Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo)

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 19 April 2012

Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo)
Dewi Maut

Telaga itu amat luas sekali, dari tepinya tampak seolah-olah lautan bebas, dengan pulau-pulau di tengahnya yang kelihatan subur penuh dengan pohon-pohon lebat. Telaga itu dikelilingi pegunungan yang kaya akan hutan sehingga merupakan cermin besar yang menampung bayangan pohon-pohon di dalamnya, membuat air telaga kadang-kadang kelihatan hijau jernih. Di waktu matahari naik tinggi, jika kita memandang ke telaga itu, seolah-olah kita berhadpan dengan sebuah dunia ajaib di mana segala-galanya nampak terbalik, dan telaga itu seperti sebuah mangkok wasiat vang menelan seluruh dunia, pohon-pohon gunung-gunung, bahkan langitpun ditelannya!

Amat indah pemandangan di sekitar telaga, indah tenteram, penuh suasana damai, sunyi-senyap dan tenang. Sepantasnya tempat seperti itu menjadi contoh penggambaran taman sorga. Akan tetapi tidak demikianlah kenyataannya. Keadaan di situ amat sunyi senyap karena memang orang-orang, para penghuni dusun-dusun di sekitar daerah itu, tidak berani mendekati telaga ini. Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan), demikianlah telaga ini dinamakan orang!

Tidak ada yang tahu bagaimana riwayatnya mengapa telaga seindah itu dinamakan Telaga Setan, akan tetapi puluhan tahun yang lalu, telaga ini merupakan sumber nafkah bagi ratusan orang penghuni di sekitar daerah itu yang setiap hari dan terutama malam mencari ikan yang banyak terdapat di dalam air telaga. Akan tetapi semenjak pulau di Telaga Setan itu, sebuah di antara pulau-pulau itu, yang terbesar, menjadi sarang para hek-to (golongan jalan hitam), yaitu kaum sesat yang membentuk perkumpulan yang dinamakan Kwi-eng-pang (Perkumpulan Bayangan Setan), maka tempat itu menjadi sepi, menjadi tempat yang amat berbahaya sehingga tidak ada lagi penduduk yang berani mendekatinya.

Belasan tahun yang lalu, perkumpulan Kwi-eng-pang yang bersarang di atas pulau itu seolah-olah menjadi pemilik dan menguasai Telaga Kwi-ouw, diketuai oleh pendirinya, yaitu seorang datuk kaum sesat wanita yang amat terkenal dengan julukannya Kwi-eng Nio-cu (Nona Bayangan Hantu). Akan tetapi perkumpulan yang terdiri dari kaum sesat dan amat ditakuti rakyat ini, kurang lebih lima belas tahun yang lalu, telah dihancurkan oleh Pasukan Pemerintah yang dibantu oleh orang-orang gagah (baca cerita Petualang Asmara). Si Bayangan Hantu yang menjadi ketuanya tewas, para pembantu-pembantunya yang merupakan pimpinan Kwi-eng-pang terbasmi habis, bahkan sebagian besar anggauta Kwi-eng-pang tewas dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah, sedangkan sisanya melarikan diri cerai berai meninggalkan pulau di Telaga Setan itu.

Bertahun-tahun pulau itu kosong, akan tetapi Telaga Setan tetap menyeramkan, dan tetap saja sunyi senyap karena rakyat masih tidak berani mendekati telaga yang terkenal angker dan berbahaya ini. Apalagi sekarang, setelah rakyat melihat betapa pulau di tengah telaga itu “hidup” kembali, terdapat berita bahwa Kwi-eng-pang yang pernah dihancurkan pemerintah itu kini dibangun kembali, bahkan kabarnya lebih ganas dan lebih jahat daripada dahulu sebelum dibasmi pemerintah!

Sukar memang menentukan mana yang lebih ganas dan kejam antara Kwi-eng-pang yang dahulu dan yang sekarang karena berita seperti itu biasanya memang dilebih-lebihkan oleh mereka yang ketakutan. Akan tetapi memang benar bahwa orang-orang Kwi-eng-pang sekarang telah kembali ke pulau di tengah Telaga Setan itu! Sisa para anggauta Kwi-eng-pang yang sempat menyelamatkan diri, kini kembali bersama banyak anggauta baru, diketuai oleh seorang laki-laki, berusia hampir lima puluh tahun yang memiliki kepandaian tinggi dan berjuluk Hek-tok-ciang (Si Tangan Beracun Hitam). Hek-tok-ciang ini bernama Kiang Ti dan dia adalah murid dari mendiang Si Bayangan Hantu. Ketika subonya (ibu gurunya) masih menjadi ketua Kwi-eng-pang, Kiang Ti ini telah menjadi ketua dari perkumpulan Ui-hong-pang yang berada di lembah Sungai Huang-ho, di lereng Bukit Ui-tiong-san. Kini, melihat betapa pulau bekas sarang gurunya itu kosong, dan banyak anggauta Kwi-eng-pang yang berhasil lolos dari pembasmian pemerintah, sebagai murid kepala, Kiang Ti lalu mengumpulkan mereka, digabung dengan para anggautanya sendiri, kemudian setelah lewat belasan tahun pemerintah tidak lagi menaruh perhatian kepada Telaga Setan, Kiang Ti memboyong anak buahnya pindah ke pulau di tengah Telaga Setan dan tempat itu menjadi sarang mereka yang kembali memakai nama Kwi-eng-pang untuk melanjutkan perkumpulan yang pernah dipimpin gurunya.

Dasar mata pencaharian mereka adalah menangkap ikan yang banyak terdapat di telaga, juga bertani di tepi telaga dan di pulau yang tanahnya subur. Akan tetapi di samping pekerjaan yang halal ini, mereka tidak segan-segan untuk melakukan pekerjaan sampingan apa saja asal menguntungkan, termasuk membajak, merampok dan mengganggu dusun-dusun di sekitar daerah itu! Dengan “pekerjaan” yang banyak macamnya ini, Kiang Ti berhasil mengumpulkan kekayaan dan bangunan-bangunan di pulau itu diperbaiki bahkan ditambah, dan para anggautanya mulai membentuk keluarga-keluarga dengan isteri-isteri yang rata-rata cantik karena wanita-wanita ini adalah pilihan-pilihan mereka yang mereka culik dari dusun-dusun sekitarnya dan dari mana saja!

Pagi hari itu pemandangan di tepi telaga amatlah indahnya. Matahari yang baru timbul menyinarkan cahaya keemasan, belum menyilaukan pandangan mata dan daun-daun muda di puncak pohon-pohon bermandikan cahaya keemasan, membuat puncak-puncak pohon menjadi berkilauan penuh seri bahagia, penuh nikmat hidup. Sebagian dari cahaya yang terlampau banyak sehingga tidak tertampung oleh daun-daun di puncak pohon, menerobos melalui celah-celah pohon, melalui ranting dan dahan, membentuk sinar-sinar keputihan dengan garis-garis lurus penuh kekuatan dan daya cipta, sempat menyentuh rumput dan lumut yang tumbuh di bawah pohon-pohon yang lebat daunnya itu. Dua ekor burung kecil berbulu biru putih berloncatan di atas dahan pohon, lalu berhenti di bagian yang tertimpa cahaya matahari pagi, menggoyang-goyang tubuh sehingga semua bulu di tubuhnya mekrok berdiri, membersihkan bulu sayap dan ekor dengan paruhnya yang kecil kemerahan. Terdengar kicau burung teman-teman mereka di kejauhan dan mereka segera melupakan lagi pekerjaan mereka yang mengasyikkan itu, membalas kicauan itu dan terbang menuju ke arah suara teman-teman mereka, lincah dan gembira karena hidup baru telah mulai pagi itu, penuh kebahagiaan dan keindahan yang dapat dinikmati setiap saat.

Rumput-rumput di tepi telaga yang jarang diinjak kaki manusia itu tampak segar berseri-seri pagi itu, dihias dengan mutiara-mutiara air embun pagi yang masih belum mau menyerah kalah oleh sinar matahari yang masih terlalu lembut, belum cukup kuat untuk mencairkan kekentalan air embun dan memaksanya turun meresap ke dalam tanah dihisap akar-akar rumput yang tidak pernah kekeringan. Air telaga itu sendiri tenang, sama sekali tidak bergerak, tidak ada keriput, seperti sebuah cermin besar yang menampung segala keindahan di sekelilingnya, dan matahari sendiri langsung terjun ke dalam air telaga, bundar kemerahan, mulai menyilaukan mata dan sinarnya membentuk cahaya memanjang di atas permukaan air.

Kicau burung bertambah riuh gembira. Dua ekor burung berbulu putih yang agak besar berkejaran di atas rumput dekat telaga, semacam burung meliwis putih yang agaknya bercumbuan di pagi hari itu, menyambut keindahan pagi dengan pernyataan cinta berahi yang tiba-tiba mendesak di seluruh syaraf dan perasaan. Dengan gerakan indah dan ringan, burung jantan menyambar hinggap di atas punggung yang betina, yang mengelak manja dan seolah-olah mentertawakan menambah gairah, berlari setengah terbang di antara rumput membuat embun-embun mutiara beterbangan, dikejar oleh yang jantan sambil mengeluarkan pekik kemenangan.

“Wirrrr... plokkk!” Tiba-tiba burung jantan itu terpelanting dan roboh terlentang tak bergerak lagi. Burung betina menjerit dan terbang ketakutan, menghilang di antara daun-daun pohon.

Keindahan tak dapat dinikmati lagi, dan kekerasan serta keganasan yang kejam selalu muncul apabila terdapat manusia, mahluk yang merasa dirinya paling suci dan paling unggul. Lima orang wanita sambil tertawa-tawa muncul dari balik pohon-pohon, melangkah ringan mendekati burung jantang yang telah mati.

“Hi-hi-hik, bidikanmu tepat sekali, adik Lui Hwa! Selagi dia mengejar betina yang patut dikasihani itu, engkau menyambitnya tepat menghancurkan kelakiannya. Hi-hik!” berkata seorang di antara mereka setelah memungut bangkai burung itu dan memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa burung itu terkena sambitan batu tepat pada bawah ekornya sehingga bagian itu hancur dan mati seketika.

“Sudah, tidak perlu memuji, enci. Kalian berempat belum memperoleh seekorpun binatang untuk makan pagi kita!”

“Jangan khawatir, tempat ini banyak binatang dan burungnya.”

“Tapi hati-hati, jangan salah membunuh yang betina!”

“Mana mungkin salah! Aku tidak sudi makan daging binatang betina!”

Dengan gerakan yang amat cepat, empat orang di antara lima orang wanita ini berpencar, menyusup di antara pohon-pohon dan tak lama kemudian sambil tertawa-tawa mereka berkumpul lagi di tepi telaga, ada yang membawa bangkai seekor kelinci, ada yang membawa burung dan ada pula ayam hutan. Akan tetapi hebatnya, semua binatang itu adalah jantan dan semua disambit tepat mengenai alat kelaminnya! Sambil tertawa-tawa mereka lalu membersihkan bangkai-bangkai itu, membuat api unggun, menggarami dan membumbui daging-daging itu dengan bumbu yang mereka bawa sebagai bekal, dan dipangganglah daging-daging itu. Mereka duduk mengelilingi api unggun sambil bercakap-cakap dan bersendau gurau.

Lima orang ini adalah wanita-wanita yang usianya paling banyak tiga puluh tahun dan berpakaian seragam atau sama semua. Rata-rata wajah mereka cantik-cantik dan gagah, dengan pedang di punggung dan rambut yang sanggulnya dihias sebuah mainan burung hong terbuat dari batu kemala! Yang tadi disebut bernama Lui Hwa adalah yang termuda dan tercantik di antara mereka, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun dan biarpun dia merupakan orang termuda, akan tetapi agaknya dialah yang menjadi pimpinan rombongan wanita cantik yang aneh ini. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Mereka itu adalah lima orang anggauta perkumpulan Giok-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Kemala) dan orang termuda bernama Lui Hwa itu merupakan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada empat orang yang lainnya.

Setelah makan bersama daging-daging panggang itu dan minum air telaga yang jernih, mereka lalu duduk di tepi telaga menghadap ke arah pulau besar di tengah telaga yang menjadi sarang perkumpulan Kwi-eng-pang.

“Bagaimana kita dapat menyeberang ke pulau itu?”

“Mengapa begini sepi, tidak ada seorangpun di tepi telaga?”

“Kita harus mencari tepi yang terdekat dengan pulau itu.”

“Lalu bagaimana kita dapat menyelidiki kalau tidak berada di sana?” Lui Hwa berkata sebagai jawaban keempat orang kawannya itu. “Keterangan yang kita peroleh dari penduduk daerah ini memang menyatakan bahwa tempat ini amat sunyi karena tidak ada penduduk yang berani mendekati. Dan kurasa kita hanya dapat menyeberang ke sana dengan perahu. Menurut penyelidikan, para anggauta Kwi-eng-pang suka mencari ikan, tentu nanti akan ada perahu yang mendekati pantai, dan kita boleh menyergapnya.”

“Hwa-moi (adik Hwa), tempat ini kelihatan penuh rahasia dan menyeramkan, tentu engkau sudah hafal benar dan tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap, bukan?”

“Jangan khawatir, teman-teman!” Lui Hwa berkata. “Pangcu (ketua)sudah memberi keterangan sejelas-jelasnya. Dengar baik-baik agar kalian juga dapat mengenal keadaan. Pantai sini merupakan pantai terdekat dari pulau besar dan merupakan pantai teraman, sehingga mereka yang mencari ikan dari pulau itu tentu akan pergi ke sini. Arah perahu dari sini ke pulau harus lurus dari pantai ini dan mendarat di pulau itu tepat pada tonjolan teluk pulau yang ada pohon kembarnya yang tampak dari sini itu, sedangkan penunjuk pantai ini adalah batu besar berbentuk rumah di belakang kita ini. Jalan ini paling aman, karena yang sebelah kiri penuh dengan kembang teratai putih itu, di bawahnya terdapat banyak tanaman air yang dapat melibat dan menahan lajunya perahu, bahkan dapat menahan perahu sehingga tidak dapat bergerak lagi. Di sebelah kanan yang penuh dengan kembang teratai merah itu, banyak terdapat batu-batu karang besar mendekati permukaan air yang tertutup daun-daun teratai sehingga dapat merusak perahu yang membenturnya, juga banyak dipasangi alat rahasia di situ. Nah, cukup sekian dulu, nanti kalau kita sudah berhasil mendarat di antara dua pohon kembar di sana itu, akan kuberitahukan lagi rahasia memasuki pulau itu dengan aman.”


Empat orang wanita yang lainnya mendengarkan penuh perhatian dan memandang ke arah tempat-tempat yang ditunjukkan oleh Lui Hwa.

“Indah dan mengagumkan, juga aman sekali tempat ini kalau dapat menjadi sarang perkumpulan kita.”

“Pantas saja pangcu mengutus kita menyelidiki keadaan Kwi-eng-pang dan berniat mengajak kita semua pindah ke sini.”

“Akan tetapi bagaimana dengan para anggauta Kwi-eng-pang? Aku benci kalau harus hidup bersama laki-laki, di tempat yang betapa indahpun.”

“Akupun tidak sudi, bisa pendek umurku!”

“Hushh, kalian jangan bicara sembarangan.” Lui Hwa berkata. “Apakah kaukira pangcu juga sudi? Pangcu lebih membenci pria daripada kita semua, ini kalian sudah tahu, mengapa meragukan niat pangcu. Kalau pangcu berkenan pindah ke sini, tentu semua pria akan diusir atau dibasmi habis dari pulau itu dan dari sekitar daerah ini.”

“Bagus!” teriak yang bertahi lalat merah kecil di bawah dagunya. “Berikan beberapa belas orang laki-laki itu untuk mampus di tanganku!”

“Ingat, enci, pangcu sudah berkali-kali memperingatkan kita bahwa betapapun bencinya kita kepada kaum pria, kita tidak boleh membunuh mereka begitu saja tanpa sebab. Kita bukaniah kaum penjahat yang haus darah, melainkan segolongan wanita yang telah dirusak hidupnya dan disakitkan hatinya oleh kaum pria dan kini telah dibina olch pangcu menjadi kesatuan yang kokoh kuat dan tidak lagi sudi menjadi korban keganasan kaum pria. Kita bukanlah lagi menjadi alat pemuas nafsu berahi kaum pria, menjadi budak selama hidup dari kaum pria! Akan tetapi kitapun bukanlah pembunuh-pembunuh keji den manusia-manusia rendah.”

Empat orang itu memandang kepada Lui Hwa dan kelihatan takut, mengangguk dan tidak berani lagi mengutarakan kebencian mereka terhadap kaum pria secara berlebihan.

Tiba-tiba Lui Hwa memberi tanda, dan mereka berlima cepat meloncat dan dalam sekejap mata saja mereka telah lenyap, bersembunyi dl balik batu besar dan mengintai ke arah telaga. Tampak dua perahu kecil meluncur cepat dari pulau menuju ke tengah telaga, membawa alat-alat penangkap ikan seperti jala, dan pancing. Setiap perahu kecil ditumpangi dua orang dan mereka mendayung perahu-perahu itu dengan cepat dan makin mendekati tepi di mana terdapat batu besar itu.

“Kalian pancing mereka agar mendarat di tepi,” Lui Hwa berkata kepada empat orang teman-temannya. “Sembunyikan pedang kalian dan berpura-puralah sebagai pelancong-pelancong daerah lain yang tidak tahu-menahu tentang telaga dan ingin menikmati keindahan telaga ini. Usahakan agar mereka semua dapat keluar dari perahu dan mendarat, baru aku akan muncul dan kita bunuh mereka semua. Kalau tidak dibunuh, mereka bisa membahayakan tugas penyelidikan kita. Mengertikah semua?”

“Adik Lui Hwa, bolehkah aku membunuh seorang di antara mereka?” tanya yang bertahi lalat merah kecil di bawah dagunya.

“Nanti, tunggu komandoku, jangan lancang tangan. Kalau sampai di antara mereka ada yang lolos dan melarikan diri dengan perahu, kita tidak akan mampu mengejar dan menangkapnya.”

Perahu itu makin dekat kini, bahkan yang sebuah sudah berhenti dan dua orang penumpangnya mulai memeriksa jala. Tiba-tiba empat orang penumpang perahu itu terkejut mendengar teriakan-teriakan suara wanita dan mereka bengong terheran-heran ketika menengok ke tepi telaga dan melihat ada empat orang wanita yang berteriak-teriak, memanggil dan melambai-lambai tangan.

“Heiii...! Tukang perahu...!”

“Kami ingin pesiar naik perahu!”

“Kami ingin menyewa perahu kalian!”

“Kami adalah pelancong-pelancong dari luar daerah!”

Empat orang laki-laki itu saling pandang dan tersenyum.

“Aneh,” kata seorang di antara mereka. “Dari mana datangnya empat orang wanita itu?”

“Jangan-jangan mereka itu mata-mata musuh...”

“Ah, tidak mungkin. Mereka adalah wanita-wanita lemah... hemmm, cantik-cantik dan lihat potongan tubuh mereka...!”

“Masih muda-muda lagi, dan tentu bukan wanita kang-ouw, mereka tidak memhawa senjata.”

“Betapapun juga, mereka mencurigakan, sebaiknya kita tangkap dan hadapkan kepada pangcu.”

Sementara itu, empat orang wanita itu melambai-lambaikan tangan dan jelas nampak oleh empat orang anggauta Kwi-eng-pang betapa mereka itu bersikap genit dan tersenyum-senyum manis! Dua buah perahu itu lalu didayung dan meluncur cepat menuju ke tepi telaga. Perahu berhenti di pinggir dan kini empat orang anggauta Kwi-eng-pang memandang kagum. Setelah dekat, mereka melihat jelas bahwa empat orang wanita itu adalah wanita-wanita yang sudah matang, kurang lebih tiga puluh tahun usianya, berpotongan tubuh yang ramping menggiurkan, berwajah rata-rata manis dan hiasan rambut berbentuk burung hong kemala itu amat menarik hati.


Siapakah nona sekalian dan bagaimana bisa sampai di tempat sunyi ini?” tanya seorang di antara empat anggauta Kwi-eng-pang.

Wanita bertahi lalat kecil merah di bawah dagu mewakili teman-temannya. Dia adalah yang paling manis di antara empat orang itu dan kini dia berkata dengan sikap menarik, “Aihhh... kami adalah pelancong-pelancong dan sesampainya di tepi telaga ini, rombongan kami hendak berburu binatang di pegunungan itu. Kami lelah dan sengaja menanti di sini. Telaga begini indah akan tetapi tidak ada perahu, hati kami kesal. Melihat kalian berperahu, kami ingin menyewa perahu kalian...”

“Kami... kami bukan tukang perahu!”

Wanita itu tersenyum, nampak deretan gigi yang putih dan rapi. “Tukang perahu atau bukan, yang penting bagi kami adalah perahu-perahunya. Kalian minta upah berapapun kami sanggup membayarnya.”

“Kami tidak butuh uang!”

“Kalau begitu, minta upah apakah?” Si tahi lalat itu tersenyum dan melirik genit, sedangkan tiga orang temannya menjadi merah mukanya. Melihat muka mereka merah dan sikap genit itu, empat orang anggauta Kwi-eng-pang berdebar hatinya. Mereka mengira bahwa empat orang wanita ini tentulah wanita-wanita iseng dan kini timbul gairah di tempat sunyi romantis itu, warna merah di pipi mereka dianggapnya sebagai tanda malu-malu kucing, jinak-jinak merpati. Tentu saja mereka tidak pernah mimpi bahwa warna merah di pipi itu adalah warna kemarahan yang meluap-luap!

“Eh, nona. Benarkah kalian berempat mau memberi upah apa saja kepada kami kalau kami mau membawa nona ke dalam perahu?”

Si tahi lalat menahan ketawa, menutupkan punggung tangan dengan sikap genit ke depan mulutnya yang kecil dan berbibir merah. “Hi-hik, bicara soal itu patutkah berteriak-teriak seperti itu? Malu ah, terdengar orang lain. Apakah kalian tidak bisa ke sini, dan bicarakan soal upah itu dengan baik-baik di sini, tanpa berteriak-teriak seperti itu?” Setelah berkata demikian, si tahi lalat lalu mundur dan duduk di atas tanah berumput, sengaja duduk dengan gaya memikat dan membusungkan dadanya. Tiga orang temannya juga melakukan hal yang sama, bahkan sengaja duduk agak saling menjauh.

Seperti sekelompok anak kecil dipikat dengan kembang gula, empat orang anggauta Kwi-eng-pang itu tertawa-tawa dan cepat mendaratkan perahu, mengikat tali perahu ke batang pohon. Mereka saling pandang dan saling bermufakat, yaitu satu lawan satu! “Rejeki” nomplok di pagi hari ini seperti hadiah para dewa dan tentu saja tidak mau mereka lewatkan begitu saja. Setelah menikmati tantangan, baru mereka akan memikirkan tentang menawan mereka itu dan menghadapkan mereka kepada ketua, karena kalau sudah berada di depan ketua mereka, tentu tidak mungkin akan terbuka kesempatan baik seperti itu, mengingat bahwa mereka hanyalah anggauta tingkat bawahan saja! Sambil tersenyum dan dengan jantung berdebar-debar, mereka lalu berjalan menghampiri empat orang wanita cantik itu, dan seperti telah diatur, masing-masing menghampiri wanita yang telah dipilihnya dari jauh.

Tiba-tiba mereka berempat terkejut sekali ketika melihat bayangan berkelebat cepat ke arah belakang mereka. Ketika mereka membalik, mereka melihat seorang wanita lain yang lebih cantik, kini telah berdiri di belakang mereka, menghadang antara mereka dan perahu mereka, dengan wajah dingin wanita muda ini berkata, “Bunuh mereka semua!” Wanita ini bukan lain adalah Lui Hwa yang telah muncul keluar dari tempat sembunyinya.

Empat orang anggauta Kwi-eng-pang itu terkejut dan juga marah bukan main. Tahulah mereka bahwa lima orang wanita ini adalah mata-mata fihak yang memusuhi Kwi-eng-pang.

“Srat-sratt... singggg...!” Mereka segera mencabut golok besar yang tergantung di pinggang masing-masing lalu menerjang ke depan, ke arah empat orang wanita itu sambil membentak, “Keparat, kalian ternyata adalah mata-mata!”

Akan tetapi, empat orang wanita Giok-hong-pang itu telah menghunus pedang masing-masing yang tadi disembunyikan di balik jubah dan sambil tersenyum mengejek mereka menyambut serbuan empat orang laki-laki yang marah itu.

“Cring-cring-trang-tranggg...!” Bunga api berhamburan ketika empat batang golok bertemu dengan empat batang pedang, dan empat orang laki-laki itu terkejut bukan main karena tangan mereka yang memegang golok menjadi tergetar dan hampir saja lengan mereka terluka saking cepatnya wanita-wanita itu menggerakkan pedang melanjutkan tangkisan dengan serangan mereka.

Terjadilah pertempuran yang mati-matian di pinggir telaga yang sunyi itu dan Lui Hwa tidak membantu empat orang temannya karena dia melihat betapa empat orang Kwi-eng-pang itu bukanlah merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi, melihat betapa teman-temannya mempermainkan empat orang itu, hanya menggunakan ujung pedang mereka untuk menggores sana-sini sehingga pakaian dan kulit empat orang lawan itu pecah-pecah dan mandi darah, dia membentak tidak sabar, “Hayo cepat habiskan mereka, tidak banyak waktu untuk bermain-main!”

“Hi-hik, adik Lui Hwa, engkau tidak sabaran sekali. Habislah kita berpesta kalau begitu!” Si tahi lalat merah kecil tertawa dan pedangnya berkelebat disusul jerit mengerikan lawannya yang roboh dan mati seketika karena anggauta kelaminnya terbacok putus bersama robeknya perut bagian bawah. Jerit itu disusul oleh tiga orang kawannya. Sambil tersenyum empat orang wanita itu membersihkan pedang pada baju korban masing-masing, lalu menyarungkan pedang sambil meludah ke arah onggokan daging berdarah yang terlepas dari tubuh itu. Empat orang anggauta Kwi-eng-pang itu mati semua dengan luka yang sama, yaitu terbacok putus anggauta kelaminnya. Mereka tewas dalam keadaan mengerikan, mata terbelalak lebar dan mulut menyeringai kesakitan!

Burung-burung beterbangan sambil mengeluarkan bunyi ketakutan, agaknya merasa ngeri menyaksikan kekejaman manusia, kekejaman yang jarang mereka lihat dan yang kini terjadi berturut-turut di tepi telaga itu semenjak lima orang wanita itu muncul. Rumput-rumput yang pagi tadi masih segar kehijauan dihias butiran-butiran embun, kini dihias warna merah dari darah empat orang laki-laki itu. Namun bumi menerima dan menghisap darah itu setenang menghisap air embun yang menyegarkan, tanpa perbedaan karena bagi bumi semua adalah wajari, dan sudah semestinya.

Lui Hwa sudah melepaskan tali perahu dan tak lama kemudian, lima orang wanita itu telah mendayung perahu menuju ke pohon kembar di pulau yang tampak dari situ, mereka menggunakan dua buah perahu, yang sebuah diisi dua orang, yang sebuah lagi diisi tiga orang, dengan Lui Hwa berdiri di kepala perahu. Mereka berlima tidak tahu betapa seorang laki-laki setengah tua dengan muka pucat dan mata terbelalak menyaksikan semua peristiwa itu dan kini laki-laki itu dengan cepat berlari-lari di sepanjang tepi telaga, kemudian di tempat tertentu melepaskan anak panah berapi ke arah pulau!

“Heii, apa itu...?” Lui Hwa menudingkan telunjuknya ke udara. Mereka berlima melihat sinar yang meluncur di atas udara menuju ke pulau itu.

“Seperti panah berapi!”

“Ah, tentu ada yang melihat kedatangan kita!”

“Tenanglah, kita tidak perlu takut. Kalau memang betul kedatangan kita mereka ketahui, menurut pangcu, nama pangcu tentu dikenal oleh ketua Kwi-eng-pang yang bernama Kiang Ti itu. Kalau nama pangcu tidak menolong, masih ada pedang di tangan kita,” kata Lui Hwa dengan tenang.

Dugaan mereka memang tidak keliru. Laki-laki yang tadi melepas panah berapi adalah anggauta Kwi-eng-pang pula yang bertugas sebagai penjaga di luar telaga dan setelah melepas anak panah berapi, dia lalu mengumpulkan teman-temannya yang bertugas jaga di luar sekitar telaga itu, berjumlah dua belas orang, menggunakan sebuah perahu besar lalu meluncurkan perahu melakukan pengejaran.

Lima orang wanita itu masih mendayung perahu menuju ke pulau dan sedikitpun tidak merasa gentar. Mereka adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang yang berkepandaian tinggi dan mereka mengandalkan nama ketua mereka. Seperti semua anggauta Giok-hong-pang, merekapun merupakan wanita-wanita yang amat membenci pria karena semua anggauta Giok-hong-pang adalah wanita-wanita yang pernah disakitkan hatinya oleh kaum pria! Sebagian besar adalah janda-janda yang ditinggalkan atau disia-siakan oleh suaminya, ada pula yang menjadi korban perkosaan, pendeknya semua adalah wanita-wanita yang menaruh dendam hebat terhadap pria, dan setidaknya yang paling ringan adalah wanita yang kecewa sekali dalam percintaannya dengan seorang pria. Itulah sebabnya mengapa lima orang wanita ini amat membenci kaum pria, membunuh empat orang lawan itu secara mengerikan dengan membuntungi alat kelamin mereka, bahkan ketika mencari binatang untuk dimakanpun, mereka memilih yang jantan dan merusak alat kelamin binatang jantan itu!

Ketika dua buah perahu yang ditumpangi lima orang wanita Giok-hong-pang itu sudah mendekati pantai pulau di mana terdapat dua batang pohon pek kembar, tiba-tiba dari balik alang-alang muncul sebuah perahu besar yang membawa belasan orang laki-laki dan perahu ini didayung cepat menyambut dua buah perahu kecil.

“Kalian hati-hatilah, sudah ada penyambut yang muncul,” Lui Hwa berkata tenang.

“Dan di belakang juga datang perahu besar yang agaknya mengejar kita,” si tahi lalat berkata setelah tadi dia menengok ke belakang. Lui Hwa dan yang lain-lain juga menoleh dan benar saja, dari belakang datang sebuah perahu besar yang meluncur cepat dibantu layar yang berkembang.

“Perahu-perahu di depan, berhenti!” Laki-laki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu yang menyambut itu berseru keras sambil mengacungkan golok besarnya. “Kalian ini lima orang wanita asing, siapakah dan mengapa berani melanggar wilayah kami dari Kwi-eng-pang?”

Lui Hwa berkata dengan lantang dan juga tenang, “Kami adalah utusan-utusan dari Giok-hong-pang, dan kami ingin bicara dengan ketua kalian yang bernama Kiang Ti untuk menyampaikan pesan pangcu (ketua) kami!”

Laki-laki tinggi besar itu mengerutkan alisnya dan menjawab marah, “Kalian sungguh sombong! Siapakah itu ketua Giok-hong-pang yang berani merendahkan pangcu kami?”

Lui Hwa tersenyum mengejek. “Kalian tidak berharga untuk mengenal pangcu kami. Biarkan kami bicara dengan Kiang Ti, dan tentu mengenal baik siapa adanya pangcu kami dari Giok-hong?pang. Kami datang dengan baik sebagai utusan, dan jangan menimbulkan kemarahan kami!”

Pada saat itu, perahu besar yang mengejar dari belakang sudah tiba, dan laki-laki yang tadi mengirim tanda rahasia dengan panah berapi, segera berseru, ”Chi-twako (kakak Chi), jangan percaya omongan mereka! Mereka telah membunuh empat orang kawan kita secara keji!”

“Ehh...? Tangkap mereka!” Si tinggi besar berteriak marah dan dua buah perahu besar itu lalu mendekati dua perahu kecil dari depan dan belakang! Dari perahu besar depan meloncat tiga orang, dan dari perahu besar di belakang juga meloncat pula tiga orang ke arah dua perahu kecil, dengan golok terangkat dan mereka ini menyerang dengan ganas. Akan tetapi segera terdengar pekik mengerikan karena enam orang laki-laki ini begitu meloncat turun, disambut oleh gerakan pedang yang amat kuat dan cepat sehingga mereka terlempar ke air dalam keadaan luka parah! Melihat ini, terkejutlah orang tinggi besar she Chi itu. Dia maklum dengan melihat gerakan lima orang wanita itu bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang yang tak boleh dipandang ringan.


Gulingkan perahu mereka dari bawah air!”

Mendengar ini, kurang lebih dua puluh orang meloncat dari dua buah perahu besar, berenang dan menyelam dari sekeliling dua buah perahu itu. Lima orang wanita Giok-hong-pang terkejut sekali. Akan tetapi dengan marah dan sama sekali tidak mengenal takut mereka menjaga perahu mereka dan setiap kali ada gerakan di dalam air dekat perahu, pedang mereka menyambar. Terdengar teriakan-teriakan dan terjadi gerakan-gerakan hebat di sekitar perahu-perahu kecil itu dan air telaga di sekeliling perahu-perahu itu menjadi merah! Jelas bahwa banyak juga anggauta Kwi-eng-pang yang menjadi korban kelihaian lima pedang di tangan wanita-wanita itu, akan tetapi kini dua buah perahu itu mulai terguncang hebat! Kiranya para anggauta Kwi-eng-pang berhasil menyelam ke bawah perahu dan berusaha menggulingkan perahu-perahu itu. Kini lima orang wanita itu baru terkejut dan khawatir. Mereka berusaha menyerang ke bawah perahu dengan pedang dan dayung yang lebih panjang melalui pinggiran perahu, akan tetapi tentu saja hal ini sukar dilakukan dan kini bahkan si tinggi besar pemimpin anak buah Kwi-eng-pang mengajak sisa teman-temannya untuk terjun ke air dan membantu teman-teman mereka yang sudah banyak yang terluka itu.

Akhirnya, berturut-turut dua buah perahu kecil itu terguling dan lima orang wanita itu menjerit, mau tidak mau terlempar ke air. Terjadilah pergulatan di dalam air. Akan tetapi ternyata bahwa setelah terlempar ke air, lima orang wanita itu kehilangan kelihaiannya. Melawan air saja sudah mtmbuat mereka gelagapan dan terpaksa minum banyak air telaga, apalagi dikeroyok banyak. Mereka dibenam-benamkan oleh banyak tangan sampai lemas dan hampir pingsan.

“Jangan bunuh mereka! Kita tawan dan hadapkan pangcu!” Si tinggi besar mamberi petintah dan hal ini menyelamatkan lima orang wanita itu, karena kalau tidak, tentu mereka akan dibenamkan sampai mati oleh para anggauta Kwi-eng-pang yang sudah marah melihat banyak teman-teman mereka terluka dan ada yang tewas itu. Setelah lima orang wanita itu tak dapat bergerak lagi, mereka diseret dan dengan kasar mereka diseret naik ke dalam perahu besar yang segera digerakkan ke pulau.

Lui Hwa siuman lebih dulu daripada empat orang temannya dan dia mendapatkan dirinya bersama empat orang temannya yang sudah menggeletak di atas lantai dalam sebuah ruangan yang luas, menjadi tontonan banyak orang dan tak jauh dari situ terdapat seorang laki-laki yang usianya hampir lima puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan tubuhnya tinggi kurus, muka pucat dan mata sipit. Lui Hwa memandang ke sekeliling. Mereka dikurung banyak orang dan ternyata ruangan itu berada di atas loteng dan di bawah loteng juga tampak banyak laki-laki, juga ada wanitanya, yang memandang penuh perhatian.

Ketika empat orang temannya juga siuman dan berturut-turut bangkit duduk, mereka berempat itu meloncat berdiri dan sambil berteriak mereka hendak mengamuk, akan tetapi Lui Hwa menghadang mereka dan mencegah mereka. “Biarkan aku bicara...” bisiknya.

Laki-laki tinggi kurus yang duduk di atas kursi itu memandang dengan penuh perhatian gerak-gerik mereka, kemudian tersenyum dan berkata, “Aneh, yang termuda dan tercantik agaknya yang menjadi kepala rombongan. Eh, perempuan-perempuan liar, kalian ini siapakah dan mengapa kalian mengacau daerah kami, membunuh beberapa orang anak buah kami?”

Lui Hwa yang sudah berdiri tegak dengan pakaian basah kuyup seperti kawan-kawannya, memandang dengan sinar mata tajam. Pakaian yang basah kuyup itu menempel ketat di tubuh mereka, mencetak tubuh mereka sehingga nampak jelas lekuk lengkungnya, dan rambut yang agak awut-awutan dan basah itu masih terhias burung hong kemala. Dengan lantang Lui Hwa lalu berkata, “Kami adalah utusan dari pangcu kami, ketua dari Giok-hong-pang untuk bicara dengan pangcu Kwi-eng-pang. Karena kami diserang, terpaksa kami membela diri dan akibatnya anak buah Kwi-eng-pang ada yang tewas dan terluka.”

Laki-laki tinggi kurus itu meraba-raba jenggotnya. “Giok-hong-pang? Aku Hek-tok-ciang Kiang Ti, tidak pernah berurusan dengan perkumpulan yang bernama Giok-hong-pang dan tidak mengenalnya.”

“Hemm, jadi engkaukah pangcu dari Kwi-eng-pang? Pangcu kami berpesan bahwa tentu Kwi-eng-pangcu mengenal pangcu yang dahulu berjuluk Giok-hong-cu (Si Burung Hong Kemala)...”

“Aih! Kiranya dia? Bukankah namanya Yo Bi Kiok dan dahulu murid dari si jahanam Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?” teriak Kiang Ti sambil menepuk lengan kursinya. Kini dia teringat akan julukan Giok-hong-cu itu. Belasan tahun yang lalu, gurunya, Kwi-eng Nio-cu Ang Hwi Nio, pendiri dan ketua Kwi-eng-pang mempunyai seorang sahabat baik, juga seorang datuk golongan sesat yang barjuluk Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Harum) dan wanita iblis ini mempunyai murid yang bernama Yo Bi Kiok, seorang gadis yang amat cantik. Gurunya suka kepada gadis ini dan bahkan memberinya sebuah hadiah, yaitu hiasan rambut berupa burung hong kemala, sehingga Yo Bi Kiok akhirnya memperoleh julukan Giok-hong-cu di dunia kang-ouw (baca ceritaPetualang Asmara ).

“Benar dugaanmu, Kiang-pangcu,” kata Lui Hwa dengan girang karena dia menduga bahwa ketua Kwi-eng-pang ini tentu mengenal baik pangcunya dan akan bersikap baik pula.

“Hemm, lalu apa maksudnya mengutus kalian mengacau di Kwi-eng-pang dan membunuh banyak anak buahku? Mengapa si cantik bermata indah itu berani memandang rendah kepada Hek-tok-ciang?”

Lui Hwa terkejut juga mendengar dan melihat sikap yang tidak bersahabat ini. Dia membusungkan dadanya sehingga buah dadanya membayang jelas di balik baju yang basah kuyup. “Pangcu kami yang mulia mengutus kami untuk memberitahukan bahwa beliau berkenan menggunakan pulau kosong yang dulu pernah ditinggalinya di dekat pulau ini untuk menjadi tempat tinggalnya yang baru, dan mengirim kami untuk memberi tahu kepada Kwi-eng-pang.”



Kiang Ti melotot dan meloncat turun dari kursinya. “Keparat! Lancang betul dia! Sepatutnya dia datang berlutut dan memohon kepadaku, baru mungkin aku mempertimbangkan permohonannya. Kalian bersikap sombong dan sudah membunuh orang-orangku, kini sudah tertawan masih berlagak sombong.”

“Huh!” Empat orang teman Lui Hwa meludah ke lantai!

“Kiang Ti, jangan kira bahwa kami takut kepadamu. Engkau toh hanya seorang laki-laki belaka, seorang mahluk yang jahat dan hina!”

“Perempuan iblis, kalian sudah bosan hidup semua!” Kiang Ti membentak marah.

Lui Hwa berteriak dan menyerang Kiang Ti, akan tetapi ketua Kwi-eng-pang ini sekali menangkis membuat Lui Hwa terpelanting ke atas lantai! Hal ini mengejutkan dan membikin marah empat orang wanita yang lain. Sambil berteriak seperti empat ekor kucing terpijak ekornya, mereka menyerang. Akan tetapi, Kiang Ti menggerakkan tangannya empat kali dan mereka inipun terpelanting! Tidak kuat mereka menghadapi kedahsyatan Si Tangan Racun Hitam itu!

Para pembantu Kiang Ti sudah menubruk dan membuat lima orang wanita itu tidak berdaya. “Hukum mereka! Bunuh mereka... eh, nanti dulu...!” Kiang Ti yang marah sekali itu memandang kepada Lui Hwa, menjambak rambut wanita itu dan menariknya dekat-dekat, dipandanginya seluruh tubuh dan muka Lui Hwa.

“Seret yang empat ke luar dan kebawah, kuberikan kepada kalian, siapa saja yang suka, nikmati mereka di ruangan bawah, aku akan menonton dari sini dan biarkan yang satu ini menemaniku. Sudah, kalian semua boleh keluar!”

Terdengar sorak-sorai para anggauta Kwi-eng-pang dan empat orang itu diseret turun dari atas ruangan loteng. Mereka itu tidak menangis, melainkan memaki-maki dan meronta-ronta namun apa daya mereka menghadapi begitu banyak orang. Kiang Ti sendiri lalu memeluk dan menjambak rambut Lui Hwa, diseret ke pinggir ruangan loteng itu dari mana dia dapat menyaksikan apa yang terjadi di bawah loteng.

“Lihat, ha-ha-ha, lihat baik-baik. Begitulah nasib wanita-wanita yang berani memandang rendah Kwi-eng-pang dan yang telah membunuh beberapa orang anak buahku. Ha-ha-ha-ha!”

Dalam keadaan dipeluk dan dihimpit, Lui Hwa terpaksa memandang ke bawah. Matanya terbelalak ngeri, mukanya pucat sekali, apa apa yang disaksikan di bawah itu benar-benar mengerikan!

“Bunuh saja mereka! Bunuh saja kami. Kami sudah kalah dan tertawan, kami tidak takut mati!” teriak Lui Hwa.

“Ha-ha-ha, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja. Mereka akan mati, tentu saja. Akan tetapi mereka harus membalas lebih dulu semua perbuatan mereka, harus menebus hutang mereka dengan tubuh mereka. Dan engkau... hemm, engkau pun akan mampus, kecuali kalau engkau bisa melayani aku dan bisa menyenangkan hatiku, ha-ha-ha! Atau engkau lebih suka ikut bersama dengan teman-temanmu, mengalami nasib seperti mereka?”

Lui Hwa memandang lagi dan bergidik, memejamkan matanya. Empat orang kawannya itu meronta-ronta den memaki-maki, direjang oleh banyak laki-laki, pakaian mereka dirobek-robek dan mereka mengalami penghinaan yang paling mengerikan bagi seorang wanita, diperkosa dan digagahi oleh banyak orang di tempat umum seperti itu! Padahal mereka adalah wanita-wanita yang paling muak dan membenci kaum pria! Membayangkan betapa dirinya, tubuhnya diperlakukan seperti empat orang kawannya itu, air matanya menetes dan Lui Hwa menggelengkan kepalanya. Dia maklum bahwa melawanpun tidak akan ada gunanya dan kalau dia nekat sampai tewas, maka kematiannya dan kematian teman-temannya merupakan mati konyol dan tidak akan ada yang membalas sehingga mereka akan menjadi setan-setan penasaran. Tidak, kematian teman-temannya, terutama sekali penghinaan ini harus dibalas dan dia tahu bahwa satu-satunya orang yang dapat membalas hanyalah pangcunya! Oleh karena itu, dia harus hidup untuk dapat menyampaikan dendam ini kepada ketuanya. Maka, sambil memejamkan mata den air matanya menetes turun, dia mengangguk dan berkata lirih, “Jangan berikan aku kepada mereka... aku... aku akan melayanimu den mentaati semua perintahmu...”

Matanya dipejamkannya makin rapat ketika dia merasa betapa mulutnya dicium dengan penuh nafsu oleh Kiang Ti dan dia tidak melawan ketika dia dipondong pergi.

***

Wanita yang duduk di atas kursi itu usinya sudah tiga puluh lima tahun, akan tetapi wajahnya masih kelihatan cantik sekali dan bentuk tubuhnya masih seperti seorang gadis berusia belasan tahun. Pandang matanya menyeramkan karena biarpun bentuk mata itu indah sekali, bahkan merupakan bagian yang paling menonjol keindahannya di antara semua kecantikan wajahnya, namun sepasang mata itu mengeluarkan sinar dingin menyeramkan. Seperti juga bentuk tubuhnya yang padat den masih seperti tubuh seorang gadis, rambutnya juga digelung seperti rambut gadis-gadis yang belum menikah, den di atasnya dihias dengan sebuah permainan berbentuk burung hong yang terbuat dari batu kemala indah sekali. Dan memang wanita yang usianya tiga puluh lima tahun ini adalah seorang gadis, seorang perawan yang belum pernah menikah selama hidupnya! Dia inilah ketua Giok-hong-pang, yang bernama Yo Bi Kiok den berjuluk Giok-hong-cu!

Di dalam ceritaPetualang Asmara diceritakan betapa Yo Bi Kiok ini dahulunya adalah murid dari seorang di antara para datuk kaum sesat yang bernama Bu Leng Ci dan berjuluk Siang-tok Mo-li, seorang iblis betina yang amat lihai. Akan tetapi, gurunya itu tewas dalam perebutan pusaka bokor emas milik Panglima Sakti The Hoo, akan tetapi akhirnya, dengan menggunakan kecerdikan, yaitu membuat bokor emas palsu, bokor emas yang tulen, sebuah pusaka yang diperebutkan oleh semua tokoh dunia persilaten baik golongan putih maupun golongan hitam itu terjatuh ke dalam tangan Yo Bi Kiok tanpa ada yang mengetahuinya! Yo Bi Kiok lalu melarikan diri dan menyembunyikan diri, akan tetapi diam-diam dia telah menemukan tempat penyimpanan kitab-kitab pusaka dan harta pusaka dari peta dan petunjuk di dalam bokor emas itu! Setelah menemukan pusaka yang dijadikan perebutan ini, Bi Kiok memusnahkan bokor emas, kemudian diam-diam dia menggembleng dirinya dengan ilmu-ilmu yang terkandung di dalam kitab-kitab itu sehingga dia memperoleh kepandaian yang amat tinggi dan hebat!


Sungguh amat patut disayangkan bahwa seorang wanita yang demikian cantiknya, dan demikian tinggi ilmunya seperi Yo Bi Kiok, yang memang sejak kecilnya telah memiliki watak pendiam dan keras oleh pengaruh pendidikan gurunya, seorang datuk kaum sesat, telah mengalami patah hati dalam percintaan sehingga kini, biarpun dia masih amat cantik jelita, dia telah menjadi seorang wanita pembenci pria, yang kadang-kadang dapat melakukan kekejaman yang mengerikan! Kekejaman yang hanya ditujukan kepada kaum pria. Semua ini, pembentukan watak seperti iblis ini, timbul dari rasa dendam dan sakit hatinya karena cinta pertamanya, bahkan satu-satunya pria yang pernah dicintanya dengan sepenuh hatinya, telah menolak perasaan cintanya itu. Dalam cerita Petualang Asmara telah dkeritakan betapa Yo Bi Kiok jatuh cinta kepada Yap Kun Liong, akan tetapi pria ini dengan terang-terangan menolak cintanya dan kepatahan hatinya ini membuat Yo Bi Kiok selamanya tidak mau berbaik dengan kaum pria, apalagi bermain cinta atau menikah!

Kebenciannya terhadap pria ini pula yang membuat dia, ketika membentuk sebuah perkumpulan dan tinggal di lereng Bukit Liong-san, hanya menerima wanita-wanita yang pernah menjadi korban pria, yang bersakit hati kepada pria saja untuk menjadi anggauta perkumpulannya yang diberi nama Giok-hong-pang. Kini, anak buahnya yang juga menjadi murid-murid itu dan semua terdiri dari wanita-wanita yang membenci pria, berjumlah lima puluh orang lebih. Dengan harta pusaka yang ditemukannya bersama kitab-kitab ilmu silat yang amat tinggi, dia mampu membiayai perkumpulannya, bahkan setiap orang anggauta perkumpulannya mempunyai hiasan kepala berbentuk burung hong dari batu kemala, sungguh pun batu kemala di kepala itu tidak seindah yang menghias kepala sang pangcu.

Di atas kursi yang lain, di sebelah kiri pangcu (ketua) dari Giok-hong-pang ini, duduk seorang wanita lain. Mata siapapun, terutama sekali mata kaum pria, pasti akan terpesona jika memandang wanita ini. Dia seorang gadis yang masih muda, tidak akan lebih dari delapan belas atau sembilan belas tahun usianya, dan wajahnya cantik sekali, seolah-olah tidak ada cacat celanya. Wajah ketua Giok-hong-pang yang sudah amat cantik itu seolah-olah menjadi suram jika dibandingkan dengan kecantikan wajah gadis remaja ini. Setiap anggauta di tubuhnya seolah-olah memiliki daya tarik yang khas dan luar biasa, dan terutama sekali sepasang mata dan mulutnya, takkan ada jemunya mata memandang, dan setiap kerling mata dan gerak bibirnya mengandung sesuatu yang mampu membangkitkan gairah dan berahi pria yang mana pun. Pendeknya, jaranglah ditemui seorang gadis secantik dia. Seperti juga sang ketua, di rambut gadis ini terdapat hiasan burung hong kemala yang amat bagus dan jauh lebih bagus daripada yang dipakai oleh para anggauta Giok-hong-pang, sungguhpun masih kalah indah kalau dibandingkan dengan hiasan yang menghias rambut kepala ketua Giok-hong-pang itu.

Dara jelita ini adalah Yap In Hong, murid dalam arti yang sesungguhnya dari Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, karena para anggauta Giok-hong-pang yang lain hanya menerima ilmu silat yang diseragamkan dan merupakan “kulitnya” saja, sedangkan In Hong seoranglah yang digembleng oleh gurunya secara sungguh-sungguh, bahkan dara ini telah hampir mewarisi semua ilmu yang dimiliki gurunya. Yap In Hong ini sebetulnya adalah adik kandung satu-satunya dari Pendekar Sakti Yap Kun Liong yaitu pria yang menjadi gara-gara kepatahan hati Yo Bi Kiok. Ayah bunda Yap Kun Liong dan Yap In Hong ini terbunuh oleh para datuk kaum sesat, dan semenjak masih kecil sekali, Yap In Hong tak pernah berkumpul dengan kakaknya sampai dia ditolong oleh gurunya itu dan ketika melihat gurunya dan kakak kandungnya itu bertentangan, dia memihak gurunya atau penolongnya itu, tidak mau dibawa pergi oleh kakak kandungnya (baca ceritaPetualang Asmara ). Sejak kecil, Yap In Hong telah digembleng oleh Yo Bi Kiok yang mencintanya seperti keponakan atau seperti adik sendiri, bahkan seperti anak sendiri. Demikian pula In Hong mencinta gurunya dan sekaligus seperti menemukan pengganti ayah bundanya.

Akan tetapi, keadaan sekeliling kita selalu membentuk perwatakan kita! Bagi seorang wanita yang sudah menghayati kebebasan sejati, yaitu bebas dari segala bentuk ikatan, keadaan sekeliling tentu saja tidak mendatangkan pengaruh apa-apa, akan tetapi bagi kebanyakan dari kita, keadaan sekeliling merupakan guru yang paling berkuasa sehingga tanpa kita sadari, kita hanyut dan terbawa-bawa sehingga mau tidak mau kita menjadi “anggauta” dari keadaan sekeliling itu yang mgmbentuk watak dan kepribadian kita. Demikian pula dengan In Hong, dara jelita itu. Karena semenjak kecil dia ikut dengan gurunya, seorang wanita yang membenci kaum pria kemudian setelah gurunya mendirikan perkumpulan, In Hong berada di tengah-tengah sekumpulan wanita yang amat membenci pria, maka secara otomatis In Hong menjadi dewasa dalam suasana seperti itu, dan wataknyapun terbentuklah sebagai seorang dara pembenci kaum pria! Memang aneh kalau dipikir betapa dara ini sama sekali belum pernah berhubungan dengan pria, apalagi disakitkan hatinya! Akan tetapi, karena setiap hari melihat sikap dan mendengar cerita dan dongeng dari para anggauta Giok-hong-pang tentang kebusukan kaum pria dan betapa mereka membencinya, juga gurunya membencinya, maka diapun amat membenci kaum pria yang dianggapnya sebagai mahluk yang sejahat-jahatnya dan seganas-ganasnya!

Pada pagi hari itu, guru dan murid yang duduk di atas kursi itu memandang seorang wanita yang berlutut sambil menangis terisak-isak di depan sang ketua. Giok-hong-cu Yo Bi Kiok mengepal tangan kanannya, matanya mengeluarkan sinar berapi-api, sedangkan In Hong juga terbelalak memandang wanita itu, kedua tangan dikepal dan kemarahannya jelas nampak di wajahnya yang cantik.

“Lui Hwa, ceritamu sukar untuk dapat kupercaya!” terdengar Yo Bi Kiok berkata, suaranya halus, namun mengandung getaran yang mengiris jantung. “Coba kauulangi lagi apa yang telah terjadi dengan kalian berlima!”

Wanita itu, Lui Hwa yang telah kita kenal, yaitu orang termuda di antara lima orang anggauta Giok-hong-pang yang menyelidik ke Telaga Setan, kini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus air matanya dan berusaha untuk bicara tanpa diganggu isak dan menuturkan dengan sejelas-jelasnya. Dia menceritakan pengalaman mereka ketika merampas perahu sampai kemudian terpaksa mereka menyerah kalah karena kedua buah perahu itu digulingkan oleh para anggauta Kwi-eng-pang

Dengan suara terputus-putus dia mengulangi ceritanya betapa empat orang temannya direjang dan diperkosa oleh para anggauta Kwi-eng-pang seperti empat ekor domba yang diserbu segerombolan srigala di tembat terbuka, bahkan di depan matanya karena dia dipaksa untuk menonton oleh ketua Kwi-eng-pang, melihat betapa empat orang teman itu tak mampu melawan sama sekali dan keempathya tewas dalam keadaan yang amat menterikan, terhina secara memalukan sekali. Kemudian betapa dia hanya dapat menangis ketika dia sendiri terpaksa melayani segala kehendak Kiang Ti yang mempermainkannya, memperkosanya, menghinanya bahkan kemudian menyerahkan dia untuk dipermainkan dan diperkosa oleh empat orang pembantu ketua itu sebagai balas jasa atas penangkapan lima orang wanita itu!

“Sepekan lamanya saya ditahan, mengalami penghinaan siang malam, dan akhirnya saya dibebaskan, diantar oleh empat orang pembantu ketua yang lihai itu, diantar dengan perahu ke tepi telaga. Dan di dalam perahu itupun saya harus mengalami penghinaan dan perkosaan yang sudah tak terhitung lagi banyaknya...” Lui Hwa menangis terisak-isak.

“Plakkk!” Tubuh Lui Hwa terpelanting dan tangisnya makin mengguguk ketika dia bangkit berlutut lagi, bibirnya mengalirkan darah dan pipinya yang ditampar oleh Bi Kiok menjadi merah sekali.

“Perempuan tak tahu malu! Dan engkau masih ada muka untuk pulang dan menceritakan semua itu kepadaku, ya? Seratus kali mampus masih lebih baik daripada kau hidup mengenang penghinaan itu!”

“Ampun, pangcu...! Sama sekali saya tidak ingin hidup... sama sekali saya tidak sudi mengenangkannya... saya menyerah kepada mereka, saya mempertahankan hidup sampai saat ini... hanya.... hanya agar dapat melapor kepada pangcu... karena hanya itulah harapan saya supaya dendam kami terbalas... harap pangcu tidak melupakan mereka, Kiang Ti si jahanam dan empat orang pembantunya... kami .... kami berlima menanti pembalasan itu...” Tiba-tiba Lui Hwa meloncat ke belakang, mencabut pedangnya dan sekali menggerakkan kedua tangan yang memegang gagang pedang, dia membalikkan pedangnya menusuk dada sendiri.

“Crotttttt...!” Pedang itu menembus ulu hatinya sampai ujung pedang keluar dari punggungnya!

Guru dan murid itu tidak bergerak sedikitpun. Mata mereka menerima kenyataan ydng mengerikan itu tanpa berkedip dan hal ini saja sudah membuktikan betapa keras hati mereka, dan betapa kuat perasaan mereka. Yo Bi Kiok tersenyum mengangguk, agaknya girang melihat bahwa anggauta atau muridnya itu bukanlah seorang wanita lemah yang takut mati. Sambil memandang tubuh yang tertembus pedang itu, dia berkata lirih, “Tenangkan hatimu, Lui Hwa, mereka akan menebus semua ini!”

Dengan anggukan kepala ketua Giok-hong-pang ini memberi isyarat kepada para penjaga wanita yang berada di situ untuk menyingkirkan dan mengurus baik-baik jenazah Lui Hwa, setelah dia mencabut pedang Lui Hwa dan menyuruh In Hong menyimpan pedang itu. “Pedang inilah yang akan menghukum mereka,” katanya. “Simpan baik-baik, In Hong.”

“Subo, mengapa kita tidak sekarang juga berangkat dan membasmi iblis-iblis Kwi-eng-pang?” In Hong sudah bangkit berdiri dan mengangkat pedang Lui Hwa itu ke atas kepala.

“Duduklah, In Hong. Ingat, hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin, itu merupakan syarat yang terutama bagi seorang ahli silat. Kalau menuruti perasaan amarah, pikiran menjadi kalut dan kita tidak dapat menguasai gerakan kita dengan sempurna dan hal ini berarti sudah kehilangan sebagian dari daya tahan dan kewaspadaan kita.”

In Hong menunduk, kagum dan harus membenarkan pendapat gurunya itu. “Baik, subo, dan maafkan kesembronoan teecu (murid).”

“Tidak apa, muridku. Ketahuilah, si bedebah Kiang Ti yang kini menjadi ketua Kwi-eng-pang adalah murid kepala dari mendiang Kwi-eng Nio-cu pendiri Kwi-eng-pang. Ilmunya cukup hebat, terutama sekali Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang menjadi andalannya. Tangannya itu selain beracun juga amat kuat, bahkan dia berani menggunakan tangannya menangkis senjata tajam. Kiang Ti dengan sengaja melepas dan membebaskan Lui Hwa, tidak dibunuhnya seperti empat yang lain, tentu karena kesombongannya dan dia sengaja memberi kesempatan kepada Lui Hwa untuk melapor ke sini. Hal itu berarti suatu tantangan! Dan orang yang telah berani menantang tentu sudah percaya kepada kekuatan sendiri dan tentu telah siap sedia menanti kedatangan kita! Maka kita tidak boleh bodoh dan sembrono, muridku.”

“Perlukah kita takut, subo?” In Hong bertanya penasaran. “Biarkan teecu memimpin semua anggauta kita menyerbu dan membasmi Kwi-eng-pang sampai habis!”

“Berhati-hati dan bersiasat bukanlah tanda takut, In Hong, melainkan tanda kecerdikan. Kiang Ti dan anak buahnya tidak perlu ditakuti, akan tetapi kedudukan Telaga Setan benar-benar amat berbahaya. Tidak ingatkah kau akan cerita Lui Hwa betapa mereka menjadi tidak berdaya karena perahu-perahu mereka digulingkan? Kita sendiri, bahkan aku sekalipun, akan dapat berbuat apa kalau sampai terjatuh ke dalam air yang dalam dan kita tidak pandai renang? Tentu semua ilmu kita tidak akan banyak gunanya! Kesukaran kita menyerbu Kwi-eng-pang adalah pada penyeberangannya. Kalau sudah mendarat di pulau itu, tidak ada kesulitan apa-apa lagi. Karena itu kita harus menggunakan siasat.”

In Hong kembali mengangguk-angguk membenarkan. Dia merasa ngeri juga kalau mengingat betapa sebelum berhasil mendarat di pulau sarang musuh itu, dia sudah terjatuh ke dalam air yang amat dalam!


Bi Kiok lalu mengumpulkan semua anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang. Ketika mereka semua diberi tahu akan keputusan ketua mereka untuk menyerbu Kwi-eng-pang, wanita-wanita itu bersorak girang karena semua telah mendengar akan kematian Lui Hwa dan empat orang temannya, yang mengerikan dan mereka semua merasa sakit hati ingin membalaskan kematian teman-teman mereka. Dengan penuh perhatian mereka mendengarkan siasat yang diatur oleh ketua mereka dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah semua anggauta Giok-hong-pang ini dengan berpencar merupakan kelompok-kelompok kecil agar tidak menarik perhatian orang, menuju ke Telaga Setan.

Ketika semua anggauta tiba di hutan di tepi telaga itu sebagaimana yang telah ditentukan semula. Bi Kiok dan In Hong telah lebih dulu tiba dan menanti di tempat itu. Guru dan murid ini sekali lagi merundingkan siasat dengan para anak buah Giok-hong-pang, kemudian Yo Bi Kiok mengajak muridnya untuk menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke tepi telaga sebelah utara dan perjalanan ini biarpun dilakukan dengan cepat sekali masih memakan waktu sampai setengah hari lamanya!

Pada menjelang tengah hari, seperti yang direncanakan pagi tadi sebelum ketua mereka pergi meninggalkan mereka, lima puluh orang anggauta Giok-hong-pang mulai bersolek, menambah pupur dan yanci (pemerah pipi) dan membereskan pakaian mereka, kemudian beramai-ramai mereka memperlihatkan diri di pantai sambil berteriak-terlak menantang Kwi-eng-pang!

Para anggauta Kwi-eng-pang yang bertugas menjaga di sekeliling telaga itu tentu saja sudah tahu akan kedatangan rombongan wanita Giok-hong-pang ini, dan ketika para anggauta mereka yang bertugas mencari ikan juga telah mendengar ribut di tepi telaga. Dengan jantung berdebar penub keteganqan, juga penuh gairah ketika melihat lima puluh orang wanita yang hampir semua cantik-cantik dan muda-muda itu, para anggauta Kwi-eng-pang cepat melaporkan hal ini kepada ketua mereka dengan harapan mereka itu akan kebagian kelak kalau wanita-wanita itu dapat ditawan seperti yang telah terjadi dengan lima orang tawanan tempo hari. Kini melihat banyaknya anggauta Giok-hong-pang yang cantik-cantik itu, mereka semua tentu akan memperoleh bagian!

Kiang Ti tertawa bergelak ketika mendengar laporan bahwa di tepi selatan telaga itu telah datang lima puluh orang wanita cantik para anggauta Giok-hong-pang yang berteriak-teriak, memaki-maki dan menantang.

“Ha-ha-ha-ha, mereka datang dan hanya menantang di tepi telaga? Ha-ha-ha, mereka tidak dapat menyeberang, akan tetapi akan memalukan sekali kalau kita tidak menyambut tantangan mereka. Apa sih kemampuan wanita-wanita itu kecuali menghibur kita dalam kamar? Kita berjumlah lebih banyak! Sambut mereka dengan seratus orang dan sedapat mungkin tawan mereka hidup-hidup. Mereka cantik-cantik dan muda-muda? Bagus, berarti kalian tidak perlu repot-repot menculiki gadis-gadis dusun lagi, ha-ha-ha!”

Kiang Ti mengerahkan anggauta-anggauta perkumpulannya dan memerintahkan seorang pembantunya untuk membawa seratus orang menghadapi para anggauta Giok-hong-pang. Dia bukan seorang bodoh. Dulu sebelum menjadi ketua Kwi-eng-pang, dia telah lama menjadi ketua Ui-hong-pang dan sudah berpengalaman, maka ketika mendengar laporan bahwa lima puluh orang wanita Giok-hong-pang itu datang tanpa ketua mereka, dia merasa curiga. Karena itu, dia hanya mengirim seratus orang anggauta yang dianggapnya sudah cukup untuk menghadapi lima puluh wanita itu, sedangkan dia sendiri bersama sisa anggauta perkumpulannya, kurang lebih tiga puluh orang, tetap berada di pulau menjaga kalau-kalau ketua Giok-hong-pang menggunakan siasat “memikat harimau meninggalkan sarang”.

Berbondong-bondong seratus orang anggauta Kwi-eng-pang meninggalkan pulau, menggunakan perahu-perahu besar kecil menuju ke tepi telaga di mana para wanita itu masih berteriak-teriak menantang. Kiang Ti sendiri, dengan sebuah teropong di tangannya, mengamati dari tepi Pulau. Dia bangga sekali dengan teropong ini, teropong kepunyaan seorang asing dari barat, seorang yang bermata biru berambut kuning, yang pernah menjadi tamu gurunya di pulau itu dan yang meninggalkan teropong itu di situ sehingga kini menjadi miliknya. Dengan alat ini yang masih langka pada waktu itu, dia dapat mengjkuti geraken orang-orangnya di tepi telaga.

Sambil berteriak-teriak penuh kegarangan, seratus orang anggauta Kwi-eng-pang itu sudah menyerbu ke darat, disambut oleh para wanita Giok-hong-pang dan segera terjadi pertempuran kacau-balau yang amat seru di tengah-tengah debu yang mengebul tinggi dan teriakan-teriakan mereka yang bercampur aduk. Karena jumlah orang-orang Kwi-eng-pang dua kali lipat lebih banyak, maka boleh dibilang setiap orang wanita Giok-hong-pang dikeroyok oleh dua orang pria. Namun dengan gerakan pedang yang cepat dan rapi, para anggauta Giok-hong-pang itu membela diri dengan baik sekali dan dengan kagum Kiang Ti melihat betapa wanita-wanita itu sama sekali tidak terdesak oleh jumlah lawan yang lebih banyak.

“Kiang Ti manusia hina, bersiaplah engkau untuk mampus!”

Suara yang halus akan tetapi nyaring dan menggetar aneh ini membuat Kiang Ti terkejut sekali, cepat dia membalikkan tubuhnya dan dengan kaget melihat bahwa di depannya telah berdiri dua orang wanita yang amat luar biasa cantiknya, terutama sekali yang muda! Biarpun sudah belasan tahun tak pernah bertemu, namun dia masih dapat mengenal Yo Bi Kiok, yang dahulu merupakan seorang gadis yang cantik sekali dan pernah tinggal di pulau sebelah utara. Dia tersenyum mengejek. Dugaannya ternyata tepat. Yo Bi Kiok hendak menggunakan siasat memancing orang-orangnya dan dia meninggalkan pulau dan diam-diam wanita ini mendarat di pulau melalui utara yang tentu saja tidak terjaga karena semua perhatian ditujukan kepada wanita-wanita Giok-hong-pang yang sengaja mengacau di tepi selatan. Akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanyalah Yo Bi Kiok seorang bersama seorang gadis muda, hatinya menjadi besar dan cepat dia bersuit memberi tanda. Berserabutan datanglah tiga puluh orang yang telah dipersiapkan dan dalam sekejap mata saja Yo Bi Kiok dan In Hong sudah dikepung!


Yo Bi Kiok tersenyum mengejek. “Kiang Ti, engkau sudah tahu akan dosa-dosamu terhadap lima orang anggauta kami, lekas berlutut dan menyerah!” kembali Yo Bi Kiok berkata halus, akan tetapi di dalam kehalusan suaranya itu terkandung sesuatu yang menyeramkan karena senyum mengejek dan pandang mata seperti ujung pedang itu mengandung ancaman maut.

“Ha-ha-ha-ha! Bukankah engkau Giok-hong-cu Yo Bi Kiok yang dulu itu? Hemm, sudah belasan tahun tidak jumpa, engkau menjadi makin matang dan cantik saja! Giok-hong-cu, jangan persalahkan aku tentang lima orang anggautamu itu. Engkaulah sendiri yang bersalah. Di antara kita masih ada ikatan, engkau murid Siang-tok Mo-li dan aku murid Kwi-eng Nio-cu, mengapa engkau mengirim orang-orang menyelidiki tempatku dan melakukan penghinaan serta membunuh empat orangku? Kalau memang engkau ingin pindah dengan para anggautamu ke sini, mengapa tidak datang secara baik-baik dan berdamai saja? Kalau kita bersatu, bukankah kita akan merupakan kekuatan yang hebat? Engkau menjadi isteriku, dan para anggautamu boleh memilih suami di antara anggautaku, bukankah itu baik sekali?”

“Tutup mulutmu yang busuk!” Yo Bi Kiok memaki marah, akan tetapi Kiang Ti hanya tertawa mengejek.

“Yo Bi Kiok, tidak perlu engkau bersikap sombong seperti ini. Orang-orangmu hanya berjumlah lima puluh orang dan sekarang tentu telah ditawan semua oleh seratus orang anggautaku, dan engkau sendiri bersama nona jelita ini telah dikepung...!”

“Engkau yang buta dan tidak tahu bahwa kematian sudah berada di depan hidung! Lihatlah baik-baik apa yang terjadi di seberang sana. Yo Bi Kiok menunjuk ke arah tepi telaga di mana terjadi pertempuran.

Kiang Ti cepat menengok ke arah seberang telaga dengan teropongnya dan seketika mukanya berubah. Dengan jelas dia melihat betapa sebagian dari orang-orangnya telah roboh dan sebagian lagi kini telah menyerah, ditodong pedang dan tidak ada seorangpun di antara anggautanya yang berani melawan lagi! Tak disangkanya pertempuran berjalan secepat itu dengah kekalahan fihaknya yang berjumlah dua kali jumlah lawan banyaknya.

“Pengecut...!” Dia berteriak, lalu menurunkan teropongnya dan membalik menghadapi dua orang wanita itu sambil berseru kepada para pembantunya, “Tangkap mereka berdua!” Melihat kekalahan fihaknya, timbul keinginan di hati Kiang Ti untuk menawan hidup-hidup ketua Giok-hong-pang ini dan menjadikannya sebagai sandera untuk menaklukkan semua anggauta Giok-hong-pang.

Tiga puluh orang anak buah Kwi-eng-pang mengepung ketat dan mereka sudah siap untuk menangkap dua orang wanita itu. Hati mereka besar karena mereka yang tidak menggunakan teropong tentu saja masih belum tahu apa yang terjadi dengan kawan-kawan mereka yang menyerbu ke darat. Kini, menghadapi hanya dua orang wanita cantik saja, tentu mereka memandang rendah.

“In Hong, kauhajar anjing-anjing itu, biar aku yang menangkap srigalanya!” Yo Bi Kiok berkata sambil tersenyum kepada muridnya, sikap mereka berdua tenang sekali seolah-olah yang mengepung dan mengancam mereka itu bukan manusia, hanya boneka-boneka hidup belaka yang tidak perlu dikhawatirkan!

Kiang Ti yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan jumlah banyak, menjadi marah sekali. Dia ingin menangkap hidup-hidup dua orang musuh ini, maka diapun berkata nyaring, “Kalian semua tangkap nona muda itu, awas jangan sampai kulitnya yang halus itu lecet-lecet! Kalian berempat membantu aku menghadapi iblis cantik ini!” Perintah terakhir dia tujukan kepada empat orang pembantunya yang merupakan tokoh-tokoh terpandai sesudah dia di Kwi-eng-pang.
In Hong tanpa menjawab mentaati perintah gurunya, sekali meloncat tubuhnya sudah mencelat ke kiri, menjauhi gurunya sehingga para pengepung yang kini juga berpencar dan terpecah menjadi dua itu cepat mengepung gadis ini dengan ketat, dengan pandang mata bersinar-sinar penuh gairah karena biarpun mereka ini tahu bahwa gadis secantik ini tentu akan diambil sendiri oleh sang ketua, namun setidaknya dalam menangkapnya mereka memperoleh kesempatan untuk memuaskan tangan-tangan mereka. Dua puluh enam orang laki-laki yang merupakan pasukan inti dari Kwi-eng-pang, pengawal-pengawal setia dari Kiang Ti karena mereka ini semua adalah bekas anggauta Ui-hong-pang, kini mengepung seorang dara remaja yang kelihatannya tenang berdiri di tengah kepungan, sedikitpun tidak kelihatan gentar, bahkan tidak mau mencabut pedangnya, berdiri dengan kedua kaki agak terpentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri tubuh, renggang dari badan, tegak dan muka menghadap ke depan, sama sekali tidak bergerak, dan hanya sepasang mata yang indah seperti mata burung hong itu saja yang bergerak, meleret ke kanan kiri dengan lambat, dan ada bayangan senyum tersembunyi di balik sepasang bibir yang merah membasah itu.

Demikian pula dengan Yo Bi Kiok. Wanita inipun berdiri seperti sikap muridnya, hanya bedanya kalau In Hong berdiri dengan wajah dingin dan senyum yang seolah-olah membayang atau bersembunyi di balik bibirnya itu hanya tampak karena memang bentuk mulutnya amat manis seolah-olah selalu bersenyum, sebaliknya Bi Kiok tersenyum, senyum mengejek dan
sepasang matanya bersinar-sinar penuh semangat, atau mungkin itu adalah suatu kemarahan yang terselubung di balik ejekan sikapnya. Matanya melirik ke arah Kiang Ti dan empat orang pembantunya itu berganti-ganti dan di dalam telinganya berdengung kembali ucapan terakhir Lui Hwa “...harap pangcu tidak melupakan mereka, Kiang Ti si jahanam dan empat orang pembantunya...”

“Tidak, Lui Hwa, aku tidak akan melupakannya!” Tiba-tiba dia berkata pada saat Kiang Ti dan empat orang pembantunya menerjangnya dari lima penjuru. Kiang Ti yang dahulu pernah mengenal Yo Bi Kiok, memandang rendah. Maka dia dan empat orang pembantunya tidak menggunakan senjata, melainkan menerjang dengan tangan kosong. Pertama, karena dia memandang rendah dan sudah merasa yakin bahwa mereka berlima sudah pasti akan dapat mengalahkan ketua Giok-hong-pang ini, dan kedua karena memang, dia ingin menawan hidup-hidup wanita yang amat cantik ini. Kepercayaan pada diri sendiri diperkuat dengan adanya Ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang dahsyat, apalagi karena empat orang pembantu itu merupakan juga murid-murid kepala yang sudah melatih diri dengan Hek-tok-ciang pula, sungguh pun keampuhan tangan beracun mereka masih belum dapat menyamai guru mereka

Akan tetapi, Bi Kiok menghadapi serangan bertubi mereka itu dengan sikap tenang saja, tubuhnya hanya mengelak sedikit dan kedua tangannya dikebutkan ke kanan kiri dan ke atas bawah.

“Plak-plak-plak-plak-plak...!” Beruntun lima kali tangan lima orang pria yang mengandung getaran tenaga Hek-tok-ciang itu bertemu dengan bayangan tangan Bi Kiok dan akibatnya, empat orang pembantu Kiang Ti terhuyung ke belakang dengan mulut menyeringai kesakitan, sedangkan Kiang Ti sendiri meloncat ke belakang dan memegangi lengan kanannya yang terasa panas dan nyeri! Dia memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Bi Kiok hanya berdiri tegak sambil tersenyum, memandang mereka bergantian dengan sikap mengejek sekali.

“Aughhhh...!” Kiang Ti menggerakkan kedua lengannya yang membentuk gerakan-gerakan saling bersilang, kedua tangan seperti cakar harimau dan kedua lengan tergetar makin lama makin keras dan lengan itu mulai berubah menjadi hitam! Inilah pengerahan tenaga Hek-tok-ciang yang dahsyat! Karena tadi mereka memandang rendah, tentu saja mereka hanya ingin mengalahkan wanita ini tanpa harus menggunakan Hek-tok-ciang. Akan tetapi, begitu merasa betapa kuatnya tangkisan wanita itu, kuat dan cepat sekali, mereka maklum bahwa ketua Giok-hong-pang ini memang hebat, maka Kiang Ti Ialu mengerahkan Hek-tok-ciang. Empat orang pembantunyapun lalu mengeluarkan pekik dahsyat dan seperti yang dilakukan ketua mereka, empat orang inipun menggerak-gerakkan kedua lengan sampai lengan mereka mulai tampak kehitaman, sungguhpun tidak sehitam lengan Kiang Ti.

“Hemm, itukah Hek-tok-ciang? Hanya permainan kanak-kanak saja!” Yo Bi Kiok mengejek.

“Serang perempuan sombong ini!” Kiang Ti memberi aba-aba. Dia masih tidak ingin sekaligus membunuh wanita cantik ini, maka dia hanya menyuruh empat orang pembantunya, karena, kalau dia sendiri yang maju menyerang menggunakan Hek-tok-ciang, ia khawatir kalau wanita ini akan roboh tewas seketika!

Empat orang pembantunya juga menjadi penasaran dan mulai marah oleh ejekan wanita itu. Mereka tidak memperdulikan lagi perintah guru dan ketua mereka untuk menangkap Bi Kiok, dan sekali maju, mereka telah mengerahkan tenaga Hek-tok-ciang untuk menyerang dengan pukulan-pukulan maut!

“Haaaaiiiiikkkkk!” Hampir berbareng mereka mengeluarkan teriakan keras dan menerkam maju sambil memukul dengan tangan terbuka yang berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau amis seperti darah membusuk.

Bi Klok dengan tenang mengelak ke kanan kiri, dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat, lenyap dari dalam kepungan empat orang itu! Empat orang itu terkejut, memandang ke kanan kiri mencari-cari.

“Dia di atas...!” Kiang Ti berseru, kaget juga melihat betapa tadi tubuh wanita itu mencelat ke atas dengan kecepatan kilat.

Empat orang itu cepat memandang ke atas dan melihat bayangan lawan menukik turun. Dengan penuh kemarahan mereka menyambut dengan pukulan-pukulan Hek-tok-ciang, akan tetapi kembali tubuh itu berkelebat dan lenyap.

“Robohlah...!” Terdengar bentakan halus dan berturut-turut empat orang itu terpelanting dalam keadaan lemas karena jalan darah mereka di belakang pundak telah tertotok, membuat mereka roboh tak dapat bergerak lagi, lemas seluruh tubuh dan hanya mata mereka saja yang dapat melotot memandang kepada wanita itu dengan penuh kengerian.

Kiang Ti menjadi marah sekali. Dia mengira bahwa wanita itu takut menghadapi Hek-tok-ciang, maka tadi telah mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat luar biasa untuk mengalahkan para pembantunya. Akan tetapi kalau hanya mengandalkan gin-kang, dia tidak takut, karena Hek-tok-ciang di tangannya luar biasa kuatnya, dan sekali saja wanita ini kena dipukul olehnya, bahkan terkena sambaran hawa pukulannya saja, tentu akan roboh!

Sementara itu, In Hong juga sudah dikeroyok oleh dua puluh enam orang pria. Karena ingin mentaati perintah ketua mereka, juga karena berebut ingin dapat memeluk dan menggerayangi tubuh gadis yang cantik sekali itu dengan tangan mereka yang sudah gatal-gatal rasanya, dua puluh enam orang itu tidak menggunakan senjata, bahkan tidak memukul hanya menubruk dan hendak memeluk dan menangkap In Hong. Akan tetapi, terjadilah keanehan luar biasa. Gadis itu hanya mengelak ke sana-sini dan tidak ada sebuahpun di antara tangan yang sebanyaknya itu pernah dapat menyentuhnya! Bahkan kalau ada tangan yang tidak keburu dielakkan saking banyaknya, belum sampai tangan itu menyentuh kulit tubuh In Hong, tangan itu sudah terpental seperti ada yang menangkis, seperti terdorong oleh tangan yang tidak kelihatan. In Hong sama sekali tidak membalas, hanya mengelak bukan karena takut tertangkap karena dengan sin-kangnya yang mujijat dia mampu melindungi kulitnya dengan hawa yang cukup kuat untuk membuat tangan mereka terpental, akan tetapi dia mengelak untuk menjatuhkan diri karena dikepung seperti itu dia merasa jijik, apalagi karena kepungan ketat dengan dua puluh enam orang pria itu menimbulkan bau apak dan kecut dari keringat dan mulut mereka!

In Hong adalah seorang dara yang amat mencinta gurunya. Bagi dia, Yo Bi Kiok adalah seorang guru, seorang ketua, sahabat, dan juga kakak atau pengganti ibu sendiri! Hanya Bi Kiok seoranglah yang dipandangnya di dunia ini. Maka tidak mengherankan apabila dia amat mencinta dan taat kepada gurunya ini. Di dalam pertandingan ini, ketika melihat gurunya dikeroyok oleh ketua Kwi-eng-pang dan empat pembantunya yang dia tahu jauh lebih lihai daripada dua puluh enam orang yang mengeroyoknya, maka dia tidak mau merobohkan seorangpun lawan sebelum gurunya lebih dulu merobohkan papa pengeroyoknya. Dia tidak mau mendahului gurunya karena hal ini dianggapnya akan dapat menimbulkan tidak senang di hati gurunya! Inilah sebabnya mengapa In Hong hanya menghindarken diri dari semua tangan itu tanpa mau membalas sama sekali.


Haiiiiittttt...!” Tiba-tiba Kiang Ti memekik keras saking marahnya ketika pukulan-pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kedua tangannya kini mendorong ke depan, ke arah dada Bi Kiok dan dari kedua telapak tangannya yang amat hitam itu menyambar hawa pukulan dahsyat disertai bau yang amat amis.

Sekali ini, Bi Kiok tidak mengelak, bahkan juga menggerakkan kedua lengan, dengan kedua tangan terbuka menyambut dorongan telapak tangan lawan itu.

“Ah, engkau mencari mampus,” demiklan suara hati Kiang Ti sambil mengerahkan Hek-tok-ciang sekuatnya sehingga kedua lengannya berubah menjadi hitam sekali, mengkilap den mengeluarkan bau yang amis memuakkan.

“Plakkkk!!”

Dua pasang telapak tangan itu bertemu, saling tempel den saling dorong dengan kekuatan yang dahsyat. Tubuh Kiang Ti tergetar hebat den ketua Kwi-eng-pang ini segera mengerahkan seluruh tenaganya dengan keyakinan bahwa wanita ini tentu akan roboh dengan tubuh hitam semua karena racun dari hawa pukulan Hek-tok-ciang. Akan tetapi, Bi Kiok berdiri tegak dengan kedua lengan lurus, tubuhnya sedikitpun tidak bergoyah, sedangkan mata den mulutnya membayangkan ejekan yang membuat Kiang Ti makin penasaran dan makin marah.

“Haaaahhhhhhhh!” Dia kembali mengerahkan tenaga dan bukan main kagetnya ketika dia merasa bahwa kedua tangannya bertemu dengan hawa yang amat panas, dan tenaga yang amat dahsyat sehingga membendung semua tekanan hawa pukulan Hek-tok-ciang, bahkan mendorong tenaga Hek-tok-ciang membalik, kemudian hawa panas itu mulai menyerangnya, keluar dari telapak tangan halus itu, mula-mula memasuki ujung jari-jari tangannya, kemudian makin lama makin jauh memasuki tangannya.

Kiang Ti terkejut bukan main. Jari-jari tangannya seperti dibakar rasanya. Dia cepat berusaha untuk melepaskan
kedua tangannya, akan tetapi ternyata kedua tangan itu sudah melekat kepada tangan lawan, sedikitpun tidak dapat direnggangkan, apalagi dilepaskan! Beberapa kali dia berusaha menarik kembali kedua tangan, namun akhirnya dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin. Maka dia menjadi nekat, tenaga Hek-tok-ciang makin ia kerahkan, namun semua sia-sia belaka. Hawa panas makin mendesak jauh, melalui pergelangan tangan, terus naik ke lengannya dan ketika tiba di atas siku, dia tidak kuat lagi bertahan saking panas dan nyerinya sehingga Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang itu menjerit-jerit!

“Aduhhh... panas... panas... aduhhhh, lepaskan...!” Tanpa malu-malu lagi Kiang Ti yang selama ini terkenal sebagai seorang ketua Kwi-eng-pang yang ditakuti, kini berteriak-teriak, mukanya pucat sekali dan penuh dengan keringat dingin, kedua lengannya kemerahan seperti dipanggang api, kedua kaki menggigil menahan kenyerian yang amat hebat.

Bi Kiok tersenyum lebar, kedua tangannya menggigil ketika dia mengerahkan tenaga sin-kangnya sehingga serangannya menjadi makin hebat, membuat kedua lengan Kiang Ti ikut menggigil.

“Aduhhh... aduhhhh... am... punnn...!” Kiang Ti yang kint merasa betapa seturuh tubuhnya seperti ditusuki jarum dan dipanggang di atas api itu mengeluh dan minta-minta ampun.

“Krekk! Krekk! Augghhhh...!” Tubuh Kiang Ti menjadi lemas dan dia roboh pingsan ketika Bi Kiok menarik kembali kedua tangannya setelah dengan sin-kangnya dia membuat tulang-tulang dari kedua lengan lawannya itu retak-retak.

“In Hong, sudahi main-mainmu dengan mereka!” Bi Kiok berkata kepada muridnya ketika dia menengok dan melihat betapa muridnya itu masih dikepung dan dikeroyok dua puluh enam orang pria itu tanpa membalas, hanya mengelak ke sana-sini dengan cekatan seperti seekor burung walet.

“Baik, subo!” In Hong berkata setelah dia melihat betapa subonya sudah merobohkan semua orang lawannya. Dia menggerakkan kedua tangannya berkali-kali sambil berseru, “Robohlah...!”

Hebat bukan main akibatnya. Berturut-turut, dua puluh enam orang itu roboh dan tak dapat bangun kembali sehingga tubuh mereka malang-melintang dan tumpang-tindih di atas tanah. Cepat sekali pengeroyokan itu selesai dan kini yang tampak hanya In Hong di tengah-tengah tubuh dua puluh enam orang malang-melintang di sekelilingnya, mereka semua menjadi korban sasaran Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum) yang tadi disebar oleh dara itu. Racun yang berupa pasir ini memang hebat sekali, mengeluarkan sinar dingin hijau dan berbau harum, akan tetapi tidak hanya dapat merobohkan dan membuat lawan pingsan seperti halnya dua puluh enam orang itu, bahkan kalau dikehendaki oleh In Hong, dapat pula mencabut nyawa lawan! Tadi melihat betapa gurunya merobohkan lima orang pengeroyoknya tanpa membunuh, diapun hanya merobohkan mereka dengan pasir tanpa membunuh, hanys membuat mereka pingsan saja.

Pada saat itu, perahu-perahu yang ditumpangi oleh anak buah Giok-hong-pang telah tiba di pulau. Berkat petunjuk para tawanan yaitu orang-orang Kwi-eng-pang yang menyerah dan takluk, para anggauta Giok-hong-pang dapat mendarat di pulau dengan selamat.

Bi Kiok lalu menyuruh para anak buahnya membawa semua tawanan itu ke ruangan besar di mana dia dan In Hong duduk di atas kursi, juga memerintahkan agar semua keluarga anggauta Kwi-eng-pang, baik yang terluka atau yang tidak, pendeknya mereka yang belum mati, dikumpulkan di ruangan itu, dijaga oleh para anggauta Giok-hong-pang.

Kiang Ti dan para anggautanya sudah siuman kembali dan kini dia duduk di atas lantai di depan Bi Kiok dengan muka pucat. Tahulah dia bahwa riwayatnya sebagai ketua Kwi-eng-pang habis sampai di situ saja. Tak pernah diduganya bahwa kini Yo Bi Kiok memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya, jauh lebih hebat dari kepandaiannya sendiri, bahkan dia yakin lebih hebat daripada tingkat kepandaian mendiang gurunya, Kwi-eng Niocu atau guru Bi Kiok, Siang-tok Mo-li! Kalau saja dia tahu akan hal itu, tentu saja tidak akan begitu bodoh untuk melawannya. Dan dia bergidik kalau mengingat akan apa yang telah dia lakukan terhadap lima orang wanita anggauta Giok-hong-pang beberapa hari yang lalu itu!


Rasa takut mendatangkan kebencian yang hebat dan sekiranya kedua lengan tangannya tidak patah-patah tulangnya sehingga kedua lengannya itu lumpuh tak dapat digerakkan lagi, tentu Kiang Ti akan mengamuk dan melawan sampai tewas. Dia mengerti babwa dirinya tidak tertolong lagi dan dia tidak mungkin bisa mengharapkan pengampunan dari wanita yang seperti iblis itu, wanita cantik yang sikapnya dingin menyeramkan, yang kini bersama dara jelita yang amat lihai itu duduk di depannya, memandang dengan mata seperti hendak membunuhnya dengan sinar matanya. Suasana sunyi, tak seorangpun berani bergerak, bahkan semua anak buah Kwi-eng-pang seperti menahan napas saking tegang dan takutnya. Di sana-sini terdengar isak tertahan dari isteri dan keluarga para anggauta Kwi-eng-pang yang sudah tewas dalam penyerbuan anak buah Giok-hong-pang itu.

“Kiang Ti, apakah engkau sudah mengetahui akan dosamu?” Tiba-tiba terdengar suara halus ketua Giok-hong-pang, membuat para pendengarnya terkejut dan semua mata kini tertuju kepada Kiang Ti yang duduk di atas lantai sambil menundukkan mukanya. Ketua Kwi-eng-pang itu mengengkat muka.

“Yo Bi Kiok, aku sudah kalah, mau bunuh terserah, tak perlu lagi banyak cakap!”

Yo Bi Kiok tersenyum. “Engkau dan empat orang pembantumu ini melakukan kekejian terhadap Lui Hwa, dan sekarang dia telah menanti kalian berlima di alam baka untuk membuat perhitungan dengan kalian.”

Kiang Ti menunduk. Maklumlah dia bahwa perbuatannya itu merupakan kebodohan dan kelalaiannya, memandang rendah kepada orang lain. Kesenangan dan kenikmatan yang didapatnya ketika dia mempermainkan Lui Hwa sungguh tidak sepadan dibandingkan derigan hukumannya, dengan kematian yang sudah membayang di depan mata. Menyesal? Tidak, orang seperti Kiang Ti tidak pernah mengenal sesal, karena bagi orang seperti dia, hidup berarti pengejaran kesenangan, dan mati adalah resikonya!

“Aku sudah melakukan itu, habis engkau mau apa?” tantangnya untuk menutupi rasa takutnya, karena betapapun juga, ada perasaan takut dan ngeri menghadapi kematian, meninggalkan semua kesenangan dunia dan menghadapi suatu keadaan lain yang masih rahasia, yang tak dapat dibayangkannya akan bagaimana jadinya setelah mati, akan tetapi banyak dongeng tentang neraka telah membuatnya ngeri juga.

“Pangcu... harap pangcu sudi mengampuni hamba...” seorang di antara empat pembantu Kiang Ti terdengar memohon dengan suara ketakutan.

“Pangcu, ampunkan kami... kami hanya menjalankan tugas...”

“Kami hanya diperintah oleh pangcu kami...”

Bibir yang tersenyum manis itu tiba-tiba berubah menjadi cemberut. Sejenak Bi Kiok menyapu empat orang itu dengan pandang mata penuh penghinaan, melihat betapa empat orang itu sembil berlutut mengangguk-anggtikkan kepala sampai dahi mereka menyentuh lantai dan mulut mereka tiada hentinya mengeluarkan suara seperti orang menangis sambil minta-minta pengampunan.

“Pengecut hina dan busuk!” Tiba-tiba Bi Kiok membentak, tangannya bergerak dan tampaklah sinar berkilat menyambar ke arah empat orang itu yang menjerit dan roboh terlentang, berkelojotan seperti ayam-ayam disembelih dengan leher putus!

Kiang Ti memandang empat orang pembantunya itu dengan muka pucat, akan tetapi hatinya puas karena diapun mendongkol sekali menyaksikan sikap mereka tadi.

“Kiang Ti, engkau manusia busuk dan kejam, akan tetapi sikapmu cukup gagah, maka engkau patut menerima hukuman yang lebih ringan. Nah, kautemuilah Lui Hwa di sana!” Kembali sinar kilat menyambar dari tangan Bi Kiok disusul robohnya Kiang Ti yang tak dapat bergerak lagi karena lehernya sudah terbabat putus oleh sinar pedang tadi. Hebat bukan main cara Bi Kiok mencabut dan menggerakkan pedangnya, tidak dapat diikuti pandang mata semua orang yang berada di situ kecuali In Hong. Cepat sekali gerakannya sehingga yang nampak hanyalah sinar berkilat dari pedang Lui-kong-kiam (Pedang Sinar Kilat) yang menyilaukan mata. Dan dengan tepatnya pedang itu menyambar, merobohkan empat orang yang mati setelah berkelojotan dan mengalami siksaan yang agak lama sedangkan Kiang Ti roboh dan tewas seketika sehingga mungkin saja arwahnya masih belum sadar bahwa dia telah meninggalkan raga karena selain lehernya putus juga lebih dulu jantungnya tertembus pedang!

Semua orang memandang dengan wajah pucat lalu menundukkan muka. Orang-orang Kwi-eng-pang gemetar dan ketakutan, bahkan para anggauta Giok-hong-pang juga tidak ada yang berani bersuara. Mereka maklum bahwa kalau ketua mereka yang cantik itu sedang marah, dia menjadi berbahaya bukan main.

“Sekarang, mereka yang dahulu memperkosa dan mempermainkan empat orang anggauta Giok-hong-pang sampai mati, majulah semua!” Suara ini halus, namun mengandung sesuatu yang membuat mereka yang merasa berdosa menggigil ketakutan. Tentu saja tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani berkutik, apalagi maju ke depan wanita luar biasa itu.

Bi Kiok mengerutkan alisnya. Dari penuturan mendiang Lui Hwa, dia mendengar bahwa Lui Hwa diperkosa dan dihina oleh Kiang Ti dan empat orang pembantunya yang semua telah dia bunuh sebagai hukuman, akan tetapi menurut Lui Hwa, empat orang anak buahnya yang lain itu direjang dan diperkosa di tempat terbuka oleh banyak sekali anggauta Kwi-eng-pang, diperkosa di depan umum secara bergantian sehingga mereka itu tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan. Bi Kiok mulai menyapu semua orang yang berada di ruangan luas itu dengan pandang matanya dan pandang mata itu berhenti di kelompok keluarga ini, dari nenek dan kakek sampai anak-anak menundukkan muka dan kelihataan ketakutan dan berduka, kecuali seorang wanita muda yang berwajah manis, berusia paling banyak tiga puluh tahun. Wanita ini memandang ke arah tubuh Kiang Ti yang tak berkepala lagi dan tubuh empat orang pimpinan Kwi-eng-pang yang berkelojotan dalam sekarat itu dengan mata bersinar-sinar penuh kepuasan dan kebencian!

Heii, kau ke sinilah!” Bi Kiok menggapai dengan tangannya. Wanita itu terkejut dan baru sekarang kelihatan ketakutan, akan tetapi Bi Kiok tersenyum dan berkata, “Jangan takut karena mulai saat ini, engkau kuangkat menjadi seorang pelayanku. Engkau akan terlindung dan tak seorangpun akan berani mengganggumu!”

Wanita cantik itu melangkah maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Kiok, “Terima kasih atas kebaikan pangcu yang terhormat.” Sikap dan kata-kata wanita ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang pernah terdidik, bukan seorang wanita kasar isteri penjahat atau perkumpulan sesat.

“Siapa namamu?”

“Saya bernama Bhe Kiat Bwee, pangcu.”

“Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?”

Mendengar pertanyaan ini, air mata bercucuran dari sepasang mata Kiat Bwee dan dia lalu berderita dengan suara tersendat-sendat. Kiranya wanita muda ini, yang menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti, adalah wanita culikan seperti sebagian besar wanita lain, yang berada di situ. Dia sedang menjadi pengantin ketika orang-orang Kwi-eng-ang menyerbu perkampungannya dan dia dilarikan, kemudian dipaksa menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti. Dia merasa sakit hati, dia membenci suaminya dan semua orang Kwi-eng-pang akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya dan harus menelan segala kesengsaraannya.

“Hari ini, dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan betapa semua sakit hati saya terbalas oleh pangcu, betapa puas dan berterima kasih hati saya terhadap pangcu...” Dia menangis lagi.

Bi Kiok tersenyum. Tidak salah dugaannya. “Kiat Bwee, mulai sekarang engkau menjadi anggauta Giok-hong-pang. Engkau sendiri mengalami kebiadaban kaum pria Kwi-eng-pang ini, maka sekaranglah tiba saatnya untuk menghukum mereka. Engkau tentu tahu siapa di antara mereka yang telah melakukan pemerkosaan biadab terhadap empat orang rekanmu itu.”

Kiat Bwee mengangguk. “Saya tahu, pangcu, saya juga menyaksikan semua perbuatan biadab itu dengan mata kepala sendiri.”

“Nah, kautunjuklah mereka seorang demi seorang.” Bi Kiok lalu menunjuk tiga orang pembantunya. “Kalian melaksanakan hukumannya!”

Tiga orang wanita yang ditunjuk itu tersenyum, mengangguk dan mencabut pedang masing-masing, lalu mengikuti Kiat Bwee yang tampaknya gembira dan tidak kalah ganasnya dibandingkan dengan tiga orang wanita Giok-hong-pang yang dengan penuh gairah hendak melaksanakan hukuman sebagai algojo-algojo dari orang-orang Kwi-eng-pang itu.

“Nah, ini dia, dan itu, dan itu...!” Kiat Bwee menudingkan telunjuknya dan setiap kali dia menuding, tampak sinar pedang berkelebat, disusul suara jerit mengerikan dan robohlah laki-laki yang dituding oleh Kiat Bwee, roboh dalam
keadaan mengerikan karena tiga batang pedang itu selalu menyambar ke bawah dan membacok ke arah anggauta kelamin para pria itu. Darah muncrat-muncrat dan ruangan itu banjir darah. Pekik dan jerit susul-menyusul dan dalam beberapa menit saja ruangan itu penuh dengan orang-orang yang berkelojotan dalam sekarat! Lebih dari lima puluh orang laki-laki tewas sebagai akibat penudingan telunjuk yang kecil mungil dari Kiat Bwee! Wanita ini nampak puas sekali, matanya berkilat-kilat, wajahnya kemerahan dan berseri-seri! Tak disangkanya bahwa hari itu dia akan dapat membalas dendam sedemikian puasnya!

Setelah penjagalan manusia secara hebat ini, Bi Kiok lalu mengajak In Hong untuk memeriksa dan melihat-lihat pulau dengan bangunan-bangunannya, diantarkan oleh Kiat Bwee. Ruangan yang menjadi tempat pembantaian manusia itu dibersihkan oleh para anggauta Giok-hong-pang yang memerintahkan sisa-sisa keluarga dan anggauta Kwi-eng-pang. Mulai saat itu, sisa anggauta Kwi-eng-pang yang jumlahnya masih ada empat puluh orang lebih itu menjadi budak yang ketakutan dari para anggauta Giok-hong-pang, juga keluarga mereka mengalami perubahan hebat, yang wanita otomatis menduduki tingkat yang lebih tinggi daripada yang laki-laki. Mulai saat itu, Telaga Kwi-ouw menjadi daerah yang dikuasai oleh Giok-hong-pang, dan pulau itu menjadi sarang mereka. Kwi-eng-pang otomatis musnah dan sisa orang-orang Kwi-eng-pang sudah mulai melupakan perkumpulan Kwi-eng-pang itu karena mereka kini menjadi budak-budak Giok-hong-pang, bukan anggauta melainkan budak-budak yang setiap hari bekerja keras di ladang, mencari ikan dan lain pekerjaan yang berat. Tidak ada seorangpun yang berani melawan, apalagi melarikan diri, karena mereka maklum bahwa melarikan diri berarti mati dalam keadaan mengerikan seperti yang dialami oleh beberapa orang teman mereka.

Yap In Hong, dara remaja yang cantik jelita itu, menyaksikan semua peristiwa ini tanpa ada sepatah katapun terlontar dari mulutnya, tanpa ada perasaan apapun membayang di dalam sinar matanya, seolah-olah dia tidak perduli akan semua yang dilakukan oleh gurunya. Benarkah dara ini, yang masih begitu muda, yang pada lahirnya memperhatikan kecantikan yang demikian mempesonakan kehalusan yang demikian mengharukan memiliki hati yang dingin membeku, yang tidak memiliki perasaan lagi?


Hal ini sukar sekali untuk ditentukan, karena dara itu sendiripun masih belum mengenal sifat dirinya sendiri. Sejak kecil dia berada di dalam lingkungan wanita-wanita pembenci pria dan segala cerita yang didengarnya tentang pria selalu buruk dan mendatangkan kesan jahat, maka tentu saja di dalam hatinya tumbuh perasaan tidak senang kepada pria. Apalagi karena pria-pria Kwi-eng-pang yang menerima hukuman mengerikan sekali itu adalah pria-pria yang telah melakukan perbuatan biadab dan keji terhadap lima orang anggauta Giok-hong-pang, maka tidak ada perasaan kasihan timbul di hatinya melihat mereka semua dibunuh seperti itu. Betapapun juga, alisnya berkerut tanda tidak setuju ketika dia menyaksikan pembunuhan-pembunuhan seperti itu, karena membunuh lawan yang sudah tidak mampu mengadakan perlawanan atau pembelaan diri baginya merupakan hal yang amat memalukan. Tentu saja dia tidak mau menyatakan perasaan tidak setujunya ini secara berterang karena dia terlalu mencinta gurunya dan tidak mau membuat gurunya tidak senang hati. Bahkan ketika dia mendengar penuturan yang lebih jelas dari gurunya tentang kepatahan hati gurunya dalam kegagalan cintanya terhadap Yap Kun Liong, kakak kandungnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada kakak kandungnya itu!

Setelah Giok-hong-pang berhasil merampas pulau di Kwi-ouw, mereka hidup dengan tenteram den senang di tempat yang indah ini. Makin tekun pula para anggauta Giok-hong-pang mempelajari ilmu silat dan memperkuat diri, sehingga Giok-hong-pang merupakan perkumpulan yang amat kuat, dan mulai terkenal di dunia kaum sesat sebagai perkumpulan yang dipimpin oleh seorang wanita sakti.

In Hong sendiri amat suka dengan keindahan tempat di sekeliling Telaga Kwi-ouw. Akan tetapi, dia merasa muak dengan keadaan hidup para anggauta Giok-hong-pang. Melihat betapa kaum Giok-hong-pang yang terdiri dari wanita-wanita itu memperbudak kaum prianya, bahkan tidak jarang melakukan perbuatan yang menindas dan menyiksa, kemudian dia melihat pula betapa ada beberapa orang anggauta Giok-hong-pang yang mempergunakan budak-budak bekas orang-orang Kwi-eng-pang itu untuk kesenangan dirinya, untuk pemuasan nafsu berahi mereka yang di balik kebencian mereka terhadap pria kadang-kadang timbul dan perlu disalurkan. Gurunya, yang juga tahu akan hal ini tidak melarang! Biarpun gurunya adalah seorang wanita pembenci pria yang sama sekali pantang berdekatan dengan pria, yang hatinya sudah membeku terhadap pria, namun gurunya sendiri agaknya maklum akan kebutuhan para wanita anggauta Giok-hong-pang dan tidak melarang mereka bermain cinta dengan para budak!

Hal ini memuakkan hati In Hong yang melihat seolah-olah para anggauta Giok-hong-pang itu sebagai pemerkosa-pemerkosa, tidak ada bedanya dengan para pria Kwi-eng-pang yang pernah memperkosa wanita. Hanya bedanya, kini wanita yang memperkosa pria, yang menggunakan pria sebagai alat untuk menyenangkan dirinya, untuk memuaskan nafsu berahinya. Hal ini membuat dia mulai tidak betah tinggal di Kwi-ouw dan pada suatu hari dia berpamit kepada gurunya untuk pergi merantau. Yo Bi Kiok tidak melarang karena maklum bahwa muridnya memang perlu memperoleh pengalaman dan tidak mungkin mengurung gadis yang sudah dewasa itu untuk tinggal selamanya di Kwi-ouw. Dia hanya berpesan agar In Hong tidak lupa untuk pulang ke Kwi-ouw.

Hubungan merupakan inti dari kehidupan. Hidup berarti berhubungan, baik berhubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan benda, atau manusia dengan pikirannya, dengan nafsu-nafsunya. Hubungan antara manusia menjadi tidak wajar lagi, menjadi tidak bersih lagi, dan pasti akan mendatangkan pertentangan, mendatahgkan permusuhan dan mendatangkan kesengsaraan, kekecewaan dan penderitaan apabila di dalam hubungan ini dimasuki niat penggunaan.

Hubungan yang bagaimana dekatpun, seperti hubungan antara pria dan wanita, antara suami dan isteri, akan menjadi sumber pertentangan apabila di situ terdapat keinginan untuk saling mempergunakan demi kesenangan diri pribadi. Sikap kepada manusia lain, baik manusia lain itu berbentuk suami, isteri, anak, orang tua, atau sahabat akan merupakan sikap yang palsu apabila sikap itu timbul karena suatu keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Dan sikap palsu ini, seperti semua kepalsuan yang tentu saja tidak wajar, selalu akan mendatangkan hal-hal bertentangan dan mendatangkan duka.

***


Pegunungan Cin-ling-san terletak di Propinsi Shen-si dan Kan-su. Daerah int merupakan daerah pegunungan dan dari Puncak Cin-ling-san dapat terlihat gunung-gunung besar lainnya di sebelah selatan dan barat, yaitu di selatan Pegunungan Ta-pa-san dan di sebelah barat Pegunungan Beng-san yang besar. Jauh di timur tampak puncak Gu-niu-san bersambung di antara mega-mega.

Seperti di semua pegunungan atau di tepi laut, pendeknya di tempat-tempat sunyi di mana tampak membentang luas alam yang belum tersentuh tangan manusia di mana segala sesuatu nampak megah, penuh kekuatan dan kedamaian, di Cin-ling-sanpun pemandangan alam amat megah dan indahnya.

Di dekat sumber air Sungai Han-sui yang keluar dari sebuah lereng Cin-ling-san, pemandangan amat indahnya dan tempat inilah yang menjadi pusat dari perkumpulan Cin-ling-pai yang amat terkenal di waktu itu sebagai sebuah perkumpulan yang besar dan kuat, dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang juga amat dikenal di dunia kang-ouw, bahkan yang pernah dianggap sebagai tokoh nomor satu di antara para datuk persilatan yang lihai. Ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Keng Hong, seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih atau tepatnya enam puluh tiga tahun, seorang laki-laki tua yang sederhana dan kelihatan sebagai seorang petani atau penduduk dusun-dusun di gunung yang bersahaja, namun ada sesuatu di dalam sikapnya, terutama di dalam pandang matanya, yang mengandung kegagahan dan keagungan.


Perkumpulan Cin-ling-pai sama terkenalnya dengan ketuanya yang sudah bertahun-tahun jarang memperlihatkan diri di dunia ramai. Ketua itu sendiri jarang menangani persoalan yang dihadapi Cin-ling-pai karena semua urusan telah dipercayakan oleh ketua ini kepada murid-murid kepala yang kesemuanya berjumlah sebelas orang. Di waktu itu, tidak ada seorangpun tokoh dunia kang-ouw yang tidak mengenal Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-san, yaitu murid-murid kepala dari Cin-ling-pai ini! Sudah sering sekali, entah berapa puluh atau berapa ratus kali, Cin-ling-san Cap-it Ho-han ini menggegerkan dunia persilatan dengan kegagahan mereka, sepak-terjang mereka yang selalu didasari untuk membela kaum lemah tertindas, menentang kekuasaan sewenang-wenang, membela kebenaran dan menentang kejahatan. Pernah sebelas orang pendekar ini mengobrak-abrik dunia kaum sesat sehingga nama mereka menjulang tinggi, disegani kawan ditakuti lawan.

Para pembaca cerita Pedang Kayu Harum dan cerita Petualang Asmara tentu sudah mengenal baik nama Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai itu. Pendekar sakti ini selain memiliki ilmu-ilmu yang amat tinggi, juga memiliki ilmu mujijat seperti Thai-kek Sin-kun dan Thi-khi-i-beng, dua macam ilmu yang amat hebat. Hanya sebagian saja dari Thai-kek Sin-kun dapat dikuasai oleh Cap-it Ho-han sebagai murid-murid kepala, sedangkan Thi-khi-i-beng sampai seat itu hanya dimiliki atau dikuasai oleh Cia Keng Hong sendiri dan orang kedua yang menguasainya adalah Yap Kun Liong. Isteri ketua inipun bukan orang sembarangan. Wanita yang sekarang telah menjadi seorang nenek berusia enam puluh tahun, dahulu di waktu masih gadis tidak kalah terkenalnya dengan suaminya. Dia bernama Sie Biauw Eng dan dahulu dijuluki orang Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena kesukaannya berpakaian putih. Ilmu silatnya juga amat tinggi, mengenal banyak macam ilmu silat dan terutama sekali hebat permainannya dengan Pek-in Sin-pian yang merupakan sehelai sabuk sutera putih, dan pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun).

Seperti telah dituturkan di dalam cerita Petualang Asmara, suami isteri yang hidup rukun dan saling mencinta ini mempunyai dua orang anak. Yang pertama bernama Cia Giok Keng dan sekarang telah menjadi isteri dari Lie Kong Tek, seorang pendekar gagah perkasa. Adapun yang kedua adalah Cia Bun Houw, yang sekarang telah menjadi seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun. Pemuda ini semenjak beberapa tahun yang lalu sudah diambil murid oleh Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama yang tinggi sekali ilmu silatnya dan yang tinggal di Tibet.

Pada waktu itu, ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di rumah. Suami isteri ini sedang pergi ke Leng-kok untuk mengunjungi Yap Kun Liong, pendekar sakti yang mempunyai hubungan dekat sekali dengan keluarga ketua Cin-ling-pai ini (baca Petualang Asmara). Kunjungan mereka ini, selain untuk melepas kerinduan, juga untuk membicarakan soal yang amat penting, yaitu soal perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu, Cia Bun Hou, yang masih berada di Tibet, dan Yap In Hong, adik kandung dari Yap Kun Liong yang seperti kita ketahui, telah menjadi murid dari ketua Giok-hong-pang!

Selain suami isteri ketua Cin-ling-pai, juga empat orang di antara Cap-it Ho-han meninggalkan Cin-ling-pai karena diutus oleh ketua mereka untuk pergi ke Tibet menyusul Cia Bun Houw dan menyerahkan surat ketua mereka kepada pendeta Kok Beng Lama.

Biarpun ketua mereka tidak berada di rumah, namun para anggauta Cin-ling-pai bekerja seperti biasa dan hidup dalam keadaan aman dan tenteram. Jumlah mereka ada kurang lebih seratus keluarga yang tinggal di lereng Cin-ling-san, dan mereka bekerja sebagai petani-petani dan pemburu-pemburu, di samping berlatih ilmu silat. Ada pula beberapa puluh orang anggauta yang sudah terjun ke masyarakat ramai, ada yang bekerja sebagai penjaga keamanan, pengawal, guru silat dan lain pekerjaan yang mengandalkan kepandaian silat mereka. Dan di manapun mereka berada, apapun pekerjaan mereka, murid-murid Cin-ling-pai selalu disegani karena mereka itu rata-rata telah memperoleh pendidikan lahir batin dan menjadi orang-orang yang dapat dipercaya, sungguhpun mereka itu berasal dari keluarga petani-petani sederhana.

Pagi hari itu, baru saja matahari muncul mendatangkan suasana baru dan kehidupan kepada seluruh permukaan bumi, para anggauta Cin-ling-pai telah tampak sibuk dan asap mulai mengepul dari genteng-genteng pondok mereka, tanda bahwa penghuninya sudah bangun semua dan dapur-dapur rumah telah mulai menghidupkan apinya. Tujuh orang murid kepala, yaitu tujuh di antarg sebelas orang Cap-it Ho-han, karena yang empat orang pergi ke Tibet, pagi-pagi itu seperti biasa sudah meninggalkan kamar masing-masing untuk berlatih napas dan samadhi di puncak bukit di belakang kompleks perumahan Cin-ling-pai. Tempat ini dipilih sebagai tempat berlatih karena memang merupakan tempat yang amat hening, indah, dan bersih, memiliki hawa yang murni. Sebentar saja mereka telah hanyut dalam latihan, dan tujuh orang laki-laki yang duduk bersila di atas rumput hijau itu tiada ubahnya seperti arca-area mati.

Pagi itu hawa udara amat dinginnya di puncak bukit, dingin sejuk menyusup tulang. Namun, tujuh orang laki-laki yang duduk bersila itu sama sekali tidak merasakan hawa dingin ini, bahkan kini tampak uap putih mengepul dari tubuh dan kepala mereka! Itulah tandanya pertemuan antara hawa panas yang mengalir di seluruh tubuh mereka dan hawa dingin dari udara di luar tubuh mereka. Dengan berlatih Yang-kang atau tenaga sakti yang panas hawanya ini, tubuh mereka terasa hangat di dalam udara dingin itu. Udara yang mereka hisap melalui hidung tidak nampak akan tetapi setelah keluar dari dalam dada mereka, tampaklah uap tebal putih memanjang seperti seekor ular keluar dari hidung atau mulut mereka. Bermacam-macam cara mereka mengeluarkan hawa dari dalam dada dalam latihan pernapasan ini. Ada yang mengeluarkan hawa dari mulut, ada yang dari hidung, dan ada pula yang mengeluarkannya dari satu lubang hidung saja, ada yang bergantian keluarnya, dari lubang hidung kiri dan kanan.

Tujuh orang laki-laki ini memang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai yang menerima gemblengan langsung dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, ketua atau guru mereka. Setelah lebih dari dua puluh tahun berlatih, sejak mereka merupakan pemuda-pemuda dusun di pcgunungan itu sampai sekarang menjadi orang-orang setengah tua yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun lebih, mereka telah menguasai ilmu-ilmu silat yang tinggi dan mereka terkenal sebagai jagoan-jagoan Cin-ling-pai dengan julukan sederhana, yaitu Sebelas Pendekar dari Cin-ling-pai. Pakaian mereka seperti pakaian petani, dan memang tujuh orang ini bersama empat orang yang diutus ke Tibet, berasal dari petani-petani sederhana di sekitar Pegunungan Cin-ling-san. Mereka hidup bertani sampai sekarang, hidup sederhana, tanpa banyak keinginan, sebagian ada yang sudah membentuk keluarga, menikah dengan wanita-wanita dusun pula sehingga keluarga merekapun sederhana, sebagian pula ada yang membujang. Dalam keadaan hidup sederhana dan selalu tenang tenteram penuh damai ini, tentu saja mereka memiliki kesehatan lahir batin dan ketekunan mereka melatih diri membuat mereka menjadi orang-orang gemblengan yang lihai, menjadi orang-orang yang “berisi” sungguhpun pada lahirnya mereka tidak ada bedanya dengan bapak-bapak petani miskin sederhana.


Sejak pagi-pagi sekali tadi, lama sebelum matahari mengirim cahayanya sebagai pelopor atau pembuka jalan bagi munculnya sang raja siang, tujuh orang lihai ini sudah berlatih di puncak bukit itu. Kini matahari muda yang merah dan hangat sudah mengintai dari balik puncak di timur, namun mereka masih tenggelam ke dalam keheningan.

“Suheng...! Suheng...! Harap turun dari puncak... ada urusan penting...!”

Teriakan-teriakan dari beberapa buah mulut yang terdengar datang dari bawah puncak itu menyadarkan mereka. Dengan tenang mereka membuka mata, menghela napas panjang dan mulai menggerakkan anggauta badan, melepaskan kedua kaki yang tadi bersila saling menindih paha.

“Jit-wi suheng... (kakak seperguruan bertujuh)!” kembali terdengar teriakan.

Seorang diantara mereka, yang tertua, usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih dan dahinya lebar, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya juga tebal pendek, tubuhnya kekad ran membayangkan kekasaran seorang petani namun pandang matanya amat halus, bangkit berdiri dan berkata, “Sute (adik seperguruan) sekalian, mari kita lihat apa yang terjadi di bawah.”

Orang ini adalah murid kepala ke lima dan karena murid-murid kepala pertama sampai ke empat diutus ke Tibet, maka kini dia menjadi yang tertua di antara para sutenya. Dia bernama Sun Kiang, seorang diantara yang tinggal hidup membujang, tidak mau menikah. Setelah membujang, tidak mau menikah. Setelah berkata demikian, dengan tenang dia lalu meninggalkan puncak bersama enam orang sutenya sambil berseru ke bawah dengan suara nyaring, “Kami sedang turun...” Suaranya menggema di seluruh lereng puncak bukit itu, maka tidak lagi terdengar teriakan-teriakan dari bawah yang memanggil-manggil mereka.

Di lereng itu mereka disambut oleh belasan orang murid Cin-ling-pai yang semua kelihatan tegang. Namun tujuh orang itu tenang-tenang saja dan Sun Kiang lalu bertanya, “Apakah yang terjadi?”

“Celaka, Sun-suheng (kakak seperguruan Sun)...!” Seorang di antara mereka berkata dengan muka pucat. “Bendera kita yang di puncak menara itu diambil orang dan di ujung tiangnya terdapat sebuah benda lain, seperti sehelal kain putih...!”

Sun Kiang mengerutkan alisnya yang tebal.

“Hemm, apakah ada yang melihat siapa yang melakukan itu?”

“Tidak ada yang melihatnya. Mungkin hal itu dilakukan di waktu malam, dan tadi kebetulan ada seorang di antara anak-anak kita yang melihatnya dan berteriak keheranan,” kata orang yang melapor itu.

“Dan hebatnya, tidak ada bekas-bekasnya orang naik ke menara, Sun-suheng! Menara itu terjaga pintunya siang malam, tak mungkin ada yang dapat naik ke menara melalui anak tangga tanpa diketahui penjaga,” kata yang ke dua.

Sun Kiang dan enam orang sutenya tidak berkata apa-apa, hanya bergegas turun dari tempat itu menuju ke kompleks perumahan mereka dan langsung menuju ke menara yang dimaksudkan. Mereka memandang ke atas dan benar saja, jauh di atas menara, di mana terdapat tiang bendera, kini bukan bendera Cin-ling-pai yang melambai di ujung tiang bendera, melainkan sehelai kain putih yang dari bawah tampak ada titik-titik hitamnya. Menara itu tinggi, berloteng empat dan tiang itu dipasang di puncak menara, dikeluarkan dari jendela tingkat teratas, panjang tiang ada tiga tombak dan bendera itu berkibar di ujungnya.

“Sun-suheng, kalau dia tidak melalui anak tangga menara dan langsung mengambilnya melalui genteng, sungguh hebat kepandaiannya.” Seorang di antara Cap-it Ho-han berkata.

Sun Kiang mengangguk. “Agaknya kain itu mengandung tulisan, biar aku mengambilnya dengan cara seperti ketika benda itu dipasangkan orang.” Setelah berkata demikian, Sun Kiang mengenjot tubuhnya dan melayanglah tubuh tokoh ke lima dari Cap-it Ho-han ini ke atas, tangannya menyambar pinggiran loteng pertama, bergantung dan menggenjot lagi tubuhnya ke atas berjungkir balik, sehingga tubuh itu meluncur ke tingkat dua, menyambar pinggiran loteng lagi, menggenjot lagi ke atas sampai akhirnya dia berhasil menangkap tiang bendera di puncak menara dan meraih kain putih di ujung tiang bendera, kemudian dia melayang turun dari tingkat ke tingkat seperti tadi dan tiba di atas tanah. Semua ini dilakukan dengan cepat dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, dan ketika dia sudah berdiri kembali di tempat tadi, napasnya biasa saja tidak terengah, hanya mukanya yang menjadi agak merah. Tepuk sorak bergemuruh menyambut perbuatan yang hebat ini, karena para anak murid Cin-ling-pai benar-benar kagum menyaksikan kelihaian suheng mereka. Akan tetapi Sun Kiang mengangkat tangan ke atas minta agar mereka tidak menimbulkan bising.

Bersama dengan enam orang sutenya, Sun Kiang membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kain putih itu. Kain itu terbuat dari sutera dan agaknya merupakan sehelai saputangan putih yang tidak begitu bersih dan melihat coretan yang kasar, tentu huruf-huruf itu ditulis dengan telunjuk yang dicelupkan tinta bak. Tulisannya bergores kuat sungguhpun tidak dapat disebut indah.
LIMA BAYANGAN DEWA MENANTI KEHADIRAN KETUA CIN-LING-PAI DAN CAP-IT HO-HAN DI RESTORAN KOAI-LO KOTA HAN-TIONG HARI INI MENJELANG SENJA

Hemmm... Lima Bayangan Dewa? Siapakah mereka dan apa maunya?” Sun Kiang berkata sambil mengerutkan alisnya.

“Kurang ajar! Surat ini berupa tantangan bagi kita!” kata seorang sutenya.

“Ini penghinaan namanya! Bendera kita dirampas dan dia menantang suhu dan Cap-it Ho-han!” kata yang lain.

Sun Kiang memberi tanda dengan tangan kepada para sutenya. “Mari kita masuk ke dalam dan merundingkan urusan ini. Coa-sute, kauperintahkan para murid untuk bekerja seperti biasa, akan tetapi agar mereka waspada dan mengawasi gerak-gerik orang asing yang kelihatan di daerah kita, juga penjagaan herus diperkuat apalagi di waktu malam di sekitar menara.”

Setelah melakukan pesan suhengnya, Coa Seng Ki, yaitu tokoh termuda dari Cap-it Ho-han yang usianya tiga puluh delapan tahun, cepat memasuki ruangan dalam di mana para suhengnya sudah berkumpul untuk merundingkan urusan itu.

“Nama perkumpulan kita sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi karena suhu melarang kita mencampuri urusan luar, maka kita sendirl kurang mengenal tokoh-tokoh golongan putih atau hitam yang kini menjagoi dunia kang-ouw. Betapapun juga, karena banyaknya murid Cin-ling-pai yang terjun ke dunia ramai, tentu terjadi hubungan-hubungan di luar tahu kita. Lima Bayangan Dewa ini tidak kita kenal, akan tetapi mereka tentu merupakan tokoh-tokoh besar maka berani mengundang suhu dan Cap-it Ho-han mengadakan pertemuan di Han-tiong. Sayang bahwa suhu sedang tidak ada, bahkan twa-suheng dan ji-suheng (kakak tertua dan kakak kedua) juga pergi, padahal biasanya mereka berdua yang memutuskan segala perkara kalau suhu tidak ada. Mereka pergi bersama sam-suheng dan si-suheng sehingga yang ada hanya kita bertujuh.”

“Kita tidak perlu takut, Sun-suheng!” Coa Seng Ki, orang termuda yang paling berani dan keras hatinya di antara mereka cepat berkata. “Mereka hanya lima orang, dan kita masih ada bertujuh, sudah lebih dari cukup untuk menghadapi mereka. Bahkan kalau suheng menghendaki, saya sendiripun tidak gentar untuk mewakili Cin-ling-pai menghadapi mereka di Han-tiong.”

“Coa-sute, sikapmu ini tidak bijaksana. Lupakah engkau akan pesan suhu bahwa menghadapi apapun juga, kita harus berkepala dingin? Hati yang panas merupakan bekal yang amat melemahkan diri sendiri dalam menghadapi persoalan!” Sun Kiang menegur sutenya.

Coa Seng Ki menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, suheng. Karena ada orang menghina suhu maka hati saya menjadi panas.”

Hening sejenak, kemudian Sun Kiang berkata pula, “Kita tidak mengenal mereka dan tidak tahu apa maksud hati mereka mengundang suhu dan Cap-it Ho-han. Kita belum dapat memastikan apakah mereka itu mengandung niat baik ataukah buruk, akan tetapi melihat betapa mereka telah mengambil bendera Cin-ling-pai, tentu mereka tidak mempunyai niat yang baik. Karena aku tidak mau berbuat sembrono, maka kita rundingkan baik-baik apakah kita harus melayani mereka ataukah tidak.”

Setelah berunding sampai lama, akhirnya ditetapkan bahwa mereka, bertujuh akan berangkat ke Han-tiong memenuhi undangan Lima Bayangan Dewa, karena kalau mereka tidak melakukan hal ini, tentu urusan itu akan tinggal gelap. Mereka bukan hendak berangkat untuk mencari permusuhan, melainkan untuk mempelajari apa sebetulnya yang dikehendaki oleh Lima Bayangan Dewa itu, dan untuk memperlihatkan kepada siapapun juga bahwa biarpun di Cin-ling-pai hanya ada tujuh orang dari Cap-it Ho-han, Cin-ling-pai tidak pernah merasa gentar menghadapi apa dan siapapun juga.

Sebelum berangkat, Sun Kiang memesan lagi kepada para adik seperguruannya. “Kalian ingat baik-baik, terutama Coa-sute. Kita tidak boleh bersikap lancang, apalagi sampai menimbulkan permusuhan. Hal ini dilarang keras oleh suhu. Kita hanya memenuhi undangan untuk mengenal siapa mereka dan mengetahui apa maksud dari undangan mereka.”

“Saya mengerti, suheng. Akan tetapi, bagaimana kalau mereka itu mengeluarkan sikap dan kata-kata yang menghina Cin-ling-pai atau menghina suhu? Mungkin mereka itu adalah musuh-musuh suhu di waktu suhu masih muda!” Coa Seng Ki membantah.

“Kalau mereka menghina, serahkan saja kepadaku untuk menghadapi mereka. Kalian semua tidak boleh turun tangan secara lancang.”

“Bagaimana kalau mereka menyerang kita? Apakah kita juga harus diam saja?” Coa Seng Ki membantah.

“Hemm, Coa-sute, kalau sampai terjadi seperti itu, perlukah bertanya lagi? Tentu saja kita harus bergerak untuk
membela diri. Yang dilarang oleh suhu adalah kalau kita menggunakan kekerasan mencari permusuhan. Kalau kita diserang, tentu saja kita harus membela diri.”

Coa Seng Ki mengangguk-angguk dan kelihatan girang. “Mereka itu bukan orang-orang baik, aku yakin akan hal ini dan mereka tentu akan menyerang kita.”

Setelah meninggalkan pesan kepada para anggauta Cin-ling-pai dan kepada keluarga mereka, berangkatlah tujuh orang jagoan Cin-ling-pai ini menuju ke kota Han-tiong yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-pai. Karena maklum bahwa mereka akan menghadapi orang-orang pandai, maka mereka tentu saja membawa bekal senjata mereka masing-masing untuk berjaga-jaga dan mereka seperti biasa tidak ingin menonjolkan diri sebagai ahli-ahli silat dan menyembunyikan senjata masing-masing di bawah jubah petani mereka yang longgar. Tidak semua anak murid Cin-ling-pai bersenjeta pedang. Sungguhpun ketua Cin-ling-pai yaitu Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya, apalagi kalau dia menggunakan Pedang Pusakanya, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw, namun tidak semua murid kepala menjadi ahli pedang. Ketua Cin-ling?pai ini mengajarkan ilmu?ilmu yang tinggi kepada para murid kepala disesuaikan dengan bakat masing?masing. Oleh karena itu, di antara tujuh orang jagoan ini, yang bersenjata pedang hanya Sun Kiang, Coa Seng Ki dan dua orang lagi, sedangkan dua orang bersenjata golok sedankan yang seorang bersenjata tongkat yang ujungnya dilapis baja.


Kota Han-tiong berada di tepi Sungai Han-sui yang mata airnya bersumber di Pegunungan Cin-ling-san kemudian terus mengalir ke timur, menampung air dari sungai-sungai yang mengalir dari selatan seperti Sungai Siang-kiang dan Kan-kiang, untuk kemudian terjun ke Lautan Kuning. Kota Han-tiong merupakan kota yang cukup ramai karena merupakan pelabuhan besar pertama dan dari kota ini banyak pedagang membawa hasil bumi dan hasil hutan menuju ke timur melalui sungai dengan perahu-perahu besar. Banyak pula pedagang, kesemuanya dari timur datang ke kota ini untuk mencari dagengan karena rempah-rempah dari daerah ini amat terkenal karena banyaknya dan mutunya yang baik.

Restoran Koai-lo adalah restoran terbesar di kota Han-tiong. Restoran ini besar dan terdiri dari dua tingkat. Ruangan atas merupakan ruangan istimewa karena sering kali tempat ini dipergunakan sebagai tempat pesta para pembesar, dan tempat pertemuan para pedagang-pedagang kaya sehingga tempat istimewa ini mempunyai tarip makanan yang lebih mahal dan lebih mewah. Orang-orang biasa atau umum selalu memilih tempat duduk di tingkat bawah yang lebih murah. Biasanya, ruangan atas ini selalu ramai dengan tamu-tamu kaya, bahkan sering terdengar suara musik dan penyanyi dalam suasana pesta karena sering kali para pembesar dan hartawan memang makan minum bermabok-mabokan di atas loteng itu sambil memanggil wanita-wanita pemain musik dan penyanyi sebagai penghibur mereka.

Akan tetapi pada siang hari itu, ruangan atas ini sunyi saja. Bahkan ketika ada langganan yang hendak naik ke tingkat atas melalui anak tangga yang terjaga oleh pelayan, pelayan itu melarang mereka dengan mengatakan babwa tingkat atas itu telah “diborong” dan tentu saja tidak ada tamu lain yang diperbolehkan naik ke sana.

“Gila! Siapa yang main borong begini, hah? Apakah dia orang yang paling kaya, ataukah pembesar dari lain tempat?” bentak seorang hartawan yarig hendak naik ke loteng akan tetapi dicegah oleh pelayan itu. Hartawan ini adalah seorang penduduk Han-tiong yang terkenal dan semua pejabat atau pembesar di kota itu semua adalah teman-temannya. Juga dia menjadi langganan restoran Koai-lo dan terkenal sebagai seorang yang royal dengan persen-persennya kepada para pelayan.

“Loya... maafkanlah saya, maafkanlah kami semua... kalau yang menyewa hanya pembesar atau hartawan setempat, mana berani saya menolak loya? Akan tetapi yang menyewa ini...” Pelayan itu menoleh ke kanan kiri. “...mereka adalah orang-orang kang-ouw yang menyeramkan... dan... dan tamu-tamu mereka adalah Cap-it Ho-han...”

Mendengar disebutnya nama Cap-it Ho-han, wajah orang yang marah-marah itu berobah dan dia cepat mengangguk-angguk. Betapapun juga, nama Cin-ling-pai dengan Cap-it Ho-han sudah terlalu dikenal oleh semua penduiduk Han-tiong, bahkan pernah beberapa tahun yang lalu ketika ada segerombolan penjahat mengacau Han-tiong dan para penjaga keamanan sudah kewalahan, penduduk kota itu dibebaskan dari ancaman para pengacau itu oleh dua orang di antara Cap-it Ho-han yang membunuh para pimpinan perampok dan mengusir semua anak buahnya.

“Aih, kiranya dipakai oleh Cin-ling-pai... kalau begitu sudah sepantasnya kalau tempat di atas ini tidak diganggu,” kata si hartawan berangasan itu sambil meninggalkan restoran.

Lewat tengah hari restoran itu masih penuh dengan tamu yang makan siang, yaitu mereka yang menjamu para pedagang yang menjadi tamu. Suasana cukup gembira biarpun mereka semua terpaksa harus mengambil tempat di ruangan bawah, karena semua tamu yang tinggal di Han-tiong tidak seorangpun berani mengganggu ruangan yang telah dipesan untuk Cin-ling-pai. Berita ini sebentar saja sudah menjalar sampai ke mana-mana dan terdengar oleh semua penduduk. Bahkan di luar restoran itu terdapat banyak orang yang kebetulan tidak memiliki kesibukan apa-apa, mereka berkumpul karena ingin melihat Cap-it Ho-han yang namanya mereka puja-puja dan yang kabarnya akan mengunjungi restoran Koai-lo. Para Pelayan juga sudah menanti-nanti dengan tegang, dan lima orang pelayan sudah disiapkan untuk menjadi pelayan-pelayan khusus bagi para tamu agung itu.

Orang-orang yang menanti di luar itu berbisik-bisik dan suasana menjadi tegang ketika dari luar datang empat orang yang aneh keadaannya. Empat orang ini entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di luar restoran, berdiri di depan pintu dan memandang ke kanan kiri. Sekelebatan saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang aneh yang asing, dengan pakaian dan sikap yang luar biasa. Seorang di antara mereka adalah wanita yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun, namun mukanya berbedak tebal sampai menjadi putih seperti tembok, bibirnya yang tebal dicat merah sekali, juga kedua pipinya diberi pemerah pipi, rambutnya digelung rapi dan licin mengkilap oleh minyak yang mengeluarkan bau terlalu wangi sehingga tercium sampai jauh, rambut itu dihias oleh emas permata yang berkilauan, telinganya terhias anting-anting yang besar terbuat dari emas pula, juga pakaiannya serba mewah dan mahal. Pendeknya, wanita ini adalah seorang pesolek besar dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya yang dibungkus sepatu baru. Mulut yang berbibir merah itu mesam-mesem genit, matanya melirik-lirik seperti sikap seorang dara muda yang cantik jelita. Akan tetapi sebatang pedang membayang dari balik gaunnya, dan kulit di buku-buku jari kedua tangennya tampak tebal dan keras kehitaman seperti besi!

Orang kedua adalah seorang yang melihat jubah dan kepalanya seperti seorang hwesio (pendeta beragama Buddha), kepalanya yang gundul itu, terhias penutup ubun-ubun yang meruncing berwarna putih berkilauan, tubuhnya yang gendut itu hanya terbungkus kain yang dilibat-libatkan seperti jubah, mukanya halus mengkilap dan licin seperti diminyaki, dan seuntai tasbeh yang terbuat dari batu-batu berwarna hijau melingkar di pundaknya. Dengan matanya yang bulat lebar hwesio itu memandang ke kanan kirl dengan sikap tak perdulian.

Orang ketiga adalah seorang laki-laki tinggi kurus bermuka seperti monyet saking kurusnya, matanya cekung dan kedua pipinya juga cekung, hidungnya pesek dan mulutnya lebar. Dibandingkan dengan hwesio yang usianya tentu sudah hampir enam puluh tahun itu, laki-laki tinggi kurus ini kelihatan muda, sungguhpun tentu dia juga sudah berusia empat puluh tahun lebih. Kulitnya kuning pucat seperti orang yang menderita penyakit berat.



Orang keempat agaknya menjadi pimpinan mereka, atau setidaknya tentu yang paling tua. Orang ini memakai jubah luar berwarna hitam, berkantung lebar, mukanya membayangkan kekasaran dan pandang matanya selalu memandang rendah kepada apapun yang dipandangnya, hidungnya besar panjang agak bengkok ke bawah, kepalanya memakai sebuah topi. Seperti juga laki-laki kurus kering, dia tidek kelihatan membawa senjata apapun, namun dari sikap dan pandang matanya jelas dapat diduga behwa dia bukanlah orang sembarangan dan ada sesuatu yang mengerikan terbayang pada sikap empat orang ini.

“Kenapa harus berjalan naik? Aku mengambil jalan terdekat dan termudah!” kata wanita pesolek itu dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia sudah meloncat ke dalam ruangan loteng yang tinggi itu! Tentu saja perbuatan ini membuat semua orang yang melihatnya menjadi bengong, kaget dan juga kagum. Kiranya banyak juga orang pandai yang dapat meloncat ke loteng itu, akan tetapi cara nenek pesolek itu melompat benar-benar amat luar biasa. bukan melompat lagi melainkan terbang!

“Omitobud, melayang seperti itu di tempat asing sungguh sembrono dan barbahaya. Pinceng lebih suka berhati-hati dan memeriksa keadaan yang belum kita kenal!” Hwesio itu berseru sambil mengangguk-angguk, kemudian dia menghampiri tembok dekat pintu. Mendengar kata-katanya, orang mengira bahwa dia hendak berjalan masuk melalui pintu seperti biasa, akan tetapi orang-orang yang melihatnya menjadi bengong ketika melihat hwesio itu bukan memasuki pintu, melainkan menghampiri tembok, kemudian menggunakan tangan dan kakinya untuk merayap naik seperti seekor cecak saja! Setiap kali telapak tangannya menempel tembok, telapak tangan itu melekat dan ketika telapak tangan dilepaskan untuk menempel ke atas lagi, terdengar suara “ceplokk!”.

Semua orong, baik para tamu yang berada di dalam restoran dan mereka yang berada di luar, terbelalak penuh keheranan dan kekaguman, mengikuti gerakan hwesio itu dengan pandang mata mereka ketika hwesio itu terus memanjat tembok seperti seekor ceeak besar sehingga akhirnya dia tiba di loteng dan meloncat masuk.

“Heh-heh, Hok Hosiang benar-benar amat tergesa, apakah khawatir kehabisan arak? Tunggu aku, jangan dihabiskan!” Tiba-tiba orang laki-laki kurus seperti monyet itu tertawa, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, bayangannya lenyap dari tempat itu dan yang nampak hanya bayang-bayang seperti setan berkelebatan melalui anak tangga dan tahu-tahu dia telah berada di loteng pula, disambut dengan tertawa-tawa oleh wanita pesolek dan hwesio berilmu cecak tadi.

Laki-laki yang bertopi dan berhidung besar itu menggeleng kepala. “Aihhh... anak-anak itu masih suka bermain-main di manapun mereka berada!” Ucapannya ini cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang.

Seorang pelayan yang berjaga di kaki anak tangga segera menyambutnya karena dialah yang memesan tempat di atas loteng itu. Pelayan ini tadi juga bengong menyakeiken ulah semua tamunya yang aneh-anch itu, dan kini dengan senyum lebar dia menjura kepada kakek bertopi sambil berkata, “Kiranya loya (tuan besar) dan para sahabathya telah tiba. selamat datang dan silakan naik. Apakah hidangannya harus disajikan sekarang?”

Kakek itu memandang dengan sikap merendahkan, lalu berkata, “Kami barempat adalah fihak tuan rumah, tamu-tamu yang kami undang belum datang. Keluarkan saja arak lebih dulu empat guci besar!”

Pelayan itu terbelalak. Untuk empat orang saja harus menyajikan empat guci besar? Seguci eukup untuk diminum lima orang sampai mabok! Akan tetapi dia tidak berani membantah dan ketika dia hendak pergi melaksanakan perintah ini, tiba-tiba dia berdiri torlongong memandang kakek yang kini melangkah perlahan-lahan naik ke tangga loteng. Juga para tamu memandang dan bangkit berdiri, mata mereka terbelalak ketika melihat betapa pada lantai dan papan-papan anak tangga bekas kaki orang bertopi itu nampak bekas injakan yang dalamnya setengah jari, lantai dan papan itu melesak ke dalam! Setelah kakek itu tiba di loteng, ramailah semua orang berbisik-bisik membicarakan kehebatan empat orang aneh itu, ada yang merasa ngeri dan cepat-cepat meninggalkan restoran karena menganggap bahwa empat orang itu pasti bukan manusia, melainkan iblis-iblis dan siluman! Akan tetapi, beberapa orang tamu yang mengerti akan ilmu-ilmu silat dapat mengenal orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi maka tertariklah mereka, ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya antara orang-orang aneh ini dengan tokoh-tokoh Cin-ling-pai.

Dugaan mereka ini memang benar. Empat orang itu bukanlah orang sembarangang melainkan datuk-datuk dalam dunia persilatan dan lebih torkenal lagi di antara golongan hitam atau kaum sesat. Kakek bertopi den berhidung besar itu bernama Gu Lo It dan terkenal dengan julukannya Liok-te Sin-mo (Si Iblis Bumi) dan dalam rombongan empat orang ini dialah yang paling tua dan agaknya paling disegani oleh teman-temannya. Hwesio yang merayap tembok seperti cecak itu juga amat terkenal di dunia hek-to (jalan hitam, dunia penjahat), karena dia hanyalah seorang hwesio palsu, seorang penjahat besar yang menyembunyikan diri di balik jubah pendeta dan kepala gundulnya. Dia memakai nama pendeta Hok Hosiang, bahkan memakai nama julukan yang amat hebat membayangkan kesombonkannya, karena julukannya itu adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian (Si Dewa Tertawa Bertangan Sakti)!

Wanita tua yang pesolek itupun bukan orang sembarangan. Dia adalah Ciok Lee Kim yang berjuluk Hui-giakang (Kelabang Terbang) yang terkenal sebagai seorang maling tunggal dan yang pernah menggegerkan istana karena selama satu bulan dia berani mengganggu kamar-kamar di istana untuk mencuri benda-benda berharga sehingga hampir dia tertangkap oleh para pengawal dan tidak berani muncul lagi. Adapun orang keempat, laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bermuka kurus seperti monyet itu, bernama Bu Sit dan berjuluk Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa).


Karena kota Han-tiong yang termasuk daerah Pegunungen Cin-ling-san itu selalu aman dan semenjak Cin-ling-pai berdiri di Cin-ling-san keadaan menjadi tenteram, semua penjahat tidak ada yang berani beraksi di daerah itu maka orang-orang yang berada di situ tidak ada yang mengenal empat orang datuk kaum sesat ini.

Sebetulnya, empat orang ini hanya merupakan anggauta-anggauta dari rombongan yang terdiri dari lima orang dan yang terkenal dengan sebutan yang mereka buat sendiri, yaitu Ngo-sian-eng-cu (Lima Bayangan Dewa). Yang seorang adalah pemimpin mereka dan kehadiren mereka di restoran itu adalah atas perintah orang pertama yang menjadi orang tertua dan menjadi kakak tertua mereka, karena Lima Bayangan Dewa ini telah menjadi saudara-saudara angkat yang bekerja sama dengan baik, sehingga kekuatan mereka yang tergabung itu membuat mereka amat ditakuti, baik oleh kaum sesat sendiri, karena memang tidak mudah untuk mengalahkan lima orang yang bergabung ini dan sudah menjadi saudara angkat yang bersumpah untuk sehidup semati!

Biarpun para tamu di ruangan bawah restoran itu tidak mengenal mereka yang berada di loteng, namun para tamu yang berani tetap tinggal di situ dapat menduga bahwa empat orang aneh itu tentulah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan karena mereka semua pereaya akan perlindungan Cin-ling-pai, maka mendengar bahwa empat orang itu mengundang Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, mereka bersikap tenang-tenang saja dan ingin menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kepala pelayan lalu dihujani pertanyaan oleh para tamu dan kepala pelayan ini menceritakan dengan gembira karena dia mendapat kesempatan untuk menonjolkan diri dan menjadi perhatian, bahwa kakek bertopi itulah yang mengatur pesanan untuk menggunakan loteng itu sebagai tempat perjamuan menyambut tamu-tamu mereka, yaitu Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai.

“Tentu saja tadinya saya keberatan kalau loteng itu diborongnya, akan tetapi mendengar bahwa mereka itu hendak menjamu Cap-it Ho-han, siapa yang berani menentang? Kami malah berbahagia sekali dapat menyenangkan hati Cap-it Ho-han, bukan? Dan kiranya, empat orang itupun adalah orang-orang yang memiliki kepandaian amat hebat! Pantas menjadi sahabat-sahabat Cap-it Ho-han!”

Akan tetapi di antara para tamu itu ada pula yang diam-diam menyaksikan apakah benar empat orang ini adalah sahabat-sahabat Cap-it Ho-han. Mereka sudah mengerti betul siapa adanya Cap-it Ho-han, yaitu tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, pembela kebenaran dan keadilan dan yang hidup sederhana seperti petani-petani biasa. Sedangkan empat orang ini ternyata memiliki watak yang amat sombong, suka menonjol-nonjolkan kepandaian mereka seperti terbukti tadi betapa mereka berempat terang-terangan sengaja mendemonstrasikan ilmu kepandaian mereka di depan orang banyak dengan sikap amat sombongnya. Agaknya amat aneh kalau para pendekar seperti Cap-it Ho-han itu bersahabat dengan orang-orang sombong seperti itu, biarpun mereka berempat itu harus diakui memiliki kepandaian yang amat hebat. Apalagi ketika mendengar betapa empat orang di atas loteng itu segera terdengar tertawa-tawa dengan kasarnya agaknya minum arak sambil bersendau-gurau, lagak mereka sama sekali tidak pantas menjadi orang-orang yang dapat disejajarkan dengan para pendekar dari Cin-ling-pai itu.

Betapapun juga, semua orang tertegun dan terheran bukan main ketika tak lama kemudian pelayan-pelayan yang bertugas di atas itu sudah sibuk mengangkat empat guci arak lagi, dibawa ke atas untuk menambah empat guci pertama yang agaknya sudah habis pindah ke dalam perut empat orang aneh itu.

Menjelang senja, terdengar suara berisik di luar restoran itu dan orang-orang mulai berdesak-desakan untuk melihat dan menyambut munculnya tujuh orang jagoan Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang di antara Cap-it Ho-han yang datang memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa yang bernada menantang. Sikap ketujuh orang pendekar ini tenang saja dan pakaian mereka seperti para petani dusun, dan mereka hanya tersenyum sambil mengangguk ke kanan kiri membalas penghormatan para penduduk Han-tiong yang mengenal mereka.

Para pelayan restoran menyambut mereka penuh penghormatan ketika Sun Kiang dan enam orang sutenya memasuki restoran itu, kemudian dengan tenang mereka naik ke loteng melalui anak tangga dan mereka hanya memandang tanpa perduli akan tanda bekas kaki yang dibuat oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It tadi ketika kakek itu naik ke ruangan atas. Tentu saja mereka yang tadi mengiringkan tujuh orang pendekar ini tidak berani ikut naik dan mereka hanya menonton dari luar restoran. Dari luar rumah makan, mereka dapat melihat keadaan di ruangan loteng yang terbuka itu, hanya tertutup oleh langkan setinggi satu meter sehingga mereka dapat melihat kepala orang-orang yang duduk di loteng.

Ketika tujuh orang pendeker Cin-ling-pai itu memasuki ruangan loteng, mereka melihat bahwa meja di situ telah diatur memanjang. Di bagian dalam duduklah empat orang yang sedang minum-minum dan di bagian luar meja terdapat sebelas buah bangku kosong! Melihat sikap empat orang aneh yang duduk minum-minum di situ dan tidak ada orang lain di ruangan atas ini, maka Sun Kiang mengerutkan alisnya. Tidak salah lagi, tentulah mereka ini yang mengirim undangan, akan tetapi mengapa Lima Bayangan Dewa hanya ada empat orang? Melihat mereka barempat itu minum-minum dan agaknya sama sekali tidak memperdulikan kedatangan mereka, Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han, segera berkata, “Suheng, agaknya kita salah masuk. Aku tidak melihat ada bayangan dewa-dewa atau setan di sini!”

Sun Kiang melirik kepada sutenya yang bungsu itu, akan tetapi dia tidak marah karena sutenya tidak langsung menghina orang, sungguhpun dia taju bahwa sutenya tentu mendongkol menyaksikan sikap empat orang itu yang diduga tentu para pengundang mereka.

Mendengar ucapan ini, Liok-te Sin-mo Gu Lo It mengangkat mukanya memandang tujuh orang petani itu dan memandang dengan penuh selidik. Tidak ada tanda sedikitpun bahwa tujuh orang ini adalah pendekar-pendekar besar, kecuali bahwa sikap mereka amat tenang.

“Omitohud... ha-ha-ha-ha!” Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang tertawa, kepalanya yang gundul bergerak-gerak ke belakang karena dia tertawa dengan muka menengadah dan perutnya yang gendut berguncang-guncang. “Ha-ha-ha, pinceng sungguh tidak dapat menjawab, kalau para pendekar menjadi petani, para petani lalu menjadi apa, sebaliknya kalau para petani menjadi pendekar, para pendekar lalu menjadi apa? Ha-ha-ha!”

Mendengar kata?kata ejekan ini, kembali Coa Seng Ki yang tidak dapat menahan dirinya, akan tetapi karena dia segan untuk melanggar perintah dan pesan suhengnya, dia tidak langsung menjawab, hanya memandang langit-langit loteng sambil berkata seperti bersajak, “Petani dan pendekar sama saja, keduanya mempunyai tugas penting. Tanpa adanya petani-petani, para pemalas gendut akan kelaparan dan tanpa adanya pendekar-pendekar, penjahat-penjahat di dunia merajalela!”

“Sute...!” Sun Kiang menegur sutenya karena ucapan sutenya itu sudah terlalu pedas.

Sun Kiang yang melihat sikap empat orang itu seolah-olah tidak mengacuhkan kedatangan mereka, sebetulnya juga merasa mendongkol sekali. Akan tetapi, menurut tulisan di ujung tiang bendera, yang mengundang adalah Lima Bayangan Dewa, mengapa yang berada di tempat itu hanya empat orang? Dia khawatir kalau-kalau keliru dan empat orang aneh ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan para pengundang mereka, maka sambil menekan perasaan mendongkolnya dia menjara ke arah mereka sambil berkata, “Harap maafkan kami kalau mengganggu, kami bertujuh dari Cin-ling-pai datang memenuhi suatu undangan, akan tetapi yang mengundang kami berjumlah lima orang...”

Gu Lo It, orang tua bertopi dan berhidung besar itu, bangkit berdiri dengan perlahan, diturut oleh tiga orang temannya dan kini kedua fihak berdiri saling berhadapan. Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga mengangkat kedua tangan membalas penghormatan Sun Kiang sambil berkata, suaranya parau, “Kami adalah empat orang di antara Lima Bayangan Dewa, akan tetapi yang kami undang adalah ketua Cin-ling-pai dan sebelas orang Cap-it Ho-han.”

“Ketua kami sedang pergi, dan di antara sebelas brang Cap-it Ho-han, yang ada hanya kami bertujuh, karena itu kami bertujuh mewakili ketua dan para suheng kami memenuhi undangan itu,” jawab Sun Kiang dengan sikap tenang.

“Ah, kiranya jit-wi (anda bertujuh) adalah para anggauta Cap-it Ho-han. Maafkan karena tidak mengenal, kami tidak dari tadi menyambut. Silakan jit-wi duduk!” Gu Lo It berkata dan dari pandang matanya, juga dari suara ketawa hwesio gendut itu, ditambah sikap nenek yang mengerling genit penuh ejekan dan pandang nista dingin laki-laki kurus bermuka kuning, mengertilah ketujuh orang Cap-it Ho-han bahwa empat orang itu sengaja mempermainkan mereka. Akan tetapi Sun Kiang dengan tenang mengangguk lalu duduk di tengah-tengah antara sebelas kursi yang berjajar itu, membiarkan empat kursi di sebelah kanannya kosong, karena dia menganggap bahwa empat kursi pertama adalah tempat duduk para suhengnya yang tidak dapat hadir. Para sutenya juga duduk di sebelah kiri Sun Kiang, sesuai dengan urutan tingkat mereka dan yang paling ujung kiri duduklah Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han.

“Terima kasih atas kebaikan Lima Bayangan Dewa yang telah mengundang kami dari Cin-ling-pai. Setelah kita saling berjumpa di sini, kami mewakili Cin-ling-pai untuk bertanya apa maksud dari Lima Bayangan Dewa mengundang kami secara tidak sewajarnya itu.” Sun Kiang berkata dengan sikap masih halus menghormat, namun kata-katanya cukup jelas merupakan peneguran.

Gu Lo It tertawa dan tiga orang kawannya juga tertawa, suara ketawa mereka memenuhi ruangan itu dengan nada mengejek. Hampir saja Coa Seng Ki orang termuda dari Cap-it Ho-han tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi mengingat akan pesan Sun Kiang, dia menahan diri, hanya memandang dengan mata bersinar-sinar kepada empat orang itu.

“Ha-ha-ha! Sudah lama kami mendengar nama Cin-ling-pai dan para tokohnya, Cap-it Ho-han yang menjulang tinggi, maka kami sengaja mengirim undangan untuk berkenalan dan menjamu cu-wi di restoran ini.” Tanpa menanti jawaban, dengan sikap kasar Gu Lo It lalu menoleh, bertepuk tangan dan berteriak kepada para pelayan, “Cepat keluarkan hidangan dan tambah lagi arak wangi!”


Para pelayan yang tadinya berdiri menjauh dengan hati berdebar tegang, kini cepat hilir-mudik mengatur hidangan yang memang telah dipersiapkan di dapur, turun naik anak tangga membawa baki-baki berisi masakan-masakan dan mengaturnya di atas meja di depan sebelas orang itu.

“Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, silakan makan minum bersama kami!” Gu Lo It berkata lantang dan dia bersama tiga orang temannya segera mulai makan dengan lahapnya.

Melihat sikap empat orang itu, Sun Kiang terheran-heran dan juga saling pandang dengan saudara-saudaranya, agak lega hatinya karena kirinya empat orang di antara Lima Bayangan Dewa ini agaknya merupakan orang-orang luar biasa yang hanya ingin mengenal mereka saja! Karena itu, Sun Kiang mengangguk memberi tanda kepada para sutenya, dan mereka inipun mulai menggunakan sendok dan sumpit untuk menerima hidangan dan hati-hati karena mereka belum yakin benar apa yang tersembunyi di balik sikap ramah kasar dan aneh dari empat orang di depan mereka itu.

Empat orang itu memang kasar sekali sikapnya. Mereka makan tanpa sungkan-sungkan lagi, dan hanya Hui-giakang Ciok Lee Kim nenek pesolek itu saja yang makan dengan agak hati-hati karena takut kalau bibir merahnya sampai terhapus oleh kuah masakan yang dimasukkannya ke mulut. Akan tetapi begitu daging yang disumpitnya sudah masuk ke dalam mulutnya dengan aman tanpa merusak pemerah bibirnya, dia mengunyah dan terdengarlah suara berdecapan seperti bunyi babi makan. Sambil makan dengan lahap, tiada hentinya empat orang itu memerintahkan kepada pelayan untuk mengambilkan kecap, cuka, sebentar minta ini den minta itu sehingga para pelayan menjadi sibuk hilir-mudik. Diam-diam para pelayan itupun muak menyaksikan sikap empat orang ini dan kagum bercampur bangga melihat sikap jagoan-jagoan mereka, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han itu yang bersikap demikian tenang dan juga penuh kesopanan.

Heh-heh-heh, Cap-it Ho-han terkenal hebat, sebagai jagoan-jagoan atau tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai. Kami gembira sekali dapat berkenalan!” Gu Lo It berkata sambil menyapu tujuh orang di depannya itu dengan pandang matanya, dan dia mengusap arak dari pinggir mulutnya.

Sun Kiang membungkuk. “Cu-wi terlalu memuji dan maafkan karena kami selalu tinggal di pegunungan yang sunyi maka kami belum sempat mengenal nama besar dari cu-wi (anda sekalian).”

“Ha-ha-ha, sekarangpun belum terlambat bagi Cap-it Ho-han untuk mengenal nama Lima Bayangan Dewa, yah, sekarang belum terlambat!” Tiba-tiba Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata dan menepuk-nepuk perutnya yang gendut.

Gu Lo It memandang kepada Sun Kiang dan dengan sinar mata tajam dia memperkenalkan diri dan teman-temannya, “Saya adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, saya Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dia ini adalah orang ketiga, Sin-ciang Siouw-bin-sian Hok Hosiang, yang keempat ini adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan kelima adalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Adapun saudara tertua kami, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, sedang pergi melakukan suatu urusan yang amat penting.”

Tujuh orang Cin-ling-pai itu agak terkejut mendengar nama terakhir tadi sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa. Mereka sudah mendengar nama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dari guru atau ketua mereka. Menurut guru mereka, Pat-pi Lo-sian ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok (Raja Ular Selaksa Racun) yang tewas di tangan guru mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Maka kini mereka mulai menduga-duga. Kalau empat orang ini adalah sekutu Pat-pi Lo-sian, tentu mereka berlima mempunyai niat tidak baik terhadap Cin-ling?pai. Akan tetapi dengan tenang Sun Kiang mengangguk.

“Nama-nama besar cu-wi tidak akan kami lupakan.”

Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau sambil memandang tajam. “Apakah engkau yang menjadi orang pertama dari Cap-it Ho-han?”

Sun Kiang tersenyum dan menggeleng kepala. “Saya yang bodoh bernama Sun Kiang dan hanya menjadi murid ke lima. Empat orang suhengku sedang pergi dari Cin-ling-san melaksanakan suatu tugas, maka saya dan enam orang suteku datang mewakili Cin-ling-pai memenuhi undangan cu-wi.”

“Ha-ha-ha, bagus kalau begitu! Saat ini engkau adalah orang pertama dari Cin-ling-pai, seperti juga aku merupakan orang pertama di saat ini dari Lima Bayangan Dewa karena suhengku tidak ada. Nah, saya mewakili Lima Bayangan Dewa memberi penghormatan semangkok arak kepada engkau sebagai wakil Cin-ling-pai. Terimalah!”

Setelah berkata demikian, Gu Lo It menuangkan arak di mangkok bekas dia makan tadi, kemudian dia melontarkan mangkok itu ke atas! Semua orang memandang dan para pelayan menjadi ketakutan melihat cara penghormatan yang aneh ini, bahkan seorang pelayan yang sedang mengambilkan tambahan kecap seperti yang diminta oleh Hok Hosiang yang gembul, menjadi takut untuk mendekat meja.

Mangkok terisi arak itu berputaran di atas dan Gu Lo It tidak menurunkan tangannya, bahkan meluruskan kedua lengannya ke arah mangkok yang berputaran di udara itu kemudian kedua tangannya tergetar dan mangkok itu meluncur turun menyambar ke arah Sun Kiang.

“Hemmm...” Sun Kiang maklum akan perbuatan lawan yang mungkin hendak mengujinya dengan mendemonstrasikan tenaga sin-kang yang hebat itu. Dengan tenang diapun mengangkat kedua tangannya dengan lurus ke depan, jari-jari tangannya terbuka dan dia sudah menyalurkan sin-kang melalui kedua lengannya itu sehingga ketika kedua tangannya bergerak, tenaga mujijat terhembus keluar dari telapak tangannya menyambar mangkok arak yang meluncur ke arahnya.

Terjadilah suatu keanehan seperti permainan sulap atau sihir saja. Mangkok yang terisi arak setengahnya itu terhenti di udara seperti dipegangi oloh tangan yang tidak kelihatan, terhimpit antara dua tenaga raksasa yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan Gu Lo It dan Sun Kiang. Terjadilah adu tenaga sin-kang yang hanya dimengerti oleh mereka yang duduk mengelilingi meja, yang memandang dengan sikap tegang. Para pelayan berdiri melongo den memandang penuh keheranan, tidak mengerti apa yang terjadi hanya memandang mangkok yang bergerak-gerak di udara itu dengan bingung.

Kedua fihak terkejut ketika merasa betapa tenaga lawan amat kuatnya. Mula-mula mangkok itu condong ke arah Sun Kiang den nampak betapa Gu Lo It menggetarkan kedua lengannya den tenaga mujijat yang amat kuatnya mendorong mangkok atau setidaknya membuat mangkok miring ke arah lawan agar isinya menyiram muka lawan! Perlahan-lahan mangkok itu mulai miring ke arah orang kelima dari Cap-it Ho-han, sehingga para sutenya memandang ke arah Sun Kiang dengan hati cemas. Sun Kiang sendiri maklum akan kekuatan lawan, mukanya sudah mulai berpeluh dan terpaksa dia mengeluarkan tenaga simpanannya, yaitu Thai-kek-sin-kang, ilmu rahasia yang diturunkan oleh Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala ini.

“Uhhhhh...!” Suara dari dalam dada Sun Kiang ini membubung melalui tenggorokan, setibanya di mulut hanya terdengar seperti keluhan, mukanya menjadi pucat dan kedua telapak tangannya perlahan-lahan berubah merah.

Gu Lo It terkejut bukan main ketika tiba-tiba kekuatan lawan menjadi hebat sekali. Dia cepat mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak kuat diam enahan sehingga kini mangkok di udara itu mulai condong dan miring ke arahnya, isinya mulai mengancam untuk menyiram mukanya! Hati para murid Cin-ling-pai menjadi lega akan tetapi diam-diam merekapun maklum bahwa kakek bertopi itu lihai bukan main sehingga suheng mereka terpaksa harus mengerahkan Thai-kek-sin-kang, baru dapat mengimbangi.


Tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa sudah amat tinggi dan terutama sekali Liok-te Sin-mo Gu Lo It memiliki sin-kang yang kuat. Dibandingkan dengan murid-murid kepala Cin-ling-pai, tingkat lima orang datuk kaum sesat itu lebih tinggi, dan pada umumnya, tenaga Sun Kiang juga tidak dapat melawan tenaga Gu Lo It. Akan tetapi, sin-kang dari murid kelima Cin-ling-pai ini adalah Thai-kek-sin-kang yang amat murni, yang diturunkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala itu sebagai ilmu simpanan, maka dengan mengandalkan sin-kang ini Sun Kiang dapat mengimbangi bahkan mendesak lawan yang lebih kuat!

Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai ini adalah orang-orang jujur yang kurang sekali pengalaman mereka di dunia kang-ouw, apalagi menghadapi datuk-datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi juga amat curang dan mempunyai banyak tipu muslihat busuk itu. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa ketika dengan kaget sekali melihat kanyataan betapa tenaga sin-kang murid Cin-ling-pai itu demikian hebatnya dan mangkok arak itu mengancam akan menyiram mukanya, diam-diam Mok-te Sin-mo Gu Lo It meluruskan kaki kirinya di bawah meja dan ujung sepatunya diarahkan ke perut Sun Kiang yang duduk di depannya di seberang meja. Tiba-tiba diangkatnya kakinya dan dibentakkan tumitnya di atas lantai dl bawah meja dan seketika meluncurlah sinar hitam ke depan dan tentu saja tanpa dapat dicegah dan diketahui oleh siapapun, benda hitam itu menyambar ke perut Sun Kiang!

“Uhhhh... hukkkk...!” Sun Kiang terbelalak, bangkit berdiri dan tubuhnya menggigil. Mangkok arak itu kini terdorong oleh tenaga sakti Gu Lo It dan meluncur ke arah kepalanya, membalik dan arak menyiram muka Sun Kiang yang kini sudah menggunakan kedua tangan mendekap perutnya, kemudian mangkok itu terbang kembali ke tangan Gu Lo It yang tertawa.

“Ha-ha-ha, terima kasih bahwa engkau telah menerima suguhan arakku!”

Akan tetapi enam orang murid Cin-ling-pai yang lain tidak melihat hal itu sebagai kekalahan mengadu sin-kang dari suheng mereka. Mereka terbelalak memandang ke arah perut Sun Kialig yang kini tampak setelah suheng mereka itu berdiri. Darah membasahi baju den celana sekitar perut dan Sun Kiang melotot memandeng ke arah Gu Lo It.

“Kau... kau...!” Tangannya mencengkeram ke atas meja. “Kroookkkk...!” Pinggiran meja itu remuk dan Sun Kiang terhuyung ke belakang, bangkunya terguling kemudian tubuhnya roboh terjengkang den tewaslah orang kelima dari Cap-it Ho-han itu dengan mata melotot! Paku hitam yang meluncur keluar dari sepatu rahasia Gu Lo It itu mengandung racun yang amat hebat sehingga Sun Kiang tidak dapat bertahan lagi.

“Cuatt-cuatt-cuattt...!” Dari sepatu Gu Lo It yang berada di bawah meja kembali meluncur tiga batang paku beracun. Kini enam orang murid kepala Cin-ling-pai sudah tahu akan kecurangan lawan. Mereka marah sekali den bergerak
meloncat ke belakang, akan tetapi tetap saja dua di antara tiga batang paku itu mengenai sasaran karena dilepas dari bawah dalam jarak yang amat dekat tanpa dilihat atau diketahui oleh mereka yang diserang. Roboh pula dua orang murid Cin-ling-pai yang lihai, berkelojotan dan tewas seketika tanpa dapat melakukan perlawanan apapun!

“Iblis-iblis keji, kalian bermain curang!” Coa Seng Ki membentak marah den mencabut pedang dari balik bajunya. Tiga orang suhengnya juga sudah mencabut senjata masing-masing, seorang memegang pedang, seorang memegang golok den orang keempat mengeluarkan senjatanya yang berupa tongkat berlapis baja.

“Ha-ha-ha, kami Lima Bayangan Dewa memang hendak membunuh Cap-it Ho-han dan ketua Cin-ling-pai!” Gu Lo It tertawa bergelak dan bersama tiga orang temannya dia sudah meloncati meja dan menerjang empat orang murid Cin-ling-pai itu. Segera terjadi pertempuran yang amat seru den hebat di dalam ruangan atas dari restoran itu.

Para pelayan menjadi kaget den ketakutan. Mereka melempar baki den kain putih yang tadinya selalu tersampir di pundak, kemudian lari menuruni loteng itu, demikian takut dan tergesa-gesa sampai hampir menggelundung dari loteng ke ruangan bawah. Bubarlah semua tamu yang berada di bawah ketika mendengar ribut-ribut dan suara beradunya senjata di atas ruangan itu. Mereka berlari keluar dan bersembunyi di luar sambil menonton ke ruangan atas yang tampak dari jauh, dengan hati penuh kekhawatiran karena mendengar para pelayan itu bercerita betapa tiga orang anak murid Cin-ling-pai telah roboh dan tewas secara aneh sebelum terjadi pertempuran.

Pertempuran itu berlangsung dengan hebat dan mati-matian. Para murid kepala Cin-ling-pai maklum bahwa empat orang manusia iblis itu menghendaki nyawa mereka, maka mereka membela diri dengan mati-matian dan juga ingin membunuh musuh untuk membalaskan kematian tiga orang saudara mereka yang menjadi korban kecurangan fihak musuh itu.

Orang keenam dari Cap-it Ho-han yang bersenjata tongkat, yang tingkatnya tepat di bawah Sun Kiang menurut urutan tingkat sebelas orang Cap-it Ho-han, sudah menerjang Gu Lo It dan dihadapi oleh Liok-te Sin-mo ini dengan tangan kosong saja! Dua orang lain menghadapi Hok Hosiang yang menggunakan tasbeh batu hijau sebagai senjata dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang mainkan sebatang toya panjang dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sehingga tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar toyanya! Adapun Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han melawan Ciok Lee Kim, nenek genit yang mainkan dua helai saputangan merah secara hebat sekali sambil terkekeh-kekeh genit.

“Siluman betina, mampuslah!” Coa Seng Ki yang kemarahannya sudah memuncak melihat kematian tiga orang suhengnya secara mengerikan dan menjadi korban serangan gelap yang amat curang, menggerakkan pedangnya dengan dahsyat, menusuk ke arah mata kanan lawannya.


“Singgg... wuuutttt...!” Pedang itu menyeleweng arahnya ketika terbentur dari samping oleh benda lembut, yaitu saputangan di tangan kanan wanita yang tertawa mengejek itu.

“Hi-hik, kau yang termuda dan paling ganteng di antara Cap-it Ho-han. Haiiit, sayang tidak kena!” Dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sekali, ketika pedang itu menyambar dengan bacokan dari samping, wanita itu sudah melesat ke belakang. Ciok Lee Kim berjuluk Si Kelabang Terbang, tentu saja julukan ini diperoleh karena memang ilmunya meringankan tubuh amat lihai, gerakannya ringan dan lincah sekali, kalau meloncat seperti terbang saja. Sedangkan julukan Kelabang adalah karena dia seorang ahli racun dan sepasang saputangan merah yang lebar itu, yang dimainkan seperti seorang penari sedang beraksi di panggung menari-nari akan tetapi yang sesungguhnya merupakan senjata yang amat ampuh, mengandung racun yang amat berbahaya.

Ilmu pedang yang dimainkan Coa Seng Ki sebetulnya adalah ilmu pedang yang murni dan kuat bukan main. Akan tetapi karena memang dia kalah tingkat, kalah dalam ilmu gin-kang maupun tenaga sin-kang, maka ilmu pedangnya itu tidak banyak menolong. Lawannya, nenek yang tersenyum-senyum genit itu memang luar biasa sekali. Dua helai saputangan merah di tangannya itu kadang-kadang bisa kaku dan keras seperti baja, kadang-kadang melurus seperti tongkat besi, kadang-kadang juga lemas kembali akan tetapi amat kuat seperti cambuk, dapat dipergunakan ujungnya sebagai alat penotok. Getaran pedang yang hebat dari Coa Sang Ki menjadi musnah kekuatannya kalau bertemu dengan saputangan yang lunak, dan beberapa kali ujung saputangan sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang berbahaya, akan tetapi pada saat terakhir sengaja ditarik kembali oleh nenek itu sambil terkekeh.

“Ah, sayang kalau membunuhmu! Bagaimana kalau kau malam ini menemani dan menghiburku?”

Sikap dan ucapan ini membuat Coa Sang Ki makin marah, dia maklum bahwa lawannya lihai sekali dan bahwa dia sengaja dipermainkan karena kalau wanita itu menghendaki, sudah sejak tadi dia roboh, maka sambil menggereng keras dia mainkan pedangnya makin hebat dan dengan nekat dia melakukan serangan dengan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Namun kecepatan wanita itu membuat semua serangannya gagal, bahkan ketika Ciok Lee Kim berkelebatan kadang-kadang lenyap kadang-kadang tampak, dia mulai menjadi pening dan seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat.

Apalagi ketika berturut-turut terdengar teriakan dan keluhan disusul robohnya tiga orang suhengnya, Coa Seng Ki menjadi makin marah dan duka. Sekali pandang saja maklumlah dia bahwa tiga orang suhengnya itu, seperti tiga orang suheng pertama, telah roboh untuk tidak bangun kembali. Enam orang suhengnya telah tewas semua! Malapetaka yang terjadi secara serentak dan tiba-tiba ini sama sekali tidak pernah terduga-duga, dalam mimpipun tidak! Betapa enam orang dari Cap-it Ho-han roboh dan tewas begitu saja, begitu mudahnya! Coa Seng Ki menjadi mata gelap dan sambil menggigit bibir dan air matanya berlinangan, dia menubruk dan melakukan serangan bertubi-tubi kepada Hai-giakang Ciok Lee Kim, akan tetapi wanita tua ini seperti menari-nari, selalu mengelak dan kadang-kadang menangkis dengan saputangan merahnya.

“Omitohud...! Si Genit mengapa main-main dengan dia? Lekas bunuh dia!” Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang biasa menyebut Si Kelabang Terbang itu Si Genit, berseru melihat nenek itu mempermainkan Coa Seng Ki dan tidak cepat-cepat membunuhnya.

“Hi-hik, Hok Hosiang, aku sayang kalau membunuhnya. Habis siapa yang akan menemaniku malam nanti? Kepala gundulmu sudah membosankan aku, hi-hik!” Nenek itu menjawab sambil mengelak dari sebuah tusukan, kemudian menggunakan jari-jari tangannya mengusap pipi Coa Seng Ki dengan mesra. Coa Seng Ki makin marah dan dengan nekat menyerang terus.

“Memang dia tidak perlu dibunuh!” Tiba-tiba Gu Lo It berkata. “Kalau dia mampus, siapa yang akan melaporkan kepada ketua Cin-ling-pai? Kita lukai saja dia, biar mati perlahan-lahan. Akan tetapi hayo sudahi main-mainmu, Hui-giakang, kita tidak mempunyai banyak waktu, malam sudah tiba!”

“Aih, sayang...!” Ciok Lee Kim berkata akan tetapi agaknya dia tidak berani membantah perintah Si Iblis Bumi. Tiba-tiba dua helai saputangan merahnya berkelebat menjadi gulungan sinar merah berputaran menyambar-nyambar dan pedang di tangan Coa Seng Ki sudah dapat dilibat dan sekali ujung saputangan menotok pergelangan tangan, pedang itupun terlepas dari tangan pemiliknya dan terampas. Ciok Lee Kim tertawa, mengebutkan saputangannya yang merampas pedang dan pedang itu meluncur ke depan ke arah Hok Hosiang, dibarengi bentakannya, “Hok Hosiang, kauterimalah pedangnya!”

“Omitohud, kau main-main saja!” dengan ujung lengan baju yang besar, Hok Hosiang mengebut pedang itu menyeleweng ke bawah dan “crappp!” pedang itu menancap di dada mayat Sun Kiang.

Melihat betapa pedangnya sendiri menancap dada subengnya, Coa Seng Ki menjadi hampir gila saking marahnya dan sambil bertertak keras dia menubruk ke arah pendeta gendut itu. Akan tetapi Hok Hosiang sudah menyambutnya dengan dorongan tangan terbuka dan kekuatan dahsyat.

“Plakkk!!” Pundak Coa Seng Ki terkena dorongan dan tubuhnya terlempar ke arah Gu Lo It.

“Dukk!” Gu Lo It menyambutnya dengan tamparan yang mengenai dadanya.

“Huakkkkk!!” Darah merah tersembur keluar dari mulut Coa Seng Ki ketika tubuhnya terlempar ke arah Toat-beng-kaw Bu Sit.


Desss!! Krek-krekk!” Toya di tangan Bu Sit menghantam perut dan kedua lututnya, mematahkan kedua tulang kaki orang termuda dari Cap-it Ho-han itu yang terlempar ke arah Ciok Lee Kim.

“He-heh, tampan, kau sudah tidak berharga lagi untuk mendekatiku!” Nenek genit itu terkekeh, tangan kirinya mencakar den lima kuku jarinya mencakar muka Coa Seng Ki sehingga robek-robek kulit mukanya den berdarah. Dia terbanting roboh dan tak sadarkan diri lagi, dengan mulut memuntahkan darah, muka tergores den berdarah, pukulan pada pundak, dada dan perutnya membuat dia terluka dalam secara hebat dan kedua tulang kakinya patah-patah!

Empat orang itu tertawa bergelak lalu turun melalui anak tangga dengan lagak sombong karena kemenangan mereka. Melihat para pelayan menggigil den berkumpul di sudut ruangan bawah, Liok-te Sin-mo Gu Lo It menoleh ke arah mereka sambil berkata, “Semua harga makanan dan kerusakan perabot di atas akan dibayar oleh Cin-ling-pai!”

Sambil tertawa-tawa puas, empat orang itu lalu keluar dari restoran dan sebentar saja mereka menghilang di dalam kegelapan malam. Lama setelah empat orang itu pergi, barulah para pelayan dan orang-orang yang menonton pertandingan hebat dari luar restoran itu berani berindap-indap naik dan mereka terkejut den ngeri sekali ketika menyaksikan keadaan ketujuh orang tokoh Cin-ling-pai itu. Keadaan menjadi geger, para petugas keamanan baru berani muncul untuk mengadakan pemeriksaan dan beberapa orang diperintahkan untuk memberi kabar ke Cin-ling-pai di dekat puncak gunung.

Akan tetapi pada seat itu juga, tampak lima orang anggauta Cin-ling-pai datang berlari-lari memasuki restoran Koai-lo dengan maksud untuk mencari ketujuh orang Cap-it Ho-han. Wajah mereka semua pucat den tegang, dan mereka ingin melaporkan sesuatu kepada para pimpinan mereka. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka dan serta merta menubruk para suheng mereka yang sudah rebah malang melintang di ruangan atas restoran itu sambil menangis. Dunia seakan-akan kiamat bagi mereka. Baru saja mereka mengalami kekagetan dan kecemasan hebat di Cin-ling-pai dan kini mereka dibadapkan dengan malapetaka yang lebih hebat pula, yaitu kematian enam orang Pimpinan Cin-ling-pai dan yang seorang terluka hebat.

Apakah yang terjadi di pusat Cin-ling-pai sehingga lima orang anggautanya itu bergegas pergi ke Han-tiong menyusul ketujuh orang murid kepala yang sedang memenuhi tantangan fihak lawan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu?

Ternyata malam itu terjadi hal yang hebat pula di Cin-ling-pai. Karena semua anggauta Cin-ling-pai telah diberi tahu akan tantangan Lima Bayangan Dewa, dan karena tujuh orang murid kepala itu mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi para penantang, maka para anggauta Cin-ling-pai menjadi prihatin dan mereka melakukan penjagaan yang ketat. Mereka semua merasa tegang karena mengerti bahwa para pimpinan mereka pergi ke Han-tiong menghadapi lawan yang tangguh yang dapat dilihat dari cara mereka memasang surat tanda tantangan di puncak menara, di ujung tiang bendera.

Keadaan menjadi amat sunyi di markas Cin-ling-pai yang dikurung pagar tembok itu. Penjagaan ketat dilakukan oleh para anggautanya, di pintu-pintu gerbang dan terutama sekali di sekitar menara karena tempat itu merupakan tempat penyimpanan pusaka Cin-ling-pai, juga menjadi tempat kediaman ketua mereka yang pada saat itu sedang bepergian. Perondaan juga dilakukan tiada hentinya secara bergilir mengelilingi pagar tembok. Sejak senja tadi, wanita dan kanak-kanak sudah dilarang untuk berada di luar rumah. Semua telah berlindung di dalam rumah dan para ibu juga siap sedia dengan senjata di dekatnya kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak tersangka-sangka terhadap keluarganya. Pendeknya, semua anggauta Cin-ling-pai dan keluarga mereka siap sedia dengan hati penuh ketegangan. Mereka hanya mengharapkan agar para pimpinan mereka segera kembali membawa berita bahwa semuanya telah beres dan tidak ada apa-apa lagi yang perlu dikhawatirkan. Biarpun mereka itu percaya akan kelihaian para murid kepala, yaitu Cap-it Ho-han yang pada waktu itu hanya ada tujuh orang, namun tetap saja mereka agak gelisah karena ketua mereka tidak berada di situ. Mereka merasa seolah-olah seperti sekelompok anak ayam ditinggalkan induknya.

Lewat senja, ketika keadaan belum gelap benar, akan tetapi sejak tadi lampu-lampu telah dipasang, tiba-tiba sekali terdengar bentakan-bentakan dan keributan di pintu gerbang sebelah berat, yaitu di belakang markas itu. Terdengar senjata-senjata den teriakan-teriakan para penjaga. Tentu saja para penjaga segera lari ke tempat itu den ternyata di tempat itu terjadi pertempuran yang amat aneh. Belasan orang anggauta Cin-ling-pai mengeroyok seorang laki-laki yang tidak bersenjata, akan tetapi anehnya, semua serangan senjata di tangan para anggauta Cin-ling-pai itu tidak ada yang pernah dapat menyentuh tubuh orang itu, walaupun orang itu kelihatannya tenang saja, seolah-olah senjata yang menghampiri tubuhnya itu tiba-tiba menyeleweng sendiri seperti tertolak oleh hawa yang melindungi seluruh tubuh orang itu!

Melihat banyak orang lagi datang untuk mengeroyoknya, orang laki-laki itu tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah dia dari tengah-tengah para pengeroyoknya! Kemudian, selagi semua orang bingung mencari-cari, tiba-tiba di pintu gerbang sebelah timur, di depan markas itu, terjadi keributan dan kiranya laki-laki itu telah berada di situ menghadapi pengeroyokan para penjaga yang bertugas menjaga di tempat itu!

Kembali semua anak murid Cin-ling-pai berlari-lari ke tempat itu. Laki-laki itu kelihatan muda dan berwajah tampan, rambutnya dikucir panjang, pakaiannya sederhana serba putih, hanya sepatunya saja yang hitam. Sukar mengira-ngira usianya, kelihatannya baru berusia tiga puluh tahun saja. Gerak-geriknya halus, namun setiap gerakan kaki tangannya membawa angin pukulan yang amat dahsyat sehingga lime enam orang murid Cin-ling-pai terlempar sekaligus oleh sambaran angin dari kebutan lengan bajunya! Dan semua senjata menyeleweng den terpental begitu kena disambar angin tangkisannya.

Hanya sebentar saja orang itu mengacau di pintu gerbang timur dan biarpun belasan orang roboh terpelanting ke kanan kiri oleh sambaran angin pukulan tangannya, namun tidak ada seorangpun yang terluka hebat atau tewas. Agaknya orang ini hanya mempermainkan mereka saja dan kembali dia tertawa, berkelebat lenyap, untuk muncul lagi di pintu gerbang sebelah selatan! Dengan perbuatannya yang aneh ini, semua anggauta Cin-ling-pai menjadi kacau-balau dan geger. Jelas bahwa yang datang mengacau hanya satu orang saja, namun orang itu memiliki kepandaian sedemikian tingginya sehingga mampu menggegerkan seluruh anggauta Cin-ling-pai yang dibikin kocar-kacir dan kacau-balau lari ke sana ke mari mencari-cari lawan yang sebentar-sebentar menghilang itu.


Ketika untuk kelima kalinya orang itu meloncat dan menghilang, para anak buah Cin-ling-pai sudah menjadi panik dan bingung sekali. Mereka mencari-cari, akan tetapi sekali ini orang itu menghilang sampai lama. Dicari ke manapun tidak dapat ditemukan dan para anak murid Cin-ling-pai sudah mengira bahwa pengacau itu akhirnya melarikan diri karena gentar menghadapi pengeroyokan sedemikian banyak orang. Sementara itu, lima orang murid tingkat dua yang langsung menjadi murid-murid kepala di bawah asuhan Cap-it Ho-han, diam-diam melakukan perondaan di atas genteng perumahan Cin-ling-pai di sekitar menara. Mereka ini adalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi di saat itu, dan mereka berlima telah mewarisi Ilmu Silat Tangan Kosong San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang dahsyat, maka merekapun tidak membawa senjata, karena keistimewaan mereka adalah gerakan kaki tangan mereka yang sudah tergembleng kuat dan terlatih baik.

Mereka berlima berjaga di sekitar menara dan merasa aman karena menara itu telah dijaga ketat di sebelah dalamnya. Untuk naik ke puncak menara di mana tersimpan benda-benda pusaka milik ketua, orang harus melalui pasukan penjaga yang berlapis lima dan setiap penjagaan terdapat lima orang penjaga yang sudah terlatih.

Setengah jam lewat dan biarpun semua anggauta masih mencari-cari, namun hati mereka telah menjadi lega karena jelas bahwa pengacau itu telah lenyap, agaknya telah melarikan diri keluar dari markas Cin-ling-pai. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras disusul suara ketawa menyeramkan tadi, suara si pengacau yang tadi selalu tertawa kalau hendak menghilang.

Kiranya pengacau itu muncul lagi secara tiba-tiba, meloncat turun dari puncak menara dan lengan kanannya mengempit sebatang pedang dalam sarungnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang murid kepala Cap-it Ho-han itu ketika mengenal pedang Siang-bhok-kiam yang dikempit oleh lengan orang itu! Pedang pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai telah dicuri orang!

“Pencuri hina...!”

“Kembalikan Siang-bhok-pokiam!”

Lima orang itu cepat berloncatan di atas genteng dan mengejar. Namun gerakan pencuri pedang itu hebat bukan main. Sukar sekali mendekatinya karena dia berloncatan dari genteng ke genteng lain seperti seekor burung terbang saja. Ketika seorang di antara lima jagoan Cin-ling-pai itu berhasil mendekati, dia langsung mengirim pukulannya yang ampuh, menggunakan jurus yang paling lihai dari San-in-kun-hoat, yaitu In-keng-hong-wi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan), tangan kanannya menonjok lurus ke depan disertai tenaga sin-kang yang ampuh.

“Dukkk!” Pukulan itu dengan tepat mengenai bahu kanan orang itu, akan tetapi yang dipukul tertawa saja dan si pemukul merasakan betapa kepalan tangannya seperti memukul karet yang amat lunak namun kuat sekali sehingga tenaga pukulannya seperti tenggelam dan lenyap kekuatannya. Selagi dia berteriak kaget, pencuri itu telah tertawa panjang dan tubuhnya mencelat jauh ke depan.

“Tangkap pencuri...!”

“Dia mencuri Siang-bhok-pokiam!”

Lima orang itu berteriak-teriak karena tidak dapat menyusul dan melihat pencuri itu telah tiba di rumah terakhir. Para anak murid yang mengejar dari bawah melihat pengacau itu mengempit pedang. Mendengar betapa pusaka keramat Cin-ling-pai dicuri, mereka menjadi marah sekali. Bagaikan hujan saja senjata-senjata rahasia menyambar ke arah tubuh pencuri itu ketika dia meloneat turun dari atas genteng. Semua orang terbelalak memandang betapa sekian banyaknya senjata rahasia dengan cepat mengenai tubuh orang itu, akan tetapi kesemuanya itu runtuh tak berbekas dan si pencuri masih tertawa-tawa.

“Ha-ha-ha, katakan kepada Cia Keng Hong bahwa Lima Bayangan Dewa mengirim salam dan menitipkan nyawanya sampai tahun depan!” Setelah berkata demikian, orang itu berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

“Pengecut, tinggalkan namamu!” teriak seorang murid Cin-ling-pai dengan suara nyaring. Akan tetapi tiba-tiba orang yang berteriak ini roboh terjengkang, dan ketika teman-temannya memandang, ternyata dia telah tewas! Dan dari jauh terdengar suara tertawa.

“Ha-ha-ha, tidak ada orang boleh hidup setelah memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok!”

Tentu saja orang-orang Cin-ling-pai menjadi geger. Lima orang murid lihai yang digembleng oleh Cap-it Ho-han itu lalu bergegas meninggalkan Cin-ling-pai menuju ke Han-tiong untuk menyusul para suheng mereka dan melaporkan akan malapetaka yang menimpa markas Cin-ling-pai sehingga pedang pusaka Siang-bhok-kiam lenyap dicuri orang, bahkan seorang anak murid tewas oleh si pencuri yang lihai dan yang mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan sedih hati lima orang murid ini ketika mereka melihat tujuh orang suheng mereka itu tertimpa malapetaka yang lebih hebat dan mengerikan lagi di dalam rumah makan Koai-lo karena enam orang di antara mereka telah tewas dan Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han menderita luka-luka hebat sehingga nyawanya juga seolah-olah bergantung kepada sehelat rambut! Dengan penuh kedukaan mereka lalu mengangkut enam mayat dan Coa Seng Ki yang terluka parah itu ke Cin-ling-pai di mana mereka disambut oleh jerit-jerit tangisan yang memilukan dari semua anak murid Cin-ling-pai dan terutama sekali dari keluarga mereka yang tewas.



Bermacam-macam sikap anggauta keluarga yang ditinggal mati oleh seseorang dalam keluarga itu. Namun pada umumnya, mereka itu berduka atau memperlihatkan wajah duka. Bermacam-macam pula rasa duka yang mendatangkan goresan muka yang sama itu. Ada yang berduka karena merasa iba kepada yang mati, akan tetapi sebagian besar adalah berduka karena merasa iba kepada dirinya sondiri yang tinggalkan oleh yang mati. Merasa betapa hidupnya kehilangan sesuatu, yang dicintainya, yang disandarinya, atau yang diharap-harapkannya. Merasa kehilangen ini yang mendatangkan duka. Ada pula yang tidak merasa apa-apa namun “demi kesopanan” terpaksa menarik muka agar kelihatan berduka. Ada pula yang terbawa oleh suasana duka, karena tangis, seperti juga tawa, mudah sekali menular kepada orang lain. Sukar sekali menahan diri, terutama sekali kaum wanita, untuk tidak mencucurkan air mata melihat banyak orang menangis tersedu-sedu, apalagi kalau disertai keluh-kesah dan ratapan, lebih sukar daripada menahan tawa kalau melihat banyak orang tertawa gembira. Yang hebat, lucu den aneh, banyak pula keluarga yang kematian hendak menyatakan bahwa mereka benar-benar berkabung dengan “menyewa” tukang menangis! “Tukang-tukang menangis” ini dibayar dan tugasnya hanya untuk menangis sehebat mungkin, meratap dengan suara yang paling menyedihkan, untuk “memancing” air mata para keluarga yang sudah hampir mengering.

Memang suasana pada keluarga yang kematian amat menyedihkan. Apalagi pada pagi hari itu di ruangan depan dari rumah besar di Cin-ling-pai. Memang menyedihkan sekali melihat tujuh buah peti mati berjajar-jajar di ruangan itu, dikelilingi dan dikerumuni oleh para sanak keluarga dan para anggauta Cin-ling-pai yang tiada hentinya menangis dan bergilir melakukan sembahyang di depan peti-peti mati itu. Tujuh buah peti mati itu terisi mayat-mayat enam orang anggauta Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai yang tewas karena berani memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian.

Suasana di ruangan itu menjadi makin menyedihkan melihat para anggauta keluarga para korban yang memakai pakaian serba putih, topi putih dan muka pucat, mata sayu kemerahan dan pipi kotor bekas air mata dan debu. Ruangan yang luas itu menjadi serem karena asap hio yang bergulung-gulung dan bau dupa wangi yang dibakar semenjak malam tadi.

Akan tetapi Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah. Biarpun sejak kemarin sampai malam tadi para keluarga korban tiada hentinya menangisi ayah, saudara dan suami mereka, namun pagi ini mereka telah dapat menekan perasaan mereka sebagai orang-orang atau keluarga-keluarga orang gagah sehingga tidak lagi terdengar suara tangis. Mereka masih bersembahyang dan berkabung, namun wajah mereka semua membayangkan duka dan dendam bercampur menjadi satu, dengan tarikan muka keras membayangkan kemarahan hati terhadap fihak musuh yang telah menyebar kematian di antara tokoh-tokoh Cin-ling-pai.

Mereka tidak lagi mencucurkan air mata dan meratap, terutama sekali ini mereka paksakan kepada perasaan mereka sendiri untuk memperlihatkan sikap gagah kepada para penghuni dusun yang datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada para korban. Bukan hanya para penghuni dusun-dusun pegunungan di sekitar tempat itu, juga dari kota Han-tiong datang tamu berduyun-duyun untuk bersembahyang dan tidak lupa memberi sumbangan kepada keluarga yang ditimpa duka nestapa itu.

Sejak pagi sampai tengah hari, tiada hentinya para tamu datang, bersembahyang, memberi sumbangan dan mengucapkan kata-kata yang nadanya menghibur, memuji kegagahan Cap-it Ho-han dan mengutuk penjahat-penjahat yang melakukan pembunuhan keji, kemudian pergi lagi dengan perasaan lega seperti orang-orang yang telah melakukan sesuatu yang amat baik dan berharga. Bahkan komandan penjaga keamanan dari kota Han-tiong juga datang menyatakan duka cita dan dia mengatakan kepada para anggauta Cin-ling-pai bahwa dia akan mengerahkan pasukannya untuk mencari dan menangkap penjahat-penjahat yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu. Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai maklum bahwa ucapan komandan itu tidak dapat diandalkan dan harapan satu-satunya bagi mereka untuk dapat membalas dendam kematian ini hanyalah guru mereka, karena para penjahat itu adalah orang-orang lihai sedangkan para petugas keamanan itu biasanya, sebagian besar hanya galak-galak kalau menghadapi rakyat lemah yang tak mampu melawan dan yang dapat diharapkan menjadi sapi-sapi perahan.

Setelah lewat tengah hari, makin berkuranglah tamu yang datang bersembahyang dan menjelang senja tidak ada lagi tamu yang datang. Dengan bergiliran, murid-murid Cin-ling-pai melakukan penjagaan karena yang lain harus beristirahat, akan tetapi tentu saja para keluarga korban tetap di dekat peti mati dalam keadaan berkabung.

Setelah semua orang mengira bahwa tidak akan ada lagi tamu yang datang, tiba-tiba muncullah dua orang dari pintu depan. Mereka ini adalah orang-orang tua, yang seorang adalah wanita tua, nenek-nenek yang usianya tentu sudah enam
puluh tahun lebih dengan pakaian serba hitam dan kain kepala berwarna hitam pula, berjalan sambil menundukkan muka, sedangkan yang kedua adalah seorang kakek tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu (pendeta To) yang melangkah masuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan para penjaga pintu yang mempersilakan kedua orang ini terus memasuki ruangan di mana terdapat tujuh peti mati yang berjajar-jajar.

Nenek itu menerima beberapa batang hio yang sudah dinyalakan oleh seorang murid Cin?ling?pai yang bertugas melayani mereka yang hendak bersembahyang, sedangkan kakek tosu itu dengan suaranya yang halus bertanya tentang mereka yang mati sehingga seorang murid Cin-ling-pai lain menceritakan bahwa yang tewas adalah enam orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai lainnya. Tosu itu mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya, kelihatan tidak senang.

Sementara itu, nenek tua yang berpakaian serba hitam sudah bersembahyang di depan peti mati itu, kemudian berhenti di depan peti mati pertama yang terisi mayat Sun Kiang. Di sini dia berdiri dan berkata lirih, “Sayang, sayang... sungguh penasaran sekali mengapa kalian mati di tangan orang lain...!” Semua anak murid Cin-ling-pai terkejut dan heran sekali mendengar ucapan aneh itu, dan mereka makin heran ketika melihat betapa nenek itu kini menancap-nancapkan hio atau dupa biting itu ke atas peti mati yang terbuat dari kayu tebal dan keras. Sukar dipercaya betapa dupa biting yang rapuh itu dapat ditancapkan ke atas peti mati, seolah-olah papan peti mati yang keras itu hanya terbuat dari agar-agar saja! Dan perbuatan ini selain mendatangkan kekagetan dan keheranan, juga membuat para anak murid Cin-ling-pai menjadi marah sekali.


Nenek itu mundur tiga langkah setelah menjura ke arah peti-peti mati, kemudian tosu itu melangkah mendekati peti-peti itu, tangan kanannya menepuk-nepuk setiap peti dan mulutnya berkata lirih namun cukup keras untuk terdengar oleh mereka yang berada di ruangan itu. “Memang sayang sekali, akan tetapi kalian mati di tangan Lima Bayangan Dewa sudah cukup twhormat, karena yang pantas mati di tangan pinto (aku) hanyalah ketua Cin-ling-pai...”

Semua orang makin kaget, apalagi melihat betapa di setiap peti kini terdapat bekas telapak tangan kakek itu yang tadi menepuk-nepuk peti mati, tampak tanda telapak tangan menghitam di atas peti, melesak sedalam satu senti seperti diukir saja!

Para anak murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang sudah lama mengenal ilmu silat maka mereka tentu saja mengerti bahwa tosu dan nenek yang agaknya seorang pertapa pula itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena jelas bahwa mereka itu menghina Cin-ling-pai dan bersikap memusuhi guru mereka, para murid itu sudah menjadi marah sekali dan siap untuk turun tangan mengeroyok! Akan tetapti dengan terjadinya peristiwa hebat itu membuat mereka seperti pasukan kehilangan komandan, merasa tidak berdaya dan bingung, sehingga kinipun mereka ragu-ragu dan menanti sampai seorang di antara mereka ada yang memulai. Tiba-tiba terdengar suara nyanyian dari luar, suaranya dekat sekali akan tetapi orangnya tidak nampak!

“Sikap, nama, harta dan kedudukan
bukanlah ukuran jiwa
seorang manusia,
semua itu hanya kulit belaka
yang tidak dapat menentukan
nilai isi.

Betapa banyaknya berkeliaran
di dunia
hartawan yang jiwanya miskin
pembesar yang jiwanya kecil
dan pendeta yang menumpuk dosa!”

Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut, saling pandang lalu membalikkan tubuhnya ke arah pintu depan. Kini tampak muncullah dua orang kakek lain, yang pertama amat menarik hati karena anehnya. Dia seorang kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya kedodoran terlalu besar, dan warna pakaiannya amat menyolok mata! Celananya kotak-kotak, bajunya kembang-kembang, kepalanya yang berambut putih itu tertutup kopyah seperti yang biasanya dipakai seorang bayi, mukanya selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar! Adapun orang kedua juga seorang kakek yang juga sudah tua, tentu sudah enam puluh tahun lebih, namun sikapnya masih gagah, tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya sederhana dan matanya sipit seperti dipejamkan.

Dua orang kakek yang baru datang ini agaknya tidak memperdulikan tosu dan tokouw (pendeta wanita) itu, mereka langsung bersembahyang seperti biasa, kemudian menaruh hio di tempat dupa depan peti. Akan tetapi tiba-tiba kakek yang pakaiannya aneh itu tertawa, menuding ke arah hio-hio yang tertancap di atas peti mati pertama tadi sambil berkata, “Ehh, dupa-dupa jahat, mengapa kalian begitu kurang ajar, berada di tempat yang tidak semestinya? Hayo kalian turun dan berkumpul dengan teman-temanmu di bawah!”

Ucapan ini sudah aneh, seperti ucapan seorang gila karena ditujukan kepada hio-hio itu. Akan tetapi kenyataannya lebih aneh lagi sehingga membuat semua orang melongo. Siapa yang tidak akan terkejut dan heran ketika mereka melihat betapa hio-hio yang tadi ditancapkan secara luar biasa oleh tokouw itu di atas peti mati yang keras, kini seolah-olah bernyawa dan hidup, mentaati perintah kakek berpakaian kembang-kembang, bergerak dan “berjalan” turun dari peti mati lalu menancapkan diri sendiri di tempat hio bersama hio-hio yang lain!

Sebelum orang-orang yang berada di situ habis keheranan mereka, kakek yang kedua itu, berjalan-jalan di antara peti-peti mati, berkata perlahan, “Hemm, mengapa buatan peti-peti ini demikian kasar sehingga masih ada telapak tangannya? Biar kuratakan.” Diapun mengusap dengan tangannya di atas bekas telapak tangan tosu tadi sehingga lenyaplah bekas-bekas telapak tangan menghitam tadi sungguhpun tentu saja permukaan peti yang sudah rusak itu tidak dapat menjadi rata dan halus kembali.

Tosu dan tokouw yang menyaksikan perbuatan dua orang kakek yang baru datang itu, terkejut dan maklum bahwa mereka berhadapan dengan dua orang pandai. Tosu itu menjura dari jauh dan berkata, “Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang bernama Cia Keng Hong?”

Kakek yang memakai baju kembang menjawab tertawa, “Pertanyaan aneh! Seorang tamu tidak mengenal tuan rumahnya. Betapa aneh! Kami berduapun hanya tamu, akan tetapi tentu saja kami mengenal Cia Keng Hong yang ternyata tidak berada di rumah.”

Tosu dan tokouw itu saling pandang. Mereka tidak ingin melibatkan diri dengan permusuhan terhadap orang-orang lain lagi yang begini lihai, sedangkan Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu saja sudah merupakan musuh yang amat tangguh.

“Kami hanya membutuhkan Cia Keng Hong, bukan orang lain!” Setelah berkata demikian, tosu itu menjura lalu melangkah keluar, diikuti oleh tokouw tadi. Dua orang kakek itu hanya memandang dan tidak berkata apa-apa. Setelah mereka yakin bahwa dua orang itu telah pergi jauh, kakek tinggi kurus dan yang lebih muda itu menghela napas panjang dan berkata, “Sungguh berbahaya...!”

Kakek berbaju kembang juga menghela napas. “Kita harus memetik buah dari pohon yang kita tanam sendiri, tak mungkin dapat dihindarkan lagi! Cinke (sebutan untuk besan) Cia Keng Hong di waktu mudanya menanam banyak sekali permusuhan sehingga sampai dia menjadi kakek-kakek sekalipun selalu masih ada musuh yang mencarinya! Sayang sekali...” Dia menggeleng-geleng kepala.




Para murid Cin-ling-pai sekarang baru berani maju den murid-murid tertua segera berlutut di depan dua orang kakek itu. Seorang di antara mereka berkata kepada kakek berbaju kembang, “Locianpwe, mengapa locianpwe tidak memberi hajaran kepada dua orang penjahat berpakaian pendeta tadi?”

Kakek itu tertawa. “Ho-ho-ho, mudah saja bicara! Kalian kira aku dapat menang melawan mereka? Aha, kalau tidak dengan sedikit permainan hoatsut (sihir) dan berhasil membikin jerih mereka, agaknya kalian sudah harus menyediakan sebuah peti mati baru lagi untuk mayatku!”

Para murid Cin-ling-pai itu mengenal kakek berbaju kembang ini karena kakek ini bukan lain adalah Hong Khi Hoatsu, seorang kakek aneh yang lihai dan ahli dalam ilmu hoatsut (sihir) yang selalu tertawa dan gembira, dan kakek ini sudah beberapa kali datang mengunjungi Cin-ling-pai karena dia adalah besan dari ketua Cin-ling-pai. Ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, mempunyai dua orang anak, yang pertama adalah Cia Giok Keng dan yang kedua adalah Cia Bun Houw yang kini sedang belajar memperdalam ilmu silatnya di Tibet. Anak pertama, seorang puteri yang bernama Cia Giok Keng telah menikah dengan murid yang sudah dianggap anak sendiri oleh Hong Khi Hoatsu, yaitu yang bernama Lie Kong Tek. Semua ini telah dituturkan dengan jelas di dalam cerita Petualang Asmara. Karena itu maka murid-murid Cin-ling-pai mengenal baik pendeta perantau berbaju kembang ini.

Adapun kakek kedua yang lebih muda dari Hong Khi Hoatsu, yang dengan usapan tangannya dapat meratakan kembali
permukaan peti-peti mati dari bekas telapak tangan tosu tadi, juga merupakan seorang tokoh besar dalam cerita Petualang Asmara. Namanya adalah Tio Hok Gwan, bekas pengawal dari Panglima Besar The Hoo. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan bertenaga besar sekali sehingga mendapat julukan Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati). Telah seringkali dia bekerja sama dengan Cia Keng Hong di waktu dahulu sehingga dia menjadi sahabat ketua Cin-ling-pai itu. Kakek ini sekarang telah pensiun, dia meninggalkan pekerjaannya sebagai pengawal beberapa tahun yang lalu semenjak Panglima Besar The Hoo meninggal dunia. Pengalaman orang she Tio ini hebat sekali, karena dia telah mengikuti perantauan Panglima The Hoo yang menjelajahi banyak negara aneh di seberang lautan, mengalami banyak pertempuran dan sudah menghadapi banyak sekali orang-orang yang memiliki kepandaian aneh dan hebat di bagian-bagian dunia lain di seberang lautan itu. Maka dia telah memiliki pandangan yang awas dan diapun maklum bahwa tingkat kepandaian tokouw dan tosu tadi amat tinggi dan andaikata terjadi bentrokan antara mereka dengan dia, dia tidak berani memastikan apakah dia akan keluar sebagai pemenang. Itulah sebabnya dia bersikap hati-hati dan membiarkan dua orang itu pergi, sungguhpun dia maklum bahwa dua orang itu tentulah musuh-musuh dari sahabatnya, Cia Keng Hong.

Sebagai besan dari ketua Cin-ling-pai,Hong Khi Hoatsu lalu dipersilakan duduk bersama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Kakek berbaju kembang itu lalu bertanya apa yang telah terjadi di Cin-ling-pai sampai lalu menceritakan tentang semua melapetaka yang terjadi dan menimpa perkumpulan itu. Terkejut juga hati kedua orang kakek itu mendengar bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri orang dan bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah Lima Bayangan Dewa yang memiliki kepandaian tinggi. Ketika mendengar bahwa pencuri pedang itu mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Tio Hok Gwan mengepal tinjunya.
31
“Ahh, pantas...! Aku pernah mendengar nama Dewa Tua Berlengan Delapan itu! Dia adalah sute dari datuk kaum sesat Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun) Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia-taihiap! Tentu dia datang mengacau Cin-ling-pai untuk membalas dendam kematian suhengnya. Akan tetapi, siapakah empat orang temannya yang bersama dia memakai nama Lima Bayangan Dewa itu?”

Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para murid Cin-ling-pai yang tahu.

“Yang mengetahui tentu hanya ketujuh orang suheng yang menjumpai mereka di restoran Koai-lo di Han-tiong, akan tetapi enam di antara mereka tewas dan yang seorang lagi luka parah...” murid Cin-ling-pai menerangkan.

“Di mana dia yang terluka itu? Biar kami memeriksanya,” Hong Khi Hoatsu berkata.

Dengan hati girang dan penuh harapan, para murid Cin-ling-pai lalu mengantarkan Hong Khi Hoatsu dan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan ke dalam kamar di mana Coa Seng Ki rebah dalam keadaan empas-empis napasnya dan mukanya pucat kebiruan, matanya terpejam. Beberapa orang murid Cin-ling-pai menjaga di kamar itu dengan muka penuh kekhawatiran karena biarpun mereka sudah berusaha sedapatnya untuk mengobati korban ini, tetap saja keadaan Coa Seng Ki tidak kelihatan menjadi baik. Mereka sudah menjadi putus asa dan mereka kini hanya menanti datangnya ketua mereka cepat-cepat dan mengharapkan Coa Sang Ki akan dapat bertahan sampai ketua mereka pulang. Orang termuda dari Cap-it Ho-han itu masih belum sadar, masih pingsan sejak dia rebah di ruang atas rumah makan Koai-lo sampai saat itu.

Hong Khi Hoatsu dan Tio Hok Gwan bergantian memeriksa keadaan Coa Sang Ki, akan tetapi mereka berdua segera maklum bahwa keadaan orang itu sudah tidak ada harapan lagi, bahwa luka-luka yang diderita oleh orang itu amat hebat dan tidak dapat disembuhkan lagi karena di sebelah dalam tubuhnya sudah terluka parah selain darahnya sudah keracunan. Paling lama Coa Seng Ki hanya akan bertahan sampai dua tiga hari lagi saja.

“Bagaimana pendapatmu, Hoatsu?” tanya Tio Hok Gwan kepada temannya.

Hong Khi Hoatsu menggeleng kepalanya. “Seperti telah kauketahui, dia tidak dapat disembuhkan lagi, luka-luka di sebelah dalam terlampau parah.”

Tio Hok Gwan menarik napas panjang. “Dan nama-nama empat orang di antara Lima Bayangan Dewa hanya dia yang mengetahui.”


Hong Khi Hoatsu mengerutkan alisnya. “Dengan kekuatan sihir mungkin aku dapat membuat dia sadar dan membantunya untuk menceritakan siapa adanya empat orang itu, akan tetapi pengerahan tenaga paksaan itu mungkin akan membuat luka-lukanya makin parah.”

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan berpikir sejenak, lalu berkata, “Betapapun juga, dia tidak dapat disembuhkan dan nama-nama empat orang penjahat itu amat penting untuk diketahui. Kalau dia dibiarkan demikian sampai mati, tidak ada gunanya sama sekali. Kurasa Hoatsu tentu mengerti akan hal ini.”

Hong Khi Hoatsu mengangguk. “Memang akupun berpikir demikian. Eh, bagaimana pendapat kalian?” tanyanya kepada para murid Cin-ling-pai yang menunggu di kamar itu.

Mereka saling pandang. Mereka tadi telah mendengarkan percakapan antara dua orang kakek itu dan mengerti apa yang mereka maksudkan. Kemudian seorang di antara mereka berkata, “Karena Ketua tidak ada dan Cap-it Ho-han yang mewakili suhu juga tidak ada lagi, yang ada hanya Coa-suheng yang sakit ini, maka kami semuapun tidak dapat mengambil keputusan. Terserah kepada Ji-wi locianpwe saja yang kami percaya sepenuhnya.”

“Baik, dan kamipun bertanggung jawab penuh terhadap cinke (besan) atas peruatan kami ini. Nah, mundurlah kalian, biarlah aku mencoba untuk menyadarkan dia. Siapa namanya tadi?”

Seorang murid memberitahukan nama si sakit kepada kakek aneh itu.

Hong Khi Hoatsu lalu mendekati si sakit, mengurut-urut dan memijit-mijit kepala dan punggung orang sakit itu, kemudian dengan kedua tangan terbuka, menggetar dan digerak-gerakkan di atas kepala si sakit, terdengar dia berkata, suaranya penuh wibawa dan mengandung getaran amat kuat sehingga semua orang yang berada di situ merasa seram dan ikut tergetar batinnya, terbawa oleh pengaruh yang terkandung di dalam suara itu.

“Coa Seng Ki...! Dengarkan baik-baik... dengar dan lakukan apa yang kuminta...! Aku mewakili suhumu, aku adalah besan suhumu, engkau harus taat kepadaku. Dengarkah engkau? Jawablah...!”

Semua mata ditujukan ke arah wajah Coa Seng Ki yang pucat membiru, wajah yang diam tidak bergerak seperti mayat. Perlahan-lahan tampaklah cahaya kemerahan membayang pada wajah itu, mula pada lehernya, terus naik ke atas pipi sampai ke dahinya, lalu bulu mata itu menggetar, bibir itu bergerak-gerak!

“Jawablah, Coa Seng Ki, jawablah... demi kesetiaan dan kebaktianmu kepada suhumu dan Cin-ling-pai, jawablah...!” Hong Khi Hoatsu berkata lagi, suaranya makin kuat dan kedua tangannya menggigil, mukanya penuh dengan keringat. Dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya yang membutuhkan penyaluran tenaga sakti dari dalam pusarnya dan dia harus menyatukan seluruh kemauannya untuk memaksa si sakit, seperti membangunkannya, seperti membangkitkan lagi orang yang sudah tiga seperempat mati ini untuk hidup kembali. Hal ini membutuhkan tenaga mujijat yang amat kuat sehingga kakek itu kelihatan berkeringat dan mukanya menjadi pucat, dari kepala yang tertutup kopyah itu mengepul uap putih. Diam-diam Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan memandang penuh kekhawatiran. Biarpun dia tidak mengenal ilmu hoatsut, akan tetapi dia maklum betapa kakek itu mengerahkan sin-kang sekuatnya, hal yang amat berbahaya, namun dia tidak berani membantu kalau-kalau malah mengacaukan usaha Hong Khi Hoatsu.

“Jawablah, Coa Seng Ki...! Apakah engkau mendengarku?”

Bibir yang bergerak-gerak dari si sakit itu kini bergerak makin lebar dan terdengar jawaban seperti bisikan, “...teecu (murid) mendengar...”

“Bagus, Coa Seng Ki, sekarang jawablah baik-baik semua pertanyaanku ini. Amat penting bagi suhumu kelak untuk mengetahui siapakah adanya empat orang yang membunuh enam orang suhengmu di restoran Koai-lo di kota Han-tiong. Siapakah Lima Bayangan Dewa itu?”
Hening sejenak. Bibir pucat itu tergetar hebat, menggigil seperti orang sakit kedinginan, kemudian terdengar jawaban yang lemah dan gemetar, namun cukup dapat dimengerti, “...iblis-iblis itu... Liok-te Sin-mo Gu Lo It... Sin-cian Siauw-bin-sian Hok Hosiang... Hui-giakang Ciok Lee Kim... ahhhh...” Suara itu kini berobah menjadi seperti suara orang mengeluh dan mengerang.

“Pertahankan, Coa Seng Ki. Siapa yang seorang lagi?”

Dada itu turun naik, terengah-engah dan akhirnya bibir itu dapat juga mengeluarkan suara lagi, “...Toat... beng... kauw... Bu Sit... dan orang pertama adalah... adalah... Pat-pi.... uhhhhh...!” Kini kepala itu terkulai lemas dan Hong Khi Hoatsu menurunkan kedua tangannya, cepat memeriksa nadi tangan dan meraba dada. Dengan muka pucat dan tubuh basah kuyup oleh peluhnya sendiri dia menggeleng kepala dan memandang kepada Ban-kin-kwi.

“Berakhirlah sudah...” katanya.

Tio Hok Gwan lalu menggunakan jari tangannya untuk menutupkan mata dan mulut yang agak terbuka itu dan terdengar isak tangis dari para anak murid Cin-ling-pai ketika mereka maklum bahwa Coa Seng Ki sudah menghembuskan napas terakhir!

“Harap kalian tidak terlalu berduka.” Hong Khi Hoatsu berkata setelah dia mengatur kembali pernapasannya. “Dia memang tidak dapat disembuhkan lagi dan kematiannya yang lebih cepat ini hanya mengurangi penderitaannya dan kalian harus berterima kasih kepadanya karena sebelum mati dia masih sempat meninggalkan nama para musuh besar itu.”


Dua orang kakek itu lalu keluar dari kamar, dan duduk di ruangan depan, sedangkan para anak murid segera mengurus jenazah Coa Seng Ki. Kini semua murid Cin-ling-pai tahu sudah siapa nama lima orang musuh besar itu, yang menamakan diri mereka Lima Bayangan Dewa. Karena biarpun orang pertama tidak sempat disebutkan namanya oleh Coa Seng Ki, namun mereka semua tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam.

“Sayang bahwa Cia-taihiap tidak berada di sini. Andaikata dia ada, tidak mungkin terjadi hal yang menyedihkan ini,” Tio Hok Gwan berkata. “Aku sudah terlalu tua, sudah malas untuk bertanding, akan tetapi mengingat akan malapetaka yang menimpa keluarga Cin-ling-pai, biarlah aku akan menyuruh puteraku untuk membantu, menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa itu dan membantu untuk menghadapi mereka. Aku akan pulang kembali ke kota raja, Hoatsu.”

Hong Khi Hoatsu mengangguk dan dia berkata, “Baiklah, Tio-taihiap. Dan aku sendiri akan pergi mengunjungi murid dan mantuku di Sin-yang. Siapa tahu kalau-kalau lima iblis itu akan mengganggu mantuku sebagai puteri cinke Cia Keng Hong.”

Yang dimaksudkan oleh Hong Khi Hoatsu itu adalah Cia Giok Keng, puteri Cia Keng Hong yang kini telah menjadi isteri Lie Kong Tek muridnya, dan suami isteri itu tinggal di kota Sin-yang di kaki Pegunungan Tapie-san. Maka berangkatlah dua orang kakek itu meninggalkan Cin-ling-san, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan menuju ke utara untuk pergi ke kota raja di mana dia hidup bertiga dengan putera tunggalnya dan isterinya yang jauh lebih muda darinya karena dia memang menikah agak terlambat, hidup di kota raja sebagai seorang pensiunan pengawal yang terhormat dan terjamin. Sedangkan Hong Khi Hoatau menuju ke timur untuk mengunjungi Sin-yang, tempat tinggal muridnya. Mereka berangkat setelah lebih dulu menghadiri pemakaman delapan jenazah murid-murid Cin-ling-pai itu.

***

Seluruh daerah Negara Tibet merupakan pegunungan yang sambung-menyambung, pegunungan yang tinggi dan luas sekali dengan Pegunungan Himalaya sebagai benteng yang panjang dan menjulang tinggi di perbatasan selatan. Ibu kota atau kota rajanya adalah Lhasa di mana terdapat istana kerajaan dan golongan yang paling berkuasa di sana adalah para pendeta Lama. Karena seperti lajimnya di dunia ini, yang berkuasa tentu memperoleh kedudukan tinggi dan mulia, maka tentu saja terjadi perebutan kekuasaan di antara para pendeta Lama sehingga terjadilah pemecahan dan terbentuklah golongan-golongan yang kadang-kadang saling bertentangan untuk memperoleh kekuasaan. Pada waktu itu, yang berkuasa di samping raja adalah para pendeta Lama golongan Jubah Kuning den kedudukan mereka sedemikian kuatnya sehingga tidak ada golongan lain yang berani memberontak.

Beberapa puluh li jauhnya dari Lhasa, di sebelah selatan, di mana sungai yang mengalir memasuki sungai besar Yalu-cangpo, terdapat sebuah kuil besar. Dahulu kuil ini menjadi pusat dari gerakan Lama Jubah Merah yang pernah memberontak akan tetapi berhasil dibasmi oleh pasukan Tibet yang dibantu oleh Pemerintah Beng (baca cerita Petualang Asmara). Kini para Lama Jubah Merah masih ada, namun mereka tidak lagi aktip dan hidup dengan penuh tenteram dan damai, bertani dan tekun hidup sebagat pertapa yang saleh.

Ketua dari para Lama yang jumlahnya hanya tinggal dua puluh orang lebih ini adalah seorang yang memiliki kesaktian
luar biasa dan bernama Kok Beng Lama. Di dalam cerita Petualang Asmara telah diceritakan bahwa Kok Beng Lama ini adalah ayah kandung dari Pek Hong Ing isteri dari Pendekar Sakti Yap Kun Liong. Usia pendeta Lama ini sudah delapan puluh tiga tahun namun tubuhnya masih sehat, kokoh kekar dan tinggi besar seperti raksasa. Karena ketuanya tidak mempunyai keinginan sesuatu, maka semua anggauta Lama Jubah Merah juga tidak menginginkan sesuatu kecuali hidup aman tenteram dan sehat di lembah pegunungan dekat sungai yang tanahnya subur itu. Melihat betapa Kok Beng Lama hanya tekun melatih ilmu kepada murid tunggalnya, maka para Lama itupun terbawa-bawa, tekun melatih ilmu-ilmu mereka yang memang sudah tinggi sehingga kepandaian mereka menjadi makin masak.

Murid tunggal dari Kok Beng Lama ini adalah Cia Bun Houw, putera dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. Semenjak berusia lima belas tahun, tepat seperti telah dijanjikan oleh Cia Keng Hong dan isterinya, maka Bun Houw dikirim ke tempat sunyi ini untuk belajar ilmu dari Kok Beng Lama selama lima tahun. Perjanjian ini diadakan ketika Bun Houw diculik oleh para Lama yang dulu memberontak kepada Pemerintah Tibet (baca cerita Petualang Asmara). Dengan amat tekunnya pendeta itu menurunkan ilmu-ilmunya yang paling tinggi, hasil penggemblengan ayah bundanya yang sakti di Cin-ling-pai. Pemuda itupun amat suka akan ilmu silat, maka diapun rajin sekali berlatih sehingga dengan mudahnya semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh gurunya dapat dia terima dan kuasai dengan mudahnya. Tanpa terasa, lima tahun telah hampir lewat selama Bun Houw hidup di tempat sunyi itu. Namun dia tidak merasa kesunyian karena dia diberi kebebasan secukupnya oleh gurunya, bahkan dia diperkenankan mengunjungi dusun-dusun di sekitar tempat itu sehingga dia dapat berhubungan dengan rakyat Tibet yang cara hidupnya aneh dan asing baginya. Berkat pergaulan ini, sebentar saja Bun Houw sudah pandai berbahasa Tibet dan setelah tinggal di situ selama lima tahun, dia telah mempunyai banyak kenalan dan sahabat.

Kini Cia Bun Houw telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Karena ayahnya dan ibunya dahulu terkenal sebagai pria yang tampan dan wanita ang cantik sekali, maka tidaklah mengerankan apabila pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang gagah dan wajah yang tampan pula. Dan berbeda dengan wata encinya, Cia Giok Keng, yang galak dan keras hati, sebaliknya watak pemuda in halus dan manis budi, romantis dan sama sekali tidak suka akan kekerasan! Agaknya watak ini terbina karena dia hidup selama lima tahun di tengah-tengah para Lama yang hidup penuh damai itu, dan pergaulannya dengan rakyat Tibet yang masih jujur, polos dan wajar sikapnya dalam cara hidupnya sehari-hari. Bun Houw suka akan segala yang indah-indah, dia dapat menikmati keindahan alam sampai berjam-jam tanpa bosan, melihat keindahan matahari terbit atau matahari terbenam, melihat keindahan kembang-kembang dan duduk termenung di pinggir sungai melihat air mengalir tiada hentinya sambil berdendang gembira

Kegagahannya, ketampanannya, dan kemanisan budinya itu tentu saja membuat semua orang suka kepadanya, terutama sekali dara-dara Tibet yang berwatak polos dan wajar. Diam-diam banyak sekali dara Tibet yang jatuh cinta kepada Bun Houw. Akan tetapi Bun Houw bersikap manis kepada mereka semua, dan terutama sekali kepada seorang dara puteri ketua dusun yang bernama Yalima, seorang dara berusia lima belas tahun, cantik rupawan seperti setangkai bunga teratai ungu. Demikian cantik dan selelu gembira dara ini sehingga Bun Houw merasa suka sekali kepada Yalima, dan seringkali dua orang muda ini berjalan-jalan, bersendau-gurauan, bahkan Bun Houw berkenan mengajarkan ilmu silat sekedarnya kepada dara ini. Atas permintaan Bun Houw, dara Tibet ini menyebutnya koko (kakak) sedangkan dia sendiri menyebut moi-moi (adik) kepada dara itu. Mereka masing-masing saling mengajar Bahasa Han dan Tibet, dan berkat bantuan dara inilah maka Bun Houw pandai bicara dalam Bahasa Tibet dengan lancar sedangkan Yalima, biarpun dapat juga mengerti Bahasa Han, namun dia hanya dapat mengucapkan kata-kata Han dengan kaku dan lucu. Tidak pernah ada sepatahpun kata cinta keluar dari mulut kedua orang muda ini, namun tidak saling berjumpa dua tiga hari saja mereka merasa tersiksa dan rindu!

Pada suatu senja, ketika Bun Houw sudah lelah berlatih ilmu pedang dan duduk beristirahat seorang diri di tempat yang disukainya, yaitu di sebuah puncak dari mana dia dapat menyaksikan matahari terbenam, pemuda ini termenung dan tenggelam ke dalam keindahan pemandangan alam yang dihadapinya. Jauh di balik puncak-puncak gunung di barat, matahari terbenam meninggalkan cahaya merah, kuning, biru yang luar biasa indahnya. Gumpalan-gumpalan mega dan awan yang biasanya berwarna kehitaman dan putih, kini terbakar oleh cahaya matahari itu menimbulkan percampuran warna sehingga terciptalah segala macam warna di dunia ini, terlukiskan di langit yang biru muda. Gumpalan-gumpalan awan itu menciptakan bermacam bentuk yang berubah-ubah dan bergerak perlahan, hampir tidak dapat diikuti pandangan mata sehingga bentuk-bentuk itu tahu-tahu berobah. Warna yang tidak menyilaukan mata, sedap dipandang dan amat berkesan di dalam hati. Keindahan yang baru, yang tidak ada hubungannya dengan keindahan matahari terbenam di waktu kemarin atau yang sudah-sudah karena memang tidak pernah sama. Keindahan yang hidup, tidak mati seperti lukisan tangan manusia.

“Koko...!”

Suara itu dikenalnya seketika. Siapa lagi yang memiliki suara merdu jernih seperti itu, yang menyebut kata “koko” dengan tekanan suara dan nada seperti itu kalau bukan Yalima? Suara yang merupakan keindahan baru bagi telinga, dan ketika dia menoleh dan memandang, agaknya keindahan alam di waktu matahari terbenam itu masih kalah indahnya oleh dara yang kini berdiri di depannya. Akan tetapi, mendadak Bun Houw meloncat bangun dan memandang dengan kaget dan heran. Wajah yang biasanya segar, dengan sepasang pipi merah muda, sepasang mata bersinar-sinar, bibir merah basah yang tersenyum manja penuh tantangan terhadap kehidupan, kini tampak layu dan tidak bersinar lagi, biarpun masih seindah matahari terbenam!

“Moi-moi! Ada apakah...?” tanyanya sambil meloncat mendekat dan memegang tangan yang halus kulitnya akan tetapi agak kasar telapak tangannya karena setiap hari harus bekerja berat itu.

Mendengar pertanyaan orang yang selalu dikenangnya ini, tiba-tiba Yalima menangis sesenggukan den menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw! Sejenak Bun Houw menengadah dan memejamkan matanya. Aneh rasanya! Baru sekali ini dia begitu dekat dengan Yalima, biarpun hampir setiap hari mereka bercanda. Dara ini merangkul pinggangnya dan mendekapkan muka pada dadanya, terisak menangis dengan penuh kesedihan.

Bun Houw menekan jantungnya yang berdebar tegang, kini kekhawatiran menguasai hatinya dan melupakan ketegangan yang aneh itu. Tangannya mengusap rambut yang hitam halus dan amat panjang, dikuncir menjadi dua itu. Diusapnya rambut di kepala yang berbau harum bunga itu.

“Aih, moi-moi, tenangkanlah hatimu dan ceritakan apa yang terjadi maka engkau yang belum pernah kulihat menangis menjadi begini berduka. Ceritakanlah dan aku pasti akan menolongmu.”

Mendengar ucapan ini, Yalima melepaskan rangkulan kedua lengannya pada pinggang pemuda itu dan melangkah mundur. Mukanya menjadi merah sekali, matanya juga agak merah dan air mata membasahi kedua pipinya, juga baju dalam Bun Houw menjadi basah. Sepasang alis kecil hitam melengkung indah seperti dilukis itu agak berkerut, akan tetapi terkilas di pandang matanya sikap yang agak canggung dan malu, agaknya baru teringat olehnya betapa tadi dia memeluk pemuda itu dan mendekap begitu erat.

Bun Houw menuntun tangan dara itu duduk di atas batu-batu licin bersih yang sering mereka pergunakan sebagai bangku-bangku di waktu mereka bercakap-cakap dan bersendau gurau di situ. Bun Houw mengeluarkan sehelai saputangan bersih dan kering dari sakunya karena dara itu memegang saputangan yang sudah basah semua.

“Keringkanlah air matamu dan hidungmu!” katanya tersenyum menghibur.

Yalima menerima saputangan itu, menyusut air matanya, juga hidungnya karena di waktu menangis tadi, bukan hanya matanya yang mengeluarkan air, melainkan juga hidungnya. Tanpa malu-malu karena memang mereka sudah akrab, Yalima menyusut hidungnya yang kecil mancung, kemudian dia mengembalikan saputangan yang menjadi basah itu akan tetapi sebelum Bun Houw menerimanya, dia sudah menariknya kembali dan berkata, suaranya agak parau karena tangis, “Biar kucuci dulu!”

“Ahh, mengapa pula kau ini? Tidak usah dicuci juga tidak apa!” Bun Houw mengambil kembali saputangannya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.

“Terima kasih...” dara itu berkata, menyedot hidungnya dan menahan isak.

“Moi-moi, apakah yang terjadi? Kau mengejutkan hatiku benar.”

“Koko, benarkah engkau akan menolongku?”

“Tentu saja!”


Gadis cilik itu menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. “Tidak mungkin, koko. Kau tidak akan bisa menolongku.”

“Ceritakanlah dulu apa persoalannya, jangan kau mudah putus harapan.”

Dara itu memandang wajah Bun Houw, lalu tiba-tiba dia memegang tangan pemuda itu, dikepalnya tangan kanan pemuda itu dengan jari-jari kedua tangannya yang kecil, diguncangnya dan didekapnya sekuat tenaganya ketika dia berkata, “Koko, kautolonglah aku, tolonglah aku! Ayah hendak membawaku ke Lhasa!”

Bun Houw memandang aneh. “Ah, mengapa engkau minta tolong? Bukankah sudah sering engkau diajak ayahmu ke Lhasa?”

“Akan tetapi sekali ini untuk selamanya, koko. Aku tidak akan kembali kesini lagi.”

“Eh? Mengapa begitu?”

“Aku... aku... akan dihaturkan kepada seorang pangeran...” Gadis itu kembali terisak dan memandang Bun Houw dengan mata basah. “Koko, kautolonglah aku... akan tetapi... bagaimana mungkin... ahh, bagaimana baiknya, koko?”

Bun Houw memegang kedua pundak dara itu sambil temenyum. “Engkau ini aneh sekali, moi-moi. Setiap orang wanita di daerah ini tentu akan menceritakan berita ini sambil tertawa-tawa penuh bahagia. Bukankah setiap wanita, terutama setiap orang gadisnya di daerah ini selalu mengharapkan agar dapat dihaturkan kepada seorang pangeran yang berkuasa di Lhasa? Kau akan berganti pakaian indah setiap hari, tidak usah bekerja di sawah dan bekerja berat, berenang di atas uang dan perhiasan, terhormat dan senang...”

“Aku tidak mau! Aku tidak suka!”

“Hemm, kau lebih suka tetap menjadi seorang petani miskin di sini...?”

“Biar! Aku lebih suka menjadi petani miskin di sini!”

“Dan... kelak menikah dengan seorang petani miskin pula, selama hidup menderita kurang makan dan pakaian?”

“Tidak! Ayahku kepala dusun, dia sudah cukup...”

“Tetap saja kelak engkau akan menikah dengan seorang petani...”

“Tidak! Aku tidak sudi menikah dengan petani!”

“Habis, dapat pangeran tidak mau, petani tidak mau...”

“Pendeknya aku tidak mau pergi meninggalkan tempat ini, tidak mau pergi meninggalkan engkau, koko!”

Bun Houw tersentak kaget, sejenak termenung memandang langit yang sudah mulai gelap, cahaya kemerahan sudah mulai menipis. Dara itu terisak lagi.

“Moi-moi, bagaimana... aku dapat menolongmu?”

“Hu-hu-huuuk... aku sudah tahu... kau tak dapat menolongku... hu-huuh!” Yalima menangis lagi.

“Tenang dan dengarlah, moi-moi. Aku akan berusaha. Besok aku akan menemui ayahmu dan membujuknya. Akan tetapi lebih dulu ceritakan, mengapa ayahmu yang telah menjadi kepala dusun, yang tidak kekurangan sesuatu, hendak mempersembahkan engkau kepada seorang pangeran?”

Yalima menyusuti air matanya dan menghentikan tangisnya, kemudian setelah berulang kali menghela napas dia berkata, “Seperti telah kauketahui, koko, aku mempunyai dua orang kakak laki-laki. Ayah ingin agar kedua orang kakakku berhasil memperoleh kedudukan baik kelak di Lhasa dan jalan satu-satunya hanyalah memasukkan mereka bekerja membantu seorang pangeran yang berpengaruh. Untuk mengambil hati pangeran itu, uang tidak ada gunanya karena kekayaan ayah hanya sedikit dan pangeran itu tidak membutuhkan uang. Maka ayah lalu mengambil keputusan untuk mempersembahkan aku kepadanya. Pangeran itu amat berpengaruh sehingga kalau aku dapat berada di sana tentu semua keluarga akan terangkat dan terutama kedua orang kakakku akan mudah memperoleh kedudukan yang baik. Pangeran itu kabarnya tua sekali, akan tetapi kedudukannya tinggi. Aku tidak suka, koko, sungguh mati, aku tidak suka!”

Bun Houw menarik napas panjang. “Moi-moi, ingatkah engkau bahwa kita pernah membicarakan nasib wanita di sini? Di sini, bahkan juga di negeriku sana, wanita seperti barang dagangan saja, tidak seperti manusia. Wanita tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib dirinya sendiri, hanya menurut saja kepada orang tua untuk diberikan atau dijual kepada siapapun juga. Jelas bahwa demi kemakmuran keluargamu, engkau hendak dikorbankan, dijual dengan cara halus kepada pangeran itu oleh ayahmu. Dan tentu ayahmu menganggap hal itu wajar dan baik saja, karena kebiasaan itu telah berjalan ratusan tahun. Kaulah yang aneh dan dianggap salah kalau kau menolak, hal itu dianggap sebagai suatu pemberontakan terhadap kebiasaan yang sudah turun-menurun dan dianggap tidak berbakti terhadap orang tua.”

“Akan tetapi aku tidak suka meninggalkan... engkau, koko!”


Bun Houw menggigit bibirnya, hatinya terguncang tanpa dia tahu mengapa. Ucapan itu seperti menusuk hatinya. “Moi-moi, aku akan menemui ayahmu besok pagi. Sekarang pulanglah agar engkau tidak dicari dan dimarahi ayahmu. Biasanya dia sangat suka dan hormat kepadaku, siapa tahu dia akan mendengar bujukanku dan merobah niatnya itu.”

“Ah, terima kasih, koko! Malam ini aku tidak akan tidur, aku akan bersembahyang semalan suntuk agar ayah suka menurut kata-katamu.” Setelah berkata demikian, dara itu bangkit berdiri, melepaskan tangan Bun Houw perlahan-lahan dan ragu-ragu seolah-olab dia merasa sayang melepaskannya, kemudian dia barlari dari situ dengan lincahnya.

Sampai lama Bun Houw mengikuti bayangan dara itu menurunt puncak. Setelah bayangan itu menghilang di balik batu besar, barulah dia bangkit berdiri dan dengan gerakan cepat sekali dia berlompatan dan berlari-lari pulang ke kuil. Hatinya terasa tidak enak sekali sehingga malam itu dia tidak bisa makan dan setelah berada di dalam kamarnya dia tidak dapat tidur nyenyak. Sepanjang malam dia gelisah dan kalau dapat pulas terganggu oleh mimpi buruk tentang Yalima. Hatinya gelisah dan penuh penasaran mengingat betapa Yalima akan diberikan sebagai sebuah benda berharga kepada seorang pangeran tua. Terbayang olehnya betapa dara muda itu dengan penuh kengerian harus menyerahkan diri dijadikan barang permainan seorang pangeran tua! Betapa mengerikan!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah keluar dari kuil dan berlatih silat pedang di belakang kuil. Hatinya penuh dengan rasa penasaran yang mendekati kemarahan. Bayangan betapa Yalima menangis dan meronta-ronta dalam pelukan seorang pangeran tua, merintih dan minta tolong kepadanya, membuat Bun Houw seperti diamuk api yang panas hatinya. Dia bersilat pedang dengan amat ganasnya. Pedang di tangannya lenyap berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung amat panjang dan lebarnya, menimbulkan angin yang mengeluarkan bunyi bercuitan memekakkan telinga, dan daun-daun pohon tergetar bahkan ujungnya berhamburan ke bawah seperti dibabat senjata tajam ketika pedang itu bergerak dengan sinarnya ke atas. Berkali-kali Bun Houw meneriakkan bentakan-bentakan nyaring seolah-olah dia sedang
merobohkan semua orang yang sedang memaksa Yalima menuju ke pelukan pangeran tua. Akan tetapi, betapapun kemarahan menguasai dirinya, dia tidak melupakan ilmu pedang yang diajarkan oleh gurunya, bahkan dengan semangat meluap-luap dia mencoba mainkan jurus simpanan yang amat sukar dilatih, yaitu jurus rahasia yang oleh suhunya dinamakan jurus Hong-tian-lo-te (Angin dan Kilat Mengacau Bumi). Tiba-tiba terdengar bunyi berdesing, pedang itu melayang ke udara dan pada saat itu, kedua tangan Bun Houw terkepal, dengan tenaga sin-kang yang dahsyat kepalan kirinya menghantam ke arah pohon besar den kepalan tangan kanannya melayang ke arah batu di tempat itu.

“Krakkk...! Pyarrrr...!” Pohon itu tumbang dan batu pecah berhamburan, sedangkan pedang itu sudah melayang turun kembali, cepat disambar oleh tangan kanan pemuda itu dan empat kali pedang berkelebat maka sisa batang pohon terbabat putus dua kali dan sisa batu juga pecah dua kali oleh pedang itu! Mata Bun Houw terbelalak dan mukanya agak pucat, terkejut bukan main dia menyaksikan akibat latihannya mainkan jurus ampuh itu. Bukan saja jurus itu dapat dia mainkan dengan baik, juga sesaat tadi dia lupa sama sekali, lupa diri sehingga dia merusak pohon dan batu yang sama sekali tidak bersalah, bahkan yang merupakan penghias tempat itu. Dengan mata kosong dia memandang bekas tempat pohon dan batu besar dan merasa malu kepada diri sendiri. Dia mengerti bahwa kebingungan dan kemarahan membuat dia lupa diri dan bertindak seperti orang gila.

“Omitohud... mengerikan sekali engkau mainkan Hong-tian-lo-te!”

Bun Houw membalikkan tubuhnya dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama.

“Harap suhu sudi memaafkan teecu. Teecu telah berhasil melatih Hong-tian-lo-te, akan tetapi teecu telah merusakkan batu dan pohon ini.”

“Siancai... engkau pinceng (aku) lihat seperti sedang kemasukan setan. Muridku, ayo cepat katakan kepada gurumu, mengapa engkau tiba-tiba berubah menjadi pemarah seperti ini!”

Bun Houw tidak sanggup mengelabui pandang mata gurunya yang biarpun tua masih amat tajam itu, dan iapun berpendapat bahwa mungkin gurunya dapat memberi jalan yang baik bagaimana agar Yalima tidak sampai dipaksa menjadi selir pangeran tua di Lhasa.

“Memang teecu sedang merasa penasaran sekali, suhu, mendengar cerita seorang sahabat teecu bernama Yalima puteri kepala dusun di bawah puncak. Dia hendak dipersembahkan kepada seorang pangeran tua di Lhasa, padahal anak itu tidak mau dan dia kemarin telah menemui teecu dan sambil menangis minta tolong kepada teecu. Karena merasa tidak sanggup menolongnya, maka teecu menjadi penuh penasaran sehingga ketika berlatih tadi tanpa disadari teecu telah melampiaskan kemarahan den rasa penasaran teecu...”

“Terhadap sebatang pohon dan sebongkah batu yang tidak berdosa. Ha-ha-ha! Betapa lucunya! Coba ceritakan dengan jelas kepada pinceng.”

Bun Houw lalu menceritakan kepada suhunya tentang diri Yalima dengan suara penuh semangat. Gurunya mendengarkan sambil tersenyum. Setelah Bun Houw selesai bercerita, dia bertanya, “Lalu, apa yang hendak kaulakukan untuk menolong gadis itu?”

“Teecu hendak menjumpai ayahnya yang telah teecu kenal dengan baik dan teecu hendak membujuknya agar dia mengurungkan niatnya itu.”

Kembali Kok Beng Lama tertawa bergelak, kemudian dia meninggalkan muridnya setelah berpesar agar muridnya melanjutkan latihannya pagi hari itu, setelah selesai latihan baru boleh pergi. Bun Houw lalu berlatih penuh semangat dan latihan yang sungguh-sungguh ini membuat tubuhnya lelah dan tidak memberi kesempatan kepada pikirannya untuk membayangkan hal yang amat tidak disukanya, yaitu bayangan Yalima dalam pelukan pangeran tua!


Setelah selesai berlatih, barulah dia bertukar pakaian sehabis mandi bersih, lalu dia meninggalkan kuil, turun dari puncak menuju ke dusun tempat tinggal Yalima dan langaung mendatangi rumah kepala dusun yang merupakan rumah terbesar di dusun itu.

Kepala dusun menyambutnya dengan ramah dan mempersilakannya duduk di ruangan dalam, Bun Houw sudah amat dikenal di dusun itu, dan sudah beberapa kali dia datang di rumah kepala dusun ini untuk bercakap-cakap. Ketika dia duduk, dia melihat Yalima dengan muka masih pucat namun mata bersinar penuh harapan berkelebat di ruangan belakang, memandang kepadanya. Keraguan hatinya lenyap dan ketika tuan rumah menanyakan keperluannya datang di rumah itu, dengan suara tenang Bun Houw berkata, “Harap paman memaafkan saya. Kedatangan saya ini ada hubungannya dengan berita yang saya dengar bahwa paman hendak mempersembahkan adik Yalima kepada seorang pangeran tua di Lhasa, benarkah berita itu?”

“Wahai orang muda! Urusan ayah dengan anak perempuannya sebetulnya adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Akan tetapi karena engkau adalah orang Han, maka biarlah tidak mengapa, apalagi memang engkau adalah murid tunggal yang mulia Kok Beng Lama dan sahabat baik puteriku. Memang benar berita itu, Cia-kongcu (tuan muda Cia).”

“Maaf, paman. Akan tetapi, Yalima tidak suka dipersembahkan kepada pangeran tua itu, mengapa harus demikian?”

Orang tua itu menarik napas panjang. “Ahh, kongcu tidak mengerti keadaan kami di sini. Satu-satunya harapan bagi rakyat Tibet untuk dapat hidup terpandang dan kecukupan hanyalah apabila bisa memperoleh kedudukan di Lhasa dan jalan satu-satunya untuk itu hanya melalui orang-orang yang mempunyai pengaruh seperti para pangeran. Saya hanya seorang kepala dusun yang miskin dan tidak ada cara lain untuk dapat mendekati seorang pangeran kecuali melalui anak perempuanku yang kebetulan terlahir cantik menarik. Hanya itulah modal kami, kongcu. Kalau kami melakukan persembahan itu, yang kuyakin akan diterima karena Yalima amat cantik menarik, maka kami sekeluarga akan hidup bahagia. Yalima akan menjadi seorang wanita bangsawan yang terhormat dan kaya raya, orang tuanya juga akan terangkat derajatnya sedangkan dua orang kakaknya akan memperoleh kedudukan mulia di sana.”

“Tapi... tapi... kesenangan keluarga paman didapatkan dengan mengorbankan Yalima! Itu tidak adil namanya! Yalima akan hidup menderita tekanan batin karena dia tidak suka menjadi selir pangeran tua.”

“Sebagian besar gadis muda juga begitu sebelum mereka tiba di Lhasa. Akan tetapi setelah berada di sana, mereka akan merasa bangga dan gembira sekali. Pula, apakah kongcu melihat jalan lain agar keluarga kami dapat hidup baik sampai keturunan kami kelak?”

Bun Houw tidak mampu menjawab. Sampai lama dia mengerutkan keningnya, lalu dia berkata, “Betapapun juga, perbuatan ini tidak adil dan kejam, paman!”

“Hemm, Cia-kongcu. Hanya ada satu jalan, dan agaknya kalau kongcu sudah demikian memperhatikan nasib Yalima, tentu berarti kongcu mencintanya, bukan?”

Bun Houw terkejut bukan main seperti disengat ular berbisa. Hampir dia meloncat dari bangku yang didudukinya.

“Me... mencinta...?” teriaknya.

“Tentu kongcu mencinta anak kami.”

“Aku... aku tidak tahu... saya suka kepadanya dan kasihan, paman.”

“Begini, Cia-kongcu. Kalau kongcu mencintanya dan kongcu suka mengambilnya sebagai isteri, nah... biarlah saya akan membatalkan niat mempersembahkan dia kepada pangeran tua di Lhasa. Mempunyai mantu seperti kongcu juga sudah mengangkat derajat kami dan kelak kami harap kongcu dapat membantu kedua orang kakaknya itu.”

Bun Houw tercengang dan melongo seperti seekor monyet mendengar petasan. “Ini... ini... saya tidak bisa memutuskan begitu saja, paman. Ini... ini adalah urusan penting yang harus disetujui orang tuaku dan... dan seujung rambutpun saya belum memikirkan untuk menikah...”

Kepala dusun itu menarik napas panjang. “Kalau begitu, apa boleh buat... kami harus membawanya ke Lhasa.”

Bun Houw merasa diperas den dia berkata dengan muka merah. “Terserah kepada paman karena dia adalah puteri paman. Yalima tentu akan memaafkan saya karena saya sudah berusaha membujuk paman. Kalau paman berkeras hendak menjual puteri sendiri, saya tidak bisa melarang, hanya saya selamanya akan menganggap bahwa paman adalah seorang ayah yang amat keji! Selamat tinggal, paman.”

“Eh, nanti dulu, orang muda!” Kepala dusun itu berkata dan ikut bangkit pula. “Duduklah dulu dan jangan tergesa-gesa.” Bun Houw duduk kembali karena sadar bahwa sikapnya terlampau kasar, hal ini terdorong oleh kecemasannya memikirkan nasib Yalima.

“Semua ucapan kongcu berkesan sekali di hati saya, karena merupakan hal yang baru pertama kali ini terjadi. Selamanya belum pernah ada orang menganggap seorang ayah berlaku keji terhadap puterinya yang dipersembahkan kepada pangeran! Dan juga baru sekarang ini ada orang luar berani mencampuri urusan antara ayah dan anak perempuannya. Baiklah kongcu. Selama kongcu menjadi sahabat kami dan sahabat puteriku Yalima, selama kongcu berada di sini, saya berjanji tidak akan mengantar Yalima ke Lhasa.”


Hati Bun Houw sudah sedemikian girangnya sehingga dia tidak mendengarkan dengan teliti. Dia meloncat den merangkul kepala dusun itu, menepuk-nepuk pundaknya, bahkan hampir saja dia suka mencium pipi yang brewokan itu saking gembira hatinya. “Terima kasih, paman. Terima kasih...!” katanya girang dan khawatir kalau-kalau kepala dusun itu akan menarik kembali janjinya yang tak disangka-sangkanya itu, dia segera berpamit dan kembali ke kuil.

“Suhu, teecu berhasil! Teecu berhasil!”

Kok Beng Lama memandang muridnya yang bersorak-sorak seperti anak kecil itu dengan mulut tersenyum. Tentu saja dia sudah tahu akan semua yang terjadi di rumah kepala dusun, karena sebetulnya muridnya mengunjungi ayah Yalima tadi, dia sudah lebih dulu menemui kepala dusun itu dan semua jawaban kepala dusun termasuk janjinya kepada Bun Houw adalah menurut petunjuknya yang ditaati sepenuhnya oleh kepala dusun itu!

“Bun How, cinta benarkah engkau kepada dara itu?”

Seperti tadi ketika mendengar perkataan tentang cinta dari kepala dusun, kini Bun Houw terkejut, bahkan lebih kaget daripada tadi karena yang berkata adalah suhunya.

Seluruh mukanya berubah menjadi merah ketika dia mengangkat muka memandang wajah gurunya. “Suhu... teecu suka dan kasihan kepada adik Yalima...”

“Itu tandanya cinta, maka engkau membelanya mati-matian.”

“Teecu tidak tahu, teecu tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan cinta, dan tentang pembelaan itu... andaikata Yalima itu seorang gadis lain yang mengalami nasib sama, hendak dipaksa diluar kehendaknya dipersembahkan kepada seorang pangeran tua, agaknya teecu juga akan membelanya. Apalagi dia yang selama ini menjadi sahabat baik teecu...”

Kok Beng Lama menghela napas. “Pinceng mengerti, muridku. Akan tetapi, pembelaanmu ini tentu saja menimbulkan harapan-harapan di dalam hati keluarganya, dan di dalam hati dara itu sendiri.”

Bun Houw tidak mengerti dan menjaweb seperti hendak membela diri, “Dia menangis dan minta pertolongan teecu...”

“Sudahlah, Bun Houw. Memang sebaiknya kalau kau tidak jatuh cinta kepada dara itu, karena hal itu hanya akan mendatangkan keruwetan saja dalam hidupmu. Ah, agaknya engkau lupa bahwa waktu yang kita janjikan, yaitu lima tahun, telah lewat tanpa terasa oleh kita. Kurasa dalam hari-hari mendatang ini ayahmu akan datang untuk menjemputmu pergi dari sini.”

“Ohhh...! Sudah lima tahun?” Bun Houw terkejut, akan tetapi juga girang. Betapa selama ini dia sering merindukan ayah bundanya, merindukan Cin-ling-san den para anak murid Cin-ling-pai. Setelah kini dia hampir dapat melupakan kerinduannya karena kehidupan yang mulai menarik di Tibet, tahu-tahu lima tahun telah lewat den dalam waktu singkat dia akan ikut ayahnya kembali ke Cin-ling-san! “Aihh, teeeu senang tinggal di sini, suhu, dan teecu sedang berlatih dengan giat...”

“Muridku, ada waktunya berkumpul tentu akan tiba saatnya berpisah. Mengenai ilmu, semua ilmu yang kukenal telah kuberikan kepadamu, dan ditambah dengan ilmu yang kaupelajari dari ayahmu, kiranya engkau sekarang telah melebihi pinceng sendiri. Nah, kau bersiap-siaplah sebelum ayahmu tiba-tiba datang mengajakmu pergi agar engkau tidak menjadi kaget.”

Bun Houw pergi meninggalkan suhunya dengan perasaan tidak karuan rasanya. Ada rasa girang, akan tetapi juga ada rasa sedih meninggalkan tempat yang mulai disukanya itu. Dia naik ke puncak yang menjadi tempat kesukaannya itu dan duduk termenung di atas batu. Apalagi ketika tempat ini, mengingatkan dia kepada Yalima karena baru kemarin dara itu menangis dan menemuinya di tempat ini, seketika kegembiraannya untuk pulang ke Cin-ling-san lenyap. Teringatlah dia sekarang mengapa Yalima menolak dan menangis ketika hendak dibawa pergi ke Lhasa oleh ayahnya, apa kata gadis itu? Bahwa Yalima tidak bisa meninggalkan tempat ini, tidak bisa meninggalkan dia! Dan sekarang tiba giliran dia yang harus pergi dan dia merasa betapa beratnya meninggalkan pegunungan ini, betapa beratnya meninggalkan Yalima!

“Houw-ko (kakak Houw)...!”

Bun Houw menengok dan tersenyum melihat Yalima berlari-lari naik ke puncak itu. Ketika tiba di depannya, seluruh wajah yang halus itu kemerahan dan napasnya terengah-engah karena dia tadi lari terus pada jalan yang mendaki. Betapa segarnya sepasang pipi itu, kemerahan seperti digosok yanci. Betapa beningnya sepasang mata yang bersinar-sinar itu, bagian putihnya amat bersih dan manik hitamnya berkilauan. Dan mulut itu. Tersenyum lebar, segar kemerahan dan amat manisnya, dengan bibir basah dan penuh, terhias lesung pipit di sebelah kiri ujung mulut.

“Koko, terima kasih...” katanya dan langsung dia berlutut di depan Bun Houw sambil memegang tangan pemuda itu, digenggamnya erat-erat dengan kedua tangannya. “Terima kasih, Houw-ko. Engkau telah menghidupkan kembali Yalima!”

Bun Houw tersenyum. Rasa kebahagiaan yang aneh dan hangat menyelinap ke dalam hatinya, terasa benar olehnya. Dia membalas genggaman jari-jari tangan kecil itu dan berkata, “Aku girang melihat engkau bergembira, Yalima adikku yang manis.”

Sambil mengguncang-guncang tangan Bun Houw karena gelora perasaannya, dara itu bercerita, “Aku mendengarkan semua percakapan antara engkau dan ayah! Aku bersembunyi di balik bilik itu dan tahukah apa yang menjadi keputusanku di saat itu? Kalau engkau tidak berhasil, kalau ayah bersikeras memaksaku, aku akan bunuh diri!”

“Aihh, moi-moi...!”



Benar, koko. Akan tetapi ketika mendengar ayah akhirnya berjanji padamu tidak akan membawaku ke Lhasa, hampir aku berteriak-teriak saking senangku, akan tetapi aku tidak berani berteriak dan aku hanya menari-nari saja. Ahh, Houwko... engkau membikin aku bahagia sekali, sampai mati aku tidak akan melupakan pertolonganmu, koko!” Terdorong oleh gelora hatinya yeng penuh kelegaan dan kebahagiaan, merasa telah terlepas dari ancaman yang amat mengerikan baginya, Yalima lalu membawa tangan pemuda yang digenggamnya itu ke depan mukanya, dibelainya dengan hidung, bibir, dan pipinya.

Jantung Bun Houw berdebar keras, tangannya yang diciumi oleh dara itu menjadi gemetar dan dia cepat-cepat menarik tangannya, lalu merangkul sehingga Yalima rebah di atas dadanya dan tidak dapat lagi menciumi tangannya. Yalima seperti tidak bertulang lagi, begitu lemas dan lunak rebah di atas dadanya, kepalanya bersandar di atas dada dan kedua lengan Bun Houw tanpa disengaja memeluk pinggangnya. Yalima juga melingkarkan kedua lengan di atas lengan pemuda itu, memegangi tangannya seolah-olah tidak ingin kedua lengan pemuda itu terlepas lagi dari rangkulan pada punggungnya. Duduk seperti itu, bersandar di dada dan dipeluk pinggangnya, mendatangkan rasa aman dan nyaman, dia merasa seperti terayun-ayun di antara gumpalan awan putih di langit biru, begitu penuh damai, tenteram bahagia dan bebas dari segala ancaman. Yalima memejamkan matanya, takut kalau-kalau yang dialaminya ini hanya mimpi lagi saja seperti yang terlalu sering dia mimpikan, dia tidak ingin pengalaman ini, biar dalam mimpi sekalipun, untuk berakhir, ingin rebah seperti itu selama hidupnya!

Sampai lama dua orang muda itu duduk seperti itu. Bun Houw di belakang, Yalima di depan setengah rebah di dadanya, kedua lengannya melingkari pinggang yang amat kecil itu dan jari-jari tangan Yalima tergetar-getar dan halus seperti anak-anak ayam yang baru menetas, hinggap di atas kedua tangannya. Juga Bun Houw memejamkan matanya, tenggelam timbul di antara kenikmatan dan kesungkanan, dibuai oleh gelora hatinya sendiri. Getaran-getaran aneh di tubuhnya membuat Bun Houw merasa cemas juga, dan dia mengambil keputusan untuk memecahkan kesunyian yang nikmat namun mencemaskan itu dengan kata-kata yang keluar agak tersendat dan gemetar.

“Moi-Moi, aku... dapat merasakan kedukaanmu ketika hendak pergi, karena... akupun merasa demikian... setelah diingatkan suhu bahwa akupun akan pergi dari sini...!”

Jerit halus meluncur keluar dari mulut Yalima dan dengan gerakan cepat seperti seekor ular dia membalikkan tubuhnya menghadapi Bun Houw. Demikian cepat gerakannya sehingga kedua lengan Bun Houw masih melingkari pinggangnya dan kini kedua tangan dara itu mencengkeram dada baju Bun Houw, mukanya begitu dekat hampir bersentuhan dengan muka Bun Houw dan kedua matanya memandangi penuh selidik dan penuh kecemasan seperti mata seekor kelinci yang ketakutan dikejar harimau.

“Apa katamu, koko? Kau... kau mau pergi...? Pergi meninggalken tempat ini, meninggalkan... aku...?” Suaranya tersendat-sendat, muka yang tadi kemerahan dan berseri itu kini menjadi pucat.

Bun Houw merasa betapa kecemasan hebat terbawa oleh pertanyaan itu, dan begitu dekatnya muka dara itu sehingga hembusan napasnya dan hawa ketika berkata-kata itu terasa meniup pipinya dengan halus. Dia hanya mengangguk, akan tetapi anggukan ini datang seperti palu godam menghantam kepala Yalima.

“Houw-ko... eh, Houw-ko, aku ikut...! Kalau kau pergi, bawalah aku, Houw-ko... biar aku akan menjadi pelayanmu, menjadi budakmu, menjadi apa saja... akan tetapi bawalah aku bersamamu...”

Melihat sepasang mata lebar dan indah itu terbelalak penuh kecemasan, hidung yang kecil mancung itu kembang kempis cupingnya seperti mau menangis, mulut yang mungil dengan bibir yang merah basah itu tergetar dan gigi-gigi kecil putih seperti mutiara menggigit bibir bawah yang merah penuh seolah-olah mudah pecah itu untuk menahan tangis, Bun Houw merasa terharu sekali.

“Hushhh... moi-moi... hushhh, jangan berkata begitu, Yalima...”

“Bawalah aku bersamamu, koko, biar aku menjadi anjingmu, kudamu dan akkk..”

Yalima tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Bagaimana dia dapat mengeluarkan kata-kata kalau mulutnya yang setengah ternganga itu tiba-tiba saja ditutup oleh mulut Bun Houw? Pemuda ini selama hidupnya belum pernah mengenal cinta, selama hidupnya baru ini berdekatan dengan seorang dara, dan tentu saja dalam mimpinyapun belum pernah mencium seorang wanita, apalagi beradu mulut seperti itu. Tadi ketika mendengar ucapan Yalima yang rela menjadi anjing atau kudanya, dia tidak tahan untuk menghentikan kata-kata yang merendahkan diri itu. Kedua tangannya masih memeluk pinggang, dan dia setengah mati terpesona oleh keindahan mulut yang berada demikian dekatnya, mulut yang mengeluarkan kata-kata yang harus dihentikannya itu, maka agaknya hanya naluri saja yang menggerakkan dia untuk menghentikan kata-kata itu dengan menutup mulut Yalima dengan mulutnya sendiri!

Yalima merasa seolah-olah tubuhnya kemasukan getaran yang amat hebat, yang membuatnya setengah pingsan den begitu merasa mulutnya tersumbat, matanya terbelalak, akan tetapi mata itu lalu terpejam karena pengertian bahwa yang menutup mulutnya adalah bibir Bun Houw mendatangkan perasaan demikian nikmat den hangat sehingga dia hanya mengerang dan tanpa disadarinya bibirnyapun bergerak mempererat ciuman yang terjadi tiba-tiba tanpa direncanakan lebih dulu itu! Entah berapa lamanya sepasang mulut itu bertemu den dalam seat seperti itu waktu lenyap artinya bagi mereka, diri sendiri dilupakan dan yang hidup hanyalah pengalaman itu. Sampai mereka terpaksa melepaskan mulut karena kehabisan napas, tersendat-sendat den terengah-engah Bun Houw melepaskan mulutnya, membuka mata yang tadi terpejam tanpa disadarinya den kini dia memandang dengan penuh keheranan wajah Yalima, seolah-olah baru saat itu dia mengenal wajah dara ini. Yalima membuka sedikit matanya yang menjadi sayu, bulu matanya gemetar, matanya sukar dibuka seperti mata orang yang mengantuk, den bibirnya berbisik tanpa suara, hanya membentuk kata dengan gerakan bibirnya yang menjadi makin basah den merah, “Koko... Houw-ko...”


Melihat wajah yang begitu dekat itu, mata yang setengah terpejam, hidung yang kembang-kempis, mulut yang setengah terbuka, dada yang terengah-engah dan jantung yang berdetak keras terasa karena terhimpit dadanya sendiri, timbul perasaan aneh di dalam hati Bun Houw. Timbul desakan dan dorongan yang tidak dimengertinya, tidak dikenalnya, yang membuat dia ingin sekali.... membelai semua bagian muka itu, membelai dengan hidungnya, dengan bibirnya, bahkan ingin dia menjilat mata, hidung den mulut itu! Seperti tidak sadar, dia hanya menjadi budak dari dorongan hasrat itu, dan ketika dia membelai mulut Yalima dengan hidung, bibir dan lidahnya, dara itu mengerang dan naiklah sedu-sedan dari dadanya.

Begitu mendengar suara sedu-sedan ini, seketika Bun Houw sadar. Dia berseru keras, melepaskan pelukannya dan meloncat turun dari atas batu itu. Gerakannya ini tiba-tiba sekali sehingga hampir saja Yalima terguling dari atas batu kalau tidak cepat-cepat Bun Houw menyambar tangannya. Mereka kini berdiri saling berhadapan, agak jauh, muka mereka pucat dan dari kedua mata Yalima mengalir air mata.

“Yalima... maafkan... maafkan aku...”

“Houw-ko...”

“Apa... apa yang kulakukan tadi...? Maafkan aku...”

“Houw?ko...” Yalima yang tak dapat mengeluarkan kata-kata itu hanya menyebut namanya dan terisak.

“Moi-moi, aku... aku pulang dulu ke kuil...!” Tanpa menanti jawaban, pemuda itu meloncat dan bagaikan terbang cepatnya dia sudah lari meninggalkan Yalima yang masih menangis terisak-isak.

Sampai tiga hari lamanya pengalaman yang dianggapnya merupakan pengalaman yang paling aneh dan paling hebat selama hidupnya itu mencekam perasaan Bun Houw, membuat dia tidak enak makan tidak nyenyak tidur! Dia merasa bingung, merasa bersalah, malu, akan tetapi juga harus diakuinya bahwa tidak sedetikpun wajah dengan mata sayu dan mulut setengah terbuka itu dapat terlupa olehnya. Kemesraan yang dialaminya itu menggores kuat-kuat di dalam hatinya dan diam-diam dia mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia mengalami saat-saat bahagia seperti itu. Diam-diam dia merasa berbahagia akan tetapi juga khawatir karena dia merasa seperti memasuki suatu bagian hidup yang aneh dan asing, yang tidak dikenal dan dimengertinya sama sekali.

Pada hari ke empat dia mengambil keputusan untuk pergi mencari Yalima. Tadinya, selama tiga hari itu, perasaan rindunya tertahan oleh rasa malu yang amat besar, dan oleh perasaan khawatir kalau-kalau dara itu akan marah dan benci kepadanya atas semua perbuatan yang telah dilakukannya, yang kini kalau dikenangnya merupakan perbuatan yang amat menghina dara itu agaknya. Akan tetapi pagi hari ke empat ini, dia mengeraskan hatinya, hendak menjumpai Yalima dan minta maaf. Dia percaya bahwa dara yang amat baik budi itu akan suka memaafkannya. Ada suatu hal yang merupakan rahasia baginya, yang tidak mungkin terpecahkan karena dia tidak akan berani bertanya kepada Yalima. Yaitu, ketika mereka beradu bibir dan mulut mereka saling bertemu, benarkah bibir dara ini bergerak-gerak menyambutnya, mengecupnya, dan terasa olehnya ada dua lengan kecil halus melingkari lehernya?

Setelah mengenakan pakaiannya yang terbaik, Bun Houw keluar dari kamarnya, akan tetapi tiba-tiba suara suhunya di ruangan depan memanggilnya. Ketika dia memasuki ruangan itu, dia melihat ada empat orang laki-laki yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun lebih, bersikap sederhana namun gagah, duduk di ruangan itu berhadapan dengan suhunya.

“Twa-suheng... (kakak seperguruan pertama)...! Ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)...!” Bun Houw segera lari masuk dan cepat menjura dengan hormat kepada empat orang tamu itu yang bukan lain adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-han, murid-murid kepala ketua Cin-ling-pai yang diutus oleh guru mereka untuk menjemput Bun Houw pulang.

Dua orang pertama, Kwee Kin Tan dan adiknya, Kwee Kin Ci, amat sayang kepada Bun Houw yang biarpun terhitung adik seperguruan mereka namun seperti anak atau keponakan mereka sendiri yang mereka kenal sejak lahir dan sejak kecilnya.

“Aihh, sute, engkau telah menjadi seorang pemuda perkasa!” Kwee Kin Ta yang kini telah menjadi seorang kakek berusia enam puluh tabun lebih itu berseru gembira sambil memegang lengan pemuda itu.

“Tentu kepandaianmu telah menjadi hebat sekali sekarang, sute!” Kwee Kin Ci juga memuji dan demikian pula, orang ke tiga dan ke empat dari Cap-it Ho-han menyatakan kegembiraan hatinya.

“Kami diutus oleh ayahmu untuk menjemputmu pulang, sute,” kata pula Kwee Kin Ta.

Bun Houw mengangguk, terhimpit antara perasaan suka dan duka, akan tetapi sebagai seorang pemuda gemblengan dia telah dapat membuat air mukanya biasa saja, bahkan kelihatan girang ketika dia menjawab, “Beri aku waktu dua hari, twa-suheng. Aku harus pamit dulu kepada seluruh sahabatku di daerah ini.”

Empat orang Cap-it Ho-han itu tidak menaruh keberatan karena selain mereka tidak tergesa-gesa, juga mereka merasa senang dengan tempat yang indah itu, dan perjalanan jauh itu melelahkan sehingga beristirahat barang dua tiga hari amat baik bagi mereka. Para pendeta Lama lalu mempersiapkan sebuah kamar tamu untuk mereka, dan Kok Beng Lama segera meninggalkan muridnya agar dapat bercakap-cakap dengan para suhengnya itu. Memang telah beberapa bulan ini Kok Beng Lama jarang meninggalkan kamarnya di mana dia selalu duduk bersamadhi dengan tenangnya



Hampir sehari lamanya Bun Houw bercakap-cakap dengan keempat orang suhengnya, saling menuturkan keadaan selama lima tahun ini. Mendengar bahwa ayah bundanya dan Cin-ling-pai baik-baik saja, senanglah hati Bun Houw dan penuturan empat orang suhengnya itu menimbulkan rasa rindu kepada kampung halamannya.

Sore hari itu dan keesokan harinya dipergunakan untuk berpamit dari para penghuni dusun-dusun di sekitar tempat itu. Akan tetapi dia masih belum berani mengunjungi dusun Yalima. Dia merasa bingung dan ngeri kalau harus berpamit dari Yalima, sedangkan urusan kemarin dulu itupun belum dibereskannya. Dan selama itu, tidak nampak Yglima datang mencarinya. Agaknya dara itu marah dan benci kepadanya. Dan kalau dia harus datang hanya untuk berpamit pergi meninggalkan Yalima, sungguh tugas ini amat berat dan pertemuan itu tentu tidak menyenangkan. Maka, setelah bersangsi sampai lama di puncak, memandang ke arah dusun tempat tinggal Yalima, akhirnya dia memutuskan untuk besok pada hari terakhir saja sebelum berangkat mengunjungi dusun itu dan minta diri dari Yalima dan keluarganya. Maka dia lalu menuruni puncak dan berjalan perlahan-lahan kembali ke kuil. Kunjungan terakhir di puncak itu benar-benar membuat dia lemas karena teringatlah semua pengalamannya yang hebat dengan Yalima di puncak itu.

Dalam perjalanan ke kuil ini, Bun Houw melangkah perlahan-lahan dan pikirannya bekerja keras. Dia memang ingin pulang, rindu kepada ayah bundanya, dan juga tidak mungkin dia harus bersembunyi di tempat sunyi ini, karena, seperti kata gurunya, kepandaiannya akan terpendam dan jerih payahnya sejak kecil melatih diri dengan banyak ilmu akan sia-sia belaka kalau tidak dipergunakan untuk kemanusiaan. Memang seluruh perasaannya sudah menariknya untuk segera pulang ke Cin-ling-san. Akan tetapi setiap kali teringat kepada Yalima, jantungnya menjadi perih rasanya. Baru beberapa hari ini dia telah melakukan hal yang amat tidak patut kepada dara itu, dan kini dia akan meninggalkannya. Teringat akan ini, lenyaplah semua kegembiraarmya akan pulang ke Cin-ling-san dan dia menjadi bingung. Sebagian hatinya ingin segera pulang ke Cin-ling-san, akan tetapi sebagian lagi ingin selalu berdekatan dengan Yalima!

Seperti biasa, dia memasuki kuil melalui pintu belakang yang berbentuk bulan purnama dan yang menembus taman bunga di belakang bangunan-bangunan kuil. Ketika dia hendak memasuki pintu bulan itu, terdengar suara berkeresekan. Pendengarannya amat tajam dan dia cepat menengok, hanya untuk terpaku di tempatnya karena dia melihat Yalima berdiri dengan pakaian dan rambut kusut, wajah pucat dan pandang mata sayu, mata layu karena banyak menangis agaknya.

“Yalima...!”

“Houw-ko...!” Dara itu terisak. “Aku... aku mendengar... dari orang-orang... kau... kau akan... pergi...?”

“Yalima...!”

“Houw-ko...!”

Seperti ditarik oleh besi sembrani, kedua orang muda itu lari saling menghampiri dengan kedua pasang tangan mereka terkembang dan di lain saat mereka sudah saling dekap. Kedua lengan Bun Houw melingkari punggung dan kedua lengan Yalima melingkari leher. Di antara isak tangis Yalima, seperti tidak disengaja, kembali dua mulut itu bertemu dalam suatu ciuman yang mesra, yang disertai oleh seluruh gairah perasaan yang menggelora, yang panas dan menjadi pelepasan seluruh kerinduan hati.

“Yalima...!”

“Koko, aku ikut... demi para Dewa... aku ikut... jangan kautinggalkan aku, Houw-ko...!” Mereka mengeluh, merintih dan saling berciuman seolah-olah kehidupan mereka bergantung dari pertemuan yang asyik masyuk ini.

Bun Houw memegang kedua pundak dara itu dan memaksanya dengan halus untuk melepaskan pelukan mereka. Sejenak mereka saling pandang, air mata masih bercucuran menimpa sepasang pipi yang kini menjadi agak kemerahan itu, dan banyak air mata itu juga telah membasabi muka Bun Houw ketika mereka berciuman tadi.

“Yalima, kau... kau memaafkan aku... tentang kemarin dulu...” Bun Houw berkata gugup dan seketika dia sadar betapa bodohnya pertanyaannya itu. Bagaimana dia mengharapkan maaf tentang “kesalahannya” menciumi gadis itu kalau sekarang begitu berjumpa mereka sudah saling berciuman lagi?

“Houw-ko, aku tidak akan memaafkan apa-apa karena kau tidak bersalah apa-apa...” dara itu mulai bicara lancar, akan tetapi kembali tersendat-sendat kalau teringat betapa pemuda ini akan meninggalkannya. “Akan tetapi... jangan tinggalkan aku... kaubawalah aku bersamamu, koko...”

“Tenang dan sabarlah, moi-moi. Mari kita duduk dan bicara dengan baik.” Dia menuntun tangan gadis itu dan mereka duduk di bawah pohon di luar taman itu, terhalang oleh pagar tembok. Dengan kedua pasang tangan masih saling berpegangan, Bun Houw lalu berkata lirih, “Yalima, aku terpaksa akan pulang dulu ke Cin-ling-san karena ayahku telah mengutus empat orang suhengku untuk menjemputku. Dan engkau tentu mengerti bahwa tidaklah mungkin untuk mengajakmu begitu saja. Selain orang tuaku tentu tidak akan menyetujui, juga orang tuaku mungkin akan marah-marah kepadaku kalau aku membawa anak gadis orang begitu saja.”

Yalima mengusap air matanya, menahan isaknya dan menundukkan mukanya dengan alis berkerut dan rambut kusut. Melihat keadaan dara ini, timbul keinginan luar biasa kuatnya di hati Bun Houw untuk meraihnya, memeluk tubuh itu dan mendekap kepala itu, menghibur dan membujuknya agar jangan berduka. Hatinya ingin meraih gadis itu dengan penuh rasa haru dan iba.

“Nasibku memang...” terdengar suaranya lirih. “Aku tidak jadi dibawa ke Lhasa, engkau yang pergi meninggalkan aku. Apa bedanya...?”

“Yalima...”


Kini aku sadar betul bahwa ketidakrelaanku dibawa ayah ke Lhasa semata-mata karena ada engkau di sini, Houw-ko. Kalau engkau pergi, aku... aku... tidak perduli apa-apa lagi...”

“Yalima, jangan berkata demikian! Aku tidak akan melupakan engkau begitu saja! Aku... aku suka dan kasihan kepadamu... aku tidak suka melihat engkau menderita atau berduka hanya... sementara ini, tak mungkin aku mengajakmu ke Cin-ling-san. Betapapun, aku berjanji akan bicara dengan ayah bundaku tentang dirimu. Jangan engkau membikin berat perjalananku yang jauh ke Cin-ling-san dengan kedukaanmu, moi-moi.”

Yalima makin menunduk, sejenak seperti orang berpikir, kemudian menghapus air matanya dan dia bangkit berdiri, senyum paksaan membayang di wajahnya.

“Baik, koko! Baiklah, pulanglah engkau, dan aku menghaturkan selamat jalan. Memang aku bodoh, mengapa minta yang bukan-bukan dan yang tidak mungkin? Apapun yang akan terjadi dengan diriku, aku sudah merasa bahagia karena... karena... engkau... eh, suka dan kasihan kepadaku. Selamat jalan, koko...!” Dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari, menahan isaknya.

“Moi-moi...!” Sekali meloncat, Bun Houw sudah berada di depan gadis itu, menghalang jalan. Mereka berdiri berhadapan.

“Houw-ko...!” Yalima tak dapat menahan jeritnya dan dia lalu menubruk, merangkul dan kembali dua orang muda itu saling rangkul dan saling dekap dengan ketat seolah-olah hendak melebur tubuh masing-masing menjadi satu agar jangan sampai terpisah lagi.

Terdengar suara orang terbatuk-batuk dari balik pintu bulan. Bun Houw cepat melepaskan pelukan dan ciumannya. Dua butir air mata berlinang di pelupuk matanya dan baru sekali ini dia begitu terharu sampai melinangkan air mata! Cepat dia menengok dan mukanya berubah menjadi merah sampai ke lehernya ketika dia melihat bahwa yang batuk-batuk itu adalah Kwee Kin Ta, twa-suhengnya!

“Twa-suheng... ini... dia ini... eh, Yalima sababatku...”

“Sute, kita harus berangkat sekarang juga, harap kau bersiap-siap,” suara suhengnya agak kering karena betapapun juga, hati murid pertama dari Cin-ling-pai ini terkejut dan tidak suka menyaksikan perbuatan sutenya yang berdekapan dan berciuman di tempat terbuka seperti itu dengan seorang dara Tibet.

“Maaf... maafkan saya...” Yalima berkata sambil menjura kepada Kwee Kin Ta dengan suara gemetar, kemudian sekali lagi dia memandang dengan sinar mata mengandung seribu satu macam perasaan ke arah wajah Bun Houw, kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.

“Maaf, suheng...” Bun Houw berkata sambil menundukkan mukanya. “Dia... dia sahabat baik... eh, seperti adik sendiri, dan... dia... amat berduka oleh perpisahan ini...”

“Tidak apa, sute, aku mengerti perasaan hati orang muda, asal engkau hati-hati dan tidak mudah tunduk terhadap perasaan muda yang menggelora dan berbahaya dan tidak sembarangan memilih! Hatiku terasa tidak enak, maka aku telah memutuskan bersama para suhengmu yang juga merasa tidak enak, untuk berangkat sekarang juga. Malam ini terang bulan dan perjalanan di pegunungan di malam terang bulan tentu indah sekali.”

“Baik, suheng.”

Setelah berkemas, Bun Houw dan empat orang suhengnya berpamit kepada Kok Beng Lama yang masih duduk bersamadhi di dalam kamarnya. Kakek ini sama sekali tidak membuka matanya ketika lima orang itu berlutut dan minta diri, akan tetapi ketika mereka berlima meninggalkan kamar itu, Bun Houw mendengar suara gurunya berbisik di telinganya, “Selamat berpisah, muridku, dan lupakan saja Yalima!”

Bun Houw tidak terkejut karena maklum bahwa suhunya telah menggunakan ilmunya yang disebut Coan-im-jip-bit (Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh) yang diapun sudah dapat melakukannya, yaitu menggunakan khi-kang yang kuat menujukan suara hanya untuk telinga orang yang ditujunya. Akan tetapi dia merasa terkejut mendengar pesan agar dia melupakan Yalima! Mungkinkah ini? Dia tidak percaya bahwa dia akan mampu melupakan dara itu. Dia lupa akan janji ayah Yalima kepadanya, yaitu bahwa selama Bun Houw berada di tempat itu, kepala dusun itu tidak akan membawa Yalima ke Lhasa. Tentu saja sekarang setelah Bun Houw pergi dan tidak berada di tempat itu, lain lagi persoalannya!

***

Laki-laki yang berdiri termenung di tepi Telaga Kwi-ouw itu adalah seorang yang bertubuh sedang, namun tegap dan membayangkan kekuatan dahsyat. Pakaiannya sederhana saja namun pakaian dalamnya ringkas tertutup jubah lebar dan lengan panjang yang digulung di bagian pergelangannya. Di balik jubah lebar itu dia membawa sebatang pedang yang tergantung di pinggang, agak ke atas sehingga ujungnya tidak sampai tersembul keluar dari jubah lebar itu. Kepalanya tertutup rambut yang hitam tebal, dikumpulkan ke belakang menjadi sehelai kuncir yang besar dan tebal, dan pada saat itu kuncirnya melibat pundak dan lehernya. Seorang laki-laki yang bersikap gagah, berwajah tampan dengan sepasang mata yahg amat tajam, berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun.

Agaknya dia termenung cukup lama di tepi telaga, dan memang demikianlah. Telaga Kwi-ouw ini mendatangkan kenang-kenangan hebat dalam ingatannya, kenang-kenangan manis dan pahit menjadi satu. Pria ini adalah Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang kini tinggal di Leng-kok, yaitu tempat tinggal mendiang ayah bundanya, bersama isterinya yang tercinta yang bernama Pek Hong Ing, puteri dari Kok Beng Lama dan Yap Mei Lan, seorang anak mereka, anak tunggal yang sebetulnya hanyalah anak tiri dari Pek Hong Ing.


Seperti telah diceritakan di dalam cerita Petualang Asmara, Pendekar Sakti Yap Kun Liong pernah melakukan hubungan badan, bermain cinta dengan seorang wanita bernama Lim Hwi Sian yang sekarang telah meninggal dunia. Hubungan yang terjadi karena cinta sefihak dari Lim Hwi Sian ini menghasilkan seorang anak perempuan, dan sebelum Lim Hwi Sian dan suaminya yang syah meninggal dunia, wanita yang mencintai Yap Kun Liong ini menyerahkan anak mereka kepada pendekar ini. Pek Hong Ing adalah seorang wanita yang bijaksana dan dengan hati murni mencinta suaminya, maka pengakuan Kun Liong tentang anak ini diterima dengan penuh pengertian dan kesabaran sehingga anak itu kemudian mereka pelihara dan tidak ada orang lain kecuali Kun Liong dan beberapa orang tokoh yang dekat hubungannya dengan mereka mengerti babwa Yap Mei Lan, demikian nama anak perempuan itup adalah anak tiri Pek Hong Ing. Anak itu sendiri tidak tahu dan menganggap bahwa Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya.

Karena teringat akan mendiang ayah bundanya, Kun Liong mengajak isteri dan anaknya tinggal di Leng-kok di mana dahulu orang tuanya tinggal dan mengalami malapetaka dalam hidup mereka (baca Petualang Asmara). Di kota ini dia melanjutkan usaha orang tuanya, yaitu membuka toko obat, karena dia juga mewarisi kitab tentang pengobatan dari ibunya. Karena Kun Liong dan isterinya tidak pernah menonjolkan diri, maka tidak ada seorangpun mengira bahwa suami dan isteri itu adalah pasangan pendekar yang berilmu tinggi terutama sekali Kun Liong yang memiliki kepandaian amat tinggi dan sukar dicarinya bandingnya. Kun Liong juga tidak mengambil murid, hanya melatih anaknya sendiri, Mei Lan yang pada waktu itu telah berusia empat belas tahun, seorang dara remaja yang lincah jenaka, memiliki mulut yang amat indah seperti mulut ibu kandungnya, Lim Hwi Sian, yang pernah membuat Kun Liong tergila-gila hanya karena keindahan mulutnya.

Beberapa pekan yang lalu, tak tersangka-sangka Kun Liong kedatangan seorang yang cepat disembutnya dengan penuh kehormatan karena orang itu bukan lain adalah seorang di antara guru-gurunya dan merupakan orang yang paling dihormatinya, yaitu Cia Keng Hong, kakek yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama isterinya. Kun Liong dan isterinya menyambut tergopoh-gopoh dengan penuh kehormatan dan kegembiraan, dan mereka berempat mengobrol sampai jauh malam sebelum suami isteri dari Cin-ling-pai itu dipersilakan mengaso dalam kamar tamu. Yap Mei Lan yang terheran melihat ayah bundanya begitu menghormat tamu-tamu itu, mendengar penuturan ayah bundanya tentang Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai, dan dara remaja inipun menjadi kagum sekali.

Kegembiraan Kun Liong bertambah ketika mendengar pada keesokan harinya bahwa kedatangan dua orang terhormat itu adalah untuk membicarakan tentang perjodohan putera ketua Cin-ling-pai itu dengan Yap In Hong, adiknya!

“Putera kami tinggal seorang, demikian pula keturunan orang tuamu tinggal adikmu itu, Kun Liong. Maka harapan kami agar pertalian antara kami dan orang tuamu dapat disambung dengan perjodoban ini. Karena orang tuamu sudah tidak ada, maka tentu saja engkau menjadi wali dari adikmu itu,” demikian antara lain Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu berkata.

Mendengar ini, Kun Liong mengangguk-angguk dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu. Pernah dia hendak dijodohkan dengan Cia Giok Keng, puteri pendekar sakti ini, namun karena tidak saling mencinta, perjodohan itu gagal (baca Petualang Asmara). Giok Keng menikah dengan Lie Kong Tek murid Hong Khi Hoatsu, sedangkan dia menikah dengan Pek Hong Ing puteri Kok Beng Lama. Agaknya hati ketua Cin-ling-pai ini masih penasaran dan kini ingin menyambung pertalian keluarga itu antara putera mereka dan adiknya. Akan tetapi, betapapun juga usul yang amat menggembirakan hatinya ini dibarengi dengan kekhawatiran yang amat besar pula. Sejak kecil adiknya itu, Yap In Hong, dipelihara sebagai murid terkasih oleh Yo Bi Kiok yang karena cinta terhadap dirinya tidak terbalas menjadi benci kepadanya dan memusuhinya!

“Teecu (murid) akan berusaha untuk mencari dan memberi tahu kepada adik In Hong tentang usul perjodohan yang amat baik ini.” Hanya demikian kesanggupannya, karena biarpun dia sudah mendengar bahwa Yo Bi Kiok telah menjadi ketua Giok-hong-pang dan kini bermarkas di Kwi-ouw, akan tetapi masih ragu-ragu apakah perintahnya kepada adik kandungnya untuk menerima jodoh putera ketua Cin-ling-pai ini akan ditaati oleh adiknya. Terutama sekali karena di sana terdapat Yo Bi Kiok yang mengambil sikap sebagai musuhnya (baca Petualang Asmara).

Demikianlah, setelah ketua Cin-ling-pai yang tinggal selama sepekan di Leng-kok itu pulang bersama isterinya. kembali ke Cin-ling-san, Yap Kun Liong lalu pergi untuk mencari adik kandungnya itu. Melihat latar belakang hubungan Yo Bi Kiok dengan suaminya, maka Pek Hong Ing mengerti bahwa kalau dia ikut pergi, hal itu hanya akan menambah kacau keadaan saja. Dia percaya bahwa suaminya tentu akan dapat mengatasi Yo Bi Kiok dan akan depat membujuk In Hong, maka dia hanya berpesan agar suaminya berhati-hati, sedangkan dia menjaga rumah dan toko bersama dengan Mei Lan, puterinya. Terhadap Mei Lan, wanita cantik ini amat mencintanya, karena dia sendiri tidak memperoleh keturunan selama pernikahannya yang sudah belasan tahun dengan suami terkasih itu.

Biarpun selama ini dia tidak pernah mencari In Hong, namun Kun Liong tidak pernah dapat melupakan adiknya itu. Ketika dia melakukan penyelidikan dan mendengar tentang perkumpulan wanita yang bernama Giok-hong-pang di lereng Bukit Liong-san, dia menduga bahwa tentu perkumpulan itu dipimpin oleh Bi Kiok, karena dia tahu bahwa Bi Kiok berjuluk Giok-hong-cu. Berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat menyelidik tanpa diketahui dan giranglah dia ketika mendapat kenyataan bahwa memang tepat dugaannya. Perkumpulan itu dipimpin oleh Yo Bi Kiok dan adiknya menjadi seorang dara cantik dan gagah, murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang. Hal ini ia sempaikan kepada isterinya yang memberi nasihat bahwa tidak baik kalau suaminya itu dengan paksa hendak memisahkan adik kandung itu dari Bi Kiok.


Ingat, suamiku. Biarpun Bi Kiok bukan ibu atau kakak sendiri dari adikmu itu akan tetapi jelas babwa Bi Kiok amat sayang kepada adikmu. Setelah bertahun-tahun adikmu dididiknya dan dipeliharanya, tentu saja adikmu juga lebih dekat dengan dia daripada denganmu, biar engkau kakak kandungnya sendiri. Ingat anak kita. Bukankah aku juga amat sayang kepadanya dan dia amat sayang kepadaku?”

Karena nasihat-nasihat isterinya yang tercinta, Kun Liong mendiamkan saja dan tidak pernah dia mendatangi adiknya. Bahkan ketika dia mendengar betapa Giok-hong-pang kini memindahkan pusatnya di Kwi-ouw, dia juga tidak ada pikiran untuk mengganggu ketenteraman hidup In Hong bersama gurunya itu. Dia mengerti bahwa pertemuan antara dia dan Bi Kiok hanya akan menimbulkan keributan belaka dan hal ini sama sekali tidak ada kebaikannya bagi dia sendiri maupun bagi In Hong.

Akan tetapi, kemunculan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya yang membicarakan soal perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu dengan adik kandungnya, menggugah semangatnya. Betapapun juga, adik kandungnya adalah puteri dari ayah bundanya, sepasang pendekar ternama! Tidak mungkin dia membiarkan saja adiknya itu terseret ke dalam dunia kaum sesat dan berjodoh dengan seorang tokoh hitam! Tidak, ini merupakan tugas kewajibannya yang terakhir untuk berbakti kepada mendiang orang tuanya, yaitu mengatur agar In Hong berjodoh dengan putera ketua Cin-ling-pai, sahabat-sahabat baik sekali dari orang tuanya dahulu.

Pagi hari itu, Kun Liong sudah tiba di tepi Telaga Kwi-ouw dan termenung mengingat semua peristiwa yang terjadi dan yang dialaminya ketika dia masih meniadi seorang pemuda dahulu, belasan tahun yang lalu di telaga ini. Teringat dia akan perebutan bokor emas yang merupakan pusaka milik Panglima The Hoo yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw baik dari kalangan putih maupun hitam sehingga akhirnya bokor emas itu tanpa ada yang mengetahuinya terjatuh ke tangan Yo Bi Kiok (baca Petualang Asmara). Dia pernah menyerbu pulau di tengah Telaga Kwi-ouw itu, maka kini diapun tidak ragu-ragu lagi dan tahu bagaimana harus mendatangi pulau di tengah telaga itu tanpa terjebak perangkap yang banyak dipasangi orang di sekitar daerah Telaga Setan ini.

Pada waktu itu, telah lebih dari tiga bulan Giok-hong-pang merampas Kwi-ouw dan menjadikan pulau di tengah telaga itu sebagai markas besarnya. Yo Bi Kiok tinggal di telaga itu, di dalam gedung mewah di tengah pulau bersama muridnya Yap In Hong yang telah memperlihatkan kelihaiannya ketika bersama gurunya menyerbu pulau dan menaklukkan orang-orang Kwi-eng-pang.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, para anggauta Giok-hong-pang yang menjadi wanita-wanita kejam pembenci pria karena disakithatikan oleh kaum pria, kini setelah mempunyai hamba-hamba taklukan dari para anggauta Kwi-eng-pang, mulai tergoda oleh nafsu berahi mereka sendiri sebagai manusia-manusia biasa yang perlu menyalurkan nafsu-nafsunya itu sehingga mulailah mereka mempergunakan pria-pria taklukan itu untuk menjadi pelayan mereka dalam bermain
cinta yang hanya didasari atas nafsu berahi belaka. Yo Bi Kiok sendiri tidak pernah melakukan hal ini, akan tetapi karena dia maklum akan keadaan para anak buahnya dan amatlah berbahaya kalau hal itu dilarangnya, tidak melarang terjadinya hal itu. Akan tetapi In Hong menjadi muak dan jijik melihat betapa para anggauta itu kini menjadi pemerkosa-pemerkosa, menjadi budak-budak nafsu berahi yang melampiaskannya dengan cara memaksa para pria tawanan itu. Dia mulai muak dan tidak tahan terhadap segala kekasaran dan kekejaman para anggauta Giok-hong-pang, merasa tidak puas melihat sikap dingin seperti mayat hidup dari gurunya dan mulailah dia tidak kerasan tinggal di situ bersama gurunya den para anggauta Giok-hong-pang yang merupakan wanita-wanita kejam.

Yo Bi Kiok tidak melarang ketika In Hong menyatakan keinginannya untuk merantau. “Aku tidak keberatan, muridku. Akan tetapi hati-hatilah engkau melakukan perjalanan seorang diri. Dunia ini amat kejam, terutama terhadap wanita. Memang engkau perlu untuk meluaskan pengetahuanmu dan melihat dunia ramai, berhubungan dengan masyarakat. Akan tetapi, engkau telah mempunyai bekal ilmu kepandaian yang akan cukup untuk melindungi keselamatanmu. Dengan ilmu-ilmu yang kuajarkan selama ini kepadamu, tidak akan ada orang yang dapat mudah mengalahkanmu. Akan tetapi engkau tetap harus waspada dan hati-hati, terutama sekali menghadapi pria! Bukan kekasarannya yang perlu ditakuti, akan tetapi bujukan mulut manisnya! Lihat betapa banyaknya kaum wanita yang rusak hidupnya oleh bujukan manis mulut pria.”

“Teecu mengerti, subo,” jawab In Hong karena peringatan akan berbahayanya bujukan mulut manis pria ini sudah didengarnya ratusan kali sejak dia kecil, tidak hanya dari mulut gurunya melainkan juga dari mulut para anggauta Giok-hong-pang sehingga di dalam hatinya tumbuh pula perasaan tidak senang dan tidak percaya kepada kaum pria.

“Dan setahun sekali engkau harus kembali ke sini agar aku dapat melihat keadaanmu. Kalau engkau tidak pulang, aku akan mencarimu den menegurmu, In Hong.”

“Teecu tidak akan melupakan pesan subo.”

“Kalau begitu bersiaplah, sepekan lagi engkau boleh pergi meninggalkan tempat ini untuk mulai dengan perantauanmu.”

Hari itu, ketika Kun Liong tiba di tepi Telaga Kwi-ouw, In Hong masih belum berangkat, waktunya untuk pergi masih dua hari lagi. Akan tetapi dia sudah bersiap-siap dan hatinya sudah diliputi ketegangan den kegembiraan karena dia akan segera meninggalkan tempat yang membosankan itu dan akan hidup bebas seperti seekor burung yang terlepas di udara, sendirian saja menghadapi segala tantangan, bertanggung jawab sendiri tanpa menurut siapapun juga. Betapa akan senangnya hidup seperti itu!

Akan tetapi pada hari itu menjelang tengah hari ketika Bi Kiok sedang duduk di beranda depan yang teduh, dan In Hong duduk tidak jauh dari gurunya, keduanya membaca kitab tentang sejarah kuno karena sejak kecil In Hong juga dilatih kesusasteraan oleh Bi Kiok, tiba-tiba terdengar suara orang seperti suara setan saja karena tidak diketahui kapan orang itu tiba di dekat mereka.

“Tidak salah lagi, engkau tentulah Yo Bi Kiok dan dia... dia itu tentu In Hong.”


Bagaikan disambar halilintar Bi Kiok melempar kitabnya dan meloncat bangun, menghadapi Kun Liong yang sudah muncul di situ, berdiri di depannya sambil tersenyum, dengan senyum dan pandang matanya yang masih seperti dulu, begitu jenaka dan nakal!

“Kau...? Bagaimana kau...” Bi Kiok berseru dengan kaget dan heran sekali bukan hanya karena dia bertemu kembali dengan Kun Liong secara begitu mendadek, juga bagaimana orang ini dapat muncul di situ tanpa diketahui penjaga, padahal tempat itu dijaga ketat dan penuh dengan tempat1 tempat rahasia penuh perangkap.

“Hemm, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah pernah menyerbu ke tempat ini ketika tempat ini masih dikuasai oleh Kwi-eng Niocu. Apakah engkau sudah lupa lagi, Bi Kiok?”

Bi Kiok memandang dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Suara itu, pandang mata itu, masih seperti dulu, penuh sikap bergurau!

“Aku berterima kasih kepadamu, Bi Kiok. Ternyata, engkau merawat adikku baik-baik sehingga dia telah menjadi seorang dara yang cantik jelita dan gagah. In Hong, engkau tentu tidak lupa kepada kakak kandungmu, bukan?”

Akan tetapi In Hong hanya memandang dengan wajah pucat. Dia tahu siapa laki-laki gagah dan gembira ini. Biarpun baru satu kali dia bertemu dengan kakak kandungnya, akan tetapi wajah kakaknya tak pernah dapat dia lupakan. Akan tetapi dia tahu harus bersikap bagaimana karena dia tahu betapa bencinya wanita yang menjadi gurunya itu terhadap kakak kandungnya, maka dia hanya berdiri mematung dan memandang dengan wajah pucat.

Akan tetapi Bi Kiok sudah dapat menenangkan lagi hatinya yang tadi berguncang dan panik tidak karuan karena pertemuan yang begitu tiba-tiba dengan satu-satunya pria yang pernah dicintanya itu. Wajahnya kembali menjadi dingin dan suaranya dingin menyeramkan ketika dia berkata, “Bagus sekali, Yap Kun Liong! Aku belum sempat mencarimu untuk mencabut nyawamu, sekarang engkau sendiri telah datang mengantar nyawa!”

Kun Liong merasa betapa suara itu amat dingin mengandung kebencian mendalam. Dia menarik napas panjang dan berkata, “Aihh, Yo Bi Kiok, urusan belasan tahun yang lalu antara kita hanyalah urusan orang-orang muda yang masih belum matang dalam hidupnya. Kini kita telah sama-sama hampir tua, apakah engkau masih saja menyimpan urusan itu di hatimu?”

“Sejak dahulu engkau memang pandai membujuk. Aku tidak perlu banyak bicara lagi denganmu karena aku yakin bahwa kedatanganmu ini tentu berniat buruk. Nah, kau bersiaplah untuk mampus!”

“Bi Kiok, nanti dulu! Lupakah engkau akan persahabatan antara kita yang amat akrab di waktu muda dahulu? Aku datang bukan dengan niat buruk. Aku hanya datang untuk menengok adik kandungku yang hanya satu-satunya ini dan untuk bicara dengan dia. Aku tidak akan mengganggu ketenangan di sini dan...”

Akan tetapi Bi Kiok sudah bertepuk tangan dan muncullah belasan orang murid, atau pengawalnya. “Kalian bodoh dan lengah! Lihat, ada orang jahat masuk ke sini dan kalian sama sekali tidak tahu. Hayo serbu dan bunuh dia!”

Kun Liong tidak dapat banyak protes lagi karena dia telah dikurung dan diserbu oleh lima belas orang wanita dengan pedang di tangan. Karena mereka menerima perintah ketua atau guru mereka, tentu saja lima belas orang wanita yang kesemuanya pembenci pria itu segera menyerang kalang kabut dengan pedang mereka. Biarpun kelihatannya kalang kabut penuh dengan semangat dan nafsu membunuh, namun gerakan mereka itu teratur karena lima belas orang ini semua adalah anggauta-anggauta Ngo-heng-tin, yaitu barisan pedang yang diciptakan oleh Bi Kiok terdiri dari masing-masing lima orang yang dapat bekerja sama dengan lihai sekali. Karena mereka berjumlah lima belas, otomatis di situ terdapat tiga kelompok barisan pedang Ngo-heng-tin dan lima belas batang pedang itu berkelebatan dan menyerang dengan bertubi-tubi dan sambung-menyambung dengan kecepatan yang makin lama makin hebat sehingga tubuh Kun Liong lenyap terbungkus gulungan sinar pedang-pedang itu.

Sambil mengelak ke kanan kiri, Kun Liong masih berusaha mengingatkan Bi Kiok dengan suara nyaring, “Yo-pangcu (ketua Yo), aku datang sebagai tamu yang tidak mencari permusuhan, pantaskah kalau disambut seperti ini?” Dia sengaja menyebut Yo-pangcu untuk menghormati Bi Kiok di depan para anak buahnya.

Namun Bi Kiok hanya berdiri dengan wajah dingin, menyaksikan gerakan anak buahnya, sedangkan In Hong berdiri meremas-remas tangannya sendiri, tidak tahu harus berbuat apa melihat kakak kandungnya dikeroyok belasan orang dengan barisan Ngo-heng-tin yang dia tahu amat lihai itu.

Melihat betapa seruannya tidak diperdulikan lima belas orang wanita itu menyerang makin hebat dengan tusukan dan bacokan maut yang benar-benar menghendaki nyawanya, Kun Liong terpaksa memperlihatkan kelihaiannya. Dia mengeluarkan pekik melengking yang amat keras. In Hong terkejut bukan main dan cepat dia mengerahkan sin-kangnya untuk bertahan karena mendengar suara ini, jantungnya berdebar telinganya terngiang-ngiang dan kedua kakinya menggigil. Setelah dia mengerahkan sin-kang baru dia dapat bertahan, akan tetapi dia melihat dengan penuh kekagetan betapa lima belas orang wanita yang mengeroyok kakak kandungnya itu semua robon bergulingan dan seperti lumpuh kaki tangannya! Kun Liong berdiri dengan sikap tenang dan baru menghentikan lengking suaranya setelah melihat semua pengeroyoknya terguling. Suasana menjadi sunyi sekali setelah pendekar itu menghentikan suaranya, sunyi yang amat tidak enak setelah suara mujijat tadi dihentikan. Mengertilah In Hong bahwa kakaknya itu tadi menggunakan Ilmu Sai-cu Ho-kang, semacam bentakan yang mengandung khi-kang soperti gerengan seekor singa yang dapat melumpuhkan calon korban dan mangsanya. Di dalam hutan, singa-singa dan harimau-harimau cukup menggereng saja untuk membuat korbannya lumpuh dan tidak mampu lari, dan sekarang Kun Liong mempergunakan ilmu itu merobohkan lima belas orang pengeroyoknya. Bukan main kagumnya hati In Hong!


Ketika para wanita itu merangkak bangun kembali dan mengumpulkan pedang, siap hendak mengeroyok lagi, dengan muka merah Bi Kiok membentak, “Pergilah kalian manusia-manusia tak berguna!”

Setelah para anak buahnya itu dengan muka pucat dan tunduk menyingkir, Bi Kiok menggerakkan tangannya. ”Singgg...!” Tampak sinar berkilauan dan tangan kanan ketua Giok-hong-pang ini sudah memegang sebatang pedang yang menggetar-getar dan mengeluarkan dengung menggema.

Kun Liong terkejut. “Bi Kiok, nanti dulu! Sungguh mati jauh-jauh aku datang ke sini bukan untuk memusuhimu. Maafkan aku kalau terpaksa aku tadi merobohkan anak buahmu, habis... hemm, aku ngeri sih dikeroyok demikian banyaknya wanita cantik!”

In Hong mengerutkan alisnya. Kakak kandungnya ini memang pandai sikapnya lincah jenaka dan lucu.

“Kun Liong, bersiaplah untuk mengadu nyawa. Aku tahu engkau lihai, akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut menghadapimu!”

“Aih... aihh... Bi Kiok, menggapa engkau berkeras hendak membunuhku? Ingat, dahulu engkau sudah menolong nyawaku, masa sekarang engkau tega hendak mencabutnya? Lupakah engkau dahulu? Engkau baru berusia delapan tahun, aku seorang bocah gundul sepuluh tahun. Engkau dan kakek Yo Lokui menyelamatkan aku dari air sungai dan aku berhutang nyawa kepadamu. Kemudian engkau lagi-lagi menyelamatkan aku dari kejaran para datuk hitam. Dan aku menyelamatkan engkau dari Toat-beng Hoat-su. Eh, Bi Kiok, ingatkah engkau ketika kita bersembunyi di dalam guha itu? Aihh, dan sekarang engkau tega hendak membunuhku?”

Gemetar tangan wanita yang memegang pedang itu. Dia memejamkan matanya, terbayang semua pengalamannya bersama pemuda ini (baca Petualang Asmara), terbayang betapa ketika mereka bersembunyi di guha terancam bahaya maut, pemuda itu telah mencium matanya yang selalu dipuji-puji keindahannya oleh Kun Liong!

Hatinya tertusuk rasanya, kebekuan dan kekerasannya bobol dan dia mengejap-ngejapkan mata, menahan air mata namun tetap saja dua butir air mata menitik turun ketika dia membuka matanya yang indah. Mata itu kini memandang kepada Kun Liong penuh permohonan. “Yap Kun Liong, tentu saja aku masih ingat dan karena itulah aku menderita kesengsaraan hidup yang tetap kupertahankan sampai detik ini. Kun Liong, katakanlah bahwa engkau akan suka menemani aku hidup di sini... setahun saja... dan aku akan menurut segala perintahmu, akan kembali ke jalan benar dan aku akan mengusahakan agar adikmu kembali kepadamu...”

“Bi Kiok, aku sudah menikah...”

“Kun Liong, setahun saja, kuminta padamu...”

“Betapa mungkin itu...”

“Setengah tahun saja, agar... terobati penyakit batinku... kemudian, matipun aku aken rela... Kun Liong, aku mohon kepadamu, setengah tahun saja...”

In Hong yang melibat dan mendengar itu semua, tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menggigit bibirnya dan matanya terasa panas. Betapa besar rasa cinta di hati gurunya terhadap kakaknya! Alangkah akan bahagianya hati gurunya kalau dapat menjadi isteri kakak kandungnya. Dan dia sendiripun akan merasa bahagia! Terimalah dia, koko! Terimalah dia! Demikian bisik hatinya.

Akan tetapi Kun Liong berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Yo Bi Kiok, kau tidak nanti mau menggunakan kesempatan berbuat seperti itu, dan aku tahu bahwa engkaupun adalah seorang wanita yang mulia dan terhormat. Engkau hanya terseret oleh keadaan sekelilingmu setelah engkau menjadi murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Kita tinggal menjadi sahabat dan biarpun engkau sekarang tidak begitu muda lagi, kiranya engkau akan dapat memilih seorang pria yang bebas, yang tepat menjadi jodohmu. Insyaflah, Bi Kiok, kita berdua tidak berjodoh dalam penghidupan ini, entah di lain kebidupan kelak.”

“Kau... kau... tetap menolak?”

Kun Liong menarik napas panjang. “Tidak ada jalan lain, Bi Kiok. Kaukasihanilah aku dan dirimu sendiri, kita bukan jodoh...”

“Cukup! Manusia keji, laki-laki kejam! Setelah engkau mencuri hatiku, menjatuhkan hatiku, engkau mengingkari! Setelah engkau dahulu bermanis-manis kepadaku, bahkan... menciumku di dalam guha, sekarang mengatakan tidak jodoh! Engkau manusia rendah, Kun Liong! Aku masih menanti-nanti, bahkan sampai kini aku tadi telah memohon kepadamu, bukan selamanya melainkan setahun saja, setengah tahun saja, aku telah merendahkan diriku, mengemis cinta sedikit saja, namun engkau tetap menolak. Kini, engkau atau aku yang harus mampus!” Bi Kiok berkata-kata setengah menjerit dan pedangnya lalu meluncur karena dia sudah mulai menyerang.

“Bi Kiok...!” Kun Liong memprotes akan tetapi percuma saja, pedang itu sudah menyerangnya dengan kecepatan yang amat mengejutkan sekali sehingga biarpun dia sudah mengelak cepat, tetap saja bajunya di pundak terobek ujung pedang!

“Ah, engkau terlalu memaksaku, Bi Kiok.” Kun Liong berkata, meloncat tinggi ke belakang. Bi Kiok mengejar dengan geseran-geseran kaki cepat sekali, lalu pedangnya menusuk ke arah dada Kun Liong yang masih meloncat itu.


Cringgg...!” Bunga api berpijar ketika pedang Bi Kiok yang menusuk itu ditangkis oleh pedang di tangan Kun Liong yang mencabutnya ketika meloncat tadi.

Kini kedua orang yang memiliki kepandaian hebat itu mulai bertanding. Mula-mula Kun Liong hanya menggunakan pedengnya untuk membela diri saja, akan tetapi dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa gerakan Bi Kiok benar-benar luar biasa cepat dan anehnya, juga tenaga sin-kangnya kini amat kuat. Hampir dia tidak percaya bahwa ini adalah Bi Kiok yang dahulu itu! Untuk mempercepat pertandingan itu dan menyudahinya, Kun Liong lalu menggerakkan pedangnya mainkan Siang-liong-kiam yang diimbangi dengan totokan-totokan tangan kirinya, ilmu silat tinggi yang dia pelajari dari kakek Bun Hwat Tosu. Akan tetapi ternyata ilmu pedang ini sama sekali tidak dapat mengatasi ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Kiok, bahkan dia terdesak karena ilmu yang dimainkannya itu sebetulnya aselinya adalah Siang-liong-pang atau Tongkat Sepasang Naga yang harus dimainkan dengan tongkat sepasang, maka kini dimainkan dengan sebatang pedang dibantu tangan kiri masih kurang kuat atau kehilangan keaseliannya, sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Kiok adalah ilmu silat pedang aseli yang amat tinggi mutunya.

Setelah lewat lima puluh jurus, Kun Liong malah terdesak! Hal ini adalah karena dia mengirim serangan-serangan balasan hanya untuk mengurangi gelombang serangan Bi Kiok sama sekali bukan dengan niat melukai wanita itu. Cepat Kun Liong merobah permainan pedangnya, kini pedangnya berkelebat merupakan bianglala atau sinar pedang melengkung panjang yang seperti seekor naga menyambar ke manapun sinar pedang lawan berkelebat. Inilah ilmu pedang gabungan yang diciptakannya sendiri, diambil dari gerakan semua ilmu pedang yang dikenalnya lalu dihimpun dengan dasar Ilmu Sakti Keng-lun Tai-pun, yaitu kitab peninggalan Bun Ong yang terjatuh ke tangannya.

“Aihhh...!” Bi Kiok berseru, kaget dan kagum sekali. Sinar pedang melengkung itu lihai bukan main, semua desakannya menghadapi benteng sinar yang amat kuatnya, bahkan beberapa kali pedangnya menyeleweng dan mengancam dirinya sendiri! Kalau saja tidak sedemikian besar bencinya terhadap Kun Liong yang dianggapnya manusia yang telah menghancurkan hidupnya, tentu tidak malu-malu lagi dia mengaku kalah. Dia maklum babwa kalau Kun Liong menghendaki, pendekar sakti itu akan mampu merobohkannya dengan ilmu pedang mujijat yang amat kuat ini namun Kun Liong tidak pernah melakukan serangan maut.

“Mampuslah!” teriaknya dan ketika terdapat lowongan, pedangnya menusuk dengan cepat sedangkan tangan kirinya melakukan pukulan tangan kosong dengan jari terbuka didorongkan ke arah dada Kun Liong.

“Cringgg...!” Pedangnya terpental dan lagi-lagi bertemu dengan sinar pedang yang seperti bianglala itu, akan tetapi hantaman jarak jauh tangan kirinya berhasil karena Kun Liong agaknya tidak menyangka bahwa pukulan sin-kang itu akan sehebat itu.

“Desss...!” Hawa pukulan yang amat kuat den dahsyat menghantam dada Kun Liong den pendekar ini terjengkang roboh bergulingan. In Hong menggigit jari tangannya, membayangkan kakak kandungnya akan dibunuh di depan matanya. Dia tidak tahu harus membantu siapa!

“Hebat sekali engkau...!” Kun Liong memuji dan telah meloncat bangun dan kembali sinar pedangnya membentuk benteng kokoh kuat. Dia benar-benar kagum karena tak disangkanya tamparan atau dorongan telapak tangan kiri dari Bi Kiok itu sedemikian dahsyat den kuatnya, agaknya tidak kalah dibandingkan dengan ilmunya Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih)! Kun Liong mulai merasa bingung. Bagaimana dia akan dapat menyudahi pertandingan ini tanpa melukai Bi Kiok kalau wanita ini sedemikian lihainya? Tidak ada jalan lain, pikirnya, kecuali mempergunakan Ilmu Mujijat Thi-khi-i-beng!

Ilmu Thi-khi-i-beng ini merupakan ilmu mujijat yang berdasarkan tenaga sin-kang yang amat kuatnya, dipelajarinya dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, puluhan tahun yang lalu, ilmu ini menjadi ilmu yang diperebutkan di dunia persilatan, akan tetapi akhirnya hanya pendekar Cia Keng Hong seorang yang menguasainya. Kemudian, karena melihat puterinya, Cia Giok Keng, kurang kuat untuk mewarisi ilmu ini, dan melihat bakat pada diri Kun Liong, Cia Keng Hong lalu mengajarkannya kepada Yap Kun Liong. Kehebatan ilmu ini, selain membuat tubuh kebal terhadap segala macam senjata juga dapat menyedot tenaga sin-kang lawan pada saat bagian tubuh mereka saling bersentuhan sehingga tubuh lawan melekat dan tenaga sin-kangnya disedot habis!

Kun Liong yang tidak ingin melukai Bi Kiok, menanti kesempatan baik ketika pedang lawan itu menyambarnya, dia menindih pedang itu dari atas dan mengerahkan sin-kangnya sehingga pedang itu melekat dengan pedangnya, tidak dapat dilepaskan kembali. Betapapun Bi Kiok mengerahkan tenaganya, namun pedangnya tetap melekat pada pedang Kun Liong. Hal ini membuat dia makin marah, sambil berseru keras tangan kirinya yang kuat itu menghantam lagi, kini mengarah lambung Kun Liong.

“Bhukkkk!” Kun Liong sengaja menerima pukulan tangan kiri itu dengan lambungnya sambil mengerahkan Thi-khi-i-beng. Tangan Bi Kiok melekat, dan biasanya dalam keadaan begini, melalui bagian tubuh yang dipukul itu, Kun Liong dapat menyedot tenaga lawan.

“Huhhhh...!” Tiba-tiba Bi Kiok mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya, kakinya menekan tanah dengan keras, tubuhnya memutar dan tangannya yang melekat pada lambung Kun Liong terlepas! Di lain saat, pedangnya yang juga sudah terlepas itu sudah menyambar lagi menusuk ke arah mata Kun Liong, disusul tamparan maut yang menyerang perut!

“Ehhh...?” Kun Liong terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali, baru dia dapat menyelamatkan diri dari serangan yang susul-menyusul itu. Bukan main! Bi Kiok malah sudah menguasai ilmu yang merupakan tandingan dari Thi-khi-i-beng! Tidak mempan lagi diserang dengan ilmu itu! Diam-diam Kun Liong menjadi makin kagum. Kiranya bokor emas itu telah memberi ilmu-i1mu yang sedemikian hebatnya kepada Bi Kiok. Namun, tetap saja wanita ini hidupnya sengsara karena... dia! Padahal, menjadi pewaris bokor emas yang ternyata merupakan pusaka luar biasa itu sebetulnya merupakan hal yang amat hebat dan beruntung sekali.

Kini dia maklum bahwa mengalahkan Bi Kiok tanpa melukainya adalah hal yang sama sekali tidak mungkin. Tingkat kepandaiannya tidaklah terlalu jauh selisihnya dengan tingkat kepandaian Bi Kiok, dan andaikata dia akan memaksakan kemenangan dengan melukai wanita inipun agaknya bukanlah merupakan hal yang amat mudah. Dan hal itu sama sekali tidak dikehendakinya, karena tentu akan membuat Bi Kiok makin sakit hati kepadanya.

Kun Liong lalu memperhebat gerakan pedangnya. Hanya dengan ilmu pedang ciptaannya yang berdasar pada ilmu dari kitab Keng-lun Tai-pun saja dia dapat menahan semua serangan Bi Kiok, bisa menutupi tubuhnya dengan benteng sinar pedangnya yang melengkung panjang seperti bianglala.

“In Hong, demi mendiang ayah dan bunda kita, engkau harus menemui aku! Kita harus saling bicara... demi masa depanmu... ingatlah kepada orang tua kita, adikku...!” Kun Liong berkata dan In Hong yang mendengar ini tidak menjawab, hanya berdiri dengan muka pucat.

“In Hong, hayo cabut pedangmu dan bantu aku!” Bi Kiok berseru, suaranya penuh dengan wibawa.

“Subo...!” Suara In Hong terdengar gemetar dan matanya terbelalak.

“Kau melawan perintah subomu? Hayo pilih kaubantu aku atau bantu dia!” Bi Kiok membentak sambil terus menyerang Kun Liong.

“Baik, subo!” In Hong mencabut pedangnya dan menyerang ke depan.

“Cringgg... tranggg...!”

Kun Liong terkejut bukan main. Ketika In Hong menyerang, kini terdapat dua kekuatan yang menerjang gulungan sinar pedangnya dan ternyata dara itu gerakannya sama cepatnya dan sama kuatnya dengan Bi Kiok sehingga pertahanan gulungan sinar pedangnya bobol dan dua kali dia menangkis pedang Bi Kiok dan In Hong sehingga dia terdesak mundur! Celaka, pikirnya. Kalau adik kandungnya sudah sehebat ini kepandaiannya dan betul-betul mengeroyoknya, bukan tidak mungkin dia akan tewas di ujung pedang dua orang wanita itu!

“In Hong, engkau adik kandungku... engkau menyerang aku...?” Kun Liong membentak, akan tetapi sebetulnya dia tidak begitu heran melihat ini, mengingat betapa sejak kecil dara itu dipelihara dan dididik penuh kasih sayang oleh Bi Kiok.

“Kaupenuhilah permintaan subo!” In Hong berkata, lirih dan gemetar suaranya.

Kun Liong segera meloncat jauh ke luar dari tempat itu, dikejar oleh Bi Kiok. “Keparat, engkau hendak lari ke mana? Jangan harap akan dapat terlepas dari tanganku! In Hong, mari kita kejar!” Akan tetapi sekali ini In Hong tidak memenuhi perintah subonya. Dia memang bergerak juga, akan tetapi tidak cepat dan tertinggal jauh oleh Kun Liong dan Bi Kiok yang berlari cepat menuju ke pantai telaga.

“Kun Liong, berhenti kau! Seorang di antara kita harus mampus sekarang juga!” Bi Kiok berteriak-teriak dan beberapa kali dia telah menyerang dengan Siang-tok-swa, yaitu senjata rahasia pasir harum yang beracun, dan juga beberapa kali dia menimpukkan hui-kiam (pedang terbang), yaitu pedang-pedang pendek yang disambitkan dan tidak kalah oleh anak panah, cepat dan bahayanya. Namun semua itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Kun Liong yang terus melarikan diri. Untung baginya bahwa dalam hal ilmu berlari cepat, agaknya Bi Kiok masih belum mampu menandinginya, maka dia dapat meninggalkan wanita itu, kembali ke pantai, meloncat ke perahu dan mendayung perahu dengan cepat meninggalkan pulau.

Bi Kiok membanting-banting kaki di pinggir telaga, lalu berteriak-teriak memanggil anak buahnya, memerintahkan mereka untuk melakukan pengejaran. Namun, perahu Kun Liong sudah meluncur jauh sekali karena pendekar itu menggunakan tenaga saktinya untuk mendayung sehingga perahunya meluncur luar biasa cepatnya.

Sambil membanting-banting kaki di tepi telaga, Bi Kiok memandang ke arah perahu Kun Liong yang makin menjauh.

“Subo, biarkan saja dia pergi dan mari kita melupakan dia.”

Bi Kiok membalikkan tubuhnya, memandang muridnya dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan. “Kenapa engkau tidak ikut mengejar tadi?”

“Subo, betapapun juga, dia adalah kakak kandungku sendiri...” In Hong menjawab dengan muka tunduk.

Tiba-tiba Bi Kiok menangis, In Hong terkejut bukan main dan cepat dia memeluk pundak subonya.

“Aku... aku... aku mencintainya... aku cinta padanya...” demikian keluhan dan rintihan yang terdengar oleh In Hong. Peristiwa itu berkesan dalam sekali di hati In Hong, membuat dia makin ngeri akan hubungan pria dan wanita yang dianggapnya hanya mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan belaka, membuat dia makin tidak suka kepada pria, sungguhpun dia tidak dapat melihat kesalahan kakak kandungnya terhadap Bi Kiok. Kakak kandungnya sudah berterus terang bahwa tidak berjodoh dengan gurunya ini, bahkan sudah menikah dengan orang lain, dan kakak kandungnya tidak mau menerima uluran tangan Bi Kiok karena menjaga kehormatan mereka berdua. Dan dia tahu pula bahwa kalau kakaknya menghendaki, bukan tidak mungkin kalau subonya akan terluka atau tewas. Diam-diam dia amat kagum akan kelihaian kakak kandungnya itu.

Dua hari kemudian, ketika In Hong berpamit kepada subonya, Bi Kiok yang masih pucat dan lemah seperti orang yang baru saja menderita sakit keras itu memandangnya dengan wajah muram. Karena sudah memberi persetujuan sebelumnya, dia tidak mau menarik kembali, hanya dia minta In Hong berjanji kepadanya untuk tidak kembali kepada kakaknya dan pulang ke Kwi-ouw setahun sekali. Dan In Hong dengan hati tulus berjanji kepada subonya, karena memang tidak ada niat di hatinya untuk ikut kakaknya.

Dengan diantar pandang mata subonya berangkatlah In Hong meninggalkan pulau, menumpang perahu yang didayung oleh anggauta-anggauta Giok-hong-pang. Ada rasa rindu di hati Bi Kiok kepada dunia, untuk merantau seperti dahulu, namun teringat akan sakit hatinya, dia membaikkan tubuhnya dan kembali ke dalam gedung, memasuki kamarnya. Sementara itu, In Hong melambaikan tangannya kepada para anggauta Giok-hong-pang yang mengantarnya sampai ke seberang telaga. Setelah memasuki hutan, barulah In Hong merasa betapa dia berjalan seorang diri dan mulailah dia merasakan kegembiraan dan ketegangan, seolah-olah dengan hutan yang dimasukinya itu dia memulai suatu kehidupan beru dan dia segera melupakan semua kehidupan di pulau tengah Telaga Kwi-ouw yang makin membosankan hatinya itu.


Kota Tai-lin di tepi Sungai Kuning itu cukup ramai, sungguhpun kota itu jauh dari kota-kota lain dan kota terdekat dengan Tai-lin adalah kota besar Tai-goan yang letaknya di utara dan masih ada seratus li jauhnya. Keramaiannya adalah karena terletak di tepi Sungai Huang-ho itulah karena sungai ini merupakan alat perhubungan yang amat ramai, selain untuk mengangkat barang-barang dagangan juga karena daerah ini kaya dengan ikan.

Pada pagi hari itu, di sebuah restoran besar, satu-satunya restoran di kota Tai-lin, sudah penuh tamu yang makan pagi sambil bercakap-cakap. Keadaan di restoran itu atau di seluruh kota Tai-lin kelihatannya tenang dan tenteram saja, dan di antara para tamu itu yang terdiri dari penduduk Tai-lin dan juga para pedagang, tidak mengira sama sekali bahwa di antara mereka terdapat orang-orang yang sesungguhnya bukan tamu-tamu biasa, melainkan orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam), yaitu orang-orang dari kalangan Hok-lim (kaum penjahat) yang mulai berani bermunculan di kota-kota untuk mencari mangsa.

Memang hanya golongan hitam saja yang tahu akan perubahan besar di dunia kang-ouw yang telah terjadi di saat itu. Berita tentang dirampasnya Siang-bhok-kiam, pusaka atau lambang kebesaran Cin-ling-pai yang ditakuti semua penjahat, juga tentang tewasnya Cap-it Ho-han seperti dikabarkan, tewas oleh datuk-datuk baru di dunia kaum sesat, merupakan suatu kemenangan golongan hitam. Hal ini tidak saja disambut dengan gembira oleh kaum penjahat karena merasa bahwa dunia mereka kini lebih kuat daripada golongan putih, akan tetapi juga membesarkan hati mereka dan mereka merasa lebih leluasa untuk melakukan pekerjaan mereka secara lebih terbuka karena bukankah kini fihak kaum sesat lebih kuat?

Seperti memperoleh dorongan semangat baru, kaum penjahat di sekitar kota Tai-lin kini juga mulai beraksi, dan tidaklah mengherankan apabila di antara para tamu di restoran itu terdapat beberapa orang golongan hitam yang ikut makan pagi tanpa diketahui orang lain. Di dalam dunia kaum sesat, hanya penjahat-penjahat kecil sajalah yang bersikap kasar dan berlagak jagoan, akan tetapi penjahat-penjahat yang lebih tinggi tingkatnya, tidak ada yang mengenalnya karena mereka itu kadang-kadang menyamar,sebagai pedagang, sebagai pelajar dan orang-orang yang tergolong tinggi derajatnya. Penjahat-penjahat yang seperti ini tidak mau melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh seperti yang dilakukan penjahat rendahan, seperti tidak membayar makanan di restoran atau sewa kamar di hotel, mencopet dan mencuri barang-barang yang tidak begitu berharga, dan sebagainya. Mereka ini tidak serakah akan barang-barang kecil, akan tetapi menanti saatnya dan sekali pukul harus memperoleh hasil yang cukup banyak.

Tiba-tiba semua tamu di restoran itu menghentikan percakapan mereka dan semua mata memandang keluar ketika seorang dara muda memasuki pintu depan restoran itu. Mata para tamu itu terbelalak, mulut mereka ternganga, dan mereka tidak menyembunyikan rasa kagum mereka ketika melihat dara itu melangkah memasuki restoran. Hal ini memang tidak mengherankan karena dara itu memang cantik bukan main. Wajahnya yang bulat telur berkulit putih halus tanpa bedak, kedua pipinya kemerahan tanpa yanci dan bibirnya merah tanpa gincu. Wajah itu agak berkeringat, dan rumbutnya agak kusut dengan anak rambut berjuntai di atas dahi yang agak basah oleh keringat akan tetapi kekusutan rambut dan wajah berkeringat itu malah menambah keaselian wajah yang cantik jelita itu. Hanya sayangnya, mata yang tajam dan mulut yang manis itu kelihatan membayangkan hati yang dingin dan tidak acuh terhadap sekelilingnya. Rambutnya digelung ke atas, panjang sekali rambut itu sehingga gelungnya juga menjulang tinggi di atas kepala, dihias sebuah perhiasan dari batu kemala yang indah berbentuk seekor burung hong. Sebatang pedang dengan ronce-ronce merah tergantung di punggungnya, menambah angker dan gagah wajah yang dingin itu.

Tubuhnya tinggi semampai dengan lekuk lengkung kematangan seorang dara. Pakaiannya sederhana namun bersih dan tangan kanannya memegang sebuah buntalan kain kuning yang agaknya berisi pakaian namun juga kelihatan agak berat sungguhpun dara itu membawanya dengan mudah. Ketika dia melangkah masuk mencari sebuah meja kosong, lenggangnya yang seenaknya itu membayangkan tubuh yang lemah gemulai, pinggulnya bergerak menari-nari dan lenggang yang tidak dibuat-buat melainkan sewajarnya itu demikian indah seperti sebuah tarian yang terlatih. Bagi beberapa orang yang mengerti ilmu silat dan yang duduk di tempat itu, akan maklum bahwa memang demikianlah langkah seorang wanita yang “berisi”, yaitu di balik keluwesan dan kelemasan tubuhnya itu bersembunyi tenaga yang hebat, yang membuat dia dapat bergerak dan melangkah seenaknya dengan wajar namun penuh keagungan dan gaya.

Melihat dara ini melakukan perjalanan seorang diri dan membawa-bawa pedang, semua orang dapat menduga bahwa dara ini tentulah seorang dara kang-ouw yang melakukan perjalanan seorang diri mengandalkan pedang dan kepandaiannya, dan sikap pendiam dan dingin, terutama pedang panjang yang kini dilepaskan dari punggung dan diletakkan di atas meja bersama buntalannya itu membuat orang-orang tidak berani memandang secara langsung.

Dara ini bukan lain adalah Yap In Hong! Telah hampir dua pekan dia melakukan perantauannya dan tiba di kota itu, kota besar pertama kali yang dimasukinya sejak meninggalkan Kwi-ouw. Dia lelah sekali karena telah melakukan perjalanan jauh naik turun gunung dan masuk keluar hutan, dan sudah dua hari dua malam dia hanya makan hasil buruan di hutan dan buah-buah yang dapat dia temukan di dalam hutan, bersama air jernih saja. Kini dia memasuki restoran dan sudah bangkit seleranya, sudah berbunyi perutnya ketika hidungnya mencium bau bumbu masakan yang mengepul keluar dari dalam dapur.

Seorang pelayan tua terbungkuk-bungkuk menghampiri In Hong. “Nona hendak makan dan minum apakah?” tanyanya sambil mengerling ke arah pedang di atas meja.

“Nasi putih, mi bakso dan daging ayam rebus dengan saus tomat. Minumnya teh wangi yang hangat saja.”

Pelayan itu mengangguk-angguk dan karena merasa heran mendengar seorang wanita kang-ouw tidak memesan arak, dia bertanya hati-hati, “Tidak pakai arak, nona?”


In Hong memang tidak begitu doyan arak yang keras. “Apakah ada anggur yang tidak keras?” tanyanya.

Pelayan itu menggeleng kepala. “Hanya ada arak yang wangi dan tua, arak kami terkenal sekali, nona!”

“Tidak, aku tidak suka. Eh, kalau ada tolong aku minta disediakan satu panci air hangat untuk cuci muka, paman.”

“Baik, baik...” Pelayan itu pergi dengan hati senang. Sikap dara kang-ouw itu tidak seperti wanita-wanita kang-ouw lainnya yang angkuh dan kasar, bahkan ketika minta air hangat memakai kata “tolong”. Hatinya senang dan setelah dia menyampaikan pesanan In Hong ke bagian dapur, dia sendiri membawa sepanci air hangat untuk nona itu.

In Hong menaruh air itu di atas bangku, kemudian mencuci mukanya, menggosok-gosok mukanya dengan keras untuk menghilangkan debu dari muka dan lehernya, juga kedua tangannya. Setelah itu dia lalu menggosok leher, muka dan tangan itu dengan saputangan bersih sampai kering. Kini mukanya makin berseri, kedua pipinya makin merah sehingga kagumlah semua orang yang duduk tak jauh dari tempat itu.

In Hong duduk kembali dan mengerling ke kiri. Dia tahu bakwa sejak tadi, ada seorang laki-laki tua yang bertopi hitam, yang mengikuti gerak-geriknya dengan sikap mencurigakan. Melihat orang-orang lain memandangnya dengan kagum, dia tidak menganggap aneh biarpun hatinya muak menyaksikan sikap laki-laki itu karena semenjak dia merantau, hampir setiap kali berjumpa dengan pria dia selalu melihat pandang mata seperti itu, akan tetapi laki-laki tua bertopi itu lebih memperhatikan buntalannya! Dan itulah yang mencurigakan hatinya.

Laki-laki tua itu sedang makan mi dengan sumpitnya. Cepat sekali sumpitnya bergerak menjepit mi dan mendorongnya ke mulut. In Hong menelan ludah. Makin lapar rasa perutnya melihat orang makan selahap itu. Kecepatan jari tangan kanan mempermainkan sepasang sumpit itu menarik hatinya. Cepat sekali dan amat kuat, pikirnya. Berbeda dengan gerak tangan orang-orang lain. Tentu bukan orang biasa, pikirnya pula dengan hati makin curiga. Akan tetapi dia duduk tenang saja, tidak menoleh ke kanan atau kiri, tidak membalas pandang mata banyak pria yang ditujukan kepadanya dengan kagum.

Biarpun baru setengah bulan dia melakukan perjalanan, dia sudah melihat banyak tentang kehidupan di luar lingkungan Giok-hong-pang dan diam-diam dia menjadi makin tidak suka melihat kenyataan tentang kekuasaan kaum pria terhadap wanita. Dia melihat wanita-wanita sebagai kaum lemah yang diperbudak pria, yang bersikap mengalah, manja, dan minta dilindungi. Di mana-mana dia melihat gejala ini, dan melihat sikap pria yang selalu ingin menang, yang memandang wanita seperti benda permainan belaka. Hampir semua pria yang dijumpainya memandang kepadanya dengan mata buas, tidak terkecuali, baik yang sudah beristeri maupun yang belum. Pandang mata yang haus dan kurang ajar, yang seolah-olah hendak menelanjangi dan menggerayangi tubuhnya. Pantas kalau subo dan para bibi di Giok-hong-pang membenci pria, pikirnya. Dan mulailah dia melihat betapa perbuatan para bibi di Kwi-ouw terhadap pria-pria Kwi-eng-pang yang menjadi budak itu sebagai pembalasan dendam dari mereka terhadap kaum pria! Betapapun juga, dia bukanlah seekor binatang buas yang haus darah pria seperti mereka itu, pikirnya. Dia belum pernah disakiti hatinya oleh pria, maka biarpun dia tidak senang, namun dia tidak mempunyai perasaan benci terhadap pria pada umumnya seperti mereka. Tidak semua pria sejahat itu, pikirnya pula. Buktinya, sikap kakak kandungnya yang jenaka dan baik, dan subonya yang terkenal pembenci pria itu ternyata masih cinta kepada kakak kandungnya!

Makanan yang dipesannya datang diantar oleh pelayan tadi yang mempersilakannya dengan sikap hormat.

“Silakan, nona.”

“Terima kasih, paman. Engkau baik sekali,” jawab In Hong, karena sikap itu dia menganggap si pelayan jauh lebih baik daripada semua pria yang berada di situ.

Pelayan itu girang dan mengangkat pergi panci air hangat yang tadi dipakai mencuci muka In Hong. Dara itupun mulai makan. Bukan main lezatnya makan di waktu perut sudah lapar sekali dan selera sudah penuh keinginan sejak tadi. Dia tidak perduli betapa banyak mata mengincarnya, seolah-olah gerakan mulutnya ketika makan amat menarik hati mereka. Begitupun juga, dia merasa tidak enak dan ditutupi mulutnya dengan mangkok nasi dan ketika mengunyah makanan dia tidak membuka mulutnya. Mi bakso itu enak, terutama baksonya yang pulen dan gurih, daging ayam rebus saus tomat itupun lezat, empuk dan manis sausnya sedang baunya harum dan sedap karena dicampur arak sedikit.

Setelah selesai makan, In Hong memanggil pelayan, membayar harga makanan dengan menambah persen untuk pelayan itu. Diambilnya uang perak dari dalam pundi-pundi uangnya yang terisi perak dan emas, bekal yang diberikan oleh subonya. Pelayan itu melongo ketika melihat demikian banyaknya emas dan perak dalam pundi-pundi, dan dia berkata perlahan. “Aihh, nona membawa uang begitu banyak, harap hati-hati di jalan.”

In Hong tersenyum dan orang-orang yang kebetulan melibatnya menjadi terpesona. Nona itu memiliki senyum yang bukan main manisnya, dan lenyaplah semua sifat dingin itu begitu dia tersenyum, seolah-olah awan-awan hitam yang lenyap oleh sinar matahari yang cerah dan yang muncul tiba-tiba. Sayang bahwa nona itu jarang tersenyum!

“Terima kasih, paman. Jangan khawatir.” Sambil berkata demikian, In Hong menyambar pedangnya dan menggantungkannya di punggung lagi, mengikatkan kain pengikat pedang di depan dada, di antara sepasang buah dadanya sehingga talian itu membuat pakaiannya makin mengetat dan tonjolan dadanya makin tampak membusung. Kemudian dia memanggul buntalan pakaiannya dan hendak pergi dari situ ketika telinganya yang berpendengaran tajam itu menangkap bisikan halus dari arah kanan, “...Giok-hong-pang...”



In Hong bertanya kepada pelayan itu dengan suara cukup keras sambil menoleh ke kanan, sekaligus pandang matanya menyapu ke arah orang yang menyebut nama perkumpulan subonya itu, “Paman, berapa jauhnya perjalanan dari sini ke kota Tai-goan?”

“Wah, masih jauh sekali, nona. Ke utara lalu membelok ke timur, lebih dari seratus li jauhnya. Apakah nona membutuhkan seekor kuda?”

“Tidak, paman. Aku akan berjalan kaki saja.” In Hong kini sudah melihat dengan jelas bahwa dua orang yang tadi membisikkan nama perkumpulan subonya adalah dua orang laki-laki muda, yang seorang berkumis dan berjenggot pendek, tinggi besar dan matanya lebar, yang kedua masih muda, memakai topi, mukanya kurus dan tampan agak pucat. Setelah melibat jelas, In Hong bersikap seperti tidak ada apa-apa, kemudian dia keluar dari restoran itu dan melanjutkan perjalanannya.

Hatinya lega setelah dia keluar dari kota Tai-lin, berjalan sendirian saja di atas jalan yang sunyi dan di kanan kirinya terdapat tanah yang penuh dengan rawa kering. Sampai belasan hari dia melakukan perjalanan dan tidak pernah terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, tidak seperti yang didengung-dengungkan oleh para bibinya di Giok-hong-pang bahwa dunia ini kejam, terutama kaum prianya. Buktinya, dia tidak pernah mengalami gangguan! Dan kalau sebagian besar pria seperti pelayan restoran itu, hidup ini tidaklah begitu sengsara bagi wanita!

Jalan itu memasuki sebuah hutan kecil dan tiba-tiba perhatian In Hong tertarik ke depan. Pandang matanya yang tajam dan terlatih itu dapat melihat berkelebatnya bayangen orang di balik pohon-pohon yang jarang di depan itu. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan tidak curiga karena mengira bahwa mungkin sekali bayangan itu adalah tukang-tukang kayu atau pemburu-pemburu yang biasa berkeliaran di hutan-hutan.

Akan tetapi ketika dia tiba di tempat di mana tadi dia melihat bayangan orang berkelebat, tiba-tiba dia berhenti karena mendengar suara kaki orang, dan tepat seperti sudah diduganya, dia melihat dua orang laki-laki muncul dari balik batang pohon, satu dari kanan dan seorang lagi dari sebelah kiri. Kecurigaannya baru timbul ketika dia mengenal mereka itu sebagai dua orang tamu di restoran yang tadi membisikkan nama perkumpulan Giok-hong-pang. Namun In Hong masih tetap tenang dan tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, hanya memandang mereka bergantian dengan sinar mata yang amat tajam menyelidik.

“Maafkan kami, lihiap!” Tiba-tiba orang muda yang bertopi dan bermuka kurus pucat itu berkata sambil menjura dengan hormat, sedangkan temannya juga menjura dengan senyum tertahan. Kini mereka berdua berdiri di depannya.

“Kalian mau apa?” tanya In Hong dengan suara datar dan dingin.

“Maafkan kami berdua, akan tetapi semenjak kami bertemu dengan lihiap di dalam restoran di kota Tai-lin pagi tadi, kami sangat tertarik dan ingin kami bertanya apakah lihiap seorang anggauta Giok-hong-pang yang amat terkenal di Telaga Kwi-ouw?”

In Hong memandang dengan lirikan merendahkan, lalu menjawab datar, “Benar, aku adalah murid pangcu dari Giok-hong-pang, habis mengapa?”

Mendengar ini, dua orang itu saling pandang, lalu mereka menjura makin dalam lagi. “Ah, maaf... maaf... karena tidak yakin maka kami tadi tidak berani bertanya. Kiranya lihiap adalah seorang tokoh penting dari Giok-hong-pang. Ketahuilah, lihiap, bahwa di antara kami dan Giok-hong-pang masih segolongan dan dengan telah berpindahnya Siong-bhok-kiam ke tangan golongan kita maka persahabatan di antara kita perlu dibina. Oleh karena itu, kami mengundang kepada lihiap sukalah dalam perjalanan lihiap ini datang mengunjungi tempat kami di hutan depan untuk mempererat persahabatan.”

In Hong pernah mendengarkan penuturan subonya tentang dua golongan, yaitu golongan putih dan hitam dan subonya secara samar mengatakan bahwa Giok-hong-pang boleh jadi digolongkan golongan hitam. Menurut subonya, golongan putih terdiri dari orang-orang yang sombong dan merasa diri sendiri paling bersih dan paling pandai. Sedangkan golongan hitam banyak terdapat orang-orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena itu, subonya juga tidak pernah melakukan hubungan dengan golongan manapun juga. Akan tetapi dia pernah mendengar subonya bercerita tentang Siang-bhok-kiam sebagai pedang pusaka yang pernah menggegerkan dunia persilatan, milik dari seorang pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Maka kini mendengar ucapan orang itu bahwa Siang-bhok-kiam telah berpindah ke tangan golongan hitam, dia merasa heran dan ingin mengetahui lebih banyak.

“Kalian siapakah?”

Si jenggot pendek yang tinggi besar dan berkulit kehitaman itu tersenyum lebar dan berkata, “Nona, kami adalah dua orang di antara Fen-ho Su-liong (Empat Naga Sungai Fen-ho) yang bukan tidak terkenal di seluruh daerah Tai-goan dan Tai-lin. Twa-suheng dan ji-suheng kami tentu akan merasa bangga sekali menerima kunjunganmu, nona. Marilah, tempat kami tidaklah jauh, hanya di hutan depan itu.”

Si muka pucat juga tersenyum dan menyambung, “Harap lihiap jangan khawatir dan takut, kami menjamin keselamatan lihiap.”

Ucapan si muka pucat itu mengusir semua keraguan di hati In Hong. Tadinya dia merasa ragu dan tidak ingin mengunjungi sarang mereka, akan tetapi begitu orang bertopi yang mukanya pucat itu menghiburnya agar tidak khawatir dan takut, harga dirinya memberontak. Dia khawatir? Dia takut?

“Hemmm...!” Dia menggeram lirih. “Baiklah, hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan!”

Jawaban inipun jelas merupakan tantangan, namun dua orang itu seolah-olah tidak mengerti dan dengan girang mereka mengajak In Hong memasuki hutan kedua yang besar, yang berdampingan dengan hutan kecil itu.

“Biar kubawakan buntalanmu, nona,” si muka pucat berkata.

“Tidak perlu, aku bawa sendiri,” jawab In Hong. Si muka pucat ini berusaha untuk bersikap hormat dan ramah, namun berbeda dengah keramahan pelayan restoran yang wajar dan menyenangkan, sebaliknya keramahan orang muda ini mencurigakan dan tidak menyenangkan karena terlalu dibuat-buat dan pandang mata pemuda inipun tiada bedanya dengan pandang mata kaum pria yang begitu menjemukan dan kurang ajar.

“Terserah kepadamu, lihiap, hanya kami biasa berjalan cepat, takut membuat lihiap lelah kalau membawa barang berat.” Setelah berkata demikian, si muka kurus itu bersama temannya lalu menggunakan ilmu lari cepat, berkelebatan memasuki hutan besar itu.

In Hong melihat betapa gerakan mereka itu cepat juga, tanda bahwa mereka memiliki gin-kang yang cukup tinggi. Namun dia bergerak seenaknya mengikuti dan tidak pernah ketinggalan sehingga dua orang yang kadang-kadang menoleh ke belakang itu menjadi kagum juga. Karena melakukan perjalanan cepat, sebentar saja mereka telah tiba di tengah hutan besar di mana terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Fen-ho dan ternyata sarang mereka itu berada di tepi sungai, terdiri dari pondok-pondok yang berdiri sembunyi di antara pohon-pohon den semak-semak belukar.

Kedatangan mereka disambut oleh dua orang laki-laki lain yang juga bertubuh tinggi besar dan kelihatan kuat, yang tersenyum lebar dan yang keluar dari dalam pondok terbesar. Dan In Hong melihat betapa masih ada belasan orang laki-laki bermunculan dari tempat-tempat tersembunyi, mereka itu kelihatan terdiri dari orang-orang kasar.

“Ha-ha, sam-sute (adik ketiga) dan si-sute (adik keempat) sungguh hebat, pulang membawa anak ayam yang begini mulus! Ha-ha-ha!” Orang yang bertahi lalat di tengah hidungnya yang besar berkata sambil tertawa-tawa.

“Twa-suheng, none ini adalah murid dari ketua Giok-hong-pang di Kwi-ouw. Mengingat akan nama besar Giok-hong-pang, maka sengaja kami persilakan untuk singgah di sini untuk berkenalan dengan twa-subeng dan ji-suheng,” kata si muka pucat.

“Ahh, begitukah? Seorang naga betina dari Giok-hong-pang? Bagus, silakan masuk, nona,” kata si tahi lalat.

In Hong yang tidak ingin dianggap takut, hanya mengangguk den mengikuti empat orang laki-laki itu memasuki pondok terbesar di mane dia dipersilakan duduk menghadapi meja dan tak lama kemudian jamuan makan dikeluarkan.

“Aku hanya berhenti sebentar dan akan melanjutkan perjalananku ke Tai-goan.” In Hong berkata sambil mengerutkan alisnya.

“Perjalanan ke Tai-goan hanya dekat, nona. Kita bicara dulu dan silakan menikmati hidangan seadanya,” kate si tahi lalat yang ternyata adalah orang pertama dari Empat Naga dari Fen-ho itu. “Kami mendangar bahwa Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw dari tangan Kwi-eng-pang dan membasmi Kwi-eng-pang. Benarkah? Kami kenal baik dangan Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang, lalu bagaimana dia sekarang?”

“Dia telah tewas,” In Hong menjawab pendek.

“Ahhh...!” Si tahi lalat berseru. “Kalau Hek-tok-ciang Kiang Ti sampai tewas, tentu kepandaian subomu itu hebat bukan main!”

In Hong tidak menjawab dan ketika dipersilakan makan, dia hanya mengambil beberapa sayur dan daging, kemudian minta disediakan air teh karena dia tidak suka arak.

“Aku tadi mendangar tentang Siang-bhok-kiam, apakah kalian dapat menceritakan apa yang terjadi dengan pedang pusaka Cin-ling-pai ini?” Akhimya dia bertanya karena dia tidak ingin lama-lama berada di situ dan sebetulnya dia tadi hanya ikut untuk mengetahui lebih banyak tentang berita mengenai pedang pusaka itu.

“Ha-ha-ha, apakah Giok-hong-pang belum mendangar berita hebat itu? Ha-ha, akhirnya Cin-ling-pai dangan Cap-it Ho-hannya menemui tanding! Cap-it Ho-han yang disohorkan lihai seperti dewa itu akhirnya mampus di tangan Lima Bayangan Dewa, bahkan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dirampas! Ha-ha, ingin aku menyaksikan muka ketua Cin-ling-pai!” Si tahi lalat berkata dangan nada girang bukan main.

In Hong tidak pernah mendangar dari subonya tentang Cap-it Ho-han, dia hanya mendangar bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang kakek pendekar yang oleh subonya disebut nomor satu di dunia! Kalau sampai pedang pusaka terampas, tentu para perampasnya itu hebat sekali.

“Siapakah Lima Bayangen Dewa?” tanyanya.

“Kami sendiripun belum mendapatkan kehormatan untuk mengenalnya. Akan tetapi tentu mereka merupakan datuk-datuk baru dari golongan kita. Setelah ada datuk-datuk baru sehebat itu, yang mampu mengacau Cin-ling-pai, kita takut apa? Ha-ha-ha, kaum kang-ouw tentu akan geger sekarang.”

In Hong bangkit berdiri. “Sudahlah, terima kasih atas jamuan kalian. Aku akan melanjutkan perjalananku.”

“Eh, eh, nona... nanti dulu! Kami harap nona suka menginap di sini untuk beberapa malam, atau setidaknya untuk malam ini! Bukan merupakan hal biasa dapat menjamu seorang seperti nona, dan kami merasa beruntung sekali dengan pertemuan ini yang harus dirayakan malam nanti,” si hidung besar bertahi lalat berkata.


Nona, rasa rindu kami belum terlampiaskan, mengapa tergesa-gesa pergi?” kata si muka pucat dangan nada merayu. Akan tetapi karena In Hong belum berpengalaman, dia tidak mengerti akan kekurangajaran yang tersembunyi di balik kata-kata itu.

Tiba-tiba terdangar ribut-ribut di sebelah luar dan serombongan orang kasar itu masuk ke pondok sambil menyeret seorang laki-laki yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal orang atau barang kiriman) yang terikat erat-erat seperti seekor babi yang akan disembelih. Lima orang kasar itu mendorong piauwsu itu ke atas lantai di depan Fen-ho Su-liong.

“Siapa dia? Apa perlunya kalian membawa babi ini datang ke sini?” Si tahi lalat membentak marah. Sementara itu, melihat kejadian ini, In Hong tidak jadi pergi dan duduk sambil menonton penuh perhatian.

“Twako, harap maafkan kami! Kami berhasil menahan sebuah perahu besar, akan tetapi ketika kami minta pajak kepada mereka seperti biasa, lima orang piauwsu yang mengawal perahu melawan dan memaki kami. Terpaksa kami turun tangan menggulingkan perahu karena piauwsu-piauwsu itu lihai. Kami berhasil menawan tiga ekor anak ayam untuk twako dan kepala piauwsu yang menjadi biang keladinya ini kami seret ke sini. Sayang bahwa sebagian besar harta di perahu itu ikut tenggelam.”

Si tahi lalat menjadi merah mukanya. “Bodoh! Kenapa harus menggulingkan perahu?”

“Piauwsu-piauwsu itu lihai, terutama kepalanya ini. Tanpa menggulingkan perahu kami tidak mampu mengalahkan mereka.”

“Plakk!” Si tahi lalat menampar dan pelapor itu tergelimpang kena ditampar pipinya. “Memalukan saja, di depan tamu bicara memperlihatkan kelemahan!” Dia menoleh kepada In Hong sambil berkata, “Coba nona lihat, apakah tidak memalukan mempunyai anggauta seperti ini?”

“Maafkan kami, twako...”

“Hayo buka ikatannya!” Si tahi lalat memerintah sambil menuding ke arah piauwsu yang sudah mulai siuman itu. Pakaian piauwsu itu basah kuyup dan mukanya pucat karena tadi dia dikeroyok ketika tercebur ke air dan di dalam air dia sama sekali tidak mampu menandingi ilmu renang para bajak sungai ini,sehingga akhirnya dia pingsan dan diikat.

“Tapi... twako...” anggauta bajak itu terkejut karena maklum akan kelihaian piauwsu ini.

“Buka...!” Si tahi lalat membentak lagi lalu tertawa bergelak sambil minum araknya. Sejak tadi dia sudah minum arak terlalu banyak sampai mukanya menjadi merah dan dia sudah agak mabok. “Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya sehingga dia berani melawan anak buah Fen-ho Su-liong!”

In Hong memandang dangan tenang saja dan bibirnya membentuk senyum mengejek menyaksikan lagak si tahi lalat itu. Dia tidak perduli dan tidak merasa kasihan kepada piauwsu itu karena merasa bahwa yang dihadapinya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dangan dirinya, dan diam-diam diapun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kelihaian Empat Naga Sungai Fen-ho yang sombong ini dan yang menganggap sebagai “sahabat” dari Giok-hong-pang.

Piauwsu itu dibebaskan dan sejenak dia duduk sambil mengumpulkan napas dan kekuatannya. Dia maklum bahwa dia berada di sarang bajak dan tidak ada harapan baginya untuk dapat hidup. Akan tetapi setidaknya dia akan mempertahankan diri sebagai seorang gagah.

“Hayo bangun, jangan pura-pura mampus!” Si muka pucat menghardiknya.

Piauwsu itu sudah berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya gagah. Dihardik demikian, dia mengangkat muka, memandang kepada empat orang itu satu demi satu dan dia tercengang ketika melihat seorang gadis cantik jelita duduk bersama empat orang kepala bajak itu. Akan tetapi pandang matanya kepada In Hong juga tidak ada bedanya dangan ketika dia memandang bajak-bajak itu karena dia mengira bahwa tentu wanita muda yang cantik inipun kaki tangan bajak! Dengan perlahan dia pun bangkit berdiri dan langsung menghadapi si tahi lalat yang dia tahu adalah ketuanya karena tadi disebut twako.

“Kalau tidak salah, su-wi (kalian berempat) adalah yang disebut Su-liong (Empat Naga) dari Fen-ho. Sungguh mengherankan sekali, biasanya antara su-wi dan kami golongan piauwsu tidak ada permusuhan, bahkan ada kerja sama baik. Seingat saya, Pek-eng Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Garuda Putih) tidak pernah menolak permintaan sumbangan dari semua sahabat di sekitar Fen-ho. Mengapa hari ini su-wi mengganggu kami?”

“Ha-ha-ha, piauwsu busuk! Bicara manispun tidak ada gunanya! Tak perlu kau merengek-rengek karena kami tidak akan mengampunimu!” kata si jenggot pendek.

Piauwsu itu membusungkan dadanya. “Saya tidak mengharapkan pengampunan. Setelah kami gagal mengawal, pemilik barang tewas tenggelam dan barang-barangnya hilang, isteri dan anak-anaknya perempuan kalian culik, kamipun tidak mengharapkan hidup lagi. Kami hanya ingin tahu mengapa terjadi perubahan ini di fihak kawan!” Suaranya tegas dan tidak menghormat lagi.

“Ha-ha-ha-ha!” si tahi lalat tertawa. “Kalau kami merobah sikap, kalian mau apa? Boleh panggil semua jagoan kang-ouw, pendekar-pendekar yang sakti di kolong langit! Apakah mau minta bantuan ketua Cin-ling-pai, ataukah Cap-it Ho-han? Ha-ha-ha!”

Piauwsu itu mengerutkan alianya. Dia mengerti. Kiranya berita yang menggegerkan dunia kang-ouw tentang kematian tokoh-tokoh Cin-ling-pai, tentang tercurinya pedang Siang-bhok-kiam itulah yang merobah sikap para golongan hitam!


Bagus! Kami bukanlah pengecut-pengecut yang suka minta bantuan siapapun. Untuk pekerjaan kami, kami sendiri yang bertanggung jawab. Setelah kalian membebaskan ikatanku, apakah kehendak kalian?”

“Ha-ha-ha, piauwsu cerewet!” Si tahi lalat tertawa dan segera menerjang dangan pukulan tangan kanannya ke arah kepala piauwsu itu.

“Dukkk...!” Plauwsu itu menangkis dan keduanya terpental ke belakang, tanda bahwa tenaga mereka seimbang.

“Haii, kau berani melawanku!” Si tahi lalat membentak marah dan terus menyerang dangan ganas. Ternyata si tahi lalat yang tinggi besar itu memiliki gerakan yang cepat juga, serangannya bertubi-tubi, susul-menyusul dengan pukulan dan tendangan kedua kaki tangannya, tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung ke belakang dan berusaha untuk mengelak dan menangkis. Akan tetapi tubuhnya memang sudah lemah dan tangannya belum pulih kembali dan orang pertama dari Fen-ho Su-liong itu memang lihai bukan main, maka piauwsu itu segera terdesak hebat.

“Bukk!” Tiba-tiba orang kedua dari Fen-ho Su-liong menendang dari belakang dan tepat mengenai pinggul si piauwsu yang tentu saja terhuyung ke samping dengan kaget.

“Plakkk!” Si jenggot pendek menampar dari samping. Biarpun piauwsu itu sudah mengelak, tetap saja serangan tiba-tiba ini mengenai pundaknya, membuat dia hampir terpelanting.

“Desssss!” Dengan gaya yang gagah si muka pucat menghantam dari belakang, tepat mengenai punggung piauwsu itu sehingga muntah darah.

“Bagus, kalian pengecut-pengecut hina! Jangan kira aku takut!” Piauwsu itu membentak dan dia menjadi nekat menyerang empat orang itu dangan niat untuk mengadu nyawa. Akan tetapi karena tingkat kepandaian empat orang itu rata-rata lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dia, sedangkan dia sudah lelah dan empat orang itu mengeroyoknya, tentu saja dia menjadi permainan mereka, dipukul dan ditendang ke sana ke mari sampai akhirnya sebuah tonjokan si tahi lalat yang mengenai perutnya membuat dia terjungkal dan tak dapat bangkit kembali.

In Hong melibat ini semua dan dia kini berkata perlahan, “Bagus! Jadi begini gagahkah yang berjuluk Empat Naga? Mengeroyok orang yang sudah tak bertenaga lagi?”

Empat orang yang sudah hendak memukuli piauwsu yang tak dapat melawan lagi itu mundur dan menyeringai agak malu. “Ha-ha-ha, biar ada sepuluh orang seperti dia, mana mampu melawan kami? Nona, kaulihat tonjokanku dangan jurus Naga Sakti Mencuri Mustika tadi begaimana, hebat tidak?” Si tahi lalat bertanya kepada In Hong.

“Ha-ha-ha, twako lebih pandai lagi mencuri hati wanita!” si kurus pucat berkata sambil tertawa-tawa, tidak tahu betapa In Hong sudah mulai merasa mual dan panas perutnya.

In Hong mengambil keputusan untuk segera pergi saja meninggalkan orang-orang yang menjijikkan itu, akan tetapi tiba-tiba dia mendangar suara tangis wanita dan melihat tiga orang wanita diseret-seret menuju ke tempat itu. Yang seorang adalah selir saudagar yang menjadi korban pembajakan, seorang wanita berusia tiga`puluhan tahun yang masih cantik dan berkulit putih sekali, sedangkan yang dua orang adalah gadis-gadis berusia tujuh belas dan lima belas tahun, puteri-puteri saudegar itu. Dengan kasar para bajak mendorong tiga orang wanita itu sehingga jatuh berlutut di depan Fen-ho Su-liong.

“Ah, inikah anak-anak ayam itu?” Si tahi lalat menghampiri mereka seorang demi seorang, memegang dagu mereka dan mengangkat muka itu untuk dilihat.

“Bagus, lumayan, masih mulus! Biarlah untuk kalian bertiga, sute! Sedangkan aku sudah mempunyai nona Giok-hong-pang ini. Nona, mari kita bersenang-senang di dalam kamarku, kita adalah orang sendiri dan sahabat, engkau nanti kupersilakan memilih simpanan benda-benda perhiasan yang paling berharga dariku dan...”

“Manusia biadab! Keluarlah karena saat ini adalah saat kematian kalian semua di tanganku!” In Hong tak dapat menahan kemarahannya lagi. Suaranya dingin, seperti bukan suara orang marah dan anehnya, bibir yang biasanya diam dan dingin, agak cemberut itu kini membayangkan senyum manis. Dia telah melempar buntalannya ke atas tanah dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke depan pondok itu. Dia tidak mau turun tangan di dalam pondok karena dia ingin mengalihkan perhatian mereka kepadanya agar tidak sempat mengganggu tiga orang wanita itu. Andaikata di situ tidak ada peristiwa penculikan tiga orang wanita yang dihina itu, agaknya belum tentu In Hong akan menjadi marah dan turun tangan. Bahkan dia tadi sudah ingin cepat-cepat pergi. Akan tetapi, melihat tiga orang wanita itu akan dihina merupakan puncak bagi kesabaran In Hong.

Empat orang Fen-ho Su-liong saling pandang lalu tertawa. “Wah, kiranya dia juga seekor kuda binal yang tidak mau ditunggangi begitu saja dangan jinak, twako!” kata si muka pucat.

“Ha-ha-ha, lebih baik lagi kalau begitu. Aku memang lebih suka kuda betina yang binal, yang melawan sebelum menjadi jinak penurut. Hayo kalian bantu aku menangkapnya dan menjinakkannya, sute bertiga!”

Empat orang laki-laki itu sambil tertawa-tawa lalu berlompatan keluar. Tugas untuk mengurung dan menjinakkan dara cantik jelita ini tentu saja diterima dangan gembira oleh tiga orang sute itu, karena memang kecantikan In Hong amat mempesona hati mereka dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dangan tiga orang wanita yang dibajak itu.


In Hong berdiri tegak tanpa bergerak sedikitpun, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, hanya matanya yang melirik ke kanan kiri ketika empat orang itu mengurungnya dari kanan kiri sambil tertawa-tawa.

“Haaai-hooohhh!” Si tahi lalat menggertak dan pura-pura menggerak-gerakkan kedua tangannya seperti orang mau menangkap, akan tetapi In Hong tidak bergerak karena tahu bahwa itu hanyalah gertakan saja. Empat orang Fen-ho Su-liong tertawa-tawa dan beberapa kali menggertak, lalu tiba-tiba mereka berempat menubruk secara berbareng dan menerkam tubuh In Hong seperti empat ekor harimau menerkam seekor domba dari empat penjuru.

“Bressss...!!” Mereka berteriak kesakitan dan bingung karena meraka saling bertubrukan sedangkan dara yang mereka tubruk itu telah lenyap. Cepat mereka meloncat mundur dan melihat In Hong berdiri dangan tenangnya di sebelah sambil memandang mereka dangan sikep mengejek. Sementara itu, para anggauta bajak sudah keluar semua dari pondok-pondok mereka ketika mendangar bahwa empat orang pimpinan mereke sedang “menjinakkan” seorang wanita cantik yang pandai ilmu silat, yang tadi menjadi tamu terhormat. Mereka semua sudah mendengar bahwa tamu itu adalah anggauta Giok-hong-pang yang diam-diam dimusuhi oleh pimpinan mereka karena mendengar bahwa wanita-wanita Giok-hong-pang membasmi Kwi-eng-pang dan mendengar pula betapa wanita-wanita itu pembenci kaum pria! Tentu akan merupakan tontonan yang menarik melihat bagaimana tempat orang pimpinan mereka menjinakkan wanita pembenci kaum pria yang cantik ini. Mereka masih tertawa-tawa ketika melihat empat orang pimpinan mereka tadi gagal menubruk, dan memuji bahwa wanita itu cepat juga gerakannya ketika meloncat keluar dari kepungan pada saat mereka menubruk.

Kini empat orang itu mengepung In Hong dari depan dan belakang. Dari belakang, si muka pucat dan si tahi lalat di hidung menghampiri berindap-indap dangan sikap masih bermain-main sedangkan dari depan si jenggot dan suhengnya menghampiri dengan gaya seperti hendak menubruk katak hijau.

Tiba-tiba terdangar suara melengking tinggi dan dahsyat sekali, suara ini keluar dari mulut In Hong dan tampak sinar berkilat menyilaukan mata, disusul pekik-pekik mengerikan. Semua orang terbelalak dan menggigil! Ternyata, sama sekali tidak terduga-duga saking cepatnya, membarengi suara lengkingnya yang dahsyat, In Hong sudah bergerak, entah kapan dia mencabut pedang dari punggungnya, karena tahu-tahu pedang di tangan kanannya itu telah menusuk tembus dada si jenggot pendek dan suhengnya yang berdiri depan belakang! Pedang itu menembus dada dua orang itu dan pada detik berikutnya, tangan kirinya bergerak menampar ke belakang dua kali, tepat mengenai kepala si muka pucat dan si tahi lalat, terdangar suara keras dan mereka menjerit berbareng dangan jerit dua orang yang “disate” itu, kemudian roboh dangan mulut, hidung, mata dan telinga mengeluarkan darah! In Hong meloncat ke belakang sambil mencabut pedangnya. Dua orang disate itu terjungkal dan roboh saling tindih, berkelojotan di dalam darah mereka sendiri.

Dua puluh orang bajak menjadi panik. Seujung rambutpun mereka tidak pernah menyangka akan terjadi peristiwa seperti itu! Belasan orang segera mencabut senjata dan mengurung In Hong, akan tetapi beberapa orang yang cukup cerdik cepat melarikan diri dari situ. Empat belas orang anak buah bajak yang tak tahu diri itu menggerakkan senjata mereka menyerang, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar-sinar kilat yang membuat mereka seperti buta karena tidak melihat lagi di mana adanya wanita yang hendak mereka keroyok dan tahu-tahu mereka sudah roboh satu demi satu, tak dapat bangun kembali karena mereka telah tewas semua!

Piauwsu itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri. Dia tadi siuman dan dangan susah payah merangkak keluar, sampai di depan pintu dia masih sempat melihat empat orang kepala bajak tewas dan disusul oleh empat belas orang bejak yang mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dalam waktu singkat sekali. Kini dia hanya melongo memandang kepada dara jelita yang sudah tak berpedang lagi karena pedangnya sudah kembali ke dalam sarung pedang di punggung. Dangan sikap dingin In Hong lalu menghampiri buntalannya menyambar buntalan itu dan melangkah pergi.

“Lihiap...! Tunggu dulu...!” Piauwsu itu berseru dan memaksa dirinya untuk berlari menghampiri.

In Hong menoleh, matanya bertanya apa yang dikehendaki orang itu. Piauwsu itu mengenal orang pandai dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut. “Lihiap, terima kasih atas pertolonganmu. Bolehkah saya mengetahui namae besar lihiap...?”

“Kauurus wanita-wanita itu, antar mereka pulang!”

“Baik, lihiap...!” Piauwsu itu bengong karena ketika dia mengangkat mukanya, dia hanya melihat bayangan berkelebat dan wanita itu telah lenyap dari depannya!

Dia terbelalak, menoleh ke kanan kiri yang penuh dengan mayat malang melintang. Tak seorangpun di antara delapan belas orang itu yang hidup, semua mati dengan cara dua macam, kalau tidak retak kepalanya tentu dadanya tembus oleh pedang. Dia bergidik.

“Cantik seperti Dewi... akan tetapi ganas seperti Elmaut...!” Bergegas Piauwsu ini lalu menghampiri tiga orang wanita yang masih menangis itu, mengajak mereka pergi dari situ dangan sebuah perahu karena kalau sampai datang kembali bajak-bajak itu, dalam keadaan terluka parah seperti itu tentu dia tidak akan mampu melindungi mereka.

Puas rasa hati In Hong. Dia telah membasmi laki-laki yang suka menghina wanita! Andaikata tidak terjadi penghinaan atas diri tiga orang wanita itu, tentu dia tidak akan mencampuri urusan Fen-ho Su-liong. Dia berjanji di dalam hatinya untuk terus mempergunakan ilmunya menentang kaum pria yang suka mempermainkan wanita! Bukan semua pria, pikirnya maklum. Ada pria yang baik, misalnya pelayan restoran dan piauwsu itu. Piauwsu itu gagah perkasa, patut dikagumi dan pelayan restoran itu ramah dan wajar, patut dijadikan sahabat. Tidak, dia bukanlah pembenci pria seperti subonya atau seperti para bibi anggauta Giok-hong-pang! Dia tidak akan memusuhi kaum pria secara membuta. Dia tahu, karena sering mendangar cerita para anak buah subonya, bahwa kebanyakan pria adalah pengganggu wanita. Akan tetapi dia hanya akan menentang mereka yang telah terbukti melakukan penghinaan terhadap kaum wanita.


Pengalaman di sarang bajak itu, pertemuannya dengan piauwsu yang gagah perkasa menarik hatinya dan membuat dia berpikir. Betapa buruknya golongan hitam seperti para bajak itu. Dan kalau golongan putih seperti piauwsu itu, sungguh mengagumkan! Sikap piauwsu itu bukanlah suatu kesombongan ketika dia menghadapi Fen-ho Su-liong, melainkan sikap gagah dan jantan. Dia juga tertarik mendengar tentang terampasnya Siang-bhok-kiam dan tanpa dia ketahui sebabnya, secara aneh dia ingin mencari pedang pusaka yang terampas itu, ingin melihat bagaimana macamnya pedang Siang-bhok-kiam yang oleh subonya diceritakan sebagai Pedang Kayu Harum yang pernah diperebutkan oleh tokoh-tokoh persilatan, seperti halnya bokor emas yang terjatuh ke tangan subonya.

Karena gangguan perjalanan itu, hari telah mulai gelap ketika dia tiba di kota Tai-goan. Kota yang besar sekali dan membuat dia takjub. Ketika memasuki kota, dia seperti orang dusun benar-benar memandang ke kanan kiri penuh kagum melihat rumah-rumah besar, toko-toko yang penuh barang-barang indah, dan keramaian kota yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Karena tidak dapat memilih, ketika melihat sebuah rumah penginapan, dia langsung masuk. Sebetulnya banyak sekali rumah penginapan yang besar-besar di kota Tai-goan, akan tetapi karena tidak tahu, In Hong memasuki rumah penginapan pertama yang dilihatnya.

Hampir dia tersenyum ketika dia diantar oleh pelayan ke sebuah kamar, dia melihat di antara para tamu yang berseliweran di situ seorang laki-laki tua bertopi yang segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di restoran di kota Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang selalu memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang kepadanya dan jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah menemukan kembali orang yang dicari-carinya!

Setelah mandi dan memesan makanan, makan kenyang dan mengaso sambil duduk bersila dan berlatih siulian sebentar, In Hong lalu menutup pintu dan jendela, menaruh buntalan pakaian dan uang di atas meja, meletakkan pedang di bawah bantal dan diapun tidur. Dia tidak memadamkan lilin karena sudah menjadi kebiasaannya tidur dalam kamar yang terang. Dia akan membiarkan lilin itu sampai padam sendiri setelah dia pulas.

Menjelang tengah malam dia mendengar pernapasan orang di balik jendela! Dangan perlahan dia membalikkan muka dan memandang. Dilihatnya asap kebiruan memasuki kamarnya melalui celah-celah daun jendela! Asap beracun! Dengan tenang In Hong lalu mengambil hawa murni melalui hidungnya, sebanyak mungkin dan mengumpulkannya di dada, lalu menahan napas. Tak lama kemudian kamar itu sudah penuh dangan asap kebiruan itu. Perlahan-lahan daun jendela terbuka dan In Hong membalikkan muka setelah melirik. Lihai juga orang itu, pikirnya. Tentu memiliki obat penawar asap beracun dan cara membuka jendelanya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia sudah bersiap-siap. Biarpun dia kini membalikkan muka dan tidak melihat orang itu, namun dangan pendengarannya telinganya dia dapat mengikuti segala gerak-gerik orang itu! Kalau orang itu hendak mengganggunya, tentu dia akan meloncat dan menangkapnya. Akan tetapi aneh, orang itu sama sekali tidak memasuki kamar, hanya mengulurkan tangannya dan meraih buntalannya di atas meja yang kebetulan berdiri di dekat jendela itu! Kiranya orang itu hanya seorang pencuri yang mengincar buntalannya!

In Hong tidak mau ribut-ribut menimbulkan geger dan menarik perhatian orang yang bermalam di penginapan itu. Dia membiarkan orang itu menyambar buntalannya, dan ketika orang itu melarikan diri, barulah dia meloncat turun dangan hati-hati, memakai sepatunya dangan cepat dan sambil membawa pedangnya, dia meloneat keluar dari jendela. Dilihatnya bayangan berkelebat di sebelah belakang hotel itu, maka dia segera mengejar. Ketika tiba di belakang hotel, bayangan itu meloncat ke atas genteng dangan tubuh ringan.

In Hong terkejut. Dari lampu di belakang hotel, ketika bayangan itu menoleh, dia mengenal muka laki-laki tua bertopi! Kiranya dia maling itu! Dan melihat cara orang itu meloncat ke atas genteng, agaknya tingkat kepandaian orang ini tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Fen-ho Su-liong! Maka agar jangan sampai kehilangan pakaian dan uang, In Hong mengerahkan tenaganya, tubuhnya melesat naik melakukan pengejaran.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati maling itu ketika dia menoleh dan melihat nona yang tidur pulas terkena asap beracunnya yang merupakan obat bius nomor satu di dunia permalingan itu kini tahu-tahu sudah mengejar dekat sekali! Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan gin-kangnya, tubuhnya melesat cepat sekali seperti tukang ngebut. Dia tersenyum sendiri. Mana mampu engkau mengejar aku si jago kebut, pikirnya. Akan tetapi ketika dia melayang turun ke atas tanah dan berlari cepat, mengira bahwa pengejarnya tentu telah ketinggalan, dia mendangar bentakan halus, “Maling sial, mau lari ke mana kau?”

“Wah...!” Dia lari lagi, akan tetapi ketika mendengar angin di belakangnya, dia secara tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya melintang di jalan. In Hong menjerit dan cepat meloncat karena kalau tidak tentu dia akan menginjak tubuh itu atau akan jatuh tersandung. Dia meloncati tubuh orang itu dan ketika membalik, orang itu telah lari lagi!

In Hong menjadi gemas, merasa dipermainkan dengan akal kanak-kanak. Cepat dia membalik dan mengejar. Kalau dia menghendaki, dengan Siang-tok-swa, senjata rahasia pasirnya itu, tentu dia dapat merobohkan maling ini. Akan tetapi dia tidak mau turun tangan membunuhnya sebelum tahu akan duduknya perkara, mengapa maling itu mengikutinya. Dengan beberapa loncatan jauh dia dapat menyusul.

“Kembalikan buntalanku!” bentaknya dan tangannya sudah meraih untuk merampas. Akan tetapi, tiba-tiba maling itu melemparkan buntalannya ke samping dan tubuhnya bergulingan lalu tangannya menyambar lagi buntalan itu, terus melompat dan lari sekuatnya!


Kembali In Hong kena diakali sehingga maling itu dapat melarikan diri lagi. “Gila!” bentaknya dan dengan sekali lompatan jauh dan cepat sekali tubuhnya melayang ke depan, sekaligus ia sudah menubruk dan dangan tangan kirinya dia menyambar buntalan sedangkan tangan kanannya menampar pundak.

“Waduuuhhh...!” Orang tua itu memekik dan roboh terguling, buntalan itu dapat dirampas kembali oleh In Hong. Meling itu merangkak bangun dan segera berlutut sambil berkata, “Ampunkan saya, lihiap. Sungguh malam ini saya Jeng-ci Sin-touw mengaku kalah dan bertemu dengan gurunya!”

Kemarahan di hati In Hong terganti rasa geli melihat maling itu berlutut dan minta ampun sambil memperkenalkan dirinya yang mempunyai julukan demikian hebat. Jeng-ci Sin-touw (Copet Sakti Berjari Seribu)! Memang harus diakuinya bahwa maling ini memiliki kepandaian dan kecepatan yang mengagumkan, namun julukan itupun amat berlebihan.

Sebelum dia sempat bicara, maling itu kembali memberi hormat, lalu bangkit berdiri, menjura dan berkata lagi, suaranya penuh permohonan. “Saya memiliki mata akan tetapi seperti buta sehingga berani mengganggu seorang pendekar wanita yang ilmu kepandaiannya tinggi menjulang sampai ke langit, biarlah kegagalan ini menjadi hukuman bagi Jeng-ci Sin-touw dan terima kasih atas pengampunan lihiap. Permisi!” Dia lalu membalikkan tubuhnya hendak lari, akan tetapi secepat kilat In Hong menggerakken kakinya. Ujung sepatunya menotok belakang lutut kanan orang itu dan untuk kedua kalinya maling itu roboh terpelanting.

“Aduhh, ampun, apakah lihiap hendak membunuh saya?” Maling tua itu berteriak.

“Buntalanku tidak lengkap seperti tadi!” In Hong mengangkat tinggi buntalannya. “Begini ringan, tentu ada yang kauambil dari dalamnya. Hayo kembalikan!”

Maling itu merangkak bangun, menyeringai karena selain kakinya sakit, juga kecewa karena wanita muda yang cantik ini tidak dapat diakali. Dangan wajah membayangkan putus asa dia merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan kantung uang yang tadinya berada di dalam buntalah sambil mengomel. “Celaka tiga belas! Benar makian lihiap tadi bahwa saya benar-benar sial malam ini, bertemu dangan seorang seperti lihiap yang begini lihai. Sungguh sial, padahal menurut taksiran saya, di kantung ini terdapat tiga puluh tail emas dan sedikitnya sepuluh tail perak. Hasil yang lumayan, sesuai dangan jerih payah saya tadi! Akan tetapi semua sia-sia belaka.”

In Hong terkejut dan kagum. Maling ini tadi begitu merampas buntalan terus lari dan dikejarnya. Bukan saja maling itu dapat menyembunyikan kantung uang dari dalam buntalan ke dalam saku jubahnya, bahkan maling itu dapat menduga hampir persis jumlah isinya!

“Hemmm, kulihat engkau bukan orang tolol! Mengapa engkau menggunakan asap beracun di kamarku tadi? Hayo jawab, kalau kau membohong dan aku kehabisan sabar, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!”

“Apakah artinya asap mainan itu bagi lihiap? Buktinya lihiap tidak apa-apa!” Maling itu hendak mengelak.

“Simpan saja kepura-puraanmu itu! Asap itu beracun dan dapat membius orang! Mengapa kaulakukan itu terhadap aku? Siapa kau dan apa maksudmu mengintai dan membayangi sejak dari Tai-lin sampai di sini kemudian mencuri buntalanku?”

Maling itu menarik napas panjang. “Dasar sial dangkalan! Tidak hanya gagal malah dicurigai dan dituduh yang bukan-bukan awakku! Baiklah, harap lihiap, dengarkan baik-baik pengakuanku. Nama saya Can Pouw dijuluki orang Jeng-ci Sin-touw dan di Tai-goan, nama saya dikenal oleh semua orang, terutama kaum hartawan yang selalu ketakutan kalau-kalau saya menjadi tamu yang tak diundang. Sejak kecil pekerjaan saya mempergunakan kesempatan selagi orang lengah...”

“Jangan memutarbalikkan omongan, pakai mempergunakan kesempatan selagi orang lengah, bilang saja pencopet!” In Hong membentak tak sabar.

“Yaahh... kan semua ada seninya! Lihiap tidak mengerti akan seninya mencopet atau maling yang istilahnya mempergunakan kesempatan selagi orang bermalas-malasan. Amat jauh bedanya dangan perampok atau bajak, lihiap! Mereka itu adalah orang-orang kasar yang mempergunakan kekerasan mengandalkan kepandaian merampas dangan paksa, berbeda dangan kami yang bekerja dangan halus tidak mau menyinggung perasaan orang lain sehingga yang kehilangan barang tidak tahu siapa yang mengambilnya. Bukankah itu mengandung seni yang bermutu tinggi dan halus...?”

“Cerewet! Kau hendak main-main dangan aku, ya?” In Hong menghunus sedikit pedangnya dan tampak sinar berkilat.

“Eh, eh... oh... tidak, lihiap! Maafkan saya! Sampai di mana cerita saya tadi? Wah, lihiap membikin saya ketakutan setengah mati. Baiklah, saya terpaksa menggunakan asap pembius karena saya telah menduga bahwa lihiap adalah seorang yang amat lihai. Siapa kira, asap pembius yang cukup kuat untuk membikin pulas sepuluh orang itu hanya merupakan minyak wangi saja agaknya bagi lihiap. Dasar saya yang sialan!”

“Dan mengapa engkau membayangi aku sejak di restoran di kota Tai-lin?”

“Wah, sejak itu lihiap sudah curiga kepada saya? Hebat! Ketahuilah, lihiap. Saya bukan menyombongkan diri, namun pengalaman saya yang sudah puluhan tahun membuat saya dapat menduga bahwa isi buntalan yang lihiap bawa itu, selain pakaian tentu mengandung emas atau perak, terbukti dari beratnya. Melihat ikan kakap, seorang pengail seperti saya ini mana tidak tertarik untuk mengikuti betapa jauhnyapun?”


“Bicara yang benar! Apa itu kakap dan pengail?” In Hong membentak, makin tertarik karena sikap dan bicara orang ini memang luar biasa dan lucu.

“Eh, maaf. Jika seorang ahli memindahkan barang...”

“Bilang saja pencopet! Pencopet! Maling!” In Hong membentak tidak sabar.

“Iya, ya... jika seorang pencopet, maling tangan panjang melihat calon korban yang membawa barang berharga, maka istilahnya adalah kakap dan si... eh, pencopet menganggap dirinya seperti pengail yang akan menangkap ikan kakap itu. Saya melihat nona, maka tentu saja saya tertarik dan saya ikuti terus. Akan tetapi saya sudah putus harapan ketika melihat nona pergi bersama Fen-ho Su-liong. Mereka adalah perkumpulan bajak yang kuat, saya seorang diri tidak berani mencampuri urusan mereka, maka terpaksa saya menggigit jari dan melanjutkan perjalanan ke Tai-goan dengan hati mengkal, merasa betapa ikan kakap itu dicaplok buaya. Tidak tahunya, eh... nona muncul di penginapan itu! Tidak saya sangka nona dapat lolos dari Fen-ho Su-liong!”

“Mereka telah mampus semua!” In Hong berkata tanpa disadarinya mengapa dia menjadi suka bercakap-cakap dengan maling ini.

Maling itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali dan kembali dia menjatuhkan dirinya berlutut. “Lihiap telah membunuh mereka semua? Aduhh... kalau begitu saya tentu akan mampus. Lihiap harap ampunkanlah kelancangan saya berani mengganggu harimau betina...”

“Hayo ceritakan mengapa engkau begitu nekat mencoba untuk mencuri!”

Dan tiba-tiba saja maling itu menangis! In Hong mengerutkan alisnya, berhati-hati karena takut kalau-kalau kena diakali oleh maling yang pandai bermain gila ini. “Huh! apa-apaan lagi engkau ini?”

“Uhu-huhu-huuu...! Saya terpaksa melakukan ini, lihiap. Di rumah terdapat seorang isteri cerewet yang selalu minta dibelikan ini itu yang serba mahal, sedangkan anak saya ada tujuh orang...”

Hampir saja In Hong tertawa karena geli hatinya. “Nah, kauterimalah ini untuk anak isterimu, kalau engkau berbohong, biar uang ini akan mendatangkan malapetaka kepadamu!” In Hong melemparkan dua potong uang perak kepada maling itu, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari situ.

“Heiiiii... lihiap, tungguuuuu...! Saya memang berbohong, tapi tunggu, saya mempunyai berita yang lebih penting lagi”

Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong sudah berada di depannya sehingga maling itu menutup mulutnya yang berteriak-teriak. Dia memandang kagum. “Bukan main kehebatan gin-kang dari lihiap.”

“Hayo ceritakan, berita apakah itu?”

“Lihia begini lihai, tentu lihiap merupakan seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang.…”

Mendangar suara yang sungguh-sungguh itu, kini In Hong menduga bahwa maling lucu ini tentu tidak main-main lagi. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Sudah sejak di restoran itu saya menduga bahwa tentu lihiap seorang Giok-hong-pang, melihat perhiasan kepala lihiap berupa burung hong dari batu kemala itu. Sebetulnya karena saya sudah mendengar bahwa para wanita Giok-hong-pang adalah pembenci kaum pria, maka saya sengaja membayangi dan hendak mengganggu lihiap dangan mencuri buntalan lihiap. Ternyata lihiap berilmu tinggi sekali, dan sikap lihiap bukan pembenci pria sungguhpun ngeri saya membayangkan betapa gerombolan bajak Fen-ho itu terbunuh semua. Maka mudah menduga bahwa tentu lihiap seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang.”

“Dugaanmu benar, paman Can Pouw. Aku adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang.”

“Paman...? Lihiap menyebutku paman...? Ohhhh, terima kasih!” Kakek itu kelihatan girang sekali, matanya bersinar-sinar di bawah cahaya bulan yang terang di malam itu.

“Mengapa?” In Hong terheran.

“Siapa tidak akan girang disebut paman oleh seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang? Lihiap baik sekali! Kalau boleh saya mengetahui nama lihiap yang mulia...”

“Jangan menjilat-jilat, aku menjadi benci mendengarnya! Namaku Yap In Hong dan lekas katakan, berita apa yang kau katakan penting tadi?”

“Seorang tokoh besar yang lihai seperti lihiap telah keluar ke dunia ramai, sudah pasti ada hubungannya dengan geger di dunia kang-ouw tentang tercurinya Siang-bhok-kiam, bukan?”

In Hong terkejut. Dia memang tertarik oleh urusan lenyapnya pusaka Cin-ling-pai yang dicuri orang itu. “Kalau benar demikian, mengapa?”

“Lihiap, untuk kebaikan lihiap yang sudah mengampuni saya, sudah memberi hadiah uang kepada saya dan terutama sekali yang memanggil saya paman, biarlah saya membuka rahasia ini. Saya tahu siapa yang mencuri Siang-bhok-kiam itu!”

In Hong terkejut lagi. “Bagaimana engkau bisa tahu?” tanyanya curiga, takut kalau dibohongi lagi.

“Demi Thian dan semua Dewa, saya tidak bohong, lihiap!” Maling itu agaknya merasa bahwa dia dicurigai. “Dan tentu saja saya tahu. Bagi Jeng-ci Sin-touw seorang maling sakti yang terkenal, di dunia ini tidak ada berita yang lebih menarik daripada berita tentang permalingan, terutama permalingan yang hebat-hebat seperti dicurinya Siang-bhok-kiam itu. Ingat, saya berjuluk Seribu Jari, bukan hanya pandai mencopet akan tetapi juga mempunyai ribuan kawan yang dapat menyelidiki.”

“Hemm, apa anehnya itu? Akupun sudah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu adalah Lima Bayangan Dewa.”

“Semua orang agaknya tahu bahwa mereka adalah Lima Bayangan Dewa, akan tetapi tahukah lihiap siapa sesungguhnya lima orang sakti itu dan terutama sekali di mana mereka itu berada?”

In Hong benar-benar tertarik. “Dan engkau tahu, paman Can Pouw?”

“Tentu saja! Dengar baik-baik, lihiap, dan sebaiknya kalau lihiap jangan mencoba-coba untuk menentang mereka tanpa bantuan yang banyak dan kuat. Mereka itu adalah tokoh-tokoh baru yang memiliki kepandaian hebat, lima orang sakti yang bersatu menjadi Lima Bayangan Dewa, yang kesemuanya merupakan musuh-musuh pribadi ketua Cin-ling-pai. Orang pertama adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok. Melihat julukannya saja, Pat-pi Lo-sian (Dewa Tua Berlengan Delapan) sudah dapat dibayangkan kelihaiannya. Dia seorang yang aneh penuh rahasia, kabarnya datang dari utara dan masih keturunan Mongol, terkenal dengan pakaiannya yang serba putih mengerikan!”

“Hemm, baru delapan lengannya apa sih hebatnya? Masih kalah oleh engkau yang berjari seribu.”

“Lihiap mengejek! Dia itu kabarnya sakti sekali, bahkan kabarnya malah lebih sakti daripada mendiang suhengnya, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang pernah menjadi datuk kaum sesat. Adapun orang kedua adalah Liok-te Sin-mo (Iblis Bumi) Gu Lo It yang kabarnya memiliki tenaga seratus ekor kuda jantan! Kemudian orang ketiga adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang tentu saja hanya seorang tokoh hitam yang menyamar sebagai pendeta, kabarnya kesaktiannya tidak kalah oleh yang dua itu, pandai merayap tembok seperti cecak den kepalanya merupakan senjata ampuh.”

In Hong mencatat dalam hatinya. Biarpun kepandaian seperti itu tidak aneh baginya, namun dia tahu bahwa hal itu membuktikan betapa lihai adanya orang-orang dari Lima Bayangan Dewa itu.

“Orang keempat adalah seorang iblis betina yang amat mengerikan, yaitu Hui-giakang (Kelabang Terbang) Ciok Lee Kim. Tentu saja mengerikan. Seekor kelabang sudah amat berbahaya den beracun, apalagi kalau pandai terbang. Kabarnya dia memang pandai terbang! Huh, mengerikan sekali. Aku tidak sudi berjumpa berdua saja dengan dia ini di tempat gelap!”

In Hong menahan senyumannya. Maling tua ini memang lucu, kata-katanya jenaka den tidak dibuat-buat, bahkan kalau sudah bicara sungguh-sungguh dan lenyap wataknya yang suka bersendau-gurau dan membohong, dia memiliki kejujuran.

“Sedangkan orang kelima bernama Toat-beng-kauw Bu Sit, dari julukannya saja sudah ketahuan bahwa dia seperti monyet, juga kecepatannya. Nah, lengkaplah lima orang dari Lima Bayangan Dewa itu, lihiap.”

In Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia mencatat semua nama dan julukan itu. “Terima kasih atas keteranganmu, paman. Memang berita ini penting sekali bagiku.”

“Ada yang lebih penting lagi!” Can Pouw berseru. “Yaitu sarang mereka!”

“Di mana?”

“Di lembah Sungai Kuning, di sebelah timur kota Cin-an. Kurang lebih dua puluh li dari Cin-an terdapat lembah Sungai Hoang-ho yang penuh dengan hutan. Di dalam sebuah hutan dekat sungai yang bermuara, di sanalah letak pedusunan Ngo-sian-chung (Dusun Lima Dewa) dan di sana pulalah lima orang sakti itu tinggal di sebuah gedung besar, sedangkan para penghuni dusun kecil itu yang tidak berapa banyak semua adalah anak buah dan murid-murid mereka. Akan tetapi harap hati-hati, lihiap, jangan sekali-kali memberanikan diri mendekati tempat itu. Mereka bukan penjahat-penjahat biasa, tidak pernah melakukan kejahatan bahkan menjadi pelindung dan sahabat-sahabat baik para pembesar di Cin-an dan sekitarnya. Mereka itu kaya raya dan para anggautanya melakukan pekerjaan dagang. Ketika kami dan kawan-kawan menyelidik ke sana, dari sepuluh orang hanya saya dan seorang teman saja yang dapat keluar dalam keadaan hidup. Yang delapan orang lenyap entah ke mana!”

In Hong mengerutkan alisnya. Hebat juga berita ini. Dia merogoh saku hendak mengeluarkan sepotong uang emas, akan tetapi didahului oleh Jeng-ci Sin-touw yang berkata, “Harap lihiap jangan memberi uang kepada saya. Perkenalan ini sudah cukup mengherankan hati saya dan kalau sewaktu-waktu lihiap membutuhkan saya, asal lihiap datang ke Tai-goan dan bertemu dengan seorang di antara seniman-seniman copet di pasar lalu menanyakan saya, tentu akan dapat berjumpa.”

In Hong tersenyum. Baru sekali ini selama dia meninggalkan Kwi-ouw, dia sempat bercakap-cakap selama itu dengan seseorang dan anehnya, sunggub tak pernah diduga-duganya, orang itu adalah seorang laki-laki dan lebih lagi, seorang pencuri malah! “Terima kasih, paman Can, mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik.” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat dara itu lenyap dari depan Can Pouw yang menjadi bengong. Sudah banyak dia berjumpa orang pandai, bahkan dia sendiri memiliki gin-kang yang cukup tinggi sehingga dia terkenal, akan tetapi gerakan dara yang bernama Yap In Hong itu benar-benar mengejutkan hatinya, seolah-olah dara itu pandai menghilang seperti setan!

Demi dewa...!” Ia berkata lirih, “berani aku mempertaruhkan julukanku, bahwa Yap In Hong ini kelak akan menjadi seorang yang menggegerkan dunia!”

Dia tidak tahu bahwa In Hong yang tadi mencelat dan bersembunyi di atas pohon mendengar semua ini. Dara ini berlaku hati-hati dan sengaja bersembunyi untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh maling yang mencurigakan, tahu segala, dan banyak cakap akan tetapi lucu itu. Mendengar maling itu akan mempertaruhkan julukannya, In Hong menutup mulutnya dan tertawa geli. Benar-benar tolol dan lucu. Siapa sudi bertaruh dengan dia kalau yang dipertaruhkan itu julukannya, betapa mentereng sekalipun julukan itu? Setelah maling tua itu pergi, barulah In Hong meloncat turun dan melanjutkan perjalanannya. Timbut suatu hasrat aneh di dalam hatinya yang terdorong oleh kata-kata maling tua itu. Dia akan menjadi orang yang menggegerkan dunia! Dan dia ingin hal ini benar terjadi, menggegerkan dunia persilatan! Dan hal itu hanya dapat terlaksana kalau dia dapat merampas kembali Siang-bhok-kiam dari tangan Lima Bayangan Dewa!

***

Lima orang itu duduk mengitari meja panjang dengan gembira sambil menghadapi makanan dan minuman yang serba mahal dan lezat. Semua masakan telah selengkapnya dihidangkan di atas meja, dan arak wangipun berlimpah-limpah. Para pelayan yang terdiri dari anak buah mereka sendiri, hanya menjaga di luar dan di sudut ruangan, menanti kalau-kalau ada perintah dari lima orang yang sedang makan minum dengan gembira itu.

Mereka itu bukan lain adalah Lima Bayangan Dewa yang kini telah pulang dan merayakan pesta kemenangan mereka, setelah mereka berhasil membunuh tujuh orang Cap-it Ho-han dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Sambil tertawa-tawa, empat orang menceritakan jalannya pertandingan ketika mereka membunuhi tokoh-tokoh Cin-ling-pai di ruangan atas loteng rumah makan Koai-lo di kota Han-tiong itu, sedangkan Pat-pi Losian Phang Tui Lok juga menceritakan pengalamannya yang berhasil ketika dia menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam.

“Sungguh menyebalkan,” Phang Tui Lok menutup ceritanya sambil menghunus sebatang pedang kayu yang mengeluarkan bau harum semerbak, “pedeng kayu macam ini saja pada puluhan tahun yang lalu pernah diperebutkan para tokoh kango-uw. Padahal pedang ini biasa saja, hanya sebatang pedang kayu harum yang biarpun mengandung hawa mujijat namun tidak lebih berguna daripada sebatang pedang baja yang baik.”

“Dahulu lain lagi, Phang-suheng,” kata Liok-te Sin-mo Gu Lo It. “Dahulu pedang ini menyimpan rahasia tempat pusaka terpendam yang akhirnya terjatuh ke tangan Cia Keng Hong. Akan tetapi sekarang pedang ini hanya menjadi lambang kebesaran Cin-ling-pai belaka.”

“Yang sudah beralih ke tangan kita, ha-ha-ha.” Pat-pi Lo-sian tertawa dan mukanya yang kelihatan muda itu menjadi makin muda dan tampan tiada ubahnya muka seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun saja. Padahal tokoh ini sudah berusia enam puluh lima tahun! Phang Tui Lok adalah seorang peranakan keturunan Mongol, terlahir dari ibu seorang Wanita Han yang menjadi tawanan dan dipaksa menjadi selir seorang kepala Suku Mongol. Dia adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang selain suhengnya, juga seperti kakaknya sendiri karena dari tokoh ini dia sudah banyak berhutang budi. Oleh karena itu, ketika mendengar akan kematian Ouwyang Kok, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi kaget dan berduka sekali. Ketika itu usianya baru empat puluh tahun lebih dan dia merasa tidak berdaya untuk membalas dendam kematian suhengnya terhadap seorang musuh seperti ketua Cin-ling-pai saktinya, maka diam-diam dia memperdalam ilmunya selama belasan tahun dan selama itu dia selalu berpakaian putih tanda berkabung terhadap kematian suhengnya. Setelah merasa dirinya kuat, dia lalu merantau ke selatan, melewati perbatasan dan Tembok Besar dan akhirnya dia berhasil menarik empat orang itu sebagai sekutunya, karena empat orang itupun merupakan orang-orang yang merasa sakit hati terhadap ketua Cin-ling-pai. Karena bersatu tujuan, mereka lalu mengangkat saudara sebagai saudara-saudara seperguruan, setelah Phang Tui Lok menurunkan ilmu tentang racun kepada mereka, ilmu yang didapatnya dari mendiang Ouwyang Kok sehingga ikatan ilmu ini membuat mereka merasa seperti saudara-saudara seperguruan. Karena Phang Tui Lok adalah yang tertua dan juga yang terlihai di antara mereka, maka dialah yang menjadi pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, yaitu nama yang mereka pakai sebagai julukan mereka, diambil dari nama dusun di mana mereka tinggal, yaitu Dusun Lima Dewa.

“Ingin sekali aku melihat muka Cia Keng Hong kalau dia pulang dan mendengar akan kematian Cap-it Ho-han dan hilangnya Siang-bhok-kiam! Dan dia akan bingung mendengar nama Lima Bayangan Dewa!” kata Toat-beng-kauw Bu Sit, Si Monyet Pencabut Nyawa.

“Biar dia mencari-cari setengah mampus!” Hui-giakang Ciok Lee Kim tertawa dan menenggak araknya.

“Omitohud... pinceng tidak akan merasa heran kalau besok atau lusa dia akan muncul di sini. Orang macam dia tentu tidak membutuhkan waktu lama untuk mencari tempat kita.”

“Eh, hwesio murtad, apa engkau takut?” Pat-pi Lo-sian bertanya, “Engkau meramalkan kedatangannya seolah-olah engkau takut menghadapinya.”

“Ha-ha-ha-ha, siapa takut kepadanya? Apanya yang harus ditakuti? Aku malah ingin sekali mencoba Thi-khi-i-beng dengan ilmu cecakku, hendak kulihat sampai di mana kekuatan daya sedotnya” Memang ada persamaan antara Thi-khi-i-beng dan ilmu yang dikuasai oleh hwesio ini sehingga membuat dia dapat merayap di tembok seperti seekor cecak, yaitu penggunaan sin-kang untuk menyedot dari telapak tangan. Tentu saja hwesio yang pongah ini tidak tahu bahwa Thi-khi-i-beng adalah ilmu mujijat yang langka, yang tidak hanya menyedot seperti dilakukan oleh telapak tangannya menyedot tembok sehingga dapat melekat, melainkan Thi-khi-i-beng menyedot sin-kang orang membanjir keluar dari dalam tubuh!


Bagus, memang kita sudah menanti-nanti kedatangannya untuk membikin perhitungan. Betapapun juga, mengingat bahwa Cia Keng Hong mempunyai keluarga yang terdiri dari orang-orang sakti, juga banyak teman-temannya yang lihai, sebaiknya kalau kita juga menghimpun tenaga dari golongan kita. Setelah keberanian kita mencuri Siang-bhok-kiam, kiraku akan banyak tokoh hitam yang akan suka membantu kita.”

Tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita, “Bagus! Lima Bayangan Dewa sungguh bernyali besar sekali!”

Lima orang itu terkejut dan karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, mereka segera dapat menekan kekagetan mereka dan tetap duduk di tempat sungguhpun mereka cepat menengok dan memandang ke arah orang yang mengeluarkan suara itu. Seorang nenek tua berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berdiri di dalam ruangan itu tanpa ada penjaga yang melihatnya.

“Memang mengagumkan dan kita perlu mengetahui dulu sampai di mana kelihaian mereka maka berani mengganggu Cin-ling-pai!” terdengar suara kedua dan tahu-tahu muncul pula seorang kakek yang usianya sudah jauh lebih tua. Kakek dan nenek ini keduanya berpakaian seperti pendeta.

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok maklum bahwa dua orang ini tentulah orang-orang pandai, akan tetapi karena sikap mereka tidak bermusuhan diapun lalu meraba sepasang sumpit dan secawan arak dari atas meja dan ingin menguji kepandaian dua orang tamu itu sebelum mengambil keputusan sikap apa yang akan diambilnya untuk menyambut mereka.

“Kedua tamu yang tak diundang, silakan!” kata orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu dan tiba-tiba sepasang sumpit gading meluncur ke arah nenek itu, sedangkan secawan penuh arak meluncur ke arah si kakek tua.

Dua orang itu berdiri tenang saja, kemudian nenek itu menggerakkan tangan kanan dan sekaligus jari-jari tangahnya dapat menjepit sepasang sumpit itu dengan enaknya seperti orang mengambil sumpit dari atas meja saja. Cawan arak yang meluncur ke arah muka kakek itu tiba-tiba terhenti di udara, berputaran dan ketika kakek itu menggerakkan tangannya, cawan itu berhenti di atas kepalanya dan perlahan-lahan mendoyong sehingga araknya mengucur perlahan-lahan. Dia membuka mulutnya sehingga arak itu masuk ke mulut dan diminumnya.

“Nenek tua, terimalah suguhan pinceng!” Hok Hosiang juga menggunakan sumpitnya mengambil potongan-potongan daging dengan cepat sekali dan melempar-lemparkan ke arah nenek itu dengan kecepatan seperti sambitan senjata-senjata rahasia yang berbahaya.

“Wut-wut-wut... cap-cap-cappp!” Hebatnya, nenek itu berhasil menerima tiga potong daging dengan sepasang sumpitnya, kemudian perlahan-lahan memasukkan daging-daging itu ke dalam mulutnya sambil mengunyah. Dia lalu melemparkan sumpit ke atas meja dan sepasang sumpit itu menancap di depan Pat-pi Lo-sian, disusul oleh terbangnya cawan kosong yang juga hinggap di depan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa tanpa terbanting keras seolah-olah diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!

Menyaksikan ini, lima orang itu terkejut dan maklum bahwa dua orang kakek dan nenek itu amat lihai. Mereka segera bangkit berdiri dan menjura kepada mereka berdua, dan Phang Tui Lok berkata, “Maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan ji-wi sehingga tidak menyambut lebih cepat.”

“Siancai, Lima Bayangan Dewa terlalu sungkan! Kamilah yang seharusnya merasa malu, datang tanpa diundang dan begitu datang ikut menikmati hidangan, ha-ha-ha!” kakek yang berpakaian seperti tosu itu berkata sambil tertawa. “Sebagai tamu-tamu tak diundang, biarlah pinto memperkenalkan diri...”

“Nanti dulu!” Liok-te Sin-mo Gu Lo it berseru, “Biarkan kami menduga-duga siapa adanya ji-wi!” Lima orang itu lalu memandang dengan penuh perhatian wajah dan pakaian mereka berdua yang tersenyum-senyum saja. Akhirnya Liok-te Sin-mo yang lebih dulu berseru. “Aku mau didenda minum tiga cawan arak kalau dugaanku meleset bahwa locianpwe ini adalah Hwa Hwa Cinjin”

Tosu tinggi kurus itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Hebat memang Lima Bayangan Dewa, bermata tajam di samping nyalinya yang amat besar.”

“Dan siapa lagi tokouw ini kalau bukan Hek I Siankouw?” Hui-giakang Ciok Lee Kim juga berseru. Pendeta wanita berpakaian hitam itu lalu menjura sambil tersenyum pula.

“Kalian memang hebat dan mengagumkan, bukan hanya karena telah berani mengejek ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga berani menanggung resikonya dan menghadapi pembalasan mereka. Kami berdua pasti suka membantu kalian,” kata Hek I Siankouw.

Dua orang kakek dan nenek ini memang merupakan tokoh-tokoh yang terkenal juga sungguhpun mereka jarang menampakkan diri di dunia kang-ouw. Kakek yang hanya dikenal julukannya sebagai Hwa Hwa Cinjin itu adalah sute dari Toatbeng Hoatsu, seorang datuk kaum sesat yang dabulu tewas di tangan Panglima Besar The Hoo sendiri ketika terjadi perebutan bokor emas, di mana Cia Keng Hong menjadi pembantu utama dari The Hoo (baca Petualang Asmara). Karena kini Panglima The Hoo sudah meninggal, dan memang tidak mungkin bagi kaum sesat untuk membalas kepada seorang panglima besar yang amat kuat kedudukannya seperti Panglima The Hoo, maka kini semua dendam ditumpahkan kepada Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Apalagi ketika mendengar bahwa Cin-ling-pai berhasil diserbu dan dikacau oleh Lima Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin segera mengajak Hek I Siankouw untuk mengunjungi Cin-ling-pai, dengan dalih ikut berduka cita dan bersembahyang mereka telah melakukan penghinaan di Cin-ling-pai karena Cia Keng Hong tidak ada dan mereka segera pergi melihat munculnya kakek sakti Tio Hok Gwan dan ahli sihir Hong Khi Hoatsu.


Nenek tokouw itu sebetuInya adalah bekas kekasih Hwa Hwa Cinjin. Karena penyelewengan mereka menuruti nafsu berahi inilah yang membuat mereka terpaksa melarikan diri dari golongan pendeta dan menjadi pendeta-pendeta perantau yang wataknya sudah bukan seperti pendeta suci lagi sampai mereka menjadi kakek dan nenek. Hanya aneh dan lucunya, sampai mereka menjadi kakek berusia tujuh puluh tahun dan nenek berusia enam puluh tahun, mereka masih tetap rukun dan ke manapun mereka berduaan terus! Setelah Hwa Hwa Cinjin dikenal oleh Liok-te Sin-mo, tentu saja mudah untuk mengenal Hek I Siankouw karena sudah terkenal betapa keduanya ini tak pernah berpisah.

Pat-pi Lo-sian lalu mempersilakan mereka duduk dan dia lalu memperkenalkan diri dan juga para adik seperguruannya. Ketika dia memperkenalkan diri sebagai sute mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong, Hwa Hwa Cinjin menepuk meja.

“Ahh, kiranya sicu adalah sute mendiang Ban-tok Coa-ong! Sungguh kebetulan sekali karena mendiang suhengmu itu adalah sahabat baik mendiang suhengku, yaitu Toat-beng Hoatsu yang tewas oleh Panglima The Hoo. Bagus, kini kita dapat berkumpul dan bekerja sama, dan memang sudah tiba saatnya untuk melakukan balas dendam kepada Cia Keng Hong dan keluarganya.”

Pelayan dipanggil, makanan dan minuman ditambah dan mereka makan minum sambil mengatur rencana untuk mengadakan persekutuan menghadapi keluarga Cia Keng Hong yang amat terkenal sebagai keluarga yang sakti itu.

“Aku mempunyai seorang sahabat baik yang kiranya perlu sekali diajak untuk bersama-sama menghadapi musuh. Dia pasti bersedia, karena diapun tidak suka kepada keluarga ketua Cin-ling-pai itu. Dia amat lihai dan kalau dia membantu kita, persekutuan kita tentu akan lebih kuat.” Hek I Siankouw berkata.

“Bagus sekali, Siankouw. Siapakah gerangan sababatmu itu?” tanya Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, yang kagum melihat nenek berpakaian hitam itu sudah tua namun masih tetap cantik!

“Dia adalah Go-bi Sinkouw dan kalau kita sendiri mengundangnya, tentu dia akan mau bergabung dan datang ke sini.”

Sampai sehari penuh mereka berpesta dan berunding. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengundang orang-orang pandai dari golongan hitam, untuk bersama-sama mereka menghadapi Cin-ling-pai, dan menghancurkan keluarga pendekar Cia Keng Hong yang dianggap merupakan pusat kekuatan golongan putih yang selalu menentang golongan hitam.

Mereka berangkat berpencar dan menentukan satu tanggal dan bulan untuk berkumpul kembali di dusun Ngo-sian-chung sambil mengajak bantuan orang-orang sakti yang mereka undang. Untuk menjaga keselamatan, seluruh penduduk Ngo-sian-chung juga pergi semua bersembunyi dan hanya diam-diam melakukan pengintaian ke dusun mereka yang ditinggal pergi karena mereka tidak berani tinggal di situ selama lima orang pemimpin mereka tidak ada.

***


“Adik In Hong...!”

In Hong terkejut dan menghentikan langkahnya. Tempat itu sunyi dan matahari telah naik tinggi. Tidak nampak seorangpun manusia akan tetapi suara panggilan tadi terdengar dekat sekali. Kemudian dia melihat bayangan orang berlari cepat dari belakang dan dia terkejut. Orang itu telah memanggil namanya dari jarak yang amat jauh, namun suara panggilannya begitu dekat seolah-olah terdengar di pinggir telinganya! Maklumlah dia bahwa pemanggilnya itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan tahu pula dia siapa orang itu, maka dia menanti sambil berdiri tegak dan jantung berdebar tegang.

Tak lama kemudian Kun Liong sudah berdiri di depannya, tersenyum dan memandang tajam waiah yang cantik jelita itu.

“Yap In Hong, adikku, adik kandungku...”

In Hong mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan kakaknya di situ, atau lebih tepat lagi, kakaknya itu agaknya mengejar dan menyusulnya.
“Sejak aku terusir dari Pulau Kwi-ouw, aku menanti kesempatan baik. Melihat engkau melakukan perjalanan seorang diri, diam-diam aku membayangimu dari jauh, dan dari jauh pula aku melihat segala sepak terjangmu. Engkau hebat, adikku, hanya sayang ketika menghadapi Fen-ho Su-liong, engkau terlampau ganas. Mereka memang bajak sungai yang kejam, akan tetapi belum tentu di antara mereka itu tidak dapat sadar dan kembali ke jalan benar jika diberi kesempatan. Hampir aku kehilangan kau ketika engkau malam-malam pergi mengejar maling, dan untung hari ini aku masih dapat menyusulmu.”

“Engkau... engkau mau apakah?” Akhirnya In Hong dapat mengajukan pertanyaan itu. Hatinya berdebar tidak karuan, dan bermacam perasaan bergelora di dalam dadanya. Harus diakuinya bahwa ada semacam kebahagiaan dan keharuan terasa di hatinya ketika dia berhadapan dengan orang yang menjadi kakak kandungnya itu, akan tetapi juga terdapat rasa kekhawatiran dan tidak senang ketika dia teringat bahwa penghidupan gurunya yang tercinta dirusak oleh kakaknya ini.

“In Hong, aku adalah kakak kandungmu yang mencari-carimu, dan setelah kita bertemu bagaimana engkau bisa mengajukan pertanyaan seperti itu? Aku adalah kakakmu, dan karena ayah bunda kita sudah tidak ada, maka aku adalah walimu, pengganti ayah bundamu.”


Aku... aku tidak mempunyai urusan apa-apa denganmu dan... dan sejak kecilpun di antara kita tidak ada hubungan apa-apa. Sudahlah, kita tidak perlu saling mengganggu, jalan hidup kita berpisah dan aku tidak mau terlibat dengan urusanmu atau siapapun juga.”

“In Hong! Dengar baik-baik, aku bertindak selaku kakak dan wakil orang tuamu. Aku harus melakukan kebaktian terakhir terhadap orang tua kita dengan mengatur urusan masa depanmu. Dengarlah, baru-baru ini Cia Keng Hong locianpwe, ketua Cin-ling-pai datang berkunjung ke rumahku dan beliau mengulurkan tangan menjodohkan puteranya yang bernama Cia Bun Houw denganmu! Tentu saja aku setuju karena menjadi mantu ketua Cin-ling-pai merupakan kehormatan besar sekali dan sekaligus mengangkat nama mendiang orang tua kita. Cia Bun Houw telah berguru kepada Kok Beng Lama, yaitu ayah mertuaku yang sakti dan kini tentu kepandaiannya sudah hebat bukan main, dan menurut penuturan ketua Cin-ling-pai, sekarang sedang dijemput untuk pulang ke Cin-ling-san.”

Kun Liong yang mengucapkan kata-kata itu dengan hati gembira dan mengira bahwa adiknya sebagai seorang gadis muda tentu akan menjadi merah mukanya karena dibicarakan tentang urusan jodohnya, kini menghentikan kata-katanya dan memandang dengan heran. Wajah adiknya itu biasa saja, bahkan dingin dan sama sekali tidak perduli, kelihatannya agak termenung seperti orang terkejut. Dan memang bukan urusan perjodohan itulah yang menarik hati In Hong, melainkan mendengar betapa ketua Cin-ling-pai baru saja datang ke rumah kakaknya itu membicarakan urusan pernikahan, berarti bahwa ketika ketua itu pergi ke rumah kakaknya itulah Lima Bayangan Dewa datang menyerbu dan mencuri Siang-bhok-kiam. Dan jelas bahwa kakaknya ini belum mendengar tentang peristiwa yang menggegerkan itu, maka bicara enak saja tentang perjodohan, tidak tahu bahwa di tempat yang mengusulkan perjodohan itu terjadi malapetaka yang menggegerkan.

“In Hong, karena itu sekarang engkau ikutlah pulang bersamaku. Percayalah bahwa selama ini aku dan kakak iparmu selalu mengenangmu. Aku tidak ingin memperhebat kebencian subomu kepadaku maka aku selama ini tidak mau mempergunakan kekerasan untuk merampasmu. Pula, aku tidak ingin mempergunakan paksaan terhadap dirimu, hanya kuharap engkau dapat sadar bahwa tempatmu adalah di samping kakak kandungmu.”

“Koko, sudahlah, lupakan saja bahwa engkau mempunyai seorang adik kandung seperti aku. Engkau telah merusak kehidupan suboku, mana mungkin aku akan menyakiti hatinya dengan berbaik kepa damu? Marilah kita berpisah dengan baik dan selanjutnya tidak perlu kita saling bertemu kembali.” Setelah berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi.

“In Hong...!” Kun Liong berseru keras dan sekali berkelebat dia sudah menghadang di depan gadis itu. “Sadarlah, engkau adalah puteri pendekar besar Yap Cong San dan Gui Yan Cu, sama sekali bukan keturunan golongan hitam! Dan aku sudah menyetujui tentang ikatan jodohmu dengan putera ketua Cin-ling-pai! Engkau adalah calon mantu Pendekar Sakti Cia Keng Hong!”

“Kalau begitu, mengapa tidak engkau saja yang menjadi mantunya, koko?” jawab In Hong dengan nada mengejek.

Wajah Kun Liong berubah karena ucapan itu benar-benar menancap di hatinya, terasa benar kena dan tepatnya. Memang sebenarnya dialah yang dahulu hendak dijodohkan dengan puteri pendekar sakti itu, yaitu Cia Giok Keng. Akan tetapi dia jatuh cinta kepada Pek Hong Ing sehingga ikatan jodoh itu gagal. Kini, baru dia sadar bahwa desakan-desakannya kepada adiknya ini sebagian besar adalah untuk “menebus dosa” atau menyambung kembali yang dahulu putus olehnya. Dia lupa bahwa dalam hal perjodohan, adiknya sama dengan dia, berhak menentukannya sendiri! Ucapan adiknya itu seperti halilintar menyambar kepalanya dan membuatnya sadar, membuatnya tidak mampu lagi bicara, hanya memandang wajah adiknya yang cantik itu dengan muka muram.

Melihat wajah kakaknya, In Hong menjadi sabar. “Koko, aku mohon kepadamu, habisilah urusan ini sampai di sini saja. Aku diperkenankan merantau oleh subo, dan aku sudah berjanji kepadanya untuk tidak kembali kepadamu, maka selamat berpisah dan semoga hidupmu bahagia, koko. Aku akan mencari jalanku sendiri, harap kau tidak mencampuri urusanku seperti akupun tidak akan mencampuri urusanmu.”

In Hong meloncat dan berlari pergi. Kun Liong tidak lagi mengeiar, hanya memandang dengan mata sayu. Bibirnya bergerak seperti berdoa, “Ayah dan ibu, anakmu ini sejak dahulu tidak pernah berbakti kepada orang tua, sekarang mengurus adikpun tidak mampu. Ampunilah aku...”

Sampai lama dia berdiri termenung di tempat itu. Ketika dia mengenangkan adiknya, hatinya perih. Dari sepak terjang adiknya yang dilihat dari jauh ketika In Hong membasmi Fen-ho Su-liong, dia tahu bahwa adiknya sudah ketularan watak keras dan ganas dari Bi Kiok sehingga andaikata adiknya menjadi mantu ketua Cin-ling-pai dan tidak dapat merobah wataknya, tentu malah akan mendatangkan hal-hal yang tidak baik. Perlahan-lahan dia lalu meninggalkan tempat itu untuk pulang dan mengabarkan kepada isterinya tentang adiknya ini dan selama melakukan perjalanan beberapa pekan ini. Kun Liong menjadi agak kurus. Batinnya tertekan dan tertindih apabila dia teringat kepada In Hong.

Sementara itu, In Hong meninggalkan kakaknya, perasaan marah dan penasaran segera menghapus keharuannya. Mereka itu terlalu menghinanya, terlalu memandang rendah kepadanya, pikirnya. Keluarga ketua Cin-ling-pai dan kakaknya itu! Dia tidak dianggap sebagai manusia! Apakah dia itu kucing atau anjing, mau dikawinkan begitu saja dan telah dirundingkan masak-masak, telah diikat perjodohan sebelum dia sendiri tahu akan persoalannya? Belum apa-apa dia sudah ditentukan sebagai jodoh atau calon jodoh seorang pria yang sama sekali tak pernah dilihatnya, yang bernama... eh, siapa lagi tadi? Cia Bun Houw? Biar dia pendekar sakti seperti dewa sekalipun, apakah dia dikira seorang perempuan yang gila pria, mau menurut begitu saja dicarikan jodoh? Terlalu! Hatinya menjadi panas, terutama sekali kepada keluarga Cia yang begitu mudah saja menarik dia sebagai calon mantu.

“Lihat saja kalian nanti!” gerutunya. “Aku bukan benda mati atau binatang peliharaan yang dapat kalian perlakukan seenak hati kalian sendiri!” Dengan hati panas dia melanjutkan perjalanannya, perantauannya yang tanpa tujuan tertentu itu.

***


Sukar dibayangkan betapa hebat pukulan batin yang diderita oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, ketika mereka berdua pulang ke Cin-ling-san setelah mereka mengunjungi rumah Yap Kun Liong di Leng-kok. Padahal perjalanan itu amat menggembirakan hati kedua orang suami isteri yang sudah kakek nenek berusia enam puluh tahun lebih itu. Perjalanan yang menyegarkan dan menyehatkan setelah belasan tahun mereka tidak lagi melakukan perjalanan keluar dari Cin-ling-san.

Cia Keng Hong menggigit bibirnya dan mengepal kedua tinju tangannya, sedangkan isterinya hampir pingsan, lalu menangis menjatuhkan diri di atas kursi ketika mereka berdua disambut dengan ratap tangis oleh anak buah dan anak murid mereka. Apalagi ketika mendengar penuturan mereka tentang matinya tujuh orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Wajah Keng Hong berubah menjadi pucat sekali.

“Biar aku pergi mencari mereka! Si bedebah Lima Bayangan Dewa biar akan bersembunyi di neraka sekalipun, akan kucari sampai dapat dan kucincang kepala mereka sampai hancur!” Nenek itu berteriak-teriak sambil mengepal tinju. Menghadapi malapetaka yang demikian hebat, nenek itu kembali menjadi Sie Biauw Eng, bekas pendekar wanita yang tidak pernah mengenal takut dan yang pernah namanya menggemparkan dunia kang-ouw ketika dia masih berjuluk Song-bun Siu-li!

Kakek ketua Cin-ling-pai itu menghibur isterinya dan mereka duduk berdampingan di atas kursi dengan muka sebentar pucat sebentar merah ketika anak murid Cin-ling-pai menceritakan dengan sejelasnya akan penyerbuan di Cin-ling-pai oleh Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan pembunuhan atas diri para murid Cin-ling-pai di restoran Koai-lo di kota Han-tiong.

“Tadinya teecu sekalian bingung karena tidak ada yang mengetahui nama empat orang lain dari Lima Bayangan Dewa, sedangkan yang tahu hanya suheng Coa Seng Ki yang pada saat itu belum tewas namun terluka amat hebat...” Pembicara itu menghapus air matanya. “Untung datang Hong Khi Hoatsu locianpwe bersama locianpwe Tio Hok Gwan yang dapat memberi kekuatan sementara kepada Coa-suheng untuk memberitahukan nama-nama mereka.”

“Lekas sebutkan nama-nama mereka!” Cia Keng Hong berkata, suaranya penuh kegemasan dan kemarahan tertahan. Maka disebutlah satu demi satu nama dan julukan empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu dan dicatat baik-baik di dalam hati oleh Cia Keng Hong dan isterinya.

“Hemm, tentu semua ini gara-gara Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok,” Cia Keng Hong berkata marah. “Dia adalah sute dari Ouwyang Kok dan tentu dia yang menggerakkan yang lain untuk membalas dendam. Dasar pengecut hina! Mengapa dia datang pada saat aku tidak berada di Cin-ling-san?”

Mendengar dicurinya Siang-bhok-kiam, tidak begitu menyedihkan hati Cia Keng Hong, tidak seperti kematian tujuh orang Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Akan tetapi isterinya berkata, ”Biarpun pedang itu tidak sangat berharga, akan tetapi benda itu adalah pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai! Lebih dari itu malah, Siang-bhok-kiam sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai lambang kemenangan dari kebaikan melawan kejahatan. Lenyapnya Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai tentu akan menggegerkan dunia persilatan dan memberanikan hati kaum sesat untuk beraksi.”

Cia Keng Hong mengangguk-angguk membenarkan pendapat isterinya itu.”Bagaimana juga, aku sendiri akan bergerak mencari kembali Siang-bhok-kiam dan membasmi para pengecut itu. Akan tetapi kita harus menanti datangnya Kin Ta berempat yang menjemput Bun Houw.”

Ketika suami isteri ini mendengar tentang kedatangan seorang tosu dan tokouw yang agaknya hendak mengacau di waktu peti-peti mati disembahyangi dan kedua orang aneh itu pergi ketika Tio Hok Gwan dan Hong Khi Hoatsu muncul, Keng Hong menarik napas panjang dan berkata kepada isterinya, “Tidak kusangka, di dalam usia tua aku masih terus dikejar-kejar musuh. Aihhh... jalan kekerasan memang selalu mendatangkan kekerasan lain sampai selama kita hidup. Akan tetapi aku tidak menyesal, memang sudah resikonya begini dan sampai matipun aku selalu akan membela kebenaran dan menentang kejahatan!” Isterinya setuju dengan pendirian suaminya ini dan berjanji akan membela suaminya sampai akhir hayat.

Berhari-hari suami isteri yang sudah tua ini menanti dalam keadaan berkabung. Ketika pada suatu hari Bun Houw bersama empat orang tertua dari Cap-it Ho-han datang, mereka disambut dengan tangis dan ratap menyedihkan. Dapat dibayangkan betapa marah dan terkejut hati Kwee Kin Ta dan para sutenya mendengar penuturan tentang matinya tujuh orang sutenya dan lenyapnya pedang puaka Siang-bhok-kiam. Sambil mengeluarkan teriakan keras Kwee Kin Ta yang sudah berusia enam puluh tahun lebih, sebaya dengan ketuanya, roboh pingsan!

“Ayah, akan percuma sajalah anak berlatih ilmu selama bertahun-tahun kalau aku tidak bisa mencari mereka, merampas kembali Siang-bhok-kiam dan membalaskan kematian para suheng itu!” Bun Houw berkata sambil menahan air matanya. Dia tidak dapat mengusap air matanya ketika melihat ayah dan ibunya yang sudah tua itu sampai menangis.

Cia Keng Hong menyadarkan Kin Ta dan dengan suara keren lalu berkata, “Cukuplah semua kelemahan ini! Cin-ling-pai bukanlah perkumpulan orang-orang cengeng! Mati dalam mempertahankan kebenaran bukanlah mati konyol dan tidak perlu terlalu disedihkan benar. Mereka itu mati sebagai murid-murid Cin-ling-pai yang tidak memalukan, menghadapi kejahatan dengan gagah perkasa dan matipun tidak sia-sia. Habiskan semua kedukaan yang hanya melemahkan hati kita sendiri dan mari kita bicarakan bagaimana baiknya untuk mencari kembali Siang-bhok-kiam dan menghukum Lima Bayangan Dewa.”


Cia Keng Hong dan isterinya lalu berunding dengan Bun Houw dan empat orang tertua Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta dan adiknya, Kwee Kin Ci, Louw Bi dan Un Siong Tek yang usianya masing-masing sudah lima puluh tahun. Di dalam perundingan ini, Bun Houw kukuh dengan keinginannya untuk mencari pusaka yang hilang dan menghukum musuh-musuhnya.

Ketika ayahnya menyatakan keputusannya hendak pergi sendiri bersama ibunya, Bun Houw membantah keras. “Ayah dan ibu sudah tua, dan biarpun urusan ini adalah urusan ayah dan ibu, akan tetapi bukankah anak berhak untuk mewakili orang tua? Pula, lima pengecut hina itu adalah pengecut-pengecut yang hanya berani bergerak di waktu ayah dan ibu tidak ada, maka kurasa kepandaian mereka tidak berapa hebat. Sudah cukuplah kalau anak sendiri yang menghadapi mereka dan anak mempertaruhkan nyawa untuk tugas ini! Di samping itu, pengalaman yang sudah menjadi pelajaran bahwa apabila ayah dan ibu meninggalkan Cin-ling-pai, para pengecut berani bermain gila. Sebaiknya kalau ayah dan ibu tetap tinggal di sini, siapa tahu mereka itu akan datang lagi.”

Cia Keng Hong saling bertukar pandang dengan isterinya. Betapapun juga, mereka masih khawatir untuk melepas Bun Houw pergi sendiri karena anak itu baru saja datang setelah pergi selama lima tahun dan biarpun kepandaiannya mungkin sudah tinggi, namun masih kurang pengalaman. Akan tetapi, untuk menolak dan melarang begitu sajapun sukar, selain tidak ada alasan kuat, juga amat tidak baik, berarti menekan semangat kependekaran putera sendiri.

“Mari kita semua ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat)!” Tiba-tiba Cia Keng Hong berkata kepada putera dan murid-muridnya.

Setelah tiba di ruangan bersilat yang amat luas ini, Kwee Kin Ta dan tiga orang sutenya duduk di atas bangku di pinggir, sedangkan Cia Keng Hong lalu berkata kepada Bun Houw, “Kau bersiaplah melawanku dan waspadalah, aku bersungguh-sungguh!”

Bun Houw adalah anak pendekar yang sejak kecil digembleng dengan ilmu silat. Tanpa banyak cakap dia sudah mengerti bahwa ayahnya tidak rela membiarkan dia pergi mencari pedang Siang-bhok-kiam karena ayahnya masih belum percaya akan kepandaiannya. Kalau dia tidak bisa mengalahkan ayahnya, atau setidaknya mengimbangi kepandaian ayahnya, jangan harap ayahnya akan membolehkannya pergi melakukan tugas berbahaya itu.

Cepat dia lalu mengencangkan pakaian, meloncat ke tengah ruangan itu, berdiri tegak sambil berkata, “Aku sudah siap, ayah!”

Cia Keng Hong berbisik kepada isterinya, kemudian mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah mencelat ke tengah ruangan itu. “Awas serangan...!” Langsung dia lalu menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan yang amat dahsyat, menggunakan jurus-jurus pilihan dari San-in Kun-hoat. Hebat bukan main Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini karena begitu dimainkan, kedua telapak tangan pendekar tua itu mengeluarkan uap putih, sesuai dengan nama ilmu silatnya, yaitu San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung).

“Haiiittt...!” Bun Houw juga mengeluarkan suara pekik dahsyat dan cepat dia menggerakkan kaki tangannya menyambut serangan ayahnya, bukan mengelak melainkan menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya. Terdengarlah suara dak-duk-dak-duk ketika berkali-kali lengan ayah dan anak itu saling beradu dan hanya beberapa kali saja Bun Houw agak tergeser ke belakang namun tidak membuat dia sampai terhuyung. Tentu saja dia sudah hafal benar akan Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini dan dia dapat mengimbangi permainan ayahnya, bahkan dia juga membalas dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu silat ini. Gerakan mereka makin lama makin cepat sehingga sukarlah bagi orang biasa untuk dapat mengikuti bayangan-bayangan yang sudah menjadi satu itu. Kwee Kin Ta dan para sutenya memandang kagum karena sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi merekapun dapat melihat betapa ketua mereka mengerahkan tenaga dan kepandaian, dan betapa putera ketua mereka itu melawan dengan kekuatan yang tidak kalah hebatnya!

Tiba-tiba Cia Keng Hong merobah gerakannya setelah mengeluarkan suara keras dan kini dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bun Houw terkejut dan berlaku hati-hati sekali. Dia sendiri sudah melatih diri dengan ilmu silat mujijat ini, akan tetapi karena dia maklum bahwa ayahnya adalah seorang ahli yang sukar dicari bandingannya, maka dia tentu kalah matang dan karena itu dia mengimbanginya dengan Thai-kek Sin-kun dan mencampurinya dengan ilmu yang dia peroleh dari gurunya selama lima tahun ini di Tibet. Kedua tangannya menggetar-getar mengeluarkan tenaga mujijat karena dia telah mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit dan Bumi) yang membuat kedua tangan Kok Beng Lama dapat menahan segala senjata pusaka!

Cia Keng Hong terkejut dan girang sekali ketika merasa betapa dari kedua tangan puteranya itu menyambar hawa yang luar biasa, ada rasa panas dan ada rasa dingin, dan semua gerakan serangannya yang terlalu cepat dan terlalu hebat sehingga mendesak puteranya, ternyata membalik dan tertahan oleh hawa aneh dari kedua tangan puteranya itu!

Dia menyerang terus, dan juga menjaga diri karena Bun Houw tidak membiarkan dirinya diserang tanpa membalas. Dia membalas jurus dengan jurus, terjangan dengan terjangan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga di sekeliling ayah dan anak ini, dalam jarak empat meter terasa angin yang menyambar-nyambar, kadang-kadang panas sekali, kadang-kadang amat dinginnya.

Dua ratus jurus telah lewat dan belum juga Cia Keng Hong mampu mengalahkan puteranya, bahkan kini dia mulai terdesak karena betapapun usianya yang sudah enam puluh tahun lebih itu mengurangi tenaga dan napasnya.


Hyyyyaaaaattt...!” Tiba-tiba Sie Biauw Eng mengeluarkan suara melengking nyaring dan wanita tua ini terjun ke dalam medan pertandingan, langsung menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun)! Bun Houw sudah melatih diri dengan pukulan-pukulan ini pula, akan tetapi dia berlaku hati-hati dan cepat mengelak den membalas dengan serangan terhadap ibunya karena dia maklum bahwa kalau dia menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang terhadap ibunya, dia khawatir ibunya takkan kuat bertahan dan akan menderita luka. Maka dikeroyoklah pemuda itu oleh kedua ayah bundanya den inilah agaknya yang tadi dibisikkan oleh Cia Keng Hong kepada isterinya, yaitu untuk maju mengeroyok apabila dalam dua ratus jurus dia masih belum mampu mengalahkan puteranya.

Pertandingan menjadi makin seru den kini bahkan Kwee Kin Ta den adik-adiknya sendiri menjadi pening mengikuti gerakan mereka yang luar biasa cepatnya. Empat orang tertua dari Cap-it Ho-han ini terkejut den kagum bukan main. Diam-diam mereka harus mengakui bahwa dibandingkan dengan Bun Houw, tingkat mereka kalah jauh sekali dan menduga-duga bahwa mungkin kepandaian pemuda itu kini sudah mengimbangi kepandaian ayahnya!

“Hyaaaaatt!”

“Haiiiiikkkkk!”

Cia Keng Hong den isterinya memekik nyaring ketika pukulan Bun Houw menyambar ke arah mereka. Mereka tidak mengelak melainkan menyambut pula dengan telapak tangan mereka sehingga kedua tangan pemuda itu menempel pada tangan ayah dan ibunya. Suami isteri itu mengerahkan tenaga dan tubuh Bun Houw terangkat, kedua tangannya masih menempel di tangan ayah bundanya dan kakinya ditarik ke atas.

“Aaaaahhhhh!” Suami isteri itu mengerahkan tenaga dan melemparkan tubuh putera mereka dengan dorongan keras. Tubuh Bun Houw terlempar ke atas, akan tetapi bukannya terbanting jatuh, sebaliknya malah berjungkir balik di udara, sampai dua kali dan ketika tubuhnya melayang turun, kedua kakinya sudah mengancam pundak kedua orang tua mereka!

“Ihhh...!” Sie Biauw Eng memekik kaget dan cepat dia menangkap kaki yang hendak menotok pundaknya itu. Juga Keng Hong menangkap kaki kedua dan kembali mereka mendorong kedua kaki itu ke atas. Kini Bun Houw terlempar jauh dan dia berjungkir balik lagi, dan hinggap di atas lantai dengan kedua kakinya agak dibengkokkan.

Pada saat itu, ayah bundanya sudah meloncat ke atas dan membalas dengan serangan kaki dari atas. Ini memang merupakan jurus yang amat berbahaya dan yang tadi sudah dipergunakan oleh Bun Houw dengan baik sekali sehingga kalau saja bukan ayah bundanya yang diserang, tentu akan roboh terkena totokan ujung kakinya. Kini ayah bundanya menyerang dengan berbareng. Bun Houw terkejut, akan tetapi diapun dapat menangkap dua buah kaki, masing-masing sebuah dari ayah bundanya dan tanpa menanti kaki kedua menyerang, dia sudah melemparkan ayah bundanya dengan pengerahan tenaga sin-kang. Kakek dan nenek itu terlempar dan berjungkir balik seperti yang dilakukan putera mereka tadi. Mereka hinggap di atas lantai dan memandang dengan wajah berseri dan kagum.

“Jaga ini...!” Tiba-tiba Cia Keng Hong berseru keras dan dia sudah menerjang lagi sendirian dan mengirim pukulan ke arah puteranya. Bun Houw cepat menangkis dan kembali bertemulah lengan mereka.

“Dukk!”

Bun Houw terkejut karena lengannya melekat pada lengan ayahnya dan dia merasa tenaga sedotan hebat sekali. Tahulah dia bahwa ayahnya telah menggunakan Thi-khi-i-beng, ilmu yang paling hebat dan mujijat dari ayahnya.

“Wuuut-plakk!” Dia mengerahkan tenaga, membuat gerakan memutar dan cepat sekali jari tangannya menotok ke arah dada ayahnya. Totokan maut yang amat berbahaya dan pada saat Cia Keng Hong menangkisnya, Bun Houw telah berbasil melepaskan lengannya yang menempel tadi!

Cia Keng Hong terkejut dan heran, kembali menyerang dan setiap kali lengan mereka bersentuhan, dia menggunakan Thi-khi-i-beng, akan tetapi selalu Bun Houw dapat melepaskan bagian tubuhnya yang melekat pada tubuh ayahnya. Akhirnya mengertilah Cia Keng Hong bahwa Thi-khi-i-beng tidak lagi mampu mengalahkan pemuda itu, maka dia meloncat ke belakang dan berkata, “Cukup!”

Bun Houw maju dengan muka gembira. “Bagaimana pendapat ayah dan ibu? Luluskah aku?”

“Engkau hebat, aku tidak lagi mampu menandingimu, Houw-ji (anak Houw)!” Sie Biauw Eng berseru gembira.

“Aku girang sekali melihat bahwa gurumu telah membimbingmu sehingga engkau bahkan dapat menghadapi Thi-khi-i-beng! Engkau tahu mengapa aku tidak menurunkan ilmu itu kepadamu, anakku?” Cia Keng Hong berkata.

“Aku mengerti, ayah. Ilmu itu hanya dapat diturunkan kepada satu orang saja, dan ayah sudah memberikannya kepada suheng Yap Kun Liong. Aku tidak merasa iri, ayah.”

“Bagus, kalau engkau sudah mengerti. Sekarang coba kau bersilat pedang, hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu.”

Ayah dan ibu itu sudah mandi keringat ketika mengeroyok Bun Houw tadi, akan tetapi Bun Houw hanya berkeringat di leher dan dahi saja, dan sama sekali tidak kelihatan lelah. Dia mengangguk, meloncat ke tengah ruangan, mencabut pedangnya dan mulailah dia bersilat pedang. Mula-mula Kwee Kin Ta dan tiga orang sutenya masih dapat mengenal gerakan pedang yang indah dari ilmu pedang Cin-ling-pai yang juga mereka kuasai, kemudian meningkat kepada Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang gerakannya membuat pedang itu berubah menjadi gulungan sinar yang selalu bersilang-silang dan memang keistimewaan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut adalah gerakannya yang bersilang, akan tetapi ketika makin lama Bun Houw mempercepat gerakannya dan merobah ilmu pedangnya, empat orang murid tertua dari Cin-ling-pai itu menjadi bengong karena selain mata mereka menjadi silau, juga mereka tidak mampu lagi mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh Bun Houw. Yang tampak hanya gulungan sinar pedang dan angin menyambar-nyambar, bahkan mereka yang berada di sudut ruangan itu dapat merasakan sambaran angin dingin itu.

Setelah Bun Houw menghentikan permainan pedangnya, Cia Keng Hong mengangguk-angguk. Tadi dia sudah saling berbisik dengan isterinya bahwa ilmu kepandaian putera mereka itu sudah cukup tinggi dan boleh diandalkan untuk putera mereka pergi menentang bahaya mencari dan merampas kembali pusaka Cin-ling-pai.

“Baiklah, engkau boleh pergi mencari mereka dan merampas kembali pedang kita, Houw-ji. Akan tetapi ingatlah baik-baik bahwa hanya ilmu silat tinggi saja masih belum cukup kuat untuk menjaga diri. Engkau harus berhati-hati terhadap segala macam tipu muslihat lawan yang curang dan untuk menghadapi itu bekalnya hanyalah ketenangan dan kewaspadaan.”

Selama dua hari beristirahat di Cin-ling-san, tiada hentinya Bun Houw menerima nasibat dan pesan dari ayah dan bundanya tentang keadaan di dunia kang-ouw, tentang kecurangan-kecurangan para tokoh kaum sesat dengan menceritakan pengalaman mereka di waktu muda. Biarpun puteranya itu sudah pula mewarisi ilmu pukulan beracun Ngo-tok-ciang, akan tetapi karena maklum betapa banyaknya ahli tentang racun di dunia kaum sesat, Sie Biauw Eng lalu memberikan tusuk kondenya yang berbentuk bunga bwee kepada puteranya.

“Setiap makanan atau minuman yang mencurigakan, kaucoba dengan ujung tusuk konde ini. Kalau ujungnya berwama hijau, di situ terdapat racun yang membius atau memabokkan, kalau berwama hitam, terdapat racun yang mematikan,” pesannya.

Setelah beristirahat dua hari, maka berangkatlah Cia Bun Houw meninggalkan Cin-ling-san untuk menyelidiki tentang Lima Bayangan Dewa, membawa bekal pakaian, uang, dan pedangnya. Sehari setelah dia berangkat, Kwee Kin Ta dan tiga orang sutenya juga berpamit dari guru dan ketua mereka untuk berusaha mencari jejak musuh-musuh besar itu dan mengingat akan kedukaan dan kehilangan para muridnya ini, Cia Keng Hong tidak tega untuk menolak. Maka berangkat pulalah empat orang tua ini dan mereka berempat sudah bersepakat bahwa mereka tidak akan kembali ke Cin-ling-pai sebelum tugas mereka berhasli, yaitu mendapatkan di mana adanya musuh-musuh besar itu, membalas dendam dan merampas kembali pedang pusaka. Cia Keng Hong sendiri bersama isterinya yang sudah berusia lanjut itu menanti di Cin-ling-san dan hanya dapat berprihatin sambil menjaga kalau-kalau ada musuh lagi yang datang mengacau Cin-ling-pai.

***

In Hong memasuki pasar di kota I-kiang itu sambil melihat-lihat orang berjual beli. Pasar itu cukup ramai, penuh dengan orang berdagang sayur-mayur dan buah-buahan. Terutama sekali di bagian ikan, bukan main ramainya dan juga baunya amis karena pasar itu merupakan pusat perdagangan ikan hasil kaum nelayan di Sungai Yang-ce-kiang karena kota I-kiang itu memang merupakan kota pelabuhan sungai besar itu.

Mungkin telah menjadi watak seluruh wanita di dunia ini, mereka suka sekali untuk mengunjungi pasar, berbelanja atau hanya melihat-lihat saja! In Hong agaknyapun tidak terkecuali. Dia suka sekali memasuki pasar untuk sekedar melihat-lihat dan kadang-kadang membeli buah-buahan atau apa saja yang menarik hatinya. Demikian pula ketika perantauannya membawa dia ke I-kiang dan kebetulan dia melewati sebuah pasar yang ramai, dia tertarik dan memasuki pasar itu, berdesak-desakan dengan orang-orang lain yang sebagian besar adalah wanita-wanita berbelanja.

Setelah membeli beberapa biji buah apel yang merah dan kelihatan segar, In Hong lalu memasuki bagian perdagangan ikan yang ramai dan penuh orang. Kiranya, di situ memang pusatnya, bukan hanya perdagangan eceran, melainkan partai besar dan di sini terdapat banyak pedagang dari luar kota yang datang untuk memborong banyak ikan dan akan dibawa keluar kota. Ratusan keranjang ikan ditimbang dan ramai orang bercakap-cakap. Mereka semua sibuk dengan urusan mencari untung sehingga kemunculan seorang dara cantik seperti In Hong pun tidak begitu menarik perhatian secara menyolok.

Tiba-tiba In Hong menahan senyumnya. Dia mengenal seorang laki-laki tua bertopi, yang menyelinap di antara benyak orang yang sedang menimbang ikan-ikan dalam keranjang itu. Dia lalu mendekati sambil menyelinap di belakang orang-orang dan mengikuti gerak-gerik laki-laki tua bertopi itu dengan pandang matanya. Hampir saja dia tertawa geli ketika melihat pemandangan itu. Seorang laki-laki gendut berpakaian mewah, agaknya seorang juragan ikan yang kaya, agaknya seorang pendatang dari kota lain yang sengaja memborong ikan-ikan di situ, mengalahkan lain pedagang karena dia berani membayar lebih tinggi, berdiri di antara orang banyak dengan lagak sombong seorang yang merasa lebih berkuasa daripada orang lain dan memang di pasar itu dia berkuasa dengan uangnya. Laki-laki tua bertopi itu longak-longok, menyelinap ke belakang pedagang gendut itu dan dia bersembunyi di belakang beberapa orang yang berada di belakang si pedagang gendut. Akan tetapi lucunya, lengan kakek bertopi itu dapat menyusup seperti seekor ular melalui belakang tubuh orang lain dan tahu-tahu tangannya telah tersembul di atas kantong baju si pedageng gendut!


In Hong tersenyum dan hampir terbatuk-batuk karena saat itu dia sedang makan apel yang manis. Karena geli hatinya hampir saja buah apel yang digigitnya itu salah masuk. Sambil memandang dan mengikuti gerak-gerik kakek bertopi itu, In Hong menjepit biji apel yang kecil dengan jari tangannya, menanti sampai tangan yong seperti kepala ular itu merayap memasuki kantong baju si pedagang gendut, kemudian tiba-tiba dia menyentil dengan jari tangannya.

“Tukk... auuhhh...!” Pencopet tua itu menjerit akan tetapi cepat menahan suaranya dan menutupi mulutnya sambil menggosok-gosok punggung tangannya yang menjadi merah dan terasa panas dan nyeri sekali. Semua orang menengok, akan tetapi mereka hanya melihat seorang kakek bertopi terbatuk-batuk, menutupi mulutnya, agaknya kumat batuknya karena bau ikan yang amis itu, maka dia tidak lagi menjadi perhatian orang.

Kakek bertopi itu bersungut-sungut dan dengan mulut cemberut dia menoleh ke kanan dari mana tadi sebuah benda kecil menyambar tangannya. Matanya terbelalak dan tiba-tiba dia tertawa, lalu mendesak orang di kanan kirinya untuk lari menghampiri In Hong. Banyak orang memakinya gila, tadi terbatuk-batuk keras dan kini lari mendorong orang ke kanan kiri.

Entah bagaimana, melihat wajah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, tiba-tiba saja hati In Hong terasa gembira dan tadi dia memang menggoda pencopet lihai itu. “Hemmm... si seniman kembali mempertunjukkan kemahiran seninya!” In Hong mengejek.

“Sssttt... lihiap, mari kita bicara di luar pasar...” Kakek itu mendahului dan melihat sikapnya yang sungguh-sungguh itu, biarpun hatinya merasa geli, In Hong mengikutinya juga. Mereka tiba di tempat sunyi dan kakek itu memandang In Hong sambil menghela napas panjang.

“Wah, aku telah gagal total! Lihiap tahu apa yang berada di kantongnya itu? Seuntai kalung mutiara yang mahal, agaknya dibelinya dari toko untuk diberikan kepada isteri mudanya yang entah keberapa.”

In Hong menggeleng kepala. “Paman Can Pouw, kulihat engkau adalah seorang yang cerdik dan pintar, apakah engkau tidak bisa bekerja lain untuk mendapat penghasilan kecuali mencopet dan mencuri?”

“Tentu saja bisa, akan tetapi,ahh... seninya itu! Lihiap tidak dapat merasakan betapa nikmat rasa hatiku di waktu mencopet. Tegang, penuh harapan, penuh hal yang tak terduga-duga, penuh dugaan apa gerangan yang akan disentuh tangan setelah memasuki saku, apa yang akan dihasilkan dari jari-jari tangan yang penuh getaran perasaan, pendeknya... wah, ada seninya! Tetapi, sekali ini aku memang butuh sekali, butuh uang...”

“Untuk memberi makan isterimu dan belasan orang anakmu yang kelaparan?” In Hong menggoda.

Pencopet lihai itu menggeleng kepala. “Ah, bukan... bukan...! Aku tidak pernah beristeri dan tidak punya anak...” Dia teringat dan menyambung cepat, “memang kadang-kadang perlu juga berbohong untuk menyelamatkan nyawa. Akan tetapi sekali ini lihiap benar-benar merugikan aku! Aku perlu mendapatkan uang untuk membeli pakaian dan membeli barang sumbangan untuk hari ulang tahun Phoa-taihiap.”

“Hemm, Phoa-taihiap?” In Hong tidak mengerti.

“Ah, benar! Lihiap sebaiknya ikut bersamaku ke sana! Phoa-taihiap dikenal oleh semua golongan, baik golongan putih maupun golongan hitam. Tentu kedua golongan akan bertemu di sana dan akan terjadi hal-hal yang menarik, apalagi setelah terjadinya geger di Cin-ling-pai itu. Siapa tahu kalau-kalau fihak Cin-ling-pai dan fihak Lima Bayangan Dewa, setidaknya kerabat-kerabat mereka, akan hadir di Wu-han.”

“Wu-han?”

“Aihhhh, aku lupa. Lihiap yang luar biasa lihainya ini ternyata masih belum berpengalaman apa-apa. Ketika aku berpisah dari lihiap dan kutanya-tanyakan, tidak ada seorangpun tokoh kang-ouw yang mengenal nama lihiap, padahal kepandaian lihiap sudah setinggi langit! Phoa-taihiap adalah Phoa Lee It, seorang tokoh Go-bi-pai yang tersohor dengan ilmu pedangnya Go-bi Kiam-sut, juga dua orang puteranya terkenal gagah perkasa dan tampan. Kini Phoa-taihiap merayakan hari ulang tahun dan mengundang semua orang gagah dari kedua golongan, agaknya selain untuk mempererat perkenalan, juga untuk mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya, demikian agaknya. Kesempatan baik bagi lihiap, mari bersamaku pergi mengunjungi perayaan itu di rumahnya, yaitu di kota Wu-han.”

In Hong mengerutkan alisnya. Dia sama sekali tidak tertarik. “Akan tetapi aku tidak diundangnya.”

“Akupun tidak, lihiap! Siapa yang membutuhkan undangan? Sudah menjadi lazim dalam perayaan seorang tokoh, kaum kang-ouw berdatangan dan membawa sekedar sumbangan untuk ditukar dengan hidangan, ha-ha-ha!”

“Paman Can, jangan kau main-main. Ceritakan yang sebenarnya, bagaimanakah kebiasaan itu dan mengapa pula paman mengajak aku untuk mengunjungi perayaan itu?”

“Lihiap, mari kita bicara sambil makan di rumah makan itu. Ayam panggangnya enak sekali dan perutku sudah lapar. Kita duduk makan sambil bercakap-cakap, lebih enak daripada berdiri begini, bukan?”

In Hong mengangguk dan setelah tiba di dekat restoran, Can Pouw berbisik, “Bekal uang emas dan perak lihiap itu masih ada, bukan?”

In Hong memandang tajam dan mengangguk.

“Syukurlah, aku sedang tidak mempunyai uang sama sekali,” si pencopet berkata menyeringai. In Hong tersenyum. Hidup menjadi ramai den gembira kalau dekat dengan tukang copet ini.

Mereka makan minum sambil bercakap-cakap atau lebih tepat lagi, In Hong mendengarkan penuturan tukang copet itu.

“Wah, banyak yang terjadi semenjak kita berpisah, nona,” katanya, kadang-kadang menyebut siocia (nona) dan kadang-kadang menyebut lihiap (pendekar wanita). “Lima Bayangan Dewa telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam, agaknya hendak memperkuat kedudukannya. Mereka malah tidak tampak berada di sarang mereka yang dikosongkan, tentu sedang pergi ke sana-sini mengumpulkan kekuatan. Dan belum terdengar ada gerakan apa-apa dari Cin-ling-pai! Akan tetapi keadaan dunia kang-ouw panas dan tegang, seolah-olah menanti terjadinya bentrokan yang hebat sebagai akibat dicurinya Siang-bhok-kiam dari golongan putih oleh gologan hitam. Maka, perayaan di rumah Phoa Lee It ini merupakan kesempatan baik untuk melihat-lihat! Nona lihai sekali, sayang kalau tidak bertemu dengan tokoh-tokoh dan datuk-datuk dunia kang-ouw. Marilah pergi bersamaku, lihiap, asal engkau suka menanti sebentar. Aku akan mencari uang dulu untuk membeli pakaian baru dan barang hantaran.”

“Dengan mencuri?”

Can Pouw menggeleng. “Hanya menggunakan seni memindahkan barang orang yang lengah.”

In Hong tersenyum. “Aku mau pergi bersamamu untuk melihat-lihat, akan tetapi dengan janji bahwa selama engkau melakukan perjalanan dengan aku, engkau dilarang mencopet atau mencuri, dengan istilah apapun hendak kaunamakan. Aku mempunyai cukup uang untuk membeli pakaianmu dan sekedar barang hantaran.”

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw menjadi berseri mukanya dan matanya bersinar-sinar. “Bagus...! Aku girang sekali, lihiap! Soal berhenti bekerja sementara waktu tidak mengapa. Akan tetapi melakukan perjalanan dengan lihiap, hadir di sana bersama lihiap merupakan kehormatan besar sekali bagiku!”

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang perantau yang selamanya hidup membujang. Mudah mencari uang dengan jalan menggunakan kepandaiannya yang lihai, akan tetapi mudah pula membuangnya. Dia sudah bosan akan segala macam kesenangan, dan kebiassannya mencopet atau mencuri hanya untuk memenuhi kegatalan tangannya saja. Bahkan seringkali, hasil dari pencuriannya itu dia bagi-bagikan kepada orang miskin tanpa mereka ketahui pula, dan dia tetap tinggal miskin. Kini, bertemu dengan seorang dara yang memiliki kepandaian amat hebat dan dia sudah menyaksikan ini, dia menjadi tertarik dan suka serta sayang sekali seperti rasa sayang seorang ayah kepada anaknya. Ada sesuatu yang menarik pada diri gadis ini, entah sikapnya yang dingin, ketidak acuhannya terhadap dunia, kecantikannya yang luar biasa atau kepandaiannya yang amat tinggi itu. Pendeknya, Can Pouw merasa girang sekali dapat berkenalan dengan dara ini, apalagi mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama dan mengunjungi perayaan bersama.

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw selain memiliki “seribu jari tangan” juga mempunyai ketajaman pandangan dan pendengaran yang luar biasa, di samping hubungannya memang banyak dan erat dengan semua tokoh di dunia kang-ouw. Maka segala keterangan yang diberikannya kepada In Hong mengenai Phoa Lee It di Wu-han itu tidak banyak selisihnya dengan kenyataan.

Phoa Lee It adalah seorang tokoh dari partai Go-bi-pai yang besar dan terkenal. Sudah belasan tahun dia tinggal di Wu-han, membuka perusahaan piauw-kiok (pengawal barang kiriman atau pelancong) yang memakai nama Go-bi Sam-eng (Tiga Pendekar Go-bi) dan karena hubungannya dengan semua fihak di dunia kang-ouw, baik dari kalangan pendekar maupun golongan penjahat amat eratnya, maka selama dia menjalankan pekerjaannya ini tidak ada yang mau mengganggu. Para penjahat tidak ada yang mau mengganggu semua barang kawalannya, karena selain amat berbahaya bermusuhan dengan Phoa Lee It dan dua orang puteranya yang memiliki kepandaian tinggi, juga setiap kali mereka minta sumbangan kepada piauw-kiok ini pasti akan dipenuhi. Juga orang she Phoa ini selalu membuka tangannya terhadep para tokoh kang-ouw yang membutuhkan bantuan, maka diapun terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul dan gagah perkasa.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa pencurian Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai dan pembunuhan atas diri anggauta-anggauta Cap-it Ho-han menggegerkan dunia kang-ouw dan tentu saja ada fihak yang membela Cin-ling-pai, ada pula yang membela Lima Bayangan Dewa! Melihat ketegangan dan bahaya perpecahan secara terbuka ini di dunia kang-ouw. Phoo Lee It sendiri menjadi cemas, maka timbullah niat di hatinya untuk mengadakan perayaan ulang tahun perusahaannya yang sudah dua windu (enam belas tahun) lamanya dengan selamat, dan mengundang semua tokoh kang-ouw dan liok-lim (para perampok) baik dengan undangan khusus atau dengan undangan umum untuk hadir dalam perayaan itu. Di samping untuk membuyarkan suasana tegang di antara orang kang-ouw di daerahnya yang akan mengganggu pekerjaannya, juga pendekar yang menjadi piauwsu int ingin sekali bertemu dengan sahabat-sahabat lama, para tokoh besar di dunia persilatan dengan maksud mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya yang sudah lebih dari dewasa.

Phoa Lee It adalah seorang duda dengan dua orang anak laki-laki yang mewarisi ilmu kepandaiannya, bahkan selama bertahun-tahun ini kedua orang puteranya itulah yang mewakili dia melakukan pengawalan terhadap barang-barang kiriman yang berharga. Yang pertama bernama Phoa Kim Cai, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, tampan dan gagah seperti tokoh sejarah Bu Siong, sikapnya kasar, terbuka dan jujur. Adapun putera kedua bernama Phoa Kim Sui, tubuhnya sedang dan wajahnya tampan halus seperti mendiang ibunya, juga seperti kakaknya, amat lihai bermain silat pedang Go-bi Kiam-sut, hanya sikapnya berbeda dengan kakaknya, dia halus dan agak pendiam.


Pada hari yang ditentukan untuk perayaan itu, sejak pagi sekali dua orang pemuda itu sudah menyambut datangnya para tamu di ruangan depan, sedangkan ayah mereka menyambut di bagian dalam, mempersilakan para tamu duduk dan tentu saja hanya para tokoh besar yang dipersilakan duduk di bagian kehormatan, yaitu tempat teratas di dekat tempat duduk tuan rumah. Beberapa orang pimpinan piauw-kiok itu, para pembantu keluarga Phoa, menerima sumbangan-sumbangan yang diatur di atas meja. Dan tepat seperti diduga semula, banyak sekali tamu yang datang, dan kedatangan mereka itu bukan semata-mata karena hubungan perkenalan mereka dengan Phoa piauwsu, akan tetapi terutama sekali terdorong oleh keinginan mereka menemui tokoh-tokoh dari dua golongan berhubung dengan terjadinya peristiwa mengegerkan di dunia kang-ouw itu, terutama sekali ketika terdapat berita angin bahwa Phoa-piauwsu juga mengundang keluarga darl Cin-ling-pai!

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, Si Malaikat Copet yang banyak akal itu pagi-pagi telah mengajak In Hong datang ke tempat pasta. In Hong mengenakan pakaian bekalnya yang agak baru dan meninggalkan buntalan pakaiannya di rumah penginapan, hanya membawa pedangnya saja dan memakai burung hong kemala di kepalanya. Can Pouw yang kelihatan gembira sekali itu mengenakan pakaian baru yang dibelikan oleh In Hong dan sebelum berangkat dia berkata, “Bagus sekali! Tanpa kuperkenalkan, tentu semua orang mengenal burung hong di rambutmu itu, lihiap.”

“Hemm, aku tidak hendak membawa-bawa Giok-hong-pang untuk berlagak,” In Hong berkata. “Perhiasan ini kupakai karena ini pemberian subo dan aku suka memakainya. Harap kau jangan menyebut-nyebut Giok-hong-pang kepada orang lain, paman.”

“Baik, baik... engkau memang seorang dara yang luar biasa dan aneh, lihiap, mari kita berangkat.”

Phoa Kim Cai dan Phoa Kim Sui menyambut mereka dengan penuh hormat dan kedua orang pemuda itu tentu saja mengenal Jeng-ci Sin-touw. “Selamat pagi, Sin-touw,” Phoa Kim Cai menyambut dengan senyum gembira. “Kami girang sekali menerima kunjungan Malaikat Copet, asal seribu jari tanganmu jangan gatal-gatal di sini, Sin-touw!”

Can Pouw tersenyum dan menoleh kepada In Hong. “Lihat, betapa gagah dan ramahnya putera-putera tuan rumah, lihiap!”

In Hong hanya membalas penghormatan mereka dengan mengangkat kedua tangan di depan dada dan memandang tak acuh.

“Sin-touw, harap kau suka memperkenalkan nona ini kepada kami!” tiba-tiba Phoa Kim Cai berkata.

“Ha-ha-ha, dia ini adalah... keponakanku bernama Yap In Hong. Lihiap, ini adalah putera pertama tuan rumah. Phoa Kim Cai kongcu dan ini adiknya, Phoa Kim Sui kongcu.”

Kembali In Hong membalas penghormatan mereka dan Phoa Kim Sui berkata dengan sikap hormat dan halus, “Silakan siocia duduk di dalam!”

In Hong hanya mengangguk dan diiringkan oleh Can Pouw yang berjalan di sebelahnya dengan lagak bangga, membusungkan dadanya yang kerempeng, tidak tahu bahwa topinya agak miring di atas kepalanya sehingga dia kelihatan lucu sekali. In Hong bersikap dingin ketika tadi melihat betapa dua pasang mata tuan rumah itu memandang kepadanya dengan penuh kekaguman. Hemm, biar kalian sepuluh kali lebih gagah dan tampan, aku tidak perduli, bisik hatinya yang merasa tidak senang melihat pandang mata mereka itu. “Paman, engkau masih saja menyebutku lihiap,” In Hong berbisik. Mereka sudah bersepakat untuk mengaku keponakan dan paman, akan tetapi karena pencopet itu selalu menyebut lihiap kepadanya, tentu saja mengertilah dua orang pemuda tadi bahwa hubungan paman dan keponakan itu hanya aku-akuan saja. Apalagi pencopet tua itu jelas begitu membanggakan dara yang luar biasa cantiknya itu.

Phoa Lee It menyambut mereka dan karena piauwsu ini sudah lama tidak pernah keluar, dia tidak mengenal Jeng-ci Sin-touw yang datang bersama seorang nona muda yang cantik. Melihat gerak-gerik Can Pouw dan karena tidak mengenalnya sebagai tokoh besar, maka dia lalu mempersilakan pencopet itu duduk di ruangan biasa bersama tamu-tamu lain.

In Hong menganggapnya biasa saja, akan tetapi diam-diam Can Pouw mengomel panjang pendek. “Aku boleh dia suruh duduk di sini, akan tetapi engkau? Ruangan kehormatan itupun masih kurang layak bagimu!”

“Ssttt... paman, mengapa mengomel tidak karuan? Aku tidak ingin duduk di sana,” In Hong menegur dengan hati geli “Eh, ke mana bungkusan hadiah sumbangan kita?”

Can Pouw mengeluarkan bungkusan itu dari balik jubahnya. “Kalau kita tidak diberi tempat di sana, aku juga tidak akan menyerahkan ini!”

“Hushh, paman Can, engkau membikin kita malu saja. Hayo cepat berikan berang sumbangan itu kepada penjaganya. Lihat, setiap orang yang datang, menyerahkan bungkusan, akan tetapi kita sendiri tidak! Si penjaga sudah sejak tadi memandang ke arah kita saja.”

Ucapan gadis ini memang benar. Tiga orang penjaga dan penerima sumbangan sejak tadi memandang ke arah mereka akan tetapi bukan karena mereka belum menyerahkan sumbangan, melainkan karena mereka kagum dan menduga-duga siapa gerangan dara cantik jelita yang datang bersama Si Malaikat Copet itu.

Sambil bersungut-sungut Can Pouw bangkit berdiri, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik mengikuti masuknya sepasang tamu baru yang menarik perhatian. Semua orang memandang penuh perhatian ketika laki-laki dan wanita itu memasuki ruangan depan, disambut penuh penghormatan oleh kedua orang putera tuan rumah lalu diantar masuk. In Hong juga memandang penuh perhatian.


Wanita itu cantik luar biasa, cantik den gagah penuh semangat dan agak angkuh memandang ke kanan kiri dengan cara menggerakkan matanya melirik dan menyambar-nyambar penuh selidik. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir indah, pakaiannya juga dari sutera indah dengan bentuk yang ketat sehingga mencetak tubuhnya yang sudah matang dengan lekuk lengkung sempurna itu. Wanita itu sebetulnya sudah berusia tiga puluh lima tahun, namun bentuk tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh gadis remaja saja. Di sampingnya berjalan seorang pria yang bertubuh tingg! besar seperti tokoh Kwan Kong, sikapnya pendiam, wajahnya taopan, tampan dan ganteng, pakaiannya sederhana dan di pinggangnya juga tergantung sebatang pedang. Dari sikap dan gerak-gerik mereka mudah saja diduga bahwa suami isteri ini adalah orang-orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi dan nama besar.

“Mereka siapa...?” In Hong tertarik sekali dan bertanya kepada Can Pouw ketika rombongan suami isteri ini menyerahkan sebuah bingkisan kepada para penjaga penerima sumbangan.

“Engkau tidak mengenalnya...? Eh, ya, sampai lupa aku siapa engkau yang sama sekali belum mengenal orang-orang kang-ouw. Wanita gagah itulah puteri ketua Cin-ling-pai, kepandaiannya hebat bukan main dan pria itu adalah suaminya, seorang yang lihai bernama Lie Kong Tek. Mereka tinggal di dekat kota ini, yaitu di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Bukit Tapie-san, terhitung tetangga dengan kota ini. Merekalah yang menjadi sumber perhatian karena mereka keluarga Cin-ling-pai.”

In Hong tidak mendengarkan lagi dan memandang kepada wanita itu penuh perhatian. Kiranya itulah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia teringat akan pertemuannya dengan kakak kandungnya. Dia dijodohkan dengan putera Cin-ling-pai? Tentu adik dari wanita cantik ini! Siapa namanya? Dia mengingat-ingat dan akhirnya teringat juga, nama putera Cin-ling-pai itu adalah Cia Bun Houw!

“Siapa namanya...?” Dia berbisik lagi.

“Nama siapa? Ah, puteri Cin-ling-pai itu? Dia hanya terkenal sebagai nyonya Lie, akan tetapi aku tahu bahwa nama aslinya adalah Cia Giok Keng. Ilmu pedangnya dan ilmunya mainkan sabuk merah tidak ada tandingannya di dunia, bahkan suaminya sendiri kalah jauh dalam ilmu silat dibandingkan dengan dia!”

Phoa Lee It menyambut suami isteri keluarga Cin-ling-pai itu dengan penuh penghormatan, membungkuk-bungkuk dan mempersilakan mereka duduk di tempat kehormatan!

“Huh, menjilat-jilat...!” In Hong berkata lirih tanpa disengaja.

“Hemm... memang, akan tetapi biarlah, tunggu saja!” Malaikat Copet itu membawa bungkusan hadiahnya dan melangkah.

“Ke mana kau?”

“Menyerahkan hadiah, kautunggu di sini!” Dia lalu pergi, diikuti pandang mata In Hong. Gadis ini menduga bahwa si pencopet tentu akan melakukan sesuatu, entah apa, karena dia dapat melihat ini dalam sikapnya yang begitu bersungguh-sungguh dan agaknya dia mendongkol atau marah sekali melihat betapa tuan rumah menyambut tamu lain begitu menghormat dan menjilat sedangkan mereka berdua “dilempar” ke tempat tamu biasa. Dia melihat Can Pouw menghampiri meja tempat penerima hadiah, bahkan setelah dicatatkan namanya lalu menumpuk sendiri bungkusan itu di atas meja di antara hadiah-hadiah lain, dan pencopet itu bercakap-cakap dan beramah-tamah dengan para piauwsu yang menjaga di situ, menuding dan agaknya memeriksa nama-nama pada kartu nama yang terdapat di bungkusan-bungkusan hadiah itu. Kemudian, sambil tersenyum-senyum ramah ia mengangguk, kemudian meninggalkan meja itu, bukan untuk kembali kepada In Hong, melainkan untuk menuju ke ruangan kehormatan di atas!

Phoa Lee It memandangnya, akan tetapi dia mengangguk dan menuding ke arah seorang nenek tua yang duduk juga di ruangan kehormatan itu bersama seorang gadis remaja cantik yang melihat pakaiannya adalah seorang gadis Suku Bangsa Tibet. Phoa Lee It mengangguk karena si pencopet itu menyatakan hendak menemui nenek itu yang tentu saja adalah seorang tokoh besar yang dikenal baik oleh tuan rumah.

Nenek itu bukan lain adalah Go-bi Sin-kouw! Seorang tokoh di Go-bi-san yang terkenal sekali sebagai seorang datuk golongan hitam. Nenek ini usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya sudah agak bongkok, pakaiannya dari sutera serba hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut, wajahnya bengis penuh keriput dan sepasang matanya hampir tidak nampak bersembunyi di dalam rongga mata yang cekung, mulutnya seringkali bergerak-gerak seperti orang makan dan bibirnya sudah “nyaprut” karena mulut itu tidak bergigi lagi. Di dekatnya duduk seorang gadis cantik sekali, usianya baru lima belas tahun, berpakaian seperti gadis Tibet, dan kecantikannya adalah kecantikan khas Bangsa Tibet sehingga amat menarik perhatian. Gadis itu kelihatan diam dan bahkan agak berduka yang ditekan-tekankan, dan dia kelihatan takut kepada nenek itu yang memperkenalkannya sebagai muridnya.

“Aihhh... sungguh berbahagia sekali hidupku, dapat bertemu dengan seorang tokoh besar yang namanya menjulang tinggi sampai ke angkasa! Locianpwe tentulah Go-bi Sin-kouw yang namanya terkenal di empat penjuru dunia bukan? Siauwte sudah menduga bahwa sebagai tokoh Go-bi, pasti locianpwe akan datang menghadiri perayaan seorang tokoh Go-bi-pai. Perkenankan siauwte, Jeng-ci Sin-touw Can Pouw menghaturkan selamat datang dan hormat.”

Go-bi Sin-kouw yang sudah tua sekali itu memandang dengan matanya yang hampir tidak tampak bersembunyi di balik lipatan-lipatan kulit, dia senang juga menyaksikan sikap ramah luar biasa dari laki-laki yang mukanya kelihatan ramah menyenangkan ini, apalagi ketika mendengar julukannya.


Ehe, kau pencopet? Heh-heh, pencopet yang ramah. Duduklah di sini, matamu awas benar dapat mengenal aku.” Go-bi Sin-kouw yang biasanya galak itu kini menjadi lunak hatinya oleh sikap Can Pouw.

Can Pouw menghaturkan terima kasih dan duduklah dia di atas ruangan kehormatan itu dan sebentar saja In Hong dari jauh melihat dia asyik bercakap-cakap sekali dengan nenek itu, bahkan si gadis Tibet yang cantik manis itupun terbawa-bawa dalam percakapan. In Hong tersenyum di hatinya. Memang dia tahu betapa pandainya “pamannya” tukang copet itu dalam pergaulan, pandai menarik hati orang dan pandai pula bersahabat. Sampai lama mereka bercakap-cakap, kadang-kadang diseling pencopet itu tertawa dan memandang kepada si nenek dengan sinar mata kagum penuh pujian, bahkan nenek itupun kadang-kadang tersenyum lebar. Juga In Hong melihat betapa mereka itu kadang-kadang melirik ke arah keluarga Cin-ling-pai seolah-olah sedang membicarakan mereka itu.

Setelah lama bercakap-cakap dengan nenek itu yang membuat para tamu lainnya terheran juga mengapa seorang tamu dari ruangan biasa beromong-omong begitu akrabnya dengan seorang tamu ruangan kehormatan, akhirnya Can Pouw kembali ke tempatnya dan ketika berjalan dia mengangkat muka membusungkan dada seolah-olah hendak berkata bahwa tuan rumah telah keliru menempatkan dia di ruangan biasa! Akan tetapi Phoa Lee It bersikap tak acuh karena dia merasa bertindak benar. Dia tidak mengenal orang bertopi itu yang datang bersama seorang gadis cantik yang juga tidak terkenal, bagaimana dia dapat menerima mereka sebagai tamu kehormatan? Juga agaknya para piauwsu yang mengenal orang ini menganggapnya tamu biasa, kalau tidak tentu mereka sudah melapor kepadanya agar kesalahan itu dapat dibetulkan. Dan memanglah, siapa di antara para piauwsu yang menganggap bahwa pencopet ini seorang tamu agung?

Ketika duduk kembali dekat In Hong, dengan suara bisik-bisik dan wajah sungguh-sungguh Can Pouw berkata, “Wah, ada berita hebat! Kau tahu siapa dara Tibet yang manis sekali yang duduk bersama nenek hitam itu? Dia itu adalah tunangan darl putera ketua Cin-ling-pai!”

“Ehh...?” In Hong cepat menekan debar jantungnya dan bersikap biasa lagi, seolah-olah dia hanya tercengang mendengar berita penting akan tetapi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.

“Hemm, tentu ketua Cin-ling-pai itu banyak sekali anaknya.”

“Ah, tidak sama sekali. Hanya ada dua orang, yang pertama adalah nyonya gagah itu dan yang kedua adalah seorang pria, adik nyonya itu yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian lebih hebat lagi dan berguru kepada seorang suci yang sakti di Tibet.”

“Hemm, agaknya engkau tahu segala hal mengenai Cin-ling-pai, paman. Tentu kau mengenal pula nama puteranya itu.”

“Tentu saja! Tidak percuma aku menyelidiki setelah terjadi peristiwa menggegerkan itu. Namanya adalah Cia Bu Houw dan... eh, kau kenapa?”

“Tidak apa-apa, aku sudah muak mendengar kau bercerita terlalu banyak tentang keluarga orang lain. Sekarang ceritakan tentang nenek itu. Menyeramkan benar, siapa sih dia?”

“Dia itu adalah seorang datuk kaum hitam yang luar biasa! Dialah Go-bi Sin-kouw! Kaulihat betapa dia bercakap-cakap dengan akrab tadi denganku? Ha-ha, dia menceritakan segala hal sampai-sampai ketika secara kebetulan dia menemukan gadis Tibet yang manis itu. Gadis yang cantik sekali, cantik dan lembut, kecantikan yang asli dan khas, pantas saja putera ketua Cin-ling-pai itu tergila-gila. Ha-ha-ha! Dan sekarang pacarnya itu menjadi murid Go-bi Sin-kouw, betapa lucu dan anehnya dunia ini!”

In Hong tidak bicara lagi, diam saja untuk menenangkan hatinya yang bergelora. Dia sendiri merasa heran mengapa hatinya menjadi panas dan sakit mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai telah mempunyai pacar! Dia bukan cemburu, hanya merasa terhina. Sudah mempunyai pacar, seorang kekasih gadis Tibet yang cantik manis, tidak malu untuk melamar dia menjadi calon jodoh! Hatinya panas dan dia mulai memandang ke arah keluarga Cin-ling-pai yang hadir di situ tidak seperti tadi, penuh kagum, kini menjadi dingin dan disertai senyum mengejek.

Gadis Tibet yang cantik manis itu memang bukan lain adalah Yalima, puteri kepala dusun yang menjadi sahabat baik Cia Bun Houw itu! Bagaimana tahu-tahu dia bisa datang sebagai tamu di tempat pesta perayaan Phoa Lee It bersama dengan seorang nenek iblis seperti Go-bi Sin-kouw itu?

Seperti telah kita ketahui, dara remaja ini hancur perasaan hatinya ketika ditinggal pergi oleh Cia Bun Houw yang harus memenuhi panggilan orang tuanya meninggalkan Tibet, kembali ke Cin-ling-san. Dan lebih celaka lagi baginya, dua hari setelah pemuda yang dicintanya itu pergi, ayahnya menyatakan bahwa dia akan diajak pergi ke Lhasa, dipersembahkan kepada seorang pangeran tua.

“Akan tetapi, ayah...” Dia membantah. “Ayah sudah berjanji kepada Houw-koko untuk tidak membawaku ke Lhasa!”

“Hemm, kau tahu apa! Aku berjanji kepadanya hanya memenuhi perintah Kok Beng Lama dan aku tidak melanggar janji. Aku berjanji tidak akan membawamu ke Lhasa selama dia berada di sini. Sekarang dia tidak lagi berada di sini, maka aku boleh melakukan apa saja terhadap anak perempuanku sendiri. Dan dia itupun seorang laki-laki tidak bertanggung jawab. Kalau memang dia cinta kepadamu, mengapa dia tidak melamar kepadaku dan membawamu ke negerinya?”

Yalima tidak dapat membantah lagi dan dia lari ke kamarnya, menangis sehari penuh, sampai air matanya tidak ada lagi. Dan pada malam hari itu juga, gadis yang sudah terperosok ke dalam perangkap cinta ini dengan nekat lalu minggat meninggalkan rumah dan dusunnya, pergi menuju ke timur dengan niat di hati akan menyusul dan mencari Cia Bun Houw, kekasihnya dan satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan menolongnya!


Yalima adalah seorang gadis Tibet asli yang sudah biasa hidup di pegunungan, biasa pula berjalan naik turun bukit. Akan tetapi perjalanan yang dilakukannya tanpa persiapan, dengan nekat dan dengan hati penuh duka dan kecemasan, melalui daerah-daerah yang liar dan buas, perjalanan yang amat sukar ini, membuat dia mengalami kesengsarean lahir batin yang amat hebat. Dia tidak tahu arah jalan, hanya mengikuti arah dari mana matahari timbul, makan seadanya asal tidak kelaparan, dan melewatkan malam-malam gelap mengerikan seorang diri saja di dalam hutan-hutan lebat, bersembunyi di antara daun-daun di pohon-pohon besar. Dia pergi hanya membawa buntalan pakaiannya dan tidak membawa bekal lain, kecuali tekad bahwa dia akan hidup di samping Cia Bun Houw atau mati terlantar di tengah jalan!

Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan, entah berapa lamanya dia tidak tahu lagi, pada suatu pagi di dalam hutan yang besar, dia berdiri terbelalak dan pucat, kedua kakinya menggigil ketakutan di depan seekor harimau besar yang muncul secara tiba-tiba dari rumpun alang-alang. Rasa kaget dan takut membuat gadis itu tidak lagi dapat menggerakkan kedua kakinya dan pada saat harimau itu bergerak ke depan, dia menjerit sekuat tenaganya!

“Desss...! Plak-plak-plak...!” Tubuh harimau itu terlempar ke belakang ketika sinar hitam menghantamnya dan bertubi-tubi memukul kepalanya. Seorang nenek berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berada di situ, menggunakan tongkatnya menghalau binatang buas itu. Agaknya harimau itu dapat merasakan pukulan yang amat keras, tahu bahwa nenek hitam itu berbahaya sekali, dan mungkin juga karena dia tidak terlalu lapar, maka setelah mengaum marah satu kali dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.

“Bangunlah...!” nenek itu berkata dalam Bahasa Tibet kepada Yalima.

Yalima lalu menubruk kaki nenek itu, berlutut sambil menangis dan menghaturkan terima kasih dalam Bahasa Han karena dia melihat nenek itu bukan Bangsa Tibet.

Nenek itu agak terkejut. “Hemm, engkau pandai berbahasa Han?”

“Nenek yang baik, Houw-koko telah mengajarkan bahasa ini kepadaku. Nenek, engkau telah menyelamatkan nyawaku, harap selanjutnya nenek suka menolong aku yang sengsara ini...”

Nenek itu adalah Go-bi Sin-kouw. Di dalam cerita Petualang Asmara telah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek berpakaian hitam ini. Dia adalah seorang wanita lihai yang memiliki kepandaian tinggi dan yang kini tinggal di dalam sebuah istana terpencil yang dulu menjadi milik Go-bi Thai-houw. Go-bi Sin-kouw ini adalah guru dari Pek Hong Ing, isteri pendekar Yap Kun Liong. Wataknya aneh sekali, juga kejam dan dapat melakukan apa saja menurut kesenangan hatinya sendiri. Akan tetapi dia selalu merasa sayang kalau melihat gadis cantik, karena di balik kekejaman dan kesepian hidupnya itu tersembunyi kerinduan besar akan seorang anak seorang cucu! Kini melihat keadaan gadis Tibet ini, timbul rasa sukanya dan dia lalu berkata, “Tenangkan hatimu, aku akan menolongmu. Siapakah namamu?”

“Nama saya Yalima, nenek yang baik.”

“Jangan sebut aku nenek yang baik, panggil aku subo (ibu guru), karena sejak sekarang engkau menjadi muridku. Maukah engkau?”

“Saya akan mentaati semua perintah subo asal subo sudi menolong saya, agar kita dapat mencari Houw-koko.”

“Hemm, kila lihat saja nanti. Sekarang ceritakan siapa itu Houw-koko dan mengapa engkau seorang gadis Tibet sampai tiba di tempat ini seorang diri.”

Yalima lalu menceritakan riwayatnya, betapa dia adalah puteri seorang kepala dusun dan bersahabat baik dengan seorang pemuda Han bernama Cia Bun Houw. Betapa pemuda itu akhirnya dipanggil pulang oleh ayahnya dan meninggalkannya, dan dia akan dipersembahkan kepada pangeren tua oleh ayahnya, maka dia lalu minggat dan ingin mencari pemuda yang
dicintanya itu. Semua dituturkannya dengan panjang lebar dan jelas kepada Go-bi Sin-kouw.

Mendengar penuturan ini, Go-bi Sin-kouw menggeleng-geleng kepalanya. “Anak bodoh, apakah engkau amat mencintanya?”

“Teecu (murid) mencinta Houw-koko, subo, dan lebih baik mati saja daripada tidak bertemu kembali dengan dia.”

“Anak bodoh, begini percaya kepada laki-laki. Apakah kau yakin bahwa dia itu juga cinta padamu?”

“Teecu yakin sekali, sungguhpun... dia tidak pernah mengatakan dengan mulutnya. Teecu merasa bahwa teecu sudah menjadi miliknya, lahir dan batin!”

Melihat kenekatan gadis itu, Go-bi Sin-kouw mengerutkan dahinya. “Hemmm, betapa banyaknya wanita menjadi korban bujukan mulut manis dan palsu dari kaum pria, Yalima, siapakah sebenarnya pemuda itu? Mengapa seorang pemuda Han berada di Tibet?”

“Dia bukan seorang biasa, subo. Dia dalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian seperti dewa! Dia murid dari Kok Beng Lama...”

“Haiiiii!!!” Go-bi Sin-kouw terkejut setengah mati mendengar nama pendeta Lama ini. Pernah dia bertemu dengan pendeta yang memiliki kesaktian luar biasa itu dan untung dia tidak mati di tangan manusia luar biasa itu (baca Petualan Asmara) dan kini mendengar namanya saja dia sudah merasa gentar. “Mu... muridnya? Dan sekarang ke mana pemuda itu?”


Dia pulang ke Cin-ling-san...”

“Eihhh...!” Untuk kedua kalinya Go-bi Sin-kouw berseru kaget. “Tahukah kau anak siapa dia dan mengapa pulang ke Cin-ling-san...?”

“Houw-ko tidak menyebutkan nama ayahnya, hanya pernah mengatakan bahwa ayahnya bukan orang biasa, melainkan ketua Cin-ling-pai yang terkenal...”

“Aahhh...!” Untuk ketiga kalinya nenek itu berseru kaget, membuat Yalima terheran-heran. Sampai lama nenek it tidak berkata-kata, kemudian mengangguk-angguk. Baru saja, dia telah dikunjungi oleh Hek I Sinkouw dan Lima Bayanga Dewa, dimintai bantuannya untuk menghadapi fihak Cin-ling-pai dan dia sudah menyatakan kesanggupannya. Memang sejak dahulu dia tidak suka kepada keluarga pendekar itu. Hatinya masih sakit kalau dia teringat kepada Pek Hong Ing, muridnya yang tercinta. Muridnya itu telah membalik dan tidak mentaatinya karena muridnya telah tergila-gila kepada Yap Kun Liong, seorang di antara anggauta keluarga ketua Cin-ling-pai itu bahkan kini telah menjadi isteri Yap Kun Liong. Kini dia mendengar akan usaha Lima Bayangan Dewa untuk membalas dendam dan memusuhi Cin-ling-pai, maka dia segera menyatakan setuju untuk membantu.

“Sungguh hal yang amat kebetulan sekali...!” gerutunya sambil memandang gadis Tibet itu. Betapa kebetulan sekali dia bertemu dan menolong gadis ini yang ternyata adalah pacar dari putera ketua Cin-ling-pai! Dia lalu minta kepada Yalima untuk menceritakan segala tentang hubungannya dengan Cia Bun Houw secara jelas.

Yalima adalah seorang gadis yang selamanya hidup di tempat sederhana dan karena itu wataknya wajar, polos dan jujur. Apalagi karena dia menganggap nenek ini sebagai penolong dan gurunya, sebagai seorang yang amat baik budi, maka dia lalu menceritakan semuanya, tentang hubungannya yang sudah sangat erat dengan Cia Bun Houw sehingga nenek itu tadinya mengira bahwa gadis itu telah menyerahkan kehormatan dirinya kepada pemuda itu. Namun Yalima menyangkalnya, hanya menceritakan dengan malu-malu tentang kemesraan yang terjadi di antara mereka dan dia bilang bahwa dia yakin akan cintanya pemuda itu kepadanya melalui pelukan dan ciuman yang dilakukan pemuda itu kepadanya. Dan nenek itu menyeringai senang.

“Jangan khawatir, Yalima. Tidak ada orang yang boleh begitu saja menghina muridku! Kelak aku akan menyeret pemuda itu di depan kakimu!”

Yalima terbelalak kaget. “Tapi... tapi, subo, Houw-koko adalah seorang yang amat baik!”

“Heh-heh-heh, putera keluarga Cin-ling-pai baik katamu? Ho-ho, engkau belum tahu, anakku, muridku...!”

Demikianlah, mulai hari itu Yalima menjadi murid Go-bi Sin-kouw dan dara itu merasa tidak suka sama sekali, akan tetapi karena dia tahu bahwa nenek itu amat lihai dan kejam, dia tidak berani menyatakan ketidaksukaan hatinya. Bahkan diam-diam dia ingin mempelajari ilmu nenek itu, setelah memperoleh kesempatan dia akan melarikan diri dan melanjutkan keinginan hatinya mencari dan menemukan kekasihnya.

Dan pada hari itu, dia diajak oleh subonya untuk mengunjungi pesta perayaan hari ulang tahun Go-bi Sam-eng-piaukiok di kota Wu-han karena memang nenek ini mengenal tokoh-tokoh Go-bi-pai yang dahulu menjadi tetangganya. Tentu saja kedatangannya ini bukan semata-mata hendak menghormati Phoa Lee It yang dianggapnya tokoh rendahan saja, melainkan ingin bertemu dengen tokoh-tokoh kang-ouw karena diapun akan pergi ke Ngo-sian-chung di lembah Huang-ho memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa.

Demikianlah pengalaman Yalima yang pada hari itu ikut bersamaa Sin-kouw ke pesta Phoa-piauwsu dan bertemu dengan Jeng-ci Sin-touw Can Pouw yang menceritakan tentang pertemuannya dengan nenek itu kepada In Hong. Malaikat Copet ini sama sekali tidak pernah menduga betapa ceritanya itu membuat In Hong menjadi panas perutnya dan marah sekali. Seketika timbul kebencian yang sangat di hati dara itu terhadap pemuda yang ditunangkan dengan dia, yaitu Cia Bun Houw. Sudah mempunyai seorang pacar di Tibet, masih tidak tahu malu hendak mengikat jodoh dengan dia. Laki-laki! Timbullah rasa tidak sukanya yang memang dasarnya sudah ditanamkan oleh gurunya di dalam lubuk hatinya terhadap kaum pria. Kini, baru saja merantau, dia sudah merasakan dihina kaum pria.

Kini tempat pesta sudah penuh dan tamu-tamu baru sudah tidak ada yang datang lagi. Di tempat ruangan kehormatan itu terdapat belasan orang pendatang baru dan In Hong melihat betapa mereka itu secara otomatis berpisah tempat duduknya, yang sebelah kiri di mana duduk keluarga Cin-ling-pai tadi duduk orang-orang yang agaknya tergolong kaum pendekar golongan putih, dan mereka ini kelihatannya amat menghormat puteri ketua Cin-ling-pai itu, sedangkan di sebelah kanan duduklah orang-orang yang kelihatan menghormati nenek berpakaian hitam dan mudah diduga bahwa mereka tentu tokoh-tokoh kaum sesat atau golongan hitam.

Hindangan-hidangan dikeluarkan dan upacara pembukaan barang-barang hadiah di depan tuan rumah dilakukan. Berturut-turut dibukalah bungkusan-bungkusan itu dan diumumkan nama si penyumbang sambil mengangkat tinggi-tinggi barang sumbangan. Untuk sumbangan yang berupa barang biasa saja, para tamu menyambutnya dengan senyum, akan tetapi kalau ada benda luar biasa yang berharga, mereka menyambut dengan sorak memuji.

“Bingkisan dari yang terhormat locianpwe Go-bi Sin-kouw...” Piauwsu yang membuka bungkusan-bungkusan itu berseru sambil mengangkat benda itu ke atas membaca nama penyumbangnya di kartu yang tertempel di luar bungkusan. Semua orang bersorak ketika melihat bahwa benda itu adalah sebuah piring terbuat dari emas! Go-bi Sin-kouw mengangguk dan tersenyum dengan mulutnya yang nyaprut sehingga kelihatan lucu sekali. Phoa Lee It menjura ke arah nenek itu untuk menyatakan terima kasihnya.

Akan tetapi ketika benda yang terbungkus itu diangkat ke atas, orang memandang dan melongo dan muka pucat, dan suara sorakan kalah kini oleh suara-suara ejekan yang terdengar dari golongan hitam. Benda itu hanyalah sebuah panci yang murah dan dapat dibeli di sembarang tempat, hanya perabot dapur yang murah!

“Eihh, kenapa begitu pelit,?” terdengar suara orang.

“Maklumlah, baru habis kecurian hebat!”

“Memang pelit, pedangnyapun pedang-pedangan dari kayu!”

Terdengar bentakan nyaring dan suara-suara itu tak terdengar lagi, semua orang terkejut memandang ke tengah ruangan yang luas di mana berdiri nyonya Lie yang menyapu semua orang dengan pandang matanya yang tajam, mukanya yang cantik itu merah sekali, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan dia menuding ke arah tiga orang yang duduk di ruangan tamu biasa. “Hayo kalian bertiga, maju ke sini kalau kalian bukan anjing-anjing pengecut hina!”

Suaranya nyaring dan penuh wibawa. Dapat mengenal tiga orang yang tadi mengejek saja sudah merupakan ketajaman pendengaran dan penglihatan yang luar biasa, karena suara-suara itu tadi bercampur aduk. Tiga orang laki-laki itu masih muda, dan mereka memandang pucat, lalu saling pandang.

Para tamu mulai ribut dan dari fihak yang pro Cin-ling-pai terdengar suara-suara mengejek. “Kalau sampai ada anjing-anjing pengecut hadir di dalam pesta, sungguh memalukan kita!”

Mendengar ejekan-ejekan itu dan melihat bahwa fihak golongan hitam juga banyak, tiga orang laki-laki itu lalu bangkit berdiri dan serentak menghampiri Cia Giok Keng.

“Toanio, kami yang mengeluarkan ucapan tadi berdasarkan kenyataan. Mengapa toanio memanggil kami?” seorang diantara mereka berkata.

“Memang kami hanya mengatakan apa adanya!” kata orang kedua.

“Memang pemberian itu amat pelit, dan memang Cin-ling-pai habis kecurian dan memang siapa tidak tahu bahwa Siang-bhok-kiam terbuat dari kayu?” kata orang ketiga.

Sepasang mata itu mengeluarkan cahaya berapi dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, cepat sekali. “Plok! Plok! Plok!” Tiga orang itu terpelanting, mengaduh-aduh dan mulut mereka berdarah karena gigi mereka sudah rontok ketika ditampar tangan yang halus itu.

Phoa Lee It cepat melangkah maju dan menjura di depan Cia Giok Keng. “Harap lihiap sudi memaafkan dan memandang muka kami menyudahi perkara kecil ini.” Dan diapun menghadapi para tamu. “Perkara barang sumbangan, harap tidak dipandang berharga atau tidak, harganya bukan dilihat dari bendanya, melainkan dari dasar hati pemberinya. Harap cu-wi tidak membikin ribut.”

Cia Giok Keng menahan kemarahannya. “Melihat muka tuan rumah, kuampunken kalian bertiga!” katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah kembali ke tempat duduknya.

In Hong mengerutkan alianya. Puteri Cin-ling-pai itu memang hebat, akan tetapi sungguh galak den angkuh, seolah-olah di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandinginya. Tentu saja pikiran ini timbul dari panasnya hatinya tentang Cia Bun Houw yang dianggap menghinanya. Dia melihat betapa nenek pakaian hitam itu melirik dan tersenyum ke arah Cia Giok Keng.

“Bingkisan dari yang terhormat Jeng-ci Sin-touw Can Pouw...!” Terdengar pembuka bungkusan sumbangan berteriak dan mengangkat sebuah benda mengkilap ke atas.

Tepuk sorak gemuruh menyambut benda ini, sebuah peti tua dari kayu hitam berukir indah dan terhias emas dan permata yang tentu amat mahal harganya.

“Inilah baru bingkisan namanya!” terdengar orang berteriak.

Orang-orang yang belum mengenal mencari-cari siapa gerangan orang berjuluk Malaikat Copet Berjari Seribu itu dan ketika mata tuan rumah memandang ke arah ruangan tamu biasa, terdengar orang berkata. “Tamu yang sumbangannya sehebat itu mengapa tidak di tempat kehormatan?”

In Hong juga menoleh dan baru sekarang dia melihat betapa temannya itu sudah tidak ada lagi di tempatnya! Dia melihat sehelai kertas di atas bangku temannya itu, cepat disambar dan dibacanya.

“Maaf, aku pergi dulu karena... takut!”

In Hong mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa maksudnya. Dan dia tadinya merasa heran mengapa uang yang tidak berapa banyak ia berikan kepada pencopet itu telah menghasilkan pakaian pencopet itu dan barang sumbangan yang demikian hebat. Tentu dia telah mencopetnya, pikirnya.

Akan tetapi tiba-tiba terjadi keributan lain lagi. Kembali Cia Giok Keng kini sudah meloncat dari tempat duduknya, sekali sambar dia telah merampas, peti kayu indah itu dari tangan piauwsu pengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru, “Para tamu sekalian dan Phoa-lo-enghiong, ketahuilah! Benda ini adalah apa yang kusumbangkan, entah bagaimana telah berada di dalam bungkusan orang lain! Aku menantang Jeng-ci Sin-touw untuk keluar dan memberi keterangan bagaimana barangku bisa berada di dalam bungkusannya!”

Suara ini nyaring sekali dan semua tamu kembali menjadi diam dan memandang penuh ketegangan. Akan tetapi, tidak ada orang yang menjawab tantangan ini dan tidak nampak bayangan orang yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw.


Kembali Cia Giok Keng berkata, suaranya tenang, namun mengandung penuh ancaman dan kemarahan, nyaring terdengar sampai di luar gedung itu, “Sejak tadi ketika bungkusan sumbanganku dibuka, aku sudah tahu bahwa ada orang main gila, akan tetapi aku menanti sampai benda itu muncul. Kiranya ada maling atau copet hina dina yang bermain gila, sengaja menukar sumbanganku dengan sumbangannya yang tidak berharga. Hayo engkau Jeng-ci Sin-touw keluarlah untuk menerima kematian! Kalau tidak dapat menghancurkan kepalamu, jangan namakan aku puteri ketua Cin-ling-pai!”

Sebenarnya, biarpun Cia Giok Keng ini sejak mudanya berwatak keras dan pemberani tak mengenal artinya takut, akan tetapi dia sama sekali tidaklah suka menyombongkan nama ayahnya atau Cin-ling-pai. Kalau sekarang dia melakukan
hal itu adalah karena kedukaan dan kemarahan yang masih membakar hatinya berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai. Ketika guru suaminya datang berkunjung ke Sin-yang dan menceritakan tentang malapetaka yang menimpa Cin-ling-pai, dia menangis dan bersama suaminya dia mengunjungi Cin-ling-pai. Di depan ayah bundanya dia menyatakan ingin mencari penjahat-penjahat itu, akan tetapi ayahnya melarang dan mengatakan bahwa adiknya, Cia Bun Houw, dan empat orang murid kepala sudah ditugaskan untuk itu. “Engkau sudah mempunyai keluarga sendiri, jangan mencampuri urusan ini, anakku, agar kelak tidak berlarut-larut dan terseret,” demikianlah kata ayahnya, sehingga terpaksa dia pulang kembali bersama suaminya membawa perasaan penasaran dan kemarahan. Kini, di tempat pesta ini dia dibikin marah oleh kata-kata yang mengejek Cin-ling-pai, dan seorang pencopet mempermainkannya dengan menukar barang sumbangan, tentu saja kemarahannya meledak dan dia menyinggung nama Cin-ling-pai tanpa disadarinya untuk mengangkat nama ayahnya.

Karena tidak ada jawaban, nyonya ini menjadi makin marah. “Pho-lo-enghiong, mengapa engkau mengundang para pengecut datang menghadiri perayaahmu? Jeng-ci Sin-touw adalah seorang maling, seorang copet yang pengecut dan hina, dan teman-temannyapun orang-orang rendah!”

“Eh-eh, nanti dulu, toanio!” Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih meloncat ke depan. Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan ikat pinggang kuning emas, kepalanya dibungkus kain kuning dan di punggungnya terdapat sebatang golok besar. Para tokoh golongan hitam segera mengenalnya sebagai Twa-sin-to Kui Liok Si Golok Besar Sakti, seorang perampok tunggal yang sudah puluhan tahun malang melintang di lembah Sungai Yang-ce-kiang, seorang yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu goloknya.

Cia Giok Keng menghadapi laki-laki yang tubuhnya besar pendek ini dengan pandang mata meremehkan. “Mengapa engkau menahanku? Apakah hendak menyangkal bahwa Jeng-ci Sin-touw adalah maling hina?”

“Toanio adalah seorang gagah perkasa, bahkan puteri ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal, akan tetapi toanio terlalu memandang rendah orang lain! Kalau toanio memaki Jeng-ci Sin-touw karena dia menukar barang sumbangannya, hal itu adalah hak toanio, akan tetapi toanio membawa-bawa semua temannya yang tidak bersalah apa-apa.”

“Hemm, aku ulangi lagi, dia seorang hina dan teman-temannyapun orang-orang rendah. Nah, kau mau apa?” Cia Keng Hong yang memang sudah amat marah itu membentak.

“Toanio, aku adalah Twa-sin-to Kui Liok dan terus terang saja aku mengenal baik Jeng-ci Sin-touw sehingga boleh dibilang aku juga temannya. Apakah dengan begitu engkau hendak mengatakan bahwa aku seorang rendah?”

“Tentu saja, semua maling dan copet dan sebangsanya adalah orang-orang yang paling rendah dan pengecut di dunia!” Bentak Cia Giok Keng yang sebetulnya menujukan makian itu bukan langsung kepada orang yang berdiri di depannya, bahkan hanya sedikit menyinggung Jeng-ci Sin-touw yang tidak dikenalnya, melainkan ditujukan kepada orang-orang yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Sejak terjadinya peristiwa itu, di dalam hatinya, dia mengutuk dan membenci semua golongan hitam, terutama pencuri dan perampok!

Kui Liok menjadi marah. “Toanio terlalu menghina orang! Jangan mengira bahwa aku takut mendengar nama Cin-ling-pai!!”

Wajah Cia Giok Keng menjadi makin merah. “Huh, tikus macam kau berani menentang Cin-ling-pai? Majulah!”

“Wanita sombong!” Kui Liok membentak dan akan menyerang.

“Tahan... tahan...!” Tiba-tiba Phot Lee It maju dan berdirl di antara mereka. “Cia-lihiap, harap bersabar dan memaafkan orang yang telah menukar barang sumbangan itu. Dan kau, Twa-sin-to, harap kau sabar dan mengalah.”

“Phoa-loenghiong harap kau minggir, jangan menghalangi aku. Di manapun dan kapanpun aku harus selalu menghajar golongan sesat yang berani kurang ajar!” Sikap dan ucapan Cia Giok Keng ini membuat Phoa Lee It menjadi serba salah dan terpaksa dia mundur sambil menggeleng kepala dan mengangkat bahu, bingung dan cemas.

“Pencoleng hina, majulah kalau kau berani!” puteri ketua Cin-ling-pai itu menantang dan Kui Liok yang merasa dihina di hadapan banyak sekali orang, segera menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi yang diserangnya ini adalah puteri sulung Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang biarpun tidak berhasil mewarisi seluruh kepandaian ayahnya dan ibunya, namun dia telah memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya. Dengan jurus-jurus dari San-in-kun-hoat yang gerakannya aneh, lihai dan dahsyat, dia menangkis dan begitu tangannya balas menampar, jari-jari tangannya mengenai pundak Kui Liok, membuat perampok tunggal yang tubuhnya kebal ini terhuyung dan menyeringai kesakitan! Dalam segebrakan saja dia telah dibuat terhuyung den tulang pundak kirinya seperti patah-patah rasanya! Tentu saja dia menjadi penasaran, mengeluarkan bentakan keras dan menubruk maju lagi, menggunakan kedua lengannya yang dikembangkan dan kedua tangan yang terbuka seperti seekor harimau menubruk. Dan memang perampok tunggal ini telah menggunakan jurus Go-houw-pok-ma (Macan
Kelaparan Menubruk Kuda), dia menerkam setengah meloncat dan kedua tangan dipentang lebar itu menerkam dari kanan kiri sehingga sukar sekali untuk dielakkan.


Namun cia Giok Keng sama sekali tidak mengelak. Dengan tenang dia menanti datangnya serangan itu, lalu tiba-tiba mementang kedua tangannya ke kanan kiri, menggunakan telunjuk kanan kiri menusuk ke arah pergelangan kedua tangan lawan, dan pada saat jari-jari tangannya itu mendahului menyerang pergelangan tangan lawan sebelum serangan lawan tiba, kaki kirinya menendang dengan kecepatan seperti kilat. Semua ini dilakukan tanpa merobah kedudukan tubuhnya.

“Dess... auukkk...!” Tubuh yang pendek besar itu terjengkang dan terguling-guling, lalu meloncat bangun dan tangan kirinya memegangi perutnya yang mendadak menjadi mulas setelah dicium ujung sepatu Giok Keng.

Kini semua orang terkejut. Bukan main hebatnya nyonya itu, demikian mudahnya menghadapi serangan Kui Liok, dan sakaligus membuatnya terhuyung kemudian roboh dalam dua gebrakan saja. Padahal mereka tahu bahwa Kui Liok bukanlah seorang lemah kalau tidak boleh dibilang seorang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja Kui Liok sendiri menjadi marah bukan main. Habislah nama besarnya kali ini! Dia diperlakukan seperti seorang murid tolol yang baru belajar ilmu silat oleh seorang guru besar!

“Srattttt!” Golok besarnya telah dicabutnya, akan tetapi dia masih merasa terlalu besar namanya untuk menyerang seorang wanita tanpa senjata begitu saja, maka dengan suara parau dan tangan kiri mengusap darah yang mengalir dari ujung bibirnya dia membentak. “Keluarkan pedangmu!”

Cia Giok Keng tersenyum mengejek. “Hemm, siapa takut menghadapi golok jagal babimu itu? Majulah!”

Kemarahan Kui Liok sudah naik ke ubun-ubun dan dengan gerengan seperti harimau terluka, golok besarnya diputar-putar di atas kepala, sehingga lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesingan. Kemudian dia menerjang ke depan dan sinar putih itu menyambar dahsyat ke arah leher Giok Keng. Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tubuh nyonya itu lenyap dari depannya. Kui Liok terkejut, cepat dia memutar tubuh sambil mengayun goloknya. Benar saja, musuhnya sudah berada di belakangnya dan kini Giok Keng yang terkejut menyaksikan kecepatan gerakan lawan. Kiranya julukan Golok Besar Sakti itu tidak percuma begitu saja dan amat berbahaya kalau dia terlalu memandang rendah dan menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi dia telah terlanjur memandang rendah golok lawan, kalau sekarang dia mencabut pedangnya, hal itu akan memalukan sekali. Cepat dia mempergunakan gin-kangnya yang sudah hampir sempurna itu sehingga kembali tubuhnya berkelebat mendahului gerakan golok dan mengelak. Akan tetapi dengan kemarahan meluap-luap, Kui Liok sudah menyerang, terus dan gulungan sinar putih dari goloknya terus mengejar bayangan Giok Keng.

Sampai lima jurus Kui Liok terus meyerang dan selalu dapat dielakkan oleh Giok Keng. Pada jurus keenam, ketika Kui Liok membacok dari atas ke bawah dengan jurus Petir menyambar Atas Kelapa, tiba-tiba nampak sinar merah terang yang kecil panjang meluncur dan tahu-tahu golok itu telah terbelit sabuk merah dan ujung yang lain dari sabuk itu telah meluncur dan menotok pundak kanan Kui Liok. Perampok tunggal ini terkejut bukan main, berusaha mengelak dari totokan, namun pada saat perhatiannya tercurah kepada sinar merah yang menyambar pundak itu, tiba-tiba tangan kiri Giok Keng sudah menamper keras dan tepat mengenal punggungnya, karena Kui Liok tadi mengelak miring.

“Plakkk...!” Kui Liok mengaduh, goloknya terlepas dan dia sendiri terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali karena dia sudah terkena tamparan tangan yang mengandung Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun), ilmu kepandaian mengerikan dari ibu nyonya ini, isteri ketua Cin-ling-pai!

“Ini makanlah golokmu!” Cia Giok Keng yang sudah marah itu menggerakkan ujung sabuk merah yang melibat dan merampas golok dan senjata itu terbang meluncur ke arah tubuh Kui Liok yang masih terhuyung-huyung.

Golok terbang itu berdesing cepat sekali dan tubuh Kui Liok pasti akan menjadi korban goloknya sendiri kalau saja pada saat itu tidak tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita telah menyambar golok terbang itu dengan jepitan jari tangannya, kemudian dengan senyum menghina dia melempar golok itu ke atas lantai, dekat kaki Kui Liok yang cepat mengambilnya dan mengundurkan diri untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya yang cukup hebat.

Gadis itu adalah In Hong. Dia memang kagum menyaksikan kehebatan enci dari Cia Bun Houw itu, akan tetapi karena pandangannya sudah berobah sejak dia mengetahui tentang penghinaan Cia Bun Houw kepadanya, dia kini menghampiri Giok Keng dengan pandang mata tajam, dingin dan senyumnya mengejek.

Giok Keng sendiri terkejut bukan main. Melihat gerakan dara muda ini tadi mengulur tangan menjepit golok yang diterbangkannya seperti orang menjepit bulu saja ringannya, dia maklum bahwa dara muda ini memiliki kepandaian yang luar biasa, maka dia memandang heran dan menduga-duga.

Go-bi Sin-kouw yang tadi sudah merasa penasaran dan marah, kini memandang penuh perhatian. Diapun dapat menduga bahwa dara cantik itu lihai sekali. Dia tadi masih ragu-ragu untuk maju menghadapi puteri ketua Cin-ling-pai, bukan ragu-ragu takut kalah karena dia percaya bahwa dia mampu menandingi puteri ketua Cin-ling-pai itu, hanya dia masih merasa tidak enak dan serba salah. Betapapun juga, muridnya, Pek Hong In, telah menjadi isteri Yap Kun Liong yang mempunyai hubungan dekat dengan Cin-ling-pai. Dia memang tidak suka kepada keluarga itu dan sudah berjanji akan membantu Lima Bayangan Dewa, akan tetapi permusuhan ini akan dilakukan secara sembunyi, kecuali kalau tiba saatnya kedua fihak berdiri berhadapan dalam pertandingan besar yang sudah direncanakan oleh Lima Bayangan Dewa. Betapapun juga, dia merasa sayang kalau sampai perbuatannya yang memusuhi Cin-ling-pai itu akan mendatangkan akibat tidak enak bagi Pek Hong In. Maka kini, biarpun tangannya sudah gatal-gatal untuk menandingi Cia Giok Keng, dia menahan diri dan melihat majunya gadis muda yang cantik, aneh dan lihai itu, dia hanya menonton dengan penuh perhatian setelah dia melemparkan sebungkus obat bubuk kepada Kui Liok sambil berkata lirih, “Minum ini untuk menolak hawa beracun!”

Sementara itu, In Hong sudah melangkah maju dan berhadapan dengan Giok Keng. Setelah kurang lebih dua menit dua orang wanita muda dan setengah tua yang sama cantik dan sama gagahnya itu saling memandang penuh selidik dan seperti saling mengukur kecantikan dan kelihaian melalui pandang mata, terdengar In Hong berkata, suaranya dingin, “Kiranya keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong yang terlalu menghina orang lain dan menganggap bahwa mereka sendirilah orang-orang terbaik, paling bersih dan paling gagah di dunia ini, padahal kenyataannya sungguh tidak seperti yang dibanggakan itu!”

Cia Giok Keng mengerutkan alisnya yang hitam melengkung bagus itu. “Engkau seorang dara muda yang begini cantik jelita, apakah juga sudah menjadi anggauta golongan maling dan pencoleng? Sungguh patut disayangkan!”

In Hong tersenyum. “Aku bukan maling bukan pula pencoleng, akan tetapi harus kuakui bahwa Jeng Cin-ling-pai ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang sahabatku. Pantas saja Cin-ling-pai dimusuhi banyak orang, kiranya orang-orangnya begini sombong. Engkau memaki-maki paman Can sebagai maling hina, padahal dia tidak mengambil apa-apa. Andaikata dia menukar sumbangan, itu hanyalah sendau guraunya karena memang dia suka berkelakar, akan tetapi sama sekali bukan mengambil barang orang.”

“Bagaimanapun juga, dia seorang pencopet dan semua maling dan copet adalah orang-orang hina.”

“Hemm, siapa bilang bahwa keluarga Cin-ling-pai juga orang baik-baik?”

Kata-kata In Hong ini membuat Giok Keng menjadi marah sekali. “Mulut lancang! Kami keluarga Cia sejak dahulu terkenal sebagai pendekar-pendekar perkasa pembela kebenaran dan keadilan!”

“Kebenaran dan keadilan siapa?” In Hong mengejek. “Setahuku, putera tunggal ketua Cin-ling-pai adalah seorang pria penggoda wanita yang suka menghina kaum wanita!”

“Wanita iblis! Kaumaksudkan adikku Cia Bun Houw?”

“Siapa lagi kalau bukan dia?”

Saking marahnya, Giok Keng sampai sukar mengeluarkan suara, matanya terbelalak lebar dan napasnya terengah-engah.

Akhirnya dapat juga dia membentak, “Iblis betina! jangan menyebar fitnah! Adikku itu selama lima tahun belajar di Tibet!”

“Nah, itulah! Di Tibet dikatakan belajar, akan tetapi di sana menjadi seorang penggoda wanita. Wanita-wanita dan gadis-gadis Tibet dirayunya dengan mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, kemudian ditinggalkan begitu saja...”

“Ahhhh, tidak...!” Terdengar suara lemah dari seorang dara di dekat Go-bi Sin-kouw, yaitu Yalima, yang mengeluh mendengar fitnah terhadap kekasihnya itu. Akan tetapi Go-bi Sin-kouw memberi tanda dengan menyentuh tangan muridnya agar diam, dan dia menonton dengan hati tegang gembira.

“Wuuutt... wirrr...!” Ujung sabuk di tangan Giok Keng meluncur, merupakan sinar merah yang amat cepat menyambar dan menotok leher In Hong.

“Pratt!” In Hong menyampok dengan jari-jari tangannya dan Giok Keng terbelalak kaget sekali melihat ujung sabuk merahnya itu pecah-pecah! Bukan hanya Giok Keng yang terkejut, juga Go-bi Sin-kouw kaget sekali. Dia dapat melihat dan mengukur dari sambaran sabuk merah itu bahwa sabuk itu merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari puteri Cin-ling-pai ini, akan tetapi ternyata sekali bertemu dengan jari-jari tangan gadis cantik ini, ujungnya menjadi pecah-pecah! Hal ini sungguh-sungguh di luar dugaannya sama sekali dan dia menjadi makin tertarik, ingin sekali tahu siapa gerangan gadis muda cantik dan lihai yang tadi duduknya hanya di golongan tamu biasa saja.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar dan seorang laki-laki masuk sambil berteriak nyaring, “None Yap In Hong, tahan dulu...!” Yang datang ini bukan lain adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw. Tadi ketika melihat keributan terjadi akibat dari perbuatannya, dia menjadi jerih dan cepat menyelinap keluar dan mengintip dari luar. Akan tetapi ketika melihat betapa In Hong turun tangan membelanya dia menjadi khawatir sekali. Dia tahu akan kehebatan keluarga Cin-ling-pai maka kalau sampai nona yang dikaguminya itu celaka akibat membelanya, dia merasa sangat tidak enak sekali. Maka dengan nekat dia lalu masuk kembali setelah melihat In Hong sudah berhadapan dengan puteri ketua Cin-ling-pai dan hendak bertanding.

In Hong mengenal suara temannya ini dan dia menengok. “Biarlah, paman Can, orang terlalu menghinamu, tidak boleh aku tinggal diam saja.”

“Nona In Hong, jangan...!” Dia berteriak, lalu menjura ke arah Cia Giok Keng yang berdiri terbelalak mendengar nama Yap In Hong tadi.

“Kau... kau... bernama Yap In Hong...?” tanyanya dengan heran.

In Hong tidak menjawab, dan Can Pouw yang cepat berkata, “Maafkan saya, lihiap yang terhormat, sebetulnya sayalah yang bersalah. Nona Yap In Hong ini tidak turut apa-apa! Saya yang tadi kerena merasa penasaran melibat tuan rumah membeda-bedakan tempat duduk para tamu, lalu ingin menggodanya dengan menukar kartu nama pada barang-barang sumbangan. Saya tidak mengira bahwa barang-harang itu akan dibuka dan diumumkan sehingga terjadi akibat seperti ini. Saya yang bersalah dan lihiap boleh memaki dan memukul saya, akan tetapi nona In Hong tidak ikut-ikut...”

Hemm, jadi engkaukah biang keladinya?” Giok Keng menggerakkan tangan kirinya memukul dengan jari-jari tangan penuh getaran Ilmu Ngo-tok-ciang ke arah dada pencopet itu.

“Plakkkk! Desss!!”

Giok Keng terhuyung ke belakang ketika tangannya ditangkis oleh In Hong, tangkisan yang kuat bukan main. “Mundurlah, paman Can!” In Hong mendorong pundak temannya itu sehingga Can Pouw terlempar den pencopet ini menjadi pucat mukanya, lalu menyelinap dan leqyap dari situ.

Giok Keng memandang dengan muka sebentar merah, sebentar pucat. Dia telah dua kali ditangkis dan kedua kalinya membuktikan bahwa dia yang tardesak, maka hal ini dianggapnya amat memalukan. Akan tetapi karena masih terheran-heran mendengar nama gadis itu yang disebut oleh Jeng-ci Sin-touw tadi, dia bertanya, “Apakah engkau adik Yap Kun Liong...?” pertanyaan yang diajukan dengan ragu-ragu karena dia sendiri tidak percaya kalau gadis cantik yang kini berani menantangnya ini adalah adik kandung Kun Liong.

“Benar, akan tetapi aku tidak mempunyai urusan dengan dia,” jawab In Hong dengan suara yang tetap dingin.

Giok Keng melongo, akan tetapi segera dapat menekan keheranannya dan dia membentak, “Dan kau tadi berani bicara bohong terhadap adikku Bun Houw?”

“Hemm, mengapa tidak kautanya sendiri kepada adikmu yang bagus itu?”

“Yap In Hong! Tahukah kau dengan siapa kau bicara?”

In Hong memandang tajam, dan bibirnya melukis senyum mengejek. “Tentu saja aku tahu engkau adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai, seorang wanita yang sombong...”

“Bocah kurang ajar!” Giok Keng menggerakkan tangan mencabut pedangnya den tampak sinar menyilaukan mata ketika Gin-hwa-kiam terhunus.

“Tahan senjata...!” Lie Kong Tek meloncat ke depan, memegang lengan isterinya den menariknya. “Tidak perlu kita berlarut-larut, apalagi dia bukan orang lain. Mari kita pergi saja.”

Cia Giok Keng dapat terbujuk, akan tetapi mukanya pucat sekali ketika dia menyarungkan pedangnya dan sebelum pergi, dia memandang tajam kepada In Hong sambil berkata, “Aku akan minta pertanggungan jawab kakakmu terhadap sikapmu ini!” Lalu dia membalikkan tubuhnya dan pergi bersama suaminya dari tempat itu, hanya mengangguk pendek kepada tuan rumah.

In Hong tidak memperdulikan lagi suami isteri itu, dia menengok den mencari-cari Can Pouw dengan pandang matanya. Ketika melihat bahwa temannya itu tidak berada di situ, dia lalu berkelebat den meloncat keluar tanpa pamit. Keadaan pesta itu menjadi agak riuh dan bising karena semua tamu membicarakan peristiwa yang cukup hebat dan menegangkan, juga aneh itu. Munculnya gadis bernama Yap In Hong yang berani menentang puteri Cin-ling-pai, yang memiliki ilmu kepandaian hebat tadi dan ternyata adalah adik dari pendekar Yap Kun Liong, benar-benar menggegerkan baik fihak golongan hitam maupun golongan putih.

***

“Perlahan dulu, Yap-kouwnio (nona Yap)!” In Hong menghentikan langkahnya, menengok den melihat bahwa yang memanggilnya itu adalah nenek tua berpakaian hitam yang menggandeng tangan gadis cantik berpakaian Tibet itu.

In Hong mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Tadi dia mencari Can Pouw tanpa hasil dan setelah mengambil buntalan pakaiannya di rumah penginapan, dia lalu pergi meninggalkan kota Wu-han tanpa menanti temannya yang entah ke mana perginya itu. Pula, diapun sudah tidak mempunyai urusan sesuatu dengan pencopet itu dan dia perlu melanjutkan perjalanannya merantau. Kini, baru saja tiba di luar kota Wu-han yang sepi, dia disusul oleh nenek berpakaian hitam itu. “Apakah keperluanmu menyusul aku, Go-bi Sin-kouw?” tegurnya dengan suara dingin.

“Heh-heh-he-he-he!” Nenek itu terkekeh sambil memukul-mukulkan ujung tongkat bututnya ke atas tanah. “Si Jari Seribu itu bukan hanya panjang tangannya, akan tetapi juga panjang mulutnya, ha-ha-ha. Tentu dia yang menceritakan kepadamu tentang namaku dan tentang muridku Yalima ini.”

In Hong menjawab, “Memang dia yang menceritakan kepadaku, lantas apa hubungannya dengan kedatanganmu menyusulku ini?”

“Wah-wah, engkau hebat, dingin dan keras! Semuda ini engkau sudah hebat nona Yap In Hong. Ketahuilah di antara engkau dan aku masih ada hubungan dekat, sungguhpun agaknya engkau tidak memperdulikan hubungan keluarga.”

In Hong menjadi heran. “Hubungan apakah, Go-bi Sin-kouw?”

“Heh-heh, engkau adik kandung Yap Kun Liong, bukan? Nah, Kun Liong itu adalah mantuku! Isterinya, Pek Hong Ing, adalah muridku yang tersayang seperti anakku sendiri.”

In Hong mengangguk-angguk. “Hemm... begitukah kiranya? Akan tetapi aku tidak tertarik, Go-bi Sin-kouw, seperti telah kukatakan kepada orang Cin-ling-pai tadi, aku tidak mempunyai urusan dengan Yap Kun Liong atau isterinya.”


Kembali nenek itu tertawa dan mengacungkan ibu jari tangannya. “Bagus... bagus sekali. Kau memang hebat luar biasa! Aku setuju sekali! Akupun tidak suka kepada manusia-manusia sombong itu, dan agaknya adiknyapun tentu bukan manusia baik-baik!”

“Subo, Houw-koko adalah seorang laki-laki sejati yang amat baik! Enci In Hong, aku tidak bisa menerima fitnah yang kau lontarkan kepada kakak Cia Bun Houw tadi. Dia bukan seorang penggoda wanita, dia seorang jantan yang gagah perkasa dan sama sekali bukan perayu wanita!” Yalima memprotes dengan suara keras dan memandang In Hong dengan sepasang matanya yang bulat dan bening indah.

In Hong memandang wajah itu dan harus mengakui bahwa dara remaja ini amat cantik dan manis. Dia tersenyum mengejek. “Hemm, engkau masih terlalu kecil untuk mengenal kepalsuan pria, adikku! Engkau memuja laki-laki bernama Cia Bun Houw itu, dan mengira dia mencintaimu, bukan? Akan tetapi tahukah engkau mengapa dia dipanggil pulang oleh orang tuanya dari Tibet?”

“Ya, mengapa... enci? Aku tidak tahu mengapa dia pergi meninggalkan aku...” Yalima bertanya penuh gairah mendengar ada orang tahu tentang urusan kekasihnya itu.

“Dia dipanggil pulang untuk dijodohkan dengan wanita lain, bukan dengan engkau!”

“Aihhhhh...!” Yalima menjerit lirih dan mukanya menjadi pucat. “Ti... tidak benar itu...!”

In Hong tersenyum mengejek. “Kaubilang tidak benar? Kau tahu siapa wanita yang akan dijodohkan dengan perayumu yang bagus itu? Akulah orangnya! Akan tetapi aku tidak sudi, apalagi setelah mendengar tentang hubungannya dengan engkau.”

“Aihhh...!” Yalima kembali menjerit. “Enci... katakan, di mana dia? Di mana aku dapat bertemu dengan Houw-ko? Subo, bawalah aku menemui dia...” Dia meratap dan Go-bi Sin-kouw membentaknya.

“Diamlah dulu, anak cengeng!” Yalima diam dengan muka pucat, matanya seperti mata seekor kelinci diancam harimau.

“Engkau memang benar kalau menolaknya, Yap-kouwnio. Laki-laki memang mahluk jahat yang membikin celaka wanita saja. Akan tetapi aku tidak boleh tinggal diam saja melihat dia yang telah menjadi muridku ini dipermainkan! Maukah engkau membantuku, kouwnio?”

“Membantu bagaimana?”

“Engkau adalah saksi utama bahwa Cia Bun Houw itu telah berpacaran dengan muridku Yalima ini, dan yang dijodohkan dengan dia sudah terang-terangan menolak, bukan?”

“Benar! Aku bukan boneka atau binatang yang boleb dijodoh-jodohkan di luar kehendakku begitu saja.”

“Cocok dengan aku, heh-heh-heh! Karena itu aku minta bantuanmu, kouwnio. Aku hendak menemui wanita galak itu, akan kutuntut agar adiknya itu mengawini Yalima dan engkau menjadi saksinya bahwa adiknya itu tidak lagi bertunangan denganmu melainkan sudah bertunangan dengan Yalima muridku. Kemudian aku akan menemui muridku, Pek Hong Ing, agar membujuk suaminya yaitu kakak kandungmu, agar membatalkan tali perjodohan antara engkau dan Cia Bun Houw.”

In Hong mengerutkan alisnya dan menjawab dengan menjawab dengan ragu-ragu, “Ini... ini... bukan urusanku, kaulakukanlah sendiri, Go-bi Sin-kouw!”

“Heh-heh-heh... tadinya aku percaya bahwa engkau adalah seorang wanita gagah dan berhati baja seperti aku di waktu muda dahulu, Yap-kouwnio. Akan tetapi kini kau ragu-ragu, apakah engkau menyayangkan tali perjodohanmu itu putus?”

“Jangan sembarangan membuka mulut!” In Hong membentak sambil mengepal tangan.

“Heh-heh-heh, aku bukan bermaksud menghina. Akan tetapi kalau kouwnio benar-benar tidak sudi menjadi jodoh laki-laki palsu dan penggoda wanita itu, tentu kouwnio akan suka membantu memutuskan ikatan jodoh itu dan memaksa keluarga laki-laki itu untuk tidak menyia-nyiakan Yalima.”

Yalima memang pandai berbahasa Han, akan tetapi percakapan yang agak sulit ini tidak begitu dimengertinya. hanya dia menduga bahwa mereka membicarakan tentang ikatan perjodohannya dengan pria yang dicintanya, maka diapun berkata dengan suara memohon kepada In Hong, “Enci In Hong, harap engkau suka membantu subo dan menolongku. Aku lebih suka mati kalau tidak dapat bertemu dengan Houw-koko.”

Setelah berpikir sejenak sambil menggigit-gigit bibirnya, akhirnya In Hong mengangguk dan berkata, “Baiklah, aku akan membantumu menemui mereka, akan tetapi tidak ada persekutuan apa-apa di antara kita, Go-bi Sin-kouw, hanya untuk urusan pemutusan ikatan perjodohan dan mengalihkan menjadi ikatan perjodohan Yalima.”

“Heh-heh-heh, tentu, saja. Akupun hanya akan memperjuangkan hak kaum wanita agar jangan dijadikan bahan permainan kaum pria!” Nenek yang sudah bangkotan dan penub pengalaman ini tentu saja segera dapat mengenal watak In Hong yang tidak suka kepada kaum pria, apalagi karena diapun sudah melihat hiasan burung hong di rambut dara itu dan menduga bahwa tentu In Hong ini ada hubungannya dengan Giok-hong-pang yang terkenal sebagai perkumpulan wanita pembenci pria yang kabarnya dipimpin oleh seorang wanita yang amat tinggi kepandaiannya.

Maka berangkatlah mereka bertiga melakukan perjalanan dan kembali In Hong mempunyai seorang teman seperjalanan dalam perantauannya, seorang teman yang jauh berbeda dengan temannya yang pertama yaitu Si Malaikat Copet. Untung di situ terdapat Yalima yang makin lama makin menarik dan menyenangkan hatinya karena dara Tibet ini benar-benar murni, wajar, polos dan jujur. Wataknya bersih sekali dan membuat In Hong menjadi kagum. Dia tidak menjadi heranlah kalau ada laki-laki seperti putera Cin-ling-pai itu tergila-gila kepada seorang dara seperti ini, akan tetapi kalau sampai Cia Bun Houw mempermainkan seorang gadis suci seperti ini, dia akan menghalanginya dan akan memaksa pemuda itu mengawininya! Dengan adanya Yalima di sampingnya, perjalanan bersama nenek yang mengerikan itu menjadi menyenangkan juga bagi In Hong. Di lain fihak, Yalima yang berwatak polos menganggap In Hong seorang wanita yang gagah perkasa dan berbudi mulia seperti watak kekasihnya, hanya bedanya In Hong adalah seorang wanita yang amat menaruh perhatian kepadanya dan suka membela kepentingan hidupnya. Maka dia berterima kasih sekali kepada In Hong dan di dalam hatinya tumbuh benih persahabatan yang akrab terhadap gadis ini.

***




Apapun juga yang terjadi di dunia inipun terjadilah, tanpa manusia dapat mencampurinya, mendorongnya atau mencegahnya. Apapun juga yang terjadi di dalam kehidupan manusia, yang menimpa diri manusia, adalah suatu fakta, suatu peristiwa yang terjadi, dan apabila kita menghadapi setiap macam peristiwa yang terjadi kepada kita atau di sekeliling kita sebagai apa adanya, tanpa mencari kambing hitamnya, tanpa menyalahkan siapapun, hanya menghadapinya dengan tenang dan waspada, maka akan terbuka semua rahasia, tidak ada rahasia lagi karena kita akan dapat melihat sejelas-jelasnya peristiwa itu berikut segala sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa itu, sebab-sebabnya dan lain sebagainya. Semua duka dan sengsara tidak ada hubungannya dengan segala peristiwa yang terjadi, melainkan bersumber di dalam diri pribadi.

Akan tetapi, kita biasanya menghadapi setiap peristiwa tanpa kebebasan ini, kita selalu mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan, baik kepada orang lain, kepada diri sendiri, kepada hari dan nasib peruntungan! Kalau kita menghadapi setiap peristiwa yang betapa hebatnya menimpa kita dengan batin yang bebas, dengan awas dan memandangnya sebagai satu hal yang terjadi apa adanya, tanpa menyalahkan atau membenarkan, maka tidak akan timbul penyesalan karene kesemuanya sudah nampak jelas sehingga tidak ada lagi hal yang dibuat penasaran. Duka dan dendam timbul karena kita tidak dapat menghadapi setiap peristiwa sebagai apa adanya, dan kebebasan ini sama sekali bukan merupakan sikap masa bodoh, bahkan sebaliknya merupakan keadaan yang penuh kewaspadaan setiap saat!

Kota Leng-kok adalah sebuah kota kecil akan tetapi cukup ramai. Pendekar Yap Kun Liong, tokoh dari cerita Petualang Asmara, tinggal di kota ini, di rumah yang dahulu menjadi tempat tinggal dan toko obat dari mendiang orang tuanya. Di kota ini diapun melanjutkan usaha orang tuanya, membuka toko obat bersama isterinya dan anak mereka, yaitu Yap Mei Lan yang pada waktu itu telah menjadi seorang dara remaja berusia empat belas tahun yang berwajah manis dan lincah.

Selain Kun Liong, isterinya yang bernama Pek Hong Ing dan Yap Mei Lan, masih ada dua orang lagi yang tinggal di rumah itu di waktu siang sampai malam setelah toko obat itu ditutup. Setelah itu, mereka berdua pulang ke rumah masing-masing. Mereka berdua ini adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, yang bertugas sebagai seorang pelayan dan pembantu toko dan juga merupakan seorang ahli pengobatan yang bekerja sama dengan Kun Liong. Laki-laki ini bernama Giam Tun dan selain ilmu pengobatan, dia juga mengerti ilmu silat yang lumayan. Adapun orang kedua adalah seorang wanita setengah tua yang melayani keperluan rumah tangga keluarga itu, dan juga Khiu-ma ini kalau malam pulang ke rumah anaknya tak jauh dari tempat tinggal keluarga Yap Kun Liong.

Toko obat itu berjalan cukup baik dan mendatangkan hasil yang cukup. Di bagian depan merupakan toko, dan di belakang merupakan rumah tinggal yang cukup luas, bahkan di belakang rumah itu terdapat sebuah taman bunga yang kecil namun terpelihara rapi dan indah, penuh dengan bunga-bunga yang ditanam dan dipelihara sendiri oleh Yap Mei Lan.

Mei Lan memperoleh gemblengan ilmu silat dan ilmu surat dari ayah bundanya, dan tentu saja dalam hal ilmu silat dia dididik oleh ayahnya karena ibunya, biarpun pada umumnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, namun dibandingkan dengan ayahnya masih kalah jauh. Mei Lan adalah seorang dara yang tekun sehingga dalam usia empat belas tahun, dia telah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan selain dapat membaca dengan lancar dan pandai pula menulis sajak, juga dia sudah mengerti tentang ilmu pengobatan. Sikapnya lincah dan gembira sehingga kadang-kadang ayahnya memandangnya dengan hati terharu, teringat akan ibu kandung anak ini, yaitu mendiang Lim Hwi Sian, yang lincah jenaka. Pek Hong Ing juga amat mencinta Mei Lan, dianggapnya seperti anaknya sendiri dan setelah belasan tahun dia tidak juga mempunyai anak, dia sudah melepaskan harapannya untuk melahirkan anak sendiri, maka kasih sayangnya terhadap Mei Lan makin bertambah.

Malam itu gelap dan basah. Hujan turun sejak sore tiada hentinya. Karena telah sebulan lamanya Yap Kun Liong mengunjungi Cin-ling-san setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa Cin-ling-pai, dan karena hari hujan membuat toko sepi, maka Pek Hong Ing menyuruh tutup toko agar kedua orang pembantunya dapat pulang tidak terlalu malam. Mei Lan sedang asyik membaca kitab sajak kuno yang menuturkan tentang perjuangan patriot-patriot di waktu dahulu, sedangkan Hong Ing sendiri sedang menjahit sebuah baju untuk anaknya. Biarpun Mei Lan sendiri sudah pandai menjahit, akan tetapi ibunya suka menjahitkan pakaian anaknya ini dan Mei Lan juga membiarkan ibunya menikmati kesukaan itu.

Giam Tun sudah menutupkan tiam-tang (papan pintu toko) dan baru saja hendak berpamit kepada nyonya majikannya ketika tiba-tiba di depan pintu berdiri seorang wanita cantik yang sikapnya seperti orang sedang menahan kemarahan. Giam Tun adalah seorang pembantu dari Kun Liong yang sudah bertahun-tahun, maka tentu saja dia mengenal wanita cantik ini dan dengan kaget dia lalu cepat menyambut dengan sikap hormat dan ramah. “Ahh, kiranya Lie-toanio (nyonya Lie) yang datang! Silakan masuk... Yap-toanio berada di dalam...”

Mendengar suara Giam Tun ini, Pek Hong Ing cepat keluar dan wajahnya berseri gembira ketika dia melihat siapa yang malam-malam datang bertamu itu. Kiranya wanita cantik itu adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai!

“Aihh, enci Giok Keng kiranya! Selamat datang dan selamat malam, mari silakan masuk ke dalam, enci...” Pek Hong Ing menahan kata-katanya dan wajahnya yang tadi berseri-seri dan penuh senyum itu menjadi berubah keheran-heranan ketika melihat betapa tamunya itu memandangnya dengan sikap tak acuh dan matanya mencari-cari ke dalam.

“Mana suamimu? Mana Kun Liong? Aku ingin bertemu dan bicara dengan dia!”

Pek Hong Ing terkejut. Dia memang sudah tahu bahwa watak puteri ketua Cin-ling-pai ini keras sekali, akan tetapi sekarang nampak jelas bahwa dia sedang marah sekali sehingga dia merasa tidak enak dan tegang. Namun, sebagai seorang wanita yang berpandangan luas dan pada dasarnya memang berwatak lembut, Hong Ing masih dapat mengeluarkan senyum dan suaranya tetap halus.


Mari kita masuk dan bicara di dalam, enci Giok Keng.” Dia memegang lengan tamunya yang menariknya masuk. Giok Keng bersikap kaku, akan tetapi dia mengikuti nyonya rumah itu masuk ke dalam.

Giam Tun dan Khiu-ma yang menyaksikan sikap tamu ini, menjadi terheran-heran dan kaget, juga menjadi tidak senang. Mereka saling pandang, kemudian duduk di ruangan depan itu sambil memasang telinga, mendengarkan suara yang datang dari ruangan dalam tanpa dapat menangkap jelas kata-kata dua orang nyonya itu.

Setibanya di dalam, Hong Ing lalu bertanya, “Enci Giok Keng, engkau mengejutkan hatiku. Apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau kelihatan marah-marah, enci? Aku... aku menyesal sekali mendengar tentang peristiwa yang menimpa Cin-ling-pai, dan suamiku... dia malah belum pulang setelah mendengar berita itu terus pergi ke sana.”

“Hemm, jadi dia tidak berada di rumah? Sia-sia saja kalau begitu kedatanganku!” kata Giok Keng dengan ketus karena dia kecewa sekali dan makin marah. Kemarahannya sudah ditahan-tahan sejak dia meninggalkan rumah, tidak perduli akan cegahan suaminya, langsung saja sekembali mereka dari Wu-han dia terus pergi mengunjungi Leng-kok untuk memaki-maki Kun Liong karena tingkah adik kandungnya akan tetapi betapa kecewa dan mendongkol hatinya bahwa orang yang dicarinya itu tidak berada di rumah.

“Ada urusan apakah, enci? Harap suka memberi tahu kepadaku.” Hong Ing bertanya, hatinya makin tidak enak.

“Bukan urusanmu! Ini urusan antara aku dan Kun Liong sendiri!”

Pada siat itu muncullah Mei Lan. Dara remaja ini memandang tamunya. Sudah beberapa tahun dia tidak bertemu dengan Giok Keng sehingga dia tidak lagi mengenal wanita ini. Mendengar ucapan yang ketus dari Giok Keng terhadap ibunya. Mei Lan yang lincah dan pandai bicara itu cepat mencela.

“Urusan ayah adalah urusan ibu juga, mengapa ada urusan ayah yang tidak boleh diketahui ibu? Bibi ini siapakah datang-datang marah kepada ibu dan sebagai tamu semestinya menghormati nyonya rumah!”

“Mei Lan, jangan kurang ajar terhadap bibi Giok Keng!” bentak Hong Ing.

Gadis cilik itu kini memandang kepada tamunya dengan sepasang mata bersinar-sinar. “Ah, kiranya bibi Giok Keng! Maafkan saya, bibi, akan tetapi lebih-lebih kalau bibi adalah bibi Giok Keng yang sudah saya banyak dengar dari ayah ibu sebagai seorang wanita pendekar, maka sikap ini sungguh tidak selayaknya. Kalau ada urusan sesuatu dengan ayah harap bibi suka memberi tahu kepada ibu, karena apa yang menjadi urusan ayah berarti menjadi urusan ibu pula dan sebaliknya.”

“Engkau anak haram yang kurang ajar!” Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya lagi.

“Enci Giok Keng...!” Hong Ing menjerit dengan muka pucat.

Mei Lan memandang ibunya, lalu dengan mata penuh penasaran dia memandang Giok Keng, bahkan melangkah dekat, sedikitpun tidak takut. “Bibi Giok Keng, di dalam kitab-kitab aku membaca tentang pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan wanita yang gagah perkasa, bersikap lemah-lembut, dan berbudi mulia, tetapi kenapa bibi begini kasar dan suka memaki orang? Apa maksud bibi memaki saya sebagai anak haram?”

“Engkau kecil-kecil sudah kurang ajar! Dasar keturunan ayahmu yang juga tidak baik! Bibimupun manusia tak tahu sopan santun! Bibimu itu perlu dihajar dan akan kuhajar kalau ayahmu tidak bisa menghajarmu!”

“Bibi bohong! Aku bukan anak haram! Bibi tukang fitnah!”

“Mei Lan...! Enci Giok Keng...!” Hong Ing menjerit lagi penuh kengerian.

“Kau berani bilang aku bohong, ya? Kaukira engkau ini apa? Engkau ini memang anak haram engkau anak ayahmu dari hubungan gelap dengan seorang wanita, dan kau bukan anak ibumu!”

“Enci...! Kau...! terlalu...!” Hong Ing menjerit lagi dan melangkah maju, bukan hendak menyerang melainkan hendak mencegah Giok Keng bicara terus. Akan tetapi Giok Keng salah menduga, mengira bahwa Hong Ing akan menyerangnya. Maka tangannya bergerak mendorong cepat sekali dan Hong Ing terhuyung ke belakang.

Mei Lan memandang ibunya. Mukanya pucat sekali, matanya liar, “Ibu...! Ibu... katakan bahwa bibi ini bohong!”

Hong Ing terisak dan Giok Keng yang sudah meluap kemarahannya itu berkata, “Ya, katakanlah aku bohong! Hendak kulihat siapa tukang bohong, siapa menyimpan rahasia busuk, keluargaku ataukah keluargamu!” Dia marah sekali teringat akan penghinaan yang merasa diterimanya dari In Hong di tempat pesta.

“Enci... ahhh... ya Tuhan, mengapa terjadi semua ini? Mei Lan... ke sinilah, jangan dengarkan dia...”

Akan tetapi Mei Lan memandang ibunya dengan sinar mata aneh. “Ibu, katakan, benarkah aku bukan anak kandung ibu? Benarkah aku anak... anak haram?”

“Mei Lan...” keluh ibunya.

“Katakanlah, ibu! Katakan!” Anak itu menjerit-jerit.


Hong Ing mengeluh lalu mengangguk. “Engkau bukan anak kandungku... ya Tuhan, mengapa begini...?”

Terdengar jerit melengking dan disusul isak tangis, Mei Lan meloncat dan lari keluar dari tempat itu.

“Mei Lan...!” Hong Ing meloncat bangun kemudian menghadapi Giok Keng dengan mata betapi. “Enci Giok Keng, engkau kejam! Engkau merusak hidupnya!Sungguh tidak kusangka engkau akan sekejam ini. Biarlah, engkau atau aku yang mati...!” Dengan marah sekali Hong Ing yang dilanda kedukaan hebat itu lalu menyerang Giok Keng.

Giok Keng menangkis dan balas memukul. Pukul-memukul terjadilah di ruangan dalam itu dan keduanya yang dikuasai kemarahan melakuken serangan-serangan yang dahsyat.

“Eh, eh... apa yang terjadi ini? Toanio, jangan berkelahi! Lie-toanio...” Khiu?ma yang tidak tahu tentang ilmu silat itu dengan nekat mendekati mereka dengan maksud hendak memisah. Akan tetapi sebuah tendangan mengenai perutnya dan wanita ini terlempar dan terbanting roboh, pingsan!

“Lie-toanio, kau sungguh keliru. Seorang tamu mana boleh...” Baru sampai di sini saja Giam Tun mencela, sebuah tamparan mengenai lehernya dan diapun terpelanting dan pingsan pula.

“Enci Giok Kong, kau seperti kemasukan iblis!” Hong Ing memaki marah dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memukul roboh lawannya. Akan tetapi, memang pada dasarnya dia kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Giok Keng. Setelah bertanding di dalam ruangan itu, membuat meja kursi jungkir-balik tidak karuan, sebuah tamparan tangan kiri Giok Keng mengenai bawah telinga nyonya rumah dan Pek Hong Ing terguling roboh dan tak sadarkan diri.

Giok Keng mengebut-ngebut pakaiannya, agak puas hatinya, merasa bahwa dia telah dapat membalas rasa penasarannya karena dihina oleh adik Kun Liong di depan orang banyak di tempat pesta. Dia tahu bahwa tiga orang itu hanya pingsan dan tidak terluka parah, maka setelah mendengus marah dia lalu meloncat dan keluar dari rumah itu.

***


Kalau kita bicara tentang sebab akibat, maka segala akibat apapun yang terjadi di dalam dunia menimpa diri kita adalah disebabkan oleh diri kita sendiri. Oleh karena itu seorang bijaksana tidak akan memandang akibat, melainkan selalu waspada dan sadar akan segala gerak-gerik dari setiap pikiran dan perbuatan dirinya sendiri lahir batin karena dari setiap pikiran den badan itulah yang menjadi sebab dari semua akibat, yang penting adalah mengenal diri pribadi sehingga setiap detik kita dapat waspada akan semua pikiran dan sikap kita, baik gerak tubuh maupun kata-kata. Yang penting adalah caranya, bukan tujuannya, karena tujuan tidak Akan jauh dari caranya, atau akibat tidak berbeda dengan sebabnya! Kalau caranya benar, maka akibat atau tujuan dari cara itu bukan merupakan persoalan lagi. Dan cara itu, cara hidup atau setiap gerak-gerik hati pikiran den kata-kata perbuatan kita seat demi saat barulah benar apabila terbebas dari segala macam bentuk kekotoran yang timbul dari nafsu keinginian pribadi, dan kekotoran ini lenyap oleh kesadaran den pengertian yang timbul pula dari pengawasan kita, pengenalan kita terhadap diri sendiri setiap saat.

Cara yang tidak benar pasti akan menjadi sebab terjadinya akibat yang tidak benar pula, ini sudah pasti, sungguhpun cara itu sudah terlupa oleh kita, sudah tersembunyi di alam bawah sadar. Akan tetapi, pengertian ini bukan berarti bahwa kita lalu sengaja menggunakan cara yang benar untuk memperoleh akibat yang benar, kalau demikian maka cara itu sudah menjadi tidak benar karena mengandung pamrih keuntungan pribadi sehingga menjadi palsu. Kalau demikian, maka hanya akan terbentuk lingkaran setan belaka, yaitu sebab menimbulkan akibat, dan akibat menjadi sebab pula dari akibat yang lain lagi! Inilah apa yang dinamakan hukum karma, tanpa kita buat sendiri dengan merangkaikan kemarin memasuki hari ini untuk sampai kepada esok hari! Dan ini akan berulang terus dan kita terseret di dalamnya! Oleh karena itu, yang penting adalah saat ini, sekarang ini! Setiap saat awas terhadap diri sendiri, bukan dalam arti kata menekan atau mengendalikan, hanya waspada tanpa pamrih, tanpa apa-apa, hanya waspada saja. Kewaspadaan setiap saat ini yang akan bekerja sendiri, tanpa pamrih dari si aku.

Setiap kali bencana menimpa diri kita, keluarga kita, kita akan merasa tidak adil. Kematian orang yang kita kasihi, malapetaka yang menimpa membuat kita menjadi miskin, dan sebagainya, membuat kita merasa prihatin dan sengsara. Kita tidak membuka mata bahwa mala petaka itu setiap saat memang ada, menimpa kepada siapapun juga dan selalu akan terasa ada kesengsaraan dan kedukaan selama tidak terjadi perobahan hebat di dalam batin kita. Karena kesengsaraan dan kedukaan itu timbul dari dalam pikiran kita sendiri!

Pada hari itu terjadi geger di kota Leng-kok terutama sekali di rumah Yap Kun Liong. Pendekar ini pagi-pagi sekali memasuki kota Leng-kok dan langsung dia menuju ke rumahnya. Semenjak hari kemarin, hatinya selalu tidak enak. Hal ini tadinya disangkanya sebagai akibat kunjungannya ke Cin-ling-pai dan mendengar tentang malapetaka yang menimpa keluarga Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Dia menghadap pendekar yang sudah dianggapnya seperti pengganti ayahnya sendiri, juga gurunya, dan dengan tegas menyatakan kesediaannya untuk pergi mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang dan membuat perhitungan dengan Lima Bayangan Dewa. Namun dengan tulus Cia Keng Hong menolaknya, mengucapkan terima kasih dan menyatakan bahwa urusan itu adalah urusan keluarganya, urusan pribadi dan sekarang Cia Bun Houw sudah pergi, bersama empat orang murid kepala Cin-ling-pai, untuk melakukan tugas itu secara terpencar.

Kun Liong maklum bahwa orang tua itu sedang mengalami tekanan batin yang hebat dan menghiburpun tidak ada artinya. Maka dia tidak tinggal diam di Cin-ling-pai, lalu berpamit dan mulai saat itulah hatinya selalu terasa tidak enak. Lebih-lebih lagi malam tadi, dia gelisah sekali sehingga malam-malampun dia tidak mau berhenti dan melanjutkan perjalanan pulang ke Leng-kok. Keadaan Cin-ling-pai membuat hatinya seperti terhimpit juga dan dia ingin lekas-lekas bertemu dengan isterinya karena di dunia ini hanya ada satu orang yang akan dapat meringankan perasaannya apabila sedang terhimpit oleh keadaan, orang itu adalah Pek Hong Ing, isterinya tercinta.


Kun Liong terkejut ketika melihat banyak orang berkumpul di rumahnya dan toko obatnya tidak dibuka seperti biasa. Matanya terbelalak bingung ketika melihat kain putih di pintu rumah, putih berkabung tanda bahwa ada yang mati. Lebih-lebih lagi ketika lapat-lapat dia mendengar suara tangis seorang wanita yang dikenalnya sebagai suara Khiu-ma! Jantungnya seperti berhenti berdetak, kakinya seperti mendadak kehilangan tenaganya dan dia berjalan menghampiri pintu rumahnya dengan muka pucat dan kaki terhuyung. Beberapa orang tetangga yang berada di depan, begitu melihat dia kontan menangis tersedu-sedu, wanita-wanita sesenggukan dan tidak ada yang berani memandangnya.

“Ada apa...?” Suara ini jelas keluar dari mulutnya, akan tetapi dia sendiri tidak mendengarnya, seolah-olah suaranya telah lenyap ditelah kecemasan yang mengerikan.

Dia melangkah masuk. Banyak orang di dalam dan kembali mereka ini menangis begitu melihatnya. Seorang wanita tetangga yang amat baik, seperti keluarga sendiri, menubruk kakinya, menjerit dan menangis sesenggukan tanpa bisa mengeluarkan suara.

“Ada apa...?” Kini suara yang keluar dari tenggorokan Kun Liong terdengar keras sekali, menjerit penuh ketakutan, penuh kecemasan, penuh bayangan yang bukan-bukan.

Tidak ada seorangpun menjawab akan tetapi semua mata ditujukan ke arah kamarnya dari mana terdengar tangis Khiu-ma yang jelas sekali sekarang, diiringi suara keluh kesah seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai suara Giam Tun.

“Apa yang terjadi...?” Kun Liong melangkah masuk ke pintu kamarnya dan tiba-tiba dia berdiri terpaku di ambang pintu, mukanya pucat sekali seperti mayat dan matanya terbelalak memandang ke atas pembaringan di kamar itu, seolah-olah dia tidak mau percaya akan apa yang dilihatnya. Dikejap-kejapkannya matanya, lalu digosok-gosoknya dengan kepalan tangan yang gemetar, akan tetapi tetap saja pemandangah itu tidak berobah.

“Taihiap... uhhuu-hu-huuuuk...!” Giam Tun menoleh dan hanya dapat mengeluarkan seruan demikian , karena dia sudah berlutut dan menangis bergulingan diatas lantai. Khiu-ma menjerit.

“Apa ini...? Apa ini...? Bakaimana...? Kenapa...?” Kun Liong makin terbelalak, bibirnya gemetar, banyak kata-kata yang keluar tanpa suara, lalu ditamparnya kepalanya sendiri untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini. Ini tentu mimpi buruk, bantahnya. Tak mungkin! Tidak mungkin Pek Hong Ing, isterinya tercinta, kini rebah di atas pembaringan itu dengan mata meram, bibir terkatup dan pakaian penuh darah yang sudah mengental. Tak mungkin!

Akan tetapi tetap saja pemandangan itu tidak berobah. Dia meloncat ke depan, berlutut di pinggir pembaringan untuk memandang lebih tegas lagi. Dirabanya pipi isterinya. Dingin! Tangannya ditarik kembali seolah-olah dia menyentuh api, ditatapnya lagi wajah isterinya, lalu diliriknya dada yang terluka bekas tusukan pedang.

Tiba-tiba dia menjerit dan semua orang yang berada di dalam kamar itu terjungkal, ada yang pingsan karena jerit itu mengandung kekuatan yang maha dahsyat. Tubuh pendekar itu terkulai, kepalanya diguncang keras-keras untuk mengumpulkan tenaga, dia memandang lagi, dirangkulnya mayat itu dan kini dia mengeluh, lalu merintih perlahan dan tubuhnya terkulai lemas, terjatuh pingsan di bawah pembaringan!

Gegerlah kamar itu. Geger dari mereka yang menolong orang-orang pingsan, dan ada pula yang menggotong tubuh Kun Liong, diletakkan di atas dipan di dalam kamar itu. Seperti mayat saja tubuh pendekar ini. Wajahnya sepucat wajah jenazah isterinya. Dadanya tidak bergerak seolah-olah napasnya sudah putus.

Giam Tun yang tadi tidak pingsan oleh jerit melengking tadi, hanya roboh terguling dan menggigil kini mendekati majikannya. Sebagai seorang ahli pengobatan dia tahu bahwa majikamya mengalami hantaman batin yang amat hebat. Dengan bercucuran air mata dia lalu mengambil obat dalam botol dan menggosok-gosokkan obat yang berbau keras itu di depan hidung majikannya. Semua orang memandang dengan terharu dan terutama kaum wanita tetangga mereka terisak-isak pilu.

Kun Liong berbangkis dan membuka matanya. Begitu siuman, dia memandang liar. Dan cepat dia bangkit duduk. “Tidak mungkin! Hong Ing...!” Dia menoleh ke pembaringan dan meloncat. Berlutut di dekat jenazah isterinya. “Tidak mungkin! Sudah gilakah aku? Eh, Giam-lopek, sudah gilakah aku? Hong Ing mati? Tidak mungkin...!” Dia memeluk isterinya, meraba-raba, dan memeriksa luka di ulu hati itu, luka yang menembus sampai ke punggung!

“Hong Ing... bagaimana ini...?”

“Taihiap.... harap tenangkan hati, taihiap...” Giam Tun berkata dengan suara gentar.

“Apa...? Tenang...? Keluarlah, harap semua keluar... biarkan aku sendirian berdua dengan isteriku!”

Giam Tun lalu memberi isyarat kepada semua tetangga untuk keluar. Mereka semua menanti di luar, tidak ada yang bicara, yang terdengar hanya isak tangis.

Setelah semua orang pergi, Kun Liong merangkul leher isterinya, menciumi muka yang sudah dingin itu, mengelus pipinya, dagunya, rambutnya sambil bercuran air mata.

“Hong Ing... isteriku... pujaanku... mengapa begini...? Mengapa...?”

Orang-orang di luar hanya mendengar suara pendekar itu puluhan kali mengajukan pertanyaan “mengapa” itu dan suara ini makin lama makin parau bercampur isak, membuat mereka menjadi terharu dan ikut pula menangis

Dengan pengerahan kekuatan yang amat hebat, barulah Kun Liong dapat menguasai dirinya. Lebih dari tiga jam dia menangisi mayat isterinya. Kemudian dia bangkit, lalu melangkah keluar, dan berdiri di pintu, seperti mayat hidup! Wajahnya menjadi pucat sekali tanpa ada bayangan darah, matanya sayu tanpa sinar, mulutnya seperti orang menahan rasa nyeri, yang hebat dan dia seperti orang yang kehilangan ingatan, berdiri di luar pintu, dengan mata kosong memandang jauh melampaui orang-orang yang kumpul di situ.

“Taihiap...!” Giam Tun berseru dan maju berlutut.

Seruan ini menyadarkannya. Dia mengusap air matanya dengan punggung kepalan kedua tangannya, kanan kiri seperti seorang anak kecil kalau menangis. Khiu-ma menyeret sebuah kursi dan Kun Liong lalu menjatuhkan diri duduk di atas kursi itu.

“Paman Giam, Khiu-ma, ceritakanlah...! Tapi lebih dulu... mengapa aku tidak melihat Mei Lan menangisi jenazah ibunya?” Berkata demikian, air matanya kembali bercucuran.

Dengan suara meratap tangis, Khiu-ma berkata, “Siocia juga telah pergi sejak malam tadi, entah ke mana dan entah mengapa... tapi tentu dia yang menyebabkannya, dia yang membunuhnya... dia wanita yang tidak berperikemanusiaan itu...”

“Diamlah Khiu-ma!” Giam Tun membentak wanita yang mulai histeris itu dan Khiu-ma menundukkan mukanya, terisak-isak.

“Kami berdua juga masih bingun memikirkannya, taihiap.” Giam Tun mulai bercerita dan suaranya sudah tenang setelah dia melihat majikannya juga mulai tenang kembali.

“Ceritakan yang jelas sejak semula, apa yang telah terjadi. Dan saya minta dengan hormat kepada semua saudara sudilah menanti di ruangan depan agar saya dapat bicara dengan paman Giam Tun.”

Para tetangga itu mengundurkan diri, keluar dan memberi kesempatan kepada pendekar itu untuk mendengar penuturan Giam Tun karena mereka semua sudah mendengar persoalan itu.

Dengan panjang lebar dan jelas Giam Tun lalu menuturkan tentang kunjungan nyonya Lie Kong Tek, puteri dari ketua Cin-ling-pai malam tadi ketika baru saja toko ditutup.

“Kedatangannya aneh sekali, taihiap. Begitu datang dia marah-marah. Nyonya... eh, mendiang...” Giam Tun merasa lehernya tercekik ketika menceritakan nyonya majikannya.

“Paman Giam, kita harus dapat menghadapi kenyataan. Isteriku telah mati, kau bersikaplah tenang agar ceritamu jelas,” Kun Liong berkata dengan suara lirih.

“Maaf, taihiap.” Giam Tun menarik napas panjang melegakan dadanya. “Nyonya menyambutnya dengan ramah, dan menyabarkannya, bahkan menariknya untuk masuk ke dalam. Lie-toanio itu datang-datang menanyakan taihiap dengan cara yang kasar sekali. Setelah keduanya masuk, tentu saja saya dan Khiu-ma tidak berani ikut masuk, hanya mendengarkan dari luar, akan tetapi, tidak terdengar jelas apa percakapan mereka. Kemudian kami mendengar ribut-ribut seperti orang bertengkar. Kami masih belum berani masuk, hanya kami mendengar bahwa yang bertengkar itu adalah suara Lie-toanio dan suara siocia. Kemudian, kami berdua melihat siocia berlari keluar sambil menangis. Kami memanggil-manggilnya, akan tetapi siocia lari cepat sekali dan lenyap di dalam kegelapan malam. Kami bingung, lalu mendengar ribut-ribut di dalam. Kami berdua lalu memasuki ruangan dalam dan kami melihat nyonya sedang bertempur dengan Lie-toanio!”

Kun Liong mengepal tinju tangannya. Dia penasaran, dan terheran-heran. Apa sebenarnya yang terjadi? Seperti dalam mimpi saja dia mendengar betapa isterinya bertempur dengan Giok Keng. Hal yang amat aneh dan mustahil kedengarannya!

“Khiu-ma berusaha melerai, akan tetapi Lie-toanio memukulnya sehingga Khiu-ma roboh pingsan. Saya lalu maju menegurnya, akan tetapi sayapun dipukulnya dan saya tidak tahu apa-apa lagi, kemudian... kemudian... Khiu-ma, kau sadar lebih dulu daripada aku, ceritakanlah.”

Dengan suara megap-megap Khiu-ma melanjutkan cerita rekannya. “Saya... Saya sadar dengan kepala pening dan pertama-tama yang saya ketahui adalah bahwa saya rebah di lantai dan ruangan ini morat-marit. Lalu saya teringat semuanya, saya bangkit berdiri dan... dan... saya melihat nyonya... rebah di lantai pula... mandi darah...”

Kun Liong memejamkan matanya untuk mencoba membayangkan apa yang terjadi, tiba-tiba, seperti halilintar datangnya, Khiu-ma dan Giam Tun berkata nyaring. “Dia yang membunuhnya, wanita kejam itu yang membunuh nyonya!”

“Benar, siapa lagi kalau bukan Lie-toanio!” Giam Tun berkata keras.

“Diam!” Kun Liong membentak, membuka matanya lalu sadar bahwa dia bersikap keras terhadap dua orang pembantunya yang setia itu. “Maaf, paman Giam dan Khiu-ma... eh, bagaimana kalian dapat menduga babwa nyonya tewas oleh Lie-toanio?” Dia lalu bertanya seperti seorang anak bodoh bertanya kepada orang-orang dewasa yang lebih mengerti. Memang Kun Liong merasa bingung dan bodoh pada seat itu. Segalanya berjalan begitu tidak masuk akal sungguhpun penuturan itu keluar dari mulut dua orang pembantunya yang tak mungkin berani berbohong. Baru membayangkan isterinya cekcok dengan Giok Keng saja sudah merupakan hal yang sukar dipercaya, apalagi isterinya itu sampai bertanding dengan Giok Keng! Biarpun dia dapat menduga bahwa andaikata bertanding sekalipun isterinya akan kalah setingkat, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa Giok Keng membunuh isterinya?


Taihiap, tidak ada siapa-siapa lagi di sini! Dan yang bertanding dengan nyonya adalah Lie-toanio. Dia kelihatan marah besar sejak datang. Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan pembunuhan itu?”

“Dan ada beberapa orang tetangga mengatakan bahwa mereka melihat berkelebatnya bayangan hitam yang jelas adalah bayangan seorang wanita sungguhpun mereka tidak melihat mukanya karena gelap di luar. Ada pula yang melihat bayangan wanita meloncat ke atas genteng seperti tergesa-gesa. Sudah jelas bahwa nyonya keji itulah yang membunuh...” Khiu-ma memperkuat keterangan Giam Tun.

Kun Liong menjadi bingung sekali. Pukulan batin itu terlalu hebat baginya dan bertubi-tubi datangnya malapetaka itu. Isterinya yang tercinta mati terbunuh! Anaknya minggat dan tidak berhasil ditemukan ketika dicari-cari. Dan menurut kesaksian dua orang pembantunya, pembunuh isterinya adalah Cia Giok Keng! Kekuatan batinnya goyah dan pendekar ini selalu berdiam di kamar isterinya, merenungi wajah isterinya yang sudah menjadi mayat itu seperti orang linglung. Segala pertanyaan dua orang pembantunya yang mengurus perawatan jenazah, dibantu oleh para tetangga, hanya ditanggapi dengan anggukan kepala saja.

Semalam suntuk dia menjaga jenazah isterinya. Wajah itu demikian cantik, demikian tenang dan penuh damai, akan tetapi demikian pucat dan kehilangan cahaya kehidupan. Tidak teringat olehnyo segala sesuatu, baik anaknya, maupun pembunuh isterinya, atau apapun juga, yang diketahui hanya bahwa isterinya telah mati! Cahaya hidupnya telah padam! Sumber kebahagiaannya telah kering!

Semenjak mendengarken cerita kedua orang pembantunya sampai berjalan dengan muka tunduk di belakang iring-iringan jenazah ketika isterinya dikuburkan, Kun Liong tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun. Semua pengurusan penguburan dan penyambutan para tamu yang ikut berduka cita dilakukan oleh kedua orang pembantu itu. Kun Liong menjadi seperti mayat hidup. Dengan mata kosong dia melihat betapa peti jenazah isterinya dimasukkan lubang kemudian diuruk dengan tanah sampai hanya tampak gundukan tanah tinggi. Dan setelah semua pengiring jenazah pulang Kun Liong masih saja berlutut di depan kuburan isterinya.

“Taihiap, semua sudah selesai, marilah kita pulang, taihiap...” Giam Tun berkata membujuk tuannya. Khiu-ma hanya mengusap air matanya, terharu dan kasihan sekali kepada Kun Liong yang begitu pucat dan kurus, rambutnya kusut dan matanya kosong. Dia seperti mayat hidup saja.

Betapapun kedua orang yang setia itu membujuk, Kun Liong tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Akhirnya mereka takut kalau majikan mereka marah, maka mereka berpamit untuk mengurus rumah dan Kun Liong mengangguk.

Kini Kun Liong tinggal seorang diri di kuburan isterinya, duduk di atas tanah dan sampai berjam-jam lamanya memandang ke angkasa. Seolah-olah tampak olehnnya wajah isterinya tersenyum-senyum dan bersembunyi di antara awan, dan kadang-kadang dia melihat isterinya berlari-larian berkejaran dengan awan yang mencipta bermacam bentuk yang aneh. Kemudian, pandang matanya yang sudah tidak lumrah manusia biasa karena dikuasai oleh kedukaan yang begitu mendalam, sehingga seolah-olah terlepas dari penguasaan dirinya itu seperti melihat isterinya bertanding dengan seorang wanita di antara awan puti, kemudian isterinya terpelanting roboh.

“Ouhhh...!” Tanpa disadarinya, Kun Liong mencengkeram tanah dan bayangan itu lenyap tertutup awan yang berarak. Lalu timbul kembali, kini dia melihat bayangan seorang wanita yang tidak jelas siapa menggunakan pedang menusuk dada isterinya yang masih rebah terlentang.

“Heiii...!” Kun Liong berteriak sambil melompat bangun, seolah-olah dia hendak terbang ke angkasa untuk menolong isterinya. Akan tetapi dia terbanting kembali ke atas tanah.

“Hong Ing... ahhh, Hong Ing, isteriku... ceritakanlah, siapa yang membunuhmu dan mengapa? Benarkah dia Giok Keng...?” dia mengeluh sambil menubruk gundukan tanah kuburan isterinya dan tinggal menelungkup seperti itu sampai hujan turun!

“Duhai... berat nian
derita hidup penuh sengsara
ditinggal pergi orang tercinta
seorang diri sunyi dan hampa.


Ke mana harus mencarimu, kekasih?
bila kita dapat saling bersua?
hidup tanpa cinta apa artinya?
dunia tanpa matahari…
gelap gulita!”


Malam yang gelap pekat dan basah oleh hujan lebat. Sunyi menyeramkan di tanah pekuburan itu, sunyi yang mencekam, kesunyian yang akan menjadi amat mengerikan dengan bayangan-bayangan tentang iblis, setan dan siluman, tentang orang-orang mati yang hidup kembali, tentang roh penasaran yang berkeliaran, rangka-rangka manusia yang berjalan-jalan mencari mangsa. Penggambaran khayal manusia yang membawa-bawa alam kesengsaraan sampai sesudah mati.

Kesengsaraan akan SELALU ada selama kita menonjol-nonjolkan diri pribadi, karena segala bentuk kesengsaraan adalah buatan kita sendiri, buatan pikiran kita sendiri! Kesengsaraan bukanlah suatu keadaan, melainkan suatu bayangan yang direka-reka oleh pikiran. Kesengsaraan timbul dari perasaan iba diri, yaitu merasa kasihan kepada diri sendiri, merasa betapa dirinya paling celaka. Apabila kita bebas dari penonjolan keakuan, bebas dari perasan iba diri, maka segala macam peristiwa yang terjadi atas diri kita, dapat kita hadapi dengan wajar dan BUKAN lagi merupakan kesengsaraan. Yang sengsara itu bukap KEADAANNYA melainkan hatinya, dan ini merupakan permainan pikiran kita sendiri. Orang akan berduka kalau sang pikiran mengenangkan segala sesuatu tentang dirinya yang ditinggalkan kesenangan dan ditimbuni ketidaksenangan, meremas-remas hati, dan perasaannya sendiri dengan rasa iba hati, kasihan kepada diri sendiri, kepada orang atau benda yang kita sayang, dan merasa sengsara.


Malam gelap pekat dan hujan turun deras diterima sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan oleh manusia, sebagai sesuatu yang tidak baik dan buruk. Hanya batin yang bebas dari perbandingan saja akan melihat bahwa di dalam segala sesuatu terdapat kesempurnaan dan kebenaran. Di dalam malam gelap dan hujan lebatpun terdapat kesempurnaan dan kebenaran, terdapat kemanfaatan yang tak terpikirkan oleh ingatan manusia yang hanya mencari senang.

Sunyi melengang malam itu di tanah pekuburan. Bahkan burung hantupun bersembunyi dan mencari tempat perlindungan dari air hujan. Yang terdengar hanya suara hujan yang setiap detik berubah, suara yang hidup diseling keheningan yang syahdu.

Kalau pada seat itu ada orang biasa yang berada di dekat tempat itu, tentu dia akan lari tunggang langgang dan nekat menempuh hujan ketika dia melihat cahaya kecil bergerak-gerak ke kanan kiri di dalam kabut air hujan, makin lama makin mendekati tanah kuburan itu. Cahaya ini makin dekat dan tampak kini bayangan hitam yang besar dan aneh sekali bentuknya. Dari pinggang ke bawah seperti bayangan orang biasa yang melangkah perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Akan tetapi dari pinggang ke atas amat luar biasa, membesar dan bulat.

Segala macam bentuk setan hanya ada kalau DIADAKAN oleh pikiran kita sendiri. Banyak memang pengakuan orang-orang yang pernah melihat setan, akan tetapi sudah pasti sekali bahwa yang dilihatnya itu tentulah setan-setan seperti yang pernah dikenalnya, yaitu melalui pendengaran cerita, melalui gambar-gambar atau dongeng-dongeng orang tua, pendeknya tentu yang dilihatnya itu adalah gambaran yang sudah ada di dalam ingatannya! Pikiran dapat mempengaruhi semua anggauta badan, terutama sekali mata dan telinga. Kalau pikiran sudah mencekam kita dengan gambaran-gambaran tentang setan-setan yang menakutkan dan mengerikan, maka melihat bayangan pohonpun sudah dapat menciptakan gambaran setan itu, mendengar suara burung malampun sudah dapat menciptakan gambaran yang dicetak oleh pikiran kita sendiri. Karena itu, kita harus awas dan sadar terhadap tipu muslihat yang dilakukan oleh sang pikiran yang lincah dan cerdik seperti monyet itu.

Setelah dekat benar, barulah tampak bahwa bayangan mengerikan itu bukan lain adalah kakek Giam Tun yang berjalan perlahan-lahan, tangan kanan memegang sebuah lentera, tangan kiri memegang sebuah payung. Dengan menggigil kedinginan, juga oleh rasa seram, kakek ini memaksa kakinya melangkah perlahan-lahan memasuki pintu gerbang tanah pekuburan. Malam terlalu gelap ditambah kabut air hujan, maka penerangan lentera itu belum cukup kuat sinarnya untuk menembus kegelapan. Hanya karena hafal saja kakinya melangkah satu-satu menuju ke tempat di mana nyonya majikannya dikubur sore tadi.

Bulu tengkuknya meremang. Hati siapa tidak akan ngeri memasuki tanah pekuburan sedangkan nyonya majikannya baru sore tadi dikubur? Akan tetapi, rasa hutang budi yang mendatangkan rasa sayang dan setia kepada majikannya membuat kakek ini nekat memberanikan hatinya untuk mencari majikannya yang sampai malam hujan itu belum juga pulang.

“Taihiap...!” Suara yang keluar dari mulut Giam Tun ini menggema ditimpa suara hujan sehingga dari jauh terdengar lain, bunyinya seperti rintihan yang keluar dari dalam satu di antara gundukan-gundukan tanah kuburan itu.

Giam Tun memanggil beberapa kali dan ketika masih saja belum ada jawaban padahal sinar lenteranya sudah menimpa tubuh Kun Liong yang menelungkup di atas gundukan tanah kuburan baru itu, Giam Tun terkejut setengah mati. Tersaruk-saruk dia melanggah maju, payung dan lentera itu berguncang karena seluruh tubuhnya menggigil.

Kun Liong berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dia merasa seperti sedang berperahu dengan isterinya dan isterinya demikian cantik dan bahagia, tersenyum dan memandang kepadanya penuh dengan sinar mata mesra yang mengandung kasih sayang seperti kalau biasa isterinya memandangnya. Akan tetapi, tiba-tiba air sungai bergelombang dan perahu itu terbalik! Dia melihat isterinya hanyut dibawa air sungai. Sia-sia saja dia berusaha berenang mendekati, makin lama isterinya makin jauh.

“Hong Ing...!” dia menjerit.

“Suamiku... kaucari Mei Lan...! Cari Mei Lan...!”

Hanya suara teriakan isterinya menyuruh dia mencari Mei Lan itu yang terdengar kini. Dia tidak ingat lagi bahwa tadi Mei Lan juga ikut di dalam perahu.

“Taihiap... bangunlah... kita perlu mencari nona Mei Lan...! Kita harus mencari nona Mei Lan...!”

Kun Liong menggerakkan tubuhnya dan menoleh, matanya silau oleh sinar lentera itu dan dia melihat wajah Giam Tun di atas lentera, wajah yang penuh iba dan yang berkata dengan suara penuh permohonan, “Pulanglah, taihiap, nona Mei Lan belum juga datang, kita perlu mencarinya...!”

“Hong Ing... Mei Lan...!” Kun Liong mengeluh, teringat akan “mimpinya” dan dia lalu barigkit duduk di atas tanah yang becek. Pakaiannya basah kuyup dan kotor penuh lumpur, juga mukanya berlepotan lumpur.

Kini dia sadar sepenuhnya dan diam-diam dia berterima kaaih kepada Giam Tun. Kakek ini biasanya amat takut akan setan-setan, dan kini sampai matipun dia tidak akan berani disuruh memasuki tanah kuburan seorang diri di waktu malam dan hujan itu. Pernah Hong Ing menggoda kakek ini saking penakutnya terhadap setan, malam-malam menggunakan kepandaiannya. Hong Ing meloncat ke atas genteng dan memakai kerudung putih menakut-nakuti Giami Tun sehingga kakek ini hampir terkencing-kencing saking takutnya, mengira ada setan. Memang kadang-kadang di waktu gembira Hong Ing suka bermain-main seperti anak kecil.


Akan tetapi kini kakek itu menempuh segala rasa takutnya, datang mencarinya. Kun Liong merasa betapa sikapnya terlalu menuruti hati sedih. Kesadarannya mulai timbul.

“Paman Giam Tun, aku memang hendak menemani nyonya majikanmu di malam pertama yang gelap dan dingin ini. Kasihan dia, paman... kasihan sekali dia, bukan?”

Giam Tun mengangguk dan dari balik lentera dia hanya mengangguk-angguk, akan tetapi sedu-sedannya terdengar melalui kerongkongannya.

“Sudahlah, paman. Sudah berlebihan aku menyedihi dan menangisi diriku sendiri, sekarang aku harus ingat kepadanya. Kau pulanglah. Aku tidak apa-apa, biar aku malam ini menjaga di sini. Besok kita bicarakan tentang Mei Lan, dan yang lain-lain.”

Giam Tun mengusap matanya dengan ujung lengan baju. Hatinya lega juga. Biarpun keadaan majikannya demikian menyedihkan dan mengharukan, namun suara dan kata-kata yang keluar dari mulut majikannya menunjukkan bahwa pendekar itu sudah sadar kembali, suaranya tenang dan penuh wibawa seperti biasanya.

“Apa taihiap tidak perlu ganti pakaian? Ini sudah saya bawakan... dan makanan... sejak dua hari yang lalu taihiap belum makan atau minum apa-apa...”

Dengan jari-jari gemetar kakek itu hendak membuka bungkusan yang tadi dikempitnya.

Kun Liong menggeleng kepalanya. “Bawa kembali saja, paman. Apa gunanya berganti pakaian sekarang? Pakaian kering akan basah lagi, pakaian bersih akan kotor lagi dan dalam keadaan seperti sekarang ini, bagaimana aku mampu menelan makanan atau minuman? Pulanglah dan biarkan aku sendiri untuk menghadapi dan merenung segala kepahitan hidup ini, paman.”

Giam Tun memandang majikannya, beberapa kali menelan ludah, dan tidak mampu mengeluarkan perkataan. Dia merasa menjadi sepuluh tahun lebih tua daripada biasanya semenjak terjadinya peristiwa mengerikan tiga hari yang lalu itu. Kakek itu mengangguk-angguk, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, akan tetapi berhenti lagi, menengok dan berkata, “Apakah perlu lentera ini saya tinggalkan di sini, taihiap?”

“Bawa pergi saja, paman. Sinarnya tidak akan mampu menerangi kegelapan hatiku, malah menyilaukan mata saja.”

Bibir kakek itu bergerak-gerak, dia sendiri tak tahu apa yang hendak dikatakan lalu dia pergi tersaruk-saruk dengan langkah pendek-pendek dan punggung agak membongkok, meninggalkan tempat itu menuju ke pintu gerbang kuburan yang dari jauh tampak tinggi besar hitam seperti setan raksasa mementang kedua lengannya dan amat mengerikan kalau tampak tertimpa sinar kilat.

Setelah kakek Giam Tun pergi, Kun Liong merasa betapa tubuhnya dingin sekali. Baru sadarlah dia betapa selama ini dia telah mengabaikan kewajibannya yang terutama sebagai manusia hidup, yaitu menjaga kesehatan tubuhnya. Dia telah membiarkan dirinya terbuka terhadap semua serangan lahir batin, terlalu menenggelamkan diri ke dalam perasaan duka sengsara. Teringat akan ini, dia lalu duduk bersila di depan kuburan isterinya, mengerahkan sin-kang menghangatkan tubuhnya.

Setelah tubuhnya terasa sehat kembali, dia mulai menggunakan mata batinnya untuk memandang keadaan dirinya, untuk menyelidiki semua keadaan yang telah menimpa dirinya. Setelah kini dia tidak lagi dijadikan permainan hati dan pikirannya, tampaklah oleh kesadarannya betapa dia hampir gila oleh rasa iba diri, bahwa selama ini dia menangisi diri sendiri, berkabung atas keadaan dirinya sendiri yang direnggut kesenangan hidupnya. Dia tidak perlu menangisi kematian Hong Ing. Mengapa? Hong Ing sudah terbebas dari segala ikatan duniawi dengan suka dukanya, dengan kesenangan yang singkat den kesengsaraannya yang panjang. Terbayang dia akan wajah mayat isterinya yang demikian penuh damai dan ketenangan, lalu membandingkan dengan keadaan dirinya. Mungkin sudah sepatutnya kalau Hong Ing di “sana” menangisi dia karena keadaannya yang sengsara itu. Akan tetapi dia tidak patut menangisi Hong Ing yang sudah tidak terseret oleh arus kesengsaraan duniawi lagi.

Setelah sadar akan ini, yang tinggal hanya penyesalan den penasaran. Mengapa isterinya yang dia tahu amat jenaka, lemah lembut, baik budi dan ramah itu sampai dibunuh orang? Dan yang membunuhnya Giok Keng! Tidak salah lagi. Tidak mungkin orang-orang seperti dua orang pembantunya itu, terutama sekali Giam Tun, akan membohong! Dia harus mencari Giok Keng. Membuat perhitungan!

Kini lain perasaan mengaduk hati Kun Liong, digerakkan oleh pikiran yang bekerja keras. Dan meloncat dan mengepal tinjunya. “Giok Keng, kau perempuan keji! Aku akan membalaskan kematian Hong Ing!”

“Darrr...!” Kilat menyambar sebagai penutup dari hujan yang mulai berhenti. Sekejap mata tempat itu menjadi terang menyilaukan mata dan Kun Liong terkejut, tersadar lagi dan menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan sambil menutupkan kedua tangan yang kotor berlumpur di depan mukanya. Terbayanglah dia akan wajah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng, ayah dan ibu Giok Keng, terbayang dia akan wajah Giok Keng di waktu gadis dahulu, terbayang pula akan semua hal, perhubungannya dengan keluarga Cia. Dan dia baru saja mengeluarkan ancaman untuk membunuh Giok Keng!

Bodoh! Dia memaki diri sendiri. Dia tidak boleh menurutkan nafsu yang didorong oleh pikiran yang menduga-duga. Dia harus menyelidiki sebabnya, tidak terpengaruh begitu saja oleh peristiwa yang hanya akibat. Kalau dia menuruti nafsunya, maka peristiwa yang menimpa dirinya ini akan dia jadikan sebab untuk menimbulkan akibat lain, misalnya dia membunuh Giok Keng! Dan akibat itu tentu akan menjadi sebab pula dari urusan yang berkepanjangan, dendam yang bertumpuk-tumpuk dan tiada habisnya. Tidak, dia harus dapat melihat kenyataan. Isterinya mati terbunuh orang! Anaknya lari pergi tanpa diketahui sebabnya pula. Dan satu-satunya orang yang kiranya dapat dijadikan terdakwa, hanya Giok Keng. Kalau dia mendatangi Giok Keng, pertemuannya dengan wanita itu mungkin akan menyalakan api kedukaan dan dendam di hatinya dan dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Tidak, dia tidak bokeh melakukan hal yang sembrono. Dia harus memikirkan dengan baik dan tidak bertindak ceroboh. Carilah Mei Lan, demikian pesan isterinya dalam mirapi di waktu dia tidak tidur tadi. Benar! Yang terpenting memang mencari Mei Lan. Hong Ing sudah mati, apapun yang akan dilakukannya, dia tidak akan dapat merobah kenyataan itu, bahkan mungkin dendam kebencian akan menimbulkan hal-hal baru yang lebih hebat lagi. Tentu saja dia tidak akan tinggal diam dan dia harus berusaha untuk menangkap pembunuh isterinya. Akan tetapi hal itu akan dilakukan bukan karena dendam, melainkan karena sudah sepatutnya kalau pembunuhan itu diselidiki sebab-sebabnya dan si pembunuh diadili sebagaimana layaknya! Terutama sekali, “pesan” isterinya, Mei Lan harus ditemukan.



Go-bi Sin-kouw! Mengapa engkau membunuhnya?” In Hong membentak dengan suara penuh kemarahan kepada nenek itu. Mereka berdiri saling berhadapan di luar kota Leng-kok pada pagi hari itu, dan Yalima hanya memandang mereka dengan bingung.

Malam tadi, Yalima ditinggalkan di sebuah kuil tua di luar kota, sedangkan In Hong dan Go-bi Sin-kouw memasuki kota Leng-kok untuk mendatangi rumah Yap Kun Liong dengan maksud membatalkan ikatan jodohnya dengan putera Cin-ling-pai. Sesuai dengan kehendak Go-bi Sin-kouw agar tidak menimbulkan kecurigaan, pula karena nenek ini tidak mau bertemu muka secara langsung dengan Pek Hong Ing, bekas muridnya, mereka berpencar setelah berjanji akan bertemu di luar kota di mana terdapat kuil itu pada keesokan harinya.

Ketika In Hong pada keesokan harinya bertemu dengan nenek itu di dekat kuil, serta merta dia menegur dengan suara ketus.

“Heh-heh?heh, nona In Hong! Nanti dulu, aku justeru mau bertanya kepadamu mengapa engkau membunuh bekas muridku itu! Hayo katakan mengapa engkau membunuh dia dan mengapa pula engkau berpura-pura menuduhku?”

“Nenek iblis! Siapa membunuh dia? Tentu kau yang membunuh kemudian menjatuhkan fitnah kepadaku!”

“Eh, bocah! Jangan engkau menuduh yang bukan-bukan! Aku Go-bi Sin-kouw tidak sudi menelan hinaan orang begitu saja! Aku datang dan melihat dari atas genteng betapa bekas muridku itu telah menggeletak dengan bekas tusukan pedang di dada, lalu aku mencari-carimu.”

“Hemm, mengapa pula aku membunuhnya? Akupun datang sudah melihat dia tewas. Aku tidak mengenalnya, dan pula, dia adalah isteri kakak kandungku, mengapa pula aku harus membunuh?”

“Huh, dan kaukira aku membunuh murid sendiri? Coba katakan, apa sebabnya engkau menuduh aku yang membunuh?”

“Karena engkau benci kepada kakakku itu, karena engkau tidak setuju muridmu menjadi isteri kakakku atau karena engkau tidak suka dan iri melihat kebahagiaan orang lain.”

“Den kau... kau sudah jelas tidak suka kepada kakakmu sendiri! Kau marah dijodohkan dengan putera ketua Cin-ling-pai, mungkin kau dan dia cekeok dulu lalu kau membunuhnya dengan darah dingin. Kaukira aku tidak mengenal orang yang berdarah dingin yang bertangan maut seperti engkau? Aku tadi melihat wanita tua itu menangis dan berkata, ‘Wanita keji itu yang membunuhnya!' Siapa lagi kalau bukan engkau yang dia maksudkan?”

“Go-bi Sin-kouw, berani kau menuduh aku!”

“Yap In Hong, engkau berani menghinaku!”

Kedua orang itu sudah saling melotot dan pada seat itu Yalima melangkah maju dan berkata, “Subo! Enci In Hong! Mengapa kalian berdua jadi ribut dan cekcok sendiri? Kalau memang kalian berdua tidak membunuh orang, sudahlah. Bagiku yang penting mencari dan bertemu dengan Houw-koko. Urusan enci dengan diapun akan dapat diselesaikan kalau sudah bertemu sendiri dengan dia bukan?”

Go-bi Sin-kouw tertawa terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh, pintar juga muridku ini. Nona In Hong, mengapa kita seperti anak kecil saja? Aku tidak membunuh, engkaupun tidak membunuh, pasti ada orang lain yang membunuh. Serahkan saja kepada Yap Kun Liong untuk menyelidiki siapa yang membunuh isterinya.”

“Aku tidak suka lagi melakukan perjalanan bersamamu, Sin-kouw. Kita berpisah di sini saja.”

“Eh-eh? Apakah engkau marah setalah terjadi peristiwa pembunuhan itu?”

“Bukan urusanku!”

“Nah, kalau begitu, benar juga kata muridku, sebaiknya kalau kita menjumpai Cia Bun Houw sendiri sehingga langsung enhkau dapat memutuskan ikatan jodoh dan sekalian memaksanya mengawini muridku ini. Aku mengenal seorang sahabat baikku di lereng gunung itu, seorang tokoh besar, marilah kita mengunjungi karena engkau perlu sekali berkenalan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan. Dan setelah kita menitipkan Yalima di sana, kita berdua mencari Bun Houw. Bagaimana?”

Yap In Hong berpikir-pikir, melirik kepada Yalima. Gadis Tibet ini memegang tangannya dan berkata, “Marilah, enci In Hong. Aku yakin bahwa hanya dengan bantuanmu saja aku akan dapat berjumpa dengan Houw-ko.”

In Hong menghela napas panjang. Aneh, dia merasa suka sekali kepada Yalima!

“Sin-kouw, engkau sungguh mencurigakan. Kalau bukan engkau pembunuhnya, mengapa melihat muridmu tewas sikapmu enak-enak saja?” katanya.

“Heh-heh-heh, orang-orang seperti kita siapa yang lebih aneh? Engkau kematian so-somu (kakak iparmu) dan kaupun tidak berduka, bukan? Sudah, tidak perlu kita saling tuduh. Katakanlah bahwa mungkin seorang di antara kita yang membunuh, dan mungkin juga keduanya tidak.”

Mereka meninggalkan kuil tua itu menuju ke gunung yang ditunjuk okh nenek itu. Diam-diam Yalima memperhatikan dan dara ini berpendapat di dalam hatinya bahwa tentu seorang di antara mereka berdua itu membohong. Tentu seorang dari mereka yang telah melakukan pembunuhan yang dibicarakan tadi, akan tetapi karena dia tertarik dan suka kepada In Hong, tentu saja hatinya condong menuduh subonya yang dia kenal sebagai seorang nenek yang luar biasa, aneh dan galak itu.


Gunung yang mereka tuju itu adalah bukit kecil dengan puncaknya yang disebut Giok-kee-san (Bukit Ayam Kumala) karena bentuk batu besar di puncak itu, yang merupakan batu kapur keras, memang tampaknya seperti seekor ayam bertengger den kalau tertimpa matahari, batu kapur itu mengeluarkan cahaya scperti batu kumala.

Puncak ini menjadi pusat pertemuan dari orang-orang golongan hitam yang dikumpulkan dan diundang oleh Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Sian-kouw yang dalam usaba ini ditemani oleh Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa. Memang Toat-beng-kauw Bu Sit sebelum bergabung dengan empat orang lainnya, pernah tinggal di puncak Giok-kee-san ini sebagai seorang pertapa, biarpun ketika itu usianya baru tiga puluh tahun lebih. Dan karena dia tidak pernah membuat ribut, tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmunya, maka biarpun Leng-kok dekat dengan bukit itu, hanya perjalanan sehari semalam, namun Kun Liong tidak pernah mengenalnya. Kini, tempat itu dipilih oleh beng-kauw untuk menjadi tempat pertemuan dengan tokoh-tokoh dunia hitam yang diundang untuk membantu persekutuan mereka menghadapi Cin-ling-pai. Dia bertugas menemani tosu dan tokouw itu mencari bantuan-bantuan dari timur dan di antaranya mereka mengundang Go-bi Sin-kouw, yang biarpun merupakan tokoh barat dan utara, namun karena dia dikenal baik oleh Hek I Siankouw maka mereka undang juga.

Tentu saja Lima Bayangan Dewa ini hanya mengundang tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi saja dan pada saat itu, selain Go-bi Sin-kouw yang sedang menuju ke situ bersama Yap In Hong dan Yalima, sudah datang pula seorang undangan yang berilmu tinggi, seorang berpakaian pendeta atau pertapa pula yang dikenal dengan nama julukan Bouw Thaisu. Kakek ini adalah sahabat baik dari Thian Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw timur yang telah tewas ketika bentrok dengan keluarga Cia Keng Hong (baca cerita Petualang Asmara) sehingga diapun merasa tidak suka kepada keluarga Cin-ling-pai itu. Untuk memusuhi sendiri dia tidak berani, maka setelah kini Lima Bayangan Dewa mulai menentang Cin-ling-pai dan mengumpulkan persekutuan untuk menghadapi Cin-ling-pai, dia segera mengajukan diri.

In Hong memandang tajam penuh selidik ketika kedatangan mereka bertiga disambut dengan ramah oleh empat orang yang kelihatannya saja sudah sebagai orang-orang yang lihai. Hek I Sinkouw yang mengenal baik Go-bi Sin-kouw, segera memperkenalkan tiga orang itu kepada tokoh Go-bi ini, kemudian In Hong diperkenalkan sebagai seorang tokoh muda yang amat lihai oleh Go-bi Sin-kouw.

In Hong menyambut perkenalan itu dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya. Betapapun juga, mereka itu adalah orang-orang tua sekali, kecuali Toat-beng-kouw Bu Sit yang kurus seperti monyet dan yang pandang matanya penuh gairah ditujukan kepadanya itu.

“Nona Yap In Hong, saat ini engkau berhadapan dengan tokoh-tokoh puncak!” demikian Go-bi Sin-kouw memperkenalkan. “Sahabatku ini adalah Hek I Siankouw dan kaulihat, kesukaannya dalam hal warna pakaian sama seperti aku, sejak kami masih muda, heh-heh-heh, yaitu warna hitam mulus. Dulu dia cantik sekali, dengan kulitnya yang halus putih seperti kulitmu itu, sehingga menonjol sekali dengan pakaian hitamnya. Dan kepandaiannyapun hebat! Dan ini, seperti diperkenalkan tadi, adalah Hwa Hwa Cinjin, tokoh besar karena dia adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoatsu yang pernah menjadi datuk golongan hitam. Kakek yang baru kukenal ini adalah Bouw Thaisu, pertapa di pantai Po-hai yang tinggi ilmunya. Dan dia ini biarpun masih muda, akan tetapi namanya sudah menggetarkan langit dengan para suhengnya. Dia adalah Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa.”

Diam-diam In Hong terkejut dan memperhatikan. Hemm, kelihatannya tidak seberapa, pikirnya. Seorang laki-laki kecil kurus seperti monyet, usianya empat puluhan tahun, mukanya kuning pucat. Jadi inikah seorang di antara Lima Bayankah Dewa yang sudah menggegerkan dunia persilatan karena telah berani mengacau Cin-ling-pai dan mencuri Siang-bhok-kiam?

Sambil menyeringai Toat-beng-kauw Bu Sit menjura kepadanya dan berkata, “Nona Yap, sungguhpun saya belum pernah mendengar nama nona, akan tetapi saya percaya bahwa sebagai sababat Go-bi Sin-kouw, none memiliki kepandaian yang amat hebat,” mulutnya bicara dengan In Hong, akan tetapi matanya yang kecil mengincar Yalima!

“Bu-sicu, engkau mungkin tidak dapat menduga!” Go-bi Sin-kouw terkekeh, “Nona Yap ini adalah adik kandung dari Yap Kun Liong di Leng-kok.”

“Aihhh...!” Tidak saja Toat-beng-kauw Bu Sit yang berseru terkejut, akan tetapi yang lain-lain memandang kaget, menoleh kepada Go-bi Sin-kouw dengan heran.

“Biarpun dia kakak kandungku, di antara kami tidak ada urusan apa-apa.” In Hong cepat berkata. “Sejak kecil tidak pernah ada hubungan.”

Mereka semua mengangguk-angguk dan tidak berani menyinggung urusan itu lagi, akan tetapi diam-diam mereka bersikap hati-hati karena mereka semua tahu bahwa Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang memiliki kepandaian hebat sekali dan merupakan “orang dekat” dengan Cin-ling-pai!

“Siapakah nona manis ini, Sin-kouw? Mengapa tidak diperkenalkan?” Tiba-tiba Bu Sit bertanya kepada Go-bi Sin-kouw sambil memandang kepada Yalima.

Go-bi Sin-kouw terkekeh bangga. “Cantik jelita dan hebat, ya? Dia ini adalah muridku yang baru, namanya Yalima, kembang dari Tibet.”

“Wah, sungguh beruntung engkau mempunyai murid secantik ini!” Bu Sit memuji dan semua orang tersenyum, hanya Yalima yang menundukkan mukanya dengan hati tidak enak melihat sinar mata Bu Sit demikian liar dan ganas menggerayanginya! In Hong juga melihat hal ini dan otomatis dia merasa tidak suka kepada Toat-beng-kauw Bu Sit. Adapun karena desakan Yalima maka dia mau ikut bersama Go-bi Sin-kouw, dan dia sudah mengambil keputusan untuk segera meninggalkan nenek yang tidak menyenangkan itu, akan tetapi begitu bertemu dengan orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini, hatinya tertarik untuk menyelidiki tentang pedang Siang-bhok-kiam! Pantas saja Jeng-ci Sin-touw Can Pouw pernah mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa tidak berada di sarangnya di muara lembah Huang-ho, kiranya mereka itu yang seorang berada di sini untuk mengumpulkan orang-orang lihai dari golongan hitam! Hal ini menarik perhatian In Hong dan dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan orang-orang yang dia menduga amat benci dan memusuhi Cin-ling-pai ini.




Malam itu In Hong berkesempatan untuk bercakap-cakap berdua saja dengan Yalima selagi Go-bi Sin-kouw dan empat orang tokoh itu mengadakan perundingan di dalam ruangan belakang. Agaknya nnemang sengaja In Hong ditinggalkan, karena setelah makan malam. Yalima diperintah oleh subonya untuk mengajak In Hong berjalan-jalan dan menikmati malam indah di luar pondok itu. Malam itu penuh bintang, sungguhpun di udara nampak awan hitam berkelompok.

“Sin-kouw, sungguh engkau aneh sekali. Biarpun dia mengaku tidak ada hubungan dengan kakak kandungnya, akan tetapi kalau dia itu adik Yap Kun Liong, sungguh berbahaya sekali engkau mengajaknya ke sini! Siapa tahu dia itu sengaja menjadi mata-mata Cin-ling-pai!” Toat-beng-kauw Bu Sit menegur nenek itu.

“Heh-heh, kaukira aku sebodoh itu? Aku pertama-tama tertarik kepadanya ketika di Wu-han dalam sebuah pesta dia menghina puteri ketua Cin-ling-pai!”

“Ahhh...!” Semua orang tertarik, terutama sekali Toat-beng-kauw Bu Sit yang menjadi musuh besar keluarga Cin-ling-pai.

Nenek dari Go-bi itu lalu menceritakan semua yang dilihatnya di dalam pesta itu, bahkan lalu menuturkan apa yang didengarnya dari In Hong sendiri betapa dara itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Yap Kun Liong, kakak kendungnya itu.

Mereka mendengarken penuturan ini dengan heran, akan tetapi dengan suara ragu-ragu, Toat-beng-kauw Bu Sit mencela. “Betapapun juga, hal itu masih belum menjadi jaminan penuh bahwa dia bukan mata-mata Cin-ling-pai. Siapa tahu kalau sikapnya dengan puteri Cin-ling-pai itu hanya permainan sandiwara belaka.”

Wajah nenek Go-bi menjadi merah dan dia melotot. “Tidakkah kalian melihat burung hong di rambutnya?”

“Ah, Giok-hong-pang...?” Hek I Sian-kouw bertanya.

Go-bi Sin-kouw mengangguk. “Murid tunggal dari ketuanya, dan aku sudah melihat sendiri kepandaiannya hebat. Nah, seorang murid ketua Giok-hong-pang, apakah masih belum meyakinkan? Kalau masih belum, Toat-beng-kauw Bu Sit, ada satu lagi yang membuat aku berani mengajaknya ke sini. Dia mungkin telah membunuh isteri Yap Kun Liong malam tadi di Leng-kok, atau setidaknya, dia melihat kematian kakan iparnya itu dengan sikap dingin dan tidak peduli!”

“Huhh...?” Berita ini benar-benar mengejutkan semua orang. Ketika nenek itu menceritakan tentang kematian nyonya Yap Kun Liong, semua orang menjadi girang.

“Aha, Go-bi Sin-kouw, engkau telah berjasa besar masih pura-pura merendahkan diri!” Hwa Hwa Cinjin berkata. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membunuhnya?”

Go-bi Sin-kouw memainkan senyumnya yang nyaprut. “Mungkin aku, mungkin Yap In Hong, aku sendiri sampai bingung memikirkan. In Hong telah menyangkal. Nah, Bu-sicu, apakah kau masih belum yakin?”

Bu Sit bangkit berdiri dan menjura sampai dalam ke arah nenek itu. “Atas nama Lima Bayangan Dewa, aku menghaturkan terima kasih atas semua jasamu, Sin-kouw! Dan sekarang, apa maksudmu mengajak dia ke sini?”

Go-bi Sin-kouw lalu menceritakan tentang kemarahan In Hong terhadap Cie Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang ditunangkan dengan dia. Dia tidak mau, bahkan marah-marah, apalagi setelah melihat bahwa Yalima adalah pacar Bun Houw di Tibet.

“Kalau dia bisa dipancing agar mendatangi puteri ketua Cin-ling-pai di Sin-yang, kemudian mereka itu yang sama keras hatinya cekcok sampai bermusuhan, bukankah ini hebat sekali? Itulah sebabnya maka dia kuajak ke sini.”

“Wah, engkau memang hebat, Sin-kouw! Dan dara mulus muridmu itu kalau dia benar pacar putera ketua Cin-ling-pai, dapat kita jadikan sandera yang amat berharga. Dia harus dapat dibujuk untuk membantu kita,” kata Toat-beng-kauw Bu Sit.

Nenek itu menggeleng kepala. “Hemm, bocah itu tidak pandai ilmu silat dan baru kuajari, akan tetapi hatinya keras sekali dan dia tidak mungkin dapat dibujuk. Dia mau ikut denganku ke mana saja hanya karena aku berjanji akan mempertemukan dia dengan pecarnya.”

Toat-beng-kauw Bu Sit mengerutken ailsnya, dan tiba-tiba dia memukul tangannya sendiri. “Ah, jalan satu-satunya hanya... kalau saja kau setuju, Sin-kouw!” Dua orang itu saling pandang, lalu Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh.

“Heh-heh-heh, engkau nakal sekali dan amat cerdik seperti monyet! Memang orang cerdik seperti engkau pantas menerima untung itu, dia cantik manis bukan main. Aku menyerahkan dia malam ini kepadamu, Bu Sit, asal engkau suka berlutut tiga kali di depan kakiku sambil mengucapkan terima kasih.”

Tentu saja Toat-beng-kauw Bu Sit girang bukan main. Dia memang cerdik dan dari penuturan Go-bi Sin-kouw tentang Yalima tadi, dia sudah menduga bahwa murid baru itu tentu tidak begitu dihiraukan oleh gurunya, pula, di samping dia sudah tergila-gila melihat dara remaja yang cantik molek itu, juga dia melihat pentingnya dara yang memegang peran penting itu ditundukkan dan dipaksa menjadi kaki tangan Lima Bayangan Dewa. Dia tidak tahu bahwa bukan karena itulah Go-bi Sin-kouw menyerahkan murldnya itu kepada Bu Sit. Justeru karena dia tidak ingin kehilangan muridnya itu maka dia mengorbankan muridnya kepada orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini! Memang watak nenek ini luar biasa aneh dan sadisnya!

Saking girangnya, Bu Sit yang sudah hampir menitikkan air liur teringat akan calon mangsanya itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Go-bi Sin-kouw dan mengangguk-angguk tiga kali sambil berkata, “Terima kasih, terima kasih, terima kasih!” Go-bi Sin-kouw tertawa bergelak dan semua orang juga tersenyum. Mereka adalah orang-orang tua yang tidak perduli lagi akan urusan seperti itu, yang penting bagi mereka adalah dapat berhasil membasmi Cin-ling-pai untuk membalas dendam mereka yang sudah ditahan bertahun-tahun.


Sementara itu, In Hong berjalan-jalan dengan Yalima di luar pondok. Setelah kini memperoleh kesempatan berdua saja dengan nona yang gagah perkasa itu, Yalima merasa dekat sekali dengan In Hong dan tanpa disadarinya dia sudah menggandeng lengan In Hong dan menggenggam tangannya. Tangan In Hong terasa hangat olehnya, dan kehangatan ini menjalar terus ke dalam dadanya terhadap pendekar wanita itu.

Mereka lalu duduk di atas batu agak jauh dari pondok, di tempat yang sunyi sekali dan dari situ nampak berkelap-kelip lampu-lampu yang menyorot keluar dari dusun di bawah. Angkasa penuh bintang sedangkan di utara kadang-kadang nampak kilat menyambar di antara awan-awan gelap, membuat bintang-bintang kehilangan cahayanya dan baru berseri-seri lagi setelah kilat berlalu.

“In Hong, aku hendak bertanya sesuatu kepadamu, jangan kau marah ya?” Yalima berkata sambil mengelus tangan pendekar wanita itu dengan penuh kekaguman betapa tangan yang amat halus itu mengandung tenaga yang amat kuat dan luar biasa.

In Hong tesenyum memandang wajah manis yang berada di depannya. Biarpun cuaca hanya remang-remang saja, hanya diterangi oleh cahaya bintang-bintang yang lembut, namun masih mudah menangkap kecantikan bentuk muka dara remaja itu, wajah yang agaknya serasi benar dengan alam terbuka dan hawa pegunungan. Angin semilir membuat sedikit rambut yang terlepas dari kelabangnya itu melambai-lambai.

“Tanyalah, mengapa aku harus marah?”

“Enci In Hong... sungguh sukar bagiku untuk percaya ketika engkau mengatakan bahwa engkau menolak pertalian jodoh dengan Houw-ko! Mengapa, enci?”

In Hong memandang wajah itu, melihat sepasang mata Yalima menatapnya penuh selidik dan cahaya bintang terpantul dari manik sepasang mata indah itu. Pertanyaan yang polos dan jujur tanpa maksud apa-apa tersembunyi di baliknya. Dia tersenyum lagi dan merasa heran sendiri karena dia merasa betapa baru dua kali ini dia merasa senang bercakap-cakap, yang pertama dengan Si Malaikan Copet dan yang kedua dengan Yalima.

“Mengapa? Tentu saja aku menolak, Yalima. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dia, bagaimana aku sudi dijodohkan dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat? Pula aku kira... agaknya... aku tidak akan suka dijodohkan selama hidupku.”

Yalima memandang heran melihat kesungguhan membayang di muka yang cantik sekali dan yang mengagumkan hatinya itu. Memang sesungguhnya Yap In Hong mempunyai wajah yang amat cantik, yang agak tertutup oleh sikapnya yang dingin. Wajahnya sama dengan mendiang ibunya, yaitu Gui Yan Cu, seorang wanita yang sudah terkenal sekali akan kecantikannya.

“Akan tetapi engkau agaknya... amat membenci Houw-ko. Padahal engkau belum pernah jumpa denganya. Bagaimana ini, enci? Aku sungguh tidak mengerti. Memang amat aneh bagi dara yang sedang dimabok cinta ini melihat ada orang sampai bisa membenci Bun Hou! Pemuda yang baginya tidak ada cacat celanya itu tidak mungkin menimbulkan benci di hati orang lain, sehingga kebencian In Hong selain mengherankan juga menimbulkan curiga.

“Aku membenci semua pria yang mempermainkan wanita, dan dia itu telah mempermainkan aku, telah menghina aku atau engkau, maka aku membencinya!”

“Eh, aku tidak mengerti, enci.”

“Tergantung mana lebih dulu, dia mengenalmu atau dia ditunangkan dengan aku. Kalau dia sudah tahu babwa dia bertunangan dengan aku, maka berarti dia telah mempermainkan dan menghinamu, sebaliknya kalau lebih dulu dia mengenalmu baru dia bertunangan dengan aku, berarti dia mempermainkan dan menghina aku!”

Yalima masih bingung. “Seharuanya dia bersikap bagaimana, enci?”

“Kalau dia lebih dulu mengenalmu, dia harus menolak semua ikatan jodoh dengan orang lain! Dan kalau dia sudah bertunangan, tidak semestinya dia menggodamu!”

Hening sejenak ketika Yalima mencoba untuk memaklumi pendapat In Hong itu. Lalu dia bertanya lagi, “Enci, apakah engkau cemburu?”

In Hong terkejut dan memandang dara remaja itu. “Apa maksudmu? Aku cemburu? Cemburu bagaimana dan kepada siapa?”

“Cemburu kepadaku, enci In Hong, karena aku... aku dan Houw-ko...”

“Hushh, sembarangan saja kau bicara! Engkau manis, sudah sepatutnya kalau ada orang jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi hati-hatilah, Yalima, laki-laki sukar untuk dapat dipercaya. Aku khawatir kalau seorang semanis engkau sampai kelak harus mengalami patah hati seperti yang lain...”

“Seperti yang lain siapa, enci?”

In Hong tidak menjawab, mengenang kehidupan gurunya dan para bibi anggauta Giok-hong-pang.

“Seperti siapa, enci? Apakah engkau pernah patah hati karena cinta, enci?”

“Hushh!” In Hong tersenyum dan mencubit dagu yang meruncing manis itu. “Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tidak akan jatuh cinta karenanya aku tidak akan bisa patah hati.”


Aku tidak percaya, enci. Orang secantik engkau, seperti Kwan Im Pouwsat... mana mungkin... pasti banyak yang akan jatuh cinta kepadamu, dan kalau... kalau kau berjumpa dengan Houw-ko aku yakin...” Dara itu memandang penuh khawatiran.

“Hemm, kaurasa bagaimana?” In Hong sudah siap untuk mendampratnya kalau dara itu berani mengatakan bahwa dia akan jatuh cinta kepada Bun Houw.

“Kurasa enci tidak akan bisa membencinya. Dia begitu baik, begitu gagah...”

In Hong tersenyum lebar. “Tentu saja, karena itu engkau mencintanya. Sudahlah, kau tidurlah. Aku sudah mengambil keputusan untuk segera pergi dari sini, terus terang saja aku tidak suka bersama-sama dengan gurumu, Yalima.”

“Aku juga sebenarnya tidak suka padanya, enci.”

“Eh?? Apa ini? Kau tidak suka kepada gurumu? Kalau begitu, kau pergi bersamaku saja!”

“Mengapa enci ingin pergi mengajak aku?”

“Entahlah, aku suka padamu dan... agaknya aku membutuhkan seorang sahabat.”

“Sayang, aku tidak bisa meninggalkan guruku, enci.”

“Mengapa? Aku bisa mencarikan pacarmu itu untukmu, aku tanggung dapat kutemukan dia dan kupaksa dia menikah denganmu.”

“Bukan itu, enci. Subo pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Aku melarikan diri dari rumah ayah karena tidak sudi dibawa ke Lhasa untuk dipersembahkan kepada pangeran dan di dalam hutan, aku hampir menjadi korban harimau. Subo datang menyelamatkan aku dan aku lalu diambil murid, diajak pergi setelah kuceritakan riwayatku kepadanya. Aku telah hutang budi, bahkan hutang nyawa, begaimana aku dapat meninggalkannya begitu saja, sungguhpun aku... amat... tidak suka kepadanya?”

Yalima menundukkan muka dengan sedih dan In Hong diam-diam memuji gadis yang biarpun tidak terpelajar dan hanya seorang dusun namun telah tahu apa artinya hutang budi.

Mereka lalu kembali ke pondok karena hawa makin dingin dan In Hong melihat Yalima mulai kedinginan. Tanpa disengaja lagi, mereka bergandeng tangan kembali ke pondok dan memasuki kamar masing-masing, In Hong di kamarnya sendiri dan Yalima di sebuah kamar besar bersama subonya yang masih bercakep-cakap dengan orang-orang itu.

Sukar bagi In Hong untuk pulas. Bermacam-macam hal mengaduk pikirannya. Teringat dia akan kakaknya dan sukar dia membayangkan bagaimana keadaan kakaknya yang kematian isteri. Dia tidak perduli akan kematian isteri kakaknya itu, hanya ingin sekali melihat bagaimana keadaan kakak kandungnya itu setelah isterinya meninggal dunia. Diapun diganggu dengan persoalan Lima Bayangan Dewa yang kini seorang daripada mereka berada di pondok ini. Dia ingin sekali tahu di mana mereka menyembunyikan pedeng Siang-bhok-kiam dan ingin melihat pedang itu, bahkan kalau ada kesempatan dia ingin merampas pedang itu untuk dirinya sendiri! Yang terakhir dia terkenang kepada Yalima, terngiang semua pertanyaan Yalima dan dia merasa suka dan kasihan kepada dara ini. Dia membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan Yalima. Ada persamaannya. Biarpun Yalima masih mempunyai ayah bunda, namun dia tahu bahwa ayah bundanya itu seolah-olah sudah mati baginya karena dia tentu tidak akan berani pulang selama hidupnya. Seperti juga dia, Yalima seorang diri saja. Hanya sedikit perbedaannya, kalau dia masih ada subonya dan Giok-hong-pang yang selalu bersikap baik kepadanya, Yalima hanya mempunyai satu harapan, yaitu pada diri kekasihnya itu, Cia Bun Houw.

“Aku harus membantunya bertemu dengan pemuda itu,” dengan keputusan hati ini In Hong mulai tertidur. Lapat-lapat masih terdengar suara Go-bi Sin-kouw dan yang lain-lain bercakap-cakap, kadang-kadang terus tertawa sambil minum arak di ruangan tengah.

“Tidak... tidak... ah, teecu tidak mau, subo...”

“Bocah tolol! Engkau muridku dan engkau harus menurut perintahku. Hayo keluar!”

In Hong lapat-lapat mendengar suara ini, disusul suara lirih, “...enci In Hong!” dan kalau sekiranya tidak ada suara Yalima yang memanggil namanya dengan lirih itu, bukan memanggil bahkan seperti orang mengeluh kepadanya saja, agaknya dia tidak akan terbangun. Namun suara Yalima lirih menyebut namanya itu, cukup membuat semua urat syaraf di tubuhnya menegang. Dia bangkit duduk, mengenakan sepatunya dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengan pendengarannya, dia dapat mengikuti gerakan guru dan murid itu keluar dari kamar sebelah dan kemudian dia mendengar Go-bi Sin-kouw sudah tertawa-tawa lagi dengan teman-temannya di ruangan tengah.

Dia terheran. Apa yang terjadi? Agaknya, melihat suara orang-orang tua itu di ruangan tengah, tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ke mana perginya Yalima? Mengapa dara itu tadi keluar dari kamar bersama gurunya dan tidak kembali lagi ke kamar sebelah?

“...jangan...! Tidak mau...!”

Suara ini lirih, agaknya mulut yang mengeluarkan bunyi ini dibungkam dan terdengar jauh, bukan dari kamar sebelah. Namun cukuplah bagi In Hong untuk melompat turun dari bangkunya, membuka jendela dan bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya sudah melayang keluar, lalu dia berindap-indap ke arah dari mana datangnya suara yang tidak jelas tadi.


Suara napas terengah-engah terdengar dari sebuah kamar, disusul bisikan seorang laki-laki. “Diamlah, manis, menurutlah saja... subomu sudah memberikan engkau kepadaku... heh?heh, diamlah...”

Suara Toat-beng-kauw Bu Sit! In Hong merasa betapa mukanya panas seperti dibakar, menjalar dari dada terus ke atas, sampai ke telinganya dan tubuhnya tiba-tiba saja menerjang jendela kamar itu.

“Bruukkkk!” Daun jendela jebol dan dia melihat Bu Sit sedang menindih dan merobek baju Yalima sehingga nampak dada gadis itu tidak tertutup lagi.

“Keparat busuk!”

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut, mengutuk dan meloncat turun, kemudian menghadapi tamparan In Hong dia cepat merendahkan tubuh sambil menangkis.

“Desss... plakkk...!” Biarpun sudah ditangkis, tetap saja tangan In Hong berhasil membobolkan tangkisan itu dan tamparannya masih hinggap di pundak Bu Sit sehingga orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini terlempar dan tubuhnya terbanting pada dinding.

“Brukkkk!”

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa serangan tamparan yang dilakukan seenaknya saja itu mampu membobolkan tangkisannya, bahkan tamparan itu membuat tubuhnya yang kebal itu terasa panas dan membuat dia terlempar dan terbanting!

“Engkau layak mampus!” In Hong berkata, suaranya dingin sekali, mulutnya tersenyum den tertimpa sinar lampu membuat Bu Sit ketakutan dan ngeri. Tiba-tiba dia berseru keras dan tubuhnya sudah melesat keluar dari kamar itu melalui pintu. Cepat sekali gerakannya ini sehingga In Hong tidak sempat mencegahnya. Namun dengan kemarahan meluap In Hong mengejar keluar dari kamar itu menuju ke ruangan tengah ke mana Bu Sit tadi melarikan diri. Dengan mata berapi-api In Hong sudah mencabut pedangnya dan kini dia menudingkan pedangnya ke arah muka Bu Sit yang berlindung di belakang orang-orang tua itu sambil membentak, “Jahanam busuk Bu Sit, majulah untuk menerima kematian!”

“Eh, eh, nona In Hong. Apakah yang terjadi?” Go-bi Sin-kouw bertanya, tongkat melintang di depan dada.

In Hong tersenyum mengejek. “Apa yang terjadi? Seperti kalian tidak tahu saja! Monyet busuk itu hendak memperkosa Yalima! Karena itu dia harus mampus di tanganku!”

“Yap-kouwnio, aku tidak memperkosa... aku... aku...” Toat-beng-kauw Bu Sit adalah orang kelima dari Lima Bayangan Dewa, ilmu kepandaiannya tinggi dan dia malah terkenal sebagi iblis pencabut nyawa, malah julukannya Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa), akan tetapi kini menghadapi gadis yang sikapnya begitu dingin membayangkan maut sendiri, dan melihat betapa dalam satu gebrakan saja gadis itu mampu membuatnya terbanting di tembok, dia menjadi gentar.

“Sabarlah, nona Yap In Hong!” Go-bi Sin-kouw berkata. “Dia tidak memperkosa, tidak ada perkosaan di sini. Yalima memang melayaninya atas permintaanku dan muridku yang baik itu sudah mau.”

“Bohong! Mana ada guru menyuruh muridnya berlaku sehina itu!”

“Heh-heh-heh, kau anak kecil tahu apa, nona? Ketahuilah, dahulu aku mempunyai dua orang murid perempuan yang kucinta seperti anak-anakku sendiri, akan tetapi apa jadinya? Yang seorang menyerahkan diri tanpa seijinku kepada Ouwyang Bouw bocah setan itu, yang kedua menyerahkan diri di luar kehendakku, kepada Yap Kun Liong, kakakmu! Sekarang aku mempunyai murid ini dan aku tidak ingin terjadi seperti dulu, kini aku yang mengatur dia harus menyerahkan diri kepada siapa, dan malam ini untuk merayakan perkenalanku dengan Toat-beng-kauw Bu Sit, aku menyuruh muridku menyerahkan diri kepadanya, mengapa engkau mencampuri urusan antara guru dan murid?”

“Bagus, nenek iblis! Wanita jalang dan kotor! Kalau begitu engkaupun akan mampus di tanganku bersama monyet tengik itu!”

In Hong sudah menerjang maju, Go-bi Sin-kouw marah sekali, tongkatnya juga bergerak dan menangkis. Juga Toat-beng-kauw Bu Sit sudah menndapat hati melihat ada yang membantunya. Dia bukan pengecut, dan tadi dia hanya terkejut saja. Kini dia berseru keras, mengeluarkan senjatanya, sebatang joan-pian (pecut baja) yang panjang dan terdengar suara meledak-ledak ketika dia menggerakkan senjatanya itu.

“Tar-tar-tarrrr... cring-trakkk-singg...!” Toat-beng-kauw Bu Sit dan Go-bi Sin-kauw terkejut bukan main. Ternyata dalam bantrokan pertama itu, sinar pedang di tangan In Hong meluncur kuat bukan main, membuat tongkat di tangan Go-bi Sin-kauw tergetar hebat dan pecut baja di tangan Bu Sit membalik, sedangkan gulungan sinar pedang masih terus meluncur ke arah leher mereka.

“Plak! Plakk!” Sinar pedang itu bertemu dengan sinar putih dua kali dan ternyata Bouw Thiasu telah menangkis sinar pedang itu denan ujung lengan bajunya yang mengandung getaran hawa kuat sekali.

“Tahan dulu, nona...!” Bouw Thaisu berseru.

In Hong meloncat ke belakang, pedangya melintang di dada, tangan kiri dengan jari terbuka dipasang di atas kepala. “Aku akan membunuh Go-bi Sin-kouw dan Toat-beng-kauw Bu Sit. Siapa yang hendek melindungi mereka boleh maju sekalian!”


“Enci In Hong...! Jangan bunuh dia...!” Tiba-tiba Yalima lari dari dalam dan dia sudah membetulkan bajunya yang robek, mengikatnya dengan saputangan dan kemudian menyusul keluar.

In Hong mengerutjan alisnya, heran sekali mendengar ini, “Siapa maksudmu?”

“Go-bi Sin-kouw itu, jangan dibunuh. Dia pernah berbuat baik sekali dengan menolongku, kini dia melakukan perbuatan jahat sekali dengan mengumpankan aku kepada manusia yang lebib ganas dari harimau, berarti sudah tidak ada hutang budi lagi. Kalau dia dibunuh, berarti aku masih hutang budi. Sekarang aku bisa ikut bersamamu, enci.”

In Hong memandang ke depan dengan muka dingin, dan suaranya juga dingin mengiris jantung ketika dia berkata, “Engkau sudah mendengarg Go-bi Sin-kouw! Boleh kalian pilih, aku melupakan perkara tadi akan tetapi Yalima ikut bersamaku, atau kalian boleh maju semua untuk mati di ujung pedangku!”

“Siancai... bocah bermulut lancang! Pinto tidak boleh membiarkan engkau menantang kami!” Hwa Hwa Cinjin berkata halus dan sebuah kebutan kuning telah berada di tangannya.

“Bocah sombong, kaukira kami takut kepadamu?” Hek I Siankouw juga sudah mengeluarkan pedangnya yang berkilauan tajam.

“Tidak perlu banyak cakap, majulah kalian semua orang-orang berhati busuk!” In Hong menantang lagi, siap dengan pedangnya, berdiri tegak den bersikap tenang, akan tetapi matanya melirik ke arah calon-calon lawannya dengan penuh kewaspadaan. Sedikitpun dara ini tidak merasa jerih sungguhpun dia maklum bahwa dia menghadapi lima orang yang ilmu kepandaiannya tinggi.

Akan tetapi Go-bi Sin-kouw tertawa den memberi isyarat kepada teman-temannya untuk tidak turun tangan. “Heh-heh-heh, nona In Hong. Di antara kita orang-orang sendiri, perlu apa ribut-ribut hanya untuk urusan kosong belaka? Kita menghadapi urusan yang lebih besar, kalau saling gempur sendiri, bukankah merugikan kita sendiri? Yalima ini belum mempelajari sejuruspun ilmu dariku, maka kalau dia memang tidak suka menjadi muridku dan lebih suka denganmu, silakan. Akupun tidak perlu memperebutkannya.”

Melihat sikap mongalah dan ucapan yang nadanya ramah itu, In Hong merasa tidak enak sendiri. Betapapun juga, yang menyelamatkan nyawa Yalima adalah nenek ini dan dara itu telah diambil murid oleh nenek ini. Jadi sesungguhnya dialah yang melanggar aturan, mencampuri urusan guru dan murid yang tidak ada bedanya dengan mencampuri urusan antara anak dan orang tuanya.

“Akupun tidak mempunyai permusuhan dengan kalian,” katanya dengan teguran halus. “Dan andaikata urusan antara Yalima dan engkau baik-baik saja, akupun tidak akan berani mencampuri, Go-bi Sin-kouw. Akan tetapi melihat seorang dara hendak diperkosa oleh seorang laki-laki, sampai matipun aku tidak rela dan siapapun laki-laki itu, pasti akan kutentang!”

“Heh-heh-heh, Toat-beng-kauw, sekali ini engkau harus mengglah!” Go-bi Sin-kouw berkata sambil tertawa. “Kita lupa bahwa di sini hadir seorang tokoh Giok-hong-pang yang terkenal sebagai pembenci kaum pria. Sudahlah, nona In Hong. Aku mengalah dan menyerahkan Yalima kepadamu, akan tetapi engkaupun harus berjanji bahwa kita adalah segolongan dan kalau kelak kita membutuhkan bantuan, kuharap engkau tidak menolak membantu kami menghadapi lawan-lawan tangguh.”

“Aku tidak akan berjanji apa-apa, Sin-kouw. Akan tetapi akan kuingat bahwa kalian bukan musuh-musuhku di saat ini dan telah memperlibatkan sikap bersahabat. Mudah-mudahan kelak kalianpun akan tetap bersikap demikian. Nah, aku hendak pergi bersama Yalima sekarang.”

“Aih, nona muda yang gagah perkasa. Urusan kecil itu mengapa masih membuat nona marah? Maafkanlah aku yang tidak tahan melihat gadis cantik jelita yang telah diserahkan oleh gurunya kepadaku ini. Harap engkau dan nona Yalima bermalam di sini dan besok baru melanjutkan perjalanan.” Toat-beng-kauw Bu Sit juga berkata membujuk. Orang termuda dari Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa) ini cukup cerdik untuk mengerti maksud hati Go-bi Sin-kouw, maka dia mengalah pula, menghapuskan kekecewaan hatinya, karena urusan kehilangan calon korban gadis itu hanyalah merupakan hal kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan permusuhan mereka terhadap golongan Cin-ling-pai yang amat kuat. Gadis ini lihai sekali dan andaikata mereka berlima dapat mengalahkannya dan membunuhnya, hal itu hanya akan membikin mereka rugi besar saja. Menurut cerita nenek itu, gadis ini biarpun menjadi adik kandung Yap Kun Liong, bahkan tadinya hendak dijadikan calon mantu oleh ketua Cin-ling-pai, akan tetapi gadis ini tidak mau bahkan telah memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Cin-ling-pai, sudah bentrok pula dengan puteri ketua Cin-ling-pai, maka dapat dijadikan sebagai sekutu untuk kelak jika mereka telah berhadapan langsung melawan Cin-ling-pai.

Akan tetapi In Hong masih merasa panas hatinya sehingga bujukan dan sikap manis dari Bu Sit ini diterimanya dengan senyum mengejek dan dia menngeleng kepala. “Kami berdua harus pergi sekarang juga. Selamat tinggal. Mari, Yalima!” Setelah berkata demikian, In Hong menyarungkan pedangnya, menyambar lengan Yalima dan dara Tibet ini menjerit ngeri ketika tiba-tiba tubuhnya dibawa “terbang” keluar dari tempat itu dan menghilang di dalam kegelapan.

Setelah In Hong bersama Yalima menghilang, nenek berpakaian serba hitam Hek I Siankow menyarungkan pedang sambil bersungut-sungut, “Ihh, Sin-kouw, sungguh keterlaluan sekali. Tentu kita dianggap takut melawan dia! Betapa memalukan!”

Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh dan memukul-mukul tongkatnya di atas lantai. “Siankouw, sabar dan tenanglah, pikir baik-baik. Siapa takut terhadap anak ayam itu? Akan tetapi kita harus bersikap cerdik. Urusan antara dia dan kita, hanya mengenai diri Yalima yang belum menjadi muridku dan kalau Toat-beng-kouw menghendaki gadis cantik, apa sih sukar nya bagi dia? Mengapa urusan perawan Tibet, bocah dusun itu, harus merugikan kita semua? Yap In Hong adalah murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang, sebaiknya bersahabat dengan dia daripada bermusuh. Cin-ling-pai saja sudah merupakan musuh yang harus kita hadapi dengan pengerahan tenaga kita yang bergabung, apalagi kalau harus ditambah dengan Giok-hong-pang sebagai musuh, betapa akan beratnya bagi kita.”


“Go-bi Sin-kouw sungguh benar, dan tepat sekali!” Toat-beng-kauw berkata. “Nona itu memang lihai sekali, kalau kita bisa menarik dia, apalagi gurunya dan seluruh Giok-hong-pang berdiri di fihak kita untuk menghadapi Cin-ling-pai, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat lagi.”

“Hemmm, kalau begitu biarlah aku bersabar hati. Besok kalau kita tidak membutuhkan dia lagi, aku pasti akan mencarinya untuk membalas tantangannya yang amat merendahkan hati ini, baru hatiku akan puas!” Hek I Siankouw mengomel dan mereka lalu kembali ke ruangan untuk menyiram hati yang panas dengan arak sebelum pergi beristirahat.

Sementara itu, setelah keluar dari Giok-kee-san, In Hong mengajak Yalima melanjutkan perjalanan dan baru mereka berhenti setelah tiba di sebuah tempat perhentian di pinggir jalan yang kecil dan atapnya sudah banyak rusak. Mereka duduk di atas bangku kayu yang sudah reyot pula.

“Enci In Hong, engkau telah menjadi banyak repot karena diriku,” kata Yalima. Tempat itu amat gelap dan mereka hanya saling dapat melihat bayangen mereka di dalam penerangan remang-remang dari cahaya bintang-bintang di langit.

In Hong menghela napas panjang. “Yang membikin aku repot bukanlah engkau, Yalima, melainkan kaum pria macam Toat-beng-kauw itulah. Selama dunia masih terdapat banyak laki-laki macam dia, aku akan selalu repot karena aku akan berusaha untuk menentang den membasmi mereka.”

“Enci In Hong, sekarang kita hendak pergi ke mana?”

“Kita beristirahat di sini sampai malam lewat. Besok kita ke Cin-ling-san menyusul pacarmu dan engkau akan kuserahkan pada mereka.”

“Dan engkau...?”

“Aku akan pergi. Sudahlah, kau boleh tidur melepaskan lelah di lantai ini, dan jangan ganggu aku.”

In Hong lalu duduk bersila di sudut tempat itu, tidak bicara lagi. Yalima juga tidak berani mengganggu dan dara Tibet ini lalu rebah melingkar di atas lantai mencoba untuk monidurkah tubuhnya yang sudah amat lelah itu. In Hong melamun. Sebetulnya, hanya pada lahirnya saja dia kelihatan tidak perduli akan keadaan kakaknya, karena dia memang sejak kecil dilatih untuk bersikap dingin. Namun, di lubuk hatinya, dia merasa amat kasihan kepada kakak iparnya, dan kasihan kepada kakak kandungnya yang tentu akan hancur hatinya kalau melihat isterinya tewas secara menyedihkan itu. Maka dia sudah mengambil keputusan, di dalam hatinya. Setelah dia mengantar Yalima ke Cin-ling-pai, menyerahkan dara itu kepada Cia Bun Houw yang sudah sepatutnya mengawini gadis ini, dia akan pergi untuk melakukan penyelidikan, mencari pembunuh kakak iparnya yang tadinya dia sangka tentulah Go-bi Sin-kouw akan tetapi yang belum ada buktinya itu. Dia akan mencari pembunuh itu sampai ketemu, dan membalaskan dendam kematian kakak iparnya. Dan diapun akan menyelidiki Lima Bayangan Dewa, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit yang dibencinya, bersama kawan-kawannya, dan mencoba untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam dan menyerahkan pedang pusaka itu kepada gurunya. Dengan demikian barulah dia akan mengangkat nama gurunya, dan gurunya tentu akan merasa bangga sekali.

***

Dara remaja yang belum dewasa benar itu berjalan seorang diri di dalam hutan yang amat lebat. Wajahnya yang cantik jelita, terutama bentuk mulutnya yang manis, kini nampak pucat dan layu, matanya agak kemerahan karena terlalu banyak menangis, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut, demikian pula pakaiannya yang agaknya sudah beberapa hari tidak pernah diganti. Langkah-langkahnya gontai dan pandang matanya sayu, kosong memandang ke depan, Kadang-kadang dia menarik napas panjang yang bercampur isak.

Dara remaja ini adalah Yap Mei Lan, puteri Yap Kun Liong yang melarikan diri dari rumah orang tuanya dengan hati hancur. Dia bukan anak kandung ibunya! Kenyataan yang amat menyakitkan hati ini membuat dia lari pada malam hari itu, lari begitu saja tanpa membawa apa-apa, tanpa tujuan karena dia hanya menurutkan dorongan hati yang kecewa, penasaran dan berduka. Ibunya adalah orang pertama di dunia ini yang dicintainya, yang dibanggakannya sebagai wanita tercantik di dunia, barulah ayahnya yang hanya menjadi orang kedua baginya. Akan tetapi ibunya, orang yang dicintanya, dan dihormatinya, dijunjungnya dan dibanggakannya itu ternyata bukan ibu kandungnya! Dia tidak mau pulang lagi! Biar dia mati di jalan daripada harus menghadapi ibunya yang kini tidak lagi menjadi ibunya! Dia anak haram, dia anak pungut, anak tidak sah. Rasa marah dan penasaran terhadap ayahnya timbul. Mengapa ayahnya menipunya? Mengapa tidak sejak kecil memberi tahu bahwa ibunya tercinta itu bukan ibu kandungnya!

Tubuhnya sudah lemas. Biarpun sejak kecil Mei Lan telah digembleng secara tekun oleh ayah bundanya yang memiliki kepandaian tinggi, dan tubuhnya yang bagaikan bunga mulai mekar, bagaikan buah mulai meranum itu amat kuat dan memiliki daya tahan yang luar biasa, menyembunyikan tenaga sin-kang yang kuat sekali, namun karena dia menghadapi pukulan batin yanj hebat, ditambah selama empat hari terus malakukah perjalanan sambil menangis tanpa makan atau minum, bahkan tidak pernah tidur, kini tubuhnya hampir tidak kuat lagi dan dia melangkah seperti boneka hidup, kedua kakinya bergerak otomatis memasuki hutan yang besar dan lebat itu.

Teringat dia betapa ibunya juga amat mencintainya. Ibunya tidak mempunyai anak lain, dan kalau dia bukan anak kandung ibunya, berarti ibunya memang tidak mempunyai anak dan tentu saja dia amat disayang, tidak perduli bahwa dia bukan anak kandung ibunya.

“Ibuuu...!” Mei Lan tersandung, jatuh di bawah sebatang pohon dan teringat ibunya, hatinya perih seperti ditusuk dan dia menangis, menelungkup di atas rumput. Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dan cekikikan di atas pohon.


Biarpun tubuhnya lemas sekali, berkat latihan ilmu silat sejak kecil, secara tiba-tiba saja tubuh Mei Lan dapat meloncat bangkit dan dia sudah duduk dan memandang ke atas. Matanya yang masih basah air mata, itu terbelalak, wajahnya yang sudah pucat menjadi makin pucat ketika dia melihat mahluk-mahluk seperti setan dan iblis ternyata memenuhi pohon besar itu, ada yang berjongkok di atas cabang, ada yang bergantungan dengan kepala di bawah. Tubuh mereka itu seperti manusia, akan tetapi muka mereka mengerikan, ada yang merah seperti darah, ada yang putih seperti kapas, dengan mata lebar dan mulut penuh gigi besar-besar bertaring! Jantung Mei Lan berdebar seperti hendak melarikan diri dari dalam dadanya ketika dia melihat pemandangan yang mengerikan itu, dan sejenak hanya dapat memandang terbelalak ke atas, berganti-ganti memandang tujuh mahluk aneh yang mengeluarkan suara tertawa-tawa itu.

Tujuh mahluk yang bertubuh manusia bermuka setan itu kini berloncatan ke bawah, gerakan mereka ringan dan mereka sudah mengepung Mei Lan sambil berjingkrak menari-nari dan tertawa-tawa. Di balik rasa ngeri dan takutnya yang hebat, timbul kemarahan di hati Mei Lan. Setan atau bukan, mereka ini datang menggodaku, pikirnya marah dan tiba-tiba dara remaja ini mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan dia sudah menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah seorang iblis berwajah biru. Iblis itu tertawa dan menangkis.

“Plakkk! Desss...!”

Iblis muka biru itu terpelanting dan berteriak kesakitan, sedangkan enam iblis lainnya mengeluarkan seruan aneh karena terkejut. Mereka agaknya sama sekali tidak menyangka bahwa gadis cilik ini telah memiliki kesaktian sedemikian hebatnya sehingga seorang di antara mereka sampai terpukul roboh! Seorang di antara mereka yang berwajah merah mengeluarkan suara aneh dan kini enam orang itu yang berdiri mengurung Mei Lan, kemudian mereka mengangkat kedua lengan ke atas, jari-jari tangan mereka bergerak-gerak dan mulut mereka mengeluarkan suara perlahan dengan bibir berkemak-kemik seperti orang membaca mantera, mata mereka yang melotot lebar itu mengeluarkan sinar yang berpengaruh dan aneh.

Mei Lan berdiri di tengah-tengah, memutar-mutar tubuh memandang mereka dengan mata terbelalak penuh kengerian dan ketakutan, kemudian pandang matanya terpikat oleh gerakan-gerakan jari tangan mereka dan telinganya penub dengan suara mereka yang tidak dia mengerti maknanya. Kemudian ketika enam orang itu bergerak mengelilinginya dengan jari-jari tangan masih bergerak-gerak, dia merasa kepalanya pening dan
pandang matanya berkunang. Beberapa kali matanya terpejam dan dibukanya kembali dengen paksa, kepalanya diguncang keras untuk mengusir kepeningan karena dalam keadaan pening dan mengantuk, amat berbahaya menghadapi lawan, apalagi lawan-lawan yang aneh dan menyeramkan ini.

Akan tetapi tiba-tiba di antara suara perlahan seperti membaca mantera itu terdengar suara yang jelas, perlahan akan tetapi berwibawa, “Nona kecil, engkau amat lelah dan mengantuk, mengapa tidak tidur? Tidurlah!”

Mei Lan mendengar suara ini dan memang dia amat lelah dan mengantuk, maka anjuran itu amat menyenangkan dan otomatis dia menjawab, “Aku mau tidur.”

“Ya, tidurlah! Rebahlah di atas rumput halus. Tidurlah...!”

Di sudut hatinya Mei Lan merasa aneh sekali dan tidak semestinya kalau dia tidur padahal menghadapi orang-orang atau setan-setan aneh ini, akan tetapi rasa kantuknya tak dapat dilawannya lagi dan seluruh tubuhnya sudah lelah seperti kehabisan tenaga. Maka dia lalu menjatuhkah diri berlutut, dan menggulingkan diri rebah miring dan suara itu masih terus mengiang di telinganya, “...tidurlah... tidurlah dengan nyenyak... tidurlah...!”

Selanjutnya Mei Lan sudah tidak tahu apa-apa lagi. Dia tidur sedemikian nyenyaknya seperti orang pingsan atau mati hingga dia tidak merasa lagi betapa dia digotong oleh setan-setan berwajah menyeramkan itu, dibawa ke sebuah lereng bukit yang menyambung hutan itu, dibawa ke sebuah perkampungan kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah pondok.

“Nona, bangunlah...!”

Suara ini terdengar amat jauh, akan tetapi begitu jelas memasuki telinga Mei Lan dan dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa nyaman den pikirannya tenang, dia tidak ingat apa-apa lagi, yang teringat hanya bahwa dia harus bangun! Ketika dia bangkit den duduk, ternyata dia berada di sebuah kamar den tadi tidur di atas pembaringan. Beberapa orang yang mukanya mengerikan berada di kamar itu, dan seorang di antara mereka duduk tak jauh dari pembaringannya, yaitu si muka merah yang matanya mengeluarkan sinar penuh kekuatan mujijat.

“Nona, perutmu lapar sekali, engkau makanlah. Makanan sudah tersedia di meja makan dan minumlah sekenyangnya, nona. Tidak ada perasaan sungkan dan takut dalam hatimu. Makanlah.”

Perut Mei Lan berkeruyuk. Memang sudah empat lima hari dia tidak makan dan tidak minum. Dan matanya melihat nasi dan masakan berada di atas meja dekat pembaringan, masih mengepulkan uap den baunya sedap sekali. Seperti dalam mimpi rasanya, dan tanpa sungkan-sungkan lagi, Mei Lan lalu turun dari pembaringan, duduk di atas bangku menghadapi meja makan dan makanlah dara remaja ini sekenyangnya. Pulih kembali tenaganya dan wajahnya yang tadinya pucat kembali menjadi kemerahan. Akan tetapi ketika dia yang tidak biasa minum arak itu hanya minum air teh yang tersedia di situ, terdengar suara si muka merah. “Arak wangi berada di depanmu itu dapat menambah tenaga. Kauminumlah arak itu, nona.”


Suara itu meresap ke dalam hatinya dan tak dapat dilawannya lagi, otomatis tangannya meraih cawan terisi arak dan diminumnya arak itu. Akan tetapi, baru saja cawan itu menempel di bibirnya, bibir dan lidahnya merasakan sesuatu yang membuatnya terkejut. Tidak percuma Mei Lan menjadi puteri Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang sejak kecil selain sudah menerima gemblengan ilmu silat, juga oleh ibunya telah diberi tahu akan tanda-tanda makanan maupun minuman yang mengandung racun. Begitu bibir dan lidahnya merasai bahwa arak itu mengandung racun pembius, seketika dia teringat akan ayah ibunya dan teringat akan kesemuanya. Bukan main kaget dan herannya melihat betapa dia menurut saja kepada suara yang menyuruhnya itu, makan sampai kenyang dan hampir saja minum arak beracun. Adanya racun dalam arak yang disuruh minum oleh si muka merah itu, sekaligus menyadarkannya bahwa dia berada di dalam cengkeraman orang-orang jahat! Teringatlah dia betapa di dalam hutan dia telah merobohkan seorang di antara mereka, betapa kemudian enam orang itu dengan cara aneh telah membuat dia tidak dapat melawan, bahkan dia lalu tidak ingat apa-apa lagi. Dia tentu telah kena sihir! Ingatan ini membuat Mei Lan menjadi marah dan tiba-tiba dia bangkit berdiri, membalik dan memandang si muka merah dan tiga orang lain yang agaknya menjaga di situ.

“Ehh...!” tiga orang penjaga yang mukanya juga mengerikan sudah bangkit dan menghampirinya, sedangkan si muka merah dengan mengangkat tangannya ke arah muka Mei Lan membuat gerakan-gerakan dengan jari tangannya.

“Nona... kauminumlah arak itu... minumlah... minumlah...!” Suaranya mengandung getaran yang amat berpengaruh dan hampir saja Mei Lan menggerakkan tangan yang memegang cawan itu ke mulutnya. Akan tetapi karena dia sudah teringat dan sadar, dia maklum bahwa suara berpengaruh itu adalah suara musuh yang tidak seharuanya diturut, maka dengan marah dia lalu melemparkan cawan arak itu ke arah si muka merah sambil membentak, “Minumlah sendiri!”

Si muka merah terkejut, cepat mengelak akan tetapi tetap saja arak yang muncrat dari cawan itu mengenai mukanya. Tiga orang lainnya sudah menubruk maju karena melihat bahwa dara itu telah dapat melepaskan diri dari ikatan sihir. Akan tetapi kini Mei Lan sudah sadar benar dan dia menggerakkan kaki tangannya menghadapi tigia orang itu.

Kaki dan tangan Mei Lan berukuran kecil saja, akan tetapi mengandung tenaga yang amat dahsyst karena dia menggerakkannya dengan pengerahan tenaga sin-kang. Dua orang roboh oleh tamparan kedua tangannya dan orang ketiga yang menubruk dari belakangnya, bertemu dengan kaki Mei Lan yang melakukan tendangan sambil memutar tubuh. Kakinya melayang tinggi ke atas, tepat menghantam muka orang ketiga itu.

“Desss... auughhh...!” Orang itu terpelanting dan roboh terguling dan Mei Lan melihat betapa tendangannya yang tepat mengenai dagu orang itu membuat topeng orang itu terbuka! Kiranya wajah-wajah menyeramkan itu hanyalah topeng belaka, topeng yang amat baik buatannya sehingga kalau dipakai hampir tidak kelihatan seperti topeng dan di balik topeng itu adalah wajah seorang laki-laki yang biasa saja!

Hal ini membesarkan hati Mei Lan dan dia sudah meloncat ke depan ketika melihat si muka merah menyambar sebatang toya kuningan dari sudut kamar. Toya itu memapakinya dan menyambar secepat kilat ke arah leher. Mei Lan menundukkan muka, merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah tangan kirinya yang dikepal menyambar ke depan, kakinya bergerak maju dan pukulan tangan kirt itu mengarah dada lawan. Akan tetapi si muka merah itu agaknya pandai juga ilmu silat. Dia cepat meloncat ke samping dan toyanya kembali sudah menyambar ke arah kaki Mei Lan dengan serampangan yang kuat sekali. Akan tetapi tiba-tiba si muka merah terkejut setengah mati karena dara itu lenyap dari depannya! Dia adalah seorang yang biasa menyamar seperti setan akan tetapi kini dia menjadi ngeri melihat dara itu bisa “menghilang” seperti setan pula!

“Setan muka merah, aku di sini!” Mei Lan mengejek dan memang anak ini pada dasarnya berwatak jenaka. Kini setelah dia sadar benar dan dapat mengussai keadaan, timbul kenakalannya sehingga dia mempermainkan si muka merah atau si topeng merah. Lawannya menggereng marah, membalik sambil menggerakkan toyanya yang kini dimainkan dengan cepat, diputar-putar dan secara bertubi-tubi menerjang ke arah Mei Lan yang meloncat dan mengelak ke sana ke mari dengan enak dan mudah saja.

“Sialan!” Mei Lan mengejek. “Kiranya kalian hanya setan-setan palsu saja! Aku tidak membunuh kalian hanya karena mengingat bahwa kalian sudah memberi makan kepadaku. Hayo buka kedok merahmu itu!”

Akan tetapi si muka merah yang menjadi makin marah itu menyerang terus, dan Mei Lan menjadi repot juga. Cepat dia meloncat tinggi ke atas dan seperti tadi, dia hendak melewati kepala lawan. Akan tetapt sekali ini si muka merah sudah maklum bahwa gadis cilik itu lihai sekali gin-kangnya, maka dia sudah mengejarnya dengan sodokan toya dari bawah. Melihat ini, Mei Lan menangkap ujung toya dan kakinya menotok ke bawah.

“Aduhhh...!” Si muka merah berteriak, toyanya terlepas dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi muka karena hidungnya yang tercium ujung kaki kiri Mei Lan telah remuk tulang mudanya dan berdarah!

Pada seat Mei Lan meloncat turun ke bawah dan membalik, ternyata di pintu telah muncul sembilan orang bertopeng setan dan dipimpin oleh seorang kakek bermuka putih yang cepat berkata, “Tangkap dia dan jangan lukai dia! Pangcu (ketua) menghendaki dia dalam keadaan utuh dan segar!”

Sembilan orang itu menubruk. Mei Lan melawan sekuatnya dan membagi-bagi pukulan akan tetapi karena sembilan orang itu maju berbareng dan meringkusnya, apalagi kakek muka putih itu lihai sekali dan telah berhasil menotok pundaknya, akhirnya gadis cilik ini dapat diringkus dan dibelenggu kaki tangannya, kemudian digotong keluar dari kamar itu, menuju ke sebuah ruangan yang besar dan dia dibaringkan di atas sebuah dipan kayu.


Mei Lan berusaha untuk mengerahkan tenaga membebaskan diri dari belenggu itu, namun sia-sia belaka. Belenggu yang mengikat kedua kaki dan tangannya itu terbuat dari kulit kerbau yang amat kuat sehingga memaksanya putus sama dengan melukai kulit kaki tangannya. Maka dia bersikap tenang dan memutar leher memandang ke ruangan itu. Ruangan itu luas sekali dan tak jauh dari situ, di tengah ruangan, dia melihat beberapa orang duduk mengitari meja besar dan bercakap-cakap. Mereka terdiri dari lima orang, agaknya merupakan pimpinan dari perkumpulan manusia setan itu. Kakek tua bermuka putih yang tadi memimpin anak buah menangkapnya juga duduk di situ, bersama tiga orang yang lain menghadap seorang kakek yang membuat Mei Lan menggigil karena ngeri. Kakek ini memang luar biasa sekali. Tubuhnya bongkok, punggungya menonjol, pakaiannya serba putih dan mukanya mengerikah sekali. Kepalanya gundul, matanya hanya tampak putihnya saja, tidak ada manik matanya, hidungnya bengkok dan mulutnya yang tidak bergigi lagi itu kelihatan mengejek, mukanya sudah penuh keriput dan dia kelihatan sudah tua sekali, terlalu tua untuk hidup! Dan ternyata bahwa kakek gundul ini adalah ketua mereka, karena terdengar kakek bermuka putih bertanya. “Pangcu, apa yang akan kita lakukan terhadap gadis cilik yang liar itu?”

Kakek gundul itu menoleh ke arah Mei Lan dan kembali Mei Lan menggigil. Setelah kini kakek itu menoleh dan wajahnya nampak jelas, benar-benar amat menjijikkan dan menyeramkan. Mata itu benar-benar tidak ada hitamnya, putih semua dan bergerak-gerak. Mata dan wajah seperti itu tidak pantas menjadi wajah manusia, pantasnya menjadi wajah setan di neraka! Akan tetapi jangan-jangan dia memakai topeng seperti anak buahnya, pikir Mei Lan.

“Heh-heh, kalian tidak tahu. Bocah seperti inilah yang selalu kucari-cari. Kebetulan sekali kalian menemukan dia di hutan pada saat kita hendak mengadakan upacara sembahyang di bulan purnama. Selain dia ini seorang perawan yang berdarah bersih, juga tubuhnya terlatih dan hawa murni yang dilatih mengitari tubuhnya membuat darahnya lebih bermanfaat lagi. Tunggu saja kalian malam nanti, beberapa tetes darahnya akan memperkuat tenaga batin kalian dan akan meningkatkan kekuatan sihir kalian.”

Mereka tertawa-tawa dengan girang sambil menoleh ke arah Mei Lan. Mendengar percakapan itu, tentu saja Mei Lan menjadi terkejut dan juga takut sekali. Mereka itu bukan manusia! Mereka adalah iblis-iblis yang ingin menghisap darahnya!

“Lepaskan aku...!” Mei Lan tiba-tiba menjerit dengan keras.

Lima orang itu bangkit dari bangku mereka dan memandang ke arah Mei Lan yang meronta-ronta. Kakek gundul berkata. “Biarkan dia mengerahkan tenaganya, itu baik sekali untuk memperkuat jalan darahnya sehingga kita akan memperoleh darah segar malam nanti.”

Makin takutlah hati Mei Lan. Wajah lima orang kakek itu benar-benar menyeramkan sekali, dan membayangkan betapa darahnya akan disedot oleh iblis-iblis ini, dia merasa ngeri dan tak tertahankan lagi dia menjerit dengan pengerahan khi-kangnya. Jerit melengking yang terdengar sampai jauh dan bergema di seluruh bukit. Ketua itu terkejut dan sekali dia meloncat, tubuhnya sudah melayang dekat Mei Lan, tangan yang kasar dan seperti penuh koreng dan penyakit gatal, kemerahan dan bernanah itu bergerak menotok jalan darah di leher Mei Lan. Seketika gadis itu kehilangan suaranya dan dia memandang penuh kengerian kepada kakek ini, kemudian memejamkan mata karena tidak tahan saking jijiknya.

Kakek itu lalu berjalan kembali ke meja di tengah ruangan dan berkata, “Malam nanti kumpulkan semua anggauta. Setelah upacara sembahyang kita berpesta semeriah mungkin untuk menghormati para arwah yang kita undang malam nanti. Apakah untuk keperluan hidangan dan lain-lain sudah cukup semua?”

“Sudah, pangcu. Para hartawan di Liong-si-jung sekali ini menyumbang sepuluh ekor babi di samping uang untuk segala keperluan makanan, sedangkan lurah dan hartawan dusun Beng-nam-jung di sebelah utara bukit menyumbangkan uang secukupnya dan lima puluh guci besar arak wangi.”

“Bagus... tidak percuma kita melindungi kedua dusun itu.” Kakek gundul berkata dan selanjutnya mereka bercakap-cakap mengatur rencana pesta malam nanti, akan tetapi Mei Lan sudah tidak mendengarkan lagi karena gadis ini sibuk dengan kekhawatirannya sendiri. Dia adalah seorang gadis yang pemberani, akan tetapi sekali ini, berada di dalam cengkeraman manusia-manusia seperti iblis itu, dia merasa ngeri dan takut sekali. Air matanya mengalir dan diam-diam dia menyesal mengapa dia telah meninggalkan rumah ayahnya yang aman dan tenteram. Hatinya kini menjerit-jerit memanggil ayah dan ibunya, dan kenyataan bahwa ibunya bukanlah ibu kandungnya tidak teringat lagi pada saat seperti itu. Kalau ada ayahnya dan ibunya, iblis-iblis ini tentu akan dibasmi habis dan dia akan dapat diselamatkan!

“Ayah...! Ibu...! Tolonglah aku... tolonglah...!” hatinya menjerit-jerit karena mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi.

Orang-orang macam apakah yang mendirikan perkumpulan aneh ini? Kakek gundul itu adalah seorang bekas tokoh dari perkumpulan rahasia Pek-lian-kauw. Semua tokoh Pek-lian-kauw mempelajari ilmu sihir dan kakek ini tadinya juga seorang tosu Pek-lian-kauw yang diusir dari perkumpulan kebatinan itu karena dia telah menyeleweng dari peraturan Pek-lian-kauw dan menggunakan kepandaian demi keuntungan diri pribadi. Setelah terusir dari Pek-lian-kauw dan tidak diakui lagi, tosu ini lain menggunduli rambut kepalanya dan dia lalu menggunakan kepandaian silat dan sihirnya untuk mendirikan perkumpulan baru, perkumpulan kebatinan yang memuja roh-roh dan melatih sihir yang katanya akan membuat batin menjadi kuat dan dengan bantuan roh-roh itu kelak akan dapat memperoleh tempat yang menyenangkan setelah mati! Dengan kepandaian silat dan sihirnya, bekas tokoh Pek-lian-kauw yang kini menggunakan nama julukan Jeng-hwa Sian-jin (Manusia Dewa Beribu Bunga) itu dapat mengelabui rakyat di dusun-dusun sehingga banyaklah yang menjadi murid dan anak buahnya, banyak pula suami isteri dari dusun-dusun yang suka menyumbangkan segala milik mereka untuk mengalami kenikmatan “sorga dunia” di bawah pimpinan kakek yang kini mukanya seperti iblis itu. Sebetulnya, sebelum keluar dari Pek-lian-kauw, tokoh ini telah dihukum oleh para pimpinan Pek-lian-kauw sehingga mukanya menjadi rusak, punggungnya bongkok dan kedua matanya buta. Akan tetapi, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia masih dapat menggunakan keburukan mukanya ini sebagai modal sehingga menimbulkan kepercayaan kepada orang-orang yang selalu mengejar keanehan-keanehan di dunia ini.


Sedikit pelajaran sihir dan sulap, juga ilmu silat, membuat para anggotanya makin tunduk dan percaya kepada kakek ini yang membentuk perkumpulan yang diberi nama Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Seribu Bunga). Satu di antara kepercayaan yang disebarkan oleh Jeng-hwa Sian-jin adalah bahwa untuk dapat “bersahabat” dengan para roh, setan dan iblis yang kelak akan menjadi pembantu-pembantu mereka, muka para anggota itu harus menggunakan topeng yang seburuk-buruknya, makin buruk makin baik sehingga para iblis dan setan tidak merasa rendah bercampuran dengan manusia-manusia yang mukanya buruk itu. Inilah sebabnya maka semua anggauta yang aktip membantu kakek itu, semua memakai topeng setan dan si ketua sendiri karena memang mukanya sudah buruk, tanpa topeng pun sudah paling jelek dan menakutkan diantara mereka semua. Dan memang sebab terutama yang menggerakkan ketua itu mengeluarkan kepercayaan aneh ini adalah untuk mengangkat harga dirinya yang dirasa menurun karena mukanya yang buruk.

Akan tetapi, bukan hanya karena sekedar menerima ilmu-ilmu sihir dan sulap saja yang menarik hati para anggauta pembantu dan anggauta luar yang terdiri dari orang-orang dusun. Berbondong-bondong mereka datang dan masuk menjadi anggauta, bukan hanya sendirian melainkan membawa pula isteri-isteri mereka. Yang amat menarik hati mereka adalah setiap kali diadakan pasta di waktu bulan purnama, sebulan sekali pesta berlangsung setelah diadakan upacara sembahyang kepada para roh dan dewa termasuk iblis-iblis yang berkeliaran di permukaan bumi. Pesta itulah yang menarik hati mereka karena dalam saat-saat pesta berlangsung, mereka benar-benar merasakan “sorga dunia” yang amat luar biasa. Pesta yang bagi orang-orang biasa tentu dianggap mesum dan kotor akan tetapi bagi mereka yang melakukan semua itu di luar kesadaran mereka karena mereka sudah berada di bawah pengaruh sihir mujijat, sama sekali bukan mesum dan kotor, melainkan merupakan tanda betapa roh-roh itu benar-benar telah menjadi sahabat-sahabat mereka dan mereka merasa terjamin kelak setelah merekapun menjadi roh-roh tanpa jasmani lagi. Di dalam pesta itu, setelah mereka semua berada dalam keadaan tidak sadar, roh-roh itu “meminjam” tubuh mereka untuk bersenang-senang dan terjadilah kemesuman di antara mereka, di tempat terbuka dan terjadi permainan cinta yang kotor, bertukar isteri dan suami begitu saja tanpa ada yang merasa tersinggung, tanpa ada rasa malu karena yang melakukan itu adalah “roh-roh” yang bersenang-senang dan mereka itu hanya “meminjamkan” tubuh mereka saja untuk menyenangkan roh-roh dan setan-setan itu agar kelak mereka suka membantu mereka sesudah mereka meninggal dunia!

Malam itu bulan purnama muncul dengan cerahnya, tanpa ada awan yang menghalang, dan sinarnya sejuk menerangi seluruh ruangan terbuka yang menjadi tempat pesta dari perkumpulan Jeng-hwa-pang itu. Mei Lan masih terikat kaki tangannya dan kini dia dibaringkan terlentang di atas dipan yang diletakkan di pinggir lapangan terbuka itu. Ketua Jeng-hwa-pang telah duduk di atas sebuah kursi, tersenyum-senyum dan wajahnya yang putih pucat itu bersinar-sinar, kelihatan girang sekali, akan tetapi dalam pemandangan Mei Lan kelihatan makin mengerikan. Para pembantu kakek itu, si kakek muka putih dan beberapa belas orang yang mukanya bermacam-macam warnanya, sudah hadir pula di situ, jumlah mereka ada tujuh belas orang. Ada beberapa orang yang memukul tambur dan canang dan sebagian dari mereka membereskan meja-meja yang penuh dengan hidangan dan minuman arak. Dari luar datang berbondong-bondong anggauta-anggauta luar, yaitu para penduduk dua buah dusun di selatan dan di utara bukit yaitu dusun Liong-si-jung di selatan dan dusun Beng-nam-jung di utara. Tentu saja tidak semua penduduk yanq tertarik dan memasuki perkumpulan kebatinan ini, akan tetapi mereka yang tidak setuju tidak berani menentang setelah tahu bahwa Jeng-hwa-pang yang hanya terdiri dari belasan orang pimpinan itu ternyata mempunyai ketua yang amat lihai. Lebih-lebih lagi setelah para penjahat di kedua dusun itu semua ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, maka tidak ada orang yang berani menentangnya.

Lebih dari tiga puluh pasang suami isteri, sebagian besar masih muda-muda karena orang-orang yang terlalu tua tidak diperkenankan menjadi anggauta, kini berbondong datang. Muka mereka semua tertutup topeng sehingga mereka itu tidak saling mengenal dan inipun merupakan akal dari Jeng-hwa Sian-jin karena dengan muka bertopeng, mereka dapat melakukan perbuatan mesum tanpa malu-malu atau takut-takut akan dikenal oleh tetangga atau teman-teman sedusun mereka! Kalau pesta yang gila sudah memuncak dan tidak ada tubuh yang tertutup pakaian sedangkan semua wajah barsembunyi di balik topeng yang sama anehnya, siapakah yang akan saling mengenal? Biarkan para “roh” yang menguasai mereka dan memilih pasangan masing-masing! Dan dalam kesempatan itu, tentu saja tujuh belas anggauta pembantu Jeng-hwa Sian-jin kebagian pasangan dalam pasta gila ini, karena mereka semua akan melakukan perbuatan mesum secara bergantian dan berapa kali saja sepuas hati mereka. Hanya Jeng-hwa Sian-jin yang tidak ikut-ikut dalam pasta mesum ini, karena dia sendiri sudah tidak lagi tertarik melakukan kemesuman itu, lebih senang menonton sambil memanfaatkan keadaan itu untuk mengumpulkan hawa mujijat dari semua kemesuman yang tiada taranya itu, di mana membubung tinggi hawa-hawa mujijat dari kemaksiatan yang dapat ditampungnya dan dipergunakan untuk memperkuat ilmu hitamnya.

Setelah semua orang berkumpul dan duduk bersila di atas lantai yang luas itu, semua menghadap ke arah Jeng-hwa Sian-jin yang duduk di atas bangkunya, kakek gundul ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan ke atas. Berhentilah semua suara, para pemukul tambur dan canang juga berhenti dan mereka semua menekuk tubuh ke depan memberi hormat kepada ketua mereka yang kini berdiri dengan punggung bongkok seperti iblis itu.

Mei Lan menoleh dan memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Kakek gundul itu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengertinya, yang merupakan kata-kata rahasia perkumpulan itu sebagai isyarat kepada para anggauta untuk memuja atau bersembahyang kepada dewa bulan. Kini semua orang mengangkat kedua lengan dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap bulan purnama, kemudian mereka semua mengeluarkan nyanyian yang pendek dan aneh, dengan jari-jari tangan digerak-gerakkan. Mei Lan terbelalak memandang jari-jari tangan yang menyeramkan itu dan melirik ke arah bulan. Kebetulan ada awan putih lewat di bawah bulan dan entah mengapa pemandangan ini amat menyeramkan, seolah-olah awan yang berbentuk aneh itu muncul tidak sewajarnya, seolah-olah ada hubungannya dengan gerak jari-jari tangan dan suara nyanyian pujian itu! Suasana menjadi penuh hikmat dan orang-orang yang berlutut sambil bernyanyi memuja bulan itu seperti orang-orang kesurupan, tubuh mereka mulai menggigil dan jari-jari tangan mereka seperti hidup di luar kekuasaan mereka. Wajah-wajah bertopeng menyeramkan menambah suasana menjadi makin aneh.



Sang ketua menurunkan kedua lengannya sambil berseru keras dan semua orang kini juga menurunkan lengang mereka kini kembali merighadap dan memandang kakek gundul itu.

“Anak-anakku semua...!” Suara kakek itu halus dan perlahan, akan tetapi karena dikeluarkan dengan dorongan tenaga khi-kang maka terdengar jelas oleh mereka semua dan suara itu menjadi penuh kekuatan yang bergetar. “Pada malam hari ini kita semua patut bergembira karene malam ini para dewa dan roh-roh halus telah menurunkan berkahnya yang berlimpah kepada kita. Tandanya, lihat betapa dewi bulan tersenyum ramah kepada kita dan kedua, roh-roh halus yang mencintai kita malam ini telah sengaja mengirim seorang anak dara yang berdarah murni kepada kita.”

Kakek itu menuding ke arah Mei Lan dan semua mata memandang kepada gadis ini. Banyak di antara mereka, terutama yang pria, bersorak gembira, akan tetapi ada beberapa orang, sebagian besar wanita, kelihatan meragu dan memandang dengan mata mengandung kegelisahan.

“Anak-anakku yang tercinta, harap jangan khawatir.” Jeng-hwa Sian-jin yang entah bagaimana dengan kedua matanya yang seperti buta itu dapat mengerti akan kekhawatiran ini, berkata pula. “Roh-roh halus yang menjadi sahabat-sahabat kita selalu senang dengan korban, dan sekali ini mereka telah memilih sendiri korban yang berupa dara cantik jelita dan darahnya murni ini. Darah anak ini akan mengangkat kalian setingkat lebih tinggi dan lebih dekat dengan roh-roh halus yang malam ini pasti akan berdatangan dengan bahagia.”

“Akan tetapi... saya takut dengan pembunuhan...” Terdengar suara seorang wanita di antara mereka itu.

“Saya juga takut...” Dan dua tiga orang wanita mengeluarkan suaranya yang semua menyatakan ngeri dan takut.

Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan mengangkat kedua lengannya ke atas. “Apa artinya mati dan hidup bagi roh-roh halus dan bagi kita yang telah bersahabat baik dengan mereka? Ahh, apakah selama ini menerima ajaran-ajaranku kalian masih belum mengerti? Tidak ada yang membunuh atau dibunuh... anak dara ini hanya menyumbangkan darahnya kepada kita. Andaikata dia kemudian menjadi roh halus juga, jasanya besar dan dia akan memperoleh tempat baik dan kelak juga akan menjadi sahabat kita di antara roh-roh halus lainnya. Nah, bersyukurlah untuk kemurahan roh-roh halus itu!”

Tujuh belas orang anak buah Jeng-hwa Sian-jin bersorak dan segera diikuti oleh mereka semua. Agaknya jalan pikiran orang-orang dusun itu sudah demikian dikuasai oleh Jeng-hwa Sian-jin sehingga apapun yang diucapkan oleh kakek itu mudah saja mereka telan dan percaya bulat-bulat.

“Sekarang marilah kita mulai dengan mengundang roh-roh yang kita cintai untuk berpesta malam ini.”

Ucapan kakek ini disambut dengan sorak gembira oleh mereka semua. Dengan bantuan beberapa orang anggota dalam, kakek itu lalu memasang lilin di empat penjuru sebuah meja yang sudah dipersiapkan, kemudian memasang dupa dan bersembahyang. Setelah menaruh hio (dupa) di atas tempat dupa di meja itu, delapan orang pembantunya duduk mengelilingi meja dan menaruh tangan mereka di atas meja. Kakek gundul itu membaca mantera berulang-ulang, mengacungkan kedua tangan ke atas dan delapan orang pembantunya itu memejamkan mata. Tak lama kemudian, meja itu mulai bergerak-gerak, keempat kakinya tergetar dan perlahan-lahan mulai terangkat dari atas lantai!

Seorang pembantu lain, kakek berambut dan bermuka pucat yang merupakan pembantu utama dari Jeng-hwa Sian-jin, maju sambil membawa sebuah keranjang yang sudah diperlengkapi seperti kalau orang membuat jailangkung. Keranjang itu sudah dipasangi kayu melintang seperti dua lengan, diberi baju dan di tengahnya dipasangi sebatang pensil bulu.

Jeng-hwa Sian-jin mengambil keranjang ini dan meletakkan keranjang di atas meja yang sudah bergerak-gerak itu, kemudian dia menyalakan dupa, bersembahyang dan menancapkan dupa di bagian atas keranjang. Dua orang pembantu maju memegangi keranjang dari kanan kiri dan setelah mereka membaca mantera, keranjang itupun mulai bergoyang-goyang!

Para anggota memandang semua ini dengan sinar mata penuh takjub dan kagum, dan kini mereka diperbolehkan maju seorang demi seorang untuk minta kepada setan keranjang itu memanggilkan roh seorang yang mereka cintai, yaitu orang-orang yang telah mati. Ada yang memanggil roh ayahnya, ibunya atau saudara atau teman-teman mereka yang sudah mati. Setiap kali seorang anggauta memanggil roh, keranjang itu bergerak-gerak, pensil di tengahnya ikut bergerak dan setelah dicelupkan tinta lalu pensil itu menuliskan sebuah nama, yaitu nama roh orang yang dipanggil, ke atas kain putih yang sudah disediakan di depannya!

Kini sudah dipanggil berpuluh-puluh roh halus dan mulailah ada yang kesurupan. Ada yang tiba-tiba jatuh dan berkelojotan, ada yang tertawa-tawa dan keadaan di situ tak lama kemudian menjadi amat menyeramkan bagi Mei Lan yang sejak tadi menonton sambil terlentang. Semua orang itu telah kesurupan atau kemasukan roh! Kacau-balau di situ, tingkah laku mereka seperti orang-orang gila.

“Dipersilakan sahabat-sahabat roh halus yang hadir untuk menikmati hidangan!” Terdengar Jeng-hwa Sian-jin berseru dan mulailah para anggota itu menyerbu hidangan-hidangan di atas meja-meja tadi dengan tingkah laku kasar, seolah-olah mereka itu sudah lama sekali tidak pernah makan. Mereka makan dengan lahap, menuang arak ke dalam mulut dan tempat itu menjadi kacau tidak karuan.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring seorang laki-laki. “Penjahat-penjahat keji, bebaskan gadis itu!”


Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang gagah perkasa gerakannya, berpakaian sederhana berwarna kuning, dan pemuda ini langsung melangkah ke arah Mei Lan yang terikat di atas dipan.

“Berhenti!” Tiba-tiba para pembantu Jeng-hwa Sian-jin bergerak dan sudah menghadang di depan pemuda itu. Delapan orang sudah mengurungnya dipimpin oleh kakek berambut putih, karena para pembantu yang lain masih berada di sekeliling meja tadi dalam keadaan tidak sadar.

“Siapakah engkau berani mengotori tempat upecara kami yang suci?” Bentak kakek berambut putih tadi sambil memandang dengan mata melotot kepada pemuda itu.

“Aku siapa bukan soal penting. Akan tetapi kalian telah menawan seorang gadis yang tidak berdosa dan aku mendengar tadi hendak dijadikan korban dalam upacara sembahyang setan ini. Lepaskan dia, kalau tidak terpaksa aku akan turun tangan dan membasmi perkumpulan setan ini!”

“Tangkap dia!” Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin yang sejak tadi hanya menonton, kini berteriak marah.

Delapan orang itu menubruk maju akan tetapi terdengar suara mereka mengaduh berturut-turut dan tubuh mereja terlempar ke belakang ketika pemuda itu sudah menggerakkan kaki tangannya, cepat dan kuat bukan main gerakannya sehingga dalam segebrakan saja delapan orang itu telah mendapat bagian pukulan atau tendangan. Kemudian dia meloncat mendekati dipan di mana Mei Lan rebah terlentang.

“Bocah lancang...!” Terdengar suara kakek berambut putih dan tubuhnya menerjang maju.

Mendengar datangnya angin pukulan yang dahsyat juga, pemuda itu membalik, lalu menggunakan tangan menangkis pukulan kakek itu.

“Dukkkk!” Kakek itu terkejut karena tangan itu kuat sekali, dan si pemuda sudah cepat menggerakkan kaki menendang, akan tetapi dapat ditangkis pula oleh si kakek rambut putih. Sementara itu, delapan orang yang tadi roboh sudah bangun kembali dan bahkan mereka yang tadi bertugas memanggil roh telah disadarkan oleh ketua mereka dan kini ikut mengepung pemuda itu. Bahkan mereka telah memegang senjata masing-masing dengan sikap mengancam. Anehnya, para penduduk dusun laki-laki dan wanita melihat ini seperti tidak perduli atau tidak melihat saja dan mereka itu masih makan minum dengan gembira dan dengan sikap kasar seperti orang-orang yang tidak waras lagi otaknya.

“Tahan... jangan bunuh dia...!” Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin berseru dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah tiba di tempat itu, membuka kepungan dan menghadapi pemuda itu.

Sejenak kedua orang itu saling pandang den jelas bahwa wajah kakek itu membuat si pemuda perkasa menjadi ngeri dan jijik.

“Orang muda, aku adalah Jeng-hwa Sian-jin, ketua dari Jeng-hwa-pang yang saat ini sedang mengadakan upacara sembahyangan. Siapa engkau orang muda yang berani mengganggu upacara suci kami?” tanyanya, suaranya halus dan penuh wibawa.

“Namaku Tio Sun dan aku kebetulan saja lewat di tempat ini. Pangcu, aku sama sekali tidak akan mencampuri urusan orang lain, apalagi mengganggu upacara sembahyanganmu betapapun anehnya itu. Akan tetapi melihat bahwa engkau telah menawan seorang gadis, tentu saja aku tidak dapat mendiamkannya dan aku menuntut agar gadis ini dibebaskan sekarang juga!”

“Ha-ha-ha, engkau tidak tahu, orang muda. Eh, Tio Sun, ketahuilah bahwa gadis ini memang dipilih oleh roh-roh halus untuk menjadi korban, dan engkau sendiri, Tio Sun, kedatanganmu ini adalah atas kehendak roh-roh halus yang malam ini datang sebagai undangan kami. Engkau seorang pemuda perkasa, seorang perjaka murni yang tentu akan menggembirakan roh-roh wanita yang malam ini hadir.”

Pemuda itu mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang tajam. “Apa... apa maksudmu...?” Dia bertanya bingung den melihat kakek itu kini menggerakkan kedua tangan ke atas, dengan jari-jari tangan bergerak cepat den mulut berkemak-kemik, dia bertanya lagi, “Apa... yang kaulakukan itu...?”

Pemuda itu boleh jadi seorang yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, akan tetapi agaknya dia belum berpengalaman menghadapi ahli-ahli sihir seperti Jeng-hwa-pang ini. Tanpa disadarinya, perhatiannya itu membuat dia terjebak dalam perangkap kakek lihai itu.

“Tio Sun... berlututlah... engkau pemuda pilihan roh-roh halus... berlututlah, karena engkau tak mungkin melawan kekuatan roh-roh halus yang memancar melalui sinar bulan purnama... berlututlah engkau...!”

Sungguh luar biasa sekali. Pemuda itu menjatuhkan dirinya berlutut! Melihat ini, Mei Lan yang tadinya sudah merasa girang karena ada orang datang hendak menolongnya, tiba-tiba menjerit, “Jangaaannn...!” Akan tetapi terlambat karena pemuda itu telah tunduk dan dicengkeram kekuatan gaib yang pada saat itu memenuhi suasana tempat itu.

“Tio Sun, engkau tidak akan melawan, engkau telah dipilih untuk menyenangkan hati para roh halus. Engkau layani mereka bersenang-senang dan engkau tidak ingat apa-apa lagi kecuali hanya menjadi pelayan mereka...” Suara ketua yang berkepala gundul itu penuh getaran. “Engkau mengerti...?”


Tio Sun yang masih berlutut menjawab dengan anggukan, “Aku mengerti...” Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan meninggalkan Tio Sun yang masih berlutut di tempat itu. “Dia tidak berbahaya lagi dan akan menambah kemeriahan pesta nanti.” katanya kepada anak buahnya. Pesta makan minum dilanjutkan sampai habis semua masakan dan minuman di atas meja.

ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo), cersil terbaru, Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo) Cerita Dewasa, Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo)cerita mandarin Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo),Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo)
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo) dan anda bisa menemukan artikel Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo) ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/04/cerita-dewasa-silat-dewi-maut-1-kho.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo) ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo) sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 1 (Kho Ping Hoo) with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/04/cerita-dewasa-silat-dewi-maut-1-kho.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar