To Liong To 7

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 10 Mei 2014

Buru-buru Cui San menundukkan senjatanya dan sambil mengangkat kedua tangan, ia berkata: "Ah! Kalau begitu, Jie wie Taysu adalah dari Siauw lim Cap peh Lohan. Sudah lama aku mendengar nama Taysu yang sangat harum dan aku merasa beruntung, bahwa hari ini kita bisa bertemu muka. Pelajaran apakah yang mau diberikan oleh Taysu ?"

"Soal ini bersangkut paut langsung dengann Siauw Lim dan Bu tong pay," jawab Goan Im.

"Kami berdua adalah orang orang yang berkedudukan sangat rendah dalam Siauw lim pay dan sebenarnya kami tak dapat mengurus persoalan ini. Tapi karena sudah terlanjur bertemu, kami tanya mengapa Thio Ngo hiap membinasakan puluhan orang dari Liong bun Piauw kiok dan dua Sutit (keponakan murid) kami? Orang kata, jiwa manusia bersangkut paut dengan Langit. Kami ingin dengar, bagaimana Ngo hiap mau membereskan peristiwa ini."

Kata-kata itu meskipun diucapkan deugan perlahan, kedengarannya sangat menusuk kuping, sehingga dapatlah diketahui, bahwa kepandaian pendeta tersebut banyak lebih tinggi dari pada adik seperguruannya.

Thio Cui San tertawa dingin. "Mengenai permbunuhan terhadap orang-orang Liong bun Piauw kiok, aku sendiripun merasa sangat heran," jawab nya. "Disamping itu, aku juga tidak mengerti, mengapa begitu membuka mulut, Taysu sudah menuduh aku. Apakah kejadian itu disaksikan dengan mata kepala Taysu sendiri ?"

"Hui hong!" teriak Goan im. "Coba kau memberi kesaksian di hadapan Thio Ngo hiap."

Dari belakang pohon lantas saja muncul empat orang pendeta yang tadi dirobohkan Cui San dalamm gedung Liong bun Piauw kiok.

Pendeta yang bergelar Hui hong itu lantas saja membungkuk seraya berkata: "Melaporkan kepada Supoh, bahwa beberapa puluh orang dari Liong bun Piauw kiok Hui thong dan Hui kong kedua Suheng semuanya.... semuanya dibinasakan oleh bangsat she Thio itu."

"Apa kau lihat dengan mata kepala sendiri ?" tanya Goan im.

"Ya," jawabnya. "..Kalau tak keburu lari, teecu berempat pun sudah binasa di tangannya."

"Murid Sang Buddha tak boleh berjusta," kata Goan im dengan suara keren. "Soal ini mengenai Siauw lim dan Bu tong, kedua partai besar dalam Rimba persilatan, dan kau tidak boleh bicara sembarangan"

Hui bong segera berlutut dan sambil merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Teecu tak akan berani menjustai Supeh dan apa yang dikatakan teecu adalah kejadian yang sebenar-benarnya. Untuk itu, Sang Buddha menjadi saksinya."

"Cobalah kau ceritakan apa yang dilihat dengan matamu sendiri" memerintah Goan im. Mendengar perkataan itu, Thio Cui San lantas saja ia melompat turun.

Goan-giap yang menduga pemuda itu ingin menyerang Hui hong, lantas saja menyabet dengan Sianthungnya. Cui San menunduk untuk memunahkan serangan itu dan kemudian, dengan sekali melompat ia sudah berada di belakang Hui hong. Menurut ilmu silat toya Hok mo thung (takluki iblis), sesudah sabetannya meleset, Goan giap harus menyerang pula dengan membabat pundak lawan. Akan tetapi, karena waktu itu Cui San sudah berada di belakang Hong bong, maka jika ia menyerang lagi, toyanya akan lebih dulu mengenakan keponakan muridnya. Dalam kagetnya, ia terpaksa menarik pulang Sian thungnya. "Mau apa kau?" bentaknya.

"Aku mau mendengarkan ceritanya," menjawab Cui San.

Hui hong mengerti bahwa kalau mau, Thio Cui San yang berada dalam jarak dua kaki, dengan mudah bisa mengambil jiwanya dan meskipun kedua Su pehnya berada di situ, mereka tak akan keburu menolong. Tapi dalam gusarnya, ia tak jadi gentar, dan lantas saja memberi keterangan dengan suara nyaring : "Waktu berada di Kang pak (sebelah utara Sungai Besar). Goan sim Susiok menerima surat Touw Tay Kim Suheng yang meminta pertolongan. Begitu menerima surat itu buru-buru Susiok memerintahkan Hui Thong dan Hui Kong Suheng memberi datang kemari untuk memberi bantuan. "

"Belakangan Susiok pun memberi perintah kepada teecu dan ketiga Sutee untuk menyusul. Begitu tiba, Hui kong Suheng mengatakan bahwa malam ini, musuh mungkin datang menyatroni dan ia minta kami berempat sembunyi dikaki tembok sebelah timur. Iapun memesan supaya kami jangan sembarangan meninggalkan tempat jagaan dan jangan sampai diselomoti dengan tipu memancing harimau keluar dari gunung.
Baru siang berganti malam, tiba-tiba kami mendengar bentakan dan cacian Hui thong Suheng yang sudah mulai bertempur di ruang belakang. Sesaat kemudian ia mengeluarkan teriakan kesakitan, Sebagai tanda terluka berat. Teecu segera memburu keruangan belakang dan tihat dia ..dia..... bangsat She Thio itu" Berkata sampai disitu, mendadak ia melompat bangun dan berteriak sambil menuding hidung Thio Cui San. "Dengan mata kepalaku sendiri kulihat kau pukul Hui kong Suheng yang lantas mati dengan membentur tembok. Karena merasa tidak ungkulan, aku lalu bersembunyi dibawah jendela dan menyaksikan cara bagaimana kau menerjang ke pekarangan sambil membunuh orang. Tak lama kemudian, delapan orang Piauw kiok berlarian keluar dari belakang dengan diubar olehmu. Mereka semua kau binasakan dengan totokan dan sesudah membasmi semua orang yang berada dalam gedung, barulah kau mabur dengan melompati tembok."

Thio Cui San berdiri tegak tanpa bergerak.

"Kemudian bagaimana?" tanyanya dengan suara dingin.

"Kemudian?" bentak Hui hong dengan kegusaran meluap-luap. "Kemudian aku balik ketembok timur dan berdamai dengan ketiga Suteeku. Kami yakin, bahwa kepandalanmu terlalu tinggi untuk dilawan, dan jalan satu-satunya adalah menunggu, datangnya ketiga Supeh di dalam gedung piauw kiok. Tapi sungguh tak dinyana, kau lagi-lagi menyatroni untuk mencari Touw Cong piauw tauw. Biarpun tahu bahwa kami hanya bakal mengantarkan jiwa, kami bukan bangsa pengecut, maka segara kami menyerang. Waktu ditanya olehkU, bukankah kau telah memperkenalkan diri sebagai Gin kauw Tiat hoa Thio Cui San? Semula aku tak percaya. Aku berpendapat, bahwa sebagai salah seorang dari Bu tong Cit hiap, kau tentu tak akan melakukan perbuatan yang begitu kejam. Tapi kau lantas saja mengeluarkan kedua senjatamu, sehingga tak mungkin kau Thio Cui San palsu."

"Benar, memang benar aku telah memperkenal kan diri dan mengeluarkan senjataku," kata Cui San. "Memang benar aku yang sudah merobohkan kamu. Tapi coba ceritakan sekali lagi, coba tuturkan lagi, bagaimana dengan mata kepala sendiri, kau melihat aku membunuh puluhan orang itu."

Pada saat itulah, tiba-tiba Goan im mengebas tangan jubahnya dan mendorong tubuh Hui hong beberapa kaki jauhnya. "Ya! Cobalah kau cerita kan lagi, supaya Thio Ngo hiap yang namanya menggetarkan Rimba Persilatan, tidak dapat menyangkal pula," katanya dongan suara menyeramkan. Ia mendorong Hui hong guna berjaga-jaga kalau-kalau dalam gusarnya, pemuda itu turunkan tangan jahat untuk menutup mulut saksi.

"Baiklah" kata Hui hong. "Aku akan menegaskan satu kali lagi. Dengarlah! Dengan mataku sendiri kulihat. kau membinasakan Hui hong dan Hui thong Suheng. Dengan mataku sendiri, kulihat kau membunuh delapan orang dari Liong bun Piauw kiok dengan totokan."

"Apa kau lihat tegas mukaku?" tanya Cui San dengan suara menyeramkan. "Pakaian apa yang dipakai olehku?"
Sambil berkata begitu ia menyalakan api dan menyuluhi mukanya sendiri.

Hui hong menatapnya dan berkata dengan suara membenci: "Tak salah ! Kau mengenakan pakaian itu, jubah panjang dan topi empat segi. Waktu itu kau menyelipkan kipasmu di belakang leher baju."

Bukan main gusarnya Thio Ngo hiap. Ia tak mengerti mengapa pendeta itu menuduhnya secara membabi buta.

Sambil mengangkat api tinggi-tinggi, ia maju dua tindak dan membentak: "Kalau kau mempunyai nyali, katakan lagi bahwa yang membunuh orang adalah Thio Cui San!"

Mendadak kedua mata pendeta its mengeluarkan sinar luar biasa. Ia menunding seraya berteriak: "Kau....!"

Tubuhnya tiba-tiba terjengkang dan robot di tanah. Dengan serentak sambil mengeluarkan seruan tertahan, Goan giap dan Goan im melompat untuk coba menolong. Tapi Hoan hong sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan dengan paras muka ketakutan.

"Kau! kau membunuh dia!" teriak Goan giap dan Goan im, tapi juga mengagetkan sangat Thio Cui San. Ia menengok kebelakang dan matanya yang sangat jeli melihat goyangnya beberapa cabang pohon "Jangan lari!" bentaknya sambil melompat.

Ia mengerti, bahwa perbuatannya itu sangat berbahaya sebab musuh yang bersembunyi dapat membokongnya. Tapi untuk cuci bersih segala tuduhan, ia mesti bisa menangkap pembunuh itu. Selagi badannya masih berada di tengah udara itu Goan im dar Goan giap sudah menyabet dengan senjata mereka. Bagaikan kilat, ia menekan Sian thung Goan giap dengan Houw tauw kauw dan menotok toya Goan im dan Goan giap dengan Poan koan pit dan dengan meminjam tenaga itu, badannya melesat keatas. Begitu kedua kakinya hinggap di atas tembok, segera matanya menyapu kearah gerobolan pohon. Benar saja beberapa cabang kecil masih bergoyang goyang, tapi orang yang bersembunyi sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.

Sambil menggeram dan mengebas Sian thungnya Goan giap bergerak untuk melompat keatas tembok "Jie wie jangan merintangi aku. Mari kita ubar pembunuh itu!" teriak Cui San.

"Kau ..... di hadapanku kau berani membunuh orang !" teriak Goan im dengan napas tersengal-sengal, "Apa sekarang kau masih mau menyangkal". Beberapa kali Goan giap coba melompat ke atas, tapi ia selalu kena dipukul mundur. "Thio Ngo Hiap, kami bukan mau mengambil jiwamu," kata Goan im. "Kau ikut saja kami ke Siauw lim sie"

"Benar-benar gila!" teriak Cui San. "Karena gara gara kalian berdua yang sudah menghalang halangi aku,pembunuh itu telah berhasil melarikan diri. Sekarang kamu berbalik mau mengajak aku ke Siauw Lim sie. Perlu apa aku pergi ke Siauw Lim sie?"

"Supaya Hong thio kami dapat memberi keputusan," jawabnya. "Dengan beruntun kau sudah membinasakan tiga orang murid kuil kami, ini adalah terlalu besar untuk dibereskan oleh kami berdua."

Cui San tertawa dingin "Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung. "Sungguh percuma kamu berdua menjadi anggauta dari Siauw lim Cap peh Lo han. Penjahat lari di depan hidungmu, kamu masih belum tahu!"

"Sudahlah!" kata Goan im dengan suara menyesal dan duka. "Biar bagaimanapun juga, hari ini kami tak akan dapat melepaskan kau."

Mendengar tuduhan yang sangat hebat itu, semakin lama pemuda itu jadi semakin gusar."Tay Su" katanya sambil tertawa dingin. "Jika kamu mempunyai kepandaian, cobalah tangkap aku!" hampir berbareng dengan tantangannya, Goan giap menumbuk tanah dengan San thungnya dan badannya segera melesat keatas. Cui San pun melompat tinggi dan selagi tumbuhnya melayang turun, bagaikan angin puyuh ia menyerang. Goan giap coba menangkis, tapi dengan sekali balik Houw tauw kauw, ia menggeres alis pendeta itu yang lantas saja mengucurkan darah dan tumbuhnya ambruk ke bawah. Dalam serangan itu, Cui San masih berlaku murah hati. Jika gaetan tersebut diturunkan sedikit lagi kearah tenggorkan, jiwa Goan giap tentu sudah melayang.

"Giap suete!" teriak Goan im. "Apa kau terluka berat?"

"Tidak Jangan rewel! Hajarlah !" jawabnya dengan kalap.

Mendengar perkataan saudara seperguruannya. Goan im segera menyerang sambil melompat lompat dan sesaat kemudian, tanpa membalut luka nya, Goan giap pun segera membantu. Melihat serangan-serangan yang sangat hebat itu, Cui San mengerti, bahwa jika kedua pendeta tersebut dapat , melompat ke atas tembok, ia bakal repot sekali.
pMaka itu, sambil mengempos semangat, ia segera berkelahi dengan hati-hati dan menjaga supaya kedua lawannya jangan sampai berdiri di tembok. Ketiga pendeta dari tingkatan "Hui" tidak berani maju, biarpun mereka ingin sekali membantu.

Thio Cui San mengerti bahwa untuk membersihkan dirinya dari tuduhan yang sangat hebat itu, ia harus menyelidiki dan membekuk pembunuh yang tulen. Ia tahu bahwa dilangsungkannya pertempuran hanialah akan memperdalam sakit hati dan salah mengerti. Maka itu sambil menggerakkan kedua senjatanya untuk menutup serangan kedua pendeta itu, ia berseru keras dan mengenjot tubuh.

Tapi sebelum ia melompat tiba tiba terdengar bentakan geledek, dan tembok yang sedang diinjaknya roboh didorong orang. Sebelum kedua kakinya hinggap di bumi seorang pendeta yang tubuhnya tinggi besar menerjang dan coba merampas kedua senjatanya.

Di tempat gelap Cui San tak bisa lihat tegas muka hweeshio itu, tapi melihat sepuluh jarinya yang dipentang seperti gaetan, ia tahu, bahwa pendeta itu menyerang dengan Houw jiauw kang (ilmu pukulan kuku harimau) salah satu pukulan terlihay dari Siauw lim sie.

"Sim Suheng!" teriak Goan giap. "Jangan kasih bangsat ini lari"

Semenjak turun dari Bu tong san, Thio Cui San jarang bertemu dengan tandingan. Sesudah memiliki ilmu silat Ie thian To liong, kepandaiannya jadi lebih tinggi lagi dan nyalinya pun jadi lebih besar. Melihat serangan mati-matian dari tiga pendeta itu ia jadi mendongkol bukan main dan lantas saja timbul niatan untuk memperlihatkan kepandiannya. Ia segera menyelipkan kauw tauw kauw dan Poan koan pit di pinggang nya dan membentak "Kalau mau bertempur, ayolah! Biarpun Siauw lim Cap peh Lo han turun semua, Thio Cui San sedikit pun tidak merasa keder" Sesaat itu, tangan kiri Goan sim menyambar. Sambil berkelit, ia menggerakkan tangannya "Bret!" tangan jubah pendeta itu robek. Dengan gusar Goan sim coba mencengkeram pundaknya, tapi sebelum kelima jarinya menyentuh pundak, lututnya sudah ditendang Cui San.

Tapi diluar dugaan, dua kaki Goan sim luar biasa kuat, sehingga biarpun kena tendangan jitu, badannya hanya bergoyang-goyang dan tidak sampai roboh di tanah. Sambil menggeram, tangan kanan nya menyambar, dan dengan berbareng, Sian thung Goan im dan Goan giap menyabet pinggang dan kepala. Cui San tak jadi bingung. Dengan lompat tinggi ia menyelamatkan dirinya.

Sambil bertempur Cui San berkata dalam hatinya: "Dalam beberapa tahun yang belakangkangan nama Bu tong dan Siauw lim dikatakan berendeng dalam Rimba Persilatan. Tapi yang mana lebih tinggi, yang mana lebih rendah, sukar sekali dapat diukur. Biarlah hari ini aku menjajal kepandaian pendeta Siauw Lim." Ia segera mengempos semangat dan melayani ketiga lawan itu dengan hati-hati. Sesudah lewat sekian jurus, biarpun dikerubuti tiga, perlahan lahan ia berada di atas angin.

Sebenarnya, ilmu silat Siauw lim dan Bu tong mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Bu tong pay didirikan oleh Thio Sam Hong, seorang luar biasa pada jaman itu. Tapi ilmu silat Siauw lim sie, dengan sejarah seribu tahun lebih dan diperbaiki terus menerus, bukan main hebatnya. Dalam pada itu, orang harus ingat, bahwa dalam Bu tong pay, Thio Cui San termasuk sebagai Jago kelas utama, sedang Goan im, Goan sim dan Goan giap biarpun kedudukannya sebagai anggota Cap peh Lo han, dalam kalangan Siauw lim sie ilmu silatnya baru mencapai tingkatan kedua. Maka itu sesudah bertempur lama, sebaliknya dari keteter, Thio Cui San jadi semakin gagah.

Sesudah lewat sekian jurus tagi, tiba tiba pemuda itu menyerang dengan pukulan huruf "Liong" (naga). Mendadak satu tangannya menangkap San-thung Goan giap yang dengan menggunakan ilmu meminjam tenaga, memukul tangan lalu disentaknya kearah toya Goan im. "Trang !"Hebat sungguh bentrokan kedua toya itu. Tenaga kedua pendeta itu yang sudah cukup hebat, ditambah lagi dengan tenaga Thio Cui San. Telapak-tangan Goan im dan Goan giap terbeset dan mengeluarkan darah. Lengan mereka kesemutan, sedang kedua Sian thung itu melengkung.

Dengan kaget, Goan sim menubruk untuk memberi pertolongan. Melihat serangan nekat, Cui San mengengos sambil mengggaet dengan kakinya dan menepuk punggung pendeta itu. Tepukan itupun dikirim dergan ilmu "Meminjam tenaga, memukul tangan" yaitu memukul dengan menuruti tenaga Goan sim sendiri. Tanpa ampun, pendeta itu terjungkel.

Sambil tertawa dingin, Thio Cui San lantas saja berjalan pergi,

"Jangan lari kau!" terial Goan sim seraya melompat bangun dan terus mengudak diikuti oleh kedua saudara seperguruannya.

Melihat pengejaran nekat, Cui San jadi bingung juga. Tentu saja sama sekali bukan maksudnya untuk mencelakakan mereka. Maka itu, ia segera mengempos semangat dan lari dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Tapi ketiga pendata itu terus mengubar sambil berteriak-berteriak.

Sembari lari Thio Cui San merasa geli di dalam hati, karena bagaimanapun juga, ketiga pangejar itu tak akan bisa menyandak dirinya. Selagi enak lari, tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan kesakitan dan begitu menengok, ia lihat ketiga pendeta itu menutupi mata kanan mereka dengan kedua tangan, seperti kena senjata rahasia. "Orang she Thio!" Hoan giap mencaci. "Jika kau mempunyai nyali, butakanlah lagi mata kiriku!"

Cui San kaget bukan main. "Apa mata kanannya dibutakan orang dengan senjata rahasia?"tanyanya di dalam hati.
"Siapa yang sudah membantu aku. Mendadak ia ingat sesuatu dan lantas saja berteriak! "Cit tee !Cit tee! Dimana kau?" Ia berteriak begitu karena ingat bahwa diantara saudara-saudara seperguruannya Boh Seng Kok lah yang paling pandai dalam ilmu menggunakan senjata rahasia. Boh Cit hiap mahir menggunakan piauw, panah tangan, paku, jarum, batu, Hui hong sek dan lain-lain. Maka itu, ia menduga, bahwa orang yang telah menimpuk mata ketiga pendeta itu adalah adiknya yang paling kecil

Tapi sesudah memanggil beberapa kali, ia tak mendapat jawaban, ia melompat masuk kegerombolan pohon-pohon dipinggir telaga, tapi disitu pun ia tak lihat bayangan manusia.

Dilain pihak, sesudah seluruh matanya terluka, Goan giap jadi kalap dan sambil berteriak-teriak ia melompat untuk mengubar lagi. Tapi Goan im buru-buru menarik tangan Suteenya. ia mengerti, bahwa meskipun belum terluka, mereka bertiga belum tentu dapat melawan musuh. Sekarang, sesudah terluka, apapula luka itu dirasakan gatal seperti kena senjata beracun keadaan mereka jadi lebih jelek lagi dan tak usah harap bisa memperoleh kemenangan. "Giap Sutee, " katanya dengan suara menghibur. "Dalam usaha membalas sakit hati, orang tak perlu terlalu bernapsu. Dalam urusan ini, andai kata kita bertiga mau menyudahi saja, Hong thio dan kedua Supeh sudah pasti tak akan tinggal diam."

Sementara itu, sesudah ternyata pengubaran atas dirinya dihentikan, Cui San mulai memikiri kejadian barusan dengan rasa heran yang sangat besar. "Aku suka mengunggulkan ilmu mengentengkan badanku, tapi kepandaian orang itu kelihatannya banyak lebih tinggi dari padaku. Tapi siapa dia!"

Ia tak berani berdiam lama-lama lagi dipinggir telaga dan lantas berjalan pulang kerumah penginapan. Tapi baru saja berjalan puluhan tombak, sekonyong-konyong ia lihat bergoyang-goyangnya rumput tinggi ditepi telaga. Ia tahu bahwa disitu bersembunyi orang dan dengan hati-hati ia mendekati. Baru saja ia ingin menegur, dari antara rumput-rumput melompat keluar seorang yang terus membacok kepalanya dengan golok sambil membentak: "Kalau bukan aku, kau yang mampus!"

Dengan cepat Cui San mengegos dan mengirim tendangan yang mengenakan jitu pergelangan tangan kanan orang itu sehingga goloknya terbang dan jatuh diatas air. Orang itu yang gundul kepalanya dan mengenakan jubah pertapaan. Lagi-lagi seorang pendeta Siauw lim sie "Bikin apa kau di sini?" bentak Cui San.

Tiba-tiba ia lihat 3 sosok tubub yang menggeletak tanpa bergerak, entah sesudah mati, entah terluka berat di dalam rumput-rumputan tinggi. Tanpa menghiraukan lawannya ia segera mendekati dan membungkuk. Begitu lihat, ia terkesiap karena ketiga orang itu bukan lain daripada pemimpin-pemimpin Liong bun Piauw kiok, yaitu Touw Tay Kim, Ciok dan Su Piauw tauw. "Touw Cong piauw tauw!" serunya. "Kau !.... kau ..... " Perkataannya diputuskan oleh melompatnya Touw Tay Kim yang seperti orang edan lalu menyengkeram bajunya didada dan mencaci:"Bangsat ! Aku hanya simpan tiga ratus tahil perak, tapi kau sudah lantas berlaku begitu kejam."

"Ada apa?" tanya Cui San. Baru saja ia ingin memberontak, mendadak ia melihat darah di ujung mata dan mulut Cong Piauw tauw itu. Ia kaget bukan main. "Kau mendapat luka dalam?" tanyanya.

Touw Tay Kim menengok ke pendeta itu dan berkata dengan suara parau: "Sutee, kenalilah Orang ini Gin Kauw Tiat hoa Thio Cui San. Dia.... dialah pembunuhnya. Lekas kau pergi ! . . lekas ! jangan kena dicandak olehnya . .".
Mendadak kedua tangannya membetot keras dan kepalanya dibenturkan ke dada Thio Ngo hiap dengan tujuan untuk mati bersama. Cui San mengangkat kedua tangannya dan mendorong. "Bluk!", badan Touw Tay Kim terpental dan jatuh terjengkang tapi bajunya sendiripun menjadi robek.

Thio Cui San adalah seorang yang tidak mengenal takut. Tapi kejadian-kejadian malam itu dan paras muka Touw Tay Kim adalah sedemikian menyeramkan, sehingga bulu romanya bangun semua. Dengan hati berdebar-debar, ia membungkuk untuk coba menolong, tapi Touw Tay Kim sudah melepaskan napasnya yang penghabisan. Sesudah mendapat luka berat, dorongan Cui San dan jatuhnya ditanah telah menghabiskan jiwanya.

"Bangsat!" teriak sipendeta. "Kau!..... kau binasakan Su hengku !" Ia memutar badan dan terus kabur sekeras-kerasnya.

Cui San menghela napas panjang dan menggeleng gelengkan kepalanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa Ciok dan Su Piauw tauw, yang kakinya masuk kedalam air, sudah mati lebih dulu.

Bukan main rasa dukanya pemuda itu. Dengan Touw Tay Kim, ia tak mempunyai permusuhan apapun juga. Ia hanya merasa jengkel karena dalam mengantar Jie Thay Giam, Cong piauw tauw itu sudah diabui orang dan menyerahkan samkonya kepada kawanan orang jahat. Tapi sekarang melihat kebinasaan yang begitu menyedihkan, ia merasa sangat terharu dan kasihan. Untuk beberapa saat, ia berdiri bengong. Tiba-tiba ia ingat perkataan Cong piauw tauw itu yang mengatakan, "aku hanya menyimpan tigaratus tahal emas, tapi aku sudah lantas berlaku begitu kejam".

Sebenar-benarnya, jangankan ia tak tahu hal itu, sekalipun tahu, ia pasti tak akan sembarangan membunuh orang. Ia segera membungkuk daa membuka buntalan yang diikat dipunggung Cong piauw tauw itu. Benar saja, dalam buntelan itu kedapatan beberapa potongan emas.

Cui San jadi bertambah duka. Ia ingat kesukaran dan penderitaan seorang piauw tauw yarg mencari sesuap nasi dengan melakoni perjalanan li dan setiap hari hidup diujung senjata. Tujuan satu-satunya adalah mengumpul sedikit uang untuk berjaga-jaga keperluan dihari tua. Uang itu sekarang menggeletak disamping Touw Tay Kim, tapi ia sudah tak dapat menggunakannya. Mengingat begitu, ia menghela napas. Ia ingat pula, bahwa ini malam, seorang diri ia telah mengalahkan tiga pendeta Siauw lim sie sehingga namanya naik tinggi dalam Rimba Persilatan. Tapi apa artinya itu semua? Pada akhirnya ia dan Tuow Tay Kim tidak banyak bedanya, yaitu berpulang ketempat baka.

Tanpa merasa, sekali lagi ia melamun ditengah telaga. Mendadak terdengar suara khim. Ia mengawas kearah suara itu dan mendapat kenyataan, bahwa sastrawan yang tadi minum arak seorang diri di dalam perahu, yang sekarang yang menetik khim. Sesaat kemudian, dengan menuruti irama tabuh-tabuhan itu, ia menyanyi:

"Mendapat ilham, tenaga pit seolah olah menggetarkan Ngo gak,
Syair rampung suara bersyair mencapai Ciang Ciu.
Kalau nama dan kemuliaan terus berdiri tegak,
Sangai Han sui seharusnya mengalir balik ke barat laut."

Cui San terkejut. Suara itu yang merdu dan nyaring, seperti juga suara seorang wanita, sedang sajak mengenakan jitu isi hatinya. Dilain saat, ia segera mengangkat kaki uatuk meninggalkan tempat itu, karena, jika perahu itu mendekati dan si sasterawan melihat ketiga mayat yang menggeletak disitu, dia mungkin berteriak dan mengakibatkan datangnya serdadu peronda. Tapi baru ia bertindak, sastrerawan itu sekonyong-konyong menepuk khim dan berkata dengan suara nyarirg: "Jika Heng tay (saudara) merasa senang untuk pelesir diatas telaga, mengapa Heng tay tak mau naik kesini?". Sambil berkata begitu, ia mengebas tangannya dan tukang perahu yang duduk dikemudi lantas saja menggayu perahu itu ketepi telaga.

"Orang itu sedari tadi sudah belada diatas telaga sehingga mungkin sekali aku akan bisa mendapat keterangan berharga dari mulutnya," pikir Cui San yang lalu turun dipinggir air. Begitu perahu itu datang dekat, ia segera melompat kekepala perahu.

Dengan ilmu mengentengkan badannya yang sangat tinggi, lompatannya itu sedikitpun tidak menggoncangkan badan perahu. Sisasterawan bangun berdiri dan sambil tersenyum, ia menyoja, akan kemudian menunjuk kursi supaya tamunya duduk.

Dengan pertolongan sinar tengtoleng Cui San mendapat kenyataan bahwa sastrawan itu kulitnya putih bagaikan susu dan pantasnya cantik ayu, sedang waktu ia bersenyum pada pipi kirinya yang agak kurus tertampak sebuah sujen. Dipandang dari jauh, ia kelihatannya seperti seorang tongcu yang tampan, tapi dilihat dari dekat, ia adalah seorang wanita muda belia yang mengenakan pakaian lelaki.

Sebagai murid Thio Sam Hong, Cui San telah diajar untuk mentaati sopan santun dan memegang keras peraturan pada jaman itu, mengenai pergaulan antara pria dan wanita.

Selama malang melintang dalam dunia Kangouw, Butong Cit hiap belum pernah dibikin mabok oleh kecantikan wanita.

Maka itulah, setelah mengetahui, bahwa sasterawan itu adalah seorang wanita, parasnya lantas saja berubah merah dan begitu bangun berdiri, ia segera melompat balik kedaratan. Sambil menyoja ia berkata dengan sikap menghormat: "Aku yang rendah tak tahu, bahwa nona adalah seorang wanita yang menyamar sabagai pria. Untuk kelancanganku, harap nona sudi memaafkan."

Tanpa menjawab, nona itu memetik khin seraya bernyanyi
"Kejengkelan menghilangkan kegembiraan,
kesepian menimbulkan kedukaan.
Terbang berputaran, memandang ketempat jauh.
Mencekal pedang, melompat ke atas perahu."

Mendengar nyanyian itu, yang mengundangnya untuk kembali keperahu, Cui San berkata di dalam hati: "Malam ini aku telah bertemu dengan banyak soal sulit. Nona itu rupanya dapat membantu aku dalam usaha mencuci bersih segala tuduhan yang tidak-tidak." Memikir begitu ia lantas saja bergerak untuk melompat kembali ke perahu.

Tapi ia lantas mendapat lain ingatan. "Ah! Aku belum mengenalnya dan ia begitu cantik," pikirnya. "Jika aku membuat pertemuan di tengah malam buta, namanya yang suci bersih bisa ternoda."

Selagi bersangsi, tiba-tiba ia dengar suara penggayu memukul air, dan perahu itu sudah bergerak ketengah telaga. Dilain saat terdengar bunyi khim yang diiring dengam nyanyian seperti berikut;

"Malam ini kuhilanag kegembiraan,
Besok malam, belum ada ketentuan.
Dibawah Liok ho tah,
Yanglie melambai, perahu menunggu,
Pemuda kesatria,
Apa sudi datang kesitu ?"

Semakin lama perahu jadi semakin jauh, sedang nyanyian itu pun semakin sayup kedengarannnya, sinar tengloleng kelihatan seperti sebutir kacang dan kemudian menghilang dari pemandangan.

Pengalaman Thio Cui San pada malam itu sungguh-sungguh luar biasa. Disaat ini, dia menghadapi pembunuhan, mayat dan pertempuran disaat lain, ia bertemu dangan wanita cantik, khim dan nyanyian merdu. Lama juga ia berdiri ditepi telaga, seperti orang hilang ingatan. Kemudian sambil menghelan napas, dengan tindakan lesu ia kerumah penginapan.

Pada esok harinya, pembunuhan hebat digedung Liong bun Piauw kiok dan ditepi telaga telah menggemparkan seluruh kota Lim an. Thio Cui San yang gerak geriknya lemah lembut seperti seorang sasterawan tentu saja tidak dicurigai. Hari itu, dari pagi sampai sore, ia berputar-putar dipasar pasar dikelenteng-keleteng dalam usaha mencari Jie Lim Cu dan Boh Seng Kok. Tapi jangankan orangnya, sedangkan tanda tandanyapun yang biasa ditaruh disepanjang jalan jika Bu tong Cit hiap sedang manjalankan tugas tak kelihatan.

Sesudah mata hari mendoyong kebarat, mau tak mau, ia ingat nyanyian nona cantik itu yang selalu terbayang didepan matanya. "Jika aku berlaku sopan, halangan apa aku menemuinya?" katanya di dalam hati, "Memang alangkah baiknya jika Jieko dan Cit tee berada disini dan bisa turut serta. Ya, aku mesti bertemu dengan nona itu. Dia adalah orang satu-satunya yang bisa ditanyakan olehku." Sesudah mengambil keputusan, buru-buru ia menangsal perut dan lalu berangkat kepagoda Liok ho tah.

Liok ho tah berada ditepi Sungai Cian tongkang dan tempat itu terpisah agak jauh dari kota Lim an sehingga walaupun Thio Cui San menggunakan ilmu mengentengkan badan, waktu tiba di Liok ho tan, siang sudah terganti dengan malam.

Dari jauh ia sudah lihat, bahwa disebelah timur pagoda itu terdapat tiga pohon yanglioe dan dibawah pohon tertambat sebuah perahu kecil. Perahu perahu disungai itu kebanyakan menggunakan layar dan bentuknya banyak lebih besar daripada perahu pelesir ditelaga See ouw. Tapi perahu yang berada di bawah pohon yanglioe, tiada bedanya dengan perahu semalam dan di kepala perahu tergantung sebuah tengloleng.

Jantung pemuda itu, memukul keras dan sesudah dapat menenteramkan hatinya, barulah ia mendekati pohon yanglioe itu. Di kepala perahu kelihatan berduduk seorang wanita yang mengunakan baju muda. Ternyata nona itu tidak menyamar lagi sebagai pria.

Waktu berangkat dari rumah penginapan, Cui San bertekad untuk menemui sinona dan menanyakan urusan semalam. Tapi sekarang, melihat nona itu memakai pakaian perempuan, hatinya bersangsi lagi.

Sekonyong-konyong sinona mendongak dan mengucapkan sebuah sajak:

"Memeluk lutut di kepala perahu,
Sambil menunggu seorang tamu.
Angin meniup, ombak bergoyang.
Duduk melamun, pikiran meiayang."

"Aku yang rendah, Thio Cui San, ingin menanyakan sesuatu kepada nona," kata pemuda itu dengan suara nyaring.

"Naiklah keperahu," mengundang Sinona.

Dengan gerakan yang indah Cui San melompat ke atas

"Kemarin awan hitam menutupi langit dan bulan tak muncul," kata nona itu. "Malam ini langit bersih, lebih menyenangkan daripada kemarin." Suaranya merdu dan nyaring tapi ia bicara sambil mengawasi langit.

"Apakah boleh ku tahu she nona yang mulia?" tanya Cui San sambil membungkuk.

Mendadak Sinona menengok dan matanya kedua yang bening menyapu muka itu. Tapi ia tak menjawab pertanyaan orang.

Pemuda itu jadi kemalu-kemaluan. Tanpa berani mengeluarkan sepatah kata lagi, ia memutar badan dan lalu melompat kedaratan dan berlari-lari. Sesudah lari beberapa puluh tombak, ia menghentikan tindakannya. "Cui San! Cui San !'" Ia mengeluh "Kau dikenal sebagai seorang gagah yang selama sepuluh tahun didunia Kang ouw tidak mengenal apa artinya takut. Tapi mengapa begitu berhadapan dangan seorang wanita, kau lari terbirit birit ?" Ia menengok dan melihat perahu si nona maju perlahan-lahan disepanjang pingiran sungai, dengan menuruti aliran air. Dengan hati ber debar-debar, ia lalu berjalan disepanjang gili gili, berendeng dengan perahu, sedang nona itu sendiri masih tetap duduk di kepala perahu sambil memandang langit.

(Bersambung jilid 7)


B O E K I E
Karya: CHING YUNG

Jilid 7

Sesudah berjalan beberapa lama, tanpa merasa Cui San dongak mengawasi rembulan yang sedang dipandang sinona. Tiba-tiba di sebelah timur laut muncul segumpal awan hitam. Benar juga orang kata, angin dan awan tak dapat ditaksir kedatangannya. Dengan cepat, awan itu bergerak dan meluas. Tak lama kemudian, rembulan sudah tertutup awan hitam dan berbareng dengan turunnya angin, hujan gerimis mulai turun.

Ketika itu, Cui San sedang berjalan digili-gili yang berdampingan dengan sebidang tanah lapang dan disekitar itu tak ada tempat meneduh. Tapi pemuda yang sedang was-was itu pun tidak ingin cari tempat meneduh. Walaupun yang turun hanya gerimis, lama-lama pakaian Cui San basah juga. Ia melirik sinona yang juga masih tetap duduk di kepala perahu, dengan tak menghiraukan serangan hujan. Tiba-tiba ia tersadar.

"Nona, masuklah! Apa kau tak takut basah?" teriaknya.
"Ah!" nona itu mengeluarkan seruan tertahan sambil bangun berdiri. "Eh, apa kau juga tak takut basah ?"

Sehabis berkata begitu, ia masuk kegubuk perahu dan keluar pula dengan tangan mencekal payung, yang lalu dilontarkan kearah pemuda itu. Cui San menyambuti dan lalu membukanya. Diatas payung terdapat lukisan pemandangan alam yang sangat indah: gunung, air dan beberapa pohon yanglioe, sedang diatas gambar terdapat huruf-huruf seperti berikut: "Sia hong see ie poet hie kwi."

Payung Hangciu memang biasa ada lukisannya. Tapi tulisan seperti itu, yang banyak terdapat pada barang pecah belah keluaran Kangsay, adalah sedikit luar biasa. Dengan rasa kagum, Cui San membaca huruf-huruf itu, yang walaupun masih kurang bertenaga sangat indah ayu dan mengunjuk jelas sebagai buah kalam seorang wanita. Dengan mata mengawasi tulisan itu, ia berjalan terus sehingga ia tak lihat sebuah solokan kecil yang melintang ditengah jalan. Tiba-tiba saja kakinya menginjak tempat kosong dan jika ia seorang biasa, ia pasti terjungkal kedalam solokan itu. Tapi Thio Cui San bukan orang biasa. Sedang kaki kanannya kejeblos, kaki kirinya sudah menotol pinggir solokan dan badannya meleset kedepan, sehingga ia hinggap diseberang dengan selamat.

"Bagus!" memuji sinona.

Cui San menengok dan melihat nona itu berdiri di kepala perahu dengun memakai tudung. Pakaiannya berkibar-kibar ditiup angin dan disambar hujan gerimis, sehingga dipandang dari kejauhan, ia seolah-olah seorang dewi.

"Apakah tulisan dan lukisan diatas payung itu cukup berharga untuk dilihat oleh Thio Sianseng?" tanya sinona.

"Huruf-huruf ini ditulis menurut Su hoat (sari menulis) dari Wie Hujin," jawabnya. "Biarpun coretannya agak pendek, artinya panjang. Huruf huruf ini sudah cukup indah".

Mendengar pengertian pemuda itu akan seni menulis dan pujian yang diberikan kepadanya, sinona jadi girang. "Dalam tujuh huruf itu, huruf 'poet' yang paling jelek." katanya.

Cui San mengawasi pula tulisan itu seraya berkata: "Tulisan cukup wajar, hanya kurang memperlihatkan arti yang tergenggam dalam huruf itu. Berbeda dengan enam huruf lainnya yang sangat indah dan tidak membosankan."

"Benar," kata sinona "Sudah lama aku merasa bahwa dalam huruf itu terdapat kekurangan itu. Sesudah Sianseng menjelaskan, barulah aku mendusin."

Perahu terus laju kealiran sebelah bawah, sedang Thio Cui San terus mengikuti sambil omong omong tentang seni menulis. Tanpa merasa mereka sudah melalui belasan li dan siang sudah terganti dengan malam. Tiba-tiba sinona berkata: "Benar juga dikatakan orang, bahwa bicara semalaman dengan seorang pandai, banyak lebih berfaedah daripada membaca buku sepuluh tahun. Terima kasih banyak untuk keteranganmu, dan di sini saja kita berpisahan," Sehabis berkata begitu, ia memberi isyarat dengan tangannya dan layar perahu lantas saja naik dengan perlahan. Sesudah layar terpentang perahu itu lantas saja laju dengan pesatnya. Dengan mata mendelong, Cui San mengawasi perahu sinona yang semakin lama jadi semakin jauh. Sekonyong konyong, sayup-sayup ia dengar teriakan sijelita: "Aku she In. Dilain hari, aku akan meminta pelajaran lagi."

Mendengar kata kata "aku she In", pemuda itu terkesiap. Ia ingat keterangan Touw Tay Kim, bahwa orang yang menyuruhnya untuk mengantar kan Jie Thay Giam ke Bu tong san adalah seorang sasterawan tampan yang mengaku she In. Apakah sasterawan she In itu sinona adanya?
Memikir begitu, tanpa memperdulikan lagi soal pembatasan pergaulan antara pria dan wanita, ia segera mengempos semangat dan mengubar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Ia sudah menyandak. "In Kouwnio!" teriaknya. "Apakah kau kenal Jie Samko Jie Thay Giam?"

Nona itu menengok tanpa menjawab. Lapat-lapat Cui San seperti mendengar suara hela napas panjang. "Nona ada beberapa soal yang kuingin tanya," teriaknya pula.

"Soal apa?" sinona balas tanya.

"Apakah kau yang sudah minta Liong bun Piauw kiok mengantar Jie Samko ke Bu tong san?", tanya Cui San. "Tapi apa Kouwnio tahu, bahwa sesudah tiba di Bu tong san, Jie Samko telah dianiaya orang ?"

"Untuk kejadian itu, aku sungguh merasa sangat menyesal," jawabnya.

Sedang mereka tanya jawab, angin turun semakin besar dan perahu laju semakin cepat. Tapi dengan memiliki Gin kang yang sangat tinggi, Cui San tetap bisa lagi berendeng.

Dilain pihak, setiap perkataan sinona yang di ucapkan secara biasa diantara hujan dan angin, dapat didengar tegas oleh Thio Cui San dan hal itu membuktikan bahwa iapun mempunyai Lwekang yang tinggi.

Semakin jauh, permukaan Sungai Cian tongkang kang jadi semakin luas dan hujan angin pun turun semakin hebat. "In Kouwnio, puluhan jiwa dalam Liong bun Piauw kiok telah dibinasakan orang." teriak Cui San. "Apa kau tahu siapa pembunuhnya?"

"Aku telah memberitahukan Touw Tay Kim bahwa dia harus hati hati mengantar Jie Samhiap pulang ke Bu tong." sahutnya. "Kalau dia gagal...."

"Kau akan membasmi seluruh keluarge piauw kiok, sekalipun ayam dan anjing tidak diberi ampun." menyambung pemuda itu.

"Benar." katanya. "Dia tak bisa melindungi Jie Samhiap dan segala kejadian berikutnya adalah salahnya sendiri."

Cui San mencelos hatinya. Ia menggigil seperti disiram air es. Dengan mata membelalak, ia berteriak: "Kalau begitu, semua orang digedung itu telah.... telah...."

"Dibunuh olehku," menyambungi si nona.

Mata pemuda itu ber-kunang2. Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa wanita yang begitu cantik ayu adalah si pembunuh kejam. Lewat beberapa saat, sesudah menenteramkan hatinya, barulah ia dapat membuka suara lagi: "Siapa yang bunuh dua hweeshio Siauw lim sie itu?"

"Aku," jawabnya dengan tenang. "Sebenarnya aku tidak berniat menanam bibit permusuhan dengan Siauw lim sie, akan tetapi karena mereka berlaku kurang ajar, aku tak dapat mengampuninya.."

"Tapi.... tapi kenapa semua kesalahan ditumpuk diatas pundakku?" tanya pula pemuda itu.

Si nona be-senyum. "Akulah yang sengaja mengatur begitu!" jawabnya.

Darah Thio Cui San bergolak-golak, ia merasa dadanya seperti mau meledak "Kau yang sengaja mengatur begitu? Supaya mereka sakit hati kepadaku?" teriaknya dengan suara kalap.

"Tak salah," jawabnya sambil tertawa.

"mengapa kau berbuat begitu, sedang kau dan aku sama sekali tidak bermusuhan?" Cui San berteriak pula.

Si nona tidak menjawab. Tiba-tiba sambil mengebas tangan bajunya, ia melompat masuk dalam gubuk parahu.


Cui San tentu saja tak mau mengerti. Ketika itu perahu terpisah belasan tombak dari tepi sungai dan ia tak dapat mencapainya dengan satu lompatan. Dengan kegusaran meluap-luap, ia menghantam satu pohon dan mematahkan dua cabang yang agak besar. Sambil melontarkan satu antaranya ketengah sungai kearah perahu itu, kakinya menotol tanah dan badannya melesat bagaikan anak panah. Begitu hinggap, kaki kirinya menotol cabang itu dan tubuhnya kembali melesat beberapa tombak jauhnya, sembari melontarkan cabang yang satunya lagi. Seperti tadi, kaki kanannya menotol cabang itu dan bagaikan seekor burung, ia hinggap diatas kepala perahu. "Hei !" bentaknya. "Bagaimana kau melakukan perbuatanmu itu?"

Tapi dari dalam gubuk itu tidak terdengar jawaban. Ia sangat ingin menerjang masuk, tapi sebisa-bisa ia menahan sabar, karena merasa, bahwa perbuatan itu adalah tidak sopan.

Sekonyong-konyong lilin dalam gubuk menyala terang. "Masuklah!" undang si nona.

Sesudah merapikan pakaiannya, Cui San bertindak masuk. Mendadak ia kaget, karena dalam gubuk itu kelihatan berduduk seorang pemuda yang mengenakan thungsha hijau dan topi empat persegi, sedang tangan kanannya menggoyang-goyang kipas. Ternyata, dalam sekejap si nona sudah menukar pakaian lelaki dan dalam pakaian begitu, ia kelihatannya mirip sekali dengan Thio Ngohiap.

Tadi Cui San menanya, bagaimana ia telah berlaku sehingga, pendeta-pendata Siauw lim sie menduga, bahwa pembunuhan itu dilakukan olehnya. Tanpa menjawab, nona In telah memberi jawaban. Dengan mengenakan pakaian sasterawan, di tempat yang agak gelap, sukar sekali akan orang membedakan yang mana si wanita. Maka itu tidaklah heran jika Hui hong dan Touw Tay Kim menuduh padanya.

"Thio Ngohiap, duduklah," mengundang si nona sambil menuang teh disebuah cangkir. Ia mengangsurkan cangkir itu seraya berkata: "Sungguh menyesal aku tak punya arak untuk disuguhkan kepada Ngohiap."

Penyambutan yang sangat ramah tamah itu memaksa Cui San menahan hawa amarahnya. "Terima kasih," katanya sambil membungkuk.

Melihat pakaian pemuda itu basah kuyup sinona berkata pula: "Dalam perahu ini aku masih mempunyai seperangkat pakaian laki-laki. Ngohiap boleh pergi kebelakang untuk menukar pakaian yang basah itu."

"Tak usah," sahutnya sambil menggelengkan kepala. Ia lantas saja mengerahkan Lweekang dan hawa panas segera mengalir di seluruh badannya, sehingga tak lama kemudian pakaian yang basah itu menjadi kering.

"Aku tak ingat, bahwa Lweekang Bu tong pay luar biasa tinggi," kata si nona sembari bersenyum. "Dengan menyuruh menukar pakaian, siauw moay benar-benar berpandangan sempit."

"Bolehkah aku mendapat tahu partai nona?" tanya Cui San.
Mendengar pertanyaan itu, si nona memandang keluar jendela, alisnya berkerut dan pada paras mukanya tertampak sinar kedukaan.

Melihat perubahan itu, Cui San tidak berani mendesak lagi. Lewat beberapa saat, barulah ia berkata pula: "Nona, siapakah yang menganiaya Jie Samko? Bolehkah kau memberitahukan aku?"

"Bukan saja Tauw Tay Kim, tapi akupun sudah kena diakali," jawabnya, "Sebetulnya aku mengingat bahwa Bu tong Cit hiap adalah pendekar-pendekar yang gagah tampan dan tidak bisa jadi beroman begitu kasar."

Mendengar jawaban yang menyimpang, yang menyebut-nyebut "gagah tampan", Cui San mengerti bahwa sinona tengah memuji dirinya dan hatinya lantas saja berdebar-debar, sedang mukanya berubah merah.

Sesaat kemudian, nona In menghela napas sambil menggulung tangan baju kirinya. Cui San buru buru menunduk, ia tak berani mengawasi lengan yang putih itu.

"Apa kau kenal senjata rahasia ini?" tanya si nona.
Mendengar perkataan "senjata rahasia", Cui San mengangkat kepala dan melihat tiga batang piauw baja kecil yang menancap di lengan kiri dan
diseputar senjata rahasia itu terlihat warna hitam seperti air bak.

Panjangnya piauw itu hanya satu setengah dim dan kira-kira satu dim masuk kedalam daging sedang buntut piauw yang menonjol keluar berbentuk bunga bwe. Cui San terkejut dan berseru sambil bangun berdiri: "Ah ! Bweehoa piauw dari Siauw limsie. Mengapa berwarna hitam?"

"Tak salah," kata sinona. "Bwee hoa piauw dari Siauw lim sie. Piauw itu mengadung racun."

"Siauw lim sie adalah partai persilatan yang ternama, sehingga menurut pantas tak mungkin orang Siauw lim sie menggunakan senjata rahasia beracun." kata Cui San. "Tapi piauw itu adalah senjata yang hanya dapat digunakan oleh orang Siauw lim sie."

"Aku juga merasa sangat heran," kata nona itu. "Sebagaimana dikatakan oleh gurumu, hancurnya tulang tulang Suhengmu juga adalah akibat cengkeraman Kim kongcie, yaitu ilmu istimewa dati Siauw limsie."

Cui San terkejut. Keterangan gurunya hanya didengar oleh saudara-saudara seperguruannya. Bagaimana nona itu dapat mengetahuinya? "Nona, apakah kau pernah bertemu dengan Jie Suko Jie Lian Ciu dan Cit tee Boh Seng Kok?" tanyanya dengan tergesa-gesa.

Sinona menggelengkan kepala. "Aku hanya bertemu satu kali dengan mereka di Bu tong," jawabnya.

Bukan main rasa herannya Cui San, "Apa nona pernah datang di Bu tong?" tanyanya. "Mengapa aku tak tahu? ... Nona, sudah berapa lama kau kena piauw itu? Kau harus cepat cepat mencari obat." Waktu berkata begitu, paras mukanya mengunjuk rasa kuatir

"Sudah duapuluh hari lebih," jawabnya dengan suara berterimakasih, "Aku sudah menggunakan obat untuk menahan mengamuknya racun itu, sehingga untuk sementara waktu, aku masih dapat mempertahankan diri. Tapi aku tidak berani mencabutnya, sebab kuatir, begitu tercabut, racun akan menjalar kelain bagian tubuh dengan mengikuti aliran darah."

Pemuda itu mengerti, bahwa dalam usaha menahan menjalarnya racun, seseorang bukan saja harus menelan obat mustajab, tapi juga harus memiliki Lweekang yang sangat tinggi. Dilihat romannya, nona itu baru berusia kira-kira delapanbelas tahun dan bahwa ia sudah mempunyai Lweekang yang sedemikian tinggi, adalah kenyataan yang sangat mengagumkan. Tanpa merasa ia berkata dengan suara terputus-putus "Nona .... sesudah duapuluh hari lebih .... kukuatir. .dibelakang hari, pada kulitmu akan terdapat .... terdapat bekas-bekas yang tak akan hilang....." Sebenarnya apa yang dikuatirinya ialah: jika, racun itu mengeram terlalu lama, sinona mungkin tak akan dapat menggunakan tangan kirinya lagi.

Mendengar perkataan Cui San, air mata sinona berlinang-linang dikedua matanya. "Aku sudah berusaha sedapat mungkin...." - katanya dengan suara peralahan "Semalam aku sudah menggeledah badannya pendeta pendeta Siauw lim itu, tapi tak bisa mendapatkan obat pemunah.... Lengan ini tak akan dapat digunakan lagi." Sambil berkata begitu perlahan-lahan ia menurunkan tangan jubahnya.

"Rasa kesatrian Thio Cui San lantas saja tampil kemuka. "In Kouwnio," katanya dengan suara tetap. "Apakah kau percaya aku? biarpun Lwee kangku masih sangat cetek. kupercaya masih dapat membantu kau dalam usaha mengeluarkan racun itu diri dalam lenganmu."

Nona In tertawa dan pada pipinya terlihat sujen yang sangat manis. Ia kelihatan girang dan paras mukanya berseri-seri. "Thio Ngo hiap," katanya, "Dalam hatimu terdapat banyak sekali pertanyaan dan kesangsian. Biarlah lebih dulu aku memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya, supaya sesudah menolong aku, kau tidak akan merasa menyesal."

"Mengobati sakit dan menolong manusia adalah tugas orang-orang Rimba Persilatan," kata Cui San dengan suara nyaring. "Bagaimana aku bisa menyesal?"

"Sudah duapuluh hari lebih racun itu mengeram dalam badanku, sehingga sekarang kita tak perlu terlalu tergesa-gesa," kata sinona sambil tersenyum. "Biarlah kau dengar dulu penuturanku. Hari ini sesudah menyerahkan Jie Sam hiap kepada Liong bun piauw kiok, aku sendiri diam-diam menguntit dari belakang. Benar saja, disepanjang jalan beberapa orang ingin turunkan tangan jahat terhadap Jie Sam hiap, tapi semuanya sudah dipukul mundur olehku. Kejadian itu sama sekali tidak diketahui oleh Tauw Tay Kim."

Thio Cui San lantas saja mengangkat kedua tangannya "Budi nona yang sangat besar tak akan dilupakan
oleh segenap murid Bu tong pay," katanya sambil menyoja.

"Jangan terburu napsu menghaturkan terimakasih kepadaku," kata nona In sambil bersenyum. "Sebentar kau bisa membenci aku."

Cui San terkejut, Ia tak mengerti apa yang dimaksudkan sinona.

"Sepanjang jalan," ia melanjutkan penuturannya "Hari ini aku menyamar sebagai petani, lain hari sebagai saudagar dan terus membuntuti dari belakang. Tak dinyana, sesudah tiba di Bu tong baru terjadi peristiwa yang menyedihkan"

"Apakah nona lihat enam penjahat itu?" tanya Cui San sambil mengertak gigi. "Touw Tay Kim benar-benar tolol. Dia tak dapat memberikan keterangan apapun jua tentang asal usul enam penjahat itu."

"Bukan saja lihat, aku malah sudah bertempur dergan mereka," jawabnya. "Tapi akupun tolol. Aku juga tak tahu asal usul mereka." Sesudah mengirup teh, ia berkata pula: "Pada waktu enam orang itu turun dari atas gunung dan bicara dengan Touw Tay Kim, aku mengawasi dari sebelah kejauhan. Kudengar Cong piauw tauw itu menggunakan istilah Bu tong Liok hiap dan merekapun menerima baik panggilan itu. Sesudah mereka menerima kereta Jie Sam hiap, dari tangan rombongan piauw kiok, aku anggap, urusan sudah selesai dan aku menahan kuda dipinggir jalan, membiarkan lewatnya rombongan Touw Tay Kim,
Tapi dilain saat, aku terkesiap karena melihat sesuatu ang tidak masuk di akal. Siauw moay menganggap Bu tong Cit hiap saling menyintai seperti saudara saudara kandung sendiri. Menurut pantas, mereka ramai-ramai harus menengok Jie Sam hiap yang rebah di kereta dengan terluka berat. Tetapi kenyataannya, hanya seorang yang melongok kedalam kereta, sedang yang lainnya tidak mau mengambil perduli. Bukan saja begitu, paras muka mereka malahan menggunjuk perasaan girang dan sambil berteriak teriak, mereka mengikuti di belakang kereta. Itulah kejadian yang sangat mencurigakan sebab sangat tidak masuk akal.

"Tidak salah pendapat noda" kata Cui San sambil mengangguk beberapa kali.

"Semakin lama, hatiku jadi semakin tak enak," si nona berkata pula. "Aku segera mengubar dan menanyakan nama mereka. Mereka ternyata mempunyai mata yang cukup tajam. Sekelebatan, mereka sudah tahu, bahwa aku adalah seorang wanita yang menyamar sebagat pria. Aku mencaci mereka sebagai manusia rendah yang sudah menggunakan nama Bu tong Cit hiap dan merampas Jie Sam hiap dengan tipu busuk. Aku segera menerjang dan dilayani oleh seorang pemuda kurus yang berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan dikawani oleh seorang too su yang berdiri dipinggiran sedang empat kawannya yang lain berjalan sambil menggiring kereta.

Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi

"Diluar dugaan, pemuda kurus itu sangat lihay dan dalam tigapuluh julUs, aku belum dapat menjatuhkannya. Mendadak imam yang berdiri di pinggiran mengayun tangan kirinya dan tiga batang piauw menancap ditanganku.
"Begitu kena, lenganku sakit sakit gatal. Aku gusar dan kegusaranku di tambah dengan perkataan sikurus yang sangat kurang ajar, yang sesumbar ingin menangkap aku. Aku segera membalas dengan tiga batang jarum dan ahirnya berhasil meloloskan diri" Berkata sampai disitu, muka sinona bersemu merah. Mungkin sekali sikurus yang dikatakan kurang ajar telah mengeluarkan kata-kata yang tak sopan.

"Melepaskan Bwee hoa piauw dengan tangan kiri banyak lebih sukar daripada dengan tangan kanan," kata Cui San, "Tapi mengapa murid Siauw lim pay mengenakan pakaian tosu? Apa dia menyamar?"

Nona In tersenyum. "Kalau tosu mau menyamar sebagai hweeshio, dia harus menyukur rambut," katanya. "Banyak lebih mudah kalau hwee shio menyamar sebagai tosu. Sudah cukup jika dia memakai topi toojin"

Pemuda itu mengangguk sambil bersenyum.

"Aku mengerti, bahwa pada waktu itu aku tak bisa berbuat banyak," kata pula nona In. "melawan pemuda kurus itu saja, aku belum bisa menang, apalagi jika ditambah dengan siimam, yang kelihatannya lebih lihay lagi. Aku yakin, biar bagaimanapun aku tak akan dapat melawan enam orang itu."

Cui San membuka mulutnya, tapi ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.

"Aku tahu apa yang dipikir olehmu," kata sinona. "Kau tentu ingin mengatakan mengapa kau tak mau naik ke Bu tong dan memberitahukan hal itu pada kami ? Bukankan kau ingin menanya begitu ? Hai! Sebabnya adalah karena aku tak boleh naik ke Bu tong! Kalau dapat maju sendiri, perlu apa aku minta bantuan Touw Tay Kim untuk mengantar Jie Samhiap ? Aku merasa sangat bingung dan tak tahu harus berbuat bagaimana. Selagi berjalan dengan rasa sangsi, mendadak aku lihat kau yang sedang bicara dengan Touw Tay Kim. Belakangan, dengan mengikuti rombongan piauwkiok itu aku turut naik ke Bu tong. Dalam kekalutan dan kedukaan, orang tidak memperhatikan diriku. Kalian menganggap aku sebagai anggauta piauw hang, sedang rombongan Liong bun Piauw kiok menganggap aku sebagai orang Bu tong pay."

Tiba-tiba sipemuda ingat sesuatu "Aha!" serunya. "Hari itu kau menyamar sebagai tukang kereta, bukan? Tudungmu ditekan kebawah sampai hampir menutupi muka."

"Sungguh lihay mata Thio Ngo hiap," jawab si nona sambil tertawa. "Jika waktu itu kau tidak dilipati kegusaran dan kesedihan, mungkin sekali rahasiaku sudah diketahui olehmu. Tapi aku tak dapat mengabui mata Song Toa hiap?"

"Toa suko kenali kau?" menegas Cui San dengan rasa heran. "Tapi ia tak mengatakan apapun jua kepada kami,"

"Song Toahiap sangat sopan dan luhur pribudinya." memuji sinona In. "Kepadakupun ia tidak megatakan sesuatu apa. Hanya pada waktu memberikan kamar-kamar kepada rombongan piauw kiok, ia sengaja menunjuk sebuah kamar terpisah untukku sendiri."

"Ya, Toa suko memang begitu", kata Cui San dengan rasa hormat terhadap kakak seperguruannya itu.

"Belakangan, bersama rombongan Touw Tay Kim aku turun gunung" kata sinona: "Aku telah menyaksikan, cara bagaimana kau sudah paksa mereka muntahkan lagi duaribu tahil emas itu, untuk menolong rakyat yang tertimpa bencana alam. Thio ngohiap, kau royal sekali dengan orang lain. Uang itu adalah uangku,"

Cui San tertawa geli. "Biarkan atas nama rakyat yang menderita, aku menghaturkan banyak banyak terima kasih kepadamu," katanya.

"Hm ! Kalau uang sudah berada dalam tangan orang-orang temaha, mana mereka sudi muntahkan seanteronya?" kata pula nona In. "Hanya karena nama Thio Ngohiap terlalu besar, maka mereka tidak berani tidak muntahkan. Aku tahu diam diam mereka menyimpan tigaratus tahil. Sesudah kembali kesini aku segera minta pertolongan orang untuk memeriksa luka ini. Ada yang kata, bahwa Bwee hoa Piauw adalah senjata rahasia istimewa dari Siauw lim sie sehingga jika tidak mendapat obat dari mereka, racun itu sukar dipunahkan. Dalam kota Lim an, kecuali di Liong bun Piauw kiok, tak ada orang lain yang berasal dari Siauw lim sie. Maka itu aku telah menyatroni untuk memaksa supaya mereka mengeluarkan obat pemunah itu. Tapi di luar dugaan, bukan saja mereka tidak memberikan, tapi juga sudah mempersiapkan kawan-kawannya dan begitu aku tiba, mereka lantas menyerang."

"Tapi nona bukankah tadi kau mengatakan, bahwa kaulah yang sudah sengaja mengatur, sehingga mereka menuduh aku?" kata Cui San.

Nona In kelihatan kemalu-maluan dan sambil menundukkan kepala, ia berkata dengan suara perlahan: "Melihat kau ke toko dan membeli pakaian, aku .... aku merasa pakaian itu bagus sekali. Maka itu, aku juga turut membelinya,"

"Hal itu tidak mengapa." kata Cui San "Tapi dengan membunuh beberapa puluh orang kurasa kau terlalu kejam. Dengan orang-orang Liong bun Piauw kiok kau sebenarnya tidak mempunyai permusuhan suatu apa."

Mendengar teguran itu, paras muka si nona lantas saja berubah. Ia tertawa dingin seraya berkata "Kau ingin memberi pelajaran kepadaku ? Hm! Aku sudah hidup sembilan belas tahun, tapi belum pernah ada yang mengajar aku. Thio Ngo hiap adalah seorang yang sangat mulia dan aku mempersilahkan kau berlalu saja. Manusia kejam tidak perlu berhubungan dengan seorang mulia."

Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah. Ia segera bangun berdiri. Baru saja mau bertindak keluar, tiba-tiba ingat janjinya untuk bantu mengobati luka-luka si nona.

"Gulung tangan bajumu," katanya.

Alis nona In berdiri dan kedua matanya melotot. "Aku tak perlu diobati olehmu!" katanya.

"Lenganmu sudah terluka lama sekali dan jika tidak segera diobati, aku kuatir .... aku kuatir akan keselamatan jiwamu," kata Cui San.

"Memang paling baik jika aku mampus," kata nona In dengan suara ketus "Kalau jiwaku melayang, kaulah yang sudah mencelakakan aku"

Mendengar kata-kata yang tidak beralasan itu, Cui San jadi heran "Eeh!" katanya "Kau telah dilukakan oleh orang Siauw lim sie, mengapa kau menialahkan aku?"
"Kalau aku tidak melakoni perjalanan ribuan lie untuk mengantar Jie Samkomu ke Bu tong san, aku tentu tak akan bertemu dengan enam penjahat itu," kata si nona.
"Sesudah enam bangsat itu merampas Jie Samkomu, kalau aku berpeluk tangan, lenganku tentu takkan terluka. Dan jika kau datang terlebih siang dan memberi bantuan, aku pasti tidak akan sampai terluka."

Cui San lantas saja mengangkat kedua tangan nya dan berkata: "Benar. Aku yang rendah menawarkan bantuan kepada nona, untuk membalas sebagian kecil saja dari budimu yang sangat besar."

Nona In melengos, "Apa kau mengaku bersalah ?" tanyanya.

"Bersalah apa ?" menegas Cui San.

"Kau mengatakan aku kejam, pernyataan itu salah sama sekali," katanya dengan suara mendongkol. "Hweeshio-hweeshio Siauw lim sie, Touw Tay Kim dan kawan kawannya semua pantas dibunuh."

Cui San menggelengkan kepala. "Biarpun lengan nona terkena piauw tapi kau masih dapat ditolong," katanya. "Samsuko terluka berat, tapi ia masih hidup. Andaikan ia tak dapat diobati, paling banyak kita cari biang keladinya. Biar bagaimana pun juga, tidak pantas nona membunuh puluhan orang."

Si nona mendelik dan parasnya berubah gusar. "Kau tetap menialahkan aku ?" bentaknya. "Apakah yang menimpuk lenganku dengan Bweehoa piauw bukan orang Siauw lim sie? Apakah Liong bun Piauw kiok bukan dibuka oleh orang orang Siauw lim sie?"

"Murid-murid Siauw lim sie tersebar di kolong langit, jumlahnya ribuan, malah mungkin laksaan orang," kata Cui San dengan suara sabar.

"Nona hanya diserang dengan tiga batang piauw. Apakah untuk membalas sakit hati itu kau ingin menbunuh semua murid Siauw lim sie?"

Karena kalah bicara, si nona jadi semakin gusar. Mendadak ia mengangkat tangan kanannya dan menghantam tiga piauw yang tertancap di lengan kirinya. Keruan saja ketiga senjata rahasia itu amblas kedalam daging dan luka jadi bertambah hebat.

Cui San terperanjat. Ia tak pernah menduga bahwa si nona mempunyai adat yang seaneh itu. Sedikit saja tak senang, ia lantas mempersakiti dirinya sendiri. Dipandang dari sudut itu, tidaklah heran jika dia bisa membunuh orang secara mem buta tuli.

"Mengapa kau berbuat begitu?" tanyanya dengan mata membelalak. Dengan hati berdebar-debar ia lihat tangan baju si nona yang mulai basah dengan darah hitam. Ia mengerti bahwa luka itu sudah terlalu berat dan Lweekang si nora tidak akan dapat menahan lagi naiknya racun sehingga jika tidak lantas ditolong, jiwanya bisa melayang. Maka itu tanpa mengeluarkan sepatah kata, tangan kirinya menyambar dan menyekal lengan kiri nona In, sedang tangan kanannya merobek tangan baju orang

Mendadak, Cui San dengar bentakan dibelakangnya: "Bangsat! Jangan kurang ajar kau!" Hampir berbareng, sebilah golok menyambar ke punggungnya. Ia tahu, bahwa yang menyerang adalah si tukang perahu. Dalam keadaan genting, tanpa menengoknya ia menendang dan orang itu terpental keluar dari gubuk perahu.

"Tak usah kau tolong, aku lebih baik mati!" teriak sinona. "Plok", muka pemuda itu digaplok keras-keras.

Rasa kaget dan sakit tercampur jadi satu. Tanpa merasa, Cui San melepaskan cekelannya.

"Pergi kau! Aku tak sudi lihat lagi mukamu," kata nona In.

Cui San malu dan gusar. "Baiklah," katanya. "Hmm! Betul-betul aku belum pernah lihat wanita yang begitu tak mengenal aturan." Sehabis mengomel, dengan tindakan lebar ia berjalan keluar.

Nona In tertawa dingin dan berkata: "Kau belum pernah lihat? Hari ini kau boleh lihat!" Cui San mengambil sepotong papan untuk digunakan sebagat papan loncatan untuk mendarat. Tapi baru saja ia mau melemparkan papan itu keair, hatinya merasa tidak tega karena ia yakin, bahwa perginya berarti binasanya nona kepala batu itu. Maka itu sambil menahan amarah, ia kembali kegubuk perahu. "Biar pun kau menggaplokku, aku tak jadi marah," katanya. "Gulung tangan bajumu. Apa kau mau mati ?"

"Aku mau mampus atau mau hidup, ada sangkut paut apa denganmu ?" tanya nona In dengan suara aseran. "Dengan melalui perjalanan ribuan kau sudah mengantar Samko," kata Cui San. "Budi yang sangat besar itu tak bisa tidak dibalas."

Sinona tertawa dingin, "Bagus! Aku baru tahu, bahwa tujuanmu hanya untuk membayar hutang," katanya. "Kalau aku tidak mengantar Samko-mu, biarpun aku terluka lebih berat lagi, biarpun kau lihat aku sudah hampir menghembuskan napas penghabisan, kau tentu tak sudi menolong."

Mendengar perkataan itu, Cui Sin ternganga. "Ah!..... itu sih belum tentu ....." katanya tergugu. Tiba-tiba ia lihat sinona menggigil, sebagai tanda, bahwa racun sudah mulai naik ke atas "Kau sungguh gila!" katanya dengan suara berkuatir. "Janganlah kau main-main lagi dengan jiwamu sendiri."

Nona In menggigit gigi. "Kalau kau tidak mengaku bersalah. biar bagaimanapun juga, aku tak sudi ditolong olehmu," katanya. Kulit mukanya yang putih sekarang berubah pucat dan tubuhnya agak bergemetaran, sehingga pemuda itu jadi lebih tak tega lagi. Ia menghela napas seraya berkata: "Baiklah. Hitung-hitung aku yang salah dan kau tidak bersalah."

"Tak bisa!" kata sinona. "Kalau salah, ya salah. Mengapa kau menggunakan perkataan hitung-hitung? Mengapa sesudah menghela napas, baru kau mengaku salah? Hm! Pengakuanmu tidak keluar dari hati yang jujur."

Sebab perlu menolong jiwa, Cui San sungkan bertengkar lagi. "Kaizar Langit di atas, Malaikat Sungai dibawah, dengan hati yang setulus-tulusnya aku ingin menyatakan kepada nona In ....In ....." Ia tak dapat meneruskan perkataannya sebab belum tahu nama si nona.

"In So So," menyambungi nona itu.

"Hmm! .... kepada nona In So So, bahwa dalam segala hal, akulah yang bersalah, atau tegasnya, aku mengaku bersalah."

In So So bunga hatinya, ia tertawa dengan paras berseri seri. Tapi hampir berbareng, kedua lututnya lemas dan ia jatuh duduk dikursi. Buru-buru Cui San mengeluarkan sebutir Pek co Hui sim tan, yaitu pel untuk melindungi jantung dari segala rupa serangan racun, yang lalu diberikan kepada So So. Sesudah ia menggulung tangan baju si nona dan mendapat kenyataan, bahwa separuh lengan itu sudah berwarna hitam ungu dan hawa racun terus naik keatas dengan cepatnya.

Sambil mencekel bahu si nona dengang tangan kirinya, la menanya: "Apa yang dirasakan oleh mu ?"

"Dadaku menyesak," jawabnya. "Mengapa kau tidak cepat-cepat mengaku salah? Kalau aku mati, kaulah yang berdosa."

Tentu saja Cui San tidak meladeni perkataan seperti anak kecil itu. "Tak apa-apa, legakanlah hatimu." katanya dengan suara lemah lebut. "Longgarkan semua otot-ototmu, jangan menggunakan tenaga sedikitpun, berbuatlah seperti kau sedang tidur pulas."

"Aku merasa seperti juga sudah mati," kata si nona.

"Hmm! Sesudah terluka begitu, dia masih begitu gila-gilaan," kata Cui San dalam hatinya. "Celaka sungguh orang yang jadi suaminya." Memikir begitu, jantungnya memukul keras, karena kuatir si nona dapat menebak apa yang dipikirnya. Ia melirik muka si nona yang kelihatan bersemu dadu, seperti orang kemalu-maluan. Tiba tiba kedua mata kebentrok dan mereka saling melengos. "Thio Ngo ko," tiba tiba So So berkata dengan suara perlahan. "Aku bicara sembarangan saja. Kuharap kau tidak gusar" Mendengar perubahan panggilan dari Thio Ngo hiap jadi Thio Ngo ko, hati Cui San berdebar-debar semakin keras. Tapi lain saat, ia segera menjernihkan pikiran dan mengempos semangat untuk mengarahkan Lweekang. Perlahan-lahan semacam hawa hangat naik dari perutnya keatas dan lalu berkumpul dikedua lengan tangannya.

Selang beberapa saat, dari kepala pemuda itu keluar uap putih, sedang keringatnya turun berketel-ketel, sebagai tanda, bawwa ia tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Bukan main rasa terima kasihnya So So, ia mengerti, pada saat Cui San tak boleh diganggu maka ia pun segera meramkan kedua matanya dan tidak berani mengeluarkan sepatah kata.

Mendadak terdengar suara "plok". Sebatang piauw melompat keluar kira-kira setombak jauhnya dan menghantam dinding gubuk perahu, disusul dengan mancurnya darah hitam dari lubang luka. Lengan yang hitam itu perlahan-lahan berubah merah, Sesaat kemudian, piauw kedua melompat keluar.

Selagi Cui San mengempos semangat untuk mengeluarkan piauw yang terakhir sekonyong konyong terdengar seruan orang: "Hei! Apa In Kouw nio ada disitu?"

Cui San heran, tapi karena sedang mengerahkan tenaga, ia tidak menggubris.

"Siang Tay cu lekas kemari!" demikian terdengar teriakan si tukang perahu. "Ada orang jahat mau menganiaya In Kouwnio."

"Bangsat! Jangan kurang ajar!" demikian terdengar teriakan menggeledek dari sebuah perahu yang sedang mendatangi dengan cepatnya.

In So So membuka matanya dan bersenyum, dengan paras seperti orang ingin meminta maaf untuk salah mengerti itu.

Piauw yang ketiga ternyata masuk dalam sekali didaging si nona, sehingga sesudah tigakali menggunakan seantero tenaga dalamnya, senjata rahasia itu belum juga bisa didesak keluar.

Sementara itu sesudah terdengar suara penggayu memukul air sebuah perahu sudah datang dekat sekali. Sesaat kemudian, perahu si nona bergoyang sedikit, karena hinggapnya kaki manusia dipapan perahu. Tanpa menengok, Cui San terus mengempos semangat.

Dengan tindakan lebar, orang itu masuk ke dalam gubuk perahu. Melihat kedua tangan Thio Ngo hiap mencekal lengan kiri si nona, ia tentu saja tidak menduga, bahwa pemuda itu tengah mengobati luka In So So. Dengan kegusaran meluap, ia mengangkat tangannya dan menghantam punggung Cui San, "Bangsat! Lepaskan !" bentaknya.

Cui San tidak menangkis. Sambil menarik nafas, ia pasang punggungnya. "Bak!", pukulan itu kena tepat pada sasarannya.

Sebagai salah seorang murid terutama dari Bu tong pay, Lweekang Thio Cui San sudah mencapai tingkat tertinggi dan ia memiliki juga kepandaian luar biasa.

Demikianlah, tanpa bergerak, dengan ilmu "meminjam tenaga memindahkan tenaga", ia memindahkan tenaga pukulan itu ketelapak tangannya sendiri. "Plok !", Bwee hoa piauw yang ketiga melompat keluar dari lengan In So So dan menancap di papan gubuk perahu!

Sesaat itu, orang yang nenyerang sudah mengirim pukulan kedua. Ia terkesiap melihat akibat pukulannya yang pertama, sehingga tangannya yang tengah menyambar berhenti ditengah udara. "In Kouwnio! .. kau ... apa kau terluka?" teriaknya.

Si nona tidak menyahut.

Sebagai seorang jago yang berpengalaman, begitu melihat darah hitam yang mancur dari lengan si nona, orang itu sudah mengerti, bahwa ia telah berbuat suatu kehilafan. Ia merasa sangat menyesal dan menduga Thio Cui San telah mendapat luka berat karena pukulannya itu hebat luar biasa. Buru-buru ia merogo saku dan mengeluarkan obat untuk diberikan kepada pemuda itu.

Cui San menggelengkan kepala dan setelah melihat darah hitam sudah berubah merah, perlahan-lahan ia melepaskan lengan si nona. Ia menengok dan berkata sambil tertawa: "Tenaga pukulanmu sungguh tidak kecil."

Orang itu kaget bukan main. Dengan pukulan serupa itu, entah sudah berapa banyak jago-jago binasa dalam tangannya Sungguh heran, pemuda itu seperti juga tidak merasakan apapun jua. Ia mengawasi dengan mulut ternganga dan berkata dengan suara terputus-putus "Kau...kau..." Ia mengangsurkan tiga jari yang lalu ditempelkan kepada Cui San.

"Biar aku main-main sedikit dengannya," pikir pemuda itu. yang segera mengerahkan Lweekang dan jantungnya lantas saja berhenti berdenyut serupa kepandaian yang hanya dimiliki oleh seorang yang Lweekangnya sudah mencapai puncak tertinggi.

Begitu menyentuh nadi Cui San, paras maka orang itu berobah pucat karena nadi itu tidak mengetuk lagi. Dalam kagetnya, ia meraba dada pemuda itu dan hatinya mencelos, sehingga ia melompat kebelakang sambil mengeluarkan seruan tertahan.

"In Kouwnio, apakah tuan ini sahabatmu ?" tanya Cui San sambil tersenyum. "Mengapa kau tidak memperkenalkannya kepadaku ?" Sambil berkata begitu, ia menyambuti saputangan yang di sodorkan oleh In So So dan lalu membalut luka di lengan nona itu.

Mendengar suara Cui San yang tidak berubah sedikitpun jua, keheranan orang itu tak mungkin dilukiskan lagi.
"Siang Tan cu, kau tak boleh kurang ajar!" membentak si nona. "Inilah Thio Ngo hiap dari Bu tong pay."

Orang itu buru-buru memberi hormat dan berkata dengan suara kagum "Aha. Kalau begitu Thio Ngo hiap dari Bu tong Cit hiap! Tak heran jika Lweekangnya sedemikian tinggi. Aku yang rendah Siang Kim Peng dan aku memohon maaf untuk kekurang ajaranku."

Cui San mengawasi orang itu yang berusia kurang lebih limapuluh tahun. Mukanya bopeng dengan otot-otot yang menonjol keluar dari telapak tangannya lebar seperti kipas sehingga selintas saja mengetahui, bahwa orang she Siang itu adalah seorang ahli silat Gwa kee. Ia mengerti bahwa jika lweekangnya belum sempurna betul, pukulan yang tadi sudah pasti akan mengambil jiwanya sendiri.

Sesudah memberi hormat kepada pemuda itu. Siang Kim Peng lalu menjalankan peradatan di hadapan In So So yang menerimanya dengan sikap acuh tak acuh.

Cui San jadi sangat beran. Dari pukulan Siang Kim Peng, ia tahu bahwa orang itu bukan sembarang orang. Tapi mengapa In So So berani bersikap begitu kurang ajar terhadapnya dan dia juga kelihatannya menerima baik sikap dari si nona.

Di lain saat, Siang Kim Peng berkata dengan suara perlahan: "Hian bu tan Pek Tan cu telah menjanjikan orang-orang Hay see pay, Kie keng pang dan Hok kian Sin kun bun untuk mengadakan pertemuan besok pagi di pulau Ong poan san dimulut sangai Can tong kang, guna mengangkat senjata dan menetapkan keangkeran. Jika, kesehatan nona agak terganggu, biarlah Siauw jin lebih dulu mengantarkan nona pulang ke Lim an. Menurut pendapatku, Pek Tan cu sudah lebih dari pada cukup untuk membereskan segala urusan di Ong poan san."

So So mengeluarkan suara di hidung. "Hay-see-pay, Kie keng -pang, Sin kun bun .... Hmmm .... Apakah Ciang bun Jin Hoa kun bun Kwee Sam Kun, turut datang juga?" tanyanya.

"Ya. Kudengar ia akan datang sendiri dengan mengajak dua belas muridnya yang terutama," jawabnya.

Si nona tertawa dingin. "Meskipun nama Kwee San Kun sangat cemerlang, tapi dia bukan tandingan Pek Tan cu," katanya. "Siapa lagi yang bakal turut serta?"

Sesudah berdiam sejenak, barulah Siang Kim Peng menjawab: "Menurut warta, dua orang Kiamkek (ahli silat pedang) muda dari Kun lun pay juga akan menghadiri pertemuan itu, untuk .. melihat To .. . To ... To ...." Ia melirik Thio Cui San dan tidak meneruskan perkataannya.

"Mereka mengatakan mau lihat-lihat To liong to?" tanya So so. "Hm .... mungkin .. sesudah melihat dalam hati mereka timbul rasa serakah ....."

Mendengar perkataan "To liong to", Cui San terkejut, tapi sebelum ia keburu membuka mulut untuk menanyakan terlebih jauh, sinona sudah berkata pula: "Hmmm......selama beberapa tahun ini, dalam Rimba Persilatan, gelombang Tiangkang yang disebelah belakang mendorong gelombang yang disebelah depan. Orang-orang Kun lun pay tak dapat dipandang enteng. Luka di lenganku tidak berarti. Begini saja. Aku akan turut pergi kesitu untuk menonton keramaian. Mungkin sekali aku akan perlu memberi bantuan kepada Pek Tancu." Ia berpaling kepada Thio Cui San dan menyambung perkataannya: "Thio Ngohiap, disini saja kita berpisahan. Aku menumpang di perahu Siang Tan cu dan kau sendiri boleh menggunakan perahuku untuk kembali ke Lim an. Bu tong-pay jangan kerembet dalam urusan ini."

"Terlukanya Samko agaknya bersangkut paut dengan To liong to," kata Cui San. "Apakah nona dapat memberi keterangan lebih jelas mengenai hal itu?"

"Seluk beluk kejadian itu tidak diketahui jelas olehku." Jawabnya. "Kau harus tanya Samkomu sendiri."

Cui San mengerti, So So sungkan memberi keterangan dan iapun tak mau mendesak lagi.

"Orang yang melukakan Samko sangat ingin memiliki To liong to," katanya di dalam hati.

"Menurut Siang Tan cu, pertemuan di Ong poan san adalah untuk mengangkat senjata dan menetapkan keangkeran. Apakah bisa jadi To Liong to berada dalam tangan mereka? Jika benar begitu, orang-orang yang mencelakakan Samko tentu juga turut datang kepulau itu"
Memikir begitu, ia lantas saja menanya: "Apakah Tosu yang menyerang kau dengan Bweehoa piauw akan turut datang di pulau itu?"

So So tertawa sebaliknya dari menjawab pertanyaan orang, ia balas menanya: "Kaupun ingin menonton keramaian, bukan? Baiklah! Kita pergi bersama-sama." Ia menengok kepada Siang Kim Peng dan berkata pula "Siang Pangcu, perahumu jalan duluan."

"Baik," jawabnya sambil membungkuk dan lalu berjalan pergi, seperti caranya seorang pegawai terhadap majikannya. Sinona hanya mengangguk sedikit, tapi Cui San, yang menghargai ilmu silatnya orang itu, sudah mengantarkarnya sampai dipintu gubuk perahu.

Sesudah itu, So So menggapai jurumudi seraya membentak: "Kemari kau!" paras muka si tukang perahu lantas saja berubah pucat dan tubuhnya menggigil. Ia mengerti, bahwa tadi ia sudah berbuat kesalahan dengan teriak-teriakannya dan sekarang ia akan mendapat hukuman. Dengan bibir bergemetaran, ia berkata: "Siauw .... siauwjin tidak sengaja ....... Mohon ..... mohon Kouw nio sudi mengampuni .. ."

Sinona tidak menjawab, sehingga dia jadi lebih ketakutan dan dengan sorot mata memohon pertolongan, ia mengawasi Cui San, yang merasa sangat tidak mengerti akan sikapnya itu. Bahwa jurumudi tersebut sudah berteriak-teriak meminta pertolongan Siang Kim Peng, adalah karena salah mengerti, karena ia menduga Cui San mau mencelakakan So So. Tapi, teriakannya itu adalah sebab kesetiaannya terhadap sinona. Mengapa ia sudah begitu ketakutan?

Dilain saat, sinona berkata dengan suara kaku: "Matamu tak ada bijinya, kupingmu tuli. Perlu apa kau mempunyai mata dan kuping?"

Mendengar comelan itu, paras muka sijurumudi lantas berubah girang, sebab ia tahu si nona sudah mengampuni Jiwanya. Baru-baru ia menekuk lutut seraya berkata: "Banyak terima kasih untuk kemurahan hati nona!" Hampir berbareng, ia meraba pinggannya dan menghunus sebilah pisau yang lalu digunakan untuk memotong kedua kupingnya. Sesudah itu, ia mengangkat pisau itu tinggi tinggi ditujukan kearah matanya!

Bukan main kagetnya Cui San. Bagaikan kilat tangannya menyambar dan dua jarinya menjepit pisau itu yang sedang meluncur turun ke mata si jurumudi. "In Kauwnio," katanya. "Dengan memberanikan hati, aku memohon belas kasihanmu,"

So So mengawasi kearah pemuda itu dan kemu dian berkata dengan suara perlahan: "Baiklah." Ia menengok pada si tukang perahu dan menyambung perkataannya: "Lekas haturkan terimakasih pada Thio Ngohiap !"

Dengan tersipu-sipu, ia segera menekuk lutut dan manggut manggutkan kepalanya berulang ulang kali di hadapan Cui San dan kemudian berlutut lagi di hadapan So So. Sesudah itu, ia mundur ke belakang dan dengan suara nyaring memerintahkan ke anak buah perahu menaikkan layar.

Sementara itu, Cui San berdiri membelakang So So dan mengawasi air yang luas tanpa mengeluarkan sepatah kata. Di dalam hati, ia merasa heran, bagaimana seorang wanita yang berparas begitu cantik mempunyai tangan begitu kejam.

So So melirik pemuda itu dan melihat pakaiannya yang pecah dibagian punggung karena pukulan Siang Kim Peng, ia segera berkata: "Buka pakaianmu. Aku mau tambal."

"Tak usah!" kata Cui San.

"Kau kira aku tidak bisa menjahit?" tanya Si nona.

"Bukan begitu," kata pula pemuda itu dengan suara pendek dan matanya tetap memandang ke tempat jauh. Di dalam hati, ingat kebinasaan yarg sangat menyedihkan dari orang orarg Liong bun Piauw kiok. Tapi, sebaliknya dari pada membunuh manusia yang begitu kejam, ia malahan sudah menolongnya dengan mengeluarkan piauw beracun. Biarpun pertolongan itu adalah untuk membalas budi orang yang sudah membantu Suhengnya, akan tetapi, sepak terjangnya tetap tidak dapat dibenarkan dan ia merasa bahwa dalam tindakannya itu, ia tidak bisa membedakan yang jahat dan yang baik.
Diam diam ia mengambil keputusan, bahwa begitu lekas pertemuan di pulau Ong poan san sudah selesai, ia akan berpisahan dengan nona itu untuk selama-lamanya.

Melihat paras muka Cui San yang suram, So So lantas saja dapat menebak apa yang dipikirnya. Ia tertawa dingin dan berkata: "Bukan saja Touw Tay Kim, Ciok dan Su Piauw tauw, bukan saja semua orang dari Liong bun Piauw kiok dan dua pendeta Siauwlim itu, tapi Hui hong pun dibunuh olehku,"

"Aku memang sudah mencurigai kau, hanya aku tidak tahu cara bagaimana kau membunuhnya?" kata Cui San.

"Tak usah heran" kata sinora. "Waktu itu aku merendam di dalam air dan mendengari pembicaraan kamu. Sesudah didesak olehmu, tiba-tiba Hui hong merasa, bahwa muka kita memang berbeda, tapi sebelum ia keburu mengaku, aku mendahului melepaskan sebatang jarum kedalam mulutnya. Kau coba mencari aku digombolan pohon dan rumput-rumput tinggi, tapi aku sendiri enak-enak merendam di air"

"Sebagai akibat dari perbuatanmu itu, pihak Siauw lim menuduh aku," kata Cui San dengan mendongkol. "In Kouwnio, kau sungguh pintar dan tanganmu benar?benar lihay."

So So berlaga pilon. Ia bangun berdiri dan berkata sambil membungkuk : "Terima kasih Thio Ngohiap memuji aku terlalu tinggi."

Cui San jadi semakin gusar. "In Kouwnio!" bentaknya. "Aku seorang she Thio belum pernah berbuat kesalahan apapun jua terhadapmu. Tapi mengapa kau sudah begitu tega mencelakakan aku ?"

So So bersenyum. "Aku bukan ingin mencelakakan kau," katanya dengan suara tenang "Mengapa aku sudah berbuat begitu ? Siauwlim dan Bu tong adalah dua partai persilatan yang sangat besar dan ternama. Aku hanya ingin mereka bertempur nntuk menyaksikan siapa sebenarnya yang lebih kuat."

Mendengar pengakuan sinona, Cui San terkejut. Sedikitpun ia tak nyana wanita cantik itu mempunyai tujuan yang begitu hebat "Kalau Siauw Lim dan Bu tong sampai bertempur entah berapa banyak korban yang akan rubuh dan kejadian itu bakal merupakan suatu peristiwa hebat dalam Rimba Persilatan," pikirnya.

Paras sinona sendiri tetap berseri-seri dan sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, ia berkata: "Thio Ngohiap, bolehkah kulihat tulisan dan lukisan dikipasmu?"

Sebelum Cui San keburu menjawab, di perahu Siang Kim Peng se konyong konyong terdengar suara teriakan: "Apa perahu Kie keng pang? Siapa yang berada di perahu?"

"Siauw pangcu dari Kie keng pang ingin menghadiri pertemuan di pulau Ong poan san."

"In Kouw nio dan Cu ciak tan Siang Tan cu berada disini" teriak seorang dari perahu Siang Kim peng. "Kalian diharap mengikuti saja dari belakang."

"Jika Peh bie kauw In Kauw cu sendiri yang berada disitu, kami bersedia untuk mengalah," jawab seorang dengan suara keras. "Kalau orang lain, maaf saja."

Mandeagar perkataan "Peh bie kauw In Kauw cu," Cui San kaget, karena ia belum pernah mendengar nama agama (kauw) itu, baik dari gurunya, maupun dari luaran. Ia melongok keluar jendela dan dilihatnya disebelah kanan terdapat sebuah perahu yang bentuknya menyerupai seekor ikan paus. Di kepala perahu terlihat sinar putih yang ber kilau kilauan karena dipasangnya puluhan pisau sebagai gigi ikan, sedang badan perahu yang melengkung dan buntutnya yang mengacung keatas berbentuk seperti buntut ikan paus. Layar perahu sangat lebar dan jalannya perahu itu lebih cerat daripada perahu Siang Kim Peng.

Kie keng pang (partai Ikan Paus Raksasa) adalah sebuah perkumpulan bajak laut yang berkeliaran disepanjang pantai propinsi, Kangsouw, Ciatkang dan Hokkian. Mereka membajak, membunuh dan melakukan lain-lain perbuatan terkutuk, tapi sebegitu jauh, karena licinnya, mereka belum dapat ditumpas oleh angkatan laut negeri dan selama puluhan tahun mereka malang melintang diperairan lautan Tong hay.

Siang Kim Peng segera maju dan berdiri di kepala perahu. "Bek Siauw pangcu," teriaknya.

"In Kouwnio berada disini. Apakah kau sungkan memberi sedikit muka kepada kami ?"

Dari gubuk perahu Kie keng pang muncul seorang pemuda yang mengenakan pakaian warna kuning. Ia tertawa dingin seraya berkata: "Di daratan, Peh bie kauw boleh menjagoi, di air Kie keng pang yang memegang kekuasaan. Mengapa kami mesti mengalah dan membuntuti kamu dari belakang ?"

Medengar pembicaraan mereka, Cui San juga merasa, bahwa cara-cara Peh bie kauw terlalu sombong.

Sementara itu, anak buah Kie keng pang sudah menaikkan lagi sebuah layar, sehingga jalannya perahu jadi semakin laju, dengan begitu jadi sukar dapat diubar lagi.

Siang Kim Pang mengeluarkan suara dihidung.

"Kie kong pang ...... hm ..... To Liong to ..... juga ..... To liong to ......" demikian terdengar perkataannya. Karena suara angin yang menderu deru dan jarak antara kedua perahu sudah agak jauh, maka Bek Siauw pangcu hanya dapat menangkap perkataan "To liong to." Ia kelihatan kaget dan buru-buru memerintahkan anak buahnya memperlambat jalan perahu. Beberapa saat kemudian, perahu Siang Kim Peng sudah mendekati.

"Siang Tan cu, apa kau kata ?" tanya pemuda itu.

"Bek Siauw pangcu . . . Hian buntan Pek Tan cu kami ...... golok To liong to itu...." jawab Siang Kim Peng.

Cui San merasa heran karena terputus-putusnya jawaban Siang Kim Peng.

Sementara itu, kedua perahu sudah jadi semakin makin dekat. Tiba-tiba terdengar suara gedubrakan disusul dengan teriakan orang. Ternyata diluar dugaan semua orang, dengan mendadak Siang Kim Peng mengangkat jangkar dan melontarkannya keperahu Kie keng pang.

Suara rantai dan mencangkolnya jangkar di perahu Kie keng pang dibarengi dengan jeritan kesakitan dan ada orang anak buah perahu.

"Hai! Apa kau gila?" bentak Bek Siauw pangcu.

Anak buah Siang Kim Peng buru-buru mengangkat sebuah jangkar lain yang lalu dilemparkan lagi keparahu Kie keng pang dan dua buab jangkar itu telah mengambil jiwanya tiga orang anak buah. Dilain saat, kedua perahu hampir berdampatan. Bek Siauw pangcu melompat kepinggir perahu dan coba mengangkat salah sebuah jangkar. Tapi sebelum ia berhasil, Siang Kim Peng sudah mengayun tangan kanannya dan serupa benda warna biru yang menyerupai buah semangka
menghantam tiang layar tengah. Benda itu, yang terbuat daripada baja, adalah salah sebuah dari sepasang sanjata Siang Kim Peng yang berantai emas dan digunakan sebagai bandringan. "Semangka" itu adalah senjata berat yang dipegang ditangan kiri sembilanpuluh lima kati beratnya. sedang yang ditangan kanan seratus lima kati. Dari situ dapatlah dibayangkan, betapa hebat tenaga orang she Siang. Jika tak mempunyal tenaga ribuan kati, ia pasti tidak akan dapat menggunakan senjata seberat itu.

Begitu dihatam dengan "semangka" kanan, tiang layar itu bergoyangagoyang. "Semangka" kiri menyusul dan disusul pula dengan "Semangka" kanan. "Krek....krek....krek.... brak!" Tiang yang kasar itu tak tahan dan patah. Keadaan jadi terlebih kalut dengan anak buah Kie keng pang ber teriak-teriak, sambil menghunus senjata.

Tanpa mempedulikan segala kekacauan itu Siang Kim Peng melompat kebelakang parahu itu dan menghantam tiang layar belakang. Tiang itu banyak lebih kecil dan sekali dihajar, lantas saja ambruk.

Pek Siauw pangcu sebenarnya mempunyai kepandaian tinggi. Senjatanya dinamakan Hunsun Go bie cek, sepasang pusut yang panjangnya kirakira satu kaki dan sangat cocok untuk digunakan dalam pertempuran di dalam air. Tapi dalam kaget dan bingungnya, sebelum ia keburu berbuat suatu apa, Siang Kim Peng yang bergerak luar biasa cepat, sudah mematahkan dua tiang layarnya.

"Dengan adanya Peh bie kauw, diatas airpun Kie keng pang tak mempunyai kekuasaan," teriak orang she Siang itu sambil melontarkan sebuah "semangka" kelambung perahu musuh yang lantas saja ber lubang besar dan air mengalir masuk. Anak buah Kie keng pang jadi semakin bingung.

Dengan mata merah Bek Siauw pangcu mencabut pusutnya dan dengan sekali menotol kaki di depan perahu, badannya melesat keperahu musuh.

Selagi tubuh pemuda itu berada ditengah udara tiba-tiba Siang Kim Peng melontarkan senjatanya kemuka pemuda itu. Serangan itu yang dikirim secara mendadak dan kejam mengejutkan sangat sekali. Hati Bek Siauwpangcu. "Celaka" teriaknya sambil menotok "semangka" itu dengan kedua pusutnya dalam usaha melompat balik dengan meminjam tenaga tersebut. Jika ilmu mengentengkan badannya bersamaan dengan ilmu Thio Cui San, bukan saja ia akan dapat mengelakkan serangan itu, tapi ia juga bisa balas menyerang. Tapi dalam segala hal, dia masih kalah jauh dari jago Bu tong pay itu.
"Semangka" yang beratnya seratus kati, ditambah dengan tenaga Siang Kim Peng sendiri, terlalu hebat untuk dilawannya. Tiba-tiba ia merasa dadanya menyesak, matanya berkunang-kunaug dan tanpa ampun ia rubuh terguling diatas perahunya.

Begitu lawannya rubuh, Siang Kim Peng segera menghantam pula dengan kedua "semangka" dan badan perahu Kie keng pang lantas saja berlubang dibeberapa tempat. Sesudah itu, sambil mengerahkan Lweekang, ia menarik pulang kedua jangkar yang mencantol di perahu musuh. Tanpa diperintah lagi oleh Tan Cu mereka anak buah perahu Peh bie kauw lantas saja menaikkan layar dan perahu itu perlahan-lahan mulai bergerak, tapi sebentar kemudian melaju kedepan dengan amat cepatnya.

Melihat cara Siang Kim Peng merubuhkan musuh, jantung Thio Cui San bardebar keras, "Jika tak mempunyai kepandaian meminjam tenaga memindahkan tenaga, tadi aku tentu sudah binasa dalam tangannya. " pikirnya. Ia melirik In So So yang bersikap tenang-tenang saja, seolah-oah tidak terjadi kejadian luar biasa.

Tiba-tiba disebelah kejauhan terdengar suara guruh. itulah tanda, bahwa air pasang sedang mendatangi. Walaupun anak buah Kie keng pang pandai berenang, mereka tak nanti dapat melawan gelombang pasang yang seperti gunung. Bahaya yang dihadapi mereka lebih besar lagi, karena pada waktu itu, mereka berada dimuara tempat ber temunya sungai dan lautan, sehingga lebarnya permukaan sungai sampai puluhan li. Maka itulah, begitu mendengar guruh, anak-anak Kie keng pang ketakutan setengah mati dan berteriak-teriak minta pertolongan, tapi perahu Siang Kim Peng dan In So So tidak meladeni dan terus berlayar kejurusan timur

Cui San melongok keluar jendela dan melihat Perahu ikan paus itu sudah tenggelam separuh. Mendengar teriakan-teriakan anak buah perahu ia sebenarnya merasa sangat tidak tega tapi karena mengetahui bahwa Siang Kim Peng dan In So So adalah manusia-manusia kejam, ia merasa tak guna membuka mulut.

Melihat paras pemuda itu, si nona bersenyum. Mendadak ia berseru "Siang Tan cu, hati Thio Ngohiap sangat mulia. Tolonglah anak buah perahu kie keng pang !"

Cui San terkejut, sebab hal itu benar-benar diluar dugaannya.

"Baik !" teriak Siang Kim Peng. Dilain saat perahunya membelok dan menuju ke perahu Kie keng pang. "Anggauta- anggauta Kie keng pang dengarlah!" teriak Siang Kim Peng," Atas permintaan Thio Ngohiap dari Bu tong pay, kami bersedia untuk menolong jiwamu. Siapa yang mau hidup, berenanglah kemari!"

Anak buah Kie keng pang jadi girang dan berburu berenang kearah perahu Siang Kim Peng yang memapaki mereka. Dalam tempo tidak berapa lama, hampir semua orang, terhitung juga Bek Siauw pangcu, sudah dapat ditolong. Tapi biarpun begitu, ada enam tujuh orang yang mati dipukul ombak.

"Terima kasih untuk pertolongananmu!" kata Cui San.

Sinona mengeluarkan suara dihidung dan berkata dengan suara tawar: "Orang-orang itu adalah Bajak-bajak yang biasa merampok dan membunuh, perlu apa kau menolong mereka ?"

Cui San tergugu, tak dapat ia menjawab pertanyaan si nona. Ia memang sudah dengar, bahwa Kie keng pang adalah salah satu dari empat "pang" yang jahat dan ia pun tak pernah menduga, bahwa hari ini ia berbalik menolong kawanan bajak yang kejam itu.

"Kalau mereka tidak ditolong di dalam hati Thio Ngohiap pasti akan mencaci maki aku," kata pula si nona. "Kau tentu akan mencaci aku sebagal perempuan kejam yang tidak pantas ditolong."

Perkataan itu mengenakan jitu dihati Cui San, sehingga paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah: "Kau memang pandai bicara dan aku tidak dapat menandingi," katanya sambil tertawa. "Dengan menolong orang-orang itu, kau telah melakukan perbuatan baik dan kau sendirilah mendapat pembalasan baik. Dengan aku sedikitpun tiada sangkut pautnya."

Baru saja ia berkata begitu, tibalah gelombang pasang. Perahu In So So seperti juga dilontarkan keatas dan mereka tak dapat bicara lagi. Cui San melongok keluar jendela dan melihat gelombang gelombang besar dalam bentuk seperti tembok tembok tinggi mendatangi dengan saling susul. Ia bergidik karena mengingat, bahwa jika tidak ditolong semua anak buah perahu Kie keng pang pasti binasa di dalam air.

Mendadak si nona bangun berdiri, masuk kegubuk perahu yang disebelah bekakang dan lalu menutup pintu. Beberapa saat kemudian, ia keluar lagi dengan mengenakan pakaian wanita dan memberi isyarat dengan gerakan tangannya, supaya Cui San membuka jubah luarnya. Karena merasa kurang enak untuk menolong lagi, ia lalu membuka jubahnya. Ia menduga si nona ingin menambal bagian yang berlubang dari jubah itu. Tapi tak dinyana, So So lalu mengangsurkan jubahnya sendiri yang tadi dipakai olehnya, sedang jubah Cui San lalu dibawanya kegubuk belakang.

Mau tak mau, Cui San terpaksa memakai juga. Karena jubah luar biasanya dibuat dalam ukuran besar, maka meskipun tubuh pemuda itu lebih besar daripada badan si nona, ia masih dapat menggunakannya. Dilain saat, jantungnya memukul keras, sebab hidungnya mengendus bebauan yang sedap dan wangi. Ia merasa jengah dan tidak berani memandang lagi si nona. Karenanya matanya ditujukan kepada lukisan-lukisan yang dipasang didinding gubuk, tapi hatinya tetap berdebar-debar. In So So pun tidak mengajak bicara lagi dan duduk diam sambil mendengar suara gelombang. Datam gubuk ini dipasang sebatang lilin. Mendadak sebagai akibat hantaman gelombang, perahu miring dan lilin padam. "Celaka!" Cui San mengeluh dalam hatinya.

"Biarpun aku sopan, tapi dengan berdiam berdua-dua di tempat gelap, nama baik In Kauwnio bisa ternoda." Buru-buru ia bangun berdiri dan membuka pintu belakang, akan kemudian pergi ketempat jurumudi yang dengan tenang mengemudikan parahu itu kealiran bawah.

Kurang lebih satu jam kemudian air pasang mulai surut dan air keluar lagi kelautan, sehingga dengan menurut aliran air, perahu itu laju semakin cepat. Pada waktu fajar menyingsing pulau Ong poan san sudah berada didepan mata.

Pulau itu, yang terletak dimulut sungai Ciantong kang, dalam perairan lautan Tonghay adalah sebuah pulau kecil yang tandus dan tiada penduduknya. Waktu kedua perahu itu berada dalam jarak beberapa kali, dari atas pulau tiba-tiba terdengar suara terompet dan dua orang kelihatan menggoyang-goyangkan dua bendera hitam. Waktu perahu datang lebih dekat, Cui San mendapat kenyataan bahwa bendera hitam itu berpinggir putih dengan sulaman kura-kura terbang.

Dibawah kedua bendera itu berduduk seorang tua, begitu lekas perahu menepi, lantas saja berseru : "Hian bun tan Pek Kwie Sioe menyambut In Kauw nio dengan segala kehormatan." Suaranya keras, tapi kedengarannya sangat menusuk kuping. Sehabis berseru begitu si kakek sendiri memasang papan untuk pendaratan. In So So mempersilahkan Cui San jalan lebih dulu dan sesudah mereka mendarat, ia segera memperkenalkan, pemuda itu kepada Pek Kwie Sioe.

( Bersambung jilid 8 )


B O E K I E
Karya: CHING YUNG

Jilid 8

Mendengar pemuda itu adalah salah seorang dari Bu tong Cit hiap, Pek Kwie Sioe terkejut. "Sudah lama aku mendengar nama besar dari Bu tong Cit hiap," "katanya. "Aku merasa sangat beruntung, bahwa dihari ini aku dapat bertemu muka dengan Thio Ngohiap."

Thio Cui San segera menjawab dengan perkataan-perkataan merendahkan diri.

"Hai! Kalian berdua pandai sekali bicara manis-manis," kata In So So. "Di hati lain, dimulut lain. Di dalam hati, yang satu berkata: "Celaka. Orang Bu tong pay turut datang kesini dan tambah lagi satu lawan lihay yang mau merebut To liong to. Yang lain berpikir Huh! Manusia apa kau ? Anggauta dari agama yang menyeleweng. Tak sudi aku bersahabat denganmu. Menurut pendapatku, lebih baik kalian bicara saja terang-terang. Jangan main berpura pura."

Pek Kwie Sioe tertawa terbahak-bahak.

"Tidak, aku tidak memikir begitu," kata Cui San. "Aku yakin, bahwa Pek Tan cu memiliki ke pandaian yang sangat tinggi. Ilmu mengirim suara sangat mengagumkan. Kedatanganku disini hanialah menemani In Kouwnio untuk menonton ke ramaian dan sedikitpun aku tidak mempunyai niatan untuk turut dalam perebutan golok mustika."

Mendengar perkataan pemuda itu, In So So me rasa girang sekali.

Pek Kwie Sioe mengenal nona In sebagai wanita yang berhati kejam dan tak pemah berlaku manis2 terhadap siapapun jua. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, ia menyaksikan sikap yang luar biasa halus dari sinona terhadap Thio Cui San, sehingga ia segera mengetahui, bahwa Son So sudah jatuh hati kepada pemuda yang tampan itu. Selain begitu, ia juga merasa senang mendengar pujian yang diberikan Cui San dan rasa permusuhannya terhadap pemuda itu lantas saja hilang.

"In Kouw nio," katanya sambil tersenyum, "orang orang Hay See Hay dan Sin kun bun sudah datang semua. Disamping mereka, terdapat juga dua pemuda dari Kun loan pay. Lagak mereka agak sombong dan berbeda jauh dengan Thio gohiap yang tenama besar....hm...,Memang orang yang benar-benar berkepandaian tinggi tidak banyak tingkah"

Baru ia berkata sampai disitu, dibelakang bukit mendadak terdengar bentakan: "Hai! Perlu apa kau membusuki nama orang dibelakangnya? Apa itu perbuatan seorang laki-laki ?"

Berbareng dengan bentakan itu, dari belakang bukit dua pemuda usia dua puluh tahun lebih yang bertubuh kurus dan mengenakan jubah panjang wama kuning, sedang dipunggung mereka terselip sebatang pedang. Mereka menghampiri dengan paras muka menyeramkan.

Pek Kwie Sioe tertawa nyaring, dan berkata dengan suara tenang: "Aha! Baru menyebut nama Co Coh, Co Coh lantas saja datang. Mari, mari aku memperkenalkan kalian."

Kedua Kiamtek (ahli pedang) Kun loan pay itu sebenamya sudah mau mengunjuk kegusaran mereka, tapi begitu melihat kecantikan So So mereka tertegun. Yang satu mengawasi sinona dengan mulut ternganga, yang lain melengos, tapi diam-diam melirik berulang ulang.

Sambil menunjuk pemuda yang tengah mengawasi So So, Pek Kwie Sioe berkata: "Yang ini adalah Ko Cek Sang Tay kiamkek." Ia menengok kearah yang lain dan menyambung perkataannya : "Yang itu Chio Tauw Taykiamkek. Mereka berdua adalah pentolan-pentolan Kun lun pay. Nama Kun loan pay telah menggetarkan wilayah Barat dan dalam Rimba Persilatan, semua orang merasa kagum akan tingginya ilmu silat Kun loan. Maka itu, Ko dan Cio Taykimkek juga pasti memiliki kepandaian yang lain dari pada yang lain. Kali ini, dari tempat jauh mereka datang di Tionggoan dan mereka pasti akan memperlihatkan kepandaian istimewa supaya kita semua bisa menambah pengalaman.

Mendengar perkataan itu yang dikeluarkan nada mengejek, Cui San menduga, bahwa kedua pemuda itu akan segera menghunus senjata, atau sedikitnya, akan membalas dengan kata-kata tajam. Tapi diluar dugaan, mereka hanya manggut-manggut, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Setelah mengawasi muka merah, baru Cui San tahu sebab musababnya. Mereka teryata seperti orang linglung karena dipengaruhi dengan kecantikan In So So.

Cui San merasa geli. "Nama Kun loan pay tersohor dikolong langit dan dikenal sebagai malaikat dalam ilmu silat pedang," pikimya "Sungguh sayang murid-muridnya yang datang kemari adalah manusia-manusia rendah."

Tapi sebenamya, meskipun Ko Cok Sang dan Chio Tauw beradat sombong, mereka bukan manusia rendah yang gemar dengan paras cantik. Yang menjadi soal ialah karena memang So So terlalu cantik dan memiliki sifat-sifat seperti besi barani, yang dapat membetot semangat orang. Dengan mengingat, bahwa mereka adalah manusia manusia biasa, apapula usia mereka masih begitu muda, maka sikap yang menggelikan itu dapat dikatakan jamak.

Sementara itu, Pek Kwie Sioe berkata pula: "Yang itu adilah Thio Cui San Siangkong dari Bu tong pay, yang ini nona In So So, sedang yang itu Siang Kim Pang Tan cu dari agama kami."

Mendengar perkataan Pek Kwie Sioe, So So merasa sangat girang. Bahwa si kakek hanya menggunakan istilah "Siangkong" ( tuan ) dan tidak menggunakan lagi perkataan "Thio Ngohiap", merupakan petunjuk, bahwa ia menganggap Cui San seperti orang sendiri. Sambil bersenyum, si nona melirik pemuda itu dengan sorot mata menyinta.

Melihat sikap So So terhadap Cui San, Ko Cek Song yang beradat kasar saja meluap darahnya dan tidak dapat menyembunyikan lagi rasa irinya. "Chio Sutee," katanya dengan suara tawar, "di See hek, kita seperti pemah mendengar, bahwa Bu tong pay adalah sebuah partai yang tulen dalam Rimba Persilatan diwilayah Tionggoan."
"Benar. akupun seperti pemah mendengar begitu" jawab adik seperguruannya.

"Tapi kita mendengar tidak sama dengan melihat sendiri," kata pula Ko Cek Sang "Pendengaran itu tidak dapat dipercaya."

"Dalam kalangan Kangouw memang banyak sekali tersiar desas desus yang tidak boleh dipercaya," menyambung Cio Tauw. "Ko Suheng, apa artinya perkataanmu itu?"

"Murid dari partai persilatan yang tulen bagaimana bisa bercampur gaul dengan orang-orang dari Sia kauw (agama yang menyeleweng)?" jawabnya, "Bukankah kejadian itu sangat menurunkan namanya partai yang sangat cemerlang itu?"

Dalam menyindir Thio Cui San, mereka tak pernah mimpi, bahwa In So So pun seorang dari Peh bie kauw. Mereka hanya mengetahui, bahwa yang menjadi anggauta agama itu hanya Pek Kwie Sioe dan Siang Kim Pang.

Cui San meluap darahnya, tapi segera juga ia mendapat pikiran lain. Ia ingat, bahwa kedatangannya di pulau Ong poan san adalah untuk menyelidiki musuh yang telah mencelakakan Jie Thay Gam, sehingga ia tak boleh merusak tujuannya sendiri dengan mengumbar napsu amarah. Ia juga ingat, bahwa biarpun berusia lebih tinggi dari padanya, kedua Kiamkek Kun lun pay itu adalah orang orang tidak tenama yang baru menceburkan diri kedalam dunia Kangouw. Maka itu, tak pantas ia meladeninya. Di samping itu, iapun mengakui, bahwa Peh bie kauw memang suatu agama yang menyeleweng dan In So So serta Siang Kim Pang adalah manusia-manusia kejam yang dapat membunuh sesama manusia seperti orang menyuap nasi. Ia memang sudah mengambil putusan untuk tidak bergaul terus dengan orang itu.

Memikir begitu, ia lantas saja tersenyum seraya berkata: "Dengan orang-orang Peh kie kauw, aku pun baru berkenalan, tidak berbeda dengan kedua Jin heng."

Keterangan itu mengherankan hatinya semua orang, kecuali si nona sendiri, Pek Kwie Sioe dan Siang Kim Pang pun semula menduga, bahwa persahabatan antara nona In dan Cui San sudah berjalan lama. In So So sendiri merasa sangat mendongkol. Ia mengerti, bahwa dengan berkata begitu, Cui San memandang rendah kepada Peh bie kauw. Ko Cek Sang dan Chio Tauw saling mengawasi dengan senyuman mengejek. Mereka menganggap, bahwa Cui San sudah jadi ketakutan karena mendengar nama Kun loan pay.

"Kecuali Bek Siauw pangcu, semua tetamu sudah tiba," kata Pek Kwie Sioe. "Kita tak usah menunggu ia. Sekarang kalian boleh jalan-jalan di pulau ini secara bebas dan sebentar tengah hari, harap kalian suka datang dilembah untuk minum arak dan melihat golok mustikaku."

Siang Kim Pang tertawa. "Perahu Bek Siauw pangcu mendapat kerusakan dan atas permintaan Thio Siangkong, mereka telah ditolong," ia menerangkan. "Sekarang Siauw pangcu itu berada dalam perahuku. Sebentar kita boleh mengundangnya untuk menghadiri pertemuan"

Biarpua kedua Tan cu itu bersikap sangat hormat dan walaupun In So So memperlihatkan kecintaannya, Cui San sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan diri. Maka itu, ia segera berkata: "Siauwtee ingin jalan-jalan sendiri," tanpa menunggu jawaban, ia segera berjalan kearah sebuah hutan di sebelah timur.

Kecuali bukit-bukit dan hutan-hutan kecil. di Pulau itu tidak ada pemandangan yang berharga. Disebelah tenggara terdapat sebuah pelabuhan di mana berlabuh belasan perahu, yaitu perahu-perahu para tetamu. Sambil menunduk Cui San berjalan disepanjang pantai dan sembari berjalan ia mengasah otak. Ia merasa sangat tidak puas dengan kekejaman dan sepak terjang In So So, tapi sungguh heran, hatinya seperti juga dibetot betot dan tak dapat melupakan nona yaag cantik itu.
"Tak dapat disangkal lagi, In kauwnio mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Peh bie kauw," pikirnya. "Pek Tancu dan Siang Tancu menghormatinya seperti juga ia seorang puteri. Tapi sudah terang ia bukan Kauw cu. Siapa dia?"

Dilain saat, ia berkata pula di dalam hatinya: "Dalam pertemuan ini yang dihimpunkan oleh Peh bie kauw, partai-partai lain telah mengirim wakil-wakilnya yang paling jempolan. Tapi Peh bie kauw sendiri hanya mengutus seorang Tan cu, seolan-olah mereka tidak memandang sebelah mata kepada pihak lawan. Dari gerakan-gerakannya, kepandaian Pek Tancu berada di sebelah atas Siang Tancu. Dilihat begini, Peh bie kauw sungguh-sungguh tidak boleh dipandang enteng. Biarlah hari ini aku menyelidiki asal usul mereka, Mungkin sekali di kemudian hari Bu tong Cit hiap akan bertempur mati-matian dengan mereka." Selagi memikir begitu, tiba tiba ia dengar suara beradunya senjata di luar hutan.

Ia heran dan lalu menuju kearah suara itu.

Jauh-jauh ia lihat Ko Cek Seng dan Chio Tauw sedang berlatih pedang dengan ditonton oleh In So So. "Suhu sering mengatakan, bahwa kiam sut (ilmu pedang) Kun lun pay lihay bukan main dan diwaktu masih muda, beliau pernah bertempur dengan seorang pentolan Kun loan pay yang ber gelar Kiam Seng (Nabi pedang)," pikirnya: "Kesempatan untuk menyaksikan ilmu pedang itu sebenar-benarnya tidak boleh disia-siakan. Akan tetapi, menurut peraturan Rimba persilatan, jika orang sedang berlatih silat, orang tidak boleh mencuri lihat." Sebagai murid dari sebuah rumah perguruan yang terhormat, Cui San sungkan melanggar peraturan itu, sehingga oleh karenanya, biarpun di dalam hati ia sangat kepingin menonton, tetapi sesudah melihat beberapa kali, ia segera memutar badan dan berjalan pergi.

Diluar dugaan, baru satu dua tindak, ia telah dilihat In So So yang sambil menggapai-gapai, lantas saja berteriak : "Thio Ngoko, kemari!"

Cui San tahu, bahwa jika tidak menghampiri, ia bisa dicurigai sebagai orang yang benar sudah mencuri lihat latihan pedang itu. Maka itu, ia lantas saja mendekati seraya berkata : "Kedua Heng tay tengah berlatih dan tak pantas kita berdiam disini lama-lama. Mari kita pergi ketempat lain."

Sebelum sinona keburu menjawab,mendadak berkelebat sinar pedang dan "brett !" pedang Chio tauw telah menggores lengan kiri Ko Cek Sang yang lantas saja mengucurkan darah.

Cui San terkejut, ia duga Chio Tauw kesalahan tangan. Tapi ia lebih kaget lagi, karena tanpa mengeluarkan sepatah kata dan dengan paras muka merah padam, Ko Cek Seng mengirim tiga serangan beruntun yang sangat hebat dan ditujukan kearah bagian-bagian tubuh yang membinasakan. Sekarang baru ia tabu, bahwa kedua orang itu bukan berlatih, tapi sedang bertempur sungguhan.

In So So tertawa dan berkata : "Dilihat begini, sang Suko belum dapat menandingi siadik. Menurut pendapatku ilmu Chio heng lebih unggul sedikit."

Mendengar perkataan itu, sambil bergertak gigi, Ko Cek Seng memutar tubuh dan menyabet dengan pedangnya dalam pukulan Pek tiang hu po (Air tumpah beratus tombak panjangnya). Pedang itu menyambar dari atas kebawah, seolah-olah turunnya air tumpah. Dengan menggunakan seantero kelincahannya, Chio Tauw coba mundur kebelakang, tapi pedang Ko Cek Seng tiba-tiba berubah arah dan dengan satu suara "brett !," ujung pedang mengenakan jitu dibetis kirinya.

Sinona tertawa geli dan menepuk nepuk tangan.

"Aha ! Kalau begitu sang Suheng mempunyai ilmu simpanan!" teriaknya "Kali ini Chio heng yang kalah."

"Belum tentu !" bentak Chio Tauw dengan gusar sambil menyerang dengan pukulan Ie tehhui hoa (Hujan menghantam bunga yang beterbangan). Pedangnya menyambar nyambar dalam gerakan miring kadang-kadang diseling dengan tikaman lurus. Sebagai murid Kun lun pay, Ko Cek Seng tentu saja paham dalam ilmu pedang itu dan tanpa sungkan sungkan lagi iapun segera membuat serangan serangan membalas. Mereka berdua sudah sama-sama terluka dan biarpun tidak berbahaya, dalam perterpuran, darah mereka beterbangan kian kemari, sehingga muka, tangan dan pakaian mereka penuh dengan noda darah. Semakin lama mereka terus bertempur semakin sengit dan ahirnya mereka saling tikam mati-matian, seolah olah sedang berhadapan deagan musuh besar,

Dilain pihak, In So So saban-saban tertawa dan menepuk-nepuk tangan, sebentar ia memuji yang satu, sebentar memuji yang lain.

Sekarang Cui San mengerti, bahwa bertempurnya kedua saudara seperguruan itu adalah karena gara-gara sicantik, yang rupanva sudah menjalankan siasat adu domba, karena mendongkol atas ejekan mereka terhadap Pak bie kauw. Sesudah mengawasi beberapa lama, ia berpendapat, bahwa meskipun mereka cukup paham dalam ilmu pedang, perubahan perubahan pedang masih kurang cepat den Lweekang merekapun masih belum cukup tinggi.

"Thio Ngoko," kata sinona dengan suara gembira. "Bagaimana pendapatanmu dengan Kiang hoat Kun loan pay ?"

Cui San tidak menjawab. Ia mengerutkan alis seperti orang sebal. Melihat begitu, So So lantas saja berkata : "Sudahlah ! begitu-begitu juga. Aku pun sudah merasa sebal. Mari kita pergi kesitu untuk menikmati pemandangan langit." Sehabis berkata begitu ia menarik tangan kiri Cui San dan berjalan pergi.

Jantung Cui San berdebar keras. Ia merasa tangan nya dicekal dengan tangan yang empuk halus, sedang hidungnya mengendus bebauan yang sangat wangi. Ia mengerti, bahwa dengan berbuat begitu, So So sengaja ingin membangkitkan rasa iri dan guramnya kedua murid murid Kun lun pay itu. Karena merasa tak enak untuk melepaskan tangannya, tanpa menneluarkan sepatah kata, ia segera mengikuti.

Mereka berdiri ditepi laut sambil memandang air yang seakan-akan tiada batasnya. Beberapa saat kemudian, So So mendadak berkata: "Dalam kitab Congcu dibagian Chioe sui pian terdapat kata kata begini: Air dikolong langit tak ada yang lebih besar dari pada lautan. Laksana sungai mengalir kedalam laut. Entah kapan sungai-sungai itu berhenti mengalir dan tidak memenuhkan lautan. Tapi Sang laut sedikitpun tidak jadi sombong dan hanya berkata: Aku berada diantara langit dan bumi seperti juga sebutir batu atau satu pohon kecil yang tumbuh disebelah gunung yang besar. Setiap kali membaca kitab itu, aku mengagumi Cong cu (Chuang tze) tidak habisnya, karena dari tulisan-tulisan tersebut, ia sungguh sungguh seorang
berjiwa besar"

Mendengar perkataan sinona Cui San kaget. Ia merasa tak puas melihat cara-cara nona In yang sudah mencari kesenangan dengan mengadu domba kan orang. Sedikitpun ia tidak nyana, bahwa memedi perempuan yang dapat membunuh manusia tanpa berkesip, dapat mengutip kata-kata dari kitab Cong cu.

Kitab Cong cu adalah sebuah kitab yang mesti dibaca dan dipelajari oleh murid-murid agama Too kauw. Waktu masih berguru di Bu tong sn, ia dan saudara-saudara seperguruannya sering sekali mendengar penjelasan-penjelasan Thio Sam Hong mengenai isi kitab itu.

Demikianlah dalam rasa kaget dan herannya, tanpa merasa ia segara berkata: "Benar. Ribuan li jauhnya, tak dapat dikatakan besar, ribuan kaki tak dapat dikatakan dalam."

Dendengar Cui San mengutip kitab Congcu untuk melukisan besarnya dan dalamnya lautan, sedang pada muka pemuda itu terlihat paras penuh penghormatan, sinona segera berkata : "Apakah kau ingat Suhumu ?"

Cui San terkesiap, tanpa merasa ia mengangsurkan tangan kanannya dan'mencekal tangan sinona yang satunya lagi. "Bagaimana kau tahu apa yang dipikir olahku?" tanyanya dengan suara heran.

Hal ini mempunyai latar belakang seperti berikut:
Dulu waktu berada di gunung Bu tong san, pada suatu hari ia bersama-sama Song Wan Kiauw dan Jie Thay Giam membaca kitab Congcu. Sesudah membaca "Ribuan li jauhnya, tak dapat dikatakan besar, ribuan kaki tak dapat dikatakan dalam", Jie Thay Giam berkata: "Dalam berguru dengan Su hu, semakin lama belajar, aku merasa semakin berbeda jauh dengan kepandaian beliau, seperti juga, sebaiknya daripada maju, kita mundur setiap hari menurut pendapatku, kata-kata Cong cu itu adalah yang paling tepat untuk melukiskan kepandaian Suhu yang tak dapat diukur berapa dalamnya."

Mendengar perkataan saudara itu, Wan Kiauw dan Cui San memanggut manggutkan kepalanya.

Itulah sebab musabab mengapa begitu mengutip kata-kata itu, ia lantas saja ingat gurunya yang tercinta.

"Dengan melihat paras mukamu, aku segera mengetahui, bahwa jika bukan ingat kedua orang tuamu, kau tentu ingat gurumu," jawab si nona. "Oleh karena dalam dunia ini hanialah Thio Sam Hong seorang yang surup untuk dilukiskan dengan perkataan itu, maka aku segera menduga pasti, bahwa yang diingat olehmu adalah Suhumu."

"Kau sungguh pintar," kata Coai San dengan suara kagum. Sesaat itu, tiba-tiba ia sadar, bahwa kedua tangannya sedang mencekal kedua tangan si nona. Paras mukanya lantas saja berubah merah dan buru-buru ia melepaskannya.

"Apakah kau boleh memberitahukan kepadaku, berapa tingginya ilmu silat gurumu?" tanya So So.
Pemuda itu tidak lantas menjawab. Sesudah memikir sejenak baru ia berkata. "Ilmu silat adalah ilmu yang tidak begitu penting. Apa yang diajar dari beliau bukan terbatas pada ilmu silat saja. Hai! Luas dan dalam ... entah bagaimana aku harus menceriterakannya."

Sinona tersenyum seraya berkata: "Hucu bertindAk, aku turut bertindak. Hucu berjalan, aku turut berjalan. Hucu lari aku turut lari. Tapi begitu lekas Hucu lari cepat, biarpun mengikuti sebisa-bisanya, aku tetap ketinggalan jauh" (Hu cu berarti guru, tapi disini dimaksudkan Khong cu atau Khongfusius).

Mendengar sinona mengutip kata-kata pujian Gan Hwee (murid Khongcu ) terhadap Khongcu, Cui San lantas saja berkata: "Tapi guruku tak usah lari keras. Sekali ia berjalan atau lari pelan pelan, kami sudah tidak dapat mengikutinya." Dari perkataan itu dapatlah diketahui, bahwa pemuda itu sangat memuja gurunya

Demikianlah, dengan duduk berendeng diatas sebuah batu besar, kedua orang muda itu merunding kan ilmu surat dan iimu silat secara panjang lebar dan mendalam.

Sebagai seorang yang berpengetahuan tinggi dan sangat cerdas, In So So selalu dapat menimpali Cui San dalam omong-omong itu.

Tiba-tiba terdengar suara tindakan dan batuk batuk, disusul dengan suara orang: "Thio Siangkong, In Kouwnio, Ngo sie (tengah hari) sudah tiba. Harap kalian suka pergi ketempat perjamuan."

Cui San menengok dan melihat Siang Kim Peng berdiri dalam jarak belasan tombak dan mengawasi mereka dengan bersenyum. Dari paras mukanya, ia kelihatan merasa kagum dan girang melihat dua sejoli yang setimpal itu. Menurut kebiasaan, In So So sombong dan kurang ajar jika berhadapan dengan orang-orang sebawahannya. Tapi kali ini, dengan muka kemerah merahan ia menundukkan kepala.

Siang Kim Peng lantas saja memutar badan dan berjalan lebih dulu dengan tindakan lebar.

"Aku jalan lebih dulu," bisik sinona.

Cui San tak mengerti, tapi ia lantas saia mengangguk.
In So So lantas saja berlari lari dan berjalan berandeng dengan Siang Kim Peng. "Bagaimana dengan kedua bocah tolol dari Kun lun itu ?" demikian terdengar pertanyaan si nona.

Cui San mengawasi mereka dengan perasaan sukar dilukiskan dan kemudian, sesudah mereka terpisah jauh, barulah ia mengikuti dengan tindakan perlahan.

Begitu tiba dimulut lembah, ia lihat tujuh delapan meja persegi disebidang tanah lapang rumput. Kecuali meja utama disebelah timur, semua meja sudah penuh orang.

Melihat kedatangan Cui San, Siang Kim Peng segera bangun berdiri dan berteriak dengan suara nyaring: "Thio Ngohiap dari Bu tong pay". Hampir berbareng, Pek Kwie Sioe juga bangun dari tempat duduknya dan kemudian dengan masing-masing diikuti oleh lima orang Hio Cu kedua Tan cu itu meninggalkan meja perjamuan untuk menyambut tamu yang baru datang itu. Duabelas orang itu berdiri berjejer dikedua pinggir dan menyambut sambil membungkuk.

"Hian bu tan Pek Kwie Sioe dan Ciak tan Siang Kim Peng yang berada dibawab perintah In Kauw cu dan Peh bie kauw, menyambut kedatangan Thio Ngohiap!" seru Pek Kwie Sioe dengan suara nyaring, In So So sendiri tidak meninggalkan meja, tapi ia turut bangun sendiri.

Mendengar kata-kata "In Kauw cu." hati Cui San berdebaran. "Kalau begitu, kepala agama Peh bie kauw benar seorang she In," katanya di dalam hati. Segera ia menangkap kedua tangannya dan berkata: "Tak berani aku menerima kehormatan yang begitu besar." Begitu datang dekat meja-meja perjamuan ia mendapat kenyataan, bahwa semua orang mengawasinya dengan paras mendongkol. Ia merasa heran, tapi tidak memperdulikan.

Yang menjadi sebab dari perasaan mendongkol itu adalah karena kedatangan pemimpin-pemimpin Hay see pay, Kie keng pang dan Sin kun bun hanya disambut oleh seorang Hio cu dan tidak mendapat kehormatan seperti yang didapat oleh jago Bu tong pay itu. Keruan saja mereka merasa dihina, tapi kejadian itu tidak diketahui Cui San.

Dengan sikap hormat Pek Kwie Sioe mengantarkan pemuda itu kemeja utama disebelah timur dan mengundang supaya dia duduk disitu. Dimeja itu, yang mempunyai kedudukan paling mulia, hanya terdapat sebuah kursi. Cui San menyapu seluruh gelanggang perjamuan dengan matanya dan ia mendapat kenyataan, bahwa dilain-lain meja berduduk tujuh delapan orang, hanya dimeja keenam berduduk dua orang, yaitu Ko Cek Seng dan Chio Tauw.

"Aku yang rendah adalah seorang muda yang berkepandaian cetek," katanya dengan suara nyaring. "Tidak berani aku duduk dimeja utama itu."

"Dalam Rimba Persilatan, Bu tong pay merupakan gunung Thay san atau bintang Pak tauw," kata Pek Kwie Sioe. "Kalau Thio Ngohiap yang namanya menggetarkan seluruh negara tidak berani duduk, siapa lagi yang berani duduk disitu ?"

Tapi Cui San yang selalu diajar oleh gurunya untuk merendahkan diri, tetap menolak.

Sementara itu, Ko Cek Seng dan Chio Tauw saling memberi isyarat dengan lirikan mata. Tiba tiba Chio Tauw mengangkat kursinya dan melontarkannya kearah meja utama. Antara meja yang didudukinya dan meja utama itu terdapat lima belas meja lain. Dengan menggunakan Lweekarg yang tepat. kursi itu terbang diatas kepala para tamu dan hinggap disamping kursi utama. Begitu lekas Chio Tauw memperlihatkan kepandaiannya, Ko Cek Seng segera berseru : "Huh huh ! Thaysan .....Pak tauw ! Siapa yang mengangkat Bu tong pay menjadi Thaysan Pak tauw? Jika si orang se Thio tidak berani duduk disitu, biarlah kami berdua yang menggantikannya." Bersama Sutee nya, ia segera melompat kemeja utama itu.

Bagaimana kedua saudara seperguruan jadi bertempur dan sesudah bertempur mati-matian, mereka akur kembali ?
Tadi, sesudah barkenalan, dalam kedongkolannya karena kedua pemuda itu sudah mengejek Peh bie kauw, In So So segera menanya siapa di antara mereka berdua yang ilmu pedangnya terlebih tinggi dan mengatakan, bahwa ia ingin sekali mempelajari beberapa pukulan dari Kunlun Kiamhoat. Kedua pemuda itu yang sudah dirubuhkan oleh kecantikan si nona, lantas saja menghunus pedang.

Semula mereka hanya ingin memperlihatkan keunggulan dalam sebuah latihan, tapi semakin lama mereka jadi semakin sengit dan ditambah dengan ejekan-ejekan So So, akhirnya mereka jadi bergempur mati-matian dan kedua-duanya terluka.

Belakangan, sesudah si nona dan Cui San meninggalkan mereka sambil bergandengan tangan, barulah mereka tersadar dan menghentikan pertempuran itu. Dengan rasa malu dan gusar, mereka membalut luka, tapi mereka tak berani mengunjuk kegusaran terang-terangan kepada nona In.

Demikianlah, mereka sekarang ingin merebut kursi yang ditawarkan kepada Cui San untuk menghina pemuda itu di hadapan orang banyak.

"Tahan!" bentak Siang Kim Peng sambil merentang tangannya.

Ko Cek Seng segera mengangkat tangannya untuk menotok jalan darah di lengan Kim Peng.
Anda sedang membaca artikel tentang To Liong To 7 dan anda bisa menemukan artikel To Liong To 7 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2014/05/to-liong-to-7.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel To Liong To 7 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link To Liong To 7 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post To Liong To 7 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2014/05/to-liong-to-7.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...