itu membuat Kwan Cu lebih kikuk, maka agar jangan sampai Sui Ceng merasa kikuk pula, dia mulai membuka percakapan,
"Sui Ceng, bagaimana kau bisa memisahkan diri dari gurumu?"
"Aku sengaja meninggalkan suthai dan sudah mendapat perkenannya. Suthai kembali ke gunung dan kelak aku akan menyusulnya."
"Jadi kau sengaja pergi dari Kiu-bwe Coa-li suthai untuk menyusulku?"
Sui Ceng mengangguk. Hening lagi sesaat. Beberapa kali Kwan Cu menggerakkan bibir, akan tetapi sukarlah kata-kata keluar dari mulutnya. Akhirnya dia memberanikan diri dan bertanya,
"Sui Ceng, setelah kau menyusulku, apakah yang hendak kaukatakan? Kita terlibat dalam urusan yang amat tidak enak, dan aku.... aku...."
"Kwan Cu, bagaimana kau bisa tahu tentang.... Kun Beng dan adik Swi Kiat?"tiba-tiba Sui Ceng bertanya sambil memandang tajam.
'Untuk inikah kau menyusulku, Sui Ceng?"
"Ya, untuk mengajukan pertanyaan ini. Aku penasaran sekali dan ingin mendengar sejelasnya."
Untuk beberapa lama Kwan Cu menatap wajah gadis yang kemerah-merahan dan mata yang berkaca-kaca itu, maka tertusuklah hatinya. Dengan suara perlahan dia bertanya,
"Sui Ceng, kau.... kau amat mencinta Kun Beng.....?"
Merah sekali wajah Sui Ceng. Gadis ini tahu bahwa Kwan Cu amat mencintanya dan tentu saja akan hancur hati pemuda ini kalau ia mengaku bahwa ia mencinta Kun Beng. Akan tetapi tidak ada lain jalan bagi Sui Ceng untuk menyangkal dan pula ia tidak suka menyangkal, karena gadis ini berwatak jujur.
Dengan air mata berlinang dan suara terputus-putus Sui Ceng menjawab,
"Bagaimana aku tidak... tidak akan mencintanya? Dia adalah tunanganku, dia adalah jodohku yang dipilih sendiri oleh mendiang ibu akan tetapi dia... dia..." Sampai di sini Sui Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya, tubuhnya lemas dan tiba-tiba ia sudah berada dalam pelukan Kwan Cu. Karena amat berduka dan patah hati, Sui Ceng merasa mendapatkan hiburan dan ia menyandarkan kepalanya di dada Kwan Cu sambil menangis. Usapan tangan Kwan Cu pada kepalanya mendatangkan hiburan besar baginya seakan-akan ia berada di pangkuan ibunya sendiri.
Kwan Cu merasa amat terharu dan kasihan, "Sui Ceng, jangan berduka, adikku, tenangkanlah hatimu.... kau sekarang bukan tunangan Kun Beng lagi, tak perlu kau memikirkan dia. Dia tidak berharga bagimu dan aku.... aku mencintamu dengan segenap jiwaku, Sui Ceng. Jangan kau khawatir, marilah kita membangun hidup baru, rumah tangga bahagia, menjauhkan diri dari segala hal yang menjengkelkan hati. Aku akan melindungimu Sui Ceng....."
Tubuh gadis itu tersentak, akan tetapi ia tidak mengangkat kepalanya dari dada Kwan Cu. Untuk sesaat pikirannya bekerja keras. Harus ia akui bahwa kalau sekiranya tidak ada Kun Beng di dunia ini, ia akan menerima pernyataan cinta kasih Kwan Cu dengan hati terbuka. Ia sudah mengetahui bahwa pemuda ini amat gagah perkasa dan mulia, bahkan jauh lebih baik daripada Kun Beng. Akan tetapi, hati Sui Ceng sudah tertambat kepada The Kun Beng tunangannya itu. Ia amat mencinta Kun Beng dan pula, bukankah pemuda itu pilihan ibunya sendiri?
"Sui Ceng, jangan kau takut."Kwan Cu menghibur karena dia mengira bahwa gadis itu berdiam diri dengan hati takut menghadapi kemurkaan gurunya. "Jangan kau takut kepada siapapun juga. Biarpun Kiu-bwe Coa-li suthai akan marah kepadamu, akulah yang akan bertanggung jawab. Akulah orangnya yang dapat membelamu dengan taruhan nyawa. Tak seorang pun di dunia ini akan dapat mengganggumu selama aku masih hidup!"
Akan tetapi tiba-tiba Sui Ceng melepaskan diri dari pelukan Kwan Cu dan memandang kepada pemuda itu dengan muka pucat. Ia menggelehg-gelengkan kepalanya dengan keras.
"Tidak! Tidak..... jangan begitu, Kwan Cu. Jangan menyeretku ke dalam lembah kehinaan!"
Kwan Cu terkejut sekali. Ia mengulur tangan hendak memegang lengan Sui Ceng, akan tetapi gadis itu menarik tangannya.
"Jangan sentuh aku lagi. Tidak patut kita bersentuhan, kau tidak berhak dan aku.... aku harus menjaga kesusilaan. Memang aku tidak takut kepada suthai, akan tetapi, aku harus mentaati kehendak ibuku. Apakah kau ingin melihat aku mengingkari pesan ibu? Tidak, Kwan Cu. Bagiku, aku adalah jodoh dan tunangan Kun Beng, pilihan ibu. Kalau sampai terjadi perpecahan sehingga ikatan itu putus, aku bersumpah selamanya takkan mau menikah. Kecuali... kecuali kalau Kun Beng menikah dengan orang lain " Kembali Sui Ceng menangis dengan sedih.
Kwan Cu menarik napas panjang. "Betapapun juga, aku kagum padamu, Sui Ceng. Cinta kasihmu terhadap Kun Beng benar-benar tulus dan murni, hanya pemuda itu yang tidak tahu diri. Kau setia dan mulia, maka aku kembali telah merusak kesucianmu. Dengarlah, Sui Ceng, sekali-kali aku tidak membuka rahasia Kun Beng karena iri hati kepadanya. Memang aku ingin melihat kau berbahagia. Kalau Kun Beng tidak melakukan perbuatan sesat itu, akulah orangnya yang akan membantu perjodohan kalian. Akan tetapi, ternyata Kun Beng memperlihatkan bahwa dia tidak patut menjadi suamimu, maka aku kasihan kepadamu dan berusaha menggagalkan perjodohan itu."
Sui Ceng mengangguk-angguk terharu. "Aku tahu, Kwan Cu, karenanya aku datang mencarimu. Sekarang ceritakanlah bagaimana kau bisa mengetahui akan hal itu?"
Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya ketika dia menolong Kui Lan dari cengkeraman An Kong dan menceritakan pula bahwa sekarang Kui Lan berada di kelenteng Kwan-im-bio di dusun Kau-ling sebelah utara Tang-shan yakni kelenteng yang diketuai oleh Ngo Lian Suthai. Sebagaimana sudah dituturkan dibagian depan, Ngo Lian Suthai kenal baik dengan Kwan Cu dan ketua nikouw itu terluka oleh bajak sungai yang mencuri patung. Semua ini diceritakan dengan sejujurnya oleh Kwan Cu dan akhirnya dia berkata dengan suara penuh kedukaan dan kehancuran hati,
"Sui Ceng, sebelum aku tahu bahwa kau telah dijodohkan dengan Kun Beng, aku telah menaruh hati suka kepadamu. Kau sudah mendengar ceritaku, maka tentu kau juga menaruh hati kasihan kepada Kui Lan gadis yang malang itu."
"Kasihan? Dia seorang gadis lemah iman yang bodoh! Gadis seperti itu tidak ada harganya!"
Kalau lain orang yang mendengar omongan ini, tentu hanya akan menuduh bahwa Sui Ceng merasa sakit hati kepada Kui Lan karena tunangannya direbut. Akan tetapi Kwan Cu lain lagi dan dia dapat melihat kebenaran kata-kata ini.
"Memang, Kui Lan terlampau lemah, mudah sekali menuruti ajakan iblis yang menggoda. Betapapun juga, keadaannya harus dan patut dikasihani."
Tiba-tiba Sui Ceng bangkit berdiri. "Selamat tinggal, Kwan Cu. Mungkin kita takkan bertemu lagi."
"Eh, kau hendak ke mana?"
"Aku akan menemui Kui Lan dan akan kuusahakan agar supaya Kun Beng mengambilnya sebagai isteri yang sah!"
Kwan Cu makin kagum. "Kau hebat sekali, Sui Ceng. Benar-benar kau berbudi luhur seperti ibumu." Tiba-tiba pemuda ini teringat akan kata-kata Sui Ceng tadi yang menyatakan bahwa gadis ini dapat mengambil keputusan lain tentang perjodohannya kalau saja Kun Beng menikah dengan orang lain. Dengan demikian berarti bahwa kalau sampai terjadi Kun Beng menikah dengan Kui Lan, dia mempunyai banyak harapan terhadap Sui Ceng! Maka cepat-cepat dia berkata,
"Tunggu dulu, aku pun akan pergi ke sana! Aku yang mula-mula menolong Kui Lan dan aku pula yang berkewajiban untuk menolongnya mendapatkan Kun Beng kembali. Awas kepala Kun Beng kalau dia tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak mau mengawini Kui Lan."
Kedua orang muda itu lalu berangkat dengan cepat, menuju ke kuil Kwan-im-bio di dusun Kau-ling. Karena kedua orang muda yang perkasa ini mempergunakan ilmu lari cepat, tak sampai lama mereka tiba di dusun itu. Akan tetapi mereka kecewa karena ternyata bahwa Ngo Lian Suthai telah pergi merantau membawa Kui Lan yang diaku sebagai muridnya.
"Eh, bagaimana mungkin?" tanya Kwan Cu kepada nikouw yang menyambut mereka. "Aku tahu benar bahwa Ngo Lian Suthai terluka hebat, bagaimana dia bisa pergi?"
Nikouw itu tersenyum. "Taihiap, manusia yang baik selalu mendapat perlindungan Thian. Ngo Lian Suthai telah mendapat penyembuhan, berkat pertolongan Yok-ong locianpwe."
Kwan Cu melengak. Jadi sebelum bertemu dengan dia, Yok-ong malah sudah menyembuhkan Ngo Lian Suthai? Aneh sekali kakek Raja Tabib itu, di mana-mana dan di waktu tenaganya diperlukan selalu muncul akan tetapi tidak banyak bicara.
"Kemana perginya Ngo Lian Suthai?"
"Sukar untuk menentukan tempatnya. Akan tetapi kalau tidak salah, Ngo Lian Suthai pernah menyatakan bahwa sahabat-sahabatnya membantu perjuangan rakyat di wilayah Pao-ting. Dan suthai selalu merasa sejiwa dengan mereka itu, maka tidak akan meleset jauh kalau kiranya Taihiap menyusul ke sana."
Kwan Cu menghaturkan terima kasih, lalu bersama Sui Ceng menuju ke Pao-ting yang pada saat itu memang menjadi sebuah di antara pusat-pusat pasukan pejuang rakyat yang berusaha menggulingkan pemerintah Tartar. Pao-ting berada di sebelah selatan kota raja, maka dua orang muda itu melakukan perjalanan yang cukup lama, sampai makan waktu sebulan lebih. Hal ini adalah karena di tengah perjalanan, mereka sering kali berhenti untuk membantu perjuangan rakyat. Makin kagumlah hati Sui Ceng melihat sepak terjang Kwan Cu dan sekarang tahu benarlah gadis ini bahwa kepandaian Kwan Cu benar-benar luar biasa hebatnya, jauh melebihi kepandaian tokoh-tokoh besar, di antaranya gurunya sendiri, Kiu-bwe Coa-li! Diam-diam ia mengharapkan agar Kun Beng suka menikah dengan Kui Lan, karena hal ini akan memungkinkan hatinya menyetujui pinangan K wan Cu terhadapnya. Ia memang mencinta Kun Beng, akan tetapi kalau tunangannya itu memang sudah menikah dengan Kui Lan, tentu ia akan dapat melupakannya dan kiranya tidak akan sukar baginya untuk membalas cinta kasih seorang pemuda seperti Kwan Cu
***
Pada suatu hari, ketika Kwan Cu dan Sui Ceng baru saja keluar dari sebuah hutan di selatan kota raja, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun tujuh batang anak panah. Kwan Cu dan Sui Ceng bersiap sedia untuk menangkis atau mengelak, akan tetapi ternyata tak sebatang pun anak panah mengenai mereka dan ketika mereka memandang, ternyata bahwa tujuh batang anak panah itu menancap di tanah mengelilingi mereka.
Sui Ceng terkejut dan diam-diam ia mengagumi orang yang melepaskan anak panah itu, karena dapat menancap rata pada jarak yang sama di sekeliling mereka. Akan tetapi bagi Kwan Cu, kepandaian seperti itu bukan apa-apa dan dia berdongak ke atas sambil berkata tenang,
"Sahabat dari manakah bermain-main seperti ini dengan kami?"
Sebetulnya, sejak tadi pun Kwan Cu sudah tahu bahwa di atas pohon itu bersembunyi empat orang, akan tetapi dia sengaja diam saja agar tidak mengagetkan hati Sui Ceng yang sesungguhnya masih belum sembuh benar daripada lukanya yang diderita dalam pertempuran dipuncak Tai-hang-san.
Baru saja kata-kata ini dikeluarkan oleh Kwan Cu, dari atas pohon menyambar turun empat orang yang gerakannya amat ringan dan gesit sehingga kembali Sui Ceng terkejut. Akan tetapi baik dia maupun Kwan Cu tidak mengenal orang-orang ini. Setelah mereka berdiri berhadapan dengan Kwan Cu dan Sui Ceng, gadis ini memandang penuh perhatian dan orang yang ke empat dari rombongan ini mempunyai wajah yang seperti pernah dilihatnya, akan tetapi ia sudah lupa lagi entah di mana. Orang itu adalah seorang pemuda yang ganteng dan bersikap sopan santun. Gerak-geriknya yang halus dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang sastrawan muda, sepasang matanya tajam dan tubuhnya jangkung. Usianya sebaya dengan Kwan Cu. Adapun orang ke dua adalah seorang kakek yang kecil bongkok, orang ke tiga seorang kakek bermuka hitam bertubuh tinggi besar. Sedangkan orang ke empat yang berdiri paling depan adalah seorang nikouw (pendeta wanita) yang berjubah kuning.
Melihat bahwa yang datang sebagian besar adalah orang-orang tua, Kwan Cu lalu menjura dan bertanya,
"Entah apakah yang menjadi kehendak Cu-wi sekalian maka menghadang perjalanan kami?"
" Apakah kau yang bernama Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai?" tanya nikouw itu sambil memandang tajam. Juga tiga orang kawannya memandang tajam kepada Kwan Cu tanpa melirik ke arah Sui Ceng sehingga pemuda ini maklum bahwa mereka tentu pernah mendengar namanya di puncak Tai-hang-san.
"Siauwte memang benar bernama Lu Kwan Cu, tidak tahu Suthai dan yang lain-lain ini siapakah? Dengan maksud apa menghentikan perjalanan siauwte?"
Mendengar bahwa pemuda di depan mereka itu benar-benar Lu Kwan Cu yang namanya disebut-sebut oleh seluruh orang gagah di dunia kang-ouw, karena anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai telah menceritakan peristiwa menggemparkan di atas Tai-hang-san itu, empat orang ini memandang dengan mata menyatakan kekaguman, akan tetapi juga kurang percaya. Mungkinkan seorang pemuda sederhana yang kelihatan tidak memiliki kepandaian ini telah dapat mengalahkan semua tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw?
"Pinni adalah Lui Kong Nikouw dari Thian-san-pai."
"Aku bernama Bu Kek Sian dari Go-bi-pai," jawab kakek kecil bongkok.
"Aku yang bodoh dan kasar adalah Kong Seng Kak Hwesio dari Siauw-lim-pai," jawab kakek tinggi besar bermuka hitam. Mendengar ini, Kwan Cu heran dan memandang lebih tajam. Ternyata bahwa kakek yang memakai topi ini memang benar kepalanya gundul, sehingga biarpun pakaiannya seperti petani, namun dia adalah seorang hwesio.
Kong Seng Kak tertawa bergelak melihat sinar mata heran dari Kwan Cu.
"Pinceng memang sengaja menyamar sebagai petani biasa. Kalau pinceng memakai jubah pendeta dan berada di antara para pejuang rakyat, bukankah nama Siauw-lim-si akan dicap hitam oleh kerajaan dan kuil kami akan mengalami serangan hebat?"
Kwan Cu kagum sekali mendengar bahwa hwesio kasar ini ternyata membantu rakyat, maka dia cepat menjura dan berkata, ,
"Kong Seng Kak Twa-suhu benar-benar seorang patriot sejati, siauwte merasa kagum sekali."
Tiba-tiba terdengar suara halus berkata memperkenalkan diri. "Aku yang rendah adalah Lai Siang Pok."
Mendengar nama ini, Sui Ceng tiba-tiba teringat dan dia melangkah maju setindak, lalu berkata, "Eh, bukankah kau murid pujangga Tu Fu yang dahulu dibawa lari oleh Hek-i Hui-mo?"
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya makin menarik. "Bun-lihiap benar-benar bermata tajam dan mempunyai ingatan kuat sekali. Siauwte memang benar Lai Siang Pok dan Hek-i Hui-mo adalah guruku." Setelah berkata demikian Lai Siang Pok menundukkan muka dan menutup mulut.
Diam-diam Sui Ceng berpikir sampai di mana tingkat kepandaian pemuda murid Hek-i Hui-mo ini. Teringat ia akan semua pengalamannya di waktu ia masih kecil, ketika gurunya, Kiu-bwe Coa-li memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang ternyata palsu itu dengan Hek-i Hui-mo. Seperti pernah dituturkan di bagian depan, Tu Fu dipaksa membaca kitab itu dan pendengar-pendengarnya adalah Hek-i Hui-mo yang dibantu oleh pemuda Lai Siang Pok itu, sedangkan Kiu-bwe Coa-li dibantu oleh Sui Ceng. Setelah membaca, kitab itu lalu dibakar, demikian menurut perjanjian dan syarat yang diajukan oleh pujangga Tu Fu. Kemudian setelah mendengarkan bersama Lai Siang Pok, Hek-i Hui-mo lalu menculik Siang Pok dan dipaksa menjadi muridnya. Sekarang Hek-i Hui-mo telah binasa oleh Kwan Cu, apakah maksud kedatangan pemuda ini?
Kwan Cu tentu saja dapat menduga akan maksud ini, maka dia lalu tersenyum dan bertanya,
"Setelah memperkenalkan nama Cu-wi, perlu kiranya siauwte memperkenalkan pula sahabat ini, ialah Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li suthai."
Akan tetapi mereka tidak mempedulikan Sui Ceng, sebaliknya Lui Kong Nikouw lalu berkata,
"Lu-taihiap, tentu kau ingin mengetahui maksud kami menghadangmu di sini, bukan?" Kwan Cu menjadi merah muka nya disebut taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya panggilan ini memang dengan hati tulus, karena siapakah yang tidak menganggapnya sebagai seorang pendekar besar setelah apa yang dia lakukan di puncak Tai-hang-san?
"Siauwte tidak sabar lagi mendengar keterangan Suthai." jawab Kwan Cu.
"Pinni, datang untuk bertanya mengapa Taihiap yang gagah perkasa telah berani mempermainkan dan mengganggu muridku, Wi Wi Toanio."
Sui Ceng mengerutkan kening dan Kwan Cu terkejut. "Mempermainkan dan mengganggu bagaimana, Suthai?" tanyanya penasaran.
Lui Kong Nikouw tersenyum dan tampaklah bahwa dahulu di waktu mudanya, nikouw ini tentu berwajah cantik dan senyumnya masih membayangkan kegenitan seperti yang dipunyai oleh Wi Wi Toanio. "Taihiap, muridku itu adalah seorang wanita muda yang paling cantik di seluruh wilayah timur, sudah sepatutnya dan dapat dimengerti kalau hati laki-laki tergila-gila kepadanya. Akan tetapi Taihiap harus dapat menahan nafsu dan tahu bahwa dia adalah seorang yang telah menjadi isteri orang lain. Perbuatan Taihiap sungguh tidak patut."
Bukan main marahnya Kwan Cu, sedangkan wajah Sui Ceng menjadi merah sekali.
"Suthai, kau mengeluarkan omongan yang membikin orang penasaran! Aku Lu Kwan Cu tidak pernah mempermainkan wanita!" Akan tetapi ketika dia membayangkan wajah dan tubuh dari Wi Wi Toanio, hatinya berdebar. Di dalam hati kecilnya, dia tidak dapat menyangkal bahwa isteri dari An Kai Seng itu benar-benar menarik hatinya. Akan tetapi Kwan Cu tahu bahwa kata-kata dari Lui Kong Nikouw tadi merupakan racun yang akan merusak hubungan baiknya dengan Bun Sui Ceng, maka cepat-cepat dia melanjutkan.
"Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng musuh besarku yang harus kubunuh karena An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, musuh besar kong-kongku dan guruku. Bagaimana aku bisa mempermainkannya? Pada waktu itu memang benar dia membela suaminya dan kalah dalam pertempuran olehku, apakah hal ini dianggap mengganggu?" setelah berkata demikian, Kwan Cu tanpa disengaja melirik ke arah Sui Ceng.
Lui Kong Nikouw mengeluarkan, suara jengekan. "Huh, siapa percaya mulut laki-laki? Mengganggu atau tidak, kau telah mengalahkan muridku yang berarti penghinaan besar bagi nama Thian-san-pai, maka sekarang pinni sengaja menunggu di sini untuk minta pengajaran darimu."
"Nanti dulu, Lui Kong Nikouw!" kata Bu Kek Sian, "Pertandinganmu melawan Lu-taihiap mempunyai dasar permusuhan, maka harus dilakukan nanti setelah aku mencoba kepandaiannya. Jauh-jauh aku datang dari Go-bi karena tertarik mendengar kegagahan Lu-taihiap, maka biarlah aku yang hendak minta petunjuk lebih dulu."
"Betul! Demikianpun pinceng, karena murid Siauw-lim-pai takkan melewatkan kesempatan bagus menerima petunjuk dari seorang pandai!" menyambung Kong Seng Kak Hwesio.
Sambil tersenyum Kwan Cu menoleh kepada Lai Siang Pok dan berkata,
"Dan Lai-enghiong ini tentunya hendak membalaskan kematian gurunya, bukan?"
Dengan muka kemalu-maluan pemuda itu menjawab. "Sudah menjadi kewajiban seorang murid untuk berusaha membalas pembunuh gurunya, akan tetapi karena kepandaianku sangat terbatas, biarlah siauwte minta pengajaran paling akhir saja."
Bu Kek Sian si kakek kecil bongkok tertawa terkekeh-kekeh dan melompat maju. Tangannya telah mengetuarkan sebuah rantai baja yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya.
"Lu-taihiap, harap kau tidak terlalu pelit untuk memperlihatkan beberapa jurus ilmu silatmu yang lihai agar lebih terbuka mataku yang sudah agak lamur," katanya sambil tertawa-tawa. Biarpun dia kelihatan lucu dan bicara merendah, namun di dalam kata-katanya itu terkandung nada yang sombong. Melihat gerak-gerik orang ini, Kwan Cu merasa bahwa Sui Ceng saja akan dapat menandinginya. Semua orang ini tidak memandang mata kepada Sui Ceng, kecuali Lai Siang Pok, maka diam-diam Kwan Cu merasa tidak puas. Melihat diri sendiri dipuji-puji dan orang-orang itu mengesampingkan Sui Ceng, dia merasa bahwa hal ini merendahkan derajat gadis itu. Sambil tersenyum, dia melirik ke arah Sui Ceng dan berkata,
"Sui Ceng, Lo-enghiong dari Go-bi ini pandai mempergunakan sabuknya dan melihat sabuk yang hebat ini hatiku sudah gentar sekali. Kau pernah mempelajari ilmu mainkan sabuk, sukakah kau sedikit mengeluarkan tenaga membagi tugas yang berat menghadapi para orang gagah ini?" Kwan Cu sengaja memberi kesempatan kepada Sui Ceng untuk memperlihatkan kepandaiannya menghadapi orang sombong ini, karena memang tadi rantai panjang itu dilibatkan di pinggangnya seperti sabuk.
Sui Ceng mengerti kehendak Kwan Cu. Memang nona ini sudah merasa mendongkol sekali. Ia diperkenalkan sebagai murid Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi orang-orang itu kecuali Siang Pok, tidak mempedulikannya. Bukankah sama halnya dengan tidak memandang mata kepada gurunya? Sesungguhnya bukan demikian. Orang-orang ini tentu saja sudah mendengar nama besar Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh yang memiliki kepandaian mengagumkan, akan tetapi peristiwa di puncak Tai-hang-san itu terdengar oleh mereka dan mereka tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian sudah kalah oleh fihak Kiam Ki Sianjin, maka mereka tidak begitu menaruh perhatian lagi.
"Kalau saja tokoh besar yang perkasa dari Go-bi-pai tidak menganggap terlalu rendah untuk menghadapiku, tentu saja aku mau mewakili kau," jawab Sui Ceng.
Kwan Cu menghadapi Bu Kek Sian dan berkata, "Bu Kek Sian Lo-enghiong. Fihak yang hendak mengujiku ada empat orang dan kalau aku hanya maju seorang diri, itu tidak adil namanya. Juga kurang memandang mata kepada nona ini sebagai murid Kiu-bwe Coa-li. Hanya yang meragukan, apakah ada yang berani menghadapi murid dari Kiu-bwe Coa-li?!"
Bu Kek Sian terkekeh. "Nama besar Kiu-bwe Coa-li siapakah yang belum mendengarnya? Tentu saja aku tidak berani memandang rendah, akan tetapi setelah aku melayani nona ini beberapa jurus, aku masih mengharapkan sedikit petunjuk darimu." Kata-kata ini saja sudah menunjukkan kesombongan Bu Kek Sian, karena dengan kata-kata ini dia mau menyatakan bahwa dalam beberapa jurus saja dia pasti akan dapat mengalahkan nona muda ini. Kalau dia menganggap bahwa dia takkan dapat mengalahkan dan sebaliknya dia yang akan kalah, tentu saja orang yang sudah kalah tidak berani maju lagi!
Sui Ceng menjadi panas perutnya. Tangannya bergerak dan tahu-tahu sinar merah berkelebat ketika dia telah meloloskan ang-kin (sabuk merah) yang melibat di pinggangnya.
"Bu Kek Sian Lo-sicu, marilah kita mengadu senjata." tantangnya.
Bu Kek Sian terkejut dan heran sekali. Benar-benarkah nona ini akan menghadapi rantai bajanya dengan sehelai sabuk sutera? Akan tetapi dia pun bukan seorang yang tidak dapat mempergunakan pikirannya. Kalau seorang lawan sudah berani berlaku demikian berani, tentulah lawan itu memiliki kepandaian yang tinggi. Pula nona ini mempergunakan sabuk sutera atas kehendaknya sendiri, maka amat kebetulan sehingga dia tak usah terlalu banyak mengeluarkan tenaga.
"Baiklah, kausambut seranganku, Nona!" Bu Kek Sian lalu menggerakkan tangannya dan rantai bajanya meluncur dengan lengkungan lebar menyerang kepala Sui Ceng. Gadis ini merendahkan tubuhnya kemudian mengelak ke kiri karena ia tahu bahwa setelah luput menghantam kepala, rantai yang panjang itu ujungnya masih akan menghantam tubuh bagian lain. Benar saja dugaannya, ujung rantai itu melayang dan dari pinggir menotok ke arah iganya. Sambil mengelak cepat, sabuk merah meluncur bagaikan ular merah yang hidup, gerakannya tak terduga dan berlenggang-lenggong, cepat menotok ke arah leher tokoh Go-bi-pai itu.
Bu Kek Sian kagum melihat gerakan nona yang cepat ini. Ia segera menyendal rantainya sehingga ujung rantai yang tak berhasil menotok iga, tiba-tiba tertarik kembali dan menyambar ke arah sabuk merah. Bu Kek Sian sengaja mengerahkan tenaganya agar supaya sabuk merah itu akan terbetot putus oleh rantai bajanya. Akan tetapi, sabuk merah itu bergerak memecut dan terdengar suara "tar! tar!" dua kali seperti bunyi cambuk seorang penggembala sapi. Kemudian ujung sabuk merah yang terbentur rantai itu melayang kembali dan dengan lengkungan yang amat manis, ujung sabuk ini menotok ke arah jalan darah Im-yang-hiat yang berada di ulu hati kakek ini. Bu Kek Sian mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat dia melempar dirinya ke belakang. Bukan main hebatnya serangan itu dan alangkah ganasnya! Baru mempergunakan sehelai sabuk saja, gadis ini sudah demikian lihainya, apalagi gurunya, Kiu-bwe Coa-li yang mempergunakan pecut dengan sembilan ekornya! Bu Kek Sian menjadi hati-hati sekali dan kini dia memutar rantainya cepat sekali untuk mendesak Sui Ceng. Akan tetapi, Sui Ceng adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja dalam hal kesaktian ia telah mewarisi kepandaian gurunya, maka dengan mudah ia dapat mengimbangi gerakan senjata lawan, bahkan ia kini bergerak demikian cepatnya sehingga tubuhnya lenyap dan yang kelihatan hanya bayangannya saja yang didahului oleh berkelebatnya sinar merah dari sabuk suteranya.
Beberapa jurus kemudian, terdengar suara rantai terlepas di atas tanah dan Bu Kek Sian melompat mundur dengan muka pucat. Sambungan sikunya telah terkena totokan ujung sabuk yang menyebabkan tangannya lumpuh dan rantainya terlepas. Kakek ini memandang kepada Sui Ceng dengan mata terbuka lebar-lebar kemudian dia menepuk kepalanya sendiri sambil mengomel,
"Aku Bu Kek Sian sungguh manusia tak berguna! Bagaimana masih berani menantang Lu-taihiap?? Bagaimana mataku buta tidak melihat bahwa murid Kiu-bwe Coa-li demikian hebatnya?"
Melihat kekalahan Bu Kek Sian oleh nona muda yang cantik itu, Kong Seng Kak Hwesio kagum sekali. Ia melompat maju dengan tangan memegang sebatang toya hitam dan berkata gembira,
"Benar-benar menyenangkan sekali hari ini bertemu dengan orang-orang muda yang lihai. Bagus, bagus, biar pinceng menerima beberapa jurus untuk menambah bekal membasmi iblis penjajah!"
Melihat gerakan hwesio Siauw-lim-pai ini, Kwan Cu dapat menduga bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi dan tenaganya amat besar. Selain ini, juga seorang patriot yang gagah perkasa. Oleh karena itu, dia segera maju sendiri, khawatir kalau-kalau Sui Ceng kesalahan tangan melukai hwesio kosen ini.
"Losuhu, biarlah boanpwe yang menerima kehormatan ini," katanya dan memberi tanda dengan mata agar Sui Ceng mundur. Gadis ini pun tidak ada nafsu lagi untuk bertempur, karena demikianlah watak Sui Ceng yakni ia akan makin bersemangat kalau menghadapi lawan-lawan yang tangguh, sebaliknya, kepandaian Bu Kek Sian dianggapnya masih belum cukup tinggi sehingga ia pun memandang rendah hwesio muka hitam ini.
Kong Seng Kak Hwesio berseri wajahnya. "Bu Kek Sian Bengyu tidak punya peruntungan baik, berbeda dengan pinceng yang kini mendapat kesempatan belajar satu dua jurus ilmu silat dari Lu-taihiap," Sambil berkata demikian, toyanya diputar di atas kepalanya bagaikan kitiran cepatnya, akan tetapi hwesio ini tidak segera menyerang.
"Mulailah, Losuhu," kata Kwan Cu.
Sebaliknya dari menyerang, hwesio muka hitam itu bahkan menurunkan kembali toyanya dan menggeleng-geleng kepalanya. "Taihiap harap segera mengeluarkan senjata."
Kwan Cu makin kagum melihat hwesio ini. Sudah terang hwesio ini telah mendengar akan sepak terjangnya di Tai-hang-san dan tahu bahwa dia telah mengalahkan tokoh-tokoh besar, namun hwesio ini masih merasa tidak adil kalau menghadapi dia yang bertangan kosong. Timbul rasa sukanya dan dia mendapat kenyataan bahwa memang jago-jago Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang gagah.
"Kita hanya mau mencoba tenaga, berbahaya sekali kalau bertanding mengunakan senjata. Apakah tidak lebih baik kalau menguji tenaga dengan saling mendorong atau membetot toya itu? Masing-masing boleh berusaha bagaimanapun juga, boleh menonjok atau memukul, pendeknya siapa yang melepaskan toya atau roboh, terhitung kalah."
Kong Seng Kak Hwesio girang sekali. Memang dia agak jerih menghadapi ilmu silat pemuda ini yang dikabarkan amat lihai dan aneh, akan tetapi dalam hal tenaga gwakanng maupun lweekang, dia sudah terkenal sekali. Masa dia akan kalah oleh pemuda yang kelihatannya tidak bertenaga besar itu? Usul yang diajukan oleh pemuda itu menguntungkan dirinya dan kalau dia bisa menang, biarpun dalam cara adu tenaga yang sederhana, bukankah namanya akan terangkat tinggi sekali karena dapat mengalahkan Lu-taihiap yang demikian tersohornya? Dengan cepat dia segera menerima usul ini.
Kwan Cu memegang tongkat yang diangsurkan kepadanya. Kedua orang itu memegang ujung toya dan memasang kuda-kuda.
"Lu-taihiap, bersiaplah, pinceng mulai!" seru Kong Seng Kak Hwesio sambil mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba dia mendorong toya yang dipegangnya itu dengan tenaga sepenuhnya. Kwan Cu merasa betapa tenaga hwesio ini memang hebat sekali dan tahu pula bahwa Kong Seng Kak Hwesio mempergunakan tenaga gwakang, maka dia lalu menahan dorongan itu dengan pengerahan tenaga lemas sehingga hwesio Siauw-lim-pai itu merasa seluruh lengannya gemetar. Tiba-tiba Kong Seng Kak Hwesio melakukan gerakan membetot dengan tiba-tiba dan disentakkan untuk mencabut toya agar terlepas dari tangan Kwan Cu atau kalau pemuda itu menahan, agar tubuh Kwan Cu terbawa ke depan. Akan tetapi kembali dia kecelik karena sedikit pun pemuda itu tidak bergeming. Ia tak menyangka hanya dengan melihat pundaknya saja, Kwan Cu sudah dapat mengetahui terlebih dulu gerakan apa yang hendak dia lakukan, maka pemuda itu dapat berjaga-jaga lebih dulu. Mendadak hwesio itu mengeluarkan seruan keras sekali dan tubuhnya merendah, lalu dengan pengerahan tenaga luar biasa dia mendorong toya ke atas untuk mengangkat tubuh Kwan Cu atau untuk memaksa pemuda itu melepaskan toya. Kwan Cu terkejut. Tak disangkanya bahwa tenaga gwakang dari lawannya ini benar-benar besar sekali. Ketika dia melirik ke arah wajah hwesio itu, tahulah dia bahwa kalau dia melawan dengan lweekang, maka tak dapat tidak tenaga gwakang itu akan memukul kembali dan dapat mendatangkan luka pada Kong Seng Kak Hwesio. Oleh karena itu, Kwan Cu mengambil jalan lain. Ia menyimpan tenaga dan ketika lawannya menyontekkan toya ke atas, dia menurut saja sehingga tubuhnya terbawa ke atas! Akan tetapi, biarpun begitu, Kwan Cu masih memegangi ujung toya dan keadaan tubuhnya masih tetap dalam kuda-kuda seperti tadi.
Tidak hanya Kong Seng Kak Hwesio, juga yang lain-lain merasa kagum sekali. Hwesio itu menggerak-gerakkan toyanya dengan tenaga besar, mengobat-abitkan toyanya dengan maksud agar, pegangan Kwan Cu terlepas, namun sia-sia belaka, agaknya tubuh pemuda itu sudah menjadi satu dengan toya yang dipegangnya.
Tiba-tiba Kwan Cu berseru nyaring dan kedua kakinya bergerak di udara, tubuhnya melengkung dan dengan sekali mengenjotkan kaki, dia melompat dengan toya masih dipegangnya. Kong Seng Kak Hwesio merasa betapa tenaga betotan itu luar biasa sekali, akan tetapi dia mengerahkan tenaga dan memegangi ujung toya seeratnya. Oleh karena ini toya yang dipegangnya itu terputar dan tubuhnya ikut terputar-putar. Kwan Cu bergerak terus, mengerahkan tenaga dan ginkangnya sehingga bagaikan seekor burung yang kakinya diikat tali yang dipegang oleh Kong Seng Kak Hwesio, dia "terbang" mengelilingi hwesio itu. Setelah beberapa belas kali putaran, akhimya Kong Seng Kak Hwesio tidak kuat lagi menahan. Ia melepaskan pegangan toyanya dan meramkan mata mengatur napas melenyapkan rasa pening di kepalanya. Kemudian dia memberi hormat kepada Kwan Cu sambil menerima kembali toyanya.
"Aduh, nama besar Lu-taihiap bukan omong kosong belaka. Pinceng mengaku kalah."
Melihat betapa dua orang kakek itu sudah dikalahkan oleh Kwan Cu dan Sui Ceng dalam pertandingan persahabatan dan mendengar pemuda itu dipuji-puji, Lui Kong Nikouw lalu melompat ke depan Kwan Cu. Sepasang pedang yang berkilauan telah berada di tangannya.
"Lu Kwan Cu, kau menjadi makin sombong dan kepala besar saja mendengar pujian-pujian itu. Marilah kau bersiap menghadapi pinni untuk menebus dosa dan kekurangajaranmu terhadap muridku."
"Suthai, aku tidak hendak mencari permusuhan."
"Jadi kau bersedia minta maaf dan berjanji takkan mengganggu muridku lagi ?"
"Muridmu itu aku takkan mengganggu seujung rambutnya, akan tetapi suaminya, An Kai Seng, adalah musuh besarku dan harus kubunuh!"
"Kau berjanji tidak akan mengganggu muridku akan tetapi mau membunuh suaminya? Bagus! Omongan apa ini? Hayo kau keluarkan senjata!" Biarpun berkata demikian, namun tanpa menanti orang mencabut senjata, Lui Kong Ni kouw sudah menggerakkan pedangnya menyerang. Sepasang pedang itu menyerang berbareng dengan gerakan indah dan cepat dari Ilmu Pedang Thian-san Kiam hoat, tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melepaskan diri karena segera pedang-pedang itu mengurung dengan gulungan sinamya yang berkilauan.
Diam-diam Sui Ceng kagum melihat keindahan ilmu siang-kiam-hoat ini. Sebagai seorang wanita yang suka akan segala sesuatu yang indah, diam-diam ia memperhatikan dan ingin memetik beberapa bagian yang terindah. Akan tetapi, ia pun merasa bahwa ia sendiri sanggup menghadapi nikouw itu. Sebaliknya, Kwan Cu tetap tidak mau mencabut senjata dan hanya melayani nikouw itu dengan kedua tangan kosong. la mengandalkan ginkangnya untuk mengelak ke sana ke mari dan bahkan ikut berputaran mengimbangi gerakan dua pedang yang cepat itu. Sampai puluhan jurus dua batang pedang itu belum mampu menyenggol badan Kwan Cu bahkan kini pemuda itu mulai mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk mencoba merampas pedang lawan.
Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na memang lihai sekali dan juga belum pernah muncul di dunia kang-ouw, maka ilmu ini sama sekali tidak dikenal oleh Lui Kong Nikouw. Dalam beberapa gebrakan saja, pedang di tangan kirinya telah kena dirampas oleh Kwan Cu. Nikouw itu hanya merasa jari tangan kirinya menggigil dan tahu-tahu pedangnya lenyap berpindah ke tangan Kwan Cu. la terkejut bukan main dan cepat berseru,
"Suheng, mengapa kau tidak lekas-lekas membantuku? Mari kita membalas sakit hati suhu!"
Kwan Cu terheran-heran karena dia tadi tidak pernah melihat suheng (kakak seperguruan) dari nikouw ini. Keheranannya bertambah ketika tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan sebatang tongkat yang aneh gerakannya telah menyerangnya dari samping. Ketika dia menengok, temyata olehnya bahwa yang menyerangnya dengan sebatang tongkat itu bukan lain adalah pemuda bemama Lai Siang Pok tadi. Kalau saja dia tidak sedang diancam oleh tongkat dan pedang kanan nikouw, tentu Kwan Cu akan berdiri seperti patung saking herannya. Bagaimana seorang pemuda yang baru berusia dua puluhan tahun disebut kakak seperguruan oleh nikouw tua ini?
Akan tetapi kenyataannya memang demikian. Seperti diketahui, Lai Siang Pok adalah murid dari Hek-i Hui-mo dan pemuda ini dapat mewarisi ilmu tongkat yang tinggi dari Hek-i Hui-mo karena dia pun ikut menghafal bunyi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Kemudian gurunya itu bertemu dengan Lui Kong Nikouw dan diam-diam di antara dua orang pendeta tua ini terdapat hubungan yang tidak bersih. Untuk menutupi rahasia ini, Lui Kong Nikouw yang menjadi seorang tokoh Thian-san-pai yang tersesat dan tidak diakui oleh partai Thian-san lagi, diaku murid oleh Hek-i Hui-mo. Karena sebagai murid baru, tentu saja menurut peraturan ia harus menyebut suheng kepada Siang Pok. Hal ini pun dilakukan oleh Lui Kong Nikouw dengan girang, karena dia bekas wanita genit sekali tentu merasa senang menyebut seorang pemuda ganteng sebagai kakak seperguruannya, sungguhpun pemuda itu patut menjadi cucunya! Namun dasar kepandaian Lui Kong Nikouw adalah dasar ilmu silat Thian-san-pai, sedangkan dari Hek-i Hui-mo ia hanya menerima beberapa macam ilmu pukulan saja.
Lai Siang Pok seorang pemuda pendiam dan dia melakukan serangan tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Akan tetapi ketika Kwan Cu menangkis sambaran tongkat itu dengan pedang rampasannya, pemuda ini diam-diam kagum karena tenaga Siang Pok bahkan lebih besar daripada tenaga nikouw itu. Hal ini adalah karena Siang Pok melatih diri dengan lweekang menurut petunjuk Im-yang Bu-tek Cin-keng yang pernah didengamya dari pujangga Tu Fu. Namun, kalau suhunya sendiri tidak kuat melawan Kwan Cu, apalagi dia?
Sebentar saja, ketika K wan Cu mengerahkan tenaga dan membabat dengan pedangnya, tongkat di tangan Siang Pok patah menjadi dua dan pedang di tangan Lui Kong Nikouw terbang entah ke mana! Dua murid Hek-i Hui-mo ini menjadi pucat dan memandang dengan tercengang. "Lu-taihiap benar-benar tangguh. Sedikitnya siauwte harus belajar dua puluh tahun lagi baru berani mengukur tenaga kembali." kata Siang Pok sambil menjura kepada Kwan Cu, lalu dia melompat dan pergi tanpa pamit kepada Lui Kong Nikouw. Pemuda ini memang tidak suka kepada nikouw itu karena dia telah dapat mengetahui hubungan antara suhunya dan "sumoi" ini. Selain itu, juga Siang Pok tidak suka kepada suhunya yang dianggap jahat dan membantu penjajah. Bahkan diam-diam pemuda ini membantu perjuangan rakyat dan sebagai seorang pemuda Han bekas murid pujangga Tu Fu, darah kepatriotan masih mengalir di tubuhnya. Kelak pemuda ini akan menjadi seorang yang berilmu tinggi dan mendapat nama besar di dunia kang-ouw.
Lui Kong Nikouw juga tidak berkata apa-apa apa lagi, dengan muka merah ia lalu menggerakkan kedua kakinya, pergi dari situ tanpa pamit.
Terdengar tertawa terbahak-bahak dan yang tertawa adalah Kong Seng Kak Hwesio.
"Ha, ha, ha! Memang benar, gurunya naga muridnya tentu naga pula. Ang-bin Sin-kai adalah seorang perkasa yang berjiwa gagah, muridnya pun demikian. Lu-taihiap, sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu tinggi, mengapa kau tidak mau lekas-lekas turun tangan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah?" ,
Kwan Cu menjura. "Aku yang muda dan bodoh, biarpun tidak secara terang-terangan membantu perjuangan, akan tetapi sesungguhnya aku masih melakukan tugasku membalas dendam atas kematian suhu dan kong-kong Lu Pin. Lo-suhu, kau yang sering kali berada di dalam peperangan, pernahkan kau mendengar nama Ngo Lian Suthai ketua dari kuil Kwan-im-bio ?"
"Ah, dia? Benar-benar seorang wanita gagah perkasa yang berjiwa suci. Dia dan muridnya berada di tempat pertempuran tidak jauh dari sini, setiap hari dia dan muridnya mengurus dan merawat para pejuang yang terluka."
"Lo-suhu, di manakah tempat itu?" Sui Ceng ikut bertanya dengan penuh keinginan tahu.
"Di sebuah bio tua di dusun Kiang-cee sebelah barat hutan ini. Semua pejuang mengenal tempat itu baik-baik, dan setiap orang yang terluka dalam pertempuran melawan barisan kerajaan, selalu diantarkan ke tempat itu untuk dirawat."
Mendengar ini, Sui Ceng lalu berkata kepada Kwan Cu, "Mari kita cepat pergi ke Kiang-cee!"
"Baik," jawab Kwan Cu dan keduanya segera memberi hormat kepada dua orang tua yang gagah itu, lalu cepat berlari menuju ke barat. Dua orang tua dari Go-bi-pai dan Siauw-lim-pai itu memandang penuh kekagumam
***
Dusun Kiang-cee sudah bukan merupakan dusun lagi karena semua penghuninya sudah pindah, meninggalkan dusun yang menjadi kosong dan sunyi. Hal ini disebabkan karena dusun itu termasuk daerah pertempuran antara para pejuang dan tentara kaisar, maka penduduk menjadi ketakutan dan lari mengungsi. Banyak pula di antara penduduk laki-laki yang masih muda menggabungkan diri dengan para pejuang rakyat yang sebagian besar terdiri dari para petani yang dipimpin oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang berjiwa patriot. Dusun itu dijadikan markas kalau malam dan kalau siang menjadi kosong karena semua penghuninya maju perang. Di sebuah kuil kuno yang besar menjadi semacam "hospital" setelah datang Ngo Lian Suthai dan muridnya yang bukan lain adalah Gouw Kui Lan. Semenjak tinggal di kuil Ngo Lian Suthai, gadis ini mendapat banyak petuah dan akhimya ia membuka semua rahasianya kepada wanita suci itu. Ngo Lian Suthai menghibumya dan menyatakan bahwa dosa itu hanya dapat ditebus dan dicuci dengan jalan melakukan perbuatan-perbuatan baik lahir batin sebanyak mungkin. Maka dengan suka rela Kui Lan lalu menjadi muridnya dan ikut membantu perjuangan dengan jalan merawat para pejuang yang terluka dalam peperangan.
Pada hari itu di dalam dusun kedatangan dua orang pemuda yang datang dari lain jurusan. Pemuda pertama adalah The Kun Beng dan orang muda ini setelah mendengar bahwa Kui Lan berada di situ, langsung menuju ke kuil. la merasa amat menyesal akan semua perbuatannya dan ingin minta ampun kepada Kui Lan, akan tetapi oleh karena cinta kasihnya sudah dicurahkan kepada Sui Ceng, setelah mendapat pengampunan dia akan pergi lagi bertapa. Ia tahu bahwa tak mungkin dia menjadi suami Sui Ceng setelah rahasianya terbongkar dan dia tidak mau pula menjadi suami Kui Lan karena memang dia tidak mencinta gadis ini.
Kebetulan sekali, baru saja dia tiba di depan kuil, dari lain jurusan datang Gouw Swi Kiat, suhengnya!
"Bagus, Kun Beng, kau datang menebus dosa! Lekas-lekas kita menemui Lan-moi dan pemikahan akan dapat dilakukan di sini juga," kata Swi Kiat girang. Hati kakak ini tak lain hanya ingin menolong keadaan adiknya yang tentu akan rusak namanya kalau tidak menjadi isteri Kun Beng.
"Bukan itu maksud kedatanganku, Suheng. Aku memang datang untuk mohon ampun dari adikmu, akan tetapi aku takkan menikah dengan siapapun juga."
Tentu saja Swi Kiat menjadi marah sekali, mukanya merah dan alisnya berdiri.
"Orang she The!" bentaknya menudingkan telunjuknya. “Apakah sampai saat ini, setelah rahasiamu diketahui oleh suhu, kau masih membandel dan tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatanmu? Kau harus mengawini adikku, kalau tidak, terpaksa aku akan mengadu nyawa denganmu untuk menebus hinaanmu!" Dengan marah sekali Swi Kiat mencabut keluar senjatanya yakni sepasang kipas maut yang amat lihai.
Biarpun menghadapi ancaman ini, Kun Beng sudah bulat hatinya. la menghela napas dan menjawab,
"Biar kau akan membunuhku, aku tak dapat memilih jalan lain, suheng. Kalau aku memaksa diri mengawini adikmu, aku hanya akan membikin dia menderita selama hidupnya, karena terus terang saja, aku tidak mencinta adikmu. Dulu perbuatan kami dilakukan karena kami sudah mata gelap dan terdorong oleh nafsu jahat."
"Keparat, jadi kau mencinta Sui Ceng?" Pada saat pertanyaan ini diajukan, datanglah Kwan Cu dan Sui Ceng, akan tetapi Kwan Cu cepat menarik tangan Sui Ceng, diajak bersembunyi di belakang tembok kuil sambil mengintai dan mendengarkan. Hati Sui Ceng berdebar mendengar percakapan yang menyangkut namanya itu.
"Benar, Suheng. Aku mencinta Sui Ceng."
“Jahanam!"
"Mungkin aku jahanam, Suheng. Akan tetapi itulah suara hatiku dan aku tidak bisa melakukan sesuatu di luar suara hatiku."
"Pengecut besar, anjing tak kenal budi, kalau begitu biarlah kita mengadu nyawa di sini!" bentak Swi Kiat yang cepat menggerakkan sepasang kipasnya menyerang dengan hebat.
Kun Beng tentu saja sudah tahu benar akan kelihaian suhengnya dan akan bahayanya sepasang kipas maut itu, maka sambil melompat mundur dia pun mencabut tombaknya. Memang Pak-lo-sian Siangkoan Hai memiliki dua macam keahlian yang membuat namanya terkenal sekali di kalangan kang-ouw, yakni permainan sepasang kipas maut dan permainan tombak. Sesuai dengan bakat masing-masing, kakek ini menurunkan pelajaran ilmu tombak kepada Kun Beng dan ilmu kipas kepada Swi Kiat. Akan tetapi tentu saja biarpun telah memiliki keahlian masing-masing, kedua orang muda itu mengenal baik ilmu senjata yang dua macam itu.
Pertandingan antara kakak beradik seperguruan ini berjalan hebat sekali, akan tetapi masih berat sebelah. Swi Kiat menyerang dengan nekat dan dengan amarah meluap-luap hatinya sakit sekali melihat Kun Beng yang sudah merusak nama baik adiknya dan kini tidak mau bertanggung jawab untuk membersihkan nama adiknya. Tujuannya hanya satu, membunuh atau terbunuh. sebaliknya, Kun Beng sudah merasa akan kesalahan dan dosanya dan hatinya amat bersedih. Maka tidak mengherankan apabila permainan tombaknya tidak selihai biasanya, bahkan boleh dibilang kalut. la selalu berada di fihak yang terserang dan segera terdesak hebat. Saat yang membuka kesempatan baik bagi swi Kiat tidak disia-siakan dan kipas tangan kirinya telah menotok pundak Kun Beng. Baiknya pemuda ini cepat mengelak sehingga hanya tulang pundaknya saja yang putus, karena kalau mengenai urat nadi, pasti dia akan tewas.
Sui Ceng sejak tadi memandang pertempuran itu dengan muka pucat. la terharu mendengar bahwa Kun Beng amat mencintanya, cocok dengan perasaan hatinya sendiri, akan tetapi ia pun penasaran menyaksikan sifat pengecut dari bekas tunangannya itu. Ketika pertempuran terjadi, ia hanya memandang saja. Akan tetapi melihat Kun Beng terluka, hatinya tidak tega. Betapapun juga harus ia akui bahwa ia mencinta pemuda ini dan tanpa dapat dipertahankan lagi, ketika melihat Kun Beng terdesak hebat, ia lalu melompat dan pedangnya sudah menangkis kipas Swi Kiat.
Pemuda ini tertegun, akan tetapi melihat bahwa yang datang adalah Sui Ceng, marahnya makin menjadi. Wanita inilah yang menjadi gara-gara sehingga Kun Beng menolak untuk mengawini adiknya. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menyerang Sui Ceng dengan pukulan-pukulan maut dari sepasang kipasnya. Akan tetapi sekarang dia menghadapi lawan yang amat tangguh, karena seperti juga dia, Sui Ceng amat marah dan melawan dengan sama hebatnya, tidak seperti Kun Beng tadi yang banyak mengalah.
Diam-diam Kwan Cu kagum melihat ilmu kipas yang dimainkan oleh Swi Kiat. Dari gerakannya, tahulah Kwan Cu bahwa sepasang kipas itu dipergunakan dengan dua tenaga yang berlawanan. Kipas kiri lemas dan halus gerakannya, mengandung tenaga Im yang mengandalkan lweekang tinggi, sedangkan kipas kanan kasar dan ganas, penuh tenaga Yang. Perbedaan yang bertentangan inilah yang biasanya menyukarkan lawan, seakan-akan lawan menghadapi dua orang lawan yang berbeda kepandaian dan tenaganya. Pantas saja bahwa ilmu kipas ini disebut Im-yang Po-san dan kehebatannya tiada keduanya dalam ilmu silat kipas pada masa itu.
Namun Sui Ceng bukanlah lawan yang empuk. Gadis ini adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li dan ilmu pedangnya hebat dan ganas. Apalagi sekarang Sui Ceng mengeluarkan pula sabuk merahnya sehingga dengan sepasang senjata ini, ia dapat mengimbangi senjata lawan. sabuknya adalah senjata yang lemas akan tetapi dapat pula dipergunakan untuk menotok jalan darah sehingga amat tepat untuk dipergunakan menghadapi senjata kipas di tangan swi Kiat. Maka pertempuran yang terjadi sekarang lebih seru daripada tadi.
Kwan Cu menjadi bingung dan juga berduka sekali. Ketika dia mendapat kenyataan betapa Sui Ceng mencinta Kun Beng sehingga melupakan sakit hati dan masih mau membantu ketika melihat Kun Beng terancam bahaya, dia merasa sedih sekali, apalagi ketika dia mendengar bahwa Kun Beng tidak mau menikah dengan Kui Lan yang berarti Sui Ceng juga tidak akan menikah selamanya, hatinya tertindih perasaan duka dan kecewa yang hebat. Maka kini bingunglah dia. Melihat Swi Kiat, dia amat kasihan dan kalau saja Swi Kiat tadi membunuh Kun Beng, tentu Kwan Cu takkan mau peduli. Sekarang dia melihat Swi Kiat bertempur mati-matian dengan Sui Ceng, bagaimana dia harus bertindak? Menghentikan pertempuran dengan Sui Ceng, pemuda ini tentu berkukuh hendak membunuh Kun Beng, dan Sui Ceng pasti akan melindungi Kun Beng dengan mati-matian. Apa akalnya?
Sebelum Kwan Cu yang kebingungan melihat pertempuran makin menghebat itu dapat mengambil keputusan, tiba-tiba berkelebat bayangan dan terdengar seruan Pak-lo-sian Siangkoan Hai "Berhenti, tahan senjata!"
Mendengar suara suhunya, Swi Kiat cepat melompat ke belakang dan segera menjatuhkan diri berlutut. “Suhu… !"
Sui Ceng juga menahan senjatanya tanpa melompat dan berdiri tegak, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api dan ia sama sekali tidak merasa takut biarpun menghadapi kakek yang luar biasa itu.
"Swi Kiat, apa artinya ini? Mengapa kau bertempur melawan Bun-siocia murid Kiu-bwe Coa-li?" tanya kakek itu sambil menyapu keadaan di situ dengan matanya. Melihat Kun Beng berada di situ dan terluka pundaknya, dia makin tidak mengerti.
"Suhu, teecu bertemu dengan Sute di sini dan teecu minta pertanggungan jawabnya terhadap Lan-moi. Ketika Sute menolak, teecu berdua lalu bertempur mati-matian."
"Bagus, manusia macam Kun Beng memang harus dibikin mampus,” kata Pak-lo-sian, akan tetapi dalam suaranya terdengar nada sedih.
"Teecu berhasil melukainya, akan tetapi tiba-tiba muncul Bun-siocia yang membelanya dan teecu terpaksa melawannya."
Pak-lo-sian Siangkoan Hai menoleh kepada Sui Ceng dengan pandang mata terheran-heran, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, "Sungguh hebat dan patut dipuji kesetiaan nona Bun. Melihat bangsat Kun Beng mengkhianati pertunangannya, ia masih tetap mencinta. Sukar dicari cinta kasih yang demikian besar!"
Wajah Sui Ceng menjadi merah sampai ke telinganya. "Locianpwe, jangan bicara sembarangan! Dia itu bekas tunanganku yang dipilih oleh mendiang ibu, maka melihat dia hendak dibunuh orang dengan alasan dipaksa menikah, tentu saja aku tidak tinggal diam!"
Pak-lo-sian mengeluarkan jengekan dari hidungnya. "Hem, dia itu bukan tunanganmu lagi dan dia adalah muridku yang murtad. Urusan antara kami guru dan murid, kau murid Kiu-bwe Coa-li ada sangkut-paut apakah? Aku mau membunuh muridku sendiri yang berdosa, kau mau apa? Setelah berkata demikian dengan langkah lebar Pak-lo-sian menghampiri Kun Beng yang melihat gurunya demikian marah, segera berlutut dengan kepala tunduk.
"Kun Beng kau sudah tahu akan dosamu?"
"Sudah, Suhu. Teecu berdosa besar dan menanti hukuman mati di tangan Suhu."
"Bangsat rendah! Mengapa kau tidak mau mempertanggung-jawabkan kesalahanmu terhadap adik suhengmu?"
"Teecu hanya akan merusak hidupnya dan hidup teecu sendiri kalau teecu menikah dengan adik Suheng. Di dalam dunia ini hanya dengan satu orang teecu mau menikah, yakni dengan tunangan teecu. Kalau tidak, lebih baik teecu tidak menikah. Terserah kepada Suhu memutuskannya."
"Busuk…. busuk sekali! Kalau begitu, mengapa kau merusak nona Gouw Kui Lan? Hayo jawab!" bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan suaranya menunjukkan bahwa tiada pengampunan bagi Kun Beng.
Dengan kepala masih tunduk, pemuda itu menjawab lemah,
"Teecu sudah mengaku dosa, harap Suhu segera menjatuhkan hukuman."
"Hm, kalau begitu matilah dengan tenang." Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengangkat kipasnya dan hendak menjatuhkan pukulan kematian kepada muridnya.
"Tak boleh kau membunuh orang begitu saja!" tiba-tiba Sui Ceng membentak marah dan pedang serta sabuk merahnya bergerak cepat menyerang jalan darah di punggung kakek itu.
Terpaksa Pak-lo-sian menunda pukulan kepada muridnya, karena serangan Sui Ceng ini benar-benar berbahaya sekali. Sambil memutar tubuhnya, kipas yang tadi hendak dipergunakan untuk membunuh Kun Beng, bergerak cepat dan seketika itu juga pedang di tangan Sui Ceng terlempar jauh dan sabuk suteranya putus menjadi dua!
"Pergilah dan jangan mencampuri urusan orang lain!" bentak Pak-lo-sian. Akan tetapi melihat kenekatan Kun Beng, Sui Ceng tidak tega untuk membiarkan saja pemuda yang dicintanya itu terbunuh. Ia menyerang kakek itu dengan pukulan tangan kanannya.
"Buk!" tangan Sui Ceng membentur dada Pak-lo-sian, akan tetapi bukan Pak-lo-sian yang roboh, melainkan Sui Ceng sendiri yang terguling dan pergelangan tangannya terlepas sambungannya!
"Bun-siocia, jangan kau membelaku. Terima kasih banyak atas budimu, dan sampai mati aku orang she The takkan melupakanmu " kata Kun Beng terharu.
Pak-lo-sian kembali mengangkat kipasnya untuk memukul Kun Beng, akan tetapi baru sampai di tengahnya, tiba-tiba kipasnya tertahan. la terkejut sekali karena merasa bahwa ada sambaran angin dahsyat yang memukul ke arah kipas itu sehingga tertahan. Ketika dia menoleh, ternyata bahwa Lu Kwan Cu telah berdiri di hadapannya. Pak-lo-sian terkejut dan tahulah dia bahwa pendekar sakti yang masih muda ini yang telah menahan pukulan kipasnya.
"Orang muda, biarpun kau telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak patut kalau kau mencampuri urusanku dengan muridku sendiri. Apakah kau masih belum mengerti tentang aturan dan kepantasan sebagai seorang gagah? Apakah kau belum mengerti bahwa orang gagah tidak akan mencampuri urusan rumah tangga lain orang? Manusia jahanam ini adalah muridku sendiri, berarti dia termasuk keluargaku dan aku boleh melakukan apa saja terhadapnya tanpa campur tanganmu!"
"Maaf, Locianpwe. Boanpwe sudah berani mencampuri urusan Locianpwe karena boanpwe amat kagum terhadap kegagahan dan sepak terjang Locianpwe yang sering kali dipuji-puji oleh mendiang suhu. Akan tetapi hari ini tanpa disengaja boanpwe akan melihat Locianpwe menurunkan tangan kejam kepada murid sendiri. Locianpwe, boanpwe pernah mendengar ujar-ujar emas yang menyatakan bahwa orang yang tidak mencoba untuk memperbaiki kesalahan dalam prilaku hidupnya, dialah orang yang benar-benar salah. Kun Beng memang pernah, melakukan perbuatan salah, akan tetapi dia telah mengakui hal itu dan benar-benar menyesal, maka tidak pantas kalau sampai dihukum mati."
"Kau tahu apa tentang hati manusia? Seorang manusia yang sudah mandah disesatkan oleh nafsu buruk, adalah manusia lemah yang selalu akan mengotorkan dunia karena batinnya kurang teguh dan selalu akan menjadi korban nafsu iblis. Dia ini harus mati!"
"Boanpwe tidak dapat membiarkan saja Locianpwe melakukan pembunuhan pada seorang yang sudah bertobat, apalagi murid Locianpwe sendiri," bantah K wan Cu.
Bergerak-gerak jenggot Pak-lo-sian yang panjang. "Aha, kau benar-benar sombong, bocah she Lu. Kau kepala batu seperti si jembel Ang-bin Sin-kai gurumu itu. Mari, mari! Kita coba-coba sebentar dan kalau kau dapat menangkan aku, biarlah aku memandang mukamu memberi ampun kepada anjing ini."
Kwan Cu maklum bahwa dia tidak dapat mundur lagi. la sudah bertindak terlalu jauh dan terpaksa dia harus melayani kakek ini yang dia tahu memiliki kepandaian tinggi sekali dan tidak boleh dibuat main-main. Akan tetapi apa boleh, dia melakukan hal ini sebetulnya bukan karena dia sayang kepada Kun Beng, melainkan karena dia hendak membela Sui Ceng, atau pendirian gadis ini. Ia tahu akan cinta kasih yang besar dalam hati Sui Ceng terhadap Kun Beng, maka dia merasa amat berdosa telah memisahkan gadis ini dari tunangannya dan saat ini dia pergunakan untuk menebus dosanya.
Ketika Pak-lo-sian mengebutkan kipasnya ke arah mukanya, Kwan Cu cepat melangkah mundur dan mencabut sulingnya. la tidak mau mempergunakan pedang karena selain dia tidak mempunyai niat bermusuhan dengan kakek ini, juga senjata kipas kakek itu lebih tepat dihadapi dengan senjata yang lebih halus dan lemas seperti sulingnya itu.
Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai, di dalam hati kecilnya memang tidak tega untuk menewaskan Kun Beng karena di antara dua orang muridnya Kun Beng lah yang amat disayangnya. Akan tetapi sebagai seorang gagah, tentu saja dia merasa kurang adil terhadap Swi Kiat kalau dia tidak berbuat seolah-olah hendak membunuh Kun Beng. Kini melihat campur tangannya Kwan Cu, diam-diam dia merasa girang sekali. Tidak saja dia mempunyai alasan kuat untuk membatalkan niatnya membunuh Kun Beng, juga idam-idaman hatinya hari ini tercapai. Idam-idaman hati ingin menguji kepandaian pemuda yang aneh ini. Semenjak dia menyaksikan sepak terjang Kwan Cu, melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda ini menggulingkan tokoh-tokoh besar seperti , Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong, dia kagum bukan main dan merasa yakin bahwa pemuda ini tentu sudah mewarisi kepandaian dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tersohor. Maka ingin sekali dia mengukur kepandaian dan tenaga dengan ahli waris kitab itu.
Karena tahu bahwa K wan Cu sudah memiliki kepandaian luar biasa dan bahkan lebih tinggi tingkatnya dengan kepandaiannya sendiri, Pak-lo-sian tidak merasa malu-malu atau sungkan-sungkan lagi. la melakukan serangan dengan hebat, mengeluarkan seluruh tenaganya. Maka bukan main dahsyatnya gerakan sepasang kipasnya. Sui Ceng dan dua orang murid Pak-lo-sian sendiri tak terasa pula melangkah mundur untuk menjauhi tempat pertempuran, karena hawa pukulan yang keluar dari sepasang kipas itu terasa menyakitkan kulit muka, sebentar panas dan sebentar dingin. Yang dingin keluar dari gerakan kipas kiri, yang panas dari kipas kanan. Inilah Im-yang Po-san yang dimainkan oleh seorang ahli yang sudah mencapai puncak kesempurnaan ilmu kipas ini!
Kwan Cu diam-diam terkejut bukan main. Lihai sekali Dewa Utara ini, masih lebih lihai daripada Hek-i Hui-mo kiranya. Biarpun di dalam goa di Pulau Pek-hio-to terdapat pula lukisan-lukisan tentang orang bersilat yang hampir sama dengan gerakan kakek ini, namun harus dia akui bahwa gerakan kakek ini, jauh lebih aneh dan hebat, sehingga biarpun dia berlaku waspada dan mainkan sulingnya dengan cepat, tetap saja dia terkurung oleh angin pukulan yang bergelombang datangnya dan tidak tentu sifatnya itu! Kalau saja Kwan Cu tidak memiliki tubuh yang sudah penuh dengan tenaga murni atau sinkang yang tinggi, serta tidak memiliki kewaspadaan sehingga dia dapat menduga tujuan setiap gerakan lawan, tentu dia harus mengakui keunggulan lawan.
Dengan mengumpulkan semangat dan mengerahkan seluruh tenaganya, Kwan Cu segera mainkan sulingnya secara hebat, menurutkan tipu-tipu lihai dari isi pelajaran Im-yang Bu-tek Cin-keng, sedangkan tangan kirinya lalu bergerak-gerak mainkan Pek-in-hoat-sut. Dari kaki sampai ke jidatnya mengebulkan uap putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya!
Pak-lo-sian menahan seruan tertahan saking kagum dan herannya. la tahu bahwa pukulan kipasnya disertai tenaga sepenuhnya, tenaga lweekang yang sudah dia latih berpuluh tahun. Jaranglah orang dapat menahan sambaran angin pukulan kipas ini, akan tetapi anehnya, ketika angin pukulannya menyambar ke arah jalan darah di tubuh Kwan Cu, hawa itu terpental kembali jika bertemu dengan uap putih itu.
"Hebat sungguh Im-yang Bu-tek Cin-keng!" katanya perlahan, akan tetapi kini Kwan Cu benar-benar memperlihatkan “tanduknya"! Sulingnya digerakkan dengan sepenuh kegesitannya, sehingga jangan kata baru Pak-lo-sian seorang, biarpun dia dikeroyok oleh sepuluh orang Pak-lo-sian, kiranya sepuluh orang ini akan pening kepalanya dan kabur pandangan matanya. Tubuh pemuda ini benar-benar lenyap dari pandangan mata, yang kelihatan hanya uap putih mengebul di sekeliling Pak-lo-sian dan diselingi oleh kelebatan sinar mengkilap dari sulingnya.
Tak lama kemudian terdengar suara "krak! krakkk!" dua kali dan Pak-lo-sian melompat mundur, terhuyung-huyung dan keningnya penuh peluh dingin, napasnya terengah-engah. Ketika Sui Ceng, Kun Beng dan Swi Kiat memandang, kakek ltu hanya memegang gagang kipas yang sudah hancur !
Kwan Cu menjura, pemuda ini hanya merah mukanya dan dari kepalanya masih mengebul uap putih, akan tetapi dia tenang dan napasnya biasa saja.
"Pak-lo-sian Locianpwe benar-benar tidak bernama kosong."
"Cukup," Pak-lo-sian terengah-engah, "tak perlu kau merendahkan diri lagi. Benar-benar hebat! Baru sekali ini selama hidupku aku menghadapi lawan seperti kau. Sungguh hebat! Kalau saja yang mengalahkan dan merusak kipas-kipasku bukan seorang ahli waris Im-yang Bu-tek Cin-keng, tentu aku si tua Pak-lo-sian akan menghancurkan kepala sendiri."
"Locianpwe telah berlaku mengalah..." kata Kwan Cu.
Pada saat itu, terdengar bunyi "tar! tar! tar!" dari jauh dan hampir berbareng Pak-lo-sian dan Kwan Cu berkata,
"Kiu-bwe Coa-li datang "
Benar saja, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita sakti itu telah berada di situ dengan cambuknya yang menggemparkan dunia kang-ouw, terayun-ayun di tangannya. la melirik ke arah Kwan Cu, lalu berkata kepada Pak-lo-sian,
"Tua bangka utara, apa yang terjadi dengan kedua kipas mautmu?”
Terang sekali ucapan ini adalah ejekan, akan tetapi Pak-lo-sian tertawa bergelak, "Ha, ha, ha, Kiu-bwe Coa-li. Telah berpuluh tahun kau tidak berhasil mengalahkan kedua kipasku, sebaliknya aku pun tidak berhasil mengalahkan cambukmu. Akan tetapi, hari ini aku mengaku bahwa ilmu kipasku masih amat rendah dan perlu diperbaiki lagi."
Kiu-bwe Coa-li melirik ke arah Kwan Cu dan tiba-tiba ia me!ihat Sui Ceng di situ. la tertegun. Tadi ia melihat pertandingan dari jauh dan saking tertariknya ia sampai tidak melihat kehadiran Sui Ceng.
"Sui Ceng, ada apa kau di tempat ini?" la melirik pula ke arah Kun Beng dengan mata marah.
"Kiu-bwe Coa-li, muridmu itulah yang menjadi gara-gara. Aku hendak membunuh muridku yang murtad, dia menghalangi sampai-sampai dia berani menyerangku. Akhimya kejadian itu memancing datangnya Lu-siauwhiap dan rusaknya kedua kipasku."
"Sui Ceng, ke mana mukamu? Tak tahu malu, urusan orang lain kau berani turut bercampur tangan. Tua bangka utara mau membunuh muridnya, biarlah jangan kita ikut campur. Hayo kau harus pergi bersamaku sekarang!"
"Tidak, Suthai. Sebelum Pak-lo-sian Locianpwe berjanji takkan membunuh orang yang sudah menderita batinnya, teecu takkan pergi dari sini."
Pak-lo-sian tertawa lagi bergelak, dan Kiu-bwe Coa-li marah dan malu bukan main. la menggerakkan pecutnya dan pecut yang berekor sembilan itu serentak melayang dan memukul ke arah sembilan jalan darah di tubuh Sui Ceng. "Kau pergi atau tidak?" bentak wanita sakti itu dengan suara menyeramkan.
"Suthai, jangan bunuh dia!" Tiba-tiba Kun Beng berseru keras dan meloncat ke depan, menghadang antara cambuk dan tubuh Sui Ceng. Oieh karena itu, cambuk ini tidak jadi menuju di tubuh Sui Ceng, melainkan menghantam tubuh Kun Beng. Pemuda ini terpental dan bergulingan sampai lima tombak lebih. Baiknya Kiu-bwe Coa-li tidak mau membunuh murid orang lain dan hanya ingin memberi hajaran saja, maka biarpun tubuhnya sakit-sakit dan terlempar jauh, Kun Beng tidak sampai terluka hebat.
"Sui Ceng, hayo kita pergi!" bentak pula Kiu-bwe Coa-li dan kini suaranya lebih menyeramkan lagi karena nenek tua ini sudah hampir tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dibantah dan dibangkang oleh muridnya di depan orang lain benar-benar merupakan hal yang amat tidak enak dan memalukan.
Kwan Cu berkata, "Sui Ceng, kau pergilah. Pak-lo-sian Locianpwe sudah berjanji takkan membunuh Kun Beng …" kata-kata ini adalah untuk membujuk supaya Sui Ceng mau pergi karena Kwan Cu tahu benar bahwa sekali lagi menolak, Sui Ceng pasti akan menerima pukulan yang mungkin akan merenggut nyawanya oleh Kiu-bwe Coa-li.
Akan tetapi Sui Ceng benar-benar menggelengkan kepala lagi! "Sebelum bertemu dengan Kui Lan aku belum mau pergi."
Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, bunyi cambuk menyakitkan telinga Kwan Cu melompat dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru kaget. Ternyata bahwa sembilan ekor ujung cambuk dari Kiu-bwe Coa-li telah menyambar, ketika Sui Ceng menyatakan penolakannya untuk pergi tadi, akan tetapi Kwan Cu melompat menghadang di jalan sehingga ujung-ujung cambuk itu bukan menyambar kepada Sui Ceng, melainkan ke tubuhnya seperti yang telah dilakukan oleh Kun Beng tadi. Akan tetapi kalau gerakan Kun Beng tadi masih dapat dilihat oleh Kiu-bwe Coa-li sehingga nenek ini keburu mengubah arah cambuknya, adalah gerakan Kwan Cu sekarang amat cepatnya, maka nenek itu tidak keburu menahan pukulannya. Sembilan cambuk itu melayang dan menghajar sembilan jalan darah kematian di tubuh Kwan Cu. Karena inilah Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru kaget. la maklum bahwa pukulan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li ini adalah jurus yang paling berbahaya dari ilmu cambuknya dan tidak seorang pun tokoh persilatan di dunia ini yang berani menerima serangan jurus ini yang dia kenal sebagai jurus Kiu-coa-toat-beng (Sembilan Ekor Ular Mencabut Nyawa). Bahkan Kiu-bwe Coa-li sendiri juga terkejut, akan tetapi ia tidak dapat menarik kembali sambaran sembilan ujung cambuk itu, hanya ia bisa mengurangi tenaganya sehingga hanya dua pertiga tenaganya saja yang tersalur di ujung senjatanya yang lihai.
Akan tetapi seruan kaget Pak-lo-sian berubah menjadi seruan tertahan saking herannya, demikian pula Kiu-bwe Coa-li menjadi pucat setelah sembilan ujung cambuk itu tiba di tubuh Kwan Cu, ternyata tidak berakibat apa-apa! Kwan Cu tetap tersenyum saja seakan-akan serangan hebat ini tidak terasa sama sekali olehnya. Padahal, diam-diam Kwan Cu tadi telah mengerahkan seluruh tenaga dan sinkangnya yang telah menjadi satu dengan perasaannya, otomatis menolak tenaga pukulan ini dan dia menambah perisai tubuhnya dengan pengerahan ilmu menutup jalan darah dan mengumpulkan hawa murni yang terasa hangat mengelilingi seluruh tubuh secara cepat sekali. Namun, tetap saja dia merasa kulit tubuh di mana cambuk itu tiba, panas-panas!
"Terima kasih atas petunjuk dari Suthai," kata Kwan Cu sambil menjura dan membungkukkan tubuhnya. Gerakan ini perlu sekali karena dengan membungkuk, dia dapat menggerakkan tubuh dan sinkangnya berjalan lebih cepat mengusir bekas-bekas pukulan yang betapapun juga akan mendatangkan bahaya kalau tidak segera dilenyapkan.
Sampai lama Kiu-bwe Coa-li membelalakkan matanya. Belum pernah ia mengalami hal sehebat ini. Pukulan dengan jurus Kiu-coa-toat-beng diterima tanpa berkejap mata oleh pemuda ini!
"Sudahlah aku sudah tua dan tak tahu malu! Lu-sicu, lain kali kalau aku masih hidup, aku hendak mencoba kelihaianmu sekali lagi!" katanya sambil menggerakkan kedua kaki dan lenyaplah wanita sakti itu dari situ.
Kwan Cu menarik napas panjang. "Hm, apakah artinya semua keributan ini? Orang yang dicurangi dan yang paling menderita dalam urusan ini adalah nona Gouw Kui Lan. Orang-orang berlancang hendak mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya kepadanya. Benar-benar tidak adil!"
Kata-kata ini menyadarkan Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Memang tepat sekali ucapan ini. Mereka ribut-ribut karena Kun Beng telah melakukan hal amat tidak baik terhadap diri Gouw Kui Lan dan kini orang ramai-ramai datang untuk menghukum Kun Beng tanpa bertanya kepada nona Kui Lan sama sekali!
"Mari kita temui dia di dalam!" kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan semua orang mengikutinya masuk ke dalam kuil yang amat besar itu. Keadaan kuil sunyi saja dan pintu depan yang amat kuat dan tebal itu sukar sekali dibuka, agaknya dipalangi dari dalam. Namun dengan sekali dorong saja Pak-lo-sian berhasil mematahkan palangnya di sebelah dalam, pintu terbuka!
Semua orang tertegun dan berdiri di ambang pintu, tidak bergerak seperti patung. Kalau di luarnya sunyi saja, di sebelah dalam kuil itu penuh orang. Sedikitnya ada tiga ratus orang terbaring di situ, orang-orang yang terluka dalam peperangan melawan penjajah. Beberapa orang perawat sibuk sekali melayani mereka ini dan di antara mereka yang paling sibuk adalah Ngo Lian Suthai dan…. Gouw Kui Lan. Akan tetapi, melihat Kui Lan terdengar seruan dari mulut Swi Kiat.
"Lan-moi …!”
Nona itu menengok, ia telah menjadi seorang nikouw muda (pendeta wanita) berkepala gundul. Melihat kakaknya, ia tersenyum, akan tetapi mukanya berubah ketika ia melihat Kun Beng berada pula di situ.
"Kui Lan, mengapa kau telah menjadi nikouw….? Apa maksudmu?” teriak Swi Kiat sambil berlari menghampiri adiknya. “Aku datang untuk mengusahakan pernikahanmu dengan Kun Beng "
Merah wajah nikouw muda itu, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum penuh kesabaran dan ketenangan, "Hushhh…. Kiat-ko, omongan apa yang kauucapkan itu? Lihatlah baik-baik, aku adalah seorang nikouw, bagaimana kau bisa bicara tentang pernikahan?”
Swi Kiat merasa ditampar mukanya, dia tak dapat menjawab dan menjadi bingung. Juga Kun Beng merasa terharu sekali. Penglihatan ini menikam ulu hatinya dan dia merasa betapa dosanya makin besar. Ia tahu bahwa masuknya Kui Lan menjadi nikouw adalah karena perbuatannya. Dua titik air mata tak terasa lagi turun membasahi pipinya. Sui Ceng berdebar. Kemarahannya terhadap Kui Lan lenyap seketika, terganti oleh rasa kasihan. Adapun K wan Cu memandang dengan penuh kekaguman.
Di dalam kesunyian ini, terdengar Kui Lan berkata, suaranya lantang dan biasa saja, penuh kesabaran.
"Kiat-ko, Kui Lan yang dulu sudah mati. Yang ada sekarang adalah Kui Lan Nikouw murid Ngo Lian Suthai. Tidak ada urusan sesuatu antara pinni (aku) dengan The-taihiap atau siapapun juga "
"Adikku!" teriak Swi Kiat.
"Kiat-ko, aku sudah bersumpah menjadi orang beribadat, aku melupakan kehidupan lalu. Sudahlah, harap Cu-wi sekalian suka keluar, jangan mengganggu orang-orang yang menderita luka, mereka ini adalah para pejuang rakyat, dan …."
Tiba-tiba dari luar menerobos masuk beberapa orang laki-laki yang membawa senjata. Mereka ini adalah para perajurit pejuang rakyat yang cepat berkata,
"Ngo Lian Suthai, celaka. Pasukan kita terpukul dan sebarisan musuh menuju ke sini. Mereka sudah mendengar bahwa kawan-kawan yang terluka berada di sini!?" Seorang di antara mereka menyambung. “Kita harus membawa kawan-kawan ini pergi dari sini, pertahanan sudah bobol dan kawan-kawan ini tentu akan menjadi korban semua!”
Tiba-tiba Kwan Cu berkata nyaring, "Pak-lo-sian Locianpwe! Kun Beng! Swi Kiat dan Sui Ceng. Kita semua harus malu! Rakyat berjuang melawan penjajah, bahkan nona Gouw sendiri membaktikan diri untuk membantu bangsa yang tertindas, sebaliknya kita semua ribut-ribut urusan tetek bengek! Dalam menghadapi bahaya bagi bangsa, urusan pribadi harus dilupakan, hayo kita gempur musuh!"
Kata-kata ini sebagai aliran listrik menggetarkan jiwa kepahlawanan dalam orang-orang gagah itu. Pak-lo-sian berseru nyaring. "Mana musuh! Akan kuhancurkan kepalanya!" Beramai-ramai mereka lalu lari bersama para perajurit pejuang itu yang menjadi petunjuk jalan.
Benar saja, di tengah jalan mereka bertemu dengan puluhan pejuang yang melarikan diri, dikejar oleh barisan musuh yang lebih besar jumlahnya. Banyak di antara mereka yang terluka. Pak-lo-sian segera memimpin mereka dan mengatur pertahanan. Teriakan dan sorak-sorai musuh sudah terdengar dekat. Pak-lo-sian mengatur kawan-kawan pejuang bersembunyi di balik pohon-pohon, menghadang di dalam hutan.
Ketika barisan musuh yang terdiri dari dua ratus orang lebih itu tiba, Pak-lo-sian memberi aba-aba dan menyerbulah mereka, menghantam musuh. Kwan Cu, Kun Beng, Swi Kiat dan Sui Ceng mengamuk hebat! Tiap kali senjata mereka bergerak, tentu seorang serdadu penjajah roboh tak bemyawa lagi. Biarpun kepandaian Kwan Cu lebih tinggi daripada Pak-lo-sian, namun sepak terang pemuda ini tidak sehebat Pak-lo-sian, karena di dalam hatinya Kwan Cu penuh welas asih dan dia tidak tega menyebarkan maut, biarpun kepada musuh bangsanya. Maka dia hanya menotok merobohkan mereka tanpa merampas nyawanya. Sebaliknya, Pak-lo-sian benar-benar hebat. Sepasang kipasnya telah rusak oleh Kwan Cu dan kini ujung lengan bajunya menyambar bagaikan sepasang kupu-kupu, akan tetapi jangankan sampai terkena ujung lengan baju ini, baru terkena sambaran anginnya saja, para musuh terlempar dengan mata mendelik dan napas putus!
Para pejuang mendapat bantuan lima orang sakti ini terbangun semangatnya dan mereka juga mengamuk, bahkan yang sudah terluka masih ikut pula menghantam musuh. Sebentar saja, lebih separuh jumlah musuh roboh malang-melintang dan bertumpang tindih. Sebagian lagi cepat-cepat melarikan diri dengan muka pucat, tidak tahan-menghadapi para pendekar itu.
Terbangun semangatnya oleh Gouw Kui Lan yang membaktikan dirinya untuk nusa bangsa, Pak-lo-sian dan empat orang muda itu tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka bahkan menunda keperluan lain dan semenjak saat itu, Pak-lo-sian terkenal sebagai pemimpin pejuang yang amat disegani. Mereka menggabungkan diri dengan para pejuang lain untuk membasmi barisan-barisan kaisar.
Berkat perlawanan pejuang rakyat yang gagah perkasa, akhirnya tumbanglah kekuasaan penjajah. Kaisar Si Cung, pengganti Kaisar Sin Cong juga mengerahkan barisan dan dengan bantuan suku bangsa Ouigur, akhimya dapat merebut kembali kota raja dan mengusir penjajah. Beberapa tahun kemudian, bangsa Tartar hanya merupakan sekelompok kecil yang cerai-berai dan melakukan kekacauan yang tidak berarti di sana-sini.
***
Setelah melakukan tugas membantu perjuangan rakyat beberapa tahun lamanya, para orang gagah yang tidak gugur dalam peperangan, kembali ke tempat masing-masing termasuk Pak-lo-sian yang mengajak Swi Kiat kembali ke utara. Kun Beng yang mendapat pukulan batin hebat karena peristiwa dengan Gouw Kui Lan, melenyapkan diri, agaknya untuk menebus dosa. Sui Ceng lalu menyusul gurunya, Kiu-bwe Coa-li untuk memperdalam ilmu silatnya serta mempelajari kebatinan. Hatinya masih terluka dan dia masih menderita patah hati serta duka, mengandung cinta kasih yang tidak tercapai.
Bagaimana dengan Kwan Cu, pendekar sakti itu? Pemuda ini menderita batinnya. Cinta kasihnya terhadap Sui Ceng mengalami kegagalan, membuat dia makin merasa jemu terhadap kehidupan. Biarpun usianya baru dua puluh empat tahun, namun dia seperti seorang yang jauh lebih tua. Namun, semangat membalas dendam masih terkandung dalam hatinya, terhadap An Kai Seng, musuh besar yang tinggal satu-satunya itu. Oleh karena itu, setelah peperangan selesai dan pemerintah Tang berdiri kembali, Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan untuk mencari musuh besarnya ini. Akhirnya dia mendapat berita, bahwa An Kai Seng tinggal di kota An-keng di Propinsi An-hui. Segera dia menuju ke selatan untuk mencari musuh besarnya ini.
Kota An-keng terletak di tepi Sungai Yang-ce-kiang dan merupakan kota yang besar dan ramai. An Kai Seng tinggal di kota besar ini bersama isterinya dan dia tetap mempergunakan nama Tan Kai seng. Tak seorang pun pernah mengira bahwa Tan Kai Seng ini adalah cucu dari An Lu Shan si pemberontak yang sudah mendatangkan banyak sekali malapetaka kepada rakyat jelata.
Setelah mengetahui bahwa musuh besarnya, yakni Lu Kwan Cu yang amat lihai menghendaki nyawanya, An Kai Seng dan isterinya telah memperdalam ilmu silatnya sehingga kepandaiannya jauh lebih maju kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia bertemu dengan Kwan Cu. Isterinya bahkan belajar lagi dari gurunya, yakni Lui Kong Nikouw, sedangkan An Kai Seng belajar dari beberapa orang guru silat yang pandai. Tidak demikian saja, bahkan An Kai Seng yang kaya raya itu kini mendatangkan banyak jago-jago silat untuk menjadi pengawalnya dan menjaga keselamatannya. Juga Lui Kong Nikouw kini ditarik olehnya dan tinggal di kota An-keng. Di samping Lui Kong Nikouw, masih ada tiga orang lagi yang dia amat andalkan, yakni tiga jago yang disebut Sin-to Sam-eng (Tiga Orang Gagah Bergolok Sakti). Mereka ini adalah murid-murid Siauw- lim-si yang diusir dari partai itu karena melanggar peraturan. Dengan pandai mereka dapat menyelundup ke Go-bi-san dan menjadi murid partai Go-bi-pai pula, akan tetapi lagi-lagi mereka diusir karena memang mereka bukan orang baik-baik. Akan tetapi setelah menerima pelajaran ilmu silat dari dua partai ini, ditambah pula dengan pengalaman-pengalaman mereka dan pergaulan mereka dengan kaum hek-to (penjahat), kepandaian tiga orang ini benar-benar amat lihai. Yang tertua bemama Ang Kian, berjuluk It-to-cilan (Setangkai Bunga Cilan), seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang ditakuti orang. Setiap kali melakukan perbuatan terkutuk, dia selalu meninggalkan sebatang cilan-piauw, yakni semacam senjata rahasia berbentuk bunga cilan, maka dia mendapat nama julukan It-to-cilan.
Orang ke dua bernama Yap Ki, seorang ahli mempergunakan racun sehingga dijuluki Tok-ong (Raja Racun), sedangkan orang ke tiga adalah adiknya sendiri bernama Yap Ek yang paling lihai ilmu goloknya di antara dua orang kawannya.
Tiga orang penjahat ini dengan menggabungkan ilmu silat Siauw-lim-si dan Go-bi, dapat menciptakan ilmu golok yang mereka namakan Sin-sam-to-hiap (llmu Golok Tiga Serangkai Yang Sakti), nama yang benar-benar menggambarkan betapa sombong adanya tiga orang ini. Namun, memang ilmu golok mereka jarang ada yang dapat menandingi dan hal ini membuat mereka makin sombong dan tinggi hati. Hanya dengan harta bendanya yang banyak serta senyum serta lirikan mata Wi Wi Toanio yang menggiurkan, maka Ang Kai Seng berhasil menarik tiga orang ini menjadi sahabatnya atau lebih tepat disebut pengawal pribadinya. Ia maklum bahwa antara isterinya dan It-to-cilan Ang Kian yang berwajah tampan ada hubungan yang tidak seharusnya, akan tetapi An Kai Seng hanya dapat mengelus dada saja. Kepandaian isterinya lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, sedangkan An Kian juga memiliki kepandaian yang tak mampu dia melawannya. apalagi Ang Kian dan kawan-kawannya adalah pelindung-pelindungnya, maka dia merasa bahwa menjaga keselamatan diri sendiri lebih penting daripada kebahagiaan rumah tangganya. Maka dia tidak mempedulikan lagi kepada isterinya, bahkan ditemani oleh kawan-kawannya ini, dia mulai mencari hiburan di luar dan memelihara banyak selir di luaran.
Selain melakukan penjagaan yang amat kuat di rumahnya, juga di kota An-keng dan di sekitarnya, dia melepas banyak kaki tangan untuk menyelidiki kalau-kalau ada datang Kwan Cu musuh besarnya. Akan tetapi sampai beberapa tahun tidak ada kabar ceritanya tentang Kwan Cu. Paling akhir dia mendengar bahwa musuhnya itu membantu kaum pejuang, maka dia menganggap bahwa pemuda itu tentu gugur dalam peperangan. Hatinya mulai lega dan tenang.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika pada suatu hari dia mendapat kabar dari pengurus hotel Liok-an yang menjadi kaki tangannya pula bahwa di hotel itu datang , seorang pemuda yang mengaku bemama Lu K wan Cu! Kalau ada geledek menyambarnya di waktu tengah hari, Kai Seng agaknya takkan sekaget itu. Cepat dia mengumpulkan jago-jagonya dan mengadakan perundingan.
"Belum tentu kalau yang datang itu musuh besarmu, Tan-wangwe," kata Ang Kian menghibur. "Baiknya kita semua pergi ke hotel itu dan kau melihat sendiri apakah dia betul-betul musuh besarmu itu. Kalau betul, tak usah banyak ribut lagi kita terus membunuhnya.” Memang Ang Kian amat sombong dan memandang rendah kepada musuh besar majikannya ini.
"Tak bisa, tak bisa!" kata Kai Seng yang sudah ketakutan. "Kalau benar dia Lu Kwan Cu, begitu melihat aku, tentu dia akan menyerangku!"
"Takut apa? Kita membawa kawan-kawan dan tak mungkin dia dapat mengalahkan kita," kata Yap Ki. "Tidak tepat," lagi-lagi Kai Seng mencela, "lebih baik lekas panggil Kwa-sian-seng." Yang disebut Kwa-sianseng adalah seorang kaki tangannya yang selalu berpakaian seperti sastrawan, dan memang betul dia adalah seorang terpelajar yang terkenal ahli dalam melukis. Melihat sesuatu, dia dapat melukisnya cepat dan cocok sekali. Di samping kepandaian ini, dia pun mengerti ilmu silat cukup tinggi sehingga di kota An-keng dia dijuluki Bun-bu-siang-pit. Senjatanya adalah siang-pit (sepasang pit) yang tidak saja lihai kalau dipergunakan untuk menggambar, akan tetapi juga lihai kalau dimainkan sebagai senjata.
Orang she Kwa ini dipanggil dan segera mendapat tugas untuk menyelidiki pemuda di hotel Liok-an yang bemama Lu Kwan Cu itu. Kwa-sianseng menerima tugas ini dengan senyum menyeringai, karena setiap kali mendapat tugas dari hartawan she Tan ini, selalu dia akan pulang dengan kantong penuh uang.
Pemuda yang datang di hotel Liok-an itu memang benar Lu Kwan Cu. Biarpun pemuda ini dapat menduga bahwa tentu di kota ini An Keng Seng mempunyai banyak kaki tangan dan mata-mata, namun dia sengaja menuliskan nama aseli di buku tamu. Apa yang dia takutkan? Pemuda ini merasa yakin akan kepandaiannya sendiri dan dia sudah merasa pasti bahwa betapapun juga akhimya dia akan berhadapan muka dengan musuh besamya. Setelah membersihkan diri, dia lalu pergi ke rumah makan untuk makan siang.
Seperti juga di hotel Liok-an, di rumah makan itu terdapat banyak pelayan yang amat memperhatikan dia. Dengan pandangan matanya yang sudah awas itu, Kwan Cu dapat membedakan perhatian orang biasa dan perhatian orang yang mengandung maksud tertentu. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihat dan makan dengan tenang, sungguhpun dia amat berhati-hati dan mencoba setiap masakan lebih dulu, menjaga kalau-kalau fihak musuh menaruh racun.
Di dalam rumah makan itu hanya ada beberapa orang tamu yang makan siang. Akan tetapi di antara mereka, hanya seorang yang menarik perhatian Kwan Cu dan diam-diam dia mengawasi gerak-gerik orang ini. la melihat orang ini sebagai seorang sastrawan dan biarpun orang itu kelihatan makan minum seorang diri, namun dia tahu bahwa orang itu amat memperhatikannya dan tiba-tiha dia melihat orang itu mencorat-coret sehelai kertas dengan pitnya. Melihat pit itu makin besar kecurigaan hati Kwan Cu. Pit itu, gagangnya terbuat daripada kuningan dan lebih tepat kalau dipergunakan sebagai senjata.
Akan tetapi Kwan Cu pura-pura tidak melihatnya dan mempercepat makannya. Setelah membayar heres, dia lalu keluar. Akan tetapi ketika dia sengaja lewat di dekat meja sastrawan itu dan melirik ke atas mejanya, dia menjadi terkejut dan heran karena hiarpun orang itu cepat-cepat menutupi kertas yang dicoret-coretnya, dia masih melihat sekelebatan bahwa di atas kertas itu tergambar wajahnya sendiri! Namun Kwan Cu dapat menekan perasaannya dan cepat melangkah keluar. la segera menyelinap dan bersembunyi di tempat agak jauh sambil memasang mata. Apakah kehendak sastrawan itu yang menggambar mukanya demikian cepat dan demikian cocok?
Tak lama kemudian dia melihat orang itu keluar, menengok ke kanan kiri lalu berjalan dengan tindakan kaki tergesa-gesa ke kiri. Kwan Cu mengikutinya dari jauh. Orang itu masuk ke dalam rumah gedung yang mewah dan terjaga kuat. Di pintu pekarangan saja dia melihat lima orang laki-laki yang sikapnya seperti tukang pukul, duduk sambil bercakap-cakap. Melihat sastrawan itu, lima orang penjaga menjura sambil tertawa.
"Lopek, bukankah rumah gedung itu tempat tinggal Kwan-wangwe (hartawan she Kwan)?" tanya K wan Cu kepada seorang tua yang memikul tahu.
Kakek itu menggerakkan alisnya heran. "Eh, anak muda, masa kau tidak tahu bahwa itu adalah gedung dari Tan-wangwe?"
Kwan Cu berdebar girang, akan tetapi dia tidak memperlihatkan kegembiraannya, bahkan nampak kecewa. "Aku mencari rumah hartawan Kwan."
"Entahlah, aku tidak tahu di mana rumah hartawan Kwan. Kalau gedung itu memang rumah hartawan Tan Kai Seng, siapa orangnya tidak mengenal rumahnya?" Tukang tahu itu lalu pergi lagi setelah Kwan Cu menghaturkan terima kasihnya.
"Hm, tak salah lagi. Di situ tempat tinggal anjing she An itu," pikimya dan tanpa membuang waktu lagi dia lalu melangkah lebar menuju ke pintu gerbang pekarangan gedung itu.
"Siapa kau? Mau apa menyelonong ke sini?" bentak seorang di antara lima penjaga pintu pekarangan.
"Katakanlah kepada Tan-wangwe bahwa seorang sahabat dari jauh hendak bertemu dengan dia," jawab Kwan Cu tenang.
"Tan-wangwe sudah memesan kepada kami bahwa hari ini dia tidak mau terima tamu. Kau lekas tinggalkan nama dan alamat biar nanti kami yang menyampaikan. Besok pagi boleh datang lagi menerima keputusan."
"Hm, dia hendak menyembunyikan diri? Tidak apa, aku bisa masuk sendiri menemuinya." Sambil berkata demikian, K wan Cu tidak pedulikan lagi para penjaga itu dan terus berjalan masuk.
"Heiii, kau ini bangsat dari mana begini tidak tahu aturan? Berhenti!" Lima orang penjaga mengejar, akan tetapi Kwan Cu berjalan terus memasuki pekarangan.
"Kau harus dilempar keluar!" bentak seorang di antara mereka sambil mencengkeram pundak Kwan Cu dan hendak melemparkan pemuda itu keluar dari pekarangan. Akan tetapi, segera dia berseru kaget ketika tiba-tiba tubuhnya sendiri yang terpelanting keluar dari pekarangan, jatuh di jalan raya mengeluarkan suara berdebuk!
Empat orang penjaga yang lain menjadi marah dan mereka lalu memukul. Terdengar suara "bak-buk-bak-buk" dan bukan yang dipukul yang jatuh, melainkan para pemukulnya yang memekik kesakitan dan terguling roboh!
Jeritan para penjaga pintu terdengar oleh orang-orang yang berada di dalam gedung. Tak lama kemudian keluarlah berlarian beberapa orang dan Kwan Cu menjadi girang bukan main, karena di antara sekian banyak orang itu dia mengenal An Kai Seng dan Wi Wi Toanio!
"Bangsat she An, bersiaplah untuk mampus!" bentak Kwan Cu sambil menghunus pedang Liong-coan-kiam dari pinggangnya. Akan tetapi sekali berkelebat, Kai Seng dan Wi Wi Toanio lenyap di dalam gedung dan ketika K wan Cu hendak mengejar, dia dihadang oleh lima orang. Orang pertama adalah si sastrawan tadi yang bukan lain adalah Kwa-sianseng. Orang ke dua adalah Lui Kong Nikouw yang sudah dikenal oleh Kwan Cu. Adapun tiga orang lain adalah Sin-to Sam-eng yang belum dikenalnya.
Melihat Kwan Cu mengejar majikan mereka, lima orang ini maju mengeroyoknya. Akan tetapi Kwan Cu cepat menggerakkan Liong-cuan-kiam dan suara nyaring terdengar ketika pedangnya mengenai sebatang pit dari Kwa-sianseng dan sebatang golok di tangan It-to-cilan Ang Kian orang pertama dari Sin-to I Sam-eng. Terkejutlah lima orang itu karena yang senjatanya tidak terbabat putus oleh Liong-cuan-kiam, merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tenaga dari pemuda itu jauh mengatasi tenaga mereka yang dipersatukan. Kwan Cu mengamuk terus dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, dibarengi dengan gerakan tangan kiri, dia berhasil merobohkan It-to-cilan dengan sebuah pukulan tangan kiri yang tepat mengenai jalan darah di lehernya.
Lui Kong Nikouw membabat dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang kawannya yang menggerakkan senjata dengan cepatnya. Akan tetapi gerakan Kwan Cu lebih cepat lagi sehingga sebelum mereka sadar apa yang terjadi, Lui Kong Nikouw menjerit dengan pundak terluka dan Yap Ki si Raja Racun terlempar kena ditendang oleh Kwan Cu.
Bukan main kaget dan marahnya para pengeroyok ini.
Tok-ong Yap Ki berseru keras dan sambil melompat berdiri tangannya bergerak-gerak. Beberapa tok-ciam (jarum beracun) menyambar ke arah Kwan Cu, akan tetapi sekali saja Kwan Cu mengibaskan tangan kirinya, jarum-jarum itu terpental kembali, ada yang langsung menyerang Yap Ek dan si sastrawan dan lebih hebat lagi, ada yang kembali dan menyerang Yap Ki sendiri! Yap Ek dan si sastrawan roboh akan tetapi Yap Ki dapat menyelamatkan dirinya. Si Raja Racun ini kaget sekali melihat jarum-jarumnya mengenai saudaranya dan kawan sendiri, karena dia tahu bahwa jarum-jarum beracun itu amat berbahaya dan siapa yang terkena akan binasa dalam beberapa menit saja kalau tidak lekas-lekas dia beri obat pemunahnya.
Pada saat itu, dari dalam gedung keluarlah belasan orang bersenjata, sedangkan dari luar gedung masuk pula lebih dua puluh orang dengan senjata di tangan. Mereka ini adalah jagoan-jagoan dan kaki tangan An Kai Seng yang sudah mendengar bahwa musuh besar majikan mereka datang mengamuk.
Kwan Cu segera dikepung dan dikeroyok. Akan tetapi apakah artinya puluhan jagoan-jagoan murah itu? Dengan enaknya Kwan Cu menyimpan kembali pedangnya lalu menggerakkan kaki tangannya untuk merobohkan mereka bagaikan orang membabat rumput saja. Yap Ki sendiri tidak dapat membantu pengeroyokan itu, karena dia sibuk memberi obat pemunah kepada si sastrawan Kwa dan Yap Ek agar nyawa mereka ini tertolong. Kemudian, dia lalu maju menerjang lagi dengan goloknya.
Selagi Kwan Cu mengamuk hebat, dari luar datang lagi serombongan orang dan mereka ini ternyata adalah sepasukan penjaga keamanan kota yang jumlahnya tiga puluh orang! An Kai Seng sebagai hartawan yang terkenal dengan nama Tan-wangwe dan sering kali menyumbang sehingga hubungannya amat baik dengan para pembesar, tentu saja segera ditolong oleh penjaga-penjaga keamanan ketika mereka mendengar bahwa di rumah Tan-wangwe terjadi keributan dengan datangnya seorang pengacau.
Kwan Cu menjadi gemas. Akan tetapi pemuda ini tidak mau sembarangan membunuh orang. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia dapat membikin para pengeroyoknya itu roboh seorang demi seorang dengan tulang-tulang yang patah dan luka-luka yang tidak menimbulkan bahaya bagi keselamatan nyawa mereka. Sebentar saja, jumlah pengeroyok tinggal belasan orang lagi dan sebagian besar sudah rebah malang melintang tak berdaya.
"Bangsat she Lu, kau keterlaluan!"tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang berpakaian panglima maju menerjang dari luar. Kwan Cu memandang dan melihat bahwa yang datang ini adalah Panglima Kam Cun Hong, maka sambil menangkis serangan pedang di tangan panglima ini dengan sulingnya yang sudah dia cabut secepat kilat, dia tertawa mengejek.
"Hm, bukankah kau panglima yang dulu sama-sama datang dengan Kiam Ki Sianjin? Bagus kau belum mampus oleh para pejuang, sekarang kau mengantar jiwa!" ,
Kata-kata Kwan Cu ini mengejutkan hati Kam Cun Hong. Panglima ini memang telah melarikan diri dari kota raja dan di kota ini minta perlindungan dari An Kai Seng yang sudah dikenalnya. Biarpun dahulunya mereka ini bermusuhan, yakni Kam Cun Hong membantu Si Su Beng sedang An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, namun karena sama-sama mempunyai rahasia yang harus disembunyikan, maka An Kai Seng tidak menolaknya dan bahkan memberi rumah kepada bekas panglima ini. Mendengar ucapan K wan Cu, Panglima Kam takut kalau-kalau rahasianya diketahui oleh rakyat, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat dan melarikan diri.
Beberapa orang roboh lagi dan sisanya, hanya tujuh orang lagi termasuk Yap Ki si Raja Racun, menjadi gentar dan segera melarikan diri! Kwan Cu tertawa mengejek dan dia segera melompat ke dalam gedung hendak mengejar musuh besarnya. Semua kamar dibukanya, namun gedung yang amat besar itu sudah kosong melompong. Tak seorang pun pelayan berada di situ, agaknya sudah lari cerai-berai ketika keributan terjadi. Memang sebelumnya, An Kai Seng sudah mengatur terlebih dulu dan membubarkan semua pelayan agar tidak akan ada pelayan yang dapat dipaksa oleh Kwan Cu untuk memberitahukan tempat sembunyinya.
Kwan Cu penasaran dan mencari terus. Setiap kamar yang tertutup pintunya, didobrak dan dibukanya. Ketika tiba di ruang belakang, dia melihat sebuah kamar yang tertutup pintunya. Didengarnya berkereseknya kain di dalam kamar, tanda bahwa di dalam kamar itu ada orangnya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia mendorong pintu kamar yang tebal itu. Sekali dorong saja pecahlah daun pintunya dan dia segera melompat masuk.
“Ayaaa… kurang ajar sekali….!” terdengar pekik seorang wanita dan Kwan Cu merasa mukanya panas. Warna merah menjalar sampai di telinganya. Ternyata bahwa di dalam kamar itu terdapat Wi Wi Toanio yang agaknya sedang berganti pakaian, karena wanita cantik ini hanya memakai pakaian dalam yang amat pendek dan ringkas. Bukan main cantik dan menariknya wanita itu, sehingga untuk sesaat Kwan Cu berdiri bagaikan patung.
“Mana suamimu?” Kwan cu berusaha untuk membikin suaranya terdengar kasar, akan tetapi dia tidak sanggup menekan suaranya yang agak gemetar.
"Laki-laki tak bermalu! Kau….. kau melihat apakah? Cih, kurang ajar benar!" kata Wi Wi Toanio, biarpun mulutnya berkata begini, namun sepasang matanya berseri dan mulutnya tersenyum manis!
Kwan Cu cepat membalikkan tubuhnya dengan perasaan amat jengah dan hati berdebar.
"Lekas kau berpakaian, baru kita bicara!" katanya, diam-diam dia merasa cemas kalau-kalau ada orang yang melihat dia berada di dalam kamar seorang wanita yang hanya memakai pakaian seperti itu, apa akan kata orang?
Terdengar wanita itu tertawa kecil dengan genitnya, lalu terdengar pula dia memakai pakaian. Waktu yang dipergunakan oleh Wi Wi Toanio untuk berpakaian amat lamanya, sehingga Kwan Cu hilang sabar.
"Cepatan sedikit!" bentaknya. Akan tetapi Wi Wi Toanio hanya tertawa mengejek saja, kemudian mencium bau yang amat harum, kiranya wanita itu dalam berdandan bahkan bersolek, berbedak segala!
Tiba-tiba Kwan Cu miringkan tubuhnya dan tiga batang piauw menyambar lewat di samping tubuhnya.
"Jangan berlaku curang, takkan ada gunanya," la mengejek tanpa menoleh. Benar-benar lihai pemuda ini, tanpa menoleh dia tahu bahwa dia diserang oleh Wi Wi Toanio mempergunakan piauw.
"Hm, kau mengambil pedang untuk apa ? Kau takkan menang melawan aku," kata pula Kwan Cu dan Wi Wi Toanio terkejut bukan main sehingga tangannya yang memegang pedang gemetar. Bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa ia mengambil, pedang? Sementara itu, mengetahui bahwa wanita itu sudah mengambil pedang, tentu ia sudah berpakaian rapi, maka Kwan Cu lalu membalikkan tubuhnya memandang. Bukan main, Wi Wi Toanio memang benar-benar seorang wanita yang paling cantik yang pernah dilihatnya, dan pandai bersolek pula. Harus diakui oleh Kwan Cu bahwa belum pernah dia melihat wanita yang kecantikannya dapat menandingi kecantikan wanita ini.
“Kau mau apa?"tanya Wi Wi Toanio yang sudah memegang sebatang pedang, mulutnya tersenyum-senyum memikat. Kwan Cu masih bodoh dalam menghadapi kelincinan wanita maka dia tidak tahu bahwa tadi sebenarnya Wi Wi Toanio sengaja menantinya di dalam kamar itu untuk mulai dengan siasatnya memikat hati pemuda yang tak mungkin dikalahkan dengan kekuatan senjata ini.
"Jangan berpura-pura bodoh!" bentak Kwan Cu. "Aku mencari suamimu, lebih baik kau berterus terang saja, di mana dia? Kalau aku sudah membalas dendam kepadanya, aku takkan mengganggu dan tak peduli lagi dengan keadaanmu. Hanya An Kai Seng yang kucari dan aku tidak ingin mencari permusuhan dengan orang orang lain."
"Kau benar-benar hebat dan gagah," Wi Wi Toanio memuji, "jauh berbeda dengan Kai Seng dan kawan-kawannya yang tidak punya guna. Orang segagah engkau, yang masih begini muda, mengapa mengotori hati dan pikiran dengan permusuhan? Apakah tidak lebih baik kalau kita bersahabat? Aku aku ingin sekali menjadi sahabatmu, bahkan kalau kau sudi, aku suka berlutut dan mengangkat kau sebagai guruku."
"Tak usah banyak cakap, di mana suamimu?"
Melihat Kwan Cu tak dapat dibujuknya, Wi Wi Toanio tidak menjadi kecewa. Sebagai seorang wanita berpengalaman, dari sinar pandang mata Kwan Cu saja tahulah dia bahwa ia tidak kalah sama sekali. Tahu bahwa pemuda itu betapapun juga sudah tertarik padanya, sudah mengagumi kecantikannya, maka ia menarik muka semanis mungkin.
"Lu Kwan Cu, apa boleh buat, agaknya kau tidak dapat dibujuk lagi untuk melenyapkan permusuhan. Kalau kau memang menghendaki pertempuran, mari kita lakukan secara terang-terangan dan secara orang gagah. Aku dan suamiku menantangmu untuk mengadakan pertempuran sampai mati di dalam hutan dekat rawa maut di sebelah barat kota ini. Beranikah kau?"
"Mengapa tidak berani? Biarpun suamimu akan mengumpulkan jago-jagonya di sana, aku takkan takut seujung rambut! Akan tetapi, siapa yang tidak tahu akan kelicikan suamimu? Siapa yang percaya bahwa suamimu benar-benar akan berada di sana?"
"Lu Kwan Cu, kau menghinaku! Bukan suamiku, akan tetapi akulah yang menantangmu! Kau tidak percaya padaku? Datanglah besok pada pagi hari, aku dan suamiku pasti akan berada di sana, tanpa seorang pun kawan! Di sana kita bertiga akan menentukan siapa yang harus mampus. Kalau kau berani datang, tanda bahwa kau benar seorang jantan, akan tetapi kalau kau tidak mau dan tidak percaya kepadaku, terserah, mau bunuh aku boleh bunuh. Jangan harap kau dapat menemui Kai Seng sebelum besok pagi di hutan itu."
Kwan Cu berpikir sejenak, hatinya penuh keraguan.
"Lu Kwan Cu, apa kaukira akan dapat memaksaku? Ketahuilah bahwa aku masih menaruh hati kasihan kepadamu, kalau tidak demikian, andaikata sekarang aku merobek-robek pakaianku dan menjerit-jerit minta tolong, di mana lagi kau akan menaruh mukamu?"
Kwan Cu terkejut sekali. Memang hebat ancaman ini dan kalau dilaksanakan, tentu namanya akan hancur .
"Baiklah, andaikata suamimu tidak datang dan lari sembunyi, apa sih sukarnya mencari dia? Akhirnya aku pasti akan datang di hutan itu." Setelah berkata demikian, Kwan Cu lalu melompat pergi dan keluar dari gedung itu.
Setelah K wan Cu pergi, Kai Seng muncul dari balik pintu rahasia yang berada di bawah tempat tidur. Mukanya pucat sekali, tubuhnya masih menggigil dan dia menarik napas berulang-ulang. "Baiknya kau pandai sekali mengusir dia, hanya aku merasa kurang senang melihat gayamu di depan musuh besar kita," katanya kepada isterinya.
Wajah manis dari Wi Wi Toanio tiba-tiba menjadi berkerut dan ia memandang kepada suaminya dengan marah. "Apa katamu? Kalau kau sendiri becus mengusirnya, mengapa kau menyuruh aku? Sudah, sudah, besok kau boleh menghadapinya sendiri, aku lebih baik tinggal di rumah!"
Kai Seng segera menghampiri isterinya dan memegang lengannya.
"Jangan marah, isteriku yang manis. Nyawaku berada di tanganmu dan hanya engkau saja kiranya yang dapat menolongku, dapat menghadapi pemuda yang kepandaiannya seperti siluman itu."
Wi Wi Toanio menarik tangannya dan tersenyum puas. "Kau lihat saja nanti. Aku bukan wanita kalau tidak dapat membikin dia bertekuk lutut di depanku. Lebih baik lagi, aku akan mencari tahu akan rahasia kepandaiannya dan kalau saja aku dapat membujuk sehingga dia mau menurunkan kepandaiannya itu, bukankah amat menguntungkan bagi kita? Akan tetapi kalau kau cemburu.. " sinar mata yang jernih itu mengancam.
Kai Seng memeluk isterinya. "Tidak, isteriku. Demi keselamatan, aku tidak akan cemburu….. terserah kepadamu bagaimana kau akan menghadapinya."
"Nah, kalau begitu, kau dengarlah baik-baik " Isteri yang cantik dan juga amat licinnya ini lalu membisikkan rencana dan siasatnya untuk menghadapi Kwan Cu, didengarkan oleh Kai Seng sambil mengangguk-angguk seperti ayam makan padi.
***
Hutan di sebelah barat kota An-keng tidak berapa besar akan tetapi amat liar, karena di tempat itu banyak terdapat rawa-rawa yang amat berbahaya. Para penggembala tidak berani membawa binatang peliharaan mereka mendekati rawa, karena sekali tergelincir ke dalam rawa itu, tidak mungkin tertolong lagi. Rawa itu airnya tidak dalam, akan tetapi di bawah air terdapat lumpur yang dapat mengisap apa saja yang jatuh ke dalamnya. Di atas rawa penuh pohon-pohon dan memang di situ pemandangan amat indah, rumput-rumput hijau segar. Akan tetapi kalau orang melihat ke bawah, orang akan bergidik dan merasa ngeri.
Pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah berlari-lari memasuki hutan, mencari-cari musuh besarnya, yakni Kai Seng dan Wi Wi Toanio yang sudah berjanji hendak mengadu kepandaian dengannya di tempat itu. la tidak begitu mengharapkan akan bertemu dengan mereka, karena dia masih sangsi apakah benar-benar seorang wanita seperti Wi Wi Toanio mau memegang janjinya. Sampai lama dia mencari ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat bayangan seorang pun manusia.
"Hm, biarpun kau bersembunyi di mana saja, akhirnya aku pasti akan dapat mencarimu," kata Kwan Cu seorang diri," kata Kwan Cu seorang diri, “dan lain kali aku takkan mendengarkan omongan wanita itu."
Baru saja dia hendak meninggalkan hutan, tiba-tiba dia melihat bayangan Wi Wi Toanio di pinggir rawa. Wanita ini menggunakan tangan kiri mencekik seorang laki-laki sambil memaki.
"Apa kaukira aku mudah saja menjadi kaki tanganmu? Sudah lama kau menyakiti hatiku dan sekaranglah pembalasanku!" Tangan kanan wanita itu melayang, menghantarn dada laki-laki itu yang terjengkang dan tanpa dapat mengeluarkan suara lagi laki-laki itu terlempar masuk ke dalam rawa!
'Apa yang kaulakukan itu?" teriak Kwan Cu terkejut dan seperti terbang dia berlari rnenghampiri tempat itu. Wi Wi Toanio kelihatan berdiri seperti patung, mukanya pucat memandang ke arah laki-laki yang sudah terjungkal ke dalam rawa. Ketika Kwan Cu melihat, ternyata bahwa laki-laki itu jatuh ke dalam rawa dengan kepala lebih dulu sehingga yang kelihatan hanya kedua kakinya sampai ke pinggang saja. Kaki yang sudah lemas tak bergerak lagi, agaknya laki-laki itu telah tewas. Yang amat mengagetkan hatinya adalah ketika dia mengenal pakaian Jaki-laki itu sebagai pakaian An Kai Seng, musuh besarnya!
"Dia…. dia An Kai Seng….. apakah yang telah kauperbuat??" Kwan Cu memandang Wi Wi Toanio dengan heran.
Dengan perlahan Wi Wi Toanio membalikkan tubuh memandang Kwan Cu, mukanya pucat, rambutnya awut-awutan menambah kecantikannya dan di atas pipinya terdapat butiran-butiran air mata. Setelah pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kwan Cu, tiba-tiba Wi Wi Toanio menangis.
"Eh, eh, eh, ada apakah….. ? Mengapa kau membunuh suamimu sendiri?"
Wi Wi Toanio tak dapat menjawab, bahkan lalu berlutut di depan kaki Kwan Cu. Tentu saja pemuda ini menjadi bingung sekali. la menyangka akan sesuatu yang tidak beres maka sekali memegang kedua pundak wanita itu, Wi Wi Toanio telah dipaksanya berdiri lagi.
"Katakan, sandiwara apa ini? Mengapa kau mendahuluiku membunuh musuh besarku itu?"
"Lu Kwan Cu, apakah….. hanya kau saja yang mempunyai sakit hati dan dendam? Apakah hanya kau saja yang membencinya? Aku aku lebih sakit hati kepadanya, aku lebih membencinya seperti membenci racun busuk! Kesempatan ini, selagi kami berada berdua di sini, kupergunakan untuk membalas sakit hatiku, sebelum kau mendahuluiku."
Kwan Cu tertegun. "Apa maksudmu? Bagaimana kau bisa sakit hati terhadap suami sendiri?"
"Aku seorang wanita malang ….dahulu aku dipaksa oleh manusia busuk itu menjadi isterinya. Aku tak berdaya, orang tuaku dibelinya. Aku….. aku tidak suka padanya, aku benci padanya! Kemudian kau datang, Taihiap. Kau seorang pendekar besar yang amat kukagumi, yang sudah lama ingin kujumpai, eh, ternyata kau adalah musuh besar suamiku. Ternyata kau pun telah dibikin sakit hati oleh manusia jahanam itu! Tidak itu saja, permusuhannya denganmu berarti menyeret aku pula ke dalam permusuhan ini, permusuhan dengan seorang pendekar pujaanku. Aku tak tahan lagi, aku mengusulkan supaya dia dan aku menantangmu di sini dan dalam keadaan berdua saja ini, kugunakan kesempatan untuk membalas dendam. Kubunuh dia!" Wi Wi Toanio menudingkan telunjuknya yang runcing itu ke arah mayat yang kini tinggal kelihatan kaki sebatas lutut saja, lalu menangis lagi.
Kwan Cu tertarik sekali, tidak hanya tertarik oleh penuturan ini, akan tetapi terutama sekali tertarik oleh kecantikan Wi Wi Toanio, oleh olah bicaranya yang demikian menarik, demikian manis sehingga pemuda ini seperti mabuk. Baru saja Kwan Cu mengalami patah hati karena Sui Ceng, hati mudanya haus akan sifat lemah lembut seorang wanita, haus akan kasih sayang seorang wanita, apalagi setelah dia digagalkan dalam cinta kasih pertamanya dengan Sui Ceng. Melihat Wi Wi Toanio, timbul kasihan di dalam hatinya. Alangkah malangnya nasib wanita ini, wanita yang secantik ini, seperti bidadari!
Wi Wi Toanio bukanlah seorang wanita luar biasa kalau ia tidak dapat membaca pikiran Kwan Cu dari sinar matanya. Tiba-tiba ia makin terisak dan dipegangnya kedua tangan Kwan Cu sambil berlutut di depan pemuda itu!
"Lu-taihiap, setelah aku membunuh An Kai Seng, aku….. aku yang sebatangkara ini sudah lama mengagumi Taihiap. Sudilah Taihiap menerima perasaan hatiku….. biar sampai mati aku Wi Wi seorang sengsara takkan merasa penasaran. Jangan takut, Taihiap, perkara pembunuh Kai Seng ini tentu semua orang mengira bahwa taihiap yang melakukannya, akan tetapi selama aku berada di sampingmu, tak seorang pun berani mengganggumu. Aku akan mengatakan bahwa Kai Seng tewas dalam pertempuran yang jujur. Dan kau boleh berdiam di gedungku, Taihiap. Atau kalau Taihiap menghendaki, aku rela meninggalkan gedung untuk ikut kau merantau. Sampai mati aku ingin berada di sampingmu, Taihiap."
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan suara merayu-rayu ini, luluh hati Kwan Cu. Musuh besarnya telah tewas, dan dia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan wanita ini, bahkan wanita ini pun menjadi korban dari musuh besarnya. Suara yang merdu merayu ini, wajah yang cantik jelita, tangan halus yang memegangi tangannya, semua ini terlampau kuat dan berpengaruh bagi batin Kwan Cu yang biarpun amat kuat namun masih hijau dalam menghadapi wanita. Hampir saja dia memeluk, wanita yang sudah menyerahkan diri dan nasib kepadanya. Akan tetapi, rasa jengah membuat dia membetot tangannya dan melompat mundur. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat. Belum pernah dia menghadapi wanita yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya, apalagi seorang wanita secantik Wi Wi Toanio. Hatinya yang kosong dan kecewa karena kegagalan cinta kasihnya dengan Sui Ceng, menuntut isi. Dan sekarang, tiba-tiba saja wanita ini melemparkan diri ke dalam hatinya!
"Jangan….. " suaranya gemetar dan berbisik, "jangan begitu Wi Wi Toanio…… , ini tidak baik…. " katanya dan dia merasa heran sendiri karena napasnya terengah-engah, tubuhnya lemas.
"Mengapa tidak baik?" Wi Wi Toanio bangun berdiri dan kembali dia memegangi kedua tangan pemuda itu. "Kita sama-sama bernasib malang, dan aku…. aku rela menjadi muridmu, menjadi muridmu, menjadi bujangmu….. asal saja kau menerima perasaan hatiku, Lu-taihiap….”.
Bayangan wajah wanita-wanita yang pernah mendekati hatinya terbayang di depan mata Kwan Cu. Pek-cilan Thio Loan Eng, Liyani gadis raksasa, Malita dan Malika dua gadis katai, Gouw Kui Lan. Akan tetapi tidak ada yang secantik Wi Wi Toanio, tidak ada yang demikian menariknya, bahkan melebihi Sui Ceng. Tidak ada pula di antara mereka yang menyatakan cinta kasih sebulatnya seperti Wi Wi Toanio.
"Jangan….. biarkan aku pergi!" Hati nurani Kwan Cu masih memberontak dan sekali renggut dia melepaskan diri, lalu melompat dan hendak lari pergi, lari dari tempat yang dianggapnya amat asing, amat berbahaya namun yang mendebarkan hatinya ini.
"Kau kejam, Lu-taihiap. Kalau begitu, biarlah aku Wi Wi yang malang nasibku binasa di saat ini juga!" sambil berkata demikian, wanita muda yang cantik jelita itu melompat ke dalam rawa di mana suaminya kini hanya kelihatan sepasang kaki sebatas lutut saja.
Kwan Cu belum pergi jauh, tentu saja pendengarannya yang luar biasa tajamnya itu dapat mendengar suara tubuh wanita itu terjatuh ke dalam lumpur berair.
"Wi Wi…. !" teriaknya dengan muka pucat dan dia cepat melompat ke pinggir rawa. Dilihatnya Wi Wi sudah tenggelam sampai ke pinggangnya, di dekat mayat suaminya! Muka wanita itu memandangnya sedemikian rupa sehingga Kwan Cu tidak dapat menahan hatinya lagi.
"Wi Wi…. , kau bertahan dulu, aku akan menolongmu….. "
"Kalau kau meloncat ke sini, kita berdua akan mati, Taihiap."
"Tunggu, aku akan mencari akal."
"Tak usah kau menolongku, hidup juga percuma saja. Kalau kau tidak mau menerima perasaan hatiku, aku tidak mau ditolong!"
Kwan Cu tidak mau menjawab lagi, hatinya ngeri melihat betapa tubuh wanita itu melesak makin dalam, kini lumpur mengisapnya sampai ke dada. Bagaimana dia dapat menolongnya? Biarpun kepandaiannya tinggi, namun kalau dia melompat ke dalam rawa, dia pun akan terisap oleh lumpur itu dan tidak berdaya. Tiba-tiba dia mendapat akal. Didorongnya sebatang pohon sehingga roboh dan batang pohon ini dia lemparkan ke dalam rawa di dekat Wi Wi Toanio. Air memercik ke atas membasahi seluruh muka wanita yang kini kelihatan lemas. isapan lumpur telah rnenyesakkan dada dan membuat ia hampir tak dapat bernapas.
"Taihiap…. Aku… aku mati…. selamat tinggal…. " katanya lemah.
"Wi Wi, tahankan, aku menolongmu!”
“Percuma…. " kata Wi Wi Toanio dan kini ia makin tenggelam sampai ke leher.
"Wi Wi, pegang cabang pohon itu!"
"Tidak, biar aku…. mati….”
“Jangan, Wi Wi….aku kasihan padamu, aku akan menolongmu."
"Katakan, kau cinta padaku atau tidak?"
Kwan Cu tertegun, mukanya merah sekali dan dadanya berdebar.
"Katakan. Kwan Cu sebelurn sebelum lumpur ini memasuki mulutku, memasuki telingaku…."
Kwan Cu melihat betapa sekarang air sudah sampai ke dagu wanita itu, maka secara setengah terpaksa dan dengan suara gemetar dia menjawab, "Aku…. cinta padamu, Wi Wi." Setelah berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi Kwan Cu melayang turun ke dalam rawa itu. Kakinya menotol batang pohon yang tadi dilempar dan dengan mengerahkan ginkangnya agar batang itu tidak bergerak seperti dihinggapi oleh seekor burung saja, tangannya menyambar baju di pundak Wi Wi Toanio.
"Brettt!" Baju robek akan tetapi tubuh Wi Wi Toanio telah terbetot sedikit sehingga kini air hanya sampai di pundaknya.
"Keluarkan lenganmu dari lumpur!" kata Kwan Cu yang cepat mengimbangi tubuhnya karena batang pohon itu bergoyang-goyang. Wi Wi Toanio menggerakkan tangannya dan tangan kirinya dapat terlepas dari isapan lumpur.
"Hati-hati, aku akan menarikmu keluar!" kata Kwan Cu yang cepat menyambar pergelangan tangan wanita itu, lalu dengan pengerahan tenaga lweekang yang hebat, dia dapat melawan isapan lumpur dan sedikit demi sedikit tertarik keluarlah Wi Wi Toanio dari bawah permukaan air. Kini tangan kanan Wi Wi Toanio merangkul pinggang Kwan Cu dan dia membantu pemuda ini menarik dirinya. Gerakan ini sebetulnya tidak perlu, karena kalau dia diam saja, Kwan Cu akhirnya akan dapat menariknya keluar. Bahkan dengan gerakan ini Wi Wi Toanio merusak keseimbangan tubuh Kwan Cu sehingga ketika batang pohon itu bergoyang-goyang, dia tidak dapat menahan diri lagi dan keduanya terpeleset dan…. tercebur ke dalam air!
"Celaka !" Wi Wi Toanio menjerit.
Akan tetapi K wan Cu dengan tenang menyambar cabang pohon dan sekali menarik dirinya, dia telah berdiri kembali di atas batang pohon.
Ia segera menangkap tangan Wi Wi Toanio lagi dan menariknya kuat-kuat. Ia berhasil! Kini Wi Wi Toanio dengan pakaian basah dan kotor, berdiri di atas batang pohon dengan menggigil, mendekap pinggang Kwan Cu yang juga basah dan kotor pakaiannya. Tiba-tiba Wi Wi Toanio mengeluh panjang dan ia pingsan dalam pelukan Kwan Cu. Pemuda ini terkejut dan setelah memeriksa ketukan nadi, tahulah dia bahwa wanita ini pingsan karena mengerahkan lweekangnya sendiri. Tadi di dalam lumpur kalau Wi Wi Toanio tidak mengerahkan lweekang sekuatnya. tentu tubuhnya sudah terisap semua dan dadanya terhimpit lumpur sampai tak dapat bernapas. Sekarang setelah terbebas, jalan darahnya lancar kembali dan ini mendatangkan goncangan kepada jantungnya, terutama karena baru saja dia mengalami kekhawatiran hebat. !
Kwan Cu lalu memanggul tubuh wanita itu dan melompat ke darat. Akan tetapi, ketika dia melompat ke darat, batang pohon itu bergerak sehingga lenyaplah sebagian besar tenaga lompatannya. Hal ini karena sekarang dia memanggul tubuh Wi Wi Toanio dan pula batang pohon itu mengambang di atas air, maka amat mudah bergoyang. Kwan Cu tidak berhasil melompat sampai ke darat, melainkan jatuh lagi ke dalam rawa! Baiknya, dia terjatuh di bagian pinggir, di mana lumpur terdapat tanah keras, sehingga dia selamat. Dengan tubuh Wi Wi Toanio di atas pundaknya, Kwan Cu berjalan naik dengan memegang dahan-dahan pohon sebagai bantuan. Akhirnya dia selamat sampai di darat dan Wi Wi Toanio mengeluh panjang, tanda siuman kembali dari pingsannya.
Begitu membuka mata, wanita ini lalu menubruk dan memeluk leher Kwan Cu sambil menangis terisak-isak. Kwan Cu memandang wajah wanita itu lalu sambil tertawa dia berkata,
"Jangan kau menangis, bukankah kita sudah selamat? Lihat, mukamu dan mukaku serta pakaian kita penuh lumpur!"
Wi Wi Toanio mengangkat mukanya, dan wajahnya yang cantik manis tersenyum geli di antara air matanya. "Mari kita mencuci pakaian kita," katanya. "Di tengah hutan ml terdapat sumber air, biar aku yang akan mencuci pakaianmu."
"Apakah kau tidak lebih baik pulang dan berganti pakaian? Aku… aku… "
Akan tetapi Wi Wi Toanio tidak memberi kesempatan padanya untuk banyak membantah, karena wanita ini sudah memegang tangannya dan menariknya ke tengah hutan. Kwan Cu hanya menurut saja.
Dengan bujukan-bujukan, rayuan-rayuan dan tipu muslihat yang semenjak jaman purba dimiliki oleh pihak wanita untuk merobohkan hati pria yang bagaimana kuat pun, Wi Wi Toanio berhasil membikin Kwan Cu bertekuk lutut! Pemuda yang masih hijau ini akhirnya terjatuh ke dalam perangkap, roboh di bawah pengaruh Wi Wi Toanio yang memang amat cantik lahirnya, akan tetapi amat kotor batinnya itu. Kwan Cu mengalami pengalaman yang membuatnya seakan-akan buta dan tuli, membuat dia seperti menjadi seekor domba yang lunak dan jinak, yang menuruti segala kehendak dan kemauan Wi Wi Toanio yang amat pandai mengambil hati. Sampai tiga hari mereka berada di tengah hutan, akhirnya mereka bermufakat untuk mengadakan pertemuan di hutan itu setiap hari. Kemudian, barulah Wi Wi Toanio pulang ke kota Ankeng dan Kwan Cu juga kembali ke rumah penginapan. Pemuda ini berani kembali ke kota karena Wi Wi Toanio menanggung bahwa dia takkan ada yang berani mengganggu.
Benar saja, ketika Kwan Cu tiba di hotel, pengurus hotel berlaku amat hormat dan manis kepadanya, dan dia memuji kekasihnya yang ternyata tidak berkata bohong. Wanita itu yang sudah pulang terlebih dulu agaknya telah mengatur segala-galanya, bahkan untuk makannya, pengurus hotel menyediakannya dengan hidangan-hidangan istimewa!
***
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah pergi ke hutan itu. Semalam dia tidak bisa tidur, pikirannya penuh dengan Wi Wi Toanio. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa dan diam-diam dia harus mengakui bahwa biarpun perbuatannya itu tidak tahu malu, namun bagaimana lagi karena dia telah jatuh cinta kepada Wi Wi Toanio. la mencinta wanita itu dengan seluruh jiwa raganya, dan perasaan cinta kasihnya terhadap wanita-wanita lain, juga terhadap Bun Sui Ceng berubah menjadi cinta kasih terhadap Wi Wi Toanio. Sama sekali dia tidak tahu bahwa Wi Wi Toanio sedang mempermainkannya, dan dia hanya mengira bahwa Wi Wi Toanio benar-benar cinta kepadanya dengan suci murni!
Ia membuat rencana dalam hidupnya yang akan datang. Wi Wi Toanio sudah menyatakan hendak ikut pergi dengan dia, hendak menjadi suami isteri sampai tua, hidup penuh kebahagiaan dan melupakan segala hal yang sudah lalu. Bahkan Wi Wi Toanio tidak merasa keberatan untuk pergi ikut dengan dia tinggal di pulau kosong, yakni Pulau Pek-hio-to di mana dia mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Wanita itu bahkan menyatakan hendak ikut mempelajari ilmu ini dari Kwan Cu, dan keduanya hendak memperdalam ilmunya di pulau itu, jauh dari dunia ramai, hidup berdua penuh cinta kasih.
Wi Wi Toanio pulang lebih dulu karena harus membersihkan nama, harus menyatakan kepada dunia ramai bahwa Kai Seng telah meninggal dunia karena terjerumus ke dalam lumpur. Setelah itu, barulah mereka dapat menjadi suami isteri yang sah, karena sebagai seorang janda, Wi Wi Toanio berhak menikah lagi dengan pria pilihannya. Bagi orang-orang biasa, tentu saja hal ini merupakan hal yang tidak masuk di akal. Tidak ada seorang janda yang menikah lagi. Akan tetapi Wi Wi Toanio bukanlah wanita biasa. Ia dapat dianggap sebagai seorang wanita gagah di dunia kang-ouw yang tidak kukuh mempertahankan tradisi lama, maka tentang perkawinan lagi dari seorang janda bukan apa-apa lagi.
Sebelum Kwan Cu berangkat ke hutan pengurus hotel menemuinya, membawa sebungkus barang.
"Taihiap, perkumpulan orang-orang hartawan di kota ini yang mendengar bahwa Taihiap seorang gagah yang amat terkenal, telah mengirim barang-barang sebagai tanda penghormatan. Harap Taihiap suka menerimanya."
Kwan Cu terheran, akan tetapi dia menerima bungkusan itu dan membukanya. Alangkah kagetnya ketika dia melihat sejumlah barang-barang perhiasan yang indah-indah, terbuat daripada emas, dan permata, juga terdapat pula potongan-potongan uang emas.
"Ah, bagaimana aku bisa menerima sumbangan sebanyak ini? Aku tidak mengenal mereka. Harap Lopek mengembalikan saja.”
"Jangan begitu, Lu-taihiap. Penolakan tentu akan mendatangkan rasa tidak enak dan malu. Harap Taihiap menerimanya, biarpun tidak semua."
Kwan Cu menganggap bahwa kata-kata ini ada betulnya juga. Pula, dia memang amat tertarik melihat benda-benda ini, karena alangkah senangnya kalau dia bisa memberi "hadiah" kepada kekasihnya. la lalu mengambil sebatang tusuk konde terbuat daripada perak yang berukirkan atau berbentuk naga indah sekali dan bermata intan.
"Biarlah aku mengambil tanda mata ini saja. Selebihnya harap kaukembalikan, diiringkan ucapan terima kasihku."
Demikianlah dengan tusuk konde itu di dalam sakunya, dia pergi ke hutan. Ia melihat kekasihnya telah berada di situ dan mereka tanpa banyak cakap lagi lalu saling berpelukan dengan mesra.
"Aku tunggu-tunggu kau setengah mati. Aku gelisah kalau-kalau diam-diam kau meninggalkan aku," kata Wi Wi Toanio dengan sikap manja.
"Mengapa kau khawatir kutinggalkan? Demikian besarkah cintamu kepadaku, Wi Wi?"
Wi Wi Toanio menjatuhkan kepala di atas dada pemuda itu. "Aku akan bunuh diri kalau kautinggalkan, kekasihku."
Kwan Cu tersenyum bangga. Hatinya sebesar gunung dan dia merasa amat berbahagia. Diambilnya tusuk konde yang tadi dia terima dari sumbangan para hartawan,lalu diperlihatkan kepada Wi Wi Toanio.
"Wi Wi, lihat, aku membawa hadiah untukmu."
Wi Wi Toanio pura-pura memandang penuh kekaguman. Padahal "sumbangan" tadi sebetulnya adalah ia sendiri yang menyuruh pengurus hotel mengantarkan kepada Kwan Cu dengan maksud dan siasat tertentu.
"Pasangkan pada rambutku, Koko." katanya dengan suara mesra.
Kwan Cu memasang tusuk konde itu pada rambut Wi Wi Toanio yang hitam panjang dan halus serta berbau harum itu.
"Koko, apakah artinya tanda mata ini? Apakah sekedar untuk penghias rambut?"
"Tentu saja, habis apa lagi kegunaannya?" tanya K wan Cu.
"Apa betul kau mencintaku seperti aku mencintamu, Koko? Mencinta dengan sepenuh jiwa ragamu?"
"Wi Wi, apakah kau masih bersangsi lagi? Lu K wan Cu adalah seorang gagah yang memegang teguh janjinya."
"Kalau begitu berjanjilah bahwa kau akan menuruti segala kemauanku, Koko."
Tanpa sangsi-sangsi lagi, sambil memeluk tubuh itu erat-erat Kwan Cu berbisik "Aku bersumpah untuk menuruti segala kehendakmu, kekasihku. Biar tusuk konde naga perak ini menjadi saksi."
"Bagus! Girang sekali hatiku!" Kegirangan Wi Wi Toanio benar-benar besar dan luar biasa. Sepasang matanya yang indah seperti mata burung hong itu bersinar-sinar mukanya berseri-seri, akan tetapi di balik seri mukanya ini terbayang kekejaman yang hebat.
Tiba-tiba Kwan Cu melompat ke belakang dan bajunya pada lambung kiri berdarah. Kulit lambungnya terluka sedikit ketika dia melompat tadi karena Wi Wi Toanio telah menusuk lambungnya dengan tusuk konde yang dicabutnya perlahan-lahan. Kwan Cu membelalakkan matanya, memandang wajah cantik yang tersenyum itu.
"Wi Wi….. kau…. " Akan tetapi kata-katanya ini dia hentikan dan secepat kilat tubuhnya melompat ke kanan. Ia mendengar gerakan orang di balik rumpun dan sekali dia melompat, dia melihat orang itu hendak melarikan diri. Dengan gerakan kakinya, Kwan Cu dapat menendang belakang lutut orang itu dengan cepat sehingga orang itu tidak sempat mengelak lagi, roboh terguling.
Kwan Cu menubruk maju dan menotok jalan darah orang itu. Ketika dia melihat wajah orang itu, tiba-tiba Kwan Cu menjadi pucat sekali dan tubuhnya menggigil. Tak terasa lagi dia mundur tiga tindak. la melihat bahwa orang ini bukan lain adalah An Kai Seng.
“Kau….An Kai Seng…..??”
An Kai Seng yang tidak jadi tertotok, bangkit duduk karena sambungan lututnya sudah terlepas. la menyeringai dan berkata mengejek,
"Memang aku An Kai Seng dan kau adalah pendekar besar Lu Kwan Cu yang telah main gila dengan isteri orang lain. Cih, manusia macam kau ini hidup juga hanya mengotorkan dunia. Bunuhlah aku kalau kau hendak bunuh, lebih baik mati daripada hidup dengan nama busuk!"
Kwan Cu merasa seakan-akan dunia ini kiamat. la menoleh dan melihat Wi Wi Toanio memandangnya dengan mata menyatakan kemenangan besar! Tiba-tiba Kwan Cu menjadi mata gelap. Dicabutnya Liong-coan-kiam dan dia hendak mencincang tubuh musuh besarnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan Wi Wi Toanio.
"Lu Kwan Cu, tahan senjatamu!"
Suara yang lunak dan halus ini memang amat besar pengaruhnya terhadap Kwan Cu. Tanpa terasa lagi, dia menurunkan kembali pedangnya. Wi Wi Toanio melompat ke tempat itu sambil memegang tusuk kondenya yang tadi gagal membunuh Kwan Cu.
"Kwan Cu, lupakah kau akan sumpahmu tadi? Aku menghendaki agar kau mengampuni Kai Seng dan selamanya kau tidak boleh membunuhnya! Lihat tusuk konde ini yang menjadi saksi akan sumpahmu. Kau harus mentaati segala kehendakku!"
Kwan Cu menjadi makin pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa semua ini adalah tipu muslihat dari Wi Wi Toanio. Selama ini An Kai Seng memang masih hidup, dan yang didorong masuk ke dalam rawa sampai mati mungkin hanyalah salah seorang kaki tangan mereka yang sengaja dikorbankan untuk siasat ini! Jadi selama ini Kai Seng tahu bahwa isterinya sengaja menjual diri kepada Kwan Cu dan selama itu mungkin sekali Kai Seng bersembunyi di dalam hutan, mengintai semua perbuatannya!
"Kau…. kau merencanakan tipu busuk ini…”
Wi Wi Toanio mengangguk. "Kau terlalu lihai untuk dilawan dengan senjata," jawabnya sederhana.
Kwan Cu tak dapat berkata apa-apa lagi. Sebagai seorang gagah dia harus memegang teguh sumpahnya. Tak dapat dia membunuh Kai Seng kalau Wi Wi Toanio tidak menghendakinya.
"Kwan Cu, berjanjilah bahwa kau takkan membunuh Kai Seng," kata pula Wi Wi Toanio dan suara yang biasanya terdengar mesra itu kini terdengar oleh Kwan Cu seperti suara setan.
"Baik, baik, aku menyerah kalah."
Kemudian sambil mengeluarkan teriakan setengah tertawa dan setengah menangis, pendekar muda yang sakti ini lalu berkelebat dan lenyap dari situ!
Kai Seng memeluk isterinya. "Wi Wi, aku berhutang nyawa kepadamu. Kau benar-benar seorang isteri yang setia!" Biarpun mulutnya berkata demikian, namun di dalam perutnya Kai Seng merasa panas sekali kalau dia mengingat akan cara bagaimana isterinya menyelamatkan nyawanya, dia merasa amat sakit hati kepada Lu K wan Cu.
Wi Wi Toanio tahu akan isi hati suaminya, maka ia menghiburnya, "Jangan kau kecewa. Biarlah perlahan-lahan kita mencari Kwan Cu dan dengan pengaruh tusuk konde itu, kita akan dapat membunuhnya kalau dia bertemu dengan kita lagi."
Akan tetapi usaha suami isteri yang curang ini selalu gagal. Di dunia kang-ouw tidak pernah terdengar nama Lu Kwan Cu lagi, yang ada hanyalah Bu Pun Su (Tidak Ada Kepandaian). Semenjak munculnya pendekar yang berjuluk Bu Pun Su, dunia kang-ouw tergoncang hebat. Dan Bu Pun Su ini bukan lain adalah pemuda Lu Kwan Cu yang menderita pukulan hebat sekali seperti orang gila, namun selalu bertindak sebagai seorang pendekar penolong mereka yang sengsara. Sampai di sini berakhirlah sudah cerita Pendekar Sakti ini dan pembaca akan menjumpai lagi Bu Pun Su atau Lu Kwan Cu, Gouw Swi Kiat, The Kun Beng, Bun Sui Ceng, Han Le dan lain-lain tokoh dalam cerita yang amat hebat dan indah, yakni cerita"ANG I NIOCU" atau"PENDEKAR WANITA BAJU MERAH!"
TAMAT
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 53 komentar... read them below or add one }
aku lebih suka baca komik silat ketimbang film silat
aku lebih suka baca komik silat ketimbang film silat
lebih suka baca komik silat ketimbang film silat
waah komik cerita silat bagus juga tuh
Keren Sob.,., keep post
oiya., minta follbacknya di blog ane ya.,., Salam Kenal
boleh juga tuh.., postingannya. salam kunjungan
wahaha keren gan ..
wuh .. . . keren !
gak kebayang,
capek bacanya
nice arrtikel gan .. :)
waaaww...
cerita opo iki
panjang sekali ceritanya....
seomoga sukses
ceritanya bgus juga nih .. :D
salam sehat
gan ini ceritanya orang mana ya? haha kaga kharti gan.
tapi coba ane kasih ke ade gan. kali aja ngerti. haha
cerita awal sih emang menarik tapi aku ke capean bacanya terlalu panjang......thanks!
salam sehat
gan ceritanya bagus cuma kalau mau sampai kelar semua satu hari kayaknya abisnya terlalu panjang sih,thanks atas infonya .......!
ni cerita berseri ya..... buatan sendiri atau dari mana gitu... boleh jg ni jad film atau sinetron heeee
fewtm,.
pengalaman ya gan? haha
wih panjang amat gan ceritanya ...
panjang amat an bikin malas baca nya
panjang amat gan,.,.
apa gx sekalian z bikin ampe berpuluh-puluh halaman,.,.
ia nih panjang amat suram.
panjangnya segitu nulis sendiri atau copas ya? hehehe
ceritanya sih menarik tuk di simak cuman agak terlalu capek bacanya karna terlalu panjang thanks ......!
buset dah panjang amat ampe pegel mata ane gan tapi asik juga terimakasih......!
wadhu....puanjang buanget sob...nggak abis bacanya....ok sob....artikelnya sangat menarik
Hemm cerita yang menarik...mungkin kalo diperpendek lebih menarik :)
salam sehat
cerutanya asik juga tapi sayang saya belum nyampe kelar bacanya.........!
ceritanya sih oke cuman sayang terlaaaaaaalu panjang jadi saya kecapean bacanya terimakasih....!
panjang banget ceritanya,,
nice post
we glad to read this one
3some swinger indonesia
ceritanya sangat tidak dimengerti,.,.
http://klinik-obat.com/2012/07/12/obat-tradisional-sinusitis/
ok gan
ceritanya sih emang awalnya menarik tapi saya cape bacanya terlalu panjang bos.....!
nice cerita yang bagus bro :)
uh..kepanjangan ceritanya_he
cuma setengahnya doank bacanya..
lama bacanya sob. jd saya kopas aja biar ba lanjutin critanya...:D
ceritanya oke saya terlalu panjang pegal saya bacanya terimakasih .............!
Bagus ceritanya,v kepanjangan,jadi perem mlek bacanya,heee
nice banget ceritanya. :)
it nice story..
banyak banget, mantap ........
info yang bagus , ... asik buat di baca ...
artikel yang sangat bermanfaat sekali buat di pahami, ...
yups setuju gan
ia gan terimakasih banyak atas sharenya salam,
poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya
Posting Komentar