Cerita Dewasa Anak Kecil : Bara Naga 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 25 September 2012

Description: Cerita Dewasa Anak Kecil : Bara Naga 4 Rating: 4.5 Reviewer: Unknown - ItemReviewed: Cerita Dewasa Anak Kecil : Bara Naga 4
Cerita Dewasa Anak Kecil : Bara Naga 4 ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Dewasa Anak Kecil : Bara Naga 4

Cerita Dewasa Anak Kecil : Bara Naga 4


Kata Siang Cin dengan tenang: "Jangan terbawa emosi Siang-cuncu, ini menyangkut
keselamatan murid2 Bu-siang pay kalian "
Loh Bong-bu memburu maju, dia pegang tangan Siang Kong-ceng untuk
menabahkan
hati sang kawan.
Siang Cin lantas bersuara pula: "Sekarang lebih baik percepat perjalanan." "
Maka barisan berkuda dipacu lebih kencang pula. .
Si Sayap terhang Kim Bok yang semula berada di belakang barisan membedal
kudanya
menyusul kedepan, serunya gugup: "Kenapa mendadak dilarikan kencang? Ada
kejadian apa?"
Siang Kong-ceng hanya mendengus tanpa bersuara. Mukanya tampak hijau
membesi,
secara ringkas Loh Bong bu menceriterakan kejadian tadi, sekilas Kim Bok
melenggong, segera ia berkata: "Mungkinkah mereka sengaja hendak memancing?
Atau
mencari perempuan lain sebagai gantinya untuk menipu kita? Kalau betul demikian,
mereka memang terlalu menghina dan pandang rendah kita.. ."
"Semoga mereka bukan sengaja menipu . . . ." ujar Loh Bong bu menghela napas.
Habis berkata ia larikan kudanya menyusul ke samping Siang Cin, berdiam
sebentar, lalu dia bersuara: "Ai, Siang-heng, benar2 bikin rikuh . . . . "
Siang Cin tertawa ewa, katanya; "Hubungan muda-mudi ada kalanya sukar diselami,
cinta adalah problem yang rumit dan aneh serta lucu, Loh-heng, apakah
Siang-cuncu punya anak laki2"
Loh Bong bu melenggong, dia menatap Siang Cin, akhirnya menghela napas,
katanya:
"Aku takluk padamu Siang-heng, memang Siang cuncu punya seorang putera.
Selama
peristiwa ini, kedua muda mudi ini berhubungan amat intim, malah Ciangbunjin
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
144
agaknya juga setuju akan perjodohan ini ...... merandek sebentar, lalu dia
bertanya: "Bagaimana kau bisa menerka ke arah sini?"
"Ya, firasatku yang berbicara, kulihat amarahnya begitu meluap melebihi seorang
pengabdi, tapi lebih mirip seorang tua yang kehilangan puteri atau menantunya
dibawa lari orang . . . . . . ."
Kagum Loh Bong-bu luar biasa, katanya: "Sejak pertama kau membongkar muslihat
musuh di restoran tempo hari, Cayhe sudah mulai kagum dan tunduk padamu, kali
ini rabaanmu tepat pula, Siang-heng kau malang melintang dan tersohor di
Kangouw, memang kebesaran namamu bukan karena kebetulan .. ...."
"Jangan kau terlalu memujiku," kata Siang Cin. "Loh-heng, dalam hal ini
sebetulnya tiada sesuatu yang istimewa, tentunya kau masih ingat, waktu di
restoran di Ho than toh tempo hari, kedua orang Hek-jiu-tong itu dengan nada
memerintah suruh si gendut pemilik restoran mengambilkan sumpit? Pernah kau
dengar ada koki yang seharusnya diperintah malah memerintah majikannya? Tapi
sang majikan justeru tunduk dan menunaikan tugasnya dengan segera?"
Loh Bong-bu manggut2, ia memandang ke depan sana, di puncak sebuah gunung di
depan kelihatan bayangan bangunan yang bentuknya aneh, bila maju beberapa li
lagi keadaan tentu bisa terlihat lebih jelas.
Mendadak ia memberi aba2, maka barisan berkuda yang panjang ini memperlambat
lari kudanya dan akhirnya berhenti, Siang Kong ceng dan Kim Bok mendekat ke
depan, Loh Bong bu lantas berkata: "Sudah sampai di Pi ciok-san."
Siang Kong-ceng masih gelisah, katanya dengan mengertak gigi: "Lekas kita atur
kekuatan, akan ku terjang ke sana untuk membantu orang2 kita."
Belum sempat orang lain menjawab, dari hutan di depan sana tampak lima
bayangan
penunggang kuda dilarikan ke arah sini, yang memimpin kiranya adalah Ceng-yapcu
Lo Ce.
"Bagaimana?" tanya Siang Kong ceng sambil memapak maju.
Malam yang dingin, tapi Ceng-yap-cu bercucuran keringatnya, katanya kemudian:
"Pertahanan musuh amat kuat, pos2 penjagaan berlapis. Si jagal jenggot merah
dari Wi ji-bun hanya bisa mengawasi gerak-gerik musuh dari sini dan tak mungkin
maju lebih dekat. Siang hari pihak Hek jiu-tong malah melepas burung2 elang dan
anjing pelacak untuk menggeledah segenap pelosok gunung, murid2 Wi ji-bun
terpaksa harus singkir ke sana dan sembunyi ke sini, memang susah dan
melelahkan, malam ini perkampungan mereka di puncak gunung terang benderang
sayup2 kedengaran suara tambur dan bunyi seruling serta musik yang mengalun
gembira, seperti pesta pernikahan, tapi pertahanan dan penjagaan mereka tak
pernah kendur . . . . . . .
Dengan serak Siang Kong-ceng. berkata: "Apakah si jenggot merah dan lain2
pernah
menimbulkan keributan?"
"Tidak, musuh tidak menemukan apa2 Dan tidak memperlihatkan gerakan apa2."
Setelah berpikir, akhirnya Siang Kong-ceng berpaling pada Siang Cin, katanya:
"Lote, hatiku tidak tenteram, bagaimana menurut pendapatmu?"
"Turun dulu dan istirahat di sini," ucap Siang -Cin tertawa, "lalu pilihlah
beberapa orang untuk menyusup ke Pi-ciok-son, tentukan pula kode rahasia, sudah
tentu, sebelum serbuan dilaksanakan, lebih baik kalau diusahakan menolong puteri
Ciangbun kalian lebih dulu."
Siang Kong cerrg melompat turun, katanya: "Baik, sudah demikian saja," Tiba2
segera di kirim ke barisan belakang, seratus empat puluhan lebih anak buah
Bu-siang-pay serempak turun dari punggung kuda, cepat sekali Lo Ce sudah pimpin
lima orang anak buahnya membawa orang banyak memasuki daerah yang ditumbuhi
alang2 setinggi pinggang manusia, di bagian luar teraling oleh hutan, memang
tepat kalau daerah ini digunakan menyembunyikan kuda mereka.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
145
Kelima anak buah Lo Ce ditugaskan menjaga kuda, sementara yang lain dengan
hati2
tanpa mengeluarkan banyak suara masuk ke hutan sebelah depan, hutan pohon
cemara
di sini bercampur dengan semak2 pohon liar, lima murid Bu siang pay tampak
berjaga di empat penjuru mengawasi berbagai arah dan tempat persembunyian.
Di antara bayang2 pepohonan, bola mata Siang Cin mencorong bagai mata binatang
buas berkelap-kelip ditengah kegelapan, Loh Bong-bu mendekatinya, katanya
berbisik: "Siang-heng, apakah boleh mulai beraksi?"
Siang Cin menoleh, katanya dengan suara dingin: "Bagaimana pendapat kalian?"
Bentrok dengan sorot mata Siang Cin, Loh Bong-bu berdebar, mendadak dia
gemetar,
katanya: "Siang-heng, sorot matamu tajam luar biasa .. . ."
Lekas Siang Cin berkedip sehingga sorot matanya yang berkilau sirna seketika,
katanya mantap: "Apakah Siang cuncu dan Kim-cuncu berpendapat orang2mu itu
dapat
menyelundup ke atas gunung untuk menyambut serbuan dari luar?"
Loh Bong-bu tenangkan hatinya, katanya: "Sebetulnya Lo Siang sendiri yang hendak
menyusup ke sarang musuh, tapi tindakan ini dirasa kurang leluasa apalagi orang2
sebanyak ini harus dipimpinnya, tadi setelah kami berunding, maka diputuskan Jan
Pek-yang, Ang Siu-cu dan Te Yau bertiga memimpin dua puluhan murid cekatan
menyusup ke Pi-ciok-san, sementara gerakan dari luar kita serahkan kepada
Siang-heng untuk bantu mengaturnya ...
Siang Cin menggeleng, katanya: "Dua puluh murid itu urungkan saja
kuberangkatannya, urusan ini tidak boleh gegabah. bila sampai konangan musuh,
pihak kalian akan mengalami kegagalan total dan kerugian pasti amat besar, oleh
karena itu biarlah aku sendiri bersama Jan-heng bertiga yang menyusup ke jantung
musuh."
"Tapi gerakan dari luar. . . " cepat Loh Bong bu berkata.
"Kalian bertiga yang harus mengatur," sela Siang Cin. "Loh heng, inilah urusan
besar dan penting artinya bagi Bu-siang-pay kalian, terus terang tidak enak
kuturut campur tangan," setelah berherti, lalu ia menambahkan: "Apalagi sebagai
Cuncu masa kalian harus tunduk pada perintahku?"
Berpikir sejenak akhirnya Loh Bong-bu bersuara: "Kalau demikian maksud
Siang-heng, terpaksa Cayhe setuju, cuma untuk kepentingan kami Siang-heng harus
ikut menempuh bahaya, terus terang hati kami tidak tenteram . . . . "
Tersenyum Siang Cin, katanya: "Bersahabat harus berani berkorban, untuk ini
Loh-heng tidak usah sungkan." Loh Bong-bu melangkah keluar, tak lama kemudian
dia sudah kembali bersama Liat-hwe-kim lun Siang Kong ceng dan Hwi-ih Kim Bok,
Siang Kong-ceng berkata dengan gelisah: "Siang-lote. barusan Bong-bu
memberitahukan, katanva Lote hendak pimpin orang kami sebagai pelopor?"
"Betul," sahut Siang Cin.
"Apakah tidak bikin repot Siang-lote, sepantasnya orang2 kami sendiri yang harus
jadi pelopor . . . . . " seru Sayap Terbang Kim Bok.
"Sekarang waktu sudah amat mendesak, lebih cepat lebih baik, tak perlu saling
berebutan tugas, Siang-cuncu, tolong perintahkan kepada murid2 kalian yang akan
ikut aku supaya menyiapkan diri."
Liat-hwe-kim-lun Siang Kong ceng menepuk pundak Siang Cin, katanya lantang:
"Baik, terima kasih lebih dulu dariku." Lalu dia tepuk tangan tiga kali, maka
Tok ciang Jan Pek yang, Thi tan Ang Siu-cu dan Poan-hou jiu Te Yau yang sudah
menunggu sejak tadi segera tampil ke depan.
Sambil mengelus jenggot Siang Kong-ceng memberi pesan: "Kalian bertiga harus
ikut Siang-tayhiap menyusup ke sarang musuh untuk menyambut gerakan kita dari
luar, kalian harus turut petunjuk Siang tayhiap, ingat pentingnya tugas kalian,
harus berhasil dan tidak boleh gagal."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
146
Ketiga jagoan Bu-siang-pay ini sama mengiakan, Siang Cin lantas menyeletuk:
"Siang cuncu, bila granat belirang kalian meledak di udara, maka kalian harus
mulai menyerbu ke atas gunung." Siang Kong-ceng menggenggam kencang tangan
Siang
Cin, katanya haru: "Segalanya kuserahkan padamu, Lote."
Sambil tertawa tawar Siang Cin mengangguk kepada Kim Bok dan Loh Bong-bu,
begitu
badan membalik, bagai segumpal mega kuning tahu2 tubuhnya melejit tinggi ke
pucuk pohon, sekali berkelebat, ia melayang jauh ke sana.
Jan Pek-yang bertiga segera ikut meluncur ke sana, hanya sekejap saja bayangan
merekapun lenyap ditelan tabir kegelapan.
Mengawasi kegelapan di depannya, Loh Bong-bu bergumam: "Ilmu ringan tubuh
Hwi-liong-hian-hun (naga ter bang muncul di mega) yang hebat, kawanan
Hek-jiu-tong malam ini akan memperoleh ganjarannya . . . . "
Terbangkit semangat Siang Kong-ceng, katanya: "Hayolah, lekas kalian persiapkan
diri."
Maka suara aba2 segera terdengar di sana sini, bayangan orang tampak bergerak di
dalam hutan.
Sementara itu, dengan ringan dan pesat Siang Cin tengah mengayun langkahnya
diantara bayang2 pepohonan, setiap lompatan begitu jauh dan kencang, di dalam
Bu-siang pay, Jan Pek-yang bertiga juga terhitung jago2 kelas satu, kini meski
mereka sudah mengerahkan seluruh kekuatan untuk mengikuti tetap ketinggalan
cukup jauh.
Pi-ciok san sudah semakin dekat, cahaya lampu yang terang benderang di
perkampungan di puncak bukit sudah jelas kelihatan, bangunan yang ditatah dari
batu2 gunung terasa angker bagai iblis raksasa yang berduduk di tengah
kegelapan.
Tiba2 dari tempat gelap sana terdengar siulan rendah bagai bunyi burung
kokok-beluk, sekaligus muncul bayangan puluhan orang yang segera merubung
maju
dari semak2 sekitarnya.
Baru saja Siang Cin hendak beraksi, Tok-ciang Jan Pek yang yang ada di
belakangnya cepat memburu maju, teriaknya dengan suara tertahan: "Apakah
saudara2 dari Wi ji bun? Jan Pek-yang, di sini!"
Seketika bayangan orang2 yang sudah bergerak maju itu menyusup lenyap pula ke
dalam semak2 belukar, sementara seorang laki2 pendek dengan kedua kakinya
yang
melengkung bagai busur tahu2 menerobos keluar dari sana, dia terkekeh, katanya:
"Kukira siapa, tahunya kau si bocah buntung ini, kenapa lari begitu kencang,
memangnya kau suka hawa sejuk di tempat ini?" Suaranya tiba bersama
bayangannya
yang buntak, itulah seorang laki-saki cebol dengan kepala besar, kupingnya
lebar, giginya bersiung besar, kulit mukanya yang kasar burikan lagi.
Tok-ciang Jan Pek-yang hanya mendengus, katanya dingin: "Kalian segera akan
memperoleh perintah, tunggu saja tanda kobaran api belirang di puncak Pi ciok
san, kalian harus segera menyerbu ke sana, kami menyusup ke sarang musuh
menyambut kalian dari dalam. Adakah teman2 kita di sebelah depan?"
Si cebol kuping lebar meringis tawa, katanya: "setan mungkin ada, rombongan kita
ini merupakan barisan yang paling dekat dengan sarang musuh, tak jauh lagi
kawanan serigala Hek-jiu-tong mondar mandir, kalian harus hati2, jangan sampai
batok kepala kalian kena dipancung musuh." Sembari bicara laki2 cebol ini tanpa
berkesip mengamati Siang Cin, tapi Jan Pek-yang tidak hiraukan dia, katanya
sambil berpaling: "Siang tayhiap, apakah segera berangkat?"
Siang Cin tertawa, dia bawa ketiga orang itu terus menyelinap ke semak belukar
di depan. Poan hou-jiu Te Yau berjalan paling belakang, waktu lewat di depan si
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
147
cebol dia tertawa dan berkata lirih:
"Lo-kian-tui (kaki melingkar), hati2lah akan kedua kaki mestikamu . . . . "
Lo-kian-tui segera memberi aba2 kepada anak buahnya terus menyelinap ke dalam
semak alang2. Pi-ciok-san kini sudah di depan mata, dua beltas jalan berbatu
yang ber-liku2 menjalar naik ke atas dari arah kiri-kanan, enam jalan yang
berliku di sebelah kanan pada setiap ujung pengkolan tergantung sebuah lampion
warna kuning, lampion itu dikerek tinggi bersambung ke atas puncak, sinar
lampion besar yang terang benderang itu menyebabkan jalan berliku itu kelihatan
jelas, bayangan tikuspun akan terlihat nyata, di bawah setiap lampion besar itu
berjaga empat laki2 seragam hitam yang memeluk golok besar, di samping setiap
empat laki2 ini mendekam pula seekor anjing galak. Sementara enam jalan berliku
di sebelah kiri kelihatan gelap gulita, tapi terasakan adanya ancaman yang
serius dalam kegelapan itu.
Mendekam di belakang sebuah batu kelabu, dengan mengerut kening Siang Cin
mengamati keadaan sekelilingnya, Poan-hou jiu menggeremet maju ke sampingnya,
katanya lirih: "Siang-tayhiap, kita naik dari arah mana?"
Memandang lekat ke depan, sesaat kemudian baru Siang Cin memberi putusan:
"Dari
arah kiri yang gelap itu."
Sedikit bimbang akhirnya Poan hou-jiu berkata: "Bukan Cayhe banyak mulut,
Siang-tayhiap, kurasa keadaan jalan disebelah kiri jauh lebih berbahaya daripada
sebelah kanan yang benderang itu. bukan mustahil banyak pula jebakan dan
perangkap di sana . . . "
"Betul," ucap Siang Cin, "tugas kita adalah menyusup ke jantung musuh tanpa
konangan, kalau naik dari jalan kanan, jelas tak mungkin tidak konangan, meski
mereka belum tentu mampu merintangi kita, tapi jejak kita sudah konangan dan
pasti menimbulkan geger dikalangan mereka. Kalau naik dari sebelah kiri memang
jauh lebih berbahaya. tapi Te-heng harus ingat, di tempat gelap memang sulit
bergerak, tapi merekapun sukar merintangi kita."
Memang beralasan, maka Te Yau mengangguk.
"Ayolah maju!" kata Siang Cin kemudian.
Selincah kucing merunduk mereka berempat berlompat maju diantara batu2 yang
terserak di semak belukar." Akhirnya mereka tiba di mulut jalan berliku yang
menanjak ke atas, lebar jalan batu padas ini kira2 satu tombak.
Keadaan jalan itu gelap gulita, dua sisi dindingnya menjulang tinggi dan curam,
sunyi senyap tak terdengar suara apapun.
Sejenak Siang Cin periksa keadaan sekitarnya, sebat sekali ia melejit tinggi dan
hinggap di panggung batu yang terletak di antara jalan pertama dan ke dua,
panggung batu ini berlumut dan ditumbuhi akar2an, batu besar ini mendekuk tidak
rata, dengan hati2 sekali dia bergerak sehingga tidak menimbulkan suara apapun,
dia mendekam sekian lama kemudian mengawasi kanan kiri dan depannya, kira2
lima
langkah di sebelah depan ada tiga orang laki2 berseragam hitam tampak mendekam
di tanah, mereka tumplek seluruh perhatian mengawasi jalan pertama di sebelah
bawah, di depan ketiga orang itu terpasang peralatan panah berpegas yang
sekaligus dapat membidikan anak2 panah secara beruntun, kalau tidak diperhatikan
sukar diduga karena alat2 panah ini ditutupi dengan daun dan semak2 rumput,
ujung panah yang kemilau biru itu tertuju ke jalan pertama di sebelah bawahnya
padahal lebar jalan itu hanya setombak, dengan diberondong anak panah sekian
banyak, tikuspun takkan lolos oleh panah2 beracun itu.
Siaag Cin coba menoleh ke atas, kembali ia dibikin terkejut, panggung batu di
antara jalan yang satu dengan jalan yang lain lapat2 terlihat pos setiap jarak
tiga tombak pasti dipasang peralatan senjata rahasia yang lihay, demikian pula
di dinding jalan berliku yang tinggi itu juga dipasang berbagai macam alat
rahasia yang secara otomatis dapat membidikkan senjatanya.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
148
Pelan2 seperti kucing merunduk tikus Siang Cin menggeremet maju, kini
didengarnya satu diantara ketiga orang penjaga itu menguap dan menggeliat, lalu
menggerutu: "Keparat, mereka sedang pesta pora makan minum sekenyangnya,
yang
kawin juga sedang main di kasur, kita yang sial harus makan angin dengan perut
kelaparan . . . . . "
"Sssst," seorang temannya mencegah, "jangan kau kentut melulu . . . . . beberapa
hari ini suasana cukup tegang, kau tahu, tujuh di antara sepuluh Toako kita
sudah pulang kandang, beberapa hari yang lalu Ngo-ko pimpin kawan2 Hiat-huntong
melabrak musuh, kabarnya juga gugur semua."
"Cuh," orang pertama menjadi uring2an, "tak usah kau singgung Hiat-hun-tong
kita, bagian yang mereka terima dan hidangan yang mereka makan selalu lebih
besar dari bagian orang lain, tapi kalau menjalankan tugas selalu minta tenaga
orang lain."
Seorang yang sejak tadi diam saja lantas mengomel: "Keparat, memangnya apa
yang
kalian persoalkan? Buat apa kau menggerutu melulu di sini, memangnya orang
gagah
macam apa kau?"
Karena disemprot oleh kawannya yang satu ini, keadaan menjadi tenang sejenak,
tapi sesaat kemudian si mulut usil itu menggerutu lagi: "Jaga malam ini harus
sampai pagi pula, kemarin main Paykiu kantongku sudah terkuras habis, dasar lagi
sial . . "
Laki2 yang menyemprot tadi mendengus, katanya: "Kau si mulut usil ini memang
harus mampus, kalau kemarin kau tidak kalah habis2an, masa malam ini kau bakal
cerewet. Melihat tampangmu saja sudah muak, mendengar kau mengerutu lagi, tuan
besarmu ini menjadi geregetan . . . ."
Seluruh percakapan ketiga orang ini terdengar jelas oleh Siang Cin, diam2 ia
geleng2 kepala.
Ketiga orang tadi terdiam pula, rumput dan ranting kering berisik diembus angin
lalu, awan ber-gulung2 di angkasa menambah gelapnya malam yang mencekam ini.
Setelah berpikir sejenak, diam2 Siang Cin maklum untuk menyusup ke atas gunung
tanpa konangan dan bentrok dengan para penjaga ini terang tidak mungkin,
pengalaman ber-tahun2 selama ini segera terbayang kembali dalam benaknya.
Selama
ini entah itu demi kepentingan pribadi atau untuk membantu kesukaran orang lain,
khusus dia mengutamakan gerak "cepat".
Untuk mengganyang para penjaga di sini harus digunakan pula gerak cepat agar
tanda bahaya tak sempat dikirim ke markas pusat di atas gunung.
Tanpa banyak ragu lagi, dengan pelan2 Siang Cin melorot turun dari panggung
batu, ia melejit kembali ke belakang panggung batu, Jan Pek-yang dan Ang Siu-cu
tengah duduk bersemadi, sementara Poan-hoan-jiu Te Yau sedang meng-gosok2
telapak tangan dengan tidak sabar.
Baru saja Siang Cin tiba Te Yau lantas bertanya lirih: "Bagaimana Siang-tayhiip?
Bisa mulai kerja?"
Siang Cin lantas menceritakan apa yang baru dilihatnya, lalu katanya tegas:
"Urusan tidak boleh terlambat, waktu sudah amat mendesak, sepanjang jalan ini
kita harus bekerja secara kekerasan, bunuh seluruh orang yang ada di sini sampai
di markas pusat mereka serta menolong orang kita, menurut perhitunganku, dikala
musuh tahu gelagat jelek, urusanpun sudah selesai."
Jan Pek-yang dan Siu-cu diam saja tanpa komentar, tapi Te Yau ragu2, katanya
lirih: "Apa boleh buat, terserah pada petunjuk Siang-tayhiap saja..." Siang Cin
tertawa tawar, katanya tegas: "Dikala membunuh, kalian harus gunakan gerak
cepat, tanpa kenal ampun."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
149
Ketiga orang mengangguk, maka Siang Cin memberi tanda untuk mulai beraksi,
secepat kilat ia melejit ke punggung batu di sana. Kali ini dia tidak main
sembunyi pula, baru kaki menginjak batu, ketiga laki2 itupun terperanjat, mereka
membentak sambil berpaling: "Siapa?"
Sinar mata Siang Cin mencorong setajam pisau, dia meleset lewat disamping ketiga
orang itu, belum lagi ketiga oranng itu melihat jelas, telapak tangan kanan
Siang Cin sudah menabas, kontan tiga batok kepala seketika mencelat dan jatuh
terguling di jalan.
Belum lagi mayat ketiga orang ini roboh, tahu2 Siang Cin sudah meleset pula ke
pos penjagaan di sebelah atasnya, baru saja bertiga orang yang jaga di sini
merasakan adanya bahaya, tahu2 bayangan Siang Cin sudah meluncur tiba, kedua
telapak tangannya terayun kontan ketiga korban inipun roboh terjungkal dengan
perut dan dada remuk.
Jan Pek-yang bertiga yang menguntit kencang di kelakang hakikatnya tidak sempat
bekerja, tapi setapakpun mereka tidak berani ketinggalan, kejadian demikian
terus berlangsung sampai pos penjagaan keenambelas.
Kejadian yang sebetulnya tidak menimbulkan suara berisik ini, betapapun telah
mengejutkan orang2 yang jaga di pos2 bagian atas, dua orang Hek-jiu-tong segera
melolos golok serta memapak maju, sementara seorang lagi merogoh keluar sebuah
bumbung warna perak kemilau terus dibanting ke tanah sekuatnya.
Sambil menggeram tiba2 Siang Cin melenting kedepan, kedua kakinya menyepak
kedua
orang yang memapak maju, di tengah berkelebatnya sinar golok, ujung kakinya
menyelinap di tengah sinar golok lawan dan secara telak mengenai jidat. kedua
orang Hek jiu-tong, sambil berpekik kedua orang itupun terguling2 di jalan yang
menurun itu.
Bersamaan dengan itu mata Siang Cin yang jeli juga telah melihat seorang musuh
yang tengah mengayun tangan hendak membanting bumbung perak tadi, maka
telapak
tangannya berkelebat lebih dulu, berbareng ujung kakinya menyapu bumbung perak
yang melayang jatuh itu, gumpalan darah segar seketika tersembur dari
tenggorokan laki2 itu, sementara bumbung perak itu mencelat jatuh ke sana.
Ketika Siang Cin melayang lagi ke pos penjaga ke tujuh belas, bumbung perak yang
menggelinding itu telah meledak, semburan api berasap menjulang tinggi ke udara,
mirip kembang api yang sengaja diluncurkan ke angkasa.
Kobaran api yang besar dan menyala benderang ini menyebabkan jejak Siang Cin
berempat konangan dan tak sempat menyembunyikau diri lagi. Padahal masih enam
langkah untuk mencapai pos penjagaan selanjutnya.
Tiga orang yang jaga di sini menjadi kaget, salah seorang di antaranya melihat
bayangan Siang Cin yang tengah meluncur datang bagai elang menyambar kelinci.
Orang ini ketakutan, sekuatnya dia berteriak: "Mata2, awas mata2 . . .." tiba2
suaranya seperti ditelannya pula, dengan kedua tangan mendekap dada orang ini
roboh terkulai dengan penderitaan yang luar biasa, kiranya sebatang tombak
bersula telah menghujam dadanya.
Kedua orang temannya berteriak aneh, satu di antaranya mengeluarkan bumbung
perak serupa yang meledak tadi. Cepat Siang Cin menghantam dari kejauhan, belum
sempat lawannya mengeluarkan senjata, tahu2 tubuhnya mencelat seperti diterjang
badai, orang itupun melolong dan rnenghamburkan darah serta roboh ter guling2,
bumbung perak yang telah dia keluarkan itu mencelat ke atas dan kebetulan jatuh
pula menyentuh punggungnya.
"Dar", di tengah pancaran lelatu api yang berwarna warni itu, tubuh si korban
hancur lebur terbakar hangus. Tiada kesempatan untuk menyaksikan adegan yang
mengerikan ini, karena ledakan satu disusul ledakan yang lain pada pos penjagaan
sebelah atas, malam yang gelap menjadi terang benderang oleh pancaran cahaya
warna warni di angkasa. Siang Cin anggap tidak melihat, ia terus meluruk meubruk
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
150
maju, pada saat itulah dari jalan di sebelah bawah yang mereka lalui tadi
terdengar suara meletup yang cukup keras dan menimbulkan hawa panas, ribuan
lidah api sekaligus menyala, seluruh jalan2 berliku di bawah sana telah ditelan
api, nyala api yang semakin besar itu terus merambat ke atas sampai di ujung
jalan sana.
Cepat Tok ciang Jan Pek yang melayang maju ke dekat Siang Cin, serunya gugup:
"Siang-tayhiap, musuh telah tahu kedatangan kita."
Kedua telapak tangan Poan-hou-jin Te Yau terayun beruntun, tiga orang Hek-jiu
tong di depan sana dipukulnya roboh binasa, sebat sekali mereka terus menerjang.
"Terjang terus ke atas!" Siang Cin mendorong semangat mereka. Di atas panggung
batu di sebelah depan ada dua puluhan orang Hek jiu-tong telah berjajar menunggu
kadatangan mereka.
Siang Cin menghardik sekali, sebuah benda melengkung dengan memancarkan
cahaya
kuning kemilau kontan membabat ke depan, luncuran kencang dan ganas, hanya
kelihatan cahaya kuning berkelebat, beberapa orang Hek jiu-tong yang memapak
maju seketika roboh terguling dengan batok kepala copot dari lehernya, terdengar
suara gedebukan diiringi golok yang berkerontangan, suasana menjadi kacau balau.
Itulah senjata rahasia khas Siang Cin, Toa-liong kak.
Menyambit dan menangkap pula, Toa-liong-kak kembali berputar balik ke tangan
Siang Cin, sementara itu sisa musuh yang berjumlah delapan orang juga telah
diganyang habis oleh Jan Pek-yang bertiga, darah berceceran, mayat
hergelimpangan.
Kini tinggal sebuah pos penjagaan terbesar di sebelah depan, di bagian atas pos
penjagaan ini sengaja dirintangi sebuah dinding, tembok dan di depan dinding
inilah berjajar menunggu dengan tenang puluhan orang Hek-jiu-tong bersenjata
lengkap, di sebelah kanan mereka berdiri pula enam laki2 kekar, meski keenam
orang ini juga berseragam hitam, tapi pada leher mereka dihiasi oleh sebuah
mainan sebesar telapak tangan manusia yang terbuat dari logam.
Siang Cin meluncur tiba sembari menyerbu ia berseru lantang: "Kawan tangan
hitam, nih penagih nyawa telah tiba."
Keenam laki2 kekar itu menggerung bengis, dari arah yang berbeda mereka
merubung
maju, enam senjata berbentuk aneh sekaligus menyerang.
Siang Cin menyeringai, sedikit berjongkok, Toa- liong-kak lantas menyamber,
cahaya kuning berputar menyilaukan mata, dikala Toa-liong-kak berputar balik dan
tertangkap kembali oleh Siang Cin, empat di antara enam musuh itu sudah
berguling roboh dengan kedua kaki sebatas lutut terbabat kutung. Dua orang yaug
selamat jadi melenggong, air muka mereka menampilkan rasa ngeri, tapi dengan
nekat mereka menerjang maju pula.
Tok-ciang Jan Pek-yang juga maju kedepan, pukulan dahsyat segera menyapu ke
arah
musuh, jengeknya: "Kawanan tangan hitam, pergilah menghadap Giam-lo-ong."
Dua orang itu tanpa bicara segera mengayun golok Kui-thau-to dan sebatang
gantolan runcing, mereka menghujani Siang Cin dengan serangan deras. Sementara
di sebelah sana Thi tan Ang Siu-cu dan Poan hou-jiu Te Yau juga sedang menghajar
lawan, dalam kepungan orang banyak, senjata Ngo-poan-kim-cui (bandulan emas
lima
kelopak) milik Ang Siu-cu yang berat itu betul2 mengnujuk perbawanya yang hebat,
di mana bandulannya, menyambar, musuh pasti dibikin tunggang langgang.
Sekilas Siang Cin tertawa senang, tiba2 dia melejlt ke atas dinding tadi, baru
saja kakinya hinggap di atas tembok, dari tempat gelap di sebelah depan tiba2
terdengar suara jepretan, maka berhamburlah anak panah selebat kawanan tawon
yang mengejar mangsa, bintik2 sinar perak yang gemerdep memecah udara sama
tertuju ke arah Siang Cin.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
151
Cepat sekali Siang Cin sudah memperhitungkan suatu posisi yang menguntungkan
di
pojok sana, maka begitu dia berjumpalitan, Toa liong-kak ditangannyapun
tersambit dengan membawa ekor cahaya kuning.
Terdengar suara dering beradunya senjata tajam dan terseling pula teriakah orang
yang meregang nyawa.
Seperti sudah diperhitungkan, tangan Siang Cin dapat menangkap pula
Toa-liong-kak yang berputar balik dengan cahayanya yang kemilau kuning, Toa
liong-kak yang telah berlepotan darah pula.
Puluhan tombak di sebelah sana terlihat perkampungan besar yang dibangun dari
batu2 gunung, pintu gerbangnya yang tinggi terbuat dari tembaga, didepan pintu
gerbang adalah undakan batu yang lebar, megah dan angker keadaannya, kini
kecuali dua lampion besar yang bergantung di dua sisi pintu gerbang, lampu yang
semula menyala benderang dalam suasana pesta pora tadi telah padam seluruhnya,
maka keadaan perkampungan tampak gelap gulita.
Di bawah cahaya lampion besar di pinto gerbang itu Siang Cin dapat melihat
sebuah pigura besar yang tergantung di depan pintu dengan ukiran huruf2 besar
bertinta emas yang berbunyi: "Bu-wi-san-ceng".
Siang Cin berdiri di tempat yang miring di depan perkampungan, sementara bidikan
anak panah telah berharnburan dari belakang tanggul sana. tanpa ayal Siang Cin
melesat keatas tanggul rendah itu, tapi baru saja dia melangkah, dari tempat
kegelapan di belakangnya terdergar suara dingin bengis berkata:""Hm,
Toa-liong-kak, jadi kau ini Naga Kuning adanya?"
Sebat sekali Siang Cin membalik tubuh, tampak di atas sebuah batu padas berdrri
seorang tinggi kurus tengah mengawasinya, Siang Cin menjengek: "Kalau kau sudah
tahu Toa-liong-kak, kenapa tidak kau turun tangan menolong jiwa temanmu?"
Mendengus orang itu: "Tak perlu menolong jiwa mereka, cepat atau lambat toh
utang darah ini harus ditagih?"
"Baiklah, boleh coba kau tagih," bentak Siang Cin, Toa-liong-kak tiba2 menyamber
pula dengan suara mendesing kencang, Toa-liong-kak berputar terus membahat
lebar.
Lawannya kelihatan terkejut, sedikit miring tubuh, berbareng sebilah pedang
kemilau menyampuk Toa liong-kak yang menyamber tiba.
Tapi mendadak Toa-liong-kak berputar memancarkan cahaya kemilau dan berkisar
turun membabat ke paha orang itu.
Se-konyong2 sinar kemilan bertebaran, pedang panjang orang itu berputar kencang,
Toa-liong-kak tersampuk dan akhirnya jatuh berkerontang.
Bagai bayangan setan, "ser, ser"", dua Toa-liong-kak tahu2 menyerang tiba pula,
dikala orang itu menyadari bahaya tengah mengancam, sementara kemilau Toa
liong-kak sudah menyamber tiba di depan mata. Tetapi orang itu tidak gugup
sedikitpun, cepat ia berkisar ke samping, pedang berputar kencang dan rapat,
tapi Toa-liong-kak seperti benda hidup saja, berulang kali kena dibentur pergi,
tapi berulang kali pula memutar balik menyerang lagi dari berbagai arah.
"Bagus sahabat, kau memang berisi," puji Siang Cin. Pada setiap katanya segera
sebuah Toa-liong-kak tersambit pula, Toa-liong-kak yang "meluncur akhirnya
berjumlah sembilan buah.
Orang itu merasakan betapa berat tekanan sembilan batang Toa-liong-kak dari
berbagai arah.
Se-konyong2 jerit kaget kesakitan tercetus dari mulut orang itu, bagai orang
gila sekuatnya dia putar pedang sekencangnya, berbareng ia berusaha berkelit,
sinar pedangnya yang memanjang seperti rantai perak membungkus sekujur
badannya.
Tapi Toa-liong-kak memang senjata ampuh dan aneh, berulang kali terketuk pergi
tapi bukan saja tidak jatuh, andaikan jatuh juga masih melejit lagi dan berputar
pula menerjang balik pada lawannya, se olah2 sebelas batang Toa liok-kak ini
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
152
dikendalikan oleh seseorang yang lihay saja.
Benturan beberapa kali menimbulkan percikan api, kejadian hanya sekejap belaka,
belum lagi pancaran kembang api itu sirna, se konyong2 terdengar rintih yang
mengerikan, orang yang bersenjata pedang itu tampak berputar dengan langkah
sempoyongan, tiga di antara sebelas Toa-liong-kak kena diketuknya jatuh dan tak
mampu bergerak pula, tapi delapan yang lain ternyata telah menghujam ke
tubuhnya, kepala, dada, perut, punggung, kaki dan tangan, dengan pedang
menyangga tanah, pelan2 orang kurus tinggi itu robot terjungkal.
Secepat angin Siang Cin memburu maju memunguti Toa liong-kak, lalu menghampiri
korbannya, karena badan dihiasi delapan Toa-liong-kak, keadaan orang itu boleh
dikatakan sangat mengenaskan, wajahnya sudah tidak pada bentuknya semula,
darah
tampak meleleh dari mulutnya, dengan rebah telentang, sekujur badan
berkelejetan, sinar matanya pudar, tapi masih menatap Siang Cin tanpa berkedip,
mulutnya megap2 kepayahan.
Orang itu juga mengenakan seragam hitam, juga memakai kalung mainan berbentuk
telapak tangan manusia warna hitam, cuma berbeda dengan kalung orang lain, tepat
di tengah telapak tangan kalung orang ini terbingkai sebentuk batu warna merah
sebesar buah kelengkeng.
Dikala Siang Cin melihat batu merah pada kalung ini, segera ia tahu bahwa
kedudukan dan jabatan orang ini tentu jauh berbeda dengan para korbannya yang
terdahulu, belum lagi pikirannya bekerja, tiba2 dilihatnya bayangan orang
berkelebat di sebelah sana, didengarnya seorang berteriak ngeri dan sedih:
"Celaka . . . . Cit-ko . . . . Cit-ko dibunuh musuh!"
Siang Cin terkesiap, kiranya orang ini adalah pentolan ketujuh di antara
kesepuluh gembong Hek-jiu-tong, permusuhan kini jadi lebih mendalam lagi, sambil
menunduk dia berkata dengan suara berat: "Kau bukan tandinganku. mestinya kau
tidak perlu mengorbankan jiwa. Kau mati penasaran, tapi kau memang seorang laki2
sejati"
Pucat muka orang itu, ia menatap Siang Cin, kerongkongannya berkeruyuk, akhirnya
kepala terkulai miring tak bergerak lagi, sepasang matanya tetap mendelik,
agaknya dia mati penasaran, dengan terlongong Siang Cin mengawasi pipi kiri
orang yang terdapat tahi lalat sebesar kacang berwarna kehitaman.
Suara ribut2 menyentak lamunan Siang Cin, waktu ia memandang ke sana, ratusan
orang2 Hek-jiu tong telah merubung datang mengepung dirinya, semuanya
bersenjata
golok besar, wajah mereka tampak bengis, sorot matanya memancarkan dendam
kesumat.
Dengan cepat Siang Cin mencabut delapan Toaliong-kak dari tubuh korbannya,
seluruhnya dia rangkap di sebelah tangannya, dengusnya kemudian: "Suruh
pimpinanmu keluar, sembunyi bukan cara untuk menyelesaikan persoalan ini,
kawanan tangan hitam, jangan biarkan darah kalian mengotori Bu wi san ceng ini
dengan percuma."
Sebelum gema suara Siang Cin lenyap, dari belakang rombongan kawanan tangan
hitam yang ratusan jumlahnya ini tampak tiga bayangan orang tengah meluncur
datang secepat angin, di antara gerakan lompatan ketiga bayangan ini tampak pula
kemilau senjata tajam.
Dalam waktu yang sama dari arah tembok yang mengalang jalan sana juga
berkumandang lengking suara panjang, beruntun muncul pula tiga bayangan orang,
setelah celingukan sejenak, serempak mereka meluncur ke arah Siang Cin.
Maklum bahwa suatu pertempuran besar dan banjir darah bakal terbentang di depan
mata, pelan2 Siang Cin memasukkan Toa-liong kak ke dalam sarungnya di ikat
pinggang.
Tiga orang yang muncul dari arah tembok tadi adalah Jan Pek-yang, Ang Siu-cu dan
Te Yau, badan mereka berlepotan darah, dengan napas sedikit memburu mereka
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
153
melayang turun di kanan kiri Siang Cin, setelah menarik napas panjang Te Yau
berkata lirih: "Kawanan tangan hitam di atas batu sana berhasil kami babat
habis, hanya lengan Ang Siu-cu saja yang terluka, tapi tidak parah, Cayhe dan
Pek-yang tidak kurang suatu apapun . "
"Musuh sudah mengepung dan akan terjadi pertempuran babak terakhir di sini,
Te-heng tolong kalian bertiga menyusup ke dalam perkampungan musuh dan
mencari
jejak puteri kesayangan Ciangbunjin kalian, Cayhe akan segera memberi tanda
supaya bala bantuan kita dibawah segera menyerbu ke atas."
Te Yau melenggong, katanya: "Tapi di sini hanya Siang-tayhiap sendiri . . . . "
- - - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Pertarungan maut apa yang akan terjadi antara Siang Cin dengan gembong2
Hek-jiu-tong?
Dapatkah puteri ketua Bu-siang-pay diselamatkan dan apa yang telah terjadi atas
diri anak dara itu?
- Bacalah jilid ke - 9 –
Jilid 09
Kawanan tangan hitam yang berjumlah ratusan itu sudah berhenti di depan,
sementara tiga sosok bayangan orang di di belakang itu dalam sekejap telah
melayang lewat melampui kepala barisan manusia itu dan hinggap di depan barisan,
mereka melotot gusar ke arah Siang Cin berempat.
Mendadak Siang Cin angkat tangannya, meluncurlah sebuak benda hitam bundar ke
udara, ketika mencapai ketinggian belasan tombak benda itu meledak, kembang api
yang berwarna warna menjadikan pemandangan udara yang indah, sesaat menatap
ke atas, Siang Cin menoleh ke arah Jan Pek yang bertiga, katanya: "Tak lama lagi
situasi pasti berubah dan akan lebih baik daripada keadaan yang kita hadapi
sekarang"
Kawanan Tangan Hitam di depan mereka mulai menampakkan reaksi, tapi tiada
satupun yang berani bertindak tanpa perintah, sementara ketiga orang itu masih
berdiri tegak tak bergeming, mata mereka tetap melotot tak berkesip.
Satu diantaranya yapg berperawakan kasar dan berhidung besar tampil kedepan,
serunya dengan suara lantang, "Anak muda, sudah cukup kau takabur, apakah Lo-jit
kau yang membunuhnya?"
Siang Cin tersenyum, katanya; "Kau inikah Si Biruang Lu Tat, pentolan keenam dari
kesepuluh gembong Hek-jiu-tong?"
Bentuk mata laki2 kasar ini mirip mata ular, hidung besar seperti hidung singa,
mulutpun lebar dengan bibir yang tebal pula, serunya dengan gusar: "Akulah yang
tanya kau, apakah Lo jit mati ditanganmu?".
Mendengus Siang Cin dan balas bertanya: "Kalau betul mau apa?"
Hidung laki2 kasar itu menjadi merah, hardiknya beringas: "Siapa kau?"
Siang Cin berseru lantang: "Napa Kuning Siang Cin."
Nama julukan ini bagai suara guntur di siang hari bolong, sekujur badan laki2 itu
tampak bergetar, rona mukanyapun berubah, teriaknya. "Bagus, Siang Cin, kiranya
kau!"
Seorang laki2 setengah umur di samping yang berperawakan sedang tapi kurus
menyeringai dingin.
katanya: "Liok-ko, jenazah Jit-ko belum lagi dingin, memangnya setelah dia kaku
baru kau akan menuntut balas kematiannya?"
Seorang laki2 yang juga berusia pertengahan dengan alis tipis menimbrung: "Orang
she Siang, majulah kau, aku Siok-lokiu akan mengiringi kematianmu ke akhirat."
Tenang2 mengawasi ketiga orang di depannya, Siang Cin berkata kalem: "Ya, kalian
pentolan2 Hek jiu tong, Lo-liok Si Biruang gunung Lu Tat, Lo-pat Si alap2 hitam Dian
Ki dan Lo-kiu Siang-to-toh-hun (sepasang golok perenggut sukma) Mo Siong telah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
154
datang sekaligus, maaf kalau aku masih asing dengan kalian, maklumlah sebelum ini
memang kita belum pernah jumpa, setelah kalian memperkenalkan urutan
kedudukan tadi baru kutahu akan nama kalian."
Ketiga orang ini tetap berdiri tegak tanpa bergerak, sementara itu dari bawah gunung
sudah terdengar suara gaduh serbuan orang2 Bu-siang-pay, kadang terdengar juga
suara ledakan keras, sementara semprotan minyak berapi masih menerangi jalan
berliku di sebelah bawah, gelagatnya pertempuran cukup seru atas serbuan pasukan
Bu-siang-pay itu.
Tanpa mengunjuk perasaan si Biruang gunung Lu Tat menoleh danm mengawasi
kedua saudara angkat di kanan kirinya, akhirnya tatapan matanya tertuju pada
saudaranya yang sudah menggeletak menjadi mayat di atas tanah sana, pelan2 dia
berkata: "Siang Cin, manfaat apa yang kau terima dari pihak Bu-siang-pay, sampai
kau rela menjual nyawa bagi mereka?"
Bertaut alis Siang Cin, katanya tak acuh: "Soalnya satu sama lain segera cocok
sekali bertemu, dan yang lebih penting, aku merasa muak melihat sepak terjang dan
perbuatan keji kalian."
Alap2 hitam Dian Ki segera menggerung, ia memaki: "Kentut makmu busuk!"
Lu Tat segera mengulap tangan menghentikan caci maki Dian Ki, katanya tandas:
"Siang Cin, kau sudah main terjang ke gunung kini dia main bunuh, Hek jiu tong tidak
akan memberi ampun padamu. Dan lagi tak usah kau mengharapkan bala bantuan
orang Bu-siang-pay di bawah gunung itu, baiklah sekarang kami bicara blak2an saja,
kawanan tikus Bu-siang-pay itu takkan mampu membobol berbagai rintangan berat
yang telah kami atur dengan baik, umpama berhasil menerjang kemari juga takkan
luput dari kematian oleh serangan beberapa saudara tua kami."
"Apa ya?" Siang Cin mengejek. "Marilah kita coba2 saja."
Sambil menggeram Lu Tat menahan rasa gusarnya seperti mengharapkan sesuatu
dia menengadah melihat cuaca.
Dengan tenang Siang Cin berkata: "Kalian memang boleh juga, sebelum kawan2 Busiang-
pay menerjang tiba kalian sudah tahu akan serbuan mereka ...."
Si Biruang Lu Tat menyeringai dam melangkah maju, katanya: "Tepat sekali, dan
sekarang marilah kita mulai saja."
Siang Cin memberi tanda gerakan tangan kepada Jan Pek-yang bertiga yang ada
dibelakangnya, habis itu mendadak ia menerjang ke sana, telapak tangannya
setajam golok membabat tenggorokan Lu Tat.
Hampir pada saat yang sama, Tok-ciang Jan Pek yang tiba2 melejit maju dan
melemparkan granat belerang ke udara. "Tarr", kembang api bercampur asap biru
keputihan seketika berhamburan berjatuhan ke dalam rombongan orang2 Hek jiutong.
Biruang gunung Lu Tat menggerung keras, cepat ia menghindari serangan Siang Cin,
berbareng sebatang toya perak sepanjang tiga kaki sudah tergenggam di tanganya,
segera ia balas menerjang ke arah Siang Cin,
Tanpa bersuara Alap2 hitam Dian Ki juga menyelinap maju, telapak tangan tegak
miring menggempur punggung lawan.
Segera Jan Pek-yang berteriak: "Maju!" " Mereka bertiga terus menerjang masuk ke
Bu-wi-san ceng.
Tapi baru saja mereka melompat maju, empat golok segera memapak dari kiri-kanan,
si golok perenggut sukma Mo Siong lantas membentak: "Marilah gebrak dulu bebera
jurus denganku"
Thi tan Ang Siau cu segera menyongsong serangan musuh, bandulan beruas
berkelopak lima sekaligus melancarkan belasan gerakan, ayunan bandulannya
menderu bagai gelombang samudra. Tapi Jan Pek-yang dan Te Yau sedikitpun tidak
tertunda gerakannya, beruntun beberapa kali lompatan, tanpa menemui banyak
rintangan mereka sudah melampaui pagar dan meluncur masuk ke dalam
perkampungan.
Tiga puluhan anggota Tangan Hitam roboh bergulingan, api sama berkobar di tubuh
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
155
mereka, bau hangus kulit daging manusia tercium keras, pekikan puluhan mulut
berpadu seperti berlomba seram mengerikan.
Dengan enteng dan tangkas, Siang Cin meluputkan diri dari sergapan Dian Ki,
telapak tangan berkelebat, ia balas membabat kearah musuh yang licik ini,
sementara tangan kanan bergerak menciptakan bayangan ceplok2 dan tak teraba ke
mana arahnya tahu2 menyongsong serangan Lu Tat.
Maka, tiga orang sama berlompatan menyingkir, terdengar Siang Cin mendengus,
sebuah pukulan sakti terus dilontarkan, seketika udara seperti penuh ditaburi
bayangan telapak tangan.
Tapi Biruang gunung Lu Tat juga tak mau kalah tangkas, iapun ingin pamer ilmu
kebanggaannya yang telah digemblengnya selama puluhan tahun, yaitu Cui-si-cap
lak-sian (enam belas kali berkelebat mengejar bayangan) dikombinasikan dengan
permainan toya pendeknya yang berat itu, ia balas menyerang dengan gencar,
sementara Dian Ki dengan telapak tangan kosong selalu main menyerang secara
bergerilya, sehingga pertempuran tiga orang ini berjalan seru dan menegangkan,
apalagi gerakan mereka sama cepat dan tangkas, masing2 sama melontarkan tipu
serangan berbahaya.
No-poan-kim-cui yang diyakinkan Thi-tan Ang Siu-cu boleh dikatakan sudah cukup
sempurna, selama ber-tahun2 dia tumplek segala ketekunan dan tekadnya untuk
memperdalam permainan senjata bandulan yang satu ini, entah itu dikala fajar atau
senja, Ho-hou cui-hoat yang punya tiga puluh enam jurus ini tak pernah lupa
dilatihnya secara rajin, kini seorang diri dia menghadapi Sian ce-to-toh-hun Mo Siong,
pentolan kesembilan dari Hek-jiu-tong.
Kawanan Tangan Hitam yang tidak terluka masih ada tujuh puluhan orang lebih,
kecuali belasan orang yang ditugaskan memberi pertolongan kcpada para korban,
sisa yang lain di bawah pimpinan beberapa Thaubak tetap merubung maju
mengepung Siang Cin dan Ang Siu-cu di tengah arena.
Beruntun Siang Cin menyerang pula dengan jurus It siau-siang itu yang hebat, dikala
musuh menggerung gusar seraya berkelit pergi, dengan telak kakinya mendepak
roboh seorang musuh, waktu telapak tangan kirinya menyelonong ke depan, seorang
lawan kena ditonjoknya terpental dengan muntah darah.
Sambil melompat kesana Siang Cin membentak kereng: "Ang heng, kenapa
mestikamu tidak segera kau gunakan?"
Dikala bicara itulah terasa deru angin mengemplang batok kepalanya, tiba2 ia
melengkung badan, berbareng tangan memukul balik beberapa kali, menyusul
dengan jurus Ngo mo-sio-bing langsung dia me nbelah ke arah Dian-Ki, di tengah
samberan angin kencang secepat kilat itulah, tujuh kawanan Tangan Hitam telah
terjungkal robob binasa.
Ang Siu-cu mengertak gigi dan melabrak Mo Siong mati2an, mendengar peringatan
Siang Cin mendadak dia menyurut mundur, tapi Mo Siong bagai bayangan ikut
mendesak maju, sementara sepasang goloknya yang kemilau tajam itu menyamber
bersilang dari atas dan samping, sedetikpun tidak memberi kesempatan kepada
lawan, malah ejeknya: "Orang gagah dari Bu-sang-pay, hayolah maju lagi"
Bicara sejujurnya di kalangan Bu siang- pay dalam barisan Thi ji bun. Ang Siu-cu
sebetulnya terhitung jago kosen kelas wahid. orang yang terkenal dan dijunjung
tinggi martabatnya di dalam Bu siang-pay. Kungfunya memang hebat, cerdik pandas
juga pemberani, tapi kali ini ia berhadapan dengan salah satu gembong Hek-jiu tong.
nama Siang-to toh hun cukup disegani juga di kalangan Kangouw, maka Ang Siu cu
dipaksa tumplek seluruh bekal kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang hebat
ini, meski dalam waktu singkat Mo Siong tak mungkin mengalahkan atau membunuh
Ang Siu-cu, tapi untuk mengalahkan lawannya, Ang Siu-cu jelas juga tiada harapan.
Ang Siu-cu tak berani takabur atau lena untuk mendesak lawan, sehingga Bian-hokcuci
dan pelor belerang yang disimpan dalam bajunya sama sekali tak sempat
dikeluarkannya, dengan nekat di samping melayani rangsakan lawan, iapun harus
selalu waspada akan serangan kawanan Tangan Hitam yang membokong sehingga
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
156
keadaannya cukup gawat.
Siang Cin cukup jelas akan keadaan yang dihadapi kedua musuhnya, sementara Lu
Tat dan Dian Ki juga bertekad bertempur sampai titik darah terakhir untuk
mengerubut si Naga Kuning, bukan saja jurus serangan mereka keji, se-olah2
merekapun rela mengorbankan jiwa raga sendiri asal gugur bersama musuh, apalagi
tingkat kepandaian kedua orang ini dapat dinilai lebih unggul daripada Mo Siong.
Berkepandaian tinggi dan bernyali besar, tapi bukan tugas enteng bagi Siang Cin
untuk merobohkan kedua lawannya dalam waktu singkat kecuali menggunakan jurus
sakti yang tiada taranya. padahal uutuk melancarkan jurus sakti ini dia sendiripun
harus menyerempet bahaya.
Terdengar jeritan, seorang kawanan Tangan Hitam yang berbadan tinggi besar
tampak terpental roboh dengan kepala remuk, sementara Mo Siong terdengar
mengumpat: "Kunyuk Bu-siang-pay, biar tuan besarmu membeset kulit dan menelan
dagingmnu ... . "
Tiba2 Siang Cin melambung tinggi ke atas, di tengah udara ia menukik dengan
tubrukan keras, si Alap2 hitam Dian Ki berpekik aneh, kedua telapak tangan
sekaligus memukul beberap kali, deru angin pukulan menyampuk bagai kisaran
angin puyuh.
Tidak berkelit, tidak menghindarkan membalik, Siang Cin tetap menukik lurus ke
bawah menubruk Dian Ki, dikala angin pukulan lawan hampir menyentuh tubuhnya,
bagaikan mega mengambang di angkasa, dia meluncur lewat dengan jurus Gwat
bong-ing, lalu disusul pula dengan tipu Ngo mo so hing, kekuatan telapak tangannya
setajam golok, bagai kilat menyambar Dian Ki.
Cepat Dian Ki berusaha menyurut mundur, tapi Siang Cin tetap mengejarnya. Pada
saat itulah si Biruang gunung Lu Tat menggerung keras, toya peraknya dengan
kemplangan keras terayun tiba."
Mendadak Siang Cin batalkan kejarannya kepada Dian Ki, badan melengkung, kaki
mendepak di udara, gerakannya begitu indah, gesit dan tangkas, yang terlihat
hanyalah segulung bayangan yang membal balik, padahal toya perak Lu Tat dengan
sekuatnya telah menyabet, jelas tak mungkin ditarik balik, saking gugupnya, dengan
tumit kaki dia berusaha memutar, berbareng toya perak ditarik rendah terus menjojoh.
Tapi baru ia melakukan setengah gerakan, telapak tangan Siang Cin dalam sekejap
itu bagai kilat telah beberapa kali menghajar dadanya, begitu cepat sampai orang
tidak sempat melihat jelas, dikala Lu Tat merasakan dadanya tergetar keras dan
napas menjadi sesak oleh pukulan sekeras godam, tahu2 Siang Cin sudah
berjumpalitan ke sebelah sana.
Wajah yang beringas dan kasar itu menjadi pucat dan berkerut menahan kesakitan,
si Biruang gunung yang kekar ini tak kuasa lagi berdiri tegak, langkahnya
sempoyongan, kerongkongan terasa amis dan tersemburlah darah segar.
Tanpa menghiraukan korbannya Siang Cin melesat ke sana, di tengah udara
badannya kembali membalik, beberapa kali pukulan dahsyat sekaligus dilancarkan
menyongsong Dian Ki yang memburu maju hendak menolong saudaranya.
Sambil rnenggembor marah Dian Ki melontarkan belasan jurus pukulan, tapi
gerakannya tetap tertahan dan malah terdesak mundur, belum lagi sempat dia
melakukan gerakan susulan, kawanan Tangan Hitam yang lain sama menjerit dan
berteriak2; Liok ko roboh . . . . . . Hai kawan2, Liok ko telah ajal . . . "
Dian Ki kaget seperti disambar geledek mendengar teriakan ramai itu, sesaat dia
terlongong, tapi Siang Cin tidak pernah merandek sedikitpum, dengan menjengek
tiba2 dia menyelinap maju, telapak tangan tegak miring membelah batok kepala
orang.
Bayangan pukulan berkelebat bagai setan perenggut nyawa, Dian Ki tersentak kaget,
cepat dia menekuk pinggang seraya menunduk, berbareng kedua tangan menepuk
ke atas. Akan tetapi ia tetap tak dapat menahan pukulan Siang Cin yang dahsyat.
"Prak", suara tulang terpukul patah, tulang pipi Dian Ki terpukul pecah, ia terpental ke
samping, sementara tangan kanan Sang Cin membelah pula kuduk orang, kontan
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
157
Dian Ki menggelepar di tanah.
Tanpa merandek sedikitpun, Siang Cin terus meluncur maju pula, sebilah Toa-liongkak
tertimpuk, di mana kemilau cahaya berkelebat, lima pasang kaki orang
yang.menerjang maju sama terbabat kutung.
Mo Siong yang lagi melabrak Ang Siu-cu dapat melihat jelas, darah tersirap, dengan
bola mata merah membara, sepasang goloknya berputar sekencang kitiran, mulut
ber-kaok2 seperti serigala kelaparan, dengan kalap tanpa hiraukan diri sendiri dia
cecar lawannya yang bersenjata bandulan ini.
Dasar si Bandul besi Ang Siu-cu juga berwatak angkuh, kini musuh menyerang
semakin gencar, maka bandulan emasnya juga tak mau kalah gencar dengan keras
pula dia layani amukan Mo Siong
Hanya beberapa gebrak saja Siang Cin yang mengamuk di sana terjang ke tengah
rombongan kawanan Tangan Hitam, tiga puluhan orang sekaligus dibikin tunggang
langgang, jerit tangis mereka tak terperikan, darah muncrat kemana2, sisanya yang
masih segar lari pontang-panting, tapi segera mereka merubung maju pula dengan
mengertak gigi dan nekat melotot penuh dendam.
Tangan Siang Cm terpentang sebat sekali dia memburu ke arah Siang-to-toh-hun
yang mencecar Ang Siu-cu itu, sekilas Mo Siong melirik Siang Cin, suketika
jantungnya serasa pecah, takut tapi juga gusar dan dendam, akhirnya dia nekat,
golok kanan dengan keras menyampuk bandulan Ang Siu-cu sementara golok di
tangan kiri mengikuti gerakan tubuhnya melingkar miring menyelonong ke samping
Ang Siu-cu.
Thi tan Ang Siu cu berusaha menarik balik bandulannya, dengan tangan kanannya
membelah ke dada lawan,
Kejadian berlangsung cepat, se-olah2 baru saja mulai dan segera pula berakhir,
belum sempat Siang Cin memburu tiba, cepat dia berteriak: "Awas Ang-heng,
mendekam ..... . ."
Sayang baru saja suaranya keluar dari mulut, "trot", golok Mo Siong telah menusuk
masuk sela2 tulang iga Ang Siu cu, hampir pada waktu yang sama telapak tangan
Ang Siu cu dengan telak juga membelah dada kiri orang. "Trang", bandulannyapun
berhasil membentur pergi golok kanan Mo Siong, di tengah percikan lelatu api,
kedua orang sama terpental roboh ke belakang.
Begitu tubuh Ang Siu-cu menyentuh tanah, kawanan Tangan Hitam yang merubung
disekitar gelanggang segera memburu maju sambil menghujani bacokan golok
mereka.
Sementara itu Siang Cin telah menerjang tiba, di mana lengannya menggaris,
telapak tangannya menyerempet tenggorokan tiga musuh yang memburu maju,
semburan darah segera menyemprot tinggi, sementara Siang Cin menggasak pula
dua lawan yang lain, dua orang kawanan Tangan Hitam ini melolong keras, golok
mereka mencelat, tulang dada patah dan remuk, jiwa melayang seketika.
Ang Siu-cu jatuh tengkurap dengan napas kempas kempis, tangan kiri menekan luka
pada iga kiri, tapi darah tetap merembes dari celah2 jari tangannya.
Setengah berjongkok Siang Cin bertanya dengan cemas: "Ang heng, bagaimana
keadaanmu?"
Dengan suara serak Ang Siu-cu menjawab: "Sia ng . . . . . Siang-tayhiap . . . . . . .aku
tak kuat lagi."
Waktu berpaling ke sana, terlihat oleh Siang Cin kawanan Tangan Hitaan tampak
memapah Mo Siong yang kelihatan bermuka pucat menuju kedalam perkampungan.
Sambil angkat tubuh Ang Siu cu, segera Siang Cin membentak: "Mo Siong,
serahkan jiwamu: ....." di tengah kumandang suaranya Siang Cin melayang ke sana,
terjun ke tengah gerombolan musuh, beberapa kawanan Tangan Hitam yang
memapah Mo Siong sama berteriak kaget, ada beberapa orang angkat golok terus
menerjang maju.
Sekali Siang Cin geraki tangan kanan, dua musuh melolong kesakitan dan
menyernburkan darah segar, kematian mereka teramat mengenaskan.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
158
Mo Siong menjadi kalap dan beringas, dia dorong orang2 yang memapahnya,
dengan langkah sempoyongan dia menyerbu maju seraya berteriak deagan suara
serak, dua bilah goloknya memancarkan sinar kemilau membabat miring, mengarah
leher dan dada Siang Cin.
Mencorong bola mata Siang Cin, ia menghardik bengis: "Bayarlah hutang jiwamu,
Mo Siong!"
Sepasamg golok baru menyamber setengah jalan, "Nyek", tiba2 Mo Siong terpukul
mencelat, badannya jungkir balik di udara celakanya kepalanya membentur tanah
lebih dulu dan pecah.
Dua orang yang memapahnya tadi berdiri melongo ketakutan, kaki mereka seperti
berakar di bumi, tenaga untuk angkat langkah seribupun sudah tiada lagi.
Bola mata Siang Cin merah membara melotot kepada kedua orang yang ketakutan
ini, pelahan dia berkata: "Kalian bunuh diri saja sekarang!"-
Tiba2 bergidik seperti tersentak bangun dari lamunan mereka, kedua orang ini putar
badan terus hendak melarikan diri, Siang Cin mendengus sekali, di mana tangannya
bergerak, "Serr", sebatang Toa-liong-kak dia sambitkan, terdengar kedua orang itu
mengeluh tertahan, Toa-liong-kak tahu2 sudah berputar kembali pula ke tangan
Siang Cin.
Tanpa ayal lagi Siang Cin melompat ke atas tanggul dan turun di baliknya baru dia
rebahkan Ang Siu-cu yang dipanggulnya, keadaan Ang Siu-cu sudah kempas
kempis, napasnya sudah lemah dan tinggal menunggu ajal belaka.
Menggosok telapak tangan yang gemetar Siang Cin berteriak dengan suara serak:
"Ang-heng . .. . . . bala bantuan kalian akan segera tiba, kuatkan hatimu,
pertahankan dirimu . . . . . . takkan lama tentu ada orang akan memberi pertolongan
padamu"
Pelahan2 membuka matanya yang pudar, wajah Ang Siu-cu yang pucat mengulum
secercah senyum tawar, bibirnya gemetar, suaranya terdengar rendah "Mung . . . ..
kin tak kuat lagi, Siang-tayhiap . . . . aku kuatir . . . . . . setengah hidupku
berkecimpung di kalangan Kangouw . . . . . . hari ini memperoleh ganjaran . . . . . .
yang setimpal, memang demikianlah . . . . . . sebab dan akibat, ini
memang . . . . . .sudah kuduga sebelumnya . , . . , . . . "
Menggeleng pilu Siang Cin, katanya dengan suara lirih: "Gara2ku yang tidak becus
membantumu, Ang-heng. Ai, apa pula yang bisa kukatakan?"
Beberapa kali tubuh Ang Siu-cu bergetar dan berkelejetan, matanya terbeliak,
sementara sinar matanya sudah mulai pudar, Siang Cin sudah sering melihat
keadaan macam begini, dia tahu laki2 yang gagah perwira dihadapannya ini tak lama
lagi bakal mangkat mendahuluinya menuju alam baka.
Tengorokannya bersuara rendah, jari tangan Ang Siu-cu yang gemetar dan terasa
mulai dingin menggenggam kencang tangan Siang Cin, kulit mukanya berkerut,
sekuatnya dia menarik napas, lalu berkata dengan tersendat: "Suruh . . . . , suruh
mereka . . . . . . membawa pulang abu tulangku ke padang rumput . . . . . . . ."
"Ya, pasti kulakukan," sahut Sing Cin.
Ang Siu-cu berkelejetan beberapa kali, lalu tak bergerak lagi, namun bola matanya
tetap terbelalak, matipun agaknya dia tak mau meram.
Tanpa bersuara Siang Cin berdoa mengawasi jenazah dihadapannya, dia menghela
napas, lalu dia pondong jenasah Ang Siu-cu dan ditaruh di tempat yang agak
tersembunyi, lalu dia lari ke arah Bu-wi-san-ceng.
Dinding tembok yang dibangun dari batu gunung tampak begitu tinggi dan tebal,
musuh yang datang kemari pasti akan ciut nyalinya, tapi Siang Cin sedikitpun tidak
gentar, dia melayang ke atas, bagai seekor burung raksasa di tengah udara dia
meliuk dengan badan melengkung, dia melayang turun seringan daun jatuh.
Tempat berada Siang Cin adalah sebuah serambi panjang luas yang dialasi batu
marmer hijau, maju ke depan lagi adalah deretan rumah yang di bangun dari batu
gunung. Tepat di tengah sana adalah ruang pendopo, delapan buah pintu yang
diatur segi delapan dengan daun pintu terbuat dari tembaga seluruhnya terpentang
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
159
lebar, cahaya lampu tampak terang benderang di dalam pendopo, di payon kiri
kanan rumah bergantungan dua belas lampu kaca yang mengkilap, sebuah huruf
"GI" (setia) yang besar berwarna merah darah tergantung tepat di tengah dinding
ruangan, di bawah huruf besar ini, tepat di kaki tembok terdapat sebuah meja
panjang, dua batang lilin besar tampak menyala terang.
Dalam suasana segenting ini tiada tampak bayangan seorangpun didalam ruang
pendopo ini, Siang Cin memandang ke seluruh penjuru, perhatiannya tertuju pada
pigura besar tepat tergantung di tengah ruangan, pigura ini berwarna dasar putih,
tanpa tulisan sehurufpun, hanya ada lukisan tangan manusia berwarna hitam yang
kelihatannya seram.
Agaknya baru saja berlangsung dalam ruang pendopo ini perjamuan pernikahan.
Diam2 Siang Cin menghela napas kasihan akan nasib anak perempuan itu, juga
merasa ikut malu pula bagi pihak Bu-siang-pay, padahal pasukan sudah dikerahkan,
peperangan yang menimbulkan banjir darahpun telah terjadi, betapa banyak jiwa
telah dikorbankan, memangnya apa tujuannya? Tidak lain hanya ingin melampiaskan
rasa penasaran belaka?.
Pelan2 Siang Cin menaiki undakan dan maju ke depan, memasuki ruang pendopo,
harumnya dupa dan baunya arak masih merangsang hidung, permadani merah
digelar sejak dari pintu memanjang ke arah meja sembahyang di tengah ruang sana,
suasana gembira ria masih terasakan.
Menjelajah ke seluruh ruangan, tiada jejak mencurigakan yang ditemukan oleh Siang
Cin, lalu dengan langkah hati2 dan penuh perhitungan Siang Cin membelok ke kiri
menyusuri serambi menuju ke belakang, di sana terdapat sebuah kamar duduk yang
dipajang dengan serasi dan asri.
Kamar ini terdapat tiga buah pintu, satu di antaranya menembus ke belakang pula,
sementara pintu di kanan-kiri menembus ke kamar lain, setelah berpikir sejenak,
Siang Cin tidak memeriksa lebih lanjut, dia membelok ke pintu kanan.
Di sini terdapat serambi yang liku2, di ujung serambi adalah sebuah rumah yang
terbuat dari batu gunung pula, keadaan gelap gulita dan tidak terdengar apa2,
dengan enteng Siang Cin meluncur ke depan, kira2 setengah perjalanan serambi
berliku itu, tiba2 ia belok keluar serambi, sekali melenting, dia melejit tinggi dan
hinggap di atap rumah.
Di atap serembi panjang ini pada kedua sisinya terdapat payon yang bertalang
tempatnya yang dekuk cukup pas untuk mendekam seorang. Segera kuping Siang
Cin yang tajam mendengar suara "klik" sangat pelahan, payon yang kedua sisi
terbuat dari lempengan besi itu mendadak terbalik dan mengatup, baru sekarang
disadari oleh Siang Cin bahwa payon besi ini ternyata tajamnya luar biasa.
Sigap sekali tangan Siang Cin menepuk ke bawah sehingga badannya mencelat ke
atas, dikala badannya tegak kembali di atap serambi itu, hujan panahpun memapak
dirinya.
Dalam kegelapan Siang Cin masih bisa melihat bahwa hujan panah dibidik keluar
dari barisan jendela di deretan rumah pertama ujung serambi sana, cepat Siang Cin
melayang ke sana sembari ayun sebelah tangannya, sebuah kotak kayu warna
merah dia timpukkan dengan deru suara yang kencang melayang masuk melalui
jendela ke dalam rumah pertama.
Suara kotak kayu itu jatuh dan pecah berantakan sekejap saja didengarnya
kegaduhan mulai timbul di dalam rumah: "Waduh, O, apa ini yang menggigitku"" ---
"Aduh biang, sakit sekali . . . . . "" "Celaka, dari mana labah2 sebanyak ini? Aai,
minggir, jangau kau mendesak ke arahku . . . . . . " - "To-thauling, aduh, aku
digigit . . . . . . . .."
Siang Cin menyeringai, mendadak ia membalik tubuh, sebuah sabuk kain berminyak
bagai seekor ular panjang tiba2 meluncur, dengan tepat menghantam lampu kaca
yang paling ujung. "Prang pyaaar", ditengah suara berisik berhamburnya pecahan
kaca, suara nyala api yang segera berkobar terdengar mengerikan, sabuk minyak
yang mengandung belerang itu seketika menimbulkan kebakaran yang hebat.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
160
Setelah menarik napas panjang, Siang Cin pentang tangan dan mengapung ke atas
hinggap di atap paling tinggi dari bangunan itu.
Api berkobar semakin besar di sebelab bawah, segera Siang Cin melayang ke sana
pula, dikala hampir tiba di samping bangunan tinggi besar ini, dari arah kanan
dilihatnya dua orang tengah baku hantam dengan sengit, keduanya bergebrak
dengan gerak cepat dan cekatan.
Lapat2 Siang Cin mengenali kedua orang yang lagi berhantam di atap rumah itu satu
di antaranya adalah Poan-hou-jiu Te Yau, lawannya adalah seorang yang berjubah
merah.
Baru saja ia hendak menerjang kesana membantu Te Yau, tiba2 ia punya pikiran lain,
umumnya orang2 kawanan Tangan Hitam, sekalipun dia seorang gembong yang
punya kedudukan tinggi, semuanya mengenakan warna hitam, memangnya dari
mana pula jago kosen berjubah merah ini? Memangnya di dalam waktu singkat ini
pihak mereka telah mengundang jago2 dari aliran lain untuk bantu menghadapi
serbuan orange Bu-siang-pay? Kalau hal ini betul, betapa banyak jago2 silat yang
telah tiba? Bagaimana tingkat kepandaian mereka? Kini di mana pula mereka
menyembunyikan diri?
Siang Cin tidak ayal lagi, cepat dia melesat ke sana, dari jauh angin pukulannya
segera melanda musuh yang berjubah merah menyolok itu.
Sebat sekali orang berjubah merah itu berkisar, pergi, Poan-hou-jiu Te Yau berteriak
riang: "Siang-tayhiap, jejak Siocia sudah ditemukan, Pek yang sedang . . . . . . "
Belum habis dan bicara laki2 ubah merah telah melompat maju ke kanan-kiri, dalam
gerakan ke kiri-kanan ini, tiba2 sebelah tangannya menggablok ke arah Siang Cin,
sedang tangan yang lain memukul Te Yau tenaga pukulannya kuat luar biasa.
Diam2 Siang Cin mendongkol, main kepalan dirinya adalah paling ahli, kenyataan
lawan berani main hantam dihadapannya. Sembari menghardik tangannya bergerak
setengah melingkar, lingkaran kecil terus meluas menjadi sebuah lingkaran besar, di
tengah lingkaran besar inilah tersembunyi pukulan hebat, se-olah2 sebuah jala besar
yang tidak kelihatan terus mengurung ke arah musuh.
Maka si jubah merah merasakan adanya gencetan berat dari dua arah yang berbeda,
begitu tahu gelagat tidak menguntungkan cepat dia menyurut mundur, tapi ujung
jubahnya terobek oleh telapak tangan Siang Cin.
Bagai bayangan. Siang Cin memburu maju dengan serangan tiga puluh tujuh jurus
pukulan, sementara kedua kakinya berganti menendang secara berantai, gaya
pukulannya yang keras bagai gelombang yang ber-gulung2, bayangan kakinya
secepat kilat, rangsakan yang dahsyat ini sekaligus mendesak si jubah merah
mundur sampai di pinggir atap rumah.
Siang Cin melejit mundur seraya mendengus, lalu ia berseru: "Te-heng, apakah Janheng
mengejar musuh?"
Te Yau menyahut: "Betul, tadi Cayhe juga ikut mengejar, tapi dicegat keparat ini."
Dalam percakapan singkat ini, laki2 jubah merah telah menubruk balik, begitu
berhadapan kedua tangannya kembali melancarkan bayangan pukulan yang
bersusun dan tebal menggulung kearah Siang Cin.
Kini Sang Cin telah melihat jelas tampang lawannya, ternyata orang ini berwajah
cakap, seorang pemuda yang gagah kekar, sikapnya kelihatan angkuh, sorot
matapun tajam.
Sambil bcrputar, se konyong2 bayangan jubah kuning Siang Cin berkelebat, seolah2
sekaligus telah berubah menjadi ribuan Siang Cin, dari arah yang sukar diduga
ini, sekaligus ia menggempur musuh dengan tak kalah gencar dan sengitnya.
Deru angin pukulan meledak saling bentur, bayangan pukulan beterbangan tanpa
kenal ampun lagu ia menggempur laki2 jubah merah itu.
Siang Cin telah keluarkan Bong-li-mo (iblis dalam ini api), salah satu dari kesembilan
keahliannya, selama terkenal di Kangouw jarang Siang Cin menggunakan jurus yang
lihay ini Karena Bong-li-mo dan Win jian san merupakan tipu pukulan yang paling
ganas diantara sembilan jurus ilmu pukulannya yang hebat, seluruhnya telah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
161
memeras tenaga dan pikiran Siang Cin selama enam tahun baru berhasil
diyakinkannya ilmu pukulan ini.
Maka terdengar si jubah merah menjerit kaget, sekuatnya dia melompat sejauhnya,
sembari melompat kedua tangannya masih bergerak membuat pertahanan yang
kukuh bagai dinding, sekuatnya dia berusaha membendung serangan gencar musuh
yang memberondong tiba dari berbagai penjuru, serentetan suara keras menggetar,
tubuh si jubah merah tampak terjungkal ke bawah.
Sebat sekali Poan-hou jiu Te Yau memburu maju, serunya sambil tepuk tangan:
"Siang tayhiap, kau memang hebat, tidak lebih dari tiga jurus sudah kau bikin bocah
itu terjungkal ke bawah, padahal sudah hampir ratusan jurus Cayhe bergebrak
dengan dia ."
Siang Cin tersenyum, katanya: "Te-heng, tahukah kau ketiga jurus ilmu yang
kugunakan tadi telah memeras keringat, tenaga dan pikiranku selama tujuh tahun?"
Melenggong sejenak, lalu Te Yau tertawa kikuk.
"Kungfu anak muda tadi ternyata cukup lihay," demikian kata Te Yau kemudian,
"bicara terus terang Siang tayhiap, kalau dilanjutkan mungkin aku tidak dapat
mengalahkan dia."
Sambil menepuk pundak Te Yau, dengan rasa was2 Siang Cin berkata: "Gelagatnya
kurang beres, si jubah merah tadi jelas bukan anggota kawanan Tangan Hitam,
sejauh ini kita belum tahu berapa banyak musuh telah mengundang bantuan dari
golongan lain, sedang bala bantuart Bu siang pay kalian sampai sekarang belum
juga menyerbu tiba di sini, padahal jejak puteri Ciangbunjin kalian belum .juga ada
kepastiannya, malah . . . . . . em, herannya gembong2 kawanan Hek jiu-tong yang
lain sampai sekarang belum juga muncul ........."
Tanpa sadar hampir saja Siang Cin menceritakan tentang kematian Ang Siu-cu, tapi
dia tahu dalam detik2 yang masih gawat ini, berita duka cita ini sekali2 tidak boleh
dia sampaikan, supaya tidak mempengaruhi semangat juang orang2 Bu-siang-pay,
jika sampai kalap dan bertempur tanpa menggunakan pikiran sehat, urusan tentu
bisa runyam.
Agaknya Poan-hou-jiu Te Yau tidak perhatikan bahwa Ang Siu-cu sudah tiada di
samping Siang Cin, dengan rasa kuatir dia berkata: "Kekuatiranmu memang
beralasan, Siang-tayhiap, Pek-yang sudah mengejar ke sana, perumahan dalam
perkampungan itu seluruhnya gelap gulita, bangunannya sambung menyambung
seluas ini, untuk mencari jejak Pek yang memang bukan soal mudah . . . . . . "
Berpikir sejenak, Siang Cin berkata pula: ""Apa boleh buat, terpaksa kita berpencar
mencarinya, peduli dapat tidak menemukan Jan-heng dan puteri Ciangbunjin kalian,
dalam waktu sesulutan dupa kita harus sudah tiba dan menunggu di pintu ruang
pendopo sana."
Baru saja Te Yau manggut, tiba2 seperti ingat apa2 dia bertanya: "O, ya, Siang
tayhiap, mana Siu-cu?"
Kebetulan Siang Cin sudah putar tubuh, sahutnya dengan tertawa getir: "Dia terpisah
denganku. Hayolah sekarang kitapun berpencar." Habis bicara Siang Cin
mendahului terjun ke tempat gelap.
Sejenak Te Yau berdiri melenggong, ia geleng kepala, iapun melompat ke sana.
Suasana dalam perkampungan yang luas gelap ini sunyi senyap, dalam kesunyian
ini terasa adanya ancaman yang amat berbahaya dan membuat orang merinding,
Tanpa berhenti Siang Cin terus meluncur ke barat, matanya menjelajah dan
memeriksa dengan cermat setiap tempat dan setiap sudut, tapi kecuali kesunyian
dan kepekatan, perkampungan besar ini hampir boleh dikatakan sudah tidak dihuni
oleh makhluk hidup lagi.
Tiba pada sebuah taman bunga yang kelihatan teratur dan terawat baik, berbagai
jenis bunga seruni tumbuh di dalam pot2 yang berjajar di sekeliling empang yang
berbentuk sabit, sebuah jembatan berliku tampak melintang di atas empang yang
panjang dan luas ini, sebuah gardu mungil berada di tengah empang sana Siang Cin
memandang sekilas ke sana, baru saja ia hendak berlalu, tiba2 ia mendengar suara
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
162
kresekan lirih di dalam gardu.
Tergerak hati Siang Cin, lekas dia mendekam, dengan tajam dia mengawasi gardu
itu, sesaat kemudian, dari dalam gardu kembali didengarnya suara pakaian yang
bergesek, batok kepala seorang tampak menongol keluar serta celingukan ke kanan
kiri.
Mendadak Siang Cin pentang tangan, secepat kilat tiba2 dia menubruk kepala yang
menongol itu.
Sudah tentu kejadian mendadak ini membuat orang itu kaget dan menjerit takut,
belum lagi sempat dia memberi reaksi, sekali raih dan jambak Siang Cin sudah
angkat orang itu ke atas, orang ini berpakaian hitam dengan kulit muka benjal benjol,
wajah yang bengis dan jerih, ini memang cocok sebagai anggota kawanan Tangan
hitam.
Sembari menjerit kaget, golok yang dipegang orang itupun terlepas jatuh dan
bersuara nyaring.
Sekencang tanggam Siang Cin jambak leher baju orang itu, katanya dengan
menyeringai: "Pasukan besar Bu-siang-pay telah menyerbu ke atas Pi-ciok-san,
sepuluh gembong kalian sudah gugur separuh, anak buah juga tak terhitung
banyaknya yang binasa, yang masih hidup sudah ngacir menyelamatkan diri, dan
kau sahabat, kini juga tiada harapan hidup lagi."
Saking tegang dan ketakutan orang itu tampak pucat mukanya, napasnya terasa
sesak, mulutnya megap2, sekujur badan gemetar dan basah oleh keringat dingin,
sedikit mengendurkan jari2nya Siang Cia berkata pula: "Di mana kalian sekap puteri
Ciangbunjin Bu-siang-pay?"
Sekuatnya orang itu menarik napas sahutnya tersendat: "Aku . . . . . . aku tidak tahu."
Setajam pisau sorot mata Sang Cin di tempat gelap, jengeknya mengancam:
"Sekarang kau akan mampus secara sia2, Hek-jiu-tong sudah hancur, tiada orang
yang akan memuji dan mengenangmu, kematianmu tak ubahnya seperti babi atau
anjing yang tak berharga, tapi kau tak usah kuatir, kawan2mu sudah bubar, tiada
orang yang akan membuat tuntutan dan mencari kesulitanmu, maka beritahukan
saja padaku sejujurnya, nanti kuberi seratus tahil perak sebagai imbalan jasamu,
ehm?"
Daging benjal-benjol di muka laki2 bermuka buruk ini tampak ber gerak2, ia
mengawasi Siang Cin dengan ragu.
"Bagaimana?" Siang Cin mendesak pula.
Orang itu celingukan ke kanan-kiri, lalu berkata dengan suara lirih: "Baiklah,
kuberitahu padamu, nona dari Bu-siang-pay kalian itu dikurung dalam kamar rahasia
di bawah gardu ini . . . . . ."
Siang Cin menatapnya lekat2, tanyanya: "Cara bagaimana membuka pintu kamar
rahasia?"
Sejenak bimbang akhirnya orang itu berkata: "Meja batu di tengah gardu itu diputar
ke kanan kiri masing2 tiga kali, meja batu itu akan bergeser dan terbuka sebuah
lubang yang menjurus ke bawah dengan undakan batu, setelah melewati lorong
sempit panjang akan tiba di kamar tahanan itu."
"Siapa yang menjaga nona itu?" tanya Ciang Cin pula.
Setelah menelan liur baru orang itu menjawab ragu2: "Ada . . . . Pat-ko Dian Ki dan
lima orang Thaubak."
Dingin sinar mata Siang Cin, katanya: "Bagus, kau memang jujur dan mau terus
terang, sekarang biar aku memberi persen padamu."
Mulut si muka burik tampak menyungging senyum. tangannya terulur untuk
menerima dua ratus tahil yang dijanjikan Siang Cin.
Siang Cin merogoh saku mengeluarkan uang yang dijanjikan, malah jumlahnya satu
kali lipat lebih banyak, tapi begitu uangnya tergenggam ditangan orang, tiba2 dia
tertawa ter kekeh2 aneh, bernada kejam dan mengancam, seketika orang bermuka
buruk itu merasakan gelagat jelek, belum lagi dia menggenggam kencang dua
keping uang perak itu, tahu2 uang itu terebut pula oleh Siang Cin, sekali gablok,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
163
kedua keping uang perak itu ambles masuk ke sela2 tulang pundak orang itu.
"Huuaaah," laki2 buruk rupa itu menjerit, saking kesakitan muka yang jelek dan hitam
itu tampak pucat kelabu.
Siang Cin menjambaknya pula, sepatah demi sepatah dia berkata: "Bicaralah terus
terang padaku, di mana nona itu disembunyikan?"
Sambil menahan sakit dan keringat dingin gemerobyos, kata orang itu dengan
gemetar: "Aku... aku sudah beritahu . . . . beritahu padamu . . . . aku . . , . sudah
bicara terus . . . . terus terang "
"Tapi kau lalai akan satu hal," jengek Siang C,a, "ketahuilah Pat-ko kalian si Alap2
hitam Dian Ki sudah modar, malah aku sendirilah yang merenggut nyawanya."
Laki2 itu berdiri melongo dengan badan tetap gemetar, mungkin saking kaget sampai
dia lupa merintih kesakitan maka sedikit tekan uang perak yang menusuk di tulang
pundak orang itu, Siang Cin mengancamnya pula: "Di mana?"
Keruan orang itu menjerit pula seperti babi disembelih saking kesakitan suaranyapun
berubah serak, katanya sambil menahan sakit: "Me . . . , memang betul . . . .
berada . . . . di dalam kamar batu ...."
"Bohong!" bentak Siang Cin. Telapak tangannya bekerja pulang-pergi, dia gampar
muka orang beberapa kali, laki2 itu mundur sempoyongan serta roboh telentang,
waktu merangkak bangun tangannya berusaha memungut goloknya yang terlempar
jatuh di lantai tadi terus hendak membabat kaki Siang Cin.
Baru saja sinar golok berkelebat, mendadak kaki Siang Cing terayun, belum lagi
golok orang menyamber tiba, kakinya telah menendang Thay yang-hiat dengan telak,
bersama goloknya orang itu mencelat ke atas dan "byuuur" kecebur ke dalam
empang.
Sejenak mengawasi mayat yang terapung dipermukaan air, mendadak Siang Cin
membalik badan. Dalam gardu entah sejak kapan sudah berdiri seorang laki2 tua
berpakaian hitam dengan jenggot putih panjang terurai di depan dada. Sorot mata
orang tua ini setajam kilat, lama dia pandang Siang Cin lekat2, Siang Cinpun balas
menatap orang dengan dingin, dalam kegelapan dia sudah mengerahkan
Lwekangnya siap bertindak untuk menjatuhkan musuh lebih dulu.
Dengan lantang orang tua ini berkata: "Biarlah Lohu saja yang beritahu di mana
puteri Ciangbunjin Bu-siang-pay sekarang berada."
"Siapa kau?" bentak Siang Cin.
Orang tua itu menyeringai dan berkata: "King Ji-seng."
Mendengus Siang Cin, katanya: "Lama kudengar namamu yang tersohor, sahabat
tua, Kunsu (guru atau penasihat) dari Hek-jiu-tong, si bijak yang pandai membakar
rumah dan membunuh orang."
Marah tapi King Ji seng tertawa, katanya: "Kelihatannya Lohu memang welas asih,
tapi bila perlu aku bisa melakukan kekejaman, sebaliknya kau, membunuh orang
seperti memotong sayur, jadinya sahabat muda, kau tiada ubahnya seperti diriku"
Siang Cin menjengek: "Kalau dua durjana berhadapan, maka dia harus menentukan
antara mati dan hidup."
Sambil mengelus jenggot, sikap King Ji-seng tampak tenang, katanya: "Akan tetapi,
apakah kau tidak pikirkan lagi tentang jiwa puteri Ciangbunjin Bu-siang pay?"
"Baiklah, silakan bicara," ucap Siang Cin.
Setelah berdehem lalu King ji-seng berkata dengan pongah: "Puteri CiangbunJin Busiang-
pay Thi Yang-yang sudah suka sama suka dan menjadi jodoh yang setimpal
dan takkan terpisahkan dengan Losam kami, mereka sudah melangsungkan
pernikahan secara resmi petang tadi, keduanya sudah berjanji kepada bumi dan
langit untuk hidup sampai tua . . . . . "
"Apakah ada comblang dan saksi dari kedua pihak?" jengek Siang Cin.
"Sudah tentu ada!"
Siang Cin mencibir, katanya: "Siapa saksinya? Apakah bapak ibu Thi Yang yang
telah memberi izin? Ini hanyalah permainan kotor kalian sepihak, kalian harus tahu,
aku dan Bu-sang-pay bukan kaum lemah yang mudah ditipu dan dipermainkan."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
164
Sedikit berubah air muka King Ji-seng, tapi sekuatnya dia menahan emosi, katanya
tawar: "Terserah bagaimana penilaianmu, tapi kau juga harus maklum akan satu hal,
jika Thi Yang-yang sendiri tidak menyetujui perjodohan ini, siapapun tak kuasa
memaksanya untuk melangsungkan pernikahan ini, malahan terus terang, meski
baru sekarang resminya mereka melangsungkan pernikahan, hakikatnya
sebelumnya hubungan suami-isteri lahir batin telah mereka lakukan."
Diam2 Siang Cin menghela napas, hal ini memang sudah dalam dugaannya, tapi dia
tetap ngotot menurut pendapat dan pandangannya, katanya: "Yang jelas pernikahan
ini diadakan secara sepihak oleh Hek-jiu-tong kalian, Khong Giok-tik membalas budi
kebaikan dengan kejahatan, bukan saja tidak berterima kasih akan pertolongan
jiwanya terhadap Bu-siang-pay, malah menculik orang dan mencuri pusaka, puteri
penolongnya dipikat dan dibawa lari, dia telah menyalahi kebenaran, kepercayaan
dan kesetiaan, karena itu sahabat tua, umpama benar Thi Yang-yang sendiri
sukarela melangsungkan pernikahan ini, ehm, yang terang perjodohan ini tanpa
restu orang tua dan tak dapat dianggap resmi."
King Ji-seng mendengus, katanya sinis: "Sahabat muda, itu adalah pandangan
kalian, kini bentrokan telah berlangsung secara terbuka, umpama kalian hendak
mengakhiri pertikaian ini juga tidak boleh jadi, Lohu hanya ingin membeber
persoalan sebenarnya, jadi bukan mengharapkan sesuatu yang mustahil. Dan lagi
dendam kematian Lo-jit dan Lo-pat belum kami tuntut dari kedua tanganmu yang
berlepotan darah itu, maka kau harus membayar utang jiwa ini dengan kematianmu."
"Memang sudab kupertimbangkan cara tuntut balas kalian ini," ucap Siang Cin,
"bagaimana hasilnya segera akan kita buktikan bersama, sudah tentu akan terjadi
banjir darah, darah kalian atau darahku."
Menatap Siang Cin sekejap pula, tiba2 King Ji-seng membalik badan pada saat
tubuhnya ber-gerak itulah tahu2 bayangannya lantas lenyap. tapi Siang Cin sudah
melihat bahwa dua langkah di belakang King Ji-seng berdiri itu, lantai bergerak
merapat, jadi King Ji-seng melenyapkan diri ke bawah lorong.
Menerawang sebentar keadaan, Siang Cin terus putar balik keluar, dia harus cepat
mengirim berita ini kepada orange Bu-siang-pay, selain itu iapun merasakan firasat
jelek, ia merasa tidak semestinya para gembong Hek-jiu-tong sejauh ini tidak
menampakkan batang hidungnya, se-olah2 di balik suasasana ini tersembunyi suatu
muslihat yang keji dan jahat. Pertama, kenapa gembong2 Hek-jiu-tong tidak muncul
seluruhnya membendung serbuan musuh? Adalah lucu bila mereka lupa bahwa
memecah kekuatan adalah memperlemah pertahanan sendiri. Kedua, meski Busiang-
pay telah melakukan serangan besar, sejauh ini pertempuran tetap
berkecamuk di daerah jalan dua belas liku sana, di puncak Pi-ciok san, terutama
dalam Bu-wi-san-ceng tidak nampak suasana tegang sedikitpun, apalagi pertahanan
di sinipun terlampau lemah, jelas ini bukan tindakan kawanan Hek-jiu-tong yang
biasanya cukup cermat dan lihay. Ketiga, siapa pula laki2 jubah merah tadi? Apakah
Hek-jiu tong sudah simpan jago2 silat golongan lain yang telah diundang untuk
membantu? Berbagai pertanyaan ini, semakin dipikir semakin terasa ruwet dan
mencurigakan.
Sebat sekali dia meluncur keluar rumah, dari sini dia melihat ke arah pendopo yang
tetap terang benderang, tapi tetap tidak kelihatan bayangan orang, demikian pula
pintu gerbang Bu wi-san ceng tetap tertutup rapat.
Baru saja Siang Cin hendak melompat pula ke sana, teriakan pertempuran yang
gegap gempita segera berkumandang ke atas gunung, suara ledakan dan kobaran
api belirang dengan asapnya yang tebal, sayup2 terdengar pula benturan senjata
dan jerit lolong yang menjadi korban.
Tadi di dalam dia tidak mendengar apa2, maklumlah jaraknya terlalu jauh, tapi dalam
sekejap ini kenapa pihak Bu-siang-pay dapat menyerbu dan naik ke puncak gunung
begini pesat, boleh dikatakan serbuan meraka amat mudah tanpa rintangan?
Memangnya muslihat apa yang diatur musuh?
Tanpa ayal Siang Cin melayang ke dalam Bu-wi-san-ceng, baru saja dia hinggap di
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
165
balik pagar tembok, dia melihat orang2 Bu-siang-pay dengan golok sabit mereka
yang kemilau itu sudah menerjang tiba dari jalan berliku yang terang benderang itu,
hanya masih beberapa gelintir saja kawanan Hek-jiu-tong yang tetap bertahan
mati2an. dalam kegelapan tampak rombongan besar orang Hek-jiu-tong sedang
mundur ke arah utara.
Di tengah kobaran api dan asap tebal yang bergulung itu, si Sayap terbang Kim Bok
tampak memburu datang, perawakannya yang tinggi besar tampak menyolok, tiga
puluhan orang Bu-siang pay yang berseragam putih dengan gelang emas melingkar
di jidat tampak ikut menyerbu di belakangnya.
Cepat Siang Cin memapak maju. Muka kim Bok tampak merah berdarah, noda
darah mengotori sekujesr badannya, Cuncu Wi ji-bun dari Bu siang-pay ini tampak
memburu napasnya, rambutnya awut2an, pakaiannya hangus terbakar di beberapa
tempat, melihat Siang Cin segera dia girang: "Lote, tiga barisan kita seluruhnya telah
menyerbu tiba, bagaimana keadaan di sini?"
Siang Cin tertawa, katanya: "Kim-cuncu, kenapa kalian bisa menyerbu datang
secepat ini?"
Hui-ih Kim Bok tertawa, katanya: "Tidak begitu cepat, dimulai sejak melihat tandamu,
keparat Tangan hitam itu bertahan mati2an, baru setengah jalan sudah dua puluhan
anak buah barisanku yang gugur, si jenggot merah yang jagal itupun terluka, tapi
musuh mungkin tahu tak mampu melawan, ketika kami berhasil menduduki lagi
beberapa pos penjagaan mereka, tahu2 mereka mundur dan melarikan diri, maka
dengan leluasa tanpa banyak rintangan kami, serbu sampai di sini."
Setelah menghela napas, Kim Bok memandang sekitarnya dengan senyum lebar,
bayangan yang bergerak semuanya berpakaian putih, mereka adalah orang2 Busiang-
pay yang telah menduduki puncak gunung sebelah luar, maka dengan puas
Kim Bok bertepuk tangan, katanya: "Lote, marilah kita langsung serbu ke sarang
mereka?"
"Kim-cuncu," ucap Siang Cin sambil menggeleng, "kurasa gelagat kurang wajar,
serbuan harus segera dihentikan."
Terbelalak Kim Bok, serunya kaget: "Dihentikan? Dengan susah payah kita
menyerbu ke sini, mana boleh dihentikan? Kalah menang bukan soal, yang penting
jangan merosotkan semangat juang mereka."
"Kim-cuncu," kata Siang Cin gelisah. "gembong2 musuh yang muncul sampai detik
ini hanyalah kaum keroco yang tidak berarti, jago2 kosen yang berkepandaian tinggi
belum ada satupun yang muncul, keadaan dalam Bu-wi-san-ceng juga kosong dan
sunyi senyap tanpa kelihatan bayangan seorangpun, Cayhe memergoki pula jago2
kosen dari aliran lain yang membantu mereka, melihat gelagatnya, betapapun kita
harus bertindak hati2 . . . . . . " setelah memeriksa sekelilingnya Siang Cin segera
menambahkan pula: "Semula mereka bertahan dengan segala kekuatan, tapi
mendadak kekuatan mereka ditarik dan mengundurkan diri, situasi yang sukar
dijelaskan ini dapat disimpulkan bahwa di balik hal aneh ini pasti ada muslihatnya,
bukan mustahil mereka sedang mengatur perangkap keji."
Kim Bok rnendengarkan dengan melongo, diam2 iapun merasakan gejala2 yang
tidak beres ini, tapi tatkala mana ada dua puluhan murid Bu-siang-pay di bawah
pimpinan laki2 gundul bertubuh gemuk sedang menggempur pintu gerbang Bu-wisan
ceng, dengan mengacung tinggi golok sabitnya, si kepala gundul gemuk besar
itu tengah memberi komando kepada anak buahnya, jenggotnya yang merah,
matanya melotot, alisnya tebal, mulut ber-kaok2, kelihatan beringas dan buas.
"Kim-cuncu," teriak Sang Cin, `lekas perintahkan anak buahmu menghentikan
aksinya."
Kim Bok mengangguk, segera ia bersuit panjang, dua puluhan murid Bu-siang-pay
yang sedang menggempur pintu segera mundur dan menghentikan aksinya, dengan
bingung mereka saling pandang lalu berpaling ke belakang.
Cepat sekali dua bayangan orang tampak meluncur tiba, yang di depan adalah Liat
hwe-kim-lun Siang Kong-ceng. di belakangnya adalah Ceng-yap cu Lo Ce.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
166
Belum lagi tiba dari kejauhan Siang Kong ceng sudah berteriak marah: "Lo Kim,
memangnya kau sudah keblinger? Kemenangan sudah di depan mata, kenapa kau
perintahkan mereka berhenti?"
Belum lagi Kim Bok menjawab Siang Cin sudah menapak maju, katanya dengan
tenang: Siang cuncu, Cayhelah yang minta kepada Kim-cuncu untuk sementara
menghentikan penyerbuan."
Begitu melihat Siang Cin, amarah Siang Kong-ceng yang sudah meledak terpaksa
ditahan, dengan tertawa dia bertanya: "lote, apakah ada sesuatu yang kurang benar?
Secara ringkas Siang Cin ceritakan hasil penyelidikannya, lalu dia menambahkan:
"Siang-cuncu, Hek-jiu tong terkenal licik dan keji, betapapun mereka takkan mundur
setelah jatuh korban begini banyak, kurasa mereka pasti tengah mengatur muslihat,
situasi belum lagi kita jajaki, jika menyerbu masuk ke perkampungan secara
gegabah, kukuatir terperangkap oleh jebakan mereka."
Sambil mengelus jenggot, Siang Kong-ceng berkata tak acuh: "Kukira belum tentu
seperti apa yang Lote kuatirkan, situasi seperti sekarang ini, terus terang tidak
terpandang olehku. Yang jelas Hek-jiu tong mengalami gempuran hebat dan jatuh
banyak korban, nyalinya sudah pecah, mereka ngacir menyelamatkan jiwa,
kesempatan baik ini mana boleh diabaikan begini saja? Lote, lebih baik kita teruskan
gempur sampai ke sarang mereka."
Diam2 Siang Cin menghela napas, katanya: "Kim-cuncu, Cayhe masih muda dan
cetek pengalaman, jelas tak dapat dijajarkan dengan Siang cuncu, tapi setulus hati
Cayhe mengutarakan pendapatku, harap para Cuncu bertindak lebih cermat."
Liat-hwe-kim lun Siang Kong-ceng menyengir, katanya: "lote terlalu merendah hati,
tadi Lohu terlalu memberanikan diri, kuharap Lote jangan berkecil hati . . . . "
"Mana berani," ucap Siang Cin, "terlalu berat ucapan Cuncu."
Siang Kong-ceng memandang sejenak kearah Bu wi-san ceng tanpa bersuara.
akhirnya ia ambil keputusan: "Baiklah, akan segera kuperintahkan menggempur
sarang musuh."
Dengan bimbang Liat-hwe kim lun yang ada di sampingnya berkata: "Lo Siang apa
yang dikatakan Siang-lote cukup beralasan, kukira hal ini harus dipertimbangkan
lagi."
Dengan kurang senang Siang Kong-ceng ber-kata: "Bimbang bukan putusan
bijaksana bagi seorang pimpinan di medan laga, Lo Kim, jika kau merasakan gelagat
menguatirkan, murid2 Wi-ji-bun kalian boleh tidak ikut menyerbu ke dalam."
Berubah air muka Kim Bok, katanya gusar: "Siang Kong-ceng, kau kau mengoceh
apa?"
Siang Kong-ceng mendengus terus membalik badan, ia bersuit melengking pendek
beberapa kali, maka teriakan gegap gempita serbuan murid2 Bu siang pay segera
bergema pula, murid2 Bu-siang-pay yang telah menduduki puncak gunung serempak
menyerbu ke arah Bu-wi-san-ceng, malah ada puluhan bayangan orang telah
melompati pagar tembok.
Sambil mengulap tangan Siang Kong-ceng bawa Ceng-yap-cu memburu ke sana,
Kim Bok menghela napas, katanya lirih: " lote, begitulah ciri orang she Siang yang
suka bertindak menuruti panasnya hati, wataknya memang congkak, jangan kau
berkecil hati . . . . . "
Siang Cin tertawa tawar, katanya rawan: "Aku sudah bekerja sekuat tenaga. Biarlah
Thian yang memberikan putusannya."
Tengah bicara, suara gempuran keras terdengar, pelan2 pintu gerbang Bu-wi-san
ceng telah bobol, sambil berteriak riuh rendah murid2 Bu-siang-pay yang kesetanan
segera menyerbu ke dalam.
Kim Bok tertawa getir, katanya: "Lote, hayolah kita susul mereka?"
Siang Cin mendahului meleset ke depan, ujarnya: "Memangnya kita tidak
membantu?"
Kim Bok tidak mau kalah cepat, dia lari mendampingi, katanya: "Lote, agaknya tidak
ada apa2 . ..."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
167
Terbayang rona dingin pada wajah Siang Cin, katanya prihatin: "Aku berharap
demikian."
Dalam percakapan ini kedua orang sudah melambung keatas pagar tembok,
sebagian besar murid2 Bu-siang-pay telah menyerbu masuk ke Bu-wi-san-ceng,
teriakan mereka masih terdengar, tapi teriakan lantang mereka yang keras itu seperti
kekurangan sesuatu apa di medan pertempuran. Seketika Siang Cin merasakan
adanya keganjilan semua teriakan tanpa sambutan dari musuh, sehingga teriakan
yang gegap gempita itu terdengar rada sumbang.
Menghela napas, Siang Cin berkata: "Marilah kita masuk, Kim-cuncu."
"Sudah tentu," ucap Kim Bok tertawa, "mungkin kali ini kau salah perhitungan Lote."
Reaksi yang mendadak dan diluar dugaan agaknya memang, disiapkan khusus
menyambut serbuan orang2 Bu-siang-pay, dikala Kim Bok baru selesa berkata,
sebuah ledakan yang dahsyat menggoncangkan seluruh puncak gunung, dibarengi
dengan semburan jalur2 api yang menyala dengan bau belirang dan minyak yang
menusuk hidung, jalur2 api seperti laba2 yang menyembur dari dalam bumi
menjulang tinggi menjilat apa saja yang dapat terbakar, rumah2 yang ada di seluruh
Bu-wi-san-ceng bukan saja ditelan lautan api, satu persatupun telah runtuh oleh
ledakan yang ber-turut2, suasana kacau balau se-olah2 dunia telah kiamat, seluruh
Bu-wi san-ceng hancur lebur karena ledakan keras dan menjadi lautan api.
Dikala ledakan pertama menggelegar, sebat sekali Siang Cin tarik Kim Bok
berjumpalitan keluar, remukan batu yang berhamburan selebat hujan muncrat kemana2.
Siang Cin bawa Kim Bok berguling sejauh mungkin. sementara semburan
api menjulang tinggi ke angkasa sehingga puncak gunung terang benderang.
Asap tebal berbau belirang menyesakkan napas, sambil batuk2 Kim Bok merangkak
berdiri, mukanya yang memang merah kini semakin merah, tanpa hiraukan kotoran
di mukanya dia ber-ternak? serak:
"Habis . . . . . kita betul2 tertipu . . . . keji . . . . "
Pakaian Siang Cin tergores sobek di beberapa tempat, dengan lengan baju dia kebut
kotoran di badannya, dengan tenang dia saksikan kobaran api yang menelan seluruh
Bu-w-san-ceng, katanya: "Api berkobar begini besar, di dalam perkampungan tentu
dipasang dinamit dan bahan bakar, Kim cuncu, anak buah kalian mungkin sudah
gugur sebagian besar."
Mendadak Kim Bok berjingkrak gusar, teriaknya: "Biar Lohu adu jiwa dengan
mereka."
Cepat Siang Cin menarik lengan Kim Bok, katanya: "Kim-cuncu jangan gegabah,
bukan cuma main ledakan dan membakar saja, musuh pasti mengatur siasat lain,
bukan mustahil orang2 mereka akan segera menyerbu keluar."
Sambil memukul dada dan menggentak kaki Kim Bok mencak2, teriaknya:
"Lepaskan aku, Siang lote, lepaskan aku, biarpun mereka berkepala tiga berlengan
enam, dengan mempertaruhkan nyawa orang she Kim juga akan ganyang mereka."
"Kalau demikian, kenapa tidak bersabar sebentar,nanti kita sergap mereka," kata
Siang Cin.
Bagai orang gila Kim Bok berteriak kalap: "Peduli amat, biar Lohu adu jiwa sama
mereka . . . ."
Di tengah kobaran ani, dari dalam Bu-wi-san-ceng tiba2 berlari keluar belasan orang
dengan langkah sempoyongan, malah ada yang merangkak, langkahnya limbung,
tubuhnya bergontai, ada pula yang sekujur badan terjilat api. Keruan Kim Bok
semakin panik, teriaknya sambil meronta dari pegangan Siang Cin: "Lohu akan
menolong mereka, Siang Cin jangan kau merintangi aku!"
Bagai harimau mengamuk Kim Bok memburu maju, baru saja dia berlari lima enam
langkah, dari sisi perkampungan di tempat gelap sana mendadak terdengar suara
tambur ditabuh dan bende di pukul ber-talu2, disambut meluncurnya panah api yang
membawa percikan kembang api melesat ke angkasa, ratusan kawanan Tangan
Hitam serempak menyerbu keluar dari tempat gelap, bagai air bah mereka
membanjir maju.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
168
Orang2 Hek jiu-tong yang memburu datang mendadak melihat bayangan raksasa
hitam yang menukik dari angkasa, serentak mereka berteriak kaget dan ketakutan, di
tengah jeritan mereka itulah golok sabit Kim Bok telah bekerja, dalam sekejap saja,
di mana goloknya berkelebat, puluhan batok kepala orang2 Hek jiu-tong telah
dipenggal.
Tapi keadaan ini hanya berlangsung sekejap saja selanjutnya Kim Bok telah
terkepung di tengah lingkaran orang Hek jiu- tong,
Dengan melotot dan otot hijau memenuhi dahinya, Kim Bok menyerbu musuh bagai
harimau mengamuk, golok sabitnya menyamber dan membubat kian kemari, jerit
tangis para korbau terdengar saling susul, tapi kalau yang di depan roboh, yang di
belakang segera tampil ke muka, Kim Bok tetap terkepung di tengah orang2 Hek-jiutong
seolah2 bukan lagi manusia, tapi sekelompok binatang yang tidak kenal artinya
mati.
Sekali golok berputar, tiga kawanan Tangan hitam tertabas kutung sebatas pinggang,
darah sudah mengotori sekujur badan Kim Bok, mendadak dia berputar pula, baru
saja dia hendak menyerbu, tiba2 dari belakang barisan orang2 Hek jiu-tong
berkumandang gelak tawa yang aneh, geliak tertawa itu bergema laksana datang
dari tempat jauh, suara gaduh seketika kelelap oleh suara gelak tawa aneh ini.
Tergerak hati Kim Bok, se-konyong2 suatu benda yang dingin mengkilap tahu2
sudah berada di depan matanya, tak ubahnya cakar iblis yang hendak merenggut
nyawa.
"Wut", badan Kim Bok yang tinggi besar tiba-tiba melayang ke atas, di tengah udara
ia ber salto sekali, belum lagi dia sempat melihat wajah si pembokong, gelak tawa
orang itu berkumadang pula di belakangnya.
Golok sabit Kim Bok menyabat dengan mengeluarkan deru angin yang kencang,
berbareng dia mengisar, terasa oleh Kim Bok bahwa serangan goloknya mengenal
tempat kosong, tahu2 senjata lawan telah mengepruk pula batok kepalanya, kali ini
Kim Bok melihat jelas, itulah sebatang Long-ge-pang (gada gigi serigala), tongkat
panjang yang penuh dihiasi gigi yang runcing.
Sebat sekali golok sabitnya memapak ke atas, "trang", benturan keras sekali, Kim
Bok bersalto dua kali, sementara lawanpun berjumpalitan ke sana. Orang ini ternyata
berperawakan pendek, kedua lengannya justeru teramat panjang sebatas lutut,
kepalanya hanya ditumbuhi beberapa utas rambut, bentuk dan wajah orang inii
bukan saja jelek juga aneh sekali.
Belum lagi Kim Bok memperoleh kesempatan ganti napas, bayangan musuh telah
berkelebat maju, tujuh batang golok menyamber pula dari sekelilingnya, dikala dia
menangkis dan balas menggasak pengeroyok ini, Laki2 pendek berlengan panjang
itu tertawa ter-gelak2, katanya dengan suara melengking: "Kim Bok setan tua,
memangnya kau kira Pi-ciok-san adalah tempat boleh dibuat sembarangan olehmu?
Kalau tuan besarmu hari ini tidak mencacah tubuhmu dan mayatmu kujadikan
makanan anjing, jangan anggap tuan besarmu ini gembong nomor dua dari Hek jiu
tong."
Kim Bok mengamuk semakin kalap, sinar goloknya mendampar seperti gelombang
samudera, menari naik turun, empat di antara tujuh musuh yang menyerbu maju
disikatnya roboh binasa, tapi musuh se olah2 damparan ombak yang tidak kenal
berhenti, gugur satu maju dua, golok setan musuh bergantian secara berantai
merangsak maju.
Dua puluhan murid Bu siang-pay yang beruntung dapat meloloskan diri dari kobaran
api dan ledakan dahsvat di dalam Bu wi san ceng kini sudah terkepung oleh tiga
ratusan kawanan Tangan hitam, yang memimpin orang2 Hek-jiu-tong adalah King Ji
seng dan si hidung merah Kau Pui pui, gembong nomor lima.
Dua puluhan orang gagah Bu-siang-pay tiada satupun uang tidak terluka, di antara
dua puluhan orang ini temasuk si jagal jenggot merah dan Cengyap cu Lo Ce, tapi
Liat-hwe-kim-lun Siang Kong ceng dan Cap-kau-hwi-ce Loh Bong-bu tidak kelihbatan
bayangannya.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
169
Pundak kiri Ceng-yap-cu Lo Ce tampak hangus dan melepuh, demikian pula
mukanya tampak hitam berair di beberapa tempat, rambutnya tidak keruan dan
menjadi keriting karena terbakar, sementara jidat si jenggot merah berlepotan darah,
daging pahanya pun dedel, namun demikian, kedua orang sedikitpun tidak menjadi
jeri, sambil mengertak gigi dan mata melotot mereka pimpin sisa kawan2nya
mengadakan perlawanan dengan gigih pada musuhnya yang sepuluh kali lebih
banyak.
Siang Cin sudah dapat meneropong situasi di depan mata, sayang untuk sementara
dia tidak mampu memberikan bantuan, karena waktu dia hendak mengikuti jejak Kim
Bok terjun ke tengah musuh, dari lereng Bu-wi-san-ceng sebelah kanan tiba2
menerobos keluar lima puluhan orang2 Hek-jiu-tong dan mencegatnya, lima puluh
orang ini semuanya mengenakan hiasan kalung berbandul telapak tangan yang
terbuat dari logam, ternyata mereka merupakan tulang punggung kesatuan Hek jiu
tong yang paling diandalkan keberanian dan kepandaiannya, barisan gagah berani
Hian-hun-tong yang terkenal.
Siang Cin pandang kelima puluh orang yang semua berwajah beringas buas, pelan2
di antara lima puluhan orang ini tampil seorang laki2 berperawakan tinggi kurus,
bermuka pucat, berusia setengah umur, di depan dada orang ini juga mengenakan
mainan kalung tangan hitam, cuma di telapak tangan mainan kalungnya itu masih
dihiasi sebentuk batu warna merah yang mencorong terang, sekilas pandang Siang
Cin lantas maklum bahwa orang ini tentu salah seorang gembong penting dari Hekjiu-
tong.
Laki2 muka pucat yang bersikap ramah ini mengangguk dengan tersenyum kepada
Siang Cin, ditengah kedua alisnya yang hampir tersambung itu tampak lekukan segi
tiga yang menyolok, suaranya terayata keras dan kasar: "Siang Cin si Naga
Kuning?"
Siang Cin mengangguk, sahutnya kalem: "Betul!"
Laki2 setengah umur mengelus batu di tengah telapak tangan mainannya, katanya
tenang: "Aku yang tak becus ini adalah Si-thauling (gembong keempat) dari Hek-jiutong,
pimpinan Hian-hun-tong, kawan persilatan memberi julukan Siau-long (serigala
tertawa) Ji Bu."
Siang Cin gosok2 tangannya, katanya: "Memang sesuai dengan nama julukannya,
selamat bertemu."
Laki2 pertengahan umur, yaitu serigala tertawa Ji Bu memandang sekelilingnya, lalu
katanya: "Situasi di depan mata kurasa tidak menguntungkan bagi pihak kalian,
betul?"
"Kelihatannya memang demikian," sahut Siang Cin tak acuh.
"Bicara terus terang," kata Ji Bu sambil melangkah maju, "aksi kalian yang tidak
bersahabatnya sukar baginya untuk menolong kekalahan pihak Bu siang- pay.
Dengan tertawa Ji Bu berkata pula: "Di bawah gunung kalian juga meninggalkan
sekelompok orang persiapan bila perlu akan memberi bantuan ke atas, hal ini juga
sudah dalam perhitungan kami, oleh karena itu saudara ke sepuluh kami bersama
Jik-san-tui bergabung untuk menggasak mereka, sisa kekuatan kalian itu hanya
dipimpin oleh si kaki melengkung, memangnya mereka mampu menghadapi
pasukan Hian hun tong yang berjumluh ratusan orang itu?"
Sekilas lirik Siang Cin melihat Kim Bok tengah bergebrak sengit melawan laki2
pendek berlengan panjang itu, perawakan Kim Bok kekar kuat, Lwekangnya tangguh,
tapi lawannya ternyata bergerak sangat lincah, serangannyapun licik dan keji, maka
sejauh ini pertempuran kedua orang tetap seru dan belum tampak pihak mana bakal
unggul, sementara sebagian besar orang2 Hek-jiu-tong sama mengurung Ceng-yapcu
dan lain2.
"Bagaimana Siang-heng, sudah paham akan penjelasanku?" jengek Ji Bu. "Aku
menjadi kasian, betapa sukar Siang-heng angkat nama, sayang harus gugur di Piciok-
san yang tidak berarti ini, kami pihak Hek jiu-tong ikut merasa berduka cita."
Kini, setiap saat berada dalam pengawasan dan pengintaian pihak kami, baru
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
170
sckarang kalian insaf situasi tidak menguntungkan, sebaliknya pihakku, hm,
sebelumnya sudah kami ramalkan nasib apa yang bakal menimpa kalian bila
menyerbu ke sini"
Setelah mengunjuk sikap kasihan dan simpatik Ji Bu berkata lebih lanjut: "Dengan
pasukan sekecil ini menyerbu ke sarang musuh yang jauh adalah siasat paling tidak
menguntungkan, hal ini tentunya Siang-heng maklum. Sayang sekali, sudah tahu
sengaja dilanggar, bukankah ini terlalu goblok, memang pihak kami juga banyak
jatuh korban, tapi pihak kalian? Mungkin jauh lebih parah, Thi-ji-bun dan Wi ji-bun
dari Bu-siang pay boleh dikatakan sudah musnah seluruhnya, sementara Hian ji-bun
yang bertugas menyerbu dari balik gunung juga sudah di dalam cengkeraman kami,
pintu belakang Bu-wi-san-ceng terbuka lebar untuk menyambut kedatangan mereka,
kini mereka telah menikmati betapa segarnya dipanggang di tengah kobaran api,
mungkin sudah mangkat ke surga."
Baru sekarang Siang Cin tahu apa yang terjadi, dia belum melihat bayangan Loh
Bong-bu, kiranya dia menyerbu naik dari arah lain, kini kecuali diam2 berdoa bagi
para pahlawan Bu-siang-pay itu, rasanya tiada upaya lain yang dapat dilakukannya"
Mengawasi jubah kuningnya yang berlepotan darah yang sudah mengering, lapat2
hidung Siang Cin mengendus bau amis, ia meraba noda darah itu, ia maklum bahwa
darah yang melekat di sekujur badannya malam ini takkan menjadi kering karena
darah baru dari para korban yang akan datang pasti akan membasahi badannya pula.
Setelah berdebem dua kali, Serigala tertawa Ji Bu tersenyum, katanya: "Siang-heng,
kupandang kebesaran namamu, tak tega aku menyaksikan nasibmu yang
mengenaskan lebih baik begini saja, biar aku bertanggung jawab dan ambil
keputusan sendiri, asal Siang-heng suka bunuh diri, aku jamin jenazahmu akan tetap
utuh dan kami kebumikan dengan upacara kebesaran . . . . . . "
Tiba2 Siang Cin menyeringai, katanya : "Apa betul ucapanmu?"
Melihat tawa Siang Cin yang aneh menyeramkan ini, melonjak jantung Ji Bu, tanpa
terasa dia menyurut mundur selangkah, dia berlagak simpatik, subutnya: "Sudah
tentu, dengan martabat dan kebesaranku aku berjanji . . . . . . "
Mata Siang-Cin memandang ke angkasa nan gelap, dikala orang bicara sampai kata
"janji", kedua tangannya mendadak bergerak, dua batang Toa-liong-kak yang
kemilau kuning secepat kilat menyamber ke depan.
Begitu sinar kuning menyambar, lekas serigala tertawa Ji Bu mendekam ke bawah
sambil tetap tersenyum dan berteriak: "Serbu!"
Lima puluhan orang Hiat-hun tong serempak ber-teriak2 sambil angkat senjata terus
menyerbu kalap, bagai harimau kelaparan mereka ingin melalap mangsanya.
Padahal Toa-liong-kak dengan deru suaranya yang membising telah menyambar tiba,
maka terdengarlah suara "cras, cras", dalam sekejap mata tujuh orang terjungkal
dengan kepala protol, dikala kedua Toa- liong kak menyamber maju pula, tiba2 dua
laki2 menggembor kalap dan melompat maju, seorang terus memeluk Toa-liong-kak
yang menyamber tiba, maka senjata tajam yang melengkung bagai sabit itu
menghunjam ke dada mereka, tenaga samberannya yang dahsyat menyebabkan
kedua korban nya tertolak balik dan jatuh terbanting, meski jiwa sudah melayang tapi
kedua orang ini tetap memeluk kencang senjata yang merobek dada mereka.
Golok setan yang besar tebal dari tiga orang tahu2 menderu tiba, mata golok yang
kemilau mengincar tubuh Siang Cin dari arah yang berbeda, sedikit miring tubuh
serta berputar, telapak tangan kiri Siang Cin bergerak, cukup sekali gerakan, tapi
ketiga musuh yang merangsak maju roboh dua di antaranya, seorang lagi sambil
mengeluarkan suara "ngek", mukanya pecah berdarah dan terpental mundur.
Ji Bu yang memang suka tertawa segera menyelinap maju, entah sejak kapan dia
telah memegang sebilah pedang pandak sepanjang dua kaki, lebarnya juga hanya
tiga senti, baru bayangannya terlihat oleh Siang Cin, sementara pedang pandak
yang kemilau tajam telah mengancam iga Siang Cin.
Cepat Siang Cin menggeser ke samping, kedua tangannya bekerja sekaligus, dua
laki2 dipukulnya roboh dengan mandi darah, pada saat itu pula terpaut serambut
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
171
saja pedang pandak si serigala tertawa Ji Bu menyamber lewat.
Siang Cin lantas melambung ke atas, di tengah udara dia berjumpalitan, kedua
kakinya menyepak dan menendang, dua kapak besar yang membelah tiba kena
ditendangnya mental balik menghunjam dada kawan sendiri, sementara tulang dada
orang ini juga tersodok remuk oleh gagang kapak yang menerjang balik.
Tanpa bersuara Serigala tertawa Ji Bu tetap menyerbu dengan tangkas luar biasa,
pedang pandaknya menggulung ke depan dengan keji, cepat dan ganas.
Sinar mata Siang Cin mencorong terang, secepat kilat ia menghindari damparan
sinar senjata musuh, padahal antara serangan pertama dengan serangan berikutnya
boleh dikatakan tiada peluang sedikitpun, tapi dengan menakjubkan Siang Cin
menyelinap lewat di antara sela2 sinar pedang musuh se-akan2 tubuhnya itu tak
berisi.
Loh si-kiu-kiu-kiam-hoat adalah ilmu pedang andalan si serigala tertawa Ji Bu yang
terkenal sejak dia malang melintang di Kangouw, dia mengira ilmu pedangnya ini
tiada bandingan, kini sembilan puluh sembilan jurus dari ilmu pedangnya telah
dilancarkan, tapi jangankan melukai lawan, menyentuh tubuhnya saja tidak mampu.
Berkutet sekejap bayangan kedua orang lantas terpencar pula, dengan sebat sekali
keduanya sama2 melambung tinggi dan bentrok pula secepat kilat, kembali Ji Bu
lancarkan belasan jurus serangan, katanya tertawa: ""Siang-heng, Kungfumu
memang tangguh sekali."
Tubuh Siang Cin menggeliat ke kanan-kiri, begitu cepat menghindari tabasan
tusukan pedang lawan, sembari berkelit itu serentak ia balas menyerang sembilan
belas pukulan dan empat kali tendangan, jubah kuning yang longgar bekibar,
katanya kaku: "Kawan, kau bukan lawanku"
Pedang Ji Bu mendadak menaburkan bayang2 sebesar kepalan, seperti kunang2
besar saja bayangan terang ini bertaburan di udara, setiap kuntum bayangan merah
ini menyambut pukulan dan tendangan lawan, jelas bahwa setiap kuntum bayangan
serangan lihay itu membawa tajamnya pedang Ji Bu.
Belum lagi orang tahu apa yang terjadi, kedua orang sudah terpisah pula, dengan
ramah Ji Bu berkata: "Siang-heng, siapa kuat siapa lemah, kini masih terlalu pagi
untuk diputuskan."
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - --
Dapatkah pihak Bu-siang-pay lolos dari perangkap Hek jiu-tong?
Kisah cinta apa di balik persoalan Khong Giok tik, gembong kelima Hek jiu tong yang
membawa lari puteri ketua Bu-siang-pay itu?
- Bacalah jilid
ke - 10 –
Jilid 10
Sambil menghardik Siang Cin sekaligus lontarkan tiga belas kali pukulan. Sambil
tertawa Ji Bu menyingkir mundur, Siang Cin menarik napas panjang, baru saja ia
hendak memburu, tiba2 sebuah suara lolong panjang yang mengerikan menarik
perhatiannya.
Waktu dia berpaling, dilihatnya orang2 Bu-siang pay yang masih bertahan sudah
kurang dari sepuluh orang, jeritan mengerikan itu keluar dari mulut orang Hek-jiutong,
bola mata orang ini tercolok buta, bola matanya masih bergelantung di
mukanya karena urat matanya belum putus, tapi golok setan miliknya juga
menembus dada seorang Bu-siang-pay, dikala Siang Cin menoleh ke sana, kedua
orang sedang roboh pelahan dan binasa.
Rangsakan Serigala tertawa Ji Bu segera bertambah gencar dan sengit, katanya
tertawa: "Menusuk perasaan bukan?"
Sebat sekali Siang Cin balas menyerang, katanya tawar: "Kawan, marilah kita
bertempur besa2an saja bagaimana? Suruhlah anak buahmu mengeroyok maju,
supaya pertempuran lekas berakhir."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
172
Tantangan ini kelihatan menusuk hati Ji Bu, tampak sikapnya rada beruba, dia
maklum kalau anak buahnya ikut maju mengeroyok, sedang kekuatan lawan begini
tangguh, jelas anak buahnya akan banyak jatuh korban, lawan lebih sukar
dikendalikan pula. Maka ia tak berani menjawab. Sementara itu Siang Cin telah
lancarkan pukulan lagi, ejeknya: Jangan tegang, semakin banyak orang yang
bertempur bukankah lebih ramai?"
Pedang pandak Ji Bu, berputar kencang, katanya: "Orang she Siang, kupandang kau
sebagai laki2 sejati maka kulayani kau dengan aturan persilatan, satu lawan satu
menentukan mati-hidup, jika kau sudah jeri dan ingin merat, bukanlah nama besarmu
yang sudah tersohor itu akan ludes dalam waktu singkat ini."
Seperti terbang Siang Cin berputar ke kanan kiri, jengeknya: "Kawan, jangan kau
memancing kemarahanku dengan cara yang bodoh ini, bukan maksudku
menghindari bertempur satu lawan satu dengan kau, aku yakin kau maklum ke mana
maksud tujuanku yang sebenarnya."
Ji Bu menjadi beringas, mendadak dia berteriak kalap: "Murid2 Hian-hun, cacah
keparat ini."
Bagai anak panah lepas dari busurnya, tubuh Siang Cin mendadak melenting tinggi
ke atas, begitu cepat dan tangkas, sehingga tiada seorangpun yang sempat
merintangi, dikala dua puluhan orang2 Hek-jiu-tong menubruk ke tengah arena,
mereka saling membacok dan saling tindih sendiri, sementara Siang Cin sudah
melayang pergi tiga tombak jauhnya.
Sambil menggembor si Serigala sekuat tenaga mengapungkan tubuh mengudak ke
atas, sementara di belakangnya tiga puluhan kawanan Tangan Hitam dari Hiat-hun
tong segera putar haluan memburu ke arah sana pula.
Di tengah udara Siang Cin jumpalitan dengan indah, dengan enteng ia meluncur
turun ke depan pintu gerbang Bu-wi-san- ceng, keadaan Ceng-yap-cu Lo Ce dan si
jagal jenggot merah sudah teramat gawat, dalam sekejap ini mereka tinggal enam
orang saja yang masih bertahan mati2an. Luka baru kembali menghias badan Cengyap-
cu Lo Ce, tapi dia seperti tidak merasakan sakit, padahal ratusan orang Hek-jiutong
mengepung mereka, sinar golok setan musuh berseliweran disekitar tubuh.
Dengan menggertak gigi dia putar golok sabitnya, keringat bercampur darah
membasahi sekujur badan, pandangannya berubah beringas, rasa murka dan
dendam kesumat membakar sanubarinya, dia tidak lagi menghiraukan keselamatan
sendiri, yang terpikir hanyalah mengganyang musuh se-banyaknya.
Keadaan si jagal jenggot merah yang gundul lebih payah lagi, si hidung merah Kau
Pui-pui justeru mengincar dia dengan berbagai serangan keji, hampir seratus orang
mengepungnya, darah luka2 di tubuhnya telah bikin jubah putih yang dipakainya
berubah warna merah seluruhnya.
Di samping itu masih ada kira2 tiga ratusan orang Hek jiu-tong memagari
gelanggang di bawah pimpinan Kunsu King Ji-seng, mereka siap menyergap bila
perlu.
Empat murid Bu siang-pay yang lain saling beradu punggung berdiri di samping
Ceng-yap-cu, semangat juang mereka ternyata tidak menjadi padam meski badan
terluka dan musuh mengepung sedemikian rapat, jenazah saudara2 mereka yang
telah gugur bergelimpangan disekitar kaki mereka, semuanya mati dalam keadaan
yang mengerikan, pahlawan2 padang rumput yang tadinya segagah harimau
mengamuk itu kini sudah saling tindih menjadi mayat.
Bagai segumpal mega kuning bayangan Siang Cin meluncur dari udara, tiga ratusan
orang Hek-jiu-tong yang memagari gelanggang sama berteriak sampai sang Kunsu
King Ji-seng mau tidak mau juga melenggong, dari belakang suara si Serigala
tertawa Ji Bu segera berkumandang: "King losu, cegat dia!"
Mendadak King Ji-seng menghardik, ia melejit ke atas memapak kedatangan
gumpalan mega kuning, dia timpukkan segenggam Oh-ling-soh, dikala pasir hitam
berhamburan ke depan, Thi kut-san (payung kerangka besi) di tangannyapun ikut
menjojoh.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
173
Segesit burung menukik di angkasa tubuh Siang Cin tiba2 melingkar laksana seekor
naga kuning, di dalam gerakan melingkar dan mengapung inilah secara aneh dia
meluncur pergi.
Jenggot King Ji seng mendadak berjingkat. tapi sebelum dia sempat beraksi, Siang
Cin sudah bertindak lebih dulu, empat batang Toa liong kak dengan membawa sinar
kuning ber putar2. menyerang orange Hek-jiu-tong.
Serigala tertawa Ji Bun menubruk tiba pada saat itu, melihat samberan Toa liong kak
yang berbahaya itu, lekas dia berteriak: "Semua lekas tiarap . . . ."
sayang luncuran Toa liong-kak yang tajam itu ternyata lebih cepat, daripada suara
peringatannya, dua puluhan batok kepala sekaligus copot dari batang leher,
sementara keempat batang Toa -liong-kak itu masih terbang ber putar2 mencari
sasaran yang lain, setelah melingkar satu kali, "tring, tring", Toa-liong kak saling
bentur menimbulkan daya pental yang keras sehingga luncurannya terlebih kencang,
sekaligus tujuh belas orang Hek-jiu-tong tertabas putus pula kepalanya.
Gerakan Siang Cin ternyata tidak kalah cepat dari luncuran Toa-liong kak, begitu
menubruk tiba, tangannya terayun, "plak, plok", beruntun batok kepala beberapa
orang hancur, entah bagaimana kedua tangannya bergerak, tapi korban berjatuhan
saling susul, tiga belas nyawa mampus dalam sekejap pula, golok setan di tangan
merekapun mencelat beterbangan melukai teman membinasakan teman sendiri.
Angin berpusar bagai badai mengamuk, Siang Cin putar tubuh dalam lingkaran lebar
menerjang ke samping, di mana dia tiba, telapak tangannya tajam bagai golok,
sementara kakinya menendang bagai samberan geledek, jerit dan teriakan orang2
Hek-jiu tong terjadi di sana-sini, darahpun muncrat berhamburan.
King Ji-seng, sang Kunsu yang tua dan keji ini matanya melotot, dia mengudak di
belakang Siang Cin, tapi betapapun keji dan deras serangannya, selalu terpaut
serambut dan tak berhasil menyandak musuh.
Sekuat tenaga Serigala tertawa Ji Bu berusaha mencegat dan merintangi Sang Cin,
tapi gerak geriknya menjadi kurang leluasa karena teralang oleh anak buahnya
sendiri, secara terang2an orang2 Hek jiu-tong itu tak berani ngacir ke belakang, tapi
sedapat mungkin mereka menjauhi gelanggang, maklumlah mereka berjumlah terlalu
banyak dan berjubel lagi, menghadapi pertarungan yang seram ini, hati siapa yang
takkan panik? Maka suasana menjadi kacau balau, tampak bayangan orang saling
berdesakan, tindih menindih dan saling cacimaki sendiri, kalau orang2 yang di depan
berusaha mundur mencari salamat, maka yang berada di belakang justeru
mendorong maju kawan2nya yang mendesak mundur itu, tidaklah heran kalau aksi
Siang Cin berhasil membikin musuh kocar kacir dan tak terkendali pula.
Jenggot King Ji-seng tampak tak taratur lagi, dia berteriak: "Saudara2 Tangan Hitam,
dengarlah, sekuat tenagamu kepung dan bunuh keparat ini, siapapun dilarang
mundur, ke mana dia pergi sambut dengan golok kalian."
Siang Cin yang terjun ke tengah2 musuh seperti harimau mengamuk dalam
gerombolan domba, setiap kali tangan bergerak, jiwa musuh pasti direnggutnya,
tendangan kakinya saban juga mencabut nyawa orang.
Suatu ketika dia berkelit menghindari bacokan lima golok musuh, berbareng kedua
tangannya bergerak, "plak, plok", disertai suara menguak seperti sapi hendak
disembelih dua jiwa musuh kembali melayang.
Sebat sekali Siang Cin melompat maju ke sana, kaki kanannya menyapu, enam
orang Hek-jiu-tong kembali disapunya tunggang langgang.
Kini dia sudah dekat dengan kawanan Tangan Hitam yang mengepung Ceng-yap-cu
Lo Ce. Di tengah orang banyak yang kacau balau sana, Serigala tertawa Ji Bu
kembali mengumandangkan suaranya yang melengking gusar: ""Orang2 Hiat-huntong,
putar ke samping, untuk apa kalian berdesakan di dalam? Memangnya kalian
gentong nasi semua!"
Dalam pada itu Ceng-yap-cu telah meluputkan diri dari bacokan golok, berbareng
galok sabit di tangannya tiba2 menyabet, "cret," dengan telak dia bacok putus lengan
seorang musuh, sigap sekali ia menubruk maju sembari menusukkan golok sabitnya,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
174
dada seorang musuh kembali ditembus goloknya dan binasa. Tapi satu diantara
empat murid Bu-siang-pay yang berdiri beradu punggung pelahan2 juga tersungkur
roboh, luka bekas bacokan penuh menghiasi badannya, darah segar masih
mengucur. Orang lain tidak ambil pusing, tiada orang yang menolongnya karena
semua orang sedang sibuk mengadu jiwa dan mempertahankan hidup.
Cepat Siang Cin menerjang masuk ke tengah gerombolan musuh, kebetulan di
sampingnya ada seorang musuh berperawakan kasar seperti kerbau, segera orang
itu menyerang, lalu menyurut mundur sambil mencaci maki.
Siang Cin meraba enam batang Toa-liong-kak yang masih berada dalam sarungnya,
jengeknya: "Tapi kau harus mampus lebih dulu."
Tanpa ampun kepalan kanan Siang Cin menggenjot, "bluk", tubuh segede kerbau itu
mencelat terbang, batok kepalanya pecah, tubuhnya menindih kawan2nya. Tanpa
berhenti sedikitpun kedua tangan Siang Cin bekerja pula, kontan empat orang Hekjiu-
tong kembali dirobohkan, bilamana kaki kanannya menyerampang pula, perut
lima orang ditendangnya pecah dan isi perutnya terburai, dalani sekejap dia sudah
membobol kepungan musuh.
Lekas Ceng-yap cu Lo Cc menerjang keluar, "sret", mendadak punggungnya
terbacok hingga sobek, tapi seperti tidak merasa sakit sedikitpun, kakinya balas
mendepak kebelakang, seorang musuh ditendangnya jungkir balik, goloknya
mencelat melukai teman sendrri. Tiga murid Bu-siang-pay yang masih bertahan
melihat kepungan yang bobol ini.
Serempak mereka menghardik terus menerjang ke sana, tapi baru bergerak dua
langkak, satu diantaranya segera terbacok roboh oleh para pengepungnya.
Siang Cin kembali merobohkan dua musuh cepat dia menyongsong Ceng-yap-cu
yang memburu ke sampingnya, teriaknya: "Lo heng, mendekatlah ke sampingku . .. .
"
Agaknya Ceng-yap-cu Lo Cc sudah kalap, hakikatnya dia tidak mendengar seruan
Siang Cin, mendadak ia menyerang Siang Cin malah.
Dengan tangkas Siang Cin tangkap pergelangan Lo Ce yang memegang golok, Lo
Ce melonjak kaget, serta merta sebelah kakinya teraangkat dan menyodok dengan
dengkulnya.
Sembari menghardik Siang Cin geser langkah sambil tarik tangan Lo Ce terus
diputarnya, "Cret, cret", ujung golok sabit berhasil merobek perut dua musuh yang
menubruk maju. Baru sekarang Lo Ce sadar dan melihat jelas siapa orang
didekatnya. Tenggorokannya berbunyi "krok, krok", dengan suara serak dia menjerit:
"Siang .... Siang-tayhiap . . . . .
Siang Cin lepaskan tangannya, sekali membalik telapak tangan, "plok", batok kepala
seorang musuh yang menyergap di hantamnya remuk, katanya dongan kereng: "Ikuti
aku, terjang mereka, babat habis mereka."
Golok sabit Lo Ce kembali bekerja seperti kesetanan, haru, sedih dan dendam
membakar hati Lo Ce, katanya dengan tersendat "Habis semuanya . . . . Siangtayhiap
. .. .semuanya habis . ..."
Siang Cin menerjang kian kemari, sekali putar sekaligus dia pukul roboh tujuh musuh.
Tiba2 dua murid Bu-siang-pay yang terkepung tadi ikut menerjang maju ke arahnya,
sambil menghadang hardik satu diantaranya mengayun golok memenggal kepala
seorang musuh, tapi dalam waktu yang hampir sama, golok setan seorang musuh
dengan telak berhasil menusuk pundak kanannya dari arah bawah.
Wajah murid Bu-siang-pay yang berlepotan darah ini tampak berkerut menahan sakit,
sembari menggembor dia putar goloknya dan membacok, "cras" pembokong itu
ditabasnya mampus.
Siang Cin melompat maju dan binasakan beberapa musuh yang masih mengeroyok
seorang murid Bu-siang-pay. Golok murid Bu-siang-pay inipun merobohkan lima
lawan, akhirnya dia tarik ujung goloknya yang terbenam di dada seorang musuh,
matanya tampak melotot beringas, dengan langkah sempoyongan dan memburu ke
samping Siang Cin, teriaknya serak: "Terima kasih, kawan . . . . ".
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
175
Siang Cin tarik dan terus melompat jauh ke sana, laki2 yang sudah lemas kehabisan,
tenaga dengan luka2 di sekujur badannya terseret setombak lebih sambil masih berkaok2:
"Lepaskan aku, kawan . . . . . aku hendak bunuh . ... . . ."
Golok sabit Ceng yap-cu Lo Ce baru saja membabat lewat di leher seorang musuh,
semburan darah membikin muka dan sekujur badannya basah kuyup, Siang Cin
menyeret murid Bu-siang itu ke sampingnya, terus membentak: "Lo-heng, hayolah
kita terjang kepungan."
Sekujur badan Lo Ce bergetar, ia menyeringai dan berkata: "Tidak, Siangtayhiap
. . . . . tidak, bukan mustahil masih ada kawan2 kita yang masih hidup dalam
perkampungan, tak boleh kita tinggal pergi tanpa menghiraukan mereka. . . . . . . "
Siang Cin merobohkan pula beberapa orang musuh yang menggempur datang,
serunya gusar: "Kini jiwamu sendiri belum tentu bisa selamat, mana ada waktu untuk
pikirkan keselamatan orang lain?"
Berlinang air mata Lo Ce, katanya tegas: "Siang tayhiap, kumohon padamu, biarlah
kami mati seluruhnya di sini mengadu jiwa dengan musuh . . . ."
Saking dongkol Siang Cin membanting kaki, belum lagi dia bicara lebih lanjut,
bayangan orang tampak berkelebat, suara si Serigala tertawa Ji Bu mengejek:
"Orang she Siang, main kucing2an dan takut mati, apakah tidak keliru
perhitunganmu."
Sikap Siang Cin tetap dingin, tapi otaknya bekerja cepat. Di tengah kumandang
suaranya, Serigala tertawa Ji Bu tampak menubruk tiba seperti bayangan setan.
Sembari teriak kalap Lo Cc angkat golok terus membacok ke arah musuh, Serigala
tertawa Ji Bu mengekeh tawa, pedang pandaknya yang lebar itu tampak berkelebat
menciptakan bayangan sinar yang ber-lapis2. sekaligus dia lancarkan belasan
serangan pada Lo Ce. .
Gerakan kedua pihak sama2 tangkas, sayang Lo Ce sudah kehabisan tenaga,
gerakannya kalah cepat, untunglah Siang Cin yang berhasil merobohkan enam
musuh sempat menolongnya, telapak tangannya segera menabas pelipis Ji Bu.
Sudah tentu Ji Bu harus menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu, sebelum sempat
menusuk musuh cepat dia berputar pergi.
Mengusap mukanya yang basah oleh keringat dan darah, wajah Lo Ce yang cakap
kelihatan letih dia menarik napas panjang, katanya lemas: "Terima kasih . . . . . .
Siang tayhiap . . . . . . "
Siang Cin hindarkan samberan dua golok, ia berseru gelisah: "Lo-heng, siapkan
dirimu untuk menerjang keluar."
Lo Ce mengeluh dengan rasa pedih, katanya serak: "Tapi . . . . . . tapi. . . . . . . . "
"Prak", telapak tangan kanan Siang Cin berkelebat, tiga batok kepala musuh
dikepruknya pecah, sambil mengertak gigi Siang Cin berseru: "Jangan banyak
omong, Lo-heng, seorang laki2 harus pandai membawa diri."
Secepat angin Siang Cin berputar ke sana, murid Bu siang pay yang tak jauh di
sampingnya terbacok luka pula pahanya, sebelum tubuh orang ambruk Siang Cin
sudah menariknya mundur.
Tanpa bersuara si Serigala tertawa Ji Bu menyelinap maju pula, diam2 Siang Cin
juga telah memperhitungkan waktunya, tiba2 Gwat bong-ing dia lancarkan,
berbareng kakinya bergerak deras, Tau-ce-tui.
Serigala tertawa memang licik dan licin, dibawah hujan bayangan pukulan dan
tendangan, segesit belut tiba2 dia menyurut mundur, ia tahu serangan musuh tak
mungkin dapat dihadapinya, maka dia menghilang di balik tubuh anak buahnya.
Mendadak Siang Cin memburu maju, sambil menepuk pundak Ceng-yap-cu dia
berkata lirih: "Ikuti aku!" Lalu iapun mengundang murid Bu-siang pay yang tinggal
satu itu. Tapi waktu dia berpaling, kebetulan dilihatnya murid Bu-siang-pay itu tengah
menatapnya sambil menyeringai lucu, pahlawan padang rumput yang gagah perwira
ini, golok sabitnya itu membacok masuk dari pundak kanan sampai perut seorang
Hek-jiu-tong tapi golok Kui thau-to murid Tangan Hitam itu juga menembus dadanya.
Di tengah teriakan gegap gempita murid2 Tangan Hitam kembali merubung maju
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
176
bagai air bah. Siang Cin meraih tangain kiri Lo Ce yang berlepotan darah, sekali
lompat dia melayang tinggi ke atas.
Di tengah bayangan orang banyak yang saling tubruk dengan kacau balau itu,
didengarnya suara teriakan Serigala tertawa Ji Bu memberi aba2: "Bidik dengan
panah, incarlah yang tepat, mereka hendak lari."
Di tengah udara Siang Cin dan Lo Ce saran berjumpalitan dua kali, mata Siang Cin
yang tajam dapat melihat si Sayap terbang Kim Bok di sebelah sana sedang dalam
keadaan yang teramat gawat.
Jelas Cuncu Wi-ji-bun Bu siang-pay ini sudah kehabisan tenaga, keringat
membasahi tubuh sampai pakaiannya lengket ditubuh, uap tampak mengepul dari
kepalanya yang kelimis, musuhnya yang utama adalah laki2 pendek dengan lengan
panjang dan secomot rambut kuning menghias batok kepalanya, lawan tengah
melontarkan pukulan yang dahsyat, sementara kawanan Tangan Hitam di sekitarnya
secara licik maju mundur menyergap, roboh satu maju dua.
Kawanan Tangan Hitam di sana sudah beramai mengudak kemari, malah anak
panahpun berseliweran, tapi bidikan panah ini sudah terlambat, dikala hujan panah
berlangsung, sementara itu Siang Cin dan Lo Ce sudah terjun ke dalam arena yang
mengepung Kim Bok.
Tombak Lo Ce sudah sejak tadi hilang, sehingga dia tidak kuasa menyerang musuh
dari jarak jauh, tapi goloknya masih bekerja lincah dan ganas, sekaligus dia
merobohkan tiga musuh, ia berteriak lantang: "Cuncu, kami datang ........."
Sekuat tenaga Kim Bok menahan musuh di sekelilingnya, bukannya dia tidak mampu
melarikan diri, namun demi dendam dan karena penasaran dia tidak rela tinggal
pergi begini saja, teriakan Lo Ce seketika membakar semangatnya, iapun berteriak:
"Lo Ce, tidak lekas kau terjang keluar kepungan, tunggu apa lagi?"
Seiring dengan teriakannya, puluhan kawanan Tangan Hitam tak jauh di sekitarnya
sama jungkir balik dan menjerit, sesosok bayangan tinggi menyelinap maju, katanya
dingin: "Kim-cuncu, sebelum kau sendiri pergi, siapa berani pergi mendahuluimu?"
Golok sabit Kim Bok sekaligus menyerang belasan jurus, waktu ia mengerling,
segera ia berteriak girang: "Siang-lote, kaupun datang . . . . "
Yang menerjang datang ini ialah Siang Cin, sekali pukul dia binasakan seorang
musuh, sahutnya dingin: "Sudah tentu."
Kim Bok tidak berhenti, ia bergerak ke kanan kiri, golok sabitnya menciptakan
goresan sinar kemilau, teriaknya lantang: "Siang-lote, apakah masih ada harapan?"
Sebelum Siang Cin menjawab, laki2 pendek )awan Kim Bok itu ter-kekeh2, sapanya
dengan tertawa aneh: "Naga Kuning?"
Sekaligus Siang Cin lancarkan pukulan dan tendangan berantai, dalam satu kali
tarikan napas sebelas jiwa musuh telah diganyangnya, setelah itu dia menengadah
dan menjawab dengan sinis: "Kenapa?"
Sembari pergencar serangannya, laki2 pendek lengan panjang itu bergelak tertawa,
serunya: "Sungguh kasihan, kau yang terkenal cerdik ini, ternyata juga bodoh dan
ceroboh . . . . "
Tersembul senyuman dingin di wajah Siang Cin, katanya: "Aku tahu kau adalah
gembong kedua dari Hek jiu tong Thong thian-wan (lutung meraih langit) Ban Lok,
meski namamu amat tersohor di Kangouw, tapi otakmu puntul dan tampangmu
jelek."
Golok Kim Bok membacok ke depan terus membabat ke samping, dia ter gelak2,
serunya: "Tepat sekali pujianmu, Siang lote."
Laki2 pendek bertubuh aneh ini memang betul gembong kedua dari Hek jiu tong,
setiap insan persilatan bila menyebut nama Thong-thian-wan Ban Lok pasti
mengerut kening. Secomot rambut kuning di kepalanya se-olah2 berdiri, gada gigi
serigala di tangannya segera berputar, di tengah deru samberan angin yang kencang,
dia mengamuk dan mencaci maki "Naga Kuning, kau harus mampus karena
olok2mu ini."
Siang Cin tertawa tenang, dia balas menyerang, sahutnya dingin: "Orang she Ban,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
177
kau belum setimpal untukku." - Pada akhir katanya di lihatnya bayangan beberapa
orang telah mengudak tiba. satu di antaranya yang bergerak paling gesit diketahui
adalah Serigala tertawa Ji Bu..
Siang Cin menyurut mundur, dengan suara lirih dia berbisik: "Kim-cuncu, biar Cayhe
bertahan dibelakang, bawalah orang2mu yang masih hidup untuk meloloskan diri."
Golok sabit Kim Bok menyamber bagai halilintar, sesaat ia tampak bimbang, katanya
kemudian, "Tapi . . . , Siang lote, kemungkinan masih ada orang2 kita di dalam
sana. . . ."
Keringat sudah membasahi jidat Siang Cin, sambil mengertak gigi dia pukul musuh
yang berusaha menerjang maju, katanya tegas: "Kim-cuncu, anggap saja mereka
sudah ajal."
Melenggong sekejap, Kim Bok berseru bingung:" "Tapi . . . . Siang-lote . . . . "
Dengan jurus Kui so-hun mendesak mundur Serigala tertawa Ji Bu yang menubruk
tiba, lalu Siang Cin berkata pula: "Kim-cuncu, apakah kau masih ingin meresapi
suatu pengajaran?"
Setelah ragu sejenak mendadak Kim Bok menggembor: "Baiklah!"
Siang Cin melangkah maju, katanya: "Jangan melupakan orang gagah yang
berjenggot merah itu, mundurlah cepat!"
Ber-kaca2 kedua mata Kim Bok, aiisnya bertaut kencang, sembari menarik Ceng yap
cu Lo Ce, golok sabit berputar sekencang kitiran, serunya: "Lo Ce, hayolah."
Di tengah suaara gerungannya, Ceng-yap-cu mendadak menjatuhkan diri terus
menggelundung ke sana, golok sabitnya membabat miring, dalam sekejap saja
puluhan pasang kaki manusia sama ditabasnya kutung, jerit kesakitan mengerikan
mendirikan bulu roma, dikala Lo Ce melompat berdiri pula, lekas Kim Bok
memapahnya terus dibawa melompat ke udara, ketika tubuh terapung itulah, tombak
pendek yang terselip di depan dada Kim Bok mendadak menyamber dalam waktu
yang sama, sekotak penuh berisi Bun tui-ti to (labah2) ditaburkan dengan gerakan
"bidadari menyebar bunga".
Maka jerit kaget kesakitan berpadu pula, bagai disapu badai orang2 Hek jiu-tong
yang berjubel itu sama roboh bergelimpangan, ada pula yang berjingkrak sambil
mengebut dan memukul, sementara puluhan orang lari sambil menjerit ngeri,
suasana menjadi kacau-balau.
Thong-thian-wan.. Ban Lok mendadak memburu maju, serunya: ""Siang Cin, kau
licik!"
Tidak jadi mundur Siang Cin malah memapak maju, sekaligus dia lontarkan
beberapa jurus pukulan lihay, ,bayangan telapak tangan beterbangan laksana air
bah yang lolos dari tanggul yang dadal.
Begitu dahsyat daya pukulan Siang Cin, keji dan mematikan lagi, betapapun Thongthian
wan Ban Lok takkan mampu menghadapinya, terpaksa ia meraung penasaran
sambil melompat menyingkir sejauh mungkin.
Serigala tertawa Ji Bu yang tetap tertawa tampak berlari hendak membantu si hidung
merah Kau Pui-pui di sana, tapi Siang Cin lebih cepat lagi, sebelum orangnya tiba,
tenaga pukulannya yang dahsyat sudah membacok musuh.
Serigala tertawa Ji Bu putar pedang pandaknya, cahaya pedangnya yang kemilau
berwujud lapisan dinding cahaya yang kukuh untuk membendung damparan angin
pukulan lawan, maka terjadilah benturan angin pukulan dan pertahanan cahaya
pedang, begitu dahsyat benturan ini, Ji Bu sampai tertolak mundur dua langkah,
wajahnya yang pucat tampak merah padam.
Gerakan kedua pihak berlangsung cepat, dikala dua batang Toa liong-kak berputar
dengan desing suaranya yang memekak telinga menyamber tiba, si sayap terbang
Kim Bok dan Ceng-yap-cu Lo Ce kebetulan terjun ke tengah rombongan orang2
Hek-jiu-tong.
Bagai iblis yang haus darah, kedua batang Toa-liong kak menyamber kian kemari
dengan cahaya kemilauan, suaranya yang membising mengaburkan perhatian orang
banyak pula, sehingga orang salah duga bahwa kedua senjata melengkung aneh ini
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
178
seperti benda hidup.
Jerit orang banyak terus bersahutan, korban berjatuhan, puluhan batok kepala
manusia sama terpental, kalau Toa liong-kak kemilau cahayanya, adalah golok sabit
Kim Bok juga menaburkan cahaya benderang, dalam dua kali gebrak delapan nyawa
direnggut oleh golok sabitnya. Kaki lengan dan kepala sama protol, isi perut sama
terburai, dada dan perut robek oleh tabasan golok.
Kepala gundul yang berjenggot merah itu sudah payah kehabisan tenaga, serta
melihat kedatangan sang pimpinan yang menerjang datang seperti banteng ketaton,
seketika bangkit pula semangat tempurnya, entah dari mana datangnya kekuatan
baru, dengan nekat dia cecar si hidung merah Kau Pui-pui, lalu dengan suara
menggelegar dia berseru: "Cuncu, aku si jagal hari ini akan mengadu jiwa, dua puluh
tahun lagi akan menitis pula sebagai laki2 gagah perkasa ......."
Si Hidung merah Kau Pui-pui melayaninya dengan gerakan cepat dan tangkas pula,
permainan telapak tangannya masih tetap mantap, sorot matanya membara, katanya:
"Betul ucapanmu, dua puluh tahun lagi, kau mungkin laki2 sejati . . . ... "
Jenggot merah si jagal se-akan2 kaku tegak, golok di tangan laki2 gemuk ini
mendadak berputar kencang, keringat sudah membasahi sekujur badan, dengan
suara kasar dan sengit dia berkata: "Tapi kau keparat tua boneka ini harus
mengiringi aku bertamasya ke neraka . . . . . . . "
Hidung Kau Pui pui yang tinggal secuil daging yang benjol merah itu tampak bergerak2,
dengan sengit dia lontarkan sembilan jurus pukulan, serunya murka:
"Kematian sudah di depan mata masih berani jual lagak!"
Sambil menabas dan membacok, golok si gemuk terus bekerja tak kurang
kencangnya, dia tergelak2, serunya pongah: "Jika kau sendiri tahu malu, kau mahluk
aneh yang tidak punya hidung ini tentu merasa malu mengeroyok diriku dengan
bantuan begundalmu sebanyak ini."
Wajah Kau Pui pui yang jelek dan beringas itu tampak semakin buruk, sekaligus dia
lontarkan beberapa jurus pukulan dan tendangan, dikala tangan dan kaki bekerja,
timbul pusaran angin yang kencang. Tanpa jeri si gemuk, tetap putar golok sabitnya
balas menyerang, di tengah gempuran yang beradu cepat itu, terdengar suara "bret"
yang menusuk telinga, jubah si gemuk yang putih itu tampak sobek sebagian.
Di tengah suara sobekan ini, dari samping selarik sinar golok melengkung
membacok ke punggung si hidung merah Kau Pui-pui. Berteriak kaget lekas Kau
Pui-pui menggeser ke samping, waktu ia berpaling, serta-merta ia berteriak
melengking: -"Kim Bok!"
Kim Bok mencecar lawan pula, katanya penuh hebencian: "Kau Pui pui, sejak tadi
kau memang pandai menghindari bentrokan langsung dan main sergap mencari
lawan yang lemah, kini kau tidak akan bernasib mujur lagi."
Sambil berkelit dengan gesit dan tangkas, Kau Pui-pui berhasil lolos dari serangan
golok Kim Bok, tapi dikala badannya menyelinap menghindar kian kemari itu, ia
sempat melihat sembilan puluhan anak buahnya lebih dari separo sudah roboh
binasa oleh amukan golok musuh. Keruan tidak kepalang kagetnya, belum lagi
otaknya sempat bekerja, Kim Bok yang menjadi lawannya ini telah mendesaknya
lebih ketat, kembali dia melompat mundur, tapi Kim Bok ternyata tidak mengejarnya,
dikala dia berdiri tegak pula, tahu2 bayangan seorang sudah melayang ke samping
kirinya dengan bayangan seorang lagi.
Sedikit melenggong lekas Kau Pui-pui memandang ke sana, ternyata laki2 gemuk
kepala botak yang berjenggot merah yang menyatakan ingin jadi laki2 gagah pula
pada penitisan dua.puluh tahun yang akan datang telah menerjang ke arah kiri,
seketika Kau Pui-pui sadar, lekas dia berteriak: "Mereka hendak lari, cegat
mereka . . . . "
Kejadian berlangsung cepat sekali, belum lagi orang2 Hek-jiu-tong menyadari
maksud teriakan sang pemimpin, sekali gebrak, di bawah samberan golok kedua
orang Bu siang-pay ini, sepuluh orang sudah roboh menjadi korban. Kim Bok tergelak2,
dengan memimpin Ceng yap cu Lo Ce dan si jagal jenggot merah mereka
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
179
terus menerjang membobol kepungan.
Baru saja ketiga orang lolos dari kepungan, belum ada tiga tombak jauhnya, di
depan sudah mengadang seorang laki2 tua berjenggot panjang dan memimpin tiga
puluhan orang Hek-jiu-tong yang mengenakan mainan kalung telapak tangan di
depan dada, mereka adalah jago2 Hiat-hun tong yang siap menyambut mereka.
Kim Bok mendelik, teriaknya gusar: "Kita ganyang mereka?"
Laki2 tua berjenggot putih itu bukan lain adalah si cerdik pandai dari Hek-jiu-tong,
jago yang tadi dipaksa jungkir-balik oleh Siang Cin yaitu King Ji-seng.
Belum lenyap gerungan Kim Bok, badannya yang besar itu mendadak meloncat
tinggi ke udara, mirip seekor burung raksasa dengan badan menukik dia langsung
menubruk ke arah King Ji seng.
King Ji-seng tertawa melengking bagai suara kokok-beluk, payung ragang besi di
tangannya melingkar satu bundaran, ujung payung yang runcing tiba2 menjojoh ke
depan laksana pagutan ular berbisa.
Sambil mengertak gigi golok pendek di kedua tangan Kim Bok sekaligus membacok
gagang payung lawan, selicin belut mendadak King Ji seng melompat mundur sambil
menarik payung, hardiknya: "Kepung mereka."
Tiga puluhan murid Hiat-hun-tong yang sejak tadi berdiri berjajar itu serentak
menggembor, bagai serigala haus darah, dengan tangkas dan terlatih mereka
merubung maju. Dalam hati Kim Bok diam2 mengeluh, dia pikir malam ini mungkin
teramat sukar untuk menjebol kepungan musuh dan lolos turun gunung.
Tapi baru saja tiga puluhan murid2 Hiat hun-tong yang berani mati itu menerjang
maju beberapa langkah, dari udara meluncur turun sesosok bayangan orang, belum
lagi orang banyak sempat melihat gerakannya, enam orang Hiat-hun-tong yang
terdepan sudah menggelepar roboh, semuanya pecah kepalanya."
"Siang-tayhiap," sambut Ceng-yap- ce Lo Ce dengan girang sambil mengayun
goloknya.
Yang baru datang memang si Naga Kuning Siang Cin, wajahnya yang cakap bersih
tampak berlepotan darah dan keringat, begitu kaki menginjak bumi Siang Cin segera
susuli lagi dengan pukulan telapak tangan, tiga jiwa musuh direnggutnya pula,
teriaknya dengan serak: "Lekas pergi, biar aku tahan mereka."
Mendengar seruan ini Kim Bok menjadi haru dan berduka pula, teriaknya: "Sianglote!"
Mendadak Siang Cin berjongkok menghindari sabetan lima batang golok setan
lawan, waktu dia menegak pula, telapak tangannya telah memapas patah lengan
dua orang, ditengah hamburan darah segar itulah, kembali dia meraung gusar:
"Lekas pergi!"
Mau tak mau terpaksa Kim Bok, tarik Ceng yap-ce Lo Ce dan si jagal jenggot merah,
bertiga mereka sama2 melompat ke depan sejauh mungkin, selagi mengapung di
udara, mendadak kedua kaki Kim Bok memancal, kedua sayap buatan di bawah
ketiaknya segera berkembang, seperti burung raksasa yang pentang sayapnya,
mereka melayang turun ke bawah gunung.
Orang2 Hek-jiu-tong hanya ber-teriak2 dengan melongo saja, hampir mereka tidak
percaya akan pandangan mata sendiri, manusia apalagi dengan muatan dua orang,
bagaimana mungkin bisa mela yang terbang seperti burung di angkasa? Sungguh
kejadian yang luar biasa.
Siang Cin sendiri menjadi lega seperti bebas dari suatu tugas berat, sementara di
sana King Ji-seng sedang mencak2 seperti kebakaran jenggot, teriaknya kalap:
"Losu, Loji, Longo, lekas kejar, lekas . . . . ."
Serigala tertawa Ji Bu dan Kau Pui-pui segera memburu ke bawah gunung,
beberapa tombak di sebelah sana Thong-thian-wan Ban Lok juga pimpin ratusan
anak buahnya ikut menguber ke bawah gunung, Siang Cin ter-gelak2 sambil
menengadah, serunya: ""King Ji seng, tunggulah pembalasanku."
Beringas pandangan King Ji-seng, ia mengayun payung besinya dan berteriak
kepada murid2 Hiat-hun tong yang berdiri disekitarnya: "Kalian tunggu apa lagi? Mau
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
180
pura2 mampus?
Puluhan jago Hiat-hun-tong tersentak kaget serentak mereka bergerak, seperti
gerombolan serigala yang kelaparan tanpa pikir keselamatan sendiri mereka
menyerbu ke arah Siang Cin.
Waktu itu Thong-thian-wan Ban Lok dengan ratusan anak buahnya sudah lari
beberapa tombak ke bawah gunung, beberapa langkah lagi akan tiba di balik
gundukan tanah dan lenyap di balik sana. Dengan menyeringai Siang Cin kerahkan
seluruh kekuatannya, kedua tangan terayun bersama, dua batang Toa-liong-kak
menyamber keluar, suara mendenging seperti jerit tangis setan penagih sukma,
begitu cepat membabat ke arah Thong-thian-wan Ban Lok di kejauhan itu.
Baru saja Toa liong kak menyambar keluar, Siang Cin lantas melompat ke balik
gundukan dan mendekam ke bawah, mendadak ia berputar, telapak tangannya yang
tajam membabat satu lingkaran.
Tiga belas jago Hiat-hun-tong yang menubruk maju tiba2 sama merasakan perut
kesakitan, sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, serta merta mereka sama
menunduk memandang perut masing2 entah sejak kapan isi perutnya ternyata
sudah kedodoran menjebol perut.
Gaya serangan Siang Cin yang menakjupkan ini merupakan salah satu jurus dari
San-jiu yang lihay, sehingga tiga belas musuh yang terbelah perutnya tidak
merasakan sakit padahal isi perut sudah berlimpah keluar.
Maka berpadulah jerit tangis sekarat ketiga belas orang yang berkelejatan itu,
semuanya membuang senjata dan mendekap perut sambil ter-guling2, wajah
mereka yang tadinya buas kasar itu kini tampak pucat berkeringat.
Tanpa hiraukan nasib anak buahnya, serigala tertawa Ji Bu, hidung merah Kau Puipui
Ban Lok, King Ji-seng menubruk dari tiga arah yang berlainan, Siang Cin sudah
memperhitungkan waktu dan mengincar sasaran dengan baik, mendadak ia
jumpalitan, dua Toa-liong-kak yang tersisapun dia sambitkan dengan desing
suaranya yang memekak telinga, tiga musuh yang merangsak maju sementara
teralang oleh "tanduk naga" ini.
begitu sinar kuning muncul, Serigala tertawa Ji Bu segera berteriak kalap: "Lo-ngo,
adu jiwa!"
Si hidung merah Kau Pui-pui menyahut: "Baiklah!"
"Siuutt", sebuah Toa liong-kak dengan membawa cucuran darah menyamber tiba,
Kau Pui-pui tidak menyingkir, mendadak dia menjatuhkan diri terus berputar. "Cret",
tanduk naga dengan telak menancap di pundaknya, tapi dengan berputar tadi iapun
sudah mengelinding ke samping Siang Cin.
Hal ini memang di luar dugaan Siang Cin, baru saja tanduk naga disambitkan, tahu2
orang yang meski terluka sudah mendesak tiba, sungguh dia tidak menduga musuh
berani nekat mengadu jiwa.
Sekilas dia melenggong, sementara telapak tangan Kau Pui-pui sudah terayun
membelah dadanya, sedang tanduk naga yang lain melayang diatas kepala si
Serigala tertawa Ji Bu, dasar licik, dengan menyelamatkan jiwa sendiri, sigap sekali
Ji Bu tarik seorang anak buahnya terus dilempar ke arah tanduk naga yang
menyamber tiba, terdengar jeritan ngeri, tanduk naga yang tajam itu sudah ambles
ke dalam perut murid Hek jiu-tong itu.
Tak sempat berpikir, lagi Siang Cin melenting ke atas, pada saat yang sama, tanpa
hiraukan keselamatan sendiri King Ji-seng juga menyelinap maju seraya menjojoh
iga kiri Siang Cin dengan ujung payungnya yang runcing itu.
"Pletak", suara tulang remuk disusul "bluk" yang keras pula, si hidung merah Kau
Pui-pui terpental ber-guling2, sementar Siang Cin terhuyung mundur tiga langkah,
wajah King Ji-seng tampak beringas seram, ujung payungnya yang runcing itu baru
dicabut keluar dari paha Siang Cin.
Bayangan orang segera berkelebat, sebat sekali si Serigala tertawa Ji Bu menubruk
maju sambil berteriak, lantang: "Bunuh dia!" - Baru saja dua patah kata ini terlontar
dari mulutnya, Ji Bu mendoyong ke depan, "Ngum", pedang pandaknya bergetar,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
181
dengan keji ia menusuk. Inilah serangan maut ilmu pedang si Serigala tertawa Ji Bu
yang tiada taranya.
Tak mau ketinggalan gagang payung besi King Ji-seng srgesit ular juga mematuk
tiba, cuma untuk kali ini ujung payung yang runcing itu tidak langsung menusuk ke
arah Siang Cin, tapi menjojol, di sebelah belakang Siang Cin.
Dalam waktu sekejap ini dua gembong utama Hek-jiu-tong sekaligus melancarkan
serangan bersama, kali ini mereka tidak main sergap atau bertempur dari jarak jauh,
tapi bergebrak dalam jarak dekat, malah serangan yang dilancarkan juga lebih ganas.
Siang Cin insyaf detik2 yang menentukan dari pertempuran terakhir ini sudah di
depan mata, dia tahu akibat kalah dan menang pertempuran sengit ini tentu teramat
besar bagi kedua pihak, hanya antara mati dan hidup.
Serangan gencar kedua pihak begitu dahsyat, Siang Cin tiba2 memicingkan mata,
perawakannya yang jangkung itu tiba2 setengah berjongkok. Bong li-mo ( iblis dalam
impian ) dan Hian jian-sin ( darah menciprat hati ), dua jurus dari sembilan jurus
serangan maut sekaligus dilancarkan, dikala bayangan telapak tangannya
beterhangan dengan deru angin yang kencang, dua jurus lihay yang lain dari Gwatbong-
ing dan Ban-thian hong menyusul pula.
Hampir tidak terasakan gerakan Siang Cin yang begitu cepat dan tangkas, baru
empat jurus serangan ini ber-gulung2 di udara, empat jurus susulan yang lebih
dahsyat lagi telah diberondong keluar pula, keempat jurus susulan ini adalah Kui-sow
bun ( setan menagih nyawa ), Hay-swan-boh ( pusaran air laut ), Ing- poh long (elang
menerjang ombak )dan Liong kik-hun ( naga naik ke mega ), angin menderu
menjadikan pusaran yang kencang, debu pasir beterbangan, gaya Siang Cin yang
setengah berjongkok tiba2 tegak kembali, maka jurus terakhir dari sembilan tipu
pukulan yang paling ganas, yaitu Kan- thian bun ( menggetar pintu langit ) didorong
ke luar pula.
Betapa hebat kekuatan pukulan berantai ini, boleh dikatakan hampir tak mungkin
dilakukan oleh manusia biasa. Serangan berantai dilancarkan dalam sekejap dari
jurus pertama sampai jurus kesembilan, damparan angin semakin bertambah hebat.
Bersamaan dengan serangan sembilan jurus berantai Siang Cin ini. Jenggot King Jiseng
tampak bergerak, kedua matanya melotot besar, gagang payung besi yang
mengatup itu tiba2 terbuka, di tengah suara "cret" yang keras, enam belas batang
ruji payung besi itu melesat bersama kedepan, berbareng si Serigala tertawa Ji Bu
juga memutar senjatanya seperti kitiran, keduanya menyusup ke tengah arus tenaga
pukulan Siang Cin yang dahsyat itu.
Jubah kuning dan lengan baju warna hitam beterbangan, tiga pasang tangan dan
kaki tengah melakukan gerakan cepat yang tidak mungkin dilakukan oleh tiga ratus
orang, gebrakan berlangsung dalam sekejap dan sebat, sekali lantas terpencar pula
ke arah masing2.
Begitu melompat ke belakang Serigala tertawa Ji Bu sudah tidak mampu berdiri lagi
dia jatuh tertunduk, pakaian hitam di sekujur badannya sudah hancur ber-keping2,
rambutnya yang gondrong semrawut, darah tampak membasahi jidat dan belakang
lehernya bercampur dengan keringat yang gemerobyos, mukanya pucat menguning,
napasnya tampak ter-sengal2, mukanya menampilkan rasa kesakitan yang luar
biasa.
Di sebelah sana King Ji-seng juga terlempar keluar dua tombak jauhnya, masih terguling2
lagi, akhirnya rebah telentang tanpa bergerak lagi, sekujur badan dibasahi
noda darah, kulit muka mengkeret, darah meleleh dari hidung dan kuping serta mata,
kulit badannyapun berubah biru hitam. si cerdik pandai dari Hek-jiu-tong yang lihay
otaknya ini meringkuk tak bergerak lagi, jenggot putih dibawah dagunya juga
kelihatan guram dan kotor oleh keringat yang tercampur darah, sungguh
mengenaskan sekali keadaannya.
Lima tombak dari arena, tampak Siang Cin berdiri kaku laksana patung, bola
matanya tampak melotot memancarkan cahaya cemerlang di dalam kegelapan, air
mukanya tetap dingin dan kaku, jubah kuningnya itu juga tampak berderai di bagian
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
182
bawahnya, noda2 darah bercipratan di sekujur badan, tiga batang ruji payung yang
tajam kemilau tampak jelas menusuk di paha, pundak dan iganya, sementara
pedang pandak si Serigala tertawa terselip di antara tulang pundak kirinya, namun
Siang Cin kelihatan tetap tenang se-akan2 derita ini bukan tumbuh di atas badannya,
dia seperti sudah pati rasa.
Serigala tertawa Ji Bu maklum betapa parah luka2nya kini, dalam gebrak
menentukan barusan, dia terkena lima kali tendangan dan satu pukulan, pukulan
yang teramat berat.
Sisa2 orang Hek-jiu-tong yang masih hidup berdiri terpencar di berbagai penjuru,
semuanya berdiri menjublek, tak tahu apa yang harus dilakukan, sungguh mereka
ngeri menyaksikan kejadian yang mengenaskan ini, hampir2 semuanya tidak
percaya atas penglihatan masing2, bahwa tiga gembong pimpinan mereka yang
diandalkan selama ini telah ambruk pada waktu yang sama, mampus dengan
mengerikan.
Pelahan sesosok bayangan orang tampak bergerak dari balik bukit sebelah sana,
langkah orang ini teramat pelahan, di belakangnya ada delapan puluhan murid Hekjiu-
tong, sementara di atas tanah bergelimpangan mayat kawan mereka yang tak
berkepala, dua batang Toa-liong-kak tampak menancap di atas tanah padas dan
dada seorang musuh, sang korban tampak mendelik sambil memeluk dada.
Bayangan orang itu semakin dekat, kini kelihatan jelas, dia adalah Thong-thian-wan
Ban Lok, pada bagian pundak kiri pakaian hitamnya tampak basah oleh goresan
senjata yang mengeluarkan darah, di belakangnya juga ada goresan panjang di
punggung, darah masih mengucur keluar dan mengalir sampai ke ujung kaki.
Ada beberapa murid Hek-jiu-tong yang menyingkir jauh di sana, berjongkok sambil
memeluk perut, tak jauh dari mereka si hidung merah Kau Pui pui meringkuk lemas
tak bergerak dikelilingi anak buahnya. keadaannyapun kelihatan parah.
Pelahan Thong-thian-wan melangkah maju dan berhenti tiga tombak di depan Siang
Cin, air mukanya menampilkan rasa lelah, lama dia menatap musuh bak iblis di
depannya ini, dengan suara serius akhirnya dia berkata: "Siang Cin, kau memang
tersohor bertangan ganas di Bu lim, semula aku tak percaya, kini baru terbukti kau
memang setimpal dengan julukan itu, kau memang buas, ganas dan keji, kalau tidak
tentu sejak lama kau sudah mampus . . . . "
Aneh pancaran sinar mata Siang Cin, katanya kalem: "Untuk adu jiwa, orang she
Siang tidak gentar menghadapi keroyokan iblis2 laknat seperti kawanan Tangan
Hitam kalian. Ban Lok, pihak kalianla yang menarik keuntungan, tapi pernahkah kau
menaruh belas kasihan terhadap musuhmu?"
Secomot rambut kuning di kepala Thong-thian wan Ban Lok tampak melekat di
depan jidatnya yang basah keringat, kedua lengannya yang panjang bergontai lemas
di samping tubuhnya, dengan susah dia menelan ludah, lalu berkata dengan suara
serak: "Gambaranmu teramat seram, Siang Cin, kau memang pantas dipuji sebagai
pengganas nomor satu, tapi kau harus mengerti, utang jiwa harus dibayar dengan
jiwa."
Menyeringai Siang Cin menahan rasa sakit yang menusuk tulang sungsumnya,
katanya berat: "Sudah tentu, orang she Siang selalu siap untuk ini, entah sekarang
atau kelak, kau atau orang2 lain."
Dengan lidah kaku Thong-thiau wan menjilat bibirnya, katanya serak: "Siang Cin,
biarlah sekarang saja?"
Siang Cin menggeleng dan berkata: "Ban Lok, kau sendiri maklum aku tidak akan
menyerah mentah-mentah, kita sama2 mempunyai kesempatan, betul tidak?"
"Betul, tapi kesempatanmu tak banyak . . . . " Ban Lok menyeringai.
Siang Cin mendengus: "Benar, tapi kau sendiri, dengan tipu muslihatmu kau sudah
berhasil mencapai sedikit dari apa yang kau harapkan. Ban Lok, jika menurut
kebiasaan watakmu, sejak tadi tentu sudah melabrakku mati2an, tapi kenapa tidak
kau lakukan? Sebab kau sendiri sudah terluka parah, kau sudah menyaksikan
betapa Lwekangku, para pembantumu sudah modar, tiada satupun yang setimpal
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
183
menjadi pembantumu untuk mengalahkan aku, maka kau sengaja menunggu,
mengulur waktu dengan ocehanmu, kini orang2mu tengah memanggil bantuan.
kalau ingatanku tidak keliru, pihak Hek-jiu-tong kalian masih ada Lotoa (tertua) Dian
Gun, Losam ( yang ketiga) Mo Giok yang belum muncul, betul tidak?"
Untuk menyembunyikan perasaannya Ban Lok mengusap pipi dengan telapak
tangan, katanya: "Siang Cin, kau memang pintar dan ini tidak menguntungkan
dirimu."
 
More aboutCerita Dewasa Anak Kecil : Bara Naga 4