Cerita Mesum : Sepasang Golok Mustika 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Rabu, 07 Mei 2014

Cerita Mesum : Sepasang Golok Mustika 1--------------Sepasang Golok Mustika
(Wan-yo-to)
Karya: Jin Yong
Diceritakan oleh: Boe Beng Tjoe
Penerbit: "Mekar Djaja", Djakarta, 1961.  1 Jilid.


Bagian 1

Empat laki2 dengan dandanan ringkas berbaris memotong djalan didepan mereka!

Siapa empat orang itu? Kalau kawanan perampok besar, masakah hanja empat orang? Apakah dalam hutan siong itu bersembunji kawan2 mereka? Pendjahat ketjil sudah pasti tak akan berani mengganggu kereta2 piauw itu jang dilindungi begitu banjak orang. Apakah keempat orang itu djago2 Rimba Persilatan jang sengadja datang untuk merampas piauw*)?

Dengan matanja jang tadjam, pemimpin rombongan piauw mengawasi keempat pentjegat itu.

Jang berdiri diudjung kiri adalah seorang jang bertubuh kurus-ketjil dan berdjanggut runtjing, kedua tangan menggenggam Go-bie Kong-tjek (pusut jang terbuat dari badja).

Jang kedua berbadan tinggi-besar, seolah-olah sebuah pagoda besi. Didepannja berdirilah sebuah papan batu jang sangat besar dengan huruf-huruf: “Kuburan mendiang Oey Seng Poen.” Batu nisan! Perlu apa batu nisan itu disitu? Oey  Seng Poen? Dalam dunia Kang-ouw, nama itu belum pernah terdengar!

Orang jang ketiga bertubuh sedang, tak besar dan tak ketjil, kulit mukanja putih dan djika tidak bergigi tonggos, ia dapat dikatakan seorang pria jang tampan. Ditangannja, terdapat sepasang Lioe-seng-toei (bandringan).

Jang keempat adalah seorang setengah tua jang matjamnja seperti orang sakit dan sedang berdiri bersandar pada sebuah pohon, disebelah kanan. Pakaiannja tjompang-tjamping, tenang2 ia menghisap sebatang pipa pandjang sambil menitjap-itjapkan mata, ia mengepulkan asap dari mulutnya. Dengan sikapnja jang atjuh tak atjuh ia seakan-akan tak memandang sebelah mata kepada tudjuhpuluh orang lebih jang mengawal piauw itu.

Jang tiga masih tak mengapa, tetapi si–penjakitan benar2 tak boleh dibuat gegabah. Tak bisa salah lagi, ia tentu berkepandaian tinggi dan akan merupakan lawan terberat. Si-pemimpin piauw lantas sadja ingat akan banjak tjerita jang tersiar dalam dunia Kang-ouw: Bagaimana seorang nenek tua dengan tangan kosong membinasakan lima pendjahat besar, bagaimana seorang pengemis muda mengatjau dikota Thay-goan, bagaimana seorang gadis tjantik merobohkan seorang ahli silat kenamaan di Thay-tong… Memang benar, dalam Rimba Persilatan, orang harus berhati-hati terhadap lawan jang kelihatan lemah atau ketolol-tololan.

Si-pemimpin piauw jang sedang menaksir-naksir keempat lelaki itu – adalah Tjong-piauw-tauw (pemimpin umum) dari Wie Sin Piauw-kiok dikota See-an., propinsi Siamsay. Ia she Tjioe, bernama Wie Sin dan bergelar Tiat-pian Tin-pat-hong (si-Petjut-besi jang berkuasa didelapan pendjuru).

Semakin ia menimbang-nimbang, semakin bimbang hatinja. Piauw jang sedang dilindunginja adalah milik Ong Tek Eng, seorang saudagar di-See-an, sebesar duapuluh laksa tahil perak. Tak usah dikatakan lagi, piauw itu bukannja ketjil, tapi bagi Wie Sin Piauw-kiok djumlah itu tidak terlalu besar, karena piauw-kiok tersebut pernah melindungi piauw jang lebih besar djumlahnja, pernah melindungi empatpuluh laksa dan delapanpuluh laksa tahil perak.

Apa jang paling dikuatirkannja sedari ia meninggalkan See-an adalah keselamatan golok dalam bungkusan dipunggungnja. Ia menerima kedua golok itu dalam gedung Tjoan-siam Tjong-tok (Tjong-tok dari propinsi Soe-tjoan dan Siam-say), dari tangan Tjoan-siam Tjong-tok sendiri. Ia ingat bagaimana dengan hati ber-debar2, ia mendengarkan pesan pembesar tersebut. “Tjioe Piauw-tauw,” kata Lau Taydjin, si-Tjong-tok. “Sepasang golok itu, jang diberi nama Wan-yo-to**), harganja bukan main. Djagalah baik2. Golok ini dulu disimpan dalam istana kaizar. Pada djaman kaizar almarhum, mendiang Kaizar Kong-hie, entah bagaimana, sepasang golok ini telah ditjuri orang. Begitu lekas kaizar jang sekarang naik ketakhta, beliau segera mengeluarkan perintah rahasia supaja para pembesar di-delapanbelas propinsi berusaha mentjarinja. Selama tigabelas tahun, usaha itu tidak berhasil. Achirnja, berkat redjeki Hong­siang (kaizar), akulah jang berhasil. Huh2! Aku mengenal Wie Sin Piauw-kiok sebagai perusahaan piauw jang paling boleh diandalkan. Oleh sebab itu, sekarang aku mempertjajakan tugas ini kepadamu, tugas membawa Wan-yo-to ke-Pakkhia. Supaja kau bisa tiba dikota radja dengan selamat, sedikitpun kau tak boleh membotjorkan rahasia ini. Sekembalimu sesudah menunaikan tugas ini dengan berhasil, aku pasti akan memberi hadiah jang setimpal kepadamu.”

Demikian pesan Lauw Tay-djin, Tjoan-siam Tjong-tok.

Nama Wan-yo-to jang sangat tersohor, ia memang pernah mendengar dari gurunja.

Dalam sepasang golok itu, jang satu pendek dan jang lain pandjang, tersembunji rahasia terbesar dari Rimba Persilatan. Sepandjang tjerita, orang jang mendapatkannja akan “tak punja tandingan lagi dikolong langit,” suatu hal jang paling diidam-idamkan setiap orang jang pandai silat. Ketika mendengar tjerita itu, ia menganggapnja sebagai dongengan belaka. Tapi siapa njana, Tjoan-siam Tjong-tok benar2 sudah mendapatkan sepasang golok itu dan diluar dugaan; ia sendirilah jang telah ditugaskan membawanja ke-kota radja untuk dipersembahkan kepada kaizar.

Sepasang golok itu dibungkus rapi dengan sutera kuning dan diberi tjap Tjong-tok. Ia sebenarnja kepingin sekali melihat sendjata mustika itu, tapi siapa berani membuka bungkusan itu?

Disamping itu, Lau Tjong-tok djuga memerintahkan empat orang Wie-soe (pengawal pribadi) jang dipertjaja untuk turut dalam rombongan piauw dengan menjamar sebagai piauw-soe dan pegawai. Tjioe Wie Sin insjaf, bahwa serta mereka bukan sadja untuk membantu, tapi sekalian untuk menilik segala gerak-geriknja.

Pada suatu hari, sebelum rombongan piauw berangkat, Wie-soe-thio (pemimpin Wie-soe) dari gedung Tjong-tok telah mengirim orang untuk memindahkan seantero keluarga Tjioe – semuanja duabelas orang – kegedung Wie-soe-thio. Sebagai alasan dikemukakan, bahwa pemindahan itu dilakukan karena kuatir keluarga Tjioe Tjong-piauw-tauw tak ada jang melindungi, sesudah ia meninggalkan See-an. Tetapi, sebagai seorang berpengalaman, Tjioe Wie Sin tentu sadja mengerti maksud tindakan itu. Semua itu berarti, bahwa Lauw Tjong-tok telah menahan ibu, isteri, gundik dan anak-anaknja sebagai tanggungan. Djika terjadi sesuatu jang tak diinginkan dengan sepasang golok mustika itu, maka bukan sadja ia sendiri akan mendapat hukuman mati, tapi seluruh keluarganja pun tak usah berharap bisa hidup terus.

Selama hidupnja, Tjioe Wie Sin mengalami banjak taufan dan gelombang besar. Tapi baru kali ini ia meninggalkan keluarganja dengan hati berdebar-debar begitu keras, dengan kekuatiran dan kegirangan tertjampur mendjadi satu. Djika ia selamat berhasil mengantar sepasang golok itu sampai dikota radja, maka bukan sadja Lau Tjong-tok akan memberikannja hadiah besar, tapi sang kaizar pun, dalam kegirangannja, mungkin akan menganugerahkan satu atau lain pangkat kepadanja. Dengan demikian, ia akan bisa mengangkat deradjat leluhurnja dan boleh tak usah melakukan lagi pekerdjaan jang penuh bahaja sebagai piauw-tauw itu.

Perdjalanan dari See-an ke-Pakkhia bukannja dekat dan sedikitnja harus melalui tigapuluh gunung besar-ketjil dengan sarang2 perampoknja. Terhadap pendjahat biasa sedikitpun ia tak kuatir, karena kepandaiannja memang tjukup tinggi dan nama Tiat-pian Tin-pat-hong tjukup dikenal orang. Tapi Wan-yo-to mempunjai daja penarik jang sangat hebat. Djika rahasia itu botjor, entah berapa banjak djago akan turun tangan tjoba memilikinja. Demikianlah mengapa dalam usaha menunaikan tugasnja jang sangat berat, ia sengadja menerima pekerdjaan mengawal duapuluh laksa tahil perak itu untuk digunakan sebagai tedeng tugasnja jang utama. Andaikata piauw tersebut dirampas orang dan Wan-yo-to bisa diantar dengan selamat sampai dikota radja, ia sudah boleh merasa beruntung.

Demikianlah kedudukan Tjioe Wie Sin, ketika ia mengawasi empat pentjegatnja dengan hati bimbang.

Sambil memegang Tiat-pian jang dilibatkan dipinggangnja, ia batuk-batuk beberapa kali, kemudian berkata sambil memberi hormat: “Aku jang rendah bernama Tjioe Wie Sin. Aku mengakui kesalahanku, karena diwaktu lewat tempat sehabat2, aku tidak memberi hormat kepada kalian. Untuk itu, aku memohon maaf.” Dengan berkata begitu, ia berusaha untuk mengelakkan suatu pertempuran.

Si-penjakitan memegang dadanja dan batuk2 beberapa kali.

Si-kurus mengangkat pusutnja dan berkata dengan perlahan: “Memberi hormat kepada kami boleh tak usah. Eh, mustika apakah itu, jang kau lindungi? Tinggalkanlah disini.”

Bukan main kagetnja Tjioe Wie Sin. Soal Wan-yo-to tak pernah diberitahukannja kepada siapapun djuga, bahkan orang-orangnja jang paling dipertjaja djuga menganggap, bahwa dalam perdjalanan ini mereka hanja mengawal duapuluh laksa tahil perak tersebut. Bagaimana keempat orang itu bisa mengetahui rahasianja?

Sesudah menetapkan hatinja, ia mengangkat kedua tangannja seraja berkata pula: “Harap supaja kalian sudi memaafkan kedua mataku jang tiada bidjinja. Bolehkah aku mengetahui nama besar sahabat-sahabat?”

“Perkenalkan dirimu dulu,” kata si-kurus.

“Aku jang rendah she Tjioe, bernama Wie Sin,” katanja. “Sahabat2 didunia Kang-ouw telah menghadiahkan gelar “Tiat-pian Tin-pat-hong kepadaku.”

Si-penjakitan tertawa dingin dan mengedjek: “Hm! Perkataan Tin (menguasai) sebaiknja ditukar dengan Pay (memberi hormat dengan berlutut).”

“Ditukar dengan Pay?” si kurus menegas. “Ha! Orang she Tjioe! Toako-ku telah menghadiahkan kau suatu gelar lain: Tiat-pian Pay-pat-hong (si-Petjut-besi jang berlutut kedelapan pendjuru).” Hampir berbareng dengan edjekan itu, mereka berempat terbahak-bahak.

Sebisa-bisanja Tjioe Wie Sin menekan napsu amarahnja. “Bagus!” katanja dengan suara menjeramkan. “Bolehkah aku menanja: Dari djalan mana kalian datang? Siapakah pemimpin kalian?”

“Baiklah,” kata si-kurus sambil menundjuk si-penjakitan. “Tapi awas, djanganlah djatuh mampus karena kaget. Toako kami adalah Hoen-hee Sin-liong Siauw Yauw Tjoe (si-naga­ malaikat), Djieko jalah Tan-tjiang Po-pay Siang Tiang Hong (dengan satu tangan membelah pay batu), Shako adalah Lioe-seng Kan-goat Hoa Kiam Eng (si-Bintang-sapu mengedjar bulan), sedang aku sendiri jalah Pat-po Kan-sian Say-Tjoan–tjoe Tah-soat-boe-heng Tok-kak-soei-siang-hoei Song-tjek-kay-tjit-seng***) Kay It Beng!”

Tjioe Wie Sin heran bukan main. “Mengapa gelar orang itu begitu pandjang?” tanjanja didalam hati.

Sesudah memperkenalkan diri, si-kurus Kay It Beng berkata pula: “Kami berempat telah bersumpah untuk mendjadi saudara dan selalu melakukan perbuatan-perbuatan mulia, menghantam jang kuat, menolong jang lemah, merampas milik jang kaja untuk membantu jang miskin. Oleh sebab itu, sahabat-sahabat dalam kalangan Kang-ouw memberi nama Thay-gak Soe-hiap (Empat-pendekar Thay-gak) kepada kami.”

Mendengar keterangan itu, Tjioe Wie Sin berkata dalam hatinja: “Ditilik dari mereka, si-kurus tentunja mempunjai ilmu mengentengkan badan jang sangat tinggi, si-tinggi-besar tentu hebat tenaga tangannja, sedang si-muka-putih tentu liehay dalam menggunakan Lioe-seng-toei. Hanja nama Hoen-hee Sin-liong Siauw Yauw Tjoe jang agak luar biasa. Nama itu seperti djuga nama seorang berilmu tinggi, seorang terkemuka dari Rimba Persilatan. Tetapi mengapa aku belum pernah mendengar nama Thay-gak Soe-hiap disebut-sebut orang? Biar bagaimana djuga, hari ini aku harus berhati-hati.” Dengan pikiran demikian, ia lantas sadja memberi hormat sekali lagi seraja berkata: “Nama besar kalian aku sudah mendengar lama sekali. Sungguh beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu dengan kalian. Mengingat, bahwa piauw-kiokku belum pernah mempunjai gandjelan dengan Soe-hiap, maka aku mengharap, supaja kalian sudi membuka djalan. Dikemudian hari, aku tentu akan mengundjungi sahabat2 untuk menghaturkan banjak2 terima kasih.”

“Membuka djalan adalah soal mudah sekali dan kamipun tak sudi merampas piauw-mu.” kata Kay It Beng. “Kedatangan kami hanjalah untuk memindjam satu-dua mustika.”

“Mustika apa?” tanja Wie Sin.

“Huh-huh!” Kay It Beng mengeluarkan suara dihidung. “Sungguh aneh! Mengapa kau menanjakan kepadaku? Apakah kau sendiri tak tahu?”

Tjioe Wie Sin mengerti, bahwa soal itu tak akan bisa dibereskan dengan perdamaian. Ia sekarang jakin, bahwa keempat orang itu memang menginginkan Wan-yo-to. Sambil membuka sepasang pian jang ditelibatkan dipinggangnja, tenang2 ia berkata: “Kalau begitu, tiada djalan lain daripada meminta pengadjaran dari Thay-gak Soe-hiap. Siapa jang akan madju lebih dulu?” Sehabis berkata begitu, ia menoleh kebelakang dan menggapai. Lima piauw-soe dan empat Wie-soe dari gedong Tjong-tok, lantas sadja mendekat.

“Dalam menghadapi pendjahat2 itu, kita tak usah memegang peraturan.” bisiknja. “Kepung sadja mereka!” Dengan memberi perintah begitu, didalam hatinja ia mengandung maksud tertentu.

Selagi kawan-kawannja bertempur dengan empat pendjahat itu, ia hendak kabur seorang diri dengan membawa golok mustika itu.

“Toa-piauw-tauw,” kata Kay It Beng. “Biarlah lebih dulu aku tjoba2 mengadu pusutku dengan petjutmu.” Sehabis berkata begitu, ia segera menerdjang.

Tanpa turun dari tunggangannja, Tjioe Wie Sin menjabat Kong-tjek musuh dengan pukulan Tho-wan-to-so (Di-taman-tho-merampas tombak) sambil mendjepit perut kuda dengan kedua lututnja, sehingga hewan itu lantas sadja melompat kedepan.

“Bagus!” Toa-piauw-tauw hendak kabur!” teriak It Beng.

“Aku hendak menjelidiki apakah kau menjembunjikan kontjo diluar hutan!” kata pemimpin piauw itu sambil mentjambuk kuda.

Melihat musuh kabur terus, buru-buru Hoa Kiam Eng melontarkan Lioe-seng-toei-nja jang menjambar punggung Wie Sin. Tanpa menengok, Tin-pat-hong mengebaskan tjambuknja jang tangan kiri kebelakang dengan menggunakan pukulan Ya-tjong-sam-tjee (Diwaktu ­malam menjerang tiga benteng). Dengan berbunji “trang!”, bandringan itu terpukul kembali.

Sesudah berkenalan dengan sendjata Kay It Beng dan Hoa Kiam Eng, ia merasa, bahwa ilmu silat kedua pendjahat itu tidak seberapa tinggi. Ia menengok dan melihat Siauw Yauw Tjoe masih tetap bersandar pada pohon dengan memegang pipanja jang pandjang, tengah mengawasi tiga saudaranja jang sedang dikepung oleh para piauw-soe. Sikapnja tetap tenang, tanpa memperlihatkan sikap takut sedikit djua.

Wie Sin kaget dan berkata didalam hatinja: “Djika si-penjakitan turun tangan, mungkin aku sukar meloloskan diri lagi.” Ia mematju tunggangannja jang terus kabur sekeras-kerasnja.

Mendadak Siauw Yauw Tjoe mengajun tangan kanannja seraja berteriak: “Awas piauw!” Dengan disertai bunji njaring, serupa benda hitam menjambar kearah Wie Sin. Kepala piauw-soe ini menangkis dengan tjambuknja dan “plak!”, benda itu menempel pada sendjatanja!

Terperandjatlah Wie Sin dan penuh ketakutan, ia segera membedal tunggangannja tanpa menengok lagi. Sesudah berada diluar hutan dan melihat tiada jang mengubar, ia menahan kudanja dan memeriksa sendjata rahasia jang menempel pada tjambuknja. Ia merasa malu berbareng geli ketika ternjata, bahwa “sendjata rahasia” itu hanja sebuah sepatu rusak. Dengan perasaan sangsi, untuk beberapa saat ia duduk bengonng diatas punggung kudanja. Apakah ia sebaiknja kabur terus atau haruslah ia menunggu disitu untuk melihat perkembangan selandjutnja?

Sekonjong-konjong dari dalam hutan terdengar djeritan manusia jang sangat njaring, seperti babi disembelih. Djeritan itu hanja terdengar satu kali, kemudian suasana sunji-senjap pula, malah bunji beradunja sendjata djuga tidak terdengar lagi. Tjioe Wie Sin djadi semakin bimbang. “Apakah dalam waktu sesingkat itu, semua orang-orangku sudah dibasmi oleh Thay-gak Soe-hiap?” tanjanja didalam hati.

Tiba2 ia mendengar teriakan seorang: “Tjioe Tjong-piauw-tauw!… Tjioe Tjong-piauw-tauw!…” Suara itu adalah suara salah seorang piauw-soe. Ia tak mendjawab, tangannja meraba bungkusannja dimana tersimpan sepasang Wan-yo-to itu. Sesaat kemudian, terdengar pula teriakan lain: “Tjioe Tjong-piauw-tauw. Pendjahat sudah lari! Dipukul mundur oleh kami!”

Wie Sin terkesiap. “Mungkinkah itu?” tanjanja didalam hati sambil memutarkan tunggangannja. Di lain saat, dari dalam hutan keluarlah salah seorang pegawai piauw-kiok jang begitu melihat pemimpinnja lantas sadja berseru dengan suara girang: “Tjong-piauw-tauw. Semua pendjahat sudah kabur! Mereka tak punja guna.”

“Benarkah begitu?” tanja Wie Sin.

“Si-penjakitan dibatjok Thio Piauw-soe sampai darahnja muntjrat,” djawabnja. “Semua lantas kabur lari tunggang-langgang.”

Tjioe Wie Sin girang bukan main, tjepat2 ia kembali kedalam hutan. Begitu bertemu dengan orang-orangnja, ia berkata: “Belasan pendjahat jang bersembunji diluar hutan djuga sudah kuusir.” Seketika itu mukanja mendjadi merah karena malu dustanja sendiri.

Sambil mengajun golok, Thio Piauw-soe berkata dengan bangga: “Huh! Pendekar apa? Tak lebih tak kurang segala gentong kosong!” Semua orang tertawa, tertawa riang-gembira, mendadak dibelakang hutan terdengar rintihan manusia.

“Aduh!…….. aduh!”

“Bangsat!” bentak Tjioe Wie Sin. “Keluar kau!”

Suara merintah itu terdengar njata.

Thio Piauw-soe mengajunkan tangannja dan sebatang panah tangan menjambar kearah suara itu. “Aduh!” terdengar djeritan seseorang.

Dengan golok terhunus, dua pengawal piauw-kiok segera masuk kegombolan pohon dan menjeret keluar orang itu. Semua orang terperandjat, karena jang diseret itu ternjata si-orang she Ong jang turut mengantar piauw. Pakaiannja tjabik2 sedang sebatang anak panah menantjap dipantatnja.

***

Sesudah rombongan Wie Sin Piauw-kiok tak kelihatan bajangannja lagi, barulah Thay-gak Soe-hiap keluar dari tempat mereka bersembunji.

Hoa Kiam Eng merobek udjung badjunja untuk membalut luka Siauw Yauw Tjoe. “Toako, apakah lukamu berat?” tanja Siang Tiang Hong.

“Tak apa2!” djawabnja. “Hm! Mana mungkin kita melawan musuh jang begitu besar djumlahnja.”

Hoa Kiam Eng menghela napas. “Sedari semula aku sudah tak setudju, tapi Shako tetap berkeras,” katanja dengan nada menjesal. “dan akhibatnja, kini Toako mendapat luka.”

“Mereka seperti kawanan kerbau gila,” kata Kay It Beng. “Kalau sesudah mendengar nama besar Thay-gak Soe-hiap mereka masih sungkan mundur, bisa apa kita?”

“Sudahlah, kita tak boleh menjalahkan Shatee,” kata Siauw Yauw Tjoe.

“Bagaimana baiknja sekarang?” tanja Siang Tiang Hong. “Dengan tangan hampa, kita malu menemui manusia.”

Ketiga saudaranja membungkam. Berselang beberapa saat, berkatalah Kay It Beng: “Menurut pendapatku……..” Baru sedemikian dapat diutjapkannja, ketika diluar hutan mendadak terdengar orang berlari-lari dari utara keselatan. “Aha!” kata Kay It Beng pula. “Dua orang! Sekarang dua melawan satu. Kambing gemuk ini tentu tak akan terlolos lagi!”

“Bagus!” kata Siang Tiang Hong. “Biar bagaimana djuga, kita harus merampas beberapa puluh tahil perak.”

Keempat saudara itu segera berpentjar dan bersembunji dibelakang pohon2 besar.

Beberapa saat kemudian, seorang jang dikedjar seorang lain masuk kehutan.

Jang berlari didepan adalah seorang pemuda, usianja kurang-lebih duapuluh tudjuh tahun dan tangannja memegang sebatang golok. Tiba2 dia berbalik dan berteriak: “Perempuan bangsat! Apakah benar2 kau mendjadi pembunuh?“

Thay-gak Soe-hiap terkedjut. Si-pengedjar adalah seorang wanita muda jang menggendong baji dipunggungnja. Tanpa mendjawab ia mementang gendewa dan melepaskan sedjumlah peluru. Laki2 itu menangkis dengan goloknja, tetapi ia tak berani membalas menjerang.

“Siapa kau? “ bentak Siauw Yauw Tjoe.

Kay It Beng bersiul njaring dan Thay-gak Soe-hiap melompat keluar dari tempat sembunji. 

“Berhenti!“ seru Kay It Beng.

Laki2 itu kabur lekas2 dan sambil lari, ia menengok kebelakang serta mentjatji: “Perempuan bangsat! Ganas benar kau? Djangan menjalahkan aku, djika aku kelak turun tangan!“

“Andjing!“ wanita itu balas memaki. “Djika hari ini aku tak bisa memampuskanmu, aku, Djim Hoei Yan, bersumpah tak mau mendjadi manusia lagi.“

Sesaat itu, Siauw Yauw Tjoe dan tiga saudaranja sudah menghadang didepan si-lelaki.

“Lim Giok Liong!“ teriak Djim Hoei Yan. “Kau masih belum mau berhenti?“

“Minggir!“ bentak Lim Giok Liong kepada Siang Tiang Hong jang berdiri didepannja. Tiba2 ia menunduk dan sebutir peluru tepat sekali mengenai hidung Siang Tiang Hong. “Perempuan bangsat!“ teriak si-orang she Siang dengan gusar sekali. “Mengapa kau menjerang aku? “

“Habis mau apa kau?“ djawab perempuan itu sambil melepaskan pula dua butir peluru, jang satu mengenai dada Siang Tiang Hong, sedang jang lain menghadjar lengannja, sehingga batu nisan jang dipegangnja djatuh ketanah.

Melihat Djieko mereka dihadjar, Kay It Beng dan Hoa Kiam Eng menerdjang dengan berbareng. Dengan tenang Djim Hoei Yan melepaskan lagi dua butir peluru, jang satu berkenalan dengan alis Kay It Beng, jang lain mampir dimulut Hoa Kiam Eng, sehingga sebuah giginja terlepas.

Selagi Djim Hoei Yan dirintangi oleh keempat orang itu, Lim Giok Liong sudah kabur keluar hutan. Bukan main gusarnja wanita itu. Dengan gergetan ia melepaskan sebutir peluru jang menjambar tangan Lauw Yauw Tjoe, sehingga pipa pandjangnja djatuh ditanah.

Ia kelihatan puas. Sambil bersenjum, berteriaklah ia: “Lim Giok Liong! Djangan kabur kau!”

“Hei, perempuan bangsat!” sajup-sajup terdengar djawabnja. “Djika kau mempunjai njali, hajo berkelahilah dengan menggunakan sendjata! Mengubar orang dengan peluru bukan perbuatan ksatria.”

“Andjing!” geram Djim Hoei Yan jang lalu mengedjar lagi.

“Toako, siapakah mereka?” tanja Hoa Kiam Eng.

“Lim Giok Liong adalah seorang gagah jang pandai menggunakan golok, sedang Djim Hoei Yan jalah seorang djago betina jang mahir melepaskan peluru,” djawabnja.

Kay It Beng tertawa didalam hatinja. Djawab sang kakak adalah djawab jang tak perlu diberikan.

“Wanita berwadjah tjantik,” kata Hoa Kiam Eng. “Mungkin si-orang she Lim telah tertarik dan tjoba melakukan perbuatan tak pantas.”

“Benar,” kata Siauw Yauw Tjoe, “Thay-gak Soe-hiap terkenal sebagai pembela keadilan. Dibelakang hari, djika bertemu lagi dengan orang she Lim itu, kita harus menghadjarnja.”

“Tapi, mungkin diantara mereka terdapat sakit hati jang hebat, misalnja si-orang she Lim telah membunuh orang tua Djim Hoei Yan,” kata Kay It Beng.

“Menurut pendapatku, kita tak boleh turun tangan sebelum menjelidikinja tjukup djelas.”

“Dari romannja, aku mendapat kesan, bahwa laki2 itu baik-baik,” kata Siauw Yauw Tjoe dengan sungguh2. “Wanita itu benar ganas, tapi dilihat dari ilmu silatnja, ia bukan sembarangan orang.”

Baru sadja Kay It Beng mau membuka mulut lagi, ketika diluar hutan tiba-tiba terdengar suara njanjian dan tak lama kemudian, seorang Soe-seng (sasterawan) berdjalan masuk kedalam hutan sambil menggojang-gojang kipasnja. Dibelakang pemuda itu berdjalanlah seorang katjung jang memikul barang.

Melihat datangnja orang itu, Hoa Kiam Eng jang memang sudah mendongkol dan sedang memegang giginja jang barusan tjopot, djadi lebih mendongkol lagi. Ia melirik Kay It Beng dan melompat ketengah djalan, mentjegat si-sasterawan. “Siapa kau?” bentaknja. “Mengapa kau ribut? Membisingkan telinga disini, sehingga tuan besarmu sakit kepala? Lekas bajar kerugian!”

Pemuda itu tampak kaget. “Bagaimana membajarnja?” tanjanja.

“Kau harus membajar kerugian karena, dengan njanjianmu, kami berempat sakit kepala,” kata Kay It Beng. “Kepada setiap orang kau harus memberikan seratus tahil perak, djadi seharusnja empatratus tahil!”

Si-sasterawan meletletkan lidahnja. “Mengapa begitu mahal?” tanjanja. “Sedang Hong-siang (kaizar) sendiri tidak memerlukan uang begitu banjak untuk mengobati sakit kepala.”

“Huh! Hong-tee (kaizar)?” bentak Kay It Beng. “Kau menjamakan kami dengan kaizar? Sungguh besar njalimu! Sekarang, karena kurang-adjarmu, kau harus membajar empatratus dikali dua djadi delapanratus tahil.”

“Aha! Djin-heng (saudara jang mulia) lebih berharga daripada Hong-siang?” tanja si-pemuda. “Bolehkah kutahu she dan nama Djin-heng jang besar?”

“Boleh, tentu sadja boleh. Aku bernama Kay It Beng dan dalam kalangan Kang-ouw aku dikenal dengan gelar Pat-po Kan-sian, Say-tjoan-tjoe Tah-soat-boe-heng Tok-kak-soei-siang-hoei  Song-tjek-kay-tjit-seng. Dalam Thay-gak Soe-hiap aku menduduki kedudukan ke­empat.”

Si-sasterawan mengangkat kedua tangannja seraja berkata: “Sungguh beruntung, sungguh beruntung bahwa hari ini aku bisa bertemu dengan Djin-heng jang bernama begitu besar." Ia berpaling kearah Hoa Kiam Eng dan berkata pula: "Dan Djin-heng ini?"

Alis Hoa Kiam Eng berkerut. "Siapa punja tempo melajani kebawelanmu?" bentaknja seraja mengangkat salah sebuah kerandjang jang dipikul si-katjung. Ia mendjadi girang karena kerandjang itu dirasakannja berat. Lekas2 ia membuka tutupnja, tetapi segera djuga ia mendjadi ketjewa karena kerandjang itu hanja berisikan buku2 tua. "Fui!" ia meludah. "Segala barang rosokan."

"Djin-heng keliru," kata si-sasterawan. "Itulah kitab2 dari para nabi dan pudjangga. Mengapa Djin-heng mengatakan barang itu rosokan?"

Sementara itu, Kay It Beng sudah membuka tutup kerandjang jang lain, jang ternjata hanja berisikan pakaian tua. Tak sepotong barangpun jang berharga.Thay-gak Soe-hiap saling memandang dengan putus harapan.

"Aku jang rendah kini sedang merantau untuk mengedjar ilmu dan mentjari ibu," kata si­sasterawan. "Bahwa hari ini aku bisa bertemu dengan keempat Djin-heng, hatiku bersjukur bukan main. Dengan mendapat djulukan sebagai Thay-gak Soe-hiap, para Djin-heng tentulah djuga pendekar2 mulia jang selalu bersedia untuk menolong sesama manusia."

"Kata-katamu memang tak salah," kata Siauw Yauw Tjoe.

"Ja! Dasar nasib baik, hari ini aku bisa bertemu dengan empat pendekar besar," kata pula si-sasterawan. "Setjara kebetulan, sedang menghadapi sebuah teka-teki sulit dan kini aku hendak memberanikan diri memohon pertolongan keempat Tay-hiap (pendekar besar)."

"Gampang," djawab Siauw Yauw Tjoe. "Sebagai pendekar, kami tak boleh menonton penderitaan orang sambil berpeluk tangan."

Pemuda itu menjodja dan menghaturkan terima kasih berulang-ulang.

"Siapa jang telah menghinamu?" tanja Kay It Beng.

“Hal ini sungguh memalukan," djawabnja. "Aku kuatir, bahwa keempat Djin-heng akan mentertawakan diriku."

“Aha!” seru Hoa Kiam Eng seperti baru tersedar dari mimpi. “Kau mempunjai adik perempuan jang tjantik dan adik itu dirampas orang, bukan?”

Si-pemuda menggelengkan kepala beberapa kali. “Tidak, bukan itu. Aku tak punja adik,” djawabnja.

“Hm! Kalau begitu, tentulah isterimu direbut hartawan djahat atau pembesar busuk,” kata Kay It Beng.

“Djuga bukan,” djawabnja. “Aku belum beristeri.”

Siang Tiang Hong tak dapat bersabar lagi. “Habis apa?” teriaknja. “Lekas sebutkan!”

“Tentu… aku tentu akan memberitahukan kesukaranku itu,” katanja. “Hanja aku kuatir, djika keempat Tay-hiap mendjadi gusar.”

Walaupun mengaku bergelar “Soe-hiap,” keempat orang itu hanjalah orang2 rendah jang berkepandaian rendah pula, dan tjara2 mereka jang aneh sering ditertawakan orang. Belum pernah mereka diangkat tinggi dan dipudji-pudji begitu muluk seperti sekarang. Oleh sebab itu, dengan hati riang mereka menepuk dada seraja berkata: “Lekas! Lekas sebutkan! Segala matjam kesulitan akan ditanggung oleh Thay-gak Soe-hiap.”

Pemuda itu kembali menjodja. “Baiklah,” katanja. “Dalam berkelana dalam dunia Kang-ouw, aku jang rendah kebetulan lewat ditempat Soe-hiap. Apa mau, sekarang djusteru bekalku habis dan didalam sakuku tidak terdapat sepeser buta. Sungguh beruntung, bahwa dalam keadaan terdjepit itu, aku bertemu dengan Soe-wie Tay-hiap. Maka, sekarang aku memberanikan diri memohon bantuan beberapa puluh tahil perak. Untuk budi Soe-hiap jang sangat besar itu, lebih dulu aku menghaturkan banjak-banjak terima kasih.”

Mendengar perkataan itu, alis mereka berkerut dan mereka saling memandang tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mereka sebenarnja ingin merampok milik pemuda itu, tapi diluar dugaan, dengan kata-kata litjin, saku merekalah jang berbalik mau dirogo. Lebih tjelaka lagi, mereka tak mungkin mundur pula karena sudah kepalang berbitjara temberang.

Tiba-tiba Siang Tiang Hong menepuk dada seraja berteriak: “Untuk menolong sahabat, djangankan hanja beberapa puluh tahil perak, sedangkan djiwapun masih boleh dikurbankan. Toako, Shatee, Sietee, keluarkan uangmu! Aku sendiri masih punja…” Sebelah tangannja merogo saku, tapi tangan itu tidak dikeluarkan lagi, karena dalam sakunja tidak terdapat uang.

Untung djuga, Hoa Kiam Eng dan Kay It Beng masih punja beberapa tahil perak jang lalu dikeluarkan dan diserahkan kepada pemuda itu. Si-sasterawan menjodja dan berulang-ulang menghaturkan terima kasih lagi seraja berkata: “Untuk budi jang besar ini, aku jang rendah tak akan melupakannja. Dikemudian hari, djika kita bisa bertemu pula, aku tentu akan membalas budi keempat Djin-heng.” Sehabis berkata begitu, sambil menuntun si-katjung, ia berdjalan keluar dari hutan itu.

Setibanja diluar hutan, sekonjong-konjong ia tertawa terbahak-bahak. “Aku menghadiahkan  beberapa tahil perak ini kepadamu,” katanja kepada si-katjung.

Si-katjung segera membereskan buku-buku. dan pakaian madjikannja  jang tadi diaduk-aduk, kemudian mengambil sedjilid buku tua jang segera dibukanja. Disoroti sinar matahari, diantara lembaran-lembaran buku itu terlihat sinar emas jang berkeredep. Ternjata, hampir pada setiap halaman terselip daun-daun emas!

Sementara itu, walaupun “kehilangan gabah karena gagal dalam usaha menangkap itik”, didalam hati Thay-gak Soe-hiap merasa senang, karena jakin sudah melakukan suatu perbuatan mulia. Kata Kay It Beng: “Si-sasterawan  berkelana keseluruh pelosok negeri, dan ia pasti akan menjiarkan nama Thay-gak Soe-hiap jang harum…” Ia baru sadja menjelesaikan perkataannja, ketika diluar hutan terdengar bunji kelenengan diantara derap kaki kuda jang datang dari arah selatan.

“Saudara-saudara,” kata Siauw Yauw Tjoe. “Didengar djalannja, kuda itu pasti bukan sembarang kuda. Biar apapun jang akan terdjadi, kuda itu mesti dirampas. Meskipun tak ada mustika, tunggangan itu dapat digunakan sebagai antaran guna memperkenalkan diri.”

“Benar,” djawab Kay It Beng sambil membuka ikat pinggangnja. “Buka semua ikat pinggang untuk digunakan sebagai tali pendjerat.”

Empat ikat pinggang lalu disambung mendjadi satu, tapi sebelum mereka selesai memasang djerat diantara dua pohon besar, si-penunggang kuda sudah masuk kedalam hutan.

Melihat keempat orang itu jang sedang berdjongkok ditanah sambil memasang tali, ia menahan kudanja seraja menanja: “Lagi membuat apa kalian?”

Tanpa menengok Kay It Beng mendjawab: “Memasang djerat…” Perkataannja mati ditengah djalan dan ia kaget sendiri karena insjaf sudah kelepasan kata. Ia menoleh kebelakang dan melihat, bahwa si-penunggang kuda adalah seorang wanita muda jang berparas tjantik, sehingga rasa kuatirnja segera berkurang banjak.

“Perlu apa memasang djerat?” tanja si-nona pula.

Kay It Beng berbangkit dan menepuk-nepukan kedua tangannja untuk membersihkan debu. “Baiklah,” katanja. “Karena kau sudah tahu, kami tak usah menggunakan tali itu lagi. Djika kau tahu diri, segeralah turun dan serahkan kudamu kepada kami. Thay-gak Soe-hiap pasti tak akan mengganggu seorang wanita jang berdjalan seorang diri, kami pasti tak akan merusak nama kami sendiri.”

Si-nona tertawa dan berkata: “Dengan merampas kudaku, bukankah kalian sudah ganggu seorang wanita?”

Kay It Beng termangu-mangu, tak dapat ia mendjawab pertanjaan itu. Untung djuga kakaknja buru2 menolong. “Bukan begitu,” kata Siauw Yauw Tjoe. “Kami tidak mau mengganggumu. Kami hanja mengganggu seekor binatang.” Sambil memandang kuda itu jang tinggi-besar lagi garang, dengan pelana indah dan lontjeng peraknja, semakin mengilar hati Siauw Yauw Tjoe.

“Tak salah,” Kay It Beng menjambung perkataan kakaknja. “Djika kau menjerahkan tungganganmu, Thay-gak Soe-hiap pasti, tak akan mengganggu selembar rambutmu. Orang seperti aku jang bergelar Pat-po Kan-sian Say-Tjoan-tjoe Tah-soat boe-heng…”

“Sudah!” teriak si-nona sambil menutup telinganja dengan kedua tangannja. “Kalian tak mengenal aku siapa dan aku pun tak usah mengenal kalian. Bukankah begitu?”

“Mengapa?” tanja Kay It Beng dengan heran.

Si-nona bersenjum dan mendjawab: “Karena kita tidak saling mengenal, maka djika aku melakukan kesalahan apa2, Thia-thia (ajah) tak bisa mengomel. Hei! Bangsat ketjil jang bernjali besar! Madju semua!”

Dengan suatu gerakan kilat, tahu-tahu kedua tangan si-nona sudah menggenggam sepasang golok. Ia menendang perut kudanja dan selagi tunggangannja melompat kedepan, ia mendekam diatas punggung kuda. Kedua tangannja bekerdja, golok ditangan kanan membabat, memutuskan tali pendjerat itu, sedang golok jang sebelah lagi menjambar kepala Kay It Beng.

“Tjelaka!” teriak It Beng sambil menangkis dengan pusutnja. “Tjring!”, pusut itu terbang dan menantjap didahan pohon.

Hoa Kiam Eng dan Siang Tiang Hong segera menerdjang untuk menolong saudara mereka. Dengan tenang, si-nona memutar sepasang goloknja dan dalam sekedjap, kedua “pendekar” itu sudah terdesak. Buru-buru Siauw Yauw Tjoe madju membantu dengan menggunakan pipa pandjangnja jang terbuat dari badja. Pipa itu digunakan seperti Poan-koan-pit untuk menotok djalan darah musuh, tetapi karena Siauw Yauw Tjoe belum mahir, totokannja sering meleset.

Si-nona djadi merasa geli didalam hati dan sengadja membiarkan lututnja kiri ditotok. “Setan penjakitan! Hiat (djalan-darah) apa jang kau totok?” tanjanja.

“Tiong-koei-hiat,” djawab Siauw Yauw Tjoe. “Apakah kaki-tanganmu sudah lemas. Lekas menjerah!”

“Huh! Tiong-koei-hiat bukan disitu!” edjek si-nona sambil tertawa geli, “Pukulanmu meleset dua dim kekiri.”

“Tak mungkin!” kata Siauw Yauw Tjoe dengan kaget dan segera ia tjoba menotok lagi. Sekali ini, si-nona tak berlaku sungkan. Dengan sekali menabas, pipa badja Siauw Yauw Tjoe dibuatnja djatuh ketanah. Sesudah itu, dengan tangan kanan menggenggam kedua goloknja, tangan kirinja menjambar leher badju Siauw Yauw Tjoe, sedang kakinja menendang perut kuda, jang, sambil berpekik njaring, lalu melompat dan kabur keluar hutan. Badan Siauw Yauw Tjoe, jang ditjengkeram belakang lehernja lemas seluruhnja dan ia tak dapat bergerak lagi. Melihat kakak mereka dibawa kabur, Kay It Beng bertiga segera mengedjar sambil berteriak-teriak.

Dalam sekedjap kuda itu sudah lari lebih dari satu li dan tubuh Siauw Yauw Tjoe sudah berlumuran darah akibat diseret-seret. “Kau menjengkeram Hong-tie-hiat, tentu sadja aku tak dapat melawan,” katanja.

Si-nona tertawa. Serentak dihentikannja kudanja, kemudian ia melontarkan tawanannja. “Kau ternjata mengenal baik djalan-darahmu sendiri,” katanja. Ia tertawa dingin, kemudian sambil menempelkan goloknja dileher tawanannja ia membentak: “Kau sangat kurang adjar terhadap nonamu, maka tak bisa tidak, kau harus dibunuh!”

Siauw Yauw Tjoe menghela napas. “Baiklah,” katanja. “Aku hanja memohon supaja kau membatjok di Thian-tjoe-hiat, supaja aku tak usah merasakan sakit!”

Si-nona kembali merasa geli. Ia mengambil keputusan untuk menggertak pula. Goloknja diletakkan diantara Thian-tjoe-hiat dan Hong-tie-hiat, dibelakang leher, “Disini?” tanjanja.

“Salah! Nona salah!” teriak Siauw Yauw Tjoe. Keatas sedikit! Satu tjoen dua hoen…”

Sesaat itu, Kay It Beng bertiga tiba disitu. “Nona!” teriak salah seorang. “Bunuhlah djuga kami bertiga…”

“Mengapa kamu mengantarkan djiwa sendiri?” tanja nona itu.

Kay It Beng madju beberapa tindak dan berkata dengan tenang: “Diwaktu Thay-gak Soe-hiap mengangkat saudara, kepada Langit dan Bumi kami telah mengatakan, bahwa biarpun kami bukan dilahirkan pada hari dan bulan jang sama, kami ingin mati bersama dalam sehari. Djika sekarang nona membunuh Toako, kami bertiga tidak berani hidup terus. Oleh sebab itu, kami minta, supaja nona suka sekalian membunuh kami bertiga.” Sehabis It Beng mengutjapkan kata-katanja, mereka mendekati sang toako dan memandjangkan leher supaja si-nona lebih mudah menurunkan goloknja.

Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Mesum : Sepasang Golok Mustika 1 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Mesum : Sepasang Golok Mustika 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2014/05/cerita-mesum-sepasang-golok-mustika-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Mesum : Sepasang Golok Mustika 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Mesum : Sepasang Golok Mustika 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Mesum : Sepasang Golok Mustika 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2014/05/cerita-mesum-sepasang-golok-mustika-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 5 komentar... read them below or add one }

Awas, Jangan di Klik ya mengatakan...

wih seru nih cerita, lanjut bagian 2 nya

Cara Cepat Sembuhkan Penyakit Stroke mengatakan...

salam, terimakasih banyak atas share artikelnya, bermanfaat sekali

Cara Cepat Sembuhkan Penyakit Rematik mengatakan...

thanks ya gan atas share artikelnya, :)
salam pencari backlink :P

kia mengatakan...

Saya Suka Cerita Flmnya, Pedang Pembunuh Naga...

Obat Luka Lecet Akibat Kecelakaan mengatakan...

terimakasih gan, saya ijin nyari backlink gan, salam

Posting Komentar