Ang I Niocu
“ORANG she Kiang! Melihat usiamu yang masih muda, kami masih menaruh hati kasihan kepadamu. Kami nasihatkan supaya kau pergi dari sini dan jangan mencampuri urusan kami,” terdengar suara yang kecil dan nyaring.
“Kiang-enghiong, kata-kata Hek-tung Beng-yu (Sahabat Tongkat Hitam) tadi memang tepat. Menilik gerak-gerikmu, kau adalah seorang ahli silat yang sudah pandai, mengapa kau tidak tahu akan peraturan kang-ouw? Kami para ketua perkumpulan pengemis sedang mengurus persoalan kami sendiri, mengapa kau begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusan kami? Lebih baik lekaslah kau pergi sebelum terjadi hal-hal yang kurang baik bagi dirimu,” kata pula suara ke dua yang parau dan kasar.
Suara dua orang ini disusul oleh gumaman banyak mulut yang menyatakan persetujuan. Dua orang yang bicara tadi, juga mereka yang menyatakan persetujuan adalah sekumpulan orang-orang tua yang amat aneh baik bentuk tubuh, pakaian, maupun gerak-gerik mereka. Mereka ini sudah jelas adalah sekumpulan pengemis-pengemis, karena baju mereka penuh tambahan dan di tangan mereka kelihatan tongkat dan tempat sedekah, seperti panci butut, batok, kaleng dan lain-lain. Jumlah mereka ada empat belas orang. Akan tetapi kalau orang tahu siapakah adanya mereka ini, ia akan terkejut, karena mereka ini bukan lain adalah ketua-ketua dari seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis) yang tersebar di seluruh Tiongkok dan merupakan ketua-ketua dari semua perkumpulan terbesar. Jangan ditanya lagi tentang kepandaian mereka! Baru orang pertama yang bicara dengan suara kecil nyaring tadi saja, yang tubuhnya tinggi kurus dan matanya buta sebelah kiri, dia dijuluki orang It-gan Sin-kai (Pengemis Sakti Mata Satu) dan kelihaiannya hanya di bawah kepandaian raja pengemis puluhan tahun yang lalu, yakni Ang-bin Sin-kai (Pengemis Sakti Muka Merah) yang menggemparkan dunia kang-ouw (baca Pendekar Sakti).
Seperti juga Ang-bin Sin-kai yang sudah meninggal dunia, pengemis bermata satu ini beberapa kali pernah menggegerkan istana kaisar karena ia menyerbu dapur dan menyikat habis masakan-masakan yang paling lezat di dapur istana!
Juga orang ke dua yang suaranya parau dan kasar, yang bertubuh kate dengan perutnya saja yang besar dan gendut seperti anak cacingan, bukanlah sembarangan orang. Dia ini disebut Pat-jiu Siauw-kai (Pengemis Kecil Tangan Delapan), kelihaiannya dalam ilmu silat tidak kalah oleh It-gan Sin-kai! Demikian pula, dua belas orang pengemis yang lain, masing-masing adalah ketua-ketua pengemis yang amat terkenal di dunia kang-ouw, dan kesemuanya boleh dibilang merupakan orang-orang yang menjunjung tinggi pengemis sakti mendiang Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu pula, maka mereka terkenal sebagai pemimpin-pemimpin yang menjaga keras sehingga para anggauta perkumpulan mereka berdisiplin, dan biarpun hidup sebagai pengemis-pengemis, namun merupakan sekumpulan orang-orang yang selalu siap sedia menolong kaum lemah yang tertindas! Segolongan pendekar-pendekar yang menyamar sebagai pengemis-pengemis, atau lebih tepat lagi, yang suka memilih hidup bebas seperti burung di udara. Dan menurut anggapan mereka, hanya pengemis-pengemis saja yang dapat hidup bebas seperti burung di udara.
Empat belas orang ketua pengemis itu kini nampak tidak senang dan mereka menghadapi seorang laki-laki muda yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun. Pemuda ini amat gagah, pakaiannya bersih dan indah, wajahnya tampan sekali dengan alis tebal dan hidung mancung. Bibirnya merah seperti bibir wanita. Dadanya bidang menonjol ke depan, sepasang lengannya kekar dan ia nampak lebih tegap dan gagah karena pedang yang tergantung di punggungnya. Pemuda itu mempunyai sepasang mata yang tajam dan selalu berseri gembira. Kini menghadapi empat belas orang kakek pengemis yang marah-marah itu, ia tersenyum-senyum mengejek, sama sekali tidak merasa takut sungguhpun ia telah mengenal, atau setidaknya pernah mendengar nama semua ketua pengemis ini dan telah maklum pula akan kelihaian mereka.
“Hm, Cuwi Lo-kai (Para Tuan Pengemis Tua) bicara tentang pelajaran ilmu silat, tentang peraturan kang-ouw, dan tentang tahu malu? Pernah siauwte mendengar ujar-ujar Guru Besar Khong Cu yang berbunyi seperti berikut: Ho Hak Kin Houw Ti, Lek Heng Houw Jin, Ti Thi Kin Houw Yong! Tahukah Cuwi akan artinya? Kalau tidak salah, beginilah maksudnya: Suka belajar berarti mendekati pengetahuan, menjalankan ilmu pengetahuan berarti mendekati welas asih dan tahu malu berarti mendekati kegagahan!”
Pat-jiu Siauw-kai yang terkenal paling berangasan, menjadi marah dan ia melangkah maju, lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung pemuda itu, “Kau anak kecil bau pupuk, mau berlagak menjadi guru ilmu batin? Kaukutib-kutib segala isi kitab Tiong-yong (kitab pelajaran Guru Besar Khong Hu Cu) dengan maksud apakah?”
“Sabarlah, Lo-kai. Kau yang terlalu banyak tangan harus bisa bersikap tenang dan sabar,” kata pemuda itu yang menyindir pengemis kate ini yang berjuluk Pengemis Kecil Berlengan Delapan. “Bukankah tadi kau yang menyatakan bahwa aku sudah mempelajari ilmu silat akan tetapi tidak tahu akan peraturan dunia kang-ouw dan tidak tahu malu! Nah, jawabku ialah isi ujar-ujar yang tepat itu.”
“Apa maksudmu?” Pat-jiu Siauw-kai membentak,
“Maksudku? Segala tindakanku kusesuaikan dengan ujar-ujar indah itulah. Aku bersusah payah belajar silat untuk mengejar ilmu. Setelah ilmu terdapat, aku menjalankannya untuk menolog sesama manusia, ini berarti mendekati pribudi baik atau welas asih. Adapun hal tahu malu seperti kausinggung-singgung tadi, Guru Besar berkata bahwa kalau kita tahu malu, berarti kita mendekati sifat gagah. Akan tetapi kalian ini, empat belas orang ketua perkumpulan besar, orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa sekarang hendak menyiksa dan membunuh seorang kawan tua yang tidak berdaya? Apakah itu namanya tahu malu? Kalianlah orang-orang yang tak tahu malu dan karenanya aku yang muda tidak dapat menganggap kalian ini orang-orang gagah!”
“Kiang Liat, kau sombong sekali!” Seorang pengemis gemuk bundar yang berjuluk Tiat-tho Mo-kai (Pengemis Iblis Kepala Besi) melompat maju dan memaki marah, “Kau ini orang luar tahu apa? Di dalam undang-undang partai pengemis nomor tujuh belas berbunyi begini: Segala keputusan rapat ketua tak boleh dicampuri oleh orang luar.”
Pemuda itu yang bernama Kiang Liat tersenyum. “Peraturan dan undang-undangmu hanya berlaku untuk kalian sendiri, aku peduli apa? Pendeknya, sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu silat, yang sudah bersumpah untuk hidup sebagai pendekar dan menolong si lemah yang tertindas, aku Kiang Liat tidak akan membiarkan begitu saja kalian menyiksa dan membunuh kakek itu. Habis perkara!”
“Kau menghina Cap-si Kaipangcu (Empat Belas Ketua Perkumpulan Pengemis)!” Tiat-tho Mo-kai membentak marah dan dengan cepat ia lalu menggerakkan tubuh. Lucu dan mengagumkan sekali gerakannya ini. Biarpun tubuhnya gemuk dan bundar, namun gerakannya ternyata luar biasa cepatnya dan tahu-tahu tubuh itu telah meluncur seperti dilemparkan, dengan kepala di depan ia menyeruduk ke arah Kiang Liat! Serangan ini lihai sekali dan jarang ada ahli silat berani menerima serangan kepala dari Tiat-tho Mo-kai ini. Sesuai dengan julukannya, yakni Si Kepala Besi, kepala dari Si Pengemis ini yang botak kelimis luar biasa keras dan kuatnya, melebihi besi dan kalau ia menyeruduk, seekor kerbau pun takkan kuat menahan dengan kepalanya.
Para tokoh pengemis yang berada di situ mengira bahwa pemuda itu tentu akan mengelak dan kalau ia berbuat demikian, belum tentu ia akan dapat meluputkan diri, karena kedua tangan Tiat-tho Mo-kai tidak tinggal diam, melainkan dipentang dan siap untuk melakukan serangan dengan tangan apabila lawan mengelak dari serudukannya.
Akan tetapi apa yang mereka lihat? Benar-benar tak dapat dipercaya. Kiang Liat bukannya mengelak, melainkan berdiri dengan tegak dan menerima serudukan itu dengan perutnya!
“Capp!” Kepala yang botak kelimis itu seakan-akan menancap pada perut pemuda itu, akan tetapi Kiang Liat hanya mundur selangkah, sama sekali tidak kelihatan sakit. Sebaliknya, Tiat-tho Mo-kai nampak lucu sekali, kepalanya tertanam dalam perut berikut mulut dan hidung dan kedua kakinya bergerak-gerak! Ia mencoba untuk melepaskan diri, untuk mencabut kepalanya akan tetapi sia-sia belaka sehingga hanya kedua kakinya saja yang bergerak-gerak ke atas dan ke bawah. Ia bermaksud mempergunakan kedua tangan untuk menyerang, akan tetapi Kiang Liat mendahuluinya dan secepat kilat ia menotok kedua lengannya menjadi lemas tak bertenaga lagi.
Setelah merasa cukup mempermainkan pengemis botak itu, tiba-tiba Kiang Liat berseru, “Pergilah!” Dan bagaikan dilontarkan saja, tubuh pengemis botak itu terlempar sampai dua tombak lebih.
Tiat-tho Mo-kai jatuh berdebuk, akan tetapi ia tidak merasa terluka dan setelah mengerahkan lwee-kang untuk membebaskan diri dari totokan pada pundaknya, ia lalu maju lagi dengan muka merah. Sikapnya mengancam lagi dan mulutnya mengeluarkan kata-kata yang tidak begitu jelas bahwa ia hendak mengadu nyawa.
“Tiat-tho Mo-kai, kau sungguh tidak tahu diri. Kalau aku mau berlaku kejam, bukankah kau sudah menjadi pengemis iblis tak bernyawa lagi?” kata Kiang Liat. Mendengar ucapan ini, Tiat-tho Mo-kai menghentikan langkahnya dan ia nampak ragu-ragu. Memang ia bukan tidak tahu bahwa kalau Kiang Liat mau, tadi ketika kepalanya tertanam pada perut, dengan lwee-kangnya yang amat tinggi, pemuda itu tentu akan dapat membunuhnya. Tadi pun ia sudah merasa terheran mengapa ia bisa keluar dari keadaan itu dengan selamat dan tidak terluka, dan kini mendengar ucapan Kiang Liat, ia merasa malu untuk maju lagi. Sudah jelas bahwa kepandaiannya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan pemuda luar biasa itu.
It-gan Sin-kai Si Mata Satu melangkah maju dan matanya yang tinggal satu sebelah kanan itu memancarkan sinar menakutkan.
“Kiang-enghiong, kau benar-benar lihai sekali dan tidak percuma kau berjuluk Jeng-jiu-sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu)! Akan tetapi sekali ini kau menghina dan merusak peraturan dari Cap-si Kai-pangcu, maka sekali lagi aku atas nama semua kawan mengharapkan agar kau sudi mengalah dan pergi meninggalkan kami mengurus dan menyelesaikan urusan kami sendiri. Lain kali kami tentu akan mengunjungimu menghaturkan maaf.”
“Tidak mungkin, It-gan Sin-kai! Bagiku, biarpun aku Kiang Liat masih muda, namun berlaku kata-kata It-gan-ki-jut Su-ma-lam-twi (sekali kata-kata dikeluarkan, empat ekor kuda tak dapat menarik kembali)! Kalau kalian tidak mau melepaskan kakek itu, aku pun tidak akan pergi dari sini dan akan menghalangi siapapun juga yang akan membunuh orang yang tak berdaya!” kata Kiang Liat dengan gagah.
“Tetap begitukah pendirianmu, Kiang-enghiong?” tanya It-gan Sin-kai marah.
“Tetap begitu dan takkan dapat dirubah oleh siapapun juga!” kata Kiang Liat dengan suara tetap pula, karena ia sendiri pun sudah marah melihat betapa para tokoh pengemis itu begitu tidak tahu akan perikemanusiaan dan akan membunuh seorang kakek yang kelihatan begitu tidak berdaya. Ia sudah seringkali mendengar tentang Cap-si Kai-pangcu ini, mendengar bahwa mereka adalah pendekar-pendekar berkepandaian tinggi yang menjunjung tinggi kegagahan dan perikebajikan, mengapa sekarang mereka berkeras hendak berlaku kejam terhadap seorang kakek yang tak berdaya?
“Kalau begitu, terpaksa kami akan melakukan kekerasan dengan senjata, dan kalau sekiranya semua orang kang-ouw berada di sini, pasti mereka akan membenarkan kami!” kata It-gan Sin-kai.
“Kalau mereka membenarkan kalian, mereka itu tidak pantas menyebut diri orang-orang kang-ouw, melainkan orang-orang berhati kejam yang tidak mengenal perikemanusiaan!” kata Kiang Liat. Ketika melihat betapa empat belas orang ketua perkumpulan-perkumpulan pengemis itu mengeluarkan senjata masing-masing ia pun lalu mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar gemerlapan.
Kedua pihak sudah bersiap-sedia untuk mempergunakan kekerasan, dan Kiang Liat yang maklum bahwa ia menghadapi orang-orang lihai, berlaku amat hati-hati. Ia pikir bahwa biarpun ia takkan menang dan sekalipun ia akan mati dikeroyok oleh Cap-si Kaipangcu ini, ia tidak akan merasa penasaran oleh karena ia membela kebenaran.
Dan benar saja seperti yang ia duga, empat belas orang pengemis itu bergerak serentak dan menyerangnya dari berbagai jurusan. Kiang Liat cepat memutar pedangnya menangkis dan terdengar suara tang-ting-tung ketika pedangnya beradu dengan tongkat dari mereka. Bukan main kagetnya Kiang Liat karena ternyata bahwa tenaga mereka itu rata-rata amat besar dan seimbang dengan tenaganya sendiri. Ia bergerak cepat, namun empat belas batang tongkat lebih cepat lagi dan dalam lima gebrakan saja pinggangnya sudah terkena pukulan tongkat! Bukan main sakitnya, dan baiknya ia memiliki tenaga lwee-kang yang sudah tinggi sehingga ia tidak terluka berat. Namun pukulan ini telah mengacaukan pikirannya dan untuk menyelamatkan diri, ia melompat jauh sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segunduk sinar yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Ketika keadaan Kiang Liat amat terdesak karena kalau empat belas orang lawannya itu menyerang lagi pasti ia takkan dapat mempertahankan diri, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan terdengar seruan orang yang suaranya amat berpengaruh,
“Tahan dulu semua senjata! Kawan-kawan yang hidup bebas mengapa mengikatkan diri dengan pertempuran?”
Kiang Liat dan semua pengemis itu menengok. Mereka melihat seorang pengemis yang bertubuh tegap, berusia kurang lebih empat puluh tahun tahu-tahu telah berdiri di situ. Pengemis ini berwajah tampan dan gagah, kulit muka dan tangannya bersih terpelihara, akan tetapi rambutnya awut-awutan ke sana ke mari, demikian pun jenggot dan kumisnya. Bajunya tambal-tambalan, akan tetapi bersih juga. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kecil, sebesar ibu jari kaki dan di pinggangnya nampak gagang sebatang pedang.
Baik Kiang Liat maupun para tokoh pengemis itu tidak mengenal siapa adanya pengemis ini. Bagi Kiang Liat, masih tidak mengherankan kalau ia tidak mengenal pengemis yang baru datang ini, akan tetapi empat belas orang ketua partai pengemis yang terbesar sampai tidak mengenalnya, benar-benar adalah hal yang amat mengherankan.
“Siapakah kawan yang baru datang?” tanya It-gan Sin-kai dan suaranya jelas menyatakan betapa hatinya terguncang dan malu karena memang amat memalukan bagi seorang ketua perkumpulan pengemis sampai menanyakan siapa adanya seorang pengemis yang baru datang. Sambil bertanya demikian, ia memandang kepada semua kaipangcu yang berada di situ, akan tetapi seorang pun tidak ada yang tahu dan mereka ini pun memandang kepada pengemis yang baru tiba itu dengan mata penuh pertanyaan.
Pengemis itu tersenyum dan wajahnya nampak tampan ketika ia tersenyum.
“Tidak ada artinya siapa adanya aku seorang pengemis hina-dina ini yang tidak terkenal, hanya karena kebetulan sekali aku lewat di sini, aku merasa tertarik sekali melihat orang hendak mengadu nyawa. Demikian mengerikan! Mengapa untuk membereskan persoalan harus mempergunakan tongkat dan pedang? Apakah gerangan yang terjadi di sini?”
Kiang Liat memang masih muda, akan tetapi ia sudah banyak merantau dan namanya sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Pandangan matanya amat tajam dan tadi ketika pengemis yang baru tiba ini berkelebat datang, ia dapat menduga bahwa pengemis yang datang ini memiliki kepandaian tinggi. Karena ia maklum bahwa ia memang takkan dapat menang menghadapi empat belas orang ketua yang lihai itu, maka ia lalu berkata kepada pengemis yang baru datang itu,
“Sahabat yang baru datang tentulah seorang kang-ouw yang mengenal keadilan, oleh karena itu kebetulan sekali kau datang bertanya tentang persoalan ini. Sesungguhnya, aku sendiri pun seorang perantau yang tidak mempunyai sangkut paut dengan para kaipangcu ini, akan tetapi ketika tiba di sini aku melihat empat belas orang kaipangcu yang berkepandaian tinggi ini hendak menyiksa dan menghukum mati kepada seorang kakek yang tidak berdaya itu. Oleh karena inilah maka terpaksa aku melupakah kebodohan sendiri dan berusaha mencegah mereka melakukan hal yang amat kejam itu.” Kiang Liat menunjuk kepada seorang kakek tua yang semenjak tadi duduk bersandar kepada sebatang pohon. Kakek ini kelihatan tidak berdaya dan semenjak tadi hanya duduk sambil menundukkan mukanya yang pucat. Di dekatnya terdapat sebuah buntalan yang nampak berat entah apa isinya.
Mendengar ucapan Kiang Liat ini, It-gan Sin-kai memandang kepada kawan-kawannya dan berkata, “Perlukah kami memberi penjelasan kepada sahabat yang baru datang dan yang tidak mau memperkenalkan namanya ini?”
“Tentu saja,” kata Pat-jiu Siauw-kai, “kalau dia seorang kang-ouw tulen, tentu dia akan dapat membenarkan kami.”
It-gan Sin-kai menghadapi pengemis yang baru datang itu, dan berkata memberi penjelasan, “Begini, kawan. Kami empat belas orang ketua perkumpulan pengemis berkumpul di sini untuk memberi hukuman kepada seorang bekas ketua pengemis di daerah selatan yang telah melanggar pantangan bagi kami semua. Dia telah berlaku curang, mengumpulkan harta benda dan melepaskan diri dari tugas memimpin kawan-kawan, hendak hidup sebagai seorang kaya raya. Ini adalah kedosaan besar, melanggar peraturan kami nomor tujuh dan untuk kedosaan ini, harta bendanya harus disita demikian pula nyawanya.”
“Bagus! Peraturan macam apa itu? Merampas harta benda, merampas nyawa, benar-benar amat rendah!” Kiang Liat memotong marah.
“Kiang-enghiong jangan kau membuka mulut sembarangan!” It-gan Sin-kai juga membentak marah, “Peraturan ini adalah buatan dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai yang mulia, bagaimana kau berani menyatakan rendah?”
Mendengar disebutnya nama Ang-bin Sin-kai, tiba-tiba pengemis yang baru datang itu berubah mukanya.
“Kawan-kawan sekalian, kalian tahu apakah tentang Ang-bin Sin-kai?” tanyanya memandang tajam.
Kini semua mata dari para pengemis itu ditujukan kepadanya dengan marah. “Locianpwe Ang-bin Sin-kai adalah pendiri dari partai-partai pengemis, mula-mula di selatan. Siapa yang tidak mengenalnya? Apalagi orang yang hidup bebas sebagai pengemis harus mengenalnya. Kami memuliakan namanya dan kau menyebut namanya begitu saja. Siapakah kau?”
“Kalian mau tahu? Aku bernama Han Le, dan Ang-bin Sin-kai adalah guruku!”
Kini semua mata memandang dengan terbelalak lebar dan mulut mereka bengong. Tidak hanya para tokoh pengemis yang menjadi terheran-heran, bahkan Kiang Liat sendiri pun memandang tak percaya. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Ang-bin Sin-kai, namun dia tak pernah melihat orang tua sakti itu yang sudah meninggal dunia lama sekali. Maka kini ia hanya memandang saja.
“Benar-benarkah, kawan? Awas, jangan kau main-main. Biarpun kami tidak pernah mendapat kebahagiaan mengenal Locianpwe Ang-bin Sin-kai dari dekat, namun kami tahu betul bahwa muridnya hanyalah orang sakti yang disebut Bu Pun Su.”
Han Le tertawa lebar, “Bu Pun Su memang muridnya, akan tetapi kepandaiannya jauh lebih tinggi dari Suhu, dan aku yang rendah merasa mendapat kehormatan besar untuk mengaku bahwa Bu Pun Su adalah suheng (kakak seperguruan)-ku.”
Kembali semua orang menyatakan ketidak-percayaannya. Akan tetapi It-gan Sin-kai berkata, “Tidak peduli apakah kau benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai atau bukan, apakah kau benar-benar sute dari Bu Pun Su atau bukan, akan tetapi setelah kau tiba di sini, bagaimana anggapanmu tentang urusan kami dengan Kiang-enghiong ini?”
“Ya, bagaimana keputusanmu, murid dari Ang-bin Sin-kai?” tanya Kiang Liat, suaranya mengejek. Memang Kiang Liat tidak percaya akan keterangan Han Le tadi, dan memang sifat Kiang Liat amat pemberani dan jenaka.
“Menurut pemandanganku yang amat bodoh, kalau memang sudah ada peraturan bahwa orang yang melanggar harus dihukum, hal itu sukar untuk dirubah lagi. Namun, aku tidak setuju kalau hukuman itu hukuman mati, paling baik dia dilepaskan dan tidak diakui menjadi anggauta lagi. Betapapun juga, dalam perselisihan ini, Kiang-enghiong terang berada di pihak yang salah. Tidak baik mencampuri urusan rumah tangga lain orang.”
Jawaban ini terang sekali bercabang dua, di satu pihak menyalahkan Kiang Liat, di lain pihak tidak menyetujui hukuman yang akan dijatuhkan kepada kakek itu. Adapun kakek itu ketika mendengar kata-kata ini, lalu berkata seperti kepada diri sendiri,
“Aku orang she Song sudah merasa bersalah, akan tetapi bukan sekali-kali terdorong oleh keinginanku hidup mewah, hanya demi kebahagiaan cucu perempuanku yang satu-satunya. Kalian mau bunuh boleh bunuh asal saja kalian suka mengingat akan kehidupan cucuku Bi Li!”
“Tutup mulutmu, jahanam rendah!” It-gan Sin-kai berkata keras, kemudian ia menghadapi Han Le. “Orang she Han, kau datang-datang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai Locianpwe, datang-datang kau berani mencela undang-undang kami yang diturunkan oleh Ang-bin Sin-kai Locianpwe. Buktikanlah bahwa kau benar-benar murid beliau, baru kami akan suka mendengarkan omonganmu. Tanpa bukti, lebih baik kau jangan mencampuri urusan kami.”
Semua tokoh pengemis mengangguk-anggukkan kepala menyatakan persetujuannya. Han Le tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong, sungguhpun kepala itu tidak gatal.
“Bagaimana aku harus membuktikannya?”
It-gan Sin-kai dan kawan-kawannya saling mendekati dan bisik-bisik. Kemudian pengemis mata satu itu berkata, “Kami pernah mendengar bahwa Locianpwe Ang-bin Sin-kai memiliki sebuah kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat lihai dan tiada keduanya di dunia ini, yang disebut sebagai Hun-khai Kiam-hoat. Kalau benar kau adalah muridnya, tentu kau dapat mainkan ilmu pedang itu.”
Han Le tertawa, “Sudahkah kalian melihat ilmu pedang itu?”
Mereka menggeleng kepala. “Kalau kalian belum pernah melihat ilmu pedang itu, bagaimana kalian bisa minta aku memainkannya?”
Para pengemis itu saling pandang, kemudian It-gan Sin-kai berkata dengan suara nyaring, seakan-akan ia telah mendapatkan jalan yang terbaik untuk memecahkan hal ini. “Kau boleh mainkan ilmu pedang itu dan kalau kau bisa menangkan kami seorang demi seorang, barulah kami akan percaya bahwa kau benar-benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai.”
Kembali semua pengemis itu menyatakan persetujuannya. Han Le tersenyum lagi dan ia menggerak-gerakkan tongkatnya yang kecil itu.
“Baiklah, bukan aku yang minta. Nah, kalian majulah seorang demi seorang untuk berkenalan dengan Hun-khai-kiam-hoat dari Suhu Ang-bin Sin-kai.”
It-gan Sin-kai maju terlebih dulu. Pengemis ini terkenal lihai sekali ilmu gin-kangnya dan juga ilmunya mainkan ilmu pedang yang dimainkan dengan tongkatnya. Tongkat itu pendek saja dan sekali ia menekan, ternyata bahwa tongkat itu dapat dilepas dan kini berubah menjadi sepasang!
“Keluarkanlah pedangmu untuk kulihat apakah betul-betul kau bisa mainkan Hun-khai-kiam-hoat!” katanya menantang.
“Bukankah kau It-gan Sin-kai yang pandai mainkan ilmu pedang pasangan yang disebut Siang-hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Burung Hong)? Kau sendiri mempergunakan tongkat sebagai pedang, biarlah aku pun menirumu, memang bagi pengemis-pengemis seperti kita lebih pantas bertongkat daripada berpedang.”
“Sesukamulah!” Jawab It-gan Sin-kai yang cepat menyerang dengan tongkat kirinya, menusuk ke arah leher Han Le, disusul oleh tongkat kanan yang menyerang ke arah lambung.
Han Le cepat menggerakkan tongkat kecilnya sambil berkata, “Nah, inilah ilmu pedang Hun-khai-kiam-hoat bagian khai (membuka)!” katanya. Dan It-gan Sin-kai mengalami hal yang amat aneh yang baru ia alami kali ini dalam pertempuran-pertempuran yang banyak ia lakukan. Kemanapun juga sepasang tongkatnya menyerang, selalu tongkatnya itu bertemu dengan senjata lawan dan terbuka atau terpalang sehingga semua serangannya terpental dan membuka. Kalau lawannya yang jauh lebih muda itu mau, dengan mudah Han Le tentu akan dapat membalas dengan memasuki bagian-bagian yang terbuka itu. Akan tetapi, terang sekali bahwa Han Le tidak mau melukai lawan bahkan tidak mau membalas dengan serangan. Kurang lebih dua puluh jurus kemudian, Han Le berkata sambil tertawa,
“Dan inilah bagian hun (memecah)!” Tongkatnya bergerak makin cepat, dengan gerakan-gerakan yang amat aneh. Kali ini It-gan Sin-kai mengeluarkan suara tertahan ketika sepasang tongkatnya menjadi kacau-balau gerakannya, dan benar-benar semua jurus yang ia keluarkan terpecah-belah oleh gerakan tongkat lawan. Sepasang tangannya menjadi pedas sekali dan kalau ia tidak lekas-lekas melompat mundur, tentu sepasang tongkatnya akan terlepas dari pegangan.
“Lihai sekali!” serunya sambil menjura, “Sungguhpun aku tidak dapat memastikan apakah yang kaumainkan itu betul-betul Hun-khai-kiam-hoat, namun harus kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku menghadapi ilmu silat seaneh dan selihai itu.”
Pat-jiu Sin-kai pengemis kate berperut gendut kini maju menggantikan It-gan Sin-kai. Pengemis itu senjatanya tongkat panjang yang dimainkan sebagai toya. Akan tetapi, seperti halnya It-gan Sin-kai, ia hanya dapat bertahan tidak lebih dari tiga puluh jurus saja, sungguhpun Han Le tak pernah menyerangnya sejurus pun. Dengan tangkisan-tangkisan saja ia sudah merasa bingung dan kewalahan, bahkan pada jurus terakhir, tongkatnya membalik sedemikian rupa sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tongkat itu ujungnya menghantam kepalanya sendiri!
“Lihai benar, aku menyerah kalah!” katanya jujur.
Setelah dua orang ini yang dianggap kepandaiannya tertinggi dengan mudah menyerah kalah, semua pengemis mulai percaya.
“Kami mulai kehilangan keraguan bahwa kau benar-benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai,” kata It-gan Sin-kai kepada Han Le. “Sekarang bagaimanakah menurut pendapatmu, sahabat muda yang lihai?”
Han Le tersenyum senang. “Sudah lama aku mendengar nama Cap-si Kai-pangcu yang terkenal adil dan gagah, dan ternyata memang betul demikian. Perkara kakek yang melanggar larangan perkumpulan kaipang, memang harus dihukum. Harta bendanya boleh dirampas dan ia boleh dihukum, akan tetapi bukan hukuman mati, melainkan hukuman cambuk lima puluh kali.”
“Setuju!” serentak para pengemis itu berseru. It-gan Sin-kai sendiri lalu maju dan di tangannya sudah kelihatan sebatang cambuk.
Akan tetapi tiba-tiba Kiang Liat melompat ke dekat It-gan Sin-kai dan sebelum pengemis mata satu itu dapat mengelak, cambuk itu sudah dirampas oleh Kiang Liat!
“Aturan apa ini? Kau pengemis yang baru datang, betapa gagah pun tetap berjiwa pengemis dan berpikir seperti pengemis! Orang tua itu bosan hidup menjadi pengemis lalu menempuh hidup baru yang lebih pantas demi kebahagiaan cucunya, bukankah itu baik sekali? Kalian seharusnya meniru perbuatannya, sungguh tidak tahu malu! Apakah hukuman ini dilakukan karena kalian iri hati melihat dia kaya dan hidup bahagia sedangkan kalian masih jadi jembel?”
Han Le memandang kepada Kiang Liat dengan mata bersinar-sinar gembira. Ia suka sekali melihat sikap pemuda itu, dan ia pun merasa kagum melihat caranya. Kiang Liat merampas cambuk dari tangan It-gan Sin-kai. Gerakan yang dilakukan oleh pemuda itu ketika merampas cambuk, bukanlah gerakan ilmu silat yang aneh, melainkan gerakan biasa saja. Akan tetapi cara melakukannya demikian cepat dan hebat, ditambah dengan kembangan sendiri sehingga It-gan Sin-kai sampai tak mengira cambuknya akan dirampas. Gerakan ini saja sudah membuktikan bahwa Kiang Liat memang memiliki bakat yang luar biasa sekali dalam ilmu silat. Sebagian besar ahli silat, gerakan-gerakannya otomatis seperti pelajaran yang dipelajari dari guru masing-masing dan hanya orang yang berbakat tinggi saja dapat memperkembangkan gerakan silat yang dipelajari dari gurunya menjadi gerakan yang amat baik, sesuai dengan keadaan tubuh sendiri. Hal ini diketahui benar oleh Han Le maka kini ia memandang dengan mata berseri.
“Orang muda, terhadap peraturan dan kehidupan orang-orang yang dianggap pengemis matamu seperti buta. Kau tidak tahu apa-apa, mengapa ikut campur? Pernahkah kau mendengar nama Ang-bin Sin-kai?” tanya Han Le.
“Tentu saja pernah,” jawab Kiang Liat mengedikkan kepala.
“Seperti apa kau mendengar tentang dia?”
“Ang-bin Sin-kai seorang patriot sejati, seorang gagah yang berani membela si lemah yang tertindas sehingga ia berani menyerbu ke kota raja dan tewas sebagai seorang pahlawan,” jawab Kiang Liat.
Han Le makin gembira. “Apakah kau tidak dengar bahwa dia juga seorang pengemis seperti telah disebutkan oleh julukannya?”
“Biarpun kau mengaku muridnya, akan tetapi aku tetap tidak percaya bahwa Ang-bin Sin-kai akan bersikap seperti kalian. Tak dapat aku membayangkan bahwa pahlawan besar itu boleh direndengkan dengan orang-orang seperti kalian yang hendak mempergunakan kekuatan dan jumlah banyak untuk menghina seorang kakek yang tidak berdosa, bahkan yang hendak menempuh jalan benar. Pendeknya kalian tidak boleh menyiksanya!”
“Kau lancang sekali, orang she Kiang, apakah kau berani menentangku” Han Le menantang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya berseri.
“Mengapa tidak berani? Boleh jadi kau murid Ang-bin Sin-kai dan boleh jadi kau lihai, akan tetapi aku akan menentangmu kalau kau hendak membantu pengemis-pengemis tua yang kejam ini.”
“Nah, kalau begitu mari kita bertaruh,” kata Han Le dengan wajah berseri. “Kita semua tidak mempunyai permusuhan sesuatu dan keributan ini pada hakekatnya hanya karena perbedaan paham belaka. Mari kau dan aku bertanding dan kita bertaruh.”
“Apa taruhannya?” Kiang Liat membentak. “Untuk membela kaum lemah, aku pertaruhkan kepala dan nyawaku!”
Han Le tersenyum. “Kalau tidak mampu, berarti aku kalah dan kau boleh membunuh aku dan semua ketua pengemis ini tanpa perlawanan sama sekali!” Kembali semua pengemis itu terkejut sehingga ada yang pucat mukanya. Mereka tidak tahu bahwa Han Le memiliki pemandangan tajam dan sudah tahu akan kemuliaan hati Kiang Liat yang keras hati, akan tetapi ia sengaja memancing untuk melihat sampai di mana pribudi pemuda tampan ini.
“Siapa mau jiwa kalian? Kalau aku menang dalam taruhan, cukup kalau kalian membebaskan kakek itu dan mengembalikan harta bendanya dan selanjutnya jangan mengganggunya lagi.” Ia berhenti sebentar lalu berkata, “Sebaliknya kalau aku kalah, kalau benar-benar dalam dua puluh jurus kau dapat merobohkanku, kau boleh berbuat sesuka hatimu kepadaku. Mau bunuh boleh bunuh!”
“Aha, enak saja kau bicara. Aku pun tidak kehendaki nyawamu, orang muda. Kalau kau kalah, kau harus membiarkan kami menghukum pelanggar itu, adapun kau sendiri, sebagai hukuman kau harus menjalani penghidupan sebagai pengemis selama setahun dan ikut padaku ke mana aku pergi,” kata Han Le.
Merah muka Kiang Liat dan ia marah sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya karena merasa terhina, akan tetapi mulutnya menjawab,
“Boleh, boleh! Aku tidak takut mati, mengapa takut menjadi pengemis? Bersiaplah kau!” Sambil berkata demikian, ia mencabut pedangnya yang tadi sudah disarungkannya kembali.
Han Le memperlihatkan tongkatnya yang kecil. “Aku sudah bersiap sejak tadi. Hayo majulah dengan jurus pertama!”
Melihat Han Le tersenyum-senyum seakan-akan amat memandang rendah, naiklah darah Kiang Liat. Ia dikenal sebagai Jeng-ciang-sian (Manusia Dewa Bertangan Seribu), kepandaiannya sudah amat tinggi karena dia telah mewarisi seluruh ilmu silat dari ayahnya, ilmu silat keluarga Kiang adalah keturunan dari ilmu silat yang diciptakan oleh Jenderal Perang Kiang Bu Siong, yang ratusan tahun yang lampau pernah menggegerkan dunia karena kelihaiannya. Ilmu silat ini turun-menurun dan akhirnya Kiang Liat adalah ahli waris terakhir, karena ayah bunda Kiang Liat telah meninggal dunia. Selama beberapa tahun ini, setelah dewasa, Kiang Liat boleh dibilang telah mengangkat nama besar dengan ilmu silatnya. Tidak saja ia memang berkepandaian tinggi, juga orang-orang kang-ouw memandang tinggi keluarga Kiang ini dan segan-segan untuk memusuhinya, karena memang mereka semua tahu belaka akan kelihaian ilmu silat keluarga Kiang.
Akan tetapi hari ini bertemu dengan seorang pengemis yang rambutnya gondrong, yang kelihatannya begitu lemah, namun begitu berani menghinanya menantang untuk merobohkannya dalam dua puluh jurus! Dan ini masih belum hebat lagi yang lebih membikin hatinya mengkal adalah karena pengemis ini hendak menghadapi pedangnya hanya dengan sebatang tongkat kecil!
“Orang tua,” katanya sambil menekan hawa ke arah dadanya agar kemarahannya tidak memuncak. “Kau hendak merobohkan aku dalam dua puluh jurus, itu saja sudah merupakan taruhan yang berat sebelah dan tidak adil, membikin aku merasa malu saja. Sekarang kau masih hendak menghadapiku dengan sebatang tongkat kecil, bukankah ini keterlaluan? Aku bukannya seorang manusia yang hendak menang sendiri seperti itu. Kalau kau tidak mau mengeluarkan pedangmu, aku pun tidak akan menggunakan pedang dan aku melawan tongkatmu itu dengan tangan kosong.”
Han Le membelalakkan kedua matanya, kemudian tertawa terbahak, “Ha, ha, ha, Kiang Liat, kau memang patut menjadi muridku untuk setahun. Baiklah, kaulihat seranganku pertama dengan pedang!”
Kata-kata ini disusul dengan kejadian yang benar-benar hebat sekali sehingga Kiang Liat hampir berteriak kaget, dan buru-buru ia memutar pedang menangkis sambil melompat mundur. Ternyata bahwa begitu kata-katanya habis, tubuh Han Le bergerak dan tahu-tahu ia telah memegang pedang yang langsung dipergunakan untuk menyerang pundak Kiang Liat. Adapun tongkatnya yang tadi, entah bagaimana dan kapan dilakukannya, tahu-tahu telah menancap di atas tanah!
Kiang Liat tidak mau berlaku lambat dan lemah. Begitu melihat bahwa ia telah dapat mengelak dari serangan pertama, ia lalu memasang kuda-kuda dan siap menanti serangan lebih lanjut. Hatinya mulai yakin bahwa ia kini menghadapi seorang lawan yang benar-benar amat lihai ilmu silatnya. Han Le yang tidak mau membuang waktu sia-sia, cepat maju lagi dan melakukan dua kali serangan beruntun. Serangannya ini demikian hebatnya serta cepatnya sehingga Kiang Liat biarpun berhasil menangkis namun ia sampai terhuyung-huyung ke belakang tiga langkah. Namun dengan pertahanan pedangnya yang amat kokoh kuat dari ilmu pedang keluarga Kiang, ia berhasil menggagalkan dua serangan itu sehingga kini ia telah melewati tiga jurus dengan selamat!
Kalau Kiang Liat amat terkejut melihat dua serangan yang amat aneh dan dahsyat itu, di lain pihak Han Le diam-diam harus memuji. Ia adalah murid Ang-bin Sin-kai dan ini masih belum hebat, kepandaiannya menjadi luar biasa hebatnya karena ia telah mendapatkan Pulau Pek-hio-to (Pulau Daun Putih) ketika ia mencari suhengnya, yakni Bu Pun Su Lu Kwan Cu, dimana ia melihat lukisan-lukisan di dinding gua dan melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang terukir di dinding itu (baca cerita Pendekar Sakti). Selain ini, dalam beberapa belas tahun ini ia telah merantau dan di dunia kang-ouw ia telah melihat banyak sekali ilmu-ilmu silat yang tinggi, maka kepandaiannya makin matang. Namun, melihat ilmu pedang dari keluarga Kiang yang demikian kokoh kuat pertahanannya, mau tidak mau ia harus memuji. Dari sifat pertahanan yang kuat sekali itu, diam-diam ia menduga bahwa tentu ilmu pedang keluarga Kiang yang dimainkan oleh pemuda ini masih satu sumber dengan Thian-san Kiam-hoat (Ilmu Pedang dari Bukit Thian-san), yang mendasarkan kepada pertahanan yang amat kuat.
“Orang tua, hayo teruskan seranganmu. Baru tiga jurus, kurang tujuh belas jurus lagi, akan kucoba mempertahankan diri!” Kiang Liat menantang dengan suara gembira. Menghadapi seorang lawan yang benar-benar lihai ini, timbullah kegembiraan di hati pemuda yang tabah ini, dan melihat wajah pengemis itu seperti ragu-ragu, ia menjadi besar hati dan timbul kesombongannya maka ia menantang.
Namun Han Le hanya tersenyum. Dalam hal taktik pertempuran, tentu saja ia jauh lebih menang daripada Kiang Liat. Baru tiga jurus saja tahulah Han Le bahwa pemuda itu tentu akan mempertahankan diri secara mati-matian dan dia sendiri tidak bermaksud melukai atau membinasakan Kiang Liat, maka kiranya sampai dua puluh jurus belum tentu ia akan dapat merobohkan lawannya tanpa membinasakannya. Jalan satu-satunya adalah membiarkan pemuda itu yang menyerangnya. Ketika mempelajari ilmu silat yang aneh dari lukisan-lukisan di dalam gua di Pulau Pek-hio-to ia mendapatkan ilmu silat yang amat aneh gerakannya dan juga amat aneh tipu geraknya. Ilmu silat ini mendasarkan serangannya pada serangan lawan! Memang agak aneh terdengarnya, namun memang demikianlah halnya. Ilmu silat yang ia pelajari itu sebenarnya adalah pecahan atau sebagian kecil saja dari ilmu silat yang terdapat dalam kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Sari pelajaran dari sedikit bagian ini ialah membuka mata pelajarannya akan kekosongan atau kelemahan yang terdapat atau terbuka dalam setiap serangan lawan. Sudah menjadi hukum alam bahwa segala sesuatu itu tentu mempunyai dua sifat yang bertentangan. Demikian pula dalam gerakan ilmu silat. Dalam penyerangan, walaupun penyerangan itu tentu saja bersifat kuat dan mengancam lawan, tentu terdapat lowongan yang bersifat lemah dan terancam. Misalnya seorang yang memukul dengan tangan kanan, otomatis kedudukannya lemah karena kuda-kudanya hanya di atas sebelah kaki saja, demikian seterusnya.
Han Le yang amat cerdik itu, hendak mempergunakan ketabahan dan kekerasan hati Kiang Liat untuk mengalahkannya. Maka ia tersenyum-senyum ketika ditantang, lalu menjawab,
“Anak muda, setelah melihat tiga gebrakan, aku yakin bahwa tanpa menyerangmu pun aku akan dapat merobohkanmu. Apalagi kalau aku serang, sedangkan dengan mempertahankan diri saja, sebelum tujuh belas jurus lagi kau tentu akan terpelanting sendiri kelelahan!”
Mendengar ini, bukan main marahnya hati Kiang Liat. Ia benar-benar telah dipandang rendah oleh pengemis ini. Kalau saja ia tidak begitu muda dan keras hati, boleh jadi ia tahu akan siasat pengemis yang lihai itu. Namun kemarahan hatinya membuat ia tidak mau berpikir panjang lagi. Sambil memutar pedangnya ia berseru,
“Pengemis sombong, rasakan kelihaian ilmu pedangku!”
Ia lalu menyerang bagaikan gelombang ombak. Serangannya datang bergulung-gulung, susul-menyusul dengan gerak tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya. Pedangnya lenyap berubah menjadi segulung sinar yang berkilauan, bagaikan seekor naga yang berlagak di angkasa. Para tokoh pengemis yang berada di situ diam-diam kagum sekali, tidak hanya kagum melihat kehebatan ilmu pedang itu, terutama sekali kagum melihat keindahan gerakan-gerakan dari pemuda tampan itu. Memang, ilmu pedang keluarga Kiang kuat pertahanannya seperti Thiam-san-kiam-hoat akan tetapi indah sekali gerak-geriknya, lebih indah daripada gerakan-gerakan ilmu pedang Bu-tong-pai. Han Le sendiri diam-diam memuji dan kalau ia dahulu di waktu muda tidak mewarisi ilmu kepandaian dari lukisan pada dinding gua di Pulau Pek-hio-to, agaknya dengan Hun-khai-kiam-hoat saja ia tidak mungkin dapat mengalahkan pemuda ini tanpa melukainya dalam dua puluh jurus!
Sepuluh jurus lewat dan Kiang Liat merasa pening. Matanya kabur dan pedas karena lawan yang diserangnya itu seakan-akan bukan manusia, melainkan bayang-bayang atau asap saja. Ke mana pun juga ia menyerang, selalu mengenai angin dan bayangan lawannya berpindah tempat. Namun ia mendesak makin hebat. Sebelas jurus lewat, dua belas, tiga belas, lima belas jurus! Dengan tiga jurus yang pertama, delapan belas jurus telah lewat!
Para ketua perkumpulan pengemis berdebar-debar hatinya. Kalau dalam dua jurus lagi pemuda itu tidak roboh, berarti mereka kalah bertaruh! Dan agaknya tak mungkin akan roboh, karena Kiang Liat masih berada di pihak penyerang. Namun, bagi Kiang Liat sendiri, ia kaget setengah mati ketika kehilangan lawannya yang lenyap entah berada di mana.
Sebelum ia dapat mencari lawannya kembali, tahu-tahu punggungnya telah tertotok oleh jari tangan yang amat lunak dan kuat. Seluruh tubuhnya lemas dan sekali renggut saja Han Le dapat merampas pedangnya. Kiang Liat berusaha hendak mempertahankan diri agar jangan roboh, namun dengan enaknya Han Le mendorong dadanya dan Kiang Liat tak dapat menahan, roboh terjengkang! Tepat sembilan belas jurus ia benar-benar kena dirobohkan tanpa terluka sedikit pun.
Cap-si Kaipangcu bersorak, bukan saja karena girang mendapat kemenangan dalam taruhan, akan tetapi terutama sekali karena terkejut dan kagum. Tanpa ada yang perintah, mereka otomatis menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le, dan It-gan Sin-kai berkata mewakili kawan-kawannya.
“Mohon Han-taihiap sudi memaafkan kami sekalian yang bermata buta sehingga tadi tidak percaya bahwa Tai-hiap adalah murid dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai.”
Han Le menghadapi mereka dan mukanya bersungguh-sungguh. “Cuwi Kai-yu yang baik. Suhu dahulu memang seorang pengemis seperti aku pula, dan memang dalam setiap perkumpulan, orang-orang harus mentaati peraturan. Namun segala macam hukuman itu harus disesuaikan dengan kedosaan orang yang melanggarnya. Menurut yang kudengar tadi, Song-lokai (Pengemis Tua she Song) itu biarpun telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang perkumpulan, namun pelanggarannya bukan karena ia jahat. Ia ingin keluar dari keanggautaan pengemis karena ia ingin mengangkat derajat cucunya perempuan. Dan hal ini harus kita maklumi bersama karena tak dapat disangkal lagi amat rendah derajat seorang gadis cucu pengemis!” Setelah berkata demikian, Han Le mengerling tajam ke arah Song Lo-kai.
Kakek itu cepat menghampiri Han Le dan berkata, “Bukan demikian, Han-tai-hiap. Memang aku telah bersalah, dan untuk kesalahan itu, biarpun dihukum mati, aku Si Tua Bangka takkan penasaran. Hanya saja, cucuku hidup sebatang kara, tiada orang tuanya lagi dan kepada siapakah ia mengandalkan hidupnya kalau tidak kepadaku, kakeknya? Oleh karena inilah maka sebelum aku mati, aku ingin meninggalkan sedikit kekayaan kepadanya, agar kelak ia takkan hidup terlantar. Untuk kebenaran omonganku, aku Si Tua Bangka she Song bersedia bersumpah.”
Han Le mengangguk-angguk, kemudian berkata kepada It-gan Sin-kai, “Kalian mendengar sendiri, maka bagaimana sekarang keputusan kalian?”
“Terserah kepada Han-taihiap. Dengan adanya Tai-hiap di sini dan telah memberi peringatan kepada kami, kami anggap bahwa Han-taihiap mewakili Locianpwe Ang-bin Sin-kai, dan kami menerima segala keputusan Tai-hiap.”
“Keputusan, dia boleh dihukum cambuk lima puluh kali akan tetapi tidak boleh sampai mati. Hartanya boleh dia bawa pulang untuk cucunya.”
“Baik, Tai-hiap, kami akan menjalankan keputusan itu,” kata It-gan Sin-kai.
“Bagus, dan aku percaya kalian di kemudian hari akan memutuskan sesuatu lebih bijaksana lagi agar tidak terjadi hal-hal seperti sekarang, sediakan seperangkat pakaian pengemis untuk muridku ini dan ganti pakaiannya yang terlalu bagus itu.”
Memang aneh sekali, di antara semua ketua perkumpulan pengemis itu hampir semua membawa pengganti pakaian, biarpun pakaian itu adalah pakaian tambal-tambalan yang buruk! Tidak heran apabila pakaian mereka biarpun buruk dan penuh tambalan, selalu kelihatan bersih. Seorang ketua yang mempunyai potongan tubuh hampir sama dengan Kiang Liat, memberikan pakaiannya dan ramai-ramai mereka sambil tertawa-tawa menanggalkan semua pakaian Kiang Liat, lalu menggantikan pakaian butut itu kepada tubuh pemuda ini. Kiang Liat tidak bisa berbuat sesuatu, oleh karena ia telah tertotok dan lemas semua tubuhnya. Andaikata ia tidak tertotok, ia pun tentu takkan melawan, karena memang ia sudah merasa kalah bertaruh yang berarti bahwa ia harus menjalankan hidup seperti pengemis setahun lamanya, merantau ikut dengan Han Le yang sudah menjadi gurunya!
Setelah Kiang Liat kini memakai pakaian pengemis, Han Le memandang dan tertawa, “Bagus, bagus! Kau sekarang kelihatan tampan patut menjadi muridku!” Setelah berkata demikian, ia menyambar tubuh Kiang Liat dan sekali berkelebat saja ia lenyap bersama muridnya itu.
Cap-si Kaipangcu tidak berani mencegah, dan pada saat itu, kakek tua she Song berseru keras, “Han-taihiap, tunggu sebentar, lohu ada permohonan penting!”
Dalam sekejap mata saja, kembali Han Le kelihatan di tempat itu, mengempit tubuh Kiang Liat.
“Song Lo-kai, kau mau bicara apakah? Apa kau masih penasaran dengan keputusanku tadi?”
Song Lo-kai menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le. “Sungguh mati, Han-taihiap, lohu mana berani penasaran? Keputusan itu bahkan terlampau murah bagi lohu. Hanya ada permohonan lohu mengenai cucu lohu yang bersama Song Bi Li.”
Han Le memandang heran. “Apa maksudmu? Apa yang kudapat lakukan untuk seorang gadis yang menjadi cucumu itu?”
Song Lo-kai memandang kepada Kiang Liat yang masih lemas dan kini dikempit oleh Han Le seperti seorang anak kecil, lalu berkata, “Nyawa lohu yang tidak berharga telah diselamatkan oleh Kiang-enghiong dan kiranya sampai mati pun lohu yang sudah tua bangka ini takkan dapat membalas budinya. Cucuku Bi Li hidup sebatang kara dan kini usianya sudah delapan belas tahun. Hanya seorang pemuda gagah perkasa berjiwa budiman seperti Kiang-enghiong ini saja yang kiranya akan dapat menjamin kesentausaan hidup cucuku itu. Oleh karena ini, lohu ingin menyerahkan cucuku yang bodoh itu kepada Kiang-enghiong.”
Han Le tertawa bergelak dan Kiang Liat biarpun tidak berdaya namun masih dapat mendengar semua ucapan ini sehingga mukanya menjadi merah sekali.
“Ha, ha, ha, maksudmu ini baik sekali, Song-lokai. Akan tetapi aku tidak berkuasa dalam hal ini, hanya kuberjanji bahwa setelah Kiang Liat menghabiskan pelajarannya yang setahun lamanya, aku akan menyuruhnya mencarimu agar kalian berdua dapat berunding sendiri.” Setelah berkata demikian, kembali ia berkelebat dan kali ini ia tidak kembali lagi, Song-lokai girang sekali, sambil tertawa-tawa ia lalu berkata,
“Cuwi-pangcu, silakan menjalankan hukuman cambuk kepadaku.”
Hukuman dilakukan dan disesuaikan dengan keputusan Han Le, pencambukan itu dilakukan sekedar untuk memenuhi bunyi hukuman saja, dan Song-lokai hanya menderita lecet-lecet pada kulit punggungnya.
***
Kiang Liat sebenarnya adalah seorang pemuda yang kaya raya. Ketika orang tuanya meninggal dunia, mereka mewariskan sebuah rumah gedung yang besar dan penuh dengan perabot rumah yang indah, selain ini masih banyak sawah ladang dan uang yang ditinggalkan. Oleh karena Kiang Liat hidup seorang diri, hanya bersama seorang pelayan wanita tua yang menjadi inang pengasuhnya semenjak ia terlahir, maka kebutuhan hidupnya tak seberapa besar dan tentu saja hasil sawah ladangnya sudah lebih dari cukup baginya. Hidupnya tidak mewah karena ia memang suka akan kesederhanaan, namun ia tidak sayang mengeluarkan uang, apalagi untuk menolong orang dan untuk menjamu kawan-kawannya. Ia biasanya hidup senang, berpesiar atau merantau ke sana ke mari sampai bekal uangnya habis baru ia ingat untuk pulang ke rumahnya di kota Siankoan.
Kini setelah bertemu dengan Han Le dan menerima hukuman selama setahun hidup sebagai pengemis, tentu saja tadinya ia merasa terhina dan dapat membayangkan bahwa ia akan sengsara sekali. Akan tetapi, alangkah girangnya ketiak ia mendapat kenyataan bahwa hidup seperti ini benar-benar bebas seperti burung di udara. Apalagi ketika gurunya itu mulai menurunkan ilmu silat yang luar biasa sekali, ia girang bukan main. Ia merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan Han Le, dan tidak saja ia menerima latihan ilmu silat, juga ia mendapatkan banyak pelajaran tentang kebatinan yang membuka matanya. Kini ia tidak berani memandang rendah kepada para pengemis itu, yang sesungguhnya menjadi pengemis bukan karena malas, melainkan sengaja hidup sebagai pengemis untuk pernyataan belasungkawa akan keadaan rakyat yang banyak menderita. Mereka adalah pengemis-pengemis yang sekali-kali bukan tukang minta-minta belaka. Mereka minta-minta seakan-akan untuk menguji apakah manusia-manusia di waktu itu masih ingat akan nasib sesama manusia, dan di balik semua sandiwara ini, mereka ternyata adalah pendekar-pendekar yang tidak saja siap sedia dengan tenaga dan kepandaian untuk menolong mereka yang sengsara, bahkan mereka siap sedia pula untuk mengulurkan tangan menolong dengan sumbangan uang yang ternyata banyak disimpan di dalam perkumpulan-perkumpulan pengemis itu!
Setelah menjadi murid Han Le, kepandaian Kiang Liat makin maju dan matang. Kini seperti gurunya, jarang sekali ia mencabut pedangnya dan cukup dengan sebatang ranting kecil saja ia sudah dapat menjaga diri dan kalau perlu merobohkan tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai. Kini terbukalah matanya betapa jauh perbedaan hidup antara orang-orang kaya raya dan orang-orang miskin, bagaikan bumi-langit. Terbuka pula matanya bahwa di dalam kemiskinan, ia bahkan banyak melihat orang-orang jujur dan berhati mulia.
Han Le adalah seorang yang berilmu tinggi. Melihat gerak-gerik ilmu pedang Kiang Liat, ia tidak mau merusak kepandaian pemuda itu dengan memberi pelajaran ilmu pedang lain. Sebaliknya, ia memberi pelajaran dari lukisan-lukisan di dinding tua Pulau Pek-hio-to, mengajar gerakan-gerakan yang disesuaikan dengan ilmu pedang Kiang Liat sehingga kini ilmu pedang pemuda itu menjadi makin indah dan makin kuat. Bahkan, dengan bantuan gurunya ini, Kiang Liat dapat menciptakan ilmu pedang yang halus gerak-geriknya, tidak beda dengan orang menari-nari saja, namun di dalamnya terkandung kekuatan yang maha hebat.
Han Le membawanya merantau jauh dan selama satu tahun itu, banyak hal yang dilakukan oleh guru dan murid itu sehingga nama mereka makin meningkat tinggi, terkenal di dunia kang-ouw. Kini nama Jeng-ciang-sian Kiang Liat amat disegani orang-orang kang-ouw, dan banyak orang tahu bahwa Kiang Liat telah menjadi murid Han Le.
Setahun kemudian, Han Le dan muridnya berada di lembah Sungai Huang-ho, di dataran tinggi yang hijau segar, penuh tetumbuhan.
“Kiang Liat, waktumu telah lewat dan kau kini bebas. Kau boleh pulang dan agaknya kau kini sudah mengerti akan keadaan di dunia sehingga kelak kau takkan melakukan kesalahan-kesalahan dalam tindakanmu.”
“Suhu, teecu masih ingin terus belajar kepada Suhu, kalau boleh, biar sepuluh tahun lagi teecu sanggup hidup seperti sekarang ini asal boleh menjadi murid Suhu,” jawab Kiang Liat.
Han Le tersenyum, “Kiang Liat, ketahuilah bahwa hanya karena suka kepadamu dan melihat bakatmu yang amat baik saja maka kau kuberi pelajaran ilmu silat itu. Sesungguhnya aku tidak berhak, karena ilmu silat yang kuajarkan kepadamu adalah pecahan kecil dari isi Im-yang Bu-tek Cin-keng yang menjadi milik suhengku. Kau amat beruntung bisa bertemu dengan aku dan kini agaknya ilmu pedangmu sukar mendapat tandingan di dunia kang-ouw. Seorang laki-laki harus memegang janji, dahulu kita berjanji akan berkumpul selama setahun dan sekarang waktunya telah habis. Dan kau ingatlah, dulu aku berjanji kepada Kakek Song agar kau menemuinya untuk bicara soal perjodohan yang ia usulkan. Aku tidak mau berlaku lancang, soal perjodohan terserah kepadamu, hanya menurut pendapatku, Kakek Song itu adalah seorang tua yang bersemangat dan berpribadi cukup baik. Kiranya cucunya takkan mengecewakan. Akan tetapi semua keputusan terserah kepadamu sendiri, hanya kuminta agar kau suka bertemu dengan dia agar janjiku terpenuhi.
“Baiklah, Suhu. Terima kasih banyak atas segala pelajaran dan nasihat yang teecu terima dari Suhu. Setahun dekat dengan Suhu bagi teecu lebih berharga daripada sepuluh tahun yang sudah-sudah.”
Pada saat itu, wajah Han Le berubah dan tiba-tiba pengemis sakti ini berseru keras sekali, wajahnya berseri girang dan juga sepasang matanya terheran-heran. “Suheng…! Kau di sini…??”
Kiang Liat memandang ke arah gurunya memandang, namun tidak melihat sesuatu. Tiba-tiba dari jurusan itu, yang tidak ada apa-apa, terdengar suara yang halus sekali, namun menusuk telinga karena mengandung tenaga luar biasa dan pengaruh besar.
“Sute, siapa anak muda itu?”
“Dia adalah Kiang Liat, muridku!”
Tiba-tiba debu mengebul dan tahu-tahu seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, agak lebih tua daripada Han Le, berpakaian kusut sederhana namun tidak menyembunyikan kegagahan dan ketampanannya, telah berdiri di situ. Kiang Liat memandang dengan mulut ternganga, karena ia yang telah memiliki kepandaian tinggi, bagaimana sampai tidak dapat melihat dan mengikuti gerakan orang ini? Ibliskah dia?
Ketika laki-laki itu memandangnya, Kiang Liat hampir menundukkan mukanya. Demikian tajam pandangan mata itu menusuk matanya sendiri.
“Sute, kau kan tidak menurunkan Im-yang Bu-tek Cin-keng?” tanya orang itu.
Han Le berubah mukanya dan kelihatan gugup. “Hanya sedikit, Suheng, bagian permainan pedang dan lwee-kang untuk memperkuat ilmu pedangnya sendiri, yakni ilmu pedang dari keluarga Kiang yang tersohor.”
“Hm, sute Han Le, betapapun juga, kau telah berlaku sembrono sekali. Kau harus tahu bahwa ilmu kita itu berbahaya kalau dipergunakan oleh orang yang beriman lemah. Sekarang kau sudah menurunkan kepadanya, biarpun sedikit hal itu sudah berarti bahwa selamanya kau dan aku harus selalu menyelidiki dan menjaga jangan sampai orang mempergunakannya tidak pada tempatnya!”
Han Le memandang kepada suhengnya dengan mata penuh keheranan, apalagi ketika ia kini melihat wajah suhengnya kusut, matanya sayu dan kerut-merut pada wajah suhengnya itu menunjukkan jelas bahwa suhengnya telah mengalami penderitaan batin hebat selama ini. Sudah belasan tahun ia tidak bertemu dengan suhengnya dan kini suhengnya benar-benar telah berubah. Adatnya menjadi keras dan aneh. Akan tetapi, ia merasai kebenaran ucapan suhengnya itu dan ia mengangguk-angguk.
Orang itu lalu menghadapi Kiang Liat yang memandang kepadanya dengan perasaan tak senang. Sebelum orang itu bicara, Kiang Liat mendahului, bertanya kepada Han Le,
“Suhu, mohon memberi penerangan kepada teecu, siapakah adanya Lo-eng-hiong yang baru datang ini.”
“Bocah bodoh, dia inilah supekmu. Dia suhengku bernama Lu Kwan Cu, berjuluk Bu Pun Su, ahli silat nomor satu di dunia ini!”
Kiang Liat terkejut sekali. Tadi ia sudah menduga-duga ketika mendengar suhunya menyebut suheng kepada orang ini, akan tetapi ia masih penasaran dan sangsi, karena melihat orangnya, Bu Pun Su ini tidak begitu hebat sungguhpun kedatangannya tadi seperti siluman saja.
“Kiang Liat, berapa lama kau belajar kepada suhumu?”
Kiang Liat sudah menjatuhkan diri berlutut dan kini menjawab,
“Hanya satu tahun, Supek, karena menurut perjanjian memang teecu hanya boleh belajar satu tahun.”
“Perjanjian?” Lu Kwan Cu atau Bu Pun Su menoleh kepada Han Le.
Han Le tertawa dan menceritakan tentang pertaruhan setahun yang lalu. Bu Pun Su mengerutkan keningnya yang tebal dan sudah mulai memutih.
“Tidak baik bagi seorang pemuda memiliki kesombongan dan terlalu keras. Orang-orang muda selalu mendatangkan keributan di dunia, terdorong oleh nafsunya sendiri tanpa mengingat akibat dari perbuatan yang ditunggangi oleh nafsu. Berdirilah kau!”
Kiang Liat berdiri, hatinya tidak enak.
“Cabut pedangmu!”
KIANG LIAT ragu-ragu dan melirik ke arah Han Le, akan tetapi gurunya memberi isarat dengan matanya agar pemuda itu menurut saja. Maka ia pun lalu mencabut keluar pedangnya, pedang pusaka keturunan keluarga Liang, memegang pedang itu lurus ke atas menempel jidat, tanda menghormat dan tidak mempunyai maksud buruk terhadap orang di depannya.
Akan tetapi Bu Pun Su tidak peduli kepadanya dan memerintah terus,
“Serang aku dengan pedangmu!”
Inilah keterlaluan, pikir Kiang Liat. Ia tidak mau berlaku kurang ajar dan lancang, maka bagaimana ia brani menyerang orang yang diperkenalkan kepadanya sebagai supeknya?
“Hayo serang, bodoh!” Bu Pun Su membentak lagi dan bentakannya demikian berpengaruh sehingga di dalam tubuh Kiang Liat seakan-akan timbul aliran tenaga yang membuat ia otomatis bergerak! Pedangnya menyambar, menusuk ke arah muka supeknya itu. Namun ia segera ingat bahwa ia terlalu kurang ajar kalau menyerang dengan sungguh-sungguh, maka selanjutnya ia mengendurkan gerakannya dan hanya memperlihatkan tipu-tipu serangan yang indah untuk membuktikan kepada supeknya bahwa gurunya tidak memiliki murid secara sembarangan dan bahwa ia sebetulnya juga “berisi!”
Akan tetapi ia melihat Bu Pun Su sama sekali tidak menggerakkan kedua kaki, setapak pun tidak pindah dari tempat berdirinya semula. Kedua ujung lengan baju orang sakit itu bergerak-gerak ke depan dan bukan main hebatnya! Dari sepasang tangan yang bersembunyi di dalam lengan baju itu keluar tenaga luar biasa sehingga angin tangkisannya saja selalu menahan pedangnya. Pedangnya selalu terpental kembali seakan-akan terbentuk pada benda yang amat keras.
“Jangan sungkan-sungkan, serang sungguh-sungguh!” Kembali Bu Pun Su membentak dan kali ini Kiang Liat menyerang dengan sungguh-sungguh. Bukan saja karena ia mendengar perintah ini, juga karena hatinya merasa penasaran sekali. Bagaimana orang dapat membikin semua serangan pedangnya tidak berdaya hanya dengan hawa tangkisan belaka? Inilah aneh, seperti sihir atau dalam mimpi saja. Ia mengerahkan seluruh lwee-kangnya dan mengeluarkan tipu-tipu silat yang paling lihai. Ia mainkan pedangnya dengan ilmu pedang keluarga Kiang, ditambah dengan gerakan-gerakan halus dari ilmu silat yang ia pelajari dari Han Le.
Betul saja bahwa ilmu pedangnya memang hebat. Buktinya, Bu Pun Su kini tidak dapat menghadapinya dengan hawa tangkisan belaka, melainkan orang sakti itu bergerak ke sana ke mari dengan amat lambat. Namun, betapapun lambatnya gerakan kaki orang sakti itu, tak pernah pedang di tangan Kiang Liat mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju Bu Pun Su saja tidak dapat!
Setelah Kiang Liat menyerang sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba pemuda ini merasa telapak tangan yang memegang pedang sakit sekali sehingga ia terpaksa melepaskan pedangnya. Ketika ia memandang, pedangnya itu telah terampas oleh gulungan ujung lengan baju Bu Pun Su!
Bu Pun Su sekarang tersenyum dan mengembalikan pedang yang diterima oleh Kiang Liat dengan muka merah.
“Harap Supek tidak mentertawakan kebodohan teecu dan mohon petunjuk,” kata Kiang Liat merendah. Kini ia merasa tunduk dan takut sekali kepada orang sakti ini yang benar-benar luar biasa sekali ilmu kepandaiannya.
Bu Pun Su sekarang tertawa dan berpaling kepada Han Le, “Ah, Sute. Benar-benar matamu awas sekali. Dalam setahun sudah dapat menggerakkan pedang seperti itu, ah, kalau dia mempelajari semua ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku sendiri takkan mampu melawannya. Kiang Liat, kulihat biarpun kau mempergunakan pedang seluruhnya atas dasar ilmu silat pedang dari keluarga Kiang, namun isinya mengandung tenaga rahasia dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Oleh karena itu, kau memang sudah menjadi murid kami. Hal ini tak boleh kauanggap main-main. Sekali saja kau menyeleweng dan mempergunakan ilmu untuk melakukan kejahatan, biarpun kau berada di tempat yang selaksa li jauhnya, aku sendiri akan mencarimu dan mencabut nyawamu agar ilmu dari kami tidak dipergunakan untuk kejahatan. Mengerti?”
“Teecu bersumpah takkan tunduk terhadap godaan iblis dan nafsu jahat!” kata Kiang Liat sambil mengedikkan kepalanya. Ia benar-benar marah karena ketidak-percayaan supeknya kepada dirinya ini.
“Bagus, akan kita lihat bersama. Kalau benar-benar kau tidak mengecewakan menjadi murid kami, kelak kalau ada jodoh aku sendiri akan menambah satu-dua ilmu pukulan kepadamu. Sute, mari kita pergi dari sini, aku ada urusan penting sekali untuk dibicarakan!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Bu Pun Su lenyap dari pemandangan mata Kiang Liat.
“Muridku, berhati-hatilah dan kaucari Song Lo-kai. Sampai bertemu kembali kalau ada jodoh!” Han Le juga berkata kemudian melompat dan lenyap untuk menyusul suhengnya yang luar biasa itu.
Seperginya kedua orang sakti itu, Kiang Liat lalu berlutut ke arah mereka menghilang. Kemudian ia berdiri dan menarik napas berulang-ulang.
“Hebat… tadinya kukira bahwa kepandaian Suhu sudah tidak ada taranya di muka bumi ini. Tidak tahunya kepandaian Supek Bu Pun Su bahkan jauh lebih tinggi lagi! Aah, sayang sekali aku hanya mendapat kesempatan satu tahun. Kalau aku bisa menjadi murid Supek, alangkah senangnya…”
Kemudian, setelah menyimpan pedangnya, sambil membawa sebatang ranting seperti suhunya, Kiang Liat pergi meninggalkan tempat itu dan menuju ke dusun Sui-chun di mana tinggal Song Lo-kai. Diam-diam ia merasa tidak enak dan sungkan-sungkan, karena kepergiannya ini adalah untuk menghadapi Song Lo-kai yang mengusulkan pernikahan, padahal ia sama sekali belum memikirkan persoalan pelik ini. Namun, ada juga sedikit keinginan tahu melihat macamnya cucu perempuan dari Song Lo-kai!
***
Song Lo-kai tinggal di Sui-chun, kini menjadi seorang hartawan yang hidup berdua dengan cucunya, yakni Song Bi Li. Dahulunya Song Lo-kai sesuai dengan sebutannya, yakni lo-kai atau pengemis tua, adalah seorang pemimpin perkumpulan pengemis yang menjadi cabang atau anak buah dari Cap-si Kaipangcu. Semenjak cucunya kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal karena penyakit menular, kakek she Song ini telah berubah pendiriannya. Tadinya ia memang tidak mempunyai tanggungan, hidup seorang diri dan suka hidup bebas sebagai pengemis. Akan tetapi, setelah anak dan mantunya meninggal dunia, dan Bi Li hidup seorang diri, ia memikirkan nasib cucunya itu.
Kebetulan sekali, Kakek Song mendapatkan sebuah surat wasiat tentang harta terpendam di sebuah guha rahasia. Ia pergi dan berhasil mendapatkan harta ini, maka ia lalu membeli rumah gedung dan sawah ladang, hidup sebagai hartawan besar. Kejadian inilah yang membuat ia ditangkap oleh Cap-si Kai-pang dan hampir dibunuh kalau tidak tertolong oleh Kiang Liat.
Song Bi Li ternyata seorang gadis yang amat cantik, berwajah ayu manis bertubuh langsing. Kulitnya putih halus, pipinya kemerahan. Selain cantik jelita, juga ia amat cerdas sehingga dengan mudah ia dapat menguasai kepandaian tulis dan baca, bahkan pandai sekali membuat sajak-sajak indah. Di samping ini, ia pun terkenal di kotanya dengan hasil sulamannya yang halus. Pendeknya di dalam kota Sui-chun, tidak ada gadis melebihi Bi Li cantik atau pandainya sehingga ia terkenal sebagai kembang kota Sui-chun. Lebih lagi setelah kakeknya menjadi kaya-raya, pakaiannya bagus-bagus, menambahkan kecantikannya.
Dua tahun yang lalu, ketika ia dan kakeknya baru pindah ke dalam gedung besar yang dibeli oleh kakek Song, terjadilah hal yang membuat hati Bi Li terguncang dan untuk pertama kalinya gadis yang baru berusia tujuh belas tahun di waktu itu, mengalami godaan asmara.
Waktu itu masih pagi sekali dan Bi Li berjalan-jalan di dalam kebun di belakang gedung kakeknya. Kebun ini masih kosong dan belum terpelihara, masih banyak pohon-pohon yang tak berguna lagi bagi sebuah kebun yang seharusnya ditanami bunga-bunga yang indah. Bi Li memang sedang memeriksa kebun ini untuk mengatur sendiri cara bagaimana kebun itu akan ditanami bunga-bunga, di mana harus membuat kolam dan sebagainya. Kakek Song memang sudah menyerahkan hal ini kepada cucunya. Bi Li dikawani oleh Ceng Si, seorang gadis yang menjadi pelayan di rumah gedung itu. Kakek Song sengaja membeli gadis ini dari keluarga miskin di dusun, tidak saja untuk menolong orang tua gadis ini, juga karena ia ingin agar cucunya mempunyai seorang kawan bermain yang sebaya. Ceng Si seorang gadis yang cantik juga, sederhana dan amat penurut, lagi cinta kepada Bi Li yang semenjak itu menjadi majikannya.
“Ceng Si, di ujung barat itu harus didirikan bangunan kecil untuk dapat beristirahat, di depannya digali empang dan dipasangi jembatan melengkung. Di ujung timur harus digali empang ikan emas dan diisi tanaman bunga teratai. Kembang botan ditanam di sebelah sini dan kembang cilan disebelah sana. Kau nanti jelaskan semua ini kepada tukang kebun yang memborong pekerjaan ini, dan kalau ada yang belum jelas, biar aku sendiri yang akan menerangkan kepadanya,” kata Bi Li sambil menunjuk ke sana ke mari dengan telunjuknya yang kecil terpelihara.
“Baik, Siocia. Menurut Lo-ya (Tuan Tua, dimaksud Kakek Song), tukang kebun akan datang siang nanti dan akan mulai dengan menebangi pohon-pohon yang berada di sini.”
“Jangan ditebang semua. Pohon yang di kanan itu, yang berjajar tiga, tebang tengahnya saja, biarkan yang dua tumbuh terus. Dan sekumpulan yang-liu (cemara) itu jangan ditebang, hanya buangi cabang-cabang yang sudah kerig. Yang lain boleh dibuang. Dan jangan lupa, taman ini harus dikelilingi dinding tembok yang cukup tinggi sehingga tidak kelihatan dari luar. Sekarang ini hanya dikelilingi pagar dan banyak yang sudah bobol. Kalau penuh tanaman kembang tentu akan habis dicabuti anak-anak nakal dan dimakan ayam dan kerbauku.”
“Memang benar, Siocia (Nona). Belum kalau ada maling masuk,” kata Ceng Si.
Ceng Si menutupi mulutnya dengan ujung lengan baju, tertawa. Akan tetapi segera ketawanya terhenti dan ia berkata perlahan, agak ketakutan. “Aduh, dia benar-benar datang, Siocia…”
Bi Li terkejut dan bertanya, “Kau bilang ada maling…?” Sambil berkata demikian, ia membalikkan tubuh menengok ke arah pelayannya itu memandang.
Ternyata benar ada seorang laki-laki yang menerobos masuk ke dalam kebun itu melalui pagar yang sudah rusak. Mula-mula Bi Li terkejut sekali sehingga mukanya berubah, akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya setelah melihat bahwa laki-laki yang menerobos ke dalam kebun itu tidak kelihatan seperti orang jahat.
“Dia tidak kelihatan jahat, Ceng Si, apakah bukan tukang kebun yang hendak bekerja di sini?”
“Stt, kau terlalu. Mana orang seperti itu dianggap tukang kebun? Dia bukan maling dan bukan pula tukang kebun, lihat saja pakaiannya seperti seorang kongcu (tuan muda) dan orangnya begitu… begitu tampan!”
“Hush, genit kau…!” Bi Li mencela, akan tetapi diam-diam ia harus mengakui bahwa yang datang itu adalah seorang pemuda yang tampan dan ganteng, berpakaian seperti seorang siucai (pelajar), sikapnya halus dan sopan. Bi Li dahulu tinggal bersama orang tuanya di kampung, maka ia tidak seperti nona-nona hartawan dan bangsawan yang selalu bersembunyi di dalam gedung dan jarang bertemu dengan laki-laki asing, maka kini ia tidak merasa terlalu kikuk. Juga ia tidak takut karena waktu itu matahari sudah naik tinggi dan ia berada di situ dengan pelayannya, sungguhpun mereka merasa curiga ketika memandang kepada pemuda ini. Ia merasa seperti pernah melihat pemuda ini, hanya ia lupa lagi bilamana dan di mana.
Pemuda itu menghampiri mereka dan memandang kepada Bi Li dengan senyum manis. Ia nampak ramah-tamah dan matanya berseri-seri ketika ia memandang kepada Bi Li, sungguhpun alisnya berkerut seakan-akan ada sesuatu yang menyusahkan hatinya.
“Kau siapakah dan mengapa berani lancang memasuki kebun orang?” Bi Li menegur, suaranya ketus dan matanya bersinar marah.
Pemuda itu nampak kecewa sekali mendengar teguran gadis ini. Ia menjura dengan hormat, lalu berkata, suaranya seperti orang penasaran,
“Song-siocia, benar-benarkah kau lupa kepadaku? Benar-benarkah, setelah kini kau menjadi kaya-raya, kau lupa akan kampung halamanmu dan sekalian orang miskin yang menjadi penghuninya?”
Bi Li makin marah. “Aku tidak kenal padamu, lekas pergi dari sini, kalau Kong-kong (Kakek) tahu kau menerobos ke sini, kau tentu akan dipukul!”
Pemuda itu berdiri tegak dan tersenyum duka. “Jangankan dipukul, dibunuh pun aku rela. Kong-kongmu yang kaya-raya, yang merampas kau dari dusun kami, sudah begitu tinggi hati untuk menghinaku, dan sekarang aku hanya ingin menyaksikan, apakah Nona Song Bi Li juga begitu tinggi hati seperti kong-kongnya?”
“Siapakah kau? Mengapa kau begini kurang ajar?” Bi Li memandang dengan alis dikerutkan.
“Nona, lupakah kau kepada orang yang pernah menuliskan sajak di dinding kuil di dusun kita?” pemuda itu berkata.
Bi Li memandang makin tajam dan kini berubahlah mukanya menjadi kemerahan.
“Ah, kau... kau Cia-siucai ....” katanya gagap.
Terbayanglah semua pengalamannya ketika ia masih tinggal di dusunnya. Ketika itu, kedua orang tuanya secara berturut-turut telah meninggal dunia karena penyakit yang merajalela di dusun itu. Ketika jenazah ayah bundanya dirawat di dalam kuil, satu-satunya kuil di dusun itu di mana sebagian besar orang-orang yang meninggal diurus dan disembahyangi, banyak orang dusun datang. Di antara mereka, terdapat seorang pemuda sasterawan yang baru saja kembali ke dusun setelah bertahun-tahun menempuh pelajaran dan ujian di kota raja. Pemuda ini adalah Cia Sun atau yang segera terkenal dengan sebutan Cia-siucai.
Bi Li tahu bahwa hampir semua gadis dusun itu merindukan Cia-siucai, memuji-mujinya karena bukan saja ia merupakan pemuda yang paling tampan di dusun itu, juga ia amat pandai membuat sajak. Tulisan-tulisan pada lian yang digantung di kuil, tulisan yang amat indah itu semua adalah buatan Cia Sun.
Ketika itu, Cia Sun baru pertama kali melihat Bi Li dan pemuda ini menjadi tergila-gila. Tiada bosannya ia melirik ke arah gadis itu yang sedang menjalani upacara sembahyang, seorang gadis yang rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan penuh air mata, seorang gadis yang patah hati dan putus harapan karena ditinggal mati oleh ayah bundanya, yang tentu akan jatuh pingsan dan sakit kala tidak dihibur oleh seorang kakek tua yakni Song Lo-kai, Kong-kongnya. Cia Sun demikian tergila-gila sehingga ketika ia terlalu banyak minum arak, tanpa pedulikan apa-apa ia lalu mengambil pit dan menuliskan beberapa baris sajak di atas tembok kuil, dilihat dan dikagumi oleh semua tamu yang datang melayat.
Bi Li sampai sekarang masih ingat bunyi sajak itu, karena melihat ribut-ribut ia pun membaca tulisan itu yang berbunyi demikian :
Layu pucat Teratai Putih,
Kehilangan sinar matahari.
Mengembang di empang tanpa kawan
Hati siapa takkan rawan?
Nona suci hidup seorang diri
Hati siapa takkan perih?
Kasihan kumelihatnya.
Hancur pilu hati dibuatnya.
Apakah dayaku, si bodoh hina ini
Untuk menghibur Teratai suci?
Sajak itu tentu saja dengan amat mudah dapat diterka maksudnya. Semua orang yang berada di situ memang merasa kasihan kepada Bi Li, gadis yang menjadi yatim-piatu dan bunyi sajak itu otomatis merupakan pengakuan dari Cia Sun bahwa begitu bertemu dengan Bi Li, ia telah jatuh cinta.
Akan tetapi, Song Lo-kai tidak senang membaca sajak itu, dan dengan muka masam ia menarik tangan Bi Li masuk ke dalam. Semenjak saat itu mereka tak pernah bertemu muka kembali. Peristiwa yang terjadi sewaktu Bi Li berada di puncak kesedihan itu tentu saja tidak terlalu membekas pada hatinya dan ia pun sudah lupa akan peristiwa itu. Akan tetapi siapa kira, sekarang tiba-tiba saja pemuda itu muncul dihadapannya, dengan jalan menerobos kebun!
Sementara itu, ketika Cia Sun melihat Bi Li mengenalnya, ia menjadi girang sekali dan wajahnya yang tampan berseri-seri.
“Aduh, terima kasih kepada Kwan Im Pousat, ternyata kau juga memikirkar diriku yang hina ini, Nona Song ...”
“Siapa bilang?” Bi Li membentak marah. “Cia-siucai, kau lancang sekali! Kau masuk ke sini tanpa permisi dan kau mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya. Apa sebenarnya kehendakmu?”
“Kedatanganku hanya untuk mengulangi pernyataanku dahulu, Nona, yakni bahwa aku cinta kepadamu ...”
“Tidak! Kurang ajar, pergi kau dari sini!” Bi Li membelalakkan matanya yang indah dan mukanya berubah-ubah, sebentar merah, dadanya berombak menahan gelora hatinya.
Cia Sun menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Li. “Song-siocia, kakekmu sudah menghinaku, sudah menolak pinanganku, kau masih mengusirku pula?” Suara ini terdengar demikian lemah mengharukan sehingga Ceng Si yang mendengar ini menjadi pucat dan dua titik air mata membasahi pipinya.
Adapun Bi Li ketika melihat pemuda itu, tiba-tiba berlutut di depannya, dan mengeluarkan kata-kata itu, menjadi makin bingung.
“Cia-siucai, jangan kau begini! Apa sih yang kaukehendaki?”
“Nona, Kong-kongmu menolak pinanganku dengan alasan bahwa kau sudah bertunangan dengan orang lain. Aku bukan seorang yang tidak kenal aturan, aku tidak mau menjadi seorang yang tidak kenal malu dan kurang ajar, katakanlah kepadaku secara terus terang, Nona apakah betul kau sudah menjadi tunangan orang lain? Betulkah kau sudah bertunangan?”
“Kau peduli apakah dengan itu? Hal itu bukan urusanmu, Cia-siucai. Sudahlah, kau lebih baik lekas-lekas pergi dari sini.”
“Jawab dulu, Nona. Benar-benarkah kau sudah bertunangan dengan orang lain? Kalau benar demikian, aku Cia Sun bersumpah takkan mau mengganggumu lagi.”
Bi Li tak dapat menjawab. Dia memang belum bertunangan, hal ini ia ketahui benar, karena memang dahulu orang tuanya belum mengikat perjanjian dengan siapapun juga. Akan tetapi, menjawab pertanyaan seorang pemuda asing begitu saja tentang pertunangan, bukanlah hal yang patut dilakukan oleh seorang gadis sopan.
Ceng Si melihat keraguan nonanya maka ia yang mewakili Bi Li menjawab, “Sesungguhnya Siocia belum bertunangan Cia-siucai. Sudahlah, harap kau sudi meninggalkan tempat ini, kalau diketahui oleh orang lain, bukankah hal ini buruk sekali bagi Siocia?”
Mendengar ini, Cia Sun lalu membanting-bantingkan jidatnya pada tanah dan ia masih tetap berlutut.
“Penasaran! Penasaran! Nona Song, mengapa kakekmu begitu membenciku? Memang ia membohong dan menolak pinanganku? Ketahuilah, tanpa kau di sampingku, aku tidak akan dapat hidup lebih lama lagi! Lebih baik aku mati saja di sini, Song-siocia ....”
Mendengar ini, Bi Li menjadi pucat sekali dan ia menahan mulutnya yang hendak berteriak. Kemudian ia membalikkan tubuh dan berlari pergi meninggalkan pemuda yang masih berlutut itu, berlari kembali ke dalam gedung.
Bi Li tiba di kamarnya dengan terengah-engah, mukanya pucat. Baiknya kong-kongnya tidak ada di rumah gedung itu baru ada dia dan Ceng Si saja, karena memang belum memanggil pelayan-pelayan lain. Hatinya berdebar, tidak karuan rasanya. Ada rasa takut, bingung dan juga girang. Entah mengapa, mengingat betapa pemuda tampan dan pandai yang menjadi kebanggaan dusun yang menjadi rebutan dan mimpi para gadis dusun itu kini bertekuk lutut kepadanya, menyatakan cinta kasih yang demikian besar, benar-benar menggirangkan hatinya. Akan tetapi ia sendiri tidak mengerti perasaan apakah ini yang membuat dia menjadi kebingungan.
Tak lama kemudian, Ceng Si menyusul masuk ke dalam kamar.
“Siocia, bagaimana ini baiknya?” kata pelayan muda dan cantik itu sambil meremas-remas tangan. “Dia tidak mau pergi…”
“Tidak mau pergi…? Habis bagaimana baiknya…?” Bi Li memandang kepada Ceng Si dengan bingung dan air matanya sudah mulai memenuhi pelupuk matanya.
“Siocia, dia harus dikasihi. Dia betul-betul mencinta kepada Siocia dengan sepenuh hati dan nyawa. Dia bilang bahwa dia akan tetap berlutut di sana sampai mati kalau Siocia tidak mau menyatakan sesuatu untuk menjawab cintanya. Demikian ia bilang kepadaku, Siocia.”
Kini air mata menitik turun ke atas pipi Bi Li. Ia menjadi terharu dan juga bingung, ditambah rasa takut. Kalau sampai kong-kongnya atau orang lain tahu akan halnya pemuda itu, bukankah akan terjadi geger? Bukankah orang lain akan menyangka yang tidak-tidak terhadap dirinya? Sampai lama ia tidak menjawab.
Ah, Bi Li memang seorang gadis yang masih hijau dan bodoh, yang selamanya belum pernah mengalami perasaan seperti itu. Kalau saja ia tahu apa yang baru saja terjadi ketika ia pergi meninggalkan Cia Sun, tentu akan lain sikapnya. Begitu ia pergi, Ceng Si yang begitu melihat Cia Sun menyatakan cinta kasih terhadap nonanya, segera memegang pundak pemuda itu dengan lemah-lembut, berkata seperti bisikan mesra,
“Siucai, mengapa kau begitu lemah? Bangunlah, urusan ini dapat diatur bagaimana baiknya. Hatiku tidak kuat melihat kau begini sengsara, Kongcu ...”
Mula-mula Cia Sun terheran, ia mengangkat muka dan memandang wajah pelayan yang cantik itu, kemudian setelah dua pasang mata bertemu, tahulah pemuda ini akan suara hati Ceng Si. Ia menjadi girang sekali dan memeluk pundak Nona pelayan itu sambil berkata,
“Nona manis yang baik, benar-benarkah kau menaruh hati kasihan kepadaku yang malang ini?”
Ceng Si pura-pura melepaskan diri dan berkata dengan sikap genit,
“Cih, tak tahu malu! Baru saja Siocia pergi, sudah berubah hatinya dan hendak membujuk aku, benar-benar lelaki tidak setia!”
Cia Sun cepat menjura dan berkata dengan suara memohon, “Nona yang baik, siapa orangnya tidak akan mencinta kau yang begini manis? Kasihanilah aku, aku benar-benar lebih baik mati kalau Siociamu tidak mempedulikan aku. Bantulah aku, bujuk siociamu agar ia sudi sedikit menaruh perhatian kepadaku, dan aku berjanji, kelak kalau aku berhasil menjadi suami siociamu, kaulah orang pertama yang akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua)!”
Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, “Benar-benarkah janjimu ini? Atau hanya bujukan kosong belaka?”
“Demi langit dan bumi, aku bersumpah kelak kalau aku berhasil menjadi suami Nona Song Bi Li, aku segera akan mengambil Nona... eh, siapa namamu?”
Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, “Benarkah itu? Namaku, eh, Ceng Si,” jawabnya cepat-cepat.
“Ceng Si nama yang manis.” Kemudian ia berdongak ke arah langit dar melanjutkan sumpahnya, “Aku akan mengambil Nona Ceng Si yang manis sebagai ji-hujin! Nah, langit dan bumi menjadi saksi atas sumpahku. Lekaslah kau datangi siociamu dan bujuk agar supaya ia suka menaruh sedikit perhatian kepadaku dan suka memberi sedikit tanda mata.”
“Baiklah, akan tetapi awas, kalau kau membohongiku, jangan kira Ceng Si takkan menuntut balas!” Pelayan itu segera pergi berjalan-jalan dan menuju ke kamar Bi Li.
Demikianlah, semua ini tentu saja Bi Li tidak tahu sama sekali. la mendengar dari Ceng Si bahwa Cia Sun masih berutut dan tidak mau pergi, hatinya menjadi amat terharu. Demikian besarnya kasih sayangnya kepadaku sehingga ia rela mengorbankan nyawa, pikir gadis ini.
“Habis, apa yang harus kulakukan, Ceng Si?” kemudian ia bertanya, minta nasihat pelayannya yang ia anggap lebih mengerti dalam urusan seperti ini.
Berbeda dengan Bi Li, dalam hal ini Ceng Si lebih cerdik dan gadis pelayan ini lebih mengenal watak laki-laki seperti Cia Sun. Ia sudah dapat menduga ke mana maksud tujuan Cia Sun, bukan karena oleh kecantikan siocianya yang memang amat cantik itu, akan tetapi disamping ini mengandung maksud yang lebih besar, yakni hendak menjadi suami Bi Li yang menjadi ahli waris tunggal dari Song-loya yang kaya-raya! Aku harus berlaku cerdik, pikir Ceng Si. Kalau kubujuk sehingga siocia menerimanya dan kemudian sebelum mereka menjadi suami isteri, Cia Sun menyia-nyiakannya, maka akan gagallah semua niatnya. Aku harus berusaha agar Siocia menjadi isterinya agar Cia Sun bisa diterima menjadi suami Bi Li dan kelak akan menjadi nyonya ke dua, akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua). Kedudukan nyonya kedua pada masa itu memang cukup tinggi jauh lebih tinggi daripada kedudukan nyonya ke tiga, empat atau ke lima. Apalagi kalau bandingkan dengan kedudukan pelayan biasa, tentu saja jauh lebih tinggi!
“Siocia, apakah… apakah Siocia juga… suka kepadanya?”
Wajah Bi Li menjadi merah sekali dan ia memandang kepada pelayannya dengan mata terbuka 1ebar. Maksudnya hendak marah, namun ia tidak dapat, karena wajah Ceng Si memperlihatkan sikap sungguh-sungguh, dan ia sedang bingung dan membutuhkan pertolongan pelayan ini.
“Aku tidak tahu, Ceng Si, aku... tidak tahu ...”
“Siocia, Cia-kongcu itu benar-benar cinta kepada Siocia dan kalau ia dibiarkan saja, tentu ia akan berkeras tidak mau pergi!”
“Aduh, bagaimana kalau Kong-kong datang dan melihat dia di sana?” Bi Li ketakutan.
“Apalagi kalau ada orang luar melihatnya, tentu timbul persangkaan yang bukan-bukan.” Ceng Si menambah kebingungan siocianya dengan maksud agar nona majikannya itu terdesak betul-betut dan akhirnya akan menurut apa yang ia nasihatkan.
Benar saja, mendengar kata-kata pelayannya ini, Bi Li lalu menangis karena bingung dan cemas. “Ceng Si, apakah yang harus kuperlakukan? Tolonglah aku, Ceng Si!”
Pelayan muda yang cantik itu tersenyum di dalam hatinya. Baik Cia Sun maupun Bi Li sudah minta tolong kepadanya, sudah dapat dipastikan bahwa kelak ia pasti tercapai cita-citanya, menjadi Ji-hujin yang kaya dan terhormat!
“Siocia, tidak baik menemui padanya di kebun, akan tetapi tidak baik pula membiarkan dia begitu saja sehingga dia tidak mau pergi. Lebih baik Siocia menghibur hatinya dengan jalan memberi sesuatu agar ia puas dan mau pergi!”
“Memberi apa, Ceng Si? Apa yang dapat kuberikan agar ia mau pergi?”
Ceng Si berpikir-pikir. Memang akan lebih sempurna kalau memberi barang yang berharga, yang menjadi tanda atau bukti seperti misalnya hiasan rambut dari batu giok itu yang menghias rambut Bi Li yang hitam dan halus, akan tetapi hal itu terlalu berbahaya untuk pertama kalinya. Ia masih belum tahu akan isi hati Cia Sun, belum tahu apakah pemuda itu bersungguh-sungguh atau tidak.
“Lebih baik Siocia memberikan saputangan Siocia itu, agar ia merasa bahwa Siocia menaruh kasihan kepadanya dan akulah yang akan membujuk-bujuknya agar ia mau pergi dari kebun.”
Bi Li tentu saja ragu-ragu dan mukanya menjadi merah sekali. Ia melihat saputangannya yang tersulam indah dan yang basah dengan air matanya. Akan tetapi tidak ada jalan lain yang lebih baik. Kalau pemuda itu nekat tidak mau pergi, lebih celaka lagi!
“Baiklah, kau berikan ini dan bujuk agar dia jangan berlaku nekad dan tidak mau pergi.”
Ceng Si dengan girang menerima saputangan itu dan membawa benda itu ke kebun, di mana Cia Sun telah menantinya. Untuk beberapa lama dua orang ini berunding, akhirnya Cia Sun pergi keluar melalui pagar kebun yang rusak.
Demikianlah. Ceng Si menjalankan siasatnya dengan licin sekali. Sampai kebun itu berubah menjadi taman indah dan dikelilingi pagar tembok, selalu pelayan ini mengadakan hubungan dengan Cia Sun. Dengan amat cerdiknya Ceng Si menjaga sedemikian rupa sehingga Bi Li memberi benda-benda tanda mata, membalas surat-surat dan sajak-sajak pemuda itu, bahkan Bi Li yang bagaikan seekor lalat terjebak dalam sarang laba-laba berani bersumpah babwa dia hanya akan bersuamikan Cia Sun!
Sampai dua tahun perhubungan ini berjalan diam-diam. Memang betul bahwa Bi Li tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar kesusilaan, karena memang gadis ini teguh menjaga kesopanan, dan ini sesuai pula dengan rencana Ceng Si, namun di dalam hatinya, gadis ini sudah membalas cinta kasih Cia Sun. Tentu saja Cia Sun menjadi besar hati, karena biarpun ia pernah ditolak lamarannya oleh Kakek Song, namun kalau Bi Li tidak mau dinikahkan dengan orang lain dan kelak kakek itu meninggal dunia, akhirnya dialah yang akan menjadi suami Bi Li dan menguasai semua harta benda yang besar itu!
Akan tetapi, tiba-tiba setelah Bi Li berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari Kakek Song pulang bersama seorang pemuda yang tampan dan gagah, yang berpakaian sebagai seorang pengemis, tambal-tambalan dan butut. Dan hebatnya, Bi Li diperkenalkan kepada pemuda ini sebagai calon suaminya!
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kiang Liat setelah berpisah dari suhunya, langsung menuju ke dusun Sui-chun. Ia sengaja tidak mau pulang dulu ke kotanya di Sian-koan dan sengaja memakai pakaian seperti pengemis untuk melihat apakah Kakek Song dan cucunya masih tidak berubah pendiriannya melihat dia sudah menjadi seorang pengemis.
Tidak tahunya, baru saja ia tiba di luar dusun Sui-chun, ia telah disambut oleh Kakek Song dengan segala kehormatan! Memang sudah berhari-hari kakek ini menanti dari pagi sampai petang di luar kampung, ingat bahwa hari kedatangan pemuda yang pernah menolongnya itu sudah tiba. Maka begitu melihat Kiang Liat, ia segera berlari menghampiri bersama pelayan-pelayannya, dan menyambut Kiang Liat dengan segala kehormatan.
“Kian Tai-hiap, sudah tiga hari lohu menanti di sini. Bagus sekali, kau kelihatan, sehat-sehat saja dan lebih gagah!”
“Akan tetapi, aku telah menjadi pengemis yang miskin, Lopek.”
“Ha-ha-ha, dahulu pun aku seorang pengemis yang lebih miskin daripadamu, Tai-hiap. Sudah lupa lagikah kau akan hal itu? Marilah, kita bicara di rumah.”
Diam-diam Kiang Liat memuji kakek ini yang ternyata sikapnya tidak berubah sama sekali. Memang ia suka mempunyai seorang mertua atau seorang kakek sebaik ini, akan tetapi ia belum melihat bagaimanakah macamnya cucu perempuan kakek ini yang bendak dijodohkan dengan dia?
Rumah gedung tempat tinggal kakek itu, sungguhpun untuk di Sui-chun termasuk paling baik namun masih tidak sebesar dan sebaik rumah Kiang Liat sendiri di kota Sian-koan, maka pemuda ini sama sekali tidak merasa kagum atau kikuk ketika memasuki gedung ini.
“Suruh Siocia keluar menyambut tuan penolongku yang muliai!” kata Song Lo-kai dengan girang kepada seorang pelayan perempuan.
Berdebar hati Kiang Liat ketika ia mendengar suara tindakan kaki yang halus dari dalam, kemudian mulut pintu tersingkap dan muncullah seorang bidadari dalam pandangan pemuda ini. Ia cepat bangun dari bangkunya dan merahlah muka Kiang Liat ketika ia teringat bahwa pakaiannya amat tidak baik. Ia memandang wajah yang cantik jelita itu, yang bibirnya tersenyum manis dengan ramah-tamah, wajahnya yang ayu berseri-seri dan sepasang matanya bersinar-sinar. Memang Bi Li sudah pernah diceritakan oleh kong-kongnya bahwa ketika menghadapi bencana maut kong-kongnya telah ditolong oleh seorang pendekar muda. Tentu saja kini mendengar bahwa tuan penolong itu datang, sebagai cucu kong-kongnya ia harus menyatakan terima kasihnya. Hanya tak disangkanya bahwa tuan penolong itu ternyata adalah seorang yang masih muda dan luar biasa tampan serta gagah.
Kiang Liat menjura dan mengangkat kedua tangan ke dada, memandang bagaikan dalam mimpi, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa pemuda itu amat kikuk, timbullah rasa sungkan dan malu kepada Bi Li sehingga gadis ini pun hanya menjura memberi hormat.
“Bi Li, mengapa kau diam saja terhadap, tuan penolongku? Tidak saja Tuan penolong, dia pun calon suamimu, Nak!” Setelah berkata demikian, kakek ini mengejap-ngejapkan kedua matanya yang terasa panas hendak menitikkan air mata saking terharu dan girangnya.
Mendengar ucapan itu, Bi Li merasa seakan-akan kedua kakinya terjeblos ke dalam jurang. Kagetnya bukan main dan seketika itu wajahnya menjadi pucat sekali. Akan tetapi ia buru-buru menundukkan muka dan membalikkan tubuh terus lari ke dalam kamarnya, diikuti oleh Ceng Si yang tadi juga mengikuti nona majikannya keluar.
Bagi anggapan Kiang Liat dan kakek Song, nona itu tentu lari karena jengah dan malu, maka kakek Song tertawa bergelak-gelak saking senang hatinya.
“Lopek, sungguhpun aku sebatang kara yatim-piatu, namun aku mempunyai rumah di Sian-koan. Biarlah aku pulang lebih dulu, baru kemudian aku akan mengirim wakil untuk membicarakan urusan perjodohan ini.”
Kakek Song mengerutkan keningnya dengan khawatir. “Akan tetapi kau… kau sudah setuju, bukan?”
Kiang Liat menjadi merah mukanya, tak dapat menjawab, maka ia hanya menganggukkan kepalanya dengan pasti!
Kakek Song tertawa bergelak, lalu dengan suara keras ia memberi perintah pada para pelayannya untuk menyediakan jamuan yang hebat bagi calon mantunya.
Setelah minum arak dan menerima hidangan-hidangan yang disuguhkan oleh Kakek Song, Kiang Liat lalu berpamit dan sebgai tanda mata, ia meninggalkan pedangnya. Dengan hati girang pemuda ini lalu melakukan perjalanan cepat sekali ke kota tempat tinggalnya. Ia disambut dengan girang oleh inang pengasuhnya, ia memang sudah seperti neneknya sendiri saja. Kiang Liat girang karena melihat rumahnya tidak berubah dan tidak terjadi sesuatu atas diri inang pengasuhnya. Ia lalu menceritakan pengalamannya secara singkat, dan terutama sekali ia bercerita tentang maksudnya hendak menikah dengan Nona Song di Sui-chun. Inang pengasuhnya girang bukan main, sambil berlinang air mata inang pengasuh ini lalu mengurus hal itu, mencarikan seorang wakil untuk menyampaikan warta ke Sui-chun tentang ketetapan hari pernikahan!
Sementara itu, di rumah Kakek Song terjadi keributan. Bi Li menangis dan menyatakah tidak mau menikah.
“Anak bodoh, usiamu sudah sembilan belas tahun mau menunggu apa lagi? Apakah kau mau menunggu kakekmu mati?” akhirnya Kakek Song berkata lemas.
Bi Li menubruk kakeknya. “Tidak demikian Kong-kong, akan tetapi aku… belum suka menikah ...”
“Bi Li, jangan kau membikin bingung dan susah hati kong-kongmu. Perjodohan ini sudah kujanjikan kepada Kian-taihiap setahun yang lalu. Sebentar kalau utusannya datang mewartakan tentang hari pernikahan, kita harus menerima dengan baik kau tak boleh berkeras kepala lagi kecuali kalau kau suka melihat kong-kongmu mampus saking jengkel dan susah.”
Bi Li tak dapat menjawab hanya menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis terisak-isak.
Pada saat itu, Ceng Si turun tangan. Gadis pelayan ini memberi isyarat kepada Kakek Song untuk keluar. Kakek ini terheran akan tetapi ia menurut saja. Akhirya mereka bicara di dalam ruangan belakangnya dan tak seorang pun pelayan lain boleh mendekati mereka.
“Ceng Si, ada apakah? Agaknya ada sesuatu yang dirahasiakan kepadaku!” Kakek Song berkata kurang senang.
Ceng Si berlutut. “Mohon beribu ampun Lo-ya. Sesungguhnya saya sudah berusaha banyak untuk mencegah terjadi hal ini, akan tetapi apa mau dikata, sebelum saya menjadi pelayan di sini, hal itu sudah terjadi.”
“Hal ini, hal itu, apa maksudmu? Bicaralah yang jelas!” Kakek Song membentak dengan hati kurang enak.
“Siocia tidak mau menikah karena sesungguhnya Siocia sudah mempunyai pilihan hati sendiri.”
“Apa? Kau tahu akan hal ini dan tidak memberitahukan kepadaku? Berani betul kau membiarkan Siociamu merusak nama baik keluarganya? Jahanam benar...” Wajah Kakek Song menjadi pucat sekali.
“Tidak demikian, Loya, harap jangan salah sangka. Biarpun Siocia sudah mempunyai pilihan hati, namun Siocia tak pernah bertemu dengan dia, hanya berkirim-kiriman saja dan sebagainya.”
“Bedebah…!”
“Kalau Loya benar-benar sayang kepada Siocia, saya harap Loya sudi mempertimbangkan keadaan Siocia yang patut dikasihani. Dan harap Loya suka mendengar penuturan saya dengan hati sabar. Loya, sebelum Loya membawa Siocia pindah ke sini, memang diantara Siocia dan pemuda itu sudah ada pertalian batin yang erat. Mereka saling mencinta dan saling bersumpah takkan menikah dengan orang lain. Adapun menurut penglihatan saya, pemuda itu adalah seorang pemuda terpelajar yang amat sopan-santun dan baik, tulisannya indah dan juga orangnya tidak kalah oleh Kiang-taihiap. Siocia pasti akan hidup berbahagia selama hidupnya kalau Loya membatalkan pertalian jodoh dengan Kiang-taihiap dan sebaliknya menjodohkan Siocia dengan pilihan hatinya sendiri.”
“Cukup, tutup mulutmu, kau seorang pelayan tahu apa? Siapakah adanya jahanam yang berani menggoda cucuku itu? Hayo katakan siapa dia?”
“Dia adalah seorang Siucai dan namanya Cia Sun dari dusun Lee-hiang.”
Kakek Song termenung dan mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya. Kemudian ia menyuruh Ceng Si pergi dan menghibur siocianya.
“Katakan kepada Siociamu bahwa aku akan memikirkan hal ini baik-baik,” katanya. Kakek ini teringat akan pemuda she Cia yang pernah melamar Bi Li, dan menurut penglihatannya, memang pemuda itu cukup baik dan terpelajar. Akan tetapi, ia sudah menolak pinangan itu karena ia ingin menjodohkan Bi Li kepada seorang gagah agar kelak dapat melindungi cucunya itu. Kakek Song sendiri adalah seorang ahli silat dan biarpun kepandaiannya tidak tinggi namun ia cukup tahu akan manfaat kegagahan pada jaman itu. Apalagi sekarang ia telah menjodohkan cucunya kepada Kiang Liat seorang pemuda gagah perkasa yang pernah menolongnya dan yang amat dikaguminya, apalagi karena pemuda itu kini menjadi murid dari seorang sakti.
“Sungguh menjemukan sekali, pinangannya sudah kutolak bagaimana ia masih berani mengganggu Bi Li? Ada maksud apakah sebenarnya dengan pemuda she Cia itu?” Demikian Kakek Song berpikir-pikir. Kemudian ia mendapatkan akal. Ia maklum akan keadaan keluarga Cia yang miskin, maka didatangilah rumah keluarga Cia di dusun Lee-hiang. Ia disambut oleh Janda Cia, yakni ibu dari Cia Sun dengan ramah-tamah dan penuh penghormatan, sebagaimana biasanya seorang kaya-raya disambut oleh seorang dusun yang miskin.
Kakek Song minta kepada nyonya janda itu untuk memanggil puteranya dan Cia Sun menghadap dengan muka pucat. Pemuda ini takut sekali karena ia dapat menduga bahwa kedatangan Kakek Song tentulah ada hubungannya dengan Bi Li, sedangkan ia belum mendapat berita apa dari Ceng Si selama beberapa hari ini. Hatinya gelisah sekali, namun ia menghadap Kakek Song dengan sikap sopan dan memberi hormat sebagaimana mestinya.
“Kedatanganku ini untuk membereskan persoalan yang ada antara Cia Sun dan cucuku,” kata Kakek Song kepada nyonya janda ibu Cia Sun. Tentu saja Nyonya Cia tidak tahu akan kelakuan puteranya maka ia memandang dengan mata penuh pertanyaan.
“Cia-hujin, seperti kau tentu masih ingat, pinangan puteramu terhadap cucuku sudah kutolak karena memang cucuku itu sudah mempunyai tunangan. Akan tetapi akhir-akhir ini ternyata puteramu selalu mendesak dan bahkan berani mencoba untuk berhubungan dengan cucuku. Yang sudah lewat sudahlah, akan tetapi mulai sekarang, kuperingatkan agar puteramu ini jangan sekali-kali berani menghubunginya. Ingat bahwa ia sudah bertunangan.”
“Hal itu tidak betul,” Cia Sun memotong, “Aku mendengar bahwa Song siocia belum bertunangan.”
“Hemm, begitukah?” Kakek Song tersenyum, hatinya mendongkol sekali. “Itu hanya dugaanmu belaka. Dia sudah tunangan dengan seorang she Kian di kota Sian-koan dan dalam beberapa pekan ini pun akan dilangsungkan pernikahannya. Oleh karena itu, sekali lagi kuperingatkan bahwa apabila kau mencoba untuk berlaku tidak patut dan mendekati rumah kami, aku akan turun tangan dengan jalan kekerasan atau akan menyuruh yang berwajib menangkap dan menahanmu. Sebaliknya, kalau kau berjanji tak mengganggu dan mendekatinya lagi, orang she Song akan berterima kasih sekali dan takkan melupakan kebaikan ini. Nah, biarlah sedikit bekal ini untuk keperluan kalian sehingga tak perlu keluar rumah.” Kakek Song meninggalkan sekantong uang perak dan meletakkan itu di atas meja yang reot di depan Nyon Cia.
Nyonya janda Cia terkejut dan juga girang. Ia buru-buru berlutut menghaturkan terima kasih dan berkata kepada Kakek Song,
“Song-loya, harap suka mengampunkan puteraku yang masih belum tahu aturan. Percayalah, aku yang akan melarangnya pergi ke sana. Terima kasih banyak atas hati Song-loya. Sun-ji (Anak Sun), hayo lekas ucapkan terima kasih kepada Song-loya.”
Cia Sun menjadi pucat dan hanya karena takut kepada ibunya maka ia terpaksa menjura dan mengucapkan terima kasih dengan suara perlahan. Kakek Song menjadi puas dan segera pergi dari situ, pulang ke gedungnya. Cia Sun menjatuhkan diri di atas kursi, dua titik air mata turun membasahi pipinya. Hancurlah cita-citanya untuk menjadi suami Bi Li, untuk mewarisi seluruh harta benda itu!
“Anakku, bagaimana sih kau ini? Song-siocia tentu saja bukan jodohmu, bagaimana katak bisa mencapai bulan? Kau benar-benar lancang dan sembrono sekali berani mengganggu gadis dari keluarga demikian hartawan. Masih untung bagi kita bahwa Song-loya berhati pemurah dan sabar sehingga sebaliknya daripada marah kepada kita, ia memberi peringatan dengan halus dan malah memberi uang begini banyak.”
Namun Cia Sun masih terbenam dalam lamunannya yang sedih. Apakah artinya uang sekantung ini dibandingkan dengan diri Bi Li berikut harta benda dan rumah gedung ditambah sawah ladang yang demikian banyaknya? Ia memutar-mutar otak mencari jalan yang baik, akhirnya ia berkata seorang diri, “Hanya Ceng Si yang akan dapat memecahkan hal ini! Ceng Si manisku... kekasihku... sebenarnya kaulah yang patut menjadi isteriku. Tanpa kau yang cerdik aku merasa tak berdaya...”
Adapun Kakek Song yang pulang ke rumah gedungnya, diam-diam menyuruh beberapa orang pelayan untuk mengamat-amati dan menjaga agar jangan sampai ada orang luar bisa masuk ke dalam taman dan agar supaya mengusir setiap orang muda yang mendekati tembok sekitar gedung dan pekarangannya. Dengan penjagaan ini, maka baik Cia Sun maupun Ceng Si sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk saling bertemu atau menyampaikan berita.
Sementara itu, sepekan kemudian, datanglah utusan dari Sian-koan, dan Kakek Song terkejut bercampur girang bukan main, juga ia merasa heran sekali. Utusan yang datang itu adalah seorang setengah tua yang berpakaian mewah, datangnya membawa sebuah kereta penuh dengan barang-barang berharga. Tadinya Kakek Song mengira bahwa yang datang ini tentulah seorang saudagar kaya, akan tetapi ia menjadi mlelongo ketika tamu ini memperkenalkan diri sebagai utusan dari keluarga Kiang di Sian-koan!
“Saya datang atas perintah dari Kiang-kongcu untuk membawa sekedar hadiah bagi Song-siocia, dan juga untuk membicarakan tentang hari pernikahan,” kata utusan itu.
Ketika barang-barang hadiah itu dibongkar, semua orang terheran-heran dan kagum bukan main. Lima belas kayu kain sutera yang paling halus dan mahal dan yang jarang sekali dilihat oleh orang-orang seisi rumah, lima buah barang ukiran dari perak yang amat indahnya, untuk hiasan dinding kamar, empat peti besar terisi kain-kain untuk muili, kelambu, dan lain-lain keperluan rumah tangga, sekantung uang emas dan sekantung pula uang perak, kemudian yang terakhir, sebuah hiasan rambut terbuat dari emas dan dihiasi batu kemala yang amat indahnya, berbentuk seekor kupu-kupu yang hinggap di atas setangkai bunga Cilan.
Jangankan para pelayan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak dan menahan napas, bahkan Kakek Song sendiri sampai melongo. Hanya orang yang kaya-raya, yang jauh lebih kaya daripada dirinya sendiri, yang akan dapat mengirimkan hadiah kepada calon pengantin seroyal ini.
Ia segera menjamu tamu itu dan dari tamu ini ia mendapat keterangan bahwa Kiang-kongcu adalah ahli waris satu-satunya dari keluarga Kiang yang amat terkenal kekayaannya. Juga ia mendengar bahwa nenek moyang Kiang Liat adalah orang-orang ternama belaka, bangsawan-bangsawan tinggi yang bernama besar. Maka bukan main girangnya hati Kakek Song mendengar ini. Mereka mengobrol sambil minum arak dan makan hidangan yang mahal, kemudian utusan itu menyampaikan pesan dari Kiang-kongcu tentang hari pernikahan yang akan dilangsungkan dalam bulan itu juga.
Sementara itu, Ceng Si yang cerdik segera mendengar bahwa pemuda she Kiang yang dahulu berpakaian sebagai orang pengemis itu, ternyata seorang pemuda yang kaya-raya, lebih kaya dari pada keluarga Song sendiri! Apalagi setelah ia melihat barang-barang hadiah yang dibawa oleh utusan keluarga Kiang, hatinya berdebar dan matanya yang indah itu berseri-seri. Diam-diam ia meremas-remas tangan sendiri dan mengatur siasat. Kemudian ia berlari menuju ke kamar Bi Li, diikuti oleh para pelayan yang memanggul barang-barang hadiah itu, karena Kakek Song memberi perintah agar supaya barang-barang itu langsung dibawa ke kamar Bi Li.
“Siocia, kionghi!” Ceng Si berseru sambil memeluk nona majikannya.
“Ceng Si, apakah kau gila? Aku lagi berduka, kau datang-datang memberi selamat.”
“Kionghi, Siocia! Tidak tahunya, pemuda she Kiang yang kelihatan seperti pengemis itu, ternyata adalah seorang pangeran!”
“Apa katamu? Seorang pangeran?” Bu Li menggerakkan alis karena terheran-heran.
“Lihat saja, lihat saja barang-barang hadiahnya!” Pintu terbuka dan mengalirlah barang-barang itu memasuki kamar.
Bi Li juga kagum sekali melihat benda-benda mahal itu, apalagi melihat hiasan rambut yang indah sekali itu, ia benar-benar amat suka, hanya merasa malu untuk menjamahnya. Ia hanya duduk dan melihat satu demi satu semua benda itu yang diambil dari tempatnya oleh Ceng Si. Gadis pelayan ini sambil memamerkan benda-benda itu, tiada hentinya bercakap-cakap.
“Siocia, kau benar-benar berbahagia sekali. Memang orang baik selalu mendapat perlindungan dengan Thian. Siapa kira pemuda berpakaian tambalan itu ternyata adalah seorang yang kaya-raya, yang jauh lebih kaya daripada Song-loya sendiri? Lihatlah, begini indah dan mahalnya barang-barang ini.”
“Ceng Si, aku bukan seorang yang haus akan benda-benda indah dan mahal.”
“Akan tetapi orangnya pun amat gagah dan tampan! Siocia, terus terang saja, kalau diingat-ingat, Kiang-kongcu itu malah lebih tampan daripada... pemuda she Cia itu. Dan tentu saja jauh lebih gagah, ingat saja, ia pernah menolong nyawa Song-loya!”
“Ceng Si!” Bi Li membentak dan mukanya menjadi pucat. “Aku bukan seorang yang begitu mudah lupa akan sumpah sendiri!”
“Siocia, dalam hal ini kita harus jangan menurutkan perasaan dan nafsu sendiri. Ingatlah dan pertimbangkan masak-masak. Memang betul Siocia sudah bersumpah, namun semua itu dilakukan dalam keadaan melamun dan tidak sadar. Siocia bersumpah tidak di depan Cia-kongcu dan hubungan kalian juga hanya dengan surat-surat sajak belaka. Sebaliknya, cobalah pikir baik-baik. Pemuda hartawan dan gagah perkasa she Kian itu, pertama-tama dia sudah menolong nyawa kong-kongmu, kedua kalinya dia memang patut menjadi suami Siocia karena ia memang tampan dan gagah sekali, ketiga kalinya, ia seorang hartawan besar, jadi seribu kali lebih cocok dari pada Cia-siucai yang miskin itu.”
“Ceng Si...! Aku... aku kasihan kepadanya, juga karena ia tidak berdaya dan miskin.”
Berseri wajah Ceng Si, memang inilah yang dinanti-nanti. “Kalau begitu, Siocia, mudah saja untuk menolongnya! Dia miskin, membutuhkan uang. Kalau Siocia selalu memberi sesuatu yang berharga kepadanya, bukankah itu berarti sudah menolongnya?”
“Ceng Si, bagaimana kau bisa bilang begitu? Kalau aku sudah menjadi isteri orang lain, bagaimana aku sudi dan berani mengadakan hubungan dengan laki-laki lain?”
“Mudah saja Siocia. Kalau aku Ceng Si yang bodoh selalu menjadi pelayan pribadi Siocia, selalu berada di samping Siocia, apa sih sukarnya? Kalau Siocia masih selalu menolong pemuda she Cia itu, pendeknya mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan kalau perlu membiayai dia melanjutkan pelajarannya, di kota raja, bukankah itu berarti bahwa Siocia mempunyai pribudi yang tinggi?”
Bi Li berpikir dan ia berkali-kali menarik napas panjang. “Akan tetapi aku khawatir sekali, Ceng Si. Surat-suratku banyak yang berada di tangannya! Kalau kelak... orang yang menjadi suamiku mengetahui akan hal ini, bukankah ini akan mendatangkan malapetaka hebat!”
Di dalam hatinya, Ceng Si tersenyum seperti iblis. Akan tetapi pada wajahnya yang manis itu, tersungging senyum manis yang penuh hiburan. “Jangan khawatir, Siocia. Akulah yang akan minta kembali semua tulisan-tulisan itu.”
Akhirnya Bi Li dapat dibujuk dan dihibur. Gadis ini mengeluarkan surat-surat dari Cia Sun yang tadinya disimpannya, menyerahkan semua surat itu kepada Ceng Si dengan perintah agar semua surat ini dibakar. Ceng Si memang melakukan perintah ini, akan tetapi tidak semua surat dibakarnya, ada beberapa helai yang diam-diam ia sembunyikan dan simpan. Dua helai surat dari Cia Sun ini merupakan senjataku yang paling ampuh terhadap Song-siocia, pikirnya.
Kita tunda dulu dan membiarkan nona Song Bi Li melamun tentang pernikahannya yang dihadapi, dan mari kita mengikuti peristiwa lain yang amat hebat.
***
Di lembah Sungai Huang-ho, nampak dua orang setengah tua berjalan perlahan. Mereka ini adalah Bu Pun Su dan Han Le, dua kakak beradik seperguruan yang berilmu tinggi. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka berdua baru saja meninggalkan Kiang Liat dan kini mereka jalan bersama-sama sambil bercakap-cakap,
“Lu-suheng, mengapa kau sekarang banyak berubah? Kau kelihatan seperti orang yang menderita kesedihan besar,” pertama-tama Han Le menegur suhengnya.
“Sute, sebelum kita bicarakan lebih lanjut, kuperingatkan kepadamu, jangan sekali-kali lagi kau menyebut Lu-suheng kepadaku. Jangan sekali-kali nama Lu Kwan Cu disebut lagi. Nama itu sudah mampus dan sekarang aku adalah Bu Pun Su, tidak ada sambungannya lagi, mengerti?” Suaranya terdengar keras dan kaku, tanda bahwa ia tidak suka mendengar nama kecilnya disebut-sebut.
Han Le beberapa kali memandang kepada wajah Bu Pun Su penuh perhatian. Biasanya, pandangan mata Han Le tajam sekali dan dengan melihat wajah orang, ia akan dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi tarikan wajah Bu Pun Su demikian sukar dimengerti, seakan-akan kulit muka orang sakti itu memakai kedok. Hanya garis-garis yang memenuhi muka dan rambut serta alis yang sudah tidak begitu hitam lagi saja yang bercerita bahwa selama ini, Bu Pun Su mengalami tekanan dan penderitaan batin yang hebat.
“Suheng, kau telah banyak mengalami penderitaan. Maafkan Sute, biarpun Sute seorang yang bodoh dan lemah, namun Sute menyediakan raga dan nyawa untuk membantu Suheng memecahkan semua kesulitan itu.”
Bu Pun Su menoleh kepada adik seperguruan ini, untuk beberapa detik sepasang matanya hanya memandang, seakan-akan hendak mengalirkan air mata. Akan tetapi tiba-tiba sepasang mata itu berseri-seri dan meledaklah suara ketawa Bu Pun Su. Suara ketawanya demikian nyaring dan keras sehingga kalau di situ terdapat orang lain yang tidak berilmu tinggi, pasti orang ini akan lumpuh terkena daya tenaga lwee-kangnya yang disalurkan dalam suara ketawa ini! Baiknya Han Le sendiri telah memiliki tenaga lwee-kang yang tinggi, namun tetap saja ia merasa jantungnya memukul keras dan terpaksa ia menahan napasnya agar jangan terkena getaran hebat dan melukai jantungnya.
“Ha, ha, ha, kau masih tidak berubah, Sute! Kau masih dikuasai oleh perasaanmu, kau lemah dan baik hati. Tidak, Sute. Aku tidak menderita sesuatu. Bagaimana Bu Pun Su bisa menderita? Kalau si lemah Lu Kwan Cu yang sudah mampus memang dia itu lemah hati, mudah dikuasai oleh nafsu, dia buta dan tuli, terlalu mengandalkan kepandaiannya yang tidak berarti, terlalu membanggakan tenaganya yang sebetulnya lemah. Ha, ha, Lu Kwan Cu sudah mampus demikian pula orang-orang yang seperti dia. Akan selalu mengalami suka duka dan hidup bagaikan benda mati yang dipermainkan oleh alam. Akan tetapi aku sekarang bukan seperti dia, aku sudah menguburkan Lu Kwan Cu. Aku Bu Pun Su hidup bukan sebagai bujang perasaan, aku hidup bebas, mempergunakan akal budi dan pertimbangan, mengeluarkan segala yang pernah kupelajari untuk membantu pekerjaan alam!”
Han Le dapat mengerti akan kata-kata yang kedengarannya tidak karuan ini. Dia sendiri sudah banyak mengalami kepahitan hidup, sudah banyak menderita dan kecewa. Maka ia dapat menduga bahwa suhengnya ini tentu telah mengalami hal-hal yang hebat sekali, hal-hal yang menghancurkan hatinya, mungkin sekali telah melakukan dosa yang dianggapnya amat berat dan besar sehingga suhengnya ini mematikan diri sendiri, mematikan dan menghilangkan semua ingatan tentang diri Lu Kwan Cu, dan seakan-akan hidup baru merupakan seorang bernama Bu Pun Su atau Si Tiada Kepandaian, manusia aneh yang hidupnya hanya untuk membantu pekerjaan alam, yakni tegasnya membantu manusia lain.
Han Le menjura kepada suhengnya dan berkata girang, “Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, Suheng. Dan demi Thian Yang Maha Kuasa, aku pun hendak mencoba sedapat mungkin untuk meniru perbuatanmu yang mulia ini. Tadi suheng bilang hendak menyampaikan sesuatu yang amat penting, apakah gerangan urusan itu?”
Karena sudah lupa lagi akan hal-hal dahulu mengenai diri Lu Kwan Cu, Bu Pun Su kembali pula kegembiraannya.
“Sute, aku perlu sekali bantuanmu, juga bantuan semua orang yang masih berbangsa dan berkebudayaan.”
“Eh, apakah yang terjadi, Suheng?” tanya Han Le terkejut, karena kata-kata suhengnya ini terdengar menyeramkan.
Bu Pun Su mengajak sutenya duduk di dekat pantai Sungai Huang-ho di mana tumbuh sebatang pohon besar yang akarnya bergantungan dan bermain-main di permukaan air sungai. Tempat itu amat indahnya dan setiap orang, apalagi para pemancing ikan, pasti akan suka sekali duduk di situ.
“Sute, di dunia kang-ouw telah terjadi hal yang hebat dan amat membahayakan kedudukan orang-orang kang-ouw yang termasuk golongan putih. Apalagi bagi mereka yang menganut sesuatu kepercayaan atau agama.”
“Mengapa, Suheng? Bukankah golongan Mo-kauw (Agama Sesat) pada hakekatnya tidak begitu kuat dan selalu dapat dikendalikan oleh golongan Beng-kauw (Agama Asli), sedangkan golongan Beng-kauw biarpun agama dan kepercayaannya berlainan dan banyak sekali macamnya namun dapat menjaga kerukunan dan menghormati kepercayaan masing-masing?”
“Betul kata-katamu itu, akan tetapi hal itu adalah keadaan pada beberapa tahun yang lalu. Memang jarang ada orang kang-ouw yang mengetahui kejadian ini, karena hal itu mereka sembunyikan dan menjaga penuh rahasia agar jangan sampai bocor.”
“Eh, apa sih sebetulnya yang terjadi, Suheng? Aku menjadi tertarik dan ingin sekali lekas mendengar penjelasanmu.”
Bu Pun Su 1alu menceritakan apa yang telah ia ketahui. Di dalam dunia kang-ouw terbagi menjadi dua golongan yang biasa disebut golongan putih dan hitam. Golongan putih adalah para pendekar atau mereka yang memiliki kegagahan dan yang sepak terjangnya selalu bersih, sebaliknya golongan hitam adalah mereka yang selalu disebut pengikut hek-to (jalan hitam) atau lebih tepat lagi orang-orang yang mempunyai pekerjaan jahat seperti perampok-perampok, bajak-bajak, maling, copet dan lain-lain. Antara kedua golongan itu telah dapat diselesaikan dengan kemenangan pihak golongan putih. Untuk dapat mengendalikan golongan hitam ini banyak tokoh besar dunia kang-ouw yang sengaja menjadi perampok atau maling, yakni menjadi ketuanya dan selalu mengawasi sepak terjang anak buahnya sehingga mereka itu tidak menyeleweng, yakni dengan lain kata, tidak merampok atau mengganggu orang-orang yang dianggap tak patut diganggu. Bagi orang-orang gagah di waktu itu, merampok harta orang kaya yang pelit, membunuh mati orang yang berwatak jahat dan kejam, dianggap sebagai perbuatan yang bersih dan mulia juga. Pendeknya golongan penjahat pun terpecah dua, yakni jahat yang dilakukan demi memberantas kejahatan, dan jahat karena memang pada hakekatnya jahat dan keji.
GOLONGAN-GOLONGAN ini hanya kecil saja, atau boleh disebut golongan perorangan yang meliputi tokoh-tokoh yang hidup menyendiri. Akan tetapi ada pula golongan-golongan besar seperti perkumpulan-perkumpulan, terutama sekali perkumpulan agama dan partai-partai besar persilatan yang tidak lepas dari agama dan kepercayaan, dan justeru golongan-golongan besar ini yang menjadi induk dari golongan-golongan kecil. Dan di dalam golongan-golongan besar ini terdapat perpecahan pula!
Perpecahan ini tadinya meluas sehingga antara partai dengan lain partai terjadi bentrokan dan permusuhan hebat, hanya karena kepercayaan atau agama mereka berlainan. Akan tetapi, ratusan yang lalu, ketika muncul tokoh-tokoh besar seperti Tiat Mouw Couwsu dan lain-lain tokoh dari See-thian (Dunia Barat), bentrokan-bentrokan ini dapat diselesaikan dengan jalan rukun, sungguhpun kepercayaan mereka, bahkan ajaran limu silat mereka berlainan. Dan oleh tokoh-tokoh besar itu diletakkan garis yang memisahkan antara golongan yang disebut penganut Beng-kauw dan mereka yang menganut Mo-kauw.
Golongan Beng-kauw atau agama aseli ini tentu saja mempunyai anggauta yang paling banyak. Semua partai persilatan, seperti Siauw-lim-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain menyebut diri sebagai golongan Beng-kauw. Hal ini tentu saja dapat dimengerti karena siapakah yang mau menyebut diri bukan penganut “agama aseli”? Golongan ini terdiri dari partai-partai besar yang menganut Agama Buddha, penganut ajaran Locu atau To-kauw, penganut ajaran Khong Hu Cu, penganut Kwan Im Pouwsat, dan lain-lain.
Siapakah gerangan yang termasuk agama Mo-kauw? Sebetulnya tidak ada golongan yang mau mengaku sebagai penganut Agama Sesat, akan tetapi golongan-golongan yang tidak beragama atau orang~orang kasar, atau juga mereka yang pernah melakukan pelanggaran dan dianggap jahat, mereka inilah yang disebut golongan Beng-kauw, sebagai golongan Kaum Sesat! Mereka ini sebagian besar merupakan kelompok orang yang menyembunyikan diri, yang bersakit hati dan karena mereka didesak ke sudut oleh mereka yang menganggap diri bersih, mereka ini dengan sengaja lalu berlaku keaneh-anehan, sengaja mereka membentuk sekumpulan tokoh-tokoh yang lihai ilmu silatnya, memisahkan diri dan tidak mau peduli lagi dengan urusan agama. Mereka melakukan apa saja yang mereka suka, dan hidup berkeliaran tidak tentu tempatnya akan tetapi mereka tidak pernah mendengar atau mencari perkara dengan golongan Beng-kauw, karena maklum bahwa golongan ini mempunyai banyak orang pandai. Akan tetapi, jangan kira bahwa golongan Mo-kauw ini sedikit jumlahnya anggautanya. Mereka makin lama makin banyak, sebagian besar terdiri dari orang-orang yang putus asa, sakit hati, dan orang-orang yang berwatak aneh.
Beberapa tahun yang lalu, muncullah tiga orang aneh dari See-thian (Dunia Barat) yang sebentar saja sudah dapat merebut kekuasaan di golongan Mo-kauw. Tiga orang ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, tidak saja kepandaian limu silat mereka tinggi sekali juga mereka adalah ahli-ahli hoatsut (ilmu sihir) yang aneh. Dalam beberapa bulan saja mereka dapat mengangkat diri di dalam golongan Mo-kauw sehingga semua orang penganut agama sesat ini menganggap mereka bertiga sebagai ketua atau pemimpin.
Tiga orang aneh ini tahu akan keadaan orang-orang kang-ouw di golongan Mo-kauw yang amat terdesak dan dianggap orang-orang jahat oleh orang-orang kang-ouw umumnya, maka mempergunakan rasa dendam dan sakit hati ini, mereka sebentar saja dapat membentuk sebuah perserikatan yang amat kuat. Hal ini terjadi tanpa banyak ribut, karena memang penghidupan para penganut Mo-kauw ini tersembunyi, tidak diketahui oleh masing-masing kang-ouw.
Kalau sampai di situ saja persoalannya, kiranya tidak akan ada perubahan dan tidak akan menggegerkan, akan tapi ternyata bahwa tiga orang aneh ini mempunyai niat dan cita-cita yang lebih besar. Mereka ingin menguasai seluruh dunia kang-ouw ingin menaklukkan partai-partai besar dan ingin mengangkat diri menjadi ketua perkumpulan yang paling berpengaruh di Tiongkok! Setelah orang-orang Mo-kauw ini berada di bawah pimpinan mereka, terjadilah hal-hal yang aneh di dunia kang-ouw. Kitab pelajaran limu silat yang amat dipuja-puja oleh partai Siauw-lim-pai, yakni kitab peninggalan dari Tat Mouw Couwsu, pada suatu hari telah lenyap tanpa meninggalkan bekas!
Selagi Siauw-lim-pai, geger dan semua tokoh Siauw-lim-pai berusaha mencari kitab yang hilang ini, tiba-tiba puncak Kun-lun-pai juga geger karena hilangnya pedang pusaka Pek-kong-kam yang ditaruh di ruangan suci kelenteng partai besar itu!
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai adalah partai-partai besar yang sudah berpuluh tahun terkenal sebagai partai persilatan yang berpengaruh dan mempunyai banyak orang pandai. Oleh karena itu, kehilangan dua benda pusaka ini tentu saja membuat mereka menjadi amat penasaran dan juga malu. Mereka menjaga rapat peristiwa ini agar jangan sampai tersiar di luaran, dan di samping itu mereka mengerahkan orang-orang pandai untuk mencari benda pusaka yang lenyap itu.
Akan tetapi, betapapun rapat mereka menjaga rahasia, berita itu tetap bocor juga dan sebentar saja seluruh kang-ouw mendengar bahwa kitab peninggalan Tiat Mouw Couwsu dari Sauw-lim-pai dan pedang pusaka Pek-liong-kiam dari Kun-lun-pai telah dicuri orang dan ini merupakan hal yang menggegerkan pula, karena biasanya tidak seorang pun anggauta Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai yang berani membocorkan hal yang dirahasiakan. Maka timbullah dugaan bahwa hal ini memang sengaja dibocorkan oleh orang atau orang-orang yang melakukan pencurian itu. Akan tetapi apa kehendak mereka?
Tokoh besar di dunia persilatan, yang baru belasan tahun muncul namun namanya sudah dijunjung tinggi dan disegani dengan penuh kekaguman dan hormat oleh semua ketua partai besar, yakni Bu Pun Su mendengar pula akan hal ini dan ia cepat menyelidiki. Dengan kepandaiannya akhirnya Bu Pun Su menaruh hati curiga kepada golongan Mo-kauw. Bahkan ia mendengar pula akan adanya tiga orang aneh di golongan Mo-kauw ini yang kabarnya memiliki kepandaian luar biasa tingginya.
“Demikianlah, Sute,” kata Bu Pun Su kepada Han Le setelah menuturkan itu semua. “Kiranya tidak akan meleset terlalu jauh dugaanku bahwa tiga orang aneh itu mempunyai hubungan dengan dua pencurinya ini. Siapa lagi kalau bukan mereka yang berani dan begitu gegabah mencuri dua barang pusaka keramat yang dipuja-puja oleh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai? Dan aku mendengar kabar pula, bahwa Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, itu tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi dan bertabiat ganas, telah diambil murid oleh tiga orang itu. Kalau Hek Pek Mo-ko dua saudara yang berkepandaian begitu tinggi masih menjadi murid mereka, dapat diduga bahwa kepandaian mereka memang betul-betul tinggi. Selain ini, aku masih mendengar kabar lagi bahwa kecuali Hek Pek Mo-ko, mereka bertiga masih mempunyai seorang murid perempuan yang jauh lebih jahat, bahkan lebih pandai daripada Hek Pek Mo-ko. Kalau pihak Mo-kauw mempunyai begitu banyak orang-orang pandai, sedangkan sepak terjang mereka selalu disembunyikan, aku merasa kuatir sekali.”
“Suheng, urusan itu sebetulnya tidak amat besar, akan tetapi mengapa tadi Suheng menyebut-nyebut tentang kebangsaan dan kebudayaan? Apa hubungannya kehilangan kitab dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai itu dengan kebangsaan dan kebudayaan?”
Bu Pun Su menarik napas panjang, “Belum kuceritakan semua keterangan yang dapat kukumpulkan, Sute. Aku mendengar berita yang tentu saja masih belum dapat dipercaya betul, bahwa tiga orang yang kini telah menguasai golongan Mo-kauw itu, bercita-cita untuk menaklukkan semua orang kang-ouw di negeri ini. Mereka adalah orang-orang dari barat, dan mereka berhasil menaklukkan semua orang kang-ouw, dan hal ini bukan tidak mungkin melihat kelihaian mereka yang kudengar memang luar biasa sekali tentu saja urusan ini dekat sekali hubungannya dengan kebangsaan dan kebudayaan kita. Tidak ingatkah kau betapa orang orang asing selalu mengilar dan ingin mencaplok negara kita? Kalau sampai orang-orang kang-ouw berada di bawah kekuasaan tiga orang ini sehingga dapat mereka perintah dan pergunakan, apa sukarnya merampas negara kita? Dan kalau sampai kepandaian mereka itu dapat disebar dan menggantikan ilmu silat dari bangsa kita sendiri bukankah berarti kebudayaan kita akan terpengaruh oleh kebudayaan asing pula? Ini bukan soal kecil, Sute, karenanya aku sengaja mencarimu agar kau suka membantuku, demikian pula kita harus mendatangi semua ketua partai persilatan itu untuk bersama-sama menghadapi mereka itu.”
“Siapakah sebetulnya mereka itu, Suheng? Dan orang-orang macam apakah mereka itu.”
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka akan tetapi aku sudah rnendapat keterangan serba terbatas tentang mereka. Kabarnya mereka itu adalah saudara-saudara segolongan. Yang pertama bernama atau berjuluk Hek-te-ong (Raja Tanah Hitam), yang kedua berjuluk Pek-in-ong (Raja Awan Putih) dan yang ketiga berjuluk Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau). Mereka datang dari barat dan begitu datang mereka merobohkan semua tokoh Mo-kauw sehingga para tokoh Mo-kauw itu takluk dan mengangkat mereka menjadi pemimpin dan menyebut mereka Thian-te Sam-kauwcu (Tiga Ketua Agama Bumi dan Langit). Selain itu, rnereka mengajar agama baru yang berpusat pada penyembahan dan pemujaan terhadap Bumi, Langit dan Laut. Selanjutnya aku tidak mendengar jelas dan karenanya aku ingin menyelidikinya sendiri.”
“Sekarang apa yang hendak kaulakukan Suheng?”
“Aku hendak mengajak engkau untuk membantuku membubarkan sarang murid dari Thian-te Sam-kauwcu.”
“Sarang dari muridnya? Di sini?”
“Ya, di lembah Huang-ho sebelah selatan itu. Kira-kira lima puluh li dari sini. Thian-te Sam-kauwcu menyebar anak buahnya untuk mendirikan cabang di mana-mana untuk membujuk dan mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw. Dengan secara kebetulan sekali aku mendengar bahwa muridnya, Hek Pek Mo-ko, bersarang di daerah ini. Aku tidak tahu sampaidi mana kelihaian mereka, namun mendengar akan kehebatan kepandaian Thian-te Sam-kauwcu, aku tidak mau berlaku sembrono dan lebih menguntungkan kalau kau ikut serta.”
Han Le merasa agak terheran. Ia percaya akan kepandaian suhengnya yang sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada kepandaiannya, mengapa suhengnya mengajaknya?
“Suheng, bukankah kau mengajak aku untuk menjadi saksi agar sepak terjangmu terhadap mereka itu tidak akan disalah-tafsirkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw?”
Bu Pun Su tersenyum. “Kau makin cerdik, Sute. Memang demikianlah. Kita tahu bahwa sejak dulu Hek Pek Mo-ko biarpun menjadi tokoh Mo-kauw yang amat terkenal, namun belum pernah dua orang itu mengganggu kita orang-orang kang-ouw, bahkan mereka dapat disebut sebagai tokoh-tokoh Mo-kauw yang selalu menjauhkan diri dan menjaga agar jangan sampai timbul bentrokan antara mereka dengan Beng-kauw. Akan tetapi sekarang aku hendak menyelidiki dan kalau perlu membasmi sarang mereka, maka amat baik kalau kau ikut menyaksikannya.”
Berangkatlah dua orang sakti ini menuju ke tempat yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su. Tempat yang dimaksudkan itu adalah sebuah dusun di tepi Sungai Huang-ho, yang dikelilingi oleh hutan-hutan kecil dan kelihatannya menyeramkan. Begitu kedua orang ini tiba di luar dusun mereka berjalan biasa saja. Berturut-turut, beberapa orang dusun, ada yang berpakaian seperti petani ada pula seperti nelayan, bertemu dengan mereka. Setiap orang dusun ini melayangkan pandang mata dan mereka ini kelihatan bercuriga. Bahkan ada beberapa orang nelayan yang masih muda dan kelihatannya kuat-kuat diam-diam mengikuti Han Le dan Bu Pun Su. Tentu saja dua orang sakti ini mengetahui hal itu, akan tetapi mereka berpura-pura tidak melihat dan berjalan dengan biasa dan tenang.
Sebuah kelenteng besar yang berada di dusun itu sungguh tidak sesuai dengan rumah-rumah penduduk yang kecil lagi miskin. Kelenteng ini agaknya belum lama diperbarui dan anehnya, yang kelihatan membersihkan kelenteng itu bukanlah hwesio-hwesio seperti pada kelenteng-kelenteng lain, melainkan orang-orang dusun, laki-laki perempuan yang bekerja di halaman depan, di kanan kiri dan di dalam kelenteng itu!
Mereka ini ketika melihat Bu Pun Su dan Han Le memasuki pekarangan kelenteng, segera melarikan diri ke dalam kelenteng seperti orang ketakutan. Bu Pun Su tersenyum dan berbisik kepada Han Le, “Lihat, Sute, betapa besar pengaruh dan kekuasaan mereka. Agaknya rakyat dusun juga terkena tipu daya mereka dan sudah mulai memeluk agama baru itu.”
Han Le memandang ke dalam kelenteng. Dari pintu yang terbuka, kelihatan tiga buah arca sebesar manusia, merupakan tiga orang laki-laki tua yang pakaiannya seperti hwesio-hwesio dari Tibet, bertubuh tinggi besar dan angker. Yang tengah benar-benar amat tinggi besar seperti raksasa, yang berdiri di kiri agak kurus sehingga mukanya seperti tengkorak, sedangkan yang berdiri di kanan punggungnya bongkok dan matanya sipit sekali seperti meram.
“Itulah agaknya patung-patung Thian-te Sam-kauwcu yang dipuja-puja semua pengikutnya,” kata Bu Pun Su pula kepada Han Le.
Dari pintu dalam muncullah dua orang dan Han Le hampir tertawa geli ketika ia melihat dua orang itu. Yang seorang bertubuh pendek dan kate sama sekali, telinganya besar seperti telinga gajah, pakaiannya serba hitam. Adapun orang ke dua bertubuh tinggi besar, telinganya kecil seperti telinga tikus, sedangkan pakaiannya serba putih. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan dari mata mereka, Han Le dapat menduga bahwa mereka adalah ahli-ahli lwee-keh yang memiliki kepandaian tinggi. Juga, melihat pakaian mereka biarpun ia belum pernah bertemu dengan dua orang ini, Han Le dapat menduga bahwa mereka tentulah Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko.
Hek Mo-ko yang bertubuh kecil pendek itu tertawa bergelak melihat dua orang pendekar itu.
“Ha, ha, ha, selamat datang, Bu Pun Su dan Han Le, Ji-wi Tai-hiap! Sungguh kami mendapat kehormatan besar sekali dengan kunjungan Ji-wi ini, dan ketiga orang guru besar kami tentu akan berterima kasih sekali!”
Bu Pun Su dan Han Le tertegun. Bagaimana dengan sekali pandang saja iblis hitam kate itu dapat mengenal mereka? Padahal selamanya mereka belum pernah bertemu muka dengan sepasang iblis hitam putih ini dan keadaan Bu Pun Su maupun Han Le tidak sedemikian aneh seperti Hek Mo-ko sehingga mudah dikenal orang.
Berbeda dengan Hek Mo-ko yang suka tertawa dan mukanya lucu, Pek Mo-ko selalu bersungut-sungut dan wajahnya murung.
“Kalian ini orang-orang Beng-kauw ada urusan apakah mengunjungi kami yang kalian anggap sebagai orang-orang busuk dari Mo-kauw?” tanyanya sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang sipit.
Bu Pun Su tidak biasa memutar-mutar omongan dan ia selalu bicara dan bertindak secara langsung. Sambil tersenyum ia berkata terus terang,
“Hek Pek Mo-ko, baru kali ini kita kebetulan saling bertemu dan keadaan kalian ternyata tetap dan sesuai sekali dengan nama kalian yang terkenal jahat dan aneh. Ketahuilah, aku dan suteku ini datang ke sini karena kami mendengar tentang adanya tiga orang See-thian yang kini mencengkeram Mo-kauw, tiga orang See-thian yang sombong dan bercita-cita menaklukkan dunia kang-ouw kita. Aku mendengar pula tentang hilangnya kitab rahasia dari Siauw-lim-pai dan pedang pusaka dari Kun-lun-pai, dan aku mendengar pula bahwa banyak tokoh Mo-kauw yang tadinya biarpun berbeda paham dengan Beng-kauw namun tetap menjaga kegagahan, sekarang bersaing dan berebut untuk menikah dengan gadis-gadis muda, yang tentu saja dipaksanya! Dan aku mendengar pula bahwa kalian iblis-iblis tua ini pun telah menikah.”
Pek Mo-ko mengeluarkan suara gerengan dari tenggorokannya akan tetapi Hek Mo-ko tertawa geli. Suara ketawanya mula-mula rendah dan perlahan, akan tetapi makin lama makin meninggi dan nyaring sehingga menyakitkan telinga. Mendengar ini saja Han Le maklum bahwa lwee-kangnya dari Hek Mo-ko ini amat tinggi sehingga dia sendiri belum tentu dapat menandinginya.
“Bu Pun Su, baru kali ini aku mendengar kau menaruh perhatian kepada nasib golongan Mo-kauw! Ada apakah kau mencampuri urusan dunia orang golongan kami? Memang guru besar kami telah datang, sengaja dari barat mereka datang untuk memberi bimbingan kepada kami dan untuk menjaga agar kami tidak selalu dihina dan dipandang rendah oleh golongan lain. Apakah kau iri hati? Ha, ha, ha, agaknya kau benar-benar iri hati, apalagi tentang pernikahan-pernikahan kami dengan gadis-gadis muda yang cantik manis, karena kau sendiri sampai tua tidak laku, ha, ha, ha!”
“Ngaco!” Han Le membentak marah. “Bagaimana jawabanmu tentang hilangnya kitab rahasia Siauw-lim-pai dan pedang pusaka Kun-lun-pai?”
Hek Mo-ko memandang kepada Han Le dan tersenyum sindir. “Hilangnya kitab dan pedang, ada hubungan apakah dengan kami? Kau dan suhengmu ini terkenal sebagai orang-orang sakti, masa untuk mencari benda-benda yang hilang harus bertanya kepada kami? Carilah sendiri kalau memang pandai.”
“Baiklah, Hek Pek Mo-ko, aku akan mencari ke dalam kelenteng ini!” kata Bu Pun Su.
“Jangan kau berani menginjak kotor tempat suci kami...!” kata Pek Mo-ko marah dan ia bergerak untuk menghalangi. Akan tetapi ia melongo karena gerakan Bu Pun Su luar biasa cepatnya sehingga sebelum Pek Mo-ko tiba di depan pintu untuk menghadang, Bu Pun Su sudah berkelebat masuk ke dalam kelenteng!
Pek Mo-ko hendak mengejar ke dalam, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh Hek Mo-ko. “Sute, tak perlu dikejar, biarkanlah dia melihat-lihat tempat kita!”
Tadinya Han Le sudah bersiap-siap untuk bertempur, akan tetapi melihat mereka tidak jadi mengganggu Bu Pun Su, ia pun diam saja, berdiri tenang sambil tersenyum.
Dengan cepat sekali Bu Pun Su memasuki kelenteng. Tiga orang yang agaknya menjadi pelayan atau pembantu Hek Pek Mo-ko, orang-orang lelaki yang berpakaian seperti pendeta dan gerakannya cepat dan kuat, maju menubruknya. Akan tetapi mereka berseru kaget sekali dan bulu tengkuk mereka berdiri ketika tiba-tiba mereka bertiga itu terjengkang ke belakang sebelum tangan mereka menyentuh pakaian Bu Pun Su, seakan-akan ada tenaga aneh keluar dari pendekar sakti ini yang mendorong mereka ke belakang! Bu Pun Su tidak pedulikan mereka, terus ia menyelidiki keadaan di dalam kelenteng dengan mata yang awas dan tajam. Setiap kamar diselidikinya, akan tetapi ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kalau kitab dan pedang itu disembunyikan di dalam kelenteng, kiranya takkan terlepas dari pandang mata pendekar ini.
Di dalam dua kamar, ia melihat dua orang wanita cantik yang masih muda dan bermuka pucat. Mereka ini tidak menjerit melihat dia datang, hanya memandang dengan mata terbelalak.
“Apakah kau isteri Hek Mo-ko?” tanyanya kepada wanita di dalam kamar pertama.
Wanita itu menggeleng kepalanya, “Aku isteri Pek Mo-ko, kau siapakah berani berlancang memasuki kamarku?” Kemudian wanita ini tertawa menyeringai sehingga muka yang tadinya cantik ini berubah seperti muka iblis. Bu Pun Su berdebar kaget. Ternyata isteri Pek Mo-ko ini agak miring otaknya! Ia tidak bertanya lebih lanjut dan ketika ia bertemu dengan wanita ke dua di kamar lain ia bertanya pula,
“Hm, kau agaknya isteri Hek Mo ko.”
“Benar,” jawab wanita itu, “Kau siapakah dan bagaimana suamiku mengijinkan kau masuk ke sini?”
Bu Pun Su sebetulnya segan untuk bicara dengan isteri orang lain, akan tetapi melihat wanita ini masih amat muda dan cantik, sedangkan Hek Mo-ko demikian buruk rupa dan setengah tua, ia tak dapat menahan hatinya untuk tidak bertanya.
“Apakah Hek Mo-ko telah menculik dan memaksamu menjadi isterinya?”
Untuk sejenak wanita itu diam saja, kemudian ia berdiri dan berkata marah, “Kau ini manusia dari manakah begini kurang ajar? Aku menikah dengan suamiku secara baik-baik dan sah, ada sangkut-paut apakah dengan kau maka kau bertanya-tanya?”
Bu Pun Su merasa seperti ditampar pipinya. Mukanya menjadi merah sekali. Inilah tak disangka-sangkanya sama sekali dan baru sekarang ia melihat atau dapat menduga bahwa isteri Hek Mo-ko ini sedang mengandung.
“Maaf, maaf...” katanya perlahan dan ia lalu keluar lagi dari kamar itu. Setelah puas menyelidiki di dalam kelenteng dan tidak mendapatkan sesuatu, ia lalu keluar lagi. Setibanya di ruang luar, ia berdiri menghadapi tiga patung yang sebesar manusia itu. Buatan patung ini demikian halus sehingga menyerupai manusia benar-benar. la memandang kepada wajah patung yang mewakili Thian-te Sam-kauwcu itu untuk memperhatikan mereka. Benar-benar mereka ini kelihatan angker dan dari sikap mereka ia dapat menduga bahwa tiga orang ini bukanlah orang sembarangan. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Siapa tahu kalau-kalau dua benda yang dicuri dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai itu disembunyikan di dalam patung-patung ini?
Ia melangkah maju dan meraba pundak patung Pek-in-ong yang berdiri di kiri, yakni patung yang tinggi kurus mukanya seperti tengkorak. Tiba-tiba terdengar suara mendesis dan dari mulut patung itu menyambar keluar sinar hitam yang menyerang ke arah leher dan muka Bu Pun Su! Pendekar ini bukan sembarangan ahli silat, melainkan seorang sakti yang mewarisi ilmu silat dan ilmu-ilmu aneh dari IM-YANG-BU-TEK-CINKENG. Seorang ahli silat tinggi lainnya belum tentu dapat menghindarkan serangan tiba-tiba dari mulut patung itu, akan tetapi Bu Pun Su dengan amat tenang miringkan kepalanya sehingga sinar hitam itu menyambar lewat. Ia mencium bau yang amat amis, maka diam-diam ia bergidik. Tahulah Bu Pun Su bahwa yang menyambar lewat tadi adalah segenggam jarum-jarum halus berwarna hitam yang mengandung bisa yang amat jahat.
Bu Pun Su tersenyum. Ia maklum bahwa dua patung yang lain tentu mengandung alat rahasia pula, akan tetapi dia bukan Bu Pun Su kalau merasa gentar. Orang lain mungkin akan merasa khawatir dan tidak berani mengganggu dua patung yang lain, akan tetapi Bu Pun Su bahkan tertarik dan ingin tahu sekali bagaimana cara dua patung yang lain akan menyerangnya! Ia mau coba-coba dan ini pun tidak aneh, karena orang seperti Bu Pun Su ini memang sudah biasa menantang dan bermain-main dengan maut! Ia menghampiri patung di kanan, yakni patung dari Ceng-hai-ong yang bertubuh kurus bongkok dan matanya sipit itu. Dengan tenang Bu Pun Su menepuk pundak patung itu dan secepat kilat kedua tangan patung itu bergerak, dengan kukunya yang panjang patung itu mencengkeram ke depan, kedua tangan menyambar dari kanan kiri!
“Aha, kau ahli gulat kiranya!” Bu Pun Su mengejek sambil bergerak melangkahkan kaki mundur, mengelak dari cengkeraman itu. Akan tetapi, tiba-tiba dari jari-jari tangan itu menyambar keluar benda ciri berwarna hijau yang baunya harum! Bu Pun Su kali ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan ujung lengan baju sebelah kiri darimana keluar tenaga Pek-in-hoat-sut yang mengepulkan uap putih, sehingga benda cair itu terpercik kembali dan membasahi muka patung.
“Hm, kiranya semua ahli racun yang berbahaya,” pikir Bu Pun Su. Ia pikir bahwa patung di tengah, yang amat menyeramkan dan tinggi besar itu, tentulah yang paling lihai. Namun ia tidak gentar, bahkan gembira dan sambil tersenyum ia melangkah menghampiri patung ini.
“Coba perlihatkan kelihaianmu!” katanya sambil menepuk dada patung tinggi besar ini. Patung ini besar dan tinggi sekali sehingga Bu Pun Su hanya sampai di leher tingginya.
Begitu tangan kanan Bu Pun Su menepuk dada patung, terdengar suara keras dan dada patung itu tiba-tiba terbuka, dari mana keluar menyambar uap hitam yang menyerang ke depan. Ini masih disusul dengan bergeraknya kaki kanan patung yang melakukan tendangan kilat ke depan, kemudian dari mata, hidung, telinga dan mulut patung itu menyambar keluar asap hitam sedangkan kedua tangan memukul pula ke depan. Inilah serangan sekaligus yang amat luar biasa dan berbahaya sehingga Bu Pun Su sendiri menjadi terkejut. Pendekar sakti ini tidak berani menangkis, melainkan melompat mundur cepat sekali sambil menggoyang-goyang kepalanya.
“Kau jahat sekali... jahat sekali...” Setelah berkata demikian, ia lalu melompat keluar dari kelenteng. Ia sudah puas karena ketika tangannya menepuk patung-patung tadi, ia telah mengerahkan lwee-kangnya sehingga kalau di situ tersembunyi benda keras seperti pedang mustika, tentu terdengar bunyi pedang itu. Namun tadi ia hanya mendengar suara mendengung tanda bahwa di dalam patung itu hanya terisi hawa, maka ia telah mengerahkan tenaga dan merusak patung itu dengan diam-diam. Ia benci melihat tiga patung itu, bukan benci kepada orang karena macamnya, akan tetapi benci kalau mengingat betapa tiga orang dari barat ini telah menguasai Mo-kauw dan menyebar pelajaran atau agama baru yang sesat. Di mana ada pendeta-pendeta suci yang menganjurkan pemeluk-pemeluk agamanya memuja dan menyembah mereka sendiri?
Setibanya di luar kelenteng, Bu Pun Su disambut oleh Pek Mo-ko dengan muka merah. “Bu Pun Su kau telah menghina kami, kau telah mengotori kelenteng kami yang suci. Biarpun namamu sudah terkenal di seluruh kolong langit, jangan kira bahwa aku Pek Mo-ko takut melawanmu!”
“Habis, kau mau apa?” tanya Bu Pun Su, “Seperti sudah kukatakan tadi, aku datang mencari kitab dan pedang dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang hilang dan terus terang saja aku mencurigai Thian-te Sam-kauwcu. Akan tetapi sayang aku tidak dapat menemukannya di dalam kelenteng ini.”
Hek Mo-ko terdengar tertawa mengejek. “Kau memang gatal tangan dan suka mencampuri urusan orang lain. Bu Pun Su, setelah kau datang dan mengacau kelenteng kami, sebagai tuan rumah terpaksa kami harus membela diri dari hinaan ini. Kedatanganmu mengacau kelenteng ini berarti sebuah tantangan, kalau kami tidak melayani bukankah kami akan ditertawai orang? Nah, bersiaplah, kita boleh main-main sebentar.”
Sambil berkata demikian, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko masing-masing mengeluarkan senjata mereka. Dua orang Iblis Hitam Putih ini lihai dan senjata mereka juga bukan senjata sembarangan. Di tangan kanan mereka memegang sebatang pedang yang ujungnya bercabang. Pedang ini bukan saja amat ampuh dan kuat karena terbuat dari bahan yang baik akan tetapi juga ujungnya yang bercabang itu dapat dipergunakan untuk mengait dan merampas serta merusak senjata lawan. Akan tetapi, betapapun lihainya pedang di tangan kanan, masih lebih lihai lagi senjata aneh yang berada di tangan kiri mereka. Senjata ini berupa seuntai tasbeh dari logam hitam. Tasbeh ini dapat dimainkan begitu saja, akan tetapi dapat pula dilepas sambungannya sehingga merupakan sebuah pian atau senjata rantai yang hebat. Masih dapat dipergunakan dalam lain cara, yakni batu-batu tasbeh itu dapat diloloskan keluar dari untaiannya dan dipergunakan sebagai senjata yang berbahaya!
Melihat sikap Hek Pek Mo-ko yang menantang ini, Han Le mendahului suhengnya. Ia melompat ke depan menghadapi mereka sambil mencabut pedangnya yang jarang keluar dari sarung itu.
“Hek Pek Mo-ko, kalian berdua dan kami pun berdua. Biarlah kita mencoba kepandaian masing-masing, seorang daripadamu boleh melawan aku dan yang seorang lagi nanti menghadapi Suheng Bu Pun Su.”
“Hek Pek Mo-ko dua saudara tak pernah berpisah,” kata Hek Mo-ko, “Kami sudah bersumpah hidup bersama mati berdua, dalam pertempuran kami selalu maju bersama.”
“Itu tidak adil!” kata Han Le. Dia tidak gentar menghadapi seorang di antara mereka akan tetapi kalau dikeroyok dua, selain berat juga tidak adil.
“Suheng, biarlah kali ini aku menghadapi dia sendiri!” kata Pek Mo-ko yang berwatak berangasan dan baru saja ia berkata demikian tasbeh di tangan kirinya sudah bergerak menyambar kepala Han Le.
“Bagus!” seru pengemis sakti ini dan cepat ia mengelak sambil menggerakkan pedangnya yang menusuk ke arah ulu hati lawannya.
Akan tetapi Pek Mo-ko ternyata memiliki gerakan yang gesit sekali. Tusukan pedang ini ia tangkis dengan pedangnya yang berujung aneh itu. Cabang ujung pedangnya menempel dan diputar demikian rupa untuk mengait badan pedang Han Le dan hendak mematahkannya. Akan tetapi Han Le bukanlah murid Ang-bin Sin-kai kalau ia tidak bisa menghindarkan diri dari serangan lawan ini. Dengan gerakan Sian-jin-khai-in (Dewa Membuka Awan) ia melakukan gerakan “membuka” dari ilmu pedang Hun-khai-kiam-hoat ajaran Ang-bin Sin-kai, dan pedangnya yang terkait itu secara aneh telah membuka serangan lawan sehingga Pek Mo-ko bukannya dapat merampas atau mematahkan pedang lawan, bahkan telapak tangannya merasa panas sekali sehingga ia cepat-cepat menarik pulang pedangnya. Sebagai gantinya, kembali tasbeh menyambar ke lambung Han Le.
Han Le terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa lawan ini dapat bergerak secepat itu, cepat melakukan serangan lanjutan begitu serangan pertama ditangkis. Ia lalu memutar pedangnya dan mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk menghadapi lawan yang amat lihai ini. Di lain pihak, Pek Mo-ko diam-diam harus mengakui kelihaian kiam-hoat lawannya. Tidak saja lihai, akan tetapi juga aneh sekali dan mempunyai gerakan yang otomatis setiap kali menghadapi desakannya. Ia tentu saja tidak tahu bahwa selain telah mewarisi Hun-khai-kiam-hoat dan ilmu-ilmu silat tinggi dari gurunya, yakni Ang-bin Sin-kai, juga Han Le telah mempelajari dengan tekunnya lukisan-lukisan di Pulau Pek-le-tho sehingga biarpun hanya kulitnya, ia telah sedikit-sedikit mempelajari ilmu-ilmu yang lihai dari Im-yang-bu-tek-cin-keng! Pelajaran ini membuat gerakan Han Le menjadi otomatis dan matanya amat tajam dapat mengikuti semua arah tujuan serangan lawan.
Pek Mo-ko menggereng keras dan kedua senjatanya yang aneh itu diputar cepat, bertubi-tubi dan berganti-ganti melakukan serangan maut. Namun, dengan pedangnya, Han Le dapat membendung gelombang gerakan serangan ini sehingga sampai lima puluh jurus lebih mereka bertempur, tidak ada yang terdesak. Kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, namun tingkat mereka boleh dibilang seimbang sehingga pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang amat seru. Saking penasaran menghadapi lawan yang amat tangguh ini, Pek Mo-ko melepaskan sambungan tasbehnya sehingga tasbeh ini sekarang bukan merupakan lingkaran, melainkan menjadi sebatang pian yang lemas dan panjang. Pek Mo-ko dan suhengnya sudah melakukan ratusan pertempuran dan mereka jarang sekali dikalahkan orang. Di sebelah barat atau selatan dari Tibet, mereka berdua merupakan sepasang iblis yang ditakuti dan disegani, bahkan golongan-golongan partai persilatan besar di barat seperti Go-bi-pai dan Kun-lun-pai, semua mengakui kelihaian Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi sekarang menghadapi Han Le, Pek Mo-ko tidak berdaya, bahkan tidak dapat mendesak, sungguhpun ia tak dapat dikatakan kalah oleh pengemis sakti itu.
Saking marahnya, dalam jurus ke tujuh puluh, Pek Mo-ko berseru keras dan secepat kilat pedangnya membacok dari kanan ke kiri. Ketika Han Le mengelak, pedang ini cepat sekali membalik dan menyambar ke leher. Inilah gerakan yang tidak terduga-duga, apalagi ketika tasbeh yang sudah menjadi pian itu menyambar ke lambung!
Han Le maklum bahwa tidak mungkin ia menghindarkan diri dari dua serangan yang dilakukan sekaligus ini, maka ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang amat lihai dan keberaniannya yang luar biasa. Pedang yang menyambar lehernya ditangkisnya dengan pedangnya sendiri, sambil mengerahkan tenaga, “menempel” sehingga dua pedang itu begitu bertemu lalu tak dapat terpisah kembali, seakan-akan besi berani dengan besi! Adapun tasbeh yang menyambar ke lambung kirinya, cepat ditangkis dengan tangan kiri, lalu ia mengerahkan tenaga membetot.
Kini keadaan dua orang itu benar-benar aneh. Keduanya tidak bergerak, seperti patung dalam kuda-kuda yang amat kuat. Tangan kanan yang memegang pedang saling mendorong akan tetapi tangan kiri yang memegang tasbeh saling membetot. Pertarungan kini beralih kepada pertarungan tenaga lwee-kang, akan tetapi bukan pertandingan lwee-kang yang biasa, karena tenaga di seluruh tubuh disalurkan menjadi dua bagian, atau terpecah menjadi dua. Sebagian disalurkan ke tangan kanan yang mendorong, sebagian pula disalurkan ke tangan kiri yang menarik! Hal ini tak dapat dilakukan oleh sembarang ahli silat yang belum tinggi tenaga lwee-kangnya.
Sampai beberapa puluh detik mereka tidak bergerak, dan nyata sekali bahwa masing-masing mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya untuk mencapai kemenangan. Sekarang sudah tidak ada jalan untuk mundur lagi, karena siapa yang mundur lebih dulu, banyak bahaya akan menderita luka hebat! Tidak ada jalan lain lagi kecuali mengerahkan tenaga dan mendesak lawan dengan lwee-kang. Pertandingan ini berubah menjadi perjuangan mati hidup! Dari kepala dua orang jago ini sudah mengepul uap putih, tanda bahwa mereka telah mengerahkan tenaga yang terakhir!
Tiba-tiba Hek Mo-ko tertawa bergelak, “Sute, mengapa kau sekarang begini lemah?” katanya dan dengan ringan dan cepat sekali ia telah melompat di belakang Pek Mo-ko sambil menepuk-nepuk punggungnya seakan-akan orang yang mencela dan menegur. Akan tetapi Han Le terkejut bukan main ketika pada saat Hek Mo-ko menepuk punggung sutenya, ia merasa tubuhnya bergetar dan kuda-kudanya tergempur!
“Hek Mo-ko, tidak malukah engkau?” tiba-tiba Bu Pun Su menegur. Pendekar sakti ini berdiri di belakang Han Le sejauh satu tombak lebih. Dia tidak menghampiri sutenya untuk membantu, menggerakkan kedua tangan ke arah sutenya itu seperti orang mendorong, dan dari kedua tengannya keluar uap putih. Inilah ilmu Pek-in-hoat-sut yang tiada taranya di dunia!
Hek Mo-ko yang masih menempelkan tangan di punggung sutenya tiba-tiba terdorong oleh tenaga yang hebat, yang keluar dari sepasang tangan Han Le, sebaliknya Han Le merasa betapa punggungnya kemasukan hawa hangat yang menyegarkan semangat dan tubuh sehingga ia mengerahkan tenaganya lagi.
Pek Mo-ko dan Hek Mo-ko hendak mempertahankan diri, namun tenaga bantuan dari Bu Pun Su benar-benar hebat sehingga mereka berteriak keras dan tubuh mereka terlempar ke belakang berjungkir-balik dan jatuh tumpang tindih sampai dua tombak lebih! Pedang dan tasbeh di tangan Pek Mo-ko tadi terlepas dari tangan dan jatuh di tanah, menimpa batu menimbulkan suara berkerontangan!
Baiknya Bu Pun Su tidak berniat mencelakai dua orang iblis ini sehingga mereka tidak terluka hebat, hanya Hek Mo-ko yang terkena langsung pembalikan tenaga Pek Mo-ko sehingga wajahnya pucat dan mulutnya menyemburkan darah. Akan tetapi, setelah mengatur napas ia pulih kembali. Sambil memandang dengan terheran-heran, Hek Mo-ko menghadapi Bu Pun Su dengan melompat berdiri.
“Bu Pun Su, benar-benar kau lihai. Aku dan suteku terima kalah,” katanya sambil menjura.
Akan tetapi Bu Pun Su tidak mempedulikannya, hanya berpaling kepada Han Le. “Sute, kita tidak mempunyai urusan lagi di sini, mari kita pergi.”
Pada saat kedua orang sakti itu hendak pergi, tiba-tiba dari atas genteng kelenteng melayang turun bayangan tubuh yang ramping dan tercium bau yang harum. Tahu-tahu seorang wanita berdiri menghadang Bu Pun Su dan Han Le.
Dua orang sakti ini berdiri bengong, tertegun dan takjub, bukan karena kecantikan luar biasa dari gadis itu, melainkan melihat cara gadis itu melompat turun dari genteng seakan-akan melayang atau terbang! Inilah menandakan bahwa gin-kang dari gadis ini telah mencapai puncak kesempurnaan. Bahkan Bu Pun Su yang menjadi ahli waris dari Im-yang-bu-tek-cin-keng dan memiliki gin-kang yang jauh melebihi kebanyakan ahli silat tinggi, menjadi terheran-heran.
Orang yang melayang turun itu adalah seorang gadis cantik sekali, pakaiannya mewah dan indah, rambutnya yang panjang dan hitam disanggul dalam cara yang amat menarik, kulit mukanya putih kemerahan, nampak halus dan segar, sepasang matanya bagaikan bintang di langit cerah, bibirnya tersenyum-senyum manis sekali. Pendeknya, selama hidupnya, baik Han Le maupun Bu Pun Su sendiri, belum pernah melihat seorang gadis secantik ini. Melihat muka dan potongan badannya, orang akan menaksir bahwa gadis ini paling banyak berusia dua puluh tahun, akan tetapi orang itu akan terkejut dan tidak mau percaya kalau diberi tahu bahwa gadis ini adalah seorang wanita yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih! Inilah dia murid terpandai dan terkasih dari Thian-te Sam kauwcu, yang disebut Bi Sian-li (Bidadari Cantik) Pek Hoa Pouwsat!
Tadinya Han Le dan Bu Pun Su sendiri tidak dapat menduga siapa adanya gadis ini, akan tetapi ketika Bu Pun Su melihat setangkai bunga yang bentuknya indah dan aneh, berwarna putih seperti salju menghias rambut yang digelung indah itu, tiba-tiba ia teringat. Akan tetapi ia masih ragu-ragu dan kemudian bertanya,
“Apakah kami berhadapan dengan Pek Hoa Pouwsat?”
Gadis itu tersenyum lebar. Bibirnya merah bergerak-gerak dan terlihatlah deretan gigi yang bersih dan berkilau seperti mutiara.
“Bu Pun Su benar-benar bermata tajam sekali, sayang kau terlalu ganas dan gatal tangan sehingga kau berani merusak tiga patung dari guru-guruku. Untuk kedosaan ini kau harus menerima hukuman! Hek Pek Sute, mari kita gempur dia ini yang telah merusak patung Sam-wi Suhu!” Sambil berkata demikian, kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah memegang sepasang siang-kiam (sepasang pedang), kemudian tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan kedua pedang itu yang meluncur dan menyerang leher dan dada Bu Pun Su!
Hek Pek Mo-ko sudah gentar menghadapi Bu Pun Su dan mereka telah maklum pula akan kelihaian pendekar sakti ini, akan tetapi ketika mereka mendengar bahwa Bu Pun Su telah merusak patung tiga orang suhu dan pemimpin mereka, Hek Pek Mo-ko menjadi marah sekali. Apalagi sekarang mereka dibantu oleh Pek Hoa Pouwsat, hati mereka menjadi tabah dan semangat besar. Sambil mengeluarkan suara mengancam, sepasang iblis hitam putih ini lalu menyerbu dan mengeroyok Bu Pun Su.
Melihat suhengnya dikeroyok, Han Le tentu saja tidak mau tinggal diam. Ia mencabut pedangnya, namun tiba-tiba Bu Pun Su berkata,
“Simpan kembali pedangmu, Sute. Perempuan ini lihai sekali, kau takkar menang. Biarkan aku menghadapi mereka bertiga, hitung-hitung mengukur kepandaian Thian-te Sam-kauwcu!”
Han Le percaya akan kata-kata suhengnya, karena ia memang melihat betapa sepasang pedang dari Pek Hoa Pouwsat itu amat lihai, sepasang pedang ini bergerak terus susul-menyusul dalam serangannya, merupakan serangan berantai yang tiada habisnya. Akan tetapi ia lebih percaya akan kesaktian Bu Pun Su maka ia melompat ke pinggir dan berdiri menonton pertempuran itu dengan hati tenang.
Pertempuran itu berjalan seru sekali, jauh lebih ramai daripada pertempuran antara Pek Mo-ko dan Han Le tadi. Akan tetapi pertandingan ini sebetulnya berat sebelah. Tidak saja Bu Pun Su dikeroyok tiga, juga ketiga orang lawannya mempergunakan senjata pasangan sehingga bertiga mempergunakan enam buah senjata, sedangkan Bu Pun Su sendiri bertangan kosong!
Akan tetapi di sinilah terlihat kelihaian Pendekar sakti ini! Tiga orang pengeroyoknya adalah tokoh-tokoh dari tingkat tinggi, boleh dibilang duduk dalam tingkatan ke satu dalam deretan tokoh-tokoh persilatan di masa itu, akan tetapi ia masih mampu menghadapi mereka dengan mengandalkan sepasang tangan berikut ujung lengan baju saja! Di sini pula terlihat kehebatan dari pelajaran Im-yang-bu-tek-cin-keng, dan terbukti bahwa ilmu silat Pek-in-hoat-sut yang diciptakan oleh Bu Pun Su benar-benar luar biasa. Menghadapi keroyokan tiga orang lawannya, tidak hanya sepasang lengannya yang mengeluarkan uap putih bahkan seluruh tubuhnya diliputi uap putih yang mengandung tenaga mujijat. Patut sekali ilmu silat ini disebut Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih), karena pengaruhnya seperti ilmu sihir saja. Setiap serangan senjata yang digerakkan oleh lawan dengan pengerahan tenaga lwee-kang tinggi, begitu terbentur oleh sambaran uap putih itu, terpental membalik kepada penyerangnya sendiri. Ini masih belum hebat, yang membuat Pe Hoa Pouwsat kadang-kadang berseru kaget adalah ketika Bu Pun Su membalasnya dengan serangan yang sama seperti gerakannya sendiri!
Bagaimana Bu Pun Su bisa meniru limu silatnya? Ilmu silat pedang dari Pe Hoa Pouwsat adalah asli dari barat, bukan ilmu silat Tiongkok. Sungguhpun sumbernya memang ada hubungan, bahkan boleh dibilang sama, namun perkembangannya sudah demikian berbeda sehingga jauh bedanya kalau dipandang begitu saja. Semenjak kecilnya Pek Hoa Pouwsat hidup di Nepal, bahkan belajar ilmu silat di sana pula, dari Thian-te Sam-kauwcu, akan tetapi bagaimanakah sekarang Bu Pun Su dapat menyerangnya dengan ilmu silat yang gerakannya serupa? Ia tidak tahu bahwa inilah kehebatan ilmu silat dari Im-yang-bu-tek-cin-keng. Di dalam ilmu silat yang dipelajarkan oleh kitab rahasia ini, terdapat pelajaran dari pokok gerakan semua ilmu silat dan semua gerakan kaki tangan, sehingga belum tiba, serangan lawan, dari gerakan pundak dan pangkal paha saja Bu Pun Su sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh lawan dalam penyerangannya. Ini ditambah oleh ketajaman mata dan kecerdikan ingatannya sehingga sekali lihat saja ia sudah dapat pula menangkap inti sari setiap serangan dan dapat melakukan serangan semacam itu pula dengan sama hebatnya, kalau tidak boleh dibilang lebih sempurna lagi!
Di lain pihak Bu Pun Su memuji ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Ilmu pedang ini dalam kelihaiannya tidak kalah oleh Hun-khai-kiam-hoat ciptaan Ang-bin Sin-kai, dan dia tadi tidak membohong ketika menyatakan bahwa Han Le takkan dapat menang dari gadis ini. Juga yang membikin gadis itu sukar dilawan adalah gin-kangnya yang luar biasa seakan-akan gadis ini benar-benar seorang bidadari yang dapat terbang. Setelah bertempur beberapa puluh jurus dan memperhatikan gerakan Pek Hoa Pouwsat, barulah Bu Pun Su tahu mengapa gadis itu dapat bergerak sedemikian ringan dan cepatnya, setiap gerakan yang cepat didahului oleh terbukanya pangkal lengan dan matanya yang tajam dapat melihat bahwa di punggung gadis ini, tersembunyi di balik pakaian, terdapat semacam alat yang terisi angin. Agaknya semacam alat penggerak yang mengandung tenaga yang kerjanya seperti sepasang sayap. Memang harus diakui bahwa gin-kang dari gadis itu lebih tinggi daripada Han Le, akan tetapi tanpa bantuan alat tidak mungkin gadis itu dapat bergerak seperti terbang!
Dalam menghadapi tiga orang pengeroyoknya, Bu Pun Su memang hanya bermaksud menguji kepandaian mereka saja, sama sekali tidak bermaksud melukai atau membunuh mereka. Biarpun tidak mudah baginya akan tetapi kalau dia mau ia mampu merobohkan tiga orang lawannya ini. Biarpun demikian, tangkisan-tangkisan dari tenaga Pek-in-hoat-sut telah membuat Hek Pek Mo-ko menjadi pucat mukanya. Ini adalah akibat dari benturan tenaga Pek-in-hoat-sut yang membuat setiap serangan tenaga lwee-kang mental kembali dan menghantam penyerangnya sendiri. Tidak demikian dengan Pek Hoa Pouwsat. Gadis ini maklum bahwa dalam hal lwee-kang ia tidak mampu menandingi Bu Pun Su, maka serangannya ia andalkan kepada kegesitan tubuhnya dan tiap tusukan atau sabetan pedangnya hanya dilakukan tenaga lemas sehingga ia tidak terserang oleh tenaganya sendiri yang membalik. Dipandang dari sudut ini saja sudah dapat diketahui bahwa gadis ini jauh lebih cerdik daripada Hek Pek Mo-ko, dan juga Bu Pun Su mendapat kenyataan bahwa biarpun dalam hal tenaga lwee-kang, kedua iblis itu lebih kuat daripada Pek Hoa Pouwsat, namun kepandaian gadis ini masih lebih tinggi.
Setelah menyerang sampai enam puluh jurus lebih, tahulah Pek Hoa Pouwsat bahwa ia dan dua orang kawannya takkan mungkin menangkan Bu Pun Su. Ia telah berkali-kali mengeluarkan hoat-sutnya, berkemak-kemik dan berkali-kali menyebar hawa beracun yang berbau harum sekali. Lain orang apabila terkena serangan ini pasti akan menjadi lemas dan jatuh pingsan, namun berkat hawa Pek-in-hoat-sut, semua serangan ilmu hitam ini buyar tidak ada pengaruhnya terhadap Bu Pun Su!
“Ombak pasang! Buka layar dan mendarati!” tiba-tiba Pek Hoa Pouwsat berseru. Inilah bahasa rahasia dari perkumpulan mereka dan tiba-tiba gadis ini membanting sesuatu antara dia dan Bu Pun Su. Pendekar sakti ini sudah dapat menduga, maka cepat-cepat ia melompat mundur. Terdengar ledakan keras asap hitam memenuhi tempat itu, membuat pandangan mata menjadi gelap. Setelah asap hitam membuyar, tidak kelihatan lagi bayangan Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko! Sebagai gantinya, di sekeliling tempat itu, penduduk dusun itu telah mengurung Bu Pun Su dan Han Le. Mereka ini membawa senjata dan memandang dengan sikap mengancam!
“Sute, kau pergilah ke Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, beritahukan agar mereka dan semua partai persilatan golongan Beng-kauw berhati-hati terhadap Thian-te Sam-kauwcu. Kurasa mereka mengandung maksud kurang baik. Biar aku mencari kitab dan pedang yang hilang!” Sehabis berkata demikian, sekali berkelebat Bu Pun Su lenyap dari situ. Semua petani yang sudah dipengaruhi oleh agama baru itu, menjadi terheran-heran, akan tetapi kini mereka mengurung dan mendekati Han Le dengan sikap mengancam, seakan-akan hendak mengeroyoknya. Han Le tertawa pahit, kemudian sekali melompat, ia pun lenyap melalui atas kepala para pengurungnya sehingga kembali para penduduk dusun itu melongo dan saling pandang!
Bu Pun Su menyelinap ke dalam kelenteng hendak mencari Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko untuk dipaksa mengaku di mana adanya kitab dan pedang, atau di mana adanya Thian-te Sam-kauwcu, akan tetapi setelah tiba di dalam kelenteng, ia tidak melihat lagi bayangan mereka, bahkan dua orang isteri Hek Pek Mo-ko sudah tenyap pula.
***
Kita kembali ke dusun Sui-chun yang sungguhpun hanya sebuah dusun namun besar menyerupai kota yang cukup ramai. Di rumah keluarga Song pada malam hari itu amat sunyi. Song Lo-kai, atau sekarang lebih terkenal dengan sebutan Song-lo-wangwe karena ia memang kaya raya, sudah tidur pulas. Para pelayan juga sudah tidak kelihatan lagi. Akan tetapi kalau orang mau menengok ke dalam taman bunga yang luas di belakang gedung itu, ia akan melihat bahwa di dalam kebun itu masih ada beberapa orang bercakap-cakap. Mereka ini bukan lain adalah Song Bi-Li, Ceng Si pelayannya, dan seorang pemuda yang tampan. Pemuda ini bukan lain adalah Cia Sun, siucai miskin yang mencinta Bi Li. Atas bantuan Ceng Si pelayan dari nona itu, Cia Sun pada malam hari ini berhasil memasuki taman.
Tadinya Song Bi Li terkejut, marah dan amat khawatir melihat pemuda itu lancang memasuki tamannya, akan tetapi Cia Sun segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis tersedu-sedu!
“Song-siocia, kau benar-benar berhati kejam. Ambillah sebatang pedang dan bunuhlah saja Cia Sun yang miskin dan malang ini. Untuk apa hidup lebih lama lagi di dunia ini?” Demikian Siucai tampan itu menangis.
Song Bi Li yang masih hijau itu tentu saja dapat dikelabuhi dan merasa amat terharu.
“Cia-siucai, mengapa kau begini berduka? Jangan begitu dan kau pergilah, kalau Kong-kong tahu bahwa kau masuk ke sini, kau tentu akan mendapat kesukaran.”
“Lebih baik diketahui oleh Kong-kongmu agar aku dibunuh! Song-siocia, kau benar-benar kejam sekali. Bagaimana kau dapat menerima pinangan orang lain? Kalau kau menjadi isteri orang lain, bagaimana dengan aku, Cia Sun yang bodoh dan miskin?”
Song Bi Li menjadi merah mukanya. Ia bingung dan bibirnya gemetar, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Akhirnya Ceng Si yang mewakili nonanya bicara,
“Cia-kongcu, sudahlah jangan kau terlalu berduka. Nona terpaksa menerima kehendak kong-kongnya, karena dalam pernikahan, apakah daya seorang gadis terhadap kehendak orang tua? Adapun tentang kau, Kongcu, Siocia tentu saja takkan melupakan begitu saja. Bahkan Siocia sudah berjanji kepadaku untuk memberi bekal padamu agar kau melanjutkan pelajaranmu di kota raja, agar kelak kau bisa meniadi seorang berpangkat.”
Cia Sun menangis lagi. “Bagaimanakah seorang miskin seperti aku ini dapat melanjutkan pelajaran di kota raja? Tidak saja biaya perjalanan ke sana amat besar, juga penghidupan di kota raja amat mahal. Apakah kau ingin aku menjadi seorang pengemis kelaparan di sana?”
“Bukan begitu, Cia-sicu,” kata Bi Li, “Biarpun aku tidak terlalu kaya, akan tetapi kiranya aku akan dapat membantumu. Aku sudah merencanakan hal ini dengan Ceng Si, dan inilah sedikit uang untuk bekal di perjalanan, kalau kiranya tidak mencukupi, kelak dengan perantaraan Ceng Si, aku akan dapat membantumu lagi.” Sambil berkata demikian, Bi Li rnemberi tanda dengan matanya kepada Ceng Si. Pelayan ini lalu mengeluarkan sekantung uang emas yang memang disediakan oleh nonanya, memberikan itu kepada Cia Sun.
Pemuda itu menerimanya lalu berpura-pura marah dan berduka. Ia melemparkan kantung uang itu ke atas lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri.
“Apa artinya uang bagiku? Apa artinya kalau aku bisa melanjutkan pelajaran sehingga menerima pangkat tinggi sekalipun? Apa artinya hidup tanpa kau di sampingku, Song-siocia? Cinta kasihku tidak semurah ini, tidak akan terbeli oleh harta dunia, takkan dapat ditukar dengan emas segunung Thai-san!”
“Cia-siucai, harap kau dapat berpikir lebih panjang dan jangan membikin susah padaku,” kata Bi Li. “Memang sudah menjadi kehendak Thian bahwa di dunia ini kita tidak berjodoh. Harap kau suka menaruh kasihan kepadaku. Terimalah uang itu dan kelak akan kutambah sewaktu-waktu kau memerlukannya.”
Pada saat itu kelihatan sinar lampu di kamar Kakek Song yang tadinya padam gelap.
“Nah, Loya agaknya bangun...” kata Ceng Si ketakutan.
“Cia-siucai, lekas pergi, Kong-kong bangun...” kata Bi Li.
Ceng Si mengambil kantung uang itu dan menarik tangan Cia Sun menuju ke pintu taman. Pemuda ini cepat-cepat membawa kantung uang itu dan keluar dari taman.
“Ceng Si, jangan lupa bujuk dia memberikan mainan indah, hiasan rambut berupa kupu-kupu dan bunga cilan yang ia terima dari calon suaminya itu,” katanya perlahan ketika mereka hendak berpisah.
Ceng Si mengangguk. “Asal kau jangan lupa kelak mengawiniku,” jawabnya. Kemudian pemuda itu menyelinap di dalam gelap, sedangkan Ceng Si kembali ke dalam taman.
Akan tetapi, baru saja beberapa langkah Cia Sun berjalan dengan hati girang sambil membawa sekantung uang emas itu, tiba-tiba menyambar bayangan yang amat ringan. Cia Sun terkejut sekali ketika melihat bayangan orang menyambar turun di depannya dan tercium bau yang amat harum olehnya. Saking kagetnya hampir saja ia berteriak, akan tetapi begitu bayangan itu mengulur tangan dan jari-jari yang halus menyentuh lehernya, pemuda ini tidak dapat mengeluarkan apa-apa. Jalan darah Ah-tai-hiat di lehernya telah ditotok! Maka ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak.
“Hm, kau hendak mempermainkan seorang gadis kaya? Bagus sekali, orang macam kau harus dicokel kedua matanya!” terdengar bentakan yang halus merdu, “Kau rebah dulu di sini, hendak kulihat gadis macam apa dia yang hendak kaupermainkan itu.” Kembali jari-jari halus bergerak menotok pundak dan robohlah Cia Sun, roboh dengan tubuh lemas tak dapat bergerak, karena kini jalan darah Thian-hu-hiat yang ditotok secara istimewa sekali. Cia Sun tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan ini, karena keadaan amat gelap. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah seorang wanita yang memiliki suara merdu, serta berbau harum sekali.
Wanita ini bukan lain adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia telah dikalahkan oleh Bu Pun Su dan berhasil melarikan diri sambil melepas semacam alat peledak yang menimbulkan asap hitam tebal. Akan tetapi, setelah melarikan diri beberapa hari kemudian ia merasa seperti selalu dikejar-kejar atau diikuti oleh Bu Pun Su! Sungguhpun ia tidak pernah melihat pendekar sakti ini mengikutinya, namun penasarannya selalu tidak enak dan demikianiah, malam hari itu ia terus melanjutkan perjalanannya sampai di dusun Sui-chun. Melihat rumah gedung Song Lo-kai, ia tertarik dan ingin mencuri masuk dan beristirahat di situ, secara kebetulan ia melihat pertemuan antara Song Bi Li dan Cia Sun dan kemudian ia membikin pemuda itu tidak berdaya.
Pek Hoa Pouwsat atau lebih singkat disebut Pek Hoa karena memang demikianlah nama asalnya, melompat ringan dan tiba kembali di dalam taman bunga. Keadaan di situ hanya remang-remang belaka maka ia tidak dapat melihat jelas bagaimana wajah Bi Li, Ceng Si dan juga Cia Sun. Kini setelah Cia Sun pergi Bi Li berani menyuruh pelayannya menyalakan lampu taman sehingga keadaan di situ terang.
Melihat wajah Bi Li, Pek Hoa amat kagum. Tak terasa ia berseru, “Ayaa, tidak tahunya gadis ini cantik jelita sekali...”
Suaranya terdengar oleh Bi Li dan Ceng Si sehingga dua orang gadis itu terkejut sekali. Selagi mereka bingung dan terheran-heran, muncullah Pek Hoa dari balik batang pohon, muncul bagaikan seorang peri, cantik jelita dan menyiar kan bau harum melebihi bunga-bunga di taman.
Ceng Si buru-buru berlutut. “Ampunkan hamba, Pouwsat yang baik...” ratapnya.
Pek Hoa tersenyum lalu berkata, “Memang, orang yang mengandung dosa di hatinya paling mudah ketakutan dan paling mudah minta ampun kepada Kwan Im Pouwsat!”
Tadinya Bi Li tertegun dan ia pun amat kagum melihat seorang wanita yang demikian cantiknya. Kini melihat sikap Ceng Si dan mendengar kata-kata Pek Hoa, timbul dugaannya bahwa memang yang datang ini tentulah Dewi Welas Asih Kwan Im Pouwsat yang sering muncul di dalam dongeng kuno. Maka ia pun lalu melanjutkan diri berlutut di depan Pek Hoa.
“Hamba mohon berkah dari Kwan Im Pouwsat yang mulia,” kata gadis ini perlahan.
Pek Hoa melangkah maju dan mengangkat bangun gadis itu. “Song-siocia, bangunlah. Aku memang seorang dewi, akan tetapi bukan Kwan-Im Powsat, melainkan Pek Hoa Pouwsat. Kau cantik sekali, Nona. Siapakah namamu?”
Bi Li mengangkat muka dan memandang dengan terheran. Mengapa sikap seorang dewi kahyangan seperti ini? Begini biasa seperti sikap seorang gadis biasa? Akan tetapi alangkah cantik jelitanya, alangkah harum baunya.
“Nama hamba Song Bi Li, dan tentang kecantikan... biarpun hamba mendapat berkah Kwan Im Pouwsat, namun kalau dibandingkan dengan Paduka, hamba kalah jauh....”
Bukan main girangnya hati Pek Hoa Pouwsat. Gadis ini memang semenjak usia belasan tahun, amat gila untuk menjadi cantik dan selalu ia merasa khawatir kalau kecantikannya sampai berkurang atau hilang. Oleh karena ini, dengan kepandaiannya, ia berhasil menemukan cara pengobatan untuk merawat kecantikannya, bahkan untuk membuat ia kelihatan selalu muda belia. Oleh karena inilah maka biarpun usianya sudah tiga puluhan, ia masih kelihatan seperti seorang gadis muda yang demikian ayu, tentu saja ia merasa amat terpuji dan bangga. Dengan hati bangga dan girang ia menggandeng tangan Bi Li, kemudian ia bergerak cepat dan tahu-tahu Ceng Si telah kena ditotok sehingga menjadi kaku seperti patung. Akan tetapi dalam pandangan mata Bi Li, ia hanya melihat Pek Hoa menunjuk dengan jarinya ke arah Ceng Si yang masih berlutut dan pelayannya itu lalu menjadi kaku!
“Jangan bergerak dan berlutut di situ sampai kami selesai bercakap-cakap!” kata Pek Hoa.
Peristiwa ini membuat Bi Li makin percaya bahwa ia sedang bercakap-cakap dengan seorang dewi tulen! Ia menurut saja ketika Pek Hoa mengajaknya duduk di atas bangku-bangku yang dipasang di dekat kolam ikan emas, di bawah penerangan lampu minyak yang berwarna merah.
“Bi Li, biarlah selanjutnya aku menyebut namamu saja, dan kau boleh menyebutku cici,” kata Pek Hoa.
Bi Li terkejut. Bagaimana ia boleh menyebut cici (kakak) kepada seorang bidadari? “Akan tetapi...”
“Jangan membantah. Ini perintahku, mengerti? Aku lebih tua daripadamu.” Bi Li menjadi berani mendengar ini. “Akan tetapi, sesungguhnya kau kelihatan lebih muda dariku, maka lebih pantas kalau aku menyebut moi-moi.”
Pek Hoa memandang tajam sambil tersenyum girang sekali. “Adikku yang baik! Betul-betulkah kata-katamu ini?”
“Bagaimana aku berani membohong? Begini cantik jelita, seperti bunga baru mekar, paling banyak usiamu tujuh belas tahun dan aku sudah delapan belas!” jawab Bi Li.
Pek Hoa tertawa geli, akan tetapi girang sekali hatinya. Dipuja oleh laki-laki, baginya tidak aneh dan dianggapnya bahwa semua laki-laki hanya tukang membohong untuk membujuk dan mengambil hati, akan tetapi dipuji oleh seorang gadis yang begini cantik ini lain lagi.
“Tidak, Li-moi aku lebih tua. Usiaku sudah... sembilan belas tahun. Li-moi, sebetulnya kedatanganku ini hendak memberi berkah dan pertolongan kepadamu dengan Siucai she Cia itu, akan tetapi aku lebih suka mendengar dari mulutmu sendiri. Sebenarnya, apakah yang terjadi antara kau dan dia?”
Bi Li terkejut, akan tetapi ketika ia teringat bahwa ia berhadapan dengan seorang bidadari, ia tidak merasa aneh, bahkan tidak malu-malu untuk membuat pengakuan.
“Aku sudah lama kenal dengan Cia-siucai, Cici Pek Hoa. Dan dia itu... dia menyatakan cinta kepadaku.”
“Apa kau tidak cinta kepadanya?”
Bi Li termenung dan ragu-ragu. “Entahlah, Cici, kau lebih tahu tentunya. Aku tidak mengerti tentang cinta ini.”
“Teruskan, lalu bagaimana?”
“Kemudian, atas kehendak Kong-kong, aku harus menikah dengan seorang she Kiang dari kota Sian-koan, seorang pemuda gagah, perkasa yang pernah menolong nyawa Kong-kong.”
“Dan kau tidak suka kepadanya?”
Kembali Bi Li termenung bingung. “Ini pun aku tidak bisa memastikan, Cici. Kelihatannya dia gagah dan baik budi, juga... tampan, bahkan lebih tampan daripada Cia-siucai. Karena aku tidak mungkin menolak kehendak Kong-kong, tadi Cia-siucai datang, menyatakan kehancuran hatinya dan hendak nekat membunuh diri. Baiknya aku dan pelayanku Ceng Si dapat membujuknya agar dia melanjutkan sekolah di kota raja dan akulah yang akan membiayainya sampai tercapai maksudnya. Calon suamiku itu orang yang amat kaya, sedangkan Kong-kong juga bukan orang miskin, maka kiraku jalan inilah yang terbaik, yakni untuk menghibur hatinya.”
Pek Hoa mengangguk-angguk. “Kau anak baik, dan kau amat cantik jelita. Kau layak hidup bahagia dan mendapatkan seorang suami yang baik dan tampan. Kau bilang tadi calon suamimu lebih cakap daripada Cia-siucai?”
Merah muka Bi Li, akan tetapi dia mengangguk. “Bukan aku saja yang menganggap demikian, Cici, juga pelayanku Ceng Si menganggap demikian pula.”
“Dan kau bilang gagah perkasa? Apakah dia itu pandai ilmu silat?”
“Tentunya pandai. Kong-kong pernah bilang kepadaku bahwa dia adalah murid dari seorang sakti dan aneh yang bernama Han Le yang menjadi murid dari seorang sakti yang dipuja-puja Kong-kong, yakni mendiang Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi aku sendiri tidak kenal siapa adanya orang sakti yang bernama Han Le itu.”
Kalau Pek Hoa tidak tinggi ilmunya. dan dapat mengerahkan lwee-kang dan menyalurkan darah ke mukanya, tentu Bi Li akan melihat perubahan air mukanya ketika ia mendengar nama Han Le ini.
“Jadi calon suamimu itu she Kiang dan tinggal di kota Sian-koan?” tanya pula.
Bi Li mengangguk, Pek Hoa berdiri, memandang wajah Bi Li sekali lagi lalu berkata, “Adikku yang manis kelak kalau kau sudah punya anak, mungkin kita bertemu lagi karena aku ingin sekali melihat wajah anakmu.”
Bi Li hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba dengan sekali menggerakkan kaki, Pek Hoa sudah melompat di depan Ceng Si, membebaskan totokannya kepada tubuh pelayan ini dan sekali berkelebat ia lenyap dari pandangan mata!
Ceng Si menjatuhkan diri berlutut mengangguk-anggukkan kepalanya sepe ayam makan padi, sambil mengeluh panjang pendek, “Pouwsat yang mulia, ampunkan hamba... jangan mencabut nyawa hamba...”
Bi Li juga menjatuhkan diri berlutut mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada bidadari yang mengaku kakak kepadanya itu. Kemudian terpaksa ia menyeret Ceng Si berdiri karena pelayan yang ketakutan ini masih saja berlutut sambil sesambatan.
Kita ikuti perjalanan Pek Hoa. Setelah melompat keluar dari taman bunga keluarga Song, ia menghampiri Cia Sun. Sekali tepuk saja ia sudah membikin pemuda ini sadar kembali. Sebelum Cia Sun sempat membuka mulut, tahu-tahu ia merasa tubuhnya terapung tinggi dan ternyata ia telah dikempit dan dibawa lari oleh Pek Hoa. Setibanya di tempat terang, yakni sudut jalan yang diterangi oleh lampu, Pek Hoa menurunkan pemuda itu, memandangi wajah dan tubuhnya. Agaknya ia puas dan senyumnya manis sekali.
Di lain pihak, Cia Sun menjadi bengong, terpesona ia oleh kecantikan gadis ini dan bau harum yang luar biasa mendebarkan jantungnya.
“Hm... kau tampan juga...” terdengar gadis itu berkata sambil meraba-raba pipinya.
Dari takut dan kaget, Cia Sun menjadi girang. Tak disangkanya bahwa orang yang disangkanya setan dan yang sudah mengganggunya itu adalah seorang gadis muda yang demikian cantik jelitanya bahkan jauh lebih cantik daripada Ceng Si, juga lebih cantik menarik daripada Bi Li yang pendiam dan malu-malu. Gadis ini sebaliknya kelihatan “berani” sekali, berani memuji ketampanannya, bahkan berani membelai-belai pipinya.
“Aduh, Nona. Bukankah kau bidadari dari kahyangan yang turun dari bulan purnama? Apakah hendak mencabut nyawa hamba...?” katanya setengah bergurau.
Melihat pandangan mata Cia Sun, pandangan mata yang penuh arti, sekonyong-konyong Pek Hoa menjadi jemu. Wanita ini semenjak usia belasan tahun sudah sering kali bertukar kekasih, hidupnya demikian busuk dan kotor, dan terkenal sebagai seorang wanita yang cabul. Hubungannya dengan banyak sekali orang laki-laki membuat ia menjadi jemu apabila melihat sikap laki-laki yang kurang ajar dan melihat laki-laki binal dan ceriwis, ia menjadi bosan dan mual. Kalau sekiranya Cia Sun bersikap takut-takut atau malu-malu, atau marah-marah melihatnya, mungkin Pek Hoa akan jatuh hati kepada pemuda yang tampan ini. Pek Hoa tidak membutuhkan laki-laki yang ceriwis, karena ia telah bosan dengan sikap seperti ini. Ia membutuhkan laki-laki yang alim, laki-laki yang tidak mudah tergoda oleh kecantikannya. Maka dengan sebal hati ia melemparkan tubuh Cia Sun ke pinggir jalan, merampas kantung uang pemberian Bi Li tadi, lalu pergi dengan cepat meninggalkan pemuda itu yang terlampau kaget dan takut untuk dapat mengeluarkan suara!
Baru saja bayangan Pek Hoa berkelebat pergi, di belakangnya kira-kira sepuluh tombak jauhnya, berkelebat bayangan lain yang tidak kalah gesitnya, yang mengikuti perjalanan gadis itu secara diam-diam tanpa diketahui oleh yang diikutinya.
***
Kiang Liat merasa berbahagia sekali. Tak pernah disangka-sangkanya bahwa nasibnya demikian baik dan menyenangkan. Tidak saja ia beruntung bertemu dengan pengemis sakti Han Le dan menjadi muridnya selama satu tahun mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga kepandaiannya yang sudah lihai itu menjadi makin maju, juga terutama sekali ia bertemu dengan Song Lo-kai dan diambil cucu mantu. Yang membuat ia benar-benar merasa bahagia adalah ketika ia bertemu dengan Song Bi Li. Siapa pernah mengira bahwa cucu seorang kakek bekas pengemis demikian cantik jelitanya? Tidak hanya cantik, juga sikapnya demikian halus lemah-lembut, menimbulkan kasih sayang dan begitu bertemu muka, Kiang Liat terus saja jatuh cinta!
Ia telah mempersiapkan segala keperluan untuk menghadapi pernikahannya yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Ia telah mengatur rumahnya yang selama ini hanya ia tinggali bersama inang pengasuhnya, telah mengatur semua persiapan agar isterinya kelak suka dan kerasan tinggal di rumahnya ini. Kemudian ia menyuruh inang pengasuhnya dan beberapa orang pembantu dari kotanya untuk berangkat lebih dulu ke Sui-chun, ke rumah keluarga Song untuk membuat segala persiapan. Ia sendiri sibuk membagi-bagikan undangan kepada sahabat-sahabat baiknya agar mereka suka datang dan mengantarnya ke Sui-chun untuk menambah kegembiraan.
Persiapan terakhir telah dilakukan dan Kiang Liat merasa gembira sekali. Besok pagi-pagi ia akan berangkat ke Sui-chun, bersama beberapa belas orang kawan-kawan baik yang akan menjadi pengiringnya. Sehari itu ia telah pergi jauh ke luar kota, mengunjungi kawan-kawannya yang paling jauh rumahnya. Ia merasa agak lelah ketika sore hari itu ia pulang, melompat turun dari kudanya yang indah, menuntun kuda itu dan menghampiri pintu depan. Karena di rumahnya telah kosong tidak ada orang lain, maka rumah itu pintunya selalu ditutup. Semua pelayan telah dikirim ke Sui-chun agar setelah pernikahan dilangsungkan dapat mengiringkan sepasang pengantin itu pulang ke Sian-koan. Oleh karena itu, selama beberapa hari ini, Kiang Liat tinggal seorang diri di rumahnya. Akan tetapi, kesepian ini takkan lama lagi, hanya tinggal semalam lagi dan besok pagi-pagi ia akan berangkat ke rumah calon isterinya! Berpikir sampai di sini, terutama membayangkan wajah Bi Li yang cantik manis, Kiang Liat menjadi berseri wajahnya. Sambil tersenyum-senyum ia membuka pintu. Ia tidak tahu bahwa semenjak tadi, sepasang mata yang bening dan indah selalu mengintainya dan mata ini bersinar-sinar ketika melihat potongan tubuh pemuda yang amat ganteng ini, tubuh yang tegap dan gagah, wajah yang tampan dengan kulit muka putih bersih, sepasang alis yang hitam tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang lebar dan bersinar-sinar penuh semangat. Memang Kiang Liat seorang pemuda yang amat gagah dan tampan.
Setelah meninggalkan kudanya di depan pintu, Kiang Liat masuk ke dalam rumah sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Ia hendak mandi, berganti pakaian, kemudian keluar lagi. Memang tidak enak duduk seorang diri di dalam rumah tanpa kawan, apalagi menghadapi peristiwa yang demikian hebat, yakni pernikahannya dengan Nona Song Bi Li! Ia hendak pergi ke beberapa orang sahabat baiknya, mengajak mereka datang ke sini lalu memesan makan minuman dari rumah makan.
Akan tetapi, ia masih belum tahu bahwa pada saat itu, sepasang mata bening dan jeli terus mengintainya! Mata yang memandangnya penuh kekaguman, penuh nafsu, dan kadang-kadang penuh kebencian!
Kiang Liat melangkah tegap ke arah kamarnya, mendorong daun pintu kamar tidurnya, melangkah masuk dan....
“Siapa kau…?” tanyanya terkejut sekali dan terheran-heran. Di atas pembaringannya duduk seorang gadis yang berpakaian indah, seorang gadis sebaya dengan Bi Li yang cantik sekali, yang duduk menggoyang-goyangkan kedua kaki kecil yang tergantung dari pembaringan sambil miringkan kepala memandang kepadanya dan bibirnya tersenyum-senyum manis sekali! Tadinya untuk sesaat Kiang Liat mengira bahwa inilah yang disebut orang siluman wanita, yang sering muncul dalam dongeng-dongeng, kalau tidak demikian, bagaimanakah seorang dara juita seperti itu tahu-tahu dapat memasuki kamar tidur seorang pemuda dan duduk di atas pembaringan dengan kakinya ongkang-ongkang dan senyum manis menantang? Akan tetapi, ketika melihat gagang siang-kiam tersembul dari balik punggung gadis itu Kiang Liat berpikir lain. Tentu seorang gadis kang-ouw dan kedatangannya tentu mempunyai maksud tertentu, entah baik entah buruk, akan tetapi lebih condong kepada maksud yang tidak baik.
“Kau siapakah, Nona? Dan apakah kehendakmu memasuki kamarku?” tanyanya lagi, kini, suaranya tidak sekeras tadi karena pemuda ini cepat dapat menekan perasaannya. Ia tak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat gadis yang demikian cantiknya dan pandang mata kagum ini menyenangkan hati gadis itu yang memperlebar senyumnya.
“Jawab dulu, senangkah kau melihat aku di kamar tidurmu?” gadis ini bertanya, suaranya merdu merayu dan pandang matanya mencuri hati dengan kerling tajam menyambar.
Kiang Liat mengerutkan keningnya. “Bagaimana aku bisa menyatakan senang atau tidak kalau aku belum tahu siapa adanya kau ini dan apa keperluanmu datang ke sini?”
Gadis manis itu tertawa kecil. “Kau betul juga, sekarang jawablah pertanyaan yang lebih mudah. Cukup cantikkah aku dalam pandanganmu?”
Kini merahlah wajah Kiang Liat. Hatinya berdebar. Selama hidupnya belum pernah ia melihat gadis secantik ini, kecuali Bi Li, dan gadis yang berani seperti ini. Akan tetapi, sikap genit dan kecabul-cabulan ini tidak menyenangkan hatinya. Kiang Liat bukan sebangsa pemuda pemogoran yang mudah menjadi gila melihat wajah cantik!
“Nona, omongan apakah ini? Aku bukan orang yang biasa menilai kecantikan orang lain! Sekarang katakan siapa kau dan apa perlumu masuk ke kamarku?” Biarpun jawaban ini ketus dan membayangkan kemarahan hati, namun aneh sekali, gadis ini tidak marah, bahkan sebaliknya ia kelihatan gembira sekali.
“Ha, kau gagah ganteng, tampan dan baik sekali, tidak seperti segala macam hidung belang yang menjemukan!” gadis itu berseru, kemudian ia sekali menggerakkan tubuh telah melompat turun, gerakannya ringan sekali sehingga mengejutkan hati Kiang Liat. “Kiang Liat, aku tahu siapa kau. Kau adalah murid dari Han Le si pengemis hina itu, bukan? Dan kau akan menikah dengan Nona Song Bi Li yang cantik jelita, bukan?”
King Liat kembali terkejut dan mengerutkan kening.
“Benar semua dugaanmu itu, sungguhpun aku tidak mengerti bagaimana kau bisa ketahui semua itu. Akan tetapi, siapakah kau, Nona?”
“Orang-orang di dunia barat biasa menyebutku Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, akan tetapi bagimu, kau boleh memanggil aku Pek Hoa saja, atau Hoa-moi, bukankah itu lebih enak dan manis terdengarnya?”
Kiang Liat belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi sikap Pek Hoa yang makin binal dan genit ini, benar-benar menyebalkan hatinya. Ia tidak dapat menyangkal bahwa gadis ini amat cantik, lagi menyiarkan bau yang amat harum memenuhi kamarnya, akan tetapi kegenitan gadis ini melenyapkan kekagumannya. Alangkah jauh bedanya dengan Bi Li calon isterinya! Biarpun dalam kecantikan, agaknya Bi Li sendiri pun tidak akan menang dari gadis luar biasa ini yang memiliki kecantikan seperti bidadari.
“Jangan kau mengacau tidak karuan!” Kiang Liat membentak marah. “Aku tidak kenal kau siapa dan tidak peduli tentang semua panggilan itu. Lekas katakan, apa maksudmu datang ke kamarku?” Pemuda ini sekarang menjadi curiga dan juga amat marah.
Watak Pek Hoa memang aneh. Kalau sekiranya Kiang Liat bersikap lemah seperti yang diperlihatkan oleh pemuda Cia Sun, kalau saja Kiang Liat terpesona oleh kecantikannya, memuji-mujinya dan mencoba untuk bersikap kurang ajar, mungkin sekali Pek Hoa akan menjadi sebal dan mungkin akan segera turun tangan membunuhnya, karena dia adalah murid Han Le yang amat dibenci oleh Pek Hoa. Di dunia ini hanya dua orang yang dibenci oleh Pek Hoa, yakni Bu Pun Su, dan Han Le, terutama sekali Bu Pu Su.
Akan tetapi, oleh karena sikap Kian Liat keras dan sama sekali tidak tunduk oleh kecantikannya, hati Pek Hoa menjadi runtuh! Baru sekarang gadis ini bertemu dengan seorang pemuda yang begini tampan dan gagah, yang tidak bertekuk lutut menghadapi kecantikannya. Inilah pemuda yang diidam-idamkannya, pemuda yang dicari-carinya! Maka, menghadap bentakan yang penuh kemarahan dari Kiang Liat, ia menjadi makin tertarik dan makin gembira.
“Kiang Liat, kau menjadi makin gagah kalau marah-marah. Kau mau tahu mengapa aku datang ke kamar tidurmu? Karena aku tiba di rumah ini tidak melihat seorang pun manusia, maka aku memilih kamar tidur ini untuk mengaso.”
“Apa maksudmu mengunjungi aku?” tanya Kiang Liat gemas melihat sikap genit dan mendengar jawaban melantur itu.
“Kau adalah murid pengemis tua bangka Han Le dan dia itu musuhku maka tentu saja aku datang untuk mengambil nyawamu. Akan tetapi, melihat mukamu, aku menjadi kasihan sekali dan aku akan mengampuni dan tidak mengganggumu, sebaliknya aku ingin sekali membikin kau bahagia. Permusuhan antara kita akan hilang kalau saja kau mau membatalkan pernikahanmu dengan Song Bi Li dan sebagai gantinya, kau mengambil aku sebagai isterimu...”
“Tutup mulutmu yang kotor!” Kiang Liat marah sekali dan mencabut pedangnya. “Kau ini perempuan jalang berani sekali bermain gila di sini...?” Kian Liat benar-benar marah sehingga ia mendamprat gadis itu.
“Kiang Liat, butakah matamu? Buka matamu baik-baik dan lihatlah, apakah aku tidak lebih muda dan jauh lebih cantik daripada Bi Li. Selain lebih cantik, aku lebih gagah, lebih kaya! Kalau kau menjadi suamiku, apa yang kurang bagimu? Ingin senang? Aku cukup cantik dan aku tahu bagaimana untuk menyenangkan hatimu. Kau ingin hidup mewah? Kekayaanku jauh lebih besar daripada kekayaanmu atau kekayaan Bi Li. Atau kau menghadapi musuh-musuh besar? Tak usah khawatir, kalau aku Pek Hoa menjadi isterimu, tanpa aku turun tangan semua musuh-musuhmu akan melarikan diri tunggang-langgang!”
“Jangan ngoceh lagi! Lekas kau minggat dari sini, aku tidak sudi melihat mukamu atau mendengar suaramu! Pergi...!!”
Pek Hoa mulai marah. Pipinya yang halus dan putih itu kini menjadi merah. Ia tidak suka melihat laki-laki lemah yang mudah jatuh oleh kecantikan, akan tetapi ia pun tidak suka melihat laki-laki yang memandang rendah kecantikannya. Apalagi hinaan yang keluar dari mulut Kiang Liat sudah melampaui batas. Kalau menuruti kemarahannya, ingin ia sekali turun tangan merampas nyawa pemuda ini, akan tetapi kalau ia memandang muka yang tampan dan gagah itu, hatinya tidak tega. Bagaimanapun juga, ia harus mendapatkan laki-laki ini sebagai suaminya atau sebagai kekasihnya. Sukar mencari seorang pemuda seperti Kiang Liat ini.
“Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apa sih?” tanyanya sambil tersenyum mengejek.
“Aku akan memaksamu dengan pedangku!” Kiang Liat membentak.
“Aha, kau mau main-main senjata dengan nonamu? Mari-mari, anak manis, mari keluar, kita boleh main-main sedikit!” Sambil berkata demikian, Pek Hoa melambaikan tangannya dan sekali berkelebat ia telah menerobos keluar dari jendela.
Diam-diam Kiang Liat terkejut sekali melihat gin-kang yang luar biasa ini, akan tetapi ia bukan seorang penakut. Cepat iapun melompat keluar melalui jendela, mengejar wanita aneh itu.
Ternyata Pek Hoa telah menantinya di luar rumah, di pekarangan yang lebar dan diterangi oleh lampu minyak yang tergantung di bawah genteng. Gadis ini memandang ringan sekali kepada Kian Liat. Karena pikirnya kepandaian Han Le saja ia tidak takut dan masih sanggup menangkan, apalagi kepandaian muridnya! Ia tidak tahu bahwa Kiang Liat hanya satu tahun menjadi murid Han Le, dan bahwa sebelum menjadi murid Han Le pemuda ini telah memiliki kepandaian yang tinggi juga.
Melihat Pek Hoa telah berdiri dengan lagak menantang, bertolak pinggang tanpa mengeluarkan senjata, Kiang Lia membentak, ”Perempuan rendah, keluarkan senjatamu kalau kau hendak mencoba kelihaianku!”
“Mengapa harus mengeluarkan senjata? Apa kaukira dapat mengalahkan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat biarpun aku hanya bertangan kosong? Orang muda, maju dan seranglah, tak usah ragu-ragu, jangan takut kalau kulit tubuhku akan lecet terkena pedangmu yang tumpul!”
Kiang Liat marah sekali. “Lihat pedang!” teriaknya dan ia mulai menyerang. Mula-mula, pemuda ini tidak menyerang sungguh-sungguh, karena betapapun gemasnya melihat gadis genit dan cabul ini, ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada antara gadis ini dengan gurunya, dan ia tidak tega serta merasa malu untuk melukai seorang gadis muda yang melawannya dengan bertangan kosong saja. Akan tetapi, segera ia menjadi terheran-heran dan kaget. Tak disangkanya bahwa gadis itu ternyata luar biasa dan selain gerakannya cepat sekali, juga ilmu silatnya amat lihai. Baru beberapa gebrakan saja, hampir pedangnya kena dirampas oleh gerakan mencengkeram dari Pek Hoa!
Setelah melihat kelihaian lawannya, Kiang Liat tidak beriaku sungkan-sungkan lagi. Cepat ia menggerakkan pedangnya dan kini ia bersilat dengan ilmu pedang keluarga Kiang yang kini sudah diperkuat dan diperbaiki setelah ia belajar setahu lamanya pada Han Le.
Pek Hoa makin kagum melihat Kian Liat. Tak disangkanya bahwa ilmu silat pemuda ini benar-benar hebat, tidak kalah jauh oleh Han Le. Bahkan kalau dilihat-lihat, ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda ini sama sekali bukan ilmu pedang Han Le, ilmu pedang yang di mainkan Kiang Liat amat indah gerakan-gerakannya. Tentu saja seorang pemuda yang demikian ganteng dan tampan mainkan ilmu pedang yang indah ini, kelihatan seperti seorang penari ulung tengah menari, amat menarik hati dan indah dilihat. Makin sayanglah Pek Hoa kepada kepada pemuda ini, dan ia tahu bahwa kalau ia menghadapi dengan tangan kosong saja, akan sangat berbahaya baginya.
Timbul kegembiraan hati Pek Hoa untuk menguji terus sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Ia mencabut sepasang pedangnya.
“Kau lihai sekali, orang muda. Akan tetapi coba kautahan siang-kiamku!” Setelah berkata demikian ia memutar sepasang pedangnya dengan cepat, melakukan serangan balasan yang sesungguhnya bukan serangan benar-benar hanya untuk menguji saja.
Kiang Liat kaget. Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu juga hebat, apalagi lawannya menggunakan sepasang pedang yang tentu saja lebih cepat menyerangnya daripada sebatang pedang.
Pemuda ini diam-diam mengeluh dan merasa malu kepada diri sendiri. Masa ia, yang telah terkenal sebagai Jeng-ciang-sian (Dewa Bertangan Seribu), kemudian sudah mendapat gemblengan selama setahun oleh pengemis sakti Han Le, hanya dalam tenaga lwee-kang, ia tidak kalah, akan tetapi ia kalah jauh dalam kecepatan gerakan, dan dalam hal ilmu silat, agaknya gadis ini mempunyai kepandaian yang luar biasa sekali. Namun Kiang Liat tidak mau menyerah kalah, biarpun ia seakan-akan dikurung oleh laksaan ujung pedang lawan ia masih mempertahankan diri, memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh tembok baja yang kokoh kuat.
Berkali-kali Pek Hoa memuji dan mulutnya mengoceh terus, “Kau gagah, ilmu pedangmu lihai... kau patut menjad suamiku...”
Kata-kata seperti ini memperbesar api kemarahan Kiang Liat sehingga kini ia bertanding dengan nekat, tak takut mati. Ini membuat Pek Hoa kewalahan. Memang ilmu pedang dari pemuda ini sudah tinggi, sukar baginya untuk merobohkan, apalagi menawan. Sekarang ditambah oleh kenekatan pemuda itu, maka Pek Hoa lalu mengeluarkan saputangannya yang berwarna merah, mengeluarkan seruan nyaring dan ketika saputangan itu dikebutkan, tiba-tiba Kiang Liat mencium bau harum yang amat keras dan tak lama kemudian ia terhuyung-huyung dan roboh tak sadarkan diri dengan pedang masih di tangannya!
Pek Hoa tertawa girang. Ia membungkuk, merampas pedang, mengelus-elus pipi pemuda itu, tertawa lagi lalu menotok jalan darah di pundak Kiang Liat untuk menjaga kalau pemuda itu siuman kembali. Biarpun siuman kembali, setelah ditotok, Kiang Liat takkan berdaya, tubuhnya sudah lemas dan ia takkan dapat memberontak lagi. Sambil kadang-kadang membelai rambut dan muka pemuda itu, Pek Hoa tertawa-tawa dan memanggul tubuh Kiang Liat dengan mudahnya, lalu berlarilah ia menghilang di dalam gelap malam yang mulai menyelimuti alam.
Akan tetapi, baru saja beberapa li ia lari, setelah ia keluar dari kota Sian-koan dan tiba di tempat sunyi, tiba-tiba Pek Hoa merasa pundaknya yang kanan ditowel orang. Ia memanggul tubuh Kiang Liat di pundak kirinya, maka merasa towelan ini, mula-mula ia tidak bercuriga dan berlari terus.
Sekonyong-konyong, pundaknya ditowel lagi dan terdengar suara perlahan,
“Siluman cabul, kau masih tidak mau melepaskan Kiang Liat?”
Pek Hoa terkejut, melompat ke depan sejauh empat tombak lebih lalu membalikkan tubuhnya. Di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki setengah tua yang pada saat itu ia harapkan berada di neraka. Satu-satunya orang yang tak ingin ia melihatnya pada saat seperti itu, yakni bukan lain adalah Bu Pun Su Si Pendekar Sakti!
Karena tahu menghadapi lawan yang amat berat, yang biarpun dikeroyok dengan kedua sutenya masih saja ia kalah, Pek Hoa tidak mempunyai nafsu untuk melawan Bu Pun Su. Ia melepaskan tubuh Kiang Liat yang dipanggulnya itu ke atas tanah, mencabut pedang Kiang Liat yang dirampasnya. Niatnya hendak sekali bacok menewaskan pemuda ini, karena kalau ada Bu Pun Su di situ, tak mungkin kehendaknya menjadikan pemuda itu sebagai permainannya. Setelah maksud ini digagalkan oleh Bu Pun Su, tidak ada jalan lain baginya kecuali membunuh Kiang Liat, sehingga dengan demikian, ia dapat melakukan sedikit pembalasan atas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su dan Han Le.
Akan tetapi, baru saja ia mencabut pedang rampasan itu, tiba-tiba pedang itu terlepas dari tangannya yang menjadi kaku. Ia mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa bahwa tidak hanya tangan kanan, bahkan setengah bagian tubuhnya sebelah kanan seperti lumpuh! Terdengar olehnya suara ketawa yang tenang dari Bu Pun Su. Pek Hoa melompat mundur sambil menjerit. Tahulah ia sekarang. Tadi ia telah kena ditowel dua kali pundak kanannya oleh Bu Pun Su dan ternyata bahwa towelan itu merupakan totokan yang amat lihai, yang baru terasa pengaruhnya setelah ia menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga.
Sambil berdiri, Pek Hoa cepat mengerahkan lwee-kang untuk membebaskan diri dari totokan itu, namun tidak berhasil. Terpaksa gadis ini menekan hawa kemarahan yang naik ke dadanya, lalu bersila di atas tanah. Selagi ia berusaha membebaskan diri dari pengaruh tiam-hoat yang dilakukan secara lihai oleh Bu Pun Su, pendekar sakti ini menghampiri Kiang Liat. Dua kali tepukan ke pundak dan punggung membuat pemuda itu terbebas, dan Kiang Liat cepat berlutut di hadapan paman gurunya.
“Kiang Liat, aku bangga melihatmu. Kau memang patut menjadi murid Han Le. Sekarang lekas-lekas kau pulang dan langsungkan pernikahanmu. Kelak aku akan datang memberi hadiah dua tiga pukulan kepadamu.”
Kiang Liat girang sekali, setelah menghaturkan terima kasih, ia mengambil pedangnya dan pergi dari situ. Ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Pek Hoa, karena sesungguhnya, betapapun marahnya terhadap gadis itu, ia tidak tega melihat kalau-kalau Bu Pun Su akan membunuh Pek Hoa.
Akan tetapi, Bu Pun Su bukanlah seorang yang mudah saja membunuh orang. Ia melangkah maju, tersenyum melihat gadis itu masih berjuang untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan.
“Pek Hoa, totokan itu takkan dapat dibebaskan kalau tidak dengan suling ini,” katanya sambil mencabut keluar sebatan suling bambu yang sudah tua. Tadi ia memang menotok pundak gadis itu dengan sulingnya, karena Bu Pun Su merasa segan untuk melakukan hal ini dengan tangannya. Ketika ujung sulingnya menyentuh jalan darah di pundak Pek Hoa seketika gadis ini pulih kembali keadaannya. Dengan berang ia melompat berdiri memandang kepada Bu Pun Su seperti seekor harimau betina hendak menubruk mangsanya, lalu berkata,
“Bu Pun Su, aku benci sekali kepadamu!”
“Bagus!” kata Bu Pun Su tersenyum “Seribu kali lebih aman kaubenci daripada kaucinta. Kecantikan dan kasih sayangmu jauh lebih berbahaya dari watak buruk dan kebencianmu, Pek Hoa.” Setelah berkata dernikian, Bu Pun Su termenung, teringat ia akan semua pengalamannya di waktu muda, betapa dia menjadi korban dari kecantikan dan kasih sayang palsu dari seorang wanita yang cantik dan jahat seperti Pek Hoa ini.
Pek Hoa membanting-banting kakinya saking gemas. “Jadi selama ini kau selalu mengintaiku? Sungguh tak tahu malu! Kalau memang kau gagah berani, mengapa tidak melawan guru-guruku? Mengapa kau menghina seorang perempuan?” Pek Hoa hampir menangis. Ingin ia mencabut siang-kiamnya atau mempergunakan senjata rahasia atau senjata berbisa, namun ia cukup maklum bahwa semua ini takkan ada gunanya terhadap Bu Pun Su.
“Memang aku hendak mencari guru-gurumu, itu Thian-te Sam-kauwcu yang ternama,” jawab lagi pendekar sakti itu.
“Jadi kau mengikuti aku untuk mengetahui di mana adanya guru-guruku?”
“Bukan hanya demikian, akan tetapi yang penting untuk melihat tingkah-lakumu, untuk menjaga agar kau jangan sampai mengganggu orang-orang seperti yang tadi kaulakukan. Tentang guru-gurumu, agaknya mereka itu takut kepadaku maka tidak berani muncul.” Kata-kata ini sengaja diucapkan oleh Bu Pun Su untuk membakar hati gadis itu. Maksudnya berhasil karena Pek Hoa memandangnya dengan marah.
“Bu Pu Sun, kau sombong! Kau menggunakan kepandaian untuk menghinaku, seorang perempuan lemah! Awas kau, akan datang saatnya aku membalas semua ini, membalas kepadamu dan kepada Han Le! Akan tiba saatnya aku menghancurkan kau dan semua orang yang ada hubungannya denganmu! Kalau kau memang berani, datanglah di lembah Sungai Yalu-cangpo, tepat di mana sungai suci itu berbalik ke barat. Disanalah kau akan kami tunggu dan kalau kau tidak berani datang, ternyata Bu Pun Su hanya seorang pengecut besar yang berani dan berlagak di tempat dan kandang sendiri saja!” Sehabis mengeluarkan kata-kata ini, Pek Hoa lalu melompat dan menghilang di dalam gelap.
Bu Pun Su tidak mengejar. Ia percaya bahwa keterangan itu tidak bohong. Memang ia pernah mendengar bahwa tempat tinggal tiga orang aneh dari barat itu adalah di sekitar barat Gunung Heng-tuan-san dan sebagai seorang perantau besar ia pernah mengunjungi daerah ini. Ia tahu bahwa daerah ini dekat sekali dengan daerah-daerah asing seperti Nepal, Bhutan dan India, maka sudah sepatutnya kalau tiga orang itu mendirikan tempat pusat di sana.
***
Upacara pernikahan antara Kiang Liat dan Song Bi Li dilangsungkan dengan meriah. Banyak sekali tamu yang datang memberi selamat, dan di antaranya bahkan terdapat Han Le Si Pengemis Sakti. Oleh karena Cap-si Kai-pangcu, empat belas orang ketua perkumpulan pengemis yang lihai juga hadir, maka para tamu tentu saja terheran-heran melihat begitu banyak orang-orang tua berpakaian pengemis, akan tetapi mendapat penghormatan terbesar dari pihak tuan rumah! Tentu saja mereka yang terheran-heran ini adalah orang-orang biasa, karena orang-orang kang-ouw yang hadir di situ tentu saja mengenal tokoh-tokoh besar ini. Siapakah yang tidak mengenal It-gan Sin-kai pengemis tinggi kurus yang bermata satu itu, yang pernah membikin geger istana karena mencuri masuk ke dalam dapur istana untuk menikmati hidangan-hidangan raja. Siapa pula tidak mengenal Pat-jiu Siauw-kait pengemis kate berperut gendut seperti orang cacingan itu, yang kini duduk menghadapi meja sambil minum arak begitu saja dari guci yang besarnya hampir sama dengan tubuhnya? Masih banyak sekali tokoh-tokoh besar, seperti Tiat-tho Mo-kai dan terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Pendeknya, empat belas orang pemimpin pengemis yang disebut Cap-si Kai-pangcu, hadir semua. Juga masih ada belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah kenal dengan Kiang Liat, hadir di situ. Mereka semua ini, termasuk Cap-si Kai-pangcu, menghormati Han Le yang merupakan tokoh tertinggi di tempat itu.
Setelah upacara pernikahan selesai, Han Le mendengar dari muridnya tentang Bu Pun Su, maka ia lalu meninggalkan tempat itu untuk mencari suhengnya. Han Le sudah menyelesaikan tugasnya, sudah memberi tahu kepada tokoh-tokoh pimpinan partai besar untuk berhati-hati dan siap siaga menghadapi pengaruh-pengaruh asing dari barat.
Semenjak saat pertemuan kedua mempelai, Bi Li yakin bahwa ia benar-benar telah mendapatkan seorang suami yang baik. Dan dugaannya ini ternyata tepat, karena memang Kiang Liat amat mencintanya. Tidak mengherankan apabila suami isteri ini hidup penuh kerukunan, saling mencinta dan amat sedap dipandang mata betapa sepasang suami isteri yang keduanya sama tampan ini setiap hari berjalan-jalan di taman bunga sambil tersenyum-senyum dan mengeluarkan kata-kata bermadu.
Karena Kiang Liat sudah tidak ada ayah bundanya, maka Kakek Song, dibantu pula oleh Bi Li membujuknya agar jangan buru-buru sepasang suami isteri itu pindah ke Sian-koan. Kiang Liat tidak keberatan, karena baginya tidak ada perbedaannya. Hidupnya sekarang hanya untuk isterinya seorang, di mana saja ia tinggal asalkan bersama isterinya, ia sudah puas dan bahagia.
Juga ia tidak keberatan ketika isterinya menyatakan kesayangannya kepada Ceng Si dan hendak menjadikan gadis ini pelayannya dan juga kawannya bercakap-cakap apabila Kiang Liat sedang keluar rumah. Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat tidak suka kepada gadis pelayan ini. Sikap gadis ini mengingatkan ia kepada Pek Hoa, wanita siluman itu. Senyuman dan lirikan mata Ceng Si yang juga manis sekali itu, apabila ditujukan kepadanya, bukan lagi merupakan senyum dan kerling sopan dari seorang pelayan wanita terhadap majikannya, melainkan senyum dan kerling seorang wanita muda yang berusaha memancing hati seorang pria!
Di bagian depan telah dituturkan betapa lihai dan licin adanya pelayan muda ini, Ceng Si telah melihat keadaan Kiang Liat, tentu saja memilih majikannya ini daripada Cia Sun. Ia pikir lebih baik memikat hati majikannya ini yang terang-terangan sudah menjadi suami nona majikannya. Kalau ia bisa menarik hati Kiang Liat dan menjadi kekasih atau bini mudanya, hidupnya terjamin dan ia akan menjadi seorang nyonya ke dua yang terhormat. Dengan kecantikannya yang lumayan ia berdaya upaya untuk menarik hati Kiang Liat.
Akan tetapi alangkah kecewa dan mendongkolnya hati gadis pelayan ini ketika pada suatu hari, dalam pertemuan empat mata dengan Kiang Liat di ruang belakang, majikannya ini membentaknya perlahan,
“Ceng Si, jangan kau main gila! Aku tidak suka kau tersenyum dan memandang kepadaku seperti itu. Nyonyamu akan menjadi salah mengerti dan akan marah kepadamu. Jangan kau berani ulangi lagi, mengerti?”
Tentu saja Ceng Si merasa seakan-akan mukanya ditampar. Sambil menangis ia berlari masuk ke dalam kamarnya, di mana ia membanting diri di atas pembaringan dan mengangis terisak-isak. Hatinya perih sekali, apalagi kalau ia teringat bahwa impiannya buyar seperti asap tertiup angin. Ternyata suami nonanya itu bukan laki-laki biasa, bukan laki-laki mata keranjang seperti kebanyakan laki-laki di masa itu.
Akan tetapi Ceng Si tidak kehilangan akal. Ia mulai membujuk Bi Li, bahkan akhirnya berani mengancam dengan menyindir bahwa kalau Bi Li tidak mau membantunya, ia akan membuka rahasia tentang hubungan nonanya ini dengan Cia Sun dahulu sebelum menikah! Akhirnya, Bi Li menjumpai suaminya dan ketika mereka bercakap-cakap gembira, Bi Li berkata perlahan,
“Suamiku, kelak kalau kau mempunyai niat untuk mengambil seorang isteri ke dua, aku baru merasa rela dan senang hati kalau kau mengambil Ceng Si sebagai bini mudamu.”
Kiang Liat terkejut sekali dan ia membelalakkan matanya. “Eh, apa, apa yang kauucapkan ini? Bagaimana kau bisa bicara seperti ini, isteriku? Bagaimana kau bisa bicara tentang aku mengambil bini muda?”
Bi Li memeluk suaminya dan terseyum. “Mengapa begitu saja kau kaget? Bukankah sudah menjadi kebiasaan umum di kalangan bangsawan dan hartawan untuk mengambil bini muda sampai tiga empat orang? Tentu saja aku lebih bersukur kalau kau tidak melakukan ini, akan tetapi kalau terpaksa... ambillah Ceng Si, pelayanku yang setia itu.”
“Omongan apa ini? Aku takkan menikah lagi dengan siapapun juga! Aku cinta kepadamu dan kau seorang bagiku sudah cukup. Mengapa mesti menurut kebiasaan gila itu? Apalagi harus mengambil Ceng Si? Ah...! Tidak, seribu kali tidak!” kata-katanya ini diucapkan keras-keras dan mereka tidak tahu bahwa Ceng Si mendengarkan di luar jendela. Gadis ini menjadi pucat mendengar ucapan keras dari Kiang Liat dan untuk kedua kalinya, ia menangis di kamarnya.
Setelah yakin bahwa usahanya mendekati Kiang Liat tidak berhasil dan harapannya untuk menjadi isteri ke dua dari Kiang Liat sudah tidak mungkin lagi, Ceng Si mengambil jalan ke dua. Kini ia mengalihkan perhatiannya kepada Cia Sun dan mulailah ia mengadakan hubungan dengan siucai itu. Mulailah ia memeras Bi Li untuk memberi uang dan perhiasan kepada Cia Sun melalui dia. Bahkan ia berani menyampaikan pesan Cia Sun, minta perhiasan rambut kupu-kupu dan bunga cilan yang amat indahnya itu.
Bi Li tidak berani menolak. Nyonya muda ini maklum bahwa ia telah berada dalam kekuasaan Ceng Si dan Cia Sun. Sekali saja ia menolak permintaan mereka dan mereka menyampaikan rahasianya kepada suaminya, akan celakalah dia! Bi Li terlalu mencinta suaminya dan baru sekarang terbuka matanya bahwa dahulu dia tertipu. Bahwa Cia Sun mencintanya karena dia cantik dan terutama sekali karena dia kaya. Dan ia pun kini tahu pula bahwa antara Cia Sun dan Ceng Si terdapat perhubungan yang kotor. Baru terbuka matanya betapa rendah dan jahatnya siasat dua orang itu terhadapnya, dan dia menyesal. Pernikahannya dengan Kiang Liat membuat Bi Li merasa berbahagia sekali, akan tetapi ia menjadi gelisah kalau teringat akan ancaman-ancaman dari Ceng Si dan Cia Sun.
Ia tahu bahwa nasibnya terletak di dalam genggaman tangan Ceng Si, pelayan ini telah berhasil mendapatkan surat yang dahulu ia tulis untuk Cia Sun, dan dengan surat inilah Ceng Si selalu mengancamnya apabila minta sesuatu.
Bi Li tidak berani membuka semua rahasia ini kepada suaminya. Kalau saja ia berani melakukan hal ini, kiranya semua akan beres dan takkan timbul urusan besar. Ia belum dapat menyelami jiwa yang gagah dari suaminya, tidak mengenal akan watak orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang menjunjung tinggi kegagahan dan menghargai kejujuran. Bi Li merasa ngeri untuk menceritakan tentang urusannya dan kesulitannya itu kepada suaminya. Ia takut kalau-kalau disangka yang bukan-bukan, disangka berlaku tidak senonoh di waktu dahulu. Padahal, kalau ia bercerita terus terang, Kiang Liat akan dapat mempertimbangkannya dengan bijaksana. Sayang seribu sayang bahwa Bi Li tidak berani membuka rahasia, bahkan menutupinya dengan penuh rasa khawatir, dan ia memberikan apa saja yang dikehendaki oleh Ceng Si dan Cia Sun sehingga banyak uang dan perhiasan mengalir keluar!
Keadaan ini berlangsung terus tanpa diketahui oleh Kiang Liat dan beberapa bulan kemudian Kiang Liat mengajak isterinya pindah ke Sian-koan. Tadinya Kiang Liat segan mengajak Ceng Si, akan tetapi atas desakan Bi Li, terpaksa Ceng Si ikut juga, menjadi pelayan pribadi Bi Li.
Setahun kemudian, Bi Li melahirkan seorang anak perempuan yang mungil sekali. Suami isteri itu merasa girang dan Kiang Liat memberi nama puterinya itu Kiang Im Giok. Mula-mula Bi Li memang khawatir kalau suaminya kecewa, karena pada masa itu, para ayah ingin melihat anaknya lahir laki-laki. Namun ternyata Kiang Liat berbeda dengan orang lain. Ia sama sekali tidak kelihatan kecewa dan untuk ini Bi Li merasa amat berterima kasih. Cinta kasihnya terhadap suaminya makin menebal. Hidup nyonya muda ini tentu akan penuh kebahagiaan kalau saja ia tidak diganggu oleh Ceng Si dan Cia Sun.
Cia Sun telah mendapatkan banyak uang yang diperasnya dari Bi Li melalui Ceng Si, berubah menjadi seorang pemuda pemogoran dan pemalasan. Uang itu cepat sekali habisnya, dihambur-hamburkannya seperti orang membuang pasir belaka. Setelah Bi Li dan suaminya pindah ke Sian-koan, ia pun menyusul ke kota itu, menyewa kamar di dalam sebuah hotel itu. Ia membeli seekor kuda yang bagus dan kerjanya setiap hari hanya berpesiar! Perhubungannya dengan Ceng Si dilanjutkan tanpa ada halangan.
Pada suatu hari, ketika Bi Li dan suaminya sedang menimang-nimang puteri mereka, Bi Li berkata dengan nada penuh keheranan,
”Suamiku, Im Giok mempunyai muka yang hampir sama dengan Enci Pek Hoa.”
Kiang Liat terkejut bukan main. “Apa katamu? Pek Hoa siapa...?”
Bi Li juga terkejut, merasa bahwa ia telah kelepasan bicara, maka dengan muka kemerahan ia berkata,
“Enci Pek Hoa adalah seorang dewi dari kahyangan. Suamiku, jangan kau mentertawakan aku dan mengira aku tahyul dan bicara yang bukan-bukan. Kejadian itu amat ajaib maka selama ini aku tak pernah mengatakan kepadamu, takut kalau-kalau kau akan mentertawakan aku.”
“Coba ceritakan, isteriku. Aku takkan mentertawakanmu. Siapakah dewi itu dan bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?” tanya Kiang Liat dan hatinya berdebar gelisah.
Bi Li lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat yang dipuji-pujinya sebagai seorang dewi yang amat cantik jelita. Kiang Liat mendengarkan penuturan isterinya itu dengan mata terbelalak dan hatinya merasa tidak enak sekali. Tahulah dia sekarang bahwa dahulu Pek Hoa dapat datang mencarinya ke Sian-koan setelah mendengar dari Bi Li bahwa dia adalah murid dari Han Le!
“Pek Hoa-cici baik sekali, suamiku. Dia bilang bahwa kelak dia akan datang menjenguk kalau aku sudah mempunyai anak...”
Makin gelisah hati Kiang Liat. Akan tetapi dia diam saja, tidak berani ia menerangkan kepada isterinya yang lemah itu bahwa sebenarnya orang yang dikira dewi oleh isterinya itu bukan lain adalah seorang iblis wanita yang amat jahat!
Semenjak mendengar penuturan isterinya itu, Kiang Liat selalu bersikap waspada. Tiap malam ia diam-diam melakukan penjagaan, takut kalau-kalau iblis wanita itu datang mengganggunya. Oleh karena kewaspadaannya inilah maka ia mulai melihat sesuatu yang amat mencurigakan di waktu malam. Kadang-kadang ia mendengar suara kaki kuda yang datang dari jauh kemudian berhenti di belakang rumahnya, agak di luar pagar kebun bunga kecil yang berada di belakang rumah. Kadang-kadang pula ia mendengar suara orang bercakap-cakap di tengah malam menjelang pagi!
Hatinya mulai curiga dan pada malam hari itu, ketika mendengar suara kuda berhenti di belakang, ia diam-diam turun dari pembaringan lalu berjalan keluar melalui pintu belakang. Waktu itu telah menjelang fajar dan ia membuka pintu perlahan-lahan, mengintai keluar.
Ia melihat sesosok bayangan keluar dari pintu samping, berlari-lari ke arah taman bunga. Kemudian, bayangan ini bertemu dengan bayangan lain yang memasuki pintu pagar yang agaknya sudah dibuka dari dalam. Hati Kiang Liat berdebar gelisah. Melihat gerak-gerik dua orang itu, mereka adalah orang-orang biasa dan sama sekali tidak seperti gerakan orang yang pandai ilmu silat, apalagi kalau yang datang Pek Hoa tentu tidak demikian caranya.
Ketika ia menyelinap dan bersembunyi di balik batang pohon kembang, Kiang Liat merasa mendongkol bukan main karena ia mengenal bahwa bayangan yang keluar dari pintu samping itu adalah Ceng Si. Pelayan wanita yang muda, genit dan cantik ini telah mengadakan pertemuan dengan seorang laki-laki muda yang datang menunggang kuda!
“Hm, benar-benar sial!” pikirnya. “tidak tahunya pelayan kita ini adalah seorang yang tidak tahu malu sekali. Mengadakan pertemuan dengan laki-laki di tengah malam, mencemarkan nama kehormatan keluargaku! Dia harus diusir pergi!
Dua orang itu bicara bisik-bisik dengan mesra sekali sehingga Kiang Liat malu untuk muncul. Ia menanti sampai Ceng Si yang kelihatan memberikan sesuatu kepada laki-laki itu kembali ke dalam rumah, kemudian ia mendengar laki-laki itu menunggang kudanya kembali yang dibalapkan cepat-cepat pergi dari situ.
Kiang Liat menjadi bingung. Haruskah hal ini ia beritahukan kepada Bi Li? Isterinya kelihatan begitu cinta dan sayang kepada Ceng Si dan kalau saat ini ia beritahukan, apakah tidak akan membikin isterinya berduka?
Kemudian ia teringat akan sesuatu. Ada hal yang amat mengherankan hatinya, yakni persediaan uangnya cepat sekali berkurang bahkan isterinya yang ia tahu mempunyai banyak uang, cepat sekali kehabisan uang. Apakah Ceng Si tidak melakukan pencurian? Tadi ia melihat gadis pelayan itu memberi sesuatu kepada kekasihnya, apakah itu bukan uang atau benda berharga?
Berpikir sampai di sini, kembali Kiang Liat tertegun. Ia sudah lama tidak melihat isterinya memakai perhiasan! Bahkan perhiasan berupa kupu-kupu dan bunga cilan yang dulu ia berikan kepada Bi Li sebagai emas kawin, tak pernah menghias rambut isterinya itu? Ia memang seorang laki-laki yang tidak begitu peduli tentang segala macam perhiasan, maka hal ini terlewat begitu saja dari perhatiannya. Memang pernah secara iseng-iseng ia bertanya kepada isterinya mengapa tidak pernah memakai perhiasan, akan tetapi isterinya menjawab,
“Untuk apakah semua perhiasan itu? Aku sudah menikah dengan kau, bahkan sekarang sudah menjadi ibu, tak perlu lagi kiranya bersolek.”
Jawaban ini menyenangkan hatinya, karena Kiang Liat sendiri suka akan kesederhanaan, maka ia tidak bertanya lebih lanjut. Sekarang melihat peristiwa yang terjadi di taman bunga timbul berbagai dugaan di dalam hatinya. Tak salah lagi, mungkin sekali Ceng Si melakukan pencurian. Siapa tahu kalau isterinya kehilangan semua perhiasan itu, akan tetapi tidak berani bilang karena takut. Isterinya begitu lemah dan begitu sayang kepada Ceng Si.
Kiang Liat tidak dapat tidur. Pada keesokan hatinya, ia bangun dengan kepala pusing. Pagi-pagi sekali Ceng Si sudah datang membawa segala keperluan isterinya, bahkan dengan amat rajin dan telaten pelayan ini mengurus Im Giok dengan penuh kasih sayang. Isterinya juga kelihatan begitu berterima kasih kepada Ceng Si sehingga ia tidak tega untuk menimbulkan urusan itu.
“Lebih baik kutangkap jahanam itu!” pikir Kiang Liat dengan gemas. Benar, itulah jalan satu-satunya agar tidak menyinggung perasaan isterinya. Ia harus menangkap laki-laki yang sering kali datang menemui Ceng Si, kemudian memaksanya mengaku!
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, Cia Sun mengaburkan kudanya dengan cepat. Seperti biasa, malam tadi ia mengadakan pertemuan dengan Ceng Si di taman bunga dan setelah meninggalkan tempat pertemuan rahasia itu, ia membawa sekantung uang dan beberapa potong benda berharga. Sambil membalapkan kudanya, Cia Sun tersenyum-senyum gembira. Betapa ia takkan merasa girang? Ceng Si telah menjadi kekasihnya, dan dengan bantuan kekasihnya ini, ia dapat menggerogoti kekayaan keluarga Kiang. Song Bi Li atau Nyonya Kiang yang sudah berada di dalam cengkeramannya itu tidak berdaya dan terpaksa menuruti segala permintaannya.
“Ceng Si memang manis dan cerdik,” pikir Cia Sun sambil memperlambat larinya kuda karena ia telah tiba di luar kota dan merasa aman. “Surat Bi Li padaku masih ada disimpannya dan dengan surat itu, ia dapat menakut-nakuti Bi Li. Sekali saja surat itu diperlihatkan kepada suaminya, tentu ia akan celaka.”
Biarpun sudah banyak uang yang diperasnya dari Bi Li, namun tetap saja Cia Sun merupakan seorang miskin. Semua uang itu dihabiskan di atas meja perjudian, dipakai foya-foya dengan sahabat-sahabatnya dan pendeknya, Cia Sun hidup sebagai pemuda kaya-raya yang royal dan mata keranjang.
Tentu saja Ceng Si tidak tahu akan hal ini dan sama sekali tidak pernah menduga. Pelayan yang cantik ini mabuk oleh janji-janji Cia Sun yang menuturkan bahwa semua uang dan barang itu disimpannya baik-baik untuk dipergunakan sebagai modal dan bekal hidup kelak apabila mereka telah hidup sebagai suami isteri!
Selagi Cia Sun enak-enak mencongklang kudanya, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali. Cia Sun tidak menyangka buruk dan mengira bahwa ada orang berkuda hendak lewat mendahuluinya, maka ia minggirkan kuda tunggangannya. Benar saja, seorang penunggang kuda membalapkan kudanya menyusul, akan tetapi, tiba-tiba orang itu setelah berada di depan Cia Sun, menghentikan kuda sambil menarik kendali sehingga kudanya berputar dan menghadapi kuda Cia Sun.
Melihat orang muda gagah yang menunggang kuda itu, seketika wajah Cia Sun menjadi pucat dan dadanya berdebar keras. Biarpun belum berkenalan namun diam-diam ia sering kali melihat dan memperhatikan suami Bi Li dan orang yang kini mencegatnya bukan lain adalah Kiang Liat, suami Bi Li! Akan tetapi, sastrawan muda ini dapat menenangkan hati dan memaksa diri tersenyum.
“Tuan siapakah dan ada keperluan apa dengan siauwte?” tanya Cia Sun dengan suara ramah-tamah, sikap seorang terpelajar yang sopan-santun.
Akan tetapi Kiang Liat tidak tertipu oleh sikap ini. Telah beberapa kali Kiang Liat mengintai di dalam taman dan tahulah ia bahwa pemuda itu diam-diam telah mengadakan hubungan rahasia dengan Ceng Si dan gadis pelayan itu memberi barang-barang berharga kepadanya. Tentu saja Kiang Liat merasa marah dan curiga. Dari mana Ceng Si bisa mendapatkan barang-barang berharga dan uang?
“Bangsat kecil, tak perlu kau berpura-pura dan bermanis mulut. Aku sudah melihat dan tahu akan semua perbuatanmu di dalam taman rumahku. Ayo sekarang kau mengaku, siapa namamu dan mengapa kau berani mampus memasuki taman mengadakan pertemuan dengan pelayan kami!” Kiang Liat melompat turun dari kudanya dan memandang kepada Cia Sun dengan sinar mata mengandung ancaman, sedangkan pecut kudanya dipegang erat-erat di tangan kanan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Cia Sun mendengar ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa suami Bi Li ini sudah melihatnya mengadakan pertemuan dengan Ceng Si. Sampai di manakah pengetahuan orang she Kiang ini? Tanpa disadarinya, saking gelisah dan kagetnya, Cia Sun mengerling ke arah kantung uang yang berada di atas punggung kuda.
“Ya, itu pun kauterima dari Ceng Si! Hendak kulihat, apakah isinya!” kata pula Kiang Liat sambil melangkah maju.
Tentu saja Cia Sun tidak menghendaki hal ini terjadi. Ia tahu bahwa barang-barang dan uang yang kini dibawanya adalah milik hartawan muda ini yang diterima oleh Ceng Si dari Bi Li. Maka ia lalu mengambil sikap seakan-akan ia marah besar.
“Manusia kurang ajar! Apakah kau hendak merampok?” bentaknya sambil mencambuk kudanya. “Aku tidak kenal padamu dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Pergi!”
Akan tetapi Kiang Liat mana mau melepaskannya? Sekali mengulur lengan, Kiang Liat sudah menangkap pergelangan tangan Cia Sun dan sebelum sastrawan bermoral bejat ini tahu apa yang terjadi, ia telah diseret turun dari atas kuda!
“Keparat busuk, kau tidak lekas-lekas mau mengaku?” bentak Kiang Liat yang sudah menjadi marah melihat sikap orang itu.
Cia Sun yang terbanting dari atas kuda merasa pantatnya sakit sekali. Sambil meringis ia merayap bangun. Ia maklum bahwa pengakuan berarti mencari celaka, maka ia memberanikan diri, mengangkat dada dan berkata,
“Kau ini orang gila atau orang mabuk? Kalau kau hendak merampok, carilah saudagar-saudagar yang kaya, jangan mengganggu seorang siucai yang miskin seperti aku!”
Makin mendongkol hati Kiang Liat. Melihat sikap pemuda sastrawan ini, terang sekali baginya bahwa ia menghadapi seorang yang curang dan palsu.
“Jahanam, jangan kau berpura-pura lagi. Sudah beberapa kali aku melihat kau mengadakan pertemuan dengan pelayan kami di taman. Kau tidak mau lekas-lekas mengaku? Atau menanti sampai aku turun tangan memukulmu?”
“Mengaku apa? Aku tidak pernah melakukan hal yang kausebutkan tadi. Aku tidak bersalah apa-apa...”
Kiang Liat marah sekali. Kaki kirinya bergerak menendang dan tersungkurlah Cia Sun. Baiknya Kiang Liat masih belum tahu akan semua perbuatan Cia Sun yang disangkanya hanya seorang pemuda yang main gila dengan gadis pelayannya saja. Maka tendangannya itu perlahan saja dan hanya cukup membikin Cia Sun roboh tanpa menderita luka berat. Akan tetapi cukup membikin Cia Sun merintih-rintih karena pahanya yang tertendang terasa sakit bukan main. Beberapa kali ia mencoba untuk bangun, akan tetapi tak dapat sehingga akhirnya ia menjatuhkan diri duduk di atas tanah sambil memandang kepada Kiang Liat dengan muka pucat.
“Hayo lekas mengaku! Jangan menanti sampai aku naik darah dan memukul kepalamu sampai hancur!”
Cia Sun mulai ketakutan. Tempat itu sunyi dan masih pagi sekali, dan melihat sepak terjang Kiang Liat, ia maklum bahwa ia takkan mungkin dapat melawan. Apalagi, memang ia telah mendengar bahwa hartawan muda she Kiang ini adalah seorang ahli silat yang amat tinggi kepandaiannya.
“Ampunkah hamba Wangwe...” katanya dan tiba-tiba sastrawan muda ini berlutut! Kiang Liat memandang dengan hati merasa sebal sekali. Benar-benar ia menghadapi seorang pemuda yang mempunyai martabat rendah sekali.
“Jangan banyak aksi, lekas mengaku!” bentaknya.
“Hamba akan mengaku terus terang. Sesungguhnya, telah lama hamba berkenalan dengan Nona Ceng Si. Hubungan hamba dengan dia sudah berjalan beberapa tahun, semenjak dia belum pindah ke Siang-koan. Hamba tidak melakukan sesuatu yang jahat, dan hubungan hamba dengan Ceng Si berdasarkan suka sama suka... harap Wangwe sudi memberi maaf.”
“Kau selalu menerima bungkusan dan kantung dari Ceng Si, apakah isinya?”
Cia Sun menyembunyikan rasa takutnya. “Hanya... hanya makanan dan masakan, Wangwe. Ceng Si seringkali memberi makanan kepada hamba...”
“Dusta!” bentak Kiang Liat dan dua kali ia menggerakkan tangan, kantung yang masih di atas sela kuda Cia Sun telah diambilnya. Ia membuka kantung itu dan berjatuhanlah isinya ke atas tanah. Uang emas, perak yang jumlahnya tidak sedikit.
“Makanan kaubilang? Hayo bilang, dari mana kau mendapatkan ini semua?”
“Dari... dari... Ceng Si, katanya itu uang simpanannya selama ia bekerja... dia berikan kepada hamba untuk... untuk...”
“Untuk apa?” Kiang Liat tidak sabar lagi.
“Wan-gwe, Ceng Si dan hamba mengambil keputusan untuk menikah dan karena hamba seorang miskin, Nona Ceng Si yang baik itu memberikan uang simpanannya ini kepada hamba untuk mempersiapkan dan memilih hari pernikahan.”
Kiang Liat percaya akan keterangan ini. Memang ia pun sudah menyaksikan sendiri bahwa pemuda ini mengadakan hubungan asmara dengan Ceng Si, maka semua keterangannya tadi masuk di akal. Yang mencurigakan hatinya adalah Ceng Si. Dari mana pelayan itu mendapatkan uang begini banyak? Mungkinkan uang simpanannya?
“Siapa namamu?” tanyanya tiba-tiba.
“Hamba bernama Cia Sun…”
“Sekarang dengarlah. Aku Kiang Liat bukan orang yang boleh kau permainkan begitu saja. Kau sudah berani lancang memasuki taman rumah kami tanpa ijin, pada malam hari pula. Ini saja sudah menjadi alasan cukup kuat untuk membunuhmu sebagai seorang maling atau penjahat. Akan tetapi aku maafkan kau dengan satu syarat bahwa besok pagi kau harus datang ke rumahku dan dengan resmi kau mengajukan pinangan untuk diri Ceng Si. Kau boleh menyuruh seorang perantara wanita untuk mengajukan pinangan itu kepada Hujin (Nyonya). Kalau besok kau tidak melakukan hal ini, awas, aku akan mencarimu dan mengambil nyawamu!”
“Baik, Wan-gwe... baik...” Cia Sun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berlutut terus.
Kiang Liat mencemplak kudanya dan membalapkan kuda itu menuju pulang. Hatinya lega. Ia memang tidak suka sekali melihat Ceng Si menjadi pelayan isterinya. Gadis pelayan ini terlalu genit dan terlalu cantik, pula amat berani. Dengan terang-terangan gadis pelayan itu mencoba untuk menjatuhkan perhatiannya, mencoba untuk menjatuhkan hatinya dengan pelbagai aksi dan gaya, lebih celaka lagi, isterinya entah mengapa, nampak suka sekali kepada Ceng Si sehingga bahkan rela kalau Ceng Si menjadi bini mudanya! Sekarang ia dapat menangkap Cia Sun dan memaksa sastrawan muda itu mengawini Ceng Si. Inilah jalan terbaik.
Kiang Liat amat cinta kepada isterinya, ia tidak mau menyinggung perasaan Bi Li dan biarpun ia merasa curiga dan heran melihat sikap isterinya yang berlebihan terhadap Ceng Si, akan tetapi ia tidak tega untuk bertanya atau mendesak. Ia sudah percaya penuh akan kesetiaan dan kecintaan isterinya kepadanya, maka ia tidak mau memperlihatkan sesuatu sikap yang kurang percaya. Oleh karena ini, setibanya di rumah, ia tidak bercerita sesuatu kepada isterinya teritang pertemuannya dengan Cia Sun.
Pada keesokan harinya, betul saja di rumah gedung keluarga Kiang Liat datang seorang wanita setengah tua yang terkenal di kota Sian-koan sebagai seorang perantara perjodohan. Wanita ini datang untuk mengajukan pinangan atas diri Ceng Si untuk sasterawan Cia Sun! Mendengar ini, Bi Li nampak terheran-heran, akan tetapi juga girang dan ia tidak tahu bahwa diam-diam suaminya memandangnya dengan kerling tajam. “Panggil Ceng Si ke sini...!” kata Bi Li kepada seorang pelayan lain, suaranya nyaring dan jelas sekali bahwa ia bergembira.
Ceng Si tergopoh-gopoh. Gadis ini sudah mendengar dari pelayan yang memanggilnya karena pelayan ini tadi telah mendengar tentang peminangan itu. Ceng Si juga terheran-heran dan bingung ketika Bi Li berkata kepadanya,
“Ceng Si, Bibi ini datang untuk meminangmu atas nama seorang sastrawan muda yang bernama Cia Sun. Biarpun aku dan suamiku berhak mengambil keputusan karena kau tidak berkeluarga lagi, akan tetapi merasa lebih baik kami menanyakan pendapatmu sendiri. Bagaimana?”
Ceng Si kebingungan. Sebentar ia memandang kepada Bi Li dan di lain saat ia menatap wajah pelamar itu. Semua ini diikuti oleh pandangan mata Kiang Liat yang duduk di sudut dan agaknya tidak mau tahu tentang persoalan perjodohan ini.
“Akan tetapi...” kata Ceng Si bingung, “bagaimana ini, Hujin? Saya... saya masih suka melayani Hujin dan belum ada pikiran untuk menikah...” Dari tempat duduknya Kiang Liat dengan heran sekali melihat betapa pandang mata pelayan itu amat tajam dan berpengaruh ketika memandang kepada Bi Li!
“Ceng Si, bukankah hal ini amat baik sekali? Lebih baik daripada kau bekerja di sini? Ingat, usiamu sudah dua puluh tahun dan pelamar ini bukan orang sembarangan. Kiranya sudah amat cocok apabila kau menjadi isteri seorang siu-cai…”
“Betul sekali kata-kata Kiang-hujin,” perantara itu berkata cepat-cepat. “Cia-siucai seorang pemuda yang tidak saja tampan sekali, akan tetapi juga amat terpelajar, sopan-santun dan berbudi mulia. Biarpun dia bukan dari keluarga kaya, akan tetapi ia bukan tidak beruang. Ia menyediakan semua biaya untuk upacara pernikahan!”
“Akan tetapi... aku belum suka berumah tangga sendiri!” kata Ceng Si dan di dalam kata-katanya ini terkandung suara demikian keras dan menentukan. Kiang Liat terkejut sekali karena ia melihat betapa isterinya menjadi berubah air rnukanya dan agaknya isterinya itu tidak berani menentang keputusan Ceng Si! Hal ini menimbulkan kemarahan di dalam hatinya dan berkatalah Kiang Liat,
“Ceng Si, dalam hal ini sekali-kali tidak betul kalau kau berkeras kepala! Agaknya memang kau sudah berjodoh dengan pelamar ini, karena malam tadi aku bermimpi melihat kau bertemu dengan seorang sastrawan muda di dalam taman bunga. Bukankah ini tanda bahwa kau memang berjodoh padanya? Maka kau tidak boleh menampik!”
Perantara itu tertawa dan nampaklah giginya yang ompong. Ia menepuk-nepuk tangan dan berkata, “Bagus sekali! Itulah impian yang amat baik artinya. Nona Ceng Si, setelah Kiang-wangwe sendiri bermimpi seperti itu, jelas bahwa perjodohan ini adalah kehendak Thian! Kau tidak bisa menolak kehendak Thian.”
Hanya Kiang Liat yang tahu betapa wajah pelayan itu menjadi pucat sekali dan jelas nampak kegugupannya ketika mendengar kata-kata Kiang Liat tadi. Hanya untuk sekilas gadis pelayan itu mengerling kepadanya, akan tetapi di dalam kerlingan ini, Kiang Liat menangkap pandang mata yang penuh keheranan, kekagetan, dan kebencian. Adapun Bi Li memandang kepada suminya dengan berterima kasih.
Ceng Si menundukkan mukanya. “Baiklah. Kalau Wan-gwe dan Hujin mendesak, saya pun tak dapat membantah. Nasib hidupku memang berada di tangan kedua majikanku.” Kata-kata yang perlahan ini diikuti oleh mengalirnya air mata.
Hari pernikahan ditetapkan dan beberapa pekan kemudian, dilangsungkan pernikahan antara Cia Sun dan Ceng Si. Setelah pelayan itu dibawa pergi oleh suaminya, Bi Li merasa seakan-akan batu yang selama ini menggencat hatinya telah dilenyapkan. Ia merasa lega sekali dan mukanya yang selama ini agak pucat, kini menjadi agak kemerahan dan bercahaya. Sikapnya terhadap suaminya makin manis dan setiap hari ia nampak gembira sekali. Biarpun terheran-heran dan ingin sekali tahu rahasia apakah gerangan yang tersembunyi di dalam hubungan antara isterinya dan Ceng Si, namun Kiang Liat tidak tega untuk mendesak isterinya membuka rahasia itu. Ia terlalu cinta dan terlalu sayang kepada Bi Li, kepercayaannya sudah bulat.
***
Setelah Ceng Si meninggalkan rumah gedung itu, Bi Li benar-benar kelihatan seperti hidup baru. Ia nampak berbahagia sekali, perhatiannya kepada puterinya bertambah, dan kasih sayangnya terhadap suami pun makin mesra. Tentu saja Kiang Liat merasa beruntung sekali dan sepasang suami isteri ini hidup dalam keadaan tenteram dan penuh kebahagiaan. Puteri mereka, Kiang Im Giok, nampak makin mungil dan manis. Memang luar biasa sekali anak ini. Tubuhnya montok dan sehat, kulitnya halus dan putih kemerahan, bentuk tubuhnya demikian sempurna sehingga sukarlah mencari cacatnya. Biarpun masih kecil, sudah kelihatan betapa sepasang matanya bercahaya dan bening, rambutnya hitam dan subur. Tidak mengherankan apabila ayah bundanya amat sayang kepadanya.
Beberapa bulan lewat tanpa ada peristiwa yang luar biasa. Pada suatu hari, ketika sepasang suami isteri ini sedang duduk makan angin di ruang depan dan menimang-nimang Im, Giok, dari pekarangan luar masuk seorang laki-laki setengah tua berpakaian pengemis. Kiang Liat yang berpendengaran tajam, cepat menoleh dan begitu melihat pengemis itu, wajahnya berubah girang sekali.
“Suhu Han Le datang...” bisiknya kepada Bi Li yang juga memandang dengan heran.
Keduanya berdiri dan menyambut dengan penuh kehormatan. Han Le tersenyum-senyum dan pendekar sakti ini memandang kepada Im Giok dengan pandang mata kagum.
“Aduh, puterimu ini benar-benar mengagumkan sekali, Kiang Liat!” katanya sambil mengelus-elus kepala Im Giok yang baru berusia dua tahun.
Setelah dipersilakan duduk dan dikeluarkan hidangan, Han Le makan minum tanpa sungkan-sungkan lagi, kemudian ia menuturkan maksud kedatangannya.
“Muridku, sekarang ada pekerjaan penting sekali untuk kita. Ketahuilah, dunia kang-ouw sedang menghadapi ancaman dan bahaya hebat dan pada bulan Lak-gwe (bulan enam) nanti adalah saat penentuan apakah dunia kang-ouw akan dapat menyetamatkan diri atau tidak.” Han Le lalu menuturkan tentang pergerakan dari kaum Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang tokoh besar aneh yang menjadi guru dari Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko. Di samping mereka ini, masih banyak sekali tokoh-tokoh Mokauw yang berilmu tinggi. Kini pihak Mo-kauw mulai dengan gerakan mereka memusuhi dunia kang-ouw, dengan jalan mencuri kitab ilmu silat dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai.
“Supekmu Bu Pun Su telah turun tangan dan siap sedia menghadapi mereka. Kita boleh percaya penuh akan kelihaian Bu Pun Su Suheng, akan tetapi, Thian-te Sam-kauwcu dan kawan-kawannya bukanlah orang-orang biasa, melainkan iblis-iblis dan siluman-siluman yang sakti. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu supekmu Bu Pun Su.”
“Akan tetapi, Suhu. Mungkin Suhu merupakan bantuan yang amat berharga bagi Supek, sedangkan teecu...? Baru menghadapi Pek Hoa Pouwsat saja teecu tidak berdaya. Tentu saja teecu sama sekali tidak merasa takut dan untuk membela Supek, teecu siap mempertaruhkan jiwa raga teecu.”
“Betul kata-katamu itu, Kiang Liat. Aku pun tidak begitu bodoh untuk minta kau menghadapi mereka. Aku hanya minta kau membantuku mencari beberapa orang yang kiranya akan merupakan tandingan yang setimpal menghadapi pihak Mo-kauw.”
“Siapakah mereka itu, Suhu? Teecu siap untuk mencari mereka.”
“Orang pertama adalah Swi Kiat Siansu yang kini berada di barat. Orang ke dua Pok Pok Sianjin yang kabarnya berada di utara. Mereka ini takkan mau turun gunung kalau tidak aku sendiri yang datang dan membujuk mereka. Kiranya hanya dua orang inilah yang kepandaiannya sudah setingkat dengan pihak Mo-kauw. Selain mereka berdua, alangkah baiknya kalau bisa mendatangkan Bun Sui Ceng dan The Kun Beng.” Han Le menghela napas panjang ketika menyebut nama dua orang ini.
“Siapakah mereka dan di mana tempat tinggal mereka, Suhu?” Kiang Liat tertarik mendengar nama orang-orang yang amat dipuji oleh gurunya dan yang belum ia kenal itu.
“Mereka adalah orang-orang luar biasa. Keduanya mempunyai hubungan erat dengan supekmu Bu Pun Su. Bun Sui Ceng adalah reorang pendekar wanita gagah perkasa, murid tunggal dari mendiang Kiu-bwe Coa-li tokoh wanita nomor satu di dunia kang-ouw. Adapun yang bernama The Kun Beng adalah murid ke dua dari mendiang Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yakni sebenarnya ia adalah sute (adik seperguruan) dari Swi Kiat Siansu. Namun seperti juga Bun Su Ceng, dia memiliki watak yang amat aneh dan sukar diajak berunding. The Kun Beng dahulu menjadi tunangan Bun Sui Ceng, akan tetapi mereka berpisah dan entah bagaimana keadaan mereka sampai saat ini. Aku tidak sanggup menghadapi mereka, maka kaulah yang kuminta menemui dua orang aneh itu. Kalau kau berhasil membawa mereka pada bulan Lak-gwe menghadapi pihak Mo-kauw, kau berjasa besar sekali, Kiang Liat.”
“Akan tetapi, murid belum pernah mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka berada, Suhu. Bagaimana teecu dapat mencari mereka?”
“Mereka memang orang-orang aneh dan sukar sekali mencari tahu di mana mereka berada. Baiknya aku belum lama ini mendengar bahwa Bun Sui Ceng sekarang bertapa di sebuah pulau kosong yang terletak tidak jauh dari pantai timur di mana Sungai Huai-kiang memuntahkan airnya ke laut. Dan aku percaya bahwa di mana ada Bun Sui Ceng, tentu tak jauh dari situ kau dapat menjumpai The Kun Beng, karena dia ini selalu membayangi bekas tunangan yang dicintanya.”
“Baik, Suhu. Teecu akan berusaha mencari mereka. Akan tetapi kalau sudah bertemu, apakah yang harus teecu katakan?”
“Katakan tentang munculnya tiga iblis yang sekarang menjadi pucuk pimpinan Mo-kauw, tentang perbuatan mereka mencuri kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun Lun-pai. Beritahukan pula bahwa pada nanti hari-hari pertama dari bulan Lak-gwe, pihak Mo-kauw itu menantang kepada kita untuk menentukan keunggulan di tikungan Sungai Yalu Cangpo, di mana sungai itu membelok ke barat, yakni di sebelah barat Gunung Heng-tuang-san.”
“Bagaimana kalau mereka menolak, Suhu?”
“Itulah yang kukhawatirkan. Akan tetapi, coba kau membujuknya. Terutama sekali katakan bahwa supekmu Bu Pun Su yang diancam oleh pihak Mo-kauw, dan bahwa pihak Mo-kauw lihai sekali sehingga Bu Pun Su Suheng takkan kuat menghadapi lawan kalau mereka berdua tidak mau membantu.”
Setelah menceritakan semua maksud kedatangannya, Han Le lalu pergi untuk mencari Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin. Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat akan nama-nama ini. Swi Kiat Siansu adalah murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, sedangkan Pok Pok Sianjin adalah murid dari Hek I Hui-mo.
Kiang Liat sendiri lalu meninggalkan pesan kepada isterinya agar supaya baik-baik menjaga Im Giok. Bi Li menangis dan merasa berat sekali ditinggal pergi oleh suaminya.
“Jangan khawatir, isteriku yang baik. Aku pergi bukan untuk melakukan hal yang berbahaya, melainkan untuk minta bantuan orang pandai. Sungguhpun demikian, tugasku ini penting sekali. Sekarang sudah bulan dua, tinggal empat bulan lagi waktunya, maka aku harus cepatcepat pergi mencari dua orang pandai itu sebagaimana yang diperintahkan oleh Suhu.”
Akhirnya Bi Li melepas suaminya pergi dan Kiang Liat berangkat menunggang seekor kuda yang baik.
***
Sebulan kemudian, Kiang Liat sudah menukar kudanya dengan sebuah perahu yang membawanya terapung-apung di laut sebelah timur. Dari para nelayan ia mendapat keterangan bahwa di dekat pantai di mana air Sungai Huai-kiang mengalir ke laut itu hanya terdapat tiga buah pulau kosong yang tidak ada penghuninya. Hatinya girang karena kalau hanya tiga saja pulau yang berada di situ, mudah kiranya mencari wanita sakti yang bernama Bun Sui Ceng.
Perahu yang dibeli oleh Kiang Liat adalah perahu yang baru dan kuat sekali, layarnya juga masih baru, terbuat dari kain yang tebal. Dayungnya juga baik sekali, maka pelayarannya maju dengan laju. Belum jauh ia meninggalkan pantai, tiba-tiba ia mendengar suara orang bernyanyi. Kiang Liat merasa heran sekali karena dari manakah datangnya suara nyanyian di atas lautan yang sunyi itu? Ia menengok dan terlihatlah olehnya sebuah perahu butut dengan layar bertambal-tambal sedang berlayar meninggalkan pantai. Jarak antara dia dan perahu butut itu masih amat jauh, sehingga orang yang duduk di dalam perahu itu tidak kelihatan jelas, akan tetapi suara orang yang bernyanyi itu demikian jelas terdengar olehnya. Ia merasa terkejut sekali. Mungkinkah ada orang memiliki lwee-kang demikian hebatnya? Atau barangkali kebetulan saja suara itu terbawa oleh angin laut yang meniup kencang?
Karena tertarik, ia memandang penuh perhatian. Setelah perahu butut yang ternyata cepat sekali gerakannya itu datang mendekat, ia melihat samar-samar bahwa penumpangnya adalah seorang laki-laki setengah tua yang pakaiannya tidak karuan, seperti seorang pengemis. Orang. itu mendayung perahunya dan Kiang Liat melihat hal yang amat aneh. Ia tahu bahwa angin bertiup kencang dan perahunya sendiri pun amat laju oleh tiupan angin pada layar. Dalam keadaan seperti ini, dayung tidak perlu digunakan lagi, karena betapapun kuatnya orang mendayung perahu, takkan dapat melawan kekuatan tenaga angin meniup layar. Akan tetapi anehnya, perahu butut yang sudah digerakkan oleh layar yang melengkung terhembus angin, masih terdorong cepat ke depan tiap kali orang itu menggerakkan dayungnya. Ini menandakan bahwa tenaga dorongan dayung itu masih lebih hebat dan lebih kuat daripada tenaga tiupan angin pada layar tambal-tambalan itu!
Tiba-tiba Kiang Liat yang sudah memandang terheran-heran itu, mengeluarkan seruan kaget. Betapa ia takkan kaget kalau melihat perahu butut itu tiba-tiba amblas dengan kepala lebih dulu ke dalam air dan sekejap mata kemudian, perahu berikut layar dan orangnya lenyap dari permukaan air!
“Celaka...!” serunya. “Perahu itu telah karam...!” Akan tetapi ia merasa heran sekali. Bagaimana perahu dapat karam seperti itu? Lebih tepat kalau dikatakan bahwa perahu itu sengaja menyelam dengan kepala di depan. Akan tetapi mungkinkah ini? Mana bisa ada orang menyelam berikut perahu dan layarnya!
“Dukk!” Kiang Liat tersentak kaget. Tanpa ia ketahui karena sejak tadi ia menoleh ke belakang, tahu-tahu kini perahunya menumbuk sebuah benda yang keras, besar dan berat. Ia memandang dan melihat bahwa perahunya telah bertumbukan dengan sebuah perahu besar dan terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh di atas perahu besar itu.
Baiknya Kiang Liat cepat-cepat menggerakkan dayung untuk mengatur gerak perahunya sehingga perahunya tidak sampai tenggelam. Akan tetapi terdengar suara keras dan tiang layarnya patah. Bukan main mendongkolnya hati Kiang Liat. Ia berdiri di dalam perahunya dan berdongak memandang ke atas. Dari perahu besar itu ia mendengar suara tertawa lagi, kemudian lapat-lapat ia mendengar suara khim (alat tetabuhan) yang dimainkan orang, lalu disusul oleh suara nyanyian wanita.
“Kurang ajar! Siapa berani main-main dan sengaja menabrak perahuku?” seru Kiang Liat marah. Tidak ada jawab dari petahu besar yang kini tidak bergerak lagi dan masih menempel dengan perahunya. Saking jengkelnya, Kiang Liat mengayun dayungnya, memukul badan perahu besar sekuat tenaga.
“Krakk!” Perahu besar bergoyang keras, akan tetapi badan perahu tidak apa-apa, sebaliknya dayung yang dipegangnya patah dan ujungnya hancur berkeping-keping. Ketika ia meraba dengan tangannya, ternyata olehnya bahwa badan perahu besar itu berlapiskan besi.
Suara khim berhenti dan sebuah kepala yang besar nongol dari atas pinggiran perahu besar, diikuti makian,
“Demi setan air! Siapakah yang berani mampus memukul perahu!” Suara itu parau dan ketika Kiang Liat memandang ke atas, ia melihat muka yang kulitnya kasar dan bopeng, dengan sepasang mata bundar dan hidung pesek.
“Jahanam!” Kiang Liat balas memaki. “Perahumu yang menabrak perahuku. Apakah kau buta?”
Si Muka Bopeng menyeringai dan Kiang Liat mendengar suara wanita dari atas perahu besar, “Tiat-thouw-gu (Kerbau Kepala Besi), apakah orang she Kiang yang berada di bawah itu?”
Kiang Liat terkejut sekali. Bagaimana ada orang dapat mengenalnya? Siapakah wanita itu?
Si Muka Bopeng yang disebut Tiat-thouw-gu menjawab, “Agaknya betul dia, Wi Wi Toanio. Apakah aku boleh menabrak dan menggulingkan perahunya agar ia mampus di perut ikan?”
“Jangan! Undang ia ke atas, aku ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu silatnya,” jawab suara wanita itu.
Tiat-thouw-gu memandang kepada Kiang Liat, menyeringai, “Eh, bukankah kau orang she Kiang dari Sian-koan?”
“Babi muka hitam, aku betul Kiang Liat dari Sian-koan! Apakah alasannya maka manusia-manusia rendah macam engkau berani menghinaku?”
“Ha, ha, ha, suaramu besar sekali, bocah. Kau mendengar sendiri tadi, Wi Wi Toanio minta kau naik. Beranikah kau?”
“Mengapa tidak berani?” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menggenjot tubuhnya dan dengan gerakan ringan sekali ia telah melompat ke atas. Untuk menjaga diri agar jangan ia dibokong musuh, ia mencabut pedangnya dan memutar pedang sambil melompat ke atas perahu besar. Ketika ia sudah berdiri di dalam perahu, ia menghadapi banyak orang yang kelihatannya rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Di tengah rombongan orang yang menumpangi perahu besar itu, ia melihat seorang wanita setengah tua yang cantik sekali, berdiri dengan sepasang pedang di tangan, sedangkan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki setengah tua berpakaian mewah yang juga tampan dan gagah. Dan di kepala perahu terdapat tiga patung sebesar manusia, patung tiga orang laki-laki yang aneh, yang seorang tinggi kurus seperti tengkorak, yang kedua kurus bongkok bermata sipit dan yang ke tiga, di tengah-tengah, tinggi besar, seperti raksasa. Kiang Liat tidak tahu patung siapakah itu. Akan tetapi melihat wanita dan laki-laki yang nampaknya halus gerak-geriknya itu ia tidak berani sembarangan, bahkan menjura dengan hormat.
“Tidak tahu siapakah Cu-wi sekalian dan mengapa pula mengganggu aku orang she Kiang.”
Wanita itu tersenyum dan nampak ia manis sekali. Kiang Liat dapat menduga bahwa dahulu di waktu mudanya, wanita ini tentu cantik sekali.
“Kiang-enghiong, bukankah kau murid Han Le dan kau disuruh oleh gurumu untuk mencari bala bantuan guna membantu Bu Pun Su?”
Kembali Kiang Liat tertegun. Bagaimana orang ini dapat mengetahui semua urusannya?
“Apa yang sedang kukerjakan, sedikitpun tidak ada sangkut-pautnya dengan Cu-wi sekalian. Sekarang, apa yang Cuwi kehendaki maka menghadang perjalananku?” kata Kiang Liat, sedikit pun tidak merasa gentar menghadapi orang yang dua puluh lebih banyaknya itu.
Terdengar suara orang-orang itu tertawa, dan wanita itu berkata,
“Kiang-enghiong, aku adalah Wi Wi Toanio dan gurumu tentu akan mengerti mengapa aku menghadang pelayaranmu di sini. Sudah lama aku mendengar akan kelihaian Han Le, maka sekarang bertemu dengan kau yang menjadi muridnya, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu. Sesungguhnya, kewajibanku ialah untuk melenyapkan kau di tempat ini, akan letapi aku tidak mau berlaku kejam terhadap seorang muda seperti kau ini. Marilah kita main-main sebentar sebelum aku mengajak kawan-kawanku berunding apa yang akan kami lakukan atas dirimu.”
Kiang Liat menjadi marah sekali. Terang bahwa ia dipandang ringan, dan ia maklum pula bahwa orang-orang ini tentulah bukan kawan, dan kalau bukan musuh besar gurunya, tentu musuh besar Bu Pun Su atau setidaknya anak buah Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu. Teringat akan ini tiba-tiba ia menoleh ke arah tiga buah arca di kepala perahu dan ia berkata,
“Hm, salahkah dugaanku bahwa tiga buah patung itu adalah arca-arca dari Thian-te Sam-kauwcu?”
“Matamu awas sekali, Kiang-enghiong. Memang, mereka itu adalah arca-arca dari ketiga ketua kami yang mulia,” kata Wi Wi Toanio.
“Kalau begitu, kalian adalah anggauta-anggauta Mo-kauw!”
“Benar, bersiaplah kau dengan pedangmu!”
Kiang Liat maklum bahwa tidak ada lain jalan baginya kecuali bertempur mati-matian. Ia sudah banyak mendengar dari suhunya akan kekejaman orang-grang Mo-kauw yang tidak mau memberi ampun kepada orang yang mereka musuhi. Sambil menggereng hebat, Kiang Liat menggerakkan pedang menangkis tusukan Wi Wi Toanio yang sudah mulai menyerangnya. Segera terjadi pertempuran sengit antara dua orang ini. Yang lain-lain berdiri mengelilingi dan menonton.
Sepasang pedang di tangan Wi Wi Toanio benar-benar lihai sekali. Gerakannya cepat dan aneh, tenaga lwee-kangnya pun hebat sekali. Bahkan, dengan terus terang Kiang Liat harus mengaku bahwa dalam hal kecepatan dan tenaga dalam, ia masih kalah oleh lawannya ini. Baiknya ia memiliki ilmu pedang warisan Kiang yang sudah diperkuat dan diperhebat oleh gurunya, maka ia dapat melakukan penjagaan diri yang kuat.
Wi Wi Toanio penasaran dan terheran-heran. Sudah tiga puluh jurus mereka bertempur, belum juga ia mampu mendesak orang muda itu. Laki-laki tadi berdiri di dekatnya, mengeluarkan seruan heran dan berkata dengan suaranya yang halus,
“Aneh sekali, aku berani bertaruh bahwa ini bukan Hun-khai-kiam-hoat Ang-bin Sin-kai!”
Mendengar seruan ini, diam-diam Kiang Liat mengeluh. Tidak saja wanita yang menjadi lawannya ini tangguh sekali, juga seruan laki-laki tadi menyatakar bahwa laki-laki itu pun seorang ahli silat yang pandai. Tidak sembarangan ahli silat dapat mengenal Hun-khai-kiam-hoat, dan laki-laki itu dapat menyatakan bahwa ilmu pedangnya bukan Hun-khai-kiam-hoat. Karena tahu bahwa ia dikepung oleh orang-orang Mo-kauw yang tinggi kepandaiannya, Kiang Liat menjadi nekat. Pedangnya digerakkan dengan cepat dan ia mengeluarkan seluruh kepandalan yang ia dapat dari Han Le selama satu tahun.
Usahanya berhasil baik. Wi Wi 'I'oanio mengeluarkan seruan kaget dan dalam beberapa gebrakan, Wi Wi Toanio dapat terdesak mundur oleh serangan Kiang Liat, orang muda ini telah mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang yang disempurnakan oleh Han Le, yakni pertama-tama ia menyerang dengan gerak tipu Pek-in-koan-goat (Awan Putih Menutup Bulan), lalu disambung dengan Sin-eng-liap-in (Garuda Mengejar Awan), dan akhirnya ia menyerang terus tanpa menghentikan pedangnya dengan gerak tipu Sian-jin-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan). Tiga serangan berantai ini merupakan puncak dari ilmu pedangnya yang oleh Han Le disebut Lian-cu-sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai) dan amat lihai gerakannya. Tiga jurus serangan ini dapat dilakukan terus-menerus dan ganti-berganti karena dari jurus pertama ke jurus ke dua atau ke tiga mempunyai hubungan yang amat dekat dan dapat disambung menurut sesuka hatinya.
Wi Wi Toanio adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Pembaca dari cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng, keturunan dari An Lu Shan. Juga Wi Wi Toanio inilah yang dengan kecantikannya yang luar biasa telah menjatuhkan hati Bu Pun Su dan menyeret Pendekar Sakti itu ke dalam lumpur kehinaan. Semenjak dikalahkan oleh Bu Pun Su, suami isteri ini mempelajari ilmu silat tinggi dan akhirnya mereka bersekutu dengan pihak Mo-kauw, menjadi anggauta pimpinan yang disegani. Pihak Mo-kauw memang mempunyai banyak orang pandai dan mempunyai pengaruh yang luas sekali. Maka tidak begitu mengherankan apabila mereka sudah dapat mencium bau tentang tugas yang dijalankan oleh Kiang Liat untuk mengundang dua orang pandai untuk membantu Bu Pun Su. Maka Wi Wi Toanio bersama suaminya dan beberapa orang Mo-kauw segera ditugaskan untuk mencegat perjalanan Kiang Liat dan kalau perlu membunuh orang muda ini.
Akan tetapi, kini menghadapi serangan Lian-cu Sam-kiam dari Kiang Liat, Wi Wi Toanio terkejut bukan main. Ia masih bergerak cepat untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi gerakan yang aneh dari pedang Kiang Liat masih berhasil membabat ujung lengan bajunya yang hampir membabat putus jari tangan kiri sehingga sambil berseru kaget wanita ini melompat ke belakang dan melepaskan pedang kirinya!
“Gempur dia!” bentak An Kai Seng marah sambil menyerang dengan pedangnya. Di lain saat, Kiang Liat sudah dikeroyok oleh dua puluh orang lebih yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Kiang Liat kewalahan, apalagi perahu ltu bergoyang-goyang karena gerakan banyak orang. Dalam amukannya Kiang Liat berhasil merobohkan dua orang dan ia terdesak sampai ke pinggir perahu.
Tidak ada lain jalan bagi Kiang Liat. Di atas perahu yang berguncang itu, ia tidak dapat bersilat sebagaimana mestinya, maka untuk mencegah agar ia jangan terjengkang ke dalam air, ia lalu melirik ke bawah. Girang hatinya melihat perahunya masih menempel di pinggir perahu besar, maka sambil memutar pedang sehingga para pengeroyoknya mundur, ia lalu melompat ke arah perahu kecilnya itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat tiba-tiba perahu kecilnya bergerak, meluncur maju cepat sekali sehingga tak dapat dicegah lagi, Kiang Liat jatuh ke dalam air! Air muncrat tinggi dan Kiang Liat menelan air asin. Cepat ia menahan napas dan mumbul lagi ke permukaan air, menggerak-gerakkan kaki tangan sehingga ia dapat bertahan mengambang di atas air. Ia bukan seorang ahli renang, namun kalau hanya menahan diri agar jangan tenggelam saja, ia masih bisa.
Dengan hati mendongkol dan juga heran, Kiang Liat melihat bahwa yang membikin perahu kecilnya terdorong maju adalah seorang laki-laki setengah tua. Laki-laki ini tiba-tiba saja muncul di permukaan air bersama perahu kecilnya berikut layar tambal-tambalan dan ia ini bukan lain adalah laki-laki yang tadi bernyanyi-nyanyi dan kemudian tenggelam bersama perahunya!
Dengan enaknya, laki-laki itu mempergunakan perahu mendorong perahu Kiang Liat. Ketika Kiang Liat melihat perahunya, ia bergidik. Perahunya telah penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh badan perahu. Kalau tadi la berhasil melompat ke dalam perahu, ia bersangsi apakah ia akan dapat menangkis hujan anak panah itu.
Kini ia melihat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh kepadanya. Orang setengah tua ini rambutnya awut-awutan, tubuhnya panjang kurus dan mukanya berkeriput. Namun bentuk mukanya masih dan gagah. Ia hanya satu kali terkekeh kepada Kiang Liat, kemudian tubuhnya tiba-tiba saja melayang naik ke perahu besar.
Kiang Liat ternganga keheranan. Ia sudah sering kali melihat ahli-ahli silat tinggi bergerak, akan tetapi baru kali ini ia melihat orang melompat seperti kakek itu. Perahu kecil yang ditinggalkannya sama sekali tidak bergoyang dan ketika kakek tadi melompat, seakan-akan ia bersayap dan terbang ke atas begitu saja!
Terdengar suara gaduh di atas perahu, disambung oleh suara ketawa dan jerit kesakitan. Tak lama kemudian, sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu kakek tadi telah berada di atas perahu Kiang Liat yang penuh anak panah.
“Locianpwe harap tinggalkan nama!” terdengar suara Wi Wi Toanio dari atas perahu.
Orang tua itu tertawa bergelak. “Wi Wi Toanio, aku datang dan pergi tak pernah memperkenalkan nama!”
“Kau tetah menghina dan merusak patung Sam-kauwcu!” terdengar suara lain, suara laki-laki.
Orang itu tertawa bergelak, “Ha,ha, beritahukan kepada Thian-te Sam-kauwcu supaya mereka jangan terlalu sombong dengan patung-patungnya!”
Perahu besar itu tadinya tidak bergerak, akan tetapi kini perahu itu mulai bergerak pergi setelah orang-orangnya memasang layar. Agaknya mereka takut sekali menghadapi orang aneh tadi. Orang itu pun hanya tertawa saja melihat perahu itu pergi dari situ. Kiang Liat memandang kagum dan heran, akan tetapi tak lama kemudian ia mendongkol sekali karena tanpa menoleh kepadanya, laki-laki itu mendayung perahu dan pergi dari situ.
Kiang Liat hendak memperingatkan orang itu bahwa perahu mereka tertukar, akan tetapi ia menahan niatnya. Agaknya orang itu sengaja menukar perahu yang butut itu dengan perahunya yang masih baik, akan tetapi mengingat orang itu telah menolongnya, pantaskah kalau ia ribut-ribut urusan perahu tertukar? Kekuatan orang itu luar biasa sekali dan sebentar saja perahunya telah lenyap dari pandangan matanya.
Biarpun mendongkol, Kiang Liat merasa beruntung juga bahwa peristiwa itu lewat tanpa mendatangkan bencana kepadanya. Perahu yang ia duduki itu butut, akan tetapi layarnya yang tambal-tambalan masih ada. Ia benar-benar tak dapat mengerti bagaimana orang itu tadi dapat menyelam bersama perahunya termasuk layar-layarnya! Angin bertiup dan cepat-cepat Kiang Liat memegang tali layar untuk mengemudikan perahunya, menuju ke pulau kecil yang kelihatan samat-samar dari situ.
Tak lama kemudian sampailah ia di sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon liar. Ketika ia mendaratkan perahunya dan menurunkan layar, ia melihat sebuah perahu penuh anak panah di tepi pantai. Hatinya berdebar. Tak salah lagi, orang setengah tua yang aneh tadi telah mendarat pula di pulau itu!
Baru saja Kiang Liat melompat ke darat, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ia berhadapan dengan seorang wanita baju putih yang kurus. Wanita itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya agak pucat akan tetapi masih kelihatan cantik. Sepasang alisnya dikerutkan dan bibirnya ditekuk sedemikian rupa sehingga kelihatannya galak dan gagah sekali. Tangan kanan wanita itu memegang sebatang cambuk yang ujungnya bercabang-cabang.
“Bocah lancang kurang ajar, berani sekali kau mendarat di pulau tanpa ijin!” wanita itu berseru marah dan cambuknya menyambar ke arah Kiang Liat.
Kiang Liat kaget sekali. Sambaran cambuk itu mendatangkan angin dingin dan cepat ia melompat ke belakang sambil mencabut pedangnya, karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang yang lihai. Akan tetapi, cambuk itu aneh sekali gerakannya. Biarpun sabetan pertama tidak mengenai sasaran, namun seakan-akan lengan wanita itu bisa terulur panjang dan cambuk itu kembali menyerang. Kini ujung cambuk yang begitu bercabang-cabang itu bergerak-gerak seperti ular, menyerang ke jalan darah di tujuh bagian!
Kiang Liat berseru keras dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa tubuhnya kaku. Pedangnya terlilit oleh sebatang ujung cambuk dan pundaknya kena ditotok, membuat ia seketika merasa kaku tubuhnya dan di lain saat itu rebah lemas, pedangnya terampas!
Wanita itu tertawa mengejek, memasukkan pedang rampasan ke dalam sarung pedang yang tergantung di pinggang Kiang Liat, kemudian menyeret tubuh Kiang Liat pada lengannya, dibawa naik ke atas bukit. Di atas bukit itu, seorang laki-laki setengah tua telah menantinya dan Kiang Liat melihat bahwa laki-laki itu adalah orang aneh yang tadi telah menolongnya di atas laut ketika ia dikeroyok orang-orang Mo-kauw.
“Sui Ceng, apakah benar-benar kau begitu tega hati dan berkeras membiarkan aku bersengsara dan mati dalam keadaan hidup?” terdengar laki-laki itu berkata. Kiang Liat menjadi kaget sekali. Tidak tahunya bahwa wanita yang ganas dan lihai ini adalah Bun Sui Ceng, orang dicari-carinya dan yang disebut oleh gurunya sebagai wanita yang lihai. Memang ia wanita lihai sekali, akan tetapi kalau wataknya demikian ganas, tipis sekali harapan minta tolong kepada orang macam ini, pikir Kiang Liat.
“Kun Beng, kau sudah tua, akan tetapi mengapa hatimu tetap muda? Cih, benar-benar tidak tahu malu!” jawab wanita itu.
Kun Beng menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. “Sui Ceng jangan kau salah duga. Sudah lama aku dapat mengalahkan nafsu dan semua kata-kataku terhadapmu bukan sekali-kali didorong oleh nafsu, melainkan didorong oleh hasratku hidup seperti manusia biasa. Apakah kau juga ingin mati dan meninggalkan dunia begitu saja tanpa meninggalkan keturunan yang akan menyambung riwayat hidupmu?”
Sui Ceng, atau lengkapnya Bun Sui Ceng murid Kiu-bwee Coa-li, membanting-banting kakinya dan keningnya dikerutkan. “Menyebalkan, menyebalkan! Kun Beng, seperti kau tidak tahu saja. Apa sih baiknya hidup? Penuh penderitaan, penuh kepalsuan, penuh penyesalan dan penuh keributan-keributan! Siapa ingin mempunyai keturunan untuk merasakan semua penderitaan ini? Tidak, cukup diderita oleh kita sendiri, jangan menurunkan nyawa lain untuk mengalami pahit getir seperti yang kita alami. Sudahlah mari kita habiskan hidup dengan berlumba, siapa yang lebih cepat maju!”
Kun Beng kelihatan sedih sekali. “Sui Ceng, tak kusangka bahwa kau berhati yang dingin dan keras. Akan tetapi, aku tetap tidak percaya. Kau sengaja mengeraskan hati, padahal aku yakin bahwa kau masih mencinta padaku. Sui Ceng, apakah sampai puluhan tahun kau masih saja belum dapat mengampuni kesalahan-kesalahanku?”
Mendengar percakapan ini, Kiang Liat menjadi terharu dan juga jengah. Tanpa disengaja, ia mendengarkan percakapan dari dua orang tua tentang cinta kasih, dua orang yang bicara mengenai hal demikian gawat secara begitu saja di depannya, tanpa tedeng aling-aling!
“Kun Beng,” suara Sui Ceng terdengar lembut, agaknya kata-kata Kun Beng tadi mengharukan hatinya. “Bukan aku yang keras hati, melainkan kaulah. Cinta kasihmu sampai puluhan tahun belum padam, benar-benar menandakan bahwa kau berhati sekeras baja. Akan tetapi, seperti juga dulu telah kukatakan kepadamu berkali-kali, kalau tidak salah sudah empat belas kali kau datang menyusul dan membujukku, aku akan menuruti kehendakmu kalau kau sudah bisa mengalahkan cambukku!”
Kun Beng menundukkan kepalanya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala itu. “Sui Ceng, ke mana saja kau pergi, aku mencari dan menyusulmu. Sampal kau lari ke Go-bi-san, ke perbatasan Mongol, ke rimba raya di lembah Huang-ho, aku menyusulmu. Akan tetapi kau tahu bahwa aku tidak dapat menurunkan tangan untuk bertanding silat denganmu, aku tidak dapat mengalahkanmu. Andaikata aku dapat, aku pun tidak akan tega mengalahkanmu. Aku tidak ingin menjadi suamimu karena kekerasan, atau karena kau terpaksa, aku menghendaki kau suka menerimaku sebagai suamimu dengan cinta kasih.”
“Jangan ngaco-belo!” Sui Ceng membentak marah, akan tetapi Kiang Liat maklum bahwa wanita sakti itu terharu sekali, buktinya dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya. “Kun Beng, sudah dua tahun kita tidak bertemu, mari kau melayani cambukku barang seratus jurus!”
Kun Beng menarik napas panjang. “Kau memang doyan berkelahi. Biasanya aku melayanimu supaya kau gembira. Akan tetapi, sekarang aku akan berusaha mengalahkanmu. Siapa tahu kalau-kalau dengan kekalahanmu, akan kalah pula kekerasan kepalamu, Sui Ceng.” Setelah berkata demikian, Kun Beng membuka baju luarnya dan mengeluarkan sebatang tombak yang kelihatannya butut dan kotor, akan tetapi di antara batang yang kotor itu kelihatan kilauan dari logam aselinya.
Sui Ceng mengeluarkan seruan girang dan dengan kaki kirinva ia menendang tubuh Kiang Liat yang tadi menggeletak di depannya karena orang muda ini masih tidak berdaya dan berada dalam keadaan tertotok. Tubuh Kiang Liat terguling sampai lima tombak lebih, akan tetapi ia dapat melompat bangun karena tendangan itu ternyata adalah obat untuk membebaskannya dari totokan. Ia tidak berani sembarangan bergerak hanya duduk di atas tanah dan memandang dengan hati tertarik dan penuh perhatian. Hatinya berdebar. Ia diutus oleh gurunya untuk mencari dan minta bantuan agar dua orang aneh itu, akan tetapi sekarang ia menjumpai mereka dalam keadaan hendak bertarung untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing! Benar-benar aneh sekali dua orang ini.
Sui Ceng adalah murid tunggal terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja ilmu silatnya tinggi sekali. Kepandaian tunggal yang istimewa dari Kiu-bwe Coa-li, yakni permainan cambuk, diturunkan kepadanya, maka dalam hal permainan senjata aneh ini, Sui Ceng amat pandai dan tidak kalah lihainya dari mendiang Kiu-bwe Coa-li. Cambuknya itu ujungnya bercabang sembilan dan setiap ujung merupakan senjata maut yang mengerikan. Jangankan sampai kena pukul, baru terkena totokan saja, setiap ujung cabang dapat mencabut nyawa lawan!
Di lain pihak, kepandaian The Kun Beng sudah disaksikan oleh Kiang Liat. Pendekar ini adalah murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yang telah mewarisi ilmu tombak dari mendiang suhunya. Maka ilmu tombaknya juga jarang ada yang dapat menandingi pada masa itu. Ujung tombak ketika digerakkan tergetar sehingga ujung itu seakan-akan berubah menjadi belasan banyaknya, mengeluarkan suara mendenging yang menyakitkan anak telinga. Setiap tusukan, tangkisan, atau pukulan dari tombak dan gagangnya disertai tenaga lwee-kang yang luar biasa kuatnya.
Demikian, dua orang itu bertempur dengan amat hebatnya. Kadang-kadang keduanya lenyap dari pandangan mata, tertutup oleh selimut dari gulungan sinar senjata mereka. Bahkan Kiang Liat sendiri yang terhitung seorang ahli silat kelas tinggi, menjadi pening dan tidak dapat mengikuti gerakan-gerakan mereka dengan baik. Akan tetapi, setelah bertempur dengan cepat ini sampai puluhan jurus, tiba-tiba mereka kelihatan lagi dan kini pertempuran dilangsungkan tanpa mengalihkan kedua kaki. Mereka berdiri berhadapan dengan jarak dekat dan hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak dan senjata mereka yang menyambar-nyambar pergi datang!
Kiang Liat melongo. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pertempuran sehebat ini. Memang pernah ia menyaksikan kepandaian istimewa dari gurunya, Han Le, terutama ia pernah pula mengagumi kehebatan supeknya, Bu Pun Su. Pernah pula ia menghadapi orang-orang lihai seperti Pek Hoa Pouwsat dan lain-lain, akan tetapi belum pernah ia melihat dua orang sakti bertanding sehebat ini! Padahal pertandingan mereka itu hanya “main-main” belaka, bukan untuk saling membunuh, hanya sekedar mengadu limu atau menguji tingkat saja.
Setelah beberapa puluh jurus dilewatkan dengan pertempuran lambat, kembali mereka bertempur cepat. Tiba-tiba terdengar suara “brett” dan melayanglah sehelai robekan kain.
“Sui Ceng, aku mengaku kalah...” kata Kun Beng yang melompat keluar dari kalangan pertandingan. Yang melayang tadi adalah robekan ujung bajunya, rupa-rupanya terkena sabetan cambuk Sui Ceng.
Sui Ceng merengut, mukanya yang agak pucat itu menjadi merah.
“Kau memang laki-laki tahu! Selalu memperlihatkan sifat lemah dan mengalah. Siapa tidak tahu bahwa kau tadi sengaja miringkan gagang tombakmu sehingga ujung cambukku dapat merobek ujung bajumu? Cih, kau selalu mengecewakan hatiku!”
“Aku memang kalah, Sui Ceng,” kata Kun Beng, wajahnya nampak berduka sekali.
Sui Ceng membanting-banting kedua kakinya. Tiba-tiba ia dan Kun Beng menengok ke arah Kiang Liat ketika mendengar orang muda itu berkata,
“Ji-wi telah memperlihatkan kepandaian yang tiada keduanya di kolong langit. Kepandaian Ji-wi Locianpwe seperti kepandaian dewa saja. Boanpwe Kiang Liat yang bodoh merasa beruntung sekali dapat menyaksikan kepandaian hebat itu.” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menjura dengan penuh penghormatan.
Sui Ceng tiba-tiba tertawa senang, “Ah, benar juga, Kun Beng. Kau selalu sungkan dan mengalah kalau mengadu kepandaian denganku. Sekarang ada orang muda ahli pedang ini, biar dia yang menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita. Eh, orang she Kiang, cabutlah pedangmu!”
Kiang Liat ragu-ragu, akan tetapi melihat sinar mata wanita sakti itu, ia tidak berani membantah. Dicabutnya pedangnya dan ia memandang kepada Sui Ceng dengan mata bertanya.
Kiang Liat tertegun. Selama hidupnya baru satu kali ini ia menghadapi perintah seaneh ini, yaitu ketika ia bertemu dengan Bu Pun Su, supeknya. Sekarang, lagi-lagi ia menghadapi perintah serupa dari Bun Sui Ceng!
“Boanseng mana berani berlaku kurang ajar?” katanya perlahan.
“Bodoh! Aku sedang menguji kepandaian dengan Kun Beng. Hendak kami lihat di antara kami, siapa yang lebih dulu dapat merobohkanmu. Hayo serang!”
Panaslah perut Kiang Liat. Ia merasa dihina sekali, hendak dijadikan permainan oleh dua orang aheh itu, maka tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia lalu menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerak tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya, yakni Lian-cu Sam-kiam. Serangannya ini hebat dan ilmu pedang ini adalah petunjuk dari Han Le, maka tingkatnya sudah tinggi sekali. Kalau tadi Kiang Liat dengan mudah ditawan oleh Bun Sui Ceng dalam segebrakan saja, adalah karena Kiang Liat diserang tiba-tiba dan ia tidak menyangka sama sekali akan kelihaian Sui Ceng. Akan tetapi sekarang, ia sudah maklum bahwa ia menghadapi seorang yang kepandaiannya jauh mengatasinya, maka begitu menyerang, ia mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan semua tenaga lwee-kangnya.
“Ayaaa... bagus sekali ilmu pedang ini!” seru Bun Sui Ceng gembira. Ia melompat, cambuknya terayun dan di tengah udara terdengar suara “tarr-tarr-tarr!” berkali-kali dari ujung-ujung cambuknya. Sui Ceng benar-benar kagum karena ia tidak mengira bahwa orang muda itu mempunyai kiam-hoat yang demikian lihai. Akan tetapi, betapapun hebat ilmu pedang keluarga Kiang yang sudah disempurnakan oleh petunjuk-petunjuk Han Le, tingkat kepandaian Kiang Liat memang jauh lebih rendah. Ia kalah banyak dalam gin-kang, lwee-kang, dan kemahiran gerakan silat. Apalagi memang senjata di tangan Sui Ceng itu benar-benar aneh dan hebat. Dengan mati-matian Kiang Liat membela diri dan membalas dengan jurus-jurus pilihan, namun pada jurus ke tiga belas ia tak dapat mempertahankan diri lagi. Sebatang ujung cambuk di tangan Sui Ceng bagaikan seekor ular telah membelit kaki kanannya dan tanpa dapat dicegah lagi, Kiang Liat terpelanting roboh ketika Sui Ceng menarik cambuknya!
Kiang Liat bangkit berdiri dengan muka merah. Ia tidak merasa sakit. sama sekali, hanya pakaiannya yang menjadi kotor. Setelah mengebut-ngebut pakaiannya, ia menjura kepada Sui Ceng. “Terima kasih atas pelajaran dan petunjuk Locianpwe.”
Sebaliknya, Sui Ceng memandang kepadanya dengan tersenyum girang.
“Baru sekarang aku bertemu dengan seorang muda yang kepandaian ilmu pedangnya demikian tinggi. Tak malu aku mengaku bahwa sampai sekarang pun aku belum dapat mengenal ilmu pedangmu,” katanya.
Terdengar The Kun Beng tertawa terkekeh, “Sui Ceng, biarpun ilmu pedang bocah she Kiang ini lihai, tetap saja dalam tiga belas jurus ia roboh olehmu. Aku mana bisa melakukan hal itu? Sudahlah, aku pun mengaku kalah dalam pertandingan ini.”
“Kau curang!” Sui Ceng membentak, “Mana bisa pertandingan dianggap kalah kalau belum dilakukan? Eh, orang she Kiang, sekarang kaupergunakan pedangmu, seranglah dia si tua bangka itu!”
Diam-diam Kiang Liat merasa kasihan dan terharu mendengar semua percakapan antara dua orang setengah tua ini. Dia sendiri sudah merasakan kebahagiaan berumah tangga, hidup penuh kasih sayang dan saling mencinta dengan Bi Li. Mengapa dua orang aneh ini tak dapat mengecap kebahagiaan itu? Kalau saja aku dapat menjadi perantara atau jembatan agar supaya mereka saling mendapatkan, pikir Kiang Liat.
“Baik, Boanpwe akan menyerang. Awaslah, Locianpwe!” katanya dan pedangnya bergerak cepat menyerang Kun Beng.
“Eh, eh, lihai sekali...” Kun Beng juga memuji dan suaranya gembira. Ahli silat manakah yang tidak gembira menghadapi pertandingan ilmu silat? Ia mengerakkan tombaknya dan terdengar suara berdencing ketika tombak bertemu dengan pedang. Biarpun Kun Beng menangkis perlahan saja, namun Kiang Liat merasa telapak tangannya pedas dan tergetar hebat. Ia terkejut sekali dan bersilat lebih hati-hati. Ia tidak membiarkan pedangnya bertemu dengan tombak.
Akan tetapi setelah bertanding beberapa jurus, tahulah Kiang Liat bahwa lagi-lagi kakek ini mengalah terhadap Sui Ceng. Kalau tadi dengan cambuknya, Sui Ceng menyerangnya dengah hebat, penuh nafsu untuk cepat-cepat merobohkan, adalah Kun Beng ini lebih banyak bertahan daripada menyerang. Kiang Liat tidak mau membiarkan hal ini terjadi, maka pada jurus ke sepuluh, ia tidak menarik kakinya yang kena diserampang oleh tombak dan tergulinglah dia!
Kun Beng berdiri terpaku, Sui Ceng tertawa geli, dan Kiang Liat merayap bangun.
“Kun Beng, kali ini kau menang!” kata Sui Ceng.
“Benar, dan Ji-wi Locianpwe sekarang dapat melanjutkan perjodohan itu!” kata Kiang Liat.
“Bocah lancang, apa maksudmu?” Sui Ceng membentak dan ia telah melompat ke depan Kiang Liat dengan sinar mata bernyala penuh ancaman.
Kiang Liat kaget sekali, tak disangkanya bahwa wanita sakti ini akan marah. “Bukankah tadi Ji-wi Locianpwe hendak mempergunakan Boanpwe sebagai ujian? Bukankah tadi Locianpwe menyatakan bahwa kalau Locianpwe kena dikalahkan, maka perjodohan baru dapat terjadi? Boanpwe hanya mengatakan apa yang tadi boanpwe dengar, maka mohon banyak maaf apabila boanpwe tanpa disengaja berkata lancang.”
“Sui Ceng, orang muda pun merasa kasihan kepada kita, mengapa kau tidak kasihan kepada diri sendiri?” Kun Beng berkata, suaranya gemetar.
Akan tetapi Sui Ceng marah sekali. Cambuknya diayun ke atas kepala, menimbulkan suara yang nyaring, “Kau bocah lancang mulut, berani sekali bicara tentang urusan orang lain. Kau harus diberi hajaran!”
Baiknya sebelum cambuk itu meluncur ke tubuh Kiang Liat, Kun Beng melompat dan menahan Sui Ceng.
“Sabar Sui Ceng. Bocah she Kiang ini datang ke sini karena diutus oleh Lu Kwan Cu!”
“Apa...? Utusan Lu Kwan Cu...?” Sui Ceng menurunkan tangannya yang tiba-tiba kelihatan lemas, matanya terbelalak memandang kepada Kiang Liat. Kiang Liat tidak tahu bahwa Lu Kwan Cu adalah nama asli dari Bu Pun Su, maka ia tidak mengerti. Hanya ia ingat akan pesan suhunya bahwa di depan dua orang ini, ia harus banyak-banyak menyebut nama Bu Pun Su, oleh karena itu ia segera menjawab,
“Ji-wi Locianpwe… boanpwe Kiang Liat diutus Suhu Han Le dan Supek Bu Pun Su untuk mencari Ji-wi.”
“Hm, Bu Pun Su menyuruh kau mencariku, ada urusan apakah?” tanya Sui Ceng sambil mengerutkan keningnya.
Dengan singkat Kiang Liat lalu menuturkan apa yang ia dengar dari Han Le yakni bahwa di dunia persilatan muncul tiga tokoh asing yang lihai dan yang kini menguasai dunia kang-ouw, mengancam semua orang gagah yang tidak mau menggabungkan diri dengan Mo-kauw. Dan bahwa pada bulan enam yang akan datang, pihak Mo-kauw menantang BuPun Su dan orang-orang gagah lainnya untuk mengadakan penentuan siapa yang berhak menguasai dunia kang-ouw, di sebelah barat bukit Heng-tuan-san.
Mendengar ini, Sui Ceng nampaknya tidak tertarik sedikitpun juga.
“Serombongan tikus-tikus busuk macam itu saja, apa artinya bagi Bu Pun Su? Aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa Bu Pun Su seorang diri pun akan sanggup membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Mengapa pula harus orang seperti aku dan Kun Beng membantu?”
”Akan tetapi sekarang keadaannya lain lagi, Sui Ceng,” kata Kun Beng, menggirangkan hati Kiang Liat yang tadinya sudah kecewa, “kali ini musuh-musuh Bu Pun Su agaknya benar-benar hendak berusaha merebut kekuasaan di dunia kang-ouw. Bahkan kedatangan Kiang-enghiong ke sini tak terluput dari perhatian mereka sehingga Kiang-enghiong dihadang di tengah samudera. Tahukah kau siapa yang menghadangnya dan hendak membunuhnya agar dia jangan minta bantuan kita?”
“Siapa? Anak buah Mo-kauw?” tanya Sui Ceng acuh tak acuh.
“Benar, akan tetapi bukan anak buah sembarangan, melainkan An Kai Seng sendiri dan isterinya, siluman betina Wi Wi Toanio!”
Mendengar ini, mata Sui Ceng bercahaya. “Apa? Dan kau tidak bunuh mampus mereka?”
Kun Beng tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak mau membikin kau kecewa, Sui Ceng. Membasmi mereka adalah tugasmu, bukan?”
“Di mana mereka?” Sui Ceng menggerakkan cambuknya.
“Kau dapat bertemu dengan mereka kelak pada awal bulan enam di Yalu Cangpo, tikungan sebelah barat Gunung Heng-tuan-san,” jawab Kun Beng.
“Bulan enam kurang tiga bulan lagi, Heng-tuan-san tidak dekat, mari kita berangkat!” kata Sui Ceng tiba-tiba sambil berlari ke pantai.
Kun Beng memegang lengan Kiang Liat. “Orang muda, mari kita berangkat!” Kiang Liat tak dapat menahan ketika tiba-tiba ia ditarik dengan cepatnya oleh Kun Beng. Akan tetapi hatinya girang sekali karena tidak disangka-sangkanya, tugasnya dapat dipenuhinya demikian mudah. Lebih gembira lagi hatinya ketika di dalam perjalanan menuju ke Heng-tuan-san itu, Sui Ceng dan Kun Beng yang suka melihat orang muda ini, berkenan menurunkan beberapa jurus silat tinggi sehingga Kiang Liat mendapat kemajuan yang luar biasa. Bahkan ia telah menerima pelajaran ilmu lari cepat dari Sui Ceng sehingga ia dapat melakukan perjalanan dengan leluasa bersama dua orang tokoh ini, tak perlu lagi ia digandeng oleh Kun Beng. Ilmu lari cepat dari Sui Ceng yang disebut Yan-cu-hui-po (Tindakan Seperti Walet Terbang) memang luar biasa sekali, dan berkat dari besarnya bakat dasar dalam diri Kiang Liat, pendekar muda ini dapat mempelajarinya dengan amat cepat.
***
Awal bulan Lak-gwe di lembah Sungai Yalu Cangpo! Lembah ini biasanya sunyi, tak pernah didatangi manusia karena memang daerah ini masih liar dan sukar didatangi. Binatang-binatang buas yang aneh dan jarang terlihat di hutan-hutan yang sudah dijajah manusia, masih berkeliaran di tempat ini. Orang tanpa memiliki kepandaian tinggi jangan harap dapat keluar dari hutan ini dengan selamat.
Akan tetapi, pada pagi hari itu, di lembah sungai, tepat di mana sungai itu membelok dan kembali mengalir ke arah barat, keadaan ramai sekali. Di sebuah tempat terbuka di pinggir sungai, kelihatan banyak orang yang duduk di atas rumput. Didepan mereka duduk beberapa orang di atas batu karang. Mereka seakan-akan menanti datangnya orang lain. Bekas-bekas tempat pohon ditebang menunjukkan bahwa tempat ini memang sengaja disediakan untuk pertemuan ini.
Jumlah orang yang duduk di atas rumput ada tiga puluh orang lebih, pakaian mereka bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mempunyai air muka penjahat. Banyak di antara mereka yang tinggi besar dengan muka kasar, gerak-geriknya, duduk sambil minum arak atau mengobrol dengan kata-kata yang kotor dan kasar. Akan tetapi ada pula yang gerak-geriknya halus dan bermuka tampan, namun sinar matanya tetap membayangkan kekejaman dan kebuasan.
Di depan sekali, di atas batu karang, duduk Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang dari barat yang kini menguasai Mo-kauw. Memang mereka ini adalah orang-orang terpenting dari Mo-kauw, yang berkumpul di situ untuk menghadapi musuh. Tak. jauh dari tiga ketua ini, duduk pula Hek Mo-ko, dan Pek Mo-ko, sepasang manusia iblis yang terkenal lihai dan keji.
Selain mereka ini, masih terdapat banyak tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, bahkan di antaranya terdapat pula Kiam Ki Sianjin, seorang yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya! Karena pernah menderita kekalahan ketika menghadapi Bu Pun Su, Kiam Ki Sianjin terpaksa menggabungkan diri dengan Thian-te Sam-kauwcu untuk memperkuat kedudukannya.
Akan tetapi yang paling mencolok di antara mereka semua, adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari yang duduknya terpisah, di sebelah kiri dari tiga ketua itu. Dia ini kelihatannya masih muda, seperti seorang gadis dua puluh tahun, cantiknya benar-benar membuat semua orang laki-laki yang berada di situ menelan ludah dengan hati kagum dan penuh gairah. Akan tetapi tak seorang pun berani memperlihatkan kekagumannya secara berterang, karena gadis ini bukanlah orang sembarangan. Dia ini adalah murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu dan dia bukan lain adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Melihat setangkai bunga putih di rambutnya, orang akan mengenal Dewi Jelita ini, akan memandang dengan penuh kekaguman akan tetapi kalau melihat gagang sepasang pedang yang tersembul di pundak kirinya, orang itu akan merasa ngeri karena sepasang pedang itu entah sudah makan berapa banyak nyawa orang-orang tak berdosa!
“Mengapa sampai sekarang dia belum muncul?” terdengar Hek-te-ong orang pertama dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh tinggi besar, bertanya. Suaranya besar seperti tambur dan kulitnya yang hitam itu mengkilap tertimpa sinar matahari pagi.
“Ha, ha, ha, agaknya Bu Pun Su sudah hilang nyalinya dan takut kepada kita...!” kata Pek-in-ong orang ke dua yang tinggi kurus seperti cecak kering dan mukanya seperti tengkorak. Suaranya tinggi dan nyaring menusuk telinga.
Mendengar ejekan ini, semua orang ketawa dan bergemalah suara ketawa mereka sampai di permukaan air sungai Yalu Cangpo.
Tiba-tiba suara ketawa mereka itu terhenti. Mereka terkejut mendengar suara ketawa lain yang parau dan keras, yang keluar dari permukaan air sungai!
Cheng-hai-ong, orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh kurus bongkok dan bermata sipit menggerakkan tangan. Sebatang hui-to (golok terbang) meluncur ke arah permukaan air. Air itu bergelombang dan hui-to itu tenggelam, tidak ada tanda sesuatu. Kalau betul di permukaan air tadi ada sesuatu, jelas bahwa hui-to itu tidak mengenai sesuatu.
“Bedebah, berani main gila dengan Cheng-hai-ong!” seru kakek kurus bongkok ini sambil berbangkit dari tempat duduknya. Ia hendak melompat dan terjun ke dalam air karena orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini memang seorang ahli dalam air, maka julukannya juga Cheng-hai-ong yang berarti Raja Laut Hijau!
Akan tetapi, ia membatalkan niatnya karena tiba-tiba dari dalam hutan muncul seorang kakek berusia empat puluh tahun lebih bertubuh sedang berpakaian sederhana.
“Thian-te Sam-kauwcu, aku sudah datang tak perlu gelisah!”
Semua orang memandangnya. Bu Pun Su berjalan lambat-lambat naik ke tempat terbuka itu, tongkat kecil di tangan kiri, dipukul-pukulkan di atas tanah ketika ia berjalan. Ia tidak kelihatan membawa senjata, hanya di pinggangnya terselip sebatang suling bulat. Setelah tiba di depan Thian-te Sam-kauwcu, kurang lebih sepuluh tombak jaraknya ia berhenti dan berdiri tegak.
Thian-te Sam-kauwcu sudah lama mendengar nama Bu Pun Su yang menggemparkan dunia kang-ouw dan yang diakui oleh semua tokoh kang-ouw sebagai jagoan nomor satu, akan tetapi baru kali ini mereka bertemu muka dengan pendekat sakti itu.
“Ha ha, ha, ha!” Hek-te-ong tertawa bergelak sambil memegangi perutnya, menahan kegelian hatinya. Ia tidak hanya geli, akan tetapi juga sengaja mentertawakan orang yang baru datang untuk menguji perasaan Bu Pun Su.
“Inikah yang bernama Bu Pun Su? Lucu sekali! Agaknya sudah tidak ada lagi orang gagah di Tiong-goan sehingga bocah macam ini menjadi jago nomor satu. Ha, ha, ha!”
“Siluman hitam, sombong sekali mulutmu!” terdengar bentakan nyaring seorang wanita dan nampak bayangan berkelebat cepat tahu-tahu Bu Sui Ceng telah berdiri di dekat Bu Pun Su, cambuknya bergoyang-goyang di tangan kanannya.
Thian-te Sam-kauwcu tercengang. Gerakan wanita yang baru datang ini benar-benar hebat, membuktikan bahwa gin-kang dari wanita ini sudah sampai di tingkat tinggi sekali. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Bu Pun Su memang sengaja tidak memperlihatkan kepandaian, berbeda dengan Bu Sui Ceng yang wataknya keras.
Di belakang Sui Ceng, menyusul datang The Kun Beng yang diikuti oleh Kiang Liat. Melihat Sui Ceng, Bu Pun Su memandang dengan muka tak berubah, akan tetapi wajahnya berseri ketika ia melihat Kun Beng datang bersama Sui Ceng.
“Bagus, kalian datang, ini tanda bahwa kiamat telah tiba bagi Thian-te Sam-kauwcu,” kata Bu Pun Su kepada Sui Ceng dan Kun Beng.
Belum habis gema suara Bu Pun Su ini, berturut-turut muncul Swi Kiat Sian-su dan Pok Pok Sianjin, diikuti oleh Han Le! Sui Ceng tidak mau membuang banyak waktu. Ia melangkah maju menghampiri tempat duduk Thian-te Sam-kauwcu. Di depan tiga orang Ketua Mo-kauw ini, di atas tanah, terbentang sehelai kain dan di atas kain berwarna hitam itu terletak sebuah kitab dan sebatang pedang. Sekali melihat saja, Sui Ceng sudah dapat menduga dan ia berkata nyaring,
“Inikah kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun-lun-pai yang dicuri oleh kaum siluman?” Kembali ia melangkah maju.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang lambat dan perlahan, akan tetapi menyeramkan. Yang tertawa adalah Cheng-hai-ong. Tangannya bergerak dan belasan benda warna hijau menyambar ke arah kitab dan pedang. Ketika Sui Ceng melihat, ternyata bahwa sekeliling kain tempat kitab dan pedang itu telah terkurung oleh anak-anak panah berwarna hijau yang menancap di atas tanah, begitu rapi seperti ditancapkan dan diatur dengan tangan. Dengan adanya anak-anak panah itu, maka kitab dan pedang itu terkurung rapat! Demonstrasi kepandaian ini tidak aneh kalau orang tahu bagaimana cara mempergunakannya. Biasanya, anak panah hanya diluncurkan dengan bantuan busur, akan tetapi melepaskan belasan batang anak panah sekaligus hanya dengan lontaran tangan dan dapat mengenai sasaran demikian tepatnya, jarang sekali ada orang dapat menirunya. Selain membutuhkan latihan, juga membutuhkan lwee-kang yang amat tinggi.
“Hah, pertunjukan kanak-kanak macam itu siapa sih yang hargai?” kata Sui Ceng. Cambuknya bergerak. Terdengar suara, “Tar! Tar!” beberapa kali dari sembilan ujung cambuknya dan tanpa mengenai kitab dan pedang, anak-anak panah yang tertancap di sekeliling kain hitam itu lenyap beterbangan ke kanan kiri!
“Heh-heh-heh, terima kasih atas pertunjukan ini. Kau tentu murid Kiu-bwe Coa-li!” kata Cheng-hai-ong dengan senyum mengejek, sungguhpun di dalam hatinya ia merasa kagum sekali.
Pada saat itu, terdengar suara orang datang ke tempat itu dan ketika semua orang memandang, ternyata datang pula dua rombongan orang, masing-masing rombongan terdiri dari sepuluh orang. Rombongan pertama adalah rombongan hwesio dari Siauw-lim-pai yang dikepalai oleh dua orang hwesio tua bertubuh gemuk. Rombongan ke dua adalah rombongan tosu dari Kun-lun-pai yang dikepalai oleh seorang tosu tua yang kurus dan tinggi.
Pada saat semua orang memandang kepada rombongan ini, dari pihak Mo-kauw meloncat keluar seorang wanita setengah tua yang cantik. Wanita ini adalah Wi Wi Toanio yang memegang sebuah tusuk konde perak, dipegang di tangan kanan dan diangkat tinggi-tinggi.
Dia melompat ke depan dan memandang ke arah rombongan Bu Pun Su, matanya mencari-cari dan ia berseru heran,
“Di mana dia...?”
Tak seorang tahu apa yang dimaksudkan oleh Wi Wi Toanio, akan tetapi pada saat itu, Bun Sui Ceng dan yang lain-lain juga merasa heran karena tanpa mereka ketahui, Bu Pun Su telah menghilang dari situ. Tak seorang pun tahu ke mana perginya pendekar sakti ini!
Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu maklum mengapa Bu Pun Su melenyapkan diri. Pendekar sakti ini tadi melihat Wi Wi Toanio berada di antara rombongan Mo-kauw, maka melihat wanita itu muncul sambil mencabut tusuk konde, ia lekas-lekas melarikan diri dengan cepatnya. Sebagaimana diketahui dalam cerita Pendekar Sakti, Bu Pun Su pernah terlibat dalam urusan asmara dengan Wi Wi Toanio dan pernah bersumpah di depan wanita ular berbahaya ini bahwa ia akan selalu menuruti kehendak Wi Wi Toanio. Adapun tusuk konde itu adalah hadiahnya kepada Wi Wi Toanio dan di depan tusuk konde itulah ia bersumpah! Oleh karena itu, apabila Wi Wi Toanio mengeluarkan benda ini di depannya, apapun juga yang terjadi, Bu Pun Su selalu akan tunduk dan menyerah, sesuai dengan sumpahnya yang tak mungkin ia langgar sendiri.
Di antara semua orang yang berada di situ, yang tahu sebab perginya Bu Pun Su, hanyalah Han Le seorang. Kepada sute ini saja Bu Pun Su membuka rahasianya, menceritakan dengan terus terang akan kebodohannya sehingga ia dahulu di waktu mudanya masuk ke dalam perangkap Wi Wi Toanio. Oleh karena itu, kini Han Le tampil ke muka, mewakili Bu Pun Su dan berkata kepada Thian-te Sam-kauwcu,
“Thian-te Sam-kauwcu, kiranya kalian sudah tahu betul apa maksud kedatangan kami, terutama sekali mengapa rombongan saudara dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai datang ke sini. Tak perlu bicara panjang lebar, adalah milik kedua partai itu yang kalian curi secara tidak tahu malu. Kini kalian menghendaki kami datang, sebenarnya apakah kehendak kalian?”
Hek-te-ong berdiri dari batu karang yang didudukinya tadi. Wajahnya yang hitam itu menyeringai lebar, sama sekali tidak memandang mata kepada Han Le.
“Ha, ha, ha, entah ke mana perginya Bu Pun Su, akan tetapi kiranya dia takut kepada kami. Kami tak perlu pula bicara panjang lebar, tak perlu menyembunyikan maksud kami. Memang kitab Siauw-lim-pai dan po-kiam (pedang pusaka) Kun-lun-pai telah kami bawa ke sini, karena tanpa mengambil dua benda ini, kiranya kalian takkan mau menerima undangan kami. Ketahuilah, sudah lama kami mendengar betapa golongan kalian memandang rendah kepada kami kaum Mo-kauw, banyak penghinaan telah kami alami. Akan tetapi sekarang tiba waktunya kami untuk memperlihatkan, siapa sebetulnya yang lebih kuat. Kitab dan pedang dapat kami ambil tanpa kalian mengetahui, ini saja sudah membuktikan bahwa kami kaum Mo-kauw tidak boleh dipandang rendah. Sekarang, terus terang saja kami menuntut agar kalian suka berjanji bahwa selanjutnya pihak kalian tidak boleh mengganggu kami dan mengakui kami sebagai sebuah partai persilatan terbesar di dunia kang-ouw. Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai adalah partai-partai terbesar maka kedua partai itulah yang kami tuntut supaya sekarang mengakui kami sebagai pimpinan partai terbesar!”
Han Le tersenyum mengejek, “Hek-te-ong, kau bicara sombong sekali. Belum pernah orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengganggu siapapun juga, kecuali mereka yang jahat dan sesat. Kalau Mo-kauw merasa terganggu, itu tandanya bahwa sepak terjang anggauta Mo-kauw memang tidak patut. Bagaimana kau menghendaki kami berjanji tidak akan mengganggu? Lebih baik kalian yang berjanji selanjutnya akan memperbaiki sepak terjang, tentu kami takkan sudi mengganggu.”
“Betul, betul sekali!” kata hwesio tua dari Siauw-lim-pai.
“Memang tepat, Kun-lun-pai hanya membasmi orang-orang jahat tidak peduli dari golongan apa,” kata tosu tua dari Kun-lun-pai.
Pek-in-ong yang tinggi kurus seperti tengkorak melompat maju dan ketawa dengan suaranya yang tinggi menusuk telinga. “Aha, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merasa diri sebagai orang-orang bersih di dunia ini dan memandang orang lain sebagai orang-orang jahat. Apakah tidak ada anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang jahat?”
“Kalaupun ada, kami selalu menangkap dan menghukumnya,” kata hwesio Siauw-lim-pai dengan suaranya yang keras.
“Bagus! Bicaralah seperti kau sendiri yang menjagoi di dunia! Hendak kulihat apakah kau sanggup mengambil kembali kitabmu!” kata Pek-in-ong menantang. Memang di antara Thian-te Sam-kauwcu, orang ke dua ini paling berangasan.
Hwesio Siauw-lim-pai yang gemuk itu melangkah maju dan mengebutkan lengan bajunya.
“Omitohud, datang-datang ditantang oleh tuan rumah. Siapakah Sicu? Apa kedudukanmu dalam Mo-kauw? Pinceng Kok Beng Hosiang dari Siauw-lim-pai ingin belajar kenal.”
“Aku adalah Pek-in-ong, ketua nomor, dua dari Mo-kauw. Tak perlu banyak aturan, kitab Siauw-lim-pai sudah terletak di depan kita. Kalau kau memang berkepandaian, cobalah kauambil kembali.”
Kok Beng Hwesio adalah tokoh ke tiga dari Siauw-li-pai, murid ke dua dari Ketua Siauw-lim-pai, yakni Hok Bin Taisu. Dengan tenang ia melangkah maju dan membungkuk, tangan kanannya menyambar ke arah kitab yang terletak di atas kain hitam itu. Biarpun ia membungkuk mengambil kitab, namun sesungguhnya ini adalah gerakan dari Siauw-lim-pai yang disebut Tit-ci-thian-te (Jari Menuding ke Tanah), suatu sikap bhesi yang amat kuat, siap-sedia menghadapi serangan lawan.
Secepat kilat, Pek-in-ong melangkah maju dan sekali ia menggerakkan tangan yang kanan menepuk ke arah ubun-ubun kepala hwesio gundul itu, sedangkan tangan kiri menyambar ke arah pundak dengan totokan yang lihai.
“Bagus!” seru Kok Beng Hosiang. Hwesio ini membatalkan niatnya mengambil kitab dan cepat merubah kedudukan tubuh, dua tangan diayun menangkis.
“Plak!” Dua pasang lengan yang penuh dialiri tenaga lwee-kang bertumbukan. Pek-in-ong tidak bergeming, akan tetapi Kok Beng Hosiang mundur dua tindak! Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa tenaga lwee-kang dari tokoh ke dua kaum Mo-kauw itu jauh lebih tinggi.
Pihak Siauw-lim-pai terkejut sekali. Kok Beng Hosiang juga kaget dan cepat ia meloloskan senjatanya yang tadi dililitkan pada perutnya yang gendut, yakni sebuah rantai baja.
“Omitohud, kau kuat sekali. Terpaksa pinceng minta bantuan pian untuk merampas kembali kitab pusaka!” Rantai itu dipukulkan ke tanah dekat kitab dan aneh! Kitab itu mencelat ke atas. Selagi Kong Beng Hosiang hendak menyambar kitab dengan tangan kiri, Pek-in-ong sudah mendahuluinya, menyambar kitab dengan tangan kanan, melemparkannya kembali ke atas kain dan cepat kedua tangannya bergerak menyerang ke arah iga dan lutut!
Kok Beng Hosiang cepat melangkah mundur dan kini tanpa sungkan-sungkan lagi rantainya menyambar dengan serangan hebat yang disebut Sin-coa-wi-jauw (Ular Sakti Melilit Pinggang). Rantainya menyerang dengan kuat, membabat pinggang lawan. Pek-in-ong yang masih bertangan kosong itu tidak mengelak sama sekali, membiarkan rantai itu mengenai pinggang dan sekejap kemudian pinggangnya telah terpukul dan terlibat rantai! Akan tetapi alangkah kagetnya Kok Beng Hosiang ketika merasa betapa rantainya mengenai benda yang amat lunak sehingga, tenaga sabetannya tertelan habis, kemudian tiba-tiba ia melihat sepasang lengan yang menyerang cepat sekali ke arah ulu hatinya, disusul oleh tendangan ke arah anggauta rahasia!
“Ayaa...!” Kok Beng Hosiang terpaksa melepaskan rantainya dan melompat jauh ke belakang, karena hanya jalan inilah yang dapat membebaskan ia dari maut.
“Ha, ha, ha, hanya demikian saja kepandaian tokoh Siauw-lim-pai? Ha, ha, ha!” Sambil berkata demikian, Pek-inong mempergunakan jari-jari tangannya yang kurus panjang untuk mematahkan rantai itu menjadi berkeping-keping, seperti orang mematahkan sebatang hio saja!
Han Le dan yang lain-lain terkejut sekali. Bukan main kehebatan lwee-kang dari Pek-in-ong. Kun Beng sendiri harus mengakui bahwa kepandaian Pek-in-ong tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri!
Bok Beng Hosiang, suheng dari Kok Beng Hosiang melompat maju dengan toya kuningan di tangannya. Ia marah sekali dan membentak,
“Pek-in-ong, kau terlalu menghina Siauw-lim-pai! Biar pinceng mencoba untuk merampas kembali kitab pusaka!”
Pek-in-ong tertawa, “Hwesio gundul, nanti dulu. Jangan bergerak sembarangan, harus diadakan perjanjian dulu. Kau siapakah? Apakah kau memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada Kok Beng Hosiang?”
Bukan main gemasnya hati Bok Beng Hosiang. “Orang sombong, dengarlah, Pinceng adalah Bok Beng Hosiang, barusan suteku telah kaukalahkan, biar sekarang pinceng yang mencoba kelihaianmu.”
“Nanti dulu, harus dengan perjanjian. Kalau aku kalah, kau boleh mengambil kitabmu yang butut, akan tetapi kalau kau kalah, kau sebagai wakil Siauw-lim-pai harus bertekuk lutut dan mengakui kami sebagai orang-orang yang lebih berkuasa dan mengakui Mo-kauw sebagai partai yang lebih tinggi dan kuat- daripada Siauw-lim-pai. Bagaimana?”
Muka Bok Beng Hwesio sebentar merah sebentar pucat. “Keparat, kami orang-orang Siauw-lim-pai tidak takut mati untuk membela kebenaran dan membasmi siluman-siluman seperti kau! Biarpun mati, pinceng takkan sudi bertekuk lutut dan selamanya Siauw-lim-pai takkan mengakui Mo-kauw yang sesat sebagai partai besar. Terimalah senjataku!” Sambil berkata demikian, Bok Beng Hosiang langsung menyerang dengan toyanya.
Harus diketahui bahwa Bok Beng Hosiang adalah murid pertama dari Hok Bin Taisu, kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada sutenya, dan senjata yang ia pergunakan adalah sebuah toya. Semua orang tahu bahwa ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat kuat dan lihai, maka pengharapan semua orang diletakkan kepada tokoh ini.
Melihat sambaran toya yang amat kuat dan dahsyat, Pek-in-ong tidak berani menangkis, melainkan melompat mundur sambil memuji,
“Eh, eh, ada isinya juga si gundul ini!” Di lain saat ia telah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yakni sepasang roda. Tak lama kemudian terdengar suara keras ketika toya itu berkali-kali beradu dengan dua roda yang dipegang di kedua tangan. Tenaga lwee-kang mereka tidak jauh selisihnya, akan tetapi sepasang roda itu benar-benar amat lihai. Tidak saja dapat dipergunakan untuk menangkis dan memukul, akan tetapi juga beberapa kali roda-roda itu dilepas, berputar-putar dan meluncur ke arah tubuh lawan, lalu disambar kembali. Maka sebentar saja Bok Beng Hosiang telah terkurung oleh sepasang roda itu yang berputar-putar, kadang-kadang menyerang langsung dari tangan Pek-in-ong, kadang-kadang terlepas dan menyambar-nyambar dengan dahsyat dari atas!
Bok Beng Hosiang hanya dapat bertahan dua puluh jurus. Kepalanya telah menjadi pening dan pada suatu saat, serangan berantai dari Pek-in-ong tidak dapat dihindarkannya dan pundaknya terpukul oleh roda.
“Krek!” Bok Beng Hosiang mengeluh dan terhuyung ke belakang, cepat ditarik oleh Kok Beng Hosiang dan diselamatkan. Tulang pundak hwesio gemuk ini telah hancur!
“Ha, ha, ha, Siauw-lim-pai tidak patut menyimpan kitab pusaka!” Pek-in-ong mentertawakan sambil menyimpan sepasang rodanya.
Han Le, Sui Ceng, Kun Beng, Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka sempat bergerak, tosu tua pemimpin rombongan Kun-lun-pai telah melompat maju.
“Siancai, siancai! Thian-te Sam-kauwcu memang lihai. Akan tetapi sayang kepandaian mereka dipergunakan untuk maksud buruk. Pinto Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai datang untuk mengambil kembali pedang!” Sambil berkata demikian, tosu tua ini melangkah tenang mengambil pedang. Baru saja tangannya diulur, terdengar suara mendesing dan tiga batang anak panah hijau menyambar ke arah tangannya! Cin Giok Sianjin berlaku tenang, cepat tangannya mengibas dan tiga batang anak panah itu terpental kembali ke arah penyerangnya, yakni Cheng-hai-ong orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu!
“Ha, ha, ha, ini baru namanya orang pandai!” Cheng-hai-ong tertawa sambil melompat maju menghadapi Cin Giok Sianjin yang terpaksa membatalkan niatnya mengambil pedang pusaka Kun-lunpai. Ia melihat orang kurus bongkok bermata sipit berpakaian serba hijau berdiri di depannya sambil memegang sebatang rantai yang ujungnya ada tengkoraknya!
Cin Giok Sianjin adalah tokoh kedua dari Kun-lun-pai, murid dari mendiang Seng Thian Siansu, Ketua Kun-lun-pai. Tosu ini sudah puluhan tahun menjelajah dunia kang-ouw dan sudah puluhan kali bertemu dengan lawan tangguh, akan tetapi baru kali ini ia melihat senjata sehebat dan seperti itu. Mana ada orang bersenjata rantai yang ujungnya dipasangi tengkorak? Akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan mengeluarkan sebatang pedang. Kun-lun-pai terkenal dengan ilmu pedangnya dan dengan tenang ia berdiri tegak, melintangkan pedang di depan dada dengan jurus pertahanan Locia-pai-hud (Locia Menyembah Buddha).
“Tosu bau, mari kita main-main sebentar!” kata Cheng-hai-ong dan secepat kilat menyambar, tengkorak di ujung rantainya bergerak ke arah kepala Cin Giok Sianjin. Tosu ini cepat mengelak dan pedangnya menusuk langsung dari dadanya ke dada lawan. Cheng-hai-ong miringkan tubuh dan kembali tengkoraknya menyambar, kini dari arah belakang agak ke kanan, menghantam leher tosu Kun-lun-pai. Cin Giok Sianjin melihat hebatnya serangan ini, maka ia tidak berani mengelak, dan cepat menangkis dengan pedangnya.
“Plak!” Tengkorak itu terpukul miring, akan tetapi tidak pecah, sebaliknya, tosu Kun-lun-pai itu merasa tangannya tergetar.
“Lihai sekali...” katanya dan sebentar kemudian pedangnya berubah menjadi segulung sinar putih, menyambar-nyambar laksana seekor naga mengurung lawan. Ia telah mengeluarkan kepandaiannya dan memainkan Kun-lun Kiam-hoat yang lihai. Bukan main cepatnya gerakan pedangnya, cepat dan berat disertai tenaga lwee-kang.
Namun, Cheng-hai-ong masih tertawa-tawa dan mengimbangi permainan lawan dengan ilmu silatnya yang aneh sekali. Tidak hanya tengkorak di ujung rantai yang menyerang, kadang-kadang kedua kakinya menendang-nendang, tangan kirinya mencengkeram, sikunya berkali-kali mencari sasaran, bahkan tekukan lututnya sering diangkat menghantam perut dan tempat berbahaya.
Swi Kiat Siansu berkata lirih. “Hm, ilmu silat barat dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol. Benar-benar lihai sekali.”
Juga yang lain-lain merasa kagum dan terpaksa memuji kepandaian orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu itu. Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan Cin Giok Sianjin, karena setelah bertempur tiga puluh jurus, jelas kelihatan tosu itu mulai terdesak.
Tiba-tiba Cheng-hai-ong berseru aneh dan Cin Giok Sianjin berseru kaget, terhuyung-huyung dan melompat mundur cepat sekali. Mukanya pucat dan dari jidatnya nampak merah, temyata kulit jidatnya telah terluka! Hanya tokoh-tokoh besar saja yang melihat betapa tadi dari mulut tengkorak itu menyambar keluar tiga batang jarum hijau ke arah muka Cin Glok Sianjin. Biarpun tosu ini sudah berkelit, namun tetap saja jidatnya tergores oleh sebatang jarum hijau sehingga mengeluarkan darah!
Cheng-hai-ong tertawa bergelak dan Cin Giok Sianjin cepat membuka bungkusan obat untuk mempergunakan obat penawar racun yang disengaja dibekalnya. Ia maklum dari rasa gatal pada lukanya bahwa jarum hijau itu mengandung racun. Baiknya Kun-lun-pai terkenal dengan obat-obatnya anti racun, maka ia masih dapat menyelamatkan nyawanya, sungguhpun tak mungkin dapat maju bertempur lagi. Ia perlu bersamadhi untuk mengerahkan lwee-kang dan mengusir pengaruh racun dengan hawa mumi di dalam tubuhnya.
Han Le marah sekali. Pemimpin-pemimpin rombongan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai telah dikalahkan dan diam-diam ia merasa menyesal sekali mengapa tokoh-tokoh pertama dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak mau keluar sendiri. Agaknya kedua partai besar itu terlalu memandang rendah kepada pihak Mo-kauw, maka Ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Tosu dan Ketua Kun-lun-pai yang baru Keng Thian Siansu tidak mau datang sendiri. Kalau dua kakek itu datang, tentu akan lain keadaannya, sungguhpun belum tentu mereka dapat mengalahkan Thian-te Sam-kauwcu yang benar-benar lihai itu.
“Thian-te Sam-kauwcu! Kalian benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang terkenal sebagai partai besar. Tidak saja kalian mencuri kitab dan pedang, bahkan sekarang kalian dengan sombong telah melakukan hinaan-hinaan,” kata Han Le.
“Ha, ha, ha, yang kalah merasa terhina, itu sudah jamak. Salahkah kami kalau kebetulan kepandaian kami memang jauh lebih tinggi daripada kepandaian kalian?” kata Hek-te-ong sambil ketawa bergelak diikuti oleh anak buahnya.
“Hek-te-ong, alangkah sombongmu!” bentak Han Le marah sekali. “Dahulu yang menjadi lima tokoh besar dunia persilatan adalah guruku Ang-bin Sin-kai dan para Locianpwe Kiu-bwe Coa-li, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Pak-losian Siangkoan Hai dan Hek I Hui-mo. Biarpun mereka ini merupakan tokoh-tokoh dari delapan penjuru, namun mereka masih tidak sesombong kau dan kawan-kawanmu, tidak pernah mau menghina partai lain, apalagi melakukan pencurian yang rendah! Bahkan setiap kali muncul orang jahat, para locianpwe itu turun tangan membasminya!”
“Ha, ha, ha, kau pengemis bau murid Ang-bin Sin-kai. Apa kaukira dapat menakut-nakuti kami dengan nama-nama lima tokoh besar yang sudah mampus itu? Andaikata mereka masih hidup, kamipun ingin sekali menjajal kepandaian mereka, apalagi sekarang mereka sudah mampus. Apa yang perlu kami takutkan?”
“Bangsat bermulut besar. Murid Kiu-bwe Coa-li berada di sini! Aku Bun Sui Ceng mewakili mendiang guruku untuk membasmi Mo-kauw!” bentak Bun Sui Ceng sambil bersiap-siap dengan cambuknya.
“Pinto Swi Kiat Siansu mewakili mendiang Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggempur orang jahat!” kata Swi Kiat Siansu dengan tenang dan sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-te Sam-kauwcu.
“Siancai, siancai, biarpun mendiang Suhu Hek I Hui-mo menjalani jalan hitam, namun kiranya beliau akan turun tangan kalau menghadapi siluman-siluman sombong seperti kalian! Biarlah pinto Pok Pok Sianjin mewakilinya.” kata pula Pok Pok Sianjin sambil mengerling tajam.
“Sayang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak ada wakilnya,” kata Kun Beng tersenyum mengejek. “Karena Suhu Pak-losian Siangkoan Hai telah diwakili oleh Suheng, biarlah aku The Kun Beng mewakili mendiang Jeng-kin-jiu yang gagah perkasai!”
“Bagus sekali! Jadi lima tokoh besar itu kini telah diwakili oleh murid-muridnya. Kami memang ingin sekali mencoba kepandaian mereka. Hayo, siapa yang hendak maju lebih dulu?” kata Hek-te-ong memandang rendah.
“Biarlah aku memperlihatkan kebodohanku,” kata Han Le yang cepat maju sambil mencabut pedangnya.
Sebelum Hek-te-ong menghadapinya, di pihak Mo-kauw muncul seorang kakek kate dengan telinga lebar, pakaiannya serba hitam. Dia ini adalah Hek Mo-ko yang berkata kepada Hek-te-ong.
“Twa-suhu, biarlah teecu menghadapi murid Ang-bin Sin-kai ini. Ingin teecu merasai kelihaian Hun-khai-kiam-hoat dari Ang-bin Sin-kai. Heh-heh-heh-heh!” Setelah gurunya mengangguk, Hek Mo-ko lalu meloloskan sepasang senjatanya yang aneh, yakni sebatang pedang bengkok dan seuntai tasbeh, “Han Le pengemis busuk, kita bertemu lagi sekarang dalam pertandingan satu lawan satu yang menentukan. Hayo kaukeluarkan segala kepandaianmu akan kulihat.”
Han Le mendongkol sekali. Ia sudah tahu akan kelihaian Iblis Hitam ini. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar sungguhpun ia tahu bahwa ia menghadapi lawan tangguh dan harus berlaku hati-hati sekali.
“Majulah, Hek Mo-ko,” katanya sambil melintangkan pedang.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh Hek Mo-ko mulai menyerang. Pedangnya yang aneh bentuknya itu membuat gerakan melingkar, disusul oleh tasbehnya yang meluncur ke arah lambung Han Le. Maklum akan bahayanya serangan orang kate ini Han Le tidak berani berlaku lambat. Pedangnya bergerak cepat dan dengan jurus-jurus terlihai dari Hun-khai-kiam-hoat, tidak saja ia menangkis dan menggagalkan serangan lawan, bahkan dengan kontan keras ia membalas serangan Hek Mo-ko dengan sabetan dan tusukan maut. Ilmu pedang Hun-khai-kiam-hoat warisan Ang-bin Sin-kai sudah hebat, apalagi ditambah dengan pelajaran yang didapat dari lukisan-lukisan ilmu silat dari Im-yang Bu-tek-cin-keng di dalam guha di Pulau Pek-hio-to, maka bukan main lihainya ilmu pedang yang dimainkan oleh Han Le. Diam-diam Hek Mo-ko memuji dan tahulah ia mengapa dahulu ketika menghadapi pengemis ini, sutenya hampir saja celaka.
Namun, bagi Han Le juga tidak mudah mengalahkan Hek Mo-ko, karena selain dalam ilmu silat Iblis Hitam yang kecil ini masih lebih lihai daripada Pek Mo-ko, juga tenaga lwee-kangnya amat tinggi, masih lebih kuat daripada tenaga lwee-kang Han Le. Setelah pertempuran berjalan lima puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hek Mo-ko merubah gerakannya. Kini ia bergerak lambat, akan tetapi dengan pengerahan tenaga lwee-kang sepenuhnya sehingga tiap kali pedang di tangan Han Le terbentur dengan pedang bengkok atau tasbeh, pedang murid Ang-bin Sin-kai ini terpental dan telapak lengannya panas!
Di antara para tokoh itu, hanya Swi Kiat Siansu seorang yang tahu bahwa dalam perubahan ini terjadi kecurangan dari pihak Thian-te Sam-kauwcu. Swi Kiat Siansu sudah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, terutama sekali di daerah barat di mana banyak diyakinkan ilmu hoat-sut (sihir). Tadi secara kebetulan ia melihat Hek-te-ong memandang tajam ke arah Hek Mo-ko dengan mulut bergerak-gerak. Sungguhpun tidak terdengar sedikit pun suara dari mulutnya, namun Swi Kiat Siansu maklum apa yang telah terjadi.
“Hek-te-ong, kau curang!” serunya marah. “Diam-diam kau membantu Hek Mo-ko!”
“Siapa membantu?” Hek-te-ong mengejek. “Aku tidak bergerak dari tempat dudukku!”
Semua orang juga heran mendengar dakwaan Sui Kiat Siansu tadi. Akan tetapi sesungguhnya memang Hek-te-ong telah membantu Hek Mo-ko dengan ilmu mengirim suara yang disalurkan dengan tenaga lwee-kang melalui pengerahan khi-kangnya. Suara ini biarpun perlahan, namun langsung bergema di telinga Hek Mo-ko tanpa terdengar oleh orang lain. Hek-te-ong yang berpemandangan luas dan tajam, tahu bahwa tanpa merubah siasat, sukar bagi Hek Mo-ko untuk mencari kemenangan, maka diam-diam ia membisikkan siasat kepada Hek Mo-ko untuk mempergunakan tenaga lwee-kang sepenuhnya dalam pertempuran itu.
Benar saja, setelah Hek Mo-ko merubah cara bertempurnya, Han Le menjadi sibuk. Biarpun ia berada di pihak menyerang, akan tetapi setiap tangkisan lawan merupakan serangan balasan yang langsung merugikannya.
Tiba-tiba ia mendengar suara bisikan perlahan yang mengejutkan hatinya. Ia mengenal baik suara itu, yakni suara suhengnya, Bu Pun Su. Seakan-akan Bu Pun Su berdiri di dekatnya dan berbisik di dekat telinganya,
“Sute, jangan adu senjata. Pergunakan gin-kang dan serang dia dengan Bu-eng-kiam-sut!”
Han Le girang sekali. Ia maklum akan kelihaian suhengnya, dan ia tahu bahwa biarpun tadi menghilang, ternyata Bu Pun Su berada di dekat situ dan sekarang berusaha menolongnya. Cepat ia berseru keras dan pedangnya berubah gerakannya. Kini pedang berkelebat menyambar ke sana sini. Bayangan Han Le lenyap terbungkus gulungan sinar pedang. Bukan main cepatnya gerakan Bu-eng-kiam-sut (Ilmu Pedang Tanpa Bayangan) ini!
Ia berhasil, Hek Mo-ko mengeluarkan seruan kaget dan sebentar saja terdesak mundur. Beberapa kali Hek Mo-ko menggerakkan sepasang senjatanya, memukul membabi-buta, namun tak pernah senjatanya yang digerakkan dengan tenaga lwee-kang sepenuhnya itu dapat menyentuh senjata maupun tubuh lawannya. Tiba-tiba dengan gerakan cepat, Han Le berhasil menusuk paha Hek Mo-ko dengan pedangnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa pedangnya terpental dan hanya dapat merobek celana dan sedikit daging berikut kulit paha lawan!
“Aduh!” teriak Hek Mo-ko yang cepat menggunakan pedang bengkoknya menyabet ke arah pedang Han Le.
“Cring...!” Pedang terlepas dari tangan Han Le dan telapak tangannya pecah-pecah kulitnya. Keduanya melompat mundur. Hek Mo-ko terluka pahanya. Han Le terluka telapak tangannya. Setelah memungut pedangnya, Han Le berkata,
“Hek Mo-ko, kau lihai sekali.”
Hek Mo-ko menyeringai, ia mendongkol sekali karena dalam pertandingan tadi, biarpun ia dapat membuat pedang lawan tertangkis, namun ia sendiri menderita luka di paha, sehingga kalau dibandingkan, kerugiannya lebih besar.
“Kau patut menjadi murid Ang-bin Sin-kai,” katanya perlahan.
Pek Mo-ko melompat ke depan dan mengangkat dadanya yang bidang. Ia marah melihat kakaknya terluka, maka dengan lantang ia berkata,
“Siapa lagi yang hendak gagah-gagahan mewakili Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merampas kembali kitab dan pedang? Majulah, aku Pek Mo-ko akan menjaga dua benda ini!” Ia berdiri tegak di dekat kitab dan pedang, sikapnya menantang sekali.
Pok Pok Sianjin marah sekali melihat lagak tengik dari Pek Mo-ko ini. Ia melompat ke depan dan menghadapi Pek Mo-ko dengan tongkat hitam di tangan.
“Pek Mo-ko, ucapanmu itu menandakan bahwa kau seorang rendah dan seperti katak dalam sumur. Akulah orangnya, Pok Pok Sianjin murid Hek I Hui-mo yang akan menghadapimu. Majulah menerima kematian!”
Pek Mo-ko gentar melihat Pok Pok Sianjin. Sebetulnya, kalau dijelaskan, Hek I Hui-mo masih ada hubungan dengan gurunya, karena gurunya itu terhitung adik seperguruan Hek I Hui-mo. Akap tetapi, karena sekarang ia telah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu, dan ketiga orang gurunya yang lihai masih berada di situ, ia tidak mau memperlihatkan takutnya, ia sebaliknya tertawa bergelak,
“Ha, ha, Pok Pok Sianjin, alangkah bedanya kau dengan mendiang gurumu. Pantas kau dahulunya kutu buku, mana bisa menjadi seorang yang berpikir luas? Kalau gurumu masih hidup, tentu kau akan dicaci-maki!”
Pok Pok Sianjin marah sekali mendengar ini. Memang sebetulnya ia mempunyai pendirian lain dengan mendiang gurunya. Hek I Hui-mo terkenal sebagai seorang liar kejam dan mengandalkan kepandaian sendiri, yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat untuk kepentingan dan keuntungan sendiri. Andaikata gurunya masih hidup dan berada di situ, belum tentu gurunya mau membantu pihak Bu Pun Su. Sekarang mendengar makian Pek Mo-ko, ia cepat menubruk maju menggerakkan tongkatnya.
Ilmu tongkat dari Pok Pok Sianjin adalah warisan dari tokoh besar Hek I Hui-mo yang kepandaiannya setingkat dengan Kui-bwe Coa-li atau Ang-bin Sinkai. Maka dapat dibayangkan betapa hebatnya tongkat hitam yang dimainkannya itu. Pek Mo-ko cepat menangkis dengan tasbehnya, akan tetapi sekali benturan saja, untaian tasbehnya terlepas dan putus!
Dengan kaget Pek Mo-ko melompat ke samping dan membalas dengan serangan kilat, mempergunakan pedang bengkoknya dan sekali menangkis, kembali pedang Pek Mo-ko terpental, hampir terlepas dari pegangan. Kemudian terjadilah pertempuran hebat. Namun mudah dilihat bahwa Pek Mo-ko masih kalah lihai sehingga ia main mundur saja. Pada suatu saat yang tepat, tongkat di tangan Pok Pok Sianjin berhasil menyodok dada Pek Mo-ko yang terjengkang dan roboh sambil muntahkan darah. Baiknya tenaga lwee-kangnya sudah matang sehingga ia dapat memelihara, dan menjaga isi dada. Ia muntahkan darah bukan karena terluka, melainkan karena telalu keras mengerahkan hawa menjaga dada. Namun ia tak mungkin dapat melawan terus dan Hek Mo-ko menyeretnya ke pinggir.
Pok Pok Sianjin menghampiri pedang dan kitab, hendak mengambilnya, akan tetapi tiba-tiba dari samping ada angin menyambar, Pok Pok Sianjin terkejut sekali dan cepat melompat mundur. Sebatang pedang hampir saja menabas putus lengannya, demikian cepatnya gerakan pedang yang menyerangnya itu. Ketika ia menengok, ia melihat seorang kakek tua sekali berdiri sambil mengurut-urut jenggot.
“Kiam Ki Sianjin, kembali kau berada di antara orang-orang jahat!” Pok Pok Sianjin memaki. “Memang, ular belang selalu berkawan dengan segala binatang berbisa.”
“Ha, ha, ha, bocah kemarin sore berani main gila. Gurumu sendiri belum tentu berani berlagak sombong di depanku, kau masih kanak-kanak bau ingus ketika aku sudah menjagoi dunia kangouw. Tidak tahukah kau bahwa di dunia kang-ouw sekarang ini tidak ada orang-orang yang dapat menandingi Thian-te Sam-kauwcu? Mengapa kau masih membutakan mata? Lebih baik kalian cepat mengakui bahwa Thian-te Sam-kauwcu memang patut menjadi pimpinan besar dari semua partai.”
“Ngaco-belo! Kau memang ular kepala dua, kaukira aku takut kepadamu?” Pok Pok Sianjin tak mau membuang banyak waktu lagi, cepat ia menyerang dengan tongkatnya.
Dengan tertawa mengejek, Kiam Ki Sianjin menggerakkan pedang dan menangkis serangannya. Segera keduanya bertempur seru. Bagi para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa Kiam Ki Sianjin adalah tokoh besar yang lihai, bahkan ia pernah bekerja sama dengan Hek I Hui-mo. Sekarang melihat murid Hek I Hui-mo berada di pihak Bu Pun Su, selain heran ia juga marah sekali. Apalagi ketika ia melihat betapa dengan mudah Pok Pok Sianjin mengalahkan Pek Mo-ko, ia tak dapat menahan kemarahannya dan muncul ke depan tanpa bertanya lagi kepada Thian-te Sam-kauwcu, karena memang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaian tiga ketua itu.
Betapapun lihainya Pok Pok Sianjin, menghadapi pedang Kiam Ki Sianjin ia repot juga. Murid Hek I Hui-mo ini memang tadinya hanya seorang sastrawan muda dan ia hanya terpaksa saja menjadi murid tokoh besar Hek I Hui-mo (baca Pendekar Sakti). Maka setelah ia mewarisi ilmu silat tinggi, ia jarang sekali berlatih dan biarpun kepandaiannya sudah tinggi, akan tetapi ia jarang bertempur. Kini yang dihadapinya adalah seorang ahli silat tinggi yang boleh dibilang pekerjaannya sehari-hari hanya bersilat dan bertempur, maka dalam jurus ke empat puluh, pedang Kiam Ki Sianjin berhasil melukai pundaknya. Terpaksa Pok Pok Sianjin melompat ke belakang, ditertawai oleh Kiam Ki Sianjin.
Kun Beng marah sekali dan sambil memaki keras ia melompat maju menggantikan Pok Pok Sianjin, tombaknya terus digerakkan menyerang Kiam Ki Sianjin. Kakek ini tertawa terkekeh-kekeh dan menggerakkan pedangnya menangkis sehingga sekejap kemudian mereka telah bertanding mati-matian.
Melihat bahwa sute itu pun agaknya takkan dapat menangkan Kiam Ki Sianjin yang lihai, Swi Kiat berseru keras dan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini memasuki kalangan pertandingan dengan senjatanya yang ampuh di tangan, yakni sepasang kipas, senjata istimewa dari mendiang gurunya!
“Perlahan dulu, tukang dapur!” Hek Mo-ko membentak dan bersama Pek Mo-ko, ia menyambut Swi Kiat Siansu. Dua saudara iblis hitam putih ini telah mengambil senjata cadangan dan biarpun mereka telah terluka, namun luka yang ringan itu tidak menghambat gerakan mereka. Terpaksa Swi Kian Siansu menghadapi keroyokan Hek Pek Mo-ko yang tentu saja amat berbahaya setelah maju bersama.
Pok Pok Sianjin yang terluka pundaknya, tidak mau tinggal diam melihat dua orang kawannya didesak. Ia melompat maju dan tongkatnya kembali menyambar-nyambar, akan tetapi sebelum ia dapat membantu, terdengar suara ketawa merdu dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita menyambut tongkat dengan sepasang pedang. Temyata bahwa Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu telah turun tangan! Pek Hoa Pouwsat memiliki kepandaian yang istimewa dan masih lebih tinggi tingkatnya daripada Hek Pek Mo-ko, maka tentu saja dalam beberapa belas jurus Pok Pok Sianjin telah terdesak hebat, terkurung oleh sepasang pedang dan keselamatannya terancam sekali!
Sui Ceng menjadi bingung. Ia menoleh ke sana ke mari mencari-cari Bu Pun Su. Baru pembantu dan murid-murid Thian-te Sam-kauwcu saja yang maju, pihaknya telah terdesak. Tak disangkanya bahwa pihak Mo-kauw demikian lihai. Kalau sampai Thian-te Sam-kauwcu sendiri yang maju, dapat diramalkan bahwa dia dan kawan-kawannya takkan dapat keluar dari tempat itu dengan selamat.
“Maju...! Serbu dan rampas kitab dan pedang!” hampir berbareng, para pimpinan Siauw-lin-pai dan Kun-lun-pai memberi aba-aba dan dua puluh orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai serentak maju sambil menggerakkan senjata masing-masing.
Hek-te-ong tertawa bergelak. “Kawan-kawan, sambut mereka! Jangan biarkan hidup seorang juga! Kalau kita dapat menumpas mereka, dunia kang-ouw pasti akan mengakui kekuasaan kita!”
Pihak Mo-kauw bersorak-sorai dan terjadilah perang tanding yang hebat dan mati-matian. Sui Ceng tidak mau pusingkan tentang Bu Pun Su lagi, sungguhpun hatinya amat mendongkol.
“Benar-benarkah Kwan Cu berubah menjadi seorang pengecut yang tak tahu malu?” pikirnya. Namun ia tidak mau tinggal diam dan sekali ia berseru nyaring, cambuknya berbunyi, “Tar! Tar! Tar!” dan seketika itu juga, empat orang anak buah Mo-kauw roboh menjerit dan bergulingan untuk menghadapi maut!
Sui Ceng hendak mengamuk terus. Tiba-tiba ia melompat mundur karena ia mendengar suara Bu Pun Su berbisik dekat telinganya, “Sui Ceng, demi keselamatan semua kawan, kaurobohkan lebih dulu Wi Wi Toanio. Kaulihat wanita yang berbaju biru memegang pedang itu. Serang dia dan robohkan sampai tidak berdaya. Awas, di sebelah kirinya, laki-laki yang memakai baju kuning itu adalah An Kai Seng, musuh besar kita!”
Sui Ceng memandang ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat Bu Pun Su. Ia sudah menjadi marah sekali ketika mendengar bahwa yang berbaju kuning adalah An Kai Seng, maka sekali ia melompat, ia telah berhadapan dengan An Kai Seng. Tanpa banyak cakap, ia lalu menyerang.
“Jahanam An, mampuslah kau!” Cambuknya menyambar hebat, mengeluarkan bunyi yang keras sekali. An Kai Seng yang diserang secara mendadak, kaget bukan main. Ia bukan seorang lemah dan cepat pedangnya menangkis. Namun ia tidak berdaya karena kali ini, Sui Ceng mempergunakan semua ujung cambuknya yang berjumlah sembilan. Pedang An Kai Seng dapat menangkis sebagian ujung cambuk, akan tetapi tetap saja dua ujung cambuk menotok jalan darahnya satu di leher dan satu lagi di ubun-ubun! An Kai Seng menjerit ngeri dan roboh tak bemapas lagi.
“Perempuan jahat, kau berani mencelakai suamiku!” Wi Wi Toanio- menjerit dan mengirim tikaman dengan pedang. Namun tentu saja Wi Wi Toanio bukan merupakan lawan tangguh bagi Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li yang lihai ini. Beberapa gebrakan saja, Wi Wi Toanio roboh pingsan terkena sabetan cambuk pada pinggangnya. Gemas mengingat bahwa perempuan ini adalah isteri musuh besamya, yakni An Kai Seng keturunan An Lu San yang amat dibencinya, Bun Sui Ceng mengayun cambuk hendak memberi pukulan maut. Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang ke belakang dan di depannya berdirilah Hek-te-ong dengan senjatanya yang aneh di tangan, yakni sebuah penggada kepala biruang! Sambaran senjata ini saja sudah dapat membuat Sui Ceng terjengkang, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dari ketua Mo-kauw ini.
Akan tetapi Sui Ceng memang tak pemah mengenal takut. Cambuknya bergerak-gerak laksana sembilan ekor ular dan ia menyerang Hek-te-ong dengan pengerahan tenaga seluruhnya. Diam-diam Hek-te-ong harus mengakui keganasan dan kehebatan wanita ini, akan tetapi karena memang ia telah memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Kiam Ki Sianjin, ia dapat menghadapi Bu Sui Ceng dengan amat baiknya. Bahkan senjatanya penggada yang aneh itu dengan amat kuat dan pasti mulai mendesak Sui Ceng.
Sementara itu, Kiang Liat yang tadinya tidak berdaya karena ia maklum akan rendahnya tingkat kepandaiannya menghadapi para tokoh besar itu, setelah melihat dua pihak berperang tanding tanpa memilih jago, segera mencabut pedangnya dan menyerbu. Ia paling benci melihat Pek Hoa Pouwsat yang pemah mengganggunya. Apalagi kalau ia teringat akan kata-kata isterinya bahwa wanita cantik seperti siluman ini pemah berjanji untuk menengok anaknya, kekhawatirannya amat besar. Kini melihat Pek Hoa Pouwsat mendesak Pok Pok Sianjin, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu terjun ke dalam pertempuran dan mempergunakan segala kepandaiannya untuk membantu Pok Pok Sianjin.
“Eh, bocah she Kiang, kau masih belum mampus?” Pek Hoa Pouwsat yang mengenal Kiang Liat mengejek dan pedangnya kini bermain-main di atas kepala Kiang Liat. Kalau tidak ada Pok Pok Sianjin, tentu dalam beberapa jurus saja Kiang Liat akan roboh. Setelah Kiang Liat membantu, keadaan Pok Pok Sianjin tidak begitu terdesak lagi, karena biarpun Kiang Liat masih kalah jauh tingkat kepandaiannya, namun kiam-hoat dari orang muda ini tak boleh dibilang lemah.
Pek Hoa Pouwsat gemas sekali. Dicabutnya sehelai saputangan dari saku bajunya. Melihat saputangan merah ini, Kiang Liat terkejut sekali.
“Locianpwe, awas saputangan beracun itu...!” katanya. Akan tetapi terlambat, sambil tertawa kecil Pek Hoa Pouwsat mengebutkan saputangannya.
Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar suara orang, “Perempuan keji!” dan tiba-tiba saputangan merah itu direnggut lepas dari tangan Pek Hoa Pouwsat dan di lain saat, terdengar suara “tak!” dan patahlah pedang di tangan kiri perempuan itu! Pek Hoa Pouwsat menjadi pucat dan ia melompat jauh ke belakang, mulutnya memaki-maki,
“Bu Pun Su, lain kali kubunuh kau...”
Memang Bu Pun Su yang turun tangan pada saat berbahaya itu. Tadinya ketika melihat Wi Wi Toanio, terbang semangatnya. Ia maklum bahwa kalau perempuan berbahaya itu mempergunakan tusuk konde untuk mempengaruhinya, ia takkan berdaya. Maka cepat-cepat Bu Pun Su pergi dan mengintai dengan hati gelisah. Melihat betapa pihaknya menderita kekalahan, ia lalu mengirim suara untuk membantu Han Le, kemudian ia mengirim suara pula kepada Bun Sui Ceng untuk merobohkan Ang Kai Seng dan Wi Wi Toanio.
Setelah dilihatnya bahwa Wi Wi Toanio telah tak berdaya pula, dengan girang Bu Pun Su lalu menerjang maju. Pertama-tama ia menolong Kiang Liat dan Pok Pok Sianjin yang hampir saja menjadi korban saputangan merah beracun dari Pek Hoa Pouwsat. Setelah itu, ia lalu cepat menolong yang lain. Pedang dan golok orang-orang Mo-kauw beterbangan, orang-orangnya roboh menjerit kesakitan tanpa melihat siapa yang merampas senjata dan merobohkan mereka. Demikian cepatnya gerakan Bu Pun Su Pendekar Sakti.
“Tahan semua senjata! Thian-te Sam-kauwcu, kalau kalian memang laki-laki, jangan main keroyokan. Aku Bu Pun Su lawanmu. Mari kita mengadu kesaktian secara laki-laki!”
Mendengar ini dan melihat betapa orang-orangnya banyak yang roboh, Het te-ong lalu memberi aba-aba untuk menyuruh orang-orangnya mundur. Keadaan menjadi sunyi kembali. Mereka yang terluka, baik dari pihak Mo-kauw maupun dari anak-anak buah Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, ditolong oleh kawan-kawannya dan ditarik ke belakang untuk diobati.
“Bu Pun Su, kenapa kau baru muncul?” Sui Ceng menegur marah kepada Bu Pu Su.
Pendekar itu tersenyum, mengejapkan mata kepadanya. “Sekarang tiba saatnya aku menghadapi mereka. Terima kasih atas bantuanmu tadi, Sui Ceng,” kata Bu Pun Su yang cepat melangkah maju menghadapi Thian-te Sam-kauwcu yang berdiri tegak dengan muka merah.
“Bu Pun Su, kau telah berani merusak patung-patung kami dan sekarang kau pula yang harus bertanggung jawab atas keributan ini. Kalau tidak ada kau di sini, kiranya semua orang gagah akan insyaf dan mengakui kami sebagai sahabat dan pemimpin,” kata Hek-te-ong.
“Hek-te-ong, tenang dulu! Kau dan dua orang sutemu dari Barat mengacau di Tiong-goan. Kawan-kawan Mo-kauw yang bodoh dapat kalian tipu sehingga mereka mudah saja kalian jadikan boneka, termasuk kakek seperti Kam Ki Sianjin. Tidak itu saja bahkan kalian telah mengganggu Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, mencuri kitab dan pedang. Kemudian kalian berusaha pula untuk merobohkan semua tokoh persilatan. Sekarang aku sudah datang, dan akulah yang bertanggung jawab.”
“Apa kehendakmu?” tanya Hek-teong.
“Tidak banyak, hanya dua macam. Pertama kau hanya mengembalikan kitab kepada Siauw-lim-pai dan pedang kepada Kun-lun-pai, disertai pernyataan maaf atas kekurangajaranmu. Kedua, kau dan dua orang sutemu harus segera pergi dari Tiong-goan, kembali ke barat tempat asalmu. Kalau kau hendak menjagoi, di Tibet tempatmu, bukan di sini.”
“Ha-ha-ha, kau sombong sekali. Apa kaukira kami ini anak-anak kecil yang akan mudah kau tipu dengan suara suling?”
Bu Pun Su tersenyum dan mencabut suling yang terselip di pinggangnya. “Suling ini memang biasa untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang yang berduka, akan tetapi adakalanya dapat dipergunakan untuk mengusir pengacau-pengacau. Hek-te-ong, daripada kita semua berkelahi seperti orang-orang biadab, marilah kita bertaruh. Kalian boleh mengajukan siapa saja untuk menghadapiku mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku Bu Pun Su takkan peduli lagi kalian akan berbuat apa. Akan tetapi kala jago-jagomu kalah, kalian harus segera angkat kaki dari sini dan selama hidup jangan menginjak lagi bumi di daerah ini!”
“Manusia sombong, apa sih kepandaianmu maka kau begini sombong? Mari kuantar kau ke neraka!” Yang berkata demikian adalah Pek-in-ong tokoh ke dua dari Mo-kauw yang tinggi kurus seperti tengkorak. Dengan senjatanya sepasang roda yang lihai sekali, Pek-in-ong langsung menyerang Bu Pun Su. Rodanya berputaran di tangan yang mengeluarkan suara angin mengiung.
“Bagus, aku pemah mengenal patungmu, akan tetapi lebih menarik mengenal orangnya,” kata Bu Pun Su yang dengan amat sederhana dan mudah mengelak dari serangan orang.
Pek-in-ong mendesak terus dan sepasang rodanya menyambar-nyambar mencari lowongan, siap untuk mencabut nyawa Bu Pun Su. Namun, Bu Pun Su adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa. Di atas dunia hanya dia seoranglah yang beruntung mewarisi ilmu kepandaian dari kitab sakti Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan pendekar ini telah memiliki kepandaian mengenal dasar dan intisari semua gerakan ilmu silat. Oleh karena itu, dengan mudah saja ia dapat melihat setiap gerakan roda lawan, tahu ke mana senjata lawan akan menyerangnya, maka mudah saja baginya untuk menghindarkan diri.
Selain ini, di dalam tubuhnya mengalir sin-kang (hawa sakti) yang terjadi dari hawa murni di dalam Sin-kang di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, apalagi setelah selama ini ia bertapa tekun bersamadhi mengatur pernapasan dan mencurahkan seluruh jiwanya kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka ia memiliki kekuatan lahir batin yang menakjubkan.
Biarpun senjatanya hanya sebatang suling bambu, akan tetapi sungguh aneh dan sukar dipercaya. Setiap kali roda yang terbuat dari baja tulen itu bertemu dengan suling, roda itu terpental kembali dan beberapa kali roda itu akan menghantam kepada Pek-in-ong sendiri.
Para tokoh yang berada di situ, yakni rombongan Bun Sui Ceng dan kawan-kawannya, sungguhpun mereka sudah tahu akan kelihaian Bu Pun Su, namun kembali mereka terheran-heran dan kagum sekali. Bagaimana Bu Pun Su dengan hanya sebatang suling bambu dapat mempermainkan Pek-in-ong seperti seekor kucing mempermainkan tikus? Padahal, semua orang tahu bahwa Pek-in-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi!
Pek-in-ong sendiri terheran-heran. Beberapa kali Bu Pun Su mengembalikan roda-rodanya dengan gerak tipu yang serupa benar dengan gerakan yang tadi ia lakukan untuk menyerang lawan aneh ini. Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Akan tetapi sia-sia belaka, bahkan ketika ia menyerang dengan hebatnya, melontarkan sepasang rodanya yang susul menyusul menimpa kepala Bu Pun Su, pendekar ini mengangkat sulingnya. Tepat sekali suling itu masuk ke dalam roda, diputar-putamya suling itu sehingga rodanya ikut berputar lalu roda itu dilontarkan kembali ke arah kepala Pek-in-ong! Pek-in-ong terkejut, cepat mengulur tangan menyambut rodanya sendiri. Akan tetapi ia terjengkang karena tidak kuat menahan lontaran yang penuh tenaga dahsyat itu. Roda kedua menghantam kepala Bu Pun Su, akan tetapi Pendekar Sakti ini mengibaskan tangannya dan... roda itu cepat meluncur ke bawah, menghantam kaki Pek-in-ong yang terjengkang.
“Plak!” Kaki kanan Pek-in-ong terkena pukulan rodanya sendiri.
“Aduh... aduh...!” Semua orang hampir tak dapat menahan ketawa ketika melihat Pek-in-ong berloncat-loncatan dengan kaki kiri sambil memegangi kaki kanan yang patah tulangnya dan bukan main sakitnya. Setelah berloncat-loncatan beberapa kali meringis-ringis, Pek-inong roboh pingsan!
Hek-te-ong mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah. Matanya menjadi merah seperti mengeluarkan api. Sekali tangannya bergerak, berhamburan debu hijau dan hitam ke arah Bu Pun Su. Pendekar ini maklum bahwa lawannya mengeluarkan bubuk beracun.
“Semua mundur jauh-jauh!” teriaknya kepada kawan-kawannya. Bun Sui Ceng dan yang lain-lain cepat melompat ke belakang, menyambar tubuh-tubuh kawan-kawan yang kurang gesit. Han Le menyeret Kiang Liat karena orang muda ini berlaku lambat. Akan tetapi ada beberapa orang anak buah Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tidak keburu lari dan mereka tiba-tiba terbatuk-batuk dan roboh dengan muka menjadi hitam, napas mereka sudah putus!
“Keji sekali kau, Hek-te-ong!” seru Bu Pun Su marah, dan ia lalu menggerakkan kedua lengan, melakukan pukulan Pek-in-hoat-sut yang mengeluarkan uap putih dan segera semua bubuk berwama itu terusir kembali menghantam ke arah rombongan Hek-te-ong sehingga orang-orang Mo-kauw itu menjadi kocar-kacir!
“Bu Pun Su mampuslah kau!” teriak Hek-te-ong dan senjatanya menyambar laksana kilat. Menghadapi senjata penggada kepala biruang ini, Bu Pu Su tidak berani berlaku lambat. Ia menyelipkan sulingnya dan sebagai penggantinya, dicabutnya sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Inilah pedang pusaka Liong-coan-kiam, pedang pusaka yang ia terima dari kakeknya, yakni Menteri Lu Pin!
Sambaran senjata di tangan Hek-te-ong mengenai angin ketika Bu Pun Su mengelak dan sekejap kemudian dua orang sakti ini bertempur. Bukan main hebatnya pertempuran ini. Bu Pun Su pernah mengamuk ketika ia dahulu di waktu muda menghadapi Kam Ki Sianjin dan kawan-kawannya, akan tetapi selama hidupnya baru kali ini ia menghadapi tandingan yang benar-benar tangguh. Kepandaian Hek-te-ong masih mengatasi kepandaian Ang-bin Sin-kai bahkan masih lebih ganas dan berbahaya daripada kepandaian Kiu-bwe Coan-li dan yang lain-lain!
Namun, Bu Pun Su sekarang jauh bedanya dengan Bu Pun Su ketika masih mempergunakan nama Lu Kwan Cu. Sekarang kepandaian Bu Pun Su sudah sampai di puncak kesempurnaan, ilmu silat Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah mendarah daging kepadanya. Gerakan-gerakannya sudah otomatis dan hawa sin-kang di tubuhnya tanpa diatur lagi sudah melindungi seluruh anggauta tubuh. Bahkan dalam menghadapi Hek-te-ong, pendekar sakti ini masih mempunyai waktu untuk mempelajari ilmu silat aneh dari Ketua Mo-kauw ini.
Seratus jurus lebih mereka bertempur. Tiba-tiba Hek-te-ong berseru keras dan sekali ia menepuk dadanya, dari sebuah kancing besar di dadanya menyambar keluar tiga batang jarum merah ke arah tubuh Bu Pun Su. Serangan gelap ini ia barengi dengan pukulan penggadanya, disusul dengan cengkeraman tangan kiri dan yang terakhir sekali, dua kakinya melakukan tendangan berantai!
Manusia biasa saja mana mampu membebaskan diri dari serangan ganas yang bertubi-tubi dari yang semuanya dapat merampas nyawa ini? Namun Bu Pun Su bukan manusia biasa, melainkan seorang manusia yang sudah amat kuat jiwa raganya, sudah amat tinggi ilmunya dan memiliki kesaktian yang tiada keduanya. la maklum bahwa jarum-jarum merah itu berbahaya sekali, maka ia cepat meniup ke arah jarum-jarum itu dengan tenaga khi-kang sepenuhnya sehingga jarum-jarum itu runtuh, kemudian tangan kirinya menangkis cengkeraman tangan kiri lawan, tubuhnya direndahkan sedikit sehingga tendangan berantai mengenai dada dan perutnya. Akan tetapi, pedangnya cepat sekali membabat senjata lawan.
Dalam satu detik itu terjadi hal-hal yang luar biasa sekali. Dua buah kaki Hek-te-ong tepat menendang perut dan dada Bu Pun Su, akan tetapi Bu Pun Su tidak bergeming, sebaliknya tubuh Hek-te-ong terpental ke belakang. Penggada itu terkena babatan pedang, putus bagian leher kepala biruang dan kepala biruang itu sendiri meluncur ke bawah amat cepatnya dan.... terdengar suara keras kepala biruang itu mengenai kepala Pek-in-ong yang masih menggeletak pingsan. Kepala Pek-in-ong pecah bersama kepala biruang itu.
Melihat ini, Hek-te-ong terkejut dan marah sekali. Dengan suara menggereng seperti binatang buas, ia menubruk Bu Pun Su dengan kedua tangan direnggangkan, lakunya seperti seekor biruang menerkam. Bu Pun Su tak dapat mengelak lagi, juga tidak tega untuk menyerang lawan dengan pedangnya. Cepat ia membanting pedang sehingga menancap di atas tanah, dan dengan kedua tangannya, ia menyambut datangnya lawan. Dua pasang tangan yang amat kuat bertemu, saling cengkeram dan saling membetot. Dua orang sakti mengadu tenaga lwee-kang, karena dari sepuluh jari tangan masing-masing keluar hawa lwee-kang yang disalurkan.
“Krek... krek... krek...!” Suara ini amat mengerikan mereka yang menonton pertempuran, karena jelas bahwa itu adalah suara tulang-tulang yang patah! Tak lama kemudian, Hek-te-ong menjerit panjang dan tubuhnya terjengkang ke belakang, lalu roboh dengan jari-jari tangan masih merupakan cengkeraman kuku iblis. Akan tetapi ia sudah tidak bernapas lagi dan tubuhnya kaku seperti balok. Ternyata bahwa dalam adu tenaga lwee-kang tadi, ia terkena pukulan hawa lwee-kangnya sendiri yang membalik karena tidak dapat menahan sin-kang yang mengalir keluar dari jari-jari tangan Bu Pun Su.
Bu Pun Su menarik napas panjang. “Siancai... siancai...” katanya perlahan, “Hek-te-ong dan Pek-in-ong binasa karena kehendak Tuhan…”
Cheng-hai-ong berdiri pucat. Ia marah dan sedih sekali melihat dua orang kakak seperguruannya tewas dalam keadaan mengerikan. Ia maklum bahwa kalau dua orang kakaknya kalah oleh Bu Pun Su, apalagi dia yang kepandaiannya lebih rendah. Akan tetapi, ia tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa menuntut balas. Malu kalau ia tidak turun tangan. Diam-diam otaknya bekerja dan ia lalu maju menghampiri Bu Pun Su, sikapnya tenang.
“Bu Pun Su, kau telah menewaskan kedua orang suhengku. Kau tentu maklum bahwa hal ini tak dapat kubiarkan begitu saja. Terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan menantangmu mengadu nyawa.”
“Aku tahu dan aku bersedia, Cheng-hai-ong,”, jawab Bu Pun Su sambil menarik napas panjang. Kalau tidak amat terpaksa dan demi keselamatan kaum pendekar di kang-ouw, ia segan untuk membunuh oriang.
“Kedua suhengku mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku, toh mereka tewas dalam tanganmu. Apalagi aku. Oleh karena itu, kiranya sebagai orang yang lemah aku berhak menentukan sifat pertandingan ini, ataukah kau merasa keberatan, Bu Pun Su?”
Bu Pun Su tersenyum dingin, “Sesukamulah, aku akan selalu mengiringi kehendakmu. Pertandingan mengadu kepandaian macam apa pun akan kuterima.”
“Bagus!” Tiba-tiba sikap lemah-lembut dan mengalah dari Cheng-hai-ong lenyap, berganti dengan sikap yang gembira dan sinar mata yang kejam! “Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, kiranya takkan menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan. Bu Pun Su, aku disebut orang Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau), maka sedikit kepandaian yang kumiliki tentu saja ada hubungannya dengan air, atau lebih tepat lagi, aku lebih leluasa bergerak di dalam air daripada di atas bumi. Oleh karena itu, Bu Pun Su, aku menantangmu untuk mengadu nyawa di dalam air sungai ini!” Ia menudingkan telunjuknya ke arah air Sungai Yalu Cangpo yang airnya mengalir tenang dan lambat, menandakan bahwa air itu amat datam.
Biarpun di dalam hatinya Bu Pun Su merasa kaget sekali karena tidak menyangka bahwa lawannya demikian licik dan menjalankan siasat yang amat curang, namun pada wajahnya tidak sedikit pun nampak rasa gelisah atau takut. Ia bahkan tersenyum dan berkata,
“Cheng-hai-ong, aku sama sekali tidak ingin mencelakai siapapun juga. Sekarang kedua suhengmu telah tewas karena kesalahan mereka sendiri. Kalau kau mengembalikan kitab dan pedang secara sukarela kemudian kau kembali ke tempat asalmu dan jangan mengganggu kami, juga melepaskan Mo-kauw dari pimpinanmu, siapakah yang sudi mencampuri urusan dunia yang menyulitkan? Akan tetapi kau bahkan menantangku, tidak tahu kau menantang untuk memperlihatkan kepandaian di air ataukah untuk bertempur?”
Cheng-hai-ong sebenamya memang gentar menghadapi Bu Pun Su yang lihai. Biarpun ia yakin bahwa di dalam air, ia akan lebih unggul akan tetapi orang semacam Bu Pun Su ini, biarpun di dalam air atau di lautan api sekalipun, tetap merupakan lawan yang berbahaya dan tangguh. Maka ia ingin berlaku hati-hati dan menjawab,
“Bu Pun Su, pertama-tama aku menantang kau mengadakan pertunjukan di permukaan air, kita sama lihat siapa di antara kita yang lebih pandai.” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawab agar tidak memberi kesempatan membantah kepada Bu Pun Su, orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini melompat dan tubuhnya sudah melayang turun ke dalam Sungai Yalu Cangpo. Semua orang berlari-lari mendekati tebing sungai untuk melihat. Mereka menjadi kagum sekali dan di sana-sini terdengar seruan memuji. Memang kepandaian Cheng-hai-ong hebat. Lain orang kalau ingin terapung di air, tentu jalan satu-satunya hanya berenang. Ini pun hanya membuat sebagian tubuh saja yang terapung. Akan tetapi, tidak demikian dengan Cheng-hai-ong. Entah bagaimana, dengan kedua kaki digerakkan cepat-cepat dan aneh, ia dapat membuat tubuhnya terapung dalam keadaan berdiri tegak dan yang tenggelam ke dalam air hanya kaki sebatas lutut saja! Lutut itu bergerak-gerak terus dan dapat diduga bahwa kedua kaki itulah yang bergerak secara istimewa sehingga tubuhnya dapat tegak di permukaan air, dan tangan kanan Cheng-hai-ong sudah memegang senjatanya yang luar biasa, yakni rantai dengan ujungnya tengkorak manusia! Orang ini tertawa mengejek sambil memandang ke arah Bu Pun Su!
“Bu Pun Su, beranikah kau turun ke sini?” tantangnya dengan nada suara mengejek.
“Kwan Cu, jangan kena terjebak oleh tipu muslihatnya!” Bun Sui Ceng mencegah Bu Pun Su, kemudian dengan suara keras dan mengamang-amangkan cambuknya ke arah Cheng-hai-ong, ia membentak keras, “Cheng-hai-ong, manusia busuk! Kau hendak mempergunakan kecurangan, memancing lawan ke dalam air. Kami bukan sebangsa katak yang biasa main di darat dan di air, mana kami sudi melayanimu di air, kau katak bukan tikus pun bukan? Hayo naik ke darat dah kau boleh mencoba rasanya cambukku ini sebelum bangkaimu kulemparkan ke dalam air.”
Bu Pun Su tersenyum. “Air Sungai Yalu Cangpo boleh lebar dan dalam mengerikan, akan tetapi selama masih ada nelayan, kita takut apakah?” Tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, ke air sungai yang demikian lebar dan dalam!
Semua orang melongok ke bawah, kawan-kawan Bu Pun Su amat khawatir karena mereka belum pernah mendengar bahwa pendekar sakti ini pandai pula bermain di air. Akan tetapi apa yang mereka lihat di permukaan air Sungai Yalu Cangpo benar-benar membuat mereka melongo, bahkan pihak Mo-kauw yang menyaksikan pemandangan ini menjadi pucat dan tak berani bernapas. Apakah yang mereka lihat? Bu Pun Su telah melompat dan tiba di permukaan air seperti di atas tanah keras saja! Pendekar sakti ini berdiri di permukaan air, tidak bergeming, tidak sukar sama sekali, tersenyum-senyum dan enak saja menghadapi Cheng-hai-ong yang menjadi pucat.
Ini tak mungkin, pikir Cheng-hai-ong. Ia adalah seorang ahli dalam permainan di air dan ia tahu bahwa berdiri tanpa bergerak di permukaan air seperti sehelai daun kering, adalah hal yang tak mungkin dilakukan oleh manusia hidup. Kalau sekiranya ia melihat Bu Pun Su berlari-lari cepat di permukaan air, ia masih percaya karena seorang yang gin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi seperti Bu Pun Su, kiranya dapat melakukan hal itu. Akan tetapi berdiri tegak di permukaan air tanpa bergerak?
Kemudian, tiba-tiba Cheng-hai-ong teringat akan peristiwa sebelum Bu Pun Su muncul di tempat itu. Ketika ia dan suheng-suhengnya menanti datangnya Bu Pun Su, ada suara ketawa aneh di permukaan air, dan ia telah menyerang dengan jarum ke arah permukaan air, akan tetapi tidak kelihatan siapapun juga. Apakah tak mungkin ada orang pandai yang bersembunyi di dalam air? Dan sekarang orang itu telah membantu Bu Pun Su dan menyangga kedua kakinya?
“Jahanam, jangan main sembunyi, keluarlah kalau laki-laki!” seru Cheng-hai-ong dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan beberapa batang jarum hijau menyambar ke arah air tepat di bawah kaki Bu Pun Su!
Bu Pun Su menggerakkan kakinya menendang ke arah sinar hijau itu dan jarum-jarum itu menyeleweng ke kiri.
“Kong Hwat, kaulawanlah dia ini, sama-sama setan air!” kata Bu Pun Su dan sekali ia menggerakkan kakinya, tubuhnya melesat naik ke tebing sungai lagi.
Terdengar suara ketawa bergelak dan di permukaan air, di mana tadi Bu Pun Su “berdiri” di atas air, muncul kepala seorang laki-laki yang begitu muncul begitu ketawa terkekeh-kekeh, nampaknya seperti orang kegirangan sekali. Akan tetapi sepasang matanya tidak ikut tertawa bahkan seperti orang menangis. Kalau saja dari rambutnya tidak menetes-netes turun air sungai, tentu orang akan melihat air matanya bercucuran!
“Dia Nelayan Cengeng!” seru Sui Ceng dan ia memandang heran kepada Bu Pun Su karena kini tahulah ia bahwa Bu Pun Su tadi sebelum melompat ke dalam sungai sudah tahu bahwa Nelayan Cengeng berada di bawah permukaan air itu. Bagaimana Bu Pun Su bisa mengetahui hal ini?
Adapun Cheng-hai-ong ketika melihat bahwa benar saja dugaannya di bawah air terdapat kawan Bu Pun Su, menjadi marah sekali. Ia menggerakkan rantainya dan tengkorak di ujung rantai menyambar ke arah kepala Kong Hwat atau Si Nelayan Cengeng. Akan tetapi, tengkorak itu hanya menyambar air, karena kepala yang diserang telah lenyap lagi ke bawah permukaan air. Tiba-tiba nampak Cheng-hai-ong meronta-ronta dan memaki-maki. Senjatanya bergerak memukul ke bawah, akan tetapi tetap saja tubuhnya diseret turun ke dalam air oleh Nelayan Cengeng! Sebentar kemudian, dua orang ”setan air” itu telah tenggelam dan orang-orang yang berada di tebing tidak melihat apa-apa lagi. Hanya air sungai yang tadinya mengalir tenang itu kini nampak bergelombang, tanda bahwa di dasar sungai terjadi pergumulan hebat.
Bu Pun Su memang datang bersama Kong Hwat yang ia jumpai di tengah perjalanannya menuju ke Yalu Cangpo. Dua orang kenalan lama itu bercakap-cakap dan ketika mendengar bahwa Bu Pun Su hendak menghadapi orang-orang Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, Kong Hwat menjadi gembira sekali dan dengan sukarela ikut ke tempat itu. Akan tetapi ia tidak langsung menuju ke tempat itu, melainkan mengambil jalan dari sungai, mendayung perahu kecilnya, kemudian ia bahkan telah mendahului Bu Pun Su dan telah mengeluarkan suara ketawa ketika para anggauta Mo-kauw mentertawakan Bu Pun Su yang belum datang.
Sementara itu, orang-orang Mo-kauw yang melihat dua orang pemimpin mereka telah tewas, menjadi marah sekali. Terutama Hek Pek Mo-ko dan Pek Hoa Pouwsat. Mereka bertiga ini berseru keras memberi aba-aba kepada kawan-kawannya dan menyerbulah mereka sehingga kembali terjadi perang tanding hebat antara orang-orang Mo-kauw melawan orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun. Adapun Hek Pek Mo-ko, Pek Hoa Pouwsat, Kiam Ki Sianjin, dan beberapa orang tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi, tentu saja segera disambut oleh Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, The Kun Beng, Han Le, Pok Pok Sianjin, dibantu oleh Kiang Liat dan tokoh-tokoh Siauw-lim dan Kun-lun.
Pertandingan ini tidak seimbang. Setelah Thian-te Sam-kauwcu tidak berada di situ, kekuatan pihak Mo-kauw kalah jauh, apalagi kalau Bu Pun Su ikut membantu kawan-kawannya. Pendekar Sakti ini yang melihat bahwa pihaknya unggul, hanya berdiri menonton, kadang-kadang menengok ke arah sungai.
Pergumulan di dalam sungai antara Nelayan Cengeng dan Cheng-hai-ong benar-benar hebat. Sayangnya mereka yang berada di darat tidak dapat menyaksikan pertandingan istimewa ini antara dua orang manusia yang memiliki kepandaian seperti ikan. Sebetulnya, kalau bertanding di darat, kepandaian Cheng-hai-ong masih lebih unggul dan kiranya Kong Hwat takkan dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Akan tetapi, Nelayan Cengeng ini memang cerdik. Ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh, oleh karena itu ia sengaja tidak mau ikut Bu Pun Su menghadapi mereka di darat, melainkan menanti di air, di mana ia boleh membanggakan kepandaiannya dan tak usah takut terhadap siapapun juga. Biarpun kini ia menghadapi Cheng-hai-ong yang lihai, namun ternyata setelah mereka bertanding di dalam air, Cheng-hai-ong harus mengakui keunggulan lawannya yang istimewa itu. Pertempuran di dalam air berbeda dengan pertempuran di darat. Tenaga lwee-kang tidak begitu ampuh lagi setelah orang berada di dalam air, apalagi segala macam senjata rahasia seperti yang menjadi keunggulan Cheng-hai-ong, sama sekali jarum-jarumnya tak dapat dipergunakan. Di dalam air, yang diandalkan adalah kegesitan, ketajaman mata dan telinga, dan terutama sekali keuletan dan kekuatan bertahan napas.
Dalam hal ini pun Cheng-hai-ong kena diakali oleh Nelayan Cengeng. Kalau mereka berdua bertanding kekuatan menahan napas di dalam air kiranya Kong Hwat hanya menang sedikit saja. Akan tetapi, setelah mereka bergumul beberapa lama dan keduanya hampir kehabisan napas diam-diam Kong Hwat mengeluarkan sebatang tangkai rumput alang-alang yang dalamnya berlubang. Tangkai alang-alang yang seperti pipa kecil ini ujungnya ia masukkan mulut dan pipa alang-alang yang panjang itu timbul di permukaan air ketika Kong Hwat meniup ujung yang dimasukkan mulutnya. Kemudian, dengan leluasa ia dapat berganti hawa dan bernapas melalui pipa kecil itu!
Dengan akal ini, tidak heran apabila tak lama kemudian, ia dapat menggempur dada Cheng-hai-ong dengan senjatanya, yakni sebatang dayung besi yang berat! Cheng-hai-ong yang napasnya memang sudah hampir putus itu, mana kuat menerima pukulan ini? Tubuhnya menjadi lemas dan ia tersembul ke atas dengan tubuh tak bernyawa lagi, lalu hanyut oleh air sungai yang mengalir tenang. Kong Hwat sendiri cepat naik dan me.nyembulkan kepala di atas permukaan air. Ia melihat pertempuran berjalan ramai akan tetapi Bu Pun Su hanya berdiri saja menonton, maka tahulah ia bahwa ia tidak perlu turun tangan membantu. Ia lalu berenang dengan cepat sekali mengikuti aliran air, pergi dari tempat itu.
Para anggauta Mo-kauw melihat pula tubuh Cheng-hai-ong yang sudah menjadi mayat dan hanyut di permukaan air sungai, maka hati mereka makin gelisah sehingga perlawanan mereka makin kalut. Banyak sudah orang pihak mereka roboh dan binasa.
Tiba-tiba terdengar pekik nyaring, “Lu Kwan Cu, aku perintahkan kau menghentikan perlawanan pihakmu!”
Seorang wanita melompat dan memegang sebatang tusuk konde perak ke atas sambil menghampiri Bu Pun Su. Pendekar ini menjadi pucat dan kaget sekali. Ia hendak melarikan diri, namun sudah tidak keburu. Terpaksa ia melompat ke tengah pertempuran dan membentak,
“Semua kawan tahan senjata!”
Bun Sui Ceng yang lain-lain heran sekali dan melompat mundur. Beberapa orang Siauw-lim dan Kun-lun yang masih mendesak lawan, tentu saja tidak mau mundur karena selagi mereka menang dan mendesak lawan, mengapa disuruh berhenti? Tiba-tiba mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat di depan mereka dan tahu-tahu senjata di tangan mereka telah lenyap dirampas orang! Terpaksa mereka melompat mundur dengan kaget, dan makin heranlah mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang merampas senjata mereka tadi bukan lain adalah Bu Pun Su sendiri!
“Wi Wi, lekas kau pergilah. Kalau tidak, aku tidak tahu apakah aku masih
“Wi Wi, kau dan kawan-kawanmu pergilah!” kata Bu Pun Su dengan suara kaku dan muka pucat.
Semua orang menjadi terheran-heran. Bun Sui Ceng tentu saja menjadi amat penasaran dan marah. Ia melangkah maju dan cambuknya berbunyi keras ketika cambuk ini menyambar ke arah Wi Wi Toanio!
Akan tetapi, sekali menggerakkan lengan, Bu Pun Su menerima cambuknya itu dengan lengannya. Agar jangan menyinggung perasaan Bun Sui Ceng, pendekar sakti ini tidak mengerahkan tenaga dan membiarkan cambuk itu melukai kulit lengannya. Darah mengucur dari kulit yang pecah terkena cambuk!
“Ayaaa....!” Sui Ceng melompat ke belakang dengan kaget sekali. “Kwan Cu, apakah kau sudah gila?” Ia memandang ke arah Bu Pun Su, kemudian menoleh kepada Wi Wi Toanio dan matanya mengancam. “Kau mau membela dia? Akan kubunuh wanita jahanam ini....” akan dapat mentaati permintaanmu.” kata pula Bu Pun Su kepada Wi Wi Toanio.
Wi Wi Toanio tersenyum mengejek. Pada saat seperti itu, ia tidak dapat mendesak Bu Pun Su karena orang-orang yang menjadi lawan adalah orang-orang yang amat lihai, apalagi suaminya sudah meninggal dan perlu diurus. Dapat menyelamatkan diri saja sudah lebih dari cukup dan boleh dibilang untung sekaii, karena ia maklum bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, pihak Mo-kauw pasti akan tewas semua. Sambil tertawa dan menangis seperti orang gila, Wi Wi Toanio menyambar tubuh An Kai Seng, kemudian berlari pergi dari situ, diikuti oleh semua orang.
Hek Pek Mo-ko sendiri, dan juga Pek Hoa Pouwsat, tidak berani menentang Bu Pun Su lebih lama lagi dan mereka pun melarikan diri dan mempergunakan kesempatan aneh itu. Mereka pergi dengan hati mengandung dendam besar, akan tetapi apakah daya mereka menghadapi orang-orang seperti Bu Pun Su dan yang lain-lain itu?
Setelah pihak lawan pergi semua membawa mayat dan mereka yang terluka, Bun Sui Ceng tak dapat menahan lagi kemarahannya. Sambil menatap wajah Bu Pun Su yang pucat, ia menegur,
“Kwan Cu, apakah kau tiba-tiba menjadi gila? Orang Mo-kauw itu perlu dibasmi, mengapa kau bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk lari?”
“Thian-te Sam-kauwcu sudah tewas, dan tidak ada alasan bagi kita untuk membasmi orang-orang Mo-kauw. Sebelum muncul Thian-te Sam-kauwcu, antara kita dan pihak Mo-kauw memang tidak ada permusuhan sesuatu, mengapa kita harus terlalu mendesak?” kata Bu Pun Su. Kata-kata ini dapat dimengerti oleh semua orang dan pihak Siauw-lim-si serta Kun-lun-pai juga menganggap urusan sudah selesai. Kitab dan pedang telah dapat dirampas kembali dan pencurinya, yakni Thian-te Sam-kauwcu, sudah tewas. Mengapa harus memperbesar permusuhan dengan Mo-kauw yang sebetulnya hanya diperalat oleh Thian-te Sam-kauwcu?
Maka setelah mengambil benda pusaka masing-masing, orang-orang Siauw-lim-si dan Kun-lun-pai lalu meninggalkan tempat itu, membawa jenazah dan anggauta-anggauta yang terluka.
Berturut-turut Swie Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Han Le, dan Kiang Liat mengundurkan diri. Akhirnya hanya tinggal Bu Pun Su, Bun Sui Ceng dan Kun Beng saja yang masih berada di tempat itu. Bun Sui Ceng berkeras minta penjelasan dari Bu Pun Su mengapa pendekar ini begitu menurut dan takut-takut kepada Wi Wi Toanio.
Bu Pun Su tersenyum dan memandang kepada The Kun Beng yang semenjak tadi diam saja, kadang-kadang memandang kepada Sui Ceng, kadang-kadang melirik ke arah Bu Pun Su dan kadang-kadang menundukkan mukanya. Memang di antara tiga orang pendekar yang kini sudah tua itu, dahulu terjalin kisah yang amat mengharukan dan juga membingungkan, kisah asmara segitiga yang sulit. Setelah berpisah puluhan tahun, kini mereka bertemu kembali dan tentu saja kenang-kenangan masa lampau terbayang (baca kisah Pendekar Sakti).
“Sui Ceng, kau ternyata masih keras hati seperti dulu. Sebetulnya aku mengharapkan untuk melihat kau dan Kun Beng menjadi suami isteri dan mempunyai keturunan yang gagah agar aku dapat membantu mendidiknya. Tidak tahunya... kita masih sama saja seperti dahulu!”
“Kwan Cu,” kata Sui Ceng bersungguh-sungguh tanpa merasa sungkan lagi kepada bekas tunangannya, yakni The Kun Beng, “kau sudah tahu bahwa hatiku semenjak dahulu sudah beku terhadap laki-laki. Kuanggap laki-laki adalah mahluk yang tak dapat dipercaya dan berhati palsu, kecuali engkau. Kalau saja isi dada Kun Beng seperti isi dadamu, kiranya sekarang kami telah menjadi suami isteri.”
Tentu saja Kun Beng merasa terpukul, akan tetapi ia sudah terlalu lama menderita patah hati sehingga kini tidak terasa lagi olehnya.
“Memang Saudara Kwan Cu seorang laki-laki sejati seorang pria tak tercela. Oleh karena itu maka dosamu makin bertumpuk, Sui Ceng. Melukai hatiku boleh kauanggap sebagai hukuman atas perbuatanku yang menyeleweng, akan tetapi melukai hati Kwan Cu... benarbenar kau telah berdosa!”
Kata-kata ini benar-benar mengenai tepat. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang mata yang masih indah dan bening itu. Terbayanglah di depan mata Sui Ceng semua pengalamannya dahulu dan betapa Lu Kwan Cu amat kasih kepadanya.
Mendengar kata-kata dua orang itu, Bu Pun Su tersenyum pahit. “Ahh, kalian salah duga. Di dunia ini, manakah ada seorang manusia yang bersih dan suci tak ternoda? Kalian menganggap aku seorang baik hanya karena kalian tidak tahu akan perbuatanku yang menyeleweng seperti yang pernah dilakukan oleh Kun Beng, bahkan lebih hebat dan keji lagi...”
Sui Ceng dan Kun Beng mengangkat muka memandang, agaknya tidak percaya.
“Sui Ceng kau tadi bertanya tentang sikapku yang aneh terhadap Wi Wi Toanio; isteri dari An Kai Seng. Nah, sekarang untuk membuka matamu bahwa bukan hanya tunanganmu laki-laki tunggal yang menyeleweng di dunia ini, baiklah kuceritakan tentang sebab sikapku yang aneh tadi.” Kemudian ia menceritakan betapa ia pernah terpikat oleh kecantikan Wi Wi Toanio sehingga melakukan hal yang amat keji dan rendah memalukan, yakni mengadakan perhubungan dengan isteri orang!
“Nah, sekarang kalian tahu akan kenyataan bahwa Bu Pun Su adalah seorang manusia busuk Lu Kwan Cu sudah mampus dan yang ada hanya Bu Pun Su!” Setelah berkata demikian, dengan suara ketawa yang pahit dan terdengar menyeramkan, Bu Pun Su berkelebat dan lenyap dari hadapan dua orang sahabatnya itu. Hanya suara ketawanya saja yang masih bergema dari tempat jauh.
Setelah meninggalkan lembah Sungai Yalu Cangpo, Kiang Liat melakukan perjalanan cepat untuk segera sampai kepada isterinya, juga amat rindu kcpada Im Giok, puterinya. Tiga bulan ia berpisah dengan mereka! Kalau ia mengenangkan semua pengalamannya selama tiga bulan ini, diam-diam Kiang Liat bergidik dan merasa beruntung bahwa ia masih selamat dan dapat keluar dari semua ancaman dan bahaya itu dengan tak kurang suatu apa. Juga ia telah mendapat pengalaman pertempuran hebat di mana kedua matanya terbuka bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai. Kiang Liat ingin membuat girang hati isterinya dan ingin membuat kedatangannya tidak tersangka-sangka. Sambil tersenyum-senyum geli dan gembira mengenangkan betapa isterinya akan terkejut dan girang, ia merencanakan untuk memasuki rumahnya tanpa diketahui oleh siapapun dan tahu-tahu ia akan tidur di atas pembaringan di dalam kamarnya sampai isterinya masuk ke kamar dan mendapatkannya sudah tidur di situ?
Manusia manakah yang tahu akan ketentuan nasibnya? Siapakah yang mengerti akan rahasia besar nasib manusia yang hanya dipegang dan ditentukan oleh Tangan Thian Yang Maha Kuasa sendiri? Bukti kekuasaan Tuhan memang kadang-kadang amat aneh, ganjil, dan sukar dimengerti. Kadang-kadang bahkan nampak tidak adil! Misalnya, seorang yang berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan makmur, sebaliknya seorang yang berwatak baik hidup sengsara. Ada pula seorang yang hidupnya penuh dosa selalu sehat, sebaliknya orang yang hidup saleh bahkan menderita penyakit berat. Terlontarlah kata-kata “tidak adil” dari mulut mereka yang masih belum kuat iman dan kepercayaannya terhadap Tuhan dan kekuasaannya. Akan tetapi tidak demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang menaruh kepercayaan akan keadilan Tuhan secara mutlak.
Dia ini bahkan akan menerima segala apa yang oleh manusia dianggap “sengsara” atau “menderita” dengan hati tenang dan penuh penyerahan sebulatnya kepada Yang Maha Kuasa, menerima lahir batin dengan penuh kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa dirinya itu adalah kehendak Tuhan yang tak dapat diubah pula oleh siapapun juga, dan bahwa di balik semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu yang adil dan baik. Bahagialah orang yang menerima kemalangan sebagai orang menghadapi ujian, tahan uji, kuat dan akhirnya lulus! Kasihan mereka yang lemah hati, yang tidak kuat menghadapi kemalangan, sehingga kepercayaan menjadi luntur, watak yang baik menjadi buruk, dan kemalangan menyeretnya ke dalam penyelewengan yang akan menghancurkan hidupnya sendiri!
Kiang Liat tak menyangka sama kali bahwa ia akan menghadapi hal yang amat berat baginya. Ketika ia tiba di kotanya, siang telah terganti senja dan keadaan di jalan sudah mulai sunyi. Dengan mudah, Kiang Liat dapat mempergunakan kepandaiannya sehingga tak seorang pun melihatnya ketika ia tiba luar tembok belakang rumahnya. Sekali melompat ia telah berada di dalam kebun belakang rumah, kemudian ia melompat-lompat dan di lain saat telah berada di luar kamarnya, di dekat jendela. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam kamarnya, suara isterinya dan seorang wanita lain, yang kemudian ia kenal sebagai suara Ceng Si, bekas pelayan yang telah dikawinkan dengan Cia Sun sastrawan miskin itu!
“Ceng Si, kau dan Cia Sun benar-benar keterlaluan. Kurang bagaimanakah aku menolong kalian? Kurang banyakkah uang dan perhiasan yang kuberikan kepada Cia Sun? Mengapa kalian seakan-akan tidak mengenal puas dan hendak menghabiskan kekayaan kami? Ah, kau tahu bahwa suamiku sedang pergi, mengapa kau tidak datang mengawani dan menghibur hatiku yang gelisah memikirkan dia, sebaliknya kau datang untuk mengganggu dan lagi-lagi kau minta uang dalam jumlah yang terlalu besar. Darimana aku bisa mendapatkan uang itu?”
Mendengar kata-kata isterinya ini, Kiang Liat menjadi pucat dan ia menahan napas, mendengarkan percakapan dengan hati tidak enak sekali. Kemudian terdengarlah suara Ceng Si, nadanya mengejek dan menghina benar-benar di luar persangkaan Kiang Liat. Semenjak kapankah pelayan ini begitu berani bicara kasar dan menghina terhadap isterinya?
“Nyonya muda mengapa begitu pelit? Kalau tidak untuk menutupi rahasiamu terhadap suamimu, siapakah sudi menikah dengan siucai miskin itu? Di waktu dahulu, Nyonya yang main-main dan bersurat-suratan, bercinta-cintaan dengan Cia Sun. Setelah Nyonya menikah dan mendapat kedudukan baik, akhirnya akulah yang dijadikan korban untuk melayani siucai bekas kekasih nyonya muda itu.”
Kiang Liat tak sanggup mendengarkan terus. Hampir saja ia menendang jendela untuk mengamuk, akan tetapi baiknya ia dapat menahan gelora hatinya dan sebaliknya ia lalu melompat pergi! Hati dan pikirannya tidak karuan. Ia masih bersangsi apakah benar-benar isterinya dahulu telah melakukan hal yang demikian memalukan? Benarkah isterinya dahulu menjadi kekasih Cia Sun? Tak mungkin! Isterinya begitu mencintanya.
Akan tetapi kalau ia ingat betapa semua perhiasan isterinya tak pernah dipakai, dan kalau ia ingat akan kata-kata isterinya tadi kepada Ceng Si bahwa banyak sudah uang dan perhiasan diberikan oleh isterinya kepada Cia Sun. Ah, apa artinya ini? Dan kata-kata Ceng Si, tadi? Hampir pecah kepala Kiang Liat dan hampir meledak dadanya, membuat ia berjalan di malam buta, tak tentu arah tujuannya, bicara seorang diri, berbantah-bantahan dengan diri sendiri, kadang-kadang tertawa mengejek, kadang-kadang membentak-bentak, dan kadang-kadang ia tertunduk di pinggir jalan menangis tersedu-sedu! Semalam suntuk Kiang Liat berkeliaran di sekitar kota seperti orang gila, terjadi perang tanding hebat di dalam dada dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi hari kalau orang melihat Kiang Liat, tentu akan pangling. Ia nampak lesu dan susut, waktu semalam suntuk itu seakan-akan sepuluh tahun sehingga ia nampak sepuluh tahun lebih tua dari kemarin sore!
Tukang kuda di belakang gedungnya kaget setengah mati ketika pagi-pagi sekali ia melihat majikannya menyerbu kandang kuda, tanpa bicara sepatah pun kata lalu mengeluarkan kuda dan membalapkan kuda itu ketuar dari kandang! Tukang kuda itu melongo, menggosok-gosok matanya, kemudian ia berlari-lari ke gedung, minta menghadap nyonya muda!
“Hujin, celaka. Telah terjadi sesuatu yang ganjil dan aneh pada diri Wan-gwe!”
Song Bi Li, isteri Kiang Liat, pucat seketika. “Eh, pagi-pagi kau mengapa bicara yang bukan-bukan? Majikanmu belum pulang, bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Hati-hatilah dengan mulutmu, jangan kau kurang ajar!” kata Bi Li marah.
“Hamba bersumpah tidak berani main-main, Hujin. Benar-benar baru saja hamba melihat Wan-gwe datang ke kandang dan keluar pula menunggang kuda kesayangannya. Dan keadaan Wan-gwe... pakaiannya kusut, mukanya seperti tidak mengenal hamba lagi dan... dan... sinar matanya begitu mengerikan. Hamba takut, Hujin....”
Bi Li mengerutkan keningnya. Tak mungkin suaminya berkelakuan seperti itu, datang lalu pergi lagi sebelum menjumpainya. Apakah yang telah terjadi?
“Kiu Pek-pek, coba kauajak kawan-kawan untuk menyusul dan menyelidiki keadaan yang aneh ini!” katanya, kemudian Bi Li masuk ke dalam gedung dan sebentar kemudian kegelisahannya berkurang ketika Im Giok bangun dari tidur dan dipangkunya.
Ketika memikirkan keadaan isterinya selama semalam suntuk, Kiang Liat dapat mengambil kesimpulan. Boleh jadi sekali isterinya dahulu berkasih-kasihan dengan Cia Sun, kemudian setelah menjadi isterinya, Bi Li diperas oleh Cia Sun dengan bantuan Ceng Si! Tak bisa salah lagi, tentu demikian duduknya perkara, pikirnya. Oleh karena itu, orang pertama yang menjadi sasaran kemarahannya adalah Cia Sun. Ia mengambil kudanya karena tubuhnya terasa lelah dan lemas sekali, kemudian membalapkan kuda itu menuju ke tempat tinggal Cia Sun.
Memang Cia Sun sekarang sudah makmur keadaannya. Uang dan perhiasan yang diperasnya dari Bi Li bukan sedikit. Ia kini dapat membeli tanah sebagai seorang kaya raya. Setiap pagi ia berjalan-jalan menunggang kuda, memeriksa tanahnya seperti seorang tuan tanah yang hartawan. Akan tetapi karena ia terlalu royal, selalu ia kekurangan uang dan jalan satu-satunya hanyalah memeras Bi Li dengan perantaraan Ceng Si yang sudah menjadi isterinya!
Pada pagi hari itu, tanpa menyangka bahwa hari itu akan merupakan hari sial baginya, Cia Sun menunggang kuda hendak menuju ke sebuah dusun yang berdekatan. Semalam isterinya, Ceng Si, datang membawa perhiasan dan uang dan tentu saja seperti biasanya, begitu mendapat uang, Cia Sun lalu mengambil sedikit untuk berpesta di rumah pelacuran di dusun sebelah barat, atau untuk bermain judi dengan kawan-kawannya!
Akan tetapi baru saja ia hendak meninggalkan jalan simpang di luar dusunnya, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dan dari jauh datanglah Kiang Liat yang membalapkan kudanya. Hati Cia Sun terkejut bukan main. Mengapa Ceng Si malam tadi tidak bilang apa-apa? Mengapa tidak bilang bahwa Kiang Liat sudah pulang? Ataukah... barangkali pagi ini baru pulang? Biarpun hatinya berdebar, Cia Sun menahan kudanya dan bahkan memutar binatang tunggangannya itu untuk menyambut kedatangan Kiang Liat.
Dari jauh ia sudah menjura di atas kudanya dan berkata ramah,
“Selamat pagi, Kiang-wan-gwe. Berkat kebaikan Wan-gwe, sekarang siauwte telah memperoleh banyak kemajuan.” Kata-kata ini diucapkan untuk mengambil hati Kiang Liat, akan tetapi bagi pendekar ini merupakan sindiran yang membuat hatinya makin terluka dan perih.
“Jahanam keparat!” serunya dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang dari atas kudanya, menyambar tubuh Cia Sun yang dibantingnya ke atas tanah. Dua ekor kuda itu ketakutan dan menjauhkan diri, kemudian melihat mereka tidak diganggu, dua ekor kuda itu makan rumput di bawah pohon, tenang-tenang saja, tidak menghiraukan lagi dua orang yang kini berhadapan dalam keadaan tegang itu.
“Ampun Wan-gwe. Apa dosaku maka Wan-gwe datang-datang marah kepada siauwte?” Cia Sun berlutut sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk minta ampun.
Kalau menuruti hawa nafsu di dalam dadanya, ingin sekali Kiang Liat membunuh siucai ini tanpa bertanya-tanya lagi. Akan tetapi ia hendak mendengar pengakuan Cia Sun, karenanya ia menahan-nahan kemarahan hatinya dan membentak,
“Bajingan besar, lekas kau mengaku. Kau ada hubungan apakah dahulu dengan Song Bi Li?”
Kalau ia mendengar kilat menyambar di tengah hari, belum tentu Cia Sun akan sekaget ketika ia mendengar pertanyaan ini.
“Apa...! Hamba... hamba tidak... tidak ada hubungan dengan Hujin...”
Sebuah tendangan membuat tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling beberapa kali. Ia cepat berlutut dan mulai menangis, memohon ampun.
“Hayo mengaku terus terang!” Kiang Liat membentak lagi. “Aku menyebut nama Siong Bi Li dan kau tahu bahwa dia isteriku, apakah kau hendak bilang tidak ada perhubungan apa-apa? Hayo lekas bilang sebelum aku hilang sabar dan menghancurkan kepalamu!”
Cia Sun benar-benar bingung. Saking bingungnya, siucai yang bersifat pengecut ini dalam usahanya membersihkan dan menolong diri, bahkan melontarkan fitnah kepada Bi Li. “Ampun, Kiang-wan-gwe, sesungguhnya siauwte... siauwte tidak bersalah, tidak berdosa apa-apa. Dahulu itu… yaa... sesungguhnya adalah Song-siocia yang mendesak siauwte, yang menyatakan cinta, memberi surat dan lain-lain. Siauwte sendiri mana berani? Siauwte... siauw ...” Kata-kata ini terputus dan disusul jeritnya karena Kiang Liat telah mengayun tangan. Tubuh Cia Sun terguling dan hanya jerit itulah yang dapat ia keluarkan sebelum napasnya terputus oleh pukulan yang mengenai jalan darah kematiannya.
Pada waktu itu, beberapa orang dusun tiba di tempat itu dan melihat Kiang Liat yang banyak dikenal itu membunuh Cia Sun, mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sebentar saja, semua orang tahu akan pembunuhan ini, akan tetapi siapakah yang berani mengganggu Kiang Liat? Pendekar ini menunggang kudanya dan kembali ke kota, langsung menuju ke gedungnya.
Song Bi Li yang semenjak pagi tadi gelisah dan cemas, mendengar suara derap kaki kuda di luar, segera memburu keluar sambil menggendong Im Giok. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa yang datang benar-benar adalah suaminya yang dinanti-nanti. Akan tetapi, ia pun kaget bukan main melihat wajah suaminya yang muram dan kelihatan tua. Lebih-lebih terkejutnya ketika ia melihat sikap suaminya yang sama sekali tidak mau menengok ke arahnya, bahkan dengan langkah lebar terus masuk ke dalam gedung dan menuju ke kamar.
Dengan muka pucat, hati berdebar dan kedua kaki gemetar, Bi Li mengikuti suaminya setelah memberikan Im Giok kepada inang pengasuh. Ia melihat suaminya duduk di atas bangku di dalam kamar, tak bergerak bagaikan patung batu, nampaknya berduka sekali. Bi Li menekan perasaannya, memperlihatkan wajah ramah dan manis, lalu maju dan berlutut di dekat kaki suaminya, meraba sepatunya,
“Suamiku, kau baru datang? Tentu kau lelah sekali.” Suaranya halus dan manis sedangkan kedua tangannya mulai membuka sepatu suaminya. Biasanya memang Bi Li amat cinta kepada suaminya dan setiap kali suaminya datang dari tempat jauh, ia lalu membuka sepatu, menyediakan air hangat pencuci kaki dan air teh untuk minum. Ia tidak mengijinkan pelayan melakukan hal ini, tidak puas kalau tidak melayaninya sendiri! Biasanya Kiang Liat merasa girang dan terharu kalau melihat pernyataan kasih sayang yang demikian besar dari isterinya. Akan tetapi kali ini, ketika melihat isterinya membungkuk dan meraba sepatunya, tiba-tiba kakinya bergerak dan tubuh Bi Li terlempar ke sudut kamar! Setan cemburu telah menguasai hatinya, membikin buta matanya dan mengalahkan cinta kasih terhadap Bi Li.
Bi Li tidak mengeluarkan keluhan sakit, hanya menjadi pucat sekali dan memandang kepada suaminya dengan mata terbelalak kaget. Sikap suaminya kepadanya jauh lebih menyakiti hati daripada rasa sakit yang diderita oleh pundak dan kepalanya ketika ia terbentur pada dinding. Ia merayap bangun dan berjalan periahan menghampiri suaminya, lalu berlutut lagi di sampingnya.
“Suamiku, apakah dosanya isterimu yang bodoh? Katakanlah, aku bersedia menebusnya dengan nyawa kalau memang berdosa...!” katanya halus dengan suara tergetar, sedangkan dari sepasang matanya menetes dua titik air mata.
Melihat keadaan isterinya itu, melihat rambut yang ia sayang dan biasa ia belai itu awut-awutan, muka yang biasa ia ciumi itu menjadi pucat seperti mayat, sepasang mata yang biasanya ia anggap sebagai sepasang batu kemala terindah di dunia ini sekarang memandang kepadanya dengan sayu, Kiang Liat hampir tak kuat menahan lagi. Ingin ia memeluk isterinya, berlutut di depannya dan minta ampun atas perbuatannya tadi, ingin ia menangis seperti anak kecil dan menceritakan semua kesusahan hatinya di dada isterinya. Akan tetapi, bayangan Cia Sun tak pernah meninggalkan ruang matanya, membuat Kiang Liat makin benci melihat isterinya. Terpaksa ia meramkan matanya, tidak berani memandang muka Bi Li, lalu berkata perlahan akan tetapi tajam seperti ujung pedang,
“Dosamu? Tanyalah kepada jahanam keparat Cia Sun yang sudah kukirim ke neraka! Tanyalah kepada kekasihmu, kau siluman betina!”
Bi Li terkejut sekali, bukan hanya karena suaminya telah dapat mengetahui rahasianya, terutama sekali karena mendengar bahwa suaminya telah membunuh Cia Sun.
“Kau... kau membunuhnya...?” Ucapan ini sebetulnya keluar dari kegelisahan hati Bi Li mendengar suaminya membunuh orang, akan tetapi bagi Kiang Liat yang sedang dikuasai oleh cemburu dan nafsu marah, dianggap sebagai pernyataan kaget dan duka dari Bi Li bahwa kekasihnya telah dibunuh.
“Kautangisi kekasihmu yang sudah mampus? Perempuan rendah, kalau aku tahu... kau ternyata hanya seorang perempuan hina-dina, perempuan tak tahu malu. Anak itu... anak itu pun barangkali bukan anakku...!”
Bi Li menjerit dan di lain saat ia telah roboh pingsan di depan kaki Kiang Liat! Ia tidak kuat menerima pukulan batin yang hebat ini, tidak kuat menerima kata-kata keji yang keluar dari mulut Kiang Liat, suaminya yang ia cinta sepenuh jiwa raganya.
Ketika Bi Li siuman kembali, ia melihat suaminya berjalan mondar-mandir di dalam kamar dan mulutnya bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata yang sukar dimengerti. Barangkali penderitaan batin Kiang Liat di saat itu tidak kalah hebatnya kalau dibandingkan dengan Bi Li. Melihat suaminya, teringatlah Bi Li akan semua fitnah dan caci-maki tadi, maka tak tertahankan pula ia menangis terisak-isak.
Kiang Liat menengok, pandang matanya penuh benci dan jemu.
“Apa lagi yang kautangiskan?”
“Suamiku... kau... kau terlalu kejam...”
Kiang Liat hampir saja menendang tubuh isterinya karena kembali ia salah sangka, mengira bahwa isterinya menuduhnya kejam karena membunuh Cia Sun. Akan tetapi ia dapat menguasai kemarahannya dan hanya berdiri memandang dengan mata melotot.
“Kau... kejam sekali menuduh aku berbuat yang bukan-bukan... tak perlu kusangkal lagi, memang betul dahulu sebelum aku bertemu dengan engkau... aku... aku ada hubungan surat-menyurat dengan orang she Cia itu. Akan tetapi... tidak ada apa-apa yang kotor di dalam hubungan itu... percayalah, aku bersumpah demi nama Thian, demi Langit dan Bumi, demi kesucian nama anak kita Im Giok... suamiku, hubungan itu hanya su-rat-menyurat belaka...”
“Bohong! Kauhabiskan uang dan perhiasan untuk Si Bedebah Cia Sun, kau mempergunakan Ceng Si sebagai jembatan, kaukira aku tidak tahu? Hayo, kau mau bilang apa lagi?”
“Ampunkan aku, suamiku... memang, aku telah bersalah, tidak memberitahukan semuanya kepadamu... aku tadinya... aku... takut kalau kau marah dan... aku takut kehilangan cinta kasihmu... akan tetapi sungguh mati aku tidak melakukan hal yang tidak patut, hubungan itu tetap bersih... ampunkanlah....”
“Perempuan rendah!” Kiang Liat berlari keluar kamar dan membanting daun pintu, meninggalkan Bi Li Yang menangis tersedu-sedu di dalam karnar itu, di atas lantai.
***
Semenjak hari itu, Kiang Liat tidak pulang lagi ke rumahnya. Ia meninggalkan isteri dan anaknya, membawa kuda dan uang, pergi merantau di dunia kangouw dengan hati patah dan pikiran selalu diliputi kedukaan dan kekecewaan. Cinta kasihnya kepada isterinya tak dapat ia lupakan, bahkan makin jauh ia pergi, makin rindulah ia kepada isterinya dan puterinya. Berkali-kali ia mengambil keputusan untuk kembali, untuk memaafkan isterinya, untuk kembali hidup berumah tangga dengan anak isterinya, berbahagia seperti dahulu lagi. Akan tetapi, perasaan cemburu yang sudah mencuci hati dan pikiran seorang pria memang paling hebat dan berbahaya, dapat membuat pikirannya menjadi gelap dan pertimbangannya patah. Cinta kasih yang sebesar-besarnya dapat berubah menjadi kebencian yang dahsyat. Rasa rindu kepada anak isterinya, oleh Kiang Liat bukan dianggap sebagai besarnya rasa cinta kasihnya dan tidak dijadikan dasar untuk mengampuni isterinya, sebaliknya ia malah benci kepada diri sendiri dan menganggap diri sendiri terlalu lemah. Maka ia lalu merantau makin jauh lagi dari rumahnya, melakukan perbuatan seperti yang layak dilakukan oleh seorang pendekar. Karena ini, namanya menjadi makin ternama di dunia kang-ouw dan julukan Jeng-jiusian (Dewa Tangan Seribu) makin terkenal.
Waktu berjalan cepat tak terasa dan empat tahun telah lewat semenjak Kiang Liat meninggalkan rumahnya. Pada suatu hari ketika ia sedang duduk seorang diri mengenang nasibnya yang buruk, dalam sebuah kelenteng bobrok di Propinsi Shansi sebelah selatan, hujan turun dengan derasnya. Beberapa kali Kiang Liat menarik napas panjang dan mukanya kelihatan sedih sekali. Terbayang di depan matanya betapa dahulu di waktu hujan seperti sekarang ini, ia duduk di kamar pinggir bersama isterinya, duduk menghadapi jendela terbuka dan bersama-sama melihat air huian turun. Alangkah mesra dan bahagianya waktu itu, dan mengingat akan semua ini, ditambah pula dengan bayangan wajah Im Giok yang tersenyum-senyum dan secara lucu menyebut-nyebut “pa-pa” berkali-kali, air mata mengucur turun dari sepasang mata pendekar itu. Cepat-cepat ia mengusapnya dengan punggung tangan. Tak patut seorang pendekar gagah mengucurkan air mata, pikirnya dengan hati dikeraskan. Akan tetapi percuma saja, hatinya sudah terlalu lama menderita sehingga ia tak dapat menahan lagi air matanya yang mengucur terus, menyaingi air hujan yang bercucuran dari atas.
Selagi Kiang Liat menumpahkan kesedihan hatinya seorang diri di ruang kelenteng itu, tiba-tiba ia mendengar suara perlahan. Ketika ia mengangkat mukanya yang tadi ia sembunyikan di atas lutut, ia melihat seorang kakek pengemis berdiri di hadapannya dengan sikap tenang.
“Suhu...” Kiang Liat menjatuhkan diri berlutut dan buru-buru ia menghapus air matanya.
“Orang bodoh, kau pulanglah, isterimu menderita sakit, anakmu lenyap diculik. Menyiksa diri sendiri dan memaksa diri membenci keluarga, tidak mau pulang akan tetapi dirantau berduka selalu, benar-benar perbuatan yang amat pandir. Pulanglah kau!”
Sebelum Kiang Liat sempat bertanya, tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari situ. Kiang Liat maklum bahwa watak suhunya amat aneh, dan percuma saja kalau ia akan mengejar juga. Ia tidak memikirkan lagi tentang suhunya, pikirnya penuh dengan berita yang diterimanya. Mendengar isterinya sakit dan anaknya diculik orang, ia terkejut bukan main dan seketika itu rasa marah jauh lebih besar daripada kesedihannya. Tanpa mempedulikan hujan angin yang masih mengamuk di luar, di lain saat Kiang Liat sudah melompat dan berlari cepat menerjang hujan.
Berita mengejutkan yang disampaikan oleh Han Le kepada muridnya itu memang nyata. Semenjak ditinggalkan oleh suaminya. Bi Li hidup dalam kedaan sengsara, menderita batinnya. Kalau saja tidak mengingat kepada puterinya, kiranya nyonya muda ini takkan dapat menahan lebih lama lagi hidup di dunia. Baginya, derita lahir jauh dari suami masih dapat ditahannya, akan tetapi derita batinnya, yakni sangkaan suaminya bahwa dia telah berlaku jina sebelum menjadi isterin yang benar-benar terasa tak kuat ia menahan. Setelah bertahun-tahun suaminya tidak pulang dan ia menerima ejekan dan sindiran dari orang-orang yang tidak suka kepada keluarga Kiang. Bi Li sering kali jatuh sakit. Selama empat tahun ini, perhiasan dan barang-barang berharga di rumah sudah banyak dijualnya untuk makan, membayar pelayan dan membeli obat dan lain keperluan. Keadaannya makin lama makin buruk, akan tetapi Bi Li tidak mempedulikan keadaannya sendiri. Siang malam yang menjadi ingatannya hanya suaminya.
Kiang Liat yang dirindukannya setiap saat. Hampir setiap malam Bi Li bersembahyang mohon kepada Yang Maha Esa agar supaya suaminya dapat memaafkan kesalahannya dan dapat pulang kembali.
Akan tetapi, sudah terlampau banyak buktinya, harapan manusia selalu tidak cocok, bahkan sebaliknya dengan kenyataan yang datang. Bukan Kiang Liat yang datang, melainkan seorang yang menambah beban deritanya, yakni Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat!
Wanita yang berusia hampir empat puluh tahun akan tetapi masih memiliki kecantikan seorang gadis remaja berusia dua puluhan ini, datang tanpa diundang, bahkan tanpa diketahui orang, tahu-tahu sudah berada di kamar Bi Li seperti kedatangan seorang dewi atau seorang siluman!
Bi Li segera mengenalnya, maka biarpun amat terkejut, nyonya muda ini menjadi girang sekali. Ia segera maju berlutut, akan tetapi ia ditarik bangun oleh Pek Hoa Pouwsat.
“Adikku yang manis, mengapa kau kelihatan kurus dan pucat? Ah, kau bahkan tidak sehat kiranya...” Pek Hoa berkata dengan suaranya yang merdu dan ramah.
Mendengar teguran ini Bi Li tak dapat tahan lagi lalu menangis tersedu-sedu. Dengan suara terputus-putus nyonya muda yang mengira bahwa ia berhadapan dengan seorang dewi kahyangan, menceritakan nasibnya, yang amat sengsara, betapa ia dahulu tertipu oleh Cia Sun dan Ceng Si dan sekarang suaminya mengetahui semua rahasia sehingga marah-marah, membunuh Cia Sun dan meninggalkannya.
Orang seperti Pek Hoa ini mana tahu akan rasa kasihan? Sebaliknya, di dalam hati ia merasa geli. Akan tetapi mulutnya berkata lain dan ia menghibur Bi Li.
“Mengapa susah-susah? Lebih baik mencari hiburan sendiri sambil memelihara anak. Mana anakmu?”
Setelah melihat Im Giok yang sudah berusia hampir enam tahun, Pek Hoa Pouwsat memandang dengan mata terbelalak kagum. Seorang anak perempuan berpakaian merah, dengan rambut hitam panjang dikuncir menjadi dua terikat dengan pita biru tergantung di depan pundak, sepasang mata yang bening dan berbentuk indah, bergerak-gerak membayangkan kecerdikan luar biasa, hidung yang mungil dan mancung nampak lucu sekali, mulutnya kecil dengan bibir merah segar, potongan muka bulat telur dengan dagu meruncing, sepasang pipi kemerahan. Pendeknya, wajah seorang bocah perempuan yang sehat dan mungil sekali. Biarpun baru berusia enam tahun, Im Giok sudah memperlihatkan kecantikan dan setiap orang dengan mudah akan mengatakan bahwa bocah ini adalah calon seorang gadis yang cantik luar biasa.
“Pek Hoa-cici, benar-benar anakku Im Giok ini seperti kau wajahnya...!” Bi Li mengulangi kata-kata yang sering kali ia katakan sebelum Pek Hoa datang berkunjung.
Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yang usianya sudah hampir empat puluh satu tahun, seorang wanita yang hidup menyeleweng melalui jalan kotor, tidak pernah ia mengenal kebahagiaan rumah tangga dan kebahagiaan seorang ibu. Sekarang, melihat Im Giok tiba-tiba saja ia menjadi terharu, apalagi setelah mendengar ucapan Bi Li, ia terpaksa mengerahkan tenaga untuk menahan jatuhnya air mata. Diam-diam ia berkata kepada diri sendiri bahwa anak inilah yang paling tepat untuk dijadikan muridnya!
Kedatangan Pek Hoa Pouwsat menghibur hati Bi Li. Dengan ramah nyonya muda ini lalu berusaha sedapat mungkin untuk menjamu tamunya dan pada malam hari itu, Pek Hoa Pouwsat dipersilakan tidur di dalam satu kamar dengan Bi Li dan Im Giok.
Adapun Im Giok sendiri, amat suka kepada Pek Hoa Pouwsat. Ia memandang kepada tamu ini dengan matanya yang jeli, dengan berterang ia memuji, “Ibu, Bibi ini cantik sekali, ya?”
Pek Hoa menangkap dan mengangkatnya di atas pangkuan. “Anak yang baik, kelak kau lebih cantik daripada aku atau ibumu.” Katanya sambil mengusap-usap kepala Im Giok dan beberapa kali meraba lengan, pundak, punggung, dan pangkal paha untuk memeriksa apakah bocah ini mempunyai bakat. Bukan main girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa bocah ini memang bertulang pendekar, yakni memiliki tubuh sehat, tulang-tulang kuat dan perjalanan darahnya baik sekali. Ditambah dengan kecerdikan yang membayang di kedua mata anak ini, dapat diduga bahwa kelak tentu akan menjadi seorang pandai.
Untuk mengetahui isi hati dan pikiran anak itu, Pek Hoa lalu bertanya, “Im Giok sukakah kau menjadi muridku?”
Bocah itu melirik ke arah ibunya, lalu berkata dengan senyum lucu. “Belajar membaca dan menulis lagi, Bibi? Ah, ibu sudah mengajarku dan aku adalah orang yang paling malas belajar dan membaca dan menulis, demikian kata ibu. Bibi tentu akan kecewa mengajarku, karena aku benar-benar malas dan tidak suka. Lebih senang belajar menjahit dan menyulam! Apalagi menggambar atau bernyanyi, lebih senang lagi aku.”
Pek Hoa tertawa. “Kau suka belajar menari.”
Im Giok melompat turun dari pangkuan Pek Hoa, memandang kepada wajah tamu ini dengan mata berseri. “Menari seperti anak-anak wayang yang pernah kulihat bermain di kelenteng itu? Wah, aku senang sekali! Aku sudah minta ibu mengajarku, akan tetapi ibu tidak dapat, Bibi, kalau kau mau mengajarku menari penyanyi, melukis, dan menyulam, aku suka sekali!”
“Apa kelak kau ingin menjadi anak wayang tukang menari?” tanya ibunya, pura-pura tak senang.
“Apa salahnya, ibu? Mereka itu cantik-cantik dan pandai. Buktinya banyak orang gemar menonton dan banyak orang memuji. Kalau tidak pandai masa disukai orang? Aku lebih suka ditonton daripada menonton. Bibi, mau kau mengajarku?” Dengan sifat manja Im Giok menarik-narik tangan Pek Hoa dan ketiga orang itu tertawa-tawa.
Demikianlah hati Bi Li gembira sekali mendapat teman seperti Pek Hoa ini dan sampai jauh malam mereka bercakap-cakap gembira. Akan tetapi, menjelang fajar, Bi Li terkejut mendengar suara anaknya memanggil. Ia terbangun dan dilihatnya Pek Hoa sudah memondong Im Giok dan tamunya itu sekali bergerak telah “terbang” ke jendela yang sudah terbuka. Bukan main kagetnya Bi Li, apalagi Im Giok berkali-kali memanggil “Ibu...! Ibu...! Bibi, aku tidak mau pergi kalau ibu tidak ikut!”
“Enci Pek Hoa, kau hendak bawa anakku ke manakah?” Bi Li mengejar dan bertanya kaget karena ia takut kalau-kalau anaknya dibawa ke kahyangan tempat para bidadari!
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh nyaring dan lenyaplah sifat ramah-tamah dari Pek Hoa, terganti sifat mengejek dan tarikan air mukanya mengandung kekejaman luar biasa.
“Ha, ha, ha, Bi Li! Tak usah kau ribut-ribut. Anakmu tak perlu kaupikirkan lagi. Dia sudah menjadi anakku atau muridku dan akan kubawa pergi. Ha, ha, mungkin dahulu kau selalu membanggakan kecantikanmu, ya? Sekarang baru kau tahu bahwa kecantikan tidak membawa bahagia. Bukan aku saja yang mengalami, akan tetapi kau juga... ha, kau juga, Bi Li. Tunggulah saja di rumah mengenang suami dan anak yang hilang!” Sekali berkelebat tubuh Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, hanya gema suara ketawanya masih terdengar dari jauh seperti suara ketawa seorang siluman wanita!
Sejak tadi, Bi Li berdiri terpaku di lantai. Melihat Pek Hoa yang memondong puterinya berdiri di jendela sambil mengeluarkan kata-kata keji dan air mukanya yang menyeringai mengerikan itu, hati Bi Li seakan-akan berhenti berdetik. Setelah Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, barulah Bi Li sadar. Ia menjerit dan memburu ke jendela, akan tetapi mana bisa ia mendapatkan Pek Hoa yang sudah melompat ke atas genteng dan berlari cepat sekali?
“Im Giok... anakku... Im Giok... kembalikanlah anakku... Im Giok...!” Setelah memanggil-manggil sampai suaranya hampir habis, akhirnya Bi Li menjadi lemas. Dipaksanya berlari ke luar dan mengejar ke sana ke mari, terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh pingsan di luar rumah, dekat jalan, di atas tanah yang basah.
Setelah matahari naik tinggi, baru ada para tetangga yang melihat keadaan Bi Li dan ramai-ramai mereka menolong nyonya muda yang bernasib malang ini. Akan tetapi, tubuh nyonya muda yang selama ini memang lemah dan sering sakit, tidak dapat menahan serangan batin yang hebat ini. Bi Li jatuh sakit berat. Karena tetangga yang mau menolong dan merawatnya juga amat miskin, terpaksa seluruh isi rumah dari Bi Li dijual untuk membeli obat dan keperluan lain.
Keadaan Bi Li amat payah. Siapa yang dapat menolongnya? Kakeknya sendiri, Song Lo-kai telah meninggal dunia tak lama setelah Kiang Liat pergi. Nyonya muda yang hidup sebatang kara ini terserang sakit panas dan batuk-batuk, setiap saat ia hanya memanggil dan menyebut-nyebut nama suaminya dan anaknya. Sebulan kemudian, Bi Li menghembuskan nafas terakhir. Tak seorang pun menangisi kematiannya, para tetangga yang cukup baik hati menjaganya, hanya menarik napas panjang dan merasa kasihan.
Kegotong-royongan para tetangga yang miskin pulalah yang mencegah jenazah nyonya muda ini terlantar. Mereka bekerja sama dan dengan amat sederhana dan bersahaja, jenazah Bi Li dimasukkan dalam peti mati tipis dan disembahyangi sekedarnya.
Baru saja peti itu hendak diangkat orang untuk dibawa ke kuburan, tiba-tiba seorang wanita jembel datang berlari-lari dan menjatuhkan diri berlutut di depan peti sambil menangis terlolong-lolong. Pakaiannya kotor tambal-tambalan, rambutnya awut-awutan mukanya penuh debu dan lumpur sehingga ia menjijikkan sekali. Tak seorang pun di antara para tetangga itu mengenalnya.
“Hujin... mengapa kau tega meninggalkan hamba...? Siapa yang akan merawat dan melayanimu Hujin? Bawalah hamba serta... Hujin, hamba... hamba mohon ampun atas segala dosa...” Wanita ini menangis sedih sekali, tiba-tiba ia berhenti menangis dan... tertawa bergelak! “Ha, ha, ha, Kiang Liat! Kau kehilangan anak dan isteri, bagus! Cia Sun, kau mampus dengan mata mendelik, salahmu sendiri. Ha, ha, ha!”
Sekarang baru para tetangga itu mengenalnya. Perempuan jembel yang otaknya sudah tak beres ini bukan lain adalah Ceng Si. Memang semenjak suaminya, Cia Sun, tewas oleh Kiang Liat, Ceng Si menjadi ketakutan selalu, takut kalau-kalau Kiang Liat juga akan mencari dan membunuhnya. Ia insyaf bahwa ia pun berdosa dalam urusan pemerasan terhadap Bi Li. Di samping rasa takut terhadap Kiang Liat, ia pun benci kepadanya. Ketika mendengar bahwa suaminya dibunuh oleh Kiang Liat Ceng Si melarikan diri ke luar kota.
Ia terjatuh ke tangan orang jahat. Karena Ceng Si memang masih muda dan mempunyai wajah cantik dan tubuh menarik, ia menjadi permainan orang-orang jahat. Selama tiga tahun lebih ia terjatuh dari satu ke lain tangan dan terperosok makin dalam ke jurang kehinaan. Akhirnya, Ceng Si mulai berubah pikirannya. Bajingan-bajingan yang mempermainkannya, melihat otaknya sudah miring, tentu saja lalu menendangnya dan demikianlah, Ceng Si hidup berkeliaran sebagai seorang wanita jembel yang gila! Kebetulan sekali saat Bi Li menghembuskan napas terakhir, Ceng Si telah tiba di kota itu kembali dan wanita setengah gila ini mendengar tentang berita kematian Bi Li lalu berlari-lari mendatangi rumah bekas majikannya.
***
Rumah gedung bekas tempat tinggal keluarga Kiang masih berdiri tegak, akan tetapi sekarang keadaannya menyeramkan sekali. Rumah besar itu kelihatan gelap dan kotor, penuh sarang laba-laba dan debu. Tak sebuah pun prabot rumah kelihatan menghias rumah gedung itu, karena semua prabot rumah dijual oleh para tetangga untuk membiayai perawatan Bi Li ketika sakit dan meninggal. Sungguhpun rumah itu sudah kosong tidak ada penghuninya, namun tak seorang pun berani mengganggu atau menjualnya, karena siapakah yang berani menjual rumah gedung milik keluarga Kiang? Mereka semua tahu bahwa biarpun Kiang Liat pada waktu itu tidak ada di situ, akan tetapi kalau pendekar itu kembali dan melihat rumahnya dijual orang, tentu orang yang menjualnya itu takkan diberi ampun. Semua orang di kota Sian-koan tentu saja sudah mengenal nama Kiang Liat sebagai seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi.
Semenjak meninggalnya Bi Li rumah itu dikosongkan saja. Akan tetapi tetap setiap hari sekali, kadang-kadang sore dan ada kalanya pagi-pagi, halaman depan rumah gedung kosong itu tentu disapu dan dibersihkan oleh seorang perempuan jembel gila, yakni Ceng Si!
Pada suatu pagi, kurang lebih sepekan setelah Bi Li meninggal, Kiang Liat tiba di kota Sian-koan! Bagaimanapun gelisah hatinya mendengar dari gurunya bahwa puterinya diculik orang dan isterinya sakit keras, namun Kiang Liat masih ingat untuk bertukar pakaian yang pantas sehingga ketika ia masuk kota Sian-koan, ia telah merupakan seorang laki-laki muda berpakaian seperti seorang- pendekar yang gagah.
Tentu saja penduduk Sian-koan mengenalnya dan semua orang memandangnya dengan sinar mata berkasihan. Siapa yang tidak merasa kasihan melihat orang laki-laki yang telah ditinggal mati isterinya dan anaknya diculik orang pula? Akan tetapi, semua orang merasa takut dan segan untuk menegur Kiang Liat, karena mereka tahu akan pembunuhan yang dilakukan oleh Kiang Liat kepada Cia Sun tanpa mereka ketahui latar belakangnya.
Namun, Kiang Liat juga tidak mempedulikan pandang mata semua orang itu. Ia bergegas menuju ke rumahnya. Akan tetapi, setelah tiba di jalan depan rumah, ia berdiri terpaku dan mukanya menjadi pucat. Rumahnya nampak seram dan kosong. Dengan langkah lambat ia memasuki pintu pekarangan dan berjalan perlahan menuju ke ruang depan.
Tiba-tiba ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh, suara ketawa seorang wanita. Cepat Kiang Liat memutar tubuh memandang ke sebelah kanan. Di bawah pohon ia melihat seorang wanita jembel memegang sebatang sapu, tertawa-tawa memandang kepadanya, bahkan kadang-kadang telunjuknya menuding ke arahnya, nampaknya perempuan itu geli sekali.
“Kau siapakah dan apa yang kaulakukan di sini?” tanya Kiang Liat.
“Hi, hi, hi... Kiang Liat, kau sudah lupa lagikah kepadaku? Aku siapa? Ha, ha, lucu sekali. Bukankah aku ini bekas kekasihmu yang bernama Ceng Si? Sudah begitu pelupakah engkau?”
Kiang Liat terkejut dan tak terasa melangkah mundur dua tindak dengan hati kasihan dan ngeri.
“Ceng Si...! Kau... kau gila...? Mau apa kau di sini dan mana... mana Bi Li?”
Tiba-tiba Ceng Si menangis tersedu-sedu. “Song-hujin sudah mati... kau yang membunuhnya... kau yang mencabut nyawanya .... !”
Kian Liat makin pucat mukanya dan otomatis ia menoleh ke arah rumah gedungnya yang kosong dan kotor, lagi sunyi sekali, sama dengan perasaan hatinya yang kosong dan sunyi.
“Ceng Si, kau mengacau, bagaimana aku bisa membunuhnya? Aku baru saja datang...”
Ceng Si memekik keras dan matanya memancarkan sinar kemarahan ketika ia melangkah maju dan seperti hendak memukul kepala Kiang Liat dengan sapunya.
“Kau laki-laki jahanam! Kau manusia kejam! Kau telah membunuh suamiku dan sekarang... ha, ha, ha! Isterimu mati, anakmu lenyap, semua karena kejahatanmu sendiri! Kiang Liat, aku puas melihatmu sekarang, setan dan iblis telah membalas kejahatanmu. Kau marah-marah meninggalkan isterimu, isteri yang berhati putih bersih dan suci! Kaukira dia bermain gila dengan Cia Sun? Ha, ha, ha, goblok sekali engkau! Bi Li dahulu seorang gadis suci bersih, mana bisa ia bermain gila dengan seorang laki-laki? Cia Sun sengaja memancingnya, untuk mendapatkan hartanya, aku menjadi pembantunya yang setia! Ha, ha, Bi Li yang bodoh itu mudah saja kami tipu, mudah saja kami takut-takuti kalau tidak mau memberi harta benda akan kami adukan kepada suaminya yang tolol. Ha, ha, dan suaminya menjadi cemburu, membunuh Cia Sun lalu meninggalkannya.” Ceng Si tadinya marah-marah, lalu tertawa-tawa mengejek, kemudian tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu.
“Kasihan Bi Li... kasihan Song-ciocia nonaku yang manis budi... kasihan sekali karena ditinggal suami dan disakiti hatinya, dituduh yang bukan-bukan... kasihan sekali, hatinya hancur, hidupnya sengsara... semua karena Kiang Liat, jahanam yang telah membunuh suamiku....”
Makin banyak mendengar kata-kata Ceng Si, makin pucatlah muka Kiang Liat. Akhirnya ia tidak tahan dan sekali kedua tangannya digerakkan ia telah memegang kedua pundak Ceng Si, menekannya keras-keras sehingga perempuan itu menjerit kesakitan,
“Jangan bunuh aku...!” jeritnya sekali-kali dengan muka takut sekali. Rasa takut yang dulu membuatnya melarikan diri sekarang memenuhi hatinya lagi, maka ia menjerit-jerit minta ampun.
“Ceritakan semua tentang hubungan Bi Li dan Cia Sun!” bentak Kiang Liat. “Kalau kau bohong, kepalamu akan kuhancurkan di sini juga!”
“Ampun Kiang-wangwe... ampunkan hamba... sesungguhnya saya tidak salah apa-apa, yang salah adalah bangsat Cia Sun itulah. Dia yang dulu sengaja memancing Siocia dan membujukku. Dia bilang kalau Siocia bisa menikah dengannya, aku kelak akan ia ambil sebagai ji-hujin. Karena itu, aku membujuk-bujuk Siocia yang masih muda dan hijau, kuserahkan surat-surat dan sajak-sajak indah dari Cia Sun dan memaksa Siocia membalas surat-suratnya. Setelah itu, surat-surat dari Siocia itu disimpan dan dipergunakan sebagai alat pemeras. Siocia ketakutan sekali kalau-kalau surat-suratnya terlihat oleh Kiang-wangwe, maka segala permintaan kami berdua diturutinya saja. Banyak sudah uang dan perhiasan dapat kami peras dari Siocia dan...”
Kata-kata Ceng Si berhenti sampai di situ saja, disambung dengan keluhnya mengaduh-aduh ketika tubuhnya terlempar dan menubruk batang pohon. Saking gemas dan tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi, Kiang Liat melemparkan tubuh perempuan itu. Tadinya ia hendak membunuhnya, akan tetapi ia masih ingat bahwa perempuan ini sudah menjadi orang gila, hukuman yang sudah cukup hebat bagi hidupnya.
Dengan kedua kaki lemas, Kiang Liat berlari memasuki gedungnya. Berlari-lari memasuki kamar isterinya dan di depan ambang pintu ia terpaku dengan mata terbelalak. Seakan-akan ia melihat isterinya berdiri di tengah kamar.
“Bi Li, isteriku sayang... kau ampunkan dosaku, Bi Li...” ia berbisik dan maju lalu menjatuhkan diri berlutut, kedua lengan menubruk dan hendak memeluk kaki isterinya. Akan tetapi, ia memeluk tempat kosong dan ketika ia mengangkat muka, ternyata di situ tidak ada siapa-siapa dan ia berlutut di tengah kamar yang kosong, kotor, dan penuh sarang laba-laba!
“Bi Li...” hatinya merasa tertusuk-tusuk dan di lain saat Kiang Liat terjungkal pingsan di tengah kamar itu. Sudah terlalu lama Kiang Liat menahan tekanan batin yang maha dahsyat, dan akhir-akhir ini ditambah lagi dengan penyiksaan diri secara sengaja, yakni sering kali mengosongkan perut. Bahkan sebelum pulang ke Siang-koan, sudah sepekan Kiang Liat tidak makan. Sekarang, pukulan terakhir yang hebat, yang dilakukan oleh Ceng Si, merupakan tusukan yang jitu dan melukai jantungnya. Ia amat mencinta Bi Li isterinya, kemudian karena cemburu dan kecewa, ia meninggalkan isterinya yang disangka dahulu melakukan penyelewengan kesusilaan itu dengan hati sakit sekali.
Kini, tidak saja ia mendengar anaknya telah hilang diculik orang, bahkan mendengar isterinya itu, telah meninggal dunia, ini semua tidak begitu hebat kalau dibandingkan dengan pengakuan Ceng Si bahwa sebenarnya Bi Li sama sekali tidak berdosa, sama sekali tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik bahkau telah menjadi korban penipuan dan pemerasan Cia Sun dan Ceng Si! Dan isterinya meninggal dunia karena sedih dan sengsara, akibat ditinggalkan suaminya! Jadi tepat sekali kata-kata Ceng Si si gila itu bahwa dialah yang membunuh isterinya sendiri.
Kiang Liat menggeletak pingsan di tengah kamar isterinya itu sampai lewat tengah hari. Ketika ia siuman dan dapat bergerak kembali, kamar itu telah gelap. Kiang Liat nanar seketika, tubuhnya panas, kepalanya pusing dan kedua kakinya gemetar lemas. Ia merangkak bangun, terhuyung-huyung dan ketika teringat olehnya akan segala sesuatu yang dialaminya pagi tadi, bibirnya mengeluarkan keluhan, hatinya terasa disayat-sayat.
“Bi Li... Bi Li...” kedua matanya menjadi basah dan tak lama kemudian, ia merupakan seorang laki-laki yang layu, terhuyung-huyung keluar dari rumah gedung itu dengan langkah lemas.
Tetangganya, Empek Lai yang bekerja sebagai penjual sayur, memandangnya dengan sepasang mata berkasihan ketika Kiang Liat berdiri di depan pintu rumahnya.
“Lai-lopek, tolonglah kaututurkan kepadaku apa yang kau tahu tentang hilangnya anakku Im Giok...” kata Kiang Liat dengan suara hampir berbisik.
“Aah... Kiang-wangwe, marilah masuk. Silakan duduk... ah, sayang datangmu terlambat, Wan-gwe... kasihan anak dan isterimu...” kata empek itu dengan suara bernada kasihan.
Kiang Liat menggeleng kepalanya, kata-kata empek itu makin menyedihkan hatinya. “Lopek, tak usahlah, terima kasih. Katakan saja siapa yang telah menculik anakku…”
“Tak seorang pun di antara kami yang mengetahui dengan pasti, Wan-gwe. Kami temui Hujin telah menggeletak pingsan di atas tanah di luar rumahnya, kami menolongnya dan setelah ia siuman dari pingsannya, ia jatuh sakit hebat. Dalam igauannya, kami mendengar berkali-kali ia menyebut-nyebut namamu dan nama Nona Im Giok, kemudian ada juga ia menyebut nama Enci Pek Hoa dan minta kembali anaknya dari orang yang ia sebut Enci Pek Hoa...”
Keterangan ini menambah perih hati Kiang Liat. Apalagi di bagian isterinya pingsan di luar rumah, kemudian bagian yang menceritakan betapa dalam sakit menghadapi maut isterinya masih terus menyebut-nyebut namanya, ini benar-benar membuat hatinya berdarah dan sakit bukan main. Kiang Liat tak dapat menahan lagi, terus saja ia membalikkan tubuh tanpa minta permisi lagi, pergi dari situ dengan kaki limbung dan tangan kirinya menekan dada kiri yang terasa sakit sekali. Tak lama kemudian ia terbatuk-batuk dan... darah segar keluar dari mulutnya!
“Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat…” demikian ia berbisik. “Anakku terjatuh di tangannya... aku... aku harus hidup, menolong anakku. Awas kau, siluman... aku akan mengadu nyawa denganmu...”
Dalam keadaan yang amat sengsara, dan kadang-kadang batuk-batuk dan muntahkan darah, Kiang Liat meninggalkan kota Sian-koan, dalam perjalanan mencari Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, orang yang telah menculik Kiang Im Giok, puterinya.
***
“Bibi, aku mau kembali ke rumah ibu...” Suara ini terdengar nyaring dan keras. Kalau ada orang yang kebetulan berada di hutan besar itu, tentu akan terheran-heran mendengar suara ini, suara seorang anak perempuan. Bagaimana seorang anak perempuan dapat berada di dalam hutan yang begitu liar dan luas? Apalagi kalau orang itu melihat bahwa anak perempuan itu hanya berdua saja dengan seorang gadis yang cantik sekali. Dua orang perempuan, seorang gadis dan seorang bocah, berdua saja di dalam hutan yang terkenal banyak binatang buas dan perampok-perampok ini, benar-benar aneh!
Anak perempuan itu adalah Kiam Im Giok, puteri tunggal dari Kiang Liat dan Bi Li yang telah diculik oleh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Im Giok malam tadi ketika sedang tidur nyenyak, diam-diam telah didekati oleh Pek Hoa, ditekan jalan darahnya sehingga anak ini terus tidur seperti pingsan, tidak merasa sesuatu lagi. Pada keesokan harinya, setelah pergi jauh dari kota Sian-koan, Pek Hoa menyadarkannya. Im Giok merasa terheran-heran ketika mendapatkan dirinya berada dalam pondongan tamu yang cantik itu.
”Bibi, bagaimana kita bisa berada di sini? Kau hendak membawaku ke manakah?”
“Im Giok, anak baik, bukankah kau sudah mau menjadi muridku? Sebagai murid yang baik, kau harus ikut ke mana pun juga gurumu pergi.”
Akan tetapi Im Giok sudah teringat akan ibunya. Ia memberontak minta turun dan setelah ia diturunkan dari pondongan Pek Hoa, ia berkata keras,
“Bibi, aku mau kembali ke rumah ibu!”
Kata-kata ini ia ulangi terus dan sepasang matanya yang tajam itu menatap wajah Pek Hoa, seakan-akan hendak menjenguk isi hati wanita itu, untuk menetapkan, apakah wanita itu baik atau jahat.
“Im Giok, bukankah kau sudah menyatakan suka menjadi muridku? Ayahmu seorang gagah, dan kau sebagai anaknya juga harus berwatak gagah, tidak boleh menarik kembali janjimu.”
“Aku memang suka menjadi muridmu, akan tetapi di rumah ibu. Aku tidak tega meninggalkan ibu seorang diri. Ibu sering kali sakit...”
Pek Hoa tersenyum. Diam-diam ia kagum sekali melihat anak itu. Cantik dan gagah, berdiri tegak menentangnya seperti seekor harimau kecil! Benar-benar seorang murid yang banyak harapan, pikirnya.
“Im Giok, jangan khawatir. Ibumu sudah kusembuhkan.”
“Bagaimana kau bisa menyembuhkannya, Bibi?” Im Giok memandang tidak percaya.
Pek Hoa tertawa memperlihatkan barisan gigi yang putih seperti mutiara di balik sepasang bibirnya yang merah sehat.
“Kau anak bodoh! Masih tidak percaya akan kepandaian gurumu sendiri? Orang menyebutku Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, tidak tahukah kau artinya?”
Biarpun baru berusia enam tahun, Im Giok sudah pandai membaca kitab dan ia mengerti akan arti huruf-huruf dan sebutan-sebutan.
“Artinya bahwa kau seorang Bidadari Cantik. Memang, kau cantik sekali, Bibi, lebih cantik dari ibu. Akan tetapi, apa buktinya kau seorang bidadari yang pandai mengobati ibu? Kata orang, bidadari pandai terbang, apa kau bisa terbang?”
Kembali Pek Hoa tertawa dan memuji sifat teliti dari anak itu.
“Bagus, kau masih belum percaya kalau belum melihat bukti. Sifat ini amat baik dan harus kaupelihara selama hidupmu. Apalagi menghadapi kaum pria, kau jangan gampang percaya. Kau masih sangsi apakah aku bisa terbang? Tentu saja bisa. Kalau kau sudah melihat buktinya, apakah kau takkan rewel lagi dan mau ikut dengan aku tanpa banyak tanya?”
Im Giok memang masih kecil, baru enam tahun usianya. Akan tetapi ia seorang anak cerdik sekali. Ia semenjak kecil telah ditinggalkan ayahnya yang berkepandaian tinggi, maka dalam hal ilmu silat tinggi, boleh dibilang ia masih buta. Maka tentu saja ia menganggap mustahil bagi seorang manusia untuk dapat terbang seperti bidadari atau burung. Oleh karena ini, tanpa banyak sangsi lagi ia mengangguk. Ia rela meninggalkan ibunya untuk menjadi murid seorang bidadari yang pandai terbang, bukankah itu enak sekali? Ia bisa mengajak ibunya bertamasya ke... bulan!
“Kaulihatlah, bukankah di puncak pohon itu terdapat seekor burung kecil yang indah sekali?” tanya Pek Hoa sambil menunjuk ke atas.
Im Giok memandang dan sebentar saja sepasang matanya yang berpandangan tajam itu dapat melihat seekor burung dada kuning sedang berloncat-loncatan dari ranting ke ranting puncak pohon yang tinggi.
“Aku melihat, burung dada kuning, bukan?”
“Bagaimana orang dapat menangkapnya?”
“Mana bisa ditangkap? Burung itu pandai terbang. Kalau kita memanjat pohonnya, tentu ia sudah lari terbang ketakutan,” jawab Im Giok.
“Nah, kau lihat baik-baik. Aku akan terbang ke atas pohon dan menangkapnya!” Sebelum Im Giok mengeluarkan ucapan tidak percaya, Pek Hoa menggerakkan kedua lengannya dan tubuhnya melayang naik dengan gerakan cepat sekali sehingga Im Giok memandang ke atas dengan melongo. Gadis cilik ini melihat betapa Pek Hoa benar-benar seperti seekor burung besar menyambar ke atas, baju celananya dari sutera itu berkibar-kibar tertiup angin membuat ia kelihatan seperti seorang bidadari cantik jelita tengah terbang bermain-main dengan bunga dan burung.
Tentu saja sepasang mata Im Giok yang belum terlatih itu tidak dapat melihat bahwa Pek Hoa tentu saja sama sekali bukan “terbang”, melainkan melompat ke atas, menyambar dahan untuk menarik tubuh makin ke atas, demikianlah, dari cabang ke cabang, Pek Hoa sempat membuat tubuhnya kelihatan seperti terbang. Gin-kangnya memang sudah tinggi sekali sehingga jangan kata Im Giok seorang bocah, biarpun orang dewasa kalau belum tajam pandangan matanya, pasti akan mengira dia benar-benar pandai terbang seperti bidadari.
Tak lama kemudian, Pek Hoa melayang turun dan di tangannya sudah tergenggam seekor burung kecil dada kuning yang tadi kelihatan oleh Im Giok, Im Giok tidak tahu bahwa Pek Hoa tadi telah mempergunakan tenaga lwee-kang untuk menghantam burung itu. Ketika ia melompat ke atas, burung itu hendak terbang, akan tetapi dengan menggerakkan tangan kanan ke arah burung, Pek Hoa telah berhasil membuat burung itu jatuh ke bawah yang segera ia sambar dengan tangan kiri.
Dalam anggapan Im Giok, Pek Hoa tadi tentu telah terbang, maka kini percayalah ia bahwa Pek Hoa tentu seorang bidadari yang pandai. Cepat ia menjatuhkan diri dan berlutut sambil berkata,
“Pouwsat, teecu sekarang suka menjadi murid dan ikut pergi ke manapun juga, asal teecu diajar terbang!”
Pek Hoa tertawa girang. “Bodoh, aku bukan bidadari jangan memanggil pouwsat. Mulai sekarang kau menjadi muridku, kau harus mentaati semua perintahku, akan tetapi kau tidak boleh menyebut pouwsat, harus menyebut Enci Pek Hoa saja. Mengerti?”
Im Giok merasa heran, akan tetapi ia lebih suka menyebut enci daripada harus menyebut pouwsat.
“Baikiah, Enci Pek Hoa. Lekas kau beri pelajaran terbang padaku, Enci...”
Pada saat itu, terdengar suara orang-orang tertawa dan tak lama kemudian muncul tiga orang laki-laki dari semak-semak belukar. Mereka ini adalah tiga orang perampok yang berwatak kasar dan kejam. Usia mereka sedikitnya ada empat puluh tahun, dan ketiga-tiganya menakutkan sekali dengan cambang-cambang bauk dan tubuh kekar berotot.
“Siapakah mereka, Enci...?” Im Giok bertanya, agak kaget akan tetapi tidak takut.
“Diam dan lihatlah saja bagaimana aku menghadapi orang-orang macam ini,” kata Pek Hoa.
Sementara itu, tiga orang perampok itu memang datang karena tertarik oleh suara Im Giok dan Pek Hoa. Tadinya mereka mengira bahwa tentu ada rombongan yang lewat dan di dalam rombongan terdapat wanita-wanitanya yang kini agaknya tengah beristirahat di situ dan bercakap-cakap. Oleh karena itu dengan hati-hati mereka menghampiri dan mengintai, karena biasanya rombongan yang lewat di hutan ini tentu dikawal oleh piauwsu (pengawal) pandai ilmu silat. Setelah mereka mengintai, hampir mereka tak dapat percaya akan penglihatan sendiri. Bagaimana seorang wanita dan seorang bocah dapat berada di tengah hutan tanpa pengawal? Mereka segera melompat keluar dari semak-semak dan menghampiri Pek Hoa dan Im Giok.
Kalau tadi tiga orang perampok itu sudah terheran-heran, kini setelah berhadapan dengan Pek Hoa dan Im Giok, mereka menjadi bengong. Tiga pasang mata yang kemerahan dibuka lebar-lebar, mengagumi wajah Pek Hoa yang luar biasa cantiknya itu. Kemudian, tiga buah kepala digerakkan saling pandang, lalu meledaklah suara ketawa mereka yang menyeramkan.
“Ha, ha, ha, Ji-te dan Sam-te, alangkah lucunya! Kita tiga orang laki-laki yang tidak takut menghadapi harimau betina, kini harus bersembunyi untuk mengintai, tak tahunya yang diintai hanyalah seorang bidadari cantik dan seorang anak mungil. Ha, ha, ha!”
Dua orang adik angkatnya tertawa-tawa geli pula, dan pandangan mata tak pernah dilepaskan dari wajah Pek Hoa, bahkan kini sikap mereka kurang ajar sekali.
“Twako, biarpun tadi kita menyusup-nyusup dan bersembunyi-sembunyi, akan tetapi sama sekali tidak rugi. Biar aku disuruh menyusup-nyusup lagi sampai tertusuk-tusuk duri, aku bersedia asal bisa mendapatkan seorang bidadari seperti dia ini. Ha, ha, ha!”
“Huah, siauwte. Bunga indah seperti ini, mana Twako mau memberikan kepada kita? Bagiku, lebih baik aku mengambil bocah ini kalau dipelihara beberapa tahun lagi saja, kiranya takkan kalah cantik oleh dara itu.”
Orang pertama, yang agak pendek tubuhnya dan yang paling tua, tertawa bergelak. “Ji-te memang benar sekali. Bunga ini indah dan cantik, selama hidupku sudah banyak aku memetik bunga, akan tetapi belum pernah aku melihat yang seindah ini. Ji-te dan Sam-te terpaksa kuminta supaya kali ini mengalah.” Kemudian ia melangkah maju menghampiri Pek Hoa yang masih berdiri memandang sambil tersenyum manis sekali.
“Aduh, Nona... senyummu itu... ah, kau bisa bikin orang menjadi gila dengan senyum seperti itu! Mari ikut dengan aku, Nona. Jangan kau takut-takut. Ketahuilah, aku ini jelek-jelek juga raja hutan ini, orang menyebutku Hek-lim-ong (Raja Hutan Hitam). Dua orang ini adalah adik-adikku, atau calon adik-adikmu, juga bukan sembarang orang karena kiranya tidak ada keduanya orang-orang yang disebut Siang-san-houw (Sepasang Harimau Gunung) seperti mereka ini. Mari, Nona manis, mari kupondong agar kedua kakimu tidak lelah. Kau siapakah? Dari mana hendak ke mana?” Dengan lagak dibuat-buat dan menjemukan sekali, Hek-lim-ong menghampiri Pek Hoa. Lagaknya demikian menjemukan dan menakutkan sehingga Im Giok menjadi ketakutan juga.
“Enci Pek Hoa, lekas kauusir mereka...” katanya.
Orang ke dua dari tiga sekawan ini, yakni Twa-san-houw (Harimau Gunung Tertua), menyengir dan ikut melangkah maju.
“Aha, kiranya enci adik! Pantas saja yang kecil demikian cantik mungil, hampir sama dengan yang besar. Twako, kau tangkap yang besar, biar aku menangkap yang kecil.”
Sementara itu, biarpun bibirnya yang merah dan berbentuk indah tersenyum manis dan matanya bersinar-sinar namun di dalam hatinya Pek Hoa sudah marah sekali sehingga ia merasa seakan-akan dadanya hendak meledak. Ia maklum bahwa kalau saja ia memperkenalkan nama dan julukannya, tiga orang ini kalau tidak lari tunggang-langgang tentu menjatuhkan diri berlutut minta ampun. Akan tetapi ia tidak menghendaki terjadinya hal ini. Keinginan hatinya pada saat itu tak lain hanya membunuh tiga orang yang sudah menghinanya ini.
“Bagus! Bagus sekali kalian sudah menyebutkan nama, karena kalau tidak, aku tentu akan selalu merasa kecewa. Tidak enak mencabut nyawa orang-orang yang tidak diketahui siapa namanya.”
Mendengar kata-kata ini, Ji-san-houw (Harimau Gunung ke Dua) tertawa terkekeh-kekeh.
“Ha, ha, ha, alangkah lucunya! Mencabut nyawa? Heh-heh-heh, memang nyawa terasa tercabut kalau melihat senyumnya, melihat lirikan matanya, nyawaku rela tercabut kalau aku bisa...”
Kata-kata ini disusul oleh jeritan menyayat hati ketika tangan kiri nona ini bergerak dan sinar putih menyambar ke arah dada Ji-san-houw. Ketika Hek-lim-ong dan Twa-san-houw kaget memandang adik mereka, ternyata Ji-san-houw telah rebah tak bernyawa lagi, matanya mendelik dan dari mulut serta hidungnya mengalir darah menghitam. Ternyata ia telah terkena serangan Pek-hoa-ciam (Jarum Bunga Putih) dari Pek Hoa, semacam am-gi (senjata rahasia) jarum putih berkepala bunga yang mengandung racun berbahaya sekali!
Suasana berubah seketika. Kalau tadi Hek-lim-ong dan Twa-san-houw tertawa-tawa geli, sekarang mereka menjadi pucat sekali dan Twa-san-houw dengan amat marahnya mencabut senjata golok besar dari pinggang.
“Eh, tidak tahunya setangkai bunga hutan liar, bukan sembarang bunga. Hayo lekas berlutut minta ampun kalau kau tidak ingin lehermu kupenggal sekarang juga!”
Benar-benar Twa-san-houw tidak dapat melihat keadaan. Hal ini bukan karena ia bodoh atau nekat melainkan karena kepandaiannya masih tidak begitu tinggi sehingga ia tidak dapat menduga apakah yang telah menjadi sebab kematian Ji-san-houw.
“Cacing busuk, apakah kau tidak ingin menyusul kawanmu? Dengan cara bagaimana kau hendak menyusulnya? Hayo katakan, kau boleh pilih sendiri, ingin cepat atau lambat?” kata Pek Hoa dengan suara mengejek.
Twa-san-houw mengeluarkan gerengan keras dan ia cepat menyerbu, membacokkan goloknya ke arah leher Pek Hoa.
“Ji-te, jangan merusak mukanya yang cantik...!” Hek-lim-ong berseru mencegah. Memang Hek-lim-ong ini mata keranjang sekali. Seorang wanita muda biasa sudah dapat membuat ia tergila-gila, apalagi sekarang ia menghadapi seorang dara seperti Pek Hoa yang memang memiliki kecantikan seperti bidadari. Maka, biarpun seorang kawannya telah terbunuh oleh Pek Hoa, masih saja ia tidak menaruh hati benci kepada dara ini dan masih saja ia ingin memiliki nona yang jelita itu. Maka ia mencegah ketika melihat Twa-san-houw menyerang nona itu dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi, dalam sekejap saja kekhawatiran Hek-lim-ong akan keselamatan nona cantik itu lenyap menjadi perasaan gelisah akan keselamatannya sendiri. Dengan sepasang matanya ia menyaksikan kejadian yang benar-benar hebat. Ketika tadi golok di tangan Twa-san-houw menyambar ke arah lehernya, Pek Hoa sama sekali tidak mengelak atau menangkis. Hanya kedua kakinya bergerak cepat luar biasa mengirim tendangan kilat ke arah bawah pusar lawannya. Hanya terdengar pekik dari mulut Twa-san-houw dan di lain saat, tubuh rampok itu terjengkang, goloknya berpindah tangan dan nyawanya telah melayang dan menyusul adiknya sebelum tubuhnya menyentuh tanah!
Kepandaian Hek-lim-ong tentu saja lebih tinggi daripada kepandaian kedua orang kawannya yang sudah tewas. Gerakan yang dilakukan oleh Pek Hoa ketika merampas golok dan mengirim tendangan maut, membuka mata Hek-lim-ong. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang dara perkasa yang memiliki kepandaian silat tinggi. Dalam sekejap mata nafsu hatinya untuk memiliki diri nona itu lenyap terganti nafsu hati untuk membunuh Pek Hoa dan melindungi keselamatan diri sendiri. Tanpa mengeluarkan suara lagi ia mencabut goloknya dan menyerbu, membacok dengan gerak tipu Tiong-sin-hian-in (Menteri Setia Persembahkan Cap Kebesaran). Bacokannya cukup cepat dan dilakukan dengan tenaga yang besar sekali.
Namun, Hek-lim-ong adalah seorang kasar dan bodoh. Ilmu silatnya hanyalah ilmu silat kampungan belaka, ilmu silat yang biasa dipelajari oleh penjahat-penjahat kecil. Dalam setiap perkelahian, Hek-lim-ong lebih mengandalkan tenaga dan keberanian serta gertakan belaka. Kini ia menghadapi Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terpandai dan terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu. Sama saja halnya dengan sebuah semangka besar menghadapi sebilah pisau kecil!
Pek Hoa menggerakkan golok di tangan, yang tadi ia rampas dari Twa-san-houw, menangkis serangan lawan dengan pengerahan tenaga lwee-kang. Goloknya digerakkan dan begitu sepasang golok bertemu, Hek-lim-ong tak kuat memegang senjatanya lagi. Seakan-akan lengan yang memegang golok terkena aliran yang membuat lengannya lumpuh dan kesemutan. Golok terlepas dari tangan dan tanpa kenal malu lagi Hek-lim-ong membalikkan tubuh dan melarikan diri seperti dikejar setan.
Pek Hoa tertawa nyaring dan merdu, tangan kanannya bergerak, golok meluncur dan Hek-lim-ong mengeluarkan jerit kematian yang panjang mengerikan, tubuhnya tersungkur ke tanah, akan tetapi dadanya tak dapat menyentuh tanah karena tertahan oleh ujung golok. Ternyata golok yang dilontarkan oleh Pek Hoa tadi telah menembus punggungnya dan ujung golok sarnpai keluar dari dadanya!
Semua peristiwa ini disaksikan oleh Im Giok yang berdiri seperti patung, sepasang matanya terbelalak lebar, kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar keras. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan orang mati, apalagi orang terbunuh secara demikian mengerikan. Sekarang ia memandang dengan mata penuh kengerian kepada Pek Hoa.
“Im Giok, kenapakah? Takutkah kau melihat semua ini?”
“Tidak takut, akan tetapi ngeri sekali Enci Pek Hoa. Kenapa kau membunuh mereka?”
“Mereka orang-orang jahat, harus dibunuh. Kelak kalau kau sudah besar dan memiliki kepandaian seperti aku, kau pun harus membunuh orang-orang seperti ini.”
“Aku tidak akan berani melakukan, Enci Pek Hoa. Terlalu mengerikan.”
“Mengerikan? Apanya yang ngeri? Coba kau tengok dan pandang muka mereka itu, bukankah lebih buas daripada binatang hutan? Macam mereka, kalau tidak dibunuh, bagi kita, lebih-lebih bagi wanita muda, amat berbahaya, jauh lebih berbahaya daripada binatang hutan.”
“Aku tidak berani melihat muka mereka!”
Tiba-tiba Pek Hoa menyambar lengan tangan Im Giok dan ditariknya anak itu di dekat mayat Ji-san-houw. Mayat ini paling mengerikan karena mukanya menyeringai dan dari mulut hidung keluar darah hitam, tanda terkena senjata rahasia Pek-hoa-ciam.
“Buka matamu, lihat muka penjahat ini baik-baik. Hayo pandang!” kata Pek Hoa kepada Im Giok yang menutup matanya. “Im Giok, apakah pada harl pertama kau sudah lupa akan janjimu? Kau harus taat kepada semua perintahku, mengerti? Hayo buka matamu dan pandang baik-baik muka tiga orang laki-laki jahat ini!”
Im Giok terpaksa membuka matanya. Pek Hoa membawanya dekat sekali dengan mayat Ji-san-houw sehingga tercium olehnya bau yang amat tidak enak.
“Lihat! Pandang terus sampai muka ini kelihatan jahat dan buasnya olehmu. Kau tidak boleh merasa ngeri melihatnya, bahkan harus merubah rasa ngeri menjadi benci! Kau harus membenci laki-laki seperti ini. Harus! Pandang terus sampai kau tidak merasa ngeri lagi.”
Memang, obat paling manjur untuk mengatasi perasaan adalah kenekatan. Orang yang penakut akan menjadi berani kalau nekat. Demikian pula Im Giok. Gadis cilik ini tadinya merasa ngeri dan takut-takut untuk mendekati mayat-mayat itu, apalagi disuruh memandangnya dari dekat. Akan tetapi, setelah ia dipaksa oleh Pek Hoa dan ia menjadi nekat, benar saja, tak lama kemudian lenyap rasa ngeri dan takut-takut. Yang ada hanya sebal, muak dan benci.
“Ingatlah, laki-laki macam ini kalau tidak dibunuh, akhirnya akan mencelakakan kita sendiri. Kau tentu masih ingat akan ucapan-ucapan mereka tadi. Mereka ini kurang ajar, tidak menghormati wanita, tidak menghargai wanita. Mereka ini bisanya hanya menghina dan mengganggu wanita belaka, menganggap wanita seperti manusia peliharaan, seperti benda perhiasan, seperti baju atau topi, bahkan seperti sepatu mereka! Kelak kau harus menghukum dan membasmi laki-laki kurang ajar seperti ini. Mengerti?”
Im Giok masih kanak-kanak. Usianya baru enam tahun, akan tetapi ia memang cerdik sekali sehingga ia dapat menangkap maksud dari semua kata-kata Pek Hoa. Jiwa yang masih bersih, hati yang masih kosong itu kini terisi oleh ajaran-ajaran watak yang amat berbahaya dan aneh dari Pek Hoa Pouwsat, siluman wanita murid Thian-te Sam-kauwcu. Sedikit demi sedikit, Pek Hoa hendak menjadikan anak yang disayangnya ini men jadi seperti dia! Cantik jelita, berilmu tinggi ganas dan bebas melakukan apa saja tanpa mempedulikan tata hukum atau tata susila. Apa saja dapat dilakukan oleh Pek Hoa asalkan ia menganggapnya benar dan hal ini menyenangkan hatinya!
Makin giranglah hati Pek Hoa setelah beberapa bulan kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat sebagaimana yang ia duga, Im Giok memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu silat. Semua teori dan dasar persilatan yang diajarkan kepadanya dapat ia terima dengan mudah, bahkan ketika ia mulai dilatih bersilat, gerakannya amat indah dan lemah gemulai seperti orang menari! Makin sayanglah Pek Hoa kepada muridnya ini, dan dengan giat ia mulai menurunkan ilmu kepandaiannya yang tinggi kepada Im Giok.
Hati Pek Hoa masih belum puas. Musuh besarnya terlalu banyak dan ia bercita-cita untuk membalas mereka semua. Ia harus membalas atas kematian tiga orang suhunya. Musuh besarnya yang harus dibalas adalah Kiang Liat, Han Le, Bu Pun Su, Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, The Kun Beng, dan orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun! Terlalu banyak. Akan tetapi, dapat kubalas seorang demi seorang, pikir Pek Hoa. Yang paling ditakutinya adalah Bu Pun Su seorang. Yang lain-lain sih tidak begitu berat. Sekarang ia telah dapat membalas kepada orang yang pernah menolak cinta kasihnya, orang yang paling lemah di antara musuh-musuh besarnya, yakni Kiang Liat. Ia memang tidak mempunyai niat untuk membunuh Kiang Liat, hanya ingin melihat Kiang Liat menderita. Oleh karena itu, ia merasa cukup kalau sekarang dapat merampas Im Giok dan menjadikan murid sehingga kelak Kiang Liat akan mendapat malu.
Karena maklum bahwa musuh-musuh besarnya, selain Kiang Liat, adalah tokoh-tokoh terkemuka, yang pandai dan lihai, untuk sementara waktu, Pek Hoa tidak berani memperlihatkan diri dan tidak banyak beraksi di dunia kang-ouw. Ia maklum bahwa kalau hendak membalas sakit hati, ia harus memperdalam kepandaiannya. Di antara banyak macam kepandaian yang pernah ia pelajari dari Thian-te Sam-kauwcu, ada semacam kepandaian ilmu silat yang tadinya ia anggap rendah sehingga tidak begitu ia pelajari secara mendalam. Ilmu kepandaian ini adalah semacam ilmu silat yang khusus diciptakan oleh Pek-in-ong tokoh dua dari barat ini, khusus diciptakan untuk Pek Hoa, murid yang terkasih itu. Seperti telah diketahui, tiga orang tokoh barat itu selain ahli ilmu silat tinggi, juga ahli ilmu sihir. Melihat muridnya yang cantik jelita, yang selain menjadi murid juga menjadi kekasih, Pek-in-ong lalu menciptakan ilmu silat yang sesungguhnya bukan merupakan ilmu pukulan, melainkan merupakan ilmu sitat yang diubah sedemikian rupa sehingga dalam setiap gerakan mengelak, menangkis, maupun memukul menjadi gerakan tari yang dapat menjatuhkan iman seorang laki-laki. Gerakan yang demikian memikat dan lebih tepat kalau disebut tarian yang melanggar kesopanan, tarian cabul yang ddpat membangkitkan nafsu jahat dan dapat menyelewengkan hati pria yang tadinya bersih!
Dahulu Pek Hoa tidak begitu memperhatikan ilmu silat baru yang namanya juga mengerikan, yakni ilmu silat Bi-jin-khai-i (Wanita Cantik Membuka Pakaian)! Dianggapnya bahwa ilmu silat ini diciptakan oleh Pek-in-ong hanya untuk memuaskan nafsu hati guru ke dua ini saja, atau untuk melihat dia menari-nari menghibur hatinya. Akan tetapi sekarang, setelah menghadapi musuh-musuh lihai dan memutar daya upaya untuk membalas dendam, ia teringat akan ucapan Hek-te-ong, tokoh pertama dari barat atau suhunya yang pertama ketika gurunya ini menyaksikan ia bermain Bi-jin-khai-i. “Pek Hoa, sayang ilmu silat ciptaan Pek-in-sute ini tidak ada isinya. Ataukah kau yang tidak berlatih sungguh-sungguh. Kalau kau sudah dapat menangkap isinya dan kaumainkan dengan pengerahan tenaga rahasia, kiranya kelak akan dapat kaupergunakan merobohkan lawan yang ilmu silatnya jauh melebihi tingkatmu.”
Teringat akan ini, Pek Hoa lalu melatih diri dengan ilmu silat Bi-jin-khai-i. Kini terbukalah ingatan dan matanya akan kelihaian dan keajaiban ilmu silat ini maka diam-diam ia merasa bersukur sekali. Selama empat tahun ia membawa Im Giok bersembunyi di sebelah puncak yang sunyi dari Pegunungan Ci-lin-san. Setiap hari, tiada bosannya Pek Hoa melatih diri dan melatih muridnya.
Im Giok makin lama makin nampak kecantikannya. Akan tetapi setelah bertahun-tahun ia hidup bersama Pek Hoa, banyak sifat-sifat Pek Hoa menurun pula kepadanya. Yang terutama sekali adalah kesukaannya untuk berhias. Artinya, Im Giok juga menjadi seorang pesolek! Anak ini semenjak kecil sudah dilatih cara menghias diri dan menjaga wajah serta tubuh agar selalu kelihatan bersih menarik. Bahkan pada suatu hari Im Giok melihat Pek Hoa mengeluarkan sebutir telur yang kemudian dipecahkan lalu dicampur dengan obat, lalu diminumnya!
“Eh, Enci Pek Hoa. Biasanya kita makan telur setelah dimasak dahulu, mengapa kau minum telur mentah?”
“Kau tahu apa, Im Giok? Telur yang tadi kuminum dapat membuat aku selama hidup tidak akan menjadi tua!”
Im Giok yang baru berusia sepuluh tahun itu menggerak-gerakkan alisnya seperti cara Pek Hoa menggerakkan alisnya, gerakan yang amat genit sungguhpun harus diakui amat menarik hati pula. Memang, banyak gerak-gerik genit dari Pek Hoa, seperti menggerakkan bibir di waktu bicara dan cara senyumnya yang kesemuanya amat manis dan menarik, telah menurun kepada Im Giok!
“Enci Pek Hoa, aku selalu percaya kepadamu, akan tetapi kali ini agaknya aku sukar untuk percaya. Bagaimana telur dapat membikin orang menjadi muda selamanya?”
Pek Hoa tersenyum dan kembali Im Giok melihat betapa manisnya senyum ini. Kembali diam-diam ia harus mengakui bahwa gurunya ini adalah seorang wanita yang cantik dan muda.
“Im Giok, yang biasa kita makan itu bukan telur seperti ini. Telur ini bukan sembarang telur, dan amat sukar didapatkan. Ini adalah telur burung rajawali putih yang hanya dapat ditemukan di daerah yang amat sukar di utara. Yang kuminum tadi telur terakhir, maka kau akan kuajak ke sana untuk mencari telur ini.”
“Akan tetapi apa buktinya bahwa telur itu betul-betul dapat membuat orang selamanya menjadi tetap muda?”
“Kaulihat aku? Coba katakan, Im Giok, apakah aku tidak cantik?”
“Kau cantik sekali, Enci Pek Hoa.” Pek Hoa tersenyum puas. “Kelak kau lebih cantik daripada aku, Im Giok. Kaubilang aku cantik dan berapa kaukira usiaku?”
“Kalau kubandingkan dengan wanita-wanita lain yang kita jumpai, paling banyak kau tentu berusia dua puluh tahun.”
Kembali senyum manis membayang bibir Pek Hoa yang merah tanpa gincu itu.
“Dua puluh tahun? Anak baik, usiaku sudah, dua kali itu, lebih lagi...”
“Empat puluh tahun?” Im Giok berseru tidak percaya.
Pek Hoa mengangguk. “Inilah bukti khasiat telur pek-tiauw (burung rajawali putih).”
Im Giok menjadi girang sekali. “Mari kita mencari telur seperti itu, Enci. Aku pun ingin muda selalu dan cantik seperti engkau.”
Demikianlah sifat-sifat Pek Hoa banyak yang menurun kepada anak itu, dan memang benar seperti yang dikatakan oleh Pek Hoa, anak itu makin lama makin cantik dan agaknya ia takkan kalah oleh Pek Hoa dalam kecantikan.
Im Giok juga amat suka mempercantik diri dengan pakaian indah. Pek Hoa yang sayang kepadanya sering kali datang membawa pakaian-pakaian indah dan mahal, terbuat dari sutera halus. Dan yang selalu dipilih oleh Im Giok adalah pakaian berwarna merah.
“Bagus, kau mempunyai kesukaan yang sama dengan aku di waktu masih remaja, Im Giok. Aku pun suka akan warna merah. Warna merah membuat hati gembira dan membesarkan nyali. Juga kau amat pantas memakai pakaian merah, cocok betul dengan kulitmu yang putih halus itu.”
Selain mewarisi beberapa sifat dan watak Pek Hoa, juga selama empat tahun ini, Im Giok sudah menerima pelajaran dasar-dasar ilmu silat tinggi. Bakatnya memang luar biasa sekali, apalagi memang Pek Hoa mengajar dengan sungguh hati. Dalam waktu empat tahun saja, Im Giok sudah menjadi seorang anak yang lihai permainan pedangnya, bahkan kalau ia melihat Pek Hoa berlatih ilmu silat Bi-jin-i, ia menonton dan memperhatikan.
“Enci Pek Hoa, ilmu silat yang kaumainkan itu seperti tarian yang indah sekali. Aku ingin mempelajari ilmu silat itu Enci?”
Pek Hoa tiba-tiba menghentikan permainan silatnya dan memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri.
“Hush, kau anak kecil bagaimana bisa mempelajari ilmu silat ini? Ilmu silat ini hanya boleh dimainkan oleh seorang dara yang sudah dewasa.”
Im Giok merasa aneh dan kecewa. Diam-diam tiap kali gurunya bersilat, ia memperhatikan dan diam-diam ia dapat memetik beberapa jurus dari ilmu silat ini, di bagian yang indah gerakannya. Im Giok tentu saja memandang ilmu silat ini dari segi keindahan dan ia ingin memetiknya untuk memperindah gaya dan gerakan ilmu silat yang dilatihnya. Memang nona cilik ini amat suka akan tari-tarian dan akan segala yang indah-indah.
Pada suatu hari, Pek Hoa mengajak muridnya turun dari puncak persembunyian itu. Tidak seperti biasanya kalau mengajak muridnya turun gunung bertamasya ke dusun-dusun, kali ini Pek Hoa membawa buntalan pakaian dan menyuruh muridnya membawa semua pakaiannya pula.
“Enci Pek Hoa, kita akan pergi ke manakah?” tanya Im Giok yang seperti semua anak-anak, amat girang diajak bepergian.
“Kita turun gunung dan pergi jauh, tidak kembali ke sini lagi.”
Hampir saja Im Giok bersorak kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan saja, menindas hatinya yang rindu kepada ibu dan rumah.
Akan tetapi setelah mendapat latihan dari Pek Hoa, bocah ini pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Maka betapapun girang hatinya, pada wajahnya yang manis sekali itu tidak nampak perubahan.
“Apakah Enci akan membawaku ke Sian-koan? Ataukah hendak mencari Ayah?” Dua macam pertanyaan ini sudah meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan pertama ia menyatakan keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena ibunya tinggal di Sian-koan. Adapun tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari Pek Hoa bahwa ayahnya telah meninggalkan ibunya, ayahnya yang bernama Kiang Liat dan berjuluk Jeng-jiu-sian adalah seorang gagah di dunia kang-ouw yang suka merantau. Ia mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya sengaja meninggalkan ibunya setelah ayahnya membunuh bekas kekasih ibunya!
“Sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dahulu telah mempunyai seorang kekasih. Kekasihnya itu seorang sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih gagah dan lebih menyenangkan. Setelah bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan kekasih lama. Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu teringat akan kekasihnya dan hal ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan kekasih ibumu itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu.” Demikian Pek Hoa mengarang, hati Im Giok tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan sebaliknya mencela sikap ibunya, sungguhpun tak mungkin ia dapat membenci ibunya.
“Akan tetapi sekarang kabarnya ayahmu telah menjadi gila.” Kata-kata ini membuat hati Im Giok terharu sekali sehingga pernah ia mengajukan permohonan kepada gurunya untuk mencari ayahnya. Akan tetapi Pek Hoa selalu menjawab bahwa belum tiba waktunya bagi mereka untuk meninggalkan puncak gunung. Sekarang begitu gurunya mengajaknya turun gunung, otomatis Im Giok mengajak gurunya mencari ibu atau ayahnya.
“Tidak, Im Giok. Kita tidak pergi ke Sian-koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-lun-san, kemudian ke kuil Siauw-lim-si untuk membalas sakit hati. Kau harus ikut!”
Tentu saja Im Giok tidak berani membantah.
“Ingatlah, Im Giok. Aku telah dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang kang-ouw yang selain telah membunuh tiga orang guruku, juga telah mendatangkan malu besar kepadaku. Kau ingatlah baik-baik nama musuh-musuh besarku itu. Akan tetapi, karena mereka itu lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang akan mencari dan membalasnya. Hanya terhadap satu orang, aku mengharapkan kau sebagai muridku kelak akan dapat membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu Pun Su.”
“Bu Pun Su...?” baru kali ini Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya sederhana sekali itu.
“Im Giok, jangan kaupandang rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun Su (Tiada Kepandaian), akan tetapi dialah orang yang paling lihai di antara semua musuhku. Aku sendiri tidak berdaya terhadap dia, dan kelak kau orangnya yang kuharapkan akan dapat membalasnya.”
Demikianlah, sambil menuturkan pengalamannya, Pek Hoa melakukan perjalanan bersama muridnya yang kini sudah cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, menuruni puncak bukit di mana mereka bersembunyi sambil berlatih silat selama empat tahun lebih. Setelah merasa yakin akan kelihaian ilmu silat baru yang dilatihnya, Pek Hoa berbesar hati dan berani muncul lagi. Yang ia takuti hanya dua orang, yakni pertama Bun Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su. Ia gentar menghadapi Bun Sui Ceng karena musuh besar ini adalah seorang wanita sedangkan ilmu silat Bi-jin-khai-i yang baru ia latih sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap lawan wanita.
Adapun rasa gentarnya terhadap Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian pendekar sakti ini sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang tiga orang suhunya sendiri! Karena itu, ia merasa ragu-ragu apakah ilmu silatnya yang baru itu akan dapat mengalahkan Bu Pun Su.
***
Tidak ada orang yang berjumpa dengan mereka terutama sekali kaum pria, yang tidak memandang dengan penuh kekaguman yang tak mudah dilihat setiap kali. Seorang dara berbaju biru putih, cantik jelita dan nampaknya takkan lebih dari dua puluh tahun usianya.
Rambutnya hitam panjang, digelung dengan model gelung dewi kahyangan, di sebelah kiri dihias setangkai bunga putih yang harum, yakni bunga Cilan, di sebelah kanan terhias burung hong dari emas dan permata. Sepasang anting-anting panjang berrnata merah tergantung di bawah telinga, bergerak-gerak membelai pipi menambah kemanisan. Pakaian dan sepatunya baru dan terbuat dari bahan mahal. Gagang sepasang pedang yang, menempel di punggung, dengan ronce-ronce pedang warna merah berkibar di atas pundak, membuat Si Cantik itu nampak gagah sekali. Sepasang pedang ini pula yang membuat tiap orang laki-laki yang memandang kagum, tidak berani bersikap kurang ajar.
Yang ke dua masih belum dewasa, baru berusia sepuluh atau sebelas tahun, akan tetapi sudah kelihatan luar biasa cantiknya. Dillhat sepintas lalu, wajahnya hampir sama dengan wajah dara yang dewasa itu, patut kiranya menjadi adiknya. Akan tetapi kalau diperhatikan betul-betul nampak benar perbedaan yang jauh, terutama sekali pada sinar mata dan tekukan bibir. Juga gadis cilik ini menarik hati setiap orang. Tidak saja manis dan jelita, juga amat gagah. Pakaiannya serba merah, terbuat dari sutera indah pula. Rambutnya dikucir dan dihias dengan pita merah pula. Juga di punggung bocah perempuan ini kelihatan gagang sebatang pedang pendek dan langkah kakinya yang tegap dan lincah itu mendatangkan kesan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi seperti kawannya.
Pek Hoa dan Im Giok, dua orang itu, di sepanjang jalan bergembira mengagumi pamandangan di kota-kota, terutama sekali Im Giok. Mereka tidak mempedulikan pandangan mata kagum dari para laki-laki yang mereka jumpai di tengah perjalanan. Bagi Im Giok, semua pandang mata itu tidak ada artinya. Akan tetapi tidak demikian dengan Pek Hoa. Sudah empat tahun lebih ia tidak pernah menghadapi pandang mata kagum dari para pria maka kini ia merasa gembira dan bangga bukan main. yata bahwa empat lima tahun tidak mengurangi kecantikannya, tidak merubah usianya! Ini semua berkat telur pek-tiauw yang benar-benar memiliki khasiat membuat orang menjadi awet muda. Yang menyebalkan hati Pek Hoa adalah kenyataan bahwa tidak ada laki-laki yang cukup tampan dan gagah di antara mereka yang ia jumpai. Maka ia pun bersikap seperti Im Giok, tidak peduli sama sekali akan pandang mata orang-orang itu, melainkan tersenyum makin manis dan bangga.
Akan tetapi, setelah kembali terjun ke dalam dunia ramai, timbul pula penyakit lama dalam diri Pek Hoa. Hati dan tangannya gatal-gatal kalau tidak melakukan perbuatan seperti dahulu-dahulu. Mulailah Im Giok terkejut sekali ketika menyaksikan perbuatan gurunya. Sering kali di waktu malam Im Giok diajak mendatangi rumah orang di mana Pek Hoa mengambil barang berharga dan emas sekehendak hati sendiri. Bahkan di depan mata Im Giok, ketika tuan rumah bangun dari tidur dan melihat pencurian yang dilakukan, Pek Hoa membunuh tuan rumah itu bagaikan orang membunuh semut saja!
“Enci Pek Hoa, mengapa setelah mengambil barangnya, kau masih membunuh orangnya yang tidak mempunyai dosa apa-apa?” Im Giok memprotes.
“Im Giok, mengapa ribut-ribut urusan mati hidupnya seorang manusia macam dia? Dia telah memergoki kita, ini artinya dia harus mampus. Orang macam dia, mati atau hidup apa sih artinya? Kita boleh berbuat sesuka kita, itulah hukum kang-ouw, siapa kuat dia menang!”
Jawaban ini meragukan hati Im Giok. Biarpun semenjak berusia enam tahun ia telah ikut Pek Hoa dan selalu melihat contoh-contoh buruk, namun Im Giok adalah keturunan orang baik-baik. Ibunya seorang wanita bijaksana, ayahnya seorang laki-laki gagah perkasa maka sedikitnya ia pun mempunyai watak yang baik dan gagah. Menghadapi perbuatan yang keterlaluan dari Pek Hoa, hatinya memberontak. Apalagi ketika ia melihat beberapa kali Pek Hoa tidak bermalam di kamar hotel dan diam-diam pergi meninggalkannya sampai semalam suntuk dan keesokan harinya pagi-pagi baru datang dengan senyum-senyum aneh, ia menjadi makin curiga. Namun ia tidak dapat menentang wanita yang menjadi pendidiknya ini. Betapapun juga, ia harus akui bahwa Pek Hoa telah bersikap amat baik terhadapnya, amat baik dan penuh kasih sayang.
Beberapa pekan kemudian, Pek Hoa mengajak Im Giok masuk ke dalam pekarangan sebuah gedung besar di tengah kota Cin-an. Im Giok merasa heran karena biasanya kalau Pek Hoa memasuki gedung besar, waktunya tengah malam dan jalan masuknya melalui genteng!
“Enci Pek Hoa, rumah siapakah ini?”
“Rumah seorang gagah bernama Kam Kin berjuluk Giam-ong-to (Si Golok Maut). Kau harus sebut Susiok (Paman Guru) kepadanya.”
Kedatangan mereka segera disambut oleh tuan rumah, seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih, tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya cukup gagah. Hanya sayangnya, pandang matanya kejam dan senyum bibirnya membayangkan watak mata keranjang dan curang.
“Aduuh, pantas saja aku bermimpi kejatuhan bulan!” laki-laki itu berseru sambil tertawa-tawa dan kedua lengannya dibentangkan ketika ia menyambut Pek Hoa, seakan-akan siap hendak memeluknya. “Tidak tahunya benar saja dewiku yang jelita datang berkunjung...”
Kata-katanya berhenti ketika Pek Hoa mengerutkan alis dan memberi isarat dengan matanya ke arah Im Giok, mencegah laki-laki itu bicara secara demikian bebas di depan Im Giok. Kam Kin, laki-laki itu, tertawa menyeringai dan ketika ia menengok ke arah Im Giok, sinar kagum terbayang dalam pandang matanya.
“Aha Pek Hoa-suci, muridmu ini benar-benar hebat dan manis sekali! Kalau kau seperti bunga cilan putih yang sudah mekar semerbak harum, muridmu ini adalah tunas cilan yang merah. Ha, ha, ha!”
Sekali pandang saja, Im Giok merasa benci kepada laki-laki yang menyambut mereka ini. Sungguhpun ia dapat menekan perasaannya, namun tetap saja wajahnya kehilangan serinya.
“Im Giok, beri hormat kepada Kam-susiok,” kata Pek Hoa.
Terpaksa Im Giok menjura untuk memberi hormat tanpa memandang wajah orang.
“Teecu Kiang Im Giok memberi hormat kepada Kam-susiok,” katanya sederhana lalu berdiri lagi di samping gurunya.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar