Cersil ABG DEwasa : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Rabu, 14 Maret 2012

Cersil ABG DEwasa : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 2

Pemimpin rombongan piauwsu itu memandang dengan heran, kemudian dia dapat menduga bahwa pemuda gundul yang diakui sebagai sahabat oleh Ketua Siauw?lim?pai itu agaknya adalah seorang yang sama sekali belum mengenal keadaan dunia kang?ouw, maka dengan penuh gairah seorang yang suka bercerita dia berkata, “Dia adalah seorang wanita muda yang namanya tersohor di seluruh dunia kang?ouw selama dua tahun ini. Ilmu kepandaiannya hebat dan mengerikan, sepak terjangnya ganas sekali dan melihat betapa banyaknya tokoh?tokoh golongan putih yang menjadi korban keganasan tangannya, agaknya dia adalah seorang tokoh baru golongan hitam, sungguhpun ada pula golongan hitam yang dibasminya. Dia seorang tokoh penuh rahasia dan melihat bahwa isi peti adalah jenazah wakil Ketua Siauw-lim?pai, kami terus saja ingat kepadanya.”

“Hemm, sungguh tidak baik kalau menuduh orang tanpa bukti, siapapun juga orang itu.” Kun Liong membantah, hatinya merasa tidak rela ada orang menuduh seorang wanita muda yang melakukan pembunuhan keji terhadap Thian Le Hwesio.

“Kami tidak menuduh sembarangan!” Si Muka Hitam membantah. “Biarpun dia berpakaian seperti seorang pemuda, akan tetapi wajahnya demikian tampan dan suara serta gerak?geriknya demikian halus. Dia pasti seorang wanita muda yang menyamar.”

“Tapi bagaimana kau dapat memastikan dia itu tokoh wanita yang berjuluk Giok?hong?cu?”

“Karena Giok?hong?cu juga seorang dara muda yang cantik jelita, dan... di baju pemuda itu, di bagian dada kiri, terdapat sebuah hiasan burung hong terbuat dari batu kemala. Kabarnya, kami sendiri belum pemah bertemu dengan Giok?hong?cu, tokoh itu pun selalu menghias rambutnya dengan burung hong batu kemala, maka benda itu dijadikan julukannya karena tidak ada seorang pun tahu siapa namanya.”

Kun Liong mengerutkan alisnya makin dalam. Blarpun dia tidak yakin benar akan tuduhan ini, namun dia mencatat semua itu di dalam hatinya untuk bahan penyelidikannya kelak. Dia bertugas dan ini perintah mendiang sukongnya, untuk mendapatkan kembali dua buah benda pusaka Siauw?lim?pai yang dicuri orang. Dan karena Thian Le Hwesio tewas dalam usahanya mencari pula pusaka itu, maka agaknya pembunuh hwesio tua itu tentulah orang yang mempunyai hubungan dengan pencurian pusaka itu. Dahulu pun orang yang memimpin pencurian, yang telah melukainya, adalah seorang pemuda yang amat lihai sehingga tidak dapat tertangkap oleh tokoh?tokoh Siauw-lim?pai. Akan tetapi, pemuda itu dahulu berkedok saputangan, dan tubuhnya memang kecil namun tegap dan gagah. Menurut penuturan Ketua Siauw?lim?pai, dua orang pencuri yang tertangkap kemudian membunuh diri, mungkin sekali adalah anggauta Kwi?eng?pai di Kwi?ouw, melihat dari duri yang mereka pakai membunuh diri.

“Apakah Giok?hong?cu yang kausebut itu seorang anggauta Kwi?eng?pai?” tanyanya.

Kembali piauwsu itu kelihatan kaget dan jerih, menggeleng kepala dengan kuat. “Ah, saya rasa tidak ada hubungannya dengan Kwi?eng?pai... akan tetapi entahlah, sepanjang pendengaran kami, Giok?hong?cu selalu bergerak sendiri. Kwi?eng?pai terlalu besar untuk hanya diwakili oleh satu orang saja yang tidak pernah menyebut nama perkumpulan itu.”

Kun Liong mengangguk?angguk. “Jadi orang yang mungkin sekali menyamar Giok?hong?cu itu mendatangi Sam?to-piauwkiok di Lam?san?bun? Apakah memang dia tinggal di Lam?san?bun?”

“Yap?sicu, siapakah yang dapat mengetahui di mana tempat tinggalnya? Akan tetapi memang pada bulan?bulan terakhir ini sepak terjangnya berbekas di antara Lam?san?bun sampai ke kota raja.”

Kun Liong merasa lega mendengar keterangan ini. Biarpun dia belum yakin benar bahwa tokoh wanita terkenal itu yang membunub wakil Ketua Siauw?lim-pai, namun sedikitnya dia dapat menyelidikinya dan mencarinya antara Lam-san?bun dan kota raja.

Para piauwsu Sam?to?piauwkiok itu tidak lama berada di Siauw?lim?si. Mereka segera berpamit untuk kembali ke Lam-san?bun dan melaporkan peristiwa hebat itu kepada tiga orang pimpinan mereka. Setelah para piauwsu itu pergi, teringatlah Kun Liong akan tiga orang yang ditemuinya di warung, dan kecurigaannya bertambah. Dalam keadaan seperti pada waktu itu, setelah peristiwa hebat yang menimpa diri wakil Ketua Siauw-lim?pai, maka setiap orang yang datang ke Siauw?lim?si tentu mengandung niat yang meragukan. Siapa tahu kalau-kalau tiga orang yang dijumpainya itu, yang jelas bukanlah orang?orang biasa, adalah anak buah Kwi?eng?pai atau setidaknya mempunyai hubungan dengan pembunuh Thian Le Hwesio.

Pikiran ini mendorong Kun Liong untuk meninggalkan kuil dan menghadang di depan kuil, menanti munculnya tiga orang yang dicurigai itu. Dia tidak menanti lama, karena segera tampak olehnya tiga orang yang ditunggu?tunggu itu berlari mendaki puncak dengan gerakan cepat. Diam?diam dia terkejut juga. Dia memang tahu bahwa mereka itu adalah orang?orang berkepandaian, terutama sekali Si Pengantuk yang telah ia saksikan kelihaiannya ketika Si Pengantuk yang disebut Tio?taihiap itu menyambar cawan arak yang terlempar dan menyedot arak yang tumpah keluar kembali ke dalam cawan, membuktikan tenaga sin?kang yang amat kuat. Akan tetapi melihat tiga orang itu menaiki puncak sambil berlari sedemikian cepatnya, dia benar?benar tercengang dan kecurigaannya bertambah. Siauw-lim?pai telah kedatangan tiga orang lawan berat, pikirnya. Lebih baik dia menghalangi mereka itu di luar agar tidak mengacaukan dalam kuil di mana sedang diadakan upacara sembahyang terhadep dua jenazah dalam peti?peti mati.

Hari masih pagi di waktu itu. Kun Liong berdiri di tengah lorong kecil yang menuju ke kuil, membelakangi pintu kuil yang terbuka sebelah. Keadaan di luar kuil sunyi karena semua hwesio sibuk di sebelah dalam, melayani ketua dan para pimpinan yang melakukan sembahyangan. Dari luar terdengar bunyi liam?keng (doa) mereka dan suara ketukan?ketukan mengiringi doa sembahyang seperti nyanyian puji?puji yang penuh khidmat.

Tiga orang itu menghentikan gerakan kaki mereka dan berdiri berhadapan dengan Kun Liong. Si Pengantuk berusaha melebarkan matanya yang sipit ketika melihat Kun Liong, sedangkan Si Muka Merah dan yang seorang lagi memandang dengan penuh keheranan dan juga mereka kelihatan marah ketika mengenal bahwa yang menghadang di tengah jalan itu bukanlah seorang hwesio yang menyambut kedatangan mereka, melainkan pemuda gundul yang pernah ribut dengan Si Muka Merah di dalam warung! Kalau tadinya mereka itu sudah menghabiskan kecurigaan mereka setelah mendengar bahwa pemuda itu bukan seorang hwesio, kini mereka menjadi curiga lagi melihat pemuda itu menghadang mereka di depan pintu gerbang kuil Siauw-lim?si!

Orang she Tio yang tinggi kurus dan seperti mengantuk, sudah mendahului dua orang kawannya, maju dan menjura kepada Kun Liong sambil berkata, “Kiranya sahabat muda yang menghadang kami di sini. Harap kau orang muda suka minggir dan membiarkan kami pergi memasuki kuil Siauw?lim?si, dan kalau ada urusan dengan kami, biarlah akan kita bicarakan kelak kalau urusan kami di Siauw?lim-si sudah selesal.”

Kun Liong bersikap tenang akan tetapi dia menggeleng kepalanya. “Pada saat ini Siauw-lim?si tidak menerima kunjungan orang?orang asing. Harap Sam?wi kembali saja dari mana Sam?wi datang dan jangan memasuki kuil karena para suhu sedang sibuk.”

“Eh, eh, omongan apa ini?” Orang she Song yang bermuka merah menegur dengan suaranya yang galak. Dia memang termasuk orang yang wataknya berangasan. “Engkau bilang bahwa kau bukan seorang hwesio biarpun kepalamu gundul. Sekarang engkau menghalangi kami hendak memasuki Siauw-lim?si. Sebenarnya siapakah engkau dan apa kehendakmu terhadap kami?”

“Aku adalah seorang sahabat baik dari para pimpinan Siauw?lim?pai, karena itu aku harus mencegah kalian melakukan pengacauan di Siauw-lim?si.”

“Manusla sombong! Apakah ehgkau menantang berkelahi?” Si Muka Merah membentak.

Kun Liong menggeleng kepalanya. “Aku tidak menantang siapa pun, akan tetapi aku tidak ingin melihat orang-orang menggunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan, apalagi terhadap Siauw?lim?pai. Karena itu, harap Sam-wi (Tuan Bertiga) suka pergi lagi dan jangan mengganggu para pimpinan Siauw-lim?pai yang sedang sibuk.”

“Bocah lancang! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Manusia sombong seperti engkau layak dlhajar!” Si Muka Merah sudah mengepal tinju dan hendak menerjang maju, akan tetapi Si Pengantuk melarangnya,

“Saudara Song, jangan!”

Si Muka Merah itu mundur kembali, akan tetapi mukanya menjadi makin merah karena dia marah bukan main. Kini Si Pengantuk melangkah maju menghadapi Kun Liong dan memandang penuh selidik, kemudian berkata, “Sahabat muda, engkau dengan tegas melarang kami memasuki kuil Siauw-lim?si dan menuduh kami hendak mengadakan pengacauan. Agaknya engkau salah sangka. Kami bukan berniat melakukari kekacauan, karena itu harap engkau jangan menghalangi kami.”

Kun Liong menggeleng kepalanya. “Melihat sikap kalian, aku tidak dapat percaya dan aku menduga bahwa tentu engkau tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi, kalau engkau suka memberi tahu kepadaku apa niat kedatangan kalian bertiga, aku akan melaporkan kepada Ketua Siauw-lim?pai dan kalian menanti dulu di sini.”

Akan tetapi Si Pengantuk masih kelihatan tenang dan sabar. “Orang muda, kami memang ada urusan penting dengan Ketua Siauw?lim?pai, akan tetapi urusan ini tidak dapat kuberitahukan kepada siapapun juga.”

“Kalau begitu menyesal sekali, harap kalian suka pergi lagi saja.” Kun Liong berkata tegas.

“Kalau kami tidak mau dan hendak terus memasuki kuil?”

“Terpaksa aku mencegah kalian.”

“Orang muda, engkau menantang kami?”

“Nah, lagi?lagi aku dituduh menantang!” Kun Liong tersenyum. “Engkau ini orang tua disebut tai?hiap yang berarti pendekar besar dan dengan sendirinya tentu seorang pendekar maklum akan duduknya perkara. Sam?wi datang hendak memaksa memasuki kuil, aku sebagai seorang yang merasa pula bertanggung jawab akan keselamatan kuil Siauw-lim-si, menolak kedatangan Sam?wi dan minta agar Sam?wi pergi lagi saja, akan tetapi Sam?wi hendak memaksa. Tentu saja kalau Sam?wi memaksa aku akan mencegah. Eh, kini Sam?wi menuduh aku menantang! Benarkah pendapat seperti itu?”

Si Pengantuk she Tio berkata, kini suaranya dingin dan tegas. “Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian dan terlalu mengandalkan kepandaian itu sehingga berani bicara main?main dengan kami. Minggir dan jangan mencari perkara!”

“Kalian yang terlalu, aku tidak mau minggir.”

“Kalau begitu bersiaplah kau, orang muda. Mari kita memutuskan urusan ini dengan mengadu kepandalan.”

“Aku tidak mau berkelahi.”

Si Pengantuk tercegang dan bingung juga bagaimana harus bersikap terhadap pemuda gundul yang aneh ini. Si Muka Merah sudah membentak lagi, “Dia pengecut!”

“Aku tidak takut kepada kalian bertiga, pasti bukan pengecut,” bantah Kun Liong yang tersinggung juga disebut pengecut.

“Kalau berani, majulah!” tantang Si Muka Merah.

“Tentu saja berani, akan tetapi aku tidak suka berkelahi!”

“Eh, orang muda! Engkau bersikap menantang kami akan tetapi menyatakan tidak suka berkelahi, sebenarnya apakah maksudmu!”

“Maksudku sudah jelas, Tai?hiap. Aku minta agar kalian bertiga tidak memasuki kuil dan suka pergi dengan aman dan damai. Nah, bukankah kita tidak saling mengganggu dan urusan dapat dihabiskan sampai di sini saja?”

“Bocah sombong! Tio?taihiap, biar aku menghajarnya!” orang she Song yang bermuka merah tak dapat menahan kemarahannya lagi karena merasa bahwa pemuda gundul itu sengaja mempermainkan mereka. Teriakannya ini disusul dengan gerakan tubuhnya yang sudah menerjang maju dan mengirim pukulan tangan kanannya ke arah dada Kun Liong.

Pukulan kasar ini biarpun dilakukan dengan pengerahan sin?kang dan cepat serta keras sekali datangnya, bagi Kun Liong yang sudah dapat mengukurnya bukan merupakan serangan berbahaya. Karena itu, pemuda ini sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis, melainkan dia menerima pukulan dengan dadanya sambil mengerahkan tenaga sin?kang yang dahulu dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu.

Dengan sin?kang yang sama, Bun Hwat Tosu dahulu pernah menerima pukulan Hek?tok?ciang (Tangan Beracun Hitam) dari Ketua Ui?hong?pang tanpa terluka, bahkan Si Ketua itu sendiri yang terluka tangannya oleh pukulan sendiri yang membalik hawanya.

“Bukkkk!”

Keras sekali datangnya pukulan itu, mengenai dada Kun Liong dan membuat tubuh pemuda gundul itu terguncang, namun berkat tenaga sin?kang yang menolak dan membetot, tangan yang memukul itu meleset seolah?olah memukul karet yang amat keras dan Si Muka Merah itu meringis ketika tangannya menyeleweng dan tubuhnya terpental sampai terhuyung ke kiri! Ketika dia melihat ke arah tangan kanannya, tangannya itu telah bengkak?bengkak! Dan ketika dia melirik ke arah pemuda gundul itu, Si Pemuda masih berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.

“Hemm, tukang pukul orang! Masih ada lagikah pukulanmu yang lunak seperti tahu tadi?” Kun Liong mempermainkan Si Muka Merah yang menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya, Si Muka Merah sudah meraba punggung dan tampaklah sinar berkilauan ketika dia telah mencabut pedangnya.

“Saudara Song, jangan main senjata!” Si Pengantuk menegur.

“Sute, mundurlah!” Orang bermuka pucat she Kui yang menjadi suheng dari Si Muka Merah sudah meloncat ke depan. Gerakannya lincah, ringan dan cepat bukan main. Sekaii pandang saja, tahulah Kun Liong bahwa kepandaian Si Muka Pucat ini lebih lihai darlpada Si Muka Merah yang kasar. Begitu menyerang, Si Muka Pucat she Kui itu telah mengirm totokan halus yang cepat sekali ke arah leher dan pundak Kun Liong.

Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, namun berkat bimbingan dua orang sakti yang berilmu tinggi, pandang mata Kun Liong menjadi awas sekali. Dia maklum bahwa amat berbahayalah untuk melindungi tubuhnya dengan sin?kang seperti yang dilakukannya tadi karena kini yang menjadi sasaran serangan lawan adalah jalan darah yang lemah dan totokan lawan itu selain cepat juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat. Maka dia pun lalu menggerakkan tubuh mengelak dan begitu dia bergerak, Si Pengantuk menahan seruannya saking kagum. Gerakan Kun Liong jauh lebih cepat daripada gerakan Si Muka Pucat dan serangan bertubi?tubi yang dilanjutkan oleh orang she Kui itu selalu tak dapat berhasil, kalau tidak dielakkan tentu kena ditangkis secara tepat sekali oleh Kun Liong. Tidaklah mengherankan kalau semua serangan itu gagal karena Kun Liong sudah melindungi dirinya dengan gerakan Ilmu Silat Sakti Im?yang-sin?kun bagian pertahanan.

Si Pengantuk yang memperhatikan dengan teliti gerakan Kun Liong, terkejut menangkap dasar?dasar Ilmu Silat Siauw-lim?pai, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan pemuda itu hanya mempunyai dasar ilmu silat Siauw?lim?pai, sedangkan perkembangan dan gerakannya sama sekali tidak dia kenal! Padahal, biasanya dia boleh berbangga bahwa jarang ada ilmu silat yang tidak dikenalnya, apalagi ilmu silat yang berdasar Siauw?lim?pai.

Ketika kakek pengantuk itu melihat betapa pemuda gundul itu sama sekali tidak membalas serangan temannya, namun semua serangan temannya itu sama sekali tidak pernah berhasil tahulah dia bahwa temannya she Kui itu pun bukan lawan pemuda gundul yang amat aneh ilmu silatnya itu. Maka dengan gerakan ringan sekali seperti seekor burung terbang dia sudah meloncat ke depan, menyambar lengan temannya, menarik sambil berseru, “Mundurlah, Saudara Kui!”

Tubuh orang she Kui yang bermuka pucat itu tertarik dan melayang meninggalkan lawan. Kun Liong yang kehilangan lawan itu memandang kaget ketika melihat betapa tahu?tahu lawannya telah berganti orang, yaitu Si Pengantuk yang ia tahu amat lihai.

“Sam?wi benar?benar keras kepala dan ingin mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak sendiri!” Kun Liong mencela, namun tetap siap siaga menghadapi lawan yang ia tahu tak boleh dipandang ringan itu.

“Orang muda, engkaulah yang keras kepala. Pergilah!” Si Pengantuk sudah menyerang, akan tetapi gaya serangannya jauh berbeda dengan gerakan kedua orang temannya tadi, Si Pengantuk ini hanya menggerakkan tangan kirinya, dan ujung jari tangan kirinya melecut seperti ujung cambuk yang lemas, mengarah leher dan pundak Kun Liong.

Pemuda itu terkejut bukan main. Biarpun serangan itu kelihatannya bersahaja dan tidak sungguh?sungguh, namun kepretan tangan itu mendatangkan hawa pukulan yang panas sekali! Tentu saja dia tidak berani menerima serangan sehebat itu, maka cepat dia pun mengerahkan tenaganya ke arah tangan, menggerakkan tangan kanannya menangkis jari?jari tangan lawan itu dan dari tangannya mengepul uap putih.

“Plak! Plakkk!”

Kakek pengantuk itu mencelat mundur dengan terkejut sekali. Ternyata bahwa lengan pemuda gundul itu mampu menangkis kepretan ujung jari tangannya, padahal dia tahu benar bahwa jarang ada orang kang?ouw yang sanggup menangkisnya tanpa terdorong mundur atau terluka tangannya. Pemuda itu menangkis dengan kekuatan dahsyat dan sama sekali tidak kelihatan menderita! Bahkan tangan pemuda itu mengeluarkan uap putih yang aneh! Lagi?lagi dia tadi telah mempergunakan Pek?in?ciang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang.

Kalau lawannya terkejut dan terheran, Kun Liong juga kagum sekali ketika merasa betapa hawa tamparan ujung jari itu membuat lengannya tergetar hebat. Makin yakinlah hatinya bahwa lawannya ini benar?benar berilmu tinggi!

“Orang muda, terpaksa aku tidak boleh mengalah lagi kepadamu!” Kakek pengantuk itu berkata, kedua lengannya bergerak dan terdengarlah suara berkerotokan seolah?olah seluruh tulang-tulang lengannya patah?patah! Kun Liong yang belum berpengalaman, memandang dengan mata terbelalak dan hati ngeri karena dia dapat menduga bahwa tentu kakek itu mengeluarkan ilmunya yang mujijat.

“Omitohud... harap tahan dulu, Tio-taihiap...!”

Si Pengantuk dan Kun Liong yang sudah siap untuk bertanding mati?matian karena maklum bahwa lawan tak boleh dibuat main?main, segera melangkah mundur dan menoleh. Kiranya Thian Kek Hwesio sendiri, Ketua Siauw-lim?pai yang telah berada di situ. Melihat kakek ini, Si Pengantuk cepat menjura dengan hormat diikuti dua orang temannya dan Si Pengantuk berkata,

“Harap Thian Kek?suhu suka memaafkan kami...”

Thian Kek Hwesio memandang Kun Liong dengan terheran?heran lalu bertanya, “Yap?sicu, apakah yang telah terjadi?”

Kun Liong sudah merasa terkejut dan menyesal sekali karena ternyata bahwa tiga orang itu benar?benar mengenal Ketua Siauw-lim?pai! Dengan terus terang dia menjawab, “Karena teecu curiga kepada mereka dan mengira mereka datang untuk mengacau Siauw?lim?si, maka teecu melarang mereka memasuki kuil sehingga terjadi pertengkaran.”

Hwesio tua itu tampak kaget sekali. “Aihhh... engkau tidak tahu siapa yang kautentang ini, Sicu!” Dia kembali menghadapi Si Pengantuk dan menjura sambil berkata, “Harap Taihiap sudi memaafkan Yap?sicu yang masih amat muda. Sesungguhnya Yap?sicu berniat baik untuk membela Siauw?lim?pai. Dia adalah seorang sahabat kami yang baik... dan Yap?sicu, ketahuilah bahwa taihiap ini adalah Ban?kin?kwi Tio Hok Gwan dan Tio?taihiap ini adalah pengawal kepala yang mulia Panglima Besar The Hoo!”

Si Pengantuk yang ternyata bukan orang sembarangan itu mengangkat tangan ke atas mencegah Ketua Siauw-lim?pai itu melanjutkan perkenalan itu sambil berkata, “Losuhu, marilah kita bicara di dalam saja.” Hwesio itu mengangguk?angguk, kemudian mempersilakan mereka semua memasuki kuil. Kun Liong juga ikut masuk sambil memandang dengan penuh perhatian, diam?diam dia terkejut mendengar disebutnya nama Panglima Besar The Hoo tadi. Kiranya kakek pengantuk itu seorang yang berpangkat tinggi! Dan mendengar julukannya, Ban?kin?kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) dapat diduga bahwa kakek pengantuk itu tentu memiliki sin?kang yang amat kuat. Biarpun dia belum pernah mendengar nama Ban?kin?kwi Tio Hok Gwan, namun melihat sikap Ketua Siau-wlim?pai itu terhadap Si Pengantuk ini, dia mengerti bahwa kakek pengantuk ini tentu seorang tokoh kang?ouw yang terkenal.

Memang demikianlah, kakek berusia lima puluh tahun yang ketihatan seperti seorang pengantuk itu bukanlah seorang biasa, melainkan seorang yang amat terkenal dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nama besar Panglima The Hoo siapakah yang tidak mengenalnya? Dan pengawal panglima itu adalah Si Pengantuk ini yang merupakan pengawal paling setia, paling dipercaya oleh Panglima The dan paling lihai. Melihat orangnya memang sama sekall tidak pantas kalau dia seorang kepala pengawal yang berkedudukan tinggi, lebih patut seorang pemalas yang selalu kurang tidur! Aken tetapi, pengawal itulah yang selalu mengawal Sang Panglima ketika Panglima Besar The Hoo melakukan pelayaran memimpin armada sampai jauh menyeberangi lautan dan menjelajah di negara?negara asing.

Adapun dua orang temannya itu adalah dua orang pengawal yang menjadi anak buahnya. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan kakak beradik seperguruan yang tentu saja sudah memiliki kepandaian tinggi untuk dapat diterima menjadi pengawal?pengawal Panglima The Hoo. Si Muka Pucat itu bernama Kui Siang Han, berusia empat puluh lima tahun sedangkan sutenya, Si Muka Merah bernama Song Kin berusia empat puluh tahun.

Ketika Tio Hok Gwan dan dua orang temannya memasuki kuil dan melihat dua buah peti jenazah, dia terkejut bukan main. Apalagi ketika mendapat keterangan bahwa peti?peti itu terisi jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio!

“Ah... maafkan kami yang sama sekali tidak tahu akan hal yang menyedihkan ini dan berani datang mengganggu!” katanya dan cepat dia bersama dua orang anak buahnya lalu menyalakan hio (dupa) dan bersembahyang di depan kedua peti mati dengan penuh khidmat.

Setelah selesai sembahyang, tiga orang pengawal itu segera bertanya apa yang menyebabkan kematian dua orang tokoh Siauw-lim?pai itu. Thian Kek Hwesio memejamkan mata dan menarik napas panjang sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Omitohud... mati hidup manusia berada di tangan Tuhan, tidak ada yang harus disesalkan dalam menghadapi kematian seseorang. Akan tetapi, kalau Suhu meninggal dunia dengan wajar karena usia beliau sudah amat tua, adalah Sute Thian Le Hwesio meninggal secara menyedihkan sekali.” Dia lalu menceritakan betapa rombongan piauwsu yang tidak tahu?menahu datang membawa peti yang terisi jenazab Thian Le Hwesio yang terbunuh orang!

“Sungguh penasaran sekali!” Tio Hok Gwan berseru. “Ini merupakan tanda bahwa kaum sesat di dunia kang?ouw sudah mulai berani bergerak lagi!” Tentu saja hati pengawal ini menjadi penasaran karena semenjak Panglima The Hoo melakukan pembersihan, kaum sesat di dunia persilatan banyak yang terbasmi dan tidak berani sembarangan bergerak. Kini, wakil Ketua Siauw?lim?pai terbunuh, berarti bahwa kaum sesat agaknya sudah mulai berani unjuk gigi dan merupakan tantangan tak langsung kepada pemerintah!

Ketika diperkenalkan kepada tiga orang pengawal itu, Kun Liong lalu menjura dan berkata, “Harap Tio?taihiap bertiga suka memaafkan saya yang karena tidak mengenal telah bersikap kurang hormat.”

Orang she Tio itu memandang Kun Liong dengan mata hampir terpejam, kemudian mengangguk?angguk dan memuji, “Yap?sicu tidak usah bersikap sungkan. Kami kagum sekali melihat kegagahan Sicu, dan tidak merasa heran setelah mendengar bahwa Sicu adalah putera tunggal Yap Cong San yang kami kenal. Siauw-lim?pai boleh merasa beruntung mempunyai seorang sahabat seperti Sicu yang setia dan menjaga Siauw?lim?pai dengan gagah.”

Sebagai tamu?tamu yang dihormati, tiga orang itu dijamu makan oleh para pimpinan Siauw?lim?pai dan mereka pun tidak bersikap sungkan dan menerima undangan makan, sungguhpun hidangannya hanya terdiri dari masakan tak berdaging yang bersahaja dan minumnya hanya air dan teh tanpa setetespun arak! Kun Liong yang dianggap “keluarga sendiri” juga hadir. Setelah selesai makan, barulah Ketua Siauw-lim?pai bertanya, “Pinceng mengerti bahwa kedatangan Sam-wi tentulah membawa urusan yang amat penting. Pinceng harap Sam?wi tidak bersikap sungkan, dan biarpun di sini sedang tertimpa malapetaka, namun kami selalu siap untuk membantu Sam?wi. Maka harap Sam?wi suka menjelaskan urusan apa yang Sam?wi bawa dari kota raja.”

Tio Hok Gwan menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut menceritakan keperluan kedatangannya. Akhirnya dia berkata setelah beberapa kali meragu, “Memang benar apa yang Losuhu katakan. Kalau kami tahu bahwa di Siauw-lim?pai terjadi hal yang amat menyedihkan ini, tentulah kedatangan kami hanya khusus untuk melayat dan berkabung. Akan tetapi karena kami tidak tahu, sebaiknya kami berterus terang saja. Kami memang sedang melaksanakan tugas, Losuhu, dan kami datang sebagai utusan pribadi dari Panglima The sendiri.”

Thian Kek Hwesio cepat bangkit berdiri dan menjura penuh hormat kepada tiga orang itu, “Pinceng dan para anak murid Siauw-lim?pai siap untuk melaksanakan perintah Yang Mulia Panglima The.”

“Terima kasih atas kebaikan Losuhu. Sebetulnya tidak ada permintaan sesuatu kepada Losuhu dan Siauw?lim?pai, hanya kami diutus melakukan penyelidikan dan mengingat akan luasnya pengaruh dan hubungan Siauw-lim?pai dengan dunia kang?ouw, kami ingin mohon bantuan Siauw?lim?pai dalam hal ini.”

Thian Kek Hwesio menarik napas lega. Jelas, bahwa urusan itu tidak langsung menyangkut Siauw?lim?pai sehingga tidak akan timbul hal?hal yang tidak diinginkan. Dengan sikap ramah dia berkata, “Harap Tio?taihiap tidak bersikap sungkan dan ceritakanlah, bantuan apa yang dapat kami berikan kepada Taihiap demi terlaksananya perintah yang mulia itu.”

Tio Hok Gwan lalu bercerita dengan suara perlahan namun jelas, “Panglima The telah kehilangan sebuah pusaka, belasan tahun yang lalu dan hal ini tadinya dirahasiakan saja dan tidak dibocorkan ke luar karena telah diketahui bahwa yang mencuri dan melarikan pusaka itu adalah seorang pengawal panglima sendiri. Diam?diam panglima mengutus orang-orang kepercayaannya untuk melakukan pengejaran dan mencari pengawal yang mencuri pusaka itu. Namun semua usaha sia?sia belaka, sampai terdengar kabar bahwa pengawal yang berkhianat itu ternyata telah kehilangan pusaka yang dicurinya, dan kabarnya pusaka itu hilang tenggelam di Sungai Huang?ho. Sepuluh tahun yang lalu, pengawal khianat itu terbunuh bersama anak buahnya yang telah menjadi bajak sungai, dan pusaka itu masih belum diketahui berada di mana. Hanya ada kabar angin yang mengatakan bahwa pusaka itu telah diangkat dari dasar sungai, akan tetapi tidak seorang pun tahu siapa yang membawanya. Kemudian kami mendengar berita pula bahwa pada saat pergawal khianat dan anak buahnya tewas, di sekitar daerah itu tampak bayangan Siang?tok Mo?li. Kami masih meragukan semua berita itu dan mengingat akan pengetahuan Losuhu yang amat luas, kami sengaja datang menghadap mohon petunjuk.”

Jantung Kun Liong berdebar tegang mendengar penuturan itu. Tidak salah lagi tentu bokor emas yang dimaksudkan oleh Tio Hok Gwan ini. Dia mendengar disebutnya nama Siang?tok Mo?li, teringat dia kepada Bi Kiok yang manis!

Bi Kiok tentu sekarang telah menjadi seorang dara yang cantik manis! Dan dara itu pernah monolongnya, dua kali malah telah menolongnya. Pertama ketika bersama mendiang kakeknya, Bi Kiok menyelamatkannya dari gelombang air Sungai Huang-ho. Kedua kalinya ketika Bi Kiok membebaskannya pada waktu dia menjadi tawanan para tokoh Pek-lian?kauw dan Ketua Ui?hong?pang. Betapa manisnya anak itu! Kun Liong tak sengaja tersenyum ketika membayangkan wajah Bi Kiok.

Melihat pemuda gundul itu tersenyum-senyum, diam-diam Tio Hok Gwan melirik dengan penuh perhatian dan selidik. Sementara itu, Thian Kek Hwesio sudah berkata, “Pinceng sendiri tidak pernah mendengar akan urusan itu, Taihiap. Akan tetapi pinceng akan mengumpulkan semua anak murid dan memperingatkan mereka agar memasang mata telinga, juga bertanya?tanya di dunia kang?ouw kepada para sahabat. Tentu saja kami akan segera melapor kalau ada berita bahkan pinceng akan memerintahkan kepada para anak murid untuk membantu Taihiap mendapatkan kembali pusaka itu.”

“Terima kasih atas kebaikan hati Losuhu. Eh, Yap?sicu, agaknya Sicu mempunyai suatu pendapat yang ada hubungannya dengan urusan ini, bukan?”

Kun Liong yang sedang termenung membayangkan wajah Bi Kiok yang manis itu, terkejut mendengar teguran ini. “Ahh, saya hanya merasa heran mengapa seperti yang sering kali saya dengar, di dunia kang?ouw banyak terjadi perebutan pusaka?pusaka. Pusaka apa pula yang Taihiap ceritakan tadi? Sebuah senjatakah ataukah sebuah kitab?”

“Benar sekali pertanyaan itu, pinceng sendiri pun perlu mengetahui apa macamnya Pusaka yang hilang itu.” Thian Kek Hwesio berkata.

“Pusaka dari The?ciangkun itu adalah sebuah bokor emas kuno yang amat berharga.”

“Sebuah bokor emas...?” Thian Kek Hwesio berkata sambil mengangguk?angguk.

“Kalau hanya emas yang merupakan harta, mengapa orang-orang gagah di dunia kang?ouw sampai berebutan? Sungguh tiada bedanya dengan para perampok saja sikap ini!” Kun Liong berkata lagi, diam?diam jantungnya makin keras berdebar karena ternyata dugaannya tepat, pusaka yang dimaksudkan itu adalah bokor emas yang telah dia sembunyikan!

Tio Hok Gwan menghela napas panjang. “Agaknya engkau tidak tahu, Yap-sicu. Kalau hanya emas belaka, kiranya Panglima The tidak akan menyimpannya dan menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang berharga. Kami hanya mengharapkan bantuan Losuhu, juga bantuan Yap?sicu yang kami anggap sebagai orang sendiri sehingga kami ceritakan semua tentang pusaka.”

“Jangan khawatir, Taihiap. Setelah kami selesai dengan perkabungan kami, tentu kami akan bekerja keras membantu melakukan penyelidikan tentang bokor emas itu,” kata Thian Kek Hwesio.

“Saya pun akan berusaha membantu, Tio?taihiap. Saya akan membantu menyelidiki dan kalau saya beruntung dapat menemukan benda pusaka itu, tentu akan saya persembahkan sendiri kepada Panglima The yang mulia.”

Thio Hok Gwan menghaturkan terima kasih, kemudian bersama kedua orang pembantunya, dia segera berpamit den meninggalkan kuil yang sedang berkabung itu. Kun Liong tetap tinggal di dalam kuil, membantu persiapan yang diadakan oleh Siauw-lim?pai untuk menerima kedatangan para tamu yang tentu akan membanjiri Siauw?lim?si untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dua orang tokoh besar itu. Selain merasa berkewajiban untuk membantu, juga Kun Liong sengaja hendak menanti dengan penuh harapan ayah bundanya akan datang pula ke Siauw?lim?si. Ayahnya adalah murid Tiang Pek Hosiang dan bekas tokoh Siauw?lim?pai, dia merasa yakin ayahnya akan datang kalau mendengar akan kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio yang menjadi suhengnya. Selain mengharapkan kedatangan ayah bundanya di kuil Siauw-lim?si, juga Kun Liong ingin sekali mellhat dan bertemu dengan para tokoh kang?ouw yang diduga tentu akan datang memberi penghormatan terakhir kepada jenazah seorang tokoh besar seperti Tiang Pek Hosiang.



Kita tinggalkan dulu kuil Siauw?lim-si yang sedang berkabung dan mari kita tengok keadaan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan keluarganya yang merupakan tokoh?tokoh penting dalam cerita ini.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, lima tahun yang lalu, ketika Kun Liong berusia lima belas tahun dan dia pergi ke Cin?ling?san mencari ayah bundanya, dan hanya bertemu dengan Cia Giok Keng, puteri tunggal keluarga pendekar itu, karena pada waktu itu Cia Keng Hong den isterinya sedang turun den mereka justeru pergi ke kota Leng-kok, mengunjungi sahabat baik mereka, yaitu Yap Cong San suami isteri.

Dengan perasaan penuh harap dan gembira karena akan dapat berjumpa dengan sahabat?sahabat mereka, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, memasuki kota Leng?kok. Mereka berjalan kaki memasuki kota itu dengan wajah berseri gembira. Kalau orang melihat mereka sepintas lalu, tentu akan mengira bahwa mereka itu hanyalah dua orang pelancong biasa saja karena tidak ada apa?apa yang menonjol pada diri mereka, kecuali bahwa mereka merupakan sepasang suami isteri setengah tua yang tampan dan cantik. Cia Keng Hong sudah berusia empat puluh tahun, tampak gagah dan tampan, dengan kumis dan jenggotnya yang panjang, akan tetapi tidak terlalu panjang. Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sehelai kain kepala berwarna kuning. Tubuhnya masih tegap dan langkahnya seperti seekor harimau. Pakaiannya longgar dan sederhana, jubah yang panjang menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam yang terselip di pinggangnya. Pedang Kayu Harum ini pernah menggegerkan dunia kang?ouw belasan tahun yang lalu (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Kalau ada yang dapat menduga bahwa dia pandai ilmu silat, agakhya hanya karena sepatunya, sepatu kulit yang tinggi, kuat dan biasa dipergunakan merantau.

Isterinya, Sie Biauw Eng, masih tampak cantik jelita walaupun usianya sudah mendekati empat puluh tahun. Tubuhnya masih ramping padat, kedua pipinya belum diserang keriputan, masih halus putih dan agak kemerahan karena sehari itu dia berjalan kaki sampai jauh. Juga nyonya cantik ini tidak kelihatan membawa senjata. Siapa yang akan menyangka bahwa sabuk sutera putih yang dengan indahnya membelit pinggang ramping itu merupakan senjata maut yang belasan tahun lalu menimbulkan kengerian di dalam hati setiap orang lawan? Pakaiannya juga sederhana namun bersih dan tidak dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang matang dan padat itu. Seperti suaminya, dia pun memakai sepatu kulit yang tinggi.

Biarpun kenyataan bahwa suami isteri ini melakukan perjalanan jauh berdua saja sudah menimbulkan dugaan bahwa mereka bukanlah orang?orang lemah, namun kiranya tidak akan ada orang yang pernah mimpi bahwa pria itu adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang lebih terkenal dengan julukan yang diberikan karena pedangnya, yaitu Siang-bhok?kiam. Dan siapa yang akan mengira bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri dan bibirnya selalu tersenyum itu adalah Sie Biauw Eng, yang di waktu masih gadis dahulu berjuluk Song-bun Siu?li (Dara Cantik Berkabung)? Nama julukan yang amat terkenal di kalangan kaum sesat?

Pada waktu itu, kiranya tidak ada tokoh kang?ouw atau datuk kaum sesat yang lebih terkenal daripada Siang?bhok-kiam Cia Keng Hong dan isterinya, Song-bun Siu?li Sie Biauw Eng. Bahkan Cinling?pai yang sebetulnya hanya sekumpulan penduduk dusun pegunungan, karena diketuai dan dipimpin oleh Cia Keng Hong, menjadi amat terkenal dan disegani dunia kang?ouw.

Sambil menoleh ke kanan kiri memandangi bangunan?bangunan di dalam kota Leng?kok, Sie Biauw Eng berkata, “Aihhh, sungguh banyak kemajuan terjadi di dalam kota ini. Hampir aku tidak mengenalnya lagi, padahal baru beberapa tahun kita tidak melihat Leng?kok.”

Cia Keng Hong tersenyum, “Kaukira baru berapa tahun? Jangan mimpi, sudah lima belas tahun kita tidak pernah ke sini dan lima belas tahun bukanlah waktu singkat, tentu saja banyak terjadi perubahan.”

“Hemmm, waktu berlalu dengan cepat sekali, tanpa terasa belasan tahun telah lewat! Betapapun juga, kemajuan di Leng?kok mengagumkan dan aku yakin bahwa jasa Cong San dan Yan Cu dalam kota ini tidaklah kecil.”

“Tentu saja! Mereka merupakan tabib-tabib yang terkenal di sini, agaknya tentu tidak ada seorang pun penduduk yang belum pernah mereka tolong. Kuharap saja putera mereka mewarisi kegagahan ayah bundanya sehingga tidak akan mengecewakan hati kita.”

“Hem, mengapa kita akan kecewa andaikata anak mereka itu tidak seperti yang kita harapkan?” Sie Biauw Eng bertanya, “Anak itu bukanlah kita, dan harapan kita belum tentu sama dengan harapan orang tuanya. Apa yang kita anggap tidak baik, belum tentu dianggap buruk pula oleh orang lain.”

“Wah, isteriku yang baik, lagi?lagi engkau berfilsafat!” Keng Hong menggoda.

“Bukan filsafat. Kau tahu bahwa aku tidak suka akan filsafat muluk?muluk yang hanya menjadi permainan kata?kata kosong belaka. Yang kukatakan tadi adalah kenyataan. Telah menjadi kesalahan kita pada umumnya bahwa kita selalu digoda harapan?harapan akan sesuatu, ingin melihat sesuatu sesuai dengan yang kita kehendaki. Inilah salahnya maka seringkali kita mengalami puas dan kecewa. Kita tidak dapat menerima apa adanya sehingga tidak pernah tenang. Anak Cong San itu... eh, siapa namanya...?”

“Yap Kun Liong, masa kau lupa lagi?”

“Oya, Kun Liong, seperti apa pun dia, kita harus dapat menerima dan melihat dia seperti keadaannya, bebas dari prasangka dan harapan kosong.”

“Ah, mana mungkin begitu, isteriku? Dia bukan orang lain, dia calon mantu kita...”

“Hemm, belum juga melihat orangnya, bagaimana sudah hendak memastikan bahwa dia calon jodoh Giok Keng? Kita harus melihatnya dulu, apa sekiranya cocok kalau dijodohkan dengan anak kita. Selain itu, kita pun harus menanyakan pendapat dua orang anak yang bersangkutan itu pula.”

“Hemmm... hemmm...”

“Hemm?hemm apa maksudmu?” Biauw Eng memandang suaminya.

“Kalau kau terlalu memanjakan Keng-ji, bahkan dalam soal perjodohan, engkau hanya akan merusak hidupnya...”

“Ehh! Apakah yang kaukatakan ini? Mari kita bicarakan hal ini dulu sebelum kita bertemu Cong San dan Yan Cu.”

“Sudahlah, isteriku. Perlukah kita bertengkar setelah tiba di tempat ini? Kita bicarakan urusan jodoh perlahan?lahan...”

“Tidak bisa! Harus sekarang kita bicarakan lebih dulu. Aku mau ketegasan dalam hal ini, itu di sana ada warung, kita berhenti dulu di sana!”

“Tenanglah... ingat akan kandunganmu...” Keng Hong memperingatkan.

“Engkau sih yang bicara tidak beres. Hal ini tidak ada sangkut?pautnya dengan ini... apalagi baru dua bulan... ah, semua gara?gara engkau!”



Mereka memasuki warung dan memilih tempat duduk di sudut, jauh dari tamu lainnya. Setelah hidangan yang mereka pesan disediakan, mereka bicara bisik-bisik namun kelihatan serius sekali.

“Semua salahmu! Sampai bingung memikirkan bagaimana harus memberitahukan Giok Keng! Dia sudah lima belas tahun dan... akan mempunyai adik! Betapa terlambatnya! Dan aku sudah tua! Salahmu...!” Suara Biauw Eng mengandung isak tertahan.

“Hishhh! Kenapa hanya aku saja yang salah? Bukankah hal ini akibat perbuatan kita berdua? Sudahlah, isteriku. Perlukah hal seperti ini dibuat cekcok? Engkau masih muda! Siapa bilang engkau sudah tua? Engkau masih patut mempunyai anak lima orang lagi!”

“Ngacau...!” Blauw Eng membentak dan mendelik, akan tetapi melihat suaminya yang tercinta itu tersenyum?senyum, perlahan-lahan kemarahannya mereda dan kedua pipinya menjadi merah.

“Tidak perlu kau bingung, Keng?ji tentu akan menari kegirangan kalau mendengar akan mempunyai seorang adik yang sudah bertahun?tahun diinginkannya.”

“Sebetulnya aku pun tidak hendak membicarakan hal kandungan. Aku sudah menerimanya sebagai anugerah Tuhan, akan tetapi engkau sih, membawa?bawa dalam persoalan perjodohan Giok Keng. Apakah engkau akan berkeras kepala mengambil keputusan tentang perjodohan anak kita tanpa mempedulikan perasaan hatinya sendiri?”

Keng Hong menarik napas panjang. “Isteriku, Giok Keng masih kanak?kanak, mana mungkin dia mempunyai pendapat tentang jodoh? Kita adalah ayah bundanya, andaikata aku salah pilih, kiranya engkau tidak akan membiarkan saja. Pilihan kita tentu telah kita pikirkan masak?masak, dan kita tujukan semata demi kebahagiaan anak kita.”

“Aku percaya, akan tetapi harus kita sadari bahwa pendapat kita belum tentu sama dengan pendapat Giok Keng. Pemuda yang kita anggap baik belum tentu menyenangkan hatinya. Suamiku, mengapa kau tidak bersikap bijaksana dalam hal ini? Ingatlah akan riwayat kita sendiri. Perjodohan tidak boleh dipaksakan. Perjodohan harus terjadi atas dasar dorongan hasrat kedua orang anak yang hendak berjodoh itu sendiri. Perjodohan bukan hal main?main, melainkan dilakukan satu kali untuk selama hidup. Sekali salah pilih, akan menderita selamanya.”

“Nah, itulah! Karena tidak ingin anak kita salah pilih, sebaiknya kita yang memilihkan, dan kurasa anak suami isteri seperti Cong San dan Yan Cu tentulah baik!”

“Betapapun juga, biarkan dia memilih sendiri.”

“Kalau dia yang masih hijau dan bodoh itu salah pilih?”

“Kewajiban kita untuk turun tangan menyadarkannya!”

“Hemm, aku tetap ingin berbesan dengan Cong San.”

“Mungkin saja, kalau Keng?ji cocok dan suka kepada Kun Liong. Mengapa engkau bingung seperti kucing hendak bertelur? Kalau memang sudah jodoh, apa yang dikhawatirkan kelak tidak akan
bertemu?”

Keng Hong merengut. “Gila kau! Masa aku disamakan kucing hendak bertelur? Mana ada kucing bisa bertelur?”

Biauw Eng tertawa, girang dapat membalas dan membikin suaminya marah.

“Karena bingungnya, kau seperti kucing hendak bertelur! Soal jodoh kita bicarakan nanti kalau semua pihak sudah setuju. Mengapa tergesa?gesa? Bukankah kedatangan kita ini untuk mengunjungi mereka dan sekalian melihat bagaimana macamnya putera mereka itu?”

“Ya, sudahlah, asal engkau jangan berkokok ribut seperti ayam hendak beranak!”

“Hehh? Mana ada ayam beranak...? Wah, engkau membalas, ya?” Biauw Eng mencubit lengan suaminya dan keduanya tertawa. Dalam keadaan seperti itu, suami isteri itu masih seperti ketika mereka berbulan madu dahulu! Dan memang demikianlah cinta kasih antara suami isteri yang benar-benar saling mencinta. Tidak ada usia tua, tidak ada keriput, tidak ada uban, tidak ada dan tidak pernah ada istilah buruk bagi mereka yang saling mencinta!

“Husshhh! Malu dilihat orang! Dan kalau tiba?tiba Cong San dan Yan Cu muncul dan melihat kita bukan langsung ke rumah mereka melainkan bersendau-gurau di warung arak, bisa kita dicap sombong!” Keng Hong segera membayar harga makanan, kemudian mereka bergegas keluar dari warung dan langsung menuju ke rumah Yap Cong San yang di kota itu terkenal sebagai Yap?sinshe (Tabib Yap).

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka mendengar bahwa suami isteri sahabat baik mereka itu telah kurang lebih lima tahun meninggalkan Leng?kok tanpa pamit dan tak seorang pun mengetahui ke mana mereka pergi.

“Ji?wi (Kalian Berdua) sudah lama sekali terlambat. Yap-sinshe dan isterinya, juga puteranya, telah bertahun?tahun pergi.”

“Mengapa? Apa yang terjadi?” Keng Hong bertanya, masih dicekam keheranan.

“Mereka... melarikan diri...” Seorang kakek bekas tetangga Yap?sinshe menjelaskan.

“Tidak mungkin!” Biauw Eng berseru. “Mereka bukanlah orang?orang pengecut yang melarikan diri begitu saja! Siapa yang mereka takutkan?”

“Mereka menjadi orang?orang buruan pemerintah.”

“Ehhh...?” Keng Hong segera memegang tangan kakek itu dan berbisik, “Harap Loheng sudi menceritakan kepada kami.”

Kakek itu mengangguk. “Marilah, mari singgah di rumahku dan nanti kuceritakan kepada Ji-wi.”

Dengan hati berdebar penuh kekhawatiran, Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti kakek itu memasuki rumahnya yang sederhana dan miskin. Setelah mereka dipersilakan duduk dan disuguhi air teh, kakek itu lalu bercerita tentang kesalahan Yap?sinshe tidak berhasil mengobati para perwira yang terluka sehingga ditangkap dan kemudian bersama isterinya, Yap?sinshe melarikan diri dari tahanan dan menjadi orang buruan.

“Mengapa tidak berhasil mengobati sampai ditangkap?” Keng Hong bertanya.

Kakek itu menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya. “Aku tidak tahu, akan tetapi agaknya sudah pasti sekali Yap?sinshe bentrok dengan Pembesar Ma, kepala daerah di Leng-kok ini. Apa sebabnya aku tidak tahu, dan agaknya tidak ada orang yang tahu kecuali mereka sendiri.”

“Dan puteranya? Ke mana perginya putera mereka, Yap Kun Liong?”

“Ahhh, Yap?kongcu sudah lebih dulu pergi sebelum ayahnya ditangkap. Entah ke mana. Sampai sekarang mereka bertiga tidak pernah muncul. Bahkan ketika kakek Liok Siu Hok meninggal dunia dua minggu yang lalu, mereka tidak muncul.” Keng Hong dan isterinya teringat bahwa Kakek Liok Siu Hok adalah paman tua dari Cong San, satu?satunya keluarga sahabat mereka itu yang tinggal, karena itu, agak aneh kalau sampai Cong San seanak isteri tidak muncul ketika kakek itu meninggal dunia.

“Bagaimana matinya?”

“Mati tua... dan agaknya karena duka. Kasihan kakek itu tidak mempunyai keluarga lagi, mati dalam kesunyian.”

Keng Hong dan isterinya menghaturkan terima kasih, lalu keluar dari rumah kakek itu. “Ke mana kita harus mencari mereka?” katanya dengan suara kecewa.

“Tiada gunanya dicari kalau mereka itu melarikan diri. Kalau mereka ingin berjumpa dengan kita, tentu mereka yang akan datang mengunjungi Cin?ling?san.”

“Benar kata-katamu. Kalau begitu kita pulang saja.”

“Tidak, aku masih belum puas. Aku harus mengerti duduknya perkara ini dan memaksa dia mengaku!” kata Biauw Eng gemas.

“Dia? Siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan pembesar jahat she Ma itu!”

“Wah?wah! Isteriku, ingat, kita bukan orang muda petualang seperti dahulu lagi! Kita adalah pemimpin Cin?ling?pai dan orang she Ma itu adalah orangnya pemerintah! Apa kau ingin dicap pemberontak?”

“Serahkan saja kepadaku. Mari ikut!”

“Eh, ke mana?” Keng Hong tak berdaya menghadapi isterinya yang ia tahu sedang marah dan penasaran itu!

“Ke gedung Kepala Daerah!”

Keng Hong tidak membantah dan diam?diam ia gembira melihat betapa isterinya sama sekali belum berubah, masih seperti Song?bun Siu?1i dia dahulu, dara cantik jelita yang kadang?kadang disebut dewi akan tetapi adakalanya disebut iblis betina yang ganas! Isterinya ini, biarpun usianya sudah tiga puluh tujuh lebih, ibarat gunung berapi belum kehilangan kawahnya, bagaikan merica belum kehilangan pedasnya, dan bagaikan bunga mawar harum belum kehilangan durinya! Tanpa disadarinya, mulut Cia Keng Hong tersenyum?senyum dan dia tidak tahu betapa isterinya mengerling kepadanya dan mengerutkan alis penuh curiga ketika melihat senyumnya. Tiba-tiba Biauw Eng berhenti melangkah.

“Mengapa kau mesam?mesem? Mentertawakan aku, ya?”

“Wah, tidak! Aku hanya...”

“Hanya apa...?”

“Kasihan kepada Ma?taijin!”

“Huh! Lihat saja nanti, si keparat itu!”

Waktu itu hari telah sore dan kantor pembesar kepala daerah sudah lama ditutup. Pembesar Ma sedang beristirahat di dalam kamar seorang di antara selirnya, tidur nyenyak kelelahan. Semalam pembesar ini kurang tidur, menjamu beberapa orang tamu rahasia yang kini masih berada di dalam gedungnya dan juga beristirahat di dalam kamar?kamar tamu yang disediakan untuk mereka.

Ketika Keng Hong dan isterinya tiba di halaman gedung pembesar Ma, tentu saja mereka dihadang oleh para penjaga. Akan tetapi kepala penjaga bersikap hormat ketika melihat sikap suami isteri itu yang tenang dan gagah. Dia menjura dan bertanya, “Ada keperluan apakah Ji?wi (Anda Berdua) datang ke sini? Tanpa ijin, siapa pun dilarang memasuki halaman ini.”

Pada waktu itu, Biauw Eng masih marah dan penasaran sekali mengingat akan nasib Yap Cong San dan isterinya, akan tetapi dia masih ingat akan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin?ling-pai maka dia menahan diri dan tidak terlalu ringan tangan seperti wataknya ketika masih gadis dahulu. Akan tetapi suaranya ketus dan dingin ketika dia berkata, “Laporkan kepada Ma?taijin bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengannya!”

Kepala penjaga mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang mendengar suara ketus dan melihat sikap yang amat tidak menghormat terhadap Ma?taijin itu, maka dia menjawab, “Tidak mungkin begitu mudah. Siapa pun yang hendak menghadap, harus lebih dulu mengajukan permohonan disertai keterangan nama, tempat tinggal dan keperluannya. Pula, permintaan itu baru bisa diajukan besok pagi karena sekarang kantor sudah tutup dan Taijin sedang beristirahat, tidak boleh diganggu.”

“Apa kaubilang?” Biauw Eng menudingkan telunjuknya ke arah muka kepala penjaga itu. “Apa kaukira tanpa laporanmu kami tidak bisa menemui orang she Ma itu?”

Para penjaga terkejut dan delapan orang penjaga sudah datang mendekat dan siap untuk menghadapi suami isteri itu. Akan tetapi Keng Hong cepat menjura dan berkata halus, “Harap kalian suka melaporkan kepada Ma?taijin bahwa Cia Keng Hong dan isterinya mohon bertemu dan bicara dengan Ma?taijin.”

Akan tetapi para penjaga itu tidak mengenal nama ini. Biarpun nama ini amat terkenal, akan tetapi tentu saja yang mengenalnya hanyalah tokoh?tokoh kang?ouw saja dan tidak sembarangan orang seperti para penjaga itu mengenalnya. Karena itu, disebutnya nama ini sama sekali tidak ada artinya bagi mereka.

“Siapapun adanya Ji?wi, tanpa surat ijin khusus, tak berani kami mengganggu Taijin, dan sebaliknya Ji?wi segera pergi dan jangan membikin ribut di sini. Kami masih bersikap sabar, kalau sampai para pengawal tahu, tentu Ji?wi akan mendapat susah. Kalau Ji-wi ada urusan penting dengan Taijin, harap besok pagi saja mengajukan surat permobonan menghadap.”

“Keparat! Kalau begini kami tidak perlu dengan kalian!” Blauw Eng sudah tidak sabar lagi, langsung dia melangkah ke depan, sama sekali tidak mempedulikan para penjaga yang menghadang di depannya.

DELAPAN orang itu tentu saja agak segan untuk menyerang seorang wanita, maka mereka hanya berdiri menghadang dan menghalangi di depan Biauw Eng sambil melintangkan tombak dan golok di tangan.

“Pergi!” Biauw Eng membentak dan terdengar suara senjata?senjata itu terlempar disusul tubuh delapan orang penjaga itu terpelanting ke kanan kiri. Mereka berteriak kaget dan marah. Ketika mereka cepat melompat bangun lagi dan siap menerjang, mereka terbelalak melihat Keng Hong sudah berdiri tegak di depan mereka. Pendekar ini menyambar sebatang golok yang tadi terlempar, kemudian sambil memandang mereka dengan senyum di bibir, kedua tangannya mematah?matahkan golok itu sedemikian mudahnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat demonstrasi kehebatan kedua tangan ini delapan orang itu terbelalak dengan muka pucat, kedua kaki mereka mundur?mundur dan tak seorang pun di antara mereka berani menerjang ke depan.

“Anjing?aniing pengacau dari mana berani membikin ribut di sini?” Bentakan ini disusul munculnya tiga orang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bersikap garang. Melihat munculnya tiga orang pengawal yang terkenal jagoan ini, delapan orang penjaga itu berbesar hati. Kepala penjaga segera berkata, “Mereka memukul kami, mereka hendak membunuh Taijin,”

Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng marah sekali, sedangkan tiga orang pengawal itu terkejut bukan main. Tampak sinar berkilat ketika mereka mencabut pedang dan meloncat ke depan menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng. Karena khawatir kalau?kalau isterinya tidak mampu mengendalikan diri dan membunuh alat pemerintah, Keng Hong sudah mendahului isterinya, melangkah ke depan, mendorongkan tangan kirinya ke arah tiga orang pengawal yang menerjang maju itu sambil membentak, “Mundur kalian!”

Tentu saja tiga orang pengawal itu tidak mempedulikan bentakan ini dan sama sekali tidak peduli akan dorongan tangan Keng Hong, akan tetapi segera mereka itu berteriak kaget ketika merasa betapa tubuh mereka terdorong oleh angin yang amat dahsyat, yang membuat mereka tidak mampu mempertahankan diri dan terjengkang ke belakang! Ketika mereka merangkak bangun dan memandang, ternyata kedua orang suami isteri itu telah lenyap.

“Heii, ke mana mereka...?” tanya mereka.

“Celaka... mereka memasuki gedung...” jawab para penjaga yang tadi hanya memandang dengan mata terbelalak.

“Hayo kejar...!” Berbondong mereka mengejar ke dalam gedung dan seorang di antara para perigawal sudah membunyikan kentungan tanda bahaya, memanggil berkumpul semua pengawal dan penjaga.

Keng Hong dan Biauw Eng memang telah berlari memasuki gedung, tidak rnau membuang waktu melayani para penjaga dan pengawal. Biauw Eng menangkap seorang pelayan wanita yang berlari ketakutan, menjambak rambutnya, dan menghardik, “Lekas katakan di mana kamar Taijin!” Jari?jari tangan Biauw Eng sengaja mencengkeram pundak pelayan itu yang merasa nyeri bukan main, sampai mukanya yang pucat mengeluarkan peluh dingin. Akan tetapi saking takutnya dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya menudingkan telunjuknya ke arah kamar besar di dekat ruangan tengah. Biauw Eng melepaskan tubuh pelayan itu yang mendeprok berlutut dan tidak mampu bergerak lagi saking takutnya, hanya menangis di atas lantai tak berani mengangkat muka.

Ketika Biauw Eng dan Keng Hong tiba di depan pintu kamar itu, Keng Hong berbisik, “Isteriku, jangan membunuh orang...”

Biauw Eng mengangguk lalu menggunakan kakinya menendang daun pintu. “Brakkk!” daun pintu jebol dan tampaklah seorang laki?laki tua, berusia hampir enam puluh tahun berdiri dengan mata terbelalak marah. Seorang wanita muda dan cantik dengan pakaian tidak lengkap menjerit kecil dan cepat bersembunyi di atas pembaringan, di bawah selimut. Kakek itu sudah berpakaian lengkap, agaknya tadi terkejut mendengar kentungan tanda bahaya. Dia adalah Ma-taijin yang tentu saja menjadi marah sekali, terganggu dari istirahatnya yang asyik bersama selirnya.

“Apa ini? Siapa kalian berani kurang ajar? Pengawal! Tangkap mereka...!” Mataijin berseru marah.

Biauw Eng sudah melangkah masuk kamar. “Apakah engkau Ma?taijin?” tanyanya.

Pembesar itu mengangkat muka membusungkan dada. “Sudah tahu aku Ma-taijin, hayo lekas berlutut minta ampun!”

“Manusia rendah!” Biauw Eng telah menyambar sehelai sabuk merah, agaknya sabuk milik wanita muda selir pembesar itu yang tadi ditanggalkan dan mungkin dalam keadaan tergesa dilempar begitu saja di atas lantai! Sekali tangan nyonya perkasa ini bergerak, tampak sinar merah berkelebat kemudian bergulung-gulung dan ujung sabuk telah menjerat leher Ma-taijin. Begitu sabuk ditarik dengan sentakan mendadak, pembesar itu berteriak dan roboh menelungkup di atas lantai. Karena sabuk yang menjerat lehernya itu ditarik terus oleh Biauw Eng, terpaksa pembesar itu merangkak dan terseret sampai ke depan kaki Biauw Eng.

“Hayo katakan, apa yang telah kaulakukan lima tahun yang lalu terhadap Yap?sin?she dan isterinya!” Biauw Eng membentak. Dia sengaja menarik ujung sabuk merah sehingga libatan yang mencekik leher makin ketat, membuat pembesar itu hampir mendelik dan napasnya terengah?engah.

“Yap?sinshe... dia... dia dan isterinya... pemberontak...!” katanya dengan kedua tangan sia?sia mencoba melepaskan libatan yang mencekik leher.

Biauw Eng menarik ujung sabuk. “Uukhhh!” Pembesar itu terengah, lidahnya terjulur ke luar.

“Tidak mungkin! Kalau engkau tidak berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, mereka tentu tidak akan memberontak! Mereka tidak berhasil menyembuhkan para pengawalmu, mengapa hal itu kausalahkan? Mereka bukanlah dewa atau iblis yang berkuasa atas kesembuhan atau kematian seseorang!”

“Am... ampun, Li?hiap...” Pembesar itu terpaksa mengeluh karena libatan pada lehernya makin mencekik erat.

“Orang macam engkau ini sepatutnya dikirim ke neraka! Akan tetapi mengingat bahwa engkau hanya seorang pejabat rendahan saja, biarlah kuberi peringatan!” Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengebutkan ujung sabuk merah itu ke arah telinga Ma?taijin.

“Prettt... aduuuuhhh...!” Ma?taijin bergulingan mendekap pinggir kepalanya sebelah kanan yang bercucuran darah karena daun telinganya telah hancur dan lenyap terpukul ujung sabuk merah tadi. Bukan main nyeri rasanya sampai menusuk jantung, pandang matanya berkunang dan ubun?ubun kepala rasanya berdenyut seperti hendak pecah. Dia merintih?rintih sedangkan selirnya sudah roboh pingsan di bawah selimut.

“Sebagai peringatan, kuambil telingamu. Kalau aku mendengar lagi kau masih berlaku sewenang?wenang mengandalkan kedudukanmu, aku akan datang dan mengambil kepalamu!”

“Tar?tar?tarrr...!!”

Biauw Eng maklum bahwa ada orang menyerangnya dari belakang dengan senjata lemas. Dia sendiri seorang ahli cambuk, maka tahulah dia bahwa penyerangnya menggunakan cambuk dan memiliki tenaga kuat, maka cepat dia menggerakkan tangannya dan gulungan sinar merah dari sabuk sutera melayang ke atas kepalanya, meluncur ke belakang dan menyambut datangnya sinar putih yang menyambar ke arah kepalanya dengan bunyi meledak?ledak tadi.

“Tarrr... bretttt!!” Biauw Eng meloncat ke samping dan memandang dengan kaget. Sabuk merah di tangannya telah hancur ujungnya bertemu dengan ujung cambuk penyerangnya dan kini dia melihat betapa ujung cambuk putih itu seperti seekor ular hidup melayang ke arah pinggang Ma?taijin dan di lain saat tubuh Ma?taijin telah melayang ke arah penyerangnya tadi dan diterima dengan tangan kiri yang amat besar dan kuat, disusul suaranya yang nyaring akan tetapi terdengar asing dan kaku, “Ma?taijin harap mundur dan mengobati lukanya, biarlah saya menghadapi dua orang penjahat ini.”

Keng Hong dan Biauw Eng memandang orang itu dengan mata terbelalak penuh kaget dan keheranan. Kiranya telah datang tiga orang di dalam kamar itu. Dua orang di kanan kiri adalah kakek?kakek berusia enam puluh tahun dan pakaian mereka sederhana, memandang tak acuh. Akan tetapi orang yang berdiri di tengah dan yang memegang cambuk putih itu yang amat mengherankan kedua suami isteri itu. Biarpun mereka adalah tokoh?tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan Cia Keng Hong terkenal sebagai datuk muda yang belum dapat dicari tandingannya, namun dia sendiri belum pernah bertemu dengan seorang manusia yang seaneh pemegang cambuk itu sehingga dia sendiri pun sampai bengong terlongong!

Orangnya tinggi besar ukuran raksasa. Keng Hong yang berawak sedang itu hanya setinggi pundaknya. Tubuh orang itu besar dan perutnya berbentuk seperti gentong. Punggung tangannya penuh bulu kuning yang panjang?panjang seperti tangan monyet. Kepalanya botak kelimis di bagian atasnya, akan tetapi di bagian bawah sekeliling kepala tumbuh rambut yang warnanya amat luar biasa, seperti uban putih akan tetapi bercampur kuning emas berombak indah sekali, seolah?olah bukan rambut melainkan benang?benang perak dan emas ditempelkan di sekeliling kepala. Demikian pula kumis dan jenggotnya, biarpun ada yang agak gelap warnanya, tetap saja bercampur dengan warna kuning emas dan putih, juga alis matanya. Alisnya tebal, matanya lebar sekali dan mata itu bukan seperti mata biasa, karena maniknya bukan hitam melainkan biru! Biru laut! Selama hidupnya, baru satu kali itulah Keng Hong dan Biauw Eng melihat orang dengan mata yang berwarna biru laut! Hidungnya amat panjang, bukan mancung lagi namanya, bibir yang sebagian tertutup kumis itu terbentuk manis seperti bibir wanita, benar?benar seorang laki?laki yang amat aneh dan sukar ditaksir usianya. Akan tetapi pakaiannya lebih aneh lagi! Sepatu kulitnya mengkilap dan tinggi sampai ke bawah lutut. Celananya sempit dan membungkus ketat tubuh bawahnya sehingga memandangnya saja membuat wajah Biauw Eng menjadi merah. Betapa tidak sopannya, pikir pendekar wanita itu. Pakaian bagian atasnya yang aneh. Di sebelah dalam merupakan baju pendek yang berkancing emas. Di bagian luar tertutup oleh jubah lebar dan panjang sampai ke lutut, berlengan panjang pula, dengan saku?saku yang besar, akan tetapi lucunya, bagian depan jubah ini terbuka sama sekali dan lehernya diikat dengan sehelai kain seperti kapas.

Keng Hong dan Biauw Eng saling pandang. Mereka pernah mendengar dongeng bahwa di beberapa tempat sebelah selatan orang?orang geger mengabarkan adanya seorang manusia asing yang aneh, yang kabarnya datang dari tempat yang amat jauh dari seberang lautan, manusia “biadab” yang pakaiannya aneh?aneh, rambutnya ada yang putih, ada yang kuning dan ada pula yang coklat atau biru, matanya juga bermacam?macam warnanya, akan tetapi tadinya mereka menganggap kabar itu kosong dan seperti dongeng tentang iblis dan setan saja untuk menakuti anak-anak atau orang yang penakut. Akan tetapi kini mereka berhadapan dongan seorang yang bahkan keanehannya jauh melampaui dongeng yang pernah mereka dengar

Laki?laki asing itu memandang Keng Hong dan Biauw Eng dengan sinar mata penuh selidik kemudian terdengar dia bertanya, “Siapakah Anda berdua yang berani mati mengganggu seorang pembesar pemerintah?”

Keng Hong mewakili isterinya, melangkah maju dan menjawab, “Kami tidak mengganggu seorang pembesar, karena urusan kami tidak ada hubungannya dengan pemerintah, melainkan urusan pribadi. Orang she Ma itu telah berlaku sewenang?wenang terhadap saudara kami, karena itu kami perlu memberi hajaran agar dia lain kali tidak lagi berani mengandalkan kedudukannya dan bertindak sewenang?wenang. Kami tidak ada urusan dengan kalian.”

Sepasang mata biru itu berkilat dan wajah yang kemerahan itu berseri. “Hemm, sepasang pendekar, ya? Bagus sekali, ingin kami berkenalan dengan kalian!”

Karena ucapan itu dikeluarkan dengan lidah asing, maka Biauw Eng sudah salah menduga. Dalam istilah kang?ouw, kalau dua orang berkepandaian tinggi berhadapan, maka kata?kata “berkenalan” dapat juga diartikan tantangan mengadu kepandaian, karena yang akan dikenal bukan orangnya melainkan ilmunya. Maka dia sudah membentak, “Iblis bermata biru! Siapa takut menghadapi tantanganmu?”

Akan tetapi Keng Hong yang sudah melihat pembesar she Ma yang menjadi biangkeladi malapetaka yang menimpa keluarga Yap Cong San telah dihukum olch isterinya, tidak menghendaki urusan berlarut?larut dan timbul permusuhan antara mereka berdua dengan pemerintah, telah menggandeng tangan isterinya dan berkata “Mari kita pergi dari sini!”

Biauw Eng sadar kembali ketika merasa tangan suaminya menggandengnya. Dia menekan kemarahannya dan tidak membantah. Sambil bergandeng tangan suami isteri ini melangkah ke luar dari dalam kamar itu, tidak mempedulikan tiga orang itu dan para pengawal yang berkerumun di luar kamar.

“Eh?eh, sahabat gagah... tunggu dulu!” Suara asing itu berseru dan tangannya diulurkan ke depan seperti hendak mencegah suami isteri itu pergi.

Biarpun gerakan ini biasa saja, namun diam?diam Biauw Eng dan Keng Hong terkejut juga karena ada sambaran angin yang dahsyat dari tangan itu! Namun angin pukulan ini bukan merupakan serangan, melainkan lebih merupakan “ujian” karena tangan itu tidak menampar atau memukul, melainkan mencengkeram untuk memegang lengan Keng Hong. Karena itu, pendekar sakti ini pun tidak mau balas menyerang hanya menggoyang tangannya seperti menolak dan berkata,

“Kami tidak ada waktu untuk melayani Tuan!”

“Plak! Plakk!”

Biarpun kedua tangan itu tidak saling sentuh, namun pertemuan dua hawa pukulan di antara kedua telapak tangan itu mengeluarkan bunyi nyaring dan orang asing botak itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya terpental dan terasa panas. Ia berdiri bengong memandang suami isteri yang terus melangkah ke luar itu, terheran?heran dan akhirnya membentak teman?temannya yang sudah bergerak mengejar, “Biarkan mereka pergi, jangan ganggu!”

Dua orang temannya menghentikan gerakan kaki mereka, kembali kepada orang asing botak dengan mata memandang penuh pertanyaan. Si Botak ini menghela napas panjang, menggelenggeleng kepalanya dan mengomel, “Hebat...! Semuda itu sudah demikian hebat tenaganya...! Aihhh, ternyata benar cerita guruku bahwa bagian dunia ini penuh dengan orang?orang yang berkepandaian tinggi.” Kemudian dia menoleh kepada dua orang temannya tadi dan berkata, “Amat keliru kalau kita mulai pekerjaan kita dengan menanam permusuhan dengan orang?orang pandai seperti mereka. Tugas kita bahkan harus mendekati orang?orang pandai, bukan memusuhi mereka.”

“Akan tetapi, mereka telah melukai Taijin?” bantah seorang temannya.

“Hanya luka ringan. Ma?taijin tentu dapat menyudahi perkara ini, demi tugas yang lebih penting. Pula, kehilangan sebuah daun telinga untuk menebus kesalahan lalu, masih murah!” Dua orang temannya mengangguk dan mereka bertiga segera menuju ke kamar Ma?taijin untuk bantu mengobati luka yang diderita pembesar itu.

Keng Hong dan isterinya terus meninggalkan Leng?kok pada malam hari itu juga, menuju pulang ke Cin?ling?san. Di sepanjang perjalanan suami isteri ini dengan penuh keheranan membicarakan tentang orang asing yang lihai itu.

“Sungguh membuat orang penasaran sekali!” kata Keng Hong. “Jelas dia adalah seorang asing biadab seperti yang kita dengar dari berita angin tentang munculnya orang?orang seperti itu di sepanjang pantai selatan dan timur. Akan tetapi mengapa dia menguasai ilmu kita? Sambaran tangannya tadi selain mengandung sin?kang yang cukup kuat, juga merupakan gerakan Eng?jiauw?kang (Cengkeraman Garuda) yang cepat dan baik sekali!”

“Hanya tokoh?tokoh golongan sesat saja yang sudi mengajarkan ilmu bangsa kita kepada orang asing!” kata Biauw Eng.

“Belum tentu!” kata pula suaminya. “Kaulihat tadi selain gerakannya lihai, ilmu cambuknya juga hebat, sikapnya amat baik, tidak kejam dan tidak pula kasar. Kalau dia termasuk anggauta kaum sesat, tentu dia tidak akan demikian mudah saja membiarkan kita pergi. Agaknya sudah banyak terjadi perubahan di dunia kang?ouw. Sudah terlalu lama kita mengubur diri di dalam kesunyian di puncak Cin?ling-san. Sebaiknya kita menggunakan kesempatan ini, dalam perjalanan pulang singgah di tempat tokoh-tokoh kang?ouw yang kita kenal, selain mendenngar tentang keadaan kang?ouw, juga mencari keterangan tentang di mana adanya Yap Cong San, isterinya, dan puteranya.”

“Memang sebaiknya begitu. Sekarang ini kesempatan terakhir bagiku karena beberapa bulan lagi, dengan seorang bayi mana aku mampu berpergian lagi sebelum dia berusia dua tiga tahun?”

Demikianlah, kedua suami isteri itu melakukan perjalanan ke Cin?ling?pai dengan beberapa kali berhenti dan singgah di rumah tokoh?tokoh kang?ouw yang mereka kenal. Akan tetapi mereka kecewa sekali karena tidak ada seorang pun di antara para kenalan itu yang tahu di mana adanya Yap Cong San dan isterinya! Betapapun juga, mereka berdua sudah mendengar jelas akan perubahan di dunia kang?ouw pada waktu itu. Mereka mendengar bahwa kini muncul lima orang datuk kejam sesat yang sepak terjangnya mengerikan, tidak saja menjagoi dunia kaum sesat, bahkan seringkali mengacau dunia kang-ouw dan merobohkan banyak orang gagah.

Mereka itu adalah Ban?tok Coa?ong Ouw-yang Kok, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, Kwi?eng Niocu Ang Hwi Nio, Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Louw Ek Bu, dan seorang lagi yang hanya dikenal namanya akan tetapi belum pernah ada yang bertemu dengannya yang terkenal julukannya saja, yaitu Toat?beng Hoat?su (Kakek Ajaib Pencabut Nyawa)!

Mendengar penuturan para tokoh kang-ouw yang menceritakan kepada mereka akan kelihaian lima orang datuk kaum sesat ini, timbul keinginan di hati Keng Hong dan terutama Biauw Eng untuk bertemu dengan mereka dan mencoba kesaktian mereka. Keinginan seperti ini memang wajar dimiliki oleh ahli?ahli seperti mereka, bukan keinginan menundukkan dan menjagoi, melainkan keinginan untuk mengukur kepandaian masing?masing. Namun Keng Hong mencegah isterinya dengan menyabarkan diri dan berkata bahwa tidak semestinya mereka yang telah memimpin sebuah partai seperti Cin?ling?pai merendahkan diri berkenalan dengan tokoh?tokoh yang dianggap jahat seperti iblis itu.

“Pula, dalam keadaan dirimu sedang mengandung, amat berbahaya untuk bertanding menghadapi lawan yang sakti, selain itu tidak baik kalau kita terlalu lama meninggalkan Giok Keng seorang diri saja di Cin?ling?san. Sebaiknya kita lekas pulang dan mengingat akan munculnya banyak orang pandai di kalangan kaum sesat, kita harus lebih tekun menggembleng Giok Keng dan meningkatkan kepandaian para anggauta Cin?ling?pai.”

Mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah kebenarannya, Biauw Eng tidak membantah, maka pulanglah suami isteri pendekar ini ke Cin?ling?san dengan hati kecewa karena mereka tidak berhasil bertemu dengan Yap Cong San dan Gui Yan Cu seperti yang mereka harap?harapkan.

Tentu saja mereka berdua sama sekali tidak pernah mimpi bahwa putera tunggal sahabat?sahabat mereka itu, Yap Kun Liong, baru beberapa pekan saja datang mengunjungi Cin-ling-san, bahkan telah bentrok dan bertanding dengan puteri mereka. Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, Giok Keng yang merasa takut kalau-kalau ayahnya mendengar akan penyambutannya terhadap Yap Kun Liong, tentu saja menutup mulutnya dan sama sekali tidak menceritakan tentang kedatangan pemuda gundul itu kepada ayah bundanya.

Ketika Cia Keng Hong mendengar penuturan ayah bundanya akan nasib yang menimpa diri keluarga Yap, diam?diam Giok Keng merasa kasihan sekali kepada Kun Liong. Kemudian dia mendengar tentang lima orang datuk kaum sesat yang selain amat lihai juga kabarnya jahat seperti iblis, maka dia merasa ngeri dan dengan tekun dia memperdalam ilmu?ilmunya di bawah bimbingan ayahnya sendiri. Selama hampir tiga tahun dara yang telah berangkat dewasa ini berlatih dengan rajin sehingga dia hampir dapat mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya dan hanya beberapa macam ilmu yang terlalu tinggi dan sulit saja yang belum dapat dia warisi dari ayahnya. Namun harus diakui bahwa untuk mencari tanding bagi Giok Keng di waktu itu, benar?benar bukan merupakan pekerjaan yang mudah!

Cia Giok Keng telah menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang amat cantik jelita dan gagah perkasa. Adiknya lahir tak lama setelah ibunya pulang ke Cin?ling?san sehingga pada waktu itu Cia Bun Houw telah menjadi seorang anak laki?laki berusia hampir tiga tahun, bertubuh sehat berwajah tampan dan berwatak gembira seperti encinya (kakaknya) ketika masih kecil. Dengan labirnya adik laki?laki ini, berkuranglah sifat kemanjaan Giok Keng, apalagi karena dia kini sudah dewasa, dan yang tinggal kepada dara ini hanya kekerasan hatinya yang diwarisi dari ibunya. Ayahnya seringkali memandang kagum karena melihat puterinya ini seolah-olah melihat isterinya ketika masih gadis! Begitu presis wataknya! Maka diam-diam Keng Hong suka merasa khawatir sendiri. Biarpun watak isterinya tidak jahat, namun andaikata isterinya itu tidak saling mencinta dengan dia dan kemudian menjadi isterinya yang cinta dan setia, andaikata isterinya itu tetap berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, agaknya isterinya akan memiliki kekerasan yang mengerikan, dapat terjerumus ke dalam watak yang kejam! Yang lebih menggelisahkan hati Cia Keng Hong, dan menambah kerut di wajahnya adalah sikap Giok Keng yang sama sekali tidak mengacuhkan tentang perjodohan! Padahal usianya sudah tujuh belas tahun! Sedikit pun dara itu tidak mau mendengar kalau orang tuanya bicara tentang perjodohan, dan berkelebat pergi dengan marah kalau mendengar usul dan bujukan orang tuanya agar dia segera menentukan pilihan untuk menjadi jodohnya.

“Aku tidak ingin kawin. Harap Ayah dan Ibu jangan bicara tentang itu?itu saja. Muak aku mendengar tentang kawin!” Pernah dia berkata demikian kepada ayah bundanya yang hanya dapat saling pandang dengan melongo.

“Nah, lihat. Betapa dia manja dan membawa kehendak sendiri!” Keng Hong mengomel.

“Sabarlah, suamiku. Kalau memang dia belum ingin, apakah kita harus memaksanya?”
Cia Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan diam?diam dia makin merasa rindu kepada Cong San dan Yan Cu, ingin sekali dia dapat bertemu dengan mereka yang hilang tak tentu rimbanya itu untuk membicarakan tentang jodoh anak mereka.

Pada suatu hari lewat tengah hari keadaan di Cin?ling-san sunyi dan nyaman. Matahari yang bersinar terang tidak terhalang awan tebal seperti biasanya mendatangkan hawa yang hangat mengusir dingin yang biasanya membuat orang kedinginan. Kenyamanan hawa di siang hari itu dimanfaatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya. Pada waktu itu, Cia Keng Hong telah berusia empat puluh tahun sedangkan isterinya sudah tiga puluh tujuh tahun. Mereka berdua yang telah mendengar akan banyaknya tokoh kaum sesat yang lihai, biarpun makin tua mereka tidak pernah lalai untuk berlatih ilmu silat dan menjaga daya tahan tubuh dan kekuatan sin-kang dengan bersamadhi setiap hari.

Pada siang hari itu pun mereka memanfaatkan hawa yang hangat nyaman dengan duduk bersamadhi berdua di dalam kamar mereka. Putera mereka, Bun Houw, sedang tidur di dalam kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar mereka, sedangkan Giok Keng, seperti biasa di saat seperti itu, sedang berlatih seorang diri di lian?bu?thia (ruangan berlatih silat) yang berada di samping rumah.

Pada waktu itu, para penduduk dusun di lereng Puncak Cin?ling?san yang juga dikenal sebagai anggauta?anggauta Cinling?pai, telah mendapat latihan keras sehingga tingkat kepandaian mereka memperoleh kemajuan pesat selama tiga tahun ini. Pada siang hari itu, sebagian dari mereka bekerja di sawah ladang, dan sebagian pula ada yang berlatih di bawah pohon?pohon rindang. Seperti yang diajarkan oleh pimpinan mereka, para anggauta ini berlatih berpasangan, baik laki?lakinya, wanitanya, maupun anak?anaknya. Gerakan mereka cepat?cepat dan terutama kaum dewasanya, mereka memiliki sin?kang yang kuat yang merupakan ilmu khas dari para anggauta Cin?ling?pai. Untuk para anggauta ini, Cia Keng Hong menurunkan ilmu silatnya yang ampuh dan lihai sekali, yaitu San?in?kun?hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) dan menggembleng mereka dengan cara?cara bersamadhi untuk menghimpun sin?kang yang kuat. Isterinya, Sie Biauw Eng, menurunkan ilmu meringankan tubuh yang disebut Hui?niau-coan?in (Burung Terbang Menerjang Awan) sehingga rata?rata para anggauta Cin?ling?pai memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Gabungan ilmu dari suami isteri pendekar ini yang masing-masing merupakan ilmu?ilmu pilihan yang tinggi nilainya, dikombinasikan dan menjadi landasan ilmu silat para anggauta Cin?ling?pai. Tentu saja di samping ilmu ini, Keng Hong masih mengajarkan ilmu silat yang lebih tinggi, akan tetapi hanya kepada beberapa orang yang dianggapnya telah cukup matang ilmunya dan mereka ini berjumlah sebelas orang merupakan anggauta?anggauta pimpinan atau murid-murid tertua. Betapapun juga, tidak ada seorang di antara mereka yang diwarisi dua macam ilmu yang jarang tandingannya di dunia persilatan, yaitu Thai?kek-sin?kun dan Thi?khi?i?beng. Yang pertama adalah karena ilmu itu merupakan ilmu rahasia dari Kun?lun?pai dan karena dia bukan murid Kun?lun?pai, tentu saja dia tidak berani mengajarkan ilmu rahasia itu kepada orang lain. Yang ke dua, Thi-khi?i?beng, adalah ilmu mujijat yang pernah diperebutkan para jagoan di dunia kang-ouw (baca ceritaPedang Kayu Harum ) dan di dunia ini hanya dia seorang yang memilikinya. Ilmu ini amat ganas, merupakan sin?kang yang dapat menyedot habis tenaga sakti lawan, membuat lawan kehabisan tenaga, lumpuh bahkan bisa tewas. Kalau belum memiliki dasar yang amat kuat, berbahayalah memiliki ilmu ini. Karena itu, Keng Hong tidak berani menurunkan kepada orang lain bahkan belum berani mengajarkan kepada puterinya sendiri karena dia menganggap puterinya belum kuat menerima ilmu mujijat itu.

Pada siang hari itu, serombongan pemuda Cin?ling?san sedang berlatih silat berpasangan, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang menjadi murid?murid kepala dari Cin?ling?pai. Mereka berdua ini adalah Kwee Kin Ta, berusia tiga puluh lima tahun, dan Kwee Kin Ci, adiknya berusia tiga puluh tahun. Keduanya adalah dua orang pemuda ketika Cin-ling-pai mula-mula berdiri, dan telah belajar ilmu silat cukup lama di bawah pimpinan Cia Keng Hong, maka boleh dibilang mereka adalah dua orang yang paling tinggi tingkat kepandaiannya di antara para anggauta Cin-ling-pai. Kedua orang ini tidak pernah menikah dan hidup membujang di cin-ling-san, merupakan wakil-wakil dari Ketua Cin-ling-pai, bersama sembilan orang adik-adik seperguruannya, murid-murid kepala yang kesemuanya berjumlah sebelas orang itu. Dengan penuh ketekunan kedua orang ini mewakili ketua mereka mengawasi para pemuda sebanyak lima belas orang yang sedang berlatih di siang hari itu.

Tiba-tiba kedua orang saudara Kwee ini terkejut ketika mendengar suara orang tertawa, juga para pemuda yang sedang berlatih berhenti bersilat dan menoleh ke arah dua orang kakek berjenggot panjang yang tertawa-tawa dan tahu-tahu telah berada di dekat mereka. Yang mengejutkan kedua orang saudara Kwee itu adalah karena hadirnya dua orang kakek ini sama sekali tidak mereka ketahui dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa dua orang tua itu bukan orang sembarangan!

“Ha?ha?ha, nama Cin?ling?pai dan ketuanya memang setinggi awan, akan tetapi mengapa para anggautanya hanya begini saja?” Seorang di antara mereka, kakek yang mukanya merah berkata sambil menyeringai lebar.

“Ahh, Ang?kui (Setan Merah), tentu saja karena mereka ini tentu hanya orang?orang rendahan dari Cin?ling?pai. Betapapun jugat kurasa orang Cin?ling?pai bukan dewa?dewa yang berkepala tiga berlengan enam dan pandai terbang, ha-ha!!”

Para anggauta Cin?ling?pai itu adalah pemuda?pemuda yang biarpun sudah banyak digembleng selain ilmu silat juga kesabaran, tetap saja naik darah mendengar ucapan~ucapan yang nadanya mengejek itu. Dua orang di antara mereka tak dapat menahan kemarahan lagi, meloncat ke depan dua orang kakek itu sambil berteriak hampir berbareng,

“Orang tua sombong, berani engkau menghina Cin?ling?pai?”

“Kalau kau menantang, terimalah seranganku!”

Dua orang muda itu segera menerjang dengan pukulan keras ke arah kedua orang kakek itu dan dua orang bersaudara she Kwee tidak sempat lagi mencegah mereka. Akan tetapi kakek-kakek asing yang diserang hanya tersenyum, sama sekali tidak gugup melainkan mengangkat kedua tangan mereka dengan gerakan lambat, satu tangan menangkis dan tangan ke dua menampar dari samping. Biarpun gerakan mereka kelihatan lambat, namun aneh sekali, dua orang pemuda itu tidak mampu menghindar lagi. Mereka mengaduh dan terpelanting tak dapat bangun kembali. Melihat dua orang teman mereka roboh dengan muka di bagian pipi terdapat tanda telapak tangan hitam dan mereka itu pingsan, para pemuda menjadi marah sekali dan serta?merta dua orang kakek itu mereka terjang dan keroyok! Sambil tertawa-tawa, kedua orang kakek itu bergerak dan terjadilah pertempuran yang seru, akan tetapi baru beberapa jurus saja, kembali empat orang pemuda terpelanting dengan tanda telapak tangan hitam di tubuh mereka dan mereka itu pingsan.

“Mundur kalian!” Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci berteriek nyaring, kemudian mereka berdua meloncat ke depan, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang dengan pukulan?pukulan berat. Kwee Kin Ta menyerang kakek muka merah dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan, yaitu jurus dari Ilmu Silat San?in?kun?hoat yang disebut Siang?in?twi?san (Sepasang Awan Mendorong Gunung), jurus yang ke tiga.

Dua orang kakek itu ketika tertawa-tawa tadi bukan semata?mata sengaja hendak mengejek melainkan karena mereka memang kecewa dan terheran melihat pemuda?pemuda itu berlatih dengan gerakan yang mereka anggap terlampau rendah. Akan tetapi, ketika kakek muka merah itu menghadapi serangan yang dilakukan oleh Kwee Kin Ta, dia terkejut bukan main. Dari kedua tangan yang didorongkan itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali! Memang, Ilmu Silat San?in?kun?hoat yang diajarkan oleh Cia Keng Hong kepada para anggauta Cin-ling-pai, dan yang telah dikuasai dengan baik oleh dua orang saudara Kwee, adalah ilmu tingkat tinggi yang hebat. Ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun jurus?jurus itu dahsyat sekali dan dapat dikembangkan dengan hebat sesuai dengan bakat masing?masing. Kini, menghadapi jurus Siang-in-twi-san, kakek muka merah cepat-cepat membuang diri ke samping dan balas menyerang dari samping. Namun, jurus Siang-in-twi-san telah dilanjutkan sebagai jurus bertahan, tangan yang tadinya mendorong itu membalik ke bawah, lengannya dipergunakan untuk menangkis pukulan tangan kakek yang selalu meninggalkan tanda telapak tangan hitam itu.

“Plakkk!” Kakek Muka Merah kembali berseru kaget. Tangkisan itu membuat dia terhuyung mundur, biarpun lawannya juga terpental ke belakang dengan kaget. Mereka segera bertanding kembali dan kali ini mereka bergerak lebih hati?hati, maklum bahwa lawan amat tangguh.

Demikian pula dengan Kin Ci yang bertanding melawan kakek muka putih, pertandingan di antara mereka juga seru dan ramai sekali. Para anggauta Cin-ling-pai yang muda telah maklum bahwa dua orang kakek yang telah melukai enam orang teman mereka itu tidak boleh dipandang ringan, maka mereka tidak sembrono membantu suheng-suheng mereka, melainkan menolong enam orang teman yang masih pingsan, ada pula yang segera memanggil suheng-suheng dan suci-suci mereka yang lebih pandai dan ada pula yang lari melapor kepada nona Cia Giok Keng.

“Siocia... Siocia (Nona)... lekas! Ada dua orang kakek jahat mengacau, melukai enam orang anggauta kita...!”

Cia Giok Keng yang berlatih seorang diri, kaget mendengar laporan ini. Dia cepat meloncat dan lari ke luar setelah menyarungkan pedangnya yang tadi dipakai untuk berlatih. Ketika tiba di tempat pertandingan, Giok Keng melihat betapa dua orang saudara Kwee yang sudah dibantu oleh tiga orang sute-sutenya, masih juga belum dapat mendesak dua orang kakek itu, apalagi merobohkan. Merah wajah Giok Keng. Sungguh memalukan sekali. Murid?murid kepala Cin-ling-pai sampai harus mengeroyok dua orang kakek itu! Dan ada enam orang murid yang terluka. Dengan sudut matanya dia melihat betapa anggauta Cin-ling-pai yang terluka itu masih pingsan dan ada tanda telapak tangan hitam di tubuh mereka, di pipi, di leher, bahkan pukulan yang mengenai pundak atau dada membuat baju hangus terbakar dan kulitnya juga ternoda hitam berbentuk telapak tangan. Diam?diam dia terkejut dan marah. Tak salah lagi, tentulah itu pukulan beracun, kalau bukan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) tentu semacam itu.

“Paman Kwee berdua mundurlah!”

Teriakan Giok Keng ini membuat hati Kwe Kin Ta dan empat orang sutenya dan mereka segera meloncat ke belakang. Dua orang kakek itu membalik dan memandang Giok Keng penuh perhatian.

Mereka itu lalu menjura dan kakek yang bermuka putih bertanya, “Apakah Nona ini Cia-siocia (Nona Cia) yang terhormat? Kami berdua adalah Siang-lo-kui (Dua Setan Tua) dari...”

“Tidak peduli kalian ini sepasang setan, sepasang iblis atau siluman dari neraka, kalian sudah bosan hidup. Mampuslah!" Tiba-tiba Giok Keng menggerakkan kedua tangannya dan segulung sinar merah muda menyambar ke depan, ke arah kedua orang kakek itu.

Dua orang kakek yang mengaku berjuluk Sepasang Setan Tua itu terkejut sekali. Sinar merah muda itu adalah ujung sabuk sutera merah muda yang menyambar cepat bukan main, kedua ujung sabuk itu telah menyambar seperti ular-ular hidup mengarah jalan darah kematian di leher kedua orang kakek itu. Dari angin sambaran ujung sabuk itu mengertilah mereka bahwa kalau totokan ujung sabuk itu mengenai sasaran, mereka benar-benar terancam bahaya maut! Cepat keduanya meloncat dan mengelak, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kedua siner merah muda itu seolah?olah hidup dan mengejar mereka, tetap menghujankan totokan-totokan maut bertubi-tubi! Dengan kaget sekali terpaksa mereka membuang diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah membuat totokan-totokan itu sukar untuk mengenai sasaran. Melihat ini, dalam kegemasannya, Giok Keng merobah serangan, kini menggunakan kedua ujung sabuknya bukan untuk menotok jalan darah yang tidak mungkin berhasil lagi karena kedua orang kakek itu terus menggerakkan tubuh, melainkan untuk melecut! Sabuk sutera merah muda itu dipegang di bagian tengah dan gerakan kedua tangannya membuat kedua ujung sabuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan suara ledakan-ledakan keras.

“Tar?tar?tat?tar...!!”

Kedua orang kakek itu berusaha mengelak, namun tetap saja tubuh mereka terkena hujan cambukan, membuat pakaian mereka robek?robek dan kulit tubuh mereka luka-luka. Walaupun hanya luka di bagian luar yang ringan, namun mengeluarkan darah dan rasanya cukup nyeri dan pedih!

“Tar?tar... wuuuuttt! Aihhh!” Giok Keng berteriak kaget dan marah ketika tiba?tiba ujung sabuk suteranya terhenti di udara. Ketika dia membalik, tahu-tahu kedua ujung sabuk itu telah dipegang oleh seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali! Dia terkejut. Sabuk sutera di tangannya adalah senjata yang hebat, dengan ilmu yang ia pelajari dari ibunya. Ibunya terkenal sekali dengan Ilmu Pek?in?sin?pian (Cambuk Lemas Awan Putih) yang dimainkan dengan sabuk sutera putih. Dia tidak menyukai warna putih seperti ibunya, melainkan lebih suka menggunakan sabuk warna merah muda. Biarpun ilmu cambuknya belum semahir dan sehebat ibunya, namun menurut ibunya, sudah cukup untuk menghadapi senjata lawan yang bersifat keras. Kini tahu?tahu kedua ujung sabuknya dapat dipegang oleh seorang lawan, hal ini membuktikan bahwa lawan ini tentu amat lihai!

Pemuda itu sudah berkata kepada kedua orang kakek dengan nada suara memerintan, “Kalian mundurlah! Sungguh tak tahu diri berani melawan Cia-siocia!” Setelah kedua orang kakek itu mundur, pemuda itu menjura kepada Giok Keng dengan sikap menghormat sekali sambil berkata dengan wajah berseri, bibir tersenyum dan suara halus.

“Saya mohon dengan hormat sudilah Cia?siocia memaafkan kedua orang paman ini. Sesungguhnya kedatangan kami bukan dengan niat buruk. Saya Liong Bu Kong den bersama kedua Paman Siang-lo-kui datang hendak menghadap Ketua Cin?ling?pai, Yang Mulia Cia Keng Hong Locianpwe...”

“Cukup!” Giok Keng memotong ucapan pemuda itu dengan bentakan nyaring. “Tidak membawa niat buruk akan tetapi melukai enam orang anggauta Cin-ling-pai. Ditebus nyawa pun masih belum impas!” Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri dara itu menggulung sabuknya dan menyimpannya, tangan kanannya bergerak mencabut pedang.

“Singggg!” Sinar putih menyilaukan mata berkelebat ketika pedang yang terbuat dari perak murni itu tercabut. Itulah pedang Gin?hwa?kiam (Pedang Bunga Perak), terbuat dari perak yang diukir bunga-bunga, pedang pemberian ibunya. Biarpun dia tidak suka akan warna puth seperti ibunya, namun pedang itu amat indah buatannya, pula merupakan sebuah pusaka yang ampuh, maka Giok Keng sayang sekali kepada pedangnya ini.

“Eiiitt, Nona, tunggu... saya bukan hendak bermusuh...”

“Wuuuuttt... singggg!!” Sinar putih itu menyambar laksana kilat dan andaikata tidak dielakkan cepat?cepat oleh pemuda yang mengaku bernama Liong Bu Kong itu, tentulah leher itu akan terbabat putus dan kepala dengan wajah ganteng itu akan berpisah dari tubuhnya!

Liong Bu Kong terpaksa harus berloncatan ke kanan dan kiri, ke atas dan dua kali terpaksa menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, terus dikejar sinar putih menyilaukan mata itu.

“Nanti dulu, Nona... brettt!” Ujung lengan baju yang dipakai pemuda itu terbabat buntung. Nyaris tangannya yang buntung!

“Srattt!” Pemuda itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan dan terpaksa menggunakan pedangnya menangkis.

“Tringgg... cranggg... tranggg!” Bunga api berpijar-pijar ketika berkali-kali dua batang pedang itu bertemu di udara. Giok Keng merasa betapa telapak tangannya panas dan pedangnya tergetar, tanda bahwa selain lawan memiliki sin-kang yang kuat, juga pedangnya yang bersinar biru itu adalah sebatang pedang yang baik dan hebat pula.

“Nona... sabarlah, saya tidak ingin bertanding...”

“Singgg... trangggg!” Kembali pemuda itu menangkis dan tangan Giok Keng gemetar dan terasa panas telapak tangannya.

“Tak usah banyak cakap!” bentak Giok Keng yang kembali telah menerjang dengan ganas. Maklum bahwa lawannya lihai dan memiliki pedang pusaka pula, Giok Keng menyerang dengan pengerahan tenaga dan menggunakan jurus-jurus pilihan. Namun dia terkejut dan diam-diam kagum sekali karena pemuda itu selain memiliki tenaga sin-kang amat kuat, juga memiliki kecepatan gerak mengagumkan sehingga setiap serangannya dapat dihindarkan dengan tangkisan atau elakan. Para anggauta Cin?ling?pai dan dua orang kakek tadi menonton dengan mata terbelalak penuh kagum menyaksikan betapa dua gulung sinar pedang putih dan biru saling belit, saling desak dan saling dorong. Demikian terang sinar kedua pedang itu sehingga menyelimuti bayangan kedua orang yang memainkannya.

“Tahan senjata!” Bentakan ini menggetarkan jantung kedua orang muda yang sedang bertanding, membuat tangan mereka menggigil beberapa detik dan gerakan mereka tertahan. Detik-detik ini cukup bagi Keng Hong untuk menangkap kedua tangan yang memegang pedang dan mendorong Giok Keng dan pemuda itu sampai terhuyung ke belakang. Selagi pemuda itu terhuyung, Keng Hong sudah menggerakkan tangannya, jari-jari tangannya menangkap ujung pedang bersinar kebiruan tenaga sin-kang mujijat dia keluarkan, jari-jari tangan membuat gerakan menekuk.

“Krakkk!” Ujung pedang pusaka yang mengeluarkan sinar kebiruan itu patah!

Pemuda itu terbelalak dengan muka pucat sekali. Matanya memandang pedang di tangannya yang telah menjadi pedang buntung. Hampir dia tidak dapat percaya. Begitu mudahnya Ketua Cin-ling-pai itu mematahkan pedang pusakanya, seolah-olah pedang itu sama dengan sebatang lidi kering saja! Padahal pedangnya adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh! Diam?diam dia bergidik ngeri membayangkan betapa kuatnya jari-jarl tangan orang setengah tua yang berdiri tenang di depannya itu, lebih ngeri lagi ketika mendengar suara Cia Keng Hong yang halus dan penuh kesabaran dan ketenangan, namun juga penuh wibawa, “Orang muda, siapapun adanya engkau, seorang tamu yang datang dengan pedang terhunus tentu bukan seorang yang beriktikad baik!”

“Engkau masih beruntung bukan aku yang turun tangan, kalau demikian halnya jangan harap engkau masih dapat bernapas!” Ucapan ini keluar dari mulut seorang wanita yang usianya sudah setengah tua akan tetapi masih tampak cantik jelita dan gagah perkasa. Mudah saja bagi Liong Bu Kong untuk menduga bahwa tentu nyonya itulah isteri Ketua Cin-ling-pai yang bemama Sie Biauw Eng, yang dahulu berjuluk Song-bun Siu?li!

Dengan jantung berdebar dan keringat dingin membasahi lehernya, pemuda itu cepat menyarungkan pedang buntungnya dan menjura penuh hormat kepada Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sambil berkata, “Mohon Ji?wi?locianpwe (Kedua Orang Tua Sakti) sudi mengampunkan saya yang lancang berani mendatangi Cin-ling-san. Saya bernama Liong Bu Kong dan sengaja dari tempat jauh sekali datang ke sini bersama kedua orang Paman Ang-kui Tung Sek dan Pek-kui Gak Song.”

Cia Keng Hong melirik ke arah dua orang kakek itu yang juga sudah menjura dengan hormat. Melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang usianya sudah enam puluh lebih, dia pun membalas penghormatan mereka dengan sikap dingin. Dua orang itu berjuluk Ang-kui (Setan Merah) dan Pek-kui (Setan Putih), tentu termasuk golongan hitam atau kaum sesat, maka dia cepat bertanya,

“Setelah tahu bahwa engkau lancang, mengapa masih berani? Ada keperluan apakah?”

Pemuda itu dengan sikap hormat dan kedua tangan di depan dada melirik ke arah Giok Keng. Dara itu juga sedang memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang dan jantung Giok Keng berdebar, mukanya berubah merah. Pemuda itu benar?benar tampan dan gagah, juga sikapnya begitu halus dan penuh hormat! “Harap Locianpwe sudi memaafkan, sebetulnya kedatangan kami... yaitu kedua paman ini... dengan maksud... eh, Paman Gak, harap Totiang menjelaskan kepada Cia?locianpwe.” Agaknya sukar sekali bagi pemuda itu untuk melanjutkan kata-katanya, beberapa kali dia harus menelan ludah dan lehernya serasa tercekik.

Kini kedua orang kakek itu yang melangkah maju menghadap Keng Hong sambil menjura, kemudian Pek-kui Cak Song berkata, “Tidak perlu kiranya kami membohong kepada Pai-cu (Ketua). Sesungguhnya telah lama sekali Liong-kong-cu (Tuan Muda Liong) mendengar akan nama besar Pai?cu dan akan kehebatan puteri Pai?cu, yaitu Nona Cia Giok Keng. Harap Pai?cu ketahui bahwa Liong-kongcu adalah putera tunggal dari pangcu kami di Kwi-ouw (Telaga Setan).”

“Hemmm... bukankah di Kwi?ouw adalah serang Kwi-eng-pang dan ketuanya adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, datuk kaum sesat?” Biauw Eng memotong.

Dua orang kakek itu tersenyum. “TIdak salah dugaan itu, pangcu kami adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio.” Tentu saja mereka merasa bangga menyebut nama yang sudah tersohor itu. “Dan kami berdua adalah pembantu?pembantu utamanya, juga termasuk murid?murid pangcu kami yang setia.”

“Coba kalian lanjutkan, apa keperluan kalian dan Liong Bu Kong ini datang ke sini?” Keng Hong mendesak, hatinya tidak enak.

Melihat sikap tuan dan nyonya rumah, Pek-kui Gak Song juga kelihatan gugup dan jerih. “Sesungguhnya kami ditugaskan Pangcu kami untuk mengiringkan kongcu kami untuk... untuk dapat bertemu muka dengan Cia-siocia... dan hal ini sudah terlaksana... tentu tidak lama lagi pangcu kami akan segera resmi mengajukan pinangan, melamar Nona Cia Giok Keng untuk menjadi jodoh kongcu kami...”

“Keparat!” Tiba-tiba Biauw Eng membentak marah, “Hendak melamar setelah mengacau di Cin-ling-san dan melukai enam orang anggauta Cin-ling-pai dengan pukulan Hek-tok-ciang?”

Dua orang kakek itu menjadi pucat wajahnya. “Ini... ini... hanya kesalahpahaman... hanya keinginan menguji kepandaian... bukan berniat buruk... kami mohon maaf dan biarlah kami mengobati mereka yang terluka...”

“Siapa butuh bantuan kalian? Tidak perlu memberi obat, pukulan Hek-tok-ciang macam itu saja apa sih artinya? Biarlah aku menukarnya dengan pukulanku. Terimalah!” Biauw Eng memberi kesempatan kepada dua orang kakek itu untuk “menjaga diri” lebih dulu sebelum dia bergerak. Biarpun dua orang kakek itu jauh lebih tua daripadanya, namun dia adalah isteri Ketua Cin-ling-pai sedangkan dua orang kakek itu hanya utussan dan murid Ketua Kwi-eng-pai, maka kedudukannya jauh lebih tinggi. Karena ini, dia tidak mau menggunakan kecepatannya menyerang dua orang yang belum siap. Setelah dua orang kakek itu yang maklum akan dipukul berjaga?jaga, barulah ia menggerakkan tubuhnya sambil berseru, “Robohlah!”

Dua orang kakek yang di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dengan julukan Siang-lo-kui (Sepasang Setan Tua) ini cepat menggerakkan tangan menangkis.

“Des! Dess! Plak?plak!”

Kedua tangan Biauw Eng yang menampar itu memang dapat tertangkis oleh mereka, namun lengan mereka yang menangkis terdorong dan terpental sedangkan kedua buah tangan halus itu tetap saja menyambar terus dan menampar dada mereka. Tamparan yang tidak begitu kuat,akan tetapi akibatnya hebat karena kedua orang kakek itu roboh, muntah darah dan pingsan. Kiranya mereka telah menderita luka dalam yang cukup hebat, dan juga pukulan Biauw Eng itu beracun, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan Hek-tok-ciang. Tidaklah aneh kalau Sie Biauw Eng mampu menggunakan ilmu pukulan beracun yang biasanya hanya dikuasai oleh kaum sesat karena dia adalah puteri mendiang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan).

Pukulannya tadi adalah Ngo-tok-ciang (Tangan Panca Racun) yang mengandung inti sari lima macam hawa beracun dan tentu saja jauh lebih berbahaya daripada Hek-tok-ciang, apalagi dilakukan oleh seorang yang tingkat kepandaiannya sudah setinggi nyonya itu!

Liong Bu Kong terkejut sakali. Dia tadi sudah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai yang dengan amat mudahnya mematahkan ujung pedang pusakanya. Kini dia menyaksikan kelihaian nyonya ketua itu yang dalam segebrakan saja mampu merobohkan Siang-lo-kui, padahal dua orang kakek itu adalah murid-murid kelas satu dari ibunya! Pemuda yang amat cerdik ini tidak memperlihatkan perasaan menyesal di mukanya, bahkan dia menjura kepada Sie Biauw Eng sambil berkata, “Hukuman bagi kedua paman yang lancang ini memang sudah sepantasnya. Saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang telah menghajarnya dan mengampuni nyawa mereka.”

Biarpun Bu Kong mengambil sikap sabar, sopan dan manis budi, namun dalam pandangan Cia Keng Hong, pemuda itu amat tidak menyenangkan, maka dia pun berkata, “Sudahlah, bawa mereka pulang dan jangan sekali?kali berani menginjakkan kaki di daerah Cin?ling?san. Adapun soal jodoh, tidak perlu lagi dibicarakan dan tidak perlu datang meminang karena bagaimanapun juga, kami tidak suka berbesan dengan golongan hitam. Nah, pergilah!”

Bu Kong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk oleh kekecewaan dan putus harapan. Sudah lama dia mendengar akan kecantikan puteri Ketua Cin-ling-pai, dan setelah bertemu dengan orangnya, apalagi setelah menyaksikan kelihaian Giok Keng, sekaligus dia tergila?gila dan jatuh cinta. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kedua orang tua dara itu menentang keras. Kembali pemuda itu menjura dan berkata, “Maafkan saya, Ji-wi?locianpwe. Saya mengaku bahwa kami bertiga telah lancang, mudah?mudahan saja kelak saya akan dapat menghadap Ji-wi dalam keadaan yang lebih baik dan menyenangkan. Selamat tinggal dan sekali lagi terima kasih atas semua pelajaran yang kami terima.” Dia menjura, membungkuk, mengempit tubuh kedua orang kakek yang masih pingsan, kemudian turun dari puncak sambil berlari cepat. Semua orang, termasuk Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan Cia Giok Keng, memandang dengan hati kagum. Pemuda itu benar?benar lihai!

Setelah mengobati luka keenam pemuda akibat pukulan Hek-tok-ciang, Keng Hong dan anak isterinya kembali ke dalam rumah. Setelah berada di dalam, Keng Hong berkata kepada puterinya, “Nah, kaulihat sendiri betapa tidak baiknya bagi seorang dara yang sudah dewasa kalau tidak segera menikah. Tentu banyak godaan dan penolakan-penolakan hanya akan mendatangkan permusuhan.”

“Ayahmu benar, Anakku. Sebaiknya kalau engkau segera menentukan pilihan hatimu dan mendapatkan jodoh.”

Giok Keng cemberut. “Ayah dan Ibu tentu akan memaksaku, soal jodoh tak perlu dibicarakan lagi karena aku tidak mau! Dalam penolakan lamaran Ayah dan Ibu bertindak tanpa persetujuanku, tentu kelak Ayah dan Ibu pun akan menerima lamaran orang tanpa mengajukan persetujuanku pula! Karena itu, aku tidak mau menikah!”

Keng Hong dan isterinya saling pandang dan Keng Hong berkata agak keras, “Tentu saja kita tolak lamaran seorang pemuda dari golongan hitam itu. Apalagi kalau dia putera Iblis Betina Kwi-eng Niocu yang tersohor!”

Giok Keng tetap cemberut. Sedikit banyak hatinya telah tertarik oleh sikap pemuda tampan tadi, dan biarpun hal itu bukan berarti bahwa dia jatuh cinta dan menerima pinangan, akan tetapi dia tersinggung juga menyaksikan betapa ayah bundanya menolak mentah-mentah tanpa mempedulikan perasaannya sendiri!

“Menolak atau menerima lamaran bukan soal, yang menjadi soal adalah bahwa saya seorang manusia, yang berperasaan pula dan patut menentukan hidup dan masa depan saya sendiri. Hal ini harap Ayah dan Bunda tidak lupa! Sudahlah, siapa sih yang ingin menikah?” Setelah berkata demikian Giok Keng meninggalkan ayah bundanya, memasuki kamarnya sendiri dan menangis!

Keng Hong menggeleng?geleng kepalanya. Isterinya menghibur, “Sabarlah. Dia baru berusia tujuh belas tahun, belum lenyap sama sekali sifat kekanak-kanakannya!”

“Kekanak-kanakan apa? Itulah kalau anak manja!” Akan tetapi Keng Hong tidak melenjurken kemarahannya ketika melihat pandang mata isterinya yang mengalah, bahkan dia lalu memeluk isterinya dan berkata, “Biarlah kita serahkan jodoh anak kita kepada nasib.”

“Perlu apa dipusingkan? Biarlah dia memilih sendiri dan kita hanya mengawasi dari belakang agar dia jangan salah pilih.”

Semenjak terjadinya pengacauan yang dilakukan oleh orang?orang Kwi-eng-pai itu dan mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh dari cukup sehingga ketika dia menyerang pemuda bernama Liong Bu Kong itu dia sama sekali tidak berhasil, Giok Keng makin tekun berlatih silat. Hal ini menggirangkan hati Keng Hong dan pendekar ini pun melatih puterinya dengan sungguh-sungguh sehingga akhirnya dia menurunkan juga Ilmu Silat Thai?kek Sin?kun kepada puterinya itu dengan janji agar dara itu tidak membocorkannya kepada orang lain! Dua tahun lamanya Giok Keng berlatih dengan tekun siang malam sehingga setelah dia berusia sembilan belas tabun, ilmu kepandaiannya meningkat dengan hebatnya. Bahkan dia berhasil pula mempelajari Ngo-tok-ciang dari ibunya yang memesan agar puterinya jangan sembarangan menggunakan ilmu ini, kecuali kalau menghadapi golongan hitam karena ilmu ini adalah ilmu keji dari kaum sesat. Betapapun juga, Keng Hong masih belum berani mengajarkan Thi-ki-i-beng kepada puterinya. Kalau puterinya mendesak agar ayahnya menurunkan ilmu itu, dia menjawab, “Kaukira mudah saja menguasai Thi-khi-i-beng? Kalau belum kuat benar dasarnya, ilmu ini bisa mencelakakan diri sendiri. Ayahmu mendapatkan ilmu ini secara kebetulan saja, akan tetapi ketahuilah, dahulu seorang tokoh golongan hitam yang tinggi ilmu kepandaiannya bernama Kiu?bwe?toanio Lu Sian Cu, yang berhasil memaksaku memberikan Thi-khi-i-beng, telah mati karena ilmu itu sendiri. Mempelajari ilmu ini kalau belum memiliki kekuatan yang melebihi ukuran sin?kang biasa, berarti menghadapi bahaya maut. Ilmu-ilmu yang kaupelajari sudah cukup, Keng-ji, kalau semua itu kaukuasai dengan baik disertai latihan dan ketenangan, kiranya sukar sekali akan dapat dikalahkan lawan, biarpun engkau tidak menggunakan Thi-ki-i-beng.”

Mendengar keterangan ini, Giok Keng menjadi ngeri sendiri dan merasa puas dengan ilmu?ilmu yang telah dimilikinya. Akan tetapi, Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng makin berduka karena belasan kali datang lamaran dari pemuda?pemuda yang bukan orang?orang sembarangan, putera ketua?ketua partai besar, pemuda-pemuda sastrawan dan hartawan, bahkan pernah seorang pemuda putera pangeran dari kota raja melamar, semua itu ditolak mentah-mentah oleh Giok Keng. Padahal, usia dara itu kini telah meningkat, sudah sembilan belas tahun!

Ketika Keng Hong dan Biauw Eng mendengar akan kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio, mereka segera berangkat untuk melayat, sekalian untuk menghibur kekecewaan hati mereka dan mengharapkan pertemuan dengan Yap Cong San. Siapa tahu kalau jodoh puteri mereka itu adalah putera sahabat ini yang sudah hampir dua puluh tahun, atau sedikitnya delapan belas tahun tak pernah mereka jumpai.

Giok Keng disuruh menjaga Cin?ling-pai dan mengawasi adiknya, Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun. Hati Giok Keng agak kecewa karena setelah kini ilmunya maju pesat, dia ingin sekali ikut merantau dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar. Akan tetapi dia tahu juga bahwa selain Cin-ling-pai perlu dijaga, juga tidak baik kalau adiknya ditinggalkan seorang diri bersama para pimpinan Cin-ling-pai dalam keadaan di mana bahaya selalu mengancam dari pihak kaum sesat.

Akan terpenuhikah harapan Keng Hong dan Biauw Eng bahwa mereka akan berjumpa dengan sahabat baik mereka Yap Cong San dan isterinya di kuil Siauw?lim?si? Untuk mengetahui ini. sebaiknya kita mencari Yap Cong San dan isterinya dan melihat keadaan mereka. Sudah terlampau lama kita meninggalkan mereka dan marilah kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan Leng?kok.

Seperti telah kita ketahui, Yap Cong San dan isterinya lari meninggalkan Leng?kok sebagai orang buruan setelah dengan kekerasan Yan Cu membebaskan suaminya dari tahanan Ma?taijin. Mereka lalu mulai mencari putera mereka yang hilang. Akan tetapi karena kepergian Kun Liong tidak meninggalkan bekas yang jelas, mereka tersesat dan sampai dua tahun mereka menjelajah ke selatan dan ke timur, belum juga mereka berhasil menemukan putera mereka itu! Akhirnya mereka terpaksa kembali ke utara. Tiga tahun telah lewat semenjak mereka meninggalkan Leng?kok tanpa hasil sama sekali dalam usaha mereka mencari Kun Liong. Hampir mereka putus harapan dan timbul kekhawatiran bahwa putera mereka yang lenyap itu tewas, ketika pada suatu hari harapan itu timbul kembali secara kebetulan ketika mereka mendengar tentang putera mereka itu.

Hal itu terjadi ketika perjalanan mereka membawa mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di lereng Pegunungan Luliang-san yang menjadi tapal batas antara Propinsi Shansi di timur dan Propinsi Sensi di barat. Mereka bermalam di dalam sebuah kamar rumah penginapan kecil sederhana, di sebuah dusun nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Menjelang tengah malam, setelah suami isteri yang kelelahan ini tertidur, tiba?tiba Yan Cu terbangun oleh suara bisik?bisik. Dia terbangun, memasang telinga mendengarkan percakapan lirih yang terjadi di kamar sebelah, percakapan yang dapat didengarnya jelas karena agaknya dua orang wanita yang bercakap?cakap itu tidak menyembunyikan suara mereka dan antara kamamya dan kamar sebelah itu hanya teraling oleh dinding papan yang sambungannya tidak begitu rapat.

Tentu saja Yan Cu tidak akan sudi mendengarkan percakapan orang lain kalau saja dia tidak tertarik karena mendengar disebutnya nama puteranya, nama Kun Liong!

“Sungguh heran sekali! Ke mana perginya bocah setan itu? Kalau dia melarikan diri dengan perahu, masa dia bisa naik perahu sampai ke langit? Mengapa jejaknya lenyap sama sekali?” terdengar suara wanita yang mengandung penasaran dan kemarahan.

“Memang dia bukan bocah biasa, Subo (Ibu Guru),” terdengar jawaban suara seorang anak perempuan. “Dahulu Kong-kong sudah bilang bahwa anak itu memang luar biasa, munculnya pun secara aneh sekali, dari dalam sungai!”

“Huh! Apakah dia anak iblis sungai? Siapa namanya?”

“Dia mengaku bernama Kun Liong, Subo. Akan tetapi teecu (murid) tidak yakin bahwa dia yang membawa pergi benda itu karena benda itu tadinya berada di tangan Phoa Sek It. Ketika Phoa Sek it membunuhi semua orang, Kun Liong melarikan diri. Mana mungkin dia merampasnya dari tangan Phoa Sek It?”

“Siapa tahu? Bocah itu setidaknya tentu mengetahui di mana adanya benda itu. Hemmm... kalau dia dapat tertangkap olehku, akan kupaksa dia mengaku, akan kupatah-patahkan semua tulang tubuhnya agar dia suka mengaku!”

Mendengar itu, Yan Cu sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Biarpun dia merasa heran dan ragu-ragu mendengar percakapan itu, namun besar kemungkinan mereka itu bicara tentang puteranya yang hilang. Cepat dia turun dari pembaringan, menghampiri dinding dan mengintai dari celah-celah dinding papan. Dilihatnya dalam kamar sebelah itu seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh pendek, cantik manis akan tetapi matanya menyinarkan kekejaman dan bentuk mulutnya selalu menyeringai seperti orang mengejek, rambutnya panjang, sedang duduk di kursi berhadapan dengan seorang anak perempuan berusia kurang lebih sebelas tahun yang bersikap pendiam dan berwajah cantik dan dingin. Di atas meja depan wanita rambut panjang itu terdapat sebatang pedang panjang yang bentuknya agak melengkung dan gagangnya panjang, sebatang pedang berbentuk asing bagi Yan Cu.

Yan Cu menduga bahwa tentu wanita itu bukan orang sembarangang maka dia pun bersikap hati?hati sekali. Melihat suaminya masih tidur pulas, dia berindap keluar dari dalam kamarnya, kemudian menyelinap ke luar rumah penginapan yang sunyi karena semua orang telah tidur, dengan ringan tubuhnya mencelat ke atas genteng dan dia membuka genting tepat di atas kamar sebelah tadi. Sebagai penjagaan, sebelum keluar kamarnya Yan Cu sudah menyambar pedangnya.

AKAN tetapi, pada saat dia membuka genting, tiba?tiba dari bawah menyambar sinar hijau dengan kecepatan kilat ke arahnya! Yan Cu terkejut tetapi tidak menjadi gugup. Dia sudah meloncat ke belakang dan berjungkir balik. Ketika dia turun lagi dan berdiri di wuwungan genting rumah itu, terlihat bayangan berkelebat dan tahu?tahu wanita pendek berambut panjang tadi telah berada di depannya, berdiri dengan sebatang pedang panjang melengkung yang berkilauan di tangannya!

Yan Cu menjadi marah sekali, apalagi ketika teringat betapa wanita ini mengancam untuk mematahkan semua tulang di tubuh puteranya dan memaksanya mengaku! Andaikata yang diancam itu bukan puteranya, melainkan seorang anak lain yang namanya juga Kun Liong, tetap saja ancaman itu menunjukkan bahwa wanita pendek ini adalah seorang yang kejam dan jahat sekali, patut untuk dibasmi. Namun, pada saat itu, yang terpenting bagi Yan Cu adalah untuk mengetahui apakah benar puteranya yang dibicarakan mereka itu.

“Perempuan kejam! Apakah yang kaubicarakan dalam kamar tadi, yang kausebut namanya, anak yang bemama Kun Liong itu adalah seorang anak laki?laki yang berusia kira?kira tiga belas tahun sekarang ini dan she Yap?”

“Kalau benar dia kau mau apa?” Wanita itu balas bertanya dan mulutnya makin mengejek.

“Tapi benarkah dia? Wajahnya tampan, matanya lebar, kepalanya bundar dan dahinya lebar, alisnya seperti golok, hidungnya mancung? Benarkah dia Yap Kun Liong?”

“Perempuan lancang, kau telah berani melakukan pengintaian. Hemmm, kau tidak mengenal Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?”

Yan Cu tentu saja sudah mendengar nama datuk kaum sesat ini selama perantauannya mencari Kun Liong, akan tetapi pada saat itu dia tidak mempedulikan semua hal kecuali persoalan di mana adanya puteranya. “Tidak peduli kau siapa, akan tetapi benarkah Yap Kun Liong yang kaubicarakan tadi?”

Sinar mata wanita pendek itu mengeluarkan kilat kemarahan. Namanya sudah tersohor di seluruh jagat sebagai seorang datuk dari daerah selatan. Tidak ada orang kang-ouw yang tidak menjadi gentar mendengar namanya, apalagi bertemu dengan dia! Dan perempuan ini sama sekali tidak peduli!

“Perempuan bosan hidup! Kalau benar dia itu Yap Kun Liong kau mau apa?”

“Mau apa? Membunuh engkau yang mengancam dia! Di mana dia sekarang?”

“Hi-hi-hik, lagakmu seperti jagoan sendiri! Aku pun sedang mencari dia. Engkau siapakah?”

“Aku ibunya!” Yan Cu sudah marah sekali, dicabutnya pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menubruk maju, mengirim serangan kilat dengan tusukan ke arah dada lawan.

“Hi?hik, ibunya?” Bu Leng Ci, wanita itu terkekeh dan mengelak cepat sambil membabatkan pedang panjangnya dari samping.

“Singgg!” Pedang samurai pedang model Jepang itu dipegang gagangnya dengan kedua tangan dan ketika dibabatkan cepatnya seperti kilat menyambar dan mengandung tenaga yang amat dahsyat. Tentu saja Yan Cu terkejut bukan main, karena sama sekali tidak menyangka bahwa datuk wanita yang tersohor ini benar-benar amat berbahaya. Dia sudah meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang panjang, lalu bersiap menghadapi lawan tangguh ini.

“Kau ibunya? Hi-hi-hik, kalau begitu kau harus mampus. Anakmu telah membikin jengkel hatiku!”

Bertandinglah dua orang wanita itu di atas genting, dan keduanya sama-sama terkejut sekali, lebih-lebih Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Selama dia merantau ke utara dari pantai laut selatan, belum pernah dia bertemu tanding dan jarang pula dia mempergunakan pedang samurainya. Tadi ketika dia menggunakan senjata rahasia Siang-tok-toa (Pasir Beracun Wangi) dari bawah, dia sudah terkejut karena orang yang tadi mengintai dari kamar sebelah kemudian mengintai dari atas genting dapat menghindarkan diri. Karena itu maka dia menyusul ke atas sambil membawa pedang samurainya. Kini, setelah mereka bergebrak selama belasan jurus, Bu Leng Ci benar-benar kaget sekali. Wanita cantik jelita di depannya ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian hebat! Bukan saja ilmu pedangnya luar biasa, juga lawannya ini memiliki keringanan tubuh dan kekuatan tenaga sakti yang mampu menandinginya!

Merasa kurang leluasa bertanding di atas genting, Bu Leng Ci melayang turun. Tentu saja Yan Cu tidak mau melepaskannya, dan cepat menyusul dengan loncatan cepat. Kini mereka berhadapan di atas tanah, di sebelah belakang rumah penginapan itu, dan saling memandang di bawah sinar bulan sepotong yang mendatangkan cahaya penerangan remang-remang.

“Siapakah engkau?” Bu Leng Ci membentak, tertarik juga untuk mengenal siapa adanya lawan tangguh ini.

“Aku ibunya Yap Kun Liong! Ketahuilah, perempuan iblis, bahwa aku adalah Gui Yan Cu. Isteri dari Yap Cong San. Engkau tentu tidak mengenal kami, karena kami bukan golongan iblis kaum sesat yang suka malang-melintang berbuat kejam mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa seperti engkau!”

“Hi-hi-hik, sombong. Mampuslah engkau!” Bu Leng Ci kembali menerjang, samurainya membentuk gulungan sinar yang lebar dan panjang, digerakkan dengan kedua tangannya.

“Trang! Cringgg!!”

Yan Cu merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar. Diam-diam dia harus mengakui bahwa wanita iblis yang tersohor sebagai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang bermunculan di waktu itu, yang bertubuh pendek dan berpedang panjang ini benar-benar amat tangguh. Maka dia pun mengerahkan tenaga dan memutar pedangnya dengan cepat. Yan Cu adalah seorang wanita perkasa. Biarpun dia tahu bahwa lawannya tangguh, namun untuk berteriak memanggil suami isterinya dia merasa malu karena berteriak minta bantuan bukanlah kelakuan seorang gagah!

Tiba-tiba pedang dan samurai kembali bertemu dan menempel untuk beberapa detik lamanya, karena Bu Leng Ci mempergunakan kekuatan kedua lengannya, pedang Yan Cu agak tertindih dan saat itu dipergunakan oleh Bu Leng Ci untuk menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang menyambar ke arah Yan Cu seperti ribuan ekor ular menyerang!

Yan Cu terkesiap dan cepat dia menarik kembali pedangnya, melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik. Sambil membalikkan tubuhnya yang berpoksai (bersalto) tiga kali di udara, pedangnya menyambar untuk melindungi dirinya.

“Cringgg...!” Pedangnya bertemu dengan samurai yang kini dipegang dengan tangan kanan sedangkan pada detik itu, tangan kiri Bu Leng Ci yang jari-jarinya merupakan jari baja telah menusuk ke arah dada dengan maksud menembus dada itu dan merogoh jantung seperti yang biasa dia lakukan terhadap para korbannya!

“Ihhh...!” Yan Cu cepat menggulingkan tubuhnya ke kanan, terus bergulingan di atas tanah untuk membebaskan diri dari serangan itu.

“Wut...!”

Yan Cu menahan jeritnya ketika merasa betapa dadanya sebelah kanan sakit sekali. Kiranya dia telah disusul oleh serangan Pasir Beracun Wangi yang dilepas dari jarak dekat. Biarpun Yan Cu telah bergulingan sambil memutar pedangnya, tetap saja ada sebagian dari Siang-tok-soa yang mengenai dadanya. Seketika kepalanya pening, matanya berkunang dan ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya terhuyung!

“Hi-hi-hik, sayang sekali kau harus mampus!” Bu Leng Ci sudah meloncat maju, mengayun samurainya ke arah pinggang Yan Cu.

“Singg... tranggg...!!” Yan Cu dalam keadaan pening itu masih dapat menangkis dengan tangan karena tubuhnya menggigil kedinginan akibat pasir beracun itu dan tenaganya berkurang, apalagi karena dia memang kalah tenaga, pedangnya terpental dan terlepas dari pegangannya. Sementara itu, pedang samurai sudah menyambar lagi ke arah lehernya.

“Tranggg...! Eihhh...!” Bu Leng Ci meloncat ke belakang ketika samurainya ditangkis oleh sebatang mouw-pit (pena bulu) yang membuat lengannya tergetar. Kiranya Yap Cong San yang telah menyelamatkan isterinya, Cong San cepat memegang lengan isterinya, dan berbisik, “Mundurlah... cepat telan obat penawar...!”

“Hi?hi?hi, agaknya ini suaminya, ya? Ha?ha, tidak ada obat penawar untuk melawan Siang-tok-soa dari Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Isterimu akan mampus, dan engkau juga!”

Mendengar nama ini, Yap Cong San terkejut. Tadi dia terbangun oleh suara pertandingan yang lapat-lapat dan terkejut ketika tidak melihat isterinya rebah di sampingnya dan pedang isterinya tidak tampak. Cepat ia berpakaian dan melompat keluar sambil membawa sebatang mouw-pit yang menjadi senjatanya yang ampuh. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat isterinya terhuyung, pedangnya terlempar dan pedang panjang lawan isterinya itu mengancam nyawa isterinya. Untung dia tidak terlambat dan setelah dapat menangkis pedang samurai itu, dia melihat bahwa isterinya telah terluka dan melihat warna mukanya, tentu terluka senjata beracun.

Dengan marah dan khawatir sekali Yap Cong San segera menerjang ke depan menggunakan senjata Im-yang-pit hitam putih dengan gerakan cepat seperti kilat. Kembali Bu Leng Ci terkejut. Sungguh tak pernah disangka bahwa di dunia kang?ouw sebelah utara ini terdapat orang?orang pandai seperti suami isteri ini yang sama sekali tidak terkenal namanya. Bahkan sang suami ini lebih lihai daripada isterinya!

Bu Leng Ci berteriak keras dan samurainya kembali berkelebat membentuk gulungan sinar seperti seekor ular naga mengamuk. Namun Yap Cong San yang bersikap hati?hati selalu dapat membendung amukan sinar samurai, bahkan membalas dengan totokan?totokan maut yang bukan tidak berbahaya bagi Bu Leng Ci. Betapapun juga, segera murid lihai dari Siauw?lim?pai ini mendapat kenyataan bahwa lawannya amat tangguh, bahkan dalam hal tenaga sin?kang, dia masih belum mampu menandinginya, terbukti dari getaran?getaran pada kedua tangannya setiap kali Im?yang?pit di tangannya terbentur oleh pedang samurai. Pantas wanita ini menjadi seorang di antara datuk?datuk golongan hitam, kiranya memang amat lihai.

Biarpun demikian, tidak mudah bagi Bu Leng Ci untuk mengalahkan murid Siauw?lim-pai ini yang memiliki ilmu silat aseli dari Siauw-lim-pai dan dapat membentuk pertahanan yang bukan main kuatnya, laksana batu karang yang menahan gempuran badai! Dan lebih celaka lagi bagi Bu Leng Ci ketuka Yan Cu sudah menyambar lagi pedangnya dan biarpun wajah wanita itu ada bayangan gelap, namun peningnya lenyap dan kini ia membantu suaminya menerjang Bu Leng Ci! Menghadapi Yap Cong San saja sudah amat sukar baginya untuk merobohkan pendekar ini, apalagi dikeroyok dua dengan suaminya yang marah itu.

“Robohlah!” Tiba?tiba Bu Leng Ci mengeluarkan suara teriakan nyaring, tangannya bergerak dan sinar hijau menyambar, itulah Siang?tok?soa!

“Awas...!!” Yap Cong San berteriak memperingatkan isterinya dan keduanya cepat melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri. Akan tetapi Bu Leng Ci telah mempergunakan kesempatan itu meloncat ke dalam rumah penginapan. Suami isteri itu mengejar dengan cepat.

Karena merasa tidak kuat kalau harus menandingi suami isteri itu, Bu Leng Ci sudah memondong anak perempuan yang menjadi muridnya dan lari ke luar.

“Iblis betina, hendak lari ke mana kau?” Cong San dan Yan Cu mengejar dan pendekar ini cepat menggunakan senjata rahasianya untuk menyambit bayangan di depan. Senjata rahasia dari Yap Cong San ini berupa mata uang tembaga, uang biasa yang dapat dipergunakan untuk berbelanja, akan tetapi kalau dipergunakan sebagai senjata rahasia, amat hebat dan dapat menembus tulang!

Bu Leng Ci menjerit lirih ketika pundaknya disambar sebuah mata uang, mendatangkan rasa nyeri bukan main. Akan tetapi hal ini malah membuat dia mempercepat larinya. Dengan penasaran Yap Cong San mengejar terus.

“Aduhhh...”

Rintihan isterinya ini membuat Cong San terkejut dan membalik. Ketika dia melihat isterinya terhuyung hampir jatuh, dia cepat menyambar tubuh isterinya. Ternyata Yan Cu telah pingsan. Melihat keadaan isterinya, terpaksa Cong San membatalkan pengejarannya dan cepat berusaha menolong isterinya.

Pasir beracun yang memasuki dada kanan bagian atas itu benar?benar amat hebat. Kulit di bagian dada itu membengkak biru, dan warna kebiruan menjalar sampai ke muka! Tubuh Yan Cu panas sekali, akan tetapi anehnya, wanita itu menggigil kedinginan!

Yap Cong San sudah banyak mempelajari pengobatan dari isterinya. Dia memeriksa sebentar penuh ketelitian setelah merebahkan tubuh isterinya di atas pembaringan dalam kamar mereka. Akhirnya dia menghela napas, menekan kekhawatiran hatinya. Racun wangi itu benar-benar amat berbahaya dan dia sudah tahu akan sifat racun itu. Dia harus menggunakan sin-kang dan obat?obat yang sukar dicari, dan biarpun demikian, agaknya bukan hal yang mudah untuk menyelamatkan nyawa isterinya dari renggutan maut!

Keadaan ini memaksa Yap Cong San menghentikan usahanya mencari puteranya, bahkan dia lalu membawa isterinya untuk beristirahat dan berobat di puncak Pegunungan Lu-liang-san yang sunyi, selain untuk menghindarkan diri dari pengejaran alat pemerintah, juga untuk bersembunyi dari pengejaran tokoh-tokoh hitam. Dalam keadaan seperti itu, amatlah berbahaya bagi isterinya kalau ada lawan kuat datang menyerang.

Demikianiah, dengan penuh ketekunan dan kesabaran Cong San merawat isterinya di puncak Lu-liang-san. Tepat seperti yang diduga dan dikhawatirkannya, pengobatan itu memakan waktu sampai hampir dua tahun! Setelah menghabiskan banyak akar dan daun obat yang dengan susah payah dapat dia temukan di semak?semak belukar dalam hutan di Pegunungan Lu-liang-san, dan banyak pula memeras tenaga sin-kangnya untuk membantu isterinya mengusir hawa beracun, dan memakan waktu dua tahun kurang sedikit, barulah semua racun itu dapat terusir bersih dari tubuh Gui Yan Cu! Setelah isterinya sembuh, mereka telah meninggalkan rumah selama lima tahun lebih!

Nasib buruk yang menimpa sepasang suami isteri ini, cara hidup bersunyi dan segala macam kekhawatiran dan kedukaan berhubung dengah lenyapnya putera mereka, menjadi pupuk yang menambah dalam cinta kasih di antara mereka. Setelah Yan Cu sembuh dan Cong San menganggap perlu bagi isterinya untuk selama beberapa bulan beristirahat memulihkan kesehatan di puncak yang indah pemandangannya dan sejuk hawanya itu, curahan cinta kasih mereka yang makin mendalam sebagai hiburan duka karena memikirkan Kun Liong membuat Yan Cu mengandung lagi! Hal ini mendatangkan kegirangan besar di hati suami isteri itu dan terpaksa mereka memperpanjang kediaman mereka di puncak Pegunungan Lu-liang-san

Dengan hati penasaran dan marah, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci menurunkan muridnya, yang tadi dipondongnya setelah merasa yakin bahwa suami isteri yang lihai itu tidak mengejarnya. Dia membuka bajunya, mengambil obat dan mengobati luka di pundaknya yang terkena sambitan Touw?kut?ci yang dilepas oleh
Yap Cong San. Hatinya merasa penasaran sekali, akan tetapi Bu Leng Ci bukanlah seorang bodoh yang nekat. Dia maklum bahwa menghadapi kedua orang suami isteri itu amatlah berbahaya. Kalau hanya melawan seorang di antara mereka, agaknya dia masih menang sedikit. Akan tetapi kalau harus menghadapi mereka berdua, benar?benar berbahaya sekali.

“Subo, siapakah yang bertanding dengan Subo sampai membuat Subo terluka?” anak perempuan itu bertanya sambil memandang dengan heran dan penasaran. Anak perempuan ini adalah Yo Bi Kiok. Seperti telah diceritakan di bagian depan, hampir enam tahun yang lalu Bi Kiok diambil murid oleh Siang?tok Mo?li setelah ditolong dari tangan Phoa Sek It bekas pengawal Panglima Besar The Hoo yang mencuri bokor emas.

Dengan sia?sia Bu Leng Ci mencari Kun Liong yang disangkanya melarikan bokor emas. Tentu saja dia tidak dapat menemukan Kun Liong karena anak ini telah diambil murid oleh Bun Hoat Tosu di puncak Gunung Teratai Biru dan digembleng selama lima tahun oleh kakek sakti itu.

Selama itu, Bu Leng Ci melatih ilmu silat kepada muridnya dan dia girang sekali memperoleh kenyataan bahwa Bi Kiok memiliki bakat yang baik sekali. Akan tetapi setiap kali teringat akan bokor emas yang dicurinya, dia selalu merasa penasaran sehingga berkali?kali dia mengajak muridnya merantau di sepanjang Sungai Huang?ho untuk menyelidiki dan mencari bokor itu.

Pada waktu itu, dia berada di tepi Huang?ho di lereng Lu?liang?san juga untuk menyelidiki bokor emas dan secara tidak tersangka?sangka, di tempat ini dia sampai terluka oleh suami isteri yang sama sekali tidak terkenal! Hatinya penasaran sekali. Tentu saja dia tidak pernah mimpi bahwa baru beberapa bulan yang lalu dia telah berhadapan muka dengan orang yang menyimpan bokor emas yang diinginkannya itu. Ketika dia membunuhi orang?orang Pek?lian?kauw yang berani melawannya, kemudian bertemu dengan pemuda gundul yang memiliki keberanian luar biasa, dia sama sekali tidak mengira bahwa pemuda gundul itulah yang dahulu dicari?carinya bersama Bi Kiok! Kalau saja dia tahu! Dan semua ini adalah karena Bi Kiok merahasiakan tentang diri Kun Liong, karena dara remaja ini tidak ingin melihat Kun Liong dibunuh oleh gurunya, hal yang sudah pasti terjadi kalau dia beritahukan bahwa bokor itu dilarikan Kun Liong. Karena itu pula, sebelum pergi meninggalkan kuil tua, dengan ujung sepatunya Bi Kiok membuat coretan?coretan di atas tanah memperingatkan Kun Liong agar jangan membicarakan tentang bokor dengan siapapun juga!

Biarpun lukanya tidak hebat, namun hati Bu Leng Ci mendongkol bukan main. Sudah bertahun?tahun dia merantau dan belum pernah dia dikalahkan lawan, jangankan sampai terluka! Hanya sedikit hiburan hatinya bahwa dia telah melukai wanita bernama Gui Yan Cu itu dengan Pasir Beracun Wangi. Mengingat ini, dia tersenyum sendiri dan kemarahannya lenyap.

“Hemm, aku terluka hanya sedikit, tidak ada artinya, akan tetapi perempuan itu akan mampus oleh Siang?tok?soa yang mengenai dadanya. Tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkan racun pasirku!” katanya dengan menjawab pertanyaan muridnya tadi.

“Subo, selama enam bulan ini Subo selalu mencari bokor emas tanpa mengenal lelah. Sebetulnya apa sih gunanya bokor itu?” Mereka duduk di bawah pohon dan Bi Kiok memandang gurunya yang sudah selesai membalut luka di pundaknya. Bi Kiok telah menjadi seorang dara remaja berusia empat belas tahun, wajahnya cantik namun sikapnya selalu serius dan dingin. Hal ini agaknya, karena terlampau banyak kepahitan yang dideritanya selama hidupnya.

Bu Leng Ci memandang muridnya. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang selalu patuh, rajin berlatih, dan juga kelihatan berbakti dan sayang kepadanya. Iblis betina ini tersenyum. “Aihh, kau tidak tahu, muridku. Bokor itu merupakan benda pusaka yang amat berharga, mungkin pusaka yang paling berharga yang dimiliki The Hoo.”

“Hemm, apakah Subo membutuhkan emas? Betapa mudahnya kalau Subo menghendaki emas.” Dengan kata?kata ini Bi Kiok hendak menyatakan babwa kalau gurunya menghendaki, mereka dapat saja mengambil dan merampas emas milik siapapun juga, tidak perlu mencari-cari benda yang telah hilang itu.

“Emas? Hi?hi?hi, siapa butuh emas? Bokor itu kabarnya, dan ini hanya kabar angin yang membocor dari rahasia Panglima The Hoo, mengandung peta rahasia yang menunjukkan tempat persembunyian harta pusaka terpendam yang tak ternilai harganya.”

“Apakah Subo membutuhkan harta?”

Kembali iblis betina itu tertawa sambil menggeleng kepalanya. Kalau melihat dia sedang bercakap?cakap dengan muridnya sambil tersenyum manis seperti itu, orang tidak akan menyangka bahwa dialah Siang-tok Mo-li, iblis betina yang menggemparkan dunia kang-ouw karena kelihaian dan kekejamannya, mengerikan hati orang karena kebiasaannya yang menyeramkan dan menjijikkan, yaitu mengganyang jantung manusia mentah-mentah, diambil langsung dari rongga dada seorang lawan hidup-hidup! Sepatutnya dia seorang wanita bertubuh pendek yang cantik manis dan sayang kepada muridnya.

“Aku tidak membutuhkan harta karena apa saja yang bisa didapatkan dengan harta, dapat pula kuperoleh asal aku menghendakinya. Akan tetapi harta yang amat besar itu perlu untuk mencapai suatu tingkat kedudukan tinggi, dan pula, yang amat menarik hati adalah kitab pusaka ilmu kesaktian simpanan yang dirahasiakan manusia sakti The Hoo!”

Memang demikianlah, seperti Siang-tok Mo-li itulah isi pikiran sebagian besar manusia di dunia ini. Betapa menyedihkan! Manusia diombang-ambingkan oleh keinginan, dan membagi?bagi keinginan itu sebagai keinginan baik, keinginan luhur, keinginan suci dan sebagainya. Padahal, apakah perbedaan antara keinginan yang ini dengan keinginan yang itu? Apakah perbedaan antara keinginan menjadi pandai, menjadi kaya, menjadi mulia dan lain?lain? Bahkan, apakah bedanya antara keinginan duniawi dan keinginan batiniah? Tetap sama, keduanya keinginan juga yang terdorong oleh hati tidak puas akan keadaan sekarang dan menginginkan keadaan lain yang belum terlaksana, atau terdorong oleh rasa takut akan masa depan, takut akan sesuatu yang tidak disukainya. Kita lupa bahwa keinginan melahirkan kekecewaan apabila tidak tercapai. Apakah akan mendatangkan kepuasan mutlak apabila tercapai? Biasanya tidak! Keinginan yang tercapai akan terasa hampa, tidaklah seindah dan senikmat kalau belum tercapai, kalau masih menjadi angan-angan, karena pikiran yang selalu terbetot untuk mencari sesuatu yang belum ada, selalu akan tertarik pula untuk menjangkau yang baru lagi. Keadaan sekarang dianggap sudah lama dan membosankan, selalu ingin yang baru, lupa bahwa yang baru itu kalau sudah tercapai tangan, akan membosankan pula dan menjadi barang lama juga! Demikianlah, kita akan terperosok ke dalam lingkaran setan, terus beringin, terus menjangkau dan hidup menjadi hamba keinginan!

Ada sebagian orang yang menganggap bahwa adanya keinginan itulah yang membuat manusia hidup menjadi maju! Apakah yang dimaksudkan dengan kemajuan? Apakah adanya pertentangan antar manusia, perang, kelaparan di sana-sini, permusuhan, dendam, iri dan benci-membenci ini termasuk kemajuan? Apakah setiap perbuatan, setiap pekerjaan yang dilakukan, harus didasari keinginan? Apakah kalau orang menanam jagung tanpa mengharapkan apa?apa, melakukan demi cintanya kepada pekerjaan itu saja, maka hasilnya akan berkurang? Apakah benar bahwa kemajuan lahir karena keinginan? Keinginan membuat manusia menjadi hamba, terikat, dan hidupnya seperti boneka yang digerakkan oleh benang?benang nafsu keinginan. Tidak ada kebebasan dalam arti kata yang selengkapnya. Dan selama hidup kita dicengkeram sepenuhnya setiap saat oleh keinginan, maka pertentangan antar manusia tentu saja takkan pernah berhenti karena keinginan mutlak dikuasai oleh si aku, demi aku, punyaku dan selamanya kita bergerak demi aku masing?masing, damai dan tenteram antara manusia takkan pernah terujud! Pertentangan, persaingan, perebutan untuk aku masing-masing akan terus berlangsung, baik antara perorangan, antara kelompok, antara ras, antara bangsa!

Betapa menyedihkan. Bilakah manusia sadar sepenuhnya akan hal ini? Bukan hanya untuk mengetahui, karena pengetahuan hanyalah pengekoran belaka, mengekor yang sudah ada, yang sudah lalu. Setiap orang pencuri TAHU bahwa mencuri adalah tidak baik. Setiap orang penjudi TAHU bahwa berjudi adalah tidak baik. Namun dia tetap mencuri, dia tetap berjudi. Akan tetapi sekali dia MENGERTI, dalam arti kata mengerti sampai ke akarnya, mengenal diri dan keadaan dirinya sendiri, maka pengertian ini akan menghapus semua itu sehingga lenyap tanpa bekas!

“Subo,” Bi Kiok berkata lagi, “teecu (murid) kira akan percuma saja mencari sebuah benda yang tidak kita ketahui di mana adanya. Bagaimana mungkin mencari sebuah bokor emas dan sepanjang sungai Huang-ho yang begini luas dan panjang? Biar membuang waktu seratus tahun, mana mungkin dapat memeriksa daerah Huang?ho sampai habis?

“Engkau benar, Bi Kiok. Agaknya bocah itu berada di tangan orang lain. Suami isteri yang lihai itu mencurigakan. Akan tetapi berat untuk melawan mereka seorang diri. Biarlah sekarang kita pergi mengunjungi Telaga Kwi?ouw yang tidak jauh dari sini.”

Bi Kiok mengerutkan alisnya yang hitam panjang kecil. “Telaga Kwi?ouw? Bukankah di sana sarang Kwi?eng?pang?”

“Benar. Aku hendak menemui Kwi?eng?pangcu (Ketua Kwi?eng?pang), yaitu Kwi?eng Niocu Ang Hwi Nio. Kedudukan kami berdua setingkat. Di dunia sekarang ini hanya ada lima orang yang diakui sebagai tokoh?tokoh yang mewakili kelima penjuru. Aku mewakili selatan, Kwi?eng Niocu mewakili barat, Ban?tok Coaong mewakili utara, Hek?bin Thian?sin mewakili timur, dan Toat?beng Hoatsu mewakili daerah di tengah daratan. Kabarnya mereka itu semua condong untuk bersekutu dengan Pek?lian?kauw dan bersama?sama menyusun kekuatan untuk menghadapi pemerintah. Dengan bergabung bersama mereka, tentu kelak akan terbuka jalan bagiku untuk memperoleh bokor itu.”

“Akan tetapi... Subo telah membunuh orang?orang Pek-lian-kauw di kuil itu, melukai tosu Pek-lian-kauw, membunuh teman murid Kwi-eng Niocu dan melukai murid kepala yang menjadi Ketua Ui-hong-pang itu! Tentu Subo akan dimusuhi mereka.”

“Heh-heh, memang kusengaja! Itulah semacam kartu namaku untuk mereka, agar mereka membuka mata dan tahu siapa Siang-tok Mo-li dari selatan! Orang-orang itu berani menentangku, bukan? Sudah sepatutnya dibunuh. Hal ini tentu dimengerti oleh para pimpinan Pek-lian-kauw, maka kubiarkan tosu itu hidup. Dan kulukai murid Kwi-eng Niocu agar dia tidak memandang rendah kepadaku!”

“Akan tetapi, mungkinkah mereka mau mengerti setelah Subo melakukan kesukaan Subo atas diri para anggauta Pek-lian-kauw itu? Subo tidak hanya membunuh mereka, akan tetapi makan jantung mereka. Teecu tahu bahwa Subo mempunyai kebiasaan itu untuk memperkuat diri Subo, dan biarpun teecu sendiri tidak suka karena jijik untuk melakukannya, akan tetapi teecu tidak menentang. Hanya yang teecu sangsikan, apakah pihak Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pang akan dapat menerimanya?”

“Mereka sudah tahu akan kebiasaan dan kesukaanku, tentu mereka mengerti.”

“Jadi mereka sudah mengerti? Akan tetapi teecu yang menjadi murid Subo malah belum mengerti mengapa Subo hanya suka makan jantung pria saja.”

“Hal itu ada hubungannya dengan riwayatku, Bi Kiok.”

“Mengapa tidak Subo ceritakan kepada teecu?”

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci menarik napas panjang, lalu berkata, “Aku tidak suka menggali riwayat lama yang menyakitkan hati, akan tetapi tidak kuceritakan pun kelak engkau akan mengetahui.
Daripada mendengar dari orang lain yang mungkin memutarbalikkan kenyataan, baiklah kaudengarkan riwayat singkatku yang menjadi pendorong mengapa aku hanya suka mengganyang jantung pria.”

Iblis Betina Racun Wangi itu lalu bercerita dengan singkat. Ketika dia masih muda sekali, dia telah mengalami bermacam penghinaan dan perlakuan buruk dari kaum pria. Bu Leng Ci adalah seorang peranakan Jepang. Ibunya diculik bajak laut Jepang, karena ibunya adalah seorang gadis nelayan di pantai laut selatan, kemudian ibunya dipaksa menjadi isteri muda kepala bajak itu sampai melahirkan dia. Kemudian, dalam usia empat belas tahun dia dikawinkan dengan seorang laki-laki tua bangsa Jepang dan tinggal di Jepang. Biarpun tua, laki-laki itu adalah seorang pendekar samurai yang kenamaan. Hanya sayang, kakek itu hanya memperisterinya untuk melayaninya dalam keperluan sehari?hari belaka dan semenjak menjadi isterinya, jago samurai itu tidak pernah tidur dengannya! Tentu saja hal ini menjadi siksaan dan barulah diketahui bahwa jago samurai yang dalam istilah dunia persilatan adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) itu pantang untuk tidur dengan wanita. Maka terjadilah hal yang wajar dalam keadaan seperti itu. Seorang pemuda, tetangga mereka, seorang pemuda Jepang yang tampan, menarik hatinya. Mereka saling jatuh cinta. Hal ini diketahui oleh suaminya. Namun pendekar Jepang itu, bersikap murah dan bijaksana, bahkan memberikan Leng Ci untuk menjadi lateri pemuda itu.

Namun, masa penuh madu itu hanya berlangsung tidak lebih dari beberapa bulan saja bagi Leng Ci. Suaminya, pemuda yang tadinya bersumpah kerak-keruk mencintainya, segera berpaling muka dan bermain gila dengan wanita-wanita lain. Dia menjadi seorang wanita yang disia-siakan oleh suami!

Pada waktu itu, Leng Ci pandai bermain pedang samurai, dilatih oleh suaminya yang pertama. Setelah beberapa kali bercekcok, akhirnya Leng Ci membunuh suami ke dua ini bersama kekasih suaminya, dan melarikan diri, ikut ayahnya menjadi bajak laut.

Dalam beberapa tahun saja, karena dia memiliki wajah yang cantik manis, dia jatuh ke dalam pelukan berbagai pria yang tadinya bertekuk lutut bersumpah menyatakan cinta, akan tetapi kemudian meninggalkannya untuk wanita lain. Belasan orang pria yang sudah dibunuhnya karena itu, dan akhirnya, ketika dia betul-betul jatuh cinta kepada seorang laki-laki gagah di pantai selatan, dia kembali menjadi isteri laki-laki ini dan hidup bahagia di pantai selatan. Pada waktu itu dia baru berusia tujuh belas tahun!

Betapa menyedihkan hatinya ketika suami terakhir yang benar?benar dicintanya ini pun tidak setia kepadanya, dan mata duitan pula. Suaminya adalah seorang tokoh dunia kaum sesat, dan pada suatu hari, suaminya itu membiusnya dengan obat sehingga dia tertidur dan dalam keadaan seperti itu, dia telah “dijual” oleh suaminya kepada lima laki-laki golongan hitam yang berani membayar mahal. Selama dua hari dua malam, dalam keadaan pulas karena selalu dilolohi obat bius ini, dia dipermainkan dan ditiduri oleh lebih dari sepuluh orang laki?laki dan untuk itu suaminya telah mengantongi banyak uang!

Setelah sadar, Leng Ci mendapatkan dirinya telah terhina dan suaminya telah kabur membawa uang hasil penjualan dirinya dan semua barang berharga dalam rumah. Bu Leng Ci lalu mencari suaminya itu dan beberapa bulan kemudian, dia dapat menemukan suaminya, membunuhnya dan mengganyang jantung pria itu hidup?hidup! Itulah pertama kalinya makan jantung pria semenjak itu, setiap membunuh seorang pria, dia selalu makan jantungnya. Makin lama Bu Leng Ci makin lihai, apalagi ketika kemudian dia berhasil menarik hati seorang datuk kaum sesat yang menjagoi daerah selatan, yaitu Lam?hai Sin?ni (ibu Sie Biauw Eng) yang berkenan menurunkan beberapa ilmu silat tinggi, kepandaian Bu Leng Ci meningkat tinggi. Bahkan dia memperdalam pula ilmu pedang samurai dari suami pertamanya yang masih sayang kepadanya dan dengan suka hati menggemblengnya.

Selama Lam?hai Sin?ni masih hidup, tentu saja Bu Leng Ci tidak berani menjagoi di daratan dan dia bahkan bersembunyi di Jepang untuk memperdalam ilmu samurainya. Ketika jago samurai, suami pertamanya meninggal dunia, dia mewarisi semua milik bekas suami itu, termasuk pedang samurainya. Dia telah mendengar akan kematian Lam?hai Sin?ni, barulah dia berani mendarat dan mulai melakukan petualangannya di daerah selatan sehingga belasan tahun kemudian dia menjadi datuk dari kaum sesat untuk daerah selatan.

“Demikianlah riwayat singkatku, muridku. Kaum pria hanya memandang wanita sebagai alat untuk memuaskan nafsu birahinya belaka! Cinta yang didengang?dengungkan, yang diucapkan dengan seribu satu macam sumpah, hanya dipergunakan sebagai umpan untuk memikat. Setelah kepuasan nafsu berahinya terpenuhi, maka mulailah matanya melirik ke kanan kiri mencari korban baru untuk memuaskan nafsu-nafsunya. Karena itu, aku muak dan aku benci kepada kaum pria umumnya!”

Biarpun dia sendiri telah banyak mengalami hal-hal yang mengerikan dan yang membuat hatinya mengeras, mendengar cerita gurunya ini, meremang juga bulu tengkuk Bi Kiok.

Maka berangkatlah guru dan murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan pantai Sungai Huang-ho menuju ke barat untuk mengunjungi Kwi-eng-pai di Telaga Setan di barat. Akan tetapi, baru berjalan setengah hari lamanya, di luar sebuah hutan mereka bertemu dengan lima orang laki-laki yang keluhatannya gagah perkasa dan yang melakukan perjalanan dengan ilmu berlari cepat. Setelah dekat, guru dan murid ini mengenal seorang di antara mereka yang bukan lain adalah Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang yang berpakaian serba kuning, murid kepala Kwi-eng Niocu Si Bayangan Hantu yang pernah dilukai oleh Bu Leng Ci. Melihat orang ini, sambil terkekeh Bu Leng Ci menggerakkan kakinya melompat dan dia telah berdiri menghadang di tengah jalan! Akan tetapi, ketika melihat wanita itu, Kiang Ti tidak menjadi takut atau kaget, bahkan tersenyum lebar dan cepat dia menjura sambil berkata, “Aihh, sungguh beruntung sekali dapat berjumpa dengan Locianpwe di sini! Kami memang sedang menanti Locianpwe.”

Bibir yang tipis merah itu tersenyum mengejek, “Apakah kau membawa teman untuk membalas pukulanku dahulu itu? Kalau hendak membalas, mengapa bukan gurumu sendiri saja yang datang?”

Biarpun ucapan itu terdengar mengandung ejekan dan penghinaan, namun ketua dari Ui-hong-pang itu sama sekali tidak menjadi marah, bahkan tersenyum makin lebar. “Maaf, maaf... mana saya berani? Sama sekali bukan demikian, Locianpwe. Sesungguhnya kami diutus oleh Subo (Ibu Guru) untuk mencari Locianpwe dan mengundang Locianpwe untuk hadir dalam pertemuan puncak antara lima datuk yang akan mengadakan pertemuan dengan pimpinan Pek-lian-kauw, berempat di Kwi-ouw.”

Girang sekali hati Bu Leng Ci. Ternyata bahwa pengiriman “kartu nama” darinya itu berhasil. Dia telah diakui dan mendapat kehormatan besar! Betapapun juga, dia menekan kegirangan hatinya sehingga tidak tampak pada mukanya, dan dia berkata, “Apakah kalian mengenal seorang bernama Yap Cong San dan isterinya bernama Gui Yan Cu?”

Kian Ti dan teman?temannya saling pandang. Mereka berlima adalah tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, murid-murid terkemuka dari Kwi-eng Niocu dan sudah mempunyai pengalaman luas. Namun karena mereka itu bergerak di daerah barat, sedangkan Yap Cong San dan isterinya bertahun-tahun berada di Leng-kok dan tak pernah terjun ke dunia kang-ouw, maka mereka tidak mengenal suami isteri ini.

“Kami tidak pernah mendengar nama mereka, Locianpwe.”

“Mereka adalah orang-orang penting, sebaiknya kalau kalian mencari mereka yang berada di daerah ini. Kalau berhasil menangkap mereka, bawa ke Kwi-ouw. Aku dan muridku akan langsung mendahului ke Kwi-ouw.”

Kiang Ti dan teman-temannya menyanggupi dan kelima orang itu lalu melanjutkan perjalanan mencari suami isteri seperti yang diperintahkan Bu Leng Ci. Sedangkan Bu Leng Ci sendiri melanjutkan perjalanan menuju ke Kwi-ouw dan diam-diam dia mentertawakan murid-murid Kwi-eng Niocu itu.

“Subo, dua orang yang telah berhasil dilukai Subo, mana mungkin dapat ditangkap oleh lima orang itu?” Tiba-tiba Bi Kiok bertanya.

“Heh?heh, kau cerdik muridku. Memang kecil sekali kemungkinan mereka akan dapat menangkap suami isteri itu biarpun si isteri telah terluka oleh Siang-tok-soa di dadanya. Akan tetapi peduli apa? Kalau lima orang Kwi-eng-pai itu tewas, berarti suami isteri itu menjadi musuh Kwi-eng-pang, dan kalau sampai mereka berhasil menawan suami isteri itu, ada gunanya juga bagi kita. Mereka itu adalah ayah bunda bocah setan yang bernama Kun Liong itu.”

Sebelum Bi Kiok menjadi murid iblis betina itu, tentu dia akan berseru kaget mendengar ini, atau setidaknya tentu akan berubah air mukanya. Akan tetapi, semuda itu, Bi Kiok telah dapat menguasai perasaannya sehingga biarpun dia kaget bukan main, namun tidak ada perubahan pada wajahnya yang cantik dan dingin.

Namun pertemuan puncak antara lima orang datuk itu tidak lengkap. Yang hadir dalam pertemuan itu hanyalah Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu, dan Hek-bin Thian-sin saja. Sedangkan dua orang datuk yang lebih tua dan lebih terkenal, yang dianggap sebagai datuk nomor satu dan nomor dua, yaitu Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, tidak muncul. Hal ini mengecewakan para pimpinan Pek-lian-kauw, maka atas persetujuan bersama, pertemuan puncak diundur sampai kedua orang datuk itu dapat ditemukan dan diundang.

Melihat sarang yang menjadi pusat Kwi-eng-pang di mana Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio menjadi ketuanya, Bu Leng Ci merasa iri hati sekali. Sebagai seorang perantau dan petualang, melihat keadaan “rekannya” yang makmur ini, hatinya ingin sekali seperti rekannya itu.

Keadaan Kwi-eng-pang memang kuat sekali. Markas mereka berada di pulau kecil yang letaknya di tengah-tengah Kwi-ouw, sebuah telaga yang besar dikurung hutan-hutan pegunungan sehingga bayangan hutan-hutan yang gelap membuat air telaga yang tenang dan dalam itu kelihatan hitam menyeramkan. Karena ini agaknya maka telaga ini disebut Telaga Setan. Di atas pulau ini didirikan rumah-rumah, memenuhi pulau. Rumah gedung yang mewah di tengah-tengah adalah tempat tinggal Sang Ketua, sedangkan rumah-rumah di sekitarnya ditinggali para pimpinan dan anggauta Kwi-eng-pang yang jumlahnya lebih dari dua ratus orang, laki?laki dan wanita. Pekerjaan para anggauta Kwi-eng-pang, selain berlatih silat, juga sebagai nelayan di telaga, ada yang bercocok tanam di sekeliling telaga yang memiliki tanah subur, ada pula yang berburu binatang di dalam hutan-hutan. Akan tetapi yang menjamin kehidupan mereka hidup mewah dan makmur adalah “sumbangan-sumbangan” dari para penduduk di daerah itu, sumbangan atau “pajak” yang diberikan baik secara sukarela karena takut atau dengan paksaan!

Telaga itu sendiri sebetulnya amat dalam dan mengandung banyak ikan. Akan tetapi semenjak Kwi-eng Niocu bermarkas di tempat itu belasan tahun yang lalu, keadaan telaga berubah menjadi tempat yang berbahaya sekali, Di sekeliling pulau, di dalam air telaga dipasangi banyak alat rahasia yang membahayakan para pendatang, dan setelah banyak penduduk sekitar daerah itu yang biasanya mencari ikan di telaga tewas dalam kedaan mengerikan, kini tidak ada lagi orang berani mendekati telaga itu.

Hanya para anggauta Kwi-eng-pang saja yang berani mendayung perahunya di atas telaga karena mereka telah hafal akan rahasia di situ. Dengan demikian, selain memonopoli semua ikan yang berada di dalam air telaga, juga keadaan markas di pulau itu terlindung kuat, tidak mudah diserbu musuh seperti keadaan sebuah benteng saja layaknya!

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih. Selamanya belum pernah menikah sehingga orang-orang yang tidak suka kepadanya mengatakan bahwa saking jahatnya maka Ang Hwi Nio menjadi seorang perawan tua! Tubuhnya masih ramping, agak tinggi, dan biarpun usianya sudah mendekati enam puluh tahun, rambutnya belum ada ubannya sama sekali, matanya masih terang dan giginya masih utuh tersusun rapi seperti keadaan seorang perawan muda saja! Pakaiannya selalu bersih dan rapi, seperti pakaian seorang nyonya bangsawan, juga rambutnya diminyaki dan digelung rapi, dihias emas permata yang mahal-mahal. Melihat orangnya, yang tidak mengenalnya tentu akan mengira dia seorang wanita yang mulai berangkat menjadi nenek-nenek lemah! Akan tetapi sesungguhnya dia adalah seorang yang berilmu tinggi, seorang yang ditakuti dunia kang-ouw.

Bahkan mendengar namanya disebut saja sudah cukup membuat jantung orang berdebar tegang dan bulu tengkuk meremang karena sudah terkenal di mana-mana nama ini, sudah diketahui semua orang bahwa wanita yang tak pernah keluar dari pulau itu, sekali keluar tentu akan ada yang tewas di tangannya. Hebatnya, setiap kali dia turun tangan membunuh orang yang dikehendakinya, tidak ada yang dapat melihatnya, hanya melihat bayangannya saja dan mendengar suara ketawanya yang halus. Karena sepak terjangnya inilah maka dia dijuluki Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu). Disebut nona karena dia masih perawan dan disebut Bayangan Hantu karena yang tampak hanya bayangannya.

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tinggal di pulau telaga itu dan hidup sebagai seorang ratu! Rumahnya merupakan gedung indah dan mewah seperti sebuah istana saja, setiap hari dikelilingi pelayan-pelayan cantik dan cara hidupnya royal dan mewah sekali.

Memang Ang Hwi Nio ini tidak pernah menikah. Akan tetapi dia mempunyai seorang anak angkat, juga merupakan murid yang paling pandai. Anak angkat ini bernama Liong Bu Kong, pada waktu itu berusia sembilan belas tahun. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali sehingga patut tinggal di dalam istana itu, patut menjadi putera seorang bangsawan, dan mengherankan kalau pemuda setampan ini menjadi putera seorang iblis betina seperti Kwi-eng Niocu! Wajah pemuda ini tampan dan bibirnya selalu menyungging senyum dikulum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya selalu berseri. Akan tetapi bagi yang memperhatikan, di balik sinar mata itu terdapat sesuatu yang membuat orang menjadi curiga dan ngeri. Tidak ada seorang pun mengetahui dari mana datangnya pemuda ini. Para anggauta Kwi-eng-pang sendiri hanya mengetahui bahwa ketua mereka itu datang-datang membentuk Kwi-eng-pang sudah membawa seorang anak laki-laki bernama Liong Bu Kong yang menurut pengakuannya adalah anak angkatnya.

Melihat keadaan ini semua, tidak mengherankan apabila timbul iri dan ingin di dalam hati Bu Leng Ci. Dia merasa suka tinggal di tempat itu, dan melihat betapa rekannya itu, Ang Hwi Nio, hidup dalam kernewahan dan kemuliaan, dihormati sebagai ratu oleh dua ratus orang lebih, disegani dan ditakuti orang-orang di sekitar daerah itu.

“Tempatmu ini hebat sekali, membuat orang betah berada di sini,” kata Bu Leng Ci ketika pada suatu siang dia bersama muridnya duduk berhadapan dengan Ang Hwa Nio di tepi telaga, dalam sebuah taman buatan yang indah, di bawah pohon yangliu yang bergerak-gerak meliuk-liuk seperti tubuh seorang penari yang lemah gemulai!

“Engkau suka dengan tempat ini?” Kwi?eng Niocu bertanya tanpa mengangkat muka karena dia sedang asik memeriksa kuku jari?jari tangannya. Kukunya panjang?panjang dan terpelihara baik-baik, diberi warna merah muda, dan dipelihara meruncing. Kelihatannya memang bagus dan cantik sekali, akan tetapi dalam pandangan orang kang-ouw tangan dengen kuku jari panjang-panjang menarik itu sama sekali tidak tampak indah menggairahkan, bahkan sebaliknya mendatangkan rasa ngeri karena satu di antara kehebatan ilmu wanita ini terletak pada kukunya yang beracun itu! Jangankan sampai kena dicengkeram, baru tergurat sedikit saja sudah cukup mengirim nyawa lawan ke neraka! “Kalau memang suka mengapa tidak tinggal di sini saja?”

Bu Leng Ci mengangkat muka, sinar matanya menyambar dan kedua alisnya berkerut.

“Apa maksudmu, Pangcu (Ketua)?” tanyanya, suaranya mengandung kemarahan. “Engkau begitu berani memandang rendah kepadaku dan menyuruh aku menjadi kaki tanganmu atau anak buahmu?”

Kwi-eng Niocu Ang Hwa Nio melirik dan senyum yang menghias bibirnya amat menyeramkan. “Siapa yang ingin engkau menjadi anak buahku, Mo-li? Kita adalah rekan dan kedudukan kita setingkat, sungguhpun aku menjadi seorang pangcu dan engkau hanya seorang petualang tanpa tempat tinggal. Engkau tadi mengatakan suka kepada tempat ini dan aku menawarkan kepadamu untuk tinggal di sini, bukan sebagai anak buah, bukan pula sebagai pembantuku karena engkau memang bukan anggauta Kwi-eng-pang.”

“Habis, sebagai apa? Tamu? Mana ada tamu tinggal terus-menerus?”

“Juga bukan tamu, tetapi sebagai adik angkat. Maukah?”

Bu Leng Ci bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah. Bi Kiok yang sejak tadi duduk mendengarkan dan menonton, diam saja namun diam-diam dia merasa tegang juga karena kalau sampai gurunya dan Ketua Kwi-eng-pang itu bertanding, tentu hebat bukan main akibatnya. “Kwi-eng-pangcu! Menjadi adik angkat berarti harus tunduk dan taat kepada kakak angkatnya, berarti sama saja! Apakah dengan memberi tempat tinggal kepadaku harus kubayar dengan tunduk dan taat kepadamu?”

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tertawa, suara ketawanya merdu dan halus, akan tetapi ada sesuatu yang dingin dan menyerannkan di balik suara ketawa ini, seperti suara ketawa seekor ibils betina yang merayu dan menjatuhkan hati orang-orang yang kurang kuat batinnya.

“Siang-tok Mo-li, tepat sekali apa yang kudengar tentang dirimu. Kau amat keras hati dan penuh prasangka. Cocok untuk menjadi adikku! Tentu saja sudah sepatutnya kalau kau menjadi adik angkatku, bukankah aku lebih tua darimu, sedikitnya sepuluh tahun lebih tua? Apa engkau merasa rendah dengan menjadi adik angkat Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, ketua dari Kwi-eng-pang?”

“Betapapun juga, seorang adik angkat tentu lebih rendah dari kakaknya, dan hal ini sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan usia.”

“Hemmm, habis apa yang menentukannya kalau bukan usia? Kaumaksudkan kepandaian? Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, apakah engkau tidak percaya bahwa kepandaianku lebih tinggi daripada kepandaianmu?”

“Ah, aku tidak percaya!”

Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan dan Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sudah lupa akan kukunya, kini memandang kepada wanita pendek di depannya itu penuh perhatian.

“Kalau begitu, biarlah kepandaian yang menentukan!”

“Kwi-eng Niocu, aku tidak takut kepadamu! Akan tetapi, aku diundang ke sini untuk menghadiri pertemuan puncak yang sayangnya gagal. Setelah semua orang pergi, kau menahan aku untuk tinggal beberapa hari di sini. Sepantasnya aku berterima kasih kepadamu dan akan ditertawakan orang kalau aku sekarang bertanding melawanmu sebagai musuh! Pikirlah baik-baik! Benarkah kita harus saling bermusuh, bukan bersekutu seperti yang direncanakan semula?”

Kembali Kwi-eng-cu Ang Hwi Nio tertawa halus. “Hi-hi-hih, Bu Leng Ci, engkau benar-benar keras seperti baja! Diajak menguji kepandaian kauanggap bertempur seperti musuh! Dikalahkan dengan usia kau tidak mau, maka jalan satu-satunya untuk menentukan siapa yang patut menjadi kakak dan siapa adik, hanyalah dengan mengukur kepandaian masing-masing!”

Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Kini dia mengerti apa yang dikehendaki oleh Ketua Kwi-eng-pang yang aneh ini. Akan tetapi, dia tetap ragu-ragu biarpun dia akan suka sekali tinggal di tempat yang indah itu.

“Tetap saja tidak baik, Pangcu” Dia menggeleng kepala. “Kalau aku kalah atau menang, tidak akan berubah, kita tidak mungkin tinggal terus bercampur menjadi satu di tempat ini. Kalau aku menang, aku tidak mau menjadi Ketua Kwi-eng-pang.”

“Di sebelah timur pulau ini ada sebuah pulau lain yang lebih kecil, akan tetapi tidak kalah indahnya. Tempat itu sekarang masih kubiarkan kosong dan dapat dijadikan tempat tinggal seorang di antara kita.”

Sinar mata Bu Leng Ci berseri dan dia menoleh ke kiri. Benar saja, dari tempat yang agak tinggi di taman itu, dia melihat sebuah pulau lain yang penuh dengan pohon?pohon.

“Hemm, kalau begitu, lain persoalannya. Bagaimana kita akan mengukur kepandaian masing-masing? Dengan bertanding? Besar kemungkinan yang kalah akan tewas seketika!”

Ang Hwa Nio mengangguk. “Kau benar, tidak perlu kita bertanding tanpa sebab dan menghadapi bahaya maut secara konyol. Aku mendengar kau memiliki banyak macam ilmu, akan tetapi yang paling terkenal adalah samuraimu itu. Nah, kita berlumba, siapa yang lebih unggul, samuraimu ataukah kuku jariku.”

“Pangcu, jangan main-main! Ataukah kau benar-benar memandang rendah samuraiku? Kalau cuma kuku jarimu yang rusak, masih tidak apa, bagaimana kalau sampai jari tanganmu ikut putus?”

“Hi-hi-hik, kembali kau salah sangka. Jangan membesarkan prasangka, kataku tadi. Kita bukan bertanding, melainkan berlumba. Llhat di permukaan air telaga itu, banyak ikan-ikan kecil bukan? Nah, kita berlumba cepat, mana yang lebih cepat menangkap ikan-ikan itu, samuraimu ataukah kuku jariku. Tentu saja hal itu bukan menjadi tanda siapa yang lebih lihai kalau bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi setidaknya dapat dipakai untuk menentukan siapa patut menjadi kakak dan siapa adik.”

Bu Leng Ci mengangguk-angguk. Tentu saja dia berani berlumba seperti itu. Betapapun juga, samurainya lebih paniang dan tentu dia lebih cepat.

“Kalau sudah ketahuan siapa yang menang bagaimana?”

“Yang menang akan menjadi kakak angkat dan tetap tinggal di pulau ini, yang kalah menjadi adik angkat dan tinggal di pulau yang lebih kecil. Kita tetap bersaudara.”

Apa pun akibatnya, kalah atau menang, tetapi enak dan menyenangkan hati Bu Leng Ci. Andaikata kalah sekalipun, bukan hal yang merendahkan untuk menjadi adik angkat Ketua Kwi-eng-pang, bukan berarti menjadi anak buahnya atau menjadi orang yang lebih rendah tingkat kedudukannya!

Betapapun juga, pengalaman hidupnya yang penuh kepahitan membuat wanita iblis ini selalu penuh prasangka dan amat hati?hati menjaga diri. Maka dia masih belum puas dan belum mau menerima begitu saja sebelum dia mengetahui apa yang menjadi sebabnya maka Ang Hwa Nio sebaik itu kepadanya, malah suka mengangkatnya sebagai saudara. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan kaum sesat, di antara bajak-bajak. Tidak ada perbuatan yang tidak berdasarkan suatu kehendak atau keinginan demi keuntungan diri sendiri. Perbuatan yang menyimpang dari dasar ini merupakan hal yang tidak mungkin, atau tidak lumrah!

“Aku dapat menerima usul itu, Pangcu. Akan tetapi, apakah sebabnya engkau ingin menjadi saudara angkatku?”

“Tentu saja ada sebabnya, Mo-li. Akan tetapi jangan khawatir, bukan hanya untuk kepentinganku pribadi, melainkan juga keuntunganmu, keuntungan kita berdua sebagai wanita-wanita yang sama membenci pria.”

“Eh? Apa maksudmu?”

“Dengar baik-baik. Pada waktu sekarang ini, di dunia kita hanya ada lima orang datuk, bukan? Dua di antaranya adalah kita, dan yang tiga lagi semua pria. Menurut pendapatku, tingkat kepandaian kita berlima seimbang dan mungkin sekali tingkat kepandaian dua di antara mereka, Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong, agak lebih tinggi. Sekali waktu tentu akan timbul perebutan untuk diakui sebagai nomor satu yang akan menjadi pemimpin, dan agaknya seorang di antara mereka itu tentu akan menang. Akan tetapi, kalau kita menjadi enci dan adik angkat, dengan maju berdua, siapakah di antara mereka bertiga yang akan mampu mengalahkan kami? Mengertikah kau?”

Bu Leng Ci mengangguk-angguk dan diam-diam memuji kecerdikan Ketua Kwi-eng-pang itu. Memang akan sial sekali kalau sampai seorang pria menjadi pimpinan kelima orang datuk. Harus tunduk kepada seorang pria. Tidak sudi! Melawan seorang diri akan berat sekali.

“Akan tetapi, bagaimana kalau mereka pun bersatu seperti kita?”

“Tidak mungkin! Mereka bertiga bersaing, mana mau bersatu! Nah, bagaimana? Maukah engkau menjadi saudara angkatku?”

“Baik, mari kita mulai berlumba!”

Kedua orang wanita sakti itu lalu berdiri di tepi pulau, memandang ke arah air telaga, menanti munculnya ikan-ikan kecil yang kadang-kadang tenggelam, bermain-main di permukaan air. Bi Kiok juga berdiri dan menonton dengan wajah tak berubah, biarpun diam-diam dia merasa girang juga akan keputusan gurunya. Dia pun sudah bosan diajak merantau terus, tidak tentu tempat tinggalnya. kadang-kadang tidur di atas pohon, di kuil-kuil kotor. Tempat tinggal itu memang indah dan dia suka sekali tinggal di situ.

Ketika ikan-ikan mulai muncul di permukaan air telaga, Ang Hwa Nio berkata lirih. “Nah, kita mulai sebelum mereka menyelam kembali. Mari!”

Bu Leng Ci dan Ang Hwi Nio meloncat dengan berbareng. Bu Leng Ci sudah mencabut samurainya dengan gerakan kilat, setelah tubuhnya tiba di atas tempat di mana ikan-ikan berenang, samurainya berkelebat seperti kilat menyambar ke permukaan air. Ang Hwi Nio berjungkir balik, kepala di bawah dan kedua lengannya bergerak cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, mencengkeram ke arah air.

Ikan-ikan itu tentu saja kaget dan segera menyelam kembali. Dua orang wanita sakti itu dengan gerakan berputar di udara, dapat melayang kembali ke tepi pulau. Gerakan mereka seperti burung walet beterbangan, indah dan cepat sekali membuat Bi Kiok terbelalak kagum.

“Hemm, lihat berapa ikan yang mampus oleh samuraiku!” Bu Leng Ci berkata bangga dan sebelum kakinya menginjak tanah, samurainya telah bersarung kembali.

“Satu-dua-tiga... aihh, ada sepuluh ekor yang mati terbelah. Kepandaianmu hebat, Moi-moi. Aku akan berpikir panjang dulu sebelum melawan samuraimu dalam pertempuran!” Kata Ang Hwi Nio setelah menghitung bangkai-bangkai ikan yang telah mengambang di permukaan air dengan tubuh terpotong menjadi dua!

“Apa? Kau menyebutku moi-moi (adik perempuan)!” Bu Leng Ci menegur penasaran.

Ang Hwi Nio tertawa halus dan memperlihatkan kedua tangannya yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya. Bu Leng Ci memandang terbelalak melihat betapa kesepuluh buah kuku jari itu masing-masing telah menusuk seekor ikan, dan ikan-ikan itu telah berubah mengering seperti dibakar!

“Bukan main! Engkau hebat! Akan tetapi, engkau pun hanya dapat membunuh sepuluh ekor, tidak lebih banyak dan aku!” Bu Leng Ci menegur.

Ang Hwi Nio menggerakkan kedua tangannya dan kesepuluh ekor ikan itu terlempar kembali ke atas air telaga, mengambang dekat ikan-ikan yang menjadi korban samurai Bu Leng Ci.

“Benar, kita masing-masing membunuh sepuluh ekor. Akan tetapi aku dapat membawa ikan-ikan itu ke darat. Apakah kau tadi sanggup untuk membawa korban-korbanmu ke darat? Bukankah hal itu berarti bahwa aku masih menang cepat sedikit dibandingkan denganmu, Moi-moi?”

Bu Leng Ci tak dapat membantah kebenaran ucapan itu, maka dia lalu menjura dan berkata, “Engkau benar, Ang-cici (Kakak Perempuan Ang). Aku mengaku kalah dan aku senang sekali menjadi adik angkatmu. Bi Kiok, ayo kau memberi hormat kepada bibi gurumu!”

Yo Bi Kiok yang semenjak tadi menyaksikan itu semua, lalu melangkah maju menghadapi Ketua Kwi-eng-pang itu, memberi hormat dengan berlutut dan berkata, “Su?i!”

Ang Hwi Nio tertawa girang. “Berdirilah, Nak. Muridmu ini manis sekali, Bi-moi. Siapa namamu?”

“Nama teecu (murid) Yo Bi Kiok, Su-i”

“Bagus, engkau akan menjadi teman baik puteraku. Kauterimalah hadiahku ini, Bi Kiok.” Wanita itu meloloskan hiasan rambutnya yang terbuat dari batu kemala berbentuk burung Hong dan memberikannya kepada Bi Kiok.

Tentu saja Bi Kiok girang sekali, menerima benda berharga itu dengan kedua tangan dan menghaturkan terima kasih. Melihat betapa Bi Kiok hanya memegangi benda itu dan memandang dengan mata bersinar-sinar, Ang Hwi Nio tertawa. “Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) itu bukan untuk dipegang, melainkan untuk hiasan rambut atau baju di dada. Sini, kupakaikan di rambutmu!”

Bi Kiok maju berlutut dan Ang Hwi Nio memasangkan benda itu di atas kepala Bi Kiok. Kemudian dara itu disuruhnya berdiri.

“Lihat, muridmu menjadi makin cantik saja, Bu-moi!”

Bu Leng Ci tersenyum bangga dan kedua orang wanita sakti itu merasa girang karena kini mereka berdua dapat menjagoi di dunia kaum sesat, tidak takut lagi menghadapi seorang di antara datuk, yang manapun juga!

Sebuah rumah yang cukup indah dibangun di pulau kecil di sebelah timur untuk tempat tinggal Bu Leng Ci dan muridnya, dan Bu Leng Ci yang merasa berterima kasih lalu menceritakan semua pengalamannya kepada kakak angkatnya, juga menceritakan tentang bokor emas dan tentang suami isteri lihai yang dijumpainya di tepi sungai Huang-ho di lereng pegunungan Lu-liang-san.

Ketika Liong Bu Kong yang pergi memburu binatang bersama beberapa orang anggauta Kwi-eng-pang pulang dan bertemu dengan Bu Leng Ci dan Bi Kiok, dia terheran dan menjadi girang mendengar bahwa Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang namanya sudah dikenalnya sebagai seorang di antara lima datuk itu kini telah menjadi adik angkat ibunya! Lebih girang lagi hatinya melihat Yo Bi Kiok yang cantik manis. Dara remaja ltu telah menjadi saudara misannya, biarpun hanya saudara angkat! Akan tetapi sikap Bi Kiok yang selalu berwajah dingin dan pendiam itu mengecewakan hati Bu Kong sehingga pemuda ini pun membuang niatnya untuk mengajak dara remaja itu main-main dengannya.

Beberapa hari kemudian, Kian Ti dan empat temannya yang mentaati permintaan Bu Leng Ci pergi mencari suami isteri yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu, kembali ke pulau dengan tangan hampa. Mereka tidak berhasil menemukan suami isteri yang dicarinya itu. Mereka juga girang sekali ketika mendengar bahwa Siang-tok Mo-li yang terkenal itu kini menjadi adik angkat ketua mereka. Hal ini berarti bahwa kedudukan mereka lebih kuat lagi biarpun adik angkat ketua mereka itu tidak menjadi anggauta Kwi-eng-pang.

Namun, beberapa bulan kemudian, pulau kecil yang dijadikan tempat tinggal Bu Leng Ci itu menjadi tempat yang menyeramkan dan menakutkan bagi para anggauta Kwi-eng-pai karena wanita itu terkenal sebagai pembenci pria sehingga tidak ada yang berani mendekati pulau! Bahkan Liong Bu Kong sendiri pun tidak berani mendekat. Hanya Kwi-eng-pangcu saja yang berani mengunjungi adik angkatnya. Dan kalau ada keperluan mengantarkan sesuatu, Kwi-eng-pangcu selalu mengutus pelayan atau anggauta Kwi-eng-pang wanita. Dia sendiri pun tidak suka kepada pria, akan tetapi tidaklah membenci mati-matian seperti Bu Leng Ci. Dia sudah merasa puas melihat para pria menjadi muridnya, menjadi anak buahnya, dan menjadi kaki tangannya yang setia dan taat kepadanya. Yang tidak disukainya adalah kalau pria itu menguasainya atau lebih tinggi tingkatnya daripada dia. Karena ini pula maka dia sengaja menarik Bu Leng Ci sebagai adik angkat sehingga merasa kuat untuk menghadapi tiga orang di antara kelima datuk.

Kurang lebih dua tahun lamanya Bu Leng Ci bersama muridnya menjadi penghuni pulau kecil itu. Bi Kiok telah menjadi seorang dara yang cantik manis, berusia enam belas tahun, akan tetapi makin tampak sikapnya yang dingin dan wataknya yang pendiam. Hadiah dari Kwi-eng Niocu berupa hiasan rambut burung hong kemala menjadi benda kesayangannya yang tak pernah terpisah dari rambutnya atau bajunya. Bu Leng Ci yang menyayang dara itu bukan hanya sebagai murid tunggal, bahkan seperti anak sendiri, menurunkan semua ilmunya kepada Yo Bi Kiok sehingga dara itu setelah selama tujuh tahun lebih menjadi muridnya, kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

PADA suatu pagi, seorang pelayan wanita dari Kwi-eng Niocu menyampaikan undangan ketua ini kepada Bu Leng Ci. Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci segera datang menumpang perahu kecil pelayan itu bersama Bi Kiok, menghadap kakak angkatnya.

“Seorang anggauta kita telah menemukan suami isteri yang pernah kausebut dahulu itu!” Ang Hwi Nio menyambut kedatangan adik angkatnya dengan pemberitahuan ini, suaranya penuh ketegangan. “Dan isterinya yang menurut katamu dahulu terkena Siang-tok-soa, ternyata tidak mati”

“Ah, kalau begitu kita harus dapat menawan mereka. Mereka adalah ayah bunda dari Yap Kun Liong yang tahu di mana adanya bokor emas!”

“Perlukah itu? Menurut ceritamu, yang tahu mungkin sekali hanyalah bocah itu, dan perlu apa menawan orang tuanya?”

“Kalau kita tawan orang tuanya, tentu kelak anak itu muncul. Sukar sekali mencari bocah setan itu. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil, Ang-ci.”

“Mungkin karena kau belum pernah bertemu dengan anak itu, bagaimana bisa mencarinya?”

“Memang aku belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi Bi Kiok tentu akan mengenal mukanya.”

Diam?diam jantung Bi Kiok berdebar tegang. Tentu saja dia akan mengenal Kun Liong si gundul itu, dan gurunya pun pernah bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi gurunya tidak tahu bahwa anak itulah yang mereka kini cari?cari. Entah bagaimana, dia tidak tega untuk mencelakakan anak itu, bahkan kini mendengar bahwa ayah bunda Kun Liong hendak ditawan, dia merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia diam saja, hanya menjawab karena kedua orang wanita sakti itu memandangnya penuh pertanyaan. “Tentu saja teecu akan mengenalnya kalau bertemu dengan Kun Liong.”

“Biarlah aku mengutus enam orang murid kepala untuk menangkap mereka. Kita harus menjaga nama. Tidak perlu aku turun tangan sendiri menghadapi orang?orang yang tidak terkenal seperti mereka. Aku akan mengundang mereka, kalau mereka tidak mau, barulah orang?orangku akan menawan mereka. Menurut keterangan penyelidik mereka kini tinggal di Puncak Cemara di Lu?liang?san.”

Bu Leng Ci hendak mencegah, mengingat bahwa suami isteri itu lihai sekali. Akan tetapi dia tidak membuka mulutnya karena tentu saja dia tidak mau menceritakan betapa dia sendiri tidak dapat mengalahkan mereka. Biarlah kakak angkatnya ini membuktikan sendiri setelah mengirim murid-muridnya.

Demikianlah, enam orang laki-laki setengah tua yang merupakan murid-murid kepala dari Kwi-eng Niocu dan tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, berangkat ke Lu-liang-san yang tidak jauh dari Kwiouw, hanya makan waktu satu hari perjalanan.

Seperti kita ketahui, Yap Cong San dan isterinya berada di Puncak Cemara di Pegunungan Lu-liang-san. Gui Yan Cu telah sembuh sama sekali dari luka akibat pasir beracun, dan tak lama kemudian telah sembuh sama sekali, dia mengandung sehingga terpaksa mereka memperpanjang waktu untuk tinggal dulu di tempat yang indah menyenangkan itu.

Pada waktu itu, kandungan Yan Cu berusia dua bulan. Suami isteri yang berbahagia itu sedang duduk berdua di atas rumput, tak jauh dari pondok mereka, memandang ke bawah di mana tampak pemandangan yang mempesonakan.

“Ah, betapa rinduku kepada dunia di bawah sana,” Yan Cu menarik napas panjang. “Betapa rinduku kepada Kun Liong, kepada Cia Keng Hong-suheng dan Enci Biauw Eng. Betapa rinduku kepada masakan-masakan kota yang lezat... aaihh...”

Cong San meraih pundak isterinya dan memeluknya, hatinya terharu dan dia merasa kasihan sekali kepada isterinya. “Jangan khawatir, isteriku. Kita tinggal di sini sampai engkau melahirkan. Keadaan seperti sekarang ini tentu saja amat tidak baik kalau melakukan perjalanan jauh, apalagi dengan adanya banyak bahaya di tengah jalan. Setelah nanti anak kita cukup kuat, kira-kira setahun, kita berangkat meninggalkan tempat sunyi ini, langsung ke Cin-ling-san.”

“Ke tempat Suheng?”

“Ya. Engkau dan anak kita yang masih kecil biar tinggal bersama isterinya, sedangkan aku akan minta bantuan Keng Hong untuk bersamaku mencari Kun Liong. Dengan bantuannya, mustahil kalau aku tidak akan dapat menemukan anak itu.”

Yan Cu menarik napas lega. “Aahhh, anak nakal itu! Tentu akan dapat ditemukan kalau Suheng membantumu. Ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Kun Liong kalau berada di depanku setelah dia pergi selama tujuh tahun ini...”

Tiba?tiba tangan Cong San yang merangkul pundak isterinya itu menegang. Yan Cu merasakan ini dan keduanya menoleh. “Ada orang...” bisik Cong San. Mereka telah berdiri ketika enam orang laki-laki setengah tua itu tiba di situ.

“Apakah kalian yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu?” Seorang di antara mereka bertanya, suaranya kasar dan nyaring. Cong San dan Yan Cu bersikap tenang, mengira bahwa tentu orang-orang ini petugas pemerintah yang hendak menangkap mereka berhubung dengan urusan Ma-taijin di Leng-kok tujuh tahun yang lalu.

“Saya bernama Yap Cong San dan ini isteri saya Gui Yan Cu. Siapakah Cuwi (Tuan Sekalian) dan ada perlu apakah mencari kami?” jawab Cong San dengan sikap masih tenang sekali karena dia tidak menyangka akan terjadi hal yang tidak baik. Kalau benar mereka itu orang-orang pemerintah, urusannya dengan Ma-taijin bukanlah urusan besar. Dan mustahil kalau untuk urusan begitu saja setelah lewat tujuh tahun masih akan dibesar-besarkan.

“Kami melaksanakan tugas yang diperintahkan pangcu kami untuk mengundang Ji-wi menghadap pangcu.”

Berkerut alis Cong San dan Yan Cu. Kalau bukan orang pemerintah, tentu akan terjadi hal yang gawat.

“Siapa pangcu (ketua) kalian?” Cong San bertanya, hatinya mulai tegang dan dia bersikap waspada menghadapi segala kemungkinan buruk.

“Kami dari Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw. Harap Ji-wi ikut bersama kami menghadap Pangcu sekarang juga!”

“Kami berdua tidak pernah mengenal pangcu dari Kwi-eng-pang. Ada keperluan apakah ketua kalian dengan kami?”

“Hal ini bukan urusan kami! Tentu ada urusan penting maka Pangcu memanggil kalian,” jawab pemimpin rombongan itu dengan suara tak sabar.

Cong San dapat menduga bahwa tentu keselamatan mereka berdua takkan terjamin kalau dia bersama isterinya pergi mengunjungi ketua kaum sesat yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu.

Pula, dia tidaklah demikian bodoh untuk datang memasuki guha harimau.

“Maaf, Cuwi. Karena kami tidak mengenal Kwi-eng-pangcu dan tidak mempunyai urusan dengannya, kalau memang pangcu kalian ada urusan dengan kami, harap dia datang saja ke sini untuk bicara.”

Tiba-tiba enam orang itu merobah sikap, tidak seramah tadi. Pandangan mata mereka mengandung kemarahan dan seorang di antara mereka berseru, “Manusia sombong! Berani membantah perintah Pangcu?”

“Kawan-kawan, maju!”

“Kalian mau apa?” Yan Cu membentak marah dan tangannya meraba gagang pedang.

“Perintah Pangcu, kalau kalian mau menghadap, baik. Kalau tidak mau, terpaksa kami pergunakan kekerasan menawan kalian!”

“Singggg! Keparat, kalian mengira begitu mudah?” Yan Cu sudah mencabut senjata pedangnya dan hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba suaminya menyentuh lengannya.

“Tidak perlu menyerang. Biarkan mereka bergerak, kita lihat saja sampai di mana kepandaian manusia-manusia sesat ini.”

Suami isteri itu berdiri beradu punggung, sikap mereka tetap tenang walaupun mereka marah sekali. Yan Cu berdiri dengan siap dengan pedang di tangan sedangkan Cong San sudah mengeluarkan sepasang Im-yang-pit dan memegangnya dengan kedua tangan. Dia tadi melarang isterinya bergerak, karena amat tidak baik bagi kandungan isterinya kalau banyak mengerahkan sin-kang.

Enam orang anggauta Kwi-eng-pang itu sudah mulai mengurung. Terdengar suara menyeramkan ketika mereka itu menggerak-gerakkan senjata mereka yang beraneka macam itu. Melihat betapa kedua orang suami isteri itu mengeluarkan senjata dan hendak melawan, mereka gembira sekali dan juga tidak menyangka-nyangka. Ketua mereka hanya memberi perintah untuk menangkap, tidak memberi tahu bahwa suami isteri itu akan melawan. Kalau mereka tidak melawan, tentu mereka hanya akan menawan mereka dan tidak akan mengganggu mereka. Sekarang mereka mendapat kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan menawan suami isteri yang melawan itu setelah melukai mereka. Betapapun juga, enam orang itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid-murid pilihan dari Kwi-eng Niocu dan mereka sudah berpengalaman dalam banyak pertandingan. Melihat sikap dan cara suami isteri itu menghadapi mereka, mereka dapat menduga bahwa suami isteri itu “berisi”, maka tanpa sungkan-sungkan lagi karena di tempat sunyi itu tidak ada orang lain, mereka serentak maju berenam, mengeroyok!

Terdengar suara nyaring hiruk-pikuk ketika mereka menerjang maju, suara beradunya senjata mereka yang terpental ke sana-sini, ditambah suara teriakan mereka penuh kekagetan karena dalam beberapa gebrakan saja, selain senjata mereka terlempar ke sana-sini, juga mereka roboh malang-melintang, empat orang roboh terluka oleh sepasang pit di tangan Cong-Sai, sedangkan dua orang lagi roboh dan terluka paha dan pundak mereka oleh kilatan pedang di tangan Yan Cu! Semua ini terjadi tanpa suami isteri itu pindah dari tempat mereka!

Dapat dibayangkan betapa kaget hati enam orang itu. Muka mereka pucat dan mereka memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa kalau kedua orang suami isteri itu menghendaki, di lain saat mereka semua tentu akan dapat terbunuh dengan mudah. Mengertilah sekarang mereka, bahwa jangankan menghadapi suami isteri itu, biar menghadapi seorang di antara mereka saja, mereka berenam takkan mampu menang!

“Pergilah kalian dari sini!” Cong San membentak dengan sikap keren. “Dan katakan kepada pangcu kalian bahwa karena kami tidak mempunyai urusan dengan dia, maka kami tidak membunuh kalian dan kami tidak dapat pergi menemuinya. Nah, pergilah cepat!”

Enam orang itu merangkak bangun dan dengan penuh rasa sukur karena tidak dibunuh, mereka itu saling membantu dan pergi secepat mungkin meninggalkan tempat itu.

Cong San dan Yan Cu saling pandang masih merasa penasaran dan juga terheran-heran mengapa secara tiba-tiba mereka itu dimusuhi oleh Kwi-eng-pang. Padahal belum pernah mereka berurusan dengan Kwi-eng-pang, bahkan bertemu pun belum dengan ketua Kwi-eng-pang yang tersohor itu. Mereka tahu bahwa Ketua Kwi-eng-pang adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio yang kabarnya adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat yang terkenal sebagai manusia-manusia iblis.

“Kita harus pergi dari sini sekarang juga,” kata Cong San. “Mereka itu berbahaya. Kalau tadi mereka tidak memandang rendah kepada kita, agaknya belum tentu kita dapat mengusir mereka dalam waktu singkat. Kepandaian mereka rata-rata cukup tangguh.”

“Aku tidak takut!” kata Yan Cu. “Masa kita harus melarikan diri dari mereka? Biarpun Kwi-eng Niocu si iblis betina sendiri yang datang, akan kuhadapi dia!”

Cong San merangkul isterinya. “Aku percaya, isteriku. Memang kita tidak usah takut menghadapi kaum sesat. Akan tetapi, kau harus ingat bahwa selagi kau mengandung, tidak semestinya kita melibatkan diri dalam pertandingan-pertandingan berat. Hal itu berbahaya bagi kandunganmu. Ingat, ketika dahulu kita bertemu dengan Siang-tok Mo-li seorang di antara lima datuk itu, kau terluka. Apalagi kebarnya Kwi-eng Niocu lebih jahat den lihai. Bukan aku takut, akan tetapi karena mengingat akan kandunganmu dan keadaanmu, sebaiknya kita mengalah kali ini. Mudah saja kalau kelak kita mencari Kwi-eng Niocu dan menghajarnya atas kelakuannya hari ini! Marilah, sayang.”

Untuk kesekian kalinya, Yan Cu tidak dapat membantah. Biarpun hatinya penuh dengan rasa penasaran dan kemarahan, terpaksa dia menurut, pergi meninggalkan tempat itu, menuju ke utara. Setelah melakukan perjalanan hampir sebulan dengan lambat dan hati-hati mengingat kandungan Yan Cu, akhirnya mereka tiba di kota Tai-goan dan di sini Cong San mengajak Yan Cu singgah di rumah seorang kenalannya.

Seorang laki-laki tua berusia enam puluh tahun lebih menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Kakek yang usianya hampir tujuh puluh tahun ini tinggi kurus den rambutnya sudah putih semua, namun masih kelihatan gesit den kuat. Dia ditemani oleh seorang nyonya berusia empat puluhan tahun, dan seorang laki-laki suami nyonya itu yang usianya hampir lima puluh tahun. Tiga orang ini menyambut mereka dan Si Kakek Rambut Putih segera berseru girang, “Ah, kiranya Yap-enghiong yang datang! Biarpun hampir dua puluh tahun tidak jumpa, saya tidak akan pangling (lupa) kepadamu!”

Yap Cong San cepat memberi hormat dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan Theng-ciangkun (Perwira Theng) dan maaf atas kedatangan kami yang tiba-tiba tanpa memberi tahu lebih dahulu ini. Ini adalah isteri saya.”

Kakek itu cepat membalas penghormatan Yan Cu dan berkata, “Ahh, Nyonya Muda, kau kelihatan lelah sekali. Silakan masuk saja beristirahat! Ceng-ji (Anak Ceng), kauajaklah Nyonya Yap beristirahat di dalam.” Kakek itu memperkenalkan nyonya itu sebagai puterinya, dan laki-laki itu sebagai mantunya yang bernama Tan Hoat.

Dengan ramah-tamah nyonya yang bernama Ceng itu menggandeng tangan Yan Cu dan diajak masuk ke dalam. Kemudian Kakek Theng bersama mantunya mempersilakan Cong San duduk di ruangan dalam menyuruh pelayan menghidangkan minuman. Setelah hidangan disuguhkan dan mereka sudah minum teh, Cong San menghela napas panjang lalu berkata,

“Saya harap Theng-ciangkun suka maafkan. Sekali ini terpaksa saya hendak minta bantuan Ciangkun, yaitu agar memperbolehkan saya bersama isteri saya tinggal di sini sampai isteri saya melahirkan. Tentu saja kalau Ciangkun tidak keberatan.”

Kakek itu kelihatan terkejut dan heran. Dia maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat menimpa keluarga pendekar bekas murid Siauw-lim-pai yang hanya dikenalnya sepintas lalu akan tetapi yang telah diketahui kegagahannya itu. Dia tahu pula bahwa pendekar ini adalah sahabat baik sekali dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang dikaguminya. Maka tanpa ragu-ragu dia menjawab, “Tentu saja boleh dan sama sekali tidak keberatan! Kami hanya tinggal berempat di rumah besar ini, yaitu saya sendiri, anak perempuan dan mantu saya ini, dan seorang cucu perempuan. Selain itu, hanya ada dua orang pelayan. Masih ada kamar untuk engkau dan isterimu, Yap-enghiong dan kami menyambut kedatanganmu dengan gembira. Saya bukan seorang perwira pengawal lagi, sudah beberapa tahun mengundurkan diri karena sudah tua. Akan tetapi... kalau boleh saya bertanya, bagaimanakah engkau dan isterimu sampai tiba di sini dan... dan... selama ini tinggal di mana? Sudah lama saya tidak pernah bertemu pula dengan Cia Keng Hong-taihiap yang kabarnya berada di Cin-ling-san sehingga tidak dapat bertanya pula tentang keadaanmu.”

Cong San menarik napas panjang, kemudian dengan singkat dan menceritakan riwayatnya yang malu. Betapa dia terkena urusan dengan Ma-taijin dan puteranya hilang, dan betapa dalam mencari puteranya mereka mengalami banyak hal berbahaya, sedangkan puteranya masih belum dapat ditemukan.

“Tadinya kami akan tinggal terus di puncak Pegunungan Lu-liang-san, akan tetapi siapa kira, muncul malapetaka lain, yaitu orang-orang Kwi-eng-pang.” Dia menceritakan tentang kedatangan enam orang Kwi-eng-pang, kemudian menambahkan, “Kalau tidak pergi cepat-cepat, tentu mereka itu akan datang lagi bersama lebih banyak teman dan ketua mereka. Bukannya kami takut, akan tetapi... isteri saya sedang mengandung, maka lebih baik kami mengalah dan pergi. Ketika kami tiba di kota ini, saya teringat kepada Theng-ciangkun dan timbul pikiran saya untuk minta pertolongan Ciangkun.”

Kakek itu bengong mendengarkan penuturan itu, kadang-kadang mengangguk-angguk adakalanya menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berkata, “Harap engkau menenangkan hatimu, Yap-enghiong. Biarlah isterimu beristirahat di sini sampai melahirkan. Dan kalau kawanan penjahat Kwi-eng-pang berani mengganggu ke sini, hemmm... ruyungku belum berkarat dan aku ingin sekali merasai kelihaian Kwi-eng Niocu yang kabarnya seperti iblis betina itu!”

Cong San menghaturkan terima kasih dan tersenyum kagum mendengar ucapan bersemangat itu. Kakek she Theng itu bernama Theng Kiu, bekas pengawal yang setia sekali dari Kaisar Yung Lo semenjak kaisar itu belum menjadi kaisar seperti sekarang dan masih menjadi raja muda di utara. Dahulu, Theng Kiu ini terkenal dengan senjata ruyungnya sehingga dia dijuluki Kim-pian (Si Ruyung Emas), dan ilmu kepandaiannya, biarpun tidak terlampau tinggi, namun sudah menempatkan dia di golongan orang-orang gagah. Menurut penafsiran Cong San kalau dia tidak salah ingat, Kakek Theng ini mungkin tidak akan kalah oleh seorang di antara enam orang Kwi-eng-pang yang menyerangnya di Lu-liang-san.

Demikianlah, mulai hari itu, Cong San dan isterinya tinggal menumpang di rumah bekas perwira pengawal Theng Kiu. Suami isteri itu merasa bersukur dan berterima kasih sekali. Kakek Theng amat ramah, akan tetapi juga puterinya dan mantunya, suami isteri Tan Hoat, amat baik terhadap mereka. Bahkan puteri suami isteri ini yang bernama Tan Cui Lin, seorang dara berusia lima belas tahun yang manis, juga bersikap menyenangkan. Untuk membalas kebaikan tuan rumah, Cong San berkenan melatih ilmu silat kepada Tan Cui Lin yang tentu saja sebagai cucu tunggal kakek Theng, sudah mempelajari dasar-dasarnya sejak kecil. Karena ini, Tan Cui Lin menyebut “suhu” kepada Cong San, dan “subo” kepada Yan Cu.

Sambil menanti isterinya melahirkan, selain melatih ilmu silat kepada muridnya, juga Cong San mulai “membuka praktek” pengobatan di Tai-goan, yang mula-mula diperkenalkan kepada sahabat-sahabat Kakek Theng sehingga dalam waktu beberapa bulan saja namanya telah terkenal dan setiap hari ada saja yang datang minta resep obat kepadanya. Dengan adanya sedikit penghasilan ini, agak lega hati Cong San karena dia menyerahkan semua hasil ini kepada keluarga Kakek Theng yang telah menampung mereka.

Waktu berjalan dengan cepatnya dan beberapa bulan kemudian Yan Cu telah melahirkan seorang anak perempuan dengan selamat di rumah keluarga Theng Kiu. Mereka memberi nama Yap In Hong kepada anak itu. Atas bujukan dan nasihat Kakek Theng, karena pekerjaan Cong San mulai maju dan banyak sudah penduduk yang menjadi langganannya, dengan menjual semua perhiasan yang masih dimiliki Yan Cu, ditambah simpanan sedikit-sedikit selama ini, dan dibantu pula oleh Kakek Theng, Cong San membeli sebidang tanah di Tai-goan. Di atas tanah itu telah ada bangunannya, akan tetapi bangunan kuno yang sudah hampir ambruk. Oleh karena itu, mulailah dia membangun kembali rumah itu dan tiap hari dia pergi memimpin para tukang untuk memperbaiki rumah yang dibelinya. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk tinggal di Tai-goan!

Yang membantunya adalah Tan Hoat, dan kadang-kadang muridnya, Cui Lin, datang pula membantu, mengatur ini itu, membersihkan dan mengatur kebun di belakang rumah, menanami bunga-bunga.

Membangun kembali rumah yang rusak itu memakan waktu berbulan-bulan, dan In Hong telah menjadi seorang anak yang mungil dan hebat berusia setengah tahun lebih ketika akhirnya rumah itu siap untuk ditempati. Pada hari terakhir itu, Cui Lin membantu suhunya membersihkan rumah baru dan mengatur perabot rumah sederhana dengan penuh kegembiraan. Dara ini sayang sekali kepada suhu dan subonya, dan merasa beruntung menjadi murid seorang yang berilmu tinggi seperti mereka. Baru belajar setahun lebih saja, dia telah memperoleh kemajuan hebat, dan hal ini dikatakan secara jujur oleh kakeknya sendiri.

“Ketahuilah, cucuku. Gurumu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yeg berilmu tinggi, murid dari manusia sakti Tiang Pek Hosiang. Dan subomu juga bukan orang sembarangan karena dia itu masih sumoi dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang kini menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Kau belajarlah baik-baik dan dalam beberapa tahun lagi, kakekmu ini sudah tidak akan kuat melawanmu.”

Maka gembira sekali hati Cui Lin setelah suhu dan subonya mengambil keputusan untuk tinggal di Tai-goan. Dengan demikian berarti dia akan dapat belajar terus. Dia membantu suhunya memberes-bereskan rumah baru itu dari pagi sampai lewat tengah hari. Besok pagi keluarga suhunya sudah aku pindah ke rumah baru ini.

“Cui Lin, kaulanjutkanlah membereskan kamar ini bersama Phoa-ma (nama pelayan wanita), aku akan kembali dulu ke rumah kakekmu.”

“Baiklah, Suhu. Serahkan saja kepada teecu dan Phoa-ma, tentu sore nanti sudah selesai,” jawab dara itu gembira.


Akan tetapi hati Cong San tidak segembira biasanya ketika dia meninggalkan rumah baru itu. Entah mengapa, hatinya terasa tidak enak, padahal dia tidak terganggu sesuatu. Ada dorongan di hatinya agar dia cepat pulang ke rumah Kakek Theng. Menurutkan dorongan hatinya ini, tergesa-gesa Cong San kembali ke rumah keluarga Theng yang berada di sebelah selatan kota, agak jauh dari rumah baru itu.

Tidaklah mengherankan kalau hati Yap Cong San merasa tidak enak sekali karena pada saat dia membersihkan rumah baru bersama muridnya dan seorang pelayan dan pengasuh anaknya, di rumah keluarga Kakek Theng terjadi malapetaka yang hebat sekali!

Pada waktu itu, Yan Cu dengan hati gembira sekali sedang berkemas karena besok pagi mereka akan pindah ke rumah baru. Hatinya gembira sekali dan sudah banyak rencana di dalam hatinya. Dia akan berusaha membuka toko obat lagi di Tai-gon dan di kota besar ini tentu dia dan suaminya akan mendapat kemajuan jauh lebih besar daripada di Leng-kok. Setelah In Hong agak besar dan keadaannya di rumah baru menjadi baik, dia akan mengajak suaminya pergi ke Cing-ling-san untuk minta bantuan suhengnya, Cia Keng Hong agar bersama suaminya mencari Kun Liong. Betapa akan bahagianya kalau Kun Liong masih hidup dan dapat berkumpul lagi dengan ayah bundanya. Tentu puteranya itu telah besar, telah dewasa! Sudah tujuh belas tahun tentu usianya! Dan betapa wajah puteranya itu akan penuh keheranan melihat adiknya!

Tiba-tiba dia mendengar teriakan Kakek Theng, “Nyonya mantu! Lari...”

Dia terkejut sekali. Yang disebut nyonya mantu adalah dia, karena suaminya telah diaku sebagai anak angkat Kakek Theng. Mendengar teriakan yang penuh kegelisahan dari kakek itu, kemudian mendengar betapa suara teriakan itu tiba-tiba terhenti, hatinya khawatir sekali. Tentu saja dia tidak mau lari seperti diminta oleh kakek itu, dan dia menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Cepat dia menyambar pedangnya dan dengan pedang terhunus Gui Yan Cu meloncat keluar dari kamarnya dan berlari ke ruangan dalam.

Hampir saja dia berseru kaget, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika dia melihat mayat-mayat bergelimpangan! Mayat Tan Hoat dan isterinya dengan leher hampir putus, mayat dua orang pelayan di luar pintu, dan mayat kakek Theng sendiri di ruangan tengah, kepala kakek itu pecah dan senjata ruyungnya masih tergenggam di tangannya. Agaknya kakek ini melakukan perlawanan sampai saat terakhir sambil tadi berteriak menyuruhnya lari.

Dapat dibayangkan betapa marahnya Gui Yan Cu. Dengan air mata memenuhi pelupuk matanya dia melompat dan menerobos ke ruangan dalam yang lebar dan dia terhenti tegak di pintu ketika melihat lima orang enak-enakan duduk di dalam ruangan itu sambil tersenyum-senyum menyeringai. Seorang di antara mereka adalah Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Yang empat orang lainnya dia tidak kenal, yaitu seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan berpakaian mewah bersama tiga orang laki-laki tua yang keadaannya menyeramkan.

“Apa... apa yang telah kalian lakukan?” Dia membentak, sedikit pun tidak merasa takut biar di situ terdapat Bu Leng Ci yang lihai, karena kemarahan telah membuat nyonya ini tidak lagi mengenal takut dan sama sekali tidak ingat akan bahaya lagi.

“Inilah dia yang bernama Gui Yan Cu, ibu bocah setan itu,” kata Bu Leng Ci.

Wanita berpakaian mewah itu mengangkat muka. “Eh, Gui Yan Cu. Aku memanggil kau dan suamimu ke Kwi-ouw, mengapa kau dan suamimu malah menghina anak buahku?”

Yan Cu makin marah setelah mengetahui bahwa wanita itu adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. “Hem, jadi engkau inikah yang disebut Kwi-eng Niocu, ketua perkumpulan sesat Kwi-eng-pang?”

“Huh! Huhh!” Kakek yang matanya sipit lehernya panjang seperti leher ular itu menahan ketawanya.

“He-he-he!” Kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali terkekeh. “Kalau dia tidak takut terhadap dua orang datuk betina, tentu tidak gentar pula terhadap kami tiga orang datuk jantan, dan tentu kepandaiannya setinggi langit!”

Gui Yan Cu memandang kakek bermuka hitam itu dan mendengar ucapan ini, dia terkesiap juga. Jantungnya berdebar tegang dan dia membentak, “Jadi kalian berlima inikah yang disebut lima Datuk kaum sesat?”

Kakek tua renta berambut putih panjang yang matanya juling akan tetapi mengeluarkan sinar aneh dan mengerikan itu terbatuk?batuk, menggumam, “Dan engkau kabarnya sumoi dari Cia Keng Hong. Benarkah?”

“Benar! Aku dan suamiku selamanya tidak pernah berurusan dengan kalian, mengapa kalian mengganggu kami dan membunuh orang?orang yang tidak berdosa ini? Beginikah sepak terjang tokoh?tokoh besar yang mengaku sebagai para datuk? Seperti kelakuan bajingan?bajingan kecil saja!” Yan Cu maklum bahwa dia berhadapan dengan orang?orang yang tak mungkin dapat dilawannya, akan tetapi dia sama sekali tidak takut karena kemarahannya melihat kakek Theng, anaknya, mantunya, dan pelayan?pelayan terbunuh seperti itu.

“Gui Yan Cu! Tidak perlu banyak cakap. Katakan di mana adanya bokor emas yang dicuri oleh anakmu yang bernama Kun Liong itu kalau menghendaki agar nyawamu kami perpanjang beberapa lamanya.”

Mendengar ini, wajah yang tadinya pucat itu kelihatan berseri. Pertanyaan itu membuktikan bahwa Kun Liong masih hidup!

“Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan. Selamanya aku belum pernah mendengar tentang bokor emas dan andaikata aku mengetahuinya juga, apakah kau kira aku akan memberitahukan kepada kalian?”

“Perempuan sombong! Kalau begitu mampuslah!” Kwi?eng Niocu sudah hendak menggerakkan tangan menyerang, akan tetapi kakek tua renta berambut putih itu terbatuk?batuk, dan melangkah maju menghalangi Kwi?eng Niocu sambil berkata, “Nanti dulu, Pangcu. Kalau dia benar sumoi dari Cia Keng Hong, biarkan aku mencoba Thi?ki?i?beng.”

Kakek berambut putih itu bergerak ke depan. Yan Cu yang maklum bahwa tak mungkin dia menghindarkan diri dari pertandingan mati?matian, segera mengelebatkan pedangnya dan menyerang dengan tusukan ke dada dilanjutkan dengan bacokan menyamping ketika kakek itu mengelak.

Tiba?tiba pedang itu tertahan oleh jubah kakek itu yang dipegang di tangan kiri, kemudian secara cepat dan aneh sekali, tangan kanannya sudah menyambar dan menampar ke arah kepala Yan Cu. Gerakan ini cepat sekali maka terpaksa Yan Cu menganglcat tangan kiri menangkis.

“Plakkk!”

Yan Cu terhoyung ke belakang, lengannya terasa sakit sekali. Kakek it kelihatan kecewa, tidak melanjutkan gerakannya dan mengomel, “Mana itu Thi?khi?i?beng yang disohorkan orang? Kalau hanya sedemikian saja kepandaian perempuan ini, tidak cukup pantas melayani aku!”

Diam?diam Yan Cu terkejut bukan main. Kakek berambut putih itu benar hebat sekali dan kalau dilanjutkan pertandingan itu, biarpun dia memegang pedang, agaknya sukar sekali baginya untuk menang. Dia menduga bahwa tentu kakek berambut putih itu yang berjuluk Toat?beng Hoat?su, datuk yang penuh rahasia dan yang mungkin sekali paling lihai di antara lima orahg itu.

“Aku pun ingin mencoba!” kata kakek muka hitam yang bukan lain adalah Hek?bin Thian?sin Louw?Ek Bu. Belum habis ucapannya, tubuhnya sudah bergerak dan sinar kilat sebatang golok besar di tangannya sudah menyambar dahsyat. Yan Cu cepat memutar pedangnya menangkis.

“Tranggg...!”

Kembali Yan Cu terkejut karena pedangnya terpental dan lengannya gemetar saking kuatnya tenaga yang terkandung di golok itu. Namun dia tidak menjadi jerih dan sudah membalas serangan lawan baru ini dengan gerakan pedangnya yang lincah. Sambil tertawa?tawa mengejek Si Kakek Muka Hitam itu menyambut dengan golok besarnya dan terjadilah pertandingan yang seru, namun dalam belasan jurus saja pedang Yan Cu sudah tertindih dan beberapa kali pertemuan kedua senjata itu secara kuat membuat pedangnya hampir terlepas dari tangannya. Mulailah Yan Cu merasa khawatir. Bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan puterinya yang kini ia dengar menangis di dalam kamarnya! Dia sendiri tidak takut mati, akan tetapi bagaimana nasib puterinya yang belum ada satu tahun usianya itu kalau terjatuh ke dalam tangan iblis?iblis ini? Mengapa suaminya belum juga pulang?

“Hek?bin Thian?sin, aku ikut berpesta, ha?ha?ha!” Suara ini keluar dari mulut Ban?tok Coa-ong Ouwyang Kok dan pedangnya yang berbentuk ular itu telah meluncur ke depan. Pada saat itu, Yan Cu baru saja menangkis golok besar Hek?bin Thian?sin yang membuat tangannya gemetar. Maka begitu pedang itu kini bertemu dengan pedang ular yang didorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya, dia tidak dapat mempertahankan lagi dan pedangnya terlepas dari tangannya.

Suara terkekeh di belakangnya adalah suara Bu Leng Ci yang wdah menyambar pedang itu dan pada saat itu Yan Cu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, panas dan membuat tubuhnya menggigil saking nyerinya. Maklum bahwa nyawanya terancam, dan teringat akan nasib puterinya, Yan Cu mengeluarkan pekik melengking yang dimaksudkan untuk memanggil suaminya. Guratan kuku jari tangan Kwi?eng Niocu yang mengenai pundak Yan Cu itu membuat wanita perkasa ini terhuyung den pening kepalanya. Namun ia masih nekat dan sambil membalik dia membarengi memukul sebelum Kwi?eng Niocu menarik tangannya.

“Dukkk!!”

Biarpun Kwi?eng Niocu tidak roboh oleh pukulan yang menyambar dan mengenai pangkal lengannya ini, namun cukup membuat dia merasa kesakitan dan lengan kirinya seperti lumpuh sejenak.

Dia marah sekali, sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, dia menubruk maju, tangannya menampar. Yan Cu yang sudah pening itu hanya mampu menangkis sebuah tamparan tangan kiri yang kurang cepat gerakannya itu, akan tetapi tamparan tangan kanan Si Bayangan Hantu mengenai lehernya. Dia terpekik dan terjengkang. Sebelum tubuhnya mengenai tanah, sinar pedang berkelebat dan pedangnya sendiri yang dipergunakan oleh Bu Leng Ci telah menembus dada wanita perkasa ini! Gui Yan Cu tidak mengeluh lagi, roboh telentang dengan dada tertembus pedangnya sendiri, tewas seketika. Darah muncrat membasahi bajunya.

Pada saat Yan Cu mengeluarkan suara melengking tadi, Yap Cong San telah tiba dekat rumah itu. Dia terkejut mengenal lengking isterinya den cepat sekali dia lari ke dalam rumah. Ketika dia mendengar suara tangis puterinya, dia langsung memasuki kamar dan lega hatinya melihat puterinya itu menangis di atas ranjang dalam keadaan selamat. Disambarnya puterinya itu dan dibawanya lari keluar. Ketika dia melihat mayat?mayat bergelimpangan, mayat Kakek Theng, puterinya, mantunya den dua orang pelayan, Cong San terkejut setengah mati. Dengan jantung berdebar tegang dia terus lari ke arah suara pertempuran di ruangan dalam dan pada saat dia muncul di ambang pintu ruangan itu dilihatnya isterinya sudah rebah terlentang dengan dada tertembus pedang!

“Yan Cu...!” Dia memekik dan meloncat ke dalam. Sejenak dia seperti terpesona memandang jenazah isterinya, kemudian dia menyapu dengan pandang matanya kepada lima orang yang berdiri di situ sambil tersenyum?senyum. Air mata mengalir di sepanjang kedua pipi pendekar itu akan tetapi sepasang matanya tidak pernah berkedip ketika dia memandang ke arah mereka satu demi satu, kemudian kembali dia menoleh kepada jenazah isterinya.

“Yan Cu... ohh... ohhh... Yan Cu...!” Dia merintih, rintihan yang diselingi oleh tangis Yap In Hong, anak kecil dalam pondongannya.

Tiba?tiba Cong Son membalikkan tubuh menghadapi lima orang itu. Begitu melihat Bu Leng Ci, mudah saja baginya untuk menduga siapa adanya empat orang yang lain itu. Biarpun dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, akan tetapi dia sudah mendengar berita tentang lima orang datuk kaum sesat. Biarpun kemarahan den kedukaan menyesak dadanya, namun sebagai seorang pendekar besar Cong San dapat menekan perasaannya dan dia harus lebih dahulu tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa mereka membunuh keluarga Kakek Theng dan isterinya.

“Bukankah kalian ini Lima Datuk kaum sesat?” tanyanya dengan suara terdengar aneh sekali, agak parau den nadanya bercampur tangis dan kemarahan.

“Hi?hi?hik, sudah tahu mengapa tidak lekas berlutut minta ampun?” Bu Leng Ci tertawa mengejek.

“Mengapa kalian memusuhi kami?”

“Yap Cong San, anakmu yang bernama Kun Liong telah mencuri bokor emas. Lekas kaukatakan di mana dia dan di mana bokor emas itu, kalau tidak, terpaksa engkau akan menyusul isterimu!”

Bu Leng Ci berkata dengan wajah gembira. Memang wanita iblis ini paling suka melihat orang berduka den sengsara. Bukan hanya dia, bahkan empat orang kawannya pun demikian juga, pandang mata mereka seperti mata kanak?kanak melihat seekor cacing menggeliat-geliat kepanasan dalam sekarat. Sedikit pun tidak ada rasa kasihan, bahkan gembira dan puas!

Akan tetapi Cong San tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan pertanyaan ini, bahkan bertanya lagi, “Siapa yang membunuh isteriku?”

“Aku yang membunuhnya, kau mau apa?”

belum habis ucapan ini keluar dari mulut Bu Leng Ci, Cong San sudah menggerakkan senjata pit hitam di tangan kanannya.

“Siuuuuttt... wesss!”

Cepat bukan main serangan itu, dilakukan dengan hati sakit dan penuh dendam, menusuk ke arah dada orang termuda dari Lima Datuk kaum sesat itu. Bu Leng Ci tidak sempat mencabut samurainya dan hanya dapat mengelak dengan kaget sekali untuk menyelamatkan dirinya.

“Brettt!” Baju yang menutup dada terobek sedikit berikut sedikit kulit di bagian kanan.

“Keparat!” Bu Leng Ci marah bukan main, juga malu karena hampir saja dia celaka oleh serangan itu tadi. “Srattt!” Samurai panjang telah dicabutnya, dan dia menyerang kalang kabut.

“Tring-tring-tranggg!”

Bunga api berpijar ketika senjata pit itu menangkis samurai. Kwi-eng Nio-cu membantu adik angkatnya dengan cengkeraman dari samping ke arah pundah Cong San, akan tetapi pendekar ini cepat mengelak dan pit-nya berkelebat menyambut untuk menotok sambungan siku Si Bayangan Hantu. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Sakit hati, kemarahan dan kedukaan melihat isterinya yang terkasih tergeletak tak bernyawa dengan dada tertembus pedang, agaknya melipatgandakan tenaga dan kecepatannya. Si Bayangan Hantu terpaksa menarik kembali lengannya dan di lain saat, Yap Cong San telah dikeroyok oleh empat orang diantara Lima Datuk itu. Hanya Toat-beng Hoat-su seorang yang berdiri menonton saja, tidak ikut turun tangan. Biarpun demikian, Cong San sudah repot sekali. Jangankan dikeroyok oleh empat orang yang lihai itu, baru seorang diantara mereka saja sudah merupakan lawan berat yang belum tentu dapat dikalahkannya. Betapapun juga, Cong San tidak gentar dan melawan mati?matian, biarpun gerakannya tidak leluasa karena lengan kirinya memondong puterinya yang menangis nyaring.

Pertandingan yang berat sebelah, Yap Cong San adalah murid Tiang Pek Ho?siang. Dia telah menguasai ilmu silat Siauw?lim?pai yang tangguh dan murni. Akan tetapi, dengan seorang anak kecil dalam pondongannya, menghadapi empat di antara datuk?datuk kaum sesat itu, tentu saja dia terdesak hebat sekali dan beberapa belas jurus kemudian dia hanya mampu mempertahankan diri dan melindungi puterinya saja. Apalagi karena empat orang lawannya adalah orang?orang sakti golongan hitam yang tidak pantang melakukan pengeroyokan dan menggunakan siasat licik. Kini mereka yang mengeroyok sambil tertawa?tawa seperti hendak mempermainkan lawan, bukan hanya menyerang Cong San, akan tetapi juga menujukan serangannya kepada anak kecil dalam podongan pendekar itu. Hal ini membuat Cong San selain marah dan duka, juga khawatir sekali. Baru sekarang dia yang tadi dilanda kedukaan teringat bahwa puterinya yang masih kecil dan terus menangis ini terancam bahaya maut! Maka dia kini mencurahkan seluruh daya pertahanannya untuk melindungi puterinya.

“Huh! Memalukan!” Toat?beng Hoat?su mengeluarkan seruan keras ketika menyaksikan betapa sampai tiga puluh jurus lebih empat orang kawannya belum juga mampu merobohkan seorang lawan yang mereka keroyok. Baru pengeroyokan itu saja sudah menjengkelkan hati kakek ini. Disebut datuk?datuk akan tetapi masih melakukan pengeroyokan! Merendahkan martabat ini namanya! Untuk mengakhiri pengeroyokan yang memalukan ini, tiba?tiba dia menggerakkan jubahnya dari belakang, mengarah kepala anak kecil dalam pondongan Cong San!

Terkejut bukan main hati Cong San ketika merasa angin dahsyat sekali menyambar ke arah kepala anaknya. Jangankan sampai mengenai langsung, baru sambaran angin yang dahsyat itu saja sudah cukup untuk membunuh puterinya! Tidak ada jalan lain baginya kecuali mengorbankan diri untuk melindungi anaknya. Cepat Cong San membalik sehingga tubuh anaknya terlindung dan dia memutar pit?nya untuk menyambut datangnya jubah lebar yang amat dahsyat sambarannya itu.

“Bretttt...! Desss...!”

“Suhu...! Subo...!” Terdengar jerit melengking di pintu ruangan.

Cong San cepat memutar tubuh dan melemparkan Yap In Hong ke arah muridnya sambil berteriak, “Cui Lin, bawa lari In Hong...!”

Hantaman jubah di tangan Toat?beng Hoat?su tadi hebat sekali. Memang pitnya mampu merobek jubah itu, akan tetapi pit itu sendiri hancur dan lengan kanannya lumpuh dengan tulang patah?patah. Kini dia sudah mencabut pit putih dengan tangan kirinya dan siap menghadapi lawan?lawan yang amat lihai itu!

Akan tetapi Cui Lin tidak dapat lari karena kedua kakinya menggigil ketika dia melihat subonya mati, apalagi ketika dia melihat mayat ayahnya, ibunya, kakeknya berserakan, hampir dia roboh pingsan dan berlutut sambil memeluk In Hong dan menangis!

Biarpun lengan kanannya sudah lumpuh dan dia hanya mampu melawan dengan pit di tangan kirinya, namun Cong San masih mengamuk hebat sehingga pitnya berhasil melukai pundak Hek?bin Thian?sin, sungguhpun dia sendiri telah menerima pukulan?pukulan dengan senjata lawan yang membuat pakaiannya robek?robek dan penuh darah.

“Jahanam Yap Cong San, mampuslah!”

Bu Leng Ci yang marah sekali karena tadi dia hampir celaka oleh pit di tangan Cong San, menggerakkan tangan kirinya dan sinar hijau menyambar. Pada saat itu, Cong San sedang terhimpit karena Toat?beng Hoat?su yang marah karena jubahnya robek sudah mendesaknya, maka pendekar ini tidak dapat menghindarkan diri lagi dari sambaran Siang?tok?soa (Pasir Beracun Wangi) yang disambitkan oleh Bu Leng Ci dari jarak dekat.

“Aduhhh...!” Dia berseru ketika pasir itu memasuki dadanya. Hidungnya mencium bau yang wangi sekali dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Dengan sekuat tenaga dia menyambitkan pitnya ke arah lawan yang terdekat, yaitu Ban?tok Coa?ong. Begitu hebat sambitan ini sehingga biarpun Ban?tok Coa?ong meloncat ke atas, tetap saja pit yang tadinya dimaksudkan oleh penyambitnya untuk menembus dadanya itu masih menembus betisnya!

“Auuuww... setan kau!” Ban?tok Coa?ong menubruk dan pedang ularnya membacok. Cong San mengelak, akan tetapi kurang cepat dan pinggangnya robek. Dengan luka parah ini Cong San masih belum roboh, melainkan menubruk ke arah jenazah isterinya dan memeluk isterinya.

“Yan Cu... tunggu... Yan Cu...!” Dengan tubuh isterinya dalam pelukan ketat, pendekar ini menghembuskan napas terakhir! Suami isteri pendekar gagah perkasa yang saling mencinta dan yang sepanjang hidupnya banyak mengalami kemalangan itu tewas dalam keadaan menyedihkan sekali bagi yang melihatnya.

“Huh, menjemukan!” Bu Leng Ci yang masih marah itu menendang mayat Cong San. Mayat itu terlempar, akan tetapi mayat Yan Cu juga ikut terbawa, ternyata bahwa pelukan Cong San itu ketat sekali, seolah?olah sampai mati pun dia tidak mau melepaskan isterinya dan lengannya telah menjadi kaku.

“Ha?ha?ha, mesra?mesra... auggghh...” Ban?tok Coa?ong mencabut pit dari betisnya dan mengobati lukanya.

“Suhu...! Subo...! Uhuhuhuhhh...!” Cui Lin yang masih memondong tubuh In Hong menangis mengguguk sambil berlutut di atas lantai. Di luar pintu tampak Phoa?ma berlutut, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak den mulutnya mewek?mewek menahan tangis saking ngeri den takutnya. Dia tadi bersama Cui Lin berlari?lari pulang ketika mendengar laporan seorang tetangga bahwa di rumah keluarga Theng terdengar ribut?ribut seperti orang berkelahi.

“Hemm, bocah ini murid mereka, tidak boleh hidup!” Bu Leng Ci berkata den samurainya sudah menggetar di tangannya.

“Mo?li, jangan! Sayang kalau dibunuh begitu saja. Hemm, berikan kepadaku sebelum dibunuh!” Yang berkata demikian adalah Hek?bin Thian?sin Louw Ek Bu.

Bu Leng Ci membuang ludah. “Cuhh! Laki?laki kotor!”

“Aahhh, masa kau tidak mau mengalah kepadaku? Kalau mau bunuh bayi itu, bunuhlah, akan tetapi sayang kalau dara ini dibunuh begitu saja. Aku bukan seorang mata keranjang, akan tetapi melihat kemulusan seperti ini disia?siakan dan dibunuh tanpa dimanfaatkan, sungguh amat sayang.”

Bu Leng Ci membuang muka dengan sebal, sedangkan Kwi-eng Nio-cu cemberut. Kedua orang wanita yang sudah banyak melihat kepalsuan laki-laki terhadap wanita ini meresa muak den kebenciannya terhadap pria bertambah dengan sikap Si Muka Hitam itu.

Cui Lin yang mendengar percakapan itu mengangkat mukanya yang pucat, memandang kelima orang pembunuh keluarganya dan gurunya itu. Dia maklum bahwa melawan akan percuma. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan In Hong. Perintah gurunya terakhir adalah menyelamatkan atau melarikan In Hong. Akan tetapi dia tidak dapat lari dan sekarang dia harus menggunakan segala usaha untuk menyelamatkan putera gurunya. Dia tidak takut lagi, yang ada hanya benci. Dendam sedalam lautan yang sukar untuk ditebusnya, mengingat betapa lihainya kelima orang itu. Akan tetapi, yang terpenting adalah menyelamatkan In Hong. Dia bangkit berdiri dengan In Hong di pelukannya. Suaranya tidak gemetar takut ketika dia berkata,

“Ampuni anak kecil yang tak berdosa ini. Aku bersedia mentaati perintah kalian, biar disuruh mati sekalipun, asal adikku ini diampuni dan dibiarkan pergi bersama Phoa-ma.”

“Ha-ha-ha, Nona manis, engkau tabah sekali. Benarkah engkau bersedia menurut kehendakku?” Si Muka Hitam yang buruk rupa itu terkekeh dan bertanya.

“Asal adikku dibebaskan.” Cui Lin mengangguk.

“Anak itu tentu anak mereka. Orangku dahulu mengatakan bahwa ketika mereka menyerbu, Gui Yan Cu sedang mengandung. Anak ini harus dibunuh, kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan kerepotan saja,” kata Kwi-eng Nio-cu.

Cui Lin terkejut. Cepat dia memutar otaknya dan berkata nyaring dengan nada mengejek, “Aih, orang-orang lihai macam kalian takut kepada seorang anak bayi, takut kalau kelak membalas dendam? Tak kusangka kalian penakut seperti itu!”

“Budak hina!” Kwi-eng Nio-cu menggerakkan tangan menampar, akan tetapi Hek-bin Thian-sin sudah meloncat ke depan menghalangi.

“Nio-cu, tidak boleh dia dibunuh dulu sebelum aku selesai dengannya.”

“Kau... hendak membelanya? Kaukira aku takut kepadamu, Hek-hin Thian-sin?” Kwi-eng Nio-cu membentak.

“Takut atau tidak bukan urusanku, akan tetapi tadi sudah kunyatakan bahwa aku tidak ingin melihat gadis ini dibunuh begitu saja.”

“Kalau begitu, majulah!” Si Bayangan Hantu menantang.

“Uh-uhh!” Toat-beng Hoat-su terbatuk-batuk. “Apakah kalian ini anak?anak kecil yang karena urusan sepele saja hendak saling hantam?”

Ditegur demikian oleh orang tertua di antera mereka, keduanya mundur lagi, dan Hek?bin Thian?sin bekata kepada Cui Lin, “Dara manis, siapa takut kepada bocah itu? Biarkan dia hidup dan belajar seratus tahun, kami tidak akan takut! Siapa bilang Hek?bin Thian?sin Louw Ek Bu takut akan pembalasan seorang anak bayi? Entah kalau yang lain takut!”

“Sombong! Aku pun tidak takut!” Si Bayangan Hantu membentak.

“Hi-hik, biarkan bayi itu besar, kelak masih belum terlambat kita membunuhnya. Ingin aku melihat bagaimana dia hendak membalas dendam!” kata pula Bu Leng Ci.

Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak. “Nah, begitulah sikap orang gagah! Tak takut dan pantang mundur menghadapi tantangan pendendam! Eh, Nona, benarkah kau akan menurut segala perintahku kalau kami membebaskan becah itu?”

“Aku Tan Cui Lin adalah keturunan orang gagah dan murid pendekar perkasa, sekali bicara tidak akan ditarik kembali!” Cui Lin yang sudah mengambil keputusan tetap untuk menyelamatkan In Hong sebagai perbuatan terakhir itu menjawab dengan sikap gagah.

“Ha-ha-ha, bagus! Kalau begitu, hayo kautanggalkan semua pakaianmu, bertelanjang bulat di depan kami!” Hek-bin Thian-sin memerintah.

Dapat dibayangkan betapa perasaan seorang dara berusia enam belas tahun seperti Cui Lin mendengar perintah biadab seperti itu. Hampir pingsan membayangkan betapa dia harus menanggalkan semua pakaian di depan mereka. Penghinaan yang tiada taranya bagi seorang dara. Akan tetapi ketekadan bulat didorong putus asa dan kedukaan melihat semua orang yang dikasihinya tewas, dia menjawab dengan suara tenang, “Bebaskan dulu adikku. Biarkan dia dibawa pergi Phoa-ma. Eh, Phoa-ma, bawa pergi In Hong, jaga baik-baik dan hati-hatilah memelihara dia.”

Dengan tubuh menggigil Phoa-ma menerima In Hong dari tangan Cui Lin, memondongnya lalu bergegas pergi keluar dart rumah itu dengan tubuh gemetar.

Setelah melihat Phoa-ma pergi tak tampak lagi, Cui Lin melangkah maju dan perlahan?lahan, jari?jari tangannya mulai menanggalkan pakaiannya, satu demi satu. Dia sengaja melakukan ini dengan lambat sekali karena dia hendak menarik perhatian mereka dan memberi kesempatan kepada Phoa?ma untuk lari jauh di tempat yang aman. Tidak akan sukar bagi Phoa?ma untuk bersembunyi dan andaikata iblis?iblis ini melanggar janji, belum tentu mereka akan dapat mencari Phoa?ma di kota sebesar Tai-goan. Andaikata keadaan tidak seperti itu, dan hatinya tidak seduka itu, agaknya sampai mati pun dia tidak akan sudi menanggalkan pakaian, lebih baik dia mati. Akan tetapi, perasaan duka membuat perasaan lain membeku, lupa akan rasa malu dan lain?lain, yang ada hanyalah keinginannya untuk menyelamatkan In Hong didorong perasaan duka dan sengsara.

Kwi?eng Nio?cu dan Siang?tok Mo?li membuang muka.

“Menyebalkan, perempuan hina!” Siang?tok Mo?li Bu Leng Ci berkata.

“Perempuan tak tahu malu seperti pelacur!” Kwi?eng Nio?cu juga memaki. Akan tetapi Hek?bin Thian?sin Louw Ek Bu mononton pertunjukan itu dengan mata melotot. Makin lambat dara muda itu menanggalkan pakaian, makin menarik dan menggairahkan, menimbulkan nafsu birahi yang berkobar-kobar. Toat-beng Hoat-su hanya terbatuk?batuk sama sekali tidak tertarik, juga tak membenci pertunjukan yang baginya sudah tidak ada daya penariknya sama sekali itu. Akan tetapi Ban-tok Coa-ong juga tertarik dan tersenyum kagum. Betapa hati pria tidak akan terpesona menyaksikan tubuh dara muda yang ramun itu tampak sedikit demi sedikit seperti itu?

Akhirnya Cui Lin telah menanggalkan seluruh pakaiannya dan berdiri dengan telanjang bulat. Seperti seorang wanita berpengalaman yang biasa menggoda pria, dara remaja yang masih mentah ini dan yang menjadi matang karena himpitan duka itu mencabut tusuk konde, membiarkan rambut yang hitam panjang itu terurai lepas di atas kedua pundaknya, sebagian menutupi dadanya yang padat, akan tetapi makin menggairahkan.

“Aduh, nona manis, engkau hebat sekali!” Hek-bin Thian-sin meraih pinggang dara itu dan menarik lalu memeluknya. Tanpa malu-malu lagi dia menciumi bibir Cui Lin. Dara itu hampir pingsan. Selama hidupnya belum pernah dia melakukan semua itu dan belum pernah dicium pria, dalam mimpi pun belum. Kini, muka yang hitam kasar itu menciumnya, membuat dia hampir muntah. Akan tetapi dia mengeraskan hati, memejamkan mata agar tidak melihat muka hitam berkilat itu, tangannya bergerak.

“Manis, cantik jelita... ahhh... hemm... aughhh!!” Hek-bin Thian-sin berteriak den cepat mengerahkan sin-kang ke ulu hatinya, tangannya dengan jari tangan miring menghantam kepala Cui Lin.

“Trakkk!” Tanpa dapat mengeluh lagi, tubuh Cui Lin yang telanjang bulat itu terpelanting dan roboh dengan kepala retak den tewas seketika. Hek?bin Thian-sin menyumpah-nyumpah ketika dia mencabut tusuk konde yang hampir saja membunuhnya itu dari ulu hatinya. Untung dia cepat mengerahkan sin-kang sehingga tusuk konde itu hanya masuk sedalam tiga senti saja. Sambil mengobati lukanya dia memaki-maki.

“Perempuan jahat! Curang! Ahhh, mana anak kecil itu? Harus dibunuh sekali!!” teriaknya sambil mencak-mencak.

Kwi-eng Nio-cu dan Siang-tok Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati girang sekali.

“Rasakan kau sekarang, laki-laki kotor!” Bu Leng Ci bersorak.

“Wah, sayang. Kalau tidak mati, mau rasanya aku mngambil dara ini sebagai murid!” kata Si Bayangan Hantu.

Orang-orang berkerumun di depan rumah keluarga Kakek Theng ketika lima orang aneh ini meninggalkan rumah itu. Tadi Phoa-ma yang membawa lari In Hong, setelah tiba di luar dan bertemu dengan orang-orang, tidak dapat berkata apa-apa kecuali suara lirih, “Pembunuhan...! Pembunuhan...!” tanpa berhenti menoleh dan tidak peduli pertanyaan orang, melainkan terus melarikan diri, memeluk anak itu erat-erat. Karena inilah, mika orang-orang berkumpul di depan rumah itu. Ketika mereka melihat lima orang aneh itu keluar dengan sikap angkuh dan seenaknya, tidak ada yang berani bertanya. Setelah lima orang itu pergi, barulah berbondong-bondong mereka memasuki rumah.

Dapat dibayangkan betapa gegernya ketika mereka melihat bahwa rumah itu penuh dengan darah dan mayat berserakan! Mayat-mayat dalam keadaan mengerikan sekali, terutama Cui Lin yang mati dalam keadaan telanjang bulat dan kepala pecah! Banyak yang tidak kuat menyaksikan dan ada yang jatuh pingsan, ada pula yang jatuh berlutut karena kedua kaki terasa lemas dan lumpuh. Akan telapi ada beberapa orang yang cepat lari keluar untuk mengejar lima orang aneh itu. Setibanya di luar, tidak ada nampak bayangan seorang pun di antara dua orang wanita dan tiga orang kakek yang menyeramkan tadi. Tentu saja mereka segera lari melapor kepada yang berwajib dan gegerlah kota Taigoan, apalagi karena Kakek Theng terkenal sebagai orang terhormat, bekas pengawal kaisar!

“Kejam sekali!”

“Bukan manusia!”

“Lebih kejam daripada iblis!”

Demikian komentar para penduduk Taigoan. Dan agaknya ada pula para pembaca yang memberi komentar seperti itu.

Kejamkah Lima Datuk kaum sesat itu? Tentu saja kejam sekali. Akan tetapi marilah kita menyelidiki keadaan kita manusia hidup ini. Bukankah kita ini dengan cara masing-masing, menurutkan pendapat masing-masing, juga merupakan orang-orang yang kejam? Mari kita tengok di sekeliling kita. Bukankah hidup manusia ini penuh dengan segala macam kejahatan? Pembunuhan terjadi di mana-mana. Ada pembunuhan karena perkelahian, karena perampokan, karena kebencian, karena permusuhan, karena iri dan sebagainya. Banyak pula pembunuhan masal karena perang. Perang antar bangsa yang pada hakekatnya mencerminkan perang dan pertentangan antar kelompok, antar perorangan, dan akhirnya bersumber pada pertentangan dalam diri kita masing-masing! Tidak kejamkah kita kalau kita mengiri kepada atasan dan menghina kepada bawahan? Kalau kita suka kepada yang baik dan jijik terhadap yang buruk, termasuk manusia? Tidak kejamkah kita kalau milik kita berlimpah dan berlebihan dan hati kita tidak terusik sama sekali melihat sesama manusia kurang makan kurang pakaian dan tiada tempat tinggal seperti kaum jembel dan gelandangan? Tidak kejamkah kita kalau untuk sebuah kedudukan saja kita sampai hati untuk saling jegal, saling fitnah, saling benci, dan saling bunuh?

Kalau kita mau belajar mengalihkan pandangan kita ke dalam diri sendiri, mau mengenal keadaan hati dan pikiran sendiri secara jujur, akan tampaklah bahwa selain kejam, kita pun munafik-munafik besar. Mulut bicara tentang saling kasih antar manusia, namun mata memandang penuh iri dan benci, tangan dikepal siap saling hantam, hanya untuk memperebutkan uang, kedudukannya, nama dan juga memperebutkan... kebenaran bukan lain hanyalah kebenaran diri sendiri masing-masing dan karenanya menjadi kebenaran palsu.

Mari kita ingat betapa kejamnya kita ini! Digigit seekor nyamuk ingin membunuh semua nyamuk, berdasarkan dendam dan kebencian. Berdasarkan jijik dan takut terkena penyakit, kalau bisa semua lalat dibasmi! Berdasarkan nafsu makan enak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesehatan, kita membunuh segala binatang untuk kita makan bangkainya. Tidak kejamkah kita? Apakah alasan bahwa “semua itu sudah umum” dapat dipakai untuk menghapus kekejaman ini?

Dapatkah kita berusaha menghapus kekejaman? Dengan ilmu apa pun tidak dapat! Karena keadaan bebas dari kekejaman bukanlah keadaan yang dibuat dan diusahakan. Orang tidak akan mungkin dapat berhasil kalau dia berusaha menjadi orang baik! Usaha menjadi baik hanya menjadikan orang munafik yang merasa diri baik, dan segala usaha dan keinginan selalu mengandung pamrih atau tujuan yang kesemuanya bersumber kepada keuntungan lahir maupun batin bagi diri pribadi. Kekejaman akan terhapus apabila kita mengerti sampai ke akarnya mengapa kita kejam, apabila kita mengenal keadaan diri kita pribadi, mengenal gerak pikiran dan hati kita pribadi.

Marilah kita bersama mulai dari detik ini juga. Karena hidup adalah dari detik ke detik. Hidup adalah sekarang ini. Perubahan adalah saat ini, bukan ingin mengubah namun perubahan yang terjadi dengan sendirinya setelah kita membuka mata, waspada penuh kesadaran mengenai keadaan kita lahir batin, keadaan sekeliling kita. Apa kemarin? Sudah lalu! Hanya menimbulkan kenangan yang mengeruhkan pikiran. Apa besok? Bukan urusan kita! Hanya menimbulkan bayangan khayal yang melahirkan kekhawatiran dan ketakutan. Yang panting sekarang, saat ini!

Mari kita kembali ke Siauw-lim-si. Di kuil itu telah dipersiapkan untuk menerima tamu yang diduga tentu akan membanjiri kuil itu untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio.

Yap Kun Liong masih berada di kuil itu karena dia mau membantu sampai upacara pembakaran jenazah dan penguburan selesai. Selain ini, dia pun hendak menanti ayah bundanya karena menduga bahwa sekali ini ayah bundanya pasti akan datang ke Siauw-lim-si. Tiang Pek Hosiang adalah guru ayahnya, mustahil kalau ayahnya tidak datang mendengar gurunya meninggal dunia. Dan ayahnya pasti akan mendengarnya karena berita ini tentu tersiar luas di dunia kang-ouw. Juga dia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang diduga akan membanjiri kuil itu.

KASIHAN sekali pemuda ini. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ayah bundanya yang dirindukannya itu telah tewas kurang lebih tiga tahun yang lalu! Kun Liong merasa gembira sekali melihat tokoh-tokoh kang-ouw mulai berdatangan. Dia telah menjadi seorang pemuda ber-usia dua puluh tahun yang bertubuh tegap dengan dada bidang penuh kesehatan dan kekuatan. Wajahnya tampan dan ke-pala gundulnya sama sekali tidak me-nyuramkan ketampanan wajahnya bahkan memberi ciri ketampanan yang khas! Sinar matanya berubah-ubah, kadang--kadang lembut seperti mata kanak-kanak, kadang-kadang bersinar tajam dan keras. Mata itu lebar, sesuai dengan dahinya yang lebar dan kepalanya yang bulat. Alisnya hitam tebal berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulut serta dagunya membayangkan watak kuat dan kemauan membaja. Perangainya juga aneh dan berubah-ubah. Kadang-kadang dia pelamun, pendiam seperti orang pemurung, akan tetapi ada kalanya dia lincah jenaka penuh kegembiraan dan kalau sudah begini, muncul pula kenakalannya seperti ketika masih kanak-kanak. Karena dia berdiri seperti orang berjaga di ruangan tamu di mana Ketua Siauw-lim-pai sendiri menerima tamu, maka dengan jelas dia dapat melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang disebutkan namanya setiap kali menghadap Ketua Siauw-lim-pai kemudian bersembahyang di depan kedua peti jenazah. Yang datang adalah tokoh-tokoh besar, utusan partai-partai Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan yang terkenal. Juga banyak dari perkumpulan-perkumpulan silat, dari perorangan yang sudah mengenal pribadi kedua orang tokoh Siauw-lim-pai yang meninggal dunia atau yang datang untuk menghormati Siauw-lim-pai. Akan tetapi hatinya kecewa sekali karena dia tidak melihat ayah bundanya.

“Locianpwe, mengapa ayah bunda teecu belum juga tiba?” Akhimya dia tidak sabar lagi, bertanya lirih kepada Thian Kek Hwesio.

Hwesio ketua Siauw-lim-pai ini menarik napas panjang. “Ayahmu bukan lagi murid Siauw-lim-pai, andaikata berhalangan datang pun tidak mengapa. Lihat, Cia-taihiap datang!” Hwesio tua itu bangkit berdiri menyambut dengan wajah berseri. Mendengar disebutnya Cia-taihiap, jantung Kun Liong berdebar keras dan cepat dia mengangkat muka memandang.

Sinar matanya berseri dan dia menahan senyumnya ketika dia mengenal dara cantik jelita dan gagah perkasa yang berjalan di belakang suami isteri setengah tua itu. Mana mungkin dia pangling? Wajah itu masih sama cantik jelita dan berseri-seri penuh kenakalan seperti dahulu, bahkan makin cantik dan matang! Cia Giok Keng, siapa lagi? Dan dara itu pun memandang kepadanya, kelihatan terkejut dan terheran yang dapat dilihat dari diangkatnya sepasang alis yang seperti bulan muda itu, sepasang mata yang jernih itu berkilat, akan tetapi dara itu segera membuang muka mengalihkan pandang dengan alis berkerut! Hampir saja Kun Liong tertawa karena dia ter-ingat akan pertemuannya yang pertama dahulu dengan gadis itu. Mengertilah dia bahwa gadis itu tentu merasa khawatir melihat Kun Liong di situ, khawatir kalau-kalau pemuda ini akan membuka rahasianya dahulu akan wataknya yang buruk menyambut tamu dengan kurang ajar! Teringat ini, Kun Liong tersenyum penuh kemenangan. Sedikitnya, ada se-suatu yang dia kuasai, yang membuat dara itu tidak akan berani lagi berkurang ajar seperti dahulu, memandang rendah kepadanya!

Bagaimana Giok Keng dapat muncul di Siauw-lim-si? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini disuruh menjaga adiknya di Cin-ling-pai. Akan tetapi, dasar anak manja, sehari kemudian sete-lah ayah bundanya pergi, dia tak dapat menahan keinginannya untuk pergi.

Karena gadis ini melakukan perjalanan mengejar ayah bundanya dengan cepat, maka tiga hari kemudian dia dapat me-nyusul mereka.

Cia Keng Hong akan menegur, akan tetapi kembali isterinya yang membela anaknya.

“Dia sudah menyusul, biarlah dia ikut dengan kita.”

“Hmm... disuruh menjaga rumah malah nekat menyusul! Seperti anak kecil saja engkau, Keng-ji!”

Giok Keng memegang lengan ayahnya dan berkata halus manja, “Maaf, Ayah. Saya ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw untuk menambah penga-laman.”

“Hemm...!” Terpaksa Keng Hong tidak melarang lagi dan berangkatlah mereka ke Siauw-lim-si bertiga.

Setelah melalui basa-basi upacara penyambutan di mana Ketua Siauw-lim-pai mengucapkan selamat datang dan pendekar sakti itu menyatakan duka cita atas kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio, suami isteri dan puteri-nya itu lalu memberi hormat dengan me-masang hio (dupa wangi) dan bersembah-yang di depan peti mati. Kemudian me-reka dipersilakan duduk di tempat kehor-matan sejajar dengan beberapa orang ketua partai yang berkenan hadir dan tidak mewakilkan kepada murid-muridnya.

Kun Liong memperhatikan dengan pandang matanya. Pendekar sakti yang amat dikagumi dan dijunjung tinggi oleh ayah dan ibunya itu kelihatan seorang laki-laki sebaya dengan ayahnya sekarang, setengah tua dan pakaiannya sederhana sekali. Sama sekali tidak seperti para ketua partai yang datang diiringkan anak buahnya yang membawa-bawa bendera tanda partai segala. Ketua Cin-ling-pai ini datang seperti orang biasa bersama isteri dan puterinya, pakaiannya seperti sastrawan sederhana atau lebih tepat se-perti seorang petani terpelajar, tidak membawa senjata dan kelihatannya biasa saja. Tubuhnya memang tegap berisi, wa-jahnya tampan dan kumis serta jenggot-nya pendek, masih hitam semua. Wajah itu membayangkan kesabaran, dan hanya sepasang alisnya yang membayangkan kegagahan, alis yang tebal dan bentuknya keren. Rambutnya masih hitam, digelung ke atas dan diikat dengan saputangan sutera berwama kuning tua. Bajunya yang longgar berwarna kuning muda dan celananya hitam, ikat pinggangnya juga kuning tua. Sungguh di luar persangkaan Kun Liong yang membayangkan supeknya itu sebagai seorang tokoh yang hebat dan luar biasa! Kiranya seorang yang seder-hana sekali, baik pakaian, gerak-gerik maupun sikapnya.

Isterinya lebih istimewa. Cantik dan penuh semangat, pakaiannya serba putih dengan hiasan warna merah dan biru di sana-sini, sikapnya agak dingin namun menambah kekerenannya. Pribadi nyonya ini jelas membayangkan kegagahan penuh, yang membuat orang merasa sungkan dan jerih untuk berurusan dengannya. Sam-baran sinar matanya penuh wibawa. Me-lihat wajah nyonya ini, Kun Liong men-dapat kenyataan betapa Giok Keng mirip ibunya, cahtik, gagah, dan jelas menonjol sifat terbuka dan penuh keberanian.

Dengan jantung berdebar Kun Liong melangkah perlahan menghampiri Cia Keng Hong yang duduk dengan tenang memandang para tamu yang baru datang dan bersembahyang. Pemuda ini melihat betapa Giok Keng menengok kepadanya dan kembali alis dara itu berkerut, sinar matanya menyambar penuh peringatan! Hal ini terasa sekali oleh Kun Liong sehingga tanpa disadarinya, kepalanya yang gundul itu mengangguk! Dan dia tersenyum ketika melihat dara itu sekilas tersenyum, kelihatan lega!

“Maafkan kalau teecu mengganggu, Supek. Teecu adalah Yap Kun Liong, dan merasa berbahagia sekali mendapat kesempatan berjumpa dengan Supek berdua Supek-bo.” Dia berlutut di depan Keng Hong dan Biauw Eng.

Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak memandang kepala yang gundul itu karena ketika pemuda itu herlutut dan menundukkan muka, yang tampak hanya kepalanya yang gundul licin saja!

“Apa...? Siauw-suhu (Bapak Pendeta Muda)...?”

Telinga Kun Liong menjadi merah ketika menangkap suara ketawa ditahan dari sebelah kiri, Cia Giok Keng yang menahan ketawa itu, tak salah lagi!

“Supek, teecu bukan hwesio biarpun kepala teecu gundul. Teecu Yap Kun Liong...”

Keng Hong memegang pundak pemuda itu. Kun Liong mengangkat muka dan melihat betapa wajah yang tampan dan gagah itu diliputi keharuan.

“Engkau putera Yan Cu...?” Biauw Eng juga berseru lirih.

Keng Hong memberi isyarat kepada isterinya dan puterinya, kemudian bangkit berdiri. “Bawa kami ke tempat sunyi agar leluasa bicara.”

Kun Liong mengangguk dan mendahului pergi ke ruangan samping yang sunyi. Ketua Siauw-lim-pai melihat ini, akan tetapi hanya tersenyum saja karena dia maklum betapa pentingnya pertemuan antara paman guru dan murid keponakan itu. Setelah tiba di tempat sunyi itu, Keng Hong memegang lengan Kun Liong dan memandang dengan sinar mata tajam.

“Benarkah engkau Yap Kun Liong? Di mana ayah bundamu?”

Kun Liong menunduk dan menarik napas panjang kemudian menggelengkan kepalanya yang gundul, “Teecu tidak tahu, Supek. Sudah sepuluh tahun teecu tidak berjumpa dengan mereka.”

Biauw Eng melangkah ke depan, kedua tangannya yang halus kulitnya itu meraba dagu Kun Liong, mengangkat muka pemuda yang menjadi kaget dan terheran itu. “Dia memang putera mereka. Lihat!” Biauw Eng menggunakan telapak tangan kanan menutupi bagian atas dari muka Kun Liong, memperlihatkan hidung dan mulutnya saja.

“Persis Yan Cu sumoi!” Keng Hong berseru kagum.

“Dan lihat ini!” Kini tangan Biauw Eng menurun dan menutupi bagian bawah muka pemuda itu.

“Benar! Mata dan dahi itu persis Cong San, hanya bedanya dia gundul. Eh, Kun Liong, ke mana saja engkau pergi? Kenapa kepalamu gundul? Hemmm... agaknya engkau menjadi korban hawa beracun! Dan bagaimana pula sampai sepuluh tahun engkau tidak berjumpa dengan ayah bundamu?”

“Panjang sekali ceritanya, Supek.” Kun Liong menarik napas panjang dan melirik ke arah Giok Keng. Kalau dia menceritakan pengalaman-pengalamannya, apakah dia tidak harus bercerita tentang kunjungannya ke Cin-ling-san?

Gerakan ini dianggap oleh Keng Hong bahwa pemuda itu sungkan bercerita karena di situ ada Giok Keng yang tentu disangka orang lain karena belum diperkenalkan.

“Kun Liong, dia ini bukan orang lain, dia adalah puteri kami, bernama Giok Keng. Keng-ji (Anak Keng), ini adalah Yap Kun Liong, putera pamanmu Yap Cong San seperti yang telah kami ceritakan kepadamu. Dia lebih tua darimu.”

“Glok Keng, beri salam kepada kakakmu!” Biauw Eng berkata.

Biarpun hatinya tidak suka karena dia masih curiga kalau-kalau pemuda gundul itu akan membuka rahasia kesalahannya lima tahun yahg lalu, terpaksa Giok Keng mengangkat kedua tangan dengan kaku dan berkata lirih, “Liong-ko (Kakak Liong)!”

Kun Liong cepat membalas penghormatan itu dan tersenyum. “Keng-moi (Adik Keng), maafkan tadi aku diam saja karena tidak mengenal engkau siapa.”

Ucapan pemuda ini seketika membuat wajah Giok Keng berseri gembira karena hatinya lega. Setelah mengatakan tidak mengenal berarti pemuda itu akan merahasiakan pertemuan mereka lima tahun yang lalu. Maka dengan ramah dan juga tersenyum dia menjawab, “Tidak mengapa, Liong-ko. Akulah yang seharusnya menyapa lebih dulu.”

Atas desakan Keng Hong dan Biauw Eng yang ingin sekali mendengar apa yang telah dialami pemuda itu, Kun Liong lalu menuturkan dengan singkat pengalaman-pengalamannya semenjak anjing peliharaannya menumpahkan obat dan karena takut dia melarikan diri sampai berturut-turut terjadi hal-hal hebat menimpa dirinya sehingga dia makin tidak berani pulang. Dia menceritakan betapa dia diambil murid oleh Bun Hwat Tosu dan dipesan agar jangan mempergunakan nama kakek itu sebagai gurunya.

“Hanya kepada Supek, dan Supek-bo, juga Adik Giok Keng, saya berani menceritakan,” sambungnya. Dia tidak menceritakan tentang bokor emas, dan juga banyak hal yang dianggapnya kurang perlu, diantaranya kenakalannya yang menyebabkan kebakaran dan lain-lain, tidak diceritakannya!

“Kau beruntung sekali dapat menjadi muridnya sampai lima tahun!” Keng Hong berseru girang.

Kun Liong melanjutkan penuturannya, betapa dia kembali ke Leng-kok akan tetapi tak dapat bertemu dengan ayah bundanya yang telah melarikan diri menjadi orang buruan karena telah berani menentang Ma-taijin.

“Hemm, kurasa sekarang manusia busuk she Ma itu tidak akan berani banyak tingkah lagi setelah kuhancurkan sebelah telinganya!” Biauw Eng berkata sehingga Kun Liong terkejut.

“Supek-bo melakukan hajaran itu karena ayah ibu?” tanyanya.

Biauw Eng mengangguk. “Mestinya engkau yang melakukannya, karena lima tahun yang lalu mungkin engkau masih terlalu muda, aku mewakilimu.”

“Ahh, Supek-bo, Terima kasih atas pembelaan Supek-bo, akan tetapi teecu rasanya tidak akan mau melakukan hal itu.”

“Kenapa? Kau takut??” Biauw Eng bertanya dengan kening berkerut penuh kecewa.

“Teecu tidak takut apa-apa, hanya... teccu tidak akan menggunakan kekerasan ilmu silat untuk memukul orang...”

Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak dan saling pandang, sedang Giok Keng tersenyum mengejek. Ketika Biauw Eng yang penasaran hendak membantah, dia didahului Keng Hong. “Lanjutkan ceritamu, Kun Liong. Setelah tidak bertemu dengan orang tuamu, apakah kau tidak mencari mereka? Mengapa? Kalau ada ibumu, agaknya kepala gundulmu dapat disembuhkan dan dapat tumbuh rambut. Kenapa pula kau bisa berada di sini?”

“Teecu telah berusaha mencari mereka, akan tetapi sia-sia. Akhirnya teecu pergi ke Siauw-lim-si dan secara kebetulan sekali teecu diambil murid oleh mendiang sukong Tiang Pek Hosiang selama lima tahun.”

“Apa?” Kembali Keng Hong dan Biauw Eng terkejut. “Bukankah beliau selama itu mengurung diri dalam Ruang Kesadaran?”

Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya sampai dia menjadi murid sukongnya sendiri. Keng Hong mendengarkan penuh kagum dan diam-diam dia memuji nasib baik bocah ini yang secara kebetulan saja digembleng oleh dua orang paling sakti di dunia ini pada jaman itu!

“Hemm, jadi yang membuatmu keracunan sampai gundul begini adalah Ban-tok Coa-ong dan puteranya? Dia seorang di antara Lima Datuk kaum sesat! Lalu, setelah selesai upacara penyempurnaan jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio, apa yang hendak kaulakukan, Kun Liong? Engkau hendak pergi ke ma-na?”

“Teecu belum tahu harus pergi ke mana. Yang jelas teecu akan mencari ayah dan ibu, juga berusaha mencari dua buah pusaka Siauw-lim-si yang hilang seperti dipesankan oleh mendiang Sukong.”

“Tapi, kalau betul dugaan Ketua Siauw-lim-pai bahwa yang mencuri adalah orang-orang dari Kwi-eng-pang, berbahaya sekali kalau kau pergi ke sana. Si Bayangan Hantu, ketua Kwi-eng-pang adalah seorang lihai, seorang di antara Lima Datuk kaum sesat.”

“Teecu tidak takut, Supek. Teecu harus mencarinya dan dapat membawanya kembali ke sini untuk membalas budi kebaikan mendiang Sukong.”

“Bagus! Begitulah baru pantas menjadi putera Yap Cong San dan Gui Yan Cu sumoi. Akan tetapi, sebelum berangkat biarlah kulihat dulu sampai di mana tingkat kepandaianmu, kalau perlu biar kutambah untuk bekal.”

Kun Liong menghaturkan terimakasihnya. Keng Hong lalu mengajak mereka kembali ke ruangan tamu. Akan tetapi Giok Keng berkata, “Ayah, karena Liong-ko adalah orang dalam kuil ini, saya ingin sekali melihat-lihat kuil yang disohorkan amat besar dan indah ini. Juga saya ingin melihat Ruang Kesadaran di mana mendiang Tiang Pek Hosiang bertapa dan di mana Liong-ko digembleng selama lima tahun.”

Keng Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi Biauw Eng mendahuluinya. “Pergilah, dan kau yang ceritakan kepada kakakmu tentang keadaan kita selama ini agar dia mengetahui bahwa aku dan ayahmu sudah berusaha pula mencari orang tuanya.” Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengajak suaminya kembali ke tempat tadi, sedangkan Giok Keng dan Kun Liong berjalan keluar memasuki kebun di samping kuil.

“Dia cukup tampan dan gagah, bukan? Kalau saja Keng-ji dan dia dapat saling cocok...” Biauw Eng berkata lirih setelah mereka duduk berdampingan di tempat tamu tadi. Hatinya sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu, mengingat bahwa usia puterinya itu sudah sembilan belas tahun. Sudah perawan tua menurut ukuran waktu itu!

“Tapi... tapi...”

“Tapi apa?” Biauw Eng mendesak dan melirik ke arah suaminya.

“Dia... eh, kepalanya gundul. Bagaimana kalau sampai selamanya tetap gundul seperti hwesio?”

“Hemm, heran sekali aku, masa engkau meributkan soal kepala gundul atau berambut gondrong! Tidak biasanya engkau seperti ini. Pula, bukankah engkau masih menyimpan kitab pengobatan peninggalan gurumu yang kautemukan di Cin-ling-san ketika membangun pondok itu? Kalau kauberikan kitab itu kepadanya, tentu dia akan dapat mencari obatnya sendiri. Suamiku, apa sebetulnya yang membuat kau kecewa? Aku yakin bukan soal kepala gundul!” Biauw Eng yang sudah mengenal benar watak suaminya, mendesak.

Keng Hong menarik napas panjang. “Betapa mungkin bagiku menyembunyikan sesuatu darimu? Sebetulnya, aku agak kecewa mendengar pernyataannya tadi bahwa dia tidak suka menggunakan ilmu silat untuk memukuli orang. Kurasa ucapan itu timbul dari hati penakut dan watak yang lemah. Benar-benar aku tidak suka!”

“Hemmm, suka atau tidak, yang kita pentingkan bukankah perjodohan Giok Keng? Biarkan dia yang menentukan, bukan kita karena dialah yang akan melaksanakan, untuk selamanya, yang akan mengalami baik buruknya, suka dukanya.”

Keng Hong menarik napas panjang. “Mudah-mudahan dugaanku itu keliru.” Mereka tidak melanjutkan percakapan itu karena merasa kurang leluasa setelah kini tamu berdatangan dan banyak yang duduk dekat mereka.

Setelah mereka berdua memasuki kebun, Giok Keng berkata, “Kun Liong, kau baik sekali tidak...”

Kun Liong memandang dengan mata melotot dibesarkan, mulut cemberut dan menegur, “Eh, berani kau menyebut namaku begitu saja? Kalau aku mengutukmu, kau bisa menjadi kelelawar!”

“Habis, bukankah namamu Kun Liong?”

“Siapa menyangkal? Akan tetapi kau juga tidak bisa menyangkal bahwa aku lebih tua daripada engkau dan tadi kau sudah menyebutku koko. Kau bilang aku baik karena tidak membuka rahasiamu di depan ayah bundamu, akan tetapi beginikah balasnya? Kau menyebutku begitu saja seolah-olah kau lebih tua!” Kun Liong tidak marah sungguh-sungguh, hanya untuk menggoda saja karena dilihatnya, bahwa dara ini masih lincah dan nakal! “Ataukah barangkali aku tidak perlu membohong kepada Supek? Untuk mengaku tentang pertemuan kita dahulu itu sekarang pun masih belum terlambat!” Kun Liong membalikkan tubuh seolah-olah hendak pergi menemui supeknya.

“Eh, eh... nanti dulu, Kun... eh, Liong-koko! Maafkan aku, aku terima salah. Biarlah aku menyebutmu koko! Nah, kaudengar? Koko! Koko! Koko!”

Kun Liong tertawa dan kembali ke depan dara itu yang sudah cemberut. “Kau ceriwis dan manja sekali, ah! Benci aku melihatmu! Urusan dahulu itu hendak kaupakai untuk memeras aku selamanya ya? Awas kau, kalau keterlaluan sampai aku kehabisan kesabaran, sekali ini aku tidak hanya merobohkan engkau, melainkan akan kuketuk kepala gundulmu sampai retak!”

“Wah, jangan marah, dong, Moi-moi yang baik. Kau manis sekali, tahukah kau? Cantik seperti bidadari, seperti dalam dongeng yang pernah kubaca, tentang dewi yang turun dari kahyangan melalui tangga pelangi!”

“Kau mengejek ya?”

“Sungguh mati disumpah tujuh kali pun mau! Kau memang cantik sekali, Moi-moi. Bukan mengejek bukan apa, akan tetapi secara jujur. Biar aku tersumpah demi langit dan bumi bahwa kau memang cantik jelita. Hemmm...”

“Hemm apa?” Giok Keng membentak, akan tetapi sebenarnya hatinya berdebar girang bukan main. Kalau lain orang yang memujinya seperti itu, apalagi kalau orang itu laki-laki, tentu akan dianggapnya kurang ajar dan bisa dibunuhnya! Akan tetapi sikap Kun Liong yang jujur dan sama sekali tidak menjilat itu mendatangkan kesan lain!

“Eh, aku hanya mau bilang bahwa... selama ini aku tidak pernah dapat melupakanmu, maka begitu tadi kau muncul, aku terus saja mengenalmu. Yang selalu terbayang olehku adalah...”

“Apa? Mengapa bicara putus-putus begitu? Jangan main gila, ya?” Giok Keng pura-pura marah untuk menutupi kegirangan dan kebanggaan hatinya.

“Yang tak pernah kulupakan adalah ketika kau dahulu... menempiling kepalaku tiga kali! Ha-ha!”

Merah kedua pipi dara itu. Dia sama sekali bukan menempiling setelah dahulu ia ketakutan setengah mati, hanya menyentuh saja.

“Aku pun tidak dapat lupa kepadamu, terutama... kepalamu.”

“Gundul ini? Ha-ha, memang di dunia tidak ada keduanya, ya?”

Giok Keng cemberut lalu menjebikan bibirnya yang merah. “Kau memang manja dan ceriwis sekali. Kau tadi bilang kalau mengutuk aku maka aku bisa menjadi kelelawar. Apa maksudmu?”

Kun Liong tertawa, tertawa bebas dan inilah yang menambah daya tarik pribadinya, tidak ada pura-pura, tidak ada penahanan diri, bebas dan wajar. “Kau tahu bagaimana kalau kelelawar tidur? Kakinya tergantung, kepala di bawah, bukan? Nah, kalau kau berani kepada aku yang lebih tua, yang kaupanggil kakak, maka kau bisa kualat, seperti kelelawar tidur, kaki di atas kepala di bawah!”

“Huhh!” Giok Keng menampar pundak Kun Liong, tamparan main-main, akan tetapi Kun Liong yang kena ditampar pundaknya mengaduh-aduh.

“Aduhhh... aduhhh...!”

“Ehhh?” Giok Keng khawatir dan terbelalak. “Aku tidak menggunakan sin-kang, masa sakit?”

Kun Liong menghentikan aksinya kesakitan. “Untung kau tidak mengerahkan tenaga, kalau demikian, bukankah aku akan menderita nyeri sekali?”

Giok Keng merasa dipermainkan dan mendongkol. “Dasar sinting!”

Kun Liong tertawa. “Entah mengapa, biasanya aku tidak begini, Moi-moi. Ber-ada di dekatmu aku merasa gembira sekali dan ingin bersendau-gurau saja. Rasanya aku seperti mau bernyanyi-nyanyi, mau menari-nari!”

“Engkau bisa gila kalau terus begini. Eh, Kun Liong... Koko! Mengapa sih kau suka sekali disebut Koko olehku?”

“Tentu saja. Engkau anak tunggal, aku pun juga. Engkau tidak punya kakak, aku tidak punya adik, sudah sepatutnya...”

“Ngawur! Aku bukan anak tunggal! Aku mempunyai seorang adik laki-laki bernama Cia Bun Houw, sekarang sudah empat tahun usianya.”

“Benarkah? Mana dia?”

“Di rumah. Di Cin-ling-san. Hemm, aku sampai lupa menceritakan kepadamu keadaan kami seperti dipesan ibu tadi.” Gadis itu bersama Kun Liong duduk di atas bangku dan mulailah dia menceritakan keadaan keluarga Cia itu dengan singkat.

Mendengar penuturan ini, teringatlah Kun Liong akan keadaan keluarganya sendiri. Seketika lenyaplah kegembiraannya seperti awan tipis ditiup angin. Wajahnya menjadi muram, matanya sayu dan dia mendadak menjadi pendiam.

Perubahan sembilan puluh derajat (bumi langit) ini mengherankan Giok Keng yang telah selesai bercerita. “Ihh, kau kenapa? Kok suram muram seperti lampu kehabisan minyak?”

Kelakar Giok Keng yang juga memiliki watak lincah gembira itu tidak membuyarkan kedukaan hati Kun Liong. “Aku teringat akan ayah bundaku. Sudah sepuluh tahun tidak berjumpa. Harapan terakhir di sini, akan tetapi mereka tidak juga muncul. Aku khawatir sekali, jangan-jangan ada malapetaka menimpa mereka.”

Giok Keng mengerutkan alisnya, seketika dia pun tidak nafsu main-main lagi karena merasa ikut khawatir dan berduka. Entah mengapa, menghadapi sikap Kun Liong yang tidak pura-pura, wajar dan seadanya itu dia mudah ter-seret. Kini dia merasa kasihan sekali dan tanpa disadarinya, tangannya memegang lengan Kun Liong sambil berkata, “Ayah bundamu adalah orang-orang yang me-miliki ilmu kepandaian tinggi, malapetaka apa yang dapat menimpa mereka? Tidak perlu khawatir, Liong-ko.”

“Aihhh, kau tidak tabu, Moi-moi. Baru berurusan dengan pembesar rendah Ma-taijin saja mereka sudah terpaksa harus menjadi pelarian. Dunia sudah kotor dengan polah tingkah manusia-manusia yang menyalahgunakan kedudukan atau kekuatannya.”

Sampai lama mereka terdiam dan sama sekali tidak sadar bahwa tangan kiri Giok Keng memegang lengan kanan Kun Liong dan ketika menjawab tadi Kun Liong menumpangkan tangan kirinya di atas punggung tangan kiri dara itu!

“Ihhh...!” Tiba-tiba Giok Keng merenggutkan tangannya dan meloncat berdiri, memandang Kun Liong dengan muka kemerahan.

“Lho, kenapa?” Kun Liong juga kaget, seketika kedukaannya buyar.

“Kenapa kau memegang tanganku?”

“Hehh...?” Kun Liong bengong, lalu teringat dan setelah kedukaannya membuyar, dia tertawa geli dan kembali sifatnya suka menggoda timbul. “Kau juga memegang lenganku sejak tadi tidak apa-apa, kalau aku memegang tanganmu sebentar saja, kau sudah mencak-mencak. Apakah tanganku kotor? Apakah bau?” Kun Liong mencium telapak tangannya sendiri, lalu mengangguk-angguk dan berkata, “Memang bau...!”

“Huh! Pantas! Menjijikkan, tangannya bau...!”

“Wangi! Bau wangi kataku! Tentu saja pantas, dan sama sekali tidak menjijikkan.”

“Bohong! Masa tanganmu bau wangi?”

“Eh, tidak percaya? Boleh cium sesukamu!” Dia mengulur tangannya.

“Tidak sudi! Eh, kenapa kau kaya orang sinting menggoda aku? Bukankah kau mau memperlihatkan kuil ini dan Ruang Kesadaran kepadaku?”

“Wah, sampai lupa kita! Bukan aku saja yang lupa, kau juga, jadi sama-sama. Mari...!”

Mereka berjalan menuju ke bagian belakang kuil. Sunyi di situ karena semua hwesio berkumpul di tempat upacara sembahyang, dan siap-siap untuk melakukan upacara memperabukan jenazah di tempat yang sudah khusus disediakan di sebuah puncak bukit.

Mereka berjalan perlahan dan Kun Liong membawa gadis itu melihat-lihat ruangan perpustakaan, ruangan sembahyang dan lain-lain bagian di dalam kuil besar itu yang memang amat megah dan indah, juga aneh bagi Giok Keng yang belum pernah melihatnya.

Setelah mereka meninjau Ruang Kesadaran yang kini terbuka dan bukan menjadi tempat larangan lagi, hati Kun Liong terharu. Melihat kamar di mana dia hidup selama lima tahun bersama Tiang Pek Hosiang menimbulkan kenangan yang menggores kalbu. Giok Keng merasa ngeri mengenangkan betapa Kun Liong harus tinggal di dalam kamar itu selama lima tahun, apalagi Tiang Pek Hosiang yang telah bertapa di kamar itu selama dua puluh tahun! Seperti orang hukuman saja! Dia bergidik dan mengajak Kun Liong meninjau tempat lain.

Asap tampak mengebul di atas bukit di belakang kuil. “Pembakaran jenazah telah dimulai,” kata Kun Liong. “Apakah kau tidak ingin menonton? Ayah bundamu dan semua tamu tentu ikut pergi ke tempat pembakaran.”

Giok Keng menggelengkan kepalanya. “Apakah itu tontonan? Aku tidak suka melihat hal yang mengerikan itu. Lebih baik kita menunggu saja di sini.”

Kun Liong tidak berani memaksa biarpun hatinya ingin sekali ikut menonton jenazah sukongnya diperabukan, takut kalau-kalau gadis ini marah. Dia merasa senang sekali berdekatan dan bercakap-cakap dengan dara ini. Hatinya terasa tenang dan sejuk nyaman. Mengapa ma-nusia tidak bisa saling mengasihi seperti dia dan gadis itu dalam saat ini? Meng-apa di mana-mana timbul permusuhan dan kebencian, menyebabkan maut seperti yang dialami oleh Thian Le Hwesio?

“Baiklah kalau begitu. Memang benar pendapatmu bahwa pembakaran jenazah bukan tontonan, akan tetapi soalnya manusia selalu ingin melihat dan menonton hal-hal yang tidak bisa mereka lihat. Mari kita ke kebun belakang itu, di sanalah para hwesio menanam sayur dan bercocok tanam.”

Ladang itu luas sekali dan dengan kagum Giok Keng melihat segala macam sayur yang hidup subur gemuk berkat rawatan yang teliti. Mereka duduk di atas sebuah batu besar sambil menyegarkan mata dengan memandang sayur-sayuran yang kehijau-hijauan sedap dipandang mata.

“Keng-moi, berapakah usiamu sekarang?”

“Hemm, menanyakan usia orang mau apa sih?”

“Aih, jangan terlalu galak, Moi-moi. Kita adalah kakak adik misan seperguruan, aku adalah piauw-suhengmu (kakak misan seperguruan) dan engkau adalah piauw-sumoiku (adik misan seperguruan), malah oleh ibumu lebih didekatkan lagi sehingga aku menyebutmu adik den engkau menyebutku kakak. Ape salahnya bagi seorang kakak mengetahui usia adiknya? Aku berusia hampir dua puluh tahun, den engkau tentu tidak lebih tua dari aku, biarpun dahulu aku ingat ibuku mengatakan bahwa puteri Cia-supek lebih muda beberapa bulan dariku.”

“Kalau sudah tahu begitu, mengapa bertanya lagi? Usiaku hanya lebih muda beberapa bulan, nah, berarti sembilan belas tahun.”

“Wah, sudah sembilan belas tahun! Keng-moi, mengapa engkau belum menikah? Tentu sudah mempunyai tunangan, ya?”

“Wuuuttt... plakkk!” Kun Liong tidak mau mengelak dan pipinya kena ditampar sampai terasa panas dan ada tanda merah-merah bekas tamparan itu di pipi kirinya. Ia mengelus pipinya den berkata sambil tersenyum, “Wah, engkau marah benar agaknya. Tamparanmu tidak seperti lima tahun yang lalu.”

Agaknya Giok Keng menyesal juga setelah menampar pemuda yang same sekali tidak melawan atau mengelak itu, padahal sebagai seorang ahli silat, dia mengerti bahwa tamparannya yang biasa tadi tentu akan dapat mudah dielakkan kalau Kun Liong mau. Dia cemberut, memandang tajam penuh selidik lalu bertanya, “Agaknya engkau disuruh Ayah dan Ibu untuk membujukku, ya?”

“Eh, Keng-moi, apa artinya ini? Kau melihat sendiri bahwa mereka tidak berkata apa-apa kepadaku, dan apa yang harus dibujuk? Pertanyaanku adalah wajar, keluar dari hatiku sendiri, apa sih salahnya bertanya begitu?”

Dan tiba-tiba Giok Keng menutupi muka dengan kedua tangan, menangis!

Bingunglah Kun Liong. Sejenak dipandangnya muka yang bersembunyi di balik kedua tangan itu, kemudian tanpa disadarinya dia menggaruk-garuk kepala gundulnya karena tidak dapat menemukan jawaban atas keanehan ini di dalam kepalanya.

“Adik Cia Giok Keng, mari kautampar lagi aku, malah kau boleh pukul kepalaku akan tetapi jangan menangis! Maafkanlah kalau aku bermulut lancang. Memang aku seorang yang tolol dan kasar dan kurang ajar! Nah, ini, pukullah!” Kun Liong sudah mengulur leher mendekatkan kepalanya yang gundul.

Giok Keng bukan seorang dara cengeng. Sama sekali bukan. Dia memiliki kekerasan hati luar biasa, berani dan galak seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi dia pun lincah gembira dan pandai bicara seperti ayahnya di waktu muda. Sebentar saja dia sudah dapat menguasai dirinya menghapus air matanya dan ketika memandang kepala gundul yang dijulurkan seperti seekor kura-kura menjulurkan kepala itu, dan sikap Kun Liong yang minta maaf dan menyerahkan kepala untuk dipukul, kejengkelannya lenyap dan dia tersenyum, menggunakan telapak tangan dengan halus mendorong kepala Kun Liong.

“Tidak! Satu kali saja menampar kepalamu aku sudah kapok (jera)!”

Mendengar suara yang bening den hangat itu Kun Liong mengangkat muka dan betapa girangnya melihat wajah itu sudah tersenyum lagi biarpun kedua pipinya masih basah air mata. Benar-benar dia bingung dan tidak mengerti kini.

Giok Keng tersenyum lebar sebagai jawaban, kemudian berkata setelah menghela napas panjang. “Tadi aku memang menangis. Habis pertanyaanmu membuat aku jengkel sekali sih! Ayah dan Ibu selalu membujuk-bujukku untuk menikah. Betapa menjengkelkan! Mereka marah karena pinangan yang puluhan kali datangnya selama beberapa tahun ini, semua kutolak mentah-mentah!”

Kun Liong mengerutkan alisnya. “Hemm... kalau boleh aku bertanya, mengapa kaulakukan itu, Keng-moi? Tentu saja menolak pinangan adelah hakmu, akan tetapi kalau berlarut-latut, bukankah engkau menyakitkan hati ayah-bundamu?”

“Yang mau kawin itu aku ataukah mereka?” Tiba-tiba Giok Keng bertanya dengan nada keras dan pandang mata penuh tantangan, membuat Kun Liong terkesiap dan khawatir kalau-kalau membikin marah lagi.

“Eh, tentu saja engkau!”

“Kalau sudah jelas begitu, berarti ini urusanku dan aku sendiri yang akan menentukan.”

“Engkau benar, Moi-moi. Akan tetapi sampai kapan?”

“Sampai aku mau dan... dan cocok.”

“Apakah belum juga ada yang cocok?”

Giok Keng menunduk dengan muka merah, kemudian mengangkat muka tiba-tiba dan cemberut. “Sudahlah, perlu apa bicara hal yang bukan-bukan? Kalau kau bisa menyerangku dengan pertanyaan tentang itu, agaknya engkau sendiri sudah kawin atau setidaknya tentu sudah bertunangan.”

“Aku?” Kun Liong terbelalak dan menggaruk kepalanya di belakang telinga kanan, sebuah kebiasaan yang tak disadarinya. “Siapa orangnya yang sudi kepada seorang gundul macam aku?”

“Hemmm... sssttt, Koko, lihat sana itu...!”

Kun Liong mengangkat muka memandang ke arah kuil yang ditunjuk oleh Giok Keng. Tampak olehnya berkelebatnya bayangan beberapa orang di atas atap kuil!

“Ah, tentu bukan orang baik-baik kalau datang melalui atap. Aku harus menyelidik ke sana!” Setelah berkata demikian, Kun Liong meloncat dan berlari cepat sekali.

Giok Keng terkejut, bukan terkejut karena adanya orang-orang yang disangka buruk itu, melainkan kaget menyaksikan gerakan Kun Liong yang demikian cepatnya!

“Liong-ko, tunggu!”

Akan tetapi Kun Liong tidak memperlambat larinya karena dia teringat akan peristiwa lima tahun yang lalu ketika maling-maling menyerbu Siauw-lim-si dan berhasil melarikan dua buah benda pusaka. Saat itu, para tokoh Siauw-lim-pai sedang sibuk menghadiri upacara pembakaran jenazah, demikian pula para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh besar. Kuil menjadi kosong, hanya tinggal beberapa orang hwesio pelayan dan kacung-kacung yang hanya mempunyai kepandaian rendah. Agaknya, kekosongan kuil yang sudah diperhitungkan oleh orang-orang jahat itu kini dijadikan kesempatan oleh mereka untuk melaksanakan niat buruk mereka.

Dugaan Kun Liong tidak meleset sama sekali. Memang demikianlah, di antara para tamu itu terdapat serombongan orang-orang dari golongan hitam yang menyelundup, dan mereka ini terdiri dari sepuluh orang yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi yang tergabung dalam persekutuan Pek-lian-kauw dan para anggauta Kwi-eng-pang. Karena telah diperhitungkan oleh para pimpinan persekutuan gelap itu bahwa amat sukar untuk menyerbu Siauw-lim-si yang kuat, apalagi pada saat sekarang setelah Siauw-lim-si pernah diseribu oleh orang-orang Kwi-eng-pang lima tahun yang lalu. Maka kaum sesat yang cerdik itu menggunakan siasat yang amat berani ini. Mereka bahkan mengutus orang-orang yang dipercaya, mereka yang berkepandaian tinggi akan tetapi yang belum dikenal oleh tokoh-tokoh kang-ouw, untuk menggunakan kesempatan selagi banyak tamu datang ke Siauw-lim-si untuk melakukan aksi mereka. Tentu saja mereka tidak berani berterang. Menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai secara terang-terangan saja mereka merasa jerih, apalagi yang di kuil itu berkumpul banyak sekali tokoh--tokoh besar dunia persilatan! Akan teta-pi mereka ini cerdik sekali, menggunakan selagi semua hwesio dan para tamu me-lakukan upacara pembakaran jenazah di bukit sebelah belakang kuil yang makan waktu sedikitnya dua jam, mereka me-ninggalkan rombongan tamu dan berpencar lalu menyelundup ke dalam kuil. Jumlah mereka sepuluh orang, dan yang menjadi pemimpin penyerbuan ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tampan dan bermata liar, sikapnya seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan tetapi, dia ini bukanlah orang sembarangan, karena dia bukan lain adalah Ouwyang Bou, putera tung-gal dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara Lima Datuk!

Yang menjadi sasaran mereka adalah kamar pusaka. Bukan semata-mata untuk mencuri pusaka-pusaka Siauw-lim-si, melainkan terutama sekali untuk mencari bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan perebutan. Menurut perhitungan para datuk, setelah mereka berunding, kemungkinan besar sekali bahwa bokor emas itu berada di gedung pusaka Siauw-lim-si, karena yang diketahui terakhir oleh Bu Leng Ci adalah bahwa bokor emas itu dibawa oleh seorang bocah yang ternyata adalah putera Yap Cong San, sedangkan Yap Cong San yang mereka bunuh tiga tahun yang lalu itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai. Besar kemungkinarmya bokor emas itu terjatuh ke tangan Yap Cong San, dan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai mungkin saja bokor itu diserahkan kepada Siauw-lim-pai untuk disimpan di Siauw-lim-si. Inilah yang membuat rombongan kaum sesat yang dipimpin Ouwyang Bouw itu menggunakan kesempatan pelayatan itu untuk turun tangan!

Ketika Kun Liong yang berlari cepat tiba di dalam kuil, dia sudah melihat apa yang dikhawatirkannya. Empat orang hwesio pelayan rebah di sudut dalam keadaan lemas tak mampu bergerak ka-rena telah tertotok! Kun Liong tidak membuang waktu lagi, cepat meloncat ke dalam lorong yang menuju ke bagian belakang dan langsung dia lari ke gudang pusaka. Akan tetapi baru saja dia tiba di ruangan tengah, tiba-tiba sinar merah menyambar dari kiri. Kun Liong cepat merendahkan diri berjongkok dan jarum-jarum merah yang kecil halus itu menyambar lewat di atas kepalanya. Ada sesuatu yang mengingatkannya ketika melihat sambaran-sambaran jarum merah itu. Cepat dia meloncat lagi, membalik ke kiri dan berhadapan dengan seorang pemuda menyeringai kepadanya.

“Kau...!” Kun Liong teringat ketika melihat wajah tampan dengan mata liar berputaran itu. “Kau Ouwyang Bouw anak Ban-tok Coa-ong!”

Akan tetapi tentu saja Ouwyang Bouw tidak mengenal Kun Liong. Dahulu ketika dia dan ayahnya bertemu dengan Kun Liong, pemuda gundul ini baru berusia sepuluh tahun dan pada waktu itu belum gundul. Adapun Kun Liong dapat mengenal Ouwyang Bouw karena peristiwa itu menyebabkan kepalanya menjadi gundul, maka tentu saja wajah Ouwyang Bouw dan ayahnya selalu teringat olehnya. Jarum-jarum merah tadi menambah keyakinannya, karena justeru jarum-jarum merah itulah yang menjadi sebagian sebab mengapa kepalanya tidak mau tumbuh rambut.

“Mau apa kau datang ke dalam kuil?” Kun Liong membentak

Akan tetapi pemuda bermata liar itu berterlak, “Bunuh dia!” Dan dari belakangnya muncullah enam orang laki-laki yang serta-merta maju menerjang, mengepung dan mengeroyok Kun Liong dengan senjata pedang dan golok.

“Eh-eh, kalian orang-orang jahat!” Kun Liong menggunakan kegesitan gerak tubuhnya mengelak ke kanan kiri. Dia tidak merasa khawatir menghadapi pe-ngeroyokan enam orang itu yang biarpun semua mempergunakan senjata, namun dia dapat melihat bahwa gerakan mereka itu masih terlalu lambat baginya dan dia akan dapat mengatasi mereka. Akan tetapi dia terkejut melihat bayangan Ouwyang Bouw melesat dan lenyap dari situ melalui lorong yang menuju ke gudang pusaka!

Dia hendak mengejar, namun enam orang itu mengurungnya ketat dan menghujankan serangan ke tubuhnya. Semenjak mempelajari ilmu dari Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, Kun Liong belum pernah mempergunakan ilmu-ilmunya itu dalam perkelahian sungguh-sungguh. Ketika dahulu sebelum digembleng sukongnya di Ruang Kesadaran, dia pernah menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu melawan Cia Giok Keng, akan tetapi dalam pertandingan yang dianggapnya main-main saja karena dia tidak menganggap Giok Keng sebagai orang jahat. Ketika beberapa hari yang lalu dia mengadu tenaga dengan utusan Panglima The Hoo, juga pertandingan itu bukan sungguh-sungguh, apalagi ketika melawan Tio Hok Gwan, hanya sekedar mengadu tenaga saja dan keburu dilerai oleh Thian Kek Hwesio.

Sekarang dia merasa ragu-ragu. Kalau dia mau, banyak sudah dia melihat lowongan untuk merobohkan enam orang itu. Akan tetapi, dia sebetulnya paling tidak suka memukul orang, bahkan agak benci akan permusuhan dan perkelahian yang dianggapnya tidak menyenangkan dan hanya dilakukan oleh orang-orang kejam. Akan tetapi kini dia diserang oleh empat batang pedang dan dua buah golok yang semuanya menyerang untuk mencabut nyawanya. Tentu saja harus mempertahankan dan melindungi tubuhnya dari bahaya terkena bacokan atau tusukan. Dia masih ragu-ragu bagaimana dapat menghentikan enam orang pengeroyoknya itu tanpa membuat mereka menderita luka berat.

“Kalian orang-orang tolol, kalau ketahuan para suhu, kalian akan celaka. Lebih baik lekas pergi melarikan diri sebelum terlambat!” Dia mencoba mengusir mereka dengan kata-kata nasihat!

Tentu saja dia malah ditertawakan karena enam orang itu memandang ringan kepadanya. Pemuda gundul itu hanya mengelak ke sana-sini, biarpun gerakannya cepat sekali sukar diserang, namun hal itu hanya menandakan bahwa pemuda gundul atau yang mereka sangka hwesio muda ini ketakutan. Serangan mereka makin gencar dan menghebat sehingga enam batang senjata tajam itu menjadi sinar yang bergulung-gulung menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah bayangan Kun Liong yang berloncatan ke sana-sini.

“Aihhh! Liong-ko...!”

Jeritan Giok Keng! Pucat wajah Kun Liong mendengar jeritan itu karena dia tahu bahwa dara itu tentu terancam bahaya. Jeritan itu terdengar dari arah belakang, dan teringatlah dia bahwa ketika tadi mengajak gadis itu berkeliling, dia tidak memberitahu bahwa di dalam kuil itu banyak dipasangi jebakan-jebakan rahasia untuk menjaga keamanan kamanan kuil kalau-kalau dimasuki orang jahat!

Karena mengkhawatirkan Giok Keng, Kun Liong tidak peduli lagi. Kaki tangannya bergerak dan enam batang senjata itu terlempar beterbangan disusul robohnya enam orang itu yang mengaduh-aduh karena sedikitnya mereka menderita tulang patah terkena ketukan jari tangan Kun Liong dan perut mulas oleh ujung kaki pemuda gundul itu!

Kun Liong tidak mempedulikan mereka, langsung meloncat dan lari melalui lorong ke arah Giok Keng tadi. Suara Giok Keng terdengar lagi, kini dari dalam kamar perpustakaan. “Maling keparat!” Akan tetapi disusul suara terbatuk-batuk dara itu.

Ketika Kun Liong tiba di dalam ka-mar perpustakaan, dia melihat bayangan Ouwyang Bouw berlari ke luar. Bukan main kagetnya hati Kun Liong ketika dia meloncat ke dalam karena hidungnya segera bertemu dengan bau yang harum aneh menyesakkan napas! Tanulah dia bahwa di situ ada hawa beracun dan tampak olehnya asap hitam mengepul dari lubang di tengah ruang perpus-takaan itu.

Lubang jebakan! Sudah terbuka dan dari dalam lubang mengepul asap beracun. Celaka, tentu Giok Keng yang terjebak oleh alat rahasia di situ dan... dia tidak mau berpikir lagi, lang-sung dia meloncat turun ke dalam lubang yang gelap itu dari mana keluar asap hitam. Dengan memahan napas seperti yang diajarkan oleh mendiang Tiang Pek Hosiang, Kun Liong menggunakan gin-kang sehingga dengan ringan dia melayang turun ke dalam jebakan yang berupa sumur sedalam empat meter tertutup oleh lantai yang dipasangi jebakan. Samar-samar dia melihat bayangan tubuh rebah miring. Melihat rambut yang panjang terurai itu, dia tidak ragu-ragu lagi. Diangkatnya tubuh Giok Keng yang tak dapat bergerak itu, dipondongnya kemudian dia meloncat ke atas sambil mengerahkan sin-kangnya. Tanpa pengerahan sin-kang yang kuat, sukarlah meloncati sumur sedalam empat meter, sempit dan masih memondong tubuh scorang gadis lagi! Pada saat dia melayang naik, terdengar di atas sumur,

“Bakar saja! Dan semua berkumpul di gudang pusaka!”

Ketika tubuh Kun Liong sudah tiba di dalam kamar perpustakaan, dengan marah dia melihat api membakar meja dan pintu. Ditendangnya meja itu, dan dua orang yang sedang membakar-bakar kertas dia robohkan dengan tendangan-tendangan kakinya sehingga mereka terlempar dan apinya padam. Melihat scorang penjahat lain lari melalui pintu belakang, dia tidak mengejar melainkan meloncat ke depan di mana seorang penjahat lain sedang berusaha membakar pintu. Daun pintu itu sudah terbakar dan didorong menutup dari luar.

“Brakkk! Augghh...!” Kun Liong sambil memondong tubuh Giok Keng menerjang daun pintu itu. Daun pintu bobol dan terlepas, menimpa penjahat yang berdiri di luar sehingga penjahat itu herteriak-teriak karena rambut dan sebagian pakaiannya terbakar!

Kun Liong berlari terus. Tubuh Giok Keng masih dipondongnya, hatinya gelisah melihat gadis itu seperti orang mati, akan tetapi dia juga gelisah memikirkan betapa penjahat-penjahat itu tentu me-rampok gudang pusaka. Maka sambil me-mondong Glok Keng, larilah dia ke arah gedung pusaka! Hatinya lega karana dia mendengar teriakan-teriakan dari atas bukit di belakang kuil, tanda bahwa pe-ristiwa itu telah ketahuan dan sebentar lagi tentu bala bantuan datang.

Agaknya hal ini diketahui pula oleh kawanan penjahat. Buktinya ketika Kun Liong tiba di gudang pusaka yang daun pintunya sudah terbuka besar, dia melihat bayangan-bayangan para penjahat itu berkelebatan melarikan diri sambil menggendong teman-teman mereka yang terluka. Dia tidak mempedulikan mereka lagi karena dia sibuk memeriksa Giok Keng yang dibawanya ke dalam taman. Direbahkannya tubuh Giok Keng ke atas bangku taman. Wajah dara itu pucat dan matanya terpejam napasnya terhenti! Kun Liong cepat memeriksa nadi pergelangan tangan. Ketukan nadi lemah sekali, seolah-olah sebentar lagi terhenti. Ditempatkannya telinga di dada gadis itu, disentuhnya bibir dan cuping hidung. Tidak ada pernapasan. Celaka, kalau gadis itu tidak cepat-cepat dapat bernapas kembali, tentu takkan tertolong lagi. Soal keracunan, mudah dapat diobati kelak, yang terpenting sekarang haruslah diusahakan agar Giok Keng dapat bernapas lagi. Tidak ada cara lain kecuali yang diketahuinya dari pelajaran yang diterima darl ibunya dahulu.

Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong menggunakan jari tangannya, memaksa mulut Giok Keng terbuka, kemudian menjilat dan menutupi kedua lubang hidung yang kecil itu dan dia menunduk. Ditutupnya mulut yang sudah dibukanya itu dengan mulutnya sendiri lalu ditiupnya, mengerahkan hawa murni sehingga tiupannya kuat. Terasa olehnya betapa dada dara itu membusung. Dilepasnya mulutnya dan dilepaskannya pula hidung dara itu untuk memberi jalan agar hawa yang sudah ditiupkannya itu mengalir keluar. Kemudian diulanginya lagi sampai berkali-kali.

Kun Liong sama sekali tidak tahu saking gelisahnya dan karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Giok Keng, bahwa pada saat itu, dua sosok bayangan berkelebat dan ayah bunda dara itu telah berdiri tak jauh di sebelah belakangnya!

Biauw Eng terbelalak, tubuhnya sudah bergerak hendak mendorong pergi Kun Liong akan tetapi Keng Hong memegang lengannya dan menaruh telunjuk di bibir. Biauw Eng yang mengira bahwa pemuda gundul itu melakukan penghinaan dan perbuatan kotor atas diri puterinya, menjadi heran dan dengan mata terbelalak memandang.

Sekali lagi Kun Liong menempelkan mulutnya pada mulut Giok Keng, penuh harapan karena biarpun tersengal-sengal, dara itu sudah mulai bernapas. Ditiupkannya hawa murni ke dalam dada Giok Keng, lalu dilepaskannya mulutnya.

Giok Keng bernapas terengah-engah, kemudian mengeluh dan tubuhnya bergerak. Bukan main girangnya hati Kun Liong! “Keng-moi... Keng-moi... sadarlah...! Ahhh, kau... kau tentu keracunan. Bedebah-bedebah itu...!”

Giok Keng membuka matanya merasa pening dan menutupkannya kembali, “Liong-ko, mana maling-maling itu...?”

“Mereka sudah melarikan diri. Sayang aku tidak...” Dia membalikkan tubuh dan terkejut melihat Keng Hong dan Biauw Eng telah berdiri di situ! Otak di dalam kepala gundul yang dapat bekerja cepat itu segera teringat cara dia menolong gadis itu dan seketika mukanya berubah merah, jantungnya berdebar tegang karena tentu orang tua gadis itu akan marah sekali.

Akan tetapi Biauw Eng segera menghampiri puterinya dan membangunkannya. “Kau telah menyedot banyak hawa beracun.”

“Aku tadi mengejar Liong-koko ketika kami melihat berkelebatnya orang-orang jahat. Aku masuk ke kamar perpustakaan, akan tetapi begitu meloncat ke tengah kamar itu, lantainya terjeblos dan aku terguling ke dalam sumur. Sebelum sempat meloncat ke luar, ada yang melempar sesuatu ke dalam sumur, baunya wangi dan aku tidak ingat apa-apa lagi.”

“Untung Kun Liong menolongmu. Sudablah, mari kubantu engkau membersihkan paru-parumu,” Biauw Eng berkata. Ibu dan anak itu lalu duduk bersila. Biauw Eng di belakang anaknya, menempelkan kedua telapak tangan di punggung gadis itu yang mengatur napasnya, menyedot hawa murni untuk mengusir sisa-sisa hawa beracun dari dalam dadanya.

Keng Hong dan Kun Liong segera menghampiri para hwesio yang mengadakan pemeriksaan. Thian Kek Hwesio menarik napas panjang. “Untung kebakaran di ruang perpustakaan tidak melenyapkan kitab-kitab penting, dan heran sekali. Tidak ada pusaka yang lenyap biarpun keadaannya kacau-balau. Agaknya mereka mencari sesuatu, dan tidak mereka temukan yang mereka cari. Betapapun juga, untuk kedua kalinya,sahabat muda Yap Kun Liong telah menyelamatkan Siauw-lim-si.”

“Ah, Locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Bukankah teecu adalah orang sendiri? Bahkan dua buah benda pusaka yang dahulu tercuri belum dapat teecu cari. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa mereka tadi datang membikin ribut dan tidak tahu apa yang dicari, akan tetapi teecu mengenal yang memimpin para perampok tadi.”

Semua orang memandang kepada Kun Liong. “Benarkah itu, Liong-ji (Anak Liong)? Kau mengenal pemimpin mereka?” Keng Hong bertanya, kagum, bangga dan heran melihat putera sahabat baiknya ini yang selain ujudnya aneh karena kepala gundulnya, ternyata banyak mengalami hal aneh-aneh. Pertama diambil murid Bun Hoat Tosu, ke dua digembleng sukongnya sendiri, dan kini mengenal pimpinan para perusuh itu, pada saat tidak ada orang lain yang dapat mengenalnya.

“Teecu pernah berjumpa dengan dia sepuluh tahun yang lalu, Supek. Dia itulah yang dahulu menyerang teecu dengan jerum merah sehingga kepala teecu tidak mau tumbuh rambut lagi. Dia adalah Ouwyang Bouw, putera dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok.”

Tentu saja semua orang terkejut mendengar ini.

“Omitohud...! Kaum sesat sudah berani memusuhi Siauw-lim-pai!” Thian Kek Hwesio berkata nyaring, “Sute Thian Le Hwesio terbunuh, dan kini kuil Siauw-lim-si diserbu perampok. Kita harus memperslarpkan diri!” Kalimat terakhir ini ditujukan kepada para anak murid Siauw-lim-pai.

Kun Liong segera melangkah maju dan berkata, “Locianpwe, teecu sudah menyanggupi tugas untuk mencari dan mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu tercuri. Juga teecu sudah menyanggupi untuk menyelidiki tentang kematian Thian Le Losuhu. Biarlah sekarang teecu berjanji akan mencari Ouwyang Bouw dan menyelidiki apa yang dicarinya di kuil itu sehingga dia dan kaki tangannya menimbulkan kekacauan.”

“Omitohud... tidak percuma mendiang Suhu mengangkatmu menjadi ahli waris tunggal, Yap-sicu. Siauw-lim-pai telah banyak menerima budi dan tidak akan melupakan budi itu.”

“Teecu tidak mau menganggapnya sebagai budi, karena bukankah teecu juga menerima kebaikan dari mendiang sukong? Pula, teecu tidak mempunyai pekerjaan tertentu dan akan berkelana mencari Ayah dan Ibu, maka sekalian teecu dapat melakukan semua tugas itu.”

Para hwesio Siauw-lim-si sibuk mem-bereskan dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh kebakaran itu, para tamu sudah mengundurkan diri dan berpamit. Kun Liong juga berangkat menunaikan tugasnya, ditemani oleh Cia Keng Hong!

“Engkau pulanglah bersama Giok Keng.” Pendekar sakti ini berkata kepada isterinya, ”Aku akan membantu Kun Liong mencari orang tuanya.”

Demikianlah, Kun Liong dan Keng Hong meninggalkan kuil Siauw-lim-si, sedangkan Biauw Eng mengajak Giok Keng pulang ke Cin-ling-san karena dara itu masih perlu beristirahat dan minum obat. Cia Giok Keng masih penasaran sekali karena dia tidak diberi kesempatan memperlihatkan kepandaiannya di kuil Siauw-lim-si itu, karena sebelum dia dapat menyerang para penjahat, dia telah terjeblos ke dalam perangkap rahasia dan dipaksa pingsan oleh lemparan benda meledak yang mengandung hawa beracun oleh seorang di antara penjahat.

“Liong-ko, kalau kau bertemu dengan Ouwyang... siapa tadi namanya?”

“Ouwyang Bouw,” jawab Kun Liong.

“Kalau kau, bertemu dengan dia, jangan kau bunuh dia.”

“Mengapa?” Kun Liong bertanya heran. “Aku tidak berniat membunuh siapa-siapa, hanya ingin bertanya mengapa dia mengacau Siauw-lim-si dan apa yang dicarinya.”

“Bagiankulah untuk membunuhnya!” kata dara itu.

“Sebaiknya kita pergi ke Ceng-to untuk melakukan penyelidikan,” di tengah jalan Keng Hong berkata kepada Kun Liong.

Kun Liong menoleh dan memandang wajah tampan dan berwibawa itu. Maka bertanyalah dia, pertanyaan yang sudah ditahannya sejak mereka meninggalkan Siauw-lim-si. “Supek, kalau boleh teecu bertanya, dalam menemani teecu dalam perjalanan ini, apakah yang Supek kehendaki?”

Cia Keng Hong menoleh, memandang dan mengangkat alisnya yang tebal.

“Maaf, Supek. Teecu merasa yakin bahwa ada sesuatu yang hendak Supek sampaikan kepada teecu.”

Kini pandang mata pendekar sakti itu menjadi terheran-heran dan bertanyalah dia dengan kekaguman yang tidak disembunyikan. “Kun Liong, bagaimana engkau bisa menduga demikian?”

“Supek dan Supek-bo pernah mencari Ayah dan Ibu tanpa hasil, demikian pula teecu. Sekarang pun, teecu mencari dengan mengawur karena memang tidak ada yang mengetahui di mana adanya mereka. Kalau memang Supek hendak mencari mereka, karena kita sama-sama tidak tahu, tentu lebih baik kalau berpencar. Akan tetapi Supek menemani teecu, berarti bahwa Supek menyembunyikan niat lain. Dugaan ini akan selalu membayangi teecu kalau belum Supek jelaskan.”

Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk. “Engkau cerdik, dan jujur. Memang sesungguhnyalah. Mendengar betapa mungkin pencuri pusaka Siauw-lim-si adalah orang-orang Kwi-eng-pang, dan kini mendengar pula bahwa penyerbu kuil itu adalah putera Ban-tok Coa-ong, maka engkau yang bertugas mencarinya berarti akan berhadapan dengan datuk-datuk kaum sesat yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Sedangkan ayah bundamu pun belum diketahui ke mana perginya, kalau engkau sebagai putera tunggalnya terancam bahaya, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Aku akan menghadapi mereka dan membantumu, itulah tujuanku menemanimu sekarang. Dan kalau kau beruntung bertemu dengan orang tuamu, aku pun ingin sekali bicara dengan mereka.” Tentu saja Keng Hong tidak mengaku bahwa dia akan bicara tentang perjodohan puterinya!

Kun Liong segera membungkuk dengan hormat. “Terima kasih banyak atas perhatian dan pembelaan Supek kepada teecu. Akan tetapi, Supek. Tugas ini sudah teecu sanggupi, bagaimana teecu berani membawa-bawa Supek dan melibatkan diri Supek? Supek adalah seorang ketua yang terhormat dan terkenal, kalau sampai pusaka-pusaka Siauw-lim-pai itu didapatkan kembali mengandalkan tenaga bantuan Supek. bukankah hal itu akan membuat Siauw-lim-pai menjadi tertawaan orang? Tentu Siauw-lim-pai dianggap lemah dan hanya berani minta bantuan seorang sakti seperti Supek. Berbeda lagi dengan teecu. Teecu sama sekali tidak terkenal, dan teecu juga murid dari Sukong, apalagi ayah teecu pun murid Siauw-lim-pai. Sudah sepatutnya kalau teecu mewakili Siauw-lim-pai menghadapi para pencuri.”

Keng Hong memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri. Dia kagum kepada pemuda gundul itu. Biarpun belum dia saksikan, namun agaknya kepandaian Kun Liong tentu tinggi. Wajahnya tampan biarpun kepalanya gundul, dan pandangannya jauh dan luas, wataknya pemberani, cerdik dan jujur sehingga terhadap dia berani bicara terang-terangan seperti itu tanpa takut menyinggung perasaan. Soal kepandaian, dapat dia selidiki kelak, biarpun agaknya tak mungkin kalau murid Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang tidak lihai. Hanya ada dua hal yang masih meragukan hati pendekar sakti ini apakah pemuda ini sudah patut menjadi jodoh puterinya, yaitu pertama sikap lunak Kun Liong yang tidak hanya dinyatakan dengan mulut bahwa dia tidak suka melukai orang, juga dinyatakan dalam peristiwa keributan di Siauw-lim-si, Kun Liong berhasil menolong Giok Keng dari dalam sumur, mengapa dia tidak dapat menangkap seorang pun dari para perampok itu? Hal ke dua adalah cara pengobatan yang dilakukan Kun Liong terhadap Giok Keng. Biarpun meniupkan hawa dari mulut ke mulut merupakan pertolongan darurat, akan tetapi mengapa berani lancang melakukannya dan tidak memberi tahu kepada dia atau isterinya lebih dulu?

“Pandanganmu memang tepat, Kun Liong. Aku hanya bertindak karena kekhawatiranku terhadap tugasmu yang berat. Akan tetapi sedikitnya aku harus melihat dulu sampai di mana tingkat kepandaianmu, apakah kiranya sudah cukup kuat untuk menghadapi datuk-datuk kaum sesat seperti mereka? Kalau perlu, aku dapat melatihmu beberapa macam ilmu sebagai bekal.”

“Terima kasih atas kebaikan Supek. Teecu bukan bermaksud untuk menghadapi para datuk itu dalam pertandingan atau permusuhan. Teecu hanya akan minta kembali pusaka dan mereka tentu akan melihat muka para pimpinan Siauw-lim-pai untuk membalikkan pusaka-pusaka dengan baik. Adapun Ouwyang Bouw akan teccu tanya, apa yang dicari di Siauw-lim-si.”

Berkerut alis pendekar sakti itu. Kembali pemuda yang mengagumkan hatinya itu mengemukakan pendapatnya yang mengecewakan, yang dianggapnya sebagai pencerminan watak penakut.

“HEMM, Kun Liong. Engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat, ter-utama sekali lima tahun di Ruang Kesa-daran bersama mendiang sukongmu, sebe-tulnya hendak kaupergunakan untuk apa-kah ilmu-ilmu itu?”

“Tentu saja untuk... untuk kesehatan, dan untuk menjaga diri, Supek.”

“Menjaga diri dari apa?”

“Dari kesukaran-kesukaran yang menimpa tubuh teecu ini. Dari serangan binatang buas, manusia-manusia yang suka menggunakan ilmu untuk menindas dan lain-lain.”

“Dan kau tidak akan memukul orang, biarpun orang itu jahat terhadapmu?”

“Kalau bisa... sedapat mungkin teecu tidak akan menggunakan ilmu silat untuk menyerang orang lain, hanya untuk mem-pertahankan diri.”

“Bukan karena kau takut?”

“Tidak, Supek.”

“Nah, kalau begitu aku hendak me-nyerangmu. Hendak kulihat sampai di mana engkau dapat mempertahankan dirimu!”

Bukan main kagetnya Kun Liong men-dengar ini. “Tapi... Supek...”

“Awas!” Keng Hong sudah berseru nyaring dan menyerang dengan tamparan ke arah kepala yang gundul ini.

Kun Liong merasa betapa ada angin dahsyat menyambar, biarpun tangan itu masih jauh, sudah terasa angin pukulannya, membuat kulit kepala yang kena sambar terasa dingin. Cepat dia secara otomatis menundukkan kepalanya dan menyelinap ke kiri. Keng Hong sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan-pukulan dahsyat yang datangnya bertubi--tubi dan setiap pukulan mengeluarkan angin dahsyat.

Bukan main kagum dan kagetnya hati Kun Liong. Belum pernah selamanya dia melihat gerakan serangan yang demikian dahsyatnya. Namun dia tidak diberi ke-sempatan untuk berpikir karena serangan itu terus datang bertubi-tubi. Kun Liong mengerahkan gin-kangnya dan mengelak ke sana ke mari dengan kecepatan laksa-na seekor burung walet. Tubuhnya men-cuat ke sana-sini untuk menghindarkan diri. Akan tetapi ternyata kecepatan gerakannya dapat diimbangi oleh Keng Hong sehingga akhirnya, mau tidak mau Kun Liong dipaksa untuk menangkis, karena kalau hanya mengandalkan kece-patan mengelak saja tidak cukup dan tentu dia akan kena dipukul.

“Duk! Plak! Dukkk!” Tiga kali ber-turut-turut Kun Liong menangkis dan karena dia maklum bahwa pukulan-pukul-an yang membawa angin dahsyat itu tentu mengandung sin-kang yang amat kuat, maka dia pun mengerahkan sin--kangnya dan menggunakan ilmu Pek-in--ciang (Tangan Awan Putih) yang dipela-jarinya dari Tiang Pek Hosiang. Ketika kedua tangan bertemu, dari tangan Kun Liong mengepul uap putih dan benturan tangan itu hanya membuat Kun Liong tergoyang-goyang tubuhnya, akan tetapi Keng Hong juga merasa betapa tangan-nya tergetar.

“Bagus!” Dia memuji dengan kagum dan kini ilmu silatnya berubah. Tadi pendekar sakti itu telah mainkan San-in-kun-hoat yang ampuh, akan tetapi karena ilmu silat ini hanya delapan jurus, biarpun merupakan ilmu silat tinggi na-mun masih kurang dapat untuk dipakai mendesak agar pemuda itu balas menye-rang! Inilah yang dikehendaki Keng Hong. Dia masih tidak percaya apakah Kun Liong akan sanggup mempertahankan pen-diriannya, tidak akan menyerang orang! Maka dia berusaha memaksa pemuda itu untuk mengeluarkan kepandaian, selain bertahan, juga balas menyerang. Dan ternyata San-in-kun-hoat tidak berhasil memaksa pemuda itu membalas.

“Aihhh...!” Kun Liong terkesiap keti-ka melihat perubahan gerakan supeknya. Ilmu silat yang dimainkan supeknya ini aneh sekali, gerakannya sederhana, akan tetapi daya serangnya ampuh dan dahsyat sekali. Kadang-kadang gerakan supeknya lambat saja, namun angin pukulan yang datang lebih dahsyat daripada tadi. Itulah Thai -kek-sin-kun!

Namun Keng Hong benar-benar dibuat kaget. Pemuda itu masih mampu mem-pertahankan diri dan dia mengenal dasar--dasar Pat-hong-sin-kun dari Bun Hoat Tosu, kemudian Im-yang Sin-kun yang hanya dia kenal dasarnya saja karena kedua ilmu itu agaknya telah diubah dan diperbaiki oleh kedua orang kakek sakti itu sehingga menjadi ilmu yang amat hebat. Hawa yang kuat sekali berputaran di sekitar diri Kun Liong ketika pemuda itu mainkan ilmu-ilmu itu dengan kedua tangan selalu diisi dengan sin-kang Pek--in-ciang. Selama seratus jurus Keng Hong menyerang, dan uap putih yang tadi ha-nya mengepul dari kedua tangan Kun Liong, kini mengepul dari tubuh dan kepalanya yang gundul, mendatangkan kekuatan yang makin dahsyat. Hebatnya, sampai seratus jurus lebih, belum pernah satu kali pun Kun Liong membalas!

Keng Hong maklum bahwa kalau dia menggunakan gerakan maut, tentu pemuda itu terpaksa akan membalas untuk mempertahankan diri, akan tetapi percobaan ini terlalu berbahaya bagi pemuda itu. Maka dia menggunakan akal terakhir, yaitu Ilmu Thi-khi-i-beng! Sebagai seorang ahli yang memiliki kesaktian, tentu saja tidak ada bahayanya lagi bagi pendekar ini menggunakan Thi-khi-i-beng. Dahulu, sebelum dia menjadi ahli, ilmu ini amat mengerikan. Siapa saja yang terkena betotan ilmu Thi-khi-i-beng, sin-kangnya akan tersedot dan Keng Hong sendiri tidak mampu menghentikannya sampai lawan tersedot habis tenaganya dan tewas! Kini tentu saja dia dapat menggunakan sesuka hatinya dan mengaturnya sehingga sewaktu-waktu dapat menghentikan daya sedot ilmu itu.

“Awassss...!” Serunya lagi sambil memukul dengan kecepatan yang tidak memungkinkan Kun Liong mengelak, kecuali menangkis.

“Plakkk! Hyaaaat!” Kun Liong mengeluarkan teriakan melengking ketika merasa betapa lengannya menempel pada lengan lawan dan tenaga sin-kanghya molos keluar. Sambil melengking itu dia menggunakan sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu dahulu, yaitu yang mempunyai tenaga membotot dan yang oleh kakek sakti itu sengaja diciptakan untuk menghadapi Thi-khi-i-beng yang kabarnya tidak ada lawannya di dunia ini.

“Eiiihhhh...!!” Kini Keng Hong yang berteriak saking kaget dan herannya.

Pemuda itu mampu membebaskan lengan-nya dari sedotan Thi-khi-i-beng! Bukan main! Sukar untuk dapat dipercaya! Saking kaget dan herannya, dia menghentikan serangannya dan meloncat mundur.

Kun Liong merasa lega sekali. Napasnya sudah senin kemis, dan dia harus mengakui bahwa kalau saja yang menyerangnya seperti itu bukan supeknya, sudah sejak tadi dia terpaksa balas menyerang untuk menyelamatkan diri. Dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan supeknya dan berkata, “Terima kasih atas kemurahan Supek dan maafkan teecu.”

Dengan sinar mata penuh selidik Keng Hong bertanya, “Siapakah yang mengajar-kan kepadamu cara membetot seperti tadi? Apakah mendiang Tiang Pek Ho-siang?”

Kun Liong menggeleng kepala. “Bun Hwat Totiang-locianpwe yang mengajar teecu.”

Keng Hong mengangguk-angguk dan hatinya lega. Kakek sakti bekas Ketua Hoa-san-pai itu memang seorang yang berilmu tinggi sekali, dan agaknya kakek itu dalam usia tuanya masih merasa penasaran akan keampuhan Thi-khi-i-beng yang tidak ada lawannya maka diam--diam telah menciptakan sin-kang untuk menghadapi Thi-khi-i-beng dan menurun-kan ilmu mujijat itu kepada Kun Liong! Untung kepada Kun Liong!

“Pernahkah dia menyebut tentang Ilmu Thi-khi-i-beng kepadamu?”

Kun Liong tidak berani membohong. “Pernah, Supek, dan memang sin-kang tadi dimaksudkan oleh beliau untuk menghadapi Thi-khi-i-beng.”

Keng Hong tertawa. “Orang tua itu benar-benar tidak mau mengalah! Kun Liong, ilmu yang kaumiliki itu memang hebat, akan tetapi tenagamu masih be-lum cukup untuk melawan aku jika aku benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dalam ilmu Thi-khi-i-beng. Akan tetapi engkau telah berhasil memiliki dasar ilmu itu, berarti engkau memang berba-kat baik sekali dan sekarang aku me-ngerti siapa yang dapat kuberi ilmu Thi-khi-i-beng, yaitu engkau sendiri!”

Kun Liong serkejut. Dia mendengar bahwa ilmu Thi-khi-i-beng adalah ilmu mujijat yang hanya dikuasai oleh supeknya ini dan tiada taranya di seluruh dunia persilatan. Dan kini supeknya hendak menurunkannya kepadanya!

“Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan Supek. Akan tetapi... bukankah semestinya ilmu ini supek berikan kepada Adik Giok Keng?”

Kembali di dalam hatinya, Keng Hong kagum. Ucapan itu saja sudah membukti-kan behwa pemuda gundul itu benar-benar berani dan jujur. Berani karena ucapan itu dapat diartikan menolak! Dan jujur karena penolakan itu berdasarkan perasaaan tidak adil terhadap Giok Keng.

“Tidak, dia masih kurang berbakat dan tidak akan kuat menerimanya. Ilmu Thi-khi-i-beng bukan sembarangan ilmu. Akan membahayakan dunia, dan membahayakan orang itu sendiri kalau pemiliknya tidak memiliki dasar yang amat kuat, dan tidak memiliki watak pendekar sejati!”

Kun Liong merasa makin jerih. “Supek... bukan teecu menolak, hanya teecu... teecu takut kalau-kalau teecu bukan pendekar sejati seperti yang Supek maksudkan... dan teecu tidak berani kelak menyia-nyiakan ilmu itu. Harap Supek pertimbangkan baik-baik.”

Keng Hong tertawa. Bocah ini memiliki bakat dan watak yang baik sekali, sayang sekali kurang kepercayaan kepada diri sendiri. Sikap ini memang baik, membuat orang tidak menyombongkan diri dan selalu rendah hati, akan tetapi juga menjadikannya seorang yang kurang tegas dan berani. Betapapun juga, dia tidak mempunyai pandangan orang lain dan agaknya memang tepat kalau dia menurunkan ilmunya kepada putera sumoinya dan sahabat baiknya ini.

“Bersiaplah engkau menerima ilmu Thi-khi-i-beng. Engkaulah pewaris satu-satunya karena ilmu ini tidak boleh dimiliki orang lain kecuali engkau dan kelak pun kalau engkau menurunkan ilmu ini tidak boleh kepada lebih dari satu orang saja.”

Kun Liong bertutut dan tidak membantah ketika disuruh duduk bersila di depannya. Di dalam hutan yang sunyi itu, Keng Hong memberikan ilmu yang mujijat itu kepada Kun Liong. Selain cara untuk mengemudikan hawa mujijat di dalam tubuh ini, Keng Hong harus mengoperkan sebagian dari hawa mujijat itu ke dalam tubuh Kun Liong, seperti yang dahulu dilakukan oleh gurunya kepadanya (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Dia menyuruh pemuda itu “membuka” tubuh-nya, yaitu siap menerima dan sedikit pun tidak boleh melawan, kemudian dia me-letakkan kedua tangan di atas ubun-ubun kepala yang gundul dan mengerahkan sin--kang dan bagaikan air bah membanjir memasuki tubuh Kun Liong. Pemuda gundul ini sampai roboh pingsan ketika pertama kali Keng Hong mengoperkan sin-kangnya. Kemudian sedikit demi se-dikit dia dilatih mengemudikan hawa mujijat yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya sampai dia dapat menguasainya dan mengurung hawa ini ke dalam pusarnya, membangkitkannya sewaktu-waktu. Juga dia dilatih cara bersamadhi untuk mengumpulkan hawa murni sebagai pe-nambah kekuatan tenaga mujijat Thi--khi-i-beng di tubuhnya.

Sampai dua pekan lamanya dia berlatih di dalam hutan, sedangkan Keng Hong juga bersamadhi terus menerus untuk mengisi kembali tenaga mujijat yang sebagian dia “operkan” kepada Kun Liong.

Dua pekan kemudian, dua orang itu melanjutkan perjalanannya. Kun Liong masih agak pening oleh pengaruh kekuat-an mujijat yang dimilikinya, mukanya agak kemerahan, sedangkan Keng Hong kelihatan agak pucat.

“Supek, mengapa kita pergi ke kota Ceng-to? Ada apakah di sana?” di tengah perjalanan Kun Liong bertanya.

“Kota Ceng-to berada di tepi Laut Timur, dan tempat itu kabarnya adalah menjadi tempat tinggal seorang di antara datuk-datuk kaum sesat vang menguasai bagian timur, yaitu Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu. Mengingat betapa Siauw--lim-si diganggu dua kali, pertama oleh orang Kwi-eng-pang dan kedua kalinya oleh putera Ban-tok Coa-ong, sangat boleh jadi kalau Lima Datuk kaum sesat yang tersohor itu sekarang mengadakan persekutuan. Hek-bin Thian-sin seorang di antara mereka, maka kiranya dia akan dapat memberi keterangan, karena tempatnya yang terdekat dari sini. Kedua kalinya, di Ceng-to terdapat banyak to-koh persilatan golongan putih maupun hitam, dan menjadi cabang besar dari Pek-lian-kauw, maka tepatlah kalau kita menyelidiki orang tuamu di sana. Di antara mereka agaknya tentu ada yang mendengar tentang ayah bundamu.”

Mendengar ucapan ini, giranglah hati Kun Liong dan ia makin kagum dan suka kepada supeknya. Tahulah dia bahwa supeknya adalah seorang yang budiman, gagah perkasa dan mulia. Pantas kalau ayah dan ibunya menjunjung tinggi supeknya ini!

Di dalam perjalanan, berkali-kaii Keng Hong mengajak Kun Liong berlatih dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu telah dapat menguasai Thi-khi-i-beng, sungguhpun tenaga menyedot itu belum sekuat dia. Melihat bakat pemuda itu, banyak harap-an kelak pemuda ini akan lebih kuat daripada dia sendiri! Apalagi pemuda itu telah memiliki ilmu-ilmu tinggi dan pilihan dari dua orang kakek sakti.

“Kun Liong, apakah dahulu ayah bun-damu tidak pernah bicara denganmu ten-tang perjodohan?”

“Perjodohan siapa, Supek?”

“Perjodohanmu, siapa lagi.”

“Ah, belum pernah, Supek.” Muka Kun Liong menjadi merah sampai ke kulit kepalanya.

“Jadi jelas bahwa engkau belum di-tunangkan?”

“Belum.”

“Dan engkau sendiri, apakah telah mempunyai pilihan seorang dara untuk kelak menjadi jodohmu?”

Diberondong oleh pertanyaan-perta-nyaan yang terus terang ini, Kun Liong menjadi gugup dan malu sekali. “Be... belum, Supek. Teecu sama sekali tidak memikirkan tentang jodoh.”

“Hemm, usiamu sudah dua puluh ta-hun, sudah waktunya memikirkan soal jodoh,” kata Keng Hong dan pendekar ini tidak melanjutkan percakapan tentang jodoh itu sehingga membikin lega hati Kun Liong. Diam-diam pemuda yang cer-dik ini menduga-duga. Mengapa supeknya bicara tentang jodoh? Dan menurut Giok Keng, dara itu pun belum ada jodohnya dan orang tuanya selalu mendesak dan membujuknya. Ah, agaknya ada udang di balik batu, pikirnya, ada maksud di balik pertanyaan-pertanyaan supeknya itu. Dia membayangkan wajah Giok Keng. Cantik jelita, manis dan menggairahkan. Teringat dia akan mulut yang berkali--kali bertemu dengan mulutnya ketika dia menolong Giok Keng. Betapa bibir yang lunak dan halus itu bertemu dengan bi-birnya. Baru sekarang dia dapat memba-yangkan kenikmatan yang luar biasa mengingat pengalaman dahulu itu, pada-hal ketika dia melakukan hal itu, sama sekali dia tidak ingat apa-apa! Kini ter-bayanglah kesennuanya itu. Bahkan ter-ingat akan hal-hal yang sekecil-kecilnya. Akan lidah kecil meruncing, ingat akan betapa giginya beradu dengan gigi Giok Keng dalam usahanya yang tergesa-gesa dan gugup waktu itu. Jantungnya terde-bar, tubuhnya seperti kemasukan getaran panas. Nafsu berahinya terusik oleh ke-nangan dan bayangan ini.

“Hemmm...”

“Ada apa, Liong-ji?” Keng Hong me-noleh.

Kun Liong kaget sekali. Tak disadari-nya, mulutnya mengeluarkan suara me-ngeram tadi! “Ohh... ah, tidak apa-apa, Supek.”

Tolol kau, dia memaki diri sendiri. Pikiranmu busuk, kotor! Akan tetapi kotorkah mengenangkan seorang dara jelita bagi seorang pemuda? Mengenang-kan seorang dara memang tidak kotor, bantahnya sendiri, akan tetapi kalau sudah berlarut-larut memikirkan hal yang bukan-bukan, bisa berbahaya!

Beberapa hari kemudian, tibalah me-reka di jalan besar yang menuju ke kota Ceng-to di tepi lautan timur. Dari jauh sudah tampak perahu-perahu di tepi pantai, bukan hanya perahu nelayan, akan tetapi juga perahu-perahu besar yang aneh dan asing tampaknya. Kun Liong terpesona melihat laut. Belum pernah dia pergi ke pantai laut. Melihat dari tempat yang agak tinggi ke arah lautan bebas yang tiada bertepi itu, melihat gelom-bang ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya, dia menahan napas saking ka-gumnya.

Akan tetapi telah mereka tiba di pintu gerbang, Kun Liong merasa pena-saran dan tidak senang. Pintu gerbang itu dijaga oleh perajurit-perajurit yang bersenjata tombak. Baru sekarang dia melihat keadaan seperti ini. Dan setiap orang yang memasuki kota itu diperiksa, ditanyai dan dicatatkan namanya di atas sehelai kertas!

Ketika Keng Hong dan Kun Liong tiba di pintu gerbang, di situ sedang ada rombongan penari silat yang diperiksa, dan terjadi perselisihan kecil.

“Kami sudah merantau dan mengadakan pertunjukan silat hampir di seluruh daerah, akan tetapi baru sekarang ini kami diperiksa dan dicurigai!” Pemimpin rombongan itu, seorang kakek berusia lima puluh tahun memprotes.

“Tak perlu banyak cerewet! Di sini berkeliaran banyak mata-mata pemberontak dan orang jahat. Kalau kau tidak diperiksa, apakah kalian ini termasuk orang jahat atau pemberontak?” bentak kepala penjaga.

Biarpun sambil mengomel, rombongan penari silat yang terdiri dari tujuh orang itu diperiksa, dicatat nama-nama mereka, bahkan alat-alat permainan mereka diperiksa dan digeledah. Yang membuat Kun Liong penasaran adalah ketika dia melihat dua orang asing yang aneh pakaiannya, aneh pula keadaannya karena matanya biru, kulitnya pucat seperti mayat, rambutnya dipotong sampai di pundak dan ada yang kuning warna rambutnya, memasuki pintu gerbang tanpa diperiksa sama sekali!

Keng Hong juga melihat hal ini, akan tetapi dia diam saja. Hanya diam-diam dia memperhatikan dua orang itu dan mendapat kenyataan bahwa dua orang itu sebangsa dengan orang asing lihai yang ditemuinya di Leng-kok, di rumah Ma--taijin, hanya mereka ini lebih muda. Be-narlah dongeng orang bahwa kini banyak terdapat bangsa asing yang aneh itu, terutama di sepanjang pantai selatan dan timur. Tentu mereka datang dengan pe-rahu-perahu besar itu.

Karena mereka memasuki kota berba-reng dengan rombongan penari silat, agaknya para penjaga mengira bahwa mereka berdua juga anggauta rombongan, maka setelah pihak penjaga dan pemim-pin rombongan selesai berdebat, Keng Hong dan Kun Liong diperkenankan ma-suk tanpa banyak pemeriksaan. Juga karena sikap dan pakaian Keng Hong tidak mencolok seperti orang biasa, se-dangkan Kun Liong yang menarik perha-tian karena kepala gundulnya mudah saja lolos, karena dia dianggap seorang badut di antara rombongan penari silat itu!

Ternyata di dalam kota pelabuhan Ceng-to itu terdapat banyak orang asing bermata biru! Di sana-sini terdapat rombongan mereka tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa yang bagi pendengaran Kun Liong aneh luar biasa. Agaknya iblis-iblis dan setan seperti itulah bicaranya!

Mendesis-desis dan mengeluarkan suara tajam-tajam menusuk telinga, kadang--kadang nadanya naik turun seperti orang bernyanyi! Dia merasa geli dan ingin tertawa mendengar mereka itu bercakap--cakap riuh rendah sambil berjalan di tengah jalan, bersikap seolah-olah jalan itu jalan mereka sendiri dan semua orang yang berjalan di kanan kiri jalan itu me-reka anggap seperti patung saja! Hemm, mereka ini orang-orang yang tinggi hati, yang memandang rendah orang lain dan merasa diri pandai sendiri, demikian Kun Liong mengambil kesimpulan setelah melihat sikap dan gerak-gerik mereka. Akan tetapi harus dia akui bahwa orang-orang itu rata-rata memiliki bentuk tubuh yang baik, tinggi besar dan kelihatannya kuat. Usia mereka rata-rata antara tiga puluh tahun. Yang aneh adalah potongan rambut mereka. Semua dipotong sepanjang pundak dan rambut itu berombak, dibelah bagian tengah-tengah. Selain rambut mereka yang potongannya lucu dan warnanya bermacam-macam itu, ada kuning, coklat, putih, dan ada yang kehitaman, juga warna mata mereka membuat bulu tengkuk meremang. Hanya iblis-iblis saja yang matanya tidak hitam, melainkan berwarna-warni seperti itu.

Kun Liong tidak dapat menghitung, berapa banyaknya orang-orang asing ini, kesemuanya pria. Akan tetapi yang dijumpainya di jalan tentu tidak kurang dari lima belas orang banyaknya. Keng Hong mengajak pemuda itu memasuki scbuah warung nasi, lalu memesan makanan dan minuman. Warung atau restoran kecil ini cukup ramai dan yang menarik perhatian Kun Liong adalah tiga orang laki-laki asing yang sedang ramai bercakap-cakap dalam bahasa mereka sambil minum arak. Muka ketiga orang ini sudah merah sekali, tanda bahwa mereka sudah agak mabok. Kun Liong tertegun melihat dari dekat kini jelas tampak betapa orang-orang ini memang aneh. Tubuh mereka yang berkulit putih itu tertutup bulu-bulu halus yang putih kekuningan, tidak kentara dari jauh, dan kulit yang putih itu dihias totol-totol merah. Harus diakui bahwa wajah mereka itu seperti wajah orang-orang ramah, hampir selalu tersenyum dan tertawa, mata mereka yang berwarna aneh itu selalu berseri. Akan tetapi tetap saja di balik sinar mata ini ada kesombongan dan pandangan yang merendahkan orang lain, terutama terhadap penduduk pribumi.

Tiba-tiba seorang di antara tiga orang asing itu, yang kepalanya agak botak, bangkit berdiri dan berteriak memanggil dengan bahasa asing ke bagian dalam, di mana tampak seorang wanita muda, agaknya keluarga dari pemilik restoran. Melihat dirinya dituding dan dipanggil, tentu saja wanita itu menjadi ketakutan dan berlari masuk, melepaskan baki yang dibawanya sehingga terdengar suara nyaring ketika dua buah mangkuk kosong pecah-pecah.

Pemilik restoran segera berlari datang menghampiri laki-laki asing yang kini berteriak-teriak dan memukuli meja, kelihatannya marah itu. Pemilik restoran menjura dan berkata, “Harap Tuan tidak marah, apakah yang Tuan kehendaki dan pesan?”

Akan tetapi laki-laki asing itu, kini dibantu dua orang kawannya, berteriak-teriak dalam bahasa asing sambil menuding-nuding ke dalam dan mengepal tinju, dan ada terdengar terselip dalam rangkaian bahasa asingnya itu kata-kata “perempuan”.

Tentu saja pemilik restoran tidak mengerti, dan seorang tamu yang duduknya di belakang Kun Liong, di meja yang berdekatan, berkata kepada pemilik restoran itu, “Dia minta supaya dilayani wanita yang kelihatan tadi.”

Mendengar ini, pemilik restoran menjadi merah mukanya. Dengan bahasa gerak tangan, dia menggoyang-goyang tangannya di depan hidung laki-laki asing itu sambil berkata, “Tidak bisa! Tuan jangan kurang ajar! Dia itu bukan pelayan akan tetapi anakku dan dia tidak boleh diganggu!”

“Desss!” Kepalan tangan laki-laki itu menghantam, mengenai dada pemilik restoran sehingga pemilik restoran itu terjengkang dan roboh menimpa meja kursi kosong!

Keadaan menjadi kalut. Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya dipegang Keng Hong yang memberi isyarat agar pemuda itu duduk kembali. Kun Liong merasa penasaran sekali, akan tetapi pada saat itu dia melihat tiga orang asing itu sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing, berdiri dengan muka ketakutan dan ditundukkan meng-hadap seorang asing lain yang telah ber-ada di pintu restoran. Orang yang baru datang ini juga seorang asing, akan teta-pi Kun Liong memandang kagum. Orang itu masih muda, belum ada tiga puluh tahun, tubuhnya tegap jangkung, ping-gangnya kecil tidak seperti yang lain yang rata-rata berperut besar. rambutnya kuning emas terpelihara bersih dan disisir rapi, dibelah tengah dan panjangnya sam-pai ke bawah telinga sedangkan yang be-lakang agak panjang diikat dengan pita! Wajah pemuda asing ini tampan dan ga-gah, pandang matanya yang biru itu tenang dan tidak memandang rendah orang lain sungguhpun di balik itu tersembunyi keangkuhan yang membayangka tinggi hati! Pakaiannya aneh dan indah, jubah-nya yang lebar berwarna kuning, kemeja-nya putih dan celananya abu-abu. Sepa-tunya yang aneh bentuknya dan tinggi sampai ke lutut itu terbuat dari kulit yang mengkilap, di pinggangnya tergan-tung sarung sebatang pedang yang kecil panjang.

Dengan suara lantang orang muda asing itu berkata-kata kepada tiga orang tadi yang menjawab dengan kata-kata pendek dan mengangguk-angguk. Setelah pemuda itu mengangkat telunjuk kanannya ke atas dengan gaya memperingat-kan, dia memutar tubuh dan pergi dari situ. Tiga orang laki-laki tadi lalu duduk kembali dan orang yang memukul pemi-lik restoran menghampiri orang yang di-pukulnya, menjabat tangannya dan digon-cancang-goncangkan dengan gaya minta maaf.

“Twako, dia minta maaf atas keka-sarannya tadi,” kata pula orang di bela-kang Kun Liong yang agaknya mengerti bahasa mereka. Si Pemilik Restoran tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia menganggap bahwa peristiwa itu timbul karena salah pengertian akibat perbedaan bahasa mereka.

Keng Hong berkata kepada laki-laki muda yang duduk di belakang Kun Liong, “Agaknya Hiante mengerti bahasa me-reka.”

Orang itu mengangguk dan tersenyum. “Mereka itu bangsa Portugis. Kerena sudah lama kota ini kedatangan orang--orang bangsa itu, dan pernah ada yang bersahabat dengan saya, maka sedikit--sedikit saya mempelajari dan mengerti bahasa mereka. Mereka itu adalah pe-laut-pelaut yang biasanya bersikap kasar, apalagi kalau melihat wanita. Maklumlah, berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun mereka berada di atas kapal mengarung samudera, haus akan wanita.”

“Mengertikah Hiante apa yang diucap-kan oleh orang asing muda tadi, dan sia-pakah dia?”

“Dia adalah Tuan Muda Yuan, pute-ra pemilik kapal Kuda Terbang. Sering-kali dia datang bersama kapalnya, dan dia ditakuti semua orang asing itu. Agaknya dia mempunyai pengaruh besar di antara mereka. Dia tadi memarahi mereka dan memperingatkan bahwa ke-butuhan mereka akan perempuan telah disediakan tempat khusus untuk itu maka mereka dilarang keras mengganggu wani-ta baik-baik.”

Keng Hong mengangguk-angguk dan hatinya merasa tidak enak. Mau apakah orang-orang asing ini berkeliaran di sini? Karena penasaran dia bertanya lagi, “Ta-hukah Saudara, mereka itu berada di Ceng-to mau apa?”

“Biasanya mereka adalah pedagang--pedagang, membawa barang-barang aneh dari dunia mereka dan di sini mereka membeli rempa-rempa, obat-obatan dan juga barang-barang buatan pribumi. Mere-ka, tentu saja para pemimpin mereka, mempunyai hubungan baik dengan pembe-sar-pembesar di sini.”

Keng Hong tidak bertanya-tanya lagi. Sehabis makan dia dan Kun Liong keluar dari rumah makan, dan menyewa sebuah kamar di hotel sederhana. “Biarlah malam nanti saja kita melakukan penyelidikan. Aku sendiri mungkin akan dikenal orang kalau aku keluar siang ini. Lebih baik engkau saja yang siang ini berjalan--jalan, memasang mata dan telinga. Eng-kau tentu tidak akan ada yang mengenal dan tidak akan menimbulkan curiga.”

Kun Liong mengangguk, kemudian dia keluar seorang diri meninggalkan supek-nya yang tinggal di dalam kamar. Keng Hong bersamadhi di dalam kamar hotel itu untuk memulihkan tenaganya karena semenjak dia mengoperkan sebagian sin-kangnya untuk melatih Thi-khi-i-beng kepada Kun Liong, tenaganya belum pulih seluruhnya.

Kun Liong yang tertarik sekali melihat laut, begitu mendapat kesempatan ini, tentu saja langsung dia berjalan-ja-lan ke tepi laut! Ketika dia tiba di bagi-an pantai yang sunyi, agaknya pantai ini adalah tempat para nelayan minggirkan perahu dan menjemur jala, ikan dan se-bagainya, dia melihat scorang laki-laki tua sedang menambal jaring yang bocor seorang diri. Dia mendekati, orang itu mengangkat muka, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Agaknya sudah biasa dia ditonton orang, karena kota pelabuhan itu memang banyak kedatangan tamu, baik pribumi dari luar kota maupun orang asing.

“Lopek, ramaikah penangkapan ikan musim ini?”

Kakek itu mengangkat muka, agaknya tercengang, lalu menjawab, “Yaah, luma-yan saja. Penghasilan ikan berkurang, akan tetapi harga ikan naik, berarti sama saja. Semua gara-gara kapal-kapal asing yang datang itu!” Kakek itu kedua tangannya memegang jala, maka dia me-nunjuk ke arah kapal-kapal asing dengan hidungnya ketika mukanya digerakkan ke arah laut.

“Mengapa gara-gara mereka?”

“Kapal-kapal besar itu mengacaukan lautan, menakutkan ikan-ikan. Agaknya dewa penjaga lautan juga ketakutan melihat rambut kuning mata biru kulit putih itu. Hasil penangkapan ikan akhir-akhir ini menurun. Akan tetapi, orang-orang asing itu doyan sekali makan ikan dan mereka berani membeli mahal sehingga harga ikan naik keras.”

Kakek itu dengan penuh gairah lalu bercerita tentang kehidupan nelayan di kota itu yang didengarkan penuh perhati-an oleh Kun Liong yang memang meman-cing percakapan. Kemudian pemuda itu bertanya sambil lalu, “Eh, Lopek. Engkau
yang sudah puluhan tahun tinggal di Ceng-to, tentu telah mengenal semua orang sini, bukan?”

“Tidak semua! Hanya yang lama tinggal di sini saja. Sekarang banyak penda-tang baru, terutama orang-orang dari daerah selatan yang datang bersama kapal-kapal asing itu. Siapa mengenal mereka?” Kakek itu mengomel, agaknya di dalam hatinya dia tidak senang dengan kedatangan kapal-kapal itu.

“Akan tetapi saya kira Lopek tentu mengenal seorang yang bemama Louw Ek Bu.” Kun Liong melihat betapa wajah kakek itu berubah seketika. “Tahukah Lopek di mana tempat tinggalnya?”

Sejenak kakek itu tidak menjawab, bahkan kedua tangannya yang sejak tadi bekerja ketika dia bicara, kini terhenti. Jelas tampak betapa tangan itu agak gemetar!

“Kau... kau... sahabatnya, orang mu-da?”

Kun Liong menggeleng kepalanya. “Bukan, aku hanya ingin tahu di mana tinggalnya orang yang tersohor itu.”

“Rumah dia itu, siapa yang tidak ta-hu? Di tepi kota sebelah utara, rumah gedung besar yang di atas atapnya ada ukiran naga, seperti rumah kuil. Sudahlah, aku masih banyak pekerjaan, maafkan, orang muda.” Bergegas kakek itu meninggalkan Kun Liong menghampiri pera-hunya dan memeriksa perahu itu. Kun Liong maklum bahwa kakek itu menjadi takut untuk bercakap-cakap dengan orang yang mengenal atau mencari datuk kaum sesat itu, akan tetapi yang dikehendaki-nya, alamat datuk itu, telah terpegang, maka dia pun pergi dari situ, menuju ke utara.

Belum lama dia berjalan, sebelum sampai di tepi kota sebelah utara, dia melihat ribut-ribut di pinggir sebuah pasar dekat pantai. Cepat dia menghampiri dan melihat betapa rombongan penari silat yang pagi tadi bersama dia mema-suki kota dan agaknya membuka pertun-jukan di tempat itu, sedang berhantam melawan tiga orang asing yang tadi dia lihat dalam restoran! Agaknya tiga orang asing itu sudah mabok, muka mereka merah sekali dan mereka berhantam melawan tiga orang dari rombongan penari silat.

Kun Liong menonton penuh perhatian dan melihat betapa tiga orang asing itu gerakannya tidaklah selincah tiga orang lawannya, akan tetapi mereka itu rata--rata memiliki tubuh yang kuat dan kebal. Beberapa pukulan yang mereka terima tidak merobohkan mereka dan kini me-reka mengamuk dengan pukulan-pukulan yang keras sekali. Dua orang anggauta rombongan penari silat kena dipukul dan roboh untuk tak dapat bangun kembali, pingsan! Keras benar pukulan orang-orang itu!

Melihat ini, Kun Liong sudah melon-cat ke depan. Karena tadi dia melihat betapa tiga orang asing itu bersikap kasar dan mengacau, maka kini dia ber-pendapat babwa tentu tiga orang asing itu yang menimbulkan perkelahian.

“Hee, berhenti! Kalian ini orang-orang asing yang kasar dan kurang ajar! Me-ngapa mengganggu orang yang sedang mengadakan pertunjukan?” teriak Kun Liong sambil meloncat ke depan dan me-nangkis pukulan orang asing ke tiga yang sudah hampir merobohkan lawannya. Sambil menangkis, Kun Liong mengerah-kan sin-kangnya.

“Dukkk...!”

Orang asing itu mencak-mencak, ber-jingkrak sambil memegangi lengan ta-ngannya yang terkena tangkisan Kun Liong. Ternyata tulang lengannya telah patah!

Dua orang temannya menjadi marah sekali. Sambil memaki-maki dalam baha-sa mereka, dua orang asing itu mener-jang maju. Pukulan kedua tangan mereka yang keras itu menyambar-nyambar. Si-kap mereka seperti dua ekor kerbau mengamuk.

Kun Liong tidak menjadi gentar. Dengan mudah saja dia mengelak dengan loncatan ke atas. Tubuhnya mencelat se-perti dilontarkan ke atas kepala kedua orang lawannya, kedua kakinya menginjak punggung dan mendorong. Dia tetap tidak hendak menyerang orang maka dorongan kakinya hanya membuat dua orang itu terhuyung. Dua orang asing itu makin marah. Mereka membalik dan menyeru-duk kembali dengan ganas. Kun Liong mengelak ke samping, kakinya dilonjorkan ketika dia berjongkok dan kedua orang itu terjungkal, roboh menelungkup mencium tanah. Terdengar sorak-sorai orang--orang yang menonton. Baru sekali ini mereka melihat ada orang asing “biadab” itu dihajar. Biasanya, tidak ada yang berani melawan orang-orang asing ini karena pembesar setempat sudah menge-luarkan pengumuman agar tidak meng-ganggu mereka yang disebut “tamu-tamu agung” itu. Memang benar bahwa orang--orang asing itu royal mengeluarkan uang dalam membeli sesuatu, akan tetapi si-kap mereka angkuh dan memandang rendah kepada penduduk pribumi. Begitu angkuhnya sehingga kadang-kadang mere-ka itu melakukan hal-hal yang amat menghina, misalnya, orang asing itu berani secara main-main menowel pipi atau menjamah dada seorang dara yang bertemu di tengah jalan!

Kun Liong mengambil keputusan bah-wa kalau dua orang itu masih nekat, begitu memukul lagi dia akan menangkis dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi begitu kedua orang itu bangkit, tiba--tiba ada bayangan berkelebat dan betapa kaget hati Kun Liong ketika tiba-tiba di depan kedua orang itu telah berdiri pemuda asing yang tadi! Dia terheran--heran menyaksikan gerakan pemuda itu yang jelas menunjukkan gerakan seorang ahli gin-kang! Pemuda itu kembali bicara nyaring, agaknya memarahi ketiga orang asing itu dan telunjuknya menuding ke luar. Tiga orang asing itu dengan kepala tunduk, muka kemerahan, lalu berjalan pergi yang patah lengannya tadi masih mengerang kesakitan. Setelah ketiga orang itu pergi, pemuda itu membalikkan tubuhnya, membungkuk kepada Kun Liong dan berkata dalam bahasa pribumi yang cukup lancar biarpun nada suaranya ter-dengar lucu dan asing, “Harap Saudara maafkan kalau tiga orang kasar tadi mengganggu pertunjukan saudara-saudara di sini. Maklumlah, mereka belum pernah melihat orang-orang mengadakan pertunjukan di tempat terbuka.”

Kun Liong juga membungkuk. Diam--diam dia tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda asing ini pandai bicara dalam bahasa pribumi dan sikapnya sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan merendah.

“Saya bukan dari rombongan penari silat, harap Tuan minta maaf kepada mereka itu.”

Mendengar ucapan Kun Liong ini, pemuda asing itu mengangkat dada dan memandang tajam, mengerutkan alisnya yang berwarna agak kuning, tidak sekuning rambutnya.

“Tuan bukan anggauta mereka?” Dia mengulang. “Kalau begitu, mengapa Tuan menyerang orang kami?”

“Saya tidak menyerang, merekalah yang menyerang saya. Saya melihat mereka memukul para penari silat, maka saya berusaha mencegahnya dan mereka menyerang saya.”

Sikap pemuda asing itu berubah, agaknya dia penasaran, dan juga tertarik sekali. “Hem, kau bilang tidak menyerang akan tetapi seorang di antara mereka sampai patah tulang lengannya. Agaknya Tuan seorang pendekar, ya?”

“Sama sekali bukan!” jawab Kun Liong. “Saya bukan pendekar, akan tetapi tiga orang sahabat Tuan tadi adalah orang-orang jahat yang tidak semestinya dibiarkan berkeliaran seperti binatang buas yang suka mengganggu orang.”

Akan tetapi pemuda asing itu tidak memperhatikan kata-kata ini, hanya me-mandang penuh perhatian, kemudian ber-kata, “Saya ingin sekali melihat kepan-daian Tuan. Marilah kita menguji kepan-daian masing-masing secara bersahabat.”

“Apa? Tuan menantang saya untuk bertanding? Orang saling pukul, mana bisa secara bersahabat?”

“Saya tidak menantang untuk bermusuhan, akan tetapi untuk... eh, apa na-manya itu, untuk pibu! Ya, untuk pibu! Marilah Tuan sambut serangan saya!”

Dan pemuda asing itu dengan penuh se-mangat lalu menerjang maju, menyerang dengan pukulan tangan terkepal, akan tetapi gerakannya lincah sekali dan pu-kulannya membawa angin pukulan yang mengandung tenaga dalam!

“Aihh!” Kun Liong mengelak cepat, makin terheran-heran karena jelas dari pukulan itu bahwa Si Pemuda Asing yang tadi dia lihat pandai menggunakan gin--kang, kini ternyata memiliki tenaga sin--kang yang hebat pula!

“Wut-wutt... siuuuttt!” Pemuda asing itu telah melanjutkan serangannya, kedua tangannya secara bertubi memukul dan ketika Kun Liong mengelak dua kali dengan cepat, kaki kanan pemuda asing itu menyusul dengan sebuah tendangan yang amat berbahaya, karena seluruh tubuhnya ikut “terbang” dan kaki kiri menyusul tendangan kaki kanan. Itulah ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang amat lihai!

Kun Liong tidak dapat mengelak lalu bergerak menangkis sambil mendorong.

“Dessss! Aughhhh!” Pemuda asing itu terlempar, akan tetapi dapat berjungkir- balik dan turun sambil berdiri. Dia tadi berteriak karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri, sungguhpun tidak sampai patah seperti lengan temannya tadi. “Ba-gus, kau hebat! Sambutlah!” Dia menye-rang lagi, kini benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepan-daian silatnya yang aneh namun cukup hebat. Gerakannya seperti seekor burung garuda menyambar-nyambar, kedua ta-ngan dikembangkan, kadang-kadang dike-pal kadang-kadang dibuka seperti ceng-keraman. Kun Liong makin kagum dan dia pun cepat mengimbangi kelincahan lawan, mengelak ke sana-sini dan berusaha menghentikan serangan-serangan itu dengan menjatuhkan lawan tanpa melukai sampai parah.

Ketika untuk kesekian kalinya pemuda asing itu menubruk dengan kedua tangan terpentang, Kun Liong menyambut kedua tangan itu sambil mengerahkan sin-kang untuk menempel, akan tetapi dia tidak mau menggunakan Thi-khi-i-beng, hanya sekedar membuat kedua tangan lawan melekat pada tangannya.

“Ahhhh...!” Pemuda asing itu terkejut berusaha menarik kembali kedua tangan-nya, namun sia-sia belaka, kedua telapak tangannya seperti melekat pada tangan pemuda itu. Kembali dia membetot dan saat itu dipergunakan oleh Kun Liong untuk mengerahkan tenaga mendorong dan... tubuh pemuda asing itu terlempar ke belakang sampai empat meter dan jatuh terbanting! Akan tetapi dia dapat cepat meloncat bangun kembali, tersenyum kagum sambil mengebut-ngebutkan jubahnya yang kotor. Dari tempat dia terjatuh, dia membungkuk ke arah Kun Liong dan berkata, “Saudara hebat sekali! Saya Yuan de Gama mengaku kalah. Siapakah nama Saudara?”

Menyaksikan sikap pemuda asing yang dengan jujur dan wajah berseri mengakui kekalahannya, Kun Liong menjadi tertarik dan senang hatinya. Dia pun membungkuk berkata, “Tuan juga hebat. Nama saya Yap Kun Liong.”

“Terima kasih, sampai jumpa lagi!” Pemuda asing itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan cepatnya menuju ke utara!

Kun Liong tidak memberi kesempatan kepada orang-orang yang mendekatinya untuk memuji dan bertanya-tanya, dia pun cepat melangkah dan menuju utara, bukan sekali-kali membayangi Si Pemuda Asing, melainkan karena dia hendak melanjutkan penyelidikannya di rumah Hek-bin Thian-sin seperti yang telah ditunjukkan oleh nelayan tua tadi. Agar tidak disangka membayangi pemuda bekas lawannya, dia sengaja memperlam-bat langkahnya sampai pemuda di depan itu lenyap di sebelah tikungan.

Kun Liong hanya melihat-lihat dari luar. Rumah Hek-bin Thian-sin memang besar den megah. Agak aneh juga karena di bagian atapnya terdapat ukiran seekor naga seperti yang biasanya terdapat pada bangunan kuil. Agaknya datuk kaum sesat itu hendak menyesuaikan rumahnya de-ngan julukannya. Dia berjuluk Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) maka sudah sepatutnya kalau rumah seorang “malaikat” mempunyai penjaga seekor naga!

Setelah mempelajari keadaan rumah gedung itu dari luar, Kun Liong lalu kembali ke rumah penginapan. Hari telah mulai senja ketika ia tiba kembali di kamar penginapan di mana Keng Hong telah menantinya. Kun Liong segera menceritakan tentang rumah datuk kaum sesat itu dan sama sekali tidak mau menceritakan tentang peristiwa yang terjadi dengan pemuda asing, karena hal itu dianggapnya tidak ada sangkut-pautnya dengan supeknya dan dengan maksud ke-datangan mereka berdua di kota itu.

“Setelah kau pergi, aku tadi pun pergi diam-diam mengunjungi beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di sini. Mereka itu sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mendengar di mana adanya orang tuamu. Jalan satu-satunya untuk mencari keterangan agaknya harus dari golongan hitam. Dan menurut cerita mereka, ada hal-hal aneh di kota ini. Sikap para orang asing itu mencurigakan sekali karena menurut keterangan yang kuperoleh, selain mereka itu berhubungan dengan para pembesar, juga kelihatan ada orang asing yang mengunjungi Hek--bin Thian-sin!”

“Hemmm, katanya mereka itu hanya pedagang biasa. Jangan-jangan mereka terlibat pula dalam urusan kejahatan,”
Kun Liong berkata dan teringatlah dia kepada pemuda asing bemama Yuan de Gama tadi. Melihat sikap pemuda itu, agaknya bukan dari golongan penjahat, dan ilmu kepandaiannya benar-benar tak boleh dipandang ringan!

Malam hari itu, Keng Hong dan Kun Liong keluar dari rumah penginapan. Hari telah jauh malam dan kota Ceng-to sudah mulai sepi, rumah-rumah sudah me-nutupkan daun pintu.

“Jangan sembarangan turun tangan. Kita menyelidiki saja dulu, dan andaikata di sana tidak ada apa-apa, biarkan aku yang langsung menjumpai Hek-bin Thian-sin dan secara berterang menanyakan ke-padanya tentang ayah bundamu, juga tentang penyerbuan ke Siauw-lim-si. Mengingat akan kedudukan dia sebagai datuk dan aku sebagai Ketua Cin-ling-pai, kiranya dia akan suka bicara berterus terang.”

Kun Liong mengangguk dan memang dia pun tidak ingin melakukan sesuatu, kecuali kalau terjadi apa-apa yang memaksanya melakukan sesuatu. Dengan mudah saja kedua orang ini meloncati pagar ruji besi yang melingkari rumah besar itu, kemudian dengan gerakan ri-ngan tanpa menimbulkan suara, memper-gunakan gin-kang untuk menyelinap men-dekati rumah, mengitari rumah itu ke-mudian menghampiri bagian belakang. Atas isyarat Keng Hong, mereka melom-pat ke atas genteng di baglan belakang tanpa menimbulkan suara, kemudian me-rayap ke bagian di mana tampak pene-rangan dan di bawah itu terdengar suara orang bercakap-cakap. Dengan hati-hati Keng Hong menggeser genteng dan dari celah-celah atap mereka mengintai ke bawah.

Ruangan itu lebar dan perabot-pera-botnya mewah. Di sepanjang dinding ter-dapat tempat lilin dari kayu berukir, sedangkan lilin yang menyala tertutup kaca bulat yang membuat cahaya lilin menjadi terang. Karena banyaknya lilin dan lampu minyak dari perak yang ter-gantung di ruangan itu, maka ruangan itu terang sekali seperti siang hari. Banyak lukisan-lukisan indah tergantung di din-ding dan di sana-sini terhias tirai sutera berwarna-warni, membuat suasana kamar itu kelihatan indah dan menyenangkan. Ada dua jendela di kamar besar itu yang berada di kanan kiri, keduanya menembus ke udara terbuka sebuah taman sehingga hawa di kamar itu cukup sejuk. Meja kursi yang terdapat di ruangan itu semua mengkilap, dan buatannya halus, sedang-kan kedua jendela itu pun langkannya terhias kayu ukir-ukiran yang dicat in-dah.

Ada tujuh orang yang berada di ruangan itu, duduk seenaknya di atas kursi-kursi dan bangku-bangku yang agak berjauhan letaknya, mereka duduk berha-dapan merupakan setengah lingkaran, masing-masing menghadapi meja kecil di mana terdapat tempat bunga yang berisi bunga-bunga segar dan cawan-cawan terisi arak.

Ketika Kun Liong memperhatikan orang-orang itu, dia terkejut melihat bahwa di antara mereka terdapat dua orang asing bermata biru berkulit putih. Yang seorang sudah tua, kepalanya ba-gian atas botak pelontos seperti kepala-nya sendiri, bahkan lebih licin seperti kaca yang menutupi lilin-lilin itu, meng-kilap, rambutnya hanya tumbuh di sekeliling kepalanya saja, akan tetapi aneh-nya rambut yang tumbuh ini cukup lebat, demikian pula jenggotnya dan kumisnya. Kun Liong bergidik membayangkan bagaimana jadinya kalau kelak kepalanya yang gundul itu mau tumbuh rambut, yang tumbuh hanya sekeliling kepala seperti kakek asing ini! Lebih baik gundul kalau begitu! Orang asing ke dua tadinya dia kira Yuan de Gama, akan tetapi setelah dipandang dengan teliti, ternyata bukan. Orang-orang asing ini begitu sama muka-nya! Orang ini pun masih muda, paling banyak tiga puluh tahun, juga tampan seperti yang lain, akan tetapi jauh bedanya dengan Yuan de Gama. Lekukan dagu dan tarikan mulut orang ini mem-bayangkan kekejaman dan kesombongan, sedangkan sinar matanya yang biru kehi-jauan itu galak sekali. Bentuk hidungnya yang seperti burung kakaktua itu serupa benar dengan bentuk hidung kakek botak. Pakaian mereka berdua sama anehnya, sama pula dengan pakaian yang dipakai Yuan de Gama tadi, hanya bedanya, jubah kakek botak itu lebih besar dan panjang, dengan kantung-kantung besar sekali.

Keng Hong juga terkejut karena dia mengenal kakek asing botak itu sebagai kakek yang pernah dijumpainya ketika dia bersama isterinya menghajar Ma-taijin di Leng-kok kurang lebih lima tahun yang lalu! Yang lain-lain dia tidak mengenalnya, hanya dapat menduga bah-wa laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang duduk di atas kursi tuan rumah, membelakangi pintu dalam, tentulah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu, selain diketahui dari kedudukannya, juga dapat diduga dari mukanya yang berkulit hitam. Seorang lain yang berpakaian seperti pembesar kiranya adalah pembe-sar yang berkuasa di Ceng-to, dan di sebelahnya yang berpakaian seperti se-orang panglima tentulah komandan pasukan yang memimpin penjagaan di pan-tai sebelah timur, yang markasnya ber-ada tidak jauh dari kota Ceng-to. Dua orang lagi adalah tosu-tosu yang kalau dia tidak salah menduga, adalah orang-orang Pek-lian-kauw!

Dugaan Keng Hong memang tidak keliru dan ketika dia mendengar perca-kapan mereka itu, berubah wajah pen-dekar ini. Kiranya mereka itu merupakan persekutuan yang hendak melakukan pemberontakan!

“Kami hanya bermaksud membantu, karena Kaisar telah menolak untuk mengadakan perdagangan dengan kami, menolak kami untuk membuat pangkalan dagang di sini. Kalian tahu bahwa kami hanyalah pedagang, tidak berniat menja-jah. Kami membutuhkan sutera, teh, dan barang-barang kerajinan untuk kami beli, sedangkan kami datang membawa da-gangan hasil bumi. Juga kami membutuh-kan rempa-rempa dan bahan-bahan obat. Jangan khawatir, untuk perjuangan sau-dara-saudara, kami akan membantu me-ngeluarkan biayanya, dan kelak kalau berhasil, kami hanya minta agar diijinkan membuka pangkalan perdagangan di sini.” kata kakek asing botak dengan suara lancar.

“Kami percaya akan kerja sama dan bantuan Tuan Legaspi Selado,” jawab orang yang berpakaian sebagai pembesar sipit. “Akan tetapi kedudukan kerajaan kuat sekali, dan kami kekurangan pasukan. Pasukan-pasukan penjaga yang ada di pantai timur ini tidak terlalu besar ditambah dengan para anggauta Pek-lian-kauw, jumlahnya masih belum ada sepersepuluh tentara kerajaan. Melakukan pemberontakan secara berterang merupakan hal yang berbahaya sekali, karena menjadi perang terbuka.”

“Apa yang dikatakan Tung-taijin, be-nar,” kata panglima yang berpakaian komandan pasukan. “Selain pasukan pemerintah besar sekali, juga di sana terdapat banyak pemimpin yang lihai ilmu kepandaiannya.” Jelas bahwa panglima ini merasa jerih.

“Hemm, tentang itu, mengapa Ciang--kun (Panglima) merasa khawatir? Kami dari Pek-lian-pai mempunyai banyak orang sakti untuk menghadapi mereka dan kami berhubungan juga dengan tokoh-tokoh perbatasan di Nepal.”

“Ha-ha-ha-ha!” Kakek asing yang di-sebut namanya Legaspi Selado itu tertawa bergelak sambil memandang ke atas sehingga perutnya yang gendut tergun-cang-guncang. “Memang Taijin dan Ciangkun terlalu kecil hati. Orang-orang petualang seperti kita, mengapa mesti takut? Kalau tidak berani menempuh risiko, mana mungkin akan dapat berha-sil? Bagaimana katamu, eh, sahabatku Hek-bin Thian-sin?”

Si Muka Hitam menyeringai. “Memang tak dapat disangkal kebenaran pendapat kalian semua. Tung-taijin dan Bhong-ciangkun keduanya benar karena kita harus berhati-hati, pihak lawan terlalu kuat. Dan Saudara Legaspi Selado juga benar bahwa kita harus berani. Akan tetapi, kalau orang-orang kang-ouw yang sakti membantu pomerintah, dan para datuk tidak mau bersatu, agaknya me-mang berat bagi kita. Sayangnya, empat orang datuk yang tadinya sudah bersemangat, kini kendur lagi semangatnya, menganggap perjuangan ini terlalu ber-bahaya, tidak sesuai dengan hasilnya untuk mereka nanti.”

“Ha-ha-ha, kalau memang kalah kuat, mengapa takut? Kami sanggup menyedia-kan senjata-senjata api dan melatih pa-sukan kalian. Dengan senjata api, kiranya kita akan jauh lebih kuat. Kami memba-wa meriam-meriam di kapal, kalau perlu dapat kami datangkan lagi dari barat.”

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Pemberontak-pemberontak hina!” Dan tampak sesosok bayangan yang gerakannya cepat sekali melayang masuk ke dalam kamar itu.

Kun Liong dan Keng Hong terkejut sekali melihat bahwa yang meloncat masuk itu adalah seorang gadis muda yang cantik. Begitu masuk, gadis itu sudah mencabut pedangnya dan menye-rang Tung-taijin sambil memaki, “Pembe-sar terkutuk! Pengkhianat bangsa! Orang macam engkau harus mati!”

“Trang-trang...!” Bhong-ciangkun yang duduk dekat Tung-taijin sudah mencabut goloknya dan menangkis tusukan pedang ini. Seorang tosu dari Pek-lian-kauw yang duduknya dekat, cepat menubruk maju untuk menangkap gadis itu. Agaknya dia terlalu memandang rendah kepada dara yang muda usia itu, maka dia hendak menangkapnya begitu saja.

“Tosu pemberontak, robohlah!” Gadis itu tiba-tiba membalikkan tubuh, tangan kirinya memukul dengan kecepatan yang luar biasa.

“Dukkk!” Tosu Pek-lian-kauw yang sama sekali tidak menduga akan serangan ini, kena dihantam dadanya dan dia roboh terjengkang, meringis menahan nyeri, akan tetapi tetap saja dia muntahkan darah segar tanda bahwa pukulan itu telah mendatangkan luka di dalam dada-nya.

“Cringgg...! Aihhh...!” Dara itu menjerit kaget ketika sebuah golok besar menghantam pedangnya dan... pedang itu terlepas dari pegangannya. Kiranya Hek--bin Thian-sin sudah turun tangan dan sekali pukul saja pedang di tangan dara itu telah terlepas. Si Muka Hitam ini tertawa bergelak melihat hasil golok besarnya yang lihai.

Maklum bahwa pihak lawan amat lihai, dara itu sudah meloncat secepat burung walet terbang ke arah jendela yang terbuka dari mana tadi dia meloncat masuk, dengan niat untuk melarikan diri setelah pedangnya terlempar.

“Uiii..., hendak lari ke manakah, No-na?” Kakek asing berkepala botak ber-tanya, suaranya nyaring disusul suara “tar-tar-tar!” dan tampaklah sinar putih seperti ular menyambar ke arah jendela. Ujung pecut yang berwarna putih itu telah melibat kedua kaki dara itu yang menierit kaget dan sekali tarik, tubuh dara itu terbanting ke atas lantai di depan kakek asing itu! Si Kakek memberi aba-aba dalam bahasa asing kepada pemuda asing yang terdiri yang berdiri memandang. Pemuda itu menubruk ke depan, sambil tersenyum tangannya berge-rak menyambar.

“Plakkkk!” tengkuk belakang telinga kiri dara itu ditampar dan dara itu ping-san, tak dapat bergerak lagi!

“Ha-ha-ha, beginikah yang kaumaksud-kan orang-orang lihai yang membantu pemerintah, Tong-taijin?” Legaspi Selado berkata sambil tertawa. “Kalau hanya begini saja, biar ada sepuluh orang masih dapat dihadapi oleh anakku Hendrik ini!”

Hendrik, atau lengkapnya Hendrik Selado, tertawa dan menatap tubuh dara yang telentang di atas lantai itu dengan penuh gairah. Dara itu memang cantik dan bentuk tubuhnya padat langsing me-narik hati.

Sementara itu, Keng Hong berbisik, “Tunggu aku kacaukan mereka. Kalau mereka mengejarku, kautolong dara itu, bawa lari lebih dulu ke luar kota. Tung-gu aku di luar kota sebelah barat.”

Kun Liong mengangguk dan sekali berkelebat, supeknya itu sudah lenyap. Kun Liong memandang ke dalam ruangan itu dengan jantung berdebar tegang, ti-dak tahu apa yang akan dilakukan supek-nya, namun dia sudah siap untuk meno-long dara cantik itu.

Tak lama kemudian, tampak sinar berkelebat ke beberapa penjuru di dalam ruangan itu dan disusul suara nyaring. Ruangan itu menjadi remang-remang karena kaca lilin telah pecah, lilinnya padam! Semua ini terjadi amat cepatnya dan mereka yang berada di dalam ruangan menjadi panik ketika tampak bayang-an dua orang melayang ke dalam ruangan itu.

“Tar-tar-tar!”

“Wuuuutttt...!”

Pecut di tangan Legaspi dan golok besar di tangan Hek-bin Thian-sin berge-rak menyambut bayangan dua orang itu. Dua orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika! Akan tetapi dapat diba-yangkan betapa marahnya kedua orang sakti ini ketika melihat bahwa yang menjadi korban senjata mereka itu ada-lah dua orang penjaga yang menjadi pe-ngawal Tung-taijin!

Kembali ada dua orang melayang masuk. Sekali ini dua orang sakti itu tidak mau sembrono turun tangan, akan tetapi dua orang itu terbanting ke atas lantai dalam keadaan sudah pingsan.

“Keparat, siapa berani main gila di rumahku?” Hek-bin Thian-sin sudah me-layang ke luar melalui jendela kiri dari mana tadi para penjaga itu melayang masuk, disusul oleh Legaspi dan puteranya yang bernama Hendrik itu. Bhong-ciangkun sudah mengawal Tung-taijin untuk mundur dan masuk ke dalam melalui pintu, sedangkan dua orang tosu Pek--lian-pai menjaga di situ agar dara yang tertawan itu tidak melarikan diri.

Di luar terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan seluruh tempat itu bahkan rumah itu seperti ikut terge-tar! Mendengar ini Kun Liong menduga bahwa inilah suara supeknya yang me-nantang dan memancing keluar orang-orang yang lihai dari dalam ruangan.

Maka dia lalu melayang masuk melalui jendela. Dua orang tosu terkejut. Keada-an remang-remang maka mereka tidak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau salah tangan seperti yang terjadi tadi. Akan tetapi betapa kaget dan marahnya ketika bayangan yang me-layang masuk itu langsung menyambar tubuh dara yang menjadi tawanan. Me-reka hendak mengejar, akan tetapi dua kali tangan kiri Kun Liong mendorong disertai sin-kangnya sedangkan tangan kanan dipakai memanggul tubuh dara itu, dan... dua orang tosu itu terpental dan terjengkang. Mereka tidak terluka karena Kun Liong memang tidak mau melukai mereka, akan tetapi mereka terkejut setengah mati karena dorongan hawa mujijat yang dapat merobohkan mercka tadi saja sudah membuktikan bahwa “hwesio” yang menyelamatkan dara itu adalah lawan yang terlalu tangguh untuk mereka. Betapapun juga, merasa bahwa hal itu menjadi kewajiban mereka, me-reka meloncat lalu mengejar sambil ber-teriak. “Tahan penjahat yang melarikan tawanan!”

Mereka semua berkumpul di atas gen-teng, bingung karena mereka kehilangan “penjahat” yang mengacau tadi!

“Eh, ke mana perginya setan itu tadi?” Legaspi bertanya penuh penasaran. Dia mendengar juga lengking yang luar biasa itu dan tahulah dia bahwa yang menge-luarkan suara itu memiliki khi-kang yang amat hebat, yang membuat dia merasa seram juga. Akan tetapi karena dia bu-kan seorang penakut, maka dia telah mengejar ke tempat itu, dibayangi oleh Hek-bin Thian-sin yang memiliki gerakan tidak kalah cepatnya. Akan tetapi me-reka hanya melihat bayangan orang ber-kelebat dan lenyap!

“Celaka, tawanan dilarikan orang...!”

Teriakan dua orang tosu Pek-lian--pai ini makin mengejutkan mereka. “Sia-pa yang melarikan?” bentak Hek-bin Thian-sin penasaran.

“Kami tidak mengenal karena cuaca agak gelap, akan tetapi dia seorang hwe-sio gundul. Dia lihai sekali, merobohkan kami hanya dengan hawa dorongan ta-ngannya.”

Dengan marah sekali Bhong-ciangkun lalu mengumpulkan pengawalnya dan pengawal Tung-taiiin, memaki-maki me-reka kemudian memerintahkan untuk melakukan pengejaran dan pencarian di seluruh kota!

Dengan waiah murung mereka kembali ke ruangan tadi dan menyuruh orang menyingkirkan dua orang pengawal yang tewas dan dua orang lagi yang pingsan.

“Apa yang kukatakan tadi!” Bhong-ciangkun berkata, suaranya gemetar ka-rena dia merasa tidak enak sekali. “Gadis itu memang tidak seberapa, akan tetapi baru muncul dua orang itu saja sudah kacau kita!”

Legaspi Selado juga masih terkejut sekali. “Hemmm... kepandaian orang yang mengeluarkan suara melengking itu memang hebat, kurasa belum tentu ada keduanya di negeri ini...”

“HARAP Saudara Legaspi jangan ber-pendapat demikian,” Hek-bin Thian--sin membantah. “Memang kepandaiannya tadi hebat, akan tetapi di negeri ini ba-nyak sekali terdapat orang sakti yang me-lebihi dia tadi! Kalau mau disebut nama Pendekar Sakti Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai, sudah hebat bukan main. Dia memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng yang tidak dapat dilawan oleh ilmu yang ma-napun juga. Masih ada lagi yang hebat--hebat, seperti para pengawal Panglima Besar The Hoo, yang bernama Tio Hok Gwan berjuluk Ban-kin-kwi dan yang lain-lain. Itu semua masih belum sebera-pa hebat kalau dibandingkan dengan ke-saktian Panglima Besar The Hoo sendiri, dan pembantunya yang bernama Ma Huan...”

“Hemmm... kalau tadi aku membawa senjata api, agaknya dia tidak akan mudah saja melarikan diri!” kata Hendrik dengan nada suara gemas dan kecewa. Tadi dia sudah membayangkan betapa kalau gadis tawanan itu diserahkan dia, hemmm... tentu akan asyik dan menyenangkan sekali malam ini baginya.

Peristiwa malam itu di rumah Hek-bin Thian-sin membikin kecut hati kedua orang pembesar itu dan mereka segera berpamit pulang. Agak berkurang gairah semangat mereka untuk menjadikan persekutuan pemberontak yang dipelopori oleh Pek-lian-pai dan orang-orang asing itu.

Kun Liong kagum bukan main karena baru saja dia tiba di luar kota sebelah barat, baru saja dia meloncat turun dari atas tembok kota karena dia tidak mau melewati penjagaan di pintu gerbang, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri supeknya! Baru sekarang dia mendapat bukti akan kesaktian supeknya yang berhasil mengacaukan rumah Hek-bin Thian-sin Si Datuk Kaum Sesat, padahal di situ terdapat orang lihai seperti kakek asing bemama Legaspi Selado, orang-orang Pek-lian-pai dan lain-lain itu.

“Supek!” katanya kagum.

Melihat dara itu masih pingsan, Keng Hong menjamah lehernya. “Tidak terluka, hanya terkena guncangan oleh tamparan yang lihai tadi. Agaknya itulah cara mereka membikin pingsan lawan. Kun Liong, kita harus berpisah di sini. Ada perkara hebat timbul seperti yang kau telah dengar tadi. Kaularikan dara ini, sebaiknya ke barat memasuki hutan agar jangan sampai dapat dikejar mereka. Ke-mudian kalau dia siuman, tanya siapa dia dan di mana tinggalnya. Kalau perlu antarkan dia pulang sampai selamat dan pesan padanya agar jangan lancang lagi menyerbu gua harimau. Aku sendiri harus pergi ke kota raja, menghadap Panglima Besar The Hoo untuk melaporkan bahwa ada bahaya pemberontakan di Ceng-to agar jangan sampai berlarut-larut. Kemu-dian, kalau ada waktu pergilah ke Cin--ling-san di mana kita dapat bicara lebih lanjut.”

Kun Liong tak dapat membantah biarpun dia masih ingin melakukan perja-lanan bersama supeknya yang sakti itu. “Baiklah, Supek.” Dia tidak mau bilang bahwa dia akan melanjutkan penyelidikan-penyelidikannya sendirian saja, karena takut kalau supeknya tidak setuju dan melarangnya.

Mereka berpisah dari tempat itu. Kun Liong masih memanggul tubuh dara itu lari ke barat sedangkan Keng Hong se-gera menuju ke utara, ke kota raja. Karena maklum bahwa besar kemungkinan pihak Hek-bin Thian-sin akan melaku-kan pengejaran, maka Kun Liong berjalan terus tidak mau berhenti sampai dia me-masuki hutan yang besar. Dia memilih tempat yang baik, lalu merebahkan tubuh dara itu di bawah sebatang pohon besar. Dara itu masih pingsan dan dia lalu membuat api unggun. Karena hawa dingin sekali, biarpun di situ ada api unggun, dia tetap membuka jubahnya dan menye-limutkan jubahnya itu ke atas tubuh Si Dara. Kemudian dia duduk termenung, memandang wajah yang telentang itu.

Wajah yang cantik. Kulit muka itu halus sekali, dan kedua pipinya kemerah-an, apalagi bibirnya yang setengah terbuka itu! Cahaya api unggun bermain--main di atas wajah cantik, menimbulkan penglihatan yang luar biasa indahnya. Setelah puas menjelajahi wajah itu de-ngan pandang matanya, akhirnya pandang mata itu terhenti pada mulut yang se-tengah terbuka itu, terpesona! Teringat dia akan Giok Keng, teringat dia akan mulut Giok Keng ketika diadu dengan mulutnya sendiri untuk ditiup dan jan-tungnya berdebar aneh. Mulut ini tidak kalah manisnya dengan mulut Giok Keng! Bibirnya begitu segar nampaknya, bagai-kan buah angco merah yang masak, men-datangkan gairah kepadanya untuk menggigitnya!

“Plakk!” Kepala gundul itu ditamparnya sendiri. “Gila kau!” Dia memaki ketika mengenal pikirannya sendiri tadi. Beginikah yang dikatakan orang timbulnya nafsu seorang yang mata keranjang? Mata keranjangkah dia? Salahkah dia kalau dia terpesona dan tertarik, kalau dia suka sekali melihat wajah seorang gadis ayu, terutama melihat mulutnya? Dia bukan tertarik karena dibuat-buat atau disengaja! Dia memang benar-benar tertarik, seperti orang tertarik melihat setangkai bunga yang indah! Dia ingin menciumnya, seperti orang ingin mencium setangkai mawar yang harum. Salahkah itu?

Bibir setengah terbuka itu seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga tanpa terasa lagi olehnya sendiri, kepala Kun Liong menunduk mendekati muka gadis yang pingsan itu. Ingin dia menciumnya. Dia tidak tahu dan tidak pernah ada yang memberi tahu bagaimana harus mencium seorang gadis. Akan tetapi pengalamannya ketika dia mengadu mulut dengan Giok Keng ketika dia menolong gadis itu, mendatangkan kenangan yang mesra dan nikmat luar biasa. Ketika bibirnya hampir menyentuh bibir dara itu, tiba-tiba dia tersadar dan menarik kembali kepalanya.

“Plakkk!” Kembali kepala gundulnya menjadi korban tamparannya, agak keras sampai muncul bintang-bintang menari di depan matanya. Tidak boleh! Demikian teriak pikirannya. Ini namanya mencuri! Aku memang ingin menciumnya, akan tetapi hal itu harus terjadi secara terang-terangan. Jika yang punya bibir memperbolehkan dicium, baru dia mau mencium. Memaksa, dia tidak sudi, karena itu merupakan perkosaan yang kotor. Mencuri juga kotor! Dahulu dengan Giok Keng lain lagi. Bukan mencium namanya karena dia menolong dan pada saat itu pun dia tidak merasa apa-apa. Baru setelah menjadi kenangan menimbulkan kemesraan nikmat. Akan tetapi, kalau terang-terangan mungkinkah Giok Keng mau? Mungkinkah dara ini mau? Mengadu mulut, mengadu bibir merupakan hal yang aneh, tentu dara-dara itu juga merasa aneh. Dia hanya tahu bahwa mencium adalah penyentuhan pipi yang di-cium dengan hidung! Demikianlah kalau ibunya dahulu menciumnya. Pikiran ini mengingatkan dia akan ibunya dan ayah-nya, dan dia menjadi berduka, lalu me-rebahkan diri di dekat api unggun dan tertidur!

Malam telah terganti pagi. Kun Liong menggeliat dan menelungkup. Tiba-tiba dia terbangun, akan tetapi tidak berani bergerak karena jalan darahnya di teng-kuk telah diancam oleh orang. Jalan darah di tengkuk adalah jalan darah ke-matian, dan kini ada dua buah jari ta-ngan yang sudah menempel di tengkuknya dan terdengar bentakan, “Jangan bergerak kalau masih ingin hidup!”

Mengendur kembali urat syaraf Kun Liong mendengar bentakan yang halus merdu ini. Kiranya dara itu yang menodongnya! Tadinya dia hendak bergerak menangkap tangan lawan yang berbahaya itu sambil menggunakan sin-kangnya menutup jalan darah di tengkuk. Akan teta-pi begitu mendengar suara dara itu, dia membatalkan niatnya.

“Eh, eh, kau mau apa?” tanyanya tanpa menoleh, mukanya masih tersem-bunyi di antara kedua lengannya.

“Hayo katakan, engkau hwesio dari mana dan bagaimana aku bisa berada di sini? Engkau tentu kawan pemberontak- pemberontak itu, ya?”

“Hi-hi-hik!” Kun Liong tertawa geli.

“Eh, pendeta ceriwis! Mengapa engkau malah tertawa? Hayo jawab, atau engkau lebih ingin mampus?”

“Mampus ya mampus, mau bunuh ya boleh saja, tapi dengar dulu kata-kata-ku, Nona galak! Aku tertawa karena engkau telah tiga kali keliru!”

Gadis itu marah sekali, jari tangannya yang menempel di tengkuk itu gemetar sedikit sehingga diam-diam Kun Liong sudah siap dengan sin-kangnya. Kalau perlu, untuk menyelamatkan nyawanya, dia akan menggunakan Thi-khi-i-beng! Akan tetapi agaknya dara itu curiga mendengar ucapan orang yang dianggap-nya hwesio itu maka dia mendesak, “Ja-ngan kurang ajar! Kekeliruan apa yang kulakukan?”

“Pertama, aku bukan anggauta atau kawan para pemberontak itu, ke dua, akulah yang melarikanmu ketika engkau pingsan di dalam ruangan rumah Hek-bin Thian-sin dan bahwa ancamanmu di tengkuk ini pun sia-sia belaka, kemudian yang terakhir, kekeliruan mutlak yang tak boleh diampunkan lagi, aku bukan seorang hwesio!”

“Tapi kau gundul... aihhh... engkaukah ini?” Dara itu membalikkan tubuh Kun Liong sehingga pemuda itu telentang dan... kini dia pun teringat ketika melihat sepasang mata itu.

“Engkau...? Aku... aku seperti pernah mengenalmu, tapi siapa... ya?” Dia merasa yakin sudah mengenal dara ini, akan tetapi benar-benar tidak ingat lagi siapa dia.

Dara itu tertawa. Bukan main manisnya. Bibir merah itu merekah dan tampak giginya yang kecil dan putih teratur, dan ujung lidah yang merah meruncing tampak sekilas. “Hik-hik, kau... kau... pemuda gundul itu. Mana aku bisa melupakan kepalamu? Aku Lim Hwi Sian.”

Kun Liong meloncat berdiri dan bertolak pinggang, pura-pura marah. “Jadi engkau ini, ya? Kesalahanmu makin bertumpuk-tumpuk! Dahulu engkau menghinaku karena kepalaku, sekarang kau ulangi lagi! Benar-benar tidak mau bertobat kau ini!”

Dara itu menahan ketawanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Maafkan aku. Aku tadi salah sangka... ah, sungguh aku tidak mengenal budi. Engkau malah yang kembali menolongku dari bahaya maut. Sudah dua kali kau menyelamatkan aku, dan dua kali aku menghinamu tanpa kusengaja. Maafkan aku, Tai-hiap (Pendekar Besar)...!”

Kun Liong sengaja hendak menggoda, akan tetapi juga karena dia gemas mendengar sebutan itu, dia membanting kakinya dan melotot sehingga matanya yang memang lebar itu membulat. “Kau ini mengangkat atau memembanting! Minta maaf malah menambah penghinaan!”

“Eihhh? Apa salahku?”

“Kau menyebut aku tai-hiap segala macam. Kau mengejek, ya?”

Dara itu menggeleng-geleng kepalanya, alisnya berkerut. Manis sekali! “Tidak! Tidak! Aku tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi biarpun kau pura-pura... eh, bodoh dan kepalamu kaucukur gundul. Dahulu pun aku sudah menduga. Kalau kau tidak berilmu tinggi, mana bisa menolongku kali ini dari rumah seorang datuk sesat seperti Hek-bin Thian-sin?”

Kun Liong merasa terdesak. “Ya sudahlah, tapi jangan menyebut aku tai-hiap. Sekali lagi, aku benar-benar akan marah!”

Dara itu tersenyum dikulum, tahulah dia bahwa pemuda gundul ini hanya pura-pura marah tadi. Maka timbul juga kenakalannya. “Habis, aku harus menyebut situ apa?”

“Kok situ? Situ mana?”

Hwi Sian menggigit bibir bawahnya. Manis sekali! “Jangan main-main lagi! Tentu saja yang kumaksudkan situ adalah engkau.”

“Hemm, omongan model mana ini? Namaku Yap Kun Liong. Aku menyebutmu Hwi Sian begitu saja, kaupun menyebut namaku, tak usah pakai pendekar-pendekar, ya?”

“Hi-hik. Kau lucu!” Hwi Sian merasa geli dan tertawa, akan tetapi mengguna-kan tubuh telunjuknya untuk menutupi bibir. Manis sekali!

“Hwi Sian, ingatkah engkau lima tahun yang lalu kita mula-mula bertemu? Kau masih seorang perempuan yang manis, sekarang...”

“Sekarang apa?”

“Sekarang kau telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita.”

Dara itu mengerutkan alisnya. “Yap Kun Liong, kalau aku tidak yakin bahwa engkau memang seorang pemuda yang lucu dan aneh tapi baik budi, tentu kau kuanggap ceriwis dengan ucapanmu itu.”

“Terserah penilaianmu. Mungkin aku memang ceriwis. Akan tetapi aku tidak akan pernah mclupakan betapa engkau telah mencium kepala gundulku yang kaubenci ini sampai tiga kali!”

Seketika wajah Hwi Sian menjadi merah sekali. “Kun Liong, mengapa engkau berkata begitu? Aku tidak benci kepala-mu dan soal itu... ah, itu soal lalu, ka-rena aku merasa menyesal telah menya-kitkan hatimu padahal engkau dahulu itu telah menyelamatkan aku.”

“Hemm, kalau sekarang? Aku pun telah mati-matian menolongmu, akan tetapi apa upahnya? Engkau menodongku, hampir membunuhku, dan masih mengnina lagi!”

“Kun Liong, maafkan aku... sungguh mati aku tidak tahu... eh, mengapa kau memandangku seperti itu?”

“Tidak cukup dengan maaf! Kalau dulu kau menyatakan penyesalan dengan mencium kepalaku, sekarang aku akan menghukummu dengan ciuman pula. Akan tetapi aku yang akan menciummu, bukan kau yang menciumku.”

Sepasang mata yang bening itu terbelalak, kedua pipinya bertambah merah. “Apa... apa maksudmu...? Kau...? Kau... kau mau kurang ajar kepadaku?”

“Terserah kau mau menganggap bagai-mana. Pokoknya, kau tadi minta maaf, kan? Dan aku hanya mau memberi maaf kalau kau suka kucium. Dengar baik--baik, aku sudah sejak semalam ingin menciummu, akan tetapi hal itu tidak kulakukan biarpun kau sedang pingsan ka-rena aku tidak sudi melakukan hal kepada orang yang tidak tahu atau tidak suka. Nah, aku hanya akan memaafkanmu de-ngan menciummu, akan tetapi kalau kau suka, bukan paksaan!”

Muka yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah, agaknya bingung bukan main. “Kalau... kalau aku tidak mau?”

“Kalau tidak mau ya sudah, aku tidak akan memaksamu. Akan tetapi terus terang saja, aku pun tidak mau memaaf-kanmu dan akan selalu mengaggap kau seorang gadis tak tahu membalas budi!”

“Kun Liong...” Suara itu seperti ber-mohon agar pemuda itu tidak mengang-gapnya demikian. “Kau tahu betapa besar rasa syukur dan terima kasihku kepada-mu. Akan tetapi permintaanmu... sungguh aneh... bagaimana aku dapat melakukan-nya?”

“Bukan kau yang melakukan, melain-kan aku.”

“Maksudku... eh, kau membikin bi-ngung aku. Aku... aku...”

“Dengar, Nona yang baik! Kalau kau merasa jijik kepadaku, kalau kau merasa benci kepadaku karena kepalaku gundul, kalau kau merasa jijik kucium, katakan saja kau tidak mau. Habis perkara.”

“Kau mendesak, seperti memaksa.”

“Sama sekali tidak. Kau harus jujur. Kalau kau tidak suka, katakan tidak mau dan kita berpisah takkan bertemu lagi. Habis perkara, kan?”

“Kun Liong, aku... aku tidak benci kepadamu, akan tetapi... soal itu... eihhh, aku malu, ah!”

“Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang!”

“Kalau di sini tidak ada orang, maka aku adalah siluman hutan dan kau se-tan...”

“... gundul!” Kun Liong menyambung.

Keduanya tertawa gembira dan sejenak lenyaplah ketegangan di antara mereka karena permintaan Kun Liong yang luar biasa itu.

“Nah, bagaimana?” Kun Liong teringat lagi dan bertanya.

“Bagaimana, ya? Dahulu aku mencium kepalamu tiga kali...”

“Sekarang pun aku akan menciummu tiga kali!” Kun Liong memotong cepat.

“Tiga kali?” Sepasang mata itu terbe-lalak, tangannya meraba-raba rambutnya. “Bagaimana kalau rambutku bau tidak enak? Sudah beberapa hari aku tidak ke-ramas.”

“Siapa mau mencium rambutmu?”

Sepasang mata itu terbelalak, mulut-nya ternganga. Kun Liong terpaksa me-mejamkan matanya. Manis sekali wajah itu!

“Tidak mencium... kepalaku? Habis... ihhh, Kun Liong, jangan main gila kau, ya?”

Kun Liong membuka matanya, tersenyum. “Siapa main gila. Aku main sung-guhan! Tidak perlu banyak berbantahan, Hwi Sian. Hanya tinggal menjawab, mau atau tidak kau kucium?”

“Mau sih... mau, akan tetapi...”

“Kalau sudah mau masih ada tetapi-nya, namanya bukan mau...”

“Kau sih aneh! Dahulu aku mencium kepalamu, sekarang engkau hendak men-cium... apa?”

“Hwi Sian, memang agak sukar mem-beri pengakuan. Pendeknya aku baru suka memaafkan engkau kalau engkau suka kucium tiga kali, kucium di mana saja, terserah aku! Kalau engkau mau, aku akan menciumnya dan tak perlu ku-katakan mana yang akan kucium. Pokok-nya engkau mau dan kalau mau berarti tidak pilih-pilih di bagian mana... ahh, aku jadi bingung sendiri. Mau atau ti-dak?”

Sepasang mata itu masih terbelalak menatap wajah yang tampan dan lucu karena gundul itu. Sepasang pipi dara itu menjadi merah sekali, dan sejenak sepa-sang mata itu menyipit, hampir terpejam dan bibir yang merah membasah itu ter-senyum aneh! Lalu Hwi Sian mengang-gukkan kepala dan menunduk, matanya mengerling tajam, sikapnya menanti dengan takut-takut dan malu-malu, agaknya ingin sekali dara itu melihat bagian tu-buh yang mana yang akan dicium pemuda aneh ini!

Kun Liong menjadi girang sekali.

“Kau benar-benar mau?”

Hwi Sian mengangguk.

“Dengan suka rela? Dengan senang hati? Tidak terpaksa?”

Kembali Hwi Sian mengangguk dan jantung dara ini berdebar tidak karuan, mukanya terasa panas. Dia tidak tahu betapa seluruh mukanya menjadi merah jambon, luar biasa manisnya!

Kun Liong mendekatkan mukanya, kedua tangannya memegang pundak dara itu, mendekatkan mulut. Sepasang mata gadis itu terbelalak seperti kelinci ke-takutan akan diterkam harimau. Kun Liong menjadi malu sendiri!

“Hwi Sian, kau benar-benar mau?”

Hwi Sian tidak berani menjawav karena jantungnya yang berdebar itu tentu akan membuat suaranya tidak karuan.

Suara Kun Liong ketika bertanya terakhir ini pun sudah tidak karuan, gemetar dan nadanya sumbang! Maka dia hanya meng-angguk, kini dia benar-benar ingin di-cium, ingin melihat bagaimana kalau dicium dan apanya yang akan dicium!

“Kalau mau...” Suara Kun Liong ma-kin gemetar seperti orang sakit demam. “Kalau mau, kaupejamkan matamu...”

Mata itu malah terbelalak, ageknya heran, kemudian sepasang mata yang in-dah itu tertutup rapat. Hilang rasa malu di hati Kun Liong, bahkan dia menjadi lega dan kembali dia mendekatkan mu-lutnya sampai bibirnya menyentuh bibir yang setengah terbuka itu. Sentuhan ini mendatangkan getaran hebat sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, mulutnya mencium dan mengecup. Hwi Sian kaget setengah mati, hendak berteriak akan tetapi mulutnya yang baru terbuka se-dikit sudah tertutup dan diterkam bibir Kun Liong.

Kun Liong melepaskan bibirnya dan napasnya terengah, kedua lengannya kini tanpa disadarinya telah memeluk pinggang Hwi Sian. “Satu kali...” bisiknya dan kembali dia merapatkan mulut.

Hwi Sian tidak memejamkan mata lagi, sudah terbelalak lebar saking heran dan kagetnya. Ketika, melihat muka Kun Liong mendekat lagi, ia menjadi ngeri dan cepat memejamkan matanya. Kembali teriakannya gagal karena mulut yang baru terbuka sedikit sudah disumbat oleh sepasang bibir Kun Liong. Sekali ini, setelah melepaskan bibirnya, Kun Liong tak mau menghitung lagi dan ketika dia mencium untuk ketiga kalinya, Kun Liong memejamkan matanya, tidak merasa lagi betapa kedua lengan Hwi Sian sudah merangkul lehernya!

Ciuman yang ketiga kalinya ini amat lama, seolah-olah keduanya tidak mau melepaskannya lagi. Ketika Kun Liong melepaskannya karena tidak kuat mena-han napas, mereka terengah-engah dan baru Kun Liong tahu betapa kedua le-ngan yang halus itu seperti dua ekor ular membelit lehernya. Dia terheran, dan lebih-lebih lagi herannya ketika Hwi Sian terisak menangis dengan muka merapat di dadanya.

“Eh... eh... kok menangis? Ada apa ini...?”

Pertanyaan itu membuat Hwi Slan makin sesenggukan.

“Wah, jangan begitu, Hwi Sian! Kau membikin aku merasa bersalah besar saja. Bukankah kau tadi sudah menyatakan mau dan tidak terpaksa? Kenapa sekarang menangis dan... ehhh...” Kun Liong menghentikan kata-katanya dan terbelalak memandang wajah yang kini diangkat itu. Gadis itu sesenggukan akan tetapi matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! Mulut yang setengah terbuka, begitu segar seolah-olah setangkai bunga yang baru saja mendapat siraman air!

“Eh... apa pula ini? Kau ini menangis atau tertawa? Kau marah atau tidak. Senang atau susah?”

“Kun Liong... hemmm... Kun Liong, aku, aku juga cinta kepadamu!”

Kun Liong terkejut seperti mendengar guntur di tengah hari. “Apa ini? Mengapa kau mengatakan begitu?”

“Artinya, aku juga cinta kepadamu seperti kau cinta kepadaku...”

Kun Liong melepaskan pelukannya dan melangkah mundur setelah melompat ber-diri. Dia memandang dengan alis berke-rut dan sikap sungguh-sungguh, “Hwi Sian, siapa bilang... eh, bagaimana eng-kau tahu bahwa aku cinta kepadamu?”

Kini gadis ini pun meloncat berdiri, matanya memandang tajam dan alisnya berkerut. “Tentu saja! Setelah apa yang kaulakukan tadi... tentu engkau cinta padaku... ahhh, tidakkah begitu?”

Kun Liong menunduk, berpikir, kemudian menggeleng kepala. “Aku tidak tahu apakah aku cinta padamu, Hwi Sian.”

“Kun Liong! Apa artinya ucapanmu itu? Setelah kau... kau menciumku seper-ti itu...”

“Hemmm... tidak kusangkal, aku senang sekali menciummu, Hwi Sian, dan kalau engkau mau, agaknya aku tidak akan bosan-bosan menciummu. Akan te-tapi, hal itu bukan sudah berarti bahwa aku cinta kepadamu atau kau cinta kepa-daku!”

Pucat wajah gadis itu dan matanya memandang dengan sinar penuh kemarah-an.

“Yap Kun Liong! Jadi kau... kau ha-nya mau mempermainkan aku?”

Kun Liong menarik napas panjang, memandang dara itu dan menggelengkan kepalanya yang gundul. “Kau tahu benar bahwa aku tidak mempermainkan siapa- pun juga. Sebelum aku menciummu, bu-kankah aku sudah mengatakan bahwa aku mau melakukannya kalau memang kau mau dan rela? Apa hubungannya itu dengan cinta? Kalau kita berdua saling pandang, saling menyentuh tangan, saling bicara, apakah itu sudah menjadi bukti bahwa kita saling mencinta?”

“Tapi... tapi... itu beda lagi! Semua itu biasa saja, akan tetapi ciuman... dan seperti yang kaulakukan tadi...”

“Apa bedanya kalau kita melakukan-nya dengan dasar sama suka dan rela?”

“Kun Liong, jangan kau main gila! Ciuman, apalagi seperti yang kaulakukan tadi, hanya patut dilakukan oleh sepasang suami isteri!”

“Ehh! Siapa bilang begitu? Kita tadi pun telah melakukannya walaupun kita bukan suami isteri, dan tidak ada yang memaksa kau atau aku, bukan? Hwi Sian, apa sih bedanya bersentuhan tangan de-ngan bersentuhan bibir dan mulut? Apa benar bedanya? Asal saja hal itu dilaku-kan dengan kerelaan kedua pihak...”

“Tapi aku cinta kepadamu! Kalau kau tidak cinta kepadaku, aku tidak akan sudi melakukannya, dengan siapapun juga. Lebih baik aku mati!”

Kun Liong terkejut, memandang dan menggaruk kepalanya yang gundul. “Kau aneh sekali...”

“Kau yang aneh, kau yang gila! Kau telah menciumku seperti itu, kalau kau tidak mencintaku, berarti kau menghina-ku!”

“Mungkin aku gila, akan tetapi aku tidak menghinamu, dan aku juga tidak mencintamu biarpun aku suka sekali kepadamu dan suka sekali menciummu. Ehhh...”

Kun Liong cepat mengelak karena Hwi Sian sudah menyerangnya kalang--kabut! Dia berusaha menyabarkan, akan tetapi gadis itu sambil menangis terus menerjangnya dengan pukulan-pukulan maut, membuat Kun Liong repot meng-elak dan menangkis.

“Nanti dulu... ehhh... heiiittt... luput! Wah, nanti dulu, Hwi Sian. Apakah eng-kau sudah gila?”

“Aku memang gila karena sakit hati, dan aku akan membunuhmu, Yap Kun Liong!” Hwi Sian terus menyerang dengan air mata bercucuran.

“Waaahhh... celaka! Nah, kaulihat. Cinta hanya membikin orang menjadi gila! Mengapa kau mau mengorbankan dirimu kepada cinta? Heiiittt...!” Kun Liong terpaksa melempar diri ke bela-kang dan bergulingan, kemudian melom-pat bangun dan melihat Hwi Sian benar--benar menyerangnya mati-matian, dia lalu melompat jauh dan melarikan diri!

“Yap Kun Liong laki-laki keparat! Kau hendak lari ke mana?” Hwi Sian mengejar.

“Waah, aku hanya suka berciuman denganmu, Hwi Sian, akan tetapi tidak suka kalau harus berkelahi denganmu. Sampai jumpa pula dalam suasana yang lebih aman!” Dia mengerahkan gin-kang-nya dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah lenyap meninggalkan Hwi Sian yang masih menangis sambil menge-pal tinjunya. Setelah berlari ke sana-sini mengejar tanpa hasil, akhirnya gadis itu menjatuhkan diri ke atas tanah dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis sesenggukan.

Gadis itu tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Tahu-tahu sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya dan suara yang sama halusnya berkata, “Hwi Sian, jangan menangis. Kaumaafkan aku kalau memang kau ang-gap aku bersalah.”

Mendengar suara ini, tanpa menengok tahulah Hwi Sian bahwa pemuda gundul itu sudah datang lagi! Dia menjadi makin berduka oleh perasaan girang yang aneh sekali menyelinap di hatinya melihat orang yang akan dibunuhnya tadi datang kembali, dan tangisnya makin menjadi-jadi!

Kun Liong duduk di atas rumput di dekat gadis itu. Berulang-ulang dia me-narik napas panjang, lalu berkata, “Hwi Sian, aku bersumpah bahwa aku tidak berniat menggodamu, tidak berniat meng-hinamu. Semua yang kulakukan kuanggap begitu wajar, sama sekali tidak kusangka bahwa kau akan merasa terhina. Akan tetapi, kalau aku harus mengaku cinta begitu saja, berarti aku membohong, dan kurasa engkau tentu tidak ingin kubo-hongi, bukan?”

Hwi Sian menghapus air matanya. Dia memandang pemuda itu dengan mata merah dan pipi basah. Kun Liong menge-luarkan saputangannya dan menggunakan saputangan itu menghapus pipi yang ba-sah. Tanpa disengajanya sama sekali, maksud baik Kun Liong ini seperti me-remas hati Hwi Sian sehingga kembali gadis itu menangis dan merebahkan kepa-lanya di atas pundak Kun Liong!

“Sudahlah Hwi Sian,” Kun Liong mengelus kepala gadis itu, “Mengapa engkau bersedih sampai begini macam?”

“Kun Liong... kau yang begini baik kepadaku... kau yang suka menciumku seperti tadi... mengapa kau tidak bisa mencintaku? Mengapa?”

“Hwi Sian, duduklah baik-baik, mari kita bicara tentang itu.”

Gadis itu kembali mengusap air matanya dan duduk di atas tanah berhadapan dengan pemuda itu. Kini kemarahannya agak mereda karena dia tahu bahwa sebetulnya pemuda ini tidak berniat bu-ruk dan sama sekali tidak menghinanya sungguhpun apa yang dilakukannya amat aneh. Kalau memang pemuda ini berniat menghinanya, tentu tidak akan datang kembali!

“Nah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh, Hwi Sian. Aku tidak suka ber-bohong apalagi kepadamu, biarpun aku suka bergurau denganmu. Yang mengganggu hatimu adalah soal cinta. Coba katakan, cinta itu apakah?”

Hwi Sian memandang bingung. “Aku sendiri juga tidak pernah mendengar tentang itu, dan tidak pernah memikirkannya. Hanya ketika aku... tadi... aku merasa bahwa kau mencintaku dan aku...”

“Hemm, jadi menurut perasaanmu, cinta adalah kecondongan hati seseorang yang merasa suka kepada orang lain. Begitukah?”

“Ya, ya, begitulah. Memang sejak dahulu aku suka kepadamu, karena kau... lucu dan... eh, baik hati. Aku suka kepa-damu dan tadi aku merasa sesuatu yang aneh, aku akan merasa bahagia kalau kau selalu dapat berdekatan dengan aku. Agaknya, itulah cinta!”

“Hemmm, jadi menurut pendapatmu, cinta adalah perasaan suka kepada se-seorang dan mendapat balasan dari orang itu? Buktinya, ketika aku menyatakan tidak cinta kepadamu, kau marah-marah dan cintamu berubah benci, malah kau hendak membunuhku...”

“Maafkan aku, Kun Liong. Aku tahu bahwa aku takkan menang bertanding denganmu dan tadi aku menyerang dan memakimu hanya untuk melampiaskan kekecewaan dan kemarahanku saja.”

“Jadi kalau begitu cinta bukanlah benci, cinta tidak akan mendatangkan benci! Cinta bukan pula suka akan sesuatu, karena biasanya suka akan sesuatu itu akan berakhir dengan kebosanan. Cin-ta bukan benci, bukan marah, bukan suka atau gairah nafsu. Cinta tentu pantasnya lebih luhur lagi, lebih bersih, tiada awal tiada akhir.”

“Ihhh! Kalau begitu, apa cinta itu?”

“Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu. Agaknya hatiku dan pikiranku masib ter-lalu kotor sehingga belum mengenal cinta itu, Hwi Sian.”

“Tapi, engkau suka kepadaku, bukan?”

“Aku suka kepadamu, aku suka menciummu, seperti aku suka melihat se-tangkai bunga yang cantik jelita, seperti aku suka mencium bunga yang harum. Akan tetapi itu bukan cinta, dan kalau kita menganggapnya cinta, kita akan menyesal dan kecewa. Nah, mau-kah kau melupakan semua itu dan tinggal bersahabat denganku? Percayalah, aku masih suka memandangmu, suka bergurau denganmu, bahkan aku masih suka sekali untuk... menciummu, tentu saja kalau kau juga rela dan mau!”

Hwi Sian menunduk dan terjadi perang di dalam hatinya. Semenjak kecil dia telah mendengar banyak tentang kesopanan, tentang kesusilaan, tentang hukum-hukum kesopanan yang sama se-kali tidak boleh dilanggar, terutama oleh wanita! Banyak dia mendengar nasihat tentang bahayanya menurutkan nafsu, terutama nafsu berahi. Adakah tadi nafsu berahi yang mendorong sehingga dia me-rasakan nikmat dalam pelukan dan mene-rima ciuman Kun Liong?

Tiba-tiba Kun Liong memegang ta-ngannya. “Eh, ada banyak orang datang berkuda!”

Mereka bangkit berdiri dan menoleh ke belakang. Benar saja, tak lama kemudian muncullah serombongan orang ber-kuda. Kun Liong terkejut ketika melihat bahwa rombongan itu adalah sepasukan tentara yang berjumlah tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin oleh panglima yang dilihatnya semalam di rumah Hek--bin Thian-sin dan di samping panglima itu terdapat pula seorang pemuda asing yang juga dilihatnya di rumah Hek-bin Thian-sin! Pemuda asing yang tampan dan gagah, yang bernama Hendrik Selado, putera dari Legaspi Selado si kakek asing botak yang amat lihai.

“Aihhh... pemberontak-pemberontak itu...!” Hwi Sian berseru marah dan juga kaget.

“Hwi Sian, mari kita lari!” Kun Liong berbisik.

“Tidak sudi! Aku harus membasmi mereka! Aku dan kedua orang suhengku memang bertugas menyelidiki mereka, dan karena kami berpencar, maka aku yang kebetulan dapat membongkar raha-sia mereka. Aku harus lawan mereka!” Tanpa menanti jawaban Kun Liong, dara yang gagah perkasa itu sudah lari me-nyambut rombongan itu, dan langsung dia meloncat dan menyerang panglima yang menunggang kuda terdepan bersama Hen-drik pemuda asing.

“Pemberontak hina!” Hwi Sian mem-bentak marah.

Diserang secara tiba-tiba dengan dah-syat, panglima yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dara itu tidak boleh dipandang ringan. Maka dia lalu menjatuhkan diri dari atas kuda, berguling-an lalu meloncat bangun.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang kami sedang mencarimu, Nona!” katanya sambil mencabut sebatang pedang.

“Tangkap dia!” Panglima itu memben-tak dan dua orang perajurit lalu meng-gunakan pedang mereka menubruk. Hwi Sian menghadapi dua orang ini dengan tenang. Biarpun dia bertangan kosong dia sama sekali tidak merasa gentar. Ketika dua orang itu menubruk, secepat kilat dia mendahului, menggeser ke kanan, kakinya menyambar dan tangannya me-raih. Seorang perajurit berteriak, tubuh-nya terjengkang dan pedangnya terampas dan di lain saat, disusul teriakan keras oleh temannya yang juga tersungkur ja-tuh dengan pundak terluka oleh pedang rampasan di tangan Hwi Sian!

Segera dara itu dikeroyok oleh para tentara! Namun dara itu mengamuk de-ngan pedang rampasannya dan dalam be-berapa gebrakan saja dia telah berhasil merobohkan empat orang lawan lagi.

“Mundurlah kalian, biarlah aku menangkap kuda betina liar ini!” Hendrik Selado berteriak dengan suaranya yang nyaring dan kaku. Tubuhnya sudah me-langkah maju dengan langkah seperti seekor harimau kelaparan.

“Tak tahu malu! Mengeroyok seorang gadis!” Tiba-tiba tampak bayangan ber-kelebat dan Kun Liong sudah berdiri di depan pemuda asing itu. Kun Liong sejak tadi sudah melihat dan siap untuk mem-bantu Hwi Sian. Melihat betapa Hwi Sian dapat merampas pedang dan dapat melayani pengeroyokan para perajurit, dia berdiam diri saja. Akan tetapi meli-hat gerakan pemuda asing yang maju, tahulah dia bahwa pemuda ini adalah sebangsa Yuan de Gama yang cukup tangguh, maka dia sudah mendahului pe-muda itu, menghadangnya dan mencela-nya.

Kini mereka saling berhadapan. Seorang pemuda tampan, gundul dan seorang pemuda tampan bermata biru berkulit putih. Hendrik memandang tajam karena dia tidak mengenal pemuda gundul ini, akan tetapi dia sudah dapat menduga bahwa tentu “pendeta” muda inilah yang semalam telah menolong gadis tawanan itu. Maka dia lalu membungkuk dan sam-bil tersenyum berkata,

“Bapak Pendeta, datang dari kuil ma-nakah, dan apakah hubungan Bapak Pen-deta dengan gadis pemberontak itu?”

Kun Liong tersenyum masam. Bangsa-nya sendiri saja, juga seorang gadis se-perti Hwi Sian bisa salah menduga bahwa dia seorang hwesio, apalagi seorang asing seperti yang dihadapinya ini! Dia tidak mau berbantah tentang kepala gundulnya yang menimbulkan salah kira, maka dia menjawab,

“Aku tidak datang dari kuil manapun juga, akan tetapi yang jelas, aku adalah seorang yang mengetahui betul siapa pemberontak siapa bukan! Nona ini bukan pemberontak, maka tidak perlu kau orang asing ini menjadi maling berteriak maling!”

Tentu saja Hendrik menjadi kaget sekali mendengar ini, karena ucapan itu berarti bahwa pemuda gundul ini tahu akan rahasia pemberontakan di Ceng-to dan berarti pula bahwa tentu pendeta muda inilah yang semalam telah meno-long gadis tawanan.

“Pendeta muda sombong, engkaulah pemberontak!” Hendrik sudah meneriang maju dengan gerakan yang dahsyat. Pe-muda asing itu ternyata menguasai ilmu silat yang aneh dan memiliki tenaga yang dahsyat, kedua tangannya bergerak bergantian dan bertubi-tubi mengirim serangan-serangan berbahaya diseling tendangan kedua kakinya bergantian pula.

“Hemm... kau ganas...!” Kun Liong mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan menangkis dan untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya, dia segera mainkan ilmu silat Pat-hong--sin-kun yang ia pelajari dari Bun Hwat Tosu. Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang mengandalkan kecepatan dan bayangan Kun Liong seolah-olah berubah menjadi delapan dan bayangan ini menge-royok Hendrik dari delapan penjuru!

“Kau pendeta sombong hebat juga!” Hendrik berkata kemudian memaki dalam bahasa asing dan tangannya telah mencabut keluar sebatang pedang tipis yang kecil dan lemas sekali. Pedang itu amat runcing dan tajam ringan dan begitu digerakkan, tampak sinar bergulung dan suaranya bercuitan mengerikan hati!

Kun Liong cepat menghindarken diri, meloncat ke sana-sini dan dia mulai marah. Tadinya dia tidak ingin memukul lawan, hanya membela diri saja. Akan tetapi dengan pedang kecil panjang itu di tangan lawannya merupakan bahaya baginya. Pada saat itu, dia mendengar teriakan Hwi Slan. Dia menoleh dan me-lihat betapa gadis itu dikeroyok oleh banyak orang, di antaranya yang paling hebat adalah panglima yang menggunakan pedang. Agaknya dara itu terancam ba-haya maut dan teriakan tadi menandakan bahwa Hwi Sian telah terkena senjata lawan.

“Cuit-cuit-cuit-singg...!” Kun Liong cepat melompat ke belakang, hampir saja dia menjadi korban pedang lawan ketika
dia menoleh ke arah Hwi Sian tadi ka-rena saat itu telah dipergunakan oleh Hendrik untuk mengirim serangan kilat secara bertubi-tubi. Karena khawatir akan keadaan Hwi Sian, Kun Liong me-ngeluarkan teriakan nyaring, kedua ta-ngannya mendorong dan tampak uap pu-tih keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah Hendrik.

“Ougghh...!” Pemuda asing itu terjengkang dan cepat membanting diri ke belakang terus bergulingan, cara yang tepat untuk menghindarkan diri. Kesem-patan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk melompat ke arah Hwi Sian.

Ternyata Hwi Sian telah terluka di paha dan pundak, dan dara itu telah roboh miring, agaknya pingsan, akan tetapi di dekatnya tampak seorang laki--laki yang mengamuk dengan pedangnya melindungi tubuh dara yang sudah ping-san itu. Kun Liong mengenal orang itu yang bukan lain adalah Tan Swi Bu, laki--laki tinggi besar yang menjadi ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Hwi Sian. Maka cepat dia meloncat mendekat dan kedua kakinya merobohkan dua orang pengeroyok. Tendangannya tepat mengenai tulang kering kaki kedua orang itu yang berteriak-teriak dan mengaduh-aduh sambil berloncatan dan memegangi kaki yang tulang keringnya rusak!

Tan Swi Bu menoleh dan berkata, “Harap siauw-suhu (Pendeta Muda) sudi menolong sumoiku dan menyelamatkannya pergi dari sini lebih dulu!”

Kun Liong kembali tersenyum pahit. Kepalanya yang sial kembali memperoleh korban! Tan Swi Bu tidak mengenalnya dan menyangkanya seorang hwesio. Akan tetapi dia tidak peduli menghampiri Hwi Sian yang pingsan, memondongnya dan dia meloncat ke kiri, mendorong roboh seorang perajurit yang menunggang kuda, kemudian dia meloncat ke atas kuda sambil memondong tubuh Hwi Sian.

“Tan-enghiong, lekas lari!” Dia berseru.

Melihat betapa “hwesio” itu telah berhasil melarikan sumoinya, Tan Swi Bu lalu memutar pedangnya, kemudian menyerang seorang penunggang kuda lain yang berada di luar lingkungan para pengeroyok, merobohkannya dan ia pun meloncat ke atas kuda itu lalu membalapkan kudanya menyusul Kun Liong.

“Kejar...! Siapkan kuda...!” Terdengar panglima itu berteriak.

Pasukan itu segera melakukan pengejaran dan tidak kurang dari tiga puluh orang perajurit dipimpin oleh Bhong-ciangkun Si Panglima dan Hendrik Si Pemuda Asing, melakukan pengejaran.

Setelah membalapkan kudanya keluar dari hutan dan pegunungan itu, dan melihat betapa Hwi Sian masih belum sadar dari pingsannya dan para pengejar tidak jauh, Kun Liong merasa khawatir sekali. Dia memberi isyarat kepada Tan Swi Bu yang membalapkan kuda sehingga sejajar dengan Kun Liong, dan berkata, “Tan-enghiong harap bawa Nona Hwi Sian pergi lebih dulu. Biarlah saya yang mencegah mereka melakukan pengejaran!”

“Akan tetapi...” Tan Swi Bu membantah ragu-ragu.

“Harap jangan ragu lagi, cepat terimalah dia!” Dengan tangan kirinya Kun Liong melemparkan tubuh Hwi Sian yang pingsan ke kiri, ke arah Tan Swi Bu yang tentu saja menjadi terkejut dan cepat menerima tubuh sumoinya. Dari lontaran itu saja tahulah dia bahwa pemuda gundul itu amat lihai, dan kini setelah melibat wajahnya, dia pun teringat kembali kepada pemuda gundul yang dulu pernah dilihatnya.

“Jadi engkau... Siauw-hiap...”

“Pergilah cepat!” Kun Liong meraih ke depan dan menepuk pinggul kuda yang ditunggangi Tan Swi Bu. Kuda itu terkejut, membalap dan sebentar saja pemuda dan sumoinya itu sudah jauh mendahului Kun Liong. Ketika melihat suheng Hwi Sian itu memasuki sebuah hutan di depan, Kun Liong lalu menahan kudanya, membalikkan kuda, meloncat turun dan menggunakan kedua lengannya mendorong roboh dua batang pohon besar. Dua batang pohon itu malang melintang di tengah jalan sehingga ketika para pengejar tiba di situ, mereka menahan kuda. Melihat bahwa pemuda gundul lihai itu yang menghadang mereka, Hendrik dan Bhong-ciangkun berteriak keras dan meloncat turun dari kuda, memimpin anak buah mereka untuk mengurung dan mengeroyok Kun Liong!

“Tuan Muda Hendrik, jangan biarkan dia lolos. Aku akan mengejar gadis itu!” Bhong-ciangkun berseru setelah Kun Liong terkurung dan dia lalu mengajak belasan orang anak buah untuk mengejar ke depan.

Akan tetapi tiba-tiba tubuh Kun Liong yang terkurung tadi berkelebat, dua orang pengeroyok roboh dan hanya Hendrik seorang yang dapat melihat betapa pemuda gundul yang lihai itu sudah melompat melampaui kepala pengeroyok di belakangnya sambil mendorong roboh dua orang, dan langsung menerjang Bhong-ciangkun yang baru saja meloncat ke atas kuda. Serangannya dahsyat sekali, karena Kun Liong menggunakan Im-yang-sin-kun dari Tiang Pek Hosiang. Biarpun panglima itu menggunakan pedangnya membabat ketika tubuh pemuda itu menerjang dari atas namun ujung kaki Kun Liong dengan tepat menendang pergelangan tangan yang memegang pedang dan jari tangannya menghantam leher!

Bhong-ciangkun berteriak, pedangnya terlempar dan dia cepat secara terpaksa melempar diri dari atas kuda untuk menghindarkan totokan pada lehernya. Biarpun dia berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi dia pun gagal melakukan pengejaran dan memang inilah yang dikehendaki oleh Kun Liong ketika menyerangnya. Kemudian Kun Liong dikurung dan pemuda ini sengaja berlompatan ke sana ke mari sehingga pasukan itu tidak dapat memusatkan pengeroyokan dan keadaan menjadi kacau-balau dan tidak ada kesempatan bagi Bhong-ciangkun dan Hendrik untuk melakukan pengejaran. Hal ini membuat mereka marah sekali dan dua orang itu kini memusatkan semua kekuatan untuk mengeroyok dan membunuh Kun Liong!

Kun Liong melayani mereka hanya untuk memberi kesempatan kepada Tan Swi Bu untuk dapat lari jauh membawa sumoinya. Sebetulnya tidak ada gairah sedikit pun di dalam hatinya untuk ber-kelahi, maka dia hanya mengelak dan menangkis, dan kalau terpaksa sekali ba-ru dia merobohkan dua tiga orang penge-royok tanpa melukai berat. Biarpun dia dikeroyok puluhan orang, tetap saja Kun Liong masih memegang pendiriannya bahwa dia tidak akan menggunakan ilmu silat untuk memukul orang, kecuali hanya untuk membela dan mempertahankan diri!

Kini mulailah Kun Liong melarikan diri, akan tetapi bukan lari untuk meninggalkan pertandingan, melainkan lari untuk memancing mereka menjauhi tem-pat itu dan membawa mereka ke arah yang berlawanan dengan larinya Tan Swi Bu. Dia lari beberapa ratus meter jauh-nya, lalu sengaja membiarkan mereka menyusulnya dan dia dikeroyok lagi. Ku-rang lebih satu jam dia main kucing-kucingan seperti ini kemudian dia me-loncat ke belakang dan berkata, “Aku sudah lelah, lain kali saja kita main--main lagi!” Kun Liong lalu melarikan diri. Hendrik dan Bhong-ciangkon marah sekali, berusaha mengejar, akan tetapi sebentar saja bayangan pemuda gundul itu sudah lenyap. Mereka merasa marah sekali dan merasa dipermainkan. Pemuda gundul itu memang lihai, akan tetapi mereka berdua, terutama Hendrik, belum mendapat kesempatan untuk mengadu kepandaian sampai mati-matian karena pemuda gundul selalu lari ke sana ke mari, seperti seekor kucing yang mem-permainkan pengeroyokan segerombolan tikus!

Hutan di dekat telaga itu amat lebat dan liar, tidak nampak seorang pun ma-nusia kecuali dia sendiri. Celakanya, malam tiba dan sebelum dia memperoleh tempat untuk melewatkan malam itu, hujan turun dari langit seperti dituang-kan. Bukan hanya hujan yang mengamuk, akan tetapi juga angin yang membuat air hujan menampar muka seperti jarum--jarum runcing dan membuat pohon-pohon bergerak menggila sambil mengeluarkan suara yang menyeramkan.

Kun Liong memicingkan mata untuk melindungi mata dari hantaman air hujan dan untuk menembus kegelapan malam. Dia telah terjebak ke dalam hutan yang tidak dikenalnya. Ketika sore tadi dia memasuki hutan ini, dari seorang petani dia mendapat keterangan babwa telaga yang dicarinya itu berada di seberang hutan ini. Maka dia berani memasuki hutan karena petani itu mengatakan bahwa hutan ini tidak terlalu besar. Akan tetapi agaknya dia salah jalan, tersesat dan tidak menyeberangi hutan, melainkan memasuki hutan dan berjalan sepanjang hutan itu yang agaknya tiada habisnya sampai malam tiba dan sampai hujan badai datang menyerang hutan itu. Dia tersaruk-saruk terhuyung dan mencari jalan dengan kedua tangan, kaki dan pandang matanya yang tidak dapat melihat jelas karena diserang terus-menerus oleh air hujan. Pohon-pohon kecil bergerak menggila, ranting-ranting seperti berubah menjadi tangan-tangan setan yang menjangkau, menyergap dan mencekik! Pohon-pohon besar yang kadang-kadang hanya tampak kalau ada kilat menyambar, seolah-olah iblis-iblis raksasa yang berlumba untuk menerkamnya. Suara air hujan bercampur desis angin melanda daun-daun pohon menimbulkan pendengaran yang mengerikan, seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit memasuki hutan itu.

“Desss!!” Sebuah ranting yang agak besar melecut tengkuknya.

“Aduhhh...!” Kun Liong meraba tengkuknya. Sungguh celaka. Dalam keadaan seperti itu, semua ilmu kepandaian yang dilatihnya selama ini tiada gunanya sama sekali. Betapapun pandainya manusia menghadapi kekuatan dan kebesaran alam benar-benar tak ada artinya. Mana mung-kin ketajaman pendengarannya dapat dipergunakan kalau suara air hujan dan angin mengamuk seperti itu? Mana mungkin dia dapat menangkap angin pu-kulan ranting tadi yang melecut tengkuk-nya kalau badai mengamuk dan meng-hembuskan angin yang bergulung-gulung menenggelamkan dirinya seperti itu?

Akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon besar. Setidaknya di tempat ini, air hujan tidak begitu buas menyerangnya, terlindung oleh daun-daun yang amat lebat dari pohon itu, juga tetumbuhan di bawah pohon raksasa itu tidak begitu lebat, biarpun tanahnya tertutup rumpul tipis yang basah semua sehingga tanah basah itu berlumpur mengotori semua pakaiannya.

Kun Liong menggunakan kedua tangan mengusap air yang membasahi kepala dan mukanya. Bajunya basah kuyup dan hawa dingin membuatnya menggigil. Cepat dia duduk bersila dan menggunakan tenaga dalam untuk melawan dingin. Tenaga yang dia terima dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong benar-benar telah membuat sin-kang yang dikumpulkannya berkat latihan dari Bun Hwat Tosu dan Tiang Pek Hosiang menjadi amat kuat dan sebentar saja tubuhnya terasa hangat.

Hujan tidak selebat tadi turunnya, akan tetapi angin badai masih mengamuk biarpun kini tempatnya bermain agak di atas, membuat pohon-pohon besar masih menari-nari seperti gila. Hanya pohon-pohon kecil yang rendah sudah tidak terlalu keras bergoyang lagi, berdiri miring dan kelelahan, cabang, ranting dan daunnya layu dan kehabisan tenaga.

Suara angin yang mempermainkan daun-daun pohon di atas benar-benar amat berisik dan menyeramkan. Kun Liong merasa seram dan bulu tengkuknya bangun satu-satu karena dia teringat akan dongeng-dongeng tentang hantu. Kalau dia memandang ke atas, di antara sinar kilat seperti tampak olehnya iblis-iblis yang menakutkan, wajah-wajah yang seperti dalam dongeng berada di atasnya dan menyeringai kepadanya dengan bermacam-macam lagak, seolah-olah iblis-iblis itu hanya menanti saatnya saja untuk menerkam dan memperebutkannya.

Kun Liong tersenyum sendiri. Mengapa dia harus takut, pikirnya? Benar-benar adakah hantu seperti yang didengar-nya dan dibacanya dari dongeng? Selama hidupnya dia belum pernah melihat hantu dengan matanya sendiri. Dan andaikata malam ini dia melihatnya, apakah yang ditihatnya itu benar-benar hantu dan iblis? Bukankah yang dilihatnya itu, kalau benar dia dapat melihatnya tak lain ha-nya bayangan pikirannya sendiri yang telah membentuk wajah iblis dari dongeng-dongeng yang didengar dan dibaca-nya? Andaikata sejak kecil dia tidak pernah mendengar cerita orang, tidak pernah membaca kitab tentang setan dan hantu sehingga dia sama sekali tidak mengenal sebutan iblis dan hantu, apakah dia akan dapat melihat bayangan hantu dan mungkinkah dia akan takut kepada hantu? Tak mungkin! Karena dia tidak akan dapat mengenal dan mengetahui apakah yang dilihatnya itu bahkan mung-kin sekali dalam keadaan tidak pernah mengenal sebutan iblis sama sekali se-perti itu, kalau dia kebetulan bertemu sungguh-sungguh dengan iblis, dia akan tertarik sekali seperti orang-orang terta-rik melihat sebuah tanaman atau seekor mahluk yang selama hidupnya belum pernah didengar dan dilihat sebelumnya! Hanya karena dia pernah mendengar dongeng tentang iblis, mendengar bahwa iblis itu jahat pengganggu manusia, dan lain-lain dongeng menyeramkan tentang iblis lagi, maka timbullah rasa takut dan timbul pula bayangan-bayangan iblis di antara kegelapan yang samar-samar!

Tolol kalau aku takut! Takut timbul karena tidak mengerti! Takut timbul karena ikatan masa lalu tentang sesuatu yang ditakutkan, atau ikatan pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga pikir-an merenungkan semua itu dan memba-yangkan kalau-kalau akan timbul lagi hal-hal itu di masa datang!

“Tidak! Aku tidak takut iblis dan setan! Hai... semua hantu dan iblis yang berada di hutan. Keluarlah bertemu dengan Yap Kun Liong. Mari kita beramah-tamah dan mengobrol!” Pemuda itu ber-teriak-teriak, akan tetapi suaranya ha-nyut dalam desau angin dan desau daun--daun pohon.

Badai mereda. Air yang menitik turun bukan air hujan lagi, melainkan air yang jatuh dari daun-daun yang basah kuyup.

Setiap ada angin halus menghembus, bu-tiran-butiran air di ujung daun-daun itu rontok semua ke bawah. Kun Liong berjalan perlahan, kedua tangannya meraba--raba di antara pohon-pohon menuju ke arah suara yang didengarnya tadi. Suara yang mendorongnya untuk meninggalkan tempat berteduh itu biarpun malam ma-sih gelap pekat. Suara itu, arah suara itu, yang menjadi petunjuk jalannya, maka dia melangkah dengan hati-hati, menggunakan tangan untuk meraba ke depan agar dia tidak sampai terjatuh, presis seperti laku seorang buta melang-kah melalui jalan yang tidak dikenalnya. Ketika dia duduk tadi, dia mendengar suara orang bernyanyi! Kalau saja dia belum menyadari sepenuhnya tentang hantu dan rasa takut akan hantu, tentu suara itu akan menimbulkan rasa seram dan takut. Bayangkan saja! Di dalam hutan, sehabis hujan badai seperti itu, ada suara orang bernyanyi!

Suara itu tadinya hanya lapat-lapat, sayup sampai kadang-kadang timbul dan seringkali tenggelam dan lenyap kemba-li. Akan tetapi kini mulai terdengar je-las, dan Kun Liong menghentikan lang-kahnya untuk dapat menangkap kata-kata yang dinyanyikan dengan suara pa-rau itu.

“Berani hidup mengapa takut mati?
siapa bilang hidup senang
dan mati sengsara?
Lihat mereka semua hidup dan mati!
si bangsawan, si hartawan
si rakyat, si miskin
yang kuat, yang lemah,
yang mulia, yang hina.
Mereka semua telah mati,
sedang mati
dan akan mati,
dalam kematian tiada bedanya
menjadi bangkai kotor membusuk!
Yang hidup, yang mati,
yang lahir silih berganti,
tetapi “aku” tetap berkuasa!
di antara mati dan hidup
aku tetap mempermainkan manusia,
ha-ha-ha-ha!”



Kun Liong melangkah mendekat. Ka-lau dia belum mengerti akan timbulnya rasa takut terhadap hantu, mungkin dia saat itu akan ketakutan dan menduga bahwa itulah hantu yang dia hadapi se-karang. Bukankah ada dongeng mengata-kan bahwa hantu dapat mengambil ben-tuk seorang kakek-kakek, atau bahkan seorang dara cantik sekalipun?

Dia itu seorang kakek tua, usianya sukar ditaksir berapa, akan tetapi tentu lebih dari enam puluh tahun, pakaiannya bersahaja seperti pakaian orang terlantar rambutnya yang berwama dua itu tidak terpelihara, demikian pula dengan kumis dan jenggotnya yang masih basah dan berjuntai ke bawah. Akan tetapi gambar-an kakek ini berkurang kelayuannya ka-rena di depannya bernyala api unggun. Hal ini mengherankan hati Kun Liong. Betapa mungkin orang membuat api ung-gun di hutan yang baru saja diamuk hu-jan dan badai?

Kakek itu menengok. Mereka berpan-dangan sebentar, kakek tua yang duduk dan pemuda gundul yang berdiri.

“Maaf, Kek, kalau aku mengganggu-mu.” Kun Liong berkata sambil tersenyum ramah.

“Kau mau apa?”

“Aku dingin, api unggunmu dan nya-nyianmu menarik hatiku sehingga aku datang ke sini.”

“Kau hwesio?”

“Bukan, Kek, sungguhpun kepalaku gundul. Aku bukan pendeta.”

“Hem, kalau begitu duduklah. Kalau engkau pendeta, tentu engkau sudah mati begitu engkau mengucapkan pengakuanmu. Aku benci hwesio!”

Kun Liong duduk dekat api unggun dan baru dia tahu bahwa kakek itu me-nyalakan api unggun dengan bantuan minyak. Hal ini dapat dia cium baunya. Hangat dan nyaman sekali duduk di de-kat api unggun pada waktu malam se-dingin itu. Kun Liong menghela napas penuh nikmat sambil memeras ujung bajunya yang basah.

“Mengapa kau membenci hwesio, Kek?”

“Mereka itu munafik.”

“Mengapa kau mengatakan begitu, Kek?”

“Mereka itu pura-pura menjadi orang baik, akan tetapi semua itu hanya untuk menutupi kebobrokan watak mereka!”

“Ah, tidak semua begitu, Kek! Me-mang dunia ini penuh dengan keganjilan dan kekecualian. Ada orang berkedudukan tinggi yang batinnya rendah, ada pula orang berkedudukan rendah yang batinnya tinggi. Ada orang kaya yang hatinya miskin, dan ada orang miskin yang hati-nya kaya. Ada pendeta yang batinnya kotor, dan ada penjahat yang batinnya bersih. Apa anehnya itu?”

“Akan tetapi pendeta yang paling kotor karena dia berpura-pura! Orang bertubuh kotor berpakaian kotor, apa anehnya? Akan tetapi pendeta adalah seorang bertubuh kotor berpakaian ber-sih!”

“Tidak semua, Kek. Dan mereka telah berusaha menjadi orang baik.”

“Phuah! Berusaha menjadi orang baik adalah usaha yang buruk!”

“Aku tidak mengerti, Kek.”

“Tidak mengerti ya sudah. Kau tadi bilang api unggunku menarik perhatianmu, hal itu lumrah karena kau membutuhkannya. Akan tetapi benarkah nyanyi-anku menarik perhatianmu?”

“Benar, karena nyanyianmu amat indah!”

“Kau suka mendengarnya?”

“Sama sekali tidak!”

Kakek itu mendengus, matanya yang sipit itu melirik ke arah wajah Kun Liong, lalu dia mendengus lagi. “Mengapa tidak suka?”

“Karena dalam nyanyianmu terdapat tertalu banyak soal kematian!”

Tiba-tiba kakek itu tertawa dan Kun Liong terkejut bukan main. Suara ketawa itu melengking dan membuat dia terge-tar, tanda bahwa suara itu mengandung khi-kang yang amat kuat! Tiba-tiba ka-kek itu menghentikan suara ketawanya dan dia kini menoleh ke arah Kun Liong, menatap wajah itu dengan penuh perhati-an. Agaknya kakek itu pun walau tidak kentara, melihat pemuda gundul itu tidak terjungkal oleh suara ketawanya. Padahal ketawanya itu diser-tai pengerahan khi-kang dan menjadi semacam ilmu untuk menyerang lawan. Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang mampu merobohkan orang yang memiliki sin-kang lumayan sekalipun!

“Orang muda,memang nyanyianku itu dibuat oleh orang yang hampir mati, bercerita tentang kematian, dan dibuat untuk orang mati seperti engkau, karena engkau pun akan mati!”

Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala Kun Liong. Tamparan yang amat hebat, cepat sekali dan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat!

Kun Liong terkejut bukan main karena dia tidak menyangka akan diserang oleh kakek aneh itu. Maka terpaksa dia lalu mengangkat lengan kirinya, menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya.

“Dessss...! Haiiiih!!”

Kedua orang itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang. Kakek itu terkejut bukan main. Tangkisan pemuda gundul itu sedemikian kuatnya sehingga dia sampai terlempar! Hal ini tidaklah aneh karena memang Kun Liong telah mengerahkan sin-kang gabungan yang dia latih dari kedua orang gurunya yang sakti ditambah gemblengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Sebetuinya, ketika mengadu tenaga sin-kang tadi, dapat saja kalau dia hendak menggunakan Thi-khi--i-beng, akan tetapi hal ini tidak dilaku-kannya karena memang dia tidak bermu-suh dengan kakek itu. Akibatnya, karena dia kalah latihan, pertemuan dua tenaga sin-kang itu membuat tubuhnya juga ter-lempar sampai jauh.

Kun Liong mengerti bahwa kakek itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi, maka dia tidak ingin terlibat dalam permusuhan dengan kakek yang agaknya miring otaknya itu, maka dia segera mcloncat dan cepat sekali dia menyelinap ke dalam hutan yang gelap yang tak dapat dijangkau oleh sinar api unggun.

“He, pemuda gundul aneh! Ke mana kau...??” Kakek itu melompat pula dan melakukan pengejaran.

Kun Liong menyelinap di balik sebatang pohon besar. Karena tempat itu gelap sekali kakek itu tidak mampu mencarinya. Setelah berputar-putar tanpa hasil, kakek itu kembali ke tempat tadi dan mengomel panjang pendek. Barulah Kun Liong berani keluar dari tempat sembunyinya dan berindap-indap menjauhi tempat itu sampai akhirnya secara kebetulan sekali dia berada di luar hutan! Dia lalu duduk di bawah pohon, tidak berani tertidur karena kakek gila itu masih berada di hutan, dan menanti datangnya fajar.

SETELAH sinar matahari pagi mene-rangi tempat itu, tampak oleh Kun Liong bekas amukan badai semalam. Baru sekarang tampak olehnya betapa banyak pohon tumbang dan roboh malang melin-tang dilanda badai, terutarna pohon-pohon yang tumbuh di pinggir hutan. Karena di luar hutan tidak ada pohon besar dan tidak tampak bekas amukan badai, maka melihat ke arah hutan itu tampak seolah-olah ada iblis-ibils mengamuk semalam, mengamuk di dalam hutan itu. Atau seperti telah terjadi perkelahian antara raksasa di dalam hutan menggunakan batang pohon-pohon besar untuk saling menghantam.

Kun Liong bangkit berdiri dan memandang ke arah telaga yang sudah tampak dari tempat yang agak tinggi itu. Di sanalah telaga yang dicarinya. Telaga Kwi-ouw, Telaga Setan. Dan tampak pula pulau-pulau kecil kehijauan, di tengah telaga. Sebuah di antara pulau-pulau itu adalah tempat perkumpulan Kwi-eng--pang yang dicarinya. Ya, dia harus menemui Ketua Kwi-eng-pang dan secara jujur menanyakan tentang perbuatan anak buah Kwi-eng-pang yang telah menyerbu kuil Siauw-lim-si. Dia masih menaruh harapan besar bahwa Kwi-eng-pang, se-bagai sebuah perkumpulan besar yang terkenal, akan memandang Siauw-lim--pai dan akan suka mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh anak buah Kwi-eng-pang. Dia akan mengemu-kakan kebenaran dan akan membujuk Kwi-eng-pangcu agar tidak menanam permusuhan dengan sebuah perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai hanya karena urusan dua buah pusaka saja! Biarpun dia mendengar dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong bahwa amat berbahaya menjumpai seorang di antara datuk-datuk kaum se-sat seperti Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio Ketua Kwi-eng-pang itu, akan tetapi dia tidak takut. Dia datang bukan untuk mencari permusuhan! Dia datang untuk menuntut hak Siauw-lim-pai mendapatkan kembali pusaka-pusakanya yang tercuri. Dan dia melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh mendiang gurunya, Tiang Pek Hosiang!

Setelah tiba di tepi telaga, tempat itu sunyi sekali. Diam-diam dia merasa heran, mengapa tempat itu demikian sunyi? Mengapa tidak tampak nelayan-nelayan dan pelancong seperti pada telaga-telaga besar yang lain? Dari tepi telaga kini tampak olehnya pulau besar di tengah telaga dan kelihatan pula dari situ tembok dan genteng bangunan tertutup oleh batu-batu karang dan pohon-pohon. Agak jauh di belakang pulau besar itu tampak pula sebuah pulau lain di tengah telaga, pulau yang agak kecil.

Tiada angin di pagi itu. Air telaga tenang tak bergoyang sedikit pun, seperti permadani beludru biru yang amat lebar dibentang dari darat ke pulau itu. Caha-ya matahari pagi mulai menyapu per-mukaan telaga dan agaknya cahaya ini menggugah air telaga yang sedang tidur. Mulai tampak perubahan pada air telaga. Mulai ada kehidupan pada warna biru yang kini sebagian kejatuhan warna kuning emas kemerahan dari sinar matahari. Agaknya bukan hanya mahluk darat dan mahluk udara saja yang memulai kesibukan hidup pada saat matahari muncul, akan tetapi juga mahluk air penghuni telaga. Ikan-ikan mulai tampak bergurau, menjenguk dari permukaan air, dan yang nakal malah meloncat ke atas permukaan air, seperti tingkah anak-anak yang meloncat ke air untuk mandi! Tiap kali ada moncong ikan menjenguk ke permukaan air, apalagi jika ada yang meloncat ke atas, air bergerak dan terbentuklah lingkaran-lingkaran yang makin melebar, lengkungan bundar yang amat sempuma, tak mungkin dibuat oleh tangan manusia.

Kun Liong terpesona menyaksikan semua ini. Dia lupa diri, bahkan dirinya sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya penglihatan yang serba indah itu dan dia yang melihat sudah tidak ada lagi, tenggelam dalam keasyikan yang amat dalam.

Kalau saja dia tidak membutuhkan penyeberangan, agaknya perahu kecil yang tampak bergerak didayung oleh seseorang itu akan menjadi penambah keindahan pemandangan di pagi hari yang cerah itu. Akan tetapi kebutuhannya mengingatkan dia dan menyeretnya kepada dunia yang penuh dengan kebutuhan si aku. Lenyaplah semua keindahan karena perhatiannya tercurah penuh kepada perahu itu, dan harapannya timbul untuk dapat segera pergi ke pulau, ke pusat Kwi-eng-pang! Dan perahu itu, tepat seperti yang dikehendakinya, didayung ke arah daratan.

Akan tetapi setelah dekat, dia merasa heran dan juga ragu-ragu. Pendayungnya ternyata adalah seorang wanita! Dan bukan wanita nelayan atau wanita dusun yang sederhana. Sama sekali bukan! Jelas tampak dari dandanan rambut dan pakaiannya, dari gayanya, bahwa yang mendayung perahu itu, wanita berusia tiga puluhan tahun yang berwajah cantik dan bertubuh ramping itu, tentulah wanita kota, atau setidaknya, paling sedikit tentu pelayan orang bangsawan! Hanya anehnya, wanita yang segalanya kelihatan halus itu mengapa sampai mendayung perahu sendiri? Betapapun juga, kesempatan ini tidak boleh dia sia-siakan. Tidak ada perahu lain tampak di daratan yang begitu sunyi, maka ia cepat menghampiri wanita dalam perahu yang sudah mendekati pantai.

“Kouwnio, bolehkah saya menumpang perahumu?” Dia bertanya sambil tersenyum ramah, senyum orang yang minta tolong!

Wanita itu mengangkat mukanya memandang sejenak memandang kepada pemuda itu, kemudian pakaiannya. Agak-nya wanita itu teliti juga maka melihat pakaian Kun Liong, dia dapat menduga bahwa pemuda tampan itu bukan hwesio, melainkan seorang yang entah mengapa sengaja menggunduli kepalanya. Akan te-tapi kepala gundul itu tidak buruk. Memang lucu, akan tetapi tidak buruk. Se-baiknya malah, mempunyai daya tarik yang aneh dan kepala itu begitu bersih, begitu... telanjang sehingga wanita itu memandang dengan kedua pipi menjadi merah!

“Siapakah engkau dan mengapa kau minta menumpang di perahuku?” Dengan kerling genit wanita itu membalas bertanya.

Kun Liong yang merasa bahwa dia menghadapi urusan besar dengan Ketua Kwi-eng-pang, merasa tidak baik kalau dia memperkenalkan diri kepada semua orang, maka dia menjawab, “Saya datang dari jauh sekali dan hendak pergi menghadap Kwi-eng-pangcu. Maka, saya harap Kouwnio (Nona) yang baik suka menolong saya. Saya mau ikut dengan perahu Kouwnio pergi ke pulau itu.”

Senyum dan kerling genit itu tiba-tiba lenyap dari wajah yang pukup cantik itu, dan pandang matanya penuh curiga ketika dia bertanya, “Apakah engkau sahabat dari Kwi-eng-pangcu?”

Kun Liong tidak biasa membohong, maka dia menggeleng kepala. “Bukan!”

“Habis, apa maksudmu hendak bertemu dengan pangcu?”

“Aku mempunyai sedikit urusan yang hendak kubicarakan dengan Kwi-eng-pangcu. Urusan penting yang akan kusampaikan kepadanya sendiri. Kouwnio, harap suka membawaku, Kouwnio yang baik. Biarlah aku yang akan mendayung perahunya.”

Melihat pemuda gundul itu menyebutnya “kouwnio yang baik” beberapa kali dan tersenyum-senyum, wanita itu berkata, “Sebetulnya aku mempunyai kepentingan berbelanja, akan tetapi karena engkau seorang tamu, biarlah kau kuantar ke pulau. Aku adalah pelayan dari Ang-pangcu.”

Kun Liong terkejut, akan tetapi juga girang. Kiranya Kwi-eng-pang tidak se-perti yang disohorkan orang. Kata orang, Kwi-eng-pang adalah perkumpulan iblis yang berbahaya, sarang dari golongan hitam. Buktinya sekarang sama sekali tidak demikian. Baru pelayannya saja begini cantik dan halus budi, peramah dan ma-nis!

Kun Liong menjura dan berkata girang, “Banyak terima kasih, Kouwnio yang baik.”

Perahu menepi dan Kun Liong lalu melangkah memasuki perahu. Perahu kecil agak bergoyang-goyang, akan tetapi wanita itu dapat berdiri dengan tegak, tanda bahwa wanita itu biarpun kelihatan lemah dan hanya seorang pelayan, akan tetapi tentu “berisi”!

“Biarlah saya yang mendayungnya, Kouwnio.”

Wanita itu menyerahkan dayung kepada Kun Liong dan duduk berhadapan dengan pemuda itu yang mulai mendayung perahu. Kun Liong bersikap sabar, biarpun hatinya tegang dan ingin dia cepat-cepat tiba di pulau. Dia mendayung biasa saja, tidak mengerahkan sin-kangnya, padahal kalau dia menggunakan tenaga saktinya, tentu perahu akan dapat meluncur jauh lebih cepat.

Wanita itu menatap wajah Kun Liong dan terang-terangan kelihatan rasa kagumnya terhadap ketampanan wajah Kun Liong. Beberapa kali Kun Liong memandangnya dan pandang mata mereka bertemu. Kun Liong merasa malu sendiri sampai mukanya menjadi merah!

“Itu teman-temanku sudah menanti dan melihat kita.” Wanita itu menuding.

Kun Liong melihat beberapa orang wanita berdiri di pantai pulau.

“Mereka tentu terheran-heran mengapa aku tidak pulang membawa barang belanjaan, tetapi membawa seorang tamu.” Wanita itu terkekeh genit. “Kita sudah dekat, biar aku yang mendayung karena daerah dekat pulau terdapat banyak rahasia yang dapat membuat perahu terbalik.”

Kun Liong terkejut mendengar ini dan cepat menyerahkan dayung. Ketika menerima dayung, tiba-tiba jari tangan wanita itu bergerak menotok jalan darah di bawah pangkal lengan Kun Liong. Pemuda ini kaget akan tetapi pura-pura tidak tahu.

Wanita itu hampir menjerit ketika ujung jari tangannya bertemu dengan ketiak yang berbulu dan totokannya tepat sekali, tetapi pemuda gundul itu tidak apa-apa! Dayung sudah diambil dan tiba-tiba dia membalikkan dayung, gagangnya dipergunakan untuk menghantam kepala yang gundul itu. Kun Liong mengangkat lengan ke atas, menangkis.

“Krakkk!” Ujung dayung itu patah!

“Ihhhh...!!” Wanita itu berseru kaget lalu tiba-tiba dia meloncat ke air membawa dayungnya.

“Eihhh. Toanio, kau mengapa...?” Kun Liong berseru kaget. Akan tetapi tiba-tiba perahu itu terbalik dan tentu saja tubuhnya juga ikut terlempar ke dalam air. Dia masih dapat melihat betapa tiga orang wanita di pantai itu mendayung sebuah perahu yang meluncur cepat sekali.

“Byuurrr...!” Kun Liong gelagapan, menahan napas dan cepat menggerakkan kaki tangan untuk berenang. Dia bukan seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang sekedar mencegah tubuhnya tenggelam saja, dia bisa. Akan tetapi tiba-tiba kakinya dipegang orang, dan tubuhnya diseret ke bawah.

“Ahhhauuupppp!” Dia lupa dan hendak berteriak, tentu saja air telaga membanjiri mulutnya dan terus mengalir ke perutnya! Dia menggerakkan kakinya dan berhasil membebaskan kakinya yang terpegang dari bawah. Tubuhnya meluncur ke atas setelah dia menjejak dasar telaga. Baru saja kepalanya yang gundul tersembul di atas permukaan air dan dia mengambil napas, tiba-tiba kedua kakinya terlibat sesuatu dan dia ditarik lagi ke bawah!

Biarpun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya tidak dapat terlepas dari libatan sehelai tali yang kuat. Kun Liong menjadi panik. Dia menahan napas, akan tetapi lama-lama dia terpaksa harus minum air juga den ketika tubuhnya terasa lemas, dadanya seperti hendak meledak dan kepalanya pening, dia merasa betapa ada banyak tangan memeganginya, dan betapa kedua tangannya juga diikat kuat-kuat, kemudian tubuhnya diseret.

Dengan perut kembung penuh air dan setengah pingsan, napas terengah-engah hampir putus, Kun Liong masih dapat melihat dirinya diseret keluar dari telaga dan ke daratan pulau. Yang mesiyeretnya adalah seorang wanita yang cantik juga, dan di belakangnya masih ada tiga orang wanita lagi, yang seorang adalah wanita yang membawanya tadi, kini berdiri di atas perahu memegang dayung yang sudah patah gagangnya, sedang yang dua orang wanita lagi tadinya berenang den kini sudah mendarat sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau.

“Hi-hi-hik, sekali ini pancinganmu berhasil, Adik Biauw! Kau mendapat seekor ikan yang gemuk!” Seorang di antara mereka berkata kepada wanita yang menyeret Kun Liong.

“Bukan dapat mengail, akan tetapi Enci Kun yang mendapat dari pasar!”

“Wah, ikan apa ini kepalanya gundul dan bersih sekali tidak ada rambutnya selembar pun!”

“Malah enak, tinggal mengupas kulitnya saja, tentu gurih. Hi-hi-hik!”

“Sayang Pangcu benci laki-laki, tentu dia dibunuh.”

Wanita yang menyeret berkata, “Aku akan mohon kepada Pangcu, sebelum dibunuh biar dia tidur bersamaku satu malam!”

“Enaknya! Apa kau lupa kepadaku, Adik Biauw? Aku yang menemukannya, tahu?”

“Sudah jangan ribut, itu Enci Siu datang, biar kita minta Pangcu agar dia diberikan kepada kita berlima sampai dia mati kehabisan.”

“Kehabisan apa?”

“Ih, tanya-tanya. Seperti tidak tahu saja. Hi-hi-hik!”

Mereka berlima tertawa-tawa. Kun Liong yang setengah pingsan masih dapat mendengar percakapan mereka tadi dan dia benar-benar merasa kecelik dan tertipu oleh sikap wanita tadi! Kiranya mereka ini tiada ubahnya seperti serombongan siluman seperti yang terdapat dalam dongeng. Cantik-cantik, genit-genit, cabul dan kejam!

Ketika tubuhnya diseret tiba di bawah sebatang pohon, wanita cantik yang bernama Biauw tadi tiba-tiba menggerakkan tangannya dan tubuh Kun Liong terlempar naik melalui sebatang dahan pohon dan tentu saja tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah! Wanita pelayan pertama yang namanya disebut Kun tadi meloncat, menggerakkan tangan memukul perut Kun Liong. Tak dapat ditahan lagi Kun Liong muntahkan air yang membanjir keluar dari dalam perutnya melalui mulut dan hidung. Kemudian dia ditotok pingsan dan sama sekali tidak dapat melawan karena tubuhnya terasa lemas semua dan oleh lima orang pelayan itu dia dilemparkan ke dalam kamar tahanan!

Lima orang wanita itu memang pelayan-pelayan dari Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sendiri! Pada waktu itu, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tidak berada di pulau dan lima orang pelayan ini memiliki kekuasaan yang besar juga sehingga para anggauta dan para murid Kwi-eng pang tidak ada yang berani turut campur ketika melihat mereka itu menangkap Kun Liong.

Murid-murid kepala dari Si Bayangan Hantu Ang Hwi Nio ada belasan orang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tentu saja kedudukan mereka lebih tinggi daripada lima orang pelayan itu, akan tetapi karena lima orang itu adalah kepercayaan subo mereka, apalagi mereka berlima itu adalah orang-orang dalam, mereka pun hanya bertanya. Ketika mendengar bahwa Si Gundul itu katanya hendak bertemu dan sikapnya mencurigakan, mereka membenarkan tindakan lima orang pelayan itu dan memutuskan bahwa pemuda itu ditahan sampai ketua mereka pulang.

Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa peristiwa itu menarik perhatian seorang gadis yang mereka segani, yaitu Yo Bi Kiok, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tinggal di pulau kecil! Yo Bi Kiok kini telah menjadi seorang dara yang cantik sekali akan tetapi sikapnya pendiam dan dingin, dan ilmu kepandaiannya tinggi. Memang dara ini memiliki bakat yang amat baik sehingga Bu Leng Ci yang merasa sayang kepadanya telah menggemblengnya sampai tingkat kepandaian gadis itu tidak berselisih banyak dari tingkat gurunya, dan tentu saja jauh lebih lihai daripada murid-murid kepala Si Bayangan Hantu. Bagi penghuni Pulau Telaga Setan itu, dara ini lebih dikenal dengan julukannya, yaitu Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) yang diambil dari mainan burung hong dari kemala yang dahulu dia terima sebagai hadiah dari Si Bayangan Hantu dan yang selalu dipakai di rambutnya.

Ketika Yo Bi Kiok atau Giok-hong-cu mendengar bahwa para pelayan Si Bayangan Hantu berhasil menawan seorang laki-laki gundul yang bukan hwesio, yang didengarnya dari para anak murid Kwi-eng-pang perempuan, dia merasa tertarik sekali. Maka dia lalu menemui lima pelayan itu dan menyatakan keinginannya untuk melihat Si Tawanan dari lubang rahasia.

“Hi-hi-hik, mau apa kau melihatnya, Nona? Dia tampan sekali, akan tetapi sayang kepalanya telanjang!”

“Telanjang...?” Giok-hong-cu Yo Bi Kiok berseru heran.

“Hi-hik, maksudku tidak ada selembar rambut pun menutupi kepalanya. Bersih dan bagus sekali kepalanya!”

Bi Kiok mengerutkan alisnya. Para pelayan ini adalah wanita-wanita yang genit dan tak tahu malu. Akan tetapi karena dia ingin membuktikan apakah tawanan ini benar orang yang disangkanya, dia mendesak dan akhirnya dia diperbolehkan mengintai dari lubang rahasia.

“Kun Liong...!” Hati Bi Kiok berseru kaget ketika dia mengintai dan mengenal pemuda gundul yang rebah telentang kelihatannya lemas dan lemah itu.

Bi Kiok maklum bahwa di pulau itu, biarpun bibi gurunya, Si Bayangan Hantu tidak ada, amatlah sukar dan berbahaya untuk menolong Kun Liong seperti yang pernah dia lakukan dahulu. Kalau ketahuan tentu terjadi ribut dan kalau sampai gurunya mendengar tentu dia akan dimarahi dan tentu Kun Liong takkan tertolong lagi. Sebaiknya menggunakan akal. Setelah memutar otak, Bi Kiok bergegas mendayung perahunya kembali ke pulaunya sendiri di mana dia tinggal bersama Bu Leng Ci dan hanya ditemani oleh beberapa orang pelayan waniia.

“Subo, ada kabar penting sekali dan kalau Subo tidak cepat-cepat turun ta-ngan selagi Ang-su-i (Bibi Guru Ang) tidak ada, tentu kita didahului orang.”

“Hemm, ceritakanlah.”

“Akah tetapi, sebelumnya teecu minta supaya Subo suka mengampunkan kesalahan teecu yang pernah teecu lakukan kepada Subo.”

“Bi Kiok, engkau tidak pernah berbuat salah kepadaku, muridku.”

“Memang sesudah itu teecu menyesal sekali, apalagi mengingat akan segala kebaikan Subo. Hal itu lalu menjadi gan-jalan hati teecu dan sekarang tiba saat-nya teecu menebus kesalahan itu. Se-sungguhnya, dahulu ketika Subo membu-nuh orang-orang Pek-lian-kauw dan me-ngalahkan Kiang-pangcu murid Ang-su-i, Subo bertemu dengan seorang anak laki-laki yang berkepala gundul. Ingatkah Subo?”

Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Sudah terlalu banyak orang dibunuhnya, dan peristiwa itu baginya biasa saja, maka dia tidak dapat mengingat lagi. Dia menggeleng kepalanya. “Aku sudah tidak ingat lagi, muridku.”

“Biarpun begitu, teecu mengakui kesalahan teecu yang amat besar kepada Subo. Ketahuilah bahwa bocah gundul dahulu itu adalah Yap Kun Liong yang dahulu menemukan bokor emas.”

Bu Leng Ci meloncat bangun. “Mengapa baru kauceritakan sekarang? Di mana dia?” Siluman betina itu membentak.

“Teecu memang merasa bersalah, karena dahulu teecu diam-diam menginginkan bokor itu sendiri. Setelah melihat betapa Subo amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu, maka teecu tahu bahwa tiada bedanya kalau bokor itu terjatuh ke tangan Subo atau teecu sendiri. Maka teecu merasa menyesal bukan main. Dan sekarang... sekarang Yap Kun Liong itu telah berada di Pulau Telaga Setan, menjadi tawanan para pelayan Bibi Guru Ang!”

“Apa?”

“Subo, teecu merasa bersyukur sekali bahwa Subo tidak marah kepada teecu. Sekarang sebaiknya kalau Subo pergi ke sana dan minta tawanan itu dengan alasan bahwa tawanan itu amat penting dan khawatir kalau-kalau dirampas orang karena Ang-su-i tidak berada di pulau. Kalau sudah berada di tangan kita, akan kubujuk agar dia suka memberi tahu di mana adanya bokor emas itu.”

“Bagus! Dan kalau dia tidak bisa dibujuk, dapat saja kupaksa dia! Mari kita pergi sekarang juga, Bi Kiok!” Kegirangan hati Bu Leng Ci dengan timbulnya harapan akan mendapatkan bokor emas membuat hatinya ringan dan dia tidak marah kepada muridnya yang pernah menyembunyikan adanya pemuda penemu bokor itu.

Ketika Bu Leng Ci dan muridnya tiba di Pulau Telaga Setan itu, mereka terkejut melihat keadaan yang ribut di situ, bahkan ada pertempuran terjadi di depan rumah Kwi-eng-pangcu. Kelihatan tiga orang laki-laki tua sedang dikeroyok oleh anak buah Kwi-eng-pang dan mereka itu lihai sekali, terutama orang tua yang tubuhnya tinggi kurus. Anak buah Kwi--eng-pang laki perempuan seperti puluhan ekor semut mengeroyok tiga ekor jangkerik saja, kadang-kadang tampak tubuh beberapa orang pengeroyok terlempar atau terbanting roboh.

“Mundur semua!” Bu Leng Ci berte-riak. Karena kakak angkatnya tidak ada, maka boleh dibilang dialah yang mewakilinya. Melihat ada orang-orang luar datang mengacau Kwi-eng-pang, tentu saja dia marah. Para anak buah Kwi-eng-pang segera mundur ketika melihat munculnya Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu dan timbul kembali harapan mereka karena tadi mereka be-nar-benar dibikin repot oleh tiga orang tamu yang lihai itu.

Sekali menggerakkan kakinya, Bu Leng Ci sudah berkelebat dan berdiri di depan tiga orang itu. Si Kakek tinggi kurus dan yang mukanya seperti orang mengantuk saking sipitnya kedua matanya, sejenak memandang wanita itu penuh selidik dan melihat pedang panjang melengkung yang tergantung di pinggang Bu Leng Ci, dia menjura sambil bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?”

“Kalau sudah tahu mengapa kalian berani main gila dan mengacau di sini? Apakah kalian sudah bosan hidup?” Bu Leng Ci tidak segera turun tangan karena dia tadi telah melihat gerakan mereka, terutama Si Tinggi Kurus ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.

“Maaf, aku tidak mempunyai urusan denganmu, Siang-tok Mo-li. Aku bernama Tio Hok Gwan dan ini kedua orang te-manku Song Kin dan Kwi Siang Han, kami hanya melaksanaken tugas mencari sesuatu, maka kami datang untuk menemui Kwi-eng-pangcu dan menanyakan tentang benda yang kami cari itu. Sayang bahwa Kwi-eng-pangcu tidak berada di sini dan anak buahnya agaknya ingin mencoba-coba kami!”

“Kalian utusan siapa?”

“Utusan Panglima Besar The Hoo...”

“Hemm, kalau begitu engkaukah yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)?”

“Benar.”

“Dan yang kaucari itu, bukankah bokor emas milik The-ciangkun yang hilang?”

Tio Hok Gwan kelihatan kaget dan curiga. “Kau tahu...?”

“Siapa yang tidak mendengar tentang itu? Engkau percuma saja mencari di sini, dan kedatanganmu ini menunjukkan bahwa engkau tidak memandang kepada kami, mengira kami mencuri bokor itu. Hemm, orang she Tio, apa kaukira kami takut kepadamu? Majulah, aku ingin melihat sampai di mana kebenaran julukanmu itu!”

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin bermusuhan dengan para datuk sesat dan dia tahu bahwa wanita yang masih cantik ini adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar dunia kang-ouw, terutama sekali sebagai seorang pengawal Panglima Besar The Hoo yang tentu saja mempertahankan nama dan kehormatannya, dia pun tidak mungkin menolak tantangan orang karena hal itu akan merendahkan namanya sendiri.

“Dukk!” Dia menangkis dan keduanya terkejut. Bu Leng Ci merasa betapa lengan yang menangkisnya itu kokoh kuat seperti baja sedangkan Tio Hok Gwan merasa betapa lengan wanita itu berubah lunak ketika ditangkis, tanda bahwa wanita itu telah memiliki tenaga sakti yang kuat, dan tadi menghadapi kckuatannya dengan tenaga lemas sehingga lengan itu tidak terasa nyeri atau terluka.

“Siang-tok Mo-li, aku hanya menjadi utusan mencari keterangan tentang bokor. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Akan tetapi kalau kau menantang, silakan, mau satu lawan satu atau mau mengeroyok!”

Tio Hok Gwan adalah seorang tokoh besar yang sudah mempunyai banyak sekali pengalaman, maka biarpun dia tidak pandai bicara dan wataknya pendiam, sekali mengeluarkan suara tentu ada hasilnya! Dia tadi sengaja menantang untuk dikeroyok dan tentu saja hal ini menyinggung perasaan Bu Leng Ci sebagai seorang datuk! Maka dengan muka merah wanita itu membentak, “Manusia sombong! Perlu apa mengeroyokmu? Kedua tanganku sudah cukup untuk membunuhmu!”

Bentakan ini ditutup dengan serangannya yang dahsyat, kedua lengannya meluncur seperti dua ekor ular, yang kiri menusuk mata lawan, yang kanan mencengkeram ke arah pusar, sedangkan kepalanya digerakkan dan rambutnya yang panjang itu menyambar pula ke arah leher!

“Hemm... perempuan ganas!” Tio Hok Gwan berseru, memangkis kedua tangan lawan dan sambil mengelak ke samping dia cepat menggunakan tangan yang baru saja menangkis untuk menyambar rambut hitam itu. Akan tetapi Bu Leng Ci sudah cepat menarik kembali rambutnya.

Terjadilah pertandingan yang amat hebat antara kedua orang tokoh itu. Semua pukulan dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang, gerakannya cepat bukan main dan pukulan itu mengeluarkan angin mendesir, akan tetapi selalu dapat dielakkan atau ditangkis dengan kecepatan kilat pula. Mereka saling serang dan sukar dikatakan siapa yang lebih unggul karena Bu Leng Ci juga membalas setiap serangan lawan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Diam-diam Yo Bi Kiok menonton dengan hati kagum terhadap ilmu kepandaian Si Pengantuk itu. Gerakannya demikian mantap dan dari setiap pertemuan lengan, dia dapat melihat dengan hati kaget bahwa subonya masih kalah setingkat dalam hal kekuatan sin-kang melawan kakek itu! Para anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani bergerak dan mereka memandang dengan mata kabur dan kepala pening karena gerakan kedua orang itu bagi mereka terlalu cepat untuk dapat diikuti oleh pandang mata. Juga kedua orang pembantu Tio Hok Gwan tidak berani bergerak, hanya menonton dengan hati tegang.

Pertandingan itu benar-benar amat menegangkan dan kedua pihak maklum bahwa tingkat mereka tidak banyak selisihnya, sungguhpun gaya limu silat mereka jauh sekali bedanya, seperti bumi dan langit. Hanya bedanya, kalau Tio Hok Gwan sebagai seorang gagah menganggap pertandingan itu semata-mata untuk mengukur kepandaian, sebaliknya Bu Leng Ci setiap kali menyerang didasari niat membunuh sehingga hanya jurus-jurus maut saja yang dia keluarkan.

“Plak-plak-desss... aihhh...!” Pertemuan dua pasang tangan yang bertubi-tubi itu akhirnya membuktikan bahwa tenaga sin-kang Tio Hok Gwan memang lebih kuat. Bu Leng Ci menjerit ketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari mulut wanita ini keluar darah yang mengalir dari ujung bibir.

“Singgg...!” Tampak sinar berkilat ketika pedang samurai telah dicabutnya dan kini dengan kedua tangan memegang gagang pedang panjang itu, Bu Leng Ci menerjang sambil memekik nyaring mengerikan, “Haaiiittt...!”

Terpaksa Tio Hok Gwan meloncat amat cepatnya menggunakan gin-kang untuk menyelamatkan diri dari pedang samurai yang menyambar-nyambar ganas itu. Ketika melihat betapa lawannya yang galak dan marah sekali itu mengejarnya dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, Tio Hok Gwan cepat melolos sabuknya. Kelihatannya seperti sabuk, akan tetapi sebetuinya bukan sembarang sabuk, karena itu adalah sebuah senjata joan-pian (ruyung lemas atau semacam pecut) yang terbuat dari baja biru yang amat kuat! Pengawal Panglima Besar The Hoo ini mengikuti panglima sakti itu berlayar mengelilingi dunia menjelajah ke negeri-negeri asing di selatan dan barat dan dia pandai memainkan segala macam senjata. Joan-pian itu didapatkannya ketika dia mengikuti rombongan pahglima besar menjelajah ke negeri Sailan dan menjadi sebuah di antara senjata yang disenanginya karena selain dapat dipergunakan dengan baiknya, juga dapat dibawa dengan mudah dan tidak kentara karena dililitkan di pinggang seperti sebuah sabuk!

“Trang-trang-cring...!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika berkali-kali samurai itu tertangkis oleh joan-pian di tangan Tio Hok Gwan. Biarpun pendekar pengantuk itu selalu dapat menangkis, namun dia membarengi dengan elakan karena joan-piannya masih kurang kuat menangkis samurai yang gerakannya amat kuat itu. Dan Bu Leng Ci memang seorang ahli bermain samurai. Kepandaian dari bekas suaminya yang tua, seorang pendekar samurai kenamaan di Jepang telah diwarisinya dan samurai di tangannya berkelebat ke sana-sini amat mengerikan, seperti halilintar menyambar-nyambar di angkasa.

Namun Tio Hok Gwan yang sudah pernah beberapa kali bertanding melawan jagoan samurai Jepang, sudah mengenal sifat ilmu pedang dari Jepang itu, maka dia dapat mengimbanginya dengan permainan joan-piannya yang lihai. Bahkan kalau senjatanya itu kalah kuat dan kalah berat, dia dapat menutup kerugiannya ini dengan kemenangan dalam kecepatan.

“Tringgg... tringg...!”

Cepat sekali pertemuan senjata yang disusul berkelebatnya samurai dan joan-pian itu sehingga sukar diikuti pandang mata. Tubuh Tio Hok Gwan terhuyung ke belakang sedangkan tubuh Bu Leng Ci terlempar dan terbanting miring, akan tetapi wanita ini dapat memcelat bangun kembali, mukanya agak pucat dan darah yang mengalir dari mulutnya lebih banyak lagi. Adapun Tio Hak Gwah yang terluka pundaknya oleh ujung samurai, cepat merobek ujung baju dan membalutnya dibantu oleh Song Kin. Lukanya hanya luka kulit yang ringan saja, akan tetapi Bu Leng Ci mengalami luka yang lebih berat, karena selain tadi sebelum menggunakan senjata dia telah terkena hantaman angin pukulan lawan, baru saja pinggangnya kena disambar joan-pian sehingga di dalam dadanya terasa sakit, tanda bahwa sin-kang yang ia pergunakan untuk melindungi tubuh masih kalah kuat sehingga membalik dan melukai dirinya sendiri. Maklumlah Bu Leng Ci bahwa kalau dilanjutkan, dia tidak akan menang.

Adapun Tio Hok Gwan yang memang tidak ingin menanam permusuhan, sudah menjura dan berkata, “Kepandaian Siang-tok Mo-li memang hebat dan namamu bukan kosong belaka. Aku orang she Tio merasa kagum. Harap kau suka berbaik hati untuk memberi tahu tentang bokor agar aku mempunyai bahan untuk dilaporkan kepada The-tai-ciangkun.”

“Ban-kin-kwi, apakah kau masih tidak percaya omonganku? Aku sudah mengatakan bahwa kami tidak tahu-menahu tentang bokor emas yang hilang, apalagi melihatnya! Kalau kau tidak percaya, mari kita lanjutkan pertempuran sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!”

Tio Hok Gwan menjura. “Kalau begitu, terima kasih dan selamat berpisah.” Ia inemberi isyarat kepada dua orang pembantunya, lalu dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu, menuiu ke perahu kecil mereka di pantai pulau. Kemudian mereka mendayung perahu meninggalkan pulau itu menuju ke darat.

Bu Leng Ci sambil menahan rasa nyeri di dadanya lalu memanggil para murid kepala dan lima orang pelayan Kwi-eng Niocu dan berkata, “Pemuda yang kalian tawan itu adalah seorang yang amat penting sekali bagi Pangcu dan aku. Karena itu, untuk menjaga agar dia tidak sampai lolos dan ditolong orang, selagi Enci Ang Hwi Nio tidak berada di rumah, aku yang akan menjaganya dan membawanya ke pulau. Hayo bawa aku kepadanya!”

Tentu saja para murid dan anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani membantah. Mereka percaya penuh kepada wanita iblis ini, apalagi baru saja mereka melihat sendiri betapa wanita ini mati-matian membela Kwi-eng-pang ketika datang lawan yang amat lihai tadi. Segera guru dan murid ini dibawa ke kamar tahanan di mana Kun Liong masih rebah telentang dalam keadaan lemah dan setengah pingsan.

Bu Leng Ci cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, kemudian mengempit tubuh yang selain tertotok juga sudah dibelenggu kaki tangannya itu dan bersama muridnya dia membawa Kun Liong ke atas perahu dan mendayung perahu kembali ke pulaunya sendiri.

Ketika Kun Liong siuman, ia mengeluh dan membuka matanya. Dia masih ingat betapa tadi dia ditawan oleh lima orang wanita pelayan Kwi-eng-pangcu yang cantik. Kemudian dia setengah ingat dengan samar-samar betapa dia dibawa orang naik perahu. Kini tahu-tahu dia telah rebah di atas sebuah dipan kayu dan di dalam kamar itu duduk dua orang wanita memandangnya penuh perhatian. Kun Liong mengangkat muka memandang wajah dua orang itu dan diam-diam dia mengeluh ketika mengenal wajah wanita pendek yang tersenyum mengejek kepadanya itu. Wajah Siang-tok Mo-li! Dan di sebelah iblis betina itu duduk seorang dara cantik yang bersikap dingin.

“Mengapa aku dibawa ke sini...?” Dia berkata dan menahan ingin memanggil nama Yo Bi Kiok. Tentu saja dia mengenal Bi Kiok dan hampir dia memanggilnya kalau saja dia tidak ingat bahwa dara itu bersikap tidak mengenalnya di depan gurunya yang kejam.

Akan tetapi betapa kaget dan heran-nya ketika dia mendengar suara Bi Kiok berkata kepadanya, “Yap Kun Liong, Subo telah mengenalmu sebagai anak yang menemukan bokor emas. Lebih baik engkau segera mengatakan di mana kau- simpan bokor itu agar Subo dapat mem-pertimbangkan keampunan bagi nyawa-mu!”

Berkerut alis Kun Liong. Hemmm, dara ini telah berubah banyak sekali, pikirnya. Wajahnya memang makin cantik menarik, tubuhnya makin padat dan ma-tang setelah dewasa, akan tetapi watak-nya sudah berubah. Dia tidak mengharap-kan dara ini membantunya atau meno-longnya. Satu kali Bi Kiok menolongnya sudah cukup baginya dan tidak mengharapkan terus-menerus ditolong. Akan tetapi, bukan karena dara itu tidak me-nolongnya yang membuat hatinya kecewa, melainkan melihat perubahan itu. Agak-nya Bi Kiok bukan hanya mewarisi ke-pandaian gurunya, akan tetapi juga wa-taknya. Siapa lagi kalau bukan dara ini yang membuka rahasianya tentang bokor emas itu kepade Bu Leng Ci? Hanya Bi Kiok seoranglah yang tahu bahwa dia yang menemukan bokor emas dan yang mungkin melarikan bokor itu ketika Phoa Sek It, bekas Pengawal Panglima The Hoo, dibunuh oleh Bu Leng Ci.

Kun Liong tersenyum lebar. “Bi Kiok, engkau makin cantik dan manis saja.”

“Ihhh...!!” Bu Leng Ci membentak dan memandang penuh kebencian.

Wajah Yo Bi Kiok menjadi merah sekali dan sekilas tampak oleh Kun Liong sepasang hibir itu tergetar. “Kun Liong, harap kau jangan main-main. Harap kau mengingat akan persahabatan kita dan mengingat pula bahwa kau telah menjadi tawanan Subo. Katakan saja di mana adanya bokor itu atau bawa kami ke sana...”

“Katakan saja, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!” Bu Leng Ci cepat memotong usul Bi Kiok agar Kun Liong mengantar mereka ke tempat di mana bokor disembunyikan.

Sedikit sinar mata Kun Liong bertemu dengan pandang mata Bi Kiok, dan ini cukup bagi Kun Liong. Hampir dia bersorak girang! Kiranya Bi Kiok sama sekali tidak berubah. Masih Bi Kiok yang dulu, biarpun kini lebih cantik manis, lebih dewasa dan kelihatan dingin pendiam, namun hatinya masih seperti dulu. Mengertilah dia sekarang mengapa dara itu membujuknya. Kiranya dara itu melihat bahwa dia berada di dalam cengkeraman Bu Leng Ci, dan dia tentu akan dibunuh, maka dara itu mengemukakan persoalan bokor untuk mencegah Bu Leng Ci membunuhnya, dan untuk memberi kesempatan kepadanya untuk dapat membebaskan diri, maka dara itu mengusulkan agar dia membawa mereka ke tempat bokor disembunyikan. Jelas semuanya! Dalam keadaan tertotok dan terbelenggu seperti itu, memang tak mungkin dia melepaskan diri. Akan tetapi kalau sudah dikeluarkan dari pulau, agaknya akan muncul kesempatan! Ingin dia, kalau bisa, bangkit merangkul dan mencium gadis itu!

Kun Liong tertawa makin keras dan dengan suara sengaja dibuat bernada mengejek dia berkata, “Bi Kiok, biarpun kau cantik manis dan bujukanmu halus merayu, biarpun gurumu bengis dan kejam, jangan kira bahwa bujukanmu dan ancaman Siang-tok Mo-li akan dapat membujukku atau menakutkan aku!”

“Kun Liong...!” Bi Kiok berseru, benar-benar kaget.

“Bedebah, apa kauminta kusiksa dulu?” Bu Leng Ci sudah bangkit menghampiri.

“Ha-ha-ha-ha! Kiranya bokor berada di tangan bocah gundul ini, pantas saja kau bergegas memindahkannya dari tangan para pelayan Kwi-eng Niocu!” Tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu, seperti hantu saja layaknya, di situ telah muncul seorang kakek tinggi kurus dan kakek itu lalu terbatuk-batuk. Melihat kakek ini, Kun Liong terkejut sekali. Itulah kakek yang dia jumpai dalam badai di hutan semalam! Kakek di dekat api unggun yang bernyanyi tentang kematian dan yang kemudian hendak membunuhnya. Kakek yang aneh dan amat lihai, yang dianggapnya orang gila! Kiranya kakek itu terus mengikutinya dan agaknya tahu akan semua pengalamannya, betapa dia ditawan pelayan-pelayan Kwi-eng Niocu dan betapa dibawa ke pulau ini oleh Bu Leng Ci, semua telah diketahuinya karena agaknya kakek itu memang terus mengikutinya!

Sementara itu, ketika Bu Leng Ci menoleh dan melihat kakek di ambang pintu kamar itu, seketika wajahnya berubah pucat. “Toat Beng Hoatsu...!” teriaknya dan tangannya meraba gagang samurai.

Mendengar disebutnya nama ini, Kun Liong makin terkejut. Dia sudah mendengar nama ini, nama datuk nomor satu dari sekalian datuk kaum sesat! Kiranya kakek yang dianggapnya orang gila itu adalah datuk nomor satu! Maka dia memandang penuh kekhawatiran karena dia maklum bahwa sebagai datuk nomor satu, tentu kakek itu memiliki keanehan dan kekejaman nomor satu pula!

“Bagaimana kau bisa masuk ke sini...?” Bu Leng Ci bertanya dan matanya mengerling ke luar pintu. Ke mana perginya para pelayannya?

“Ha-ha-ha, kau mencari ini?” Tangan kakek itu merogoh jubahnya dan melemparkan benda hitam ke atas lantai. Benda itu berserakan dan Kun Liong menelan ludahnya saking ngeri dan tegang ketika melihat bahwa benda-benda itu adalah rambut kepala manusia, agaknya rambut wanita dan rambut itu masih melekat pada kulit kepala yang berdarah. Agaknya rambut-rambut itu dijebol berikut kulit kepalanya dari kepala tujuh orang wanita!

“Ihhh...!” Bi Kiok sendiri yang sudah memiliki ketabahan luar biasa menjadi pucat dan ngeri membayangkan betapa tujuh orang pelayan wanita itu telah mengalami kematian yang amat mengerikan, dijebol rambutnya berikut kulit kepala sampai terkupas dari kepalanya.

“Singggg...!” Bu Leng Ci mencabut samurainya. “Toat-beng Hoat-su, mengapa kau melakukan ini? Apakah antara kita sekarang ada pertentangan dan menjadi musuh?”

“Ha-ha-ha, sama sekali tidak, Siang--tok Mo-li. Terserah kepadamu... heh- heh, terserah kepadamu mau berkawan atau berlawan dengan aku. Aku hanya menghendaki agar bocah gundul ini ber-sama bokornya diserahkan kepadaku, barulah kau pantas kusebut kawan.”

“Keparat! Singggg...!” Samurai itu menyambar, akan tetapi dengan amat mudahnya Toat-beng Hoat-su mengelak.

“Hemm, sabar dan tenanglah, Tio Hok Gwan tadi terlalu berat dan lihai bagimu, engkau sudah terluka parah, perlu apa melawanku?”

“Aku masih cukup kuat untuk melawan seribu orang macam engkau!” Bu Leng Ci menyerang lagi dengan samurainya, akan tetapi karena dia memang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya, ketika dia menggerakkan samurai dengan pengerahan sin-kang dan serangannya itu dielakkan, hampir saja dia terhuyung roboh.

“Toat-beng Hoat-su, akulah lawanmu!”

Tiba-tiba Bi Kiok menerjang dengan pedangnya. “Subo, mengasolah!”

Serangan pedang di tangan Bi Kiok ini hebat sekali berdesing menyambar ke arah leher kakek itu. Toat-beng Hoat-su terkejut dan maklum bahwa gadis itu ternyata lebih lihai daripada Bu Leng Ci yang sudah terluka parah.

“Hemm, siapa kau?”

“Orang menyebutku Giok-hong-cu!” jawab Bi Kiok sambil menerjang lagi.

“Ha-ha-ha, kiranya murid Bu Leng Ci? Gurumu saja tidak mampu menandingiku, apalagi engkau? Ha-ha, bocah kurang ajar macam engkau harus dihajar!” Ketika pedang Bi Kiok menusuk dada, gadis itu girang sekali melihat betapa gerakan mengelak dari kakek itu kurang cepat sehingga pedangnya masih menge-nai pinggir dada. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba jubah itu terle-pas dari tubuh Toat-beng Hoat-su dan sekali kakek itu menggerakkan jubah, pe-dangnya yang tadi menusuk jubah itu dipaksa terlepas dari tangannya! Inilah kelihaian Toat-beng Hoat-su yang me-mang tidak pernah menggunakan senjata kecuali jubahnya. Jubahnya merupakan senjata yang amat ampuh, bahkan selagi jubahnya dipakai, dia dapat menipu Bi Kiok yang kalah pengalaman itu. Pedang gadis itu tadi memang sengaja “diterimanya” dengan jubahnya yang tertusuk dan sekaligus jubahnya itu dipergunakan untuk merampas pedang!

“Aihhh...!” Bi Kiok berseru kaget.

Pada saat itu, Bu Leng Ci sudah menyerang lagi dengan samurainya. Akan tetapi, jubah itu menyambar, menyambut samurai dan dari balik jubah, tangan Toat-beng Hoat-su memukul.

“Dukkk!” Bu Leng Ci yang sudah terluka dan gerakannya menjadi lambat itu terpukul lehernya dan dia roboh tak dapat bangkit kembali, hanya memandang kepada kakek itu dengan mata mendelik penuh kebencian.



Melihat gurunya roboh, Bi Kiok marah dan berlaku nekat, menyerang dengan tangan kosong. Akan tetapi serangannya disambut oleh sambaran jubah yang mendatangkan angin keras dan gadis itu terlempar dan terbanting ke kanan.

“Ha-ha-ha, kau bocah nakal, mukamu terlalu cantik untuk menjadi murid seorang datuk, harus dibikin buruk!” Dengan tangan kirinya Toat-beng Hoat-su memegang pedang rampasan tadi dan melangkah maju untuk mcrusak muka Bi Mok. Gadis itu sudah tidak berdaya, hanya mengangkat kedua tangan melindungi mukanya.

“Tahan, Toat-beng Hoat-su!” Kun Liong berteriak dari tempat dia berba-ring. “Engkau menghendaki bokor emas pusaka Panglima The Hoo, bukan?”

Pedang itu berhenti bergerak dan Si Kakek menoleh ke arahnya.

“Kalau kau membunuh atau melukai nona itu, biar aku kaupukul mampus, aku tidak akan sudi memberitabukan tentang bokor. Bokor itu kusimpan dan kau akan kuantar ke tempat itu kalau kau membebaskan nona itu!”

Kakek itu tertawa bergelak. “Huah-ha-ha-ha! Pemuda gundul! Kau jatuh cinta kepada dara ini, ya?”

Muka Kun Liong menjadi merah. “Tak usah banyak cakap. Bebaskan dia dan kau akan kuantar ke tempat penyimpanan bokor. Bagaimana?”

Kakek itu menggerakkan tangan kirinya, pedang rampasan meluncur dan menancap di atas lantai, hanya setengah jengkal selisihnya dari pipi Bi Kiok! “Huh, kau masih beruntung, bocah kurang ajar. Lain kali, akan kubuntungi hidungmu dan dua daun telingamu, dan hendak kulihat, apa yang akan dapat dilakukan oleh gurumu, biarpun dia dalam keadaan tidak terluka.”

Kakek itu lalu menyambar tubuh Kun Liong, dikempitnya dan dia hendak pergi dari situ.

“Toat-beng Hoat-su, manusia pengecut!”`Bu Leng Ci berteriak marah. “Kau datang pada saat aku terluka! Coba kau
datang lagi kelak kalau aku sudah sem-buh!”

Kakek itu menoleh dan tertawa. “Heh-heh-heh, boleh saja!”

“Kau telah mengkhianati kerja sama lima datuk!” Bu Leng Ci yang merasa marah dan kecewa sekali melihat Kun Liong dirampas, menyerang lagi dengan kata-kata penuh kebencian.

“Huh! Siapa sudi melanjutkan persekutuan busuk itu? Pek-lian-kauw membiarkan dirinya diperalat oleh anjing-anjing asing bermata biru. Siapa sudi? Boleh saja aku melawan pemerintah, akan tetapi aku tidak sudi menjadi pengkhianat bangsa dan mengekor kepada orang-orang asing!” Setelah berkata demikian, kakek itu meloncat dan lenyap dari situ.

“Subo...!” Bi Kiok menghampiri gurunya dan membantu gurunya bangun.

“Hemm... sayang aku terluka dan harus menyembuhkan lukaku lebih dulu, Si Keparat Thio Hok Gwan yang menjadi gara-gara! Kalau aku tidak luka, andaikata tikus tua itu berhasil miarikan Kun Liong, aku masih dapat membayanginya.”

“Teecu rasa tempat itu tentulah di sekitar daerah Sungai Huang-ho. Teecu akan mencoba untuk menyelidiki dan membayanginya.”

“Hemmm, kau bukan lawannya. Biarlah kita pergi bersama dan sambil melakukan perjalanah aku mengobati lukaku. Perjalanan ke Sungai Huang-ho jauh dan memakan waktu lama, masih banyak waktu bagiku untuk menyembuhkan diri dan turun tangan kalau tikus tua itu benar-benar dapat menemukan tempat persembunyian bokor itu.”

Dengan dibimbing oleh muridnya, Siang-tok Mo-li meninggalkan pulau itu dan mereka lalu menggunakan perahu untuk mendarat. Tentu saja kakek itu sudah tidak nampak lagi dan sebelum meninggalkan Telaga Kwi-ouw, Bu Leng Ci singgah di pulau besar dan menyuruh murid-murid kepala Kwi-eng-pang untuk mengurus mayat-mayat tujuh orang pelayannya yang semua tewas dengan kepala terkupas bersih, juga minta agar mereka menyampaikan kepada Ketua Kwi-eng-pang kalau Kwi-eng Niocu pulang bahwa tawanan itu telah dirampas dan dibawa pergi oleh Toat-beng Hoat-su.



Mereka berjalan menuruni bukit itu, berdampingan. Kelihatan seperti dua orang sahabat baik, atau lebih pantas lagi seorang kakek dengan cucunya yang bergegas pulang ke kampungnya, kalau saja orang tidak melihat kedua tangan pemuda gundul itu terbelenggu!

Melakukan perjalanan berhari-hari di samping Toat-beng Hoat-su amat melelahkan tubuh dan hati Kun Liong. Dia tidak kekurangan makan karena setiap kakek itu berhenti makan atau minum, dia selalu mendapat bagiannya. Akan tetapi kakek itu berwatak aneh bukan main, kadang-kadang sampai sehari penuh tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata dan dia sama sekali tidak dipedulikan. Hal ini amat mengesalkan hatinya. Dia tahu bahwa kalau kakek ini kumat gilanya, kemungkinan besar dia akan dibunuh begitu saia tanpa sebab! Bukan sekali-kali karena dia merasa takut akan hal ini, hanya dia tahu bahwa masih banyak hal yang harus dia lakukan dalam hidupnya sebelum mati konyol begitu saja. Ayah bundanya belum diketahuinya berada di mana. Tugas yang diberikan oleh mendiang gurunya, Tiang Pek Ho-siang, untuk mendapatkan kembali dua buah kitab Siauw-lim-pai yang hilang belum dia penuhi. Karena itu, dia harus berpikir seratus kali sebelum memancing bahaya kematian di tangan kakek aneh, datuk nomor satu kaum sesat itu!

“Toat-beng Hoat-su, engkau adalah datuk nomor satu yang terkenal, bahkan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang memiliki ilmu kepandaian dahsyat itu pun sama sekali bukan tandinganmu. Akan tetapi, mengapa kau sekarang membawaku dengan kedua tanganku terbelenggu?” Akhirnya Kun Liong tidak mampu menahan diri untuk berdiam lagi karena melakukan perjalanan ada kawannya akan tetapi bersunyi seperti ini amat melelahkan tubuh dan mengesalkan hati.

Kakek itu melirik kepadanya, akan tetapi tidak menjawab, dan mempercepat langkahnya. Terpaksa Kun Liong juga mempercepat langkahnya, karena dia tidak mau ditampar lagi kepalanya seperti kemarin dulu ketika dia mogok berjalan, kepalanya ditampar dua kali. Tamparan itu tidak terlalu menyakitkan, akan tetapi batinnya yang sakit. Apalagi kalau dia mengingat betapa kepalanya itu pernah diciumi oleh seorang gadis! Kepalanya amat berharga, tentu dia tidak rela kalau sekarang dijadikan sasaran tamparan!

“Toat-beng Hoat-su,” katanya lagi degan nekat, “Engkau mengingatkan aku akan Kongkongku (Kakekku).”

Kembali kakek itu melirik tanpa menjawab.

“Aku tidak pernah mengenal kakekku, baik kakek dalam (ayah dari ayah) atau kakek luar (ayah dari ibu), akan tetapi kalau mereka itu masih hidup, tentu setua engkau. Berjalan denganmu, aku merasa seperti berjalan dengan seorang kakekku.”

Karena Toat-beng Hoat-su sama sekali tidak menjawab, akan tetapi kelihatannya memperhatikan, Kun Liong bertanya lagi, “Apakah engkau tidak mempunyai cucu? Anak? Atau keluarga seorang pun? Apakah engkau hidup -seorang diri, sebatang kara di dunia yang ramai penuh manusia ini?”

Tiba-tiba kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh memandang Kun Liong. Pemuda itu siap untuk mengelak dan akan melawan kalau dia ditampar lagi. Biarpun kedua pergelangannya dibelenggu menjadi satu, akan tetapi kalau hanya untuk membela diri saja dia masih sanggup. Adanya dia tidak lari dan tidak menyerang kakek itu karena memang dia sudah berjanji membawa kakek itu ke tempat dia menyimpan bokor!

“Duduk!” Kakek itu berkata dengan nada memerintah.

Kun Liong mengangkat kedua alisnya, menggerakkan pundak dan duduk di atas sebuah batu besar. Kakek itu pun duduk di depannya, menghapus peluh karena hari amat panas, kemudian berkata, “Kau ingin sekali mendengar riwayatku? Nah, dengarlah baik-baik.”

Dengan suara lambat dan parau berceritalah kakek itu, “Dahulu aku pun seorang yang mempunyai nama, mempunyai tiga orang anak, seorang isteri yang tercinta, hidup terhormat sebagai seorang pedagang ikan di sebuah kota nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Kepandaian silatku, biarpun tidak amat tinggi, membuat aku sekeluarga hidup aman tenteram. Akan tetapi, banjir besar melanda kotaku, dan aku kehilangan semua keluargaku! Aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa tiga orang anak-anakku dan isteriku dihanyutkan air, dihempaskan, aku mendengar mereka menjerit-jerit minta tolong, melihat mereka mengangkat tangan hendak meraihku. Akan tetapi aku sendiri tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan air bah yang dahsyat. Aku kehilangan segala-galanya. Kehilangan kebahagiaanku, yang lenyap bersama hilangnya keluarga dan seluruh milikku. Aku kehilangan pula kepercayaan kepada Thian, kepada keadilan, dan aku dalam usia tiga puluh tahun menjadi gila. Aku merantau sampai ke luar negeri, mempelajari berbagai ilmu, dan aku membenci semua manusia.”

Kun Liong mendengarkan dengan mata terbelalak. Timbul rasa iba di dalam hatinya terhadap kakek tua renta ini. “Akan tetapi, Locianpwe, mengapa membenci semua manusia? Tidak ada secrang pun manusia bersalah dalam malapetaka yang menghancurkan kebahagiaanmu itu. Yang bersalah adalah air banjir, mengapa kau membenci manusia?”

“Habis, apakah aku harus membenci dan membasmi air banjir? Mana aku bisa melawan alam? Aku benci setiap manusia, membenci kebabagiaan meraka, membenci keadaan mereka. Aku membenci mereka tanpa pilih bulu, seperti bencinya air banjir kepada manusia, siapa pun diterjangnya. Maka siapa pun yang menghalang di depanku, kuterjang dan kubunuh!”

Kun Liong bergidik. Jelas bahwa malapetaka itu telah merusak jiwa orang ini, membuatnya menjadi gila dan sampai sekarang pun masih gila, biarpun ilmu kepandaiannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

“Jadi kau juga benci kepadaku, Locianpwe?”

“Kau juga manusia!”

“Karena bencimu itukah maka kedua tanganku kaubelenggu?”

“Hemmm, ketika malam itu kau menangkisku, kau memiliki kepandaian lumayan. Kalau kulepaskan belenggu, tentu kau membikin repot aku, tentu kau hendak melarikan diri sehingga aku harus lebih memperhatikanmu. Aku tidak mau repot!”

Kun Liong bangkit berdiri den memandang kakek itu dengen mata terbelalak penuh kemarahan. “Locianpwe, kau menganggap aku ini orang macam apa? Aku sudah berjanji membawamu ke tempat bokor yang kusembunyikan, dan kau sudah membebaskan Bi Kiok. Lebih baik mati bagiku daripada melanggar janjiku. Mengerti? Sekarang tak peduli kau saja membelenggu aku atau tidak, mau membunuh aku atau tidak, bagiku sama saja kerena ternyata engkau seorang yang tidak mengenal artinya kemurnian sebuah janji!”

Kakek itu memandang penuh heran, lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Kau memang aneh, orang muda yang aneh sekali, aneh dan berbahaya. Kalau sudah selesai urusan bokor ini, aku harus mem-bunuhmu!”

Kun Liong menggerakkan hidungnya. “Huh, kaukira begitu mudah, Toat-beng Hoat-su? Biarpun kedua tanganku terbelenggu, belum tentu kau akan dapat membunuhku dengan mudah saja!”

Kembali kakek itu terbelalak dan tangan kanannya sudah bergerak hendak menampar. Akan tetapi melihat pemuda itu berdiri tegak memandangnya dengan sepasang mata tak berkedip, dengan sikap menantang, dia menurunkan kembali tangannya dan menggeleng-geleng kepalanya. “Aneh...! Luar biasa...! Biar disambar geledek aku kalau pernah bertemu dengan orang muda seperti engkau!”

“Dan aku pun belum pernah melihat seorang kakek yang amat patut dika-sihani seperti engkau! Kedukaan membuat kau menjadi gila dan jahat, masih engkau murka akan harta benda ingin mempere-butkan bokor. Hemm, kau lupa diri, lupa usia, untuk apakah semua kepandaianmu, nama besarmu, dan segala macam pusa-ka? Tentu takkan dapat mencegah kematian karena usia tua!”

“Cerewet, hayo jalan lagi!”

Mereka berjalan lagi tanpa berkata-kata dan Kun Liong terbenam dalam lamunan. Percakapan tadi amat berguna baginya, membuka matanya melihat sesuatu yang ganjil dalam hidup manusia. Mengapa manusia menderita begitu hebat setelah ditinggal oleh semua miliknya, keluarganya, dan semua yang dicintanya di dunia ini? Demikian hebat deritanya sampai gila seperti kakek ini, dan lebih celaka lagi, kegilaan karena duka kehilangan itu membuatnya menjadi jahat, pembenci manusia dan menjadikannya datuk nomor satu di dunia?

Dia juga sebatang kara. Andaikata dia benar-benar kehilangan ayah bundanya, kehilangan segala-galanya, apakah dia pun akan merasa demikian berduka dan menderita seperti kakek ini? Mengapa mesti demikian? Jelas sekarang tampak olehnya bahwa ketergantungan akan sesuatu, menimbulkan derita kalau sesuatu itu direnggutkan darinya. Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik itu orang lain berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain maupun kepada benda, nama, kedudukan dan lain-lain. Karena mengikatkan diri berarti membiarkan sesuatu itu, keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan apabila tiba saatnya setuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan menimbulkan kerusakan dan penderitaan! Jelas!

Kun Liong mengangkat kedua alisnya, menggerakkan pundak dan duduk di atas sebuah batu besar. Kakek itu pun duduk di depannya, menghapus peluh karena hari amat panas, kemudian berkata, “Kau ingin sekali mendengar riwayatku? Nah, dengarlah baik-baik.”

Dengan suara lambat dan parau berceritalah kakek itu, “Dahulu aku pun seorang yang mempunyai nama, mempunyai tiga orang anak, seorang isteri yang tercinta, hidup terhormat sebagai seorang pedagang ikan di sebuah kota nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Kepandaian silatku, biarpun tidak amat tinggi, membuat aku sekeluarga hidup aman tenteram. Akan tetapi, banjir besar melanda kotaku, dan aku kehilangan semua keluargaku! Aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa tiga orang anak-anakku dan isteriku dihanyutkan air, dihempaskan, aku mendengar mereka menjerit-jerit minta tolong, melihat mereka mengangkat tangan hendak meraihku. Akan tetapi aku sendiri tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan air bah yang dahsyat. Aku kehilangan segala-galanya. Kehilangan kebahagiaanku, yang lenyap bersama hilangnya keluarga dan seluruh milikku. Aku kehilangan pula kepercayaan kepada Thian, kepada keadilan, dan aku dalam usia tiga puluh tahun menjadi gila. Aku merantau sampai ke luar negeri, mempelajari berbagai ilmu, dan aku membenci semua manusia.”

Kun Liong mendengarkan dengan mata terbelalak. Timbul rasa iba di dalam hatinya terhadap kakek tua renta ini. “Akan tetapi, Locianpwe, mengapa membenci semua manusia? Tidak ada secrang pun manusia bersalah dalam malapetaka yang menghancurkan kebahagiaanmu itu. Yang bersalah adalah air banjir, mengapa kau membenci manusia?”

“Habis, apakah aku harus membenci dan membasmi air banjir? Mana aku bisa melawan alam? Aku benci setiap manusia, membenci kebabagiaan meraka, membenci keadaan mereka. Aku membenci mereka tanpa pilih bulu, seperti bencinya air banjir kepada manusia, siapa pun diterjangnya. Maka siapa pun yang menghalang di depanku, kuterjang dan kubunuh!”

Kun Liong bergidik. Jelas bahwa malapetaka itu telah merusak jiwa orang ini, membuatnya menjadi gila dan sampai sekarang pun masih gila, biarpun ilmu kepandaiannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

“Jadi kau juga benci kepadaku, Locianpwe?”

“Kau juga manusia!”

“Karena bencimu itukah maka kedua tanganku kaubelenggu?”

“Hemmm, ketika malam itu kau menangkisku, kau memiliki kepandaian lumayan. Kalau kulepaskan belenggu, tentu kau membikin repot aku, tentu kau hendak melarikan diri sehingga aku harus lebih memperhatikanmu. Aku tidak mau repot!”

Kun Liong bangkit berdiri den memandang kakek itu dengen mata terbelalak penuh kemarahan. “Locianpwe, kau menganggap aku ini orang macam apa? Aku sudah berjanji membawamu ke tempat bokor yang kusembunyikan, dan kau sudah membebaskan Bi Kiok. Lebih baik mati bagiku daripada melanggar janjiku. Mengerti? Sekarang tak peduli kau saja membelenggu aku atau tidak, mau membunuh aku atau tidak, bagiku sama saja kerena ternyata engkau seorang yang tidak mengenal artinya kemurnian sebuah janji!”

Kakek itu memandang penuh heran, lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Kau memang aneh, orang muda yang aneh sekali, aneh dan berbahaya. Kalau sudah selesai urusan bokor ini, aku harus mem-bunuhmu!”

Kun Liong menggerakkan hidungnya. “Huh, kaukira begitu mudah, Toat-beng Hoat-su? Biarpun kedua tanganku terbelenggu, belum tentu kau akan dapat membunuhku dengan mudah saja!”

Kembali kakek itu terbelalak dan tangan kanannya sudah bergerak hendak menampar. Akan tetapi melihat pemuda itu berdiri tegak memandangnya dengan sepasang mata tak berkedip, dengan sikap menantang, dia menurunkan kembali tangannya dan menggeleng-geleng kepalanya. “Aneh...! Luar biasa...! Biar disambar geledek aku kalau pernah bertemu dengan orang muda seperti engkau!”

“Dan aku pun belum pernah melihat seorang kakek yang amat patut dika-sihani seperti engkau! Kedukaan membuat kau menjadi gila dan jahat, masih engkau murka akan harta benda ingin mempere-butkan bokor. Hemm, kau lupa diri, lupa usia, untuk apakah semua kepandaianmu, nama besarmu, dan segala macam pusa-ka? Tentu takkan dapat mencegah kematian karena usia tua!”

“Cerewet, hayo jalan lagi!”

Mereka berjalan lagi tanpa berkata-kata dan Kun Liong terbenam dalam lamunan. Percakapan tadi amat berguna baginya, membuka matanya melihat sesuatu yang ganjil dalam hidup manusia. Mengapa manusia menderita begitu hebat setelah ditinggal oleh semua miliknya, keluarganya, dan semua yang dicintanya di dunia ini? Demikian hebat deritanya sampai gila seperti kakek ini, dan lebih celaka lagi, kegilaan karena duka kehilangan itu membuatnya menjadi jahat, pembenci manusia dan menjadikannya datuk nomor satu di dunia?

Dia juga sebatang kara. Andaikata dia benar-benar kehilangan ayah bundanya, kehilangan segala-galanya, apakah dia pun akan merasa demikian berduka dan menderita seperti kakek ini? Mengapa mesti demikian? Jelas sekarang tampak olehnya bahwa ketergantungan akan sesuatu, menimbulkan derita kalau sesuatu itu direnggutkan darinya. Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik itu orang lain berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain maupun kepada benda, nama, kedudukan dan lain-lain. Karena mengikatkan diri berarti membiarkan sesuatu itu, keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan apabila tiba saatnya setuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan menimbulkan kerusakan dan penderitaan! Jelas!

BU LENG CI sudah menyerangnya lagi dengan hebat, memaksa Toat-beng Hoat-su melayaninya sedangkan Bi Kiok sudah menggandeng tangan Kun Liong dan mereka berdua lari dari situ ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu. Kun Liong hanya menurut saja. Mereka lari ke pantai Huang-ho, daerah yang berbatu karang, kemudian Bi Kiok membawanya masuk ke sebuah guha di antara batu-batu karang.

“Kita menanti di sini...” Gadis itu berbisik sambil terengah-engah. Hatinya masih tegang karena tadi hampir saja dia celaka oleh jubah Toat-beng Hoat-su, kalau Kun Liong tidak menangkis jubah itu.

Kun Liong memandang kepadanya dan tersenyum. “Bi Kiok yang manis, entah sudah berapa kali kau menolong nyawa-ku. Pertama, ketika kau menolongku di kuil dahulu itu pada waktu aku ditawan orang-orang Pek-lian-kauw. Kemudian, ketika aku ditawan oleh orang-orang Kwi-eng-pang, kau pun membawa gurumu untuk menolongku...”

“Hemm, bagaimana kau tahu?”

“Mudah saja, dengan menggunakan otak di dalam kepalaku ini. Dan seka-rang, kau lagi-lagi menolongku. Eh, anak baik, mengapa kau begini baik kepada-ku?”

Gadis itu mengerutkan alisnya, me-nunduk dan tiba-tiba dia meloncat bang-kit dari duduknya di atas batu ketika melihat kedua tangan pemuda itu telah terbebas dari belenggu. “Aihhh...! Kau sudah dapat mematahkan belenggu itu!”

Kun Liong mengangkat kedua tangan-nya ke atas dan tersenyum. “Wah, aku lupa ketika menangkis jubah kakek siluman tadi sehingga aku mematahkan belenggu.”

“Kun Liong...! Kau... kau ternyata lihai... kau memiliki kepandaian hebat. Aku sendiri takkan dapat mematahkan belenggu tali sutera hitam dari Subo itu, dan... dan tadi kau mampu menangkis hantaman jubah Toat-beng Hoat-su!”

Kun Liong memandang dan tersenyum. Hebat dara ini, pikirnya. Wajah Cia Giok Keng yang cantik jelita menonjol daya tariknya karena hidungnya, wajah Lim Hwi Sian membuatnya tergila-gila karena keindahan mulutnya, sedangkan wajah Yo Bi Kiok ini... hemmm, sepasang matanya itulah yang membuat dia tak mampu mengalihkan pandangannya. Mata itu... demikian indah, bening, hidup! Ataukah karena tarikan muka itu dingin sekali maka hanya matanya yang tampak hidup dan indah? Entahlah, akan tetapi dia benar-benar senang sekali memandangi mata itu!

“Begitukah...?” komentarnya atas du-gaan Bi Kiok.

“Akan tetapi, kenapa engkau tidak membebaskan diri dari tawanan kakek itu? Kenapa kau mandah saja dibawa pergi?”

“Karena, Nona yang baik, karena aku sudah berjanji kepadanya bahwa kalau kau dibebaskan, aku suka membawanya ke tempat bokor. Dan dia telah membebaskanmu!”

“Eh, kau aneh sekali...! Dan terutama sekali kepalamu, mengapa sampai sekarang gundul terus?”

“Dan kau cantik manis sekali! Terutama matamu, Bi Kiok!”

“Ceriwis!” Bi Kiok berkata dan membungkam, alisnya berkerut dan matanya menyorotkan kemarahan. Akan tetapi malah menambah manis dalam pandangan Kun Liong.

Kun Liong terus menatap mata yang indah itu, membuat Bi Kiok menjadi gelisah dan jengah, juga marah. Dia sen-diri merasa heran mengapa dia selalu ingin menolong pemuda gundul ini! Apa-kah karena pengalaman mereka bersama ketika kakeknya terbunuh itu merupakan hal yang tak pernah dapat dilupakannya? Ataukah karena pemuda ini menjadi kun-ci rahasia bokor emas yang diperebutkan?

“Ehh! Kau... kau Giok-hong-cu...?” Tiba-tiba Kun Liong berseru ketika tanpa disengaja dia melihat hiasan rambut yang indah di kepala dara itu.

Dara itu mengerling kepadanya dan di balik kekagetannya, masih saja keindahan kerling itu berkesan di hati Kun Liong! “Kalau benar mengapa?”

Kun Liong bangkit berdiri, alisnya berkerut matanya memandang tak senang, telunjuknya menuding ke arah hidung Bi Kiok ketika dia berkata, “Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, mengapa engkau membunuh Thian Le Hwesio?”

Bi Kiok menarik napas panjang. “Hemm, engkau sudah tahu pula? Bukan aku pembunuhnya, Kun Liong. Aku hanya mengantar jenazahnya kepada Perusahaan Sam-to-piauw-kok di Lam-san-bun untuk membawa jenazah dalam peti itu ke Siauw-lim-si.”

“Siapa menyuruhmu?”

“Siapa lagi kalau bukan Subo.”

“Subomu Siang-tok Mo-li yang membunuhnya?”

Gadis itu menggeleng kepalanya. “Bukan. Eh, Kun Liong. Mengapa engkau melibatkan diri dengan segala macam urusan yang tiada sangkut pautnya denganmu?”

“Urusan Siauw-lim-pai sama dengan urusanku sendiri!”

“Hemmm...” Dara itu makin terheran. “Kalau begitu, gundulmu itu ada hubung-annya dengan engkau menjadi hwesio Siauw-lim-si?”

Kun Liong meringis dan meraba kepalanya. “Sama sekali tidak, Bi Kiok, siapa yang membunuhnya dan mengapa?”

“Kaucari sendiri!”

Tiba-tiba terdengar seruan panjang dan nyaring, dari jauh, “Bi Kiok...!”

Seruan itu disusul teriakan lain yang parau akan tetapi tidak kalah nyaringnya. “Kun Liong...!”

Yang pertama adalah teriakan Siang-tok Mo-li, yang ke dua teriakan Toat-beng Hoat-su. Mendengar namanya dipanggil, Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya dipegang dan ditarik oleh Bi Kiok. Dia menoleh, kaget melihat tubuh dara itu menggigil, wajahnya pucat.

“Kau kenapa...?”

“Sssttt...!” Bi Kiok berbisik dan menarik lengan Kun Liong masuk makin dalam di guha itu, sampai tidak kelihatan dari luar, kemudian dia berbisik, “Kalau sampai Subo atau Toat-beng Hoat-su menemukan engkau, engkau akan celaka, Kun Liong.”

“Aku...? Celaka...? Mengapa? Paling hebat mereka akan memaksaku menun-jukkan tempat aku manyembunyikan bo-kor tua itu. Biar aku menjumpai me-reka.”

“Bodoh kau! Kaukira begitu mudah kau akan menyelamatkan diri? Sesudah seorang di antara mereka menemukan bokor, engkau akan dibunuh!”

“Heh? Mengapa? Tak mungkin!”

“Hemm, kau tidak tahu watak mereka. Kalau mereka menemukan bokor, engkau merupakan orang berbahaya karena engkau dapat memberitakan hal itu di luaran. Apakah kaukira percuma saja aku membujuk dan menipu Subo sendiri, kemudian dengan berani mati aku melarikan engkau ke sini selagi mereka saling bertempur?”

Kun Liong memandang dan sambil memegang kedua tangan dara itu, dia berseru dengan hati terharu, “Aihhh... mengapa, Bi Kiok? Mengapa engkau selalu menolongku, sekali ini bahkan membahayakan dirimu sehdiri?”

“Bukan diriku sendiri, juga engkau. Kaukira kita akan selamat kalau seorang di antara mereka menemukan kita di sini?”

“Tapi...”

“Ssstttt...!” Tangan Bi Kiok mendekap mulut Kun Liong dan sejenak mereka berdua tidak mengeluarkan suara.

“Bi Kiok...!” Suara itu jelas suara Bu Leng Ci, kemudian terdengar wanita itu mengomel di depan guha. “Ke mana bocah itu? Mungkinkah ia yang melarikan Kun Liong? Hemm..., mungkinkah dia terserang penyakit cinta? Celaka...!” Kemudian terdengar langkah wanita itu yang amat ringan dari depan guha.

Dari jauh terdengar gema suara Toat--beng Hoat-su, “Kun Liong...! Hayo lekas ke sini memenuhi janjimu! Tempat ini sudah terkepung tentara pemerintah, kalau kita tidak lekas pergi bisa celaka!”

Bi Kiok memegang lengan Kun Liong erat-erat, seolah-olah dia tidak menghendaki pemuda itu pergi. Kemudian setelah menanti beberapa lama, keadaan menjadi sunyi di sekitar situ, akan tetapi dari jauh terdengar bunyi terompet dan ringkik banyak sekali kuda.

Kun Liong yang masih saling berpegang lengan dengan Bi Kiok, menunduk dan dengen perlahan dia memegang dagu dara itu, mengangkat muka yang menunduk, memandang wajah itu kemudian bertanya, “Bi Kiok, mengapa kau melakukan semua ini untukku?”

“Aku... aku...” Gadis itu merenggutkan kepalanya dan menunduk kembali. Akan tetapi Kun Liong kini menggunakan kedua tangannya, memegang kepala gadis itu dan memaksanya menengadah, memandang sepasang mata itu penuh selidik.

“Apakah benar dugaan gurumu di luar tadi bahwa kau... terserang penyakit cinta? Bi Kiok, mungkinkah engkau... jatuh cinta kepadaku?”

“Aku... aku tidak tahu... aku hanya selalu merasa... kasihan kepadamu dan suka kepadamu. Aku... tak pernah dapat melupakanmu, Kun Liong... dan hidup dengan orang-orang yang tidak disukai di Telaga Kwi-ouw itu... membuat aku selalu teringat kepadamu. Tak mungkin aku diam saja melihat kau terancam bahaya...”

Makin terharu hati Kun Liong. Ditatapnya wajah yang manis itu, mata yang indah mempesona itu. “Bi Kiok, betapa indahnya matamu...”

Bi Kiok memejamkan matanya dan terpengaruh oleh rasa haru dan berterima kasih yang meluap-luap di dalam perasaannya, Kun Liong tidak dapat menahan kemesraan terhadap gadis itu, dia menunduk dan mencium kedua mata yang terpejam itu!

Naik sedu-sedan dari dada Bi Kiok. Sejenak dia menggigil seolah-olah perasaan kewanitaannya akan meronta, akan tetapi kemudian dia menjadi lemas, merangkul dan menyembunyikan muka di dada Kun Liong sambil terisak, “Kun Liong...”

Ketika dia mendekap tubuh dara itu, merasa betapa kepala dengan rambut halus itu menempel ketat di dadanya, berulah Kun Liong sadar akan perbuatannya. Dia tidak menyesal, akan tetapi timbul rasa heran mengapa dia sekarang menjadi suka sekali mencium sesuatu yaog disenanginya! Dia tadi mencium sepasang mata indah yang terpejam itu di luar kesadarannya, seperti otomatis tanpa dikehendakinya, terdorong oleh rasa tertarik yang luar biasa, kemesraan yang memenuhi hatinya sehingga sekarang pun kedua lengannya tanpa disadarinya mendekap tubuh itu dengan kuat. Hal ini baru disadarinya pula ketika Bi Kiok terengah-engah dan merintih lirih, “Kun Liong...”

Kun Liong mengendurkan dekapannya dan berbisik, “Bi Kiok, betapa baiknya hatimu... betapa buruknya nasibmu, setelah kehilangan segalanya engkau men-jadi murid seorang datuk kaum sesat...”

“Aku menerima nasib, Kun Liong... dan kuanggap nasibku amat baik, karena bukankah masih ada engkau yang mencintaku?”

Perasaan hati Kun Liong tersentuh oleh pertanyaan ini. Dia balas bertanya, “Bi Kiok, apakah engkau cinta kepada-ku?”

Gadis itu menarik napas panjang. “Entahlah, aku belum tahu apa itu cinta. Akan telapi semestinya aku cinta kepadamu karena aku senang sekali berada di dekatmu, aku ingin selamanya tidak akan terpisah dari sampingmu, aku kasihan kepadamu, aku suka kepadamu. Ya, kukira aku cinta kepadamu, Kun Liong.”

“Hemm... sayang sekali. Sebaiknya kalau kau tidak cinta kepadaku.”

“Heh? Mengapa?”

“Karena... aku tidak bisa membohongimu dengan pengakuan cinta. Tidak! Aku memang suka dan kasihan kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, cintakah ini? Kurasa bukan...”

“Tapi... tapi... kau telah menciumku!”

Kun Liong tersenyum pahit. Presis seperti Hwi Sian! Seperti inikah anggapan semua wanita yang menentukan bahwa ciuman adalah tanda cinta? Apakah orang yang hanya suka, tanpa cinta yang dimaksudkan itu, tidak boleh mencium? Biarpun yang mencium dan yeng dicium sama-sama rela dan suka?

“Bi Kiok, aku suka padamu, dan aku suka menciummu, terutama sekali kedua matamu yang amat indah. Matamu luar biasa sekali, Bi Kiok, seolah-olah aku melihat telaga bening yang amat dalam di situ, seolah-olah aku melihat angkasa biru cerah yang amat tinggi... dan aku melihat keindahan terkandung di dalamnya. Aku suka menciummu, apakah hal ini harus kujadikan alasan membohong bahwa aku cinta kepadamu?”

“Kun Liong...!” Bi Kiok merintih dan dua titik air mata mengalir turun dari matanya.

“Bi Kiok, jangan menangis...!” Kun Liong meraih kepala itu, didekapnya dan kembali dia mencium kedua mata itu, mengisap dua butir air mata yang mene-tes di pipi. “Aku tidak bisa melihat kau menangis. Maafkan aku kalau aku menya-kiti hatimu. Aku lebih suka berterus terang daripada membohongimu.”

Bi Kiok merenggutkan kepalanya, menggeser duduknya agak menjauh, ke-mudian menarik napas panjang sambil menatap wajah Kun Liong. “Aku mengerti... dan aku menerima nasib. Mungkin aku cinta kepadamu, mungkin, juga tidak. Kau lebih tegas dan jujur. Adapun ten-tang cium tadi... kau tidak bersalah karena aku pun senang menerimanya, dan...”

“Ssssttt...!” Kini Kun Liong yang menaruh telunjuk di depan mulutnya. Kini dia yang merasa khawatir kalau-kalau Bi
Kiok akan celaka karena dia. Tidak boleh hal ini terjadi. Seribu kali tidak boleh! Kalau seorang di antara dua datuk itu, atau keduanya, menemukan mereka, dia akan melindungi Bi Kiok. Kalau perlu dia akan melawan mereka untuk menyelamatkan Bi Kiok.

Akan tetapi yang terdengar adalah suara derap kaki kuda dan ringkik banyak kuda. Suara kaki kuda itu berhenti di depan guha dan terdengarlah bentakan nyaring seorang wanita, jelas bukan suara Bu Leng Ci, “Pemberontak yang berada di dalam guha! Keluarlah!”

“Ssst...!” Kembali Kun Liong membe-ri isyarat kepada Bi Kiok untuk tidak bergerak.

“Hayo keluar, kalau tidak kami akan membakar dan mengasapi kamu! Kami sudah tahu bahwa kau berada di dalam guha, ada tapak tangan kakimu di luar!” Kembali suara wanita yang nyaring itu membentak dari luar guha.

“Bi Kiok, biarkan aku keluar. Kau bersembunyi di sini saja, setelah aman kau keluar dan kalau bertemu subomu, bilang saja bahwa kau tidak melihatku atau kaukarang cerita lain.”

Bi Kiok menggeleng kepala dan kem-bali dua titik air matanya menetes. Kun Liong cepat mencium kembali kedua mata itu, lalu berseru keras sambil melangkah keluar. “Jangan bakar! Aku keluar dan tidak akan melawan!”

Ketika dia tiba di depan guha, Kun Liong melihat banyak sekali tentara pemerintah, memenuhi tempat itu kelihatan gagah, menunggang kuda pilihan dan di belakang masih tampak pasukan berjalan kaki. Yang berada di depan guha agaknya adalah perwira-per-wiranya, akan tetapi semua itu tidak menarik perhatiannya karena segera matanya melekat pada tubuh seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa yang duduk di atas seekor kuda besar, berpakaian indah dan gagah sekali. Gadis itu takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, tubuhnya ramping dan padat dan jelas mengandung isi tenaga yang kuat. Pakaiannya adalah pakaian seorang pendekar wanita, seorang perantau dan petualang wanita yang membumbui kejelitaannya dengan kegagahan yang membuat orang menjadi segan. Kedua pergelangan tangannya dilindungi oleh pelindung dari kulit dengan tombol-tombol besi. Mantel berwarna merah jingga membuat bajunya yang kuning tampak gemilang. Rambutnya digelung ke atas, tinggi, dengan hiasan untaian mutiara. Wajah dara ini amat jelita, dan bagi Kun Liong, begitu memandang segera saja dia terpesona oleh kecantikan itu, terutama sekali oleh bentuk dagu yang meruncing dan agak menjulur ke depan seperti menantang, dan leher yang panjang berkulit putih kuning itu.

Ketika dara itu melihat munculnya Kun Liong, dia segera memerintah para perwira yang berada di dekatnya, “Tangkap dan belenggu dia!”

“Wah, wah, nanti dulu, Nona yang cantik jelita! Apa salahku...?”

Sepasang mata dara yang gagah itu terbelalak, terheran-heran mendengar suara dan ucapan Kun Liong yang penuh keberanian itu, kemudian pandang matanya berhenti pada kepalanya yang gundul.

“Jadi engkaukah ini...?” Dia menegur, alisnya berkerut dan dagunya makin ke depan. Manis bukan main bagi Kun Liong!

“Engkau Kun Liong!”

Kun Liong melebarkan matanya yang sudah besar, alisnya yang tebal berbentuk golok itu bergerak-gerak, otak di dalam
kepala gundulnya mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menge-nal nona yang dagu dan lehernya mem-buat dia terpesona itu. “Nona... siapa-kah...?”

Dara itu merengut. “Huhh! Sungguh memalukan! Yang tidak berubah hanya kepala gundulmu akan tetapi watakmu sudah berubah seperti bumi dengan la-ngit. Betapa akan malu dan menyesalnya hati Bun Hoat Tosu kalau melihat bahwa pemuda yang diaku murid itu ternyata sekarang telah gulung-gulung dengan se-gala macam pemberontak dan orang ja-hat!”

“Eh-eh-eh, nanti dulu, Nona! Enak saja memaki-maki orang!”

“Kou terlihat sebagai sahabat seorang seperti Toat-beng Hoat-su, melakukan perjalanan bersama. Masih hendak kausangkalkah itu?”

“Memang benar, akan tetapi bukan sahabat. Aku hanya hendak mengantar-kannya ke tempat bokor... ehh...” Kun Liong terkejut. Sikap gadis itu membuat dia penasaran dan marah sehingga dalam memberikan keterangan untuk membela diri, dia sampai lupa dan menyebut-nyebut tentang bokor.

Gadis itu dan para perwira jelas kelihatan terkejut mendengar ini. “Tangkap dia!” Gadis itu membentak.

Para perwira segera melompat turun dari kuda dan ada lima perwira mengulur tangan mencengkeram pundak dan lengan Kun Liong, seorang yang membawa tali kuat segera mengikat kedua lengan pemuda itu. Akan tetapi Kun Liong membentak, “Mundurlah kalian!” Sekali dia menggerakkan kedua lengan, tali itu putus dan lima orang itu terjengkang ke belakang!

“Hemmm, Yap Kun Liong! Kau hendak melawan pasukan pemerintah? Pemberontak rendah!”

“Aku bukan pemberontak dan aku tidak melawan siapa-siapa. Kalau kau betul-betul hendak menawan aku, kata-kan sebab-sebabnya dan apa kesalahku!”

“Pertama, kau berhaul dengan datuk kaum sesat, berarti kau tentu anak buahnya dan karena kaum sesat menjadi pemberontak, kaupun kucurigai menjadi pemberontak. Kedua, kau mengaku sendiri bahwa kau hendak menunjukkan tempat penyimpanan bokor emas milik Suhu, maka kau harus kutangkap, selain untuk menunjukkan tempat bokor, juga untuk diadili sebagai seorang pembantu pemberontak!”

“Apa...? Bokor emas milik... suhumu...?” Aihhh, sekarang aku ingat! Kau adalah anak perempuan yang berani dahulu itu, murid Panglima Besar The Hoo! Kau... kau Souw Li Hwa!”

Gadis itu mencibirkan bibir yang kecil mungil dan di dagunya timbul lesung pipit. Manis sekali!

“Kalau sudah tahu, apakah engkau masih juga hendak melawan?”

“Wah, untungku...! Aku tidak akan melawan, akan tetapi karena engkau yang hendak menangkap aku, harus engkau sendiri pula yang membelengguku. Kalau orang lain, aku tidak mau!”

“Kurang ajar! Hayo, tangkap dia!” Dia itu memang benar adalah Souw Li Hwa, murid Panglima Besar The Hoo yang kini telah menjadi seorang dara dewasa yang amat lihai. Dia mendapat tugas dari suhunya untuk membantu pemerintah, mengawal sepasukan tentara ikut mengepung para pemberontak yang menurut suhunya berpangkal di Ceng-to dan di sepanjang Sungai Huang-ho dekat muara.

Mendengar perintah nona itu, sepuluh orang tentara dan perwira meloncat turun dari atas kuda masing-masing dan menubruk maju. Akan tetapi berturut-turut sepuluh orang ini terlempar dan Kun Liong masih berdiri tegak di depan guha sambil tersenyum memandang kepada Souw Li Hwa!

Para perwira marah sekali. Seorang perwira tinggi besar yang brewok, sudah menggerakkan goloknya membacok kepala pemuda itu.

“Heii, jangan...!” Li Hwa terkejut dan membentak ketika melihat betapa pemuda berkepala gundul itu tidak meng-elak dan dia melihat betapa golok besar yang tajam berkilau itu menyambar ke arah kepala itu. Namun terlambat seru-annya, karena golok itu sudah menyam-bar, tepat mengenai kepala Kun Liong yang sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.

“Krookk!”

Perwira brewok tinggi besar itu melongo memandang goloknya yang telah rompal seolah-olah tadi telah dipakai membacok sebuah bola baja! Tangan Kun Liong mendekap mukanya yang melongo itu dan sekali Kun Liong mendorong, perwira itu terjengkang ke belakang!

“Mundur semua!” Li Hwa membentak marah bukan main akan tetapi diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian kepala gundul itu. Semua perwira sudah marah dan mencabut senjatanya terpaksa mundur lagi mendengar bentakan Li Hwa dan mereka hanya mengurung dan memandang dengan marah.

Li Hwa meloncat turun dari udara, tangan kanan meraba gagang pedang dan dia menghampiri Kun Liong. Sambil tersenyum Kun Liong merangkap kedua tangannya dan menjulurkan kedua lengan itu ke depan, ke arah Li Hwa!

“Kenapa kalau kepadaku kau tidak melawan, dan kepada orang lain mela-wan?” Li Hwa tidak dapat menahan ke-inginan tahunya, bertanya.

“Banyak sebabnya,” kata Kun Liong dan diam-diam merasa bersyukur bahwa Bi Kiok yang berada di dalam guha tidak mengeluarkan suara. “Pertama, karena kita sudah saling mengenal, ke dua kare-na agaknya aku tidak tega menolak permintaan seorang gadis cantik, dan ke tiga, aku hendak membuktikan bahwa semua tuduhanmu itu kosong.”

“Bawa tali ke sini!” Li Hwa meme-rintah.

Seorang perwira datang berlari mem-bawa sehelai tali panjang yang kuat! Dengan gerakan cepat Li Hwa membe-lenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong.

“Bawa seekor kuda ke sini!” Kembali dia memerintah.

Setelah seekor kuda dituntut dekat dia berkata kepada Kun Liong, “Sekarang kaunaiklah ke kuda ini.”

“Wah, terima kasih. Seperti tamu agung saja, disediakan kuda untukku!” Kun Liong tersenyum sambil memandang dagu yang manis itu.

“Cerewet kau! Sekarang engkau menjadi tawananku, tahu?” Li Hwa menggunakan sisa tali untuk mengikat kedua kaki Kun Liong yang berada di kanan kiri perut kuda, kemudian sisanya dia ikatkan di leher pemuda itu, agak kendur lalu melempar ujung tali ke arah perwira brewok yang tadi membacok kepala Kun Liong.

“Kwan-ciangkun, kautuntun dia!” katanya. Gadis itu lalu melompat ke atas kudanya dan memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk meninggalkan tempat itu.

“Aihh!” Perwira brewok itu berseru kaget dan tali yang dipegang ujungnya tadi terlepas dari tangannya. Dia melon-cat turun lagi dari kuda, menyambar tali dan begitu dia naik ke atas kudanya, Kun Liong menggerakkan kepalanya dan... tali itu kembali terlepas dari tangan Si Perwira Brewok. Tentu saja dia marah sekali dan setelah dia meloncat turun dan menyambar tali, dia melibatkan ujung tali itu di tangan kanannya sebelum dia melompat naik ke atas kuda. Kembali Kun Liong menggerakkan kepalanya, Si Perwira mempertahankan sehingga terjadi tarik-menarik dan akhirnya tubuh perwira itu terpelanting dari atas kuda, jatuh berdebuk. Sial baginya, dia jatuh dengan pinggul menimpa sebutir batu sebesar kepalan tangan, maka dia mengaduh dan meringis kesakitan. Beberapa orang perwira lainnya yang tadinya ikut marah, kini hampir tak dapat menahan ketawa menyaksikan perwira yang aneh akan tetapi juga lucu itu.

“Yap Kun Liong, apakah kau benar-benar hendak memberontak dan melawan?” Li Hwa membentak marah.

“Terserah penilaianmu, akan tetapi karena kau yang mencurigai aku, kau yang menawan dan membelengguku, maka harus kau pula yang menuntunku.”

“Manusia aneh dan gila!” Li Hwa mengomel, akan tetapi karena dia tahu bahwa para perwira bawahannya tidak ada yang mampu menandingi Si Gundul ini, agar tidak menghambat perjalanan dia lalu menyambar ujung tali, meloncat naik ke atas kuda den dengan demikian menuntun Kun Liong yang duduk sambil tersenyum di atas kudanya dan pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah dara yang menawannya itu.

“Tunjukkan aku di mana tempat bokor itu,” kata Li Hwa. “Memang aku hendak mengembalikan bokor itu kepada gurumu...”

“Bohong! Siapa percaya omonganmu?”

“Percaya atau tidak terserah.”

“Kau tadi bilang hendak menyerahkannya kepada Toat-beng Hoat-su.”

“Siapa bilang aku hendak menyerahkan? Aku hanya bilang bahwa aku hendak menunjukkan dia tempat di mana aku menyembunyikan bokor itu.”

“Hemmm... omongan plintat-plintut! Bukankah itu sama saja?”

“Sama sekali tidak sama. Kalau sudah kutunjukkan tempatnya, belum tentu aku membiarkan dia mengambilnya.”

“Hemm, kalau begitu mengapa kau hendak menunjukkan tempatnya kepada iblis tua itu?”

“Karena... perjanjian!”

Li Hwa menoleh dan memandang Kun Liong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda itu tetap tenang dan kini dia memperoleh kesempatan banyak untuk menikmati keindahan dagu dan leher itu.

“Kau cantik, Li Hwa...”

Li Hwa mendengus. “Huh! Lagakmu tiada ubahnya seorang jai-hwa-cat, se-orang penjahat golongan hitam yang ca-bul dan hina!”

“Wah-wah-wah, mengatakan kau can-tik apakah merupakan perbuatan jahat, Li Hwa? Kau memang cantik, habis ba-gaimana? Apakah kau lebih senang kalau aku membohong dan mengatakan bahwa kau buruk?”

“Jangan mengatakan apa-apa!” Li Hwa membentak dan Kun Liong hanya meng-angkat pundak dan alis, menggelengkan kepalanya yang gundul, di dalam hatinya makin heran terhadap sikap wanita. Mah-luk yang aneh memang, pikirnya. Setiap berjumpa dengan seorang wanita, lain lagi wataknya dan makin lama makin aneh!

“Hayo jawab!” Setelah agak lama ber-diam, Li Hwa membentak. Dengan ta-ngan kirinya dia membetot tali sehingga kuda yang ditunggangi pemuda itu ter-sentak maju ke depan. Hal ini adalah karena Kun Liong menggunakan tenaga sin-kang untuk menjepit perut kuda se-hingga biarpun dia yang dibetot ke de-pan, yang merasakan adalah kuda yang ditungganginya!

Dia diam saja.

“Kun Liong, hayo jawab pertanyaaiiku tadi, di mana tempat bokor itu. Tunjuk-kan kepadaku!”

Tiada jawaban. Li Hwa menengok marah dan matanya mendelik ketika dia melihat pemuda gundul itu duduk tenang di atas kudanya dan tersenyum kepada-nya.

“Mesam-mesem jual lagak kau! Dita-nya tidak menjawab malah tersenyum-senyum. Memangnya kau gagu?”

“Hayaaa... sudah nasibku, jatuh dari tangan dara manis yang satu kepada tangan dara cantik yang lain, makin lama makin aneh dan makin menarik! Souw Li Hwa, baru saja kau bilang kepa-daku bahwa aku jangan mengatakan apa--apa, setelah aku diam tidak berkata apa-apa, kau marah-marah dan memaki aku gagu. Sebetulnya bagaimana sih ke-hendakmu, Nona cantik?”

Li Hwa menggigit bibirnya. Ingin dia memaki-maki akan tetapi takut kalau didengar oleh para perwira yang berada di belakang. Dia memang mendahului mereka dengan jarak antara sepuluh me-ter.

“Kun Liong, jangan main-main kaul! Memang kaukira aku ini siapa?”

“Engkau adalah Souw Li Hwa, seorang dara remaja yang cantik jelita seperti bidadari dan gagah perkasa seperti Hoan Lee Hwa (tokoh dalam dongeng Sie Jin Kwi), murid panglima besar yang sakti The Hoo.”

“Kalau sudah tahu, mengapa kau be-rani kurang ajar?”

“Aihhh... benar-benar aku menjadi bingung menghadapimu, Li Hwa, ataukah aku harus menyebutmu Li-hiap, atau Li-ciangkun? Apa sih kekurangajaranku?”

“Beberapa kali kau menyebut aku nona cantik!”

“Lagi-lagi itu! Habis kalau memang-nya engkau cantik jelita...”

“Sudahlah... sudahlah!” Li Hwa ber-kata kewalahan. “Katakan saja di mana adanya bokor emas milik Suhu itu.”

“Kaupimpin pasukanmu melalui sepan-jang pantai Sungai Huang-ho sampai... eh, ingatkah kau ketika kau ditawan? Nah, di dekat sanalah, di pantai Huang--ho yang airnya tidak begitu dalam, ba-nyak batu-batu besar.”

Li Hwa mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, tidak jauh lagi dari sini” Dia lalu memberi aba-aba kepada pasukannya dan pasukan itu bergerak menuju ke tepi Sungai Huang-ho, kemudian melanjutkan perjalanan di sepanjang sungai. Dalam perjalanan ini, Kun Liong diminta menceritakan bagaimana dia dapat menemu-kan bokor itu. Pemuda itu menceritakannya dengan singkat tanpa menyebut nama Bi Kiok dan yang lain-lain. Hanya diceri-takan bahwa bokor itu tadinya tercuri oleh Phoa Sek It kemudian hilang di sungai dan secara kebetulan ia menemu-kannya, betapa kemudian hampir terjatuh ke tangan Phoa Sek It kembali, akan tetapi dia berhasil melarikannya dan me-nyembunyikannya di tempat itu.

Li Hwa merasa terheran-heran men-dengar cerita itu. Semua orang di dunia kang-ouw mencari bokor itu. Dan suhu-nya juga menyebar orang untuk mencari-nya karena suhunya khawatir bahwa ka-lau bokor terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan membahayakan. Siapa kira, bokor yang menimbulkan heboh itu di-temukan oleh bocah gundul aneh yang lalu menyimpannya begitu saja di pinggir sungai membiarkannya sampai sepuluh tahun!

“Engkau telah salah menangkap orang, Li Hwa. Bukan aku tidak suka menjadi tawananmu, akan tetapi engkau sungguh keliru kalau menyangka aku pemberontak. Apakah Paman Cia Keng Hong tidak me-laporkan ke kota raja?”

Mendengar disebutnya nama pendekar ini, Li Hwa terkejut. “Kami mendengar tentang pemberontakan dari beliau.”

“Ha-ha! Dan tahukah engkau dengan siapa Paman Cia Keng Hong tiba di Ceng-to dan menyaksikan para pemberon-tak mengadakan perundingan? Dengan aku! Cia-supek (Paman Guru Cia) berpi-sah dariku setelah kami berhasil menye-lamatkan seorang gadis yang tentu kau-kenal karena dia mengaku masih cucu murid gurumu, orangnya cantik manis seperti engkau, terutama bibirnya.”

Li Hwa membelalakkan matanya. “Siapa percaya omonganmu? Yang jelas menurut penyelidikan orangku, engkau melakukan perjalanan bersama Toat-beng Hoat-su, dan kau bermaksud menyerahkan bokor kepadanya.”

“Hanya untuk menyelamatkan seorang gadis.”

“Hemm... gadis lagi!”

“Ya, seorang gadis lain, juga cantik jelita, dibandingkan dengan engkau... hemmm, sukar juga mengatakan siapa lebih manis, seperti bunga mawar dengan bunga seruni!” Tentu saja yang dimaksud-kan bunga seruni adalah Bi Kiok (seruni cantik) sesuai dengan namanya.

“Engkau memang mata keranjang!”

Kun Liong tertawa. “Semua laki-laki mata keranjang kalau dimaksudkan suka melihat wanita cantik! Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita cantik?”

“Yang kaukatakan cucu murid guruku itu, siapakah namanya?”

“Gadis dengan bibir manis sekali itu? Liem Hwi Sian...”

“Wah, murid Gak-suheng (Kakak Seperguruan Gak) di Secuan?”

“Mungkin masih ada lagi dua orang suhengnya, kalau tidak salah namanya Poa Su It dan Tan Swi Bu. Dan Liem Hwi Sian itu, selain manis sekali bibirnya, juga dia suka kepada... kepalaku yang gundul. Mungkin kau benci kepada kepa-laku, ya?”

“Di mana dia sekarang?” Li Hwa tidak mempedulikan pertanyaan yang dianggapnya kurang ajar itu.

“Sudah diselamatkan Tan Swi Bu. Nah, apakah engkau masih menuduh aku seorang pemberontak?”

“Kita lihat saja nanti keputusan pe-ngadilan di kota raja.”

“Wah-wah, setelah kutunjukkan kepadamu tempat bokor emas, engkau masih hendak menawanku dan membawaku ke kota raja?”
“Tentu saja!”

“Biarpun sudah kuceritakan semua kepadamu?”

“Aku tidak percaya ceritamu.”

“Biarpun aku sudah menunjukkan tempat aku menyimpan bokor kepadamu?”

“Tadinya kau pun menunjukkan kepada datuk kaum sesat.”

“Ha-ha, Nona manis! Mengapa engkau masih menggunakan segala macam alasan kosong? Bilang saja bahwa engkau senang sekali dengan kehadiranku dan tidak ingin segera berpisah dari sampingku. Bukan demikiankah sesungguhnya? Aku pun suka sekali berdampingan denganmu, Li Hwa.”

Li Hwa marah sekali, menahan kudanya sehingga kuda Kun Liong menyusul dekat, lalu tangannya menampar kepala Kun Liong. Pemuda ini dapat mengukur dari tamparan itu bahwa Li Hwa bukan menyerangnya, hanya sekedar melepas kemarahan dengan menamparnya dan hanya menggunakan tenaga biasa, maka dia pun sama sekali tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang. Akan tetapi, kalau tadi dia menggunakan Pek-in-sin-kang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang sehingga kepalanya mampu menahan bacokan golok, sekarang dia menggunakan sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, yang diciptakan oleh kakek sakti itu untuk melawan Thi-khi-i-beng, yaltu yang mengandung tenaga membetot berdasarkan Im-kang lemas.

“Plakkk!” Dan telapak tangan kiri dara itu melekat pada kulit kepala Kun Liong!

Li Hwa berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi benar-benar telapak tangannya telah melekat ketat sehingga waiahnya berubah pucat karena baru sekarang dia mengalami hal seaneh ini!

“Heh-heh, engkau pun agaknya amat suka dengan kepala gundulku, seperti Hwi Sian, maka kau mengelusnya tiada hentinya.”

Li Hwa menjadi merah sekali muka-nya dan dia mengerling ke belakang. Kalau para perwire melihat hal ini, tentu mengira bahwa dia benar-benar membelai Si Kepala Gundul! Maka dia cepat menggunakan jari tangan kirinya untuk menotok ke arah pundak Kun Liong.

“Wahhh... begini kejamkah engkau, Li Hwa?” Kun Liong berkata dan melepaskan pengerahan sin-kangnya sehingga telapak tangan kanan gadis itu terlepas kembali dan mendengar ucapan ini, Li Hwa mengurungkan niatnya menotok. Dia tadi menggunakan Ilmu Menotok It-ci-sian yang amat hebat dari gurunya, yaitu ilmu menotok dengan sebuah jari yang dilakukan dengen pengerahan sin-kang khas sehingga totokan itu mengeluarkan angin dingin yang luar biasa!

Li Hwa memandang wajah Kun Liong dan diam-diam dia merasa kagum dan juga kaget sekali di dalam hatinya. Demonstrasi tenaga sin-kang yang diperlihatkan Kun Liong tadi ketika kepalanya menerima bacokan golok tidaklah terlalu mengherankan karena kepala pemuda itu gundul gundul sehingga tentu saja tidak takut rambutnya rusak. Akan tetapi apa yang diperlihatkannya tadi ketika kepala itu dapat “menangkap” dan menempel telapak tangannya, benar-benar membuktikan bahwa pemuda gundul yang ugal-ugalan ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!

Beberapa hari kemudian, pasukan yang dipimpin Souw Li Hwa dan berkekuatan seratus lima puluh orang itu tiba di tepi sungai seperti yang ditunjukkan oleh Kun Liong. Akan tetapi betapa kaget dan heran hati pemuda itu melihat perubahan besar yang terjadi di tempat itu. Tepi sungai yang dahulunya penuh dengan batu-batu besar itu, kini telah menjadi sebuah perkampungan yang dikelilingi pagar tembok! Dan agaknya batu bulat yang berbentuk kepala manusia itu, di
mana dia menyimpan bokor emas dahulu, berada tepat di tengah-tengah dusun itu.

“Wah, kenapa sekarang menjadi perkampungan? Agaknya perkampungan nelayan dan benda itu kusimpan di situ...”

Li hwa mengerutkan alisnya. “Sunguh ceroboh sekali! Hayo kita cepat monyelidiki ke dalam dusun itu.” Dia menyuruh para perwiranya dan berbondong-bondong pasukan itu memasuki perkampungan pinggir sungai itu. Li Hwa dan Kun Liong yang menjalankan kudanya paling depan, makin terheran melihat betapa kampung itu sunyi sekali dan agaknya kosong. Akan tetapi, setelah semua memasuki dusun, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dari segenap penjuru, dari semua pintu gerbang, datang menyerbu banyak sekali orang, ada yang berpakaian biasa, ada yang berseragam, dan bahkan ada juga sedikitnya tiga puluh orang asing berkulit putih yang ikut menyerbu dengan pedang panjang melengkung di tangan kanan dan senjata api di tangan kiri!

Tentu saja pasukan yang dipimpin Li Hwa menjadi kaget dan kacau-balau mengalami serangan tiba-tiba yang sama sekali tidak disangkanya itu. Barulah Li Hwa tahu bahwa tempat itu ternyata telah dijadikan sarang oleh gerombolan pemberontak! Maka sambil berseru keras dia bergerak ke depan sambil mencabut pedang, merobohkan dua orang musuh sekaligus. “Basmi para pemberontak!”

Perang yang kacau-balau terjadi di perkampungan nelayan yang telah menja-di sarang para pemberontak yang berse-kutu dengan orang-orang kulit putih itu. Ledakan-ledakan senjata api terdengar, akan tetapi karena pertempuran itu ter-jadi dalam jarak dekat, senjata-senjata api yang memerlukan waktu untuk me-ngisi mesiu itu kurang praktis, maka suara ledakan makin mengurang, diganti teriakan yang diseling suara senjata ta-jam bertemu!

Li Hwa sudah meloncat turun dari kudanya dan dara perkasa ini mengamuk dengan pedangnya. Sepak terjangnya hebat bukan main, menggetarkan hati para pemberontak karena ke mana pun pe-dangnya berkelebat, sinar pedang itu menyambar dan seorang lawan tentu roboh.

“Dar! Dar!” Dua orang asing yang menyaksikan sepak terjang Li Hwa sudah menyerangnya dengan senjata api. Namun dara itu sudah mendengar dari gurunya tentang bahayanya senjata rahasia orang kulit putih ini, maka begitu tadi dia melihat dua orang itu mengacungkan senjata api ke arahnya, dia sudah melempar diri ke bawah, dan langsung dari bawah tubuhnya meluncur ke depan didahului sinar pedangnya. Sebelum dua orang kulit putih itu sempat mengisi pistol mereka dan masih terheran-heran melihat betapa dara cantik yang luar biasa itu tiba-tiba lenyap, sinar pedang menyambar mereka. Mereka berteriak dan roboh dengan perut mengucurkan darah, karena ujung pedang Li Hwa telah menembus perut mereka yang gendut!

“Singggg... trang-trang...!”

Li Hwa terkejut juga ketika pedangnya bertemu dengan pedang seorang lawan yang memiliki tenaga kuat juga sehingga pedangnya terpental. Cepat dia memandang dan ternyata yang memegang pedang menyerangnya dengan hebat tadi adalah seorang pemuda kulit putih yang bertubuh tinggi dan tampan, berpakaian mewah dan pemuda itu memandangnya dengan mulut tersenyum dan mata ja-lang.

“Sungguh hebat...!” Pemuda kulit putih itu berkata dengan lancar biarpun suaranya agak kaku, “Pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita!”

“Anjing putih biadab, engkaukah yang membujuk para pemberontak mengkhia-nati negaranya?” Li Hwa membentak marah.

“Ha-ha-ha, urusan pemberontakan adalah urusan mereka sendiri. Kami hanya sahabat mereka. Nona, sayang sekali kalau kau yang begini muda belia dan cantik jelita menjadi korban da-lam perang ini. Mari kau ikut saja ber-samaku, jangan khawatir, aku adalah Hendrik Selado, dan engkau akan senang sekali menjadi sahabat baikku!”

“Mampuslah!” Li Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi, pedangnya bergerak menyambar ke depan.

Hendrik Selado terkejut, silau mata-nya melihat sinar pedang yang bergulung--gulung itu. Akan tetapi, dia dapat menangkisnya dan balas menyerang karena dia maklum bahwa betapapun muda dan cantiknya, dara itu adalah seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi. Terjadilah pertandingan antara kedua orang ini dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Hendrik ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang dara itu amat sukar dilawan. Biarpun dia sudah menge-rahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya yang dia pelajari dari ayahnya, namun tetap saja dia terus terdesak sehingga dia memper-tahankan diri sambil mundur-mundur. Kemudian Hendrik membalikkan tubuh dan melarikan diri!

“Keparat, hendak lari ke mana kau?”

Karena Li Hwa menduga bahwa tentu pemuda asing yang lihai itu yang memimpin rombongan orang asing yang membantu pemberontakan, maka dia cepat melakukan pengejaran.

Sementara itu, ketika tadi Kun Liong melihat perang kecil terjadi dan melihat betapa sepak terjang Li Hwa hebat se-kali dan biarpun berhadapan dengan pe-muda asing bernama Hendrik itu dara perkasa ini sama sekali tidak terdesak, diam-diam Kun Liong telah mematahkan belenggu kaki tangannya, meloncat turun dari kudanya dan pergi mencari tempat di mana dia dahulu menyembunyikan bokor emas. Dia tertegun dan bingung ketika melihat betapa tempat di mana dahulu terdapat sebongkah batu bulat berbentuk kepala, kini telah dibangun sebuah rumah papan yang besar! Agaknya batu bulat itu selama bertahun-tahun ini telah teruruk tanah sehingga hanya kelihatan menonjol sedikit dan kelihatan di luar dinding rumah itu.

Kun Liong meneliti tempat itu dan dia merasa yakin bahwa memang batu yang menonjol sedikit itulah batu yang dahulu dijadikan tanda. Di bawah batu itulah disimpannya bokor emas. Akan tetapi batu itu telah teruruk, sedikitnya teruruk sampai hampir dua meter dalam-nya, dan di situ didirikan rumah. Bagaimana dia dapat mencari benda pusaka itu yang tersembunyi di bawah batu tan-pa membongkar rumah itu dan menggali tanah yang menguruk batu? Sedangkan di tempat itu pun terjadi perang campuh antara para perajurit anak buah Li Hwa melawan tentara pemberontak yang dibantu orang-orang asing.

Selagi Kun Liong berdiri bingung ba-gaimana dia akan bisa mendapatkan kembali benda pusaka yang terpendam di bawah bangunan itu, tiba-tiba dia meli-hat Hendrik lari memasuki pondok itu, dikejar oleh Li Hwa yang berteriak nyaring, “Manusia biadab, hendak lari ke mana kau?”

Kun Liong melihat betapa Hendrik sudah keluar lagi dari pintu samping, membidikkan senjata apinya ke dalam rumah yang dimasuki Li Hwa. Pemuda itu terkejut, dapat menduga bahwa pe-muda asing itu menjebak Li Hwa, maka dia berteriak, “Li Hwa, hati-hati...!”

“Darrr... blungggg...!”

Kun Liong cepat membuang diri ke atas tanah ketika terjadi ledakan hebat itu. Kiranya Hendrik telah meledakkan mesiu yang berada di dalam rumah itu dan agaknya rumah itu merupakan gudang mesiu! Rumah besar itu hancur, batu bulat juga terbongkar dan terlempar sehingga tanah di mana batu dan rumah tadi berdiri, kini menjadi semacam kubangan besar. Air sungai segera membanjir masuk ke dalam lubang ini.

“Bokor...! Di situ...!!” Terdengar teriakan-teriaken den tempat yang kini penuh dengan air sedalam pinggang itu kini diserbu oleh para perajurit kedua pihak, bukan hanya untuk melanjutkan perang, melainkan terutama sekali untuk memperebutkan bokor emas yang tadi tampak di dalam kubangan sebelum air membanjirinya. Orang-orang asing yang membantu pemberontak juga berlompatan memasuki kubangan penuh air dan ikut pula berebutan, memperebutkan benda yang telah mereka kenal akan tetapi yang kini tidak tampak lagi karena tertutup air. Mereka memperebutkan bokor emas yang hanya tampak sekelebatan sebelum terendam air dan yang hanya terlihat oleh beberapa orang yang berteriak tadi.

Akan tetapi pertempuran itu tidak berlangsung lama. Senja telah mendatang dan para perajurit anak buah Li Hwa terpaksa diperintahkan mundur oleh para perwiranya karena mereka merasa berat menghadapi serbuan para pemberontak yang lebib banyak jumlahnya, apalagi karena mereka tidak melihat lagi Souw Li Hwa, dara perkasa yang mereka andalkan dan yang menjadi pemimpin mereka. Dengan meninggalkan teman-teman yang menjadi korban, menolong mereka yang terluka, sisa pasukan yang kurang lebih tinggal seratus orang lagi itu melarikan diri keluar dari perkampungan yang menjadi sarang pemberontak itu, dikejar oleh para pemberontak yang akhirnya membiarkan mereka lagi setelah mereka jauh dari perkampungan.

Di tempat bekas pondok yang kini menjadi kubangan air masih tampak orang-orang asing dan para perajurit pemberontak mencari-cari, akan tetapi akhirnya mereka terheran-heran mengapa tidak ada yang berhasil menemukan pusaka itu.

Yuan de Gama pemuda tampan, putera pemilik Kapal Kuda Terbang yang juga ikut bertempur dalam perang kecil tadi, memimpin sendiri pencarian di dalam kubangan, akan tetapi segera melepaskan harapan, meloncat keluar dari kubangan dan mengomel. “Heran sekali ke mana perginya Hendrik? Hentikan semua pencarian yang sia-sia ini, akan tetapi lakukan penjagaan di sekitar kubangan, jangan biarkan orang mendekatinya.”

Setelah mengatur penjagaan beberapa orang perajurit secara bergantian di sekeliling kubangan, Yuan de Gama lalu memasuki pondok dan berganti pakaian karena pakaiannya kotor penuh lumpur, juga pundaknya terluka sedikit. Kemudian dia keluar dari pondok untuk mencari Hendrik. Dia dan Hendrik kebetulan sekali berada di situ memimpin rombongan orang-orangnya mewakili gurunya, Legaspi Selado ketika tadi datang pasukan pemerintah sehingga terjadi perang kecil di situ dan mereka berhasil mengusir pasukan musuh itu. Kini dia harus cepat mengadakan perundingan dengan Hendrik, putera gurunya itu, karena tempat itu merupakan tempat yang berbahaya. Setelah pihak pemerintah mengetahui bahwa tempat itu mereka jadikan sarang, tentu akan datang pasukan yang lebih besar untuk menghancurkan mereka. Akan tetapi, Hendrik tidak tampak batang hidungnya.

Ketika ada seorang anak buahnya yang disebar untuk mencari Hendrik da-tang kepadanya dan berbisik-bisik sambil tersenyum menyeringai, Yuan de Gama memukul telapak tangan kirinya sendiri dan memaki gemas, “Terkutuk! Dia selalu merusak tugas dengan kesenangan pribadi yang kotor!”

Setelah berkata demikian Yuan de Gama lalu berjalan cepat pergi ke ujung perkampungan itu, bekas hutan yang telah dibabat, akan tetapi masih menjadi tempat sunyi di mana terdapat sebuah pondok kecil yang di depannya terpasang sebuah lampu. Sunyi bukan main di situ. Yuan de Gdma menghampiri pondok dari belakang dan ketika dia menyelinap dari balik pohon dan memandang ke samping pondok, dia menahan makiannya. Dia melihat seorang gadis cantik yang tadi dikenalnya sebagai pemimpin pasukan pemerintah, terbelenggu dengan rantai besi di tihang pondok, dan di dekat gadis itu bernyala api unggun yang makin lama makin mendekati sebungkus mesiu yang ditaruh di dekat kaki Si Gadis!

Gadis itu bukan lain adalah Souw Li Hwa! Bagaimana dia dapat terbelenggu di situ? Ketika dia meloncat ke dalam pondok mengejar Hendrik, pemuda asing yang cerdik itu telah meledakkan mesiu de-ngan pistolnya. Ledakan dahsyat itu secara aneh sekali tidak menewaskan Li Hwa, karena dia telah terlempar oleh hawa ledakan dan terbanting jatuh ping-san. Dalam keadaan pingsan ini, Hendrik yang kagum dan tergila-gila melihat ke-cantikannya, lalu menyambarnya dan memondongnya pergi ke dalam pondok sunyi itu.

Ketika dia siuman, Li Hwa mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu dan dia melihat bekas lawannya, pemuda asing tadi, duduk di pinggir pembaringan sambil tersenyum-senyum.

“He, kau sudah sadar, manis?”

Sejenak Li Hwa bingung, kemudian dia teringat akan semua pengalamannya den membentak, “Anjing biadab! Hayo bunuh aku, atau lepaskan aku dan melanjutkan pertandingan kalau kau memang jantan!”

“Aihhh... mengapa begitu keras hati, manis? Aku cinta padamu, Nona. Kau begini cantik... rambutmu begini indah...” Hendrik membelai rambut yang halus dan panjang itu. Li Hwa mengggerakkan kepalanya merenggutkan rambut.

“Dan matamu seperti sepasang bintang... kau cantik jelita... daripada bermusuh, bukankah lebih baik kalau kita bersahabat? Kau akan kubawa ke negeriku, sayang...”

“Phuhhh! Manusia biadab, lebih baik aku mati!” Li Hwa berteriak lagi.

“Wah, sayang kalau kau mati. Aku sungguh cinta padamu! Jangan kau berpura-pura, benarkah kau tidak suka kepadaku? Sudah banyak sekali wanita yang menyatakan cinta kepadaku, yang ingin menjadi kekasihku, akan tetapi engkau yang benar-benar menjatuhkan hatiku... eh, sayang, siapakah namamu?”
“Persetan dengan kamu!” Li Hwa memalingkan mukanya.

“Heran! Engkau bertambah manis kalau marah, tak tahan aku untuk tidak menciummu!” Hendrik segera memeluk tubuh yang terbelenggu kaki tangannya itu den bibirnya yang rakus itu mengecup bibir Li Hwa.

Li Hwa terbelalak, sejenak seperti akan pingsan mengalami hal yang sama sekali tidak diduganya dan yang belum pernah dialaminya biarpun dalam mimpi. Karena dia hendak memaki, mulutnya terbuka den hal ini oleh Hendrik dianggap bahwa wanita itu membalas ciumannya, maka dia mencium makin ganas.

“Auuuughhh... aduuuhhh...” Hendrik meloncat ke belakang dan mengaduh--aduh, bibir bawahnya pecah oleh gigitan Li Hwa tadi. Gadis yang saking ngeri dan muaknya tak dapat berbuat apa-apa untuk menyerang itu, telah menggigit bibir yang mengecup-ngecup mulutnya secara mengerikan!

Hendrik mengangkat tinjunya hendak memukul muka yang menantangnya dengan penuh keberanian itu. Biarpun maklum bahwa dia akan dipukul, mungkin dibunuh, Li Hwa memandang dengan mata tidak berkedip. Melihat sikap ini, memandang wajah yang cantik manis itu, Hendrik menjadi lemas dan menurunkan lagi kepalan tangannya.

“Bedebah! Setan betina! Hendak kulihat apakah engkau masih berkeras tidak mau melayani cintaku!”

Hendrik sudah benar-benar tergila--gila kepada Li Hwa. Kalau menghadapi wanita lain yang menolak cintanya, seperti biasanya, tentu dia akan menggunakan kekerasan, memperkosa gadis yang sudah terbelenggu itu. Akan tetapi aneh sekali, dia merasa berat untuk melakukan hal ini terhadap Li Hwa. Dia tahu bahwa gadis perkasa ini merupakan seorang dara pilihan, dan alangkah akan senang hatinya kalau dia dapat memperolehnya dengan cara yang baik, dengan sukarela. Betapa akan bahagianya kalau gadis ini membalas cintanya, bukan menyerahkan diri karena terpaksa dan karena diperkosa.

Dipondongnya tubuh gadis itu keluar pondok, diletakkan dan dirantai pada tihang sebelah rumah. Kemudian dia membuat api unggun dan meletakkan sebungkus mesiu di dekat kaki Li Hwa yang terbelenggu.

“Kaulihat ini? Mesiu yang akan meledak begitu api itu menjalar sampai ke dekatnya. Kaulihat tadi. Rumah dan batu itu hancur oleh ledakan, dan kalau kau tidak menurut, bungkusan mesiu ini cukup untuk menghancurkan tubuhmu menjadi berkeping-keping. Kalau berubah pikiranmu, sebelum terlambat, kauterimalah pinanganku, Nona.”

“Huh, biarkan aku mati!”

“Baik, aku akan menanti di dalam. Kau berteriak saja panggil aku kalau pikiranmu berubah, kalau kau memilih bersenang-senang denganku dan hidup bahagia daripada mati dengan tubuh hancur oleh ledakan obat mesiu ini.”

“Jahanam kotor! Seribu kali lebih baik mati daripada menyerah kepadamu!” Li Hwa membentak.

Hendrik tersenyum akan tetapi menyeringai karena bibirnya yang digerakkan terasa perih. Diusapnya bibir yang pecah oleh gigitan dara tawanannya itu, kemudian dia bangkit dan membalikkan tubuh, melangkah lebar menuju ke pondok, menaiki anak tangga depan pondok dan lenyap ke dalam pondok itu. Li Hwa ditinggalkan seorang diri dalam keadaan tidak berdaya. Rantai besi yang membelenggu kaki tangannya amat kuat, tidak dapat dipatahkannya dan dia pun tidak dapat mencegah api unggun yang bernyala makin besar, dan lidah api makin mendekati bungkusan mesiu di dekat kakinya.

Dalam keadaan seperti itulah gadis itu ketika Yuan de Gama menghampiri pondok dan melihatnya. Dengan hati-hati Yuan lalu menghampiri gadis itu. Li Hwa yang berpendengaran tajam tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Dia menoleh dan melihat Yuan, dia mengira pemuda asing itu adalah Hendrik yang menawannya. Dalam pandangannya, orang-orang asing itu seperti sama semua! Maka dia lalu menghardik, “Jangan harap aku mau menyerah, manusia hina! Bunuhlah kalau kau mau membunuhku...”

“Sssttt...!”

Melihat pemuda itu menaruh telunjuk di depan bibir dan mengeluarkan seruan tanda agar dia tidak mengeluarkan suara, Li Hwa terheran dan memandang lebih teliti kepada pemuda itu. Sekarang setelah sinar api unggun menerangi wajah itu, barulah dia sadar bahwa bukanlah pemuda asing yang tadi menawannya. Tubuh pemuda itu lebih jangkung, perutnya tidak gendut dan pada wajah yang tampan ini tidak terdapat sinar mata yang penuh nafsu. Tidak, bahkan sinar mata yang berwarna biru itu amat lembutnya, kini memandangnya dengan penuh iba.

“Nona, aku datang untuk menolongmu...” Pemuda itu berbisik dan berjong-kok di belakangnya.

Namun, di dalam hati Li Hwa sudah terdapat bibit kebencian terhadap orang--orang asing. Pertama karena kenyataan bahwa orang-orang itu bersekutu dengan para pemberontak. Kedua kalinya, dia mengalami penghinaan dari Hendrik yang menawannya. Maka terhadap pemuda yang hendak menolongnya ini pun dia bersikap angkuh dan tidak bersahabat.

“Aku tidak minta pertolonganmu!”

Pemuda itu menghela napas panjang. “Aku tahu, dan engkau memang seorang dara perkasa yang hebat, Nona. Seorang
berjiwa panglima yang patut dihormati. Dan karena itulah maka aku harus meno-longmu.” Sambil berkata demikian, Yuan de Gama mulai berusaha membuka be-lenggu itu dari kedua tangan Li Hwa.

Karena gembok yang dipakai mematikan mata rantai belenggu itu cukup kuat, maka tidaklah mudah bagi Yuan untuk membukanya sehingga dia harus menge-rahkan seluruh tenaganya.

“Mengapa kau menolongku?” Melihat usaha pemuda itu, Li Hwa tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya kare-na bukankah di antara mereka terdapat permusuhan?

“Aku kagum akan kegagahanmu, Nona. Dan aku muak melihat perbuatan Hendrik yang menyimpang dari tugasnya, hanya mementingkan kesenangan pribadi.”

Akhirnya, setelah lebih dahulu men-jauhkan bungkusan mesiu dari api, Yuan de Gama berhasil melepaskan belenggu pada kaki dan tangan Li Hwa. Gadis itu melompat berdiri, akan tetapi karena kepalanya masih nanar oleh hantaman ledakan tadi, dan kakinya juga kaku ka-rena lama dibelenggu, dia terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat-cepat dia dipeluk oleh Yuan de Gama.

“Lepaskan aku!” Li Hwa meronta. “Apa kaukira setelah menolongku, kau boleh memangku sesuka hatimu?”

Yuan cepat melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, alisnya berkerut dan pandang matanya tajam menusuk. “Nona, harap jangan menyamaratakan orang begitu saja. Kalau tidak melihat engkau hendak jatuh, tentu aku tidak berani menyentuhmu.”

Sejenak mereka berpandangan dan Li Hwa menunduk, kedua pipinya menjadi merah. Dia tahu bahwa betapa sikapnya tadi memang amat buruk. Akan tetapi, bukankah pemuda asing ini juga musuh-nya? Musuh negaranya? Ingatan itu me-ngeraskan hatinya dan dia mendengus, melempar muka ke samping, membalik-kan tubuh lalu melangkah hendak pergi.

“Tahan dulu, Nona...!” Yuan de Gama cepat mengejar. “Nona, kau masih amat lelah... dan pasukanmu telah melarikan diri keluar dari tempat ini. Kalau kau -pergi begitu saja, tentu kau akan ter-tangkap kembali. Di mana-mana terdapat penjaga...”

“Haiii... Nona yang manis, apakah engkau belum merobah pikiranmu?” Tiba--tiba terdengar teriakan Hendrik dari dalam pondok.

Yuan de Gama terkejut, cepat ia me-nyambar tangan Li Hwa dan berkata, “Mari ikut dengan aku. Cepat...!”

Kini mengertilah Li Hwa bahwa pe-muda ini benar-benar hendak menolong-nya dan agaknya tidak mempunyai niat buruk di balik itu, maka dia membiarkan dirinya ditarik dan dibawa pergi menye-linap di antara pohon-pohon dan kegelap-an malam sampai mereka berada jauh dari pondok terpencil itu.

AKAN tetapi kembali mereka terpaksa harus berhenti dan bersembunyi di balik pohon-pohon ketika mereka melihat belasan orang perajurit meronda tak jauh dari situ. Setelah para peronda itu lewat, Yuan berbisik, “Nona sungguh berbahaya untukmu keluar dari perkampungan ini. Ketahuilah, setelah terjadi perang siang tadi, seluruh perkampungan diadakan perondaan dan sekitar perkampungan dijaga ketat. Dan malam ini juga engkau harus dapat lolos dari sini, karena kalau sampai besok engkau tak dapat keluar, tentu tidak mungkin lagi menyembunyikan diri.”

“Aku tidak takut! Aku akan melawan sampai titik darah terakhir!”

Yuan memandang kagum sekali sungguhpun wajah dara itu tidak kelihatan jelas di dalam gelap, “Selama aku hidup, baru sekarang aku bertemu dengan seorang wanita gagah seperti engkau, Nona. Banyak sudah kubaca dalam kitab tentang pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa di negerimu yang aneh ini, akan tetapi aku masih belum percaya. Sekarang baru aku percaya, dan aku kagum sekah kepadamu, aku harus menolongmu keluar dari tempat ini, malam ini juga.”

Kata-kata pemuda itu juga amat mengherankan hati Li Hwa. Betapapun kagumnya, mana mungkin ada musuh menolong musuhnya? Apalagi pemuda itu tahu bahwa dia adalah pemimpin pasukan pemerintah yang akan membasmi kaum pemberontak!

“Engkau siapakah?”

Yuan de Gama membungkuk dengan lengan kanan melintang di depan perutnya. “Aku bemama Yuan de Gama. Ayahku adalah Richardo de Gama, pemilik Kapal Kuda Terbang dan...”

“Dan kalian orang-orang asing membantu para pemberontak!”

Yuan de Gama menggeleng kepala dengan penuh penyesalan. “Aku tidak berniat demikian, Nona. Juga kawan-kawanku tidak berniat membantu pemberontak. Akan tetapi kami hanya ingin mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Karena penjabat pemerintahmu melarang, dan karena para pembesar yang kami bantu ini menyanggupi untuk membolehkan kami berdagang...”

“Sudahlah, apa pun alasannya, yang jelas kalian adalah orang-orang asing yang membantu pihak pemberontak!”

“Memang tiada gunanya kita berdebat tentang itu, Nona. Kita hanyalah pelaksana-pelaksana belaka, yang mengatur semua itu adalah orang-orang atasan. Yang penting sekarang, aku harus menolongmu keluar dari sini dan pada saat seperti ini, kuharap kau tidak menganggapku sebagai musuh, Nona.”

Li Hwa mengerutkan alisnya. Kalau keadaan tidak seperti itu, tentu sudah sejak tadi dia menyerang dan membunuh pemuda musuh negara ini!

“Kalau sampai kau ketahuan menolongku lolos?”

Yuan tersenyum dan menggerakkan pundaknya yang bidang. “Yaahh, apa boleh buat! Sudah nasibku mati diberondong senapan oleh bekas anak buahku sendiri sebagai seorang pengkhianat.”

Li Hwa bergidik. Dia sudah pernah melihat seorang anak buahnya terluka oleh peluru senapan, senjata rahasia yang mengerikan dari pihak orang-orang asing itu. Dan akibatnya benar-benar mengerikan. Anak buahnya itu meraung-raung karena nyeri dan lukanya itu seperti dibakar rasanya.

“Dan kau rela terancam bahaya untuk menolong aku, seorang musuh?”

“Hiisshh, Nona. Sudah kukatakan, pada saat ini kau bukan musuhku, dan mudah-mudahan aku bukan musuhmu. Engkau bagiku adalah seorang pendekar wanita yang amat hebat dan amat kukagumi. Marilah...”

Kembali Yuan menggandeng tangan Li Hwa dan dara ini menurut saja ketika dia dibawa menyelinap ke sana-sini, kadang-kadang mendekam di balik rumah-rumah atau pohon-pohon. Tak lama kemudian mereka sudah berada di sekitar pagar tembok yang mengelilingi pekarangan itu.

Tiba-tiba terdengar suara dalam bahasa asing. Mendengar ini, Yuan cepat menarik Li Hwa dan keduanya bertiarap, menelungkup di balik rumpun alang-alang. Suara itu adalah suara Hendrik yang berteriak-teriak kepada para penjaga, “Jangan sampai dia lolos! Tawananku itu adalah pemimpin pasukan musuh yang menyerbu siang tadi. Awas, siapa yang dapat menangkapnya, hidup atau mati, akan kuberi hadiah besar, akan tetapi yang membiarkannya lolos, akan kuhukum!”

Yuan dan Li Hwa bersembunyi sampai suara Hendrik itu lenyap dan orangnya pergi dan dengan lirih Yuan berbisik, “Tadi adalah Hendrik yang menawanmu. Sekarang semua penjaga di sekeliling perkampungan ini telah tahu bahwa engkau lolos dari tahanan Hendrik dan mereka tentu mengerahkan seluruh perhatian untuk menemukanmu. Hal ini membuat usaha kita makin sulit. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan usahaku meloloskanmu, aku ingin mengetahui apakah engkau benar-benar telah percaya kepadaku, Nona?”

“Hemmm... percaya dalam hal apa?”

“Bahwa aku hanya ingin menolongmu, karena kekagumanku terhadap dirimu, tidak ada lain hal yang tersembunyi di balik itu.”

Sampai lama mereka berpandangan dalam gelap, muka mereka tidak begitu jauh jaraknya karena mereka berdua bertiarap di dalam semak-semak. Akhirnya Li Hwa mengangguk. “Aku percaya kepadamu, sungguhpun aku sendiri heran mengapa aku harus percaya kepada seorang asing, seorang musuh.”

Yuan tersenyum. “Bagus, Nona. Bolehkah aku mengetahui namamu?”

Kembali Li Hwa meragu. Sampai lama, setelah dia menimbang-nimbang, barulah dia menjawab, “Namaku Souw Li Hwa, dan guruku adalah Panglima Besar The Hoo.”

“Ya Tuhan...!” Yuan de Gama berseru lirih dan pandang matanya makin kagum lagi. “Nama besar gurumu itu siapa yang tidak tahu? Pantas saja kalau begitu! Kiranya Nona adalah murid orang luar biasa itu?”

“Sekarang bagaimana engkau akan meloloskan aku dari sini? Kurasa jalan satu-satunya hanya menerjang ke luar. Aku tidak takut, biar aku menerjang ke luar dan tidak perlu kau mengkhianati teman-temanmu sendiri.”

“Tidak...! Jangan lakukan itu, Nona...! Penjagaan amat ketat dan mereka telah mempersiapkan senjata api, kau tentu akan tertawan kembali atau tertembak mati. Kalau hal itu terjadi, aku akan menyesal dan hidup menderita selamanya! Marilah, aku mempunyai akal asal engkau benar-henar percaya kepadaku. Mari!” Yuan lalu menggandeng tangan dara itu menyelinap melalui tempat gelap menuju ke sebuah pintu gerbang yang dijaga belasan orang penjaga terdiri dari perajurit-perajurit pemberontak dan beberapa orang asing. Li Hwa melihat betapa orang-orang asing itu memegang senjata api mereka dalam keadaan siap. Andaikata dia tidak gentar menghadapi senjata rahasia itu, kalau hanya belasan orang yang menjaga di situ, tentu dia akan sanggup untuk merobohkan mereka, atau setidaknya meloloskan diri dari pintu gerbang itu. Akan tetapi dia bersama Yuan, kalau sampai mereka mengenalnya bersama-sama pemuda asing yang menolongnya ini tentu Yuan akan dianggap pengkhianat dan pemuda itu akan celaka. Maka dia diam dan menurut saja ketika Yuan menggandengnya mendekati pintu gerbang, tidak tahu bagaimana pemuda itu akan menyelamatkannya.

Ketika Yuan dan Li Hwa sudah tiba dekat sekali dengan pintu gerbang, di bagian yang akan gelap, tidak tertimpa langsung oleh lampu yang tergantung di pintu gerbang, terdengar seorang di antara para penjaga menghardik, “Heiii! Berhenti! Siapa di situ?”

Semua urat syaraf di tubuh Li Hwa sudah menegang dan dara ini sudah siap untuk menerjang maju. Akan tetapi Yuan merangkulnya dan berbisik, “Nona, jangan bergerak. Ingat, kau sudah percaya ke-padaku, kau menurut saja...”

Empat orang penjaga berlari mende-kati dan pada saat itu, Yuan merangkul leher Li Hwa dan mencium bibir dara ini, mendekap muka itu dengan ketat sehingga muka Li Hwa tidak tampak, tertutup oleh mukanya sendiri. Kemudian, dia mendekap kepala Li Hwa, wajah dara itu disembunyikan di dadanya, dan dia membentak, “Kurang ajar! Berani kalian mengganggu kesenanganku?”

“Ohhh... ahhh... Tuan Yuan de Ga-ma... maafkan kami! Kami telah meneri-ma perintah agar melakukan penjagaan keras...!”

“Aku tahu!” Yuan membentak. “Dan kalian harus menjaga baik-baik agar panglima wanita musuh itu jangan sampai lolos. Dia pandai sekali, mungkin akan melompati pagar tembok. Tak mungkin dia melalui pintu gerbang. Hemm, sung-guh menjemukan, tidak ada tempat yang aman untuk bermain cinta. Aku mau keluar saja, mencari tempat sunyi. Hayo, manis...”

Yuan de Gama menggunakan mantelnya untuk menyelimuti Li Hwa dan dia membawa Li Hwa yang masih dirangkulnya itu keluar melalui pintu gerbang, ditonton oleh belasan orang itu yang saling lirik dan menyeringai.

Li Hwa sendiri sudah hampir pingsan sejak dia diciumi oleh Yuan de Gama tadi. Tubuhnya menggigil, kaki tangannya menjadi dingin dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dalam waktu satu malam, dia telah diciumi oleh dua orang laki--laki, dua orang asing dan dicium dengan cara yang sama sekali belum pernah di-dengarnya, apalagi dialaminya! Ketika Hendrik mencium dan mengecup bibirnya, dia merasa amat marah, benci, dan muak sehingga dia menggigit bibir pemuda asing itu untuk menyerangnya, membuat bibir Hendrik terluka berdarah dan ham-pir terobek putus! Akan tetapi, ketika Yuan de Gama menciumnya, biarpun dia merasa terkejut sekali namun dia mak-lum bahwa pemuda ini menciumnya bukan karena dorongan nafsu dan bukan untuk berkurang ajar, melainkan untuk menyelamatkannya. Pula, dia merasa bedanya ciuman antara kedua orang pria itu. Ketika Yuan menciumnya, dia merasa seolah-olah tubuhnya melayang naik ke angkasa, tubuhnya lemas dan ia seperti di alam mimpi!

“Ha-ha-ha...!” Terdengar empat orang asing yang berjaga di situ tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Li Hwa.

“Heran sekali,” kata seorang di antara para penjaga bersenjata tombak, “Tuan Yuan de Gama lebih senang bercinta di tempat terbuka, padahal sudah disediakan kamar-kamar dan tempat tidur yang lunak. Aneh...!”

“Mengapa aneh?” bantah yang lain. “Mereka itu memang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang berbeda dengan kita. Yang untung adalah wanita itu. Hemmm... Tuan Yuan de Gama adalah seorang pemuda yang biasanya pantang bercinta dengan wanita-wanita yang disediakan untuk mereka, dan selain paling tampan, juga paling baik budi dan paling kaya!”

Mendengar kata-kata antara kedua orang penjaga itu, bermacam perasaan mengaduk hati Li Hwa. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya sampai mereka tiba jauh dari pintu gerbang dan tiba-tiba Yuan melepaskan rangkulannya.

“Nah, sekarang sudah aman, Nona Li Hwa.”

Mereka berdiri berhadapan. Bintang-bintang memenuhi angkasa, mencurahkan sinar redup dingin sehingga mereka dapat saling memandang dalam keadaan remang-remang.

“Yuan de Gama...” Li Hwa akhirnya dapat mengeluarkan suaranya. Lirih na-mun penuh perasaan. “Aku akan meng-anggapmu sebagai...”

“Yaaa...?”

“Seorang yang baik hati dan...”

“Hemmm...?”

“... sebagai seorang yang kurang ajar!”

“Begitukah, Nona Li Hwa?”

“Untuk kebaikan hatimu, aku berterima kasih kepadamu.”

“Tidak usah berterima kasih!”

“Dan untuk kekurangajaranmu...”

“Kekurangajaran yang mana?”

“... ketika kau... kau menciumku tadi...”

“Aahhh, aku tidak berniat kurang ajar...”

“Betapapun juga, Yuan de Gama, kau telah berlaku tidak sopan, dan untuk itu... aku akan...”

“Yaaa...?”

“Plakkkk!” Pipi kiri Yuan de Gama ditampar oleh telapak tangan Li Hwa. Dara itu tidak mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi tetap saja tamparan itu membuat pipi Yuan kemerahan dan tampak bekas jari-jari tangan kecil di atas kulit pipi itu.

“Nona, terima kasih atas kebaikanmu...”

“Jangan kau mengejek. Aku menamparmu karena mengingat akan kekurangajaranmu tadi.”

“Untuk ciuman-ciuman itu Nona, walaupun kulakukan bukan karena hendak kurang ajar kepadamu atau hendak menghinamu, aku rela menerima tamparanmu, bahkan kalau kau masih penasaran, boleh kautampar lagi sesukamu...”

“Ehhh...” Li Hwa berseru heran, tidak menyangka pemuda itu akan berkata demikian.

“Benar Nona. Karena... semenjak aku melihatmu, apalagi setelah menyaksikan kegagahanmu, tahulah aku bahwa aku jatuh cinta kepadamu, Nona.”

“Ihhh...!”

“Terserah kepadamu kalau kauanggap aku kurang ajar. Biar kau hendak membunuhku sekalipun, takkan dapat kau memaksaku untuk menarik kembali kata-kataku. Aku cinta kepadamu, Souw Li Hwa...”

“Aihhh...!” Li Hwa mundur-mundur dengan muka pucat, jantungnya berdebar tidak karuan, kemudian terdengar isak naik dari dadanya, tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat pergi dari tempat itu.

“Souw Li Hwa, aku cinta kepadamu...” Yuan de Gama berteriak

Naik sedu-sedan di tenggorokan dara itu, akan tetapi dia terus melarikan diri secepatnya, tidak mempedulikan beberapa butir air mata yang turun di atas kedua pipinya. Dia merasa takut. Takut kepada dirinya sendiri. Mengapa dia tidak membenci Yuan seperti dia membenci Hendrik setelah Yuan menciumnya? Bahkan ada rasa senang dicium oleh pemuda itu? Mengapa hatinya berdebar dengan perasaan nyaman akan tetapi tegang ketika Yuan menyatakan cintanya kepadanya? Padahal ketika Hendrik menyatakan cintanya, dia merasa muak dan terhina?

Li Hwa berlari cepat dan pada ke-esokan harinya barulah dia dapat berte-mu dengan sisa pasukannya. Para perwira menjadi girang sekali ketika melihat munculnya dara itu, dan Li Hwa mende-ngar dengan hati penuh penasaran betapa pasukannya terpaksa melarikan diri ka-rena kalah banyak dan kalah kuat, apala-gi setelah pemimpin mereka, dara perka-sa itu lenyap.

“Pasukan mereka lebih besar. Kita harus mencari bantuan. Dan bagaimana dengan tawanan kita, Yap Kun Liong si gundul itu?”

“Kami tidak melihatnya lagi dalam keributan itu, Nona,” jawab seorang per-wira tua.

“Hemm, apa yang terjadi setelah terjadi peledakan yang membuat aku pingsan dan tertawan musuh?”

Para perwira lalu menceritakan beta-pa ledakan itu membuat tempat bekas rumah itu berlubang dan sekilas tampak sebuah bokor emas. Karena ada yang berteriak melihat benda itu sebelum air sungai membanjir masuk menutupi lu-bang, maka terjadilah perebutan dan per-tempuran di air yang menutupi tempat itu.

“Lalu, bagaimana? Di mana bokor itu?” Li Hwa bertanya penuh ketegangan dan tahu bahwa Kun Liong tidak berbo-hong dan benar-benar bokor emas berada di tempat itu.

“Itulah anehnya, Nona. Tidak ada yang melihat siapa yang telah berhasil mendapatkan bokor itu. Mungkin juga sudah terjatuh ke dalam tangan sese-orang. Kami terpaksa mengundurkan diri keluar dari tempat itu karena kalau dilanjutkan, tanpa adanya Nona yang me-mimpin kami, tentu kami semua akan binasa. Andaikata ada Nona di sana, biarpun diharuskan bertempur sampai hancur semua, tentu saja kami bersiap sedia.”

Li Hwa mengerutkan alisnya. Celaka sekali kalau bokor yang sudah hampir ditemukannya itu terjatuh ke tangan orang lain. Dan pasukannya sudah lelah, juga berkurang kekuatannya untuk me-nyerang sarang pemberontak kurang kuat.

“Kalian tunggu saja di sini, awasi gerak-gerik musuh. Aku sendiri akan me-laporkan kepada Suhu dan mendatangkan bala bantuan.” Akhirya dia mengambil keputusan dan pada pagi hari itu juga dia berangkat menunggang kuda ke kota raja untuk melapor kepada suhunya, Panglima Besar The Hoo.

Ke mana perginya Yap Kun Liong? Pada saat terjadi ledakan, dia dapat menyelamatkan diri dengan bertiarap. Dari tempat dia bertiarap itu, tampak jelas ketika bekas rumah berubah menja-di sebuah kubangan yang dalam dan ke-tika ada orang berteriak tentang bokor, dia cepat melihat dan dia pun menyaksi-kan bokor itu sebelum air sungai datang menerjang!

Kun Liong cepat membiarkan dirinya ditelan air sungai dan dia terus merang-kak dan menyelam ke arah tempat disimpannya bokor emas itu. Sebelum orang lain sempat mencari bokor karena mereka itu sudah sibuk saling serang di air sedalam pinggang itu, Kun Liong sudah berhasil mengambil bokor emas itu, dimasukkannya di dalam bajunya yang basah kuyup dan dia memperguna-kan keadaan kacau-balau itu untuk me-larikan diri keluar dari kubangan. Kalau tidak teringat kepada Li Hwa, tentu dia sudah melarikan diri keluar dari perkam-pungan itu. Akan tetapi, dia mengkhawa-tirkan keadaan Li Hwa, maka dia mulai mencari gadis itu setelah pertempuran selesai karena pihak pasukan pemerintah mengundurkan diri ke luar tempat itu.

Dari tempat persembunyiannya, dia melihat Li Hwa yang dibelenggu di luar rumah terpencil oleh Hendrik. Akan te-tapi sebelum dia dapat turun tangan menolong tiba-tiba muncul Yuan de Ga-ma. Dengan hati penuh rasa suka dan kagum kepada pemuda asing ini, Kun Liong melihat betapa Yuan menyelamatkan Li Hwa. Bahkan dia terus memba-yangi mereka ketika mereka berusaha keluar dari tempat itu melalui pintu ger-bang.

Jantungnya berdebar tegang ketika dia menyaksikan dari tempat gelap beta-pa Yuan dalam usahanya menyelamatkan Li Hwa, telah mendekap dan mencium gadis cantik itu dengan amat mesranya. Ciuman bibir! Hatinya makin tertarik untuk melihat bagaimana nanti sikap Li Hwa. Dia mempergunakan kegesitannya
untuk melompati pagar tembok selagi para penjaga tertarik perhatian mereka kepada Yuan de Gama.

Ketika dia melihat Li Hwa menampar Yuan dan mendengarkan pembicaraan mereka, diam-diam Kun Liong merasa geli dan dia tertawa sendiri. Akan tetapi hatinya terharu ketika mendengar penga-kuan Yuan de Gama tentang cintanya kepada dara itu!

“Hemmm, Yuan, kau seorang laki--laki tolol!” Kun Liong berbisik sendiri. “Begitu mudah jatuh cinta! Cinta seperti itu hanya mendatangkan siksaan di hati sendiri...”

Dia lalu meninggalkan tempat itu, di sepanjang jalan termenung. Kalau dia bersikap seperti Yuan mudah saja menjatuhkan hatinya ke dalam jurang asmara, agaknya sudah beberapa kali dia jatuh cinta. Kepada Hwi Sian, kepada Bi Kiok, kepada Giok Keng dan mungkin kepada Li Hwa sendiri. Tidak, dia tidak akan mudah saja jatuh cinta, biarpun harus dia akui bahwa dia amat suka kepada gadis--gadis jelita itu! Mata keranjang! Entah-lah, akan tetapi betapa mata tidak akan merasa nyaman dan sedap memandang, betapa hati tidak akan merasa suka, kalau melihat bunga-bunga indah dan harum? Bunga seruni, bunga mawar, bu-nga bwee, semua bunga tentu akan men-datangkan rasa suka. Demikian pula, se-mua dara yang manis akan menimbulkan rasa suka di dalam hatinya. Akan tetapi cinta asmara? Nanti dulu! Cinta macam itu berarti melekatkan diri kepada se-seorang, dan sekali melekat berarti me-nimbulkan kemungkinan terluka kalau lekatan itu dipaksa terlepas dan putus!

Bokor yang telah kembali kepadanya itu memberatkan hatinya. Dia harus me-nyerahkan bokor itu kepada yang berhak, yaitu kepada Panglima Besar The Hoo. Sungguh berbahaya kalau terlalu lama berada di tangannya, karena dia tahu betapa semua orang gagah di dunia kang--ouw dan tokoh kaum sesat saling mem-perebutkan bokor emas ini. Dia sendiri sama sekali tidak ingin memilikinya, juga setelah tahu bahwa benda ini adalah barang curian, dia sama sekali tidak ingin tahu rahasia apa gerangan yang dikandung benda pusaka yang diperebut-kan ini. Makin cepat dia terlepas dari benda ini makin baik!

Selagi dia berjalan scorang diri melalui hutan yang lebat, tiba-tiba tampak olehnya bayangan-bayangan orang berkelebatan dan dia memandang terbelalak ketika dirinya telah terkurung oleh bebe-rapa orang. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa di antara sembilan orang itu terdapat para datuk kaum sesat yang telah dikenalnya, yaitu empat orang di antara mereka. Si Kakek Gila Toat-beng Hoat-su, kakek muka hitam Hek-bin Thian-sin yang bersekutu dengan pembe-rontak, kakek gila raja ular Ban-tok- Coa-ong Ouwyang Kok, dan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Lima orang lainnya tidak dikenalnya, akan tetapi dapat di-duga bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi! Ketika melihat bah-wa di antara lima orang ini terdapat seorang wanita setengah tua yang cantik, dengan kuku tangan yang panjang merun-cing, dia cepat bertanya, “Apakah Lo-cianpwe yang bemama Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio?”

Para datuk kaum sesat itu, terutama sekali Kwi-eng Niocu, merasa heran se-kali menyaksikan sikap pemuda gundul yang amat berani itu. Sudah dikepung oleh sembilan orang termasuk lima orang datuk kaum sesat sehingga boleh dikatakan bahwa nyawanya berada di ambang pintu maut, masih bersikap enak-enak bahkan bertanya kepada Kwi-eng Niocu, seperti orang hendak berkenalan saja!

“Sudah tahu namaku, lekas berlutut dan serahkan bokor kepadaku!” kata Kwi--eng Niocu dengan suara halus, akan tetapi suara halus dan senyum manis wanita ini membuat Kun Liong merasa ngeri ka-rena dia dapat menangkap kekejaman hebat yang bersembunyi di balik sikap manis itu. Akan tetapi dia tidak peduli, lalu menoleh kepada Bu Leng Ci, berta-nya, “Aihh, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci juga hadir! Bagaimana, Locianpwe, apa-kah baik-baik saja? Dan mengapa Adik Bi Kiok tidak ikut serta?”

Bu Leng Ci hanya mendelik dengan pandang mata marah, kemudian membentak, “Berikan bokor kepadaku kalau kau ingin hidup!”

Kun Liong memandang kepada para datuk itu bergantian sambil berkata, “Hemmm, para Locianpwe hadir semua, Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong, juga Hek-bin Thian-sin! Lengkap! Kehormatan apakah yang akan diberikan kepada seorang muda bodoh seperti aku?”

Tiga orang kakek itu saling pandang dan diam-diam mereka ini merasa kagum juga. Bocah gundul itu benar-benar seorang yang memiliki keberanian luar biasa!

“Serahkan bokor!” Serentak mereka berseru.

Kun Liong mengerti bahwa menghadapi lima orang datuk kaum sesat itu, apalagi masih ada empat orang kakek lain yang tak dikenalnya, dia takkan dapat menyelamatkan bokor itu, bahkan dirinya sendiri terancam bahaya maut. Namun dia tidak memikirkan hal itu semua karena dia sudah menjadi marah mempertahankan kebenaran mengenai bokor itu dan berkata nyaring, “Cuwi adalah orang-orang pandai yang telah terkenal di dunia, mengapa berpemandangan begitu dangkal?” Dia mengeluarkan bokor dari balik bajunya kerena dia dapat menduga bahwa mereka itu yang amat lihai tentu sudah tahu bahwa bokor berada di tangannya, apalagi kelihatan menjendol di balik bajunya. Dia mengangkat bokor tinggi-tinggi sambil melanjutkan kata-katanya, “Cuwi (Anda Sekalian) mengerti semua bahwa bokor emas ini adalah pusaka milik Panglima Besar The Hoo yang lenyap dicuri orang. Secara kebetulan saja aku menemukan bokor ini, maka sepatutnya kukembalikan kepada yang berhak.”

Melihat bokor emas itu, mata sembilan orang itu melotot dan tangan mereka sudah bergerak hendak merampas. Melihat ini, Kun Liong maklum bahwa agaknya tidak terdapat kerja sama antara mereka! Agaknya mereka itu akan memperebutkan bokor! Maka dia cepat menpangkat tangan kirinya ke atas dan berseru, “Tahan! Kwi-eng Niocu, engkau telah menyuruh orang-orangmu mengambil dua buah pusaka Siauw-lim-pai, mengapa masih menghendaki bokor? Maukah kau menukar dua pusaka itu dengan ini?”

“Berikan bokor dan akan kukembalikan pusaka Slauw-lim-pai!” jawab wanita itu.

“Dan bagaimana engkau akan mengembalikan nyawa Thian Le Hwesio?”

“Bukan kami yang membunuhnya!”

“Niocu, mengapa melayani dia mengobrol? Bocah gundul, berikan bokor itu!” Hek-bin Thian-sin sudah menyambar ke depan untuk merampas bokor dari tangan Kun Liong. Akan tetapi pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Serbuan Si Muka Hitam itu agaknya merupakan komando karena serentak mereka semua bergerak menubruk!

“Kwi-eng Niocu, terimalah...!” Kun Liong berseru dan melemparkan bokor itu kepada Ketua Kwi-eng-pang. Tentu saja Kwi-eng Niocu menjadi girang dan cepat menerima bokor itu dan melesat dengan gerakan cepat pergi dari situ.

“Eh-eh, perlahan dulu, Kwi-eng Nioeu!” empat orang datuk lainnya juga meloncat dan mengejar!

Empat orang kakek lainnya agaknya merasa ragu-ragu untuk ikut mengejar, maka mereka lalu menubruk Kun Liong sambil berkata, “Engkau ikut dengan kami!”

Kun Liong tadi sengaja melemparkan bokor emas kepada Kwi-eng Niocu bukan tanpa perhitungan yang matang. Dia tahu bahwa andaikata dia mempertahankan bokor itu pun akan percuma saja dan akhirnya bokornya pun tentu akan terampas dari tangannya. Dia tidak tahu di mana tempat tinggal Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, sedangkan Hek-bin Thian-sin telah bersekutu dengan pemberontak dan orang asing. Kalau bokor terjatuh ke tangan seorang di antara tiga orang kakek ini, akan sukar baginya untuk kelak mendapatkan kembali. Akan tetapi satu-satunya orang yang dia ketahui alamatnya di antara mereka, adalah Kwi-eng Niocu, dan juga Siang-tok Mo-li, akan tetapi dia lebih condong untuk menyerahkan bokor kepada Ketua Kwi-eng-pang, karena dia masih mempunyai urusan dengan wanita itu mengenai dua buah pusaka Siauw-lim-pai dan kematian Thian Le Hwesio.

Ketika empat orang kakek yang tak dikenalnya menubruknya, Kun Liong tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia telah mengerahkan Thi-khi-i-beng yang belum lama ini dia pelajari dari Pende-kar Sakti Cia Keng Hong.

“Plak-plak-plak-plak!!” Empat buah tangan mencengkeram pundak dan tangan Kun Liong.

“Auuuuhhh...!”

“Heeiiii...!”

“Aduhhh...!”

“Lepaskan...!”

Empat orang kakek itu terkejut se-tengah mati ketika mereka merasa beta-pa telapak tangan mereka menempel dan melekat pada tubuh pemuda gundul itu dan yang membuat mereka terbelalak meronta-ronta dengan kaget adalah beta-pa hawa sin-kang mereka yang tersalur melalui tangan yang mencengkeram itu kini membanjir ke luar memasuki tubuh pemuda gundul itu.

“Ihhhh... lepaskan... apa yang kalian lakukan? Panaaasss... ihh, panas...!” Kun Liong meronta-ronta. Dia sudah mempelajari Thi-khi-i-beng, sudah me-nguasai ilmu mujijat ini, akan tetapi belum pernah dia mempergunakannya. Biarpun dia telah mendengar penjelasan dan keterangan Cia Keng Hong, namun begitu sekarang mengalami sendiri betapa hawa sin-kang empat orang itu menero-bos memasuki tubuhnya, dia merasa ter-kejut, ngeri, dan juga geli sehingga dia malah berteriak-teriak dan sejenak lupa bagaimana harus berbuat. Melihat keada-an Kun Liong, empat orang itu makin mengerahkan tenaga untuk melepaskan tangan mereka. Celaka bagi mereka, makin kuat mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula hawa sin-kang mereka mengalir keluar memasuki tubuh pemuda itu.

Kun Liong gelagapan. Terasa benar betapa tenaga sin-kang lawan membanjiri tubuhnya, membuat napasnya sesak, kepalanya pening. Dengan ubun-ubun terasa berdenyutan keras, dia mengerahkan ingatan akan pelajaran Thi-khi-i-beng dan terdengarlah kembali olehnya penjelasan Cia Keng Hong. “Thi-khi-i-beng menciptakan daya sedot yang luar biasa dan amat berbahaya kalau hawa sin-kang lawan tersedot olehmu. Banjir hawa sin-kang itu dapat membuat kau menjadi panik. Kalau kau tidak dapat menguasainya, kelebihan hawa sin-kang, yang tiba-tiba memenuhi tubuh itu, kalau menyerang kepala dapat membuat engkau menjadi gila, kalau menerjang jantung dapat membuat jantung pecah. Selain itu, yang tersedot sin-kangnya dapat tewas pula. Maka, yang penting sekali, bersikaplah tenang, gerakkan sin-kang yang membanjir itu ke dalam pusar, kumpulkan di situ dan biarkan berputar-putar di pusar. Akan tetapi jangan lupa untuk lebih dulu membebaskan lawan yang bagian tubuhnya melekat padamu.”

Celaka, pikir Kun Liong! Dia telah lupa akan hal yang terpenting, yaitu melepaskan mereka. Cepat dia lalu menggoyang tubuhnya, seperti seekor anjing menggoyang tubuh untuk mengeringkan bulu-bulunya dan... tubuh empat orang itu terlempar ke kanan kiri dan terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan, wajah pucat dan napas empas-empis!

Kun Liong terhuyung-huyung ke depan, menghampiri empat orang itu dan matanya terbelalak ngeri. Celaka, jangan-jangan mereka itu mati! Akan tetapi tidak, mereka masih bernapas dan dengan hati penuh penyesalan dan ngeri Kun Liong cepat meninggalkan tempat itu. Ngeri dia kalau sampai orang-orang itu mati, mati di tangannya, mati kehabisan hawa sin-kang. Dia merasa seolah-olah menjadi seekor laba-laba yang telah menyedot kering empat ekor lalat, dihisap semua air dan darahnya! Ia bergidik dan terus berlari terhuyung-huyung. Mukanya sampai ke seluruh kepalanya merah sekali, matanya juga merah, napasnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau marah. Dia merasa seolah-olah dada dan pusarnya akan meledak karena penuh dengan hawa sin-kang yang berputar-putar. Dia merasa seolah-olah menjadi sebuah balon karet kepenuhan hawa.

Dengan pandang mata berkunang dan kepala pening Kun Liong berlari terus, menuju ke tempat dari mana dia mendengar suara hiruk-pikuk. Dia tidak sadar bahwa dia telah lari kembali ke arah perkampungan yang dijadikan sarang para pemberontak di tepi Sungai Huang-ho.

Ketika dia tiba di tepi sungai di luar perkampungan itup dia melihat banyak sekali tentara berperang dengan ramai-nya. Dia menjadi heran karena agaknya yang berperang itu kedua pihak adalah tentara pemerintah. Dalam kepeningannya dia sampai lupa bahwa yang memberon-tak juga tentara pemerintah. Dasar kepa-la lagi pening dan bingung. Melihat pe-rang dia malah mendekati untuk menon-ton!

Delapan orang tentara pemerintah mengenal Kun Liong sebagai bekas ta-wanan pemimpin mereka, maka serentak mereka menyerbu dengan tombak dan golok di tangan kanan, perisai di tangan kiri.

Kun Liong berdiri dengan tubuh ber-goyang-goyang seperti orang mabok ke-tika delapan orang perajurit itu menyer-bunya. Melihat banyak senjata ditujukan kepada dirinya, Kun Liong menggerakkan kedua tangannya, menyampok dan me-nangkis. Terdengar suara nyaring berke-rontangan, tombak, golok dan perisai beterbangan disusul tubuh delapan orang itu terlempar ke sana-sini. Ternyata bahwa dalam keadaan penuh dengan hawa sin-kang itu, gerakan kedua lengan Kun Liong mendatangkan hawa sin-kang yang amat kuat sehingga tanpa disadarinya sendiri, tangkisan itu selain membuat semua senjata terlempar dan patah-patah juga delapan orang itu kena hantam hawa sin-kang, terlempar dan roboh ping-san!

Kun Liong terbelalak, makin panik dia melihat hasil kedua tangannya. Dengan hati penuh penyesalan dia lalu menghan-tam sebatang pohon di kirinya.

“Desss...! Braaakkk...!” Pohon yang besarnya tiga kali tubuh orang itu roboh!

Kun Liong melanjutkan gerakannya, menghantam sebuah batu besar di sebe-lah kanannya.

“Desss... krekk!” Batu itu pecah dan dalam kemarahannya terhadap diri sendiri terdorong penyesalan babwa kem-bali dia mencelakai orang dengan pukulannya, pemuda ini terus menghantami pe-cahan batu sehingga batu-batu itu men-jadi hancur berkeping-keping.

Anehnya, kini kepeningannya berkurang dan napasnya menjadi enak kembali. Tahulah dia, bahwa itu adalah karena kelebihan sin-kang liar yang memutari sebelah dalam dada dan pusarnya telah tersalurkan keluar. Akan tetapi masih ada sin-kang yang “kelebihan”, sin-kang liar yang ditampungnya dari empat orang kakek tadi, yang masih berputar-putar di dalam perutnya, mengamuk seperti sege-rombolan setan mencari tempat tinggal.

“Ihhh, bocah setan...!” Terdengar seruan perlahan dari belakangnya.

Kun Liong membalikkan tubuhnya dan melihat ada seorang kakek tinggi kurus menyerangnya dengan tamparan hebat yang ditujukan kepada pundaknya, dia otomatis menggerakkan kedua lengan menangkis.

“Bressss...! Hayaaaa...!” Kakek itu terlempar sampai empat meter dan terbanting lalu bergulingan dan meloncat bangun dengan mulut terbuka lebar dan mata terheran-heran. Sedangkan Kun Liong sendiri terpelanting.

“Kun Liong, pengkhianat engkau!”

Bentakan halus ini membuat Kun Liong terkejut dan dia tidak melawan ketika Li Hwa memasangkan belenggu di kedua tangannya. Kakek tinggi kurus tadi menghampiri dan menggeleng kepala. “Hebat sekali engkau, orang muda... eihhh, bukankah engkau Yap-sicu yang kujumpai di Siauw-lim-si?”

Dengan kedua pergelangan tangan di-belenggu rantai baja kuat, Kun Liong menjura kepada kakek itu. “Harap To-taihiap suka memaafkan saya...”

“Aihhh, aku yang telah menyerangmu, melihat engkau merobohkan delapan orang perajurit kemudian mengamuk, menghantam pohon dan batu. Engkau hebat bukan main, Yap-sicu... akan teta-pi, eh, Nona Souw, mengapa dia dibe-lenggu?”

“Tio-lopek harap jangan mudah dike-labuhi bocah ini! Dialah yang telah mendapatkan bokor emas dan dia pula yang menyembunyikannya.”

“Ahhh...!” Tio Hok Gwan, yang berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal kepercayaan The Hoo yang mengantuk itu, kini berdiri dengan penuh keheranan, bersedakap dan memandang Kun Liong dengan matanya yang sipit hampir terpejam.

“Hayo katakan di mana kausembunyikan bokor itu!” Li Hwa kini membentak dan pedang yang telah dicabutnya menodong ulu hati Kun Liong.

Benturan tenaga sakti melawan pengawal she Tio tadi telah membikin normal kembali keadaan Kun Liong. Kini dia berdiri dan memandang dara jelita yang menodongnya dengan sinar mata tajam, alis berkerut dan bibir tersenyum mengejek.

“Aku tidak biasa bicara di bawah todongan pedang. Kalau kau bicara setelah ditodong, sama artinya bahwa aku takut akan pedangmu, Li Hwa. Kalau kau ingin membunuhku, teruskan saja tusukkan pedangmu. Mengapa ragu-ragu?”

Li Hwa merapatkan gigi dengan gemas. “Aku tahu bahwa engkau tentu telah mengambil bokor iti dan menyem-bunyikannya lagi. Engkau manusia palsu dan hatimu kotor, tidak sebersih kepala-mu!”

Panas rasa perut Kun Liong, akan tetapi dia menekan hatinya. “Masa bo-doh, aku baru mau bicara tentang bokor kalau engkau bersikap lebih manis kepa-daku. Kalau tidak, mau bunuh, mau tu-suk, mau bacok, terserah!” Dia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi gadis itu!

“Bedebah! Kalau kau tidak mengaku di mana kausimpan bokor itu, kau akan kubunuh!”

“Nona Souw... nanti dulu... Yap-sicu ini...”

“Tio-lopek, harap jangan mencampuri urusan ini. Suhu sendiri yang menyerah-kan tugas ini kepadaku!” Li Hwa berkata agak kaku.

Kakek itu mengangkat pundak. “Kalau begitu... aku akan membantu pasukan membasmi para pemberontak!” Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat pergi ke medan pertempuran yang ber-langsung ramai.

Mereka kini hanya berdua. Li Hwa sudah meloncat ke depan Kun Liong, mengelebatkan pedangnya. “Yap Kun Liong, kau masih keras kepala?”

“Souw Li Hwa, apa yang kaukehen-daki?”

“Katakan di mana kausimpan bokor itu!”

“Simpan dulu pedangmu dan bersikap-lah manis!”

“Tidak sudi!”

“Aku pun tidak sudi memberi kete-rangan.”

“Kau menantang?”

“Kau yang keterlaluan!”

“Kubunuh kau!”

“Terserah!”

Li Hwa dengan gemas menggerak--gerakkan pedangnya. Sinar pedang bergu-lung-gulung menyambar ke sekeliling tubuh Kun Liong. Pemuda ini mendengar suara kain robek berkali-kali, pandang matanya kabur oleh sinar pedang dan tak lama kemudian, ketika pedang berhenti bergerak, masih tampak robekan bajunya beterbangan ke bawah dan tubuh atasnya sudah telanjang sama sekali! Ternyata dara yang amat lihai ilmu pedangnya itu telah “mengupasnya” bulat-bulat. Kagum sekali hati Kun Liong karena gerakan pedang tadi memang luar biasa dan telah berhasil mengupas tubuh atasnya dengan merobek-robek bajunya tanpa mengenai kulit tubuhnya sedikitpun juga!
Akan tetapi dia menyembunyikan rasa kagumnya, bahkan tersenyum lebar dan berkata dengan nada mengejek sekali. “Nah, sudah puaskah, kau? Lihat bentuk tubuhku, baguskah? Li Hwa, setelah eng-kau melibat tubuhku tanpa tertutup baju, aku jadi ingin sekali melihat tubuhmu...”

“Plakkk!” Pipi kanan Kun Liong di-tampar oleh telapak tangan kiri yang halus namun penuh terisi tenaga itu sehingga ada warna merah bekas tangan dara itu di pipi Kun Liong.

“Laki-laki ceriwis!”

“Ha-ha, memang aku ceriwis. Akah tetapi engkau ini entah apa namanya yang sudah menelanjangi aku. Sekali waktu akan kubalas engkau!”

“Apa? Mau membalas tamparanku?”

“Bukan. Membalas karena engkau me-nelanjangiku.”

Sepasang mata yang bening itu terbe-lalak, dagu yang meruncing manis itu dijulurkan ke depan. “Kau... kau... hendak menelanjang... bedebah, manusia kurang ajar kau!” Kembali tangan kiri Li Hwa bergerak, akan tetapi ditahannya dengan alis berkerut dan marah.

“Souw Li Hwa, engkau menelanjangiku dengan perbuatan, aku hanya dengan kata-kata dan engkau sudah mengatakan kurang ajar. Engkau sungguh terlalu dan tidak adil!”

Sejenak Li Hwa memandang pemuda itu dengan hati tidak karuan rasanya. Selama hidupnya belum pernah dia berte-mu dengan orang seperti pemuda gundul ini yang begini berani, kurang ajar, akan tetapi juga tak dapat disangkal kebenaran ucapannya. Teringat akan bokor emas dan bahwa pemuda ini murid Bun Hoat Tosu, dia bersabar kembali dan bertanya, “Kun Liong, jangan engkau main-main. Aku sungguh tidak mengerti sikapmu. Engkau ini kawan ataukah lawan, engkau membela pemerintah ataukah memihak pemberontak. Sesungguhnya, di manakah adanya bokor itu?”

Kun Liong menarik napas panjang. “Nah, kalau begitu lebih baik. Kalau si-kapmu ramah dan halus, pada wajahmu terbayang kecantikan aseli dan engkau bertambah manis. Sungguh, Li Hwa. Se-orang dara jelita seperti engkau ini tidak patut kalau mudah marah dan bersikap kejam. Aku akan memberi penjelasan, akan tetapi sebelumnya aku minta supaya diberi sebuah baju lebih dulu. Aku tidak mau bicara denganmu dalam keadaan setengah telanjang begini!”

Li Hwa merapatkan giginya, akan tetapi dia kehabisan akal, tidak mau marah lagi karena memang kalau dipikir, dia telah bertindak keterlaluan dengan menghancurkan semua baju dari tubuh atas pemuda itu. Dengan nyaring dia lalu memanggil seorang perwira dan meme-rintahkan perwira ini mengambilkan sepo-tong baju untuk “tawanan” ini. Perwira itu memandang Kun Liong, tersenyum lalu mengambil sepotong baju, menyerah-kannya kepada Kun Liong, kemudian pergi lagi untuk melanjutkan pertempuran yang masih terjadi di luar perkampungan.

“Li Hwa, kaulepaskan dulu belenggu ini. Tanpa dilepaskan, bagaimana aku dapat memakai baju ini?”

Karena apa yang diucapkan pemuda itu memang benar, biarpun hatinya ge-mas bukan main, Li Hwa terpaksa mem-buka belenggu dengan kunci belenggu, akan tetapi begitu belenggu terputus, tampak sinar berkilat dan pedangnya sudah menodong lagi ke lambung pemuda itu.

Kun Liong melirik pedang, meman-dang wajah dara itu dan tersenyum le-bar, menggerakkan kedua pundak dan mengenakan pakaian itu seenaknya seper-ti mengulur waktu.

“Hayo, cepat!” Li Hwa menghardik.

Setelah Kun Liong selesai mengenakan baju, kembali belenggu itu dipasangkan kepada kedua pergelangan tangannya. Kun Liong tidak membantah, bahkan memandang dengan tersenyum, seolah-olah menghadapi seorang anak yang bengal.

“Nah, sekarang katakan di mana bo-kor itu.”

“Kalau sudah kukatakan, kau akan membebaskan aku?”

“Enak saja! Kalau aku sudah menda-patkan bokor itu, baru kau akan kubebas-kan.”

“Wah-wah, kalau begitu akan lama kita berkumpul. Hemm, aku senang ber-kumpul dengan seorang dara yang cantik menyenangkan seperti engkau, Li Hwa, heh-heh...”

“Lekas katakan di mana!” Li Hwa menghardik lagi dan kembali pedangnya sudah dicabut.

“Aduhh, galak benar, kau. Bokor itu telah terampas oleh Ketua dari Kwi--eng-pang...”

“Apa? Kwi-eng Niocu?”

“Benar. Tadi ada lima orang datuk kaum sesat, lengkap dan ditambah empat orang kakek yang tak kukenal, mengu-rungku dan karena aku merasa tidak sanggup menghadapi mereka, terpaksa aku tidak dapat mempertahankan bokor itu dan terampas oleh Kwi-eng Niocu. Dan memang sengaja kulemparkan kepa-danya.”

“Kausengaja?” Mata yang indah itu terbelalak, penuh keheranan dan kema-rahan.

“Mengapa kau berikan dia?”

“Karena aku menggunakan ini!” De-ngan kedua tangannya yang dibelenggu, Kun Liong mengusap kepalanya.

“Hemm, gundul seperti itu mana ada otaknya!” Li Hwa mengomel. “Hayo kata-kan, kenapa kau berikan wanita iblis itu?”

“Karena di antara lima orang datuk kaum sesat itu, hanya dialah yang sudah kuketahui dengan betul sarangnya, dan selain itu, juga aku masih mempunyai perhitungan dengan dia yang telah men-curi dua buah benda pusaka Siauw-lim--pai. Karena itu, biar sementara kutitip-kan bokor itu kepadanya.”

“Kautitipkan? Tolol! Bodoh sekali! Kalau dia ketahui rahasia bokor, celaka sekali. Aku harus cepat merampasnya kembali. Dasar kau tolol!”

“Memang aku tolol, habis mengapa?”

“Huh!” Li Hwa mendengus, kemudian dia memanggil seorang perwira, meme-rintahkan perwira itu untuk mengumpul-kan sepasukan kecil untuk menjaga Kun Liong.

“Jangan biarkan dia lari, kalau perlu bunuh saja!” dia memerintah.

“Wah, galaknya, Li Hwa, jangan kha-watir, aku tidak akan lari darimu, apa-lagi karena aku belum membalas per-buatanmu tadi.” Kun Liong tertawa ke-tika melihat belasan orang perajurit pe-merintah mengepungnya dan menjaganya dengan senjata terhunus.

Wajah Li Hwa menjadi merah sekali karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Kun Liong dengan pembalasan itu, maka tanpa bicara lagi dengan pedang terhunus di tangan dia sudah berlari cepat ke arah pertempuran untuk mem-bantu pengawal Tio Hok Gwan bersama pasukannya membasmi pemberontak, dan hal ini tidaklah sukar karena pemberon-tak telah mulai terdesak dan sudah ada yang melarikan diri. Ketika Li Hwa meninggalkan pasukannya yang tadinya me-ngalami kekalahan, di tengah jalan dia bertemu dengan pengawal tua pengantuk yang lihai itu bersama pasukannya, maka dia lalu mendapat bantuan dan bersama--sama pasukannya yang menanti, mereka lalu menyerbu perkampungan pemberon-tak dan sekali ini, karena jumlah pasukan pemerintah lebih besar, mereka berhasil mendesak kaum pemberontak yang diban-tu oleh orang-orang asing itu.

Karena kini jumlah pasukan pemerin-tah lebih banyak, terutama sekali karena amukan Tio Hok Gwan dan Souw Li Hwa perang itu tidak berlangsung ter-lalu lama dan pasukan pemberontak di-pukul hancur, banyak jatuh korban, ba-nyak para pimpinan pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik. Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li Hwa segera bersa-ma Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan me-ngumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat.

Setelah perang selesai dan anak buah-nya sibuk mengurus korban, karena pa-kaiannya kotor ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan, menanggalkan semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih peng-ganti di tepi sungai, kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup jernih di bagian itu.

Sambil merendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci se-luruh tubuhnya, merasa segar dan gem-bira. Akan tetapi sambil menggosok-go-sok tubuhnya, dia termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang terjadi selama beberapa hari ini. Terbayang di depan matanya wajah tiga orang pemuda yang amat mengesankan hati-nya dan yang menimbulkan bermacam perasaan. Wajah Hendrik yang telah menawannya, menciumnya dengan paksa, mendatangkan perasaan benci yang besar dan diam-diam mengharapkan agar pemu-da asing yang dibencinya itu tewas dalam perang atau setidaknya berada di antara para tawanan! Wajah ke dua ada-lah wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat akan Yuan, kedua pipi Li Hwa menjadi merah, Yuan juga menciumnya, mencium mulutnya dengan amat mesra, akan teta-pi bukan mencium dengan paksa atau sengaja untuk berbuat kurang sopan, melainkan ciuman untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga, ciuman untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa, teringat akan ini Li Hwa merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada keinginan mendesak di hatinya, keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de Gama! Wajah ke tiga adalah wajah pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong, dan wajah ini menimbul-kan kegemasan di hatinya, geram ke-cewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan Yap Kun Liong.

Kalau teringat akan bokor emas, ha-tinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong. Celaka benar pemuda itu. Bokor sudah terdapat, diserahkan kepada Kwi--eng Niocu! Dia ingin sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu betapa akan gembiranya hati gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau dia dapat menyerahkan bokor itu kepada gurunya. Gurunya me-rupakan orang satu-satunya di dunia ini, pengganti orang tuanya yang telah tiada.

Li Hwa telah menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah me-ninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhunya, telah meninggal lebih dahulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit menular, meninggal dua tahun yang lalu. Karena... dia tidak mempunyai keluarga lain, maka hanya Panglima The Hoo, gurunya itulah yang menjadi pengganti orang tuanya. Bahkan kini dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhunya untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri karena suhunya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan hati gurunya yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya, semua menjadi gagal karena ketololan Kun Liong!

Memang The Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini. Semenjak kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu telah diambil murid oleh The Hoo. Biarpun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia mengajar Li Hwa, namun dara ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, terutama sekali Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat yang mempergunakan tenaga Im-yang-sin-kang dan yang lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san, yaitu ilmu menotok yang lihai. Ketika melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa makin kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya. Di tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua pelayan dalam, juga kadang-kadang Li Hwa me-wakili gurunya dalam urusan besar seper-ti menumpas kaum penjahat dan pembe-rontak. Ketika The Hoo menerima lapor-an Pendekar Sakti Cia Keng Hong tentang pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu mengerahkan tenaga para pembantunya, bahkan Li Hwa sen-diri disuruh mengepalai pasukan untuk mengadakan pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho! Tio Hok Gwan penga-wal kepala yang lihai itu pun mengepa-lai pasukan sedangkan pasukan besar yang menyerbu ke Ceng-to selain dipim-pin panglima-panglima perang yang ber-pengalaman, juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas per-mintaan Panglima Besar The Hoo!

Sambil mandi membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia menjadi kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk memimpin pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, menyerang Kwi-eng-pang untuk merampas kembali bokor emas, sedangkan para tawanan pemberontak akan dia serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang.

Suara orang berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan... “Ihhh...!” Dara itu menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah duduk metongkrong di atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian Li Hwa!

“Heh-heh-heh, indah dan sedap sekali pemandangan di sini!” Kun Liong berkata ke arah punggung Li Hwa yang putih mulus itu.

“Bedebah! Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!” Li Hwa menjerit-jerit sambil merendam tubuhnya makin dalam. Dia berjongkok ke dalam air sehingga air sampai ke lehernya, baru dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan.

Yang dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti orang tidak mengerti. “Lho, kenapa marah-marah tidak karuan? Apa salahku sekali ini, Nona manis?”

“Yap Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemm... aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!”

“Heh-heh-heh...” Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat membalas dendam kepada dara yang telah beberapa kali menghinanya itu. “Engkau memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang menjadi pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah menjadi siluman penunggu Sungai Huang-ho.”

“Apa... apa maksudmu?” Li Hwa membentak dengan kedua tangan menutupi dada, seolah-olah air yang menutupi dadanya masib belum cukup untuk menyembunyikan bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam.

“Kau mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir aku pergi!”

“Jahanam kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya? Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata keranjang, cabul, muka tembok!”

“Ha, hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di situ atau aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih memaki-maki aku.”

Kun Liong duduk seenaknya dan kini dia mengembil baju Li Hwa, mempermainkan baju itu sambil mengomel, “Bagaimana ya rasanya baju dirobek-robek, orang?” Dan dia membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu.

“Kun Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!” Saking marahnya, Li Hwa sampai lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak.

Lengan kirinya dilingkarkan sedapatnya menutupi dadanya yang membusung, tangan kanannya menuding ke arah Kun Liong di sebelah belakangnya dengan marah. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa.

Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa.

“Sabar Nona manis, aku tidak merobek bajumu. Aku hanya ingin melihat tubuhmu seperti kau telah melihat tubuh. Duhaiii... indahnya, halusnya... hemm...”

“Celuppp...!” Li Hwa sudah berjongkok lagi.

“Kun Liong... jangan... jangan kaugoda aku begini...” Dia hampir menangis, kedua pipinya kemerahan. Kemarahannya yang memuncak masih kalah oleh rasa malu dan bingungnya.

“Siapa menggoda siapa? Kau merobek-robek bajuku dengan sengaja, kau menampar pipiku, kau membelenggu tanganku. Apa saja yang tidak kaulakukan terhadap diriku? Dan aku datang bukan sengaja menelanjangimu, kau bertelanjang sendiri, tidak ada yang menyuruhmu. Siapa menggoda?”

“Kun Liong... demi Tuhan! Kasihanilah, pergilah kau... biarkan aku berpakaian lebih dulu...”

“Kau mau berpakaian? Siapa yang melarang? Nah, berpakaianlah!” Kun Liong kembali mengulurkan kedua tangannya yang memegang baju sambil ter-senyum mengoda, penuh kegembiraan, matanya bersinar-sinar, mukanya berseri dan diam-diam ia kagum bukan main karena baru sekarang dia melihat kein-dahan tubuh seorang dara, biarpun ditu-tup-tutupi akan tetapi menambah kein-dahan yang melampaui apa yang pernah dimimpikannya itu.

“Lemparkan pakaianku ke sini!” Li Hwa berteriak.

Kun Liong menggeleng kepala dan kembali duduk di atas batu. “Tidak, kau harus mengambilnya ke sini.”

“Kun Liong, tidak malukah kau de-ngan perbuatanmu ini? Kau tidak sopan, kau cabul!”

“Heh-heh, apanya yang cabul? Aku tidak berniat menjamahmu, tidak berniat menggagahimu. Aku hanya ingin melihat dan mengagumi keindahan tubuhnya, se-perti engkau telah melihat dan menghina keburukan tubuhku. Nah, apa salahnya?”

“Kun Liong, aku... aku malu. Pergilah kau lebih dulu. Atau kau berpaling, ja-ngan menghadap ke sini. Setelah aku berpakaian, baru kita bicara.”

Kun Liong tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya yang gundul. Kemudian dia bersenandung! Rantai yang membelenggu kedua tangannya dipukul--pukulkan ke atas batu sehingga menim-bulkan suara berdencing dan berirama mengikuti suara senandungnya.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cersil ABG DEwasa : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 2, cersil terbaru Cersil ABG DEwasa : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 2, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru Cersil ABG DEwasa : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 2,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cersil ABG DEwasa : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 2
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil ABG DEwasa : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 2 dan anda bisa menemukan artikel Cersil ABG DEwasa : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/03/cersil-abg-dewasa-petualang-asmara-kho.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil ABG DEwasa : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil ABG DEwasa : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil ABG DEwasa : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/03/cersil-abg-dewasa-petualang-asmara-kho.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar