Tok-hui-coa Ang Hok sendiri sudah menghadapi pemuda itu dengan ruyungnya yang berat. Sepasang matanya yang besar itu menjadi merah. Bukan main marahnya melihat pesta pernikahannya diganggu orang, apalagi orang itu hanya seorang pemuda saja. Akan tetapi, begitu dia mencabut ruyung dan melompat ke depan pemuda itu, barulah dia melihat siapa adanya orang ini dan terkejutlah dia bukan main. Pemuda itu dikenalnya sebagai The Kun Beng, orang kedua yang telah mengobrak-abrik sarangnya di utara, yakni sute (adik seperguruan) dari Gouw Swi Kiat!
Tanpa banyak cakap lagi, Ang Hok lalu berseru, “Kawan-kawan, keroyok…..” Dia sendiri pun lalu memutar ruyungnya dan mengemplang kepala pemuda itu.
Memang benar, pemuda ini adalah The Kun Beng, murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah kita kenal ketika masih kecil. Pemuda ini telah dewasa, wajahnya tampan sekali. Mukanya berkulit putih halus, berbentuk bulat dengan sepasang alis hitam melengkung panjang menghias sepasang mata yang tajam berapi-api. Akan tetapi biarpun matanya membayangkan pengaruh dan keberanian, mulutnya selalu tersenyum manis membayangkan kelembutan hatinya.
Kun Beng berdua dengan Swi Kiat memang telah mengobrak-abrik sarang Ang Hok yang mereka dengar amat jahat. Mereka berhasil mengobrak-abrik sarang, membunuh banyak perampok, akan tetapi Ang Hok tak dapat mereka tewaskan karena kepala rampok ini keburu melarikan diri. Lalu dua orang pendekar muda itu berpencar. Kun Beng berkewajiban untuk mengejar Ang Hok dan membasmi orang-orang jahat ini sampai ke akar-akarnya, adapun Swi Kiat hendak pergi membantu perjuangan para petani yang terkurung dan terancam oleh barisan dari pemerintah penjajah. Ini semua merupakan tugas yang diberikan oleh guru mereka.
Demikianlah, di satu fihak Swi Kiat menuju ke barat untuk melakukan tugas membantu barisan pejuang rakyat, adapun Kun Beng terus mengejar Ang Hok ke selatan, Swi Kiat berjanji hendak menyusul ke selatan setelah tugasnya selesai.
Akan tetapi alangkah terkejutnya hati Kun Beng ketika tiba di dusun Keng-kin-bun pada malam hari itu, dia melihat rumah terbakar dan tangisan penduduk yang demikian memilukan hati. Cepat dia mencari keterangan dan begitu mendengar bahwa di dekat situ terdapat gunung batu karang yang dijadikan sarang oleh gerombolan kejam, dia segera berlari secepat terbang menyusul ke tempat itu. Dengan hati penuh kegeraman, dia melihat bahwa gerombolan itu bukan lain adalah sisa-sisa perampok yang telah dibasminya, sedang merayakan pesta pernikahan Ang Hok dengan seorang gadis dusun yang diculiknya! Segera pemuda ini menghujankan senjata rahasianya yakni batu-batu hitam biasa yang dipungutnya di mana saja. Memang, disamping ilmu silatnya yang tinggi, Kun Beng terkenal dengan kepadaiannya mempergunakan batu-batu kecil sebagai senjata rahasia. Ia melontarkan batu-batu bundar itu seperti seorang bermain gundu, akan tetapi jangan dikira bahwa batu-batu itu tidak berbahaya karena sentilan jari tangannya dapat membuat batu-batu itu berubah menjadi peluru yang dapat menembus tubuh manusia!
Demikianlah, setelah kini Ang Hok sendiri bersama anak buahnya maju mengeroyoknya, Kun Beng tertawa mengejek dan mengeluarkan senjatanya yang telah banyak dikenal dan ditakuti oleh para penjahat, yakni sepasang tombak pendek. Sekali tangkis saja, dua batang golok penjahat terlepas dari pegangan dan orang-orangnya roboh terpukul tombak yang gerakannya demikian cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata mereka.
Ang Hok maklum bahwa kepandaian pemuda ini memang lihai sekali, maka sambil berteriak-teriak mendorong anak buahnya untuk mengurung lebih rapat, dia lalu melompat dan lari ke dalam goa. Disambarnya tubuh Kui Lan dan dibawanya lari turun gunung!
Kun Beng marah sekali. Tombaknya digerakkan cepat dan sebentar saja belasan orang pengeroyoknya telah roboh malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kemudian pemuda perkasa ini lalu melompat dan mengejar Ang Hok.
Karena ilmu lari cepat dari Ang Hok memang sudah tinggi, maka biarpun Kun Beng belum kehilangan bayangan kepala rampok itu, masih saja dia belum dapat menyusulnya sampai fajar menyingsing dari timur. Ang Hok bukan seorang bodoh. Ia tidak mau turun gunung, sebaliknya dia bahkan berputar-putar di sekitar pegunungan yang banyak batu karangnya itu sehingga dia dapat bersembunyi. Akan tetapi mata pemuda pengejarnya awas sekali dan kemanapun juga dia lari, selalu dapat dikejarnya.
Akhirnya Ang Hok nekat dan lari masuk ke dalam hutan batu karang penuh dengan rawa-rawa berbahaya. Tiba-tiba, ketika melintasi sebuah tempat yang tertutup rumput setengah kering, kepala rampok ini memekik keras dan tubuhnya amblas sampai kepinggang. Ternyata bahwa dia telah menginjak rawa berlumpur yang tertutup atau di tumbuhi oleh rumput! Ia meronta-ronta, namun gerakannya ini bahkan membuat tubuhnya tenggelam makin dalam sampai sebatas dada!
“Tolong…… tolong………..!” Betapapun kejam dan ganas adanya Tok-hui-coa Ang Hok, dan betapapun berani dan tabahnya, menghadapi maut yang mencengkeramnya sedikit demi sedikit, mulut maut yang menelan nyawanya lambat-lambat itu, timbul ngeri dan takutnya.
Kui Lan biarpun telah setengah lumpuh akibat totokan, namun ia masih sadar dan ia pun merasa ngeri ketika tubuhnya ikut amblas sampai pinggang. Ketika Ang Hok meronta-ronta, dia terbawa pula tenggelam sehingga sampai di pundak. Bahkan kedua lengannya yang lemas ikut pula tenggelam, berbeda dengan Ang Hok yang kini mengangkat kedua tangan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka dan terpentang lebar.
Tadinya Kun Beng telah kehilangan jejak Ang Hok, akan tetapi pekik mengerikan serta jeritan minta tolong itu menariknya ke tempat itu. Ia melihat betapa Ang Hok dan gadis itu terbenam di dalam lumpur dan rawa itu sebetulnya kurang lebih empat tombak lebarnya.
“Tolonglah aku…….!” jerit Ang Hok ketika dia melihat pemuda itu muncul di pinggir rawa.
Akan tetapi Kun Beng tentu saja tidak mau mempedulikannya, bahkan memutar otak bagaimana dia dapat menolong gdais itu yang sebentar lagi tentu terbenam sampai lenyap.
“Tolonglah…… Taihiap….. tolonglah aku……” kembali Ang Hok menjerit-jerit.
“Aku tak dapat menolongmu, pula agaknya inilah hukuman Thian kepadamu atas segala kejahatanmu, Tok-hui-coa,” kata Kun Beng dengan suara dingin. “Kalau aku dapat menolong juga, bukan kau yang kutolong, melainkan nona itu yang menjadi korbanmu.”
Tanpa disadarinya Kun Beng mengeluarkan kata-kata yang salah sehingga Ang Hok tiba-tiba menjadi beringas dan tertawa bergelak. “Kau tidak mau menolongku dan bermaksud menolong nona ini? Ha, ha, ha, lihat kalau kau tidak mau segera menolongku, sebelum aku mati terbenam, lebih dulu aku akan menekannya ke bawah Lumpur!” Sambil berkata demikian, kepala rampok ini lalu menaruh tangannya yang berlumpur di atas kepala Kui Lan. Memang, kalau dia mau, sekali tekan saja akan tamatlah riwayat hidup gadis ini, kepalanya akan terbenam di dalam lumpur dan akan mati.
Bingung sekali hati Kun Beng. Keparat, pikirnya, sekarang dia hendak memaksaku dengan dengan mengancam nyawa gadis itu. Akan tetapi pemuda ini melihat bahwa kalau dia menolong kepala rampok ini, tentu keadaan gadis itu akan terlambat dan akan mati juga. Diam-diam dia lalu menggenggam erat-erat sebutir batu hitam.
-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 4 - KPH -
“Dia akan mati, mati tersiksa. Kalau aku turun tangan membunuhnya, lebih baik baginya, bagiku dan juga bagi gadis itu,” pikir Kun Beng dan secepat kilat tangannya menyambar. “Tak!” Sebelum dia tahu apa yang terjadi, kepala Ang Hok telah terkena sambaran batu dan dia tewas pada saat itu juga. Batu ini memasuki kepalanya dan kini dengan lemas dia terkulai, perlahan-lahan diisap oleh lumpur, seakan-akan di bawah lumpur terdapat siluman-siluman yang menarik kedua kakinya ke bawah!
Kini lumpur telah sampai di bawah leher Kui Lan. Kun Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi. Tubuhnya melompat dan melayang di atas permukaan rawa, kedua tangannya diulur ke depan. Karena tangan gadis itu sudah terbenam dan yang kelihatan hanya kepala, leher dan pundaknya, Kun Beng tak dapat berbuat lain kecuali menyambar baju di pundak gadis itu dan di dalam lompatannya yang kuat dan cepat, dia menarik baju itu.
“Breeeettt!”
“Celaka!” seru Kun Beng yang sudah berada di seberang rawa. Karena kuatnya gadis itu terbenam dan kuatnya dia menarik baju, dia tidak berhasil membetot tubuh gadis itu karena pakaiannya yang di sambar tadi robek-robek! Ketika dia menoleh, ternyata bahwa pakaian sebelah atas dari gadis itu telah lenyap dan “terbang”, kini berada di tangannya, pakaian yang penuh lumpur. Dengan muka merah dan bingung, Kun Beng melemparkan pakaian itu. Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi girang karena betapapun juga, sebelah tangan gadis itu telah keluar dari dalam lumpur, terbawa oleh betotannya tadi.
Adapun Kui Lan yang telah banyak mengalami penderitaan dan kekagetan semenjak tertawan oleh kepala rampok tadi, kini menjadi makin bingung dan malu sehingga kepalanya terkulai dan ia jatuh pingsan!
Sekali lagi Kun Beng melompat, kini menambah tenaga lompatannya. Ia berhasil menyambar lengan Kui Lan dan memabawa gadis itu ikut melayang. Akan tetapi tenaga lompatannya tertahan oleh berat tubuh gadis itu, apalagi karena lumpur yang menahan tubuh gadis itu ternyata banyak melenyapkan tenaga lompatan Kun Beng. Hal ini membuat Kun Beng dan Kui Lan melayang turun sebelum sampai di seberang lumpur itu! Akan tetapi, kepandaian Kun Beng ternyata sudah hebat sekali. Pemuda ini dengan tenang menahan napas, lalu berseru keras sekali dan tahu-tahu tubuhnya mumbul kembali dalam keadaan berpoksai (membuat salto) dan dengan memondong tubuh Kui Lan yang penuh lumpur, dia berhasil melompat ke seberang lumpur, di atas tanah yang keras! Pemuda itu menarik napas panjang dengan hati lega. Ia menoleh ke arah lumpur dan bergidik.
“Berbahya sekali.” Pikirnya. Kalau sampai dia terjatuh ke dalam lumpur itu bersama gadis yang dipondongnya, tentu mereka berdua akan tewas. Ia menoleh ke arah Ang Hok dan ternyata penjahat itu telah tenggelam, hanya kelihatan sedikit rambutnya saja. Ketika dia memandang ke bawah, ke arah tubuh gadis yang dipondongnya, mukanya menjadi merah sekali. Ternyata bahwa tubuh bagian atas dari gadis itu sama sekali tidak tertutup oleh pakaian lagi! Akan tetapi dia merasa lega bahwa tubuh itu diselimuti oleh lumpur tebal sehingga gadis itu seakan-akan memakai pakaian warna abu-abu yang amat pas dan ketat mencetak bentuk tubuh tubuhnya yang menggairahkan hati. Kun Beng lalu membawa lari gadis itu, kembali ke dalam goa di mana tadi dipergunakan oleh gerombolan perampok sebagai sarang. Ternyata di dalam goa itu terdapat segala macam keperluan, sampai-sampai di situ tertimbun beras dan makanan.
-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 4 - KPH -
Kui Lan membuka matanya perlahan dan serentak gadis ini meloncat bangun begitu melihat bahwa ia terbaring di atas pasir di dalam goa. Hatinya berdebar keras dam alangkah kagetnya ketika ia menengok ke bawah melihat betapa dada dan punggungnya sama sekali tidak tertutup oleh pakaian. Kemudian ia melihat seorang pemuda duduk di atas batu membelakanginya, nampaknya tengah melamun. Pemuda itu adalah pemuda tampan dan gagah yang tadi menolongnya.
“Keparat!” desis mulut Kui Lan melihat pemuda ini karena ia teringat akan keadaannya yang setengah telanjang. Tanpa pikir panjang lagi ia lalu menerjang dengan kepalan tangannya. Akan tetapi, bagaikan mempunyai mata di belakang kepala, pemuda itu mengelak dan berdiri lalu menoleh sambil tersenyum.
“Nona, mengapa kau menyerangku?”
“Kau…. orang yang tidak tahu malu! Kau telah berani menghinaku, berani….. merobek pakaianku. Hayo kembalikan pakaianku!’
Biarpun hatinya berdebar tidak karuan dan darahnya panas mengalir di seluruh tubuhnya, terutama di mukanya yang tampan, Kun Beng berkata,
“Sabarlah, Nona. Aku tahu perasaanmu, akan tetapi harap kau jangan malu-malu. Biarpun pakaianmu sudah hilang, akan tetapi tubuhmu tertutup lumpur tebal. Bukankah itu sama pula dengan pakaian untuk sementara ini? Aku sengaja menanti sampai kau siuman agar kita dapat bicara secara baik-baik.”
“Kau….. kau kurang ajar!” seru Kui Lan dan kini ia cepat-cepat mempergunakan kedua lengan untuk disilangkan menutupi dadanya. Pergerakan ini membuat lumpur yang kering rontok sehingga nampak kulit yang putih. Kun Beng cepat membalikkan tubuh membelakangi gadis itu.
“Nona, aku sekarang sudah lega melihat kau tidak apa-apa. Sekarang aku akan pergi untuk mencarikan pakaian agar kau dapat memakainya. Akan tetapi pesanku, jangan sekali-kali kau banyak bergerak dan jangan melenyapkan lumpur itu, karena betapapun juga, lumpur itu merupakan pakaian yang indah dan cukup sopan.”
Setelah berkata demikian, Kun Beng berkelebat dan lenyap dari goa itu. Kui Lan tertegun. Bukan main cepatnya gerakan pemuda itu, pikirnya, luar biasa sekali. Alangkah gagahnya dan tangkasnya karena kalau tidak memiliki kepandaian tinggi, bagaimana dapat menolongnya dari cengkeraman penjahat dan dapat mengeluarkannya dari lumpur itu? Dan alangkah…. tampannya! Berpikir sampai disini, Kui Lan menjatuhkan diri duduk di atas batu dan tiba-tiba ia menjadi pucat. Baru sekarang ia teringat akan keadaan rumah dan orang tuanya.
“Ayah…… ibu……..!” Gadis ini berbisik dengan muka pucat sekali. Ia belum tahu dengan jelas bagaiman nasib ayah bundanya, karena ketika terjadi pengeroyokan, ia tidak sempat melihat keadaan ayahnya. Kui Lan melompat bangun dan lari keluar dari goa. Akan tetapi, ia segera melompat ke dalam kembali setelah ingat bahwa ia berada dalam keadaan setengah telanjang! Ia bingung sekali. Menurutkan perasaannya, ingin sekali ia terbang kembali ke dusunnya melihat keadaan orang tuanya. Akan tetapi keadaannya tidak mengijinkannya.
Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari luar goa.
“Kui Lan, pakailah pakaian ini.” Dan dari luar goa lalu dilemparkan segulung pakaian yang diterima oleh gadis itu dengan girang. Cepat-cepat gadis ini menanggalkan semua pakaian yang masih menempel di tubuhnya karena pakaian yang sudah terbenam lumpur itu betul-betul membuat sekuruh tubuh terasa gatal-gatal dan kaku sekali. Setelah ia memakai pakaian yang dilempar masuk oleh Kun Beng, ternyata pakaian itu pas betul dengan tubuhnya dan cukup pantas biarpun hanya pakaian wanita petani.
“Terima kasih, kau baik betul……” kata gadis itu dari dalam goa.
“Tak usah berterima kasih, Kui Lan. Apakah kau sudah selesai berpakaian?” tanya pemuda itu dan tiba-tiba terasalah dalam hati Kui Lan betapa pemuda itu suaranya kini amat lemah lembut dan halus sedangkan panggilan namanya begitu saja juga jauh berbeda dengan tadi.
Akan tetapi gadis ini kembali teringat akan orang tua dan rumahnya, maka ia cepat melompat keluar dari goa itu. Kun Beng telah berdiri di depan goa dan mereka kini berhadapan.
“Aduh, pantas sekali kau memakai pakaian itu!” pujinya dengan pandang mata kagum.
Kui Lan menunduk dengan muka merah. “Jangan kau mengejek, ini hanya pakaian gadis petani sederhana saja.”
“Bahkan kesederhanaannya menonjolkan kecantikan yang wajar.” Kun Beng memuji lagi. Pemuda ini memang sengaja memuji dan hendak menghibur hati gadis yang cantik ini. Karena ketika dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan tadi, dia mendengar betapa ayah bunda dari gadis ini telah dibunuh secara mengerikan oleh kawanan perampok, sedangkan rumahnya terbakar musnah!
Berdebar hati Kui Lan mendengar pujian-pujian itu. Ia mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Memang tampan, tampan dan gagah sekali, pikinya. Dua pasang mata bertemu dan keduanya memandang penuh arti, sungguhpun berbeda sekali. Kun Beng memandang dengan penuh keharuan dan iba hati terhadap gadis itu, sebaliknya Kui Lan memandang dengan penuh kagum, terima kasih dan …… suka. Ya, hati gadis ini telah jatuh begitu bertemu pandang dengan Kun Beng.
“Kau….. siapakah namamu?” tanyanya setelah menunduk lagi karena pertemuan pandang itu membuat ia merasa malu-malu.
“Namaku The Kun Beng, pemuda perantau. Dan aku sudah tahu akan namamu, Kui Lan bukan? Aku mendengar dari orang-orang dusun itu.”
Kui Lan teringat kembali kepada orang tuanya, ia cepat meloncat dan berkata, “Aku harus pulang……!”
Akan tetapi tiba-tiba ia merasa terkejut dan marah sekali karena Kun Beng telah menangkap lengan kanannya.
“Eh, kau mau apakah? Lepaskan tanganku!” bentaknya.
Kun Beng melepaskan pegangannya dan pandang matanya makin sayu.
“Kui Lan, kuminta supaya kau jangan kembali ke dusunmu.”
Gadis itu membuka matanya lebar-lebar. “Mengapa aku kaularang pulang dan apa maksud dan kehendakmu pula menahanku?”
“Marilah kita duduk di tempat teduh itu, Kui Lan dan kita bicara dengan tenang.” Tanpa sungkan-sungkan lagi Kun Beng lalu memegang tangan gadis itu dan menggandengnya, seperti laku seorang kakak terhadap seorang adiknya.
Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Kun Beng dan pemuda ini sama sekali tidak kelihatan hendak berbuat kurang ajar, hati Kui Lan mulai berdebar gelisah. Pasti ada apa-apa yang hebat, pikirnya. Otomatis ia teringat akan orang tuanya maka dengan wajah pucat ia lalu memegang lengan pemuda itu tanpa menanti sampai di tempat teduh dan mengguncang-guncang lengan itu.
“Taihiap…… katakanlah, apa yang terjadi dengan dusunku…….? Dengan orang tuaku……..??”
Kun Beng mengerutkan alisnya. “Sabar dan tenanglah, Kui Lan. Mari kita duduk di tempat yang teduh dan kau harus mendengar dengan tenang.”
“Tidak, tidak! lekas kau katakan sekarang juga, atau…… lebih baik aku pulang!” Ia hendak pergi, akan tetapi kembali Kun Beng menangkap lengannya. Pegangan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga takkan ada gunanya kalau kiranya gadis itu memberontak.
“Apa boleh buat, Kui Lan. Dengarlah, kawanan perampok itu telah banyak mendatangkan bencana di kampungmu, merampoki rumah-rumah, membakar dan membunuh.”
“Ayah dan ibu…..?”
Kun Beng mengangguk perlahan. “Ayah bundamu tewas dan rumahmu dibakar oleh mereka…..”
Kui Lan semalam mengalami hal-hal yang menggoncangkan batinnya, dan tubuhnya masih lemah sekali. Kini mendengar warta yang hebat ini, seketika ia menjadi pucat, terhuyung dan tentu akan roboh kalau Kun Beng tidak cepat-cepat memeluk dan memondongnya. Pemuda ini memang sudah dapat menduga lebih dulu, maka cepat dia menotok jalan darah di leher gadis itu agar goncangan hebat tidak merusak ingatan gadis itu. Ia sengaja melarang gadis itu ke kampungnya, karena kalau gadis itu melihat sendiri bencana yang menimpa keluarganya, akan lebih fatal akibatnya. Untuk menjaga ini pula, ketika dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan, dia sengaja menyeret mayat-mayat perampok dan melempar mereka ke dalam rawa lumpur sehingga mereka semua terkubur di situ, agar tidak kelihatan lagi oleh gadis itu musuh-musuh besarnya yang telah menghancurkan keluarganya.
-Cerita Dewasa ABG SIlat : Pendekar Sakti 4 - KPH -
Kemudian dia lalu membawa tubuh Kui Lan kembali ke dalam goa. Kui lan mengalami pukulan batin dan tubuhnya mulai panas sekali. Ketika ia siuman dari pingsan, ia mengigau, memanggil-manggil ayah bundanya dan berkali-kali ia roboh pingsan. Kun Beng mersakasiha sekali dan pemuda ini merawatnya baik-baik.
Selama tiga hari Kui Lan berada dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan, namun berkat perawatan yang penuh perhatian dari Kun Beng, krisis berbahaya telah lewat dan ia mulai sadar kembali. Panasnya berangsur-angsur berkurang dan kini ia merasa letih dan lemah. Ketika ia membuka matanya pada pagi hari ketiga, ia melihat Kun Beng duduk di dekatnya sambil memegang sebuah mangkok bubur.
"Makanlah Kui Lan. Bubur ini akan menguatkan tubuhmu," katanya halus.
Kui Lan untuk sejenak merasa nanar dan dikumpulkannya ingatannya, mengenangkan semua peristiwa yang telah terjadi. Kemudian ia menangis sambil sambil menutupkan kedua tangan dimukanya, teringat ia akan ayah bundanya yang tewas.
"Tenang, Manis. Jangan menurutkan perasaan hati," Kun Beng menghibur.
"Aku......sebatang kara ...." Kui lan mengeluh.
"Apa kaukira aku bukan orang?" Tanpa disengaja Kun Beng berkata demikian, maksudnya hanya untuk menghibur.
Kui Lan bangun duduk, akan tetapi meramkan mata karena pusing. Kun Beng cepat menjaga pungungunya dan menempelkan mangkok pada bibir gadis itu.
"Minumlah bubur ini dulu."
Tanpa membuka matanya, Kui Lan makan bubur itu, atau lebih tepat meminumnya. Habislah bubur hangat itu dan ia merasa peningnya hilang dan tubuhnya segar. Dibukanya kembali matanya, dan dipandangnya muka pemuda yang berlutut di dekatnya.
"Berapa lamakah aku tak sadarkan diri?"
"Kau terkena demam, selama tiga hari dan kau tidak ingat apa-apa, setiap hari hanya mengigau saja," kata Kun Beng tersenyum. "Syukurlah sekarang kau telah sehat kembali."
"Tiga hari? Dan selama itu..... kau telah menjaga dan merawatku di sini?"
Merah muka Kun Beng ketika gadis itu memandangnya sedemikian rupa. Ia mengangguk, akan tetapi segera dibukanya mulutnya.
"Apa artinya itu? Kau perlu ditolong dan di sini terdapat banyak bahan makanan."
"Ahh .... The-taihiap.... kau baik sekali..." kembali Kui Lan menangis saking terharu dan juga bersyukur bahwa dalam penderitaannya yang hebat, ia bertemu dengan seoarang pendekar muda yang demikian gagah perkasa dan budiman.
"Hushh, sudahlah, memang sudah kewajibanku untuk menolongmu," kata Kun Beng sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.
Tiba-tiba Kui Lan memegang lengan Kun Beng erat-erat. "Katakan, Taihiap, mengapa kau menolongku? Mengapa kau rela mengorbankan waktu dan tenaga untukku?" Mata gadis itu memandang tajam dan kini terlihat sinar mata yang ganjil dan yang membuat Kun Beng berdebar hatinya. Gadis itu memang cantik sekali dan menarik hatinya yang masih muda dan membuat darahnya yang masih panas itu bergolak.
"Mengapa? Karena kau perlu ditolong, karena aku kasihan padamu......."
"Taihiap, kau ....kau suka kepadaku?"
Makin merah muka Kun beng. Pertanyaan seperti ini tak disangkanya akan keluar dari mulut gadis itu. Akan tetapi dia maklum gadis itu masih lemah hatinya, masih amat perasa hatinya, dan sekali-kali tidak boleh dibikin kecewa atau berduka. Untuk sekedar menghibur hati gadis itu, harus dibikin senang hatinya, dan pula memang dia suka kepada Kui Lan. Laki-laki manakah yang tidak akan suka melihat gadis yang demikian cantik manis, dan juga yang harus dikasihani nasibnya?
"Tentu saja, Kui lan. Aku suka sekali padamu," jawabnya sambil tersenyum manis.
Dengan mata basah Kui Lan memandang kepada pemuda itu, suaranya tergetar penuh haru ketika ia mengajukan pertanyaan penuh mendesak.
"Dan cinta kepadaku?"
Bukan main bingungnya hati Kun Beng. Cinta? Ini lain lagi halnya. Ia tidak berani memastikan apakah dia cinta kepada gadis ini. Apakah suka itu cinta? ia memang suka dan kasihan, akan tetapi apakah ini boleh disamakan dengan cinta? Ia masih terlalu hijau untuk mengetahui soal-soal pelik ini. Semenjak Kun Beng sudah pandai mempertimbangkan sesuatu, pertunangannya dengan Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe coa-li seperti yang telah ditetapkan oleh gurunya membuat dia sering kali termenung mengenangkan wajah Sui Ceng. Wajah seorang anak perempuan yang lincah, gembira dan juga manis sekali. Wajah ini lambat-laun menjadi bayang-bayang dalam mimpi dan biarpun dia tidak pernah bertemu dengan tunangannya itu, namun dia menggambarkan di dalam angan-angannya seorang gadis yang gagah perkasa, berwajah cantik manis dan mencocoki hatinya setiap gerak-geriknya. Ia berkeras hati menentukan bahwa dia mencintai Sui Ceng, tunangannya itu. Bukankah sudah semestinya begitu?
Akan tetapi, bagimana dia harus menjawab gadis yang sedang menderita hebat ini? Wajahnya yang agak pucat yang kini basah dengan air mata, suara yang mengandung harap dan permohonan itu, ah, tidak sanggup Kun Beng mengecewakan Kui Lan. Pula, dia hanyalah seorang pemuda yang masih lemah pertahanan imannya menghadapi rayuan seorang wanita yang demikian cantiknya, yang dari pandang matanya merayu-rayu mengharapkan jawaban bahwa dia juga mencintai. Akhirnya, tanpa mengeluarkan sepatah katapun Kun Beng mengangguk-anggukkan kepalanya!
Kui Lan mengeluarkan keluh perlahan, suaranya yang menyatakan keharuan dan kebahagiaan hatinya. Ia lalu menubruk pemuda itu dan menyatakan keharuan dan kebahagiaan hatinya. Ia lalu menubruk pemuda itu dan menyadarkan muka pada dada Kun Beng. Pemuda ini merasa betapa air mata yang hangat menembus baju membasahi kulit dadanya. Sampai lama mereka berada dalam keadaan ini dan semenjak saat itu mereka tenggelam dalam gelombang asmara, bagaikan dua orang yang amat berbahaya. Kurang pandai sedikit saja menguasai kemudi biduk akan terguling tertelan buih-buih onmbak yang berupa nafsu-nafsu hewani dalam diri setiap manusia!
Sampai dua hari lagi mereka berdua berada di dalam goa itu. Pada hari kedua, di waktu senja, bayangan seorang pemuda bertubuh tegap bermuka gagah berlari-lari naik di pegunungan batu karang itu. Gerakannya amat gesit dan cepat, tanda bahwa dia telah memiliki ilmu ginkang yang luar biasa. Memang, setiap orang ahli silat tinggi yang melihatnya berlari-lari seperti itu akan mengetahui bahwa dia adalah seorang ahli dalam ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng (Terbang di Atas Bumi).
Pemuda ini bukan lain adalah Gouw Swi Kiat, putera dari keluarga Gouw yang terbasmi oleh perampok, atau kakak dari Gouw Kui Lan. Wajahnya muram dan berduka, karena pemuda ini telah tiba di dusunnya dan melihat kehancuran keluargannya. Ketika dia bertanya tentang adik perempuannya, penduduk di dusunnya tidak ada yang dapat memberitahukannya, hanya menyatakan bahwa ketika terjadi keributan, Kui Lan dilarikan oleh kepala rampok yang bersarang di atas pegunungan batu karang itu dan yang tadinya hendak dijadikan isteri oleh kepala rampok.
"Kemudian datanglah seorang pemuda gagah yang membunuh semua perampok itu, dan tentang adikmu, entah bagaimana nasibnya. Kami sekalian tak seorang pun berani naik ke sana," demikian orang-orang dusun menutup penuturannya.
Mendengar ini, Swi Kiat lalu langsung menuju ke gunung itu. hatinya sedih bukan main, juga geram dan marah. Kalau saja para perampok itu masih hidup, biarpun sampai ke ujung dunia, pasti akan dikejar dan dibunuhnya semua. Setalah mencari ke sana ke mari, akhirnya dia pun tiba di luar goa bekas sarang perampok dan lapat-lapat terdengar olehnya orang bercakap-cakap. Swi Kiat cepat menyelinap diantara batu-batu karang dan tanpa mengintai ke dalam, dia memasang telinga mendengarkan percakapan itu dari luar goa. Alangkah terkejutnya dan herannya ketika dia mengenal suara adiknya!
"Taihiap, sungguh aneh dan lucu kalau kita renungkan keadaan kita. Aku yang telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu dengan penuh keikhlasan dan cinta kasih, belum pernah mendengar riwayatmu, bahkan belum mengenal betul keadaanmu. Sebaliknya kau pun yang sudah dapat dikatakan menjadi suamiku, belum mengetahui betul keadaanku..." suara ini terdengar demikian manja dan mesra, dan Swi Kiat yang mengenal betul suara adiknya, menjadi ragu-ragu. Betul-betulkah itu Kui Lan yang bicara? Mengapa bicara seperti itu dan bicara kepada siapakah? Karena ingin tahu sekali, Swi Kiat dengan amat hati-hati mengintai dan alangkah herannya ketika dia melihat benar-benar adiknya dengan pakaian seperti petani wanita sedang rebah di atas lantai goa, merebahkan kepalanya di atas pangkuan seorang pemuda yang bukan lain adalah The Kun Beng, sutenya sendiri! Swi Kiat mengejap-ngejapkan matanya, merasa seperti dalam sebuah mimpi. Akan tetapi dia mendengar Kun Beng yang menjawab kata-kata adiknya tadi.
"Kui lan, pertemuan kita memang kehendak Thian. Aku kasihan sekali kepadamu dan aku bersedia mengorbankan nyawa untuk menolong dan membelamu."
"Terima kasih, Taihiap. Kau memang laki-laki yang paling mulia di atas dunia ini."
Kun Beng duduk seperti orang melamun, wajahnya nampak tidak gembira dan berkali-kali dia menghela napas dan seperti tidak merasa sesuatu sungguhpun tangan kirinya mengelus-elus rambut kepala gadis itu.
"Sayang sekali iblis menggangu kita, Kui Lan, sehingga kita tidak berdaya dibuatnya, sehingga kita lupa.... dan kita melakukan pelanggaran yang hebat.... aku menyesal sekali."
"Tidak, Taihiap! Tidak demikian, aku tidak menyesal. Aku memang sudah rela menyerahkan jiwa raga kepadamu. Hanya kau seorang di dunia ini yang akan dapat menguasai hatiku. Aku....aku girang dan bangga dapat menjadi...."
Sebelum Kui Lan mengatakan "istrimu", lebih dulu Kun beng memutuskan omongannya. Pemuda ini paling takut dan tidak suka mendengar pengakuan Kui Lan sebagai isterinya.
"Kui lan, aku berdosa besar. Aku telah mempergunakan kesempatan untuk menggangu seorang gadis sebatangkara......"
"Aku tidak sebatangkara, Taihiap. Bukankah ada kau di sini?"
"Maksudku, hidup seorang diri di dunia ini tanpa sanak tanpa saudara, sebatangkara seperti aku pula."
"Salah!" Kui Lan tertawa kecil. "Aku mempunyai rahasia, Taihiap. Sesunguhnya aku masih mempunyai seorang saudara, yakni kakakku yang menjadi seorang pendekar besar seperti engkau pula, Kakakku adalah murid dari Pak-lo-sia Siangkoan Hai, seorang......"
"Apa katamu ? Siapakah nama kakakmu itu?" Kun Beng bertanya kaget sekali dan melompat bangun sehingga Kui Lan juga ikut bangun.
"Mengapa kau sepucat ini, Taihiap? Kakakku adalah Gouw Swi Kiat."
"Aduhai, Kui Lan. Mengapa tidak kau katakan hal ini dulu-dulu kepadaku? Celaka.......!kukira kau.."
"Kaukira apa, Taihiap?" Kui Lan benar-benar gugup dan bingung.
"kukira kau seorang gadis dusun biasa saja yang bernasib malang dan.....dan...kalau aku tahu bahwa kau adalah adik dari suhengku, akau takkan.....takkan berani..."
"Jadi kau ini sute dari Kiat-ko? Dia tidak pernah menceritakan halmu."
"Memang suhu melarang kami membicarakan tentang keadaan suhu dan murid-muridnya. Aduh, Kui Lan, bagaimana bisa terjadi hal seperti ini? Kau adik dari Gouw-suheng, dan aku.....aku telah...."
Tiba-tiba terdengar suara di luar goa dan Kun Beng cepat melompat. Akan tetapi dia didahului oleh masuknya seorang pemuda yang datang-datang terus memaki-maki.
"Kui Lan, kau gadis tak tahu malu! kau mencemarkan nama keluarga kita! Sute, kau pun seorang berjiwa rendah, kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu!"
Kalau saja yang muncul itu seorang siluman atau iblis yang bermuka mengerikan belum tentu mereka akan sekaget itu. Apalagi Kun Beng yang menjadi pucat dan dengan suara perlahan dia hanya bisa berkata, "Suheng..."
"Kiat-ko.." keluh Kui lan yang sudah mencucurkan air mata melihat kakaknya itu,"Mengapa kau baru datang? Ayah dan ibu..."
Wajah Swi Kiat menjadi makin muram. "Ayah dan ibu dibunuh orang dan kau bahkan main gila dengan seorang laki-laki. Tak malukah engkau?"
"Kiat-ko, jangan berkata demikian keji! Ayah ibu dibunuh perampok dan para perampok itu telah terbalas oleh The-Taihiap ini. Dan aku.....aku cinta padanya. Kiat-ko, kami....kami saling mencinta....harap kauampunkan kami...."
Melihat adiknya ini, kemarahan hati Swi Kiat mereda. Ia menarik napas panjang lalu menghadapi Kun Beng dengan muka keras.
"Sute, kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Kau harus menikah dengan adikku dan kau harus segera memberi laporan kepada suhu, membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng!"
Muka Kun Beng menjadi pucat dan tubuhnya gemetar.
"Suheng, tak kusangka bahwa Kui Lan adikmu....tak mungkin aku membatalkan pertunangan itu,suhu akan marah sekali." "Apa kau bilang? Tidak peduli suhu marah, kau harus berani menghadapi akibat perbuatanmu sendiri. Kau harus menjadi suami Kui Lan!" Kun Beng menggeleng kepalanya "Tidak ada niatku untuk menjadi suaminya, Suheng. Memang kami telah lupa dan terbujuk iblis, akan tetapi..." "Apa? Kau tidak cinta padanya?"
"Aku....terus terang saja aku suka dan kasihan sekali kepada adikmu. Agaknya karena nasibnya yang malang, dan karena tadinya aku sendiri tidak tahu bahwa engkau adalah kakaknya, aku...aku kasihan dan dia....dia menderita sakit, kurawat..dan...dan keadaan yang sunyi ini, ditambah cinta kasih adikmu kepadaku, membuat aku lupa..." "Keparat! Lekas kaukatakan bahwa kau bersedia membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng dan bersedia menikah dengan Kui Lan. Kalau tidak, aku akan lupa bahwa kau adalah suteku dan aku akan habiskan perhitungan ini dengan senjata!" Swi Kiat yang berwatak keras menjadi merah mukanya dan dia sudah mencabut keluar senjatanya, yakni sebuah kipas yang amat lihai kalau dimainkan oleh murid Pak-Lo-sian Siang-Koan Hai ini. "Apa boleh buat, Suheng. Aku.....aku tidak bisa melakukan sesuatu yang berlawanan dengan suara hati. Aku malu terhadap suhu, dan pula....aku tidak ingin menjadi suami Kui Lan... "Keparat pengecut!" Swi Kiat cepat menyerang sutenya dengan kipas ditangannya. Serangan ini ditujukan ke arah ulu hati Kun Beng, sebuah serangan yang dapat mendatangkan maut apabila mengenai sasaran. Kipas ini di bagian gagang dan rangkanya terbuat daripada gading gajah, sedangkan permukaanya terbuat daripada kulit harimau, tidak saja dapat dipergunakan untuk menampar dan memukul, juga amat berbahaya karena ujung-ujung gagangnya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Kun Beng cepat mengelak sambil berkata, "Suheng, jangan kau serang aku! Aku sudah menerima salah dan berdosa, jangan menambah dosaku, jangan menambah dosaku dengan mengangkat tangan melawanmu...." Akan tetapi Swi Kiat tidak peduli, bahkan mendesak lebih hebat lagi. "Kiat-ko...jangan kau serang dia....!"
Kui Lan menjerit sambil menangis. Gadis ini hatinya hancur ketika tadi mendengar penolakan Kun Beng. Dari sikap pemuda itu, tahulah ia kini bahwa sebetulnya Kun Beng sudah bertunangan, dan bahwa sesungguhnya pemuda itu tidak cinta kepadanya, hanya suka dan kasihan. Rasa suka yang timbul karena hati kasihan, dan bahwa perbuatan Kun Beng terhadap dirinya lebih banyak dikuasai oleh nafsu semata, bukan oleh cinta kasih yang murni. Hatinya perih sekali dan juga sakit, akan tetapi sekarang melihat Kun Beng diserang oleh kakaknya, ia menjadi khawatir. Betapapun juga, ia masih cinta sekali kepada Kun Beng dan cintanya itu takkan mudah hilang begitu saja.
Seruan Kui Lan menambah kemarahan di hati Swi Kiat yang menyerang lebih hebat lagi dengan gerak tipu Khai-san-coan-hoa (Buka Kipas Menembus Bunga) dan dilanjutkan dengan gerak tipu Khai-san-koan-jit (Buka kipas menutup matahari). Inilah tipu-tipu yang amat hebat dari ilmu kipas Im-yang-san-hoat. Melihat serangan-serangan ini, Kun Beng terkejut sekali karena maklum bahwa kakak seperguruannya bukan main-main lagi, melainkan menyerang untuk mengarah nyawanya! "Suheng, ingatlah akan hubungan kita, ingatlah Suhu!" Kun Beng berseru kembali sambil sibuk mengelak ke sana ke mari atas serangan-serangan maut yang dilancarkan oleh suhengnya.
"Mampuslah, bedebah!" Swi Kiat maju mendesaknya. Karena cepatnya Swi Kiat menyerang kipas maut di tanganya telah berhasil menyerempet pundak kiri Kun Beng yang mengeluh sambil terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan dia telah menderita luka cukup parah di dekat sambungan tulang. "Kiat-ko.....! Jangan bunuh dia...!" Kui lan menubruk kakaknya. Pada saat itu, Kun beng sudah naik darah dan sambil meringis kesakitan pemuda ini juga sudah mencabut senjatanya, yakni tombak pendek. Dengan senjata ini, dia membalas serangan suhengnya, karena dia merasa telah dilukai. Tusukan tombaknya ke arah dada itu dielakkan oleh Swi kiat, akan tetapi karena pada saat itu Kui Lan memberot bajunya dari belakang, gerakkannya terhalang dan tombak di tangan Kun Beng menyerempet pinggir lengannya. "Brett!" baju itu robek sedikit dan kulit lengan terluka, walaupun tidak parah namun cukup banyak mengeluarkan darah. "Kiat-ko, sudahilah pertempuran ini.....! The-taihiap, cukuplah.... kasihanilah aku....!" Kui Lan mengis dan memeluk kakaknya. Tentu saja Swi Kiat menjadi terhalang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Beng untuk melompat keluar dari goa dan melarikan diri. Melihat hal ini, Kui Lan menjatuhkan diri di atas lantai goa dan menangis tersedu-sedu. Tadinya Swi Kiat hendak mengejar bayangan Kun beng, akan tetapi melihat keadaan adiknya dia tidak tega meninggalkannya dan dia belutut di depan adiknya dan mendekap kepalanya. "Kiat-ko....,ayah dan ibu..." Kui Lan terisak-isak. Mengingat akan ayah bundanya, tak terasa Swi Kiat juga mencucurkan air mata. Kakak beradik itu menangisi nasib mereka dan kematian orang tuanya, dan keduanya melirik keluar goa di mana nampak bayangan Kun Beng berlari-lari cepat sekali, merupakan bayangan hitam dikala senja itu, seperti seekor kalong yang besar sekali terbang pergi. "Kiat-ko, dia sudah pergi..." kata-kata ini merupakan ratapan hatinya yang merasa perih sekali. "Aku akan mengejarnya," kata Swi Kiat. "Kiat-ko, jangan kau bunuh dia. Betapapun juga, aku cinta padanya, aku rela berkorban bagaiman juga untuknya. Aku akan setia sampai mati kepada The Kun Beng..." Swi Kiat sudah mengerti bahwa hubungan antara adiknya dan sutenya sudah sedemikian rupa sehingga mereka harus menjadi suami isteri, baik dengan jalan kasar maupun halus dia harus mengusahakan hal itu. "Aku akan mengejarnya, Kui lan. Jangan khawatir, aku takkan membunuhnya. Andaikata aku bermaksud membunuhnya juga, belum tentu aku sanggup karena kepandaiannya tidak kalah oleh kepandaianku. Aku akan mengusahakan agar dia suka kembali kepadamu, suka menjadi suamimu." Setelah berkata demikian, Swi Kiat melepaskan pelukannya dan secepat kilat tubuhnya berkelabat keluar, berlari mengejar Kun Beng yang sudah tidak kelihatan bayangannya lagi. Kui Lan yang ditinggal seorang diri di dalam goa menangis terguguk. Ia tidak tahu bahwa semenjak tadi, semenjak terjadi pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat, terdapat bayangan orang lain yang mengintai dan mendengarkan semua peristiwa itu. Jangankan Kui Lan yang kepandaianya masih rendah sehingga pendengarannya tidak dapat menangkap gerakan orang yang amat ringan itu, bahkan Kun Beng dan Swi Kiat yang mencurahkan seluruh perhatian untuk pertempuran itu, tidak mengetahui akan adanya bayangan ini. Bukan main kagetnya hati Kui Lan ketika tiba-tiba di belakangnya berdiri seorang pemuda yang yang berkepala botak dan berpakaian mewah sekali. Orang itu tersenyum kepadanya dan sepasang matanya memandang kagum sehingga Kui Lan merasa seakan-akan orang muda itu hendak menelannya bulat-bulat dengan sinar matanya. "Siapa kau....?" tegur Kui Lan kaget sambil melompat bangun. Orang itu masih muda, berwajah cukup menarik, hanya kepalanya saja botak. Pakaiannya amat indah dan mudah dilihat bahwa dia seorang bangsawan, baik dari gerak-geriknya maupun dari pakaiannya, terutama dari pakaiannya, karena bangsawan manapun juga memakai kalau memakai pakaian butut akan lenyap sifat kebangsawannya.
Aku bernama An Kong, seorang pangeran," kata pemuda itu sambil menjura hormat, akan tetapi mulutnya tersenyum dan matanya melirik ceriwis. "Nona Kui Lan, aku tanpa sengaja telah mendengar semua urusanmu. Kau harus dikasihani, nasibmu buruk sekali. Kau telah dikhianati oleh pemuda keparat itu dan kini kakakmu bermusuhan dengan sutenya sendiri. Orang bernasib malang dan cantik jelita sepertimu ini, siapakah yang tidak menaruh hati kasihan? Hanya orang jahat seperti The Kun Beng itu saja yang tega melukai hatimu. Kau harus ditolong, maka ikutlah aku, nona. Kau akan mengalami hidup berbahagia di istanaku. Jangan kaupedulikan lagi pemuda keparat itu dan kakakmu yang berhati keras. Marilah!" Sambil berkata demikian , Pangeran An Kong lalu mengulur tangan menagkap pergelangan tangan Kui Lan.
Kui Lan cepat menarik tangannya, namun terlambat. Pemuda itu gerakkannya cepat sekali dan sebelum ia dapat memberontak, ia diangkat dan dipondong! Kui Lan terkejut dan menjerit, akan tetapi sebuah totokan yang tepat telah membuat ia tidak kuasa lagi membuka mulut.
Bagaimana pemuda itu dapat tiba di situ? Sebetulnya, karena Swi Kiat membantu para pejuang rakyat dan membebaskan mereka dari kepungan, pihak pemerintah menjadi marah sekali. An Kong adalah putera dari An Lu Kui, dan pemuda ini secara kebetulan dapat melihat Swi Kiat. Karena dia pun sedang membantu usaha ayahnya berlomba mencari jasa dan kedudukan di kerajaan, diam-diam dia lalu mengikuti perjalanan Swi Kiat. Hanya dia saja yang sanggup melakukan hal ini, karena An Kong adalah murid dari Jeng-kin-Jiu Kak Thong Taisu dan dia memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia mengikuti jejak Swi Kiat, tidak berani menurunkan tangan. Ia maklum akan kelihaian murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia hendak mencari tahu lebih dulu di mana tempat tinggal pemuda itu sehigga dia dapat membawa kawan-kawannya untuk menangkapnya.
Demikianlah, dia mengikuti Swi Kiat terus sampai tiba di pegunungan itu dan secara kebetulan sekali dia melihat pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat. An Kong adalah seorang pemuda mata keranjang maka begitu melihat Kui Lan, hatinya menjadi tertarik sekali. Apalagi dia mendapat kenyataan bahwa Kui Lan adalah adik Gouw Swi Kiat, maka tentu saja hal ini amat baik sekali baginya. Ia dapat menangkap Kui Lan, selain untuk memenuhi hasrat hatinya, juga hal ini berarti sebuah pukulan hebat bagi Swi Kiat!
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kui Lan dibawa ke istana oleh An Kong dan hampir saja Kui Lan menjadi korban keganasan dan kekejian bangsawan rendah ini kalau saja tidak datang Lu Kwan Cu yang menolongnya.
Semua itu diceritakan oleh Kui Lan kepada Kwan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Tentu saja cerita Kui Lan tidak sejelas yang di atas, hanya terbatas pada apa yang diketahui oleh gadis itu. Namun Kwan Cu sudah dapat menduga apa yang terjadi seluruhnya.
***
Kwan Cu menarik napas panjang ketika dia mendengar penuturan itu.
"Kasihan sekali kau, Kui Lan. Dan terlalu Kun Beng. Tak kusangka dia akan tersesat sejauh itu."
"Dia tidak tersesat, semua yang terjadi adalah kesalahanku. Aku sudah setengah menduga bahwa dia tidak cinta kepadaku, akan tetapi cinta kasih membuat aku buta dan akulah yang menyeretnya sehingga dia melakukan semua hal atas diriku sebagaimana yang kukehendaki."
"Begitukah?" tanya Kwan Cu dan diam-diam pemuda itu berdebar hatinya, bukankah Kun Beng itu tunanngan Sui Ceng? Dan sekarang Kun Beng melakukan hal itu kepada Kui Lan, berarti Kun Beng tidak berharga lagi menjadi calon suami Sui Ceng.
"Memang akulah yang bersalah. The-taihiap tidak berdosa, dan aku tidak menyesal. Biarpun dia tidak mau menjadi suamiku, namun aku tetap akan bersetia kepadanya sampai mati."
Terharu hati Kwan Cu mendengar ucapan ini. Ia mengelus-elus kepala Kui Lan seperti sikap seorang kakak terhadap adiknya.
"Kau anak baik, Kui Lan. Sayang sekali kau terlalu lemah iman, tidak dapat menguasai hati menolak godaan iblis yang berupa napsu. Akan tetapi, hal itupun buka salahmu karena pada waktu itu, kau baru saja menderita tekanan batin yang hebat sehingga imanmu menjadi lemah."
Dengan mata basah Kui Lan lalu berkata, "Taihiap, sukakah kau menolongku mencari mereka itu dan mendamaikan mereka? Kalau sampai mereka saling bermusuhan, baik kakakku atau The-Taihiap yang tewas, aku akan kehilangan orang-orang yang paling kucinta dan kematian seorang di antara mereka akan membawa nyawaku pula."
Kwan Cu mengangguk-angguk. "Baiklah, Kui Lan. Mereka itupun sahabat-sahabatku, kalau aku dapat menemukan mereka, tentu akan kuusahakan sedapat mungkin untuk mencegah mereka saling membunuh."
"Terimakasih, Lu-taihiap, terima kasih. Budimu takan kulupakan selama hidupku."
Kwan Cu tersenyum. "Kau memang anak baik dan perasaanmu halus sekali. Aku pun seorang yang hidup sebatangkara, biarlah kau kuanggap adikku sendiri."
Bukan main girangnya hati Kui Lan mendengar ini. "Terimakasih kepada Thian bahwa kau telah tergerak hatimu untuk menolongku, Koko yang baik. Tadinya aku sudah bingung sekali kemana aku harus pergi dalam keadaan seorang diri ini, akan tetapi setelah kau mengangkatku sebagai adikmu, aku tidak khawatir lagi karena kau tentu akan membawaku kemanapun kau pergi."
Kwan Cu tertegun. Berdiri seperti patung tak mengeluarkan kata-kata lagi. Gadis ini cerdik sekali dan dapat mempergunakan kesempatan dengan amat cepatnya. Hal itu tak pernah disangka-sangkanya dan dia merasa betul, sebagai adiknya, Kui Lan tentu akan ikut dengan dia, atau setidaknya dia harus dapat mencarikan tempat yang layak bagi Kui Lan!
"Kui Lan, kau seorang gadis dan kepandainmu juga belum cukup, mana bisa melakukan perjalanan jauh yang masih tidak ada ketentuan tujuannya?"
"Dengan kau di sampingku, aku takut apakah?" kata Kui Lan sambil tersenyum.
"Tentu saja aku akan melindungimu, akan tetapi kalau kita melakukan perantauan bersama, akan menimbulkan tiga macam kerugian."
"Kerugian? Coba sebutkan apa itu!" Kui Lan berkata dengan muka cemberut, akan tetapi bahkan menambah kemanisannya.
"Pertama akan mendatangkan kesan buruk karena orang-orang akan menganggap tidak pantas seorang gadis melakukan perantauan bersama seorang pemuda."
"He, bukankah kau ini kakakku sendiri? apanya yang tidak pantas bagi seorang gadis melakukan perjalanan bersama kakaknya?"
"Kui Lan, pandangan mata dan pendengaran telinga orang-orang kang-ouw amat tajam, mereka akan tahu bahwa kita bukanlah saudara kandung dan tentu akan timbul sangkaan yang tidak-tidak yang kesemuanya hanya akan merusak nama baik kita. Hal yang kedua, kalau kau ikut aku, perjalanan tak dapat dilakukan cepat-cepat dan bagaimana aku dapat menyusul mereka? Ke tiga, andaikata tersusul, dan kau berada di dekatku, tentu mereka akan naik darah karena kau yang menjadi pokok pertentangan mereka. Maka lebih baik kau jangan terlihat oleh mereka."
Menghadapi alasan-alasan yang amat kuat ini, Kui lan menghela napas dan mengangkat pundak, katanya tak berdaya,
"Habis, apakah kau mau meninggalkan aku seorang diri di hutan ini?"
"Tentu saja tidak, adik Kui Lan. Aku mengenal sebuah tempat yang amat cocok bagimu, di mana kau boleh tinggal denagn hati tentram dan aku dapat meninggalkan engkau dengan tenang pula. Kau boleh tinggal di tempat itu dengan aman sampai aku dapat menemukan Swi Kiat dan Kun Beng."
"Di mana tempat itu?" Kui Lan ragu-ragu karena pada dewasa itu agaknya tak mungkin mendapatkan tempat yang aman bagi seorang gadis muda seperti dia, yang sudah banyak mengalami ganguan-ganguan dari orang jahat.
"Di dusun Kau-Ling sebelah utara kota Tan-Shan ada sebuah Kwan-im-bio (Kelenteng Dewi Kwan Im) yang besar dan para nikouw (pendeta wanita) yang berada di situ terkenal sebagai pendeta pendeta yang saleh beribadah. Kau boleh tinggal di sana untuk sementara waktu dengan hati aman dan tentram."
Kui Lan mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya, maka berangkatlah dua orang muda ini menuju ke kota Tan-shan yang letaknya di sebelah timur laut dari kota raja. Menurut pendapat Kui lan, mereka telah melakukan perjalanan cepat sekali karena gadis ini sepanjang jalan telah mempergunakan ilmu lari cepat yang pernah ia pelajari dari ayahnya. Akan tetapi tidak demikian menurut anggapan Kwan Cu. Kalau pemuda ini tidak melakukan perjalanan bersama Kui Lan, dalam waktu satu hari saja dia tentu akan sampai di dusun Kau-ling. Sekarang bersama Kui Lan, dalam waktu lima hari barulah mereka tiba di dusun itu dan langsung menuju Kwan-im-bio.
"Taihiap datang......!" seru beberapa orang nikouw yang kebetulan berada di pekarangan depan kuil itu untuk melakukan tugas menyapu dan lain-lain. Agaknya mereka merasa gembira sekali melihat kedatangan pemuda ini dan tahulah Kui Lan bahwa Kwan Cu telah dikenal baik oleh semua nikouw yang sudah tua-tua itu.
"Selamat datang, Taihiap. Kebetulan sekali Taihiap berkenan mengunjungi tempat kami karena kedatangan Taihiap memang amat diperlukan," kata seorang nikouw tua yang pekerjaannya sebagai nikouw penyambut tamu.
"Ada terjadi apakah, suthai? Dan di mana Ngo Lian Suthai? Teecu mohon bertemu dengan beliau," kata Kwan Cu.
"Ngo Lian Suthai terluka oleh Luan-ho Oei-Lioang (Naga Kuning dari Sungai Luan) dan keadaannya payah."
Kwan Cu terkejut sekali. "Suthai maksudkan Luan-ho Oei-Liong si bajak laut yang merajalela di sungai Luan-ho?" Kwan Cu memang pernah mendengar nama ini dan biarpun dia belum pernah bertemu dengan orangnya, namun sudah lama dia mempunyai niat untuk memberi hajaran kepada bajak yang dikabarkan orang amat ganas ini.
"Benar dia, Taihiap."
"Akan tetapi mengapa demikian? Apakah Ngo Lian Suthai melakukan pelayaran di Sungai Luan?"
Nikouw tua itu menggeleng kepalanya yang gundul halus. "Marilah kita duduk di ruang tamu, Taihiap. Di sana kita akan bicara dengan leluasa."
"Perkenankan teecu (murid) menjumpai Ngo Lian Suthai sendiri agar teecu mendapat keterangan lebih jelas."
"Menyesal sekali, Taihiap. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Ngo Lian Suthai tidak boleh banyak bicara dan bergerak. Beliau harus istirahat. tentu saja kau boleh bertemu dengan Ngo Lian Suthai, akan tetapi tidak baik kalau mengajaknya bercakap-cakap. Hal itu akan mengganggu kesehatannya."
Terpaksa Kwan Cu membenarkan pendapat ini dan dengan menggandeng tangan Kui Lan, dia mengikuti nikouw itu ke ruang tamu.
"Siapakah Siocia ini, Taihiap?" Nikouw tua itu bertanya sambil memandang kepada Kui Lan dengan sepasang matanya yang bening.
"Dia ini adalah Gouw Kui Lan adik angkatku. justru kedatanganku ini untuk minta pertolongan Ngo Lian Suthai agar suka menerima adikku sementara waktu tinggal di sini."
"Tentu saja boleh, Taihiap. Jangan khawatir, Nona, kau boleh tinggal disini seperti di dalam rumahmu sendiri."
"Terima kasih, Suthai, Tentu saja sambil menanti datangnya saudaraku, aku akan membantu pekerjaan yang dapat kulakukan di dalam bio ini," kata Kui Lan sambil memandang ke sekeliling. Tempat itu memang menyenangkangkan sekali, selain bersih, juga dikelilingi oleh tanaman bunga, nampaknya aman dan penuh kedamaian.
"Sekarang ceritakanlah, Suthai. Apa yang terjadi dengan Ngo Lian Suthai?"
Nikouw tua itu lalu menuturkan apa yang telah terjadi lima hari yang lalu sebelum Kwan Cu dan Kui Lan tiba di depan kuil itu.
Ngo Lian Suthai adalah nikouw berusia enam puluh tahun yang menjadi ketua dari Kwan-im-bio. Selain seseorang ahli batin yang patuh akan semua isi kitab dari Dewi Kwan Im, juga Ngo Lian Suthai memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, karena dia adalah murid dari Bu-tong-pai. Lebih dari dua puluh tahun Ngo Lian Suthai memimpin para nikouw di Kwan-im-bio itu dan selama itu, kuil menjadi lebih terkenal dan mendapatkan banyak penyumbang. Kuil itu dibangun sehingga merupakan kuil terbesar di daerah utara. Selain perabot-perabot yang berada dalam kuil terdiri dari barang-barang berharga sumbangan para penderma, juga di situ terdapat patung-patung yang sukar didapat, di antaranya terdapat sebuah patung setengah badan yang amat besar. Tinggi patung itu sama dengan tinggi seorang manusia biasa akan tetapi karena hanya setengah badan, maka ukuran badannya dua kali lebih besar dari ukuran badan manusia. Patung itu terbuat daripada perunggu dan indah sekali. Hanya bentuknya amat menyeramkan, karena biarpun dia merupakan sebuah patung pendeta laki-laki yang berpakaian sebagai pendeta biasa, namun di kepalanya terdapat sepasang tanduk seperti tanduk kerbau dan mulutnya bercaling seperti mulut babi!
Jarang ada orang yang mengerti apakah arti patung ini dan patung dewa atau iblis manakah gerangan. Akan tetapi Ngo Lian Suthai yang mendapatkan dan membawa patung itu dapat menceritakan dengan jelas. Patung ini dibuat oleh seorang pendeta Budha yang pandai, dan arti daripada patung ini adalah untuk menggambarkan betapa pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang mengaku pendeta dan berpakaian seperti pendeta, namun sebenarnya masih mempunyai akhlak yang bejat. Oleh karena itu, untuk menyindir bahwa kepala pendeta macam itu masih terisi pikiran-pikiran busuk, maka kepala patung di tumbuhi sepasang tanduk, dan karena banyak di antara pendeta itu mengeluarkan kata-kata yang tidak selayaknya seorang suci pada mulut patung itu dipasangi caling!
Jadi singkatnya patung itu adalah untuk memperingatkan kepada para pendeta atau orang yang menganut penghidupan suci, agar supaya digunduli dan jubahnya merupakan jubah pendeta, namun isi hati dan pikirannnya masih kotor.
Patung yang amat indah dan sukar didapat ini oleh Ngo Lian Suthai ditaruh di ruang tengah sehingga setiap anak muridnya dapat melihatnya tiap hari, merupakan patung peringatan yang mengerikan hati setiap muridnya.
Pada suatu hari, lima hari yang lalu sebelum Kwan Cu datang, di dalam bio kedatangan seorang tamu, seorang laki-laki tinggi besar bermuka kuning yang membawa golok besar terselip di punggungnya. Laki-laki itu sikapnya kasar sekali, akan tetapi nikouw itu menyambutnya, karena mengira bahwa orang itu hendak bersembahyang minta berkah dari Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im, yakni Dewi Welas Asih).
"Di mana Ngo Lian Suthai? Aku hendak bicara dengan dia!" Laki-laki tinggi besar itu berkata dengan kasar dan matanya jelalatan ke dalam.
"Congsu siapakah dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan Ngo Lian Suthai?" tanya nikouw tua penyambut itu.
"Beritahukan bahwa Luan-ho Oei-Liong datang hendak bertemu," kata laki-laki itu.
Mendengar nama kepala bajak ini, terkejutlah nikouw tua itu.
"Baik-baik, silahkan Congsu duduk menanti sebentar, pinni (aku) akan melaporkan kepada Ngo Lian Suthai," katanya dan cepat-cepat masuk ke belakang utuk melaporkan hal itu kepada ketuanya.
Akan tetapi Luan-ho Oei-Liong tidak sabar lagi. Ia segera bertindak masuk ke ruang tengah di mana terdapat patung besar dari perunggu itu sambil tersenyum puas dia lalu mengangkat patung itu dengan kedua tangannya, terus diangkat keluar dan diletakkan di ruang tamu. Semua nikouw yang melihat itu menjadi gempar. Mereka tidak berani mencegah, apalagi setelah melihat betapa dengan mudahnya laki-laki kasar itu mengangkat dan memindahkan patung. Patung itu beratnya hampir seribu kati dan selain Ngo Lian Suthai, tidak ada yang kuat mengangkatnya.
Tak lama kemudian, dari dalam keluarlah seorang nenek yang berpakaian pendeta serba putih, memegang sebatang tongkat hitam yang panjang dan kecil. Nenek ini gerak-geriknya lemah-lembut, demikian pula wajahnya membayangkan sifat yang mulia akan tetapi sepasang matanya amat berpengaruh. Ketika ia melirik ke arah patung perunggu yang sudah berdiri di ruang tamu, ia menggerakkan alisnya yang sudah hampir putih itu dan memandang Luan-ho Oei-liong.
"Congsu, pinni telah keluar, ceritakan apakah maksud kedatanganmu dan mengapa pula kau memindahkan patung itu?"
Melihat sikap yang halus dan sinar mata yang berpengaruh itu, Luan-ho Oei-liong yang bermuka kuning berubah sikapnya, tidak sekasar tadi dan dia menjura memberi hormat.
"Ngo Lian Suthai, telah lama siauwte mendengar namamu yang besar sebagai seorang gagah yang berhati mulia dan pemurah. Oleh karena itu, hari ini aku sengaja datang untuk memberi hormat dan untuk mohon pertolonganmu."
"Pertolongan apakah yang dapat diberikan oleh pinni yang tua dan lemah ini kepada Congsu yang muda dan gagah perkasa?"
"Hanya pertolongan sedikit saja, Suthai, yakni harap Suthai memberikan patung perunggu ini kepadaku, atau kalau Suthai berkeberatan aku bersedia membelinya," jawab kepala bajak itu sambil menunjuk ke arah patung yang berdiri di ruang itu.
Ngo Lian Suthai nampak heran sekali,"Patung ini? Untuk apakah kau membutuhkan patung ini, Congsu?"
"Terus terang saja, Ngo Lian Suthai patung ini hendak kupergunakan untuk tumbal dan jimat penunggu perahu sehingga pengaruh jahat akan merasa takut untuk menggangu kami. Pendeknya, patung ini akan kami sembah sebagai juru pelindung keselamatan."
Ngo Lian Suthai mengerutkan keningnya. "Salah sekali, Congsu. Patung ini adalah lambang kejahatan dan kepalsuan, tidak seharusnya dipuja-puja. Maaf, untuk keperluan itu terpaksa pinni tidak dapat memberikan patung ini kepadamu."
Berubah air muka kepala bajak itu mendengar ucapan ini, akan tetapi dia masih tersenyum menyeringai.
"Sebetulnya keinginan memiliki patung ini atas desakan adikku perempuan Sin-jiu Siang-kiam (Sepasang Pedang Tangan sakti) yang bernama Oei Hwa. Dialah yang selalu merasa khawatir akan marabahaya yang dapat menimpa kami, maka mendesak agar supaya aku datang ke sini minta atau membeli patung ini, Suthai. Harap kau orang tua suka mengalah dan menolong kami."
Ngo Lian Suthai tentu saja sudah mendengar nama Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa, nama seorang gadis cantik jelita akan tetapi berwatak seperti siluman, yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi, lebih tinggi dari Luan-ho Oei-liong, kakaknya. Maka ucapan kepala bajak tadi boleh dibilang selain memperkenalkan adiknya, juga merupakan ancaman halus. Namun pendeta wanita itu tidak merasa gentar karena hatinya sudah bersih dari perbuatan menyeleweng, maka rasa takut pun lenyap dari lubuk hatinya.
"Menyesal sakali, Congsu. Patung ini buatan sucouw (kakek guru) yang membuatnya dengan maksud membuat peringatan kepada mereka yang menyeleweng daripada garis-garis kehidupan manusia sesuai kehendak Thian. Pinni amat membutuhkan untuk memberi peringatan kepada murid pinni khususnya dan masyarakat umumnya."
"Ngo Lian Suthai, kalau begitu percuma saja kau berjubah pendeta dan memakai nama sebagai orang suci!" tiba-tiba Luan-ho Oei-liong berkata marah. Sudah habis kesabarannya.
"Dengan alasan yang mana kau dapat berkata begitu, Congsu?" Ngo Lian Suthai masih bersikap tenang, sabar dan bibirnya tersenyum ramah.
"Kau berpura-pura menjadi orang suci, akan tetapi masih pelit dan kikir. Jangankan menolong orang lain, memberikan patung yang bahkan akan kubeli saja kau tidak rela! Mana sifat-sifat kesucianmu?"
Ngo Lian Suthai mengeleng-gelengkan kepala dan berkata sungguh-sungguh.
"Congsu, tidak ada manusia yang benar-benar suci, kalau pun ada yang mengaku suci, itu hanya pura-pura dan bohong belaka. Pinni sendiri seorang manusia berdosa yang berusaha untuk memperbaiki diri dan menjauhkan segala macam nafsu keduniaan. Memberi itu sifatnya bermacam-macam, demikianpun menolong. Pemberian atau pertolongan yang mendatangkan keburukan, apalagi mendatangkan kejahatan dan penyelewengan, bukanlah pertolongan atau pemberian lagi namanya. Patung ini lambang kejahatan, seharusnya dianggap sebagai peringatan bukan untuk dipuja-puja. Kalau pinni memberikan kepadamu untuk kau puja-puja, hal itu berarti bahwa pinni bahkan menolong kau berbuat sesat. Dan ini adalah dosa besar, Congsu. Kewajiban pinni bukan menolong manusia menjadi sesat, sebaliknya bahkan mengulur tangan untuk mencegah mereka berbuat keliru dalam hidupnya. Sekali lagi menyesal sekali, pinni tidak dapat memberikan patung ini."
"Biarpun dibeli mahal?" Luan-ho Oei-liong mendesak sambil bangkit berdiri dari bangkunya.
"Patung ini hanya dapat dibeli dengan budi pekerti yang baik dan kesadaran. Kalau Congsu sudah sadar betul dan dapat memperbedakan baik dan buruk, mengejar kebajikan meninggalkan kejahatan, barulah patung ini patut kaubawa agar kau selalu ingat betapa buruknya kejahatan dan kepalsuan seperti digambarkan pada diri patung ini."
Merah sekali wajah kepala bajak yang berkulit muka kuning itu. Ia mencabut goloknya dan membentak,
"Nikouw tua bangka yang sombong dan bosan hidup. Kalau begitu hendak kubeli dengan golokku!" Setelah berkata demikian, Luan-ho Oei-liong lalu menyerang nenek tua itu dengan goloknya, disabetnya ke arah leher! Memang kepala bajak ini sudah mendengar bahwa nenek itu memiliki kepandaian silat yang lihai, maka dia mendahului menyerangnya.
"Omitohud, untuk membasmi kejahatan, terpaksa pinni melayanimu, Luan-ho Oei-liong !" kata nikouw tua itu yang cepat mengangkat tongkatnya menangkis sambaran golok itu.
Ngo Lian Suthai adalah ahli lweekang, akan tetapi ketika ia menangkis sambaran golok, ia merasa tanggannya gemetar. Ia telah tua sekali dan selama menjadi kepala nikouw di Kwan-im-bio, ia tidak pernah bertempur dan hanya melatih ilmu silat untuk menjaga kesehatan jasmani saja. Maka tenaganya banyak berkurang dan memang tenaga dari bajak laut itu besar sekali.
Para nikouw yang berada di situ tak seorang pun berani maju karena mereka maklum bahwa kepandaian bajak laut itu hebat sekali, jauh melebihi kepandaian mereka yang tidak seberapa. Akan tetapi Ngo Lian Suthai memang patut dipuji. Biarpun sudah amat tua, ia masih gesit dan tongkatnya merupakan benteng pertahanan yang sukar ditembus. Kepala bajak itu menjadi penasaran dan gemas, goloknya diputar makin cepat dan serangan yang dilakukan sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
Kalau saja pertempuran itu terjadi tiga puluh tahun yang lalu, belum tentu Luan-ho Oei-liong dapat menahan nikouw ini. Akan tetapi sekarang nikouw itu sudah kehabisan tenaga dan hanya dapat bertarung sampai tiga puluh jurus. Ia mulai lemah dan setiap kali menangkis serangan, tongkatnya terpental ke belakang. Akhirnya, kepala bajak laut itu berhasil membacok ke arah pundak kiri, akan tetapi dia membalikkan goloknya sehingga bagian yang tidak tajam yang memukul pundak. Namun pukulan itu bahkan lebih hebat akibatnya, karena tidak saja meremukkan tulang pundaknya, juga mendatangkan luka di dalam dada! Ngo Lian Suthai terguling dan pingsan.
"Ha, ha, ha, Ngo Lian Suthai, kau mencari penyakit sendiri. baiknya aku Luan-ho Oei-liong bukanlah orang yang kejam. Kalau aku mempergunakan mata golokku, bukankah tubuhmu sudah putus menjadi dua?" Sambil berkata demikian, kepala bajak ini menyambar patung perunggu dan dibawanya lari keluar dari bio.
Para nikouw sibuk mengangkat ketua mereka ke dalam kamar untuk dirawat lukanya. Namun luka itu parah sekali sehingga setelah siuman, Ngo Lian Suthai tak dapat bangun dan dengan suara tenang dan perlahan nikouw tua itu menyatakan bahwa nyawanya takkan dapat ditolong lagi.
"Paling lama aku akan dapat bertahan sampai satu bulan," katanya sambil tersenyum. "Hal ini tidak mengapa, hanya sayang sekali patung itu akan tersenyum dan setan yang menjadi penghuni di dalamnya akan bersorak kemenangan karena dia dipuja-puja oleh manusia-manusia sesat."
Demikian peristiwa yang diceritakan oleh nikouw tua penyambut tamu kepada Kwan Cu. Pemuda ini menjadi marah sekali, kemudian dia mendapat perkenan untuk menemui Ngo Lian Suthai di dalam kamarnya.
Pendeta wanita yang sudah tua itu nampak berbaring di atas dipan sederhana dan pundaknya di balut. Mukanya pucat sekali dan tubuhnya lemah, akan tetapi begitu melihat Kwan Cu, ia tersenyum dan mengangkat tangan memberi salam.
"Ah, Lu-taihiap, kau datang? Kau baik-baik saja, bukan?"
Kwan Cu terharu. Ia telah mengenal nenek ini ketika dia melakukan perjalanan melewati dusun ini dan mampir karena tertarik akan keharuman nama Kwan-im-bio dan nama Ngo Lian Suthai yang dihormati banyak orang banyak. Sekali pandang saja Kwan Cu dapat melihat bahwa nenek itu mengalami luka hebat di dalam dadanya dan tak dapat ditolong pula, kecuali kalau di situ ada Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Obat.
"Teecu menyesal sekali mendengar malapetaka yang menimpa diri Suthai." kata Kwan Cu.
"Bukan malapetaka, orang muda. Segala sesuatu yang telah ditentukan Thian pasti akan terjadi, kita tak mampu menolak atau menawarnya. Kau datang dengan siapa?" tanya nenek itu sambil memandang ke arah Kui Lan.
Nona itu lalu maju dan berlutut, sedangkan Kwan Cu memperkenalkan, "Nona ini adalah Gouw Kui Lan, adik angkat teecu. Kedatangan teecu ini pun hendak mohon pertolongan Suthai agar sudi menerima Kui Lan tinggal untuk sementara waktu di sini, sampai teecu dapat menemukan kakaknya."
"Boleh, boleh, jangan khawatir. Tinggalkan dia di sini, tentu akan kami jaga baik-baik. Akan tetapi, kalau kau hendak pergi Taihiap, dapatkah kau menolongku mencari Luan-ho Oei-liong di Sungai Luan-ho?"
"Untuk membalaskan sakit hati Suthai padanya? Teecu tentu akan mencari dia dan menghajarnya!" kata Kwan Cu gemas.
"Bukan begitu, Taihiap. Pinni tidak merasa sakit hati kepada siapapun juga. Yang penting adalah patung itu hendaknya kau suka merampasnya kembali. Mata biasa tak dapat melihatnya, akan tetapi pinni tahu bahwa patung itu telah dijadikan tempat tinggal pengaruh jahat atau boleh disebut siluman. Oleh karena itulah maka pinni tidak menghendaki patung itu terjatuh kedalam tangan orang lain, apalagi orang-orang yang sesat. Hal ini akan menimbulkan bahaya dan kejahatan akan merajalela. Kalau sudah terkejar olehmu hancurkan saja patung itu."
"Baiklah, Suthai. Teecu akan pergi mencari Luan-ho Oei-liong untuk memenuhi perintah Suthai."
Nenek itu menarik napas lega. Adapun Kui Lan lalu maju kedepan dan berkata lembut, "Suthai, dalam keadaan seperti ini, amat tidak baik kalau Suthai terlalu banyak bicara. Biarkan teecu merawat dan menjaga Suthai."
Ngo Lian Suthai tersenyum dan memegang lengan gadis itu, lalu melirik ke arah Kwan Cu.
"Lu-Taihiap, terimakasih kau sudah membawa anak baik ini ke sini. Ternyata ia akan merupakan perawat yang berhati mulia."
Kwan Cu merasa bahwa dia sudah terlalu lama mengganggu nenek itu, maka dia lalu bermohon diri dan berpesan kepada Kui Lan agar hati-hati tinggal di tempat itu, menanti sampai dia dapat menemukan Swi Kiat.
Kemudian pemuda itu meninggalkan Kwan-im-bio dan cepat menuju ke utara karena terlebih dahulu, sebelum mencari Swi Kiat dan Kun Beng, dia hendak memenuhi permintaan Ngo Lian Suthai, yakni mencari kepala bajak dan merampas kembali patung setan itu.
***
Sungai Luan-ho setelah melewati kota Ceng-tek dan mendekati laut, menjadi makin lebar dan besar. Ada bagian-bagian yang merupakan sungai besar sekali sehingga pantai di seberang nampak amat jauh, seakan-akan samudera kecil saja.
Perahu-perahu nelayan nampak di sana-sini, akan tetapi itu hanyalah perahu-perahu nelayan miskin tanpa layar. Ada pula yang mempunyai layar, akan tetapi layar yang butut dan penuh tambalan. Mereka ini boleh berlayar dengan hati tenang, akan tetapi tidak ada perahu besar para saudagar berani melintasi daerah ini, karena nama Luan-ho Oei-liong sudah amat terkenal. Kalaupun ada yang melintas, tentulah perahu-perahu saudagar yang sudah mendapat izin dari kepal bajak laut itu, setelah membayar uang "pajak!" Di bagian timur dekat laut, memang terdapat banyak sekali perahu-perahu basar para saudagar dan dari penghasilan memunggut "pajak" inilah Luan-ho Oei-liong menjadi kaya raya. Siapa tidak mau membayar pajak, tentu kapalnya akan dirampok habis-habisan.
Semua nelayan memandang kepada Kwan Cu dengan mata kaget dan takut ketika pemuda ini bertanya dimana dia dapat bertemu dengan bajak air Luan-ho Oei-liong. Mereka mengira bahwa pemuda ini adalah sahabat bajak itu dan tentu saja seorang penjahat. Akan tetapi Kwan Cu tersenyum melihat salah sangka ini dan berkata,
"Kawan-kawan harap jangan salah lihat. Aku bukan sahabat kepala bajak itu, melainkan seorang yang mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan dia. Tunjukkan saja di mana tempat tinggalnya agar aku dapat menjumpainya."
Biarpun merasa amat heran, namun semua nelayan tahu belaka di mana orang dapat bertemu dengan kepala bajak yang menjadi raja Sungai Luan-ho itu.
"Congsu harap menurutkan aliran air sungai ini dan setelah melalui kota Ceng-tek, di dalam hutan-hutan pohon pek kiranya Congsu akan dapat bertemu dengannya. Kalau dia tidak berada di darat dalam hutan itu, tentulah dia berada di perahunya dan sedang berlayar," kata seorang di antara mereka.
Kwan Cu mengucapkan terima kasih dan segera melanjutkan perjalanan menurutkan aliran air sungai. Benar saja, di dalam hutan yang besar di mana sungai itu mengalir terdapat rumah-rumah para bajak air yang merupakan sebuah pedusunan kecil. Para bajak menyambut Kwan Cu dengan pandangan curiga.
"Mengapa kau mencari ketua kami?" tanya seorang di antara mereka.
"Aku datang untuk membayar pajak kepadanya," jawab Kwan Cu sambil tersenyum. "Karena aku utusan para saudagar di kota raja yang hendak mengirim barang melalui sungai Luan-ho, tentu saja untuk hubungan pertama ini kali aku harus bertemu dengan dia sendiri."
Para bajak itu memang telah dipesan kepalanya bahwa mereka tidak boleh sekali-kali mengganggu para pembayar pajak yang bahkan harus dilindungi, maka mendengar bahwa Kwan Cu adalah "langganan" baru segera mereka memberi keterangan.
"Ketua kami sedang berada di perahunya, di sebelah timur hutan ini. Akan tetapi beliau sibuk dan pada waktu sekarang kiranya akan marah kalau ada orang mengganggunya."
"Aku tidak mengganggunya, bahkan mendatangkankan keuntungan baginya. Tak mungkin dia akan marah," kata Kwan Cu tersenyum. "Kalau kalian takut mengantarku, berilah pinjam sebuah sampan dan aku akan menjumpainya sendiri."
Para bajak itu melihat Kwan Cu hanya seorang pemuda yang kelihatan lemah dan tidak membawa senjata, tidak bercuriga apa-apa, bahkan lalu menggeluarkan sebuah sampan berikut dayungnya untuk dipinjamkan kepada Kwan Cu. Tentu saja untuk ini Kwan Cu harus lebih dulu mengeluarkan sepotong uang emas sebagai hadiahnya.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Kwan Cu mendayung perahunya dengan tenaga biasa. Akan tetapi setelah perahunya dibantu oleh aliran air meninggalkan hutan-hutan itu jauh di belakangnya, dia mendayung cepat sekali dan tak lama kemudian sampailah perahunya di bagian sungai yang airnya melimpah-limpah dan amat lebarnya, seperti samudera kecil. Dan di tengah-tengah samudera kecil itu dia melihat kapal-kapal atau perahu-perahu besar dengan layar hitam. Itulah tandan dari perahu bajak sungai!
Jauh di utara, di kaki langit, nampak mega putih menjulang tinggi seperti uap dari kawah berapi. Sinar senja mendatangkan pemandangan yang amat indahnya dan air sungai mengalir tenang. Kwan Cu tertarik oleh sebuah perahu yang paling besar dan dicat paling mewah di antara perahu-perahu yang nampak layar hitamnya di sana-sini. Ke arah perahu besar inilah dia mendayung biduknya.
Ia mendayung perahunya dari sebelah kanan perahu besar itu dan perahu itu sedemikian besarnya sehingga dia tidak melihat adanya lain sampan yang datang dari kiri perahu, yang didayung oleh seorang gadis dengan kecepatan luar biasa pula. Yang mendebarkan hati Kwan Cu adalah sebuah patung besar sekali, dari perunggu, yang berdiri di atas perahu dengan megahnya. Tak salah lagi, itulah patung yang dirampas dari kuil Kwan-im-bio!
Dengan gerakan lincah Kwan Cu melompat ke arah perahu besar, sedikitpun tidak menimbulkan goncangan pada perahu itu. Hal ini sudah menunjukkan betapa tinggi ginkangnya, sungguh kepandaian yang dimiliki ahli-ahli silat tinggi di masa itu.
Dengan hati tertarik Kwan Cu mendekati patung itu. Di atas perahu sunyi saja dan ada terdengar suara perlahan dari percakapan orang yang agaknya berada di dalam bilik di atas perahu itu. Patung itu memang hebat. Terbuat dari pada perunggu dan ukiranya halus sekali. Sepasang mata dan tanduknya merah dan seakan-akan mata itu mengeluarkan sinar yang ganjil. Mengingat kata-kata Ngo Lian Suthai bahwa di dalam patung ini tersembunyi pengaruh jahat, Kwan Cu bergidik.
Tiba-tiba perahu bergoncang sedikit dan ketika Kwan Cu menoleh, dia melihat seorang gadis yang cantik jelita telah berdiri di belakangnya. Gadis ini sikapnya gagah sekali, bertubuh langsing padat dan usianya paling banyak baru delapan belas tahun.
"Hm, tentu inilah Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa adik dari kepala bajak itu," pikir Kwan Cu ketika melihat gadis itu membawa sepasang pedang yang gagangnya kelihatan tersembul di balik punggungnya.
Sebaiknya, gadis yang baru saja lompat naik dari sampan itu, terkejut melihat Kwan Cu. Akan tetapi ia segera membentak, "Maling-dina, kau boleh mampus lebih dulu!"
Kata-kata itu disusul oleh tonjokan tangannya yang kecil mungil, menuju ke arah dada Kwan Cu.
Pemuda ini cepat-cepat mengelak dan diam-diam dia kagum sekali karena pukulan itu mendatangkan angin pukulan yang antep dan berbahaya. Hm,lihai sekali, pikirannya. Pukulan tadi membuktikan adanya tenaga lweekang yang tak boleh dipandang ringan.
Sebaliknya ketika gadis tadi melihat cara Kwan Cu mengelak, dia tertegun. Elakan itu demikian capat dan mudah, sewajarnya seakan-akan orang menghadapi pukulan biasa saja. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu sepasang pedang telah di tangannya.Tanpa banyak cakap lagi gadis itu lalu menyerang Kwan Cu dengan sepasang pedangnya.
Melihat gerakan pedang ini, Kwan Cu makin heran. Bukan ilmu pedang biasa saja, pikirnya.Cepat, kuat dan ganas sekali. Gerakan ini mengigatkan dia akan ilmu silat dari tokoh-tokoh besar di kalangan Kang-ouw, tingkatnya tidak kalah oleh ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai sendiri! Murid siapakah wanita ini? ia cepat mengelak dan untuk mengimbangi serangan-serangan gadis itu, dia lalu mengeluarkan ilmunya yang didapat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Terjadilah keanehan, Im-yang Bu-tek Cin-keng memang hebat, begitu Kwan Cu mainkan ilmunya ini, semua gerakkan-gerakkan silat lawanya dapat ditiru dan dimainkan sama baiknya! Gadis itu mengeluarkan seruan kaget dan membelalakkan mata dengan amat heran.
"Keparat, mengapa kau meniru-niru gerakan orang?" bentuknya dengan suaranya yang halus, akan tetapi ia tidak mengendurkan serangan-serangannya.
Kwan Cu yang memperhatikan wajah gadis itu setelah kini mendengarkan suaranya untuk kedua kalinya, menjadi berdebar hatinya. Mungkinkah? Tak salah lagi, inilah wajah Bun Sui Ceng! Ia ingat betul wajah itu, sama benar dengan wajah yang diimpikan, dan ilmu pedang yang dimainkannya ini memang tepat kalau diturunkan oleh Kiu-Bwe Coa-Li, wanita sakti itu!
Pada saat gadis itu masih menyerang dan mencoba mendesak Kwan Cu dengan sepasang pedangnya, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari seorang wanita.
"Siapa berani main gila di perahuku? Apakah belum mendengar nama Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa?" Bentakan ini disusul oleh keluarnya seorang gadis dari pintu bilik.
Gadis itu otomatis menghentikan serangannya dan Kwan Cu menoleh ke arah pintu. Ia melihat seorang gadis yang bertubuh langsing dan hampir sama dengan tubuh gadis yang menyerangnya. Juga gadis yang baru muncul ini memegang sepasang pedang, akan tetapi pedangnya itu berwarna dua macam. Yang kiri putih dan yang kanan hitam. Wajahnya cantik sekali, pakaiannya mewah dan bedanya dengan gadis yang tadi menyerang Kwan Cu adalah sikap yang sangat genit dari gadis yang muncul dari pintu ini. Matanya menggerling tajam penuh gairah pada Kwan Cu, bibirnya tersenyum manis. Akan tetapi ketika ia mengerling kearah gadis yang menyerang Kwan Cu, sinar matanya berapi-api dan bibirnya cemberut.
Dari belakang Sin-jiu Siang-kiam Oei-Hwa ini muncul seorang laki-laki pula, seorang laki-laki tinggi besar yang berkulit muka kuning. Menjadi kebalikan dari sikap Oei Hwa, laki-laki ini memandang kepada gadis penyerang Kwan Cu tadi dengan mata kagum dan kurang ajar sebaliknya memandang kepada Kwan Cu dengan marah.
"Kau siapakah, berani lancang naik keperahu Luan-ho Oei Liong? Apakah kau sudah tidak menyayangi kepalamu lagi?" tanyanya sambil menudingkan jari telunjuknya kepada Kwan Cu.
Pertanyaan yang diajukan oleh Oei Liong ini membuat gadis yang baru saja menyerang Kwan Cu itu menjadi kaget dan ia menoleh memandang ke arah Kwan Cu dengan bingung. Ternyata bahwa pemuda ini bukan anggota bajak jadi siapakah gerangan pemuda tampan yang kelihatan bodoh akan tetapi telah berhasil mengelak dari seranggan-seranggan pedangnya ini?
Adapun Oei Hwa yang memandang ke arah gadis itu dengan marah, menyambung pertanyaan kakaknya sambil menudingkan telunjuknya yang runcing kepadanya,
"Dan kau ini, bocah lancang, siapa pulakah kau?"
Setelah Oei Hwa muncul, memang Kwan Cu makin yakin di dalam hatinya bahwa gadis yang disangkanya Sin -Jiu Siang-kiam Oei Hwa itu adalah pendatang dari luar dan kalau dia tidak salah sangka, tentulah gadis ini Bun Sui Ceng adanya!
"Luan-ho Oei Liong, soal namaku tidak penting. Adapun kedatanganku ini adalah untuk mengambil kembali patung ini yang hendak kukembalikan ke kuil Kwan-im-bio dan memberi hajaran padamu atas kekurangajaran terhadap Ngo Lian Suthai!" Kata Kwan Cu sambil tersenyum.
"Sin-jiu Siang-kiam Oei-Hwa, adapun tentang aku, soal namaku juga tidak penting. Kedatanganku sengaja hendak membasmi bajak sungai Luan-ho agar kalian tidak menganggu lagi kepada mereka yang berlalulintas di sungai ini!" kata gadis itu sambil melirik ke arah Kwan Cu. Pemuda inipun memandangnya dan keduanya tersenyum, merasa geli dan lucu serta gembira dapat mempermainkan pemimpin-pemimpin bajak itu.
"Keparat! Kalau begitu biar kuantar kau ke neraka!" Oei Liong mencabut golok besarnya. Akan tetapi adiknya mencegah, kemudian Oei Hwa melangkah maju dan bertanya,
"Kalau kedatangan kalian ini sama-sama hendak memusuhi kami, mengapa datang-datang kalian bertempur di atas perahuku?" Memang Oei Hwa jauh lebih cerdik daripada kakaknya dan gadis ini hendak menyelidiki lebih dulu keadaan dua orang penyerang yang tidak mau memperkenalkan nama itu.
Menghadapi pertanyaan ini, dan melihat betapa sepasang mata yang bening itu memandangnya penuh perhatian dan agak mesra, Kwan Cu menjadi bingung, lalu menjawab sekenanya saja.
"Kami...kami hendak berlatih dulu sebelum menghadapi kalian." Gadis yang tadi menyerangnya itu memandangnya dengan sinar mata lucu, lalu menyambung sambil mengangguk-angguk.
"Betul, kawan yang baru datang ini hendak mempelajari beberapa petunjuk agar dapat dipergunakan menghadapi kalian kepala-kepala bajak yang sudah tiba masanya mampus!"
Kwan Cu menjadi geli dan gemas. Ternyata gadis itu, kalau benar Sui Ceng, masih sama dengan dahulu, lincah jenaka dan suka mempermainkan orang. Juga agak sombong seperti gurunya, Kui-bwe Coa-li sehingga datang-datang berani mengaku bahwa tadi ia telah memberi petunjuk kepadanya!
Oie Liong tak sabar lagi, dia membentak keras sambil menyerang Kwan Cu dengan golok besarnya. Serangan ini hebat sekali datangnya dan mendatangkan angin keras. Gadis yang tadi menyerangnya Kwan Cu melihat ini menjadi khawatir. Setelah kini dia mengerti bahwa pemuda yang tadi diserangnya bukan penjahat, ia ingin menolongnya dari ancaman serangan golok yang diketahuinya amat lihai itu. Ia hendak melompat dan menangkis serangan golok yang tertuju kepada Kwan Cu, akan tetapi Oei Hwa sudah mendahuluinya dan menyerang sambil membentak marah,
"Gadis liar, jangan berlagak!"
Terpaksa gadis itu menangkis dan terjadilah pertempuran yang hebat antara dua orang gadis yang sama cantiknya itu. Sama-sama bersenjata siang-kiam (sepasang pedang) lagi. Setelah bergerak, ternyata bahwa keduanya sama lincah dan gesit, akan tetapi setelah pertandingan berlangsung belasan jurus, segera kelihatan bahwa ilmu pedang dari Oei Hwa masih kalah jauh. Ilmu pedang dari gadis itu benar-benat hebat sekali, ganas dan gerakannya sukar sekali diduga, ditambah pula dengan tenaga lweekangnya yang mengatasi Oei Hwa. Oleh karena itu, sebentar saja Oei Hwa terdesak hebat. Tentu saja Sin-jiu Siang-kiam ini terkejut dan heran sekali. Belum pernah ia menghadapi seorang lawan yang begini lihai, padahal sudah ratusan kali ia bertempur menghadapi orang kang-ouw! Di lain fihak, Luan-ho Oei-liong juga sibuk sekali menghadapi Kwan Cu. Berkali-kali golok besarnya menyambar, membabat, menusuk dan membacok, akan tetapi pemuda yang bertangan kosong itu seakan-akan merupakan bayangan setan, selalu serangannya mengenai tempat kosong!
"Setan keparat!" bentaknya berkali-kali sambil memperhebat serangannya. Akan tetapi sebentar saja, setelah beberapa kali Kwan Cu mempermainkannya dengan menjewer telinga, menyepak pantat, mencolok perut, Oei Liong menjadi kewalahan dan gentar sekali, mengira bahwa pemuda ini memang benar-benar iblis sendiri yang datang menganggunya. Mana ada manusia memiliki kepandaian sehebat itu sehingga dengan tangan kosong dapat mempermainkannnya sedemikian rupa, padahal tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw takkan berani main-main terhadap golok besarnya?
Tiba-tiba Oei Hwa bersuit keras sekali, memberi tanda kepada kakaknya untuk melarikan diri. Sebelum Kwan Cu dan gadis lihai itu mengerti apa maksud suitan itu, Oei Hwa dan Oei Liong melompat ke pinggir perahu terus terjun ke dalam air.
Pada saat itu, perahu besar itu bergoyang-goyang ke kanan kiri! Ternyata bahwa Oei Hwa melihat anak buahnya datang ke perahu besar dengan sampan, maka ia memberi tanda kepada kakaknya untuk melarikan diri. Kini, dengan bantuan anak buahnya, mereka berusaha menggulingkan perahu itu! Akan tetapi tidak mudahlah untuk menggulingkan perahu sebesar itu.
Kwan Cu dan gadis itu terhuyung-huyung di atas perahu dan gadis itu menjadi gelisah sekali. "Celaka!" serunya akan tetapi ketika ia memandang kepada Kwan Cu, ia melihat pemuda itu tersenyum saja seenaknya, seakan-akan digoyang-goyang seperti itu di atas perahu merupakan ayunan yang menyenangkan baginya.
"Mengapa kau cengar-cengir saja seperti monyet? Berbuatlah sesuatau, Tolol!" Gadis itu membentak mengkal.
Kemudian gadis itu melihat perahunya di pinggir perahu besar, tergolek-golek karena gerakan air yang diakibatkan oleh usaha para bajak laut.
"Hayo lompat ke dalam perahu itu!" ajaknya. Kwan Cu tersenyum, karena betapapun galaknya sikap gadis itu, ternyata untuk melarika diri dan menyelamatkan diri masih teringat kepadanya sehingga mengajaknya lari bersama.
Gadis itu melompat terlebih dahulu. Akan tetapi segera terdengar jeritnya dan air muncrat tinggi-tinggi. Ternyata bahwa perahu itu adalah perangkap yang sengaja dipasang oleh Oei Hwa yang amat cerdik. Sukar untuk menggulingkan perahu besar, Oei Hwa sengaja membawa perahu kecil itu, dipasang sedemikian rupa sehingga dari atas kelihatan sebagai jalan satu-satunya untuk melarikan diri, akan tetapi sebenarnya dia dan kakaknya berada di bawah perahu. Begitu gadis itu meloncat, perahu kecil segera digulingkan dan ditarik tenggelam sehingga tentu saja gadis itu terjun ke dalam air!
Melihat ini Kwan Cu terkejut sekali. Baginya sendiri, masih banyak jalan untuk membebaskan diri dari kepungan bajak, akan tetapi melihat bahaya yang mengancam gadis yang disangkanya Bun Sui Ceng itu, dia terpaksa melompat pula ke dalam air!
Baiknya Oei Liong tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, sehingga sebelum Oei Hwa turun tangan, terlebih dulu Oei Liong menangkap gadis itu dan dibawa tenggelam sehingga gadis itu menjadi lelah dan pingsan karena banyak minum air! Sebaliknya, Oei Hwa juga mempunyai maksud hati yang sama dengan kakaknya, ia tertarik oleh ketampanan wajah Kwan Cu, maka bagaikan seekor ikan duyung, nona ini menangkap kedua kaki Kwan Cu dan menyeretnya ke bawah permukaan air!
Oei Liong memeluk tubuh gadis tawanannya, dibawa berenang ke perahu, demikian pula Oei Hwa. Pertama-tama, di atas perahu mereka menolong dua orang tawanannya itu. Tubuh gadis itu dijungkirbalikkan sehingga banyak air sungai keluar dari mulutnya. Akan tetapi anehnya, ketika Oei Hwa membalikkan tubuh Kwan Cu, tidak setetes pun air keluar dari pemuda ini! Oei Hwa menggaruk-garuk kepalanya, apalagi ketika ia melihat perut pemuda yang tadinya kembung itu kini telah kempes kembali.
"Hwa-moi (adik Hwa), gadis ini cantik sekali, tidak kalah olehmu. Dia pantas menjadi isteriku!" kata Oei Liong tertawa girang dan dia cepat mempergunakan tambang pengikat layar untuk membelenggu kaki tangan gadis itu, sedangkan sepasang pedang gadis itu yang diambil oleh anak buahnya dia rampas. Demikian pula Oei Hwa lalu membelenggu kaki tangan Kwan Cu.
"Hwa-moi, pemuda ini berbahaya sekali. Lebih baik lekas kita binasakan dia!" Kata Oei Liong
Adiknya melirik dengan pipi merah. Dalam pakaian basah kuyup dan rambut awut-awutan, warna merah di pipi itu membuat Oei Hwa kelihatan makin cantik.
"Kau memikirkan kepentingan dirimu sendiri saja, Twako. Pemuda ini kulihat seratus kali lebih baik dari padamu. Apa hanya kau saja yang memikirkan jodoh.?" Oei Liong tertegun, kemudain tertawa bergelak-gelak sambil menudingkan telunjuknya kepada muka adiknya yang menjadi malu.
"Sudahlah, mari kita menghaturkan terimakasih kepada Dewa Air yng telah melindungi kita," kata Oei Hwa. Keduanya lalu maju dan berlutut di depan patung perunggu itu!
Kemudian, diantarkan oleh anak buah mereka, kakak beradik ini lalu menggotong tubuh Kwan Cu dan gadis tawanan itu ke pantai dan langsung dibawa ke dalam hutan, sarang mereka. Hati mereka girang sekali karena mereka menemukan orang-orang muda yang menjadi tawanan itu lihai sekali, namun mereka mempunyai daya untuk membuat dua orang tawanan mereka itu tak berdaya, yakni dengan jalan meminumkan obat beracun!
Tiba-tiba sebelum mereka jauh meninggalkan pantai, seorang anak buah mereka menjerit dan menudingkan telunjuk ke tengah sungai. Semua orang menenggok dan aneh sekali! Perahu besar dimana patung perunggu itu disimpan perlahan-lahan tenggelam, seakan-akan di bawahnya bocor.
"Celaka, lekas cegah dia tenggelam!" teriak Oei Hwa dan Oei Liong. Semua anak buah bajak berperahu dan cepat menuju ke perahu besar itu, akan tetapi terlambat, perahu itu telah tenggelam bersama arca yang mengerikan itu!
"Celaka!" Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa membanting-banting kakinya melihat perahu tenggelam. Ia tidak begitu menyayangkan perahunya yang besar dan indah itu tenggelam, terutama sekali yang membikin ia merasa menyesal adalah tenggelamnya patung perunggu yang berada di atas perahunya. Tenggelamnya patung itu merupakan tanda bencana bagi dia dan kawan-kawannya!
"Sudahlah, Hwa-moi," Luan-ho Oei Liong menghibur adiknya, "Untuk gantinya patung Dewa Air, aku sudah mendapatkan nona ini dan kau mendapatkan pemuda ganteng itu, bukankah mereka lebih baik? Mudah nanti kita mencari patung baru yang lebih baik."
Terhibur juga hati Oei Hwa ketika ia melirik ke arah Kwan Cu yang dipondongnya, maka ia lalu melanjutkan perjalanannya bersama kakaknya dan para bajak sungai, menuju ke hutan yang mereka jadikan sarang.
Malam hari itu bulan bersinar gemilang dan di dusun dalam hutan itu, para bajak mengadalkan perayaan pesta pernikahan dua orang pemimpin mereka. Pesta diadakan di lapangan yang luas dan dua orang tawanan itu dibelenggu kaki tangannya, didudukkan di tengah lapangan. Para bajak sungai hendak menyaksikan betapa dua orang calon pengantin itu hendak diberi obat yang disebut oleh pemimpin mereka sebagai obat pengantin! Padahal obat itu adalah obat beracun yang akan membuat Kwan Cu dan nona tawanan itu mabuk dan kehilangan ingatan sehingga keduanya akan menurut segala kehendak Oei Liong dan Oei Hwa!
Kwan Cu saling lirik dengan nona di sebelahnya. Diam-diam pemuda ini merasa geli karena nona ini cemberut dan memandangnya dengan muka marah. Sedikitpun tidak kelihatan nona perkasa itu takut, maka diam-diam Kwan Cu menjadi kagum. Baginya sendiri, tidak ada yang perlu ditakutkan, karena kalau dia mau, sesungguhnya dengan beberapa gerakan saja semua belenggu kaki tangannya akan mudah dia putuskan dan dengan mudah pula dia akan dapat menolong keselamatan mereka berdua. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini dan akan menanti dan melihat lebih dulu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kwan Cu mengganggap semua itu sebagai lelucon yang menggelikan belaka belaka, bahkan semua yang dihadapinya merupakan hiburan yang menggirangkan hatinya.
"Dasar kau yang menjadi biang keladi!" Nona di sebelahnya menggerutu kepadanya.
Kwan Cu tersenyum dan memandang dengan mata jenaka. Gadis itu makin marah, akan tetapi juga terheran-heran. Dia sendiri memang berhati tabah dan keras, sedikitpun tidak sudi memperlihatkan kelemahan hati dan tidak mau kelihatan takut. Akan tetapi tersenyum-senyum seperti pemuda itu, dengan pandangan mata demikian jenaka seakan-akan merasa gembira sekali, tak mungkin dapat ia lakukan! Bagaimana dalam keadaan demikian berbahaya dan tidak berdaya, pemuda itu masih dapat tersenyum-senyum gembira?
"Kau cengar-cengir mau apakah?" bentaknya perlahan-lahan sambil melototkan matanya. "Sungguh, kalau bukan kau tolol atau gila, agaknya aku yang sudah berubah ingatanku melihat orang tertawan dan berada dalam keadaan bahaya masih cengar-cengir seperti badut!"
"Mengapa tidak bergirang hati? Kau dengar sendiri tadi, kau dan aku hendak dikawinkan oleh Oei Liong dan Oei Hwa. Siapa yang tidak girang?"
Nona itu menjebikan bibirnya yang merah. "Hm, kau girang hendak menjadi suami Oei Hwa, siluman wanita itu? Dasar mata keranjang! Huh, muak perutku melihat mukamu!"
Kwan Cu makin geli hatinya. "Jadi kau tidak suka dikawin oleh Oei Liong, kepala bajak yang gagah dan bermuka kuning itu?"
"Siapa sudi? Lebih baik aku mati!"
"Aha, sudah tentu kau tidak suka karena kau sudah bertunangan! Bukankah kau tunangannya The Kun Beng?"
Nona itu membelalakan matanya dan mukanya berubah."Bagaimana kau bisa tahu? Siapakah kau?"
"Bun Sui Ceng, lupa lagikah kau kepadaku? Dahulu sudah seringkali kita bertemu."
"Heeee....?? Siapa kau?" Gadis itu yang ternyata memang benar Bun Sui Ceng adanya, bertanya kaget.
"Aku selamanya takkan bisa lupa kepadamu, takkan lupa kepada mendiang ibumu yang berhati mulia. Aku adalah bocah gundul yang dulu pernah ditolong oleh ibumu."
"Kwan Cu ....?!? Kau Lu Kwan Cu...?" Sui Ceng memandang dengan mata terbelak dan sinar matanya mencari-cari, menyelidiki ke seluruh kepala dan muka Kwan Cu, maka tertawalah gadis itu, tertawa geli sekali.
Kwan Cu mengerutkan kening, kalau tadi dia mentertawai gadis itu, sekarang dia ditertawai. apanyakah yang menggelikan? Apakah mukanya bercoreng hitam?
"Eh, Sui Ceng, kau cekikikan itu ada apakah?" tanyanya mendongkol.
Sui Ceng makin geli, mengigit bibirnya agar mulutnya tidak terbuka dalam ketawanya, karena dia tidak mungkin dapat menggunakan tangan untuk menutupi mulutnya. Oleh gerakan bibir itu ia nampak lucu sekali.
"Alangkah lucunya keadaanku," akhirnya ia dapat berkata, "tak kusangka dapat bertemu dengan kau di sini, dalam keadaan ini pula. Hi, hi, hi Kwan Cu , kau masih dogol seperti dulu, dogol dan tolol, sungguh menggelikan hati sekali. Dan kau sekarang agaknya mata keranjang sekali, sehingga kau kelihatan gembira benar hendak dikawin oleh siluman wanita Oei Hwa itu."
"Kau keliru Sui Ceng. Aku bergirang bukan karena akan dipaksa menjadi suami Oei Hwa, melainkan bergirang karena kau dan aku keduanya akan menikah. Dan....melihat keadaan kita ini, aku merasa bahwa kitalah yang akan saling menikah, kau dengan aku dan aku dengan kau…bukankah ini menggembirakan sekali?"
Untuk sejenak Sui Ceng tertegun dan memandang dengan sinar mata bodoh lalu tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali sampai ke telinga-telinganya.
"Kwan Cu, kalau aku tidak tahu bahwa kau adalah seorang yang dogol, tolol dan jujur, aku tentu akan menganggap ucapanmu itu kurang ajar sekali."
Kwan Cu tersenyum. "Terus terang saja Sui Ceng, kau tentu lebih suka menikah dengan aku daripada dengan siluman muka kuning itu, bukan?"
"Tentu saja, orang bodoh! Akan tetapi, jangan kita mengoceh yang bukan-bukan. Lebih baik sekarang mencari jalan bagaimanakita dapat lepas dari bencana ini, atau bagaimana menanti sikap kalau mereka memaksa kita."
"Terserah kepadamu, aku akan menurut saja apa yang akan kau lakukan."
"Kalau mereka memaksa, aku akan memberontak dan melawan mati-matian, begitu mendapat kesempatan melepaskan diri dari belenggu ini."
Kwan Cu mengangguk-angguk. "Aku pun begitu," katanya.
Hening sesaat dan mereka saling pandang.
"Kwan Cu, kau berubah sekali, maka tadi aku tidak mengenalmu. Dulu kau gundul dan buruk, seperti anak cacingan, sekarang....."
"Sekarang bagaimana.....?"
"Hemmmmm, harus kuakui bahwa kau sekarang telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, pantas saja siluman wanita itu tergila-gila padamu."
Merah wajah Kwan Cu, merah karena girang. "Aah, pujianmu itu berlebihan. Aku bukan apa-apa kalu dibandingkan dengan Kun Beng......"
"Kau sudah bertemu dengan dia? Aku belum pernah melihatnya sekarang."
"Aku pun belum. Akan tetapi sejak pertemuan tadi, aku sudah menduga bahwa kau tentulah Sui Ceng, kau masih lincah dan jenaka seperti dulu.......dan..... lebih cantik!"
Sui Ceng menundukan mukanya, kini agak kecewa menghadapi bahaya yang mungkin akan menamatkan nyawanya, nyawa mereka berdua.
"Sayang sekali, Kwan Cu. Tadinya aku hendak mendahului dan mawakili engkau, menjalankan pesan terakhir dari menteri Lu Pin yang agung. Ternyata agaknya riwayat kita akan tamat sampai di tempat ini....." Gadis itu menghela napas berulang-ulang.
"Pesanan dari Lu-kong-kong? Pesan apakah....?" Kwan Cu bertanya.
"Jadi kau belum sampai ke Goa Tengkorak?"
"Aku memang hendak menuju ke sana, akan tetapi tertunda karena peristiwa ini."
"Hemmm, sayang.....pesanan itu akan hilang begitu saja agaknya kau dan aku takkan terlepas dari ancaman ini. Kasihan Lu-Taijian...."
"Bagaimana bunyi pesan itu?"
"Kau harus pergi ke sana sendiri dan membacanya sendiri."
Percakapan mereka terhenti karena dengan iringan tambur dan gembreng, diiringkan pula oleh anak buah bajak sungai, nampak datang Oei Liong dan Oei Hwa, keduanya dalam pakaian pengantin!
"Ha-ha-ha-ha-ha....!" Kwan Cu tertawa terkekeh-kekeh.
"Hush! kau cekakakan ada apakah? Girang barangkali melihat mempelai datang ?" Sui Ceng menegur
Kwan Cu makin geli. "Lihat, alangkah lucunya mereka itu....! Mereka telah berpakaian pengantin dan kita masih dibelenggu begini macam, hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan selanjutnya?"
Sui Ceng benar-benar merasa heran melihat sikap pemuda ini yang sama sekali tidak susah atau takut. Ia sendiri sejak tadi sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk memutuskan belenggu, namun sia-sia belaka. Kwan Cu tidak berusaha meloloskan diri, sebaliknya menanti kelanjutan perbuatan para bajak itu bagaikan seorang anak kecil hendak menikmati tontonan yang bagus. Benar-benar pemuda aneh sekali!
Oei Liong dan Oei Hwa datang membawa cawan arak dan di tangan kiri masing-masing memegang seguci kecil penuh arak. Inilah arak yang mengandung racun perampas ingatan orang!
"Manisku, sebelum kau memakai pakaian pengantin, lebih dulu minumlah arak ini sebagai tanda pemberian selamat dariku," kata Oei Liong sambil memperlihatkan guci itu.
"Kau juga, Kanda. Minumlah arak ini sebagai tanda cinta kasihku," kata Oei Hwa yang mukanya sudah merah itu dengan sikap genit sekali. Nona ini memang tadi sudah minum arak sampai mabuk sehingga tidak mengenal malu lagi.
"Aku tidak sudi!" Jawab Sui Ceng membentak keras dan mengedikkan kepalanya.
"Sayang sekali kalau harus dipaksa, Manisku. Maafkan,terpaksa aku mempergunakan kekerasan." Sambil berkata demikian, Oei Liong menggerakkan tangan menotokkan leher Sui Ceng yang tak dapat menggelakkan sehingga jalan darahnya terkena totokan yang lihai itu dan lemaslah dia tak berdaya lagi!
Oei Liong sudah siap untuk mendekati Sui Ceng dan membuka mulut gadis itu, ketika tiba-tiba terdengar suara orang-orang menjerit dan berlari-lari. Ternyata bahwa yang berlari-lari itu adalah para bajak yang menjaga di luar dusun.
"Celaka....ada siluman mengamuk!" Begitu terdengar teriakan-teriakan itu dan para bajak yang belari-lari itu mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil.
Oei Liong terkejut dan terpaksa menunda niatnya untuk memaksa Sui Ceng minum arak itu. Juga diam-diam Kwan Cu membatalkan niatnya untuk memutuskan belenggu. Karena kalau sekiranya tidak ada gangguan itu, tentu dia telah memutuskan belengu dan memberikan hajaran kepada Oei Liong. Ia tidak akan membiarkan saja Sui Ceng dipaksa minum arak yang memang dia curigai itu.
"Ada apakah ribut-rbut? Siapa yang kurang ajar, tidak tahu aturan sehingga berani mengganggu upacara pernikahan kami?" teriak Oei Liong dengan marah sekali. Kepala bajak ini sudah mencabut golok besarnya, demikian pula Oei Hwa sudah mencabut sepasang pedangnya, keduanya dengan hati marah dan mendongkol lalu melompat menuju ke arah terjadinya ribut-ribut tadi.
Akan tetapi mereka tak perlu lari jauh dan tiba-tiba keduanya berdiri kaku seperti patung ketika melihat apa yang menyebabkan anak buah mereka ketakutan setengah mati itu.
Dari luar dusun, kelihatan bayangan besar berlompat-lompatan menuju ke tempat mereka dan di bawah sinar bulan purnama, kini bayangan itu kelihatan nyata sekali, yakni patung perunggu yang tadi tenggelam bersama perahu ke dasar sungai! Terkena sinar bulan, patung itu seakan-akan hidup, sepasang matanya yang merah mengeluarkan sinar mengerikan. Patung itu benar-benar bergerak, melompat-lompat dengan lompatan panjang ke tempat berkumpulnya para bajak itu.
Ketika terjadi ramai-ramai tadi, diam-diam Kwan Cu menggerakkan kedua kakinya yang terbelenggu dan dari belakang dia mengayun kakinya itu menendang ke arah leher Sui Ceng. Tanpa sepengetahuan gadis itu, dia telah berhasil membuka totokan yang membuat gadis itu bebas kembali jalan darahnya. Gadis ini merasa heran akan tetapi ia tak sempat untuk menyelidiki siapa yang telah membebaskannya karena pada saat itu ia pun memandang ke arah bayangan yang berlompatan itu dengan mata terbelak dan muka pucat. Sui Ceng adalah seorang gadis yang gagah perkasa, akan tetapai melihat patung yang tadi sudah tenggelam bersama perahu itu muncul di darat dan hidup, bulu tengkuknya berdiri semua dan ia bergidik dengan hati merasa seram dan ngeri.
Jangankan Oei Liong, Oei Hwa dan Sui Ceng, sedangkan Kwan Cu sendiri yang semenjak kecilnya mengalami banyak sekali hal-hal yang aneh dan menyeramkan, pada saat itu duduk melenggong dengan mulut terbuka dan mata terbelalak memandang ke arah patung itu seakan-akan dia sendiri sudah berubah menjadi patung.
Semua bajak sungai, seorang demi seorang mengambil langkah seribu dan lari tunggang-langgang ke dalam hutan yang lebat ketika patung itu melompat-lompat menghampiri mereka. Kini tinggal Oei Liong dan Oei Hwa sendiri yang masih berdiri di situ dengan tangan memegang senjata, akan tetapi tangan mereka serasa lumpuh saking takut yang mengamuk di dalam hati dan pikiran.
"Oei Liong dan Oei Hwa, kalian berdosa besar!" demikian patung itu mengeluarkan suara, suaranya besar dan nyaring sekali sehingga Kwan Cu yang tadinya seperti berubah menjadi patung, kini siuman kembali dari keadaannya. "Kalian membiarkan kami tenggelam dan sekarang melakukan upacara pernikahan tanpa minta ijin. Karena dosa-dosa itu, kalian harus binasa....!" Kemudian terdengar patung itu menggereng, dan melompat-lompat lagi menghampiri Oei Liong dan Oei Hwa !
Kakak beradik ini adalah orang-orang berhati kejam dan mereka takkan merasa ragu-ragu untuk menyembelih leher manusia. Akan tetapi mereka itu amat percaya akan tahayul. Kini menghadapi kemurkaan patung itu, mereka menjadi pucat sekali dan tanpa dikomando, keduanya lalu melompat dan melarikan diri! Oei Liong sampai tersandung dan jatuh dua kali karena biarpun dia berkepandaian tinggi kedua kakinya mengigil dan membuat larinya kaku sekali!
"Ha, ha, ha, ha, ha!" Kwan Cu tertawa geli setelah melihat semua bajak laut berlari pergi. "Saudara yang baik, lekaslah kau keluar dari kurungan itu!"
Sui Ceng tertegun dan gadis ini pun sudah pucat sekali. Ia membayangkan betapa hebatnya mati dalam tangan patung mengerikan ini. Akan tetapi mengapa Kwan Cu mengajaknya bicara?
Terjadilah hal yang amat aneh. Patung itu tertawa bergelak-gelak tanpa menggerakkan bibirnya, dan tiba-tiba patung itu terlempar ke atas dan jatuh berdebuk, bergulingkan di atas tanah dalam keadaan rusak karena terbentur batu. Akan tetapi ketika terlempar dia meninggalkan seorang manusia yang ternyata bersembunyi di dalamnya! Manusia ini tertawa bergelak-gelak dan ternyata dia adalah pemuda yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan suaranya besar.
"Matamu tajam sekali, Kawan! Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku bersembunyi di dalamnya?" tanyanya sambil memandang kepada Kwan Cu.
Kwan Cu menatap wajah pemuda tinggi besar itu dengan tajam, kemudian diapun tertawa terpingkal-pingkal.
"Ha, ha, ha, tidak tahunya saudara Kong Hoat yang bermain setan-setanan, pantas saja demikian lihai sehingga tikus-tikus itu melarikan diri."
Pemuda itu terkejut dan sekali dia melompat, dia telah berada di dekat Kwan Cu. Dengan cepat dia membuka belenggu yang mengikat tangan kaki Kwan Cu dan Sui Ceng, kemudian dia bertanya,
"Kau siapakah?"
"Lihat baik-baik, kawan. Lupa lagikah kau kepadaku? Bagaimana dengan keadaan Liok-te Mo-li, ibumu?"
Pemuda itu memang benar pemuda nelayan yang gagah perkasa, putra dari Liok-te Mo-li. Mendengar suara Kwan Cu dan memandang dengan penuh perhatian, dia lalu teringat dan dengan girang sekali dia menepuk-nepuk pemuda itu.
"Ha,ha,ha, tidak tahunya saudara Lu Kwan Cu! Bagus, bagus, tidak percuma aku bermain gila seperti tadi. Kalau saja aku tahu bahwa kau yang mereka tawan, tentu aku akan mengejar mereka terus sampai mereka mampus ketakutan! Sekali lagi, bagaimana kau bisa tahu bahwa di dalam patung ada orang yang sembunyi?"
"Mudah saja. Kau boleh saja menyembunyikan tubuhmu, akan tetapi ketika kau melompat, kau tidak mungkin dapat menyembunyikan telapak kakimu."
Sui Ceng terheran-heran. Dia sendiri biarpun memandang kepada patung yang hidup itu dengan mata melotot, tidak dapat melihat telapak kaki itu.
Kong Hoat tertawa-tawa lagi, kini bergelak-gelak keras dan dari kedua matanya keluar air mata bercucuran. Melihat ini, Sui Ceng melongo dan tak dapat bicara apa-apa. Benar-benar orang aneh sekali pemuda tinggi besar ini, aneh, seperti juga Kwan Cu.
"Ha, ha, ha, saudara Kwan Cu. Apakah kau tadi melihat betapa siluman wanita itu berlari-lari tunggang-langgang sampai terkentut-kentut?" sambil berkata demikian, Kong Hoat memukul-mukul pundak Kwan Cu dengan keras. Kalau bukan Kwan Cu yang dipukul, tentu pundak itu akan remuk tulang-tulangnya!
Kwan Cu tertawa terbahak-bahak. "Aku lebih memperhatikan Oei Liong yang berlari-lari tunggang-langgang sampai terkencing-kencing!" Kwan Cu juga memukul-mukul pundak Kong Hoat.
Dalam sendau gurau ini, diam-diam kedua orang itu saling menguji kepandaian masing-masing dan sangat terkejut tahulah Kong Hoat bahwa tenaga dan kepandaian Kwan Cu jauh mengatasi kepandaiannya, maka dia menjadi makin kagum, menghormat, dan girang bukan main.
"Eh, sampai lupa aku. Siapakah Lihiap ini?"
Kwan Cu teringat dan dia memperkenalkan Sui Ceng. "Saudara Kong Hoat, Nona ini pun bukan orang luar. Dia adalah nona Bun Sui Ceng, murid terkasih dari Kiu-Bwe Coa-li."
Mendengar ini seketika lenyap suara ketawa Kong Hoat. Ia cepat menjura dengan penuh hormat kepada Sui Ceng dan berkata,
"Aduh, alangkah bahagia hatiku dapat bertemu dengan murid dari wanita sakti itu. Bun-lihiap, siauwte adalah Kong Hoat, seorang nelayan bodoh."
Sui Ceng tertawa, semenjak tadi melihat pemuda kasar dan jujur ini, ia merasa kagum dan geli, terutama sekali melihat betapa tiap kali tertawa terpingkal-pingkal, Kong Hoat selalu mengucurkan air mata.
"Kong-enghiong, kau terlalu merendahkan diri. Kalau tidak ada kau yang menolong, aku dan dia ini entah sudah mati atau belum pada saat ini," kata Sui Ceng sambil melirik ke arah Kwan Cu dengan pandang mata memandang rendah. "Lebih baik aku sekarang segera mengejar untuk membasmi para bajak sungai itu."
"Tak perlu, lihiap. Tidak akan ada gunanya. Kalau kau mengejar, mereka akan lari cerai berai dan biarpun kau berhasil, tentu hanya beberapa orang saja yang dapat kau susul. Sebaliknya, kalau kau tidak mengejar, kurasa mereka semua akan datang kembali setelah melihat bahwa patung hidup itu sebetulnya hanya main-main belaka." Kembali Kong Hoat tertawa sambil mengucurkan air mata.
"Sui Ceng, dia berkata benar. Mereka tadi melarikan diri hanya karena kaget dan takut setengah mampus terhadap patung itu. Saudara Kong Hoat, lebih baik kau ceritakan bagaimana kau bisa melakukan permainan tadi?"
Sui Ceng terpaksa menunda niatnya mengejar para bajak, karena ia sendiripun ingin sekali mendengar penuturan pemuda tinggi besar itu.
"Aku memang mendapat tugas dari ibuku yang menyelidiki keadaan bajak sungai yang dipimpin oleh Luan-ho Oei Liong dan Sin-jiu Siang -kiam Oei Hwa. Ibuku memang semenjak mudanya menjagoi di kalangan bajak, menguasai daerah sungai dan telaga, juga bahkan sudah menjelajahi sampai ke samudera. Akan tetapi ibu tak pernah melakukan kejahatan, apalagi merampok rakyat yang bermata pencaharian menjadi nelayan. Karena mendengar akan kejahatan bajak sungai yang dipimpin oleh dua saudara Oei itu, ibu lalu menyuruh aku untuk menyelidiki. Kebetulan sekali aku melihat kalian dikeroyok dan karena aku sendiri sangsi apakah aku akan dapat menghadapi dua orang saudara yang ternyata amat lihai ilmu silatnya itu, aku lalu terjun dan menyelam ke bawah perahu besar dan menenggelamkannya. Kemudian aku lalu mempergunakan akal, memakai patung itu untuk mengusir mereka dan menolong kalian bebas dari belenggu." Setelah menuturkan pengalamannya, kembali nelayan muda yang gagah ini tertawa bergelak sambil mencucurkan air mata.
Sui Ceng geli sekali melihat keadaan pemuda ini dan karena melihat sikap Kong Hoat yang jujur dan polos, tanpa sungkan-sungkan ia lalu mencela, "Saudara Kong Hoat, kau.....cengeng (mudah menangis) sekali!"
Kong Hoat tidak menjadi marah mendengar celaan ini, bahkan sambil tertawa dia menjawab, "Bukan salahku, salahnya mataku yang gampang menangis. Karena mataku ini maka di tempatku aku dijuluki orang Nelayan Cengeng!" Ucapan ini menambah kegelian hati Sui Ceng dan Kwan Cu sehingga tiga orang muda yang perkasa itu tertawa-tawa.
Tiba-tiba terdengar suara orang-orang berteriak dan para bajak sungai itu dengan berteriak dan para bajak sungai itu dengan dipimpin oleh Oei Liong dan Oei Hwa datang menyerbu!
"Nah, mereka benar-benar datang. Tentu mereka sudah tahu akan tipuanku tadi. Biar aku mengambil senjataku yang kusembunyikan di luar dusun ini!" kata Kong Hoat sambil berlari keluar dari dusun untuk mengambil senjatanya, yakni sebatang dayung yang panjang dan berat.
"Apakah kau bersenjata?" tanya Sui Ceng kepada Kwan Cu. Pemuda itu mengeleng kepalanya.
"Sepasang pedangku juga dirampas oleh keparat Oei Liong, akan tetapi jangan khawatir, dengan tangan kosong aku sanggup melayani mereka. Apalagi ikat pinggangku masih ada!" Gadis ini meloloskan ikat pinggang sebelah luar yang berwarna merah dan sekali ia menggerakkan tangan, ikat pinggang itu bergerak-gerak seperti seekor ular merah yang menyambar-nyambar. Diam-diam Kwan Cu kagum sekali dan teringatlah dia akan kelihaian ilmu dari Kiu-Bwe Coa-li, guru dari gadis ini. Ia yakin bahwa dengan senjata ang-kin (sabuk merah) itu, Sui Ceng cukup kuat untuk menghadapi lawan-lawannya. Ia sendiri tersenyum dan tahu bahwa gadis ini masih memandang rendah kepadanya, maka dia pikir tak perlu memamerkan kepandaian dan akan bergerak secara sembunyi saja.
Gerombolan bajak muncul dan meraka telah bersenjata lengkap
"Dimana adanya keparat yang telah menipu kami dan menghina Dewa Sungai!" Oie Liong berseru sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi.
"Aku di sini, siap untuk mengemplang pecah kepalamu!" tiba-tiba terdengar teriakan keras dan Kong Hoat muncul berlari-lari sambil menyeret dayungnya yang besar dan berat.
"Kepung! Bikin mampus keparat itu, tangkap dua orang mempelai!" Seru Oei Liong dan Oei Hwa. Mereka ini menyerahkan pemuda nelayan bersenjata dayung itu kepada anak buah mereka, karena bagi mereka, lebih baik mereka berusaha menangkap kembali Kwan Cu dan Sui Ceng.
"Kwan Cu, mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka dan menghajar mereka dengan sabukku!" kata Sui Ceng yang merasa khawatir kalau-kalau kepandaian Kwan Cu masih terlampau rendah untuk menghadapi dua orang kepala bajak itu dengan tangan kosong saja.
Kwan Cu tersenyum dan benar-benar melompat mundur di belakang Sui Ceng, lalu duduk di bawah pohon dengan sikap sebagai seorang yang hendak menonton pertunjukan bagus, akan tetapi diam-diam matanya mencari-cari batu-batu kecil dan kedua tangannya mengerayang mengumpulkan batu-batu ini.
Keadaan menjadi geger. Puluhan orang bajak yang sudah dikumpulkan itu segera menyerbu, sebagian mengepung Kong Hoat dan sebagian pula membantu Oei Liong dan Oei Hwa yang mencoba untuk menangkap Kwan Cu dan Sui Ceng hidup-hidup.
Oei Hwa ketika melihat bahwa Kwan Cu tidakmau melawan, Bahkan duduk di bawah pohon hatinya girang bukan main dan mengira bahwa pemuda itu memang suka menjadi suaminya maka tidak melawan. Ia mendahului semua orang melompat ke dekat Kwan Cu dan dengan sikap yang genit ia berkata,
"Calon suamiku, apakah kau tidak mengalami kekagetan tadi? Marilah kita menyingkir lebih dulu sementara kawan-kawan kita menangkap gadis yang masih berkepala batu ini dan membunuh orang kasar itu!"
"Cih, perempuan hina -dina!" Sui Ceng memaki dengan marah dan sinar merah dari sabuknya meluncur ke arah leher Oei Hwa. Kepala bajak ini kaget sekali dan cepat menangkis. Akan tetapi inilah kesalahannya. Ketika ditangkis, sabuk itu bahkan melibat pedang dan pedang itu pasti aka terampas kalau saja Oei Hwa yang menjadi kaget tidak cepat-cepat mempergunakan pedang yang kiri untuk menusuk dan membabat tangan Sui Ceng. Terpaksa murid Kiu-bwe Coa-li ini melepaskan libatan sabuknya karena ia pun maklum akan kelihaian lawan. Ia menarik sabuknya sambil tertawa menghina, kemudian ia menyerang lagi. Terpaksa Oei Hwa melayaninya dan menyerang dengan sengit.
"Hwa-moi, jangan lukai dia. Ingat, dia calon So-somu (kakak ipar perempuan)!" kata Oei Liong yang maju pula membantu adiknya, bukan untuk membinasakan Sui Ceng, melainkan berusaha menangkapnya hidup-hidup. Juga beberapa orang bajak yang kepandaiannya sudah tinggi ikut pula menyerbu.
Akan tetapi Oei Liong dan kawan-kawannya kecele sekali kalau dia mengira akan dapat menangkap hidup-hidup gadis perkasa itu. Biarpun hanya bersenjata sehelai sabuk yang lemas, namun gadis ini lihai sekali. Tadinya para bajak mengira bahwa betapapun pandainya gadis itu, tanpa senjata tajam, hanya memegang sehelai sabuk, tentu mudah ditawan, dan sabuk itu tentu tidak berbahaya.
Akan tetapi tak disangka-sangka, setiap kali sabuk yang berubah menjadi sinar merah itu melayang, ujungnya "mencium" tubuh seorang anggota bajak, orang itu tentu memekik ngeri dan roboh tak bernyawa lagi dalam keadaan tidak terluka sama sekali! Ternyata bahwa inilah ilmu cambuk dari Kiu-bwe Coa-li yang selalu mengarah jalan darah kematian daripada lawan!
Dalam beberapa gebrakan saja, para bajak sungai yang tadinya berlomba ingin sekali berjasa dan menawan serta memeluk gadis cantik itu, dikagetkan oleh robohnya tujuh orang kawan mereka dalam keadaan tewas! Gentarlah mereka semua dan tanpa ada perintah dari Oei Liong dan Oei hwa, sebagian besar sudah mundur tak teratur!
Di lain fihak, para bajak yang mengeroyok Kong Hoat, juga menemui "batunya". Dayung di tangan nelayan muda ini benar-benar lihai dan kekuatannya seperti seekor gajah mengamuk. Banyak kepala anak buah bajak pecah terpukul dayung, tulang-tulang iga patah-patah dan remuk kena sambaran senjata yang keras itu. Para bajak menjadi kocar-kacir dan banyak pula yang tidak tahan menghadapi Kong Hoat lalu melarikan diri, hanya bergerombol di tempat yang jauh sambil menonton mereka yang masih bertempur.
"Pergunakan jala wasiat!" tiba-tiba Oei Hwa membentak keras, memberi perintah kepada aank buahnya. Barulah para bajak itu ingat akan senjata yang ampuh itu. Beramai-ramai mereka lalu mengambil jala-jala yang sengaja dibuat bukan untuk menjala ikan, melainkan untuk menjala manusia, yakni lawan yang tangguh.
Oei Liong sendiri bersama Oei Hwa lalu mencabut jala yang tipis dan dilipat-lipat serta diselipkan di punggung dan sekali Oei Liong menggerakkan tangan, sehelai jala melayang di atas kepala Sui Ceng. Gadis ini cepat mengelak, akan tetapi sehelai jala lain yang berwarna hijau dan dilepaskan oleh Oei Hwa telah menyambar di atas kepalanya. Sui Ceng terkejut sekali. Kalau sampai dirinya tertutup oleh jala, semua ilmu silatnya takkan ada gunanya lagi, tentu akan rusak dan terhalang. Maka ia melompat lagi mengelak, dan sebentar saja dia terdesak hebat.
Di lain fihak, Kong Hoat juga didesak hebat oleh para bajak yang kini mempergunakan jala untuk mengalahkannya.
"Kwan Cu, mengapa kau diam saja?" Sui Ceng berseru gemas melihat pemuda ini masih enak-enak saja duduk di bawah pohon.
"Sebentar aku rampas jala-jala mereka," kata Kwan Cu yang cepat mengeluarkan sulingnya, kemudian dia berlari menghampiri Sui Ceng karena selain dia lebih menghawatirkan keselamatan gadis ini, juga dalam pertempuran dua rombongan itu, Sui Ceng yang lebih berbahaya kedudukannya karena selain dikeroyok oleh para bajak, juga di situ ada Oei Liong dan Oei Hwa yang lihai.
Dengan gerakan yang kaku dibuat-buat, Kwan Cu menyerbu dengan sulingnya. Ia tidak menyerang siapapun juga, hanya menanti dan ketika ada jala seorang bajak laut dilemparkan ke atas untuk menangkap Sui Ceng, tubuhnya berkelebat, sulingnya digerakkan ke arah jala dan tahu-tahu jala itu robek di tengah-tengahnya, tak dapat dipergunakan lagi. Lain jala menyambar, Kwan Cu mengulur tangan kirinya dan tahu-tahu jala ini telah dirampasnya, disendal cepat dan putuslah tali jala yang dipegang oleh bajak itu!
Sui Ceng kagum dan memuji kecerdikan Kwan Cu, sungguhpun ia melihat bahwa semua itu bukan karena kepandaian Kwan Cu, melainkan karena kecerdikannya. Ia segera meniru perbuatan Kwan Cu, menyambut setiap jala,disambar dan ditarik kuat-kuat sehingga tali jala menjadi putus!
"Kanda, mengapa engkau membantunya? Dia membikin susah pada kami!" seru Oei Hwa dengan kecewa sekali.
"Kwan Cu, calon isterimu itu bawel sekali, perlu digampar mulutnya!" kata Sui Ceng gemas dengan suara menghina, dan ia cepat melompat ke arah Oei Hwa, Benar-benar mengirim pukulan atau tamparan pada muka Oei Hwa.
Dalam menampar ini, Sui ceng mempergunakan gerak tipu Yu-coan-hoa-jiu (Pukulan Menembus Bunga), maka biarpun tidak hebat datangnya, namun sukar dielakkan.
"Plak!" sebelah pipi Oei Hwa kena ditampar oleh Sui Ceng sehingga kelihatan bekas kemerah-merahan dan bibir yang terkena tamparan juga menjadi berdarah. Sui Ceng tertawa girang dan puas, akan tetapi sebaliknya Oei Hwa menjadi marah sekali.
"Liong-ko, terpaksa aku harus menghancurkan kepala budak ini!" seru Oei Hwa marah sekali dan ia cepat melemparkan pedang di tangan kirinya ke arah Sui Ceng. Lemparan pedang ini adalah ilmu timpuk yang disebut Kim-liong-touw-ka (Naga Emas membuka Pakaian) dan hebatnya buka main. Pedang itu meluncur bagaikan kilat cepatnya, menyambar ke arah dada Sui Ceng.
Tentu saja Sui Ceng terkejut sekali karena ini benar-benar tak pernah disangka-sangkanya, dan tahu-tahu sudah ada "pedang terbang" menuju ke dadanya. Ia cepat melempar tubuh ke kiri akan tetapi tubuhnya masih akan terserempet pedang kalau tidak pada saat itu, pedang yang meluncur tadi tahu-tahu berbunyi "tring...!" dan menyeleweng ke pinggir!
Sui Ceng cepat memasang kuda-kuda dan Oei Hwa yang melihat timpukan pedang kirinya meleset, segera melompat maju dan memutar pedang di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya cepat mencabut lipatan jalanya. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika melihat betapa jalanya itu sudah hancur dan robek-robek.
Semua itu adalah perbuatan Kwan Cu yang bekerja dengan cepat dan diam-diam, mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang tinggi tanpa diketahui oleh siapapun juga. Tadi ketika melihat Oei Hwa bergerak, dia sudah tahu bahwa nona ini hendak mempergunakan pedang untuk menimpuk, maka dia segera menyusul timpukan itu dengan batu kecil sehingga pedang tadi tidak dapat mengenai tubuh Sui Ceng. Kemudian dengan gerakan seperti seorang yang mainkan ilmu silat secara ngawur, dia menggerakkan sulingnya ke sana ke mari dan dalam keadaan kacau balau itu dia telah berhasil merusak jala-jala dari Oei Hwa, Oei Liong, dan beberapa orang bajak lain yang berdekatan!
Setelah melihat bahwa keadaan Sui Ceng tidak berbahaya lagi, dia menenggok ke arah Kong Hoat. Alangkah kagetnya keetika melihat pemuda kasar ini telah tertangkap oleh jala, dan pemuda ini mengamuk, memutar dayung di dalam jala itu sehingga para bajak tidak berani mendekat, hanya menambah jala untuk memperkuat kurungan sehingga sebentar saja tubuh Kong Hoat sudah dikurung oleh tujuh helai jala. Ia benar-benar seperti seekor ikan buas tertangkap di dalam jala, bergerak-gerak dan meronta-ronta tanpa dapat keluar dari jala, akan tetapi juga mereka yang menangkapnya tidak berani turun tangan!
Kwan Cu cepat melompat dan dengan sulingnya dia menyontek jal-jala itu. Para bajak menyerbu, akan tetapi dengan amat lincah dan gerakan lucu dibuat-buat seakan-akan gerakannya kaku, Kwan Cu mengelak dan memutari jala. Ia seperti sedang main kucing dan tikus, dikejar-kejar oleh para bajak dan menggelilingi jala itu. Akan tetapi, Kwan Cu diam-diam mempergunakan kepandaiannya. Suling di tangannya yang dipegang ketika dia berlari-lari mengitari jala menjauhi para bajak, diam-diam telah merobek jala itu di sana sini sehingga tiba-tiba Kong Hoat merasa jala itu mengendur. Ketika nelayan ini mempergunakan dayungnya mengangkat, ternyata jala-jala itu telah robek dengan mudah saja dia keluar dari situ.
"Jahanam keparat, rasakan pembalasanku!" seru nelayan ini dengan marah dan dayungnya mengamuk hebat sekali.
Kwan Cu kembali duduk di bawah dibawah pohon sambil menonton pertempuran. Ia melihat Sui Ceng kini hanya dikeroyok dua oleh Oei Hwa dan Oei Liong, karena para anak buah bajak sudah pada mengundurkan diri, Tidak berani lagi menghadapi gadis perkasa itu. Adapun Kong Hoat juga dijauhi oleh lawan-lawannya setelah dia berhasil menyapu roboh enam orang bajak lagi. Melihat Sui Ceng di keroyok, Kong Hoat lalu berlari-lari sambil menyeret dayungnya, langsung membantu Sui Ceng.
Pertempuran terpecah dua, Sui Ceng menghadapi Oei Hwa sedangkan Kong Hoat mengamuk dan menyerang Oei Liong. Hebat sekali pertempuran ini dan kepandaian mereka seimbang, hanya bedanya Kong Hoat lebih mengandalkan tenaga besar sedangkan Oei Liong lihai sekali permainan goloknya dan lebih cepat gerakkannya.
Adapun pertandingan antara Sui Ceng dan Oei Hwa tidak begitu ramai, karena memang tingkat kepandaian Sui Ceng jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Oei Hwa. Setelah kini tidak dikeroyok lagi. Sui Ceng menggerakkan sabuk merahnya demikian cepatnya sehingga Oei Hwa menjadi pening dan tak lama kemudian ia menjerit, terhuyung-huyung dan roboh telentang tak bergerak lagi. Ujung sabuk di tangan Sui Ceng telah menotok jalan darah kematian di dadanya!
Melihat Kong Hoat terdesak oleh Oei Liong, Sui Ceng cepat menggerakkan sabuknya. Pada saat itu, golok Oei Liong tengah menyambar dari atas untuk dibacokkan ke arah kepala Kong Hoat, akan tetapi alangkah terkejut hati Oie Liong ketika tiba-tiba dia merasa goloknya terlepas dari tangan dan ketika dia menengok, ternyata bahwa goloknya itu telah terampas oleh sabuk merah Sui Ceng. Kecut hati kepala bajak ini dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun.
Melihat ini, Sui Ceng ragu-ragu, akan tetapi Kong Hoat segera menggerakkan dayungnya dan sekali kemplang saja remuklah kepala Luan-ho Oei Liong.
"Saudara Kong Hoat, mengapa kau bunuh dia yang sudah tidak melawan?" tanya Sui Ceng dengan suara tidak puas, karena ia menganggap perbuatan Kong Hoat ini keterlaluan.
"Bun-lihiap, kejahatan seperti pohon liar dan untuk membasminya kita harus mencabut akarnya. Kalau kepalanya mati, anak buahnya masih ada harapan untuk kapok," kata Kong Hoat.
Kata-kata ini segera terbukti karena para anak buah bajak yang melihat dua orang pemimpin mereka tewas, sisanya lalu melempar senjata dan berlutut. Mereka khawatir kalau-kalau keluarga mereka yang tinggal di dusun itu dibasmi oleh tiga orang pendekar itu, maka cepat-cepat mereka memohon ampun.
"Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar), mohon sudi mengampuni kami."
Melihat bahwa kata-kata Kong Hoat ternyata benar, Sui Ceng lalu tersenyum dan berkata,
"Terserah kepadamu untuk meghadapi mereka, saudara Kong Hoat. Kau lebih mengerti bagaimana harus melayani mereka itu."
Kong Hoat lalu mengangkat dayungnya dan memalangkan dayung itu di depan dadanya, kemudian dia berkata,
"Kalian semua harus bersyukur bahwa dua orang kawanku yang gagah perkasa ini masih mengampuni jiwa anjingmu. Sekarang kalian harus dapat mengubah cara hidupmu. Kami takkan melarang kalau kiranya kalian membajak perahu-perahu pembesar pemerintah penjajah, atau minta sumbangan dari para hartawan. Akan tetapi, jangan bertindak sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh dua orang pemimpinmu yang sudah tewas. Kalian kami bebaskan, akan tetapi hati-hati, kalau lain kali kami masih mendengar bahwa sepak terjangmu keterlaluan, pohon ini menjadi contohnya!" Setelah berkata demikian, Kong Hoat menggerakkan dayungnya ke arah sebatang pohon. Terdengar suara keras dan pohon itu tumbang karena patah dihantam oleh dayung itu.
Semua bajak menjadi pucat dan mengangguk-angguk menyatakan taat akan pesanan ini.
"Ketahuilah, bahwa kawan-kawanku ini adalah pendekar-pendekar berilmu tinggi, sedangkan aku sendiri biarpun tidak ternama akan tetapi kiranya kalian sudah mendengar nama ibuku, yakni Liok-te Mo-li!"
Mendengar nama ini, benar saja semua bajak itu menjadi gemetar seluruh tubuh mereka dan saling memandang dengan gelisah. Nama Liok-te Mo-li siapakah yang tidak pernah mendengarnya? Wanita sakti itu boleh dibilang menjadi ratu dari segala bajak air, karena selain sakti, juga pandai sekali dalam air dan ganasnya terhadap penjahat luar biasa.
"Hamba sekalian akan mentaati perintah dan tidak berani melanggarnya," kata beberapa orang bajak itu.
"Nah, sekarang uruslah semua mayat ini dan ubah cara hidup kalian," kata pula Kong Hoat. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, Kong Hoat, Sui Ceng dan Kwan Cu keluar dari dusun itu.
Setelah tiba di luar hutan, Kong Hoat lalu menjura kepada Sui Ceng dan Kwan Cu, katanya dengan sejujurnya.
"Ji-wi benar-benar hebat sekali, siauwte benar-benar tunduk atas kepandaian Ji-wi yang luar biasa tingginya. Mudah-mudahan saja kelak siauwte akan mempunyai keberuntungan untuk bertemu dengan Ji-wi. Selamat tinggal." Setelah berkata demikian, nelayan muda itu menyeret dayung dan pergi situ.
Sui Ceng dan Kwan Cu berpandangan dan Kwan Cu tertawa
"Kong Hoat benar-benar hebat dan mengagumkan. Akan tetapi kau lebih-lebih luar biasa sekali, Sui Ceng. Aku tunduk betul akan kepandaian."
"Akan tetapi kau lebih cerdik, Kwan Cu. Tadi aku benar-benar binggung sekali ketika dikurung oleh jala-jala itu. Baiknya kau datang dan memberi contoh yang amat baik. Aku percaya penuh bahwa dengan akalmu yang cerdik, kau akan mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silat. Eh, kata guruku, kau mungkin sudah mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betulkah ini?"
Merah wajah Kwan Cu. tadi dia sudah berhasil menyembuyikan kepandaiannya, maka kini dia hanya menggeleng-geleng kepalanya tanpa memberi jawaban. Untuk menyimpangkan perhatian Sui Ceng dia tiba-tiba berkata,
"Sui Ceng, tadi kau kehilangan sepasang pedangmu, apakah kau tidak mau mengambilnya dulu? Bukankah tadi dirampas oleh Oei Liong?"
Sui Ceng benar saja lupa untuk bertanya-tanya lagi tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebaliknya ia menggeleng-geleng kepala dan berkata,
"Pedang-pedang itu pedang biasa saja, tanpa itu pun aku masih mempunyai ang-kin ini. Kalau pedang Liong-coan-kiam, barulah boleh disebut pedang baik!"
"Liong-coa-kiam? Pedang apakah itu dan milik siapa?" tanya Kwan Cu dengan suara girang karena dia berhasil mengalihkan perhatian Sui Ceng dari pertanyaan tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Sui Ceng kelihatan kaget dan menyesal bahwa dia telah terlanjur bicara tentang pedang itu.
"Pedang Liong-coa-kiam adalah pedang peninggalan Menteri Lu Pin untukmu, berada di Goa Tengkorak."
Kwan Cu teringat akan tugasnya mengunjungi Goa Tengkorak, Maka dia lalu berkata cepat.
"Aah, aku harus ke sana sekarang juga! Aku perlu bertemu dengan kong-kong Lu Pin."
Sudah bergerak bibir Sui Ceng untuk menceritakn tentang kematian Lu Pin, akan tetapi ditahannya bibir itu. Memang, biarpun Sui Ceng pernah berkata akan pesan terakhir dari Menteri Lu Pin, namun Kwan Cu mengira bahwa kong-kongnya masih hidup, yakni menurut anggapan orang-orang di dalam istana.
"Kalau begitu kita berpisah di sini," kata Sui Ceng.
Kwan Cu nampak kecewa. "Benar katamu, Sui Ceng. Kau.......kau tentu tidak sudi melakukan perjalanan bersamaku."
Sui Ceng tertawa melihat sikap pemuda ini. "Bukan begitu, memang kita tidak mempunyai keperluan untuk melakukan perjalanan bersama. Bahkan aku mengajak kau berlomba, siapakah yang akan dapat memenuhi pesanan kong-kongmu itu lebih dahulu."
Hm… kau tidak adil. Kau sudah tahu akan pesanan itu, sedangkan aku belum. Baiklah, aku segera akan menyusulmu, Sui Ceng. Kita pasti akan bertemu lagi kelak."
"Selamat berpisah," kata Sui Ceng sambil memutar tubuhnya.
"Selamat berpisah sampai berjumpa kembali," kata Kwan Cu tanpa memutar tubuh, bahkan memandang kepada gadis itu yang mulai berjalan pergi. Akan tetapi tiba-tiba Sui Ceng membalikan tubuhnya sambil berseru.
"Kwan..." Ia terpaksa menghentikan panggilannya karena melihat bahwa pemuda itu ternyata belum pergi, masih berdiri memandangnya! Merah muka Sui Ceng melihat kenyataan ini.
"Ada apakah, Sui Ceng? Masih ada sesuatau yang harus kita bicarakan agaknya?"
"Aku lupa untuk bertanya tentang sikapmu tadi ketika kita masih dibelenggu," berkata sampai di sini, wajah nona itu menjadi makin merah dan sepasang matanya menyinarkan cahaya penasaran. "Kau bilang bahwa kau gembira sekali karena keaadan kita waktu itu menyatakan bahwa kita seakan-akan saling.......saling menikah? Mengapa? Mengapa kau gembira?"
Terbelalak lebar sepasang mata Kwan Cu yang bersinar tajam dan berpengaruh itu. Perlahan-lahan kedua pipinya merah sekali. Akan tetapi, pemuda ini semenjak bersumpah di depan Liyani, gadis raksasa itu bahwa dia mencintai seoang gadis yang bernama Bun Sui Ceng, dia sering kali melamun dan bermimpi tentang gadis ini. Dan semenjak itu dia betul-betul merasa betapa dia mencintai Sui Ceng! Terdorong oleh kejujurannya, pula karena dia melihat bahwa Sui Ceng juga seorang gadis jujur, dia lalu memberanikan diri, menekan hatinya yang berguncang, lalu berkata dengan gagahnya.
"Mengapa aku gembira dapat menikah dengan engkau? Sui Ceng, karena aku.......aku cinta kepadamu!"
Sui Ceng bengong. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian terus terang, tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan isi hatinya, mengaku cinta padanya. Akan tetapi ia lalu teringat akan sesuatu dan mukanya menyatakan kemarahan.
"Kwan Cu, bagus benar watakmu! Bukankaah kau sudah tahu bahwa aku ini tunangan The Kun Beng?"
"Memang aku sudah tahu," kata Kwan Cu mengangguk.
"Dan kau masih berani menyatakan ci.......cinta ...padaku?"
"Mengapa tidak?"
"Kau mengkhianati Kun Beng yang kau anggap kawan sendiri!"
Kwan Cu mengangguk. "Memang, akan tetapi kalau aku tidak berterus terang, bukankah itu berarti aku mengkhianati hati sendiri? Pula, terus terang saja kukatakan bahwa Kun Beng tidak berharga untuk menjadi suamimu!"
Makin terheranlah gadis itu dan untuk kedua kalinya ia bengong. Kemudian ia bertanya bibirnya tersenyum mengejek, "Hm, dan kaupikir bahwa kaulah orang yang paling berharga untuk menjadi.........menjadi suamiku?"
Kwan Cu mengangguk. "Memang, begitulah pikiranku."
Sui Ceng membanting-banting kakinya. "Kau kurang ajar sekali, Kwan Cu. Kau besar mulut! Kalau ada pedang di tanganku, tentu kau akan kuserang!"
"Kau sudah melakukan hal itu di atas perahu."
"Ya, akan tetapi terganggu, belum sampai aku menusuk dadamu."
“ Kau ingin sekali membunuhku?"
"Ya, kalau kau begitu sombong, begitu kurang ajar, dan begitu rendah hati memburukkan nama orang lain di depanku."
"Dengan ang-kinmu itu pun kau dapat melakukan pembunuhan terhadapku, Sui Ceng. Mengapa kau tidak lakukan hal itu?"
Sui Ceng tertegun. "Selain sombong….. kau… kau… "
“Ya…."
"Kau juga tabah sekali. Kau orang aneh, agaknya kau sudah sudah miring otakmu." Setelah berkata demikian, Sui Ceng lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Kwan Cu.
Kwan Cu mengangkat kedua tangan, meraba-raba kepalanya sendiri dan menggerutu.
"Benar-benarkah sudah miring otakku? Mengapa aku begini tergila-gila setelah melihatnya? Ah…. jangan-jangan sudah miring benar-benar otakku…. " Sambil menggerutu dan mengeluh panjang pendek, Kwan Cu pergi dari situ, langsung menuju bukit di mana terdapat Goa Tengkorak, tempat bersembunyi kong-kongnya, yakni Menteri Lu Pin.
***
Di dalam Goa Tengkorak yang menyeramkan itu terdengar suara orang menangis.
"Kong-kong, aku bersumpah untuk membasmi keturunan An Lu Shan manusia jahanam itu!” Terdengar orang yang menangis itu berkata dan suaranya lebih menyeramkan lagi karena bergema di dalam goa yang besar penuh tengkorak-tengkorak raksasa itu. Orang ini adalah Lu Kwan Cu yang berhasil mendapatkan Goa Tengkorak di mana kong-kong angkatnya telah meninggal dunia. Ketika memasuki goa, Kwan Cu belum mengetahui bahwa Menteri Lu Pin telah meninggal dunia, akan tetapi setelah dia membaca tulisan berukir di dinding, mencabut pedang Liong-coan-kiam, lalu menuju ke hio-louw, dia melihat makam kong-kongnya itu dan menangislah dia. Hatinya amat terharu. Mereka itu dua saudara yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan. Lu Sin dan Lu Pin. Dan keduanya merupakan orang-orang yang amat dijunjung tinggi dan dikasihani oleh Kwan Cu. Kini keduanya tewas karena membela kebenaran, membela negara dan bangsa. Dan hanya dia seoranglah yang berkewajiban membalas dendam, atau lebih tepat lagi berkewajiban melanjutkan cita-cita mereka berdua.
Kemudian Kwan Cu meninggalkan goa itu setelah menutupi goa itu dengan batu-batu dan alang-alang seperti yang dilakukan oleh Sui Ceng dulu. Hati dan pikirannya penuh cita-cita, dan dia merasa sebagai seorang yang memanggul banyak macam tugas kewajiban. Pertama-tama, dia akan membalas dendam kepada para pembunuh Ang-bin Sin-kai, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin dan para pembantu mereka. Ke dua, dia akan mencari keluar An Lu Shan dan akan membunuh mereka semua, sesuai dengan pesan kong-kongnya, Menteri Lu Pin. Urusan ke tiga, dia juga harus mencari Kun Beng dan Swi Kiat, untuk memenuhi permintaan Gouw Kui Lan, gadis yang bernasib malang itu.
Berpikir tentang Kun Beng dan Swi Kiat, Kwan Cu teringat akan Bun Sui Ceng. Hatinya berdebar kalau dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu beberapa hari yang lalu. Sui Ceng benar-benar telah menjadi seorang gadis yang melampaui keindahan gadis dalam mimpinya. Ia benar-benar jatuh hati kepada gadis itu, dan hatinya perih kalau teringat bahwa gadis itu telah ditunangkan dengan Kun Beng. Bukan perih karena cemburu atau iri, melainkan karena dia mendapat kenyataan batwa Kun Beng bukanlah seorang pemuda yang patut menjadi suami Sui Ceng. Bukankah Kun Beng telah melakukan hal yang amat rendah terhadap Gouw Kui Lan? Tidak, Kun Beng tidak seharusnya menjadi suami Sui Ceng. Dia akan mencegah terjadinya perjodohan itu! Kasihan kepada Kui Lan, juga kasihan kepada Sui Ceng.
Dengan cepat Kwan Cu melakukan perjalanan menuju ke kota raja karena dia hendak menyelidiki betul-betul di mana dia dapat mencari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan musuh-musuh yang lain. la teringat kepada Lu Thong, cucu kong-kongnya yang berhati khianat itu, ia akan mempergunakan kekerasan, memaksa Lu Thong mengaku di mana adanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Juga dia akan mengunjungi An Kong putera An Lu Kui. Kali ini dia akan membunuh orang ini, juga An Lu Kui, karena mereka ini adalah keluarga An Lu Shan.
Semenjak Kwan Cu menyerbu ke kota raja dan berhasil menolong Kui Lan keluar dari gedung An Kong, tembok kota raja dijaga makin keras. Jangankan manusia biasa, seekor burung pun agaknya tak mungkin lewat di atas tembok kota raja tanpa terlihat oleh para penjaga yang banyak jumlahnya dan yang melakukan penjagaan secara bergilir .
Akan tetapi Kwan Cu bukanlah manusia biasa, juga bukan burung yang tidak mempunyai akal budi. Dengan gerakannya yang amat gesit, Kwan Cu dapat melewati penjagaan dan melompat ke atas tembok, mempergunakan kegelapan malam sehingga dia dapat masuk ke kota raja tanpa terlihat oleh siapapun juga.
Ternyata bahwa kota raja telah terjadi perubahan besar. Di antara mereka yang bersaingan merebutkan kedudukan, Si Su Beng kawan pemberontak An Lu Shan telah berhasil membunuh putera An Lu Shan yang dulu membunuh ayahnya sendiri. Kemudian Si Su Beng berhasil menduduki tempat tertinggi. Hal ini adalah berkat bantuan jago-jagonya, terutama sekali berkat bantuan Kiam Ki Sianjin, tosu yang berjuluk Pak-kek Sian-ong itu.
Biarpun diam-diam An Lu Kui dan kaki tangannya menaruh hati dendam karena pangeran yang terbunuh itu adalah keponakannya sendiri, namun An Lu Kui tidak berani berbuat sesuatu. Hanya diam-diam dia mengumpulkan kawan-kawannya mencari jalan untuk merampas kembali kedudukan yang dipertuan di Kerajaan Tang yang sudah dirampasnya itu.
Malam itu gelap dan dingin sekali hawanya. Kwan Cu pertama-tama segera menuju ke rumah gedung di mana tinggal An Kong pangeran botak putera An Lu Kui yang dulu pernah diserbunya ketika dia menolong Gouw Kui Lan. Baginya An Kong juga keturunan atau keluarga An Lu Shan maka patut dibinasakan. Lagi pula, manusia macam An Kong itu memang sudah pantas kalau menerima hukuman mati, karena hidupnya hanya mengotorkan dunia dan melakukan kejahatan dan kekejian belaka.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Kwan Cu berhasil mengintai ke dalam. Di ruang tengah dia melihat An Kong tengah bercakap-cakap dengan dua orang perwira yang dikenalnya sebagai panglima-panglima pembantu An Lu Kui yang dulu pernah dikalahkan. Mereka itu adalah Cang Kwan yang berwajah brewok dan Liong Tek Kauw, dua orang panglima yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi yang bagi Kwan Cu bukan apa-apa. Melihat An Kong, bangkit amarah di dada Kwan Cu, karena tidak saja pangeran botak ini mengingatkan dia akan Kui Lan yang bernasib malang, akan tetapi dia juga teringat, akan keluarga Lu yang terbinasa karena kekejaman keluarga An.
"An Kong anjing botak, aku datang untuk mengambil nyawamu!" kata Kwan Cu sambil melayang ke bawah. Tadi ketika mengintai, dia mempergunakan dua kakinya dikaitkan pada balok melintang di bawah genteng dan kini tubuhnya melayang bagaikan seekor garuda menyambar.
An Kong dan dua orang panglima itu terkejut sekali. Pangeran botak ini cepat mencabut cambuk dan kebutannya, dan melihat bahwa yang datang adalah pemuda yang pernah merobohkannya dan merampas Kui Lan yang membuatnya tergila-gila, dia marah sekali.
"Bagus, kau datang mencari mampus!" serunya dan sebelum tubuh Kwan Cu tiba di atas lantai, kebutan dan cambuknya sudah menyambar dari kanan kiri.
Akan tetapi kali ini kedatangan Kwan Cu bukan untuk main-main atau menguji kepandaiannya. la datang dengan maksud membunuhi musuh-musuh besar yang membuat Menteri Lu Pin sekeluarga terbinasa secara sia-sia. Begitu melihat kebutan dan cambuk melayang dari kanan kiri, dengan sekelebatan saja dia sudah melihat dari pundak orang ke mana arah tujuan serangan ini. Tingkat kepandaian pemuda ini setelah menguasai pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng memang tak dapat diukur lagi tingginya. Ia sudah mengatahui semua pokok dasar segala macam serangan ilmu silat, maka menghadapi serangan dari An-kong, dia telah tahu bagaimana untuk melayaninya. Dengan tangan kirinya, dia menggunakan gerak tipu Kong-ciak-siu-po (Burung Merak Sambut Mustika), yakni sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya sendiri Kong-ciak-sin-na (Ilmu Silat Burung Merak). Dalam sekejap mata sebelum An Kong tahu apa yang telah terjadi, cambuknya telah kena dirampas oleh tangan kiri Kwan Cu. Pemuda sakti ini tidak berhenti sampai di situ saja, dan pada saat kedua kakinya sudah menginjak lantai, tangan kanannya bergerak melakukan pukulan Pek-in-hoat-sut, menghantam ke arah kebutan yang memukul dari kanannya.
“Krak!" terdengar kebutan itu patah berikut tulang lengan An Kong disusul oleh menjeritnya pangeran botak itu yang terlempar ke belakang dan roboh sambil mengerang-erang kesakitan.
"Kau kejam sekali! Ada permusuhan apakah antara kau dan aku maka datang-datang kau menjatuhkan tangan maut?" teriak An Kong sambil memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tidak saja dia terheran-heran dan amat kagum, akan tetapi dia juga amat ketakutan melihat sinar mata Kwan Cu yang tajam berpengaruh.
"Ingat saja apa yang sudah terjadi dengan keluarga Lu. Kau sebagai keluarga An harus mati." Setelah berkata demikian, dari tempat dia berdiri, Kwan Cu mengarahkan pukulan kepada pangeran botak itu. Biarpun jarak antara mereka ada dua tombak, dan tangan Kwan Cu tak pernah menyentuh dada An Kong, namun pangeran ini menjerit dan tewas pada saat itu juga karena hawa pukulan Pek-in-hoat-sut yang keluar dari pukulan tangan Kwan Cu telah menghancurkan isi dadanya!
Untuk sesaat, dua orang perwira pembantu An Lu Kui berdiri bengong dan tak dapat berkata-kata. Akan tetapi melihat pangeran itu rebah miring tak bernapas lagi, mereka menjadi marah dan segera menyerbu dengan senjata di tangan. Namun Kwan Cu tentu saja tidak gentar, dan dia pun tidak sudi melayani orang-orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusannya. Sekali tubuhnya bergerak dua orang perwira itu roboh tertotok. Mereka sendiri tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Memang, dengan penglihatannya yang sudah luar biasa, pula karena dia memiliki gerakan cepat sekali, Kwan Cu telah mendahului mereka dan sebelum serangan mereka sampai dia telah menotok mereka dengan kedua tangannya.
Kwan Cu menyeret tubuh Cang Kwan, si panglima brewok, dijambaknya rambutnya dan diberdirikan, lalu dibebaskannya dari totokan.
"Hayo katakan, di mana adanya An Lu Kui ?" bentaknya setelah orang itu terbebas dari totokan.
Cang Kwan gemetar ketakutan. Ia adalah seorang panglima yang sudah banyak pengalaman bertempur dan kepandaiannya boleh dibilang sudah menduduki tempat cukup tinggi. Akan tetapi dalam tangan pemuda ini, dia tak lebih seperti seorang bocah yang bodoh dan canggung saja.
"An-ciangkun berada di gedungnya sendiri " jawabnya perlahan.
"Di mana itu? Hayo kauantar aku!" Kwan Cu mengempit tubuh yang tinggi besar itu bagaikan seorang dewasa mengempit sebuah boneka, lalu tubuhnya berkelebat keluar dari ruang itu terus melayang naik ke atas genteng. Atas petunjuk Cang Kwan, mereka tiba di atas sebuah gedung yang angker di dalam lingkungan bangunan-bangunan istana.
"Panggil An Lu Kui naik, lekas kalau minta nyawamu selamat!" Kwan Cu mengancam perlahan.
Karena sudah tidak berdaya dalam kempitan pemuda sakti ini, Panglima Cang Kwan lalu berteriak, suaranya parau memecah kesunyian malam,
"An-ciangkun, harap kau suka keluar, siauwte menanti di atas genteng. Penting sekali!" teriaknya.
Hening sesaat kemudian terdengar suara orang dari bawah genteng, terheran-heran.
"Eh, eh, eh, bukankah di atas itu Cang-ciangkun? Mengapa tidak turun saja?" itulah suara An Lu Kui, dan tak lama kemudian nampak bayangan orang di bawah genteng.
Kwan Cu melemparkan tubuh Cang Kwan ke bawah dan dia sendiri lalu melompat menyusul. Karena tadi sudah berjanji hendak mengampuni nyawa panglima itu, Kwan Cu mendahului, sampai di tanah dan dengan sebelah kaki dia menendang tubuh yang jatuh itu, mencegah tubuh itu terbanting hancur. Akan tetapi tendangan ini cukup membuat Cang Kwan pingsan untuk beberapa lama.
Adapun An Lu Kui ketika melihat siapa orangnya yang datang bersama Cang Kwan, menjadi terkejut sekali dan hendak berlari masuk. Namun dia kalah cepat dan dengan sebuah pukulan tangan kiri, Kwan Cu membuat An Lu Kui roboh terguling dengan tulang iga patah-patah!
"lnilah pembalasan dari keluarga Menteri Lu Pin yang telah binasa oleh keluargamu!" kata Kwan Cu. Melihat panglima itu masih bergulat dengan maut, pemuda ini tidak tega dan sekali dia mengerahkan tenaga Pek-in-hoat-sut memukul ke arah An Lu Kui, panglima itu tewas tanpa banyak penderitaan lagi.
Tiba-tiba berkelebat empat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Kwan Cu telah dikurung oleh empat orang kakek. Tiga orang di antaranya adalah tosu-tosu yang berjenggot panjang. Kwan Cu segera mengenal bahwa seorang di antara tiga tosu itu bukan lain adalah Kiam Ki Sianjin yang lihai, dan tosu ke dua dia masih ingat adalah Pek-eng Sianjin, ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang pernah dibasmi oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai. Yang seorang lagi adalah seorang hwesio berkepala gundul yang bertubuh gemuk. la tidak kenal siapa adanya hwesio ini dan tidak kenal pula tosu ke tiga, akan tetapi sikap mereka menunjukkan bahwa mereka pun memiliki kepandaian tinggi.
"Eh, eh, eh, dia sudah membunuh An-ciangkunl" seru Kiam Ki Sianjin kaget. "Anak muda, bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai yang bernama Lu K wan Cu, yang dulu pernah menyerbu di istana ?”
Kwan Cu berdiri tenang dan tersenyum. "Benar, Kiam Ki Sianjin. Kau dan kawan-kawanmu datang apakah hendak menangkap aku?"
Empat orang kakek itu saling pandang dan tertawa. Mereka kagum melihat sikap pemuda yang amat tenang dan tabah itu. Kiam Ki Sianjin juga tertawa.
"Bagus, bagus. Kau bahkan telah mewakili kami membunuh orang yang mempunyai hati khianat ini. Marilah ikut kami dan kita bicara dengan jelas di tempat terang."
Kwan Cu tidak mempunyai kepentingan dengan mereka, akan tetapi melihat Pek-eng Sian-jin, dia telah menjadi panas perutnya. Inilah seorang di antara mereka yang mengeroyok gurunya, Ang-bin Sin-kai. Hal ini dia dengar dari pujangga Tu Fu, maka seketika itu juga dia mempunyai niat hendak menewaskan tosu musuh besar gurunya itu pula. Oleh karena itu, tanpa banyak kata lagi dia mengikuti empat orang kakek itu menuju ke sebuah bangunan yang paling tinggi di antara semua bangunan di situ.
Ruang depan bangunan ini amat lebar dan ke situlah Kiam Ki Sianjin mengajaknya pergi. Kwan Cu mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah pun kata akan tetapi matanya melirik ke arah Pek-eng Sianjin dengan penuh kebencian.
"Orang muda she Lu, apakah kau membunuh An-ciangkun atas suruhan Pangeran Lu Thong?” Kiam Ki Sianjin bertanya setelah dia mempersilakan pemuda itu duduk menghadapi meja bundar yang terukir indah.
"Aku tidak mempunyai hubungan dengan Lu Thong. Aku membunuh An Lu Kui dan juga An Kong, karena aku sudah bersumpah untuk membasmi semua keluarga jahanam An Lu Shan dan kaki tangannya."
"Hm, kau benar sekali, orang muda. Memang keluarga An amat jahat dan palsu, karenanya kami juga memusuhi mereka. Keluarga An sudah kami lenyapkan semua, sayang sekali masih ada seorang yang sempat melarikan dirinya. Dialah keturunan terakhir dari An Lu Shan."
"Siapakah dia ?" Kwan Cu mendesak karena dia memang tertarik mendengar bahwa masih ada keturunan An Lu Shan yang masih hidup.
“Namanya An Kai Seng, entah dia kini berada di mana. Akan tetapi dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan mempunyai banyak kawan-kawan."
"Aku pasti akan mendapatkannya!" kata Kwan Cu tegas.
"Bagus, kau memang seorang patriot sejati. Memang penindas rakyat harus diberantas semua sampai habis!" kata Kiam Ki sianjin yang merasa diri amat cerdik telah dapat mempergunakan tenaga Kwan Cu secara tidak langsung untuk membasmi orang-orang yang mengancam kedudukan Si Su Beng, yakni raja baru yang menjadi majikannya! Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Si Su Beng berhasil merebut tahta dan menduduki tempat tertinggi di istana, memegang kekuasaan terbesar. Karena maklum bahwa keluarga An Lu Shan tentu akan menaruh hati dendam, diam-diam Si Su Beng menyuruh Kiam Ki Sianjin mencari jalan untuk membasmi saja semua orang yang dapat mendatangkan ancaman bagi kedudukannya. Kini bertemu dengan Kwan Cu, dengan cerdik Kiam Ki Sianjin sengaja mengobarkan api di dada Kwan Cu dan merasa diri amat pandai.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia melihat Kwan Cu berdiri dan pemuda ini tertawa bergelak.
"Kiam Ki Sianjin, monyet tua! Lidahmu tak bertulang itu menyemburkan kata-kata yang tidak lebih harum dari pada kentut busuk! Orang macam kau ini tahu apa akan perjuangan membela rakyat? Kau sendiri menjadi kaki tangan raja penjajah, menindas rakyat. Tak malukah kau sebagai seorang Han? Hah, memualkan perutku benar! Aku sendiri tidak ada urusan denganmu, akan tetapi tunggu saja kau akan pembalasan rakyat! Penjajah pasti akan terusir semua dari tanah air dan kalau aku sudah menyelesaikan tugasku, aku pun akan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah asing dan memberi hukuman kepada pengkhianat-pengkhianat bangsa macam engkau ini!"
Kiam Ki Sianjin menjadi pucat mukanya, demikian pula kawan-kawannya, bukan karena takut kepada ancaman Kwan Cu, melainkan karena marah mendengar omongan yang setidaknya menikam ulu hati itu.
"Bangsat bermulut lancang! Kaukira bisa demikian enak saja menghina kami dan dapat keluar dengan kepala utuh dari sini? Kau mencari mampus sendiri!"
Kwan Cu tertawa mengejek. "Siapa takut padamu? Aku bahkan hendak bicara lebih dulu dengan babi kurus Pek-eng Sianjin yang berdiri di sana itu!" la melangkah maju dan menghadapi Pek-eng Sianjin yang berdebar-debar jantungnya. "Pek-eng Sianjin, mengakulah apakah kau dahulu ikut pula mengeroyok suhu Ang-bin Sin-kai sehingga suhu mengalami kebinasaan?"
"Pinto (aku) pinto tidak tahu apa-apa " jawab tosu itu dengan gugup. Memang dia sudah mendengar akan kelihaian pemuda murid Ang-bin Sin-kai ini, maka dia sudah gentar sekali.
“Hm, ternyata kau bernyali tikus! Akan tetapi kau mengaku atau tidak, bagiku sama saja. Kau harus mampus, kau, Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, dan yang lain-lain!"
"Lu Kwan Cu, kau bermulut besar!" Kiam Ki Sianjin membentak marah. "Kau bersikap seakan-akan kau tuan rumah di sini. Kau tamuku dan kau harus tahu sopan santun. Orang muda macam engkau hendak membunuh tokoh-tokoh besar yang kau sebutkan tadi? Ha, ha, ha, kau seperti katak dalam sumur. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!"
Adapun Pek-eng Sianjin ketika mendengar dan melihat sikap Kiam Ki Sianjin, segera teringat bahwa dia telah berlaku pengecut sekali, maka dengan muka merah dia pun berkata,
“Anak muda, biarpun aku tidak ikut turun tangan ketika gurumu mampus, aku hadir pula di sana. Habis kau mau apakah?" Sambil berkata demikian, Pek-eng Sianjin mencabut pedangnya dan bersikap gagah.
"Nanti dulu, Pek-eng Toyu, pinto yang menjadi tuan rumah dan pinto yang berhak memberi hajaran kepada pemuda kurang ajar ini!" Kiam Ki Sianjin mencegah dan dia melangkah maju menghadapi Kwan Cu dengan sikap menantang. "Lu Kwan Cu, apakah kau berani menerima tantanganku sebagai tuan rumah di sini? Mari kau layani aku barang sepuluh jurus atau kalau kau tidak berani, kau harus minta maaf kepada kami dan kau boleh pergi. Kami akan memberi ampun kepadamu mengingat bahwa kau sudah berjasa membinasakan keluarga An yang menjadi musuh kami pula."
Kwan Cu marah sekali, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. la bersikap tenang karena maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.
"Kiam Ki Sianjin! Kita pernah bertemu sekali dan pedangmu telah kupatahkan. Apakah kau masih ada muka untuk mencoba kepandaianku pula? Ingat, kali ini bukan pedangmu yang akan kupatahkan, mungkin lehermu yang panjang itu! Urusanku dengan keluarga An tiada sangkut-pautnya denganmu, juga urusanku dengan Pek-eng Sianjin. Aku tidak hendak bermusuhan denganmu di sini, kecuali aku membantu perjuangan rakyat dan kau menjilati pantat raja asing! Akan tetapi kalau kau masih penasaran akan kepandaianmu sendiri yang masih dangkal, marilah, aku akan melayani segala macam lagu yang hendak kaunyanyikan!"
Kiam Ki Sianjin sudah maklum bahwa ilmu silat pemuda itu lihai sekali, bahkan dengan pedang hitamnya, dia tidak berhasil mengalahkan pemuda ini ketika dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Kwan Cu di ruang pertemuan istana. Maka kini dia berlaku cerdik dan dia hendak mencegah Kwan Cu mengeluarkan ilmu pukulan-pukulan yang aneh-aneh itu. Ia menyambar sebuah meja pada kakinya dan berkata,
"Kita memang tidak ada alasan untuk saling bunuh. Mari kita mencoba-coba saja kepandaian menggunakan meja ini. Kau pilihlah sebuah meja sebagai senjata!" Kiam Ki Sianjin sengaja memilih senjata yang aneh dan kaku ini karena sesungguhnya dia telah mempelajari dengan baiknya cara mempergunakan meja, bangku atau kursi sebagai senjata, yakni untuk menjaga serangan tiba-tiba pada saat dia tidak bersiap dengan senjata tajam. la telah melatih diri dan menciptakan bermacam ilmu silat tinggi dengan perabot rumah tangga ini, maka sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan baik ini untuk memuaskan penasaran hatinya, hendak membalas kekalahannya dengan senjata meja yang bagi orang lain tentu kaku akan tetapi baginya menguntungkan itu. la sudah siap dengan sindiran-sindiran dan menyatakan bahwa lawannya takut kalau saja Kwan Cu akan menolak penggunaan senjata yang aneh itu.
Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang sudah menguasai segala macam ilmu silat pada pokok dasarnya yang dipelajari dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka sambil tersenyum dia menyambar sebuah meja pada kakinya pula dan berkata,
"Baik, Kiam Ki Sianjin. Aku menerima tantanganmu!" Pemuda ini menoleh kepada Pek-eng Sian-jin dan berkata, "Tosu siluman, biarlah kau bernapas lega untuk beberapa lama, karena nyawamu masih diperpanjang sebentar lagi!"
"Jangan banyak mengobrol, lihat senjataku!” Kiam Ki Sianjin membentak sambil mengayun mejanya, mulai dengan serangan yang amat ganas dan hebat.
Kwan Cu terkejut. Tak disangkanya bahwa dengan sebuah senjata seperti itu, Kiam Ki Sianjin dapat melakukan serangan yang benar-benar hebat sekali, tidak kalah hebatnya dengan serangan senjata tajam yang lain. Ia cepat melompat untuk,menghindarkan diri, tidak berani menangkis sebelum mempelajari cara Kiam Ki Sianjin melakukan penyerangannya. Meja itu mukanya bundar dan dengan memegangi kaki meja, Kiam Ki Sianjin melakukan serangan-serangan dari balik meja sehingga bagi Kwan Cu sulit pula untuk melihat pergerakan pundak dan paha lawannya! Inilah yang dikehendaki oleh Kiam Ki Sianjin. Ia dapat menduga bahwa Kwan Cu tentulah awas sekali dan dapat melihat arah serangan-serangannya sebagaimana pernah dia alami ketika dia mempergunakan pedang untuk menyerang pemuda itu. Maka dia memilih meja yang bermuka bundar itu sehingga meja itu merupakan perisai dan dapat mengatur siasat serangannya!
Untuk belasan jurus, Kwan Cu hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya mengelak ke sana ke mari. Pukulan-pukulan dengan meja itu benar-benar hebat sekali, angin pukulannya sampai terasa oleh tiga orang kakek yang menonton pertempuran. Bahkan beberapa batang lilin yang menyala di meja lain telah padam oleh tiupan hawa pukulan itu!
Kiam Ki Sianjin adalah seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi, tidak akan kalah tinggi kiranya oleh tingkat dari lima tokoh besar, sungguhpun namanya tidak begitu terkenal seperti nama mereka. oleh karena itu, ketika dahulu dia dikalahkan oleh Kwan Cu, hatinya sakit dan penasaran bukan main. la prihatin sekali karena kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau, maka semenjak saat itu, dia lalu melatih diri dengan luar biasa rajinnya, bahkan memperpanjang waktu samadhinya dan memperhebat latihan napas untuk memperkuat tenaga lweekangnya.
Tidak aneh bahwa sekarang ketika menghadapi Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin seakan-akan seorang dengan tenaga baru. Dia memang sudah siap dan kini dengan penuh nafsu dia hendak membalas kekalahannya yang dulu. Kwan Cu merasa kagum sekali. Gerakan tosu tua itu menurutkan gerakan ilmu silat tinggi yang lihai. Bagaimana seorang dapat mempergunakan meja dengan gerak-gerak tipu yang demikian teratur baik? Tak salah lagi, kakek ini tentu sudah menciptakan ilmu silat yang sengaja dimainkan dengan perabot rumah tangga ini. Kwan Cu yang cerdik tidak kekurangan akal. Ia segera mengerahkan ginkangnya dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor burung saja, melayang ke atas dan tiap kali datang serangan meja dari Kiam Ki Sianjin, Kwan Cu mengelak dengan lompatan tinggi sehingga kepalanya hampir mengenai langit-langit! Dari atas barulah dia dapat melihat kepala dan pundak lawannya dan dengan demikian, dia dapat melihat macam gerakan dari serangan lawannya itu. Otaknya memang sudah menjadi tajam dan pengingat betul setelah dia membaca habis kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka sekali melompat, berarti satu kali dia mendapat sejurus ilmu silat meja itu.
Menghadapi kegesitan pemuda itu, Kiam Ki Sianjin menjadi penasaran dan juga kewalahan. Mejanya tak pernah mengenai sasaran. Ketika untuk ke sekian kalinya dia menyerang dan Kwan Cu mengelak sambil melompat ke atas, dia memburu dan cepat menghantam kedua kaki Kwan Cu yang masih berada di tengah udara.
"Roboh kau!" seru Kiam Ki Sianjin.
"Sabar, orang tua," jawab Kwan Cu yang cepat menggerakkan kedua kakinya ke kanan kiri, dipentang untuk meluputkan kedua kaki itu dari pukulan meja yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga. Adapun meja yang dipegang oleh tangan kanannya, lalu dipukulkan ke bawah untuk melindungi tubuhnya yang melayang turun.
"Bagus sekali!" Kiam Ki Sianjin tak terasa lagi memuji saking kagumnya melihat betapa dengan mudah pemuda itu lagi-lagi dapat menggagalkan serangannya.
Akan tetapi tiba-tiba Kiam Ki Sianjin mengeluarkan seruan tertahan ketika Kwan Cu secara mendadak membalas serangan-serangannya yang semenjak tadi hanya dielakkan oleh Kwan Cu. Bukan berseru kaget dan heran karena hebatnya serangan pemuda itu, melainkan heran karena pemuda itu mainkan silat meja yang tadi dimainkannya! Ilmu silat meja itu adalah ciptaannya sendiri, bagaimana pemuda ini dapat meniru sedemikian baiknya? Apakah di waktu dia berlatih dalam kamarnya, pemuda ini diam-diam mengintainya?
Terpaksa Kiam Ki Sianjin menangkis meja lawan dengan mejanya. Semenjak tadi, biarpun keduanya mempergunakan senjata meja yang demikian besar, belum satu kalipun juga dua meja itu bertemu. Hal ini disengaja oleh Kwan Cu yang hendak mempergunakan ginkangnya untuk dapat meneliti dan mempelajari ilmu silat lawan yang aneh. Sekarang setelah dia sendiri yang menyerang, lawannya menangkis keras. Dua meja bertumbukan di udara.
"Krakkk!" Dan meja di tangan Kiam Ki Sianjin jatuh ke atas lantai. Ternyata bahwa kaki meja yang dipegang oleh kakek ini telah patah dan kini tertinggal di tangannya. Juga sebuah kaki meja yang berada di tangan Kwan Cu patah, namun yang patah adalah kaki meja lain, bukan yang sedang dipegangnya sehingga "senjata" itu masih berada di tangannya.
Muka Kiam Ki Sianjin merah sekali. la tahu bahwa dalam pertemuan meja tadi dengan cara yang amat cerdik dan tidak terlihat olehnya, Kwan Cu telah menggunakan tangan kirinya memukul meja dan berkat lweekang yang sudah matang pemuda itu berhasil mematahkan kaki meja yang dipegang oleh lawannya. Sebenarnya, Kiam Ki Sianjin masih penasaran dan hendak mencoba lagi, akan tetapi karena sudah terang bahwa meja yang dipegangnya jatuh di atas lantai, maka dia merasa malu untuk mengambilnya kembali. Terpaksa dia lalu tersenyum pahit dan berkata,
"Lu Kwan Cu enghiong, kau benar-benar hebat. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, pinto minta pengajaran darimu." .
Kwan Cu memang tidak ada niat memusuhi kakek ini. Dia tidak suka bermusuhan dan tidak mau mencari perkara dengan orang-orang tanpa alasan dan sebab yang kuat. Maka dia pun menjura dan berkata sungguh-sungguh, "Kiam Ki Sianjin, kepandaianmu benar-benar tinggi dan aku yang muda dan bodoh benar-benar kagum sekali. Sekarang aku mohon perkenanmu sebagai tuan rumah untuk berurusan dengan Pek-eng Sianjin. Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar lunas." Kwan Cu lalu menoleh kepada Pek-eng Sianjin dan berkata mengejek,
"Pek-eng Sianjin, marilah kita keluar dari rumah orang supaya kita dapat membereskan perhitungan!"
Pek-eng Sianjin menjadi pucat wajahnya. Ia maklum bahwa kalau Kiam Ki Sianjin saja tidak dapat merobohkan pemuda ini, apalagi dia. Tanpa malu-malu dia lalu berka ta kepada Kwan Cu,
"Orang muda, kalau kau bermaksud membalas dendam atas kematian Ang-bin Sin-kai, kau telah berlaku ngawur saja kalau menantang pinto. Ketahuilah bahwa sesungguhnya pinto tidak menjatuhkan sebuah jari pun juga atas diri Ang-bin Sin-kai, dan yang membikin gurumu itu tewas hanyalah Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dan Toat-beng Hui-houw. Kalau tidak percaya, kauboleh tanya kepada Kiam Ki Sianjin atau kepada siapapun juga."
Kwan Cu merasa ragu-ragu, dia tidak mau menurunkan tangan kepada orang yang benar-benar tidak berdosa.
"Kiam Ki Sianjin, benarkah keterangannya itu?"
"Memang begitulah sepanjang yang pinto dengar, akan tetapi pinto tidak menyaksikan sendiri, bagaimana pinto dapat menanggung?" jawab Kiam Ki Sianjin. Sebetulnya, tosu ini biarpun tidak melihat sendiri, tahu bahwa memang benar Pek-eng Sianjin tidak ikut membunuh Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi sikap Pek-eng Sianjin dianggapnya amat pengecut dan memalukan, maka dia sengaja memberi jawaban bercabang.
"Betapapun juga, kau adalah kaki tangan para pembunuh suhu, akan tetapi aku mau percaya asal saja kau suka bersumpah bahwa kau tidak ikut mengeroyok suhu," akhirnya Kwan Cu berkata sambil memandang tajam kepada Pek-eng Sianjin.
Pucatlah muka Pek-eng Sianjin. Ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah ternama juga, kini kata-katanya tidak dipercaya oleh seorang bocah, inilah penghinaan yang amat besar. Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan yang baik. Kalau dia menolak untuk bersumpah, dia harus menghadapi Kwan Cu dan dia tahu kalau hal itu terjadi, dia akan mendapat malu dan hinaan lebih hebat lagi. Biarlah sekarang dia menderita hinaan orang, masih ada waktu kelak untuk membalasnya, pikirnya. Dengan muka sebentar pucat sebentar merah dia lalu berkata,
"Pinto bersumpah bahwa pinto tidak ikut mengeroyok Ang-bin Sin-kai, demi kehormatan dan nama baik pinto."
Kwan Cu tertawa bergelak, hatinya puas. Memang manusia seperti Pek-eng Sianjin yang sudah dia ketahui kwalitasnya sebagai manusia bejat akhlak, harus diberi hajaran, biarpun dia tidak mendapat kesempatan menghajar jasmaninya, setidaknya dia telah memberi tamparan kepada batinnya.
"Pek-eng Sianjin, baik sekali kau mau bersumpah. Sebetulnya memang tak perlu kau bersumpah, karena aku dapat menduga bahwa kau takkan mampu dan berani mengeroyok mendiang guruku dengan kepandaianmu yang masih dangkal itu." Kembali Kwan Cu tertawa.
Menggigil tubuh Pek-eng Sianjin saking hebatnya gelora marahnya. Ia telah dipermainkan dan dihina secara hebat oleh pemuda ini, maka dengan mata bernyala-nyala dia berkata,
"Lu Kwan Cu, untuk membalas hinaanmu itu, aku menantangmu untuk mengadu kepandaian denganmu sebulan lagi di tempat kediamanku di Bukit Leng-san. Beranikah kau datang ke sana memenuhi tantanganku?"
Kwan Cu tersenyum menyindir. "Kau kira aku tidak tahu bahwa di sana kau tentu akan menantikan dengan kawan-kawanmu untuk mengeroyok? Akan tetapi jangan khawatir, aku pasti datang tepat pada waktunya. Kau tunggu sajalah!"
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Pek-eng Sianjin lalu pergi dari tempat itu, juga sama sekali tidak menoleh kepada Kiam Ki Sianjin. Hatinya mendongkol sekali karena Kiam Ki Sianjin sama sekali tidak membelanya ketika dia dihina oleh Kwan Cu.
Sebelum Kwan Cu pergi, hwesio gundul yang semenjak tadi memandang semua sepak terjang Kwan Cu, segera mengebutkan lengan bajunya dan menghadapinya sambil tersenyum.
"Nanti dulu, orang muda. Kau yang masih begini muda memiliki kepandaian tinggi dan watak yang sombong pula. Benar-benarkah pendengaran pinceng bahwa kau adalah murid Ang-bin Sin-kai si pengemis itu?"
Kwan Cu melirik. Baru sekarang dia memperhatikan hwesio ini. Tubuh hwesio ini pendek bundar, mulutnya selalu tersenyum dibuat-buat dan pakaian pendetanya terbuat daripada kain mahal dan mewah. Sinarnya matanya memandang rendah sekali, karena memang sesungguhnya hwesio ini tidak percaya kalau pemuda sehijau ini memiliki kepandaian yang dapat mengalahkan Kiam Ki Sianjin.
"Losuhu siapakah dan ada maksud apa mengajak bicara kepadaku?" jawab Kwan Cu acuh tak acuh, akan tetapi dia menunda kepergiannya.
Hwesio itu lalu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Kiam Ki Sianjin sambil berkata, "Kiam Ki Toyu, kau sebagai tuan rumah dan pinceng sebagai tamu, sudah seharusnya pinceng minta perkenanmu untuk bermain-main sebentar dengan pemuda ini. Sudah lama pinceng mendengar tentang kepandaian Ang-bin Sin-kai, sayang sekali sebelum mencoba kepandaiannya, dia telah keburu meninggal dunia. Sekarang, secara kebetulan bertemu dengan muridnya di sini, pinceng ingin sekali menguji warisan ilmu silat dari pengemis itu."
Tentu saja Kiam Ki Sianjin tidak keberatan, bahkan diam-diam dia merasa girang sekali. Ia sudah tahu dan merasai kelihaian Kwan Cu, maka sekarang dia dapat melihat sampai di mana kehebatan hwesio ini, karena dalam waktu-waktu yang akan datang, dia mengharapkan bantuan hwesio ini. Ia lalu memandang kepada Kwan Cu dan berkata,
"Orang muda she Lu, ketahuilah bahwa Losuhu adalah Bian Ti Hosiang dari Bu-tong-pai. Bian Ti Losuhu menyatakan hendak mengadakan sedikit permainan silat denganmu, apakah kau berani menghadapinya?"
Memang Kiam Ki Sianjin orangnya cerdik. Kalau saja dia bertanya apakah Kwan Cu suka menghadapi hwesio itu, Kwan Cu tentu saja menyatakan tidak sudi, karena memang pemuda ini tidak ingin bertempur dengan orang-orang yang tiada urusan dengan dia. Akan tetapi dia sengaja bertanya apakah Kwan Cu berani menghadapi tokoh Bu-tong-pai itu, maka tidak ada jalan lain bagi pemuda itu kecuali menerima!
"Orang sudah memaksa untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja aku yang muda berterima kasih akan diberi pelajaran," jawab Kwan Cu sambil tersenyum dan memandang kepada Bian Ti Hosiang.
Hwesio ini mencabut pedangnya dan berkata, "Omitohud, hari ini pinceng benar-benar gembira dapat mencoba kepandaian mendiang Ang-bin Sin-kai. Lu-sicu, keluarkanlah pedangmu yang kausembunyikan di balik jubahmu itu."
Kwan Cu terkejut. Ia memang membawa pedang Liong-coan-kiam, peninggalan dari kakeknya, Menteri Lu Pin, akan tetapi dia sengaja menyimpan pedang itu. Ia telah mengambil keputusan untuk mempergunakan pedang itu hanya jika menghadapi musuh-musuh besarnya. Tadi dalam menewaskan An Kong dan An Lu Kui, dia tidak perlu mengeluarkan pedang Liong-coan-kiam karena kepandaian mereka masih amat rendah baginya. Kalau kelak dia bertemu dengan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, atau juga Toat-beng Hui-houw, barulah dia akan menggunakan Liong-coan-kiam. Kini hwesio gemuk ini dapat mengetahui bahwa dia membawa-bawa sebatang pedang, hal itu menandakan bahwa mata hwesio ini tajam sekali. Ia pun sudah pernah mendengar nama Bian Ti Hosiang dari mendiang Ang-bin Sin-kai, dan tahu bahwa dia kini berhadapan dengan tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Maka dia lalu menjura sambil tertawa.
“Ah, tidak tahunya boanpwe (aku yang rendah) berhadapan dengan Bian Ti Ho-siang Locianpwe dari Bu-tong-pai. Kiam-hoat {ilmu pedang) dari Bu-tong-pai sudah tersohor di seluruh jagad, mana boanpwe berani mengimbangi ilmu pedang itu dengan ilmu pedang lain? Apalagi di antara boanpwe dan Locianpwe tidak terdapat permusuhan sesuatu, maka biarlah untuk main-main sebentar boanpwe mempergunakan ini." Kwan Cu mencabut keluar sulingnya pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong. Sulingnya ini tidak dirampas oleh bajak sungai.
Mendengar kata-kata Kwan Cu, Bian Ti Hosiang diam-diam kagum akan sikap pemuda yang pandai membawa diri dan ternyata dapat bersopan santun, berbeda dengan kata-kata yang ditujukan kepada Pek-eng Sianjin tadi. Akan tetapi, di samping kekagumannya, dia juga merasa tidak enak sekali. Dia, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai, yang dijuluki Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat), kini dihadapi oleh seorang pemuda yang hanya memegang sebatang suling bambu! Ia ragu-ragu, akan tetapi Kiam Kl Sianjin segera tersenyum berkata,
"Bian Ti Suhu, dia telah memandang rendah kepadamu, mengapa tidak lekas-lekas mulai dan membabat putus sulingnya untuk menghancurkan kesombongannya?"
Bian Ti Hosiang teringat bahwa hal ini adalah kehendak pemuda itu sendiri. Kalau dia bergerak cepat, dalam satu dua jurus saja pasti dia akan membabat putus suling itu dan hal ini saja sudah membuktikan akan keunggulannya. Ia segera membentak keras untuk menimbulkan pengaruh lweekangnya,
"Lu-sicu, bersiaplah menghadapi pedangku!" Bentakan ini disusul oleh sebuah tusukan ke arah dada Kwan Cu, akan tetapi tusukan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga kalau pemuda itu menangkis, dia akan membabat suling sekuat tenaga. Inilah gerak tipu Tian-kiam-kiat-ciang (Mengulur Pedang Memotong Tangan), sebuah tipu dari Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat yang lihai.
Namun siasat ini terhadap Kwan Cu tidak mempan sama sekali karena pemuda ini sudah tahu akan maksud lawan sungguhpun dia belum mengenal jurus ini. Maka alangkah kagetnya hati Bian Ti Hosiang ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh lalu menyusul dengan serangan balasan yang sama, yakni menggunakan Tian-kiam-kiat-ciang yang sama baiknya dengan gerakannya. Bahkan pemuda yang bergerak belakangan ini, jauh lebih cepat dari dia. Sulingnya ditusukkan ke dada, lalu sebelum pedang hwesio itu membabat suling, suling itu sudah lebih dulu digerakkan menyamping membabat pedang! Sungguh lucu sekali kalau melihat tarikan muka hwesio gemuk itu ketika pedangnya yang hendak membabat suling kini bahkan didahului oleh suling itu.
Pedangnya tergetar ketika beradu dengan suling dan K wan Cu yang cerdik tentu saja tidak mau mengadukan sulingnya dengan mata pedang yang tajam. Namun dalam pertemuan senjata ini, dia sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa dengan ilmu lweekang yang dia pelajari dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan yang sekarang sudah secara otomatis mendarah daging dengan tubuhnya, kekuatan lawannya cukup dia tandingi dengan lima bagian saja dari lweekangnya. Maka dia menjadi lebih tabah menghadapi pedang lawan.
Bian n Hosiang menduga bahwa secara kebetulan saja pemuda aneh itu mempunyai gerak tipu yang sama atau hampir sama atau hampir sama dengan Tian-kiam-kiat-ciang, atau memang kebetulan pemuda itu pernah melihat atau mempelajari gerakan ini. Maka dia lalu memutar pedangnya dan kini dia mengeluarkan gerak tipu dari ilmu pedang Hoa-khai-tiauw-yang (Bunga Mekar MenghadapMatahari). Ilmu pedang ini boleh dibilang adalah ilmu pedang simpanan, dan tidak diajarkan kepada sembarang murid. Hebatnya bukan main, juga amat indah, sesuai dan tepatlah julukan Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat) ketika dia memainkan Hoa-khai-tiauw-yang ini. Pedang itu lenyap dan yang kelihatan hanyalah sinar kilat bergulung-gulung mengitari tubuh Kwan Cu.
Untuk sesaat Kwan Cu melengak. Tak disangkanya bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai memang benar-benar hebat luar biasa. Cepat-cepat dia mempergunakan ginkangnya, bergerakan memutar menurut gerakan pedang lawan, akan tetapi lebih cepat lagi sambil kadang-kadang menyentuh pedang itu apabila terlalu mendekati tubuhnya. Juga dengan gerakan Kong-ciak-sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) dia dapat menyentil pedang dengan telunjuk tangan kirinya sehingga beberapa kali terdengar suara nyaring dan pedang di tangan Bian Ti Hosiang tergetar. Hal ini dilakukan oleh Kwan Cu karena dia hendak melihat baik-baik bagaimana jalannya ilmu pedang yang amat indah itu.
Setelah menghadapi serangan belasan jurus, giranglah hati Kwan Cu karena dia segera dapat mengenal “jiwa" atau isi dari pada ilmu pedang yang dimainkan oleh pendeta itu. Pokok dasar ilmu pedang itu adalah berdasarkan kedudukan Sha-kak-pouw (Kedudukan Kaki Segi Tiga) dan mengingatkan Kwan Cu akan gambar-gambar di goa Pulau Pek-hio-to yang juga di antaranya terdapat llmu Silat Segi Tiga. Dengan girang dia lalu memuji,
"Bagus sekali ilmu pedangmu, Locianpwe!"
Akan tetapi, mulutnya memuji demikian, sulingnya lalu bergerak, membalas serangan hwesio itu dengan ilmu pedang yang sama betul seperti yang dimainkan oleh Bian Ti Hosiang pada saat itu! Tadi Kwan Cu sudah diserang sampai delapan belas jurus. Dia tidak tahu berapa banyak macamnya jurus-jurus ilmu pedang lawan, akan tetapi kini dia mempergunakan jurus-jurus yang tadi dia lihat dimainkan oleh kakek ini.
Bian Ti Hosiang menjadi pucat. Ia mainkan jurus-jurus yang paling sulit, akan tetapi pemuda itu menghadapinya dengan jurus yang sama pula! Memang gerakan pemuda itu tidak begitu sempurna dalam mainkan jurus ilmu pedangnya ini, namun harus diakui lebih cepat dan lebih kuat dari padanya!
"Eh, bocah! Dari mana kau mencuri ilmu pedang partai Bu-tong-pai?" katanya tanpa menghentikan serangannya, bahkan membacok ke arah kepala Kwan Cu dengan gerak tipu Gunakan Kapak Membelah Kayu.
Kwan Cu mengelak dan membalas serangan itu dengan ilmu yang serupa, sambil menjawab,
"Gerakan ilmu pedang tidak dimonopoli oleh Bu-tong-pai sendiri. Siapapun boleh saja menggerakkan kaki tangan asalkan dia bisa!"
Sehabis berkata demikian, Kwan Cu lalu tiba-tjba mengubah ilmu silatnya dan kini sulingnya diputar cepat.
"Kau hanya bisa meniru-niru. Mana ilmu silat yang kaupelajari dari Ang-bin Sin-kai?"
Belum habis kata-kata itu, Bian Ti Hosiang terpaksa harus memutar pedang melindungi tubuhnya karena tiba-tiba suling di tangan pemuda itu lenyap dan dia merasa ada hawa dingin mengurungnya dari semua penjuru.
"Inilah ilmu pedang dari mendiang suhu!" kata Kwan Cu. Memang benar, dia telah mainkan ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat yang dulu pernah dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia memiliki kepandaian aseli dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, ilmu pedang itu berubah luar biasa sekali. Ang-bin Sin-kai sendiri kalau masih hidup dan melihat cara Kwan Cu mainkan Hun-khai Kiam-hoat, tentu akan terheran-heran dan kagum sekali. Dia sendiri takkan sanggup mainkan ilmu pedang itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu.
Hal ini tak perlu diherankan. Ilmu pedang tetap merupakan ilmu atau teori belaka. Betapapun sulit dan hebatnya ilmu silat. Kalau yang melakukan atau memainkan masih dangkal kepandaiannya, takkan berarti apa-apa, bahkan makin tinggi ilmu silatnya dimainkan oleh orang yang masih rendah pengetahuannya, makin kacaulah ilmu silat itu. Sebaliknya, biarpun hanya mainan ilmu silat sederhana saja, kalau yang mainkan itu sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga lweekang serta ginkang yang sempurna, ilmu silat sederhana itu akan berubah menjadi ilmu silat yang hebat. Apalagi Hun-khai Kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan, diciptakan oleh Ang-bin Sin-kai, tokoh besar dari timur yang sudah amat terkenal namanya.
Setelah membikin bingung Bian Ti Hosiang sampai tiga puluh jurus lebih untuk "memperkenalkan" kelihaian Ang-bin Sin-kai, Kwan Cu lalu menggunakan sulingnya menotok jalan darah di dekat siku hwesio itu sehingga tiba-tiba hwesio itu melompat mundur, tangan kanannya seperti lumpuh tak bertenaga lagi, akan tetapi jari-jari tangannya masih dapat mencengkeram gagang pedangnya sehingga tidak terlepas! Dengan lweekangnya yang tinggi, dia telah dapat memulihkan pula jalan darahnya. Ia menjadi merah mukanya. Tahulah hwesio itu bahwa pemuda lawannya benar-benar tidak mempunyai keinginan bermusuhan, karena kalau saja lawannya mau, sambungan sikunya tadi bisa ditotok sampai terlepas
"Omitohud! Ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai benar-benar hebat, pinceng kagum dan takluk. Lebih hebat lagi kau yang masih begitu muda sudah memiliki kepandaian yang tinggi, Lu-sicu," katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Cianpwe terlalu memuji. Kalau Cianpwe tidak berlaku mengalah, mana boan-pwe Sanggup menandingi ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang demikian lihai?” jawab Kwan Cu. Untuk sikap orang yang demikian merendah, jujur dan baik, tentu saja dia tidak berani berlaku kasar.
Tiba-tiba tosu yang seorang lagi menggerakkan lengan bajunya dan sekali melompat dia telah berada di depan Kwan Cu. Berbeda dengan Bian Ti Hosiang, tosu ini tidak minta perkenan dari Kiam Ki Sianjin, melainkan terus saja menantang Kwan Cu.
"Eh, anak muda. Kau diberi hati menjadi makin sombong. Cobalah kau menghadapi pinto untuk beberapa belas jurus.”
Melihat cara tosu ini melompat, Kwan Cu maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli lweekang yang telah memiliki ginkang luar biasa sekali. Pemuda itu menghadap kepada Kiam Ki Sianjin dan bertanya,
"Kiam Ki Sianjin, siapakah adanya Totiang ini?" ia tidak mau langsung bertanya kepada tosu itu, karena untuk sikap yang kasar dan memandang rendah Kwan Cu juga mengimbanginya.
"Lu-sicu, dia ini adalah Bin Hong Siansu, tokoh terkenal dari Kim-san-pai."
Kwan Cu terkejut. Ia sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu silat partai persilatan Kim-san-pai. "Sudah lama aku mendengar bahwa Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai adalah seorang tua yang bijaksana yang patut menjadi locianpwe, tidak tahu ada hubungan apakah Totiang ini dengan Bin Kong Siansu?"
Melihat pemuda itu tidak langsung bicara dengan dia, Bin Hong Siansu menjadi mendongkol sekali. Ia membentak keras, "Bin Kong Siansu adalah suhengku. Kulihat tadi kepandaianmu mengadalkan ginkang yang tinggi, marilah kita main-main sebentar dengan tangan kosong untuk menguji apakah kau dapat menandingi ilmu silat dari Kim-san-pai."
"Bin Hong Siansu, bukan aku yang menghendaki pertandingan, melainkan kau sendiri. Majulah!” Kwan Cu menantang dan cara dia bicara berbeda dengan ketika dia menghadapi Bian Ti Hosiang, karena dia sudah merasa mendongkol melihat sikap tosu ini.
Bin Hong Siansu bertubuh jangkung kurus dan jenggotnya panjang sekali. Dengan senyum mengejek dia lalu memasang kuda-kuda, kaki kirinya diangkat sedikit di depan tubuh, tangan kirinya dipentang jauh dan tangan kanan dikepal, ditaruh di pinggang. Inilah pembukaan dari Ilmu Silat Hek-tiauw-hoat (Ilmu Silat Rajawali Hitam).
Kwan Cu tidak mengenal ilmu silat ini akan tetapi dengan tabah sekali pemuda ini lalu meniru pembukaan itu dan menanti penyerangan lawan dalam keadaan seperti itu!
Bin Hong Siansu melihat sikap pemuda ini menjadi amat mendongkol dan gemas. Pembukaannya itu bukanlah kuda-kuda biasa, melainkan sikap penyerangan yang amat berbahaya. Lawan yang menghadapinya dengan kuda-kuda biasa, betapapun tangguhnya, akan dapat dia serang dengan hebat dan jarang sekali serangannya ini gagal. Akan tetapi pemuda ini secara main-main telah berani meniru pembukaan ilmu silatnya, tanda bahwa pemuda itu hendak mempermainkannya dan memandang rendah.
"Awas batok kepalamu!" bentaknya keras dan tiba-tiba tangan kirinya yang tadi dipentang melakukan serangan, memukul miring dari atas menuju kepala Kwan Cu. Akan tetapi dengan diam-diam dan cepat sekali melebihi kecepatan pukulan pertama, kepalan tangan kananlah yang merupakan serangan penyebar maut, karena tangan kanan ini memukul ke arah ulu hati Kwan Cu, siap dibuka untuk mencengkeram apabila pukulan itu dielakkan atau ditangkis!
Kwan Cu belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian tosu ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepandaian tosu ini cukup tinggi, maka dia tidak berani berlaku gegabah. Serangan itu tidak disambutnya, melainkan dielakkannya sambil meloncat mundur sejauh satu tombak. Akan tetapi, bagaikan bayangannya sendiri, tahu-tahu tosu itu telah meloncat pula dan menyerang terus lebih hebat dan cepat!
Kwan Cu terkejut. Ginkang kakek ini benar-benar sudah lihai sekali, namun dia tidak gentar. Ia mengelak terus dan bahkan menguji kecepatan kakek itu tanpa membalas serangan. Maka berputaranlah dua orang itu, berloncat-loncatan ke sana ke mari. Kwan Cu yang mengelak meloncat mundur atau ke samping, sedangkan Bin Hong Siansu yang menyerang tentu saja meloncat ke depan. Namun jarak mereka masih saja sama, belum pernah satu kalipun serangan tosu itu mengenai tubuh Kwan Cu. Bagi orang lain yang tidak memiliki kepandaian tinggi, apabila melihat mereka berdua, tentu mengira bahwa mereka hanya main loncat-loncatan saja, akan tetapi sesungguhnya, Kwan Cu dihujani serangan. Akan tetapi, bagi Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang, mereka kagum sekali karena dalam gerakan-gerakan ini, terbukti bahwa ginkang dari pemuda itu memang lebih tinggi daripada ginkang Bin Hong Siansu. Biarpun pemuda itu meloncat sambil mundur atau menyamping, namun tosu itu yang meloncat ke depan ternyata tak pernah berhasil menyerangnya! Hal ini sudah merupakan sesuatu yang aneh dan luar biasa. Bin Hong Siansu mempunyai julukan Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) dan dari julukannya saja sudah dapat diduga bahwa ginkangnya luar biasa tingginya. Namun menghadapi pemuda itu Dewa Tanpa Bayangan ternyata kalah gesit!
"Bocah siluman, kau pengecut!" tiba-tiba Bin Hong Siansu menghentikan serangannya dan tidak mengejar lagi. "Kalau kau memang laki-laki terimalah seranganku, jangan hanya melarikan diri!"
Kwan cu .tersenyum mengejek. “Hanya sampai di situ sajakah keuletanmu? Kau ingin aku membalas dan menyambut seranganmu? Baik, terimalah!" Dan pemuda itu lalu mulai menyerang Bin Hong Siansu kini dia tidak mau meniru-niru lagi melainkan cepat menggerakkan kedua tangan memainkan ilmu silatnya Pek-in-hoat-sut!
Melihat datangnya pukulan tangan kanan Kwan Cu lambat saja dan merupakan ilmu pukulan biasa Bin Hong Siansu mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. Memang dia belum pernah melihat Pek-in-hoat-sut, dan bukan dia saja, orang-orang kang-ouw juga jarang atau tidak pernah melihat ilmu silat ini. Hanya Kiam Ki Sianjin seorang yang pernah melihat, bahkan merasai kelihaian ilmu pukulan itu.
Melihat datangnya pukulan lambat-lambat, Bin Hong Siansu lalu membentak keras dan menggunakan ujung lengan bajunya yang kiri mengebut tangan itu, mengarah urat nadi di pergelangan tangan lawan.
"Brettt!" Terdengar suara kain pecah dan ujung lengan baju itu hancur, robekan kain beterbangan ke sana sini ketika ujung lengan baju itu mendekati lengan tangan Kwan Cu yang telah mengebulkan uap putih.
Bukan kepalang kagetnya tosu itu. Ujung lengan bajunya belum menyentuh tangan pemuda itu, bagaimana bisa hancur dan robek-robek?
"Ilmu siluman… !" teriaknya dan dia menendang cepat-cepat dengan kakinya. Akan tetapi, Kwan Cu sudah menjadi marah sekali mendengar hinaan dan melihat kesombongan tosu itu. Ia mengubah ilmu silatnya dan kini menggunakan jurus ke dua puluh satu dari Kong-ciak-sin-na. Tangan kanannya menotok ke arah kaki yang menendang, sedangkan tangan kirinya menyambar ke arah muka Bin tiong Siansu.
Tosu itu cepat menarik kembali kakinya, akan tetapi dia segera menjerit, "Aduuuhhh… kurang ajar kau…. !"
Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang terdengar tertawa geli. Apakah yang telah terjadi? Ternyata bahwa tangan kiri pemuda itu telah mencengkeram dan mencabut sebagian dari jenggot yang panjang di dagu Bin Hong Siansu!
Biarpun dia marah sekali sehingga kepalanya terasa pening, namun tosu itu adalah seorang yang dapat melihat keadaan. Kalau tadi lawannya mau, tentu tangan kirinya, bukan mencabut jenggot melainkan melakukan pukulan yang berbahaya dan dia takkan dapat mengelaknya. Maka sambil menggigit bibirnya yang menjadi pucat, dia berkata,
"Ku telah menghinaku, lain kali Kim-san-pai akan mencarimu!" Setelah berkata demikian, tosu itu menjura kepada Kiam Ki Sianjin dan berkata,
“Kiam Ki Toyu, urusan kita telah selesai dan kita akan saling bertemu lagi bulan lima hari ke lima belas sebagaimana yang sudah kita tentukan bersama. Selamat tinggal dan kau juga, Bian Ti Hosiang, sampai jumpa kembali di puncak Tai-hang-san." Sekali lagi tosu ini memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik, kemudian dia lalu melompat keluar dari ruangan itu dan lenyap di dalam gelap.
Bian Ti Hosiang juga merangkapkan kedua tangan di depan dada, berkata dengan suara tenang, "Pinceng juga masih ada urusan lain, Kiam Ki Toyu, terima kasih atas segala perhatianmu. Sampai bertemu di Tai-hang-san pada waktu yang sudah ditentukan." Hwesio ini berpaling kepada Kwan Cu dan berkata, "Orang muda, pinceng telah mendapat pengalaman baru setelah bertemu denganmu, terima kasih!" Lalu dia pun melompat keluar sambil menggerakkan lengan bajunya.
Mendengar ucapan dua orang tokoh kang-ouw itu, Kwan Cu tertarik hatinya. "Kiam Ki Sianjin, ada apakan di puncak Tai-hang-san pada bulan lima hari ke lima belas?" .
Kiam Ki Sianjin merasa ragu-ragu untuk menjawab, kemudian dia tersenyum dan berkata,
"Akan ada musyawarah besar di antara tokoh-tokoh sedunia."
“Musyawarah tentang apa?"
"Akan diputuskan tentang pendirian semua partai mengenai permusuhan antara mereka yang membantu pemerintah dan yang membantu rakyat yang memberontak. Kau hehdak mencari Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan Toat-beng Hui-houw? Nah, di puncak itulah kau akan menjumpai mereka."
Berdebar hati Kwan Cu. Ia setengah percaya akan keterangan ini, akan tetapi dia tidak perlu menyelidiki kebenaran omongan itu.
"Terima kasih," katanya sambil bertindak pergi, “juga terima kasih atas keteranganmu tentang keturunan An Lu-Shan. Aku akan mencari An Kai Seng."
Kiam Ki Sianjin tertawa senang. "Terima kasih kembali, Lu-sicu. Kau sudah berjasa untukku."
Tanpa mempedulikan kata-kata ini, Kwan Cu lalu melompat dan ketika dia sampai di tembok istana, dia mendengar suara ribut-ribut. Mengertilah dia bahwa orang-orang telah menemukan mayat An Lu Kui dan An Kong.
***
Bun Sui Ceng sebenarnya telah lebih dulu sampai di kota raja daripada Kwan Cu. Akan tetapi gadis ini tidak segera mencari keluarga An Lu Shan untuk dibasminya sebagaimana telah dipesankan oleh Menteri Lu Pin. Dia seorang gadis yang amat hati-hati dan setelah kehilangan pedangnya, ia ingin mencari senjata dulu, akan tetapi bukan sembarang pedang. Untuk keperluan ini, beberapa malam ia telah menggeledah rumah-rumah bangsawan di kota raja untuk mencari kalau-kalau di antara mereka ada yang mempunyai pedang pusaka. Usahanya sia-sia belaka dan sampai lima hari ia tidak berhasil.
Hatinya kesal sekali dan pada hari ke lima itu, ia memasuki sebuah restoran besar. Sambil makan masakan mahal yang dipesannya, ia mendengar dari seorang pelayan tua yang suka mengobrol tentang keadaan di kota raja, terutama sekali mengenai diri keluarga istana. Terkejutlah Sui Ceng ketika mendengar bahwa putera An Lu Shan telah tewas dan kini yang menjadi orang paling berkuasa di kota raja adalah Si Su Beng. Kemudian secara halus dan tidak kentara, Sui Ceng dapat memancing pelayan itu untuk bercerita tentang gudang senjata di mana tersimpan banyak senjata-senjata pusaka dari Kerajaan Tang.
Girang hati Sui Ceng bukan kepalang. Malamnya ia lalu pergi masuk ke dalam istana dan berhasil mencuri sebatang pedang dari gudang senjata. Pedang ini biarpun bukan pusaka yang ampuh, namun merupakan pedang panjang yang amat baik, terbuat daripada logam putih seperti perak. Dengan girang ia lalu membawa pedang itu dan cepat didatanginya seorang tukang pandai pembuat pedang untuk membeli sarung pedang baru. Ia bukan seorang bodoh dan tidak nanti ia mau menggunakan sarung pedang aselinya karena hal ini tentu hanya akan mendatangkan keributan belaka. Setelah dimasukkan ke dalam sarung pedang baru, ia berani menggantungkan pedang itu di pinggangnya.
Pada keesokan harinya, kembali ia mendatangi rumah makan itu untuk mendengar berita. Benar saja, pelayan tua itu sudah siap pula dengan cerita barunya, yakni tentang keributan di istana karena ada pedang yang tercuri. Pelayan itu tidak mencurigai Sui Ceng, karena dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini adalah seorang gadis pendekar yang sikapnya halus dan sopan, jadi terang seorang pendekar budiman. Pula, tentang pencurian dari gedung senjata bukan merupakan hal yang aneh.
"Sudah sering kali terjadi senjata-senjata lenyap dari gedung senjata itu, Nona. Padahal jendela dan pintunya tidak terbuka." Kemudian disambungnya dengan suara berbisik. "Dan kabarnya, senjata-senjata itu kemudian terlihat dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin pejuang rakyat!"
Kata-kata ini membuat Sui Ceng suka sekali kepada pelayan tua itu, karena ia maklum bahwa biarpun bekerja di rumah makan kota raja, di dalam hatinya kakek ini bersimpati terhadap perjuangan rakyat!
Tiba-tiba. terdengar suara orang di pintu luar.
"He, pelayan, sediakan meja dan masakan yang paling enak di rumah makan ini. Perutku lapar sekali!"
Pelayan tua itu menengok dan dia tertegun, demikian pula Sui Ceng. Yang datang itu bukanlah tamu kaya atau seorang bangsawan, melainkan seorang pemuda yang berpakaian seperti pengemis, celananya tambal-tambalan, bajunya sudah butut, rambutnya dipotong pendek dan berdiri bagaikan rambut landak, demikian pula jenggotnya dipotong pendek dan kelihatan keras seperti jarum-jarum. Kalau pelayan itu tercengang melihat seorang berpakaian miskin seperti itu memesan masakan yang paling enak, adalah Sui Ceng tertegun melihat sikap orang ini. Baru keadaan luarnya saja sudah aneh. Orangnya begitu muda, wajahnya tampan sekali. Akan tetapi rambut dan jenggotnya betul-betul mengerikan dan tak terasa pula Sui Ceng meraba pipi dan dagunya. Melihat cambang seperti itu ia merasa mukanya gatal-gatal dan geli. Akan tetapi sepasang mata pemuda aneh itu bersinar-sinar mengeluarkan cahaya, tanda bahwa dia memiliki kepandaian tinggi.
Pelayan tua itu, benar seperti dugaan Sui Ceng, adalah seorang yang simpati kepada perjuangan rakyat. Melihat pemuda ini, setelah ragu-ragu sebentar, dia lalu cepat-cepat maju menghampiri dan dengan hormat dia menjura.
"Sicu, selamat datang dan silakan duduk. Aku akan segera memesankan masakan untukmu. Perlukah aku mengeluarkan arak wangi? Akan tetapi harganya agak mahal, seguci harganya….”
"Tak peduli berapa harganya keluarkan saja. Cukup ini untuk membayarnya?" Pemuda itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang emas yang besarnya sama dengan tiga jari tangan.
Pelayan itu tertegun dan wajahnya berseri. la tadinya khawatir kalau-kalau orang ini adalah seorang kang-ouw kasar yang akan makan tanpa membayar sehingga takut kalau terjadi keributan di situ. Akan tetapi melihat uang emas ini, lenyap kecurigaannya dan cepat-cepat dia berkata,
"Sicu, simpan kembali uangmu. Aku percaya kepadamu. Memperlihatkan emas di muka umum, hanya memancing datangnya pencopet dan perampok."
Pemuda itu menyimpan emasnya dantersenyum menyindir. "Segala macam pencopet, maling dan perampok kecil siapakah yang takut? Nona itu biarpun hanya seorang gadis, tidak takut rampok, apalagi aku seorang jantan!" katanya sambil mengerling seleretan ke arah Sui Ceng lalu membuang muka lagi.
Sui Ceng mengerutkan kening dan tadinya mengira bahwa pemuda ini kurang ajar, akan tetapi karena pemuda itu tidak terus memandangnya, ia tidak jadi marah dan perhatiannya tercurah kepada pemuda aneh ini.
Tak lama kemudian, pelayan tua mengeluarkan hidangan yang serba enak. Pemuda seperti pengemis itu lalu makan dan minum dengan lahapnya. Pelayan tua melayani tamu-tamu lain yang duduk meja jauh dari tempat itu.
Sambil makan minum, pemuda pengemis itu mengegerutu seorang diri,
"Tunggu saja, jahanam she Lu! Kau boleh pergi bersembunyi akan tetapi besok pagi tentu kepalamu akan hancur oleh pukulanku! Tunggu saja, aku akan menenggak darahmu seperti ini!" Ia minum arak dari cawannya. "Aku akan menusuk matamu seperti ini!" Dan ditusukkan sumpitnya pada bakso besar lalu dimasukkan ke dalam mulut.
Kalau saja pemuda aneh itu tidak menyebut nama orang she Lu, tentu Sui Ceng akan merasa geli dan lucu melihat perbuatan dan mendengar kata-katanya. Akan tetapi she yang disebut oleh pemuda itu membuat hatinya berdebar. Bukankah yang dimaksudkan oleh pemuda itu adalah Lu Kwan Cu?
Dengan hati tertarik sekali, setelah pemuda itu membayar makanan dan meninggalkaa restoran, gadis itu pun membayar dan cepat ia mengikuti pemuda itu. Dari jauh ia melihat pemuda itu menuju ke luar kota raja melalui pintu barat dan segera berjalan masuk ke dalam sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak yang berada di pinggir jalan. Di depan kelenteng itu banyak sekali terdapat pengemis-pengemis dan melihat pemuda ini masuk, para pengemis tua muda lalu bangun berdiri dan memberi hormat. Pemuda itu mengangguk ke kanan kiri lalu mengeluarkan uang perak pengembalian uang emasnya, 1alu melemparkan uang itu kepada mereka. Para pengemis lalu membagi rata uang itu dengan wajah girang.
"Hm, siapakah dia? Sikapnya mencurigakan sekali, akan tetapi aku tidak dapat berbuat sesuatu sebelum dia melakukan apa-apa. Benarkah dia mengancam Kwan Cu? Aku harus mengawasi orang ini," pikir Sui Ceng.
Malam itu kembali Sui Ceng menganggur saja. Ia sudah mendapatkan pedang yang cukup lumayan, akan tetapi karena ia tertarik oleh pemuda jembel itu, ia menunda maksudnya untuk memasuki istana. Ia pun sudah mendengar bahwa keluar An Lu Shan yang masih ada hanyalah Panglima An Lu Kui dan Pangeran An Kong. Akan tetapi baginya, pemuda jembel itu lebih menarik untuk diselidiki, karena siapa tahu kalau-kalau pemuda jembel itu merupakan ancaman bagi Kwan Cu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi Sui Ceng sudah berada di luar kota raja dan cepat-cepat ia bersembunyi ketika melihat pemuda jembel itu keluar dari kelenteng dan berjalan dengan gagah ke arah kota raja, dan langsung menuju ke restoran besar. Sui Ceng mendahului dan masuk ke dalam restoran, memesan teh hangat.
Seperti kemarin, pemuda jembel itu memesan makanan dan arak. Ketika pemuda jembel itu tengah makan minum, Sui Ceng yang sengaja duduk di pojok agak jauh, mendengar berita baru yang amat menggemparkan dari pelayan tua.
"Semalam terjadi hal yang amat aneh, An-ciangkun dan An-siauw-ongya telah dibunuh orang!"
Sui Ceng hampir melompat dari bangkunya. "Kaumaksudkan An Lu Kui dan An Kong?"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Jangan keras-keras, Nona. Kalau terdengar orang lain kita celaka."
Tiba-tiba terdengar suara ketawa berkakakan. Ternyata pemuda jembel itu yang tertawa. Akan tetapi dia tidak menengok ke arah Sui Ceng yang duduk di belakang.
"Anjing-anjing penjilat mampus! Ha, ha, ha, kalau daging mereka itu dimasak, biarpun semangkok harganya seribu tail akan kubeli juga. Ha, ha, ha!"
Sui Ceng memberi tanda kepada pelayan tua untuk pergi dan ia lalu keluar dari restoran itu. Akan tetapi gadis ini menyelinap dan bersembunyi di balik rumah, tidak berjauhan dari restoran itu. Setelah melihat pemuda jembel itu berjalan keluar, dia mengikutinya dari jauh.
Pemuda itu berjalan terus, menuju ke timur dan setelah tiba di depan sebuah rumah gedung yang amat besar dan mentereng, dia lalu masuk ke dalam pekarangan rumah dengan langkah lebar dan muka berseri seakan-akan dia memasuki rumahnya sendiri!
Sui Ceng terheran-heran. Ia melihat tiga orang pelayan memburu keluar dan membentak.
"Pengemis jembel, sudah berkali-kali kami katakan bahwa majikan kami sedang keluar. Hayo pergi sebelum kami menyeretmu keluar!"
Pengemis muda itu tertawa bergelak. "Sekarang aku tidak percaya. Pergilah kalian!" Sambil berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan tahu-tahu tiga orang pelayan itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan kepala benjut dan tulang patah. Mereka tak dapat berdiri lagi, mengaduh-aduh dan mengelus-elus kepala serta bagian tubuh yang terbanting keras.
Sui Ceng cepat menyelinap ke belakang gedung dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang naik ke atas genteng. Ia hendak mengintai apa yang akan terjadi di rumah gedung itu dan ia merasa kagum melihat kelihaian pengemis muda itu yang sekali bergerak telah dapat melontarkan tiga orang pelayan yang tinggi besar itu!
"Dia lihai sekali. Siapakah dia dan apa yang dicarinya di gedung ini?"
Tak lama kemudian Sui Ceng melihat dua orang mendatangi ke rumah itu dari dua jurusan. Yang seorang adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan, datang dari sebelah kiri rumah dan kedatangannya amat mencurigakan karena pemuda ini melompat turun dari sebuah pohon yang tumbuh di pinggir rumah! Agaknya, seperti juga Sui Ceng, telah semenjak tadi pemuda itu mengintai di situ. Orang ke dua adalah seorang laki-laki muda pula, tubuhnya nampak kuat dan dadanya bidang, kepalanya besar dan sikapnya angkuh. Pemuda ini datang dari luar pintu dan di belakangnya ikut tiga orang pelayan yang jalan terpincang-pincang.
Pada saat itu, terdengar suara bentakan keras dan dari dalam rumah keluarlah pemuda jembel dengan sikap mengancam. Mukanya menjadi keras dan menyeramkan dan dengan tindakan lebar dia langsung menghampiri pemuda yang baru datang dari luar. Sui Ceng berdebar hatinya. Apakah yang akan terjadi? Siapakah tiga orang muda yang kelihatannya lihai-lihai dan yang sama sekali belum dikenalnya itu? Gadis ini karena tahu bahwa orang-orang yang di bawah amat lihai, dengan hati-hati lalu mendekam di atas genteng dan mengintai dari wuwungan. Orang yang melihat gadis itu mendekam di situ tentu akan merasa ngeri kalau-kalau ia akan jatuh dari tempat yang amat tinggi itu.
"Hm, inikah perampok jembel yang telah mengacau rumahku?" bentak pemuda yang bertubuh gagah.
Pengemis muda itu kini sudah berdiri berhadapan dengan pemuda tuan rumah Mereka saling pandang seperti dua ekor jago berlaga hendak bertanding.
"Ha, ha, ha, kaukah yang bernama Lu Thong? Pantas saja, sesuai dengan mukamu yang seperti anjing, ternyata kau memang anjing penjilat, tidak malu menjilati darah keluarga sendiri dan pantat dari bangsat penjajah. Sekarang aku datang, mukamu yang seperti anjing itu harus dibikin rusak!"
Terdengar suara ketawa dan ternyata pemuda tampan yang tadi melayang turun dari atas pohon tertawa sambil mendekap mulutnya.
"Ha, tepat sekali makian itu….. " katanya. perlahan, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh pemuda jembel, tuan rumah yang bukan lain adalah Lu Thong sendiri, dan juga oleh Sui Ceng. Akan tetapi oleh karena pemuda jembel dan Lu Thong sudah berhadapan mereka tidak menghiraukan ejekan pemuda tampan itu.
"Bangsat busuk, siapakah kau? Kau kira akan mudah saja berlagak di depan Lu Thong? Kau sudah bosan hidup agaknya!"
"Kau mau tahu namaku? Aku adalah Han Le, murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku mendengar tentang nasib keluarga Menteri Lu Pin, akan tetapi kau sebagai keturunan terakhir bukannya bersakit hati terhadap penjajah, bahkan menjilat-jilat untuk mendapat sesuap nasi. Benar-benar anjing busuk!" kata pemuda pengemis itu yang bernama Han Le.
"Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai masih mempunyai murid lain. Kau memang patut menjadi murid jembel itu. Agaknya dia telah memberi pelajaran kepadamu bagaimana caranya menjadi jembel busuk!" Lu Thong memaki lalu menyerang dengan hebatnya.
Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dia memiliki tenaga besar sekali. Akan tetapi karena dia pernah menerima ilmu pukulan yang hebat dari Ang-bin Sin-kai, yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), dia segera mempergunakan ilmu silat ini untuk menyerang pemuda jembel yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai.
Han Le cepat mengelak sambil memaki, "Kau menggunakan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng? Sungguh tidak tahu malu!" Pemuda ini pun lalu mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi lawannya. Segera mereka bertempur hebat sekali. Kepandaian mereka berimbang, demikian pula tenaga dan kegesitan mereka. Sungguh hebat gerakan setiap serangan mereka sehingga Sui Ceng yang berada di atas genteng masih dapat merasai sambaran angin pukulan yang dahsyat.
Hati Sui Ceng berdebar. Tanpa disengaja ia telah menyaksikan pertempuran antara murid-murid dua orang tokoh besar. Memang, baik Lu Thong maupun Han Le telah mewarisi kepandaian guru mereka sehingga mereka itu kini seakan-akan mewakili Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai untuk melanjutkan pertempuran-pertempuran antara dua orang kakek itu yang dahulu dilakukan sering kali, akan tetapi keduanya sama kuat dan tidak ada yang pernah kalah. Sayangnya, akhir-akhir ini Ang-bin Sin-kai terpaksa tewas karena keroyokan. Kalau hanya Jeng-kin-jiu yang menyerangnya, agaknya sehari semalam keduanya tidak akan kalah atau menang.
Seratus jurus telah berlalu dan keduanya masih belum ada yang dapat mendesak lawan.
Dari atas genteng, sui Ceng tiada habisnya mengagumi pertempuran di bawah itu. Memang jembel itu adalah seorang ahli lweekang dan ilmu silatnya selalu berdasarkan tenaga dalam yang dahsyat. Sebaliknya, Lu Thong memiliki ilmu silat yang kuat sekali, dan dia adalah seorarg ahli gwakang yang telah mencapai tingkat tinggi sehingga dia dapat mengimbangi kepandaian lawannya. Sistem yang dipergunakan oleh Lu Thong adalah tenaga keras menindih yang lemah, sebaliknya Han Le mempergunakan kehalusan dan kelemasan lweekang untuk memunahkan tenaga kasar.
Akan tetapi, biarpun kedua orang muda itu belum dikenalnya, sekali mendengar percakapan antara mereka tadi, simpati Sui Ceng terjatuh kepada pemuda jembel itu. Betapa tidak? Han Le adalah murid dari Ang-bin Sin-kai, seorang tokoh besar yang telah tewas sebagai seorang gagah pembela perjuangan rakyat. Adapun Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu yang telah membantu penjajah, apalagi kalau diingat bahwa Lu Thong, adalah cucu dari Lu Pin yang telah dibinasakan seluruh keluarganya oleh penjajah, kini pemuda mewah ini bahkan menjadi kaki tangan penjajah.
Tiba-tiba Han Le mengubah ilmu silatnya dan kini gerakannya amat aneh dan sukar diduga lebih dulu. Benar saja, setelah pemuda jembel ini mengeluarkan ilmu silatnya yang amat aneh itu, Lu Thong terdesak hebat dan selalu menangkis atau mengelak, main mundur terus.
Sui Ceng merasa girang melihat ini dan yang lebih aneh lagi, pemuda tampan yang juga menonton seperti dia dan semenjak tadi tersenyum-senyum sekarang bertepuk tangan memuji,
"Bagus sekali! Ilmu silat seperti itu belum pernah aku melihatnya! Saudara sin-kai (pengemis sakti), terus hajar dia. Bunuh saja orang tidak berbudi itu"
Lu Thong yang terdesak hebat itu, tiba-tiba lalu berjongkok dan sekali dia menggerakkan kedua tangan ke depan sambil membentak, "Hah!" kedua tangan itu mendorong ke depan dengan tubuhnya berjongkok. Inilah semacam sinkang yang luar biasa sekali, yang merupakan kepandaian simpanan dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Hebatnya pukulan ini luar biasa sekali. Han Le merasa betapa dari dua tangan lawan itu menyambar tenaga yang bukan main hebatnya, yang mendorongnya dengan hebat. Terkejutlah dia dan pemuda ini cepat melompat ke atas berpoksai di udara. Biarpun dia dapat menggagalkan serangan lawan ini, namun tetap saja hawa pukulan itu membuat dia terlempar sampai tiga tombak lebih!
Pemuda tampan yang menjadi penonton melakukan gerakan berbareng dengan Sui Ceng. Keduanya melompat dan menghadapi Lu Thong, terus menyerang tanpa bertanya lagi! Pemuda tampan itu menyerang dengan pukulan hebat ke arah lambung Lu Thong dari sebelah kanan, sedang Sui Ceng yang menyambar bagaikan seekor burung garuda, memukul pula dari atas sebelah kiri dengan tangan kanannya menotok pundak!
Lu Thong terkejut sekali. Gerakan dua orang ini tidak kalah cepatnya dari pada gerakan Han Le, maka diam-diam dia mengeluh dan secepat kilat dia menggulingkan diri, terus bergulingan sehingga terhindar dari pukulan-pukulan itu. Kemudian dia melompat cepat dan dengan marah membentak,
"Kalian ini anjing-anjing pengecut hendak melakukan pengeroyokan. Jangan kaukira aku takut. Tunggu aku mengambil senjataku!" Setelah berkata demikian, LuThong berlari memasuki gedungnya dan tak lama kemudian dia telah keluar lagi sambil menyeret sebuah toya yang besar, panjang dan hebat.
Sementara itu, Han Le memandang kepada Sui Ceng dan pemuda tampan itu dengan muka terheran. Tak disangkanya bahwa dua orang ini memiliki ilmu silat, tinggi pula. Memang dia sudah dapat menduga bahwa Sui Ceng, gadis yang dua kali dijumpainya di dalam restoran, adalah seorang kang-ouw, akan tetapi tak disangkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang demikian cepatnya ketika tadi menyerang Lu Thong.
Adapun Sui Ceng dan pemuda tampan itu saling pandang, agaknya mereka seperti pernah saling bertemu, namun lupa lagi entah di mana dan bilamana. Sebelum mereka keburu membuka mulut, Lu Thong sudah keluar pula dan dengan amat marahnya dia lalu menyerang HanLe. Pemuda jembel ini mengelak dengan lompatan jauh sambil merogoh ikat pinggangnya yang tertutup oleh baju luar dan tahu-tahu di tangannya telah kelihatan sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ternyata bahwa dia telah membawa sebatang po-kiam (pedang pusaka) yang disembunyikan di belakang baju luarnya.
Pertempuran hebat terjadi lagi antara Han Le dan Lu Thong. Kini bahkan lebih seru daripada tadi karena keduanya mempergunakan senjata. Namun, seperti juga tadi, Lu Thong memperlihatkan bahwa dia benar-benar patut menjadi murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena ilmu toyanya memang kuat sekali. Sungguhpun permainan pedang Hun-khai Kiam hoat dari Han Le juga hebat, namun pertahanan Lu Thong tidak dapat di-bobolkan. Beberapa kali Han Le mengeluarkan tipu-tipu yang amat aneh, bukan Hun-khai Kiam-hoat dan juga bukan dari cabang persilatan lain, amat aneh gerakannya dan tiap kali pemuda jembel itu mengeluarkan serangan yang aneh ini, Lu Thong menjadi bingung dan terpaksa melompat mundur sambil memutar toya menjaga diri. la benar-benar tidak dapat menghadapi ilmu pedang yang aneh sekali, yang digerakkan dengan membuat lingkaran-lingkaran besar keci1, nampaknya kacau namun berisi tenaga yang kuat dan sinar pedangnya menyilaukan mata. Akan tetapi, setelah lawannya mundur, Han Le tidak dapat melanjutkan ilmu pedangnya yang aneh ini dan kembali melawan dengan Hun-khai Kiam-hoat, seakan-akan dia memiki semacam ilmu pedang aneh yang belum dipelajarinya sampai hafal benar.
Sementara itu, pemuda tampan yang tadi ikut menyerang Lu Thong, kini setelah melihat Sui Ceng, memandang seperti orang terkena pesona. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata, kemudian dengan hati berdebar dia melangkah maju, menghadapi Sui Ceng lalu menegur halus,
"Nona, kalau aku tidak salah duga, bukankah Nona ini nona Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li?”
Sui Ceng terkejut. Memang sejak tadi pun ia merasa sudah kenal pemuda ini, akan tetapi ia lupa lagi. Mendengar pemuda itu menyebut namanya, ia lalu berkata,
"Bagaimana saudara bisa tahu bahwa aku adalah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li? siapakah saudara?"
Mendengar ini, tiba-tiba wajah yang tampan itu berseri gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat wajah itu nampak makin tampan.
"Sekali bertemu aku sudah menduga! Apalagi menyaksikan cara kau menyerang bangsat she Lu itu! Nona, aku adalah The Kun Beng…”
Seketika itu juga, wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Ia hanya dapat membuka mulut dan dari bibirnya keluar kata-kata, “Ah… ahhh… " Bagaimana ia takkan merasa jengah dan gugup bertemu dengan pemuda yang ternyata adalah tunangannya itu!
Kun Beng mengerti bahwa tunangannya itu tentu jengah dan malu-malu, maka dia cepat mencari jalan untuk menghilangkan perasaan tidak enak ini. Katanya dengan wajah berseri,
"Ceng-moi, marilah kita membantu pemuda itu untuk membinasakan jahanam Lu Thong. Mari kita bertiga berlumba, siapa yang akan dapat merobohkan dia lebih dulu!" Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu mencabut senjatanya, yakni sebatang tombak pendek.
Sui Ceng berani lagi mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Empat mata bertemu pandang dan keduanya mendapat kenyataan yang amat menyenangkan, yakni bahwa orang yang dipastikan menjadi jodoh masing-masing itu bukan tidak menyenangkan hati. Kun Beng tersenyum, Sui Ceng tersenyum pula sambil mengangguk ia mencabut pedangnya. Keduanya lalu melompat dan menyerbu Lu Thong yang masih bertempur ramai menghadapi Han Le.
Kepandaian Sui Ceng dan Kun Beng sudah amat tinggi, tidak kalah oleh tingkat kepandaian dua orang muda yang sedang bertempur itu atau setidaknya berimbang. Maka menyerbunya dua orang ini membuat Lu Thong menjadi sibuk sekali. Menghadapi pedang di tangan Han Le saja sudah berat baginya, apalagi kini ditambah oleh pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng. Mereka bertiga adalah murid-murid dari tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, maka betapapun tangguh ilmu toyanya, dia terdesak hebat sekali.
"Kalian curang! Main keroyokan!" bentaknya berulang-ulang sambil memutar toyanya dengan nekat.
"Membunuh seekor anjing jahat atau ular keji tak perlu ,menggunakan aturan lagi. Kau lebih jahat daripada anjing penjilat atau ular!" seru Kun Beng sambil mempercepat permainan tombaknya. Sui Ceng juga mempercepat gerakan pedangnya.
"Traaang! Traaang!" Lu Thong mengeluh dan roboh. Ia berhasil menangkis pedang dan tombak Sui Ceng dan Kun Beng, akan tetapi karena datangnya serangan itu cepat dan kuat sekali, toyanya terlepas, dari tangannya dan pada saat itu, Han Le dapat mengirim tendangan yang mengenai lututnya sehingga Lu Thong terlempar dan roboh dengan sambungan lutut terlepas! Ia tak berdaya lagi dan meramkan mata sambil menggigit bibir, menanti datangnya senjata lawan yang akan menamatkan riwayatnya.
"Tahan dulu! Jangan bunuh dia!!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru dan tahu-tahu ketika bayangan orang berkelebat, di depan Lu Thong telah berdiri seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan bersikap tenang sekali.
Sui Ceng berubah air mukanya ketika mengenal bahwa pemuda yang datang ini bukan lain adalah Kwan Cu! Akan tetapi, di depan tunangannya, ia diam saja karena merasa malu untuk menegur pemuda ini, apalagi kedatangannya demikian aneh, seakan-akan hendak membela Lu Thong, manusia yang dianggap tidak berbudi dan patut dibunuh itu.
"Hm, siapakah kau dan mengapa kau menahan kami yang hendak membunuh bangsat ini?” tanya Han Le penasaran dan sepasang matanya yang amat tajam menentang pandang mata Kwan Cu. Akan tetapi yang dipandang tidak menjadi gentar, bahkan dengan suara bersungguh-sungguh dan kening dikerutkan dia berkata,
"Aku tahu bahwa sesungguhnya kalian berhak membunuhnya, karena dia memang telah tersesat dan melakukan hal yang amat tidak patut. Aku percaya bahwa kalian hendak membunuh dia karena kalian adalah pejuang-pejuang rakyat yang membenci penjajah yang menguasai tanan air kita. Akan tetapi ada satu hal yang kuminta kalian ingat, yakni bahwa pemuda ini adalah keturunan terakhir daripada Menteri Lu Pin!"
"Kau mengoceh! Justeru karena dia keturunan Menteri Lu Pin maka harus dibinasakan!" seru Han Le yang sudah marah sekali. Pedangnya berkelebat membacok ke arah Lu Thong, akan tetapi tiba-tiba dia merasa ada sambaran angin dari sisinya dan pedang serta tangannya yang sedang menyerang Lu Thong itu terpental ke samping. Bukan main marahnya pemuda jembel ini. Ia cepat melompat dan membalikkan tubuh menghadapi Kwan Cu.
"Kau agaknya juga kaki tangan penjajah, patut dibikin mampus lebih dulu!" Segera dia menyerang dengan pedangnya, mainkan ilmu Hun-khai Kiam-hoat yang amat berbahaya.
Kwan Cu mengelak cepat dan tertegun menyaksikan ilmu pedang pemuda jembel yang gagah perkasa ini. Karena dia merasa tidak mungkin pemuda ini mainkan Hun-khai Kiam-hoat yang dikenalnya baik, dia sengaja mengelak terus sambil memperhatikan gerakan-gerakan pemuda itu.
Adapun Sui Ceng memandang dengan bengong. Pemuda jembel itu mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai, mengapa dengan Kwan Cu mereka tidak saling mengenal? Bukankah Kwan Cu juga murid Ang-bin Sin-kai? Gadis ini benar-benar merasa heran sehingga ia hanya berdiri seperti patung dan menonton mereka yang sedang bertempur.
Kun Beng juga tidak ingat lagi siapa adanya pemuda yang datang melindungi Lu Thong itu, maka dengan tersenyum dia lalu menggerakkan tombaknya dan berkata kepada Sui Ceng.
"Ceng-moi, biar aku binasakan dulu pengkhianat itu, kemudian kita membantu Han Le membikin mampus pengkhianat yang baru datang." Cepat tombaknya bergerak menusuk dada Lu Thong.
"Trang!!" Tombaknya terpental dan Kun Beng memandang kepada Sui Ceng dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Ceng-moi, mengapa kau menangkis tombakku? Apa artinya ini?"
"Dia itu adalah Lu Kwan Cu, murid dari Ang-bin Sin-kai, bukan pengkhianat. Kita dengarkan dulu apa yang hendak dia katakan maka dia mencegah kita membunuh pengkhianat ini.”
Kun Beng terkejut dan cepat dia memandang kepada Kwan Cu yang dengan tangan kosong selalu mengelakkan diri dari serangan pedang Han Le.
"Lu Kwan Cu bocah gundul dahulu itu…. ??" tanyanya seperti kepada diri sendiri.
Sementara itu, Kwan Cu menjadi makin terheran-heran karena ketika Han Le yang pandai mainkan Hun-khai Kiam-hoat itu tidak berhasil merobohkannya, lalu tiba-tiba Han Le mengubah ilmu pedangnya, mengeluarkan ilmu pedang yang aneh, yakni dengan membuat lingkaran-lingkaran dengan pedangnya, mengurung tubuh Kwan Cu.
"Heeeeei …..! Berhenti dulu! Siapakah kau yang bisa mainkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat dan ilmu pedang menurut Ilmu Silat Thian-te-sin-coan {Lingkaran Sakti Langit Bumi) ini ?"
Han Le juga terkejut mendengar seruan Kwan Cu, akan tetapi pemuda ini sudah terlalu panas perutnya karena sebegitu jauh dia belum berhasil merobohkan pemuda yang bertangan kosong itu. Tanpa menjawab dia mempercepat gerakan pedangnya. Akan tetapi ia terkejut sekali karena lawannya bergerak mengikuti serangannya dan tiba-tiba saja lawannya itu mendahului gerakannya yang agaknya sudah dimengerti betul oleh lawannya, lalu tahu-tahu gagang pedangnya kena dicengkeram dan dirampas!
"Nanti dulu, kau siapakah? Dari mana kau bisa mendapatkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat? Dari mana pula kau bisa mainkan ilmu pedang berdasarkan Thian-te-sin-coan? Hayo jawab!" Muka Kwan Cu menjadi tegang.
Han Le kaget bukan kepalang melihat betapa lawannya dengan satu kali gebrakan saja setelah membalas serangan-serangannya telah berhasil merampas pedangnya. Ia masih penasaran dan cepat tangan kanannya memukul dada Kwan Cu. Pukulan ini dahsyat sekali dan hawa pukulan ini pun menurut petunjuk daripada ukiran-ukiran di dalam goa Pulau Pek-hio-to! Kwan Cu cepat melompat ke belakang beberapa kaki jauhnya.
"Kau pernah apakah dengan suhu Ang-bin Sin-kai? Dan bagaimana kau bisa mainkan ilmu silat yang terdapat di Pulau Pek-hio-to?" Kembali Kwan Cu mendesak.
Mendengar ini, Han Le menjadi pucat dan dia berdiri seperti patung dengan mata terbelalak.
"Kau…..kau siapakah?”
"Aku murid Ang-bin Sin-kai, Lu Kwan Cu namaku."
Han Le mengeluarkan teriakan girang lalu dia menubruk dan berlutut di depan Kwan Cu, memeluk kedua kaki pemuda itu.
"Aduh, Suheng! Suheng Lu Kwan Cu yang sudah lama kucari-cari! Tidak kusangka dapat bertemu di sini. Harap Suheng mengampunkan kekurangajaranku " katanya.
Kwan Cu memegang kedua pundak Han Le dan sekali dia menggerakkan tangannya, biarpun Han Le sudah mengerahkan lweekangnya, tetap saja pemuda jembel ini kena ditarik naik dan terpaksa berdiri.
"Hayo bilang, kau siapa? Jangan main-main!" seru Kwan Cu.
"Siauwte adalah murid Ang-bin Sin-kai pula. Setelah Suheng pergi, suhu mengambil aku bocah sengsara sebagai murid, kemudian suhu yang menyuruh aku menyusul Suheng ke Pek-hio-to!"
Kwan Cu tercengang dan tak dapat berkata-kata saking herannya.
"Kwan Cu, kau sudah lupa pulakah kepadaku?" tiba-tiba pemuda tampan yang dia lihat berdiri di dekat Sui Ceng berkata. "Aku adalah The Kun Beng, murid Pak-lo-sian!"
Kwan Cu kembali berubah air mukanya dan dia memandang kepada Sui Ceng, hatinya tidak karuan rasanya.
"Dia ini Bun Sui Ceng yang dulu itu, dia tunanganku " Kun Beng memperkenalkan.
"Koko !" Sui Ceng menegur tunangannya itu.
Hati Kwan Cu terpukul. Panggilan gadis itu dengan sebutan "koko" terhadap Kun Beng terdengar begitu manis dan mesra, juga amat menusuk jantungnya. Ia memandang kepada Kun Beng dengan wajah dingin karena dia teringat akan nasib Gouw Kui Lan.
Tanpa berkata sesuatu Kwan Cu menghampiri Lu Thong, lalu dia cepat mengetuk dan mengurut kaki kakak angkatnya ini sehingga tersambung kembali lutut yang tadi terlepas.
"Suheng, mengapa kau mencegah siauw-te membunuhnya?" Han Le bertanya.
"Dia ini patut dikasihani. Seluruh keluarganya telah musnah, dan dia tersesat karena berada di lingkungan orang-orang yang berhati khianat. Lu Thong, apakah kau sekarang sudah insyaf? Lihatlah mereka ini, mereka ini adalah orang-orang muda yang membantu rakyat. Kau sebagai seorang pemuda Han yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa kau tidak dapat mencontoh mereka? Mengapa kau tidak mau menyumbangkan tenaga untuk tanah air dan bangsa? Ingatlah, kong-kong Lu Pin telah meninggal dunia dalam keadaan amat mengenaskan. Seluruh keluargamu terbinasa pula. Tidak ingatkah kau kepada ayah bundamu yang menjadi korban jahanam An Lu Shan?”
Menitik air mata dari kedua mata Lu Thong.
"Aku….. tadinya aku bermaksud mencapai kedudukan tinggi, sebagai kaisar aku akan lebih mudah membalas musuh-musuhku…. menjunjung tinggi nama keluargaku, mencuci noda mereka yang dianggap sebagai pemberontak….. "
"Kau keliru! Mereka bukan pemberontak, akan tetapi mereka tewas sebagai pahlawan-pahlawan bangsa! Dan ke mana larinya cita-citamu yang terlalu muluk itu? An Lu Shan terbunuh oleh puteranya sendiri, kemudian puteranya terbunuh pula oleh Si Su Beng. Dan kau…… apakah kaukira akan dapat mengharapkan kurnia dari Si Su Beng?"
Pada saat itu, terdengar derap kaki banyak orang dan terdengar Sui Ceng berseru,
"Pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal kaisar) datang menyerbu!"
Empat orang muda itu bersiap-siap. Sui Ceng melintangkan pedangnya di depan dada. Han Le memegang kembali pedangnya yang dia terima dari Kwan Cu. Kun Beng memegang tombaknya erat-erat dan Kwan Cu juga bertolak pinggang dan sepasang matanya bersinar-sinar.
Setelah menepuk-nepuk lututnya dan merasa bahwa lututnya dapat digerakkan biarpun masih agak sakit, Lu Thong lalu mengambil toyanya yang tadi terlepas dari tangannya.
"Kau mau apa ?" bentak Sui sambil menodongkan pedangnya di dada Lu Thong. Akan tetapi yang ditodong tidak menghiraukannya dan masih terus mengambil toyanya.
"Hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan di sini," katanya dengan suara dingin dan matanya mengeluarkan sinar yang amat berlainan dari tadi.
"Lu Thong, keturunan pemberontak, menyerahlah! Kami datang atas nama kaisar untuk menangkapmu!" terdengar teriakan komandan barisan Gi-lim-kun yang sudah datang di luar pekarangan rumahnya.
"Apa kataku, Lu Thong? Kaisar begitukah yang hendak kaubela dengan mempertaruhkan nyawa bangsamu?" kata Kwan Cu perlahan, akan tetapi cukup membakar isi dada Lu Thong. Dengan muka merah dan mata melotot, toya dipegang erat-erat, Lu Thong berteriak kepada barisan yang terdiri dari tiga puluh orang itu,
"Anjing-anjing keparat! Dengarlah baik-baik. Sekarang baru terbuka mataku dan kulihat kepalamu semua bukan kepala manusia, melainkan kepala anjing-anjing penjilat. Dan aku Lu Thong keturunan Lu Pin dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin, mulai sekarang tugasku ialah menghancurkan kepala-kepala anjing!" Sambil berkata demikian, dia memutar toyanya dan berlari terpincang-pincang menyerbu barisan Gi-lim-kun. Kwan Cu segera menyusulnya, setelah melirik ke arah Sui Ceng, Han Le, dan Kun Beng dengan pandang mata penuh arti.
Tiga orang muda ini saling pandang dan diam-diam mereka membenarkan, pembelaan Kwan Cu terhadap Lu Thong tadi, karena sekarang ternyata Lu Thong yang khianat telah sekaligus berubah menjadi Lu Thong yang mengandung penuh dendam terhadap penjajah yang sudah memusnahkan seluruh keluarga! Mereka pun lalu berlari menyusul dan memutar senjata mengamuk dan menyerbu barisan Gi-lim-kun!
Mana bisa barisan Gi-lim-kun kuat menghadapi lima orang muda ini? Mereka ini adalah orang-orang muda murid tokoh-tokoh yang sakti, yang memiliki kepandaian luar biasa sekali. Biarpun barisan Gi-lim-kun terdiri dari ahli-ahli silat yang pandai, namun menghadapi serbuan lima orang muda ini, sebentar saja mereka menjadi kocar-kacir. Mayat bergelimpangan yang amat mengerikan. Yang paling hebat amukannya adalah Lu Thong. Toyanya menyambar-nyambar dan sedikitnya ada lima orang anggauta Gi-lim-kun yang pecah kepalanya terkena pukulan toyanya!
Di antara mereka semua, hanya Kwan Cu seorang yang lain lagi sepak-terjangnya. ia tidak tega menjadi alat ini, entah karena terdorong oleh keinginan mendapatkan harta, atau pun terkena tipu dan bujukan maka mereka menjadi barisan Gi-lim-kun. Oleh karena itu, pemuda ini hanya bergerak dengan tangan kosong dan dia cukup puas asalkan dapat menotok roboh mereka itu tanpa membahayakan nyawa mereka. Han Le agaknya juga tidak begitu kejam karena pedangnya hanya merobohkan orang dan melukainya tanpa mematikan lawan. Sebaliknya, Sui Ceng benar-benar seperti gurunya. Setiap kali pedangnya bergerak, seorang anggauta Gi-lim-kun menjerit kesakitan dengan lengan putus, kaki putus, bahkan ada yang lehernya putus! Demikian pula Kun Beng mengamuk, akan tetapi pemuda ini tidak seganas Sui Ceng atau Lu Thong.
Akan tetapi, lima orang jago muda ini mengamuk di tengah-tengah kota raja dan hal ini bukanlah merupakan pekerjaan main-main yang mudah saja. Tak lama kemudian, datanglah barisan baru yang jauh lebih kuat daripada barisan Gi-lim-kun yang sudah dapat diobrak-abrik, karena barisan ini adalah barisan Si-wi, yakni pengawal pribadi kaisar, dan dipimpin pula oleh Kiam Ki Sianjin, dan panglima-panglima yang berkepandaian tinggi!
Pertempuran berjalan makin hebat. Kwan Cu yang mengetahui bahwa bagi empat orang kawannya, Kiam Ki Sianjin terlampau tangguh, cepat mencabut sulingnya dan menghadapi kakek ini. Akan tetapi tetap saja empat orang kawannya menjadi terkurung seperti tadi, dan terpaksa bersilat cepat untuk melindungi tubuh daripada hujan senjata lawan yang amat banyak jumlahnya itu. Akan tetapi, sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka otomatis tahu bagaimana caranya untuk melayani keroyokan yang demikian banyaknya. Tanpa ada yang mengomando, mereka otomatis berkelahi berdekatan satu sama lain, bahkan lalu membuat lingkaran dengan punggung dihadapkan kepada kawan sendiri sehingga mereka merupakan lingkaran segi empat yang tak dapat diserang dari belakang! Dengan jalan ini, Lu Thong, Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le dapat mempertahankan diri dengan kuatnya dan kadang-kadang terdengar pekik orang dan terjungkalnya seorang anggauta Si-wi.
Namun, Sui Ceng amat kecewa tidak melihat Kwan Cu berada di lingkaran mereka itu. Hal ini adalah karena Kwan Cu sengaja menghadapi Kiam Ki Sianjin, mencegah kakek ini ikut menyerang empat orang kawannya. Sui Ceng mengira bahwa karena kepandaiannya tidak tinggi, kwan Cu sudah tertawan atau melarikan diri. Ia menggigit bibir dengan gemas kalau memikirkan bahwa pemuda itu sudah melarikan diri meninggalkan kawan-kawannya. Ia tidak tahu bahwa kepandaian Kwan Cu sudah tinggi sekali. Kemenangan Kwan Cu atas Han Le tadi tidak membikin dia merasa heran karena sebagai murid-murid seguru, tentu saja Kwan Cu sudah mengetahui semua cara bersilat dari Han Le dan dapat memenangkannya! Demikian pula Kun Beng sama sekali tidak mengira bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian tinggi. Hanya Han Le dan Lu Thong yang mengetahuinya baik-baik. Lu Thong yang sudah pernah merasai kelihaian Kwan Cu, adapun Han Le lebih-lebih lagi. Tidak saja dia sudah dapat menduga bahwa suhengnya yang sudah tinggal di Pulau Pek-hui-to itu telah mempelajari ilmu kesaktian yang luar biasa, juga tadi dia telah merasai sendiri kehebatan kepandaian suhengnya.
Makin lama kurungan makin rapat. Pihak pengeroyok memang luar biasa banyaknya. Roboh satu datang dua, roboh lima datang sepuluh. Empat orang jago muda itu sudah bertempur tiga jam lebih dan mereka mulai lelah sekali. Apalagi Lu Thong lututnya terasa sakit dan dia menjadi makin lambat gerakannya. Akhirnya, sebuah tusukan tombak melukai pahanya dan dia terhuyung-huyung roboh. Baiknya Han Le cepat menyambar tangannya dan menariknya ke dalam lingkaran, sehingga tubuh Lu Thong terlindung oleh tiga orang muda itu.
Di lain fihak, Kwan Cu yang tadinya menghadapi Kiam Ki Sianjin, sekarang ternyata telah dikeroyok tiga orang, yakni Kiam Ki Sianjin sendiri dan dua orang panglima yang lihai sekali ilmu goloknya. Kwan Cu melayani mereka dengan gagah dan sedikit pun tidak terdesak, bahkan pada jurus ke lima puluh lebih, dia berhasil merobohkan seorang panglima dengan pukulan-pukulan Pek-in-hoat-sut. Namun, sebagai gantinya datang pula dua orang panglima lain, sedangkan Kiam Ki Sianjin masih terus melawannya dengan amat kuatnya, dan kali ini agaknya tidak mudah bagi Kwan Cu untuk mengalahkan Kiam Ki Sianjin.
Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le sudah lelah dan mulai terdesak. Biarpun korban fihak musuh yang jatuh tak terhitung banyaknya, namun setiap kali ada yang jatuh, mereka yang jatuh diangkat pergi dan sebagai gantinya datang pengeroyok-pengeroyok lain yang masih segar dan memiliki kepandaian silat tinggi juga. Tiga orang muda ini maklum bahwa kalau diteruskan, mereka pasti akan celaka semua. Kini mereka tidak begitu mudah lagi menjatuhkan lawan, karena para pengeroyok kini terdiri dari orang-orang yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat lumayan.
Kwan Cu maklum pula akan hal ini. Tiba-tiba pemuda ini menyimpan sulingnya dan ketika dua orang panglima menyerang dari kanan kiri dan Kiam Ki Sianjin mendesak dari depan, dia melayani dua orang panglima yang bergolok itu dengan Ilmu Silat Kong-ciak-sin-na, sedangkan terhadap Kiam Ki sianjin dia melancarkan pukulan-pukulan Pek-in-hoat-sut. Tosu itu sudah cukup mengenal kelihaian lengan tangan yang mengebulkan uap itu, maka cepat-cepat dia menjatuhkan diri untuk menyimpan napas dan mengerahkan lweekang agar dia cukup kuat menghadapi serangan ilmu pukulan Pek-in-hoat-sut, akan tetapi dua orang panglima yang belum mengenal Kwan Cu baik-baik, terus mendesak pernuda itu. Dan sebelum mereka tahu bagaimana terjadinya, pundak mereka telah terkena cengkeraman IImu Silat Kong-ciak-sin-na dan golok mereka terlempar. Kwan Cu tidak mau berlaku kepalang tanggung. Ia mengangkat tubuh dua orang ini, yang seorang dia lemparkan ke arah Kiam Ki Sianjin dan menggunakan kesempatan itu untuk memutar-mutarkan orang ke dua dan membobolkan kepungan yang mengurung tiga orang kawannya yang masih melawan mati-matian.
"Kawan-kawan, mari kita pergi!" katanya setelah berhasil menyerbu dan memasuki kurungan.
Sui Ceng dan Kun Beng tertegun melihat bahwa Kwan Cu ternyata masih hidup dan berada di situ, dan diam-diam Sui Ceng merasa girang sekali. Ternyata pemuda ini tidak melarikan diri seperti yang tadi ia khawatirkan. Kemudian Kwan Cu melihat Lu Thong yang terduduk dan luka kakinya. Cepat Kwan Cu melemparkan panglima itu kepada Kun Beng dan berkata,
"Kun Beng, kauterima ini dan pergunakan sebagai senjata mencari jalan keluar. Aku akan menggendong Lu Thong!"
Kun Beng menyambut datangnya tubuh panglima itu dengan tangan kiri dan sekali dia mengulur tangan, dia telah berhasil membekuk batang leher panglima itu yang masih hidup akan tetapi sudah tidak berdaya karena jalan darahnya telah ditotok oleh Kwan Cu.
"Lebih baik kalian juga menangkap seorang lawan untuk dijadikan senjata!" kata Kun Beng.
Sui Ceng dan Han Le mengerti apa yang dikehendaki oleh kawan ini. Dengan cepat mereka mendesak maju dan sebentar saja Han Le dan Sui Ceng sudah dapat menangkap masing-masing seorang pengeroyok dan mengamuklah tiga orang ini, mencari jalan keluar, membobolkan kurungan sambil memutar-mutar tubuh lawan yang mereka pegang kakinya!
Dalam pengamukan ini, Sui Ceng, Han Le dan Kun Beng lagi-lagi kehilangan Kwan Cu. Ke mana perginya pemuda itu? Setelah mengempit tubuh Lu Thong dengan tangan kirinya, Kwan Cu melompat cepat melalui kepala para pengurung itu dan dia sengaja melarikan di dekat Kiam Ki Sianjin yang menyumpah-nyumpah marah melihat kawan-kawannya dibikin kocar-kacir oleh tiga orang muda itu.
"Bodoh, goblok! Menghadap tiga orang saja tidak becus menangkap dan mengalahkan." Tosu ini memaki-maki anak buahnya.
"Locianpwe, mereka menggunakan kawan kami sebagai senjata untuk mengamuk," jawab seorang perwira Si-wi.
“Bodoh! Bacok mampus saja semuanya, biar kawan sendiri kalau sudah mereka tangkap, perlu apa takut membacoknya?"
Demikianlah, para Si-wi itu lalu mengepung kembali dan kini mereka menggunakan senjata untuk menangkis dan membacok tiga orang muda itu sehingga senjata mereka tentu saja mengenai kawan sendiri yang diputar-putarkan oleh tiga orang muda perkasa itu. Melihat kenekatan para pengeroyok ini, Sui Ceng dan kawan-kawannya terkejut. Tentu saja mereka lalu melemparkan orang yang mereka pegang karena tubuh orang itu hancur terkena hujan senjata kawan-kawan sendiri dan mulailah menangkap lain orang untuk dijadikan senjata. Biarpun mereka agak lambat maju, namun mereka dapat juga menipiskan kepungan dan keadaan mereka tidak terdesak seperti tadi. Apalagi sekarang mereka tidak perlu melindungi Lu Thong seperti tadi.
"Eh, mana Kwan Cu…?” tanya Sui Ceng yang merasa heran sekali. Tadi Kwan Cu berada di dalam kepungan, jadi di belakangnya, juga di belakang Kun Beng dan Han Le, karena Kwan Cu menghampiri Lu Thong yang berada di tengah-tengah. Akan tetapi mengapa sekarang Kwan Cu dan Lu Thong sudah lenyap dari situ? Juga kedua orang kawannya tidak tahu kemana perginya Kwan Cu mengempit tubuh Lu Thong, akan tetapi oleh karena mereka selalu menghadapi keroyokan musuh, mereka tidak sempat melihat Kwan Cu yang melompat cepat sekali melalui kepala mereka dan para pengeroyok!
Adapun Kwan Cu sebagaimana dituturkan di atas, sengaja lari membawa Lu Thong mendekati Kiam Ki Sianjin. Tentu saja melihat pemuda itu mengempit tubuh Lu Thong, Kiam-Ki-Sianjin cepat mengejar dengan pedang di tangan.
“Bangsat Lu Kwan Cu, ternyata engkau hendak mati-matian membela pemberontak!” serunya.
Kwan Cu tersenyum sindir. “Kiam Ki Sianjin, dia ini adalah keturunan menteri Lu Pin, bagaimana aku takkan membelanya?” Pemuda ini menyimpan sulingnya dan kini tahu-tahu tangannya telah memegang sebatang pedang yang bercahaya gemilang. Inilah Liong-coan-kiam, pedang peninggalan Menteri Lu Pin yang sengaja diberikan kepadanya.
Kiam Ki Sianjin tertegun dan merasa agak jerih. Baru sekarang dia melihat pemuda ini memegang pedang. Biasanya, dengan tangan kosong atau paling-paling dengan sebatang suling di tangan, pemuda itu sudah terlampau tangguh baginya, apalagi sekarang memegang sebatang pedang mustika!
"Kiam Ki Sianjin, apakah kau tidak melihat siapa adanya pendekar-pendekar muda itu? Lihatlah baik-baik, gadis perkasa itu adalah murid tunggal dari Kiu-bwe Coa-li, pemuda bertombak itu adalah murid terkasih dari Pak-lo-sian Siang-koan Hai, dan pemuda sederhana itu adalah suteku! Aku tanggung bahwa kalau kau terus mengurung mereka, semua anak buahmu akan hancur lebur. Dan bukan itu saja, kalau sampai mereka terluka, tentu para Locianpwe itu akan bersumpah membalas dendam kepadamu."
"Habis, apa kehendakmu?" tanya Kiam Ki Sianjin memandang tajam.
"Kalau kau hendak menghalangi mereka lari, kau tahu bahwa aku akan menyerangmu mati-matian dan mungkin sekali aku akan dapat menewaskan engkau. Akan tetapi kalau kau mau melepaskan mereka lari, kita kelak akan dapat bertemu pula dan aku takkan melupakan maksud baikmu ini."
Sampai beberapa lama Kiam Ki Sian-jin diam saja, matanya memandang ke arah tiga orang muda yang tengah mengamuk hebat mencari jalan keluar. Memang sepak terjang mereka hebat sekali dan sekarang pun para anak buahnya sudah mulai kocar-kacir. Akhirnya dia mengangguk dan Kwan Cu girang sekali.
"Terima kasih, Kiam Ki Sianjin. Kau ternyata berpemandangan jauh.” Ia lalu membawa Lu Thong melompat ke barat!
"Sui Ceng, Kun Beng dan Sute! Lari melalui pintu barat!"
Tiga orang muda itu ketika mendengar seruan Kwan Cu yang tiba-tiba ini, menjadi terheran, akan tetapi mereka lalu memutar senjata memaksa para Si-wi yang masih berani mengeroyok untuk mundur dan larilah mereka ke barat. Kwan Cu sudah tidak kelihatan lagi oleh mereka. Aneh sekali, setelah mereka tiba di dinding sebelah barat, di situ tidak kelihatan ada musuh, maka mudah saja mereka melompati tembok itu. Dan ternyata bahwa Kwan Cu sudah berada di bawah tembok sambil mengempit Lu Thong.
"Kau sudah di sini ?" tanya Kun Beng tak mengerti. Juga Sui Ceng terheran, akan tetapi Han Le diam-diam makin kagum akan kepandaian suhengnya itu.
Kiam Ki Sianjin memenuhi janjinya. Ia tidak memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengejar, melainkan menyuruh mereka merawat kawan-kawan yang luka serta mengurus mayat mereka yang tewas. Oleh karena itu, kawanan orang muda perkasa itu dengan mudah dapat melarikan diri keluar dari kota raja dan memasuki hutan sebelah barat. Dengan Kwan Cu di depan, mereka berlari terus sampai jauh dari kota raja. Kemudian mereka berhenti dan Kwan Cu segera mengambil saputangan untuk membalut luka di paha Lu Thong dan setelah mengurut serta menotok jalan darah di kaki pemuda ini, Lu Thong dapat berdiri dan berjalan pula, sungguhpun masih terasa amat sakit pahanya yang terluka itu.
"Kwan Cu, kau cerdik sekali, bisa mencarikan jalan keluar yang tak terjaga untuk kita," kata Kun Beng memuji dan bibirnya tersenyum kalau dia mengingat betapa bodohnya pemuda itu diwaktu masih kecilnya. "Kwan Cu, pertemuan kita dalam keadaan yang menguntungkan telah membuat kita bertemu sebagai sahabat, aku senang sekali akan hal ini. Sekarang, biarlah kita berpisah dan kelak aku mengharapkan sekali kedatanganmu untuk menghadiri….. pernikahan kami.” Sambil berkata demikian, pemuda yang tampan itu melirik ke arah Sui Ceng. Gadis itu menjadi jengah dan malu, mengerling tajam dan menegur tunangannya dengan pandangan matanya itu.
Akan tetapi tak seorang pun tahu betapa mendongkol dan marah hati Kwan Cu terhadap Kun Beng. Ingin dia menceritakan tentang Gouw Kui Lan, ingin dia menampar muka pemuda yang tampan itu. Akan tetapi Kwan Cu dapat menekan nafsunya dan dia hanya tersenyum dan mengangguk tanpa menjawab sesuatu.
“Ceng-moi, marilah kita pergi,” ajak Kun Beng kepada Sui Ceng dengan suara mesra.
“Ke…..manakah? Aku….aku hendak kembali mencari Suthai.”
“Hendak menemui Kiu-bwe Coa-li Suthai? Baiklah, mari kita bersama menjumpainya, memang perlu kita memberitahukan kepada gurumu tentang penetapan hari pernikahan.”
Sui Ceng makin merah mukanya. Untuk sekejap ia melirik kearah Kwan Cu dan bukan main heran hatinya melihat pandangan mata Kwan Cu yang berapi-api ditujukan kepada Kun Beng yang demikian mengerikan dan dia bergidik. Alangkah anehnya Kwan Cu setelah dewasa, aneh dan menarik hati. Akan tetapi pandang mata itu membayangkan kebencian yang hebat dan Sui Ceng merasa tidak enak hati.
"Marilah," katanya perlahan dan ia lalu melompat tanpa berpamit kepada Kwan Cu atau yang lain-lain, sedangkan Kun Beng juga melompat menyusul dengan wajah berseri-seri.
Kwan Cu menggigit bibirnya dan mengepal tinjunya, memandang ke arah perginya dua orang itu tanpa bergerak seperti patung. Lu Thong yang kini sudah terbuka matanya dan sadar akan kesesatannya, duduk memisahkan diri di bawah pohon. Dia merenungkan dan kadang-kadang menggigit bibir, mengepalkan tinju, wajahnya pucat seperti seorang yang kehilangan semangatnya.
"Suheng." Han Le menegur Kwan Cu yang masih berdiri seperti patung itu. Kwan Cu tersadar dan cepat menoleh wajahnya merah sekali ketika dia melihat pandang mata pemuda itu. Mata itu seakan-akan dapat membaca isi hatinya.
"Suheng, mengapa kau kelihatan berduka?"
Kwan Cu menjadi sadar betul-betul dan dengan tersenyum dia lalu memegang lengan pemuda itu.
"Tidak apa-apa, Sute. Sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau bisa menjadi murid suhu, semenjak kapan kau belajar ilmu silat kepada suhu dan bagaimana pula kau bisa mainkan ilmu silat yang hanya terdapat di atas Pulau Pek-hui-to?"
Karena melihat Lu Thong masih duduk melamun seorang diri, kedua orang pemuda ini lalu duduk di atas batu dan berceritalah Han Le.
"Aku adalah seorang anak sengsara. Kedua orang tuaku menjadi korban perang dan mereka tewas oleh bala tentara pemberontak An Lu Shan. Baiknya ketika aku sedang dikeroyok oleh balatentara pemberontak dan hampir mengalami kebinasaan, datanglah suhu yang menolongku. Hal itu terjadi tidak lama setelah kau berpisah dari suhu. Suhu lalu mengambil murid kepadaku. Sebelum itu aku adalah anak murid dari Kun-lun-pai, dan karena semenjak kecil aku sudah belajar ilmu silat, tidak sukar bagiku untuk menerima gemblengan dari suhu. Kemudian, suhu mendengar tentang jatuhnya pemerintah Tang dan didudukinya kerajaan oleh An Lu Shan. Suhu marah dan hendak memberi hajaran kepada orang-orang kang-ouw yang membantu pemberontak. Aku hendak ikut, akan tetapi dilarangnya dengan alasan bahwa kepandaianku masih jauh daripada mencukupi untuk berhadapan dengan tokoh-tokoh kang-ouw itu. Bahkan suhu lalu menyuruh aku menyusulmu ke Pulau Pek-hui-to. Akan tetapi ketika tiba di pulau itu, kau tidak ada dan aku mendapatkan ukiran-ukiran di dalam goa. Karena tertarik aku lalu berlatih seorang diri mempelajari semua ukiran itu dan mendapat kenyataan bahkan semua itu adalah pelajaran ilmu silat yang luar biasa sekali, akan tetapi sukar sekali dipelajarinya. Suheng, melihat ilmu silatmu, agaknya kau sudah dapat memecahkan semua rahasia dari pelajaran itu, bukan?"
Kwan Cu mengangguk. "Sute, ilmu silatmu sendiri sudah amat tinggi dan baik. Tidak mudah untuk memecahkan rahasia ilmu silat itu, karena ketahuilah bahwa lukisan-lukisan itu adalah petunjuk dari ilmu-ilmu silat yang terdapat dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng."
Berseri wajah Han Le yang tampan. "Ah, kalau begitu benar kata suhu. Suheng telah mewarisi ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng!" Wajahnya bersinar penuh kekaguman.
Kwan Cu menarik napas panjang. "Ilmu kepandaian itu tidak ada batasnya, Sute. Sepandai-pandainya orang, masih ada yang melebihinya, akhirnya dia akan mengaku bahwa dia amat lemah apabila menghadapi musuh yang berada di dalam hati sendiri." Kwan Cu termenung dan dia teringat akan Sui Ceng. Ia benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu, akan tetapi gadis itu telah bertunangan dengan Kun Beng. Hal inilah yang menyakitkan hatinya. Andai kata gadis itu bertunangan dengan pemuda lain, agaknya akan mudah baginya untuk menyerah dan berusaha melupakan gadis itu. Akan tetapi Kun Beng? Nama ini membuat dia otomatis teringat akan Kui Lan dan timbullah penasaran dan sakit hatinya. Tidak, Sui Ceng tidak boleh menikah dengan pemuda itu!
"Han Le, kau tentu akan membantu perjuangan rakyat bukan?”
"Tentu saja, Suheng. Orang tuaku tewas oleh penjajah dan aku belum puas kalau para penjajah belum terusir dari negara kita."
"Bagus, kalau begitu kaubawalah Lu Thong. Obat satu-satunya bagi dia adalah perjuangan membela tanah air dan bangsanya untuk menebus kesesatannya." Kwan Cu menghampiri Lu Thong, diikuti oleh sutenya.
Lu Thong sudah sadar dari lamunannya dan dia memandang kepada Kwan Cu dengan bibir tersenyum pahit.
"Kwan Cu, kau tentu cinta kepada Sui Ceng, bukan?"
Bukan main kagetnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Memang, berbeda dengan Kwan Cu atau Han le, Lu Thong sudah kenyang dengan pengalaman tentang hubungan pria dan wanita, tentang kasih asmara dan tanda-tandanya. Biarpun dia hanya sekelebatan saja melihat semua pertemuan dan percakapan itu, akan tetapi dia sudah dapat menduga dengan tepat sekali.
"Lu Thong, omongan apakah yang kau keluarkan ini? Sekarang bukan waktunya bicara yang bukan-bukan. Sebaliknya aku hendak bertanya kepadamu, apakah sekarang kau sudah insyaf betul-betul dan sadar bahwa yang sudah-sudah kau telah tersesat jauh sekali?"
Lu Thong menarik napas panjang. "Memang aku bodoh dan mudah tertarik oleh kedudukan dan harta, Kwan Cu. Akan tetapi apakah yang dapat kulakukan sekarang? Keluargaku telah terbinasa, dan kalau kuingat-ingat aku adalah anak yang paling puthauw (tidak berbakti), anak durhaka." Tiba-tiba Lu Thong menangis sambil menutupi kedua matanya dengan tangan.
Kwan Cu terharu. "Lu Thong, sudah menjadi kewajibanmu untuk menebus dosa itu dan membalaskan sakit hati orang tuamu."
Lu Thong menurunkan tangannya, air matanya mengalir perlahan melalui pipinya.
"Apa dayaku? Musuh-musuhku adalah penjajah dan mereka amat kuat. Baru menghadapi pasukan Si-wi saja, aku sudah terluka, apalagi kalau menghadapi barisan penjajah? Pula di sana ada orang-orang sakti seperti Kiam Ki Sianjin dan lain-lain."
"Kau tidak berdiri sendiri, Lu Thong. Di fihak kita pun ada ratusan laksa rakyat yang berjuang dengan penuh dendam terhadap penjajah. Sukakah kau membantu perjuangan mereka?"
"Membantu para pemberontak?"
“Nah, itulah kepicikanmu, Lu Thong. Memang, pejuang-pejuang rakyat itu disebut pemberontak oleh penjajah, akan tetapi bagaimana orang-orang gagah yang membela tanah air dan bangsa dari tindasan penjajah asing disebut pemberontak? Insyaflah bahwa para pejuang rakyat itu sudah dibikin sakit hati oleh penjajah."
Lu Thong melompat bangun. "Kau benar, Kwan Cu. Baik, aku bersedia untuk membantu perjuangan rakyat dengan taruhan nyawaku."
Kwan Cu sebaliknya menjadi girang sekali. "Bagus, kalau begitu kau benar-benar saudaraku! Kau ikutlah dengan suteku ini dan dia akan membawamu ke tempat rakyat yang sedang menyusun kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah. Aku akan menyusul kelak."
Maka berangkatlah Lu Thong dan Han Le, menuju ke markas pasukan pejuang rakyat yang terdekat, karena memang sebelum pergi ke kota raja, Han Le sudah dengah aktif sekali membantu para pejuang ini. Adapun Kwan Cu sendiri, tadinya dia berniat untuk menyusul perjalanan Sui Ceng dan Kun Beng. Ingin sekali dia mencegah mereka melakukan perjalanan bersama. Ingin sekali dia membongkar rahasia Kun Beng di depan Sui Ceng, agar gadis yang dicintanya itu tahu betapa buruk watak tunangannya, yang sudah merusak kehormatan seorang gadis yang menjadi adik dari suhengnya sendiri! Akan tetapi, dia teringat akan tugas-tugasnya, yakni membalas sakit hati guru dan kong-kongnya. "Urusan pribadi harus dikesampingkan," pikirnya dengan hati getir, "lebih dulu aku harus mencari mereka yang telah menewaskan suhu, kemudian aku akan mencari keturunan An Lu Shan yang tinggal seorang itu, yakni An Kai Seng." Kwan Cu teringat akan tantangan, Pek-eng Sianjin, maka dia lalu menuju ke Bukit Leng-san. Tadinya memang dia sudah mengeluarkan nama Pek-eng Sianjin dari daftar orang-orang yang hendak dibalasnya karena membunuh suhunya. Hal ini karena dia sudah mendengar sumpah Pek-eng Sianjin bahwa tosu ini tidak ikut mengeroyok dalam pembunuhan Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi, sebaliknya Pek-eng Sianjin merasa terhina dan menantangnya untuk datang ke Leng-san. Kalau dia tidak meladeni tantangan ini yang diucapkan di hadapan tokoh-tokoh besar seperti Kiam Ki Sian-jin, Bian Ti Hosiang, dan Bin Ti Siansu, tentu namanya akan jatuh sebagai seorang muda pengecut.
"Aku harus memenuhi tantangannya lebih dulu baru aku akan mencari tempat tinggal Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, dan siluman Toat-beng Hui-houw," pikimya sambil berlari cepat sekali ke selatan.
***
Di Bukit Leng-san, Pek-eng Sianjin sudah bersiap-siap menanti kedatangan Kwan Cu, pemuda yang telah menghinanya di depan tokoh-tokoh besar. Di pegunungan ini, Pek-eng Sianjin sudah kehilangan empat orang saudaranya yang terbunuh mati oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin, telah membentuk pula sebuah perkumpulan yang diberi nama Pek-eng Kauw-hwe (Perkumpulan Agama Garuda Putih)! Ia mendapatkan tiga orang kawan, yakni dua orang tosu dan seorang hwesio yang dikumpulkan di situ, selain untuk bersama-sama mengurus perkumpulan itu, juga untuk menjadi kawannya menghadap Kwan Cu. Dua orang tosu itu memang sudah mengangkat saudara dengan dia dan mengganti nama menjadi Thian-eng Sianjin dan Te-eng Sianjin. Dua orang saudara ini memang tadinya adalah orang-orang kang-ouw dari kalangan jalan hitam, maka cocok sekali dengan Pek-eng Sianjin. Mereka adalah pelarian dari Thian-san-pai, yang diusir dan tidak diakui lagi karena mereka telah melakukan perbuatan jahat. Setelah bertemu dengan Pek-eng Sianjin, mereka menerima pelajaran ilmu silat baru dan menjadi saudara angkat yang sehidup semati. Adapun hwesio itu adalah Loan Kek Hosiang, seorang hwesio pelarian dari Siauw-lim-pai. Juga seperti dua orang tosu tadi, hwesio ini telah melarikan diri karena terancam oleh fihak Siauw-lim-pai yang hendak menghukumnya setelah dia melakukan perbuatan terkutuk, yakni mengganggu anak bini orang!
Selain empat orang yang lihai ini, Pek-eng Sinjin juga menerima murid-murid yang menjadi pembantu-pembantunya. Akan tetapi yang paling mereka sayang adalah tiga orang anak-anak yang usianya baru delapan sembilan tahun. Tiga orang anak kecil inilah mereka harapkan untuk menggantikan kedudukan mereka kelak, maka mereka bertiga, yakni Pek-eng Sianjin dan dua orang tosu lain, masing-masing mengambil seorang anak menjadi muridnya dan melatih ilmu silat kepada mereka ini.
Pek-eng Sianjin adalah seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-koat, sedangkan Thian-eng Sianjin memiliki ilmu pedang Thian-san Kiam-hoat yang kini dia gabung pula dengan Sin-eng Kiam-hoat, Te-eng Sianjin memiliki ilmu tombak yang lihai dari Thian-san-pai pula. Adapun Loan Kek Hosiang juga memiliki ilmu pedang dari Siauw-lim-pai yang kini dia tukar atau saling pelajari dengan ilmu pedang dari Pek-eng Sianjin. Mereka selalu berlatih dengan giatnya, terutama sekali setelah mendengar bahwa tak lama lagi akan datang seorang musuh besar dari Pek-eng Sianjin, ketua dari Pek-eng Kauw-hwe.
Ketika Kwan Cu mendaki Bukit Leng-san, dari kaki bukit itu kelihatannya sunyi saja. Akan tetapi setelah dia mendekati puncak dari bukit yang tidak seberapa tinggi itu, dia melihat sepasukan orang muda yang bertubuh kuat, terdiri dari dua puluh orang, menghadang di tengah jalan.
"Apakah orang yang datang ini bernama Lu Kwan Cu?" terdengar seorang di antara pasukan itu bertanya dengan suara heran. Mereka ini adalah sebagian dari murid-murid Pek-eng Kauw-hwe yang ditugaskan menjaga dan menangkap musuh yang baru datang. Melihat bahwa musuh suhu mereka itu ternyata hanyalah seorang pemuda sederhana yang bertangan kosong, berpakaian sederhana dan kelihatannya lemah, orang-orang muda ini memandang ringan.
"Betul, aku adalah Lu Kwan Cu dan aku datang untuk memenuhi undangan Pek-eng Sianjin. Apakah dia berada di puncak bukit?"
Para orang muda itu saling pandang, kemudian terdengar gelak tawa mereka. Hampir mereka tidak percaya bahwa inilah musuh yang agaknya ditakuti oleh guru mereka. Apa sih anehnya orang muda yang tubuhnya kelihatan lemah itu?
"Kamu yang bernama Lu K wan Cu?" tanya seorang pemuda bermuka hitam dengan tubuh seperti raksasa sambil melangkah maju menghadapi kwan Cu. "Kalau begitu, menurutlah saja kami rantai untuk dihadapkan kepada suhu. Lebih baik kau menurut daripada kami harus menggunakan kekerasan dan ada tulang-tulangmu yang patah!" katanya mengejek dan kembali terdengar suara ketawa di sana-sini.
Kwan Cu tidak marah, bahkan merasa kasihan terhadap mereka. Ia tahu bahwa memang banyak orang muda yang tingkahnya seperti mereka ini. Baru mempelajari sejurus dua jurus ilmu silat saja, lalu merasa diri terpandai dan kuat, siap untuk mencari keributan dan memukul orang untuk memamerkan kepandaiannya. Beginilah contohnya orang yang masih dangkal ilmu pengetahuannya dan belum mengerti betul akan isi daripada ilmu silat yang sesungguhnya bukan dipergunakan untuk menyombongkan diri, bahkan sebaliknya makin tinggi ilmu yang dipelajarinya akan merasa bahwa dia masih belum mengerti apa-apa dan selalu berlaku merendah.
"Sahabat, aku datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan untuk memenuhi undangan Pek-eng Sianjin. Mengapa kau bersikap begini kasar?"
Si muka hitam itu tertawa mengejek. "Ha, ha, ha! Kami mendengar bahwa orang yang bernama Lu Kwan Cu akan datang untuk mengadakan pibu (mengadu kepandaian silat) dengan suhu. Akan tetapi kalau orangnya hanya seperti engkau saja, untuk apa suhu harus melelahkan diri? Dari pada susah-susah kau akan menemui kematian di puncak, lebih baik sekarang saja aku yang akan menghajarmu!"
Setelah berkata demikian, si muka hitam lalu memasang kuda-kuda dan kepalan tangannya yang sebesar kepala orang itu menyambar ke arah dada Kwan Cu. Dengan tenang Kwan Cu menanti datangnya pukulan tanpa mengelak sedikitpun.
"Buk!" Pukulan itu dengan kerasnya tiba di dada Kwan Cu, akan tetapi pendekar muda ini berkedip pun tidak. Bahkan sebaliknya, si muka hitam itu terlempar ke belakang dan tulang-tulang jari tangannya patah-patah! Ia bergulingan di atas tanah mengaduh-aduh karena rasa sakit membuat dia lupa malu. Jantungnya terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Gegerlah keadaan di situ. Para muda itu cepat mencabut senjata dan sebentar saja hujan senjata menjatuhi tubuh Kwan Cu. Akan tetapi pemuda ini tidak mau berurusan dengan anak-anak muda yang dianggapnya hijau dan tolol itu. Sekali tubuhnya berkelebat, para pengeroyok itu melongo karena tahu-tahu pemuda yang akan dikeroyoknya itu telah lenyap dari situ.
Ketika mereka menengok, ternyata bahwa Kwan Cu sudah berlari cepat menuju ke puncak bukit! Barulah mereka beramai-ramai mengejar sambil berteriak-teriak. Akan tetapi, mana bisa mereka menyusul larinya pemuda sakti itu?
Setelah mendekati puncak, Kwan Cu melihat bangunan tembok di atas puncak gunung itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia mendengar suara angin yang aneh dan tahulah dia bahwa banyak sekali senjata gelap menyambar ke arah dirinya. Mendengar angin sambaran itu, tahulah dia bahwa yang menyambar hanyalah senjata-senjata yang digerakkan oleh orang-orang yang masih lemah tenaganya. Maka dia hanya memutar kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sedikit saja. Anak-anak panah yang ratusan banyaknya itu runtuh semua, tak dapat melukainya, bahkan sebatang pun tidak ada yang bisa merobek bajunya!
Ia berlari terus dan berseru, "Pek-eng Sianjin, bagus benar kau menyambut datangnya tamu yang kau undang sendiri!" Hati pemuda ini mulai panas dan biarpun tadinya dia tidak mengandung maksud buruk terhadap Pek-eng Sianjin, namun sekarang pandangannya lain. Orang seperti Pek-eng Sianjin yang ternyata curang sekali itu amat berbahaya bagi keamanan umum dan perlu disingkirkan.
Belum juga dia tiba di depan bangunan itu, dari atas pohon menyambar turun tubuh empat orang yang gesit gerakannya. Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Thian-eng Sianjin, Te-eng Sianjin dan Loan Kek Hosiang, siap dengan senjata.
"Lu K wan Cu, sekarang rasakan pembalasan dendamku!" seru Pek-eng Sianjin yang cepat menyerang dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang saudaranya.
Kwan Cu marah bukan main, akan tetapi tetap mengelak dan menyabarkan hatinya. Sambil meloncat ke sana ke mari mengelakkan diri dari sambaran empat senjata lawan, dia berkata keras,
"Pek-eng Sianjin, insyaflah kau! Aku sudah mengampunkan nyawamu karena kau bersumpah tidak ikut membunuh guruku. Sekarang aku datang sebagai tamu yang kauundang mengadakan pibu. Mengapa kau berlaku curang, menyuruh orang mengeroyok dan melepas anak panah, sekarang kau mengeroyok pula? Apa kehendakmu?"
"Bangsat rendah! Gurumu telah membunuh empat orang adikku, kemudian kau telah menghinaku. Apa kaukira aku mau melepaskan engkau dari sini? Bersiaplah untuk mampus!"
Serangan mereka itu dipercepat dan terpaksa Kwan Cu mencabut keluar sulingnya, dia mengerahkan tenaga dan menangkis sekaligus serangan empat batang senjata. Akan tetapi biarpun dia berhasil membikin terpental senjata-senjata itu, dia tidak dapat membikin senjata itu terlepas dari pegangan lawan-lawannya. Mengertilah Kwan Cu bahwa, para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
"Pek-eng Sianjin, sekali lagi kuharap kau sadar dan tahu akan kesopanan di dunia kang-ouw. Kalau mau berpibu secara baik, pergunakanlah aturan. Kecuali kalau kau memang sengaja mau mengadu nyawa!"
"Hari ini kalau bukan kau tentu aku yang mati di sini!" jawab Pek-eng Sian-jin sambil menyerang dengan buasnya.
Kwan Cu mulai timbul marahnya. Sudah nyata sekarang bahwa tosu ini memang berakhlak bejat, menurutkan nafsu hati dan dendam tanpa mengingat bahwa fihaknya sendirilah yang salah besar. Empat orang adik seperguruannya takkan binasa di tangan Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Ang-bin Sin-kai kalau tidak melakukan kejahatan luar biasa, dan Pek-eng Sianjin sendiri pun tidak akan mengalami hinaan dari Kwan Cu kalau saja dia bertindak di atas jalan yang benar. Sekarang, sebaliknya daripada menginsyafi kedosaannya, kakek ini bahkan secara amat curang dan tak tahu malu telah mengeroyok Kwan Cu dan sudah terang menghendaki kematian pemuda ini.
"Kau mencari penyakit sendiri!" seru Kwan Cu dan dia mulai melakukan serangan balasan. Pek-eng Sianjin adalah seorang tokoh kang-ouw dan ilmu silatnya sudah cukup tinggi, demikian pula tiga orang kawannya yang mengeroyok. Mereka mengurung Kwan Cu dari empat jurusan dan melakukan serangan-serangan hebat. Namun Kwan Cu yang gesit dan jauh lebih tinggi tingkat ilmu kepandaiannya itu, melayani mereka dengan tabah sekali. Sulingnya bergerak-gerak bagaikan naga menyambar sehingga setiap serangan lawan kalau tidak dielakkannya tentu dapat ditangkis. Sedangkan tangan kirinya tak tinggal diam, dia bergerak menurut Ilmu Silat Kong-ciak-sin-na dan mencoba untuk merampas senjata lawan.
Namun empat orang lawannya itu dapat bergerak gesit dan mereka lebih berhati-hati sekali ketika Pek-eng Sianjin berseru,
“Awas, jangan membiarkan dia merampas senjata. Awas terhadap tangan kirinya!"
Kwan Cu mendongkol sekali. Sampai sebegitu jauh dia belum dapat merampas senjata mereka. Kalau dia memang mempunyai niat untuk menyebar maut, kiranya dengan mudah dia akan dapat menggulingkan para pengeroyok ini dengan mempergunakan ilmu pukulan Pek-in-hoat-sut atau pun dengan sulingnya untuk menotok jalan darah di tubuh lawan. Akan tetapi, Kwan Cu tidak mau sembarangan membunuh. Dia belum kenal siapa adanya tiga orang kawan Pek-eng Sianjin ini dan tidak tega menjatuhkan tangan kejam terhadap orang-orang yang belum diketahui kejahatannya.
Karena kepungan mereka makin rapat dan desakan mereka makin menghebat, Kwan Cu berseru keras dan tiba-tiba saja lawannya menjadi bingung. Tubuh pemuda ini sekarang bergerak sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata mereka. Sebentar Kwan Cu mendesak Pek-eng Sianjin, sebentar pula berganti lawan dan bahkan kadang-kadang melompat tinggi sekali untuk turun di sebelah belakang seorang di antara mereka. Pemuda ini mengeluarkan kepandaiannya dan mempergunakan ginkangnya yang paling tinggi. Kacau-balaulah pengepungan itu dan permainan senjata mereka kini tidak teratur lagi. Membacok dan menusuk ke mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, akan tetapi selalu tidak mendapatkan sasaran.
Tiba-tiba Pek-eng Sianjin yang sudah menjadi penasaran dan marah sekalit menubruk dengan pedangnya dari belakang, dibarengi dengan tangan kiri yang mencengkeram hendak memeluk leher. Inilah serangan yang disebut Pek-mo-jio-beng (Iblis Putih Merebut Nyawa), hebatnya bukan main. Pedang itu digerakkan dengan khikang sepenuhnya sehingga ujung pedang tergetar, selain cepat juga amat kuatnya dapat menembus dinding baja, sedangkan tangan kiri itu mencengkeram dengan gerakan Kin-na-jiauw yang dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya. Jangan kata kulit dan daging manusia, batu karang yang keras akan hancur terkena cengkeraman ini. Biarpun amat lihai, sesungguhnya ilmu serangan ini adalah semacam gerak tipu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat dan hendak mengadu nyawa dengan lawannya. Gerakan Pek- mo-jio-beng ini tidak dapat ditarik kembali, sekali dikeluarkan, kalau lawannya tangguh tentu akan kena dipeluk untuk mati bersama, kalau lawannya kurang tangguh pasti takkan dapat mengelakkan diri dari dua serangan yang merupakan sepasang tangan maut itu!
Kwan Cu mendengar suara angin serangan yang dahsyat ini, yang dilakukan oleh Pek-eng Sianjin dari belakang. Pemuda ini tahu bahwa lawan ini sudah berlaku nekat dan telah mengeluarkan serangan dari kepandaian simpanan. Biarpun pemuda ini tidak melihat dengan matanya, namun telinga dan perasaannya yang amat tajam sudah dapat membedakan bahwa Pek-eng Sianjin melakukan serangan dengan pedang dan tangan kiri, Kwan Cu tidak menjadi gugup. Pada saat itu, tombak di tangan Te-eng Sianjin menusuk perutnya dari depan. Kwan Cu yang lebih memperhatikan serangan dari belakangnya, mengangkat kaki kanan memapaki tombak ini dari samping. Gerakan macam ini tidak sembarang ahli silat tinggi berani melakukannya, karena kalau meleset sedikit saja, tentu kaki akan beradu dengan ujung tombak dan betapapun kuatnya, sepatu berikut kulit kaki tentu akan tertembus atau terluka. Namun tendangan Kwan Cu ini tepat sekali datangnya, mengenai bawah mata tombak dan tombak itu terpental. Dengan meminjam tenaga tusukan tombak, Kwan Cu membanting kaki ke kanan sehingga tubuhnya juga miring ke kanan, berbareng dia memukulkan sulingnya ke belakang punggung, tepat menangkis serangan pedang di tangan Pek-eng Sianjin. Adapun pukulan tangan kiri Pek-eng Sian-jin lewat di samping tubuhnya sebelah kiri.
Akan tetapi keadaan Kwan Cu yang tubuhnya miring dan kelihatannya berada dalam kedudukan berbahaya ini tidak disia-siakan oleh tiga orang kawan Pek-eng Sianjin, Te-eng Sianjin sudah menggerakkan tombaknya pula, menusuk sekuat tenaga. Thian-eng Sianjin membacok dengan pedangnya, demikian pula Loan Kek Hosiang melakukan bacokan hebat dengan pedangnya! Agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk menghindarkan diri dari tiga serangan hebat ini.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar pekik mengerikan dan seruan terkejut dari tiga orang itu yang wajahnya menjadi pucat sekali. Apa yang terjadi? Kwan Cu yang tubuhnya sudah miring itu, secepat kilat menangkap tangan kanan Pek-eng Sian-jin, memencet keras sehingga pedangnya terlepas, kemudian sekaligus Kwan Cu mengerahkan tenaga lweekang dan tubuh Pek-eng Sianjin diangkat oleh tangan kirinya terus dibanting ke depan menjadi perisai yang menangkis semua serangan tiga orang itu! Tombak Te-eng Sianjin tepat sekali menancap di perut Pek-eng Sianjin sampai tembus, pedang Thian-te Sianjin melukai pundaknya dan yang lebih lagi, pedang di tangan Loan Kek Hosiang membabat putus lengan kanan yang dipegang oleh Kwan Cu! Tewaslah seketika itu juga Pek-eng Sianjin, setelah mengeluarkan pekik yang menyeramkan tadi!
Setelah melepaskan lengan yang sudah putus, Kwan Cu tidak mau berbuat kepalang tanggung. Tubuhnya bergerak cepat, suling di tangannya menyambar-nyambar dan robohlah tiga orang kawan Pek-eng Sianjin tadi dalam keadaan tertotok jalan darahnya!
Para anak murid Pek-eng Kauw-hwe yang kini sudah datang mendekat berdiri dengan wajah pucat, sama sekali tidak berani bergerak. Tak pemah mereka sangka bahwa pemuda itu demikian lihainya!
"Kalian lihatlah, begini nasib seorang yang berhati curang dan jahat. Pek-eng Sianjin telah mencari kematiannya sendiri. Aku masih tidak tega untuk membunuh orang-orang lain dan biarlah kematian Pek-eng Sianjin ini menjadi peringatan bagi kalian semua agar mengubah watak dan berbuat kebaikan sesuai dengan jalan kebenaran. Rakyat sedang membutuhkan bantuan orang-orang pandai untuk mengusir penjajah, mengapa kalian tidak membantu perjuangan suci itu bahkan sebaliknya menimbulkan kekacauan? Pikirkanlah kata-kataku ini baik-baik!" Setelah berkata demikian tubuh pemuda ini berkelebat dan dalam sekejap mata lenyap dari situ.
Setelah terlongong-longong untuk beberapa saat dan tidak berani bergerak atau pun membuka suara, barulah para anggauta Pek-eng Kauw-hwe itu beramai-ramai menolong tiga orang tua yang lumpuh tertotok dan mengurus jenazah Pek-eng Sianjin yang amat mengerikan itu. Lengannya putus, isi perutnya berantakan keluar dan pundaknya hampir putus pula.
***
Kiam Ki Sianjin yang menjadi pembantu utama dari Si Su Beng yang kini menduduki istana kerajaan, dapat melihat bahwa perjuangan rakyat amat kuatnya dan mengancam kedudukan yang dipertuan. Ia tahu bahwa kekuatan perjuangan rakyat itu karena rakyat dari segala lapisan serentak bangkit dan dipimpin pula serta dibantu oleh orang-orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi.
Oleh karena itu, dia mendapatkan sebuah pikiran yang amat baik. Ia mengirim surat kepada semua partai persilatan yang besar-besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Thian-san-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Juga dia mengundang kepada tokoh-tokoh besar seperti Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Seng Thian Siansu dari Kun-lun-pai dan fihak-fihak yang kelihatannya anti kaisar penjajah untuk mengadakan pertemuan atau yang disebutnya musyawarah besar di Bukit Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-gouw (Bulan lima tanggal lima belas), di mana akan dirundingkan dan diperdebatkan pendirian mereka yang bertentangan. Diam-diam tentu saja Kiam Ki Sianjin mengumpulkan tokoh-tokoh yang kiranya akan berdiri di fihaknya, yakni seperti Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Toat-beng Hui-houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang yang disebut Bu-eng Siang- hiap dan yang tadinya membantu putera An Lu Shan dan setelah putera mahkota itu dibinasakan oleh Si Su Beng, lalu menyerah dan membantu pula kepada Si Su Beng. Masih banyak tokoh-tokoh berkepandaian tinggi yang berdiri di fihaknya, maka sekali ini Kiam Ki Sianjin bermaksud mengundang semua tokoh dan apabila fihak yang anti kaisar masih tidak mau mengalah, di puncak Tai-hang-san itu akan dijadikan tempat pembasmian mereka!
Banyak ketua-ketua partai persilatan dan tokoh-tokoh besar sengaja datang kepada Kiam Ki Sianjin untuk minta penjelasan setelah menerima surat itu. Di antara mereka yang datang adalah Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai dan Bin Hong Siansu tokoh ke dua dari Kim-san-pai. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dua orang tokoh ini kebetulan sekali bertemu dengan Kwan Cu di gedung Kiam Ki Sian-jin dan telah mencoba kepandaian pemuda itu pula. Kini mereka pergi dari istana untuk kembali ke tempat masing-masing, menyampaikan hasil penyelidikan mereka setelah mereka bertemu dengan Kiam Ki Sianjin.
Biarpun mereka keluar dari istana tidak bersama-sama, namun setelah tiba di luar kota raja, mereka bertemu dan melakukan perjalanan bersama.
"Bin Hong Toyu, bagaimana pendapatmu tentang bocah yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai itu?" di tengah perjalanan Bian Ti Hosiang bertanya. Mereka melakukan perjalanan sambil menggunakan ilmu lari cepat sehingga tubuh mereka bergerak seperti terbang saja, akan tetapi mereka tidak kelihatan lelah, bahkan masih dapat bercakap- cakap. Ini menunjukkan betapa tingginya ilmu kepandaian mereka.
Bin Hong Siansu menghela napas panjang. "Kita harus mengaku bahwa kita sudah tua dan ketinggalan jaman. Belum pemah selama hidupku melihat seorang pemuda yang demikian lihainya."
"Kalau begitu, fihak yang anti kaisar tentu jauh lebih kuat daripada fihak yang membantu kaisar," kata pula Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai itu.
"Belum tentu demikian. Biarpun pemuda itu lihai, tak mungkin kepandaiannya akan bisa mengatasi Hek-i Hui-mo atau Toat-beng Hui-houw, Kiam Ki Sian-jin juga belum tentu kalah, tadi kelihatan kalah karena mereka bertempur mempergunakan meja, hal yang amat aneh!" jawab Bin Hong Siansu. "Bagiku sendiri, kurasa pendirian Kiam Ki Sianjin lebih benar. Kalau orang kang-ouw tak mau membantu kaisar, hal itu berarti bahwa mereka akan mendatangkan bencana yang lebih besar kepada rakyat. Kalau pemberontakan-pemberontakan itu ditindas dan keadaan negara aman kembali, tentu rakyat hidup tenang dan damai. Kaisar adalah pilihan Yang Maha Kuasa, jatuh bangunnya sebuah kerajaan, menang kalahnya perebutan kedudukan kaisar, telah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Mengapa harus membangkang terhadap keputusan nasib yang ditentukan oleh Thian?"
Bian Ti Hosiang mengerutkan kening. "Pinceng masih belum dapat mengambil keputusan, terserah kepada suheng Bian Kim Hosiang saja." Memang di dalam hatinya, hwesio Bu-tong-pai ini masih ragu-ragu untuk menyetujui pendapat tosu dari Kim-san-pai itu. Dia pun terpengaruh oleh bujukan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi karena dia tahu bahwa Suhengnya sering kali menyatakan tidak sukanya kepada pemerintah penjajah, maka dia sendiri tidak berani mengambil keputusan.
Perjalanan dilanjutkan cepat sekali dan tahu-tahu siang telah berganti senja dan angkasa gelap sekali, agaknya akan turun hujan.
"Kita harus mencapai tempat bermalam," kata Bin Hong Siansu kepada kawannya.
"Benar, agaknya akan turun hujan dan kita masih berada di dalam hutan. Apakah ada goa untuk berlindung di hutan ini?"
"Jangan khawatir ," kata Bin Hong Siansu, "di luar hutan ini terdapat sebuah hutan dan di situ ada seorang kenalanku. Dia adalah Siok Tek Tojin yang mengepalai sebuah kuil."
Mereka mempercepat larinya dan tak lama kemudian benar saja, setelah keluar dari hutan mereka tiba di sebuah dusun. Bin Hong Siansu membawa kawannya ke sebuah kuil yang cukup besar, disambut oleh seorang tosu bertubuh tinggi kurus dan bermata seperti mata burung. Bian Ti Hosiang yang berpemandangan awas, dapat menduga bahwa tosu yang menyambut mereka ini berhati kejam, akan tetapi karena tuan rumah adalah kawan dari Bin Hong Siansu dan menyambut mereka dengan ramah, dia pun tidak memperlihatkan kecurigaannya.
Dengan ramah Siok Tek Tojin menyambut dua orang tamunya, mengeluarkan hidangan dan bercakap-cakaplah mereka dengan asyiknya. Dari percakapan tuan rumah, Bian Ti Hosiang tahu pula bahwa tosu ini adalah seorang yang memuji-muji kaisar dan memuji-muji pula Kiam Ki Sianjin.
Malam hari itu, Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu menginap di kamar yang berlainan. Hal ini adalah atas kehendak tuan rumah yang ingin menghormati tamu-tamunya dan ingin menyediakan tempat yang enak bagi tamunya.
"Di sini ada banyak kamar, harap Ji-wi Beng-yu (dua sahabat) jangan sungkan-sungkan," katanya berkali-kali sambil tersenyum.
Menjelang tengah malam, ketika Bian Ti Hosiang masih duduk bersamadhi di atas tempat tidurnya, tiba-tiba dia mendengar suara dari arah jendela dan ketika dia membuka mata dan memandang, terkejutlah dia me1ihat asap bergulung-gulung masuk dari jendela itu! Ia melompat turun akan tetapi segera terguling karena tercium olehnya bau yang harum dan keras seka1i. Ia maklum bahwa asap itu adalah asap beracun yang dapat membius orang akan tetapi sebentar saja dia telah pingsan. Ketika dia sadar kembali, dia mendapatkan dirinya masih rebah di atas lantai dengan kedua tangan ke belakang dan ketika dia hendak mengerahkan lweekangnya, ternyata bahwa seluruh tubuhnya telah lemas, tanda bahwa jalan darahnya telah ditotok orang secara lihai sekali. Asap telah menghilang akan tetapi hwesio ini masih merasa pening. Dengan tubuhnya yang amat lemah karena jalan darahnya tidak lancar, dia bergulingan dan dengan susah payah dapat juga dia duduk dan menyandarkan punggungnya pada tiang pembaringan. Kemudian dia berseru,
"Penjahat manakah yang begitu curang menyerang orang tanpa memberi tahu lebih dulu?" Dari luar jendela terdengar suara orang ketawa mengejek,
"Kiu-bwe Coa-li, apakah kau sudah membereskan Siok Tek Tojin?" suara itu bertanya, dijawab oleh suara wanita yang kecil tinggi melengking.
"Sudah, hanya tosu dari Kim-san-pai itu yang masih harus kita bereskan. Bagaimana, Pak-lo-sian, apakah babi gemuk itu sudah dapat dibikin beres?"
"Ha, ha, ha, sudah heres, dia sudah tidak berdaya. Marilah kita bekuk Bin Hong Siansu " kata suara pertama yang besar dan parau.
Diam-diam Bian Ti Hosiang tertegun dan terheran. Benarkah pendengarannya? Benar-benarkah dua orang yang herada di luar jendela itu Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Kalau memang benar, mengapa dua orang tokoh besar yang luar biasa lihainya itu melakukan perbuatan sepcrti ini terhadap dia? Ia teringat akan sahabatnya yang menurut pembicaraan tadi belum tertawan, maka dia cepat berseru sambil mengerahkan lweekangnya,
"Bin Hong Toyu !! Hati-hatilah, ada dua orang jahat di tempat ini….. !"
Belum lama gema suaranya lenyap, pintu kamamya ditendang orang dan masuklah Bin Hong Siansu.
"Bian Ti Hosiang, ada terjadi apakah… ??" Tosu dari Kim-san-pai ini bertanya. Akan tetapi sebagai jawaban pertanyaan ini, tiba-tiba dari jendela menghembus asap tebal, asap hitam dan putih yang sebentar saja memenuhi kamar itu.
"Bin Hong Siansu, hati-hatilah terhadap asap beracun itu. Cepat-cepat kau pergilah!" teriak Bian Ti Hosiang. Mendengar ini Bin Hong Siansu kaget sekali dan cepat melompat keluar dari kamar. Akan tetapi baru saja sampai di pintu sudah penuh oleh asap hitam, dia roboh terkena pukulan yang amat dahsyat, tepat pada dadanya. Pemukul yang tidak kelihatan karena terhalang oleh asap hitam itu tentu memiliki kepandaian tinggi sekali karena pukulannya jatuh tanpa dapat ditangkis atau dielakkan lagi. Bin Hong Siansu terhuyung-huyung tanpa disadarinya mengisap asap itu dan roboh pingsan. Demikian pula Bian Ti Hosiang, biarpun sudah berusaha dengan merebahkan tubuhnya di atas lantai agar jangan kena mengisap asap itu, akhirnya dia pun pingsan karena tidak tahan pula dengan asap yang ternyata bisa mengapung rendah itu. Di dalam kamar yang penuh asap itu, berkelebat bayangan yang berbaju hitam. Ia menghampiri Bian Ti Hosiang, memukul pelipis hwesio ini perlahan kemudian dia melakukan hal yang sama kepada Bin Hong Siansu. Setelah melakukan hal ini, dia tertawa bergelak dan sekali berkelebat saja, dia telah menghilang keluar dari kamar itu, masuk di dalam gelap.
Akan tetapi belum lama dan belum jauh dia meninggalkan rumah itu, tiba-tiba berkelebat bayangan lain di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana telah berdiri menghadangnya. Pemuda itu menegurya.
"Siapakah Losuhu ini dan mengapa malam-malam berlari-larian seperti dikejar orang?" Pemuda itu bukan lain adalah Lu Kwan Cu yang kebetulan pada malam hari itu tiba di dusun ini sepulangnya dari Leng-san dan hendak mulai perjalanannya mencari musuh-musuh besar gurunya. Ia memandang dengan penuh perhatian dan melihat bahwa orang yang berlari dengan gerakan luar biasa cepatnya itu adalah seorang hwesio yang bertubuh tinggi kecil, bermuka menyeramkan dan berpakaian serba hitam, mengingatkan dia akan pakaian Hek-i Hui-mo!
Ketika hwesio ini menjawab, hati Kwan Cu berdebar. Suara hwesio ini demikian tinggi kecil seperti suara wanita!
"Bedebah perlu apa kau bertanya tanya? Minggirlah!" Dan tangan hwesio itu mencengkeram ke arah pundaknya. Inilah ilmu silat semacam Eng-jiauw-kang (Pukulan Kuku Garuda) yang lihai sekali! Kwan Cu tidak berani berlaku lambat karena ketika angin pukulan ini menyambar, dia. mencium bau yang amat amis, dan dia menduga dengan hati bergidik bahwa tangan hwesio ini tentulah mengandung racun berbahaya pula.
Dengan sigapnya Kwan Cu mengelak dan sebelum dia menegur, hwesio itu yang juga tercengang melihat betapa pemuda yang dikiranya pemuda dusun ini dapat mengelakkan diri dari pukulannya, cepat berlari pergi. Kwan Cu diam-diam mempergunakan kegesitannya dan sekali mengulur tangan dia telah berhasil menjambret baju hitam yang panjang itu sehingga sepotong kain hitam tertinggal di dalam tangannya.
Kwan Cu hendak mengejar, akan tetapi malam gelap sekali dan hwesio itu dapat berlari cepat. Ia tidak mengenal hwesio itu dan tidak tahu urusannya, tidak enaklah kalau dia terus mengejar maka dia lalu melompat ke arah kuil yang berada di dekat situ, dari mana hwesio yang aneh itu tadi melarikan diri. Robekan kain hitam dikantonginya dan dia melakukan ini tanpa disadarinya.
Dengan hati-hati Kwan Cu melakukan penyelidikan dan dia masih mencium bau harum yang menyesakkan dada ketika dia mendekati kuil itu. Cepat pemuda ini mengatur napas dan mengerahkan tenaga lweekang yang didapatinya ketika bersamadhi di atas Pulau Pek-hui-to untuk mengusir racun dan untuk "menyaring" napas yang memasuki paru-parunya, kemudian dia melakukan pengintaian. Dan dia melihat pemandangan yang amat aneh di dalam sebuah kamar di kuil itu.
Setelah Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu sadar dari pingsannya, mereka merasa betapa kepala mereka seperti akan pecah. Karena totokan yang membikin tubuh Bian Ti Hosiang lumpuh telah bebas dan ikatan tangannya juga telah dilepaskan orang, maka dia bisa mengerahkan lweekang dan alangkah terkejutnya ketika dia merasa kepalanya sakit sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tahulah dia bahwa dia telah menderita luka yang luar biasa hebatnya dan bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Demikian pula dengan Bin Hong Siansu!
Tiba-tiba masuklah Siok Tek Tojin, sebelah tangan kirinya lumpuh dan dia masuk terpincang-pincang.
"Aduh, Ji-wi Bengyu, celaka…. " katanya terengah-engah. "Hampir saja pinto sendiri tewas oleh dua orang siluman itu! Entah apa sebabnya Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai datang menyerbu dan menyebar kebinasaan!"
"Kau…. bertemu dengan mereka… ?" tanya Bian Ti Hosiang yang masih merasa ragu-ragu sambil menahan sakit.
"Tentu saja! Lihat, pundak kiriku ditotok dan sampai sekarang pinto masih belum dapat membebaskannya dan separuh tubuhku lumpuh. Pak-lo-sian yang melakukan ini sambil berkata bahwa dosa pinto tidak terlalu besar maka pinto diampuni. Kesalahan pinto hanya karena berani menerima Ji-wi sebagai tamu!"
"Apakah mereka bilang mengapa mereka menyerang kami?" tanya Bin Hong Siansu penasaran sambil memegangi kepalanya yang seperti mau pecah itu. Kemudian tiba-tiba dia muntahkan darah hitam dan jatuh pingsan pula!
Siok Tek Tojin menjadi bingung dan dengan tangan kanannya dia mencoba menyadarkan tosu dari Kim-san-pai. Akhimya dengan napas terengah-engah Bin Hong Siansu dapat sadar juga, akan tetapi sudah tidak kuat duduk lagi. Adapun Bian Ti Hosiang sambil meramkan mata bersandar pada tiang pembaringan, lalu berkata terengah-engah,
"Lekas ceritakan….. apa yang mereka katakan…. "
Dengan suara hampir menangis Siok Tek Tojin berkata,
"Kiu-bwe Coa-li yang berkata bahwa Ji-wi harus dibunuh karena Ji-wi mengadakan perhubungan dengan Kiam Ki Sianjin di istana."
Akan tetapi kedua orang pendeta itu sudah payah sekali. keadaan mereka sehingga sukar untuk mendengarkan dengan jelas. Hal ini diketahui pula oleh Siok Tek Tojin, maka pendeta ini cepat-cepat pergi mengambil kertas, pit dan tinta bak lalu berkata,
"Ji-wi, harap sudi menuliskan sedikit kata-kata keterangan tentang peristiwa pembunuhan ini agar pinto dapat membawanya ke Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tanpa ada penjelasan Ji-wi, pinto khawatir sekali kalau-kalau ada salah sangka terhadap diri pinto."
Kedua orang pendeta ini maklum akan maksud Siok Tek Tojin ini. Karena luka yang diderita oleh Bin Hong Siansu lebih hebat daripada Bian Ti Hosiang, maka hwesio Bu-tong-pai itulah yang menggerakkan tangan menerima pit itu dan dengan pelayanan Siok Tek Tojin, dia lalu menuliskan beberapa huruf di atas kertas dengan tangan gemetar.
"Teecu murid berdua diserang oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian."
Kemudian tulisan itu ditandatangani oleh Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Sian-su. Setelah menandatangani surat itu, keduanya lalu mengeluh dan roboh pingsan tidak pemah siuman kembali!
Adapun Kwan Cu yang mengintai dari luar, melihat dan mendengar semua ini. Dari jauh dia pun tahu bahwa dua orang pendeta yang terluka itu takkan tertolong lagi, karena sinar mukanya sudah suram, tidak ada cahaya lagi. Ia teringat akan hwesio tinggi kurus yang berpakaian hitam tadi, maka dia tidak menanti sampai Bian Ti Hosiang menuliskan keterangan, cepat dan tanpa terdengar oleh siapapun juga dia lalu meloncat keluar dan mengejar ke arah bayangan hitam yang telah melarikan diri. Pemuda ini merasa terheran-heran. Ia mengenal dua orang pendeta itu yang pernah dijumpainya di rumah Kiam Ki Sianjin. Memang mereka itu mencurigakan dengan kunjungan mereka di rumah Kiam Ki Sianjin, pembantu kaisar penjajah, akan tetapi mengapa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian membunuh mereka? Ia sudah mengenal watak dua orang tokoh besar itu, yang kebesaran namanya, berendeng dengan mendiang suhunya, yang termasuk dalam Lima Tokoh Besar di dunia kang-ouw, mengapa mereka melakukan pembunuhan secara curang? Mengapa pula mereka mempergunakan asap beracun?
Bagaikan kilat menyambar masuklah dugaan di dalam hati Kwan Cu bahwa agaknya ada orang yang hendak merusak nama baik Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo- sian dan kalau dugaannya benar, maka yang hendak merusak nama mereka itu bukan lain adalah hwesio berjubah hitam tadi! Ia harus dapat mengejar dan menyusulnya untuk mencari keterangan lebih jelas!
Akan tetapi dia telah tertinggal jauh. Selain malam gelap sekali, dia juga tidak tahu arah mana yang kemudian diambil oleh hwesio aneh itu. Sampai fajar menyingsing Kwan Cu mengejar cepat, namun sia-sia. Ia tidak melihat bayangan hwesio aneh itu dan dengan putus asa dia menghentikan pengejarannya.
Ketika dia mengenangkan kembali apa yang telah terjadi dan dilihatnya di dalam kuil tua itu, dia terkejut. Tosu yang menjadi tuan rumah itu berkata bahwa dia menjadi saksi dan telah bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian! Bahkan dia sendiri juga ditotok oleh Pak-lo-sian. Inilah aneh sekali! Benar-benarkah hal itu terjadi? Kalau tidak benar, ini hanya berarti bahwa tosu itu juga menjadi komplotan hwesio jubah hitam yang sengaja berpura-pura dan memperkuat usaha memburukkan nama dua orang tokoh besar itu!
Mendapat pikiran ini, Kwan Cu tidak mempedulikan bahwa tubuhnya sudah mulal lelah, bukan karena setengah malam mengejar-ngejar bayangan yang tidak tentu arahnya, akan tetapi karena dia kurang tidur. Ia berlari-lari lagi, kini lebih cepat, kembali ke kuil di mana dia menyaksikan peristiwa yang aneh itu.
Setelah tiba di kuil dan masuk ke dalam kamar yang pernah dilihatnya, dia hanya mendapatkan jenazah Bian Ti Ho-siang dan Bin Hong Siansu, sudah dingin dan dengan wajah membayangkan penasaran. Adapun tosu yang menjadi pengurus kuil tidak kelihatan mata hidungnya. Ia memasuki kamar-kamar lain, memanggil-manggil, namun tidak seorang pun menjawab. Ketika dia melakukan pemeriksaan, temyata bahwa semua pakaian tosu itu tidak ada di kamar, tanda bahwa tosu itu telah pergi membawa semua pakaiannya. Ini berarti bahwa tosu itu bukan sekedar pergi keluar di tempat dekat, tapi tentu akan melakukan perjalanan jauh. Tentu untuk menyampaikan warta pembunuhan ini ke Bu-tong-pai dan Kim-san-pai!
Kwan Cu menghadapi urusannya sendiri yang dianggap lebih penting daripada urusan ini. Urusan ini hanya merupakan teka-teki yang membingungkannya dan tidak ada sangkut-pautnya dengan dia. Maka dia lalu mengurus dua jenazah itu, mengubur mereka dengan baik-baik di halaman kuil, kemudian dia melanjutkan perjalanannya sambil mengenangkan tugas-tugasnya yang amat berat yang masih harus dilaksanakannya.
Pertama-tama dia harus mencari musuh besar kong-kongnya yang hanya tinggal seorang lagi saja, yakni An Kai Seng, keturunan An Lu Shan yang masih belum dia ketahui di mana tempat tinggalnya. Adapun musuh besar gurunya adalah Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo, dan Toat-beng Hui-houw, tiga orang tokoh besar yang tidak boleh dipandang ringan dan yang masih selalu meragukan hatinya apakah dia akan mampu menghadapi dan mengalahkan mereka. Di antara tiga orang tokoh besar ini, dia merasa paling benci kepada Toat-beng Hui-houw. Tidak saja kakek yang seperti siluman ini mengeroyok dan ikut membunuh Ang-bin Sin-kai, akan tetapi juga dia mendengar akan kejahatan kakek ini dan terutama sekali karena dia masih ingat betapa Pek-cilan Thio Loan Eng, wanita gagah yang dia kasih sayangi seperti kepada ibu sendiri, telah menjadi korban keganasan kakek itu. Ia harus membalas dendam dan membunuh Toat-beng Hui-houw, tidak saja untuk membalaskan kematian suhunya, akan tetapi juga untuk membalaskan dendam Pek-cilan Thio Loan Eng.
Teringat akan Pek-cilan Thio Loan Eng, terbayanglah wajah Sui Ceng di depan matanya dan Kwan Cu menghela napas. Otomatis kedua kakinya mogok berjalan dan dia menjatuhkan diri di bawah pohon, beristirahat dan melanjutkan lamunannya tentang Sui Ceng. Selain mencari musuh-musuh besar gurunya, kong-kongnya dan Pek-cilan Thio Loan Eng, juga dia masih menghadapi urusan ini yang baginya tidak kalah pentingnya. Ia harus mencegah berlangsungnya perjodohan antara Kun Beng dan Sui Ceng. Ia harus melakukan ini demi kebaikan Sui-Ceng, demi kebaikan Kui Lan yang disia-siakan oleh Kun Beng dan demi kebaikan….. dirinya sendiri.
"Aku cinta kepadanya….. ah, gila benar, aku cinta mati-matian kepada Bun Sui Ceng !" Kwan Cu menggaruk-garuk kepalanya. Dahulu tidak mempunyai perasaan seperti ini, akan tetapi semenjak dia bersumpah di depan gadis raksasa secara main-main untuk menghindarkan desakan gadis itu, bahwa dia sudah mempunyai seorang gadis pujaan, yakni yang bernama Bun Sui Ceng, semenjak itu entah mengapa dia selalu terkenang kepada Sui Ceng. selalu terbayang gadis cilik yang lincah, jenaka dan manis itu. sekarang, setelah dia bertemu muka dengan Sui Ceng yang sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, hatinya jatuh betul-betul. Akan tetapi helaan napasnya makin berat ketika dia teringat bahwa gadis itu bagaimanapun juga sudah bertunangan dengan Kun Beng pertunangan yang sah karena disahkan oleh mendiang Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng dan Pak-lo-sian Siang-koan Hai guru dari Kun Beng! Menghalangi perjodohan itu berarti dia akan berhadapan dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan mungkin juga dengan Kiu-bwe Coa-li yang tentu akan melindungi nama baik muridnya!
"Beraaaaat …." pikir pemuda ini sambil menarik napas panjang dengan wajah berduka, "mengapa begitu memasuki dunia ramai aku harus berhadapan dengan tokoh-tokoh besar yang dahulu pun sudah membikin susah padaku ketika aku masih kecil?" Lamunannya makin menjauh, kenangannya membawanya kepada masa kecilnya dan ketika dia teringat betapa Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio mengurungnya, mendesaknya dan memaksanya serta menghinanya, Kwan Cu tersenyum gembira dan matanya bersinar-sinar.
"Biarlah, biar aku mencoba kepandaian mereka semua itu, hitung-hitung untuk menagih hutang mereka dahulu ketika aku masih kecil. Hitung-hitung aku mengangkat nama suhu Ang-bin Sin-kai yang patut disebut jago nomor satu di antara Lima Tokoh Besar dunia kang-ouw!"
Dengan adanya pikiran ini, Kwan Cu menjadi gembira kembali dan dia lalu melanjutkan perjalanannya, mencari keterangan tentang An Kai Seng, musuh besar gurunya atau keturunan terakhir An Lu Shan, pemberontak yang sudah banyak menghancurkan kehidupan rakyat jelata itu.
***
Kota Jeng-tauw terletak di pesisir laut timur. Kota ini adalah sebuah kota besar di Propinsi Shan-tung, juga amat ramai karena selain kotanya besar dan penduduknya banyak, letaknya di pinggir laut maka merupakan pusat perdagangan. Kapal-kapal besar keluar masuk ke dalam pelabuhan dan banyak pedagang besar mendapat penghasilan baik sekali. Oleh karena itu, makin lama kota ini menjadi makin ramai dan banyaklah dibuka orang hotel-hotel dan restoran-restoran besar. Toko-toko penuh dengan barang-barang dari lain daerah dan selalu dikunjungi banyak orang.
Di antara sekian banyaknya orang hartawan yang tinggal di kota Jeng-tauw, kiranya yang paling terkenal adalah Tan-wangwe (hartawan Tan) atau yang nama lengkapnya Tan Kai Seng. Ia tidak saja terkenal karena memang amat kaya, memiliki banyak gedung-gedung besar dan memiliki pula rumah-rumah penginapan dan perahu-perahu yang disewakannya untuk mengangkut barang dari perahu-perahu besar yang berlabuh jauh dari pelabuhan, juga dia terkenal sekali karena hartawan Tan ini memiliki kepandaian ilmu silat yang kabamya amat tinggi. Sudah tentu saja sebagai seorang hartawan dia tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya itu, akan tetapi semua orang kang-ouw yang datang di kota itu tentu mendengar dan menyaksikannya sendiri. Di samping ini semua, hartawan Tan yang masih muda itu menjadi lebih terkenal karena dia telah menikah dengan seorang wanita yang telah lama menjadi sebutan orang sebagai bunga kota Jeng-tauw.
Wi Wi Toanio, demikian nama wanita ini, adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun ketika dikawin oleh Tan wangwe, seorang gadis yang memiliki kecantikan luar biasa dan banyak orang membandingkannya dengan Permaisuri Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita, kekasih daripada Kaisar Kerajaan Tang yang telah roboh oleh An Lu Shan. Selain memiliki kecantikan luar biasa, juga Wi Wi Toanio tidak seperti gadis Han umumnya, yakni malu-malu dan tidak berani memperlihatkan wajah di depan umum. Sebaliknya, Wi Wi Toanio yang mempelajari ilmu silat tinggi dan berkepandaian lihai berkat latihan dari seorang nikouw (paderi wanita) dari Thian-san, sering kali keluar dari rumah menunggang kuda berbulu merah. Semenjak belum menikah, dia sudah mempunyai lagak yang amat genit, akan tetapi karena yang berlagak genit ini seorang gadis cantik jelita yang berkepandaian tinggi pula, maka dalam pandangan orang-orang lelaki ia bahkan kelihatan makin cantik dan menarik!
Orang-orang pada tahu bahwa Wi Wi Toanio masih berdarah Tartar, karena ibunya adalah seorang Tartar bangsawan, akan tetapi tak seorang pun berani membicarakan hal ini. Yang sama sekali tidak diduga orang adalah Tan-wangwe sendiri. Dia ini sebenamya adalah An Kai Seng, cucu dalam dari An Lu Shan sendiri, akan tetapi tidak ada orang yang mengetahuinya dan mereka menerimanya sebagai seorang Han yang kaya raya.
Memang An Kai Seng orangnya cerdik sekali. Biarpun dia keturunan An Lu Shan pemah menjadi kaisar, boleh dibilang dia keturunan bangsawan tinggi. Akan tetapi An Kai Seng tahu bahwa kedudukan keluarga kakeknya itu berbahaya sekali. Oleh karena itu setelah dia berada di istana, diam-diam dia mengumpulkan harta-harta rampasan dari rakyat dan bekas pemerintah Tang, kemudian dia keluar dari istana, menyatakan kepada semua keluarganya bahwa dia lebih suka menjadi pedagang! Padahal bukan begitu keadaannya. Ia keluar dari istana membawa harta benda yang besar sekali untuk mencari kebebasan, agar dia jangan terlibat oleh urusan pemerintahan yang tidak menarik hatinya.
Setelah hidup di luar keluarga kaisar, An Kai Seng lalu mengumbar hawa nafsunya. Ia seorang pemuda, tampan, memegang uang banyak sekali, tentu saja dia seperti kuda tanpa kendali. Di samping berfoya-foya, dia pun memperdalam kepandaiannya di dalam ilmu silat, belajar dari guru-guru silat yang ternama. Kemudian dia mendengar berita tentang kekacauan di istana, tentang pembunuhan terhadap An Lu Shan oleh puteranya sendiri, kemudian tentang pembunuhan yang dilakukan oleh Si Su Beng terhadap putera mahkota. Diam-diam An Kai Seng memuji diri sendiri yang sudah lari dari istana dan mulailah dia berhati-hati menjaga harta bendanya. Mulailah dia berdagang dan mendapatkan untung besar sekali karena dia memang semenjak kecil mempelajari ilmu surat sehingga terhitung seorang bun-bu-coan-jai (pandai ilmu silat dan surat).
Alangkah kaget dan takutnya ketika dia mendengar berita tentang terbunuhnya An Lu Kui dan An Kong, dan mendengar pula bahwa ada seorang musuh besar keluarga An hendak membasmi semua keturunan dan keluarga An Lu Shan!
An Kai Seng ketakutan hebat. Ia cepat-cepat pindah dari kota yang dekat dengan kota raja, mengangkut semua barang dan harta bendanya, dan pindah ke Jeng-tauw dengan nama sudah diganti, yakni Tan Kai Seng. Karena dia memang pandai sekali bicara Han dan mukanya juga tampan seperti muka orang Han biasa, dia diterima oleh masyarakat di Jeng-tauw sebagai hartawan Tan Kai Seng yang masih muda dan masih bujang. Maka tenanglah hatinya, apalagi setelah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio dan berhasil mengawininya, Kai Seng merasa hidupnya bahagia dan aman. Siapakah yang tahu bahwa dia adalah keturunan An Lu Shan? Dan andaikata ada orang yang tahu, apa yang ditakutinya? Ia hartawan, berkuasa dan mempunyai banyak kawan ahli-ahli silat, bahkan boleh dibilang dengan secara diam-diam, semua buaya darat di kota itu adalah kaki tangannya! Semua pembesar di kota itu menjadi pelindungnya, dan selain dia sendiri telah memiliki ilmu silat tinggi, juga isterinya terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat! Siapa dapat mengganggunya? Iblis sendiri pun akan gentar untuk mengganggunya!
Akan tetapi kekhawatiran hatinya membuat dia tidak tinggal diam. Ia menyebar kaki tangannya untuk menyelidiki tentang pembunuh An Lu Kui dan An Kong dan mendapat keterangan bahwa pembunuh mereka itu adalah seorang pemuda murid Ang-bin Sin-kai yang amat lihai, bernama Lu Kwan Cu. Juga untuk menjaga keamanannya, selain dia dan isterinya memperdalam ilmu silat mereka dari guru-guru pandai, dia pun membeli dua batang pedang yang bagus dengan harga mahal sekali. Setiap hari dia dan isterinya tidak pernah berpisah dari pedang ini. Selain itu, dia pun memelihara guru-guru silat yang berpakaian sebagai pelayan, yang jumlahnya ada tujuh orang dan mereka ini menjadi pengawal pribadinya!
Berkat kekuasaan uangnya yang mampu membayar setiap mata-mata dan penyelidik, An Kai Seng dapat mengumpulkan keterangan tentang Lu Kwan Cu sehingga biarpun dia belum pernah bertemu muka dengan musuh besar ini, dia dapat menggambarkan keadaan pemuda itu, dari bentuk badannya, pakaiannya dan wajahnya. Sekali saja bertemu, tentu dia akan mengenal pemuda yang mengancam keluarga An itu.
Dalam hal ilmu silat, Kai Seng memang sudah memiliki tingkat yang cukup tinggi, bahkan sebelum dia meninggalkan istana, dia sudah menerima warisan ilmu pedang yang cukup lihai dari Coa-tok Lo-ong (Raja Racun Ular) yang baru saja datang dari Tibet. Coa-tok Lo-ong adalah sute (adik seperguruan) dari Hek-i Hui-mo, maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Ilmu pedang yang dipelajarinya itu adalah ilmu Pedang Pat-coa Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Ular). Selain ilmu pedang dari Coa-tok Lo-ong ini, Kai Seng masih mempelajari banyak ilmu silat dari guru silatnya yang pandai, di antaranya dia mempelajari pula ilmu gulat dari Mongol. Akan tetapi, setelah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio, dia mendapatkan orang yang melebihinya dalam segala-gala, kecuali dalam kekayaan. Tidak saja kecantikan dan kegenitan gadis ini merampas semangat dan hatinya, juga ilmu silat Wi Wi Toanio temyata masih mengatasi kepandaiannya! Sebagai murid dari Thian-san-pai, Wi Wi Toanio telah mempelajari Ilmu Silat Thian-san Kiam-hoat sampai hampir sempurna sehingga ketika secara main-main suami isteri ini mengadu ilmu pedang, Pat-coa Kiam-hoat masih tidak dapat menandingi Thian-san Kiam-hoat! Tentu saja Kai Seng menjadi girang sekali karena selain sebagai seorang isteri yang amat cantik dan tercinta, juga dalam diri isterinya dia mendapatkan seorang pembantu dan pelindung yang boleh diandalkan.
Biarpun tujuh orang pengawal pribadinya terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi, namun tingkat mereka itu masih belum dapat menandingi tingkat kepandaian Kai Seng sendiri, apalagi kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu pedang Wi Wi Toanio. Karena itu, tujuh orang pengawal ini amat tunduk dan menghormati majikannya, tidak hanya karena majikannya lebih pandai, terutama sekali karena Kai Seng amat royal terhadap para pengawalnya ini.
Pada suatu hari, ketika Kai Seng sedang bercakap-cakap dengan isterinya di ruang dalam sambil menikmati kue-kue yang mereka beli dari seorang pedagang dari selatan, tiba-tiba seorang pelayannya datang menghadap dan melaporkan dengan muka pucat.
"Siauw-ya (Tuan Muda), menurut para pembantu di rumah penginapan, di kota ini kedatangan seorang pemuda yang mencari keterangan tentang Siauw-ya!"
An Kai Seng dan isterinya saling pandang dan seketika itu juga kue yang tadinya amat enak itu seakan-akan berubah pahit.
"Selidiki apa kehendaknya dan coba panggil tujuh kauwsu (guru silat) ke sini!" Pelayan itu keluar kembali dan cepat menjalankan perintah itu. Sebelum keluar untuk melakukan tugasnya, lebih dulu dia mencari tujuh orang pengawal pribadi dari majikannya dan memanggil mereka.
"Cu-wi Kauwsu dipanggil oleh Siauw-ya."
Tujuh orang pengawal yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi bajunya digulung dan amat ringkas, lebih mirip pakaian guru silat itu, segera masuk ke dalam, di mana Kai Seng dan Wi Wi Toanio telah menanti. Segera mereka mengadakan perundingan yang sungguh-sungguh.
Tak lama kemudian, pelayan yang tadi keluar datang lagi dengan wajah bangga, karena dia telah mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang pemuda yang mencari-cari majikannya itu.
"Siauw-ya, ternyata dia adalah pemuda biasa saja. Hamba melihatnya sendiri dan dia bukanlah orang yang perlu dikhawatirkan. Namanya adalah Lu Kwan Cu, demikian dia tuliskan di buku hotel."
"Cukup, keluar kau!" bentak Kai Seng dan pelayan itu keluar dengan mengomel panjang pendek. Ia mengharapkan hadiah, akan tetapi ternyata majikannya kelihatan terkejut dan bahkan kelihatan pucat, mendengar omongannya tadi.
Memang, mendengar bahwa nama pemuda yang dicurigainya itu adalah Lu Kwan Cu, pemuda yang telah membunuh An Lu Kui dan An Kong, yang dikabarkan berkepandaian tinggi sekali, bukan main kagetnya hati Kai Seng. Akan tetapi dia menjadi lega kembali setelah isterinya menghibumya.
"Mengapa kau gelisah? Belum tentu kalau kabar tentang pemuda itu benar. Betapapun lihainya, kita takut apakah? Aku sendiri sanggup memenggal lehernya dengan pedangku. Mustahil dia akan dapat menangkan kita. Apalagi, kita sudah mengatur siasat sehingga andaikata dia memang lihai sekali, dia tidak akan dapat mencari kita."
Malam hari itu Kai Seng tak dapat tidur dan nampak gelisah sekali, sehingga Wi Wi Toanio menjebikan bibirnya yang merah dan mencelanya sebagai seorang penakut.
"Orang macam apakah adanya Lu Kwan Cu sehingga kau begitu takut? Kalau kau tidak berkeras melarang, aku ingin pergi ke hotel itu dan mengusirnya dengan pedangku," kata isteri yang cantik jelita dan genit akan tetapi berani itu.
"Jangan, isteriku, jangan berlaku sembrono. Menurut kabar dari istana dari orang-orang yang mengetahui, kakek luarku An Lu Kui dan pamanku An Kong yang sudah terkenal lihai sebagai murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu masih dapat terbunuh olehnya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia lihai sekali." ,
"Hemmm, aku belum menyaksikan seberapa lihainya kong-kong dan pamanmu itu. Akan tetapi aku masih percaya kepada pedangku dan aku tidak takut andaikata pemuda yang bemama Lu Kwan Cu itu berkepala tiga dan bertangan delapan!"
Kai Seng tidak berani membantah karena dia takut kalau-kalau isterinya marah. Memang, suami ini kalah oleh isterinya, kalah tinggi kepandaiannya dan juga kalah pengaruh. Namun sampai hampir pagi barulah dia dapat tidur. Berbeda dengan isterinya yang sore-sore sudah tidur dengan nyenyaknya.
Akan tetapi pada keesokan harinya, Kai Seng harus bangun lagi ketika pintu kamamya digedor pelayan dari luar.
“Siauw-ya…. lekas bangun….!”
Wi Wi Toanio dan Kai Seng melompat dari tempat tidur dan Kai Seng segera membuka pintu.
"Ada apa?" tanyanya dengan muka pucat, karena memang hatinya selalu merasa tidak enak.
Yang menggedor pintu adalah pelayan yang kemarin memberi laporan padanya. Pelayan itu kelihatan gugup ketika mewartakan.
"Pemuda Lu Kwan Cu itu benar-benar berani mati datang ke sini, sekarang sedang dihadapi oleh tujuh kauwsu."
Muka hartawan muda itu makin pucat. "Lekas kauberitahukan kepada semua pelayan agar supaya apabila ditanya menyatakan bahwa aku dan Toanio tidak ada di rumah. Awas, jangan ada yang membocorkan hal ini. Kemudian kau cepat-cepat mengundang semua sahabatku yang pandai ilmu silat, minta bantuan mereka dan katakan bahwa di rumahku kedatangan seorang penjahat yang mengacau."
"Baik, Siauwya!" kata pelayan itu yang cepat berlari pergi, dan di dalam hatinya kembali pelayan ini mengomel panjang pendek. "Kedatangan seorang seperti pemuda yang lemah itu saja sudah ribut bukan main seperti kedatangan setan!"
"Wi Wi, lekas kautukar pakaian pelayan, lepaskan semua perhiasanmu itu!" kata Kai Seng yang cepat-cepat menanggalkan pakaian dan memakai pakaian pelayan yang memang sudah disediakan sejak kemarin. Saking gugupnya, dia sampai terbalik memakai celana dan baju, sehingga dalam terburu-buru ingin cepat itu, dia bahkan makin lambat mengenakan pakaian samarannya itu. Inilah hasil perundingannya dengan tujuh orang pengawalnya kemarin. Dalam perundingan itu diambil keputusan bahwa kalau Lu Kwan Cu benar-benar datang menyerang Kai Seng dan Wi Wi Toanio akan menyamar sebagai pelayan dan kemudian melihat perkembangan selanjutnya.
Dengan senyum sindir berkembang di bibirnya yang manis, Wi Wi Toanio memandang kelakuan suaminya itu. Yang dipandang melirik dan merahlah wajahnya karena memang dari kegugupannya mengenakan pakaian ini saja sudah merupakan pengakuan dirinya bahwa dia benar-benar merasa bingung, takut, dan gugup.
"Eh, kau senyum-senyum saja, tidak lekas-lekas mengganti pakaian?" katanya menegur untuk menutupi rasa malunya.
Wi Wi Toanio mainkan bibirnya. "Mengapa aku harus berganti pakaian sebagai pelayan? Aku bukan pelawak yang hanya membikin para pelayan kalau melihatku pada tertawa geli. Tidak, aku akan menghadapi musuh besarmu itu dengan pakaian ini."
Kai Seng menggeleng-geleng kepalanya. "Wi Wi, Jangan berlaku sembrono, lebih baik kita berhati-hati, siapa tahu Lu Kwan Cu itu benar-benar amat lihai!"
"Biarpun dia lihai, akan tetapi bukankah yang dia cari adalah engkau? Padaku dia tidak kenal dan tidak mempunyai urusan sesuatu, mengapa aku takut-takut menghadapinya? Dia tidak akan mengapa-apakan aku."
"Bukankah kau isteriku?" Kai Seng berkata jengkel.
Wi Wi Toanio tersenyum dan berkata menghibur, "Siapa bilang aku bukan isterimu? Akan tetapi mustahil kalau Lu Kwan Cu mengerti bahwa aku isterimu!"
Kai Seng merasa kalah dan tidak berani mendesak. Lagi pula apa yang diucapkan oleh isterinya itu memang tidak salah. Yang dicari oleh Lu Kwan Cu hanya dia, keturunan An Lu Shan. Isterinya tentu takkan diganggu oleh musuh besar itu.
"Kalau begitu, marilah kita keluar, lihat apakah para kauwsu dapat mengusimya." Kai Seng tidak lupa membawa pedangnya, sedangkan Wi Wi Toanio masih berlaku ayal-ayalan.
“Kau keluarlah dulu, aku tidak mau keluar sebelum berhias dan tukar pakaian. Masa baru saja bangun tidur, belum cuci muka belum apa-apa sudah disuruh keluar bertemu orang?”
Kai Seng makin mendongkol. Baginya sehabis bangun tidur, isterinya bahkan makin cantik saja. Akan tetapi dia tidak berani membantah karena memang bagi seorang wanita, sukarlah untuk di suruh keluar dari kamar sehabis bangun tidur sebelum berhias dan mengganti pakaian.
“Jangan terlalu lama!” katanya dan dia bergegas keluar.
Ketika Kai Seng tiba di luar, dia melihat tujuh orang jagonya itu sedang menghadapi seorang pemuda dan melihat pemuda ini, timbullah ketabahannya. Tidak disangkanya bahwa laporan pelayannya kemarin itu benar belaka. Pemuda ini berpakaian buruk dan miskin seklai, tubuhnya tidak begitu besar dan nampaknya lemah. Namun dia tidak berani berlaku sembrono dan hanya berdiri dan mendengarkan dari jauh.
“Sudah kukatakan berkali-kali, orang muda, bahwa majikan kami bukan orang yang kaucari itu. Dia benar bernama Kai Seng, akan tetapi nama keturunannya adalah Tan, bukan An,” kata kauwsu tertua yang masih mencoba untuk mengusir pemuda itu dengan alasan.
“Siapapun juga yang kau cari, bagaimana kau berani berlaku kurang ajar dan berani mati mencari keributan di rumah Tan-wangwe?” bentak seorang kauwsu termuda yang kasar karena dia merasa berani dan marah melihat pemuda yang dipandangnya ringan ini.
Pemuda itu yang bukan lain adalah Kwan Cu, tertawa mengejek. Ia telah menemukan jejak musuh besarnya dan dia bukanlah seorang pemuda yang suka bertindak sembrono. Telah dicarinya keterangan yang jelas tentang An Kai Seng dan biarpun dia mendengar bahwa hartawan bernama Kai Seng di kota ini seorang ber-he Tan. Namun dia masih tetap curiga dan menduga bahwa dia tentulah An Kai Seng yang mengubah namanya. Apalagi dia telah mendapat keterangan tentang wajah dan keadaan musuh besarnya itu, dan ketika dia mempergunakan waktu sehari semalam di kota Jeng-tauw untuk menyelidik, dia mendengar bahwa wajah, dan bentuk badan hartawan Tan Kai Seng ini sesuai benar dengan keterangan yang dia dapat tentang musuh besarnya, yakni An Kai Seng. Memang dia berlaku sangat teliti dan tidak buru-buru turun tangan, hendak mencari kepastian lebih dulu.
“Aku tidak peduli apakah majikanmu itu she Tan, she An atau she Boan, akan tetapi aku hendak bertemu dengan majikanmu yang bernama Tan Kai Seng itu!” jawab Lu Kwan Cu atas pertanyaan para kauwsu yang berpakaian sebagai pelayan-pelayan itu.
“Hm, kau berkeras kepala hendak bertemu dengan majikan kami, padahal kami sudah berkali-kali memberi tahu padamu bahwa majikan kami sedang ke luar kota!” kata kauwsu tertua.
“Aku tidak percaya! Lekas panggil dia keluar, kalau tidak terpaksa aku akan mencarinya sendiri di dalam rumah ini.”
Kauwsu termuda marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.
“Kau ini bocah ingusan yang tidak tahu diri! Kau hendak mencari majikan kami dan hendak memasuki rumah secara paksa, apakah kehendakmu? Apakah kau hendak merampok?’
Kwan Cu tersenyum sindir dan masih berlaku sabar dan tenang.
“Kalian hendak mengetahui apakah kehendakku? Dengarlah baik-baik. Kalau majikanmu itu benar-benar Kai Seng yang kucari-cari, memang benar aku hendak merampok. Akan tetapi bukan harta benda yang hendak kurampok, melainkan kepalanya!”
“Bangsat rendah, kau terlalu sombong!” seru kauwsu termuda dan karena dia memandang rendah secepat kilat dia mengirim serangan dengan pukulan tangan kanannya.
“Bagus, seorang pelayan memiliki kepandaian silat yang lumayan juga!” sindir Kwan Cu yang cepat mengelak ke kiri dan sekali dia menggerakkan kaki, dia telah menendang pantat kauwsu termuda itu sehingga tubuh kauwsu yang tinggi besar itu terlempar dua tombak lebih lalu jatuh mengeluarkan suara keras. Debu mengebul dan makin banyak lagi debu mengebul ketika dengan meringis kesakitan, kauwsu itu bangun berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, bukan hanya utuk menghilangkan debu dari celananya, akan tetapi juga untuk memijit-mijit tulang belakang yang terasa sakit sekali!
Melihat betapa segebrakan saja kauwsu itu dapat dilemparkan dengan mudah oleh pemuda ini, semua kauwsu mengerti bahwa lawan ini benar-benar berkepandaian tinggi. Serentak terdengar suara senjata dicabut dari sareungnya dan gemerlapanlah golok dan pedang yang berada di tangan tujuh orang kauwsu itu.
“Hm, hm, hm, bagus sekali. Para pelayan di sini tidak memegang sapu dan kee-mo-cing (kebutan bulu ayam), melainkan memegang golok dan pedang!” kata Kwan Cu menyindir lagi. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membuka mulut lebih banyak lagi karena dengan gerakan berbareng, tujuh orangkauwsu itu sudah menubruknya dan menghujankan senjata mereka di tubuh Kwan Cu.
Melihat gerakan mereka, makin curigalah hati Kwan Cu. Sambil mempergunakan ghinkangnya mengelak, meloncat, dan kadang-kadang mempergunakan tangan kaki untuk menangkis serangan, dia berkata lagi.
“Aha, tidak saja pelayan-pelayan bergolok berpedang, bahkan ilmu silat kalian sudah tinggi. Benar-benar hartawan majikanmu itu aneh sekali, seperti bangsawan-bangsawan di kota raja saja yang memelihara tukang-tukang pukul untuk melindungi dirinya!”
Para kauwsu itu terkejut melihat betapa pemuda itu berkelebat ke sana ke mari seperti burung saja gesitnya. Mereka mendesak makin rapat dan mainkan senjata mereka main gencar. Adapun Kai Seng yang melihat dari jauh, menjadikecil hatinya karena pemuda itu benar-benar gesit sekali. Akan tetapi dia masih mengharapkan salah seorang di antara para kauwsunya akan berhasil melukai pemuda itu.
Namun sebentar saja harapannya ini lenyap dan diterbangkan angin kenyataan. Pada saat semua senjata merangsangnya, Kwan Cu melompat tinggi melalui kepala para pengeroyoknya ke kiri, kira-kira setombak jauhnya dari mereka. Kauwsu itu cepat membalikkan tubuh dan mengejarnya. Kauwsu termuda yang berdiri paling dekat, cepat menubruk dan menggunakan gerak tipu Sian-jit-tit-lou (Dewa Menunjuk Jalan) menusuk ke arah dada Kwan Cu. Gerakan ini cepat dan kuat sekali. Alangkah girangnya hati kauwsu muda ini ketika dia melihat pedangnya amblas kedalam dada Kwan Cu sampai dekat gagangnya! Akan tetapi sebentar saja dia membelalakkan matanya penuh keheranan karena dada itu tidak mengucurkan darah, bahkan pemuda itu tersenyum-senyum mengejek. Ketika dia melihat dengan jelas, tahulah dia bahwa pedangnya amblas antara dada dan lengan, tegasnya pedang itu dikempit dengan lengan oleh lawannya. Ia tadi tidak melihat hal ini dan mengira bahwa tusukannya berhasil karena pemuda itu tidak mengelak sama sekali dan gerakannya ketika mengempit pedang itu begitu cepat sehingga tidak kelihatan olehnya!
Kai Seng yang berdiri dan melihat dari jauh, karena dia memiliki kepandaian lebih tinggi daripada kauwsu muda itu, dapat melihat akan hal ini dan siang-siang dia sudah terkejut sekali. Itulah gerakan yang banyak persamaannya dengan gerak tipu Khai-ciang-kiap-kiam (Membuka Tangan Mengempit Pedang), sebuah gerakan yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang karena selain gerakan ini amat berbahaya sehingga salah sedikit saja dada dapat tertembus pedang, juga gerakan ini memerlukan ketajaman mata dan tenaga lweekang yang sudah sempurna!
Kauwsu muda itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut pedangnya yang terjepit oleh lengan Kwan Cu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Kwan Cu tersenyum-senyum dan tidak segaris pun urat mukanya memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaganya. Ketika melihat para pengeroyok lain sudah mengejar dan menggerakkan senjata, Kwan Cu tiba-tiba melepaskan kempitannya dan membarengi mengayun tangan menjamah dagu kauwsu muda itu.
“Aduuuh….. awaaaaaaas, jangan tusuk aku!” Kauwsu muda itu tubuhnya terlempar ke arah para kawannya sendiri. Para kauwsu lainnya terkejut sekali dan cepat mereka menurunkan senjata agar jangan sampai menusuk kawan sendiri yang melayang ke arah mereka. Dengan cepat mereka melompat ke kanan kiri dan kasihan sekali, kauwsu muda itu tidak jadi menubruk kawan-kawannya dan….. “ngek!” Ia terbanting ke atas tanah, untuk kedua kalinya pantatnya beradu dengan tanah. Akan tetapi kali ini amat kerasnya sehingga pecahlah kulit pantatnya, menimbulkan rasa sakit dan perih. Akan tetapi kauwsu ini kebingungan karena dia tidak dapat memilih mana yang kurang sakitnya, dagu atau pantatnya. Dagunya yang tadi dijamah oleh lawannya terasa sakit bukan main sehingga dia merasa seakan-akan dagunya itu kini menjadi tebal seperti baru saja di sengat oleh dua puluh lima tawon berbisa! Karena kedua-duanya sakit sekali, tangan kanannya mengaruk-garuk dagu, tangan kirinya memencet-mencet pantat, lakunya seperti seekor kera kepanasan!
Enam orang kauwsu yang lain menubruk dan marah sekali melihat seorang kawan mereka dirobohkan. Akan tetapi Kwan Cu sudah siap sedia dan pemuda ini tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia memang tidak ingin membunuh secara serampangan saja. Yang dicarinya adalah An Kai Seng seorang, orang-orang lain tidak masuk hitungan pembalasan dendamnya. Apalagi para pelayan ini dianggapnya tidak bersalah apa-apa, hanya menurut perintah majikan seperti boneka-boneka yang harus dikasihani karena tidak punya kebebasan. Melihat datangnya enam orang itu, cepat-cepat Kwan Cu mainkan Ilmu Silat Kong-ciak-sin-na, kedua tangan dan kakinya bergerak aneh dan cepat sekali seperti sepak terjang seekor merak sakti sedang marah. Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil merampas semua senjata dan tidak lupa pada saat merampas senjata, dia mengirim totokan, tendangan atau pukulan siku yang membuat enam orang kauwsu itu terlempar ke kanan kiri, terbanting dan roboh seprti keadaan kauwsu termuda. Tujuh orang kauwsu itu hanya dapat mengaduh-aduh bahkan ada yang tidak dapat mengeluarkan suara sama sekali, yakni mereka yang terkena totokan siku di bagian ulu hati sehingga sesak napas.
Kwan Cu melemparkan semua senjata yang dirampasnya dan cepat melompat ke arah ruangan depan untuk melakukan pemeriksaan dan hendak mencari orang yang menjadi majikan para pengeroyok tadi. Akan tetapi, sebelum melewati pintu ruangan depan, tiba-tiba dia mendengar sambaran angin dan cepat-cepat dia mengelak sambil mengerahkan tenaga, mengulur tangan kanan, mempergunakan sebuah gerak tipu dari Kong-ciak-sin-na untuk merampas pedang yang ditusukkan kepadanya dengan cepat itu.
Akan tetapi dia terkejut melihat pedang itu cepat sekali ditarik kembali dan tidak dapat dirampasnya, bahkan pedang itu kini menyerangnya lagi dengan bacokan ke arah paha!
Kwan Cu melompat mundur memandang. Penyerangnya adalah seorang pelayan pula yang masih muda dan yang memegang sebuah pedang yang berkilauan cahayanya. Ia tercengang dan diam-diam memuji bahwa hartawan yang bernama Kai Seng itu benar-benar amat hati-hati dan mempunyai banyak jago-jago yang tidak boleh dipandang ringan.
“Ahhh….. masih ada lagi kaki tangan jahanam she An yang begini lihai?” Kwan Cu berseru.
“Majikan kami she Tan, bukan she An. Kau orang kurang ajar lebih baik lekas minggat kalau tidak ingin mampus!” bentak pelayan itu yang sebenarnya bukan lain adalah An Kai Seng sendiri!
Sedikitpun Kwan Cu tidak menduga bahwa pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya ini, adalah An Kai Seng, orang yang dicari-carinya. Kalau saja sebelumnya dia tidak dikeroyok olehkauwsu-kauwsu yang berkepandaian tinggi dan juga berpakaian sebagai pelayan, tentu dia akan bercuriga terhadap pelayan muda itu. Tidak pantas seorang pelayan berkepandaian setinggi itu. Akan tetapi, melihat kepandaian tujuh orang kauwsu yang mengeroyoknya, dia tidak merasa aneh lagi akan kepandaian pelayan muda berpedang ini. Agaknya memang musuh besarnya, An Kai Seng, sudah mendengar tentang usahanya membalas dendam dan telah siap sedia menjaga diri, memelihara jago-jago silat yang pandai.
Ketika pelayan muda itu memutar pedangnya dan menyerangnya dengan hebat sekali, diam-diam Kwan Cu terkejut. Ia tidak boleh menyamakan pelayan ini dengan tujuh orang pelayan yang tadi mengeroyoknya, karena ilmu pedang yang dimainkan pelayan muda ini benar-benar lihai sekali dan terang bahwa itu adalah ilmu pedang yang di ajarkan oleh seorang ahli silat tinggi kelas satu. Diam-diam Kwan Cu merasa bersyukur bahwa dia telah mempelajari ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, karena kalau saja dia hanya menerima latihan dari Ang-bin Sin-kai, agaknya belum tentu dia dapat mengalahkan pemuda ini, apalagi kalau hanya bertangan kosong. Baru berusaha untuk mencari musuh besar kong-kongnya saja dia sudah menjumpai orang-orang demikian lihai, apalagi kalau dia kelak bertemu dengan musuh-musuh suhunya. Tugasnya tidak ringan dan mudah, baiknya dia telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sehingga dia boleh merasa tenang menghadapi lawan-lawannya.
Karena maklum bahwa kalau dia hanya mempergunakan tangan kosong dan mainkan Kong-ciak-sin-na dan Pek-in-hoat-sut saja agaknya akan memakan waktu lama sebelum dia mengalahkan pelayan ini, Kwan Cu segera mencabut sulingnya. Ia tidak mau membuang banyak waktu menghadapi segala macam pelayan, betapapun pandainya pelayan ini. Tenaga dan waktunya harus dihemat untuk kelak menghadapi musuh-musuhnya, karena dia tidak ingin membinasakan orang-orang yang tidak mempunyai permusuhan dengannya.
"Jangan kau mengorbankan nyawa untuk bangsat An Kai Seng, keturunan orang Tartar yang sudah banyak membikin sengsara rakyat itu," kata Kwan Cu sambil memutar sulingnya. Setelah kini dia mempergunakan senjata, benar saja pelayan muda itu menjadi sibuk sekali. Gerakan pedangnya kacau-balau karena suling lawannya bagaikan berubah menjadi banyak sekali dan mengurung serta mendesak dirinya dari segala jurusan. Setelah Kwan Cu dapat menangkap inti sari ilmu pedang lawannya yang amat ganas itu, tiba-tiba dia melakukan serangan kilat, menangkis pedang lawan dengan sulingnya dibarengi dengan gerakan menggaet, sedangkan tangan kirinya memukul ke arah pangkal lengan kanan lawan yang memegang pedang.
"Lepaskan senjata!" serunya nyaring sambil mengerahkan tenaganya.
Pedang dan suling bertemu di udara dan betapapun pelayan muda itu mengeluarkan seluruh tenaganya, dia tidak mampu menarik kembali pedangnya yang seakan-akan berakar pada suling itu. Tiba-tiba dia merasa pangkal lengannya sakit dan lumpuh dan terpaksa pedangnya dia lepaskan!
Akan tetapi pelayan itu adalah An Kai Seng yang tentu saja merasa khawatir kalau-kalau pemuda ini akan terus menurunkan tangan maut kepadanya, oleh karena itu, dia cepat mempergunakan tangan kirinya memukul dada Kwan Cu sambil mengerahkan tenaga lweekangnya.
Tadinya Kwan Cu hanya akan merasa puas setelah merampas pedang saja, akan tetapi melihat lawannya tlba-tiba memukul dengan pukulan maut yang amat berbahaya, dia lalu berseru,
"Pergilah!"
Pukulan tangan kiri ke arah dadanya itu sama sekali tidak ditangkisnya, hanya dengan tangan kirinya dia menyampok sambil mengeluarkan tenaga Pek-in-hoat-sut. Pelayan muda itu menjerit dan tubuhnya terpental dua tombak dan jatuh bergulingan sampai tiga tombak lebih! Baiknya Kwan Cu memang tidak berniat mencelakakannya, maka dia hanya jatuh dan terbanting babak belur saja, tidak mengalami luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi, pukulan pada pangkal lengannya tadi membuat lengannya kaku dan tubuhnya yang terbanting terasa sakit-sakit.
"Bangsat kecil jangan kurang ajar!" tiba-tiba terdengar suara merdu dan sinar yang berkeredepan menyambar ke arah tenggorokan Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut sekali karena gerakan pedang yang menyerangnya ini bahkan lebih gesit, cepat, dan kuat dari pada pedang pelayan muda yang baru saja dikalahkannya tadi. Bukan main, benar-benar musuh besar kongkongnya telah memelihara banyak sekali orang pandai, pikirnya sambil mengelak cepat dan menangkis pedang itu dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan Kwan Cu merasa betapa tenaga lweekang dari penyerang ini bahkan lebih besar daripada tenaga si pelayan muda tadi!
la cepat memandang dan seketika itu juga dia melongo. Di depannya berdiri seorang wanita muda yang berpakaian indah dan ketat, cantik jelita bukan main, seperti seorang bidadari turun dari kahyangan. Tidak saja wajahnya yang putih halus kemerah-merahan itu mempunyai tarikan yang amat menarik hati dan memikat sedangkan potongan tubuhnya juga menggairahkan, juga sepasang mata wanita ini berkilauan penuh gairah hidup, bibirnya yang manis itu tersenyum simpul dan Kwan Cu mencium bau harum yang membuatnya berdebar. Memang wanita ini cantik sekali lebih cantik daripada Gouw Kui Lan, bahkan masih lebih cantik daripada Bun Sui Ceng sekalipun! Belum pernah Kwan Cu melihat gadis secantik ini, maka biarpun dia bukan seorang mata keranjang, namun dia tetap seorang pria dan melihat seorang wanita demikian cantik manisnya setidaknya dia menjadi tertegun.
"Eh, mengapa kau memandang saja kepadaku begitu kurang ajar? Siapakah kau dan mengapa kau membikin kacau di sini?" Wanita cantik itu menegur, akan tetapi dengan mata berkedip-kedip bangga dan mulut tersenyum manis sekali.
Kwan Gu menjadi merah sekali mukanya. la menahan napas untuk menenteramkan hatinya yang terguncang, lalu tanpa berani memandang langsung agar tidak terpesona oleh wajah itu, dia menjawab,
"Namaku Lu Kwan Cu dan aku datang untuk mencari An Kai Seng. Akan tetapi para pelayan itu menyerangku, terpaksa aku merobohkan mereka." Tiba-tiba Kwan Cu mengangkat muka dan memandang pula, kini bukan karena kagum dan untuk menikmati wajah cantik itu, melainkan karena dia teringat akan keterangan orang bahwa musuh besarnya An Kai Seng itu mempunyai isteri yang amat cantik. Inikah isterinya itu? "Siapakah kau dan di mana adanya An Kai Seng?"
Wanita itu tertawa kecil sehingga giginya yang seperti mutiara berderet itu tampak sebentar lalu tertutup kembali oleh sepasang bibirnya yang merah dan halus.
"Aku tidak kenal dengan segala An Kai Seng, dan tidak tahu dia berada di mana." Baru bicara sampai di sini, wanita itu melirik ke arah pelayan muda tadi yang sudah berdiri lagi sambil meringis kesakitan. Aneh sekali, wanita ini tersenyum geli dan memandang pula kepada Kwan Cu. "Hm, kau malah sudah mengalahkan pelayanku itu?" Sambil berkata demikian, wanita itu menudingkan telunjuknya ke arah pelayan tadi. Otomatis Kwan Cu ikut menengok ke arah pelayan muda tadi yang kini sudah berjalan terhuyung-huyung keluar dari pekarangan rumah.
Akan tetapi, gerakan lehernya untuk menengok itu mendatangkan kesempatan baik bagi wanita tadi yang terus saja menusuk dengan pedangnya ke arah lambung Kwan Cu! Pemuda ini terkejut sekali dan cepat dia menggerakkan lengan, miringkan tubuh dan cepat pula menyampok pedang dengan sulingnya. Kembali terdengar suara keras dan pedang itu terpental kembali.
"Kau curang!" Kwan Cu menegur dengan hati mendongkol kalau saja dia kurang hati-hati, serangan menggelap tadi tentu akan mendatangkan bahaya besar baginya.."Siapakah kau?"
Wanita itu tersenyum mengejek dan sepasang matanya bergerak genit. Melihat sepasang mata ini, hati Kwan Cu berdebar dan dia mengaku bahwa sepasang mata ini lebih tajam dan lebih berbahaya daripada sepasang pedang mustika! Maka dia cepat-cepat mengalihkan pandang tidak berani menatap secara langsung!
"Kau datang ini hendak mencari orang atau hendak berkenalan dengan aku? Mengapa tanya-tanya nama segala macam?"
Celaka, pikir Kwan Cu. Perempuan ini tidak saja memiliki gaya dan kecantikan luar biasa yang dapat merobohkan hati laki-laki, juga lidahnya amat tajam dan pandai sekali bicara. Kwan Cu yang masih amat muda dan belum berpengalaman dalam menghadapi wanita, masih belum tahu bahwa seorang wanita seperti ini memiliki kecerdikan dan muslihat yang lebih pandai daripada seorang ahli perang.
Dengan muka merah sekali sampai ke telinga-telinganya, Kwan Cu membentak, "Jangan sembarangan bicara! Aku datang hendak menghancurkan kepala An Kai Seng dan kau lebih baik lekas menyingkir karena aku tidak suka menjatuhkan tangan kepada seorang wanita, apalagi kalau kau tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan An Kai Seng."
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak kenal An Kai Seng, yang ada, di sini hanya Tan-wangwe, akan tetapi kau tidak percaya. Habis apa yang hendak kaulakukan?" tanya wanita itu sambil menatap wajah Kwan Cu yang tampan dan tenang.
"Aku harus melihat dulu orang yang bernama Kai Seng itu, hendak kulihat apakah dia orang yang kucari-cari ataukah bukan?"
"Jadi kau mau apa?" Wanita itu berkata menantang.
"Aku akan masuk dan memeriksa seluruh isi rumah ini."
Wanita itu tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih mengkilap.
"Kau.. kau mengagumkan!" Kwan Cu melengak dan tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh wanita ini, akan tetapi wanita ltu cepat menyambung kata-katanya, kini dengan bentakan keras dan dengan pedang dilintangkan di depan dadanya. "Dan kau sombong! Kau mau menggeledah rumah orang begitu saja? Baru dapat kaulakukan kalau kau sudah dapat mengalahkan pedangku!" Ucapan ini ditutup dengan tusukan pedang yang amat lihai, dan tusukan ini disusul oleh serangan-serangan lain yang cepat sekali.
Kwan Cu sudah dapat menduga akan kehebatan ilmu pedang wanita ini maka dia tidak berlaku ayal dan cepat menggerakkan sulingnya menangkis dan mengelak. Serentetan serangan dari enam jurus dengan amat mudahnya telah dapat dihindarkan oleh Kwan Cu.
"Kau hebat!" Wanita itu memuji. "Coba kau tahan yang ini!" dengan gerakan tubuh yang amat indah seperti orang menari, ia lalu menggerakkan pedangnya pula, kini melakukan serangan dengan pedangnya. Serangan ini memang istimewa, dalam sejurus serangan ini terdapat tiga bagian yang dilakukan dengan tenaga berlainan dan dengan tujuan berlainan pula. Tusukan pertama dilakukan dengan pengerahan tenaga mengikat, babatan ke dua yang menyusul dengan tenaga mengait, dan serangan ke tiga adalah tusukan ke arah kening di antara mata dengan dibarengi oleh pukulan tangan kiri dan lanjutan pemutaran pedang di depan mata lawan untuk mengacaukan lawan sehingga andaikata lawan dapat menghindarkan diri dari tiga kali serangan pedang, dia akan terkena oleh pukulan tangan kirinya!
"Hm, inilah In-liong-sam-hian (Naga Awan Muncul Tiga Kali)! Kalau begitu kau murid Thian-san!" seru Kwan Cu yang cepat sekali mengerahkan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari serangan yang susul-menyusul dan dia tahuamat berbahaya ini. la pernah mendengar dari Ang-bin Sin-kai tentang ilmu-ilmu silat yang paling ampuh dan berbahaya dari berbagai cabang persilatan dan justeru ilmu pedang yang ini dia pernah mendengar dari suhunya. Kalau dahulu dia hanya mendengar teorinya saja, setelah dia mempelajari ilmu kesaktian dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, sekali melihat saja tahulah dia bahwa ini adalah ilmu silat dari Thian-san-pai.
Wanita itu pun nampak terkejut dan kagum ketika Kwan Cu selain dapat menghindarkan diri dari serangannya yang dipilihnya paling hebat itu, juga dapat menduga tepat bahwa dia adalah anak murid Thian-san-pai. Akan tetapi ia hanya tertawa mengejek dan cepat melakukan serangan bertubi-tubi!
Kwan Cu merasa tidak perlu membuang waktu melayani wanita ini, akan tetapi karena ilmu pedang dari wanita itu memang lihai sekali, maka dia menjadi bingung. Kalau dia tinggalkan, memang mudah saja baginya untuk melompat dan terus lari ke dalam rumah. Akan tetapi, lawannya ini tentu akan mengejarnya sehingga dia tidak leluasa melakukan penggeledahan. Di samping ini, dia pun harus berlaku hati-hati karena siapa tahu kalau-kalau di dalam rumah dipasangi perangkap, karena ternyata bahwa pemilik rumah ini adalah seorang yang menjaga diri baik-baik sehingga di situ terdapat banyak ahli silat yang pandai. Lagi pula, salahnya adalah karena dia tidak mau melukai perempuan ini, bukan hanya karena dia tidak enak hati untuk melukai seorang perempuan yang belum diketahuinya siapa dan dianggapnya tiada dosa, juga dia merasa tidak tega. Tak dapat disangkal pula bahwa kecantikan dan gaya wanita ini sedikit banyak telah menarik hatinya. Kalau dia mau, memang agaknya dalam sepuluh jurus saja dia dapat merobohkan tanpa melukainya adalah hal yang tidak begitu mudah. Akhirnya dia mendapatkan akal. Dengan sulingnya dia melakukan serangan kilat dan "breeettt!" robeklah baju wanita itu di bagian pinggang!
Wanita itu terkejut sekali karena suling lawannya seakan-akan telah mengenai tubuhnya, akan tetapi ternyata bahwa lawannya tidak mau melukainya, dan suling itu diselewengkan sedikit sehingga bukan kulitnya, melainkan bajunya yang robek. Akan tetapi serangan tadi benar-benar hebat karena amat dekat dengan kulitnya sehingga bukan hanya baju luarnya, malah baju dalamnya ikut robek dan kulit pinggangnya yang putih itu kelihatan!
Karena mengalami kekagetan hebat, wanita itu menjadi tertegun dan Kwan Cu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Tangan kirinya bergerak dengan Ilmu Silat Kong-ciang-sin-na, sedangkan tangan kanan menggerakkan suling menotok ke arah pinggang. Dalam sekejap mata saja pedang wanita itu sudah dirampasnya dan kedua kaki wanita itu menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi akibat totokan suling tadi! Sambil tersenyum Kwan Cu melemparkan pedang itu ke atas dan sambil mengeluarkan bunyi nyaring, pedang itu menancap pada langit-langit rumah. Sampai setengah lebih tergantung di situ sambil bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga sambitannya.
Wanita itu menangis! Tangan kiri menutupi pinggang yang terbuka pakaiannya dan tangan kanan diremas-remasnya, akan tetapi kedua kakinya tak dapat bergerak.
"Kubunuh kau manusia kurang ajar " teriaknya berkali-kali. Akan tetapi Kwan Cu tidak melayaninya dan hanya tersenyum sambil berlari memasuki rumah. la merasa kasihan dan juga geli. Akan tetapi, setelah melakukan pemeriksaan dengan cepat, teliti dan hati-hati, Kwan Cu menjadi kecewa. Semua pelayan yang ditemuinya di dalam gedung itu mengatakan bahwa majikan mereka yang bernama Tan Kai Seng dan pada saat itu sedang keluar rumah Kwan Cu tidak suka berlaku kejam kepada para pelayan ini akan tetapi untuk memuaskan hatinya yang kecewa dia memilih seorang pelayan laki-laki yang berwajah bodoh. Cepat dia mencabut pedangnya, yakni pedang Liong-coan-kiam yang selama itu hanya disembunyikan di balik baju. Sekali sabet saja meja besar dan tebal di ruang dalam terbabat dan terbelah menjadi dua. Kemudian dia memegang leher baju pelayan itu dan menempelkan pedangnya di atas hidung.
"Kalau kau tidak menjawab sejujurnya, pedang ini akan memutuskan hidungmu. Tidak itu saja, aku akan membikin semua kaki tanganmu buntung agar selama hidup kau tidak akan dapat bekerja dan akan menjadi pengemis yang tidak dapat makan sendiri!"
"Ampun...... Siauwya.........." kata pelayan itu sambil menggigil ketakutan.
"Nah, katakan siapa sebetulnya majikanmu itu!"
"Hamba tidak membohong, Siauwya majikan hamba bernama Tan Kai Seng......"
"Di mana dia?"
"Tadi......... tadi dia berada di sini.........."
"Jangan bohong! Mana dia ?" Kwan Cu membentak dan dia mengerahkan sedikit tenaga pada tangan kirinya yang menggencet pundak pelayan itu. Pelayan itu meringis kesakitan, pundaknya serasa ditusuk jarum.
"Am........ampun, Siauwya............ hamba tidak membohong. Tadi.......... tadi majikan hamba berada di sini, bahkan tadi keluar......"
Kwan Cu berpikir, lalu membentak lagi, "Yang mana dia? Yang mana? Hayo cepat katakan!"
"Dia........ dia yang tadi melawan Siauwya."
"Apa? Yang muda-muda dan berpakaian pelayan, memegang pedang....... ?".
Pelayan itu hanya mengangguk dengan tubuh menggigil ketakutan. Kini setelah membuka rahasia majikannya, dia menjadi makin ketakutan karena dia tahu bahwa kalau majikannya tahu akan pengkhianatannya, dia akan menerima hukuman berat.
Kwan Cu terkejut mendengar ini dan dia merasa menyesal sekali. Tadi dia sudah bercuriga terhadap pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya itu. Diakah An Kai Seng keturunan An Lu Shan? Mungkin sekali!
"Dan gadis muda yang pandai main pedang itu, siapa dia?"
"Dia adalah Wi Wi Toanio, isteri majikan hamba........"
Baru saja mendengar ini, Kwan Cu cepat melompat keluar lagi. Hm, yang tahu akan rahasia hartawan muda bernama Kai Seng ini tentu hanya isterinya. Mungkin sekali An Kai Seng telah mengubah shenya menjadi Tan, dan hal ini tentu saja tidak diketahui oleh semua pelayan. Hanya isterinya yang tentu tahu akan hal ini!
Ketika tiba di ruang depan, dia melihat wanita muda yang cantik tadi masih berdiri, sedang mengatur napas dan ternyata bahwa wanita itu telah berhasil membebaskan diri dari totokannya. Ia kaget dan memuji karena hanya dengan tenaga lwekang yang sudah tinggi saja orang dapat membebaskan totokan begitu cepatnya.
Wi Wi Toanio melihat Kwan Cu keluar lagi, cepat hendak melarikan diri, akan tetapi dengan sekali lompatan,Kwan Cu sudah berada di depannya.
"Jadi kaukah Wi Wi Toanjo isteri dari An Kai Seng?" tanya Kwan Cu dengan mata bersinar mengancam.
"Suamiku bernama Tan Kai Seng!" Wi Wi Toanio berkata dan mencoba untuk tersenyum sungguhpun hatinya berdebar penuh rasa takut. Ia telah merasai sendiri betapa lihainya orang yang mau membunuh suaminya ini.
Kwan Cu menengok ke arah pelayan muda yang tadi telah dikalahkannya, akan tetapi seperti yang sudah diduganya, pelayan muda itu kini tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan Wi Wi Toanio mempergunakan kesempatan selagi Kwan Cu menengok, untuk cepat melompat melarikan diri keluar.
"Kau hendak lari ke mana?" Kwan Cu mengejar dan di lain saat pemuda ini telah memegang pergelangan tangan Wi Wi Toanio.
"Lepaskan aku ! Lepaskan!" la meronta-ronta dan mencoba untuk melepas kan tangannya, akan tetapi sia-sia, karena pegangan Kwan Cu amat kuatnya. "Katakan dulu, siapa sebenarnya suamimu itu? Apakah dia bukan An Kai Seng keturunan An Lu Shan?" tanya Kwan Cu perlahan sambil mempererat pegangannya sehingga wanita muda itu merasa sakit sekali seluruh lengannya.
Pada saat itu, para pelayan yang tadi ketakutan setengah mati, telah keluar dan memandang dari pintu dengan muka pucat. Sementara itu, pelayan yang tadinya diperintah oleh Kai Seng untuk memberitahukan pada kawan-kawannya, telah datang diiringkan oleh belasan orang laki-laki yang sudah memegang senjata tajam. Mereka ini menyerbu dari luar dan siap menolong Wi Wi Toanio yang dipegang tangannya oleh Kwan Cu. Melihat ini, Wi Wi Toanio segera melakukan siasatnya yang amat cerdik. la lalu merapatkan tubuhnya, tidak mempedulikan rasa sakit pada tangannya dan sengaja merapatkan tubuh pada tubuh pemuda itu, lalu berteriak-teriak.
"Kau manusia kurang ajar! Kau hendak berlaku kurang sopan terhadapku? Lihat lihatlah semua orang, inilah orang yang mengaku bernama Lu Kwan Cu, seorang yang katanya pendekar muda berilmu tinggi! Akan tetapi dia hendak membujukku, mengajakku minggat bersama. Alangkah rendahnya!"
Kwan Cu merasa betapa tubuh wanita itu merapat dan dia kembali mencium bau yang harum. Ketika mendengar teriakan ini, dia terkejut sekali, wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya dan otomatis dia melepaskan pegangannya dan melangkah mundur.
"Kau bohong! Aku tidak berlaku kurang ajar, hanya mau tahu di mana perginya Kai Seng itu!" katanya mendongkol.
Sambil memijat-mijat pergelangan lengannya Wi Wi Toanio tersenyum mengejek lalu berkata pula perlahan, "Kalau kau memang gagah, carilah sendiri!" Lalu ia berjalan pergi.
Kwan Cu merasa bingung. Tentu saja dia dapat menangkap wanita itu, dibawa ke tempat sunyi untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya hartawan muda itu dan di mana bersembunyinya. Akan tetapi kalau dia teringat akan teriakan nyonya muda tadi, dia menjadi merasa malu dan tidak enak sekali. Kalau sampai dia menangkapnya, tentu semua orang akan membenarkan kata-kata Wi Wi Toanio dan namanya akan menjadi busuk di dunia kang-ouw!
Sementara itu, kawan-kawan Kai Seng yang terdiri dari jago-jago silat di kota itu, sudah datang dan menyerbu Kwan Cu. Terpaksa pemuda ini lalu menggerakkan sulingnya. la tidak mau membuang banyak waktu dan sebentar saja terdengar suara keras, senjata-senjata tajam terlempar jauh dan orang-orang itu berteriak-teriak kesakitan, roboh seorang demi seorang.
Setelah belasan orang itu semua dibikin tak berdaya, Kwan Cu sudah tidak melihat lagi bayangan Wi Wi Toanio. Ia mendongkol sekali, merasa dipermainkan oleh wanita itu. Cepat dia mengejar dan mencari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan suami isteri itu di kota dan akhirnya dia mendapat keterangan bahwa mereka telah melarikan diri dengan perahu mereka ke laut!
Kwan Cu merasa menyesal sekali. Jauh-jauh dan lama dia mencari dan setelah bertemu, dia kena diakali. Musuh besarnya sudah bertemu dengan dia, bahkan sudah dia kalahkan, akan tetapi dia tidak tahu bahwa dia itulah musuh besarnya sehingga dia tidak membunuhnya, bahkan tidak melukainya karena mengira bahwa dia adalah seorang pelayan biasa.
Biarlah, aku tentu akan dapat menemukannya kembali," katanya sambil menghela napas dan terbayanglah wajah yang cantik jelita dari Wi Wi Toanio, suaranya yang merdu, bentuk tubuhnya yang menggalrahkan dan keharuman yang menawan hati masih tercium oleh hidungnya. Kembali Kwan Cu menarik napas panjang. Benar-benar seorang wanita yang cantik, pandai dan..... berbahaya sekali!
Pada suatu hari, Kwan Cu beristirahat di luar sebuah hutan, duduk di bawah pohon, berlindung dari panas terik matahari yang menggigiti kulit. Dengan ujung bajunya dia menghapus peluh yang membasahi mukanya, peluh sehat yang dipaksa keluar oleh hawa panas matahari. Seperti biasa, dalam menganggur ini dia memeriksa seluruh saluran darah di dalam tubuhnya, untuk membuka saluran yang terhalang jalannya. Dengan perlahan dia meraba-raba urat nadinya dan dengan totokan dia menyempurnakan jalan darahnya. Setelah mendapat kenyataan bahwa peredaran jalan darahnya sempurna, dia lalu mengeluarkan sulingnya dan menyuling dengan asyiknya. Tidak ada hiburan yang lebih menyenangkan baginya daripada meniup sulingnya. Telah penat otaknya berpikir tentang tugasnya, tentang musuh-musuh besar dari suhunya dan kong-kongnya.
An Kai Seng telah terlepas dari tangannya dan tidaklah mudah untuk mencarinya, karena tentu saja An Kai Seng akan menyembunyikan dan menjaga diri baik-baik, apalagi dengan bantuan isterinya yang demikian cantik dan licin, kiranya akan makan waktu lama untuk bias menemukannya kembali. Lebih dulu dia akan mencari musuh-musuh besar gurunya dan teringatlah dia akan pemberitahuan Kiam Ki Sianjin bahwa pada Gouw-gwe Cap-gouw (bulan lima tanggal lima belas) akan diadakan musyawarah besar di puncak Tai-hang-san dan di sanalah dia akan dapat menjumpai musuh-musuh yang membunuh gurunya itu.
Pada waktu itu, bulan lima kurang beberapa hari lagi dan dia masih mempunyai waktu beberapa pekan, maka Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan menuju ke Tai-hang-san. Ia melakukan perjalanan cepat dan terus menerus, hanya beristirahat kalau dia merasa lelah benar seperti siang hari itu.
Tanpa disengaja, Kwan Cu meniup suling mainkan lagu yang seringkali dimainkan oleh Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Obat, dia begitu saja mainkan lagu ini karena ketika tadi menyuling, pikirannya melayang kepada tabib aneh itu. Sulingnya adalah pemberian dari Yok-ong dan dia tidak tahu di mana adanya orang pandai itu sekarang. Memikirkan Yok-ong, Kwan Cu diam-diam menduga apakah kiranya orang pandai itu akan dapat menolong Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu sekiranya Raja Tabib itu berada di tempat terjadinya malapetaka yang menimpa diri dua pendeta itu. Sambil menyuling, kini pikirannya melayang kembali dan terkenanglah dia akan peristiwa pembunuhan dua orang pendeta yang benar-benar merupakan teka-teki baginya itu.
Tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki menyanyikan lagu yang sedang dimainkan oleh Kwan Cu dengan sulingnya. Suara nyanyian ini merdu sekali dan Kwan Cu harus mengakui bahwa suara itu amat empuk. Dengan gembira Kwan Cu melanjutkan tiupan sulingnya dan kini terdengar paduan suara antara suling dan nyanyian orang itu, menyanyikan lagu yang sering kali dimainkan oleh Hang-houw-siauw Yok-ong. Diam-diam Kwan Cu memuji tenaga khikang orang itu, karena orangnya belum kelihatan, namun suara nyanyiannya demikian keras dan nyaring. la tidak merasa heran bahwa orang itu dapat pula mendengar suara sulingnya karena dia tadi bermain suling dengan memakai tiupan tenaga khikang sehingga suara sulingnya dapat terdengar dari tempat jauh. Kalau saja pada saat itu ada orang lain di situ, tentu orang ini akan menjadi amat heran karena suara suling dan nyanyian itu merupakan paduan suara yang menjadi satu, akan tetapi penyuling dan penyanyinya terpisah jauh!
Yang amat menarik hati Kwan Cu adalah kata-kata dalam nyanyian itu, maka dia lalu mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan nyanyian itu sehingga terdengar jelas olehnya kata demi kata. Mendengar suara ini, Kwan Cu menjadi makin kagum karena dari kata-kata nyanyian ini dia mendapat kesan bahwa penyanyinya bukanlah orang sembarangan atau penyanyi biasa saja. Suara nyanyian itu terdengar penuh mengejek, akan tetapi di dalamnya tersembunyi pula semangat kegagahan dan kata-katanya sendiri merupakan filsafat sederhana yang sudah sering kali disyairkan oleh para pujangga,
"Hutan sungai tetap murni tak berubah
apabila tiada tangan kotor orang menjamah,
mengapa tempat tinggal orang kacau belaka!
Mengapa mereka saling bunuh tiada habisnya?
Katakan manusia berakal budi
katakan manusia mahluk tertinggi
aku lebih kagum melihat burung dan kelinci.
Katakan dusun kota indah dan damai,
aku lebih cinta hutan dan sungai!"
Baru saja kata-kata nyanyian ini habis dinyanyikan, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan di depan Kwan Cu berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan aneh pakaiannya. Bajunya lebar panjang, berkembang dan kepalanya ditutup oleh kopyah. Wajahnya tampan dan usianya tidak berselisih banyak dengan usia Kwan Cu. Tubuhnya tegap dan wajahnya selalu tersenyum-senyum mengejek. Lagaknya kelihatan angkuh dan tinggi hati, akan tetapi sepasang matanya yang mengeluarkan cahaya berapi itu menandakan bahwa dia bersemangat besar dan memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang sudah tinggi.
"Eh, bocah!" katanya dengan lagak sombong. "Siapa kau yang dapat meniup suling menyanyikan lagu itu?"
Kwan Cu tersenyum dan merasa betapa lucunya orang ini. Ia bangkit berdiri dengan tenang, memandang dengan penuh perhatian dan tidak segera memberi jawaban. Yang membuat Kwan Cu tertarik dan merasa lucu adalah pakaian pemuda itu. Bajunya berkembang-kembang besar seperti yang biasa dipakai oleh wanita dan alangkah lucunya topi itu! Topi bukan kopyah pun bukan, benar-benar amat lucu. Memang aneh sekali manusia ini, aneh seperti nyanyiannya pula.
"Bocah tolol, mengapa kau tersenyum-senyum saja? Apakah kau tuli?"
"Aku tidak tuli, juga tidak buta. Justru karena aku tidak tuli dan tidak buta maka aku mendengar dan melihat kau yang amat lucu ini."
"Apa katamu? Aku lucu?" la memandangi pakaiannya sendiri, lalu mengangkat dada dan tersenyum puas. "Memang, memang aku terkenal amat tampan dan lucu, lagi gagah!"
Kwan Cu menggerakkan hidungnya seperti kalau mencium bau yang tidak enak. "Lucu memang lucu, tentang tampan boleh jugalah, akan tetapi gagah? Ah, kau bahkan kelihatan seperti seorang perempuan!"
Pemuda aneh itu mengangkat alisnya. "Apa? Kau jangan menghina, ya? Kau ini pemuda hijau berani berlancang mulut. Kaukira berhadapan dengan siapa? Akulah seorang pemuda yang gagah dan tidak hanya gagah, juga terpelajar. Aku seorang Bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat). Kau lihat ini?" la menggerakkan kedua tangannya ke arah pinggang dan tahu-tahu kedua tangannya itu telah memegang sepasang poan-koan-pit (senjata yang berupa sepasang alat menulis atau pensil Tiongkok).
"Hm, itu adalah sepasang poan-koan-pit yang sering kali dipergunakan oleh anak-anak yang sedang belajar menulis," kata Kwan Cu sengaja mempermainkan. Kwan Cu timbul kejenakaan dan kegembiraannya bertemu dengan pemuda yang aneh ini.
"Belajar menulis telingamu!" Pemuda itu memaki gemas. "Dengan pit di tangan kanan aku dapat menuliskan syair-syair gubahan pujangga Tu Fu yang kukagumi! Dengan pit di tangan kiri aku dapat melukis gambar seperti yang dilakukan oleh ahli silat Siang Koan yang sakti! Itu kalau aku menjadi seorang ahli kesenian. Kalau aku menjadi ahli silat, pit di tangan kiriku ini dapat mencabut nyawa musuh dan pit di tangan kanan ini dapat mengantarkan lawanku ke neraka!"
Kwan Cu tertawa bergelak. Perutnya sampai terasa kaku karena dia tertawa terpingkal-pingkal. Ia melihat betapa pemuda ini penar-benar amat lucu, karena dia dapat mengerti bahwa semua lagaknya yang kelihatan sombong luar biasa itu sebetulnya hanyalah dibuat-buat belaka. Di balik kelucuan dan kesombongan ini, dia, melihat seorang pemuda berjiwa luhur dan berwatak aneh, juga garis-garis pada jidatnya menandakan bahwa pemuda ini semuda itu sudah mengalami kepatahan hati dan pernah mengalami batin yang hancur penuh kecewa dan duka.
"Kenapa kau tertawa lagi, Tolol?" bentak pemuda berkopyah itu.
Kwan Cu memperlihatkan sulingnya. "Aku sih tidak terlalu pintar seperti engkau. Akan tetapi dengan sulingku ini agaknya aku tidak usah mengaku kalah padamu, hai orang lucu yang pandai menyanyikan lagu aneh. Kau masih pernah apakah dengan Hang-houw-siauw Yok-ong?"
Pemuda itu tidak menjawab, hanya matanya tertuju kepada suling itu dengan melongo, kemudian dia menatap wajah Kwan Cu yang menjadi amat kaget melihat betapa. sepasang mata itu kini berubah tajam menyelidik dan cerdik sekali.
"Hm, kau tentu Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai!" katanya tiba-tiba dan lenyaplah untuk sesaat kelucuan mukanya.
Kwan Cu terkejut. "Eh, kau siapakah, sahabat? Bagaimana kau bisa mengetahui namaku?" Kwan Cu menjadi curiga dan mengira bahwa pemuda ini jangan-jangan kawan dari An Kai Seng yang sengaja mencari perkara.
"Sulingmu adalah pemberian suhu."
Berseri wajah Kwan Cu. "Aha, jadi kau adalah murid dari Hang-houw-siauw Yok-ong, locianpwe yang budiman itu? Pantas saja kau begini aneh. Siapakah namamu, saudara yang gagah perkasa?"
"Panggil saja aku Hok Peng. Sekarang awaslah, aku hendak menyerangmu dengan poan-koan-pit!" Baru saja kata-kata ini diucapkan, dia sudah menyerang Kwan Cu dengan hebatnya!
Kwan Cu kaget dan cepat melompat ke belakang. "Gilakah kau? Tiada hujan tiada angin menyerangku?" tanyanya mendongkol sekali.
"Kau berkenan mendapat hadiah suling wasiat dari suhu, hendak kulihat apakah kau patut menerima hadiah itu" jawab pemuda aneh itu dan kembali dia menyerang dengan hebat. Ketika dia menyerang, gerakannya amat cepat dan tubuhnya ringan sekali, melompat-lompat seperti tidak mengambah bumi saja.
Kwan Cu kagum sekali. Terang bahwa Hok Peng memiliki ginkang yang tinggi dan melihat cara dia menyerang, sepasang poan-koan-pit itu pun lihai dan tidak boleh dipandang ringan. Cepat Kwan Cu memasang kuda-kuda dan melayaninya dengan suling di tangannya. Ketika dia melihat Hok Peng menusuk kearah iganya dengan totokan yang lihai, dia cepat menggerakkan suling dari atas ke bawah, menindih pit kanan lawannya dan tubuhnya doyong ke belakang seperti mau jatuh. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian, melainkan Kwan Cu siap siaga dengan tangan kirinya menjaga kalau-kalau pit kiri lawannya bergerak. Benar saja, Hok Peng berseru,
"Bagus sekali!" Karena merasa betapa tindihan suling dan pit kanannya itu luar biasa beratnya sehingga tergetar lengan kanannya dengan kecepatan kilat selagi kedua kakinya masih terapung seperti terbang, pit kirinya menusuk leher Kwan Cu.
Kwan Cu yang sudah menduga lebih dulu melihat gerakan pundak kiri Hok Peng, segera melepaskan tindihan sulingnya dan tangan kirinya memapaki pit itu dengan jari-jari ditekuk karena dia melakukan gerakan merampas dari ilmu silatnya Kong-ciak-sin-na yang lihai!
Hok Peng tertawa mengejek dan secepatnya menarik kembali pit kirinya. Pada saat itu kedua kakinya sudah menginjak tanah lagi dan dengan gerakan saling susul, kedua pitnya kini melakukan penyerangan bertubi-tubi. la benar-benar mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menguji pemuda yang pernah dipuji-puji oleh Hang-houw-siauw Yok-ong dan yang telah menerima hadiah suling dari gurunya itu. Kwan Cu tidak mau kalah dan menggerakkan sulingnya secara cepat sekali. Diam-diam dia mempelajari semua gerakan ilmu silat dari Hok Peng dan mengakulah Kwan Cu bahwa pemuda aneh dan lucu itu benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali. Kalau dibandingkan kepandaian Hok Peng ini bahkan masih mengatasi kepandaian An Kai Seng atau Wi Wi Toanio. Bahkan kalau dibandingkan pula dengan murid-murid tokoh besar, masih lebih menang sedikit daripada Lu Thong. Kiranya hanya Sui Ceng yang akan sanggup menghadapinya dengan kepandaian seimbang. Bagi Kwan Cu sendiri, biarpun dia mengakui akan kelihaian sepasang senjata Hok Peng, namun sekali melihat saja dia sudah dapat menangkap inti sari daripada ilmu silat lawannya, berkat pengetahuannya tentang pokok dasar daripada segala pergerakan tubuh dalam bersilat yang diwarisinya dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Kalau tadinya Hok Peng menyerang sambil tersenyum-senyum mengejek, kini berkali-kali dia mengeluarkan seruan kagum. la benar-benar merasa aneh dan tidak mengerti bagaimana semua jurus simpanan yang dia pelajari dan yang biasa merupakan jurus ampuh yang tidak sembarang dapat dihindari oleh lawan-lawannya, kini dengan mudah dapat dipatahkan oleh Kwan Cu.
"Kau lihai sekali!" serunya sampai tiga kali. "Coba kauterima ini!" Kini dia mengubah caranya bersilat dan sepasang poan-koan-pit di tangannya itu kini bergerak secara aneh dan luar biasa, datang dari depan bagaikan gelombang samudera dan menerjang bertubi-tubi dari atas bagaikan hujan badai. Hok Peng telah mengeluarkan ilmu silat paling hebat dari semua pelajarannya, ilmu silat yang boleh dimainkan dengan kedua tangan kosong maupun dengan senjata yang sepasang, yang oleh gurunya dinamakan Ilmu Silat Badai dan Ombak.
Kwan Cu tercengang menghadapi serangan hebat ini. Dari kedua tangan Hok Peng seakan-akan keluar tenaga mujijat yang luar biasa sekali, sedangkan sepasang pit itu menyambar-nyambar, sungguh hebat sekali ilmu silat pemuda aneh ini. Satu kali ini Kwan Cu benar-benar menemui lawannya, lawan yang amat tangguh dan lihai. Kalau tadi dengan pandangan matanya yang awas serta dengan pengertiannya yang mutlak tentang pokok dasar segala gerakan silat Kwan Cu dapat menghadapi Ilmu Silat Badai dan Ombak ini, dia menjadi amat terkejut. Ilmu silat ini dilakukan dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga dia tidak sempat untuk mempelajari sarinya. Terpaksa Kwan Cu melawan dengan ilmu silatnya pula, dan dia tidak sekali-kali berani berlaku ayal, karena dia pun merasa penasaran kalau sampai kalah oleh pemuda aneh ini. Cepat Kwan Cu mengerahkan lweekangnya dan mainkan ilmu pukulan Pek-in-hoat-sut dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih mainkan sulingnya, kini dengan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat.
Bukan main hebatnya pertempuran ini. Keduanya sama lincah, sama cepat dan sama kuat. Makin kagum hati Kwan Cu, karena pemuda ini tahu bahwa kalau dia tidak pernah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pasti dia akan kalah. Seratus jurus lewat dan masih saja belum ada yang kalah atau menang di antara mereka. Sebaliknya, Hok Peng kini benar-benar terkejut. Ia telah mainkan seratus jurus ilmu silatnya yang dahsyat, namun tetap saja dia tidak mampu mengalahkan lawannya. Ilmu Silat Badai dan Ombak ada seratus dua puluh jurus dan kini dia sudah mainkan seratus jurus, masih tinggal dua puluh jurus lagi. Tiba-tiba dia teringat betapa dari tadi, Kwan Cu tak pernah membalasnya, hanya mengelak dan menangkis saja, sedangkan dari kedua lengan pemuda itu mengepul uap putih yang memiliki pengaruh hebat atas hawa pukulannya. Aduh, celaka, pikirnya. Tak salah lagi Kwan Cu tentu tengah mempelajari ilmu silatnya dan kalau sampai dia terus mainkan semua ilmu Silat Badai dan Ombak yang masih dua puluh jurus lagi, sama halnya dengan menghadiahkan ilmu silat itu kepada Kwan Cu!
Tiba-tiba Hok Peng menghentikan serangannya dan melompat mundur. Wajah pucat dan dia menyimpan kembali poan-koan-pitnya, lalu tersenyum pahit.
"Aku kena kauakali! Kau tentu sudah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng!"
"Bagaimana kau bisa tahu?" Kwan Cu balas bertanya karena dia pun merasa amat suka dan kagum kepada pemuda lucu ini.
"Siapapun juga yang tidak memiliki Im-yang Bu-tek Sin-kun (ilmu silat sakti dari Im-yang Bu-tek Cin-keng), takkan mungkin dapat menahan serangan-seranganku tadi tanpa membalas sedikit pun. Dan kau tentu telah mencatat dalam hatimu sebanyak seratus jurus ilmu silatku tadi."
Kwan Cu tersenyum. "Hok Peng, sahabat baik. Kau sudah beruntung menjadi murid Hang-houw-siauw Yok-ong, apa ruginya membagi sedikit kepadaku? Ilmu silatmu tadi benar-benar hebat, aku takluk padamu."
Merah wajah Hok Peng. "Sudahlah, bertemu dengan orang macam kau apa gunanya membicarakan tentang ilmu silat? Suhu sendiri kiranya belum tentu dapat mengalahkan engkau, karena kata suhu, siapa yang mewarisi ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, takkan terlawan oleh siapapun juga. Baiknya Badai dan Ombak masih ada dua puluh jurus lagi yang belum kaulihat. Aku akan menggembleng yang dua puluh jurus itu dan siapa tahu kalau kelak yang dua puluh jurus ini akan dapat mengalahkan engkau."
"Eh, saudara Hok Peng, apakah kau begitu haus akan kemenangan? Kau benar-benar murka sekali, kurang apakah kepandaianmu? Kau menjadi murid seorang sakti seperti Yok-ong locianpwe, pandai ilmu silat, pandai ilmu pengobatan, dan pandai meniup suling dan bernyanyi."
Hok Peng cemberut. "Sayang sekali, dalam ilmu pengobatan otakku terlalu keras. Sehingga hanya dapat mempelajari sedikit saja, adapun tentang menyuling, kau lebih pandai. Kalau tidak begitu, bagaimana suhu memberikan sulingnya padamu? Ah, Kwan Cu, setelah kita saling mengukur kepandaian, aku tidak kecewa melihatmu. Hanya saja masih ada penasaran dalam hatiku melihat betapa kau benar-benar tidak kenal budi dan kebaktian terhadap gurumu"
Kwan Cu terkejut dan marah. "Eh, omongan apa yang kau keluarkan ini? Membuta tuli menuduh orang lain tanpa alasan. Boleh jadi aku Lu Kwan Cu memang seorang bodoh dan kasar, akan tetapi bagaimana kau bisa bilang aku tidak kenal budi dan kebaktian?"
"Tentu saja kau tidak kenal budi dan kebaktian. Gurumu tewas dalam penasaran, dikeroyok orang-orang yang curang, mengapa kau diam saja dah enak-enak seperti tidak terjadi apa-apa, bukankah ini menandakan bahwa kau tak kenal...... "
"Tahan lidahmu, Hok Peng! Aku sekarang juga sedang mencari-cari mereka yang telah membunuh suhuku dan aku pasti akan membalaskan sakit hati suhu dan menagih hutang nyawa mereka!"
Hok Peng tersenyum, dan matanya yang tajam memandang penuh selidik. "Bagus, kau tidak bohong. Aku tarik kembali tuduhanku bahwa kau tak kenal budi dan kebaktian, akan tetapi kau ternyata tolol."
"Ah, apakah kau masih belum puas dan ingin mengajak berkelahi lagi?" tanya Kwan Cu gemas.
"Aku bukan sembarangan saja menuduh. Kau memang tolol kalau belum tahu siapa adanya orang-orang yang mengeroyok dan membunuh gurumu Ang-bin Sin-kai itu."
"Mereka adalah Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo, dan Toat-beng Hui-houw!" kata Kwan Cu.
Hok Peng melengak. "Eh, eh, eh, jadi kau sudah tahu pula? Memang tiga orang locianpwe itulah pembunuhnya, dengan jalan mengeroyok secara tidak tahu malu dan curang sekali! Kalau begitu kau memang tidak tolol, hanya bodoh sekali."
"Hm, apalagi yang menyebabkan kebodohanku?" tanya Kwan Cu, ini tidak marah lagi karena memang semua kata-kata yang lucu dari Hok Peng beralasan dan agaknya orang ini boleh sekali dijadikan kawan baik.
"Karena kau tentu akan membuang waktu dengan sia-sia kalau kau mencari-cari mereka itu, padahal mereka berada di......"
"Puncak Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-gouw!" Kwan Cu menyambung cepat.
Kembali Hok Peng melengak. Sepasang matanya yang bundar seperti kelereng itu bergerak-gerak memandang, kemudian dia mengangguk-angguk.
"Hm, jadi kau sudah tahu pula? Baik, baik, bagus! Akan tetapi tetap saja kau masih bodoh. Jalan yang terdekat ada mengapa mengambil jalan jauh? Bukankah itu bodoh namanya?"
"Hok Peng yang baik, dalam hal ini aku mengaku bodoh. Memang aku belum kenal jalan dan aku hanya melalui jalan menurut keterangan orang-orang yang kujumpai. Mohon petunjukmu, jalan manakah yang terdekat ke Tai-hang-san itu?"
"Memang kalau dilihat dari jauh, agaknya puncak Tai-hang-san berada di sisi utara dan agaknya kalau mau ke puncak, jalan dari utara adalah jalan terdekat. Akan tetapi kalau kaulanjutkan kepercayaan ini, percayalah bahwa sampai waktu Gouw-gwe Cap-gouw tiba, kau belum dapat sampai ke puncak. Jalan dari utara ini banyak sekali halangannya, terhalang oleh jurang-jurang berbahaya dan oleh hutan-hutan lebat yang akan membikin kau tersesat jalan dan akhirnya kau akan terlambat. Kalau kau mengambil jalan dari timur, dari kaki pegunungan terus menanjak ke barat, kau akan sampai di sana dengan cepat dan kiranya masih belum terlambat kalau sekarang juga kau melanjutkan perjalanan. Akah ramai di sana " Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu pergi sambil bernyanyi-nyanyi, tidak mempedulikan lagi kepada Kwan Cu.
"Hok Peng, terima kasih, kau baik sekali!" Kwan Cu berseru girang ke arah pemuda itu yang sama sekali tidak mempedulikan seruannya. Akan tetapi Kwan Cu juga tidak mengharapkan jawaban dari pemuda yang aneh itu, karena dia maklum bahwa orang-orang seperti Yok-ong dan muridnya ini adalah orang-orang yang wataknya memang aneh dan lain daripada orang-orang biasa.
Dengan cepat Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya, kini dia mengubah arah perjalanannya, tidak lagi hendak mendaki Bukit Tai-hang-san dari utara, melainkan dari timur seperti yang dinasihatkan oleh Hok Peng.
***
Pada waktu yang bersamaan, banyak orang lain juga mendaki Bukit Tai-hang-san dari jurusan-jurusan yang berlawanan atau berlainan. Orang-orang tua yang kelihatannya aneh, orang-orang muda yang bertubuh tegap dan kekar, nenek-nenek yang aneh dan gagah, semua pergi mendaki Bukit Tai-hang-san dan kesemua orang ini berjalan dengan gerakan cepat seperti terbang.
Di antara sekian banyaknya orang-orang gagah yang baik ke Tai-hang-san, terdapat pula Kiu-bwe Coa-li, nenek yang menjadi tokoh besar dunia persilatan, yang namanya lebih ditakuti daripada nama raja iblis oleh orang-orang dari jalan hitam (penjahat), karena Kiu-bwe Coa-li terkenal bertangan baja dan berjari maut. Tokoh selatan ini biarpun sekarang sudah kelihatan amat tua, namun wajahnya masih saja kelihatan keras dan sepasang matanya benar-benar amat berpengaruh dan jarang ada orang berani menentang pandang matanya yang bagaikan pedang pusaka tajamnya. Nenek sakti ini naik Pegunungan Tai-hang-san dengan perlahan saja, namun dua orang muda yang berjalan di kanan kirinya harus mengerahkan ginkang agar jangan sampai tertinggal oleh Kiu-bwe Coa-li!
Dua orang muda itu adalah Bun Sui Ceng dan The Kun Beng. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Sui Ceng dan Kun Beng melakukan perjalanan bersama menuju ke tempat tinggal Kiu-bwe Coa-li yang pada saat itu sudah mengundurkan diri dari dunia ramai dan ingin melanjutkan pelajarannya bertapa.
Akan tetapi, ketika Sui Ceng dan Kun Beng datang dan berlutut di depan wanita sakti ini, Kiu-bwe Coa-li kelihatan sedang marah-marah. Hal ini dapat diketahui oleh Sui Ceng karena gadis ini yang semenjak kecil ikut gurunya tentu saja sudah kenal baik akan watak gurunya yang aneh.
"Kau datang padaku ada apakah, Sui Ceng?" tanya Kiu-bwe Coa-li tanpa mempedulikan Kun Beng yang juga berlutut di depannya.
"Teecu…….. teecu sudah kangen kepadamu, Suthai dan…….. dan teecu sudah…………. sudah bertemu dengan dia ini."
Kiu-bwe Coa-li memandang ke arah Kun Beng melalui ujung hidungnya, hanya sedetik saja sinar matanya yang tajam itu menyapu wajah dan tubuh Kun Beng.
"Siapa dia?" tanyanya, suaranya membuat Kun Beng merasa dingin tengkuknya. Nenek sakti ini benar-benar hebat sekali, hebat dan menakutkan, pikirnya, lebih aneh daripada suhunya sendiri, Pak- lo-sian Siangkoan Hai yang sudah amat aneh.
"Maafkan teecu yang berani lancang menghadap tanpa diperintah," kata Kun Beng tanpa berani mengangkat mukanya, "teecu adalah The Kun Beng."
"Ah, jadi kau murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai si tua bangka? Coba kau angkat mukamu!"
Kun Beng terpaksa mengangkat mukanya memandang dan dia terkejut sekali melihat sinar mata nenek itu penuh selidik memandang mukanya. la tidak tahan menatap sinar mata itu lebih lama lagi dan kembali dia menunduk.
"Apa maksudmu datang bersama Sui Ceng ke sini?" tanya Kiu-bwe Coa-li tegas.
"Teecu.... teecu bersama Ceng-moi hendak..... hendak mohon keputusan tentang....... tentang perjodohan........." Setelah mengucapkan kata-kata ini, Kun Beng menjadi merah mukanya, demikianpun Sui Ceng menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
Tiba-tiba tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak dan entah kapan mengambilnya, tahu-tahu cambuknya yang berekor sembilan itu telah bergerak di tangannya dan meluncur cepat ke arah tubuh Kun Beng.
"Suthai !" Sui Ceng menjerit karena murid ini sudah mengenal betul sifat cambuk ini, yakni sekali digerakkan tentu mengambil sedikitnya satu nyawa orang!
Sembilan ekor cambuk itu melayang-layang di atas tubuh Kun Beng dan secepat kilat menyambar, sebuah ekor cambuk menotok jalan darah di pundak pemuda itu tanpa dapat dielakkan lagi! Kun Beng merasa sambaran angin yang luar biasa keras dan cepatnya. la tidak dapat mengelak atau menangkis lagi, maka cepat-cepat dia mengerahkan tenaga lweekangnya dikumpulkan ke arah pundak menahan napas untuk menerima datangnya totokan ini.
Kekhawatiran Sui Ceng, sebetulnya tidak ada artinya. Dalam serangan ini Kiu-bwe Coa-li hanya mempergunakan sebagian tenaganya dan dia sudah tahu bahwa dengan tenaga sebesar itu, muridnya sendiri akan dapat menerima totokan tanpa menghadapi bahaya. Oleh karena itu, kalau pemuda ini sanggup menerimanya, barulah dia memiliki kepandaian yang seimbang dengan muridnya dan patut menjadi suami muridnya. Pendeknya, serangan ini merupakan ujian atau percobaan terhadap Kun Beng!
Ketika jalan darah di pundaknya terkena totokan ujung cambuk itu, Kun Beng merasa seluruh tubuhnya tergetar, akan tetapi dia merasa lega karena ternyata dengan tenaga lweekangnya dia dapat menahan totokan itu dan tidak sampai terluka. Kiu-bwe Coa-li menarik kembali cambuknya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau cukup berharga menjadi suami Sui Ceng. Akan tetapi pada saat seperti ini jangan bicarakan tentang perjodohan!"
Sui Ceng mengangkat mukanya memandang kepada gurunya dengan penasaran. Gadis ini biarpun amat sayang dan taat kepada gurunya, akan tetapi kadang-kadang ia berani membantah. Memang di dunia ini orang satu-satunya yang berani menentang Kiu-bwe Coa-li, kiranya hanyalah Sui Ceng seorang. Sui Ceng sebelum menghadap gurunya, telah melakukan perjalanan bersama Kun Beng dan selama ini hubungan mereka makin rapat. Sui Ceng tidak melihat sesuatu yang mengecewakan dalam diri tunangannya. Kun Beng seorang pemuda tampan dan gagah berani, pula sopan santun. Timbullah rasa cinta dalam hati Sui Ceng terhadap tunangannya ini sebagai jodohnya. Mendapatkan Kun Beng sebagai suami kiranya tidak mengecewakan, karena jarang ada pemuda seperti Kun Beng.
Oleh karena hatinya sudah bulat-bulat menyetujui perjodohan ini, tentu saja ia menjadi kaget mendengar omongan gurunya yang seakan-akan tidak menyetujui. Ia mengangkat muka dan memandang muka Kiu-bwe Coa-li. Biarpun bibirnya tidak mengeluarkan sepatah pun kata, nenek tua itu sudah tahu akan isi hati muridnya, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata,
"Sui Ceng, tentang perjodohan boleh diundurkan dulu. Kini pinni (aku) menghadapi urusan yang lebih besar. Si bedebah Kiam Ki Sianjin agaknya memandang rendah kepadaku sehingga dia mengirim undangan untuk mengadakan pertemuan di puncak Tai-hang-san. Dalam suratnya dia menyatakan bahwa dia mengundangku karena mengingat bahwa aku pernah menyerang istana, hal ini berarti bahwa aku mencampuri urusan kerajaan. Ia hendak mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang anti dan pro kaisar. Padahal dengan membongkar-bongkar urusan lama, dia akan memperingatkan aku bahwa aku pernah kalah ketika menyerbu ke istana! Bangsat tua tidak tahu malu, aku memang kalah pada waktu itu, akan tetapi aku kalah karena dikeroyok oleh banyak orang." Kiu-bwe Coa-li menghentikan kata-katanya, dan mukanya menunjukkan bahwa dia marah sekali.
"Kalau begitu, apakah kehendak Suthai selanjutnya?" tanya Sui Ceng.
"Aku tidak sudi mencampuri urusan kerajaan. Akan tetapi aku tetap seorang Han dan kalau disuruh memilih antara Kaisar Han dan kaisar asing, tentu saja aku memilih kaisar bangsa sendiri, betapapun jahat dan lalimnya dia! Kiam Ki Sianjin memandang rendah kepadaku dan aku harus membasmi orang-orang itu yang menjadi penjilat kaisar asing dan mengkhianati bangsa sendiri. Sui Ceng, kau dan aku harus berangkat ke Tai- hang-san. Kun Beng ini boleh ikut juga. Dalam pertemuan besar ini, tua bangka Pak-lo-sian pasti akan hadir juga sehingga sekalian kita bicarakan urusan perjodohan kalian dengan tua bangka itu."
Ucapan Kiu-bwe Coa-li ini merupakan perintah dan tak boleh dibantah lagi. Sui Ceng menjadi girang sekali, akan tetapi Kun Beng menjadi gelisah. Celaka, pikirnya. Kalau betul suhunya pergi ke Tai- hang-san, tentu suhengnya Gouw Swi Kiat akan berada di sana pula. Bagaimana kalau suhengnya itu menceritakan semua peristiwa yang terjadi antara dia dan Kui Lan? Tentu suhunya akan marah besar dan akan celakalah dia. Tidak saja dimusuhi oleh suhengnya, bahkan kalau Sui Ceng mengetahui akan hal itu, tentu tunangannya akan berubah benci kepadanya.
Akan tetapi Kun Beng memang cerdik dan dapat memandang jauh. Ia sudah kenal betul akan watak Swi Kiat yang keras dan angkuh. Tak mungkin sekali suhengnya itu mau membuka rahasia adik sendiri kepada orang lain biarpun kepada suhu sendiri tentu tidak. Urusan ini biarpun menjelekkan nama Kun Beng namun yang akan lebih rusak nama dan kehormatan keluarganya adalah Gouw Kui Lan, karena sebagai seorang wanita dialah yang akan mengalami keburukan nama lebih hebat daripada seorang pria. Dan Swi Kiat pasti tahu akan hal ini dan takkan membuka mulut. Siapa lagi kalau bukan Swi Kiat yang tahu akan urusan itu? Kun Beng merasa lega hatinya. Ia tidak takut kalau hanya Swi Kiat yang memusuhinya, karena selain dia memiliki kepandaian yang tidak kalah oleh Swi Kiat, juga dengan adanya Sui Ceng di sampingnya, Swi Kiat akan bisa berbuat apakah? Setelah berpikir demikian, hatinya lega dan dia ikut dengan Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng ke Tai-hang-san.
Setelah mulai menanjak ke pegunungan, rombongan Kiu-bwe Coa-li bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang juga hendak mendaki pegunungan itu, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li sudah memesan kepada Kun Beng dan Sui Ceng agar supaya menutup mulut dan tidak menegur siapa pun juga, biarpun ada yang sudah mereka kenal.
"Menghadapi urusan besar ini, kalian harus membuka mata membuka telinga akan tetapi menutup mulut rapat-rapat!"
Kiu-bwe Coa-li dan dua orang muda itu mendaki bukit dari selatan maka mereka tidak bertemu dengan Kwan Cu yang naik dari jurusan timur. Pemuda ini berjalan seorang diri dengan cepatnya. Puncak Gunung Tai-hang-san menjulang tinggi, bermain dengan mega-mega putih dan memang kelihatannya berada di sebelah utara. Akan tetapi perjalanannya dari timur benar seperti yang dikatakan oleh Hok Peng, amat mudah dan selalu puncak itu kelihatan, tidak tertutup oleh hutan-hutan yang terlalu lebat sehingga dalam perjalanan ini Kwan Cu tak pernah takut kalau-kalau tersasar jalannya.
Ketika dia tiba di lereng Bukit Tai-hang-san dan sedang berjalan dengan cepat, tiba-tiba dia melompat dan hampir saja dia menubruk seorang tua yang duduk di bawah pohon, menyandarkan tubuh pada batang pohon itu dengan kedua kakinya yang panjang dilonjorkan menghalang jalan. Kwan Cu benar-benar merasa terkejut dan dia menggosok-gosok kedua matanya. Tadi dari jauh dia tidak melihat ada orang duduk di situ, bagaimana tiba-tiba saja ada kakek yang duduk dengan kedua kaki menghalang jalan? Hampir saja dia menginjak kaki itu kalau dia tidak cepat-cepat melompat.
"Bocah-bocah sekarang amat kurang ajar!" Kakek itu berkata menggerutu sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Ada orang tua duduk sengaja dilompati saja tanpa permisi. Benar-benar tidak sopan!"
Kwan Cu yang sudah berhasil menghindarkan diri sehingga tidak menginjak kaki orang cepat membalikkan tubuh memandang. la hendak menegur orang ini yang tentu sengaja hendak mempermainkannya karena dia sudah tahu bahwa orang itu sengaja memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa, tahu-tahu duduk di situ sehingga dia tidak tahu bila kakek itu datang. Akan tetapi sekarang kakek itu malah menegurnya!
Ketika dia melihat muka orang yang menegurnya, Kwan Cu kaget dan heran. Yang duduk itu adalah seorang kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali, hitam sekali seperti malam gelap. Belum pernah selama hidupnya dia melihat muka sehitam ini. Bangsa apakah dia? Kalau dilihat dari potongan mukanya, terang bahwa dia seorang bangsa Han biasa saja yang bertubuh jangkung kurus, akan tetapi mengapa kulit mukanya begitu hitam? Kulit tubuh bagian lain biasa saja, putih dan halus, hanya di bagian muka yang amat hitam sehingga sukarlah untuk mengenat muka ini, kecuali sepasang matanya yang mencorong dan berpengaruh. Kwan Cu merasa seperti pernah melihat mata seperti ini, akan tetapi oleh karena muka yang luar biasa warnanya itu, dia tidak dapat mengenal lagi.
"Ang-bin Sin-kai meninggalkan warisan ilmu silat akan tetapi tidak meninggalkan warisan budi pekerti sehingga muridnya menjadi seorang kasar, tidak dapat menghormat orang yang lebih tua," Kakek itu bicara lagi, menggerendeng seorang diri.
Kembali Kwan Cu tertegun. Suara ini berbeda sekali dengan tadi, kalau suara tadi parau dan kasar sekarang berubah menjadi halus dan tenang, suara yang sudah pernah didengarnya. Agaknya orang ini sengaja mengeluarkan suara seperti itu agar dia mengenalnya, akan tetapi betapapun dia memeras otak, tetap saja dia tidak dapat ingat lagi siapa adanya orang tua ini.
"Hari ini menerima hadiah, besok sudah lupa lagi akan pemberiannya, demikianlah watak manusia," lagi-lagi kakek itu berkata dan kali ini Kwan Cu hampir saja menempiling kepalanya sendiri,
"Bodoh benar, mengapa aku begini pelupa?" pikirnya dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang masih duduk bersandar pada batang pohon itu sambil berkata dengan girang,
"Locianpwe, mohon ampun sebesarnya atas kekurangajaran teecu yang semenjak tadi tidak mengenal Yok-ong Locianpwe. Bukan sekali-kali mendiang suhu Ang-bin Sin-kai yang salah, melainkan teecu sendiri yang kurang ajar dan bodoh."
Tiba-tiba tubuh orang itu melompat tinggi melampaui atas kepala Kwan Cu. Pemuda ini merasa sambaran angin ke arah lehernya, akan tetapi dia diam saja karena dia percaya penuh bahwa kakek raja tabib ini adalah seorang locianpwe yang berbudi mulia, tak mungkin mau mencelakakan dirinya. Bahkan dia sama sekali tidak mengerahkan lweekang untuk menjaga diri, karena takut kalau-kalau perbuatan ini akan dianggap sebagai pameran. Kwan Cu merasa leher bajunya disambar orang dan di lain saat tubuhnya sudah ditarik dan dibawa pergi cepat sekali.
Ternyata bahwa kakek ini membawanya bersembunyi di balik semak-semak belukar, mendekam di situ tanpa mengeluarkan kata-kata. Sebelum Kwan Cu sempat bertanya, dia mendengar tindakan kaki orang dari jauh. Tindakan kaki ini berat sekali sehingga pohon-pohon serasa tergetar. Dengan telinganya yang tajam dia dapat mengetahui bahwa yang datang adalah empat orang, agaknya sengaja menjatuhkan kaki dengan pengerahan tenaga luar biasa, sedangkan yang tiga lagi sukar untuk ditangkap suara derap kakinya, demikian ringan tubuh mereka melayang di atas tanah.
Sebentar saja, meluncurlah empat orang di jalan itu. Tiba-tiba tubuh Kwan Cu menggigil dan seluruh tubuhnya terasa panas ketika dia melihat siapa adanya mereka ini. Orang pertama yang sengaja menjatuhkan kaki dengan kerasnya bukan lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, musuh besar yang telah mengeroyok dan membunuh suhunya! Inilah yang membikin Kwan Cu naik darahnya dan membikin tubuhnya menjadi panas sekali. Orang ke dua adalah seorang kakek tua yang juga berjubah hitam seluruhnya seperti Hek-i Hui-mo, juga kepalanya gundul dan tubuhnya tinggi kecil. Kembali dada Kwan Cu tergetar karena dia mengenal hwesio yang dijumpainya pada malam hari di dekat kelenteng di mana Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu terbunuh. Tak terasa lagi Kwan Cu meraba sakunya dan ingat bahwa dia masih menyimpan sepotong robekan kain dari jubah hitam hwesio ini. Adapun orang ke tiga dan ke empat adalah seorang tosu yang sudah amat tua, akan tetapi Kwan Cu tidak mengenal mereka.
Hanya sekejap saja dia dapat melihat mereka karena bagaikan bayang-bayang yang cepat gerakannya mereka telah lenyap lagi, naik ke atas gunung. Kakek bermuka hitam itu berdiri dan menghela napas panjang.
"Heran sekali, Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai juga datang, akan tetapi bersama-sama dengan Hek-i Hui-mo! Benar-benar lihai setan berbaju hitam itu, bisa menarik hati dua orang ketua partai ini. Hmmm, bahkan Coa-tok Lo-ong juga datang, bakal ramai sekali ini....." Kakek ini berjalan perlahan keluar dari tempat persembunyian tanpa mempedulikan Kwan Cu.
Pemuda ini lalu bangkit berdiri dan mengikutinya. Tiba-tiba kakek itu berpaling padanya dan berkata,
"Kwan Cu, bagaimana kau bisa mengenalku?"
"Sesungguhnya teecu takkan mungkin dapat mengenal Locianpwe kalau saja Locianpwe tidak menolong teecu dengan suara aseli itu." Kwan Cu mengaku terus terang. Hang-hauw-siauw Yok-ong tertawa dan memandang ke atas.
"Memang itulah baiknya orang menyamar. Kita bisa mengenal orang lain tanpa dikenal. Bukankah itu menyenangkan sekali ? Eh, Kwan Cu, bagaimana dengan kepandaianmu?"
"Teecu hanya bisa mainkan satu dua jurus pukulan, tiada harganya untuk diketahui oleh Locianpwe. Teecu hanya mohon petunjuk dan pimpinan."
"Ha, ha, ha, kau sejak dulu memang pandai merendah. Sikap yang amat baik sekali, anakku. Kau tadi menjadi panas melihat mereka lewat, ada apakah? Apa maksudmu berkeliaran di tempat ini?"
"Locianpwe, terus terang saja teecu hendak ke Tai-hang-san untuk menuntut balas atas kematian suhu. Teecu hendak membalas dendam kepada mereka yang mengeroyok suhu secara pengecut, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan Toat-beng Hui-houw!"
Yok-ong tersenyum lebar, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Memang itu sudah menjadi hakmu dan kewajibanmu. Akan tetapi, apakah kepandaianmu sudah begitu tinggi sehingga kau seorang diri berani menghadapi mereka bertiga?"
"Teecu datang bukan bermodalkan kepandaian, akan tetapi bermodal semangat, kebenaran dan kebaktian terhadap suhu."
"Agaknya kau sudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, bukan? Kulihat sinkang (tenaga sakti) dalam tubuhmu sudah tinggi sehingga dalam sekejap kau tadi dapat menindas hawa kemarahanmu ketika kau melihat Hek-i Hui-mo. Bagus, memang kau patut menerima ilmu yang tinggi, bakatmu besar sekali. Akan tetapi harus kauketahui bahwa tiga orang yang kausebutkan tadi bukanlah lawan yang boleh dibuat main-main."
"Teecu mengerti, Locianpwe, akan tetapi dalam memenuhi tugas ini, teecu menyediakan selembar nyawa untuk taruhan. Tak lain mohon petunjuk dari Locianpwe, mengingat akan baiknya hubungan antara Locianpwe dengan mendiang suhu."
Hang-houw-siauw Yok-ong tertawa bergelak. "Kau memang cerdik dan pandai membawa diri. Sudah kuketahui hal ini sejak kau masih kecil. Coba keluarkan sulingmu!"
Kwan Cu kagum. Kakek ini tanpa melihat sudah tahu bahwa suling pemberiannya dulu masih dia bawa. Dengan cepat dia mencabut keluar suling hijau itu. Mata Yok-ong bersinar girang.
"Coba kauserang aku sampai sepuluh jurus. Hendak kulihat apakah kau takkan membuang nyawa sia-sia dengan niatmu membalas dendam ini."
Kwan Cu tak berani membantah, akan tetapi dia ragu-ragu. Ilmu silat apakah yang harus dia keluarkan untuk menyerang Yok-ong? Untuk mengeluarkan ilmu silat ciptaannya sendiri, dia tidak berani karena hal ini akan menimbulkan sangkaan bahwa dia menyombongkan diri dan memamerkan ilmu ciptaannya. Kwan Cu maklum sedalam-dalamnya akan isi dari pada diri kepandaiannya. Ia lihai bukan karena memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi-tinggi, melainkan lihai karena dia telah menghirup pengertian tentang pokok dasar segala gerakan silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sehingga menghadapi musuh dengan ilmu silat betapapun tingginya pun dia takkan merasa kaget dan dapat mengenal ilmu silat itu sampai ke dasarnya, bahkan melihat sekali dia dapat meniru segala macam ilmu silat itu. Kalau dia disuruh menyerang, sesungguhnya ilmu silatnya tidak aneh, lebih-lebih lagi seorang ahli silat kelas tinggi seperti Hang-houw-siauw Yok-ong.
"Harap maafkan teecu kalau berlaku kurang ajar!" katanya dan dia lalu menyerang dengan sulingnya, mainkan jurus-jurus pilihan dari Hun-khai Kiam-hoat. Dengan kebutan lengan bajunya, Yok-ong menangkis sampai tiga jurus, lalu berkata,
"Jangan pergunakan Hun-khai Kiam-hoat, kau takkan menang menghadapi mereka. Pergunakan ilmu silat lain yang sudah kaupelajari!" celanya.
Kwan Cu mendongkol juga. Ilmu silat tinggalan Ang-bin Sin-kai dicela orang, ini menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia tidak berani menyerang seorang locian-pwe yang dia hormati dan sayang, maka dia lalu berkata,
"Teecu baru-baru ini mempelajari ilmu silat ini, harap Locianpwe tidak mencelanya!" Tiba-tiba sulingnya diubah gerakannya dan kini dia mainkan jurus-jurus dari Ilmu Silat Ombak dan Badai yang pernah dilihatnya ketika dia melawan Hok Peng.
"Ayaaa......!" Yok-ong terkejut bukan main dan untuk beberapa lama dia hanya mengelak saja, membiarkan Kwan Cu mainkan terus ilmu silat yang sesungguhnya adalah ilmu silat ciptaannya sendiri itu! Kwan Cu diam-diam menjadi geli hatinya dan dia mengerahkan ingatannya untuk mainkan terus ilmu silat itu sampai tiga puluh jurus! Tiap jurus dia mainkan sebaik-baiknya seperti seorang murid baru yang memperlihatkan latihan-latihannya kepada gurunya.
"Tahan......!" teriak Yok-ong sambil berdiri dengan muka berkerut dan mata terbelalak. "Kwan Cu, bocah nakal. Jangan kau mempermainkan aku. Hayo katakan, dari mana kau bisa mainkan ilmu silat ini?"
Kwan Cu menjura. "Maafkan teecu, Locianpwe. Sesungguhnya beberapa hari yang lalu teecu kebetulan bertemu dengan Hok Peng Loheng dan mendapatkan ilmu silat ini dari dia."
Bagaimana ? Aku masih belum mengerti. Apakah Hok Peng mengajarkan ilmu silat ini padamu?"
"Tidak sama sekali, Locianpwe. Hok-loheng memaksa teecu untuk main-main dan dia mempergunakan ilmu silat ini mendesak teecu sehingga saking tertarik, teecu diam-diam mempelajari segala macam ilmu silat yang dia keluarkan."
"Hm, kau tentu sudah mengalahkan nya."
"Sesungguhnya di antara teecu dan dia tidak ada yang kalah atau menang, hanya kemenangan teecu adalah pelajaran ilmu silatnya itu Locianpwe." .
Yok-ong menggeleng-geleng kepala seperti orang tidak percaya. "Kau bertempur dengan dia, diserang dengan ilmu silat ini dan kau dalam pertempuran itu telah dapat mempelajari ilmu silatnya?"
"Teecu hanya meniru-niru saja, Locianpwe. Teecu hanya mempergunakan mata dan ingatan."
"Sampai berapa jurus dia menyerangmu?"
"Sampai seratus jurus, Locianpwe."
"Dan kau hafal semua?" Yok-ong terbelalak ketika Kwan Cu mengangguk sambil berkata,
"Maaf, Locianpwe. Teecu bukan hafal, hanya meniru-niru dan tentunya tidak karuan gerakan teecu. Tadi teecu berani memperlihatkan karena Locianpwe minta supaya teecu jangan mainkan Hun-khai Kiam-hoat. Apalagi yang harus teecu mainkan? Baiknya teecu teringat akan ilmu silat yang teecu tiru-tiru dari Hok Peng Loheng……… "
"Cukup kalau tidak melihat sendiri, aku takkan percaya! Kau bertempur, melihat dan hafal! Bukan main. Otakmu bukan otak manusia kiranya. Kau menjalankan tugas yang maha berat, biarpun aku percaya bahwa kau memiliki kecerdikan yang tidak dimiliki manusia biasa namun aku akan berdosa kepada gurumu kalau tidak memberi sedikit petunjuk, sungguhpun mungkin tidak ada artinya bagimu. Nah, kaulihat baik-baik bagaimana aku mainkan sulingku." Ia bergerak maju dan di lain detik suling di tangan Kwan Cu sudah dirampasnya. Kalau pemuda ini menghendaki tentu saja dia dapat menggagalkan perampasan suling ini, akan tetapi dia tidak mau menghina kakek ini dan sengaja berlaku lambat sehingga suling yang dipegangnya dapat dirampas.
Yok-ong lalu mainkan ilmu silat yang terdiri dari tiga puluh enam jurus. Ia mainkan itu perlahan sekali, sulingnya hanya diubah-ubah kedudukannya, seperti orang menari, bahkan suling itu setiap jurus dipindahkan dari tangan kanan ke kiri dan sebaliknya. Akan tetapi, setelah mainkan habis tiga puluh enam jurus, kakek ini melempar suling ke arah Kwan Cu. Pemuda ini menyambuti dan kagetlah dia karena suling itu seakan-akan terisi api bukan main panasnya!
Ia melihat kakek itu berdiri sambil mengatur napasnya, seakan-akan ilmu silat yang dimainkannya tadi amatlah sukar dan menghabiskan tenaganya. "Itulah ilmu silatku yang selalu kusimpan baik-baik, bahkan Hok Peng sendiri tidak kuat mempelajarinya semua, baru tiga puluh jurus dia pelajari, akan tetapi itu pun takkan dia keluarkan karena aku memesan agar ilmu silat itu jangan sembarangan digunakan. Memang kuciptakan ilmu silat ini bukan untuk bertempur, melainkan untuk berlatih dan untuk landasan menciptakan ilmu-ilmu silat lain kuberi nama Hu-hiat I-kin-keng. Akan tetapi kalau terpaksa, dapat dipergunakan dan aku yakin dengan ilmu silat ini kau akan dapat memecahkan semua ilmu silat dari lawan-lawanmu yang amat tangguh itu. Sudah bisakah kaumainkan tiga puluh enam jurus tadi?"
"Akan teecu coba-coba,mohon Locianpwe memberi petunjuk."
Kwan Cu sudah mempunyai pengertian yang mendarah daging tentang pokok dasar gerakan ilmu silat. Setiap kali melihat jurus silat dia menangkap inti sarinya, bukan gerakan-gerakan kembangannya, maka tentu saja lebih mudah karena inti sari daripada sejurus gerakan silat hanya sederhana belaka. Yang berbelit belit dan membingungkan orang adalah kembangannya.
Ia mulai bersilat dengan sulingnya dan karena dia memang sudah hafal akan inti sari tiga puluh enam jurus Ilmu Silat Hui-hiat I-kin-keng, dia dapat mainkan itu dengan kaku akan tetapi inti sarinya tepat sekali.
Yok-ong berdiri melongo sehingga mulutnya terbuka untuk beberapa lama. Kedua matanya tak pernah berkedip semenjak Kwan Cu bersilat dari jurus pertama sampai jurus terakhir.
"Apakah aku mengimpi?" Akhirnya dia menarik napas, melangkah maju dan memeluk Kwan Cu, "Anak baik, kau bukan manusia kaulah dewa kalau memang di dunia ini ada dewa! Orang biasa, saja kiranya akan menghabiskan waktu sedikitnya lima tahun untuk dapat menguasai inti dari Hui-hiat I-kin-keng akan tetapi kau sekali melihat saja sudah mememilikinya! Hebat, hebat......!"
Kwan Cu merasa dadanya sesak dan panas juga suling yang dipakai bermain tadi amat panas, berkat daya dari Hun-hiat I-kin-keng. Karena di dalam tubuhnya telah mengalir hawa sinkang yang luar biasa dari latihannya menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sebetulnya permainan silat yang membuat darahnya panas tadi dapat dia padamkan dengan hawa sinkang dalam tubuhnya. Akan tetapi oleh karena dia tidak mau berpamer di depan Yok-ong, dia pun lalu meramkan mata dan mengatur napas. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-ong.
"Terima kasih banyak atas petunjuk dari Locianpwe yang budiman."
"Kaupakailah ini pada mukamu, Kwan Cu. Kita menghadapi urusan besar sekali dan bukan hal yang dibuat main-main. Kauulas mukamu agar berubah warnanya."
Kwan Cu menerima bungkusan yang ketika dibuka berisi pupur warna merah. Yok-ong mengeluarkan guci arak dan mencampur bubukan itu dengan arak, kemudian dia membantu Kwan Cu memupuri muka. pemuda itu dengan "bedak" istimewa ini, Kwan Cu merasa mukanya kaku sekali, akan tetapi sebentar saja pupur itu menjadi kering dan ketika Kwan Cu meraba-raba mukanya, muka itu sudah menjadi kaku dan tebal kulitnya, akan tetapi dia tidak merasa apa-apa yang tidak enak. Kalau saja dia dapat melihat mukanya sendiri, tentu dia akan melonjak saking kagetnya karena mukanya sekarang telah menjadi lain sekali.
Di sekitar mata dan bibir membeng kak dan kulit mukanya berubah merah sekali seperti udang direbus!
"Kelak kalau urusan sudah beres, dengan pekciu (arak putih) dan madu, digosok-gosokkan pada mukamu kedok itu akan lenyap mencair ," kata Yok-ong.
"Locianpwe, mengapakah kita harus menyamar? Apakah keadaannya benar-benar amat berbahaya?"
"Kau tidak tahu, Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin sengaja mengumpulkan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw untuk mengadakan musyawarah tentang perselisihan faham antara tokoh-tokoh kang-ouw. Sebagian besar dapat dia beli dan bujuk sehingga membantu fihaknya karena kena dia tipu. Akan tetapi ada sebagian yang tetap anti penjajah dan membantu perjuangan rakyat. Pada lahirnya saja Kiam Ki Sianjin mengajak bermusyawarah, akan tetapi pada hakekatnya dia mengandung maksud buruk dan keji sekali. Ia hendak menumpas semua tokoh yang membantu perjuangan rakyat, dan dengan diam-diam dia telah mengurung gunung ini kalau semua tokoh sudah berkumpul di puncak. Sedikitnya sepuluh laksa tentara akan mengurung bukit ini dan menumpas semua orang yang tjdak mau tunduk."
"Keparat curang!" kata Kwan Cu marah.
"Akan tetapi, baiknya aku telah mengetahui akan hal ini dan aku sudah mencari jalan keluar yang amat baik seandainya Kiam Ki Sianjin benar-benar melaksanakan kehendaknya yang keji. Mari kita naik ke puncak!"
Maka berangkatlah dua orang ini kepuncak. Di tengah jalan Yok-ong berkata,
"Aku sengaja melarang Hok Peng ikut, karena tiada gunanya kalau dia mencampuri urusan besar ini. Andaikata aku gagal dan gugur, masih ada dia yang akan melanjutkan usahaku. Kalau dia ikut dan kami berdua tewas, bukankah akan sia-sia usahaku mengajarnya selama ini? Kwan Cu, kalau ada orang menanyakan namamu, pakailah nama Siauw Bu Beng (Si Kecil Tanpa Nama) dan aku bernama Lo Bu Beng (Si Tua Tanpa Nama)." Kwan Cu mengangguk dan diam-diam merasa besar hati mendapat kawan seperti kakek sakti ini, sungguhpun untuk maju seorang diri pun dia tidak merasa gentar. Hanya dengan adanya kakek ini, dia mempunyai kawan yang jauh lebih luas pengalamannya dan lebih matang pertimbangannya.
Puncak Tai-hang-san merupakan dataran dari batu karang yang luas. Di sana-sini terdapat batu karang pendek dan lebar sehingga merupakan tempat duduk yang amat enak dan baik. Pohon-pohon menghias puncak, akan tetapi di bagian dataran itu, semua pohon telah dirobohkan dan dibuang oleh Kiam Ki Sianjin sehingga dataran itu merupakan tempat luas, yang kiranya cukup untuk menampung ratusan orang yang hendak mengadakan rapat raksasa.
Dari jauh sudah kelihatan bahwa orang-orang yang mendatangi puncak itu terbagi menjadi dua kelompok. Di bagian kiri terdapat kelompok mereka yang membantu kaisar. Di situ sudah berkumpul banyak sekali orang, sedikitnya ada seratus orang. Di antara para pemimpin yang duduk di bagian depan, di atas batu-batu karang, kelihatan Kiam Ki Sianjin, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio dari Tibet, Toat-beng Hui-houw kakek yang berkuku panjang dan berwajah seperti siluman itu. Kelihatan pula Coa-tok Lo-ong sute dari Hek-i Hui-mo, yakni hwesio yang tinggi kurus berjubah hitam, seorang tokoh besar yang tidak kalah lihainya oleh Hek-i Hui-mo, karena hwesio ini adalah ahli racun nomor satu di dunia! Masih banyak lagi tokoh-tokoh besar, di antaranya Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang yang keduanya lebih terkenal sebagai Bu-eng Siang-hiap, Kam Cun Hong panglima dari Si Su Beng, Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai. Di samping tokoh-tokoh besar ini, terdapat banyak sekali murid-murid mereka yang bersikap gagah.
Di bagian kanan terdapat sekelompok orang yang jauh lebih kecil jumlahnya apabila dibandingkan dengan kelompok di sebelah kiri. Di bagian kanan inilah kelompok dari mereka yang menentang kaisar atau mereka yang membantu perjuangan rakyat melawan penjajah. Mereka ini hanya terdiri dari sepuluh orang saja! Kwan Cu memandang penuh perhatian dan dia mengenal semua orang di golongan ini. Tiba-tiba dadanya berdebar dan panas penuh cemburu dan iri hati ketika dia melihat Bun Sui Ceng berdiri di sebelah The Kun Beng di dekat Kiu-bwe Coa-li. Tak jauh dari situ terlihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Gouw Swi Kiat. Di sebelah ujung berdiri pula Seng Thian Siansu ketua Kun-lun-pai yang sudah amat tua usianya, disertai empat orang tosu, yakni murid-muridnya atau tokoh-tokoh dari Kun-lun-pai.
Kwan Cu mencari-cari dengan matanya. Ia heran tidak melihat adanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Dengan sikap tenang pemuda ini mengikuti Yok-ong naik ke puncak dan berdiri di sebelah timur, tidak jauh dari kedua kelompok itu. Yok-ong sengaja tidak mau mendekati sefihak karena dia mempunyai siasat lain. Semua orang yang melihat naiknya seorang kakek bermuka hitam seperti pantat kuali dan seorang pemuda dengan muka merah tidak karuan seperti udang direbus, menjadi terheran-heran. Tak seorang pun di antara mereka mengenal dua orang ini, bahkan Sui Ceng yang berwatak jenaka itu tersenyum geli melihat dua orang ini. Ia berbisik kepada Kun Beng dan menudingkan telunjuknya ke arah K wan Cu dan Yok-ong, dan Kwan Cu dengan hati panas melihat Kun Beng tersenyum geli pula. Akan tetapi diam-diam dia merasa kagum juga melihat fihak yang anti penjajahan ini, karena sesungguhnya fihak mereka hanya ada sepuluh orang sedangkan fihak lawan ada seratus orang, kesemuanya kelihatan tenang-tenang dan gembira saja, sedikit pun tidak kelihatan gentar. Yang lucu sekali adalah Siangkoan Hai karena kakek ini mengeluarkan kotak berisi biji catur, lalu menggurat-gurat tanah dan mengajak Seng Thian Siansu bermain catur!
Seng Thian Siansu sebagai ketua Kun-lun-pai, sudah kenal baik dengan Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai, maka dia mengangguk ke arah dua orang tua itu dan berkata dengan suara nyaring.
"Bian Kim dan Bin Kong Ji-wi Beng-cu, sambil menanti upacara dibuka marilah temani pinto main catur dengan Pak-lo-sian. Bukankah lebih menggembirakan daripada menunggu-nunggu?"
Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu buru-buru membalas penghormatan itu dengan menjura kepada ketua Kun-lun- pai yang sudah lebih tua daripada mereka dan yang biasa mereka hormati itu.
"Seng Thian Lo-siansu, pinceng menghaturkan terima kasih atas ajakan Siansu. Akan tetapi pinceng takut berdekatan dengan pembunuh-pembunuh keji yang tidak tahu aturan, yang hanya memiliki nama besar sebagai tokoh utara, akan tetapi ternyata seorang yang biadab dan curang!"
Makian ini terang-terangan ditujukan kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena tokoh besar utara adalah Pak-lo-sian. Akan tetapi yang dimaki hanya tertawa bergelak dan berkata kepada Seng Thian Siansu,
"Siansu, mengapa mengajak fihak yang terang-terangan menjadi penjilat kaisar? Sudahlah, mari kita bermain catur, jangan memancing datang anjing kelaparan sehingga kegembiraan kita akan lenyap."
Keadaan menjadi tegang, akan tetapi kedua fihak tidak melanjutkan saling maki ini karena pada saat itu, dari bawah gunung melayang bayangan orang-orang yang gerakannya cepat sekali. Mereka ini ternyata adalah Kwa Ok Sin, ketua Bun-bu-pai dan orang ke dua adalah nenek yang aneh dan menyeramkan, yakni Liok-te Mo-li, ibu dari Kong Hoat yang pernah bertemu dengan Kwan Cu.
"Ha, saudara Kwa yang baik, marilah kita bermain catur!" kata Pak-lo-sian girang melihat ketua Bun-bu-pai, ini, seorang yang biarpun kepandaiannya tidak berapa tinggi, akan tetapi disegani oleh semua orang kang-ouw karena dia menjadi ketua dari perserikatan orang-orang gagah dan sastrawan, yang terkenal adil dan bijaksana.
"Kwa-enghiong, terima kasih bahwa kau sudi memenuhi undanganku," kata Kiam Ki Sianjin sebelum Kwa Ok Sin menjawab ajakan Pak-lo-sian. "Silakan duduk di sini."
Kwan Ok Sin bingung. la lalu menggeleng-geleng kepala dan berkata,
"Tak kusangka bahwa Cu-wi sekalian telah membentuk dua kelompok sehingga membuat siauwte menjadi serba salah. Biarlah siauwte berdiri di tempat yang tidak berfihak." Tiba-tiba dia melihat kakek muka hitam dan pemuda muka merah yang duduk nongkrong di atas batu, di tengah-tengah antara dua kelompok itu, agaknya seperti orang-orang dusun yang aneh sekali dan yang sikapnya seperti penonton.
"Ji-wi siapakah dan mengapa di sini?" tanya Kwa Ok Sin dengan heran. Di antara seluruh tokoh kang-ouw, agaknya Kwa Ok Sin boleh dibilang orang yang paling dikenal dan mengenal orang. Hampir seluruh tokoh kang-ouw sudah dikenal oleh Kwa Ok Sin, baik tokoh persilatan maupun tokoh kesusastraan, maka melihat kakek muka hitam dan pemuda muka merah itu, heranlah hati Kwa Ok Sin. Selamanya belum pernah dia bertemu muka dengan dua orang ini, jangankan bertemu muka, mendengar pun belum pernah adanya orang-orang yang begini aneh mukanya.
Yok-ong tersenyum dan menjawab dengan suara kaku sekali, suara kasar dari orang dusun yang bodoh.
"Aku dan cucuku ini she Koai (Aneh), petani-petani di Gunung Tai-hang-san ini. Sekarang di atas gunung orang mengadakan keramaian, tentu saja kami datang untuk menonton." Setelah berkata demi kian Yok-ong tertawa ha-ha-he-he-he dengan lagak amat lucu.
Kwa Ok Sin adalah seorang yang berpemandangan luas dan bermata tajam. Ia dapat menduga bahwa si muka hitam ini tentulah seorang kakek yang luar biasa, maka dia tidak berani berlaku lancang, lalu menoleh kepada Kwan Cu. Akan tetapi pemuda ini sudah siap sedia, begitu orang menoleh kepadanya, dia lalu meringis dan menyeringai lalu tertawa pula ha-ha-he-he-he seperti sikap Yok-ong.
"Cu-wi sekalian!" kata Kwa Ok Sin kepada orang-orang kedua fihak. "Kebetulan sekali di sini terdapat tempat untuk penonton, maka ijinkan siauwte, berdiam di sini saja sebagai penonton." Ia lalu duduk di atas batu hitam, dan mengajak Liok-te Mo-li duduk pula. Nenek ini melirik ke arah Yok-ong dan Kwan Cu, akan tetapi tidak berkata sesuatu, hanya menghampiri sebuah batu besar yang berada di ujung lapangan, agak jauh dari tempat itu. Dengan tumit kakinya, ia mencongkel batu itu yang tiba-tiba saja melayang ke atas dan cepat nenek ini mengulur tangannya, menepuk batu itu sehingga mencelat keatas lagi, demikian sambil berjalan kembali. Liok-te Mo-li mempermainkan batu besar itu sampai ia tiba di dekat Kwa Ok Sin lalu menurunkan batu itu untuk dipakai tempat duduk.
Semua orang, baik di fihak Kiam Ki sianjin maupun di fihak Pak-Jo-sian si-angkoan Hai, melihat betapa nenek buruk rupa ini mempermainkan batu besar yang beratnya sedikitnya, ada tiga ratus kati itu dengan demikian mudahnya, diam-diam memuji. Nenek ini selamanya menyembunyikan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya, kecuali beberapa orang tokoh besar yang berada di situ. Karenanya semua orang menduga-duga siapakah gerangan nenek yang datang bersama ketua Bun-bu-pai itu.
Kiam Ki sianjin setelah melihat bahwa para undangan telah mulai berkumpul dan terutama sekali orang-orang terpenting sudah hadir, segera berdiri dan mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada seluruh yang hadir.
"Cu-wi sekalian, selamat datang di puncak dan banyak terima kasih atas perhatian Cu-wi sekalian yang sudi memenuhi undangan pinto."
Orang-orang yang berada di situ segera mencurahkan perhatiannya kepada Kiam Ki Sianjin, kecuali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu yang masih asyik bermain catur.
Kiam Ki Sianjin lalu melanjutkan kata-katanya,
"Tanpa diatur terlebih dahulu, Cu-wi sekalian yang datang di sini ternyata telah memilih fihak masing-masing, dan sudah tentu saja yang berada di fihak kami adalah mereka yang membenci perang dan yang menghendaki keamanan dan perdamaian. Oleh karena itu, hendaknya fihak pembantu pemberontak yang pada saat ini menjadi tamu, suka mengajukan seorang ketua agar dapat berunding dengan kami." Kiam Ki Sianjin menujukan kata-katanya ini kepada fihak Kiu-bwe Coa-li dan kawan-kawannya.
Kiu-bwe Coa-li hanya mengangkat cambuknya dan menggerakkannya di atas kepala. "Tar!! Tar!! Tar!!!" Sebagai imbalan dari kata-kata yang dikeluarkan oleh Kiam Ki Sianjin. Akan tetapi dia tidak menjawab sesuatu, bahkan membuang muka tidak mau memandang kepada Kiam Ki Sianjin.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu tertawa-tawa lalu berdiri.
"Pak-lo-sian, kau yang menang, lakukanlah tugasmu sebaiknya," kata Seng Thian Siansu yang sudah amat tua itu sambil tersenyum.
Pak-lo-sian menghadapi Kiam Ki Sianjin. Jarak antara mereka jauh, ada dua puluh tombak. Sambil tertawa Pak-lo-sian berkata,
"Kiam Ki Sianjin, fihak kami tidak pandai bicara seperti kau! Kiu-bwe Coa-li hanya bicara melalui cambuknya, dan terpaksa aku dan Seng Thian Siansu tadi bertanding catur untuk menentukan siapa yang harus mewakili fihak kami. Memang benar kami membantu perjuangan rakyat dan bangsa kami, sekarang kami sudah datang di sini, ada omongan apa lekas keluarkan, kami mendengar!" Setelah berbicara demikian, Pak-lo-sian tertawa-tawa dan duduk lagi, sikapnya seperti seorang anak kecil yang lucu.
"Tidak setuju!" tiba-tiba Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai berteriak. "Pinto tidak setuju kalau Pak-lo-sian atau Kiu-bwe Coa-li menjadi wakil fihak pembantu pejuang. Dua orang itu adalah manusia-manusia curang dan pengecut, tidak pantas menjadi wakil, tidak boleh dipercaya omongannya!"
"Betul, aku pun sependapat dengan Bin Kong Toheng!" kata Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai.
Merah wajah Kiu-bwe Coa-li, matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.
"Kalau monyet-monyet tua dari Bu-tong-pai, datang-datang mengeluarkan hawa busuk dari mulut. Majulah kalau kalian berani!" bentak nenek ini dengan marah sekali.
"Siapa takut padamu, siluman wanita yang keji?" teriak Bin Kong Siansu, akan tetapi Kiam Ki Sianjin cepat memegang lengannya dan berkata,
"Harap saja Siansu tidak merusak suasana dan dapat menyabarkan hati. Urusan pribadi dapat diurus kemudian, sekarang urusan negara yang harus di dahulukan."
Di lain fihak, Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga menyabarkan hati Kiu-bwe Coa-li dengan kata-kata,
"Setan perempuan, apa sih sukarnya menghancurkan kepala dua orang kura-kura tua itu nanti kalau urusan besar ini sudah beres? Sabarlah, nanti kita bagi seorang satu!"
Suasana yang sudah menegang menjadi tenang kembali. Kiam Ki Sianjin lalu berkata kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai,
"Pak-lo-sian, bagus kalau kau menjadi wakil fihakmu. Nah, dengarlah baik-baik. Fihak kami tidak menghendaki pertempuran yang terus-menerus antara kita sendiri. Kaisar yang bijaksana sudah memberi kekuasaan kepadaku untuk memaafkan mereka yang pernah memberontak, asal saja mulai sekarang pemberontakan itu dihentikan. Bagi kami yang menyadari keadaan dan yang mentaati kehendak Thian, amat tidak enak kalau harus membunuhi bangsa sendiri, biarpun mereka itu pemberontak-pemberontak keji. Oleh karena itu, sengaja kami mengundang kalian datang untuk berdamai dan menghabisi pemberontakan-pemberontakan yang hanya melemahkan keadaan negara dan bangsa saja."
Ucapan ini disambut oleh tertawa mengejek dari Kiu-bwe Coa-li dan kembali pecutnya mengeluarkan bunyi, "Tar! Tar!" keras sekali. Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa sambil mendongak ke atas.
"Kiam Ki Sianjin, kau memutarbalikkan kenyataan, kau bukan mentaati kehendak Thian, bahkan mengingkari dan hendak memutar jalannya sejarah! Rakyat yang berjuang melawan penindasan kekuasaan penjajah asing kausebut sebagai pemberontak! Sedangkan para pemberontak asing yang hendak menjajah, bahkan yang kini sudah menjadi penjajah kau sebut-sebut sebagai kaisar yang bijaksana! Kiam Ki Sianjin, di manakah mukamu sebagai orang Han? Hai, saudara-saudara sekalian yang kini berada difihak Kiam Ki Sianjin, apakah kalian bukan orang-orang Han? Patutkah orang-orang gagah melihat bangsa sendiri ditindas, tidak membantu perjuangan rakyat yang mulia, sebaliknya membantu kaisar asing penjajah hina dan suka menjadi anjing penjilatnya?" Pak-lo-sian Si-angkoan Hai berkata dengan penuh nafsu.
"Cukup! Pak-lo-sian, kami mengundang kalian bukan untuk mengumbar nafsumu, bukan untuk saling memaki. Kami mengajak berunding, berdamai dan menghabiskan semua pertempuran."
"Mudah saja untuk menghabiskan pertempuran asal tuntutan rakyat dipenuhi," kata Pak-lo-sian.
"Apakah tuntutan rakyat itu? Coba terangkan!"
"Tuntutan rakyat ialah menyeret turun kaisar asing, mengusir semua penjajah dari tanah air dan mengangkat seorang kaisar bangsa sendiri. Kalau kalian semua yang berada di sini insyaf dan membantu perjuangan rakyat, hal ini kiranya akan mudah dilakukan dan habislah semua pertempuran!"
"Pak-lo-sian, kau terlalu sekali! Apa kaukira akan dapat memperlihatkan kekuasaanmu di sini? Kau benar-benar mengeluarkan kata-kata tanpa kaupikir baik-baik. Kau berani mencoba untuk menyeret kami membantu pemberontak?" Kiam Ki Sianjin marah.
"Basmi saja pentolan-pentolan pemberontak itu!" teriak seorang anak murid difihak yang pro kaisar. Akan tetapi para tokoh besar yang menghargai kedudukan sendiri, tidak mau sembarangan mengeluarkan kata-kata.
Teriakan murid yang berangasan itu disambut oleh kawan-kawannya dan sebentar saja fihak itu menjadi ramai, senjata-senjata dihunus, siap menyerbu kalau ada perintah. Akan tetapi Kiam Ki Sianjin mengangkat tangan mencegah mereka dan keadaan menjadi tenang kembali.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan kawan-kawannya tersenyum-senyum saja mengejek, akan tetapi Sui Ceng, Swi Kiat, Kun Beng, dan empat orang tosu dari Kun-lun-pai kelihatan merah mukanya, menahan rasa marah.
"Pak-lo-sian, kau melihat sendiri betapa pernyataanmu yang tanpa dipikir itu membangkitkan rasa marah pada kawan-kawan kami. pertentangan faham ini kiranya hanya akan beres menurut ketentuan senjata!" kata Kiam Ki Sianjin, kemudian disambungnya dengan senyum. "Kecuali kalau kalian suka mengubah pendirian."
"Pendirian kami sudah tetap, membenarkan perjuangan rakyat. Adapun tentang penggunaan senjata di sini, kau yang mengundang kami dan kami datang bukan untuk berkelahi."
"Kau takut?" Kiam Ki Sianjin mengejek.
"Siapa takut padamu, tua bangka? Biar ada sepuluh Kiam Ki Sianjin, aku tidak takut!" tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li membentak marah.
"Tidak ada soal takut atau tidak takut," 'kata Pak-lo-sian dengan suara seperti orang bernyanyi, "yang ada hanya dua kenyataan pahit. Pertama, kami diundang ke sini untuk berunding, bukan untuk berkelahi. Ke dua, kalau tuan rumah sudah begitu tidak tahu malu untuk mengajak berkelahi, itu pun hanya memperlihatkan betapa rendah akhlaknya. Kami hanya berkawan sepuluh orang, sedangkan fihakmu ada seratus orang!"
Kiam Ki Sianjin merah mukanya. "Tak usah banyak mulut, Pak-lo-sian, memang kita sudah menjadi musuh lama. Pendeknya, kau berani atau tidak memutuskan pertentangan faham ini di ujung senjata?"
"Aku datang bukan untuk berkelahi, kalau sudah tidak ada omongan lain, aku akan pergi dengan kawan-kawanku!" Pak-lo-sian biarpun tua dan aneh wataknya, namun dia amat cerdik. la melihat bahwa fihak lawan amat besar jumlahnya, penuh dengan orang-orang pandai pula, maka kalau sampai terjadi pertempuran, fihaknya menghadapi bahaya. Dia sendiri dan Kiu-bwe Coa-li agaknya akan dapat meloloskan diri, akan tetapi yang lain-lain bagaimana ?
"Ha, ha, ha, Pak-lo-sian, akan melarikan diri!" Kiam Ki Sianjin berteriak mengejek. "Pak-lo-sian, kalau kau lari, terpaksa kami akan mengejarmu dan mencegah kau turun gunung sebelum persoalan ini dibereskan!"
Kini marahlah Pak-lo-sian. "Kiam Ki Sianjin, majulah kau, biar kita berdua yang memutuskan hal ini di ujung senjata!"
Keadaan menjadi amat tegang dan tiba-tiba terdengar suara Kwa Ok Sin yang cepat berdiri dan berseru,
"Cu-wi sekalian, harap tenang dulu. Amat memalukan kalau kita sebagai orang yang menjunjung kegagahan, bercekcok mulut seperti anak kecil yang hendak berkelahi! Apakah tidak ada jalan lain ke arah perdamaian antara kedua fihak? Bagaimanapun jalan pikiran dan faham masing-masing, harus diingat bahwa kita adalah segolongan, yakni orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan."
Semua orang berdiam diri dan tiba-tiba dari bawah puncak terdengar seruan keras, "Cocok…….. ! Memang pertempuran tak perlu dilanjutkan!" Dari bawah puncak "menggelundung" naik tubuh seorang hwesio yang gendut dan bundar, dan ternyata dia ini bukan lain adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!
Kwan Cu kembali menggigil tangannya melihat hwesio bundar ini. Sekarang musuh besar gurunya telah lengkap berada di tempat itu.Akan tetapi dia harus menekan semua perasaannya karena persoalan yang dihadapi adalah persoalan besar, persoalan yang dulu pun diributkan oleh kong-kongnya, oleh gurunya sehingga mereka berkorban nyawa. Tadi dengan berbisik dia menanyakan semua orang-orang yang berada di situ kepada Yok-ong dan ketika dia tahu siapa adanya hwesio tinggi kurus berjubah hitam yang pernah dilihatnya di malam hari, yakni Coa-tok Lo-ong sute dari Hek-i Hui-mo dan melihat pula ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai berada di fihak Kiam Ki Sianjin, terbukalah mata Kwan Cu. Tahulah dia kini akan rahasia peristiwa pembunuhan di kelenteng atas diri Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu dari Kim-san-pai. Sudah dapat dia menduga bahwa pembunuh kedua pendeta ini pasti Coa-tok Lo-ong yang membunuh dalam rahasia kemudian meninggalkan kesalahan itu ke pundak Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Dengan jalan ini, fihak Kiam Ki Sianjin tentu saja dapat menarik Bu-tong-pai dan Kim-san-pai untuk membantu mereka menghadapi Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian!
"Locianpwe, mengapa yang datang hanya mereka sepuluh orang itu? Dimana adanya tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin pejuang rakyat yang lain?" tanya Kwan Cu bisik-bisik kepada Yok-ong.
Raja tabib itu tersenyum, "Kiam Ki Siajin memang cerdik. Selain merencanakan untuk membasmi musuh-musuh besar di sini juga dia hendak memancing keluar semua pemimpin sehingga dengan mudah dia akan mengetahui siapa-siapa adanya pemimpin pejuang rakyat. Akan tetapi aku mendahuluinya dan aku memperingatkan mereka yang menjadi pemimpin pejuang sehingga tak seorang pun di antara mereka mau memperlihatkan diri."
Diam-diam Kwan Cu memuji kecerdikan Hang-houw-siauw Yok-ong, akan tetapi raja tabib itu mencegah dia membuka mulut lagi karena melihat munculnya Jeng-kin-jiu, keadaan menjadi lebih ramai.
Begitu tiba di puncak, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata keras,
"Cu-wi sekalian dari kedua fihak. Stop semua pertempuran yang tidak ada artinya! Untuk apa mengotorkan tangan, bertempur melawan golongan sendiri hanya karena pengaruh urusan pemerintahan yang kotor. Orang-orang macam kita ini apa perlunya mencampuri urusan kota raja? Lebih baik kembali ke masing-masing gunungnya, bertapa dan memperdalam ilmu. Pinceng sendiri karena terseret oleh pengaruh busuk di kota raja, sampai bentrok dan salah tangan menewaskan seorang bekas sahabat baik. Ahhh kalau diingat-ingat, sampai sekarang pinceng merasa menyesal setengah mati. Apakah Cu-wi hendak mengulangi kejadian seperti itu? Kaisar boleh turun dan naik, kerajaan musnah dan timbul, akan tetapi kesatuan kaum persilatan jangan sekali-kali sampai terseret dan menjadi berantakan dan pecah belah! Nah, pinceng sudah bicara, harap Cu-wi suka memikirkan dengan kepala dingin."
"Jeng-kin-jiu, omongan busuk apa yang kaukeluarkan itu?" tiba-tiba Hek-i Hui-mo melompat maju dan melototkan matanya kepada Jeng-kin-jiu. "Dahulu kita bersama melindungi kaisar, sekarang kau akan menjadi orang yang mengkhianati kawan sendiri? Apakah kau tidak lebih baik membantu kami agar dosamu tidak bertumpuk-tumpuk?"
"Agaknya dia takut melihat Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li!" mengejek Toat-beng Hui-houw sambil tertawa yang terdengar seperti ringkik kuda.
"Jeng-kin-jiu, sia-sia saja kau mencoba menginsyafkan mereka. Lebih baik jangan mencampuri urusan ini!" seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah naik darah melihat sikap fihak lawan. Jeng-kin-jiu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya, lalu duduk di atas batu karang, kelihatannya berduka sekali. Kwa Ok Sin lalu berkata dengan keras,
"Kalau kedua fihak menghendaki kekerasan, siauwte sebagai ketua Bun-bu-pai hanya mengharap agar kedua fihak memperhatikan peraturan orang-orang gagah. Adu senjata ini harus dilakukan dengan cara yang adil seperiti dalam pibu."
"Tentu saja," kata Kiam Ki Sianjin. "Yang mati tidak boleh dibuat dendam, yang terluka tidak boleh menyalahkan lawan. Fihak yang kalah harus selanjutnya menurut dan taat kepada fihak yang menang!"
"Bagus Kiam Ki Sianjin. Biar ini hari kita mengadu kepandaian sampai seribu jurus!" bentak Kiu-bwe Coa-li sambil melompat maju dan mengayun-ayun cambuknya dengan lagak menantang.
"Nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li. Bukankah tadi diusulkan oleh Kwa-enghiong supaya kita menggunakan peraturan? Nah, aku akan memilih kawan-kawan di fihakku, siapa yang akan maju menghadapi fihakmu." Setelah berkata demikian, Kiam Ki Sianjin mempersilakan kawan-kawannya yang hendak turun tangan. Serentak majulah dari fihaknya tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi seperti Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang, Kam Cun Hong, Bian Kim Ho-siang, Bin Kong Siansu, Coa-tok Lo-ong dan masih ada beberapa orang anak murid Bu-tong-pai, Kim-san-pai dan juga murid-murid dari para tokoh itu sendiri.
Adapun fihak Pak-lo-sian tentu saja hanya ada sepuluh orang itu yang kesemuanya siap membela nama baik mereka. Bahkan Sui Ceng lalu berkata kepada gurunya.
"Suthai, biarkan teecu yang maju lebih dulu. Kalau teecu tidak dapat menang, barulah Suthai maju."
Kiu-bwe Coa-li tersenyum pahit. "Sui Ceng, tahukah kau bahwa pertandingan kali ini adalah untuk mempertahankan nyawa? Lawan terlalu banyak. Menang lima kali saja belum ada artinya, dan kalau kalah harus menebus dengan nyawa."
"Teecu tidak takut!" kata Sui Ceng gagah. Kiu-bwe Coa-li melirik ke arah Kun Beng dan pemuda ini pun berkata gagah,
"Teecu juga tidak takut dan akan mendampingi Ceng-moi."
Mendengar ini, Swi Kiat menjadi merah mukanya, pemuda ini gemas sekali akan tetapi juga berduka mengingat akan adiknya, Kui Lan. Akan tetapi pada saat yang genting seperti itu, dia tidak mau memikirkan tentang urusan pribadi dan dia pun bersiap-sedia untuk menghadapi fihak lawan yang amat banyak jumlahnya itu.
Yok-ong memberi isyarat kepada Kwan Cu, lalu berkata,
"Ah, kalau akan diadakan perang, lebih baik aku pergi. Hayo cucuku, kita pergi dari sini " katanya ketakutan. Kwan Cu tidak mengerti akan maksud Yok-ong, akan tetapi dia tidak berkata sesuatu dan mengikuti kakek itu turun dari puncak. Orang-orang merasa geli melihat mereka akan tetapi tidak ada yang ambil peduli.
Setelah tiba di belakang batu karang besar, Yok-ong berkata, "Kwan Cu, mari kita periksa jalan keluar untuk mereka, agar nanti dapat dipergunakan dengan baik." Raja tabib ini berlari cepat sekali, diikuti oleh Kwan Cu. Setiba mereka di lereng, Yok-ong menunjuk ke bawah, "Kau lihat, serdadu kaisar telah mengurung bukit ini."
Benar saja, di kaki bukit itu, barisan besar bergerak-gerak seperti semut. Kwan Cu terkejut dan gemas sekali.
"Tak usah khawatir, aku sudah mendapatkan jalan keluar. Lihatlah goa itu, kelihatan keci, hanya dapat dimasuki orang dengan jalan merangkak. Akan tetapi di dalamnya lebar sekali dan goa itu merupakan terowongan yang menembus bukit dan keluar di sebelah selatan pegunungan ini. Kalau kita semua mengambil jalan ini, takkan ada orang yang dapat mengejar atau mencegat kita. Kauingatlah baik-baik, seorang di antara kita harus dapat menolong mereka keluar dari sini. Mengerti?"
Kwan Cu mengangguk. Memang, melihat keadaan. lawan yang demikian banyaknya dan rata-rata terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, Yok-ong merasa gelisah dan putus asa. Biar pun difihaknya ada Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian dan Seng Thian Siansu, akan tetapi menghadapi sekian banyaknya orang dan di sana ada pula orang-orang sakti seperti Hek-i Hui-mo, Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw dan lain-lain, sudah dapat diperhitungkan bahwa fihak pembantu pejuang rakyat pasti akan kalah.
Setelah memberi petunjuk kepada Kwan Cu, mereka kembali ke puncak akan tetapi kini menonton ke tempat itu dari balik batu karang.
"Locianpwe, kita tidak dikenal, lebih baik nonton dari dekat," kata Kwan Cu.
"Begitupun baik. Akhirnya kita harus turun tangan pula," jawab Raja Tabib itu dan keduanya lalu duduk di tempatnya yang tadi. Semua orang memandang dan tertawa.
"Eh, kalian berani datang lagi?" Kwa Ok Sin tidak dapat menahan keheranannya.
"Cucuku ini yang memaksa, katanya ingin melihat orang bermain senjata untuk menambah kegembiraan," jawab Yok-ong ketolol-tololan.
"Hem, jangan terlalu dekat, jangan-jangan ada senjata yang mampir di lehermu," kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Yok-ong dan Kwan Cu memperlihatkan muka takut akan tetapi tetap saja duduk di tempat yang tadi.
Kalau di fihak Kiam Ki Sianjin semua orang sudah bersiap-siap adalah orang-orang dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai saja yang masih kelihatan dingin saja. Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai, bukanlah penjilat-penjilat kaisar. Mereka adalah orang-orang gagah yang tidak mau peduli tentang urusan kerajaan. Mereka berdua datang hanya karena marah terhadap Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena dua orang tokoh itu telah membunuh dua orang sute mereka. Kedatangan mereka untuk membalas dendam, atau untuk membuat perhitungan dengan Ku-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, bukan untuk mengurus soal kerajaan. Maka melihat bahwa pertandingan yang akan diadakan adalah urusan kerajaan, kedua orang tua ini dan murid-muridnya tidak mau turun tangan dan diam menonton saja.
Adapun tokoh-tokoh kawan-kawan Kiam Ki Sianjin, memberi kesempatan kepada murid-murid mereka untuk maju lebih dulu, hitung-hitung mengukur kepandaian lawan. Akan tetapi, murid-murid yang masih rendah kepandaiannya tentu saja tidak boleh maju, Kiam Ki Sianjin memberi tanda kepada Bu-eng Siang-hiap, dua hwesio bersaudara yang kini menjadi pembantu-pembantunya. Dengan bangga Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang melompat maju ke tengah lapangan, lalu Mo Beng Hosiang berkata,
"Pinceng berdua saudara selalu maju berbareng, karena itu harap Siangkoan-lo-enghiong mengeluarkan jago-jagonya!" Berkata demikian, dua saudara ini menjura kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Melihat bahwa yang maju adalah dua orang hwesio setengah tua, dua orang murid Kun-Jun-pai yang bernama Tiong Ek Tosu dan Tong Seng Tosu minta ijin dari guru besar mereka, yakni Seng Thian Siansu sesungguhnya datang untuk menuntut balas atas gugurnya tiga orang muridnya, maka dia mengangguk menyetujui. Demikian pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyetujui.
Majulah dua orang murid Kun-lun-pai ini menghadapi Bu-eng Siang-hiap. Setelah saling memperkenalkan nama, empat orang pendeta ini mulai saling serang dengan hebatnya.
Ilmu silat dari Kun-lun-pai memang sudah amat terkenal, maka kepandaian dari dua orang muridnya ini juga amat lihai. Mereka mempergunakan pedang yang diputar dengan cepat dan tangguh, sesuai dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat. Adapun Mo Beng Hosiang berjuluk San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) maka dalam pertempuran ini dia bertangan kosong, sedangkan adiknya, Mo Keng Hosiang berjuluk Hun-san-pian (Pian Pemecah Gunung). Sengaja mereka maju berdua karena dengan maju berdua, mereka merupakan pasangan yang benar-benar amat tangguh. Mo Keng Hosiang bertugas menghadapi dan melindungi kakaknya dari serangan senjata lawan. Piannya amat kuat, dan setiap tangkisannya selalu membuat tangan lawan tergetar sehingga penyerangan kedua lawan nya itu menjadi lambat. Di lain fihak, Mo Beng Hosiang mulai menjalankan serangan maut dengan tangan kosong!
"Celaka, dua totiang dari Kun-Iun-pai itu pasti roboh..... " kata Kwan Cu perlahan kepada Yok-ong. Diam-diam raja tabib ini memuji ketajaman mata Kwan Cu dan dia melihat pemuda itu diam-diam meraih dua butir batu kecil.
"Jangan, Kwan Cu. Dalam pertandingan adil, tidak selayaknya kita turun tangan membantu, biarpun yang kita bantu adalah orang-orang yang berada di fihak benar. Ini sudah menjadi aturan kang-ouw yang tak boleh dilanggar oleh siapapun yang tidak menghendaki namanya terbenam di dalam lumpur."
Kwan Cu tertegun dan terpaksa melepaskan kembali dua butir batu kecil tadi. Hatinya penasaran dan tak senang sekali melihat fihak Pak-lo-sian dikalahkan. Dugaannya tepat karena dalam lima puluh jurus saja, terdengar suara keras disusul pekik dan robohlah Tiong Ek Tosu dengan kepala pecah terpukul oleh tangan Mo Beng Hosiang! Murid ke dua dari Kun-lun-pai tidak menjadi gentar. Baginya adalah menang atau mati, maka dia cepat memutar pedangnya melakukan serangan nekat. Ia berhasil menusuk pangkal lengan Mo Keng Hosiang, namun hwesio ini dapat miringkan tubuh sehingga kulit lengannya saja yang tergurat pedang dan pada saat itu, Mo Beng Ho siang sudah turun tangan memukul dada Tiong Seng Tosu. Tosu ini menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan dadanya pecah! Ia roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Fihak kaki tangan kaisar berseri wajahnya, bahkan ada orang-orang muda yang bersorak girang. Pak-lo-sian tersenyum pahit dan Seng Thian Siansu menjadi pucat. Sebelum Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain sempat mencegahnya, tahu-tahu bayangan Bun Sui Ceng sudah berkelebat dan nona ini telah berdiri dengan pedang di tangan, menghadapi sepasang hwesio yang berdiri dengan lagak sombong dan bangga.
Pak-lo-sian tidak dapat berbuat lain kecuali melompat dan mernyambar dua jenazah murid Kun-lun-pai itu untuk diletakkan di atas tanah di dekat batu karang. Mereka tak dapat ditolong lagi karena sudah tewas.
"Bu-eng Siang-hiap, aku Bun Sui Ceng maju sebagai jago dari fihak kami, kalian berdua boleh maju bersama!" tantang Sui Ceng sambil melintangkan pedang di depan dadanya. Melihat bahwa penantangnya hanyalah seorang gadis muda yang cantik sekali, dua orang hwesio itu saling pandang dan tertawa lebar.
"Nona, pinceng berdua tidak mau berlaku licik. Biarlah kau memilih seorang di antara kami sebagai lawanmu!" kata Mo Beng Hosiang sambil tertawa menyeringai.
"Gundul sombong, kalian berdua majulah bersama, boleh ditambah lagi satu dua orang agar lebih ramai!"
Mendengar ucapan gadis ini, Bu-eng Siang-hiap menjadi naik darah.
"Semua orang yang berada di sini mendengar bahwa kau yang minta kami maju bersama, kalau nanti kalah jangan bilang kami licik," kata Mo Beng Hosiang dengan mata merah.
"Tutup mulut dan majulah!" seru Sui Ceng yang sudah mulai menggerakkan pedangnya.
Mo Keng Hosiang masih merasa sayang untuk membunuh atau melukai gadis yang begini cantik dan muda, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras dan pian di tangannya menyambar ke arah pedang Sui Ceng, dengan maksud membikin pedang itu terlempar dalam segebrakan saja.
Melihat datangnya gempuran pian ini yang memang bertenaga amat kuat, Sui Ceng tersenyum dan sengaja tidak mau mengelakkan pedangnya. Alangkah kagetnya hati Mo Keng Hosiang ketika piannya membentur pedang gadis itu, karena dia merasa seakan-akan piannya yang berat itu membentur sehelai bulu saja dan tenaganya lenyap dengan sendirinya. Kekagetannya bertambah ketika terdengar suara "tar!" dan pipinya terasa amat pedas dan perih. Ia hanya melihat bayangan merah berkelebat di depan mukanya, itu adalah ujung sehelai ikat pinggang sutera berwarna merah! Sui Ceng telah mencabut senjatanya yang istimewa ini, yaitu sabuk merahnya.
Bukan main marahnya Mo Keng Ho-siang, ketika mendengar suara ketawa gadis itu. Dengan membuta dia lalu mengayun piannya dan menyerang bagaikan badai mengamuk. Juga Mo Beng Ho-siang yang kini mengerti menghadapi seorang lawan tangguh, cepat maju dan melakukan pukulan-pukulan dengan kedua tangannya yang lihai.
"Ji-wi Beng-yu, hati-hati, kalian menghadapi murid dari Kiu-bwe Coa-li!" kata Kiam Ki Sianjin yang mengenal sabuk merah ini sebagai ilmu cambuk yang biasa dimainkan oleh Kiu-bwe Coa-li.
Bu-eng Siang-hiap terkejut dan kini mereka tidak berani memandang ringan. Dengan hati-hati mereka lalu bergerak seperti ketika menghadapi dua orang lawan dari Kun-lun-pai tadi, yakni Mo Keng Hosiang mempergunakan pian untuk mempertahankan diri mereka berdua. Sedangkan Mo Beng Hosiang melakukan serangan-serangan dengan tangan kilatnya.
Namun ilmu silat yang dimiliki oleh Sui Ceng adalah ilmu silat yang diturunkan oleh seorang ahli. Bukan main hebatnya pedang yang bergerak bagaikan hidup di tangannya, sedangkan sabuk merah di tangan kirinya lebih lihai lagi. Dia pun mempergunakan siasat untuk mengimbangi kedua orang itu. Sabuknya yang lemas menghadapi pian, berusaha untuk menangkap dan merampas senjata, sedangkan pedangnya menghadapi pukulan-pukulan Mo Beng Hosiang. Sebentar saja kedua orang hwesio itu terdesak hebat oleh dara perkasa ini.
"Dia hebat..... dia hebat sekali......" tak terasa pula mulut Kwan Cu berbisik-bisik dan sepasang matanya memandang kagum.
Melihat lagak pemuda ini, Yok-ong tersenyum. "Bagus, Kiam Ki sianjin akan mengalami hajaran pertama!"
Belum habis kata-kata ini diucapkan, keadaan pertempuran sudah berubah sama sekali. Dengan ujung sabuknya, Sui Ceng tiba-tiba mengubah gerakan dan kini sabuk itu meninggalkan pian dan menyerang atau lebih tepat menangkis pukulan Mo Beng Hosiang. Ujung sabuk merah ini membelit pergelangan tangan hwesio ini dan sekali disentakkan, tubuh Mo Beng Hosiang terpental ke atas. Sebelum hwesio itu sempat mengerahkan ginkangnya, sabuk disentakkan kembali ke bawah sehingga tubuhnya terbanting ke atas lantai batu karang.
"Ngekkk!!" Tubuh Mo Beng Hosiang tak dapat berkutik lagi! Pedang di tangan Sui Ceng sementara itu tidak tinggal diam. Ia melihat pian menyerang ke arah kepalanya, cepat ia mengerakkan tubuhnya, miring dan dari samping pedangnya menyambar. Mo Keng Hosiang menjerit kesakitan, piannya terlepas berikut tangan kanannya sebatas siku terbabat putus oleh pedang Sui Ceng!
Gadis ini tidak tega melihat penderitaan kedua lawannya. Pedangnya bergerak dua kali dan putuslah urat besar di dekat leher dua orang hwesio itu yang seketika itu juga menghembuskan napas terakhir tanpa menderita lagi.
Lima orang-orang muda dari fihak Kiam Ki Sianjin melompat maju dan mengeroyok Sui Ceng. Mereka ini adalah perwira-perwira yang menjadi kaki tangan Kam Cun Hong, panglima dari Si Su Beng.
"Curang..... !" Dua orang murid Kun-lun-pai yang belum maju mencela dan cepat mereka melompat untuk membantu Sui Ceng.
Akan tetapi sebetulnya hal ini tidak perlu, karena dengan pedangnya, Sui Ceng menahan serangan lima orang perwira itu dan dalam beberapa jurus saja kembali dua orang lawan roboh mandi darah!
"Mundur!" teriak Kiam Ki Sianjin. Tiga orang perwira melompat mundur dengan muka merah. Kiam Ki Sianjin menggerakkan tangan memberi tanda kepada orang-orangnya dan empat orang mayat kawannya itu ditarik ke belakang. Kemudian Kiam Ki Sianjin bertanya,
"Siapa di antara sahabat-sahabat yang berani menghadapi gadis liar itu?”
Terdengar suara ketawa seperti kuda meringkik dan tubuh Toat-beng Hui-houw yang berwajah menyeramkan itu melompat keluar. "Kiam Ki Sianjin, biarlah aku menghadapinya. Aku sudah mengenal kuda betina liar ini!"
Melihat majunya Toat-beng Hui-houw, seketika muka Sui Ceng menjadi merah sekali, sepasang matanya berapi-api dan bibirnya digigit untuk menahan hawa kemarahan yang naik dari dadanya.
"Toat-beng Hui-houw, siluman jahanam! Andaikata kau tidak muncul, aku pun pasti akan mencarimu untuk memenggal lehermu agar ibuku di alam baka dapat mengaso dengan tenteram!” Kedua tangan gadis ini gemetar saking hebatnya kemarahan yang menyerang dirinya.
"Sui Ceng, mundurlah, biarkan pinni menghadapi siluman ini!" Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi mana Sui Ceng mau mendengar kata-kata guru ini? Dengan pura-pura tidak mendengar kata-kata gurunya, sambil berseru keras dan nyaring gadis ini menyerang Toat-beng Hui-houw dengan pedangnya. Gerakannya bagaikan seekor burung walet menyambar dan tubuhnya diikuti oleh berkelebatnya sinar merah dari sabuknya.
Selama dikalahkan oleh Ang-bin Sin-kai dahulu dan bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li, kakek yang seperti siluman ini merasa gentar dan dia melatih diri sehingga memperoleh kemajuan pesat. Kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia menewaskan Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng, kepandaiannya sekarang sudah maju pesat dan jauh sekali. Namun dia tidak berani memandang rendah kepada gadis ini, karena tahu bahwa gadis ini adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li. Kalau saja dia tidak berada di fihak Kiam Ki Sianjin dan tidak mengandalkan bantuan banyak kawan, sampai sekarang pun dia tidak berani mengganggu Sui Ceng. Akan tetapi sekarang keadaannya lain lagi. Dalam pertempuran seperti ini, kalah menang atau kematian tidak boleh diurus panjang dan andaikata guru gadis ini akan membela, kawan-kawannya masih banyak yang gagah dan tangguh, maka hati Toat-beng Hui-houw menjadi besar.
Serangan pedang dari Sui Ceng dielakkannya, dan ketika pedang itu bagaikan bermata terus mengejar dan menyerangnya, dia lalu menggereng seperti harimau sambil menggerakkan kedua tangannya. Tiba-tiba sepuluh jari tangannya mengeluarkan kuku yang panjang-panjang seperti pisau. Tadi kuku-kuku jari ini tergulung dan dengan gerakan lweekang yang amat dahsyat, kuku ini menjadi kaku dan dapat dipergunakan sebagai senjata.
Pedang Sui Ceng menyambar lagi. Toat-beng Hui-houw menangkis dengan kukunya dan Sui Ceng merasa telapak tangannya tergetar hebat. Ia kaget dan tahu bahwa lawannya ini benar-benar tangguh. Akan tetapi ia tidak gentar. Nafsunya untuk membunuh musuh besar ini demikian memuncak sehingga ia menjadi nekat. Ujung sabuk merahnya menyusul pedangnya, menyambar dengan totokan ke arah leher Toat-beng Hui-houw.
"Pergilah!" Toat-beng Hui-houw membentak sambil menyambar ujung sabuk merah itu. "Brettt!" sabuk itu putus menjadi dua!
"Ceng-moi, hati-hatilah....... !" Kun Beng berseru dengan hati ngeri melihat betapa senjata sabuk dari tunangannya yang amat lihai itu telah dapat diputuskan.
Namun Sui Ceng masih menyerang dengan hebatnya. Kini dia mempergunakan pedangnya dan telah melemparkan sabuknya yang sudah tiada gunanya itu. Pedangnya dimainkan secara hebat, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk mengalahkan musuh besarnya ini. Tubuh gadis itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung dan diam-diam Toat-beng Hui-houw harus memuji kepandaian gadis muda ini. Kalau sekiranya akhir-akhir ini dia tidak memperdalam ilmu kepandaiannya, agaknyaakan sukar dan lamalah baginya untuk mengalahkan gadis ini.
Kemarahan dan kenekatan Sui Ceng melihat musuh besar yang telah membunuh ibunya, membuat tenaganya berlipat ganda besarnya dan membuat gaya ilmu pedangnya amat ganas dan berbahaya. Karena kurang hati-hati, sebuah kuku jari kelingking dari tangan kiri Toat-beng Hui-houw kena terbabat putus ujungnya oleh pedang Sui Ceng.
Toat-beng Hui-houw marah sekali. Berkali-kali dia mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan tanah dan kini tubuhnya bergerak maju dengan serangan dahsyat, menubruk ke sana ke mari tanpa mempedulikan pedang lawannya. Memang mudah saja baginya, dengan sebuah kuku saja dia berhasil menyampok pedang lawannya, dan dengan cepat kuku-kuku jarinya menyerang tubuh gadis itu. Mau tidak mau Sui Ceng menjadi ngeri dan mulailah dia main mundur saja.
"Sui Ceng, mundurlah dan mengaku kalah!" kata Kiu-bwe Coa-li karena ia merasa ngeri dan gelisah melihat nyawa muridnya yang terkasih itu terancam.
"Biarkan teecu maju membantunya!" kata Kun Beng. Akan tetapi Pak-lo-sian melarangnya.
"Tidak boleh berlaku curang, biarpun nyawa kita akan habis semua di sini, kita harus mati sebagai orang-orang gagah!"
Terpaksa Kun Beng hanya memandang dengan hati seperti disayat-sayat melihat betapa tunangannya didesak terus.
Juga Kwan Cu yang mengerti bahwa tak lama lagi Sui Ceng pasti akan roboh di bawah tangan Toat-beng Hui-houw yang lihai itu, berbisik kepada Yok-ong dengan hati gelisah.
"Locianpwe, andaikata nona itu terluka oleh kuku tangan Toat-beng Hui-houw yang mengandung bisa berbahaya masih dapatkah dia tertolong?"
Yok-ong mengangguk. "Memang racun di tiap kuku jari Toat-beng Hui-houw bisa mematikan dan sukar diobati. Akan tetapi aku telah mempunyai semacam obat penolak bisa yang luar biasa dan yang pasti akan dapat melawan bisa itu. Asal saja lukanya tidak amat berat."
Kwan Cu segera berdiri dari tempat duduknya dan dengan tindakan perlahan dia mendekati tempat pertempuran, agaknya tertarik sekali. Yok-ong hendak mencegah namun tidak keburu. Orang-orang di kedua fihak juga melihat ini, akan tetapi oleh karena pemuda muka merah yang mengaku petani Gunung Tai-hang-san itu bukan orang dari salah satu fihak dan dianggap sebagai petani biasa saja yang menonton, tak seorang pun memperhatikannya. Apalagi keadaan amat tegang dan semua mata memandang ke arah pertempuran yang hebat luar biasa itu.
Sui Ceng benar-benar terdesak hebat. Ia memang nekat dan biarpun dia mendengar perintah gurunya supaya mundur, namun mana bisa seorang gadis seperti Sui Ceng sudi mundur dan mengaku kalah? Apa lagi terhadap musuh besar yang sudah membunuh ibunya.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 3 komentar... read them below or add one }
seru nih gan ..:)
ajib deh ... bikin gak ngantuk
poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya
Posting Komentar