selamat menikmati
“Ayah….Ibu….tolonglah anakmu…” ia berbisik. Kemudian timbul marahnya kepada gelombang dan laut. “Kakek laut tak mungkin kau dapat menewaskan aku!” pekiknya nyaring sambil memeluk perahu itu erat-erat. Sebagai jawaban, sebuah gelombang yang besar mengangkat perahunya dan melemparkan perahu itu ke atas jauh dari situ. Kwan Cu ikut terlempar, akan tetapi kini terbangun semangatnya untuk melawan gelombang yang sudah menewaskan kedua orang tuanya, timbul semangatnya untuk berjuang menghadapi kekuatan alam ini, untuk hidup. “Kakek gelombang, setelah membunuh orang tuaku, tak mungkin kau dapat membunuhku pula. Orang tuaku akan mencegahmu!” teriaknya berkali-kali. Kwan Cu bagaikan gila. Biarpun dia diterima oleh gelombang lain, dilemparkan dan diterima kembali seperti sebuah bal dalam sebuah permainan serombongan anak-anak nakal, dia tetap bersemangat, bahkan kini dia tidak merasa takut sedikitpun juga. Rasa takutnya berubah menjadi kegembiraan!
“Kakek laut, mari kita bermain-main!” serunya berkali-kali. “Mari kita berkelahi sebagai laki-laki kalau kau memang jantan!” Demikianlah, biarpun sedang dipermainkan oleh gelombang laut dan taufan menghebat, sedikitpun Kwan Cu tidak merasa takut, sebaliknya dia menantang dan merasa gembira. Hal inilah yang sesungguhnya menolong nyawanya. Orang-orang yang menghadapi maut, kalau dia dapat berlaku tenang dan tak putus asa, akalnya akan bertambah dan dia tidak menjadi gugup. Demikianpun Kwan Cu, kegembiraan dan semangatnya membuat dia tahan menderita, bahkan tenaganya menjadi besar dan kini dia mulai mempergunakan kaki tangannya untuk memukul dan mendorong ombak, mencari jalan bagi perahunya agar meluncur ke tempat yang aman. Memang, kalau diperhatikan di antara gelombang yang menghebat itu, terdapat air yang tenang yakni air yang berada diantara dorongan dua gelombang yang membalik. Kwan Cu berjuang mati-matian dengan hati gembira, sambil menantang-nantang gelombang dan akhirnya dia berhasil mendorong perahunya ke tempat yang agak aman, yakni yang gelombangnya tidak begitu besar. Ia berhasil membalikkan perahunya dan duduk di dalam perahu. Memang betul di situ masih ada ombak menyerang, akan tetapi dengan kedua tangannya di pinggir perahu menekan-nekan dan mendorong-dorong air, dia dapat mencegah perahunya berputar dan dapat beristirahat sejenak setelah menjadi permainan ombak yang membuat tenaganya habis dan tubuhnya lelah sekali.-Cerita Dewasa Seks SIlat : Pendekar Sakti 3 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-abg-silat-pendekar-sakti.html-
Ia tidak tahu bahwa gelombang tadi telah membawa perahunya ke tengah laut dan telah membawa dia jauh sekali dari tempat di mana dia bertemu dengan taufan. Juga Kwan Cu tidak merasa lagi bahwa dia tadi telah berhadapan dengan maut dalam waktu yang amat lama. Tiba-tiba saja seperti datangnya, taufan berhenti, laut tenang sekali. Kwan Cu tidak tahu bahwa gelombang tadi sebetulnya hanya “lewat” saja dan kini taufan yang mengamuk itu masih mengamuk hebat di tempat lain. Setelah air laut menjadi tenang, tenang pula hati Kwan Cu dan barulah pemuda ini tahu bahwa amukan taufan tadi begitu lama sehingga waktu itu telah menjelang senja! Hal ini dapat dia duga dari keadaan matahari yang telah tenggelam di barat, meninggalkan sinar melayu dan di timur sudah nampak bulan pudar seperti wajah seorang dara jelita yang sedang sakit dan pucat. Langit bersih sekali, laut tenang dan benar-benar mengherankan. Tiba-tiba Kwan Cu menjadi muak dan tak tahan pula dia muntah-muntah di luar perahu. Tadi di waktu di ombang-ambingkan oleh gelombang, dia merasa gembira, kini setelah keadaan menjadi tenang, dia bahkan merasa tidak enak dan mual sekali. Akan tetapi, tidak banyak yang dimuntahkan karena semenjak malam tadi, semenjak makan daging ikan Kilin bersama Kong Hoat dan ibunya, dia tidak makan apa-apa lagi. Perutnya mulai berkeruyuk minta isi, akan tetapi di tengah laut itu, dari mana dia bisa mendapatkan makan? Ia teringat akan daun Liong-cu-hio pemberian Liok-te Mo-li. Tak terasa tangannya meraba punggung dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa bungkusan pakaiannya masih terikat di punggung dan bahwa bungkusan daun mujijat itu pun masih berada di situ, sungguhpun kesemuanya itu basah kuyup seperti tubuh dan pakaiannya yang dipakainya. Tiba-tiba, bagaikan sebuah layar hitam dibuka yang tadinya menyembunyikan sesuatu yang dirahasiakan, dia melihat bayangan sebuah pulau yang penuh dengan pohon-pohon tinggi besar. Ia menjadi girang bukan main. Di sanalah terdapat makanan, pikirnya. Dengan penuh semangat, Kwan Cu lalu mempergunakan kedua tangannya untuk digerakkan seperti dayungnya. Perahu meluncur ke depan, menuju pulau itu, makin terheran-heranlah Kwan Cu. Ketika tadi untuk pertama kalinya dia melihat pulau itu, pohon-pohon yang telah kelihatan amat besar dan karenanya dia menjadi dan mengira bahwa pulau itu tentulah sudah dekat, akan tetapi, biarpun perahunya jelas mendekati pulau dan daratan makin nampak nyata, ternyata bahwa pulau itu masih jauh dan kini pohon-pohon telah kelihatan begitu besar sampai-sampai Kwan Cu beberapa kali menggosok kedua matanya.
“Apakah aku bermimpi? Ataukah mataku yang sudah tidak beres lagi? Kalau tidak bermimpi dan mataku tidak rusak, tentu otakku yang sudah menjadi berubah dan tidak waras lagi!” Tidak mengherankan kalau Kwan Cu berkata demikian, karena apa yang dilihatnya memang sukar untuk dapat diterima oleh akal sehat. Setelah perahunya makin dekat, dia melihat daratan yang luar biasa luasnya dan yang paling hebat adalah pohon-pohon yang dari jauh sudah nampak besar-besar tadi. Kini setelah dekat, pohon-pohon itu ternyata luar biasa besarnya dan biarpun Kwan Cu sudah banyak merantau dengan suhunya serta sudah sering kali memasuki hutan-hutan besar liar di mana tumbuh pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun usianya, namun selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan pohon-pohon sebesar yang tumbuh di pulau itu! Makin dekat, makin heranlah dia karena nampak kehijauan yang tinggi seperti alang-alang! Pulau setan apakah yang berada di hadapanku itu? Akan tetapi tidak dapat lama dia mengagumi dan mengherankan pemandangan di atas pulau yang ternyata luas sekali itu, karena cuaca telah menjadi gelap dan kini yang nampak hanyalah pohon-pohon raksasa yang kelihatan tinggi besar dan hitam menyeramkan dengan latar belakang langit yang pucat. Kwan Cu sudah lelah sekali, bukan karena kehabisan tenaga karena pemuda yang sudah mendapat gemblengan hebat dari Ang-bin Sin-kai ini telah dapat mengatur pernapasannya sehingga tenaganya telah kembali pulih lagi. Akan tetapi, perutnya yang lapar dan perih itulah yang membuatanya lemas dan letih kalau saja dia tadi tidak muntah-muntah, agaknya dia takkan begitu letih. Sudah seringkali dia berpuasa, tiga hari tiga malam tidak makan saja baginya belum apa-apa. Cuaca makin gelap dan hanya dengan bayangan pohon-pohon besar sebagai petunjuk, Kwan Cu terus mengayuh perahunya dengan kedua tangannya ke darat. Namun air laut yang berkeriput itu tidak dapat menerima sinar bulan dengan baik sehingga nampak air menghitam, hanya berkilau di sana-sini. Tiba-tiba perahu Kwan Cu tertahan oleh sesuatu yang berat. Kwan Cu mendorong air agar perahunya menyingkir dari penghalang itu. Ia mengira bahwa perahunya tentu terhalang oleh batu karang yang tidak dapat dilihatnya dalam kegelapan itu. Akan tetapi langkah kagetnya ketika tiba-tiba “batu karang” itu bergerak-gerak! Karena tertarik hatinya, Kwan Cu mengulur tangannya untuk mendorong “batu karang” yang dapat bergerak-gerak itu. Hampir dia berteriak ketika jari-jarinya menjamah benda yang lunak, seperti…….seperti tubuh seorang makhluk. “Tentu ikan yang terdampar ke pantai,” pikirnya menetapkan hatinya yang berdebar. “Ooleihaaaaiii…!!” terdengar “batu karang” atau “ikan” itu berteriak keras sekali. Kwan Cu tersentak kaget sehingga hampir saja dia terjungkal ke dalam air. Ia kemarin malam sudah merasa heran sekali menyaksikan ikan Kilin yang ditangkap oleh Kong Hoat, karena selamanya belum pernah melihat ikan seaneh itu. Akan tetapi sekarang, mendengar seekor ikan besar bisa mengeluarkan suara “ooleihaaaiii…..!” dengan suara seperti manusia, benar-benar membuat dia merasa ragu-ragu apakah benar-benar dia belum menjadi gila!
-Cerita Dewasa Seks SIlat : Pendekar Sakti 3 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-abg-silat-pendekar-sakti.html-
Dengan hati-hati kembali dia kembali mendekatkan tangannya ke depan. Kini menghadapi sesuatu yang begini aneh, dia untuk sementara lupa kepada pulau itu dan belum ingin mendarat sebelum menyelidiki lebih dulu sebetulnya ikan macam apakah yang bisa mengeluarkan suara seperti itu. ‘Hayalieee…!” Kwan Cu menarik kembali tangannya seperti dipagut ular dan merasa bulu tengkuknya berdiri satu demi satu. Bukan main! Tak mungkin ada ikan bisa mengeluarkan suara seperti itu. Akan tetapi rasa keingintahuannya melebihi rasa ngerinya. Ia mendorong air sehingga perahunya maju dan kini dia menggunakan kedua tangannya untuk menangkap ke depan. Ia berlaku hati-hati sekali dan menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan sikap siap sedia kalau-kalau “ikan” itu, akan menggigitnya tentu dia akan cepat memukul. Akan tetapi, keheranannya memuncak ketika kedua tangannya dengan tepat sekali kena memegang dua buah telinga manusia yang besar sekali. Saking kagetnya, Kwan Cu tidak melepaskan kedua buah telinga itu, sebaliknya dia memandang ke depan dengan mata terbelalak sambil mengerahkan seluruh tenaga pandangan matanya. Kebetulan sekali bulan agak terang cahayanya. Ia mula-mula melihat sepasang mata lebar yang mengkilap. Kemudian, kelihatanlah olehnya sebuah kepala manusia yang besarnya empat atau lima kali kepala manusia biasa! Kepala ini gundul dan sedikit rambut kepala diikat. Kulit muka dan kepala hitam sekali, dan inilah yang membuat kepala ini tidak kelihatan di dalam gelap! “Seorang manusia!” pikir Kwan Cu dengan girang. Di tempat yang aneh seperti itu, pertemuan dengan seorang manusia, bagaimanapun anehnya manusia itu, amat menggirangkan hatinya. Untuk sesaat dia lupa bahwa manusia berkulit hitam ini mempunyai kepala yang luar yang luar biasa sekali besarnya. “Saudara siapakah? Dan mengapa malam-malam berada di laut? Apakah saudara sedang mandi? Maaf kalau perahuku menganggumu.” Demikianlah pemuda itu bicara dengan gembira sambil melepaskan pegangan kedua tangannya pada telinga orang.
Sebaliknya, muka yang besar itu memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak lebar dan mulutnya yang berbibir lebar itu mengeluarkan kata-kata yang sama sekali asing bagi telinga Kwan Cu. Ketika kepala ini bicara, kadang-kadang nampak deretan gigi yang besar dan putih berkilat dari balik bibir tebal. Mendengar ucapan orang orang itu, teringatlah Kwan Cu bahwa orang ini tentulah seorang dari suku bangsa yang tidak mengerti bahasa Han dan yang mempunyai bahasa daerah sendiri. Maka ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Maaf, aku tidak mengerti bahasamu dan kau agaknya tidak mengerti pula apa maksud kata-kataku. Maafkan aku tidak mengganggu lebih lama, karena aku hendak mendarat.” Sambil berkata demikian, Kwan Cu menggunakan jari telunjuknya untuk menuding ke arah darat. Setelah itu, pemuda ini lalu menggunakan tangan untuk mendayung perahunya ke pinggir. Akan tetapi, tiba-tiba orang yang terbenam di air sampai lehernya itu, menggerakkan leher dan tahu-tahu sepasang lengan yang besar dan panjang sekali timbul dari permukaan air dan diletakkan di atas perahu Kwan Cu. Sepasang lengan yang hitam dan besar panjang itu mempunyai tenaga yang amat kuat sehingga ketika menindih perahu-perahu kecil itu tertindih hampir tenggelam! Kwan Cu terkejut sekali, bukan oleh tenaga tindihan ini, melainkan oleh besar dan panjangnya lengan yang berotot besar itu. Baru dia teringat akan besarnya kepala di permukaan air. Sampai lama dia melihat kepala dan lengan orang hitam itu dan dengan bulu tengkuk berdiri dia membayangkan betapa tingginya orang ini. Seorang raksasa yang belum pernah didengarnya dalam buku dongeng, apalagi dilihatnya! Kemudian dia melihat bahwa pergelangan dua tangan itu terbelenggu oleh rantai baja yang kuat, dan mendengar suara orang itu, tahulah dia bahwa orang itu minta tolong kepadanya agar suka membuka belenggu itu.
-Cerita Dewasa Seks SIlat : Pendekar Sakti 3 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-abg-silat-pendekar-sakti.html-
Teringatlah Kwan Cu akan sebuah dongeng yang dibacanya dari buku kuno, dongeng yang terjadi di tanah barat. Di dalam dongeng itu diceritakan betapa seorang anak laki-laki membebaskan seorang jin dari belenggu, akan tetapi setelah dibebaskan, jin itu bahkan hendak memakan anak itu. Dongeng itu singkatnya begini: Seorang bocah nelayan menjala ikan di laut. Tersangkut di dalam jalanya bukannya ikan-ikan besar, melainkan pundi-pundi yang tertutup mulutnya. Karena ingin tahu apa isinya, dibukanya sumbat mulut pundi-pundi itu. Apa isinya? Bukan emas permata atau harta benda, melainkan asap hijau yang bergulung ke atas kemudian membentuk ujud yang mengerikan, yakni seorang jin raksasa. Kemudian jin raksasa itu hendak menjadikan anak itu sebagai mangsanya. Anak itu mendapat akal dia berpura-pura heran dan tidak percaya bahwasannya seorang raksasa begitu besar bisa masuk ke dalam pundi-pundi yang demikian kecilnya. Dikatakannya kalau raksasa itu mau membuktikan bahwa benar-benar ia dapat masuk ke dalam pundi-pundi, baru dia mau percaya bahwa raksasa itu seorang jin dan dia mau dimakan tanpa perlawanan. Jin raksasa itu tertawa bergelak dan berubah menjadi asap, lalu masuk ke dalam pundi-pundi itu. Anak itu cepat mengambil sumbat dan menutup pundi-pundi kembali seperti tadi sehingga jin itu tidak dapat keluar, kemudian dibuangnya pundi-pundi itu ke dalam laut kembali! Kwan Cu teringat akan dongeng itu. Raksasa yang terbenam di dalam laut ini apakah seorang jin pula? Kalau nanti raksasa ini hendak memakannya, tidak ada akal baginya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi aku bukan anak penakut, pikirnya. Kalau dia bermaksud jahat, aku sanggup melawannya. Orang tinggi besar yang bertenaga kuat seperti dia ini, belum tentu mempunyai kecerdikan. Bukankah dia begitu bodoh sehingga setelah kedua tangannya dibelenggu, dia mandah tinggal di dalam air dan tidak bisa keluar dengan jalan kaki di darat? Ia bodoh sekali dan kasihan, sebagai manusia terhadap manusia lain, aku harus menolongnya. Bukankah dia juga seorang manusia? Dengan berpikir demikian, Kwan Cu mulai berusaha untuk membuka belenggu tangan raksasa itu. Ia melihat betapa bibir yang tebal itu tersenyum ramah ketika dia mulai berusaha membuka belenggu. Agaknya orang hitam besar ini gembira melihat Kwan Cu sudah mengerti akan kehendaknya dan mau melepaskannya daripada belenggu. Akan tetapi, dalam usahanya mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya bergoyang-goyang sehingga tenaga Kwan Cu buyar, kedua kakinya harus mempunyai landasan yang kuat dan keras. Tanpa banyak pikir lagi dia lalu melompat turun dari perahu ke air. Akan tetapi, segera pemuda ini gelagapan dan kena minum banyak air! Kwan Cu cepat mengerakkan tangan menangkap pinggir perahunya dan cepat mengayun tubuhnya naik kembali ke dalam perahu. Ia menyumpah-nyumpah, memaki-maki diri sendiri. “Bodoh! Tolol! Mengapa aku lupa bahwa raksasa ini bertubuh tinggi sekali? Dia boleh jadi tidak tenggelam, ke air hanya sampai ke lehernya, akan tetapi bagiku tentu terlalu dalam.” Hampir saja dia tenggelam di dalam air yang ternyata masih amat dalam itu! Kwan Cu memutar otaknya. Rantai besi yang mengikat tangan raksasa itu cukup kuat. Ia percaya akan dapat mematahkannya kalau saja dia mendapat landasan kaki yang kuat. Dari atas perahu amat sukar, kalau terlapau banyak dia mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya itu bergoyang dan meluncur pergi. “Mari kita mendarat!” katanya berulang-ulang kepada kepala itu sambil menuding ke pantai. “Disana akan kulepaskan belenggumu. Kau akan bisa berjalan ke sana?” Akan tetapi raksasa itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil memperlihatkan sepasang lengannya yang terbelenggu, seakan-akan hendak berkata bahwa dengan kedua tangan terbelenggu, tak mungkin dia berjalan ke darat. Alangkah gobloknya, Kwan Cu menyumpah-nyumpah dengan gemas. Akhirnya dia mendapat akal. Raksasa itu berdiri di dalam air dengan teguh dan kokohnya seperti batu karang. Mengapa dia tidak menggunakan tubuh raksasa ini sebagai landasan kakinya? Setelah berpikir demikian, dia melompat dari dalam perahu, menubruk ke arah raksasa itu dan bergantung pada pundak yang lebar itu, kedua kakinya hanya sampai di perut! Cepat Kwan Cu menginjakkan kedua kakinya pada pinggang raksasa itu tanpa mempedulikan protes dari si raksasa dan kini kedua tangannya dapat bekerja baik. Ketika dia mengerahkan tenaga beberapa lamanya, akhirnya terlepaslah belenggu itu! “Yoleihi, yoleihi!” raksasa itu berkata keras berkali-kali dan kelak tahulah Kwan Cu bahwa raksasa itu bermaksud menyatakan terima kasih kepadanya. Setelah itu, raksasa hitam itu lalu berenang ke tepi pantai dengan gerakan kedua lengannya yang kuat.
“Tolol, dia begitu tinggi, mengapa tidak mau berjalan kaki saja ke pantai ketika tangannya terbelenggu tadi, sebaliknya menanti tangannya bebas untuk dapat berenang ke darat? Tolol sekali orang itu.” Sambil bersungut-sungut ini, Kwan Cu mendayung perahunya ke darat dan setelah dia tiba di darat, barulah dia melihat kenyataan yang membuat pemuda ini menghentikan makiannya terhadap si raksasa, sebaliknya dia tiada hentinya memaki diri sendiri sebagai orang bodoh dan tolol dengan hati geli. Ternyata bahwa raksasa itu setibanya di darat, sibuk menggunakan sepasang tangannya yang kuat untuk melepaskan belenggu yang mengikat pergelangan kedua kakinya. Itulah sebabnya mengapa tadi dia berdiri saja di laut dan tidak berdaya sama sekali. Untuk berjalan ke darat, kedua kakinya terikat, untuk berenang, sepasang lengannya terbelenggu! Ketika Kwan Cu mendarat dan menarik perahunya ke pantai, raksasa itu masih sibuk menarik-narik belenggu yang mengikat kakinya. Melihat ini, Kwan Cu lalu mendekati dan menggunakan tangannya membantu. Sekali renggut saja, terlepaslah belenggu itu. “Yoleihi, yoleihi…! Dasa alihee teelu…” kata raksasa itu dengan pandang mata kagum sekali. Ia menyatakan terima kasih dan kagum akan kekuatan Kwan Cu yang dengan sekali renggut telah berhasil mematahkan kakinya. Akan tetapi Kwan Cu tidak memperhatikan kata-kata raksasa ini karena dia memang tidak mengerti artinya sama sekali. Sebaliknya dia kini mengagumi apa yang dilihatnya di dalam cahaya bulan. Pertama-tama dia kagum sekali melihat raksasa hitam yang kini sudah berdiri di hadapannya dengan kedua kaki terpentang. Biarpun dia telah dapat menduganya, namun melihat tubuh raksasa ini kurang lebih dua setengah atau tiga kali manusia biasa dengan lengan berbulu dan otot-otot memenuhi tubuh yang bidang dan kuat sekali. Rambutnya hanya sedikit, diikat di tengah-tengah kepala dan pakaian yang menutup tubuh hanyalah sehelai cawat dan ikat pingang, terbuat dari pada kain yang tebal. Selain bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi, selebihnya tidak ada yang luar biasa, melainkan sama saja dengan orang biasa. Raksasa itu memandang kepada Kwan Cu dengan ramah, kemudia dia mengulur tangannya dan memegang tangan pemuda ini. Kwan Cu terkejut dan teringat akan dongeng tentang jin, akan tetapi dia tidak takut lagi. Di darat dia tak usah takuti raksasa ini dan dia lalu teringat bahwa raksasa itu terbelenggu di tengah laut tentu ada sebabnya. Atau lebih tepat, tentu ada orang lain yang melakukan hal itu. Dengan demikian besar sekali kemungkinannya bahwa di pulau yang aneh ini tentu terdapat makhluk lain yang jahat, karena hanya orang jahat saja yang mau melakukan siksaan terhadap raksasa ini dengan membelenggu kaki tangannya dan membiarkan dia terbenam di dalam laut. Dari pada bertemu dan dimusuhi oleh orang-orang jahat itu, lebih baik dia ikut dengan raksasa yang tersenyum ramah kepadanya ini. Maka berjalanlah Kwan Cu sambil digandeng tangannya oleh raksasa itu. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Kwan Cu mengagumi segala sesuatu yang serba besar di pulau itu. Dari pohon-pohonnya, tanaman-tanamannya, sampai rumput dan batu, bahka katak yang dilihatnya berlompatan di dalam hutan, serba besar, kurang lebih tiga kali ukuran biasa! Yang mengherankan hatinya, biarpun tubuhnya besar, akan tetapi suara raksasa ini tidak lebih keras daripada suara manusia biasa, sungguhpun lebih besar dan parau. Adapun raksasa itu tidak kalah herannya dari pada Kwan Cu sendiri. Ia memandang kepada “orang kecil” ini dan sering tertawa bergelak dengan nada geli, membuat Kwan Cu menjadi mendongkol juga. “Kau mentertawakan aku, sebaliknya kau pun akan menjadi tontonan yang menggelikan kalau kau tiba di duniaku. Kau dan aku mana lebih tahu tantang kebaikan dan keburukan? Yang besar mencela terlalu kecil, yang kecil bilang terlalu besar, memang demikian sifat manusia, tak dapat menerima kekuasaan alam yang serba gaib.” Biarpun Kwan Cu berfilsafat dengan seribu kata-kata, mana raksasa itu dapat mengerti? Sebaliknya, ketawanya makin terbahak-bahak, seakan-akan kata-kata dan bahasa Kwan Cu amat aneh dan menggelikan, seperti suara burung hantu yang aneh sekali. Akan tetapi, ketika melihat betapa Kwan Cu tidak tertinggal oleh langkahnya yang lebar, raksasa itu makin terheran. Langkah raksasa itu sedikitnya tiga kali lebar langkah orang biasa, namun karena Kwan Cu mempergunakan ilmu lari cepat, dia sama sekali tidak tertinggal. Raksasa itu penasaran, melepaskan tangan Kwan Cu dan berjalan lebih cepat, namun tetap saja Kwan Cu dapat berjalan di sebelahnya tanpa sukar sedikitpun juga. Raksasa itu mulai berlari, namun sambil tertawa geli Kwan Cu tetap dapat menyusulnya, bahkan kalau dia mau dengan mudah Kwan Cu dapat meninggalkannya! Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun yang berada di tengah pulau. Dari jauh sudah kelihatan api penerangan dan terdengar oleh Kwan Cu suara tangis orang riuh rendah seperti sebuah dusun yang sedang dirundung kemalangan hebat. Raksasa itu tertawa geli dan berkata-kata kepada Kwan Cu, akan tetapi tentu saja Kwan Cu tidak mengerti sama sekali. Diam-diam Kwan Cu menjadi girang sekali bahwa di tempat itu terdapat dusun dan orang-orang, juga wanita-wanita seperti yang dapat dia dengar suara tangisnya. Kalau begitu tentulah ada sekelompok suku bangsa tinggal di tempat ini dan hal ini menjadi hiburan baginya karena selain dapat bertemu dengan sesama manusia, dia tentu akan mudah mendapat makan dan siapa tahu kalau-kalau mereka akan dapat memberi petunjuk di mana adanya pulau berpohon putih yang dicari-carinya.
-Cerita Dewasa Seks SIlat : Pendekar Sakti 3 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-abg-silat-pendekar-sakti.html-
Dusun itu mempunyai banyak pondok-pondok kayu yang besar-besar dan kokoh kuat. Modelnya sederhana saja namun pembuatannya cukup kuat dan baik, tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah model Tiongkok pesisir timur. Akan tetapi, pada malam hari itu, agaknya sebagian besar dari rumah-rumah itu ditinggalkan penghuninya dan ternyata mereka berkumpul di dalam sebuah rumah yang amat besar dan berada di tengah-tengah dusun itu. Melihat bangunan induk ini, Kwan Cu menjadi bengong.bukan main besar dan kokoh kuatnya bangunan ini, tiada ubahnya istana kaisar sendiri, hanya bedanya bangunan ini seluruhnya terbuat dari pada kayu yang besar-besar. Juga lampu-lampu gantung yang dipergunakan sebagai penerangan pada setiap rumah di dusun itu terbuat dari pada kayu. Sebagai pengganti kaca dipergunakan semacam kulit ikan yang tipis dan dapat di tembusi oleh sinar api. Nyala api tetap terang, dan ternyata bahwa orang pun mempergunakan minyak untuk lampu-lampu ini!
Raksasa membawa Kwan Cu langsung ke sebuah ruangan lebar di mana berkumpul semua orang-orang laki perempuan yang kesemuanya adalah raksasa bertubuh tinggi besar. Mereka ini duduk bersimpuh, ada pula yang berlutut menghadapi sebuah meja besar di mana dipasang lilin seperti orang melakukan semacam sembahyangan. Ketika raksasa itu muncul di bawah penerangan lampu besar, semua orang menengok dan terjadilah sesuatu yang mengherankan hati Kwan Cu. Pemuda ini melihat orang laki-laki serentak mundur, bahkan ada yang melarikan diri, ada pula yang menjatuhkan diri berlutut kepada raksasa hitam yang baru datang. Orang-orang wanita menjadi pucat dan menjerit-jerit ketakutan seperti melihat setan! Terdengarlah pekik-pekik ketakutan dan suara orang kalang kabut. Raksasa itu mengangkat kedua tangannya dan berkata-kata dengan suara yang berpengaruh seakan-akan menghibur. Setelah dia selesai berkata-kata, semua orang berlutut dihadapannya dan dari rombongan wanita, berlari keluar seorang gadis raksasa yang bertubuh tinggi ramping dan berwajah halus dan boleh dibilang cantik, biarpun kulitnya kelihatan kehitaman dan tubuhnya juga tinggi besar. Namun jika dibandingkan dengan yang lain, ia termasuk kecil dan masih muda sekali. Sambil menangis, gadis raksasa ini menubruk raksasa itu dan keduanya berpelukan. Kini semua orang yang berada di situ nampak girang, senyum timbul di wajah mereka yang rata-rata membayangkan kejujuran. Tiba-tiba seorang wanita menjerit sambil menunjukkan telunjuknya ke arah Kwan Cu. Keadaan menjadi geger setelah semua orang melihat pemuda kecil kate ini. Agaknya baru sekarang mereka melihat Kwan Cu dan terdengar suara-suara diiringi suara ketawa geli. Orang-orang perempuan tertawa terkekeh dan orang-orang lelaki tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Kwan Cu. Kwan Cu menjadi mendongkol sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya dan dalam kegemasannya lupalah dia akan perutnya yang lapar. “Sudahlah, sudahlah, aku bukan badut! Kalau kalian tidak suka melihat aku, aku pun tidak sudi berada disini terlalu lama.” Sambil berkata demikian, dia hendak pergi dari situ. Tidak sudi dia dijadikan bahan tertawaan oleh semua orang itu hanya karena dia bertubuh normal! Akan tetapi raksasa hitam yang agaknya jadi kepala mereka itu, mengulur tangan mencegah dia keluar, kemudia raksasa ini mengangkat tangan memberi tanda kepada semua orang supaya berhenti tertawa dan bicara panjang lebar. Agaknya dia menceritakan pengalamannya dan menceritakan betapa Kwan Cu telah menolongnya. Hal ini dapat diduga ketika semua orang kini memandang ke arah Kwan Cu dengan kagum sekali. Dan tiba-tiba gadis raksasa yang tadi memeluk raksasa hitam itu, berlari mendekati Kwan Cu, menggunakan kedua lengannya yang berkulit hitam halus dan panjang itu untuk memeluk Kwan Cu lalu…..mencium hidungnya! Hampir saja Kwan Cu berlari keluar saking malu dan jengahnya. Ia memberontak dengan halus, melepaskan diri dari pelukan gadis raksasa itu dan berdiri dengan muka merah sampai ke telinganya! Ia melihat semua orang tertawa-tawa. Kini orang-orang wanita yang berpakaian cukup sopan, yakni dengan semacam kain berkembang tebal di selimutkan dari pundak menutup leher sampai kelutut, datang mengerumuninya. Ia sudah merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau semua wanita ini akan memeluk dan menciuminya. Akan tetapi dia merasa lega sekali ketika ternyata mereka hanya mendekatinya, meraba-raba tangan dan kakinya, bahkan ada yang melepaskan kalung dan gelang dari emas tulen dan memberikan perhiasan itu kepadanya sebagai tanda kagum!
Sambil tersenyum dan menggelengkan kepala Kwan Cu menolak semua hadiah itu dengan halus. Raksasa hitam yang ternyata adalah raja suku bangsa ini lalu memberi perintah dan bubarlah semua orang. Mereka sibuk bekerja dan pada malam hari itu juga di ruangan ini diadakan pesta untuk menghormat raja dan Kwan Cu! Pemuda ini mendapat kenyataan bahwa tidak semua raksasa berkulit hitam arang seperti kepalanya. Ada yang agak putih walaupun bagi bangsa Han masih termasuk hitam, bahkan wanita-wanitanya rata-rata mempunyai kulit yang hitam-hitam manis. Meja sembahyang yang tadi dipasang di tengah ruangan, dibawa pergi dan sebagai gantinya dipasang meja besar yang mewah. Ketika orang sibuk menghias meja ini, Kwan Cu melompat dari tempat duduknya karena dia melihat di antara kain-kain berwarna yang dipergunakan untuk menghias meja makan yang panjang dan lebar itu, terdapat sajak-sajak yang tulisannya sama dengan tulisan yang dipergunakan dalam kitab sejarah Gui-siucai atau dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Ia membaca sajak kuno itu dan cepat berpaling kepada raksasa hitam yang juga memandangnya dengan heran. Ketika Kwan Cu menunjuk kepada sajak-sajak itu seakan-akan bertanya, raja-raja raksasa itu lalu membaca sajak-sajak tadi, akan tetapi dengan bahasa yang sama sekali asing bagi Kwan Cu. Kemudian Kwan Cu lalu membaca sajak itu keras-keras dan kini giliran raja raksasa itu untuk memandangnya dengan bingung. Kwan Cu mendapat akal baik, lalu dia menggunakan jari tangannya untuk menggurat-gurat meja yang halus. Sambil mengerahkan lweekangnya dia dapat menulis beberapa huruf dari tulisan kuno itu yang berbunyi. “Apakah kau dapat membaca tulisanku ini?” Raja raksasa terkejut sekali nampaknya lalu berteriak keras. Semua orang yang sibuk membereskan tempat itu, pada lari mendatangi dan mereka semua, laki-laki dan perempuan dapat membaca tulisan tangan Kwan Cu di atas meja itu. Mereka bersorak-sorak girang dan raja itu lalu memberi perintah. Seorang diantara mereka berlari mengambil alat tulis berupa pisau runcing dan lembaran kulit pohon yang di dalamnya putih dan halus. Dengan pisau itu, memang amat mudah dan enak untuk menuliskan huruf di sebelah dalam lebaran kulit pohon.
“Tentu saja kami dapat membaca tulisanmu. Agaknya tulisan kami sama, hanya suara bacaannya yang bikin berbeda.” Raja itu menulis dan bukan main girangnya hati Kwan Cu.
Pesta dimulai dan daging panggang yang dihidangkan membuat hati Kwan Cu berdebar girang, membuat dia mengilar akan tetapi juga baru melihat saja dia sudah merasa kenyang! Daging-daging yang dihidangkan di hadapannya begitu besar dan berbau sedap.
Kini dia dapat “bercakap-cakap” dengan rakyat hitam itu melalui tulisan huruf kuno, dan dia mendapat penjelasan dan penuturan yang amat menarik hati seperti berikut.
Kalau dia yang membacanya, nama raja raksasa itu adalah Lakayong, dan raja ini adalah seorang duda dengan puterinya bernama Liyani, yakni gadis raksasa yang menangis sambil memeluknya tadi, atau juga gadis yang telah memeluk dan mencium Kwan Cu setelah mendengar bahwa pemuda ini telah menolong ayahnya! Suku bangsa raksasa itu menurut mereka disebut bangsa Kuyu, keturunan dari bangsa raksasa yang sudah di sangka lenyap dari daratan tiongkok. Mereka hidup sampai beberapa keturunan di atas pulau besar yang kosong itu. Lakayong diangkat sebagai raja oleh karena dia mempunyai tenaga paling besar dan menurut tradisi mereka, setelah diadakan pertandingan dan Lakayong tak dapat dikalahkan, maka dia diangkat menjadi raja. Jago-jago lain dijadikan pembantu-pembantunya. Di antara pembantu-pembantunya terdapat dua orang raksasa lain yang dalam kepandaian bertempur dan kehebatan tenaga, hanya kalah sedikit oleh Lakayong. Mereka ini bernama Wisang dan Kasang yang oleh Lakayong diangkat menjadi pembantu-pembantunya yang paling berkuasa. Akan tetapi, sudah lama dua orang ini merasa iri kepada Lakayong, dan diam-diam mengandung maksud untuk merebut kedudukan. Apalagi ketika dua orang itu bergantian mengajukan pinangan terhadap Liyani ditolak oleh gadis itu, mereka makin menaruh hati dendam.
Bangsa Kuyu mempunyai kebiasaan yang aneh dan yang sudah menjadi tradisi mereka. Yakni tiap kali bulan muncul, mulai bulan timbul tiga perempat sampai bulat, setiap raja selalu mandi di laut seorang diri, katanya untuk menerima berkah dari Dewa bulan demi kebahagiaan bangsanya. Pada malam hari kemarin, seperti biasa Raja Lakayong mandi di laut memenuhi peraturan tradisi dan minta bekah bagi rakyatnya, tiba-tiba dia diserang oleh dua orang pembantunya, yaitu Wisang dan Kasang. Kalau saja mereka bertempur di darat, agaknya biarpun dikeroyok dua, Raja Lakayong takkan kalah. Akan tetapi pertempuran di air melelahkan. Ia sudah mulai tua sedangkan lawannya masih muda dan pandai berenang. Akhirnya dia kalah, dibelenggu kaki tangannya dan dilemparkan ke laut agar mati tenggelam atau dimakan ikan liar. Kemudian Wisang dan Kasang berlari ke darat, memberi tahu kepada semua orang bahwa ketika sedang mandi di laut, Raja Lakayong telah diserang ikan besar dan bahkan mereka berdua telah berusaha untuk menolong namun tidak berhasil, sebaliknya menderita luka-luka. Padahal luka-luka mereka itu adalah karena pukulan Raja Lakayong yang melawan hebat sebelum dia dikalahkan!
Semua orang menjadi berduka, terutama sekali Layani dan upacara sembahyang segera dilakukan sampai sehari semalam. Adapun kedua orang itu, Wisang dan Kasang, tidak kelihatan lagi. Hal ini karena mereka masih amat akan percaya tahyul dan mereka beranggapan bahwa sebelum sehari semalam, arwah orang yang mati masih berkeliaran untuk menuntut balas pada musuh-musuhnya! Karena itu, selama sehari semalam mereka tidak berani keluar dan bersembunyi di dalam sebuah gua yang gelap agar arwah dari Raja Lakayong tidak dapat mencari mereka! Ini pula sebabnya ketika raja Lakayong muncul pada malam hari itu, kedua penghianat itu tidak kelihatan di situ. Demikianlah penuturan Raja Lakayong pada Kwan Cu.
“Baiknya Dewa Air masih melindungiku,” Raja Lakayong menutur selanjutnya, “sehingga ombak membawaku ke tempat yang dangkal dan dalam keadaan yang setengah mati aku dapat berdiri di dalam air yang tiba sebatas leher. Aku berdiri kuat-kuat agar tidak terguling, karena sekali aku terguling, aku akan mati. Kebetulan sekali kau datang, sahabat baik, dan aku tertolong.”
“Di mana adanya dua orang yang jahat itu? Aku ingin sekali memukul kepala mereka!” tulis Kwan Cu dengan gemas.
Lakayong tertawa bergelak. “Kamu mengagumkan sekali, saudara kecil yang gagah,” tulisnya. “Akan tetapi kau tidak tahu kalau Wisang dan Kasang amat kuat dan tangkas. Di seluruh dusun ini, hanya aku yang mampu menandingi mereka, itupun tak mudah aku lakukan. Mereka kuat sekali, apa daya orang kecil seperti kau?”
Ketika kedua orang itu bercakap-cakap dalam bentuk tulisan, maka semua tulisan itu di baca semua orang ganti berganti dan yang mendapat kesempatan pertama tentu saja Liyani yang memandang kepada Kwan Cu dengan kagum sekali.
“Kau kecil dan lemah, akan tetapi kau gagah perkasa. Aku suka kepadamu,” tulis gadis itu dengan tulisan tangannya yang halus.
Kwan Cu merasa mendongkol karena raja Lakayong agaknya memandang rendah kepadanya.
“Biarpun aku kecil, aku berani menghadapi keroyokan mereka berdua!” tulisnya. Tentu saja tulisan ini menimbulkan kegemparan besar setelah semua orang membacanya. Seorang laki-laki tinggi besar dan kelihatan kuat dan kasar sekali menudingkan telunjuknya kepada Kwan Cu dan berkata-kata dengan keras.
“Dia bilang apa?” Kwan Cu menulis. Akan tetapi Raja Lakayong menggelengkan kepalanya, seakan-akan segan untuk “menerjemahkan” kata-kata itu. Kwan Cu merasa penasaran dan menunjukkan kata-kata pertanyaannya itu kepada Liyani. Gadis ini segera menuliskan jawabannya tanpa mempedulikan ayahnya yang tampaknya melarangnya.
“Dia seorang kuat, dan berkata bahwa bangsa kami selalu jujur dan tidak mau membual, seorang laki-laki yang berani mengeluarkan ucapan membual harus berani pula membuktikannya omongannya itu.”
Membaca jawaban itu, Kwan Cu melompat berdiri. Orang-orang tidak bisa mengikuti gerakannya yang cepat seperti burung terbang. Tahu-tahu semua orang melihat pemuda kecil itu berdiri di depan raksasa muda yang menegurnya tadi dan bertolak pinggang seperti menantang. Raksasa muda tertawa dan mendorong dada Kwan Cu, agaknya hendak menyuruh Kwan Cu duduk kembali. Dorongannya itu sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya, menyambar ke arah dada Kwan Cu seperti gajah menyeruduk. Akan tetapi dengan sedikit saja miringkan tubuh, Kwan Cu sudah dapat mengelak dan secepat kilat dia dari samping menekan siku yang mendorong dan membarengi menggunakan kaki untuk menendang belakang lutut raksasa itu. Terdengar raksasa itu berteriak dan tak dapat bertahan lagi ia jatuh tersungkur dengan hidung lebih dulu!
-Cerita Dewasa Seks SIlat : Pendekar Sakti 3 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-abg-silat-pendekar-sakti.html-
Orang-orang tertegun melihat hal ini, bahkan Raja Lakayong sendiri seperti orang yang tak percaya akan apa yang dilihatnya, sebaliknya Liyani bertepuk tangan memujinya. Raksasa itu bangun kembali dengan penasaran, dari hidungnya yang panjang mengalir darah. Setelah memandang dengan mata yang terbelalak, dia lalu menyerang, kini dengan kedua tangan dipentang lebar dan kemudian memukul kepala Kwan Cu dari kiri dan kanan. Serangan itu dahsyat sekali, akan tetapi bagi Kwan Cu gerakan orang ini amat lambat, mudah saja baginya untuk melangkah mundur sehingga kembali serangan itu mengenai angin kosong. Raksasa itu terheran ketika kedua tangannya memukul angin, maka dengan bernafsu ia menubruk, kini dengan tubuh membungkuk seperti seekor lembu jantan hendak menyeruduk.
Kwan Cu berpikir, bahwa kalau ia tidak memperlihatkan kelihaiannya, tentu ia akan dipandang rendah oleh orang-orang ini. Maka ia menanti kesempatan baik. Ketika lawannya menyeruduk, menyerang dengan kedua tangan dan kepala, ia bergerak cepat sekali, melompat dengan ringan sekali melalui atas kepala lawannya! Semua orang tertegun, akan tetapi raksasa muda itu kebingungan karena tiba-tiba saja ia kehilangan lawannya.
“Bocah cilik, jangan lari kau sembunyi!” teriakannya dengan bahasa yang tidak di mengerti oleh Kwan Cu. Akan tetapi orang yang berada di situ mengerti dan menjadi geli sekali karena Kwan Cu yang disangka bersembunyi itu sebenarnya telah berada di belakang raksasa muda itu! Kwan Cu tidak mau membuang waktu lagi, dengan gerakan yang cepat sekali dia menggunakan jari tangannya untuk menotok kaki bagian belakang lutut. Ia melihat urat besar dan seketika itu juga raksasa itu jatuh berlutut. Kwan Cu menyerang terus, kini menotok punggungnya dan aneh sekali bagi semua orang dan raja Lakayong karena dengan tiba-tiba raksasa muda itu terguling jatuh dan menangis keras!
Semua orang menjadi gempar dan raksasa itu dikerubung dan ditanyai, akan tetapi ia tidak menjawab melainkan tetap bergulingan dan menangis karena ia telah ditotok jalan darahnya yang membuat semua badan menjadi sakit dan air matanya mengucur keluar tanpa dapat dicegah lagi, ternyata Kwan Cu telah menggunakan Ilmu Silat Sin-ci-tin-san (Satu Jari Merobohkan Gunung)!
Liyani segera menghampiri Kwan Cu. Pemuda ini takut kalau akan dicium lagi maka dia berlaku waspada, siap mengelak kalau-kalau akan dipeluk. Akan tetapi Liyani menghampirinya dengan membawa tulisannya yang ketika ia baca berbunyi,
“Kau apakan dia”
Kwan Cu tersenyum dan membalasnya dengan tulisan
“Tidak apa-apa, hanya memberi pelajaran kepadanya, kau minta menarik lagi kata-kata yang memandang rendah kepadaku dan aku akan menyembuhkannya!”
Gadis itu sambil tersenyum gembira berlari-lari kearah raksasa yang masih menangis bergulingan seperti anak kecil itu, dan menyampaikan pesan Kwan Cu. Raksasa itu berkaok-kaok yang diterjemahkan oleh Liyani.
“Dia sudah kapok dan minta ampun.” Kwan Cu merasa kasihan. Ia menghampiri pemuda raksasa itu, lalu menepuk dan mengurut punggungnya! lenyaplah rasa sakit. Raksasa itu membungkuk kepada Kwan Cu lalu beranjak pergi dari situ dengan malu. Kwan Cu duduk lagi di dekat Raja Lakayong yang memandangnya sambil mengurutkan kening, lalu menulis,
“Kau menggunakan ilmu hoat-sut (ilmu sihir), aku tidak suka akan ilmu curangmu itu, lebih baik menghandalkan tenaga dan berkelahi dengan jujur.”
Kwan Cu dapat memaklumi jalan pikiran raksasa sederhana dan jujur ini. Maka ia lalu menulis dengan panjang lebar.
“Tidak ada kecurangan caraku dalam bertempur, aku lebih menggunakan otak dari pada tenaga. Kalau aku disuruh bertempur menghadapi dia yang jauh lebih besar, apakah itu jujur dan adil namanya? Sama saja seekor kelinci disuruh menghadapi harimau! Tenagaku jauh lebih kecil, maka aku harus menggunakan akal. Aku tadi juga menggunakan pukulan akan tetapi pukulan dengan tenaga sekecilnya yang ditujukan pada bagian yang menyakitkan.”
“Tubuhnya kuat, tak mungkin dengan tenaga kecil dapat menimbulkan rasa sakit.” bantah Lakayong. “Kau keliru.” Jawab Kwan Cu. “di bawah kulit tersembunyi bagian-bagian yang lemah. Kalau kau tidak percaya, coba kau gunakan salah satu jari tanganmu mengetok bagian lututmu ini sendiri.” Sambil berkata demikian Kwan Cu meraba sambungan lutut raksasa itu.
Sambil tersenyum Raja Lakayong mengetokkan jarinya pada bagian itu dan dia berseru kesakitan dan secara otomatis kakinya bergerak ke depan seperti orang menendang karena tersentuh uratnya yang amat perasa. Dengan rasa terheran-heran raksasa itu mengetuknya berkali-kali dan akhirnya Kwan Cu melarangnya karena hal itu dapat berbahaya sekali.
“Jika kau menggunakan pukulan menghantam lawan, mungkin ia tak kan raboh, akan tetapi agak ke bawah kau memukul mengenai sambungan lututnya, pasti ia roboh. Apakah akal ini dapat dikatakan curang?”
Lakayong kagum sekali. Lalu ia minta penjelasan lebih lanjut.
“Mungkin aku akan menghadapi seorang di antara dua orang penghianat itu. Mereka masih muda dan kuat, sedangkan aku sudah tua. Aku kalah tenaga dan aku perlu mengetahui rahasia tubuh ini,” katanya.
Kwan Cu lalu memberi penjelasan sambil memberi contoh, yaitu lebih tepat memukul sambungan siku daripada mengenai lengan, lebih baik memukul sambungan pundak daripada mengenai dada, dan memberi petunjuk berbahaya yaitu leher, ulu hati, lambung dan lain-lain. Raja Lakayong menjadi girang sekali dan hampir sampai pagi ia menerima petunjuk dari Kwan Cu.
“Di mana adanya dia orang jahat itu?” tanyanya.
“Mereka bersembunyi, akan tetapi tidak ada orang yang akan sembunyi terus-menerus, mereka tidak berani meninggalkan pulau dan besok ia akan menghadap juga.”
“Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?”
“Kau akan melihat sendiri besok,” jawab Lakayong sambil tertawa. “Yang sudah pasti, mereka akan menghadapi keputusan yang jujur, sesuai dengan kebiasaan kami.”
Adapun Liyani yang suka kepada Kwan Cu, tiada bosannya mengajarkan bahasa mereka kepada Kwan Cu. Dengan bantuan tulisan mereka yang dimengerti oleh Kwan Cu, dibantu pula oleh otaknya yang cerdik, sebentar saja Kwan Cu sudah dapat mengerti beberapa ucapan terpenting dalam percakapan sehari-hari. Maka mulailah dia bercakap-cakap dengan Liyani dan Lakayong sehingga mereka menjadi gembira sekali.
Melihat Suling yang berada di buntalan Kwan Cu, Liyani bertanya benda apakah gerangan yang aneh itu. Kwan Cu tersenyum lalu meniup sulingnya. Berserabutan orang-orang yang tadinya udah pulang ke pondok masing-masing untuk melihat apakah yang dapat berbunyi demikian aneh dan merdu. Adapun Liyani saking gembiranya lalu menari di hadapan Kwan Cu. Sebuah tarian yang menurut Kwan Cu amat melanggar kesusilaan karena gadis itu menari dengan pinggang bergerak, semacam tari perut !
Atas kehendak Raja Lakayong, pertemuan yang menggembirakan itu dibubarkan untuk memberi kesempatan pada tamunya untuk mengaso. Kwan Cu mendapat kamar yang bersih di dalam gedung besar itu berdekatan dengan kamar Raja Lakayong dan kamar puterinya. Lakayong sebentar saja sudah tidur mendengkur. Juga Kwan Cu yang merasa lelah sekali, tidur melenyapkan keletihannya setelah makan kenyang dan merasa tubuhnya enak dan segar. Lebih dulu ia mengganti pakaiannya yang basah kuyub dengan pakaian yang sudah dia panggang di dekat api unggun sehingga menjadi kering.
Pada keesokan harinya dia bangun dari tidurnya karena suara ketawa terkekeh-kekeh di dalam kamarnya. Ia membuka matanya dan cepat meloncat turun dari pembaringan kayu ketika melihat yang tertawa-tawa itu adalah Liyani yang sudah memasuki kamarnya. Gadis itu telah membuka buntalannya dan sedang melihat-lihat pakaiannya. Celana dan bajunya dipegang gadis itu sambil tertawa-tawa, seperti seorang gadis remaja memegang dan merasa geli melihat pakaian anak kecil! Memang, celana sutra dari pemuda itu ketika dipegang tergantung oleh tangan Liyani hanya kelihatan seperti celana anak kecil saja!
Ketika melihat Liyani mulai membuka bungkusan kuning yang berisi daun Liong-cu-hio, Kwan Cu melompat dan merampas bungkusan itu.
“Jangan sentuh ini!” katanya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
Mata yang bening itu terbelalak lebar. Setelah melihat gadis itu di pagi hari, Kwan Cu harus mengaku bahwa Liyani memiliki kecantikan yang khas dari bangsanya. Kulitnya yang kehitaman itu tidak membosankan dan bibirnya yang tebal itu nampak penuh dan manis.
“Mengapa tidak boleh?” tanyanya heran, kejujurannya membuat ia tidak merasa tersinggung.
“Karena benda yang terbungkus kain ini sangat berbahaya, sekali tanganmu menyentuhnya, akan mejadi hangus tanganmu itu.”
Liyani menjadi terkejut sekali dan melangkah mundur.
“Kau orang aneh, barang-barangmu juga aneh. Akan tetapi aku …. aku suka padamu, suka sekali padamu.” Setelah berkata demikian gadis itu keluar dari kamar, meninggalkan Kwan Cu yang berdiri dengan muka merah sekali. Pemuda ini baru berumur enam belas tahun dan selama hidupnya belum pernah berpikir tentang cinta kasih antara laki-laki dan wanita. Tadinya mengira bahwa rasa suka yang dinyatakan berkali-kali oleh gadis raksasa itu adalah rasa suka yang terdapat dalam hati orang bersahabat, namun melihat sinar mata gadis itu yang aneh sekali, membuat dia merasa jengah dan tidak enak hati!
Wanita-wanita pelayan datang membawa air pencuci muka, air minum dan makanan, menyediakan semua itu sambil tertawa-tawa seakan-akan menghadapi sesuatau yang lucu. Kwan Cu mendongkol sekali dan berpikir bahwa dia tidak betah terlalu lama tinggal di pulau raksasa ini karena dia maklum bahwa tubuhnya yang jauh lebih kecil dari pada penduduk di situ akan membuat dia kelihatan sebagai makluk yang aneh dan menggelikan. Ia tidak suka menjadi bahan ketawaan. Namun, minuman yang disediakan amat enak, menghangatkan perutnya sedangkan makanan itu lezat sekali, semacam kue yang manis.
Tak lama kemudian datanglah Raja Lakayong yang nampak sehat dan gembira sekali.
“Saudara kecil yang baik, apakah kau enak tidur?” tanyanya.
Kwan Cu mengucapkan terima kasihnya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
“Saudara Kwan Cu, marilah kau ikut aku melihat bagaimana kami mengadakan pengadilan,” kata Lakayong sambil mengandeng tangan Kwan Cu. Ketika mereka tiba di luar, ternyata Raja itu tidak datang seorang diri, melainkan bersama tujuh orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka ini adalah pembantu-pembantu dari Lakayong.
Kwan Cu berjalan bersama Lakayong menuju ke sebelah Barat di mana terdapat sebuah telaga yang berbentuk bundar dan nampaknya dalam sekali. Air telaga yang biru itu kelihatan tenang, akan tetapi kadang-kadang nampak berombak dan sekali-kali muncullah kepala seekor binatang yang membuat Kwan Cu terheran-heran dan merasa ngeri. Kepala binatang yang muncul di permukaan air telaga itu amat menyeramkan bentuknya seperti seekor singa, liar dan buas, akan tetapi kepala itu besar sekali dan tubuhnya agak panjang karena ekornya yang berambut merah berada jauh di belakangnya. Apakah ini yang disebut naga? Ataukah singa air?
Lakayong mengajak Kwan Cu duduk di dekat telaga, di atas batu-batu hitam yang licin dan agaknya sering kali diduduki oleh Raja ini. Para pembantu yang tujuh orang itu duduk di sebelah kiri.
“Sudah siapkan mereka?” tanya Lakayong pada orang-orangnya.
“Mereka sedang menuju ke sini,” jawab pembantunya dengan hormat.
Betul saja, tak lama kemudian nampak dua raksasa muda yang bertubuh kuat sekali. Mereka berjalan berdampingan seperti dua ekor gajah muda menuju ke tempat itu. Setiba mereka di depan Lakayong, dua orang itu lalu berbungkuk dengan hormat.
“Kalian sudah mendengar keputusanku!” kata Lakayong dengan kata dingin. “Karena di antara kamu tidak ada yang mengaku merencanakan pengkhianatan itu, kalian harus menyatakan kemenangan dengan bertanding di atas batu jamur. Yang kalah menjadi mangsa singa telaga, yang menang akan berhadapan dengan aku sendiri!”
“Kami mengerti!” jawab dua orang itu dengan gagah dan mata mereka memandang ke arah Kwan Cu penuh kebencian sehingga pemuda ini menjadi kaget.
Tujuh orang pembantu segera menyediakan sebuah perahu besar dan dua orang raksasa muda itu menunggang perahu menuju tengah-tengah telaga. Kwan Cu melihat bahwa di tengah telaga itu terdapat sebuah batu karang yang bentuknya aneh seperti jamur besar. Tahulah dia bahwa dua raksasa muda itu harus bertanding di atas batu karang itu.
“Apakah mereka yang bernama Wisang dan Kasang?” tanyanya kepada Lakayong.
Raja raksasa itu mengangguk dengan tersenyum.
“Benar, merekalah pengkhianat-pengkhianat itu. Sayang sekali, mereka sebetulnya merupakan dua orang muda yang paling cakap yang gagah di antara suku bangsa kami.”
“Masih lebih baik mempunyai pembantu kurang cakap akan tetapi jujur daripada pembantu cakap akan tetapi khianat,” kata Kwan Cu.
“Kau betul sekali, saudaraku, cocok dengan pendirianku. Oleh karena itulah maka aku menjatuhkan hukuman itu kepada mereka.
Diam-diam Kwan Cu mengagumi kesederhanaan dan kejujuran orang-orang ini. Mana ada hukuman seperti itu, yang menjadi pesakitan sama sekali tidak di tangkap, dibiarkan bebas begitu saja. Namun tetap saja mereka datang menyerah! Dan alangkah anehnya hukuman itu. Keduanya disuruh bertanding dan yang menang akan mendapat kesempatan bertanding dengan raja Lakayong!
“Bagaimana kalau dengan pertandingan kedua nanti kau kalah?” tanya Kwan Cu.
“Aku kalah? Tak mungkin. Apalagi setelah mendapat petujuk darimu tentang bagian-bagian tubuh yang lemah, biarpun dikeroyok dua oleh mereka, aku akan dapat merobohkan mereka,” kata Lakayong sambil ketawa gembira.
“Akan tetapi, andaikata kau tetap kalah?” Kwan Cu mendesak.
“Kalau aku kalah? Tak bisa lain tentu pemenangnya akan menjadi Raja dan menikah dengan Liyani.”
Kwan Cu tertegun. Alangkah sederhananya peraturan itu dan menunjukkan bahwa raja raksasa ini sama sekali tidak berlaku sewenang-wenang. Bukanlah kalau dia mau dengan mudah saja dia bisa saja suruh tangkap dan bunuh dua pengkhianat itu? Akan tetapi, mendengar bahwa Liyani akan diperistri oleh seorang pemenang, Kwan Cu menjadi penasaran.
“Bukankah Liyani sudah menolak pinangan mereka?”
“Karena Liyani puteriku maka dia berhak menolak pinangan siapa saja yang dia tidak suka. Akan tetapi, ia tak akan boleh menolak pinangan seorang raja.”
Percakapan berhenti dan kini dua orang raksasa muda itu sudah tiba di batu karang yang disebut batu jamur. Dengan otot-otot kaki tangan mengembung lalu merayap naik keatas batu karang itu. Tidak sembarang orang dapat merayap sepereti itu karena batu karang itu bentuknya seperti jamur dan terjal. Selain sukar, juga amat berbahaya karena Kwan Cu melihat betapa singa-singa telaga telah siap sedia menanti dengan mulut memperlihatkan gigi-gigi tajam di sekitar batu jamur itu! Sekali saja kaki terpeleset dan jatuh ke air, tak kan ada pertolongan lagi.
Setelah kedua orang itu, Wisang dan Kasang, berhasil naik ke atas, mereka berdiri berhadapan seperti dua orang jago berlagak. Siap untuk mulai pertandingan. Penduduk dusun itu semua datang untuk menyaksikan pertandingan ini, dan dari gerak dan suara mereka Kwan Cu dapat menduga bahwa para penonton itu saling bertaruh untuk jago masing-masing. Matahari telah tinggi dan kini semua orang laki-laki perempuan telah berkumpul di pinggir telaga termasuk Liyani mengambil tempat duduk di samping Kwan Cu. Adapun raja Lakayong duduk di sebelah kanan pemuda itu. Raja ini kelihatan gembira sekali. Pertandingan di atas batu jamur jarang sekali diadakan dan semenjak dahulu sudah beberapa keturunan, batu jamur itu hanya dipergunakan untuk bertanding bagi calon-calon raja. Akan tetapi dalam pertandingan calon raja, di sekeliling batu terdapat perahu-perahu besar sehingga kalo ada yang kalah dan jatuh ke bawah, dia tak akan dimakan singa telaga dan melompat ke perahu.
Berbeda dengan pertandingan sekarang ini, karena pertandingan sekarang ini bersifat hukuman, maka setelah kedua orang ini naik, Lakayong memberi perintah supaya perahu besar yang membawa dua orang raksasa muda tadi ke batu jamur, disingkirkan! Dengan demikian berarti bahwa siapa yang kalah akan terkubur di dalam perut singa telaga!
Kemudian Lakayong lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangan dan mulailah kedua orang raksasa itu bertanding! Kwan Cu memandang dengan penuh perhatian. Ia tidak tahu bahwa dua orang raksasa muda yang sedang bertanding menanam kebencian hebat kepadanya. Sebelum dua orang raksasa itu menghadap raja tadi, malamnya mereka telah mendengar dari raksasa yang dikalahkan oleh Kwan Cu tentang semua kejadian. Mereka tahu bahwa yang menolong raja adalah pemuda itu, sehingga boleh dibilang bahwa yang mendatangkan malapetaka dan yang menggagalkan rencana mereka adalah Kwan Cu. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa biarpun kecil, pemuda asing itu memiliki kepandaian bertempur yang mengherankan, kedua orang raksasa muda itu menjadi makin benci dan iri hati.
Pertempuran yang terjadi di atas batu jamur itu ramai sekali. Keduanya sama kuat dan sama tangguh. Pukul-memukul, tendang-menendang dan dorong-mendorong, berusaha sekuat tenaga agar lawannya terlempar jatuh dari atas batu jamur. Memang amat mengerikan dan menegangkan nampaknya. Permukaan batu yang rata itu tidak berapa lebar dan sekali telah terlempar atau tergelincir ke bawah berarti maut menjadi bagiannya!
Kwan Cu melihat betapa kedua orang raksasa muda itu lebih banyak menggunakan tenaga daripada otak. Mereka memiliki kekuatan dan tubuh yang terlindung oleh otot-otot tebal itu menjadi kebal. Pukulan dan tendangan lawan seperti tidak terasa dan dorongan tak cukup kuat untuk dapat merobohkan tubuh yang kokoh kuat itu. Diam-diam Kwan Cu menjadi geli menyaksikan cara mereka bertempur itu. Seperti dua orang anak-anak yang bergulat saja. Kalau dia yang maju, dia percaya bahwa dalam beberapa gerakan saja dia akan dapat mengalahkan mereka.
Para penonton bersorak-sorak, menyoraki jago masing-masing. Ada kalanya Wisang tertindih, ada kalanya Kasang terdesak, akan tetapi keduanya sama kuatnya sehingga pertandingan makin lama makin seru dan mengerikan. Liyani tertawa-tawa gembira dan gadis ini nampaknya senang sekali menyaksikan pertandingan antara dua raksasa itu. Raja Lakayong memandang penuh perhatian dan berkali-kali menganggukkan kepala sambil berkata perlahan kepada Kwan Cu.
“Kau betul, saudaraku. Mereka itu tidak mempergunakan otak dan mereka hanya memukul dan menendang bagian-bagian anggota badan yang mudah untuk dijadikan sasaran saja. Kalau mereka itu menyerang ke arah anggota tubuh lawan yang lemah seperti yang kau ajarkan kepadaku, tentu pertandingan akan selesai dengan cepat. Ah, aku girang sekali karena terbuka mataku bagaimana harus mengalahkan mereka tanpa menghabiskan tenaga!”
Akan tetapi pemuda itu tak segembira Lakayong, bahwa Kwan Cu memandang ke arah pertempuran dengan kening berkerut. Matanya yang tajam dapat melihat hal-hal yang aneh dalam pertempuran itu. Banyak sekali kesempatan-kesempatan dan lowongan baik sekali dilewatkan begitu saja oleh Wisang dan Kasang. Kesempatan yang cukup untuk mereka pergunakan dalam merobohkan lawan. Benar-benarkah mereka begitu bodoh dan buta? Tak mungkin, hanya ada satu jawaban untuk memecahkan jawaban ini, yaitu bahwa kedua orang itu tidak berkelahi sesungguh hati!
“Mereka hanya main-main saja!” katanya penuh curiga. “Mereka tidak berkelahi dengan sesungguhnya!”
Lakayong tertawa dengan bergelak.”Kau lucu sekali, sahabatku. Orang berkelahi mati-matian dan maut sewaktu-waktu dapat merengut nyawanya dan kau bilang bahwa mereka itu hanya main-main saja? Ha,ha ha!”
“Jangan kau menertawakan daku, Raja Lakayong, aku berani bertaruh bahwa sampai matahari tenggelam tak seorang pun di antara mereka yang akan kalah.”
Akan tetapi Lakayong tidak percaya dan demikianlah, pertempuran dilakukan dengan hebatnya. Orang-orang wanita sudah menjadi bosan karena benar saja, setelah senja tiba, belum juga ada yang kalah dan menang. Seorang demi seorang mereka pergi, bahkan Liyani juga pergi dari situ karena mereka ini harus melakukan tugas pekerjaan mereka. Bahkan banyak pula penonton laki-laki pada pergi. Yang masih tinggal di sini adalah hanya Raja Lakayong, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu saja.
Tak lama kemudian pelayan-pelayan datang membawa makanan dan minuman untuk Raja, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu itu dan mereka makan di pinggir telaga sambil menonton pertempuran yang masih saja berjalan ramai itu. Akhirnya matahari terbenam dan sebagai penggantinya, bulan bertahta di angkasa raya. Raja Lakayong malu dan menepuk-nepuk lalu merangkul pundak Kwan Cu dengan tangan kirinya sambil berkata,
“Dugaanmu tidak meleset, saudara kecil. Benar saja sampai bulan muncul, belum ada yang kalah. Mereka berdua sama berani dan sama kuat. Sayang sekali mereka harus dihukum.”
Kwan Cu tidak menjawab. Ia tahu bahwa percuma saja apabila dia berkukuh menyatakan bahwa dua orang itu tidak bertempur sesungguhnya. Ia tahu bahwa Raja ini terlalu jujur sehingga tidak mengerti tentang kepalsuan dan pura-pura, maka tidak dapat pula tidak dapat membedakan pertempuran pura-pura dan pertempuran sesungguhnya.
“Pertempuran terpaksa ditunda sampai besok pagi, dewa bulan tidak suka menyaksikan manusia berkelahi,” kata Lakayong yang memberi isyarat dengan tangannya. Pembantu-pembantunya mendayung perahu besar dan kedua raksasa yang bertempur itu diperintahkan menghentikan dan menunda pertandingan itu untuk diulang kembali besok pagi.
Dua orang raksasa itu kelihatan letih sekali. Tubuh mereka yang tinggi besar itu penuh peluh sampai berkilauan dan kelihatan lemas. Mereka dibawa ke pinggir telaga dan Lakayong berkata,
“Besok dimulai lagi pertandingan kalian pada waktu matahari muncul. Sekarang kalian boleh beristirahat.” Raja ini lalu memberi perintah agar dua orang jago ini dihidangi makanan yang lezat kemudian dia mengajak Kwan Cu kembali ke dusun.
Dugaan bahwa Wisang dan Kasang bertanding dengan pura-pura adalah tepat, karena menurut dua orang raksasa muda ini sengaja bertempur dengan main-main, tidak bermaksud saling mengalahkan. Berbeda dengan kawan-kawannya, dua orang raksasa ini agak lebih cerdik. Mereka maklum bahwa kalau di antara seorang dari mereka menang dan harus menghadapi Lakayong, tetap saja si pemenang itu akan kalah oleh sang Raja yang kuat itu. Oleh karena ini mereka berunding dan mendapat akal. Mereka takkan saling mengalahkan sehingga mereka akan dapat menghadapi Lakayong berdua!
Sementara itu, didalam rumah Raja Lakayong, Kwan Cu bercakap-cakap dengan Raja itu dikawani oleh Liyani.
“Mereka benar-benar mengagumkan, kuat sekali,” kata Raja Lakayong. Kwan Cu merasa tidak ada gunanya dan semenjak tadi memutar otak untuk memecahkan masah itu. Ia juga merasa ngeri kalau membayangkan betapa dua orang raksasa muda yang kuat itu akhirnya akan menjadi mangsa singa telaga.
“Raja Lakayong, kau bilang sayang sekali kalau sampai dua orang itu tewas, bukan? Mengapa tidak mengampuni dan menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu yang cakap?”
“Mengampuni tidak mungkin. Sudah menjadi kebiasaan kami menghukum orang-orang bersalah.”
”Bukan mengampuni sama sekali. Maksudku jangan menyuruh mereka bertanding di batu jamur itu, agar kita dapat menyaksikan dari dekat. Mereka harus diberi keinsyafan bahwa kau lebih kuat dari mereka dan kita harus mencari akal untuk menundukkan mereka.”
“Bagaimana maksudmu, saudaraku yang baik” tanya Lakayong.
“Begini,” jawab Kwan Cu yang sudah merencanakan sebuah akal yang baik. “Besok pagi suruhlah mereka bertanding di tempat yang terbuka dan kita menyaksikan dari dekat. Yang menang biarlah kulawan sebagai gantimu dan aku akan memberi hajaran kepadanya sampai ia tunduk betul. Atau boleh juga kau turun tangan memberi hajaran. Kalau mereka sudah yakin betul bahwa mereka tiada harapan untuk menangkan kau, kurasa mereka tidak begitu bodoh dan nekat untuk memberontak.”
Lakayong mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya. Memang dia sendiri adalah seorang yang berhati penuh kasih sayang terhadap rakyatnya, maka tentu saja dia akan merasa lebih girang kalau saja dapat menyelamatkan nyawa kedua orang raksasa muda itu, sungguhpun kedua raksasa itu sudah pernah berusaha untuk menbunuhnya. Rakyatnya membutuhkan orang-orang kuat seperti Wisang dan Kasang dan dia akan lebih suka mempunyai mantu di antara kedua raksasa muda itu dari pada pemuda yang lain di antara penghuni pulau itu.
“Baiklah, besok akan kucoba rencanamu itu.” Kemudian mereka berpaling kepada Liyani sambil bertanya, “Liyani, kau menolak pinangan kedua orang muda itu. Sebetulnya siapakah yang paling baik di antara mereka berdua? Menurut pandanganmu, siapa diantara Wisang dan Kasang? Bagaimana dengan Wisang?”
Biarpun pertanyaan seperti ini yang dilakukan oleh ayahnya di depan orang lain tentu akan membikin malu kepada seorang gadis biasa, namun Liyani tidak merasa malu, bahkan tersenyum manis, lalu menjebirkan bibirnya lalu mengejek. “Wisang ? Dia orang kasar,aku tidak suka kepadanya.”
“Kalau Kasang bagaimana?” mendesak ayahnya.
“Dia cukup halus dan baik, akan tatapi…” berkata demikian, Liyani mengerling kepada Kwan Cu, membuat hati pemuda cilik ini menjadi berdebar bingung.
“Akan tetapi kenapa?” Lakayong mendesak pula.
“Dia pernah kalah oleh Ayah. Aku hanya mau menjadi isteri seorang yang lebih kuat dan pandai dari pada kau, Ayah,” katanya dengan sikap manja dan kembali gadis ini tersenyum dan mengerling kepada Kwan Cu.
Celaka dua belas, pikir Kwan Cu. Benar-benar gadis berkepala batu yang pikirannya aneh. Mana bisa Kasang menangkan Lakayong? Semua pemuda di pulau itu tak dapat menangkan Lakayong dan sekarang gadis ini bersikap manis kepadanya karena biarpun dia seorang bertubuh kecil, dia telah memperlihatkan kepandaian dan agaknya gadis raksasa ini mengharapkan bahwa dia akan dapat mengalahkan ayahnya!
Adapun Lakayong ketika mendengar jawaban puterinya itu, tertawa bergelak dan berkata,
“Anak bodoh! Agaknya kau tak kan dapat menikah sebelum aku menjadi orang tua dan lemah!”
Liyani tidak menjawab, lalu tak lama kemudian ia meninggalkan ayahnya dan Kwan Cu, berjalan pergi ke kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara merdu.
“Dia seorang anak baik, seorang gadis yang menjadi kembang di antara rakyatku semua,” kata Lakayong memuji puterinya. “Sayang dia keras kepala. Kalau dia menjadi istri Kasang, tentu dia akan mempunyai seorang putera yang gagah perkasa.”
“Biarlah besok kita menundukkan lebih dulu dua orang muda itu dan barulah aku mencari akal agar supaya puterimu itu suka menerima tunangan Kasang,” kata Kwan Cu.
Lakayong memandang dengan muka kagum dan bersyukur. “Agaknya dewa-dewa mengirim kau datang untuk menolong kami, saudara kecil. Biarpun semua akal dan caramu belum dijalankan aku percaya bahwa kau yang telah memperlihatkan kesaktian akan berhasil. Aku berterimakasih kepadamu.”
“Tidak apa, Raja Lakayong. Sebaliknya aku pun telah kau terima sebagai tamu dengan sikap yang ramah-tamah. Ini saja membuat aku bersyukur sekali. Kau dan rakyatmu adalah orang-orang jujur, satu sifat yang kukagumi di antara sifat-sifat yang baik, maka aku bersedia untuk membantu kalian.”
“Kalau saja aku dapat melakukan sesuatu untuk membalas budimu, aku akan merasa girang sekali, saudara Kwan Cu.”
Hampir saja Kwan Cu membuka rahasianya tentang pulau kecil di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicarinya, akan tetapi dia masih sempat menahan lidahnya.
“Memang ada sesuatu yang hendak kutanyakan kepadamu dan mengharap kalau-kalau kau dapat membantuku, akan tetapi biarlah hal itu kutunda dulu dan akan kuceritakan kalau urusanmu ini sudah beres,” jawabnya. Kemudian mereka mengaso.
***
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah bangun dari tidurnya. Seperti kemarin, dia telah melihat Liyani berada di kamarnya. Ia merasa menyesal mengapa kamar-kamar besar di rumah ini semuanya tiada pintunya, kalau ada akan ditutupnya rapat-rapat agar jangan ada orang masuk begitu saja. Melihat seorang gadis berada di kamarnya, biarpun gadis itu seorang gadis raksasa membuat Kwan Cu merasa jengah dan kikuk sekali.
“Nona Liyani, kau sudah berada di sini?” tanya Kwan Cu dengan kikuk sekali. Biasanya dia menyebut tanpa nona segala, akan tetapi pagi hari ini karena merasa jengah dan malu mendapatkan gadis itu di dalam kamarnya, maka tanpa terasa dia menyebut “Nona”. Padahal di dalam bahasa Kuyu tidak terdapat sebutan Nona dana dalam gugupnya dia meyebut “siocia” yang berarti Nona.
“Eh, saudara Kwan Cu, apakah artinya siocia?” tanya Liyani sambil memandang dengan matanya yang lebar bening.
“Oh, ya, aku lupa. Itu bahasaku, dipergunakan untuk menyebut seorang gadis yang belum menikah,” jawabnya.
Liyani mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Lucu sekali kedenganrannya. Apa-apa yang ada padamu lucu dan menyenangkan. Melihat cara kau tidurpun kelihatan lucu dan menyenangkan.” Kwan Cu terheran. “Lucu? Bagaimana sih tidurku?” tanyanya ingin tahu.
“Kau tidur begitu anteng seperti… seperti seorang wanita.”
“Seperti wanita? Apa maksudmu?”
“Atau seperti seorang anak kecil. Kau tidur berbeda dengan orang laki-laki dewasa di sini. Kau sama sekali tidak mendengkur, bahkan napasmu demikian halus. Seperti anak-anak.”
“Hmmm…..” Kwan Cu merasakan kemendongkolannya yang sudah sering kali dia rasakan semenjak dia datang di situ dan merasa dirinya menjadi bahan tertawaan.
“Memang…. Aku masih anak-anak, anak kecil yang tidak ada sifat jantan,” katanya dengan sebal sambil melompat turun dari pembaringan yang terlalu panjang dan terlalu lebar untuknya itu. Ia berdiri dan terpaksa mendongak untuk memandang wajah gadis itu karena kalau mereka berdua berdiri berhadapan, tinggi tubuhnya hanya sampai pada pinggang gadis itu, bahkan lebih rendah lagi!
Liyani dapat merasai suara kecewa dan mendongkol dalam kata-kata Kwan Cu maka sambil tersenyum ia membungkuk dan meraba kedua pundak pemuda ini.
“Tidak, saudara yang baik. Kau sama sekali tidak seperti anak kecil. Kau biarpun keecil sekali, namun gagah dan mengagumkan, bahkan ayah berkata bahwa agaknya kau masih keturunan dewa.”
“Gila!” kata Kwan Cu makin gemas.
“Akupun tidak percaya,” kata Liyani tertawa, “Kau manusia biasa, hanya dari bangsa yang bertubuh kecil. Akan tetapi kau gagah dan baik, aku suka sekali padamu. Eh, saudaraku yang baik. Menurut perkiraanmua siapakah yang akan menang di antara Wisang dan Kasang?”
“Kau mengharapkan siapa yang menang?” tanya Kwan Cu.
Liyani cemberut dan Kwan Cu menjadi geli. Lenyap kemendongkolannya yang tadi. Lucu sekali melihat gadis tinggi besar seperti itu masih bersikap manja seperti seorang anak kecil atau seorang gadis manja.
“Belum menjawab pertanyaanku, kau sudah balas bertanya. Jawablah dulu.”
Kwan Cu menjawab terus terang. “Kurasa biarpun ini hari mereka bertanding sehari penuh, takkan ada yang akan kalah atau yang menang. Kedua orang itu agaknya hanya bertanding pura-pura belaka, karena kemarin mereka bertempur di tempat yang agak jauh, maka tidak kentara. Sekarang mereka akan bertanding di lapangan terbuka, tentu akan kelihatan kalau mereka masih berpura-pura.”
“Menurut pandanganmu….. siapakah yang lebih baik diantara kedua orang itu?”
Diam-diam Kwan Cu merasa geli dalam hatinya. Gadis ini sedang melakukan pemilihan dan kepercayaannya kepadanya begitu besar sehingga minta nasehat dan pertimbangannya dalam hal memilih jodoh!
“Hmm……. Bagaimanakan aku dapat mengatakan hal itu? Aku belum kenal mereka dan menurut keadaan luarnya, memang mereka itu sama muda, sama tangkas dan sama kuat. Sukarlah mengatakan yang mana lebih baik.” Katanya terus terang dengan hati-hati.
“Wisang orangnya kasar. Pernah ia akan mengejar dan hendak memaksaku berlaku manis kepadanya,” kata gadis itu cemberut.
“Kalau begitu agaknya Kasang lebih menarik hatimu,” kata Kwan Cu memancing.
“Memang dia lebih baik dari pada Wisang, akan tetapi sekarang ia pun kelihatan kasar bagiku.”
“Apakah ada orang yang lebih baik dan halus dari padanya?” Kwan Cu memancing karena siapa tahu kalau-kalau ada pemuda lain yang lebih menarik hati gadis aneh ini.
“Semua pemuda di dusun ini kasar-kasar belaka, kalau tidur mendengkur seperti binatang, sikapnya kasar menyakitkan hati, tidak ada yang halus menyenangkan seperti engkau!” gadis itu menarik napas panjang.
Kwan Cu terkejut dan merasa kawatir sekali. Celaka, bagaimanakah pendirian gadis aneh ini?
“Aku kelihatan halus karena aku kecil sekali. Lihat, aku tidak setinggi pinggangmu.”
Liyani menarik napas panjang, nampak kecewa sekali. “Itulah! Kalau kau mempunyai tubuh sebesar kami, takkan susah payah aku memilih calon jodohku.” Berdebar hati Kwan Cu. Benar benar gila gadis ini, pikirnya dan dia mulai merasa takut berdua saja dengan gadis ini.
“Akan tetapi biarpun kecil kau baik sekali, saudara Kwan Cu. Aku suka kepadamu.” Sambil berkata demikian dengan jari-jari tangannya, gadis itu menyentuh bahu Kwan Cu. Pemuda ini sudah kebingungan, baiknya pada saat itu datang pelayan membawa air pencuci muka dan makanan pagi.
“Baginda menanti di kebun belakang dan orang-orang sudah berkumpul untuk meyaksikan pertandingan,” kata pelayan itu.
Setelah pelayan itu keluar, Kwan Cu mencuci muka. Ia merasa lega sekali ditinggal pergi Liyani, seakan-akan terlepas dari mulut harimau! Dengan cepat dia makan, kemudian dia pun pergi menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kebun yang besar sekali.
Benar saja, di situ banyak orang. Liyani duduk di dekat ayahnya dan ketika Kwan Cu datang, gadis itu memegang tanganya dan menarik duduk di dekatnya.
Wisang dan Kasang sudah berdiri berhadapan. Ketika mereka melihat betapa Kwan Cu duduk di dekat Liyani, mereka memandan dengan mata penuh kebencian. Pemuda cilik ini benar-benar memanaskan perut mereka. Pertama-tama pemuda cilik itulah yang menggagalkan rencana mereka membunuh Lakayong, kemudian sekarang agaknya pemuda itu hendak merebut hati Liyani.
Akan tetapi mereka tidak dapat terus memandang Kwan Cu, karena Raja Lakayong sudah memberi aba-aba dan keduanya segera mulai pertandingan dengan hebat. Otot-otot tubuh mereka bergerak-gerak dengan keduanya saling serang bagaikan dua ekor harimau bertarung.
Akan tetapi, belum lama mereka bertanding, tahulah Kwan Cu bahwa benar-benar kedua orang ini main gila dan tidak bertempur sesungguhnya. Raksasa-raksasa bodoh yang menonton di situ, termasuk raja Lakayong dan puterinya, benar-benar memang kena diakali. Kwan Cu menjadi gemas sekali dan selagi dia berpikir-pikir dan mencari tahu apakah gerangan maksud kedua orang raksasa muda ini dengan perkelahian pura-pura itu, tiba-tiba kedua orang yang bertarung berhenti.
Wisang menjura kepada Lakayong dan berkata,
“Aku dan Kasang mempunyai kekuatan dan kepandaian yang sama, tak mungkin ada yang kalah atau menang. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kami berdua menghadapi raja bersama. Kalau kami kalah, biarlah kami mati di bawah pukulan tangan raja!”
Tahulah kini Kwan Cu akan maksud mereka. Jadi mereka telah bermufakat untuk tidak merobohkan lawannya agar mereka dapat menghadapi Raja yang kuat itu bersama! Dalam marahnya Kwan Cu melompat ke tengah lapangan dan berkata dengan suara kaku,
“Kalian ini orang-orang curang dan jahat! Apa kalian aku tidak tahu bahwa kalian sengaja tidak mau menjatuhkan lawan? Kalian tidak sungguh-sungguh bertempur, sengaja hendak mengeroyok Raja yang sudah tua!”
Wisang dan Kasang menjadi pucat dan saling memandang, kemudian mereka menghadapi Kwan Cu dengan mata mendelik.
“Saudara Kwan Cu, kalau mereka ingin menghadapi aku, biarlah. Akan kulawan mereka berdua. Orang-orang ini memang perlu dihajar!” kata Raja Lakayong dengan gagah dan dia sudah berdiri dengan tegapnya. Memang tubuh Raja ini luar biasa sekali, masih sekepala lebih tinggi dari pada dua orang raksasa muda itu, bahkan otot-ototnya lebih besar dan nampaknya kuat sekali. Semua orang menyatakan pujian kepada mereka yang gagah ini.
Akan tetapi Kwan Cu merasa khawatir. Dua orang raksasa muda ini dapat menipu mereka, ini menandakan bahwa mereka lebih cerdik dari orang-orang itu. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu sudah mempunyai akal untuk menjatuhkan raja yang biarpun nampak kuat namun jauh lebih tua itu.
“Tidak! Tidak patut dua orang muda mengeroyok orang yang sudah lebih tua.”
Wisang menjadi marah sekali. Ia membanting kaki tangannya dan tergetarlah tanah yang diinjaknya saking kuatnya tenaga kakinya ini.
“Jahanam kecil, cacing busuk yang mau mampus! Kau siapakah berani mencampuri urusan bangsa kami? Kau berani membuka mulut, apakah kau berani pula menghadapi kami secara laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan, tidak seperti perempuan yang hanya bisa mempergunakan mulutnya?”
Panas dada Kwan Cu mendengar hinaan ini. Ia menjura kepda Raja Lakayong sambil berkata,
“Raja Lakayong saudaraku yang baik, perkenankanlah aku menghadapi mereka ini memberi hajaran kepada merreka sebagai wakilmu.” Tanpa menanti jawaban, KwanCu lalu menghadapi dua orang raksasa itu sambil berkata,
“Kalian majulah dan aku akan menghadapi kalian berkelahi dengan sesungguhnya, tidak berpura-pura seperti tadi!”
Wisang tertawa bergelak. Suaranya keras dan parau sehingga menggetarkan anak telinga.
“Huaa-ha-ha-ha! Kau anak kecil kupencet denga ibu jariku saja pasti akan gepeng! Kau menantang kami berdua?”
“Manusia sombong, pantas saja puteri Liyani tidak suka kepadamu, kau kasar dan sombong. Jangankan baru kalian berdua, biarpun kau mengubah dirimu menjadi sepuluh, aku takkan mundur setapak!” “Setan kecil kau sudah bosan hidup!” teriak Wisang dan segera mengerakkan kepalan tangannya yang besarnya seperti kepala Kwan Cu itu, menonjok ke arah kepala pemuda kecil ini. Akan tetapi Kwan Cu cepat mengelak dan sekali dia melompat sambil mengerakkan kaki, kaki kanannya menyambar ke perut Wisang yang besar.
“Ngekkkk!” tubuh Wisang yang besar itu terpental ke belakang dan dia jatuh terduduk sambil kedua tangannya memegangi perut.
“Aduh… aduh… bangsat kecil…. Aduh….” Ia mengaduh-aduh karena tiba-tiba perutnya merasa mulas sekali. Semua orang yang menonton termasuk Raja Lakayong sendiri, menjadi melongo dan memandang terheran-heran, tak dapat mengeluarkan ucapan saking herannya.
“Bagus, bagus! Bukankah dia hebat sekali, Ayah?” terdengar Liyani bersorak sambil bertepuk tangan.
Suara ini menyembuhkan rasa sakit di perut Wisang. Raksasa muda ini segera bangkit berdiri lagi dan kedua matanya seakan-akan mengeluarkan sinar berapi. Giginya berkerot dan kemarahannya memuncak. Ia memandang kepada Kwan Cu sedemikian rupa sehingga Kwan Cu seakan-akan dia hendak ditelan bulat-bulat oleh raksasa itu.
“Majulah, majulah kalian berdua. Akan kuberi pelajaran bagaimana caranya berkelahi dengan sunguh-sunguh,” kata Kwan Cu mengejek.
Sambil menggereng keras, Wisang menubruk maju, diikuti oleh Kasang yang juga merasa penasaran melihat Kwan Cu mengejek mereka. Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet cepatnya, Kwan Cu mengelak dan sekali tubuhnya berkelebat, dia terlepas dari ancaman tubrukan dua orang raksasa itu. Beberapa kali Wisang dan Kasang menubruk, karena kegemasannya, mereka hendak menangkap dan meremas tubuh yang kecil itu. Namun dengan sengaja Kwan Cu mengeluarkan kepandaiannya dengan mengandalkan ginkangnya yang sudah tinggi, mudah saja dia mengelak dari semua tubrukan yang dilakukan dengan kuat sekali namun baginya amat lambat itu.
Setelah menubruk berkali-kali hanya mengenai angin saja dan mendengar betapa Liyani menyoraki dan menertawai mereka dan para penonton mulai mengeluarkan seruan pujian, panaslah hati Wisang dan Kasang. Kedua jago raksasa ini maklum bahwa lawan yang kecil itu gesit sekali sukar untuk ditangkap maka mereka merubah siasat mereka. Kini mereka tidak lagi menubruk, melainkan menendang dan memukul. Maksud mereka, sekali saja pukulan atau tendangan mengenai tubuh yang kecil itu, tentu pemuda kecil itu akan terlempar jauh dengan tulang remuk!
Akan tetapi betapa besar tenaga mereka, gerakan mereka amat lamban dan mereka bertempur hanya mengunakan tenaga tanpa mempergunakan otak. Mana bisa mengenai tubuh Kwan Cu yang sudah menerima latihan Ginkang dari Ang-bin Sin-kai? Menghadapi serangan-serangan itu Kwan Cu bersilat dengan ilmu silat Pai-bun-tui-pek-to (Mengatur Pintu Menolak Ratusan Golok). Gerakannya lincah dan gesit dan dengan tertawa-tawaa dia mengejek. Pemuda ini mengatur sedemikian rupa sehingga dia berada di tengah-tengah dan kedua lawannya berada di kanan kirinya atau kadang-kadang di depan dan belakangnya.
Ia sengaja tidak segera merobohkan mereka. Kalau dia mau, banyak sekali lowongan untuk memukul roboh dua orang raksasa itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau melakukan hal ini. Ia memang hendak menghajar kedua orang itu agar tunduk betul-betul dan kelak tidak akan menimbulkan keributan lagi menggangu Raja Lakayong yang baik. Ia mengelak sambil kadang-kadang mengirim pukulan ke arah perut, dagu atau dada, cukup keras membuat dua orang raksasa itu mengaduh-aduh akan tetapi tidak cukup keras merobohkan mereka.
Bahkan dalam kegembiraaannya timbul kenakalan pada Kwan Cu. Beberapa kali dia melompat tingi dan mengunakan jari tangan untuk menjewer telinga yang lebar, menarik hidung yang besar atau mencubit pipi yang lebar sambil tertawa-tawa.
Di permainkan secara begini dan mendengar suara tertawa Liyani makin geli, ditambah pula surak sorai para penonton dan suara ketawa Raja Lakayong yang merasa kagum, heran dan juga geli, dua orang raksasa muda ini seakan-akan menjadi gila dibuatnya.
“Iblis kecil, akan kuhancurkan kepalamu!” kata Wisang geram.
Bahkan Kasang yang tidak segalak Wisang, kini sudah menjadi marah sekali dan membentak,
“Setan cilik, ku patahkan batang lehermu!”
“Ha-ha-ha-ha! Mau pecahkan kepala dan batang leher?” kata Kwan Cu menghadapi dua orang raksasa yang berada di kanan kirinya sambil tertawa mengejek. ”Ini kepalaku, ini leherku. Pecahkanlah, patahkanlah kalau bisa. Ha-hahaaa!”
Wisang menyergap maju dengan tangan kanan memukul. Kasang menubruk dengan tangan kanan mencengkeram. Kwan Cu diam saja berdiri seenaknya, seakan-akan tidak melihat adanya bahaya yang mengancam dari kanan kiri!
Liyani menjerit ngeri, semua menahan napas karena serangan itu sudah dekat sekali. Agaknya tiada jalan keluar bagi Kwan Cu dan alangkah ngerinya kalau pukulan dan cekikan kedua orang muda itu betul-betul mengenai kepala dan leher pemuda yang kecil itu!
Akan tetapi, ketika dua orang raksasa itu sudah dekat sekali tangannya pada tubuhnya tiba-tiba Kwan Cu tertawa geli dan tubuhnya, berkelebat lenyap dari situ. Ia telah mempergunakan gerakan yang disebut Tui-teng-kui-cauw (Melompat Mundur Pulang ke Sarang), sebuah cabang dari gerakan Yan-cu-kui-cauw (Burung Walet Pulang ke Sarang). Kegesitan tubuhnya seperti burung walet saja dan ketika ia tiba-tiba lenyap dari tengah-tengah, kedua orang raksasa itu tiada ampun lagi saling gebuk dengan serunya. Kepalan tangan Wisang menghantam kepala Kasang, sedangkan tangan kanan Kasang kena mencengkeram jidat Wisang.
“Bluk! Blek!” terdengar suara keras, disusul oleh jeritan mereka. “aduh celaka!” keduanya terhuyung-hunyung ke belakang, memegangi kepala dan jidat yang terpukul oleh tangan masing-masing.
Liyani tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut saking gelinya. Lakayong tertawa terbahak-bahak dan di antara para penonton lebih ramai lagi, sampai-sampai ada yang tertawa demikian gelinya sehingga dia terjungkal dari batu yang didudukinya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Wisang dan Kasang. Setelah kepala mereka yang terasa pening berputar-putar itu sembuh, mereka memandang Kwan Cu.
“Nah, begitulah caranya orang berkelahi betul-betul. Tidak seperti tadi hanya pura-pura dan main-main saja,” Kwan Cu mengejek. Dua orang muda raksasa itu tanpa berkata apa-apa lalu menyerang lagi, kini makin ganas dan marah. Inilah yang dikehendaki Kwan Cu. Makin marah mereka, makin mudahlah baginya untuk mempermainkan mereka dan makin sering kedua orang itu saling pukul dan saling tendang.
Bahkan satu kali Kwan Cu berlaku berani luar biasa. Ia membiarkan dirinya terpegang oleh Wisang! Semua menahan napas dan kembali terdengar Liyani menjerit cemas, bahkan terdengar Lakayong berteriak, ”Jangan bunuh dia!”
Akan tetapi tentu saja Wisang menjadi marah sekali tidak mau mendegar larangan ini dan dia bergerak hendak mencekik leher Kwan Cu! Melihat kesempatan ini, Kasang menubruk maju dan ikut memegang Kwan Cu. Pendeknya dilihat begitu saja agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk terlepas lagi. Akan tetapi, sebenarnya memang pemuda ini segaja membiarkan dirinya terpegang. Begitu merasa bahwa kedua raksasa itu sudah memeganginya dia cepat bergerak dan kedua kakinya menendang ke atas dengan tubuh terjungkir balik, kaki kirinya menendang kearah mata wisang dan kaki kanan ke arah mata Kasang!
Dua orang raksasa itu memekik kesakitan dan mata kanan mereka telah menjadi biru, sakitnya bukan main! Untuk sedetik pegangan mereka mengendur karena sebelah tangan mereka otomatis meraba mata yang terluka. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwan Cu untuk memberontak dan melepaskan diri, terus melompat pergi. Kini dengan mata meram, saking sakit dan marahnya, kedua orang muda raksasa itu menubruk maju dan dengan sendirinya ketika dua tangan mereka mencengkeram, mereka saling cekik dan saling cengkeram, mencari lawan sambil mencengkeram dan memukul sekenanya. Maka benar-benar berkelahilah mereka satu dengan yang lain dan terdengar mereka teraduh-aduh.
Kwan Cu menganggap bahwa permainannya sudah cukup. Ia melompat ke atas berdiri dengan kaki kiri di pundak Wisang dan kaki kanan di pundak Kasang menjambak rambut ke dua raksasa itu dan mengerahkan tenaga, menarik rambut itu mengadukan kepala mereka satu kepada yang lain.
“Dukkkkkkkk!!” dua orang kepala yang besar sekali itu saling tumbuk, disusul oleh jerit mereka, “Aduuuuuuuh!” dan ketika Kwan Cu melompat turun, tubuh kedua orang raksasa itu terputar lalu roboh tak bergerak lagi. Mereka jatuh pingsan dan kepala mereka ini tumbuh benjol yang besar dan biru!
Ramailah sorak sorai para penonton. Liyani memandang ke arah Kwan Cu dengan sinar mata yang menakutkan hati Kwan Cu. Raja Lakayong menghampiri Kwan Cu dan tiba-tiba raja ini berkata,
“Saudara Kwan Cu, cobalah kita bermain-main sebentar!” sambil berkata demikian raja ini bergerak memukul ke arah Kwan Cu. Pemuda ini terkejut sekali. Pukulan raja ini mendatangkan angin keras tanda bahwa tenaganya besar sekali. Ia mengelak dan melompat mundur sambil berseru,
“Eh, eh, eh eh, raja Lakayong saudaraku, mengapa kau menyerbuku?”
“Aku kagum melihat kegagahanmu. Puaskanlah hatiku, saudaraku, aku ingin sekali mencoba kepandaianmu sendiri,” kata Lakayong sambil menyerang terus dengan cepat. Gerakan raja ini jauh lebih kuat dan cepat dari pada gerakan kedua orang raksasa muda itu.
Kwan Cu dapat memaklumi isi hati Raja ini. Sebagai seorang yang menghargai kepandaian dan kegagahan, melihat seorang gagah lain, tentu saja Raja ini menjadi gatal tangan dan belum merasa puas kalau belum menguji kepandaiannya dengan tangan sendiri. Pendeknya, Raja ini ingin mencoba kepandaiannya atau yang lajimnya di negerinya disebut pibu (mengadu kepandaian)! Maka Kwan Cu segera melayaninya dengan hati-hati sekali.
Ia menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa Raja ini telah mentaati pelajarannya dan kini semua pukulan dan tendangannya ditujukan ke arah bagian tubuh yang berbahaya. Kalau Raja ini yang tadi menghadapi Wisang dan Kasang, ada kemungkinan dua orang raksasa muda itu akan tewas dalam pertempuran. Pukulan Raja ini keras sekali dan kepala raksasa muda itu agaknya akan pecah jika terkena pukulan dahsyat ini.
Namun, semua gerakan pukulan Lakayong tiada bedanya gerakan Wisang dan Kasang, sama sekali dilakukan dengan ngawur, mengandalkan tenaga saja, sama sekali tidak menuruti teori ilmu berkelahi yang baik. Karena itu, kalau dia mau Kwan Cu dapat merobohkannya dengan mudah saja. Akan tetapi dia tidak tega untuk melakukan hal ini, karena kalau mengalahkan Lakayong dengan mudah, sedikitnya akan turunlah penghargaan Raja mereka ini. Ia sengaja membiarkan dirinya terdesak dan setelah pertempuran berjalan agak lama, cepat sekali dia menggunakan ilmu silat Sin-ci-tin-san, menotok jalan darah thian-hu-hiat dari lawan. Tiba-tiba Lakayong merasa betapa tubuhnya lemas tak berdaya sama sekali sehingga dia roboh perlahan, Kwan Cu cepat menyusuli dengan totokan lain dan boleh kembalilah kesehatan Raja itu.
Untuk sesaat, Lakayong dapat duduk dengan mata terbelalak heran. Kemudian dia mengangkat kedua tangan, berdiri dan memeluk Kwan Cu sambil berkata jelas,
“Saudara Kwan Cu hebat sekali. Aku dapat dikalahkan dengan mudah!”
Para penonton terheran-heran, lalu bersorak memuji Kwan Cu.
“Hidup calon raja kita!” mereka bersorak-sorak.
Liyani berlari menghampiri Kwan Cu dan tanpa terduga-duga, gadis ini berlutut sehingga tingginya sama dengan Kwan Cu, memeluk dan menciumnya seperti dulu! Kwan Cu memberontak melepaskan diri dengan muka pucat. Ia tadi merasa kaget setengah mati karena orang-orang itu menyorakinya sebagai calon raja. Lebih kaget bukan main ketika Liyani menciuminya dan kekagetannya menjadi-jadi ketika tiba-tiba Liyani yang memegang tangannya berkata keras,
“Dia inilah calon jodohku!”
Mau rasanya Kwan Cu melarikan diri dari tempat itu. Semua kejadian ini membuatnya menjadi bingung setengah mati. Ia lalu berkata kepada semua orang.
“Tidak, tidak! Aku bukan calon raja dan calon jodoh Liyani. Jodohnya adalah Kasang karena Kasang lebih kuat daripada Raja !”
Semua orang terdiam dan melongo. Juga Liyani dan Lakayong. Akan tetapi Kwan Cu berkata, “Aku tidak mungkin menjadi calon raja karena aku harus pergi dari sini. Dan aku tidak bisa jadi calon jodoh Liyani karena aku……. aku orang kecil, tidak sesuai dengan jodohnya.”
“Itu bukan alasan!” Liyani membantah. “Hanya dengan alasan yang jujur dari bangsaku aku mau menerima penolakan ini!”
“Alasan jujur yang bagaimanakah?”
“Pertama, kalau kau mau menyatakan bahwa kau membenciku, aku tidak keberatan kau menolakku. Ke dua, hanya kalau kau sudah mempunyai calon jodoh atau bahkan sudah mempunyai jodoh perempuan lain, baru aku mau mencari lain jodoh.”
Kwan Cu menjadi makin bingung dan ia menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Ia berada dalam keadaan yang teramat sulit. Untuk menyatakan bahwa ia membenci Liyani, selain hal itu tidak sesuai dengan hatinya yang sama sekali tidak membenci gadis raksasa ini, juga amat berbahaya karena tentu semua orang di situ akan memusuhinya. Untuk mengaku bahwa dia sudah punya calon jodoh atau isteri, tidak mungkin pula. Akan tetapi, alasan kedua ini sebetulnya lebih ringan dan lebih aman. Setelah berpikir-pikir dia menjawab tanpa ragu-ragu,
“Aku tidak membencimu, Liyani. Dan aku memang belum punya jodoh. Akan tetapi aku sudah mempunyai calon jodoh, seorang gadis di negeriku.”
Tiba-tiba Liyani menangis! Kwan Cu menjadi bingung sekali.
“Jangan berduka, Liyani. Kita tidak cocok menjadi jodoh, aku sudah mempunyai calon jodoh yang besarnya sama dengan aku. Jodohmu adalah pemuda tinggi besar yang gagah seperti Kasang.”
“Calon jodohmu itu…. Apakah kau suka kepadanya?” tanya Liyani sambil menyusut air matanya.
“Tentu saja, aku…suka sekali padanya,” jawab Kwan Cu menelan ludah.
“Dan dia… apakah suka padamu”
“Tentang itu… barang kali dia suka, belum kutanyakan.”
“Cantikkah dia?”
“Cantik sekali, yaitu menurut pandangan mataku.”
“Siapa namanya?” Tak disangkanya bahwa Liyani begitu nekat dan terus bertanya dengan teliti. Bagaimana harus dijawabnya? Ia tadi membohong dan kini dia tidak dapat menjawab.
“Siapa namanya?” Liyani mendesak.
“Namanya…apa perlunya kusebut-sebutkan namanya? Kau takkan mengenalnya.”
“Kalau begitu kau bohong!”
Kwan Cu terkejut. Pikirannya diputar-putar dan terbayanglah wajah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis cilik itu saja yang patut menjadi jodohnya.
“Namanya Bun Sui Ceng!” akhirnya dia berkata dan mukanya menjadi merah sekali ketika dia berkata demikian.
Kembali Liyani menangis makin keras. “Sekarang tak ada lagi orang yang patut menjadi jodohku, hanya kau yang bisa mengalahkan ayah!”
“Siapa bilang? Kasang bisa mengalahkan ayahmu,” kata Kwan Cu yang mendapat siasat baik sekali.
Pada saat itu, Kasang dan Wisang sudah siuman kembai dan mereka ikut mendengarkan percakapan itu. Mendengar betapa Kasang dipuji-puji oleh Kwan Cu dan hendak dijodohkan dengan Liyani, dia (Wisang) menggereng keras dan tiba-tiba menyerang Kasang! Serangan itu hebat sekali dan dilakukan selagi Kasang tidak bersiap, maka kalau pukulan yang ditujukan ke arah kepala itu mengenai sasaran, amat berbahayalah bagi Kasang.
Kwan Cu yang melihat hal ini, cepat melompat dan sebelum pukulan Wisang itu mengenai Kasang, tubuh Wisang terpental ke belakang dan dia roboh tak dapat bangun kembali. Tulang pundaknya telah patah dan biarpun Kwan Cu merasa kasian, namun pukulannya tadi memang dia sengaja dan dia tidak mau mengobati atau menyambung tulang pundaak itu, karena kalau Wisang tidak dibikin cacat, kelak tentu dia akan mengacau lagi. Kini Wisang biarpun akan sembuh, tenaga tangan kanannya akan lenyap dan dia tidak berbahaya lagi.
Adapun Lakayong yang mendengar omongan Kwan Cu, menjadi heran dan bertanya, “Saudara Kwan Cu, betul-betulkah Kasang dapat mengalahkan aku?”
“Tentu saja, akan tetapi tidak sekarang, boleh dicoba besok pagi. Dia sekarang menjadi muridku dan dia akan kuberi pelajaran sehari ini.”
Setelah Kwan Cu mendapat kesempatan bertemu dengan Lakayong seorang diri, dia menceritakan siasatnya. Dalam pertempuran tadi, dia mendapat kenyataan bahwa sifat-sifat Kasang memang lebih baik dari pada Wisang dan rencana pembunuhan raja itu pun tentu Wisang yang mengaturnya.
“Liyani suka kepada Kasang, maka harap besok kau suka mengalah pada Kasang agar puterimu suka menerima pinangannya. Kau melakukan ini demi kebahagiaan puterimu, apakah kau tidak suka?” tanya Kwan Cu.
Mengertilah Lakayong dan dia mengangguk-angguk. Kwan Cu sebenarnya tidak memberi pelajaran apa-apa kepada Kasang, hanya nasehat-nasehat agar pemuda ini tidak mengacau lagi dan agar besok menghadapi Lakayong, dia tahu bahwa raja itu sengaja mengalah. Kasang berterima kasih sekali dan mengaku bahwa dia memang kena bujukan Wisang yang jahat.
Demikianlah atas rencana Kwan Cu yang disetujui dan dibantu pelaksanaannya oleh raja Lakayong dan Kasang, pada keesokkan harinya, bertempat di kebun itu, hanya disaksikan oleh Liyani seorang saja, dilakukan pertandingan antara Kasang dan Lakayong. Dalam pertandingan yang kelihatan hebat ini namun yang sesungguhnya hanya main-main belaka, akhirnya Raja Lakayong kena ditubruk dan ditangkap oleh sepasang lengan Kasang yang kuat. Lakayong mencoba untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak dapat dan akhirnya mengaku kalah sambil berkata,
“Ah,benar-benar setelah menjadi murid saudara Kwan Cu kau hebat sekali, Kasang. Aku menerima kalah!”
Kasang lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Rajanya dengan wajah berseri. “Mohon ampun sebanyaknya atas segala kedosaanku,” katanya. “Dalam kesempatan ini untuk kedua kalinya kuulangi pinanganku terhadap Liyani.”
Lakayong berpaling kepada puterinya,
“Liyani, kau sudah mendengar sendiri pinangan Kasang yang gagah perkasa. Nah, seperti biasa terserah kepadamu keputusannya.”
Terdengar sedu sedan di leher gadis itu. ”Terserah kepada ayah saja aku hanya menurut.”
“Bagus! Kasang, calon menantuku, kami menerima tunanganmu!” kata Raja itu gembira sekali.
Liyani memandang kearah Kwan Cu lalu menangis dan berlari pergi.
Kwan Cu menghaturkan selamat kepada Kasang dan Lakayong dan kedua orang itu sebaliknya tiada hentinya mengucapkan terima kasih mereka, karena dengan akal dan siasat Kwan Cu belaka maka gadis yang keras kepala itu dapat ditundukkan.
“Sekarang aku mohon diri hendak melanjutkan pelayaranku,” kata Kwan Cu.
Lakayong mengerutkkan kening. “Kalau mungkin, kami tidak ingin berpisah denganmu lagi, saudaraku yang baik. Akan tetapi kalau kami memaksa, itu tidak adil namanya. Kau hendak pergi kemanakah?”
“Aku hanya ingin berkelana saja dan aku mendengar ada sebuah pulau kecil bundar yang ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian tentang pulau itu dan di mana letaknya?”
Lakayong dan Kasang memandang dengan mata terbelalak lebar.
“Apa?” seru Raja raksasa itu. ”Kau hendak mencari pulau bayangan?”
Kwan Cu memandang heran.”Pulau bayangan? Apa maksudmu? Aku hanya mendengar bahwa pulau itu kecil, berbentuk bundar dan ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian akan pulau itu?”
“Benar, yang kaumaksudkan tentu Pulau Bayangan! Saudaraku yang baik harap kau batalkan saja niatmu itu. Kami sudah sering kali berperahu di sekitar kepulauan ini dan sering kali tiba-tiba melihat pulau yang kau maksudkan itu. Akan tetapi apabila kami mendekatinya, tiba-tiba dia menghilang! Pulau itu aneh dan jauh dan kami mengambil kesimpulan bahwa pulau itu tentu bukan berada di sekitar sini, melainkan berada di seberang laut jalan maut.”
“Di manakah laut jalan maut itu? Aku akan mencari ke sana.”
Kasang mengeluarkan seruan kaget, dan Lakayong menjadi pucat.
“Jangan, saudara Kwan Cu. Jangan sekali-kali kau melintasi batas laut itu. Sudah banyak saudara-saudara kami tewas di sana. Laut itu adalah batas yang tak boleh dilalui manusia, di situ banyak terdapat keajaiban yang merupakan tangan maut. Siapapun juga tak mungkin dapat melalui batas itu. Lebih baik kau mengunjungi pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di sekitar sini.”
“Tidak, Raja yang baik. Aku akan mencobanya, betapapun besar bahaya yang akan aku hadapi.”
Lakayong menarik napas panjang. “Kau orang aneh, mungkin kau akan berhasil menjelajahi pulau itu. Akan tetapi hati-hatilah, memang benar-benar berbahaya sekali di daerah itu. Aku sendiri pernah mencobanya, namun terpaksa aku kembali setelah tiba di batas laut itu. Bukan main ganasnya. Letaknya di sebelah timur pulau kami ini, tepat dari mana matahari muncul.”
“Terima kasih dan selamat tinggal, Raja Lakayong, dan kau juga, saudara Kasang. Yang baik-baiklah kau menjaga Liyani.” Setelah berkata demikian Kwan Cu lalu pergi ke pantai mencari perahunya, diikuti oleh Lakayong dan Kasang. Ketika penduduk mendengar tentang kepergian Kwan Cu, berbondong-bondong mereka mengantar sampai ke pantai. Akan tetapi di antara sekian banyaknya orang, tidak nampak bayangan Liyani.
Kwan Cu menurunkan perahunya di air dan dia telah menerima dua buah dayung yang baik dari Raja Lakayong sebagai pengganti dayungnya ketika perahunya diserang oleh taufan beberapa hari yang lalu. Orang-orang di pantai melambaikan tangan, Raja Lakayong menghapuskan dua butir air mata yang menitik turun ke atas pipinya. Semua orang terharu, terutama sekali Lakayong dan Kasang yang sudah merasa betapa besar jasa pemuda kecil itu bagi mereka.
“Selamat tinggal, saudara-saudaraku yang baik. Kita yieee…. (selamat tinggal)…..” kata Kwan Cu sambil mendayung perahunya ke timur. Karena dia mempergunakan tenaga, maka sebentar saja dia meninggalkan pulau besar yang mendatangkan pengalaman-pengalaman aneh kepadanya itu.
Tiba-tiba terdengan seruan suara nyaring.
“Saudara Kwan Cu…!”
Kwan Cu menoleh dan alangkah herannya ketika dia melihat sebuah perahu layar besar yang dikendarai oleh…. Liyani!
“Eh, kau Liyani. Hendak pergi kemanakah kau?” tanyanya heran.
“Aku sengaja menantimu di sini, aku hendak pergi bersamamu!”
Baiknya Kwan Cu ingat bahwa dia berada di dalam perahu, kalau tidak tentu dia akan melompat ke belakang dan berjungkal ke dalam air saking kagetnya.
“Ikut pergi bersamaku?? Kau gil…..eh, apa maksudmu?”
“Kau telah menipuku! Apa kau kira aku tidak tahu bahwa dalam pertandingan antara ayah dan Kasang, ayah sengaja berlaku mengalah dan semua itu adalah rencanamu belaka? Kau menghendaki dan memaksa aku menerima Kasang sebagai jodohku mengapa?”
Kwan Cu menelan ludah. Hebat benar gadis ini, pikirnya. Ia mendekatkan perahunya ke perahu besar Liyani, mengikatkan tali di kepala perahu gadis itu, lalu melompat masuk ke dalam perahu besar, berdiri menghadapi gadis raksasa itu.
“Dengarlah baik-baik, Liyani. Tuduhanmu tadi kuterima dan aku minta maaf. Memang aku sengaja melakukan hal itu. Ketahuilah. Kau tidak mungkin ikut dengan aku. Kita tidak sesuai dan di negeriku, kau hanya akan menjadi tontonan dan buah tertawaan seperti ketika aku berada di pulaumu, bahkan kau akan mengalami gangguan-gangguan yang tidak mengenakkan hati. Aku memang ingin melihat kau menjadi isteri Kasang, karena dia pemuda baik dan cocok menjadi jodohmu. Apa lagi, ayahmu pun menghendaki demikian. Adapun aku….sudah kukatakan bahwa aku mempunyai calon jodohku sendiri.”
“Bun Sui Ceng….??”
Kwan Cu tertegun. Nama gadis murid Kiu-bwe Coa-li itu malah masih teringat oleh Liyani! Apa boleh buat, ia menganggung membenarkan.
“Kau tidak bohong?”
Kwan Cu menggeleng kepala.
“Berani kau bersumpah?”
Kwan Cu melongo.
“Bersumpah? Bersumpah bagaimana?”
“Bersumpah bahwa kau benar-benar suka kepada gadis yang bernama Bun Sui Ceng itu, bahwa kau benar-benar menghendaki dia menjadi jodohmu.”
Kwan Cu menjadi bingung sekali. Ia mencoba untuk membayangkan wajah Sui Ceng yang manis dan tergeraklah hatinya. Mengapa tidak? Sui Ceng merupakan gadis yang memang disukanya, tidak saja gadis itu memang baik terhadapnya, bahkan ibu gadis itu, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, adalah manusia pertama yang berlaku baik kepadanya.
“Aku bersumpah bahwa aku suka kepada Bun Sui Ceng dan bahwa aku menghendaki ia menjadi jodohku, “ kata Kwan Cu dan ketika dia mengucapkan kata-kata ini, dia berlaku sungguh-sungguh.
Liyani menangis. Lalu gadis ini berdiri dengan muka menengadah ke langit dan kedua tangannya di pentang lebar.
“Dengarlah, dewa awan, dewa matahari dan dewa laut. Kalian menjadi saksi atas sumpah saudara Kwan Cu! Kalau dia melanggar sumpahnya, biarlah kalian yang menghukumnya dan biarlah saudara Kwan Cu selama hidupnya takkan mendapat jodoh!”
Suara gadis ini demikian menyeramkan sehingga Kwan Cu merasa bulu tengkuknya berdiri.
“Kau terimalah ini sebagai tanda mata dariku. Selama hidup aku takkan melupakanmu saudara Kwan Cu.”
Biarpun bagi Liyani tusuk konde itu kecil saja, namun bagi Kwan Cu merupakan benda sebesar pisau belati. Ia menerimanya dan berkata dengan terharu,
“Terima kasih, Liyani, dan akupun takkan melupakanmu, takkan melupakan kau, ayahmu, dan semua orang yang berada di atas pulaumu.”
Setelah berkata demikian, Kwan Cu melompat kembali ke dalam perahunya, melepaskan ikatan dan mendayung perahunya, terus ke arah timur. Ketika dia menengok, dia melihat Liyani masih berdiri di perahunya sambil memandang ke arahnya. Dilihat dari jauh, Liyani tidak kelihatan besar lagi, melainkan nampak sebagai dara biasa yang bertumbuh tunggi semampai pinggang ramping dan bentuk tubuh yang indah. Kwan Cu melambaikan tangan, di balas oleh Liyani dan pemuda ini menghela napas panjang lalu mendayung cepat perahunya tanpa menoleh lagi.
***
Kwan Cu terus mendayung perahunya dengan cepat menuju ke timur. Matahari telah naik tinggi melewati kepalanya. Ia melihat pulau-pulau yang gundul di sebelah kiri, akan tetapi ia tidak mau mendarat. Ingin dia segera tiba di daerah laut maut yang diceritakan oleh Lakayong. Akan tetapi, dia melihat laut yang amat tenang dan yang agaknya tidak ada batasnya itu. Kalau dia melihat ke timur, yang nampak hanyalah air belaka dan jauh di sebelah timur air laut bertemu dengan kaki langit sehingga sukar dibedakan mana batasnya, karena warna laut dan langit hampir sama.
Malam tiba dan baiknya bulan purnama muncul berseri. Kwan Cu terus saja mendayung dan akhirnya karena lelah, menjelang tenggah malam setelah bulan purnama naik tinggi, dia tidur pulas di dalam perahu membiarkan perahunya itu berdiam tak bergerak di atas air yang tenang. Untung baginya bahwa tadi orang-orang di pulau raksasa memberi bekal kue manis yang besar sekali kepadanya, sebesar dua kepalanya, sehingga tidak menderita kelaparan. Untuk minumnya, diapun telah membawa bekal seguci minuman yang rasanya wangi dan tawar, tidak seperti arak namun dapat menghangatkan perut.
Kwan Cu tertidur sampai lama sekali. Ia baru sadar ketika perahunya bergoyang-goyang. Ketika dia membuika matanya ternyata bulan purnama sudah lenyap dan sebagai gantinya, matahari mengintip di kaki langit sebelah timur, memancarkan cahaya kemerahan yang menimbulkan pemandangan indah sekali.
Namun Kwan Cu tak mungkin dapat menikmati keindahan alam itu karena ketika dia melihat ke bawah, ke pinggir perahunya untuk mengetahui mengapa perahunya bergoyang-goyang, dia terkejut bukan main. Di sekeliling perahunya kelihatan banyak sekali ikan besar-besar, sebesar perahunya, berenang ke sana ke mari dan setiap kali tubuh ikan melanggar perahunya, perahu itu bergoyang-goyang!
“Celaka…” pikir Kwan Cu. Ikan itu banyak sekali dan kalau dia mengunakan dayung memukul dan mengusir, tentu ikan itu akan marah. Kalau sampai ikan-ikan itu menyerbu perahunya, akan celakalah dia. Juga untuk mendayung perahu tak mungkin karena dayungnya tentu akan melanggar tubuh ikan yang terdekat. Keadaannya seperti seekor domba yang dikurung oleh puluhan ekor harimau yang siap menerkam setiap saat.
“Celaka, bagaimana baiknya sekarang?” Kwan Cu diam saja sambil duduk di dalam perahunya, memegang dayung siap akan memukul ikan yang akan menyerbu perahunya. Akan tetapi ikan-ikan itu hanya berenang ke sana ke mari, kadang-kadang sengaja menyenggol perahu sehingga perahu itu bergoyang-goyang hampir terbalik. “Kurang ajar, mereka sengaja mempermainkan aku,” pikir Kwan Cu. Teringatlah dia akan daun Liong-cu-hio yang berada di dalam bungkusan kainnya. Ia teringat ketika Liok-te Mo-li, nenek yang aneh itu memberi bekal daun-daun ini kepadanya, nenek itu berkata bahwa kalau dia diserang dan diancam oleh ikan-ikan buas dia dapat mempergunakan daun-daun itu untuk menyelamatkan diri. Dengan perlahan dia membuka bungkusannya membasahi kedua tangan dengan air laut, lalu mengambil dua helai daun itu. Ia merasa heran sekali daun-daun itu sama sekali tidak mengering, masih segar seperti ketika habis dipetik. “Mudah-mudahan Liok-te Mo-li tidak berbohong,” pikir Kwan Cu dan dia melemparkan sehelai daun ke kanan dan sehelai pula ke kiri sambil mengerahkan tenaga. Daun-daun itu meluncur dan jatuh di air. Setelah tiba di air dan terapung, daun-daun itu bergerak-gerak seperti benda hidup. Kwan Cu tidak heran melihat ini, karena dulu pun sudah melihat betapa daun-daun itu bergerak-gerak setiap kali tersentuh sesuatu.
Ia memandang penuh perhatian dan harapan. Maka terjadilah sesuatu yang amat hebat. Seekor ikan yang berada paling dekat dengan daun itu, tadinya tidak mengacuhkannya sama sekali, akan tetapi begitu daun itu bergerak-gerak dia cepat menyambar dan menelannya. Akan tetapi, begitu daun itu tertelan olehnya, seketika itu juga tubuhnya terapung dalam keadaan mati! Perutnya yang putih itu nampak tersembul di permukaan air. Sudah menjadi kebiasaan liar dari ikan-ikan itu, apabila melihat seekor ikan lain mati, mereka segera menyerbu untuk makan dagingnya. Akan tetapi, tiap kali ikan menggigit segumpal daging dari ikan yang mati itu, ikan ini pun terapung dalam keadaan mati pula! Namun ikan-ikan itu bodoh sekali dan yang lain-lain serentak berpesta, menyerbu yang sudah mati sehingga sebentar saja air penuh dengan bangkai ikan. Kwan Cu bergerak memandang ke belakangnya dan di sebelah kiri perahu dia meyaksikan pemandangan yang sama. Di situpun ikan-ikan berpesta pora, yang hidup menyerbu yang mati untuk terkena bisa daun Liong-cu-hio sehingga menjadi bangkai pula tanpa dapat menggelepar lagi.
“Hebat…!” Kwan Cu berseru dengan hati ngeri. Ia bergidik melihat betapa bangkai ikan makin banyak saja terapung di permukaan laut. Agaknya semua ikan di tempat itu akan mati terkena bisa yang jahat. Kini tahulah dia akan arti ucapan Liok-te Mo-li bahwa dia akan menyaksikan “pesta” yang mengembirakan kalau melemparkan daun itu ke laut.
Kwan Cu segera mendayung perahunya cepat-cepat, pergi dari tempat itu. Ia merasa ngeri, juga merasa malu kepada diri sendiri. Ia anggap perbuatannya tadi rendah dan pengecut. Kalau dia tahu bahwa akibat daun itu akan demikian hebat, tentu dia akan mencari jalan lain untuk menyelamatkan diri dari keadaannya yang terancam tadi.
“Aku takkan mempergunakan daun-daun iblis lagi,” pikirnya. “Terlalu keji”
Dengan cepat dia mendayung perahunya ke arah matahari yang mulai nampak di permukaan laut sebelah timur. Ia mendayung perahunya cepat sekali, namun belum juga kelihatan adanya pulau di sebelah sana, bahkan dia tidak melihat adanya lautan yang disebut jalan maut itu. Apakah ikan-ikan itu yang dianggap berbahaya oleh Lakayong? Tak mungkin, pikirnya. Sungguhpun ikan-ikan tadi baginya besar sekali dan membahayakan perahunya, namun bagi Lakayong dengan perahunya yang besar, ikan-ikan itu hanya merupakan ikan-ikan kecil saja yang tak mengancam keselamatan perahu raksasa itu.
Sehari penuh dia mendayung dan pada malam harinya dia tertidur lagi di dalam perahu, membiarkan perahunya terapung di atas air yang masih tenang.
Pada keesokkan harinya, dia mendegar suara mendesis-desis seperti mendengar ada ribuan ekor ular menyerangnya. Kwan Cu terbangun dari tidurnya dan melihat bahwa matahari telah naik agak tinggi dari permukaan laut sebelah timur. Ia memandang ke kanan kiri dengan heran tidak tahu apakah yang menimbulkan suara mendesis itu. Tiba-tiba dia melihat awan atau uap hitam yang bergerak mendatang dari arah utara menuju ke tempat di mana perahu berada. Makin lama uap itu makin besar dan sebagian uap menutup matahari sehingga pandangan mata pemuda itu menjadi gelap. Kemudian dia melihat sesuatu yang mengejutkan hatinya. Beberapa ekor burung laut beterbangan ketakutan dan di antaranya ada yang terbang menerjang uap itu, lalu jatuh dalam keadaan hangus!
Bukan main kagetnya. Suara mendesis-desis makin keras dan ternyata bahwa suara itu keluar dari asap atau uap hitam ini. Uap ini melayang di atas permukaan laut hanya kurang lebih dua kaki dari atas kaki, seakan-akan ada hawa air laut yang menahannya. Ketika uap hitam itu sudah dekat degan perahunya, Kwan Cu mengerakkan dayungnya menyentuh uap, segera menjadi hangus ujungnya!
Pemuda ini kaget setelah mati dan cepat dia menjerembab di dalam perahu, bertiarap sehingga tubuhnya menempel pada perahu dengan telungkup. Kemudian semua menjadi gelap karena uap itu telah melayang diatas perahunya. Kwan Cu mengatur napas dan mengarahkan lweekangnya untuk melawan hawa napas ini. Suara mendesis-desis membisingkan telinganya dan membuat kepalanya pening.
Akhirnya suara mendesis menjauh tak lama kemudian suara itu lenyap, hawa panas pun lenyap. Baru Kwan Cu berani membuka mata dan menggerakkan leher menengok ke atas. Udara bersih dan ternyata bahwa uap hitam yang mengerikan itu telah lewat. Baiknya uap itu melayang agak tinggi dari permukaan laut, kalau lebih rendah tentu perahunya akan hangus, berikut tubuhnya.
Setelah yakin bahwa tidak ada bahaya lagi, Kwan Cu duduk dan pada saat itu juga dia merasakan getaran yang luar biasa hebatnya pada perahu yang didudukinya. Kiranya perahu ini terpegang oleh gerakan air yang luar biasa kuatnya dan Kwan Cu melihat sesuatu yang amat ganjil. Air laut yang dimasuki oleh perahunya itu bergerak mengalir dengan kekuatan yang dasyat sekali.
“Inilah agaknya batas yang disebut jalan maut itu,” pikir Kwan Cu dengan hati berdebar. Akan tetapi ketabahan dan ketenangannya tidak lenyap. Ia mencoba sedapat mungkin dengan keduanya untuk menahan perahunya supaya tidak terbalik. Dengan memukul dan menekan ke kanan kiri perahu, dia berhasil menjaga keseimbangan berat perahunya di bawa hanyut cepat sekali oleh aliran air itu. Memang amat aneh. Di laut yang kelihatan begitu tenang, bagaimana ada semacam sungai banjir?
Entah ke mana perahunya dihanyutkan, Kwan Cu tidak ingat lagi. Ia bekerja keras menjaga agar perahunya tidak terbalik dan perahunya meluncur bukan main cepatnya, jauh lebih cepat daripada kalau dia mempergunakan tenaga. Hal ini dapat dia rasai pada sambaran angin dari depan. Juga ketika ada air yang terkena pukulan dayungnya memercik ke atas mengenai lengan dan mukanya, dia merasa betapa air itu dingin sekali seperti salju!
Sampai matahari tenggelam, masih saja perahunya terbawa hanyut dengan kecepatan yang makin lama makin pesat. Ia melihat pulau-pulau kecil di kanan kiri, agak jauh, dan penglihatan ini menambah kenyataan betapa cepatnya air mengalir itu membawa perahunya. Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia melihat bahwa “sungai” yang tidak kelihatan ini agaknya memutari pulau-pulau itu. Tak lama kemudian, malam tiba dan cahaya bulan tak cukup terang sehingga pulau-pulau kecil itu pun lenyap tak dapat terlihat lagi.
Semalam itu masih terus bekerja. Ia tak berani mengurangi tenaganya karena sekali saja dia melepaskan dayung, perahunya mungkin akan terbalik dan kalau hal ini terjadi, berbahayalah keadaannya. Tubuhnya sudah terasa letih sekali, bukan hanya pengerahan tenaga sehari semalam tanpa ada hentinya, juga karena dia tidak mendapatkkan kesempatan untuk mengisi perut sama sekali.
“Celakalah kali ini,” pikir Kwan Cu.
“Kalau terus menerus begini, sampai berapa lama aku dapat bertahan?”
Menghadapi keadaan yang berbahaya ini, Kwan Cu teringat akan nasehat Lakayong. Benar juga rakasasa itu. Daerah inilah yang disebut daerah maut, atau jalan maut, karena memang luar biasa berbahayanya. Baru perjumpaan dengan uap berbisa tadi saja sudah amat berbahaya, dan sekarang terdapat aliran air yang begini dasyat.
Menjelang pagi, tenaga Kwan Cu sudah mulai lemas. Hampir-hampir dia tak dapat menahan lagi. Akan tetapi, tiba-tiba perahunya tidak begitu laju lagi dibawa hanyut, tanda bahwa tenaga aliran sungai yang tidak kelihatan itu mengecil. Ketika dia memandang ke depan dalam suasana pagi yang masih suram, dia tahu mengapa terjadi hal itu. Kirannya di depan membentang panjang pulau-pulau kecil yang hitam, dan tentu aliran itu tertahan oleh pulau-pulau sehingga buyar tenaganya dan perahunya pun terlepas dari pegangan aliran itu.
Dengan mengarahkan sisa tenaganya, Kwan Cu mendayung perahu ke kiri dan akhirnya dia berhasil melepaskan perahu sama sekali daripada aliran air yang mulai melemah itu. Ia membiarkan perahunya terapung dan ketika dia memandang ke kanan, kini nampaklah aliran sungai itu, agak kekuning-kuningan di antara air laut yang biru, yakni air laut yang tenang dan diam. Kwan Cu mengeleng-geleng kepala. Benar-benar suatu yang aneh sekali. Dari manakah timbulnya air kuning itu yang begitu saja muncul di tengah laut? Apakah dari dasar laut muncul sumber air itu? Ah, alangkah hebat, berkuasa, dan aneh adanya alam ini, yang bagi tangan Thian merupakan permainan kecil belaka.
Hal pertama-tama dilakukan oleh Kwan Cu adalah minum air minuman manis yang masih ada sisanya, kemudian dia makan sisa kuenya yang mulai mengeras dan kurang enak. Tangannya gemetar, tanda bahwa urat-uratnya sudah amat letih.
Sementara itu, matahari mulai naik tinggi dan pulau-pulau yang masih menahan aliran air kuning dan yang menyelamatkannya itu mulai kelihatan. Hati pemuda ini berdebar. Apakah pulau bundar kecil yang dicarinya itu berada diantara pulau-pulau itu? Siapa tahu kalau memang Im-yang Bu-tek Cin-keng benar-benar berada di atas sebuah di antara pulau-pulau itu, pikirnya penuh harapan. Ia mulai mendayung perahunya mendekati pulau-pulau itu, hendak menyelidik dan mencari-cari apakah di situ terdapat pulau yang di tumbuhi pohon-pohon berdaun putih.
Akan tetapi dia merasa tangannya lelah, tidak kuat lagi untuk mendayung lama-lama.
“Aku harus beristirahat dulu, harus tidur. Akan tetapi tidur di dalam perahu amat berbahaya, jangan-jangan perahuku akan hanyut pula ketika aku sedang tidur.” Mengigat ini, hatinya menjadi ngeri dan Kwan Cu mengerahkan tenaga untuk mendayung perahu itu ke arah sebuah pulau terdekat agar dia dapat tidur di darat.
Pulau itu kecil saja, akan tetapi ternyata merupakan sebuah pulau yang subur, dengan pohon-pohon kecil kehijauan. Kwan Cu tidak ada tenaga lagi untuk menyelidiki keadaan pulau itu, karena tubuhnya sudah amat letih. Setelah dia menyeret perahu ke darat, dia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan sebentar saja pulaslah dia!
***
Kwan Cu yang sedang tidur pulas itu tidak tahu bahwa menjelang tengah hari, sebuah perahu yang kecil sekali mendarat di pesisir itu dan dari perahu itu melompat keluar dua orang gadis yang gesit sekali gerakannya. Dua orang gadis muda ini cantik-cantik sekali, pakaiannya terbuat daripada semacam sutra halus yang mencetak bentuk tubuh dengan ketat. Rambut mereka diikat ke belakang, rambut yang hitam dan bergoyang-goyang di belakang panggung.
Dua orang gadis cantik ini berlari-lari, akan tetapi tiba-tiba memandang ke arah perahu Kwan Cu dengan mata terbelalak dan kulit muka mereka yang kemerah-merahan dan halus itu, tiba-tiba menjadi pucat sekali dan keduanya berdiri terpaku pada tanah yang mereka injak, seakan-akan telah berubah menjadi dua patung batu yang indah.
Kemudian mereka lalu bicara perlahan sambil mencabut pedang dari belakang punggung, siap menghadapi segala macam bahaya. Gerakan mereka lincah dan cepat sekali, sehingga pencabutan pedang itupun hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata saking cepatnya. Kemudian mereka berlompat-lompatan ke arah perahu yang tadi ditarik ke darat oleh Kwan Cu. Setelah mereka tiba di dekat perahu, barulah dapat dimengerti mengapa mereka menjadi begitu kaget dan kelihatan takut. Ternyata bahwa kedua orang gadis itu kecil sekali setelah berada di dekat Kwan Cu yang kelihatan besar bukan main. Dua orang gadis itu kelihatan seperti anak-anak berusia lima enam tahun, padahal melihat bentuk tubuh dan wajah mereka, tentu mereka telah berusia sedikitnya tujuh belas tahun!
“Perahu raksasa!” kata seorang di antara mereka yang mempunyai tanda hitam seperti titik pada pipi kanannya dan yang menambah kemanisan wajahnya.
Gadis ke dua memandang ke kanan kiri, dan tiba-tiba menjerit perlahan sambil menudingkan telunjuknya ke arah tubuh Kwan Cu yang masih tidur pulas di bawah sebatang pohon kecil. Gadis dengan tahi lalat di pipinya menengok sambil melompat seperti seekor burung walet membalikkan tubuh, dan ia pun mengeluarkan jerit tertahan. Bagi mereka, tubuh Kwan Cu kelihatan besar sekali, seperti seorang raksasa!
Keduanya bicara perlahan dan dengan gerakan cepat akan tetapi ringan sekali, dua orang gadis itu berlari-lari menghampiri Kwan Cu dengan pedang siap di tangan. Biarpun kecil tubuh mereka, namun mereka mempunyai ketabahan besar, karena kini mereka berani menghampiri raksasa itu sama sekali tidak melarikan diri ketakutan.
Hal ini tidak mengherankan kalau kita mengetahui siapa adanya dua orang gadis itu. Mereka ini adalah dua orang puteri raja yang sudah meninggal dunia dari suku bangsa katai yang hidup di sebuah di antara pulau-pulau di daerah itu, dan kedua orang gadis ini sekarang dianggap sebagai pemimpin mereka, karena di antara mereka, dua orang gadis ini di anggap sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Ini dapat di buktikan dari gerakan mereka yang benar-benar ringan dan cepat sekali, seakan-akan mereka mempunyai sepasang sayap seperti burung yang gesit sekali.
Ketika mereka tiba di dekat Kwan Cu yang masih tidur pulas saking lelahnya, gadis bertahi lalat di pipinya mencabut keluar sehelai sapu tanggan merah dari balik baju di dadanya, sedangkan gadis ke dua lalu menurunkan tali temali yang seperti sebuah jala ikan dari punggungnya. Biarpun ia sedang tidur pulas, kalau sekiranya yang datang mendekatinya itu orang-orang biasa, agaknya Kwan Cu akan mendengar juga karena telinganya telah terlatih baik. Akan tetapi yang datang adalah dua orang gadis yang memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa sehingga daun-daun kering yang mereka injak pun tidak menimbulkan suara apa-apa. Hal ini bukan karena hanya ilmu mereka sudah tinggi, akan tetapi juga karena mereka memakai sepatu yang bahannya lemas dan empuk sekali.
Gadis bertahi lalat di pipinya itu dengan gerakan cepat lalu meloncat ke dekat kepala Kwan Cu yang kelihatan besar sekali dan sekali ia mengerakkan tangan, sapu tangan merah itu melayang dan menyambar muka Kwan Cu.
Pemuda ini merasa bahwa ada sesuatu yang halus menutupi mukanya. Ia cepat membuka matanya, akan tetapi dari sapu tangan merah ini keluar keharuman luar biasa yang membuat dia tidak kuasa membuka mata saking mengantuknya dan dalam sekejap dia tertidur pulas kembali!
Gadis kedua yang berwajah gembira, cepat bergerak, melemparkan jalanya menyelimuti tubuh Kwan Cu. Dengan gerakan cekatan ia lalu membelit tubuh Kwan Cu dengan jala itu mengikat sana sini dan sebentar saja dibantu oleh gadis pertama, tubuh Kwan Cu sudah terbungkus jala itu dan kelihatan seperti seekor ikan besar masuk ke dalam jala yang kuat!
“Pergilah kau memanggil kawan-kawan untuk membawa raksasa ini pulang,” kata gadis bertahi lalat kepada adiknya.
Gadis ke dua sambil tertawa-tawa gembira lalu meloncat dengan cepat dan berlari-lari ke arah perahunya dan berlayar pergi. Adapun gadis pertama lalu duduk di dekat Kwan Cu, memeriksa bungkusan besar dari Kwan Cu yang tadi oleh pemuda itu diletakkan di dekatnya. Ia membuka bungkusan itu dengan wajah tertarik. Wajahnya yang cantik kemerah-merahan, rambutnya bergerak ke kanan kiri ketika ia dengan susah panyah membuka bungkusan yang berat itu. Akhirnya ia dapat membuka bungkusan dan setiap lembar pakaian Kwan Cu diperhatikannya dengan baik-baik, karena bahan pakaian itu sangat asing dan kasar baginya.
Ketika melihat bungkusan kuning, ia membukanya. Bungkusan itu adalah bungkusan daun Liong-co-hio yang berbahaya! Akan tetapi ketika membuka bungkusan itu, gadis itu segera melompat kaget sambil mengeluarkan suara keras. Di cabutnya saputangan merah yang tadi yang berhasil menidurkan Kwan Cu, lalu kedua tangannya digosok-gosokkan kepada saputangan itu. Setelah menyimpan kembali saputangannya, ia duduk dan memegang daun-daun itu! Sungguh mengherankan, daun yang dapat menghanguskan setiap tangan orang yang menyentuhnya kini berada di tangan gadis ini tanpa mendatangkan akibat apa-apa. Ternyata saputangan merah itu mengandung obat penawar yang luar biasa sekali.
Gadis itu belum pernah melihat Liong-cu-hio, akan tetapi penciumannya amat tajam. Dan baunya saja ia dapat mengenal racun yang berbahaya dari daun itu. Setelah puas memeriksa daun itu, ia membungkusnya kembali. Kemudian matanya memandang ke arah suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong yang selalu dibawa oleh Kwan Cu. Di dalam tangan gadis itu, suling ini merupakan sebatang suling yang terbuat dari pada bambu besar untuk bangunan.
Gadis itu tetawa berkikikan seorang diri, kelihatan geli sekali melihat suling sebesar itu. Ia mengangkat suling ini dan mencoba untuk membunyikannya. Akan tetapi oleh karena tangannya terlalu pendek sehingga tak dapat mencapai lubang-lubang pada suling, ketika ia meniup, suling itu hanya mengeluarkan bunyi senada saja.
Pada saat gadis itu membungkus kembali semua barang-barang Kwan Cu dari pantai datang berlarian banyak orang. Ternyata bahwa gadis ke dua tadi sudah datang lagi dan kini ia dikawani oleh dua puluh orang gadis-gadis dan wanita-wanita muda yang rata-rata memiliki kecantikan yang menarik hati. Akan tetapi mereka inipun kecil-kecil seperti dua gadis tadi. Ramailah keadaan di situ ketika semua wanita itu mengagumi Kwan Cu dan memandangnya dengan terheran-heran. Kemudian mereka bekerja sama, menyeret tubuh Kwan Cu ke pantai dan dengan susah payah karena tubuh Kwan Cu berat sekali, mereka menaikkan Kwan Cu ke dalam perahu pemuda itu, lalu beramai-ramai mendorong perahu ke laut. Kepala perahu itu diikat dengan tambang yang tersedia di perahu Kwan Cu, diikatkan pada sepuluh buah perahu-perahu kecil. Kemudian mereka mendayung perahu-perahu itu dan menarik perahu Kwan Cu pergi dari pulau itu.
Orang-orang pendek ini tinggal di sebuah pulau yang berbukit, tak jauh dari pulau kosong di mana Kwan Cu ditawan. Mereka mendarat dan menyeret Kwan Cu ke darat, terus menariknya ke dusun mereka yang penuh dengan rumah-rumah kecil. Kwan Cu di biarkan berbaring di atas tanah dan pada saat itu, Kwan Cu siuman kembali dari keadaan setengah mabuk karena pengaruk saputangan merah tadi. Ia menggerakkan kaki tangannya dan merasa betapa tubuhnya terikat oleh tali-tali yang kuat. Ketika ia memandang, ternyata dia berada di dalam sebuah jala yang aneh.
Kwan Cu terkejut dan terheran-heran. Mimpikah aku? Demikianlah dia berpikir. Tiba-tiba dia mendengar suara di dekat mukanya dan ketika dia memandang ke depan, hampir saja dia berteriak saking kaget dan herannya. Ia melihat dua orang gadis kecil sekali yang cantik menarik. Gadis pertama yang manis dengan tahi lalat di pipi melakukan gerakan seperti orang bersilat, siap untuk menyerangnya, juga gadis ke dua yang cantik bersiap-siap. Kemudian dia melihat gadis pertama mencabut keluar sehelai saputangan merah dari balik bajunya, maka terciumlah bahu yang amat harum. Teringatlah Kwan Cu bahwa ketika dia hendak bangun, dia pun mencium bahu ini, maka dia dapat menduga bahwa saputangan itulah yang membuat dia pingsan. Ia mempergunakan kecerdikannya dan tidak jadi meronta untuk melepaskan diri. Ia diam saja sambil memandang penuh perhatian.
Benar saja, ketika melihat bahwa raksasa yang tertawan itu tidak memberontak, dua orang gadis itu tidak jadi menyerang hanya memandang penuh kewaspadaan. Kwan Cu menggerakkan matanya memandang ke depan dan dia terheran-heran. Dia dirubung oleh banyak orang, akan tetapi anehnya, semua orang kecil yang berada di situ adalah wanita-wanita belaka!
“Mimpikah aku? Setelah bertemu dengan raksasa-raksasa apakah aku sekarang berubah pula seperti raksasa dan orang-orang wanita ini sebetulnya orang biasa? Atau sudah gilakah aku?” demikian Kwan Cu berpikir dengan bingung. Memang, kalau di bandingkan, keadaannya terbalik sama sekali dengan keadaannya beberapa hari yang lalu. Lakayong memiliki tubuh yang tiga kali lebih besar tubuhnya dan sekarang, dia menjadi tiga kali lebih besar daripada wanita-wanita ini.
“Kalian siapakah? Dan mengapa aku ditawan?” ia mencoba bertanya dengan suara halus agar tidak menimbulkan rasa takut pada orang-orang wanita itu.
Akan tetapi ketika gadis cantik bertahi lalat di pipinya itu menjawabnya, Kwan Cu menjadi bingung sekali karena dia tidak mengerti sedikit pun juga akan maksud kata-katanya. Suara gadis itu merdu dan halus, akan tetapi ucapannya bagi telinga Kwan Cu hanya terdengar tidak karuan seperti berikut.
“Karika yiyi kaduka nana….”
Celaka, kembali aku bertemu dengan orang-orang aneh, pikir Kwan Cu. Bentuk tubuh yang kecil itu, bahasa yang aneh itu, tidak sangat mengheran hati Kwan Cu karena setelah bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya, dia tahu bahwa di dunia ini terdapat manusia-manusia yang aneh. Yang amat mengherankan hatinya adalah bahwa semua orang katai yang berada di situ hanya wanita-wanita belaka! Apakah ini dunia wanita?
Kwan Cu teringat akan pengalamannya ketika bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya. Bahasa yang dipergunakan oleh Lakayong juga jauh berbeda dengan bahasanya sendiri, jangankan yang di pergunakan oleh bangsa raksasa itu, bahkan yang di pergunakan di daratan Tiongkok sendiri ada puluhan atau ratusan macam! Akan tetapi, biarpun bahasanya berlainan tulisannya semua sama! Inilah yang memudahkan seseorang di Tiongkok untuk melakukan perhubungan dengan orang-orang di daerah lain. Ketika dia berada di pulau raksasa, dia dapat berhubungan dengan menggunakan tulisan kuno. Siapa tahu kalau orang-orang kecil ini pun dapat membaca tulisannya.
Setelah berpikir demikian, Kwan Cu lalu mengeluarkan telunjuknya dari jala, diikuti oleh pandang mata para wanita itu. Kwan Cu lalu menuliskan tulisan huruf kuno seperti yang pergunakan oleh Lakayong.
Wanita-wanita kecil itu menghampirinya dan melihat corat-coretnya, namun mereka tidak mengerti artinya. Kwan Cu lalu menghapus coretan di tanah itu dan kini dia mencoret tanah dengan tulisan yang lebih muda usianya dari pada tulisan yang dipergunakan oleh Lakayong.
“Dapat membaca ini?” tanya dalam tulisan itu.
Usahanya berhasil! Wanita-wanita itu saling pandang dan gadis bertahi lalat mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu mencoret tanah di dekat tulisan Kwan Cu.
“Aku dapat membaca tulisanmu, kau siapakah dan datang dari mana?”
Bukan main girangnya hati Kwan Cu ketika dia membaca tulisan halus dan kecil itu, akan tetapi yang dapat dibacanya dengan jelas.
“Biarkan aku duduk dan lepaskan jala ini, aku akan bercerita, “ tulisannya karena amat sukarlah menulis sambil berbaring miring seperti itu. Ia tidak mau melepaskan diri dengan kekerasan, karena kawatir kalau-kalau akan dicurigai.
Gadis yang menjadi pemimpin itu berunding dengan adiknya dan dengan wanita-wanita lain. Kemudian mereka lalu mendekati dan dari luar mereka mengikat kedua tangan Kwan Cu di belakang tubuh, juga mengikat kedua kaki pemuda itu erat-erat! Kwan cu merasa geli sekali dan tangan-tangan yang halus dan kecil itu bergerek amat cepat, jari-jari yang kecil seakan-akan mengitik-itiknya, akan tetapi dia menahan tawanya dan menenangkan diri. Ia dapat menduga bahwa wanita-wanita ini tidak percaya kepadanya dan akan membelenggunya lebih dulu sebelum melepaskannya dari jala itu.
Dugaanya tepat. Setelah dua kaki tangannya dibelenggu, lalu jala itu di buka. Ia diperbolehkan bangun duduk bersandar pada batu karang yang bentuknya seperti pilar. Di sini ia di ikat lagi, tali yang panjang dibelit-belitkan pada lengan dan dadanya, terus di ikatkan pada batu karang itu. Yang lebih hebat, gadis kedua yang lincah itu sekali melompat telah berdiri di pundak kirinya, membawa sehelai tali yang lalu dikalungkan dua kali pada lehernya! Biarpun hanya longar saja, lehernya di ikat pada pilar itu. Satu akal yang cerdik sekali!
Kwan Cu duduk bersila dan bersandar pada tiang batu karang. Dia mencoba-coba dengan urat-urat tangannya untuk mengetahui sampai di mana kekuatan tali yang mengikatnya. Ia mendapat kenyataan bahwa kalau dia mau, mudah saja baginya untuk merengut putus tali itu.
Gadis bertahi lalat pada pipinya itu lalu mengunakan telunjuknya menuliskan huruf-huruf di atas tanah di depan Kwan Cu.
“Aku bernama Malita dan ini adikku Malika. Kami berdua yang mengepalai bangsa kami di pulau ini. Kau menjadi tawanan kami dan jangan coba untuk memberontak, karena biarpun besar kalau kami mau, dengan mudah kami akan membunuhmu dengan senjata-senjata kami yang berbisa. Kau seorang laki-laki dan pada waktu ini, kami benci dan tidak percaya kepada semua laki-laki. Akan tetapi kau datang dari bangsa raksasa, kau siapakah dan menagapa kau datang ke daerah kami?”
Kwan Cu membaca tulisan itu dan tersenyum. Nama-nama yang aneh tetapi cukup manis, pikirnya. Akan tetapi pernyataan bahwa mereka ini membenci laki-laki, membuat Kwan Cu menjadi heran sekali. Ia ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, akan tetapi kedua tangannya di ikat di belakang tubuhnya, bagaimana dia dapat menulis? Tentu saja dia dapat melepaskan tangannya, akan tetapi hal ini tentu akan membikin mereka takut dan curiga. Maka dia menjawab dengan mulutnya.
“Bagaimana aku dapat menulis jawabannya kalau tanganku terikat?” sambil berkata demikian, ia melirik ke arah tali yang mengikat dadanya.
Malita dan Malika bicara, agaknya mereka berunding kemudian Malita menulis lagi.
“Wajahmu tampan dan gagah, kau berbeda dengan laki-laki bangsa kami. Agaknya kau bukan orang jahat. Akan tetapi kau tetap laki-laki dan kami sudah tidak percaya lagi kepada semua mahluk jantan. Maka, kami akan melepaskan tangan kananmu agar kau dapat menulis, akan tetapi awas, sekali saja kau memberontak, kau akan binasa!”
Kwan Cu tersenyum ramah dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Malita lalu mencabut pisau lalu memutuskan ikatan tangan kanan Kwan Cu. Setelah tali itu putus dan Kwan Cu membebaskan tanganya Malita cepat mencabut pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengeluarkan saputangan merahnya. Kwan Cu bergidik. Ia lebih takut kepada saputangan yang harum itu dari pada pedang di tangan Malita. Juga Malika mencabut pedangnya dan melompat berdiri. Wanita-wanita yang berdiri agak jauh dari tempat itupun juga bersiap sedia, semua mencabut pedang dan bersikap seperti orang bersiap untuk bertempur.
Melihat cara mereka mencabut pedang dan bergerak, Kwan Cu menjadi kagum karena mereka itu terang sekali memiliki kepandaian silat yang tinggi! Orang-orang ini kecil dan lemah, akan tetapi sebaliknya dari pada rakyat Lakayong yang bertenaga besar dan lamban, mereka ini agaknya amat cekatan dan cerdik.
Kwan Cu lalu mulai menulis di atas tanah, ”Aku seorang perantau yang bernama Kwan Cu. Aku tiba di daerah ini tanpa sengaja dan aku tidak bermaksud buruk. Biar pun aku seorang laki-laki, akan tetapi aku tak pernah menggangu orang, apalagi orang wanita. Kalian percayalah kepadaku.”
Kedua orang gadis itu saling pandang dan kini beberapa orang wanita datang pula untuk ikut membaca tulisan Kwan Cu. Mereka bicara dengan ribut dan melihat sikap mereka, Kwan Cu dapat menduga bahwa mereka ini sebagian besar tidak percaya akan tulisannya tadi.
“Kami sudah cukup sering tertipu oleh laki-laki yang manis mulut tetapi berhati palsu,” tulis Malita. “Karena itu, kau tentu akan maklum bahwa kami tidak bisa sembarangan saja percaya kepadamu. Apa yang kau cari di tempat ini?”
“Aku mencari sebuah pulau kecil bundar dan ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Harap kalian melepaskan aku dan aku tak akan mengganggu kalian, akan kulanjutkan perantauanku. Bahkan kalau ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk kalian, akan kubantu kalian karena aku adalah seorang sahabat.”
Kembali orang-orang wanita itu ribut-ribut ketika membaca tulisan ini. Mereka agaknya masih ragu-ragu untuk mempercayai kata-kata ini. Tiba-tiba terdengar ribut-ribut dan Kwan Cu yang terheran-heran melihat seorang laki-laki kecil berlari-lari, dikejar oleh banyak wanita. Laki-laki itu memegang tongkat besar dan beberapa orang pengejarnya telah kena dihajar roboh.
Malita marah sekali dan dengan pedang di tangan dia melompat dengan gerakan yang menurut pandangan Kwan Cu hampir menyerupai gerakan Ouw-liong-coan-tah (Naga Hitam Tembuskan Menara), semacam gerakan melompat dari ilmu silat tinggi!
Akan tetapi sebelum Malita dapat menyusul laki-laki yang sudah pergi jauh, Kwan Cu telah mendahuluhinya. Pemuda ini menggunakan tangan kanannya yang bebas untuk mencengkeram segenggam tanah dan dilemparkan tanah itu ke arah laki-laki pendek yang melarikan diri. Laki-laki itu berteriak roboh dan pingsan, terpukul oleh segenggam tanah yang baginya merupakan segumpal tanah yang besar! Orang-orang wanita segera memburu ke tempat itu dan sebentar saja laki-laki itu digiring pergi dalam keadaan terbelenggu erat-erat.
Malita kembali menghampiri Kwan Cu. Sikapnya agak berubah tidak segalak tadi dan senyumnya menghias wajahnya yang cantik. Juga para wanita lainnya kini memandang Kwan Cu dengan sikap manis.
“Kenapa kau merobohkan orang jahat itu?” tanya Malita dengan tulisannya.
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak bermaksud buruk. Aku melihat dia seorang laki-laki begitu kejam untuk merobohkan beberapa orang wanita, maka aku turun tangan,” jawab Kwan Cu.
“Kau pandai melempar am-gi (senjata rahasia), agaknya kau memiliki kepandaian. Apakah kau benar-benar berniat baik dan tidak memusuhi kami?”
“Aku selalu berada di fihak benar, dan aku bersumpah takkan menggangu wanita. Kalau aku berniat buruk, apa kalian kira aku takkan dapat melepaskan ikatan ini? Katakanlah kepadaku bahwa kalian percaya kepadaku dan kalian akan melihat bahwa aku sangup melepaskan ikatan ini.”
Malita terkejut akan tetapi ia tersenyum dan menulis,
“Kau raksasa yang aneh, gagah dan bersifat halus. Mengherankan sekali. Aku percaya kepadamu.”
Setelah membaca ini, Kwan Cu tertawa girang dan sekali dia mengerahkan lweekangnya, terdengar suara keras dan semua ikatannya putus!
Malita, Malika dan semua wanita masih sangsi. Mereka berdiri menjauhi Kwan Cu, siap dengan pedang di tangan!
Kwan Cu tersenyum, berdiri dan menggeliat, diawasi oleh semua wanita kecil-kecil itu dengan pandang mata kagum. Kemudian Kwan Cu duduk kembali sambil menulis di tanah.
“Nah, marilah kita bicara dengan baik. Kalian ini benar-benar aneh sekali. Mengapa aku hanya melihat wanita saja dan laki-laki satu-satunya yang kulihat tadi menjadi tawananmu? Mengapa pula kalian membenci laki-laki dan bukankah kalian ini pun puteri-puteri dari seorang ayah laki-laki pula?”
Membaca tulisan ini, kembali semua wanita ribut-ribut, bahkan ada yang mengucurkan air mata dan menangis dan mengharukan sekali. Kwan Cu menjadi semakin terheran, akan tetapi Malita menerima sebuah gulungan kertas berikut alat tulis. Ia lalu menulis panjang lebar untuk menceritakan keadaan bangsanya kepada pemuda raksasa itu.
Semenjak beberapa keturunan, bangsa katai ini merupakan bangsa yang keadaannya terbalik dengan banga-bangsa manusia lainnya. Yang berkuasa adalah wanitanya. Hal ini adalah karena dahulu muncul seorang wanita sakti yang memiliki kepandaian tinggi. Wanita ini membenci laki-laki dan ia hanya mau menurunkan kepandaiannya kepada murid-murid wanita, dengan menyuruh murid-murid itu bersumpah bahwa kepandaian mereka tidak boleh diturunkan kepada laki-laki. Demikianlah maka para wanitanya rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi dan biar pun dalam tenaga mereka kalah oleh laki-laki, namun apabila berkelahi, selalu para wanita yang menang. Juga para penjaga keamanan dan para prajurit terdiri dari wanita. Yang laki-laki sebaliknya hanya bertugas di sawah dan laki-lakilah yang bertugas mencari makanan. Mereka selalu memilih pimpinan mereka atas dasar pemilihan umum, dan biasanya yang dicalonkan sebagai pemimpin tentulah wanita. Akan tetapi, walapun jarang terjadi, pernah pula seorang laki-laki dicalonkan untuk menjadi pemimpin, di mana tentu saja kalau sudah memenuhi syarat-syarat yang berat yang ditentukan oleh bangsa wanita ini. Karena dalam hal ini, bukan kepandaian silat saja yang menjadi syarat utama, melainkan pengetahuan yang luas dan kecerdikan yang lebih daripada orang lain.
Raja atau kepala terakhir yang dipilih adalah ayah dari Malita dan Malika, seorang yang sudah banyak pengalaman karena sudah pernah merantau jauh keluar pulau. Di bawah pimpinan ayah ke dua orang gadis ini, rakyat orang katai hidup makmur, karena memang pemimpin ini pandai sekali, ditambah oleh bantuan dua orang puterinya yang memiliki kepandaian silat istimewa. Malita dan Malika adalah murid-murid terpandai dari ahli waris ilmu silat yang diturunkan oleh nenek sakti, dan setelah guru kedua orang gadis ini meninggal dunia, boleh dibilang yang memiliki kepandaian tertinggi di pulau ini adalah Malita dan Malika.
Setelah raja itu meninggal dunia, otomatis yang ditunjuk menjadi ratu adalah Malita. Akan tetapi, setelah ayah Malita menjadi raja, timbul pemberontakan di dalam hati orang-orang laki yang di pimpin oleh enam orang laki-laki yang menjadi pembantu raja. Mereka inilah yang mula-mula mencetuskan permintaan bahwa sudah sepatutnya kalau laki-laki menjadi raja dan laki-laki pula yang berkuasa!
Malita dan Malika marah sekali dan terjadilah pertempuran hebat antara laki-laki yang di pimpin oleh enam orang pemberontak itu melawan Malita dan Malika yang memimpin barisan wanita. Celakanya, sebagian besar orang-orang lelaki, baik yang sudah menjadi suami maupun yang belum menikah, terkena bujukan enam orang ini dan ikut pula memberontak. Akan tetapi, laki-laki itu kesemuanya, hanya mengandalkan tenaga yang lebih besar, namun dalam hal mempermainkan senjata, mereka kalah jauh. Hanya enam orang itu saja yang secara diam-diam telah mempelajari ilmu silat, dapat melakukan perlawanan hebat. Akhirnya, banyak laki-laki menjadi korban dalam peperangan itu dan banyak pula yang tertawan. Namun, enam orang laki-laki itu dapat melarikan diri ke sebuah pulau kosong yang mempunyai gua-gua di batu-batu karang. Enam orang laki-laki itu bersembunyi di dalam gua diikuti tiga puluh orang lebih laki-laki yang masih setia kepada mereka.
Malita dan Malika sudah berusaha beberapa kali memimpin barisan wanita untuk mengalahkan, menawan atau membunuh para pemberontak itu, namun alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa tidak saja pertahanan mereka amat kuat dengan adanya gua-gua yang panjang dan gelap, juga tambah hari kepandaian mereka tambah hebat. Apalagi enam orang laki-laki yang dipimpin oleh seorang yang bernama Kahano, seorang laki-laki berjenggot yang merupakan kepala juga guru dari mereka, kepandaian mereka amat hebat dalam beberapa hari ini, seakan-akan mereka menemukan guru yang pandai!
Tadinya, Malita dan Malika berdua saja dengan mudah mendesak dan hampir mengalahkan enam orang laki-laki pemimpin pemberontak itu, akan tetapi beberapa pekan kemudian ketika mereka mencoba untuk menyerang para pemberontak, enam orang laki-laki itu maju dan menghadapi Malita dan adiknya. Dan bukan main lihainya …….enam orang ini terutama sekali Kahano! Mereka bersenjata pedang pendek dan permainan pedang ini mempunyai bentuk dan gaya baru yang luar biasa sekali. Hampir-hampir saja Malita dan Malika kalah! Namun akhirnya, karena anak buah Kahano yang lain-lain agaknya baru saja mempelajari ilmu silat, Malita dapat memukul mundur semua laki-laki itu dan mereka berlari-lari dan masuk ke dalam gua, sehingga kembali gerakan Malita gagal. Untuk meyerbu ke dalam gua amat berbahaya sekali karena Kahano dan anak buahnya menghujankan anak panah dari dalam gua!
“Nah, inilah yng menggelisahkan hati kami, saudara Kwan Cu.” Tulis Malita akhirnya setelah menceritakan semua hal yang terjadi di pulau itu dengan tulisan-tulisan yang kecil-kecil. “Oleh karena itulah kami amat bercuriga dan membenci kaum laki-laki yang ternyata telah memberontak dan berhati palsu. Laki-laki yang kau robohkan tadi adalah seorang diantara para tawanan kami yang mencoba melarikan diri. Kami benar-benar gelisah sekali. Kepandaian Kahano demikian cepatnya maju dan lihai sekali, kalau semua laki-laki yang ikut dengan dia mendapat latihan dan memiliki kepandaian seperti dia, tentu kami akan kalah!”
Kwan Cu tersenyum, lalu dia pun minta kertas dan menuliskan banyak kata-kata di situ.
“Saudara Malita, Malika dan semua wanita yang berada di sini, maafkan kalau aku menyatakan sesuatu yang mungkin akan terasa janggal oleh kalian. Di duniaku, fihak laki-lakilah yang berkuasa dan fihak laki-laki yang mengatur seluruhnya.”
Para wanita ribut-ribut setelah membaca ini dan hampir saja mereka menyerang Kwan Cu kalau saja tidak dicegah oleh Malita.
“Kau laki-laki memang mau menang sendiri saja!” tulis Malita dengan coretan cepat, mengandung kemendongkolan hati. “Mendiang ibuku dulu pernah bercerita bahwa dahulu pernah kaum laki-laki kami memegang kekuasaan dan bagiamana keadaan nasib kami kaum wanita? Kaum lelaki enak-enak saja, kami wanita yang bekerja keras. Bukan itu saja, kami diperlakukan seperti barang permainan, mudah di tukar dan diperjualbelikan. Laki-laki mempunyai isteri berapa saja sesuka hatinya! Bahkan raja di kala itu mempunyai isteri lebih dari tiga puluh orang! Apa begitu pula keadaan di duniamu?”
Diam-diam Kwan Cu harus mengakui bahwa memang di dunianya hampir-hampir begitulah keadaannya. Memang banyak orang-orang lelaki, tidak semua dan ada kecualinya tentu, yang menganggap wanita sebagai barang permainan dan yang memandang rendah sekali kepada kaum wanita. Bahkan dia pun telah mendengar tentang kaisar dan para pembesar yang mempunyai selir tidak hanya tiga puluh orang wanita, bahkan lebih banyak lagi. Ia harus berlaku cerdik untuk dapat membereskan persoalan pertempuran antara kaum laki-laki dan kaum wanita dari bangsa katai ini.
Kwan Cu menulis lagi. “Sama sekali tidak begitu. Kaum laki-laki di negaraku selalu memperlakukan baik sekali terhadap wanita. Tak seorangpun laki-laki mau mengganggu wanita, menikah hanya dengan seorang isteri saja, hidup damai dan rukun, bekerja sama demi kebahagiaan suami isteri dan anak-anaknya. Laki-laki bertenaga lebih besar dan karenanya pekerjaan-pekerjaan berat yang memerlukan tenaga harus dilakukan oleh kaum lelaki, sebaliknya pekerjaan halus dan kerajinan tangan dilakukan oleh pihak wanita.”
Mendengar ini, para wanita saling pandang dan di antaranya ada yang mengucurkan air mata saking terharu hatinya.
“Alangkah bahagianya hidup kami kalau keadaan kami bisa seperti yang kau ceritakan itu,”menulis Malita. “Akan tetapi sayang, kaum laki laki bangsa kami lain lagi, dan itulah sebabnya maka dahulu kaum wanitanya memberontak dan mempelajari ilmu kepandaian agar dapat menguasai laki laki sehingga kami dapat mencegah perlakuan sewenang sewenang.”
“Kenapa tidak bisa diatur begitu? Kalian harus berusaha dan aku akan membantu kalian sehingga di pulau ini akan tercapai keadaan makmur dan damai seperti yang kuceritakan tadi.” Wanita-wanita itu nampak girang dan wajah mereka berseri-seri. Diam-diam Kwan Cu harus akui bahwa wanita-wanita cilik ini rata rata memiliki wajah yang amat cantik menarik, terutama sekali Malita dan Malika, yang kecantikannya tidak kalah oleh wanita wanita di kota raja di negaranya. “Akan tetapi, biarpun kami amat berterima kasih kepadamu, kami sangsi apakah kita akan dapat mengalahkan Kahano yang sudah tua itu mempunyai niat yang amat buruk. Pertama-tama dia menghendaki agar aku dan adikku Malika menjadi isterinya dan dia mau menjadi raja di sini!” ketika menuliskan hal ini, muka Malita menjadi merah saking marah dan jengahnya. “Dan yang amat mengkhawatirkan, kepandaiannya makin lama makin maju pesat sekali setelah dia berada di pulau kecil itu. Agaknya di pulau pohon putih itu dia mendapatkan seorang guru yang pandai.” Mendengar ini, berdebar hati Kwan Cu. “Pulau pohon putih? Di manakah itu?” “Itulah pulau yang kini menjadi tempat tinggal mereka. Pulau itu di tumbuhi pohon-pohon putih, dan di situ terdapat banyak sekali gua-gua yang panjang dan aneh. Sebetulnya pulau itu menjadi tempat penguburan raja-raja kami, bahkan nenek sakti yang pernah menurunkan ilmu silat pada kami, juga berasal dari pulau itu dan di kubur di sana pula.” Kwan Cu menyembunyikan rasa girangnya. Itulah gerangan pulau yang di maksudkan dalam buku sejarah Gui Tin di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? “Mari antarkan aku ke sana, akan kutawan semua laki-laki yang berada di sana. Akan ku tangkap Kahano yang memberontak itu!” katanya gagah sambil berdiri. Akan tetapi Malita nampak ragu-ragu. Apalagi Malika yang lebih berwatak keras dari pada kakaknya. Gadis ini berdiri dan mencabut pedangnya. “Raksasa,” tulisnya di tanah menggunakan ujung pedangnya, “kau mudah saja bicara seakan-akan kau benar-benar akan dapat menangkan Kahano dan kawan-kawannya. Sekarang begini saja, aku dan kakakku Malita hendak menguji kepandaianmu. Biarpun kau besar sekali dan tentu tenagamu amat besar, akan tetapi kalau tidak memiliki kepandaian, apa gunanya?” Malika menegur adiknya dengan kerling mata tajam, kemudian ia menulis. “Maafkan adikku yang nakal dan kasar, saudara Kwan Cu. Akan tetapi, ada pula benarnya kata-kata itu. Kami tidak mau membiarkan kau yang bermaksud baik itu mengalami kegagalan dan celaka di tangan Kahano yang lihai. Maka, maukah kau kuuji kepandaianmu?”
Kwan Cu mengangguk, dan tanpa banyak cakap, dia bersiapa sedia, berdiri menghadapi dua orang gadis itu dengan hati-hati. Ia dapat menduga bahwa kedua orang gadis yang kecil ini memiliki ginkang yang amat tinggi dan karenananya tentu memiliki kepandaian yang tak boleh dipandang ringan.
Malita dan Malika bersiap dengan pedang mereka, kemudian Malika berseru dan menyerbulah kedua orang gadis itu dengan hebatnya. Malita melompat dan tubuhnya melayang tinggi sehingga ia dapat menusukkan pedangnya ke arah dada Kwan Cu, adapun Malika yang cerdik menggunakan pedangnya untuk membabat kedua kaki Kwan Cu yang besar. Benar saja dugaan Kwan Cu, gerakan dua orang gadis ini cepat sekali dan cara penyerangan mereka menggunakan teori silat yang tinggi.
Kwan Cu menggunakan Pai-bun-tui-pek-to untuk menghadapi serangan dua orang gadis kecil ini. Baiknya pemuda ini telah memiliki pandangan mata yang awas dan karena tubuhnya jauh lebih besar, maka langkahnya pun lebar sekali bagi Malita dan Malika. Sekali saja Kwan Cu melangkah, dia telah menghindarkan diri jauh-jauh dari dua pedang kecil yang menyerangnya. Akan tetapi bagaikan dua ekor nyamuk yang gesit sekali, Malita dan Malika terus mendesak dan mengejarnya dengan pedang mereka.
Kwan Cu memperhatikan gerakan-gerakan mereka dan diam-diam dia terkejut sekali. Ilmu pedang mereka itu benar-benar lihai, dan kalau saja mereka merupakan dua orang gadis dengan tubuh sebesar dia, tentu dia takkan sanggup menghindarkan diri dari serangan mereka itu. Gerakan pedang mereka selain amat cepat, juga gerakannya mempunyai perubahan yang tak terduga-duga, begitu indah dan juga kuat sekali. Tubuh mereka seakan-akan telah menjadi satu dengan pedang dan bagaikan dua kunang-kunang di waktu malam gelap, dua orang gadis itu menyambar-nyambarnya dari segala jurusan.
Kwan Cu menjadi bingung. Untuk membuktikan bahwa dia dapat membantu mereka ini dan mengalahkan para pemberontak, dia harus dapat menunjukkan kepandaiannya dan dapat mengalahkan Malita dan Malika. Akan tetapi, dengan tangan kosong saja, tak mungkin dia dapat mengalahkan mereka tanpa melukai mereka ini. Ia tentu akan dapat mempergunakan Ilmu silat Sin-ci-tin-san yang lihai, akan tetapi apakah tubuh mereka yang kecil-kecil ini akan dapat menahan hawa pukulan Sin-ci-tin-san?
Makin lama, Malita dan Malika mendesaknya makin hebat sehingga Kwan Cu terpaksa menahan desakan mereka dengan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang. Ilmu silat ini biarpun hanya terdiri dari tiga bagian pukulan, namun membuat dia dapat bertahan kuat dan hawa pukulan yang ditimbulkan dari gerakan kedua tangannya merupakan perisai yang menangkis semua serangan lawan. Malita dan Malika tak dapat mendekatinya lagi karena di sekitar tubuh pemuda itu bertiup angin pukulan yang membuat tubuh mereka terpental mundur kembali setiap kali mereka hendak menyerang.
Kwan Cu masih tidak puas dan sambil tersenyum dia lalu mengeluarkan sulingnya yang tadi dia ambil dari buntalan pakaian dan dia selipkan di ikat pinggangnya.
Malita memandang heran. Apakah pemuda raksasa yang aneh dan lihai ini hendak menyuling sambil bertempur? Akan tetapi, keheranannya bertambah ketika Kwan Cu bukannya menggunakan benda itu untuk menyuling melainkan mempergunakannya untuk bertempur! Dengan sulingnya ini, Kwan Cu mulai memainkan gerakan-gerakan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Ia bermaksud mengalahkan dua orang gadis cilik ini dengan merampas pedang mereka. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dua orang gadis itu agaknya tidak gentar menhadapi sulingnya dan agaknya sudah dapat menduga lebih dulu kemana sulingnya akan bergerak sehingga mereka dapat mempertahankan diri dengan baik. Melihat gerakan mereka, Kwan Cu merasa yakin bahwa mereka telah mengenal ilmu pedangnya, karena ke manapun juga dia hendak menggerakkan suling, keduanya sudah bersiap sedia dan setiap elakan demikian tepatnya.
Untung bagi Kwan Cu bahwa dua orang lawannya yang kecil itu tenaganya kecil pula sehingga baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk menangkis serangan-serangan mereka. Namun diam-diam pemuda ini merasa kagum dan girang. Ilmu pedang yang di perlihatkan oleh Malita dan Malika benar-benar hebat dan agaknya memang di tempat ini menjadi sumber ilmu-ilmu silat tinggi. Tak salah lagi, tentu kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng berada di pulau yang di jadikan tempat sembunyi kaum pemberontak itu. Ia menjadi girang dan penuh harapan. Memang tujuan dari pada perantauannya ke tempat-tempat aneh ini adalah untuk mendapatkan ilmu silat tinggi dan sekarang dia telah menyaksikan orang-orang kecil yang memiliki ilmu silat mengherankan. Bagaimanakah dua orang gadis ini seakan-akan mengenal ilmu pedangnya yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai? Ia harus menyelidiki semua ini.
Setelah mengambil keputusan untuk mengalahkan dua orang gadis ini karena dia telah puas menyaksikan ilmu pedang mereka, tiba-tiba Kwan Cu berseru keras sambil meyembunyikan sulingnya di balik lengan baju, kini dia bersilat ilmu silat Sin-ci-tin-san, akan tetapi bukan mempergunakan tangan, melainkan mempergunakan ujung lengan bajunya! Serangan yang amat dahsyat ini benar-benar membuat Malita dan Malika kewalahan sekali. Seharusnya, ilmu silat ini di mainkan dengan jari tangan yang melakukan serangan menotok, akan tetapi oleh karena Kwan Cu tak ingin mencelakai dua orang gadis ini, dia mempergunakan ujung lengan baju sebagai gantinya. Ia telah memperhitungkan dengan tepat dan mendapat akal bagaimana harus mengalahkan lawan-lawannya.
Sambaran pukulan yang dilakukan oleh ujung lengan bajunya mengandung tenaga lweekang yang berat, maka benar sebagaimana perhitungannya, ketika ujung pedang kedua orang gadis ini beradu dengan ujung lengan baju, mereka berteriak kesakitan karena telapak tangan mereka menjadi panas. Kwan Cu mempergunakan lweekangnya untuk mengubah ujung lengan baju yang tadinya keras kaku menjadi lembek. Sekejap mata saja dua pedang itu telah terlibat ujung lengan baju dan sekali dia menggerakkan kedua tangannya, pedang-pedang itu terampas olehnya.
Malita dan Malika menghentikan gerakan mereka dan dengan menjura Malita menulis di atas dengan ujung sepatunya. “Kami menyerah kalah dan percaya penuh akan kelihaianmu.”
“Kalian memiliki ilmu pedang yang hebat sekali,” jawab Kwan Cu sambil mengembalikan dua batang pedang kecil itu.
“Akan tetapi, Kahano dan kawan-kawannya lebih berbahaya lagi. Kalau menghadapi mereka, kau harus mempergunakan kedua tanganmu, dan untuk menjaga agar jangan kau terluka oleh senjata mereka yang mengandung racun berbahaya, kedua tanganmu harus digosok lebih dulu dengan obat kami,” kata Malita.
Setelah mendapat kenyataan bahwa pemuda raksasa itu benar-benar lihai, Malita dan kawan-kawannya menjadi amat gembira dan penuh harapan. Malita lalu mengadakan pesta perjamuan untuk menghormati raksasa muda yang akan menolong mereka itu. Dalam kesempatan ini, Kwan Cu mempelajari bahasa mereka yang bagi telinganya terdengar amat kaku.
Malita dan Malika mengajak Kwan Cu berunding bagaimana harus mengadakan penyerangan terhadap pemberontak.
“Yang terberat untuk dihadapi hanya enam orang di bawah pimpinan Kahano itu,” kata Malita sambil menjelaskan dengan tulisan bagian kata-kata yang tidak atau belum dimengerti oleh Kwan Cu, “untuk anak buah mereka, serahkan saja kepada kami dan kawan-kawan. Asal kau sudah dapat mengalahkan dan menawan enam orang itu, tentu akan beres. Akan tetapi sukarnya, mereka itu menyembunyikan diri dalam gua-gua yang panjang dan gelap dan pertahanan mereka di situ kuat sekali. Setiap kali kami mau menyerbu masuk, kami dihujani anak panah dan senjata rahasia dari dalam gua.”
“Kita lihat saja dulu, keadaan mereka di sana, baru nanti mencari akal,” kata Kwan Cu sambil makan hidangan yang enak akan tetapi aneh bagi lidahnya. Ia merasa agak malu-malu ketika melihat betapa semua wanita itu menonton dia makan hidangan yang bagi mereka amat banyak itu. Hm, alangkah gembulku dalam pandangan mereka, pikir Kwan Cu.
Malam hari itu Kwan Cu bermalam di dusun mereka. Karena tidak ada rumah atau kamar yang cukup besar bagi Kwan Cu, terpaksa pemuda ini bermalam di luar rumah-rumah kecil itu, di udara terbuka. Namun dia mendapat hiburan yang luar biasa sekali. Ketika hari mulai gelap dan dia sudah membaringkan tubuhnya di bawah pohon untuk mengaso dan mengenangkan semua pengalamannya yang aneh-aneh itu, tiba-tiba nampak banyak sekali obor menerangi tempat itu. Berbarengan dengan munculnya obor-obor ini, terdengar suara tetabuhan yang amat merdu namun aneh sekali iramanya. Suara tetabuhan ini lalu disusul oleh nyanyian bersama yang membuat Kwan Cu merasa heran, karena dalam suara nyanyian bersama ini, dia mendengar suara laki-laki yang besar!.
Obor-obor itu makin mendekat dan Kwan Cu melihat sesuatu yang membuat dia terkejut dan juga gembira, karena tak diduga-duganya bahwa para pemegang obor itu adalah wanita-wanita dan juga laki-laki bangsa katai itu. Mereka nampak begitu rukun dan damai, sedangkan di antara mereka nampak pula banyak anak-anak kecil yang dalam pandangan Kwan Cu luar biasa lucunya, seperti bayi-bayi berjalan! Malita dan Malika memimpin rombongan ini dan menurut tafsiran Kwan Cu tak kurang dari lima puluh orang wanita-wanita muda dan dua puluh orang laki-laki muda yang datang membawa obor itu. Pakaian mereka seragam, yang wanita merah dan yang laki-laki biru. Agaknya mereka dalam keadaan dan suasana berpesta riang gembira.
Kwan Cu bangun dan duduk bersandarkan pohon. Malita menghampirinya dan bersama Malika, ia menjura tanda menghormat Kwan Cu yang membalasnya dengan anggukan kepala dan senyum ramah.
“Nasihatmu baik sekali, saudara Kwan Cu. Lihat, laki-laki yang tadinya menjadi tawanan kami, sekarang telah kami bebaskan dan setelah kami menjelaskan tentang nasihatmu agar kami hidup rukun dan damai saling mengalah dan saling melindungi, mereka menerima dengan gembira dan menyatakan hendak membantu kami menumpas Kahano dan kawan-kawannya.”
“Bagus sekali! Tidak ada berita lebih menggirangkan daripada ini,” kata Kwan Cu.
Adapun orang-orang lelaki yang berada disitu, lalu bersama maju dan berlutut di depan Kwan Cu dengan mata memandang kagum dan juga agak takut-takut.
Kwan Cu melihat betapa kaum lelaki di situ memang bersemangat kecil dan jelas sekali nampak sifat rendah diri dan kalah pengaruh oleh kaum wanitanya. Namun harus diakui bahwa mereka pun memiliki bentuk yang tampan dan menarik serta potongan tubuh yang bagus. Anak-anak kecil kelihatan lucu sekali ketika mereka memandang kepada “raksasa muda” itu dengan mata terbelalak ketakutan.
“Kami sengaja mengumpulkan orang-orang untuk menghiburmu sebagai penghormatan,” kata Malita, kemudian ia memberikan tanda dengan tangannya.
Tetabuhan dibunyikan makin gencar dan dari rombongan itu keluarlah belasan orang gadis dengan pakaian indah, menari-nari di depan Kwan Cu dengan gerakan lemah gemulai. Kwan Cu terpesona. Belum pernah dia menyaksikan tari-tarian yang demikian indahnya, ditarikan oleh gadis-gadis yang biarpun bentuk tubuhnya sudah menunjukkan kepenuhan dan kedewasaan, namun tingginya hanya sampai di pahanya saja! Seakan-akan dia melihat boneka-boneka hidup menari dengan indahnya.
Ini semua menggirangkan hati Kwan Cu, tetapi yang paling menggembirakan adalah sikap laki-laki dan wanita yang berada di situ, saling pandang antara suami isteri, penuh cinta kasih dan pengertian, tertawa-tawa dan tiada ubahnya dengan pasangan-pasangan di dusun-dusun di negaranya, dimana hidup petani-petani yang sederhana akan tetapi selalu hidup rukun dengan keluarganya.
“Pesta seperti biasanya kami lakukan setahun sekali,” kata Malita kepada Kwan Cu tanpa mempergunakan tulisan karena Kwan Cu yang berotak cerdik luar biasa itu sebentar saja sudah menguasai bahasa percakapan yang mudah-mudah.
“Untuk merayakan apakah?” tanya Kwan Cu sambil menikmati gerak tarian para gadis cantik yang berputar-putar di hadapannya menurutkan irama lagu.
“Untuk merayakan dewi bulan dan dalam kesempatan itu, memberikan kesempatan kepada para calon dara untuk memilih calon jodohnya.”
Kwan Cu tertegun. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata. Hm, benar-benar dunia nyata di pulau ini. Bahkan dalam hal memilih jodoh, wanitalah yang berhak memilih!
“Jadi laki-laki tak berhak memilih jodohnya?” tanyanya.
Sepasang mata Malita memancarkan sinar penasaran. “Laki-laki memilih? Hm, akan rusaklah semua kalau laki-laki yang diberi kekuasaan memilih jodohnya. Laki-laki selalu memilih jodohnya berdasarkan kecantikan wanita dan keindahan bentuk tubuh! Laki-laki seakan-akan buta dalam hal memilih jodoh. Kalau mereka memilih, tentu takkan dapat terbentuk rumah tangga bahagia. Mereka memilih yang cantik-cantik untuk akhirnya bercekcok di kemudian hari karena ternyata pilihannya tidak mencocoki wataknya sendiri. Kemudian bagaimana? Mereka itu, laki-laki buta itu, akan mencari-cari wanita lain!”
Kwan Cu tersenyum. “Malita, agaknya kau masih belum dapat melenyapkan kebencianmu terhadap laki-laki.”
Malita tersenyum juga menjadi sabar kembali. “Bukan semata-mata terdorong kebencian, melainkan berdasarkan kenyataan. Sifat buruk laki-lakilah yang memancing kebencian di dalam hati wanita.”
“Kurasa tidak akan terjadi seperti penuturanmu itu apabila pemilihan laki-laki berdasarkan cinta kasih.” Kata Kwan Cu.
Tiba-tiba gadis bertahi lalat di pipinya itu tertawa berkikikan sambil menutupi mulutnya, seakan-akan mendengar sesuatu yang amat menggelikan hatinya. Tentu saja Kwan Cu menjadi melongo karena dia tidak mengerti apa gerangan yang ditertawakan oleh Malita.
“Eh, kau tertawa begitu geli ada apakah?” tanyanya tak senang karena berada di tengah-tengah orang-orang katai ini, kembali datang perasaan tidak sedap dalam hati Kwan Cu merasa bahwa dia akan kembali jadi buah tertawaan.
“Apakah di antara bangsa raksasa terdapat juga perasaan cinta kasih yang membikin gila orang?” tanya Malita.
“Tentu saja ada. Apa kau kira kami bangsa yang kau sebut raksasa bukan manusia yang mempunyai perasaan dan hati?”
“Bukan demikian maksudku, saudara Kwan Cu yang baik. Melihat kau dan kepandaianmu tadinya kukira bahwa bangsamu adalah manusia yang sudah pandai dan tidak bodoh serta lemah sehingga mudah pula dikuasai oleh perasaan palsu yang disebut cinta kasih. Akan tetapi ternyata ternyata sama saja dengan kami, masih dapat dipengaruhi oleh perasaan palsu itu.”
“Bagaimana kau berani menyatakan bahwa cinta kasih itu adalah sesuatu perasaan yang palsu?” tanya Kwan Cu penasaran.
“Cinta kasih yang timbul dalam hati wanita memang murni dan suci, akan tetapi cinta kasih dalam dada seorang laki-laki hanya palsu belaka! Cinta kasih seorang laki-laki hanya berdasarkan nafsu, berdasarkan rasa tertarik dan suka kepada wajah yang indah, bentuk tubuh yang menggairahkan! Sebaliknya, cinta kasih yang timbul yang timbul dalam hati wanita berdasarkan watak yang baik dan budi bahasa yang halus, bukan semata-mata karena wajah yang tampan dan gagah!”
Kwan Cu kembali tertegun. Baru kali ini dia mendengar filsafat seperti ini sungguhpun dia memang jarang sekali mendengar atau tak pernah membaca tentang filsafat cinta kasih. Namun dia penasaran sekali karena sebagai seorang laki laki dia merasa laki-laki direndahkan oleh ucapan itu.
“Tak mungkin!” bantahnya. ”Tidak semua laki-laki hanya mendasarkan cintanya pada nafsu dan keindahan. Ada pula laki-laki yang berpribudi dan bijaksana.”
“Seribu satu saudara Kwan Cu. Seribu orang hanya ada satu! Aku berani bertaruh bahwa seorang laki laki takkan suka mencinta seorang wanita yang buruk rupa atau cacad tubuhnya. Eh, apakah kau sendiri sudah mempunyai seorang wanita yang kau kasihi?”
Kwan Cu tak dapat menjawab, wajahnya memerah. Ia teringat akan sumpahnya di depan gadis raksasa Liyani bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng! Akan tetapi di depan Malita dia tidak menyatakan sesuatu.
“Saudara Kwan Cu, andaikata kau sudah mempunyai seorang gadis yang kau cinta, aku berani memastikan bahwa gadis itu tentulah seorang yang cantik manis, bukan seorang gadis yang tidak ada hidungnya! Aku tidak percaya akan ada seorang laki laki yang mencinta seorang gadis yang hidungnya lenyap atau rusak.” setelah berkata demikian, Malita tertawa mengejek.
“Kau mau menang sendiri saja,” Kwan Cu merasa perutnya panas, ”aku juga merasa yakin bahwa tidak ada seorang gadis yang menjadi seorang laki laki yang hidungnya rusak seperti yang kau katakan tadi.”
“Siapa bilang tidak mungkin? Banyak wanita yang mencinta sepenuh hati suaminya yang buruk rupa, yang bopeng, yang pincang dan sebagainya. Cintanya suci murni, karena seperti kukatakan tadi, cinta kasih seorang wanita berdasarkan kesetiaan, berdasarkan watak baik dan kecocokan hati dan pikiran, bukan seperti laki laki yang buta cinta, hanya suka kepada apa yang baik menarik, akan tetapi mudah pula bosan setelah melihat wanita lain yang lebih menarik!”
Kwan Cu menjadi panas, akan tetapi dia sempat menahan gelora hatinya dan hampir saja dia tertawa. Untuk apakah berdebat urusan cinta dengan gadis ini?
“Sesukamulah, Malita. Hanya kalau kau dan kawan kawanmu mau menuruti nasehatku, dalam menetapkan perjodohan, harus ada persetujuan kedua fihak, baik dari si wanita maupun dari si lelaki, baik dari fihak wanita maupun dari fihak laki-laki jangan sekali kali ada paksaan. Dengan demikian, kiranya baru akan dapat dibentuk rumah tangga yang damai.”
Pesta penghormatan itu berjalan sampai menjelang tengah malam. Tiba-tiba banyak sekali obor padam dan terdengar pekik di sana-sini. Kwan Cu terkejut sekali melihat beberapa orang laki-laki yang tadi memegang obor, terjungkal roboh dan keadaan menjadi panik. Di bawah penerangan bulan, kelihatan bayangan yang gesit di sana-sini dan anak panah-anak panah yang kecil menyambar-nyambar.
Kwan Cu dan Malita melompat bangun.
“Mereka datang menyerbu!” seru Malita marah sambil mencabut pedangnya.
“Biar aku menghadapi mereka!” Kwan Cu berseru dan pemuda ini berlari cepat dengan lompatan-lompatan jauh menuju ke arah para penyerbu. Memang benar dugaan Malita, banyak sekali orang katai datang dari arah pantai sambil menghujankan anak panah kepada orang-orang yang sedang berpesta. Kahano yang mendengar bahwa pulau itu kedatangan raksasa dan bahwa para wanita tengah mengadakan pesta di malam itu, dan terutama sekali mendengar betapa para laki-laki yang tertawan kini telah berbaik dengan para wanita, menjadi marah dan memimpin semua orang menyerbu.
Kwan Cu yang berlari mendatangi, tiba-tiba disambut oleh puluhan batang anak panah yang kecil-kecil namun cukup berbahaya datangnya. Pemuda ini cepat mencabut sulingnya dan memutarnya seperti pedang sehingga semua anak panah yang kecil-kecil itu tersampok runtuh. Ia maju terus dan para pemberontak itu ketika menyaksikan betapa raksasa ini amat tangguh, menjadi ketakutan dan berlari cerai-berai!
Akan tetapi, pada saat itu, Malita dan Malika dan kawan-kawannya telah datang menyerbu dan pertempuran yang hebat terjadilah. Kwan Cu menyerang ke sana ke mari dengan sulingnya. Ia tidak mau membunuh, hanya menggunakan tenaganya untuk membuat senjata-senjata lawan terlempar sambil berseru berkali-kali,
“Malita, jangan bunuh mereka, tawan saja!”
Menghadapi amukan raksasa ini, orang-orang katai yang sudah panik itu menjadi makin kacau balau. Apalagi memang kepandaian para wanita itu hebat dan mereka biarpun menerima latihan ilmu silat tinggi yang aneh dari Kahano, namun masih belum dapat mengatasi kepandaian para wanita. Sebentar saja mereka dikalahkan, terluka dan tertawan. Kwan Cu sengaja mencegah mereka itu melarikan diri, akan tetapi setelah dia menjaga di pantai dan menangkap setiap orang katai yang hendak melarikan diri, dan pertempuran selesai, ternyata bahwa betapapun juga. Kahano dan lima orang kawannya telah melarikan diri dari pulau itu!
Malita dan kawan-kawannya girang sekali melihat betapa semua anak buah Kahano telah dapat tertawan, sungguhpun Malita masih penasaran karena Kahano dan lima orang kawannya yang menjadi biang keladi kekacauan itu dapat melarikan diri. Pada malam hari itu juga, Malita dan kawan-kawannya lalu memberi nasihat kepada semua tawanan, dibantu oleh orang-orang lelaki yang sudah insyaf dan baik kembali. Para tawanan itu setelah mendapat penerangan bahwa semenjak hari itu tidak akan ada tindas-menindas antara laki-laki dan wanita, bahwa akan diadakan kerja sama yang baik menurut nasihat Kwan Cu raksasa muda itu, menjadi terharu. Mereka tadinya kena hasutan Kahano hanya karena mereka menganggap pihak wanita terlalu menindas dan merendahkan mereka yang bertenaga lebih besar.
“Setiap pelanggaran atau kejahatan, setiap penindasan dan kekejaman, baik dilakukan wanita maupun laki-laki, akan diadili dan yang melakukan dihukum!” demikian Malita menutup penerangannya, sesuai dengan nasihat dan penerangan Kwan Cu yang memasukkan aturan-aturan bangsanya kepada bangsa katai ini.
Dan pada keesokan harinya, diantar oleh Malita, Malika dan sepuluh orang prajurit wanita, Kwan Cu naik perahunya menuju ke pulau yang dijadikan tempat sembunyi Kahano dan lima orang kawannya. Melihat pulau itu dari perahunya, Kwan Cu berdebar hatinya. Tak salah lagi, inilah pulau yang ditunjuk di dalam buku sejarah Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan. Ia melihat pulau yang kecil dan bundar bentuknya dan dari jauh sudah kelihatan pohon-pohon yang keputih-putihan, batu-batu karang yang menjulang tinggi dan gua-gua di batu karang yang bermulut hitam gelap.
“Itulah Pek-hio-to (pulau daun putih) yang dijadikan tempat sembunyi Kahano dan kawan-kawannya,” kata Malita kepada Kwan Cu. Kwan Cu di dalam kegembiraan dan ketegangan hatinya tidak menjawab, melainkan mendayung makin cepat lagi ke arah pulau itu sehingga perahunya meluncur cepat sekali dan para wanita itu memandang dengan kagum.
Pulau kecil itu ternyata paling tinggi letaknya di antara semua pulau-pulau kecil yang berada di sekitar daerah itu. Kelihatannya seperti bukit kecil yang berwarna putih.
Setelah Kwan Cu mendaratkan perahunya, dia dan semua wanita katai melompat turun ke pantai. Malita mengeluarkan sehelai saputangan warna putih dari balik bajunya dan memberikan saputangan itu kepada Kwan Cu.
“Seperti sudah kukatakan kemarin, Kahano dan kawan-kawannya menggunakan bisa ular di ujung senjata mereka. Bisa itu amat berbahaya, dan kalau kulit tanganmu sampai terluka, nyawamu akan terancam bahaya. Akan tetapi kalau kau menggosok-gosok kedua tanganmu dengan sapu tangan yang sudah mengandung obat penawar ini, kau tidak usah takut mengahdapi ujung senjata mereka.”
Kwan Cu menerima saputangan itu sambil mengucapkan terima kasihnya lalu dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangan dengan saputangan itu. Aneh sekali, terasa panas dan gatal-gatal tangannya, akan tetapi Malita menyuruh dia menggosok-gosok terus sampai lenyap rasa gatal-gatal itu. Benar saja, lama-lama lenyap rasa gatalnya, tinggal rasa panas-panas hangat pada telapak tangannya. Ia mengembalikan saputangan putih kepada Malita dan diam-diam dia merasa kagum. Agaknya gadis ini seorang ahli tentang racun dan senjata yang berbahaya sehingga perlu membawa saputangan-saputangan yang aneh dari berbagai warna. Ia masih teringat sapu tangan merah yang dapat membuat dia mabuk dan tertidur.
“Di mana tempat mereka bersembunyi?” tanya Kwan Cu sambil mengajak Malita dan kawan-kawannya naik ke tengah pulau. Mata pemuda ini memandang ke sekeliling dan dia melihat bahwa pulau itu memang aneh sekali dan menyeramkan keadaannya. Pohon-pohon yang tumbuh di situ tidak banyak akan tetapi daun-daunnya berwarna putih belaka, juga rumput-rumput banyak yang berwarna putih. Pulau ini mengingatkan dia akan daerah utara kalau sedang dilanda musim salju. Gua-gua yang banyak terdapat di bukit karang itu nampak menghitam, amat jelas di antara daun-daun yang putih itu.
“Sukar untuk mengatakan di mana mereka bersembunyi. Gua-gua di sini banyak sekali dan di antaranya terdapat lima buah gua yang merupakan terowongan bersambung satu kepada yng lain,” Jawab Malita sambil memimpin rombongan itu kepada sebuah gua yang gelap. “Nah, gua ini yang terbesar, akan tetapi dari gua ini orang dapat mencapai gua-gua di lain bagian.”
Kwan Cu melihat bekas tapak-tapak kaki kecil di sekitar mulut gua dan tahu bahwa memang orang-orang katai itu menyembunyikan diri di dalam gua. Akan tetapi agaknya sia-sia kalau hendak mengejar, karena orang-orang itu dari dalam gua yang gelap tentu akan melihat kedatangannya dan mereka dapat melarikan diri melalui mulut gua yang lain. Selain itu, gua itu memang cukup besar bagi orang-orang katai, namun bagi dia agaknya dia hanya dapat masuk dengan jalan merangkak! Ini berbahaya sekali! Akhirnya dia mendapat akal.
“Kumpulkan kayu-kayu bakar dan daun-daun kering di mulut gua yang berhubungan satu dengan yang lain itu, tutup empat mulut gua dengan kayu bakar dan daun kering, biarkan yang satu ini saja terbuka. Setelah penuh dengan kayu bakar , bakar semua tumpukan itu agar asapnya memenuhi gua dan terowongan. Asap itulah yang akan memaksa mereka keluar dari gua melalui mulut gua ini dan aku akan menjaga di sini.”
Mendengar siasat ini, Malita mengangguk-angguk dengan kagum. Ia lalu mengatur, memecah kawan-kawan menjadi empat bagian untuk melakukan tugas menutup dan membakar mulut gua. Adapun Kwan Cu lalu bersembunyi di belakang batu karang, menjaga kalau-kalau para pemberontak itu muncul dari gua besar itu.
Tempat sembunyi Kwan Cu adalah di balik pohon yang berada di dekat gua dan pemuda ini bersandar pada batu karang itu. Tiba-tiba tangannya menyentuh batu karang yang hitam itu dan mendapatkan bagian-bagian yang halus teraba oleh tangannya. Ia memandang dan melihat ukiran-ukiran seperti huruf di dinding batu karang di luar gua. Akan tetapi coretan atau ukiran itu tak dapat dibaca karena telah tertutup oleh tanah yang mengeras, merupakan kulit dari batu karang itu. Kwan Cu mengerahkan tenaga dan mempergunakan tangan untuk menarik keluar kulit batu karang itu. Sebagian dari pada kulit yang terjadi dari tanah mengeras itu terlepas dan ternyata bahwa huruf itu adalah huruf LIU. Berdebar hati Kwan Cu karena huruf ini mengingatkan dia akan bunyi kitab sejarah yang dia dapatkan di dalam sumur di Kun-lun-san, yakni kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang menyatakan bahwa kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong oleh LIU PANG yang akhirnya menjadi raja. Ia segera mengerjakan kedua tangannya untuk melepaskan kulit batu karang yang menutup huruf-huruf selanjutnya.
Sementara itu, Malita, Malika dan kawan-kawan mereka sudah mulai bekerja, menutupi empat mulut gua yang lain dengan kayu-kayu dan daun-daun kering, lalu membakar semua itu. Asap yang tebal bergumpal-gumpal memasuki gua dan terus memasuki terowongan itu!
Karena amat tertarik oleh ukiran huruf di dinding sebelah luar gua, Kwan Cu lupa bahwa dia sedang bertugas menanti munculnya Kahano dan kawan-kawannya, dan dia tidak ingat lagi bahwa sudah beberapa lama dia bekerja mencoba untuk melepaskan kulit batu karang yang sudah amat keras dan menjadi satu dengan batunya. Setelah dengan susah payah bekerja sehingga kuku-kuku jari tangannya sampai pecah-pecah, akhirnya Kwan Cu dapat membaca empat huruf yang berbunyi LIU SIN TONG TANG (Guna Anak Ajaib Liu). Hampir saja Kwan Cu berjingkrak saking girangnya. Tak salah lagi, yang dimaksudkan dengan anak ajaib she Liu itu tentu bukan lain adalah Liu Pang, karena anak yang kelak menjadi kaisar patut disebut atau menyebut diri sendiri anak ajaib. Ia makin dekat dengan rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang sudah lama dicari-carinya.
Akan tetapi pada saat itu asap telah memasuki terowongan dan bahkan sudah ada asap yang keluar dari mulut gua yang dijaga oleh Kwan Cu. Tak lama kemudian terdengarlah batuk-batuk dan berlari-lari keluarlah enam orang katai dari dalam gua itu. Gerakan mereka gesit sekali dan keenam-enamnya memegang sebatang pedang kecil yang nampaknya tidak berbahaya, akan tetapi yang sesungguhnya mengandung bisa putih yang amat berbahaya pada ujungnya. Enam orang itu bukan lain adalah Kahano beserta lima orang kawannya.
Kwan Cu yang mendengar suara mereka, lalu memandang. Ia melihat seorang katai yang usianya sudah agak tua, dengan kumis dan jenggot putih tebal menutupi mulutnya. Lima orang yang lain berkepala gundul dan biarpun mereka masih muda-muda, namun wajah mereka buruk rupa dan nampak kejam-kejam. Kwan Cu teringat akan penuturan Malita bahwa lima orang yang menjadi murid Kahano adalah pemuda-pemuda jahat yang di benci oleh para gadis karena sikap mereka yang kurang ajar. Yang menarik perhatian adalah saputangan yang mengikat kepala mereka. Saputangan itu berwarna kuning dan bentuknya sama, seakan-akan menjadi tanda pengenal bagi golongan mereka.
“Tak salah lagi, dialah Kahano dan kawan-kawannya,” pikir Kwan Cu. Hati pemuda ini sedang gembira sekali berhubung ditemukannya huruf-huruf yang menyatakan bahwa dia benar-benar berada di pulau yang di cari-carinya. Ia melompat keluar dan dengan dua kali lompatan saja dia sudah tiba di depan enam orang yang sedang mengatur napas untuk menghilangkan pengaruh asap yang menyerangnya di dalam terowongan dan gua. Cara mereka mengatur napas membuat Kwan Cu terkejut, karena itulah peraturan dari ilmu lweekang yang sangat tinggi.
Adapun Kahano dan kawan-kawannya ketika melihat kedatangan Kwan Cu menjadi marah sekali.
“Hm, jadi kaukah yang memimpin mereka dan melakukan akal ini?” tanya Kahano dan Kwan Cu kembali tertegun karena kini Kahano mempergunakan bahasa yang biasa di pergunakan oleh penduduk Tiongkok di bagian utara!
“Kau bisa bahasa daratan Tiongkok?” tanya Kwan Cu terheran-heran.
“Tentu saja bisa, karena kau pun seorang yang berasal dari sana,” jawab Kahano. “Oleh karena itu, mengingat hubungan antara orang kang-ouw, kuharap kau tidak mencampuri urusan kami dan jangan kau mengganggu kami.”
Memang benar bahwa sebetulnya Kahano adalah seorang keturunan Jepang-Tiongkok yang sudah lama merantau di daratan Tiongkok daerah utara, di perbatasan Mongol. Ketika merantau di sana, dia telah mempelajari ilmu silat dan di dunia kang-ouw terkenal sebagai orang yang kurang baik. Kadang-kadang dia ikut dengan serombongan pemain akrobat dan bermain sebagai seorang pelawak yang cocok sekali dengan keadaannya yang pendek kecil itu. Setelah dia merasa bosan di daratan tiongkok, dia mengambil keputusan untuk kembali ke Jepang dengan naik perahu. Akan tetapi perahunya terserang oleh taufan hebat dan akhirnya dia terdampar dalam keadaan pingsan di atas pulau bangsa katai itu. Ia dianggap sebagai bangsa sendiri oleh mereka dan Kahano yang cerdik itu pura-pura bisu, sehingga dia tidak dicurigai. Setelah dia dapat mempelajari bahasa orang-orang katai itu, barulah dia bicara dan mendongeng bahwa dia adalah seorang yang terpilih oleh dewata sebagai calon pemimpin mereka, akan tetapi dengan syarat menjadi bisu untuk beberapa tahun!
Dongengnya ini dipercaya oleh sebagian orang lelaki, akan tetapi tidak dipercaya oleh kaum wanitanya sehingga di antara mereka timbul pertentangan semenjak Kahano berada di situ. Akan tetapi, ternyatalah oleh mereka bahwa Kahano pandai sekali ilmu silat dan bukan merupakan laki-laki yang lemah.
Melihat kecantikan Malita dan Malika, Kahano yang sudah agak tua itu tergila-gila dan timbullah satu kehendak rendah. Ia ingin menjadi raja dari bangsa itu dan mengambil Malita dan Malika sebagai isteri-isterinya! Mula-mula kehendak atau cita-cita ini dipendamnya saja karena kedudukan ayah kedua gadis ini kuat sekali sebagai raja yang terkasih dan bijaksana. Akan tetapi sedikit demi sedikit dia menanam rasa penasaran dan memberontak dalam hati kaum laki-laki sehingga dia berhasil mempunyai pengikut yang banyak juga. Kemudian meninggallah raja, ayah dari kedua orang dara jelita itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kahano untuk memberontak.
Ketika Kwan Cu mendengar Kahano dari daratan Tiongkok, dia lalu menjadi marah.
“Kahano, kalau kau bukan penduduk aseli, maka dosamu lebih besar lagi. Kau telah menghasut orang-orang untuk memberontak dan maksudmu menjadi raja dan mengambil puteri-puteri itu sebagai isteri, telah menunjukkan betapa rendah martabatmu. Lebih baik kau dan pengikut-pengikutmu ini menyerah saja. Aku yang akan menanggung bahwa kalian tak akan dihukum asal saja kalian suka berjanji untuk selanjutnya tidak akan melakukan kekacauan lagi. Ketahuilah bahwa sekarang kaum perempuan bangsa katai ini telah insyaf, bahwa cara satu-satunya unruk mencapai perdamaian antara kaum laki-laki dan wanita, adalah dengan kerja sama dan persamaan hak, seperti yang terjadi di negara kita.”
Kahano tertawa bergelak. Biarpun orangnya kecil, ternyata suara ketawanya besar.
“Ha, ha, ha, orang muda sombong. Kau dapat membodohi mereka ini, akan tetapi apa kaukira aku tidak tahu bagaimana perangai kaum laki-laki di daratan Tiongkok? Apa kaukira aku tidak tahu betapa ayah bunda yang kelaparan menjual anak-anak gadisnya kepada orang-orang kaya, tuan-tuan tanah tua, hanya untuk ditukar dengan makanan? Memang sudah semestinya begitu. Orang perempuan memang dilahirkan cantik dan di takdirkan untuk menjadi alat penghibur laki-laki. Mereka mahluk lemah yang harus menurut dan taat kepada laki-laki, akan tetapi di pulau ini terjadi sebaliknya. Aku hendak mengubah aturanmu itu, sesuai dengan aturan bangsamu, apakah kau masih berani mati untuk merintangi kehendakku? Siapakah kau ini berani mati mencampuri urusan orang lain?”
“Aku bernama Lu Kwan Cu dan aku sekali-kali bukan bermaksud mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi sudah menjadi tugasku untuk membela orang-orang tertindas dan melenyapkan pengacau-pengacau keamanan seperti engkau ini!”
Kahano mengutuk dan memberi aba-aba kepada lima orang pembantunya. Enam orang katai itu lalu bergerak dengan teratur sekali, mengurung Kwan Cu dari enam jurusan. Melihat gerak kaki mereka, diam-diam Kwan Cu memuji. Mereka ini memiliki gerakan kaki yang amat teratur dan gesit sekali, dan sikap mereka menyatakan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat tinggi.
Setelah Kahano berseru keras, enam orang itu mulai menyerang. Pedang pendek mereka bergerak dengan cepat dan serangan mereka tidak di lakukan secara sembarangan, melainkan secara teratur sekali, susul-menyusul seakan-akan memang keenam orang itu sudah berlatih lebih dulu untuk maju berenam dengan ilmu silat tertentu yang harus di lakukan oleh enam orang!
Kwan Cu terkejut dan cepat mengelak. Akan tetapi, biarpun dia dapat mengelak dari serangan pertama tahu-tahu orang kedua sudah menyusul serangan dari belakang, dan ketika dia membalikkan tubuh sambil mengelak ke kiri, orang di sebelah kanan telah menyusul serangan ke tiga. Dengan begitu, setiap serangan selalu datang dari arah belakangnya dan setiap serangan merupakan serangan yang amat berbahaya.
“Lihai sekali!” serunya tanpa terasa lagi. Ia merasa gentar untuk menghadapi mereka dengan tangan kosong, maka cepat dia mencabut sulingnya, senjata satu-satunya yang selalu berada di tubuhnya. Dengan suling ini, dia lalu mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat. Ia menangkis dengan keras dan membalas serangan enam orang pengeroyoknya.
Akan tetapi, segera terjadi hal yang amat mengherankan, juga mengecilkan hati Kwan Cu. Tiba-tiba Kahano berseru dan kini enam orang itu kesemuanya membalasnya dengan serangan yang mirip dengan ilmu pedangnya pula! Bahkan lebih hebat lagi, agaknya enam orang itu setengah dapat menduga ke mana pedangnya akan bergerak selanjutnya, seakan-akan keenam orang itu pernah mempelajari Hun-kai Kiam-hoat, sesungguhpun belum mahir betul.
Menghadapi keroyokan yang dilakukan dengan ilmu silat yang sama dengan ilmu pedangnya, Kwan Cu menjadi bingung sekali. Apalagi senjatanya hanya sebatang yang kosong dan tidak dapat dia gerakkan dengan tenaga besar, maka biarpun dia dapat menangkis setiap serangan lawan, namun dia tidak kuasa membuat lawannya itu melepaskan pedangnya.
Kwan Cu terkurung makin hebat dan pada saat-saat tertentu dengan aba-aba yang di keluarkan oleh Kahano, enam orang itu mengubah gerakan mereka dan tiba-tiba saja maju menubruk berbareng dengan dahsyat sekali! Biarpun Kwan Cu sudah berusaha mengelak sambil memutar sulingnya, namun bajunya terobek oleh tiga ujung pedang kecil.
Pemuda ini berubah air mukanya. Ia maklum bahwa ujung pedang mereka itu mengandung racun yang berbahaya dan sekali kulit tubuhnya tergurat ujung pedang, banyak kemungkinan nyawanya akan melayang! Lebih hebat lagi, selagi pemuda ini kebingungan, tiba-tiba Kahano melompat ke atas dan sebuah tendangan yang cepat sekali mengenai pergelangan tangan Kwan Cu yang memegang suling. Pemuda ini merasa pergelangan tangannya kaku. Memang Kahano dahulu adalah pemain akrobat, loncatannya tinggi dan tendangannya tepat mengenai urat besar sehingga Kwan Cu tidak kuasa memegang sulingnya lagi yang terlempar jauh.
“Ha, ha, ha! Lu Kwan Cu bocah sombong. Baru sekarang kau mengenal kelihaian Kahano!” Si katai berjenggot ini tertawa bergelak saking girangnya. Lima orang kawannya mendesak makin hebat, mendapat tambahan semangat melihat hasil tendangan pemimpin mereka yang lihai.
Kwan Cu segera dapat menenteramkan hatinya. Ia teringat bahwa di antara anggauta tubuhnya, yang berani menghadapi ujung pedang enam orang lawannya hanya kedua tangannya yang sudah diberi obat oleh Malita. Ia teringat pula betapa tenaga keenam orang ini kecil saja, terbukti pula dari tendangan tadi. Tendangan Kahano itu tidak mengandung tenaga besar, dan hasil yang baik itu hanya karena tepatnya tendangan itu mengenai urat besar di pergelangan tangannya. Teringat akan hal ini, Kwan Cu berseri wajahnya dan dia tersenyum.
“Kahano, kaulah yang sombong. Sekarang akan kau rasai kelihaian Lu Kwan Cu!” sambil berkata demikian, Kwan Cu menggerakkan tangannya dengan jari-jari terpentang. Ia bersilat dengan ilmu silat Sin-ci-tin-san yang mengandung tenaga lweekang dan gwakang amat besar sehingga baru saja sambaran hawa pukulannya saja sudah dapat merobohkan lawan. Di samping itu, dia pun menggerakkan kedua kakinya menurutkan gerakan ilmu silat Sam-hoan-ciang sehingga dia seakan-akan mempunyai muka tiga dan gerakan-gerakan kakinya selalu membentuk segitiga dan tidak dapat di serang dari belakang oleh lawan-lawannya.
Tepat betul gerakan Kwan Cu ini. Begitu dia mainkan ilmu silat Sin-ci-tin-san, enam orang pengeroyoknya menjadi bingung sekali. Mereka agaknya dapat pula menduga gerakan-gerakan selanjutnya dari Sin-ci-tin-san, akan tetapi oleh karena ilmu silat ini di lakukan mengandalkan lweekang yang tinggi dan tenaga yang besar, tentu saja mereka tidak dapat menirunya! Hal ini merupakan keuntungan bagi Kwan Cu yang mendesak terus selagi enam orang itu kebingungan, tidak tahu harus berbuat bagaimana menghadapi pukulan-pukulan sepuluh jari tangan Kwan Cu yang baru hawa pukulannya saja sudah membuat tubuh mereka tergetar!
Melihat hasil serangannya, Kwan Cu mengamuk makin hebat. Ia dengan heran sekali melihat betapa enam orang ini pun seakan-akan mengenal ilmu silat Sin-ci-tin-san, karena mereka dapat menduga gerakan-gerakan selanjutnya dari ilmu silat ini, bahkan mereka mencoba untuk menyerangnya dengan meniru gerakan itu. Ilmu silat apakah yang mereka miliki ini sehingga semua ilmu silatnya dapat dikembari oleh mereka? Kalau dia berlaku lambat, tentu mereka akan dapat menguasai diri dan kalau sekali ini dia tidak mampu mengalahkan mereka, agaknya itu akan menjadi tanda bahwa dialah sebaliknya yang akan kalah dan mendapatkan bencana besar!
“Robohlah kalian!” Kwan Cu berseru untuk memperkuat pengaruh dan lweekangnya, dan kedua tangannya bergerak cepat sambil mengerahkan tenaga sekuatnya. Yang paling dia desak adalah Kahano, maka ketika kedua tangannya bergerak, terdengar Kahano menjerit, disusul oleh dua orang kawannya. Ternyata bahwa pukulan Kwan Cu tadi hanya setengah dapat dielakkan mereka, akan tetapi hawa pukulannya masih menghantam Kahano dan dua orang kawannya, yakni seorang yang berada di belakangnya dan seorang pula yang berada di kanannya. Pedang pendek Kahano terlepas dari pegangan dan si katai brewok ini terpukul dadanya sehingga dia terlempar ke belakang dengan dada menderita luka dalam. Orang yang berada di belakang Kwan Cu lebih hebat lagi. Tangan kanan Kwan Cu, atau lebih tepat jari-jari tangan kanannya, telah dapat menampar kepala orang itu sehingga si katai gundul ini terlempar bagaikan seekor anjing dilemparkan dan dia roboh tak dapat bangun kembali. Orang yang berada di kanannya, hanya terkena langgar telunjuk Kwan Cu, namun karena tepat mengenai tangannya yang memegang pedang, pedang itu pun terlepas dari pegangan dan dia menjerit-jerit kesakitan sambil mundur dan memegangi tangan kanan dan tangan kirinya. Ternyata bahwa tulang-tulang tangan kanannya itu telah patah-patah.
Tiga orang lain yang berada di depan Kwan Cu, ketika melihat ini, terbang semangat mereka dan timbul watak pengecut. Mereka melempar pedang dan berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala yang gundul itu, minta ampun! Memang, sudah terlalu lama kaum laki-laki di pulau katai itu diperlakukan seperti wanita sehingga rata-rata memiliki watak penakut dan berhati kecil.
Kwan Cu tertawa bergelak dengan puas dan mengambil sulingnya. Berhasillah tugasnya mengamankan pulau itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat bayangan beberapa orang berkelebat dekatnya dan lenyaplah suara ketawanya ketika dia melihat apa yang telah terjadi pada saat dia tertawa tadi. Ketika dia memandang, enam orang laki-laki katai itu telah kehilangan kepala mereka dan kini tubuh mereka tergeletak dengan leher terputus dan darah mengalir deras dari leher-leher yang tak berkepala lagi itu.
Dengan kening berkerut Kwan Cu memandang tajam kepada Malita, Malika dan beberapa orang wanita lain yang sudah berdiri di situ dengan pedang di tangan. Malita dan Malika menyusut darah yang menempel di pedang mereka, menggunakan pakaian yang menempel pada mayat-mayat itu.
“Mengapa kalian lakukan ini? Alangkah kejamnya!” seru Kwan Cu tak senang.
Malika menghadapinya dengan sikap menantang. Gadis ini memang berwatak keras dan pemberani. Ia menentang pandang mata Kwan Cu tanpa takut sedikitpun juga, lalu berkata,
“Kau bilang kami kejam? Kalau mengingat betapa enam orang iblis ini hendak membuat kami kaum perempuan menjadi barang permainan yang hina-dina, hukuman penggal kepala masih terlampau murah untuk mereka!”
Kwan Cu menghela napas, lalu berkata,
“Sudahlah, Malika, dan kau juga Malita. Yang sudah lalu biarlah lenyap. Memang mereka ini jahat sekali dan patut dihukum mati, akan tetapi apakah perbuatan ini merupakan tanda bahwa kalian kaum wanita kini hendak berkuasa lagi dan melupakan kerja sama yang baik?”
“Tidak, sama sekali kami tidak akan mengulangi kesalahan besar yang dilakukan oleh nenek moyang kami. Kami sudah berjanji kepadamu dan janji kami selalu kami pegang teguh. Kami akan melakukan pemilihan raja baru dengan adil, kaum laki-laki pun berhak memilih. Dan kami tak kan memandang-mandang lagi apakah ia laki-laki atau wanita, akan tetapi siapa saja yang bersalah akan dihukum dan yang tertindas akan dibela, baik ia laki-laki maupun wanita! Dan semua ini, kebahagiaan yang akan kami hadapi ini, semua berkat pertolonganmu yang amat berharga, saudara Kwan Cu yang budiman!”
“Semua berkat pertolonganmu,” semua wanita berkata pula dan tiba-tiba, dipimpin oleh Malita dan Malika, semua orang wanita yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu sambil menangis riuh-rendah!
Kwan Cu tertegun, kebingungan, kemudian dia menghela napas dan berkata dalam hatinya, “Perempuan, perempuan….perempuan namamu dan di manapun sama saja, paling mudah menangis!” berpikir sampai di sini, timbul pikiran lain yang membantahnya.
“Ah, Kong Hoat putera Liok-te Mo-li itu terang seorang laki-laki, akan tetapi dia pun suka menangis.”
Pikiran kedua mengejek, “Ah, Kong Hoat memang dasar cengeng!”
Demikianlah, menghadapi tangis karena berterima kasih dan gembira dari banyak wanita kecil-kecil ini, Kwan Cu malahan melamun, teringat yang bukan-bukan. Akan tetapi, dia sadar kembali dan berkata.
“Sudahlah, untuk apa menangis? Kalian membikin aku merasa sedih dan jangan-jangan aku akan ikut menangis pula. Malita dan Malika, kalian pada saat ini boleh dibilang menjadi pemimpin bangsamu, jangan melakukan upacara yang berlebih-lebihan ini. Aku bertindak sebagai seorang manusia yang harus menolong manusia lain sedapat mungkin. Aku hanya ada satu permintaan, yakni kalau sekiranya kalian tidak keberatan.”
Malita menyusut air matanya dan bangkit berdiri sambil tersenyum manis sekali.
“Apakah permintaanmu itu, saudaraku yang baik? Apa saja yang menjadi permintaanmu, pasti akan kami turuti. Kau ingin menjadi pemimpin kami? Kami setuju sepenuhnya! Kau ingin memilih seorang jodoh di antara kami? Kiranya tak seorangpun dara akan menolakmu siapapun dia adanya!” setelah mengucapkan kata-kata ini, sadarlah Malita bahwa ia bicara terlalu banyak, maka merahlah mukanya.
“Jangan main-main, Malita. Aku bukan Kahano! Tiada lain hanya ini. Perbolehkanlah aku tinggal di pulau ini seorang diri, entah berapa tahun sampai aku merasa bosan dan pergi meninggalkan pulau ini. Selama aku berada di sini, harap kalian jangan menggangguku, karena aku bermaksud hendak bersamadhi dan menjauhkan diri dari keramaian dunia di tempat ini. Tempat ini amat menarik hatiku.”
Malita dan kawan-kawannya saling pandang dengan heran.
“Kau memang orang aneh, seorang sakti yang berbudi tinggi. Hal itu bukan merupakan permintaan karena tentu tak seorangpun merasa keberatan kalau kau tinggal di pulau ini.”
“Nah, kalau begitu selamat berpisah. Kalian pulanglah dan aturlah pemerintahanmu sebaik-baiknya dan tinggalkan aku di sini. Jangan ingat lagi kepadaku, karena akupun takkan mengganggu kalian di sana.”
Mendengar keputusan ini, terkejutlah Malita.
“Mengapa begitu keras, saudara Kwan Cu? Setidaknya, perkenankanlah kami kadang-kadang mengunjungimu di sini untuk melihat apakah kau tidak kekurangan sesuatu di sini,” kata Malita.
“Dan sudah tentu kami yang akan menjaga makananmu setiap harinya,” kata Malika.
Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepala dan menggoyang-goyang tangannya.
“Jangan! Kulihat pulau ini mengandung pohon-pohon yang berbuah dan kulihat tadi beberapa ekor binatang hutan yang kiranya akan dapat menjadi bahan makanan bagiku. Aku ingin seorang diri saja di sini, tanpa mendapatkan gangguan dari siapapun juga. Kecuali…..” sambungnya ketika meliha sinar mata pada wajah mereka, “kecuali kalau ada sesuatu yang hebat menimpa kalian, tentu saja aku selalu bersiap sedia untuk menolong kalian. Nah, pergilah, mayat-mayat ini tinggalkan saja, biar aku nanti yang akan menguburnya di tempat ini.”
Terpaksa Malita memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk pergi dari situ dengan wajah kecewa sekali. Akan tetapi, belum lama ia berjalan ia segera membawa kawan-kawannya, datang lagi dan berlutut.
“Ada apa lagi?” tanya Kwan Cu tak senang.
“Saudara Kwan Cu, biarpun kami tak berani melanggar laranganmu dan tidak akan mengganggumu di tempat ini, setidaknya berjanjilah bahwa sewaktu-waktu kau akan datang mengunjungi kami agar kami dapat melihat bahwa kau masih berada di dekat kami.”
Kwan Cu tersenyum. Ia tidak boleh terlalu keras agar mereka ini jangan menduga yang bukan-bukan sehingga akan pecah rahasia sebenarnya dari keinginannya berada seorang diri di tempat itu.
“Baiklah, kelak kalau kau dan adikmu menikah, beritahulah aku dan aku akan datang menyaksikan pernikahan itu!”
Bertitik air mata di pipi Malita, bahkab Malika juga menangis sesenggukan karena terharu. Mereka lalu pergi dari situ, menuju ke perahu-perahu kecil milik Kahano dan kawan-kawannya sambil menoleh beberapa kali ke arah raksasa muda yang masih berdiri bertolak pinggang melihat sampai mereka pergi jauh dan tidak kelihatan lagi.
***
Setelah menggali lubang dan mengubur jenazah Kahano dan lima orang kawannya, Kwan Cu segera menghampiri gua yang dijadikan tempat bersembunyi para pemberontak tadi. Ia memeriksa dinding gua dengan sepasang obor yang dibuatnya dari pada rumput kering dan alangkah girangnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dinding-dinding itu sebagaimana telah diduganya semula, terhias oleh gambar-gambar manusia sedang bersilat! Gambar-gambar ini ukirannya bagus dan jelas sekali sehingga melihat gambar-gambar ini saja orang sudah dapat mempelajari ilmu silat yang terlukis di situ!
“Hm, dari sini kiranya mereka itu mempelajari ilmu silat mereka yang aneh!” pikirnya. Gambar-gambar itu benar-benar hebat sekali karena amat banyak dan mengandung gerakan dari hampir semua ilmu silat yang pernah dia pelajari dan yang pernah dia dengar dari suhunya, Ang-bin Sin-kai. Manusia gaib siapakah yang dapat membuat lukisan-lukisan pelajaran ilmu silat seperti ini?
Sampai sehari penuh Kwan Cu memeriksa gambar-gambar itu dan masih juga belum habis. Ternyata bahwa seluruh terowongan yang menembus kegua-gua lain juga terhias gambar-gambar seperti itu, namun anehnya, semua lukisan itu menggambarkan orang bersilat tangan kosong! Tidak ada sebuah pun gambar orang bersilat dengan senjata di tangan. Ada yang bersilat seorang seorang diri, ada yang bertempur, ada pula yang di keroyok dua, tiga, sampai dikeroyok puluhan orang! Agaknya lukisan dititik beratkan kepada tokoh yang dikeroyok, karena kedudukan tokoh ini jelas sekali, teratur baik setiap gerak kaki atau tangan. Menghadapi sebaris lukisan yang menggambarkan cara bagaimana seorang laki-laki dikeroyok oleh puluhan orang, Kwan Cu terkejut. Bukan main hebatnya kedudukan orang yang dikeroyok itu, jauh lebih kuat dari pada ilmu silat Pai-bun-tui-pek-to yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai.
Saking girangnya, Kwan Cu sampai lupa makan lupa tidur, setiap hari dia melihat dan mempelajari gambar-gambar yang terlukis di dinding gua dan terowongan itu. Kemudian teringatlah dia akan maksud dan kedatangannya di pulau ini sesungguhnya, yakni mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Hatinya berdebar keras. Betapapun jelas adanya ukiran-ukiran ini yang dengan sendirinya telah merupakan pelajaran yang hebat sekali, namun tanpa buku petunjuk atau guru yang membimbing, ilmu-ilmu silat tinggi itu bisa dipelajari dengan cara yang keliru!
“Bukan tak mungkin bahwa Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang merupakan kouw-koat (teori ilmu silat) dari semua lukisan ini.” pikirnya.
Setelah berpikir demikian, Kwan Cu merangkak keluar dari gua kecil itu dan baru dia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua karena dia mempelajari dan melihat semua lukisan di dinding itu sambil merangkak! Ternyata bahwa sudah dua hari dua malam dia berada di gua itu tanpa berhenti untuk makan atau tidur. Kini dia merasa perutnya lapar sekali. Maka pergilah dia ke dalam hutan yang penuh dengan pohon-pohon itu. Keadaan di situ memang aneh. Semua pohon mempunyai daun yang keputih-putihan, sungguhpun daun-daun itu berbeda corak dan ukurannya. Dan diantara pohon-pohon itu, ada pula yang mengandung buah-buahan yang biarpun ada yang berwarna merah, namun merahnya juga pucat seperti dikapur.
Kwan Cu berlaku hati-hati sekali. Niarpun perutnya amat lapar dan mulutnya amat haus, namun dia tidak berlaku sembrono. Buah-buahan itu asing baginya dan siapa tahu kalau-kalau di tempat aneh ini terdapat buah-buah yang mengandung bisa. Sebelum makan buah itu, dia menciumnya lebih dulu dan menancapkan suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong ke dalam buah itu. Gurunya pernah memberi tahu bahwa suling itu selain dapat dipergunakan sebagai senjata, juga dapat di pergunakan untuk menguji apakah dalam sesuatu benda terdapat bisa yang berbahaya. Kalau suling yang kehijauan itu berubah hitam seperti hangus, itulah tanda bahwa buah itu mengandung racun. Setelah dilihatnya bahwa suling itu tidak hangus, barulah dia berani mencoba makan. Ternyata buah itu wangi dan manis, sehingga hatinya girang sekali. Juga di situ terdapat banyak binatang hutan yang rupanya seperti kijang, maka dia tidak khawatir lagi akan makanan untuk perutnya.
Betapapun tertarik hatinya untuk mempelajari semua lukisan orang bersilat di dalam gua yang kecil gelap itu, namun Kwan Cu tidak mau melihatnya lagi. Hatinya tetap bahwa dia harus lebih dulu mencari kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng, karena itulah tujuan utamanya datang mencari pulau ini.
Berhari-hari dia mencari. Semua gua, dari yang besar sampai yang paling kecil dia masuki, namun dia tidak mendapatkan tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bahkan sebulan telah berlalu dia belum juga bisa menemukan kitab itu. Namun Kwan Cu adalah seorang pemuda yang keras hati dan tak mudah patah semangat. Ia yakin bahwa kitab itu tentu belum ditemukan oleh Kahano, karena kalau Kahano telah mempelajari ilmu silat dari kitab itu, tak mungkin dia akan dapat mengalahkannya. Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Kiu-bwe Coa-li dan masih banyak tokoh-tokoh sakti dari dunia kang-ouw, semua ingin memiliki kitab itu. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kitab itu tentulah mengandung pelajaran ilmu yang bukan main tingginya. Kemajuan ilmu silat Kahano dan kawan-kawannya yang diherankan oleh Malita, tentulah karena Kahano dan kawan-kawannya mempelajari sebagian daripada gambar-gambar lukisan dinding itu.
Beberapa pekan telah lewat pula dan tahu-tahu sudah tiga bulan Kwan Cu tinggal di pulau kosong itu. Dan belum juga dia menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicari-carinya, biarpun sudah beberapa kali dia memasuki gua-gua yang banyak itu dan memeriksa di balik batu-batu karang yang besar. Selama seratus hari ini, Kwan Cu belum lagi mempelajari ilmu silat yang di lukis di dinding, karena kemauannya amat keras hendak menemukan kitab rahasia itu lebih dulu. Ia percaya penuh akan kebenaran kitab sejarah peninggalan Gui Tin dan biarpun sudah seratus hari mencari dengan sia-sia kepercayaannya ini tidak berkurang, bahkan dia menjadi makin penasaran dan memaki-maki diri sendiri sebagai seorang yang bodoh dan sial.
Pada suatu hari, ketika dia mencari seekor kijang untuk dipanggang dagingnya, tiba-tiba dia melihat bayangan putih berkelebat cepat di atas tanah. Hampir saja dia tidak dapat melihat apakah yang berkelebat itu, karena gerakan bayangan ini cepat luar biasa. Akan tetapi, ketika dia mengejar ke arah itu, dia melihat seekor binatang yang rupanya seperti kelinci berbulu putih, berlari cepat sekali. Ia menjadi tertarik. Belum pernah dia melihat binatang seindah itu bulunya. Putih bersih seperti kapas dan keempat kakinya yang pendek-pendek itu amat cepat larinya. Ia mengejar sambil mengerahkan ginkangnya, dan biarpun dia tidak atau belum dapat menangkap binatang putih itu namun binatang itu pun tidak dapat memperbesar jaraknya. Binatang itu nampak kebingungan sekali dan segera berlari ke arah bukit batu karang yang di tumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih yang tidak berbuah. Kwan Cu mengejar terus. Ketika binatang itu tiba di bawah sebatang pohon di puncak bukit, pohon yang terbesar, tiba-tiba saja binatang itu lenyap!
“Eh, ibliskah dia? Bagaimana bisa menghilang begitu saja sedangkan di sini, kecuali pohon-pohon besar ini, tidak ada tetumbuhan lainnya?” pikir Kwan Cu penasaran. Pemuda ini mencari-cari dengan pandangan matanya, dan akhirnya dia melihat sebuah lubang di dekat pohon itu, lubang yang berada di tengah antara dua batang akar yang menonjol keluar dari permukaan tanah.
“Hm, jadi dia bersembunyi di sini,” pikir Kwan Cu sambil tersenyum gembira. Ia mempergunakan pedang kecil yang dahulu menjadi senjata Kahano dan disimpannya karena dia memang membutuhkan senjata untuk menolong sesuatu yang diperlukan. Dengan pedang yang kecil seperti pisau ini, dia menggali lubang itu dan merenggut putus dua akar yang menjepit lubang. Makin dalam dia menggali lubang itu makin besar. Kegembiraan Kwan Cu membesar pula. Ini merupakan pengalaman baru baginya. Bagaimana seekor binatang yang begitu kecil bisa membuat sarang begini besar?
Kurang lebih tiga kaki dalamnya dia menggali dan tiba-tiba, ketika dia mengayun pedang itu ditancapkan pada tanah untuk memperdalam galian, terdengar suara keras dan pedang itu patah! Kwan Cu terkejut dan heran sekali. Dengan jari-jari tangannya dia menggali tanah dan ternyata bahwa pedangnya tadi telah memukul dinding besi yang mengeluarkan cahaya kehitaman dan kelihatannya kuat sekali!
“Apakah ini…..?” katanya makin heran. Ia lalu makin bersemangat, mempergunakan patahan pedang untuk menggali tanah di sekitar pedang besi itu dan ternyata bahwa dinding ini merupakan sebuah peti besi segi empat yang lebarnya ada satu kaki lebih. Di samping peti besi ini terdapat lubang lain yang kecil, agaknya binatang itu mempergunakan peti besi yang kuat ini untuk perisai dan tentu dia bersembunyi di dalam sebuah lubang yang digalinya tepat di bawah peti itu.
Namun Kwan Cu tidak ingat lagi akan kelinci atau binatang berbulu putih yang tadi dikejar-kejarnya. Seluruh perhatiannya kini tercurah kepada peti besi ini. Hatinya berdebar-debar dan diam-diam dia dia berdoa kepada Thian semoga peti inilah yang akan memberi jalan kepadanya mendapatkan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng!
Ia membawa peti besi itu ke guanya. Memang selama tiga bulan berada di situ, Kwan Cu telah memilih sebuah gua yang paling besar, gua yang tidak merupakan terowongan dan sinar matahari dapat masuk ke dalamnya, sebagai tempat tinggalnya, dimana dia mengaso dan tidur.
Setelah makan buah-buahan yang dia simpan di dalam gua itu, Kwan Cu mulai mendekati peti besi dan setelah diperiksanya keadaan di luarnya sambil membersihkan tanah yang melengket di situ, dia tidak mendapatkan sesuatu tulisan. Lalu dia membuka tutup peti besi itu dengan amat hati-hati. Hampir saja dia bersorak girang ketika melihat betapa isi peti itu memang sebuah kitab yang sudah kuning. Jelas kelihatan bahwa ktiab itu terbuat daripada sutera putih yang sudah menguning saking tuanya dan seakan-akan apabila dipegang, kitab itu akan hancur menjadi debu! Dengan kedua tangan gemetar, Kwan Cu mengulurkan tangan hendak mengambil kitab itu, akan tetapi tiba-tiba mukanya menjadi pucat dan dia menarik kembali tangannya. Keringat dingin membasahi jidatnya, karena dia teringat akan kehebatan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Baru kitab palsu itu saja oleh Panglima An Lu Shan telah dipasangi racun yang amat berbahaya sehingga menewaskan seorang tokoh yang berilmu tinggi seperti Hek-mo-ong! Apalagi kitab ini kalau benar-benar kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tentulah yang aselinya! Siapa tahu kalau-kalau penyimpannya, yakni Liu Pang, juga mempergunakan akal seperti yang telah di lakukan oleh An Lu Shan?
Kwan Cu mengeluarkan sulingnya dan beberapa kali dia menggosok-gosokkan sulingnya itu di atas kitab tua itu. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada suling itu dan legalah hati Kwan Cu. Ia sudah yakin bahwa kitab itu tidak dipasangi racun jahat, namun ketika dia menjamah dan mengeluarkan kitab itu dari peti, tetap saja kedua tangannya gemetar dan wajahnya tegang sekali. Siapa orangnya yang takkan merasa seperti itu apabila mendapatkan kitab yang diinginkan oleh seluruh tokoh besar di daratan Tiongkok?
Kwan Cu harus berlaku hati-hati. Kitab itu sudah tua sekali dan lembaran-lembarannya yang terbuat daripada sutera itu sudah lapuk. Maka dia meletakkan kitab itu di dalam peti lagi dan hanya berusaha membuka halaman pertama, karena pada kulit muka tidak terdapat tulisan apa-apa. Setelah halaman pertama dibuka, dia melihat huruf-huruf kuno yang sudah amat dikenalnya, yakni huruf-huruf yang dipergunakan pula untuk menuliskan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu dan yang Gui-siucai telah mengerjakannya sampai hafal betul. Dan huruf-huruf ini juga berbunyi: IM-YANG BU-TEK CIN-KENG! Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dan membasahi pipi Kwan Cu. Inilah kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli!!
Dapat kita bayangkan betapa girang dan terharunya hati Kwan Cu setelah dia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno yang dia dapatkan di atas pulau ini betul-betul adalah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli. Kitab itu diperebutkan oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan dicari-cari oleh pembesar. Dia sendiri semenjak dahulu telah merindukan kitab ini, telah ditempuhnya jalan yang amat jauh dan berbahaya. Sekarang, secara kebetulan sekali kitab itu telah berada di tangannya!
Sampai lama sekali Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut, bibirnya bergerak-gerak. Ia menghaturkan terima kasihnya kepada Thian Yang Maha Kasih, kepada arwah Gui-siucai yang telah membuka rahasia kitab itu kepadanya. Kemudian dengan amat hati-hati dia mulai mempelajari isi kitab.
Ia harus berlaku hati-hati sekali karena sutera yang tertulis dengan huruf kuno itu sudah amat tua. Baru di buka lembar pertama saja, bagian pinggir yang tersentuh tangannya menjadi hancur! Bukan itu saja, bahkan bagian tengah lembaran itu yang bergerak ketika dia buka telah menjadi robek-robek. Maka dia mengambil keputusan untuk mempelajari selembar demi selembar, sama sekali tidak berani membuka lembar berikutnya kalau lembar yang dibuka itu belum dihafalnya benar-benar. Juga dia berlaku amat sopan dan menghormat isi kitab itu yang dianggapnya sebagai kitab suci, untuk menghormat manusia sakti yang menciptanya. Tiap kali hendak membaca kitab itu, dia terlebih dulu berlutut sebagai pernghormatan, dan menjelang malam hari, dia berlutut lagi menghaturkan terima kasih atas segala pelajaran yang telah diterimanya pada hari itu. Hal ini dia lakukan setiap hari!
Pelajaran yang dia dapatkan dari lembaran-lembaran pertama adalah uraian tentang tenaga yang menggerakkan seluruh dunia, yakni tenaga Im dan Yang (Positive dan Negative) . Tentang dua tenaga yang bertentangan namun yang apabila bersatu mendatangkan kekuatan dan daya penggerak di seluruh permukaan bumi ini. Ia mendapat uraian yang amat jelas dan terperinci, disertai contoh-contoh. Kemudian, pada lembar-lembar berikutnya, diterangkan dengan seluasnya tentang unsur tenaga alam yang terdiri dari ngo-heng (lima zat).
Kitab itu bukanlah kitab biasa dan untuk mempelajari isinya dibutuhkan kecerdikan yang luar biasa dan bakat yang amat besar. Kwan Cu mengerahkan seluruh tenaga otaknya dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Tidak satu pun dilewatkannya, tidak sebaris pun kalimat dialpakannya. Semua dia telan bulat-bulat dan diolah di dalam otaknya yang memang cerdik.
Baiknya dia berlaku hati-hati, karena ternyata kemudian olehnya betapa setiap kali dia membalikkan lembar berikutnya, lembar yang terdahulu tergencet dan menjadi hancur! Jelasnya, setiap lembar yang sudah dipelajarinya takkan mungkin dibacanya kembali karena sudah rusak. Orang lain takkan dapat membaca kitab itu setelah dia membaca habis, karena kitab itu akan merupakan kitab rusak yang hampir menjadi debu.
Pelajaran-pelajaran berikutnya merupakan uraian-uraian tentang cara mempergunakan tenaga-tenaga Im dan Yang di dalam tubuh sehingga hawa di dalam tubuh yang merupakan tenaga tersembunyi dapat dikuasai dengan baik. Terdapat pula pelajaran tentang samadhi dan mengatur pernapasan, tentang cara mengugah panca indera di dalam batin sehingga panca indera di tubuh menjadi kuat dan tajam. Semua pelajaran ini di sertai penjelasan-penjelasan terperinci tentang sebab-sebab dan akibatnya, sehingga amat jelas bagi Kwan Cu. Pernah dia menerima latihan samadhi dan pengerahan tenaga lweekang dari Ang-bin Sin-kai, akan tetapi pelajaran itu hanya merupakan pelajaran yang sudah mati, yang dilakukannya sebagai tiruan atau jiplakan belaka. Sekarang baru dia mengerti mengapa segala macam tenaga yang tersembunyi di dalam tubuh itu dapat timbul.
Sampai setahun lebih Kwan Cu jarang sekali keluar dari dalam guanya kalau tidak sangat lapar perutnya. Jarang pula dia tidur kalau tidak sudah amat mengantuk tak tertahankan lagi matanya. Tubuhnya menjadi kurus kering dan matanya cekung. Setelah makan waktu setahun lebih, barulah selesai bagian melatih samadhi dan pernapasan yang selain dipelajari teorinya, juga dipraktekkan setiap saat.
Kemudian mulailah kitab itu mengurai tentang ilmu silat! Bukan main hebatnya. Di situ dibentangkan tentang ilmu-silat-ilmu silat yang sudah ada dan dimiliki manusia, ilmu silat-ilmu silat tinggi yang dibuat partai-partai persilatan menjadi termasyhur, seperti ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain. Akan tetapi, yang diajarkan di situ hanya rahasia pokok dan dasar dari semua ilmu silat itu. Ternyata pula bahwa lukisan-lukisan di dinding gua-gua dan terowongan itu adalah ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang persilatan ini, memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang ternyata hanya pada variasi dan kembangan belaka. Adapun pada dasarnya semua gerakan ilmu silat adalah serupa dan berasal dari satu sumber!
Untuk memperdalam pengertiannya, Kwan Cu meneliti semua lukisan di dinding gua-gua dan terowongan-terowongan itu, mempelajarinya dengan penuh perhatian. Setelah dia mulai dapat menangkap apa yang disebut pokok dasar gerakan ilmu silat tinggi, matanya terbuka dan amat mudahlah baginya untuk mempelajari ilmu-ilmu silat itu. Ia mempraktekkannya dengan melatih diri, meniru semua gerakan ilmu silat dari berbagai cabang itu dan alangkah girangnya ketika dia dapat mainkan ilmu silat-ilmu silat itu dengan amat mudahnya! Tanpa disadarinya, dia telah maju sekali dalam gerakan yang terdorong oleh tingginya tenaga lweekang dan khikang, serta tanpa terasa latihan napas telah membuat ginkangnya istimewa sekali.
Pada suatu hari, selagi dia melatih seorang diri di dekat pantai laut pulau kosong yang berpohon putih itu, tiba-tiba dia mendengar suara gaduh seperti dahulu pernah didengarnya ketika dia mula-mula naik naik perahu melintasi lautan ganjil itu. Ia tidak mempedulikan suara ini dan terus saja berlatih silat berganti-ganti gerakan dan dia mainkan pelbagai ilmu silat tinggi dari Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai. Tiba-tiba datang angin bertiup keras sekali, dibarengi suara mendesis hebat dan air laut di tepi pantai bergelombang seakan-akan Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) sendiri hendak keluar dari dasar laut!
Namun, Kwan Cu seperti tidak mendengar semua ini dan tidak merasai sambaran angin pohon yang demikian hebatnya, yang membuat pohon-pohon besar di pulau itu menjadi doyong. Orang biasa saja apabila kebetulan berada di situ, pasti akan melayang terbawa angin badai yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi, Kwan Cu tetap bersilat dengan penuh semangat, sama sekali tidak merasa betapa pakaiannya sedikit demi sedikit mulai meninggalkan tubuhnya karena terbawa oleh angin dan saking kerasnya angin, pakaiannya itu mulai robek-robek dan melayang entah kemana perginya.
Tanpa di ketahui oleh Kwan Cu, air laut mulai naik ke gelombang besar membuat air makin mendekati tempat dia bermain silat! Akhirnya setelah air menyentuh kakinya, barulah pemuda ini terkejut, seakan-akan air itu menyerangnya. Otomatis dia melompat untuk mengelak dan otomatis pula dia menendang ke arah air. Air itu muncrat dan terpental saking kerasnya tenaga tendangannya. Pemuda itu kini melihat ombak besar mendarat di pantai. Makin gembiralah hati Kwan Cu. Seperti Ang-bin Sin-kai gurunya yang suka bercanda dengan laut, dia kini menghadapi ombak, bahkan dia menerjang maju melawan ombak! Hebat sekali pemuda ini. Setiap kali ombak besar menyerangnya, bukan dia terdorong roboh, bahkan air yang terdampar kepadanya dan yang dipukul atau ditendangnya, menjadi buyar!
Akan tetapi, makin lama makin hebatlah air menaik sehingga terpaksa Kwan Cu main mundur, terdesak oleh air yang makin lama makin dalam, siap untuk menelan tubuhnya. Pula, baru sekarang dia merasa betapa tubuhnya sudah setengah telanjang, karena pakaiannya telah robek sana sini dan ujungnya sudah hilang semua entah terbang kemana! Angin bertiup makin keras dan ketika dia memandang ke arah laut, Kwan Cu membelalakkan matamya. Laut menjadi demikian buas, dan airnya berombak-ombak tinggi disertai uap yang hitam menggelapkan langit di atas laut.
Mulai takutlah hati Kwan Cu menghadapi kekuasaan alam yang luar biasa ini. Air kini naik makin tinggi seakan-akan hendak menelan pulau itu. Kwan Cu melompat-lompat mundur dan tiba-tiba dia terkejut setengah mati ketika tanah yang diinjaknya bergoyang-goyang, miring ke sana ke mari seakan-akan pulau itu berubah menjadi sebuah perahu yang mengambang!
“Aduh, akan kiamatkah dunia?” serunya kaget dan dia lalu berlari-lari ke guanya. Dalam berlari ini, beberapa kali dia terhuyung-huyung dan tentu dia sudah jatuh kalau saja ginkangnya tidak luar biasa baiknya. Sambil melompat ke kanan kiri mengimbangi goyangan tanah yang makin menghebat, akhirnya bisa juga dia sampai di dalam guanya. Ia melihat betapa semua pohon bergoyang-goyang dan daun-daun putih rontok, namun tidak sebatang pun tumbang. Ia tahu bahwa akar-akar pohon berdaun putih itu banyak dan amat dalam, maka tidak mengherankan apabila pohon-pohon itu demikian kuat menghadapi serangan angin yang demikian dahsyatnya.
Sampai sehari semalam Kwan Cu berdiam di dalam guanya, serasa mabuk dan beberapa kali dia mau muntah-muntah, baiknya dia cepat mengerahkan hawa di dalam tubuhnya untuk menekan perut sehingga isi perutnya tidak terlalu tergoyang oleh “gempa bumi” yang tiada habisnya itu seakan-akan pulau akan meletus setiap saat! Gua itu sendiri dindingnya sampai retak-retak, sehingga pemuda itu khawatir kalau-kalau gambar-gambar di dinding itu akan rusak dan pelajarannya terhalang karenanya. Demikian besar perhatian Kwan Cu terhadap pelajarannya sehingga dalam keadaan sehebat itu, dia sama sekali tidak mengkhawatirkan keselamatan dirinya, sebaliknya mengkhawatirkan kalau-kalau pelajarannya akan terhalang atau tertunda.
Akhirnya gempa bumi itu reda dan suara ombak yang bergemuruh juga melenyap. Air tadinya telah sampai di kaki gua di mana Kwan Cu berlindung, hal ini amat mengejutkan hati Kwan Cu karena kejadian ini berarti bahwa air laut telah naik tinggi sekali.
Matahari bersinar kembali, tanah di mana dia berada tidak goyang lagi. Kwan Cu segera keluar setelah menaruh peti kitab dan buntalan pakaiannya yang semenjak kemarin dia peluk saja, terutama peti kitab itu. Ia melihat bekas-bekas air laut di mana-mana basah belaka. Akan tetapi, tak sebatang pun pohon tumbang, hal ini membanggakan hati pemuda ini. Alangkah kuatnya pohon berdaun putih. Aku harus menjadi seorang manusia sekuat dia! Tidak tumbang oleh gelombang hidup yang betapa berat sekalipun.
Akan tetapi, ketika dia tiba di pantai, dia melihat perahunya telah lenyap. Bukan itu saja, bahkan pulau-pulau kecil yang tadinya dia lihat banyak sekali berada di kanan kiri pulaunya, kini telah berubah arahnya. Ia menengok ke sana ke mari dan alangkah terkejutnya bahwa guanya sekarang juga berubah letaknya. Biasanya, matahari terbit menghadapi guanya, berarti bahwa guanya menghadap ke timur, akan tetapi sekarang, matahari terbit dari belakang gua. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa guanya itu telah berubah letaknya, kini menghadap ke barat! Ataukah matahari yang sekarang muncul dari barat dan tenggelam di timur? Tak boleh jadi, pikirnya. Ia lalu teringat akan goncangan-goncangan pada pulaunya, maka berdebarlah hatinya. Apakah tidak bisa jadi kalau pulaunya itu yang “pindah”? Pulaunya hanyut terbawa ombak yang mengamuk?
Dugaan Kwan Cu yang tidak dipercayanya sendiri itu sesungguhnya tepat. Memang pulaunya itu telah hanyut! Pulau ini terlepas dari dasar laut, dan hanya karena pohon-pohon berdun putih itu akarnya sampai dalam sekali, berpuluh meter panjangnya, yang menolong pulau itu dari kebinasaannya. Dengan pohon-pohon yang masih tegak di atas pulau, maka tanah pulau itu pun tidak dapat pecah-pecah dan masih merupakan pulau atau “perahu besar” dari tanah dan pohon dan dengan kuatnya dapat melawan badai, seungguhpun terpaksa harus pindah tempat karena dorongan ombak yang kuat sekali. Dan bukan baru satu kali itu saja pulau itu berpindah tempat, sudah berkali-kali apabila datang taufan hebat mengamuk seperti tadi. Sesungguhnya karena keistimewaan pulau ini belaka yang membuat Liu Pang menyembunyikan Im-yang Bu-tek Cin-keng di pulau itu. Calon kaisar ini maklum bahwa hanya di atas pulau itu saja maka kitab rahasia ini dapat disimpan dengan sentosa.
Ketika Kwan Cu memperhatikan pulau-pulau di sekitarnya, dia menjadi berdebar tegang. Pulau-pulau itu sekarang kelihatan gundul dan bersih, dan jumlahnya jauh berkurang dari semula, seakan-akan banyak di antaranya telah lenyap ditelan ombak. Segera ingatannya melayang kepada para raksasa, Lakayong dan puterinya Liyani, teringat pula pada Malita dan Malika dan bangsa katai itu. Bagaimana dengan nasib mereka?
Karena perahunya telah lenyap, Kwan Cu segera merobohkan sebatang pohon berdaun putih yang dia tahu amat kuat batangnya, membuangi cabang-cabang dan ranting-ranting serta daun-daunnya, lalu mempergunakan batang pohon itu sebagai perahu! Kepandaiannya telah meningkat amat tinggi dan dengan berdiri di atas batang pohon itu yang mengambang di permukaan air, dia dapat mempergunakan cabang pohon sebagai dayung dan mendayung cepat sekali sambil berdiri! Mula-mula dia mencari pulau tempat tinggal bangsa katai, dan setelah dia berkeliling dengan bingung karena kedudukan pulaunya telah berubah, akhirnya dia mendapatkan pulau bangsa katai itu. Ia mendarat dengan dada berdebar tegang dan tenggorokan seakan-akan tersumbat sesuatu dan kedua mata pedas menahan jatuhnya air mata, Kwan Cu melihat betapa pulau itu telah musnah sana sekali. Bangunan-bangunan kecil hancur dan hanya tinggal bekas-bekasnya saja, semua tersapu bersih oleh air yang mengamuk. Kwan Cu memeriksa semua pulau dan hatinya makin terharu karena tidak seorangpun manusia katai selamat. Agaknya semua telah hanyut oleh air dan sudah jelas nasib mereka, pasti semua terendam ke dasar laut atau ke dalam perut-perut ikan-ikan besar. Akan tetapi ketika dia melongok ke dalam sebuah gua, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat air matanya tercucur keluar. Di dalam gua itu dia melihat Malita dan Malika, dua orang puteri katai kakak beradik itu saling peluk, dengan tubuh mereka terikat pada batu karang yang kuat, dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi! Agaknya mereka dalam serangan ombak yang menenggelamkan pulau, telah berdaya untuk menolong diri dengan mengikatkan diri sendiri pada batu karang dan saling berpelukan, akan tetapi mereka tewas karena tenggelam di dalam air yang menaik tinggi sampai menutupi semua pulau itu!
“Malita……… Malika……. kasihan kalian …..” kata Kwan Cu yang segera melepaskan tubuh mereka dari ikatan. Tubuh kedua orang gadis katai itu tidak kaku, akan tetapi sudah dingin sekali. Tiba-tiba dia mendengar suara burung mayat yang beterbangan di pantai sebelah selatan.
“Tentu di sana terdapat korban lain,” pikirnya. Ia lalu berlari menuju ke pantai itu dengan maksud mengumpulkan korban-korban untuk dikubur bersama. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dari jauh dia melihat tubuh seorang raksasa terbujur di pantai! Dan ketika dia berlari cepat tiba di tempat itu, dia terbelalak memandang kepada jenazah seorang wanita raksasa yang bukan lain adalah Liyani!
“Liyani……!” Kwan Cu cepat melompat dan berlutut untuk memeriksa. Tubuh yang sudah hampir telanjang itu ternyata telah tak bernapas lagi, mati seperti Malita dan Malika. Dengan hati tidak karuan rasa, teringatlah Kwan Cu akan pengalamannya ketika dia berada di pulau raksasa. Gadis raksasa ini suka kepadanya, dan sekarang, gadis yang baik hati ini telah tewas dalam keadaan yang amat memilukan hati.
“Liyani…… agaknya kau dan bangsamu juga musnah oleh amukan laut mengganas……!” Kwan Cu segera memondong tubuh Liyani yang tinggi besar itu tanpa sukar, karena semenjak mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tenaga pemuda ini sudah meningkat luar biasa sekali. Lalu dia membawa pulang tiga jenazah itu dengan perahu ke pulaunya.
Ia menggali lubang dalam dan lebar, kemudian menurunkan tiga jenazah yang jauh sekali ukuran tubuhnya itu ke dalam lubang. Sampai lama dia memandang kepada tiga mayat itu. Ia melihat betapa keadaan Malita dan Malika masih cantik, pakaian mereka masih rapi dan rambut mereka masih tergelung indah. Akan tetapi keadaan Liyani amat memilukan hati. Hampir telanjang dan rambutnya terlepas, agaknya sudah lama ombak mempermainkannya sehingga dari pulau raksasa yang begitu jauh dia terdampar ke pulau bangsa katai.
Kwan Cu teringat akan tusuk konde yang dahulu dia terima dari Liyani, maka cepat dia berlari ke dalam guanya, mengambil tusuk konde itu dari buntalan pakaiannya dan kembali ke dalam lubang kuburan. Dengan hati penuh belas kasihan, dia merapikan rambut Liyani digelungnya baik-baik dan sedapat-dapatnya lalu di pasangnya tusuk konde itu di rambut gadis raksasa ini. Tiga orang gadis yang sudah menjadi mayat itu diletakkan telentang berjajar, Liyani di sebelah kiri. Malita di tengah dan Malika di sebelah kanan.
Ketika dia hendak menutupi lubang itu dengan tanah, hatinya tidak tega, maka dia cepat mengumpulkan daun-daun putih yang rontok dan banyak sekali terdapat di pulau itu, dan dengan daun-daun ini dia menutupi tiga jenazah itu sampai tidak kelihatan lagi. Setelah timbunan daun itu cukup tebal, barulah dia menutupnya dengan tanah sampai bergunduk tinggi dan di tanamnya sebatang pohon berdaun putih yang masih kecil di atas gundukan tanah kuburan ini.
Baiknya pulau berpohon putih itu tidak terbinasa oleh taufan dan ombak laut. Kalau terjadi demikian, biarpun andaikata Kwan Cu dapat menyelamatkan diri, dia tentu akan kelaparan pula. Namun ternyata bahwa semua binatang di pulau itu hanya mengalami kekagetan saja, dan mereka sempat menyembunyikan diri ke dalam gua-gua yang banyak terdapat di pulau itu.
Semenjak saat itu, Kwan Cu, lebih prihatin. Kedukaan dan keharuan hatinya melihat dua bangsa manusia yang aneh sekali itu yakni bangsa raksasa dan bangsa katai, termusnah oleh kekuasaan alam, membuat dia makin yakin akan kekuasaan alam yang dalam sekejap mata dapat memusnahkan dua bangsa manusia. Apakah daya manusia terhadap kekuasaan alam? Kurang apakah kehebatan dan kekuatan bangsa raksasa itu? Namun mereka tidak berdaya menghadapi bencana yang dilakukan olah alam maha kuasa. Kurang bagaimana sederhana dan suci kehidupan bangsa katai itu? Mereka jauh lebih mulia dan suci hidupnya apabila dibandingkan dengan manusia biasa, dan kalaupun mereka pernah membuat dosa, agaknya dosa itu tidak sebesar dosa yang biasa di lakukan oleh manusia seperti bangsa Kwan Cu, akan tetapi kalau alam menghendaki, bangsa yang suci ini pun dapat di musnahkan!
Kenyataan ini membuat Kwan Cu makin tunduk kepada kekuasaan alam yang berada dalam tangan Thian Yang Maha Kuasa dan Sakti. Apalagi ketika dia makin tekun mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, terbukalah matanya. Kitab ini tidak saja mengajarkan ilmu silat-ilmu silat yang tinggi-tinggi, bahkan memberi pelajaran tentang pokok-pokok dasar semua ilmu silat dan pergerakan tubuh manusia dalam pertempuran, akan tetapi juga berisi filsafat-filsafat kebatinan yang amat tinggi. Filsafat kebatinan ini condong kepada aliran Lo Cu yang menyatakan bahwa makin tinggi kepandaian seseorang makin terbukalah matanya bahwa semua yang di sebut “kepandaian” itu sebenarnya hanya kosong belaka! Makin terbuka mata orang akan kekuasaan alam, makin terasalah olehnya betapa kecil tak berarti adanya dirinya, betapa menggelikan dan tiada harganya segala macam kepandaian yang dimiliki manusia!
Oleh karena itu, makin dalam pengetahuan Kwan Cu, makin lama dia mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, makin sederhana jiwanya dan makin pendiam wataknya. Ia merasa seakan-akan dia bukan sedang mempelajari ilmu kepandaian, melainkan mempelajari ilmu pengertian untuk menemukan diri sendiri dan untuk mengenal sifat-sifat manusia yang ada pada dirinya. Tanpa disadarinya, dia telah mendapatkan ilmu yang amat tinggi, mendapatkan dasar-dasar dari segala pergerakan ilmu silat yang kesemuanya harus bersandarkan kepada tenaga Im dan Yang. Namun dengan sadar dia kini melihat betapa semua pengetahuannya adalah kosong belaka dan membuat dia tidak berani menyombongkan kepandaian, karena segala kepandaian manusia dipelajari dari otak, sedangkan siapakah penggerak otak manusia? Kalau Yang Maha Kuasa mencabut tenaga dan kegunaan otak, habislah semua yang dianggap oleh manusia sebagai “kepintaran” itu! Bahkan lebih hebat lagi kalau Yang Maha Kuasa menghendaki napas yang keluar masuk tanpa disengaja oleh manusia, akan lenyaplah ujud yang disebut manusia! Apakah mahluk yang begini lemah, yang mengandalkan hidup dan keadaannya dari pengaruh alam, patut menyombongkan diri dan menganggap diri sendiri pandai? Menggelikan sekali!
Sang waktu lewat cepat sekali tanpa terasa oleh manusia. Setiap lembar dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dipelajari oleh Kwan Cu sedikitnya seminggu berikut prakteknya dan dua tahun kemudian, tamatlah buku ini di pelajarinya.
Itu pun baru merupakan setengah daripada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, yakni bagian latihan tenaga lweekang dan bagian ilmu silat saja, karena ketika dia menamatkan bagian ilmu silat dan hendak mulai membuka lembaran atau bagian ilmu perang, ternyata bahwa bagian ini telah lengket menjadi satu dan kalau dipaksa dibuka, lembaran-lembaran itu akan hancur! Di bagian paling bawah terdapat lembaran tentang ilmu pengobatan, juga halaman-halaman ini tidak dapat dibuka.
Namun, setelah menamatkan bagian ilmu silat, Kwan Cu sudah tiada nafsu lagi untuk mempelajari bagian lain. Untuk apakah bagian segala pengetahuan tentang ilmu perang? Ia benci akan perang yang hanya merupakan penyembelihan antara sesama manusia, lepas daripada persoalan yang menimbulkan perang itu sendiri. Adapun tentang ilmu pengobatan, memang tadinya dia ada hasrat untuk mempelajarinya dan menjadi agak kecewa melihat bagian ini tidak mungkin dibaca. Akan tetapi pengetahuannya yang mulai mendalam tentang garis-garis hidup membuat dia berpikir bahwa betapapun pandai seseorang mengobati orang sakit, kalau Thian tidak menghendaki, si sakit itu takkan tertolong juga! Sembuh tidaknya seorang penderita penyakit memang tergantung dari pengobatan, hal ini dia percaya sepenuhnya. Namun baginya, mati hidupnya seorang sama sekali bukan tergantung dari pengobatan. Kalau Thian menghendaki nyawa seseorang, biarpun seribu orang dewa datang menolong, orang itu pasti akan mati juga!
Karena kini kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah tak dapat dipergunakan lagi, yakni bagian depan setelah dia baca telah menjadi hancur dan robek-robek sedangkan bagian belakang telah lengket-lengket tak dapat dibuka, maka Kwan Cu lalu mengubur kitab itu berikut petinya, di dekat makam tiga orang gadis, yakni Liyani, Malita dan Malika. Juga di atas “kuburan” kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ini dia taruhi tanda batu karang besar. Kemudian dengan telunjuknya dia mencoret-coret batu karang itu dan……. Bukan main hebatnya, ternyata bahwa di atas batu karang yang keras itu telah terdapat tulisan tangan yang amat jelas. Tulisan itu berbunyi seperti berikut:
“Teecu Lu Kwan Cu telah menerima petunjuk dan selamanya teecu akan mentaati semua pelajaran yang teecu terima serta bersumpah untuk mempergunakan segala pelajaran demi kebaikan dan perikemanusiaan.”
Kurang lebih sebulan kemudian, nampak pemuda itu membawa buntalannya, menyeret sebuah perahu buatannya sendiri, menuju ke air laut yang tenang. Ia meluncurkan perahu ke air, melompat ke dalam perahu dan memegang dayung, lalu mendayung perahu itu ke tengah samudera. Tak lama kemudian, dia menghentikan gerakan tangannya yang mendayung perahu, menengok ke arah pulau itu. Semua kelihatan jelas, bahkan pohon yang tumbuh di atas makam Liyani, Malita dan Malika kini sudah tinggi. Juga batu karang yang ditulisinya itu kelihatan dari perahunya. Segala pengalaman selama tiga tahun di atas pulau itu terbayanglah. Basah kedua mata Kwan Cu dan dia cepat menyusutkan dengan ujung lengan bajunya yang sudah kumal. Kemudian dia menarik napas panjang dan mendayung perahunya lagi. Tak lama kemudian, dia memasangkan layar yang dibuatnya dari pakaiannya yang di sambung-sambung, dan meluncurlah perahu itu cepat sekali menuju ke utara, ke daratan tanah Tiongkok. Tak seorang pun di daratan Tiongkok tahu bahwa pada saat itu, seorang pemuda yang telah mewarisi kepandaian luar biasa dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, seorang pendekar yang sakti, sedang menuju ke daratan Tiongkok, dan akan terjadilah sejarah baru dalam dunia kang-ouw!
***
Sebaliknya, Kwan Cu yang kini sudah berusia dua puluhan itu sama sekali tidak tahu bahwa selama dia pergi, yakni kurang lebih empat tahun dari daratan Tiongkok, di Tiongkok telah terjadi perubahan besar sekali. Telah terjadi hal-hal yang amat hebat!
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pada masa itu, Kaisar Kerajaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang amat doyan pelesir, mencari kesenangan dan hiburan bagi diri sendiri belaka, sama sekali tidak mempedulikan pemerintahannya, apalagi keadaan rakyatnya. Oleh karena itu, secara sembrono sekali kaisar ini mengangkat An Lu Shan sebagai panglima besar di utara, dan sama sekali dia tidak menaruh dugaan atau kecurigaan terhadap An Lu Shan. Bahkan sampai pada saat An Lu Shan telah membentuk pasukan yang besar dan mempunyai niat memberontak, kaisar ini masih enak-enak saja berpelesiran di istananya yang indah, dikelilingi oleh selir-selirnya yang banyak jumlahnya dan yang rata-rata amat cantik jelita dan muda-muda!
Bukan sampai di situ saja kelalaian Kaisar Hian Tiong. Bahkan ketika An Lu Shan mulai menggerakkan tentaranya ke selatan, kaisar ini masih tinggal enak-enakan saja di dalam istananya.
“Bentuk pasukan, hancurkan pemberontakan bodoh itu, apa sih sukarnya?” katanya acuh tak acuh, seakan-akan yang dihadapinya hanya persoalan kecil belaka.
Para menteri yang jujur dan setia tergopoh-gopoh menghadap kaisar untuk memperingatkan junjungan ini daripada mabuk dan mimpinya, akan tetapi kaisar tetap tinggal enak-enak, bahkan mencaci para menteri itu sebagai pengecut-pengecut besar!
Menteri Lu Pin yang dianggap menteri tertua yang paling setia dan disegani oleh kaisar, lalu didatangi oleh para menteri dengan desakan agar Menteri Lu Pin suka memberi peringatan kepada kaisar.
Menteri Lu Pin lalu menghadap kaisar dan diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan ucapan menyindir.
“Apakah kau yang terkenal sebagai menteri jujur, setia dan keturunan panglima gagah perkasa, juga berhati pengecut seperti mereka itu dan hendak menakut-nakuti aku?”
Merahlah wajah Lu Pin mendengar sabda kaisar ini. Ia memberi hormat dengan berlutut sambil berkata,
“Harap Sri Baginda sadar dari keadaan Sri Baginda yang tidak sewajarnya ini. Sesungguhnya para perdana menteri dan panglima itu memberi nasihat amat baik kepada Paduka. Demikianpun hamba datang menghadap ini bukan karena hamba berhati pengecut, melainkan karena hamba melihat datangnya bahaya besar yang mengancam keselamatan negara kita. Sadarlah Paduka dari mimpi, keadaan kita benar-benar terancam bahaya besar dan tentara An Lu Shan si pemberontak jahat itu telah menyerang makin jauh ke selatan.”
Marah sekali Kaisar Hian Tiong mendengar ini. Ia menggebrak meja dan menudingkan jari tangannya ke arah pintu,
“Pergi! Pergilah! Hendak kulihat sampai di mana kebisaan An Lu Shan! Mustahil kalau para barisan penjaga kita dapat dia bobolkan!”
Dengan hati terpukul, Menteri Lu Pin keluar dari ruangan itu dan menuturkan kepada para menteri lainnya atas kegagalannya dengan suara penuh kekecewaan dan kedukaan. Tidak senanglah hati para menteri itu ketika mendengar bahwa kaisar tetap saja tenggelam dalam mimpi buruk. Keadaan sudah amat berbahaya dan kalau para pemberontak sampai berhasil memasuki kota raja, tentu mereka sekeluarga sekarang takkan selamat pula.
Hal ini yang melemahkan semangat mereka. Ketika para mata-mata An Lu Shan datang menghubungi mereka, sebagian besar para menteri ini lalu menerima uluran tangan para pemberontak. Demi keselamatan seluruh keluarga dan harta benda serta kedudukan mereka, para menteri ini tidak segan-segan untuk berkhianat dan memihak pemberontak. Diam-diam mereka memberi kesanggupan kepada An Lu Shan bahwa apabila tentara pemberontak itu memasuki kota raja, mereka diam-diam akan mengadakan bantuan dari dalam agar pembobolan benteng kota raja dipermudah!
Menteri Lu Pin dapat membuka rahasia mereka ini. Dengan hati amat berang, menteri yang setia ini lalu menghadap kaisar dan membeberkan semua rahasia para menteri yang berkhianat. Marahlah kaisar dan baru kaisar sadar akan keadaan yang memang amat berbahaya. Segera dia memeritahkan pasukan pengawal untuk menangkap-nangkapi para menteri dorna itu dan menghukum penggal kepala sekeluarga mereka! Setelah melakukan hal ini, kaisar lalu menggerakkan barisan untuk mempertahankan kerajaan. Akan tetapi, hal ini benar-benar merupakan pengobatan yang amat terlambat bagi penyakit yang berat. Dengan di hukumnya para menteri, keadaan menjadi makin kalut dan lemah. Kalau saja Kaisar Hian Tiong dari dahulu sadar pada waktu para menteri itu belum memiliki hati khianat, agaknya keadaan masih dapat diharapkan akan tertolong.
Terlambatlah semua usaha kaisar ini. Barisan pemberontak An Lu Shan telah menerobos dan memasuki kota raja! Pertahanan kaisar hancur luluh!
Dalam kekacuan yang menghebat ini, Menteri Lu Pin menjadi tujuan pertama dari An Lu Shan. Tentu saja An Lu Shan telah mendengar bahwa Menteri Lu Pin yang menggagalkan rencananya menghubungi para menteri, dan bahwa Menteri Lu Pin yang membuka rahasia para menteri pengikutnya sehingga para menteri dorna itu sekeluarga di jatuhi hukuman mati oleh kaisar. Maka begitu memasuki kota raja, An Lu Shan memerintahkan semua anak buahnya untuk pertama-tama mencari Menteri Lu Pin dan membunuh serta membasmi seluruh keluarganya!
Akan tetapi, atas desakan keluarganya, Manteri Lu Pin siang-siang telah melarikan diri, mengungsi dikawal oleh pasukan panglima yang setia. Diam-diam Menteri Lu Pin mengumpulkan harta benda sepeti besar dari istana, bukan dengan niat hendak mempergunakan harta benda itu untuk dirinya sendiri, melainkan dia bercita-cita besar hendak melarikan harta benda itu agar jangan terjatuh ke dalam tangan pemberontak serta kelak dapat dia pergunakan untuk membiayai pasukan yang akan dipimpinnya untuk memukul mundur para pemberontak itu!
Kota raja diduduki, dan sungguh malang nasib keluarga Menteri Lu pin. Semua keluarga, dari yang tua sampai anak bayi, dikumpulkan dan dibakar hidup-hidup oleh An Lu Shan! Bahkan Lu Seng Hok, puteri Lu Pin atau ayah dari Lu Thong sekeluarganya juga dibasmi dalam pembersihan ini, tidak terkecuali para bujang pelayan! Hanya Lu Thong seorang yang dibawa pergi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yakni gurunya, yang tidak ikut jadi korban.
Lu Pin mendengar tentang berita ini dan di sepanjang jalan, kakek ini menangis keras, bukan semata menyedihi kebinasaan seluruh keluarganya. Kakek ini memang berjiwa patriot dan amat setia kepada pemerintah, maka sambil menangis dan dia bersembahyang dan bersumpah bahwa dia akan menuntut balas kepada pemberontak An Lu Shan! Melihat kesetiaan ini, tiga orang panglima besar yang mengawalnya bersama pasukan kecil, ikut pula menangis.
Akan tetapi, An Lu Shan ternyata bukan orang bodoh dan sebentar saja dia telah mendengar kemana larinya Menteri Lu Pin yang dibencinya itu. Segera dia mengirim pasukan besar untuk melakukan pengejaran kepada Lu Pin dan rombongannya! Tiga hari kemudian, benar saja pasukan gerak cepat ini berhasil menyusul rombongan Menteri Lu Pin.
Pertempuran hebat terjadilah. Pasukan pengawal Menteri Lu Pin melakukan perlawanan mati-matian, namun jumlah pasukan pengejar jauh lebih besar sehingga banyak di antara mereka roboh. Akhirnya hanya tiga orang panglima besar itu saja yang masih sempat menggendong Menteri Lu Pin dan membawa peti harta dan melarikan diri. Namun tentu saja para pengejar yang sudah mendengar bahwa menteri tua itu membawa sepeti harta benda yang tak ternilai harganya, melakukan pengejaran cepat sekali. Tiga orang panglima ini memiliki kepandaian tinggi, maka mereka berhasil membawa pergi Menteri Lu Pin. Namun, kalau mereka sampai tersusul, menghadapi pengeroyokan yang demikian banyaknya, mana mereka mampu mempertahankan diri?
Sehari semalam mereka telah melarikan diri, terus dikejar oleh barisan pemberontak. Akhirnya, pada esok paginya, ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang amat liar, kuda-kuda yang ditunggangi oleh tiga orang panglima yang membawa lari Menteri Lu Pin, roboh dan tewas saking lelahnya. Padahal para pengejar sudah dekat dan suara teriakan mereka telah terdengar riuh rendah.
“Kita terpaksa melawan mati-matian!” berkata tiga orang panglima yang gagah berani itu.
Menteri Lu Pin mengalirkan air mata. “Sudah terlalu banyak orang menjadi korban karena aku seorang, padahal bukan maksudku untuk menyelamatkan badan yang sudah tua dan tidak berharga ini. Sam-wi Ciangkun (Tiga Panglima), harap Sam-wi membawa pergi harta ini dan usahakanlah agar supaya dapat dibentuk pasukan baru guna menumpas penjahat An Lu Shan dan membalaskan sakit hati kerajaan kita. Biarkan aku mereka tangkap, aku tidak takut mati.”
Namun tiga orang panglima itu menolak. “Harta benda ini tiada artinya bagi kami bertiga. Tanpa adanya Taijin yang bijaksana untuk mengatur, bagaimana dapat dibentuk pasukan besar? Tidak, Taijin, kalau sudah semestinya kita mati, biarlah kita mati bersama di tempat ini! Namun kami berjanji bahwa penjahat-penjahat itu takkan mudah begitu saja untuk merenggut nyawa kita!” Sambil berkata demikian, tiga orang panglima itu mencabut golok besar mereka dan menanti dengan penuh semangat.
Maka datanglah para pengejar itu dan mereka menyerbu bagaikan taufan mengamuk! Tiga orang panglima perang itu menjaga Menteri Lu Pin yang berdiri di tengah-tengah. Mereka merupakan benteng segitiga yang amat kuat dan para pemberontak yang terdekat, segera terjungkal mandi darah terlanggar golok mereka yang tajam dan kuat. Hebat sekali perang tanding yang tidak seimbang ini. Datangnya pemberontak seperti semut dan tak lama kemudian, tiga orang panglima itu sudah lelah sekali. Mereka mulai menerima bacokan yang mendatangkan luka, namun mereka tetap mengamuk bagaikan banteng-banteng terluka!
Pada saat yang amat berbahaya bagi Menteri Lu Pin dan tiga orang pengawalnya, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kaget dan kacau-balaulah kepungan para pemberontak. Tak lama kemudian, nampaklah tubuh para pemberontak terpental dan terlempar ke sana ke mari, seakan-akan ada seorang raksasa kuat yang menangkap-nangkapi dan melempar-lemparkan tubuh mereka.
Ketika Menteri Lu Pin memandang, dia menjadi amat terharu melihat bahwa yang mengamuk dan memaki-maki para pemberontak itu bukan lain adalah Lu Sin atau Ang-bin Sin-kai kakaknya sendiri!
“Anjing-anjing pemberontak yang busuk! Kalian berani menganggu adikku yang tercinta?” berkali-kali Ang-bin Sin-kai memaki dan setiap kali tangannya diulur, tentu dua tiga orang pemberontak ditangkapnya dan dilemparkannya sampai jauh. Adapula yang ditendang bagaikan seorang menendang bal karet saja. Tubuh para pemberontak terapung dan jatuh dengan kepala pecah atau tulang patah. Keadaan amat kacau-balau dan para pemberontak menjadi gentar dan ngeri melihat sepak terjang Ang-bin Sin-kai yang saat itu kelihatan amat menyeramkan. Kakek pengemis itu yang biasanya bermuka merah, kini menjadi makin merah mukanya, kedua matanya bersinar-sinar, rambutnya terurai dan jenggotnya melambai-lambai dalam gerakannya yang kuat dan cepat, pakaiannya robek sana-sini.
Dua orang perwira pemberontak ketika melihat kakek pengemis ini, menjadi amat penasaran. Kakek pengemis itu kurus dan tua, bertangan kosong pula, masa tidak dapat merobohkannya? Mereka melompat turun dari atas kuda dan dengan pedang di tangan, kedua orang perwira itu menyerang Ang-bin Sin-kai yang masih saja mengamuk dan melempar-lemparkan para pemberontak yang berada di hadapannya. Ketika dua pedang dari kanan kiri itu menyambar dekat, tiba-tiba dia membuat gerakan seperti seekor burung garuda hendak terbang kedua lengannya di pentang ke kanan kiri dan sungguh hebat, tahu-tahu dia telah dapat mencekik batang leher kedua perwira pemberontak itu, dan pedang mereka terpental ketika beradu dengan jari-jari tangan kakek ini. Ang-bin Sin-kai maklum bahwa untuk mengundurkan para pemberontak, dia harus menjatuhkan pimpinan mereka, maka ketika dia melihat bahwa yang terpegang oleh kedua tangannya adalah perwira-perwira pemberontak, tanpa ragu-ragu lagi dia lalu membenturkan kepala mereka satu kepada yang lain!
Terdengar suara keras dan Ang-bin Sin-kai melemparkan kedua tubuh perwira pemberontak yang kepalanya sudah pecah itu ke atas sampai tinggi.
“Lihat pemimpin-pemimpinmu ini, hai anjing-anjing pemberontak! Siapa berani mati hendak mengukur tenaga dengan Ang-bin Sin-kai, boleh lekas maju!”
Suara ini dikeluarkan dengan keras dan menyeramkan. Tentu saja para pemberontak menjadi makin ketakutan ketika melihat bahwa dua orang pimpinan mereka sudah tewas. Apalagi ketika mereka mendengar nama Ang-bin Sin-kai yang sudah amat terkenal, tanpa pikir panjang lagi mereka lalu melarikan diri. Suara derap kaki kuda menjauh dan tak lama kemudian tempat itu menjadi sunyi, kecuali suara keluhan para anggauta pemberontak yang tergeletak di sana-sini.
Tiga orang panglima pengawal Menteri Lu Pin menjadi kagum sekali, mereka lalu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan menjura sebagai tanda terima kasih. Namun Ang-bin Sin-kai tidak memperhatikan mereka, melainkan datang mengehampiri Menteri Lu Pin dan tersenyum pahit dan berkata,
“Inilah jadinya kalau kau membantu kaisar lalim!”
Menteri Lu Pin sejak tadi telah basah matanya, mendengar ucapan ini, dia mengedikkan kepala dan berkata keras,
“Twako, aku bukan berjuang untuk kaisar, melainkan untuk tanah air dan bangsa! An Lu Shan telah berkhianat dan merusak negara, semua bukan semata kesalahan kaisar, namun para petugas juga mempunyai bagian dalam kesalahan itu. Aku bersumpah hendak membalas dendam kepada An Lu Shan, aku sengaja pergi membawa harta benda di dalam peti ini untuk membentuk pasukan baru agar dapat mengusir penjajah khianat itu dari kota raja!”
“Adik Pin, suaramu seperti harimau ompong tak berkuku yang meraung-raung! Kau yang begini lemah bagaimana bisa mengusir An Lu Shan dengan pasukannya yang dibantu oleh orang-orang pandai?” kata Ang-bin Sin-kai.
“Kita sama lihat saja nanti!” jawab Menteri Lu Pin gagah. “Biarpun aku seorang lemah, seorang seniman bodoh, namun semangatku masih, Sin-ko. Soal orang-orang pandai, ada kau di sini, takut apakah?”
Melihat sikap adiknya, Ang-bin Sin-kai menjadi terharu sekali.
“Orang bodoh, kau kira aku tidak tahu akan semua yang terjadi? Aku amat kagum kepadamu, Adikku. Kau patut menjadi teladan semua pembesar dan pemimpin rakyat. Kau tidak tahu bahwa semenjak kau keluar dari kota raa, aku selalu mengikuti kau secara diam-diam. Aku telah mendengar pula tentang nasib keluargamu. Ah, adikku yang gagah, kau menderita demikian hebat akan tetapi masih bersemangat membela negara, sungguh aku pengemis hina-dina merasa bangga dan juga malu kepada diri sendiri.”
“Sin-ko, jangan kau berkata begitu…….” Menteri Lu Pin mencucurkan air mata saking terharunya. Ia menghampiri kakek pengemis itu dan kedua orang kakak beradik ini berpelukan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dari kedua mata Ang-bin Sin-kai berlinang dua butir air mata. Inilah adik kandungnya, menteri setia yang berjiwa patriot aseli! Dan adiknya ini padahal seorang lemah yang tidak mengerti ilmu silat! Sedangkan dia, seorang yang semenjak kecil mempelajari kepandaian silat, tidak mengacuhkan sama sekali tentang keselamatan tanah air! Pada saat berpelukan dengan Menteri Lu Pin, terbangunlah semangat dalam dada Ang-bin Sin-kai. Tak patut dia disebut seorang gagah apabila dia tidak dapat berbuat seperti adiknya ini, tidak dapat mengorbankan diri untuk rakyat dan negara. Ia tahu bahwa An Lu Shan mendapat bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Hek-i Hui-mo sendiri menjadi sekutu An Lu Shan. Siapakah akan dapat menghadapi mereka kalau tokoh-tokoh seperti dia tidak mau turun tangan?
“Adik Pin, kau betul. Harta ini harus kau simpan baik-baik dan dengan diam-diam kau dapat mengerahkan kesatuan yang kuat, atau setidaknya dengan harta ini kau dapat membantu pengerahan para pasukan rakyat gerilya. Aku tahu sebuah tempat persembunyian yang amat baik, Adikku. Pergilah ke timur, di sebelah bukit ini terdapat pegunungan dan setelah kau menyebrangi sungai kecil, kau akan melihat hutan pohon pek dan di sebelah selatan hutan itulah terdapat sebuah gua besar yang penuh dengan tulang-tulang binatang purbakala yang besar-besar. Gua itu lebar sekali, aku telah mempergunakannya sebagai tempat bertapa. Kaubawalah harta ini dan kau bersembunyilah di gua itu. Gua itu tertutup oleh serumpun pohon bunga cilan yang lebat sekali, takkan terlihat dari luar. Aku sendiri akan segera ke kota raja dan akan kuhajar An Lu Shan dan kaki tangannya. Selamat berpisah adikku!”
Bukan main girangnya hati Menteri Lu Pin mendengar ini. Memang dia amat kecewa melihat kakaknya yang sakti ini di kala terjadi perang, tidak muncul sama sekali. Memang mereka sekeluarga adalah keturunan patriot ternama, sudah selayaknya kalau kakaknya pun bersikap sebagai seorang pahlawan bangsa.
“Terima kasih, Sin-ko. Semoga perjuanganmu berhasil,” jawabnya. Dua orang kakak beradik ini kembali berpelukan, disaksikan oleh tiga orang panglima yang memandang dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Mereka menjadi saksi dari pertemuan dua orang kakak beradik yang berjiwa gagah, namun yang keadaannya amat berlainan, seorang kakek pengemis dan seorang menteri setia, namun keduanya gagah perkasa dalam bidang masing-masing. Mereka lalu berpisah dan tiga orang panglima itu melanjutkan kawalan mereka terhadap Menteri Lu Pin, menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Ang-bin Sin-kai.
Benar saja seperti petunjuk dari Ang-bin Sin-kai, mereka mendapatkan gua besar itu yang amat lebar dan di situ penuh dengan tulang-tulang besar putih dan kuat. Selain ini juga di sebelah ruangan kecil di dalam gua itu mereka mendaparkan sebuah hiolouw (tempat hio atau tempat abu hio) yang amat besar dan kuno. Hiolouw ini biasanya dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk membakar dupa dan akar-akar untuk mengusir hawa busuk dari dalam gua. Melihat tulang-tulang berserakan itu, Menteri Lu Pin tertarik sekali hatinya. Dia adalah seorang ahli ukir yang kenamaan dan pandai, melihat tulang-tulang ini dia merasa tertarik dan gembira. Tulang-tulang itu merupakan bahan untuk diukir yang baik sekali.
Setelah membereskan dan membersihkan tempat itu, Menteri Lu Pin lalu menyuruh tiga orang panglima pengawalnya untuk mulai menghubungi para pejuang rakyat. Mereka ditugaskan untuk memperkuat pasukan-pasukan rakyat yang melakukan perlawanan terhadap pemberontak An Lu Shan. Mereka disuruh membawa sebagian daripada harta istana itu untuk membiayai dan membantu pergerakan rakyat dan sewaktu-waktu datang ke gua itu memberi laporan. Adapun Menteri Lu Pin yang hidup seorang diri di dalam gua, mendapatkan makanan dari buah-buahan yang tumbuh di sekitar tempat itu, dan di dalam waktu senggang, dia mulai membuat ukir-ukiran pada tulang-tulang besar tadi.
Menteri Lu Pin tinggal sampai bertahun-tahun di situ dan dia telah menciptakan ukir-ukiran berupa tengkorak-tengkorak manusia yang luar biasa besarnya, semuanya dibuatnya daripada tulang-tulang itu sehingga tengkorak-tengkorak atau rangka-rangka manusia raksasa itu seperti tulen, terbuat daripada tulang-tulang! Ia mengatur dan menyambung-nyambung tulang-tulang ini, didirikan di sepanjang terowongan gua, berjajar seperti barisan raksasa yang menjaga gua, namun raksasa yang sudah menjadi rangka yang amat menyeramkan! Memang, Menteri Lu Pin membuat ini bukan saja untuk menimbulkan daya khayalnya menjadi kenyataan, akan tetapi juga dengan maksud agar para penjahat yang iseng-iseng dan kebetulan masuk ke situ, akan menjadi ketakutan dan mundur kembali setelah melihat rangka-rangka raksasa yang benar-benar menyeramkan sekali itu.
Biarpun An Lu Shan telah berhasil merebut kedudukan Kaisar Hian Tiong, namun ternyata bahwa rakyat di mana-mana tidak mau terima begitu saja. Pemberontakan terjadi di mana-mana di kalangan rakyat jelata. Di sana-sini rakyat melakukan perlawanan terhadap barisan An Lu Shan sehingga An Lu Shan boleh di bilang tak dapat tidur nyenyak! Ia sudah melakukan usaha-usaha untuk menumpas perlawanan rakyat ini, akan tetapi bagaimana dia dapat memadamkan gelora dalam hati rakyat yang tidak sudi melihat dia menduduki singgasana kaisar?
Tadinya Jeng-kin-ji, Hek-i Hui-mo dan lain-lain tokoh besar membantu usaha ini menumpas perlawanan rakyat di beberapa tempat. Akan tetapi setelah beberapa tahun perlawanan rakyat bukannya mereda bahkan makin menghebat, diam-diam Jeng-kin-jiu dan yang lain-lain sadar dan terkejut. Barulah mereka tahu bahwa sebenarnya rakyat tidak suka kepada pemberontakan An Lu Shan! Apalagi ketika kaum persilatan juga membantu perlawanan dan perjuangan rakyat ini, diam-diam Jeng-kin-jiu menjadi gentar. Ia lalu berunding dengan Hek-i Hui-mo dan yang lain-lain dan berkata,
“Kalau begini, kita telah menempatkan diri ke dalam kedudukan amat berbahaya. Sebelum menghebat keadaan ini, lebih baik kalau kita mengundurkan diri dan mencuci tangan daripada kekeruhan ini.” Memang mereka merasa ngeri kalau teringat akan ucapan Ang-bin Sin-kai bahwa kelak mereka akan mati sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa dengan nama busuk ratusan tahun lamanya! Setelah mengadakan permufakatan, mereka lalu menghadap An Lu Shan dan menyatakan bahwa kini setelah kerajaan digulingkan, mereka hendak kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Tentu saja An Lu Shan menjadi amat kecewa, akan tetapi dia pun tidak berani menahan tokoh-tokoh besar ini, bahkan untuk memikat hati mereka, dia lalu memberi bekal berupa harta benda yang amat besar jumlahnya dan dengan demikian dia dapat menarik janji mereka bahwa sewaktu-waktu apabila ada kesulitan menimpa kerajaan, orang-orang pandai ini bersedia untuk membantunya.
Sepeninggal orang-orang sakti ini, An Lu Shan lalu memberi perintah kepada anak buahnya untuk melakukan kekerasan berlipat ganda kepada pemberontak. Mereka yang tertangkap, lalu disiksa di tempat umum agar rakyat dapat melihatnya. Keganasan dan kekejaman terjadi di mana-mana dan biarpun rakyat menjadi takut sekali, namun hal ini menumbuhkan kebencian yang amat mendalam terhadap An Lu Shan.
Pada suatu hari, di kota Thian-cin, pagi-pagi sekali keadaan di tanah lapang telah ramai sekali. Tanah lapang ini menjadi markas pasukan An Lu Shan yang melakukan “operasi” dan berpindah-pindah. Di kota mana saja mereka tiba, mereka mendirikan tenda dan mulai menangkap-nangkapi orang-orang yang mereka cap sebagai pemberontak untuk menerima hukuman yang mengerikan di tempat terbuka. Dalam hal ini, tentu terjadi hal-hal yang amat kotor, para petugas ini mendatangi orang-orang biasa, mengancam akan menangkapnya sebagai pemberontak. Apabila yang diancam ini mempunyai harta, tentu dia tidak segan-segan untuk mengeluarkan emas dan perak untuk menyogok agar dirinya selamat. Ada pula yang sengaja menangkap keluarga di mana terdapat gadisnya yang cantik sehingga dengan jalan mengancam, keluarga itu terpaksa menyerahkan gadis itu kepada pembesar setempat supaya keluarga itu bebas daripada siksa dan kebinasaan! Masih banyak lagi hal-hal kotor terjadi dan dilakukan oleh orang yang bermoral rendah., baik oleh anak buah An Lu Shan maupun oleh pembesar-pembesar setempat yang telah mempunyai hubungan baik dengan kepala-kepala pasukan yang beroperasi itu.
Penduduk Thian-cin dipaksa meninggalkan rumah untuk menonton hukuman yang akan dijalankan di tempat terbuka, di lapangan rumput dekat markas pasukan itu. Hal itu di sebut sebagai hari istimewa karena menurut pengumuman kepala pasukan, yang akan menjalani hukuman adalah pemimpin-pemimpin gerombolan yang tertawan, yang jumlahnya ada sepuluh orang. Penduduk berbondong datang ke tempat itu, bukan karena memang suka melihat orang tersiksa, melainkan dipaksa oleh anggauta-anggauta pasukan supaya datang menonton, dan juga karena ingin tahu siapakah gerangan sepuluh orang yang dianggap sebagai pemimpin-pemimpin pejuang rakyat itu.
Di tengah-tengah lapangan itu, sepuluh orang laki-laki diikat kepada tiang-tiang dan mereka ini benar-benar tidak patut di sebut pemimpin-pemimpin pejuang karena pakaian mereka seperti orang-orang sastrawan, dan mereka kelihatan lemah. Wajah mereka pucat-pucat dan mereka tergantung kepada tiang dengan kepala menunduk.
Di belakang tiang itu, berjajar barisan yang berpakaian seragam bersikap garang, sedangkan para penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh orang itu. Kemudian datanglah sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk panjang. Mereka ini rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat sekali. Sambil memutar-mutar cambuk mereka menyeringai dan masing-masing menghampiri korbannya, siap menanti komando dari pemimpin mereka.
Seorang perwira pasukan maju ke depan, menghadapi para penonton dan berkata keras-keras.
“Lihatlah, begini nasib para pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!” teriaknya dan mulailah menghitung, “Satu…..!”
Sepuluh orang algojo itu mengayun cambuk.
“Tar…..!” Hampir berbareng sepuluh batang cambuk itu jatuh di tubuh sepuluh orang tawanan. Jerit mengerikan terdengar dan baju mereka robek-robek. Darah mengalir dari kulit di mana cambuk itu menyabet. Wajah para penonton menegang. Mana mungkin sepuluh orang ini di sebut pemimpin-pemimpin gerombolan? Mereka begitu lemah. Sebenarnya, mereka ini sastrawan-sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu Shan. Perasaan mereka itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga ada sebagian di antara mereka yang tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga mereka menjadi korban fitnah belaka.
“Dua……!” Komandan itu memberi aba-aba.
Akan tetapi sebelum sepuluh orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang algojo itu dengan terkejut karena tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan!
Mereka cepat memandang dan seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana telah berdiri di situ, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu. Wajah pemuda yang tampan sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,
“Jangan pukul mereka yang tidak berdosa! Lepaskan mereka ini.”
Sambil berkata demikian, tanpa menanti jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan tubuhnya dan dalam sekejap mata saja sepuluh orang tawanan itu telah terlepas dari ikatan tangan mereka! Semua orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya berlari dari tiang ke tiang, tidak kelihatan dia melepaskan tali, akan tetapi ternyata ikatan tangan orang-orang itu telah putus semua!
Para prajurit menjadi gempar. Beberapa orang perwira datang menghampiri pemuda itu dengan golok terhunus.
“Kau siapakah berani mati mengacau disini? Apa kehendakmu?” Biarpun bersikap galak, namun para perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena mereka telah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda aneh ini.
“Aku datang untuk mewakili orang-orang itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu takkan kuat menerima lima puluh kali cambukan. Kalau memang kalian haus akan hiburan menyiksa orang, biarlah aku yang mewakili hukuman mereka. Ikatlah aku dan cambuklah sesukamu, agar hatimu yang buas akan puas.”
Para perwira itu saling pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa pemuda ini tentulah dari barisan rakyat yang memberontak, tidak tahunya pemuda ini adalah seorang yang tidak waras otaknya.
“Kau betul-betul hendak mewakili mereka menerima hukuman cambuk? Mereka ada sepuluh orang, masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia menerima lima ratus kali cambukan?” tanya seorang perwira.
Pemuda itu menoleh ke arah penonton dan pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang berpakaian sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan namun matanya mengandung pengaruh luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya kepada pemuda itu dan berubah giranglah wajah pemuda yang tadinya amat keruh dan muram.
“Boleh, boleh, sesukamulah!” katanya kepada para perwira itu dengan wajah berseri, akan tetapi kembali wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya, “Aku memang sudah patut menerima hukuman lima puluh kali cambukan atas dosa-dosaku!”
“Lima ratus kali, bukan lima puluh kali!” bentak komandan itu.
“Sesukamulah, mau lima ratus atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai hukumanku adalah lima puluh kali!” jawab pemuda itu yang menghampiri sebuah di antara tiang-tiang dan memeluk tiang di belakang tubuhnya.
Komandan itu menjadi cemas dan geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang gila pikirnya. Lebih baik dia memperlihatkan kepada rakyat yang menonton bahwa dia adalah seorang yang “bijaksana” dan yang berlaku adil.
“Rakyat semua!” serunya memandang kepada penonton. “Orang muda ini dengan sesuka sendiri mewakili hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami berlaku adil dan menerima permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang bernasib baik, kalian kami bebaskan, akan tetapi sebagai gantinya, kalian harus membayar denda setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu tiga hari lamanya!”
Sepuluh orang itu saling pandang seperti tidak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya mereka sudah mengira bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan mata penuh terima kasih akan tetapi juga belas kasihan karena mengira pemuda ini berotak miring, mereka memandang kepada pemuda ini.
“Saudara yang baik, sudah yakinkah kau akan menolong kami sepuluh orang? Cambukan lima ratus kali akan merenggut nyawamu.” Kata seorang di antara bekas tawanan itu.
Namun pemuda ini menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,
“Pergilah, pergilah! Untuk apa mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?”
Sepuluh orang itu lalu minggir dan berdiri di antara para penonton akan tetapi tentu saja mereka tidak mau pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda yang aneh itu.
“Hayo, pukul aku!” teriak pemuda ini.
Komandan menunjuk seorang algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda supaya menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang amat aneh itu dan wajahnya menyeringai gembira. Sekali ini dia menghadapi pengalaman yang aneh. Ia sudah merasa bosan menyiksa orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan dengan tiga kali cambukan saja. Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring dan yang dengan secara aneh sekali dapat merampas cambuknya tadi, benar-benar merupakan seorang hukuman yang luar biasa. Pemuda ini dengan gerakan yang tidak dapat dilihat, telah dapat merampas cambuk sepuluh orang algojo dan cambuk-cambuk itu lalu dilemparkan ke tanah dengan sikap acuh tak acuh. Ketika para algojo mengambil cambuk masing-masing dari tanah, ternyata bahwa gagang cambuk yang terbuat daripada kayu telah hancur sama sekali, tinggal cambuknya saja!
Tentu saja hal itu membuat semua orang merasa khawatir dan gentar, akan tetapi setelah sekarang pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa dan menggembirakan.
Dengan lagak gagah algojo yang terpilih untuk menjalankan hukuman itu mengangkat cambuk tak bergagang itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa kali kemudian dengan sekuat tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada pemuda yang kini kedua tangannya telah diikatkan pada tiang oleh seorang algojo lain.
“Tar…..!” Semua penonton menahan napas, mengharapkan sesuatu yang aneh. Mereka itu semua mengharapkan cambuk itu akan putus atau stidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh pemuda aneh yang seperti gila lakunya ini. Akan tetapi, semua orang menahan napas dan merasa amat kecewa. Baju pemuda itu robek dan cambuk itu meninggalkan tanda merah pada kulitnya. Pemuda itu mengrutkan kening dan nampaknya berduka sekali, akan tetapi harus diakui bahwa dia agaknya sama sekali tidak merasakan perihnya bekas cambuk. Bahkan dia meramkan kedua matanya, menahan jatuhnya air mata dan bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa. Cambuk itu menari-nari di atas tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya mulai robek di sana-sini. Di antara hujan cambukan, terdengar pemuda itu berkata perlahan sambil, meramkan kedua matanya.
“Suhu, semoga Suhu puas melihat hukuman yang teecu terima dengan segala kerelaan hati. Biarlah Suhu menganggap ini sebagai hukuman teecu yang meninggalkan Suhu sehingga Suhu teraniaya oleh orang-orang jahat…..”
Tak seorangpun di antara para penonton maupun para prajurit An Lu Shan mengerti apa maksud kata-kata itu. Hanya seorang saja yang mengerti, yakni sastrawan tua yang pakaiannya tambal-tambalan itu. Sastrawan ini memandang tajam, kemudian dia menghela napas dan berkata perlahan,
“Dia benar-benar menerima hukuman dengan suka rela. Ah…… orang inilah harapan rakyat…..! Benar-benar dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Memang benar, pemuda yang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima cambukan dengan mata meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari bibirnya, bukan lain adalah Lu Kwan Cu! Siapakah sastrawan berbaju tambal-tambalan itu yang berdiri di antara para penonton dan yang agaknya mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu? Dia ini bukan lain adalah pujangga besar, pecinta rakyat jelata, pujangga yang namanya tetap harum sampai ribuan tahun lamanya, yakni Tu Fu! Untuk mengetahui bagaimana Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula pujangga Tu Fu dapat menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur dulu beberapa hari yang lalu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon putih dan dengan perahu buatannya sendiri, dia menuju ke barat, ke daratan Tiongkok. Ia teringat akan pesan suhunya Ang-bin Sin-kai, bahwa suhunya itu hendak bertapa di pantai Laut Po-hai. Maka dia menujukan perahunya ke pantai ini. Kesukaran-kesukaran di dalam pelayaran itu dapat di tempuh dengan amat mudah, karena sekarang dia bukanlah Kwan Cu pada empat tahun yang lalu. Kepandaiannya telah meningkat puluhan kali, bahkan ratusan kali tanpa dia sadari dan dia kini benar-benar telah menjadi seorang yang sakti.
Setelah mendarat di pantai Laut Po-hai, dia mencari-cari gurunya, akan tetapi hasilnya nihil. Kemudian dia bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari mereka inilah dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan dan tentang perubahan hebat yang telah terjadi selama empat tahun itu.
Kwan Cu mendengarkan semua itu tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang semua kejadian itu, karena memang pemuda ini setelah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pandangannya telah luas sekali, tidak sempit dan tidak mudah di kuasai oleh nafsu dan pertimbangan otak sendiri. Ia telah terbuka mata hatinya tentang kekuasaan Thian, dan dia percaya sepenuhnya bahwa peristiwa di dunia ini, sesungguhnya dilakukan oleh manusia, namun keputusan terakhir di tangan Thian. Oleh karena ini, betapapun janggal terdengarnya oleh orang lain, Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya pasukan pemberontak An Lu Shan juga merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa!
Hanya satu hal yang terpikir olehnya di saat dia mendengar itu, bahwa suhunya tentu pergi ke kota raja. Suhunya adalah kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi kakek angkatnya pula, pada peristiwa pengoperan kekuasaan itu tentu setidaknya mendatangkan akibat kepada Menteri Lu Pin. Mustahil kalau Ang-bin Sin-kai diam saja dan tidak menengok keadaan kota raja.
“Pasti Suhu berada di kota raja dan tidak aneh kalau aku mendapatkan dia di dapur isatana, siapapun juga kaisarnya yang menempati istana itu,” pikir Kwan Cu dengan geli mengenangkan kesukaan gurunya menyikat habis hidangan kaisar di dalam istana.
Maka berangkatlah Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di dalam perjalanan, dia mendengar pula tentang usaha rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan melihat betapa keadaan memang benar-benar berubah tidak mempengaruhi ketenangan batinnya. Ia melakukan perjalanan cepat tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain, dia hanya seorang pemuda tampan sederhana yang berpakaian buruk, menggendong sebuah buntalan dan di samping pakaian butut itu, suling pemberian Hang-houw-sian Yok-ong adalah harta satu-satunya.
Beberapa kali dia bertemu dengan rombongan pengusngsi yang menuju ke selatan, menjauhi pasukan-pasukan An Lu Shan yang terkenal buas dan kejam. Terutama sekali mereka yang memiliki anak-anak gadis, banyak yang mengungsi ke selatan, sejauh mungkin.
Ketika dia telah tiba di dekat kota Thian-cin, dia melihat pula serombongan pengungsi terdiri dari para petani yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan. Berbondong-bondong mereka berjalan kaki menuju ke selatan, mencari hidup baru. Mereka berjalan dengan kaki lemas karena memang telah melakukan perjalanan jauh, dan wajah mereka semua nampak muram.
Ketika Kwan Cu bertemu dengan rombongan ini, tiba-tiba di antara para pengungsi, terdengar seorang tua bernyanyi dengan suara yang lantang:
“Seekor babi gemuk memimpin negara
mana negara bisa kuat dan rakyat bisa bahagia?
Akan tetapi srigala utara lebih jahat lagi.
Tak saja rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul pengkhianatan bangsa.
Penasaran……! Penasaran…….!
Sayang sekali dua saydara Lu menjadi korban.
Menteri setia ditumpas habis sekeluarga,
pendekar gagah korbankan nyawa dengan sia-sia.
Penasaran…..! Penasaran…….!
Berkali-kali orang itu mengucapkan nyanyian ini sampai seorang di antara para pengungsi menegurnya,
“Tu-siucai, harap kau diam jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua di tangkap dan dihukum mati?”
Mendengar teguran ini, si penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan suara keras,
“Didalam dunia memang banyak orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana kehormatan bangsa bisa dapat dipertahankan? Aku pergi mengungsi bukan karena takut kepada pemberontak An, melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih lama lagi, muak perutku dan ingin muntah saja mulutku.”
Orang yang menegurnya tadi hendak menegur lagi dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba dia berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata bahwa si penyanyi yang ditegurnya tadi, tanpa di lihat bagaimana terjadinya tahu-tahu telah lengap dari tengah-tengah rombongan itu. Tidak saja si penegur itu yang menjadi kaget, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti melihat setan di tengah hari.
“Di mana dia? Kemana perginya Tu-siucai?” terdengar suara susul menyusul.
“Dia menghilang begitu saja!” Ramailah rombongan itu akan tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran pasukan An Lu Shan, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan itu sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa yang aneh itu.
Apakah betul penyanyi tadi dapat menghilang? Sebenarnya penyanyi itu adalah pujangga Tu Fu, seorang sastrawan yang berbatin kuat berpikiran tajam dan berbakat luar biasa, namun bertubuh lemah. Mana bisa dia menghilang begitu saja. Ketika dia bicara dengan penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa melompat cepat sekali melewati kepala orang-orang dalam rombongan pengungsi itu! Sastrawan ini terpaksa meramkan mata karena angin meniup keras ke arah mukanya. Ketika dia membuka mata, ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan pengungsi yang tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda sederhana yang menjura sambil berkata,
“Siauwte mohon maaf sebanyaknya kepada Tu-siucai yang terhormat karena siauwte telah berani berlaku lancang membawa Siucai ke sini.”
Tu Fu biarpun seorang sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan dia mengenal semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Kini dia menghadapi Kwan Cu dengan senyum di bibir dan matanya memandang kagum.
“Seorang muda yang gagah perkasa dan lihai sekali. Siapakah namamu dan murid siapakah kau?”
“Siauwte seorang tak berarti, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang berharga untuk diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan tadi, amat menarik hati siauwte. Bolehkah siauwte mengetahui siapakah adanya mereka itu? Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?”
Tu Fu tertawa. “Orang muda yang aneh, kau lebih aneh daripada Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Baiklah, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-pun-su saja, sebutan yang merupakan pujian tertinggi sungguh pun aku masih belum tahu apakah kau patut mendapat sebutan itu. Memang benar, yang kunyanyikan tadi adalah menteri setia Lu Pin dan pendekar perkasa Ang-bin Sin-kai Lu Sin.”
“Apakah yang terjadi dengan mereka?” Kwan Cu bertanya dan biarpun dia telah menekan goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar. Di dalam dunia ini, manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-bin Sin-kai seorang, maka sesuatu yang terjadi kepada kakek sakti ini tentu saja menggerakkan hatinya.
Orang-orang yang memiliki kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh. Demikian pula sastrawan Tu Fu. Biarpun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi, namun ketabahan hati dan keangkuhannya tidak kalah oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang manapun juga. Kekerasan hati dan keteguhan semangatnya laksana baja yang tak dapat dibengkokkan. Ketika dia mendengar pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia mengedikkan kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,
“Orang muda, ada hubungan apa antara kau dan Ang-bin Sin-kai? Ada hubungan apa pula antara kau dengan keluaraga Lu?”
“Sudah siauwte katakan bahwa siauwte seorang tidak berharga, tak perlu dibicarakan tentang diri siauwte.”
“Hm, anak sombong. Jangan coba merendahkan diri di depan air! Kauceritakan apa hubunganmu dengan Ang-bin Sin-kai, kalau tidak jangan harap mendengar sesuatu tentang dia dari mulutku!”
Kwan Cu menghela napas kewalahan. Ia maklun bahwa dia menghadapi seorang yang berwatak keras dan bersemangat baja, maka dia mengalah dan berkata,
“Ang-bin Sin-kai adalah guruku.”
Mendengar ini sastrawan Tu Fu mencak-mencak, membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan CU,
“Bu-pun-su, murid macam apa engkau ini? Sudah bertahun-tahun Ang-bin Sin-kai tewas dalam penasaran dan sekarang tiba-tiba kau muncul menanyakan apa yang terjadi dengan dia? Apa gunanya air bagi tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya obat bagi si sakit yang sudah tak bernapas lagi? Guru dalam bahaya dan berjuang mati-matian mempertahankan nama baik negara dan bangsa kau bersembunyi tidak memperlihatkan diri. Sekarang guru sudah tewas di tangan orang jahat, kau pura-pura muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi dengan gurumu? Kau sudah sepantasnya mendapat hukuman! Kalau aku menjadi gurumu, kau kuhukum lima puluh kali cambukan pada tubuhmu!”
Kwan Cu menjura lagi. “Siucai yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan guruku Ang-bin Sin-kai yang tercinta.”
“Ang-bin Sin-kai adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar, tidak seperti engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat tokoh-tokoh kang-ouw membela pemberontak An Lu Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu kota raja. Akan tetapi dia tidak kuat menghadapi tokoh-tokoh besar seperti Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhumu benar-benar seorang patriot sejati, seorang pahlawan gagah perkasa.”
Bukan main sedihnya hati Kwan Cu mendengar akan nasib suhunya itu. Tak terasa pula dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya. Ia terharu sekali akan nasib gurunya yang amat dia cinta, setua itu masih terlibat urusan dunia dan terpaksa mengorbankan nyawa untuk nama dan kehormatan negara. Hatinya mulai diliputi rasa sakit hati dan dendam terhadap para pembunuh suhunya, akan tetapi kesadarannya timbul ketika dia teringat bahwa kesemuanya itu adalah kehendak Thian yang tak dapat di cegah lagi. Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata perlahan,
“Mengapa Suhu begitu lemah menurutkan nafsu hati? Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu sudah menjadi kehendak alam yang berkuasa?”
Mendengar ini, kembali Tu Fu mencak-mencak dan membanting-banting kaki.
“Wahai semua mahluk yang kebetulan berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian kata-kata seorang pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar! Seorang pemuda masih berbau minyak dan param berani mencela gurunya, Ang-bin Sin-kai yang kuhormati?”
Merah muka Kwan Cu mendengar ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa segan dan tunduk menghadapi orang tua ini yang mempunyai pengaruh luar biasa.
“Siucai yang baik, siauwte mana berani mencela guru? Siauwte hanya menyatakan dengan sebenarnya bahwa memang kesemuanya adalah kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Apakah daya manusia menghadapi kehendak dan keputusan Thian? Kita hanya bisa menerima, mengapa suhu tidak melihat kenyataan ini?”
Tu Fu makin marah-marah. “Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula hasilnya kalau orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang masih hijau dan goblok! Akibatnya menjadi seorang pemuda berlagak ahli filsafat padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman matang seperti mangkok berkembang tanpa isi. Apa gunanya? Hanya untuk pameran belaka! Bu-pun-su, kau bermimpi dalam sadar. Jalan Tuhan memang luar biasa dan tak dapat di mengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Thian dengan penuh iman dan kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa bahwa manusia juga berhak untuk berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya! Kau dilahirkan bertanah air, berbangsa, bukankah itu kehendak Thian pula? Kalau kau tidak dapat membela tanah air dan bangsa, membiarkan tanah air dan bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, patutkah kau disebut seorang anak bangsa? Hm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!” Tu Fu marah-marah dan masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu.
Kwan Cu tertegun. Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sastrawan tua ini merupakan hal baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul olehnya. Ia terlalu diayun oleh lamunan Nabi Lo Cu yang memang sukar ditangkap artinya.
“Siucai yang bijaksana, siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada suhuku dan yang dapat mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?”
“Bu-pun-su murid murtad, belum pernahkah gurumu menyebut nama Tu Fu si sastrawan miskin?”
Kwan Cu terkejut sekali mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, bukan satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dahulu, gurunya yang pertama, yakni Gui-siucai, berkali-kali menyebut nama Tu Fu ini dengan penuh kekaguman. Gui Tin menyebut nama Tu Fu sebagai pujangga dan sastrawan yang paling besar di samping sastrawan Li Po, seorang sastrawan patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja, bahkan gurunya, Ang-bin Sin-kai sering menyatakan kekagumannya kepada Tu Fu. Kini melihat sendiri orangnya dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya, sekaligus tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang setingkat dengan gurunya bahkan melebihi gurunya dalam hal ilmu filsafat dan kebatinan. Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tu Fu. Dengan amat terharu dia berkata,
“Locianpwe, teecu telah berlaku kurang hormat mohon maaf sebanyaknya. Sekarang teecu melihat betapa besar dosa teecu terhadap suhu Ang-bin Sin-kai, oleh karena itu mohon petunjuk dari Locianpwe bagaimana selanjutnya teecu berlaku, karena sesungguhnya teecu tidak tahu harus berlaku bagaimana.”
“Pertama-tama kau harus di hukum lima puluh kali cambukan,” kata Tu Fu dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka dan mudah gembira. Siapa bisa percaya bahwa kau benar-benar sadar bahwa tindakan suhumu itu baik dan sempurna? Di kota ini Thian-cin, tak jauh dari sini , orang-orang baik-baik dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan dihukum cambuk. Kalau kau bisa mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan mewakili mereka kau akan dapat melanjutkan usaha suhumu membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang amat berbahaya bagi keselamatan negara dan bangsa.”
Mendengar ini, bangkit semangat Kwan Cu. “Mari, Locianpwe, akan teecu perlihatkan bahwa kepercayaan Locianpwe terhadap murid Ang-bin Sin-kai takkan sia-sia belaka.” Tanpa menanti jawaban Kwan Cu menyambar tubuh sastrawan itu dan dibawanya lari cepat sekali ke kota Thian-cin di mana sedang berlangsung penghukuman cambuk atas diri sepuluh orang sastrawan yang didakwa menjadi pemimpin para gerombolan pengacau yang sesungguhnya adalah pejuang-pejuang rakyat. Kwan Cu menrunkan tu Fu di antara para penonton sedangkan dia sendiri sebagaimana telah dituturkan di bagian depan turun tangan merampas cambuk, mencegah di lanjutkannya hukuman itu dan dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan sebagai hukuman kepada dirinya yang membiarkan gurunya tewas di tangan orang-orang jahat.
Demikianlah sebabnya mengapa Kwan Cu dapat datang di Thian-cin bersama sastrawan Tu Fu dalam saat yang amat tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman itu dan sebaliknya dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo yang tidak mengenal kasihan.
Biarpun para penonton merasa amat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah gila dicambuki, namun diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa pemuda ini meramkan mata dan sama sekali tidak pernah mengaduh, biarpun pakaiannya robek-robek dan tubuhnya serta mukanya penuh dengan gurat-gurat merah bekas cambuk.
Suara cambuk mereka memecah di udara lalu disusul menjepretnya ujung cambuk memecah pakaian Kwan Cu dan menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan kali. Tiba-tiba di antara para penonton terdengar suara,
“Cukup, Bu-pun-su sudah lima puluh kali kau menerima hukuman!” Inilah suara dari sastrawan besar Tu Fu yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh kali. Pujangga ini benar-benar merasa kagum terhadap Kwan Cu yang demikian jujur dan setia kepada sumpahnya. Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa terhadap Ang-bin Sin-kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali cambukan, padahal kalau dipikir benar-benar, pemuda itu tidak berdosa apa-apa, karena ketika gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak tahu.
Baru saja ucapan ini dikeluarkan oleh Tu Fu, tiba-tiba algojo yang mencambuk tubuh Kwan Cu itu menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak tangannya berdarah! Ternyata bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya tiba, Kwan Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa sehingga tenaga cambukan itu membalik dan melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri. Demikianlah lihainya Kwan Cu yang sudah dapat menyalurkan tenaga itu sehingga membalik melukai pecut. Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan algojo terobek kulitnya sehingga dia melepaskan cambuk, mengaduh-aduh sambil memegangi tangan kanannya yang berdarah!
Komandan pasukan mengira bahwa algojo itu saking lelahnya merasa sakit tangannya. Ia sudah amat mendongkol melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa, maka segera dia memberi aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lain untuk turun tangan.
Sembilan batang cambuk berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu. Akan tetapi, kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, sembilan batang cambuk itu terlempar dan sembilan orang algojo memegang tangan kanan yang berdarah pula!
Geger keadaan di situ. Para anggauta pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan juga ketakutan. Apalagi ketika Kwan Cu dengan sekali renggut saja mematahkan ikatan tangannya, keadaan menjadi makin kacau. Para perwira bala tentara An Lu Shan segera memberi aba-aba dan membawa anak buahnya maju mengepung. Ratusan orang mengepung seorang saja, dapat dibayangkan betapa hiruk-pikuk dan kacau balaunya.
Akan tetapi, barisan belakang terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa kawan-kawan sendiri yang dilempar-lemparkan dari depan bagaikan daun-daun kering tertiup angin. Terdengar pekik kesakitan di sana-sini dan tak lama kemudian, anggauta-anggauta pasukan menjadi bingung sekali karena pemuda aneh itu tidak kelihatan lagi, dan demikian pula para perwira mereka tidak terdengar lagi komadonya. Ketika mereka memandang, alangkah terkejutnya mereka sepuluh orang perwira telah terikat erat-erat di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk menyiksa para tawanan! Adapun pemuda luar biasa itu, entah pergi kemana karena tidak kelihatan bayangannya lagi.
Semenjak peristiwa itu, nama Bu-pun-su terkenal di kalangan pasukan-pasukan An Lu Shan. Nama ini mendatangkan rasa gentar dalam hati mereka, karena selama menghadapi para pejuang rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.
Setelah memperlihatkan kepandaiannya ketika dikepung oleh barisan itu dan berhasil membebaskan diri dari kepungan tanpa terlihat oleh siapapun juga, Kwan Cu membawa sastrawan Tu Fu keluar dari Thian-cin dan dia menghaturkan terima kasih atas segala petunjuk pujangga itu. Ia benar-benar tunduk kepada sastrawan ini, hanya ada sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu. Kalau pujangga itu lahir batin membenci semua pasukan An Lu Shan yang telah menggulingkan kerajaan dan seperti juga lain-lain pejuang ingin sekali membasmi habis An Lu Shan dan seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat menaruh rasa benci kepada para anggauta pasukan. Oleh karena ini ketika dia dikepung dia tidak menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan melempar-lemparkan mereka saja!
Setelah Kwan Cu mendengar dari Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-bin Sin-kai menyebut-nyebut namanya, dia menjadi amat terharu dan timbullah kebenciannya kepada mereka yang telah membunuh gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu yang agaknya mengerti akan segala peristiwa itu bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok Ang-bin Sin-kai sehingga tewas adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Toat-beng Hui-houw, dan Pek-eng Sianjin. Nama-nama ini dicatat oleh Kwan Cu di dalam hatinya dan dia mengambil keputusan untuk mencari mereka seorang demi seorang.
Yang membuat dia merasa amat heran dan juga mendongkol adalah ketika dia mendengar bahwa Jeng-kin-jiu juga ikut mengeroyok suhunya. Ia tahu bahwa antara suhunya dan Jeng-kin-jiu, terdapat hubungan yang amat erat, bagaimana kedua orang tokoh ini sampai saling bermusuhan? Dia sendiri masih mempunyai hubungan amat erat dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena namanya pun adalah pemberian dari hwesio gendut itu. Oleh karena ini maka orang pertama yang hendak adalah Jeng-kin-jiu.
Ia berpisah dari Tu Fu yang seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan pasukan-pasukan An Lu Shan yang menindas rakyat, pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada pasukan itu, mengancam perwiranya. Semua ini dia lakukan tanpa memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar markas pasukan dengan cara mengukir dinding batu dengan telunjuknya yang berbunyi singkat:
KALAU MASIH BERANI MENINDAS RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL NYAWA!
BU PUN SU
Banyaknya kejadian yang amat tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak pasukan terhadap rakyat, membuat hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya dia mengira bahwa anggauta-anggauta pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan segala dosa dia timpakan kepada para pemimpin kaki tangan An Lu Shan. Akan tetapi, makin lama menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggauta pasukan pemberontak An Lu Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas rakyat jelata. Namun seberapa bisa, Kwan Cu masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai membunuh orang, dengan memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada dinding-dinding markas pasukan pemberontak.
***
Karena melakukan perjalanan cepat biarpun banyak ganguan di jalan untuk menolong rakyat dari gangguan pasukan-pasukan An Lu Shan, beberapa pekan kemudian sampailah Kwan Cu di kota raja. Ia teringat ketika bersama gurunya datang di kota raja dan keadaan sekarang kelihatannya tiada perubahan sama sekali. Ia menuju ke jalan di mana dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata bahwa rumah itu kini telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru. Tidak ada tanda-tanda atau bekas dari rumah yang lama.
Kwan Cu berjalan terus lalu memasuki rumah makan yang besar, agaknya rumah makan ini pun baru karena seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besr itu. Ia disambut oleh seorang pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, maklumlah, pakaian Kwan Cu yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan kecurigaan karena rumah makan yang besar ini biasanya hanya dimasuki oleh hartawan-hartawan dan para bangsawan belaka.
Kwan Cu tidak mempedulikan sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat kenyataan bahwa dia memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan dan biaya-biaya lainnya, maka dia telah mengambil cukup banyak emas dari kamar harta seorang pembesar kaya raya ketika dia memberi ancaman kepada pembesar yang terkenal sebagai penindas kaum tani itu.
Rumah makan itu banyak tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan pakaian mewah. Mereka bercakap-cakap sambil makan dan suara ketawa mereka memecah di ruang makan itu. Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu, hanya seorang laki-laki berkepala botak yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun cukup menarik, laki-laki ini sedang bicara dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan banyak pemuda berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa. Diam-diam Kwan Cu merasa geli karena dia tahu bahwa laki-laki botak itu di waktu bicara mengerahkan tenaga khikangnya yang lumayan juga sehingga suaranya terdengar nyaring sekali.
Pelayan rumah makan mempersilakan Kwan Cu duduk di depan meja yang terletak di pojok, agak jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada beberapa tempat yang kosong. Namun Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera dia memesan beberapa makanan.
Sambil menanti makan, Kwan Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah makan. Dilihatnya seorang pelayan mengusir pergi tiga orang pengemis. Seekor anjing kurus makan tulang yang hitam. Pengemis-pengemis itu berjalan dengan kaki lemas, seorang di antaranya terpincang-pincang. Melihat ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang. Bukan saja para pengemis itu mengingatkan dia akan gurunya, Ang-bin Sin-kai, juga pemandangan itu membuat dia melihat perbedaan yang amat menyolok antara kehidupan tiga orang manusia dan manusia-manusia lain yang tengah makan sambil berkelakar itu. Pengemis-pengemis itu tiada ubahnya seperti anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan lagi. Dia lalu melambaikan tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya. Pelayan itu datang dengan muka angkuh.
“Tolong bikin tiga mangkok masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang pengemis itu. Aku yang akan bayar.”
Pelayan itu mengerutkan keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah kehendak seorang tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.
“Pesanan Tuan akan kamu layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu, harap Tuan berikan sendiri.”
“Mengapa begitu?” tanya Kwan Cu dengan suara sabar.
“Oleh karena kalau kami yang memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap hari tentu akan datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!”
Kwan Cu menahan sabar dan menekan kegemasan dalam hatinya. “Baiklah, biar aku yang memberikan sendiri.”
“Hei, A-kiu……!” tiba-tiba laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara dengan Kwan Cu.
Pelayan itu cepat meninggalkan Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlari, menghampiri meja si botak.
“Ada apakah memanggil hamba, An-siauw-ongya (Pangeran Muda she An)?” katanya membungkuk-bungkuk.
“Bagaimana sih kerjaanmu? Banyak lalat busuk tidak kauusir dari sini?” Sambil berkata demikian, si botak melirik ke arah Kwan Cu. “Membikin bau saja!”
Pelayan itu mengerti akan sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka dan bicara bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan untuk tiga orang pengemis. Terdengar suara ketawa meledak.
Kwan Cu melirik dan melihat mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik. Pendengaran Kwan Cu amat tajam dan dari mejanya dia dapat mendengar semua percakapan mereka yang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa yang dimaksudkan dengan lalat busuk adalah dia sendiri! Akan tetapi kesabaran Kwan Cu memang luar biasa sekali. Sedikit pun dia tidak merasa mendongkol atau marah, bahkan merasa kasihan melihat betapa pemuda-pemuda itu menyia-nyiakan waktu muda begitu saja.
“Hm, agaknya dia orang jauh yang memiliki uang juga tidak apa kalau begitu. Asal saja bukan bangsa jembel yang pura-pura memesan masakan kemudian tidak dibayarnya,” kata si botak agak keras, dan sikapnya terang sekali menghina dan tidak memandang mata kepada orang lain.
Kemudian mereka melanjutkan percakapan mereka tadi. Tadinya Kwan Cu tidak sudi mendengarkan kelakar mereka, akan tetapi karena tadi ia telah terlanjur memasang telinga mendengarkan percakapan mereka ketika mereka bicara tentang dia, sekarang perhatiannya masih ke situ dan tanpa disengaja dia mendengarkan kata-kata si botak yang diucapkan dengan suara perlahan.
“Bunga liar cantik dan harum selalu banyak durinya. Makin sukar di petik makin menarik,” kata si botak tertawa-tawa.
“Siauw-ongya mengapa bingung-bingung? Bunga sudah berada di tempat bunga dalam rumah sendiri. Apa sukarnya?” kata seorang pemuda dengan sikap menjilat.
Si botak tertawa bergelak, lalu mengangkat cawan araknya. “Hayo minum arak untuk merayakan malam gemilang hari ini. Malam terang bulan dan dia pasti akan menurut. Ha, ha, ha!”
Semua orang di meja itu minum arak dengan bunyi bibir dikecap-kecapkan keras. Kwan Cu mendongkol sekali karena dia dapat menduga bahwa pemuda-pemuda itu tentulah kaum berandalan yang suka menggoda wanita baik-baik, sekelompok pemuda pemogoran yang tak kenal malu. Akan tetapi diam-diam dia menjadi benci kepada si botak dan berpikir siapa gerangan bunga liar yang hendak diganggu itu. Aku harus menolongnya, pikir Kwan Cu.
Pada saat itu, tiga mangkok bihun untuk para pengemis telah dikeluarkan. Kwan Cu merasa heran sekali mengapa pesanannya yang terdahulu belum dikeluarkan, akan tetapi pesanan untuk para pengemis ini demikian cepat matangnya. Ketika ia melihat, dia menjadi gemas sekali karena masakan bihun ini tidak karuan macamnya. Sayur-sayurnya terang bukan sayur segar, agaknya sayur yang seharusnya dibuang. Juga kuahnya kehitam-hitaman. Akan tetapi dia masih sabar dan segera membawa tiga mangkok itu keluar, ke arah para pengemis yang masih duduk jauh dari rumah makan itu. Para pengemis itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat seorang pemuda memberi mangkok terisi bihun kepada mereka. Segera mereka menerima dan makan bihun itu, lupa untuk menghaturkan terima kasih saking lahapnya. Kwan Cu memandang dengan terharu sekali. Ia mengeluarkan tiga potong uang emas dan memberikan uang itu kepada mereka.
“Bawalah mangkok-mangkok itu, akan kubayar,” katanya. Melihat pemberian-pemberian ini, tiga orang pengemis yang sudah menghabiskan makanan, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu, akan tetapi tanpa mempedulikan mereka Kwan Cu berjalan kembali ke dalam rumah makan.
Tanpa mempedulikan pandang mata orang muda botak dan kawan-kawannya yang amat memperhatikannya, Kwan Cu duduk kembali ke depan mejanya yang tadi. Ternyata bahwa masakan pesanannya sudah tersedia di atas meja, masih mengebul hangat. Akan tetapi, ketika Kwan Cu mengangkat mangkok dan mengerjakan sumpitnya, dia mencium bau tidak enak dari mangkok itu. Ia meletakkan kembali mangkok dan sumpitnya di atas meja, mukanya menjadi merah dan segera dia menengok ke belakang. Pelayan yang tadi melayaninya memandangnya dan cepat-cepat membuang muka ketika melihat dia menengok, Kwan Cu memanggilnya.
“Sahabat pelayan harap datang ke sini sebentar.”
Pelayan itu menengok dan menghampirinya.
“Ada apakah?” tanyanya singkat dan kurang hormat.
Kwan Cu menuding ke arah mangkok-mangkok masakan itu. Suaranya masih tetap sabar ketika dia bertanya.
“Masakan ini sudah masam dan bau, harap kau ganti dengan yang masih segar. Apakah restoran ini hanya menjual barang-barang busuk belaka?”
Merah wajah pelayan itu. Memang, melihat keadaan Kwan Cu yang pakaiannya tidak sesuai dengan tamu-tamu lain yang biasa mengunjungi restoran ini, para pelayan berlaku curang dan memberi hidangan-hidangan sisa yang seharusnya sudah dibuang!
“Kau sombong amat!” teriak pelayan itu marah. “Agaknya kau tidak pernah makan masakan mahal maka kini mengira masakan ini busuk.”
Kesabaran Kwan Cu ada batasnya. Kalau orang sengaja berlaku keterlaluan, sudah sepatutnya orang itu diberi hajaran agar lain kali tidak berani menghina orang.
“Begitukah anggapanmu, Sahabat? Bagus, kalau begitu kau makanlah sendiri masakan ini, biar aku yang membayarnya!” Sebelum pelayan itu sempat menjawab, tangan Kwan Cu bergerak ke depan, menotok pelayan itu sehingga tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya terbuka lebar-lebar tanpa dapat ditutupkan kembali. Dengan tenang Kwan Cu lalu mengangkat mangkok dan menggunakan sumpit untuk menjejalkan masakan itu ke dalam mulut si pelayan, terus di dorong dengan sumpit memasukkan masakan ke dalam kerongkongan! Pelayan yang tak berdaya itu mau tidak mau menelan semua masakan yang di jejalkan dengan paksa melalui kerongkongannya!
Orang muda botak yang di sebut An-siauw-ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya, diikuti oleh kawan-kawannya. Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya, meletakkan mangkok yang sudah kosong ke atas meja dan menepuk pundak pelayan itu sehingga pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang menjadi amat pucat dan ketakutan.
“Nah, aku terima kalah,” kata Kwan Cu. “Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan busuk dan rumah makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau. Terimalah pembayaran ini.” Ia melemparkan beberapa potong uang perak ke atas meja.
“Pengemis liar dari mana berani main gila dan mengacau di kota raja?” Pangeran Muda An yang botak itu membentak dan mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh. Melihat senjata itu, diam-diam Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat tinggi saja yang bersenjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak itu memegang sebuah joan-pian (ruyung lemas) yang terbuat daripada logam hitam diuntai, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah hudtim (pengebut yang biasa digunakan oleh pendeta).
Kwan Cu sudah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu dan kawan-kawannya hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat tiga orang pengemis yang tadi dia beri makanan, datang bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian mewah sekali. Melihat pakaiannya, terang bahwa orang muda ini seorang berpangkat pula.
Pangeran An yang botak itu tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini dan kemarahannya membuat mukanya menjadi merah sekali. Dengan gerekan istimewa, kebutan di tangan kirinya menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya. Ujung kebutan itu melilit kaki meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong itu terbang ke kiri dan empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel di situ. Amat aneh dan lucu meja itu kini menempel miring dengan empat kaki pada dinding!
Kwan Cu terkejut. Terang bahwa si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui bahwa hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kepandaian serta lweekang yang sudah tinggi tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun tangan, orang muda berpakaian mewah yang baru masuk itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata,
“Terlalu banyak orang pandai sekarang sehingga di mana saja melihat orang memamerkan tenaga!” Sambil berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di mana meja itu menancap empat kakinya. Dengan gerakan perlahan dia memegang meja itu dan sekali renggut ke bawah, meja itu telah terlepas dari dinding. Ketika Kwan Cu memandang ke arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun karena ternyata bahwa pemuda berpakaian mewah yang datang ini bahkan lebih tinggi kepandaiannya daripada si botak tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat mematahkan empat kaki meja yang rata dengan dinding sehingga seakan-akan lubang dinding yang ditusuk oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata dengan permukaan dinding.
Pemuda botak ketika memandang kepada orang yang baru datang ini, menjadi berubah air mukanya. Ia menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata sambil tersenyum pahit.
“Eh, kiranya Suheng tidak menginginkan keributan. Biarlah siauwte meninggalkan pengemis kurang ajar ini kepada Suheng.” Sehabis berkata demikian, pemuda botak ini sambil tertawa-tawa mengejek, lalu meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti oleh kawan-kawannya yang kelihatan takut sekali terhadap pemuda baju mewah yang baru datang.
Kini perhatian Kwan Cu tertuju kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang, makin dikenalnya muka pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengan pemuda ini, hanya dia lupa lagi di mana dan bilamana. Tiga orang pengemis tadi kini berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga orang pengemis itu dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula bahwa kedatangan pemuda ini pun atas pemberitahuan tiga orang pengemis itu. Makin heranlah hati Kwan Cu. Agaknya keadaan di kota raja ini penuh dengan rahasia. Siapa tahu kalau-kalau tiga orang pengemis itu memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan pemuda mewah ini. Tentu pemuda ini pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian, tidak nanti pemuda botak yang disebut pangeran muda itu menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah.
Sementara itu, pemuda berpakaian mewah ini juga memandang kepada Kwan Cu dengan penuh perhatian. Sepasang matanya memandang dan mulutnya tersenyum setengah mengejek. Melihat sinar mata dan senyum itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang bersikap halus namun mempunyai watak dasar yang sombong sekali, jauh lebih sombong dari pemuda botak tadi, pikirnya. Hanya kesombongannya tersembunyi di balik kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar biasa. Terhadap orang seperti ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.
“Kiranya benar sekali laporan Sam-lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa kota raja kedatangan seorang pemuda luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan keadaan sebenarnya. Ah, Kwan Cu, sudah lupakah kau kepadaku?” kata pemuda itu sambil tersenyum dan menghampiri Kwan Cu.
Kwan Cu hampir melompat dari bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang ini.
“Lu Thong……!” serunya.
Lu Thong memperlebar senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak bicara di tempat terbuka itu.
“Kita masih bersaudara, bukan? Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, di sana kita dapat bicara dengan enak dan leluasa.”
Akan tetapi, melihat senyum pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi makin curiga dan benci.
“Aku tidak mau pergi bersama murid orang yang telah menewaskan guruku secara keji,” jawabnya.
Lu Thong mainkan alisnya. “Aha, kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu? Kwan Cu, kita kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar keterangan yang sejelasnya tentang semua keadaan selama kau menyembunyikan diri sampai bertahun-tahun? Nah, keterangan itu hanya bisa kaudapatkan dari aku. Marilah kau mampir ke rumahku, ataukah kautakut?”
Keangkuhan hati Kwan Cu tersentuh dengan tantangan ini, maka dengan gagah dia menjawab, “Siapa takut? Kau mau bisa berbuat apakah terhadap aku? Baik, aku ikut denganmu, hendak kulihat apa yang hendak kaulakukan.”
Lu Thong tertawa girang dan memberi tanda kepada tiga orang pengemis tua yang masih berdiri di luar pintu. Tiga orang pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat sekali dan kembali Kwan Cu tertegun. Kiranya para pengemis yang tadi menimbulkan belas kasihannya, bukanlah pengemis sembarangan!
Lu Thong membawa Kwan Cu pergi ke sebuah gedung yang mentereng di bagian barat kota. Tadi ketika pemuda mewah ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah makan, para pelayan tidak ada yang berani mendekat. Di sepanjang jalan pun, semua orang yang bertemu dengan Lu thong, memberi hormat dengan sopan sekali, bahkan serombongan tentara yang kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan memberi hormat pula. Diam-diam Kwan Cu memuji bahwa pemuda ini telah dapat mengangkat diri dalam kedudukan yang tinggi. Ia merasa heran sekali mengapa kakek angkatnya, Menteri Lu Pin yang terbinasa sekeluarga, keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan tetapi dia tidak banyak bertanya, hanya mengikuti Lu Thong dengan diam-diam.
Ketika memasuki rumah gedung itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong dan Kwan Cu dengan penuh penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima orang wanita muda yang cantik jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu tidak ada keanehannya, Lu Thong memperkenalkan lima orang itu sebagai selir-selirnya!
“Aku belum menikah dan masih menanti datangnya jodoh yang cocok,” katanya tertawa, “karena itu, mereka inilah yang menghiburku dan dan mengusir kesepian dari anak malang yang hidup sebatang kara ini.”
Kwan Cu hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak mempedulikan sinar mata para wanita muda yang ditujukan kepadanya dengan sikap genit. Juga dia melihat tiga orang pengemis tadi kini telah ikut menyambut dengan pakaian bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.
“Mari kita bicara di dalam taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan leluasa.”
Kwan Cu harus mengakui, bahwa taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka warna dan dihias pula dengan sebuah kolam ikan yang penuh ikan emas dan bunga teratai, juga di tengah-tengah taman bunga itu dibuat tanah lapang yang amat bersih dan lega, agaknya tempat berlatih ilmu silat.
“Kau hidup mewah dan senang sekali, Lu Thong,” kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling tempat itu. Ia mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu maupun taman bunganya, dikelilingi oleh tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok dipasangi kawat berduri. “Akan tetapi kau juga menjaga tempatmu ini dengan amat kuat seperti takut akan kedatangan musuh.”
Lu Thong tertawa dan mengajak Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah penuh dengan hidangan-hidangan mewah dan guci arak berukir yang penuh dengan arak wangi.
“Duduklah, saudaraku. Matamu benar-benar awas dan kau dapat menduga tepat. Memang di kota raja sekarang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja untuk para pembesar dan penduduk, bahwa di dalam istana sendiri terjadi kekacauan dan persaingan hebat.”
“Seperti halnya suhumu Jeng-kin-jiu yang mengeroyok dan menewaskan suhuku,” kata Kwan Cu dengan pandang mata tajam.
“Jangan kau persalahkanaku dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang suhu tidak mau lagi menginjak kota raja karena merasa menyesal telah ikut terseret dalam permusuhan.”
“akan tetapi muridnya bahkan hidup mewah di sini, sungguhpun seluruh keluarganya telah musnah……..” Kwan Cu menyindir.
“Kau tidak tahu, Kwan Cu. Kong-kong (kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup.”
Berubah wajah Kwan Cu. “Benarkah? Di mana beliau?”
“Itulah soalnya, Kwan Cu. Kong-kong telah dapat melarikan diri membawa harta benda istana yang besar sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun mengetahui di mana adanya kong-kong Lu Pin. Oleh karena itulah, biarpun semua keluarga terbinasa, aku terpaksa harus mencari kedudukan setelah ditolong oleh suhu dan diberi ampun oleh mendiang Panglima An Lu Shan.”
Kembali Kwan Cu tertegun. “Apa? Pemberontak itu sudah meninggal dunia?”
“Huuusss, jangan keras-keras kau bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorng panglima gagah perkasa dan bahkan telah menjadi kaisar yang bijaksana. Kalau tidak demikian, tidak nanti aku diangkat menjadi pangeran dan dianggap sebagai putera angkatnya sendiri.”
“Hemmm, begitukah…..?” kata Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa muak sekali terhadap pemuda ini. Seluruh keluarganya, termasuk ayah bundanya, dan semua orang, telah dibinasakan oleh An Lu Shan dan dia sendiri mau diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya watak pemuda ini.
“Kau agaknya tidak tahu sama sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu.”
“Memang aku tidak tahu, bukankah kau mengajak aku kesini untuk menceritakan semua itu?” Kwan Cu bertanya.
Lu Thong kembali tersenyum, senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang membayangkan kecerdikannya dan yang membuat Kwan Cu bersikap waspada. “Baiklah, kuceritakan semuanya dengan jelas keadaan di kota raja.”
Maka berceritalah Lu Tong. Sebagaimana diketahui, Kaisan Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono telah mengangkat An Lu Shan, seorang Panglima Tartar menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Ho-pei. Hal ini sudah dibantah oleh banyak menteri, terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin. Akan tetapi kaisar tidak mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa amat berbahaya mengangkat panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya, benar saja An Lu Shan memberontak dengan sejumlah tentara tidak kurang dari lima belas laksa orang yang telah dilatih sempurna sekali dalam hal ilmu pedang, lalu pemberontak ini memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesiran saja seperti kaisarnya. Memang, keadaan Kaisar Hian Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi boneka saja yang selalu menuruti kehendak seorang isterinya yang amat cantik, yakni Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita dan genit. Oleh karena pertahanan amat lemah dan bala tentara An Lu Shan memang istimewa, lagipula dibantu oleh orang-orang pandai, kerajaan dapat dirampas oleh An Lu Shan dan kaisar sendiri lalu melarikan diri mengungsi ke Se-cuan.
An Lu Shan dan kaki tangan, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari orang-orang kasar. Sekali mendapatkan tahta kerajaan, laksana orang-orang kelaparan menghadapi hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi mata gelap dan terjadilah perebutan kekuasaan. Dalam keributan ini, An Lu Shan telah dibunuh oleh puteranya sendiri. Keributan merajalela, tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan, bahkan hal itu menjalar sampai di luar istana. Banyak sekali orang-orang berkuasa saling memperngaruhi dan menanam bibit permusuhan dan persaingan yang dalam sekali dengan diam-diam.
Adapun fihak tentara Kerajaan Tang, masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan pembalasan. Ketika bala tentara Tang mengawal kaisar dan isterinya mengungsi, mereka mendesak kepada kaisar untuk merelakan Yang Kui Hui, karena mereka menganggap bahwa permaisuri inilah yang menjadi biang keladi sehingga pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak. Dengan hati sedih kaisar tak dapat menolak desakan ini sehingga akhirnya, di tengah jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh tentara Tang sendiri!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa harta benda Kerajaan Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum mati oleh An Lu Shan, sedangkan Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan dicari-cari oleh karena An Lu Shan maklum bahwa menteri itu membawa lari sejumlah harta negara yang amat besar. Telah dituturkan pula betapa Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dan dapat bersembunyi di dalam gua yang selanjutnya di sebut Gua Tengkorak, karena bekas menteri ini membuat tengkorak-tengkorak raksasa dari tulang-tulang binatang purbakala yang banyak terdapat di dalam gua itu.
Hanya Lu Thong yang selamat dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda ini datang ke kota raja bersama gurunya, yakni Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, An Lu Shan telah memaafkannya dan mengambilnya sebagai anak angkat, diberi gelar pangeran dan diberi kedudukan istimewa.
Semua ini diceritakan oleh Lu Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya, dia berkata,
“Demikianlah, saudara Kwan Cu. Betapapun juga, An Lu Shan telah bersikap baik terhadap aku, dan setelah dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat persaingan hebat secara diam-diam. Mereka saling menjaga agar persaingan itu tidak mengacaukan bala tentara. Akan tetapi memang benar-benar terdapat persaingan yang luar biasa hebatnya, yakni antara tiga golongan. Golongan pertama adalah pangeran mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya, golongan kedua adalah tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Adapun golongan ketiga adalah Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan.”
“Hm, diakah? Aku pernah bertemu dengan panglima kasar itu,” kata Kwan Cu yang teringat akan pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.
“Ya, memang dia dan tadi kau telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong.”
“Pemuda botak hidung belang tadi?” tanya Kwan Cu. “Dan dia itu sutemu?”
Lu Thong menarik napas panjang. “Suhu selalu tidak bisa melepaskan orang yang memiliki bakat baik. Dia itu sebagai murid ke dua.”
“Lu Thong, sebetulnya semua ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut pautnya dengan aku? Apakah maksudmu membawaku ke sini? Aku datang ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu, di manakah gurumu itu?”
“Kwan Cu, benar-benarkah kau hendak membalaskan sakit hati karena suhumu tewas oleh suhuku?” tanya Lu Thong mengerutkan kening.
“Bukan hanya oleh suhumu, melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap pengecut.”
“Kwan Cu, kau keliru. Gurumu Ang-bin Sin-kai itu memang salah sekali, hendak membalaskan sakit hati karena kakek Lu Pin dihukum sekeluarganya oleh An Lu Shan. Dia tidak dapat melihat keadaan, sedangkan suhu beserta lain orang telah membantu pemerintah baru, untuk apa membela pemerintah lama yang sudah runtuh?”
Kwan Cu hendak membantah, akan tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan suara membujuk.
“Kwan Cu, sudahlah jangan kita bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih muda dan masih banyak harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan Lu pula, sungguhpun hanya cucu angkat dari kong-kong Lu Pin. Keturunan Lu hanya kau dan aku saja dan kalau saja kau suka membantuku, kita dapat mengangkat nama keluarga kita!”
“Apa maksudmu?”
“Dengar baik-baik, Kwan Cu. Kini golongan-golongan berkuasa sedang bersaing, bermaksud saling menjatuhkan. Kalau saja kita berdua dapat mengatasi mereka dan tahta kerajaan jatuh ke dalam tangan kita, bukankah hal itu baik sekali?”
“Apa?” Kwan Cu membelalakkan matanya. “Kau bercita-cita menjadi kaisar?”
“Apa salahnya? Nenek moyangku adalah orang-orang besar yang sudah banyak sekali jasanya terhadap negara. Sudah sepatutnya kalau turunannya mendapat anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja? Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar dari suhu bahwa kaulah orangnya yang kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik.”
Berubah muka Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Kau mau menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku dapat membuat perhitungan dengan dia!”
Mendengar suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong dan wajahnya yang tadi kelihatan manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi kini senyum itu masam dan penuh ejekan.
“Kwan Cu, agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka kau berani menetang suhu!”
“Tidak, Lu Thong, aku seorang yang tidak ada kepandaian (Ba Pun Su),” jawab Kwan Cu tenang.
Dengan bibir tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah datang dengan tindakan kaki menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu. Para selir ini dengan heran dan kecewa mengundurkan diri, kemudian ketika Lu Thong bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua yang sekarang telah berganti pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan tangan itu merupakan isyarat, karena tiga orang tua ini begitu datang lalu mengurung Kwan Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah mencabut pedang yang berkilauan!
“Lu Thong, apa kehendakmu?” tanya Kwan Cu dan pandangan matanya mulai keras dan tajam.
“Kehendakku?” jawab Lu thong menyindir. “Sudah kukatakan tadi bahwa aku menghendaki kau membantuku untuk mencapai cita-citaku.”
“Aku tidak sudi!”
“Kau tetap bocah bodoh yang keras kepala seperti dulu! Sebetulnya banyak hal yang kau hutang dariku, Kwan Cu. Pertama-tama, kau menyatakan hendak memusuhi suhuku, ini sudah merupakan dosa-dosa, namun aku masih mengampuni kalau kau bekerja sama. Kedua kalinya, kalau memang telah mendapatkan kitan Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau harus menyerahkan kitab itu padaku! Ketiga kalinya, masih ingatkah kau betapa dahulu ketika kita masih sama-sama kecil, kau tidak mampu mengalahkan aku dan suhumu berkata bahwa kelak kita harus mengadu kepandaian lagi? Nah, karena sekarang kau berkeras kepala, perkenalkanlah tiga orang sahabatku ini. Mereka ini adalah Pek-lek-kiam Sam-sin-kai (Tiga Pengemis Sakti Berpedang Kilat)! Mereka adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw namun mereka dapat melihat mulianya cita-citaku sehingga mereka mau membantuku. Masa seorang manusia macam engkau berani menolak ajakanku yang baik?”
Bukan main panasnya hati Kwan Cu mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkannya itu.
“Banyak anjing-anjing penjilat yang akan melonjorkan kaki depan melihat orang melemparkan tulang kepadanya, akan tetapi aku tidak termasuk golongan ini, Lu Thong. Sudahlah, aku tidak ada waktu banyak untuk melayani obrolanmu.” Setelah berkata demikian Kwan Cu hendak pergi meninggalkan taman bunga itu, akan tetapi tiba-tiba tiga orang pengemis sakti itu menghadang dengan pedang di tangan.
“Kalian mau apa?” bentak Kwan Cu.
Lu Thong memberi isyarat dengan tangan dan seorang di antara tiga pengemis tua itu menjawab, “Hendak mencoba kepandaian seorang manusia sombong seperti engkau!” Ucapan ini di tutup oleh berkelebatnya tiga batang pedang yang menyambar laksana kilat.tidak percuma mereka mendapat julukan Pedang Kilat, karena gerakan pedang mereka benar-benar amat cepat sehingga pedang itu lenyap tidak kelihatan dan nampak hanya sinarnya saja yang berkilauan seperti kilat menyambar.
Ini kalau dilihat oleh mata orang lain, namun bagi mata Kwan Cu gerakkan itu tidak seberapa hebat. Bahkan dengan kepandaiannya yang luar biasa, yakni penglihatan dan pengertian tenatng pokok dasar segala pergerakan orang dalam bersilat, dia telah lebih dulu dapat menduga kemana tiga batang pedang itu hendak menyerangnya! Oleh karena itu, dia melakukan gerakan cepat sekali dan mendahului mereka. Ia maklum bahwa serangan mereka itu akan disusul oleh gerakan lain. Hal ini dapat dia lihat dari pergerakan pundak dan pandangan mata mereka, maka sebelum tiga orang itu sempat melanjutkan serangannya setelah Kwan Cu mengelak cepat, pemuda ini sudah dapat mendahului mereka dengan ketokan-ketokan telapak tangan yang dimiringkan ke arah pangkal lengan.
“Plak! Plak! Plak!” tiga kali jari-jari tangannya yang dibuka itu menyentuh pangkal lengan kanan lawan dan terdengarlah jeritan susul-menyusul, kemudian tiga batang pedang terlempar ke atas, ketiga orang Pengemis Sakti Berpedang Kilat itu mengaduh-aduh sambil memegangi pangkal lengan kanan dengan tangan kirinya. Adapun pedang yang tadi mereka pegang, tentu saja terpental jauh karena tangan mereka tiba-tiba menjadi kaku dengan jari-jari terbuka, seakan-akan terkena aliran listrik yang maha kuat!
Untuk sesaat Lu Thong tertegun melihat hal yang tak diduga-duganya ini, akan tetapi di lain saat dia telah melompat dengan senjatanya di tangan. Seperti main sulap saja melihat dia tiba-tiba memegang sebatang toya yang panjangnya ada lima kaki dan kedua ujung toya itu berkilauan karena memang ujungnya terbuat daripada emas. Bagaimana tiba-tiba saja pemuda ini bisa memegang sebatang toya panjang yang tadinya tidak kelihatan dia bawa? Ternyata bahwa toya itu dibuat istimewa, bersambung-sambung dan dapat di tekuk-tekuk sehingga dapat di gulungkan di pinggang, tertutup oleh baju luar.
“Kwan Cu, ternyata selama kau tidak muncul, kau telah memiliki kepandaian yang lumayan. Hendak kulihat apakah kau cukup kuat menahan seranganku!!”bentak Lu Thong sambil mengayun toyanya.
Kwan Cu dapat merasai angin sambaran toya ini dan teringatlah dia akan Jeng-kin-jiu, tokoh besar selatan yang terkenal sebagai ahli gwakang dan memiliki tenaga seperti gajah. Menurut penuturan Ang-bin sin-kai, untuk masa itu, tingkat kepandaian Jeng-kin-jiu sudah tinggi sekali dan dialah satu-satunya ahli gwakang yang dapat mengatur tenaga sehingga dapat menggunakan tenaga sampai seribu kati kuatnya! Kwan Cu maklum bahwa Lu Thong tentu telah mewarisi tenaga dan kepandaian suhunya, maka dia berlaku amat hati-hati. Karena kepandaian yang dia dapatkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, serta pelajaran ilmu-ilmu silat yang banyak macamnya yang dia pelajari dari lukisan-lukisan di dinding goa-goa pulau pohon berdaun putih, dia tahu cara bagaimana harus menghadapi serangan toya yang bertenaga besar ini. Dengan lincahnya dia mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari sambaran toya yang datang bertubi-tubi.
Setelah menghadapi toya Lu Thong beberapa belas jurus saja, bukan main gembiranya hati Kwan Cu karena dia telah dapat mengerti akan pokok dasar gerakan permainan toya itu. Ia diam-diam merasa kagum, heran dan juga berterima kasih sekali akan pelajaran-pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, oleh karena ilmu toya dari Jeng-kin-jiu yang demikian hebatnya, baru belasan jurus saja sudah dapat dia tangkap inti sarinya! Kalau dia mau, dia akan dapat meniru setiap gerakan dan serangan Lu Thong! Namun, dia tahu pula bahwa dalam hal tenaga gwakang, dia tidak dapat mengimbangi tenaga Lu Thong, sedangkan ilmu toya itu harus dilakukan dengan tenaga gwakang, baru sempurna jalannya.
Maka Kwan Cu segera mencabut sulingnya dan mulailah dia melakukan serangan balasan. Ia dapat menghadapi Lu Thong dengan enak saja karena sekarang dia dapat melihat jelas cara lawan bergerak, bahkan dia telah tahu kemana toya akan menyambar hanya dengan memperhatikan gerak pundak dan paha lawan saja!
Sebaliknya Lu Thong menjadi heran bukan main. Pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kwan Cu menggunakan ginkang untuk mengelak dari pukulannya, hal ini takkan mengherankan. Yang membuat dia tiada habis heran adalah cara Kwan Cu mengelak. Sebelum toyanya bergerak menyambar, lawannya itu sudah melangkah ke arah yang berlawanan dengan maksud pukulan toyanya, seakan-akan Kwan Cu sudah tahu lebih dulu bagaian mana yang hendak diserang. Kemudian Kwan Cu mainkan sulingnya dan terkejutlah Lu Thong. Serangan suling Kwan Cu sama benar gerakannya dengan serangan toyanya, hanya bedanya kalau dia menyerang dengan gwakang untuk menghancukan kepala atau mematahakan tulang, adalah Kwan Cu mempergunakan sulingnya untuk menotok jalan darah yang berbahaya.
Pertempuran ini benar-benar berat sebelah. Lu Thong terdesak hebat dan tidak kuat menghadapi lawannya lebih lama lagi. Setiap serangannya dapat dielakkan lebih dulu oleh lawannya yang berbalik menyerangnya, kadang-kadang dengan ilmu silatnya, akan tetapi tiba-tiba diubah lagi dengan ilmu silat lain yang sama sekali tak dikenalnya! Akhirnya, setelah kepalanya pening dan tenaganya mulai berkurang, sebuah totokan dari Kwan Cu tepat mengenai iganya.
Lu Thong merasa seluruh tubuhnya lemas, kedua tangannya menggigil dan terlepaslah toya dari pegangan. Kwan Cu menyusul dengan sebuah totokan pula ke arah pundak, kini untuk membebaskan totokan pertama tadi lalu melompat ke belakang, berdiri tegak dan berkata,
“Lu Thong, melihat muka Kong-kong Lu Pin, aku masih mengampuni nyawamu. Harap kau insyaf dan berubah menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu. Selamat tinggal!” Sebelum Lu Thong dapat menjawab, sekali berkelebat Kwan Cu telah lenyap dari situ.
Lu Thong menarik napas panjang dan membanting di atas bangku. Ia tidak mempedulikan tiga orang pembantunya yang berdiri dengan muka kesakitan di situ, bahkan lalu memberi isyarat dengan tangannya agar tiga orang itu meninggalkannya seorang diri.
“Dia benar-benar hebat. Tentu Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya,” pikir Lu Thong penasaran. Ia tidak menyusahkan keadaan dengan suhunya yang terancam oleh Kwan Cu, juga tidak memikirkan kata-kata Kwan Cu tadi. Yang dipikirkan hanya cita-citanya saja. Sayang Kwan Cu yang sakti tidak mau membantunya, pikirnya. Bagaimana, seorang pemuda yang sudah lemah imannya ini dapat mendengarkan nasihat Kwan Cu?
Sampai berhari-hari Lu Thong bermurung saja. Hiburan kelima orang selirnya yang cantik-cantik tidak mengubah kekesalan hatinya. Setiap hari dia memutar otak, mencari jalan baik.
***
Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit melompat-lompat di atas genteng-genteng tebal dari kompleks bangunan istana yang megah. Tak seorang pun manusia menyangka bahwa malam hari itu ada orang yang berloncat-loncatan di atas gentang bangunan itu. Memang, biarpun penjagaan daerah istana ini amat ketat, namun tidak ada seorang pun kepala jaga menyuruh anak buahnya menjaga di atas genteng. Siapakah orangnya yang dapat menembus penjagaan sehingga dapat berlari-lari di atas genteng? Penjagaan seluruh pintu istana amat kuat dan daerah istana itu sendiri dikelilingi oleh dinding yang tebal dan tinggi seklai, apalagi musuh dijaga oleh penjaga-penjaga yang berdiri di sepanjang tembok! Seekor burung pun takkan dapat lewat tanpa terlihat oleh barisan penjaga.
Namun, bukan iblis atau dewa yang berlompat-lompatan di atas genteng, melainkan seorang manusia biasa. Bukan lain adalah Kwan Cu, pemuda yang telah memiliki ilmu kepandaian luar biasa yang membuatnya menjadi seorang sakti. Tidak sukar baginya untuk melewati penjagaan yang kokoh kuat itu, karena gerakannya memang cepat sekali. Dari balik sebatang pohon, dia dapat melompat ke atas dinding tembok tanpa terlihat oelh penjaga, karena gerakannya itu luar biasa cepatnya. Mungkin juga ada penjaga yang melihat bayangan berkelebat, akan tetapi tentu dia mengira bahwa itu hanyalah bayangan pohon yang tersinar oleh lampu penerangan di luar tembok.
Kwan Cu sudah melakukan penyelidikan di luar istana dan mendapat keterangan bahwa memang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan tokoh-tokoh lain yang telah membunuh Ang-bin Sin-kai tidak berada di kota raja. Akan tetapi dia belum mau meninggalkan kota raja, pertama-tama karena dia hendak menyelidiki di dalam isatana dulu. Siapa tahu kalau-kalau di antara musuh-musuh besarnya itu ada yang bersembunyi di dalam istana. Ia ingin menyelidiki dan sekalian ia teringat akan ucapan Pangeran An Kong, putera An Lu Kui. Ia mendengar bahwa pangeran itu hendak melakukan perbuatan jahat terhadap seorang wanita yang disebutnya bunga liar. Tergerak hatinya untuk sekalian menyelidiki keadaan pangeran botak itu dan kalau perlu menolong wanita tadi.
Dia pernah dibawa oleh suhunya ke istana, akan tetapi ketika dia datang dengan suhunya, mereka langsung menuju ke dapur istana dan tidak pernah menyelidiki keadaan istana dari atas genteng. Oleh karena itu, Kwan Cu tidak tahu betul akan letak istana itu. Ia hanya mencari-cari dari atas genteng dan mengintai ke bawah setiap kali dia melihat ada ruangan di bawah genteng.
Di bawah genteng bangunan-bangunan istana yang tinggi itu, terdapat langit-langit yang tebal, maka agak sukarlah baginya untuk memeriksa keadaan di bawah. Apalagi banyak sekali terdapat loteng, karena rumah-rumah di situ sebagian besar bertingkat. Seringkali dia harus mempergunakan kakinya untuk bergantung dengan kepala di bawah dan mengintai dari celah-celah tiang genteng. Namun, dia hanya mendapatkan orang-orang berpakaian mewah sedang berpesta, dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang bermain tetabuhan, bernyanyi atau menari. Ada pula orang-orang berpakaian perwira sedang melakukan tugas menjaga, agaknya para pengawal istana.
Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan yang berada di ujung timur dan di ruangan besar nampak lampu dinyalakan besar. Beberapa orang laki-laki tengah duduk menghadapi meja panjang, seakan-akan orang sedang mengadakan rapat. Tertarik hati Kwan Cu dan dia segera menuju ke bangunan itu. Ia selalu berlaku hati-hati sekali maka ketika dia tiba di tempat yang agak gelap, dengan gerakan ringan sekali bagaikan daun kering tertiup angin, pemuda sakti ini, melayang turun, lalu jalan perlahan menuju ke tempat itu.
Dari balik jendela dia mengintai ke dalam. Benar saja, di dalam ruangan yang amat lebar itu dia melihat lima orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan perlahan, agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting. Tiga orang di antaranya berpakaian seorang panglima tinggi, sedangkan yang dua orang adalah hwesio-hwesio setengah tua yang kelihatannya kuat dan bertubuh tegap.
Ketika Kwan Cu melayangkan pandangan matanya, dia mengenal seorang di antara tiga panglima itu. Orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari An Lu Shan. Geli dirinya memikirkan betapa dahulu dia pernah mempermainkan panglima ini, atau lebih tepat gurunya yang mempermainkannya, karena dia memukul panglima ini dalam pondongan Ang-bin Sin-kai. Panglima itu masih nampak tegap dan gagah, biarpun sudah kelihatan agak tua. Air mukanya menunjukkan seorang yang penuh cita-cita dan teringatlah penuturan Lu Thong bahwa An Lu Kui termasuk seorang di antara tiga golongan yang ingin memperebutkan kedudukan raja di tempat itu!
Dua orang panglima yang lainnya itu dia tidak kenal, akan tetapi dia dapat menduga bahwa nereka pun memiliki kepandaian silat inggi. Juga dua orang hwesio setengah tua itu dia tidak kenal. Kalau saja dia tidak melihat An Lu Kui di situ, tentu Kwan Cu sudah pergi lagi. Akan tetapi kehadiran An Lu Kui menarik perhatiannya untuk mendengar percakapan mereka.
“Apakah Ji-wi Suhu (bapak pendeta berdua) telah menyampaikan pesanku kepada putera mahkota?” terdengar An Lu Kui bertanya kepada dua orang hwesio itu. Kwan Cu maklum bahwa yang disebut putera mahkota tentulah putera dari An Lu Shan yang telah membunuh ayahnya sendiri itu. Maka dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Seorang di antara dua hwesio itu menganguk-angguk, “Sudah, Ong-ya,” Kwan Cu merasa geli mendengar sebutan ini. Sebutan itu biasanya ditujukan kepada seorang pangeran muda.
“Apa pendapat beliau?” tanya An Lu Kui.
“Beliau merasa bahwa memang perlu diadakan perundingan ini, karena harta yang dibawa oleh Menteri Lu Pin itu memang amat banyak dan berguna sekali untuk kerajaan.”
Mendengar jawaban hwesio itu, berdebar hati Kwan Cu. Mereka membicarakan tentang kong-kongnya, Lu Pin, untung tadi dia mendengarkan ucapan ini.
“Dan beliau memberi kekuasaan penuh kepada Ji-wi untuk membicarakan hal itu dengan kami?” tanya An Lu Kui.
Hwesio itu mengangguk. “Itulah sebabnya maka beliau memutus pinceng (saya) berdua sengaja untuk merundingkan soal ini dengan Ong-ya dan dengan Si-ciangkun (Panglima Si).”
“Bagus,” kata An Lu Kui. “Memang dalam menghadapi para pemberontak yang makin kuat dan dalam mengatur rencana mencari Lu Pin, kita harus bersatu padu dan mengerahkan seluruh tenaga. Herannya mengapa sampai sekarang Panglima Si Su Beng tidak datang.”
“Pinto (aku, sebutan pendeta To) datang!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh dan diam-diam Kwan Cu terkejut. Orang yang dapat mendengar percakapan ini dari jauh dan sekaligus mengirim jawaban, adalah seorang berkepandaian tinggi yang mahir menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Maka cepat pemuda ini menyelinap dan bersembunyi di tempat yang gelap.
Tak lama kemudian, menyambar angin dan tiba-tiba seorang tosu (Pendeta Agama To) setengah tua yang berjenggot panjang telah berada di ruang itu. Mata tosu ini tajam dan memandang di sekelilingnya, kemudian dia berkata kepada semua yang berada di dalam ruangan.
“Kalian amat sembrono, membicarakan urusan penting harus berhati-hati dan menyelidiki lebih dulu kalau-kalau ada orang lain ikut mendengar!” Setelah berkata demikian, tubuh tosu ini berkelebat ke atas genteng agaknya untuk menyelidiki apakah betul-betul tidak ada orang lain yang bersembunyi. Kwan Cu makin terkejut dan cepat dia menyelinap ke belakang bangunan, berlindung di dalam gelap. Ia mendengar suara An Lu Kui perlahan kepada hwesio itu.
“Dia itulah orang baru dari Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin, benar-benar lihai sekali!”
Tak lama kemudian, kembali bayangan tosu itu melayang turun dan berkata,
“Keadaan aman tidak seekor burung pun pinto lihat di atas genteng!”
An Lu Kui tertawa bergelak. “Kiam Ki Totiang terlalu curiga! Di tempat ini, siapakah yang berani mati melakukan pengintaian? Mari, Totiang silakan duduk. Karena Totiang belum lama datang, agaknya belum kenal dengan dua orang sahabat ini. Mereka ini adalah Mo Beng Hosiang yang berjuluk San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) dan Mo Keng Hosiang yang berjuluk Hun-san-pian (Ruyung Pemecah Gunung). Ji-wi Suhu, inilah pembantu dan penasihat, juga guru dari Panglima Si Su Beng, yang bernama Kiam Ki Sianjin yang berjuluk Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara).”
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk dan membalas penghormatan dua orang hwesio itu. “Hm, hm, hm, apakah bukan Bu-eng Siang-hiap (Sepasang Pendekar Tanpa Bayangan) yang tersohor? Bagus, bagus, dalam kerajaan ada sepasang naga yang menjaga, takut apalagi?”
Pujian ini sekaligus merupakan ejekan dan sikap memandang rendah. Hal ini terasa oleh Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, maka biarpun dia sudah mendengar nama besar Kiam Ki Sianjin, dia pura-pura bertanya,
“Pinceng (saya) sudah mendengar nama Pak-lo-sian (Dewa Kutub Utara) Siangkoan Hai yang namanya menggegerkan dunia, tidak tahu dengan Toyu (Sahabat) masih ada hubungan apakah?”
Wajah Kiam Ki Sianjin merengut, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa untuk menyembunyikan ketidaksenangannya mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Kiam Ki Sianjin ini adatnya memang sombong, dia pernah mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang dianggap mengembari namanya. Mereka berdua, kedua tokoh yang memakai julukan Dewa Utara ini, bertempur hebat. Setelah hampir satu hari mereka bertempur, akhirnya Kiam Ki Sianjin terpaksa meninggalkan lawannya yang ternyata amat lihai dan yang tidak mampu dirobohkan itu. Semenjak itu dia merasa benci sekali kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Maka kini mendengar ucapan Mo Beng Hosiang, dia merasa tersindir. Siapa tahu kalau hwesio gundul ini sudah mendengar akan pertempuran itu.
Suara ketawa dari Kiam Ki Sianjin amat aneh, meninggi merendah seperti suara kuda liar meringkik. Namun tenaga khikangyang terkandung dalam suara itu seakan-akan menggetarkan tiang-tiang ruangan itu.
“Gunung dan bukit biarpun sama-sama menonjol tidak dapat dikatakan sama. Naga dan ular biarpun berbentuk serupa tetap ada perbedaan. Mana Pak-lo-sian bisa dipersamakan dengan pinto?” Jawabnya ini sudah menyatakan betapa sombongnya tosu ini yang menganggap diri sendiri gunung dan Pak-lo-sian hanya bukit, atau yang mengumpamakan diri sendiri naga dan Pak-lo-sian hanya ular biasa!
Di antara mereka ini, sebagaimana telah dituturkan oleh Lu Thong kepada Kwan Cu, memang terdapat persaingan. Bu-eng Siang-hiap dan dua orang hwesio gundul itu, adalah pengikut setia dari pangeran mahkota yang pada waktu itu boleh dibilang paling berkuasa, sedangkan Kiam Ki Sianjin adalah guru dari pemberontak Si Su Beng yang sudah lama mengilar dan ingin sekali merampas kedudukan. Tentu saja sudah ada perasaan dendam dan bermusuhan di dalam hati mereka satu terhadap yang lain. Kini hanya atas usul An Lu Kui yang juga mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, mereka mau datang berkumpul untuk merundingkan cara menghancurkan rakyat yang memberontak di sana-sini dan untuk mencari Menteri Lu Pin bersama harta benda yang dibawa pergi oleh bekas menteri itu. Tak mengherankan apabila di dalam percakapan mereka, terdengar ucapan-ucapan yang menyindir dan saling memandang rendah.
Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, mendengar ucapan Kiam Ki Sianjin yang menyombongkandiri, menjadi tak senang.
“Memang nama besar Pak-lo-sian menjulang tinggi seperti gunung dan dahsyat seperti naga!” katanya sambil memandang kepada Kiam Ki Sianjin dengan mata menantang. Sudah terang sekali bahwa ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk menekan kesombongan Kiam Ki Sianjin karena kedudukan tosu itu menjadi terbalik, bukan seperti gunung dan naga melainkan seperti bukit dan ular!
Melihat suasana sudah mulai panas antara dua orang kepercayaan dari dua golongan itu, diam-diam An Lu Kui menjadi girang. Sebagai golongan ke tiga tentu saja dia suka melihat perpecahan antara dua wakil golongan saingannya itu. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dua orang itu akan bertempur. Pada masa itu, dia justeru membutuhkan tenaga golongan-golongan saingannya ini untuk mencapai cita-citanya, yakni pertama-tama menindas pemberontakan rakyat, kedua untuk mencari Lu Pin dan harta pusaka kerajaan. Setelah dua hal ini tercapai dan beres, barulah dia akan mencari jalan untuk menggulingkan kedudukan dua golongan saingannya itu. Dari sini saja dapat dilihat bahwa An Lu Kui benar-benar cerdik sekali. Ia melompat di antara kedua orang itu dan menjura sambil berkata,
“Di waktu rumah tangga aman dan tentram, saudara-saudara saling bercakaran masih tidak mengapa, akan tetapi kalau rumah tangga sedang terancam bahaya kebakaran, semua saudara harus bersatu padu memadamkan api! Demikianlah ujar-ujar kuno yang baik sekali kita ingat selalu. Oleh karena itu, harap Ji-wi sudi bersabar dan mengingat bahwa kedatangan kita berkumpul di sini adalah untuk merundingkan hal-hal yang penting demi keselamatan negara.”
An Lu Kui masih merupakan orang yang berpengaruh karena dia adalah paman dari putera mahkota. Maka Mo Beng Hosiang segera menjura dan berkata kepada Kiam Ki Sianjin.
“Kiam Ki Toyu harap sudi memaafkan pinceng kalau ada kata-kata pinceng yang kurang tepat.”
Kiam Ki Sianjin sambil tertawa. “Tidak apa, tidak apa! Mo Beng Suhu belum mengenal pinto dengan baik, tentu masih belum percaya.”
Suasana damai dan persahabatan dapat ditimbulkan pula berkat ketangkasan dan kecerdikan An Lu Kui. Semua orang lalu duduk menghadapi meja panjang.
“Silakan Ang-ciankung menguraikan rencananya,” kata Kiam Ki Sianjin yang mempergunakan ujung lengan bajunya yang lebar untuk mengebut mukanya, mengusir hawa panas. Padahal malam hari itu, udara amat dinginnya. Tosu yang sombong ini masih saja hendak mendemonstrasikan kelihaiannya! Ingin dia menonjolkan diri dan memperlihatkan bahwa dia bukanlah “orang biasa!”
Melihat sikap tosu ini, diam-diam Kwan Cu menjadi geli hatinya. Dianggapnya tosu ini bersikap ketolol-tololan, akan tetapi melihat gerakan tosu tadi, dia dapat menduga bahwa memang tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
“Menurut hasil penyelidikan para mata-mata kita,” An Lu Kui mulai bicara, “pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para petani makin merajalela. Semua ini adalah karena pimpinan dan dorongan dari orang-orang di dunia kang-ouw yang masih bersetia kepada pemerintah Tang yang sudah kita hancurkan. Akan tetapi, agaknya mereka itu, biarpun mendapat pimpinan orang-orang pandai, takkan banyak berdaya kalau saja tidak ada sumber uang yang membiayai segala keperluan mereka. Mereka terdiri dari petani-petani miskin dan untuk mencukupi keperluan mereka sehari-hari, bukanlah biaya yang ringan. Kemudian mata-mata kita mendapat berita bahwa selain para hartawan yang masih setia kepada Kerajaan Tang menyumbang uang, terutama sekali biaya-biaya itu ditutup oleh sumber uang yang amat besar, yakni bukan lain dari bekas Menteri Lu Pin sendiri!”
“Ah, tentu harta pusaka kerajaan itu yang dipergunakannya!” teriak Kiam Ki Sianjin.
“Memang! Anjing Lu Pin itu menghamburkan harta yang dibawanya lari itu untuk membiayai pemberontakan,” kata An Lu Kui marah.
“Keparat jahanam!” Mo Beng Hosiang ikut memaki. “Kalau begitu berarti bahwa semua pemberontakan rakyat itu adalah atas anjuran Lu Pin yang menjadi biang keladinya.”
An Lu Kui mengangguk-angguk. “Begitulah kiranya. Memang, semenjak dahulu pun sudah diketahui oleh semua orang bahwa Menteri Lu Pin adalah menteri yang paling setia kepada Kerajaan Tang. Seluruh keluarganya telah binasa dalam membela Kerajaan Tang dan sampai sekarang pun dia masih ingin menegakkan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, kurasa untuk memadamkan pemberontakan ini, cara yang terbaik adalah mencari sampai dapat menteri setan itu. Kalau dia sudah dibinasakan, harta pusaka Kerajaan Tang dapat dirampas, kiraku dengan sendirinya tanpa dipukul, para pemberontak itu akan mengundurkan diri.”
“Akan tetapi, di manakah kita bisa mendapatkan anjing she Lu itu?” tanya Mo Keng Hosiang atau Si Ruyung Pemecah Gunung.
“Benar, di mana kita bisa mencari dia? Sudah bertahun-tahun orang-orang kita mencarinya dengan sia-sia. Agaknya dia telah mampus dan hartanya jatuh ke dalam tangan pemberontak.” Kata Mo Beng Hosiang.
“Tadinya aku pun mengira bahwa anjing she Lu itu sudah mampus,” kata An Lu Kui, “akan tetapi baru-baru ini aku mendapat berita lain yang menyatakan bahwa dia telah bersembunyi ke dalam sebuah goa dan dari situlah dia mengatur dan merencanakan semua pemberontakan para petani.”
Mendengar ini, tidak saja kedua hwesio dan Kiam Ki Sianjin menjadi amat tertarik, bahkan Kwan Cu yang mendengar di luar juga amat tertarik. Hati pemuda ini berdebar-debar dan baru sekaranglah terbuka matanya betapa gagah dan mulia adanya kong-kong angkatnya, Menteri Lu Pin. Ketika dia mendengar dari sastrawan Tu Fu, dia memang sudah merasa amat bangga akan kong-kong angkatnya itu. Akan tetapi selama ini, pikirannya penuh oleh keadaan suhunya yang meninggal dunia dikeroyok orang, maka hal menteri setia itu hampir tidak dia pikirkan lagi. Akan tetapi sekarang, mendengar semua penuturan ini, tergerak hatinya dan dia merasa amat kagum terhadap Menteri Lu Pin. Seluruh keluarganya sudah musnah, dia sendiri yang sudah tua sampai terlunta-lunta, dikejar-kejar, namun menteri tua yang amat setia itu masih saja berjuang melawan penjajah!
“Kong-kong benar-benar luar biasa, aku harus dapat mencarinya dan membelanya.” Kata Kwan Cu di dalam hati dan dia memperhatikan lagi keadaan di dalam, ingin sekali tahu di mana tempat persembunyian kakek angkatnya itu.
“Di goa manakah dia bersembunyi?” teredengar Kiam Ki Sianjin bertanya. Suaranya tinggi dan mengandung penuh gairah, karena siapakah orangnya di dalam istana itu yang tidak menjadi gairah hatinya mendengar bahwa tempat sembunyi Lu Pin telah diketemukan? Bukan karena mereka terlalu membenci menteri ini, tetapi semata-mata karena menteri itu membawa harta pusaka kerajaan! Inilah yang merupakan daya penarik luar biasa. Harta yang terdapat di dalam istana itu telah menjadi rebutan dan sebentar saja sudah habis. Kini semua hati dan mata yang selalu membayangkan harta dunia, ditujukan kepada harta pusaka yang dibawa pergi oleh Menteri Lu Pin.
“Inilah yang masih harus diselidiki,” jawab An Lu Kui sambil mengeluarkan segulung kertas. “Menurut penyelidikan, dia bersembunyi di dalam sebuah goa rahasia yang terdapat di Bukit Tengkorang Raksasa. Akan tetapi di dalam peta tidak terdapat bukit yang bernama demikian dan nama ini pun baru saja muncul menjadi sebutan orang. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan, bukit ini adanya di antara Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, agaknya tidak jauh dari lembah Sungai Fen-ho yang mengalir di situ.”
An Lu Kui lalu membuka gulungan kertas itu di atas meja dan enam orang itu lalu melihat dengan penuh perhatian. “Pembantuku ini, Cang-ciangkun, telah memimpin pasukan penyelidik. Cang-ciangkun, coba kau jelaskan lagi bagaimana hasil penyelidikanmu itu,” kata An Lu Kui kepada seorang di antara dua orang panglima yang semenjak tadi tidak ikut bicara.
Panglima perang yang di sebut Cang-ciangkun itu adalah seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, berwajah keren dan penuh brewok. Ia menarik bangkunya lebih dekat ke meja, lalu menunjuk ke arah peta itu dengan telunjuknya.
“Pasukan penyelidik yang kupimpin telah sampai di bagian ini. Dis epanjang jalan kami mencari keteangan dan dari beberapa orang tua petani kami mendengar bahwa daerah ini dahulu sering didatangi oleh seorang pengemis tua yang aneh.”
“Ang-bin Sin-kai…….” Kata Kiam Ki Sianjin perlahan. An Lu Kui mengangguk membenarkan.
“Kemudian kami tiba di lembah Sungai Fen-ho dan di situlah kami mendengar adanya goa rahasia di Bukit Tengkorak Raksasa dan menurut keterangan beberapa orang petani yang kami paksa, seringkali daerah ini didatangi oleh orang-orang yang kelihatannya gagah dan membawa-bawa pedang dan tombak. Biarpun tak seorang pun yang pernah mendatangi Goa Tengkorak atau Bukit Tengkorak Raksasa, namun agaknya yang suka datang itu adalah para pemimpin pemberontak, karena setelah mereka pergi lagi, menurut petani itu, mereka membawa barang-barang buntalan yang kelihatannya berat.”
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk, “Sangat boleh jadi….” Akan tetapi tiba-tiba dia menahan kata-katanya dan secepat kilat dia melompat ke arah jendela. Memang pada saat itu, Kwan Cu amat memperhatikan dan ingin sekali dia melihat peta di atas meja itu, maka saking tertariknya, dia melakukan gerakan yang menimbulkan suara. Sedikit suara ini ternyata telah dapat ditangkap oleh pendengaran Kiam Ki Sianjin yang amat tajam.
Ketika Kiam Ki Sianjin melompat ke dekat jendela terus keluar dari situ dengan gerakan Monyet Tua Melompati Cabang, lebih dulu Kwan Cu telah melompat pergi dan sebelum Kiam Ki Sianjin masuk kembali, pemuda ini telah mendahului masuk dari pintu depan. Dengan tenang dia berjalan menuju ruangan itu, disambut oleh An Lu Kui dan kawan-kawannya dengan mata terbelalak.
“Siapa……. kau………?” An Lu Kui bertanya. Maksudnya hendak membentak marah, akan tetapi melihat cara pemuda itu masuk begitu saja tanpa mereka ketahui, membuat dia terheran-heran dan gugup. Apalagi ketika pada saat dia mengajukan pertanyaan itu, tubuh pemuda ini berkelebat ke arah mereka!
An Lu Kui dan kawan-kawannya bersiap menyambut, akan tetapi tiba-tiba tubuh pemuda itu terapung ke atas kepala mereka terus ke atas lalu tiba-tiba sebelum menyentuh langit-langit, tubuh itu berjungkir balik dan kini bagaikanseekor capung beterbangan di dalam kamar, tubuh pemuda itu menukik ke bawah lalu tahu-tahu gulungan peta itu telah dirampasnya!
An Lu Kui hendak menubruk, akan tetapi terlambat karena Kwan Cu sudah melompat pula dari atas meja melalui kepalanya dan kini pemuda itu telah berdiri di tengah ruangan sambil tersenyum-senyum dan peta itu dia masukan ke dalam saku dengan sikap amat tenang! Untuk sejenak, An Lu Kui dan kawan-kawannya tercengang, karena sesungguhnya gerakan pemuda tadi luar biasa sekali. Tiada ubahnya seekor capung atau burung yang amat ringan dan gesit. Kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri sukarlah untuk mempercayai kejadian itu.
“Siapa kau yang berani mati bermain gila di sini?” kembali An Lu Kui membentak dan kini panglima ini mencabut sepasang tombaknya yang lihai.
Kwan Cu tersenyum dan menjawab, “An-ciangkun, apakah baik kabarmu? Kau sudah kelihatan tua, akan tetapi tetap saja ganas dan galak!”
Mendengar ini, An Lu kui tercengang dan tidak jadi menyerang, sebaliknya Cang Kwan panglima brewokan itu membentak,
“Bangsat kecil, siapakah kau yang sudah bosan hidup?”
“Bangsat besar, aku bernama Lu Kwan Cu. Kalian tadi membuka mulut besar hendak menangkap kong-kongku Lu Pin? Jangan bermimpi, Kawan!”
“Bohong besar!” seru Liong Tek Kauw panglima kedua pembantu An Lu Kui, “Aku tahu betul keadaan Menteri Lu Pin dan dia tidak mempunyai cucu yang bernama Lu Kwan Cu!”
Kwan Cu tersenyum lagi. “Tentu kau seorang panglima pengkhianat dan penjilat maka kau tahu baik akan keadaan kong-kongku. Akan tetapi aku tidak peduli akan kata-katamu itu, pengkhianat. Pendeknya jangan kalian bermimpi untuk menangkap Menteri Lu Pin yang setia dan gagah berani, pahlawan bangsa tidak seperti kalian ini, katak-katak busuk yang berbahaya.”
“Tangkap dia!” tiba-tiba An Lu Kui berseru keras. “Dia adalah bocah gundul murid Ang-bin Sin-kai! Aku ingat sekarang, dia memang telah diakui cucu oleh Lu Pin!” Sambil berkata demikian, An Lu Kui lalu menyerang dengan sepasang tombaknya.
Kwan Cu mengelak tangkas sambil menyindir. “Hm, kau sudah ingat betapa dahulu aku pernah membagi beberapa kali tamparan kepadamu, An-ciangkun?”
“Bangsat, mampuslah kau!” seru An Lu Kui sengit dan tombaknya melakukan gerakan menyilang dari kanan kiri, hendak menggunting leher pemuda itu.
Akan tetapi, hanya dengan merendahkan tubuh sedikit saja, Kwan Cu sudah dapat membebaskan diri dari ancaman dan sepasang tombak itu melayang melalui atas kepalanya. Cang Kwan dan Liong Tek Kauw dua orang panglima pembantu An Lui Kui dengan marah maju menyerang dengan golok besar mereka yang menyambar-nyambar menyilaukan mata ketika terkena cahaya lampu yang terang.
“Rebahlah kalian!” bentak Kwan Cu dan tahu-tahu ketika dua batang golok itu sudah dekat dengan tubuhnya dari kanan kiri, dia melompat ke belakang dan sebelum dua orang panglima itu dapat menarik kembali golok mereka, dua kali berturut-turut Kwan Cu menotok dengan telujuknya dan aneh sekali! Dua orang panglima itu roboh dan terus bergulingan sambil mengaduh-aduh, kemudian mereka tak bergerak lagi, rebah dengan tubuh lemas tak berdaya di dekat dinding.
Kwan Cu tidak mau membuang banyak waktu. Ketika dia melihat An Lu Kui tercengang, dia menggerakkan kakinya, melompat sambil menendang dua kali ke arah tangan panglima itu. Terdengar suara keras ketika sepasang tombak itu terlepas dari pegangan An Lu Kui dan terlempar jauh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring. An Lu Kui masih mencoba untuk mengelak ketika tangan Kwan Cu menyambar, namun terlambat, pundaknya kena di tepuk dan panglima ini jatuh duduk dengan tubuh lemas dan setengah tubuhnya sebelah kanan terasa lumpuh!
Pada saat itu, angin pukulan menyambar dari depan dan belakang. Kiranya dua orang hwesio itu sudah turun tangan. Tadi mereka hanya menonton saja karena memang sebetulnya di dalam hati mereka, dua orang hwesio ini tidak suka kepada An Lu Kui dan mencurigainya. Akan tetapi, setelah melihat An Lu Kui dan dua orang pembantunya telah roboh, mereka tidak mau tinggal diam dan segera menyerang. Mo Beng Hosiang Si Tangan Kilat menyerang dengan kedua tangannya yang dibuka jari-jarinya, melakukan pukulan hebat sekali, sesuai dengan julukannya. Adapun Mo Keng Hosiang Si Ruyung Pemecah Gunung telah menyerang dengan ruyungnya yang aneh. Joan-pian (ruyung lemas) itu merupakan rantai pendek yang ujungnya di pasangi bola baja sebesar kepalan tangan dan digerakkan dengan ayunan keras menghantam punggung Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut sekali melihat datangnya serangan yang memang hebat sekali ini. Dengan tangan kirinya dia menangkis pukulan Mo Beng Hosiang sehingga hwesio itu terhuyung ke belakang. Hampir saja bola baja di ujung joan-pian yang dipakai menyerang oleh Mo Keng Hosiang mengenai sasarannya, yakni punggung Kwan Cu. Pemuda ini yang maklum menghadapi lawan-lawan tangguh, cepat mencabut sulingnya sambil mengelak dengan gerakan Kong-ciak-kai-peng (Merak Membuka Sayap) sehingga serangan senjata Mo Keng Hosiang lewat di atas punggung dan kepalanya. Sekaligus Kwan Cu menyerang Mo Beng Hosiang yang sudah maju lagi itu dengan sulingnya. Mo Beng Hosiang bukan seorang lemah, dia memiliki ilmu pukulan yang di sebut Pek-lek-sin-jiu (Tangan Geledek Sakti). Menghadapi pukulan suling yang biarpun dilakukan perlahan namun telah dapat dia duga kehebatannya itu, dia cepat menampar dengan tangan kanannya. Jari-jari tangan kanan ini menegang dan kaku seperti baja. Tamparannya dilakukan keras sekali dengan maksud membuat suling itu remuk atau terlepas dari pegangan Kwan Cu.
Namun pemuda ini telah memiliki kepandaian yang tak dapat di ukur tingginya. Baru melihat sekali saja dia sudah tahu kemana tamparan itu di arahkan, maka sebelum tamparan datang, sulingnya sudah di tarik ke bawah dan tangan kirinya yang tadi di pentang, memukul ke depan sambil tubuhnya diputar sedemikian rupa dan cepat sekali sebelah kakinya menendang ke arah Mo Keng Hosiang!
Bukan main hebatnya serangan ini dan amat indah pula gerakannya sehingga terdengar pujian, “Bagus sekali!” Yang memuji ini adalah Kiam Ki Sianjin yang berdiri menonton saja. Seperti sikap Bu-eng Sian-hiap ketika menonton pertempuran antara Kwan Cu dengan An Lu Kui bersama dua orang pembantunya, kini Kiam Ki Sianjin juga menonton saja, enggan membantu dua orang hwesio itu yang memang tidak disukainya. Namun diam-diam dia amat memperhatikan gerakan pemuda aneh itu dan makin lama kedua mata tosu ini makin terbelalak lebar karena selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan ilmu silat demikian anehnya seperti yang dimainkan oleh pemuda pemegang suling itu!
Kiam Ki Sianjin adalah seorang kang-ouw yang ulung dan banyak pengalaman. Telah banyak dia melihat ilmu silat tinggi-tinggi dan aneh-aneh. Bahkan dia dapat mengenal ilmu silat dari lima tokoh besar dunia persilatan, yakni ilmu-ilmu silat dari Ang-bin Sin-kai, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, dan Kiu-bwe Coa-li . Akan tetapi belum pernah dia melihat ilmu silat yang di mainkan oleh pemuda ini. Tadi dia mendengar seruan An Lu Kui bahwa pemuda ini adalah murid dari Ang-bin Sin-kai dan memang betul, gerakan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia perhatikan, ternyata banyak sekali perbedaannya. Pemuda ini bergerak seenaknya saja seperti bukan orang main silat, lebih patut disebut main-main saja, seperti seorang pemuda tidak becus main silat yang pura-pura mau bermain silat. Akan tetapi, semua gerakannya tepat sekali menghindarkan diri dari serangan kedua lawannya dan biarpun gerakannya ketolol-tololan, namun bukan main hebatnya. Apalagi setelah dia memperhatikan dan melihat betapa pemuda itu kini bersilat tepat seperti ilmu silat yang dimainkan oleh kedua lawannya, Kiam Ki Sianjin menjadi bengong! Tiap kali diserang oleh Mo Beng Hosiang, pemuda iti melayani hwesio tangan kilat itu dengan ilmu silat yang mirip sekali dengan Pek-lek-sin-jiu! Adapun apabila Mo Keng Hosiang yang menyerang, juga pemuda ini menghadapinya dengan ilmu silat seperti yang dimainkan oleh Ruyung Pemecah Gunung itu.
-Cerita Dewasa Seks SIlat : Pendekar Sakti 3 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-abg-silat-pendekar-sakti.html-
“Iblis muda dari manakah dia? Ilmu silat apa yang telah dia pelajari?” Demikian Kiam Ki Sianjin bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri. Tosu yang cerdik itu sengaja tidak mau turun tangan lebih dulu, bukan saja karena dia memang tidak suka membantu dua orang hwesio kepercyaan putera mahkota yang diam-diam dimusuhi pula oleh muridnya, Si Su Beng, akan tetapi juga dia hendak mempelajari lebih dulu gerakan pemuda itu untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaiannya agar nanti kalau dia harus menghadapi pemuda itu, dia sudah dapat mengetahui cara bagaimana harus melawannya.
Adapun Kwan Cu, setelah beberapa puluh jurus menghadapi keroyokan dua orang hwesio itu, diam-diam terkejut. Baru kali ini dia menjumpai lawan-lawan yang benar-benar tangguh. Biarpun dengan mudah dia dapat menghadapi semua serangan mereka dan dapat menyelamatkan diri tanpa banyak kesukaran, namun untuk membalas menyerang, juga bukan hal yang mudah. Setiap pukulan sulingnya dapat ditangkis oleh tangan yang keras dan kuat dari Mo Beng Hosiang, adapun senjata yang aneh dari Mo Keng Hosiang juga cukup tangguh untuk menangkis setiap serangannya sulingnya.
Ketika dia mempelajari ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng di pulau berdaun putih, Kwan Cu telah mempelajari pula semua ilmu-ilmu silat tinggi yang terukir di dinding-dinding goa. Ilmu silat itu hampir meliputi seluruh pokok dasar ilmu silat tinggi yang ada di dunia persilatan. Dari latihan-latihan ini, dimatangkan oleh kepandaian pokok dasar persilatan yang dipelajarinya dari kitab rahasia itu, Kwan Cu telah dapat menggabung semua ilmu silat itu dan dengan sendirinya menciptakan berbagai ilmu silat yang aneh-aneh. Diantaranya, dia telah dapat mengatur ilmu silat tangan kosong berdasarkan lweekang dan khikang, disertai hawa di dalam tubuh menurut latihan siulian dari kitab itu. Ilmu silat ini dia beri nama Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih). Ia memberi nama ilmu sihir, karena di dalam gerakan ilmu silat ini bangkit tenaga batin yang amat kuat sehingga kedua lengannya dapat mengebulkan uap putih seperti mega putih. Uap putih inilah yang mempunyai pengaruh menolak segala serangan yang dilakukan berdasarkan tenaga dari ilmu hitam atau segala macam hoat-sut (ilmu sihir). Selain ini, masih banyak sekali ilmu-ilmu silat yang aneh dan tinggi yang diciptakan oleh Kwan Cu. Akan tetapi maklumlah, dia masih muda sekali dan belum banyak pengalaman bertempur sehingga ketika menghadapi dua orang hwesio yang tangguh itu, dia masih belum mendapat jalan bagaimana harus mengalahkan mereka.
Menghadapi ketangguhan mereka, timbullah niat dalam hati Kwan Cu untuk mencoba ilmu-ilmu silat yang diciptakannya sendiri. Maka ketika dia mengelak dari serangan lawan-lawannya, dia lalu menyelipkan sulingnya kembali di ikat pingganya, lalu dia mengeluarkan seruan tinggi dan nyaring. Maka berubahlah ilmu silatnya. Kini dia tidak mau meniru ilmu silat dari kedua lawannya untuk menjaga diri, melainkan langsung mengerahkan tenaga dalam dan mainkan Pek-in-hoat-sut.
Bukan main hebatnya akibat dari permainan ilmu silatnya ini. Dengan dua kali sampokan lengannya yang mengebulkan uap putih, Mo Beng Hosiang tertangkis tangannya dan memekik kesakitan, sedangkan Mo Keng Hosiang berseru terkejut karena senjatanya terpental dan terputus tengah-tengahnya! Kemudian, dua kali lagi pukulan Kwan Cu diikuti oleh jerit kesakitan dan terpentallah tubuh kedua orang hwesio itu sampai ke dinding ruangan dan mereka rebah tak bergerak lagi karena pingsan! Akan tetapi, Kwan Cu sendiri setelah mengeluarkan empat kali gerakan itu, terhuyung-huyung dan cepat dia mengatur pernapasannya sehingga keadaannya sebentar saja sudah pulih kembali. Tahulah dia bahwa dalam penggunaan tenaga luar biasa ini, karena kurang pengalaman, dia telah mengerahkan terlalu keras sehingga menguras hawa di dalam tubuhnya sendiri! Oleh karena itu, dia sekarang maklum bahwa ilmu silatnya Pek-in-hoat-sut tidak boleh di buat main-main dan harus dilakukan dengan sewajarnya dan tidak dipaksa. Akan tetapi dia girang sekali melihat hasilnya sungguhpun dia agak menyesal karena khawatir kalau-kalau dua orang hwesio itu tewas.
“Hebat………. Hebat………! Entah ilmu silat iblis apakah yang telah kau pergunakan tadi. Anak muda, kau benar-benar lihai sekali. Amat aneh kalau Ang-bin Sin-kai mempunyai murid seperti engkau.”
“Kiam Ki Sianjin, aku memang murid dari mendiang suhu Ang-bin Sin-kai.” kata Kwan Cu sederhana. Setelah dapat mengalahkan dua orang lawannya yang tangguh tadi, besarlah hati Kwan Cu. Dia sedang mencari musuh-musuh besar suhunya yang amat tangguh, yakni di antaranya Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo, orang tokoh besar yang sama sekali tak boleh dipandang rendah. Maka sekarang, selain untuk membei hajaran kepada orang-orang yang bermaksud mencelakakan kong-kongnya ini, juga dia hendak menguji kepandaiannya sendiri.
“Hm, biarlah, aku tidak peduli kau murid dari siapa. Akan tetapi coba kau menghadapi pedangku, kita main-main sebentar, anak muda.”
Baru saja ucapan ini habis dikeluarkan dan tangannya bergerak sedikit kebelakang, tahu-tahu tosu ini telah memegang sebatang pedang yang bukan sembarang pedang, karena pedang itu hitam seluruhnya!
“Hm, orang tua. Siapa percaya omonganmu? Kau bilang main-main akan tetapi mengeluarkan pedang. Dan kau pun bermaksud mencelakakan kong-kong, maka dengan demikian berarti bahwa kau juga musuh. Tak perlu kau mempergunakan kata-kata hendak main-main, marilah kita mengadu kepandaian, hendak kucoba lihainya Dewa Utara!”
“Bagus, terimalah ini!” seru Kiam Ki Sianjin sambil melompat maju dan menusukkan pedang hitamnya ke arah ulu hati Kwan Cu. Akan tetapi, melihat gerakan ini dan mengerling sekilas ke arah pundak tosu itu, Kwan Cu sudah dapat menduga bahwa serangan ini tidak akan dilanjutkan dan hanya merupakan pancingan belaka, maka dia sengaja berdiri tegak, tidak mengelak maupun menangkis sama sekali!
Sikap pemuda ini mengherankan hati Kiam Ki Sianjin, akan tetapi karena sudah kepalang, dia melanjutkan serangannya. Memang benar dugaan Kwan Cu, serangannya yang dia namakan gerak tipu Menggertak Bintang Menghancurkan Bulan ini, serangan pedang ke ulu hati lawan tadi hanya gertakan belaka, akan tetapi sebetulnya pada saat pedangnya sudah mendekati, dia menariknya kembali dan berbareng tangan kirinya menghantam ke arah kepala lawan sambil mengjukan kaki kirinya ke depan! Kalau lawan dapat terpikat, tentu akan mengelak atau menangkis serangan pedang sehingga tidak menduga akan datangnya pukulan tangan kiri yang tiba-tiba dan amat berbahaya itu. Pukulan tangan kiri ini memang hebat sekali, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk menggulingkan seorang lawan yang kurang kuat. Di dalam pukulan ini, Kiam Ki Sianjin menggunakan tenaga yang disebut Soan-hong-kang (Tenaga Angin Puyuh).
Namun Kwan Cu sudah bersiap sedia menghadapi ini. Ia sudah dapat menduga bahwa serangan susulanlah yang berbahaya. Menghadapi pukulan yang mendatangkan hawa pukulan dingin ini, dia hendak mencoba tenaga pukulan Pek-in-hoat-sut, maka dia tidak mau mengelak, sebaliknya lalu mengangkat lengan kanan yang telah mengeluarkan uap putih untuk menangkis.
“Dukkk….!”
“Ayaaaaaaa, lihai sekali!” Kiam Ki Sianjin berseru sambil mudur dua langkah, karena pertemuan lengan itu telah membikin gempur kuda-kudanya.
Juga Kwan Cu merasa lengan kanannya tergetar hebat dan dia pun mundur sampai dua langkah. Bukan main hebatnya pukulan Soan-hong-kang dari Kiam Ki Sianjin tadi. Akan tetapi diam-diam Kwan Cu menjadi girang bukan main. Ia tadi hanya mengerahkan setengahnya lebih dari tenaga Pek-in-hoat-sut, kira-kira hanya enam bagian. Kalau dia mengerahkan seluruh tenaganya, dia yakin bahwa dia tentu akan dapat membuat tosu itu terpental jauh. Hal ini amat membesarkan hatinya dan dia tersenyum lebar. Tentu saja dengan pengertian bahwa ilmunya lebih tingi dari lawannya ini, dia menjadi tabah sekali.
“Totiang (panggilan untuk tosu), kau belum menyaksikan semua pukulanku ini, bagaimana sudah tahu kelihaiannya? Nah, cobalah kau tahan!” Setelah berkata demikian, Kwan Cu membalas serangan tosu itu dengan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut, kini dia tambah tenaganya kira-kira tujuh bagian.
Benar saja, Kiam Ki Sianjin terkejut sekali. Ia melihat betapa kedua lengan tangan pemuda itu mengebulkan uap asap putih yang mendatangkan hawa panas luar biasa. Angin pukulan itu saja sudah menggetarkan tubuhnya. Maka dia lalu menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Tangan kirinya mempergunakan tenaga Soan-hong-kang, sedangkan tangan kanannya mainkan pedang hitamnya dengan cepat sekali. Namun harus dia akui bahwa dia terdesak hebat, karena pedang hitamnya itu sebelum mengenai tubuh lawan, telah bertolak kembali oleh hawa pukulan aneh dari lengan beruap putih itu! Sampai tiga puluh jurus Kwan Cu sambil tersenyum-senyum girang mainkan ilmu Pek-in-hoat-sut. Hatinya makin besar karena dengan ilmu silat ini saja, kalau dia mau mengerahkan tenaga sepenuhnya, dia percaya akan dapat menang dari tosu ini. Akan tetapi pengalamannya tadi telah membuat dia kapok, tidak berani lagi dia mengerahkan terlalu banyak tenaga, khawatir kalau-kalau dia kehabisan hawa dalam tubuh.
“Kurang cukup lihai, Totiang? Nah, ini ilmu silatku yang lain!” Pemuda ini dengan gembira mengejek dan tiba-tiba saja ilmu silatnya berubah hebat sekali. Kalau tadi gerakannya tenang bertenaga, kini gerakannya lincah dan seperti tidak karuan. Ia melompat-lompat, menubruk dan kedua kakinya bukan menendang, melainkan mencakar! Namun kedua tangannya yang dibuka seperti cakar pula, mencengkeram sana-sini dengan kekuatan dan kecepatan luar biasa sekali. Inilah ilmu silat ciptaanya sendiri yang dikarangnya menurut lukisan-lukisan pada dinding. Banyak sekali pelajaran ilmu silat yang merupakan Kin-na-hoat, yakni ilmu silat mencengkeram yang dipergunakan untuk merampas senjata musuh. Karena banyaknya ilmu silat macam ini, dia lalu memilih dan menciptakannya menurut gerakan seekor burung merak, maka ilmu silat ciptaannya yang aneh ini bernama Kong-ciak-sin-na atau Ilmu Mencengkeram Burung Merak!
-Cerita Dewasa Seks SIlat : Pendekar Sakti 3 - KPH - http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/06/cerita-dewasa-abg-silat-pendekar-sakti.html-
Kembali Kiam Ki Sianjin tertegun. Kalau selama hidupnya dia belum pernah menyaksikan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut yang tadi dimainkan oleh pemuda ini dan yang telah membuatnya repot sekali, adalah ilmu silat yang dimainkan lawannya sekarang ini, jangankan melihat, bahkan dalam mimpi pun belum pernah dia menyaksikannya! Ia dapat menduga bahwa ini adalah semacam ilmu mencengkeram, akan tetapi Kin-na-hoat macam apa! Gerakannya kacau-balau, namun pemuda itu seakan-akan kini mempunyai empat tangan. Kedua kakinya merupakan dua tangan pula karena pemuda itu melompat tinggi dan baik kaki mau pun tangannya mencakar-cakar dan mencengkeram ke arah mata, hidung, tenggorokan, ulu hati dan mencoba untuk merampas pedangnya!
Kiam Ki Sianjin bingung dan kelabakan. Ia lalu menjadi penasaran dan mencoba untuk membabat pinggang pemuda itu ketika lawannya sedang melompat tingi. Akan tetapi, kaki Kwan Cu mencengkeram kearah pundaknya sedemikian cepatnya sehingga kalau Kiam Ki Sianjin melanjutkan babatannya, sebelum pedang mengenai tubuh lawan tentu pundaknya sudah akan terkena cengkeraman kaki atau semacam tendangan yang aneh gerakannya.
Kiam Ki Sianjin menarik kembali tangannya untuk membabat kaki yang menyerangnya, akan tetapi tiba-tiba tangan Kwan Cu mencengkeram pergelangan tangannya dan di lain saat, pedangnya telah terampas!
Kwan Cu tertawa dan melompat berjumpalitan ke belakang, lalu berdiri sambil tersenyum-senyum dengan pedang hitam di tangan.
“Pedang busuk!?” katanya dan sekali dia menekuk tiga jarinya pada pedang itu, terdengar suara nyring dan pedang itu telah patah tengahnya!
“Terimalah kembali senjatamu!” seru Kwan Cu sambil melontarkan potongan pedang itu kepada pemiliknya.
Kiam Ki Sianjin melihat dua sinar hitam berkelebat menuju ke tenggorokan dan dadanya. Ia cepat mengelak sambil melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari senjatanya sendiri. Akan tetapi ketika dia mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari depannya!
“Setan……! Iblis….!” Berkali-kali Kiam Ki Sianjin berkata seorang diri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia harus akui bahwa selamanya dia belum pernah menghadapi lawan yang sedemikian pandainya dan dia mengaku bahwa di dunia persilatan muncul seorang pendekar muda yang amat sakti. Maka dia berjanji hendak memperdalam ilmu silatnya karena dia merasa bahwa dia telah tertinggal jauh sekali.
***
Hati Kwan Cu girang dan puas sekali ketika dia meninggalkan ruangan besar tempat orang-orang penting berkumpul itu. Tanpa disengaja dan dicari, dia telah dapat menemukan sebuah peta berikut penjelasan dari An Lu Kui dan kawan-kawannya tentang tempat persembunyian Menteri Lu Pin. Hal ini sudah amat membesarkan hatinya karena selain dia mendengar makin jelas tentang kegagahan sepak terjang kong-kongnya itu, juga dia mendapat kesempatan untuk mencari kong-kongnya dan melindungi orang tua yang baik hati itu. Selain daripada itu, dia pun mendapat kesempatan untuk menguji kepandaiannya pada orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi di samping kepuasan ini juga dia maklum bahwa kini tidak saja dia menghadapi musuh besar yang lihai dan yang telah menewaskan suhunya, melainkan juga mendapat musuh-musuh besar yang mengancam keselamatan kong-kongnya.
Malam itu dia tidak terus keluar dari lingkungan istana, akan tetapi masih mencari-cari dan menyelidiki, karena dia ingin sekal menyelidiki keadaan di situ dan juga ingin mencari pangeran botak putera An Lu Kui untuk menolong wanita yang terancam oleh pangeran mata keranjang itu.
Malam sudah amat larut dan bulan tua mulai menampakkan diri di antara mega-mega hitam. Kwan Cu sudah mulai putus asa mencari tempat kediaman Pangeran An Kong karena keadaan di situ sunyi belaka. Ia pikir bahwa pangeran botak itu mungkin sekali berada di luar istana dan hal ini membuat dia menyesal sekali mengapa tadi siang dia tidak mengikuti pangeran itu, dan tidak menanyakan keterangan kepada Lu Thong. Ia menyesal karena dipikirnya bahwa wanita itu takkan tertolong lagi.
Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara wanita menangis perlahan. Cepat bagaikan seekor burung, dari atas genteng Kwan Cu melompat ke bawah dan mengintai ke dalam sebuah kamar dari rumah gedung yang berada di sebelah selatan kelompok bangunan istana itu. Hatinya berdebar girang dan juga warna merah menjalari mukanya ketika dia melihat siapa adanya orang yang berada di dalam kamar itu.
Di dalam kamar itu amat terang dan keadaan perabot kamarnya mewah sekali. Bahkan dari luar jendela saja sudah dapat tercium bau yang amat harum, tanda bahwa penghuni kamar adalah seorang pesolek yang mewah. Di atas meja yang indah terdapat guci arak yang menyiarkan bau harum pula, arak baik yang amat mahal.
Wanita yang menangis terisak-isak dengan suara perlahan karena takut, adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun, berwajah cantik akan tetapi pucat sekali. Rambutnya terlepas dan terurai menutupi sebagian mukanya yang berkulit halus, pakaiannya kusut. Gadis ini duduk di atas sebuah bangku sambil menangis sedih.
Di depannya, juga duduk di atas bangku sambil kadang-kadang minum arak dari cawan emasnya, kelihatan pangeran botak An Kong dengan mata bersinar-sinar dan mulut tersenyum-senyum.
“Kui Lan, mengapa kau begitu keras hati dan keras kepala? Mengapa kau berduka? Ingatlah, bukan sembarang wanita dapat masuk ke kamar ini dan lebih-lebih lagi bukan sembarang wanita dapat menjadi biniku, walaupun hanya bini muda. Aku amat sayang kepadamu, Kui Lan, kau cantik jelita dan halus gerak-gerikmu, aku sayang dan kasihan kepadamu. Tahukah kau bahwa kalau bukan kau, lain gadis yang berkeras menolak kehendakku, akan kusuruh algojo menyiksanya? Atau aku akan mempergunakan kekerasan. Akan tetapi kepadamu aku tidak mau berlaku demikian, Kui Lan. Aku cinta padamu dan aku ingin kau membalas cintaku itu.”
Jawaban Kui Lan gadis itu, hanya suara tangis yang lebih menyedihkan hati. Kwan Cu sudah mendidih darahnya menyaksikan keadaan ini, akan tetapi dia masih bersabar, hendak didengar dan dilihatnya lebih lanjut apa yang akan terjadi, karena dia belum mengerti duduknya perkara.
“Kui Lan, kalau kau mau menyambut cinta kasihku, kalau kau mau berlaku manis kepadaku, percayalah, ada kemungkinan kau kuangkat menjadi isteriku yang sah! Menurutlah, Kui Lan, bungaku yang manis,” kata pula An Kong dengan suara membujuk setelah dia menenggak habis arak di dalam cawannya.
Kini gadis itu menurunkan kedua tangan yang menutupi mukanya. Kwan Cu mendapat kenyataan bahwa gadis itu memang luar biasa cantiknya.
“Siauw-ong-ya…..” Gadis itu berkata dengan suara gemetar namun terdengar merdu dan halus, “aku tidak menghendaki semua kedudukan tinggi itu. Tidak kasihankah kau kepadaku, Siauw-ong-ya. Kau sudah tahu bahwa aku……. bahwa di sana ada The Kun Beng….. bahwa aku harus bersetia kepadanya karena……. Aku cinta padanya……. Siauw-ong-ya kembalikanlah aku kepada orang tuaku atau……… atau kau bunuh saja aku agar aku dapat bersetia kepada The Kun Beng sampai matiku, sesuai dengan sumpahku…….”
Mendengar ini, Kwan Cu terkejut sekali. The Kun Beng……. Ia ingat betul nama ini dan terbayanglah wajah seorang bocah tampan dan manis budi, murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Sekaligus terbayang pula semua pengalamannya dengan murid Pak-lo-sian ini ketika dia masih kecil dan perhatiannya makin membesar terhadap gadis yang mengaku cinta kepada The Kun Beng ini.
Sebaliknya, An Kong nampak marah sekali. Pemuda botak ini bangkit berdiri dengan kasar sehingga bangku yang didudukinya terguling, menimbulkan suara berisik. Mukanya menjadi makin merah, sebagian karena pengaruh arak dan sebagian lagi karena pengaruh kemarahannya.
“Kau benar-benar keras kepala dan menggemaskan! Bagaimana kau berani menyebut-nyebut nama The Kun Beng, pemuda liar murid iblis tua Siangkoan Hai itu? Apa kaukira aku takut kalau kau menyebut-nyebut namanya? Apa kau kira aku tidak tahu akan riwayatmu yang kotor dengan pemuda itu? Kui Lan! Boleh jadi kau mencinta pemuda iblis itu karena tertarik oleh ketampanannya, akan tetapi kau goblok sekali. Kau pun tahu bahwa dia tak mungkin dapat menjadi suamimu karena dia sudah bertunangan dengan Bun Sui Ceng, gadis liar itu!’
Kembali Kwan Cu terkejut dan hatinya berdebar keras, mukanya berubah. Kun Beng bertunangan dengan Sui Ceng? Terbayanglah wajah Sui Ceng yang manis dan teringat kembali dia akan pembohongan terhadap gadis raksasa Liyani ketika dia menuturkan bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng! Ataukah hal itu bukan suatu kebohongan? Apakah benar-benar dia mencinta Sui Ceng? Tak mungkin! Akan tetapi mengapa dia merasai hatinya berdebar dan telinganya panas mendengar bahwa Sui Ceng sudah bertunangan dengan Kun Beng?
Kembali Kui Lan mengucurkan air mata. “Biarpun semua itu benar belaka, Siauw-ong-ya namun aku cinta kepada Kun Beng dan aku bersumpah takkan menjadi isteri laki-laki lain, biarpun aku tiada harapan untuk menjadi isterinya.”
“Perempuan bodoh! Bagaimana kau masih bersetia kepada seorang laki-laki yang berlaku demikian kejam terhadapmu? Dia telah merusak namamu, telah mengkhianati suhengnya sendiri, telah melakukan perbuatan terkutuk kepadamu, telah menyeretmu ke dalam lumpur kehinaan……..”
“Cukup. Siauw-ong-ya! Biarpun apa yang akan terjadi, aku akan bersetia sampai mati kepadanya. Dia tetap merupakan laki-laki tunggal yang boleh menguasai hati, jiwa dan ragaku. Bunuhlah aku kalau kaukehendaki!”
Marahlah An Kong mendengar ini. Ia melompat dan tahu-tahu sudah berdiri di depan Kui Lan. Ia mengulur tangan menangkap pergelangan tangan wanita itu, akan tetapi Kui Lan sigap mengelak. Kwan Cu yang tadinya sudah siap hendak melompat masuk, tertegun melihat betapa gadis itu sedikitnya mengerti ilmu silat, karena gerakannya ketika mengelak menunjukkan bahwa dia mengerti ilmu menjaga diri.
Akan tetapi, kepandaian gadis itu tidak seberapa karena di lain saat, tangannya sudah tertangkap oleh An Kong.
“Kui Lan, aku cinta kepadamu. Marilah kita minum arak bersama, Manis!” kembali suaranya melembut karena sesungguhnya dia tidak tega untuk bersikap kasar terhadap gadis ini. Ia menarik Kui Lan ke meja dan melepaskan pegangannya, lalu menuangkan arak ke dalam cawannya yang kosong.
“Minumlah, Manis, mari kita habiskan isi cawan ini seorang setengah. Minumlah, Sayang…….”
Akan tetapi, Kui Lan mempergunakan tangan kanannya yang tidak terpegang untuk menyampok lawan. Gerakan ini tidak saja membuat cawan itu terlepas dari pegangan An Kong, bahkan guci arak yang berdiri di atas meja pun terguling dan pecah….. Arak yang putih harum mengalir keluar membasahi meja.
Habislah kesabaran An Kong. “Kau menghendaki kekerasan, bunga liar? Baik, baik aku akan melayani kehendakmu!” setelah berkata demikian, An Kong hendak memeluk, akan tetapi Kui Lan menampar mukanya sehingga terpaksa dia menggunakan tangan kiri menangkap tangan yang menampar itu.
Pada saat mereka bergulat, terdengarlah suara tenang akan tetapi berpengaruh,
“An Kong, anjing berwajah manusia, lepaskan dia!”
An Kong terkejut sekali. Cepat dia melepaskan Kui Lan dan melompat sambil membalikkan tubuhnya. Di lain saat dia telah mencabut sepasang senjatanya, yakni kebutan di tangan kiri dan joan-pian di tangan kanan. Ketika dia memandang, teryata bahwa yang berada di dalam kamarnya itu adalah pemuda berpakaian sederhana yang siang tadi dia lihat di rumah makan dan yang dihinanya kemudian dia dicegah oleh Lu Thong, suhengnya. Memuncak kemarahannya dan dengan gemas dia membentak,
“Jembel busuk, bagaimana kau berani memasuki kamarku?”
Kwan Cu tersenyum mengejek. “An Kong, semua yang mengelilingi dirimu, pangkat dan kedudukan, pakaian yang mewah, kamar yang indah, kesemuanya ini hanya merupakan selimut yang menyembunyikan watak aselimu yang rendah dan hina-dina. Orang macam kau masih berani memaki aku?”
“Bangsat bermulut kotor! Kau telah mengetahui namaku, tidak tahukah kau bahwa aku murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tokoh besar dari selatan? Siapakah kau yang begitu berani mati mengantarkan nyawa sendiri kesini?”
“Aku bernama Kwan Cu dan gurumu itu sudah lama aku kenal. Tak perlu kau memperkenalkannya kepadaku lagi.”
An Kong sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi, sambil berseru keras dia lalu menyerang dengan joan-pian di tangan kanannya, diikuti oleh sambaran kebutannya yang menotok jalan darah Kwan Cu di bagian iga.
Kwan Cu maklum bahwa kepandaian An Kong cukup tinggi kalau dibandingkan dengan ahli silat-ahli silat tingkat biasa, namun baginya tentu saja bukan apa-apa. Dengan mudah dan sigap dia miringkan tubuh mengelak dari sambaran joan-pian, adapun serangan kebutan ke arah iganya itu dapat dia sampok dengan jari-jari tangannya. Secepat kilat Kwan Cu melanjutkan gerakan menyerang, dia menyampok muka pemuda botak itu dengan telapak tangannya.
An Kong terkejut sekali melihat cepatnya gerakan lawan dan bagaimana lawannya dapat menyampok serangan kebutannya yang terkenal lihai sekali itu. Cepat dia mempergunakan kebutannya untuk menangkis tamparan pada mukanya ini dengan maksud untuk melukai tangan Kwan Cu. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika kebutannya itu pada saat beradu dengan tangan lawannya, lalu terpental kembali dan menyabet ke arah mukanya sendiri! An Kong mengeluarkan teriakan tertahan dan cepat melompat mundur sambil berjungkir balik beberapa kali.
“Ha, An Kong, lihatlah baik-baik. Cambukmu lebih mengerti bahwa orang macam kau harus dihajar!” kata Kwan Cu yang tidak mau memberi hati lagi, terus pemuda ini menyerang dengan pukulan-pukulan tangan miring yang dipelajarinya dari lukisan-lukisan di dinding goa. Ini merupakan ilmu silat tangan kosong lain macam lagi yang telah dipahaminya, yakni ilmu silat yang dimainkan dengan kedua tangan miring dan jari-jari tangan terbuka. Kwan Cu menamakan ilmu silatnya ini Heng-pai-hud-jiu (Ilmu Silat Memuja Budha Tangan Miring). Namun gerakan kakinya masih mengambil sistem dari Ilmu Siat Sam-hoan-ciang (Ilmu Silat Tiga Lingkaran) yang dia pelajari dari suhunya, Ang-bin Sin-kai.
Menghadapi serangan-serangan aneh ini, An Kong tidak berdaya dan dia terdesak mundur terus. Biarpun pemuda botak ini mengerahkan kepandaian dan tenaga, mencoba menyerang lawan dengan sepasang senjatanya, namun tubuh lawannya seperti bayangan saja yang tak dapat diserang dengan senjata. Kwan Cu yang sudah tahu akan semua gerakan lawan, tahu pula ke mana arah mana senjata itu menyambar tentu saja lebih tahu dapat mempersiapkan diri mencari kedudukan yang kosong lalu menyerang tanpa mempedulikan sambaran senjata yang tentu takkan dapat mengenai tubuhnya yang sudah mengambil tempat yang kosong itu.
Adapun Kui Lan, gadis itu, berdiri dengan mulut ternganga. Ia tahu betul akan kelihaian An Kong yang memiliki kepandaian setingkat dengan The Kun Beng. Akan tetapi bagaimana pemuda aneh itu dapat menghadapinya dengan tangan kosong, bahkan dalam beberapa gebrakan saja telah mendesak An Kong sedemikian rupa?
Kwan Cu belum pernah menghadapi peristiwa seperti yang dia lihat di dalam kamar tadi. Hal ini menimbulkan kebenciannya terhadap An Kong dan kerena kali ini dia menghadapi musuh dengan hati benci, maka dia tidak main-main lagi dan menyelesaikan pertempuran itu secepat mungkin. Ketika lawannya sudah terdesak hebat di pojok kamar, Kwan Cu cepat memasukkan tangannya menghantam pinggang An Kong. Pemuda botak ini menjerit keras dan kedua senjatanya terlepas dari tangannya, lalu dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan. Dari mulutnya keluar darah!
Pada saat itu terdengar pintu kamar diketok orang dan suara yang keras memanggil.
“Kong-ji (anak kong), kau belum tidur?”
Itulah suara An Lu Kui, pikir Kwan Cu. Ia mendengar pula tindakan kaki banyak orang, maka tahulah dia bahwa An Lu Kui tidak datang sendiri. Cepat ia melompat ke depan gadis itu.
Kui Lan melangkah mundur dengan wajah makin pucat. Sepasang matanya yang bening memandang kepada Kwan Cu penuh kecurigaan. Ketika Kwan Cu mengulurkan tangan dengan maksud mengajak gadis itu lari keluar dari tempat itu, Kui Lan mundur lagi sambil menggeleng-geleng kepala dan berkata,
“Tidak……. tidak……… jangan kausentuh aku.”
Bukan main gemasnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Mukanya menjadi merah sekali. Ia tahu bahwa gadis ini telah menjadi ngeri hatinya melihat laki-laki, setelah mengalami kekagetan dari An Kong. Hm, apakah dia menganggap aku seorang laki-laki mata keranjang? Hatinya gemas dan dia berkata dengan kaku,
“Nona, kamar ini sudah terkurung, aku tak perlu banyak cakap. Pendeknya, kau ingin keluar dari sini atau tidak?”
“Tentu saja!” jawab Kui Lan cepat dan gadis ini lalu menggerakkan kaki melompat ke arah jendela yang masih tertutup. Kwan Cu maklum akan maksud gadis itu, yakni hendak keluar. Akan tetapi, melihat gerakan gadis itu yang tidak begitu kuat, dia khawatir sekali dan sebelum gadis itu sampai di jendela, dia telah menyambar dan tahu-tahu dia telah memeluk pinggang yang ramping itu, terus dipondongnya tanpa mempedulikan betapa gadis itu meronta-ronta dalam pondongannya. Kwan Cu mencabut suling dan melompat ke arah jendela, sekaligus menendang daun jendela terbuka sambil memutar sulingnya.
Baiknya dia melakukan hal ini karena begitu jendela terbuka, beberapa batang golok telah menyerang ke arah jendela. Akan tetapi golok-golok ini tertangkis oleh putaran sulingnya sehingga beterbangan mencelat ke sana-sini dan ada pula yang patah menjadi dua! Kemudian Kwan Cu meloncat ke atas genteng.
An Lu Kui dan beberapa orang perwira menyusul, akan tetapi dua orang yang terdepan, roboh kembali ke bawah genteng karena tendangan Kwan Cu yang telah siap sedia. An Lu Kui yang sudah tahu akan kelihaian Kwan Cu, tidak berani mengejar, hanya berteriak-teriak memberi tanda kepada para pengawal istana untuk mengejar pemuda itu, kemudian dia segera memasuki kamar puteranya. Alangkah kagetnya ketika dia melihat keadaan An Kong, maka dia segera menolongnya.
Adapun Kwan Cu dengan gadis itu masih berada di dalam pondongannya, berloncat-loncatan dari genteng ke genteng sampai dia tiba di dinding tembok yang mengelilingi kelompok bangunan istana. Para pengawal telah siap sedia dan segera mengeroyok pemuda itu. Akan tetapi mereka ini tentu saja hanya merupakan makanan empuk sekali bagi Kwan Cu. Dengan menggerakkan kedua kaki dan tangan kanannya, beberapa orang pengawal terlempar jauh dalam keadaan pingsan menimpa kawan-kawan lain sehingga para pengeroyok menjadi gentar. Ketika mereka memanndang, ternyata pemuda itu bagaikan seekor burung garuda, telah melompat naik ke atas dinding yang demikian tingginya.
Barisan anak panah dari dalam dan luar tembok menhujankan anak panah mereka ke arah bayangan Kwan Cu, namun pemuda itu terlalu gesit bagi mereka. Apalagi dengan tangan kanannya mengebut ke sana ke mari, anak-anak panah itu runtuh semua dan sebentar saja Kwan Cu telah melompat turun di luar tembok dan menghilang ke dalam kegelapan.
Gempar seluruh istana. Belum pernah istana diserbu oleh seorang pengacau sedemikian lihainya dan nama Lu Kwan Cu menjadi buah tutur semua orang. Ketika Lu Thong mendengar akan hal ini, diam-diam dia mengeluh dan berkali-kali menyayangkan bahwa pemuda sedemikian saktinya tidak mau bekerja sama dengan dia!
***
Kita tinggalkan dulu Lu Kwan Cu yang menolong Kui Lan dan membawa lari gadis itu dari dalam istana. Marilah kita menengok keadaan Menteri Lu Pin, menteri yang amat setia dan berjiwa patriot.
Di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, di sebelah selatan kira-kira lima puluh lie dari kota Tai-goan, di antara kedua pegunungan besar yakni Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, terdapat daerah pegunungan yang liar. Banyak bukit-bukit kecil di daerah ini dan di antaranya terdapat sebuah bukit yang penuh batu karang, akan tetapi anehnya di atas batu-batu karang ini tumbuh pula pohon-pohon besar. Di atas bukit ini, di tempat yang amat tersembunyi dan tertutup oleh batu-batu karang raksasa yang menjulang tinggi, tempat yang amat sunyi dan sepi seperti mati, terdapat sebuah goa batu karang. Goa ini luar biasa besarnya dan amat gelap sehingga orang akan merasa ragu-ragu untuk memasukinya, karena goa semacam ini biasanya menjadi tempat persembunyian binatang-binatang buas. Bahkan di dalam dongeng, goa-goa besar seperti ini biasanya ditempati oleh naga-naga atau siluman-siluman buas!
Apalagi kalau orang memberanikan diri memasuki goa ini, mungkin dia akan jatuh pingsan saking kaget dan takutnya. Agak ke sebelah dalam dari goa ini yang diterangi oleh cahaya matahari dari lobang-lobang di atas goa, terdapat pintu raksasa yang amat tebal dan berat. Sepuluh orang biasa saja belum tentu dapat mendorong pintu itu sampai terbuka.
Di belakang pintu raksasa ini terdapat ruang yang luas dan tinggi dan hebatnya di sepanjang dinding ruangan luas ini kelihatan barisan tengkorak-tengkorak yang tinggi besar, berdiri berderet-deret dengan mulut terbuka yang dahsyat itu menyeringai memperlihatkan gigi yang besar-besar. Tengkorak-tengkorak ini dahsyat dan menyeramkan sekali karena amat besar dan tinggi. Tinggi tengkorak-tengkorak itu sedikitnya ada tiga kali tinggi manusia biasa.
Bukan main seramnya keadaan di situ. Tengkorak-tengkorak raksasa itu seakan-akan hidup. Mata mereka yang bolong itu seperti melirik-lirik dan gigi yang besar-besar itu seperti berbunyi menggerut-gerut. Bahkan kedua lengan besar-besar itu seperti bergerak-gerak hendak menerkam siapa saja yang berani memasuki ruangan itu.
Inilah Gua Tengkorak yang dijadikan tempat sembunyi oleh Menteri Lu Pin. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dari kepungan para pasukan An Lu Shan, kemudian Ang-bin Sin-kai menunjukkan tempat sembunyi yang baik bagi adiknya itu, yakni di goa ini. Tadinya goa ini menjadi tempat bertapa dari Ang-bin Sin-kai selama bertahun-tahun dan di situ memang banyak terdapat tulang-tulang rangka bekas tulang binatang-binatang purbakala. Setelah Menteri Lu Pin bersembunyi di situ, menteri yang juga seorang ahli seni ukir yang amat pandai, dalam waktu senggangnya lalu membuat tengkorak-tengkorak dari tulang-tulang binatang purba dan didirikan disitu sebagai penjaga goa! Tengkorak-tengkorak raksasa inilah yang menolongnya dari bencana, karena siapa saja yang berhasil membuka pintu raksasa, akan terkejut dan ketakutan, lalu mundur kembali. Siapa orangnya yang takkan gentar menghadapi tengkorak-tengkorak raksasa yang demikian dahsyat dan mengerikan?
Di dalam persembunyian itu, Menteri Lu Pin tidak tinggal diam dan enak-enak saja. Ia mengadakan hubungan dengan para pemimpin pemberontak atau pejuang rakyat yang menentang pemerintahan An Lu Shan dan kawan-kawannya. Tiga orang panglimanya yang setia kerap kali datang ke goa itu untuk menerima petunjuk-petunjuk, mendatangi patriot-patriot yang dikenal baik oleh Lu Pin, menerima harta pusaka yang diambil sedikit demi sedikit untuk membiayai pasukan-pasukan pejuang!
Akhirnya, harta pusaka itu habis di pergunakan oleh para pejuang dan yang tinggal hanyalah sebatang pedang pusaka Kerajaan Tang yang disebut Liong-coan-kiam. Lu Pin merasa puas dan senang sekali betapapun juga, dia masih sempat melakukan bakti terhadap negara. Kalau tadinya para pemimpin pejuang masih suka datang untuk merawat dan mencarikan makan baginya, kini kakek ini tidak memperbolehkan mereka datang.
“Kalian berjuanglah. Usirlah penjajah dari tanah air dan tolonglah rakyat jelata daripada penindasan. Itulah kewajiban orang-orang gagah di dunia ini. Tentang aku……. jangan kalian pedulikan. Aku sudah tua dan kalau untuk mencari makan saja, di bukit ini masih banyak buah-buah dan sayur-sayur yang dapat kumakan. Tinggalkan aku seorang diri,” katanya.
Dan semenjak itu, benar saja kakek ini hidup sebagai seorang pertapa, seorang diri di tempat sunyi itu. Kalau dia merasa lapar, dia keluar dari goanya untuk mencari buah-buah yang dapat mengenyangkan perut. Pintu raksasa itu dapat dibuka dari dalam dengan mudah, karena ada alat pembukanya.
Pada suatu hari, karena makanan yang disediakan di dalam goa telah habis, kakek Lu Pin hendak keluar dari goa untuk mencari buah-buah baru. Seperti biasa, sebelum membuka pintu raksasa, lebih dulu dia mengintai dari lubang kecil yang sengaja dibuatnya untuk mencari tahu keadaan di luar goa.
Alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa di luar goa itu telah penuh orang-orang yang berpakaian sebagai tentara dan mendengar pula ringkik kuda di luar goa. Ia dapat mengerti bahwa mereka ini adalah pasukan dari pemberontak An Lu Shan, maka segera dia menutup itu dan kembali ke dalam goa, duduk dekat hio-louw besar sekali sambil bersamadhi untuk menenteramkan hatinya. Ia maklum bahwa fihak pemberontak telah menemukan tempat persembunyiannya, akan tetapi diam-diam kakek ini tertawa memikirkan bahwa kedatangan mereka itu tentu bukan semata-mata untuk menangkapnya, melainkan lebih banyak tertarik untuk merebut kembali harta pusaka Kerajaan Tang. Dan harta pusaka itu telah habis dia pergunakan untuk membiayai perjuangan rakyat!
Benar saja dugaan Menteri Lu Pin. Yang datang itu adalah barisan penyelidik dari An Lu Shan yang terus-menerus mencari Lu Pin dan harta pusaka kerajaan yang dibawanya lari. Melihat keadaan goa ini, para penyelidik itu menjadi curiga. Biarpun mereka belum dapat memastikan bahwa orang yang dicari-carinya berada di dalam goa, namun keadaan goa yang tersembunyi ini hendak mereka selidiki.
Di antara pemimpin pasukan ini, terdapat beberapa orang perwira yang kuat dan berkepandaian tinggi. Dengan mempersatukan tenaga, mereka dapat juga akhirnya membuka pintu raksasa. Akan tetapi segera mereka melompat mundur kembali dengan muka pucat sekali dan tubuh menggigil ketika mereka menyaksikan barisan tengkorak besar-besar menyambut mereka di belakang pintu! Dan anehnya pintu raksasa itu tertutup sendiri! Hal ini sebetulnya terjadi karena memang pintu itu dipasangi alat oleh Menteri Lu Pin dan apabila terbuka, dapat tertutup kembali. Untuk kakek itu, mudah saja membuka pintu dari luar karena ada rahasianya dari luar.
“Goa siluman….” berkata seorang perwira ketakutan.
“Goa tengkorak raksasa…… siapa tahu di dalamnya terdapat siluman atau raksasa hidupnya?” kata yang lain.
“Agaknya tak mungkin tempat seperti ini didiami oleh manusia,” kata pula suara lain.
Akan tetapi mereka tetap tidak mau meninggalkan goa itu dan menjaga di luar goa, agak jauh di tempat aman, sampai dua pekan lamanya! Tentu saja kakek Lu Pin yang sudah tua dan lemah tubuhnya itu, tidak dapat menahan lagi. Setiap hari dia mengintai dari lobang dan melihat betapa goa itu tetap terjaga, tahulah dia bahwa dia akan mati kelaparan di dalam goa. Namun dia tidak gentar menghadapi maut dan di dalam keadaan tersiksa ini, teringatlah dia akan Lu Kwan Cu. Seluruh keluarganya telah musnah, kecuali Lu Thong. Ia mendengar dari para pemimpin pejuang rakyat bahwa cucunya itu bahkan menerima kedudukan dari pemberontak An Lu Shan. Hal ini amat menyakitkan hatinya.
“Thian Yang Agung, mengapa dalam keluarga hamba terlahir manusia seperti itu? Rusak dan hancurlah nama keluarga Lu oleh binatang Lu Thong itu….” berpikir sampai disini, seringkali kakek ini menangis sedih. Kemudian dia teringat kepada Lu Kwan Cu, cucu angkatnya. Kepada anak inilah harapannya disandarkan dan sekarang, dalam menghadapi maut, kakek ini mengerahkan sleuruh tenaga terakhir untuk mengukir beberapa huruf di dinding goa. Dengan tangan-tangan gemetar dan tubuh lemas dia mengukir huruf-huruf pesan terakhir untuk Lu Kwan Cu ini, kemudia setelah ukiran huruf-huruf itu selesai, dia roboh tak sadarkan diri lagi sampai maut merenggut nyawanya!
Pada saat bekas Menteri Lu Pin yang setia itu menghembuskan napas terakhir di dalam Goa Tengkorak, di luar goa terjadi hal yang lebih hebat lagi.
Tiga orang tinggi besar berpakaian seperti petani sedang dikeroyok hebat oleh puluhan orang pasukan penyelidik An Lu Shan. Mereka ini bukan lain adalah tiga orang panglima yang dahulu mengawal Menteri Lu Pin. Sudah berbulan-bulan mereka tidak datang dan kini mereka sengaja datang hendak mengunjungi kakek Lu Pin. Alangkah kaget dan cemas hati mereka melihat puluhan orang anggauta pasukan musuh sedang menjaga di situ!
Tanpa banyak tanya lagi, tiga orang panglima yang kini sudah berganti berpakaian seperti petani itu lalu mencabut sejata dan menyerang pasukan musuh. Mereka mainkan golok besar mereka dan sekali lagi mereka mengamuk seperti ketika dahulu mereka mengamuk membela Lu Pin dari kepungan bala tentara musuh. Banyak anggauta tentara lawan mandi darah menjadi korban golok besar mereka.
Akan tetapi selain fihak musuh terlalu banyak jumlahnya, juga disitu berkumpul pula para perwira-perwira barisan pemberontak An Lu Shan yang berkepandaian tinggi, maka tiga orang panglima itu sebentar saja telah terkurung dan terdesak hebat. Telah ada beberapa luka di tubuh mereka terkena senjata musuh, namun mereka mengamuk terus laksana tiga ekor naga sakti.
Pada saat nyawa tiga orang panglima gagah yang setia terancam maut, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Anjing-anjing pengkhianat, rebahlah kalian!”
Bentakan ini disusul munculnya seorang gadis cantik gagah sekali. Usianya masih sangat muda, baru belasan tahun. Pakaiannya sederhana dan ringkas, pedangnya tergantung dipinggang sebelah kiri. Namun gadis muda ini benar-benar hebat sekali sepak terjangnya. Begitu ia muncul, terdengar jeritan-jeritan di sana-sini dan kelihatan robohnya banyak anggauta tentara An Lu Shan yang mengeroyok tiga orang panglima itu. Padahal gadis itu tidak mencabut senjata sama sekali dan hanya mempergunakan kedua tangan dan kakinya saja.
Melihat hal ini, para perwira yang tadi mendesak tiga orang panglima pengikut Lu Pin itu, terpecah menjadi dua dan empat orang perwira segera menyambut kedatangan gadis itu. Melihat gerakan yang tangkas dan kuat dari para perwira, gadis ini lalu mencabut senjatanya, sebatang pedang panjang yang berkilauan cahayanya tertimpa cahaya matahari.
Namun empat orang perwira musuh itu ternyata cukup tangguh sehingga biarpun dengan susah payah, mereka masih dapat menghadapi amukan gadis cantik ini. Akan tetapi tiba-tiba entah darimana datangnya, muncul seorang nenek tua yang memegang cambuk. Sekali cambuknya berbunyi di udara, empat orang perwira yang mengeroyok gadis itu berseru kaget dan senjata golok mereka terbang pergi dari tangan mereka. Ternyata bahwa cambuk itu mempunyai sembilan cabang dan kini dengan sekali gerakan saja telah dapat membelit dan merampas senjata empat orang itu sekaligus! Gadis itu berseru gembira dan dua kali pedangnya bergerak, robohlah dua orang perwira dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Yang dua lagi tidak sempat melarikan diri, karena cambuk nenek itu mengejar mereka dan ujung-ujung cambuk yang seperti ular itu menotok jalan darah kematian di punggung mereka, membuat mereka roboh tak bernyawa lagi.
Kemudian gadis dan nenek itu mengamuk. Banyak sekali tentara di fihak musuh tewas, termasuk para perwira yang mengeroyok tiga panglima pengikut Lu Pin. Hanya sedikit saja yang dapat melarikan diri, karena biarpun banyak yang melompat ke atas kuda dan membalapkan kuda mereka, namun gadis cantik itu mengeluarkan panah tangan dan berkali-kali tangannya bergerak. Setiap gerakan melayangkan sebatang anak panah dan robohlah seorang penunggang kuda. Dari puluhan orang pasukan itu, hanya ada tujuh orang saja yang sempat melarikan diri dan terbebas daripada maut.
Siapakah gadis dan nenek yang sakti itu? Bukan lain nenek itu adalah Kiu-bwe Coa-li, nenek sakti tokoh besar dari selatan. Gadis itu adalah muridnya, yakni Bun Sui Ceng, bocah perempuan yang dulu amat lincah itu dan kini telah berubah menjadi seorang gadis yang amat cantik dan perkasa.
Tiga orang panglima itu memandang semua sepak terjang yang hebat dari nenek dan gadis itu dengan bengong dan kagum. Kemudian mereka menjura dengan hormat dan seorang di antara mereka berkata,
“Banyak terima kasih atas budi pertolongan Suthai dan Lihiap. Kalau tidak ada pertolongan Ji-wi, tentu kami sudah menjadi korban keganasan anjing pemberontak itu. Mohon tanya siapakah Suthai dan Lihiap yang gagah perkasa.”
Kiu-bwe Coa-li mengerak-gerakkan cambuknya dengan sikap tidak sabar, “Sudahlah, cukup segala penghormatan ini. Pinni (aku) bukan menteri, juga bukan kaisar. Lebih baik lekas tunjukkan saja di mana adanya Lu Pin bekas menteri itu!”
Melihat sikap yang amat galak dari Kiu-bwe Coa-li, tiga orang panglima itu terkejut sekali. Mereka maklum bahwa di dunia kang-ouw banyak sekali terdapat orang-orang aneh dan maklum pula bahwa tokoh-tokoh sering kali mengejar harta-harta pusaka. Siapa tahu kalau-kalau nenek sakti yang galak ini pun mencari Menteri Lu Pin dengan maksud kurang baik. Mereka adalah patriot-patriot sejati yang gagah, yang siap mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dan bangsa, siap pula membela Menteri Lu Pin yang amat mereka junjung tinggi.
“Suthai menanyakan Lu-taijin ada maksud apakah?” tanya seorang di antara mereka. Bun Sui Ceng memandang khawatir. Ia sudah maklum akan watak gurunya yang keras dan tidak mau dibantah oleh siapapun juga. Benar saja, nenek sakti itu mengerutkan kening dan pecutnya bergerak-gerak di tangannya.
“Kau peduli apa dengan urusanku? Hayo katakan di mana dia berada dan habis perkara!”
Namun tiga orang panglima itu adalah orang-orang yang setia. Jangankan baru gertakan seorang nenek tua yang sakti, biarpun maut mengancam nyawa, mereka takkan sudi membuka rahasia persembunyian Menteri Lu Pin.
“Kalau Suthai tidak memberitahukan maksud Suthai menjumpai Lu-taijin, maafkan kami tidak dapat memberitahukan di mana tempat tinggalnya.”
Baru saja pembicara itu menutup mulutnya terdengar bunyi “tar”, nyaring sekali dan cambuk di tangan nenek itu menyambar turun ke atas kepala tiga orang panglima tadi!
“Suthai, jangan…..!” Bun Siu Ceng melompat maju dan mengangkat kedua tangannya seakan-akan melindungi kepala tiga orang panglima itu. “Mereka adalah pejuang-pejuang rakyat, jangan dibunuh!”
“Pejuang atau bukan, mereka kurang ajar dan harus dibunuh, habis perkara!” jawab Kiu-bwe Coa-li dengan suara menyeramkan.
Sui Ceng cepat menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya dan berkata dengan suara memohon.
“Suthai, ampunkan kesalahan mereka. Mereka tidak tahu siapa adanya Suthai. Biarlah teecu (murid) yang bicara dengan mereka.”
Cambuk berekor sembilan itu masih bergetar di tangan Kiu-bwe Coa-li dan dipegang di atas kepalanya. Akan tetapi, perlahan-lahan cambuk itu turun dan nenek itu berkata penuh penyesalan.
“Hm, kau anak nakal! Siapa peduli akan menteri dan kaisar? Dasar kau yang mencari-cari perkara!”
Namun jawaban ini sudah cukup bagi Sui Ceng. Setiap kali gurunya menyebutnya “anak nakal” itu berarti bahwa gurunya memenuhi permintaannya. Dengan girang dia lalu melompat bangun dan menghadapi tiga orang panglima yang memandang dengan mata terbelalak, masih kaget dan takut melihat sikap Kiu-bwe Coa-li yang aneh dan galak.
“Sam-wi Lo-pek (Paman Bertiga), sesungguhnya guruku ini tidak peduli sama sekali tentang di mana adanya Lu-taijin. Hanya atas desakanku saja beliau terpaksa mencari tempat persembunyian Lu-taijin. Harap Sam-wi jangan mencurigai kami. Biarpun kami sudah mendengar bahwa Lu-taijin membawa harta pusaka besar, namun kami bukan sebangsa perampok dan kunjungan kami hanya sekedar ingin bertemu karena aku ingin sekali bicara dengan orang tua yang mulia dan gagah perkasa itu.”
Merahlah wajah tiga orang panglima itu mendengar ini. Mereka segera menjura dalam sekali dan seorang di antara mereka berkata,
“Maaf, maaf! Mohon maaf sebanyaknya bahwa kami yang sudah menerima pertolongan, sebaliknya telah berani mati untuk mencurigai Ji-wi. Kebetulan sekali kami pun baru saja tiba dengan maksud mengunjungi Lu-taijin yang sudah lama kami tinggalkan di sini. Akan tetapi ketika tadi kami melihat pasukan pemberontak berkumpul di sini, kami menjadi khawatir dan segera menyerbu mereka. Lu-taijin berada di dalam goa itu, Lihiap. Marilah kita bersama masuk ke dalam untuk menemuinya, karena kami sudah sangat ingin melihat keadaannya.”
Biarpun tiga orang panglima itu bergerak cepat memasuki goa, tetap saja Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng dapat mendahului mereka. Dan alangkah heran dan kaget hati tiga orang itu ketika melihat betapa dengan tangan kirinya saja Kiu-bwe Coa-li dapat mendorong pintu raksasa itu sehingga terbuka, nampaknya tanpa mengerahkan tenaga sedikit pun juga. Mereka mengeluarkan lidah saking kagumnya. Mereka bertiga yang bertenaga besar masih tak dapat mendorong pintu itu terbuka dan biasanya mereka hanya masuk dengan mempergunakan alat pembuka pintu yang tersembunyi di luar pintu itu.
Lima orang ini memasuki pintu dan Kiu-bwe Coa-li nampak tertegun sejenak melihat tengkorak-tengkorak raksasa itu. Biarpun ia seorang nenek sakti yang sudah ratusan kali menghadapi bahaya maut dan kejadian yang aneh-aneh dan menyeramkan, namun selama hidupnya baru pertama kali ini ia menyaksikan tengkorak-tengkorak yang demikian menyeramkan. Adapun Bun Sui Ceng yang masuk di belakang gurunya, mengeluarkan seruan tertahan dan merasa bulu tengkuknya berdiri! Tak terasa pula dia memegang tangan gurunya.
“Apa kau takut?” tanya Kiu-bwe Coa-li tak puas sambil menoleh dan memandang kepada muridnya. Bun Sui Ceng cepat melepaskan pegangan tangannya dan menggeleng, kini mengangkat dada dan mengedikkan kepalanya yang manis.
Mereka masuk terus ke dalam dan tiba-tiba tiga orang panglima itu menjerit berbareng.
“Lu-taijin…….!” Tergopoh-gopoh mereka berlari menghampiri tubuh kakek yang sudah menggeletak miring di bawah dinding goa itu, tangan kiri memegang pedang Liong-coan-kiam, sedangkan tangan kanan memegang alat pengukir.
“Lu-taijin…..!” kembali tiga orang berseru sambil beramai-ramai mengangkat tubuh kakek itu yang sudah lemas dan dingin.
Melihat sekelebatan saja, Kiu-bwe Coa-li tahu bahwa kakek itu sudah tak bernyawa lagi.
“Tak perlu ribut-ribut, dia sudah mati,” katanya. “Mari kita pergi, Sui Ceng, untuk apa berdiam di sini lebih lama lagi setelah orangnya yang ingin kau temui itu meninggal dunia?”
Akan tetapi muridnya tidak menjawab dan ketika Kiu-bwe Coa-li memandang, ia melihat muridnya itu tengah membaca ukir-ukiran yang berada di dinding tepat di mana kakek tadi menggeletak mati. Kiu-bwe Coa-li melangkah maju dan ikut membaca huruf-huruf yang diukir amat indahnya itu.
“Lu Kwan Cu”
Kau cucu tunggal setelah seluruh keluargaku dibakar oleh pemberontak An Lu Shan. Lu Thong tak termasuk hitungan. Kepadamu kuharapkan agar kau membinasakan seluruh keluarga An Lu Shan, bukan untuk membalaskan kesengsaraan keluarga, melainkan kesengsaraan rakyat dan negara! Pedang Liong-coan-kiam kuberikan kepadamu. Sekali lagi, bebaskanlah rakyat daripada angkara penjahat besar An Ku Shan sekeluarganya!
Kong-kongmu,
LU PIN
“Hebat, sampai nyawanya meninggalkan raga, beliau tetap seorang patriot sejati bagi nusa dan bangsanya,” kata Sui Ceng dan ketika Kiu-bwe Coali memandang, ia melihat mata muridnya itu berlinang air mata.
“Hm, hm, hm, kau telah terpengaruh oleh semangat kakek itu, Sui Ceng. Mari kita kembali ke gunung, untuk apa menyeret diri ke dalam kancah permusuhan?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, Suthai. Biarpun Suthai di mulut berkata demikian, akan tetapi teecu telah tahu akan perasaan hati Suthai. Bukankah dahulu Suthai juga menjadi marah dan mencoba untuk membasmi kaki tangan An Lu Shan? Teecu akan membantu untuk memenuhi cita-cita Lu-taijin yang mulia, hendak teecu basmi penjahat-penjahat yang menindas rakyat itu,” katanya dengan gagah.
Kiu-bwe Coa-li menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mereka itu kuat sekali, Sui Ceng. An Lu Shan dibantu oleh orang-orang pandai dan agaknya sudah menjadi takdir bahwa negara kita harus berada di dalam kekuasaan mereka. Lagi pula, bukankah menurut pesan Lu-taijin, yang diserahi tugas adalah Lu Kwan Cu? Heran aku, siapakah Lu Kwan Cu itu?”
Tiba-tiba Sui Ceng tersenyum. Gadis ini memang luar biasa, mudah menangis dan mudah pula tersenyum. Ia teringat akan Kwan Cu, bocah gundul itu dan tak terasa pula tersenyum geli kalau mengingat betapa tugas seberat itu diserahkan kepada bocah gundul setolol itu!
“Suthai, tidak ingatkah Suthai akan anak laki-laki yang menjadi sebab keributan dahulu? Semua tokoh besar memperebutkan dia, gara-gara kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu!’
Berubah wajah nenek sakti itu. “Ah….. dia……??” Ia mengerutkan kening dan berkata. “Sui Ceng, bocah itu bukan bocah biasa dan siapa tahu kalau-kalau dia sudah mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Sui Ceng kembali tersenyum geli. “Mana mungkin begitu, Suthai? Di waktu gurunya, Ang-bin Sin-kai, tewas oleh keroyokan kaki tangan An Lu Shan, Kwan Cu tidak muncul dan sudah lama dia tidak memperlihatkan diri. Bagaimana dia bisa melakukan tugas sepenting ini? Biarlah aku mewakilinya, karena tugas ini bukan hanya tugasnya, melainkan tugas setiap orang gagah yang membela negara dan bangsanya.”
Diam-diam Kiu-bwe Coa-li bangga dan girang melihat sikap muridnya. Tidak percuma ia mempunyai murid yang hanya seorang ini, karena memang muridnya ini berjiwa gagah. Dia sendiri jemu untuk berurusan dengan segala keruwetan dunia, apalagi ia memang merasa kecewa ketika tidak berhasil membinasakan tokoh-tokoh yang mengkhianati bangsa.
“Baiklah, Sui Ceng. Kau boleh melakukan tugas ini, akan tetapi kau berhati-hatilah. Dan jangan lupa bahwa kau harus mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, maksudku sebetulnya, kau harus mencari pemuda murid iblis utara itu, The Kun Beng.”
Merah sekali wajah Sui Ceng. Ia mengerti akan maksud gurunya, akan tetapi untuk mendapatkan penjelasan yang lebih nyata, ia pura-pura bertanya,
“Mengapa teecu harus mencari dia, Suthai?”
“Bocah bodoh! Seorang anak harus mentaati kehendak orang tuanya. Aku sendiri sebagai gurumu, tidak bisa berkata apa-apa, karena dalam hal perjodohan, orang tuamulah yang lebih berhak. Biarpun ibumu sudah tida ada, akan tetapi pesannya harus ditaati. Bukankah ibumu sudah mengikatkan tali perjodohan antara kau dan The Kun Beng murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Nah, kaucarilah dia agar perjodohan dapat dilangsungkan segera. Tentu saja kau harus memberi tahu kepadaku apabila pernikahan akan dilangsungkan.”
Warna merah makin menjalar luas sampai membikin merah kedua telinga gadis itu.
“Aahh, Suthai……! Perlu benarkah itu? Antara dia dan aku tidak ada hubungan sedikit pun juga. Bahkan semenjak kanak-kanak sampai sekarang, aku tak pernah melihat dia!”
“Biarpun begitu, Sui Ceng. Jodoh itu sudah ditakdirkan oleh Thian dan disahkan oleh orangtua. Apakah sukarnya mencari murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Dia tentu lihai sekali seperti suhunya.”
Sui Ceng cemberut. “Biarpun dia lihai dan baik, teecu tidak peculi, Suthai. Mana ada wanita mencari laki-laki? Kalau dia memang sudah diikatkan dengan teecu, mengapa bukan dia yang mencari teecu? Mengapa harus teecu yang mencarinya? Teecu tidak sudi!”
Kiu-bwe Coa-li tertawa, suara ketawanya aneh sekali. “Bodoh, lupa bahwa kita berdua menyembunyikan diri di gunung dan tak seorang pun tahu di mana kita berdua? Andaikata dia mencari, apa kau kira dia bisa menemukan kita? Sudahlah, kau boleh berangkat dan hati-hatilah, jangan kau berpikiran singkat. Ingat semua nasihat dan pelajaran yang selama ini kaudapatkan dariku.” Kiu-bwe Coa-li meraba kepala muridnya dengan sentuhan mesra. Menghadapi sikap yang tidak seperti biasanya dari gurunya, terharulah hati Sui Ceng dan gadis ini lalu memeluk gurunya sambil menangis.
“Jaga baik-baik dirimu, Suthai. Tak lama lagi teecu tentu akan menyambangi Suthai di puncak gunung.”
Pada saat itu, tiga orang panglima sedang sibuk mencoba untuk memindahkan hio-louw (tempat abu hio) yang amat besar, akan tetapi sia-sia belaka. Hio-louw itu beratnya seribu kati lebih dan tidak dapat mereka angkat!
Mendengar suara mereka “ah-ah-uh-uh-uh!” mengerahkan tenaga, Kiu-bwe Coa-li menengok.
“Eh, eh, eh, tidak mengurus jenazah baik-baik melainkan mengangkat-angkat hio-louw besr itu, apa-apaan kalian ini?” Kiu-bwe Coa-li menegur mereka.
Mendengar ini, tiga orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kiu-bwe Coa-li.
“Suthai yang mulia, tolonglah kami. Lu-taijin dahulu berpesan bahwa apabila beliau meninggal dunia, agar supaya jenazahnya dikubur di bawah hio-louw. Tidak tahunya hio-louw ini demikian beratnya sehingga kami bertiga tidak kuat memindahkannya.”
“hm, hm, hm, orang-orang lemah seperti kalian ini mana bisa berhasil melawan pasukan-pasukan An Lu Shan?” kata Kiu-bwe Coa-li mengejek, akan tetapi ia bertindak menghampiri hio-louw itu. Dengan tangan kanannya dia memegang telinga hio-louw dan sekali sentak, hio-louw itu terangkat naik dan diturunkannya lagi di tempat yang agak jauh dari tempat semula!
Tiga orang itu saling pandang dan mereka menghaturkan terima kasih sambil berlutut. Kemudian mereka cepat menggali lubang di bawah hio-louw itu. Kiu-bwe Coa-li mengambil pedang Liong-coan-kiam dari tangan jenazah Lu Pin, memandang pedang itu dan mengangguk-angguk kagum.
“Pedang pusaka yang baik,” katanya. “Suthai, pedang itu adalah pedang untuk Kwan Cu,” kata Sui Ceng, mengira bahwa gurunya menginginkan pedang tadi.
“Untuk apa pedang macam ini bagiku?” kata Kiu-bwe Coa-li dan sekali ia menggerakkan tangan yang memegang pedang, pedang itu meluncur seperti anak panah dan tertancap sampai ke gagangnya pada dinding batu karang yang diukir oleh Lu Pin! Pedang itu tertancap di tengah-tengah tulisan-tulisan itu dan sukarlah bagi orang biasa untuk mencabutnya kembali!
“Aku pergi, Sui Ceng,” kata nenek itu dan tanpa menanti jawaban tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ.
Tiga orang panglima yang sedang menggali lubang, melihat kepergian nenek itu, menjadi bingung sekali. Mereka keluar dari lubang dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sui Ceng.
“Lihiap, harap kau jangan pergi dulu. Siapa yang akan mengembalikan hio-louw itu di tempat semula?”
Sui Ceng ragu-ragu, akan tetapi melihat kepada mayat Menteri Lu Pin yang wajahnya masih membayangkan keagungan, ia mengangguk. Tiga orang itu bekerja keras dan setelah lubang itu cukup dalam dan dengan penuh penghormatan dan di antar oleh tangis, mereka mengubur jenazah Menteri Lu Pin. Sui Ceng lalu mengerahkan tenaganya akan tetapi hanya setelah mempergunakan kedua tangannya, gadis ini dapat memindahkan hio-louw yang memang amat berat.
Tiga orang panglima itu juga membaca tulisan yang diukir di dinding, lalu mereka menyatakan kepada Sui Ceng bahwa mereka di dalam perjuangan hendak pula mendengar-dengar kalau-kalau ada pemuda yang dimaksudkan oleh mendiang Lu-taijin itu. Setelah itu, mereka lalu keluar dari goa. Sui Ceng berkata,
“Mari kita tutup goa ini dengan batu-batu agar tidak ada sembarang orang dapat memasukinya dan mengganggu goa ini.” Setelah berkata demikian, gadis ini melempar-lemparkan batu-batu besar menutupi mulut goa.
Tiga orang itu tertegun. “Akan tetapi…… bagaimana kalau pemuda yang bernama Lu Kwan Cu itu datang ke sini? Bagaimana dia akan dapat masuk?”
Sui Ceng tertawa. “Kalau dia sanggup menunaikan tugas yang diberikan kepadanya, apa susahnya untuk membongkar batu-batu ini dan membuka goa?”
Terpaksa tiga orang itu lalu membantu dan sebentar saja goa itu telah tertutup oleh batu-batu yang bertumpuk sehingga tidak kelihatan dari luar. Kemudain tanpa banyak cakap lagi Sui Ceng lalu melompat pergi diikuti oleh pandang mata tiga orang panglima itu yang merasa takjub dan kagum sekali.
***
“Turunkan aku……! Lepaskan aku…..! lepaskan, kau laki-laki kurang ajar!” Gadis dalam pondongan Kwan Cu itu meronta-ronta dan memaki-maki minta dilepaskan dari pondongan. Namun Kwan Cu tidak mempedulikannya, sama sekali tidak menjawab bahkan membiarkan saja kedua tangan gadis itu memukul-mukuli dadanya. Ia merasa betapa pukulan tangan gadis itu cukup antep dan keras, namun baginya tidak terasa sama sekali. Diam-diam Kwan Cu merasa mendongkol sekali, maka dia sengaja tersenyum sambil berlari terus dengan cepatnya, keluar dari kota raja.
Akhirnya gadis itu tidak dapat melanjutkan makiannya karena ia merasa lelah, hanya menangis sambil menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda yang membawanya lari.
Setelah tiba jauh dari tembok kota raja, Kwan Cu masuk ke dalam hutan dan menurunkan gadis itu di bawah sebantang pohon. Malam telah berganti pagi dan keadaan yang suram sejuk itu menyatakan kepadanya akan kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh gadis yang telah ditolongnya. Kwan Cu tersenyum.
“Nah, disini kau boleh memaki-maki dan menjerit sekerasmu. Para pengejar dari istana telah tertinggal jauh dan keadaan kita tidak terancam bahaya lagi.”
“Kau….. kau laki-laki kasar, kurang ajar dan sombong! Kau berani memondongku, laki-laki sopan tidak akan sudi menyentuh kulit tubuh seorang gadis yang tidak dikenalnya. Kalau ada kakakku disini, kau tentu akan dihancurkan kepalamu!” Gadis itu memaki lagi dengan sepasang matanya bersinar-sinar, menyaingi bintang pagi yang masih berkedip-kedip di angkasa.
Kwan Cu tersenyum lebar. “Kaumaksudkan kakakmu Gouw Swi Kiat? Murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Aha, dia takkan marah-marah seperti kau, bahkan akan mengucapkan terima kasih kepadaku. Wahai gadis manis, tahukah kau mengapa aku menolongmu?”
“Mengapa lagi kalau kau tidak tertarik oleh kecantikan seorang gadis muda? Laki-laki di mana-mana sama saja, gila kecantikan dan lupa daratan, lupa perikemanusiaan menjadi budak nafsu binatang!”
Berkerut kening Kwan Cu. Hatinya tersinggung sekali.
“Hmmm, entah karena memang watakmu yang galak dan kasar ataukah karena kau sudah mengalami banyak penderitaan maka kau dapat mengeluarkan tuduhan sekeji itu. Dengarlah, perempuan, aku menolongmu karena empat hal. Pertama-tama aku benci melihat An Kong si pangeran botak yang mata keranjang itu. Ke dua karena aku mendengar bahwa kau adalah kekasih The Kun Beng, seorang kenalanku yang baik. Ketiga karena kau adalah adik dari Swi Kiat seorang sahabatku pula, dan keempat karena aku melihat muka si tua Siangkoan Hai dan murid-muridnya. Kaukira aku mempunyai maksud lain apa lagikah? Kalau kau tidak suka, sudahlah, biarkan aku pergi. Terima kasih atas segala makian dan tuduhanmu yang keji!” Setelah melontarkan kata-kata ini dengan suara gemas, Kwan Cu lalu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi. Ia mengkal sekali.
“In-kong ……… (tuan penolong), perlahan dulu………”
Kwan Cu mengangkat alis dan menoleh. Ia tertegun melihat gadis itu berdiri memandangnya dengan mata sayu dan di atas kedua pipi yang halus itu nampak butiran-butiran air mata! Benar-benar heran sekali, bagaimana gadis ini yang tadi marah-marah sekarang berbalik menangis? Sikap dan watak wanita benar-benar merupakan teka-teki besar bagi Kwan Cu.
“Ada apalagi kau memanggil aku? Mengapa pula memakai sebutan In-kong? Aku tidak menolongmu. Apakah kurang cukup makian-makianmu tadi?”
Makin deras keluarnya air mata dari sepasang mata yang bening itu.
“Benar-benarkah kau…… tidak akan menggangguku seperti yang kusangka semula?”
Kwan Cu tersenyum pahit, lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Kau memang manis dan mudah menggugah hati laki-laki untuk mengganggumu. Akan tetapi karena kau sudah terlalu banyak menderita yang diakibatkan oleh sinar mata keranjang pria kau lalu menganggap bahwa semua laki-laki gila nafsu dan mata keranjang. Tidak Nona, aku Lu Kwan Cu selama hidupku tidak akan mempergunakan kekerasan mengganggu wanita.”
Gadis ini terkejut mendengar nama ini, karena tadi di dalam kamar An Kong, ia sama sekali tidak memperhatikan nama ini.
“Jadi kau ini Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai yang sering di sebut-sebut oleh Kun Beng? Ah, maafkan aku….. maafkan aku yang sedang menderita ini….” Tiba-tiba gadis itu menubruk maju dan berlutut di depan Kwan Cu.
Pemuda ini menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. Lalu dia mengangkat tubuh gadis itu sambil memegang kedua pundaknya.
“Sudahlah, Nona, tak perlu semua penghormatan ini dan kau janganlah terlalu berduka, tidak baik untuk kesehatanmu.”
Mendengar ucapan ini, gadis itu lalu memeluk dan menjatuhkan mukanya di dada Kwan Cu seakan-akan seorang adik yang minta hiburan dari seorang kakak yang menyayanginya.
“Nasibku amat buruk…..” keluhnya sambil menangis.
Kembali Kwan Cu menggeleng kepala berkali-kali. Aneh sekali watak gadis ini, pikirnya. Tadi ditolong dan dipondong begitu saja, memaki-maki dan meronta-ronta, mengatakan dia kurang ajar dan tidak sopan. Sekarang atas kehendak sendiri bahkan memeluknya dan mendekapkan muka di dadanya. Alangkah anehnya. Akan tetapi timbul hati kasihan di dalam hatinya menyaksikan gadis itu terisak-isak di dadanya.
“Tenanglah, diamlah, Nona. Mengapa kau begini berduka?” Tanpa terasa, darah Kwan Cu panas juga. Dia seorang pemuda yang belum pernah berdekatan dengan seorang wanita, apalagi bersentuhan kulit atau lebih-lebih lagi memeluk tubuh seorang gadis yang demikian cantik. Otomatis tangannya mengelus-elus rambut yang hitam panjang dan halus itu, sedangkan hatinya berdebar tidak karuan.
Rabaan tangan penuh kasih dan iba dirambutnya agaknya terasa oleh gadis itu. Dengan kaget ia menjauhkan dirinya, memandang kepada Kwan Cu, akan tetapi kini sinar ketakutan dan curiga telah lenyap dari matanya.
“Apakah kau kenal baik dengan Kun Beng dan kakakku Swi Kiat?” tanya gadis itu.
“Aku hanya bertemu dengan mereka sewaktu aku masih kecil. Dahulu kakakmu itu seorang anak yang berangasan, berbeda dengan Kun Beng yang halus dan ramah. Akan tetapi dahulu aku tidak tahu bahwa Swi kiat mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Kui Lan.”
Gadis itu, Gouw Kui Lan, tersenyum pahit. “Memang kakakku selalu ikut dengan gurunya dan aku tinggal di rumah bersama orang tuaku. Akan tetapi sekarang kedua orang tuaku telah meninggal dunia dan aku hidup berdua dengan Kiat-ko. In-kong, aku hendak minta pertolonganmu, kauusahkanlah perdamaian antara Kiat-ko dan Kun Beng.”
“Eh, mengapakah? Apakah mereka itu berselisih?”
Kui Lan mengangguk dan menarik napas panjang, lalu duduk di atas akar pohon. “Duduklah, In-kong. Mereka tidak hanya berselisih, bahkan Kiat-ko telah bersumpah untuk mencari dan membunuh Kun Beng…. Dan aku tidak rela melihat Kun Beng terbunuh olehnya. Aku…… aku cinta kepada Kun Beng.”
Merah muka Kwan Cu mendengar pengakuan yang dianggapnya amat ganjil dari mulut gadis ini. “Aku sudah mendengar ketika kau bicara dengan pangeran botak An Kong. Akan tetapi, mengapakah mereka bermusuhan? Mereka adalah saudara sepergururan, bagaimana mereka bias bermusuhan sedemikian hebat sehingga kakakmu bersumpah untuk membunuh sutenya sendiri?”
Sampai beberapa lama Kui Lan ragu-ragu, kemudian ia menghela napas dan berkata, “Kun Beng seringkali membicarakan engkau, dan memujimu sebagai seorang yang aneh dan berbudi. Oleh karena itu, tiada salahnya kalau aku menceritakan semua peristiwa yang kualami kepadamu, apalagi karena aku hendak minta tolong kepadamu untuk mengakurkan mereka kembali.”
Kui Lan lalu bercerita, menurutkan pengalamannya dengan singkat, akan tetapi agar lebih jelas bagi kita, marilah kita mengikuti sendiri semua pengalamannya itu.
Swi Kiat dan Kui Lan adalah putera-puteri dari keluarga Gouw yang bertempat tinggal di dalam Propinsi Hok-kian. Sesungguhnya ayah dari kedua orang anak ini adalah bekas seorang perwira Kerajaan Tang yang telah mengundurkan diri karena tidak suka melihat kaisar dan para pembesar lainnya melakukan korupsi besar-besaran dan bukan merupakan pemimpin dan pelindung rakyat, bahkan sebaliknya merupakan pemeras-pemeras berwewenang yang lebih jahat daripada perampok-perampok tulen.
Bekas perwira she gouw ini membawa keluarganya pindah ke dalam dusun dan uang simpanan yang tidak seberapa dia membeli tanah dan hidup sebagai petani yang berbahagia dan tenteram. Ia di segani di dusunnya karena selain luas pengertiannya, juga dia memiliki kepandaian silat yang bagi orang-orang dusun sudah amat tinggi sehingga dusun itu menjadi aman. Tidak ada orang jahat berani memperlihatkan aksinya setelah Gouw-ciangkun ini tinggal di situ.
Pada suatu hari, Swi Kiat dan adiknya bermain-main di halaman depan rumahnya. Ketika itu Swi Kiat baru berusia lima tahun dan Kui Lan berusai tiga tahun. Sebagai putera seorang petani, Swi Kiat memang amat rajin. Kalau dia tidak membantu para pekerja di ladang, baik hanya untuk mengawasi atau pun membantu sedikit-sedikit sesuai dengan kemampuan tenaganya yang masih kecil, tentu dia membantu pekerjaan ibunya. Pada hari itu, Swi Kiat bertugas menjaga adiknya yang masih kecil dan mengajaknya bermain-main.
Pada saat mereka bermain-main, tiba-tiba kelihatan seorang kakek kecil pendek yang berpakaian sederhana. Entah darimana datangnya kakek ini karena tahu-tahu telah berada di luar pekarangan rumah dan duduk di atas rumput, memandang ke arah dua orang anak yang bermain-main itu. Swi Kiat dan Kui Lan melihat pula orang itu, akan tetapi tidak memperhatikannya karena hanya mengira bahwa kakek itu seorang dusun lain yang duduk beristirahat. Padahal sebetulnya kakek ini bukan lain adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, seorang tokoh besar yang baru namanya saja sudah cukup hebat untuk membuat penjahat-penjahat mengangkat kaki seribu!
“Engko Kiat, ambilkan bunga itu…..” kata Kui Lan merengek-rengek.
“Mengapa kau minta bunga yang buruk di atas pohon itu? Lebih baik kucarikan bunga teratai di empang atau bunga mawar di kebun belakang, lebih bagus dan mudah mengambilnya,” jawab kakaknya.
“Tidak mau, aku mau bunga yang di atas pohon itu!’ Kui Lan tetap merengek.
“Baiklah, baiklah, tapi jangan kau menangis,” Swi Kiat marah-marah, akan tetapi dia lalu naik ke atas pohon itu untuk mencarikan bunga bagi adiknya. Dalam usia lima tahun, Swi Kiat telah mulai berlatih silat dan tubuhnya digembleng oleh ayahnya sehingga dia memiliki tenaga dan kegesitan yang lebih daripada anak-anak biasa. Bagaikan seekor monyet, dia memanjat pohon itu dan megambilkan tiga tangkai bunga. Akan tetapi, sebelum dia turun, tiba-tiba dia merasa seluruh tubuhnya sakit dan gatal-gatal. Alangkah kagetnya ketika anak ini melihat bahwa dia telah dikeroyok oleh ratusan ekor semut merah karena tanpa disengaja dia tadi telah menyentuh sarang mereka.
Swi Kiat memiliki ketabahan besar dan biarpun dia sibuk sekali mengusir semut-semut yang menggigit di badannya, dia tidak mengeluarkan keluhan hanya berseru, “Semut….. semut…….!” Ia merayap turun sambil menggaruk sana menepuk sini. Gigitan semut-semut merah itu sakit dan gatal luar biasa sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi. Ketika dua tangannya sibuk mengusir semut, keseimbangan tubuhnya kacau dan dia terpeleset dari atas dahan!
Anak itu tentu akan mengalami bencana hebat karena dia terjatuh dari dahan yang tinggi sekali. Akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting di atas tanah, tiba-tiba terdengar suara orang.
“Bodoh sekali…..!” dan tahu-tahu tubuh Swi Kiat telah ditangkap oleh sebuah lengan yang pendek kecil sehingga dia tidak sampai terbanting ke atas tanah. Kakek yang tadi duduk di luar pekarangan, tahu-tahu telah berada di situ dan dapat menyambut tubuh Swi Kiat dengan amat mudah.
Swi Kiat masih sibuk mengusiri semut dan menggaruk ke sana ke mari. Biarpun semut-semut itu sudah pergi, namun gatal-gatal masih hebat sekali sehingga anak ini tidak mempedulikan kakek yang telah menolongnya.
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya dan pundak Swi Kiat ditampar. Aneh sekali, seketika itu juga lenyaplah rasa gatal dan sakit bekas gigitan semut, sungguhpun di sana-sini masih nampak merah-merah bekas gigitan. Swi Kiat memandang dengan mata terbelalak, barulah dia teringat bahwa kakek ini telah menolongnya, maka serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut.
“Kakek yang baik, terima kasih atas pertolonganmu.”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai senang sekali melihat Swi Kiat. Ia dapat melihat bahwa anak ini bertulang baik dan bakatnya luar biasa. Juga melihat betapa dalam penderitaan anak itu tidak mengeluh sama sekali, membuktikan bahwa anak itu memiliki ketabahan dan ketenangan. Tiga tangkai kembang masih selalu di pegangnya, ini pun menyatakan bahwa dia memiliki dasar setia.
Swi Kiat lalu memberikan kembang itu kepada Kui Lan yang menerimanya dan terus bersembunyi di belakang kakaknya, karena ia takut melihat kakek kecil pendek yang suaranya nyaring itu.
“Anak yang tangkas, kalau hendak mengambil bunga di atas pohon, mengapa susah-susah memanjat pohon yang banyak semutnya?” kata Siangkoan Hai tertawa.
“Eh, kakek yang aneh. Kembang berada di atas pohon, kalau tidak memanjat naik, habis bagaimana mengambilnya?” tanya Swi Kiat heran.
Siangkoan Hai tertawa makin keras. “Banyak jalannya. Kau bias menyambit tangkai kembang sehingga kembang-kembang itu turun sendiri ke bawah, atau kau dapat melompat dan mengambilnya tanpa menyentuh dahan pohon yang banyak semutnya.”
Swi Kiat berpikir sejenak, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, “Membicarakannya mudah, akan tetapi siapa dapat melakukan hal itu?” Memang Swi Kiat seorang anak yang keras hati dan tidak mau kalah begitu saja kalau tidak melihat buktinya.
“Kau tidak percaya kepadaku? Lihat baik-baik!” Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengambil segenggam batu kerikil dan sekali tangannya bergerak, lima butir kerikil melayang ke arah pohon dan….. tak lama kemudian, lima tangkai bunga melayang ke bawah.
“Hebat sekali kepandaianmu menyambit, kakek yang baik. Akan tetapi, bagaimana dengan jalan ke dua?”
Siangkoan Hai tertawa makin keras dan tiba-tiba tubuhnya yang pendek kecil melayang ke arah pohon. Gerakan tubuhnya hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata karena tiba-tiba dia sudah turun kembali dan ditangannya terdapat sepuluh tangkai bunga! Bunga-bunga ini dia berikan kepada Kui Lan yang tertawa-tawa gembira. Anak ini belum dapat menghargai dan mengagumi semua perbuatan kakek itu yang dianggapnya aneh. Yang membikin dia gembira adalah pemberian bunga-bunga yang banyak itu.
“Luar biasa sekali!” tiba-tiba terdengar suara Gouw-ciangkun datang berlari-lari dari luar pekarangan, terus menjura dengan hormat kepada Siangkoan Hai.
“Ayah, kakek ini lihai sekali, aku ingin belajar ilmu kepandaian dari padanya,’ kata Swi Kiat sambil memandang kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan mata kagum.
“Locianpwe benar-benar amat mulia, sudi mengajak main-main anak-anakku yang bodoh dan nakal,” kata Gouw-ciangkun.
“Memang puteramu ini berjodoh dengan aku, biarlah dia menjadi muridku,” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Gouw-ciangkun adalah seorang bekas perwira dan ahli silat, maka dia tahu akan perlunya anak-anaknya mempelajari ilmu silat. Mendengar ucapan kakek yang kecil pendek ini, dia lalu menjura dan berkata,
“Banyak terima kasih atas budi Locianpwe, akan tetapi bolehkah kiranya siauwte mengetahui nama Locianpwe yang mulia?”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai berwatak keras dan sombong, akan tetapi dia jujur dan baik hati. Ia tidak menjawab pertanyaan Gouw-ciangkun, karena baginya perkenalan tiada artinya dan bersopan-sopan juga bukan kegemarannya, dia bahkan bertanya kepada Swi Kiat.
“Eh, bocah tangkas. Sukakah kau menjadi muridku?”
Swi Kiat memang cerdik. Dia sudah yakin betul bahwa kakek ini seorang luar biasa maka dia segera menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu, teecu merasa gembira sekali.”
Siangkoan Hai tertawa dan menoleh kepada Gouw-ciangkun. “Puteramu sudah setuju, aku tiada banyak waktu. Selamat tinggal!” Tiba-tiba saja dia berkelebat dan tahuh-tahu kakek itu dan juga Swi Kiat tidak kelihatan pula bayangannya.
Gouw-ciangkun terkejut bukan main. Ia girang bahwa puteranya mendapatkan guru yang demikian lihai, akan tetapi dia juga gelisah karena tidak tahu siapakah gerangan guru anaknya itu. Maka biarpun kakek itu sudah tidak kelihatan, dia tetap berseru keras.
“Locianpwe, mohon kau sudi meninggalkan nama!”
Entah darimana datangnya, terdengar amat jauh akan tetapi jelas sekali, ada jawaban, “Orang menyebutku Pak-lo-sian!”
Mendengar ini, Gouw-ciangkun tertegun dan berdiri seperti patung. Ia girang bukan main dan juga kaget karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa kakek kecil pendek itu adalah tokoh besar dari utara yang karena kesaktiannya mendapat julukan Dewa Utara!
Demikianlah, Swi Kiat semenjak hari itu mengikuti suhunya dan tak lama kemudian gurunya mengambil murid seorang anak lain yakni The Kun Beng.
Hanya sekali setahun, kadang-kadang sampai dua tahun, Swi Kiat datang mengunjungi orang tuanya atas perkenan suhunya yang mengajaknya merantau jauh. Kehidupan keluarga Gouw aman dan tenteram sampai terjadinya sebuah peristiwa beberapa belas tahun kemudian.
Kui Lan telah berusia tujuh belas tahun dan ia merupakan seorang gadis yang amat cantik jelita, bagaikan bunga mawa yang sedang mekar semerbak. Gadis ini pun mempelajari ilmu silat akan tetapi hanya dibawah pengajaran ayahnya sendiri yang tentu saja kalah jauh apabila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Siangkoan Hai. Setiap kali Swi Kiat mengunjungi orang tuanya, pemuda ini tentu memberi petunjuk-petunjuk kepada adiknya sehingga Kui Lan memperoleh kemajuan pesat. Tentu saja kini tingkat kepandaian Swi Kiat jauh melampaui ayahnya sehingga orang tua itu menjadi amat bangga dan girang.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, semenjak Gouw-ciangkun tinggal di dusun, keadaan di situ aman dan tenteram, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan aksinya. Apalagi setelah Kui Lan menjadi dewasa dan memiliki kepandaian silat tinggi, orang-orang makin menaruh hormat dan segan terhadap keluarga Gouw ini.
Akan tetapi, pada suatu hari, dusun ini kedatangan serombongan orang-orang kasar yang ternyata adalah gerombolan perampok ganas yang melarikan diri dari utara karena mereka diobarak-abrik oleh Swi Kiat dan Kun Beng! Kepala rampok yang memimpin gerombolan ini bernama Ang Hok yang berjuluk Tok-hui-coa (Si Ular Terbang Berbisa). Berkat penyelidikannya, Ang Hok mendapat keterangan bahwa seorang di antara dua pemuda murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang perkasa itu adalah putera Gouw-ciangkun yang tinggal di dusun Keng-kin-bun di sebelah utara kota raja. Dengan hati mengandung dendam, Tok-hui-coa Ang Hok lalu melarikan diri membawa anak buahnya yang belum tewas menuju dusun itu untuk membalas dendamnya kepada keluarga Gouw!
Pada senja hari itu, Gouw-cingkun ditemani oleh isterinya dan Gouw Kui Lan, tengah makan malam sehabis bekerja keras sehari penuh, mengepalai buruh tani di sawah. Mereka makan sambil bercakap-cakap dan seperti biasa yang dipercakapkan mereka tentulah Swi Kiat.
“Tahun baru kurang tiga pekan lagi,” kata Gouw-ciangkun, “tentu Swi Kiat akan pulang.”
“Dulu Kiat-ko bilang bahwa sekarang dia jarang ikut merantau suhunya, karena kakek itu sekarang selalu bertapa di puncak gunung. Bahkan Kiat-ko sering kali mendapat tugas untuk membasmi perampok-perampok dan membantu perjuangan rakyat terhadap pemberontak An Lu Shan,” kata Kui Lan menyambung.
Mereka bicara dengan asyik sekali. Tiba-tiba mereka terganggu oleh suara gemuruh di luar rumah, suara banyak orang datang berkumpul di situ. Lalu terdengar bentakan keras.
“Inilah rumah keluarga Gouw! Bakar habis, bunuh semua orang!”
Gouw-ciangkun cepat menyambar goloknya, sedangkan Kui Lan juga buru-buru lari ke kamarnya mengambil pedang. Akan tetapi pada saat itu, rumah bagian depan telah di bakar dan pintu depan telah didorong roboh oleh Tok-hui-coa Ang Hok. Di belakang ikut masuk anak buahnya yang sebanyak dua puluh orang.
“Penjahat-penjahat rendah darimanakah berani kurang ajar di rumah kami?” Gouw-ciangkun membentak marah dan menggerakkan golok menghadang mereka.
“Ha, ha, ha, ha, ha! Inikah Gouw-ciangkun yang menjadi ayah dari si laknat Gouw Swi Kiat? Keluarga Gouw, bersiaplah untuk terima binasa!” kata Tok-hui-coa Ang Hok sambil maju menyerbu, mainkan ruyungnya yang besar dan berat.
Gouw-ciangkun dapat menduga bahwa mereka itu tentulah penjahat-penjahat yang merasa sakit hati terhadap puteranya, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyambut serangan lawan dan mengamuk. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia merasa telapak tangannya panas dan sakit ketika goloknya bertemu dengan ruyung itu. Ternyata bahwa tenaga kepala perampok itu besar sekali. Sebentar saja Gouw-ciangkun telah dikeroyok oleh banyak orang.
“Penjahat-penjahat anjing, jangan kurang ajar!’ Tiba-tiba Kui Lan membentak sambil melompat keluar dari kamarnya dengan pedang di tangan. Seorang anggauta perampok yang telah menghampiri nyonya Gouw dengan golok di tangan, tiba-tiba diserangnya dan penjahat itu menjerit dengan dada tertembus pedang!
“Ibu, menyingkirlah ke dalam kamar!” seru Kui Lan sambil memutar pedangnya, membantu ayahnya yang terkepun dan terdesak.
Adapun Tok-hui-coa Ang Hok ketika melihat munculnya seorang gadis yang demikian gagahnya, menjadi seperti linglung dan dia memandang tanpa berkedip.
“Ha, ha, ha, tak kusangka di sini terdapat setangkai bunga cilan yang harum! Kawan-kawan, keroyok dan binasakan anjing tua ini, biar aku memetik kembang itu!” katanya kemudian dan dengan ruyung diputar cepat dia menyambut Kui Lan.
Biarpun Gouw-ciangkun gagah, akan tetapi dia telah mulai tua dan tenaganya terbatas. Lagi pula selama menjadi petani, jarang sekali dia melatih ilmu silatnya dan juga tidak pernah bertempur, maka gerakannya kaku sekali. Bagaimana dia dapat menghadapi keroyokan belasan orang perampok itu? Memang benar bahwa dia telah berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok setelah mengamuk nekat dan mati-matian, akan tetapi akhirnya tubuhnya menjadi korban keganasan para perampok, dihujani pukulan senjata tajam sehingga dia roboh mandi darah.
Adapun Kui Lan, mana ia dapat melawan Tok-hui-coa Ang Hok yang sudah kawakan dan penuh tipu muslihat pertempuran? Baru dua puluh jurus saja pedang di tangan gadis ini sudah terlempar jauh dan sebelum Kui Lan dapat mengelak, ia telah diringkus dan sebuah totokan di pundak membuatnya tidak berdaya lagi.
“Ha, ha, ha, kawan-kawan. Bunuh semua orang di dalam rumah dan bakar habis rumahnya!” teriak Ang Hok sambil lari keluar memondong tubuh Kui Lan.
Para perampok itu tentu saja tidak mau menyia-nyiakan waktu baik ini. Mereka merampok dulu habis-habisan, baru membunuh nyonya Gouw dan membakar rumah itu. Kemudian, dalam perjalanan mereka menyusul kepala mereka, mereka terlebih dulu merampok habis dusun itu dan melakukan permbunuhan keji.
Dalam keadaan lumpuh tertotok jalan darahnya, Kui Lan dibawa pergi oleh Tok-hui-coa Ang Hok ke arah pegunungan batu karang dimana banyak terdapat goa-goa yang besar. Di goa-goa itulah sarang para perapok yang baru datang dari utara ini. Di sepanjang jalan terdengar suara Ang Hok tertawa-tawa menyeramkan. Kepala rampok yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan berwajah menyeramkan ini merasa girang sekali. Sekali ini hasil pekerjaannya memang hebat. Tidak saja dia dapat membalas dendam dan menghabiskan keluarga Gouw untuk membalas sakit hatinya terhadap Gouw Swi Kiat, juga dia berhasil mendapatkan seorang gadis yang cantik jelita seperti Kui Lan yang telah dipondongnya itu.
Hampir pingsan Kui Lan mengalami perlakuan yang kasar dan tidak senonoh oleh kepala rampok ini, akan tetapi apa dayanya? Selain kalah pandai dalam ilmu silat, juga ia telah dibikin tidak berdaya, semua urat-urat ditubuhnya lemas dan tenaganya lenyap. Baiknya sebelum Ang Hok melakukan hal-hal yang lebih hebat lagi, datanglah anak buahnya, tertawa-tawa sambil memanggul hasil-hasil rampokan.
Ang Hok meninggalkan Kui Lan dan keluar dari dalam goa, menemui anak buahnya.
“Kawan-kawan sekalian. Bunga yang kupetik itu benar-benar cantik dan aku telah mengambil keputusan untuk menjadikan isteriku. Bersiaplah untuk merayakan pesta pernikahanku malam nanti!’
Kawan-kawannya bersorak gembira. Memang hal itu merupakan hal baru yang mengherankan. Biasanya kepala rampok itu mengganggu anak bini orang dan setelah bosan lalu dioperkannya kepada anak buahnya. Baru kali ini agaknya kepala rampok itu jatuh hati terhadap seorang wanita!
Kawanan perampok itu lalu mendatangi dusun-dusun dan memaksa orang-orang dusun untuk menyediakan hidangan untuk meramaikan pesta pernikahan kepala mereka. Kasihan sekali orang-orang dusun ini, karena mereka dengan hati berat dan terpaksa harus melakukan segala perintah ini. Suasana di pegunungan batu karang pada malam hari itu ramai sekali dan para perampok menari-nari dan minum sampai mabuk.
Akan tetapi, tiba-tiba di sana-sini terdengar jeritan orang dan beberapa orang perampok roboh tak bernyawa lagi. Seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali tahu-tahu telah berdiri di situ dan kedua tangannya bergerak-gerak. Setiap kali tangannya bergerak, sebutir benda hitam melayang dan mengenai seorang perampok yang tak dapat menghindarkan diri lagi, terus saja roboh dan mati!
Geger keadaan di situ. Orang-orang dusun melihat kesempatan baik ini, cepat-cepat melarikan diri, pulang ke rumah masing-masing di bawah gunung. Adapun para perampok menjadi amat marah dan sebentar saja pemuda itu telah dikepung oleh perampok-perampok yang memegang senjata tajam di tangan.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar