Cerita ABG Silat : Dewi Maut 2 (Kho Ping Hoo)

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 19 April 2012

Cerita ABG Silat : Dewi Maut 2 (Kho Ping Hoo)

Atas isyarat ketua gundul itu, dua orang anak buahnya menabuh tambur dan canang, dan dengan mata terbelalak Mei Lan melihat mereka semua kini bangkit dan menari-nari! Tarian lenggak-lenggok tidak karuan, hanya mengikuti irama tambur dan canang, akan tetapi makin lama makin bersemangat mereka menari-nari, dan sebagian besar menari dengan mata terpejam. Kemudian mulailah baju-baju beterbangan karena mereka itu mulai menanggalkan baju mereka sambil menari terus dan terdengar syara ketawa cekikikan ketika beberapa orang wanita yang hampir telanjang menghampiri Tio Sun yang masih berlutut, kemudian lima enam orang wanita itu sambil tertawa cekikikan mengeroyok pemuda ini, ada yang menciumi, memeluk dan ada yang mulai merenggut-renggut pakaian pemuda itu. Dan yang lain-lain juga sudah memilih pasangan masing-masing dan terjadilah hal-hal mengeriken di tempat itu. Mei Lan tidak kuat memandang terus karena mereka itu ada yang mulai menanggalkan seluruh pakaiannya bertelanjang bulat tanpa malu-malu lagi dan di atas semua kebisingan suara mereka, terdengar suara ketawa Jeng-hwa Sian-jin!

“Siancai... siancai... betapa kotornya tempat ini...! Hai manusia-manusia tersesat, ingatlah akan kemanusiaan kalian...!” Ucapan yang tiba-tiba terdengar ini disusul pekik melengking yang amat dahsyat, yang mengejutkan semua orang bahkan membuat mereka roboh terguling seperti disambar petir.

Tio Sun juga terkejut dan lebih kaget lagi ketika dia baru sekarang sadar akan keadaannya, di-“keroyok” oleh enam orang wanita yang setengah telanjang, bahkan ada yang telanjang bulat sama sekali, sedangkan dia sendiripun hampir telanjang.

“Aihhhh...!” Dia berteriak keras dan enam orang wanita itu terjangkang ke kanan kiri ketika pemuda itu meronta dan mendorong, kemudian sambil membereskan pakaiannya, Tio Sun meloncat dan menyambar pedangya yang tadi menggeletak tak jauh dari situ.

Ketika pemuda itu menoleh ke arah gadis yang tadi terbelenggu di atas dipan, dia melihat seorang kakek tua renta berpakaian putih, rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, menghampiri dipan itu. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek aneh inilah yang tadi mengeluarkan teriakan-teriakan dahsyat itu. Dia melihat betapa kakek gundul Jeng-hwa Sian-jin, mengeluarkan seruan keras sekali menerjang kakek berpakaian putih, sambil menggerakkan tongkat ular di tangannya.

“Plakk... krekkk... desssss!” Kakek berpakaian putih ini hanya mengangkat lengannya menangkis dan... tongkat ular itu patah-patah dan Jeng-hwa Sian-jin terlempar ke belakang.

“Si keparat laknat!” Jeng-hwa Sian-jin berseru dan kini dia berdiri berhadapan dengan kakek berpakaian putih yang kelihatan tenang-tenang saja itu.

“Sababat, kau insyaflah betapa kedua kakimu sudah berada di lumpur kesesatan! Masih belum terlambat bagi siapapun untuk keluar dari lumpur kesesatan, kembali ke jalan kebenaran,” kakek itu berkata, suaranya halus dan lembut.

Akan tetapi Jeng-hwa Sian-jin mengeluarkan suara gerengan, seperti seekor srigala terluka. “Manusia sombong, lihatlah ini... dan engkau akan mati menjadi setan penasaran!”

Tio Sun mengeluarken seruan kaget dan Mei Lan menjerit ketakutan ketika dari kedua tangan kakek itu kini muncul seekor binatang seperti naga, matanya bercahaya, mulutnya mengeluarkan api bernyala-nyala dan naga itu menerkam ke arah si kakek yang menghadapinya dengan tenang. Kembali kakek itu hanya mengangkat tangannya menangkis, menyambut naga yang dahsyat itu sambil berseru, “Siancai...! Segala kepalsuan akan menghancurkan diri sendiri, orang murtad!”

“Darrr...!” Naga itu meledak dan lenyap, dan Jeng-hwa Sian-jin terbanting ke atas tanah, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah dan dia berkelojotan seperti orang sekarat! Kakek itu menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan sekali raba saja belenggu kaki dan tangan Mei Lan patah semua.

“Lociainpwe, teecu Yap Mei Lan menghaturkan terima kasih...” Dara remaja itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang memandangnya dengan tersenyum.

Sementara itu, orang-orang dusun yang tadi sekaligus sadar kembali dan seolah-olah semua ibils dan roh jahat yang memasuki tubuh mereka lari minggat terusir oleh pekik dahsyat dari kakek tadi, kini kelihatan panik, mencari pasangan atau suami isteri masing-masing, menyambar pakaian mereka dan lari pontang-panting meninggalkan tempat itu untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.

Setelah berada dalam keadaan sadar, tentu saja mereka menjadi ketakutan melihat pertempuran tadi. Apalagi ketika anak buah Jeng-hwa-pang yang tujuh orang itu kini sudah berteriak-teriak marah melihat ketua mereka roboh dan dengan senjata di tangan mereka sudah maju untuk menerjang kakek berpakaian putih itu.

Akan tetapi tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat den robohlah empat orang anggota Jeng-hwa-pang. Semua orang terkejut memandang dan kiranya Tio Sun yang sudah menghadang di depan mereka. Serentak mereka maju mengeroyok dan mengamuklah pemuda itu. Kini setelah dia tidak berada di bawah pengaruh sihir, jelas kelihatan betapa hebatnya pemuda ini memainkan pedangnya. Tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dan pedangnya yang tertimpa sinar bulan itu bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk. Tangan kirinyapun tidak tinggal diam dan setiap kali pukulan tangan kirinya mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu yang terpukul itu roboh dan tak dapat bangun kembali karena pemuda itu memukul dengan pengerahan lwee-kang yang amat kuat. Baru tampak, bahwa pemuda itu sesungguhnya adalah seorang pendekar muda yang amat lihai sehingga gentarlah hati semua pengeroyoknya. Setelah dua belas orang roboh dan tewas, yang lima orang cepat melarikan diri tunggang-langgang.


Keparat keji hendak lari ke mana kalian?” Pemuda itu hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara halus mencegahnya,

“Cukup, sicu. Cukup mengerikan pembunuhan-pembunuhan ini...!”

Tio Sun menghentikan pengejarannya dan menengok. Dia hanya melihat kakek tua renta tadi menuntun Mei Lan dan sekali berkelebat kakek itu lenyap dari tempat itu, tangan kanan menuntun gadis tadi, tangan kiri membawa sebuah peti hitam yang tadi berada di atas meja dekat ketua Jeng-hwa-pang.

Tio Sun maklum bahwa kakek tadi adalah seorang yang amat sakti, maka dia cepat berlutut dan berseru ke arah menghilangnya kakek itu, “Teecu mohon tanya nama locianpwe yang mulia!”

Hening sejenak, kemudian, seperti terbawa angin bersilir, terdengarlah olehnya jawaban halus. “Aihh... apa artinya nama? Jangan khawatir, sicu, gadis ini berada di bawah perlindungan Bun Hoat Tosu...”

“Ahhh...!” Tio Sun terkejut dan sampai lama dia berlutut di situ. Pernah dia mendengar dari ayahnya bahwa yang bernama Bun Hoat Tosu dan sampai kini tidak ada orang tahu di mana tempat tinggalnya, entah masih hidup ataukah sudah mati, adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, den kakek itu adalah bekas ketua Hoa-san-pai, satu di antara tokoh-tokoh besar sejak puluhan tahun yang lalu!

Pemuda ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia masih hijau dan belum ada nama dalam dunia kang-ouw, karena baru sekarang dia diperkenankan oleh ayahnya yang menjadi gurunya sendiri untuk merantau. Tio Sun adalah putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, bekas pengawal Panglima The Hoo yang mendapat kepercayaan penuh dan yang memiliki kepandaian tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, bekas pengawal Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) Tio Hok Gwan itu bersama Hong Khi Hoatsu kebetulan sedang bersama-sama mengunjungi Cin-ling-san ketika mereka melihat tokoh-tokoh Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han telah tewas oleh mereka yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa. Tio Hok Gwan ikut merasa berduka dan marah, akan tetapi karena dia sendiri merasa bahwa dirinya sudah terlalu tua untuk turun tangan sendiri, maka dia lalu pulang ke rumahnya dan mengutus putera tunggalnya itu untuk mewakili dia membantu Cin-ling-pai dan mencari Lima Bayangan Dewa dan membasmi orang-orang jahat itu.

Tio Sun adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun, berperawakan tegap dan bersikap gagah. Wajahnya tidak terlalu tampan, matanya terlalu sipit seperti mata ayahnya, akan tetapi mata yang kecil itu bersinar tajam dan wajahnya yang biasa saja itu membayangkan kegagahan, kejujuran, sikapnya halus akan tetapi tegas dan terbuka.

Setelah dapat menenteramkan hatinya yang terguncang karena kagum mendengar bahwa kakek yang menolong dara remaja tadi ternyata adalah manusia sakti Bun Hoat Tosu, Tio Sun lalu bangkit berdiri dan memeriksa keadaan di tempat itu. Kakek gundul yang seperti iblis itu, Jeng-hwa Sian-jin telah tewas karena ilmu sihirnya yang membalik dan menyerang dirinya sendiri tadi, dan amukannya tadi telah membuat dua belas orang pembantu kakek gundul itu tewas semua. Teringatlah dia akan cara persembahyangan mereka yang menyeramkan tadi, dan dia heran apakah roh tiga belas orang ini benar-benar akan diterima oleh roh-roh halus itu dan diberi tempat yang enak, yang jelas mereka itu mati dalam keadaan yang tidak enak dilihat dari perbuatan mereka sendiri. Tio Sun lalu menyalakan api dan membakar bangunan-bangunan di perkampungan penuh kemaksiatan ini sehingga api berkobar tinggi membakar bangunan-bangunan itu berikut mayat tiga belas orang Jeng-hwa-pang. Dia sendiri lalu pergi dari situ.

Pada keesokan harinya, Tio Sun mengunjungi dua buah dusun di sebelah selatan dan utara bukit, yaitu dusun Liong-si-jung dan Beng-nam-jung. Ditemuinya kepala-kepala dusun itu dan diceritakannya tentang penduduk yang terpikat menjadi anggota perkumpulan pemuja iblis itu. Dianjurkan kepada kepala-kepala dusun itu untuk memperingatkan penduduknya agar jangan sampai mudah terpikat lagi oleh orang-orang jahat yang berlindung di belakang perkumpulan-perkumpulan kebatinan yang menyesatkan dengan membonceng kebodohan dan ketahyulan para penduduk dusun. Setelah pemuda itu menceritakan bahwa perkumpulan itu telah dibasmi dan dibakar, dua orang kepala dusun menghaturkan terima kasih dan tentu saja mereka lalu berani bertindak. Para penduduk dusun dikumpulkan dan mereka yang pernah menjadi anggota Jeng-hwa-pang ditegur dan diancam hukuman kalau berani melanjutkan upacara sembahyangan yang menyesatkan itu.

Tio Sun lalu melanjutkan perjalanannya, memasuki dunia kang-ouw dan mencari-cari di mana adanya Lima Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai dan telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam.

***

Dengan pakaian kotor terkena lumpur yang basah dan kini sudah kering lagi, Kun Liong duduk bersila di depan kuburan isterinya tercinta. Dia sudah dapat menekan kedukaannya yang amat hebat, wajahnya pucat sekali, matanya kehilangan gairah hidup dan dalam waktu tiga hari saja rambut di kepalanya sudah banyak yang menjadi putih!

Duka maupun suka timbul dari pikiran. Segala sesuatu yang terjadi di dalam dunia ini, yang menimpa diri manusia, adalah peristiwa yang telah terjadi, yang merupakan fakta dan yang setelah terjadi tidak lagi dapat dirubah oleh siapapun juga. Apakah peristiwa itu mandatangkan duka maupun suka, tergantung sepenuhnya kepada penanggapan manusia terhadap fakta itu. Jika pikiran yang menangapi, maka timbullah duka atau suka. Pikiran mengingat-ingat, membanding-bandingkan keadaan sebelum dan sesudah peristiwa terjadi, kerugian bagi dirinya sendiri, yang menyenangkan dan yang menyedihkan, yang kesemuanya itu berpusat pada diri pribadi.


Menenggelamkan diri ke dalam gelombang suka duka yang diakibatkan oleh permainan pikiran yang mengingat-ingat, sama sekali tidak ada gunanya. Di dalam hal kematian seorang yang kita cinta, kalau memang benar kita mencinta orang yang mati itu, mencinta demi dia, bukan demi diri sendiri, kiranya berduka demi si mati adalah tidak wajar, karena kita tidak tahu apakah benar keadaannya itu patut kita dukakan. Kita tidak tahu bagaimana keadaannya sesudah mati, agaknya tidak akan lebih buruk daripada waktu hidup di dalam dunia yang penuh dengan kesengsaraan ini, maka kedukaan kita biasanya ditujukan kepada rasa iba diri karena kita ditinggalkan orang yang kita cinta, karena kita kehilangan seorang yang memberi kesenangan pada kita. Dan biasanya, sudah menjadi pendapat umum bahwa rasa duka semacam ini, yang sesungguhnya mendukakan diri sendiri, dianggap sebagai tanda cinta terhadap si mati! Padahal, faktanya si mati tetap mati dan tidak akan berobah oleh tangis air mata darah kita! Betapapun pahit kenyataan ini, akan tetapi sudah sepatutnya kalau kita membuka mata akan kenyataan hidup yang serba palsu ini sehingga kita sadar apa yang kita lakukan.

Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang memiliki kepandaian dan memiliki batin yang kuat. Akan tetapi malapetaka yang menimpa dirinya terlalu hebat baginya. isterinya yang terkasih tewas terbunuh orang, dan puterinya yang tercinta melarikan diri tanpa ada yang tahu apa yang menyebabkannya. Maka pukulan batin itu membuat dia seperti lumpuh dan kehilangan semangat. Pada saat itu, dia sudah berhasil menekan kehancuran hatinya dan sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan kuburan isterinya dan pergi mencari Mei Lan dulu sebelum menyelidiki tentang kematian isterinya yang amat aneh, karena betapapun juga, dia masih sangsi apakah benar Giok Keng sampai hati membunuh isterinya. Dan andaikata benar Giok Keng yang membunuh Hong Ing, apa pula yang menjadi sebabnya karena sepanjang pangetahuannya, isterinya tidak ada hubungan dengan puteri ketua Cin-ling-pai itu.

“Yap Kun Liong, apa yang kaulakukan di sini?”

Pertanyaan yang tiba-tiba dengan suara besar dan nyaring serta mengandung getaran amat kuat ini mengejutkan Kun Liong. Cepat dia meloncat berdiri membalikkan tubuhnya, akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika dia melihat bahwa yang menegurnya itu bukan lain adalah Kok Beng Lama pendeta sakti dari Tibet yang menjadi ayah mertuanya itu! Tentu saja kehadiran orang ini seolah-olah merobek lagi luka di hatinya yang sudah mulai mengering dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut sambil

“Gak-hu... gak-hu... ahhh... Hong Ing... isteriku...!” Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pendekar ini saking sedihnya sudah terguling dan roboh pingsan lagi!

“Huh, cengeng dan lemah...!” Kok Beng Lama bersungut-sungut, dengan langkah lebar dia menghampiri Kun Liong, memeriksa detik jantung dan pernapasan dan dia kaget juga memperoleh kenyataan bahwa mantunya itu ternyata mengalami tekanan batin yang amat hebat. Cepat dia lalu menotok beberapa jalan darah di tengkuk dan punggung dan Kun Liong siuman kembali.

“Bocah lemah, hayo katakan kenapa engkau menjadi begini cengeng dan lemah, menangis di kuburan! Kuburan siapa yang kautangisi ini?” Kakek itu menuding ke arah gundukan tanah yang masih baru itu.

“Gak-hu (ayah mertua)... ini... ini adalah kuburan... Hong Ing...”

Sepasang mata yang lebar itu terbelalak dan alis yang tebal itu terangkat ke atas. “Hahh...? Apa kau bilang? Hong Ing...?”

“Dia... dia tewas terbunuh orang ketika saya sedang pergi...” Run Liong berlutut dan menutupi mukanya.

“Dan kau sudah membalas kematiannya? Sudah kautangkap pembunuhnya?”

“Saya... saya belum tahu siapa dia...”

“Bodoh! Cengeng! Hentikan tangismu dan ceritakan apa yang telah terjadi atas diri anakku, Hong Ing!”

Suara kakek raksasa itu seperti petir menyambar-nyambar, nyaring dan menggetarkan jantung sehingga mengejutkan Kun Liong yang maklum betapa marah hati ayah mertuanya ini.

“Saya sedang pergi meninggalkan rumah untuk menemui adik saya,” dia bercerita dan menguatkan hatinya sedapat mungkin, “ketika saya pulang, saya mendapatkan isteri saya... telah tewas. Menurut penuturan dua orang pelayan di rumah, Hong Ing kedatangan seorang tamu, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai, Cia Giok Keng kakak dari Cia Bun Houw murid gak-hu sendiri... dan menurut dua orang pelayan, terjadi pertengkaran bahkan kemudian perkelahien antara isteri saya dan Giok Keng, dan... dan dua orang pelayan itu yang hendak melerai juga dipukul pingsan... Ketika mereka siuman Giok Keng sudah tidak ada dan... den Hong Ing sudah tewas dengan dada terluka tusukan pedang...”

“Dan engkau menangis di sini? Keparat, percuma saja kuberikan anakku menjadi isterimu!”

“Gak-hu...!”

“Desss...!” Tubuh Kun Liong mencelat den bergulingan di atas tanah terkena tendangan ayah mertuanya itu. “Keparat engkau! Isterinya dibunuh orang, hanya menangis saja di depan kuburan seperti anak kecil, dan pembunuhnya kaubiarkan saja! Hem, manusia lemah macam engkau ini pantasnya kubunuh sekalian!”

Kok Beng Lama yang sudah seperti gila saking marahnya mendengar puterinya dibunuh orang dan anak mantunya diam saja dan hanya berkabung di situ tanpa membalas kematian itu, sudah meloncat dekat dan mengirim pukulan ke arah kepala Kun Liong. Kalau dibiarkan saja pukulan ini dan mengenai kepala Kun Liong, tak dapat disangsikan lagi pendekar itu tentu akan tewas seketika, menyusul nyawa isterinya. Betapa akan senangnya kalau begitu, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia teringat akan puterinya, Mei Lan, maka cepat dia mengangkat lengannya menangkis

Kembali dia terpental den bergulingan, akan tetapi tubuh Kok Bang Lama tergetar juga.

“Tahan dulu, gak-hu. Bukannya saya tidak mau membalas kematian isteri saya yang tercinta. Akan tetapi urusan ini amat aneh dan mencurigakan. Saya mengenal betul Giok Keng, kiranya mustahil kalau dia membunuh Hong Ing. Dan juga anak saya, Mei Lan, pada malam hari itu lenyap pula meninggalkan rumah. Karena hati saya masih terlalu berduka atas kematian Hong Ing, maka sampai ini hari saya berada di sini...”

“Cukup, apa gunanya tangis-tangisan ini. Hayo, kita ajak saksi-saksi itu pergi mengambil Cia Giok Keng dan minta pengadilan kepada ketua Cin-ling-pai!” Kok Bang Lama lalu memegang pergelangan tangen Kun Liong dan menyeret pendekar itu pulang ke rumahnya. Kun Liong menahan air matanya ketika dia menoleh dan meninggalkan kuburan isterinya, kemudian terpaksa diapun harus mengerahkan ilmu berlari cepat karena mertuanya itu berlari cepat sekali.

Giam Tun dan Khiu-ma, dua orang pelayan dan pembantu di rumah Kun Liong, menjadi terkejut dan ketakutan ketika secara kasar kakek raksasa itu memaksa mereka untuk ikut pergi dan pada seat itu juga, hampir tidak memberi waktu kepada mereka untuk berganti pakaian den membawa bekal. Kun Liong juga segera membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian mereka berangkat pada hari itu juga, menuju ke kota Sin-yang yang terletak di kaki Pegunungan Tapie-san. Di dalam perjalanan, dua orang pelayan itu diminta oleh Kok Beng Lama menceritakan lagi pengalaman mereka pada malam hari terbunuhnya Hong Ing itu.

Karena melakukan perjalanan bersama Giam Tun dan Khiu-ma, tentu saja perjalanan itu tidak dapat dilakukan dengan cepat dan hal ini membuat Kok Beng Lama menjadi tidak sabar dan seringkali dia mengomel. Pendeta tua ini semenjak ditinggal pergi muridnya, Cia Bun Houw, yang dipanggil pulang oleh ayahnya ke Cin-ling-san merasa kesepian sekali di Tibet. Dia merasa gelisah dan disiksa oleh kesunyian yang ditimbulkan oleh pikirannya sendiri. Kesunyian timbul apabila kita terikat oleh sesuatu atau seseorang kemudian kita berpisah dari sesuatu atau seseorang itu. Memang beratlah akibatnya apabila kita terikat yang sama halnya dengan kebiasaan sehingga membuat kita terbius dan sukar melepaskan diri atau berjauhan dengan yang telah mengikat kita. Terpisah dari seseorang yang mengikat kita membuat kita merasa kesenangan dan derita dari kesepian ini memang amat hebat, tak tertahankan oleh seorang sakti saperti Kok Beng Lama sekalipun! Pikirannya tiada hentinya mengenangkan orang yang telah mengikat hatinya, yang kini pergi, membayangkan waktu Bun Houw masih berada di dekatnya. membayangkan segala perasaan gembira dan senang di waktu pemuda itu masih menjadi muridaya dan dekat dengan dia. Kenangan dan bayangan akan semua ini membuat hidupnya menjadi sunyi dan kosong, dan dia merasa tidak kerasan lagi berada di Tibet. Maka dia lalu turun gunung den pergi ke timur, tidak kuat melawan kesunyian yang melanda hatinya. Dan muncullah dia di Leng-kok, tempat tinggal Yap Kun Liong, mantunya.

Bahagia hanya dapat dirasakan oleh orang yang bebas dari segala ikatan, baik ikatan lahir maupun ikatan batin. Bukan berarti bahwa kita harus acuh atau tidak perduli, sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, orang yang bebas dari segala ikatan memperhatikan apapun yang terjadi di luar dan dalam dirinya tidak dapat memilih-milih dan pilih kasih. Orang yang bebas dari ikatan adalah orang yang sendirian, bukan berarti mengasingkan diri. Ikatan hanya memperbudak diri.

Cia Giok Keng tinggal di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Pegunungan Tapie-san, bersama suaminya, Lie Kong Tek den dua orang anaknya. Mereka mempunyai dua orang anak, yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Lie Seng, sedangkan yang kedua adalah seorang perempuan yang diberi name Lie Ciauw Si. Lie Seng barusia dua belas tahun sedangkan adiknya berusia sepuluh tahun.

Selama belasan tahun berumahtangga, suami isteri ini hidup dengan rukun dan tenteram di kota itu. Lie Kong Tek bekerja sebagai pedagang kayu bangunan yang banyak terdapat di Tapie-san dan seringkali mengirimkan kayu-kayu balok melalui Sungai Huai ke kota-kota lain. Kebidupan keluarga Lie ini tenteram dan cukup, dan barulah timbul gelombang dalam kehidupan mereka ketika mereka menerima undangan tokoh Go-bi-pai, yaitu Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han. Di tempat ini, tanpa disangka-sangka, Giok Keng bentrok dengan Yap In Hong, adik Kun Liong yang telah bersikap keras dan dianggap menghina adik kandungnya di depan umum. Maka sepulangnya dari kota itu, Giok Keng yang memang berwatak keras itu segera pergi ke Leng-kok dengan maksud mengunjungi Kun Liong den menegur adik pendeker ini. Akan tetapi Kun Liong kebetulan tidak ada dan terjadilah peristiwa hebat di rumah pendekar itu yang mengakibatkan kematian Hong Ing.

Ketika Kun Liong, Kok Bang Lama, dan dua orang pembantu rumah tangga Kun Liong tiba di depan rumah mereka, Giok Keng den suaminya cepat keluar menyambut. Wajah Giok Keng merah sekali tanda bahwa dia merasa terguncang hatinya karena dia maklum bahwa tentu Kun Liong datang untuk menegurnya yang pernah marah-marah kepada isterinya, bahkan telah memukul pingsan isteri Kun Liong di dalam pertempuran antara mereka. Akan tetapi karena hatinya masih panas teringat akan sikap adik pendekar ini di dalam pesta, dia tidak merasa menyesal, bahkan begitu berjumpa dia lantas menudingkan telunjuknya kepada Kun Liong sambil berkata. “Yap Kun Liong, bagus sekali ya perbuatan adikmu yang bernama In Hong itu...!”

Akan tetapi sebelum Kun Liong menjawab, Kok Beng Lama sudah melangkah maju dan berkata dengan suara nyaring, matanya terbelalak lebar, “Apakah engkau yang bernama Cia Giok Keng?”

Giok Keng terkejut, memandang pendeta berbaju Lama berwarna merah ini, meragu, kemudian bertanya, “Siapakah locianpwe ini?”

“Dia adalah ayah mertuaku, Kok Beng Lama...”

“Guru Bun Houw...?” Giok Keng terkejut dan memberi hormat, juga suaminya memberi hormat.


Tidak perlu banyak penghormatan yang palsu itu. Cia Giok Keng, engkau tentu pernah mendengar bahwa Pek Hong Ing adalah anakku, bukan?” Pendeta itu bertanya, suaranya kaku dan dingin.

Giok Keng mengangguk dan tahulah dia sekarang mengapa kakek yang dia dengar adalah guru dari Bun Houw, seorang pendeta Lama di Tibet yang sakti ini, datang bersama Kun Liong. Agaknya kakek inipun hendak mencampuri urusan itu!

“Cia Giok Keng, demi Tuhan dan segala dewa, mengapa engkau membunuh anakku?”

Giok Keng terkejut sekali dan menoleh kepada Kun Liong dengan penuh pertanyaan. Juga Lie Kong Tek yang sejak tadi hanya mendengarkan, mendengar bentakan kakek itu menjadi kaget sekali dan dia sudah melangkah maju dan bertanya kepada Kun Liong. “Saudara Kun Liong, apa artinya semua itu? Siapa membunuh siapa?”

Kun Liong menjawab sambil memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh selidik. “Yang terbunuh adalah isteriku, Hong Ing. Dan yang membunuh agaknya adalah Giok Keng...”

“Ihhh...!” Giok Keng berseru kaget sekali, matanya terbelalak memandang Kun Liong.

“Ahhh...?” Lie Kong Tek sebaliknya kini menoleh dan memandang isterinya dengan alis berkerut. Isterinya telah menceritakan kepadanya tentang kunjungannya ke Leng-kok dan tentang percekcokannya dengan isteri Kun Liong. Isterinya yang jujur menceritakan segalanya, betapa dalam kemarahannya dia membuka rahasia Mei Lan sehingga nyonya Kun Liong marah dan mereka bertanding sampai akhirnya dia merobohkan Hong Ing sehingga pingsan bersama dua orang pelayannya. Untuk itu, Lie Kong Tek telah menegur isterinya dengan keras den dia bersedia untuk minta maaf kepada Kun Liong. Siapa tahu sekarang kenyataannya bahkan lebih hebat lagi. Isteri Kun Liong tewas den yang disangka menjadi pembunuhnya adalah Giok Keng.

“Bukan agaknya lagi!” Kok Beng Lama berkata. “Jelas bahwa nyonya muda yang keras hati inilah yang membunuh anakku. Cia Giok Keng, hayo jawab mengapa engkau membunuh anakku?”

“Tidak...! Tidak...! Aku tidak membunuhnya!” Wajah Giok Keng menjadi pucat sekali karena dia tidak mengira bahwa Hong Ing akan dibunuh orang pada malam hari itu juga setelah dia pergi meninggalkan rumahnya.

“Hemm, membohongpun tidak ada gunanya, lebih baik berterus terang!” Kok Beng Lama berkata lagi dengan nada penuh ancaman.

Melihat ayah mertuanya kelihatan tak sabar lagi itu, Kun Liong merasa khawatir dan dia cepat berkata, “Giok Keng, di antara kita semua terdapat hubungan yang amat erat, bahkan ayah mertuaku adalah guru dari adikmu. Oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau ceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi antara engkau dan mendiang isteriku.”

Lie Kong Tek melihat kebijaksanaan ini, maka diapun menjura ke arah Kok Beng Lama sambil berkata, “Harap locianpwe dan saudara Kun Liong suka duduk di dalam agar dapat kita membicarakan urusan ini dengan baik.”

Akan tetapi dengan mata melotot dan lambaian tangan tidak sabar, Kok Beng Lama membentak, “Tidak perlu! Hayo cepat ceritakan!”

Giok Keng adalah seorang wanita yang berhati keras dan tidak mengenal takut. Melihat sikap kakek itu, diapun menjadi penasaran dan segera dia menceritakan tentang pertemuannya dengan Yap In Hong di tempat pesta dari Phoa Lee It. Setdah menuturkan peristiwa itu panjang lebar, dia mengakhiri dengan ucapan marah kepada Kun Liong, “Kaupikir saja, Kun Liong. Adikmu menghina aku di muka umum, menghina Bun Houw seperti itu. Kalau tidak ada suamiku yang mencegah, tentu antara aku dan adikmu sudah terjadi pertempuran di tempat pesta itu! Hati siapa yang tidak menjadi marah? Adikku, Cia Bun Houw direncanakan akan dijodohkan dengan adikmu, akan tetapi adikmu itu menghina adikku di muka umum. Maka aku lalu mengunjungimu di Leng-kok dengan maksud untuk menegur agar kau dapat menghukum adikmu yang lancang mulut itu. Akan tetapi engkau tidak ada, dan aku dalam kemarahanku memaki-maki engkau dan adikmu. Isterimu membela dan kami bertempur.”

“Hemmm... dan kau mengandalkan kepandaianmu membunuh anakku!” Kok Beng Lama membentak.

“Tidak, aku tidak membunuhnya!” Giok Keng membalik, menghadapi kakek itu dan balas membentak.

“Giok Keng, dua orang pelayan ini menjadi saksi betapa engkau dan Hong Ing bertanding, bahkan merekapun roboh pingsan kaupukul... dan anakku, Mei Lan, mengapa pula dia lari dan sampai sekarang belum kembali?” Kun Liong menuntut.

Giok Keng teringat akan hal itu. Dia merasa bersalah akan tetapi dengan terus terang dia berkata lantang, “Karena hatiku panas sekali dan engkau yang manjadi orang yang kucari tidak ada, maka ketika anakmu itu hendak membela ibunya, aku terlanjur mengeluarkan kata-kata bahwa dia bukanlah anak kandung isterimu. Anak itu lalu melarikan diri...”

“Ahhh...!” Kun Liong berseru dan mukanya menjadi merah. “Kau sungguh keterlaluan sekali, Giok Keng! Anak itu tidak bersalah apa-apa dan isterikupun tidak berdosa, mengapa engkau...”

“Aku tidak membunuhnya! Dia memang roboh dan pingsan, aku lalu pergi... aku tidak membunuhnya.”


Dia bohong...!” Khiu-ma menudingkan telunjuknya. “Tidak ada orang lain di rumah itu, dan setelah kami berdua pingsan, begitu kami sadar kami melihat nyonya telah tewas...! Siapa lagi kalau bukan dia yang membunuhnya? Engkau wanita kejam sekali!” Khiu-ma lalu menangis.

“Cia Giok Keng, engkau telah membunuh anakku, maka sudah selayaknya kalau aku sekarang membunuh engkau!”

“Locianpwe, harap jangan sembarangan menuduh! Aku memang telah merobohkannya sampai pingsan, akan tetapi aku tidak membunuh Hong Ing! Sampai matipun aku tidak akan mengaku, karena aku memang tidak membunuhnya.”

Kok Beng Lama sudah bergerak ke depan, akan tetapi Kun Liong cepat menghadang di depan ayah mertuanya itu sambil berkata, “Harap gak-hu bersabar...”

“Keparat! Anakku dibunuh orang dan kau minta aku bersabar?”

“Gak-hu, saya percaya bahwa gak-hu tidak akan bertindak ceroboh dan mempersulit persoalan ini. Biarpun saksi-saksi memberatkan dan keadaannya seolah-olah Giok Keng yang membunuh isteri saya, akan tetapi Giok Keng tidak mengaku dan buktipun tidak ada. Kalau sekarang gak-hu membunuh dia, bukankah keadaan menjadi berlarut-larut? Ingatlah, dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai...”

“Aku tidak takut! Biar ketua Cin-ling-pai dan senenek moyangnya maju, aku tidak takut membalas kematian anakku!”

“Gak-hu, ingatlah. Locianpwe Cia Keng Hong adalah seorang yang berjiwa besar, seorang pendekar yang terkenal bijaksana dan budiman. Sedangkan Bun Houw adalah murid gak-hu sendiri, bagaimana gak-hu kini akan membunuh kakaknya begitu saja? Sebaiknya kita besikap bijaksana, mengajak Giok Keng untuk menghadap ke Cin-ling-pai. Di sana kita minta keadilan dan saya pereaya bahwa Cia-locianpwe tentu akan memberi keputusan yang seadil-adilnya.”

Reda juga kemarahan Kok Beng Lama. Dia mangangguk dan menarik napas panjang. “Omonganmu benar juga. Hayo kita bersama ke Cin-ling-pai menuntut keadilan.”

“Giok Keng, kuharep engkau suka ikut bersama kami ke Cin-ling-pai menghadap ayahmu agar persoalan ini dapat diputuskan dengan seadil-adlinya.” Kun Liong berkata kepada Glok Keng.

Akan tetapi Giok Keng memandang kepadanya dengan marah. “Tidak sudi, aku tidak bersalah, dan aku tidak sudi menjadi tawanan. Aku akan menghadap sendiri kepada ayah kalau perlu!”

“Giok Keng, kalau begitu engkau tidak ingin membereskan persoalan!”

“Kun Liong, yang mati adalah isterimu, maka engkaulah yang mempunyai persoalan. Aku tidak membunuh isterimu, aku tidak mempunyai persoalan apa-apa!”

“Hemm, perempuan galak ini harus dipaksa!” Kok Bang Lama membentak marah. Memang watak Kok Bang Lama dan Cia Giok Keng sama kerasnya, maka jika keduanya dipertemukan sebagai flhak yang bertentangan, tentu saja terjadi geger.

“Bagus! Hendak kulihat siapa yang akan berani memaksaku!” Giok Keng sudah meloncat ke belakang sambil menghunus pedangnya. Pedang Gin-hwa-kiam mengeluarkan sinar putih berkilat ketika dicabut.

“Bocah sombong dan keras kepala!” Kok Beng Lama menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya. Giok Keng, yang sudah marah cepat menyambuthya dengan pedang dkelebatkan.

“Giok Keng, jangan...!” Kun Liong sudah mencegah, akan tetapi terlambat karena wanita itu dengan penuh kemarahan sudah menyerang dengan pedangnya, menyambut terjangan Kok Beng Lama dengan sinar pedang bergulung-gulung.

Akan tetapi Giok Keng tidak tahu akan kesaktian kakek raksasa itu. Biarpun usia kakek ini sudah delapan puluh tahun lebih namun tenaganya tidak menjadi berkurang, bahkan tubuhnya menjadi kebal. Pedang Gin-hwa-kiam yang merupakan pedang pusaka tajam dan ampuh itu disambut begitu saja dengan tangannya sehingge Giok Keng menjadi terkejut sekali.

“Tak-tak... plakkk!”

Giok Keng terhuyung ke belakang ketika pedangnya tertangkis oleh lengan tangan Kok Bang Lama. Tangannya yang memegang pedang tergetar hebat dan dia terkejut bukan main. Pada saat itu Kun Liong yang khawatir kelau-kalau ayah mertuanya yang keras hati itu membunuh Giok Keng, sudah mendahului Kok Beng Lama, meloncat ke arah Giok Keng, dan mencengkeram ke arah pundak wanita itu.

“Kun Liong, berani engkau menghinaku!” Giok Keng membentak dan pedangnya berkelebat membabat le arah lengan pendekar itu. Namun itulah yang dikehendaki oleh Kun Liong. Cengkeramannya tadi hanya merupakan pancingan saja agar wanita itu menangkis, dan menggerakkan pedang. Begitu pedang berkelebat, Kun Liong sudah menggerakkan tangannya dengan cepat sekali, lebih cepat dari pedang itu, dengan tenaga Pek-in-ciang dia menggetarkan siku kanan Giok Keng sehingga wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas karena lengannya mendadak menjadi lumpub, kemudian sebelum dia dapat megelak, Kun Liong telah menotok pundaknya dan Giok Keng menjadi lemas tentu roboh kalau saja tidak cepat disambut oleh tangan Kun Liong.

Lepaskan isteriku!” Lie Kong Tek yang melihat isterinya dirobohkan, sudah mencabut pedang Gin-hong-kiam yang juga bersinar perak, melompat dan menerkam ke arah Kun Liong dengan tusukan pedangnya. Akan tetapi dari samping menyambar angin dahsyat. Kiranya Kok Beng Lama sudah menggunakan kekuatan sin-kangnya untuk mendorong dari samping. Pukulan ini biarpun hanya dilakukan dari jarak jauh, tapi sedemikian hebatnya sehingga tubuh Lie Kong Tek terlempar dan pedangnya terlepas, orangnya terbanting dan pingsan!

“Mari kita pergi!” Kok Beng lama barkata. Kun Liong memondong tubuh Giok Keng dan pergilah dia bersama Kok Beng Lama, diikuti oleh Khiu-ma den Giam Tun dua orang pelayannya itu.

“Ayah...!”

“Ibu...! Ibu ke mana...?”

Dua orang anak kecil, Lie Song dan Lie Ciauw Si, berlari-lari keluar dari dalam rumah den melihat ayahnya menggeletak di atas tanah di pekarangan depan, mareka lalu berlutut dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya sambil memanggil-manggil. Tak lama kemudian para pelayan dan tetangga mereka berlarian keluar dan segera mengangkat tubuh Lie Kong Tek masuk ke dalam rumahnya.

Setelah siuman dari pingsannya, Lie Kong Tek hanya menggeleng kepala terhadap pertanyaan para pelayan dan tetangga. Dia merasa khawatir sekali akan keselamatan isterinya. Maka setelah dia menyerahkan kedua orang anaknya dalam asuhan para pelayan, suami yang gelisah ini lalu membawa pedangnya dan berangkat menyusul ke Cin-ling-san!

***

Hukum karma merupakan sebab dan akibat yang saling membelit, merupakan mata rantai atau lingkaran setan yang tiada habisnya jika kita melibatkan diri ke dalamnya. Suatu peristiwa yang oleh kita dianggap sebab tentu menimbulkan akibat, dan kalau kita terseret di dalamnya, akibat inipun menjadi sebab dari akibat lain pula yang akan datang! Sebab dan akibat bersambung terus tak ada habisnya, seperti masa lalu bersambung ke masa kini memasuki masa depan, terus bersambung karena kita sendiri yang menyambungnya! Kita sendiri yang menghubungkannya. Suatu peristiwa adalah suatu peristiwa, apakah dia menjadi sebab ataukah akibat, tergantung dari kita yang menilainya. Segala sesuatu tentu saja menjadi ada kalau kita mengadakannya, menjadi persoalan atau problem kalau kita mempersoalkannya. Betapa akan bahagianya kalau kita dapat menghadapi setiap peristiwa apapun, menyenangkan atau sebaliknya, seperti apa adanya dan selesai pada seat itu juga! Bukan sebab, bukan pula akibat, melainkan hanya suatu peristiwa, suatu kejadian, suatu kewajaran yang tidak meninggalkan bekas apa-apa.

Cin-ling-san masih diliputi keadaan berkabung, masih diliputi suasana duka nestapa semenjak peristiwa pencurian pedang Siang-bhok-kiam dan kematian tujuh orang anggauta Cap-it Ho-han dan seorang anak murid. Cia Keng Hong, pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai, bersama isterinya, tinggal di Cin-ling-san dengan hati penuh keprihatinan, menanti-nanti datangnya berita dari putera mereka, Cia Bun Houw, bersama empat orang murid kepala yaitu empat orang dari Cap-it Ho-han yang secara terpisah melakukan penyelidikan, mencari Lima Bayangan Dewa yang telah melakukan pencurian pedang dan pembunuhan itu.

Isteri ketua Cin-ling-pai itu, yang bernama Sie Biauw Eng biarpun sudah barusia enam puluh tahun, namun masih ada sisa kekerasan hatinya dan merasa tidak puas mengapa suaminya tidak bersama dia melakukan penyelidikan sendiri, melainkan membiarkan putera mereka yang belum berpengalaman itu pergi melakukan penyelidikan.

“Isteriku, tidak semestinya kalau kita berdua yang sudah tua mencari permusuhan.” Cia Keng Hong menghibur isterinya.

“Siapa mencari permusuhan? Kita tinggal dengan tenteram di sini, orang lain yang datang membunuh anak murid kita dan mencuri pedang pusaka! Merekalah yang mencari permusuhan,” bantah isterinya.

Cia Keng Hong menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. “Aku tahu, akan tetapi aku mempunyai perasaan bahwa Lima Bayangan Dewa itu tentulah ada hubungannya dengan musuh-musuh yang telah kita basmi di masa yang lalu. Kalau tidak ada dendam sakit hati, tidak mungkin mereka itu tanpa suatu sebab melakukan perbuatan keji itu. Aku sudah merasa menyesal sekali mengapa di waktu muda dahulu aku terlalu mengandalkan kepandaian, menanam bibit permusuhan dengan banyak orang sehingga kini setelah tua, aku dimusuhi orang.”

“Hemm, apakah setelah tua engkau menjadi penakut?” isterinya menegur.

“Sama sekali tidak. Kalau aku seorang yang dimusuhi, hal itu sudah lumrah dan akan kuhadapi dengan tabah karena memang sudah semestinya kalau aku yang menanam dan sekarang aku pula yang memetik buahnya. Akan tetapi celakanya, murid-murid yang tidak tahu apa-apa terseret ke dalam akibat dari perbuatanku di waktu dahulu...”

“Sudahlah, suamiku, yang penting adalah bahwa kita sejak muda dahulu sampai tua sekarang, berada di fihak yang benar! Kita membasmi orang-orang jahat, biar mereka itu akan mendendam sakit hati dan melakukan pembalasan, akan tetapi sampai matipun kita akan terus menentang kejahatan. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang pendekar?”

Kembali ketua Cin-ling-pai itu menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya. “Memang demikianlah pendirian kita. Kita menganggap diri sendiri benar. Akan tetapi sayangnya, orang lainpun, termasuk orang-orang yang kita musuhi, juga menganggap mereka benar. Siapakah yang benar kalau kedua fihak sudah merasakan kebenaran masing-masing? Kita semua hanya terseret oleh kekacauan dunia yang melahirkah semua perbuatan yang jahat, isteriku. Tidak mungkin kejahatan di dunia ini dapat dibasmi dengan kekerasan, karena sebab-sebab timbulnya kejahatan itu masih ada. Seribu macam kejahatan boleh dibasmi, akan tetapi seribu macam kejahatan yang lain lagi akan timbul, seperti halnya penyakit. Penyakit yang sudah timbul dapat diobati dan disembuhkah, namun penyakit-penyakit lain akan bermunculan dan perang terhadap penyakit tidak akan pernah habis, seperti juga perang terhadep kejahatan. Tidak, isteriku, kejahatan tidak akan pernah habis selama kejahaten itu dapat memasuki hati siapapun juga. Yang hari ini baik, mungkin besok menjadi jahat, sebaliknya yang hari ini jahat, besok mungkin menjadi baik. Kejahaten seperti penyakit, orang yang melakukan kejahatan seperti orang yang sedang sakit, tentu saja orang sakit bisa sembuh, sebaliknya, yang waraspun sewaktu-waktu bisa saja jatuh sakit!”


Jadi engkau hendak mengatakan bahwa orang-orang seperti kita inipun sekali waktu bisa saja jatuh sakit, maksudmu menjadi jahat?”

“Mengapa tidak, isteriku? Kejahatan hanya suatu penyelewengan, bukan milik orang-orang tertentu, seperti juga penyakit, siapapun bisa saja terkena kalau tidak waspada. Siapapun bisa menyeleweng dari kebenaran kalau terdorong oleh sebab-sebab dari kejahatan.”

“Dan apakah sebab kejahatan, suamiku? Engkau bicara seperti bukan seorang pendekar saja, seperti seorang pendeta!”

“Aihh, pendekar maupun pendetapun hanya manusia-manusia biasa saja yang tidak akan terluput daripada ancaman penyakit itu. Penyebab semua kejahatan sumbernya berada di dalam diri sendiri, isteriku, didorong oleh nafsu-nafsu berupa kebencian, kemarahan, iri hati, dendam yang kesemuanya menyeret kita ke dalam lembah pertentangan dan permusuhan, maka timbul perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan karena ini oleh yang dirugikan disebutlah kejahatan. Oleh karena itu, baik ia pendekar maupun pendeta, setiap saat dapat saja kejangkitan penyakit itu kalau dia tidak waspada setiap saat terhadap dirinya sendiri.”

Percakapan mereka terpaksa berhenti ketika seorang anak murid Cin-ling-pai dengan sikap tegang melaporkan bahwa di luar terdapat tamu-tamu yang ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai dan isterinya! Melihat sikap anak murid yang mukanya agak pucat dan sinar matanya mengandung ketegangan itu, Cia Keng Hong cepat berkata kepada isterinya, “Mari kita keluar!”

Sie Biauw Eng sudah mengenal benar sikap suaminya, maka begitu suaminya mengeluarkan kata-kata itu, diapun menjadi waspada karena tentu ada sesuatu yang menegangkan hati suaminya. Tanpa banyak cakap diapun mengikuti suaminya keluar menyambut tamu yang sudah berada di ruangan depan dan agaknya telah dipersilakan duduk oleh anak murid Cin-ling-pai yang menjaga di luar.

Begitu mereka kduar, Kun Liong telah membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng dan nyonya ini terhuyung-huyung menyebut ayah bundanya, menjatuhkan diri berlutut, dan berkata dengan suara terisak, “Ayah... ibu... mereka telah menghinaku...!”

Melihat puterinya berlutut dan menangis, Biauw Eng terkejut sekali. Nenek ini juga berlutut dan merangkul puterinya. “Keng-ji, apa yang terjadi...?” Akan tetapi Giok Keng tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena dia sudah menangis tersedu-sedu.

Cia Keng Hong yang melihat bahwa yang datang adalah Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang yang kelihatannya sebagai pelayan biasa, menjadi terkejut dan juga terheran-heran. Cepat dia menjura dengan hormat kepada Kok Beng Lama sambil berkata, “Kiranya losuhu Kok Beng Lama yang datang dan engkau Kun Liong. Agaknya ada urusan yang amat penting sekali sehingga mengejutkan kami. Apakah yang telah terjadi...?”

Kun Liong tidak mampu menjawab. Berhadapan dengan pendekat sakti yang dihormat dan dijunjungnya tinggi itu, dia menjadi sungkan sekali dan tidak berani bicara. Kok Beng Lama yang berkata, “Hemm... urusan yang amat buruk, Cia-taihiap. Harap kautanyakan kepada puterimu itu saja.”

Makin terkejutlah hati Cia Keng Hong melihat sikap Kun Liong dan mendengar jawaban Kok Beng Lama itu, dan diapun menoleh kepada Giok Keng yang masih menangis di pundak ibunya.

“Giok Keng, apa yang telah terjadi? Hayo jawab!” Keng Hong berkata kepada puterinya yang masih menangis.

“Ayah...” Giok Keng menjawab tanpa mengangkat mukanya dari pundak ibunya. “Mereka telah menghinaku, mereka telah menawanku dengan kekerasan, membawaku ke sini dengan kekerasan dan dengan paksa. Mereka menotokku dan menyeretku ke sini, ayah... mereka benar?benar telah menghinaku dan menuduh aku menjadi pembunuh...!” Giok Keng menangis lagi.

Mendengar ini, seketika Sie Biauw Eng bangkit berdiri dan melepaskan rangkulan puterinya. Mukanya menjadi merah, matanya bersinar-sinar seeprti mengeluarkan api dan dia memandang berganti-ganti kepada Kun Liong dan Kok Beng Lama seolah-olah hendak ditelannya kedua orang itu.

“Keparat...!” Sie Biauw Eng sudah berseru dengan kemarahan meluap. “Sungguh tidak memandang sebelah mata kepada ayah dan ibu Cia Giok Keng, berani benar bersikap sewenang-wenang dan menghina anakku! Kok Beng Lama, apa artinya ini? Kun Liong, apakah engkau hendak menantang kami?” Nyonya tua itu sudah marah sekali dan kalau saja lengannya tidak dipegang oleh suaminya, agaknya dia sudah menerjang maju dan menyerang kedua orang itu.

“Supek... dan supekbo (uwa guru)... saya... isteri saya...” Kun Liong tidak mampu melanjutkan karena dia menjadi gugup sekali. Memang dia tahu bahwa perbuatan mereka memaksa Giok Keng ke Cin-ling-pai merupakan penghinaan, akan tetapi hal itu dilakukannya untuk mencegah. Kong Beng Lama membunuh Giok Keng. Memang sukar bagi dia menghadapi Kok Beng Lama yang keras hati dan kini menghadapi ibu Giok Keng yang tidak kalah galaknya.

“Hayo katakan! Mengapa kalian menghina Giok Keng? Apa hubungannya dengan isterimu?” Sie Biauw Eng membentak, makin marah.

“Isteri teecu... mati terbunuh...”


Cia Keng Hong terkejut sekali mendengar itu dan mukanya berubah, pandang matanya ditujukan kepada Kun Liong dengan penuh iba den alisnya berkerut. Akan tetapi Sie Biauw Eng yang baru saja mengalami kedukaan karena delapan orang anak muridnya dibunuh orang dan pedang pusaka dicuri orang, kini masih marah oleh keadaan Giok Keng, maka tanyanya dengan suara masih ketus, “Isterimu mati dibunuh orang, apa hubungannya dengan Giok Keng? Mengapa kau menghinanya?”

“Toanio, kami datang minta keadilan. Anakku Pek Hong Ing itu dibunuh oleh anak nyonya ini.”

Ucapan Kok Beng Lama itu membuat Cia Keng Hong menjadi makin terkejut sekali, dia mengeluarkan seruan keras dan meloncat ke belakang, menoleh dan memandang kepada puterinya dengan mata terbelalak. Juga Sie Biauw Eng terkejut bukan main, akan tetapi ibu ini tentu saja membela anaknya dan dia cepat mendekati Giok Keng sambil bertanya, “Keng-ji, benarkah engkau membunuh isteri Kun Liong? Dan kalau benar, apa sebabnya?” Jelas bahwa membunuh atau tidak, Sie Biauw Eng siap untuk membela anaknya itu!

“Ohhh, ibuuu...!” Kembali Giok Keng menubruk dan merangkul kaki ibunya, menangis. “Aku tidak membunuhnya, ibu. Aku tidak membunuhnya!”

“Cukup! Hentikan tangismu, tenanglah! Biar setanpun, akan kulawan kalau dia berani menuduhmu yang bukan-bukan. Hayo, bankit dan berdirilah!” Sie Biauw Eng membentak dan Giok Keng lalu bangkit berdiri, kepalanya menunduk, Sie Biauw Eng kini melangkah ke depan, menghadapi Kun Liong dan Kok Beng Lama, hidungnya kembang-kempis, matanya seperti mengeluarkan api saking marahnya.

“Hemm, kalian sungguh tidak tahu aturan! Kalian menggunakan kepandaian untuk menghina anakku, memaksanya dan
menawannya seolah-olah dia seorang penjahat! Aku yang menjadi ibunya tidak terima akan perlakuan dan penghinaan ini!”

“Omitohud...! Kasih seorang ibu memang membuta, biar anaknya berdosa sekalipun, tetap akan dibelanya. Anakmu telah membunuh anakku, dan aku minta diganti dengan nyawa!”

“Kau menuduh dengan membuta, Kok Beng Lama! Dan andaikata anakku membunuh seseorang, itupun tentu dilakukan karena suatu hal. Kau minta ganti nyawa? Nyawamu sendiri gantinya!”

“Jangan...!” Cia Keng Hong berseru, akan tetapi Sie Biauw Eng sudah menerjang dengan dahsyatnya, menghantam ke arah dada dan perut Kok Beng Lama dengan pukulan bertubi-tubi dari Ilmu Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun) yang selain mengandung racun juga didorong oleh tenaga yang amat dahsyat dan kuat.

“Plak-plak-desss...!” Sie Biauw Eng kalah tenaga dan dia terlempar ke belakang, terhuyung sampai beberapa langkah.

“Losuhu, tak baik memamerkan kepandaian di sini!” Cia Kem Hong menjadi tidak senang melihat isterinya terdesak itu dan dia sudah menggerakkan tanngannya, siap untuk menghadapi Lama yang sebetulnya adalah guru dari puteranya sendiri itu. Akan tetapi pada saat itu, Kun Liong moloncat di tengah-tengah dan cepat dia berkata dengan suara lantang.

“Supek! Gak-hu! Tahan dulu...! Tidak ada gunanya pertempuran di antara kita sendiri. Ada urusan dapat diurus dengan kebenaran. Supek, sebelum supek dan supekbo mendengarkan urusannya, mengapa telah menyalahkan kami? Harap supek berdua suka lebih dulu mendengarkan apa yang telah terjadi, baru mengambil keputusan. Kalau, supek berdua menganggap saya bersalah dalam urusan ini, saya menyerahkan nyawa saya kepada supek berdua untuk kedosaan saya memaksa Giok Keng ikut datang ke Cin-ling-pai.”

Mendengar ucapan Kun Liong itu, Cia Keng Hong menjadi sadar dan dia cepat memegang lengap isterinya, mencegah isterinya yang sudah melolos sabuk sutera putih yang merupakan senjata yang amat ampuh itu. “Kun Liong benar, kita tidak boloh menuruti nafsu amarah, biarlah kita dengarkan apa yang telah teriadi sebetulnya. Kun Liong, ceritakanlah apa yang telah terjadi, mari kita duduk sambil bicara dengan baik-baik.”

Biarpun masih marah, akan tetapi Sie Biauw Eng tidak mau membantah suaminya, dan dia menggandeng tangan puterinya, diajak memasuki ruangan tamu di mana mereka semua duduk. Cia Keng Hong memberi isyarat kepada semua murid Cin-ling-pai untuk menjauh dan jangan mendekati tempat itu karena yang akan dibicarakan adalah urusan keluarga.

“Nah, berceritalah,” Cia Keng Hong berkata kepada Kun Liong.

Dengan suara penuh duka, Kun Liong lalu menceritakan tentang kepergiannya mencari Yap In Hong untuk membujuk adiknya itu dan memberitahukan tentang perjodohannya dengan Bun Houw seperti yang ditetapken oleh Cia Keng Hong. Kemudian betapa ketika dia pulang ke rumahnya, dia menemukan isterinya telah tewas dibunuh orang dan menurut penuturan kedua orang pelayannya, isterinya itu baru saja bercekcok dan bertempur melawan Cia Giok Keng.

“Saya sendiri tidak berani menuduh adik Giok Keng yang membunuh isteri saya, akan tetapi supek dan supekbo dapat mendengarkan sendiri pentaturan kedua orang pelayan saya yang sengaja saya bawa ke sini untuk menjadi saksi.” Kun Liong menutup penuturannya dan menghapus dua butir air mata yang menitik keluar dari matanya karena dia teringat kepada isterinya.


Cia Giok Keng dan Sie Biauw Eng mendengarkan dengan muka berubah pucat. Beberapa kali mereka menoleh kepada puteri mereka, akan tetapi Giok Keng hanya menundukkan mukanya yang juga menjadi pucat.

Dengan suara tenang namun agak tergetar Cia Keng Hong lalu minta kepada dua orang pelayan itu untuk bercerita. Khiu-ma yang lebih berani daripada Giam Tun lalu menceritakan semua pengalaman mereka di malam itu, kadang-kadang diseling oleh Giam Tun yang memperkuat keterangan pelayan itu, betapa Giok Keng malam-malam datang dan marah-marah, kemudian betapa nona majikan Yap Mei Lan, melarikan diri kemudian Giok Keng bertempur dengan nyonya majikan mereka, betapa ketika melerai, keduanya dipukul pingsan oleh Giok Keng. Kemudian, ketika mereka sadar, mereka melihat nyonya majikan mereka telah tewas di atas lantai! Tentu saja Khiu-ma bercerita sambil menangis dan kembali Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng saling pandang dengan muka pucat.

“Hemm, Cia-taihiap dan toanio. Ketahuilah bahwa ketika says datang ke Leng-kok, saya melihat Kun Liong hanya menangis di depan kuburan seperti orang gila. Akulah yang memaksa dia untuk menuntut atas kematian anakku dan memaksa puterimu untuk ikut bersama kami ke Cin-ling-pai karena kami menuntut keadilan. Aku tahu bahwa Cia-taihiap adalah seorang yang bijaksana dan adil, seorang pendekar besar yang menjunjung tinggi kebenaran, maka harap saja tidak goyah keadilannya setelah menghadepi urusan yang dilakukan oleh anak sendiri.”

Ucapan ini membangkitkan semangat Cia Keng Hong. Dia menekan lengan isterinya yang sudah hendak membantah, kemudian dia menoleh kepada puterinya, dengan suara keren dia memanggil, “Cia Giok Keng...!”

“Ayahhh...!” Giok Keng menjawab sambil menundukkan mukanya.

“Berlututlah, engkau menghadapi pertimbangan yang harus dilakukan seadil-adilnya!”

Mendengar suara ayahnya yang keren, Giok Keng tidak berani membantah dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di tengah ruangan itu. Dengan tekanan tangan dan pandang mata Cia Keng Hong melarang isterinya yang hendak menghampiri puterinya sehingga ibu yang penu kekhawatiran ini hanya memandang pucat.

“Cia Giok Keng, seorang gagah lebih menjunjung kebenaran daripada nyawa! Kehilangan nyawa bukan apa-apa, akan tetapi kehilanqan nama dan kehormatan merupakan kutukan bagi keluarga turun-temurun. Hayo ceritakan semua dengan jelas, dari awal sampai akhir tentang perbuatanmu di rumah Yap Kun Liong dan apa yang mendorong kau melakukan perbuatan itu!”

Cia Keng Hong bukanlah seorang bodoh. Biarpun dia memegang keras kebenaran dan keadilan, akan tetapi sebagai ayah tentu saja diapun ingin menolong anaknya, maka dia menuntut anaknya menceritakan semua termasuk sebab-sebab yang membuat anaknya itu menyerbu ke rumah Kun Liong!

Dengan suara lirih namun jelas Giok Keng lalu bercerita, dimulai dari peristiwa di dalam pasta Phoa Lee It di mana dia bentrok dengan Yap In Hong yang dianggap menghina adiknya. Dia bercerita dengan terus terang, tentang kemarahannya dan tentang cegahan suaminya yang tidak dihiraukan. Betapa dengan kemarahan meluap dia mendatangi rumah Kun Liong dengan maksud menegur Kun Liong tentang kelakuan adiknya, akan tetapi Kun Liong tidak berada di rumah. Juga dia tidak melewatkan peristiwa dengan Mei Lan puteri Kun Liong yang membangkitkan kemarahannya pula sehingga dalam kemarahannya itu, dia telah membuka rahasia anak itu sehingga anak itu melarikan diri.

“Karena saya membuka rahasa anak itu, Hong Ing marah dan menyerangku. Kami bertempur dan saya memukulnya pingsan. Dua orang pelayan ini datang dan kuanggap hendak membela nyonya majikan mereka, maka juga kupukul pingsan. Kemudian saya pergi meninggalkan rumah itu. Demikianlah, ayah...”

Wajah Cia Keng Hong menjadi sebentar pucat sebentar merah, karena dia merasa marah sekali dengan kelakuan puterinya.

“Karena terbukanya rahasia itu, anak saya Mei Lan melarikan diri sampai kini belum juga dapat ditemukan ke mana larinya,” kata Kun Liong dengan sedih.

“Biarpun dia tidak mengaku telah membunuh anakku, akan tetapi andaikata dia tidak membuat anakku pingsan dan meniggalkannya seperti itu, belum tentu anakku mati! Perbuatannya itu sama juga dengan membunuh anakku!” Kok Beng Lama berkata marah.

Cia Keng Hong mengepal tinjunya, menggigit bibirnya. Perbuatan Giok Keng dianggapnya keterlaluan. Dengan mata terbelalak penuh kemarahan dia memandang puterinya. Agaknya Giok Keng merasa akan pandang mata ayahnya ini, dia mengangkat muka dan melihat pandang mata ayahnya dia meratap, “Ayah... ampunkan... aku tidak membunuhnya, ayah...!”

“Anak durhaka! Engkau menodai nama keluargamu, nama orang tuamu! Engkau ribut dengan Yap In Hong, mengapa menimpakan kesalahan kepada Kun Liong? Engkau marah kepada In Hong dan Kun Liong, mengapa engkau menimpakannya pula kepada Mei Lan dan Hong Ing yang tidak berdosa sehingga menpkibatkan matinya Hong Ing dan minggatnya Mei Lan? Masih belum tahukah engku akan kedosaanmu yang amat besar itu?”

“Ayah... aku... aku bersalah, harap ayah mengampunkan aku...”

“Hemm, orang tua tentu saja mengampuni anaknya, akan tetapi mereka yang kehilangan isteri, kehilangan anak tentu saja tidak akan dapat mengampunimu. Apa kaukira kami akan dapat melindungi dan membela orang berdosa, biarpun dia itu anak kami sendiri? Kau tahu apa yang patut dilakukan seorang gagah yang telah menyadari akan kedosaannya!” berkata demikian, tangan Cia Keng Hong bergerak dan sebatang pedang meluncur dan menancap di depan Giok Keng, di atas lantai, sampal gagang pedang itu tergetar dan mengeluarkan bunyi mengaung.


Aihhh...!” Sie Biauw Eng menjerit.

“Ayahhh...!” Giok Keng juga menjerit.

Akan tetapi Cia Keng Hong memegang lengan isterinya, Sie Biauw Eng meronta?ronta. “Tidak...! Jangan...! Tidak boleh begitu! Suamiku, kau tidak boleh menyuruh dia membunuh diri! Tidak... tidaaaakkk...!” Biauw Eng meronta-ronta ingin melepaskan diri dari pegangan tangan suaminya. Cia Keng Hong lalu menggerakkan jari tangannya dan cepat sekali menotok tengkuk isterinya. Sie Biauw Eng menjadi lemas dan pingsan di atas kursinya, dirangkul suaminya yang memandangnya dengan muka pucat sekali.

“Cia Giok Keng, daripada melihat engkau terbunuh dan terhukum di tangan orang lain, lebih baik melihit engkau mati sebagai seorang gagah yang menebus dosanya sendiri!” berkata Cia Keng Hong pula, dengan suara dingin, sambil merangkul isterinya yang pinsan dan memandang kepada puterinya yang masih berlutut.

Dengan muka pucat Giok Keng memandang pedang yang masih tergetar itu, lalu dia mengangkat muka memandang ayahnya. Tiba-tibal sinar mata itu mengeluarkan cahaya kekerasan, dan suaranya tidak tergetar atau menangis lagi ketika dia berkata. “Ayah! Untuk yang terakhir kali aku katakan bahwa demi nama Langit dan Bumi, aku tidak membunuh isteri Kun Liong. Akan tetapi memang betul, bahwa aku melampiaskan kemarahanku di rumah Kun Liong itu mencemarkan nama ayah dan mengotorkan muka ayah, biarlah aku akan mencuci muka ayah dengan darahku!”

Cia Giok Keng mencabut pedang itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dari luar ruangan tamu itu, “Isteriku... tunggu dulu...!” Dan muncullah Lie Kong Tek yang tinggi besar dengan muka pucat.

“Suamiku...!”

“Isteriku, Giok Keng, apa yang akan kaulakukan ini...?” Lie Kong Tek menubruk dan mereka berangkulan di atas lantai. Giok Keng menangis tersedu-sedu, dan Lie Kong Tek lalu merampas pedang yang telah dicabut oleh Giok Keng. Dengan muka keren Lie Kong Tek menoleh ke arah Cia Keng Hong dan sejenak meraka saling beradu pandang mata.

“Gak-hu, kecewa hati saya menyaksikan keadaaan di sini. Gak-hu terkenal sobagai seorang pendekar sakti, sebagai ketua Cin-ling-pai yang besar, akan tetapi ternyata gak-hu melanggar hak seorang suami! Dahulu, di waktu masih kecil, memang Cia Giok Keng adalah puterimu dan segala hal mengenai dirinya adalah tanggung jawab dan hakmu. Akan tetapi sekarang dia adalah nyonya Lie Kong Tek dan akulah sebagai suaminya, sebagai ayah dari anak-anaknya, yang bertanggung jawab penuh dan berhak pula mengenai mati hidupnya! Mengadili seorang isteri tanpa sepengetahuan suaminya, benar-benar merupakan perbuatan yang paling tidak tahu aturan!”

Ucapan dan sikap yang amat gagah itu seperti menikam ulu hati Cia Keng Hong, dan dia berkata, “Lie Kong Tek, engkau benar, maafkanlah aku. Akan tetapi isterimu itu... anakku itu... dia melakukan dosa besar sekali... dia harus menebusnya sebagai seorang gagah, kalau tidak, dia akan menodai nama keluarga kita semua turun-temurun.”

“Baik, kesalahan isteri adalah tanggung jawab suaminya pula. Kematian orang yang sama sekali bukan dibunuh oleh isteriku, akan tetapi tuduhannya dijatuhkan atas diri isteriku, biarlah ditebus dengan nyawa pula. Istriku, Giok Keng, kaujaga baik-baik anak-anak kita... selamat tinggal!”

“Aihh, jangan...!” Akan tetapi terlambat, Lie Kong Tek sudah menusuk dadanya sendiri dengan pedang itu sampai menembus punggungnya!

Giok Keng menjerit dan menubruk suaminya, Lie Kong Tek memaksa tersenyum dan memandang isterinya. “Giok Keng... semua noda tercuci oleh darahku... kaurawatlah... Seng-ji dan Ciauw Si...” Laki-laki yang gagah perkasa yang usianya baru empat puluh tahun kurang itu memejamkan mata dan kepalanya terkulai di atas pangkuan isterinya, Giok Keng menjerit dan terguling pingsan di atas mayat suaminya!

Sunyi sekali di situ untuk beberapa saat. Sie Biauw Eng masih pingsan di dalam pelukan suaminya. Giok Keng pingsan di atas mayat suaminya. Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan menahan napas, Khiu-ma terisak menangis. Sunyi sekali, kesunyian yang mencekik leher. Kemudian terdengar suara Cia Keng Hong, lemah den gemetar bercampur isak tertahan.

“Apakah kalian berdua sudah puas sekarang...?”

Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan suara penuh penyesalan dia berkata, “Supek... teecu menyesal sekali, teecu yang menyebabkan semua ini terjadi, teceu telah tertimpa malapetaka den kini teecu menyeret supek sekeluarga ikut menderita pula...”

“Yap Kun Liong, aku tidak bisa menyalahkan engkau. Selama orang menuruti nafsu hati sendiri, timbullah sebab dan akibat yang saling berkait dan tiada berkeputusan. Memang kita semua sedang dilanda kelamangan. Baru beberape hari saja delapan orang murid dibunuh orang dan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri, terjadi ketika kami mengunjungimu. Sekarang, isterimu dibunuh orang dan... suaami Giok Keng menebus dengan nyawanya. Ya Tuhan, dosa apa gerangan yang kita lakukan semua...?”

“Supek...” Kun Liong terkejut sekali dan makin menyesal dia mengapa terjadi peristiwa yang demikian hebatnya. Semestinya dia mencegah mertuanya melakukan kekerasan seperti ini. Giok Keng telah kematian suaminya, dan biarpun demikian, tetap saja Hong Ing tidak akan hidup kembali! Sungguh kematian Lie Kong Tek itu amat sia-sia dan dia merasa menyesal sekali. Semua peristiwa mengerikan sakarang ini hanya menjadi hasil dari pemikiran yang penuh dengan kemarahan dan dendam, dan kebencian, sehingga tentu saja menghasilkan hal yang amat buruk. Dia sendiri masih tetap sangsi apakah benar Giok Keng yang membunuh isterinya. Kalau tidak demikian, bukankah perbuatannya ini sama dengan menyebabkan kematian suami Giok Keng! Sama dengan dia sendiri yang membunuh Lie Kong Tek?
Dalam saat pendek itu, setelah menyaksikan kematian Lie Kong Tek, melihat Giok Keng pingsan di atas mayat suaminya, melihat supekbonya pingsan dalam rangkulan supeknya yang wajahnya menjadi pucat, matanya sayu dan dilanda tekanan batin yang amat besar itu, seakan-akan terbukalah mata batin Kun Liong. Peristiwa kematian Hong Ing, adalah suatu kejadian yang tak dapat dirobah oleh apapun juga. Isterinya telah mati. Ini merupakan suatu kenyataan. Pikirannya yang mengacau perasaan hatinya membuat dia berduka. Kedukaan mengeruhkan batin, menimbulkan kemarahan dan dendam kebencian, lebih-lebih lagi dengan datangnya Kok Beng Lama sehingga menimbulkan pula tindakan kekerasan yang dilakukan mereka terhadap Giok Keng. Maka terjadilah bunuh diri dari Lie Kong Tek dan akibat ini tentu akan menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan berekor panjang. Dia menyesal sekali!

“Supek, kematian saudara Lie Kong Tek adalah karena kecerobohan teeeu...”

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. “Yang sudah terjadi tak dapat dirobah lagi, Kun Liong. Biarpun agaknya bukan tangan Giok Keng yang membunuh isterimu, akan tetapi kiranya sama saja, kematian isterimupun mungkin karena kecerobohan Giok Keng. Penyesalan tiada gunanya. Giok Keng sudah melakukan kesalahan besar dan dia kini menanggung akibatnya...”

Seperti tertikam rasa ulu hati Kun Liong mendengar ucapan yang keluar dengan suara penuh duka dan kesabaran itu. Kematian isterinya mungkin juga disebabkan oleh penyelewengan dalam kehidupannya dan seperti ada penerangan memasuki otaknya! Hong Ing kiranya tidak akan bertempur melawan Giok Keng kalau saja isterinya itu tidak marah mendengar Giok Keng membuka rahasia Mei Lan, dan kalau tidak bertempur melawan Giok Keng, isterinya tidak akan pingsan sehingga mudah saja dibunuh orang! Jadi penyebabnya adalah karena adanya Mei Lan di situ, dan Mei Lan adalah hasil dari hubungan gelapnya dengan ibu kandung anak itu, yaitu Lim Hwi Sian (baca cerita Petualang Asmara)! Kalau tidak ada Mei Lan, kalau tidak pernah terjadi perbuatannya yang menyeleweng dengan Hwi Sian, agaknya belum tentu kalau isterinya tercinta itu dibunuh orang! Inikah yang dinamakan hukum karma? Semua sebab akibat sesungguhnya adalah hasil dari perbuatannya sendiri! Yang penting setiap saat sadar akan segala gerak-gerik diri pribadi lahir batin, bukan membiarkan diri terseret ke dalam lingkaran setan berupa sebab dan akibat!

“Supek benar sekali! Biarlah teecu siap untuk menanggung segala yang akan terjadi... harap supek maklum bahwa sebaiknya teecu dan gak-hu mohon diri dan pergi dari sini sekarang juga.”

Cia Keng Hong memandang kepada isterinya dan kepada puterinya yang masih pingsan, lalu mengangguk. “Kurasa sebaiknya begitulah, Kun Liong.” Dan kepada Kok Beng Lama ketua Cin-ling-pai itu berkata. “Selamat jalan, losuhu, dan harap maafkan saja penyambutan kami yang begini tidak menyenangkan atas kunjungan losuhu.”

Pendeta gundul itu sejak tadi termenung dan memandang kepada mayat Lie Kong Tek, hanya mendengarkan percakapan mereka dan kelihatan seperti orang linglung. Mendengar ucapan Cia Keng Hong, dia lalu berkata, suaranya seperti orang yang hendak menangis, “Sambutanmu baik sekali, taihiap, terlalu baik malah! Anakku mati, dan di sini aku malakukan dosa besar. Hong Ing, ayahmu telah menjadi gila...!” Setelah berkata demikian, tanpa pamit lagi pendeta itu berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

Cia Kong Hong menghela napas panjang dan hanya mengangguk ketika Kun Liong berpamit dan memandang pendekar itu pergi diikuti oleh dua orang pelayannya. Pikiran pendekar sakti ini melayang-layang. Betapa sayang dia kepada Kun Liong, betapa kagum dan suka dia kepada pendekar itu yang dahulu ingin sekali dia ambil menjadi mantunya, menjadi suami Giok Keng. Akan tetapi, kalau pemuda itu mau memenuhi permintaannya, adalah Giok Keng yang tidak setuju dan puterinya itu akhirnya menikah dengan seorang pria lain, pilihannya sendiri, yaitu Lie Kong Tek. Dan sekarang, putrinya menimbulkan gara-gara, menyebabkan kematian isteri Kun Liong dan peristiwa ini disusul pula dengan kematian suami Giok Keng. Mengapa di antara kedua orang yang dahulu dia inginkan menjadi jodoh masing-masing itu kini nampaknya seolah-olah selalu timbul pertentangan di antara mereka?
“Keng-ji... mana anakku...?” Sie Biauw Eng sudah siuman begitu dia sadar, dia segera mencari-cari Giok Keng dengan pandang matanya. Ketika melihat Giok Keng menggeletak pingsan di atas mayat suaminya, dia menjerit dan menubruk.
“Giok Keng...! Eh, mantuku... apa yang terjadi...?” Sie Biauw Eng memeriksa dan melihat bahwa Giok Keng tidak apa-apa, hanya pingsan, akan tetapi Lie Kong Tek telah tewas dengan pedang menancap di dada menembus punggung. Dia mencelat ke depan suaminya dan memandang dengan muka pucat den mata terbelalak.

“Apa yang terjadi? Kenapa Kong Tek mati? Dan mana iblis-iblis keparat tadi?” Matanya jelalatan ke kanan kiri seperti mata orang gila.

Cia Keng Hong menahan kegetiran hatinya dan dia cepat bangkit dan memeluk isterinya dengan penuh kasih sayang. Betapa isterinya yang tercinta ini di hari tuanya mengalami kegoncangan batin yang demikian hebat!

“Tenanglah, isteriku. Tenanglah, segala telah terjadi dan tidak dapat dirobah lagi oleh kegelisahan dan kegoncangan kita. Giok Keng tidak apa-apa, akan tetapi suaminya telah mengambil keputusanan pendek, mewakili isterinya dan membunuh diri untuk menebus dosa isterinya.”

“Ohhh...! Si keparat Kun Liong! Iblis tua Kok Beng Lama! Di mana mereka? Biar aku mengadu nyawa dengan mereka!” Sie Biauw Eng menjerit-jerit, akan tetapi suaminya merangkulnya, dan mendekapnya, sambil berbisik-bisik menghibur.

“Biauw Eng... isteriku... apakah setelah tua engkau malah tidak mau tunduk kepadaku...?”



Mendengar bisikan suaminya ini, lemaslah seluruh tubuh Sie Biauw Eng dan dia menangis di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi mendengar penjelasan suaminya yang dilakukan dengan sabar sambil berbisik-bisik, dia mulai dapat melihat kenyataan dan mulai sadar bahwa betapapin juga, Kun Liong yang menerima pukulan batin hebat, karena isterinya mati dibunuh orang itu sama sekali tidak dapat dipersalahkan dan betapapun juga, Giok Keng telah melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan puteri Kun Liong melarikan diri dan isterinya dalam keadaan pingsan terpukul oleh Giok Keng telah dibunuh orang!

Maka dalam keadaan sadar ini Sie Biauw Eng sambil bercucuran air mata dapat menghibur Giok Keng ketika isteri ini siuman dari menangis sesenggukan, menangisi kematian suaminya yang mengorbankan diri untuk mewakilinya menebus dosa! Cia Keng Hong mengumpulkan semua anggauta Cin-ling-pai dan dengan suara keren dan memperingatkan semua anak buah Cin-ling-pai untuk merahasiakan apa yang telah terjadi di Cin-ling-san pada hari itu dan hanya mengabarkan bahwa mantu ketua Cin-ling-pai telah meninggal dunia karena menderita sakit. Para anak buah Cin-ling-pai memang tidak ada yang melihat bagaimana matinya Lie Kong Tek, akan tetapi karena mereka melihat bahwa pada waktu itu Cin-ling-pai kedatangan pendekar Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang pelayan dari Leng-kok, diam-diam mereka menduga bahwa kematian mantu ketua mereka tentunya ada hubungannya dengan para tamu itu! Akan tetapi mereka tidak berani menduga sembarangan dan semua menutup mulut setelah menerima pesan dan peringatan keras dari ketua mereka.

Untuk kedua kalinya selama beberapa pekan saja, Cin-ling-pai berkabung dan jenazah Lie Kong Tek dikubur di lereng Gunung Cin-ling-san, dihadiri oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu. Cia Giok Keng kelihatan tenang-tenang saja dan sudah tidak banyak menangis lagi, akan tetapi wajahnya agak pucat, sinar matanya sayu dan muram, rambutnya agak awut-awutan, dan kering, pakaian berkabung berwarna putih itu menambah kemuraman wajahnya.

***

Hidup! Betapa penuh rahasia,
manusia tenggelam timbul
dalam permainannya,
terhimpit di antara suka dan duka,
matang mengeriput di antara
tangis dan tawa.

Selalu mengejar kesenangan
selalu menghindari ketidak-senangan
menimbulkan perbandingan
dan pilihan
oleh dwi unsur (im-yang)
manusia dipermainkan.

Mengapa suka?
mengapa duka?
mengapa mengejar kepuasan?
mengapa menghindari kekecewaan?

Hadapilah semua ini
dengan kewaspadaan wajar dan murni,
tidak menolak tidak menerima
hanya memandang apa adanya!

Bebas dari pengalaman dan pengetahuan
tidak mencari tidak menyimpan
di dalam apa adanya, kenyataan
mengandung keindahan,
cinta kasih, kebenaran!

Dua orang anak yang baru datang disusul ke Sin-yang oleh lima orang anak murid Cin-ling-pai itu berlutut dan bersembahyang sambil menangis di depan peti mati ayah mereka. Mereka itu adalah Lie Seng, putera Lie Kong Tek yang berusia dua belas tahun, dan Lie Ciauw Si, puterinya yang berusia sepuluh tahun. Giok Keng yang menemani anak-anaknya itu bersembahyang, tak dapat menahan isaknya, sungguhpun dia telah menahan-nahannya.

“Ibu, kenapa ayah mati?” Lie Seng bertanya setelah selesai bersembahyang, memandang kepada ibunya dan matanya yang tajam dan membayangkan kekerasan hati seperti mata ibunya itu memancarkan pertanyaan yang penuh sedih dan kecurigaan.

“Ayahmu meninggal dunia karena sakit mendadak yang amat berat, Seng-ji,” jawab Giok Keng yang telah dipesan oleh ayahnya untuk tidak menceritakan semua peristiwa itu kepada anak-anaknya karena hal itu hanya akan menanamkan bibit dendam yang kelak akan melibat kehidupan anak-anak itu sendiri.

“Akan tetapi ketika ayah berangkat, dia berada dalam keadaan sehat, sama sekali tidak sakit!” Lie Ciauw Si berkata. Anak ini lebih mirip ayahnya, pendiam, akan tetapi serius dan cerdas.

“Ayah kalian meninggal karena sakit mendadak yang amat berat, anak-anakku,” kembali Giok Keng berkata.

“Ibu, ayah pernah bilang bahwa terlalu sering seorang yang mempelajari ilmu silat mati terbunuh lawan. Apakah ayah mati terbunuh orang?” kembali Lie Seng bertanya.


Dan andaikata ayah terserang penyakit mendadak, di sini ada kong-kong (kakek yang memiliki kepandaian tinggi, masa tidak bisa mengobatinya sampai sembuh?” Lie Ciauw Si bertanya lagi.

Mendengar pertanyaan anak-anaknya yang mendesak itu, Giok Keng menjadi kebingungan akan tetapi untung ada Cia Keng Hong yong mendengar pertanyaan-pertanyaan itu lalu berkata, “Lie Seng, biarpun benar seperti kata-kata mendiang ayahmu, bahwa orang yang mempelajari ilmu silat mati terbunuh lawan, akan tetapi matinya itu bukan karena mempelajari ilmu silat, melainkan karena ulahnya sendiri yang suka berlawanan atau bermusuhan. Dan ayahmu, biar sejak kecil mempelajari ilmu silat, tidak pernah mencari permusuhan dengan orang lain. Tidak, dia tidak mati terbunuh orang, dan kau harus percaya kepeda keterangan ibumu. Ciauw Si, kong-kongmu ini hanya seorang biasa saja, dan memang mungkin bisa mengobati orang sakit yang belum semestinya mati, akan tetapi mana ada kekuasaan untuk menentukan mati hidupnya seseorang? Sudahlah, cucu-cucuku, ayah kalian telah meninggal dunia dan hal ini tidak dapat dirobah lagi, dan tidak ada gunanya kalau kalian merasa berduka dan menyesal. Yang panting sekarang kalian harus menumpahkan semua kasih sayang kalian kepada ibu dan selalu mendengar kata-kata ibu kalian yang tentu lebih mengerti daripada kalian. Mengertikah?”

“Baik, kong-kong.” Kedua orang anak itu mengangguk, akan tetapi melihat mulut dan pandang mata mereka, maklumlah Cia Keng Hong bahwa hati kedua orang anak kecil ini masih merasa penasaran.

Setelah peti jenazah Lie Kong Tek dikubur, Cin-ling-pai masih berada dalam suasana berkabung. Cia Giok Keng yang biasanya lincah itu kini menjadi pendiam, wajahnya selalu muram dan diam-diam dia menyesali semua perbuatannya sendiri karena diapun kini insyaf dan sadar bahwa kematian suaminya itu sesungguhnya menjadi akibat dari perbuatannya sendiri, merupakan rentetan dari sebab-sebab yang dimulai oleh sikapnya yang pemarah. Karena dia sendiri merasakan betapa pedihnya hati ditinggal mati suami, maka kini dia dapat pula membayangkan betapa hancur rasa hati Kun Liong melihat isterinya mati dibunuh orang! Dan dia merasa manyesal sekali. Setelah kini kemarahannya mereda, dia dapat memaklumi sikap Kun Liong dan Kok Beng Lama yang memaksanya ikut ke Cin-ling-pai karena mereka menuntut keadilan dari ketua Cin-ling-pai. Minta keadilan dari ayahnya dan tidak turun tangan sendiri saja sudah membuktikan betapa Kun Liong menghormat ayahnya. Andaikata dia sendiri yang menjadi Kun Liong, agaknya dia akan turun tangan secara langsung saja untuk membalas dendam! Akan tetapi, menginsyafi kesalahan sendiri memang merupakan hal yang paling sukar dilakukan di dunia ini oleh manusia. Giok Keng memang sudah menyadari kesalahannya, akan tetapi dia secara tidak sadar masih menutupi kesalahan itu dengan menyalahkan In Hong yang dianggapnya menjadi biang keladinya! Kalau saja In Hong tidak menghinanya di pesta itu, tentu tidak mungkin dia datang marah-marah ke rumah Kun Liong.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cin-ling-san kedatangan dua orang tamu wanita. Keduanya masih muda-muda dan cantik-cantik, dan kepada para anggauta Cin-ling-pai yang berjaga di luar mereka menyatakan hendak berjumpa dengan ketua Cin-ling-pai. Semenjak terjadinya peristiwa menyedihkan itu, para anggauta Cin-ling-pai mengadakan penjagaan siang malam dan Cia Keng Hong sudah memerintahkan agar tidak memperbolehkan siapapun juga memasuki pintu gerbang sebelum melapor kepada ketua dan memperoleh ijin ketua sendiri. Hal ini perlu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, karena agaknya Cin-ling-pai selalu dikelilingi oleh bencana-bencana yang mengancam.

Melihat dua orang wanita muda yang cantik jelita, yang seorang membawa pedang di punggungnya, dan yang kedua, lebih muda dan memiliki kecantikan yang aneh, memandang dengan wajah berseri dan penuh harapan, para penjaga lalu bertanya siapa adanya mereka dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai.

“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak murid Cin-ling-pai maka aku tidak perlu pula memperkenalkan nama. Urusanku hanya dengan ketua Cin-ling-pai maka aku hanya akan memperkenalkan nama kepadanya saja,” jawab gadis cantik yang membawa pedang dengan suara dingin dan pandang mata tajam.

“Aihh, kalau begitu bagaimana kami harus melapor kepada ketua kami, nona?” Seorang di antara anak murid Cin-ling-pai berseru, agak penasaran karena nona yang cantik jelita dan kelihatan gagah ini tidak mau memperkenalkan nama.

Tiba-tiba gadis remaja yang lebih muda itu berkata. “Namaku Yalima dan aku ingin bertemu dengan kanda Cia Bun Houw, harab kau suka berbaik hati memanggil dia keluar!”

Mendengar ini dua orang anak murid lalu berlari-lari ke dalam untuk melaporkan. Memang dua orang dara itu adalah Yalima dan Yap In Hong. Setelah dengan paksa merampas dara Tibet itu dari tangan Go-bi Sin-kouw, In Hong lalu mengajak Yalima pergi ke Cin-ling-san untuk menuntut agar Cia Bun Houw mengawini gadis ini dan dengan sendirinya dia sekalian hendak memutuskan tali perjodohan antara dia dengan pemuda putera ketua Cin-ling-pai. Tentu saja dia sama sekali tidak tahu akan peristiwa yang baru saja terjadi di Cin-ling-san dan kedatangannya didorong hati tidak senang akan sikap Cia Bun Houw yang dianggapnya tidak setia, sudah berpacaran dengan Yalima namun masih hendak mengikat jodoh dengan dia!

Mendengar bahwa dua orang gadis yang datang bertamu hendak bertemu dengan dia, dan yang seorang mengaku bernama Yalima hindak bertemu dengan Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai menjadi terheran-heran. Setelah banyak peristiwa aneh terjadi dan menimbulkan malapetaka, hati ketua Cin-ling-pai ini diliputi penuh keraguan, dan dia tidak melarang ketika dia menanti kunjungan dua orang tamunya itu ditemani oleh isterinya dan oleh Giok Keng.


Yap In Hong dan Yalima memasuki pintu gerbang, dan biarpun dia melihat banyak anak murid Cin-ling-pai yang memandangnya penuh kecurigaan dan keadaan mereka seperti dalam keadaan siap siaga, In Hong berjalan dengan langkah tenang saja. Akan tetapi diam-diam dia memperhatikan sekelilingnya. Para anggauta Cin-ling-pai itu kelihatan gagah-gagah dan lincah, gerak-gerik mereka jelas menunjukkan dasar ilmu silat yang tinggi, maka dia merasa heran mengapa tempat yang sekuat ini sampai dapat dibobolkan musuh yang berhasil mencuri pedang pusaka terkenal dari Cin-ling-pai itu. Sebaliknya, Yalima yang sudah mengharapkan akan dapat segera berhadapan dengan kekasihnya, tidak memperhatikan apa-apa kecuali memandang ke depan dengan wajah berseri-seri dan otomatis tangannya membereskan rambutnya yang terurai den pakalannya yang kusut.

Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memandang dua orang gadis cantik jelita itu dengan sinar mata kagum dan heran karena suami isteri tua ini tidak mengenal mereka. Memang dua orang gadis itu amat mengagumkan. Yap In Hong memiliki kecantikan yang gagah dan sikapnya menimbulkan segan di hati orang yang memandangnya, karena jelas tampak bahwa orang tidak boleh main-main dengan dara yang kecantikannya diliputi kedinginan membeku itu. Sebaliknya, Yalima yang masih remaja dan kekanak-kanakan itu berwajah cerah dan ramah, sinar matanya berseri-seri dan mulutnya tersenyum penuh gairah hidup, akan tetapi mata gadis ini mencari-cari karena dia tidak melihat adanya Bun Houw di situ. Sebaliknya, In Hong juga memandang tajam penuh selidik dan alisnya agak berkerut ketika dia melihat Cia Giok Keng berada pula di tempat itu.

Dapat dibayangkan betapa munculnya Yap In Hong ini membuat Giok Keng merasa seolah-olah api di dalam dadanya yang sudah hampir padam itu berkobar lagi, kepanasan hatinya membara, mendatangkan kebencian dan kemarahan yang tak tertahankan lagi.

“Yap In Hong, bocah hina! Engkau datang mengantar kematian!” bentak Giok Keng dan dia sudah menerjang maju dengan pedang Gin-hwa-kiam di tangannya, melakukan serangan kilat dan maut karena dia maklum betapa lihai adik Kun Liong ini.

Yap In Hong dengan sikapnya yang dingin dan tenang, memang sudah selalu siap akan menghadapi segala kemungkinan. Dia tersenyum mengejek, dengan kecepatan mengagumkan dia mengelak ke kiri dan sekali tangannya meraba punggung, tampak sinar lihat dan pedangnya sudah tercabut dan terus balas menyerang dengan tusukan kilat ke arah lambung Giok Keng.

“Tranggg... cringgg... cringgg...!” Bunga api muncrat berhamburan ketika berkali-kali dua batang pedang bertemu, akan tetapi pertemuan pedang terakhir itu membuat Giok Keng terhuyung ke belakang sampai lima langkah.

“Engkau menyambut tamu dengan pedang? Bagus! Jangan kira aku takut!” In Hong mengejek dan kini dia manerjang ke depan dengan serangannya. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung cepat den kuat sekali sehingga ketika Giok Keng memutar pedangnya menangkis, kembali nyonya muda ini terdesak hebat. Melihat ini, Sie Biuww Eng sudah mengeluarkan seruan keras dan nenek yang dahulu terkenal dengan gin-kangnya yang hebat itu telah mencelat ke depan, seperti seekor burung rajawali saja dia terbang ke situ dan dari atas dia mencengkeram dengan pengerahan tenaga Ngo-tok-ciang.

Mendengar sambaran angin dahsyat dari atas, In Hong terkejut sekali. Pedangnya sedang bergulat dengan sinar pedang Giok Keng, maka menggunakan pedangnya berarti membuka diri untuk serangan pedang dari depan, maka kini tangan kirinya yang bergerak ke atas hendak menangkap lengan nenek yang menyerangnya dari atas secara hebat itu.

“Dukkk!” Tubuh In Hong tergetar akan tetapi nenek Sie Biauw Eng juga terlempar dan begitu kakinya tiba di atas tanah, dia sudah melolos senjatanya yang amat ampuh yaitu Pek-in Sin-pian, sabuk sutere putih yang dahulu pernah mengangkat namanya di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun Siu-li (baca cerita Siang-bhok-kiam)!

In Hong moloncat ke belakang, melintangkan pedangnya di depan dada, dan dia memandang dengan mata mengejek dan senyum memandang rendah. “Bagus, kiranya beginikah Cin-ling-pai yang tersohor itu, menyambut tamu dengan serangan-serangan senjata? Apakah engkau ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu, mengapa tidak sekallan maju mengeroyok aku biar ramai?”

Wajah Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Pertama-tama, dia marah kepada isteri dan puterinya yang terburu nafsu, dan kedua dia marah kepada gadis yang mulutnya amat tajam, lebih tajam dari pedangnya itu. Juga dia terkejut menyaksikan gerakan ilmu pedang dari gadis itu, yang selain aneh juga amat lihai, bahkan tenaga sin-kang dari gadis ini sudah tentu lebih kuat daripada tenaga isterinya!

“Kalian mundurlah! Sungguh tidak semestinya menuruti hati panas!” Ditegur dengan suara keren ini, Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng mundur, akan tetapi tidak menyimpan senjata mereka dan mata mereka masih memandang ke arah In Hong dengan penuh kemarahan. Cia Keng Hong lalu manghadapi In Hong yang masih memegang pedang dan dengan halus dia berkata, “Harap nona maafkan puteri kami. Menurut laporan, nona hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, nah, akulah ketua Cin-ling-pai. Nona siapa dan ada keperluan apa nona datang ke sini?” Biarpun tadi mendengar puterinya menyebut nama dara ini, dan kini melihat wajah In Hong yang persis dengan wajah mendiang sumoinya, Gui Yan Cu yang cantik jelita dia tidak meragu lagi bahwa dara ini adalah adik kandung Kun Liong, namun Cia Keng Hong bersikap keren karena melihat sikap dara itupun dingin dan garang.

In Hong sejenak memandang kepada dua orang wanita yang tadi menyerangnya, kemudian menoleh kepada Cia Keng Hong, menarik napas panjang dan menyarungkan kembali pedangnya, kemudian dia menjura kepada ketua Cin-ling-pai itu. “Harap locianpwe yang memaafkan saya karena kelancangan saya. Sudah lama saya mendengar akan nama besar ketua Cin-ling-pai dan ternyata memang sikap locianpwe amat mengagumkan hati saya. Saya bernama Yap In Hong dan... kiranya locianpwe telah tahu siapa saya...”

Hem, kalau tidak salah, engkau adalah puteri dari mendiang sumoi Gui Yan Cu dan suaminya, sahabatku yang baik Yap Cong San. Engkau adalah adik kandung dari Yap Kun Liong, bukan?”

“Dugaan locianpwe benar, dan karena ibuku adalah sumoi dari locianpwe, semestinya locianpwe adalah supek saya. Akan tetapi karena sejak lahir tidak ada hubungan, maafkan kalau saya menyebut dengan sebutan locianpwe.”

Cia Keng Hong menarik napas panjang. Tak disangkanya bahwa anak perampuan dari sumoinya yang lenyap sejak kecil itu kini bersikap seperti itu, kaku dan dingin, sama sekali berbeda dengan sikap Gui Yan Cu dahulu yang ramah, lincah, jenaka dan gembira serta hangat, seperti sinar matahari pagi.

“Kalau demikian yang kaukehendaki, terserah kepadamu, nona. Kemudian, urusan apakah yang kaubawa ke sini dan siapa pula gadis asing ini?”

“Locianpwe, kedatangan saya ini adalah untuk membicarakan soal ikatan jodoh yang diusulkan antara saya dan putera locianpwe, seperti yang pernah saya dengar dari kakak kandung saya Yap Kun Liong.”

Kembali Cia Keng Hong menyesal sekali mengapa gadis ini menyebutkan nama kakak kandungnya tanpa perasaan bersaudara same sekali, seolah-olah yang bernama Yap Kun Liong adalah seorang asing baginya.

“Memang demikianlah tadinya hasrat hati kami, untuk menyambung kembali hubungan antara orang tuamu dengan kami. Lalu bagaimana kehendakmu?”

“Saya datang untuk membatalkan perjodohan itu. Ikatan yang dilakukan di luar tahu saya itu harus diputuskan.”

“Perempuan sombong! Siapa kesudian mempupyal adik ipar seperti engkau?” Tiba-tiba Giok Keng membentak, marah sekali.

“Hemm, gadis ini benar-benar lancang mulut dan tidak memandang mata kepada kita.” Sie Biauw Eng berkata kepada suaminya, “Sungguh tidak patut menjadi puteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu!”

Cia Keng Hong mengangkat tangan memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk diam, kemudiam dia menghadapi In Hong, berkata dengan suara keren “Tidak ada yang akan memaksamu berjodoh dengan putera kami, nona.”

In Hong merasa tidak enak juga, karena kata-kata dan sikapnya seolah-olah merendahkan keluarga ini, maka cepat-cepat dia berkata, “Harap locianpwe maafkan. Tidak ada maksud lain dalam penolakanku itu kecuali adanya kenyataan bahwa putera locianpwe itu yang bernama Cia Bun Houw, sudah mempunyai calon isteri, maka amatlah tidak baik kalau dijodohkan lagi kepada saya.”

“Eh, lancang mulut! Apa maksudmu menghina puteraku?” Sie Biauw Eng berseru.

“Hemm, nona. Apa maksud kata-katamu itu?” Cia Keng Hong juga bertanya, heran dan mulai tidak senang.

“Locianpwe, saya hanya mengatakan apa adanya dan tidak bermaksud menghina. Adik Yalima dari Tibet ini adalah calon isteri Cia Bun Houw dan mereka sudah saling mencinta, oleh karena itu tidaklah semestinya kalau Cia Bun Houw dijodohkan dengan orang lain. Demi keadilan, saya menuntut agar adik Yalima dijodohkan dengan Cia Bun Houw...”

“Lancang! Siapa kau yang hendak menentukan jodoh puteraku? Keparat!” Sie Biauw Eng memaki.

“Sudahlah, isteriku, jangan membikin ruwet urusan. Nona Yalima, benarkah apa yang diceritakan oleh nona Yap In Hong ini?” Cia Keng Hong kini memandang kepada Yalima. Seorang dara yang manis sekali dan tidak aneh kalau puteranya itu suka kepada nona ini, akan tetapi nona ini masih terlalu muda, masih kekanak-kenakan, sungguhpun harus diakuinya bahwa Yalima amat cantik jelita dan penuh semangat.

Muka Yalima menjadi merah sekali akan tetapi karena dia sudah bertekad untuk mencari Bun Houw, maka dia lalu dengan suara lancar namun agak kaku, menceritakan tentang keadaan dirinya, betapa dia dan Bun Houw sudah saling mencinta, betapa Bun Houw menolong dia ketika dia hendak diserahkan kepada pangeran di Lhasa oleh ayahnya dan betapa setelah Bun Houw pulang, kembali dia hendak dipaksa ayahnya untuk menjadi selir pangeran di Lhasa. Maka dia lalu minggat dan ditolong oleh Go-bi Sin-kouw, betapa kemudian dia hampir diperkosa oleh orang jahat dan ditolong oleh In Hong.

“Demikianlah, locianpwe, karena satu-satunya orang di dunia ini yang saya percaya dan saya cinta adalah Houw-koko, maka saya berusaha untuk menemuinya dan untuk menghambakan diri selama hidup saya kepadanya.” Yalima menutup ceritanya dengan kata-kata yang diucapkan dengan suara penuh harapan ini.

Sie Biauw Eng, mengerutkan alisnya, hatinya kecewa dan tidak senang same sekali mendengar semua itu. Tidak jadi bermantukan Yap In Hong tidak apa-apa baginya, bahkan menyaksikan sikap nona itu diapun tidak sudi lagi untuk mengambil mantu, akan tetapi kalau puteranya harus berjodoh dengan gadis Tibet ini, tanpa campur tangan dia dan suaminya, sungguh dia merasa terhina dan tidak setuju! Akan tetapi, Cia Keng Hong yang bijaksana melihat betapa Yalima benar-benar setia dan mencinta Bun Houw, sungguhpun gadis itu masih terlalu muda dan dia sendiri bukan berarti suka mempunyai mantu gadis Tibet ini, akan tetapi untuk menyudahi urusan yang bisa menimbulkan keruwetan dengan In Hong yang sikapnya keras itu, dia berkata kepada In Hong.

Nona Yap In Hong, urusan jodoh adalah urusan pribadi keluarga kami. Hubungan antara kami dengan nona hanyalah tentang jodoh antara nona dan putera kami. Karena jelas bahwa nona tidak menerima ikatan jodoh itu, maka mulai saat ini rencana perjodoban itu kita batalkan saja. Adapun mengenai jodoh putera kami selanjutnya, tidak ada orang lain yang boleh mengaturnya. Harap saja engkau maklum akan hal ini!” Suara Cia Keng Hong ketika mengatakan kalimat terakhir itu bernada kerasa dan sejenak dia dan Yap In Hong saling beradu pandang mata. Akhirnya In Hong menundukkan matanya, tak tahan menghadapi sinar mata yang tajam dan penuh wibawa itu dan dia berkata.

“Saya tidak hendak mencampuri perjodohan orang lain, akan tetapi bagaimana dengan adik Yalima? Sebagai sesama wanita saya harus memperhatikan nasib dirinya yang terlunta-lunta karena mencari putera locianpwe.”

“Itupun adalah urusan kami sendiri. Yalima sebagai sahabat putera kami tentu kami terima sebagai tamu dan biarlah dia menanti di sini sampai putera kami pulang. Saya ulangi lagi, hal jodoh di antara mereka adalah urusan kami sekeluarga sendiri!”

Yap In Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia bersikeras, berarti dialah yang tidak benar, maka dia hanya mengangguk pendek dan berkata, “Baik, saya akan pergi sekarang. Saya percaya bahwa adik Yalima berada di tangan keluarga baik-baik. Akan tetapi kelak saya masih akan menyelidiki tentang nasibnya di sini. Selamat tinggal den maafkan saya, locianpwe.” Setelah berkata demikian, Yap In Hong membalikkan tubuhnya pergi dari situ dengan sikap angkuh.

“Setan...!” Giok Keng dengan pedang terhunus hendak mengejar, juga Sie Biauw Eng memandang dengan kemarahan meluap.

“Bocah itu kurang ajar benar!”

Akan tetapi Cia Keng Hong meloncat dan menghadang mereka. “Ingat, dia adalah puteri mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dan sikapnya seperti itu bukanlah pembawaan wataknya. Tidak mungkin keturunan mereka berwatak demikian. Dia seperti itu tentulah karena gemblengan gurunya yang sejak kecil diikutinya. Sungguh kasihan dia...”

Yalima yang melihat ini semua menjadi bingung. Dia merasa kehilangan ketika ditinggalkan In Hong, akan tetapi diapun tidak mau meninggalkan orang-orang tua yang dia tahu adalah ayah den ibu Bun Houw itu. “Enci In Hong adalah seorang yang amat baik budi, dia telah melawan den menentang Go-bi Sin-kouw den teman-temannya yang jahat untuk menolong saya. Memang sikapnya dingin, akan tetapi hatinya dari emas...”

Ucapan Yalima ini diterima oleh Cia Keng Hong dengan mengangguk-angguk, akan tetapi Sie Biauw Eng den Cia Giok Keng tidak setuju sungguhpun mereka hanya menyimpan rasa mendongkol dan tak senangnya di dalam hati saja.

“Ayah dan ibu, sayapun mohon diri untuk pergi sekarang juga!” Tiba-tiba Giok Keng berkata.

Ayah dan ibunya terkejut, menoleh dan memandang penuh selidik. “Keng-ji, sudah kukatakan bahwa tidak perlu engkau melanjutkan permusuhanmu yang tidak ada artinya itu terhadap In Hong. Dia marah kepada Bun Houw karena mendengar bahwa Bun Houw telah mencinta gadis lain, hal itu adalah lumrah!” Ayahnya menegur, menyangka bahwa puterinya akan mengejar In Hong, padahal dia tahu benar bahwa puterinya itu sama sekali bukan lawan In Hong yang dia tahu amat lihai.

“Tidak, ayah. Aku bukan hendak mengejar dan memusuhi In Hong. Aku ingin pergi melakukan penyelidikan dan menangkap pembunuh isteri Kun Liong. Sebelum pembunuhnya tertangkap, tidak akan lega hatiku dan hidupku selalu akan menderita batin. Seolah-olah roh suamiku mendesak kepadaku untuk mencari pembunuh itu, ayah dan ibu. Maka, boleh atau tidak, aku harus pergi mencari pembunuh Hong Ing, karena hanya dengan tertangkapnya pembunuh itulah maka nama keluarga kita akan tercuci dari noda.”

Sie Biauw Eng memegang lengan puterinya dan terisak. “Engkau benar, anakku, dan andaikata ayahmu memperbolehkan, aku akan menemanimu.”

“Tidak! Biarkan dia pergi sendiri. Dan akupun setuju dengan tekadmu itu, Keng-ji. Bahkan aku bangga dengan keputusanmu itu, karena engkaupun bertanggung jawab atas kematian Hong Ing.”

“Aku hanya titip... titip anak-anakku... ibu...”

Kedua orang wanita itu saling berpelukan. “Jangan khawatir, anakku. Aku akan menjaga cucu-cucuku...” kata Sie Biauw Eng.

“Keng-ji, niatmu itu baik sekali. Akan tetapi ingat baik-baik akan pesanku ini. Suamimu sudah mati dan tidak ada orang lain yang membunuhnya. Kun Liong dan Kok Beng Lama hanya menuntut keadilan dan sama sekali tidak memaksa suamimu membunuh diri. Oleh karena itu, kalau engkau kelak menaruh dendam dan memusuhi mereka, hal itu berarti bahwa engkau telah menanam bibit permusuhan yang akan mendatangkan akibat yang panjang.”

“Aku mengerti, ayah.”

“Dan In Hong, diapun bukan musuhmu. Dia bersikap marah-marah kepada Bun Houw karena dia menganggap Bun Houw menyia-nyiakan Yalima dan mempermainkannya. Tidak ada permusuhan pribadi antara dia dan kita. Jangan engkau memusuhi dia pula.”

Agak berat kini Giok Keng menjawab, akan tetapi akhirnya keluar juga dari bibirnya. “Baik, ayah.”


Maka berangkatlah Giok Keng diantar tangis ibunya yang merasa kasihan sekali kepada puterinya itu. Namun kepergian Giok Keng memang perlu dan penting sekali, bukan hanya untuk menebus kesalahan tindakannya akan tetapi juga untuk mencuci bersih noda yang mengotori keharuman nama keluarga mereka.

Tak lama, hanya dua hari setelah Giok Keng pergi, muncul Hong Khi Hoatsu, guru dari Lie Kong Tek di Cin-ling-pai! Kakek yang biasanya gembira den jenaka ini telah mengunjungi muridnya di Sin-yang, akan tetapi mendengar dari para tetangga bahwa semua keluarga pergi ke Cin-ling-pai, maka dia cepat menyusul ke Cin-ling-pai. Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya ketika dia mendengar akan kematian muridnya! Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun ini menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya pucat dan dia mendengarkan seperti kehilangan semangatnya akan penuturan Cia Keng Hong yang menceritakan semua dengan sejelas-jelasnya sehingga mengakibatkan Lie Kong Tek membunub diri untuk mewakili isterinya yang disangka membunuh orang itu.

Namun, sebagai seorang ahli kebatinan yang bertingkat tinggi, akhirnya kakek ini menarik napas panjang dan mengoyangkan pundak. “Aihhh, begitulah hidup! Ribut-ribut di kala masih hidup, kalau sudah mati habislah kesemuanya! Kematian datang tanpa disangka?sangka... ahhh, keadaanmu jauh lebih hebat daripada penderitaan batinku mendengar kematian muridku yang seperti anakku sendiri, Cia?taihiap. Baru saja delapan orang muridmu tewas, pusaka dicuri orang, kini puterimu kehilangan suami secara menyedihkan. Ahhh, di mana adanya cucu?cucuku?”

Ketika Lie Seng dan Lie Ciauw Si yang diberi tahu datang berlarian lalu menangis sambil memeluk kakek yang mereka kenal baik dan yang mereka sayang karena Hong Khi Hoatsu juga sering sekali mengunjungi mereka, amat menyayang mereka dan kakek yang lucu ini pandai menghibur mereka, tak dapat kakek itu menahan keharuan hatinya dan air matanya bertitik di atas kedua pipinya yang penuh keriput!

Beberapa hari kemudian, Hong Khi Hoatsu minta dengan sangat kepada Cia Keng Hong agar diperkenankan membawa Lie Seng bersamanya, kembali ke Sin?yang menempati rumah muridnya itu sampai kembalinya Giok Keng. Dia merasa kesunyian setelah muridnya meninggal dan mantunya pergi, padahal kakek yang suka merantau ini menganggap rumah muridnya di Sin?yang sebagai tempat peristirahatan terakhir di hari tuanya. Dia ingin ditemani oleh cucunya yang disayangnya itu. Cia Keng Hong maklum akan penderitaan kakek itu, maka setelah bersepakat dengan isterinya, dan melihat betapa Lie Seng juga suka ikut bersama kakek itu, mereka menyetujui dan berangkatlah Hong Khi Hoatsu bersama Lie Seng kembali ke Sin?yang.

Suasana berkabung masih meliputi Cin?ling?pai. Semenjak terjadi peristiwa yang bertubi?tubi menimpa keluarganya itu, Cia Keng Hong lebih sering berada di dalam kamarnya dan bersamadhi. Kalau dia teringat akan nasib yang menimpa suami isteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dua orang yang paling dikasihinya disamping isteri dan anak?anaknya sendiri, dia merasa terharu dan kasihan sekali. Peristiwa?peristiwa menyedihkan menimpa suami isteri itu (baca cerita Siang?bhok-kiam), kemudian mereka berdua itu terbunuh musuh-musuh di waktu usia mereka masih muda (baca cerita Petualang Asmara), dan kini putera mereka juga mengalami nasib yang buruk, kematian isterinya yang tercinta secara tidak wajar karena terbunuh orang dengan menggelap, dan puteri mereka berobah menjadi seorang dara yang biarpun berkepandaian sangat tinggi akan tetapi wataknya dingin dan menyeramkan!

Sie Biauw Eng juga mengalami pukulan batin yang berat, akan tetapi berkat adanya cucunya, Lie Ciauw Si, dia memperoleh hiburan dan setiap hari dia tidak pernah terpisah dari cucunya ini yang digemblengnya sendiri dengan ilmu?ilmu bun (tulis) dan bu (silat). Cin?ling?pai berada dalam keadaan prihatin!

***

Kota Kiang?shi bukan hanya terkenal karena kota itu cukup ramai dengan perdagangan, akan tetapi terutama sekali terkenal karena kota itu merupakan kota tempat hiburan. Ingin mencari wanita?wanita pelacur yang paling terkenal cantik dan pandai melayani kaum pria, golongan paling rendah sampai paling tinggi? Kiang?shi tempatnya! Ingin mengadu peruntungan dengan perjudian, sehingga dalam waktu semalam saja, seorang jutawan bisa kehabisan seluruh uangnya dan seorang biasa mungkin saja, biarpun agak langka, mendadak menjadi jutawan? Di Kiang?shi pula tempatnya!

Seorang seniman jalanan yang menceritakan keadaan kotanya yang tercinta itu dengan sajak-sajak sederhana yang dinyanyikan dengan suara serak dan iramanya dituntun oleh suara dua potong bambu yang dijepit di antara jari?jari tangannya sehingga menimbulkan suara “trak-tak-trak-tak-tak!” bernyanyi-nyanyi di depan toko-toko dan warung-warung mengharapkan sedekah orang. Penyanyi-penyanyi jalanan seperti ini kadang-kadang menggambarkan keadaan kota Kiang-shi dengan hidup sekali, bahkan tidak jarang di antara mereka yang memasukkan di dalam nyanyiannya itu cerita-cerita sensasi dan gosip tentang orang-orang tertentu di dalam kota sehingga banyak juga orang yang berminat mendengarkan mereka untuk sekedar mengetahui berita apa yang hangat dan yang dapat memancing ketawa sinis mereka hanya dengan mengeluarkan uang kecil sepotong.

Seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan berjalan-jalan malam hari ini, menyusuri jalan raya yang dipenuhi orang-orang yang berjalan hilir-mudik di kedua tepi jalan di mana toko-toko berjajar-jajar dengan penuh segala macam barang dagangan. Sinar-sinar penerangan berpencaran keluar dari toko-toko itu sehingga suasana menjadi meriah dan semua orang yang lalu lalang itu rata-rata berwajah gembira.

Sudah beberapa pekan lamanya pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Bun Houw, meninggalkan Cin-ling-san dan pada sore hari itu dia tiba di kota Kiang-shi dalam penyelidikannya untuk mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang hanya dia ketahui nama-nama dan julukan mereka akan tetapi tidak diketahuinya di mana tempat tinggal mereka itu. Setiap tokoh kang-ouw yang ditanyai, tidak ada yang tahu dan agaknya mereka itu seperti takut-takut membicarakan tentang mereka, sehingga Bun Houw menduga bahwa andaikata ada yang mengetahui tempat tinggal merekapun, agaknya dia itu tidak akan berani menceritakan kepadanya. Maka pemuda itu lalu mengambil keputusan untuk menyelidiki dengan cara lain, yaitu dia akan mendekati kaum sesat dan akan masuk sebagai anggauta kaum sesat sehingga dia akan dianggap “orang dalam” dan tentu akan lebih mudah untuk menyelidiki mereka.


Tiba-tiba Bun Houw tertarik oleh seorang laki-laki setengah tua yang bernyanyi-nyanyi di depan toko besar di mana banyak berkerumun orang-orang yang mendengarkan nyanyian yang diiringi suara berketraknya bambu-bambu di antara jari-jari tangan orang itu. Bun Houw segera mendekati dan ikut pula mendengarkan. Suara orang ini cukup merdu dan kata-kata yang keluar dari mulutnya lancar dan jelas sehingga menarik perhatian banyak orang. Seperti para penyanyi jalanan lainnya, orang inipun menggambarkan keadaan kota Kiang-shi, akan tetapi kata-katanya berbeda dengan para penyanyi-penyanyi lain, yang hanya menghafal sehingga syair yang diulang-ulang itu tidak menarik lagi. Orang ini agaknya lain. Dia pandai mencari kata-kata sendiri yang selalu berubah-ubah, jadi bukan hafalan.

“Trak-tak, trak-tak, trak-tak-tak
Kiang-shi kota tersayang
hidup malam dan siang
Kiang-shi di waktu siang
orang-orang berdagang
saling catut dan kemplang
bahkan di waktu malam
berdagang kesenangan
Kiang-shi sebagai sorga
juga mirip neraka
pusat suka dan duka
panggung tangis dan tawa!”

Bun Houw tersenyum mendengar syair sederhana yang dinyanyikan orang itu. Diapun melemparkan sekeping uang tembaga ke dalam topi yang ditelentangkan di atas tanah seperti yang dilakukan oleh para penonton. Penyanyi ini bernyanyi terus, lebih bersemangat sekarang. Syairnya lebih bebas, tidak merupakan baris-baris dari tujuh suku kata untuk mengimbangi bunyi iringan suara bambu yang tujuh kali, melainkan kini merupakan syair dan nyanyian bebas yang seperti kata-kata berirama, kadang-kadang diseling suara berketraknya bambu-bambu di jari tangannya.

“Isteri anda di rumah cerewet
dan marah?
jangan khawatir, pergilah kepada
rumah merah terpencil
di belakang kuil,
di sana kerling dan senyum manis
dijual murah,
besok pagi ciuman mesra mengiring,
anda pulang dengan saku
dan tulang punggung kering!”

Semua orang tertawa mendengar kata-kata yang lucu ini. Dia sendiri belum dapat menangkap dengan jelas arti dari nyanyian itu, dan kalau Bun Houwpun ikut tersenyum adalah karena dia mendengar dan melihat orang-orang lain tertawa, suasana di tempat itu memang menggembirakan.

Bun Houw memandang ke kanan kiri. Dia ingin mencari tempat penginapan dan dia tahu bahwa rumah merah terpencil di belakang kuil, rumah Ciauw-mama itu, dimana kerling dan senyum manis dijual murah, pasti bukanlah merupakan rumah yang dibutuhkan untuk bermalam di malam itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan tempat itu, dia mendengar lagi orang itu melanjutkan nyanyiannya.

“Anda ingin menjadi jutawan?
Pergilah ke Hok-po-koan!
Kalau bintang anda terang
dalam semalam anda menjadi hartawan!
Kalau bintang anda gelap?
Dalam semalam
Menjadi jembel kelaparan!”

Kembali semua orang tertawa, dan dia menaruh perhatian ketika penyanyi itu melanjutkan nyanyiannya setelah tersenyum lebar, menyambut suara ketawa penonton dan pendengarnya.

“Akan tetapi hati-hatilah
jangan main gila di Hok-po-koan!
Salah-salah leher bisa putus
disambar sinar pedang setan
belum lagi kalau ketahuan
oleh Lima Bayangan!”

Bun Houw terkejut sekali dan dia memandang penyanyi itu lebih teliti. Dia itu orang biasa saja dan kini setelah nyanylannya habis, dia mengumpulkan kepingan uang tembaga dan berjalan meninggalkan tempat itu, agaknya untuk bernyanyi di lain tempat lagi.

“Twako, perlahan dulu...” Bun Houw menegurnya dari belakang. Orang itu berhenti dan membalikkan tubuhnya, memandang penuh keheranan dan keraguan. Akan tetapi karena yang menegurnya itu hanya seorang pemuda berpakaian biasa dan sederhana, hatinya lega an dia bertanya apa yang dikehendaki oleh pemuda itu.

“Twako, aku tadi mendengar nyanyianmu yang amat indah dan aku ingin mengundangmu minum arak dan mengobrol...”

“Ah, hiante, engkau terlalu memuji. Aku hanya seorang miskin yang...”


Jangan merendahkan diri, twako. Engkau seorang seniman.”

“Aku? Seniman? Ha-ha, jangan mengejek, hiante.”

“Marilah, twako. Ataukah engkau memandang rendah kepadaku sehingga menolak tawaran dan ajakanku?”

“Ah mana aku berani? Baikna, dan terima kasih, hiante.”

Mereka lalu memasuki sebuah kedai arak. Bun Houw memesan mi, daging, dan arak. Mereka makan minum dengan lahap dan setelah minum araknya dan mengelus perutnya, orang itu berkata, “Aih, dasar perutku yang bernasib baik malam ini, bertemu dengan seorang dermawan seperti engkau, hiante. Sekarang aku ingin bertanya secara sungguh-sungguh, apakah benar engkau menganggap aku seorang seniman, hiante?”

“Tentu saja! Mengapa tidak? Engkau seorang seniman dan kiraku tidak ada seorang yang akan dapat membantah kenyataan ini,” kata Bun Houw, bersungguh-sungguh pula karena dia memang bukan berpura-pura atau menjilat.

“Ahhh, kalau saja semua orang berpendapat seperti engkau, alangkah menghiburnya pendapat itu. Akan tetapi, orang muda, tidak banyak yang sudi menganggap aku seorang seniman. Apalagi mereka yang duduk di tempat tinggi, mereka yang menganggap diri mereka kaum cendekiawan, kaum sasterawan, dan para sarjana dan siucai. Mereka memandang rendah orang-orang macam kami, bahkan menganggap kami merusak seni, menganggap kami seniman kampungan, picisan dan rendah, yang katanya hanya menjual kesenian belaka, seorang pengemis yang mencari sesuai nasi dengan menjual suara...”

“Itu hanya pendapat orang-orang yang kepalanya besar akan tetapi berisi angin kosong belaka, orang-orang yang menganggap diri sendiri sepandai-pandainya orang dan sebersih-bersihnya orang. Orang-orang macam inilah yang amat berbahaya, mereka ini adalah orang-orang sombong dan tinggi hati dan tidak ada yang lebih bodoh daripada mereka yang menganggap dirinya sendiri pandai. Tidak ada orang yang lebih kotor daripada mereka yang menganggap dirinya sendiri bersih.”

“Hayaa...! Sungguh baru sekarang aku mendengar pendapat seperti engkau ini, hiiinte! Aku hanya penyanyi yang menjual suara...”

“Apa salahnya dengan seorang seniman yang mendapatkan nafkah hidupnya dari karya seninya? Senimanpun manusia biasa yang membutuhkan makanan, pakaian dan rumah!”

“Hiante, kalau begitu pendapatmu, bagimu apakah artinya kesenian? Apakah kesenian itu?”

“Karya seni adalah suatu karya yang mengandung keindahan keadaan dan macamnya tidak bisa ditentukan oleh manusia, segi-segi keindahannyapun tidak bisa ditentukan dan digariskan, karena kalau sudah digariskan itu bukan seni namanya. Kalau karya seni ditentukan sifatnya, maka yang menentukan itu adalah orang-orang yang mempunyai kecondongan suka atau tidak suka dan memang penilaian tergantung sepenuhnya kepada rasa suka dan tidak suka itu. Alam merupakan seniman yang maha besar dan satu di antara karya seninya adalah hujan. Apakah semua orang menyukai hujan atau membencinya? Belum tentu! Tergantung dari untung rugi yang diakibatkah oleh hujan tadi bukan? Nah, karya senipun demikian. Yang jelas, jika mengandung keindahan yang dapat dinikmati oleh segolongan orang, itulah seni. Nyanyianmu tadi banyak yang menikmatinya dan bagi yang menikmatinya tentu dianggap baik, akan tetapi bagi orang lain mungkin saja dianggap bukan seni bahkan merusak.”

Penyanyi itu bangkit berdiri dan menjura kepada Bun Houw. “Sungguh hebat! Terima kasih sekali, hiante. Engkau masih begini muda akan tetapi pandanganmu mengandung keadilan besar dan sekaligus engkau telah mengangkat aku dari jurang di mana aku selalu merasa rendah diri dan hina. Kini, aku akan lebih berani lagi mengungkapkan segala keadaan dan kepincangan perikehidupan manusia di Kiang-shi, biarlah aku mewakili semua keadaan yang tidak adil itu dan kunyatakan dalam nyanyianku. Kaudengar saja nanti!” Dia bersemangat sekali nampaknya.

“Akan tetapi apa kau tidak takut akan sinar pedang setan dan Lima Bayangan, twako?” Bun Houw kini mengarahkan percakapan kepada tujuan penyelidikannya.

“Heh? Apa maksudmu?” orang itu bertanya.

Bun Houw tersenyum. “Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya aku teringat tadi engkau menyebut-nyebut sinar pedang setan dan Lima Bayangan dalam nyanyianmu. Bagian-bagian itu belum kumengerti benar. Apa dan siapakah pedang setan di Hok-po-koan itu, twako?”

“Hemm, agaknya engkau bukan orang Kiang-shi...”

“Memang bukan. Aku baru saja memasuki Kiang-shi, maka aku mengharapkan petunjuk darimu, twako.”

“Jangan khawatir, hiante. Aku lahir di sini dan aku mengenal semua keadaan di kota yang kucinta ini. Kau boleh bertanya apa saja kepadaku.”

“Aku kadang-kadang suka juga bermain judi, twako. Hanya untuk iseng-iseng saja, bukan ingin menjadi jutawan, apalagi menjadi jembel kelaparan seperti dalam nyanyianmu tadi.”

Orang itu tertawa.


“Aku ingin mencoba peruntungan di Hok-po-koan, akan tetapi aku ragu-ragu mendengar nyanyianmu tentang sinar pedang setan dan Lima Bayangan. Harap kau menjelaskan kepadaku.”

“Ah, itukah?” Penyanyi itu menengok ke kanan kiri, lalu berbisik, “Sebaiknya kita keluar dari sini dan bicara di jalan yang sunyi.”

Bun Houw mengangguk, membayar makanan dan mereka lalu berjalan keluar, menuju ke jalan yang sunyi dan meyimpang dari jalan raya itu.

“Pemilik Hok-po-koan adalah seorang bernama Liok Sun dan dia berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kabarnya dia berkepandaian tinggi sekali dan karena itu di tempat perjudiannya tidak ada yang berani bermain gila. Bahkan dulu pernah ada tujuh orang penjahat yang hendak merampas banyak uang di po-koan (tempat perjudian), akan tetapi mereka semua roboh oleh pedang di tangan orang she Liok itu! Di Kiang-shi, nama orang itu terkenal sekali, bahkan para pembesar bersahabat dengannya. Nah, karena itu maka kusinggung dalam nyanyian agar orang yang bermain judi di Hok-po-koan jangan bermain gila.”

Bun Houw mengangguk-angguk. “Dan tentang Lima Bayangan itu?” dia bertanya sambil lalu seperti tidak menaruh perhatian khusus.

“Ah, kau tidak tahu, hiante. Pada waktu itu, di dunia kang-ouw timbul kegemparan karena Lima Bayangan...”

“Dewa? Lima Bayangan Dewa kaumaksudkan?”

“Ehhh...?” Orang itu memandang Bun Houw dengan mata terbelalak. “Kau... tahu?”

Bun Houw menggeleng kepala. “Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh besar muncul di dunia dan disebut Lima Bayangan Dewa! Mengapa kausebut-sebut mereka dalam nyanyianmu?”

“Aku hanya sering menengar bahwa Kiam-mo Liok Sun itu suka sekali memamerkan dan menyombongkan di luaran bahwa dia adalah sahabat dari Lima Bayangan Dewa! Semua orang, termasuk aku, tidak percaya, maka untuk mengejek kesombongannya itu, aku membawa Lima Bayangan dalam nyanyianku.”

Bun Houw memandang tajam. “Jadi engkau tidak tahu apa-apa tentang Lima Bayangan Dewa?”

Orang itu menggeleng.

“Dan majikan Hok-po-koan (Tempat Perjudian Mujur) itu bilang bahwa dia sahabat Lima Bayangan Dewa?”

Orang itu mengangguk. “Demikian yang dikatakan orang.”

“Terima kasih, twako. Nah, selamat malam dan jangan lupa bahwa engkau adalah seorang seniman tulen dan jangan perdulikan mereka yang mencemoohkanmu. Anggap saja mereka itu anjing-anjing menggonggong.”

“Akan tetapi mereka itu kaum sasterawan cabang atas, kaum cendekiawan...”

“Kalau begitu mereka itupun hanya sekumpulan anjing-anjing bangsawan yang menggonggong belaka dan anjing apapun,
gonggongannya tetap sama!” Bun Houw berkata sambil membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan penyanyi itu, langsung mencari keterangan tentang tempat perjudian Hok-po-koan yang mudah saja dia dapat dari orang yang berlalu-lalang karena semua orang tahu belaka di mana adanya Hok-po-koan itu.
Hok-po-koan merupakan sebuah tempat judi terbesar di Kiang-shi. Kebetulan sekali tempat itu berada di dekat sebuah losmen, maka Bun Houw lalu menyewa sebuah kamar di losmen itu. Setelah mandi dan bertukar pakaian yang lebih bersih, pemuda ini lalu pergi ke Hok-po-koan dengan lagak seperti seorang pemuda beruang yang sudah biasa dengan perjudian. Tentu saja sebelumnya dia tidak pernah memasuki tempat judi, apalagi berjudi.

Dua orang pelayan menyambutnya dengan senyum lebar dibuat-buat dan mempersilakannya masuk ke ruangan dalam. Dengan sikap dan lagak seorang kongcu, Bun Houw mengangguk dan memasuki ruangan judi yang dipasangi lampu penerangan yang besar dan banyak itu sehingga keadaan di situ seperti siang hari saja terangnya. Kebisingan di antara kelompok-kelompok tamu yang sedang berjudi itu memenuhi ruangan dan peluh mengalir di wajah-wajah yang penuh ketegangan. Bun Houw yang selama hidupnya baru pertama kali ini memasuki tempat seperti itu, dengan jelas nampak keadaan yang tidak kelihatan oleh mata orang-orang yang sudah biasa berada di situ. Segala macam nafsu perasaan terbayang jelas di wajah-wajah mereka yang berkumpul di meja-meja judi. Tawa riang, kegembiraan melihat kemenangan sendiri dan kekalahan orang lain, kegelian hati yang kejam menyaksikan penderitaan orang lain, harapan-harapan besar yang terpancar dari mata mereka, keputusasaan yang mulai menyelubungi wajah beberapa orang di antara mereka, kerling-kerling tajam maya yang membayangkan kecerdikan dam kelicikan, kehausan akan uang yang bertumpuk di meja, semuanya ini seolah-olah menampar mata dan hati Bun Houw.

“Kongcu ingin bermain apa?” Seorang pelayan atau tukang pukul bertanya manis ketika melihat Bun Houw yang baru masuk itu memandang ke kanan kiri, tahu bahwa pemuda ini merupakan seorang tamu baru dan karenanya merupakan makanan lunak.

“Aku... mau melihat-lihat dulu,” jawab Bun Houw dan dia menghampiri sebuah meja besar di mana diadakan permainan dadu.


Biarpun selamanya Bun Houw belum pernah melihat perjudian dadu, akan tetapi karena amat mudah, maka melihat sebentar saja dia sudah mengerti. Bandar judinya adalah seorang pegawal po-koan itu yang bertubuh kurus dan berwajah kekuning-kuningan, matanya tajam dan liar mengerling ke sana-sini, kumisnya kecil panjang seperti kumis palsu yang pemasangannya tidak rapi, kedua lengan bajunya digulung sampai ke siku sehingga tampak kedua lengannya yang hanya tulang terbungkus kulit dan jari-jari tangannya yang panjang dan cekatan. Bandar ini memegang sebuah mangkon dan di atas meja terdapat dua buah dadu. Setiap dadu yang persegi itu pada enam permukaannya ditulisi nomor satu sampai dengan enam. Di atas meja, bagian luar dan dekat dengan para tamu, terdapat lukisan petak-petak yang ada nomornya pula, yaitu nomor satu sampai dengan nomor dua belas. Ada pula dua petak di kanan kiri, dibagi dua dan bertuliskan huruf-huruf GANJIL dan GENAP.

“Hayo pasang... pasang... pasang...!” Si bandar kurus kering dan dua orang pembantunya di kanan kiri yang bertugas menarik uang kemenangan dan membayar uang kekalahan, berteriak-teriak dengan gaya dan suara yang khas. Seolah-olah ada daya tarik terkandung dalam suara mereka yang agak serak itu.

Bun Houw melihat betapa belasan orang tamu yang merubung meja itu menaruh setumpuk uang di atas nomor pilihan masing-masing, ada yang sedikit akan tetapi ada pula yang banyak. Setelah semua orang meletakkan uang taruhan mereka, si bandar kurus berteriak nyaring, “Pemasangan berhenti... dadu diputar...!”

“Kratak-kratak-kratakkk...!” Dua buah dadu itu dimasukkan ke dalam mangkok, ditutup telapak tangan kiri lalu dikocok, sehingga mengeluarkan bunyi berkeratak, lalu dengan gerakan yang cekatan den cepat sekali mangkok dibalikkan dan ditaruh menelungkup di atas meja, dengan dua butir dadu di bawahnya.

“Boleh tambah pasangan...!” Dua orang pembantu bandar berteriak menantang.

Sibuk orang-orang yang berjudi itu menambahkan sejumlah uang di atas tumpukan uang pasangan mereka.

“Berhenti semua... dadu dibuka...!”

Bandar kurus berteriak dan tangan kanannya dengan jari-jari yang panjang itu membuka mangkok. Semua mata memandang ke arah meja di mana kini tampak dua butir dadu itu setelah mangkoknya dibuka. Yang sebutir memperlihatkan angka enam di atas dan yang kedua memperlihatkan angka satu.

“Tujuh menang... ganjil menang...!” Bandar berteriak dan terdengar banyak mulut mengeluh dan muka-muka berkeringat dan muram ketika mata mereka melihat dua orang pembantu bandar menarik semua uang pasangan yang berada di atas nomor lain, kecuali yang berada di atas nomor tujuh dan kotak ganjil.

Akan tetapi Bun Houw melihat bahwa yang menang hanya taruhan kecil saja dan biarpun kepada yang menang itu pembayaran bandar membayar enam kali lipat, akan tetapi jelas bahwa kemenangannya sekali tarik itu besar sekali. Juga yang menang dalam bertaruh ada ganjil hanya mendapat jumlah kemenangan yang sama dengan taruhannya.

Akan tetapi semua ini tidak begitu menarik hati Bun Houw. Yang amat mengherankan, mengagetkan dan juga memarahkan hatinya adalah ketika tadi dia melihat cara si kurus itu membuka mangkok. Mangkok itu dibuka cepak sekali, akan tetapi dengan miring sehingga sebelum orang lain melihat letak dadu, si bandar lebih dulu melihatnya dan Bun Houw yang menaruh tangan di atas meja merasa ada getaran aneh pada permukaan meja itu dan matanya yang berpenglihatan tajam itu dapat melihat sebutir di antara dadu itu bergerak membalik, dari angka empat menjadi angka satu. Kalau tidak terjadi keanehan itu, tentu yang menang adalah angka enam dan empat, berarti akan sepuluh dan angka genap. Dia melihat betapa tadi pemasang angka sepuluh paling banyak, dan yang berpasang pada genap jauh lebih banyak daripada yang berpasang pada ganjil! Biarpun Bun Houw belum pernah berjudi, namun kecerdasannya membuat dia mengerti bahwa bandar itu berlaku curang dengan mempergunakan tenaga lwee-kang yang digetarkan lewat permukaan meja untuk membalik-balik dadu agar keluar nomor seperti yang dikehendakinya!

Kini para pembantu bandar sudah berteriak-teriak lagi, menganjurkan para tamu untuk menaruh pasangan mereka. Terdapat suatu keanehan di dalam perjudian dan bagi yang mempunyai kepercayaan tahyul, di tempat seperti itu terdapat setannya. Karena itu maka fihak bandar judi selalu memasang dupa, bukan hanya untuk menimbulkan suasana sedap di ruangan itu, melainkan juga untuk menyenangkan setan-setan agar membantunya! Ada atau tidak adanya setan, bukanlah hal panting, akan tetapi yang jelas “setan-setan” di dalam diri sendiri yang bersimaharajalela di dalam perjudian. Mereka yang kalah menjadi makin serakah karena ingin mengejar kekalahan mereka, membayangkan bahwa satu kali saja taruhan mereka mengena dan mereka menerima pembayaran enam kali lipat, kekalahan mereka akan tertebus sama sekali atau sebagian. Sebaliknya, mereka yang tadi menarik kemenangan karena pasangan mereka mengena, merasa menyesal dan kecewa mengapa mereka tadi memasang hanya sedikit. Kemenangan sedikit itu tidak membuat mereka menjadi puas, sebaliknya, mereka menjadi makin serakah, ingin memperoleh keuntungan atau kemenangan lebih. Karena itu, kebanyakan dari mereka yang kegilaan judi ini, baik yang pada permulaannya menang atau kalah, sebagian besar berakhir dengan kantong kosong, tubuh lesu dan putus asa!

Judi merupakan permainan yang dengan amat jelasnya menggambarkan watak masyarakat, watak manusia pembentuk masyarakat. Hanya satu sifat yong menonjol, yang dapat dilihat jelas dalam perjudian akan tetapi agak tersamar dan tersembunyi di dalam kehidupan sehari-hari, sungguhpun sifat yang tersembunyi itu bukan berarti lemah, yaitu sifat SERAKAH, ingin memenuhi nafsu keinginan. Seperti juga di dalam perjudian, kita hidup sehari-hari mengejar keinginan kita yang dapat saja berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan yang lebih tinggi lagi menurut pandangan kita, seperti kedamaian, ketenteraman, keabadian, nirwana atau sorga. Di dalam setiap pengejaran keinginan, kepuasan hanya berlaku sementara saja, karena makin dituruti, keinginan makin membesar dan meluas, makin haus sehingga apa yang diperoleh masih selalu kurang dan tidak mencukupi. Celakanya di dalam kenyataan hidup ini, demi mengejar keinginan yang sebutannya diperhalus dan diperindah menjadi cita-cita atau ambisi dan sebagainya, demi mencapai apa yang diinginkan itu, kita main sikut-sikutan, jegal-jegalan dan gontok-gontokan antara manusia, antera bangsa, bahkan antara saudara sendiri! Kenyataan pahit ini hampir tidak tampak lagi, namun bagi siapa yang mau membuka mata melihat kenyataan, peristiwa menyedihkan itu terjadi setiap saat, setiap hari, di mana saja di bagian dunia ini, dan dekat sekali di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita sendiri!

Bun Houw mengikuti semua gerak-gerik bandar kurus itu dengan penuh perhatian. Kini dia melihat bahwa para penjudi itu sebagian besar memasangkan uang mereka kepada angka sembilan karena ada di antara mereka yang berbisik bahwa biasanya di meja ini, setelah keluar angka tujuh lalu disusul angka sembilan!

Tentu saja hal itu hanya merupakan kebetulan saja, akan tetapi di dunia ini memang banyak terjadi hal-hal yang kebetulan seperti itu. Setelah semua orang menaruh pasangannya dan bandar menelungkupkan mangkok di atas meja, tidak ada yang menambah pasangan. Waktu ini tentu saja dipergunakan oleh bandar untuk meneliti, nomor mana yang paling banyak dipasangi orang dan nomor mana yang sebaliknya. Maka dia tahu bahwa kalau biji-biji dadu menunjukkan angka sembilan, berarti bandar akan menderita kekalahan yang tidak sedikit. Jadi baginya yang panting hanya menjaga agar jangan sampai keluar angka sembilan!

“Berhenti semua... dadu dibuka...!” Bandar itu seperti biasa berteriak dan cepat membuka mangkok. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat bahwa ketika mangkok dibuka miring, dua dadu itu menunjukkan angka empat dan lima! Akan tetapi tentu saja dia cepat menggetarkan tangan kirinya yang menekan meja sehingga permukaan meja tergetar dan dadu itu bergerak. Dia sudah yakin bahwa sebutir di antara dadu-dadu itu tentu akan rebah miring dan memperlihatkan nomor lain sehingga jumlahnya bukan sembilan lagi. Akan tetapi ketika dia buka, jelas nampak bahwa nomor dua butir dadu itu masih lima dan empat, berjumlah sembilan, sama sekali tidak berobah!

“Sem... sem... bilan menang...!” Bandar berseru dengan suara gemetar dan mata terbelalak heran. Jelas bahwa dia sudah menggetarkan tangannya, menggunakan lwee-kang untuk membuat dadu itu rebah, akan tetapi sekali ini dadu-dadu itu “membangkang”!

Dua orang pembantu bandar memandang kepada si bandar kurus dengan mata melotot, marah dan heran. Terpaksa mereka membayarkan kekalahan banda kepada beberapa orang yang menerima kemenangan mereka dengan pandang mata berseri dan muka kemerahan. Sejenak mereka yang menang itu lupa bahwa kemenangan mereka belum tentu berlangsung lama dan bahwa diantara mereka ada yang kalah jauh lebih banyak daripada yang mereka terima sekali ini.

Kembali orang memasang. Kembali bandar mengocok dadu dan pada saat dibuka, si bandar sengaja memperlambat gerakannya dan matanya yang terlatih melihat betapa getaran tenaga lwee-kangnya membuat sebutir dadu terguling, akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat dadu yang sudah roboh itu bangkit lagi dan memperlihatkan nomor semula! Biarpun sekali ini bandar tidak kalah banyak, namun hal itu membuat dia mengeluarkan peluh dingin dan matanya mulai memandang para tamu yang merubung meja. Sejenak pandang matanya beradu dengan sinar mata Bun Houw yang masih berdiri dengan tangan di atas meja dan menonton dengan asyik. Akan tetapi si bandar kurus melihat pemuda ini biasa saja, bahkan tidak ikut menaruh pasangan maka kecurigaannya lenyap. Betapapun juga, karena dia mendapat kenyataan bahwa yang meletakkan tangannya di atas meja hanya pemuda itu, dan kini memperhatikan sekali.

“Dadu dibuka...!” Sekali ini bandar itu menekankan tangan kanan di atas meja sedangkan tangan kiri yang membuka mangkok. Dia mengerahken tenaga sekuatnya sambil mencuri lihat dua butir dadu yang menunjuk angka satu den tiga. Nomor empat merupakan nomor yang lebih banyak dipasangi orang, make kini dia mengerahkan lwee-kangnya. Akan tetapi, kedua butir dadu ini sama sekali tidek berkutik! Dia masih mengerahkan lwee-kang sambil memandang ke arah Bun Houw. Dia melihat pemuda itu tersenyum kepadanya, bahkan memberi tanda dengan memicingkan sebelah mata, dan tangan kiri pemuda itu menekan meja. Kini jelas terasa oleh si bandar betapa ada getaran bergelombang yang amat kuat datang dari arah pemuda itu dan tahulah dia siapa orangnya yang “main-main” dengan dia. Mangkok dibuka dan tetap saja dua butir dadu itu menunjukkan empat.

Bandar memberi isyarat kepada para tukang pukul yang berada di sekitar tempat itu. Meja judi yang istimewa ini, karena memberi kemenangan berturut-turut kepada banyak tamu, kini makin dirubung orang yang ingin pula merasakan kemenangan. Melihat isyarat bandar, empat orang tukang pukul mendekati Bun Houw. Mereka adalah orang-orang yang memiliki bentuk tubuh tinggi besar, dengan lengan baju tergulung sehingga nampak otot-otot longan yang besar menggembung, wajah mereka seram dan membayangkan kekejaman orang yang biasa mengandalkan kekuatan untuk memaksakan kehendak.

“Yang tidak berjudi harap keluar!” bentak bandar kurus sambil menuding ke arah Bun Houw. “Orang muda, aku melihat engkau tidak pernah ikut bertaruh, maka engkau tidak boleh berada di sini!”

Bun Houw tersenyum tenang. Dia memang sedang memancing perhatian, maka dia lalu berkata, “Mengapa di luar tidak dipasang peringatan seperti aku? Aku datang hendak melihat-lihat dulu, mengapa disuruh keluar? Apakah kalian takut kalau aku melihat ada yang main curang?”

“Mulut lancang, siapa yang main curang? Hayo pergi dari sini, atau kau ingin kami memaksamu?” bentak seorang di antara empat tukang pukul itu. Melihat peristiwa ini, para tamu menjauhkan diri, takut terlibat.

“Wah, wah, apakah Hok-po-koan biasa menggunakan kekerasan seperti ini? Hendak kulihat, bagaimana kalian empat orang kasar hendak memaksaku keluar!” Bun Houw mengejek dan memperlihatkan lagak jagoan, seolah-olah dia sudah biasa pula mengandalkan kepandaiannya untuk menghadapi tantangan, lagak seorang “jagoan”.

“Eh, si keparat, kau menantang?” bentak seorang di antara empat orang tukang pukul itu dan serentak mereka maju memegang kedua lengan dan kedua pundak Bun Houw, hendak diseretnya pemuda itu dan dilempar keluar

Akan tetapi, segera empat orang itu terkejut bukan main karena pemuda yang mereka pegang itu, sedikitpun tidak berkutik dan biarpun mereka sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk menyeret dan menggusur, namun pemuda itu tidak dapat berkisar sedikitpun dari tempatnya, seolah-olah mereka berempat sedang berusaha menarik sebuah arca dari baja yang amat berat dan kokoh!

Empat orang itu adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan kekerasan kepada orang-orang yang dianggap menantang tempat judi itu, mereka adalah orang-orang kasar yang hanya memiliki tenaga kasar namun pandangan mereka dangkal sehingga mereka tidak insyaf bahwa pemuda itu jelas memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kekuatan mereka.

“Kau ingin mampus?” bentak seorang di antara mereka dan seperti diberi komando saja empat orang itu lalu bergerak menerjang dan memukul Bun Houw. Akan tetapi, kedua tangan pemuda ini bergerak cepat sekali dan semua orang di situ, termasuk si empat orang tukang pukul, tidak tahu bagaimana dapat terjadi, akan tetapi tahu-tahu empat orang itu terlempar dan terbanting ke atas lantai sambil mengaduh-aduh dan memegang lengan kanan dengan tangan kiri, tidak berani bangkit lagi karena lengan kanan mereka rasanya seperti remuk-rerhuk tulangnya!

Melihat ini segera para tukang pukul yang lain mengepung Bun Houw. Jumlah mereka ada belasan orang dan seorang bandar judi cepat masuk ke dalam untuk melaporkan hal ini kepada majikan mereka yang tinggal di rumah mewah terletak di belakang rumah judi itu.

Bun Houw tersenyum ketika melihat dirinya dikurung oleh para tukang pukul, juga beberapa orang bandar judi yang tentu memiliki kekuatan lebih tinggi daripada tukang-tukang pukul kasar itu. Bahkan mereka semua sudah mencabut senjata, ada yang memegang golok, pedang, dan toya. Para tamu sudah membubarkan diri, berlari ketakutan keluar dari pintu rumah judi. Akan tetapi yang berhati tabah memberanikan diri untuk menonton, sambil berlindung di belakang meja-meja judi yang besar dan kuat. Bun Houw hanya ingin memancing perhatian, akan tetapi untuk melaksanakan siasatnya, tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan kaki tangan Kiam-mo Liok Sun ini, sungguhpun dia amat tidak senang menyaksikan betapa bandar-bandar judi itu menipu para tamu yang datang berjudi dengan permainan-permainan curang.

“Hemm, kalian ini sungguh aneh. Aku detang hanya melihat-lihat karena aku tertarik akan nama besar Kiam-mo Liok loya (tuan besar Liok) dan ingin membantunya, akan tetapi kalian menyambutku dengan kekerasan.”

Tentu saja mereka semua tidak memperdulikan omongan ini karena mereka sudah marah sekali mendengar betapa pemuda ini menentang bandar sehingga sang bandar kalah dalam perjudian dadu tadi dan melihat betapa pemuda ini telah merobohkan empat orang tukang pukul. Sambil berteriak-teriak mereka sudah menerjang maju dan senjata tajam di tangan mereka gemerlapan tertimpa sinar penerangan.

Bun Houw terpaksa membela diri menggunakan kelincahannya meloncat ke sana-sini di antara meja-meja judi yang kini menjadi berantakan karena didorong oleh para pengeroyok yang mengejarnya. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah Bun Houw akan dapat merobohkan mereka semua dalam waktu singkat. Akan tetapi bukan demikianlah yang dikehendakinya. Dia ingin menyelidiki Lima Bayangan Dewa dan menurut keterangan penyanyi jalanan tadi, majikan tempat inilah yang mengaku kenal dengan Lima Bayangan Dewa, maka dia harus dapat mendekatinya, kalau perlu masuk menjadi anak buahnya. Dan untuk keperluan ini, tidak baiklah kalau dia merobohkan mereka semua. Kalau tadi dia merobohkan empat orang tukang pukul itu hanya untuk memancing perhatian, dan diapun tidak melukai mereka dengan hebat, bahkan tidak ada tulang yang patah.

Keadaan di dalam ruangan judi yang biasanya gaduh dengan suara orang berjudi, kini menjadi makin gaduh dengan teriakan-teriakan para pengeroyok dan bunyi senjata yang bertemu dengan meja, lantai dan senjata-senjata yang beterbangan ketika luput mengenai tubuh Bun Houw dan sebagian ada yang terlepas dari tangan pemegangnya karena terkena totokan jari tangan pemuda itu yang memperlihatkan kelincahannya.

Bun Houw sejak tadi maklum akan kedatangan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang berpakaian mewah, berkumis rapi dan bermata tajam. Melihat sebatang pedang di punggung orang itu, sikapnya yang angkuh dan sikap merendah beberapa orang yang datang bersamanya, Bun Houw sudah dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Kiam-mo Liok Sun. Maka dia mengurangi kecepatan geraknya walaupun dia masih dapat menghindarkan diri dari para pengeroyoknya yang terus mengejar dan menghujankan serangan kepadanya itu.

“Kalian orang-orang tak mengenal maksud baik orang lain!” Bun Houw pura-pura kewalahan dan berteriak-teriak.

“Sudah kukatakan, aku datang untuk bersahabat dan membantu Liok-loya yang terkenal gagah, mengapa kalian memaksaku berkelahi?”

Sejak tadi Kiam-mo Liok Sun menonton dengan hati tertarik. Biarpun gerakan pemuda tampan itu kacau dan tidak membayangkan ilmu silat tinggi yang dikenalnya, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu memiliki kelincahan dan kecepatan gerakan yang amat mengagumkan sehingga belasan orang kaki tangannya itu yang mengeroyok dengan senjata di tangan sama sekali tidak mampu mendesaknya, apalagi melukai dan merobohkannya. Kini mendengar teriakan pemuda itu, dia makin tertarik. Tentu saja dia tidak begitu bodoh untuk mempercaya kata-kata orang asing ini, akan tetapi diam-diam dia mengakui bahwa kalau dia bisa memperoleh pemuda gagah itu sebagai pembantunya, dia mendapatkan keuntungan besar sekali.

Keadaan menjadi sunyi setelah semua orang berhenti bergerak, sunyi yang menegangkan karena semua orang mengira bahwa sebentar lagi tentu sinar pedang maut dari pedang setan akan membuat kepala pemuda tampan itu terpisah dari badannya. Akan tetapi alangkah heran hati mereka ketika Liok Sun menggerakkan tangan dan dengan langkah labar dia mengampiri Bun Houw. Mereka saling berhadapan dan Liok Sun bertanya, “Aku mendengar laporan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang pandai sekali bermain judi. Benarkah itu?”

“Ah, selama hidupku, belum pernah aku bermain judi, mana bisa disebut pandai?” Bun Houw merendah.

“Orang muda, engkau seorang asing dan datang-datang menimbulkan keributan di po-koan ini, sebenarnya apakah yang kaukehendaki?” Liok Sun yang merasa suka kepada pemuda ini bertanya.

“Apakah saya berhadapan dengan Liok loya sendiri?”

“Benar, akulah Kiam-mo Liok Sun. Apakah engkau datang untuk menantangku?” Laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah karena pakaian dan sikapnya itu bertanya, nada suaranya mengejek.

“Sama sekali tidak, Liok-loya. Saya memang telah lama mendengar nama besar loya dan saya bahkan ingin menawarkan tenaga saya untuk membantu dan bekerja kepada loya.”

“Hemm, orang muda. Siapakah namamu dan dari mana kau datang?”

“Nama saya Bun Houw dan saya tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Karena kehabisan bekal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, ketika tiba di kota ini dan mendengar akan kegagahan dan kedermawanan loya, saya lalu datang ke sini hendak mencari loya dan minta pekerjaan.”

Kiam-mo Liok Sun memandang penuh selidlk. “Orang muda she Bun, agaknya engkau memiliki kepandaian pula maka engkau berani mencari aku minta pekerjaan secara ini. Jangan mengira bahwa akan mudah saja mendapatkan pekerjaan dariku, apalagi setelah engkau melakukan pengacauan di sini.”

Bun Houw maklum bahwa orang telah salah menduga, mengira dia she Bun bernama Houw, akan tetapi hal ini memang kebetulan karena dia tidak ingin memperkenalkan diri sebagai putera Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.

“Maafkan saya, Liok-loya. Bukan maksud saya untuk mengacau...”

“Sudahlah. Karena engkau telah memperlihatkan kepandaianmu berjudi, biarlah sekarang aku tantang engkau berjudi dengan aku...”

“Akan tetapi... saya tidak pandai berjudi dan saya tidak mau...”

“Harus! Engkau harus mau berjudi dengan aku. Kalau engkau kalah, tidak perlu banyak cakap lagi dan engkau harus dihukum karena telah merugikan aku dan mengacau po-koan ini. Kalau engkau menang, nah... baru kita bicara tentang pekerjaan itu.”

Semua anak buah Liok Sun tersenyum-senyum karena mereka mengira bahwa majikan mereka hendak mempermainkan pemuda itu sebelum membunuhnya. Bun Houw juga maklum bahwa Si Setan Pedang ini hendak mencobanya, maka sambil menarik napas dia berkata, “Apa boleh buat, caramu menerima pembantu baru sungguh aneh, Liok-loya.”

Dengan tersenyum Liok Sun melangkah dan duduk di belakang sebuah meja judi yang tidak berantakan dan dengan isyarat tangan dia menyuruh Bun Houw duduk menghadapi meja itu, bertentangan dengan dia. Dengan sikap terpaksa Bun Houw duduk dia atas bangku. Liok Sun lalu minta dua butir dadu dan sebuah mangkok. Dia memasukkan dadu itu di dalam mangkok lalu menggoyang-goyang mangkok sehingga terdengar bunyi berkeratakan ketika dua butir dadu berputaran di dalam mangkok yang ditutup dengan telapak tangan kirinya.

“Hanya ada dua kemungkinan yang keluar,” kata Liok Sun sambil tersenyum dan memandang tajam kepada Bun Houw, “Yaitu nomor ganjil atau nomor genap, Nah engkau boleh memilih, orang muda.”

Bun Houw menengok ke kanan kiri. Semua di sekelilingnya hanya wajah-wajah menyeringai yang seolah-olah sudah memastikan bahwa dia akan kalah dan menerima hukuman! Dia tahu bahwa kehendak majikan po-koan ini tidak dapat dibantah lagi, maka dengan suara tenang dia menjawab, “Aku memilih genap!”

“Bagus, dan aku memilih ganjil. Engkau tahu yang tak dapat dibagi dua adalah ganjil!” kata Liok Sun.

“Dan yang dapat dibagi dua adalah genap!” Bun Houw berkata pula.

“Lihat baik-baik, aku membuka mangkok!” Majikan Hok-po-koan itu berteriak, dan cepat mangkoknya menelungkup kemudian dibukanya. Pandang mata Bun Houw dengan cepat dapat melihat bahwa dua butir dadu itu menunjukkan angka tiga dan lima, berarti berjumlah delapan, genap. Akan tetapi tiba-tiba sebutir dadu bergerak terguling. Melihat ini, Bun Houw yang juga menekan tangannya ke atas meja, mengerahkan sin-kang dan dadu itu kembali lagi ke nomor lima. Akan tetapi tentu saja Liok Sun tidak mau kalah, dan dengan kedua tangan di atas meja dia mengerahkan tenaga dan dadu itu miring ke angka enam!

Bun Houw sudah mengukur tenaga orang ini dan dia tahu bahwa biarpun Liok Sin jauh lebih kuat dari bandar judi tadi, akan tetapi kalau dia menggunakan sin-kang melawannya, dengan mudah dia akan dapat mengalahkan Liok Sun. Dia tidak mau menyinggung perasaan Liok Sun, akan tetapi dia harus dapat mendekati orang ini, maka diapun lalu menggerakkan tenaganya dan... dadu itu tetap berdiri miring antara nomor lima dan nomor enam, seolah-olah tenaga mereka seimbang, dan dengan tenaga sin-kangnya yang luar biasa kuatnya, Bun Houw membuat dadu-dadu itu melesak ke dalam papan kayu meja itu sehingga yang sebutir tetap menunjukkan angka tiga sedangkan yang sebutir lagi melesak miring antara nomor lima dan enam! Semua orang yang melihat ini membelalakkan mata dengan terheran-heran.


Liok Sun juga terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu memaksa dadu itu terlentang dengan nomor enam di atas. Akan tetapi diapun girang melihat dadu itu tidak menunjukkan nomor lima, melainkan miring dan dia mengira bahwa bertemunya dua tenaga, yaitu tenaganya dan tenaga pemuda itu, sedemikian kuat dan hebatnya sehingga dadu itu sampai melesak di atas meja! Giranglah hatinya, girang karena dia tidak kalah akan tetapi juga memperoleh kenyataan bahwa calon pembantunya ini hebat sekali kepandaiannya!

“Ha-ha-ha, yang keluar adalah nomor tiga dan nomor... lima setengah! Kita tidak kalah dan tidak menang!” kata Liok Sun.

Bun Houw tersenyum. “Sebaiknya begitu, Liok-loya, karena kalau dadu yang sebutir ini rebah dengan angka lima atau enam di atas, berarti saya yang menang.”

“Ehh...? Mengapa begitu? Kalau keluar angka enam, berarti aku yang menang, karena tiga dan enam adalah sembilan, angka ganjil!”

Bun Houw menggeleng kepalanya. “Dalam hal ini, loya bersikap cerdik, dan salah hitung. Kalau keluar angka sembilan, berarti saya yang menang, bahkan keluar angka apapun, dari satu sampai dua belas, saya yang menang.”

“Gila! Mana bisa begitu?”

“Lupakah loya bahwa yang saya pegang adalah nomor...”

“Genap!”

“Ya, dengan penjelasan bahwa nomor genap adalah nomor yang dapat dibagi dua!”

“Memang begitu, dan kalau keluar nomor sembilan, tidak bisa dibagi dua!”

“Siapa bilang, loya? Sembilan dibagi dua adalah empat setengah, bukan? Nah, siapa yang dapat menyangkal bahwa segala nomor, dari satu sampai dua belas atau sampai selaksa sekalipun, depat dibagi dua?”

Liok Sun melongo, menatap wajah pemuda yang bersikap tenang itu dengan mata terbelalak dan terdengar semua orang berbisik-bisik gaduh. Ucapan pemuda aneh ini sama sekali tidak dapat disangkal memang!

“Apakah bicaraku salah, Liok-loya?”

“Tidak... tidak... hemm, kau benar. Bahkan keluar angka delapan setengah inipun masih dapat dibagi dua! Engkau menang orang muda yang cerdik. Akan tetapi aku baru mau menerimamu bekerja membantuku kelau engkau dapat mengalahkan pembantu-pembantu utamaku.”

Dia menengok ke belakangnya dan memberi isyarat kepada dua orang yang tadi keluar bersamanya dan yang selalu menjaga di belakangnya.

Dua orang itu menyeringai dan meloncat ke tengah ruangan. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian. Yang seorang bertubuh tinggi besar, berkulit kehitaman, dan bermata lebar, kepalanya botak. Dia berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan mengelus-elus kumisnya yang dipelintir ke atas seperti dua buah golok menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya yang besar. Orang kedua adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan si tinggi besar, kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan matanya sipit, kulitnya kuning sekali seperti orang menderita penyakit kuning, kuning sampai ke kuku jari dan ke matanya.

Bun Houw sudah maju pula tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, menghadapi dua orang pembantu utama dari Kiam-mo Liok Sun. “Silakan Ji-wi maju,” katanya tenang.

Dua orang tukang pukul yang merupakan orang-orang paling kuat di antara anak buah Liok Sun itu memandang ke arah majikan mereka. Tanpa perkenan majikan mereka, dua orang ini tidak berani sembarangan bergerak dan mereka masih ragu-ragu apakah mereka berdua diharuskan melawan bocah yang masih amat muda ini. Akan tetapi Liok Sun yang sudah mengukur tenaga Bun Houw dan yakin akan kelihaian pemuda ini, memberi isyarat dengan mata dan anggukan kepala, menyuruh dua orang pengawalnya itu maju mengeroyok!

Dua orang itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan bagaikan sekor gajah mengamuk, orang yang tinggi besar itu sudah menerjang dengan kedua lengannya yang panjang menyambar dari kanan kiri, menyerang Bun Houw dengan dahsyat. Pemuda ini menggerakkan tubuhnya, mengelak dengan cekatan ke kiri dan di sini dia disambut oleh orang kedua yang gemuk pendek dan ternyata bahwa serangan si gemuk pendek ini tidak kalah hebatnya oleh kawannya yang tinggi besar. Namun, tentu saja bagi Bun Houw dua orang tukang pukul itu bukan apa-apa dan kalau dia menghendaki, dalam segebrakan saja dia akan mampu merobohkan mereka. Akan tetapi, dia tidak ingin terlalu menonjolkan kepandaiannya kepada Liok Sun karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaannya, maka dia lalu melakukan perlawanan yang cukup untuk mengimbangi mereka berdua. Maka amat seru dan ramailah tampaknya perkelahian itu, ditonton oleh Liok Sun dan semua anak buahnya dengan penuh kekaguman. Setelah lewat lima puluh jurus dan membiarkan dada dan pahanya dua kali terkena pukulan lawan, akhirnya Bun Houw berhasil menendang sambungan lutut si tinggi besar sehingga orang ini roboh tak mampu berdiri lagi, dan merobohkan si pendek gendut dengan sodokan tangan terbuka ke lambungnya, membuat lawan ini menjadi mulas perytnya dan juga tidak mampu melanjutkan pertandingan.

Bukan main girangnya hati Liok Sun. Dia segera menghampiri Bun Houw dan menggandeng tangan pemuda itu. Menurut penilaiannya ketika menyaksikan pertandingan tadi, ilmu kepandaian pemuda ini setingkat dengan dia! Dengan memperoleh pembantu selihai ini, tentu saja dia akan menjadi makin kuat.

Bun-hiante, kau hebat sekali! Aku menerima lamaranmu bekerja. Mulai saat ini, engkau menjadi pengawal pribadiku!” katanya dengan girang dan dengan suara lantang karena ucapan ini bukan hanya ditujukan kepada Bun Houw, melainkan juga kepada semua anak buahnya.

“Terima kasih atas kebaikan Liok-loya...”

“Ah, mulai sekarang jangan menyebut loya lagi, cukup Liok-twako saja,” kata majikan rumah judi itu yang kemudian menoleh kepada anak buahnya. “Hayo bereskan semua meja dan buka kembali po-koan. Jangan sampai menimbulkan keributan agar para langganan kita tidak menjadi jerih untuk bermain judi.” Setelah berkata demikian, di mengajak Bun Houw masuk ke dalam rumahnya yang terletak di belakang rumah judi itu.

Mulai saat itu, berhasillah Bun Houw mendekati Kiam-mo Liok Sun, bahkan setelah mereka bercakap-cakap, Liok Sun makin suka kepada pemuda ini yang selain tinggi ilmu kepandaiannya ternyata juga bukan seorang jahat! Sebaliknya, Bon Houw merasa terheran-heran bahwa majikan rumah judi ini ternyata bukan pula seorang jahat! Bahkan hidupnya menduda dan agaknya dengan terpaksa sajalah Liok Sun membuka rumah judi itu.

“Sekarang berdagang amat sukar memperoleh keuntungan, Bun-hiante,” katanya. “Aku tahu bahwa pekerjaan bandar judi tidaklah bersih dan kalau tidak berani bermain curang tidak akan dapat untung. Akan tetapi aku memerlukan uang untuk menyusun kekuatan, karena aku mempunyai seorang musuh besar yang harus kubalas. Sekarang aku bertemu dengan engkau, sungguh membesarkan hatiku karena dengan bantuanmu, aku tidak takut lagi menghadapi musuh besarku itu.”

Bun Houw mengerutkan alisnya. “Apakah dia lihai sekali, twako?” Sudah tiga hari dia tinggal di rumah Liok Sun dan memperoleh pelayanan baik sekali dan dia merasa akrab dengan “majikannya” yang menganggapnya seperti sahabat baik ini.

“Dia cukup lihai dan mempunyai banyak pengawal, selain kaya raya juga berpengaruh karena dia adalah seorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan dan tinggal di Koan-hu.”

Bun Houw terkejut, lalu dia teringat akan urusannya sendiri yang sedang menyelidiki Lima Bayangan Dewa. “Maaf, twako, akan tetapi aku merasa heran mengapa twako tidak dari dulu menghadapi musuh besar itu. Twako sendiri terkenal sebagai ahli pedang yang lihai dan memiliki banyak pembantu...”

“Aihhh, mereka itu hanya pandai berlagak akan tetapi kosong tanpa isi.”

“Akan tetapi kabamya twako mempunyai banyak sahabat orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan aku pemah mendengar bahwa twako bersababat dengan Lima Bayangan Dewa.”

Liok Sun mengangkat muka memandang sambil tersenyum. “Eh, engkau juga mendengar tentang mereka, hiante?”

“Siapa yang tidak mendengamya, twako? Seluruh dunia kang-ouw geger setelah Lima Bayangan Dewa mengacau di Cin-ling-pai dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Aku kagum sekali kepada mereka dan kalau benar twako bersahabat dengan mereka, aku ingin sekali twako memperkenalkan aku dengan mereka.”

Liok Sun tertawa. “Ha-ha-ha, mereka adalah orang-orang luar biasa, mana aku ada kehormatan menjadi sahabat mereka? Memang aku mengenal baik seorang yang mungkin sekali merupakan seorang di antara mereka atau setidaknya mengenal siapa adanya Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu. Aku akan mengajakmu berkenalan dengan dia setelah engkau membantu aku menghadapi musuh besarku itu, hiante.”

Bun Houw menjadi bingung. Bukan maksudnya seujung rambutpun untuk menjadi pembantu bandar judi ini! Akan tetapi agaknya dari orang inilah dia akan berhasil menemukan musuh-musuh besamya yang sudah sekian lamanya dicari tanpa ada hasilnya. Betapapun juga, dia tidak mau sembarangan turun tangan membantu Liok Sun memusuhi orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya sama sekali, apalagi sebelum dia ketahui apa sebabnya Liok Sun memusuhi orang itu.

“Aku telah menjadi pembantumu, sudah sepatutnya kalau aku membantumu, Liok-twako. Akan tetapi, siapakah musuh besarmu itu dan kalau boleh aku mengetahui agar jelas bagiku dan tidak meragukan tindakanku, mengapa twako bermusuhan dengan dia?”

Liok Sun Si Pedang Setan itu menghela napas panjang dan tiba-tiba wajah yang tampan itu berobah keruh dan muram tanda bahwa pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang amat mendukakan hatinya.

“Semua orang mengenalku sebagai Liok Sun Si Pedang Setan, akan tetapi sesungguhnya, baru engkaulah yang mendengar bahwa dahulu namaku adalah Sun Bian Ek. Aku dahulu bukan orang baik-baik sungguhpun aku tidak pemah berhati kejam kepada siapapun yang tidak bersalah dan aku dahulu adalah seorang perampok tunggal yang telah mengundurkan diri dan bertobat, lalu menjadi pedagang hasil bumi.” Liok Sun mulai menuturkan keadaan dirinya.

Setelah mengundurkan diri dari dunia hitam dan menjadi pedagang hasil bumi, Liok Sun menikah dan hidup bahagia dengan isterinya yang cantik sampai mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang mungil. Akan tetapi, malapetaka menimpa keluarganya dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari cara hidupnya dahulu ketika dia masih menjadi perampok. Pihak pemerintah mengadakan pembersihan, menangkapi banyak sekali orang-orang dunia hitam di kota Koan-hu dan sekitamya. Dalam pembersihan ini, Liok Sun atau yang dahulu bemama Sun Bian Ek ikut pula ditangkap! Kepala pasukan keamanan di kota itu yang bemama Phang Un agaknya tahu akan riwayat hidup pedagang Sun Bian Ek maka biarpun semua orang terheran mengapa pedagang itu ikut ditangkap, namun Sun Bian Ek sendiri tidak dapat menyangkal bahwa dia dahulu adalah perampok dan dia tidak lepas dari pandang mata tajam dari Phang Un. “Aku dijatuhi hukuman buang ke daerah utara untuk bekerja paksa memperbaiki saluran kota raja.” Liok Sun melanjutkan penuturannya. “Semua itu tidak menyakitkan hatiku karena akupun maklum, bahwa kesesatanku yang lalu sudah sepatutnya menerima hukuman. Akan tetapi, dapat kaubayangkan bagaimana rasanya perasaanku ketika aku mendengar bahwa sesungguhnya yang menjadi sebab mengapa aku yang sudah mencuci tangan itu ditangkap, sama sekali bukan dikarenakan dosa-dosaku yang lalu, melainkan karena isteriku...”


Eh...? Apa maksudmu, twako?” tentu saja Bun Houw terkejut dan heran mendengar arah cerita yang sama sekali menyimpang dan tidak disangka-sangkanya itu.

“Sehari setelah aku ditangkap, isteri dan anakku diboyong ke gedung si keparat Phang Un!”

“Ah, jadi dia merampas isteri dan anakmu?”

Liok Sun mengangguk. “Mula-mula kusangka demikian. Di utara, aku tertolong oleh seorang tokoh hitam yang kusangka adalah seorang di antara Lima Bayangan Dewa, orang yang kumaksudkan tadi. Setelah aku bebas, diam-diam aku mengganti namaku dan membuka rumah judi di kota Kiang-shi ini. Sambil mengumpulkan harta dan kekuatan, aku menanti kesempatan baik untuk membalas dendam dan baru aku mengerti bahwa di antara keparat itu dan isteriku memang sudah terjalin hubungan sebelum peristiwa penangkapan itu terjadi. Kau tahu, aku adalah seorang pedagang hasil bumi di waktu itu, sering keluar kota sampai berhari-hari, dan Phang Un adalah kepala pasukan keamanan yang setiap malam boleh saja meronda dan memeriksa, maka...” Liok Sun menarik napas panjang dan tidak melanjutkan, akan tetapi Bun Houw sudah dapat membayangkan apa yang terjadi antara isteri yang tidak setia itu dan si kepala pasukan keamanan yang mata keranjang.

“Hemm, memang patut dihajar dia!” kata Bun Houw.

Demikianlah, karena merasa simpati mendengar riwayat Liok Sun, pada suatu pagi, beberapa hari kemudian, berangkatlah kedua orang ini menuju ke kota Koan-hu yang tidak begitu jauh letaknya dari Kiang-shi. Malamnya, mereka berdua telah bergerak seperti dua ekor kucing di atas genteng rumah-rumah orang, dan berhasil meloncati pagar tembok yang mengurung gedung tempat tinggal Phang-ciangkun (Perwira Phang) tanpa diketahui para perajurit yang berjaga di sekitar tempat itu. Para penjaga itu memang agak lengah, karena mereka tidak percaya bahwa ada orang yang berani mati mengganggu rumah perwira itu.

Dengan berindap-indap, akhirnya Liok Sun dan Bun Houw mengintai dari sebuah jendela kamar, Bun Houw melihat seorang wanita yang cantik berdandan mewah sedang duduk menyulam di dalam kamar itu. Wanita yang berpakaian mewah dan pesolek, usianya antara tiga puluh lima tahun, kulitnya putih dan pinggangnya ramping. Tidak ada orang lain lagi di dalam kamar itu, Bun Houw merasa betapa napas temannya memburu dan tahulah dia bahwa wanita itulah agaknya isteri tidak setia itu. Dengan gerak tangannya, Liok Sun menyuruh Bun Houw berjaga di luar jendela dan dia sendiri hendak menerjang masuk, Bun Houw hanya mengangguk. Tadi dia telah berpesan kepada Liok Sun agar “majikannya” itu tidak sembarangan turun tangan dan hanya berurusan dengan musuh-musuhnya saja, jangan melibatkan orang-orang lain dan pasukan keamanan pemerintah.

Dengan kekuatan tangannya, Liok Sun mendorong daun pintu yang patah kuncinya dan seperti seekor burung dia melayang masuk ke dalam kamar itu. Bun Houw mengintai di luar jendela.

Wanita itu menjerit dan bangkit berdiri, seketika menjadi pucat wajahnya dan kain yang disulamnya terlepas dari tangannya dan segulung benang sulam jatuh menggelinding di sudut kamar.

“Kanda... Sun Bian Ek...!” Tubub wanita itu menggigil dan suaranya menggetar. “Kau... kau... masih hidup...?”

Liok Sun atau Sun Bian Ek memandang dengan muka merah dan mata berapi, suaranya dingin dan penuh penyesalan, “Perempuan hina, andaikata sudah matipun aku akan bangkit untuk mengutukmu. Kau perempuan hina, isteri yang khianat hendak kulihat bagaimana macamnya hatimu!”

Mata itu makin terbelalak, mukanya makin pucat. “Tidak... ahh, jangan kau salah sangka...!” Wanita itu menangis dan menjatuhkan dirinya berlutut di atas lantai di depan bekas suaminya itu. “Kau... suamiku... kau salah sangka... aku... aku tidak berkhianat padamu...”

“Hemmm, siapa percaya mulutmu yang palsu? Kau masih berani menyangkal bahwa sebelum aku ditangkap dahulu, diam-diam engkau telah menjual dirimu yang kotor dan hina kepada si jahanam Phang Un?”

“Tidak... tidak... itu fitnah belaka... kau dengarlah... aku memang tidak pernah berani berterus terang akan terjadinya malapetaka di malam itu... pada suatu malam ketika engkau pergi berdagang... dia datang dan mengancam akan membunuh anakku jika aku tidak mau melayaninya... dengan ujung golok di leher anakku, apa dayaku...? Kanda Bian Ek... malam itu, untuk menyelamatkan nyawa anakku... aku terpaksa... melayaninya dan... dan setelah kau ditangkap, aku diboyong ke sini... apakah dayaku sebagai seorang wanita lemah?”

Liok Sun memandang bekas isterinya itu. Dia amat mencinta wanita ini dan selama lima tahun ini semenjak mereka berpisah, dia selalu mengenangkan kemesraan yang telah dialaminya bersama isterinya. Kini, mendengar cerita itu, dia tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa terhadap isterinya yang kini menangis sesenggukan itu.

“Di mana adanya anakku, di mana? Aku harus membawa dia pergi dari sini, dan di mana jahanam itu? Akan kubunuh dia...”

Wanita itu kelihatan terkejut sekali, lalu bangkit berdiri dan dengah sikap ketakutan dia mundur-mundur sambil menggeleng kepala berkali-kali dan berkata, “Jangan... tidak... jangan...!”


Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut dari belakang dan tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan lari ke arah pintu belakang sambil menjerit, “Toloong...! Ada penjahat...! Tolooooong...!”

“Keparat, perempuan hina...!” Kiam-mo Liok Sun menjadi marah sekali. Segala keraguan akan kesalahan isterinya setelah mendengar cerita tadi lenyap sama sekali dan dia tahu bahwa isterinya tadi hanya membodohinya untuk mengulur waktu agar para penjaga mendengar dan tahu akan kedatangan bekas suaminya ini. Dalam kemarahannya yang meluap, Liok Sun mencabut pedangnya dan sinar pedangnya menyambar dari belakang tubuh bekas isterinya. Wanita itu menjerit mengerikan dan roboh dengan punggung tertusuk pedang sampai tembus ke dadanya.

“Ibu...!” Seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun, berlari masuk. Melihat anak ini, Liok Sun cepat menyambarnya dengan tangan kiri.

Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari samping dan berkelebatnya bayangan sinar terang. Dia menggerakkan pedang menangkis.

“Cringg... aduhhh...!” Liok Sun berteriak karena pundaknya yang kanan tetap saja keserempet golok yang dipegang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang telah menyerangnya secara tiba-tiba. Karena tadi dia baru saja mencabut pedang dari tubuh bekas isterinya lalu menyambar anaknya dengan tangan kiri, maka ketika mendadak diserang, tangkisannya kurang cepat sehingga dia terluka oleh laki-laki yang bukan lain adalah Phang Un itu.

Melihat betapa isterinya terbunuh dan anak tirinya dirampas, dan mengenal Sun Bian Ek, perwira ini marah sekali. Dia mengeluarkan teriakan untuk memanggil semua pengawalnya, kemudian goloknya bergerak menerjang Liok Sun yang sudah terluka.

“Plakkk...!” Perwira itu terhuyung dan goloknya terlepas dari tangannya ketika Bun Houw yang meloncat masuk menepuk bahu kanannya dari belakang. Pemuda ini tadi merasa terkejut ketika melihat Liok Sun membunuh bekas isterinya, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, sungguhpun dia maklum pula akan kepalsuan wanita itu. Karena tertegun menyaksikan peristiwa mengerikan antara suami isteri yang tentu dahulunya saling mencinta itu, maka dia terlambat menolong Liok Sun sehingga “majikannya” itu terluka pundaknya. Baru ketika melihat Liok Sun terluka, dia meloncat ke dalam dan sempat menggagalkan serangan maut Phang-ciangkun tadi.

“Keparat busuk kau...!” Llok Sun membentak ketika melihat Phang Un terbuyung, biarpun tangan kiri memondong anak perempuan itu dan pundak kanan sudah terluka, namun pedangnya masih berkelebat cepat sekali. Phang Un masih terkejut oleh tamparan yang bukan main kuatnya tadi. Dia masih terhuyung sambil memutar kepala untuk melihat siapa yang telah menampamya ketika sinar pedang berkelebat. Phang Un berusaha mengelak, akan tetapi hanya dua kali berturut-turut dia mampu mengelak. Sambaran pedang yang ketiga kalinya mengena sasaran dan robohlah Phang Un dengan leher yang hampir buntung terbabat pedang Liok Sun.

Pada saat itu, datanglah belasan orangg perajurit dan pengawal ke tempat itu. Melihat Liok Sun hendak mengamuk, Bun Houw cepat berkata, “Liok-twako, hayo kita pergi...!”

Liok Sun juga maklum betapa berbahayanya untuk menentang penjaga keamanan, maka melihat pembantunya itu sudah menerjang keluar kamar dan dengan mudahnya pemuda itu membuat lima enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri, diapun lalu mengikuti Bun Houw dan setelah Bun Houw merobohkan lagi beberapa orang, mereka berdua berhasil meloncat ke atas genteng dan menghilang di kegelapan malam.

Peristiwa itu membuat Liok Sun makin percaya kepada Bun Houw. Diapun tidak melupakan dan mengingkari janjinya. Setelah dia menitipkan puterinya kepada seorang sahabat baiknya, Liok Sun lalu mengajak Bun Houw untuk pergi mengunjungi seorang kenalannya, yang juga merupakan penolongnya ketika dia dihukum buang di utara, dapat juga disebut bekas kekasihnya, yang dianggapnya mungkin seorang di antara Lima Bayangan Dewa. Dan memang anggapannya ini tidaklah keliru karena wanita yang dimaksudkannya ini bukan lain adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim. Ketika Bun Houw diberi tahu bahwa yang dimaksudkan itu adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, tentu saja hatinya merasa girang sekali. Tidak percuma dia mendekati Liok Sun, karena ternyata orang ini benar-benar hendak membawanya ke rumah seorang di antara Lima Bayangan Dewa yang dicari-carinya. Maka berangkatlah mereka dengan menunggang kuda dan Liok Sun melakukan perjalanan ini dengan senang hati karena diapun perlu sekali untuk beberapa lamanya meninggalkan Kiang-shi sampai keributan yang terjadi di kota Koan-hu itu menjadi dingin kembali.

***


Hong Khi Hoatsu yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun itu menggandeng tangan Lie Song dengan wajah muram, memasuki pekarangan rumah Lie Kong Tek, muridnya yang telah tewas itu. Peristiwa yang menyedihkan menimpa keluarga murid tunggalnya yang sudah dianggap sebagai puteranya sendiri itu, dan peristiwa itu menambah keriput di wajah kakek ini dan menambah uban di kepalanya. Andaikata tidak bersama Lie Seng, agaknya Hong Khi Hoatsu tidak akan sanggup memasuki pekarangan rumah mendiang muridnya itu.

“Sukong (kakek guru), alangkah sunyinya rumah kita...” Lie Seng berkata. Ucapan anak kecil ini terasa seperti pedang menusuk ulu hati Hong Khi Hoatsu. Dia menghela napas panjang dan melihat kenyataan betapa kehidupan manusia penuh dendan suka duka, namun dukalah yang lebih banyak kalau dibandingkan dengan suka. Betapa keadaan hidup sama sekali tidak menentu. Muridnya, Lie Kong Tek, tadinya hidup bahagia dengan isteri dan dua orang anaknya, akan tetapi dalam sekejap mata saja keadaan penuh bahagia itu berubah sama sekali berubah secara hebat dan kebahagiaan kini berobah menjadi kesengsaraan lahir batin yang menyedihkan. Muridnya atau puteranya itu tewas membunuh diri, mantunya pergi mencari penjahat yang belum ketahuinya siapa dan dua orang cucunya kehilangan ayah bunda! Tentu hidup terasa makin tidak menyenangkan bagi orang setua dia, terasa makin sunyi dan tentu saja rumah di Sin-yang yang biasanya penuh kegembiraan dengan suara ketawa dua orang cucunya dan senyum manis mantunya, gelak tawa muridnya kini hanya membangkitkan kenangan yang telah lenyap.


Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka apabila kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum bebas dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita mengikatkan diri dengan segala yang anggap akan mendatangkan kesenangan abadi. Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala sesuatu sehingga kita mengikatkan diri dengan isteri, dengan keluarga, dengan kedudukan, dengan harta, dengan nama dan sebagainya. Pengikatan diri dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi maupun kesenangan rohani. Kalau sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan karena kesenangan kita dirampas.

Sesungguhnya bahwa suka maupun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak di harta, kedudukan, nama dan sebagainya. Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya. Di manakah letak kekayaan? Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda? Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Biarpun orang memiliki lima buah gunung emas, apabila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin apabila dia menginginkan barang yang lebih dari jumlah itu harganya. Orang tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari apapun yang berada di dalam tangannya, betapapun tinggi nilai benda itu, apabila dia menginginkan barang yang lain daripada yang telah dimilikinya. Dan orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, takkan pernah merasa cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang dinamakan kebahagiaan hidup.

Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi kehidupan dengan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan lapang, dengan gembira dan tidak pernah dia tenggelam di dalam duka maupun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya selalu jatuh bangun di antara suka dan duka. Akan tetapi betapa menyedihkan karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini! Kita menerimanya sebagai hal yang “sudah semestinya”. Hidup yang penuh dengan duka nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati, segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan macam ini sebagai hal yang semestinya! Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri kepada pemuasan kesenangan sungguhpun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu kita!

Tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan kehidupan yang bersumber di dalam diri pribadi, kecuali KITA SENDIRI. Bukan kita yang mengusahakan perobahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, akan tetapi dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar dalam, dengan pengawasan dan pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perobahan. Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati tentang filsafat atau kebatinan manapun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk membanggakan diri belaka.

“Sukong, mengapa begini sunyi? Ke mana perginya para pelayan?” Lie Seng berkata lagi dengan nada suara heran dan tidak enak. Anak berusia dua belas tahun ini telah dapat merasakan kehebatan malapetaka yang menimpa keluarganya, dan kini, mendekati rumah di mana dia dilahirkan, dia merasa perobahab hebat karena rumah itu kini seolah-olah merupakan tempat berkabung di mana tidak ada lagi ayahnya, ibunya, dan adiknya.

“Aku juga heran sekali...” kakek itu berkata dan hatinya terasa kurang enak karena kesunyian pekarangan rumah itu memang amat mencurigakan. Akan tetapi dia dan cucunya telah tiba di ruangan depan dan sudah terlambat karena tiba-tiba tampak bayangan berkelebatan dan tahu-tahu di ruangan depan itu berdiri empat orang laki-laki yang gerakannya ringan seperti setan.

Hong Khi Hoatsu belum pernah bertemu dengan keempat orang ini, maka dia memandang penuh perhatian, lalu mengangkat tangan ke depan dada sambil bertanya, “Maafkan kalau saya tidak mengenal su-wi (anda berempat). Siapakah kalian dan su-wi mencari siapa?”

Orang yang tertua di antara mereka, seorang kakek berusia enam puluh lima tahun akan tetapi masih kelihatan muda dan berwajah tampan, yang memakai pakaian serba putih, tertawa dan berkata kepada teman-temannya, “Kalian berhati-hatilah. Tukang sulap ini boleh jadi kepandaiannya tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu sihirnya berbahaya. Kalau dia mengeluarkan sihirnya, lawan dengan sin-kang dan tulikan telinga, butakan mata terhadap semua ucapan dan gerakannya.”

Mendengar ini, Hong Khi Hoatsu terkejut. Maklumlah dia bahwa empat orang ini, adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan tentu membawa maksud buruk dengan kedatangan mereka yang aneh ini.

“Hong Khi Hoatsu, aku adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan kedatangan kami adalah untuk bertemu dengan puteri dan cucu ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi mereka tidak ada den kebetulan kau datang. Kau adalah mertua puteri ketua Cin-ling-pai, hayo katakan di mana dia dan anak-anaknya?”


“Manusia-manusia jahat, kalian mencari ibu mau apa?” Lie Seng yang masih dihimpit kedukaan itu menjadi marah sekali mendengar ucapan kakek itu. Hong Khi Hoatsu kaget sekali dan untuk mencegah cucunya bicarapun sudah terlambat.

“Ha-ha-ha, inikah puteranya? Anak baik, kau cucu ketua Cin-ling-pai? Ha-ha, sungguh kebetulan sekali!”

Sementara itu, Hong Khi Hoatsu menekan debar jantungnya. Biarpun dia belum pernah bertemu dengan mereka ini, namun mendengar nama Pat-pi Lo-sian, dia tahu siapakah mereka ini karena di Cin-ling-san dia sudah mendengar penuturan Cia Keng Hong tentang Lima Bayangan Dewa yang memusuhi Cin-ling-pai.

“Hemmm... kurang seorang lagi, bukankah Bayangan Dewa ada lima orang?” Hong Khi Hoatsu berkata. “Kalian datang berkunjung ada urusan apakah?”

“Ha-ha-ha, Hong Khi Hoatsu. Kami sudah kesal melihat rumah ini kosong, dan sungguh baik sekali engkau mengantar cucu ketua Cin-ling-pai kepada kami. Kauberikan anak itu kepada kami dan kami akan membiarkan engkau yang sudah tua ini untuk terus hidup beberapa tahun lagi.”

Hong Khi Hoatsu menjadl merah mukanya. “Kiranya Lima Bayangan Dewa yang terkenal gagah karena berani menentang Cin-ling-pai itu hanyalah orang-orang pengecut yang beraninya mengganggu anak kecil! Kalau memang gagah, mengapa kalian tidak langsung saja mendatangi Cin-ling-pai dan menantang ketuanya? Dia dan isterinya sudah siap untuk membasmi kalian.”

“Tua bangka cerewet! Serahkan anak itu atau terpaksa kami akan membunuhmu lebih dulu!”

“Haaiiitttt...! Siapa yang kaucari? Anak kecil ini tidak ada di sini!” Tiba-tiba Hong Khi Hoatsu berteriak dan... empat orang jagoan itu terkejut bukan main karena benar saja, tiba-tiba bocah itu lenyap berobah menjadi gulungan asap putih!

“Awas, jangan terpedaya. Serang...!” Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok berseru nyaring sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya mengandung getaran dashsyat dan tubuhnya sudah bergerak ke depan mengirim pukulan bertubi secepat kilat dan mengandung kekuatan sin-kang yang hebat ke arah Hong Khi Hoatsu.

“Plak-plak-plak...!” Hong Khi Hoatsu berhasil menangkis serangan ini, akan tetapi dia terhuyung karena memang kalah kuat tenaganya oleh Si Dewa Tua Berlengan Delapan itu. Dan tiga orang Bayangan Dewa yang lain sudah pula menyerang dengan pukulan-pukulan yang amat dahsyat.

Hong Khi Hoatsu mengelak ke sana-sini dan terhuyung-huyung dalam keadaan terdesak hebat. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu kepandaian silat, biar hanya menghadapi seorang saja di antara mereka, belum tentu dia akan menang, apalagi dikeroyok empat. Terutama sekali Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok benar-benar memiliki kepandaian yang hebat dan tenaga sin-kang yang besar. Dia hanya dapat mengandalkan ilmu hoatsut (sihir), akan tetapi karena empat orang itu sudah siap dan melindungi diri dengan kekuatan batin, kiranya tidak akan mudah baginya untuk dapat mempengaruhi mereka sekaligus.

“Berlutut engkau...!” bentaknya ketika pecut baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit menyambar dan meledak di atas kepalanya. Bu Sit terkejut dan biarpun tadi dia sudah diperingatkan oleh Pat-pi Lo-sian, tetap saja dia terkejut, memandang dan tanpa dapat disadari atau dipertahankannya pula, dia sudah menjatuhkan diri berlutut sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga terhuyung karena dia juga memandang dan terpengaruh, biarpun sudah dia pertahankan dengan kekuatan batinnya.

“Ilmu setan!” Hok Hosiang yang berjuluk Sin-ciang Siauw-bin-sian (Dewa Tersenyum Bertangan Sakti) yang berkepala gundul itu dengan marah menggerakkan tangan kirinya dan tasbeh hijau yang merupakan senjata istimewa itu menyambar dan berobah menjadi sinar hijau menyambar ke arah dada Hong Khi Hoatsu. Kakek ini terkejut sekali dan mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya keserempet dan dia roboh terguling.

“Jangan pukul kakekku!” Tiba-tiba Lie Seng berteriak dan tentu saja kini dia kelihatan lagi oleh empat orang itu yang menjadi sangat girang. Karena Hong Khi Hoatsu terkena hantaman tasbeh, maka pengaruhnya terhadap dua orang tadipun membuyar dan mereka sudah meloncat bangun kembali. Hong Khi Hoatsu juga sudah meloncat dan menghadapi empat orang lawan tangguh itu dengan hati penuh kekhawatiran, mengkhawatirkan cucunya.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari luar, “Bayangan Dewa, jangan banyak menjual lagak, kami dari Cin-ling-pai datang untuk membasmimu...!”

Girang hati Hong Khi Hoatsu ketika dia mengenal empat orang tua yang gagah itu, yang bukan lain adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai atau orang-orang tertua dan sisa dari Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek! Empat orang murid utama dari Cin-ling-pai ini, seperti kita ketahui, juga segera meninggalkan Cin-ling-san setelah Bun Houw pergi, untuk berusaha mencari Lima Bayangan Dewa yang tidak hanya mencuri Siang-bhok-kiam, akan tetapi juga telah membunuh tujuh orang sute mereka. Dibandingkan dengan Bun Houw yang baru saja pulang dari Tibet dan masih belum mempunyai pengalaman banyak di dunia kang-ouw, tentu saja empat orang tokoh Cin-ling-pai ini jauh lebih luas pengalamannya dan kalau Bun Houw masih juga belum berhasil dalam penyelidikannya untuk menemukan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, empat orang tokoh ini akhirnya dapat juga mencari musuh-musuhnya dan ketika mereka mendengar keterangan dalam penyelidikan mereka bahwa empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu pergi ke Sin-yang, mereka menjadi terkejut dan cepat melakukan pengejaran. Mereka merasa khawatir sekali kalau-kalau para musuh besar ini akan mengganggu puteri suhu mereka, yaitu Cia Giok Keng yang tinggal di Sin-yang bersama suaminya dan dua orang anaknya. Dalam kesibukan mereka menyelidiki musuh-musub besar Cin-ling-pai, empat orang ini sama sekali tidak tahu atau mendengar peristiwa yang menimpa keluarga suhu mereka.


Demikianlah, mereka tiba di rumah Giok Keng tepat pada saat Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng terancam bahaya oleh empat orang dari Lima Bayangan Dewa itu. Ketika mereka muncul dengan pedang di tangan, Pat-pi Lo-sian terkejut dan marah. Dia memandang empat orang laki-laki tua yang berpedang dan berpakaian sederhana itu, lalu membentak, “Siapakah kalian?” Dia belum pernah bertemu dengan empat orang tertua dari Cap-it Ho-han ini maka biarpun tadi mereka mengaku sebagai orang-orang Cin-ling-pai, dia tidak dapat menduga siapa mereka.

Di lain fihak, Kwee Kin Ta dan tiga orang sutenya juga baru sekarang bertemu dengan mereka, maka Kwee Kin Ta yang mewakili para sutenya menjawab tenang dengan sikap gagah, “Lebih dulu kami ingin bertanya, apakah benar kalian empat orang yang sedang mengacau di sini berjuluk Lima Bayangan Dewa?”

Pat-pi Lo-sian tersenyum lebar, wajahnya yang gagah dan tampan itu penuh ejekan dan memandang rendah. “Kalau benar demikian, kalian mau apa? Siapakah kalian?”

“Kami adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-han dan memang sudah lama kami mencari kalian manusia-manusia keji yang telah membunuh para sute kami,” jawab Kwee Kin Ta sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

“Ahhh! Ha-ha-ha, bagus sekali! Dahulu kami hanya dapat membunuh tujuh orang di antara Cap-it Ho-han, siapa tahu kini yang empat lagi datang mengantar nyawa untuk menemani kakek tua bangka tukang sulap ini.”

“Jahanam, bersiaplah kalian untuk mampus!” Kwee Kin Ta membentak dan pedangnya digerakkan, berobah menjadi sinar kilat yang menyambar ke arah Pat-pi Lo-sian. Tiga orang sutenya juga sudah menggerakkan pedang menyerang tiga orang Bayangan Dewa lainnya.

Pat-pi Lo-sian terkejut bukan main menyaksikan gerakan pedang yang dipegang oleh Kwee Kin Ta itu. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali. Dan memang Kwee Kin Ta sebagai murid pertama dari Cin-ling-pai tentu saja memiliki ilmu pedang yang amat hebat. Dialah yang mampu mewarisi inti dari Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang diciptakan oleh ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok Si Raja Ular, kepandaiannya amat tinggi. Cepat dia dapat mengelak sambil mencabut pedangnya pula, sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor ular dan mengeluarkan bau amis.

“Cringgg... trangg... singgg!”

“Hemmm...!” Pat-pi Lo-sian terkejut karena ketika pedang mereka saling bertemu, secara aneh sekali pedang lawan itu meluncur melalui tubuh pedangnya, begitu licin dan tak tersangka-sangka langsung menyambar ke arah tangannya yang memegang gagang pedang ular! Untung dia dapat cepat menarik tangannya dan menghindarkan diri dari serangan yang cepat, aneh dan tak tersangka-sangka itu.

Tiga orang sute dari Kwee Kin Ta juga sudah terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian melawan tiga orang dari Bayangan Dewa. Sesungguhnya kalau dinilai dari dasar ilmu silat mereka, kepandaian tiga orang tokoh Cin-ling-pai itu lebih murni, karena mereka itu adalah orang-orang yang langsung digembleng oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, mereka itu dahulunya adalah pemuda-pemuda dusun yang kaku dan tidak berbakat, dan merekapun jarang sekali bertanding sehingga di dalam pertandingan melawan tokoh-tokoh sesat yang amat lihai dan yang pada dasarnya memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada mereka, empat orang tokoh Cin-ling-pai ini segera terdesak karena lawan-lawan mereka menggunakan siasat-siasat licik dan curang yang memang terdapat dalam setiap gerakan ilmu berkelahi dari kaum sesat.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring tinggi, disusul suara nyanyian yang keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu. Sebelum bernyanyi dia berteriak memanggil nama empat Bayangan Dewa itu untuk menarik perhatian mereka. Dengan suara parau dia bernyanyi dengan nada aneh dan dengan kata-kata yang jelas dan tanpa disadarai oleh empat orang Bayangan Dewa itu, mereka tercengkeram oleh kekuatan mujijat dan telah terpengaruh sehingga mereka berempat mendengarkan dengan penuh perhatian. Karena perhatian mereka tercurah kepada suara nyanyian dan kata-katanya itu, tentu saja gerakan mereka menjadi kacau dan dengan demikian, keadaan segera membalik dan merekalah kini yang terdesak hebat oleh empat orang tokoh Cin-ling-pai!

Pat-pi Lo-sian terkejut bukan main ketika ujung lengan bajunya terbabat putus oleh pedang di tangan Kwee Kin Ta.

“Jangan dengarkan! Jangan dengarkan!” Dia memekik untuk memperingatkan teman-temannya yang juga menjadi kacau dan terdesak hebat, akan tetapi suaranya ini tenggelam ke dalam nyanyian Hong Khi Hoatsu, bahkan teriakannya itu memakai nada nyanyian mengikuti irama nyanyian kekek sihir itu, dan dia sendiri sama sekali tidak dapat melepaskan perhatiannya dari nyanyian itu. Makin lama gerakan mereka makin kacau dan kini mulailah empat orang tokoh kaum sesat itu menggerak-gerakkan bibir mengikuti nyanyian Hong Khi Hoatsu!

Mereka mulai ikut bernyanyi sungguhpun mereka berloncatan ke sana-sini untuk menangkis atau menghindarkan diri mereka dari serangan-serangan musuh! Hong Khi Hoatsu tiba-tiba menghentikan nyanyiannya dan... tertawa-tawa dan empat orang itupun ikut pula tertawa-tawa. Kakek ini lalu menangis dan merekapun ikut menangis!

Keadaan empat orang tokoh sesat itu kini terancam bahaya besar. Hong Khi Hoatsu mengajak mereka bernyanyi-nyanyi pula dan empat orang itu sudah satu dua kali terkena senjata lawan, sungguhpun tidak berbahaya namun cukup mengejutkan hati mereka. Empat orang Bayangan Dewa itu sibuk sekali dan keringat dingin mulai bercucuran di muka dan leher mereka. Mereka maklum bahwa keadaan mereka berbahaya sekali dan celakanya, mereka tidak mampu melarikan diri karena mereka “terikat” oleh suara nyanyian itu!


“Supek, hantam mereka! Robohkan mereka. Bagus, tusuk mereka!” Lie Seng berteriak sambil bersorak dan bergembira melihat betapa supek-supeknya, yaitu para suheng dari ibunya berasil mendesak empat orang kakek yang tadi mengeroyok kong-kongnya itu.

Karena perhatian mereka sepenuhnya terampas oleh Hong Khi Hoatsu, maka beberapa kali empat orang tokoh sesat itu terguling dan tubuh mereka yang kebal sudah mengalami hantaman dan serempetan senjata lawan. Tak lama lagi empat orang tokoh Cin-ling-pai itu tentu akan berhasil membalas dendam mereka.

“Hayo serahkan kembali Siang-bhok-kiam dan kalian menyerah untuk kami tangkap!” berkali-kali Kwee Kin Ta berseru sambil mendesak dengan pedangnya. Orang tertua dari Cap-it Ho-han ini ingin sekali menyeret mereka hidup-hidup ke depan suhunya dan juga untuk mendapatkan kembali Siang-bhok-kiam yang mereka curi.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa melengking tinggi sekali. Suara melengking yang amat menyeramkan, seperti bunyi tawa seorang wanita siluman atau bunyi seekor burung hong yang terbang di atas rumah itu. Akan tetapi hebatnya, suara melengking tinggi ini mengandung getaran tenaga khi-kang yang demikian kuatnya, sehingga mampu menembus dan mengiris melalui benteng kekuatan sihir dari nyanyian Hong Khi Hoatsu! Kakek ahli sihir ini terkejut sekali dan empat orang tokoh kaum sesat itu menjadi girang karena baru sekarang mereka mampu membebaskan perhatian mereka dari nyanyian kakek itu dan kelihaian mereka pulih kembali karena perhatian mereka kini tercurahkan kepada gerakan tubuh mereka sehingga dalam beberapa gebrakan saja empat orang tokoh Cin-ling-pai menjadi berbalik terdesak hebat!

Melihat ini, Hong Khi Hoatsu menjadi marah sekali dan dia cepat melompat keluar untuk mencari pengganggu itu. Akan tetapi begitu tiba di luar ruangan, dia melihat seorang wanita cantik berkelebat dari luar, maka cepat Hong Khi Hoatsu sudah menggerakkan kedua targannya dan ujung lengan bajunya menotok ke arah jalan darah dari bayangan wanita yang berkelebat di sampingnya itu.

“Plak-plak!” Ujung lengan baju itu dengan tepat mengenai pundak dan pinggang, tepat mengenai jalan darah, akan tetapi anehnya, wanita itu sama sekali tiduk menderita apa-apa seolah-olah totokan itu hanya merupakan sentuhan-sentuhan halus saja, bahkan dia tertawa dan tanpa menghentikan langkahnya yang menuju ke ruangan pertempuran, tangan kirinya berkelebat ke arah punggung Hong Khi Hoatsu.

“Plakk! Ahhh...!” Hong Khi Hoatsu terkejut bukan main karena tamparan halus itu membuat seluruh tubuhnya terasa kejang, lalu panas seperti dibakar dan tak dapat dipertahankannya lagi, kakek ini roboh terguling dalam keadaan pingsan!

“Sukong...!” Lie Seng berlari dan menubruk kakeknya, ketika melihat kakeknya rebah tak bergerak dengan mata meram, anak ini menangis dan tiba-tiba dia menjadi beringas, meloncat bangun dan memandang kepada wanita cantik itu dengan kedua tangannya yang kecil terkepal.

“Kau jahat sekali...! Kau telah membunuh sukongku...!”

Dengan gerakan silat yang cukup lincah dan baik, Lie Seng meloncat dan menghantamkan kepalan tangannya ke arah perut wanita cantik itu. Biarpun usianya baru dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil sekali anak ini telah digembleng oleh ayah bundanya sehingga dia telah memiliki dasar latihan ilmu silat yang murni dan tinggi, maka pukulannya pun bukan sembarangan dan teratur. Melihat kelincahan ini, wanita cantik itu memandang kagum.

“Bagus...!” katanya dan dengan mudah saja dia menangkap pergelangan tangan Lie Sang yang memukulnya. Sebelum Lie Seng sempat menggerakkan tangannya yang kedua, wanita itu telah menepuk tengkuknya dan anak ini roboh pula dengan seluruh tubuh lemas dan lumpuh. Wanita cantik itu menoleh dan menonton pertempuran yang masih berlangsung dengan mati-matian itu sambil tersenyum mengejek.

Pertandingan itu kini jelas tamnpak berlangsung berat sebelah. Betapapun gagahnya empat orang tokoh Cin-ling-pai itu, mereka bukan tandingan empat Bayangan Dewa yang jauh lebih tinggi kepandaiannya. Terutama sekali Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang amat lihai, dengan mudah saja dia dapat mendesak Kwee Kin Ta sehingga orang tua yang menjadi murid pertama kali ketua Cin-ling-pai ini hanya mampu mempertahankan diri sambil mundur, gerakan pedangnya makin menyempit.

Adik murid pertama Cin-ling-pai ini, yaitu Kwee Kin Ci, yang mainkan pedangnya dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya, juga kewalahan menghadapi Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang menggunakan kedua ujung lengan bajunya sebagai senjata. Biarpun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena digerakkan dnegan tenaga sin-kang, maka kadang-kadang dapat menjadi lemas dan kadang-kadang menjadi kaku, dan di sebelah lipatan dalam dari kedua ujung lengan baju itu dipasangi potongan-potongan baja, maka sepasang lengan baju itu merupakan senjata yang ampuh.

Louw Bu, murid ketiga dari Cin-ling-pai, juga repot sekali menghadapi Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang menggunakan senjatanya berupa tasbeh hijau. Dia terdesak dan sudah dua kali terkena hantaman tasbeh di pundak dan punggungnya, membuat gerakannya menjadi makin kacau dan lemah sungguhpun dia masih melawan mati-matian dan sedikitpun tidak kelihatan gentar atau turun semangat.

Un Siong Tek sudah hampir roboh karena berkali-kali kena sambaran pecut baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit, namun dia menggigit bibir dan bertekad untuk melawan sampai titik darah terakhir, pedangnya digenggam erat-erat dan dia mengeluarkan seluruh kemampuannya, tidak memperdulikan akan rasa nyeri karena luka-lukanya yang mengucurkan darah. Yang membuat empat orang murid Cin-ling-pai khawatir adalah ketika melihat munculnya wanita cantik tidak terkenal yang telah merobohkan Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng. Mereka lebih mengkhawatirkan nasib cucu dari suhu mereka itu daripada diri mereka sendiri. Hal ini membuat mereka melawan dengan nekat sehingga masih mampu bertahan sampai puluhan jurus.


Namun akhirnya, berturut-turut empat orang gagah dari Cin-ling-pai ini roboh juga dan lawan-lawan mereka tanpa banyak cakap lagi menyusul dengan pukulan-pukulan maut sehingga menggeletaklah empat orang murid utama Cin-ling-pai itu, tanpa nyawa lagi di dalam ruangan rumah itu.

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang melihat akan ulah kakek ini yang tadi hampir saja membuat dia dan tiga orang temannya celaka, make tiba-tiba dia berseru keras, pedang ular di tangannya terbang secepat kilat dan tahu-tahu telah menancap di dada tubuh Hong Khi Hoatsu yang masih pingsan. Tentu saja kakek tua ini tewas seketika tanpa sadar lagi.

Wanita itu memandang semua itu tanpa bergerak, hanya tersenyum mengejek memandang Pat-pi Lo-sian mencabut kembali pedang ularnya dai tubuh Hong Khi Hoatsu yang mandi darah. Akan tetapi ketika Pat-pi Lo-sian menghampiri tubuh Lie Seng dan mengulur tangan hendak menyambar tubuh anak itu, tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan kirinya, dan serangkum hawa pukulan dahsyat menyambar ke arah Pat-pi Lo-sian! Orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini terkejut sekali, mengelak akan tetapi tetap saja dia terdorong oleh hawa pukulan dahsyat itu dan merasa betapa dadanya panas. Dia cepat mengerahkan sin-kang untuk melawan dan baru setelah dia mengatur pernapasan serangan hawa panas itu menghilang.

Pat-pi Lo-sian mengenal orang pandai dan mengingat bahwa berkat bantuan wanita ini dia dan kawan?kawannya dapat keluar sebagai pemenang dalam pertempum itu, maka dia berlaku hati-hati dan memandang dengan penuh perhatian. Ketika dia menatap wajah yang cantik jelita dan tubuh yang ramping padat itu, dia merasa tidak pernah bertemu dan tidak mengenal wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun ini. Akan tetapi ketika dia melihat burung hong kumala yang menjadi penghias rambut wanita itu, dia terkejut sekali.

”Apakah toanio dari Giok-hong-pang...?” Dia terkejut ketika teringat akan berita bahwa ketua Giok-hong-pang yang telah mengalahkan Kwi-eng-pang dan menduduki Telaga Setan, kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Sementara itu, Toat-beng-kauw Bu Sit yang pernah bertemu dengan In Hong dan merasakan kelihaian dara cantik itu, juga kaget sekali karena dia mengira bahwa tentu kedatangan wanita cantik ini ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi antara dia dan In Hong, yang agaknya adalah murid wanita ini.

Maka dia cepat-cepat menjura kepada wanita itu dan berkata, “Toanio tentulah ketua Giok-hong-pang yang tersohor itu. Kalau benar demikian, kita bukanlah orang-orang lain. Saya pernah berjumpa dengan nona Yap In Hong, bukankah dia juga seorang tokoh Giok-hong-pang?”

Wanita itu bukan lain adalah Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua Giok-hong-pang. Mendengar ucapan Bu Sit si laki-laki bermuka monyet itu, dia memandang tajam dan Bu Sit berdebar tegang hatinya. Pandang mata wanita ini demikian tajam dan dingin, jauh lebih dingin dari pandang mata nona In Hong yang amat lihai itu.

“Hemmm, Yap In Hong adalah muridku.”

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok terkejut mendengar ini. Tidak keliru dugaannya, karena diapun telah mendengar laporan Bu Sit tentang nona Yap In Hong. Cepat diapun menjura dan bukata, “Ah, maafkan kami yang tidak mengenal toanio yang ternyata masih amat muda namun telah memiliki kepandaian yang amat hebat. Kami berterima kasih atas bantuan toanio tadi. Kami adalah...”

“Aku sudah tahu bahwa kalian adalah empat di antara Lima Bayangan Dewa yang akhir-akhir ini namanya menggemparkan dunia kang-ouw. Justeru karena kalian Lima Bayangan Dewa, maka aku datang ke sini untuk menjumpai kalian. Aku mendengar bahwa kalian telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai, benarkah itu?”

Pat-pi Lo-sian tertawa bangga. “Tidak banyak orang yang akan mampu melakukan itu, bukan? Ha-ha-ha, berita itu memang benar, toanio. Kami telah merampas Siang-bhok-kiam dari tangan Cin-ling-pai.”

“Bagus! Nah, kauserahkan pedang itu kepadaku.”

“Ah, mana mungkin itu? Toanio sebagai seorang pangcu (ketua) tentu maklum betapa pentingnya pedang itu bagi kami. Kalau tidak penting, tentu kami tidak akan merampasnya.”

“Hemm, kalian mencurinya hanya untuk melampiaskan dendam kalian kepada Cia-taihiap bukan? Sebaliknya aku menginginkan pedang itu karena aku mendengar bahwa pedang itu adalah sebuah pusaka keramat yang ampuh. Kalau tadi aku tidak datang, apakah Lima Bayangan Dewa kini tidak hanya tinggal Satu Bayangan Dewa saja karena kalian telah menjadi Empat Bayangan Arwah? Hayo lekas kalian serahkan pedang itu kepadaku sebagai imbalan pertolonganku tadi.”

“Omitohud... pangcu dari Giok-hong-pang terlalu tinggi hati! Pedang pusaka itu merupakan lambang kemenangan kami atas Cin-ling-pai yang kami benci, mana bisa kami serahkan begitu saja kepada pangcu?” Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata sambil tersenyum lebar. “Pinceng (saya) Hok Hosiang tidak bisa mentaati perintah orang yang tinggi hati, apalagi kalau perintah itu datang dari seorang wanita muda seperti toanio.”

Yo Bi Kiok tersenyum, matanya yang berbentuk indah itu bersinar-sinar, lalu terdengar dia berkata lirih, “Agaknya kalian masih memandang rendah kepadaku. Nah, rasakanlah ini!” Setelah berkata demikian, tangan kirinya bergerak ke arah hwesio gendut itu. Serangkum hawa pukulan dingin sekali menyambar, membuat Hok Hosiang terkejut setengah mati dan dia cepat menggerakkan tasbeh hijau di tangannya untuk menangkis.

Rrriiikk... desss...!” Hok Hosiang berteriak kaget, tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Biarpun jari tangan wanita itu tidak mengenai tubuhnya, baru bertemu dengan tasbehnya, namun tenaga mujijat yang amat kuat menyerangnya melalui tasbehnya sendiri dan dia merasa betapa dadanya menjadi sesak. Hok Hosiang memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa wanita yang usianya hanya setengah usianya lebih sedikit itu ternyata memiliki semacam sin-kang yang amat dahsyat.

“Toanio, jangan sombong engkau!” Toat-beng-kauw Bu Sit yang merasa penasaran dan menjadi besar hati karena mengandalkan banyak teman sudah meloncat ke depan dan menggerakkan senjata joanpiannya, yaitu pecut baja yang panjang dan lemas.

“Tar-tar-tarrrr...!” Pecut baja itu melecut dan meledak-ledak di udara, lalu menyambar turun ke atas kepala Yo Bi Kiok.

Namun Yo Bi Kiok dengan tenang sekali miringkan kepalanya sedikit, tangan kirinya bergerak dan seperti kilat cepatnya dia telah berhasil menangkap ujung cambuk baja itu. Bu Sit mengerahkan tenaga untuk membetot lepas cambuk bajanya, akan tetapi jepitan jari tangan yang kecil mungil pada ujung cambuk itu sama sekali tidak dapat terlepas! harus diketahui bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit adalah seorang tokoh sesat yang memiliki gin-kang kilat dan sin-kang kuat, akan tetapi satu kali ini dia benar-benar harus mengakui kekuatan mujijat yang menjepit ujung cambuknya.

“Haiiiitttt...!” Tiba-tiba Bu Sit membentak dan mengerahkan selurub tenaganya. Akan tetapi tiba-tiba sambil tersenyum dingin Yo Bi Kiok melepaskan jepitan dari tangannya.

“Siuuuttt... tarrr...!” Untung sekali Bu Sit cepat melepaskan gagang cambuknya, kalau tidak tentu mukanya akan dihajar oleh lecutan ujung cambuknya sendiri. Ketika dia mlihat dengen muka pucat, ternyata ujung cambuknya itu terdapat bekas-bekas jari tangan wanita cantik itu, bergurat-gurat memperlihatkan garis-garis tangan halus, seolah-olah ujung cambuk bajanya itu hanya terbuat dari tanah liat saja!

“Hebat sekali engkau, pangcu!” Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke depan, kedua ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu menyambar dari kanan kiri ke arah kedua pelipis kepala Yo Bi Kiok.

“Hemm, pergilah kau!” Bi Kiok yang mulai menjadi marah itu membentak halus, kedua tangannya menangkis ke kanan kiri kepalanya. Gu Lo It yang terkenal sebagai seorang tokoh yang bertenaga raksasa itu, menjadi girang melihat lawannya berani menangkis ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu dengan tangan kosong, maka dia mengerahkan tenaga saktinya sehingga ujung lengan bajunya itu akan mampu menghancurkan batu karang yang keras sekalipun. Apalagi hanya dua lengantangan wanita yang berkulit halus itu!

“Plakk! Plakk! Ehhh...!” Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut sekali dan cepat dia menarik kedua lengannya sambil meloncat mundur karena tadi begitu bertemu dengan kedua lengan wanita itu, dua ujung lengan bajunya membalik dan tentu akan menghantam dadanya sendiri kalau saja tidak dengan cepat dia menarik kembali lengannya. Ternyata bahwa lengan yang kecil dan berkulit halus itu bukan hanya mampu menandingi ujung lengan bajunya, bahkan mampu membuat kedua senjatanya itu membalik dan menyerang dirinya sendiri.

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Liok bukanlah seorang bodoh. Menyaksikan cara wanita itu menghadapi tiga orang temannya, dia sudah dapat mengukur bahwa kepandaian wanita ini benar-benar amat hebat dan belum tentu kalah olehnya. Dan diapun tahu bahwa wanita itu tidak berniat buruk kepada mereka, karena kalau demikian halnya, tentu wanita itu telah menurunkan tangan mautnya kepada tiga orang temannya tadi. Cepat dia menjura sambil berkata, “Memang bukan berita kosong belaka yang mengatakan bahwa ketua Giok-hong-pang memang memiliki kepandaian yang amat hebat. Pangcu, kami kagum sekali dan mengingat akan kebaikan pangcu yang telah membantu kami tadi, agaknya urusan sebatang pedang kayu saja kami seyogyanya mengalah dan mempersembahkan kepada pangcu sebagai tanda persahabatan. Akan tetapi sayang, hal itu tidak mungkin kami lakukan sekarang karena kami tidak membawa Siang-bhok-kiam itu yang kami simpan di tempat rahasia agar tidak mudah dicari orang lain.”

“Hemmm...” Yo Bi Kiok mendengus kecewa akan tetapi matanya memandang kepada mereka dan dia tahu bahwa mereka tidak membohong. Lalu dia melihat tubuh anak laki-laki yang masih lemas tertotok olehnya tadi. “Aku melihat kalian tadi hendak merampas dan menculik anak ini. Mengapa?”

Pat-pi Lo-sian juga memandang kepada Lie Seng dan tersenyum. “Pancu, urusan dengan bocah ini adalah urusan kami pribadi, perlukah Pangcu mengetahui pula?”

Wajah yang cantik itu menjadi agak kemerahan biarpun pandang matanya tetap dingin tak acuh.

“Tentu saja. Perkelahian di sini adalah karena bocah ini, dan aku telah membantu kalian maka sudah sepantasnya aku mendengar pula mengapa kalian hendak menangkap bocah ini.”

Pat-pi Lo-sian diam-diam merasa mendongkol sekali. Sebetulnya, biarpun tiga orang temannya jelas bukan lawan wanita ini, namun dia sendiri belum kalah apalagi kalau dibantu oleh tiga orang temannya itu. Hanya saja, pada waktu ini Lima Bayangan Dewa sedang menghadapi ancaman pembalasan dari Cin-ling-pai yang merupakan hal berbahaya karena dia maklum akan kelihaian dari ketua Cin-ling-pai, maka tidak semestinya kalau dia menanam permusuhan dengan fihak lain. Apalagi fihak Giok-hong-pang yang amat kuat pula. Sebaliknya, dia harus menarik semua fihak yang kuat sebagai sahabatnya agar dapat membantunya kalau dia terpaksa kelak menghadapi ketua Cin-ling-pai. Dia jerih menghadapi ketua Cin-ling-pai seorang diri bersama empat orang temannya saja. Baru murid-murid Cin-ling-pai tadi saja sudah demikian tangguhnya, apalagi gurunya! Dan wanita cantik inipun memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan.


Baiklah, pangcu, kalau engkau ingin mengerti. Bocah ini adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, dan kami hendak menangkapnya...”

“Hemmm, apakah Lima Bayangan Dewa begitu penakut, tidak menghadapi ketua Cin-ling-pai secara langsung melainkan mengganggu seorang bocah yang tidak tahu apa-apa?” Yo Bi Kiok mengejek. Biarpun wanita ini dahulunya murid seorang datuk kaum sesat kemudian dia sendiri karena merasa sakit hati terhadap seorang pria lalu menjadi seorang wanita berdarah dingin yang amat kejam, namun dia sama sekali bukanlah golongan sesat yang suka melakukan kejahatan umum. Satu-satunya sikap kejamnya hanya dia tujukan kepada kaum pria yang dianggapnya merupakan kaum yang hanya membikin sengsara kaum wanita.

Kini wajah orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu menjadi merah dan matanya terbelalak penuh rasa penasaran. “Pangcu dari Giok-hong-pang, kauanggap kami ini orang-orang apa yang akan mengganggu anak-anak?” Teriaknya akan tetapi segera dia teringat akan sikapnya. “Kami memang bermusuhan dengan ketua Cin-ling-pai dan mengingat bahwa ketua Cin-ling-pai mempunyai banyak sekali sahabat dan pembantu-pembantu yang tentu akan menyusahkan kami, maka kami hendak membawa cucunya ini sebagai sandera untuk menantangnya agar datang menghadapi kami seorang diri saja, agar di antara dia dan kami dapat menyelesaikan segala perhitungan lama sampai beres. Jadi kami tidak akan mengganggu anak ini, hanya untuk memaksa kakeknya untuk keluar sendirian menghadapi kami.”

Yo Bi Kiok tersenyum, lalu tubuhnya bergerak, cepatnya amat mengejutkan hati empat orang itu karena tahu-tahu bayangan wanita itu berkelebat dan sebelum mereka sempat mencegah, Bi Kiok telah mengempit tubuh Lie Seng. “Bagus kalau begitu, aku jadi tahu bahwa kalian amat membutuhkan bocah ini. Nah, kalian ambillah Sing-bhok-kiam, antarkan pedang itu ke Telaga Kwi-ouw dan di sana aku akan menukar Siang-bhok-kiam dengan bocah ini!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja Bi Kiok telah lenyap dari dalam ruangan itu, pergi membawa Lie Seng bersamanya.

Empat orang tokoh sesat itu saling pandang dan muka mereka berobah, sebentar merah sebentar pucat. Baru sekali ini mereka merasa dihina dan dipandang rendah orang lain, apelagi yang memandang rendah mereka itu adalah seorang wanita muda cantik!

“Si keparat...!” Pat-pi Lo-sian membanting kakinya. “Kalau saja tidak ingat akan kedudukan kita, sudah kuhancurkan kepala perempuan setan itu!”

“Dia memang sombong sekali,” kata Bu Sit yang juga merasa penasaran dan tadi telah dibikin malu. “Twako, mari kita kumpulkan kekuatan, ajak teman-teman dan menyerbu Giok-hong-pang, membasminya dan merampas kembali bocah itu!”

Pat-pi Lo-sian menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Betapapun juga, urusan dengandia itu kecil sekali artinya kalau dibandingkan dengan urusan kita terhadap ketua Cin-ling-pai. Tidak boleh melemahkan keadaan sendiri karena urusan kecil sebelum urusan besar selesai. Kelak masih belum terlambat bagi kita untuk menghajar perempuan sombong itu!”

“Habis, apa yang akan kaulakukan, twako?” tanya Liok-te Sin-mo Gu Lo It kepada temannya yang tertua itu.

“Tidak ada jalan lain, kita harus menyerahkan pedang itu kepadanya sebagai penukar cucu ketua Cin-ling-pai itu,” jawab yang ditanya.

“Ab, akan tetapi hal itu akan merupakan tamparan bagi nama kita!” Hok Hosiang berseru.

“Sam-te (adik ketiga) jangan salah sangka, sebaliknya malah, dengan mengoperkan pedang kayu yang tidak ada gunanya kepada wanita itu, berarti kita menambah musuh bagi Cia Keng Hong dan menarik teman bagi kita. Kita boleh siarkan bahwa Siang-bhok-kiam telah kita berikan sebagai tanda persahabatan kepada ketua Giok-Hong-pang, bukankah dengan demikian Cia Keng Hong akan mencari ke sana dan memusuhinya pula? Anak itu lebih penting bagi kita, karena dengan adanya anak itu kita dapat memaksa Cia Keng Hong untuk menyerah.”

Keempat orang dari Lima Bayangan Dewa itu lalu bergegas meninggalkan rumah yang kini keadaannya amat mengerikan itu, dimana menggeletak mayat empat orang pertama dari Cap-it Ho-han dan mayat kakek Hong Khi Hoatsu. Dan kalau orang melihat ke belakang rumah itu, di sana menggeletak pula mayat dua orang laki-laki dan wanita tua, yaitu pelayan-pelayan rumah itu yang telah dibunuh lebih dulu oleh empat orang Bayangan Dewa tadi.

***

Dunia penuh dengan kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia. Selama sejarah berkembang, dapat diikuti kenyataan betapa makin lama manusia bukan makin baik, melainkan makin jahat dan permusuhan, kebencian, bunuh-membunuh dan perang makin memenuhi dunia. Mengapa demikian? Mengapa manusia selalu dirundung dendam, kebencian, permusuhan dan kekerasan sepanjang masa? Banyak sudah muncul orang-orang bijaksana yang kemudian didewa-dewakan dan dipuja-puja, manusia-manusia yang menyebarkan segala macam pelajaran bagi manusia agar manusia insyaf akan kejahatannya dan kembali ke jalan benar. Namun agaknya semua itu kalau kita mau melihat kenyataan sekarang ini, semua itu sia-sia belaka. Semua orang bicara tentang kasih sesama manusia namun apa yang dibicarakan itu hanya merupakan pemanis mulut belaka, sedangkan hatinya penuh kebencian kepada sesama manusia, tentu saja manusia yang merugikan dirinya. Seluruh dunia bicara tentang perdamaian, bicara tentang menjauhkan perang, akan tetapi diam-diam angkatan bersenjata di masing-masing negaranya dipupuk dan perkuat! Wajah berseri dan mulut tersenyum, akan tetapi diam-diam kedua tangan dikepal, siap untuk melakukan kekerasan! Tidakkah demikian keadaan dunia semenjak dahulu sampai sekarang?


Dunia dan keadaannya tidak timbul begitu saja, melainkan akibat dari keadaan kita semua. Kitalah yang bertanggung jawab sampai adanya dunia macam sekarang ini, di mana kekerasan merajalela, di mana kebencian menguasai hati semua orang, di mana pengejaran keuntungan diri pribadi yang menjadi sumber semua gerakan manusia, di mana kebenaran diperebutkan, saling membela kebenaran sendiri masing-masing. Kita lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu bukanlah kebenaran lagi, palsu dan hanya mendatangkan lebih banyak permusuhan lagi.

Kita selalu menujukan mata dan telinga kita keluar, mencari-cari segala yang dapat menguntungkan dan menyenangkan, memuaskan hati dan jasmani kita. Pengejaran akan kesenangan lahir batin membutakan mata kita sehingga kita sama sekali tidak pernah mau memandang diri kita sendiri, memandang diri kita seperti apa adanya, dengan segala kepalsuan kita, dengan segala keburukan dan cacat serta kekotoran kita. Kita tidak pernah menggunakan telinga untuk mendengarkan bisikan-bisikan hati kita sendiri, suara-suara pikiran kita sendiri, dan tidak mau mengikuti gerak-gerak diri kita sendiri lahir batin. Hanya penglihatan akan kenyataan tentang keadaan diri kita yang kotor sajalah yang akan mendatangkan perobahan, yang akan melenyapkan kekotoran itu. Hanya kalau kita dapat melihat sendiri betapa kebencian mencengkeram hati dan pikiran kita, maka kita akan mengerti tentang kebencian ini dan akan sadar dan selalu waspada. Kesadaran dan kewaspadaan akan kebencian yang mencengkeram kita inilah yang akan melenyapkan kebencian itu sendiri, tanpa terdorong keinginan untuk melenyapkannya, melainkan hanya mengamati dan mengertinya sampai ke akar-akarnya. Mengenai kekotoran orang lain hanya akan menambah kekotoran diri sendiri, sebaliknya hanya dengan mengenal kekotoran sendiri maka akan terjadi perobahan pada diri kita.

Dengan kecepatan seperti kijang yang sedang lari dikejar harimau, Yo Bi Kiok mengempit tubuh Lie Seng dan mempergunakan ilmu berlari cepat memasuki hutan di sepanjang Sungai Huai di kaki Pegunungan Tapie-san setelah dia meninggalkan kota Sin-yang tempat tinggal Cia Giok Keng dan mendiang suaminya, Lie Kong Tek. Seperti kita ketahui, setelah berhasil mengalahkan Kwi-eng-pang, Yo Bi Kiok membawa anak buahnya menduduki Telaga Kwi-ouw dan menetap di tempat itu. Kemunculan wanita ini sekarang adalah yang pertama kali selama dia menggembleng dirinya dengan ilmu-ilmu dahsyat dan mujijat yang didapatkannya dari bokor emas milik Panglima The Hoo yang pernah diperebutkan oleh semua tokoh kang-ouw (baca cerita Petualang Asmara) itu.

Yo Bi Kiok sudah mendengar pula akan peristiwa yang melanda Cin-ling-pai, tentang Lima Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai dan timbul keinginan hatinya untuk memiliki pedang Siang-bhok-kiam itu yang dia pernah mendengar adalah sebatang pedang kayu harum yang keramat dan merupakan pusaka yang pernah pula menjadi pusaka yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw.

Lie Seng adalah seorang anak laki-laki yang mempunyai dasar watak tabah dan tidak mengenal takut. Watak ini dia warisi dari ibunya. Dia melihat sendiri tadi betapa kakeknya tewas dan empat orang tua yang dia ingat adalah murid-murid utama kong-kongnya di Cin-ling-pai itupun tewas. Tentu saja dia merasa ngeri dan berduka sekali, dan diapun tahu bahwa dia kini terjatuh ke tangan seorang wanita yang jahat dan kejam seperti iblis. Akan tetapi dia tidak merasa takut, dan selalu dia memutar otaknya untuk mencari akal bagaimana dia akan dapat membebaskan dirinya dari wanita ini dan kalau mungkin membalas kematian kakeknya yang demikian menyedihkan. Akan tetapi karena dia tadi dirobohkan dengan totokan, maka semua usahanya untuk memulihkan tenaga di tubuhnya yang lemas itu sia-sia belaka. Akhirnya dia teringat akan pelajaran dari ibunya, yaitu pelajaran untuk menggunakan hawa murni guna memperlancar jalan darahnya. Maka biarpun tubuhnya lemas, akan tetapi mulailah anak ini mengatur pernapasannya sambil memejamkan mata ketika dia dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh wanita itu.

Sejam kemudian, dengan girang Lie Seng merasa betapa aliran darahnya yang diperlancar oleh hawa murni itu dapat menembus jalan darah yang tertotok. Tak lama kemudian bebaslah ia dari totokan dan kaki tangannya dapat bergerak kembali seperti biasa! Pada waktu itu, Yo Bi Kiok yang tadinya mengempit tubuh anak itu, telah memindahkannya ke atas pundak kirinya. Dia kini memanggul tubuh Lie Seng, dan memegangi atau merangkul kedua pahanya, membiarkan kepala anak itu di belakang punggungnya.

Lie Seng yang kini sudah bebas dan dapat bergerak lagi tentu saja segera menggunakan kebebasannya ini untuk meronta dan memberontak. Dia meronta, mengangkat kepalanya dan menggunakan kedua tangan menjambak rambut yang digelung indah itu, lalu dia membuka mulut menggigit leher yang berkulit putih halus itu, digigitnya sekuat tenaga!

“Aduhhh...aduhhhh...!” Yo Bi Kiok menjerit dan merasa betapa seluruh tubuhnya panas dingin dan menggigil, semua bulu tubuhnya berdiri meremang dan dengan gerakan kuat dia menggoyang tubuh sehingga jambakan dan gigitan Lie Seng terlepas dan anak itu terlempar dan terjatuh ke atas tanah. Bi Kiok meraba lehernya dan tangannya berdarah. Dia memandang dengan mata berkilat kepada anak itu yang sudah merangkak bangun. Sedikit luka di lehernya tidak ada artinya bagi Yo Bi Kiok, akan tetapi yang membuat hatinya seperti disayat-sayat rasanya adalah mengingat betapa hidung dan bibir anak laki-laki itu telah mencium kulit lehernya! Dia seolah-olah merasa dinodai, diperkosa dan dikotori!

“Keparat, biarpun engkau masih bocah, ternyata engkau juga seorang laki-laki yang hina dan kotor!” bentaknya dan dia menggerakkan tangan kiri dan kanan.

“Plak-plak-plakkk!” Bertubi-tubi kedua telapak tangannya menampar muka Lie Seng. Bocah ini melawan dan berusaha menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap saja telapak tangan itu hinggap di kedua pipinya dengan tepat dan keras. Tentu saja Bi Kiok tidak menggunakan tenaga sin-kang, karena kalau demikian halnya, ditampar satu kali saja sudah cukup untuk membikin hancur kepala bocah itu. Dia hanya mempergunakan tenaga kasar biasa saja, akan tetapi justeru ini malah lebih menyiksa bagi Lie Seng karena mukanya kini menjadi bengkak-bengkak dan matang biru! Kedua pipinya menjadi bengkak sehingga hampir menutupi matanya. Bocah itu akhirnya roboh terguling dan matanya dikejap-kejapkan karena pandang matanya berkunang dan melihat ribuan bintang menari-nari, kepalanya pening dan telinganya mendengar suara berdengung, mukanyo terasa seperti dibakar, panas dan nyeri.


Biarpun sudah menampari muka anak itu, Bi Kiok masih belum reda kemarahannya, Selama hidupnya, dia hanya pernah mencinta pria satu kali saja, yaitu kepada Yap Kun Liong yang ternyata tidak membalas cinta kasihnya. Kerena patah hati, dia membenci kaum pria, apalagi di dalam perantauannya dia menyaksikan betapa kejam dan jahatnya kaum pria terhadap wanita, membuat kebenciannya makin menghebat. Belum lama ini, dia berjumpa kembali dengan Kun Liong dan cintanya kambuh, bahkan makin hangat. Akan tetapi tetap saja Kun Liong tidak mau menyambut uluran hatinya dan hal ini amat menyakitkan hati Bi Kiok. Selama hidupnya, baru Kun Liong seorang yang merupakan satu-satunya pria yang pernah menjamahnya, sungguhpun hanya bersifat cumbuan biasa saja. Akan tetapi sekarang, anak laki-laki ini telah... mencium lehernya! Peristiwa itu membuat jantungnya berdebar hampir meledak rasanya, membangkitkan semua gairah terpendam dan karenanya membuat dia marah seperti gila.

“Kau... kau calon pria terkutuk... kau berani menghinaku, ya?”

“Dan kau wanita iblis!” Lie Seng balas memaki sambil membuka matanya yang menjadi sipit karena kedua pipinya bengkak. Sedikitpun dia tidak merasa takut dan biarpun kepalanya seperti berputar rasanya, dan mukanya nyeri sekali seperti akan pecah, dia tidak sudi mengeluh di depan wanita penyiksanya ini.

“Kau bocah kurang ajar! Hendak kulihat, setelah kutotok dua jalan darahmu, apakah engkau tidak akan menjerit-jerit dan menangis minta ampun kepadaku!”

“Iblis betina! Siapa sudi minta ampun padamu? Bunuhlah, aku tidak takut dan sampai mampus aku tidak sudi minta ampun padamu!” Lie Seng menantang dan dia sudah bangkit berdiri mengepal dua buah tinjunya dan siap melawan mati-matian. Biarpun dia tahu bahwa yang membunuh empat orang supek-supeknya dan sukongnya adalah empat orang Bayangan Dewa musuh besar Cin-ling-pai itu dan bukan langsung oleh tangan wanita ini, akan tetapi dia menimpakan kematian mereka kepada wanita itu. Tadi empat orang supeknya, dibantu oleh sukongnya, sudah hampir menang. Kemudian wanita inilah yang merobah keadaan dan mengakibatkan kekalahan dan kematian lima orang itu, maka bagi dia, yang membunuh mereka adalah wanita inilah!

“Bocah laknat! Kalau tidak ingin menukarmu dengan Siang-bhok-kiam, sudah kubunuh kau!”

Akan tetapi Lie Seng dengan keberanian luar biasa sudah meloncat ke depan dan menyerang dengan sekuat tenaga. Menghadapi pukulan-pukulan anak ini, tentu saja Yo Bi Kiok tidak mau memandang sebelah mata dan dia mengerahkan perut dan dadanya yang terpukul itu dengan diisi tenaga sin-kang dengan maksud untuk membuat kedua kepalan tangan itu patah-patah tulangnya.

“Plak! Bukk!” Dua kali pukulan anak itu mengenai perut dan ulu hati Bi Kiok dan wanita ini berteriak kaget.

“Aihhh...!” Dia terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan matanya terbelalak. Ternyata bahwa ketika dia tadi mengerahkan tenaganya, secara mendadak tenaganya itu molos kembali dan lenyap sehingga perut dan ulu hatinya kena dipukul oleh kedua kepalan tangan Lie Seng! Tidak hebat sekali, akan tetapi tentu saja terasa olehnya. Yang membuat dia heran adalah mengapa tenaganya tiba-tiba menjadi lenyap?

“Akan kubunuh kau...!” Lie Seng yang girang melihat pukulannya berhasil itu lalu meloncat dan menyerang lagi. Biarpun usianya baru dua belas tahun, akan tetapi tingginya sudah hampir sama dengan Bi Kiok, setinggi leher wanita itu maka kini kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menampar ke arah leher dan pipi. Kembali Bi Kiok hendak menerima tamparan itu dan sekaligus menyampok pergelangan tangan Lie Seng agar patah tulangnya.

“Plak! Plak! Aihhh...!” Kembali Bi Kiok terkena tamparan sampai pipi dan lehernya terasa pedas. Dia terbelalak dan memandang ke kanan kiri dengan muka pucat sekali. Kembali dia tidak berhasil mengerahkan sin-kang, bahkan hebatnya ketika dia menggerakkan tangan hendak mematahkan pergelangan tangan Lie Seng, secara tiba-tiba saja tangannya tak dapat digerakkan dan dia merasa ada hawa menyambar dari kiri.

“Keparat...!” Dia berteriak keras dan cepat membalikkan tubuhnya ke kiri akan tetapi tidak ada orang di situ. Lie Seng sudah menyeruduk maju lagi, kini anak itu menggunakan kepalanya untuk menyeruduk perut lawannya. Bi Kiok yang masih kebingungan itu melihat serangan ini, menjadi marah dan ingin menyambut dengan hantaman maut. Maka ketika Lie Seng menyeruduk dekat, dia hendak menggerakkan tangan menghantam. Akan tetapi dari belakang dia merasa ada hawa aneh menyambar, dan... kedua tangannya tak dapat digerakkan. Sementara itu, kepala anak itu sudah menyentuh perutnya. Dia mengerahkan sin-kang untuk menghancurkan kepala anak itu.

“Desss...!” Bi Kiok terjengkang roboh! Seperti juga tadi, tenaga sin-kangnya molos dan lenyap sehingga dia menjadi seperti seorang wanita lemah biasa saja, maka tentu saja dia tidak dapat menahan serudukan Lie Seng yang marah dan membuat dia terjengkang.

“Ehhhh...!” Bi Kiok meloncat dan menjauhi Lie Seng, kemudian mencabut sepasang pedang pendeknya. Dia yakin benar bahwa tentu ada seorang lihai yang mempermainkannya. Dia menengok ke kanan kiri akan tetapi seperti juga tadi, tidak nampak bayangan seorangpun. Bulu tengkuknya meremang. Dia dengan kepandaiannya yang tinggi itu bagaimana mungkin dipermainkan orang seperti itu? Apakah siluman yang telah mempermainkannya? Kalau manusia tidak mungkin! Mencari orang yang akan mampu mengalahkannya saja sudah sukar didapat, apalagi yang dapat mempermainkan seperti itu. Tentu iblis sendiri!

“Cuattt... cuattt...!” Dua sinar terang berkelebat ketika wanita yang marah sekali ini melemparkan dua batang hui-to (pisau terbang), yaitu sepasang pedang pendeknya itu ke arah Lie Seng. Dua batang senjata runcing itu meluncur seperti kilat menyambar, mengarah ulu hati dan pusar anak itu. Lie Seng berdiri seperti terpaku melihat berkelebatnya sinar-sinar cemerlang itu, tidak tahu harus berbuat apa. Dia masih terlalu kecil dan kepandaiannya masih terlalu dangkal untuk dapat menghadapi serangan maut yang amat berbahaya ini, serangan yang belum tentu dapat dihindarkan oleh seorang tokoh kang-ouw sekalipun! Agaknya sudah dapat dipastikan bahwa dua batang pedang pendek itu akan menembus tubuh anak itu dan akan mencabut nyawanya seketika



Tranggg...! Trakkk!” Tiba-tiba dua helai sinar pedang itu manyeleweng dan dua batang pedang pendek itu runtuh ke atas tanah di depan kaki Lie Seng, yang sebatang menancap ke atas tanah, sedangkan pedang kedua telah patah menjadi dua potong.

Melihat betapa yang menyambar dua batang pedangnya itu hanya dua buah batu kecil, Bi Kiok hampir tidak dapat percaya dan dia sudah menjadi marah sekali ketika melihat munculnya seorang laki-laki tua sekali yang berkepala gundul dan memakai jubah berwarna merah. Seorang pendeta Lama berjubah merah yang muncul dari balik pohon sambil tertawa-tawa aneh dan matanya memandang liar berputaran, mata seorang yang jelas tidak waras alias miring otaknya!

“Pendeta gila, engkau berani main gila padaku?” bentak Bi Kiok sambil melompat ke depan. Wanita ini biarpun telah menemukan warisan ilmu yang hebat-hebat dan telah menjadi seorang yang sukar ditemukan tandingannya, namun dia masih terlalu muda dan kurang pengalaman sehingga tidak mau melihat kenyataan bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai, jauh lebih pandai daripada dirinya sendiri. Dengan kemarahan hebat kedua tangannya bergerak dan menyambarlah sinar hijau yang berbau harum ke arah kakek gundul itu. Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum) yang amat berbisa dan berbahaya sekali.

Bi Kiok terbelalak memandang betapa senjata rahasianya yang berupa pasir itu jelas mengenai tubuh dan bahkan leher serta muka kakek itu, akan tetapi agaknya yang terkena senjata rahasianya itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, jangankan keracunan, bahkan sedikitpun tidak meninggalkan bekasnya. Kakek itu masih tertawa-tawa dan berkata kepada Lie Seng, suaranya besar parau, logatnya kaku seperti lidah asing.

“Anak baik, kenapa mukamu yang tampan menjadi bengkak-bengkak?”

Lie Seng yang masih kecil itu sudah seringkali melihat orang-orang tua yang pandai, bahkan kakeknya sendiri adalah ketua Cin-ling-pai yang sakti. Dia sering mendengar cerita ayah bundanya tentang orang-orang pandai. Tadipun ketika beberapa kali dia berhasil menghantam wanita itu, dia sudah merasa heran, kemudian melihat pisau terbang yang mengancam nyawanya terpukul runtuh lalu muncul seorang kakek gundul, dia sudah menduga bahwa ada orang yang telah menolongnya dan penolong itu tentu bukan lain kakek gundul itu yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Maka dia lalu menjawab, suaranya lantang, “Locianpwe, mukaku dipukuli oleh perempuan iblis ini!”

Ketika kakek gundul ini yang bukan lain adalah Kok Beng Lama, datang bersama Kun Liong ke Sin-yang dan memaksa Cia Giok Keng ikut dengannya ke Cin-ling-pai, Lie Seng masih berada di dalam rumah sehingga dia tidak pernah bertemu dengan Kok Beng Lama. Andaikata ketika itu dia melihat pendeta ini, tentu sekarang akan lain lagi sikapnya.

“Ha-ha-ha, orang memukul satu kali harus dibalas sepuluh kali! Tadi kau baru membalas tiga kali, kurang tujuh kali lagi. Hayo kaupukul dia tujuh kali dan karena tadi mukamu yang dipukul, sekarang kaupun harus membalas memukul mukanya!”

Lie Seng merasa gembira sekali. Dia merasa yakin kini bahwa tentu berkat pertolongan hwesio jubah merah inilah, maka dia tadi berhasil memukul dua kali dan menyeruduk satu kali yang sama sekali tidak dapat ditangkis atau dielakkan oleh wanita lihai itu.

“Baik, aku akan membalasnya sampai puas!” teriak Lie Seng dan dia sudah meloncat ke depan dan menerjang ke arah Yo Bi Kiok dengan pukulan-pukulan kedua tangannya ke arah kedua pipi wanita itu. Tentu saja Bi Kiok menjadi marah bukan main. Mukanya yang tadi pucat kini menjadi merah sekali. Mana mungkin dia membiarkan dirinya dihina orang sedemikian rupa. Dia mengerahkan sin-kangnya dan siap menghadapi serangan anak itu. Akan tetapi ketika dia menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua tangan dan hawa pukulan yang luar biasa sekali menyerangnya dari arah kakek itu. Dia masih berusaha untuk mengelak, akan tetapi sia-sia belaka karena entah bagaimana caranya, kedua tangan dan kakinya telah menjadi kaku dan dia tidak mampu menggerakkan sin-kangnya lagi. Tentu saja dia tidak mampu mengelak atau menangkis ketika kedua tangan Lie Seng menghantam dan menampari kedua pipinya. Terdengar suara plak-plok-plak-plok ketika kedua pipinya yang berkulit halus kemerahan itu menerima tamparan-tamparan Lie Seng yang marah itu sehingga kedua pipiya menjadi merah sekali dan agak bengkak-bengkak! Hal ini adalah karena Bi Kiok sama sekali tidak mampu mengerahkan tenaganya maka dia tiada ubahnya seorang wanita biasa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa.

“Satu...! Dua...! Tiga...! Empat...!” Kakek gundul itu menghitung sambil tertawa-tawa.

“Enam...! Tujuh...! Cukup sudah...!” Lie Seng merasa puas sekali dan dia melihat ke arah muka yang kini pipinya menjadi merah-merah dan agak bengkak itu dengan senyum meengejek.

Bi Kiok juga merasa betapa tiba-tiba tubuhnya dapat bergerak lagi. Dapat dibayangkan betapa rasa marah dan malunya. Dia telah mengalami penghinaan yang amat hebat! Akan tetapi, dia sama sekali tidak merasa takut biarpun dia kini tahu betul bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang luar biasa sekali kepandaiannya. Dengan kemarahan meluap-luap dia lalu mencabut pedangnya.

“Singgg...!” Tampak sinar terang seperti kilat menyilaukan mata ketika pedang itu dicabut. Itulah pedang Lui-kong-kiam (Pedang Halilintar) yang dahulu dirampasnya dari tangan mendian Liong Bu Kong, putera dari Kwi-eng Nio-cu yang tewas di tangannya dan yang dirampas pedangnya. Sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali.

“Pendeta iblis, mampuslah kau!” bentaknya dan pedangnya lalu digerakkan, dia sudah menyerang dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari kitab yang ditemukan berkat perantaraan bokor emas.


Melihat serangan ini, Kok Beng Lama agak terkejut juga karena dia mengenal ilmu pedang yang amat hebat, sama sekali tidak boleh dipandang ringan, apalagi karena ilmu yang hebat itu dimainkan dengan sebatang pedang pusaka yang ampuh. Karena wanita itu kini sudah waspada dan sudah menjaga diri, dia tidak lagi dapat menguasainya dengan serangan jarak jauh dan kalau dia tidak membela diri, dia bisa celaka oleh sinar pedang yang hebat itu. Akan tetapi, kakek ini memang sudah memiliki kepandaian yang sakti dan tidak lumrah manusia, kedua lengan tangannya sudah digembleng sedemikian hebatnya sehingga lengan yang terdiri dari kulit daging dan tulang itu mampu menandingi pedang atau senjata tajam yang bagaimana hebatpun! Betapapun juga, Kok Beng Lama yang kelihatannya seperti tidak waras otaknya itu, kini mengelak dan menggunakan ujung lengan bajunya untuk balas menotok dan sekali kedua ujung lengan bajunya menyambar, dia sudah melakukan tiga belas kali totokan ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari lawannya, dilakukan berturut-turut dan bertubi-tubi sehingga Bi Kiok menjadi terkejut dan kagum sekali. Akan tetapi, setelah kini dia mencurahkan perhatian dan mengeluarkan kepandaiannya, wanita inipun mampu menghindarkan semua totokan itu. Bahkan dengan teriakan panjang melengking, tubuhnya lalu melayang seperti seekor burung walet, didahului sinar pedang seperti kilat menyambar yang bergulung-gulung dan berputaran ke arah tubuh kakek itu.

Kok Beng Lama masih sempat mengelak, akan tetapi pada saat itu, Bi Kiok sudah menggerakkan tangan kiri dan serangkum sinar hijau melayang ke arah Lie Seng.

“Wanita kejam, kau boleh juga!” Kok Beng Lama berseru dan kini dia menubruk, kedua lengan bajunya bergerak berputaran seperti kitiran besar tertiup angin. Bi Kiok berusaha untuk menjatuhkan diri sambil memutar pedang, akan tetapi pedangnya terpental ketika tersampok ujung lengan baju dan dia menjerit kecil ketika pundaknya keserempet ujung lengan baju lawan yang mendatangkan rasa nyeri bukan main. Dia meloncat tinggi dan jauh terus melarikan diri.

Kok Beng Lama hendak mengejar, akan tetapi dia mendengar rintihan seorang anak. Dia berhenti dan menengok, lalu cepat menghampiri Lie Seng yang sudah roboh terlentang dengan muka berubah kehijauan. Anak ini telah terkena sambaran Siang-tok-swa, yaitu pasir beracun yang amat jahat itu, tepat pada muka, leher dan dadanya! Tentu saja dia menjadi pingsan seketika, keracunan dan napasnya menjadi empas-empis!

“Ah, celaka...!” Kok Beng Lama menyambar tubuh anak itu, dipondongnya dan dia lalu mengamuk. Pohon-pohon roboh ditendang dan dicabutnya, batu-batu besar hancur oleh pukulan dan tendangannya, kemudian dia berlari cepat seperti terbang membawa tubuh Lie Seng.

Yo Bi Kiok yang cerdik, setelah meloncat jauh lalu bersembunyi karena dia maklum bahwa kakek gundul yang lihai seperti iblis itu kalau mengejarnya tentu dia tidak akan mampu melarikan diri. Dari tempat persembunyiannya dia melihat betapa kakek itu memondong Lie Seng sambil mengamuk. Bergidik dia menyaksikan amukan kakek itu. Selama hidupnya baru satu kali ini dia bertemu dengan orang yang kepandaiannya sehebat itu. Kalau dibandingkan dengan lima datuk kaum sesat di waktu dahulu, biarpun mereka itu amat hebat kepandaiannya dan seorang di antara mereka adalah gurunya sendiri, Bu Leng Ci, maka kepandaian lima datuk itu masih kalah jauh oleh kakek gundul yang luar biasa dan yang seperti orang gila ini. Setelah kakek itu pergi jauh dan terdengar suara tangisnya yang aneh sampai suara itupun menghilang, barulah Bi Kiok berani keluar dan pergi dari tempat itu dengan hati masih merasa serem.

***

Lembah Bunga Merah terbentang di lereng Pegunungan Kui-kok-san. Pemandangan alam di tempat itu mentakjubkan sekali. Apalagi di musim semi, di waktu bunga-bunga kecil merah yang memenuhi lembah itu berkembang. Dipandang dari tempat yang lebih tinggi, lembah itu seolah-olah diselimuti permadani merah yang halus dan rata. Bahkan di waktu tidak ada bunga, lembah itu nampak kehijauan dan daun-daun, pohon dan rumput, seperti lautan yang tenang.

Akan tetapi sungguh sayang sekali, keindahan alam itu yang semestinya menarik minat banyak orang untuk mengunjungi dan menikmatinya, dirusak oleh nama seseorang yang menimbulkan perasaan jerih sehingga tidak ada orang berani mandekati tempat yang disebut Lembah Bunga Merah itu. Orang ini adalah datuk kaum sesat, wanita iblis yang berjuluk Hui-giakang (Si Kelabang Terbang) Ciok Lee Kim! Setelah wanita iblis ini tinggal di tempat itu sejak beberapa tahun yang lalu, dia menganggap lembah itu seolah-olah miliknya pribadi dan mengusiri para penduduk di sekitar lembah, bahkan menggunakan kekerasan terhadap siapapun yang berani mendekati tempat itu, mengandalkan kepandaiannya yang tinggi. Karena banyak orang yang mencoba melawannya mati dengan sia-sia, maka terkenallah dia sebagai seorang iblis betina yang ditakuti dan nama Lembah Bunga Merah yang tadinya merupakan nama yang menimbulkan kesan indah, kini berubah sebagai tempat yang mendatangkan rasa ngeri dan takut.

Akan tetapi tempat itu tidaklah sepi biarpun tidak ada lagi penduduk yang terdiri dari rakyat biasa, karena Hui-giakang Ciok Lee Kim menempati daerah itu bersama dua orang murid wanita dan tiga puluh anak buahnya laki-laki dan perempuan yang kesemuanya merupakan juga anak murid, pelayan dan pasukan. Para anak buah ini yang mengadakan hubungan dengan orang luar untuk mencari keperluan mereka dan sepak terjang para anak buah yang mengandalkan nama besar Hui-giakang inilah membuat nama Lembah Bunga Merah ditakuti.

Para pembesar dari tempat-tempat yang berdekatan dengan Lembah Bunga Merah tidak ada yang menentang Si Kelabang Terbang itu, bahkan seolah-olah “melindungi” karena banyaklah emas dan perak yang beterbangan ke dalam saku mereka dari lembah itu sehingga Hui-giakang Ciok Lee Kim dan anak buahnya dianggap sebagai warga-warga yang baik dan dermawan. Hal seperti ini terjadi di seluruh negeri, bahkan seluruh duniapun mengenal keadaan seperti itu, betapa dengan kekuasaan uang manusia dapat membeli kedudukan, nama baik, dan sebagainya. Hal seperti ini pasti terjadi di manapun juga di dunia ini selama kita menilai kebaikan dan kejahatan berdasarkan untung rugi bagi diri sendiri. Yang menguntungkan kita, kita anggap baik dan yang merugikan kita, kita anggap jahat. Maka terjadilah sogok-menyogok, suap-menyuap dan karena menguntungkan dirinya, maka si penyogok tentu dianggap baik oleh yang menerima sogokan

Semenjak Lima Bayangan Dewa dengan berani menentang Cin-ling-pai, Lembah Bunga Merah selalu dijaga dengan ketat oleh anak buah Ciok Lee Kim karena seperti diketahui, wanita ini merupakan orang keempat dari Lima Bayangan Dewa. Oleh karena itu ketika Kiam-mo Liok Sun dan Bun Houw memasuki daerah lembah ini, mereka berdua segera dihadang dan dikepung oleh belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah yang bersikap bengis dan memegang senjata tajam di tangan masing-masing.

Akan tetapi Kiam-mo Liok Sun mengangkat tangan ke atas dan berkata dengan sikap tenang, “Harap para sobat jangan salah mengenal orang. Aku adalah Kiam-mo Liok Sun, sahabat baik dari majikan kalian. Daripada terjadi salah paham dan kalian nanti ditegur oleh Hui-giakang, lebih baik kalian antar kami pergi menghadap Ciok-toanio (nyonya besar Ciok).”

Melihat sikap dan mendengar ucapan Liok Sun, dan pula melihat bahwa mereka hanya terdiri dari dua orang, para anak buah Lembah Bunga Merah memandang rendah lalu mengiring dua orang ini ke tengah lembah di mana terdapat bangunan-bangunan perkampungan yang menjadi tempat tinggal mereka.

Legalah hati para anak buah itu ketika mereka melihat pemimpin mereka keluar sendiri menyambut dua orang tamu itu. Mereka bubaran mengundurkan diri ketika Ciok Lee Kim, wanita berusia lima puluh tahun yang masih cantik dan pesolek itu, menyambut sendiri kedatangan Kiam-mo Liok Sun dengan senyum lebar, kemudian melihat wanita itu menggandeng tangan Liok Sun yang diiringkan Bun Houw memasuki rumah besar itu.

“Ahai, kiranya si setan judi yang datang!” Hui-giakang Ciok Lee Kim tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang terawat rapi, matanya jalang menyambar ke arah pemuda tampan di belakang sobatnya itu. “Angin apa yang meniupmu terbang sampai ke sini, orang she Liok?” tanya wanita itu sambil menggandeng tangan tamunya.

“Aku datang mencarimu untuk menghaturkan terima kasih, toanio, karena berkat pertolonganmu dahulu, aku telah berhasil membalas dendam dan membunuh si keparat Phang Un dan isteriku yang tidak setia!”

“Aihh, di antara kita mana perlu terima kasih? Aku senang sekali kau datang, dan ini... siapakah pemuda ini?”

“Ah, ini adalah pembantuku yang baru, tangan kananku. Dia she Bun bernama Houw.”

Hui-giakang Ciok Lee Kim memandang Bun Houw yang menjura kepadanya dari atas ke bawah dengan sinar mata kagum. “Hemm, pengawalmu, ya? Begini muda sudah kaupercaya menjadi pengawalmu, tentu hebat dia! Dan tepat sekali dengan namanya. Engkau gagah seperti harimau (houw), orang muda!”

Wajah pemuda ini menjadi merah sekali dan dia menjura sambil berkata, “Toanio terlalu memuji.” Ciok Lee Kim tertawa terkekeh senang, menyangka bahwa pemuda itu masih hijau dan wajahnya memerah madu oleh pujiannya. Kalau saja dia tahu bahwa merahnya wajah pemuda itu sama sekali bukan karena “malu-malu”, melainkan karena kemarahan yang naik ke atas kepala melihat seorang di antara musuh besar Cin-ling-pai di depannya!

Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin Bun Houw seketika menyerang dan membunuh wanita yang menjadi seorang di antara musuh-musuh besar yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dan membunuh murid-murid Cin-ling-pai ini. Akan tetapi, pemuda ini cukup cerdas dan dia tidak mau manuruti nafsu kemarahannya karena dia ingin lebih dulu menyelidiki tentang empat orang musuh yang lain, dan juga tentang di mana adanya pedang pusaka ayahnya yang mereka curi. Maka dia berlaku sabar dan mengikuti Liok Sun dan Ciok Lee Kim.

“Liok Sun, kebetulan sekali kau datang. Akupun sedang menjamu tamu-tamu agung ketika anak buahku melaporkan kedatanganmu. Mari, mari kalian kuperkenalkan dengan tamu-tamuku, orang-orang yang di waktu ini terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dunia persilatan.”

Liok Sun mengerutkan alisnya, hatinya kurang senang bahwa kedatangannya menemui bekas kekasihnya ini akan terganggu oleh tamu-tamu lain. “Siapakah mereka?” tanyanya, tidak tahu bahwa diam-diam pemuda di belakangnya menaruh perhatian besar dengan hati tegang.

“Marilah, kalian ikut saja dan melihat sendiri!” Wanita itu terkekeh bangga dan mereka memasuki ruangan yang lebar di sebelah dalam rumah. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja yang besar dan penuh dengan hidangan dan empat orang duduk mengelilingi meja itu. Bun Houw dengan sikap hormat memandang dengan penuh perhatian ketika Ciok Lee Kim memperkenalkan Liok Sun kepada para tamu itu sambil tertawa. Dengan menggandeng tangan Liok Sun yang ditariknya dekat meja, wanita itu berkata kepada empat orang tamunya itu, “Ini adalah sahabat baik saya, Kiam-mo Liok Sun, majikan dari Hok-po-koan di kota Kiang-shi!”

“Aihh, Ciok-toahio, mana berani saya disebut Kiam-mo (Setan Pedang) dengan pengetahuanku yang rendah ini?” Liok Sun membantah ketika melihat bahwa empat orang itu terdiri dari seorang setengah tua, dua orang kakek tua dan seorang nenek tua yang semua kelihatan sebagai orang-orang yang luar biasa.

Empat orang itupun agaknya memandang rendah karena mereka membalas penghormatan Liok Sun tanpa berdiri dari kursi masing-masing.

“Liok Sun, dia ini adalah Hwa Hwa Cinjin, ini adalah Hek I Siankouw, dan locianpwe itu adalah Bouw Thaisu, tiga orang tua yang merupakan datuk-datuk persilatan dengan ilmu kepandaian yang sukar dicari tandingan. Dan dia ini adalah Toat-beng-kauw Bu Sit yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia kang-ouw.” Dengan suara penuh kebanggaan akan kehebatan para tamunya, wanita itu memperkenalkan.

Liok Sun terkejut dan cepat menjura lagi. Bun Houw lebih terkejut lagi, terutama sekali mendengar disebutnya nama Toat-beng-kauw Bu Sit yang tentu saja dia kenal sebagai nama orang kelima dari Bayangan Dewa yang berjumlah lima orang itu! Dari Lima Bayangan Dewa ini telah berdiri di depannya dua orang! Sungguh merupakan hal yang amat kebetulan sekali! Akan tetapi dia tetap menahan sabar. Kelau dia turun tangan dan andaikata dia berhasil membunuh dua orang musuh ini, masih ada tiga orang lainnya yang belum dia ketahui di mana tempat tinggalnya dan dia masih harus menyelidiki di mana disimpannya Siang-bhok-kiam.

Sebagai seorang pengawal, Bun Houw dipersilakan duduk menghadapi meja lain di sudut, dan tak lama kemudian dua orang wanita murid Ciok Lee Kim datang memperkenalkan diri dan menemani Bun Houw makan minum, sedangkan Liok Sun tentu saja makan minum bersama nyonya rumah dan empat orang tamunya.

Dapat dibayangkan betapa canggung dan malu-malu rasa hati Bun Houw. Dia baru saja pulang dari Tibet dan belum biasa dengan pergaulan, apalagi dengan wanita dan sekarang dia makan minum dengan dua orang wanita muda yang menemaninya! Dua orang wanita murid Ciok Lee Kim itu adalah dua orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, berpakaian mewah dan pesolek seperti guru mereka, berwajah cantik dan berwatak genit! Apalagi karena Bun Houw adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, maka dua orang wanita muda yang menemaninya itu merasa tertarik dan tanpa sembunyi-sembunyi lagi mereka memperlihatkan rasa senang dan kagumnya kepada Bun Houw. Hal ini tentu saja membuat Bun Houw menjadi makin canggung dan gugup sehingga dengan sukar dia menelan mekanan yang dihidangkan. Melihat pandang mata dua orang wanita itu yang seolah-olah hendak menelanjanginya, kadang-kadang pandang mata mereka itu seperti hendak menelannya bulat-bulat, membuat mulut yang tersenyum penuh gairah, kata-kata bisikan yang setengah merayu, kadang-kadang mereka menyuguhkan arak dari cawan mereka, kadang-kadang menyumpitkan potongan-potngan daging yang terbaik untuknya, semua ini membuat jantung Bun Houw berdebar keras kerena... ngeri! Akan tetapi dia menyambut semua itu dengan sikap sopan dan dengan muka lebih banyak menunduk untuk menghindarkan pertemuan pandang mata. Sikapnya yang malu-malu dan jelas membayangkan sikap seorang pemuda yang masih hijau, masih perjaka dan belum berpengalaman ini mtmbuat dua orang murid Ciok Lee Kim menjadi makin bergairah. Kadang-kadang mereka cekikinan dan mereka berdua merasa gembira sekali, tidak tahu betapa pandang mata Ciok Lee Kim dari meja besar kadang-kadang berkilat penuh iri ke arah meja kecil mereka.

Akhirnya perjamuan itu berakhir dan dua orang murid Ciok Lee Kim itu sambil tersenyum memenuhi perintah guru mereka, mengantarkan Bun Houw ke sebuah kamar yang diperuntukkannya. Pemuda ini dapat juga mengerti bahwa kedua orang musuh besar itu amat kuat. Dua orang kakek dan seorang nenek yang menjadi tamu mereka itu adalah orang-orang yang tidak boleh dipandang ringan. Sungguhpun tentu saja dia tidak takut menghadapi mereka semua, akan tetapi akan lebih aman dan ringan baginya kalau dia turun tangan malam nanti, membunuh dua orang itu setelah memaksa mereka mengaku di mana adanya tiga orang lainnya dan di mana pula disimpannya Siang-bhok-kiam yang mereka curi.

Akan tetapi, betapa keget, bingung dan malu bercampur muak rasa hatinya ketika tiba di dalam kamar tamu itu, dua orang murid perempuan Ciok Lee Kim tidak mau keluar lagi dan bersikap genit serta mengeluarkan kata-kata rayuan tanpa mengenal malu sedikitpun juga!

“Harap ji-wi cici (kedua kakak) suka meninggalkan saya karena saya sudah lelah dan mengantuk sekali.” Akhirnya Bun Houw berkata ketika melihat dua orang wanita itu belum juga meninggalkan kamarnya.

“Kalau engkau lelah dan mengantuk, tidurlah, dan kami akan menjagamu, adik Bun Houw yang baik,” berkata yang muda sambil terkekeh genit dan matanya mengerling tajam penuh tantangan. “Aku akan memijati tubuhmu...”

“Sumoi berkata benar,” kata yang lebih tua. “Memang kami bertugas untuk menemanimu dan melayanimu, hi-hik...”

Bun Houw terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. “Akan tetapi... aku... ji-wi berdua... kita...” Sukar baginya untuk melanjutkan kata-katanya karena dia sungguh merasa heran dan kaget mendengar betapa dua orang wanita ini akan menemani tidur!

Akan tetapi dua orang wanita cantik itu tertawa-tawa genit, mentarfsirkan kata-kata dan kecanggungan Bun Houw sesuai dengan selera mereka.
“Heh-heh, Bun-siauwte jangan sungkan dan malu-malu. Kami suci dan sumoi sudah biasa hidup akur dan saling membagi apa saja,” kata yang lebih tua.

“Benar, adik Bun yang gagah, dan boleh kau nilai nanti, siapa di antara kami yang lebih lihai... hi-hi-hik!” kata yang muda.

Bun Houw melongo dan matanya terbelalak melihat betapa dua orang wanita muda itu telah menaggalkan pakaian luar mereka dengan gerakan yang memikat sekali. Kini mereka tersenyum memandang kepadanya dalam pakaian dalam berwarna merah muda dan hijau muda, pakaian dalam yang terbuat dari bahan tipis sekali sehingga tembus pandang dan dia dapat melihat garis-garis bentuk tubuh mereka yang tidak ditutup apa-apa lagi di bawah pakaian dalam itu. Sang suci (kakak seperguruan perempuan) sambil tersenyum penuh gairah dengan pandang mata penuh nafsu, mengangkat lengannya ke atas dan ke belakan kepala untuk melepaskan sanggul dan mengurai rambut. Gerakan ini tentu saja menonjolken bagian depan dadanya yang nampak membayang di balik kain tipis itu. Adapun sang sumoi yang pakaian dalamnya berwarna hijau muda, melangkah dengan lenggang lemah gemulai untuk menaruh pakaian luar mereka ke atas meja di sudut dan di waktu melenggang membelakangi Bun Houw itu, gerakan langkahnya membuat sepasang bukit pinggulnya menari-nari!


Bun Houw merasa napasnya sesak! Dengan mata terbelalak dan muka merah dia melihat itu semua dan berkali-kali dia harus menelan ludah karena jantungnya berdebar dan lehernya terasa kering.

“Harap ji-wi suka membiarkan saya sendiri saja mengaso...” Dia membantah.

Akan tetapi dua orang wanita itu kini melangkah mendekatinya sambil tersenyum dan Bun Houw memperoleh perasaan seakan-akan dua orang wanita itu sedang mengancamnya dan hendak menyerangnya! Tentu saja dia menjadi semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Adik Bun, engkau tampan, gagah dan ganteng sekali. Mari kubuka sepatumu agar kita dapat mengaso dengan enak...” kata sang sumoi.

“Dan biarkan aku membuka pakaianmu, Bun-hiante...” Sang suci juga berkata dengan suara merayu.

Bun Houw mengambil keputusan untuk menggunakan kekerasen. Gara-gara dua orang wanita yang agaknya haus dan gila laki-laki ini urusannya bisa kacau dan gagal. Dia akan membuat mereka tidak berdaya dan meninggalkan mereka di kamar itu. Akan tetapi baru saja semua urat syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk bergerak turun tangan, tiba-tiba dari luar pintu kaMar itu terdengar suara laki-laki, “Ai-kwi dan Ai-kiauw... apakah kalian berada di dalam?”

Bun Houw terkejut bukan main dan tentu saja dia menahan gerakan tangannya yang tadi sudah siap untuk menotok mereka. Dua orang wanita itu menoleh ke arah pintu, dan yang lebih tua menjawab, “Ah, Bu-susiok (paman guru Bu) di luar? Benar, kami berada di sini menemani tamu!”

Daun pintu kamar itu terdorong dan terbuka karena memang tadi tidak dipalang saking tidak sabarnya kedua orang wanita yang sudah didorong nafsu berahi itu. Bun Houw menjadi merah sekali mukanya saking malu ketika melihat Toat-beng-kauw Bu Sit, laki-laki berusia empat puluh tahun yang kurus, dan mukanya seperti monyet, kuning dan pucat itu, masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa.

“Ha-ha-ha, aku mencari kalian setengah mati, kiranya kalian bermain-main di sini. Pengawal muda ini sebagai tamu boleh kalian hibur, akan tetapi cukup seorang sajapun dia tidak akan mampu menang. Ha-ha! Ai-kwi... aku sudah rindu kepadamu, mari kautemani pamanmu yang kesepian.” Setelah berkata demikian, si muka monyet merangkul pinggang yang ramping itu dengan mesra.

Sang suci mengerutkan alisnya dan tampak jelas oleh Bun Houw betapa wajah yang cantik itu menjadi buruk dan kejam ketika bersungut-sungut. “Aihh... susiok, biar sumoi saja malam ini menemanimu...” Wanita itu membantah halus.

“Siapa? Ai-kiauw...? Ah, Ai-kwi, aku rindu padamu, sudah lama benar... heh-hehm, dan Ai-kiauw baru kemarin menemani aku. Hayolah...!” Dia menarik dan memaksa wanita itu.

Ai-kwi bersungut-sungut dan terpaksa menyambar pakaian luarnya dan membiarkan dirinya dirangkul dan didorong keluar dari kamar setelah dia melempar pandang mata penuh kekecewaan dan penasaran ke arah Bun Houw.

“Hi-huuuuuhh...!” Ai-kiauw bersorak gembira, lari dengan lenggang-lenggok ke arah pintu, menutupkan pintu dan memalangnya, kemudian dia lari kembali dan meloncat, menubruk Bun Houw sehingga pemuda itu terjengkang ke atas pembaringan. “Sekarang kita hanya berdua, orang tampan...!” Wanita itu lalu menghujankan ciuman ke seluruh muka Bun Houw sampai pemuda ini menjadi gelagapan. Sejenak Bun Houw tertegun, kemudian terbayanglah wajah Yalima. Mengapa ketika dia berciuman dengan Yalima, dia merasa babagia dan nikmat, akan tetapi ciuman-ciuman penuh nafsu berahi dari wanita ini membuat dia merasa muak?

“Enci, jangan begitu...!” Dia mendorong halus dan pada saat itu terdengar panggilan dari luar pintu.

Mendengar suara ini, Ai-kiauw terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke sudut kamar. Bun Houw kagum sekali melihat kecepatan Ai-kiauw mengenakan pakaian luarnya. Kemudian wanita ini bergegas membuka pintu kamar. Kiranya Hui-giakang Ciok Lee Kim sendiri yang berdiri di depan pintu itu!

“Maaf, subo. Subo memanggil teecu?” Ai-kiauw bertanya dengan sikap hormat.

Sepasang mata yang tajam dan galak itu memandang muridnya penuh selidik, kemudian pandang matanya menyapu ke arah Bun Houw dan ke arah pembaringan. Agaknya keadaan pemuda itu dan pembaringannya melegakan den memuaskan hati wanita ini. Dia mengangguk dan berkata, “Kau pergi ke kamar tamu kita, Kiam-mo Liok Sun, kautemani dia!”

Jelas betape Ai-kiauw kelihatan terkejut dan kecewa bukan main. “Akan tetapi... teeeu kira... subo dan dia...”

“Cerewet, pergilah! Yang tua harus berpasangan dengan yang muda agar yang muda bertambah pengalaman dan yang tua awet muda. Hayo pergi memenuhi perintah!” Ciok Lee Kim membentak.

“Baik, subo...” Ai-kiauw mengambil pakaian luarnya, kemudian keluar dari kamar itu dengan kepala ditundukkan.

Ciok Lee Kim menutupkan daun pintu dan dia menghampiri Bun Houw sambil tersenyum genit. Wanita berusia lima puluh tahun ini masih nampak cantik karena dia pandai bersolek dan memang dahulunya dia adalah cantik.

“Muridku memang bandel. Apakah dia tadi mengganggumu, orang muda she Bun? Kalau dia mengganggumu, biar kuhukum dia di depanmu.” Sepasang mata itu memandang wajah Bun Houw dengan sinar aneh.


Sejak tadi Bun Houw sudah merasa makin muak menyaksikan tingkah laku dua orang murid dan guru mereka itu. Dari sikap dan kata-kata mereka saja sudah jelas dapat dinilai orang-orang macam apa adanya mereka. Akan tetapi diam-diam dia merasa girang karena kini musuh yang seorang ini datang sendiri tanpa dia harus mencarinya di kamarnya. Dia akan membekuk wanita ini dan memaksanya mengaku tentang tiga orang musuhnya yang lain dan tentang pedang Siang-bhok-kiam, kemudian dia akan membunuh Bu Sit dan pergi dari tempat itu untuk mencari tiga orang yang lain dan pedang Siang-bhok-kiam.

Bun Houw menggeleng kepalanya. “Tidak, toanio. Tidak ada yang mengganggu saya.” jawabnya.

“Syukurlah kalau begitu. Kau adalah seorang tamu, harus dilayani dengan baik, karena itu aku sendiri yang akan menemanimu malam ini, orang muda. Marilah, mari kita rebahan sambil omong-omong... aku ingin mendengar riwayatmu. Kau menarik hatiku, tidak sama dengan pemuda-pemuda lain... jangan sungkan-sungkan, ke sinilah...” Wanita itu sudah duduk di pinggir pembaringan dia menggapai mengajak pemuda itu duduk di dekatnya.

Bun Houw hampir tak dapat menahan kemarahannya. “Tidak...!” Dia menggeleng kepalanya. “Dua orang murid toanio tadi pun membujuk saya, akan tetapi saya... saya bukanlah laki-laki seperti itu...!”

Ucapan ini membuat wajah Ciok Lee Kim menjadi merah sekali dan tiba-tiba wanita ini menggerakkan tubuhnya membalik, tangan kanannya bergerak.

“Wirrrr...!”

Bun Houw terkejut bukan main, tadinya menyangka bahwa wanita itu marah kepadanya dan menyerangnya, akan tetapi ternyata senjata piauw beronce merah itu menyamber ke arah jendela kamar itu, menembus jendela dan terdengar jatuh berkerontangan di luar kamar.

“Keparat jangan lari kau!” Tubuh Ciok Lee Kim sudah meloncat dengan gerakan yang ringan sekali, kakinya menendang jebol daun jendela dan tubuhnya sudah mencelat keluar.

Barulah pemuda itu tahu bahwa tadi ada orang mengintai dari luar jendela. Dia merasa heran sekali mengapa dia tidak lebih dulu melihatnya atau mendengarnya. Hal ini adalah karena dalam keadaan tergoda bujuk rayu wanita-wanita tadi, hati Bun Houw berdebar dan kacau tidak karuan dan hal ini mengurangi kewaspadaannya. Andaikata dia berada dalam keadaan biasa, tentu sebelum Ciok Lee Kim mendengar sesuatu, dia akan lebih dulu dapat mendengarnya.

“Tangkap penjahat...!” Terdengar teriakan wanita itu di luar. Bun Houw juga meloncat keluar dari kamar dan setibanya di ruangan besar dia melihat betapa Ciok Lee Kim, Bu Sit, dua orang kakek dan seorang nenek tamu, juga Kiam-mo Liok Sun dan dua orang murid wanita Ciok Lee Kim, semua sudah berada di situ dengan pakaian dan rambut kusut, agaknya tergesa-gesa meninggalkan kamar tidur oleh teriakan Ciok Lee Kim tadi. Mereka semua ini mengurung tiga orang yang berdiri di tengah ruangan dengan pedang di tangan. Dan selain tokoh-tokoh kaum sesat itu, juga tampak anak buah Lembah Bunga Merah sudah mengurung ruangan itu dari sebelah luar. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian.

Tiga orang itu biarpun sudah dikepung, kelihatan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Moreka itu adalah dua orang gadis dan seorang pemuda, usia mereka antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun, kelihatan cantik, tampan, dan gagah dengan pedang melintang di depan dada, saling mengadu punggung dan menghadapi kepungan banyak orang itu. Diam-diam Bun Houw kagum menyaksikan kegagahan mereka, akan tetapi juga mencela kecerobohan mereka, berani secara sombrono memasuki guha harimau yang amat berbahaya ini.

“Hemm, kalian seperti tiga ekor tikus yang terkurung!” Ciok Lee Kim mengejek kepada mereka. “Hayo kalian mengaku, siapa kalian dan mengapa kalian berani memasuki tempat kami tanpa ijin. Jawab, agar kalian tidak mati tanpa nama!”

Pemuda yang mewakili dua orang kawannya itu memandang kepada wanita ini dengan sinar mata berapi-api. “Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang datang hendak menuntut balas atas kematian suheng kami seminggu yang lalu di luar hutan Lembah Bunga Merah.”

“Siapa suheng kalian dan apa hubungan kematiannya dengan kami?” Ciok Lee Kim mengerutkan alisnya. Semenjak dia
bersama empat orang saudara segolongannya yang bergabung menjadi Lima Bayangan Dewa berhasil menyerbu Cin-ling-pai, mereka berlima selalu berhati-hati, tidak menanam permusuhan dengan lain golongan, bahkan berusaha mencari teman-teman untuk diajak bersama menghadapi Cin-ling-pai. Maka mendengar murid-murid Bu-tong-pai memusuhinya, dia menjadi heran dan terkejut.

“Suheng kami sebelum meninggal dunia mengatakan bahwa dia dilukai oleh dua orang murid Lembah Bunga Merah.”

“Hemmm...” Ciok Lee Kim memandang ke sekelinngnya, ke arah para anak buah Lembah Bunga Merah.

“Subo, kami yang melukainya!” Tiba-tiba Ai-kwi dan Ai-kiauw melangkah maju.


Ciok Lee Kim memandang dua orang muridnya itu dengan alis berkerut. “Apa yang terjadi?” tuntutnya.

“Pemuda itu terlalu menghina kami, mengatakan bahwa kami dan orang-orang Lembah Bunga Merah adalah orang-orang cabul yang tak tahu malu. Kami bertanding melawan dia dan dia melarikan diri dengan luka-luka berat. Kami tidak tahu bahwa dia itu murid Bu-tong-pai atau murid siapa, yang jelas dia kurang ajar.”

“Bohong!” Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu berseru marah. “Kam-suheng menceritakan kepada kami bahwa dia kalian bujuk rayu, kalian perempuan-perempuan jalan yang tak tahu malu. Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana sudi menuruti kehendak cabul kalian? Karena suheng menolak, kalian mengeroyok dan melukainya!”

Wajah kedua orang murid Ciok Lee Kim berubah merah. “Subo, kalau manusia itu tidak menghina, kami tentu tidak akan melukainya. Subo mendengar sendiri betapa busuk mulut orang-orang ini menghina kita!”

“Perempuan jalang dan cabul!” Gadis murid Bu-tong-pai yang sesungguhnya adalah pacar dan calon isteri suhengnya sendiri yang tewas itu sudah memekik dan dengan pedangnya dia menyerang Ai-kwi dan Ai-kiauw. Dua orang wanita ini mengelak lalu membalas dan bertandinglah Ai-kwi dan Ai-kiauw melawan tiga orang murid Bu-tong-pai itu.

Para orang tua itu mula-mula hanya menonton. Ilmu Pedang Bu-tong-pai terkenal bagus gayanya dan kuat serta cepat, dan dan kini Ai-kwi dan Ai-kiauw yang juga menggunakan pedang, setelah lewat lima puluh jurus, terdesak hebat oleh pedang tiga orang murid Bu-tong-pai itu.

“Bu-sute, kauwakili aku tangkap tiga orang bocah kurang ajar ini!” Melihat betapa dua orang muridnya terdesak, Hui-giakang Ciok Lee Kim menyuruh Toat-beng-kauw Bu Sit yang disebutnya sute, untuk maju. Biarpun Lima Bayangan Dewa itu tidak mempunyai hubungan perguruan, melainkan hubungan segolongan dan terutama sekali sama-sama menaruh dendam kepada ketua Cin-ling-pai, akan tetapi semenjak mereka memakai nama Lima Bayangan Dewa, mereka saling menyebut adik dan kakak seperguruan.

“Tar-tar-tarrr...!” Joap-pian atau cambuk baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit meledak-ledak ketika dia menerima perintah ini. Tubuhnya mencelat ke depan dengan keringanan seekor burung, dan tahu-tahu joan-pian di tangannya sudah melecut-lecut dan menyambar-nyambar ganas.

“Tar-tar-tringggg...! Aihhhh...!” Seorang gadis Bu-tong-pai mehjerit dan pedangnya terlempas, dia memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena tangan kanannya terasa sakit. Saat itu dipergunakan oleh Ciok Lee Kim untuk menggerakkan tangannya. Gadis itu berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan robohlah dia terkena totokan wanita yang berjuluk Kelabang Terbang itu.

Dua orang murid Bu-tong-pai yang lain menjadi marah sekali. Mereka berdua saling beradu punggung dengan pedang melintang di depan dada, siap untuk bertempur mati-matian melawan orang-orang lihai itu.

“Heh-heh-heh, kalian bocah-bocah ingusan sungguh tidak tahu diri!” Ciok Lee Kim terkekeh mengejek. “Kailan tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan! Biar guru kalian, ketua Bu-tong-pai sendiri belum tentu berani bersikap kurang ajar seperti kalian di hadapan kami.”

“Hemm, kami tidak perduli dengan siapa kami berhadapan!” Pemuda Bu-tong-pai itu membentak sambil melirik sumoinya yang roboh tertotok tadi. “Kami datang untuk menuntut balas atas kematian subeng kami dan untuk itu, kami siap mengorbankan nyawa kami kalau perlu. Kami tidak takut kepada kalian!”

“Ciok-suci, bereskan saja mereka ini, habis perkara!” Bu Sit berkata sambil mengayun-ayun joan-pian di tangannya.

“Nanti dulu, Bu-sute, kita tidak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai atau partai manapun. Ingat?” kata Si Kelabang Terbang dan Toat-beng-kauw Bu Sit mengangguk.

“Bocah-bocah Bu-tong-pai, kami masih memandang nama Bu-tong-pai dan mau mengampuni kalian bertiga. Berlututlah dan kami akan mengampuni kalian,” kata Ciok Lee Kim.

“Hub, tidak sudi!” Gadis Bu-tong-pai yang kedua membentak marah.

“Agaknya kalian belum tahu siapa kami. Aku adalah Hui-giakang dan aku sendiri saja belum tentu akan dapat kalian menangkan andaikata kalian maju dengan teman-teman kalian sebanyak dua puluh orang! Dia dengan joan-pian mautnya ini adalah Toat-beng-kauw Bu Sit yang di dunia selatan pernah menggegerkan para tokoh besar persilatan. Dan kalian belum tahu siapa adanya tamu-tamu kehormatan ini, ya? Beliau ini adalah Hwa Hwa Cinjin yang sukar dicari tandingannya di dunia kang-ouw, sedangkan beliau yang ini adalah Hek I Sinkouw, sejajar nama dan terkenalnya dibandingkan dengan Hwa Hwa Cinjin locianpwe. Dan tahukah kalian siapa beliau yang baru turun dari pertapaan ini? Beliau adalah datuk dari seluruh pantai Lautan Pohai, Bouw Thaisu yang kepandaiannya setinggi Gunung Thai-san! Masih ada sahabatku ini, Kiam-mo Liok Sun Si Setan Pedang.”

Dua orang murid Bu-tong-pai itu memandang dengan mata mendelik. Pemuda itu lalu menjawab setelah wanita musuhnya berhenti bicara. “Biarpun engkau akan mengundang semua iblis dari neraka, kami tidak akan takut menghadapi untuk membela kebenaran dan menuntut balas atas kematian suheng kami!”


Suci, bocah-bocah sombong macam ini kalau tidak dihajar akan makin besar kepala saja!” ucapnya Bu Sit disusul bunyi pecut baja di tangannya yang meledak-ledak dan sinar-sinar kilat senjatanya itu menyambar ke arah dua orang murid muda Bu-tong-pai itu.

“Cringgg...! Cringgg...!” Bunga api berhamburan ketika joan-pian itu tertangkis oleh dua batang pedang, akan tetapi Toat-beng-kauw yang memiliki gin-kang tinggi sekali itu sudah menyerang lagi, gerakannya cepat bukan main, joan-pian
di tangannya lenyap berobah menjadi sinar kilat yang menyambar-nyambar dan mengurung kedua orang muda itu. Dua orang murid Bu-tong-pai itu terkejut juga, maklum bahwa si muka monyet ini benar-benar lihai, maka mereka memutar pedang melindungi tubuh mereka sambil berusaha sedapat mungkin untuk balas menyerang. Akan tetapi karena memang tingkat mereka kalah tinggi, gin-kang mereka jauh kalah cepat dan tenaga lwee-kang merekapun jauh kalah kuat, dalam belasan jurus saja mereka sudah terhimpit dan terancam hebet oleh sinar senjata joan-pian itu.

Hui-giakang Ciok Lee Kim yang tidak ingin dilakukan pembunuhan di dalam rumahnya, sudah bergerak terjun ke dalam gelanggang pertandingan. Dua tangannya bergerak dan nampaklah dua sinar merah dari sepasang saputangan suteranya, ujung kedua saputangan menyambar dan menotok ke arah jalan darah di punggung dan pundak dua orang muda yang sedang sibuk didesak oleh joan-pian Bu Sit, maka mereka tidak mampu menghindarkan diri dari totokan saputangan merah. Mereka mengeluh, pedang mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka terguling dengan lemas seperti keadaan teman mereka yang pertama tadi.

“Ciok-suci, sebaiknya dibunuh saja mereka ini!” kata Bu Sit sambil mangamang-amangkan joan-piannya.

“Sute, jangan mengotori rumah ini dengan darah dan pembunuhan!” Ciok Lee Kim mencegah.

“Ha-ha, kalau begitu biar kubawa mereka ke hutan dan kuhabisi mereka di sana!” Bu Sit berkata dan kedua matanya menyambar dan melahap tubuh dua orang gadis cantik murid Bu-tong-pai itu. Di dalam benaknya yang kotor terbayang betapa dia akan mempermainkan dan menikmati dua orang murid wanita ini lebih dulu sebelum dibunuhnya. Memang di antara Lima Bayangan Dewa, Ciok Lee Kim dan Bu Sit sama-sama mata keranjang dan batinnya penuh dengan kecabulan.

“Mengapa mereka harus dibunuh?” Tiba-tiba Kiam-mo Liok Sun ikut bicara. “Ciok-toanio, saya kira amat tidak baik kalau membunuh anak murid Bu-tong-pai, sungguh tidak menguntungkan bagi toanio kalau kelak dimusuhi oleh partai itu.”

Bun Houw sejak tadi sebetulnya sudah siap. Andaikata dia melihat tiga orang murid Bu-tong-pai tadi hendak dibunuhi dia sudah siap-siap untuk membantu dan menolong mereka. Akan tetapi melihat mereka hanya dirobohkan dengan totokan saja, dia belum mau turun tangan karena dia menganggap belum tiba saatnya. Kalau urusannya yang besar dan penting itu dirusak oleh bantuannya terhadap tiga orang murid Bu-tong-pai ini, sungguh tidak baik sekali. Kini dia mendengarkan saja dengan penuh perhatian.

Toat-beng-kauw Bu Sit memandang kepada Liok Sun dengan mata disipitkan, alisnya berkerut dan dia berkata kepada nyonya rumah, “Ciok-suci, engkau sendiri tentu mengerti mengapa mereka ini harus dibunuh dan tidak perlu mendengarkan pendapat orang lain!”

Melihat ada ketegangan dan perbedaan pendapat ini, Ciok Lee Kim memandang ke arah tiga orang murid Bu-tong-pai dan berkata, “Sebaiknya mereka ditahan dulu dan mari kita bicara hal ini di dalam saja,” katanya sambil memberi isyarat dan orang-orangya lalu dipimpin oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw menyeret tubuh tiga orang murid Bu-tong-pai itu, dibawa ke tempat tahanan yang mereka jaga ketat. Kemudian dua orang murid Ciok Lee Kim setelah menyerahkan mereka kepada para anak buah untuk menjaganya, lalu kembali ke ruangan karena mereke ingin mendengarkan kelanjutan percakapan tadi. Sementara itu tiga orang tua yang menjadi tamu agung, menonton dan mendengarkan dengan sikap tenang dan tidak acuh karena mereke merasa diri mereka terlalu tua untuk ikut mencampuri urusan tetek-bengek itu!

Ketika Bun Houw melihat mereka semua memasuki ruangan kembali, dia mendapatkan kesempatan baik dan diam-diam dia menyelinap kembali ke kamarnya. Sudah diambilnya keputusan untuk menyelamatkan dan membebaskan tiga orang Bu-tong-pai itu lebih dulu, kemudian baru dia akan membunuh Ciok Lee Kim dan Bu Sit kalau mungkin dia hendak memaksa seorang di antara mereka mengaku di mana adanya tiga orang teman mereka yang lain. Bergegas Bun Houw memasuki kamarnya untuk membawa buntalannya.

Akan tetapi, selagi dia mengumpulkan pakaiannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa girang dan... dua orang wanita cantik yang genit itu, Ai-kwi dan Ai-kiauw, memasuki kamarnya dan langsung memalang daun pintu sambil tertawa-tawa. Kemudian kedua orang wanita itu menubruk dan menggeluti Bun Houw!

“Hayo... cepat... selagi kita mempunyai sedikit waktu sebelum mereka memanggil kami...!” Ai-kwi berkata dengan napas memburu karena didesak nafsu.

“Benar, adik yang manis... mari kau layani kami sebentar...!” Ai-kiauw juga berkata sembil berebut dengan sucinya untuk menciumi wajah yang tampan itu.

“Plak! Plak!” kedua tangan Bun Houw menampar dengan tepat mengenai hidung kedua orang wanita itu. Karena pemuda ini mengerahkan tenaga, maka seketika tulang hidung yang mancung itu menjadi hancur dan berdarah! Tulang ujung hidung mcrupakan tulang muda, maka ditampar seperti itu tentu saja menjadi remuk dan lanyaplah hidung mancung yang merupakan penghias utama wajah cantik mereka. Sebelum mereka yang terkejut dan kesakitan mampu berteriak, Bun Houw sudah menepuk tengkuk mereka dengan kecepatan luar biasa dan mereka jatuh pingsan tanpa mampu mengeluarkan suara sebelumnya. Cepat Bun Houw menotok jalan darah mereka, dan setelah menutupkan kembali pintu kamar itu, dia menyelinap keluar untuk mencari tempat ditahannya tiga orang murid Bu-tong-pai.


Akan tetapi pada saat itu terdengar suara pekik-pekik kesakitan dari arah belakang gedung. Bun Houw terkejut dan cepat dia berlari ke arah suara itu, khawatir kalau-kalau dia terlambat dan tiga orang murid Bu-tong-pai itu disiksa atau dibunuh. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat anak-anak murid atau anak-anak buah Lembah Bunga Merah malang melintang di sekitar kamar tahanan yang telah menjadi kosong! Belasan orang itu berserakan dan luka-luka hebat, ada yang patah tulang, ada yang pecah kepalanya, dan mereka yang terluka berkata, “Tahanan... lari... ditolong setan...!”

Bun Houw melihat bayangan berkelebat di atas, cepat dia meloncat dan masih sempat melihat berkelebataya bayangan orang bertubuh ramping kecil, agaknya seorang di antara dua gadis Bu-tong-pai, akan tetapi gerakannya cepat sekali dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam yang sudah hampir pagi itu. Terpaksa dia turun kembali dan ternyata Ciok Lee Kim dan semua tamunya sudah berkumpul di situ. Dengan suara marah Ciok Lee Kim memeriksa seorang di antara para anak buahnya yang hanya patah tulang lengannya.

“Kami sedang berjaga... lalu entah dari mana datangnya, ada angin menyambar-nyambar, ada bayangan orang berkelebatan, dan tahu-tahu kami semua roboh den tiga orang tawanan itu melarikan diri.” Orang itu bercerita dengan suara hampir menangis, tidak hanya karena kesakitan, akan tetapi juga karena takut kepada majikannya ini.

“Hemm, babi-babi tolol kalian! Bagaimana muka orang itu? Laki-laki atau wanita?”

“Hamba... tidak tahu... gerakannya terlalu cepat... agaknya dia itu bukan manusia, melainkan... setan...”

“Dess!” Tangan Ciok Lee Kim menampar gemas dan orang yang sialan itu kini selain patah tulang lengannya, juga roboh pingsan!

“Ha, inilah kalau menurut pendapat orang luar!” Tiba-tiba Toat-beng-kauw Bu Sit berkata dengan suare mengejek dan melirik ke arah Liok Sun. “Kalau tadi sudah kubunuh mereka, tentu tidak begini jadinya. Kini mereka dapat kembali ke Bu-tong-pai dan sudah dapat dipastikan bahwa kita mempunyai musuh baru, yeitu Bu-tong-pai dan untuk ini kita boleh berterima kasih kepada Kiam-mo Liok Sun!”

Merah wajah Liok Sun mendengar ejekan ini. “Harap Bu-enghiong tidak berkata demikian. Saya tadi hanya mengusulkan agar urusan ini didamaikan saja...”

“Ya, dan kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai akan menjadi perantara. Bukankah begitu? Eh, Kiam-mo Liok Sun, kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai tentu tahu pula siapa dia yang telah membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai itu.”

Ucapan Bu Sit ini membuat semua orang, termasuk Ciok Lee Kim, memandang kepada Si Setan Pedang itu dengan pandang mata penuh pertanyaan dan tuntutan. Liok Sun menjadi terkejut den merah sekali karena pertanyaan orang she Bu itu mengandung ejekan dan juga tuduhan berat seolah-olah dia mengenal orang yang membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai tadi!

“Bu-enghiong, apa artinya kata-katamu ini? Engkau tahu bahwa aku sama sekali tidak mengenal siapa setan itu. Aku hanya mengusulkan agar tiga orang murid Bu-tong-pai itu tidak dibunuh dan aku tadinya mengusulkan pula agar mereka dikembalikan kepada Bu-tong-pai disertai keterangan akan kesalahpahaman yang terjadi sehingga dengan demikian ketua Bu-tong-pai akan mau mengerti duduknya perkara dan menghabiskan permusuhan...”

“Hemm... kalau tidak kaucegah, tentu sudah kami bunuh mereka dan Bu-tong-pai pun tidak akan tahu apa-apa. Sekarang moreka lolos dan semua ini adalah salahmu, orang she Liok!” Bu Sit berseru marah.

“Toat-beng-kauw, kau sungguh terlalu menuduh orang!” Liok Sun membentak dan mencabut pedangnya.

“Ha-ha, sekarang baru kelihatan belangnya! Engkau agaknya bersekongkol dengan orang Bu-tong-pai!” Bu Sit membentak dan melolos cambuk bajanya. Memang orang she Bu ini sudah merasa tidak senang ketika Liok Sun datang bersama Bun Houw, merasa iri hati melihat pergaulan yang akrab antara Setan Pedang itu dengan Ciok Lee Kim, apalagi melihat betapa Liok Sun datang bersama seorang pemuda tampan yang menjadi pengawalnya, pemuda yang dia tahu membuat Ciok Lee Kim dan dua orang muridnya tergila-gila.

Melibat dua orang itu saling serang, Ciok Lee Kim hanya menonton saja, karena ia sendiri merasa penasaran dan juga marah dan menyesal melihat lolosnya tiga orang tawanan tadi. Betapapun juga, cegahan Liok Sun tadilah yang membuat pembunuhan terhadap diri tiga orang tawanan itu tertunda sehingga mereka dapat lolos.

“Trang-cring-cringgg...!” berkali-kali pedang di tangan Kiam-mo Liok Sun bertemu dengan joan-pian di tangan Bu Sit. Pertandingan itu seru dan ramai sekali, akan tetapi segera terbukti bahwa kepandaian Bu Sit jauh lebih tinggi karena pedang di tangan Liok Sun mulai terdesak hebat dan sinarnya menjadi makin menyempit.

“Trangg... cring... srattt...!” Saking hebatnya tangkisan cambuk baja itu pedang Liok Sun membalik dan hampir saja mengenai lehernya sendiri. Pada saat itu, terdengar ledakan cambuk disusul suara tertawa dari Toat-beng-kauw Bu Sit yang bergerak cepat sekali, tahu-tahu ujung cambuknya sudah melecut ke arah ubun-ubun Liok Sun. Kalau ujung cambuk baja itu mengenai ubun-ubun kepala, tentu akan berlubang. Liok Sun terkejut, menggerakkan pedangnya menangkis. Ubun-ubunya selamat, akan tetapi pundaknya masih saja terkena ujung cambuk sehingga terluka parah dan mengeluarkan darah. Liok Sun terhuyung-huyung dan dengan suara meledak cambuk itu terus mengejarnya, mengancam bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya.


Tar-tar-terrr...!”

Tiba-tiba ujung cambuk itu terhenti di tengah udara. Bu Sit terkejut dan memutar tubuhnya. Dia melihat betapa ujung cambuknya yang tertahan itu kiranya dijepit oleh dua jari tangan Bun Houw yang telah berdiri di belakangnya! Liok Sun terhuyung dengan tubub penuh luka-luka lecutan cambuk dan pedangnya sudah terleimpar entah ke mana. Kini dia memegangi pundaknya dan berdiri dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran melihat pengawalnya yang begitu berani menahan ujung cambuk Bu Sit yang amat lihai itu.

Ketika melihat bahwa yang menahan cambuknya adalah pemuda pengawal yang menimbulkan iri hati dan dibencinya itu, Bu Sit menjadi marah bukan main. Dengan mata mendelik dia memaki, “Keparat busuk, engkaupun sudah bosan hidup!” Dia mengerahkan sin-kangnya untuk menarik kembali joan-pian itu, akan tetapi betapapun dia mengerahkan tenaga, ujung pecut baja itu tetap saja tidak terlepas dari tangan Bun Houw. Tentu saja Bu Sit menjadi kaget, penasaran dan marah sekali. Dia memperkuat tenaganya, menarik sampai perutnya mengeluarkan suara melalui kerongkongannya, “Hekk!” dan... tiba-tiba ujung pecut itu dilepaskan Bun Houw.

“Wirrrr...!” Ujung pecut menyambar ganas, dengan kecepatan luar biasa karena tenaga Bu Sit sendiri yang membalik dan dengan hebatnya menyerang ke arah kepalanya!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Bu Sit melihat ini dan matanya terbelalak, mukanya pucat sekali karena dia maklum akan datangnya bahaya maut di depan mata! Dia hanya bisa miringkan kepalanya untux menghindarkan diri.

“Ciuuuttt... tess...!”

“Auuuhhh... aduhhhh... aduhhhh... wah, keparat kau...!” Bu Sit tentu saja berjingkrak kesakitan sambil memegangi bagian kepala di mana tadi telinga kirinya berada dan kini bagian itu tidak ada lagi daun telinga yang sudah hancur oleh sambaran ujung cambuknya sendiri.

Semua orang menjadi kaget bukan main, terutama sekali Ciok Lee Kim den Bu Sit sendiri. Mereka berdua sudah tahu betapa hebat kepandaian Bu Sit, akan tetapi dalam segebrakan saja, sebelum pemuda itu menggerakkan kaki tangan, Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa) telah kehilangan daun telinga kirinya!

“Lihat... lihat... jahanam she Liok itu ternyata menyelundupkan mata-mata ke sini...!” Bu Sit membentak dan dia sudah menerjang kepada Bun Houw dengan kemarahan meluap-luap. Cambuk bajanya meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke arah Bun Houw dengan dahsyatnya, akan tetapi dengan tenang sekali pemuda itu dapat menghindar ke sana ke mari.

Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan aneh, setengah tangis setengah maki-makian marah, dan tampaklah Ai-kwi dan Ai-kiauw berlari terhuyung ke tempat itu, tangan kiri menutupi hidung yang sudah remuk dan berdarah, tangan kanan manuding-nuding ke arah Bun Houw yang masih berkelebatan diserang joan-pian di tangan Bu Sit itu.

Melihat keadaan dua orang muridnya, Ciok Lee Kim terkejut dan hanya dengan susah payah dua orang wanita yang suaranya menjadi bindeng dan tidak karuan itu menceritakan bahwa muka mereka dibikin cacat dan buruk oleh Bun Houw. Ciok Lee Kim makin kaget dan cepat dia lalu menerjang dan membantu sutenya menyerang pemuda yang ternyata amat lihai itu.

Girang hati Bun Houw. “Majulah, memang aku hendak membunuh kalian!” katanya sambil menangkis sambaran ujung saputangan merah yang meluncur ke arah lehernya itu dengan sentilan jari tangannya.

“Prattt...! Aihhh...!” Ciok Lee Kim menjerit karena sentilan jari tangan yang mengenai ujung saputangannya itu membuat saputangannya terpental dan jari-jari tangannya sendiri tergetar hebat sekali!

“Ciok Lee Kim dan Bu Sit, kematian sudah di depan mata, hayo, katakan di mana adanya Tiga Bayangan Dewa lainnya dan di mana pula kalian sembunyikan Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai!” Bun Houw berseru dan tubuhnya bergerak cepat sekali. Dua orang lawannya menjadi silau oleh gerakan ini, mereka berdua berusaha memutar senjata untuk melindungi tubuh mereka, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan dari kedua lengan pemuda itu membuat mereka terhuyung-huyung. Tentu saja mereka terkejut sekali oleh kehebatan tenaga sin-kang ini, namun mereka lebih kaget mendengar pertanyaan pemuda itu.

“Keparat! Siapa engkau?” Ciok Lee Kim berseru dan kedua saputangannya berobah menjadi dua gulungan sinar merah di depan dan atas tubuhnya.

“Aku adalah Dewa Akhirat yang bertugas mencabut nyawa Lima Bayangan Dewa!” Bun Houw berkata sambil meloncat ke depan. Ciok Lee Kim terkejut sekali, dua gulungan sinar merahnya menyambut dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang maklum akan kelihaian pemuda itu membantu sucinya, menubruk dengan lecutan cambuk bajanya.

“Tar-tarrr... suiiiittt...!” Sebatang cambuk baja dan dua helai saputangah merah itu menyambut Bun Houw, akan tetapi dengan kelincahan luar biasa Bun Houw bergerak di antara gulungan sinar senjata lawan sambil menggerakkan kaki tangannya.

“Dess...! Plakkk...!” Dan tubuh Ciok Lee Kim bersama sutenya terlempar dan terbanting ke kanan kiri!

“Singgg...!” Sinar hitam menymbar ganas dan Bun Houw terkejut karena maklum bahwa senjata yang menyambarnya adalah sebatang pedang hitam yang digerakkan cepat sekali dan mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan tenaga dua orang Bayangan Dewa ini. Cepat dia menarik tubuh atas ke belakang lalu memutar dan kakinya melayang ke arah penyerangnya. Namun Hek I Siankouw nenek tua yang pakaiannya serba hitam itu dapat meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya sehingga tendangan maut dari Bun Houw mengenai tempat kosong pula.




Wuuuttt-wut-wutttt...!”

Bun Houw lebih terkejut lagi karena sambaran sinar kemerahan dari samping kiri yang secara bertubi-tubi menyerang ke arah tiga belas jalan darah utama di tubuhnya dengan kecepatan dan tenaga dahsyat ini bahkah lebih lihai lagi daripada serangan pedang hitam si nenek tadi. Untuk menyelamatkan diri, tubuhnya dilemparkan ke belakang dan dia membuat salto sampai lima kali baru terhindar. Ketika dia turun dan memandang, ternyata bahwa yang menyerangnya adalah Hwa Hwa Cinjin, tosu tinggi kurus yang tak banyak cakap itu, menggunakan sebatang hudtim (kebutan dewa) di tangannya.

“Hemm, lumayan juga kepandaianmu, bocah lancang!” Hwa Hwa Cinjin mengangguk-angguk memuji. Serangan hudtimnya tadi dilakukan dengan cepat dan sungguh-sungguh dan agaknya tidak banyak lawan di dunia kang-ouw yang akan mampu menghindarkan diri, akan tetapi pemuda ini dengan lemparan tubuh ke belakang dan berjungkir balik lima kali itu ternyata sekaligus telah dapat menyelamatkan diri. Hal ini selain membuatnya kagum, juga penasaran dan dia lalu menerjang maju didahului gulungan sinar hudtimnya yang lebar dan mendatangkan angin kencang. Juga Hek I Sinkouw yang merasa penasaran telah menggerakkan pedangnya dengan hebat.

Bun Houw maklum bahwa tamu-tamu agung dari Ciok Lee Kim itu adalah orang-orang yang pandai dan agaknya kini membantu musuh besarnya, maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya, menghindarkan diri dengan cepat sambil mengerahkan gin-kangnya yang luar biasa. Dua orang kakek dan nenek itu terkesiap juga menyaksikan gerakan pemuda itu amat cepatnya, lebih cepat daripada gerakan mereka berdua! Akan tetapi betapapun cepatnya gerakan Bun Houw, dihujani serangan pedang dan hudtim dari dua orang tokoh besar yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi itu, dia masih saja harus menghadapi sambaran hudtim ke lehernya yang tidak dapat dielakkannya lagi.

“Plakkk...! Siancai...!” Tosu tua itu terkejut setengah mati melihat betapa hudtimnya kena ditangkis dengan tangan oleh pemuda itu dan terpental! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini. Hudtimnya itu bukanlah sembarangan hudtim, didapatkarmya di utara di dekat kutub dan bulu-bulu hudtim itu terbuat dari bulu monyet salju raksasa yang amat kuat, bulu-bulu itu dapat menyalurkan sin-kangnya secara langsung dan kalau dia gerakkan dengan sin-kangnya yang amat kuat, jangakan senjata biasa, bahkan senjata pusaka lawan akan dapat rusak beradu dengan bulu-bulu hudtimnya. Akan tetapi pemuda ini berani menangkis dengan tangan kosong, bahkan telah membuat hudtimnya terpental! Ini berarti bahwa tangan kosong pemuda ini lebih kuat daripada senjata pusaka!

Tentu saja tosu ini tidak tahu bahwa Bun Houw adalah murid terkasih Kok Beng Lama dan bahkan gemblengan dari ayahnya sendiri yang sakti. Pemuda ini sudah memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang dari Kok Beng Lama, dan tenaga sin-kang ini membuat kedua tangannya sedemikian kebalnya sehingga berani dipergunakan untuk menangkis senjata pusaka lawan yang bagaimana kuatpun.

Bun Houw maklum bahwa sebelum dia mengalahkan kakek dan nenek ini, sukarlah baginya untuk dapat memaksa pengakuan dari dua orang musuhnya sobelum dia membunuh mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan Liok Sun, teriakan mengerikan dan ketika Bun Houw menoleh, dia melihat Bu Sit menggunakan cambuk bajanya untuk menyerang Liok Sun. Majikan rumah judi itu terguling roboh dan sekali lagi cambuk baja mengenai kepalanya.

“Keparat...!” Bun Houw meloncat dan dengan tendangan kaki dari udara dia membuat Bu Sit yang menangkis dengan cambuknya tetap saja terguling. Bun Houw lalu berlutut di dekat Liok Sun. Orang ini ternyata terluka perah di kepalanya dan sekali pandang saja maklumlah Bun Houw bahwa Liok Sun tak dapat tertolong lagi.

“Bun-hiante... tolong... kaudidik... anak... ku...!” Maka habislah napas orang she Liok itu.

“Siuuuutttt...! Plak! Plakk!” Bun Houw yang masih berlutut itu menggunakan tangan kirinya dua kali menangkis sambaran kebutan Hwa Hwa Cinjin dan kini dia meloncat bardiri, dikepung oleh Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw Ciok Lee Kim, Bu Sit, dan dua orang murid perempuan Ciok Lee Kim yang memegang pedang di tangan kanan dan manutup hidung dengan tangan kiri itu.

Bun Houw memandang mereka semua dengan sinar mata tajam, kemudian dia berkata, yang ditujukan kepada Hwa Hwa Cinjin den Hek I Siankouw “Aku tidak berurusan dengan orang lain kecuali dengan dua orang Bayangan Dewa ini. Harap yang lain mundur agar jangan ikut menjadi korban.”

“Keparat, hayo mengaku, siapa kau sebenarnya? Engkau jelas bukan pengawal biasa dari Liok Sun!” Bu Sit membentak.

Bun Houw tersenyum. “Aku memang hanya menyamar sebagai pengawalnya dan sudah kukatakan bahwa aku adalah Dewa Akhirat yang bertuges membasmi Lima Bayangan Dewa.”

“Jahanam!” Bu Sit memaki dan cambuk bajanya mcledak-ledak. Seperti berebut saling mendahului dengan Ciok Lee Kim, dia sudah menerjang maju dari depan, dibarengi oleh sambaran dua saputangan merah Ciok Lee Kim dari kanan. Adapun Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang maklum bahwa dua orang Bayangon Dewa itu tidak akan mampu menandingi pemuda yang lihai itu juga mengerakkan senjata masing-masing mengepung dan mengeroyok. Ai-kwi dan Ai-kiauw yang kini menjadi besar hati karena gurunya dan orang-orang pandai itu mengepung, dengan kemarahan meluap juga sudah menyerang dengan pedang mereka. Hanya Bouw Thaisu seorang yang masih berdiri tenang dan tidak ikut mengeroyok, karena kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini masih merasa canggung dan tidak enak kalau dia sebagai seorang cabang atas tingkat tinggi ikut-ikut mengeroyok seorang lawan begitu muda, sungguhpun pandang matanya yang tajam sudah mengenal bahwa pemuda itu memang lihai luar biasa.


Dikeroyok enam orang, empat di antaranya merupakan tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, Bun Houw memperlihatkan ketangkasannya. Berkali-kali Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw berseru kaget karena serangan-serangan maut mereka yang sukar dihindarkan lawan tangguh, tidak berhasil merobohkan pemuda ini! Diam-diam mereka terkejut dan terheran, menduga-duga siapa adanya pemuda tidak terkenal yang memiliki kepandaian begini hebat sehingga dikeroyok oleh mereka berempat, ditambah oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw, masih dapat menyambut mereka dengan serangan balasan yang amat berbahaya, biarpun hanya dilakukan dengan tangan kosong belaka.

Ai-kwi yang kini menjadi benci sekali kepada Bun Houw karena batang hidungnya remuk dan wajahnya yang tadinya cantik kini tentu berobah menakutkan dan menjijikkan, mengeluarkan pekik dahsyat dan menggunakan kesempatan selagi senjata empat orang sakti itu berkelebat menyambar-nyambar mengurung Bun Houw, dia menubruk dengan pedangya, secara nekat dia menyerang dan menusukkan pedang itu ke arah pusar pemuda yang belum lama tadi diciuminya dan dirayunya penuh gairah nafsu berahi!

Melihat serangan nekat ini, Bun Houw miringkan tubuh, menyambar pedang itu dengan tangannya dan pada saat itu cambuk baja Bu Sit dan pedang hitam Hek I Siankouw menyambar dari atas dan bawah. Cepat dia mengerahkan tenaga, mendorong pedang Ai-kwi yang dipegangnya tadi.

“Wuuuttt... crapp... aihhhhhhh...!” Pedang itu membalik dan bagaikan digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, pedang yang membalik ini menusuk perut pemiliknya sendiri. Pedang itu amblas ke perut Ai-kwi sampai tembus di punggungnya dan robohlah Ai-kwi setelah mengeluarkan jerit mengerikan.

Melihat ini, Ai-kiauw menjerit dan tiba-tiba saja dia melemparkan pedangnya dan menubruk tubuh Bun Houw, merangkul
pinggang dan menggigit ke arah lambung pemuda itu! Bun Houw terkejut, tidak mengira bahwa wanita ini melakukan serangan liar seperti itu. Dia menggoyang tubuhnya, akan tetapi kedua lengan dan kaki Ai-kiauw sudah membelit tubuhnya dan gigi wanita itu menggigit kulit lambungnya! Bun Houw bergidik karena merasa jijik, seolah-olah tubuhnya diserang seekor lintah besar. Siku kirinya bergerak ke belakang, ke arah kepala wanita itu yang menempel di lambung kirinya.

“Krakkk!” Pecahlah kepala itu dan Ai-kiauw mati seketika, akan tetapi sungguh mengerikan, wanita itu masih saja mencengkeram dan menggigitnya!

Bun Houw menggunakan kedua tangannya memaksa tubuh Ai-kiauw yang kaku itu untuk melepaskan kaki tangan dan gigitannya dari dirinya, lalu melemparkan mayat wanita itu. Akan tetapi penyerangan Ai-kiauw yang membabi-buta tadi mendatangkan peluang banyak sekali bagi empat orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi. Seperti hujan datangnya, pedang Hek I Siankouw, cambuk Bu Sit, saputangan merah Ciok Lee Kim dan kebutan di tangan Hwa Hwa Cinjin menyambar dahsyat. Dalam sibuknya menghadapi kenekatan Ai-kiauw tadi, Bun Houw tentu saja kurang leluasa mengelak, maka dia hanya menangkisi dengan kedua lengannya sambil mengerahkan Thian-te Sin-ciang sehingga senjata-senjata lawan itu terpental. Akan tetapi dengan tepat sekali ujung cambuk baja Bu Sit menotok jalan darah di pundaknya, pada saat dia baru saja berhasil melempatkan mayat Ai-kiauw dari tubuhnya.

“Tarr...!” Seketika tubuh Bun Houw kesemutan dan dia terhuyung dan jatuh. Akan tetapi begitu tubuhnya meyentuh tanah, dengan pengerahan sin-kangnya dia dapat memulihkan jalan darahnya dan meloncat bangun lagi. Celakanya, baru saja meloncat, pedang Hek I Siankouw yang ganas menyambarnya. Bun Houw yang baru saja terbebas dari totokan hebat tadi, masih merasa kesemutan pundaknya dan dia berhasil menangkis pedang itu dengan tamparan tangan kanannya. Akan tetapi pada saat itu, sepasang saputangan merah menyambar, yang kiri menotok jalan darah di tengkuknya, yang kanan menotok jalan darah di punggungnya, sedangkan kebutan di tangan Hwa Hwe Cinjin juga cepat sekali menotok pundak kanannya.

Sekaligus menerima totokan-totokan maut di jalan darahnya sebanyak tiga tempat, seketika tubuh Bun Houw menjadi lemas dan dia terguling roboh. Akan tetaoi, pemuda ini memang hebat bukan main. Begitu dia roboh, dia menggunakan kedua tangannya mendorong tanah dan tubuhnya mencelat tinggi ke atas, di udara dia menggoyang tubuh mengerahkan sin-kangnya sehingga bobollah semua totokan itu, jalan darahnya mengalir kembali sungguhpun dia masih tergetar hebat. Akan tetapi, pada saat dia mampu memulihkan jalan darahnya dari tiga totokan itu, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat, dan ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepalanya. Inilah serangan dengan tenaga sin-kang yang amat berbahaya. Bun Houw yang masih tergetar itu cepat mengelak akan tetapi tiba?tiba lututnya kena ditendang oleh Bouw Thaisu yang baru sekarang turun tangan. Bun Houw terguling dan ujung baju Bouw Thaisu menyambar, menotoknya bertubi-tubi di tujuh jalan darahnya sehingga sekali ini Bun Houw tidak mampu berkutik lagi!

Bu Sit dan Ciok Lee Kim yang amat membenci pemuda yang sudah membunuh Ai-kwi dan Ai-kiauw, dengan kemarahan meluap menggerakkan cambuk dan saputangun menyerang tubuh Bun Houw yang sudah tidak mampu bergerak dan menggeletak di atas lantai itu.

“Wuuuuttt... tarr...!” Senjata-senjata itu menyambar ganas dan Bun Houw hanya membelalakkan mata, menanti maut.

“Plak! Plakk!” Bu Sit dan Ciok Lee Kim terkejut sekali dan menarik senjata mereka, lalu memandang kepada Bouw Thaisu yang menangkis senjata mereka dengan ujung lengan baju.

“Thaisu, mengapa menghalangi kami?” Ciok Lee Kim bertanya, alisnya berkerut. Dia tahu bahwa kakek sakti ini boleh dipercaya, karena kakek ini adalah seorang sahabat Thian Hwa Cinjin yang dahulu menjadi ketua Pek-lian-kauw wilayah timur dan tewas oleh keluarga Cin-ling-pai (baca Petualang Asmara), maka Bouw Thaisu yang ingin menuntut balas atas kematian sahabatnya itupun merupakan musuh Cin-ling-pai den bersekutu dengan Lima Bayangan Dewa untuk menghadapi keluarga Cia Keng Hong yang sakti itu. Akan tetapi mengapa kakek ini sekarang mencegah dia membunuh pemuda yang jelas memusuhi Lima Bayangen Dewa?


Bouw Thaisu menghela papas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. “Selama hidupku, baru sekali ini aku bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki kepandaian sehebat ini! Orang seperti ini tidak boleh kita samakan dengan musuh-musuh biasa, dia tentu memiliki latar belakang yang menarik. Karena itu, Ciok-toanio, amat bodoh kalau membunuhnya begitu saja tanpa mengetahui dengan betul siapakah dia ini sebenarnya, dan apa pula sebabnya dia memusuhi engkau den Lima Bayangan Dewa. Apakah dia mempunyai hubungan dengan Cin-ling-pai? Dan apa hubungan pemuda yang kepandaiannya luar biasa hebatnya ini dengan Cia Keng Hong?”

Hwa Hwa Cinjin menarik napas panjang. “Ucapan Thaisu sungguh tepat, Ciok-toanio. Pemuda ini tentu orang penting dan terus terang saja, pinto (aku) sendiri harus mengakui bahwa belum pernah pinto bertemu tending semuda ini dengan kepandaian sehebat yang dimilikinya.”

Ciok Lee Kim mengangguk, dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengambil tali yang kuat dan membelenggu kaki tangan Bun Houw.

“Dia memiliki kekebalan yang melebihi Ilmu Kim-ciong-ko, semacam ilmu kekebalan yang hebat. Bayangkan saja, tangannya mampu menyambut pedangku!” Hek I Siankauw berkata. “Oleh karena itu, apa artinya tali ini, Ciok-toanio? Kalau dia sudah bebas dari totokan, biar dirangkap sepuluh tali ini akan putus olehnya. Tenaganya melebihi kekuatan seekor gajah. Jalan satu-satunya untuk mencegah dia lolos hanya dengan mengait tulang-tulang pundaknya!”

Toat-beng-kauw Bu Sit menjadi girang sekali dan dia cepat minta kepada anak buah Lembah Bunga Merah untuk mengambilkan dua batang kaitan baja dan dengan wajah beringas dia menghampiri Bun Houw. Pemudar ini maklum bahwa dia tidak akan terlepas dari ancaman siksaan atau bahkan maut di tangan musuh-musuhnya ini, akan tetapi dia adalah seorang pomuda berjiwa gagah perkasa yang sejak kecil telah digembleng oleh orang tuanya maka sedikitpun dia tidak merasa jerih.

Sambil mengeluarken bentakan, Bu Sit yang kehilangan sebelah daun telinganya dan merasa malu dan marah sekali kepada pemuda itu, lalu menusukkan kaitan-kaitan itu di pundak Bun Houw. Tentu saja hal ini mendatangkan rasa kenyerian yang amat hebat. Bun Houw memejamkan matanya dan mematikan rasa, akan tetapi karena besi-besi kaitan itu menembus kulit daging dan mengait tulang kunci pundaknya, dia tidak dapat bertahan lagi, mengeluh panjang dan pingsan!

Setelah dia siuman kemball, Bun Houw mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang kokoh kuat. Dia rebah di atas pembaringan batu, kedua tangannya terbelenggu dan kaitan yang mengait kedua tulang pundaknya itu disambung rantai panjang dan diikatkan pada dinding sehingga andaikata dia dapat menggunaken tenaga sin-kang untuk mematahkan belenggu, tentu geraken ini akan membuat tulang-tulang pundaknya tertarik patah! Dengan tulang pundak terkait baja-baja kaitan itu, dia benar-benar tidak berdaya dan biar dia memiliki kekuatan sepuluh kali lipatpun tidak mungkin dia dapat membebaskin diri tanpa mematahkan kedua tulang pundaknya dan kalau hal ini terjadi berarti kedua lengannya menjadi lumpuh.

Perasaan nyeri yang mengentak-entak dan berdenyut-denyut sampai ke ujung ubun-ubun kepalanya, membuat dia memejamkan matanya kembali. Lalu dia teringat akan ilmu yang dia pelajari dari Kok Beng Lama, yaitu ilmu untuk mematikan rasa. Setiap orang pendeta yang suka bertapa dan melakukan upacara menyiksa diri seperti para pendeta Lama tentu mahir akan ilmu ini. Dengan ilmu mati rasa ini mereka mampu melakukan segala macam bentuk penyiksaan diri dan puasa tanpa terlalu sangat menderita. Bun Houw memejamkan matanya dan “menutup” saluran pikiran dengan perasaan tubuh melalui urat syaraf. Tak lama kemudian dia sudah membuka matanya dan dia seperti dalam keadaan “lupa” bahwa tubuhnya tersiksa dan rasa nyeri yang hebat itu tidak lagi terlalu mengganggunya. Dia mulai memeriksa keadaan sekelilingnya dengan pandang mata penuh selidik.

Kamar itu amat kuat, tidak berjendela, hanya berpintu sebuah yang terbuat dari besi dan di bagian atasnya berterali. Dari celah-celah terali baja sebesar lengan tangan itu dia melihat kepala banyak orang yang agaknya menjaganya. Sudah dibelenggu, dikait kedua tulang punggungya, dikeram di dalam kamar yang kokoh kuat, masih dijaga ketat lagi. Bagaimana dia akan mampu membebaskan diri? Bahkan pertolongan dari luarpun, kalau ada, merupakan ketidakmungkinan besar. Dari celah-celah terali itu pula Bun Houw dapat menduga bahwa waktu itu masih malam, terbukti dari penerangan lampu yang menyorot dari luar pintu. Dia merasa heran sekali. Ketika dia tertawan, hari sudah hampir pagi, kenapa sekarang masih juga gelap? Dia tidak tahu bahwa dia telah pingsan selama satu hari penuh dan sekarang memang telah malam lagi.

Pintu besi terbuka dan muncullah Ciok Lee Kim dan Bu Sit dan pintu segera ditutup kembali. Bun Houw memandang dengan mata terbelalak penuh tantangan. “Kalian manusia-manusia tak tahu malu, pengecut besar!” Dia memaki.

“Wah, dia sudah siuman sekarang, suci. Lekas suci yang menanyai dia, kalau dia berkeras kepala tidak terus terang, aku yang akan menyiksanya sampai dia mengaku!” Bu Sit menghampiri pembaringan batu dengan wajah beringas penuh kekejaman siap dengan sebatang jarum panjang hitam. Sekali pandang saja maklumlah Bun Houw bahwa yang dipegang Monyet Pencabut Nyawa yang kini buntung daun telinganya itu tentu sebatang jarum yang mengandung racun hebat. Si muka monyet itupun memegangnya dengan menggunaken saputangan untuk melindungi jari-jarinya yang menjepit ujung gagang jarum.

“Orang she Bun,” Ciok Lee Kim kini menghampiri dan memandang Bun Houw tidak lagi dengan pandang mata penuh gairah berahi seperti kemarin malam, melainkan dengan pandang mata penuh ancaman. “Sudah satu hari kami menunggu dan baru sekarang kau siuman. Kau tahu bahwa kau tidak mungkin dapat meloloskan dirl lagi.”


Tidak perlu banyak cerewet, aku sudah tertangkap karena kalian orang-orang pengecut menggunakan pengeroyokan. Sekarang mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mati?” Bun Houw mengejek.

“Hi-hi-hik, justeru itulah yang tidak kami kehendaki. Terlalu enak kalau kau mati begitu saja. Kaulihat apa yang dipegang oleh Bu-sute itu? Bukan jarum sembarang jarum. Jarum ini sudah direndam dengan racun kelabang hitam yang amat jahat. Kalau jalan darah tertentu di tubuhmu tertusuk jarum ini, engkau akan merasakan siksaan yang belum tentu terdapat di neraka sekalipun. Engkau akan menderita kenyerian hebat dan engkau tidak akan segera mati, melainkan akan hidup selama tiga hari tiga malam terus-menerus menderita siksaan itu. Rasa gatal-gatal seperti ribuan ekor semut menggigiti daging dan tulangmu di sebelah dalam.”

“Banyak mulut, gertak sambal!” Bun Houw membentak.

“Aku sebenarnya kasihan kepadamu. Engkau masih muda, tampan dan gagah. Ada jalan yang lebih baik bagimu, yaitu mati seketika atau mungkin bahkan... kebebasan. Untuk memperoleh itu, engkau hanya mengaku siapa sebetulnya kau ini, apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai, apakah hubunganmu dengan Cia Keng Hong?”

Bun Houw membuang muka dan tidak mau menjawab. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya mengaku bahwa dia putera ketua Cin-ling-pai, karena pengakuan ini hanya akan mendatangkan kegirangan dan rasa kemenangan bagi dua Bayangan Dewa itu. Baik mengaku atau tidak, dia tentu akan dibunuh, maka tidak ada perlunya membuat pengakuan yang akan memuaskan hati musuh-musuh ini. Pula, hal ini tentu akan menjadi bahan hinaan dan ejekan terhadap nama orang tuanya. Tidak, biar dia disiksa atau dibunuh, dia tidak akan membiarkan mereka ini menikmati kemenangan mereka atas nama orang tuanya.

“Bun Houw, kau tetap tidak mau mengaku?”

“Bunuh aku, atau pergilah! Kalian menjijikkan hatiku!” Bun Houw membentak.

Wajah dua orang Bayangan Dewa itu menjadi merah padam.

“Manusia kepala batu dan sombong!” Ciok Lee Kim berseru. “Sudah tak mampu bergerak, masih bermulut lebar.”

“Suci, biar kusiksa dia, dan kita lihat apakah dia masih belum juga mau mengaku.” Bu Sit berkata. Ciok Lee Kim mengangguk dan melangkah mundur.

Dengan wajahnya yang seperti monyet itu menyeringai kejam dan buas, Bu Sit menghampiri Bun Houw. Bu Sit merasa sakit hati sekali kepada pemuda yang membuat daun telinganya buntung itu. Dia mendekatkan mukanya dan dengan mata bersinar-sinar penuh kebencian dia menghardik, “Kau membuntungi telingaku, akan tetapi aku akan menyiksamu sampai engkau terkuik-kuik seperti anjing, sampai kau minta-minta ampun di depanku, keparat!”

Bun Houw tidak menjawab melainkan tiba-tiba meludahi muka Monyet Pencabut Nyawa itu. Bu Sit mengelak dengan miringkan kepalanya, dan tentu saja dia menjadi semakin marah. Jarum di tangannya didekatkan tengkuk Bun Houw. Pemuda ini siap menerima datangnya maut, karena dia tidak mampu bergerak lagi.

“Creppp...!” Jarum itu menusuk tengkuk Bun Houw. Pemuda ini menggigit bibirnya ketika merasa tengkuknya ditusuk, tidak berapa nyeri rasanya. Jarum dicabut dan dua kali lagi Bun Houw ditusuk dengan jarum itu di kanan kiri atas pundaknya. Sambil terkekeh Bu Sit melangkah mundur dan memandang puas, membungkus jarum panjang hitam itu dengan saputangan dan mengantonginya.

Bun Houw mula-mula hanya merasa nyeri tusukan biasa saja, akan tetapi tidak lama kemudian mulailah dia merasakan betapa tengkuk dan kedua pundaknya berdenyut-denyut, disusul perasaan seperti kesemutan dan segera datang serangan yang membuat sekujur tubuhnya terasa seperti dibakar dari dalam! Dia berusaha mengerahkan sin-kangnya untuk melawan akan tetapi rasa panas itu makin lama makin menghebat. Mukanya menjadi merah, matanya melotot dan seluruh tubuhnya mengeluarkan uap tipis. Namun tidak ada sepatahpun kata keluhan keluar dari mulutnya. Dia malah memejamkan mata dan alisnya berkerut-kerut, keringatnya jatuh menetes-netes.

“Hi-hi-hik, kau masih bersikeras? Hayo kau mengaku dan aku akan memberi obat penawar kepadamu sebelum terlambat!” Ciok Lee Kim berkata sedangkan Bu Sit masih tertawa puas.

“Persetan dengan kalian!” Bun Houw membentak.

Akan tetapi segera dia dilanda rasa nyeri yang amat hebat. Kini rasa panas itu berubah dengan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya menggigil! Dia menjadi kaget karena maklum bahwa racun itu sedemikian hebatnya, sehingga mempengaruhi hawa murni di tubuhnya, membangkitkan hawa panas lalu hawa dingin yang terkumpul di tubuhnya berkat latihan di Tibet. Bisa rusak penguasaannya atas tenaga saktinya sendiri! Betapapun juga, dia tahu bahwa segala siksaan badaniah ada batasnya dan kalau sudah melampaui batas itu, dia akan mati. Paling hebat cuma mati, perlu apa dia takut menghadapinya. Lebih baik mati namun tetap dapat memukul musuh dengan mengecewakan hati mereke daripada mendengar penghinaan terhadap orang tuanya, dan andaikata dia mengaku, sama sekali tidak mungkin dia aken selamat, bahkan hal itu menjadi alasan yang kuat lagi bagi dua Bayangan Dewa untuk menyiksanya lebih hebat dan membunuhnya.

Setelah rasa dingin yang membuat tubuhnya menggigil dan giginya saling beradu itu lenyap, mulailah kini rasa gatal-gatal merayapi seluruh tubuhnya dan benar seperti ancaman Ciok Lee Kim tadi, seperti ada ribuan ekor semut merayap di sebelah dalam tubuhnya, atau di bawah kulit dan semut-semut itu menggigitnya. Terhadap serangan hawa panas membakar dan dingin luar biasa tadi, Bun Houw masih mampu bertahan dan tidak ada sedikitpun suara keluhan terdengar keluar dari mulutnya. Akan tetapi rasa gatal-gatal pada seluruh tubuh ini demikian menyiksa, demikian mengganggu urat-urat syarafnya, membuat dia ingin sekali menggaruk-garuk padahal kedua tangannya tidak bebas, sehingga mulailah tubuhnya menggeliat-geliat di luar kekuasaan pertahanannya. Mendengar Ciok Lee Kim dan Bu Sit tertawa-tawa melihat dia menggeliat-geliat itu, Bun Houw menelan kembali keinginannya untuk bersambat. Dia menggigit bibirnya menahan penderitaan itu sampai kulit bibirnya pecah berdarah, dia berhasil menahan sehingga tidak ada keluhan keluar dari mulut akan tetapi dia tidak mampu menahan agar tubuhnya tidak bergerak. Dia tetap menggeliat-geliat dan makin lama “semut-semut” di bawah kulitnya itu makin hebat menggigiti, menimbulkan kegatalan yang tak tertahankan lagi. Keringatnya bercucuran, ingin dia menjerit, hampir dia menangis, hampir dia memaksa diri menggerakkan kedua lengan yang tentu akibatnya akan celaka. Akhirnya Bun Houw terkulai lemas dan pingsan!

Melihat korban mereka pingsan, tentu saja Ciok Lee Kim den Bu Sit kehilangan kegembiraan dan meninggalkannya di dalam tahanan setelah memesan kepada belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah untuk menjaga dengan ketat malam itu secara bergiliran.

Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang dialami oleh Bun Houw. Baru saja meninggalkan perguruan di Tibet, dia sudah menghadapi malapetaka yang menimpa keluarganya di Cin-ling-san, dan sekarang baru saja dia bisa menemukan tempat persembunyian dua di antara Lima Bayangan Dewa, dia sudah tertawan dan menderita penyiksaan hebat, bahkan sekaligus nyawanya terancam maut karena tusukan jarum beracun yang dilakukan oleh Bu Sit itu bukan hanya untuk menyiksanya, melainkan juga untuk membunuhnya. Ucapan Ciok Lee Kim bukanlah gertak belaka, akan tetapi setelah mengalami penusukan jarum beracun itu, tanpa mendapatkan obat penawar dari Ciok Lee Kim sendiri, dia hanya akan hidup selama tiga hari tiga malam saja dan di dunia ini jarang ada orang yang akan mampu menyelamatkannya dari ancaman maut itu.

Sebetulnya, tingkat kepandaian pemuda itu sudah tinggi dan hebat sekali, jarang ada tokoh persilatan yang akan mampu menandinginya. Andaikata semua musuhnya itu maju satu demi satu, tentu dengan mudah saja dia akan mampu mengalahkan mereka. Bahkan Bouw Thaisu yang amat lihai itu belum tentu akan mampu menandinginya. Akan tetapi, pengeroyokan lima orang yang kesemuanya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi itu, pula karena Bun Houw sendiri belum memiliki banyak pengalaman dan fihak musuh menggunakan kecurangan maka akhirnya dia roboh juga dan tertawan. Andaikata tidak ada Ai-kiauw yang nekat merangkul dan menggigitnya, kiranya lima orang datuk kaum sesat itupun tidak akan mudah saja merobohkan pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini.

Menjelang tengah malam, keadaan di Lembah Bunga Merah itu sunyi sekali, sunyi menyeramkan setelah apa yang terjadi malam kemarin. Biarpun pemuda perkasa itu telah tertawan dan kini berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali, namun para penjaga masih melakukan penjagaan dengan ketat mengingat betapa tawanan pertama, yaitu tiga orang murid Bu-tong-pai, telah dapat lolos dari tempat tahanan. Akan tetapi karena pemuda itu masih pingsan dan kini lima orang sakti itu secara bergilir ikut pula meronda, hati para penjaga menjadi tenang.

Ketika Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw sepasang tosu dan tokouw yang sakti itu bergiliran meronda, mereka menuju ke kamar tahanan, menjenguk ke dalam dan melihat Bun Houw masih pingsan dalam keadaan terbelenggu dan terkait tulang pundaknya, maka mereka mengangguk dan berpesan kepada para penjaga agar jangan tertidur, kemudian mereka meninggalkan kamar tahanan untuk meronda di sekitar lembah.

Akan tetapi tak lama kemudian, sesosok bayangan yang berkelebatan seperti bayangan iblis sendiri, mendekati tempat tahanan itu, kemudian dengan gerakan yang sukar dlikuti pandang mata para penjaga, bayangan ini berkelebatan dan terdengar keluhan-keluhan lemah disusul robohnya para penjaga!

Melihat betapa teman-temannya roboh dan kelihatan bayangan seperti iblis barkelebatan menyilaukan mata, seorang di antara para penjaga menjodi terkejut sekali dan ketakutan. Dia berteriak keras, “Toloooonggg!” akan tetapi segera roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika. Hanya dia seorang yang sempat bertertak, karena tiga belas orang yang lainnya sudah roboh sebelum mereka sempat mengeluarkan suara. Mereka tadi terlalu heran dan kaget, bahkan sebagian besar masih belum mengerti apa yang berkelebatan itu, tahu-tahu mereka sudah ditampar dan dipukul. Setiap tamparan atau pukulan membuat mereka roboh, ada yang pingsan, ada pula yang tewas seketika.

Bayangan yang bergerak cepat seperti setan itu kini sudah menghampiri Bun Houw, dengan hati-hati sekali dia menggerakkan pedang, mematahkan rantai yang membelenggu kaki dan yang dihubungkan dengan kaitan-kaitan di pundak. Dia bergidik melihat baja-baja kaitan yang mengait kedua pundak Bun Houw, tidak berani melepaskan kaitan di situ karena dia maklum bahwa teriakan penjaga tadi tentu akan mendatangkan para tokoh Lembah Bunga Merah, maka setelah mamatahkan belenggu, dia mengangkat tubuh Bun Houw, dipondongnya dan dengan gerakan cepat sekali, bayangan itu lalu melompat keluar. Tubuh Bun Houw dipanggul di atas pundak kiri dan tangan kanannya mencabut dan memegang pedangnya, dengan gerakan luar biasa cepatnya sekali melompat dia telah keluar
dari tempat tahanan itu.

Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang sedang meronda dan belum terlalu jauh dari tempat tahanan, mendengar teriakan minta tolong tadi. Cepat mereka berdue lari kembali ke tempat tahanan. Akan tetapi di luar tempat itu, mereka melihat sesosok bayangan mamanggul sesuatu bergerak cepat di antera pohon-pohon.

“Heiii, siapa di situ?” teriak Hwa Hwa Cinjin.

“Berhenti...!” Hek I Siankouw juga membentak.

Melihat bayangan itu tidak menghirauken bentakan mereka, Hek I Slinkouw sudah menubruk ke depan, menyerang dengan pedang hitamnya yang sudah dicabutnya dengan cepat sekali. Gerakannya ini disusul oleh sambaran hudtim di tangan Hwa Hwa Cinjin. Kakek dan nenek ini merasa yakin bahwa serangan mereka yang dilakukan secara hampir berbareng, dengan cepat dan dahsyat itu tentu cukup untuk merobohkan bayangan yang mencurigakan ini.

“Tringgg... cringggg...!”

Dua orang kakek dan nenek itu terkejut bukan main ketika mereka berdua merasa tangan mereka panas oleh tangkisan pedang di tangan bayangan hitam yang dapat menggerakkan pedangnya sedemikian rupa sehingga sekaligus pedang itu dapat dikelebatkan kedua jurusan dan menangkis kebutan dan pedang hitam dengan kekuatan dahsyat sehingga tangan mereka menjadi tergetar dan terasa panas! Akan tetapi, bayangan hitam yang tentu saja tidak dapat bergerak leluasa karena harus memanggul tubuh Bun Houw itu telah meloncat ke depan dengan cepat seperti lompatan seekor kijang.

Tentu saja Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw merasa penasaran. “Kau hendak lari ke mana?” Hwa Hwa Cinjin berseru.


Kaumakanlah ini!” Hek I Siankouw membentak dan dari tangan kirinya menyambar sinar hitam ke arah bayangan yang melarikan diri itu. Juga Hwa Hwa Cinjin menggerakkan kebutannya dan sinar putih menyambar dari tengah kebutan. Kiranya dua orang tua ini telah melepas senjata rahasia mereka yang ampuh. Hek I Siankouw telah melepaskan Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam) dan Hwa Hwa Cinjin telah melepaskan bulu kebutannya. Benda-benda hitam dan putih menyambar seperti kilat cepatnya ke arah punggung bayangan yang melarikan diri.

Akan tetapi, tanpa menoleh seolah-olah di tengkuknya terdapat mata ketiga, bayangan itu menggerakkan pedangnya ke belakang dan semua senjata rahasia runtuh, sedangkan dia kini telah berada jauh di depan, menghilang di antara bayangan pohon-pohon yang gelap.

Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw kembali terkejut, maklum bahwa bayangan itu benar-benar amat pandai. Mereka melakukan pengejaran beberapa lamanya, namun kerena tempat itu banyak terdapat pohon-pohon yang gelap dan malam itu hanya diterangi bintang-bintang yang sinarnya suram, maka mereka tidak mampu menemukan bayangan itu dan mereka cepat ktmbali ke tempat tahanan. Alangkah kaget hati mereka melihat bahwa selain Bun Houw telah lenyap, juga empat belas orang penjaga itu sudah roboh semua, ada yang tewas dan selebihnya masih pingsan!

Gegerlah Lembah Bunga Merah oleh kejadian ini. Terutama sekali Ciok Lee Kim merasa amat marah dan penasaran. Tawanan itu sudah dijaga ketat, tetap saja masih dapat dicuri orang! Ketika lima orang sakti itu menanyai para penjaga yang tidak tewas dan sudah siuman dari pingsan, para penjaga ini juga tidak dapat memberi keterangan yang jelas.

“Kami hanya melihat bayangan yang berkelebat cepat, seperti seekor burung beterbangan menyambar-nyambar di antara kami dan tahu-tahu kami merasakan pukulan hebat dan tidak ingat apa-apa lagi,” demikianlah rata-rata keterangan mereka.

“Hemmm, sungguh mentakjubkan,” Hwa Hwa Cinjin berkata, “pinto juga tidak dapat melihat jelas mukanya karena malam gelap dan ketika kami berdua menyerangnya, dia berada di dalam bayangan pobon. Akan tetapi yang jelas, dia bukan orang biasa, memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan tangguh.”

“Aku dapat memastikan bahwa dia tentulah seorang wanita!” kata Hek I Sian-kauw dengan tegas. “Biarpun aku juga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas karena gelap, namun bentuk tubuhnya yang ramping dan gerakannya yang lemas menunjukkan bahwa dia seorang wanita.”

Hwa Hwa Cinjin membenarkan pendapat ini, dan demikian pula para penjaga menyatakan bahwa memang bayangan itu mempunyai potongan tubuh ramping. Lima orang sakti itu menduga-duga siapa gerangan orang aneh itu yang telah melarikan Bun Houw.

“Tidak salah lagi, tentu dia pula yang telah menolong tiga orang murid Bu-tong-pai,” kata Ciok Lee Kim sambil mengerutkan alisnya karena peristiwa berturut-turut hilangnya tawanan itu merupakan tamparan baginya.

“Jangan-jangan dia yang kembali membikin ribut...” tiba-tiba Toat-beng-kauw Bu Sit berkata.

“Dia siapa, Bu-sute?” Ciok Lee Kim bertanya dan yang lain-lain juga memandangnya.

“Siapa lagi kalau bukan gadis Giok-hong-pang itu...”

Mendengar ini, teringatlah Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu yang pernah bertemu dengan Yap In Hong, tokoh Giok-hong-pang yang amat lihai itu. Mereka mengangguk-angguk, akan tetapi Bouw Thaisu berkata penuh keraguan, “Agaknya dugaanmu itu amat meragukan kebenarannya, Bu-sicu. Kita mengetahui betapa gadis itu adalah seorang wanita aneh dari Giok-hong-pang, tidak memusuhi kita secara langsung dan juga tidak bersahabat dengan fihak Cin-ling-pai, pula kita telah tahu bahwa Giok-hong-pang adalah perkumpulan yang mempunyai hubungan dengan partai-partai lain. Karena itu, agaknya tidak boleh jadi kalau dia menolong anak murid Bu-tong-pai dan apalagi menolong pemuda yang agaknya mempunyai hubungan erat dengan Cin-ling-pai itu. Aku lebih condong menduga bahwa mereka tentulah seorang tokoh Bu-tong-pai. Ingat, pertai beser itu tentu saja memiliki banyak orang pandai dan tidak mengherankan kalau seorang tokoh wanita dari Bu-tong-pai yang turun tangan menolong anak-anak murid Bu-tong-pai itu dan juga pemude she Bun yang aneh itu.”

Semue orang mengangguk-angguk. “Betapapun juga, manusia she Bun itu tidak akan dapat menyelamatkan diri dan tentu akan tewas, karena di tubuhnya telah mengeram racun yang tidak mungkin dapat disembuhkan oleh orang lain,” kata Ciok Lee Kim.

Toat-beng-kauw Bu Sit mengerutkan alisnya. “Ciok-suci, setelah apa yang terjadi, malam ini kurasa sebaiknya kalau kita meninggalkan tempat ini. Fihak Bu-tong-pai kiranya tidak akan tinggal diam dan kalau sampai mereka mengerahkan tokoh-tokohnya dan anak murid Bu-tong-pai yang banyak menyerbu ke Lembah Bunga Merah, berarti kita hanya akan menanam permusuhan yang lebih mendalam lagi selain juga amat berbahaya. Mereka tentu akan menyerbu ke sini.”

“Aku tidak takut!” Ciok Lee Kim berseru keras.

“Suci, soalnya bukan takut atau tidak takut. Orang-orang seperti kita ini tentu saja tidak mengenal apa artinya takut lagi. Pula, dengan adanya sam-wi locianpwe di sini, sebagai tamu kita dan sahabat-sahabat kita, kita tidak takut menghadapi siapapun juga. Akan tetapi, kalau sampai kita terlibat permusuhan dengan Bu-tong-pai, bukankah hal itu melemahkan kedudukan kita? Padahal tujuan kita semua hanya untuk menghancurkan Cin-ling-pai! Selain itu, pemuda she Bun itu telah mengetahui tempat kita, dan dia tentulah kaki tangan Cin-ling-pai. Sekarang dia telah lolos, tentu dia akan mengabarkan kepada ketua Cin-ling-pai. Kalau ketua Cin-ling-pai dan kaki tangannya juga menyerbu kt sini bersama Bu-tong-pai, bukankah hal itu akan amat merugikan kita? Lebih baik kita bergabung dengan para suheng di Ngo-sian-chung.”


Bouw Thaisu mengangguk-angguk. “Agaknya benarlah apa yang dikatakan oleh Bu-sicu. Betapapun juga, kita harus berhati-hati karena musuh-musuh yang kita hadapi bukan orang-orang lemah. Pula, tujuan pinto meninggalkan pertapaam di pantai Pohai semata-mata hanya untuk menuntut kematian sahabatku Thian Hwa Cinjin, dan tujuanku hanya menghadapi orang-orang Cin-ling-pai.”

Demikianlah pula Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang juga menaruh dendam kepada ketua Cin-ling-pai, merasa keberatan kalau harus memusuhi Bu-tong-pai, maka akhirnya Ciok Lee Kim setuju. Pada keesokan harinya, berangkatlah mereka meninggalkan Lembah Bunga Merah, menuju ke Ngo-sian-chung yaitu tempat tinggal Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang berada di lembah muara Sungai Huang-ho.

***


Sesungguhnya, dugaan Toat-beng-kauw Bu Sit sama sekali tidaklah meleset dari kenyatannya. Yang menolong tiga orang anak murid Bu-tong-pai, dan yang menolong Bun Houw, bukan lain adalah Yap In Hong. Gadis ini ingin merampas pedang Siang-bhok-kiam yang dicuri oleh Lima Bayangan Dewa, dan juga, setelah bertemu dengan Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangen Dewa, sudah timbul perasaan tidak senangnya kepada Lima Bayangan Dewa yang akhir-akhir ini menggegerkan dunia kang-ouw karena perbuatan mereka berani mengacau di Cin-ling-pai. Oleh karena itu, ketika secara kebetulan dia melihat Toat-beng-kauw Bu Sit, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw melakukan perjalanan mengunjungi Hui-giakang Ciok Lee Kim di Lembah Bunga Merah, diam-diam dia lalu mengikuti mereka, membayangi dan kemudian setiap malam melakukan penyelidikan di Lembah Bunga Merah dengan niat hati untuk mencuri Siang-bhok-kiam andaikata pedang pusaka Cin-ling-pai itu disimpan di lembah itu.

Diam-diam dia mengetahui akan kunjungan Kiam-mo Liok Sun dan seorang pemuda tampan yang didengarnya adalah orang she Bun yang menjadi pengawal pribadi Kiam-mo Liok Sun itu. Kemudian dia melihet betapa pemuda pengawal Kiam-mo Liok Sun itu menolak ketika dibujuk dan dirayu oleh dua orang murid Ciok Lee Kim, bahkan menolak ketika dibujuk rayu oleh Si Kelabang Terbang sendiri. Hal ini sungguh mengherankan hati In Hong dan mendatangkan kesan yang amat mendalam. Dia tahu betapa dua orang murid Ciok Lee Kim adalah wanita-wanita muda dan cantik, dan Ciok Lee Kim sendiri adalah seorang wanite cantik yang berpengaruh, akan tetapi pemuda itu, seorang pengawal biasa saja, menolak! Padahal majikannya, Liok Sun, adalah seorang laki-laki yang biasa saja, yaitu seperti anggapan In Hong sejak kecil bahwa semua laki-laki adalah mata keranjang, cabul dan pengrusak wanita! Akan tetapi mengapa pemuda ini lain daripada laki-laki lain?

Kemudian dia melihat munculnya tiga orang murid Bu-tong-pai. Sikap mereka amat mengagumkan hatinya dan kembali dia terheran-heran menyaksikan sikap tiga orang muda Bu-tong-pai yang gagah perkasa itu. Bagaimana di dunia ini terdapat orang-orang muda yang demikian gagah perkasa, demikian berani menentang kejahatan dan demikian bersih hatinya sehingga tidak terjatuh oleh rayuan dan tidak tunduk oleh ancaman maut?

Tentu saja In Hong tidak tahu bahwa dunia kang-ouw mempunyai banyak orang-orang gagah perkasa, seperti banyaknya pule terdapat orang-orang sesat, golongen hitam yang di dalam hidupnya hanya mengutamakan pengejaran kesenangan bagi diri sendiri sehingga untuk memperoleh kesenangan itu, mereka suka melakukan apapun juga, perbuatan kejam dan cabul yang bagaimanapun dengan mengandalkan kepandaian mereka. Dan sejak kecil In Hong hanya berdekatan dengan orang-orang sesat, dengan wanita-wanita pembenci kaum pria. Belum pernah dia berdekatan dengan pendekar, maka sekarang, begitu melihat sikap orang-orang yang berjiwa pendekar, dia menjadi terheran-heran, terkejut, dan kagum bukan main.

Karena rasa kagum inilah maka tergerak hatinya untuk menolong tiga orang murid Bu-tong-pai itu. Andaikata hatinya tidak digerakkan oleh kegagahan mereka, tentu perasaan hatinya yang dingin itu akan membuat dia menutup mata dan tidak memperdulikan urusan orang lain. Kini mulai terbuka hatinya bahwa tidak semua pria jahat, cabul dan khianat, seperti yang dia selalu mendengar dari mulut gurunya, dan dari semua anggauta Giok-hong-pang. Dia turun tangan membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai itu dan membawa mareka lari ke sebuah hutan di bawah Lembah Bunga Merah, di mana mareka bersembunyi ke dalam sebuah kuil tua sambil merawat luka mereka.

Ketika pada keesokan harinya diam-diam In Hong menyelidiki lagi ke Lembah Bunga Merah, dia terkejut bukan main melihat bahwa pemuda yang dikenalnya sebagai pengawal Kiam-mo Liok Sun, pemuda yang menimbulkan kagumnya, karena pemuda itu menolak rayuan-rayuan Ai-kwi dan Ai-kiauw, telah ditawan dan disiksa secara mengerikan, karena kedua tulang pundaknya dikait oleh kaitan baja dan dibelenggu dalam keadaan pingsan. Timbul perasaan iba hatinya terhadap pemuda perkasa itu, apalagi ketika mendengar bahwa pemuda itu mengamuk den membunuh Ai-kwi dan Ai-kiauw sebelum akhirnya tertawan, yang didengarnya dari percakapan para penjaga, dia lalu mengambil keputusan untuk monolong pemuda she Bun yang tidak dikenalnya itu. In Hong tahu benar akan kelihaian Toat-beng-kauw Bu Sit, terutama sekali Hek I Siankouw, Hwa Hwa Cinjin dan Bouw Thaisu, maka dia tidak berani bertindak secara gegabah. Dia menanti sampai tengah malam sehingga dia tidak tahu betapa malam itu Ciok Lee Kim dan Bu Sit telah menyiksa pemuda itu yang telah siuman bahkan kemudian menusuknya dengan jarum beracun dan meninggalkan pemuda itu dalam keadaan pingsan lagi dan dalam keadaan terancam nyawanya.

Dengan kepandaiannya yang hebat, In Hong akhirnya berhasil menolong pemuda itu dan membawanya lari dari Lembah Bunga Merah setelah dia berhasil meloloskan diri dari pencegatan Hek I Siankouw dan Hwa Hwa Cinjin. Dia lalu membawa pemuda itu ke dalam hutan di kaki bukit dan memasuki kuil di mana tiga orang murid Bu-tong-pai masij bersembunyi dan mengobati luka mereka.

“Lihiap, dia siapakah dan mengapa dia sampai begitu tersiksa...?” Seorang di antara tiga orang murid Bu-tong-pai itu bertanya. Mereka memandang dengan hati ngeri melihat keadaan Bun Houw seperti itu. Muka pemuda itu menghitam, jelas bahwa pemuda itu keracunan, dan kedua pundak yang dikait tulangnya itu benar-benar menimbulkan kengerian dan mendirikan bulu roma.


Dia adalah seorang pengawal biasa yang entah mengapa telah disiksa seperti ini oleh manusia-manusia kejam itu.” In Hong menjawab, kemudian dia memeriksa keadaan Bun Houw. Dengan hati-hati dia mencabut dua baja kaitan dari pundak Bun Houw. Setelah memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa tulang-tulang pundak pemuda itu tidak patah, hanya kulit dagingnya saja berlubang dan luka parah, dia lalu mengobati luka-luka di pundak pemuda itu dengan obat luka yang dibawanya, kemudian membalut pundak itu dibantu oleh tiga orang murid Bu-tong-pai.

“Dia keracunan hebat...” kata murid wanita Bu-tong-pai dengan alis berkerut, masih ngeri hatinya membayangkan penderitaan yang ditanggung oleh pemuda yang baru saja ditolong oleh In Hong.

In Hong adalah seorang yang tidak asing dengan racun, karena dari gurunya dia memperoleh banyak pelajaran tentang racun, bahkan dia mengenal racun-racun dari tumbuh-tumbuhan, dan senjata rahasianyapun adalah Siang-tok-swa, yaitu pasir yang mengandung racun dari kembang yang berbau harum. Akan tetapi dia menjadi bingung melihat racun yang menyerang darah Bun Houw. Setelah dia memeriksa dengan teliti, dia menghela napas dan menggeleng kepala.

“Apakah kalian mengenal racun yang menyerangnya?” tanyanya kepada tiga orang murid Bu-tong-pai itu.

Tentu saja murid-murid Bu-tong-pai ini juga pernah mempelajari tentang racun-racun untuk sekedar menjaga diri, akan tetapi setelah mereka memeriksa, orang tertua dari mereka berkata dengan alis berkerut, “Lihiap, racun ini hebat sekali dan saya kira kalau dia tidak cepat mendapat obat yang mujarab, nyawanya sukar ditolong lagi. Tak jauh dari sini ada seorang ahli obat yang kiranya dapat menolongnya, akan tetapi sayang...” Dia menghentikan kata-katanya.

“Sayang bagaimana?” In Hong bertanya.

“Dia adalah seorang yang berwatak aneh bukan main. Kakek itu di dunia kang-ouw terkenal dengan sebutan Yok-mo (Setan Obat), akan tetapi juga terkenal dengan wataknya yang amat luar biasa. Maka sedikit sekali harapan apakah dia akan mau mengobati orang ini.”

“Luar biasa bagaimana? Harap kaujelaskan.” In Hong mendesak.

“Hampir semua tokoh kang-ouw mengenal Yok-mo ini, sungguhpun tidak ada yang tehu siapa namanya. Dia selalu mengobati orang-orang sakit dan orang-orang yong tergigit binatang berbisa apapun juga, dengan cepat dapat disembuhkannya secara luar biasa. Bahkan ada orang yang tergigit ular yang paling berbisa, yang kabarnya tidak ada obatnya, dapat pula dia obati, dan ada orang bilang bahwa Setan Obat itu pernah menyombongkan diri, mengatakan bahwa tidak ada gigitan binatang berbisa di dunia ini yang tidak dapat dia sembuhkan...”

“Kalau begitu, dialah yang dapat menolong!” kata In Hong girang. “Menurut pendengaranku ketika para penjaga Lembah Bunga Merah bercakap-cakap, racun yang dimasukkan ke tubuh pemuda ini adalah racun dari kelabang hitam. Akan tetapi, apakah kesulitannya bagi Setan Obat untuk mengobati dia ini?”

“Dia mau mengobati segala macam penyakit tanpa menerima bayaran sama sekali, akan tetapi dia paling benci kepada ahli-ahli silat dan dia tidak pernah mau mengobati orang-orang yang terluka dalam pertempuran. Itulah kesukarannya, lihiap.”

“Hemm, di mana dia?”

“Dia tinggal di puncak gunung tak jauh dari sini, di puncak Gunung Cemara di barat itu.” Murid Bu-tong-pai itu menuding ke barat.

“Kalau begitu, biar aku mengunjunginya ke sana. Menurut percakapan para penjaga tadi, orang ini hanya dapat hidup tiga hari tiga malam saja, maka harus cepat mendapatkan obat. Harap kalian suka menjaganya selama aku pergi.”

“Baik, lihiap. Engkau sudah begitu baik kepada kami, sudah menyelamatkan nyawa kami tanpa pamrih, bahkan memperkenalkan namapun lihiap tidak mau. Sekarang lihiap menolong seorang lain yang tidak lihiap kenal, hendak mencarikan obat menghadap Yok-mo, sungguh membuat hati kami kagum bukan main. Tentu saja kami suka membantu lihiap untuk menjaga saudara ini.”

In Hong tersenyum dan sekali berkelebat lenyaplah dia dari hadapan tiga orang murid Bu-tong-pai itu. Mereka saling pandang dan menarik napas panjang. Selama hidup, mereka belum pernah bertemu dengan seorang pendekar wanita seperti penolong mereka itu. Dan mereka menyesal sekali mengapa penolong mereka itu merahasiakan namanya dan tidak mau mengaku walaupun mereka tanya berkali-kali.

***

Gunung itu penuh dengan hutan yang mengandung pohon-pohon lengkap dan subur, akan tetapi sungguh mengherankan, di puncaknya hanya ditumbuhi pohon-pohon cemara belaka. Oleh karena itu meka puncak itu disebut puncak Gunung Cemara, sebuah gunung yang tidak berapa tinggi akan tetapi lerengnya penuh dengan hutan lebat.

Sebuah rumah gubuk kecil terdapat di puncak di antara pohon-pohon cemara yang tinggi, seperti berlindung di bawah pohon-pohon itu, atapnya sudah penuh dengan batang-batang daun cemara yang tebal menutupi atap rumah gubuk. Tanah di sekitar tempat itupun sudah tertutup batang daun cemara sehingga kalau orang duduk di atasnya, terasa enak dan empuk pula, bersih tidak becek walaupun di waktu hujan.

Kakek itu pakaiannya biasa saja, seperti pakaian seorang petani. Dia sudah tua sekali, tentu sudah ada tujuh puluh tahun usianya, namun wajahnya masih segar dengan kulit kemerahan dan tidak nampak keriput seperti wajah orang-orang muda, sungguhpun semua rambut, jenggot dan kumisnya telah putih semua. Pada pagi hari itu, kakek ini sedang mengeluarkan banyak tampah-tampah untuk menjemur rempah-rempah dan bahan-bahan obat di bawah sinar matahari pagi. Pekerjaan ini dilakukannya dengan penuh kesungguhan, penuh perhatian den dengan wajah gembira-ria.


Berbahagialah orang yang melakukan segala sesuatu dalam hidup ini dengan perasaan kasih di hatinya. Dan pekerjaan apapun yang dilakukan orang, perbuatan apapun yang dilakukannya, apabila berdasarkan cinta kasih, maka perbuatan itu tentu benar adanya! Sayang sekali bahwa kita pada umumnya sudah tidak lagi mengenal cinta kasih dalam segala perbuatan kita. Perbuatan kita selalu didorong oleh kepentingan diri pribadi lahir batin, demi keuntungan, demi kesenangan, demi kebencian, iri hati, pamrih dan lain-lainnya. Kalau saja kita dapat melakukan pekerjaan kita dengan cinta kasih di hati! Bukan demi penghasilannya! Kalau saja kita dapat melakukan segala sesuatu dengan kasih di hati! Betapa akan indahnya hidup ini, betapa akan bahagianya hidup ini.

Bagi kakek tua renta itu, pada saat dia menjemur rempah-rempah itu, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini, tidak ada persoalan, tidak ada pemikiran, tidak ada apa yang disebut waktu, bahkan dia tidak ingat lagi akan dirinya sendiri. Sinar matahari pagi, hembusan angin pegunungan, kicau burung, keharuman daun cemara dan rempah-rempah yang dijemurnya, pergerakan jari-jari tangannya yang mengatur akar-akaran dan daun-daunan yang dijemur di atas tampah-tampah, semua itu sudah serasi, sudah selaras, merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan, merupakan bagian dari keadaan, dari kehidupan, dari cinta kasih.

Tanpa disadarinya, terdengar dendang disenandungkan dari mulut kakek yang sudah ompong itu, seolah-olah dia mengikuti irama yang terdengar oleh telinganya, entah dari mana, seperti terbawa oleh angin yang semilir.

Akan tetapi, keheningan yang suci itu segera terganggu dengan munculnya seorang gadis cantik jelita yang membawa sebatang pedang di punggungnya. Gadis ini bukan lain adalah Yap In Hong. Melihat kakek tua renta ini menjemuri obat-obat di depan gubuknya, membiarkan tampah-tampah berisi obat-obat itu ditimpa sinar-sinar matahari yang menerobos turun melalui celah-celah daun cemara, In Hong berhenti sejenak, memandang penuh perhatian lalu menengok ke kanan kiri. Tidak nampak orang lain di tempat itu.

Dia melangkah maju menghampiri “Kakek, apakah engkau yang berjuluk Setan Obat?”

Kakek itu terkejut, seperti diseret turun dari sebuah dunia lain di mana tidak ada pemikiran, tidak ada persoalan, kini kembali ke dunia yang banyak pertikaian, banyak pertentangan yang ditimbulkan oleh manusia. Dia menoleh, memandang gadis muda itu dan alisnya berkerut merut ketika pandang matanya bertemu dengan sarung pedang di punggung gadis itu. Dia lalu menunduk kembali, mengatur akar-akaran dan daun-daunan obat di atas tampah seolah-olah tidak terjadi sesuatu, akan tetapi kini lenyaplah seri di wajahnnya, lenyaplah senandungnya.

In Hong sudah diberi tahu oleh murid-murid Bu-tong-pai akan keanehan watak kakek ini, maka dia tidak menjadi marah melihat betapa kakek itu seolah-olah tidak mengacuhkannya sama sekali.

“Yok-mo.” dia berkata sambil melangkah maju dan menghadapi kakek itu. “Aku Yap In Hong, datang untuk mohon pertolonganmu memberi obat untuk seorang yang telah terluka hebat oleh racun kelabang hitam.”

Setelah mengulang kata-katanya sampai tiga kali dengan suara sabar, akhirnya kakek itu mengangkat muka memandang dan In Hong terkejut melihat betapa kakek tua renta ini selain berwajah segar dan muda, juga memiliki sepasang mata yang bersinar jernih seperti mata kanak-kanak.

“Wanita muda, apakah kau datang untuk membunuh orang?” tiba-tiba kakek itu bertanya dengan suara lantang.

Tentu saja In Hong terkejut dan terheran mendengar pertanyaan ini. Dia cepat menggeleng kepala.

“Kalau begitu, mengapa engkau datang membawa-bawa sebatang pedang? Untuk apalagi orang membawa-bawa pedang kalau tidak ada niat terkandung di hati untuk menyerang dan membunuh orang lain?”

In Hong makin terkejut. Biarpun dia sudah mendengar bahwa kakek ini seorang aneh, akan tetapi dia tidak menyangka akan diserang dengan kata-kata seperti itu. Akan tetapi dia tidak menjadi gugup dan cepat menjawab, “Kakek yang baik, setiap orang yang melakukan perjalanan, apalagi kalau dia mengerti ilmu silat, tentu membawa sebatang senjata. Apa anehnya hal itu? Membawa senjeta bukan berarti hendak menyerang orang.”

“Huh! Semua orang yang membawa senjata, mana ada yang baik iktikadnya? Senjata adalah alat untuk membunuh, siapa yang membawanya berarti sudah siap untuk menyerang dan membunuh orang lain. Setiap orang manusia mesti mati, mengapa kalian ini orang-orang yang haus darah tidak membiarkan semua orang mati seperti semestinya dan wajar, akan tetapi menuruti nafsu untuk saling membunuh? Engkau yang mempunyai hati kejam, yang selalu membawa pedang dan setiap saat siap membunuh orang lain, sekarang tidak malu datang kepadaku minta obat untuk menyelamatkan nyawa orang? Bukankah sudah menjadi kesenanganmu melihat orang mati?”

In Hong mengerutkan alisnya. Sungguh berabe menghadapi orang seperti ini, pikirnya. “Kakek yang aneh, senjata tajam belum tentu untuk menyerang dan membunuh orang, aku membawanya untuk menjaga diri dari ancaman bahaya. Coba saja kaupikir, kalau aku melakukan perjalanan seorang diri, lalu muncul seekor binatang buas yang menyerangku, bagaimana aku harus membela diri? Bahkan harimaupun mempunyai taring, ular mempunyai racun, semua binatang mempunyai senjata untuk membela diri, mengapa manusia tidak?”

“Binatang tidak akan menyerang manusia kalau tidak diganggu atau lapar. Binatang merupakan mahluk yang lebih baik daripada manusia! Manusia adalah mahluk paling jahat dan kejam di permukaan bumi ini. Tidak ada binatang yang membunuh untuk kesenangan, atau membunuh karena permusuhan dan kebencian. Binatang membunuh untuk dapat hidup, membunuh karena dorongan perut lapar. Akan tetapi manusia membunuh apa saja di dunia ini untuk mencari kesenangan, bahkan membunuh sesama manusia untuk mencari kesenangan dalam kemenangan, membunuh karena permusuhan dan kebencian. Phahh!”


Akan tetapi, Yok-mo, aku tidak akan sembarangan memusuhi orang, tidak sembarangan membenci orang, apalagi tidak akan sembarangan menyerang atau membunuh orang lain. Semua itu tentu ada sebab-sebabnya. Seperti sekarang ini, aku sama sekali tidak mempunyai niat membunuh siapapun juga, bahkan kedatanganku ingin minta bantuanmu agar kau suka memberi obat kepada seorang yang menjadi korban kejahatan manusia lain yang amat jahat. Tentu saja keadaan ini bisa berobah sama sekali. Andaikata engkau lalu tiba-tiba menyerang dan hendak mencelakakan aku, tentu saja aku akan membela diri dan mungkin membunuhmu dalam pertempuran. Jadi, menyerang, membenci, memusuhi atau membunuh sekalipun tentu ada sebab-sebab yang mendorongnya, bukan semata-mata manusia adalah mahluk yang suka membunuh.”

“Memang ada manusia yang tidak suka sama sekali untuk membunuh, baik dengan alasan apapun juga, akan tetapi engkau termasuk manusia yang suka membunuh, dan hal ini dibuktikan dengan adanya pedang di punggungmu. Dan manusia tukang bunuh seperti engkau ini datang untuk minta bantuan kepadaku? Huh, aku tidak sudi!”

Merah wajah In Hong. Hatinya mulai marah. Kakek ini kasar dan sombong, pikirnya. “Orang tua, melihat sikapmu ini, andaikata aku sendiri yang terluka dan terancam maut, akupun tidak akan sudi minta pertolongan kepadamu! Akan tetapi yang terluka adalah orang lain, dan dia menjadi korban dari kejahatan manusia iblis, dia dilukai dengan jarum yang mengandung racun kelabang hitam, kalau tidak mendapatkan obat yang mujarab, dalam waktu tiga hari tiga malam tentu mati.”

“Orang yang terluka itu tentu seorang tukang bunuh pula. Tidak! Biarkan dia mampus, sesuai dengan kesukaannya membunuh manusia lain, aku tidak sudi menolongnya!”

“Ha-ha-ha-ha, tidak mau menolong orang yang terancam maut, bukankah seorang pembunuh pula? Ha-ha-ha, engkau kakek yang bernama Yok-mo? Engkaupun seorang pembunuh! Seorang pembunuh yang licik dan curang!” Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang datangnya dari jauh, bergema akan tetapi begitu kalimat terakhir habis, orangnyapun nampak muncul seperti setan, seorang kakek pendeta Lama tinggi besar seperti raksasa, berjubah merah dan memanggul tubuh seorang anak laki-laki yang seluruh tubuhnya sudah kehitaman karena racun yang amat hebat!

Yok-mo memutar tubuhnya dan In Hong terkejut bukan main. Melihat munculnya kakek yang didahului sambaran angin dahsyat, dan suaranya yang jelas dikerahkan dengan kekuatan khi-kang yang hebat sekali, jelas bahwa pendeta Lama ini bukanlah orang sembarangan den memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.

Akan tetapi Yok-mo sudah marah sekali. Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka pendeta gundul itu dan membentak, “Pendeta-pendeta malah merupakan manusia-manusia yang lebih jahat lagi, seperti srigala-srigala berkedok domba. Seperti engkau ini, mulutmu lancang sekali mengatakan bahwa aku pembunuh! Selama hidupku aku belum pernah membunuh.”

“Ha-ha-ha, kalau begitu engkau manusia yang paling jahat!”

Pendeta berjubah morah itu tertawa bergelak dan hal ini tentu saja membuat Yok-mo dan In Hong memandang dengan mata terbelalak. Yok-mo marah sekali, akan tetapi In Hong terheran-heran karena omongan pendeta ini malah lebih aneh dan nekat daripada Yok-mo!

“Eh, hwesio sesat! Jangan bicara sembarangan kau! Aku melihat engkau membawa anak laki-laki yang terkena racun hebat, tentu engkaupun tukang berkelahi dan tukang bermusuhan dengan manusia lain. Aku tidak bisa berhubungan dengan orang-orang macam engkau!”

“Ha-ha-ha, Yok-mo, membunuh dan membunuh ada dua macam. Ada membunuh yang baik dan membunuh yahg tidak baik. Kau harus obati muridku ini!”

“Tidak, aku tidak sudi!”

Kakek gundul itu melepaskan tubuh anak yang kehitaman itu ke atas tanah. In Hong memandang ke arah anak itu dengan penuh perhatian dan dia terkejut bukan main melihat gejala anak itu seperti korban keganasan racun Siang-tok-swa! Dugaannya memang betul karena anak itu adalah Lie Seng yang menjadi korban Siang-tok-swa gurunya, yaitu Yo Bi Kiok dan kakek gundul itu bukan lain adalah Kok Beng Lama.

“Yok-mo, kata-katamu membuktikan bahwa memang ada dua macam sifat membunuh, yang baik dan yang jahat. Kau adalah pembunuh yang jahat, sedangkan nona ini dan aku adalah pembunuh-pembunuh yang baik. Kalau engkau tidak mau mengobati muridku, berarti muridku mati dan engkau menjadi pembunuh yang jahat karena sebetulnya engkau akan mampu mengobatinya. Kalau engkau tidak mau, aku akan membunuhmu dan aku adalah pembunuh yang baik karena manusia seperti engkau sudah sepatutnya dibunuh agar tidak membunuh orang-orang lain seperti sekarang. Ha-ha-ha!”

In Hong menjadi bingung. Kata-kata kakek gundul ini tidak karuan dan melihat sinar matanya, kakek gundul ini seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan tetapi, anehnya, ucapan itu membuat Yok-mo termenung-menung dan meraba-raba jenggotnya yang sudah putih semua, lalu dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku, bengong melamun dan mulutnya berkali-kali mengeluarkan kata-kata lirth, “Aku... pembunuh? Benarkah aku pembunuh? Pembunuh...?”

“Ha-ha-ha! Kau pembunuh licik dan curang. Aku selalu membunuh orang lain dengan adil, memberi kesempatan kepadanya untuk membela diri. Akan tetapi engkau! Engkau membunuh orang tanpa memberi kesempatan orang itu membela diri. Lihat, kau sedang membunuh muridku itu, nah, bukankah engkau pembunuh yang curang dan licik? Biar aku menunggu di sini melihat bagaimana engkau membunuhnya dengan kejam, setelah itu, aku akan membunuhmu dengan adil, memberi kau kesempatan untuk membela dirimu.”



Mata Yok-mo tertutup seperti orang bingung. Kemudian dia menarik napas panjang. “Hwesio Lama, baru sekarang aku dapat melihat kebenaran omonganmu. Akupun pembunuh! Benar! Entah sudah berapa banyaknya orang yanc kubunuh, mereka yang kutolak untuk diobati sehingga mereka itu mati karena luka-luka mereka. Padahal kalau aku mengobati mereka, mereka itu tentu sembuh dan belum mati. Aku pembunuh dan aku melihat ini karena ucapan seorang pendeta Lama gendeng!” Kakek itu menepuk dahinya dan menggeleng kepalanya. “Lama, engkau menderita tekanan batin hebat sehingga otakmu tergoncang dan tidak waras, namun engkau yang gendeng, masih mampu mengucapkan kata-kata yang menyadarkan aku. Engkau benar! Bunuh-membunuh timbul karena perbedaan perasaan antara cinta dan benci, karena memilih-milih, yang menguntungkan menjadi sahabat yang merugikan menjadi musuh, dibenci dan dibunuh. Kalau dalam mengobati orang aku juga membeda-bedakan, memilih-milih, apa bedanya dengan kalian yang membawa-bawa senjata? Lama, majulah, engkau menderita tekanan batin hebat, akan tetapi aku bukanlah Yok-mo kalau tidak mampu menyembuhkanmu!”

“Ha-ha-ha, kakek gila! Engkau selain pembunuh jahat juga gila! Aku datang membawa muridku untuk kauobati, bukan aku. Mau atau tidak engkau harus mengobati muridku ini!”

Yok-mo menoleh ke arah Lie Seng. “Dia terkena racun jahat pula, dan untuk menyembuhkannya membutuhkan waktu panjang, sedikitnya dua pekan perawatan yang teliti...”

“Kakek Yok-mo!” In Hong berseru dengan hati khawatir. Setelah kini ahli obat itu mau mengobati orang, kalau harus menanti sampai dua pekan, pemuda yang ditolongnya itu keburu mati! “Aku adalah orang yang datang lebih dulu, karena itu sudah sepatutnya dan seadilnya kalau engkau lebih dulu memberi obat kepadaku.”

“Heiiittt!” Kok Beng Lama meloncat dan berdiri di depan In Hong, matanyd terbelalak marah. “Engkau ini bayi kemarin sore berani hendak mendahului aku? Ha-ha-ha, aku lahir puluhan tahun lebih dulu daripada kau, maka harus aku yang lebih dulu mendapat giliran pertolongan Yok-mo!”

Sebetulnya Kok Beng Lama hendak mengatakan bahwa sebagai orang muda, sudah sepatutnya kalau gadis itu mengalah terhadap seorang yang jauh lebih tua, apalagi dia datang membawa muridnya, yang sudah empas-empis napasnya, akan tetapi karena pikirannya tidak waras, maka kata-katanya melantur tidak karuan!

“Tidak perduli!” In Hong membentak. “Biar kau seratus tahun lebih tua, engkau datang belakangan dan orang yang hendak kumintakan obat itu amat payah keadaannya.”

“Eh, kau berani menentangku?” Kok Beng Lama menantang. “Karena aku benar, mengapa tidak berani?”

“Bocah sombong engkau! Sombong dan lancang!” Kok Beng Lama sudah membentak marah dan kedua tangannya bergerak. In Hong kaget bukan main karena dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main. Cepat dia melempar tubuh ke belakang berjungkir balik sambil mencabut pedangnya dan ketika tubuhnya meluncur turun dia langsung membalas dengan serang pedangnya yang juga amat dahsyatnya.

“Aihhh... plak-plak-plak...!” Kok Beng Lama terkejut bukan main. Dia tadi memandang rendah, mengira bahwa seorang dara remaja seperti ini mana bisa memiliki kepandaian tinggi? Disangkanya bahwa sekali dia menyerang dengan hawa pukulan sin-kang tentu akan membuat dara itu jatuh bangun kemudian lari tunggang langgang ketakutan. Siapa kira, bukan saja dara itu mampu menghindarkan diri dari serangan pukulan jarak jauhnya, akan tetapi bahkan mampu membalas dengan serangan pedang yang amat dahsyat dan bertubi-tubi datangnya. Dan karena sambaran pedang yang bertubi-tubi itu mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya, terpaksa kakek itu menangkis sampai tiga kali berturut-turut dengan lengan kirinya.

In Hong meloncat turun dengan muka berobah. Kakek itu mampu menangkis pedangnya dengan tangan kosong! Seolah-olah pedangnya yang merupakan pedang pilihan itu, yang digerakkan dengan pengerahan sin-kang yang mampu menabas putus senjata-senjata lawan, hanyalah merupakan pedang-pedangan kayu belaka. Dia makin yakin bahwa kakek ini memang benar-benar hebat, lawan terhebat yang pernah dihadapinya semenjak dia memasuki dunia ramai.

Akan tetapi, bukan watak In Hong untuk merasa jerih menghadapi lawan tangguh. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya mencelat ke depan, seperti seekor burung walet saja cepatnya dia menerjang kakek itu dan pedangnya bergulung-gulung menjadi sinar berkilauan menyilaukan mata. Timbul kegembiraan hati Kok Beng Lama dan dia melayani In Hong dengan tangkisan-tangkisan kedua lengannya dan membalas dengan totokan-totokan jari tangannya yang lihai.

“Wah-wah-wah, jangan berkelahi! Jangan bertempur di sini! Celaka...! Kalian manusia-manusia celaka... jangan mengotori tempatku dengan pertempuran! Heii, bocah perempuan, jangan ugal-ugalan kau. Simpan kembali pedangmu!” Tok-mo berteriak-teriak dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. “Dan kau Lama gila, hentikan perkelahian itu!”

Akan tetapi, seorang dara berhati sekeras baja seperti In Hong, mana mau berhenti setelah ada orang menentang dan menantangya? Dan Kok Beng Lama, sebelum otaknya agak miririgpun sudah berwatak aneh sekali, suka berkelahi, sekarang setelah otaknya tidak waras, tentu saja kegemarannya itu timbul kembali, dan dia melayani In Hong sambil tertawa-tawa dan memuji-muji dengan suara keheranan.

“Bagus! Kiam-hoat (ilmu pedang) hebat...! Akan tetapi engkau tidak akan mampu mengalahkan aku, bocah! Ha-ha-ha!”


Memang benar teriakannya ini. Betapapun In Hong mengamuk dan menggerakkan senjatanya secara hebat, sama sekali pedangnya tidak pernah dapat melukai lawannya. Dia sudah mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya berkelebat tidak tampak lagi, yang kelihatan hanya bayangannya, namun kecepatannya itu sia-sia belaka terhadap kakek ini yang selalu dapat mengikutinya. Juga pengerahan sing-kangnya tidak ada gunanya karena dia memang jauh kalah kuat. Yang membuat In Hong terheran-heran adalah kekuatan tangan kakek itu yang mampu menangkis pedangnya dan setiap kali kakek itu mendorong dengan pengerahan tenaga sin-kang, dia pasti terhuyung-huyung ke belakang.

“Bagus, masih begini muda sudah amat lihai... ha-ha, akan tetapi kalau tidak diberi rasa, kau akan tetap sombong! Plak-plak-desss...!” Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan. Akan tetapi dara itu biarpun terkejut sekali karena terdorong oleh tamparan yang amat dahsyat, sudah mencelat bangkit kembali dan menyerang makin nekat.

“Plak-plak-plak... desses...!” Kembali dia terlempar dan roboh, sekali ini lebih keras, terbanting sampai kepalanya menjadi pening. Dan pada saat itu, sambil tertawa-tawa Kok Beng Lama sudah berada di dekatnya, sudah mengangkat tangan menghantam.

“Plakkk...!” In Hong menangkis dengan pedangnya, akan tetapi pedang itu terlepas dari tangannya, menancap di atas tanah sedangkan kakek itu sudah mengangkat lagi tangannya yang ampuh. Sekali ini In Hong maklum bahwa dia bertemu dengan orang yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya, bahkan jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian gurunya sendiri, maka dia hanya memandang, siap menghadapi pukulan maut.

“Locianpwe, jangan membunuh orang...!” Tiba-tiba terdengar suara anak dan kiranya Lie Seng yang berteriak itu. Dia tadi siuman dan melihat pertandingan antara kakek itu dan seorang gadis, kini melihat kakek itu hendak membunub lawannya, dia merasa kasihan dan meneriaki orang tua itu dengan suara nyaring.

Kok Beng Lama menahan tangannya dan menoleh. “Ha-ha-ha, kaukira aku akan membunuhnya? Tidak, aku tidak bisa membunuhnya... dia... dia mirip anakku...!” Dia kini menoleh lagi ke arah In Hong. “Ehhh...?” Gadis itu telah lenyap dari tempatnya ketika terjatuh tadi, bahkan pedangnya juga lenyap.

“Kalau kau menyerang lagi, aku akan membunuh Yok-mo!” Tiba-tiba kakek itu mendengar suara In Hong. Dia cepat menengok dan terbelalak memandang kepada gadis itu yang sudah menangkap lengan Yok-mo dan menekankan pedangnya di leher kakek ahli obat itu! “Dia harus memberi obat kepadaku lebih dulu, kalau kau menentang, Lama, biar dia kubunuh lebih dulu dan kita sama-sama tidak memperoleh obat!”

Kok Beng Lama terbelalak, kemudian menggeram. “Bocah licik, kalau kau melakukan itu, engkau akan mati di tanganku!”

“Aku sudah berani berbuat berani pula bertanggung jawab, Lama. Mati bukan apa-apa bagiku, dan biarpun sesudah itu kau membunuhku, namun kematian tetap tidak akan menolong nyawa muridmu, bagaimana?”

Kok Beng Lama menjadi bengong. Semenjak dia menghadapi tekanan batin hebat, dimulai dari matinya puterinya sampai peristiwa di Cin-ling-san, dia sering menjadi bingungm bahkan banyak hal-hal lampau yang dilupakannya. “Wah, kau bocah memang cerdik! Ha-ha-ha, engkau memang hebat. Biar aku mengaku kalah. Heii, Yok-mo, bukankah sudah sepatutnya kalau tua bangka-tua bangka macam kita yang sudah mendekati lubang kubur ini mengalah terhadap anak muda? Hayo kauberikan obat untuk bocah cerdik ini, sesudah itu baru kauobati dan sembuhkan muridku!”

In Hong maklum bahwa seorang seperti pendeta Lama yang memiliki kelihaian hebat itu, biarpun wataknya aneh dan seperti orang gila, namun sudah tentu tidak sudi menarik omongannya kembali, mempunyai keangkuhan besar dan tinggi hati, maka diapun menarik kembali pedangnya dari leher Yok-mo. Kakek ini menghela napas panjang dan mengomel, “Kekerasan...! Hemm... di mana-mana manusia mempergunakan kekerasan...”

In Hong tidak membuang-buang waktu lagi, segera dia menceritakan keadaan Bun Houw kepada kakek itu, menceritakan betapa pemuda itu ditusuk dengan jarum yang mengandung racun kelabang hitam, menceritakan dengan jelas di bagian mana yang ditusuk dan gejala-gejala apa yang nampak pada tubuh pemuda itu.

Yok-mo mengomel lagi. ”Biar di dalam dongeng tentang neraka sekalipun, belum tentu ada iblis penyiksa di neraka yang sekejam itu! Jalan darah Tiong-cu-hiat di tengkuk ditusuknya, hal itu berarti bahwa si korban paling lama dapat hidup tiga hari saja. Tusukan di jalan darah itupun mendatangkan siksaan luar biasa, seluruh tubuhnya akan terasa gatal-gatal di sebelah dalam seperti digigiti ribuan ekor semut. Hemm, kalau pemuda itu masih dapat bertahan, sungguh amat luar biasa...”

“Dua tulang pundaknya juga dikait dengan baja kaitan, Yok-mo.” In Hong menceritakan lagi dengan nada suara bangga. Heran dia mengapa dia berbangga hati karena pemuda itu, demikian tahan derita!

“Hemm, untung engkau datang kepadaku, nona. Bukan karena aku pandai mengobatinya, melainkan karena kebetulan sekali aku ada menyimpan obat yang mujarab untuk melawan racun kelabang hitam. Andaikata aku tidak manyimpan obat itu, biar aku sendiri tidak mungkin dapat menolongnya, karena mencari obat itu harus di tempat asal kelabang hitam itu sendiri, yaitu tahi kelabang hitam yang menjadi bahan bakunya. Dan binatang seperti itu jarang sekali muncul di permukaan bumi, selalu bersembunyi di dalam tanah.”

Kakek tua renta itu lalu masuk ke dalam gubuknya dan keluar lagi membawa beberapa butir obat pulung, semacam pel kasar yang berwarna hitam. “Ini ada sembilan butir pel, sehari beri dia tiga kali, setiap kali sebutir dan dalam waktu tiga hari, setelah pel ini habis, aku tanggung dia sembuh kembali.


In Hong girang bukan main dan cepat menerima bungkusan pel itu, menjura dan menghaturkan terima kasih. “Harap engkau sudi memaafkan kekasaranku tadi, locianpwe, dan saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu!”

“Ha-ha-ha-ha, palsunya! Sebelum diberi marah-marah dan mengancam, sesudah diberi merendah dan berterima kasih. Itulah manusia!” Kok Beng Lama tertawa bergelak dan In Hong memandang dengan muka berobah merah. Betapapun kasarnya pendeta Lama itu, kata-katanya amat jitu menancap di ulu hatinya dan dia merasa malu kalau mengingat akan sikapnya sendiri tadi. Dia tidak segera pergi karena dia ingin melihat bagaimana Yok-mo akan menyembuhkan anak itu, yang dia yakin pasti terluka oleh serangan Siang-tok-swa.

“Hayo kauobati muridku, Yok-mo. Jangan sampai aku harus mengancammu seperti yang dilakukan bocah liar itu.” Kok Beng Lama berteriak.

Tanpa menjawab akan tetapi dengan mulut bersungut-sungut karena baru sekali ini selama hidupnya dia dipaksa orang untuk mengobati, Yok-mo menghampiri tubuh anak itu dan berlutut, membuka bajunya, mencium dekat dad Lie Seng dan memeriksa denyut nadinya yang lemah. Lie Seng yang sudah siuman itu masih rebah dengan lemah, hanya matanya yang lebar itu memandang dan melirik ke mana-mana.

“Hemm, tepat seperti dugaanku. Dia terkena racun yang jahat, racun kembang yang berbau harum. Racun harum dipergunakan untuk melukai seorang bocah sekecil ini! Betapa kejamnya manusia di dunia ini.”

“Memang kejam sekali iblis betina itu!” Kok Beng Lama berteriak. “Tidak mampu melawan aku, dia melukai muridku. Awas dia, kalau lain kali bertemu dengannya, akan kupukul pecah kepalanya!”

Makin tidak senang hati Yok-mo mendengar ancaman itu, dia tidak memperdulikan dan memeriksa lagi tubuh Lie Seng lalu berkata, “Tentu saja aku sanggup menyembuhkannya, akan tetapi dia harus dirawat di sini sedikitnya dua pekan. Racun yang menjalar di tubuhnya ini halus dan lembut akan tetapi cukup mematikan dan untuk membersihkannya sama sekali membutuhkan waktu lama...”

“Pendeta Lama yang kasar, aku mampu mengobati dia dan kutanggung dalam waktu tiga hari saja dia akan sembuh!” tiba-tiba In Hong berkata. Tadinya dia menyangka bahwa anak itu tentu terluka oleh Siang-tok-swa, ketika dia mandengar teriakan pendeta Lama itu bahwa yang melukai anak itu adalah seorang iblis betina, dia menjadi yakin bahwa tentu gurunya yang melakukan itu. Agaknya gurunya bentrok dengan pendeta ini dan dia tidak akan merasa heran kalau gurunya sampai kewalahan menghadapi pendeta Lama yang memang amat hebat ilmu kepandaiannya ini. Di dunia ini, yang pandai mempergunakan Siang-tok-swa hanyalah dia dan gurunya, maka siapa lagi kalau bukan Giok-hong-cu Yo Bi Kiok yang melukai seorang anak itu? Dia sendiri merasa penasaran mengapa gurunya mau melukai seorang anak sekecil itu dengan Siang-tok-swa. Perbuatan ini pasti tidak akan dia lakukan, karena hal itu dianggapnya terlalu keji dan curang. Siang-tok-swa adalah pasir beracun yang hanya patut dipergunakan kalau menghadapi pengeroyokan banyak orang atau bertemu dengan lawan tangguh. Akan tetapi sama sekall tidak pantas kalau dipergunakan untuk melukai seorang bocah yang masih begitu kecil dan tentu belum tahu apa-apa! Rasa penasaran inilah yang membuat hatinya tergerak untuk mengobati anak itu dengan obat penawar Siang-tok-swa yang selalu dibawanya bersama pasir beracun itu sendiri. Akan tetapi dia memang seorang dara yang cerdik, tentu saja dia tidak mau mengobati begitu saja!

Kok Beng Lama dan Yok-mo keduanya terkejut mendengar ini. Kok Beng Lama terkejut bercampur girang, sedangkan Yok-mo terkejut dan marah.

“Bocah sombong engkau! Aku saja baru akan dapat menyembuhkannya dalam waktu dua pekan atau... baiklah, kuperpendek menjadi sepuluh hari!”

“Dan aku tetap dapat menyembuhkannya dalam waktu tiga hari.”

“Akan kukeluarkan semua ilmuku... hemm, aku sanggup menyembuhkannya dalam waktu sepekan! Aku akan bohong kalau mengatakan kurang dari sepekan!” Yok-mo kembali berseru, penasaran.

“Dan aku ulangi lagi, paling lama tiga hari obatku pasti akan menyembuhkannya, paling lama tiga hari, mungkin kurang dari tiga hari.”

Kok Beng Lama menghampiri In Hong. “Nona, benarkah itu? Kau sanggup mengobatinya secepat itu?”

In Hong mengangguk.

“Kalau kau pandai mengobati muridku, kenapa kau sendiri datang minta bantuan kepada Yok-mo?”

“Luka yang diderita oleh... sahabatku dan luka yang diderita muridmu tidak sama, Lama. Dan aku kebetulan mempunyai obat yang paling mujarab untuk mengobati luka muridmu yang terkena racun itu. Racun itu tentu disebabkan oleh Siong-tok-swa, bukan?”

Yok-mo terkejut. Tidak memeriksa sudah mengerti, sungguh hebat dan tepat sekali.

“Benar, luka itu oleh senjata rahasia pasir yang mengandung racun harum,” katanya.

“Kalau begitu, nona yang baik, kau obatilah muridku ini dan aku akan berterima kasih sekali kepadamu!” kata Kok Beng Lama.

“Ucapan terima kasih hanya merupakan kata-kata kosong belaka, apa gunanya bagiku, Lama? Sudah sepantasnya kalau orang memberi juga meminta, karena itu, aku mau memberi obat kepada muridmu dengan jaminan bahwa paling lama tiga hari dia pasti sembuh, sebaliknya akupun ingin meminta sesuatu darimu.”

Kok Bang Lama tertawa. “Ha-ha-ha, baru sekali ini aku bertemu dengan bocah secerdik engkau. Baiklah, kau mau minta apa?”

“Karena engkau seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, maka aku minta diberi ilmu yang dapat mengalahkan semua ilmuku, termasuk ilmu pedangku.”


Sepasang mata yang lebar dan besar itu terbelalak. “Wahhh... ilmu silatku banyak sekali macamnya, aku sendiri sampai tidak hafal lagi. Yang mana yang kauminta?”

“Yang mana saja, asal bisa menangkan semua ilmuku. Kau tadi menggunakan kedua lengan kosong untuk menghadapi pedangku, nah, aku mau kauajarkan ilmu sin-kang itu kepadaku.”

“Ha-ha-ha, menggunakan tangan kosong menghadapi senjata hanyalah mampu dilakukan orang yang memiliki Thian-te Sin-ciang. Kau mau minta sin-kang istimewa yang khas hanya dimiliki olehku ini?”

“Tidak perduli apa namanya dan bagaimana macamnya, pokoknya aku ingin menukar obatku dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang itu. Kalau kau mau, boleh. Kalau tidak, aku mau pergi sekarang. Sahabatku sudah menunggu dan nyawanya tinggal dua hari lagi.” Sambil berkata demikian, dengan lagak “jual malah” In Hong membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.

“Eeiiitttt... nanti dulu...!” Sekali berkelebat Kok Beng Lama sudah mencelat dan melampaui tubuh In Hong, tahu-tahu sudah berdiri menghadang, membuat dara itu menjadi makin kagum. Pantas gurunya tidak mampu menandingi hwesio Lama ini, memang amat luar biasa kepandaiannya.

“Kau mau atau tidak?” In Hong berkata.

“Kaukira mudah saja mempelajari Thian-te Sin-ciang? Untuk memperoleh ilmu ini kau harus berlatih sedikitnya lima tahun!”

“Tidak perduli, pendeknya aku ingin memiliki ilmu itu, sekarang juga. Dan jangan kau mencoba untuk menipuku, Lama, karena aku cukup tahu bahwa menurunkan sin-kang kepada seseorang, sang guru dapat pula menyalurkan hawa murni kepada si murid dan dengan cara demikian akan dapatlah ilmu itu dikuasai secara langsung.”

“Wah, kau minta yang bukan-bukan!”

“Kenapa yang bukan-bukan? Dengan memberikan itu kepadaku, engkau tidak akan kehilangan apa-apa dan tenaga yang hilang oleh penyaluran itupun akan mudah terisi kembali.”

“Ha-ha, agaknya engkau cukup tahu akan segala hal ihwal pengoperan tenaga sin-kang, nona. Akan tetapi engkau tentu tahu pula bahwa ilmu simpanan seseorang hanya bisa diberikan kepada seorang muridnya.”

“Aku tidak akan menjadi muridmu dan engkau bukan guruku. Tidak ada hubungan guru dan murid antara kita, bahkan saling mengenal namapun tidak. Kita hanya saling menukar sesuatu yang berharga. Bagaimana, mau tidak kau menukar Thian-te Sin-ciang dengan obat untuk muridmu?”

Andaikata Kok Beng Lama masih waras pikirannya, tentu dia akan memikirkan hal ini lebih mendalam den tidak akan memberikan ilmunya begitu saja. Akan tetapi dia dalam keadaan bingung, maka dia lalu menghela nafas. “Baiklah, baiklah... nah, kauobati muridku dan aku akan memberi Thian-te Sin-ciang kepadamu.”

“Tidak, engkau serahkan dulu ilmu itu, baru aku obati muridmu.”

“Hemm, kenapa begitu?”

“Pendeta Lama, di antara engkau den aku, sudah jelas bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi. Kalau aku obati dulu muridmu dan engkau ingkar janji, aku tidak akan bisa apa-apa terhadapmu. Sebaliknya, kalau kauberikan dulu ilmu itu, kemudian aku tentu tidak mungkin berani ingkar janji terhadapmu karena engkau akan dapat dengan mudah mengalahkan aku. Nah, ini sudah adil, bukan? Dan lagi, setelah kau memberikan ilmu Thian-te Sin-ciang kepadaku, aku akan menyerahkan obat kepadumu lalu pergi karena aku sudah meninggalkan sahabatku yang terluka itu selama satu hari satu malam. Nyawanya tinggal dua hari lagi umurnya, maka aku harus cepat pergi.”

“Wah-wah, kau memang cerdik dan banyak akal bulusmu. Mana bisa kau mau menipu aku? Bagaimana kalau obat yang kauberikan itu palsu dan ternyata tidak bisa menolong muridku dalam tiga hari?”

“Habis, hadirnya Yok-mo ini untuk apa? Dialah saksi yang paling berharga. Dia akan tahu apakah obatku itu betul mujarab atau tidak setelah kuobatkan kepada muridmu.”

Yok-mo yang sejak tadi mendengarkan perbantahan itu, ingin cepat-cepat terbebas dari dua orang muda dan tua yang sama-sama tiak disenanginya itu. Dia mengangguk. “Benar, kalau obat itu palsu dan tidak mujarab, aku tentu akan segera tahu. Akupun ingin melihat apakah dia tidak membohongi orang-orang tua.”

“Kalau aku bohong, apa sukarnya bagi Lama ini untuk membunuhku?” In Hong membantah.

Kok Beng Lama merasa kalah bicara. Dia mengangguk-angguk lalu duduk bersila. “Kau kesinilah dan duduk bersila di depanku,” dia berkata dengan nada memerintah.

In Hong girang sekali dan cepat dia duduk bersila di depan kakek itu. Si kakek menarik napas panjang. Duduk berhadapan demikian dekatnya dengan dara muda yang cantik jelita ini membuat dia teringat akan puterinya dan tiba-tiba dia menangis! Tentu saja In Hong menjadi terkejut dan mengangkat muka. Melihat kakek itu menangis terisak-isak dan air matanya bercucuran, In Hong bergidik dan merasa serem. Tentu ada suatu hal yang amat hebat menimpa diri kakek sakti ini yang membuat terguncang batinnya dan membuat kakek setua itu dapat menangis mengguguk seperti ini. Karena gemblengan paksaan, In Hong menjadi scorang dara yang berhati dingin, akan tetapi pada dasarnya dia memiliki watak yang lincah, halus dan perasa seperti mendiang ibunya. Maka kini menghadapi keadaan kakek tua renta itu, tak dapat dicegah lagi air matanyapun bercucuran!

Hal ini amat menguntungkan In Hong. Kok Beng Lama yang sudah agak sinting itu, merasa seolah-olah berhadapan dengan puterinya. Dia merangkul dan mengeluh. “Anakku... ah, anakku...” Dan In Hong balas merangkul. Sejenak mereka saling berpelukan sambil menangis.


Gila...! Gendeng orang-orang kang-ouw ini...” Yok-mo yang menonton pertunjukan aneh itu menggeleng-geleng kepala berkali-kali.

“Harap... harap kauberikan ilmu itu kepadaku...” In Hong berbisik, hatinya masih terharu sekali. Hal ini adalah kakeg itu tadi menyebutnya “anakku” yang tentu saja mengingatkan dia bahwa dia telah tidak berayah ibu lagi, bahkan dia belum pernah melihat atau tidak ingat lagi bagaimana wajah ayahnya dan ibunya. Maka, mendengar kakek ini menganggap dia sebagai anaknya, tentu saja mengingatkan dia kepada ayahnya menimbulkan keharuan.

“Terimalah, anakku... terimalah... kaubuka seluruh jalan darahmu, buka pusarmu dan jangan melawan aku... aku akan memasukkan Thian-te Sin-kang kepadamu yang menjadi dasar Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang...”

In Hong bersila dan “membuka” semua jalan darah dan pusarnya. Tiba-tiba kedua telapak tangan yang amat lebar dari pendeta itu menyentuh ubun-ubun kepalanya dan pusarnya. Terasa olehnya hawa yang hangat dan amat kuat mamasuki tubuhnya, berputaran di seluruh tubuh untuk kemudian berkumpul di pusar, bercampur dengan hawa sakti miliknya sendiri. Tubuhnya tergetar, kemudian menggigil dan berkelojotan. Hampir dia tidak kuat menahan, kemudian terdengar bisikan suara kakek itu, “Perlahan-lahan kerahkan tenaga dari pusar, kuasai tenaga yang meliar itu sampai berputaran di pusar, pusatkan kekuatan dan seturuh perhatianmu...”

Dengan membuta In Hong mentaati perintah ini, dan dia terus mendengarkan perintah kakek itu yang merupakan petunjuk dan teori pengendalian tenaga Thian-te Sin-kang. Hampir tiga jam mereka duduk bersila berhadapan dan akhirnya In Hong dapat menguasai tenaga sakti mujijat yang liar itu. Keadaan itu hampir sama dengan menaklukkan seekor kuda liar. Mula-mula kuda itu meronta dan melawan, meloncat dan hendak membedal, akan tetapi setelah akhirnya dapat dijinakkan, menjadi penurut dan bergerak ke mana saja menurut kemauan yang menguasainya.

Setelah membuka matanya dan wajahnya, masih pucat sekali, In Hong dengan penuh perhatian mendengarkan petunjuk-petunjuk tentang teori Thian-te Sin-ciang. Cukup ruwet teori ilmu silat ini, akan tetapi sebagai seorang gadis yang cerdas dapat menerima dan menghafal teori itu dalam waktu dua jam. Tentu saja teori itu membutuhkan latihan, akan tetapi dengan dasar tenaga sin-kang Thian-te Sin-kang yang telah dikuasainya, dia akan dapat melatih ilmu itu dengan cepat.

Kok Beng Lama bangkit berdiri dengan tubuh agak lemas dan mukanya pucat. Dia telah menggunakan banyak tenaga, bahkan kehilangan banyak sin-kang, namun hatinya puas karena anak perempuan yang seperti anaknya ini dapat menerima ilmu demikian cepatnya.

“Sudah cukup... kau telah menguasai Thian-te Sin-ciang asal kau rajin berlatih...”

Hati In Hong masih diliputi keharuan. Dia tadi merasa betapa kakek itu menurunkan ilmu kepandaiannya penuh kasih sayang seperti kepada anaknya sendiri. Dan, memang demikianlah keadaannya. Andaikata tidak ada kasih sayang ini, kiranya tidak mudah untuk menerima penyaluran tenaga mujijat seperti Thian-te Sin-kang tadi. Maka kini In Hong menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih kepada locianpwe.”

“Hushh, ingat. Kita bukan guru dan murid, bukan apa-apa, bukan sanak bukan kadang bukan tidak saling mengenal. Hayo cepat kauobati muridku.”

In Hong tidak berani, bersikap kasar lagi. Dia mengangguk, lalu mengeluarkan obat penawar Siang-tok-swa, menghampirl Lie Seng dan memeriksa. Diam-diam dia menyesal sekali atas perbuatan gurunya yang terlalu kejam. Anak ini terkena Siang-tok-swa di dada, muka dan perutnya! Cepat dia menaruhkan obat bubuk yang dicampur air dan diborehkan ke tempat-tempat yang terluka dan menghitam itu, kemudian dia memasak sebungkus obat lalu obat itu diminumkannya kepada Lie Seng. Diam-dam dara inipun kagum bukan main karena sejak tadi dia tidak mendengar anak itu mengeluh sedikitpun! Benar-benar seorang bocah yang luar biasa dan sudah patut menjadi murid seorang sakti seperti pendeta Lama itu.

Sejam kemudian, hari sudah mulai sore dan Yok-mo memeriksa keadaan Lie Sang. Dia mengangguk-angguk. “Lama, kau percayalah. Obat boreh dan obat minum itu benar-benar manjur sekali dan agaknya memang khusus dibuat untuk mengobati luka karena Siang-tok-swa. Muridmu sudah hampir sembuh dan dalam waktu dua hari saja kurasa dia sudah akan terbebas dari pengaruh racun.”

Kok Bang Lama tertawa girang sekali. “Ha-ha-ha, tidak percuma kalau begitu aku menyerahkan ilmu kepadamu, nona. Ha-ha-ha!”

In Hong lalu menyerahkan obat untuk Lie Seng kepada Yok-mo, kemudian dia berpamit setelah menjura kepada Yok-mo dengan ucapan terima kasih, kemudian memberi hormat kepada Kok Beng Lama sambil berkata, “Biarpun teecu bukan murid locianpwe, namun teceu berjanji bahwa Ilmu Thian-te Sin-ciang tidak akan teecu pergunakan secara sembarangan dan akan merupakan ilmu simpanan teecu. Sekali lagi teecu menghaturkan terima kasih.”

“Ha-ha-ha, kalau kaupergunakan dengan sembarangan, apa sukarnya bagiku untuk mencarimu dan mencabutnya kembali berikut nyawamu? Ha-ha-ha!”

In Hong menjura lalu membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap dari tempat itu. Yok-mo bengong dan menggeleng-geleng kepala. “Nona itu dahsyat bukan main, sinar dingin di wajahnya menunjukkan dendam kebencian yang mendalam. Kini ditambah ilmu pemberianmu, Lama, sama dengan memberi sayap kepada seekor harimau.”

Akan tetapi Kok Beng Lama tidak memperhatikan ucapan itu. Hatinya terlampau girang melihat Lie Seng tertolong karena dia telah menganggap bocah itu sebagai muridnya. Memang Kok Beng Lama telah berobah sekali dibandingkan dengan wataknya sebelum dia mengalami pukulan batin yang hebat. Dulu tidak mudah bagi siapapun untuk menjadi murid kakek sakti ini. Akan tetapi kini, begitu bertemu dengan Lie Seng, tanpa tanya-tanya dulu apakah bocah itu mau atau tidak menjadi muridnya, tanpa menyelidiki lebih dulu siapa bocah itu dan anak siapa, dia sudah begitu saja menganggap bocah itu sebagai muridnya! Dan tanpa menanyakan nama In Hong, sama sekali tidak mengenalnya, dia sudah begitu saja menyerahkan ilmu yang merupakan satu di antara ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan ampuh!



Ah, untung engkau keburu datang, lihiap!” pemuda murid Bu-tong-pai itu berseru dengan suara lega. “Aku khawatir dia sudah dalam sekarat...”

In Hong terkejut mendengar sambutan murid Bu-tong-pai itu dan cepat dia mengikuti masuk dalam kuil tua. Dan benar saja, orang yang tersiksa itu rebah dengan mata tertutup, muka kehitaman dan napas tinggal satu-satu. Dua orang murid Bu-tong-pai yang menjaga di situ juga kelihatan girang melihat datangnya penolong mereka. Cepat mereka itu membantu In Hong mencari dan memasak air, kemudian dengan paksa mereka membantu In Hong mencekokkan obat yang dibawa oleh In Hong itu ke dalam perut pemuda yang sekarat melalui mulutnya yang dibuka dengan paksa.

Mereka berempat menunggu dengan hati tegang, ingin menyaksikan bagaimana pengaruh obat ymg didapatkan dari Yok-mo yang terkenal itu. Satu jam mereka menanti penuh ketegangan, karena mereka seolah-olah melihat pemuda itu bergulat dengan elmaut. Detik jantung pemuda itu amat lemah dan napasnya Senin Kemis, kadang-kadang menggeliat-geliat seperti orang dalam sekarat.

Tiba-tiba terdengar suare berkeruyuk dari perut Bun Houw. Empat orang muda itu memperhatikan. Suara berkeruyuk itu sambung-menyambung dan perut pemuda itu bergerak-gerak, terus bergerak dan kini naik ke dada. Tiba-tiba pemuda itu muntah dan cepat sekali In Hong melompat dan membantu pemuda itu duduk sehingga pemuda itu dapat muntah ke pinggir dalam keadaan setengah rebah miring. Lengan In Hong terkena muntahan yang ternyata adalah darah hitam yang berbau busuk!

Tiga orang murid Bu-tong-pai itu benar-benar merasa kagum sekali melihat betapa tekun den penuh perhatian In Hong merawat Bun Houw. Padahal wanita sakti penolong mereka itu sama sekali tidak mengenal pemuda itu, seperti juga tidak mengenal mereka. Juga mereka melihat betapa sinar mata yang biasanya dingin itu menjadi berseri ketika melihat bahwa pernapasan Bun Houw kini menjadi lebih tenang dan detik jantungnya lebih kuat, tanda bahwa obat itu memang manjur sekali.

“Dia tertolong, dan kalian bertiga boleh pergi sekarang,” kata In Hong setelah melihat Bun Houw tidur nyenyak dengan napas tenang dan muka pemuda itu tidak begitu menghitam lagi.

Dua orang gadis Bu-tong-pai itu memandang dengan mata terharu dan pemuda yang menjadi suheng mereka memandang kagum.

“Lihiap, kami akan kembali ke Bu-tong-pai untuk melapor kepada suhu kami. Setelah menerima pertolongan lihiap dan berkumpul beberapa lama, mustahil kalau kami tidak memperkenalkan diri. Saya bernama Sim Hoat, ini adalah sumoi Lim Soan Li, dan dia itu adalah sumoi Coa Gin Hwa. Kami masih tinggal di Bu-tong-san karena belum tamat belajar dari suhu kami, ketua Bu-tong-pai Thian Cin Cu Tojin. Sudilah kiranya lihiap memperkenalkan nama, karena tanpa ada pertolongan lihiap, kami bertiga tentu sudah tidak hidup lagi. Kami berhutang budi dan tentu suhu akan marah kalau kami tidak dapat memberi tahu kepada beliau siapa lihiap yang telah menyelamatkan nyawa kami.”

In Hong mengerutkan alisnya. Sudah berkali-kali dia mengalami bahwa jika orang mengenalnya sebagai murid ketua Giok-hong-pang, orang akan menggolongkan dia sebagai orang sesat atau golongan hitam. Dan merasa malu untuk digolongkan dengan kaum sesat yang selalu mengumbar nafsu tidak segan-segan melakukan kejahatan. Tidak, dia bukan orang macam itu!

“Terima kasih atas kebaikan sam-wi. Akan tetapi aku tidak punya nama dan peristiwa kecil itu tidak perlu mengikat kita. Sebaiknya kita melupakan saja hal yang telah lalu dan aku tidak pernah menolong sam-wi. Baik ikatan budi maupun ikatan dendam hanya merepotkan hidup saja. Pergilah dan di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi.”

Tiga orang murid Bu-tong-pai itu saling pandang dan menarik napas panjang. Banyak terdapat orang sakti yang berwatak aneh di dunia ini, akan tetapi penolong mereka ini masih begini muda, lebih muda dari mereka, aken tetapi berwatak begini dingin dan aneh, seolah-olah tidak suka berhubuhgan dengan manusia lain, akan tetapi yang jelas sanggup mengorbankan apa saja untuk menolong orang lain yang sama sekali belum dikenalnya. Seorang dara yang luar biasa! Apalagi bagi Sim Hoat pemuda Bu-tong-pai ini, dia sekaligus sudah jatuh cinta kepada dara luar biasa yang selain sakti juga amat cantik jelita ini! Terpaksa mereka lalu berpamit, memberi hormat meninggalkan kuil dalam hujan lebat itu untuk pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan kepada suhu mereka tentang kematian suheng mereka di Lembah Bunga Merah dan tentang kegagahan mereka membalas dendam.

Setelah mereka itu pergi, In Hong merawat Bun Houw seorang diri dengan tekun dan penuh perhatian. Setiap kali dia mencekokkan pel hitam yang dicampur air matang ke dalam perut pemuda itu, Bun Houw muntahkan darah hitam. Sampai dua hari pemuda itu terus muntah setiap habis makan pel, akan tetapi setelah dicekoki pel yang ketujuh, dia tidak muntah lagi dan mukanya sudah menjadi bersih dari warna hitam! Pada hari ketiga, mukanya mulai agak kemerahan dan kini napasnya sudah teratur sehat dan detik jantungnya juga sudah menjadi kuat. Tentu saja In Hong menjadi girang sekali. Tiga hari tiga malam lamanya dia tidak tidur maka kini saking lelahnya, dia tertidur menyandar tembok tidak jauh dari Bun Houw yang masih rebah tidak sadar di atas lantai.

Sehabis memberi minum pel yang kedelapan di siang hari, In Hong tertidur sambil duduk bersandar tembok. Saking lelahnya, dia telah tidur setengah hari dan siang telah terganti senja hampir golap, namun dia masih juga belum bangun. Di dalam tidurnya In Hong bermimpi. Dia diajak berjalan-jalan di dalam sebuah taman bunga yang indah, penuh bunga-bunga mekar semerbak harum, tangannya digandeng oleh Bun Houw den dia mandah saja. Bahkan dia merasakan suatu kebahagiaan yang belum pernah dialami sebelumnya. Wajah Bun Houw berseri-seri, demikian tampan, sikapnya demikian gagah dan melindungi. Dia sudah begitu hafal akan wajah Bun Houw yang setiap saat dipandangnya itu, hafal akan garis dan lekak-lekuk wajah itu, dan kini wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya, mata yang bersinar-sinar tajam itu memandang mesra, seolah-olah membelainya dengan pandang mata, dan senyum yang menawan itu khusus ditujukan kepadanya. Dia menjadi malu, perasaan malu yang luar biasa, perasaan malu dan jengah yang amat mengguncang hatinya, mengusap kalbu dan mendatangkan perasaan bahagia yang sukar dituturkan dengan kata-kata. Akan tetapi tiba-tiba pemude itu mengeluh, In Hong terkejut dan... dia tersadar, membuka mata, memandang ke kenan, ke arah pemuda yang tadi masih rebah tak sadar, karena sebelum tidur seluruh perhatiannya tercurah kepada Bun Houw, maka biarpun dia tidur nyenyak sekali, sedikit saja pamuda itu mengeluh sudah cukup untuk menyadarkannya.


Kenapa kau tidak membunuhku? Bunuh saja aku, tidak ada gunanya kausiksa dan kaubujuk. Kau... perempuan hina dina, perempuan keparat jahanam!” Pemuda itu memaki-maki, pandang matanya penuh kebencian ditujukan ke arah In Hong. Di dalam ruangan kuil itu sudah mulai gelap.

In Hong lalu meloncat bangun, menjenguk keluar jendela butut untuk mengira-ngira waktu. Cuaca sudah mulai gelap, sudah tiba waktunya pemuda itu menelan pel hitam kesembilan, pal yang terakhir dan dia girang sekali karena pemuda itu kini sembuh, buktinya sudah sadar dan sudah penuh semangat hidup kembali, sudah dapat marah-marah dan memaki-maki! Dia tahu bahwa pemuda itu mengira dia seorang di antara para musuh-musuh yang menyiksanya, maka makian itu tidak menyakitkan hati, bahkan menggelikan.

Tanpa thenjewab, In Hong mengambil air matang dari panci butut di sudut ruangan, menuangkan ke dalam mangkok, mengambil obat pel terakhir dan menghampiri Bun Houw.

Seperti biasa, tanpa bicara apa-apa dia meletakkan mangkok di atas lantai, menggenggam pel di tangan kanan dan lengan kirinya menyangga punggung pemuda itu dan diangkatnya pemuda itu untuk bangkit setengah duduk. Akan tetapi Bun Houw yang dirangkul itu meronta. “Aku tidak sudi...! Lepaskan, kau pemmpuan hina...!” Pemuda itu menggerakkan tangannya hendak memukul, akan tetapi dia mengeluh dan kedua lengannya tergantung lemas karena luka di kedua pundaknya masih belum sembuh benar sehingga sedikit gerakan saja membuat tulang-tulang pundaknya seperti ditusuk-tusuk rasanya.

“Tenanglah, engkau harus menelan pel sebutir lagi dan engkau akan sembuh sama sekali. Buka mulutmu, telah pel ini dan minum air ini.”

Akan tetapi Bun Houw menggeleng kepalanya dan memandang wajah yang cantik itu dengan sinar mata penuh kebencian dan kemarahan. “Perempumn hina, percuma saja Thian mengaruniai padamu wajah secantik ini, temyata engkau hanya seorang manusia berhati iblis, seperti ular beracun, hamba dari nafsu yang cabul!” Bun Houw mengira bahwa gadis yang amat cantik ini tentu saudara seperguruan dari Ai-kwi dan Ai-kiauw.

Wajah In Hong menjadi merah sekali. Kalau saja bukan pemuda ini yang memakinya seperti itu, kalau saja dia tidak tidak tahu benar bahwa pemuda ini salah sangka, kalau saja dia masih seperti In Hong beberapa hari yang lalu, makian itu sudah cukup baginya untuk membunuh laki-laki ini! Huh, laki-laki berani memaski dia secara demikian menghina! Akan tetapi kini dia tahu betul bahwa pemuda ini bukanlah laki-laki perusak wanita, bahkan sebaliknya, dia mempertahankan diri terhadap bujuk rayu wanita-wanita cabul dan hina. Makiannya itu hanya menunjukkan betapa pemuda ini di saat terakhir pun masih tetap tidak sudi melayani bujuk rayu itu, masih tetap mempertahankan kegagahannya dengan menentang maut! Makin kagumlah hati In Hong.

“Orang she Bun, engkau salah kira...” Dia berkata lirih. “Engkau sudah bukan tawanan lagi, dan aku hanya membantumu menelan pel kesembilan ini yang telah menyelamatkan nyawamu dari ancaman racun kelabang hitam.”

Bun Houw mendengarkan suara ini dan matanya perlahan-lahan terbuka lebar. Dia memandang wajah itu, yang tidak begitu jelas karena cuaca yang mulai gelap, dan dia memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di sebuah ruangan kuil yang rusak.

“Kau... kau... siapakah...? Kau... bukan... seorang di antara mereka...?”

Ing Hong tersenyum dan giginya yang putih sempat berkilau di dalam gelap. Dia menggeleng kepalanya. “Telanlah dulu pel ini, dan minum air di mangkok ini...” katanya lirih.

Bun Houw masih bingung, akan tetapi kini mulailah kesadarannya kembali. Siapapun adanya wanita ini, jelas bahwa wanita ini tidak berniat buruk terhadap dirinya, bukan meracuni ataupun merayu. Bukan demikian sikap orang merayu, biarpun lengan wanita ini merangkul punggungnya. Dan kalau wanita ini hendak membunuhnya atau meracuninya, bukan demikian pula sikapnya. Dan lagi, setelah mengalami siksaan seperti itu, apalagi yang ditakutinya. Dia lalu membuka bibirnya menerima pel yang dimasukkan ke dalam mulutnya, pel yang berbau sedap dan terasa pahit, kemudian menelan pel itu bersama air dari mangkok yang ditempelkan di bibirnya oleh wanita itu. Kemudian wanita itu merebahkan dia kembali ke atas lantai.

Tanpa bicara In Hong mengembalikan mangkok kosong ke sudut ruangan, lalu membuat api dari kayu-kayu kering di sudut ruangan itu, agak jauh dari Bun Houw. Dengan alat seadanya yang disediakan oleh murid-murid Bu-tong-pai, dia memasak bubur dan semua pekerjaan ini dilakukan dengan mulut tertutup, biarpun dia maklum bahwa sepasang mata selalu mengikuti setiap gerakannya, memandanginya di bawah penerangan api unggun yang kemerahan. Sepasang mata yang memandang penuh keheranan, penuh pertanyaan dan keraguan. Sepasang mata itu terus memandanginya seperti mata seorang anak kecil memandang orang yang baru pertama kali dijumpainya, ketika In Hong menyuapkan bubur ke mulut pemuda itu. Akhirnya sepasang mata itu tertutup kembali, tertidur nyenyak.

In Hong lalu makan pula, makan bubur dengan sayur asin sederhana sebagai lauknya, akan tetapi karena hatinya lega dan perutnya lapar, rasanya belum pernah dia makan selezat itu. Kemudian dia pun tidur tidak jauh dari Bun Houw, tidur dengan nyenyak tanpa mimpi semalam suntuk.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali In Hong sudah bangun. Tubuhnya terasa segar dan cepat dia keluar dari kuil, kini berlatih ilmu yang baru saja dipelajarinya dari pendeta Lama raksasa itu. Dia bersila dan mengumpulkan hawa murni, menggerak-gerakkan sin-kang yang sudah terkumpul di dalam pusar, melatih perlahan-lahan sehingga “kuda liar” yang amat kuat itu tunduk kepada kemauannya dan dia dapat mengalirkan Thian-te Sin-kang itu sampai ke ujung-ujung jari tangannya, akan tetapi belum dapat sepenuhnya.


Setelah merasa cukup berlatih, dia lalu pergi ke sumber air di tengah hutan, menanggalkan pakaiannya dan mandi sampai bersih. Segar bukan main rasanya, lenyap seluruh sisa kelesuan dan kelelahan tubuhnya. Sambil berdendang In Hong mencuci pula rambutnya yang dianggapnya tentu kotor. Tiba-tiba dia berhenti di tengah-tengah dendangnya dan mukanya teran panas. Dia menengok ke kanan kiri, menarik napas lege karena tidak ada orang lain yang melihat dan mendengarnya, cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya membersihkan seluruh tubuh lalu memakai kembali pakaiannya, duduk memeras air dari rambutnya yang hitam panjang, mengurai rambut itu agar cepat kering sambil melamun.

Baru sadar dia akan keadaan dirinya sendiri. Dia berdendang? Belum pernah dia melihat dirinya sendiri seperti ini! Sejak kecil dia tidak pernah bernyanyi, sungguhpun dia tahu bahwa dia pandai menirukan semua nyanyian yang didengarnya dinyanyikan oleh para anggauta Giok-hong-pang dan bahwa suaranya cukup merdu. Tidak pernah selama hidupnya dia merasa begini gembira, begini bebas, begini lapang dadanya. Belum pernah selama hidupnya dia melihat pagi seindah itu, secerah itu sinar keemasan matahari pagi, semerdu itu suara kicau burung dan gemericik air dari sumber air, secantik itu daun-daun hijau terhias embun dan bunga-bunga beraneka warna, senyaman itu tarikan napasnya, membawa bau sedap pohon-pohonan dan keharuman bunga-bunga. Mengapa begini? Mengapa setelah melihat pemuda she Bun... dia terkejut dan cepat dia meloncat bangun ketika teringat kepada pemuda itu. Tentu telah bangun pemuda itu! Seperti orang takut kehilangan sesuatu yang amat berharga, In Hong meloncat den berlari cepat ke arah kuil, memegangi rambutnya yang masih terurai lepas dan terbang melambal-lambai di belakang tubuhnya ketika dia berlari cepat.

Dengan berindap-indap dia memasuki kuil, seolah-olah khawatir kalau mengejutkan pemuda itu dan dia menarik napas lega ketika melihat betapa Bun Houw masih rebah terlentang di atas lantai. Dia lalu duduk dengan perlahan, menyanggul rambutnya yang menjadi agak kering karena dibawa lari tadi, sambil menatap wajah pemuda itu. Betapa hafal dia sudah akan wajah yang tampan dan gagah itu, wajah agak kurus dan pucat karena banyak menderita dan hanya makan bubur sedikit setiap hari selama lima hari ini. Akan tetapi warna gelap sudah lenyap sama sekali dan kini wajah itu kelihatan makin tampan, ada warna merah sedikit pada pipi den bibir itu, tanda bahwa dia sudah sehat benar, hanya tinggal memulihkan tenaga saja. Hati In Hong dilanda rasa iba melihat pakaian yang kotor itu, rambut yang kusut dan pundak yang masih dibalut. Ada bekas-bekas darah pada pakaiannya dan keadaan pemuda itu sungguh mengharukan. Pakaian itu perlu dicuci, pikir In Hong yang sudah membayangkan betapa dia akan dengan senang hati mencucikan pakaian pemuda itu.

Tiba-tiba In Hong menghentikan lamunannya dan memandang penuh perhatian. Jantungnya berdebar tegang. Pemuda itu menggeliat, tubuhnya yang kuat seperti tubuh seekor harimau itu menggeliat dan menegang, akan tetapi ketika kedua lengannya direnggangkan, dia menahan rintihan dan membuka mata karena kedua pundaknya terasa nyeri.

Begitu membuka mata, seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk, Bun Houw bangkit duduk, menggigit bibir ketika merasa pundaknya kembali nyeri. Dia menoleh ke kanan kiri, lalu ke arah kaki tangan dan pundaknya dan kini dia menatap wajah In Hong yang duduk dengan tenang-tenang saja itu dengan mata penuh selidik. Seperti teringat sebuah mimpi, Bun Houw mengenal wajah ini yang pernah dilihatnya secara remang-remang, lalu dia menoleh ke sudut di mana terdapat panci dan mangkok, ke sudut lain di mana terdapat bekas api unggun dan dia teringat.

“Kau... eh, nona... apakah yang telah terjadi dengan diriku? Di mana aku sekarang ini berada...?” Tanyanya, kesadarannya membuat dia bingung melihat betapa dia yang tadinya ditawen dan disiksa oleh dua orang musuh besarnya itu tahu-tahu bisa berada di sini terbebas dari belenggu dan tubuhnya terasa sehat sama sekali, kecuali rasa nyeri pada kedua tulang pundaknya yang masih terbalut.

Dengan sikap dingin, bukan dingin sewajarnya seperti yang sudah menjadi sikapnya sejak kecil menurut gemblengan gurunya, melainkan sekali ini dingin buatan, seperti orang acuh tak acuh, seperti orang memandang rendah, In Hong menjawab lirih, “Di dalam sebuah kuil rusak...” Lalu dia menunduk dan merapikan bajunya, kemudian merapikan rambutnya yang tadi digelung, dan dipasangnya tusuk konde burung hong kumala di rambutnya.

Bun Houw tentu saja melihat betapa cantik jelitanya dara yang duduk di depannya itu, akan tetapi pada saat itu dia lebih memperhatikan keadaan luar kuil dari jendela ruangan itu yang terbuka karena hatinya masih diliputi keheranan besar. Dia melihat pohon-pohon lebat dan tahulah dia bahwa kuil tua ini berada di tengah hutan.

“Hemmm... di dalam sebuah kuil tua di tengah hutan. Dan... bagaimana aku bisa berada di sini? Bukankah tadinya aku berada dalam kamar tahanan di Lembah Bunga Merah?”

In Hong tidak menjawab, hanya memandang dan dua pasang mata saling bertemu, sejenak bertaut dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya. Melihat dara itu tidak menjawab, timbul pula kecurigaan Bun Houw dan dia menduga-duga. Apakah dara ini murid Hui-giakang Ciok Lee Kim? Akan tetapi tidak mungkin, karene jelas bahwa dara ini memperlakukan dirinya dengan baik, memberi obat dan menyiapkan bubur!

“Ah, tentu ada yang menolongku keluar dari tempat itu, betapapun anehnya, hal itu mengingat bahwa aku tersiksa dan dibelenggu, kedua tulang pundakku dikait dengan besi kaitan...” Tiba-tiba dia teringat akan bayangan rahasia mimiliki gerakan cepat luar biasa, yang telah menyelamatkan dan membebaskan tiga orang tawanan Lembah Bunga Merah, yaitu tiga murid-murid Bu-tong-pai. “Nona, apakah engkau yang telah membebaskan tiga orang anak murid Bu-tong-pai dari Lembah Bunga Merah?” Dia memandang tajam penuh selidik.

In Hong mengangkat muka, ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata penuh selidik itu, dia merasakan sesuatu yang aneh pada jantungya. Dia berdebar malu, dan... bangga! Sungguh dia hampir tidak mengenal diriya sendiri, perasaannya sendiri, mengapa sekarang menjadi begini aneh? Dia hanya mengangguk dan menunduk lagi.

Kalau begitu... agaknya engkau pula yang telah menolong aku, nona?” pertanyaan ini diajukan oleh Bun Houw dengan pandang mata penuh keheranan, hampir tidak percaya. Mana mungkin seorang gadis muda seperti ini, yang begini cantik jelita, begini pendiam dan agaknya pemalu, dapat menolong dia yang sudah terbelenggu dan dikait tulang punggungnya dari tangan lima orang sakti dan anak buah Lembah Bunga Merah?

Akan tetapi kembali dara itu mengangguk!

Hening sejenak karena Bun Houw terlalu heran dan terkejut sehingga sampai lama dia hanya bengong saja memandang wajah dara itu. Kalau yang menolongnya itu gurunya, Kok Beng Lama misalnya, atau ayahnya dan ibunya sendiri, masih tidak terlalu aneh. Akan tetapi dara ini! Dan bukan hanya menolongnyg keluar dari tahanan yang berbahaya itu, malah sudah menyembuhkannya, padahal dia masih ingat betul betapa dia tersiksa hebat oleh rasa nyeri dan tahu bahwa dia keracunan, bahkan menurut Hui-giakang Ciok Lee Kim dia hanya dapat bertahan hidup tiga hari saja! Buktinya sekarang dia sudah sembuh! Gadis ini pulakah yang menyembuhkannya? Tiba-tiba dia teringat dan cepat Bun Houw bangkit berdiri ketika dia melihat dara itu yang agaknya merasa tidak enak dipandanginya terus seperti itu telah bangkit berdiri di dekat jendela, memandang keluar, membelakanginya.

“Kalau begitu... aku telah kautolong, nona. Kau telah menyelamatkan nyawaku...! Betapa hebat dan besar budimu terhadap diriku, nona. Bagaimana aku harus mengatakan terima kasihku?” Kata Bun Houw gagap karena hatinya terharu, tahu betul dia betapa bahayanya menolong dia dari lembah maut itu, bahaya yang hanya dapat ditempuh dengan taruhan nyawa.

“Mengapa bingung-bingung?” In Hong menjawab tanpa menoleh. “Sudah saja jangan menyatakan terima kasih, aku tidak membutuhkan itu...”

Bun Houw menjadi makin bingung. Sikap gadis ini sungguh aneh. Melihat budinya yang demikian besar, jelas bahwa dara ini adalah seorang yang berhati milia, akan tetapi mengapa sikapnya demikian dingin? Jangan-jangan ada maksud tertentu di balik pertolongannya itu! Akan tetapi tak mungkin...!

“Sudikah engkau menceritakan bagaimama engkau dapat membebaskan aku dari tahanan itu, nona?”

In Hong membalikkan tubuhnya. Karena dia berdiri miring, sinar matahari yang menerobos masuk dari jendela tua itu menimpa separuh mukanya dan kelihatan cantik bukan main. Rambut yang baru saja dicuci itu berkilauan, anak rambut banyak yang bergumpal-gumpal kacau dan awut-awutan di sekitar dahi, pelipis dan leher. Manisnya sukar dilukiskan!

“Apa yang dapat diceritakan? Aku melihat engkau ditawan dan disiksa, lalu aku menggunakan kesempatan selagi lima orang sakti itu tidak menjagamu, aku merobohkan semua penjaga, anak buah Lembah Bunga Merah, lalu membawamu ke sini.” Kata-kata yang keluar dari mulut dara itu begitu bersahaja, seolah-olah menceritakan hal yang biasa saja, demikian penuh kerendahan hati sehingga Bun Houw menjadi makin terheran-heran dan kagum.

“Akan tetapi... apakah tidak ada di antara mereka yang merintangimu?”

In Hong mengangguk. “Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw menghadangku, akan tetapi aku dapat melewati mereka dengan selamat.”

Bun Houw terbelalak. Kakek den nenek pertapa itu lihai bukan main, dan tentu dara ini memanggulnya ketika melarikan dia, namun toh dapat membebaskan diri dari mereka. Bukan main!

Cepat dia menjura dengan penuh hormat yang dibalas oleh In Hong dengan kaku dan sembarangan. “Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang amat lihai! Sungguh beruntung sekali, karena tanpa pertolonganmu aku tentu tewas di tangan mereka. Terimalah ucapan terima kasihku yang sedalam-dalamnya, nona.”

Melihat pemuda itu kembali menjura dengan hormat, In Hong membalas dan berkata. “Sudah kukatakan, aku tidak membutuhkan terima kasih.”

“Dan aku telah keracunan, Toat-beng-kauw Bu Sit menusukkan jarum dengan racun kelabang hitam di tengkukku, sakitnya bukan main, seperti ribuan ekor semut menggigit dari dalam tubuhku, sampai aku tidak tahan... dan... aku tidak berdaya, tulang pundakku dikait baja pengait dan Hui-giakang Ciok Lee Kim mengatakan bahwa aku hanya dapat hidup tiga hari saja. Akan tetapi sekarang...” Bun Houw melihat kaki tangan dan pundaknya, “tidak ada bekas-bekasnya lagi! Agaknya engkau pula yang telah menyembuhkan aku dari ancaman racun kelabang hitam itu, nona?”

“Bukan aku, melainkan Yok-mo. Aku pergi ke puncak Gunung Cemara di mana tinggal Yok-mo, ahli obat gila. Aku memaksa dia memberikan obat untukmu dan ternyata kau sembuh.”

“Dan nona meninggalkan aku di sini ketika pergi mencari obat?”

“Tidak, tiga anak murid Bu-tong-pai menjagamu di sini. Setelah aku kembali membawa obat, baru mereka pulang ke Bu-tong-pai.”

“Aihhhh... dua kali engkau menyelamatkan nyawaku, nona!” Kembali Bun Houw menjura dengan terheran-heran dankagum sekali.

“Sudahlah, capek aku kalau terus-menerus membalas penghormatanmu!” In Hong mengomel dan cemberut, akan tetapi sebetulnya belum pernah dia merasa demikian girang hatinya.
Ah, untung engkau keburu datang, lihiap!” pemuda murid Bu-tong-pai itu berseru dengan suara lega. “Aku khawatir dia sudah dalam sekarat...”

In Hong terkejut mendengar sambutan murid Bu-tong-pai itu dan cepat dia mengikuti masuk dalam kuil tua. Dan benar saja, orang yang tersiksa itu rebah dengan mata tertutup, muka kehitaman dan napas tinggal satu-satu. Dua orang murid Bu-tong-pai yang menjaga di situ juga kelihatan girang melihat datangnya penolong mereka. Cepat mereka itu membantu In Hong mencari dan memasak air, kemudian dengan paksa mereka membantu In Hong mencekokkan obat yang dibawa oleh In Hong itu ke dalam perut pemuda yang sekarat melalui mulutnya yang dibuka dengan paksa.

Mereka berempat menunggu dengan hati tegang, ingin menyaksikan bagaimana pengaruh obat ymg didapatkan dari Yok-mo yang terkenal itu. Satu jam mereka menanti penuh ketegangan, karena mereka seolah-olah melihat pemuda itu bergulat dengan elmaut. Detik jantung pemuda itu amat lemah dan napasnya Senin Kemis, kadang-kadang menggeliat-geliat seperti orang dalam sekarat.

Tiba-tiba terdengar suare berkeruyuk dari perut Bun Houw. Empat orang muda itu memperhatikan. Suara berkeruyuk itu sambung-menyambung dan perut pemuda itu bergerak-gerak, terus bergerak dan kini naik ke dada. Tiba-tiba pemuda itu muntah dan cepat sekali In Hong melompat dan membantu pemuda itu duduk sehingga pemuda itu dapat muntah ke pinggir dalam keadaan setengah rebah miring. Lengan In Hong terkena muntahan yang ternyata adalah darah hitam yang berbau busuk!

Tiga orang murid Bu-tong-pai itu benar-benar merasa kagum sekali melihat betapa tekun den penuh perhatian In Hong merawat Bun Houw. Padahal wanita sakti penolong mereka itu sama sekali tidak mengenal pemuda itu, seperti juga tidak mengenal mereka. Juga mereka melihat betapa sinar mata yang biasanya dingin itu menjadi berseri ketika melihat bahwa pernapasan Bun Houw kini menjadi lebih tenang dan detik jantungnya lebih kuat, tanda bahwa obat itu memang manjur sekali.

“Dia tertolong, dan kalian bertiga boleh pergi sekarang,” kata In Hong setelah melihat Bun Houw tidur nyenyak dengan napas tenang dan muka pemuda itu tidak begitu menghitam lagi.

Dua orang gadis Bu-tong-pai itu memandang dengan mata terharu dan pemuda yang menjadi suheng mereka memandang kagum.

“Lihiap, kami akan kembali ke Bu-tong-pai untuk melapor kepada suhu kami. Setelah menerima pertolongan lihiap dan berkumpul beberapa lama, mustahil kalau kami tidak memperkenalkan diri. Saya bernama Sim Hoat, ini adalah sumoi Lim Soan Li, dan dia itu adalah sumoi Coa Gin Hwa. Kami masih tinggal di Bu-tong-san karena belum tamat belajar dari suhu kami, ketua Bu-tong-pai Thian Cin Cu Tojin. Sudilah kiranya lihiap memperkenalkan nama, karena tanpa ada pertolongan lihiap, kami bertiga tentu sudah tidak hidup lagi. Kami berhutang budi dan tentu suhu akan marah kalau kami tidak dapat memberi tahu kepada beliau siapa lihiap yang telah menyelamatkan nyawa kami.”

In Hong mengerutkan alisnya. Sudah berkali-kali dia mengalami bahwa jika orang mengenalnya sebagai murid ketua Giok-hong-pang, orang akan menggolongkan dia sebagai orang sesat atau golongan hitam. Dan merasa malu untuk digolongkan dengan kaum sesat yang selalu mengumbar nafsu tidak segan-segan melakukan kejahatan. Tidak, dia bukan orang macam itu!

“Terima kasih atas kebaikan sam-wi. Akan tetapi aku tidak punya nama dan peristiwa kecil itu tidak perlu mengikat kita. Sebaiknya kita melupakan saja hal yang telah lalu dan aku tidak pernah menolong sam-wi. Baik ikatan budi maupun ikatan dendam hanya merepotkan hidup saja. Pergilah dan di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi.”

Tiga orang murid Bu-tong-pai itu saling pandang dan menarik napas panjang. Banyak terdapat orang sakti yang berwatak aneh di dunia ini, akan tetapi penolong mereka ini masih begini muda, lebih muda dari mereka, aken tetapi berwatak begini dingin dan aneh, seolah-olah tidak suka berhubuhgan dengan manusia lain, akan tetapi yang jelas sanggup mengorbankan apa saja untuk menolong orang lain yang sama sekali belum dikenalnya. Seorang dara yang luar biasa! Apalagi bagi Sim Hoat pemuda Bu-tong-pai ini, dia sekaligus sudah jatuh cinta kepada dara luar biasa yang selain sakti juga amat cantik jelita ini! Terpaksa mereka lalu berpamit, memberi hormat meninggalkan kuil dalam hujan lebat itu untuk pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan kepada suhu mereka tentang kematian suheng mereka di Lembah Bunga Merah dan tentang kegagahan mereka membalas dendam.

Setelah mereka itu pergi, In Hong merawat Bun Houw seorang diri dengan tekun dan penuh perhatian. Setiap kali dia mencekokkan pel hitam yang dicampur air matang ke dalam perut pemuda itu, Bun Houw muntahkan darah hitam. Sampai dua hari pemuda itu terus muntah setiap habis makan pel, akan tetapi setelah dicekoki pel yang ketujuh, dia tidak muntah lagi dan mukanya sudah menjadi bersih dari warna hitam! Pada hari ketiga, mukanya mulai agak kemerahan dan kini napasnya sudah teratur sehat dan detik jantungnya juga sudah menjadi kuat. Tentu saja In Hong menjadi girang sekali. Tiga hari tiga malam lamanya dia tidak tidur maka kini saking lelahnya, dia tertidur menyandar tembok tidak jauh dari Bun Houw yang masih rebah tidak sadar di atas lantai.

Sehabis memberi minum pel yang kedelapan di siang hari, In Hong tertidur sambil duduk bersandar tembok. Saking lelahnya, dia telah tidur setengah hari dan siang telah terganti senja hampir golap, namun dia masih juga belum bangun. Di dalam tidurnya In Hong bermimpi. Dia diajak berjalan-jalan di dalam sebuah taman bunga yang indah, penuh bunga-bunga mekar semerbak harum, tangannya digandeng oleh Bun Houw den dia mandah saja. Bahkan dia merasakan suatu kebahagiaan yang belum pernah dialami sebelumnya. Wajah Bun Houw berseri-seri, demikian tampan, sikapnya demikian gagah dan melindungi. Dia sudah begitu hafal akan wajah Bun Houw yang setiap saat dipandangnya itu, hafal akan garis dan lekak-lekuk wajah itu, dan kini wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya, mata yang bersinar-sinar tajam itu memandang mesra, seolah-olah membelainya dengan pandang mata, dan senyum yang menawan itu khusus ditujukan kepadanya. Dia menjadi malu, perasaan malu yang luar biasa, perasaan malu dan jengah yang amat mengguncang hatinya, mengusap kalbu dan mendatangkan perasaan bahagia yang sukar dituturkan dengan kata-kata. Akan tetapi tiba-tiba pemude itu mengeluh, In Hong terkejut dan... dia tersadar, membuka mata, memandang ke kenan, ke arah pemuda yang tadi masih rebah tak sadar, karena sebelum tidur seluruh perhatiannya tercurah kepada Bun Houw, maka biarpun dia tidur nyenyak sekali, sedikit saja pamuda itu mengeluh sudah cukup untuk menyadarkannya.


Kenapa kau tidak membunuhku? Bunuh saja aku, tidak ada gunanya kausiksa dan kaubujuk. Kau... perempuan hina dina, perempuan keparat jahanam!” Pemuda itu memaki-maki, pandang matanya penuh kebencian ditujukan ke arah In Hong. Di dalam ruangan kuil itu sudah mulai gelap.

In Hong lalu meloncat bangun, menjenguk keluar jendela butut untuk mengira-ngira waktu. Cuaca sudah mulai gelap, sudah tiba waktunya pemuda itu menelan pel hitam kesembilan, pal yang terakhir dan dia girang sekali karena pemuda itu kini sembuh, buktinya sudah sadar dan sudah penuh semangat hidup kembali, sudah dapat marah-marah dan memaki-maki! Dia tahu bahwa pemuda itu mengira dia seorang di antara para musuh-musuh yang menyiksanya, maka makian itu tidak menyakitkan hati, bahkan menggelikan.

Tanpa thenjewab, In Hong mengambil air matang dari panci butut di sudut ruangan, menuangkan ke dalam mangkok, mengambil obat pel terakhir dan menghampiri Bun Houw.

Seperti biasa, tanpa bicara apa-apa dia meletakkan mangkok di atas lantai, menggenggam pel di tangan kanan dan lengan kirinya menyangga punggung pemuda itu dan diangkatnya pemuda itu untuk bangkit setengah duduk. Akan tetapi Bun Houw yang dirangkul itu meronta. “Aku tidak sudi...! Lepaskan, kau pemmpuan hina...!” Pemuda itu menggerakkan tangannya hendak memukul, akan tetapi dia mengeluh dan kedua lengannya tergantung lemas karena luka di kedua pundaknya masih belum sembuh benar sehingga sedikit gerakan saja membuat tulang-tulang pundaknya seperti ditusuk-tusuk rasanya.

“Tenanglah, engkau harus menelan pel sebutir lagi dan engkau akan sembuh sama sekali. Buka mulutmu, telah pel ini dan minum air ini.”

Akan tetapi Bun Houw menggeleng kepalanya dan memandang wajah yang cantik itu dengan sinar mata penuh kebencian dan kemarahan. “Perempumn hina, percuma saja Thian mengaruniai padamu wajah secantik ini, temyata engkau hanya seorang manusia berhati iblis, seperti ular beracun, hamba dari nafsu yang cabul!” Bun Houw mengira bahwa gadis yang amat cantik ini tentu saudara seperguruan dari Ai-kwi dan Ai-kiauw.

Wajah In Hong menjadi merah sekali. Kalau saja bukan pemuda ini yang memakinya seperti itu, kalau saja dia tidak tidak tahu benar bahwa pemuda ini salah sangka, kalau saja dia masih seperti In Hong beberapa hari yang lalu, makian itu sudah cukup baginya untuk membunuh laki-laki ini! Huh, laki-laki berani memaski dia secara demikian menghina! Akan tetapi kini dia tahu betul bahwa pemuda ini bukanlah laki-laki perusak wanita, bahkan sebaliknya, dia mempertahankan diri terhadap bujuk rayu wanita-wanita cabul dan hina. Makiannya itu hanya menunjukkan betapa pemuda ini di saat terakhir pun masih tetap tidak sudi melayani bujuk rayu itu, masih tetap mempertahankan kegagahannya dengan menentang maut! Makin kagumlah hati In Hong.

“Orang she Bun, engkau salah kira...” Dia berkata lirih. “Engkau sudah bukan tawanan lagi, dan aku hanya membantumu menelan pel kesembilan ini yang telah menyelamatkan nyawamu dari ancaman racun kelabang hitam.”

Bun Houw mendengarkan suara ini dan matanya perlahan-lahan terbuka lebar. Dia memandang wajah itu, yang tidak begitu jelas karena cuaca yang mulai gelap, dan dia memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di sebuah ruangan kuil yang rusak.

“Kau... kau... siapakah...? Kau... bukan... seorang di antara mereka...?”

Ing Hong tersenyum dan giginya yang putih sempat berkilau di dalam gelap. Dia menggeleng kepalanya. “Telanlah dulu pel ini, dan minum air di mangkok ini...” katanya lirih.

Bun Houw masih bingung, akan tetapi kini mulailah kesadarannya kembali. Siapapun adanya wanita ini, jelas bahwa wanita ini tidak berniat buruk terhadap dirinya, bukan meracuni ataupun merayu. Bukan demikian sikap orang merayu, biarpun lengan wanita ini merangkul punggungnya. Dan kalau wanita ini hendak membunuhnya atau meracuninya, bukan demikian pula sikapnya. Dan lagi, setelah mengalami siksaan seperti itu, apalagi yang ditakutinya. Dia lalu membuka bibirnya menerima pel yang dimasukkan ke dalam mulutnya, pel yang berbau sedap dan terasa pahit, kemudian menelan pel itu bersama air dari mangkok yang ditempelkan di bibirnya oleh wanita itu. Kemudian wanita itu merebahkan dia kembali ke atas lantai.

Tanpa bicara In Hong mengembalikan mangkok kosong ke sudut ruangan, lalu membuat api dari kayu-kayu kering di sudut ruangan itu, agak jauh dari Bun Houw. Dengan alat seadanya yang disediakan oleh murid-murid Bu-tong-pai, dia memasak bubur dan semua pekerjaan ini dilakukan dengan mulut tertutup, biarpun dia maklum bahwa sepasang mata selalu mengikuti setiap gerakannya, memandanginya di bawah penerangan api unggun yang kemerahan. Sepasang mata yang memandang penuh keheranan, penuh pertanyaan dan keraguan. Sepasang mata itu terus memandanginya seperti mata seorang anak kecil memandang orang yang baru pertama kali dijumpainya, ketika In Hong menyuapkan bubur ke mulut pemuda itu. Akhirnya sepasang mata itu tertutup kembali, tertidur nyenyak.

In Hong lalu makan pula, makan bubur dengan sayur asin sederhana sebagai lauknya, akan tetapi karena hatinya lega dan perutnya lapar, rasanya belum pernah dia makan selezat itu. Kemudian dia pun tidur tidak jauh dari Bun Houw, tidur dengan nyenyak tanpa mimpi semalam suntuk.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali In Hong sudah bangun. Tubuhnya terasa segar dan cepat dia keluar dari kuil, kini berlatih ilmu yang baru saja dipelajarinya dari pendeta Lama raksasa itu. Dia bersila dan mengumpulkan hawa murni, menggerak-gerakkan sin-kang yang sudah terkumpul di dalam pusar, melatih perlahan-lahan sehingga “kuda liar” yang amat kuat itu tunduk kepada kemauannya dan dia dapat mengalirkan Thian-te Sin-kang itu sampai ke ujung-ujung jari tangannya, akan tetapi belum dapat sepenuhnya.


Setelah merasa cukup berlatih, dia lalu pergi ke sumber air di tengah hutan, menanggalkan pakaiannya dan mandi sampai bersih. Segar bukan main rasanya, lenyap seluruh sisa kelesuan dan kelelahan tubuhnya. Sambil berdendang In Hong mencuci pula rambutnya yang dianggapnya tentu kotor. Tiba-tiba dia berhenti di tengah-tengah dendangnya dan mukanya teran panas. Dia menengok ke kanan kiri, menarik napas lege karena tidak ada orang lain yang melihat dan mendengarnya, cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya membersihkan seluruh tubuh lalu memakai kembali pakaiannya, duduk memeras air dari rambutnya yang hitam panjang, mengurai rambut itu agar cepat kering sambil melamun.

Baru sadar dia akan keadaan dirinya sendiri. Dia berdendang? Belum pernah dia melihat dirinya sendiri seperti ini! Sejak kecil dia tidak pernah bernyanyi, sungguhpun dia tahu bahwa dia pandai menirukan semua nyanyian yang didengarnya dinyanyikan oleh para anggauta Giok-hong-pang dan bahwa suaranya cukup merdu. Tidak pernah selama hidupnya dia merasa begini gembira, begini bebas, begini lapang dadanya. Belum pernah selama hidupnya dia melihat pagi seindah itu, secerah itu sinar keemasan matahari pagi, semerdu itu suara kicau burung dan gemericik air dari sumber air, secantik itu daun-daun hijau terhias embun dan bunga-bunga beraneka warna, senyaman itu tarikan napasnya, membawa bau sedap pohon-pohonan dan keharuman bunga-bunga. Mengapa begini? Mengapa setelah melihat pemuda she Bun... dia terkejut dan cepat dia meloncat bangun ketika teringat kepada pemuda itu. Tentu telah bangun pemuda itu! Seperti orang takut kehilangan sesuatu yang amat berharga, In Hong meloncat den berlari cepat ke arah kuil, memegangi rambutnya yang masih terurai lepas dan terbang melambal-lambai di belakang tubuhnya ketika dia berlari cepat.

Dengan berindap-indap dia memasuki kuil, seolah-olah khawatir kalau mengejutkan pemuda itu dan dia menarik napas lega ketika melihat betapa Bun Houw masih rebah terlentang di atas lantai. Dia lalu duduk dengan perlahan, menyanggul rambutnya yang menjadi agak kering karena dibawa lari tadi, sambil menatap wajah pemuda itu. Betapa hafal dia sudah akan wajah yang tampan dan gagah itu, wajah agak kurus dan pucat karena banyak menderita dan hanya makan bubur sedikit setiap hari selama lima hari ini. Akan tetapi warna gelap sudah lenyap sama sekali dan kini wajah itu kelihatan makin tampan, ada warna merah sedikit pada pipi den bibir itu, tanda bahwa dia sudah sehat benar, hanya tinggal memulihkan tenaga saja. Hati In Hong dilanda rasa iba melihat pakaian yang kotor itu, rambut yang kusut dan pundak yang masih dibalut. Ada bekas-bekas darah pada pakaiannya dan keadaan pemuda itu sungguh mengharukan. Pakaian itu perlu dicuci, pikir In Hong yang sudah membayangkan betapa dia akan dengan senang hati mencucikan pakaian pemuda itu.

Tiba-tiba In Hong menghentikan lamunannya dan memandang penuh perhatian. Jantungnya berdebar tegang. Pemuda itu menggeliat, tubuhnya yang kuat seperti tubuh seekor harimau itu menggeliat dan menegang, akan tetapi ketika kedua lengannya direnggangkan, dia menahan rintihan dan membuka mata karena kedua pundaknya terasa nyeri.

Begitu membuka mata, seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk, Bun Houw bangkit duduk, menggigit bibir ketika merasa pundaknya kembali nyeri. Dia menoleh ke kanan kiri, lalu ke arah kaki tangan dan pundaknya dan kini dia menatap wajah In Hong yang duduk dengan tenang-tenang saja itu dengan mata penuh selidik. Seperti teringat sebuah mimpi, Bun Houw mengenal wajah ini yang pernah dilihatnya secara remang-remang, lalu dia menoleh ke sudut di mana terdapat panci dan mangkok, ke sudut lain di mana terdapat bekas api unggun dan dia teringat.

“Kau... eh, nona... apakah yang telah terjadi dengan diriku? Di mana aku sekarang ini berada...?” Tanyanya, kesadarannya membuat dia bingung melihat betapa dia yang tadinya ditawen dan disiksa oleh dua orang musuh besarnya itu tahu-tahu bisa berada di sini terbebas dari belenggu dan tubuhnya terasa sehat sama sekali, kecuali rasa nyeri pada kedua tulang pundaknya yang masih terbalut.

Dengan sikap dingin, bukan dingin sewajarnya seperti yang sudah menjadi sikapnya sejak kecil menurut gemblengan gurunya, melainkan sekali ini dingin buatan, seperti orang acuh tak acuh, seperti orang memandang rendah, In Hong menjawab lirih, “Di dalam sebuah kuil rusak...” Lalu dia menunduk dan merapikan bajunya, kemudian merapikan rambutnya yang tadi digelung, dan dipasangnya tusuk konde burung hong kumala di rambutnya.

Bun Houw tentu saja melihat betapa cantik jelitanya dara yang duduk di depannya itu, akan tetapi pada saat itu dia lebih memperhatikan keadaan luar kuil dari jendela ruangan itu yang terbuka karena hatinya masih diliputi keheranan besar. Dia melihat pohon-pohon lebat dan tahulah dia bahwa kuil tua ini berada di tengah hutan.

“Hemmm... di dalam sebuah kuil tua di tengah hutan. Dan... bagaimana aku bisa berada di sini? Bukankah tadinya aku berada dalam kamar tahanan di Lembah Bunga Merah?”

In Hong tidak menjawab, hanya memandang dan dua pasang mata saling bertemu, sejenak bertaut dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya. Melihat dara itu tidak menjawab, timbul pula kecurigaan Bun Houw dan dia menduga-duga. Apakah dara ini murid Hui-giakang Ciok Lee Kim? Akan tetapi tidak mungkin, karene jelas bahwa dara ini memperlakukan dirinya dengan baik, memberi obat dan menyiapkan bubur!

“Ah, tentu ada yang menolongku keluar dari tempat itu, betapapun anehnya, hal itu mengingat bahwa aku tersiksa dan dibelenggu, kedua tulang pundakku dikait dengan besi kaitan...” Tiba-tiba dia teringat akan bayangan rahasia mimiliki gerakan cepat luar biasa, yang telah menyelamatkan dan membebaskan tiga orang tawanan Lembah Bunga Merah, yaitu tiga murid-murid Bu-tong-pai. “Nona, apakah engkau yang telah membebaskan tiga orang anak murid Bu-tong-pai dari Lembah Bunga Merah?” Dia memandang tajam penuh selidik.

In Hong mengangkat muka, ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata penuh selidik itu, dia merasakan sesuatu yang aneh pada jantungya. Dia berdebar malu, dan... bangga! Sungguh dia hampir tidak mengenal diriya sendiri, perasaannya sendiri, mengapa sekarang menjadi begini aneh? Dia hanya mengangguk dan menunduk lagi.


Kalau begitu... agaknya engkau pula yang telah menolong aku, nona?” pertanyaan ini diajukan oleh Bun Houw dengan pandang mata penuh keheranan, hampir tidak percaya. Mana mungkin seorang gadis muda seperti ini, yang begini cantik jelita, begini pendiam dan agaknya pemalu, dapat menolong dia yang sudah terbelenggu dan dikait tulang punggungnya dari tangan lima orang sakti dan anak buah Lembah Bunga Merah?

Akan tetapi kembali dara itu mengangguk!

Hening sejenak karena Bun Houw terlalu heran dan terkejut sehingga sampai lama dia hanya bengong saja memandang wajah dara itu. Kalau yang menolongnya itu gurunya, Kok Beng Lama misalnya, atau ayahnya dan ibunya sendiri, masih tidak terlalu aneh. Akan tetapi dara ini! Dan bukan hanya menolongnyg keluar dari tahanan yang berbahaya itu, malah sudah menyembuhkannya, padahal dia masih ingat betul betapa dia tersiksa hebat oleh rasa nyeri dan tahu bahwa dia keracunan, bahkan menurut Hui-giakang Ciok Lee Kim dia hanya dapat bertahan hidup tiga hari saja! Buktinya sekarang dia sudah sembuh! Gadis ini pulakah yang menyembuhkannya? Tiba-tiba dia teringat dan cepat Bun Houw bangkit berdiri ketika dia melihat dara itu yang agaknya merasa tidak enak dipandanginya terus seperti itu telah bangkit berdiri di dekat jendela, memandang keluar, membelakanginya.

“Kalau begitu... aku telah kautolong, nona. Kau telah menyelamatkan nyawaku...! Betapa hebat dan besar budimu terhadap diriku, nona. Bagaimana aku harus mengatakan terima kasihku?” Kata Bun Houw gagap karena hatinya terharu, tahu betul dia betapa bahayanya menolong dia dari lembah maut itu, bahaya yang hanya dapat ditempuh dengan taruhan nyawa.

“Mengapa bingung-bingung?” In Hong menjawab tanpa menoleh. “Sudah saja jangan menyatakan terima kasih, aku tidak membutuhkan itu...”

Bun Houw menjadi makin bingung. Sikap gadis ini sungguh aneh. Melihat budinya yang demikian besar, jelas bahwa dara ini adalah seorang yang berhati milia, akan tetapi mengapa sikapnya demikian dingin? Jangan-jangan ada maksud tertentu di balik pertolongannya itu! Akan tetapi tak mungkin...!

“Sudikah engkau menceritakan bagaimama engkau dapat membebaskan aku dari tahanan itu, nona?”

In Hong membalikkan tubuhnya. Karena dia berdiri miring, sinar matahari yang menerobos masuk dari jendela tua itu menimpa separuh mukanya dan kelihatan cantik bukan main. Rambut yang baru saja dicuci itu berkilauan, anak rambut banyak yang bergumpal-gumpal kacau dan awut-awutan di sekitar dahi, pelipis dan leher. Manisnya sukar dilukiskan!

“Apa yang dapat diceritakan? Aku melihat engkau ditawan dan disiksa, lalu aku menggunakan kesempatan selagi lima orang sakti itu tidak menjagamu, aku merobohkan semua penjaga, anak buah Lembah Bunga Merah, lalu membawamu ke sini.” Kata-kata yang keluar dari mulut dara itu begitu bersahaja, seolah-olah menceritakan hal yang biasa saja, demikian penuh kerendahan hati sehingga Bun Houw menjadi makin terheran-heran dan kagum.

“Akan tetapi... apakah tidak ada di antara mereka yang merintangimu?”

In Hong mengangguk. “Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw menghadangku, akan tetapi aku dapat melewati mereka dengan selamat.”

Bun Houw terbelalak. Kakek den nenek pertapa itu lihai bukan main, dan tentu dara ini memanggulnya ketika melarikan dia, namun toh dapat membebaskan diri dari mereka. Bukan main!

Cepat dia menjura dengan penuh hormat yang dibalas oleh In Hong dengan kaku dan sembarangan. “Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang amat lihai! Sungguh beruntung sekali, karena tanpa pertolonganmu aku tentu tewas di tangan mereka. Terimalah ucapan terima kasihku yang sedalam-dalamnya, nona.”

Melihat pemuda itu kembali menjura dengan hormat, In Hong membalas dan berkata. “Sudah kukatakan, aku tidak membutuhkan terima kasih.”

“Dan aku telah keracunan, Toat-beng-kauw Bu Sit menusukkan jarum dengan racun kelabang hitam di tengkukku, sakitnya bukan main, seperti ribuan ekor semut menggigit dari dalam tubuhku, sampai aku tidak tahan... dan... aku tidak berdaya, tulang pundakku dikait baja pengait dan Hui-giakang Ciok Lee Kim mengatakan bahwa aku hanya dapat hidup tiga hari saja. Akan tetapi sekarang...” Bun Houw melihat kaki tangan dan pundaknya, “tidak ada bekas-bekasnya lagi! Agaknya engkau pula yang telah menyembuhkan aku dari ancaman racun kelabang hitam itu, nona?”

“Bukan aku, melainkan Yok-mo. Aku pergi ke puncak Gunung Cemara di mana tinggal Yok-mo, ahli obat gila. Aku memaksa dia memberikan obat untukmu dan ternyata kau sembuh.”

“Dan nona meninggalkan aku di sini ketika pergi mencari obat?”

“Tidak, tiga anak murid Bu-tong-pai menjagamu di sini. Setelah aku kembali membawa obat, baru mereka pulang ke Bu-tong-pai.”

“Aihhhh... dua kali engkau menyelamatkan nyawaku, nona!” Kembali Bun Houw menjura dengan terheran-heran dankagum sekali.

“Sudahlah, capek aku kalau terus-mencrus membalas penghormatanmu!” In Hong mengomel dan cemberut, akan tetapi sebetulnya belum pernah dia merasa demikian girang hatinya.


Sungguh hebat... sunguh mengherankan sekali... engkau yang masih begini muda... bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia dan terhormat, nona?”

“Hemm, pertemuan antara kita hanya kebetulan saja. Aku hanya tahu engkau seorang she Bun, dari percakapan mereka di Lembah Bunga Merah. Biarlah aku mengenalmu sebagai orang she Bun, dan engkau tidak perlu mengetahui namaku...”

“Aih, mengapa begitu, nona?” Bun Houw bertanya dengan heran lagi, dan diam-diam diapun tidak ingin memperkenalkan namanya. Dia tahu betapa bahayanya kalau namanya dikenal orang, apalagi kalau sampai dikenal oleh Lima Bayangan Dewa, sedangkan nona jelita ini begini aneh dan penuh rahasia. “Habis, bagaimana aku harus mengingatmu, harus memanggilmu, kalau aku tidak tahu namamu, nona?”

In Hong tereenyum. “Jangan mengingat, jangan memanggil...”

Melihat sikap yang dingin, kata-kata yang singkat ini, Bun Houw menjadi khawatir sekali kalau-kalau penolongnya itu marah. Maka dia lalu membelokkan percakapan dan dia bertanya, “Aku sudah tidak mempunyai harapan ketika ditusuk jarum beracun itu, akan tetapi buktinya aku sembuh, sungguh hebat obat itu, bagaimana macamnya dan bagaimana pula cara kerjanya ketika engkau mengobatiku, nona?”

“Aku menerima sembilan butir pel hitam dari Yok-mo. Ketika kau menelan pel pertama sampai keenam, setiap kali menelan pel hitam itu kau muntah darah hitam yang berbau busuk, akan tetapi mulai dengan pel ketujuh engkau tidak muntah lagi.”

“Aihh... sungguh menjijikkan... akan tetapi mengapa lantai ini bersih?”

“Aku sudah membersihkannya setiap kali kau muntah...”

“Ahhh...! Dan hona merawatku, menjagaku, memberi obat, menyuapkan bubur selama tiga hari tiga malam... dan...”

Serasa hampir meledak jantung di dalam dada In Hong melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak penuh keharuan, penuh rasa syukur dan terima kasih.

“Sudahlan, pakaianmu kotor, mari... mari... kucucikan... dan kau dapat mandi di sumber air di dalam hutan...”

Mata yang sudah terbelalak itu makin terbelalak berisi penuh dengan sinar keharuan, kekaguman dan kini bercampur dengan keheranan. “Apa? Nona... nona hendak... mencucikan pakaianku...? Ah, tidak...”

“Mengapa tidak?” Sikap In Hong biasa saja. “Aku seorang wanita, sudah biasa mencuci pakaian...”

“Tidak, tidak boleh nona begitu merendahkan diri. Di mana sumber air itu? Aku akan membersihkan tubuh den pakaian ini...”

In Hong menudingkan telunjuknya dan Bun Houw cepat bangkit dan melangkah lebar ke dalam hutan. Pundaknya masih terasa nyeri sedikit apabila terlalu keras dia menggerakkan kedua tengannya. Setelah tiba di sumber air, dia menanggalkan pakaiannya, membersihkan tubuhnya dan tubuhnya terasa segar kembali. Dia merendam tubuh di dalam air, lalu mengumpulkan hawa murni, menggunakan sin-kangnya untuk melancarkan jalan darah dan dengan kekuatan sin-kangnya dia dapat melindungi tulang-tulang pundaknya. Untung bahwa di dalam sakunya masih terdapat obat lukanya yang mujarab pemberian ayahnya, maka dia membuka balutan pundaknya, lalu memberi obat luka setelah mencucinya bersih, membalutnya kembali setelah dia mandi sampai bersih. Kemudian dia mencuci pakaiannya, memeras airnya dengan kekuatan besar sehingga sebentar saja pakaian itu hampir kering karena semua air dapat diperasnya keluar. Dia menjemur pakaian ini di atas batu dan sambil menanti keringnya pakaian itu, dia kembali bersamadhi mengumpulkan hawa murni. Tak lama kemudian, pulih kembali tenaganya dan ketika dia menggerakkan kedua lengan, rasa nyeri di pundak hanya tinggal sedikit. Akan tetapi perutnya terasa lapar bukan main.

Kurang lebih dua jam kemudian, dia kembali ke kuil dengan baju bersih dan pakaian bersih pula, juga sudah kering. Baru saja nampak dinding kuil itu, hidungnya sudah mencium bau sedap yang membuat perutnya makin terasa lapar.

Dia mempercepat langkahnya dan... di depan kuil itu, di bawah pohon, nampak dara itu sedang memanggang seekor ayam hutan yang gemuk sekali, sedangkan dari panci bekas tempat air itu nampak nasi mengepul panas. Bun Houw berdiri memandang, menelan ludahnya dua kali.

“Kau sudah selesai?” In Hong menengok dan sejenak pandang mata mereka bertemu. Gadis itu menunduk dan di lehernya menjalar warna merah terus ke kepalanya, kemudian terdengar suaranya tanpa dia mengangkat muka. “Aku berhasil menangkap seekor ayam...”

Bun Houw tidak menjawab, hanya memandang dara itu, hatinya diliputi keheranan besar. Sungguh amat sukar untuk mengerti watak dan sifat wanita cantik ini pikirnya. Masih begitu muda, tentu lebih muda darinya, namun sudah memiliki kepandaian yang amat hebat, sungguhpun dia belum menyaksikan sendiri. Dari caranya menolong dia dari Lembah Bunga Merah saja sudah dapat diduga bahwa kepandaiannya tentu hebat sekali. Kadang-kadang wanita ini demikian dingin dan tak acuh, sehingga agaknya sama sekali tidak mau saling berkenalan, tidak mau memperkenalkan nama dan tidak pula menanyakan namanya, padahal wanita ini sudah mempertaruhkan nyawa untuk monolongnya, bahkan selama tiga hari tiga malam merawatnya sedemikian rupa! Akan tetapi ada saat-saat tertentu wanita itu kelihatan begitu lemah lembut, seperti sekarang ini, sama sekali tidak patut menjadi seorang wanita kang-ouw yang perkasa dan aneh sekali.



Kau tentu lapar sekali...”

Bun Houw sadar dari lamunannya, sadar betapa sejak tadi dia hanya berdiri bengong memandang dara itu yang sedang memanggang daging ayam. “Oh, lapar...? Lapar sekali...! Dan panggang ayam itu begitu sedap!”

“Kalau begitu, mari kita makan. Ayam ini lebih enak dimakan panas-panas sebagai teman nasi. Sayang tidak ada arak...”

“Ah, itu sudah cukup, nona. Airpun cukup menyegarkan,” jawab Bun Houw yang lalu duduk di dekat dara itu. Mereka lalu makan nasi dan panggang daging ayam, tidak menggunakan sumpit karena memang tidak ada, hanya menggunakan lima batang sumpit alam alias lima jari tangan kanan. Nasinya mengepul panas, daging ayam panggang juga masih mengepul panas, empuk dan gurih, ditambah kesunyian di pagi indah itu, hadirnya mereka berdua, perut lapar, semua ini membuat nasi dan daging ayam menjadi lezat bukan main. Dalam waktu pendek saja habislah semua nasi dan daging ayam, memasuki perut mereka, tidak ada ketinggalan sebutirpun nasi dan secuilpun daging. Bun Houw menjilati jari-jari tangannya yang terkena gajih panggang ayam dan In Hong memandang sambil menaban senyum. Satu di antara kelemahan wanita, adalah, di samping ingin dipuji-puji tentang kecantikannya, juga ingin dtpuji-puji tentang kelezatan hasil masakannya! Kini, melihat Bun Houw menjilati jari-jari tangannya, In Hong merasa mendapat pujian yang jauh lebih mengesankan daripada kata-kata.

“Kau belum kenyang? Masih kurang?” tanyanya lirih, tersenyum dan tampak deretan gigi mutiara.

Bun Houw tertawa. “Makan sesedap ini, agaknya aku takkan mengenal kenyang. Akan tetapi sementara ini cukuplah, dan terima kasih.” Dia lalu minum air tawar dengan segarnya.

“Beras yang ditinggalkan oleh para murid Bu-tong-pai tinggal itu, aku belum sempat pergi membeli ke dusun.”

Kembali Bun Houw tersenyum. Percakapan antara mereka itu seolah-olah percakapan dua orang sahabat lama yang hidup bersama di suatu tempat. Setelah mencuci tangan dan mulut, dia lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Nona, setelah apa yang kaulakukan semua untukku, setelah engkau menyelamatkan nyawaku dengan mempertaruhkan keselamatanmu sendiri...”

“Cukup, aku tidak mau bicara tentang itu...” In Hong memotong.

Bun Houw menunduk. Melihat wajah nona ini ketika itu, dia menduga bahwa di samping semua keanehannya, dara ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa. Sebaliknya, melihat pemuda itu menunduk dan tidak berani bicara lagi, In Hong merasa kasihan dan sadar bahwa dia terlalu keras. Betapapun juga, tidak aneh kalau pemuda ini amat berterima kasih kepadanya dan ingin membicarakan tentang pertolongan itu. Akan tetapi justeru dia tidak mau membicarakannya, karena pertolongannya itu memang terasa aneh olehnya sendiri, mengapa dia begitu bersusah payah untuk pemuda ini. Kejanggalan ini membuat dia merasa malu sendiri sehingga dia tidak ingin lagi membicarakannya. Akan tetapi melihat pemuda itu bingung dan kecewa, dia lalu ingin membicarakan lain daripada pertolongan itu sendiri.

“Mengapa engkau begitu nekat, menentang lima orang yang berkepandaian tinggi itu sehingga engkau ditawan dan disiksa?” tiba-tiba In Hong bertanya.

Bun Houw memandang dan hatinya merasa gembira lagi. Kiranya dara ini bukan marah atau bersikap dingin, hanya agaknya tidak mau menyinggung tentang pertolongan itu, Betapa rendah hati, tidak ingin menonjolkan jasa, pikirnya. Dia belum mengenal dara ini, sungguhpun dia sudah percaya sepenuhnya, namun tidak baik kalau dia memperkenalkan diri dan menceritakan urusan pribadinya. Maka dia lalu menarik napas panjang dan menjawab, “Yang menjadi gara-gara adalah lenyapnya tiga orang murid Bu-tong-pai yang kautolong itu. Ketika mereka ditawan dan hendak dibunuh, Liok-twako mencegah dan memperingatkan mereka agar tidak menanam permusuhan dengan Bu-tong-pai...”

“Siapa itu Liok-twako?”

“Dia adalah Kiam-mo Liok Sun, dia... eh, majikanku...”

“Yang datang bersamamu? Aku hanya mendengar bahwa engkau orang she Bun adalah pengawal pribadinya.”

“Karena mencegah itulah, setelah tiga orang murid Bu-tong-pai melarikan diri, Liok-twako dicurigai dan akhirnya dibunuh. Sebagai... eh, pengawalnya, tentu aku melawan dan aku lalu ditawan dan disiksa.”

“Orang she Liok itu dibunuh, akan tetapi mengapa engkau ditawan dan disiksa pula? Apa yang mereka kehendaki?”

“Mereka memaksa aku mengaku siapa yang membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai dan apa maksud kedatangan Liok-twako di Lembah Bunga Merah.”

“Ataukah karena perempuan-perempuan hina itu hendak memaksamu melayani bujuk rayu mereka?”

Bun Houw memandang dengah mata terbelalak, “Kau... kau tahu pula akan hal itu?”

“Aku tahu penolakanmu terhadap murid-murid Ciok Lee Kim yang tak tahu malu, juga terhadap nenek cabul itu sendiri, dan mungkin karena itulah aku membebaskanmu dari tahanan.”


Dua orang wanita murid Ciok Lee Kim itu telah tewas di tanganku, sayang bahwa aku tidak sempat membunuh gurunya. Akan tetapi, aku akan mencari mereka! Aku akan mencari Ciok Lee Kim dan teman-temannya, terutama sekali dia sendiri dan Bu Sit, dua orang yang menyiksaku. Kalau bertemu, mereka harus tewas di tanganku!” Bun Houw teringat akan penyiksaan itu dan timbul kemarahannya, otomatis tangannya meraba pinggang dan tampak sinar kilat berkelebat ketika dia tahu-tahu telah melolos pedangnya, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Pedang ini dia dapat dari gurunya, sebatang pedang pusaka yang terbuat dari baja murni, tipis sekali sehingga dapat digulung dan dibuat menjadi sabuk pinggang maka senjata ini tidak ketahuan dan tidak terampas oleh musuh-musuhnya.

“Aihhh, pedang yang bagus!” In Hong berseru memuji. “Boleh aku melihatnya?”

Bun Houw menyerahkan pedangnya. In Hong menerima dan menggerak-gerakkan pedang sampai berbunyi berdesing dan berobah menjadi kilat. Dia memuji lagi, lalu menimang-nimang pedang dan meriksanya. Ketika melihat ukiran gambar burung hong dekat gagang pedang, dia memuji lagi.

“Sama benar dengan ini...!” Dia melolos hiasan rambutnya yang berupa burung hong kumala, lalu membandingkan burung hong kumala itu dengan lukisan burung hong pada pedang Hong-cu-kiam.

“Apanya yang sama, nona?” Bun Houw tentu saja bingung dan tidak mengerti. Bagaimana sebatang pedang dipersamakan dengan sebuah hiasan rambut wanita?

“Burung hongnya yang sama. Indah sekali pedangmu ini...!” In Hong menggerakkan pedang itu dan Bun Houw menjadi kagum. Memang benar dugaannya. Dara ini bukan sembarang ahli silat. Dari cara dia menggerakkan pedang saja sudah dapat dikenal sebagai seorang ahli pedang yang lihai.

“Sing-sing-wirrrrr... crakk!” Sebatang pohon sebesar paha manusia yang berdiri dalam jarak jauh, robob hanya tersambar hawa pedang yang digerakkan dengan sin-kang yang amat kuat.

“Bukan main...! Engkau lihai sekali, nona...!” Bun Houw memuji karena dia maklum bahwa hanya seorang yang memiliki sin-kang amat kuat saja mampu merobohkan pohon hanya dengan sinar pedang.

In Hong menimang-nimang pedang itu, meraba-raba mata pedang yang amat tajam. “Hemm... pedang ini yang lihai...”

Saking kagumnya dan senang hatinya, terloncat saja ucapan dari mulut Bun Houw. “Kalau nona suka, biarlah pedang Hong-cu-kiam ini kupersembahkan kepadamu, nona.”

In Hong terkejut dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Apa?”

“Nona telah...” Dia teringat dan tidak mau mengulangi tentang pertolongan itu, maka dia melanjutkan, “...kita telah menjadi kenalan, bukan? Karena itu, dengan hormat aku menyerahkan pedang Hong-cu-kiam itu kepadamu. Pedang itu ringan dan lemas, memang lebih tepat dipergunakan oleh wanita, pula dapat dipakai sebagai ikat pinggang...”

Wajah In Hong berseri dan tangannya masih membelai pedang itu dengan rasa sayang, akan tetapi pandang matanya kepada Bun Houw masih meragu dan penuh selidik. Melihat wajah pemuda itu terbuka dan polos, dengan pandang mata yang tajam dan membayangkan kejujuran, dia lalu berkata, “Apakah dengan tulus ikhlas...?”

“Tentu saja nona, dengan sepenuh hatiku yang tulus ikhlas.”

“Terima kasih...!” In Hong kelihatan girang sekali dan dia lalu memakai pedang Hong-cu-kiam itu sebagai ikat pinggangnya, lalu ditutupi jubahnya sehingga tidak nampak dari luar. Dia lalu meraba-raba pedangnya, akan tetapi tidak jadi diambil dan dia berkata, “Pedangku ini hanya pedang biasa, sama sekali tidak pantas untuk ditukar dengan pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam, akan tetapi ini... Giok-hong-cu (burung hong kumala) ini tak pernah terpisah dari aku sejak aku kecil shhingga bagiku merupakan benda pusaka. Biarlah kuberikan ini kepadamu, Bun-twako (kakak Bun).” Dia menyerahkan burung hong kumala itu kepada Bun Houw.

Bun Houw terkejut dan seketika mukanya menjadi merah sekali, jantungnya berdebar. Dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang amat aneh dalam tukar-menukar benda pusaka ini! Akan tetapi karena maklum akan keanehan watak wanita ini yang agaknya pasti akan merasa tersinggung dan terhina kalau dia menolaknya, dia lalu menerimanya dan memandangi perhiasan, rambut itu dengan kagum.

“Sebuah perhiasan yang indah sekali... terima kasih, nona. Sekarang kita benar-benar telah menjadi sahabat, bukan?” Bun Houw bertanya sambil menatap wajah yang cantik jelita dan gagah itu.

In Hong balas memandang, tersenyum dan mengangguk. Sejak pertama kali melihat Bun Houw marah-marah dan menolak bujuk rayu dua orang murid wanita yang genit itu, hatinya sudah kagum dan tertarik sekali. Kini, setelah pemuda itu siuman dari pingsannya dan sembuh, dia memperoleh kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar tidak seperti kaum laki-laki seperti yang disangkanya semula, yaitu seperti yang sering kali dibicarakan gurunya dan para anggauta Giok-hong-pang, yaitu mata keranjang, cabul, pengganggu wanita dan pengrusak kehidupan wanita. Pemuda ini sama sekali tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar, mata keranjang dan sama sekali tidak pernah mengganggunya.

“Setelah kita menjadi sahabat, apakah engkau masih juga tidak percaya kepadaku dan tidak mau memperkenalkan namamu kepadaku?”

In Hong meraba pedang Hong-cu?kiam di pinggangnya dan memandang perhiasan burung hong kumala di tangan pemuda itu, lalu berkata “Pedang Hong-cu-kiam kauberikan kepadaku dan perhiasan Giok-hong-cu telah kuberikan kepadamu, keduanya merupakan lambang burung hong. Maka, biarlah aku mengenalmu sebagai Bun-twako dan kau mengenalku sebagai Hong.”

“Hong saja? Apakah namamu Hong?”

In Hong mengangguk.

Bun Houw tidak berani mendesak. “Baiklah, Hong-moi (adik Hong), memang apakah artinya nama? Persahabatan adalah antara pribadi, bukan antara nama! Tentu tidak perlu lagi aku menceritakan riwayatku atau mendengar riwayatmu, bukan?”

In Hong mengangguk dan Bun Houw menarik napas panjang. Din mulai tertarik sekali akan pribadi nona ini yang amat aneh, seolah-olah hendak merahasiakan dirinya dan seolah-olah tidak suka berurusan dengan orang-orang lain. Betapapun juga, di balik sikap dingin dan tidak perdulian itu, dia tahu bahwa pada dasarnya dara ini memiliki kegagahan luar biasa dan memiliki jiwa pendekar penentang kejahatan, juga mempunyai sifat-sifat yang budiman dan mulia.

“Kalau begitu, agaknya engkau tidak keberatan untuk mengatakang ke mana tujuanmu sekarang? Kau hendak pergi ke mana, Hong-moi?”

In Hong termenung. Pertanyaan itu dengan tepat mengenai hatinya dan dia menjadi bingung. Hendek ke manakah dia pergi? Apakah tujuan hidupnya? Tidak ada! Tidak ada ketentuan!

“Aku seperti seekor burung di udara,” katanya sambil memandang seekor burung dada kuning yang beterbangan dari dahan ke dahan, mencari-cari ulat, di antara daun-daun hijau. “Entah ke mana aku hendak pergi, aku sendiripun tidak tahu, Bun-ko.”


In Hong meraba pedang Hong-cu cu-kiam di pinggangnya dan memandang perhiasan burung hong kumala di tangan pemuda itu, lalu berkata “Pedang Hong-cu-kiam kauberikan kepadaku dan perhiasan Giok-hong-cu telah kuberikan kepadamu, keduanya merupakan lambang burung hong. Maka, biarlah aku mengenalmu sebagai Bun-twako dan kau mengenalku sebagai Hong.”

“Hong saja? Apakah namamu Hong?”

In Hong mengangguk.

Bun Houw tidak berani mendesak. “Baiklah, Hong-moi (adik Hong), memang apakah artinya nama? Persahabatan adalah antara pribadi, bukan antara nama! Tentu tidak perlu lagi aku menceritakan riwayatku atau mendengar riwayatmu, bukan?”

In Hong mengangguk dan Bun Houw menarik napas panjang. Din mulai tertarik sekali akan pribadi nona ini yang amat aneh, seolah-olah hendak merahasiakan dirinya dan seolah-olah tidak suka berurusan dengan orang-orang lain. Betapapun juga, di balik sikap dingin dan tidak perdulian itu, dia tahu bahwa pada dasarnya dara ini memiliki kegagahan luar biasa dan memiliki jiwa pendekar penentang kejahatan, juga mempunyai sifat-sifat yang budiman dan mulia.

“Kalau begitu, agaknya engkau tidak keberatan untuk mengatakang ke mana tujuanmu sekarang? Kau hendak pergi ke mana, Hong-moi?”

In Hong termenung. Pertanyaan itu dengan tepat mengenai hatinya dan dia menjadi bingung. Hendek ke manakah dia pergi? Apakah tujuan hidupnya? Tidak ada! Tidak ada ketentuan!

“Aku seperti seekor burung di udara,” katanya sambil memandang seekor burung dada kuning yang beterbangan dari dahan ke dahan, mencari-cari ulat, di antara daun-daun hijau. “Entah ke mana aku hendak pergi, aku sendiripun tidak tahu, Bun-ko.”

Bun Houw termenung juga, heran mendangar jawaban yang amat aneh ini. “Apakah engkau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Hong-moi?”

Dara itu menggeleng kepala.

“Tidak mempunyai keluarga?”

Kembali gelengan kepala.

“Tidak mempunyai orang tua?”

In Hong menggeleng lagi, pandang matanya masih mengikuti burung dada kuning yang telah mendapatkan seekor ulat gemuk yang kini dipatuknya dan dibanting-bantingnya ke atas ranting pohon.

“Ahhhh...!” Bun Houw berseru penuh perasaan haru.

“Kenapa?” In Hong menoleh dan memandangnya, memandang tajam.

“Kasihan kau, Hong-moi.”

“Kenapa kasihan? Kasihankah engkau kepada burung itu?” In Hong membuang muka. “Sudahlah, aku tidak mempunyai tujuan tertentu, akan tetapi engkau sendiri hendak ke manakah, Bun-ko?”

“Yang jelas, aku akan pergi ke Lembah Bunga Merah!”

“Hemm... kau hendak membalas dendam kepada mereka? Berbahaya sekali, Bun-koko, mereka itu lihai.”

“Tidak perduli, aku harus membalas penghinaan dan penyiksaan mereka, terutama dua Bayangan Dewa itu.”

“Dua Bayangan Dewa? Kau tahu itu?”

“Aku mendengar dari Liok-twako bahwa Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit adalah dua orang di antara Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu.”

“Hemm... akupun akan ke sana, twako.”

“Apa? Apakah hubunganmu dengan mereka?”

“Akupun ingin mencari Lima Bayangan Dewa.”

Bun Houw terkejut sekali. “Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya mendengar bahwa mereka telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai.”

“Hemmm... akupun mendengar itu. Lalu bagaimana kalau begitu?”

“Aku ingin merampas pedang itu, aku mendengar bahwa pedang Siang-bhok-kiam adalah pedang puseka yang amat hebat dan dahulu pernah diperebutkan oleh para datuk persilatan. Aku ingin merampasnya...”

“Untuk apa, moi-moi?”

“Untuk apa? Mungkin kelak kukembalikan kepada ketua Cin-ling-pai.” In Hong teringat akan kunjungannya ke Cin-ling-pai. “Aku... sekali waktu aku pasti akan pergi ke Cin-ling-san dan aku akan mengembalikan pedang itu kepada Cin-ling-pai kalau aku berhasil merampasnya.”

Engkau aneh sekali, Hong-moi. Tanpa alasan engkau hendak merampas pedang itu dari tangan Lima Baymgan Dewa. Apakah itu tidak amat berbahaya?”

“Justeru karena berbahaya aku menempuhnya. Lima Bayangan Dewa itu, kalau melihat yang dua ini, pastilah orang-orang jahat. Kalau aku tidak merampas kembali pedang itu, mereka akan menjadi sombong, mengira bahwa tidak ada orang berani terhadap mereka satelah mereka menggegerkan dunia kang-ouw dengan penyerbuan mereka ke Cin-ling-pai.”

“Kalau begitu, mari kita sama-sama pergi ke Lembah Bunga Merah, Hong-moi.”

In Hong mengangguk dan berangkatlah mereka meninggalkan kuil itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba In Hong berhenti.

“Bun-ko, bagaimana dengan kedua pundakmu?”

Bun Houw menggerakkan kedua tangannya, mengayun-ayun kedua legannya. Tidak terasa nyeri lagi.

“Sudah sembuh sama sekali, Hong-moi,” katanya.

“Akan tetapi masih berbahaya kalau bertemu dengan lawan tangguh, dan mereka itu amat lihai. Karena itu, kalau tiba di sana, biarkan aku yang turun tangan, kau boleh lihat saja, twako.”

Bun Houw tersenyum dan mengangguk. Mereka melanjutkan perjalanan dan In Hong menggunakan ilmunya berlari cepat. Bun Houw tidak ingin menonjolkan diri dan menimbulkan kecurigaan kepada dara itu. Bukankah dia hanya dikenal sebagai seorang pengawal pribadi Liok Sun yang tentu saja hanya memiliki kepandaian silat biasa saja? Maka dia pura-pura mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi kecepatan dara itu, akan tetapi dengan terengah-engah dia tertinggal jauh.

“Aihhh... Hong-moi, harap jangan berlari terlalu cepat...!”

In Hong yang memang hanya ingin mengukur kepandaian pemuda itu, memperlambat larinya dan diam-diam dia tahu bahwa pemuda yang bernyali besar ini sama dengan mengantar kematian kalau ingin mencari lima orang di Lembah Bunga Merah yang berilmu tinggi itu. Maka dia diam-diam mengambil keputusan untuk melindungi pemuda ini, yang selain tenaganya belum pulih dan pundaknya baru saja sembuh, juga tingkat kepandaiannya masih terlalu rendah untuk menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Lima Bayangan Dewa dan sekutu-sekutunya.

“Pedangku ini biarpun bukan pedang pusaka, akan tetapi terbuat dari baja yang cukup baik. Kaubawa pedahgku ini untuk menjaga diri, Bun-ko!” In Hong berkata dan menyerahkan pedangnya. “Aku sendiri sudah mempunyai Hong-cu-kiam.”

Bun Houw tidak membantah sungguhpun sebetulnya untuk menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun, dia tidak begitu membutuhkan senjata. Kalau tempo hari dia sampai dapat dirobohkan dan ditawan, adalah karena keneketan Ai-kiauw. Dia mengucapkan terima kasih dan menggantungkan pedang itu di pinggangnya.

Ketika mereka tiba di daerah Lembah Bunga Merah, suasana di situ sunyi saja dan mereka cepat memasuki daerah itu menuju ke perkampungan yang menjadi sarang Hui-giakang Ciok Lee Kim dan anak buahnya. Akan tetapi di dalam bangunan-bangunan inipun sunyi tidak kelihatan ada manusianya.

“Hati-hati, mungkin mereka akan menjebak kita!” Bun Houw berkata dan In Hong mengangguk. Bun Houw mencabut senjatanya karena kalau tidak dia khawatir gadis itu akan menjadi curiga akan ketenangannya. Dengan berindap mereka memasuki ruangan depan rumah besar yang tadinya dihuni oleh Ciok Lee Kim dan di mana dia menjamu para tamunya.

“Ada orang-orang mengepung kita... “ In Hong berbisik. Tentu saja Bun Houw juga sudah dapat menangkap gerakan orang-orang itu akan tetapi dia diam saja.

“Awas senjata rahasia...!” In Hong berseru dan dara ini cepat meloncat untuk melindungi Bun Houw. Akan tetapi anak panah dan senjata-senjata rahasia yang bagaikan hujan itu datang dari empat penjuru. In Hong menangkisi senjata senjata rahasia itu dengan hawa pukulan kedua tangannya, sedangkan Bun Houw dengan “sibuk” menangkisi dengan pedang di tangan yang diputar-putarnya. Sampai habis senjata-senjata rahasia itu, Bun Houw masih memutar-mutar pedang.

“Siaplah, Bun-ko, biar aku melindungimu, mereka tentu akan muncul.” In Hong yang merasa geli melihat bagaimana pemuda itu memutar-mutar pedang, memegang lengan pemuda itu den dia berdiri melindungi Bun Houw.

Benar saja, dari empat penjuru muncul belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah dengan segala macam senjata di tangan. Melihat Bun Houw, mereka terkejut sekali, maklum bahwa pemuda yang pernah ditawan den disiksa ini memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena pemuda itu baru saja terluka parah, bahkan dua tulang pundak juga dikait, mereka kini memandang rendah. Juga mereka memandang rendah kepada gadis muda cantik yang datang bersama pemuda itu.

“Ha-ha-ha, kau sudah berhasil lolos kini kembali lagi mengantar kematian?” teriak seorang di antara mereka yang berhidung besar terhias kumis kecil. “Toanio tentu akan senang sekali. Hayo lekas kawan-kawan tangkap tikus ini!”

Dua belas orang itu menyergap ke depan.


Bun-ko, biarkan aku membereskan mereka!” In Hong berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, seperti halilintar, menyambar-nyambar dan terdengarlah pekik-pekik kesakitan, Bun Houw hanya berdiri menonton dan diam-diam diapun terkejut. Dia dapat menduga bahwa gadis yang bernama Hong ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak disangkanya akan selihai itu. Gerakannya aneh sekali, gerakan ilmu silat yang sama sekali tidak dikenalnya, akan tetapi kecepatannya belum tentu kalah oleh dia sendiri, dan jari-jari tangan yang halus itu seolah-olah berobah menjadi baja-baja yang ampuh. Setiap tamparan membuat lawan terguling roboh, setiap tangkisan membuat lengan lawan patah-patah dan dalam waktu singkat saja, dua belas orang itu sudah roboh semua, merintih-rintih dan mengaduh-adub!

“Mari kita cari mereka!” In Hong berkata kepada Bun Houw yang masih bengong, memegang tangan pemuda itu dan menariknya ke dalam. Mereka hanya mendapatkan bangunan kosong. In Hong mengajak Bun Houw menggeledah dan memeriksa di seluruh perkampungan itu, namun tidak menemui lima orang sakti yang mereka cari. Dengan penasaran In Hong mengajak Bun Houw kembali ke ruangan depan di mana dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu masih rebah malang-melintang dan mengeluh kesakitan.

“Hayo katakan di mana adanya nenek cabul Ciok Lee Kim dan teman-temannya!” In Hong membentak sambil mendekati seorang yang patah-patah tulang lengannya. Orang itu nampak ketakutan, berlutut sambil merintih-rintih.

“Ampunkan kami, lihiap... ampunkan kami... Ciok-toanio dan yang lain telah pergi dua hari yang lalu... meninggalkan kami dua belas orang menjaga di sini...”

“Ke mane mereka pergi?” In Hong membentak lagi.

“Tidak... tidak... tahu...”

“Keparat, kalian layak mampus!” In Hong mengangkat tangan, akan tetapi tiba-tiba Bun Houw berkata, “Hong-moi, nanti dulu...”

In Hong menurunkan kembali tangannya dan menoleh, Bun Houw lalu menghampiri orang itu.

“Srattt...!” Dicabutnya pedang In Hong yang diberikan kepadanya itu dandengan sikap mengancam dia menempelkan mata pedang di leher orang itu. “Hayo lekas kau mengaku terus terang, ke mana perginya Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit! Kalau kau tidak mau mengaku, pedang ini akan memenggal lehermu dan leher semua orang di sini!”

“Ampunkan kami... taihiap, ampunkan kami...” Dua belas orang itu meminta-minta dan seorang di antara mereka berkata, “Ciok-toanio dan yang lain-lain tentu pergi mengunjungi tempat tinggal Phang-loya (tuan besar Phang)...”

“Hemmm, kaumaksudkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok?” Bun Houw membentak.

“Benar... benar, taihiap...”

“Di mana tempat tinggalnya?”

“Di dusun Ngo-sian-chung, di lembah muara Sungai Huang-ho...”

“Hayo katakan yang jelas, di mana tempat itu!”

“Benar... taihiap... di sebelab timur kota Cin-an... kurang lebih dua puluh lima li jauhnya... saya tidak membohong...”

Bun Houw mengangguk girang. Kiranya dua orang Bayangan Dewa itu pergi ke tempat tinggal orang pertama dari Lima Bayangan Dewa! Alamat orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu saja sudah merupakan keterangan yang amat penting baginya.

“Mari kita menyusul mereka, Hong-moi.”

“Tapi... lebih baik kita bunuh dulu mereka ini!” In Hong berkata den kembali tubuhnya bergerak. Akan tetapi lengannya sudah dipegang oleh Bun Houw.

“Jangan, Hong-moi. Mereka tidak perlu dibunuh.”

In Hong mengerutkan alisnya, sejenak mereka saling pandang dan Bun Houw merasa betapa sinar mata gadis itu berapi-api penuh kemarahan dan kebencian, amat mengerikan hatinya. Akan tetapi dia memandang dengan tenang. menentang pandang mata yang berapi-api itu. Perlahan-lahan api dalam mata itu mengecil dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya, merenggutkan lengannya dan melompat keluar meninggalkan ruangan itu.

Bun Houw juga meloncat keluar mengikutinya. Tanpa mengeluarkan kata-kata, mereka meninggalkan Lembah Bunga Merah. In Hong berjalan sambil menundukkan mukanya. Bun Houw berjalan di sebelahnya. Sampai lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata.

Tiba-tiba In Hong berhenti melangkah. Bun Houw juga berhenti. In Hong mengangkat muka memandang, alisnya berkerut. “Kenapa kau tadi menghalangi aku membunuh mereka? Kenapa kau berani menghalangi aku?”

Bun Houw memandang heran. “Moi-moi, mereka tidak perlu dibunuh.”

“Heran aku, mengapa aku menuruti permintaanmu? Belum pernah ada yang berani menghalangi kehendakku. Hayo katakan, kenapa mereka tidak perlu dibunuh?

Diam-diam Bun Houw bergidik. Gadis aneh dan agaknya gadis ini biasanya tidak pernah mau memberi ampun kepada musuh-musuhnya dan kalau dia membayangkan betapa gadis itu tadi akan membunuh dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu dengan darah dingin, begitu saja, dia bergidik ngeri.

“Hong-moi sebelum aku menjawab, lebih dulu katakanlah, apakah engkau tadi hendak membunuh mereka karena engkau membenci mereka?”

“Tentu saja! Aku benci mereka, dan, dan sepatutnya mereka dibunuh!”

“Hong-moi, karena itulah aku mencegahmu. Di antara kita dan mereka itu tidak ada permusuhan langsung, mereka hanyalah orang-orang yang mentaati perintah pemimpin mereka. Dan pula, kita harus turun tangan menghadapi siapapun dengan dasar membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Kalau hati kita dikuasai oleh kebencian, mungkin kita akan membunuh orang yang tidak bersalah hanya berdasarkan perasaan benci itu.”

In Hong masih mengerutkan alisnya, seolah-olah tidak memperdulikan kata-kata itu. “Baiklah, lain kali harap kau tidak mencegah aku lagi. Sekarang kita hendak ke mana?”

“Aku akan menyusul mereka ke Ngo-sian-chung. Dan kau...?”

“Akupun akan mencari mereka, mungkin Lima Bayangan Dewa berkumpul di sana dan pedang Siang-bhok-kiam disimpan di sana pula.”

“Kalau begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama, Hong-moi.”

In Hong tiba-tiba menggeleng kepalanya. “Tidak! Aku akan pergi sendiri. Sampai jumpa!” Gadis itu hendak membalikkan tubuh untuk pergi meninggalkan Bun Houw.

Akan tetapi, mengapa, moi-moi? Bukankah tujuan kita sama?”

“Kalau kita melakukan perjalanan bersama, kita tentu akan saling bentrok!”

“Tidak mungkin!”

“Kau mau berjanji babwa lain kali tidak akan mencegah aku lagi?”

“Kalau aku melihat engkau melakukan sesuatu yang tidak benar, sudah semeatinya aku mencegah dan mengingatkan engkau, Hong-moi.”

“Nah, kalau begitu, selamat tinggal!”

“Hong-moi...!” Bun Houw berteriak memanggil namun bayangan gadis itu sudah lenyap. Dia hanya dapat menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Gadis yang hebat, lihai sekali den cantik jelita, akan tetapi juga liar dan kadang-kadang berwatak aneh den dingin sekali, seperti setan! Terpaksa dia melanjutkan perjalanan dengan perlahan seorang diri, kadang-kadang berhenti untuk memulihkan tenaganya, terutama sekali menyembuhkan luka di kedua pundaknya.

***


Semenjak matinya Panglima Besar The Hoo, biarpun bekas kebesaran panglima itu mendatangkan banyak kemakmuran dan kemajuan dalam pordagangan dan hubungan dengan luar negeri, namun tetap pengaruh Kerajaan Beng menurun. Kemajuan yang dipupuk oleh kebesaran The Hoo memang tampak menonjol, membuat Kerajaan Beng terkenal di seluruh negeri tetangga.

Pada masa itu, semenjak tewasnya Timur Leng yang amat terkenal di barat, yaitu pada tahun 1404, hubungan dagang dengan Negara Iran dan lain negara barat dapat dilakukan melalui darat. Oleh karena itu, maka perkembangan armada Kerajaan Beng dipandang tidak begitu perlu lagi dan perdagangan melalui lautan dilakukan oleh bangsa-bangsa lain, yaitu bangsa kulit putih dan Jepang. Pemerintah Beng hanya menerima barang-barang ini di pantai-pantai sehingga banyak timbul kota-kota besar di pantai lautan yang makin lama menjadi makin ramai dengan perdagangan dengan bangsa-bangsa asing ini. Betapapun juga, bangsa-bangsa asing itu yang masih terkesan oleh kebesaran den kekuatan bala tentara yang dahulu dipimpin oleh Panglima The Hoo dan para pembantunya, tidak ada yang berani bermain gila atau mengacau secara berterang, apalagi karena perdagangan mereka mendatangkan banyak untung, yaitu dengan mengangkut rempah-rempah dan hasil bumi lain dari pedalaman, serta menjual barang-barang luar negeri yang masih merupakan benda-benda aneh di masa itu.

Di pantai-pantai selatan dan timur, banyak kota-kota dan dusun-dusun pelabuhan yang menjadi ramai, setiap hari didatangi perahu-perahu asing yang membawa barang-barang dagangan dan pajak mereka cukup dengan pemberian-pemberian terhadap para pembesar setempat.

Kota Yen-tai merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai di pantai Lautan Po-hai yang banyak disinggahi kapal-kapal dari luar negeri. Banyak terdapat pedagang-pedagang di temput ini, di kotanya banyak pula berkeliaran orang-orang asing yang rambutnya beraneka warna, demikian pula matanya, ada yang berwarna biru, keemasan, dan kuning muda rambutnya, dan mata mereka berwarna biru atau coklat. Tidak ada di antara mereka yang berambut dan bermata hitam. Pakaian mereka juga beraneka warna, dan mereka ini adalah pekerja-pekerja kapal atau pedagang-pedagang yang datang bersama kapal-kapal yang berlabuh, ada pula yang menetap di kota itu sebagai pedagang. Akan tetapi jarang kelihatan wanita bangsa asing, semuanya pria, tua dan muda, dengan muka penuh brewok dan gaya mereka yang bagi penduduk setempat tampak kasar dan biadab! Ada pula orang-orang yang muka serta kulitnya sama dengan pribumi, akan tetapi tubuh mereka pendek-pendek dan pakaian mereka agak berbeda. Mereka ini adalah orang-orang Jepang yang terdiri dari banyak pulau-pulau

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali keadaan Yen-tai sudah ramai karena semalam banyak kapal asing berlabuh di pantai. Pagi-pagi sudah tampak kesibukan di kota itu, ada yang menurunkan barang dari kapal-kapal dan ada pula yang menaikkan rempah-rempah dan hasil-hasil bumi lainnya, juga barang-barang kerajinan dari pedalaman, terutama sutera dan barang-barang ukiran, yang serba indah dan mahal.

Di antara banyak sekali orang yang beraneka macam bahasanya, bermacam pula pakaiannya, terdapat seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah namun amat sederhana gerak-gerik dan pakaiannya yang berwarna kuning itu, dengan sebatang pedang di pinggangnya, pemuda itu adalah Tio Sun, putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas pengawal panglima Besar The Hoo yang paling dipercaya. Seperti kita ketahui, secara kebetulan Tio Sun menolong Yap Mei Lan dan diapun tertawan oleh orang-orang liar yang dipimpin Jeng-hwa Sian-jin Si Ahli Sihir dan hampir saja dia celaka oleh kawanan Jeng-hwa-pang di dalam hutan itu kalau saja tidak tiba-tiba muncul seorang yang luar biasa sektinya, tokoh tua yang sudah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw yaitu Bun Hwat Tosu.

Pemuda ini mewakili ayahnya untuk membantu Cin-ling-pai mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang telah menyerbu mengacau Cin-ling-pai, membunuh murid-murid Cin-ling-pai dan mencuri Siang-bhok-kiam. Karena dia sudah tahu akan nama-nama Lima Bayangan Dewa, Tio Sun menyelidiki dan akhirnya dia mendengar berita bahwa Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, tinggal di sekitar pantai Po-hai. Berita inilah yang membawa Tio Sun pergi ke pantai Po-hai dan pada pagi hari itu tibalah dia di kota Yen-tai.

Dengan tenang Tio Sun melangkah dan berjalan di atas jalan raya, mengagumi keramaian kota itu dan terheran-heran melihat banyaknya orang-orang asing yang warna rambut, mata dan kulitnya amat mengerikan hatinya itu! Memang belum pernah dia bertemu dengan orang asing kulit putih, sungguhpun sudah banyak dia mendengar tentang mereka dari ayahnya.

Gembira hati Tio Sun menyaksikan kota pantai yang amat ramai itu. Seringkali dia berhenti untuk menonton keramaian, melihat orang-orang berdagang dan mendengarkan kata-kata yang terdengar agak kaku dan asing keluar dari mulut orang-orang berkulit putih itu. Juga ia melihat-lihat banyak barang yang aneh dan indah dipamerkan di toko sepanjang jalan. Akan tetapi setelah setengah hari berjalan-jalan melihat kota yang ramai ini, akhirnya dia merasa bosan juga dan akhirnya menjelang senja itu dia berjalan-jalan di tepi pantai laut yang hawanya lebih sejuk karena angin bertiup dan agak sunyi tidak terdapat terlalu banyak orang.

Tio Sun memasuki sebuah warung di tepi laut, warung yang agak sunyi dan ketika dia masuk, hidungnya disambut oleh bau arak wangi yang memenuhi tempat itu. Suara tertawe bergelak disusul munculnya dua orang asing kulit putih keluar dari dalam warung makan itu, keduanya membawa seguci arak. Sambil tertawa-tawa mereka bicara dalam bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Tio Sun. Ketika berpapasan, Tio Sun mendapat kenyataan betapa tingginya dua orang itu. Dia sendiri sudah terhitung seorang pemuda yang bertubuh jangkung, akan tetapi ternyata tubuhnya hanya mencapai pundak kedua orang raksasa berkulit putih dan bermata biru itu.

Tio Sun segera melupakan mereka dan dia duduk di atas sebuah bangku, memesan makanan dan minuman kepada pelayan. Tidak banyak tamu sore itu di warung ini, hanya beberapa orang yang pakaiannya seperti nelayan dan ketika mereka itu bicara tentang hasil penangkapan ikan maka jelaslah apa pekerjaan mereka itu.

Ketika Tio Sun sedang makan, tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita, yang kedengaran agak jauh dari situ. Seketika Tio Sun bangkit berdiri. Jerit itu terulang lagi. “Toloooooonggg...!”

Tio Sun menggeser bangkunya, siap untuk lari keluar. Akan tetapi para nelayan yang juga menghentikan percakapan mereka dan memperhatikan jeritan itu, menoleh ke arah Tio Sun dan seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berkata, “Harap kongcu jangan memperhatikan dan mencampuri urusan kotor itu.”

Tio Sun memandang heran, “Mengapa kau berkata demikian, lopek?” Dan pada saat itu kembali jerit tadi terulang.

Kakek nelayan itu hanya menarik napas panjang dan tidak menjawab, lalu terdengar ucapan pelayan warung. “Omongan paman nelayan ini benar, kongcu. Tentu keributan itu dilakukan oleh setan-setan kulit putih pemabok itu, dan yang menjerit itu hanyalah perempuan-perempuan lacur. Memalukan sekali dan kongcu akan mtndapat malu saja kalau mencampuri urusan pelacur-pelacur dengan setan-setan pemabok itu. Kalau melihat itu, lebih baik kita tulikan telinga dan butakan mata.”

“Tolonggggg...!”

“Bagaimana kita dapat menulikan telinga dan membutakan mata kalau mendengar jerit wanita minta tolong?” Tio Sun berkata dan tanpa menanti jawaban dia sudah berlari keluar, langsung ke kanan dari mana dia tadi mendengar suara jeritan itu. Cuaca senja sudah mulai remang-remang akan tetapi dia masih dapat melihat dua orang laki-laki yang sedang menarik dan menyeret seorang wanita di dekat pantai, agaknya hendak memaksa wanita itu naik ke sebuah perahu.

“Keparat...!” Tio Sun berlari cepat di sepanjang pantai yang sunyi itu, otot-otot tubuhnya sudah menegang dan hatinya panas oleh kemarahan.

“Plak-plak!” Dua kali Tio Sun menggerakkan tangannya menampar pundak dua orang raksasa bule itu. Dua orang itu terhuyung dan melepaskan lengan gadis yang tadi mereka tarik-tarik. Tamparan itu keras sekali namun hanya membuat mereka terhuyung, maka tahulah Tio Sun bahwa dua kedua orang raksasa bule itu bertubuh kuat sekali. Gadis itu sambil menangis menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun.

“Harap taihiap menolong saya... mereka hendak menculik saya...”


Tio Sun memandang. Gadis itu adalah seorang gadis berpakaian nelayan sederhana, namun kesederhanaan pakaiannya dan air mata yang membasahi mukanya itu tidak mengurangi kemanisan wajahnya den kepadatan tubuhnya yang muda.

“Nona, kau minggirlah...” kata Tio Sun dengan tenang, lalu dia melangkah menghadapi dua orang raksasa bule yang kini sudah melangkah maju dengan muka mereka merah sekali, mata mereka melotot dan memandang Tio Sun penuh kemarahan. Mula-mula mereka itu mengeluarkan kata-kata keras dalam bahasa asing itu, telunjuk mereka menuding-nuding, akan tetapi Tio Sun sama sekali tidak mengerti artinya. Kemudian seorang di antara mereka, yang rambutnya kemerahan, berkata dalam bahasa pribumi yang kaku namun sikapnya jelas menunjukkan kemarahannya, “Kau berani merampas perempuan kami?”

Tio Sun teringat akan cerita pelayan warung dan para nelayan tadi, maka dia dapat menduga bahwa agaknya dua orang kelasi barat yang mabok ini menganggap gadis itu sebagai seorang pelacur, maka dengan sikap tenang karena mengira akan kesalahpahaman mereka, dia menjawab, “Kalian salah sangka. Nona ini adalah seorang wanita baik-baik, maka kalian tidak boleh kurang ajar terhadapnya.”

“Kurang ajar? Apa kurang ajar?” Si rambut merah itu membentak dan mengepal tinjunya yang besar, matanya juga merah melotot marah. “Kami cinta padanya, kami... kami akan membayar!”

Tio Sun mengerutkan alisnya. “Kalian orang-orang kasar yang mabok. Jangan mengganggu wanita dan pergilah!”

Si rambut merah melangkah maju dengan langkah lebar, sedangkan temannya yang berambut pirang hanya menonton sambil tersenyum-senyum memandang rendah, yakin bahwa temannya tentu akan memberi hajaran kepada pemuda kecil lemah yang mencampuri urusan mereka itu.

Si rambut merah menuding-nuding dengan isyarat agar Tio Sun pergi dari situ, suaranya parau dan kasar, kemarahannya membuat dia makin sukar mengeluarkan bahasa yang belum dikuasainya benar-benar itu. “Pergi kamu... pergi... dia perempuan kami...!”

Melihat keributan itu, beberapa orang yang datang mendekati untuk menonton, dan seorang nelayan tua berkata kepada Tio Sun, “Orang muda, sebaiknya kau pergi dan tidak mencampuri urusan mereka. Ketahuilah, mereka itu adalah dua orang terkuat di antara mereka yang mempunyai banyak anak buah. Jangan kau mencari penyakit...”

Sementara itu, seorang kakek nelayan lain yang kurus dan berpakaian butut lari mendatangi, dan melihat kakek ini, gadis nelayan tadi lalu menjerit dan lari menubruk kakek itu. “Ayahhh...!”

“Kui-ji... kau kenapa...?” Nelayan tua itu bertanya sambil mengelus rambut kepala anaknya.

Akan tetapi gadis itu tidak dapat menjawab, hanya menangis.

Nelayan tua yang tadi memperingatkan Tio Sun berkata, “Kalian cepat pergi...! Lekas...!”

Ayah dan anak itu terkejut dan keduanya hendak menyingkir dari tempat itu, akan tetapi raksasa berambut pirang dengan beberapa langkah lebar sudah mendekat, lalu lengannya yang panjang dengan jari-jari tangannya yang besar itu menangkap pergelangan tangan gadis manis itu.

“Ha-ha-ha, jangan pergi... jangan pergi... kau manis...” kata raksasa asing itu sambil tertawa.

Sang ayah kini mengerti bahwa anak perempuannya menjadi kebiadaban para kelasi asing itu, maka dengan marah dia memukul.

“Bukkk…………!” Dada yang bidang itu menerima pukulan dengan enak saja, sedikitpun tidak terguncang dan tangan kiri yang lebar itu mendorong sehingga si kakek terjengkangkang jauh.

“Ayahhh………!”

“Keparat……!” Tio Sun melangkah maju.
“Orang muda, mari kita pergi. Kalau mereka mengamuk……!” Nelayan itu berkata ketakutan.

Tio Sun menjadi marah sekali. Di bertolak pinggang, memandang ke sekeliling. Terutama ke arah beberapa orang nelayan yang berdiri di sekitar tempat itu dengan wajah ketakutan. “Kalian ini laki-laki ataukah pengecut yang tak tahu malu! Melihat gadis bangsa kita dihina dan hendak dipermainkan orang-orang asing biadab ini, kalian sama sekali tidak mengulurkan tangan membantu, malah ketakutan dan hendak menyingkir, dan lebih celaka lagi, kalian melarang aku untuk menolongnya. Apakah kalian tidak mau hidup sebagai laki-laki?”

Tidak ada seorangpun yang dapat menjawab. Mereka itu hanya nelayan-nelayan yang tahunya hanya mencari nafkah setiap hari di lautan, dan mereka semua sudah maklum akan kekuasaan dan kekasaran orang-orang berkulit putih ini. Orang-orang kulit putih itu ada kalanya amat baik dan ramah terhadap pribumi, apalagi dalam hal perdagangan. Akan tetapi sikap mereka itu rata-rata kasar dan keras, apalagi kalau dihalangi kehendak mereka, keramahan berobah menjadi kekerasan dan kekejaman. Dan rata-rata mereka itu terdiri dari jagoan-jagoan berkelahi yang bertubuh kuat dan berani, bahkan agaknya mereka itu mempunyai kesukaan untuk berkelahi sehingga para nelayan yang sering kali mengalami pemukulan mereka, kini menjadi takut. Lebih-lebih lagi ketika laporan mereka kepada yang berwajib bahkan merugikan mereka sendiri karena agaknya ada pertalian persahabatan yang erat antara pembesar-pembeear setempat dengan orang-orang bule tinggi besar itu. Dan kenyatannya memang demikian. Para pembesar sudah menerima banyak sumbangan dan hadiah dari raksasa-raksma ini, maka tentu saja sebagai seorang yang baik hati para pembesar ini merasa sungkan untuk bersikap memusuhi dan setiap ada pengaduan mereka ini menyalahkan yang mengadu dan memberi nasihat agar sebagai “tuan rumah” para pribumi suka mengalah terhadap para tamu yang banyak mendatangkan keuntungan bagi “rakyat” ini. Tentu saja hanya di mulut mereka ini mengucapkan demi rakyat, padahal sudah tentu, seperti yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia, mereka itu hanya mementingkan dirinya sendiri dan demi kepadatan kantong mereka sendiri.

Inilah sebabnya mengapa para nelayan bersikap ketakutan dan teguran Tio Sun itu hanya membuat muka mereka menjadi merah akan tetapi tidak ada seorangpun berani menentang dua orang raksasa kulit putih itu.

Sebaliknya, ucapan Tio Sun itu membikin marah si rambut merah. “Setan, engkau perlu dihajar!” bentaknya dan dia sudah menerjang Tio Sun dengan pukulan-pukulan kedua tangannya yang bertubi-tubi dan pukulan-pukulannya ternyata keras sekali!

Tio Sun tentu saja sudah siap dan waspada, dengan mudahnya dia menggerakkan tubuh sedikit saja namun cukup membuat pukulan kanan kiri yang bertubi-tubi datangnya itu menyambar angin kosong belaka. Ketika pukulan yang kesekian kalinya meluncur mengarah dagunya, kepalan kanan si rambut merah yang besar sekali itu menyambar, Tio Sun menggerakkan tangan menangkis dengan tangan kirinya. Tangkisan ini membuat tulang bawah lengan kirinya bertemu dengan amat kerasnya dengan tulang atas lengan kanan si rambut merah.

“Dukkkk... aughhhh...!” Si rambut merah berteriak kesakitan dan memegangi lengan kanannya. Tulang bawah lengan merupakan bagian yang lebih kuat daripada tulang atas lengan, biarpun keduanya terlatih sekalipun, apalagi Tio Sun mempergunakan tulang bawah lengannya dengan pengerahan tenaga sin-kang, tentu saja membuat lawannya yang terpukul tulang atas lengannya itu merasa nyeri bukan main seolah-olah tulang lengannya retak-retak rasanya.

Akan tetapi rasa nyeri ini tidak berlangsung lama dan kemarahan si rambut merah memuncak. Dia mengeluarkan suara gerengan disambung maki-makian dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Tio Sun, kemudian raksasa rambut merah itu menerjang seperti seekor kerbau mengamuk, kepalanya di depan, tubuhnya agak membungkuk dan kedua lengannya merapat tubuh, kedua kepalan tangan yang besar itu silih berganti menyambar dengan pukulan-pukulan keras yang mengarah bagian muka dan tubuh atas Tio Sun.

Tentu saja serangan sederhana yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini merupakan serangan yang sama sekali tidak berbahaya bagi Tio Sun. Dengan amat mudahnya pemuda ini mengelak dan menangkis, kemudian satu kali tanganya menyambar dia sudah berhasil memukul leher dekat pundak kiri lawan dengan tangan kanan yang dimiringkan.

“Ngekkk!”

Raksasa muka merah itu terjungkal, mengaduh dan memijit-mijit lehernya yang terpukul. Akan tetapi ternyata dia bertubuh kuat sekali karena dia sudah bangkit kembali, merogoh saku celana dan mengeluarkan dua buah senjata kalung besi yang ketika digenggamnya melingkari celah-celah jari kedua tangannya sehingga kini kepalannya tertutup oleb ujung-ujung besi yang menonjol dan agak meruncing. Dapat dibayangkan betapa kepala akan dapat pecah dan tubuh akan terluka parah kalau sekali saja terkena pukulan tangan yang diperlengkapi dengan senjata istimewa ini.

“Mampus kamu! Wuuutttt... siyuuuutt...!” Kembali si rambut merah menyerang dengan ganas. Kedua matanya sudah menjadi merah dan lagaknya persis seekor lembu jalang yang mengamuk karena terluka.

Kalau tadi si rambut merah menggunakan cara bertinju menurut aturan karena dia merasa yakin bahwa dengan kepandaiannya bermain tinju dia akan dapat mengalahkan lawan yang kelihatan kecil lemah ini, kini dia tidak lagi memperhatikan aturan dan menggunakan segala akal curang dalam cara berkelahi untuk mencari kemenangan, maka kini dia tidak lagi memukul ke arah tubuh atas saja, melainkan dia memukul ke arah lambung, pusar dan lain-lain, bahkan kedua kakinya yang memakai sepatu boot itupun ikut pula menyerang. Betapapm juga, bagi Tio Sun, gerakan raksasa ini masih terlalu lambat dan kacau tidak teratur, pokoknya asal menyerang saja maka sudah tentu amat mudah dihadapi oleh pemuda gemblengan ini. Dia membiarkan lawan menyerang membabi buta sampai dia mundur empat langkah, kemudian ketika musuh terus menyerbu, dia melangkah ke kiri, membiarkan tubuh lawan agak terdorong ke depan dan dengan gerakan kaki cepat sekali, dia melangkah maju sehingga kini dia berada di sisi belakang lawan. Cepat kakinya bergerak menyentuh lutut kanan lawan, dibarengi dengan tamparan jari tangan terbuka ke arah tengkuk.

Si rambut merah kembali terjungkal, kini roboh dan menyeringai kesakitan, kepalanya pening, pandang matanya berkunang-kunang dan dia melihat ribuan bintang beterbangan di sekelilingnya, dan kakinya yang kanan menjadi salah urat di bagian lutut sehingga dia tidak mampu bangun kembali.

Semua nelayan yang menyaksikan pertempuran ini dari tempat aman, melongo dan terheran-heran mengapa ada pemuda yang begitu berani menentang si rambut merah yang terkenal kuat dan pemberani itu. Bahkan raksasa rambut merah ini pernah dikeroyok oleh belasan orang nelayan pribumi tanpa merasa takut dan tidak kalah pula! Juga si rambut pirang bengong keheranan, hampir tidak percaya bahwa temannya yang cukup jagoan itu dikalahkan sedemikian mudahnya oleh si pemuda kecil lemah ini. Keheranannya berobah menjadi kemarahan besar ketika dia tahu bahwa temannya itu terluka cukup parah karena buktinya tidak mampu bangkit kembali. Dia lalu mencabut sebatang pisau belati, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menyerang Tio Sun dengan senjata pisaunya yang mengkilap. Melihat ini, para nelayan menjadi pucat wajahnya. Pemuda itu tentu akan tewas!

Akan tetapi tentu saja serangan pisau yang menyambar ke arah perutnya itu merupakan serangan yang tidak ada artinya bagi Tio Sun. Akan tetapi pemuda ini juga sama sekali tidak ada niat di hatinya untuk membunuh dua orang ini, karena dia masih menganggap bahwa kesalahan mereka itu hanya timbul karena mungkin terjadi salah pengertian belaka. Mungkin karena kurang pandai bicara atau belum begitu menguasai bahasa daerah, orang-orang asing ini salah menduga dan mengira gadis nelayan itu seorang perempuan pelacur yang boleh dipermainkan sesukanya asalkan dibayar! Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan mabok seperti itu, dua orang asing ini memang menganggap semua perempuan pribumi suka kepada mereka dan boleh mereka ajak bermain cinta dengan hadiah uang.

Karena tidak ingin membunuh, maka Tio Sun juga hanya mengelak dari sambaran pisau itu. Sampai lima kali dia terus mengelak sambil berkata, “Kau pergilah dan jangan ganggu wanita!”

Akan tetapi mana mungkin si rambut pirang yang sudah marah dan mabok itu mau menerima begitu saja? Dia menyerang makin ganas karena terbawa oleh rasa penasaran, betapa lawannya dapat mengelak dengan mudah, bahkan sambil menasihatinya! Pada saat itu, kelasi barat yang berambut merah sudah berhasil bangkit, terpincang-pincang dan meniup peluitnya. Terdengar bunyi peluit melengking nyaring berkali-kali dan para nelayan yang mendengar peluit ini menjadi terkejut. Mereka maklum apa artinya bunyi peluit ini. Kelasi asing itu memanggil kawan-kawannya dan mereka menjadi takut kalau-kalau terbawa-bawa, maka mereka lalu melarikan diri dari pantai itu untuk pergi melapor kepada yang berwajib agar pemuda itu tidak sampai dikeroyok dan mati secara mengerikan.

Tadinya Tio Sun tidak mengerti apa artinya tiupan peluit nyaring itu. Akan tetapi ketika dia melihat belasan orang asing datang berlarian ke tempat itu, dia mengerti bahwa itu tentulah teman-teman dua orang ini yang datang memenuhi panggilan suara peluit tadi. Marahlah hatinya dan dia berkata kepada dua orang itu, “Gadis itu dan ayahnya sudah pergi. Perlu apa ribut-ribut lagi? Mundurlah, kalian dan aku tidak akan memperpanjang urusan ini!”

Ucapan Tio Sun itu dianggap sebagai sikap ketakutan oleh dua orang asing itu, maka si rambut pirang memperhebat serangan pisaunya, dan si rambut merah terpincang-pincang memberi isyarat kepada kawan-kawannya agar lebih cepat datang.

“Keparat!” Tio Sun membentak dan pada saat pisau menyambar untuk ke sekian kalinya, dia hanya miringkan sedikit tubuhnya, pada saat pisau itu meluncur dekat dadanya dia cepat menggerakkan tangannya yang dimiringkan, membacok ke arah lengan yang memegang pisau itu.

“Dukkk... plak!” Pisau terpental dan pukulan ke arah lengan itu disusul tamparannya yang mengenai bawah telinga lawan. Si rambut pirang terpelanting dan mengaduh-aduh, kepalanya seperti pecah rasanya.

Pada saat itu, sebelas orang kulit putih lain yang merupakan anak buah dua orang kelasi jagoan ini, sudah tiba di situ dan tanpa banyak cakap lagi mengepung dan menyerang Tio Sun dari berbagi jurusan, dengan senjata macam-macam, besi pelindung kepalan, pisau dan rantai.

“Kalian orang-orang biadab yang jahat!” Tio Sun berseru dan kini pemuda ini mengamuk. Gerakannya tangkan dan cepat, membagi-bagi pukulan dan tendangan di antara mereka, sehingga ramailah pertempuran itu. Para pengeroyok itu jatuh bangun dan setiap kali kaki atau tangan Tio Sun bergerak pasti ada seorang pengeroyok yang terjungkal atau terpelanting, setidaknya terhuyung-huyung sambil mengaduh-aduh. Tidak ada yang tahu betapa sejak tadi ada sepasang mata jeli yang menonton pertempuran keroyokan itu dengan mata berseri-seri dan mulut mengeluarkan kekagumannya melihat ketangkasan Tio Sun. Mata jeli ini milik seorang dara muda yang memiliki kecantikan yang khas. Melihat pakaiannya, dia adalah seorang dara pribumi yang berkecukupan, akan tetapi kalau orang memperhatikan dia di tempat terang, tidak di tempat gelap seperti sekarang ini karena senja telah tua, orang akan melihat bahwa sepasang matanya lebar, tidak seperti dara wanita pribumi, dan warnanya kebiruan! Juga rambutnya tidaklah hitam seperti biasa, melainkan agak keemasan! Mata dan rambutnya seperti orang asing itu, akan tetapi bentuk tubuhnya seperti wanita pribumi, demikian pula pakaiannya! Karena inilah maka dia memiliki kecantikan yang khas dan aneh, memiliki daya tarik tersendiri, berbeda dari dara-dara umumnya.

Tio Sun yang mengamuk dengan sibuknya, juga karena waktu itu cuaca sudah mulai gelap, sama sekali tidak melihat betapa orang asing berambut merah tadi kini mengeluarkan sebuah benda mengkilap, yang dipegang dengan tangan kanannya, kemudian membidikkan benda itu ke arah pundak Tio Sun yang masih mengamuk diagan hebatnya, merobohkan semua pengeroyoknya dengan pukulan dan tendangan terukur agar tidak sampai membunuh orang.

Ketika dara yang menonton pertempuran itu dari tempat tersembunyi melihat si rambut merah mengeluarkan benda itu, dia kelihatan kaget sekali dan dengan geraken cepat dia sudah mencabut sebatang hui-to (pisau terbang) yang bentuknya mungil dan dihias ronce-ronce merah, kemudian secepat kilat dia menggerakkan tangannya. Pisau kecil itu maluncur cepat, mengeluarkan suara berdesing dan tepat mengenai tangan si rambut merah yang memegang pistol dan sedang membidikkan pistol itu ke punggung Tio Sun.

“Crepp... auwww...!” Pistol itu terlepas dari tangan si rambut merah yang berteriak kesakitan karena pisau kecil beronce merah itu telah menancap di tangannya.

“Pedro...! Berani kau dan kaki tanganmu mengacau di sini, bahkan hendak menggunakan senjata api? Kalau aku menangkapmu dan mengajukanmu ke depan pengadilan, apakah kalian tidak akan celaka semua?”

Si rambut merah yang disebut Pedro oleh dara cantik itu makin terkejut. Dia menoleh, memandang kepada dara itu dan semua teman-temannya yang sudah jatuh bangun oleh hajaran Tio Sun juga terkejut. Mereka semua memandang kepada nona itu yang kini berdiri dengan tegak dan gagahnya bertolak pinggang dan memandang marah kepada si rambut merah.

“Maaf... nona De Gama... maafkan kami...” Pedro kini berkata sambil memegangi tangannya yang terluka.

“Kalian memang berani mati!” Nona itu menghardik lagi, sikapnya penuh wibawa dan kata-katanya seperti menusuk jantung tiga belas orang itu. “Sudah berapa kali kami memperingatkan pimpinanmu agar kalian tidak membikin ribut di sini, dan terutama tidak boleh mengganggu penduduk pribumi. Kembalikan pisauku!” bentaknya.

Sambil menggigit bibirnya Pedro mencabut pisau terbang yang menancap di tangan kanan itu dengan tangan kirinya, kemudian dia melangkah maju, menyerahkan pisau kecil itu, wajahnya masih merah karena mabok, akan tetapi pandang matanya penuh rasa jerih. Dara itu menerima kembali pisaunya, lalu berkata dengan sikap dingin dan memerintah, “Kalian pergilah!”

“Terima kasih, nona.” Pedro membungkuk dengan hormat, mengambil pistolnya dan memberi isyarat kepada teman-temannya untuk pergi. Semua temannya juga memberi hormat kepada dara muda itu.

“Pedro, lain kali kalau engkau mendarat dengan membawa pistol, aku tidak akan mengampunimu lagi.” Nona itu menyusulkan kata-kata ancaman.

Pedro membalik, lalu membungkuk, kemudian merekapun pergi menuju ke perahu-perahu yang mereka naiki dan mereka dayung ke tengah lautan di mana terdapat kapal mereka yang berlabuh.



Mereka berdiri saling berhadapan dan berusaha untuk meneliti wajah masing-masing menembus kesuraman cuaca hampir malam, Tio Sun memandang penuh kekaguman. Dara ini masih muda dan cantik sekali, akan tetapi mempunyai wibawa begitu besar den sanggup mengusir belasan orang laki-laki kasar tadi dengan kata-kata dan ancaman saja, juga dia melihat hui-to yang tadi menancap di tangan si rambut merah dan biarpun dia tidak melihat cara gadis itu menyerang si rambut merah, namun dia maklum juga bahwa dara ini selain cantik jelita dan berpengaruh, juga tentu memiliki kepandaian tinggi. Di lain fihak, nona itupun memandang Tio Sun dengan kagum, menatap wajah yang membayangkan kesederhanaan, kejujuran dan kegagahan itu, wajah yang biarpun tidak dapat dikatakan tampan, namun juga tidak buruk dan cukup jantan.

Tio Sun yang masih memandang kagum, juga diam-diam dia terheran-heran. Nona ini adalah seorang gadis pribumi, akan tetapi tadi telah menggunakan bahasa orang asing, bahasa orang biadab itu ketika bercaka-cakap dengan mereka! Hal ini tentu saja menambah kekagumannya dan kini dia menjura dengan hormat sambil berkata, “Banyak terima kasih atas bantuan nona yang telah berhasil menyuruh mereka pergi sehingga keributan ini dapat dihentikan.”

Dara itu tersenyum dan balas memberi hormat. “Engkau begini sopan den ramah, taihiap (pendekar besar), sungguh mengherankan bagaimana dapat bentrok dengan mereka?”

Kembali Tio Sun terkejut. Ternyata gadis ini dapat bicara dalam bahasa daerah yang baik sekali! Hal ini membuktikan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang gadis pribumi, akan tetapi bagaimana tadi gadis ini dapat bicara dalam bahasa asing terhadap gerombolan orang kasar itu? Dia makin kagum akan kepintaran gadis ini, maka dia cepat menjawab, “Nona, sebetulnya tidak ada urusan pribadi antara saya dengan mereka. Saya sedang makan di warung sana ketika saya mendengar jerit seorang wanita. Saya cepat lari ke sini dan melihat seorang gadis nelayan sedang ditarik-tarik oleh dua orang di antara mereka tadi, yaitu yang berambut merah dan pirang tadi. Mereka agaknya sedang mabok, maka melihat gadis nelayan itu berteriak minta tolong dan mereka menggunakan kekerasan, saya lalu mencegah. Kemudian datang teman-teman mereka dan saya dikeroyok.”

“Dan tikus-tikus itu akan mati semua sekiranya taihiap menghendaki. Betapa tidak tahu diri mereka itu!”

Tio Sun terkejut karena ucapan ini jelas menunjukkan betapa tajam pandang mata dara ini dan ini saja sudah jelas membuktikan bahwa dara ini tentu pandai ilmu silat sehingga tahu bahwa dia tadi melayani pengeroyokan mereka itu dengan menggunakan tenaga terukur agar jangan sampai kesalahan tangan membunuh mereka.

“Ah, nona terlalu memuji...!” katanya, akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa hatinya menjadi begini girang mendengar nona ini menyebutnya “taihiap” dan mengetahuinya bahwa dia tadi tidak bersungguh-sungguh menghajar belasan orang itu? Biasanya, pujian-pujian baginya hanya akan menimbulkan perasaan muak karena sejak kecil dia sudah digembleng ayahnya sehingga dia menganggap pujian orang lain sebagai suatu hal yang amat berbahaya. Jangan mendengarkan pujian, demikian kata ayahnya, karena pujian itu merupakan racun yang dapat membuatmu menjadi tinggi hati dan sombong sehingga mengurangi kewaspadaan. Kini, nona ini memujinya dan baru pertama kali selama hidupnya dia merasa girang dan bangga!

“Saya tidak memuji hanya bicara tentang apa adanya. Taihiap berilmu tinggi dan sudah lama sekali saya ingin bertemu dengan seorang pendekar seperti taihiap yang banyak saya dengar dari cerita ibu saya. Menurut ibu, seorang pendekar sakti yang budiman seperti taihiap akan selalu siap membantu orang yang dilanda malapetaka, benarkah itu?”

Tio Sun merasa tidak enak juga mendengar dia dianggap sebagai seorang pendekar sakti yang budiman! Sudah terlampau berlebihan pujian ini! Akan tetapi karena sikap dara itu jujur dan tidak dibuat-buat, dia menjawab juga, “Nona, saya bukan seorang pendekar sakti budiman, akan tetapi sebagai seorang manusia, tentu saja saya selalu siap untuk menolong manusia lain yang dilanda malapetaka.”

“Kalau begitu, harap taihiap sudi menolong saya yang sedang dilanda malapetaka dan menderita kegelisahan hebat ini!” Berkata demikian, nona itu tiba-tiba lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun.

Tentu saja pemuda itu menjadi terkejut bukan main. “Ah, nona... Jangan berbuat demikian... tentu saja saya selalu siap sedia membantumu... harap jangan berlutut seperti ini.” Tio Sun memegang kedua lengan yang kecil itu dan menarik nona itu untuk bangun, Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa sedikitpun nona itu tidak dapat diangkatnya naik. Nona itu ternyata telah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh!

“Saya tidak akan bangkit kalau taihiap belum berjanji akan menolong saya.”

“Janji baru dapat diberikan kalau saya sudah mendengar urusannya, nona. Bagaimanapun juga saya hanya akan membantu fihak yang benar.” Tio Sun yang maklum bahwa gadis ini sengaja hendak mengujinya, lalu mengerahkan sin-kangya. Gadis itu mempertahankan diri, akan tetapi Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang memiliki ilmu menghimpun tenaga selaksa kati yang amat hebat. Maka dara itu akhirnya tidak kuat bertahan dan tubuhnya dapat diangkat oleh Tio Sun. Akan tetapi, biarpun dengan dipegang kedua lengannya dia dapat diangkat, tetap saja dia dalam keadaan berlutut seolah-olah tubuhnya menjadi kaku seperti batu! Tio Sun terkejut dan kagum sekali. Tidak salah dugaannya bahwa nona ini memiliki kepandaian yang tinggi juga!


Harap nona tidak sungkan-sungkan dan mari kita bicara,” katanya sambil melepaskan kedua lengan itu. Nona itupun turun keadaan berdiri dan di dalam kegelapan malam itu dia memandang dengan wajah berseri penuh harapan.

“Di sini bukan tempat bicara. Marilah saya persilakan taihiap untuk singgah di rumahku dan di sana kita dapat berbicara dengan leluasa, dan saya akan menceritakan malapetaka apa yang menimpa diri saya.”

Tio Sun mengangguk. Kalau seorang gadis yang memiliki kepandaian begini hebat, dan juga mempunyai pengaruh terhadap orang-orang kasar tadi sampai dapat dilanda malapetaka, tentulah telah terjadi hal yang amat hebat. Mereka lalu berangkat menuju ke rumah gadis itu, akan tetapi Tio Sun lebih dulu mengajak nona itu singgah di warung untuk membayar makanan yang tadi dipesannya dan yang belum dimakan sampai habis. Pemilik warung yang sudah mendengar akan perkelahian Tio Sun dikeroyok oleh banyak orang asing itu menyambut sambil membungkuk hormat, akan tetapi sikapnya menjadi makin menghormat ketika dia melihat nona itu datang bersama Tio Sun.

“Ah, kiranya Souw-siocia (nona Souw)... silakan duduk, nona...” kata pemilik warung dan dara itu mengucapkan terima kasih dan menanti di luar sampai Tio Sun selesai membayar harga makanan.

Diam-diam nona itu menjadi semakin kagum dan girang. Tidak salah lagi, pikirnya. Seperti inilah seorang pendekar budiman yang seringkali dia mendengar diceritakan oleh ibunya akan tetapi yang belum pernah dijumpainya.

Tio Sun di lain fihak tercengang ketika nona itu mengajaknya memasuki pekarangan sebuah bangunan yang besar dan megah.

“Inikah rumahmu, nona?” tanyanya dengan ragu-ragu.

Nona itu tersenyum. “Harap jangan perdulikan rumah, taihiap. Engkau datang untuk bicara dengan aku, bukan dengan rumah, bukan?”

Tio Sun mengangguk. Benar, mengapa dia ribut tentang keadaan nona ini? Apakah bedanya andaikata nona ini seorang miskin sekali ataukah seorang yang kaya raya? Mereka memasuki ruangan depan, disambut oleh dua orang pelayan wanita yang memberi hormat kepada nona majikan mereka dan kepada tamu itu. Dara itu mengajak Tio Sun memasuki sebuah ruangan besar, ruang tamu dan memerintahkan dua orang pelayannya untuk mempersiapkan hidangan.

“Ah, tidak perlu repot-repot, nona...” Tio Sun mencegah.

“Tidak repot, akan tetapi seharusnya. Bukankah taihiap sedang makan ketika taihiap mendengar wanita minta tolong? Nah, akupun belum makan malam maka sudah sepatutnya kalau saya mengajak taihiap makan malam bersama.”

Mereka duduk berhadapan terhalang meja dan Tio Sun makin heran melihat sikap dara ini yang demikien terbuka dan polos, tidak malu-malu seperti kebanyakan gadis yang dijumpainya. Akan tetapi ketika dia memandang dan kini wajah gadis itu nampak jelas disinari lampu gantung di atas mereka, Tio Sun terkejut bukan main. Gadis itu cantik! Cantik bukan main, seperti gambar seorang bidadari! Akan totapi matanya berwarna kebiruan dan rambutnya keemasan! Seorang gadis asing! Akan tetapi kulitnya yang kuning, tata rambutnya, pakaiannya, bicaranya adalah seratus prosen gadis pribumi. Hanya warna mata dan rambutnya! Dia memandang bengong!

“Eh, taihiap, engkau memandang apa?” Nona itu menegur ketika melihat Tio Sun terlongong seperti orang terkena pesona, senyumnya melebar dan di sebelah kiri mulutnya muncul lesung pipit yang manis sekali. Kini tampak jelas oleh Tio Sun betapa dara itu sebetulnya masih amat muda, akan tetapi agaknya memang mempunyai tubuh yang lebih besar daripada gadis-gadis biasa, karena biarpun tubuhnya yang padat itu seperti tubuh dara yang matang, namun wajahnya menunjukkan bahwa dia baru saja di ambang pintu kedewasaan, paling banyak tujuh belas tahun usianya.

“Maaf... eh, saya kira nona seorang gadis pribumi, akan tetapi...”

Nona itu menghela napas panjang. “Kaumaksudkan mataku biru dan rambutku agak keemasan?”

Lega hati Tio Sun dan dia mengangguk, karena rasanya amat tidak enak kalau dia yang harus mengatakan hal itu.

“Memang demikianlah” kata nona itu. “Kalau aku dikatakan gadis pribumi, hal itu benar, dan namaku adalah Souw Kwi Eng, akan tetapi kalau ada yang mengatakan bahwa aku seorang gedis asingpun, benar dan namaku adalah Maria de Gama. Ayahku seorang Portugis aseli akan tetapi ibuku seorang Tionghoa aseli pula.”

“Aihh, kiranya begitukah...?” Tio Sun memandang dengan penuh kagum dan terheran-heran karena baru sekarang ini dia bertemu dengan seorang peranakan yang berdarah campuran. Namun harus diakuinya bahwa belum pernah dia melihat yang begini mempesonakan, begini cantik jelita, kecantikan yang khas dan amat menawan hatinya yang berdebar-debar.

“Akan tetapi ayahku bukanlah seperti orang-orang kasar yang mengeroyokmu tadi, taihiap. Ayahku adalah seorang terpelajar, yang di negaranya termasuk seorang ahli pedang yang disegani, dan di sini dahulu terkenal sebagai pemilik kapal den juga kapten kapal. Adapun ibuku juga seorang pendekar wanita yang terkenal, karena ibuku adalah murid Panglima The Hoo yang terkenal itu. Ayah bernama Yuan de Gama, maka aku memakai nama Maria de Gama, sedangkan ibuku she Souw, maka akupun memakai nama keturunan Souw.”

Tio Sun kelihatan terkejut bukan main mendengar nama-nama itu. Dia pernah mendengar penuturan ayahnya tentang nama-nama itu.


Nona... apakah ibumu bernama Souw Li Hwa...?”

Wajah nona yang cantik itu berseri gembira. “Kau telah mengenal ibuku?”

Tio Sun menggeleng kepala. “Aku hanya mendengar dari ayah. Ketahuilah nona, bahwa ayahku bernama Tio Hok Gwan dan ayah adalah bekas pengawal setia dari mendiang Panglima Besar The Hoo, oleh karena itu ayah tentu saja mengenali murid beliau, yaitu ibumu yang bernama, Souw Li Hwa. Akan tetapi...” Dia memandang wajah yang cantik jelita itu dengan alis berkerut karena dia merasa sangsi, bahkan agak curiga memandang nona itu.

“Akan tetapi apakah, taihiap?”

“Menurut cerita ayahku, pendekar wanita Souw Li Hwa telah tewas, tenggelam bersama Yuan de Gama di atas kapal... bagaimana mungkin sekarang muncul seorang puterinya...?”

“Memang begitulah yang diketahui oleh semua orang, akan tetapi ada rahasia di balik semua itu, taihiap. Sebetulnya ayah merahasiakan keadaan kami ini, akan tetapi karena sekarang aku menghadapi malapetaka dan membutuhkan bantuanmu, apalagi setelah aku mengetahui bahwa engkau adalah putera seorang pengawal setia dari mendiang The-sucouw (kakek guru The), biarlah aku menceritakannya kepadamu.”

Dara itu lalu bercerita yang didengarkan oleh Tio Sun dengan penuh perhatian dan kekaguman. Tentu saja pembaca cerita “Petualang Asmara” juga terheran-heran mendengar pengakuan nona peranakan yang bernama Maria de Game alias Souw Kwi Eng itu, karena para pembaca tentu masih ingat betapa Souw Li Hwa, pendekar wanita perkasa murid Perdana Menteri The Hoo telah tewas bersama pemuda asing yang dicintainya, yaitu Yuan de Gama. Oleh karena itu, mari kita mendengarkan penuturan nona cantik yang mengaku sebagai puteri Souw Li Hwa itu.

Seperti telah diceritakan dalam cerita “Petualang Asmara”, Yuan de Gama, seorang pemuda Portutis yang gagah perkasa, sebagai seorang kapten kapal, tidak mau meninggalkan kapalnya yang terbakar dan tenggelam. Setiap orang kapten yang terhormat dan gagah perkasa harus sehidup semati dengan kapalnya, maka biarpun dia masih mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri, meninggalkan kapalnya yang mulai tenggelam, Yuan de Gama berkeras tidak mau meninggalkannya. Dan seorang dara cantik jelita dan perkasa, murid Panglima The Hoo, yang bernama Souw Li Hwa, juga berkeras tidak mau meninggalkan Yuan de Gama yang dicintanya. Kedua orang muda yang saling mencinta ini saling berpelukan dan ikut tenggelam bersama kapal yang terbakar itu, disaksikan oleh ribuan pasang mata yang merasa terharu dan kagum sekali, termasuk mata pendekar-pendekar Cia Keng Hong, Yap Kun Liong, Panglima Besar The Hoo dan lain-lain.

Sudah dapat dipastikan kedua orang muda yang sallig mencinta itu akan mati tenggelam di lautan kalau saja pada saat kapal tenggelam itu tidak terjadi sesuatu yang amat luar biasa. Seorang laki-laki tua yang berpakaian nelayan, yang tidak mencampuri perang yang terjadi antara fihak pemberontak dan tentara pemerintah (baca Petualang Asmara) dan yang ikut pula menyaksikan terbakarnya kapal dan ikut tenggelamnya pasangan yang saling berpelukan itu bersana kapalnya, memandang peristiwa itu dengan air mata menitik turun di kedua pipinya yang keriputan. Akhirnya tanpa ada yang melihatnya, kakek tua renta yang perpakaian sebagai nelayan sederhana lalu meloncat dan terjun ke dalam air, menyelam dan lenyap.

Demikianlah, Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang sudah hampir mati lemas, tahu-tahu telah berada di darat, di tempat yang sunyi dalam hutan. Mereka ditolong dan diselamatkan oleh kakek nelayan itu. Mula-mula Yuan de Gama marah-marah karena hidupnya itu merupakan suatu hal yang amat memalukan, dan dia dapat dianggap seorang pengecut karena sebagai seorang kapten dia tidak mati tenggelan bersama tenggelamnya kapal. Hampir saja dia marah dan menyerang kakek itu, akan tetapi dicegah oleh Souw Li Hwa yang menangis dan menyatakan keinginan hidupnya bersama kekasihnya itu setelah ternyata mereka berdua masih hidup.

Adapun kakek itu dengan sabar dan tenang berkata, “Mungkin sekali kebiasaan bangsamu itu dianggap sebagai perbuatan gagah perkasa, namun di sini hanya akan dianggap sebagai perbuatan tolol, suatu pembunuhan diri yang konyol. Bagaimana nyawa manusia disamakan dengan tenggelamnya sebuah benda mati seperti kapal? Pula, engkau sudah memenuhi kebiasanan itu, sudah tenggelam bersama kapalmu, maka apakah salahnya kalau hal itu tidak membuat kau mati karena memang Thian belum menghendaki kau mati? Setelah sekarang kapalmu tenggelam dan kau dapat kuselamatkan di sini, apakah kau lalu akan membunuh dirimu sendiri bersama wanita yang amat setia kepadamu ini?”

Mendengar ucapan kakek nelayan se'derhana itu, Yuan de Gama tertegun dan tidak dapat membantah. Memang, kapalnya sudah tenggelam dan dia ternyata masih hidup, bukan atas kehendaknya karena dia ditolong dalam keadaan tidak sadar. Tak mungkin sekarang dia harus mengajak Souw Li Hwa untuk bersama-sama membunuh diri! Kematian gagah seorang kapten adalah tenggelam bersama kapalnya, bukannya membunuh diri secara konyol satelah kapalnya tidak ada lagi! Akhirnya Yuan de Game dapat melihat kebenaran itu dan tak lama kemudian dia saling rangkul dengan Souw Li Hwa yang menangis sesenggukan sehingga Yuan tidak dapat bertahan lagi untuk tidak mencucurkan air mata. Kakek nelayan itu tertawa bergelak saking girangnya dan demikianlah, mulai saat itu Yuan de Game dan Souw Li Hwa hidup sebagai suami isteri dan kakek nelayan itu yang ternyata memiliki kepandaian renang den bermain di dalam air seperti seekor ikan saja, menjadi pembantu mereka.

Yuan de Game masih merasa sungkan untuk muncul di tempat ramai dan ketahuan oleh orang-orang bahwa dia tidak lagi menjadi seorang kapten yang gagah perkasa maka dia mengajak untuk hidup sunyi di pantai laut dalam hutan, hanya ditemani oleh kakek nelayan itu.
Akan tetapi, setelah setahun kemudian Souw Li Hwa melahirkan anak kembar, terpaksa Yuan mengajak keluarganya pindah ke kota Yen-tai dan di situ dia hidup sebagai seorang pedagang yang dalam waktu beberapa tahun saja, telah menjadi kaya raya.

“Demikianlah, taihiap, aku diberi nama Maria de Gama alias Souw Kwi Eng, sedangkan kakak kembarku bernama Richardo de Game seperti kakek, alias Souw Kwi Beng. Kakek nelayan itu mengajar kami berdua ilmu di dalam air, sedangkan ibu mengajar kami ilmu silat. Dua tahun yang lalu kakek nelayan itu telah meninggal dunia karena usia tua.”


Mendengar penuturan itu, Tio Sun cepat bangkit dari kursinya, dan menjura dengan penuh hormat. “Maafkan kesangsian saya tadi. Kiranya nona adalah puteri pendekar Souw Li Hwa yang dipuji-puji oleh ayah, dan setelah mendengar siapa adanya nona, maka tentu saja saya siap untuk membantu nona.”

“Terima kasih, taihiap...”

“Maaf, harap nona tidak menyebut saya taihiap. Saya adalah putera ayah saya Tio Hok Gwan yang mengenal baik ibu nona, dan nama saya Tio Sun. Sekarang, perkenankan saya menghadap ibu nona untuk menyampaikan hormat saya...”

“Aihhh, kalau ibu berada di rumah, tentu sudah sejak tadi dia keluar. Tio-taihiap... eh, baik kusebut kau twako saja, ya?”

“Terserah, asal jangan menyebut taihiap, karena saya tidak pantas disebut taihiap.”

“Baiklah, Tio-twako. Ketahuilah bahwa ayah ibuku sudah setengah tahun ini pergi berkunjung ke barat, ke negeri ayahku di Portugal. Aku dan Beng-koko tidak boleh ikut dan diharuskan melanjutkan perdagangan ayah den menjaga rumah. Akan tetapi baru beberapa hari yang lalu terjadilah malapetaka itu.”

“Peristiwa apakaah yang terjadi, nona?”

“Kakakku diculik orang...” Dan wajah itu seketika menjadi muram, pandang matanya diliputi kegelisahan.

Tio Sun terkejut, akan tetapi pada saat itu, empat orang pelayan datang membawa hidangan yang segera diatur di atas meja. “Nanti saja kita lanjutkan, twako,”, kata Kwi Eng dan mereka lalu makan. Tio Sun yang kini sudah mengenal siapa adanya dara yang amat menarik hatinya ini tidak sungkan-sungkan lagi dan mereka makan tanpa bicara, kecuali kalau Kwi Eng menawarkan ini-itu kepada tamunya.

Setelah selesai makan den sisanya diasingkan oleh para pelayan, mereka kini duduk berdua lagi dan bercakap-cakap.

“Sekarang ceritakanlah bagaimana kakakmu dapat diculik orang, nona. Melihat kelihaianmu, tentu kakak kembarmu itupun seorang yang tidak akan mudah diculik orang begitu saja.”

“Dugaanmu memang benar, twako. Beng-koko memiliki kepandaian yang cukup, bahkah lebih pandai daripada aku. Selama belajar, aku hanya dapat mengatasi kakakku itu dalam ilmu di dalam air saja, akan tetapi dalam latihan ilmu silat, dia lebih pandai dariku. Akan tetapi yang menculiknya juga bukan orang biasa, melainkan gerombolan bajak laut Jepang yang diketuai oleh seorang yang lihai sekali yang bernama Tokugawa, dan terkenal sebagai seorang jagoan samurai yang menyeleweng menjadi kepala bajak. Di antara Tokugawa dan ayah ibu memang terdapat permusuhan, dimulai ketika Tokugawa dan anak buahnya merampok kapal milik ayah dan ayah bersama ibu segera merampasnya. Di dalam pertandingan satu lawan satu, Tokugawa dikalahkan oleh ibu. Semenjak itu, Tokugawa agaknya tergila-gila kepada ibu dan memiliki niat tidak baik, ingin membunuh ayah dan merampas ibu! Tentu saja ayah dan ibu menentangya dan selalu gerombolan Tokugawa dikalahkan. Kini, setelah ayah dan ibu pergi ke barat agaknya Tokugawa berani lagi bermain gila. Setelah dia dikalahkan untuk yang terakhir kalinya, dia Odak berani muncul lagi dan kabarnya menyembunyikan diri di Pulau Hiu yang kosong. Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu dia muncul, tentu telah menggunakan akal sehingga dia berhasil menculik Beng-koko den mengiriin surat kepadaku. Inilah suratnya!”

Dengan wajah gelisah Kwi Eng lalu memperlihatkan sesampul surat yang ditulis dengan huruf-huruf kasar namun cukup jelas untuk dapat dibaca.

“Kalau ingin melihat pemuda peranakan asing pulang dengan selamat, kirimkan kapal Angin Timur ke Pulau Hiu sebagai penukarnya.”


Di bawah huruf-huruf itu, terdapat sebuah gambar tengkorak hitam. “Apakah artinya gambar ini?” tanya Tio Sun setelah membaca surat itu.

“Itulah julukan Tokugawa, Si Tengkorak Hitam yang menjadi bendera gerombolannya.”

Setelah mengembalikan surat itu, Tio Sun bertanya, “Dan kapal Angin Timur itu adalah milik ayahmu?”

“Ya, kapal itu milik kami, kapal yang terbesar dan belum lama ini dibeli oleh ayah dari barat.”

“Kenapa kau tidak melaporkan kepada yang berwajib, nona? Bukankah sudah jelas ada bukti dengan surat itu?”

“Brakkkk!” Kwi Eng menggebrak meja sampai meja itu tergetar. “Itulah yang menjengkelkan dan menggemaskan! Kau tahu, twako, semua pembesar korup itu telah makan sogokan dari settap orang. Siapa saja yang mampu menyogoknya, tentu akan dilindungi, bahkan penjahat sekalipun tidak akan mereka ganggu selama penjahat itu melakukan sogokan dan membagi hasil!”

“Kaumaksudkan Tokugawa telah menyuap para pembesar?”

“Hal itu sudah diketahui oleh umum. Karena yang berani menentang hanya ayah dan ibuku, maka kini Tokugawa menentang kami dan berani mengganggu kami. Hal ini oleh para pembesar dianggap sebagai permusuhan pribadi dan mereka tidak mau mencampuri.”

“Hemmm... dan kapal itu amat berharga sehingga engkau merasa sayang untuk menukarnya dengan kakakmu?”

“Tio-twako!” Tiba-tiba dara itu bangkit berdiri dan memandang Tio Sun dengan sinar mata berapi. “Kaukira orang macam apa aku ini?”

Tio Sun cepat bangkit berdiri dan menjura. Hebat gadis ini, pikirnya. Penuh dengan semangat dan api! “Maafkan, nona. Aku tidak menyangka apa-apa, hanya bertanya untuk mengetahui bagaimana tanggapanmu terhadap surat ancaman bajak itu.”

Mereka duduk kembali dan Kwi Eng menarik napas panjang. “Engkau tentu tahu betapa sayangku kepada kakak kembarku itu, twako. Jangankan hanya sebuah kapal, biar seluruh harta benda kami akan kuserahkan untuk menebus keselamatan kakakku. Akan tetapi kau tidak tahu siapa adanya Tokugawa, kepala bajak yang seperti iblis itu. Dia tahu bahwa ayah dan ibu tidak ada, maka dia minta tebusan kapal dan aku tahu bahwa kalau kapal itu kuberikan, tetap saja Beng-koko tidak akan dia bebaskan begitu saja. Yang dia kehendaki adalah ibu atau... aku.”

“Maksudmu?”

Kwi Eng menundukkan mukanya. “Dahulu, Tokugawa pernah tergila-gila kepada ibu karena ibulah satu-satunya wanita yang pernah mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan tetapi setelah niatnya itu gagal, dia pernah mengajukan lamaran kepada orang tuaku untuk minta... aku sebagai isterinya.”

“Hemm, manusia keparat!”

“Memang, dia kurang ajar sekali. Kini, dengan ditawannya kakakku, aku mengerti bahwa tentu dia akan menggunakan kakak sebagai sandera untuk memerasku, dan untuk memaksa menuruti kehendaknya itu.”

“Hemm... lalu bagaimana kehendakmu, nona?”

“Aku akan melawan! Aku akan melawan mati-matian!”

“Bagus kalau begitu!”

“Aku sudah siap, twako. Aku aku sudah mempersiapkan anak buah ayahku yeng terdiri dari lima puluh orang untuk menyerbu ke Pulau Hiu. Akan tetapi, selama ini aku selalu menunda niatku itu karena aku tahu bahwa baik kakakku maupun aku sendiri, tidak akan dapat mengalahkan Tokugawa. Bukannya aku takut kalah. Akan tetapi kalau sampai aku kalah, bukankah berarti hanya mati konyol dan kakakkupun tidak akan tertolong? Aku sedang menanti-nanti kembalinya ibu atau hendak mencari seorang pembantu yang memiliki kepandaian tinggi. Dan... agaknya Thian telah mengirim twako ke sini sehingga aku bertemu dengan twako. Dengan adanya twako yang membantu, twako tentu akan dapat menandingi Tokugawa dan kita akan depat menyelamatkan Beng-koko.”

“Kepandaianku tidak seberapa, nona, akan tetapi setelah mendengar penuturanmu, aku ingin berhadapan dengan Tokugawa si keparat kurang ajar itu dan aku mempertaruhkan nyawaku untuk menolong kakakmu.”

“Aku sudah melihat gerakanmu ketika kau dikeroyok tadi, twako, dan aku yakin bahwa engkau tentu akan mampu menandingi Tokugawa. Hanya saja, kurahap engkau berhati-hati dan tidak memandang rendah senjata pistol mereka.”

“Pistol?” Tio Sun belum pernah mendengar akan senjata ini.

“Agaknya engkau belum pernah melihat senjata itu. Tadi ketika kau dikeroyok, hampir saja engkau ditembak dengan pistol oleh Pedro si pengecut. Baiknya aku melihatnya dan mendahuluinya.”

“Hemm, jadi itukah sebabnya maka nona mempergunakan hui-to untuk melukai tangan si rambut merah itu? Dia hendak mempergunakan senjata pistol? Senjata rahasia apakah itu?”

“Sebuah senjata api, pelurunya digerakkan oleh obat peledak. Berbahaya sekali karena peluru itu cepat sekali menyambarnya, sukar dielakkan karena cepatnya.”

Tio Sun mengangguk-angguk. “Kiranya senjata api dengan obat peledak. Akan tetapi, aku pernah mendengar baha pemerintah melarang orang-orang membawa senjata seperti itu.”

“Memang benar demikian, maka tadipun aku mengancam Pedro dan kawan-kawannya. Akan tetapi siapa bisa melarang bajak-bajak yang hidupnya liar di atas lautan? Hanya baiknya, menurut pendengaranku, Tokugawa sebagai seorang bekas jagoan samurai, pantang mempergunakan senjata barat itu dan hanya mengandalkan pedang samunarinya yang amat dibanggakan. Mungkin di antara anak buahnya ada yang membawa pistol, akan tetapi jangan khawatir, akupun mempunyai beberapa buah pistol yang akan kubagi-bagikan kepada anak buahku. Aku sendiri lebih senang menggunakan hui-to daripada pistol yang sebetulnya kalan cepat karena pistol harus membidik dan mengisi obat peluru. Pendeknya, dengan bentuanmu, aku yakin akan dapat menyelamatkan Beng-koko, bahkan dapat membasmi Tokugawa dan anak buahnya.” Gadis itu kelihatan bergembira dan bersemangat sekali.

“Kapan kita berangkat, nona?”

“Besok sore, twako. Besok kupersiapkan anak buahku, lalu pada sore harinya kita berangkat dengan kapal Angin Timur. Kita bersikap seolah-olah memenuhi permintaan si jahanam Tokugawa. Akan kulihat bagaimana macam mukanya kalau dia melihat kita menyerbu pulau itu.”

Malam itu Tio Sun tidur di dalam sebuah kamar tamu di rumah Kwi Engm hetinya gembira sekali, dan malam itu tidurnya diisi mimpi indah dengan dara jelita yang amat menarik hatinya itu.

***

“Sebentar lagi baru air laut akan bergelombang besar,” kata Kwi Eng yang tiba-tiba muncul di dekat Tio Sun.

“Indah sekali pemandangannya, nona. Mengagumkan sekali.”


Malam itu bulan purnama muncul di langit yang cerah. Sinar bulan yang sejuk menerangi permukaan kapal yang melundur dengan tenangnya, dan Tio Sun yang berdiri di geladak kapal itu memandangi bayangan bulan yang menari-nari di atas permukaan air laut, mombuat jalur jalan keemasan. Air hanya berkeriput sedikit saa dan agaknya kalau tidak ada kapal yang meluncur itu, air laut mungkin akan diam seperti kaca.

“Sebentar lagi baru air laut akan bergelombang besar,” kata Kwi Eng yang tiba-tiba muncul di dekat Tio Sun.

“Indah sekali pemandangannya, nona. Mengagumkan sekali.”

Kwi Eng tertawa ditahan. “Memang demikianlah bagi yang belum pernah melihatnya. Hidup merupakan pengulangan-pengulangan yang membosankan sehingga baru hal-hal yang baru saja yang akan menarik hati. Coba twako tanyakan kepada setiap orang nelayan atau mereka yang biasa hidup di atas lautan, malam bulan purnama seperti ini same sekali tidak ada keindahannya. Para pelaut tentu lebih mengagumi keindahan di pegunungan, akan tetapi sebaliknya para penghuni gunung sama sekali tidak lagi depat menikmati tamasya alam di pegunungan.”

Tio Sun menghela napas panjang. “Agaknya engkau suka berfilsafat, nona.”

Kwi Eng tertawa lagi. “Mungkin hanya terpengaruh oleh kitab-kitab yang diajarkan oleh ibu kepadaku. Lihat, air laut mulai bergelombang, twako. Sehentar lagi gelombang akan cukup besar sehingga berdiri di sini tidak menyenangkan lagi. Apalagi bagi twako yang tidak biasa, jangan-jangan malah memabokkan. Mari kita masuk saja ke dalam, twako.”

Tio Sun melihat bayangan bulan tadi sudah pecah-pecah dan merasakan goyangan kapal ke kanan kiri. Dia mengangguk dan keduanya lalu memasuki bilik yang cukup besar di mana tersedia meja kursi.

“Bagaimana kau bisa tahu bahwa gelombang akan datang, nona? Padahal tadi tenang-tenang saja, bahkan air laut hampir tidak bergerak sama sekali.”

“Karena belum tiba saatnya, twako. Akan tetapi setiap malam terang bulan, air laut pasti bergelombang besar. Karena itu, para nelayan lebih senang mencari ikan di waktu malam gelap.”

Kwi Eng sengaja memberangkatkan kapal itu di malam hari agar tidak menarik perhatian orang-orang di pantai, karena dia tahu bahwa sudah pasti diantara anak buah bajak Tengkorak Hitam, ada yang memata-matai gerakannya. Dia mengerahkan anak buahnya kurang lebih lima puluh orang, sebagian besar adalah pribumi dan ada belasan orang anak buah bangsa asing yang bekerja di perusahsan ayahnya. Dia sendiri memakai pakaian ringkas, dengan sepatu yang hitam mengkilap, sepatu boot yang sampai di lututnya. Sebatang pedang tergantung di punggungnya dan Tio Sun memandang kagum karena dara itu benar-benar kelihatan gagah perkasa.

Malam itu gelombang amat besar dan kapal Angin Timur yang besar itu tidak dapat laju, harus menentang gelombang dan perlahan-lahan mendekati sebuah pulau yang terpencil jauh dari pulau-pulau lain. Menjelang pagi, ombak mereda dan kapal itu baru berani membuang sauh di dekat pulau, menanti sampai datangnya pagi. Setelah bola emas besar sekali itu muncul dari permukaan air di sebelah timur, membakar lautan menjadi merah menyala, barulah kapal itu bergerak lagi menuju ke pulau yang memanjang dan dari jauh kelihatan seperti seekor ikan hiu sedang meliuk. Yang berada di atas dek hanya Kwi Eng, Tio Sun dan beberapa orang anak buah yang bertugas memegang kemudi dan mengatur layar. Kapal besar itu kelihatan sunyi sekali dan kosong karena tidak ada sepuluh orang yang berada di atas geladak. Selebihnya, atas perintah Kwi Eng, menyembunyikan diri di bawah dan di balik bilik. Pembantu yang mengemudikan kapal itu sudah hafal akan tempat ini, maka dengan hati-hati dia dapat memilih jalan yang aman dan menempelkan kapal di tepi putlau yang airnya dalam. Di situ nampak beberapa buah perahu besar yang bercat hitam, dan beberapa orang yang tadinya berada di situ, berlari-lari ke daratan ketika melihat Kapal Angin Timur itu.

Tak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki setengah tua, usianya kurang lebih lima puluh lima tahun, bertubuh pendek tegap, kelihatan kokoh kuat dengan sepasang lengannya yang pendek agak membengkok ke dalam. Dia memakai pakaian yang berlengan pendek sampai ke siku dan berkaki pendek sampai ke lutut sehingga nampaklah otot-otot di lengan dan kakinya yang melingkar-lingkar dan besar menggembung, tanda bahwa orang itu bertubuh kuat dan bertenaga besar. Rambutnya diikat di bagian atas dan dibiarkan terurai di belakang lehernya, dan di pinggangnya tampak sebatang pedang melengkung panjang, yaitu sebatang pedang samurai bergagang panjang. Kedua kakinya memakai sandal sederhana, dan mukanya tertutup kumis dan brewok yang membuat orang ini kelihatan menyeramkan. Inilah dia Tokugawa, kepala bajak laut Tengkorak Hitam yang amat ditakuti oleh para pemilik kapal karena kejamnya. Oleh karena itu, melalui perantara kepala bajak laut ini yang bukan lain adalah pembesar di kota Yen-tai sendiri, para pedagang dan pemilik kapal rela membayar uang sumbangan atau hadiah kepada kepala bejak ini agar kapal-kapal mereka dibebaskan dari gangguan Tengkorak Hitam. Tentu saja hal ini membuat Tokugawa menjadi seorang yang kaya raya dan hanya karena permusuhannya dengan Yuan de Gama dengan isterinya saja yang akhirnya membuat Tokugawa sampai terpaksa melarikan diri ke Pulau Hiu, di mana dia membangun sebuah rumah besar dan menjadikan pulau itu sebagai tempat persembunyiannya atau sebagai pusat dari gerombolan bajak Tengkorak Hitam.

Tokugawa tadinya adalah seorang jagoan samurai di Jepang. Golongan samurai ini amat termasyhur di Jepang yang muncul di abad ke sebelas. Pertama-tama muncul para pimpinan golongan-golongan yang menamakan dirinya sebagai pendekar yang disebut daimyo (yang bernama besar) dan para daimyo ini yang karena sifatnya seperti seorang jenderal pemimpin pasukan, maka muncullah golongan samurai (mereka yang mengabdi). Senjata para pendekar ini yang terutama adalah pedang panjang yang bergagang panjang pula, yang bentuknya agak melengkung. Banyak jagoan-jagoan samurai yang sudah tidak bertugas dalam pasukan seorang daimyo, lalu menjadi perantau dan sifat mereka yang amat menjunjung tinggi nama mereka sebagai jagoan samurai, mengutamakan kagagahan, seperti halnya para pendekar di Tiongkok.

Akan tetapi karena mabok akan wajah cantik wanita dan mabok akan kesenangan duniawi, berobahlah watak Tokugawa setelah tidak ada disiplin kelompok yang mengikatnya dan dia lalu dimusuhi oleh para jagoan samurai lainnya, karena dianggap sebagai seorang yang mencemarkan nama samurai. Tokugawa lalu melarikan diri dan akhirnya dia muncul sebagai kepala bajak yang disegani di sepanjang pantai Teluk Po-hai.

Benar seperti diceritakan oleh Kwi Eng kepada Tio Sun, bekas jagoan samurai ini ketika bentrok dengan Yuan de Gama dan bertanding satu lawan satu dengan Souw Li Hwa, samurainya tidak mampu menandingi Li Hwa dan tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Di samping suka akan wanita dan kedudukan serta kehormatan, juga bekas jagoan samurai ini suka sekali akan kegagahan, maka melihat kegagahan Li Hwa, dia menjadi tergila-gila kepada nyonya itu! Akan tetapi ternyata dia selalu gagal menghadapi pendekar wanita dan suaminya itu, dan akhirnya ketika melihat puteri pendekar wanita itu yang sudah besar, dia mengalihkan harapannya kepada Kwi Eng karena dia tahu bahwa dara cantik inipun mewarisi kepandaian ibunya. Hal ini membuat Yuan de Gama dan Souw Li Hwa marah sekali dan dengan terang-terangan mereka ini memusuhi Tokugawa dan hendak membunuh serta membasmi gerombolannya. Tokugawa berkali-kali mengalami kekalahan dan akhirnya dia melarikan diri ke Pulau Hiu itu.

Ketika dia mendengar berita bahwa Souw Li Hwa yang ditakutinya itu bersama suaminya pergi ke barat timbul kembali niatnya dan akhirnya dia menggunakan pengeroyokan anak buahnya berhasil mengalahkan dan menculik Richardo de Gama, kakak kembar dari Kwi Eng dan membawanya sebagai tawanan ke Pulau Hiu. Mulailah dia melakukan pembalasan terhadap keluarga itu dengan jalan menggunaken Richardo, sebagai sandera dan dia minta ditukar dengan kapal Angin Timur, kapal terbesar di pantai itu! Kalau dia dapat memiliki kapal itu, tentu dia akan leluasa melakukan pembajakan, mengejar kapal-kapal lain yang tidak memberi sumbangan kepadanya! Dan tentu saja dia akan menggunakan pemuda itu untuk mendapatkan gadis yang dirindukannya, yaitu Kwi Eng si cantik jelita!

Dapat dibayangkan betapa girang hati Tokugawa ketika mendengar dari penjaga di pantai pulaunya bahwa kapal Angin Timur yang dinanti-nantinya telah muncul! Dan lebih girang lagi hatinya ketika dia mendengar laporan bahwa di antara delapan orang yang membawa perahu dan tampak di atas geladak itu terdapat Souw Kwi Eng, dara yang membuatnya tergila-gila sebagai pengganti ibu dara itu! Dia menggosok-gosok kedua tangannya. “Bagus, sekali tepuk dua lalat ini namanya, ha-ha-ha-ha!” Maka cepat dia mengumpulkan orang-orangnya yang berjumlah empat puluh orang lebih menuju ke pantai menyambut datangnya kapal itu.

Melihat munculnya musuh besar yang amat dibencinya itu, Souw Kwi Eng lalu mengerahkan khi-kangnya dan berseru dengan suara lantang, “Heiiiii...! Tokugawa, manusia curang! Hayo lekas bebaskan kakakku, baru aku akan menyerahkan kapal ini kepadamu. Kalau tidak, aku akan memutar kembali kapal ini!”

“Ha-ha-ha, nona manis. Engkau menjadi tamu kehormatan, silakan turun dulu dan kita bicara.”

“Siapa percaya omonganmu! Hayo lekas kau bebaskan kakakku!”

“Omongan seorang pendekar samurai boleh dipercaya seratus prosen seperti mempercaya pedangnya!” Tokugawa berseru agak marah karena kehormatannya tersinggung. Dia lalu memberi aba-aba dalam Bahasa Jepang kepada anak buahnya dan tak lama kemudian kelihatan seorang pemuda yang tampan dan yang mukanya persis Kwi Eng, hanya lebih besar dan tegap karena dia adalah seorang laki-laki yang gagah, juga matanya berwarna biru dan rambutnya keemasan. Pemuda ini adalah Souw Kwi Beng dan dia digiring ke pantai dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang.

“Koko...!” Kwi Eng berseru girang ketika melihat kakaknya dalam keadaan selamat walaupun menjadi tawanan musuh.

“Moi-moi... jangan terjebak oleh jahanam Tokugawa! Jangan kaudengarkan omongannya yang palsu! Bawa anak buah sebanyaknya dan serbu saja, atau tunggu sampai ayah ibu pulang. Aku matipun tidak akan penasaran kalau kelak dia dan
gerombolannya terbasmi!”

Diam-diam Tio Sun kagum melihat pemuda itu yang demikian tabah dan bersemangat, persis seperti sikap dara jelita itu. Sudah berada di tangan musuh, berarti nyawanya berada di tangan musuh, masih berani bersikap menentang seperti itu.

“Ha-ha-ha-ha!” Tokugawa tertawa bergelak. “Nona manis, engkau tinggal pilih. Engkau serahkan kapal itu baik-baik dan menjadi tamu kehormatanku, atau kau boleh bawa pergi kapal itu akan tetapi lebih dulu kau akan melihat leher kakakmu kupenggal di sini, di depan matamu!” Tokugawa menggerakkan tangan kanannya dan “sratt!” pedang samurai yang melengkung penjang itu telah dihunusnya dan berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Sebatang pedang yang terbuat dari baja pilihan, pikir Tio Sun.

“Tokugawa, aku tidak takut akan ancamanmu. Aku memang mau menyerahkan kapal ini kepadamu sebagai penukar kakakku, akan tetapi suruh kakaku mendekat dan kau harus menjauhinya agar kau tidak bermain curang. Baru aku mau turun bersama kakakku.”

“Moi-moi, jangan...!” Kwi Beng berteriak penuh kekhawatiran.

“Biarlah, koko, matipun tidak mengapa, asal kita bersama. Pulau seorang jagoan samurai tentu tidak akan mencemarkan samurainya sendiri dengan jalan melanggar janji dan bertindak curang.”

“Ha-ha-ha?ha, kau benar, nona manis. Ha-ha-ha!” Tokugawa menyarungkan samurainya dan mendorong tubuh Kwi Bang ke arah pantai. “Kau sambutlah adikmu yang manis dan kalian akan kusambut sebagai tamu-tamu kehormatan, ha-ha-ha!”

Kwi Beng terhuyung dan menghampiri adiknya dengan kedua tangan masih terbelenggu ke belakang. Pada saat itu, Tio Sun mengeluarkan pekik melengking nyaring dan tubuhnya sudah melayang dari atas kapal ke derat, langsung dia menerkam dan menyerang Tokugawa!


Tokugawa terkejut bukan main, cepat dia menggerakkan lengannya yang amat kuat untuk menangkis. “Dukkk!” Benturan dua tenaga yang sama kuatnya itu membuat Tokugawa dan Tio Sun keduanya terlempar ke belakang. Tokugawa makin kaget dan cepat dia memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerbu dan menangkap kakak beradik itu. Akan tetapi tiba-tiba berserabutan anak buah Kwi Eng keluar dari kapal dengan jumlah yang sama besarnya dengan jumlah anak buah bajak. Bahkan di antara mereka ada pula yang memegang pistol seperti juga anak buah Tokugawa. Kwi Eng sendiri cepat membebaskan kakaknya dari belenggu, menyerahkan sebatang pedang dan bersama kakaknya dia lalu barlari ke depan.

“Tahaaann...!” Tiba-tiba Tokugawa berseru sebelum anak buahnya bertempur melawan anak buah Kwi Eng. Dia mengangkat langan ke atas dan Kwi Eng juga cepat memberi aba-aba agar orang-orangnya menahan senjata.

“Nona Souw, engkau ternyata curang! Engkau menyembunyikan kaki tanganmu di dalam kapal yang katanya hendak kautukarkan dengan kakakmu!” Tokugawa berteriak, diam-diam matanya menghitung dan mengukur kekuatan lawan, kemudian mengerling tajam ke arah pemuda berpakaian kuning sederhana yang memiliki kekuatan dahsyat tadi.

“Tokugawa, manusia tak tahu malu, kau masih berani bicara tentang kecurangan orang lain? Engkau lari bersembunyi ketika ayah ibu kami masih berada di Yen-tai, kemudian engkau muncul ketika mareka melakukan perjalanan ke
luar negeri, dan engkau menculik kakakku. Adakah yang lebih curang dari itu? Sekarang aku datang dengan pasukanku untuk membasmimu, dan engkau bilang aku curang?”

“Bocah she Souw yang sombong! Karena aku kagum kepada ibumu dan karena aku cinta kepadamu maka aku tidak membunuh kakakmu, aku perlakukan dengan baik. Daripada engkau dan kakakmu mati konyol, lebih baik engkau menurut saja menjadi isteriku dan kita semua menjadi keluarga, bukankah kedudukan kita akan menjadi lebih kuat?”

“Jahanam hina! Manusia macam engkau ingin memperisteri aku? Lebih baik aku mati bersama kakakku daripada dijamah tangan kotormu yang berlumuran darah manusia tak berdosa itu. Kau orang hina dan curang, yang hendak bersembunyi di belakang samuraimu yang sudah berkarat!”

Hebat bukan main hinaan ini bagi seorang jagoan samurai. Tio Sun menjadi terkejut mendengar kata-kata dara itu, karena kata-kata itu luar biasa tajamnya menusuk perasaan.

“Bocah bermulut lancang! Kau menghina Tokugawa? Ayahmu sendiri seorang pengecut, bersembunyi di balik nama seorang kapten gagah perkasa yang tewas bersama kapalnya, tapi diam-diam melarikan diri dan hidung dengan sembunyi-sembunyi...! Kalau memang kalian keluarga gagah, hayo lawan Tokugawa satu lawan satu!”

Tio Sun mengangguk dan dia melangkah maju menghadapi Tokugawa. “Tokugawa, akulah lawanmu. Kita bertanding satu lawan satu ataukah hendak main keroyokan?”

“Siapa kau?” Tokugawa membentak dengan suara yang agaknya keluar dari dalam perutnya yang gendut.

“Namaku Tio Sun.”

“Kenapa kau mencampuri urusan ini? Apakah engkau kaki tangan bayaran dari keluarga berdarah campuran ini? Sungguh memalukan sekali seorang pendekar menjadi antek orang asing!”

“Tokugawa, mulutmu kotor seperti pecomberan!” Kwi Eng membentak, akan tetapi Tio Sun tersenyum kepadanya.

“Tokugawa, dengarlah baik-baik. Ayahku adalah seorang bekas pengawal yang paling dipercaya dari mendiang Panglima Besar The Hoo, oleh karena itu, biarpun aku tidak bekerja kepada pemerintah, namun melihat bahwa engkau adalah kepala bajak laut yang jahat dan mengganggu ketenteraman, sudah menjadi kewajibanku untuk menentang dan membasmimu.”

“Keparat, bocah sombong engkau. Sudah bosan hidup agaknya. Hyaaaaattttt...!”

Dengan tiba-tiba Tokugawa menyerang dengan kedua lengannya yang pendek-pendek namun kuat sekali itu. Caranya menyerang seperti seekor kerbau hendak menyeruduk, kepalanya di depan dan kedua lengannya menyambar dari kanan kiri, agaknya hendak meringkus tubuh Tio Sun yang dibandingkan dengan dia hanya kecil saja sungguhpun jauh lebih jangkung.

Tio Sun yang maklum bahwa orang ini mungkin ahli bermain pedang, akan tetapi bukan ahli berkelahi dengan tangan kosong, hanya mengandalkan tenaga kasarnya saja, maka dia sengaja tidak mau mengelak, melainkan menangkis pula dengan kedua lengannya yang dikembangkan ke kanan kiri.

“Plak! Plakk!”

Untuk kedua kalinya mereka mengadu tenaga, kini dengan kedua lengan, dan akibatnya, lengan mereka terpental. Akan tetapi, tiba-tiba Tio Sun menjadi terkejut bukan main karena entah bagaimana, tahu-tahu tangan Tokugawa telah dapat menangkap lengannya, dengan cara yang aneh dan cepat lengannya diputar dan sebelum Tio Sun sempat membebaskan diri, tubuhnya sudah terlempar!

Untung pemuda ini memiliki gin-kang yang baik sekali dan cepat dia dapat menguasai keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat terhindar dari bantingan, dan dari kejaran Tokugawa yang sudah tertawa-tawa.


“Keparat, siapa takut padamu?” kini Souw Kwi Beng hendak meloncat ke depan, akan tetapi adiknya memegang lengannya dan menoleh ke arah Tio Sun.

“Tio-twako, maukah kau mewakili kami memberi hajaran kepada bejak sombong ini?” katanya.


Plak! Desss!” Tokugawa yang kini terkejut ketika tubuhnya terkena tamparan dan perutnya tercium ujung kaki lawan ketika dia hendak mengejar lawan yang telah dibantingnya itu. Keduanya lalu meloncat bangun lagi, saling pandang dengan sinar mata saling mengukur dan marah seperti lagak dua ekor ayam jago yang berlaga hendak saling terjang.

Tio Sun merasa kecelik. Biarpun mungkin Tokugawa tidak memiliki ilmu pukulan yang membahayakan, namun ternyata kepala bajak ini memiliki kepandaian gulat dan gerakan seperti Ilmu Kim-na-jiu yang mengandalkan kecepatan kedua tangan dan mematahkan kedudukan kaki lawan. Tahulah dia bagaimana harus menghadapi lawan yang pandai Ilmu Kim-na-jiu (Ilmu Silat Cengkeraman dan Pegangan) ini. Sama sekali tidak boleh merapat atau mengadu tangan! Maka Tio Sun lalu menerjang dengan cepat sekali, mengirim pukulan-pukulan mengandalkan kecepatan gerakannya dan sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk merapat.

“Bukkk...desss...!” Tubuh Tokugawa terpelanting, akan tetapi tubuhnya menang kuat dan kebal sehingga hantaman tangan kiri Tio Sun yang mengenai pundak kanannya disusul tendangan pemuda itu yang mengenai lambungnya tidak membuat si kate kekar ini kalah. Dia terpelanting dan bergulingan lalu meloncat dekat lawan, langsung dia menerkam seperti seekor burung garuda menyambar anak kambing.

Kini Tio Sun mengelak cepat, meloncat ke kiri dan sengaja berlaku sedikit lambat sehingga lawan lewat dekat di sampingnya. Sikunya menyambar disusul tamparan pada tengkuk lawan.

“Plakkk...desss...!” Kembali tubuh Tokugawa terjungkal dan bergulingan, akan tetapi tetap saja dia meloncat bangun lagi. Kedua matanya menjadi merah, mulutnya mengeluarkan busa dan jenggot serta kumisnya bergerak-gerak, dari mulutnya terdengar bunyi kerot gigi beradu. Kedua tangannya direnggangkan dengan jari-jari tangan terbuka, buku-buku jari tangannya mengeluarkan bunyi berkerotokan dan tiba-tiba tampak sinar kilat menyambar ketika dia mencabut samurainya yang gemerlapan saking tajamnya itu. Setelah mencabut samurainya, agaknya bangkit semangat jagoan samurai dalam diri Tokugawa. Sikapnya menjadi gagah sekali, gagah dan tenang, agaknya dia telah mampu menguasai kemarahannya setelah melihat samurainya yang diagungkannya itu. Kedua tangan memegang gagang samurai yang panjang, tubuhnya agak membongkok, kedua kakinya memasang kuda-kuda, matanya terang dan tajam memandang gerak-gerik lawan, dan sedikitpun dia tidak bergerak seolah-olah telah berobah menjadi arca batu.

Tio Sun juga sudah mencabut pedangnya. Pemuda itu sama sekali tidak berani memandang rendah karena biarpun cara memegang pedang lawannya begitu aneh, menggunakan dua tangan, namun sikap lawannya, pasangan kuda-kudanya, gerakgeriknya, jelas membayangkan keahlian. Pula, selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan lawan yang menggunakan pedang samurai, maka dia tidak tahu bagaimana sifat ilmu pedang ini. Oleh karena itu, setelah menghunus pedangnya dan memegang pedang dengan tangan kanan, Tio Sun juga memasang kuda-kuda yang gagah, kaki kiri tegak, kaki kanan diangkat den ditekuk lututnya sehingga ujung sepatu kanan menyentuh lutut kiri, pedangnya di depan tubuh menuding ke bawah, ujungnya menyentuh tanah den tangan kiri di atas kepala menuding ke langit, mata mengerling ke kanan, ke arah lawan dengan pandang mata tajam. Inilah pembukaan kuda-kuda yang disebut Menunjuk Bumi dan Langit yang merupakan pembukaan pertahanan yang amat kuat.

Melihat lawannya tidak dapat dipancing untuk menyerang lebih dulu, Tokugawa yang menjadi penasaran itu lalu menggerakkan pedangnya. “Singgg... hyyyaaaatttt!” Dia berlari ke depan, pedangnya digerakkan dengan cepat sekali, terputar-putar berobah menjadi gulungan sinar pedang kilat yang bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi dahsyat.

“Sing-singggg... wuuutt-wuuutt-wuutt...!”

Tio Sun cepat mengelak den kini dia mulai mengerti akan kedahsyatan ilmu pedang yang dimainkan oleh dua tangan itu. Pedang itu melengkung dan panjang lagi berat, digerakkan oleh kekuatan dua buah tangan maka tentu saja amat hebat dan dahsyat, sekali saja mengenai tubuh lawan pasti berarti maut dan gerakan lawan itu sembilan puluh prosen berupa serangan, den sedikit sekali mementingkan pertahanan karena tentu menurut perhitungan Tokugawa, serangannya yang dahsyat dan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada lawan itu pasti membuat lawan tidak mampu balas menyerang. Jadi inti gerakan Tokugawa itu adalah semata-mata menekan lawan dan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas!

Tio Sun sejak kecil digembleng oleh ayahnya sendiri dan ayahnya itu, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, adalah seorang bekas pengawal Panglima Besar The Hoo sehingga telah melakukan ribuan pertempuran dan telah memiliki pengalaman vang luas sekali menghadapi orang-openg pandai dari berbagai aliran. Karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan semua teori aliran-aliran ilmu silat yong demikian banyaknya, maka dia hanya memesan kepada puteranya itu agar setiap kali menghadapi lawan yang tidak dikenal ilmunya, janganlah terburu nafsu untuk mengalahkan lawan itu sebelum tahu benar-benar akan kelemahan-kelemahannya. Terburu nafsu ini mungkin akan mencelakakan diri sendiri karena dalam keadaan terdesak, lawan itu mungkin memiliki suatu ilmu simpanan yang akan berbalik mencelakakan penyerangnya.

Oleh karena itu, biarpun Tio Sun sudah tahu bahwa lawannya lebih menekankan penyerangan sehingga pertahanannya menjadi lemah, dia tidak mau tergesa-gesa membalas serangan lawannya, apalagi karena dia maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu yang aneh-aneh dan tentu saja sebagai seorang tokoh sesat telah memiliki pengalaman pertempuran yang amat luas. Oleh karena itu, dia hanya mengelak dan kadang-kadang menangkis dan setiap kali tangkisan, pedangnya tentu terpental karena tenaga sebelah tangannya, betapapun kuatnya, tidak mampu menandingi tenaga kedua tangan Tokugawa.

“Sing-sing-wuuut-wuuuttt... trang-cringggg...!”


Sampai lewat lima puluh jurus Tio Sun kelihatan seolah-olah terdesak oleh Tokugawa dan anak buah Tokugawa sudah menyeringai dan tersenyum-senyum girang. Mereka itu agaknya maklum bahwa pemuda itu adalah “jagoan” yang dibawa oleh musuh, dan kalau sang jagoan itu sudah dirobohkan, tentu akan mudah membasmi pasukan lawan yang sudah kehilangan jagoannya yang diandalkan. Akan tetapi, di fihak Kwi Eng dan Kwi Beng, hanya para anak buah mereka saja yang kelihatan gelisah melihat Tio Sun terus didesak mundur, bahkan sering kali samurai yang tajam bukan main itu hanya berselisih sedikit dari tubuh jagoan mereka! Akan tetapi Kwi Eng dan Kwi Beng menonton dengan tenang-tenang saja. Dua orang muda ini adalah putera-puterl pendekar wanita Souw Li Hwa dan mereka itu dapat melihat betapa Tio Sun bertanding dengan hati-hati dan tenang, tanda bahwa pemuda itu memang berkepandaian tinggi dan tidak sembarangan main seruduk saja yang kemudian akan mengakibatkan kekalahan di fihaknya.

Kini mulailah Tio Sun dapat mempelajari inti gerakan lawan. Juga dengan girang dia melihat betapa lawannya sudah mulai berkeringat dan napasnya mulai memburu. Hal ini tidak mengherankan karena Tokugawa telah berusia lima puluh tahun lebih, menggerakkan samurainya dengan kedua tangan dan dengan sepenuh tenaga, ditambah lagi cara hidupnya yang tidak sehat, maka tentu saja ketangkasan dan daya tahannya tidak seperti di waktu dia masih menjadi seorang jagoan samurai di negerinya. Diapun maklum bahwa lawannya ini hebat bukan main, tidak boleh dipandang ringan saja. Dahulu pernah dia memandang ringan kepada Souw Li Hwa dan dia kalah, hampir saja dia tewas. Maka kini dia harus bersikap hati-hati. Setelah mendesak selama lima puluh jurus dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bagi lawan untuk kewalahan menghadapi samurainya, bahkan gerakan lawan makin lama makin cepat dan ringan, Tokugawa lalu menggunakan siasat. Dia sengaja memperberat napasnya dan memperlambat gerakannya.

Betapapun juga, Tio Sun adalah seorang pemuda yang baru saja keluar dari rumah ayahnya, seperti seekor burung yang baru keluar dari sarang. Biarpun dia telah mempelajari banyak teori, akan tetapi dia belum banyak pengalaman, maka dia tidak tahu bahwa lawannya itu berpura-pura kehabisan tenaga. Dia menjadi girang sekali melihat kelambatan gerakan samurai, maka mulailah dia menyerang!

“Heiiiiittttt...!” Pedangnya meluncur seperti kilat.

“Cring-cringgg... ciuuuutttt...!” Samurai itu menangkis dua kali dan tiba-tiba dari pinggir gagangnya meluncur sebatang paku ke arah Tio Sun.

“Aduhhh...!” Tio Sun terpekik karena kaget ketika tahu-tahu paku itu menancap di pundak kirinya. Pedangnya berkelebat cepat laksana kilat dan kini Tokugawa yang berteriak, tangannya berdarah dan terpaksa dia melepaskan samurainya. Pada saat itu Tio Sun yang telah terluka pundaknya itu secepat kilat menusukkan pedangnya ke arah dada lawan. Tokugawa miringkan tubuhnya membiarkan pedang itu menancap di pundaknya akan tetapi pada saat itu, kedua tangannya menyambar dan dia sudah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Tio Sun! Cengkeramannya itu kuat sekali dan Tio Sun maklum bahwa agaknya tidak mungkin melepaskan kedua lengarmya dari cengkeraman itu, maka diam-diam dia lalu mengerahkan sin-kangnya untuk memberatkan tubuhnya.

Tokupwa tertawa bergelak. Jagoan samurai ini maklum bahwa bagi ahli silat, yang berbahaya adalah kedua tangannya, maka kini dia telah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan lawan, membuat lawannya tidak berdaya. Dia sama sekali tidak berani melepasken lengan lawan, karena maklum bahwa begitu terlepas, tangan itu akan dapat mengirim
pukulan maut dengan cepat sekali dan hal ini amat membahayakan dirinya. Maka setelah kini berhasil menangkap lengan lawan, dia tertawa, “Ha-ha-ha, hayo, kaulepaskan dirimu kalau bisa! Dan bersiaplah kau untuk mampus kubanting!”

Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng memandang dengan kaget sekali. Tadi mereka sama sekali tidak khawatir karena ilmu silat pemuda yang membantu mereka itu ternyata tinggi sekali. Akan tetapi sekarang, dengan kedua pergelangan tangan dicengkeram, ilmu silat tidak ada gunanya lagi, karena kedua lengan tak dapat digerakkan. Kwi Beng dan Kwi Eng merasa heran mengapa pemuda itu tidak mau menggunakan kakinya untuk menendang. Dan Tokugawa juga bahkan mengharapkan lawannya itu menggerakkan kaki menendangnya. Akan tetapi Tio Sun berpendapat lain. Setelah bertempur, dia maklum bahwa dia dapat mengatasi ilmu silat kepala bajak ini, akan tetapi yang amat diandalkan oleh lawannya dan tidak dapat diatasinya hanyalah ilmu gulat yang aneh. Maka dia tidak mau mengangkat kaki menendang, karena dia menduga bahwa pada saat dia menendang, maka kekuatan bawah tubuhnya lenyap dan dia akan mudah diangkat dan dibanting oleh lawan yang bertenaga gajah ini. Dan dugaannya memang benar, Tokugawa juga menanti-nanti saat itu.

Karena dia mendapat kenyataan bahwa lawannya tetap tidak mau menendangnya bahkan kelihatan seperti memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, Tokugawa tertawa, kemudian tiba-tiba mengeluarkan suara dari perut dan kedua lengannya bergerak, otot-otot sebesar jari tangan di sekitar lengannya menonjol.

“Haaaaaiiiiikkkkk... hyaaaaatttt...!” Dia mengerahkan seluruh tenaganya, dengan ilmu gulat dia berusaha mengangkat tubuh pemuda itu untuk dilemparkannya atau dibantingnya. Akan tetapi, sedikitpun kedua kaki Tio Sun tidak terangkat! Pemuda ini adalah putera tunggal, juga murid dari Tio Hok Gwan yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati), maka tentu saja dia sudah melatih diri dengan ilmu kebanggaan keluarganya ini sehingga kini jangankan baru tenaga seorang Tokugawa, biar kepala bajak itu menggunakan bantuan sepuluh orang kaki tangannya, belum tentu akan mampu mengangkat tubuh Tio Sun!

Tentu saja Tokugawa menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang jagoan samurai yang terkenal memiliki tenaga hebat dan jarang ada lawan yang mampu menandingi tenaganya. Akan tetapi sekarang, setelah menguasai kedua lengan lawan ini, seorang pemuda yang masih amat muda, bertubuh kecil saja, seorang pemuda yang belum ternama, dia tidak mampu mengangkatnya!

Saking marahnya, dia mengerahkan seluruh tenaga dalam dan tenaga otot, perutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka.

“Auggghhhh... haaaiiiikkkkk... prott!”

Kwi Eng sebagai seorang gadis yang wataknya jenaka dan periang, tidak mampu menahan kegelian hatinya mendengar suara terakhir tadi, karena suara berperopot itu keluar dari pantat Tokugawa!

“Hi-hi-hik, tak tahu malu...!” Kwi Eng terkekeh sambil menutupi hidungnya, menjepitnya dengan ibu jari dan telunjukiya.



Pada saat itu, Tio Sun nengeluarkan pekik dahsyat melengking, tanda bahwa dia telah mengerahkan Ban-kin-keng (Tenaga Selaksa Kati) sepenuhnya dan tiba-tiba saja tubuh Tokugawa terangkat ke atas dan sekali Tio Sun menggerakkan kedua lengannya, terlepaslah pegangan kedua tangan Tokugawa dan tubuh kepala bajak itu terlempar ke depan sampai enam tujuh meter jauhnya, terbanting ke atas tanah berdebuk dan mengebullah debu di atas tanah yang tertimpa tubuhnya itu. Sebelum Tokugawa sempat merangkak bangun, tampak sinar menyambar dibarengi suara ledakan, “Tar-tar...!” Dan tubuh itu roboh kembali dengan kepala pecah disambar pecut baja, yaitu joan-pian yang merupakan pecut yang dipakai oleh Tio Sun sebagai ikat pinggang!

Tentu saja peristiwa ini mengejutkan hati para bajak laut dan serentak mereka menyerbu ke depan didahului oleh tembakah-tembakan dari pistol beberapa orang anak buah bajak. “Tio-twako, awas pistol...!” Kwi Eng menjerit, akan tetapi Tio Sun yang sudah bersikap waspada, cepat meloncat ke belakang, kemudian bertiarap di dekat Kwi Eng dan Kwi Beng yang merupakan seorang jagoan tembak, menyambar sepucuk pistol dari tangan seorang anak buahnya, lalu bersama para anak buahnya yang memegang pistol dia lalu maju. Terjadilah tembak-menembak, akan tetapi hanya sebentar saja karena Kwi Eng yang tahu bahwa fihak lawan sudah kehabisan peluru tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk mengisi kembali senjata api mereka dan sudah mengerahkan anak buahnya menyerbu ke depan. Dia sendiri bersama kakaknya dan Tio Sun sudah meloneat ke depan dan mengamuklah tiga orang muda ini dengan hebatnya.

Perang tanding kini terjadi dengan amat seru. Akan tetapi sebentar saja para bajak yang sudah kehilangan kepalanya itu menjadi kocar-kacir. Banyak di antara mereka yang tewas dan sebagian lagi berhasil melarikan diri dari Pulau Hiu dengan perahu-perahu mereka. Kwi Eng hendak mengerahkan anak buahnya untuk melakukan pengejaran, akan tetapi dicegah oleh Tio Sun.

“Nona, tidak perlu mereke dikejar. Niat kita hanya menyelamatkan kakakmu dan hal itu sudah berhasil, sedangkan Tokugawa telah tewas.”

Kwi Beng membenarkan pendapat Tio Sun ini dan mereka lalu membakar bekas sarang gerombolan bajak laut itu, kembali lagi ke kapal membawa teman-teman yang tewas atau luka dalam pertempuran tadi dan kembali ke pantai daratan.

Dengan hati penuh rasa kagum, kakak beradik kembar itu setelah tiba di dalam gedung mereka, menghaturkan terima kasih kepada Tio Sun yang diterima oleh pemuda sederhana ini dengan sikap merendahkan diri. Kwi Beng juga girang mendengar bahwa pemuda ini ternyata adalah putera pengawal setia dari Panglima Besar The Hoo, guru dari ibunya sendiri.

“Tio-twako hendak pergi ke manakah maka kebetulan dapat lewat di Yen-tai dan dapat bertemu dengan Eng-moi dan menolongku?” Kwi Beng bertanya.

Tio Sun menarik napas panjang. “Sebetulnya aku sedang memikul tugas yang amat penting sebagai wakil dari ayahku yang sudah tua dan yang tidak suka lagi mencampuri urusan dunia. Karena ayah merasa penasaran akan peristiwa dan malapetaka yang menimpa keluarga ketua Cin-ling-pai yang amat dihormati dan disayangnya, maka ayah menyuruh aku untuk pergi melakuken penyelidikan dan membantu Cin?ling?pai.”

Kwi Beng den Kwi Eng kelihatan terkejut dan tertarik sekali. “Apakah twako maksudkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?” tanya Kwi Beng.

Tio Sun tidak merasa heran kalau dua orang kakak beradik ini telah mendengar akan nama Cia Keng Hong. Siapakah yang tidak mendengar nama besar ketua Cin-ling-pai yang merupakan pendekar atau tokoh besar di dunia persilatan pada masa itu?

“Jadi ji-wi (anda berdua) sudah mengenal beliau?”

“Mengenal sih belum,” jawab Kwi Eng. “Akan tetapi ibu sering kali bercerita kepada kami tentang pendekar-pendekar sakti dan budiman di dunia kang-ouw, di antaranya adalah Cia Keng Hong locianpwe, ayahmu bekas pengawal Tio Hok Gwan, dan pendekar Yap Kun Liong. Karena ibu sering bercerita, kami mengenal nama-nama besar itu sungguhpun belum pernah berjumpa dengan mereka dan baru sekarang secara kebetulan kami dapat bertemu den berkenalan dengan twako.”

“Apakah yang telah terjadi dengan Cin-ling-pai? Malapetaka apa yang dapat menimpa ketua Cin-ling-pai yang menurut ibu memiliki kepandaian yang amat tinggi?” tanya Kwi Beng.

“Peristiwa itu terjadi sewaktu Cia-locianpwe (orang tua sakti Cia) den isterinya tidak berada di Cin-ling-san. Lima orang datuk sesat dari dunia hitam yang agaknya menaruh dendam kepada keluarga Cia-locianpwe menggunakan kesempatan itu untuk menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai, mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam den membunuh tujuh orang dari Cap-it Ho-han di Cin-ling-pai.” Tio Sun mulai dengan penuturannya dan kemudian dia menceritakan semua peristiwa yang terjadi di Cin-ling-san sebagaimana yang didengar dari ayahnya.

Dua orang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan hati diliputi penuh rasa penasaran karena cara Lima Bayangan Dewa yang mengganggu Cin-ling-pai itu mereka anggap amat pengecut.

“Dengan menyebutkan nama asing kami, jelas bahwa pembesar korup ini tidak mempunyai niat yang baik,” kata Kwi Beng.

“Pembesar busuk!” Kwi Eng memaki. “Sungguh dia berani menghina kita setelah ayah ibu tidak ada di sini. Lupakah dia betapa ibu sudah membersihkan Yen-tai dari gangguan para penjahat dan betapa sudah banyak dia makan uang hadiah dari ayah?”

Tio Sun merasa khawatir sekali. “Kalau sekiranya dia mempunyai niat buruk, lebih baik ji-wi tidak usah datang menghadapnya.”

“Kita tidak mempunyai pilihan lain,” Kwi Beng berkata. “Kalau tidak datang tentu dianggap membangkang dan memberontak. Biarlah kami berdua datang untuk mendengar apa yang akan dikatakannya.”

“Dan aku akan membawa bekal untuk menutup mulutnya kalau perlu,” kata Kwi Eng. Mereka lalu mempersiapkan segalanya, tidak lupa sekantong terisi uang emas, kemudian minta kepada Tio Sun agar menanti sebentar di gedung mereka. Tak lama kemudian berangkatlah kakak beradik itu menghadap pembesar setempat, diantar pandang mata penuh kekhawatiran oleh Tio Sun.


Sampai hampir sore dua orang kakak beradik itu belum juga pulang dan hati Tio Sun telah merasa gelisah sekali. Tak lama kemudian, datang seorang anggauta atau anak buah keluarga itu berlarian dengan terengah-engah dia menceritakan betapa Kwi Eng dan Kwi Beng telah ditangkap dengan tuduhan memberontak, bahkan para anak buahnya yang malam tadi menyerbu Pulau Hiu juga ditangkap semua!

“Celaka...!” Tio Sun berseru kaget dan pada saat itu, sepasukan perajurit keamanan kota datang menyerbu gedung tempat tinggal Kwi Eng dan Kwi Beng.

“Tio-taihiap, larilah... kalau tidak taihiap tentu akan ditangkap pula!” kata orang yang datang pertama tadi.

Tio Sun maklum bahwa tidak mungkin dia melawan perajurit-perajurit pemerintah. Dia putera bekas pengawal setia dari kerajaan, maka tentu saja tidak mungkin bagi dia untuk melawan perajurit pemerintah, sungguhpun sekali ini para perajurit itu dipergunakan oleh seorang pembesar yang agaknya sewenang-wenang.

“Kalau begitu, hayo kau ikut aku melarikan diri!” Tio Sun menyambar lengan orang itu dan membawanya lari lewat pintu belakang setelah mengambil buntalan pakaian dan pedangnya. Karena dia dapat bergerak cepat sekali, biarpun dia mengajak seorang anak buah Kwi Beng, dia dapat lolos melalui tembok belakang ketika para perajurit menyerbu gedung itu, menangkapi pelayan dan menyita gedung seisinya.

Apakah sesungguhnya yang telah terjadi atas diri Souw Kwi Beng den Souw Kwi Eng? Mereka berdua pergi menghadap Ciang-tikoan, akan tetapi begitu mereka tiba, segera keduanya dikepung oleh sepasukan perajurit dan ditangkap dengan tuduhan telah membunuhi para nelayan di Pulau Hiu! Tentu saja Kwi Beng menjadi marah sekali dan hampir saja dia mengamuk kalau tidak dilarang oleh Kwi Eng.

“Kita difitnah, Beng-ko den kita dapat membela diri di pengadilan. Kalau kita menentang, berarti kita memberontak terhadap penguasa setempat yang mewakili pemerintah.” Demikian kata Kwi Eng dan gadis ini lalu menyerahkan bungkusan uang emas kepada kepala pasukan agar disampaikan kepada Ciang-tikoan. Akan tetapi mereka tetap saja ditawan, dibelenggu dan dihadapkan kepada tikoan, sedangkan kantong terisi uang itu entah ke mana larinya!

Dengan suara keren tikoan membentak kedua orang kakak beradik yang sudab dipaksa berlutut di depannya itu. “Kalian ini keturunan orang-orang asing berani membuat keonaran di daerah kami? Kalian telah mengandalkan kekuatan, membunuhi para nelayan di Pulau Hiu den merampok harta benda mereka.”

Dua orang kakak beradik itu mengangkat muka dan memandang kepada tikoan itu dengan heran dan penasaran. Ciang-tikoan ini sudah mengenal baik orang tua mereka, sudah pernah datang ke gedung mereka dan sudah banyak memperoleh hadiah, akan tetapi sikapnya sekarang ini seolah-olah seperti belum pernah kenal saja, seperti menghadapi dua orang penjahat!

“Maaf, taijin (sebutan pembesar). Kami sama sekali tidak merasa membunuhi nelayan, apalagi merampok harta mereka,” jawab Kwi Beng.

“Brakkk!” Tikoan menggebrak mejanya. “Kau masih berani membohong, Richardo de Gama? Beberapa orang nelayan dari Pulau Hiu berhasil lolos dan mereka menjadi saksi-saksi utama. Kau tidak mengaku bahwa malam tadi kalian berdua membawa anak buah, dan naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu dan membunuhi banyak nelayan tak berdosa di sana?”

“Tidak! Itu hanya fitnah semata!” Kwi Eng menjawab dengan suara lantang. “Sayalah yang membawa anak buah naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu, akan tetapi sama sekali bukan untuk membunuhi nelayan, melainkan untuk menolong kakak saya ini yang diculik oleh gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh Tokugawa.”

“Ha, jadi kalian sudah mengaku telah menyerbu Pulau Hiu, bukan? Sudah ada bukti dan pengakuan, jadi sudah jelas dosa kalian! Jangan mencoba memutarbalikkan kenyataan, ya? Di Pulau Hiu tidak ada bajak, yang ada hanya beberapa orang petani dan nelayan Bangsa Jepang dan pribumi yang hidup tenteram.”

“Taijin! Mereka itu benar-benar para bajak yang dipimpin oleh Tokugawa!” Kwi Beng berseru.

Ciang-tikoan mengangkat tangannya. “Kau hendak membantah? Mana buktinya bahwa ada bajak laut di sana? Kalau ada bajak laut tentu sudah kusuruh basmi!”

“Tapi benar-benar kakak saya diculik, taijin!” Kwi Eng membantah.

“Diam! Tanpa bukti, kalian tidak boleh bicara seenaknya saja. Karena masih mengingat kebaikan orang tua kalian, aku tidak akan menyuruh hukum rangket kepada kalian, akan tetapi kalian telah melakukan pembunuhan besar-besaran ini harus diadili di kota raja sebagai pemberobtak-pemberontak!”

“Taijin...!” Kwi Beng berteriak marah.

“Kau akan memberontak pula di sini?” pembesar itu mengangkat tangan dan para perajurit pengawal sudah mengurung pemuda yang terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh itu.

“Tidak, taijin, kami tidak akan memberontak dan kami tidak pernah memberontak,” Kwi Eng berkata dengan suara halus. “Jika perbuatan kami di Pulau Hiu itu tidak berkenan di hati taijin, harap Ciang-taijin sudi memaafkan dan suka memandang muka orang tua kami memberi ampun. Tentu saja atas budi kebaikan taijin ini kami tidak akan melupakan.” Dengan halus Kwi Eng membujuk dan menjanjikan “balas jasa” yang besar.

Ciang-taijin mengurut kumisnya yang panjang melengkung ke bawah seperti kumis anjing laut jantan itu. “Ha-ha, kebaikan apa yang dapat dilakukan kalian ini, peranakan-peranakan asing yang sudah berani memberontak? Seluruh rumah dan seisinya telah kami sita sebagai milik pemerintah dan kalian akan diadili di kota raja. Pengawal, kurung mereka sambil menanti saat mereka dikirim sebagai tawanan pemberontak ke kota raja.”

“Penasaran! Tidak adil...!” Kwi Bang meloncat berdiri akan tetapi belasan orang pengawal sudah meringkusnya kembali.

“Beng-ko, tenanglah dan jangan melawan,” kata Kwi Eng dan mereka lalu digusur keluar dari ruangan itu.

“Tangkap semua anak buahnya yang menyerbu ke Pulau Hiu!” Ciang-taijin memerintah pasukannya.

Mengapa pembesar she Ciang itu demikian keras dan menekan terhadap dua orang muda itu? Ada beberapa sebab yang mendorong pembesar itu berlaku sedemikian rupa terhadap Kwi Beng dan Kwi Eng. Pertama-tama, memang terdapat rasa tidak puas dan tidak senang di dalam hati pembesar itu terhadap keluarga Yuan de Gama, apalagi setelah Souw Li Hwa selalu menentang para penjahat dan bajak yang berkeliaran di Yen-tai. Lebih-lebih lagi setelah terjadi bentrok antara keluarga pendekar ini dengan Tokugawa, diam-diam Ciang-tikoan menjadi makin tidak senang. Tokugawa adalah “tangan kanannya” secara rahasia dan dari bajak laut inilah segala keinginan hati Ciang-tikoan dapat terlaksana. Mau kekayaan? Mau wanita-wanita muda yang cantik? Mau membunuh orang yang tidak disukainya? Hanya tinggal menyuruh para bajak itu, tanggung beres! Maka kemudian Souw Li Hwa dan suaminya yang menentang kejahatan, dianggap sebagai ancaman yang dapat menggoyahkan kedudukannya. Hanya dia tidak berani secara terang-terangan menentang karena Souw Li Hwa dan suaminya merupakan orang-orang gagah dan berpengaruh, pula tidak ada alasannya. Kini, suami isteri perkasa itu pergi, dan terjadi peristiwa pembasmian di Pulau Hiu, Ciang-tikoan mendapat kesempatan baik untuk membalas dan melampiaskan semua kebenciannya. Dia kehilangan Tokugawa, maka dia segera mebangkap Kwi Beng dan Kwi Eng dengan tuduhan pemberontak, dan tentu saja rumah gedung seisinya itulah yang merupakan dorongan besar pula untuk menangkap dua orang muda itu. Dia tidak khawatir kalau kelak orang tua dua muda-mudi kembar itu pulang, karena sudah ada bukti dan banyak saksi betapa dua orang kakak beradik membunuhi orang-orang yang disebutnya “nelayan-nelayan tak berdosa” di Pulau Hiu.

Semenjak sejarah berkembang, tidak perduli di negara manapun di bagian dari dunia ini, terdapat banyak sekali pembesar-pembesar seperti Ciang-tikoan ini. Terutama sekali di waktu pusat pemerintahan sedang kalut dan pengawasan dari atasan kurang ketat, maka para pembesar setempat lalu mempergunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Segala sesuatu kebutuhan rakyat yang harus terlebih dulu mendapatkan ijin dari pera pembesar, pasti dipersulit sedemikian rupa, sehingga rakyat yang membutuhkan ijin itu secara terpaksa harus mengeluarkan sebagian miliknya untuk “memberi hadiah” atau istilah umumnya sogokan atau suapan kalau dia menghendaki pekerjaannya dapat lancar dan ijin yang dibutuhkannya dapat diberi oleh pembesar yang berwenang. Tentu saja ada pembesar-pembesar yang betul-betul merupakan pemimpin rakyat, pelindung rakyat yang bijaksana dan menunaikan tugas kewajibannya dengan baik, yang berhati bersih dan tidak menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukannya, akan tetapi sayang, pembesar seperti ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja!

Mengapa keadaan di Yen-tai dan di kota-kota lain di seluruh Tiongkok yang dikuasai Kerejaan Beng-tiauw seperti itu, penuh dengan para pembesar yang menyalahgunakan kedudukannya untuk memenuhi kesenangan diri pribadi tanpa menghiraukan nasib rakyatnya? Hal ini adalah karena pengaruh dari keadaan di pemerintahan pusat, yaitu di Kota Raja Peking, di mana pusat pemerintahan di tangan kaisar, juga mengalami kekacauan dan kelemahan.

Seperti tercatat dalam sejarah, Peking dibangun oleh Kaisar Yuang Lo yang gagah perkasa. Bukan saja kaisar ini membangun tembok besar, terutama di bagian timumya, akan tetapi juga membangun kota raja yang tadinya menjadi kota raja Bangsa Mongol itu, dibongkar dan dirobah secara hebat sehingga merupakan sebuah kota raja yang terbesar dan termegah di dunia. Kerajaan Beng-tiauw mengalami kejayaannya sewaktu Kaisar Yung Lo yang memegang kendali pemerintahan, yang dilakukannya dengan tangan besi dan dengan adil, tidak segan-segan menghukum para pejabat yang bersalah sehingga sebagian besar pejabat melakukan tugasnya dengan baik. Pada masa itu, rakyat dapat mengecap kenikmatan hidup di bawah pemerintahan yang adil.

Dalam tahun 1425, di dalam perjalanan pulang dari penyerbuan musuh di Mongolia luar, Kaisar Yung Lo meninggal dunia. Kedudukan kaisar diwariskan kepada putera mahkota, yaitu Kaisar Hung Shi yang sudah sakit-sakitan dan kaisar inipun meninggal dunia setelah menjadi kaisar selama sepuluh bulan saja.

Kembali kedudukan kaisar diwariskan kepada cucu Yung Lo yang bernama Hian Tek Ong, seorang kaisar yang mencoba mempertahankan kebesaran kakeknya. Akan tetapi Kaisar Hian Tek Ong inipun hanya memegang kekuasaan selama sebelas tahun saja. Kini singgasana diserahkan kepada seorang buyut dari Yung Lo, seorang pangeran yang baru berusia delapan tahun, yang menjadi Kaisar Cheng Tung. Penggantian kekuasaan yang berusia pendek ini melemahkan Kerajaan Beng-tiauw, karena dengan perobahan kaisar berarti terjadi pula perobahan politik den wibawa. Apalagi karena kaisar yang tetakhir ini, Cheng Tung, masih kanak-kanak sehingga pemerintah dipegang dalam kekuasaan ibu suri yang tentu saja sebagai seorang wanita kurang pandai mengatur pemerintahan dan seperti biasa, yang berkuasa di istana sesungguhnya adalah para thaikam yaitu para pembesar yang bertugas di dalam istana dan para petugas pria ini semua dikebiri agar jangan sampai terjadi hal-hal yang melanggar susila antara para petugas ini dengan para wanita istana.

Ketika Kaiser Cheng Tung sudah mulai dewasa, dia sudah terbiasa oleh pengaruh para thaikam ini, dan boleh dibilang dia berada dalam cengkeraman yang membius dari seorang thaikam yang paling dipercayanya, yaitu Thaikam Wang Cin, seorang yang berasal dari kota Huai Lai di utara, di daerah Mongol.

Demikianlah, karena kaisarnya seperti boneka, hanya tahu menandatangani saja semua hal yang disetujui dan direncanakan oleh Wang Cin, maka pemerintahannya sangat lemah. Orang semacam Wang Cin mana memikirkan keadaan rakyat? Setiap gerak perbuatannya selalu bersumber kepada kepentingan pribadinya. Dengan adanya pemerintah pusat seperti ini, tentu saja para pejabat di daerah menjadi raja-raja kecil yang berdaulat penuh dan sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh Ciang-tikoan di Yen-tai yang tentu saja cukup cerdik untuk “menempel” para pembeser di kota raja, terutama mencari muka terhadap yang dipertuan Wang Cin.


Kedua saudara Kwi Eng dan Kwi Beng menjadi korban dari kesewenang-wenangan pembesar lalim ini dan beberapa hari kemudian, dua orang kakak beradik ini dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya, diberangkatkan menuju ke kota raja dalam sebuah kereta milik mereka sendiri yang dirampas dan dikawal ketat oleh tiga losin orang perajurit, dipimpin oleh seorang perwira yang membawa surat-surat laporan tentang “dosa-dosa” dua orang tawanan itu untuk disampaikan kepada pembesar atasan di kota raja yang berwenang mengadili perkara-perkara besar.

Banyak rakyat memandang dengan mata merah bahkan ada yang mengucurkan air mata melihat dua orang muda yang dermawan dan budiman itu menjadi orang-orang pesakitan diseret ke dalam kereta dan dibawa pergi dari tempat tinggal mereka. Akan tetapi, seperti biasa, rakyat kecil hanya mampu menangis dan mengeluh, paling-paling hanya mampu mengepal tinju dengan diam-diam karena mereka tahu bahwa mereka itu tidak berkuasa atas kehidupan mereka sendiri!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Kwi Beng ketika dalam keadaan terbelenggu kuat dia bersama adiknya diseret ke dalam kereta itu. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang.

“Moi-moi, kalau saja kita memberontak sejak pertama kali dipanggil...” Kwi Beng menyatakan penyesalannya.

“Tenanglah, koko. Belum tentu kita akan celaka, kita bersabar saja sambil melihat perkembangannya. Tentu akan terdapat kesempatan bagi kita, dan lagi... aku percaya bahwa Tio-twako tidak akan tinggal diam saja.”

Seorang pengawal menghardik dan melarang mereka bicara. Kereta lalu diberangkatkan dan sebelum tirai kereta diturunkan oleh pengawal, Kwi Eng sempat melihat berkelebatnya bayangan seorang pemuda jangkung berpakaian kuning di antara rakyat yang menonton dan legalah hati gadis ini. Kwi Beng hanya memandang heran mengapa ada senyum di bibir adiknya itu dalam keadaan seperti itu!

***

Beberapa hari kemudian pasukan yang mengawal kereta berisi dua oran tawanan itu tiba di kota Cin-an. Di sini para pengawal berganti kuda dan membawa perlengkapan dan bekal makanan baru dari para pembesar di Cin-an. Setelah bermalam di kota Cin-an, pasukan melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya menuju ke utara, ke kota raja. Sorenya, mereka sudah tiba di tepi Sungai Huang-ho di mana telah tersedia perahu-perahu besar untuk menyeberangkan mereka. Akan tetapi karena hari telah mulai gelap, mereka berhenti dan berkemah di dekat sungai sambil beristirahat. Seperti biasa, dua orang tawanan itu menerima makanan dan minuman dan mereka diperbolehkan makan minum dengan kedua pergelangan tangan dibelenggu di depan tubuh mereka dan dipasangi rantai baja yang panjang dan berat. Demikian pula kedua kaki mereka dibelenggu dengan rantai panjang.

Biarpun kedua orang kakak beradik ini dijaga ketat sekali, namun di sepanjang perjalanan mereka diperlakukan dengan baik dan sopan. Hal ini adalah karena si perwira yang memimpin pasukan pengawal itu tahu siapa adanya mereka berdua ini, tahu pula bahwa ibu dua orang muda itu adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai, demikian pula ayah mereka adalah seorang asing yang berpengaruh dan dermawan. Akan tetapi diapun maklum betapa penting dan beratnya perkara yang membuat mereka dikirim ke kota raja, yaitu tuduhan memberontak dan membunuhi banyak nelayan tidak berdosa! Tentu saja diapun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan “nelayan-nelayan tidak berdosa” itu sesungguhnya adalah Tokugawa dan kawanan bajak laut. Akan tetapi sebagai seorang bawahan, dia tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menentang atasannya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu melakukan penyeberangan, menggunakan perahu besar yang telah tersedia di pantai sungai yang amat luas itu. “Sekarang tiba kesempatan bagi kita, koko. Kau bersiaplah. Rantai tangan kaki kita ini cukup panjang, memudahkan kita bergerak di air.”

“Akan tetapi juga cukup berat untuk membuat kita tenggelam,” bisik kembali Kwi Beng.

“Kita harus berani mengambil resiko. Kesempatan ini yang terbaik dengan mengandalkan kepandaian kita di air,” bisik lagi Kwi Eng dan karena perwira pengawal mendekati mereka, keduanya menghentikan bisikan dan hanya saling pandang dan mereka telah bersepakat untuk mempergunakan kesempatan penyeberangan itu untuk melarikan diri.

Ketika perahu besar yang menyeberang itu mulai meluncur ke tengah sungai, nampak sebuah perahu kecil juga meluncur cepat sekali seiring dengan perahu besar itu. Perahu ini ditumpangi dan didayung oleh seorang pemuda berpakaian kuning yang tidak mencurigakan. Para pengawal yang melihat pemuda ini mengira bahwa dia adalah seorang nelayan atau seorang pelancong saja. Akan tetapi Kwi Eng menyentuh lengan kakaknya ketika dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun.

Akan tetapi Tio Sun tidak segera turun tangan melainkan terus saja mengikuti perahu itu sampai tiba di dekat pantai sebelah utara. Di pantai selatan dia tidak berani turun tangan karena tempat itu ramai dan dekat dengan kota Cin-an, berbeda dengan pantai utara yang sunyi. Setelah perahu besar yang membawa dua orang sahabatnya sebagai tawanan itu berada kurang lebih tiga ratus meter lagi dari pantai, tiba-tiba Tio Sun meloncat ke atas perahu besar dan tanpa banyak suara lagi dia meloncat ke arah Kwi Eng dan Kwi Beng yang duduk di atas dek terjaga oleh lima orang pengawal.

“Heii, siapa kau...?” Seorang pengawal membentak dan suasana menjadi geger. Para perajurit pengawal meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi pada saat itu, Kwi Eng dan Kwi Beng sudah bangkit berdiri, dengan kaki tangan mereka yang terbelenggu itu mereka berhasil menampar den menendang roboh lima orang penjaganya.

Tio Sun menggunakan pedangnya mematahkan belenggu kaki tangan mereka dengan cepat dan merobohkan setiap orang pengawal yang mencoba untuk menghalanginya. “Cepat menyingkir...!” Tio Sun berkata sambil menyerahkan dua batang pedang yang sengaja dibawanya kepada Kwi Eng dan Kwi Beng.


Perwira pengawal berteriak mengumpulkan anak buahnya dan mulailah mereka itu maju mengepung dan mengeroyok.

“Apakah kalian berani hendak memberontak?” Perwira muda itu berseru. “Harap ji-wi jangan menambah dosa ji-wi.”

“Kalian mundurlah!” Kwi Beng yang maklum akan kebaikan perwira itu berseru. “Kalian tahu bahwa kami bukan pemberontak, melainkan Ciang-tikoan yang bersekutu dengan bajak-bajak laut! Mundurlah!”

“Kami hanya menjalankan tugas, kalau sampai kalian lolos tentu kami dihukum!” sang perwira membantah dan terus mengepung ketat.

Kwi Eng, Kwi Beng, dan Tio Sun mengamuk dengan pedang mereka. “Jangan membunuh orang, mereka hanya petugas-petugas biasa,” kata Kwi Eng dan tentu saja hal ini disetujui oleh Tio Sun yqng juga segan untuk memusuhi dan membunuh perajurit pemerintah. Maka mereka itu hanya menggunakan pedang mereka untuk menghalau semua serangan senjata lawan, dan hanya merobohkan para pengeroyok dengan tendangan kaki atau tamparan tangan kiri saja.

Akan tetapi tiga losin orang perajurit pengawal itu yang tentu saja merasa takut kalau sampai tawanan itu lolos, dengan nekat mengeroyok terus tanpa memperdulikan keselamatan mereka sendiri dan hal ini membuat tiga orang muda itu merasa repot juga. Andaikata mereka bertiga itu mau membagi-bagi pukulan maut dan merobohkan para pengeroyoknya, agaknya mereka akan berhasil membasmi puluhan orang itu. Akan tetapi, tanpa membunuh para pengeroyok yang nekat itu, tentu saja amat sukar bagi mereka untuk meloloskan diri, bahkan kalau pertandingan itu dilanjutkan, tentu mereka akan terancam bahaya oleh hujan serangan itu.

“Tio-twako, kau pergilah dulu dengan perahumu!” teriak Kwi Eng den mereka kini mulai bergerak ke pinggir perahu besar.

“Tidak, aku tidak akan meninggalkan kalian!” jawab Tio Sun sambil mengelak dari sambaran dua batang golok dan menggerakkan kakinya menendang roboh seorang pembokong dari belakang.

“Twako, pergilah dulu dengan perahumu, kami akan mengambil jalan dalam air,” kata Kwi Beng dan kini mengertilah Tio Sun. Teringat dia akan penuturan Kwi Eng betapa kedua orang saudara kembar itu pernah belajar ilmu di dalam air dari nelayan yang dahulu pernah menyelamatkan ayah ibu mereka, maka dia mengangguk dan mengamuk dengan pedangnya sampai semua pengeroyokdya dipaksa mundur.

Setelah tiba di tepi perahu besar dan melihat perahu kecilnya masih berada di dekat perahu besar itu, dia berseru, “Berhati-hatilah kalian! Aku pergi dulu!” Sekali mengayun tubuhnya Tio Sun sudah meloncat keluar dari perahu besar, tepat di atas perahunya yang segera didayungnya menuju ke seberang sungai.

Kwi Beng dan Kwi Eng juga mencontoh perbuatan Tio Sun tadi, mereka mengamuk dan makin mendekati pinggiran perahu, kemudian setelah merobohkan beberapa orang pengeroyok, merekapun cepat meloncat keluar dari perahu besar, langsung terjun ke dalam air dengan kedua tangan lebih dulu.

“Cluppp! Cluppp!” Bagaikan dua ekor ikan lumba-lumba saja mereka terjun tanpa menimbulkan banyak suara dan airpun tidak muncrat banyak, tanda bahwa keduanya memang ahli bermain di air. Lenyaplah kedua orang muda itu dari permukaan air dan para pengawal yang bergegas menuju ke pinggir perehu sambil membawa anak panah, tidak melihat mereka lagi.

Akan tetapi perwira pasukan pengawal itu bersikap tenang-tenang saja. “Cepat jalankan kembali perahu ke seberang. Mereka tentu sudah ditangkap kembali di sana!”

Semua anak buahnya merasa heran mendengar ucapan ini dan mereka bersicepat meluncurkan perahu besar di tepi sungai sebelah utara. Ketika tiba di tempat itu, benar saja mereka melihat tiga orang muda tadi sudah dikepung dan dikeroyok oleh kurang lebih lima puluh orang perajurit yang bersenjata lengkap! Tentu saja mereka menjadi girang dan serentak mereka berbondong-bondong mendarat dan bantu mengeroyok pula.

Ternyata siasat dari tiga orang muda itu sia-sia belaka. Mereka tidak memperhitungkan kecerdikan Ciang-tikoan. Pembesar ini tentu saja mengerti akan kelihaian dua orang tawanannya, mendengar pula akan keahlian mereka bermain di air, maka diam-diam dia mengutus seorang pembantu secara rahasia menghubungi rekannya di Cin-an untuk menjaga di seberang sungai kalau-kalau dua orang tahanannya itu mencoba untuk meloloskan diri ketika diseberangkan, mengingat akan kelihaian mereka bermain di air. Dan memang dugaannya tepat sekali, maka pembesar di Cin-an telah mempersiapkan pasukan dari lima puluh orang yang bersembunyi di pantai sungai sebelah utara. Begitu Tio Sun yang telah mendarat lebih dulu dengan perahunya itu menyambut dua orang temannya yang muncul dari dalam air seperti dua ekor ikan itu, mereka langsung menyergap dan terjadilah pengeroyokan hebat di tepi sungai sebelah utara itu.

Tentu saja mereka bertiga menjadi kaget sekali, dan mereka melawan mati-matian. Akan tetapi, setelah perahu besar pasukan pengawal mendarat pula dan pengeroyokan menjadi makin ketat, mereka benar-benar terdesak hebat dan keadaan mereka amat berbahaya, kalau tidak tertawan kembali tentu akan tewas, atau setidaknya terluka hebat di bawah pengeroyokan lebih dari lima puluh orang itu.

Mereka tanpa dikomando telah membela diri secara saling melindungi, berdiri saling membelakangi dan dengan senjata pedang mereka, dibantu oleh joan-pian di tangan kiri Tio Sun, mereka menangkis semua senjata yang datang bagaikan hujan dan sekali ini terpaksa mereka menggunakan senjata untuk merobohkan pengeroyokan, sungguhpun pedang mereka itu hanya ditujukan kepada bagian-bagian tubuh yang tidak berbahaya. Belasan orang pengeroyok sudah roboh dengan pundak, lengan atau kaki terluka parah akan tetapi pengeroyokan masih cukup ketat dan tiga orang itu mulai menjadi lelah sekali, bahkan Kwi Beng telah terluka pahanya, dan Kwi Eng telah terluka pangkal lengan kirinya. Namun mereka tidak mau menyerah karena ketiganya maklum bahwa urusan telah menjadi semakin berat sehingga kalau mereka tertawan kembali, hukuman mereka tentu akan jauh lebih berat lagi, mungkin akan dihukum mati sebagai pemberontak-pemberontak hina.

“Tio-twako, kau larilah...!” Tiba-tiba Kwi Eng berkata kepada Tio Sun.

Benar, kau pergilah, twako dan jangan mengorbankan diri untuk urusan kami!” Kwi Beng juga berkata.

Hati Tio Sun rasanya seperti ditusuk, dia merasa terharu dan juga kagum akan kegagahan dua orang kakak beradik ini yang dalam keadaan seperti itu masih ingat kepadanya dan tidak mau membawa-bawanya mengalami kecelakaan.

“Tidak! Aku akan membela kalian sampai titik darah terakhir!” bentaknya dan pedang serta joan-pian di tangannya bergerak cepat maka robohlah tiga orang pengeroyok. Akan tetapi karena dia mencurahkan seluruh perhatian untuk merobohkan lawan sebanyak mungkin dalam kemarahannya ini, Tio Sun tak dapat menghindarkan bacokan golok dari samping yang mengenai pundaknya.

“Tio-twako...!” Kwi Eng menjerit ketika melihat darah muncrat dari pundak pemuda itu.

Tio Sun membalikkan pedangnya dan penyerangnya itu menjerit roboh ketika lengannya terbabat pedang hampir putus.

“Tidak apa-apa, nona.” Tio Sun tersenyum dan mereka bertiga terus mengamuk biarpun mereka telah terluka semua.

“Bunuh saja tiga pemberontak ini!” Tiba-tiba terdengar komandan pasukan Cin-an berteriak marah. Tadinya perintah atasannya hanyalah untuk membantu para pengawal dari Yen-tai untuk menangkap kembali tawanan itu jika melarikan diri, akan tetapi kini melihat betapa tiga orang itu memberontak dan merobohkan banyak anak buahnya, dia menjadi khawatir dan marah sekali, maka dia mengeluarkan perintah untuk membunuh mereka. Dengan adanya perintah ini, para perajurit kini mendesak makin ketat dan senjata mereka datang bagaikan hujan menyerang tiga orang muda yang membela diri mati-matian itu.

“Twako, kitapun harus membuka jalan darah!” terdengar Kwi Eng berteriak dan terpaksa Tio Sun tidak membantah. Karena kini para pengeroyok menghendaki nyawa mereka, tentu saja mereka bertiga harus pula menjaga dan menyelamatkan diri, kelau perlu dengan jalan membunuh para pengeroyok. Tio Sun menggerakkan pedang dan joan-piannya secara hebat, demikian pula Kwi Beng dan Kwi Eng mengamuk dengan pedang mereka dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan ketika beberapa orang perajurit roboh untuk tidak bangun kembali! Pertandingan menjadi makin seru dan kini merupakan pertempuran mati-matian, namun karena tiga orang muda itu sudah terluka dan fihak pengeroyok amat banyaknya, mereka makin terdesak dan makin terkurung sehingga ruang gerak mereka menjadi makin sempit.

Pada saat yang amat kritis dan berbahaya bagi keselamatan tiga orang muda itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan keadaan para pengeroyok di sebelah luar menjadi kacau-balau. Ketika Tio Sun melirik, dia kaget dan juga kagum sekali melihat seorang pemuda tampan dan gagah mengamuk, hanya menggunakan kedua tangan kosong saja melempar-lemparkan para perajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja, sama sekali tidak memperdulikan hujan senjata tajam yang menyambar ke tubuhnya. Para perajurit terkejut dan gentar karena pendatang baru ini benar-benar amat lihai, bacokan-bacokan senjata tajam hanya ditangkis oleh lengan yang kulitnya seperti baja kerasnya dan setiap kali tangan kaki pemuda ini bergerak, mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya!

“Hai, pemberontak dari mana berani menentang pasukan pemerintah?” Komandan pasukan menerjang ke depan, akan tetapi pedangnya ditangkap oleh tangan kiri pemuda itu dan sekali remas pedang itu patah-patah. Kemudian pemuda itu menangkap komandan ini pada pinggangnya dan mengangkatnya, tinggi-tinggi.

“Pasukan pemerintah yang hanya menyalahgunakan kedudukannya tiada bedanya dengan penjahat-penjahat! Pergilah kalian!” Pemuda itu melemparkan komandan itu sampai jauh dan jatuh terbanting sampai pingsan. Tentu saja semua perajurit menjadi makin gentar, kurungan mereka melonggar.

“Sam-wi yang terkurung, tidak lekas lari mau tunggu apa lagi?” Pemuda tampan itu berseru dan mendahulul lari, cepat diikuti oleh Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng. Karena mereka berempat mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja para perajurit sudah kehilangan jejak mereka.

Di tengah sebuah hutan, empat orang muda itu berhenti. Ketika pemuda tampan itu hendak melanjutkan larinya tanpa memperdulikan tiga orang yang telah ditolongnya, Tio Sun cepat mengejar dan berseru, “Sahabat yang gagah harap suka berhenti dulu!”

Pemuda tampan itu menoleh dan melihat pandang mereka penuh harapan, terpaksa dia berhenti.

“Sam-wi sudah beruntung dapat terbebas dari kepungan para pasukan itu, ada urusan apalagikah dengan aku?”

Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng cepat menghampiri dan kini mereka berhadapan. Sepasang mata pemuda tampan itu terbelalak dan jelas dia kelihatan kaget, heran dan bingung ketika dia memandang kepada Kwi Beng dan Kwi Eng secara bergantian. “Aihh... kiranya kalian bukan... bukan...” Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena hatinya merasa sangsi. Melihat pakaian dan bentuk tubuhnya, pemuda tampan dan dara jelita ini jelas orang-orang Han, akan tetapi, mengapa matanya kebiruan dan rambutnya agak pirang?

Kwi Eng adalah seorang gadis peranakan barat yang tak dapat disamakan dengan gadis-gadis pribumi yang biasanya bersikap pendiam dan pemalu. Apalagi dia bersama kakak kembarnya mewakili pekerjaan ayahnya sehingga dia sudah biasa bergaul dan tidak malu-malu lagi, bersikap polos dan jujur di samping juga memiliki kecerdasan sehingga dia sudah dapat maklum mengapa pemuda gagah perkasa yang menolong mereka itu kelihatan begitu kaget, heran dan bingung. Cepat dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil tersenyum manis sekali dan berkata, “Harap saudara yang gagah perkasa dan yang telah menyelamatkan kami tidak menjadi curiga. Biarpun mungkin warna mata dan rambut kami kakak beradik kembar agak berbeda, namun kami berdua adalah berdarah Han, kakak kembarku ini bernama Souw Kwi Beng dan aku sendiri bernama Souw Kwi Eng. Sedangkan dia itu adalah Tio-twako bernama Tio Sun. Kami bertiga telah kena fitnah dan hendak dibawa ke kota raja sebagai tawanan pemberontak, maka pertolonganmu merupakan budi yang amat besar bagi kami.”

Mendengar ucapan lancar dan tidak kaku, pemuda itu merasa lega. Gadis ini luar biasa cantiknya, cantik dan aneh, akan tetapi kata-katanya jelas menunjukkan bahwa dia seorang Han tulen.


Melihat pemuda yang usianya masih amat muda dan sikapnya seperti pemalu itu namun yang telah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya, Tio Sun yang merasa kagum sudah maju dan berkata, “Saudara yang muda memiliki kelihaian yang amat mengagumkan hati kami, dan sudah menyelamatkan kami dari bahaya maut. Bolehkan kami mengetahui she dan namamu yang mulia?”

Pemuda itu kelihatan meragu. Dia tadi menolong karena melihat tiga orang muda itu terancam bahaya, sama sekali tidak mempunyai keinginan lainnya. Akan tetapi menyaksikan keramahan mereka, terutama sekali keramahan dara jelita yang dengan mata birunya memandangnya dengan sinar mata penuh rasa kagum dan terima kasih, dia merasa tidak enak kalau pergi begitu saja setelah mereka memperkenalkan nama masing-masing. Akan tetapi diapun tidak ingin memperkenalkan namanya, maka dia lalu teringat akan nama yang diperkenalkan kepada gadis aneh bernama “Hong” saja yang baru dijumpainya, maka dia lalu menjura dan berkata, “Nama saya Houw, she... Bun.”

Pemuda ini bukan lain adalah Cia Bun Houw, putera ketua Cin-ling-pai. Seperti telah diceritakan di baglan depan, Bun Houw berpisah dengan In Hong, atau lebih tepat lagi dara itu yang meninggalkannya karena tidak mau melakukan perjalanan bersama setelah Bun Houw suka mencegahnya membunuh musuh-musuhnya di perjalanan. Bun Houw merasa kecewa sekali bahwa dara yang telah menjadi penolongnya itu meninggalkannya, akan tetapi kerena teringat akan tugasnya mencari dan menyelidiki musuh-musuh besarnya, yaitu Lima Bayangan Dewa, diapun melanjutkan perjalanannya dan pada hari itu dia menyeberangi Sungai Huang-ho dan kebetulan melihat tiga orang muda yang terancam bahaya oleh pengeroyokan para perajurit itu, lalu turun tangan menolong mereka.

Tio Sun merasa makin kagum dan heran. Pemuda tampan ini sikapnya begitu sederhana, masih amat muda dan agaknya dia belum pernah mendengar nama pemuda ini di dunia kang-ouw, akan tetapi melihat kepandaiannya tadi, biarpun hanya bergebrak dengan para perajurit, dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, tentulah murid seorang yang sakti.

“Bun-enghiong masib begini muda akan tetapi telah memiliki kepandaian luar biasa, sungguh membuat kami merasa kagum sekali. Kalau sekiranya tidak menjadikan halangan dan kalau kiranya kami cukup pentas menjadi sahabatmu, kami ingin sekeli bersahabat dengan Bun-enghiong,” kata Tio Sun.

Souw Kwi Beng yang sejak tedi diam saja kinipun berkata, “Kami kakak beradik kembarpun akan merasa terhormat sekali kalau bisa menjadi sahabat Bun-taihiap.”

Bun Houw merasa kikuk sekali. Tiga orang muda ini jelas merupakan orang-orang gagah yang sopan dan terpelajar, maka akan keterlaluanlah di fihaknya kalau dia tidak melayani uluran tangan mereka. Pula, dara bermata biru itu benar-benar mempesonakan! Selama hidupnya baru sekarang dia berhadapan dengan seorang dara yang begitu jelita, matanya bening lebar kebiru-biruan dan rambutnya agak pirang dan berkilauan halus.

Bun Houw menjura dengan hormat. “Tentu saja saya suka sekali bersahabat dengan sam-wi (kalian bertiga). Mengapakah kalian tadi dikeroyok perajurit di tepi sungai dan di mana sam-wi tinggal?”

“Mari kita duduk di tempat yang teduh agar leluasa bicara,” kata Tio Sun dan mereka lalu memilih tempat di bawah pohon yang rindang, duduk di atas batu-batu di bawah pohon itu.

Secara singkat Kwi Eng yang pandai bicara itu lalu menceritakan urusannya, mula-mula dengan Tokugawa ketika kepala bajak itu menculik kakak kembarnya dan dia dengan bantuan Tio Sun berhasil menyelamatkan kakaknya. Kemudian betapa dia difitnah oleh pembesar setempat sebagai pemberontak dan pembunuh kaum nelayan yang bukan lain hanya bajak-bajak laut. Sampai mereka ditangkap dan akan dikirim ke kota raja, kemudian mereka berusaha meloloskan diri dan dikeroyok di tepi Sungai Huang-ho.

Bun Houw menarik napas panjang. “Sudah kudengar akan kekacauan yang mulai terjadi di mana-mana karena lemahnya pemerintah pusat di kota raja. Jadi ji-wi adalah putera-puteri seorang ayah bangsa barat dan ibu bangsa pribumi? Pantas saja keadaan ji-wi agak lain.”

“Biarpun kedua saudara Souw ini putera orang barat, akan tetapi ayahnya bukan orang sembarangan, karena ayahnya adalah Yuan de Gama, seorang tokoh bangsa barat yang disegani dan dihormati. Apalagi ibunya. Ibunya adalah pendekar wanita terkenal, Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo...”

“Ahhhh...!” Bun Houw kaget bukan main mendengar ini. Tentu saja diapun sudah pernah mendengar dari ayah dan ibunya tentang Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang dikabarkan mati tenggelam secara gagah bersama kapalnya.

“Kau pernah mendengar nama ayah dan ibu, Bun-taihiap?” tanya Kwi Eng sambil memandang tajam.

Bun Houw menggeleng kepala. “Saya terkejut mendengar nama mendiang Panglima Besar The Hoo.” Kemudian dia memandang kepada Tio Sun. “Tio-twako agaknya juga bukan keturunan sembarangan dan ternyata engkau seorang pendekar yang suka menolong orang lain yang sedang tertimpa malapetaka seperti yang telah kaulakukan terhadap kedua orang saudara Souw ini.”

Merah wajah Tio Sun menerima pujian ini, dan dia menarik napas panjang. “Persoalan yang kuhadapi tadi benar-benar membuat aku bingung, Bun-hiante. Terus terang saja, ayahku adalah seorang bekas pengawal kepercayaan Panglima Besar The Hoo, ayahku bernama Tio Hok Gwan...”

“Ban-kin-kwi...?” Bun Houw kelepasan bicara karena tentu saja mengenal baik nama ini, nama seorang sahabat baik
ayahnya!

“Kau sudah mendengar pula julukan ayah? Ayah seorang bekas pengawal yang setia, tentu saja akupun segan untuk melawan perajurit pemerintah. Akan tetapi melihat sikap Ciang-tikoan yang sewenang-wenang, terpaksa aku menentangnya. Sekarang, setelah terjadi peristiwa ini, kedua orang saudara Souw tidak mungkin lagi kembali ke Yen-tai, dan inilah yang membikin aku menyesal sekali.”

“Ah, mengapa menyesal, twako? Kami berdua tidak menyesal. Biarlah kami tidak dapat kembali ke Yen-tai dan menanti sampai ayah ibu pulang dari barat. Kami berdua malah telah mengambil keputusan untuk membantu Tio-twako dalam mencari musuh-musuh Cin-ling-pai itu dan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk mencari Lima Bayangan Dewa yang menjadi musuh-musuh besar Cin-ling-pai. Ayah dan ibu tentu akan bangga kalau mendengar akan sikap kami ini,” kata Kwi Eng.

Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati Bun Houw mendengar percakapan mereka itu. Dan sampai bengong memandang mereka tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Kwi Eng yang kebetulan memandang kepada pemuda itu tiba-tiba menjadi merah mukanya dan menunduk karena melihat betapa pemuda tampan itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat!

“Bun-taihiap, engkau... mengapakah?” Kwi Eng yang tidak pemalu itu menegur halus.

Bun Houw terkejut, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang kepada mereka bertiga dengan mata bersinar-sinar. “Sungguh mati saya amat terkejut mendengar betapa sam-wi menyebut-nyebut soal Lima Bayangan Dewa dan hendak membela Cin-ling-pai. Kalau boleh saya bertanya, apakah hubungan antara sam-wi dengan Cin-ling-pai?”

Kini Tio Sun dan dua orang saudara kembar itu yang menatap wajah Bun Houw dengan tajam penuh selidik. “Bun-hiante... tahu soal... Lima Bayangan Dewa dan Cin-ling-pai?” Tio Sun bertanya.

Bun Houw mengangguk. “Tentu saja, dan saya bahkan tersangkut secara langsung. Akan tetapi sebelum aku dapat menceritakan hal itu, harap sam-wi lebih dulu menerangkan apa hubungan sam-wi dengan Cin-ling-pai?”

Tio Sun menghadapi Bun Houw, memandang dengan sinar mata tajam sejenak, lalu berkata, “Biarpun baru berjumpa pertama kali dan tidak mengenal benar siapa adanya dirimu, Bun-hiante, akan tetapi aku telah percaya benar kepadamu, maka biarlah aku mengaku terus terang. Seperti telah kukatakan kepadamu, aku adalah putera dari bekas pengawal Panglima The Hoo, ayahku bernama Tio Hok Gwan dan ayah adalah seorang sahabat baik dari Cia Keng Hong locianpwe, ketua Cin-ling-pai. Agaknya tentu engkau telah mendengar kegemparan di dunia kang-ouw dengan adanya penyerbuan Lima Bayangan Dewa di Cin-ling-san yang membunuh anak-anak murid Cin-ling-pai bahkan telah mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Nah, mengingat akan hubungan persababatan yang amat baik dengan Cin-ling-pai, ayah lalu mengutus aku untuk mewakili ayah, membantu Cin-ling-pai mencari Lima Bayangan Dewa dan kalau mungkin merampas kembali pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Demi persahabatan itu, aku melupakan kebodohanku sendiri, melakukan penyelidikan sampai di Yen-tai di mana aku bertemu dan berkenalan dengan kedua orang saudara Souw ini yang ternyata adalah cucu murid sendiri dari mendiang Panglima The Hoo.”

“Adapun kami berdua, setelah terjadi peristiwa di Yen-tai, kami juga sudah sepakat untuk membantu Tio-twako mencari Lima Bayangan Dewa, karena ibu kami pernah bercerita kepada kami tentang kegagahan ketua Cin-ling-pai yang patut kami bantu pula,” kata Kwi Eng.

Mendengar ini, Bun Houw segera bangkit dari atas batu dan dia lalu memberi hormat kepada tiga orang itu dengan menjura. Hal ini mengejutkan dan mengherankan mereka yang segera bangkit pula untuk membalas penghormatan itu. Dengan suara terharu Bun Houw lalu berkata, “Atas nama Cin-ling-pai, saya menghaturkan banyak terima kasih atas bantuan sam-wi yang demikian budiman.”

“Eh, siapakah sesungguhnya Bun-taihiap?” tanya Tio Sun yang kembali menyebut taihiap karena dia menduga bahwa pemuda ini tentulah bukan orang sembarangan.

“Maafkan kalau saya tadi kurang berterus terang. Sebetulnya saya she Cia dan bernama Bun Houw...”


Aih...! Kiranya Cia-taihiap, putera dari ketua Cin-ling-pai?” Tio Sun berteriak girang. “Pantas saja demikian lihai, kiranya Cia-taihiap sendiri orangnya! Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat.”

“Putera Pendekar Sakti Cia Keng Hong...?” Kwi Eng berseru dan memandang dengan wajah bersinar penuh kekaguman. Juga Kwi Bang memandang kagum dan hal ini membuat Bun Houw menjadi makin sungkan dan malu.

“Harap sam-wi jangan berlebihan. Marilah kita duduk kembali dan bicara dengan leluasa.”

Mereka duduk kembali dan Bun Houw lalu memandang mereka dengan bergantian. “Tidak kukira bahwa ayah mempunyai demikian banyak sahabat yang diam-diam membela Cin-ling-pai dan hal ini amat mengharukan hatiku. Akan tetapi sebelum kita bicara, di antara kita adalah orang segolongan, apalagi sam-wi adalah penolong-penolong Cin-ling-pai, maka harap tinggalkan saja sebutan taihiap yang tidak pada tempatnya. Tio-twako, harap kau suka menyebutku adik saja, dan kedua adik Souw juga hendaknya menyebutku kakak saja. Bukankah sebagai orang-orang segolongan kita boleh dibilang bersaudara atau bersahabat baik?”

Tiga orang gagah itu menjadi girang melihat sikap putera ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi akan tetapi bersikap sederhana dan tidak tinggi hati itu.

“Baiklah, Houw-te (adik Houw),” kata Tio Sun.

“Terima kasih, Houw-ko,” kata Kwi Eng dan Kwi Bun hampir berbareng.

Bun Houw menghela napas. “Niat kalian untuk membantu kami amat baik dan tentu saja saya merasa amat bersyukur. Akan tetapi apakah kalian tahu di mana tinggalnya Lima Bayangan Dewa dan ke mana kalian hendak mencari mereka?”

“Tadinya kami mendengar bahwa seorang di antara mereka yang bernama Liok-te Sin-mo Gu Lo It tinggal di pantai Laut Timur, akan tetapi setelah kami selidiki, ternyata dia sudah pergi ke pedalaman dan kami hendak mencari jejaknya di pedalaman.”

“Pedalaman Tiongkok berarti merupakan daerah yang puluhan ribu mil luasnya, bagaimana kita dapat menyelidiki mereka? Pula, tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa itu amat tinggi sehingga kalau sam-wi membantu kami, besar bahayanya sam-wi akan menghadapi malapetaka. Bukan aku tidak tahu terima kasih, akan tetapi ayahku yang telah menugaskan aku menghadapi mereka tentu akan marah kepadaku kalau aku membiarkan orang lain menjadi korban kejahatan Lima Bayangan Dewa. Maka, kuharap sam-wi suka kembali saja,” Bun Houw berkata dengan suara sungguh-sungguh.

“Adik Cia Bun Houw mengapa berkata demikian?” Tio Sun membantah dengan suara keras. “Biarpun kepandaianku masih amat rendah, akan tetapi aku bukan orang yang takut menghadapi bahaya. Ayah sudah menugaskan kepadaku, bagaimana bisa pulang sebelum lecet kulitku, sebelum patah tulangku? Demi melaksanakan tugas yang diperintah ayah, selembar nyawaku menjadi taruhan!”

“Kami berduapun tidak mempunyai tempat tinggal lagi sebelum orang tua kami pulang, maka harap Houw-ko tidak menolak bantuan kami yang juga tidak takut bahaya dalam menentang kejahatan!” Kwi Eng berkata, sikapnya gagah sekali dan Bun Houw menjadi makin kagum saja.

“Kalau begitu besar tekad sam-wi, saya tidak berani mencegah dan saya makin berterima kasih. Ketahuilah bahwa saya sendiri telah memperoleh jejak mereka, bahkan telah bertemu dengan dua orang di antara mereka. Sayang saya tidak berhasil merobohkan mereka dan sekarang mereka telah melarikan diri. Menurut penyelidikan saya, Lima Bayangan Dewa itu kini agaknya berkumpul di Ngo-sian-chung, tidak jauh dari sini, di lembah muara Huang-ho.”

“Bagus! Kalau begitu mari kita berempat menyerbu ke sana, Houw-te!” Tio Sun berseru penuh semangat.

“Mereka itu selain lihai juga amat curang, maka kita harus berlaku hati-hati sekali!” Bun Houw menerangkan. “Belum lama ini aku sendiri terjebak dan hampir tewas oleh mereka, kalau tidak tertolong oleh seorang sahabat. Dan saya minta kepada sam-wi agar nama saya dirahasiakan sebagai putera Cin-ling-pai, karena selama ini saya hanya dikenal sebagai seorang she Bun bernama Houw. Sebelum berhasil meringkus atau membasmi mereka, saya tidak akan menggunakan nama sendiri, dan hanya kepada sam-wi saja yang saya tahu adalah putera-puteri sahabat dari ayah maka saya memperkenalkan diri secara sesungguhnya.”

Empat orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan sepanjang Sungai Huang-ho menuju ke timur. Kwi Eng yang berwatak terbuka dan tidak pemalu, dengan terang-terangan mengatakan sikap kagumnya terhadap putera ketua Cin-ling-pai ini, selalu berjalan di dekat Bun Houw dan ada saja hal yang dibicarakan, nampaknya begitu akrab dan sedikitpun Kwi Eng tidak menyembunyikan rasa tertarik dan sukanya. Di lain fihak, karena memang Kwi Eng amat cantik jelita, memiliki daya tarik yang keras, tentu saja Bun Houw juga senang sekali berdekatan dan bercakap-cakap dengan gadis ini. Kwi Beng sebagai saudara kembar memilki hubungan jiwa yang amat dekat dengan adiknya, maka tentu saja dia segera dapat merasakan debaran jantung adiknya yang mulai disentuh asmara itu. Sambil berjalan di dekat Tio Sun, Kwi Beng berbisik kepada pendekar muda itu tentang adiknya, menunjuk dengan gerakan mukanya ke depan, “Tio-twako, lihat betapa cocoknya mereka berdua... aihhh, betapa akan senang hatiku kalau saja adikku bisa menjadi jodohnya kelak...”

Kwi Beng sama sekali tidak mengira bahwa bisikannya itu sebenarnya merupakan ujung pisau berkarat yang menghujam di ulu hati Tio Sun! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa sebetulnya Tio Sun inilah yang sudah bertekuk lutut, jatuh hati kepada adiknya semenjak saat mereka saling jumpa. Tio Sun sudah jatuh cinta kepada Kwi Eng, dara jelita yang bermata lebar kebiruan dan berambut hitam agak pirang keemasan itu!

Hanya karena Tio Sun orangnya pendiam dan pemalu, maka sedikitpun tidak pernah tampak perasaan cinta itu, baik pada pandang matanya, kata-katanya maupun gerak-geriknya.


Hemmm...” Hanya begitulah Tio Sun menjawab sambil menundukkan mukanya, tidak tahan melihat betapa Kwi Eng sambil tersenyum-senyum bicara kepada Bun Houw yang jalan berendeng demikian dekatnya sehingga seolah-olah lengan mereka saling bersentuhan. Dan Bun Houw demikian gagahnya, demikian tampannya, juga memiliki kepandaian demikian tingginya. Putera ketua Cin-ling-pai pula. Seorang pemuda gagah perkasa, putera pendekar sakti yang dijunjung tinggi dan dihormati oleh semua orang kang-ouw. Sedangkan dia? Hanya putera seorang bekas pengawal miskin dan tidak terkenal. Tio Sun makin menunduk, berusaha mengusir rasa tidak enak dan sakit yang berada di rongga dadanya.


Anda sedang membaca artikel tentang Cerita ABG Silat : Dewi Maut 2 (Kho Ping Hoo) dan anda bisa menemukan artikel Cerita ABG Silat : Dewi Maut 2 (Kho Ping Hoo) ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/04/cerita-abg-silat-dewi-maut-2-kho-ping.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita ABG Silat : Dewi Maut 2 (Kho Ping Hoo) ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita ABG Silat : Dewi Maut 2 (Kho Ping Hoo) sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita ABG Silat : Dewi Maut 2 (Kho Ping Hoo) with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/04/cerita-abg-silat-dewi-maut-2-kho-ping.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar