Cerita ABG : Sepasang Golok Mustika 2 Tamat

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Rabu, 07 Mei 2014

Cerita ABG : Sepasang Golok Mustika 2 Tamat---- Bagian 2

Si-nona mengangkat goloknja dan bergerak seakan-akan hendak menabas. Kay It Beng bersenjum dan tetap berdiri tegak. Golok jang sudah terangkat itu, perlahan2 diturunkan kembali. “Baiklah,” kata nona itu. “Ilmu silat kalian tak seberapa tinggi, tapi kalian memiliki pribudi jang sangat luhur. Kalian adalah laki2 sedjati dan aku tak dapat membunuh seorang gagah.” Sehabis berkata begitu, ia memasukkan kedua goloknja kedalam sarung.

Bukan main girangnja Thay-gak Soe-hiap. “Bolehkah aku mengetahui she dan nama nona jang mulia?” tanja Kay It Beng. ”Nama itu akan diingat selama-lamanja oleh Thay-gak Soe-hiap, supaja dibelakang hari kami bisa membalas budi nona jang sudah mengampuni djiwa kami.”

Mendengar mereka tanpa malu-malu terus menamakan diri sebagai “Thay-gak Soe-hiap,” si-nona tak bisa menahan rasa gelinja lagi dan tertawa terbahak-bahak. “She dan namaku tak perlu diketahui kalian,” djawabnja. “Sebaliknja, akulah jang ingin bertanja: “Mengapa kalian menghendaki tungganganku?”

Djawab Kay It Beng: ”Tahun ini, Sha-gwee Tjee-tjap (tgl. 10 Bulan Tiga) adalah hari ulang­tahun ke-limapuluh dari Tjin-yang Tay-hiap Siauw Poan Thian…”

“Kalian kenal Siauw Loo-enghiong?” si-nona memutuskan perkataan orang dengan nada terperandjat.

“Kami belum mengenalnja, tapi merasa kagum akan namanja jang termashur,” djawabnja. “Kami telah mengambil keputusan untuk memberi selamat pandjang umur, tapi… sungguh memalukan… kami tak punja apa2 untuk didjadikan barang antaran… maka…”

“Hm! Djadi, kamu ingin merampas tungganganku untuk didjadikan barang antaran, bukan?” kata si-nona sambil tertawa. “Gampang!” Ia mentjabut sebatang tusuk konde emas dari rambutnja dan berkata pula: “Ambillah ini! Inilah hadiahku kepada kalian. Mutiara ditusuk konde ini berharga tjukup besar. Kau boleh menggunakannja sebagai barang antaran dan Siauw Loo-enghiong pasti akan merasa girang.” Begitu tusuk konde itu disambuti Kay It Beng, ia mengedut kendali kudanja dan tunggangannja itu segera kabur bagaikan terbang.

Mutiara itu ternjata bundar, besar dan bersinar terang. Sekalipun seorang jang tak mengenal batu permata pasti bisa menduga, bahwa mutiara itu berharga besar sekali. Thay-gak Soe-hiap mengawasi tusuk konde itu dengan mendelong, tanpa mengeluarkan sepatah kata.

***

Nona itu duduk dalam sebuah kamar dihotel Hoen An dikota Kam-teng-tin. Diatas medja terdapat sebuah potji ketjil berisikan arak Hoen-tjioe jang tersohor diseluruh Tiongkok. Kam-teng-tin terletak diantara Leng-hoen-koan dan Ang-tong-koan, pusat pembuatan arak Hoen-tjioe jang terkenal sedap.

Ia menghirup dua kali. Pedas dan pedih dilidah terasanja. Mana boleh enak? Mengapa Thia-thia begitu dojan arak itu? Thia-thia sering berkata: “Anak perempuan tak boleh minum arak.” Sekarang, selagi berkelana sendiri, tak boleh tidak, sedikitnja, ia harus menghabiskan sepotji penuh. Tetapi sungguh tak mudah baginja untuk menghabiskan sepotji penuh. Baru dua hirupan, mukanja sudah terasa panas.

Dikamar sebelah, para piauw-soe sedang minum dengan gembira sambil berbitjara keras-keras, kadang2 diseling dengan teriakan atau tertawa njaring.

“Pelajan! Ambil lagi tiga kati!” teriak seorang.

“Thio Toako, kita sekarang harus berhati-hati,” kata seorang lain. “Djangan minum terlalu banjak. Sesudah tiba di-Pakkhia, baru kita boleh mabuk-mabukan.”

Tertawalah orang jang pertama. “Tjioe Tjong-piauw-tauw, kau terlalu hati2,” katanja. “Lihatlah, empat gentong kosong itu. Hm! Thay-gak Soe-hiap! Tapi kau sudah ketakutan setengah mati… Pelajan! Lekas! Ambil lagi tiga kati.”

Mendengar “Thay-gak Soe-hiap”, si-nona tertawa geli. Rupanja, rombongan piauw itu djuga sudah berpapasan dengan “Empat-pendekar Thay-gak”.

“Aku takut apa?” kata si-Tjong-piauw-tauw dengan nada kemalu-maluan. “Mana kau tahu, aku memikul tanggung-djawab jang luar biasa besarnja. Piauw duapuluh laksa tahil perak tiada artinja, sedikitpun aku tak memikirkan uang sebegitu. Hm! Sekarang aku tak dapat memberitahukannja kepadamu. Biarlah kelak, setiba kita di-Pakkhia, aku akan membuka rahasia.”

“Tak salah,” kata kawannja dengan nada mengedjek. “Aku mana tahu. Mana kutahu. Huh­huh! Wan-yo-to!… Wan-yo-to!…”

Mendengar “Wan-yo-to”, si-nona terkedjut dan lekas2 menempelkan kupingnja di dinding supaja bisa mendengarkan lebih djelas lagi. Tapi dalam kamar sebelah itu sudah tak terdengar suara apa2 pula. Perlahan-lahan ia membuka pintu dan mendekati djendela kamar para piauw-soe itu.

“Bagaimana kau tahu?” bisik Tjioe Tjong-piauw-tauw. “Siapa jang membotjorkan rahasia? Saudara Thio, urusan ini bukan urusan ketjil.” Ia berbitjara bisik2 dengan nada sungguh-sungguh.

“Semua saudara jang berada disini sudah tahu seluruhnja,” djawab jang ditanja dengan suara tawar. “Rahasiamu adalah rahasia umum. Hanja kau sendiri jang menganggapnja sebagai rahasia besar.”

“Siapa jang membotjorkannja?” tanja Tjioe Tjong-piauw-tauw dengan suara gemetar.

“Ha-ha-ha!” Thio Piauw-soe tertawa njaring. “Siapa? Siapa lagi, kalau bukan kau sendiri?”

Tjioe Tjong-piauw-tauw mendjadi semakin bingung. “Kapan? Kapan aku membuka rahasia itu?” tanjanja. “Djika kau tak mau mentjeritakan seterang-terangnja, aku tak mau mengerti. Saudara Thio, aku selamanja belum pernah memperlakukanmu setjara kurang pantas…”

“Tjioe Tjong-piauw-tauw,” tjeletuk seorang lain.“Kau tak usah bingung. Thio Toako tidak berdjusta. Kau sendirilah jang membotjorkan rahasiamu.”

“Aku?” tegasnja dengan mata membelalak. “Aku? Mana mungkin?”

“Sedari kita meninggalkan See-an, setiap malam Tjong-piauw-tauw mengigau,” kata orang itu. “Saban malam kau selalu menjebut-njebut Wan-yo-to jang katanja harus diantar ke-Pakkhia…”

Semangat Tjioe Wie Sin terbang, ia berdiri terpaku dengan mulut terbuka lebar2. Rahasia jang begitu besar telah dipetjahkan olehnja sendiri! Ia jakin, bahwa hal itu sudah terdjadi karena otaknja terlalu memikirkan Wan-yo-to, sehingga didalam pulas, tanpa sadar pikirannja bekerdja terus dan ia djadi mengigau. Sesudah menetapkan hatinja jang berdebar keras, ia menjodja kepada rekan-rekannja dan berkata dengan suara rendah: “Aku memohon, supaja saudara2 tidak menjebut-njebut lagi Wan-yo-to. Malam ini, aku akan mengikat mulutku dengan sepotong kain.”

Mendengar semua itu, bukan main girangnja si-nona jang memasang kuping didjendela. “Ditjari sampai sepatu besi rusak, masih tak akan bisa ditemukan, tapi didapatkannja tanpa mengeluarkan tenaga,” katanja didalam hati. “Dalam mimpipun orang tak akan menduga, bahwa Wan-yo-to berada ditangan piauw-soe itu. Hm! Aku ingin sekali mengetahui apa jang akan dikatakan ajah, djika aku membawa pulang golok mustika itu.”

***

Nona itu she Siauw, namanja Tiong Hoei. Ajahnja bukan lain daripada Tjin-yang Tay-hiap Siauw Poan Thian jang namainja sangat terkenal dan mempunjai pergaulan luas dalam dunia Kang-ouw. Sebulan sebelumnja, ia telah mendengar, bahwa Wan-yo-to — jang sudah lama hilang — telah ditemukan kembali oleh Tjoan-siam Tjong-tok Lauw Ie Gie. Ia tahu, bahwa dalam sepasang golok mustika itu tersembunji suatu rahasia besar dan katanja, siapa jang memilikinja bisa mendjadi seorang gagah jang tiada tandingannja dikolong langit.

Pada djaman itu, Tiongkok sedang didjadjah oleh bangsa Boan dan segenap penjinta negeri berangan-angan merobohkan pemerintah Tjeng dan mengembalikan tanah-air kepada bangsa Han. Siauw Poan Thian berpendapat bahwa djika rahasia Wan-yo-to djatuh kedalam tangan kaizar Tjeng, maka kaisar itu akan mendjadi ibarat harimau jang bertambah sajap dan dapat berbuat lebih sewenang-wenang terhadap rakjat. Sebagai pemimpin Rimba Persilatan wilajah Siamsay dan Shoasay dan sebagai seorang jang masih mempunjai sangkut-paut sangat rapat dengan golok mustika itu, segera djuga ia mengambil keputusan untuk merebutnja.

Ia menaksir, bahwa Lauw Ie Gie akan mengirim golok itu kekota radja untuk diserahkan kepada kaizar. Menurut pedapatnja, daripada tjoba merampasnja digedung Tjong-tok di-See-an jang terdjaga kuat, lebih baik mentjegatnja ditengah djalan.

Tapi Lauw Ie Gie adalah seorang pintar lagi litjik. Sesudah mendapatkan golok itu, berulang-ulang ia mengirim utusan atau rombongan utusan kekota radja, dan menjiarkan berita, bahwa mereka dikirim untuk membawa barang antaran kepada kaizar. Dengan demikian, para orang gagah jang tjoba mentjegatnja berkali-kali djadi ketjele.

Untuk mewudjudkan keinginannja, Siauw Poan Thian segera menggunakan siasat lain. Ia mengirim Eng-hiong-thiap (surat undangan) kepada orang2 gagah dipropinsi Siamsay, Shoa­say, Hopak dan Shoatang untuk mengundang mereka menghadiri perajaan dari ulang tahunnja jang ke-limapuluh. Pada surat undangan itu dilampirkan surat tambahan jang meminta supaja sahabat2nja berusaha untuk menjelidiki dan merebut Wan-yo-to. Tak usah dikatakan lagi, bahwa tambahan itu hanja dilampirkan kepada surat undangan untuk sahabat2nja jang kedjudjurannja sudah dikenalnja baik2. Ia jakin, bahwa djika rahasia itu botjor, bukan sadja Wan-yo-to tak bisa direbut, tapi djiwa orang jang menerima Eng-hiong-thiap pun bisa melajang.

Begitu mengetahui niat ajahnja, Siauw Tiong Hoei segera mengadjukan permohonan men­tjoba2 peruntungannja. Ketika Siauw Poan Thian memerintahkan murid2nja membawa surat undangan keperbagai tempat, si-nona mau mengikut. Ketika sang ajah mengirim orang untuk mentjegat golok itu ditengah djalan Samsay, ia pun mau mengikut. Tapi Siauw Poan Thian selalu menggelengkan kepala dan berkata: “Tidak boleh!” Djika ia mendesak terlalu keras, ajahnja lantas sadja berkata: “Tanja Toa-ma, tanja sadja Mama.”

Siauw Poan Thian mempunjai dua isteri, jang pertama she Wan, jang kedua she Yo. Biarpun Tiong Hoei dilahirkan oleh Yo Hoedjin, tapi Wan Hoedjin menjajangnja bukan main dan memperlakukannja seperti anak kandung sendiri. Djika ibunja sendiri jang melarang, ia masih berani membantah. Tapi kalau larangan itu datangnja dari Wan Hoedjin, jang dipanggilnja Toa-ma, ia tak berani banjak bitjara lagi. Wan Hoedjin memperlakukannja dengan penuh tjinta, tetapi tegas, sehingga sedari ketjil ia tak berani membantah perkataan Toa-ma.

Sesungguhnja demikian, soal merebut Wan-yo-to mempunjai daja penarik jang sangat hebat. Setiap hari ia membajangkannja. Usaha itu penuh bahaja dan djusteru karena besarja bahaja itu, daja penariknja djadi semakin besar.

Achirnja ia tak dapat menahan kehendak hatinja lagi. Pada suatu malam, ia menulis surat untuk ajahnja, Toa-ma, dan Mama. Kemudian ia meninggalkan Tjin-yang dengan diam2 menunggang seekor kuda. Ditengah djalan ia bertemu dengan Thay-gak Soe-hiap dan dirumah penginapan, setjara kebetulan ia mendengar pembitjaraan antara para piauw-soe itu.

Sesudah berdiri beberapa lama dimuka djendela itu, dan tak bisa mendapat keterangan lain jang penting, Siauw Tiong Hoei segera hendak kembali kekamarnja sendiri. Tetapi, ketika baru dua langkah ia berdjalan, dari dalam kamar seberang jang dipisahikan sebuah tjim-tjhe, mendadak terdengar bunji sendjata beradu.

“Benar-benar kau mau berkelahi?” demikian terdengar teriakan seorang lelaki.

“Kau kira aku main2?” terdengar suara seorang wanita. Bunji sendjata beradu itu menghebat dan didjendela kamar itu terlihat dua bajangan hitam, bajang2 seorang laki2 dan seorang perempuan jang sedang bertempur dan sama2 menggunakan golok.

Serentak rumah penginapan itu mendjadi katjau-balau. Para tamu jang njalinja ketjil menutup pintu rapat-rapat dan tidak berani keluar.

“Semua orang tetap pada tempat pendjagaannja!” seru Tjioe Wie Sin. “Siap-sedia mendjaga semua kereta piauw. Djangan terpedajakan tipu memantjing harimau keluar dari gunung.”

Mendengar komando Tjioe Wie Sin, Siauw Tiong Hoei bersenjum. “Tolol benar piauw-soe itu,” pikirnja. “Apakah dia tak bisa mendengar, bahwa kedua orang itu tengah berkelahi mati-matian? Sajang dia tidak keluar dari kamarnja. Kalau dia keluar, aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk mentjuri Wan-yo-to.”

Kelika berpaling lagi kedjendela itu, si-nona melihat wanita itu sudah terdesak dan harus berkelahi sambil mundur, didesak terus oleh lawannja. Darah ksatria Tiong Hoei lantas sadja meluap. “Hm! Pendjahat itu tentu mau berbuat kurang adjar,” pikirnja. “Aku tak dapat tak tjampur-tangan.” Tetapi, ketika baru sadja akan bergerak, ia sudah mendapat pikiran lain. “Tak bisa! Djika aku turun tangan, kawanan piauw-soe itu tentu akan bertjuriga dan aku tak bisa lagi mentjuri Wan-yo-to,” katanja didalam hati. Karena berpikir begitu, maka sedapat mungkin ia menahan napsu amarahnja.

Sementara itu, pertempuran sudah djadi semakin seru dan kedua orang itu saling mentjatji dengan menggunakan bahasa daerah Shoatang selatan jang tidak dimengerti si-nona.

Bersambung...

halaman 71 - tamat

“Fui! Perempuan bawel!” seru Lim Giok Long.

Siauw Tiong Hoei tak kuat mendengar pertjektjokan itu lebih lama lagi. Sambil menutup kedua kupingnja, ia berlari-lari.

Si-nona kabur bagaikan kalap. Dunia jang berusan sadja indah dan terang luar biasa, sekarang berubah mendjadi sempit dan gelap. Selagi kabur sekeras-kerasnja, tiba2 ia bertubrukan dengan seorang lain, jang lantas terguling. “Tjelaka! Mungkin dia terluka hebat,” katanja didalam hati sambil tjoba membangunkan orang jang djatuh itu.

Mendadak ia merasakan lengan kirinja kesemutan karena nadinja ditjengkeram orang. Ia mengawasi dan setjara wadjar tangan kanannja menghantam orang itu. Tapi dengan suatu gerakan Kin-na-tjhioe (ilmu menangkap dan menjengkeram), orang itu sudah menjengkeram djuga nadi tangan kanannja. Sekarang si-nona tahu, bahwa orang itu bukan lain daripada Toh Thian Hiong.

Sambil tertawa terbahak-bahak, ia berseru: “Wie Sin, ambil dulu jang satu!”

Tjioe Wie Sin segera menghampiri dan merampas Wan-yo-to pendek jang tergantung dipinggang si-nona.

“Nama Siauw Poan Thian menggetarkan seluruh dunia Kang-ouw dan hari ini adalah hari ulang-tahunnja jang ke-limapuluh, sehingga didalam gedungnja tentu berkumpul banjak sekali orang jang berkepandaian tinggi,” kata Toh Thian Hiong. “Wie Sin! Apakah kau berani menjateroni gedung keluarga Siauw untuk merebut pulang Wan-yo-to pandjang?”

“Dengan mengandalkan keangkeran Soesiok, biarpun mesti masuk kedalam sarang harimau, teetjoe pasti tak akan menolaknja,” djawab si-keponakan murid.

Toh Thian Hiong mengeluarkan suara dihidung dan mengedjek: “Hm! Anak tolol! Segala apa harus mengandalkan Soesiok!”

Pada hakekatnja, Toh Thian Hiong adalah seorang jang sangat sombong dan selama hidup, ia djarang sekali bertemu dengan tandingan. Tapi sesudah dikalahkan oleh Wan Koan Lam dan Siauw Tiong Hoei dengan ilmu golok Hoe-tjee To-hoat, njalinja mendjadi tjiut. Sekarang setjara tidak terduga, ia berpapasan dengan Siauw Tiong Hoei dan diluar dugaan pula, ia sudah berhasil menawannja. Ia mendjadi girang bukan main, karena bukan sadja ia boleh tak usah takut lagi kepada Wan Koan Lam, tapi dengan si-nona berada dalam tangannja, biarpun dalam gedung keluarga Siauw terdapat banjak orang pandai, Siauw Poan Thian pasti tak akan berani melawan dan akan segera menjerahkan Wan-yo-to jang sebilah lagi.

Demikianlah, dengan paras ber-seri2, ia menggiring tawanannja menudju kegedung keluarga Siauw dengan sepasukan polisi dari kantor Tiekoan dan rombongan piauw-soe dari Wie Sin Piauw-kiok.

Begitu membatja kartjis nama dengan huruf2 “Toh Thian Hiong”, Siauw Poan Thian terkesiap dan berkata: “Undang ia masuk!”

Beberapa saat kemudian, sambil membusungkan dada dengan sikap angkuh, Toh Thian Hiong masuk kedalam ruangan tengah.

Siauw Poan Thian madju beberapa tindak untuk menjambut tamunja. Tiba2 sadja ia mengawasinja dengan mata membelalak. Dibelakang tamu itu berdjalanlah puterinja sendiri dengan kedua tangannja ditelikung kebelakang, sedang seorang jang bertubuh tinggi-besar membuntutinja sambil menempelkan udjung Wan-yo-to pendek dipunggung Siauw Tiong Hoei.

Tapi Siauw Poan Thian adalah djago kelas berat jang sudah kenjang selulup-timbul dalam gelombang dan badai hebat. Biarpun djantungnja berdebar keras, mukanja sedikitpun tidak berubah. “Aku sungguh merasa malu, bahwa pada hari ulang-tahunku, seorang dusun, Sie-wie Taydjin sudah memerlukan untuk datang berkundjung,” katanja sambil membungkuk.

Selama berada di-istana kaizar, sudah lama Toh Thian Hiong mendengar nama-besar Siauw Poan Thian. Melihat tuan rumah jang berparas angker, bertubuh kekar, berkumis dan berdjenggot, diam2 ia mengakui, bahwa Siauw Poan Thian memang bukan sembarang orang. Sambil mengangkat tangan kanannja, ia berkata: “Berhubung dengan hari shedjit Siauw Tayhiap, aku sengadja datang kemari untuk memberi selamat. Untuk kelantjangan itu, aku memohon supaja Tayhiap sudi memberi maaf.”

“Bagus! Bagus!” kata Siau Poan Thian sambil tertawa. Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan tangannja untuk mendjabat tangan tamunja. Dengan berbareng mereka mengerahkan Lweekang mereka dan dengan berbareng pula, lengan mereka terasa sakit dan separuh badan mereka kesemutan. Dari pertandingan tenaga itu, masing2 pihak mengetahui, bahwa Lweekang mereka kira2 setanding.

Mereka sama2 mereasa heran, tapi keheranan Toh Thian Hiong adalah lebih besar dari keheranan Siauw Poan Thian. Dalam kedudukannja jang sangat tinggi dalam Rimba Persilatan, ia mempunjai dua gelar, jaitu Tin-thian Sam-sip-tjiang (Tigapuluh pukulan tangan jang menggetarkan langit) dan Ouw-yan Sip-pat-pian (ilmu bersilat pian jang mempunjai delapan-belas djalan dari Ouw-yan Tjan).

Tin-thian Sam-sip-tjiang hanja dapat ditandingi dengan ilmu Hoen-goan-boe (ilmu jang meliputi seluruh alam). Dan ilmu jang barusan digunakan Siauw Poan Thian bukan lain daripada Hoe-goan-boe.

Jang paling mengedjutkan dan mengherankan jalah: Ilmu Hoen-goan-boe hanja bisa dijakinkan oleh seorang jang mempunjai tubuh Tong-tjoe-sin (tubuh djedjaka, belum pernah menikah). Seseorang jang memilikinja – tak perduli laki2 atau perempuan – akan kehilangan ilmunja begitu lekas ia menikah. Dipeladjarinja sukar bukan main, hilangnja mudah sekali. Itulah sebabnja, mengapa dalam Rimba Persilatan, djarang sekali orang mau mempeladjari ilmu tersebut.

Bagaimana Toh Thian Hiong tak mendjadi heran? Ia tahu, bahwa Siauw Poan Thian mempunjai dua isteri, isteri tua dan bini muda, sedang puterinja sudah remadja. Bagaimana tjaranja, sehingga ia mampu mempertahankan ilmu Hoen-goan-boe? Inilah sungguh2 satu keanehan dalam dunia persilatan.

Melihat keadaan si-nona, bukan main kagetnja Wan Koan Lam. Sesudah dapat menenteramkan hati, dengan berindap-indap ia mengambil djalan berputar dan muntjul dibelakang rombongan piauw-soe. Baru sadja ia berpikir untuk menerdjang guna menolong, tiba2 Toh Thian Hiong jang ternjata mempunjai mata sangat awas, membentak dengan suara keras: “Orang she Wan! Djangan bergerak kau!” Ia menengok kepada keponakan muridnja seraja berkata pula: “Wie Sin! Djika ada jang bergerak, tikamkan golok itu kepunggung si­botjah.”

Diantjam begitu, tentu sadja Wan Koan Lam tak berani bergerak pula.

“Siauw Tayhiap,” kata Toh Thian Hiong, “orang terang tidak bisa main gelap2an. Kedatanganku hari ini mempunjai dua maksud, pertama adalah untuk memberi selamat pandjang umur kepada Tayhiap dan kedua untuk menukarkan mustika jang tak ternilai harganja dengan mestika lain jang sama harganja.”

“Aku seorang bodoh dan aku tak mengerti maksud Taydjin,” kata tuan rumah.

Kedua mata Toh Thian Hiong jang putih terbalik dan ia mengawasi Siauw Poan Thian dengan matanja jang wadjar. Ia tertawa seraja berkata: “Mustika ditanganku jang tak ternilai harganja adalah puterimu. Mustika jang ditanganmu dan berharga sama tingginja jalah Wan-yo-to. Dengan Siauw Tayhiap, aku sama-sekali tidak bermusuh. Pengharapanku satu-satunja adalah supaja kami bisa menjerahkan sepasang golok itu kepada Hong-siang, guna menolong djiwa sedjumlah keluarga. Aku mengharapkan, aku memohon, agar Tayhiap suka bermurah hati dan sudi menolong djiwaku.” Sehabis berkata begitu, ia menekuk sebelah lututnja sebagai suatu pemberian hormat. Ia berbitjara dengan kata2 merendah, tapi siapapun bisa mendengar bahwa nadanja penuh kesombongan.

Dengan sebelah tangannja, Siauw Poan Thian menekan belakang kursi. “Brak!”, kursi itu berantakan!

“Mengapa Toh Taydjin jang namanja menggetarkan Rimba Persilatan, hari ini djadi begitu tolol?” katanja seraja tertawa. “Wan-yo-to tidak berada dalam tanganku dan nona itu pun bukan puteriku. Apakah seorang jang mejakinkan Tiong-tjoe-kang Hoen-goan-boe bisa mempunja anak?” (Tiong-tjoe-kang berarti ilmu silat jang hanja bisa diyakinkan oleh seorang jang tidak pernah menikah). Sambil berkata begitu, ia mengebaskan lengan badjunja dan kesiuran angin jang dashjat lantas sadja menjambar, sehingga Toh Thian Hiong buru2 berkelit. “Tak salah! Pukulan ini memang benar pukulan Tong-tjoe-kang Hoen-goan-boe,” katanja didalam hati.

Orang jang terpukul paling hebat karena perkataan Siauw Poan Thian, adalah nona Siauw sendiri. Sesudah mengetahui, bahwa Wan Koan Lam adalah kakaknja sendiri, hatinja hantjur-luluh. Sekarang guna menolong djiwanja, sang ajah sudah tak mengakui dirinja sebagai anak. Maka itu, dengan hati seperti di-iris2, tanpa merasa ia berteriak: “Thia-thia!”

Pada saat itulah diluar gedung terdengar teriakan2, sorak-sorai dan pekik kuda. “Djangan sampai pemberontak Siauw Gie lari! Kurung! Djangan kasih dia lari!” demikian terdengar teriakan ber-ulang2.

Dilain saat, beberapa budjang dari gedung keluarga Siauw masuk dengan ter-birit2 dan berteriak: “Looya!…… tjelaka!…… tentara negeri… tentara negeri mengurung gedung ini!”

Mendengar perkataan “pemberontak Siauw Gie”, Toh Thian Hiong lantas sadja berteriak: “Bagus! Kalau begitu kau adalah pemberontak Siauw Gie jang sudah sedjak enambelas tahun ditjari Hong-siang!”

Beberapa bajangan berkelebat dan empat Sie-wie melompat kedalam. “Toh Toako!” seru salah seorang, “Dialah pemberontak Siauw Gie. Mengapa Toako belum turun tangan?”

Siauw Poan Thian tertawa ter-bahak2. “Sudahlah!” teriaknja. “Enambelas tahun aku menjamar dan hari ini biarlah kamu melihat wadjahku jang aseli.” Ia mengusap mukanja dan semua orang memandangnja dengan mata membelalak.

Keadaan dalam ruangan itu sebenarnja sudah katjau-balau. Tapi sekarang, pada saat semua mata ditudjukan kepada Siauw Poan Thian tanpa berkesip, seluruh ruangan djadi sunji-senjap. Muka Siauw Poan Thian jang tadi penuh dengan brewok, sekarang berubah litjin lagi bersih.

Tiba2 kesunjian dipetjahkan oleh teriakan katjung Wan Koan Lam jang ber-lari2 masuk sambil menenteng dua kerandjang buku: “Kongtjoe! Lekas lari!”

Melihat si-katjung dan kerandjang buku itu, mendadak Wan Koan Lam mendapat serupa ingatan. Dengan tjepat ia mendjemput sedjilid buku tua jang lalu dikebaskan. Berbareng dengan kebasan itu, dalam ruangan terbang me-lajang2 puluhan lembaran emas jang tipis.

Emas mempunjai daja penarik jang sangat besar. Melihat emas, apapula lembaran2 emas itu terbang mendekat sendiri, hati semua piauw-soe dan tentara Tjeng lantas sadja terpikat dan mereka melupakan kewadjiban masing2 sekedjap, mereka berebut emas itu.

Wan Koan Lam terus mengebaskan buku tua itu, mengebas kearah Tjioe Wie Sin. Tapi daja penarik lembaran2 emas itu ternjata tak tjukup kuat untuk menggerakkan hati Tjioe Wie Sin jang berat sekali kepada tanggung-djawabnja. Ia tahu, bahwa djika Wan-yo-to hilang, bukan sadja dia sendiri, tapi seluruh keluarganja akan mendapat hukuman berat. Melihat si Tjong-piauw-tauw tak tergerak hatinja, Wan Koan Lam segera menimpukkan buku tua itu jang tepat mengenai muka Tjioe Wie Sin.

“Aduh!” teriak Tjioe Wie Sin, badannja bergojang2, Wan Koan Lam mengendjot tubuhnja dan menubruk. Melihat keponakan muridnja diserang, Toh Thian Hiong melompat untuk menangkis serangan itu. Tapi baru bergerak, tiba2 ia merasa iganja disambar dengan pukulan Hoen-goan-boe, sehingga ia terpaksa mengurungkan niatnja untuk membantu Tjioe Wie Sin dan menangkis pukulan itu. Begitu dua tangan itu kebentrok, tubuh Toh Thian Hiong dan Siauw Poan Thian sama2 terhujung beberapa tindak. Sementara itu, dengan goloknja jang ditangan kiri, Wan Koan Lam sudah berhasil memukul mundur Tjioe Wie Sin, sehingga dengan tangan kanannja ia dapat membuka djalan darah Siauw Tiong Hoei jang tertotok.

Antara tamu2, sebagian ketjil jang njalinja tjiut sudah lari kabur, tapi sebagian besar jang terdiri dari sahabat2 Siauw Poan Thian, dengan serentak menghunus sendjata dan menjerang tentara Tjeng, sehingga suatu pertempuran hebat lantas sadja terdjadi.

Begitu lekas djalan darahnja terbuka, dengan sekali melompat Siauw Tiong Hoei sudah berhadapan dengan Tjioe Wie Sin. Bagaikan kilat telapakan tangan kanannja menjambar dan “plak!”, kuping Tjong-piauw-tauw itu kena digampar. Hampir berbareng, tangan kiri si-nona menjambar pergelangan tangan si-orang she Tjioe dan dengan sekali menggentak, ia sudah berhasil merebut pulang Wan-yo-to jang pendek.

Wan Koan Lam girang tak kepalang. “Hoei-moay!” teriaknja. “Tjeng-hong-in-pwee Hee-yauw-tay!”

Mata nona Siauw tampak merah, hampir2 air matanja mengutjur. “Apakah kita masih bisa menggunakan Hoe-tjee To-hoat?” tanjanja didalam hati. Ia berdiam sedjenak dan matanja mengawasi keadaan disekitar situ. Ajahnja sedang bertempur hebat melawan Toh Thian Hiong, semua kawan masing2 sudah mempunjai lawan dan diantara begitu banjak orang, hanjalah Wan dan Yo Hoedjin jang keteter dan sedang didesak keras oleh dua Sie-wie.

“Hoei-moay, lekas tolong ibu!” seru Wan Koan Lam.

Si-nona mengangguk dan mereka menerdjang dengan berbareng. Dalam satu djurus – dengan pukulan Pek-siauw-seng-lie Song-hong-beng – salah seorang Sie-wie sudah terbatjok pundaknja dan roboh dengan menderita luka hebat. Dalam djurus kedua, dengan menggunakan pukulan Keng-siauw-yoe-djin Gan-djie-giok (Malam ini ada orang jang mukanja tampan bagaikan batu giok). Sie-wie jang satu lagi terguling sambil berteriak keras, karena terpukul gagang golok Siauw Tiong Hoei.

Bukan main hebatnja Hoe-tjee To-hoat! Kemanapun mereka menerdjang, disitu pasti djatuh korban2, baik Sie-wie, maupun piauw-soe. Hoe-tjee To-hoat mempunjai enampuluh pukulan, tapi baru mereka menggunakan separuhnja, ketjuali Toh Thian Hiong, ruangan itu sudah bebas dari antjaman musuh, jang ketinggalan hanjalah musuh2 jang menggeletak dilantai dengan terluka, sedang jang lainnja sudah pada kabur.

Selain lihay, Hoe-tjee To-hoat mempunjai sifat lain jang sangat aneh. Ilmu golok itu mudah sekali melukakan orang, tapi sukar membinasakan musuh. Setiap batjokan atau tikaman selalu mengarah bagian tubuh musuh jang tidak berbahaja. Tafsiran satu2nja dari sifat aneh ini jalah: Kedua suami-isteri jang dulu menggubah Hoe-tjee To-hoat adalah pendekar2 jang berhati mulia, jang sungkan mengambil djiwa manusia setjara serampangan.

Melihat Toh Thian Hiong masih berkutet terus dengan ajah mereka, dengan serentak Wan Koan Lam dan Siauw Tiong Hoei lompat menerdjang. Dua batang golong menjambar dengan berbareng, jang satu kearah pundak, jang lain kearah lutut musuh. Dalam keadaan berbahaja, dengan tjepat Toh Thian Hiong mentjabut pian badja jang dilibatkan dipinggangnja. “Trang!”, udjung golok Wan-yo-to pendek jang ditjekal si-nona, somplak!

Dalam serangan itu, Wan Koan Lam dan Siauw Tiong Hoei telah menggunakan pukulan Hie-kiat-sie-bong Tjay-kiauw-bok (Impian beruntung dipohon jang tinggi), salah-satu pukulan terlihay dalam Hoe-tjee To-hoat. Maka, biarpun golok si-nona tertangkis, tapi Wan-yo-to pandjang meluntjur terus dan tepat mengenai betis Toh Thian Hiong. Njali si-orang she Toh mendjadi tjiut. Sambil mengempos semangat, ia menghantam nona Siauw dengan telapakan tangannja dan selagi si-nona berkelit, ia mendjedjak kakinja dan badannja lantas sadja melesat keluar dari djendela. Tanpa menengok lagi, ia kabur dengan mengambil djalan diatas genteng. Sebenarnja pada waktu Toh Thian Hiong melompat, Wan Koan Lam dan Siauw Tiong Hoei masih dapat merintanginja dengan pukulan Eng-hiong-boe-song Hong-lioe-say (Orang gagah jang tiada keduanja mendjadi menantu jang romantis), tapi karena udjung golok si-nona sudah patah, maka pukulan itu tak dapat digunakan lagi.

Melihat musuh sudah disapu bersih, sedang dipihaknja hanja tudjuh-delapan orang terluka enteng, Siauw Poan Thian lantas sadja berkata dengan suara njaring: “Sahabat2! Tentara negeri sudah kabur, tapi kupertjaja tak lama lagi mereka akan menjateroni pula dengan kekuatan jang lebih besar. Tempat ini sudah tak dapat didiami lagi dan djika sahabat2 setudju, marilah sekarang djuga kita mundur kegunung Tiong-tiauw-san, guna berunding lebih djauh.

Usul itu lantas sadja disetudjui oleh semua orang.

***
Manusia tak dapat melawan nasib.

Baru sadja Siauw Poan Thian merajakan pesta besar digedungnja jang indah, sekarang ia mendjadi seorang buronan digunung belukar.

Mereka – Siauw Poan Thian, Wan dan Yoe Hoedjin, Wan Koan Lam, Siauw Tiong Hoei, suami-isteri Lim Giok Liong dan kurang-lebih duapuluh keluarga lain bersama murid2 mereka – berkumpul didepan sebuah guha besar, mengitari api-unggun sambil membakar daging binatang2 hutan.

Sambil mengawasi keluarganja dan kawan-kawannja, tangan kanan Siauw Poan Thian membuat gerakan mengurut djenggot. Gerakan itu sudah mendjadi kebiasaan selama belasan tahun – setiap kali ia akan berbitjara, ia selalu mengurut djenggotnja. Tapi sekarang, pada dagunja tidak terdapat lagi selembar djenggot. Ia tertawa dan kemudian berkata dengan suara terharu: “Sahabat2, lebih dulu aku ingin menghaturkan banjak2 terima kasih atas setia-kawan kalian. Karena gara-garaku, kalian bersengsara ditempat ini. Sahabat2! Siauw Gie sebenarnja adalah manusia biasa sadja. Tapi atas ketjintaan para sahabat, aku telah diberi djulukan sebagai Siauw Poan Thian (Siauw si-Setengah Langit). Sahabat2 sudah mengenal aku lama sekali, tapi kukira tiada jang tahu, bahwa aku sebenarnja seorang thay-kam****)!” Suasana ditempat itu, dimalam jang dingin itu, se-olah2 terkena pengaruh sihir. Semua orang terkesiap dan menatap wadjah djagoan itu dengan mata membelalak. Thay-kam? Mereka hampir tak pertjaja kuping mereka. Tapi paras Siauw Poan Thian kelihatan sungguh2, sedikitpun tidak memperlihatkan gujon atau main2. Wan dan Yo Hoedjin saling mengawasi dan kemudian menunduk.

Sesudah berhenti sedjenak Siauw Poan Thian berkata pula: “Tak salah, sahabat2 djangan bersangsi. Aku, Siauw Gie, adalah seorang thaykam. Dalam usia enam-belas tahun aku sudah mendjadi thaykam dan masuk keistana kaizar dengan tudjuan membunuh kaizar Boan, guna membalas sakit hati mendiang ajahku. Ajahku adalah seorang jang semasa hidupnja selalu memusuhi pendjadjah bangsa Boan, tapi achirnja ia telah dibunuh mati. Sesudah ajah meninggal dunia setjara mengenaskan, tudjuh orang saudara angkatnja, dengan minum arak jang tertjampur darah, telah bersumpah untuk membalaskan sakit hati itu.

“Tapi pengaruh dan kekuasaan kaizar Boan bukan main besarnja, sehingga ketudjuh paman itu semuanja kena dibinasakan oleh kaki-tangannja. Dengan demikian, sakit hati itu djadi semakin mendalam.

“Kedjadian jang menjedihkan itu telah mendjadi bahan pertimbanganku. Aku insjaf, bahwa biarpun kubeladjar ilmu silat seumur hidupku, belum tentu aku bisa menjusul kepandaian ajah dan para paman. Andaikata kubisa menjusul, djuga masih belum tentu aku mampu membalaskan sakit hati ajah. Oleh sebab itu, sesudah berpikir beberapa lama, aku mengambil keputusan untuk mendjadi thaykam guna mewudjudkan pengharapanku jang satu2nja dalam dunia ini. Aku rela mendjadi manusia hina-dina, asal sadja kudapat membalas sakit hati itu jang dalam bagaikan lautan.” Berkata sampai disitu, suara Siauw Poan Thian kedenganran parau dan semua orang jang mendengarnja merasa kagum tertjampur terharu.

Sesaat kemudian, ia berkata pula: “Akan tetapi diluar semua perhitungan, pendjagaan diistana kaizar bukan main kerasnja. Djangankan membunuh Hongtee (kaizar), sedangkan melihat muka Hongtee sadja sudah bukan kedjadian gampang. Belasan tahun, siang dan malam aku menunggu kesempatan, tapi kesempatan itu tak kundjung tiba.

“Enambelas tahun jang lalu, pada suatu malam, setjara kebetulan aku mendengar pembitjaraan antara dua orang Sie-wie. Mereka mengatakan, bahwa kaizar telah mengetahui, bahwa dalam dunia ini terdapat sepasang golok Wan-yo-to jang mempunjai kasiat luar biasa, jaitu, siapa sadja jang bisa memilikinja, dia akan mendjadi manusia jang tiada tandingannja dikolong langit. Kedua golok itu berada dalam tangan dua orang gagah, jang satu she Wan, sedang jang lain she Yo. Mendengar tjeritera itu, kaizar Boan lantas sadja menangkap seluruh keluarga Wan dan Yo untuk memaksa mereka menjerahkan sepasang golok tersebut. Tapi mereka itu adalah orang2 gagah jang tulen dan mereka menghadapi kebinasaan tanpa gentar sedikit djua. Sesudah membinasakan suami mereka, kaizar jang kedjam itu terus menahan Wan dan Yo Hoedjin didalam pendjara istana.” Waktu Siauw Poan Thian bertjerita sampai disitu, Wan dan Yo Hoedjin mengutjurkan air mata dengan derasnja dan mereka saling memeluk sambil menangis sedu-sedan. Wan Koan Lam dan Siauw Tiong Hoei saling memandang, dengan perasaan duka tertjampur girang.

Siauw Poan Thian menghela napas beberapa kali dan kemudian berkata pula: “Dengan darah meluap-luap, aku mengasah otak. Achirnja aku menarik kesimpulan, bahwa menolong kedua njonja itu adalah djauh lebih baik daripada membalas sakit hati. Demikianlah, aku sudah berhasil membunuh empat orang Sie-wie jang mendjaga kedua njonja itu dan achirnja berhasil pula menolong mereka keluar dari istana kaizar. Aku sudah berhasil, karena keempat pendjaga tersebut sedikitpun tak menduga, bahwa mereka akan diserang oleh seorang thay­kam.

“Tapi istana kaizar adalah sarang harimau dan dapat dimengerti, bahwa kami telah dikedjar sehebat-hebatnja. Dalam kekatjauan, kongtjoe dari Wan Hoedjin telah hilang. Kedjadian ini sangat mendukakan hatinja dan selama belasan tahun, aku terus-menerus berusaha untuk mentjarinja. Tak dinjana, berkat belas-kasihan Tuhan Jang Maha Esa, hari ini ibu dan anak bisa bertemu kembali. Apa jang lebih menggirangkan, jalah Wan Kongtjoe telah memiliki kepandaian jang sangat tinggi.” Ia berhenti sedjenak dan mengawasi si-nona. “Tiong Hoei,” katanja dengan suara terharu. “Sekarang kau sudah berusia delapanbelas tahun. Waktu kita baru bertemu, kau baru berusia dua tahun. Kau harus mengetahui, bahwa ajahmu adalah Sam-siang Tay-hiap Yo Pek Tiong jang namanja menggetarkan seluruh Rimba Persilatan.”

Kedua orang muda itu segera menubruk dan memeluk masing2 ibunja. Hati mereka penuh dengan perasaan duka dan terima kasih. Mereka berduka akan nasib ajah mereka, berterima kasih untuk budi Siauw Poan Thian.

Dengan air mata berlinang-linang, Siauw Poan Thian mengawasi dua pasang ibu dan anak itu jang sedang menangis sambil berpeluk-pelukan. Berselang beberapa saat, sesudah dapat menenteramkan hatinja jang terharu, barulah ia melandjutkan penuturannja. “Sesudah kami kabur dari Pakkhia, kaisar Boan segera mengirim kaki-tangannja untuk menjelidiki dan membekuk kami. Untuk mengelabui kuping dan mata kaki-tangan kaizar Tjeng, aku memakai kumis dan djenggot palsu, sedang Djie-wie hoedjin tak merasa keberatan untuk menjamar sebagai isteriku. Untung djuga, aku adalah seorang thaykam, sehingga sandiwara tidak sampai menodakan nama Wan Enghiong dan Yo Enghiong jang harum.” Bitjara sampai disitu, Siauw Poan Thian ingat pula akan kegagahan kedua pendekar itu, sehingga air matanja kembali mengutjur deras dan semua orang jang melihat dan mendengarnja, djadi turut merasa sedih.

“Kaizar Tjeng benar2 lihay,” katanja pula. “Achirnja, dia berhasil djuga membongkar rahasiaku. Keadaan sudah mendjadi begini, tak perlu kita menjesal. Apa jang kusesalkan jalah, bahwa kita hanja bisa merebut pulang sebilah Wan-yo-to. Wan-yo-to pendek, jang digunakan Hoei-djie, sudah pasti bukan jang tulen. Golok mustika sebagai Wan-yo-to mana bisa dipatahkan dengan pian Toh Thian Hiong? Sajang, sungguh sajang, kaki-tangan bangsa Boan itu berhasil melarikan diri.”

Demikianlah penuturan Siauw Gie jang didengar dengan penuh perhatian oleh semua orang.

Sementara itu, daging jang sedang dibakar djadi semakin wangi. Djim Hoei Yan jang perutnja sudah kerontjongan, tak bisa bersabar lagi. Ia mentjabut pisaunja dan menusuk sepotong daging. Tiba2 sebelum daging itu masuk kemulutnja, Lim Giok Liong menengok kearah si­nona – jang sekarang harus disebut sebagai Yo Tiong Hoei – dan berkata dengan suara njaring: “Apa kukata? Kau pernah memberitahukan , bahwa ajah dan ibumu belum pernah bertjektjok dan aku mengatakan, bahwa suami-isteri jang tak pernah bertengkar, bukan suami-isteri tulen, suami-isteri jang agak meragu-ragukan. Apa kukata? Dugaan Lim Toakomu ternjata tepat sekali.”

Mendengar suaminja mulai membatjot, dengan mendadak Djim Hoei Yan memasukkan daging jang tertusuk pisau itu, kedalam mulutnja. “Selamat gegares!” bentaknja, “Tak perlu kau mengatjo belo!” Lim Giok Liong mau membalas, tapi mulutnja penuh.

Selagi semua orang menangsal perut sambil merundingkan tindakan jang harus diambil selandjutnja, tiba2 seorang murid jang mendjaga disebelah luar, membentak: “Siapa?”

“Thay-gak Soe-hiap!” terdengar djawab dari luar itu.

Yo Tiong Hoei tertawa geli. Beberapa saat kemudian, muntjullah Thay-gak Soe-hiap jang, dengan menggunakan sekerat kaju, menggotong djala ikan jang sangat besar dan jang berisikan serupa benda jang besar pula.

“Thay-gak Soe-hiap, mustika apa jang digotong kalian itu?” tanja Yo Tiong Hoei sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Dengan wadjah berseri-seri, Kay It Beng mendjawab: “Wan Kongtjoe, Siauw Kouwnio, barusan kami telah pergi ke-Sungai Ouw-nie-ho untuk menangkap Pek-hiat Kim-sian guna dipersembahkan kepada kalian sebagai hadiah pernikahan. Tak dinjana sebelum berhasil menangkap kodok mustika itu, seorang manusia, jang lututnja terluka, masuk kedalam djala. Keadaannja pajah sekali dan begitu melihatnja, Thay-gak Soe-hiap segera dapat mengenali, bahwa dia itu bukan lain daripada musuh umum kita, si-buta Toh Thian Hiong! Maka itu, kami lalu membekuknja dan membawanja kemari untuk dipersembahkan kepada Siauw Loo­-enghiong.”

Semua orang djadi sangat girang. Sesudah si-orang she Toh dikeluarkan dari dalam djala, Wan Koan Lam meraba pinggangnja dan mengeluarkan sebatang golok pendek, jang ketika ditjabut, mementjarkan sinar jang menjilaukan mata. Golok itu adalah Wan-yo-to pendek jang tulen!

Wan Hoedjin memegang sepasang Wan-yo-to itu, jang satu pandjang dan jang lain pendek, dengan air mata bertjutjuran. Kedjadian2 dimasa lampau kembali terbajang didepan matanja. Semua orang berhenti makan dan mengawasi njonja itu dengan terharu.

Sesudah kenjang memeras air mata, ia menghela napas seraja berkata: “Kaizar Tjeng mendengar, bahwa dalam kedua golok ini tersembunji rahasia besar dan siapa sadja jang memilikinja akan mendjagoi dikolong langit, tanpa tandingan. Apa jang didengarnja memang tak salah. Tapi, andaikata dia tahu rahasia itu, belum tentu dia bisa mendjalankannja. Sahabat-sahabat, lihatlah!”

Semua orang segera mendekat dan mengawasi kedua golok mustika itu. Ternjata, diatas badan golok Wan-to terukir dua huruf “Djin-tjia” (orang jang mulia) sedang diatas Yo-to terdapat dua huruf lain jang berarti “Boe-tek”, (Tiada tandingan).

“Djin-tjia Boe-tek”! Orang jang mulia tiada tandingannja!

Tak salah!

Empat huruf itu memang merupakan rahasia terbesar dikolong langit.”


- TAMAT –

*) Piauw adalah barang berharga jang dilindungi oleh perusahaan pengawal jang anggauta2nya terdiri dari orang2 jang pandai silat. Piau-kiok adalah nama perusahaan sematjam itu. Didjaman dulu, di Tiongkok, barang2 jang tidak dikawal oleh pengawal tangguh, sering diganggu perampok ditengah djalan.
**) Wan-yo-to berarti Golok Wan-yo. Wan-yo adalah sematjam burung belibis, lebih ketjil dari itik biasa. Jang djantan dinamakan Wan, bulunja sangat indah, dikepalanja terdapat bulu bagaikan topi jang berwarna ungu tua. Jang betina dinamakan Yo, bulunja berwarna abu2. Burung djantan dan betina tak pernah berpisah, sehingga Wan-yo merupakan pelambang ketjintaan suami-isteri jang beruntung.  

***) Pat-po Kan-sian= Delapan-tindak-mengedjar-tonggeret, sematjam ilmu mengentengkan badan.    
Say-Tjoan-tjoe= Seperti Tjoan Tjoe. Tjoan Tjoe adalah soerang gagah didjaman Liatkok.    
Tah-soat-boe-heng Tok-kak-soei-siang-hoei= Mengindjak-saldju-tiada-tapaknja. Dengan-satu-kaki-terbang-diatas-air. Song-tjek-kay-tjit-seng= Sepasang pusut-berkuasa-ditudjuh-propinsi.  

****) Thay-kam adalah orang kebiri jang bekerdja dalam istana kaizar.

  
Tjetakan Pertama: 1 djilid tamat  

TJERITA SILAT Ditjeritakan oleh : Boe Beng Tjoe
Penerbit: P.T. "MEKAR DJAJA" P.O. Box 2555 Djakarta
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita ABG : Sepasang Golok Mustika 2 Tamat dan anda bisa menemukan artikel Cerita ABG : Sepasang Golok Mustika 2 Tamat ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2014/05/cerita-abg-sepasang-golok-mustika-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita ABG : Sepasang Golok Mustika 2 Tamat ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita ABG : Sepasang Golok Mustika 2 Tamat sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita ABG : Sepasang Golok Mustika 2 Tamat with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2014/05/cerita-abg-sepasang-golok-mustika-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 7 komentar... read them below or add one }

Obat Tradisional Buat Luka Kecelakaan mengatakan...

ijin nyimak ya gan, salam

Obat Herbal Untuk Penyakit Gagal Ginjal mengatakan...

terimakasih banyak gan atas share infonya, salam kawan, berburu backlink ya gan

Obat Hidung Tersumbat Menahun mengatakan...

thanks ya gan atas share nya sangat bermanfaat sekali, salam

Obat Asam Urat Untuk Ibu Hamil mengatakan...

salam selamat siang gan, thank banget sudah berbagi artikelnya

jasa lukis mural mengatakan...

asik neh ceritanya abg sepasang golog mustika 2, nyimak akh

Syafiry Zulaika mengatakan...

wahhh

Anonim mengatakan...

Dalam Website Poker Vita menyediakan games seperti Texas Poker, Capsa Susun, Bandar Poker, Domino QQ, Adu Q, dan Bandar Q.



Nikmati Promo Terbesar Dari POKERVITA Situs Judi BandarQ Terpercaya
* Promo Bonus Turnover Harian/Mingguan/Bulanan
* Promo Refferal 15% Seumur Hidup





Promo BONUS Cashback setiap hari!!!!

info Lebih Lanjut
Whatsapp : +62 812-222-2996
WWW.POKERVITA.FUN

Posting Komentar