Li Hwa masih berjongkok. Kedua pipinya basah, akan tetapi Kun Liong mengira bahwa yang membasahi pipi itu adalah air sungai. Dia belum tahu bahwa sebetulnya sudah ada beberapa butir air mata yang meloncat turun dari sepasang mata yang kebingungan dan kehabisan akal itu. Betapapun lihainya Li Hwa, betapapun galaknya dia, dalam keadaan bertelanjang bulat di dalam air dan pa-kaiannya dikuasai oleh Kun Liong, membuat dara ini sama sekali kehabisan akal dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanya memaki-maki dan menangis! Akan tetapi, dia tahu bahwa memaki-maki tidak ada gunanya, sedangkan untuk te-rang-terangan menangis, dia tidak sudi!
Kini Kun Liong bernyanyi! Suaranya memang cukup merdu, karena sejak kecil dia gemar bernyanyi, dan dia menguasai lagu nyanyian itu, tidak sumbang.
“Sang Dewi mandi di telaga
duhai cantik jelita
perawan remaja!”
“Kun Liong, lemparkan pakaianku ke- sini!” Li Hwa kembali menjerit.
“Rambutnya awan tipis di angkasa
matanya sepasang bintang bercahaya
dagu dan lehernya... amboiii”
“Kun Liong, kasihanilah aku...!”
“Tubuhnya batang pohon yangliu
penuh lekuk lengkung sempurna
kulitnya lilin putih diraut...”
“Kun Liong...!”
“Hidung mancung bibir...
haiii... gandewa terpentang...
dadanya...”
“Kun Liong!”
“Dadanya... wah, dadanya...”
“Kun Liong...”
Pemuda itu terkejut karena panggilan ini disertai isak. Dia memandang penuh perhatian dan melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata itu. Dara itu menangis!
“Datanglah seorang penggembala
melarikan pakaian Si Juwita
menangislah perawan remaja...”
Tangis Li Hwa makin mengguguk. Dengan tubuh terendam air sampai ke leher, dara itu menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya.
“Li Hwa, jangan menangis. Aku hahya main-main... wah, maafkan aku. Jangan menangis, tak tahan aku melihatnya. Nah, ini pakaianmu. Aku akan berdiri membelakangimu kalau kau malu. Pada-hal tidak semestinya malu. Kalau aku memiliki tubuh seperti engkau, hemmm... sebaliknya daripada malu, aku malah akan merasa bangga sekali, Li Hwa.”
Melihat pemuda itu sudah berdiri membelakanginya, Li Hwa melangkah keluar dari air, matanya tidak pernah berkejap memandang punggung pemuda itu dan untuk mencegah pemuda itu menoleh, dia cepat berkata sambil menyambar pakaiannya. “Jadi engkau menjadi penggembala itu?”
“Heh-heh!” Kun Liong terkekeh dan mengangguk.
“Pantas kau berbau kerbau.” Li Hwa berkata saja, karena maksudnya untuk menarik perhatian Kun Liong agar jangan menoleh sebelum dia selesai berpakaian. Akan tetapi karena tergesa-gesa, kedua tangannya menggigil dan dia menjadi panik. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa betapa sukarnya berpakaian! Seolah-olah pakaiannya membantu Kun Liong menggodanya, mencekik di bagian leher, buntu ketika dimasuki kaki tangannya.
“Sudah selesaikah?” Kun Liong bertanya.
“Nanti dulu...!”
AKAN tetapi dengan ketajaman pendengarannya, Kun Liong maklum bahwa dara itu telah selesai mengenakan pakaian dalamnya, maka dia lalu memutar tubuhnya. Dengan penuh kagum dia memandang dara yang kini telah memakai pakaian dalam yang serba ketat dan berwarna merah muda itu.
“Betapa cantiknya engkau, Li Hwa...”
Li Hwa makin panik. Dia membalikkan tubuh dan karena paniknya, dia mengenakan pakaian luarnya dengan terbalik! Setelah selesai, dia melibat Kun Liong tertawa bergelak, maka marahlah dia.
“Jahanam keparat!”
“Ha-ha-ha, pakaian luarmu terbalik. Ho-ho, lucunya! Jahitannya di luar... eh, lucu benar... ha-ha!”
Li Hwa memandang pakaiannya dan merapatkan giginya ketika melihat bahwa benar-benar pakaian luarnya terbalik. “Hihhh... kubunuh kau...!” Gerutunya dan direnggutnya terlepas pakaian luarnya lagi, kini saking marahnya tidak peduli lagi kepada Kun Liong, tidak membalikkan tubuh sehingga Kun Liong dapat menikmati tubuh depan yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis merah muda itu. Setelah mengenakan pakaian luarnya, Li Hwa menggelung rambutnya dan memandang Kun Liong dengan mata bernyala. Kun Liong terpesona. Baru sekarang dia melihat seorang dara menggelung rambut di depannya. Gerakan kedua tangang sepasang lengan diangkat di atas kepala. Betapa manisnya!
“Li Hwa, tahukah engkau akan dongeng penggembala dan puteri yang mandi? Setelah Si Penggembala melarikan pakaian Si Puteri, puteri itu menangis, Si Penggembala merasa kasihan, mengembalikan pakaian dan akhirnya mereka... kawin!”
“Kau... kau...” Muka Li Hwa merah sekali.
“Aahh, jangan marah, Li Hwa. Penggembala itu mengawini Si Puteri Mandi, akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mengawinimu. Tidak, kita tidak akan menjadi suami isteri seperti mereka.”
Alangkah kaget dan heran hati Kun Liong ketika dia melihat betapa kata--katanya ini malah membuat dara itu marah bukan main. Li Hwa melangkah maju dan dengan mata berapi-api dia berkata, “Kun Liong, penghinaanmu kepa-daku sudah tiada taranya, dan hanya dapat ditebus dengan nyawa! Biarpun engkau mencurigakan dan mungkin berse-kutu dengan pemberontak, dan biarpun engkau telah berkhianat dengan menye-rahkan bokor kepada Kwi-eng Niocu, namun mengingat engkau murid Bun Hoat Tosu, aku masih segan untuk membunuh-mu dan akan menyerahkanmu kepada Suhu. Akan tetapi, penghinaan-penghinaan yang kaulakukan kepadaku merupakan urusan kita pribadi dan harus diselesaikan sekarang juga!”
“Aihh, Li Hwa. Apa maksudmu?”
“Aku tahu bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian dan sebagai murid Bun Hoat Tosu, kiranya engkau tidak diajar menjadi seorang pengecut oleh kakek terhormat itu. Mungkin engkau bukan pemberontak, akan tetapi yang jelas, engkau sudah bersikap kurang ajar dan menghinaku. Mari kita bereskan persoalan antara kita dengan mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku berjanji tidak akan menawanmu lagi dan bokor itu akan kucari sendiri.”
“Kalau aku yang kalah?”
“Engkau harus berlutut minta ampun atas kekurangajaranmu, selanjutnya menurut segala kehendakku tanpa membantah, atau kau akan kubunuh.”
“Hemm, keputusan yang adil juga. Dan memang aku mempunyai banyak urusan dan sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini. Engkau tentu akan penasaran kalau belum berhasil memukul jatuh aku, biarpun kau sudah beberapa kali menampar dan memaki. Nah, aku sudah siap!” Kun Liong bangkit berdiri lalu meloncat ke belakang, ke tempat yang datar.
Li Hwa juga menyusul dengan loncatan ringan, akan tetapi dara ini tidak mencabut pedangnya yang sudah diikat di punggungnya. Bahkan dia tidak menyerang, hanya memandang pemuda gundul itu, kemudian berkata, “Dekatkan kedua tanganmu, akan kubuka dulu belenggumu.”
Akan tetapi Kun Liong menggelengkan kepalanya. “Biarlah, Li Hwa, kukira hal itu tidak perlu.”
“Hemm, kaukira aku berwatak pengecut, melawan orang yang kedua tangannya terbelenggu? Akan kubebaskan dulu kau.”
“Tidak usah, aku dapat membebaskan kedua tanganku sendiri.” Kun Liong menggerakkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang. “Krekkrekkk...!” Belenggu kedua tangannya itu patah-patah!
Li Hwa memandang dengan kaget dan kagum, akan tetapi juga marah sekali karena dia tahu bahwa selama ini, Kun Liong sengaja membiarkan dirinya dita-wan dan dibelenggu sehingga diam-diam tentu mentertawakannya dan hal itu sama dengan mempermainkannya.
“Bagus! Sekarang tidak perlu kau berpura-pura lagi. Sambutlah!”
Li Hwa menerjang maju, gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet menyambar, tangan kirinya menampar ke arah ubun-ubun kepala lawan sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan berbahaya karena selain cepat, juga mengandung hawa pukulan yang antep dan kuat. Tidaklah mengherankan karena memang dia telah mengeluarkan jurus ampuh dari Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga sakti Im-yang-sin-kang.
“Hayaaa...!” Kun Liong terkejut sekali, cepat membuang tubuh ke kanan untuk menghindarkan tamparan, kemudian lengan kirinya menangkis cengkeraman tangan kanan lawannya yang lihai.
Akan tetapi, begitu jurus pertama gagal, Li Hwa dengan kecepatan mengagumkan sudah menerjang dengan jurus susulan yang lebih ampuh lagi. Gerakan dara ini memang gesit sekali dan ilmu silat yang dimainkannya adalah limu silat tinggi yang dipelajarinya dari gurunya, The Hoo yang sakti, maka tentu saja semua serangannya merupakan serangan maut yang berbahaya. Kun Liong tidak sempat main-main lagi karena dia mak-lum bahwa tingkat kepandaian dara ini sudah amat tinggi dan sekali saja dia terkena cium tangan dara itu, tentu kekebalannya akan dapat melin-dunginya baik-baik. Maka dia pun lalu mengimbangi semua terjangan dara itu dengan permainan Ilmu Silai Pat-hong--sin-kun. Dia sengaja memilih Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) ini karena ilmu inilah yang paiing cepat gerakannya di antara semua ilmu yang diketahuinya dan paling tepat untuk mengimbangi gerakan Li Hwa yang demi-kian gesitnya. Betapapun juga, dia terus terdesak karena memang Kun Liong tidak pernah membalas dan tidak mau mem-balas, hanya menjaga diri dengan elakan dan tangkisan.
Setelah lewat lima puluh jurus belum juga dapat merobohkan lawan, apalagi merobohkan bahkan satu kali pun belum pernah dia dapat memukul tubuh Kun Liong, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah membalas serangannya, Li Hwa menjadi terkejut heran, kagum dan juga penasaran! Dia sudah menduga bahwa sebagai murid Bun Hoat Tosu, pemuda gundul itu tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan dapat melawannya tanpa balas menyerang, padahal dia sudah mempergunakan seluruh sin-kang dan gin-kang yang dilatihnya bertahun-tahun, dan mainkan Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat ciptaan suhunya yang amat dahsyat!
Sesungguhnya tidak mengherankan kalau saja Li Hwa mengetahui bahwa lawannya selain menerima latihan dari Bun Hoat Tosu yang sakti selama lima tahun, juga sudah digembleng secara hebat di dalam kamar rahasia oleh tokoh utama Siauw-lim-pai, yaitu Tiang Pek Hosiang! Dari kakek luar blasa ini, selain ilmu-ilmu kbusus seperti Im-yang Sin-kun dan Pek-in-ciang-hoat, juga Kun Liong telah digembleng dengan ilmu yang menjadi inti sari dari semua ilmu Siauw-lim-pai, yaitu Ilmu Mujijat I-kin-keng!
I-kin-keng adalah ilmu silat mujijat yang dahulunya diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, pendiri Siauw-lim-pai. Mula--mula I-kin-keng diajarkan oleh Tat Mo Couwsu untuk mendatangkan kesehatan dan kekuatan kepada para pendeta yang
menjadi muridnya ketika dia melihat murid-murid ini lesu dan mengantuk se-lagi mendengarkan pelajaran kebatinan.
Maklumlah Tat Mo Couwsu betapa pen-tingnya olah raga untuk menjaga kese-hatan para pendeta itu, maka mulailah Tat Mo Couwsu mengajarkan olah raga yang dinamakan I-kin-keng dan yang harus dilatih oleh semua anak murid setiap pagi.
Pada mulanya, hanya ada dua belas gerakan atau jurus saja yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, akan tetapi dua belas jurus ini kemudian berkembang biak menjadi delapan belas, bahkan kemudian oleh pendeta Chueh Yuan dikembangkan menjadi tujuh puluh dua jurus, yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Kemudian, bersama-sama dua orang kakek sakti yang bemama Li Cheng dan Pai Yu Feng, dari Kansu dan Shansi, Chueh Yuan mengembangkan lagi, dari tujuh puluh dua jurus menjadi seratus tujuh puluh gerakan. Semua ini dibagi menjadi lima kelompok yang disebut Gaya Naga, Gaya Harimau, Gaya Macan Tutul, Gaya Ular dan Gaya Bangau. Gaya Naga Melatih Semangat, Gaya Harimau Melatih Tulang, Gaya Macan Tutul Melatih Kekuatan, Gaya Ular Melatih Khi-kang, Gaya Bangau Melatih Otot.
Kun Liong telah digembleng dengan I-kin-keng yang aseli oleh Tiang Pek Hosiang sehingga selain tubuhnya kuat, juga dia memiliki kecepatan yang didasari khi-kang dan gin-kang. Karena inilah, biarpun Li Hwa adalah murid The Hoo yang sakti, dia tetap dapat mengimbangi gerakan dara itu. Kalau dibuat perbandingan, biarpun gerakan Li Hwa kelihatan lebih lincah dan indah, namun dia kalah gemblengan! Kun Liong digembleng oleh dua orang kakek sakti terus-menerus selama sepuluh tahun, sebaliknya Li Hwa hanya kadang-kadang saja bertemu dengan gurunya yang mempunyai kedudukan tinggi dan tugas yang amat berat, dan banyak. Apalagi karena berhubung dengan tugasnya, The Hoo sering kali mengadakan pelayaran ke negeri-negeri jauh di seberang lautan sehingga Li Hwa harus berlatih sendiri.
Saking penasaran dan marah, Li Hwa mengeluarkan lengking panjang kemudian dia menyerang dengan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu ilmu It-ci-san yang ampuh. It-ci-san adalah ilmu tiam-hiat-boat (menotok jalan darah) menggunakan sebuah jari, hebat bukan main karena dengan totokan satu jari ini dia dapat merobohkan orang, bahkan kalau mengenai sasaran jalan darah kematian, bisa mendatangkan maut. Dua tangan yang mungil itu kini seolah-olah memegang senjata yang amat ampuh dan berbahaya, dan tusukan-tusukannya sampai mengeluarkan desir angin dingin!
“Waduhhh, kau memang hebat, Li Hwa...!”
Li Hwa tidak mempedulikan pujian Kun Liong yang mengelak ke sana-sini, dia terus mengejar dan mengambil keputusan untuk merobohken lawan dengan cara apapun juga, karena kalau tidak, dia tidak akan berhenti merasa penasaran sekali.
“Plak-plak-plak!” bertubi-tubi datangnya serangan totokan Li Hwa, akan tetapi dapat ditangkis oleh Kun Liong dan sekali ini pemuda itu mengerahkan sin-kangnya sehingga kedua tangannya mengandung tenaga Pek-in-ciang-hoat, uap putih mengepul dari kedua telapak tangannya sehingga ketika dia menangkis, tubuh Li Hwa terdorong ke belakang dan hampir terjengkang.
“Aihhh...!” Li Hwa menjadi marah sekali.
“Singgg...!” Dia sudah mencabut pedang.
“Nah, ini dia... dia lari ke sini...!”
Lima belas orang perajurit muncul dan serta-merta mengepung dan mengeroyok Kun Liong. Mereka adalah orang-orang ying tadi ditugaskan untuk menjaga Kun Liong ketika Li Hwa pergi mandi. Melihat mereka, timbul rasa gemas di hati dara itu dan dia bertanya kepada perwira yang mempimpin pasukan kecil itu. “Bagaimana dia sampai dapat lolos?”
“Maaf, Li-hiap. Dia bilang ingin ken-cing, terpaksa kami antar ke pinggir sungai, dan tiba-tiba dia meloncat ke atas pohon, ketika kami mencarinya, dia telah lenyap. Tahu-tahu berada di sini dan untung ada Li-hiap yang menahan-nya...”
“Sudahlah, kalian semua tolol!” Li Hwa membentak dan dengan hati kesal dia menyimpan kembali pedangnya. Dia merasa malu kalau harus mengeroyok, bahkan dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan tadi, biarpun dia tidak sam-pai roboh, akan tetapi terang bahwa dia kalah lihai oleh Kun Liong. Kalau tadi dia mencabut pedang hanya karena dorongan kemarahannya, akan tetapi sete-lah dia menyadari bahwa dia tidak mam-pu menang, dia pun teringat janjinya untuk membebaskan Kun Liong, maka dia menyimpan pedangnya dan tidak mau ikut mengeroyok.
Setelah Li Hwa tidak menyerangnya, legalah hati Kun Liong. Biarpun kini ada lima belas orang perajurit yang mengero-yoknya dengan bermacam senjata, dengan enak saja dia dapat mengelak ke sana- sini, meloncat tinggi melampaui kepala mereka, turun ke depan Li Hwa, menjura dan berkata, “Terima kasih atas kebaik-anmu, Li Hwa. Kulihat Yuan de Gama itu amat baik terhadapmu akan tetapi berhati-hatilah terhadap Hendrik. Nah, se-lamat tinggal dan sampai jumpa pula!”
Setelah berkata demikian, melihat para perajurit sudah mengejarnya lagi, Kun Liong lalu melompat jauh dan lari dari
tempat itu.
Para perajurit mengejar, akan tetapi Li Hwa lalu kembali ke perkampungan pemberontak yang telah mereka duduki. Dia bertemu dengan Tio Hok Gwan yang mengatakan bahwa lebih dari lima puluh orang pemberontak tertawan, termasuk lima orang asing. “Apa yang harus kita lakukan dengan mereka?” tanya Tio Hok Gwan. “Jumlah mereka terlalu banyak dan kiranya hanya akan mendatangkan kesukaran saja bagi kita.”
“Habis, apakah kita harus membunuh mereka begitu saja?” Li Hwa berkata, “Tio-lopek, tawanan tetap tawanan apalagi kalau diingat bahwa mereka itu pun adalah perajurit-perajurit pemerintah. Kalau mereka dapat diinsyafkan, tentu tidak akan melanjutkan penyelewengan mereka. Sebaiknya Lopek memimpin sebagian pasukan Lopek, mengawal para tawanan ke kota raja. Terserah bagaimaria keputusan pengadilan di kota raja. Adapun aku sendiri akan memimpin pasukan untuk mengejar orang yang telah merampas bokor emas.”
“Hehh? Siapa dia?”
“Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang.” Li Hwa lalu menceritakan pengakuan Kun Liong tentang bokor yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.
“Memang harus cepat dikejar dan dirampas kembali bokor itu,” kata kakek pengantuk yang lihai ini, “Akan tetapi amatlah berbahaya kalau kau mengejar ke sana, Nona Souw, Kwi-eng Niocu amat lihai, anak buahnya juga banyak, belum lagi dengan adanya Siang-tok Mo-li yang juga tinggal di Kwi-ouw.”
“Aku tahu, Lopek. Aku pun tidak akan bertindak sembrono. Kalau Lopek sudah selesai mengawal tawanan sampai ke kota raja, Lopek dapat segera menyusul aku dan membantu pencarian kembali bokor yang terampas oleh mereka.”
Terpaksa kakek itu setuju dan Li Hwa lalu memasuki tempat tawanan. Ketika dia berjalan-jalan memeriksa, di sudut terdengar ribut-ribut.
“Manusia biadab, apa engkau sudah bosan hidup? Kubunuh engkau!” seerang penjaga berteriak marah sambil mengacungkan goloknya di luar sebuah kerangkeng tahanan.
“Hemm, mau bunuh boleh saja. Siapa takut mati? Setelah aku berada di dalam cengkeraman kalian, memang terserah kepada kalian akan mati hidupku. Akan tetapi jangan mengira bahwa setelah tertawan aku boleh diperlakukan sembarangan saja! Aku bukan anjing dan aku tidak sudi makan makanan anjing!” Terdengar suara berkerontangan ketika piring dilempar ke luar dari tempat tahanan itu.
“Bedebah, mampuslah!” Penjaga yang marah itu hendak membacok ke dalam kerangkeng.
“Tahan...!” Li Hwa meloncat dan memegang lengan penjaga itu, kemudian mendorongnya mundur. Penjaga yang marah-marah itu penasaran akan tetapi tidak berani membantah dan segera pergi ketika Li Hwa menyuruhnya.
Seperti telah diduga oleh Li Hwa ketika mendengar suara tawanan yang menolak makanan tadi, ketika dia tiba di depan kerangkeng, dia melihat Yuan de Gama berdiri di situ dengan sikap angkuh! Pemuda asing yang tampan itu terluka dadanya dan lukanya dibalut dengan robekan bajunya sendiri. Tubuh atasnya tidak berbaju, telanjang memperlihatkan kulit yang putih kemerahan, dada yang bidang dan terhias bulu-bulu pirang yang lembut, kedua lengannya berotot dan lehernya masih terbelit kain leher, tubuh bawahnya memakai celana dengan sabuk kulit, rambutnya yang pirang itu masih rapi, matanya penuh semangat, mata yang biru warnanya itu memandang tajam dan dengan sikap angkuh melirik ke arah Li Hwa. Akan tetapi begitu dia mengenal gadis itu, sikap angkuhnya segera berubah. Kedua lengah yang tadinya bersedakap dengan sikap tak acuh segera terlepas dan dia membalikkan tubuh memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan bibirnya membentuk senyum, dagunya yang terbelah dua itu bergerak-gerak menandakan bahwa perasaannya bergelora ketika dia bertemu dengan dara ini.
“Nona Souw...! Ahhh, betapa gembira hatiku melihat nona dalam selamat dan tidak terluka dalam perang yang dahsyat itu.”
Kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Betapa anehnya pemuda asing ini, dalam keadaan terluka dan tertawan masih menyatakan kegembiraannya bahwa dia selamat! Padahal dialah yang memimpin pasukan yang menghancurkan pemberontakan dan yang menawan pemuda itu.
“Kau... kau terluka...!” Li Hwa melirik ke arah dada yang terbalut, akan tetapi segera mengalihkan pandangan. Tidak kuat dia memandang terlalu lama dada telanjang yang terhias bulu pirang halus itu.
“Aku...? Ah, hanya terluka sedikit. Kau hebat sekali, Nona. Baru saja dikalahkan, sudah cepat sekali dapat menyusun kekuatan dan sebaliknya menghancurkan kami. Bonar-benar aku kagum!” Sepasang mata biru itu benar-benar memandang penuh kagum, tanpa disembunyikan lagi penuh kagum dan penuh sayang yang dirasakan benar oleh Li Hwa, membuat dia makin tertunduk dan bingung.
“Mengapa kau menolak makanan? Dalam keadaan seperti ini, menyesal sekali kami tidak dapat menyediakan hidangan yang lebih baik.”
Muka pemuda itu menjadi marah dan dia kelihatan tersipu malu, kemudian menjawab, “Maafkan aku Nona. Sebetulnya bukan hidanganya yang menjadi soal, akan tetapi ada dua hal yang membuat aku sengaja bersikap buruk menolak makanan. Pertama, karena sikap para penjaga yang amat menghina sehingga aku lebih senang kelaparan daripada menerima hidangan seperti orang memberi kepada anjing. Ke dua, dalam keadaan tertawan dan tidak berdaya seperti ini, apalagi yang kuharapkan? Tidak urung aku akan dihukum mati dan aku tidak ingin memperpanjang hidup seperti ini. Kalau pintu kamar ini dibuka, aku akan mengamuk sampai mati. Aku telah meninggalkan kapalku di mana aku menjadi kaptennya, berarti aku akan mati konyol di sini. Ah... semua ini adalah karena Ayah telah keliru menyewakan kapal kepada petualang-petualang seperti keluarga Selado itu.”
Li Hwa merasa tertarik sekali. Pemuda ini bukanlah orang biasa, bukan pula orang jahat.
“Di mana kapalmu?”
“Di tepi teluk Po-hai. Ahh, betapa ingin aku mati di atas kapalku sebagai seorang kapten yang tak terpisahkan dari kapal yang dikuasainya.”
Hening sejenak dan beberapa kali mereka saling berpandangan.
“Yuan...”
Wajah pemuda itu berseri mendengar namanya disebut oleh bibir yang dikaguminya itu.
“Apa yang hendak kaukatakan, Li Hwa?”
“Kau pernah menyelamatkan aku, membebaskan dari tawanan bangsamu. Maka jangan kau khawatir, aku pasti akan berusaha untuk membebaskanmu untuk membalas budimu itu.”
“Jangan...!” Yuan de Gama cepat memegang kedua tangan Li Hwa yang memegangi ruji besi. “Jangan kaukorbankan dirimu untukku, Li Hwa!”
Sejenak Li Hwa membiarkan jari-jari tangan pemuda asing itu menggenggam kedua tangannya yang kecil. Kemudian perlahan-lahan dia menarik kedua tangannya dan berkata, “Jangan khawatir, aku tidak akan membebaskanmu dengan menggelap, akan tetapi terang-terangan.”
“Akan tetapi... ada empat orang temanku yang tertawan juga. Aku tidak takut mati terhukum, kalau engkau membebaskan aku dan empat orang temanku itu tidak dibebaskan, tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, Li Hwa, terima kasih atas kebaikanmu...”
Li Hwa makin kagum. Tepat persangkaannya bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Seorang yang halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, tampan dan gagah serta memiliki setia kawan yang besar.
“Kalau begitu, aku akan membebaskan pula empat orang temanmu itu.”
Yuan de Gama membelalakkan mata-nya dan memandang Li Hwa yang sudah melangkah pergi dari tempat itu. “Wanita yang hebat... betapa aku cinta kepada-mu....” bisiknya. Lapat-lapat dia men-dengar perintah diucapkan oleh dara itu kepada kepala penjaga, dan agaknya dara itu menegur para penjaga yang bersikap kasar karena buktinya, tak lama kemudi-an kepala penjaga sendiri datang mem-bawa hidangan dengan sikap biasa, tidak memperlihatkan sikap menghina seperti yang sudah-sudah. Karena maklum bahwa semua ini adalah hasil usaha dara yang dicintanya, biarpun hidangan itu masih serupa, amat sederhana, Yuan de Gama lalu makan dengan lahapnya, kadang-kadang tersenyum dan matanya bersinar-sinar penuh bahagia. Dia bukan girang mengingat bahwa dia akan dibebaskan sungguhpun hal ini merupakan berita yang amat mengejutkan dan baik. Akan tetapi yang amat menggirangkan hatinya adalah bahwa yang akan membebaskannya adalah Souw Li Hwa, dara yang telah menjatuhkan hatinya karena kegagahan dan kecantikannya. Bukankah hal itu mendatangkan harapan di hatinya bahwa cinta kasihnya tidak sia-sia, bahwa setidaknya dara itu juga menaruh perhatian terhadap dirinya? Tentu saja dia belum berani mengharapkan bahwa Li Hwa mencintanya. Hal ini merupakan ketidakmungkinan. Li Hwa adalah murid Panglima Besar The Hoo, mana mungkin jatuh cinta kepadanya, seorang pemuda asing yang dianggap bangsa “biadab” oleh para pribumi? Akan tetapi belum tentu, bantah suara hatinya. Cinta kasib mengalahkan apa pun di dunia ini!
Sementara itu, di dalam pondok yang dipergunakan sebagai pusat komando dan ditinggali untuk sementara oleh para pemimpin pasukan termasuk Li Hwa dan Tio Hok Gwan, dara itu bercakap-cakap dengan pengawal tua pengantuk itu.
“Nona Souw, apakah sudah kaupikir baik-baik keputusanmu untuk membebaskan para orang asing yang menjadi tawanan itu?” Tanya Tio Hok Gwan sambil mengerutkan alisnya.
“Sudah saya pertimbangkan masak-masak, Lopek, dan saya berani menanggung semua akibatnya. Dalam penyerbuan pertama, saya kurang hati-hati, pingsan oleh ledakan dan tertawan musuh. Dalam keadaan tidak berdaya sama sekali itu, saya telah ditolong oleh Yuan de Gama. Kini dia sendiri menjadi tawanan kita, maka sudah sepatutnya kalau saya membalas kebaikannya dan membebaskannya.”
“Akan tetapi empat yang lain?”
“Lopek, andaikata engkau menjadi tawanan musuh, saya akan rela menukarkan Lopek dengan sepuluh orang tawanan dari pihak musuh. Maka, saya menganggap bahwa saya telah ditukar dengan Yuan de Gama dan empat orang temannya. Saya kira hal itu tidak terlalu merugikan kita. Selain itu, kita hanya berurusan dengan para pemberontak. Merekalah yang harus kita hukum. Orang-orang asing itu hanya pedagang-pedagang, kalau kita menawan mereka, berarti kita melibatkan pemerintah ke dalam permusuhan dengan bangsa dan negara lain.”
Tio Hok Gwan mengelus dagunya dan menarik napas panjang. “Hemm, semenjak dahulu aku tidak mengerti tentang urusan pemerintah. Yang jelas saja, andaikata engkau tertawan musuh, aku tentu dengan rela akan menukar pembebasanmu dengan pembebasan sepuluh orang musuh yang tertawan olehku, Nona. Terserah, lakukan apa yang kaukehendaki.”
Lega hati Li Hwa setelah mendapat persetujuan rekannya itu, sungguhpun dia tahu bahwa perbuatan membebaskan tawanan ini adalah tanggung jawabnya sendiri. Malam hari itu dia sendiri mengawal lima orang tawanan keluar dari tempat tahanan dan menuju ke luar kota. Setiba mereka di luar pintu gerbang dusun itu, empat orang teman Yuan de Gama mendahului pergi sedangkan Yuan de Gama berhenti dan bicara dengan Li Hwa.
“Nona Souw... tak tahu aku bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu...”
“Yuan, tak perlu berterima kasih. Aku hanya membalas budimu.”
“Li Hwa, ketika aku membebaskanmu, hal itu lain lagi kedudukannya. Engkau terancam oleh kekejian niat Hendrik, maka aku harus membebaskanmu atau membebaskan wanita mana saja yang terancam olehnya. Akan tetapi aku adalah seorang tawanan resmi...”
“Sudahlah, tidak perlu kita bicara tentang itu.”
“Li Hwa, betapa akan kagum hati Ayah dan adik perempuanku kalau mendengar penuturanku tentang dirimu. Mereka akan datang menyusul dengan kapal lain.”
“Engkau punya adik perempuan? Tentu cantik sekali...”
“Cantik jelita seperti bidadari, Li Hwa. Akan tetapi... ahh, tidak secantik engkau...”
“Hemmm, ceritakan tentang dia.” Li Hwa memotong dan mukan terasa panas.
“Ayahku adalah Richardo de Gama, seorang duda yang sudah tua dan seorang juragan kapal di negara kami. Adikku bernama Yuanita de Gama, berusia sembilan belas tahun. Kapal Kuda Terbang milik Ayah telah disewa oleh Legaspi Selado...”
“Hemm, pimpinan orang asing yang membantu pemberontak?”
Yuan menarik napas panjang. “Demi-kianlah. Akan tetapi... dia adalah guruku. Legaspi Selado adalah seorang bekas panglima di negeri kami, seorang peran-tau yang sudah menjelajah banyak nega-ra dan sudah belasan tahun tinggal di India dan Nepal, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hendrik Selado adalah puteranya. Ketika guruku itu menyewa kapal Ayah, tentu saja Ayah tidak tahu bahwa kapalnya dan anaknya akan dibawa oleh Legaspi Selado terlibat dalam urusan pemberontakan di negeri ini. Aku merasa menyesal sekali karena sebagai muridnya, aku pun tidak dapat membantah perintahnya. Aku merasa menyesal bahwa guruku bersekutu dengan pembe-rontak di negeri yang indah dengan rak-yatnya ramah. Akan tetapi aku pun me-rasa bahagia karena hal ini memungkin-kan aku berjumpa dengan engkau, Li Hwa.”
“Hemm...” Li Hwa tak mampu menjawab dan merasa betapa mukanya makin panas. Untung malam itu gelap sehingga tidak tampak dua titik air mata membasahi bulu matanya.
“Aku cinta kepadamu, Li Hwa. Demi Tuhan, aku cinta kepadamu, dan kalau keadaan mengijinkan... tidak dalam keadaan sebagai musuh dalam perang, betapa ingin hatiku untuk meminangmu kepada orang tuamu, sebagai isteriku...”
Tiba-tiba Li Hwa terisak, tak dapat menahan keharuan hatinya karena selain pernyataan Yuan itu mengharukan, juga dia diingatkan kepada orang tuanya yang telah tiada.
“Li Hwa... maafkan aku... ah, harap jangan menangis, sayang...” Yuan segera merangkul pundak dara itu penuh kasih
sayang. Sejenak Li Hwa membenamkan kepalanya di dada pemuda itu. Setelah keharuan hatinya agak mereda, dia cepat merenggangkan diri dan berkata lirih, “Yuan, ayah bundaku telah meninggal dunia. Aku yatim piatu...”
“Aduhhh... maafkan aku, Li Hwa... kau kasihan sekali.”
“Tidak Yuan. Aku telah mempunyai pengganti orang tuaku, yaitu guruku, Panglima Besar The Hoo yang bijaksana. Karena ini pula, maka harap kau jangan melamun yang bukan-bukan. Aku adalah murid dan seperti anak sendiri dari Panglima Besar The Hoo, panglima dan pahlawan negara kami, sedangkan kau... biarpun di dalam hatimu kau tidak setuju, akan tetapi engkau adalah seorang di antara orang-orang yang membantu pemberontak. Dan aku adalah seorang asing. Tidak mungkin lagi bicara tentang jodoh.”
“Akan tetapi... kalau aku tidak salah mengira... bukankah engkau pun cinta kepadaku, Li Hwa? Biarpun masih ragu-ragu, dan mungkin hanya sedikit, tidakkah kau cinta pula kepadaku seperti aku mencintaimu dengan sepenub jiwa ragaku?”
“Sudahlah, jangan bicara tentang itu, Yuan. Kau tahu bahwa aku suka kepadamu karena kau seorang yang amat baik dalam pandanganku. Pergilah, kita bersahabat dalam kenangan saja!”
“Li Hwa...!” Yuan meloncat ke depan, menjatuhkan diri berlutut dan memegang kedua tangan Li Hwa. “Mungkinkah ini? Mungkinkah cinta kasih dihancurkan dan diputuskan secara begini saja? Hanya karena kedudukan kita? Li Hwa, cinta kasih tidak dapat dikalahkan oleh apapun juga. Bahwa kematian pun tidak akan dapat mengalahkan cinta kasih. Aku cinta padamu, Li Hwa, apa pun yang akan terjadi!”
“Yuan...!” Dengan hati terharu, di luar kesadarannya jari tangan Li Hwa memegang tangan pemuda itu erat-erat.
“Li Hwa sayang...!” Yuan bangkit berdiri, memeluk dara itu dan sebelum Li Hwa dapat menguasai dirinya, mulutnya telah dicium dengan penuh kemesraan oleh pemuda itu. Sejenak Li Hwa menjadi lemas, tak dapat menguasai dirinya dan hatinya yang berdebar tidak karuan, kemudian dia mendorong dada yang tak berbaju itu sambil meloncat ke belakang ketika Yuan merenggangkan bibir untuk bernapas.
“Yuan, jangan!”
Mendengar bentakan ini, Yuan hanya mengulurkan kedua lengan. Akan tetapi Li Hwa melangkah mundur dan berkata, “Yuan, aku suka kepadamu, akan tetapi aku pun melihat jelas hubungan antara kita tak mungkin dilanjutkan dan kalau kau memaksa, aku akan menganggap engkau sama saja dengan Hendrik...”
“Li Hwa! Engkau tahu bahwa cintaku kepadamu murni dan aku bersumpah tidak akan meninggalkan bumi Tiongkok dalam keadaan bernyawa kalau aku tidak dapat menggandengmu sebagai isteriku yang tercinta. Li Hwa, selamat berpisah dan sampai jumpa pula.” Pemuda ini membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi menyusul teman-temannya.
Li Hwa berdiri seperti arca di tempat itu, pipinya basah air mata. Diangkatnya perlahan tangan kanannya menyentuh bibir yang masih berdenyut panas oleh ciuman pemuda itu. Kemudian dia terisak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya dan menunduk, dari mulutnya terdengar bisikan bingung, “... aku cinta padanya... aihhh... aku cinta padanya...”
Kun Liong berjalan seorang diri memasuki hutan besar itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang kalau dia mengenangkan semua pengalamannya. Mengapa nasibnya demikian sial? Semenjak sepuluh tahun lebih yang lalu dia meninggalkan rumah orang tuanya di Leng--kok, dia selalu mengalami bermacam kesialan dalam hidupnya. Akhir-akhir ini pun tidak pernah ada hasil baik dalam setiap usahanya. Mencari ayah bundanya masih belum ada hasilnya sama sekali. Mencari dua buah benda pusaka Siauw--lim-pai juga masih belum berhasil. Bah-kan bokor emas yang sudah berada di tangannya, terpaksa harus dia serahkan kepada Kwi-eng Niocu! Sekali ini dia tidak mau gagal lagi. Dia akan pergi ke Kwi-ouw, memasuki pulau yang menjadi sarang Kwi-eng-pang dan terang-terangan dia akan menemui Kwi-eng Niocu minta dua benda pusaka Siauw-lim-pai, bokor emas milik Panglima The Hoo, dan ber-tanya siapa yang membunuh Thian Lee, sekalian menegur Kwi-eng-pang yang te-lah mengacau di Siauw-lim-si! Setelah itu, baru dia akan mencurahkan semua perhatiannya untuk mencari ayah bunda-nya.
Ketika dia tiba di tengah hutan, tiba--tiba Kun Liong mendengar suara ribut-ribut banyak orang. Cepat dia menuju ke tempat suara itu dan sebuah tikungan tampaklah olehnya seorang kakek tua duduk bersila di atas sebuah batu besar dikurung oleh dua puluh orang lebih yang mengeluarkan suara ribut-ribut tadi.
Kun Liong menyelinap di balik sebuah pohon tak jauh dari tempat itu dan me-mandang penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang sudah putih digelung ke atas. Melihat cara dia berpakaian dan melihat sanggul rambutnya, tentu dia seorang pertapa atau seorang pendeta To. Di punggung kakek itu tergantung sebuah buntalan kain kuning besar. Kakek itu duduk bersila diam seperti orang tidur, duduk tegak dengan kedua tangan di atas pangkuannya, agaknya sama sekali tidak mendengar suara ribut-ribut dari orang--orang yang mengurungnya.
“Hee, Kakek tua bangka! Apa kau sudah mampus?”
“Tosu hidung kerbau! Serahkan buntal-an di punggungmu!”
“Kita ambil bungkusannya dan pakaian yang dipakainya!”
“Benar! Kita tinggalkan dia telanjang bulat di sini, ha-ha!”
Tingkah dua puluh orang itu seperti segerombolan anjing liar dalam pandangan Kun Liong yang sudah menjadi marah sekali.
“Dia diam saja, berarti menghina kita! Biar kuhantam kepalanya!” Seorang di antara mereka berteriak, tangannya bergerak memukul kepala kakek itu.
“Desss...! Auuduhhh... tanganku...” Orang itu meringis dan mengaduh-aduh memegangi kepalan tangan kanannya yang tadi menghantam kepala itu dan menjadi bengkak.
“Dia melawan! Bunuh saja!”
Orang-orang kasar itu adalah perampok-perampok rendahan yang biasa mengganggu orang lewat di hutan yang lebat dan sunyi itu. Kini mereka sudah menca-but senjata, masing-masing ada golok, pedang dan toya, dan beramai-ramai mereka menerjang kakek yang duduk bersila tanpa bergerak itu.
“Heiii...! Kalian jahat...!” Kun Liong keluar dari tempat sembunyiannya namun dia terlambat, karena senjata-senjata itu telah menyambar ke arah tubuh si kakek tua seperti hujan. Akibatnya, orang-orang itu mundur ketakutan karena semua bacokan yang mengenai tubuh kakek itu membuat senjata mereka terpental sedangkan tubuh kakek itu sedikit pun tidak terluka, seolah-olah mereka menyerang sebuah arca baja yang amat kuat. Hanya pakaian kakek itu yang terobek di sana-sini.
“Siluman... dia siluman...!”
“Wah, golokku malah rompal...”
“Toyaku bengkok!”
“Celaka...! Dia setan...”
Orang-orang kasar itu ketakutan dan tiba-tiba mereka mendengar hentakan Kun Liong yang sudah melompat dekat, “Kalian ini manusia-manusia kejam!”
Ketika mereka menoleh dan melihat Kun Liong mereka makin kaget.
“Wah ini tentu temannya!”
“Setan gundul...!”
“Lari kawan-kawan...!”
Maka larilah dua puluh orang lebih itu tunggang-langgang karena kesaktian kakek itu telah membuat mereka benar-benar menyangka bahwa Si Kakek adalah sebangsa setan, dan pemuda gondul yang muncul itu adalah setan gundul.
Kun Liong menjadi geli menyaksikan tingkah mereka itu dan dia tertawa. Akan tetapi dia segera menghentikan suara ketawanya ketika mendengar suara halus di belakangnya, “Mereka itu patut dikasihani, bukan ditertawakan.”
Kiranya kakek itu telah membuka matanya akan tetapi masih tetap duduk bersila di atas batu. Sejenak mereka berpandangan dan diam-diam Kun Liong terkejut melihat sinar mata kakek itu. Biarpun orangnya sudah amat tua, akan tetapi sinar matanya tajam bukan main.
“Totiang, pakaianmu robek-robek...”
Kakek itu menunduk dan memandangi bajunya yang robek di sana-sini, kemudian dia tersenyum dan menjawab, “Pakaian rusak dan robek bisa dijahit, orang muda. Akan tetapi kalau watak yang rusak...”
“Maaf, Totiang. Kurasa watak yang rusak pun dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri. Saya kira tidak benar kalau dikatakan bahwa sekali rusak watak orang, selamanya akan tetap rusak.”
Kakek itu membelalakkan matanya dan mengangguk-angguk. “Kau benar, orang muda. Sungguh engkau aneh. Engkau bukan hwesio akan tetapi kepalamu tidak berambut, agaknya engkau telah keracunan.”
Tahulah Kun Liong bahwa kakek ini seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya karena tadi kebal terhadap senjata orang-orang kasar itu, akan tetapi sekali pandang dapat menduga bahwa dia keracunan, hal ini membutuhkan pandangan seorang yang ahli. Maka dia lalu duduk di atas batu di depan kakek itu, juga bersila karena dia ingin sekali bercakap-cakap dengan kakek aneh itu.
“Totiang, mengapa Totiang tadi mengatakan bahwa orang-orang jahat tadi patut dikasihani?”
“Orang muda, dahulu aku memang seorang tosu, akan tetapi semenjak aku menyadari bahwa ikatan terhadap sesuatu agama merampas kebebasanku, aku bu-kanlah seorang tosu lagi. Namun tidak mengapa kalau kau menyebutku Totiang karena sebutan adalah kosong, dan nama bukankah menunjukkan keadaan yang dinamainya. Aku merasa kasihan kepada mereka karena mereka itu buta karena nafsu keinginan mereka. Kita hidup biasanya menjadi boneka permainan nafsu keinginan kita sendiri, tidak menyadari bahwa nafsu keinginan, betapapun baiknya menurut pendapat orang, tetap saja merupakan penyeret ke arah kesesatan dan kepalsuan, maka akhirnya hanya akan mendorong kita ke dalam lembah kesengsaraan.”
“Akan tetapi, Totiang. Apakah semua perbuatan yang mengandung keinginan itu buruk? Bagaimana kalau keinginan yang terkandung dalam perbuatan itu merupakan keinginan yang baik?”
“Baik dan buruknya keinginan hanya tergantung Si Penilai, padahal sebetulnya sama saja. Keinginan tetap keinginan, merupakan hasrat dari seorang untuk memperoleh sesuatu. Keinginan yang bersembmyi di balik sebuah perbuatan dinamakan pamrih dan perbuatan itu akan menjadi perbuatan paisu kalau berpamrih.”
“Mengapa palsu, Totiang?”
“Kalau kita melakukan suatu per-buatan dan ada pamrihnya, bukankah si pamrih itu yang penting, bukan si perbuatan? Padahal kita harus tahu apa pamrih itu! Apakah sebenarnya pamrih itu? Bukankah pamrih itu adalah keingin-an untuk menguntungkan diri sendiri, baik lahiriah maupun batiniah? Dengan pamrih, maka perbuatan itu adalah muna-fik, pura-pura, hanya dijadikan jembatan untuk memperoleh yang diinginkannya. Katakanlah perbuatan menolong. Kalau menolong dengan ada pamrih, apakah itu menolong namanya? Kalau yang dipamrihkan, yang diinginkan untuk didapat itu tidak ada, apakah masih mau menolong? Hati-hati orang muda, jangan kita ter-tipu oleh pikiran kita yang pandai sekali memabokkan kita dengan segala macam ujar-ujar dan pelajaran yang kita kenal dari kitab-kitab. Bukalah mata dan mengenal dirimu sendiri, mengenal segala gerak hati dan pikiranmu, bukan hanya mengenal wajahmu, dan engkau akan dapat melihat betapa segala macam kepalsuan diciptakan oleh pikiran. Pikiran memperkuat si aku, dan sekali kita dikuasai oleh ini, segala macam gerakan dalam hidup ini ditujukan demi keuntungan si aku, sehingga seperti perbuatan mereka tadi, seringkali menimbulkan kekerasan dan pertentangan.”
Kun Liong mengangguk-angguk. Biarpun belum jelas benar, namun dia merasa dapat melihat dan mengerti isi pembicaraan itu. “Jadi untuk menguasai pengaruh nafsu keinginan, maka orang-orang seperti Totiang ini lalu bertapa, dan menekan segala macam nafsu?”
Kakek itu menggeleng kepalanya. “Bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, kalau hal itu dilakukan untuk menghindarkan nafsu keinginan, adalah perbuatan yang sama sekali salah. Nafsu keinginan timbul dari pikiran sendiri, penciptanya adalah diri sendiri. Betapa mungkin kita melarikan diri dari nafsu keinginan? Biarpun kita melarikan diri ke puncak Himalaya, nafsu keinginan takkan pernah dapat kita tinggalkan, bahkan melarikan diri ke puncak Himalaya itu pun sudah merupakan pelaksanaan keinginan kita, bukan? Keinginan untuk menghindar dari nafsu keinginan!”
“Jadi harus ditekan setiap kali nafsu keinginan timbul, Totiang?”
Kembali kakek itu menggelengkan kepalanya. “Sekali kita mengalahkan nafsu, maka nafsu itu harus setiap kali kita kalahkan. Sekali kita menekan, harus setiap kali kita menekannya kembali. Nafsu yang ditekan, seperti kuda yang dipasangi kendali, harus selalu dikendalikan. Nafsu yang ditekan, seperti api dalam sekam, setiap kali dapat berkobar kembali. Tidak ada gunanya melarikan diri dari nafsu, tiada gunanya pula menekannya. Yang penting kita menghadapinya, mengawasinya, dan mengerti akan nafsu keinginan kita, mengawasinya tanpa menyetujui, tanpa menentang, hanya mengawasi saja tanpa memikirkannya. Karena sekali pikiran masuk, sekali kita menyetujui, menentang atau mengambil kesimpulan maka terciptalah si aku yang mengawasi si nafsu dan timbul pertentangan! Akan tetapi tanpa adanya si aku dan si nafsu, yang ada hanya pengawasan itu sendiri dan di sana tidak akan ada lagi nafsu keinginan!”
Kun Liong mengerutkan alisnya. Baru sekali ini dia mendengar itu. Dia mencari ke dalam dirinya sendiri berdasarkan keterangan kakek itu. Kemudian dia hertanya, “Akan tetapi, Totiang. Biasanya setiap gerak perbuatan kita didorong oteh suatu keinginan tertentu. Kalau nafsu keinginan tidak ada, habis apa yang menjadi dasar dan pendorong perbuatan kita?”
“Lakukanlah dan engkau akan menyatakan sendiri, orang muda! Engkau akan melihat perbuatan yang wajar, bersih tanpa pamrih karena perbuatan itu hanya bergerak dalam kasih.”
“Kalau begitu, Kasih adalah kebalikan atau lawan dari Nafsu Keinginan, Totiang?”
“Kukira tidak demikian, orang muda. Kasih bukanlah lawan Nafsu, akan tetapi untuk mengenal kasih, nafsu haruslah pergi. Nafsu keinginan menimbulkan iri, dengki, benci dan kecewa. Untuk mengenal nafsu, maka iri-dengki-benci-kecewa ini harus tidak ada. Akan tetapi bukan berarti bahwa Cinta Kasih adalah kebalikan dari semua itu.”
Hening sejenak. Kun Liong memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mengangkat muka memandang kakek itu yang juga memandangnya dengan senyum halus pench keagungan.
“Totlang siapakah?”
“Dahulu, orang memanggilku Kiang Tojin, Ketua dari Kun-lun-pai, tetapi sekarang aku hanyalah seorang pengembara yang menikmati hidup dalam alam yang amat indah ini.”
Kun Liong terkejut sekali dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut. “Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu yang bersikap kurang hormat kepada Locianpwe.”
Kakek itu tertawa, menyentuh pundak pemuda itu dan menyuruhnya bangkit. “Duduklah kembali seperti tadi, orang muda. Lihat, betapa palsunya segala perbuatan kita dalam hidup, karena kita telah menjadi boneka yang digerakkan oleh segala tradisi dan pengetahuan mati. Engkau tadi bersikap biasa kepadaku, kemudian setelah mengetahui bahwa aku Kiang Tojin dari Kun-lun-pai, engkau lalu merobah sikap dan menghormatiku berlebih-lebihan! Kepada kakek biasa engkau bersikap biasa, kepada kakek Ketua Kun-lun-pal engkau bersikap menghormat. Mengapa ada perbedaan ini? Mengapa kita selalu memandang rendah kepada orang biasa dan memandang tinggi kepada orang yang dianggap pandai atau berkedudukan tinggi? Bukankah kenyataan hidup yang membelenggu cara hidup kita ini merupakan pelajaran yang membuka mata dan berharga sekali untuk dimengerti? Kalau kita membuka mata, orang muda, maka setiap lembar daun kering yang rontok, setiap ekor burung, hembusan angin, senyum seorang anak--anak, setitik air mata seorang wanita, semua itu dapat merupakan guru bagi kita! Hidup berarti berhubungan dengan sesuatu, baik mahluk hidup maupun benda mati. Kalau membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang kita hadapi setiap hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan hubungan kita dengan semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri. Dan mengenal diri sendiri merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan, orang muda.”
“Teecu menghaturkan terima kasih atas segala wejangan Locianpwe yang amat berharga.”
Kakek itu tersenyum lebar. “Tidak ada yang mewejang dan tidak ada yang diwejang, orang muda. Engkau adalah muridnya dan engkau pula gurunya, dan seluruh isi alam ini adalah guru yang dapat memberi petunjuk. Sudah terlampau lama aku duduk di sini, mari kita bejalan-jalan menikmati keindahan alam, orang muda. Coba engkau membuka mata melihat segala keindahan itu tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Belajarlah menggunakan mata sebagaimana sewajarnya dan jangan biarkan pikiran mengaduk dan mengacaunya dan engkau akan melihat.”
Mereka kini berjalan perlahan-lahan di dalam hutan itu. Kun Liong menggunakan matanya memandang dan tampaklah olehnya keindahan alam yang menyejukkan hati dan yang serba baru, lain daripada sebelumnya! Pohon-pohon besar dengan daun-daun yang hijau segar, seperti bernapas ketika angin menghembus, daun-daun kering yang membusuk di bawah pohon, menjadi pupuk bagi pertumbuhan pohon. Pohon berbunga, bunga berbuah, buah akan tua dan jatuh, membusuk di atas tanah kemudian berseri dan tumbuh menjadi pohon! Tidak ada yang baik tidak ada yang buruk, semua indah, semua berguna, semua hidup menurut kewajaran masing-masing, akan tetapi semua merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, semua itu, pohon, rumput, burung, awan, dia sendiri, kakek itu, semua itu merupakan kesatuan. Hanya pikiran yang memisah-misahkan sehingga timbullah pertentangan dan bentrokan yang dimulai dari dalam diri sendiri lalu tercetus ke luar menjadi pertentangan antara manusia, antara golongan, antara bangsa dan antara ras!
“Locianpwe, teecu Yap Kun Liong selama hidup baru sekarang ini mengalami seperti di pagi ini!” Kun Liong tak dapat menahan dirinya berseru.
Kakek itu menoleh dan tersenyum, akan tetapi senyumnya mengandung keheranan.
“Namamu Yap Kun Liong? Mengingatkan aku akan seorang she Yap... kalau tidak salah dia adalah sahabat baik Cia Keng Hong-taihiap...”
“Aihh! Dia adalah ayah teecu, Locianpwe. Ayah teecu bemama Yap Cong San.”
“Haiii, sungguh kebetulan sekali. Kiranya engkau adalah puteranya? Bagaimana dengan ayahmu sekarang?”
Kun Liong menghela napas. “Sudah sepuluh tahun lebih teecu tidak pernah bertemu dengan Ayah dan Ibu.” Kemudian dengan singkat dia menceritakan riwayatnya yang penting-penting saja.
Setelah mendengar penuturan itu Kiang Tojin berkata, “Memang demikianlah. Hidup diombang-ambingkan antara suka duka. Semua adalah karena diri sendiri, akan tetapi orang menyalahkannya kepada nasib.”
“Memang banyak suka duka yang teecu alami dan teecu merasa bahwa semua kesukaan itu bukanlah kebahagiaan. Apakah Locianwe seorang yang berbahagia?”
Kakek itu tertawa. “Kalau kaumaksudkan apakah aku seorang yang tidak sengsara, maka aku dapat mengatakan bahwa aku bukan seorang yang sengsara.”
“Loclaripwe, mohon petunjuk Locianpwe. Bagaimanakah caranya agar teecu dapat berbahagia?”
“Ha-ha-ha, orang muda. Bahagia, seperti juga cinta, tidak mempunyai jalan atau cara! Bahagia tidak dapat dikejar. Pengejaran bahagia menciptakan bermacam jalan atau cara ini, dan pengejaran adalah kelanjutan dari nafsu keinginan memiliki sesuatu, dalam hal ini memiliki kebahagiaan! Dan seperti telah kita bicarakan tadi, nafsu keinginan menimbulkan iri-dengki-kecewa-benci! Kalau kita mengejar kebahagiaan, berarti kita menggunakan nafsu untuk mengenal bahagia. Mungkinkah ini? Jangan kau menanyakan cara untuk berbahagia, sebaiknya kaucari dalam dirimu sendiri, apa yang membuat engkau tidak berbahagia. Setelah mengerti apa yang membuat engkau terbebas dari penyebab tidak berbahagia, maka perlukah kau mencari lagi kebahagiaan?”
Kun Liong tercengang dan tak mampu bicara lagi. Segala sesuatu telah dibentangkan oleh kakek itu, persoalan-persoalan telah ditelanjangi dan dia hanya tinggal membuka mata untuk melihat!
Tiba-tiba dari depan datang serombongan Nikouw (pendeta wanita). Empat orang memanggul sebuah joli (tandu) dan tiga orang lagi berjalan mengiringkan joli yang tertutup sutera kuning itu. Para nikouw ini mengerudungi kepala gundul mereka dengan kain kuning, pula dan wajah mereka kelihatan muram. Mereka itu terdiri dari wanita-wanita antara usia tiga puluh dan empat puluh tahun, dan sikap mereka pendiam dan serius.
Ketika rombongan itu tiba dekat, Kiang Tojin dan Kun Liong mendengar suara rintihan dari dalam joli. Kiang Tojin lalu menghadang di tengah jalan, menjura dan bertanya, “Cu-wi, harap tahan dulu dan perkenankan saya menerima penderita sakit yang Cuwi angkat, siapa tahu saya akan dapat menolongnya.”
Dengan gerakan yang cepat bukan main sehingga mengejutkan Kun Liong, tiga orang pengiring tandu itu meloncat ke depan, sejenak mereka memandang tajam kepada Kiang Tojin, kemudian seorang di antara mereka menjura dan berkata. “Omitohud...! Bukankah pinni (saya) berhadapan dengan Kiang Tojin dari Kun-lun-pai?”
Kiang Tojin tersenyum. “Sekarang saya bukan Ketua Kun-lun-pai lagi, telah mengundurkan diri dan hanya menjadi seorang kakek biasa saja.”
Para nikouw itu segera memberi hormat dan menyuruh teman-teman mereka menurunkan tandu. Nikouw pertama memberi hormat lagi dan berkata, “Terima kasih banyak atas kebaikan hati Locianpwe. Memang Twa-suci (Kakak Seperguruan Pertama) kami menderita luka cukup parah. Akan kami tanyakan dulu kepadanya apakah dia mau menerima pertolongan Locianpwe.”
Nikouw itu lalu menghampiri tandu, menyingkap tenda sutera sedikit dan berbisik-bisik. Terdengar jawaban suara halus dari dalam tandu, “Persilakan dia untuk memeriksa nadi tanganku.” Dan sebuah lengan yang kecil dan berkulit putih halus diulur dari balik tenda sutera.
Melihat ini, Kiang Tojin tersenyum, melangkah ke dekat tandu kemudian berkata, “Maafkan saya...” Dipegangnya pergelangan tangan itu dan tak lama kemudian dilepaskannya kembali. Dia melangkah mundur tiga tindak, mengge-leng kepala dan berkata, “Sungguh me-nyesal sekali. Luka itu diakibatkan oleh racun ular yang amat jahat dan berbaha-ya, kalau tidak salah, racun dan ular yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya, namanya Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun). Bukankah di sekitar luka itu terdapat warna-warna hitam, merah, biru, kuning dan hijau?”
“Benar demikian...!” Terdengar suara halus dari balik tirai sutera.
“Ahhhh, seperti telah kuduga,” kata Kiang Tojin. “Sayang sekali, saya tidak dapat mengobati luka beracun dari Ngo--tok-coa dan saya kira agak sukar untuk mencari obat penawarnya di sini. Obat penawarnya hanyalah berburu akar pohon ular hijau yang terdapat di Himalaya, dan ke dua adalah darah ular beracun lainnya yang cukup kuat...”
Tujuh orang nikouw itu mengeluh, akan tetapi terdengar teguran dari dalam tandu, “Sumoi sekalian mengapa mengeluh? Kalau ada obat penyembuhnya sukur. Kalau tidak ada, ya sudah. Apa bedanya?”
Mendengar ini, wajah Kiang Tojin berseri. “Perkataan yang hebat...!”
“Terima kasih atas kebaikan Locianpwe. Sumoi, mari kita berangkat!” terdengar lagi ucapan halus dari dalam tandu. Empat orang nikouw sudah menggotong lagi joli itu dan hendak melangkah pergi.
“Tahan dulu...!” Kun Liong meloncat ke depan. “Mendengar keterangan Locianpwe tadi, aku yakin akan dapat mengobatinya!”
Mendengar ini, para nikouw itu berhenti dan memandang kepada Kun Liong dengan penuh keraguan. Kalau kakek bekas Ketua Kun-lun-pai yang amat sakti itu saja menyatakan tidak sanggup, bagaimana hwesio muda itu menyanggupi untuk mengobati twa-suci mereka?
Kiang Tojin juga merasa heran dan bertanya, “Yap-sicu, benarkah Sicu dapat mengobatinya? Racun Ngo-tok-coa amat lihai dan racun itu tidak dapat disedot keluar dengan mulut karena hal itu membahayakan nyawa si penyedot...”
“Locianpwe, sedikit-sedikit teecu pernah menerima pelajaran ilmu pengobatan dari ayah bunda teecu, terutama mengenai racun ular. Teecu akan mengeluarkan racun itu dengan tangan, kemudian akan memberi catatan obat yang tidak begitu sukar didapat, bisa dibeli di toko obat.”
Nikouw pertama yang mengawal tandu itu sudah menjura kepada Kun Liong sambil berkata, “Kalau Siauw-suhu dapat mengobati Twa-suci, kami sebelumnya menghaturkan banyak terima kasih dan semoga Sang Buddha mengangkat Siauw-suhu ke tingkat yang lebih bersih dan sempurna.”
Kun Liong meringis. Lagi-lagi dia disangka hwesio, dan sekali ini yang menyangkanya adalah seorang Nikouw! Saking gemasnya dia lalu nekat bersikap seperti hwesio, merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Omitohud, semoga saja Sang Buddha akan membantu pinceng (saya) untuk mengobati suci kalian.”
Kiang Tojin melongo, kemudian menahan senyum dan mengerutkan alisnya mendengar kata-kata dan melihat sikap Kun Liong ini. Pemuda putera Yap Cong San ini ternyata aneh dan ugal-ugalan sungguhpun sikap itu hanya dipergunakan untuk melucu, atau mungkin karena mendongkol disangka hwesio! Betapapun juga, Kiang Tojin ingin sekali untuk melihat bagaimana caranya pemuda gundul aneh ini mengobati luka akibat Racun Ngo-tok-coa yang dia tahu amat hebat dan sukar disembuhkan itu. Kalau pemuda yang sikapnya ugal-ugalan ini ternyata mempermainkan orang sakit, mengingat pemuda itu putera Yap Cong San, dia patut menegur pemuda itu!
“Harap buka tirai ini dan biarkan saya memeriksa Si Sakit,” kata Kun Liong sambil menggerakkan tangan hendak menyentuh tirai.
“Ohhh, jangan buka...!” Terdengar seruan halus dari dalam, dan nikouw pertama segera berkata kepada Kun Liong, “Harap Siauw-suhu melakukan pemeriksaan nadi seperti yang dilakukan oleh Locianpwe tadi. Twa-suci adalah seorang wanita, bagaimana mungkin membiarkan lengannya disentuh sambil memperlihatkan diri? Biarpun Siauw-suhu seorang hwesio, akan tetapi tetap saja Siauw-suhu seorang laki-laki.”
Lengan yang kecil mungil dengan kulit halus putih itu sudah dijulurkan ke luar lagi dari balik tirai. Akan tetapi Kun Liong hanya memandang saja tangan itu dan tidak menyentuhnya. Dia mengomel, “Tadi Locianpwe telah memeriksa nadi dan saya telah mendengar keterangan hasil pemeriksaannya. Untuk mengobati luka terkena racun, saya harus memeriksa lukanya lebih dulu, kemudian mengeluarkan racun dari luka itu dan menentukan obatnya.”
“Aihhhh... tak mungkin...!” Terde-ngar jerit tertahan dari dalam tandu.
Kun Liong sudah melangkah mundur tiga tindak. “Sungguh aku tidak mengerti sama sekali sikap Si Sakit” katanya dengan alis berkerut. “Memang benar aku seorang laki-laki dan Si Sakit seorang wanita, akan tetapi Si Sakit adalah seorang nikouw, dan aku seorang... hemm, katakanlah hwesio. Pula Si Sakit adalah penderita dan aku adalah yang berusaha menolongnya. Mengapa hanya bertemu muka saja diharamkan?”
Mendengar suara Kun Liong yang marah, nikouw pertama cepat melangkah maju dan berkata lirih seolah-olah khawatir kalau suaranya terdengar orang lain, padahal di situ tidak ada orang lain kecuali para nikow, Kiang Tojin dan Kun Liong sendiri. “Harap Siauw-suhu dapat memaafkan dan memaklumi. Tentu saja Twa-suci merasa berat dan malu karena luka itu berada di... di sini...” Nikouw itu tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menepuk pinggul kanannya yang tipis.
Hampir saja Kun Liong tertawa bergelak akan tetapi cepat ditahannya dan dia hanya menutupi mulut dengan tangan kanan, kemudian berkata, suaranya menjadi sabar, “Hemmm... sebetulnya tidak perlu merasa berat dan malu. Akan tetapi kalau memang malu, ya sudahlah.”
Hening sejenak. Tirai itu bergoyang sedikit, agaknya orang yang duduk di dalam tandu itu mengintai ke arah Kun Liong. Kemudian tedengar suara halus itu. “Sumoi, mari kita pergi...”
Para nikouw saling pandang dan kemudian nikouw pertama memandang kepada Kun Liong, menggerakkan pundak dan joli itu diangkat kembali.
“Tahan dulu...!” kini Kiang Tojin yang melangkah maju dan mengangkat tangan, “Sungguh sukar dimengerti sikap orang-orang muda. Mengapa perasaan malu yang tidak pada tempatnya itu lebih dihargai daripada nyawa? Mengapa tidak dapat diambil usaha yang tepat untuk pengobatan ini? Misalnya, muka Si Sakit dikerudung sehingga tidak akan dikenal oleh yang mengobati, dan yang diperlihatkan hanya sedikit bagian yang terluka saja. Dengan cara begini, karena mukanya tidak dikenal, perlukah Si Sakit merasa malu-malu lagi?”
Kembali joli diturunkan dan kini para nikouw berbisik-bisik dengan penumpang joli. Mereka mengerumuni joli dan terjadilah “percakapan” bisik-bisik yang menjadi ciri khas wanita, biarpun mereka telah menjadi nikouw berkepala gundul! Kiang Tojin saling pandang dengan Kun Liong dan kakek itu mengangguk-angguk perlahan Kun Liong tersenyum dan memuji kecerdikan kakek itu yang dapat mencarikan “jalan keluar” yang baik.
Kini terjadi kesibukan di dalam joli itu. Tak lama kemudian, nikouw pertama menghadapi Kun Liong dan berkata, “Twa-suci dapat menerima usul Locianpwe, dan kini mempersilakan Siauw-suhu untuk melakukan pemeriksaan dan mengobatinya.”
Kun Liong tersenyum lebar, dan karena wajahnya memang tampan, senyumnya juga manis sekali dan para nikouw itu mengerutkan alis, di dalam hati mereka memaki, “Hwesio genit!”
KETIKA Kun Liong mendekati joli, tirai itu disingkapkan sedikit oleh nikouw pertama, memberi kesempatan ke-pada Kun Liong untuk memasukkan tubuh atasnya ke sebelah dalam joli. Begitu- memandang Kun Liong terbelalak dengan hati geli, kasihan, dan juga kagum sekali. Geli hatinya melihat Nikouw di dalam itu benar-henar tidak kelihatan orangnya, mukanya dikerudung dan dia menelungkup di atas bangku joli, dan yang tampak tidak tertutup hanya sebuah pinggul kanan sehingga kelihatan lucu sekali. Dan kasihan karena melihat pinggul itu, tepat di tengah-tengah bagian yang menggu-nung melengkung, terdapat luka yang kecil saja, akan tetapi bagian itu mem-bengkak dan sekitar lubang luka kecil itu berwarna lima macam akan tetapi lebih banyak hitam dan merahnya! Dan yang membuatnya kagum adalah panggul itu sendiri. Padat dan montok, tidak seperti pinggul nikouw pertama yang tipis, pinggul ini penuh seperti buah semangka, akan tetapi kulitnya putih halus seperti kulit bayi, demikian tipis kulitnya sehingga membayang jalur-jalur urat kecil berwarna merah dan biru! Melihat bentuk pinggul ini, timbul dugaannya bahwa nikouw yang menjadi twa-suci ini bukan seorang nenek tua, biarpun para sumoinya ada yang sudah berusia mendekati empat puluh tahun. Memang sukar menduga usia seseorang tanpa melihat wajahnya, akan tetapi, biarpun selama hidupnya baru satu kali dia melihat pinggul seorang wanita muda, yaitu pinggul Li Hwa yang hanya kelihatan sedikit karena sebagian tertutup air sungai, namun dia dapat melihat bahwa pinggul yang hanya kelihatan sebelah kanan ini adalah pinggul yang amat bagus!
“Hemmm, memang benar terkena senjata rahasia, agaknya jarum yang mengandung lima macam racun,” kata Kun Liong perlahan. Tubuh yang berkerudung itu bergerak sedikit tanpa menjawab.
Kun Liong mulai memeriksa. Ketika pertama kali jari-jari tangannya menyentuh kulit pinggul, pinggul itu tergetar hebat sehingga jari tangan Kun Liong ikut pula menggigil karena jantungnya berdebar. Baru sekali ini selama hidupnya dia menyentuh pinggul orang, apalagi pinggul telanjang seorang wanita! Dia cepat menenteramkan perasaannya dan melanjutkan pemeriksaan.
Kun Liong kaget. Ternyata jalan darah di sekeliling pinggul telah ditotok dan dihentikan sehingga racun itu tidak menjalar jauh, dan juga ada tenaga sin-kang yang menahan dari sebelah dalam untuk mendorong racun itu tetap berdiam di dalam pinggul itu saja. Kiranya nikouw berkerudung ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi!
“Harap jangan mengerahkan sin-kang. Saya hendak mengeluarkan jarum dan racun. Kalau Su-thai (sebutan pendeta wanita) mengerahkan sin-kang, bisa ber-bahaya.”
Kerudung bagian kepala itu mengang-guk dan Kun Liong melihat dua buah mata dari lubang di kerudung itu, sepa-sang mata yang jeli bening, dan tajam bukan main!
Kun Liong lalu menempelkan telapak tangannya menutupi luka itu. Telapak tangannya merasa betapa halus dan hangatnya bagian tubuh itu. Dia harus me-lenyapkan pikiran yang menimbulkan guncangan pada hatinya ini, dan mulailah dia mengerahkan sin-kang, mempergunakan Thi-khi-i-beng! Hanya dengan ilmu inilah dia dapat mengharapkan berhasil mengeluarkan jarum dan racun. Dia pun maklum bahwa ngo-tok merupakan cam-puran lima racun yang berbahaya sekali kalau memasuki mulut, maka menyedot dengan mulut membahayakan nyawanya, tepat seperti dikatakan Kiang Tojin tadi. Dan obat penyedot yang ampuh tidak ada, maka jalan satu-satunya hanya
mempergunakan Thi-khi-i-beng.
“Ihhhh...!” Nikouw berkerudung itu mengeluarkan seruan tertahan ketika me-rasa betapa dari telapak tangan hwesio muda itu muncul tenaga sedotan yang amat kuat dan yang seolah-olah akan menyedot seluruh tubuhnya bagian dalam! Otomatis nikouw yang memiliki kepan-daian tinggi ini menggerakkan sin-kang-nya untuk melawan dan... tenaga sin-kangnya segera membanjir keluar terse-dot oleh telapak tangan Kun Liong.
“Ahhh, bodoh...!” Kun Liong berseru kaget dan cepat menggunakan tenaga sin-kang yang dilatihnya dari Bun Hoat Tosu untuk melepaskan telapak tangan yang melekat dan menyedot itu. Kalau dia tidak melakukan ini, tentu tenaga sakti nikouw itu akan habis disedot oleh-nya!
Nikouw itu terengah-engah kaget dalam kerudungnya, dan dari luka kecil di pinggulnya keluar darah berwarna hitam!
“Kenapa mengerahkan sin-kang?” Kun Liong mengomel.
“Maaf... maafkan... pinni (saya) terlupa...” Nikouw berkerudung itu berkata.
“Sudahlah, jangan terlupa lagi!” Kun Liong kembali menempelkan telapak tangan kanannya ke kulit pinggul halus hangat yang mulai berdarah itu, mengerahkan Thi-khi-i-beng.
Darah hitam keluar makin banyak dan akhirnya Kun Liong menarik kembali telapak tangannya.
Di atas telapak tangannya menempel sebuah jarum kecil berwarna merah.
“Hemmm... jarum putera Ban-tok Coa-ong...” Kun Liong berseru keras ketika melihat jarum itu.
“Siauw-suhu mengenalnya?” Nikouw berkerudung itu bertanya sambil melirik ke arah pinggulnya. Dari luka kecil itu kini keluar darah merah agak kekuningan, akan tetapi tidak hitam macam tadi.
“Saya pernah bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan puteranya yang bernama Ouw-yang Bouw.”
“Pinni memang terkena jarum yang dilepas oleh seorang laki-laki yang seperti gila dan yang mengaku bernama Ouw-yang Bouw.” Nikouw itu berkata.
“Hemm, dia memang jahat dan kejam. Racun sudah keluar, tinggal sedikit yang dapat disembuhkan dengan obat minum.” Kun Liong lalu menuliskan resep obat minum dan obat luar untuk nikouw yang terluka itu. Resep itu dituliskan di atas kain putih yang disediakan oleh para nikouw dan untuk pensilnya dia menggunakan ranting dan getah pohon.
Nikouw itu kini duduk di dalam jolinya dan tirai di depan joli disingkapkan. Dari dua lubang di kerudungnya, sepasang matanya yang bening memandang ke luar, ke arah Kun Liong dan terdengar suaranya yang halus, “Pinni telah menerima budi pertolongan Siauw-suhu, harap sudi memperkenalkan gelar (nama julukan) dan di mana kuil Siauw-suhu.”
Setelah tugasnya mengobati selesai dengan hasil baik, sambil meneliti jarum merah di tangannya, kemudian menyimpannya dengan hati-hati di saku bajunya setelah membungkuskan rapi dengan sisa robekan kain putih, Kun Liong tak dapat menahan geli hatinya. Dia tertawa, melepaskan kegelian dan kemengkalan hatinya karena selalu orang menyangkanya seorang hwesio!
“Ha-ha-ha-ha! Benarkah kepala gundul menjadi ciri khas seorang hwesio? Benar-kah bentuk pakaian menjadi ciri khas para pendeta dan pertapa? Kalau begitu, betapa mudahnya setiap orang mengaku hwesio dan pendeta suci! Menilai isi dengan melihat kulitnya, betapa menye-satkan! Saya bukan seorang hwesio biar-pun secara tidak kusengaja kepalaku gundul. Nama saya Yap Kun Liong dan tidak mempunyai tempat tinggal terten-tu.” Dia menjura ke arah nikouw di da-lam tandu.
Para nikouw terkejut dan muka mereka yang tidak berkerudung menjadi merah. Kiranya mereka semua telah salah menduga dan menganggap pemuda gundul itu seorang rekan mereka! Nikouw di dalam tandu lebih-lebih lagi terkejut dan makin merasa malu. Pinggulnya telah diraba-raba oleh seorang pria muda tampan, bukan seorang hwesio yang sudah bersih hatinya!
“Sumoi sekalian, mari kita pergi!”
Tirai ditutup dan tandu diangkat, dari dalam tandu terdengar suara halus itu, “Yap Kun Liong-sicu, pinni menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu, semoga Thian yang akan membalasnya.”
Rombongan nikouw itu pergi dan Kun Liong berdiri memandang dengan senyum lebar dan juga merasa sedikit curiga dan herah mengapa nikouw yang terluka itu sama sekali tidak mau memperlihatkan mukanya! Benarkah karena tidak ingin dikenal setelah terpaksa memperlihatkan pinggulnya yang telanjang? Ataukah ada hal lain yang membuat nikouw itu segan dikenal orang?
“Yap-sicu, kiranya Cia Keng Hong-tai-hiap telah, mengajarkan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng kepadamu!”
Kun Liong membalikkan tubuh dengan cepat dan memandang heran. “Bagaimana Totiang dapat mengetahuinya?”
Kiang Tojin tersenyum lebar. “Hanya Thi-khi-i-beng saja yang mampu menyedot racun dan jarum tadi melalui telapak tangan, Sicu masih muda telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh mengun-tungkan akan tetapi juga berbahaya sekali. Kalau boleh saya mengetahui, apa-kah Sicu menjadi murid Cia-taihiap?”
Kun Liong menggeleng kepalanya dan dia tahu bahwa terhadap bekas ketua Kun-lun-pai ini dia tidak perlu berbohong. “Hanya kebetulan saja Cia-supek mengajarkan Thi-khi-i-beng kepada teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu adalah mu-rid dari Bun Hoat Tosu selama lima tahun dan murid Tiang Pek Hosiang selama lima tahun pula.”
Kiang Tojin membelalakkan kedua matanya, kemudian menarik napas pan-jang. “Aaihhh... kiranya Sicu adalah mu-rid orang-orang sakti! Kalau boleh saya bertanya, Sicu hendak pergi ke mana-kah?”
“Banyak sekali hal yang harus teecu kerjakan, Locianpwe. Pertama-tama tee-cu harus mencari kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, yang dirampas Kwi--eng-pang, dan berusaha mendapatkan kembali pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu. Ke dua, teecu harus mencari kedua orang tua teecu yang sampai kini tidak teecu ketahui di mana adanya. Dan ke tiga... hemmm, teecu harus mencari Ban-tok Coa-ong dan me-negur puteranya atas kekejamannya me-lukai nikouw tadi dengan jarum merah beracun.”
Kiang Tojin makin terkejut dan heran. “Sicu memang berkepandaian tinggi, akan tetapi Sicu hendak menentang datuk--datuk kaum sesat, sungguh merupakan pekerjaan yang amat berbahaya dan be-rat. Betapa juga, mengingat akan guru-guru Sicu, saya tidak akan heran kalau kelak mendengar bahwa mereka itu te-was di tangan Sicu.”
“Wah, siapa yang mau membunuh orang, Locianpwe? Teecu sama sekali tidak ada pikiran untuk membunuh siapa-pun juga.”
“Ehhh? Kalau menentang mereka, bukankah berarti memancing pertandingan mati-matian?”
Kun Liong menggeleng kepalanya. “Sama sekali tidak, Locianpwe. Teecu akan mendatangi Kwi-eng pangcu, minta kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai dan bokor emas, mengajukan cengli- (aturan yang beralasan) menegur kepada-nya. Juga keluarga Ouwyang Raja Ular itu hanya akan teecu tegur agar lain kali jangan bersikap demikian kejam.”
Kiang Tojin melongo. Sejenak dia tidak dapat berkata-kata. Kemudian dia menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Aihhh, banyak sudah aku bertemu dengan orang muda yang luar biasa, di antaranya dahulu aku kagum kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong, akan tetapi belum pernah aku mendengar atau bertemu dengan seorang muda seperti engkau, Sicu. Mau mendatangi datuk-datuk kaum sesat dan menegur mereka dengan menggunakan cengli! Kalau tidak mendengar sendiri mana aku dapat percaya? Mudah-mudahan saja kau berhasil, Sicu.”
Kakek itu benar-benar kagum sekali terhadap pemuda gundul itu. Kiang Tojin tahu bahwa pemuda itu telah digembleng oleh dua orang kakek sakti, bahkan telah mewarisi Thi-khi-i-beng, sukar diukur sampai di mana kelihaiannya. Akan tetapi yang membuat dia kagum adalah pendirian pemuda ini yang agaknya tidak mau menggunakan kepandaian untuk membunuh orang, melainkan bermaksud untuk menasihati datuk-datuk kaum sesat! Dulu dia kagum sekali kepada Cia Keng Hong (baca cerita Pedang Kayu Harum) akan tetapi sekarang dia dibikin bengong menyaksikan sikap Yap Kun Liong.
“Terima kasih atas kebaikanmu, Locianpwe, terutama sekali terima kasih atas percakapan yang amat berguna tadi sebelum para nikouw muncul. Uraian Locianpwe tentang hidup tadi banyak membuka mata teecu. Kini teecu akan melanjutkan perjalanan teecu.”
“Selamat jalan, orang muda yang luar biasa. Kuharap saja kalau kelak kebetul-an kau lewat di Kun-lun-san, kau suka singgah di Kun-lun-pai”
“Mudah-mudahan, Locianpwe. Selamat berpisah.” Kun Liong memberi hormat lalu pergi meninggalkan kakek itu yang masih berdiri memandangnya dengan sikap penuh kagum dan terheran-heran.
“Bu-moi (Adik Bu)... terima ini...!”
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio melemparkan bokor emas itu kepada adik ang-katnya ketika dia terdesak oleh tiga orang datuk pria, yaitu Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong, dan Hek-bin Thian--sin yang sudah berhasil menyusulnya ketika Ketua Kwi-eng-pang itu melarikan diri sambil membawa bokor emas yang diterimanya dari Kun Liong.
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tentu saja cepat menyambut bokor emas yang melayang ke arahnya itu dan membawa-nya lari, sedangkan Kwi-eng Niocu ber-usaha mencegah tiga orang datuk yang hendak mengejar. Namun, tentu saja dia tidak mampu menahan mereka bertiga dan kini Siang-tok Mo-li yang menjadi kejaran mereka. Tiga orang datuk pria mengejar untuk merampas bokor sedangkan Kwi-eng Niocu mengejar untuk membantu adik angkatnya itu.
Betapa cepatnya lari Siang-tok Mo--li, tetap saja dia tidak dapat membebas-kan diri dari pengejaran para datuk itu. Tiga orang datuk pria itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, bahkan sedikit lebih tinggi daripada tingkat ke-pandaian Siang-tok Mo-li, maka tak lama kemudian tiga orang datuk pria itu telah menyusulnya dan segera mengepungnya.
“Siang-tok Mo-li, serahkan bokor itu kepadaku!” Toat-beng Hoat-su menubruk ke depan.
Siang-tok Mo-li terkejut, cepat dia meloncat ke kiri menghindar, akan tetapi sambil tertawa menyeramkan, Ban-tok Coa-ong sudah menyambutnya dengah lengannya yang panjang seperti ular itu menyambar untuk merampas bokor! Bu Leng Ci terkejut sekali, apalagi melihat betapa Hek-bin Thian-sin juga sudah me-nerkamnya.
“Ang-cici (Kakak Ang), terimalah bokor...!” Dia berseru dan cepat melemparkan bokor melambung tinggi ke arah Kwi-eng Niocu yang sudah tiba di tem-pat itu. Tentu saja Kwi-eng Niocu cepat menyambar bokor dan melarikan diri secepatnya. Ia ingin cepat-cepat tiba di Kwi-ouw, karena kalau dia sudah tiba di tempat perkumpulannya itu, dengan me-ngandalkan telaga yang penuh rahasia dan bantuan anak buahnya, tentu dia akan dapat melawan tiga orang datuk pria itu. Akan tetapi sayang sekali, Kwi-ouw (Telaga Setan) masih amat jauh dan kini tiga orang datuk pria itu telah me-ngejar lagi sambil berteriak-teriak.
“Wah, curang! Kalian berdua berse-kongkol!” Ban-tok Coa-ong berteriak.
“Dasar perempuan. licik dan selalu hendak menipu kita kaum pria!” Toat--beng Hoat-su mengomel sambil memper-cepat larinya mengejar.
Hek-bin Thian-sin diam saja dan terus mengejar. Dia mendongkol sekali mengapa Legaspi Selado, tokoh asing botak yang lihai itu, yang sudah berjanji akan membantu memperebutkan bokor emas, masih juga belum muncul. Kalau ada Si Botak Asing itu bersama pasukannya, tentu dia akan dapat merampas bokor dan mengatasi empat orang datuk lain-nya.
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang me-ngejar di sebelah belakang, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi dua kali. Dari jauh terdengar lengkingan tinggi yang hampir sama, juga dua kali.
Bu Leng Ci tersenyum girang dan dia mempercepat larinya, akan tetapi tidak mengambil jalan yang sama seperti yang dilalui Kwi-eng Niocu dan tiga orang pe-ngejarnya. Kwi-eng Niocu mengambil jalan mendaki naik ke pegunungan, sedangkan Siang-tok Mo-li memotong jalan melalui sebelah bawah dari mana tadi dia mendengar suara melengking yang menyambut tanda rahasianya. Ketika dia tiba di seberang sebuah jurang, tampak-lah olehnya di sebelah atas, terhalang oleh jurang itu, bayangan Kwi-eng Niocu sedangkan tiga orang pengejarnya sudah hampir menyusul Ketua Kwi-eng-pang itu.
“Ang-cici...! Lekas lemparkan ke sini...!” Bu Leng Ci berseru.
Ang Hwi Nio sedang gelisah karena tiga orang datuk itu sudah dekat sedang-kan dia tidak melihat bayangan adik angkatnya. Ketika mendengar suara ini dia menengok dan giranglah hatinya me-lihat orang yang dicari-carinya itu berada di sebelah bawah, terhalang jurang yang amat curam dan cukup lebar. Dia percaya bahwa dia mampu melemparkan bokor itu sampai ke seberang jurang dan dia percaya pula bahwa adik angkatnya cukup lihai untuk dapat menangkap bokor itu. Melihat betapa tiga orang datuk pria sudah dekat, dia segera melontarkan bokor itu ke seberang jurang. Benda itu meluncur dengan cepat sekali ke arah Bu Leng Ci yang sudah berdiri dan siap menyambut. Bagaikan seekor burung ga-ruda menyambar seekor burung dara, Siang-tok Mo-li meloncat dan berhasil menangkap bokor emas yang melayang dari atas itu.
“Ehh, ke mana kau membuang pusa-ka itu?” Toat-beng Hoat-su berteriak kaget, mengira bahwa Kwi-eng Niocu membuang bokor yang mereka perebut-kan. Juga Ban-tok Coa-ong dan Hek-bin Thian-sin terkejut. Bukan hanya tiga orang kakek itu yang terkejut, bahkan Kwi-eng Niocu juga kaget sekali ketika melihat betapa Siang-tok Mo-li setelah menerima bokor itu lalu melemparkan bokor itu ke seberang jurang lain dan bokor itu lenyap! Siang-tok Mo-li meno-leh dan tersenyum lebar penuh ejekan, kemudian membalikkan tubuh dan sekali melompat tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon!
Timbul kecurigaan di hati Ang Hwi Nio, akan tetapi dia sudah dapat meng-hadapi tiga orang kakek itu sambil ber-kata mengejek, “Kalian ini tua-tua bang-ka mau apa lagi? Kalian takkan dapat merampas bokor itu!”
Tiga orang kakek itu maklum bahwa mereka tidak mungkin melompati jurang ini tanpa bahaya maut mengancam me-reka, dan untuk melakukan pengejaran, mereka harus menuruni bukit dan meng-ambil jalan memutar yang makan waktu lama dan tentu orang termuda dari lima datuk itu sudah pergi jauh entah ke mana!
“Ha-ha-ha-ha, sekali ini Kwi-eng Niocu menjadi seorang yang amat tolol dan mudah saja ditipu orang. Ha-ha-ha!”
Kwi-eng Niocu memandang Kakek Raja Ular itu dengan mata mendelik. Biarpun hatinya makin tidak enak, akan tetapi dia membentak, “Ban-tok Coa-ong! Engkau bicara seenak perutmu sendiri. Apa kaukira Kwi-eng Niccu takut menghadapi ular-ularmu yang hanya dapat kaupakai menakuti kanak-kanak itu?”
Akan tetapi kini Toat-beng Hoat-su juga berkata penuh penyesalan. “Ucapan Si Raja Ular benar sekali. Kwi-eng Niocu, apa kaukira Siang-tok Mo-li akan demikian lemah hatinya untuk membagi bokor itu denganmu? Hemm, aku berani bertaruh dua jari tangan! Dia tentu sudah lari minggat membawa bokor itu bersama seorang sekutunya yang tadi menyambut bokor di seberang jurang di bawah itu.”
Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat sekali. “Celaka...! Giok-hong-cu...!”
“Siapa? Siapa itu Giok-hong-cu?” Hek-bin Thian-sin berseru.
“Siapa lagi? Muridnya. Celaka, perempuan iblis itu telah menipuku. Kalian benar. Mari kita kejar mereka sebelum mereka berlari terlalu jauh!” Kwi-eng Niocu segera meloncat dan berlari cepat turun dari bukit. Tiga orang kakek itu juga tidak mau ketinggalan dan mereka berempat lari bersicepat seperti berlumba menuruni bukit untuk mencari Bu Leng Ci dimulai di tempat di mana tadi Siang-tok Mo-li menerima bokor.
Empat orang datuk sesat ini seperti orang-orang yang lupa diri dan mereka melakukan pengejaran dan pencaharian tanpa mengenal lelah. Seolah-olah hidup mereka bergantung kepada bokor emas itu! Seolah-olah hidup mereka akan menjadi hampa dan tak berarti, kalau mereka tidak mendapatkan bokor emas yang diperebutkan itu. Bokor emas itu, yang mengandung rahasia besar yang didongengkan orang, pusaka dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia, merupakan tujuan satu-satunya bagi para datuk ini. Mereka me-rasa yakin bahwa kalau mereka berhasil menguasai bokor emas, tentu mereka menjadi orang yang terkuat, terpandai, dan terkaya di dunia ini, dan tentu me-reka tidak akan kekurangan apa-apa lagi, dan karenanya dapat hidup bahagia!
Betapa tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita semua ini, disadari maupun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan cita-cita seperti para datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu mengharapkan, menginginkan sesuatu yang kita beri nama cita-cita muluk! Padahal, mengapa kita harus bercita-cita? Mengapa kita harus mengharap dan beringin? Bukankah pengharapan dan keinginan ini menjadi penyebab dari kekecewaan dan kekhawatiran? Kita mengejar sesuatu yang kita namakan cita-cita, dan hati kita selalu diliputi kekhawatiran kalau--kalau kita gagal! Dan kalau sampai ga-gal, kita akan dirundung kecewa, merasa sengsara. Padahal, kalau kita berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita itu, benarkah kita akan menemukan bahagia? Berhasilnya cita-cita yang kita kejar itu, benarkah akan membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan dari khawatir? Biasanya, sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah tergenggam tangan, hanya akan mendatangkan kepuasan sejenak saja, kemudian kita menjadi bosan dan kita mengejar yang lain lagi sehingga cita-cita menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya, yang mencengkeram se-lama hidup kita dan membuat hidup kita tak pernah bebas dan tenang!
Pengejaran cita-cita menandakan bah-wa kita tidak dapat menghadapi dan mengerti keadaan apa adanya, dan sekali kita tidak merasa puas dengan keadaan apa adanya, maka selamanya kita takkan pernah merasa puas, apa dan bagaimana pun keadaan kita. Sekali kita dicengke-ram oleh pengejaran cita-cita, maka hidup hanya merupakan derita karena kita tak pernah dapat melihat dan me-nikmati saat sekarang, saat demi saat di mana kita sesungguhnya hidup, karena mata kita hanya ditujukan jauh ke depan, kepada esok, lusa, dan masa depan, se-hingga saat ini, sekarang, tidak ada arti-nya lagi. Padahal saat ini atau sekarang inilah kita hidup!
Para datuk kaum sesat itu, demi untuk memperoleh bokor emas yang menjadi tujuan dan cita-cita mereka, tidak segan-segan melakukan apapun juga. Tidak segan untuk membunuh, kalau perlu anta-ra kawan sendiri. Dan demikian pula dengan kita yang berlumba dalam mengejar cita-cita, untuk berhasil dalam pengejaran ini, kita pun akan selalu menying-kirkan segala aral yang melintang di tengah jalan! Maka timbullah pertentang-an, permusuhan, dan kebencian, dan se-mua itu dilapisi dengan kedok kebenaran dan keadilan yang pada hakekatnya ada-lah kebenaran dan keadilan demi kepentingan pribadi dan karenanya palsu. Bahkan dalam kesesatan kita tidak segan-segan pula di antara kita manusia ada yang berpegang kepada semboyan “tujuan menghalalkan segala cara”!
Semboyan dan pendapat yang sama sekali tidak patut! Cara tidaklah berbeda garis dengan tujuan. Mungkinkah mengusahakan perdamaian dengan peperangan? Mungkin-kah menghilangkan permusuhan dengan penindasan? Mengusahakan persahabatan dengan kemenangan? Cara yang buruk tidak mungkin sama sekali memperoleh tujuan yang baik, demikian pula, tujuan yang buruk tidak mungkin dilakukan de-ngan cara yang baik!
Sebulan kemudian, usaha pencaharian yang tekun dari empat orang datuk itu dibagi menjadi dua kelompok. Sebetulnya mereka itu berpencar, akan tetapi karena saling curiga dan tidak ingin kalau orang lain menemukan tempat persembunyian Siang-tok Mo-li tanpa yang lain mengetahuinya, maka diam-diam mereka saling membayangi, atau lebih tepat lagi, Kwi--eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin melan-jutkan pencaharian mereka dengan arah yang sama, dan demikian pula Toat--beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong saling membayangi.
Hek-bin Thian-sin dan Kwi-eng Niocu lebih tepat menentukan arahnya dan setelah mencari keterangan di sana-sini, akhirnya pada suatu hari mereka tiba di depan guha di Bukit Burung Walet. Bukit itu terkenal sebagai sarang burung walet. Maka dinamakan demikian, dan di situ terdapat banyak guha dan di dalam guha--guba inilah burung-burung itu bersarang. Sebuah di antara guha-guha itu kini dija-dikan tempat sembunyi Siang-tok Mo-li dan Giok-hong-cu muridnya!
Hari telah sore dan burung-burung valet beterbangan memasuki guha-guha yang amat banyak itu. Kedua orang da-tuk kaum sesat itu masih belum tahu benar guha yang mana yang dijadikan tempat sembunyi orang yang dicarinya. Mereka berdiri di depan guha-guha dan memasuki guha yang gelap.
“Hemm, tak salah lagi, tentu di sana dia bersembunyi.” Akhirnya Kwi-eng Nio-cu berkata sambil menuding ke arah sebuah guha yang agak besar di tengah--tengah kumpulan guha itu.
Hek-bin Thian-sin memandang. Mula-mula dia tidak dapat menduga mengapa Kwi-eng Niocu dapat menentukan demikian, akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan segera dia dapat melihat per-bedaan keadaan guha yang satu ini de-ngan yang lain. Burung-burung walet yang beterbangan itu, memasuki guha--guha yang lain dengan cepat tanpa ragu--ragu, akan tetapi burung-burung yang hendak memasuki guha yang dimaksudkan itu, tidak langsung terbang masuk me-lainkan beterbangan ke sana-sini di depan guha, seolah-olah mereka segan masuk atau ada sesuatu di dalam guha itu yang mereka takuti.
“Memang, di sanalah dia bersembu-nyi!”
Seperti dikomando saja, keduanya berloncatan dan dengan beberapa loncat-an saja, dua orang datuk yang berilmu tinggi itu telah tiba di depan guha yang dimaksudkan tadi. Guha itu besar dan gelap, juga karena agak dalam maka tidak kelihatan ujungnya dari luar.
“Bu Leng Ci, keluarlah engkau! Kami telah tahu bahwa engkau bersembunyi di dalam guha ini! Apa kauminta kami membakar dan mengasapi guha sehingga kau terpaksa keluar seperti seekor kelinci dari dalam lubang? Ha-ha-ha!” Hek--bin Thian-sin berteriak.
“Plok! Plok!” Dua ekor burung walet yang sedang beterbangan di atas kepala kedua orang datuk itu, tiba-tiba jatuh di depan kaki mereka dan ternyata dua ekor burung itu telah tewas dengan tu-buh berlubang-lubang terkena Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi).
“Bu Leng Ci, engkau anjing betina, pengkhianat!” Kwi-eng Niocu memaki dengan marah.
“Ang-cici, aku sudah menantimu sam-pai lama sekali di sini! Aku tetap men-jadi sekutumu! Mari kita bunuh Si Muka Hitam itu dan bokor ini kita nikmati berdua!”
Akan tetapi Kwi-eng Niocu sudah terlalu marah karena dikhianati dan dia tidak lagi percaya kepada Siang-tok Mo-li, maka dia berkata, “Tidak perlu banyak cerewet. Aku datang untuk mem-bunuhmu dan merampas bokor!”
“Serrr... serrr...!”
Sinar hijau menyambar ke arah dua orang datuk itu. Tentu saja dua orang sakti yang sudah bersiap sedia ini dapat cepat mengelak dan menghindarkan diri dari ancaman maut Siang-tok-soa. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dengan nada mengejek.
“Hek-bin Thian-sin!” terdengar teriak-an Bu Leng Ci dari dalam guha, “Mari kaubantu aku membunuh Kwi-eng Niocu, dan bokor kita nikmati berdua! Kalau kau tidak mau bersekutu dengan aku, mana mungkin engkau menghadapi dia dan dua orang kakek tua bangka yang lain?”
Kwi-eng Niocu terkejut sekali dan dia sudah siap menghadapi kalau-kalau Si -Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci yang amat licik itu. Hek-bin Thian--sin meraba-raba dagunya dan mengerut-kan alisnya, kelihatan ragu-ragu sekali kembali memandang ke arah Kwi-eng Niocu. Kemudian dia mengomel, “Hemm... hemm, usulmu itu sebetuinya baik juga... tapi...”
“Thian-sin, jangan gila kau!” Kwi--eng Niocu berseru. “Begitu bodoh tertipu oleh anjing betina itu!”
Saat itu dari dalam guha berkelebat bayangan Bu Leng Ci, didahului pedang samurainya yang menjadi sinar terang menyambar ke arah Kwi-eng Niocu. Ten-tu saja Kwi-eng Niocu sudah cepat me-loncat ke belakang menghindar, lalu me-nerjang maju lagi menggunakan senjata-nya yang tidak kalah ampuhnya dengan segala macam senjata tajam, yaitu kuku--kuku tangannya yang panjang dan bera-cun!
“Hek-bin Thian-sin, kaupilih saja! Tikus betina tua yang berbahaya ini atau aku yang memegang bokor emas!” Bu Leng Ci masih berteriak sambil mengge-rakkan samurainya menghadapi Kwi-eng Niocu.
Hek-bin Thian-sin masih berdiri termangu dan memandang dua orang wanita yang sudah bertanding dengan hebat itu.
Di dalam pikirannya terjadi perang sen-diri. Membantu yang mana? Kalau dia membantu, tentu seorang di antara dua wanita ini kalah dan tewas, dan dia memperhitungkan kemungkinan-kemungkinannya, tentu saja dengan menekankan keuntungan bagi dirinya sendiri. Senjata-nya yang menyeramkan, sebatang golok besar yang tajam mengkilap, telah siap di tangan kanannya.
Pertandingan yang terjadi antara dua orang wanita lihai itu, amat seru dan mati-matian. Pedang samurai yang pan-jang melengkung sedikit itu telah lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung sinar terang yang berkeredepan. Akan tetapi, gerakan Kwi-eng Niocu bukan main gesitnya. Memang, datuk wanita ini terkenal sekali dengan ilmu gin-kangnya sehingga tubuhnya menjadi amat ringan, gerakannya cepat sampai bayangannya lenyap dan karena kelihaian gin-kangnya inilah maka dia dijuluki Si Bayangan Hantu! Biarpun dia tidak memegang sen-jata namun sepuluh buah kuku jari tangannya merupakan senjata-senjata yang amat ampuh, karena jangankan sampai terkena tusukan, baru terkena guratan sebuah di antaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan! Namun, menghadapi Bu Leng Ci yang dia tahu amat lihai ilmu pedang samurainya yang tajam itu, dia harus berhati-hati, karena betapa pun kuat kukunya, kalau sampai terkena sabetan samurai tentu akan patah. Kedua orang wanita ini bertanding dengan bimbang terutama sekali Kwi-eng Niocu yang khawatir kalau-kalau Si Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci dan akan maju mengeroyoknya. Kebimbangannya inilah yang membuat pertandingan itu menjadi seimbang, biarpun sebenarnya tingkat kepandaian Ketua Kwi-eng-pang ini masih menang setingkat dibandingkan dengan lawannya.
Tiba-tiba Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dan berseru nyaring, “Ha-ha-ha! Mampuslah kau!” Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher Kwi-eng Niocu! Ketua Kwi-eng-pang ini kaget dan cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu golok itu sudah menyeleweng dan dengan kecepatan yang tak terduga-duga telah membacok ke arah tubuh Bu Leng Ci! Kiranya kakek muka hitam itu tadi hanya menyerang Kwi-eng Niocu secara palsu untuk mengalihkan perhatian Bu Leng Ci, padahal yang menjadi sasaran goloknya sebenarnya adalah Siang-tok Mo-li. Kepu-tusan ini diambil dan membuktikan kelihaian dan kecerdikan Si Muka Hitam ini. Biarpun bokor berada di tangan Bu Leng Ci, namun dia mengambil keputusan un-tuk membantu Kwi-eng Niocu. Dia ter-ingat akan keterangan Kwi-eng Niocu bahwa Bu Leng Ci mempunyai seorang murid yang berjuluk Giok-hong-cu, dan dia sudah mendengar pula akan kelihaian Giok-hong-cu. Bu Leng Ci muncul sendirian dan bokor emas tidak berada di tangannya, tentu berada di tangan Giok--hong-cu itu. Kalau dia membantu Bu Leng Ci dan mereka berdua berhasil membunuh Kwi-eng Niocu, berarti bahwa dia akan berhadapan dengan Bu Leng Ci dan muridnya itu. Ilmu kepandaiannya hanya menang setingkat dibandingkan dengan Bu Leng Ci, maka kalau Siang--tok Mo-li itu dibantu muridnya yang lihai juga, mana dia akan mampu menang?
Sebaliknya, kalau dia membantu Kwi--eng Niocu, tentu Bu Leng Ci dan murid-nya dapat dirobohkan, dan kemudian dia hanya akan berhadapan dengan Kwi-eng Niocu seorang! Tentu saja lebih ringan dan lebih besar harapannya untuk dapat merampas bokor.
Bu Leng Ci terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Si Muka Hitam itu akan menye-rangnya. Tadi ketika mendengar seruan kakek itu dan melihat golok menyambar ke arah Kwi-eng Niocu, dia sudah mera-sa girang sekali. Siapa mengira bahwa golok itu tiba-tiba membalik dan menye-rangnya sedemikian cepat dan hebatnya! Agak terlambat dia menggerakkan samu-rainya menangkis.
“Cringgg...!” Bu Leng Ci berhasil menyelamatkan diri dari sambaran golok dengan tangkisannya, akan tetapi karena dia menangkis terlambat dan kedudukan-nya tidak baik, maka terhuyung dan pada saat itu dia merasa pundaknya perih dan panas!
“Siluman betina...!” Dia memaki dan terdengar suara ketawa Kwi-eng Niocu yang telah berhasil mencengkeram dan melukai pundak Bu Leng Ci. Dengan kemarahan meluap, Bu Leng Ci tidak mempedulikan lagi sambaran golok di tangan Hek-bin Thian-sin, samurainya meluncur seperti sambaran halilintar ke arah Kwi-eng Niocu. Serangan nekat ini membuat Kwi-eng Niocu terkejut, dan terpaksa dia mengelak. Melihat samurai masih mengancamnya, terpaksa dia menggunakan ujung kuku tangan kirinya menangkis.
“Trakkk...!” Dia berhasil menyela-matkan diri, akan tetapi dia harus me-ngorbankan lima kuku jari tangan kirinya yang terbabat putus semua! Dan pada saat itu, golok Hek-bin Thian-sin telah melukai paha kanan Bu Leng Ci. Wanita ini terguling, akan tetapi sambil memu-tar samurainya, dia sudah meloncat lagi, tidak mempedulikan darah yang muncrat--muncrat keluar dari luka di pahanya.
“Bi Kiok...! Lari...!” Dia menjerit.
Tepat seperti diduga oleh Hek-bin Thian-sin, murid Siang-tok Mo-li memang bersembunyi di dalam guha sambil menanti tanda dari gurunya. Kalau bujukan gurunya berhasil dan Kwi-eng Niocu dapat dirobohkan, dia akan keluar memban-tu gurunya mengeroyok Hek-bin Thian--sin. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dari pengintaiannya dara ini melihat keadaan berubah dan terbalik sama seka-li. Malah gurunya yang dikeroyok oleh dua orang datuk itu, dan kini gurunya terluka hebat. Sebetulnya ingin dia me-ngamuk, membela gurunya, akan tetapi karena memang semua telah diatur guru-nya, semenjak mereka melarikan diri setelah berhasil menguasai bokor emas,
Bi Kiok tidak berani melanggar perintah dan dia lalu melompat keluar dari dalam guha dan terus melarikan diri.
“Haii, hendak ke mana engkau?” Hek-bin Thian-sin yang memang sudah memperhitungkan hal ini, dapat bergerak lebih cepat dan daripada Kwi-eng Niocu. Dia sengaja mendekati mulut guha dan membiarkan Kwi-eng Niocu melampiaskan kemarahannya karena kehilangan kuku jari tangan kiri kepada Bu Leng Ci sedangkan dia sendiri begitu melihat berkelebatnya bayangan seorang dara cantik, cepat menubruk maju.
“Singgg...!” Sinar terang meluncur ke arah kakek itu ketika Yo Bi Kiok atau yang berjuluk Giok-hong-cu menusukkan pedangnya kepada kakek yang mengha-dang di depannya.
“Trangggg...!” Golok besar itu me-nangkis dengan pengerahan tenaga hebat sekali, membuat pedang itu terpental dan hampir terlepas dari tangan Bi Kiok! Dara itu maklum bahwa dia tidak boleh terlalu lama melayani lawannya yang amat tangguh, maka sesuai dengan rencana yang telah diatur gurunya, dia melemparkan bokor emas jauh ke kiri. Melihat ini, Hek-bin Thian-sin cepat mendorongkan tangan kirinya ke arah Bi Kiok. Pukulan jarak jauh ini dahsyat sekali dah Bi Kiok yang tidak menyangkanya, dilanda hawa pukulan sehingga terjengkang. Dadanya terasa panas dan napasnya sesak, akan tetapi dia dapat meloncat bangun dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak ketika dia menyambar bokor emas dengan tangan kirinya, cepat membalikkan tubuh ke arah Kwi-eng Niocu dengan golok siap di tangan kanan.
Kwi-eng Niocu telah berhasil merobohkan Bu Leng Ci. Kegemasannya terhadap adik angkat yang sebetulnya diangkat adik hanya untuk memenuhi muslihat masing-masing, karena Bu Leng Ci telah mengkhianatinya dan telah mematahkan lima kuku jari tangan kirinya, membuat Ketua Kwi-eng-pang ini seperti gila. Mula-mula, sebuah tangannya berhasil melemparkan samurai dari genggaman tangan Bu Leng Ci yang terluka parah, terkena racun kuku jari Kwi-eng-pang dan pahanya terluka herat oleh golok Hek-bin Thian-sin. Namun Bu Leng Ci yang sudah maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya, masih nekat melakukan perlawanan, bahkan menubruk maju dengan kedua tangan hendak mencengkeram, kedua tangan yang telah merobek banyak dada pria untuk mengambil jantungnya dan memakannya itu, jari tangan yang amat kuat seperti baja. Namun karena dia sudah terluka, maka gerakannya kurang cepat dan Kwi-eng Niocu yang maklum pula betapa bahayanya lawan yang sudah menjadi nekat, cepat miringkan tubuh mengelak sehingga tubuh Bu Leng Ci terdorong ke depan oleh gerakannya sendiri. Saat itu dipergunakan oleh Kwi-eng Niocu untuk mencengkeram ubun-ubun kepala lawan dari samping.
“Krekkk...! Auuugghhh...!” Bu Leng Ci yang terkenal dengan julukan Siang-tok Mo-li, yang namanya amat terkenal ditakuti soperti iblis di daerah selatan pantai laut selatan, kini menjerit mengerikan dan agaknya nyawanya melayang pergi bersama jeritannya itu.
Setelah melihat lawannya tewas, Kwi-eng Niocu memandang Hek-bin Thian-sin yang tersenyum-senyum memandangi bokor emas di tangannya.
“Hek-bin Thian-sin, karena kita berdua yang menemukan bokor itu, dan aku yapg membunuh Siang-tok Mo-li, maka sudah sepatutnya ka1au kita berdua yang berhak atas pusaka itu.”
“Ha-ha, Kwi-eng Niocu. Terhadap Siang-tok Mo-li saja aku sudah tidak dapat terbujuk, apalagi menghadapi engkau. Tentu saja aku tidak percaya. Kalau kau mampu, boleh kaucoba merampas bokor ini dari tanganku!” Kakek muka hitam itu memegang bokor dengan tangan kiri sedangkan golok di tangan kanannya dikelebatkan.
Kwi-eng Niocu bukanlah seorang bodoh. Dalam keadaan tidak terluka sekali-pun, kekuatannya seimbang dibandingkan dengan Si Muka Hitam itu dan biarpun dia tidak takut, dia agaknya harus me-ngeluarkan seluruh kepandaiannya untuk memenangkan datuk timur ini. Akan tetapi sekarang dia telah kehilangan lima buah kuku jari tangan kirinya. Biarpun tidak terluka, namun malapetaka ini baginya lebih hebat daripada kalau dia terluka karena dia kehilangan separuh dari senjatanya dan karenanya dia tidak akan dapat bergerak leluasa. Dalam ke-adaan seperti sekarang ini, melawan Hek-bin Thian-sin sama artinya dengan membunuh diri secara konyol. Tentu saja dia tidak sudi membunuh diri. Masih banyak waktu untuk kelak berusaha me-rampas bokor itu dari tangan Si Muka Hitam. Bukankah tidak ada orang lain yang tahu bahwa bokor yang diperebutkan itu kini berada di tangan Hek-bin Thian-sin? Maka dia tidak menjawab, bahkan cepat dia membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu sebelum datuk dari timur itu berpikir lain. Dan memang kepergian Kwi-eng Niocu ini tidak terlambat dan tepat sekali karena setelah datuk wanita itu pergi, Hek-bin Thian-sin mengerutkan alis dan merasa menyesal mengapa dia tidak membunuh saja Kwi-eng Niocu yang sudah kehilangan semua kuku tangan kirinya. Kini dia maklum bahwa setidaknya masih ada bahaya mengancam kepadanya dari satu jurusan, yaitu dari Kwi-ouw tempat tinggal Ketua Kwi-eng-pang itu.
Akan tetapi kegembiraan memperoleh bokor emas yang diidam-idamkan itu membuat dia segera melupakan hal ini dan cepat dia pun lari pergi menuju ke timur karena dia berniat untuk bersembunyi di pantai timur, tempat di mana dia menjadi datuknya dan diam-diam memeriksa rahasia bokor emas yang kabarnya selain mengandung rahasia tempat penyimpanan harta karun yang amat besar, juga mengandung rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab pelajaran kesak-tian dari Panglima Besar The Hoo! Dia harus cepat-cepat menyelamatkan diri dan menghindarkan pengejaran dua orang kakek datuk lainnya, yaitu Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong, dua orang yang dia tahu amat sakti dan lebih lihai daripada dia sendiri. Selain ini, juga dia harus menghindarkan pertemuan dengan kakek asing botak Legaspi Selado yang selain lihai juga mempunyai banyak kaki tangan, bahkan bersekutu dengan pasukan pemberontak. Tadinya memang dia telah menceritakan tentang bokor kepada Le-gaspi sehingga menarik perhatian kakek itu yang berjanji untuk membantunya.
Akan tetapi setelah kini bokor terjatuh ke dalam tangannya, dia merasa tidak perlu lagi untuk berurusan dengan kakek asing itu!
Ternyata bahwa Hek-bin Thian-sin terlalu memandang rendah kepada Legas-pi Selado. Dia sama sekali tidak mengira bahwa kakek asing yang botak itu selain berkepandaian tinggi, juga amat cerdik, jauh lebih cerdik daripada datuk timur ini! Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati Hek-bin Thian-sin ketika dia menuruni bukit dan tiba di hutan yang mengurung kaki bukit, tiba-tiba saja muncul Legaspi Selado di depannya sam-bil tersenyum lebar! Terlambat bagi Hek--bin Thian-sin untuk menyembunyikan bokor emas itu dan dengan jantung berdebar dia mendengar kakek asing botak itu menegurnya. “Ahai sahabatku yang baik Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu! Siapa mengira bahwa kita bertemu di sini dan ternyata engkau telah berhasil menemukan bokor emas itu. Bagus! Mari kita bawa ke kapalku dan di sana kita mencari rahasia bokor itu, sahabatku yang baik!”
Biarpun dia terkejut dan khawatir melihat munculnya kakek asing yang sama sekali tidak disangka-sangkanya ini, mendengar ucapan itu, Hek-bin Thian-sin menjadi marah. Dia maklum bahwa Legaspi memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak takut.
“Legaspi Selado, bokor ini adalah aku sendiri yang mendapatkannya, maka tidak mungkin dapat kubagi dengan siapapun juga.”
“Hemmm, begitukah...?” Kakek botak itu tiba-tiba mengeluarkan suara bersuit nyaring dan bermunculanlah belasan orang dari balik pohon-pohon di sekeliling tempat itu. Mereka ini adalah para per-wira pemberontak yang berhasil menye-lamatkan diri dan lari ketika Ceng-to diserbu oleh pasukan pemerintah yang di-pimpin sendiri oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Bekas perwira ini menyamar dengan pakaian preman dan dipergunakan oleh Legaspi Selado yang juga berhasil melarikan diri bersama teman-teman sebangsanya. Kini, atas isyarat yang diberikan kakek botak itu, mereka telah mencabut senjata golok dan pedang, mengurung Hek-bin Thian-sin.
“Legaspi Selado, mau apa kau?” Hek--bin Thian-sin membentak.
“Ha-ha-ha, Tuan Low Ek Bu! Engkau memang seorang yang murka dan khianat. Di Ceng-to, engkau telah meninggal-kan kami. Sekarang, dengan baik aku mengajakmu bersama-sama menyelidiki rahasia bokor, akan tetapi engkau hendak menguasainya sendiri saja. Karena itu, aku tidak sudi bersahabat lagi denganmu. Engkau adalah musuh dan kau harus me-nyerahkan bokor atau nyawamu!”
“Anjing biadab asing keparat!” Hek bin Thian-sin memaki dan golok di ta-ngannya sudah diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan mengamuklah datuk timur ini. Dua orang bekas perwira yang menangkis goloknya, berteriak ketika pedang mereka patah-patah dan golok terus menyambar ke arah tubuh mereka, merobek dada dan perut sehingga mereka roboh dan tewas seketika. Seorang lain yang menusukkan pedang dari belakang, dielakkan oleh Hek-bin Thian-sin, goloknya menyambar lagi. Pedang, itu kena dihantam dari sam-ping, mencelat dan pedang itu menancap di dada kiri seorang pengeroyok yang memekik nyaring dan roboh telentang, tewas pula.
Amukan Hek-bin Thian-sin amat he-bat. Kepandaiannya tidak dapat dilawan oleh para bekas perwira. Melihat ini, Legaspi menjadi marah sekali. Dilolosnya pecut dari pinggangnya, dan pecut itu digerakkan cepat sekali, meledak-ledak, menyambar ke atas kepala Hek-bin Thian-sin.
“Tar-tar-tar-tarrr...!”
Hek bin Thian-sin cepat mengelak sambil membabatkan golok di sekeliling-nya dengan kecepatan luar biasa. Kemba-li ada tiga orang pengeroyok roboh dan darah muncrat dari luka-luka mereka.
“Mundur semua...!” Legaspi Selado berteriak marah melihat enam orang anak buahnya tewas oleh sepak terjang lawan yang hebat itu. Dia sendiri sudah menerjang maju dan terjadilah kini per-tandingan yang amat seru. Legaspi Se-lado memperoleh ilmu cambuknya dari Nepal, dilatih oleh seorang ahli cambuk yang banyak terdapat di negara itu. Se-lain ini, Legaspi sudah banyak mempela-jari ilmu silat dan memiliki sin-kang serta gin-kang yang tinggi. Namun, Hek-bin Thian-sin adalah seorang datuk timur yang lihai. Dengan bokor di tangan kiri kakek ini menggerakkan goloknya, kadang-kadang bertubi-tubi menyerang kadang-kadang golok diputarnya sedemi-kian rupa sehingga tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar, membuat ancaman dan serangan ujung cambuk gagal semua.
Legaspi Selado selama berkenalan dengan Hek-bin Thian-sin, juga baru sekali ini bertanding melawan bekas sekutu ini, maka dia yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan memandang rendah orang lain, ketika melihat betapa cambuk saktinya yang selamanya ini sukar menemukan tanding, kini tidak dapat berbuat banyak menghadapi datuk timur ini.
“Tar-tar-tar... wuuttttt...!” Kini dia merobah gerakan pecutnya. Ujung cambuk itu menjadi sinar hitam melingkar-lingkar di atas, kemudian meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah melibat golok Hek-bin Thian-sin. Datuk ini kaget sekali, tentu saja mempertahankan golok-nya dengan pengerahan sin-kangnya. Terjadi tarik-menarik, keduanya mengerah-kan tenaga sin-kang.
“Trakkk...! Brettt...!” Golok patah tengahnya dan cambuk juga putus bagian tengahnya. Kedua orang itu mendengus marah, melempar gagang golok dan ga-gang cambuk, kemudian mereka saling menerjang dengan tangan koseng!
Akan tetapi karena Hek-bin Thian-sin menggunakan tangan kirinya untuk memeluk bokor emas, maka dia hanya mempergunakan tangan kanan dan hal ini membuat dia terdesak hebat. Selagi ka-kek ini mencari jalan ke luar untuk melarikan diri, tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dan dari atas melayang sesosok tubuh yang langsung menerjang kedua orang yang sedang bertanding. Begitu terjun dari atas, tangan kiri orang itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hek-bin Thian-sin dengan gerakan yang dahsyat sekali.
“Aihhh...!” Hek-bin Thian-sin berte-riak kaget, maklum bahwa serangan ke arah ubun-ubun kepalanya itu dapat mendatangkan maut! Maka cepat dia menang-kis dengan tangan kirinya dan pada saat itu, tangan kanan Toat-beng Hoat-su sudah merampas bokor emas yang dipe-gang erat-erat oleh tangan kiri datuk timur.
“Heii... kembalikan!” Hek-bin Thian--sin berseru.
“Serahkan bokor itu kepadaku!” Legas-pi Selado juga berteriak. Dua orang ka-kek ini mengulurkan tangan untuk merampas bokor, akan tetapi dengan gerak-an amat ringan, Toat-beng Hoat-su sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan tertawa melihat betapa Legaspi dan Hek--bin Thian-sin bertumbukan ketika berebut merampas bokor. Tubrukan ini diperguna-kan oleh Legaspi untuk menghantam ke arah dada Hek-bin Thian-sin. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hoat-su yang sudah meluncur turun itu pun mengguna-kan telapak tangan kirinya untuk meng-hantam punggung Hek-bin Thian-sin. Diserang secara berbareng oleh dua orang kakek sakti itu, dari depan dan belakang, Hek-bin Thian-sin terkejut, mengerahkan sin-kang dan berusaha menangkis. Namun terlambat. Dada dan punggungnya terpu-kul, dia berkelojot, matanya terbelalak, mulutnya menyemburkan darah segar, kedua tangannya masih berusaha untuk memukul kedua orang lawan itu, akan tetapi begitu Legaspi dan Toat-beng Hoat-su meloncat mundur, Hek-bin Thian--sin Louw Ek Bu terguling roboh dan tewas seketika. Tentu saja isi dadanya remuk terkena hantaman dua orang sakti dari depan dan belakang itu.
Legaspi Selado memandang kepada Toat-beng Hoat-su dengan mata terbelalak lebar. Dia belum pernah bertemu dengan kakek ini, akan tetapi dari keterangan Hek-bin Thian-sin ketika masih menjadi sekutunya, dia telah mendengar tentang empat orang datuk kaum sesat lainnya, maka kini melihat Toat-beng Hoat-su, segera dia dapat menduganya.
“Toat-beng Hoat-su, berikan bokor itu kepadaku!” bentaknya sambil meloncat ke depan dan serta merta dia memukul dengan kedua tangannya bergantian.
“Ha-ha-ha, anjing asing kau ikut-ikut memperebutkan bokor!” Toat-beng Hoat--su menangkis.
“Dess! Dess! Plak-plal-plakkk!” Pertemuan kedua tangan secara bertubi ini membuat keduanya terhuyung ke bela-kang dan keduanya terkejut sekali. Per-temuan tangan mereka tadi telah mem-buktikan betapa masing-masing memiliki tenaga sin-kang yang berimbang atau kalau ada selisihnya pun tidak banyak. Toat-beng Hoat-su yang sudah berhasil merampas bokor, segera meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri keluar dari hutan itu.
“Kejar...!” Legaspi Selado berseru sambil lari mengejar, diikuti oleh sisa anak buahnya.
Akan tetapi, tiba-tiba tampak bebe-rapa orang yang riap-riapan rambutnya melepas anak panah berapi sehingga terjadilah kebakaran di hutan itu yang menghadang Legaspi dan anak buahnya. Kiranya mereka itu adalah orang-orang Nepal yang meniadi anak buah Toat-beng Hoat-su! Ketika Toat-beng Hoat-su bersama tiga orang datuk lain secara ber-pencar menyelidiki larinya Siang-tok Mo-li, dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok telah berunding dan ber-mufakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa kalau seorang di antara mereka berhasil mendapatkan bokor, tentu mereka akan terpaksa saling bunuh dan mereka tidak akan pernah dapat hidup aman dengan bokor di tangan. Maka mereka mengambil keputusan untuk bekerja sama sehingga kedudukan mere-ka kuat, dan Ban-tok Coa-ong malah menawarkan tempat persembunyiannya di Pulau Ular, dan orang-orang Nepal itu adalah para pembantunya pula yang kemudian sebagian membantu Toat-beng Hoat-su dan sebagian pula membantu Ban-tok Coa-ong untuk mencari secara terpisah. Akhirnya, Toat-beng Hoat-su yang berhasil lebih dulu dan bersama anak buah orang-orang Nepal itu dia melarikan diri ke pantai di mana telah menanti sebuah perahu besar yang diberi nama Angin Barat. Toat-beng Hoat-su dan anak buahnya disambut oleh Ban-tok Coa-ong yang telah kembali ke pera-hu dulu. Tentu saja Ban-tok Coa-ong menjadi girang sekali.
“Biarkan Angin Barat berangkat sen-diri, kita berdua menggunakan perahu kecilku!” kata Ouwyang Kok Si Raja Ular itu.
“Mengapa begitu? Bukankah lebih aman naik Angin Barat yang besar?” Toat-beng Hoat-su bertanya.
“Benda ini dicari oleh banyak sekali orang pandai di dunia kang-ouw dan menurutkan ceritamu tadi, tentu Legaspi Selado tidak akan tinggal diam begitu saja. Orang-orang asing itu memiliki ka-pal besar yang jauh lebih kuat daripada perahu kita, maka kalau sampai kita ter-susul di tengah lautan, tentu akan berbahaya sekali. Kapal asing itu mempunyai senjata api besar berupa meriam dan kalau perahu besar kita tenggelam, apa yang dapat kita lakukan? Lebih baik kita naik perahu kecil, perahu nelayan sehingga tidak ada yang menaruh curiga. Kalau kita sudah tiba di Pulau Ular, kita tidak perlu khawatir lagi terhadap serbuan musuh.”
Toat-beng Hoat-su mengangguk-ang-guk, memuji kecerdikan dan sikap yang berhati-hati ini. Mereka mendahului berangkat dengan sebuah perahu layar kecil yang meluncur cepat biarpun pagi itu tiada angin karena dua batang dayung digerakkan oleh dua pasan tangan yang memiliki kekuatan dahsyat.
Enam orang Nepal itu segera mema-sang layar, memberangkatkan perahu Angin Barat yang meluncur seenaknya di atas air laut meninggalkan pantai. Akan tetapi, belum jauh dari pantai, orang--orang Nepal yang rambutnya riap-riapan tertiup angin laut itu melihat perahu kecil dengan penumpang tiga orang. Orang yang tadinya duduk di tengah, seorang kakek kurus, tiba-tiba merampas dayung dari tangan temannya dan dialah yang kini mendayupg perahu itu mendekati perahu besar Angin Barat.
“Wah, jangan-jangan mereka itu mata--mata musuh!” Pemimpin orang Nepal berkata. “Jelas bukan perahu nelayan, akan tetapi, kelau perahu pelancong mengapa sampai begini jauh meninggalkan pantai?”
“Kita tabrak saja biar terguling dan menjadi mangsa ikan!” kata temannya.
Pemimpin orang-orang Nepal itu memegang kemudi perahu, diputarnya perahu Angin Barat sehingga kini membelok dan dengan laju meluncur ke arah perahu kecil. Kakek yang memegang dayung, menggunakan kedua tangan mendayung perahu untuk menghindari tubrukan. Memang terhindar, akan tetapi ombak yang dibuat oleh Angin Barat membuat perahu kecil oleng.
“Berpegang erat-erat!” kakek itu berseru, kemudian dayungnya bergerak cepat dan... perahu kecil itu meluncur terbang ke atas perahu besar Angin Barat!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya orang-orang Nepal itu melihat perahu kecil itu dapat “terbang” ke atas perahu besar mereka. Tentu saja perahu kecil itu bukannya terbang, melainkan terlempar ke atas ketika kakek kurus itu menggunakan dayungnya untuk menekan langkan perahu Angin Barat dan meng-gunakan kakinya untuk mengait papan di dalam perahu kecilnya. Dari kenyataan ini saja dapat dibayangkan betapa lihainya kakek kurus itu.
Dua orang Nepal hendak menyerbu, akan tetapi kakek itu menggunakan dayungnya menampar dan dua orang itu roboh pingsan! Terdengar suara keras ketika perahu kecil itu mendarat di atas dek perahu Angin Barat, dan empat orang Nepal dengan marah datang menerjang. Kembali dayung itu bergerak empat kali dan empat orang ini pun roboh tak dapat bangkit kembali!
Tentu saja pemimpin orang Nepal yang roboh dan patah tulang pundaknya itu terkejut sekali dan timbul rasa takut di hatinya ketika kakek tinggi kurus itu melangkah menghampirinya.
“Hayo katakan di mana adanya Toat-beng Hoat-su!”
Pemimpin orang Nepal itu makin terkejut ketika mendengar orang tinggi kurus ini membentak kepadanya dalam bahasa Nepal yang cukup baik! Tahulah dia bahwa orang tinggi kurus ini adalah seorang aneh yang berkepandaian tinggi, maka sambil merintih dia berkata. “Ampunkan... hamba... hamba tidak tahu... kami hanyalah nelayan-nelayan...”
“Hemm... masih berani membohong? Kalian tentu pelarian dari penjaga di Nepal yang belum lama ini memberontak dengan bantuan Ban-tok Coa-ong, bukan? Jangan mengira aku tidak mengerti. Kau berhadapan dengan pengawal pertama dari Panglima Besar The Hoo.”
Mendengar ini, orang Nepal itu dan juga teman-temannya yang sudah siuman terkejut dan cepat mereka menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun adalah orang kurus tinggi itu bukan lain adalah Pengawal Thio Hok Gwan, Si Pengantuk yang lihai itu! Dan orang yang datang bersamanya dalam perahu adalah dua orang pengawal yang selalu menemaninya, yaitu Si Muka Pucat Kui Siang Han dan Si Muka Merah Song Kim! Setelah selesai menggempur para pemberontak di Sungai Huang-ho, dan mendengar bahwa bokor emas dilarikan Kwi-eng Niocu, Si Pengantuk ini mengajak dua orang teman itu untuk pergi melakukan pengejaran dan hal itu disetujui oleh Souw Li Hwa. Memang pengawal suhunya itu bertugas untuk mencari kembali bokor emas, maka dia mengalah dan dialah yang mengawal tawanan ke kota raja, setelah dia membebaskan Yuan de Gama.
“Aku sudah tahu bahwa Kakek Toat-beng Hoat-su pagi tadi kalian bantu di hutan, kemudian lari ke perahu Angin Barat ini. Hayo katakan ke mana dia pergi bersembunyi.”
Tahulah kini orang-orang Nepal itu bahwa mereka tidak mungkin dapat membohong lagi. “Dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong telah pergi dengan pe-rahu layar kecil ke Pulau Ular.”
“Pulau Ular? Di mana dia itu? Tempat apa?” Tio Gwan membentak.
“Kami sendiri belum lama dibawa oleh Ban-tok Coa-ong ke tempat itu, dan letaknya di bagian selatan Teluk Pohai. Pulau kosong yang amat berbahaya, penuh ular berbisa.”
Tio Hok Gwan tidak berani sembrono melakukan pengejaran ke pulau itu. Dia tahu betapa lihainya Toat-beng Hoat-su. Menghadapi datuk pertama ini saja belum tentu dia dan dua orang pemban-tunya dapat menang, apalagi di sana masih ada Ban-tok Coa-ang yang amat lihai dan berbahaya, dan kabarnya putera dari Raja Ular itu juga amat lihai, ditambah lagi dengan tempat berbahaya penuh ular dan mungkin anak buah mereka yang banyak jumlahnya.
Dia lalu memerintahkan dua orang pembantunya untuk melayarkan perahu Anginn Barat itu ke pantai, kemudian menyerahkan enam orang Nepal itu sebagai tahanan di kota terdekat dan dia sendiri bersama dua orang pembantunya, segera kembali ke kota raja untuk melaporkan kepada Panglima Besar The Hoo akan bokor emas yang kini berada di Pulau Ular!
Kun Liong berjalan seorang diri sam-bil kadang-kadang tersenyum geli. Dia masih teringat akan nikouw yang diobatinya dan merasa geli kalau teringat beta-pa tanpa disangka-sangkanya, dia berke-sempatan untuk meraba-raba pinggul seorang wanita yang begitu halus dan mulus! Biarpun dia tidak berniat melaku-kan perbuatan itu melainkan terpaksa
untuk mengobatinya, namun kini teringat akan itu, teringat pula betapa nikouw itu menjadi malu, dia tersenyum sendiri. Betapa anehnya semua hal yang dialaminya, pikirnya. Hal-hal yang berhubungan dengan wanita! Dia selalu merasa senang berurusan dengan wanita! Banyak sudah terjadi hal yang menyenangkan.
DENGAN Liem Hwi Sian yang diciumnya dan yang ternyata menyatakan cinta kepadanya! Dengan Cia Giok Keng yang cantik jelita akan tetapi ga-lak dan gagah perkasa. Dengan Yo Bi Kiok yang juga menyatakan cinta kepada-nya! Dengan Souw Li Hwa yang angkuh. Kemudian dengan nikouw yang hanya dikenal pinggul sebelahnya saja! Aneh semua itu! Sudah ada dua orang dara cantik jelita mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi mana mungkin dia membo-hongi mereka dan mengaku cinta? Tidak, dia tidak sekejam itu! Dia tidak mau membohongi dara-dara yang amat disukanya itu.
Mengenangkan kedua orang dara itu, dia merasa kasihan kepada Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengapa dua orang dara itu begitu bodoh dan jatuh cinta kepadanya? Benarkah bahwa mereka mencintanya? Mengapa ketika dia berterus terang menyatakan bahwa dia suka akan tetapi tidak cinta, ketika ternyata bahwa dia tidak membalas cinta mereka, kedua orang dara itu menjadi marah dan ber-duka? Apakah cinta itu menuntut balas-an? Cintakah atau nafsu berahikah itu yang mendorong pria dan wanita saling mendekat dan masing-masing mencurah-kan perasaannya dengan tuntutan yang menjadi dasar, tuntutan itu saling memi-liki, saling menguasai, dan saling menye-nangkan dan disenangkan? Kalau ada tun-tutan seperti itu, sudah pasti sekali ter-cipta kecewa, duka, cemburu dan benci. Benarkah bahwa cinta menimbulkan se-mua kesengsaraan ini? Kalau begitu, bu-kanlah cinta namanya, yang menimbulkan kecewa, duka, cemburu, benci dan iri adalah pikiran, ingatan. Kalau pikiran memasuki hati, semuanya menjadi keruh
dan rusak, karena pikiran memperkuat si aku sehingga segala gerak tubuh, segala gerak hati dan pikiran selalu ditujukan demi kepentingan dan kesenangan si aku. Maka cinta pun menjadi bukan cinta lagi karena di situ terkandung tuntutan supa-ya aku dicinta, aku diperhatikan, aku dipuaskan, engkau menjadi milikku, aku menggantungkan semua harapan akan kepuasan dan kenikmatan hidup kepada-mu. Selama engkau melayani segala ke-butuhanku lahir batin, selama engkau memuaskan aku, selama engkau menye-nangkan aku, selama engkau menjadi mi-likku pribadi, mulut ini tak segan-segan menyatakan “aku cinta padamu”. Akan tetapi kalau engkau mengingkari semua tuntunanku itu, kalau engkau tidak mau melayani kebutuhan lahir batin dariku, kalau engkau mengecewakan aku, kalau engkau tidak menyenangkan aku, kalau engkau melepaskan diri dariku dan lari kepada orang lain, cintaku berubah men-jadi cemburu dan benci!
Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya. Yang begitukah cinta? Betapa rendah tipis dangkal dan tidak bermutu! Betapa-
pun juga, dia menyesal teringat bahwa dia menyebabkan dua orang dara itu berduka dan kecewa. Akan tetapi, nanti dulu! Benarkah dia yang menyebabkan mereka berduka? Bukankah yang menjadi penyebab adalah pikiran mereka sendiri? Di dunia ini apa pun yang menimpa diri secara batiniah, yang menimbulkan perasaan girang-sedih, cinta-benci, puas-kecewa dan suka-duka, sama sekali tidak disebabkan dari luar, melainkan disebabkan oleh ingatannya sendiri. Ingatan yang menimbulkan itu semua. Kalau orang tidak mengingat akan masa lalu apakah ada itu yang dinamakan benci, duka dan sebagainya? Membenci seorang lain tentu ditimbulkan oleh ingatan akan masa lalu, apa yang telah dilakukan oleh orang itu terhadap dirinya, tentu saja yang merugikan akunya. Ingatannya yang menjadi gara-gara kesengsaraan hidup. Dapatkah manusia hidup bebas dari ingatan, bebas dari pikiran?
Kun Liong menggerakkan kedua pundaknya dan melanjutkan perjalanannya memasuki hutan terakhir di kota Liok-bun. Agaknya kota ini dinamakan Liok-bun (Enam Pintu) karena pintu gerbangnya berjumlah enam buah.
Ingatan memang ada perlunya, dia menjawab pertanyaannya sendiri sambil melangkah ke dalam hutan yang indah itu. Akan tetapi ingatan itu hanya perlu untuk menghadapi urusan lahiriah yang nyata, untuk keperluan pemeliharaan dan kelangsungan hidup ini. Tanpa ingatan tentu akan kacau-balau kehidupan lahir-iah ini. Akan tetapi, sekali ingatan membayangkan segala hal yang lalu dan yang akan datang, membayangkan peristiwa--peristiwa yang dibagi dua sebagai hal
yang menyenangkan dan tidak menye-nangkan, kalau pikiran memasuki batin, maka terciptalah segala perasaan yang bertentangan dan menjadikan hidup manusia ini seperti dalam neraka yang di-ceritakan dongeng.
Tiba-tiba Kun Liong sadar dari lamunannya oleh suara yang datang terbawa angin. Suara tambur dan terompet, suara banyak orang, suara pasukan yang besar! Suara itu datang dari arah depan, dari kota Liok-bun. Agaknya di kota itu terdapat banyak pasukan, pikirnya sambil mempercepat langkahnya karena dia menjadi ingin sekali tahu mengapa tempat itu penuh dengan pasukan.
Ketika dia melangkah dengan tergesa--gesa itu, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya. “Eh, bukankah kau Kun Liong...?”
Kun Liong cepat menahan langkahnya dan menoleh ke kiri. Betapa girangnya ketika dia mengenal Pendekar Sakti Cia Keng Hong sedang duduk seorang diri di bawah pohon! Cepat dia menghampiri dan memberi hormat.
"Cia-supek...! Mengapa Supek berada di sini seorang diri?"
Cia Keng Hong yang berpakaian se-derhana dan membungkus rambut kepala-nya dengan sutera kuning itu tersenyum. “Duduklah, Kun Liong. Aku sedang me-ngaso dan menjauhkan diri dari kesibukan pasukan. Betapa indah menyenangkan di tempat sunyi ini setelah berpekan-pekan sibuk menghadapi banyak orang dan me-lihat kekerasan dan perang. Sungguh benar ucapan seorang pujangga kuno bahwa di mana ada manusia, di situ tentu timbul kekerasan, kekejaman, dan kekacauan. Kebenaran itu terasa sekali kalau kita duduk menyendiri di tempat yang sunyi dari kehadiran manusia seper-ti di tempat ini.”
Kun Liong duduk di atas rumput dengan pendekar sakti itu. “Memang tepat sekali apa yang Supek katakan. Teecu (murid) sendiri sudah berkali-kali me-nyaksikan kekerasan dan kekejaman yang terjadi antara manusia. Apakah selama kita berpisah di Ceng-to dahulu itu ke-adaan Supek baik-baik saja?”
Cia Keng Hong menarik napas panjang. “Entah bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu itu. Aku telah melapor ke kota raja, pasukan dikirim dan aku ditugaskan untuk membantu. Pasukan pemerintah berhasil menghancurkan pemberontak, sisanya melarikan diri cerai--berai dan memasuki hutan-hutan. Mereka sudah terpecah belah, tidak membahaya-kan keamanan negara lagi. Bahkan orang--orang asing itu telah menghubungi pemerintah dan dengan langsung dari kota raja mereka diperbolehkan untuk mendarat dan berdagang, akan tetapi terbatas di sekitar pantai Pohai saja. Aku melihat perang, melihat ratusan orang roboh dan tewas, saling bunuh dan saling sembelih. Entah keadaan seperti itu baik atau buruk.” Pendekar sakti itu menarik napas panjang.
Kun Liong juga menghela napas. Dia sendiri merasa ngeri menyaksikan keganasan manusia saling bunuh.
“Bagaimana dengan engkau sendiri?” Cia Keng Hong bertanya. “Apa yang terjadi dengan gadis yang kita tolong dari rumah Hek-bin Thian-sin di Ceng-to dahulu itu?”
“Nona itu bernama Liem Hwi Sian dan bersama kedua orang suhengnya dia menerima tugas dari gurunya yang bernama Gak Liong di Secuan untuk membantu pemerintah menyelidiki para pemberontak.”
“Hemmm, jadi murid dari pendekar Secuan itu! Pantas dia gagah dan berani sekali, sungguhpun kurang perhitungan dan hampir celaka. Pendekar Gak Liong di Secuan adalah murid keponakan dari Panglima Besar The Hoo dan namanya sudah terkenal, sungguhpun dia sendiri tidak pernah terjun ke dunia ramai. Bagaimana dengan usahamu mencari kedua orang tuamu?”
Kun Liong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya yang gundul.
“Belum ada hasilnya sama sekali, Supek. Teecu merasa heran sekali ke mana per-ginya Ayah dan Ibu.”
Cia Keng Hong memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam, kemudian terdengar dia berkata, “Kun Liong, aku merasa khawatir sekali akan keadaan orang tuamu. Kalau mereka itu masih hidup, tidak mungkin mereka berdua menyembunyikan diri selama bertahun--tahun ini, setidaknya mereka tentu akan datang mengunjungi kami di Cin-ling--san.”
Kun Liong terkejut dan memandang wajah pendekar itu. “Maksud... maksud Supek...?”
“Aku khawatir bahwa telah terjadi sesuatu dengan mereka, Kun Liong.”
“Bagaimana Supek dapat menduga demikian?” Kun Liong bertanya, wajahnya agak pucat.
“Pertama, ayah bundamu adalah orang-orang gagah yang tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut sam-pai bertahun-tahun. Ke dua, kalau me-reka menghadapi kesukaran, ada dua tempat di mana mereka dapat datang, yaitu di Cin-ling-san atau di Siauw-lim-si. Akan tetapi di kedua tempat itu me-reka tak pernah muncul. Dan ke tiga, kedaan dunia makin kacau, orang-orang golongan sesat bermunculan dan mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apalagi dengan munculnya orang-orang asing. Karena itu, setelah aku sendiri berusaha menyelidiki dan mendengar--dengar tentang mereka tanpa hasil se-olah-olah orang tuamu lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak, mulailah aku ragu-ragu apakah mereka itu masih hidup.”
“Supek...!”
“Kun Liong, kita sebagai manusia harus berani menghadapi kenyataan hidup yang bagaimanapun juga. Kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan, kita harus berani membuka mata menyambut da-tangnya segala sesuatu yang kita hadapi, baik itu merupakan hal yang semanis--manisnya atau sepahit-pahitnya. Tidak perlu mencari-cari hiburan kosong bagi hati yang dirundung kekhawatiran, karena dengan demikian rasa takut akan makin menggerogoti hati. Kenyataannya adalah bahwa orang tuamu telah lenyap tak meninggalkan bekas, dan ini adalah tidak wajar sama sekali kecuali tentu saja kalau mereka itu telah tewas.”
Kun Liong memejamkan kedua mata-nya. Sampai lama dia duduk mengatur napas untuk menahan pukulan batin yang timbul dari kekhawatirannya mendengar kata-kata pendekar sakti itu. Cia Keng Hong memandang dengan penuh rasa terharu dan juga kagum. Pemuda ini menarik hatinya dan makin condong hati-nya untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda ini. Dia mendiamkan saja sampai pemuda itu membuka kembali kedua matanya dan sepasang mata yang tajam itu kelihatan membasah.
“Supek benar. Kita harus berani menghadapi kenyataan hidup, betapapun pahitnya. Dan setelah teecu pikir-pikir, memang tidak mungkin Ayah dan Ibu bersembunyi sampai bertahun-tahun ini. Besar sekali kemungkinan bahwa kedua orang tua teecu itu, telah... telah tewas. Namun tetap teecu akan mencarinya, setidaknya mencari tahu bagaimana hal itu terjadi, kalau benar-benar mereka telah tewas.”
Cia Keng Hong mengangguk. “Memang semestinya begitu, dan aku pun akan berusaha mencari keterangan dari kenalan-kenalanku. Sekarang engkau hendak ke mana, Kun Liong?”
“Pertama-tama, teecu akan melanjutkan usaha teecu mengambil kembali dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Kwi-eng-pang. Selain itu, juga teecu harus minta kembali pusaka bokor emas yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.”
“Bokor emas? Pusaka The-taiciangkun yang hilang?” Cia Keng Hong bertanya.
Kun Liong mengangguk dan dia lalu dengan singkat menceritakan tentang perebutan pusaka yang telah berada di tangannya itu dan terpaksa dia melemparkannya kepada Kwi-eng Niocu dengen harapan kelak dapat dia minta kembali.
Mendengar penuturan itu, Cia Keng Hong menarik napas panjang. “Aihhhh, tugasmu sungguh amat berbahaya dan berat, Kun Liong. Telaga Kwi-ouw sangat terkenal sebagai tempat yang amat berbahaya, sesuai dengan namanya. Entah sudah berapa hanyak tokoh kang-ouw tewas ketika berusaha mendatangi pulau di tengah telaga yang dijadikan sarang Kwi-eng-pang.”
“Teecu pernah mendarat di pulau itu, Supek.”
Cia Keng Hong kelihatan terkejut. “Heh? Benarkah?”
Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dia pergi ke pulau di tengah Telaga Setan itu, betapa di tepi telaga dalam hutan dia bertemu dengan Toat-beng Hoat-su yang tidak dikenalnya, kemudian betapa dia ditipu oleh pelayan wanita Kwi-eng Niocu sehingga tertawan dan dia dijadikan rebutan antara Siang--tok Mo-li dan Toat-beng Hoat-su sehingga akhirnya dia menjadi tawanan kakek datuk kaum sesat nomor satu itu.
“Aihhh, kalau begitu engkau sama sekali belum mengenal Telaga Setan dan pulaunya itu,” kata Cia Keng Hong. “Dan masih untung engkau tertawan secara itu karena andaikata engkau yang belum me-ngenal rahasia Telaga Setan itu datang sendiri ke sana dan melakukan pendarat-an, mungkin engkau akan celaka dan tewas dalam jebakan-jebakan rahasia yang amat berbahaya. Aku pemah men-dengar penuturan seorang sahabat yang telah berhasil menyelidiki rahasia itu maka kalau kau hendak mendarat ke sana, sebaiknya engkau mempelajari ra-hasia-rahasia yang akan kaulukiskan untukmu.”
Pendekar sakti itu lalu bertepuk ta-ngan dan menggapai kepada seorang pen-jaga di luar pintu gerbang kota Liok--bun yang tampak dari situ. Perajurit yang memegang tombak itu berlari-lari mendatangi dan memberi hormat kepada pendekar ini. Cia Keng Hong menyu-ruhnya mengembalikan kertas dan alat tulis. Penjaga itu cepat berlari memasuki pintu gerbang kota Liok-bun. Tak lama kemudian dia datang berlari-lari memba-wa kertas lebar bergulung dan alat tulis yang diminta pendekar itu. Kemudian, penjaga itu berdiri agak menjauh sambil berdiri dengan tombak tetap di tangan, berjaga dan menanti perintah selanjutnya dari pendekar itu.
Cia Keng Hong lalu mulai membuat gambaran telaga dan pulaunya sambil memberi petunjuk kepada Kun Liong yang memandang penuh perhatian.
“Tepi Telaga Kwi-ouw dari tiga jurus-an, yaitu barat, selatan dan timur, me-rupakan daerah yang kelihatannya datar dan aman, akan tetapi justeru tiga bagi-an inilah yang paling berbahaya bagi para pendatang dari luar. Tiga daerah ini penuh dengan alat-alat jebakan yang ber-bahaya sekali.”
“Akan tetapi, Supek. Ketika teecu ikut dengan perahu pelayan itu, teecu juga melalui dari selatan.”
“Karena pelayan itu telah mengenal daerahnya, tentu sala dia dapat mendayung perahunya dengan aman. Di bagian selatan itu, di bawah permukaan air ter-dapat banyak sekali ranjau yang berupa batu karang di bawah permukaan air, akan tetapi sekali saja disentuh oleh perahu asing, anak panah yang hanyak sekali dan yang sudah dipasang di dalam batu karang buatan itu akan meluncur ke luar dan menyerang penumpang perahu secara tiba-tiba dan hebat sekali. Selain ini, begitu orang mendarat di pulau itu dari selatan, biarpun di situ penuh pasir, namun terdapat begian pasir yang ber-putar dan menyedot kaki orang yang menginjaknya sehingga tanpa petunjuk orang yang mengenal daerah itu, sekali kakimu terseret, sukarlah bagimu untuk menyelamatkan diri.”
Kun Liong terbelalak dan bergidik ngeri.
“Daerah barat yang amat berbahaya karena penuh dengan lubang-lubang jebakan yang tertutup dengan rumput hi-dup, dan di dalam setiap lubang terisi banyak ular berbisa yang siap menyambut setiap orang yang terjeblos masuk. Juga air di bagian itu banyak sekali terdapat ganggang yang hidup di bawah permukaan air, penuh dan dapat mendamparkan pe-rahu yang lewat. Tentu saja bagi mereka yang sudah hafal, mereka tahu bagian mana yang tumbuhan ganggangnya tidak begitu banyak dan dapat dilalui perahu. Kemudian bagian timur, biarpun tidak di-pasangi jebakan pada permukaan air te-laga, namun di situ terdapat air berpu-sing yang amat berbahaya, dapat me-nyeret dan menyedot perahu ke dalam pusingan air. Agaknya ada sebuah lubang besar di bagian ini yang menciptakan air berpusing. Sedangkan di daratan pulau di timur ini terdapat alat-alat rahasia yang kalau dilanggar kaki asing, akan mem-buat timbunan batu besar yang menggu-nung di bagian ini runtuh ke bawah dan tentu saja akan menyerang para penda-tang, sukar untuk menyelamatkan diri dari serangan batu-batu besar itu.”
“Ihhh, keji sekali!” Kun Liong berseru dan merasa lega bahwa dia telah diberi tahu akan hal-hal yang membahayakan itu sehingga dia dapat lebih berhati-hati.
“Satu-satunya jalan adalah dari utara. Akan tetapi bagian ini yang bersih dari jebakan merupakan daerah yang amat sukar didatangi. Tepi daratan pulau di bagian ini amat terjal, merupakan tebing tinggi yang curam sekali dan tidak mu-dah didaki dari bawah.” Cia Keng Hong membuat lukisan tebing tinggi itu sambil memberi penjelasan. “Akan tetapi, saha-batku itu pernah melihat beberapa kera memanjat ke atas dan hal ini memberi dia petunjuk bagaimana caranya menda-tangi pulau dengan aman. Yaitu dengan memanjat akar-akar yang menonjol ke-luar di dinding tebing itu, memanjat melalui akar dan batu menonjol. Tentu saja hal ini harus dilakukan dengan hati--hati, membutuhkan keringanan tubuh dan kecekatan, karena biasanya hanya monyet saja yang dapat memanjat ke atas. Se-kali injakan kaki atau pegangan tangan terlepas, engkau akan terjatuh ke bawah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri lagi dari maut.”
“Agaknya, memang jalan melalui tebing itu yang paling aman,” Kun Liong berkata sambil memandang lukisan su-peknya.
“Betapapun juga, engkau harus berhati-hati sekali karena siapa tahu bahwa Kwi-eng-pang yang kuat itu kini telah memasangi jebakan pula pada jalan pa-ling sukar akan tetapi paling aman ini.”
Tiba-tiba perajurit yang tadi berdiri berjaga dengan tombak di tangan berse-ru, “Tai-hiap, Liu-ciangkun datang meng-hadap!”
Kun Liong menoleh dan Cia Keng Hong memandang seorang perwira yang bertubuh tinggi besar. Perwira itu cepat memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan berkata, “Seorang utusan dari kerajaan datang membawa sepucuk surat yang disampaikan kepada Tai-hiap, dari Panglima Besar The Hoo sendiri.”
Cia Keng Hong menggulung gambar itu, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian dia bangkit berdiri dan menerima sampul tertutup. Setelah mengucapkan terima kasih dan perwira itu pergi pula dan berdua dengan Kun Liong, pendekar itu kembali duduk di bawah pohon dan membuka surat dari Panglima Besar The Hoo. Wajahnya yang masih tampan dan gagah tidak membayangkan sesuatu ketika membaca surat itu sehingga sukar bagi Kun Liong untuk menduga apakah surat itu membawa berita baik ataukah buruk. Setelah selesai membaca, Cia Keng Hong melipat surat, menyimpan ke dalam saku jubahnya, memandang Kun Liong dan berkata, “Ahhh, sungguh hebat sekali, bokor emas itu benar-benar menimbulkan geger di dunia kang-ouw. Kun Liong, bokor itu telah terlepas lagi dari tangan Kwi-eng Niocu seperti yang kauceritakan kepadaku dan kini bokor itu berada di tangan Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong. Mereka membawa bokor itu ke Pulau Ular! Panglima Besar The Hoo mendengar laporan ini dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Hemmm, Pulau Ular di Teluk Pohai. Berbahaya sekali! Dan Nona Souw secara lancang pergi sendiri melakukan penyelidikan ke sana!”
Kun Liong terkejut. “Apakah Supek maksudkan Nona Souw Li Hwa?”
“Engkau sudah mengenalnya?”
“Sudah beberapa kali teecu berjumpa dengan Nona Souw Li Hwa,” jawab Kun Liong singkat. Dia merasa malu kalau harus menceritakan betapa dia pernah menjadi tawanan nona cantik! “Bukankah dia murid Panglima Besar The Hoo?”
“Memang dari gurunya dia mempela-jari ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi dia masih amat muda dan belum berpengalaman. Bagaimana dia begitu lancang untuk pergi seorang diri ke Pulau Ular? Betapa mungkin dia dapat melawan dua orang datuk kaum sesat yang lihai itu? Ah, sungguh mengkhawatirkan sekali. Panglima The Hoo minta kepadaku untuk merampas kembali bokor itu, akan tetapi berita tambahan tentang kepergian nona itu ke Pulau Ular, benar-benar membikin gelisah.”
“Supek, kalau begitu, biarlah teecu lebih dulu menyusulnya ke sana.”
Cia Keng Hong memandang kepadanya. Dia maklum bahwa pemuda ini me-miliki ilmu kepandaian yang hebat, apa-lagi kini telah menjadi pewaris Thi-khi--i-beng sehingga boleh diandalkan. Dia sendiri harus mengepung Pulau Ular itu karena kalau dia menyerbu begitu saja, kedua orang datuk itu akan dapat mela-rikan diri dan membawa bokor emas. Maka dia harus mengepung ketat pulau itu, barulah dia akan turun tangan. De-ngan demikian, dua orang datuk itu tidak akan mendapat kesempatan untuk mem-bawa lari bokor emas milik Panglima The Hoo itu.
“Baiklah kalau kau suka membantu, Kun Liong. Memang bokor itu perlu se-kali diselamatkan. Kalau sampai terjatuh ke tangan penjahat, bisa berbahaya. Bo-kor itu selain mengandung petunjuk tem-pat rahasia penyimpan harta pusaka ter-pendam yang amat besar jumiahnya, juga penyimpanan kitab-kitab pusaka pelajaran ilmu silat yang mujijat. Demikian menu-rut keterangan yang kuperolch dari Pang-lima The Hoo sendiri. Bokor itu dahulu milik seorang pendeta perantau berilmu tinggi yang kemudian meninggal dunia di Nepal. Setelah berpindah-pindah tangan, akhirnya bokor itu terjatuh ke tangan Panglima The Hoo dan sampai sekarang, belum ada yang dapat membuka rahasia tempat penyimpanan pusaka itu.”
Kun Liong mengangguk-angguk. “Me-mang teecu harus ikut berusaha menda-patkannya kembali, bukan hanya mengingat bahwa teecu ikut bersalah mem-biarkan bokor terjatuh ke tangan datuk kaum sesat, juga dahulu teecu sudah berjanji kepada perwira pengawal Tio Hok Gwan untuk kelak menghaturkan bokor itu kepada Panglima The Hoo sendiri!”
Kun Liong tidak mendapat keterangan sejelasnya tentang letak Pulau Ular, kemudian dia menerima bekal secukupnya dari Cia Keng Hong, karena untuk keper-luan itu dia harus membeli sebuah pe-rahu di pantai Pohai. Setelah menerima petunjuk dan nasihat, Kun Liong berang-kat secepatnya seorang diri menuju ke daerah Teluk Pohai, sedangkan Cia Keng Hong lalu berunding dengan para perwira yang memimpin pasukan pemerintah un-tuk mengatur siasat, mengepung Pulau Ular dan mengatur persiapan.
Kini pulau itu menjadi sebuah tempat tinggal yang indah akan tetapi juga menyeramkan bagi orang luar. Pulau itu bertanah subur, bahkan sebagian tanahnya telah diolah menjadi ladang yang subur dan yang menghasilkan bahan makanan, dikerjakan oleh anak buah Ban-tok Coa-ong. Akan tetapi, datuk kaum sesat ini pun telah menangkap banyak ular-ular beracun dan ular-ular ini kemudian dilepas di pulaunya sehingga beberapa tahun kemudian, pulau ini penuh dengan ular dari segala macam ukuran dan warna, kesemuanya mengandung bisa yang amat jahat. Maka terkenallah Pulau Ular dan tidak ada seorang pun pelancong atau nelayan yang berani mendekati pulau itu. Karena sudah bertahun-tahun tidak ada orang berani mendekati pulau, ditambah pula dengan keadaan pulau yang terlindung oleh tembok benteng tebal dan mengandalkan nama besarnya yang ditakuti, maka Ban-tok Coa-ong tidak melakukan penjagaan dan membiarkan pulau itu “terbuka”. Namun, semenjak Toat-beng Hoat-su datang dan berhasil membawa bokor emas, anak buah Ban-tok Coa-ong dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sekeliling pulau, di atas tembok-tembok benteng.
Anak buah Ban-tok Coa-ong yang tinggal di Pulau Ular terdiri dari orang-orang Nepal dan pribumi, tentu saja mereka adalah orang-orang dari golongan hitam. Mereka berjumlah kurang lebih lima puluh orang dan sebagian di antara mereka ada yang membawa keluarga mereka. Bahkan di antara orang-orang Nepal adapula yang membawa isteri dan tinggal di Pulau Ular dengan beberapa orang anak mereka.
Karena bertahun-tahun tidak ada orang luar berani memasuki Pulau ular, maka anak buah Ban-tok Coa-ong tidak pernah menghadapi serangan musuh. Hal ini membuat mereka amat percaya kepada kekuatan sendiri, terutama mengandalkan nama besar pemimpin mereka. Biarpun kini mereka menerima tugas untuk berjaga-jaga, namun karena mereka tidak percaya akan ada orang berani datang ke pulau itu, mereka melakukan penjagaan dengan malas-malasan. Apalagi di pulau itu selain pemimpin mereka, Ban-tok Coa-ong yang sakti, masih terdapat pula putera pemimpin mereka itu yang mereka sebut Ouw-yang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang), bahkan masih ada lagi kakek tua renta yang kabarnya tidak kalah lihai dibandingkan pemimpin mereka yaitu Toat-beng Hoat-su.
Karena penjagaan yang tidak ketat itulah yang memudahkan Li Hwa untuk mendaratkan perahunya di pinggir Pulau Ular tanpa diketahui oleh para penjaga. Setelah menyembunyikan perahunya di dalam semak-semak di pinggir telaga, Li Hwa lalu mulai dengan penyelidikannya, menuju ke tengah pulau di mana tampak olehnya bangunan-bangunan pondok. Dia melihat para penjaga, makin ke tengah makin banyak, akan tetapi para penjaga itu sedang bercakap-cakap dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan penjagaan mereka. Apalagi ketika dia tiba di antara pondok-pondok yang berdiri berjajar di tengah pulau, dia meihat betapa banyak penjaga sedang tertarik oleh sebuah peristiwa yang terjadi di tempat terbuka depan sebuah pondok terbesar, Li Hwa menyelinap di antara pobon-pohon dan pondok-pondok, kemudian berhasil meloncat naik ke atas sebuah pohon besar dan mengintai ke bawah.
Ada belasan orang laki-laki membentuk sebuah lingkaran lebar tempat itu. Mereka itu terdiri dari tujuh orang Nepal yang berambut panjang dan selebihnya orang Han biasa, dan rata-rata mereka bersikap kasar dan pada saat itu mereka tersenyum menyeringai lebar seolah-olah menghadapi sebuah tontonan yang menarik hati. Di ujung sana duduk seorang pemuda berwajah tampan yang menyeringai lebar dan mata pemuda tampan ini bergerak-gerak liar menyeramkan. Melihat sikap dan pakaiannya yang seperti pakaian seorang putera bangsawan itu, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang yang tinggi kedudukannya di antara mereka, dan bahkan Li Hwa dapat menduga bahwa agaknya pemuda itu adalah Ouwyang Bouw, pemuda iblis putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang kabarnya memiliki kekejaman melebihi ayahnya.
Akan tetapi pada saat itu, yang menarik perhatian Li Hwa adalah tontonan yang membuat belasan orang itu tertarik, yaitu yang terdapat di tengah-tengah lingkaran mereka. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita. Melihat bentuk wajah dan model rambut mereka, mudah diketahui bahwa laki-laki dan wanita itu tentulah bangsa asing Nepal seperti tujuh orang pria yang menonton di situ. Laki-laki itu tinggi besar, usianya antara empat puluh tahun, sedangkan wanitanya berkulit putih tidak seperti kaum prianya, berusia antara tiga puluh tahun. Yang mengherankan hati Li Hwa adalah bahwa bahwa kedua orang itu telanjang bulat sama sekali! Wanita itu kelihatan takut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar memandang ke sana-sini seperti orang minta tolong. Sedangkan yang pria hanya menunduk, kelihatannya seperti orang yang sudah putus harapan dan menyerahkan diri kepada nasib.
Tiba-tiba pemuda tampan yang ber-mata liar, yang memang bukan lain ada-lah Ouwyang Bouw itu, mengangkat ta-ngan ke atas dan agaknya ini merupakan isyarat karena semua orang yang tadinya menonton sambil berbisik-bisik, kini diam semua, dan hanya memandang ke arah wanita telanjang bulat yang berusaha se-dapat mungkin untuk menggunakan kedua tangannya menutupi tubuhnya, lengan kiri melintang di depan dada dan tangan kanan menutupi bagian bawah pusarnya, kedua kaki dirapatkan dan wanita itu berlutut setengah menelungkup, hanya mukanya diangkat ke atas memandang kepada para penonton dengan sinar mata minta pertolongan. Adapun laki-laki te-lanjang itu hanya menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya sambil berlutut dan menundukkan muka.
“Hemmm, kalian sudah tertangkap basah. Sanghida, kau mau bilang apa lagi? Mengapa engkau berjina dengan isteri Rajid?”
Laki-laki telanjang itu makin menunduk dan dengan suara lemah dia menja-wab, “Saya mencinta dia, Ouwyang-kongcu.”
“Benarkah? Apa engkau menganggap dia cukup berharga, untuk kaubela de-ngan nyawa?”
Sanghida, orang Nepal itu, mengangguk. “Saya bersedia membelanya dengan nyawa.”
“Ha-ha-ha, agaknya Madhula pandai sekali melayanimu sehingga engkau ter-gila-gila, ha-ha-ha!” Ouwyang Bouw tertawa dan semua orang yang menonton ikut pula tertawa, kecuali seorang di antara mereka yang bertubuh gemuk, seorang Nepal yang mukanya merah.
“Heii, Madhula! Engkau yang berjina dengan laki-laki lain, apakah senang kepada Sanghida daripada kepada suamimu sendiri?” Kembali Ouw-yang Bouw bertanya, kini ditujukan kepada wanita itu.
Wanita itu menoleh dan memandang kepada Ouwyang Bouw dengan sinar mata penuh kemarahan. Li Hwa dari atas da-pat melihat bahwa wanita itu memang cantik sekali, kecantikan yang aneh, khas dan menarik.
“Ouwyang-kongcu, engkau tentu lebih tahu apa yang telah terjadi! Karena aku telah menolak cintamu, menolak bujukan dan rayuanmu untuk berjina denganmu karena aku selalu setia kepada suamiku, maka engkau telah mempergunakan Si Jahanam Sanghida ini untuk memper-kosaku! Engkau menaruh racun dalam minuman kami sehingga kami berdua teracun dan mabok, melakukan perbuatan di luar kesadaran kami berdua selagi suamiku kausuruh berjaga di luar. Kemu-dian kau sendiri yang sengaja menangkap kami dan menuduh kami berjina. Semua ini kaulakukan untuk membalas penolak-anku terhadap bujukanmu!”
“Tutup mulutmu!” Ouwyang Bouw membentak marah sekali, akan tetapi kemudian dia tertawa-tawa lagi. Sikap yang berubah-ubah ini amat menyeramkan, dan Li Hwa yang berada di atas pohon menduga bahwa agaknya pemuda itu memang benar-benar gila seperti disohorkan dunia kang-ouw.
“Semua tuduhan itu tidak ada buktinya. Akan tetapi perjinaan kalian sudah jelas terbukti. Kalau kalian tidak berjina, mana mungkin kalian berdua berada da-lam satu kamar dan satu pembaringan tanpa pakaian sama sekali?” Dia tertawa dan semua orang tertawa pula.
Wanita itu tidak menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan kepada Ouwyang Bouw.
Pemuda ini kembali tertawa bergelak dan secara tiba-tiba menghentikan ketawanya, memandang wanita itu dan berkata, “Madhula, engkau memang cantik sekali, pantas diperebutkan oleh kaum pria. Heii, Rajid, apa katamu? Setelah kau melihat sendiri betapa isterimu dipeluk dan ditiduri oleh Sanghida, beranikah engkau mempertahankannya dan melawan Sanghida?”
Orang Nepal yang bermuka merah dan bertubuh gemuk, yang sejak tadi bermuke muram dan tidak Ikut tedawa seperti yang lain, meloncat ke depan, meman-dang kepada dua orang yang telanjang itu, kemudian meludah ke bawah dan berkata, “Perbuatan mereka yang terku-tuk ini sudah jelas! Anjing jantan ini harus dibunuh dan anjing betina ini pun tidak patut dibiarkan hidup!”
“Ha-ha-ha, kalau begitu, kuberikan Sanghida kepadamu, Rajid!” kata Ouw-yang Bouw.
Mendengar ucapan ini, orang Nepal yang gemuk itu mengeluarkan suara te-riakan keras dan tubuhnya sudah cepat menerjang maju, mengirim pukulan de-ngan tangan terkepal ke arah kepala Sanghida yang telanjang. Biarpun tubuhnya gemuk, akan tetapi orang Nepal bermuka merah ini gerakannya cepat, menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, dengan tangan kiri masih menutupi bawah pusarnya, Sanghida mengelak dan meloncat ke belakang. Gerakannya sigap sekali dan ketika Rajid menerjang lagi, Sanghida menangkis dengan lengan kanan.
Tubuh Rajid terhuyung ke belakang dan ternyata bahwa dia kalah tenaga.
“Rajid... aku tidak ingin bertempur denganmu...!” Sanghida berkata dan kembali dia menangkis, kini sambil menangkis, tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan Raiid dan sekali menariknya, tubuh Rajid terdorong ke depan dan hampir terbanting jatuh. Rajid makin marah, mukanya makin merah ketika dia meloncat membalik dan mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang golok melengkung dan tajam sekali.
Li Hwa yang besembunyi di atas pohon, memandang dengan alis berkerut. Dia tidak merasa ngeri menonton pertempuran karena gadis ini sudah terbiasa dengan pertempuran dan perang, apalagi dia sendiri sudah menghadapi pertandingan seringkali. Akan tetapi yang membuat dia merasa ngeri dan canggung karena malu adalah melihat betapa Sanghida bertanding dengan tubuh telanjang bulat! Selama hidupnya belum pernah dia melihat laki-laki telanjang dan kini dia melihat seorang laki-laki tinggi besar bertelanjang bulat dan berkelahi pula! Kalau mungkin, dia ingin menjauhkan pandangan matanya dari tubuh bawah laki-laki telanjang itu, akan tetapi karena dia ingin pula melihat bagaimana kesudahan perkelahian itu, terpaksa dia menonton terus dan sedapat mungkin menghindarkan pandang matanya dari bagian yang dianggap mendatangkan rasa malu luar biasa itu.
“Rajid... aku tidak mau bertanding melawanmu. Aku sudah bersalah kepadamu, kau sahabatku dan... dan Madhula...”`
“Tutup mulutmu!” Rajid membentak dan goloknya sudah menyambar lagi.
“Singgg...!” Sinar menyilaukan mata dari golok itu agaknya tentu akan dapat membabat tubuh tinggi besar itu buntung menjadi dua kalau mengenai sasaran, akan tetapi Sanghida ternyata amat tangkasnya. Kini menghadapi penyerangan lawan yang memegang golok, biarpun tingkat kepandaiannya lebih tinggi, dia terpaksa harus menggunakan kedua tangannya sehingga dia sama sekali tidak lagi dapat menutupi bagian tubuh bawahnya. Tentu saja hal ini mendatangkan penglihatan yang luar biasa, lucu sedangkan bagi para penonton pria, akan tetapi mendirikan bulu roma bagi Li Hwa!
“Rajid... maafkan aku...! Aku scorang laki-laki sejati, harus membela diri kalau diserang... dan kami... aku dan Madhula... kami melakukan hal itu tanpa kami sengaja...”
“Siuuutttt... plak! Plak!” Sambil mengelak, Sanghida berhasil menampar lengan kanan Rajid sehingga sambaran golok menyeleweng dan tamparan ke dua mengenai pundak Rajid, membuat suami yang penuh cemburu dan kemarahan ini terhuyung pula.
“Sanghida! Engkau atau aku yang harus mampus untuk memperoleh Madhula!” Rajid membentak pula. “Kalau aku mati, kau boleh mengambil dia, kalau kau yang mati, dia harus kuhukum, mampus pula!”
“Rajid...! Kau boleh membunuh aku, tapi jangan membunuh dia! Dia tidak berdosa... seperti yang dikatakannya tadi, kami terkena racun perangsang... auuhhh...!” Tiba-tiba Sanghida terhuyung ke belakang dan Rajid menubruk ke depan, goloknya menyambar.
“Crapppp.... Aduuhhh...!” Perut Sanghida terobek oleh golok, tubuhnya terjengkang dan darah muncrat keluar dari perut itu, diikuti oleh isi perut yang keluar dari luka lebar itu. Tubuh Sanghida berkelojotan, namun tidak lama karena Rajid sudah membacokkan goloknya dua kali yang membuat leher lawannya putus!
Li Hwa melihat betapa Ouwyang Bouw telah menyerang Sanghida dari jauh, dengan gerakan jari tangan dan tampak sinar merah kecil menyambar ke arah orang Nepal tinggi besar itu sehing-ga dia terhuyung dan terkena bacokan golok Rajid. Tahulah Li Hwa bahwa me-mang Ouwyang Bouw sengaja hendak membunuh Sanghida dan mungkin sekali karena dia tidak suka mendengar raha-sianya dibocorkan. Li Hwa menjadi pe-nonton tak diundang ini segera dapat menyimpulkan peristiwa itu. Jelas bagi-nya bahwa memang agaknya semua ini sudah diatur oleh pemuda iblis itu.
Mungkin benar tuduhan Madhula yang cantik bahwa berkali-kali Ouwyang Bouw membujuk rayunya, akan tetapi selalu ditolak oleh isteri Rajid itu. Hal ini membuat Ouwyang Bouw menjadi sakit hati dan dengan curangnya pemuda itu menaruh racun perangsang ke dalam makanan atau minuman Sanghida dan Madhula sehingga terjadilah perjinaan di antara mereka, perjinaan di luar kesa-daran mereka yang terpengaruh racun, pada saat Rajid disuruh berjaga oleh Ouwyang Bouw. Tentu saja pemuda iblis ini sudah mengatur perangkapnya dan begitu kedua orang mabok itu melakukan perjinaan, dia menangkap basah mereka!
Semua orang yang menonton kelihatan puas dengan pertunjukan kekejaman ini, dan melihat waiah mereka yang seolah-olah haus darah dan kini semua mata ditujukan kepada tubuh telanjang Madhula seperti serombongan srigala kelaparan, Li Hwa bergidik. Dia berhadapan dengan orang-orang yang telah mati perasaan kemanusiaan mereka, manusia-manusia yang haus darah dan yang menganggap kekejaman seperti sebuah kesenangan yang mengasyikkan. Maka timbullah perasaan kasihan kepada wanita yang bernasib malang itu. Li Hwa adalah seorang yang masih amat muda, maka tentu saja perasaannya amat halus dan mudah tersinggung. Melihat peristiwa ini di depan mata, dia sudah melupakan tugasnya, tugas sebagai seorang penyelidik yang ingin menyelidiki tentang bokor emas. Kini baginya yang terpenting hanyalah urusan yang terjadi di depan matanya, yaitu menolong Madhula! Kelemahannya sebagai seorang muda inilah yang mengkhawatirkan hati Panglima The Hoo dan Pendekar Cia Keng Hong ketika mendengar bahwa dara itu melakukan penyelidikan seorang diri, sungguhpun mereka tahu bahwa ilmu kepandaian dara itu sudah cukup tinggi untuk bekal pe-nyelidikan berbahaya itu.
Madhula roboh telentang menyaksikan kematian Sanghida yang demikian menye-dihkan. Dia tidak mencinta laki-laki tinggi besar itu. Dia mencinta suaminya, dan karena cintanya ini pula maka tidak seperti kaum wanita lainnya di pulau itu yang bahkan mengharapkan rayuan Ouw-yang-kongcu, dia menolak godaan pemuda itu. Akan tetapi dia pun tahu kini bahwa Sanghida mencintanya. Sahabat baik sua-minya dan dia itu sesungguhnya mencin-tanya, dan kini menjadi korban karena kelicikan Ouwyang Bouw. Semua mata para penonton kini dapat berpesta pora dan melahap tubuh wanita cantik yang telentang polos itu, tidak terlindung lagi oleh kedua lengannya.
“Perempuan hina ini pun harus mam-pus!” Rajid yang seperti kemasukan setan karena dendam dan cemburu, mengangkat goloknya membacok ke arah tubuh isteri-nya yang biasanya merupakan sebuah benda hidup yang paling disayangnya di dunia ini.
“Singg... tringggg!” Golok itu ter-lempar ketika terbentur oleh sebuah batu kecil yang dilemparkan oleh tangan Ouw-yang Bouw. Melihat ini, Li Hwa menjadi kagum dan maklumlah dia bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tak lemah!
“Ehhh... Ouwyang-kongcu... menga-pa...?” Rajid memandang pemuda itu dengan mata penuh penasaran.
“He-heh, sabarlah, Rajid. Memang dia harus dihukum, akan tetapi hukuman seperti yang hendak kaulakukan itu kurang menarik. Pokoknya kau menghen-daki dia mati, bukan? Nah, biarlah dia dihukum dengan caraku dan panggil semua wanita ke sini agar mereka me-nyaksikan pula betapa berat hukuman bagi mereka yang berani melanggar hu-kum kami di sini!” Rajid mengangguk--angguk dan beberapa orang laki-laki sudah berlari memanggil semua wanita yang berada di pulau itu. Hanya ada dua puluh orang wanita tua muda yang datang ke situ dengan muka pucat. Para suami girang, dengan hal ini, mengharap isteri-isteri mereka takut dan tidak berani berjina dengan laki-laki lain. Akan tetapi, para wanita yang memandang dengan muka pucat itu mempunyai pengertian lain ketika mendengar kata-kata Ouwyang-kongcu.
“Kalian lihatlah. Begini nasib wanita yang berani melanggar hukum kami di sini!” kata Ouwyang-kongcu setelah me-nyuruh Rajid mengikat tubuh telanjang Madhula kepada sebuah tiang, diikat kaki dan tangannya pada tiang itu sehingga tubuh bagian depannya tampak nyata, sedikit pun tidak terlindung, kecuali rambut hitam panjang terurai yang seba-gian menggantung ke depan. Para wanita itu mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Ouwyang-kongcu, hukuman ini akan jatuh menimpa wanita yang berani meno-lak majikan muda itu!
Ouwyang Bouw yang agak miring otaknya itu memang mempunyai kegemaran yang aneh dan mengerikan. Dia sudah tergila-gila oleh wanita cantik maupun tidak cantik. Bahkan pernah dia tergila-gila oleh seorang wanita nenek-nenek, dan pernah pula tergila-gila kepada seorang anak perempuan yang masih kecil! Dan mereka semua harus menyerahkan diri kepadanya! Dia sama sekali tidak pemah memperkosa, dia tidak mau memperkosa wanita. Akan tetapi dia mempunyai cara lain untuk membuat setiap orang wanita tunduk kepadanya dan mau menyerahkan diri, yaitu dengan ancaman dan bayangan penyiksaan yang mengerikan. Hampir semua wanita, besar kecil, tua muda yang menyerah kepadanya tentu didorong oleh rasa takut dan ngeri, bukan karena sukarela karena sikap pemuda ini, biarpun wajahnya tampan dan tubuhnya menarik, jelas menunjukkan gejala otak miring yang mendatangkan rasa ngeri dan menjijikkan!
Madhula masih pingsan ketika Ouwyang-kongcu mengeluarkan sebatang suling kecil yang panjangnya hanya dua jengkal. Mulailah pemuda itu menyuling. Suara suling yang melengking dengan nada tinggi membuat Li Hwa terkejut karena dia maklum bahwa suara melengking yang menggetar itu mengandung tenaga khi-kang yang kuat sekali. Dia melihat betape semua penonton kini berkumpul di belakeng Ouwyang-kongcu, seolah-olah menanti sesuatu dengan penuh ketegangan. Adapun tubuh Madhula yang diikat pada tiang itu pun menghadap kepada mereka, sedangkan mayat Sanghida yang berlumuran darah menggeletak tak jauh diri kaki Madhula.
Sebelum ular itu tiba, Li Hwa sudah dapat menduga dengan hati diliputi penuh kengerian bahwa suara suling dari pemuda iblis itu tentulah merupakan tanda panggilan kepada ular-ularnya. Hal ini mudah saja diduga karena pertama, pemuda itu adalah putera Si Raja Ular! Ke dua, mereka berada di Pulau Ular, dan memang biasanya pada ahli ular mengundang ular-ular mereka dengan suara melengking tinggi, biasanya suara suling.
Memang tepat dugaan Li Hwa. Akan tetapi ketika ular-ular itu datang, biar-pun dia sudah menduganya, dia menjadi kaget bukan main karena tidak menyang-ka bahwa yang datang demikian banyak-nya! Rombongan demi rombongan ular berdatangan dari empat penjuru, dan warna kulit mereka pun berbeda-beda, ada yang hijau, ada yang hitam kemerah-merahan, kuning, dan ada yang belang-belang. Biarpun Li Hwa tidak mengenal banyak ular, namun dia dapat menduga bahwa ular-ular itu tentulah ular berbisa yang amat berbahaya. Ular-ular yang lewat di dekat Ouwyang-kongcu dan anak buahnya, seperti takut menghadapi api, dan bina-tang yang merayap dekat cepat menying-kir dan mengambil jalan memutar. Sete-lah ular-ular itu tiba di tempat itu, Li Hwa hampir tidak kuat melihat lebih lama lagi. Ular-ular yang mendesis-desis itu kini berebutan menyerang mayat Sanghida, melahap dan merobek-robek mayat itu sehingga mayat itu seperti hidup kembali karena bergerak-gerak ke sana-sini, seperti berkelojotan. Dalam waktu sebentar saja, habislah semua kulit, daging dan isi perut mayat itu, tinggal rangka yang kering, tidak ada setetes pun darah yang tampak karena semua telah dijilat habis!
Kini ular-ular itu mulai merayap, ke arah Madhula dan wanita ini pun baru siuman dari pingsannya. Dengan mata terbelalak ia tadi melihat betapa potongan-potongan daging terakhir dari Sanghida dibuat perebutan ular-ular itu. Dia maklum akan nasibnya, akan tetapi betapapun dia berusaha untuk memejamkan kedua matanya menerima maut, kedua mata itu malah selalu terbelalak kembali memandang ke arah ular-ular yang merayap-rayap di sekelilingnya. Ular-ular itu adalah ular-ular kecil, paling besar dua kaki panjangnya dan jumiahnya ada empat puluh ekor lebih, menggeliat-geliat seperti sekumpulan cacing, akan tetapi tidak ada yang berani menyerang Madhula, agaknya menanti “perintah” suara suling yang masih terus melengking sejak tadi.
Memang benar demikian. Ular-ular itu seolah-olah bergerak menurut getaran suara suling dan tiba-tiba suara suling itu berubah merendah. Ular-ular itu kelihatan gelisah, kemudiah seekor demi seekor, ular-ular itu meninggalkan tempat itu, membuat semua penonton menjadi heran.
“Mengapa dia tidak dihukum?” Rajid membanting kaki dan memandang penasaran.
Ouwyang Bouw sudah melepas sulingnya dan sambil memandang ke arah tu-buh Madhula dia berkata, “Kurang menarik, kalau disuruh mengeroyok ular-ular kecil yang sudah kenyang itu. Dia yang sudah mau berjina dengan Sanghida, ten-tu tidak puas dengan ular-ular kecil itu. Kaulihatlah saja.” Sambil berkata dia lalu menempelkan lubang suling di depan bibirnya dan kini terdengarlah lengking suara suling yang berbeda dari tadi. Suaranya naik turun dengan nada rendah, namun mengandung getaran yang amat kuat sehingga para penonton ada yang kelihatan menggigil kedua kakinya.
Tak lama kemudian terdengarlah suara mendesis-desis. Li Hwa terkejut dan memandang ke bawah. Seekor ular yang amat besar sedang merayap lewat d bawah pohon. Dia menggigil jijik. Ulat ini berkulit hitam kehijauan, sepasang matanya seperti mata manusia, lidahnya merah menjilat-jilat keluar, besar tubuhnya sama dengan pahanya dan panjangnya ada sepuluh kaki!
Madhula juga sudah melihat ular itu dan wanita ini mengeluarkan rintihan panjang, mukanya makin pucat dan matanya terbelalak, penuh kengerian. Suara suling menuntun ular itu mendekat dan terdengarlah suara berbisik orang-orang yang menonton karena tegang dan tertarik ketika melihat betapa dengan perlahan ular besar itu mendekati tiang di mana tubuh Madhula terikat. Ular itu mendesis-desis, lidahnya yang merah makin sering menjilat-jilat. Melihat bentuk mulutnya yang besar agaknya dia akah sanggup menelan tubuh wanita Nepal itu! Suara suling makin meninggi dan kini moncong ular mulai naik dan lidah itu mulai menjilati kaki yang telanjang. Madhula mengeluarkan suara rintihan ketika merasa betapa ular mulai merayap naik melalui betisnya! Semua penonton menahan napas, mata mereka memandang melotot seperti hendak meloncat keluar dari pelupuknya. Ketika suara rintihan Madhula makin sering dan ular itu mentaati suara suling, kini merayapi seluruh tubuh telanjang itu, membelit-belit dan tampak seolah-olah ular itu membelai-belai tubuh Madhula seperti hendak mengajak wanita itu bermain cinta, para penonton menelan ludah penuh nafsu berahi dan gairah. Makin hebat suara suling yang ditiup Ouwyang Bouw, makin cepat ular itu bergerak-gerak, mengeliat-geliat menyelusuri seluruh tubuh Madhula yang kini sudah memejamkan mata dan merapatkan kedua bibirnya, sama sekali tidak bersuara lagi.
Li Hwa menanti saat baik dan ketika kepala ular itu kebetulan merayap naik dan lebih tinggi dari kepada Madhula,
tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar perak meluncur ke arah kepala ular itu. Ular itu menggerakkan kepala seperti gila, berkelojotan dan tanpa disengaja dia mempererat belitannya pada tubuh Madhula. Kembali ada sinar perak menyambar dan kepala ular yang sudah ditembusi dua batang jarum perak itu terkulai, tubuhnya perlahan-lahan mele-paskan belitan. Akan tetapi betapa kagetnya hati Li Hwa ketika dia melihat darah bertetesan dari kedua bibir Ma-dhula yang dirapatkan. Dia cepat meloncat turun dari atas pohon sambil berteriak, “Ouwyang Bouw manusia iblis yang kejam!”
Ouwyang Bouw sudah meloncat bangun, dan semua pembantunya yang tadi terheran-heran melihat ular itu menghentikan permainannya bahkan berkelojotan di bawah, kini juga marah dan siap untuk mengeroyok orang yang menjadi pengacau. Akan tetapi ketika mereka melihat seerang dara yang amat cantik jelita melayang turun dari atas pohon, mencabut pedang dan membabat putus belenggu kaki tangan Madhula mereka tercengang dan memandang kagum! Madhula membuka mata, membuka mulut akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar karena begitu mulutnya dibuka, darah menyembur keluar dan dengan penuh kengerian Li Hwa maklum bahwa wanita itu telah menggigit putus lidahnya sendiri! Dalam keadaan ngeri dan tersiksa, Madhula mengambil keputusan nekat, membunuh diri dengan menggigit lidahnya. Lidah itu putus di tengahnya, dan tidak mungkin nyawanya dapat tertolong lagi, apalagi karena dia telah mengeluarkan banyak sekali darah yang tadi dia paksa menelan darahnya sendiri agar jangan sampai Ouwyang-kongcu menyelamatkan nyawanya.
Melihat keadaan wanita itu, Li Hwa yang tadi memeluk tubuh yang terguling setelah belenggunya terlepas, perlahan-lahan menurunkan tubuh Madhula. Tubuh itu lemas dan orangnya sudah tidak ingat apa-apa lagi, darah terus mengalir keluar dari lidah yang buntung. Madhula dalam sekarat, seperti juga tubuh ular yang sekarat, hanya bedanya, kalau tubuh Madhula sama sekali tidak bergerak, tubuh ular itu berkelojotan, menggeliat--geliat dan darah mengalir keluar dari dua lubang kecil di antara kedua matanya.
Ouwyang Bouw tadi juga terkejut sekali. Gadis cantik itu telah dapat menyclundup ke dalam pulau tanpa ada yang tahu, bahkan telah berada di atas pohon tanpa dia sendiri mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dara itu tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apalagi ketika dibuktikannya dengan membunuh ularnya menggunakan jarum, ini menjadi tanda pula bahwa dalam hal penggunaan senjata rahasia jarum dara itu belum tentu kalah lihai olehnya yang juga mahir menggunakan senjata rahasia jarum kecil merah yang berbisa. Akan tetapi, kini Ouwyang Bouw telah dapat menguasai rasa kagetnya, matanya terputar-putar menggerayangi seturuh tubuh Li Hwa dan dia tertegun penuh kekaguman. Seorang dara yang masih muda, seorang perawan yang amat jelita, akan tetapi juga amat gagah perkasa! Begitu melihat Li Hwa, sekaligus hati Ouwyang Bouw telah jatuh! Selama petualangannya dengan wanita dari segala macam bentuk dan usia, dia merasa belum pernah dia memperoleh seorang dara muda seperti yang kini berdiri di depannya dengan sikap gagah perkasa itu! Dan dia harus memperolehnya, dengan cara bagaimana- pun juga!
“Aihhh, harap Nona sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan seorang tamu agung seperti Nona sehing-ga tidak mengadakan penyambutan sela-yaknya!” Ouwyang Bouw berkata sambil melangkah maju dan memberi hormat dengan menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada.
Diam-diam Li Hwa terkejut dan terheran. Tak disangkanya bahwa pemuda yang disohorkan sebagai seorang iblis muda yang kejam dan gila ini ternyata pandai bersikap demikian sopan-santun seperti seorang terpelajar dan bersusila! Terseret oleh sikap yang begitu hormat, otomatis dia pun mengangkat kedua tangan, membalas penghormatan. Teringat akan hal ini, dia terkejut dan cepat me-nurunkan lagi tangannya, diam-diam dia maklum betapa berbahaya dan lihainya pemuda ini yang dengan gerak dan kata--kata sudah dapat menyeretnya!
“Aku Souw Li Hwa bukan tamu dan tidak mengharap sambutan. Akan tetapi menyaksikan kekejaman yang biadab tadi, aku tak mungkin mendiamkannya saja. Bukankah engkau yang disebut Ouwyang Bouw, pemuda iblis yang gila?”
Biarpun anak buahnya sudah menge-luarkan suara marah, Ouwyang Bouw ter-senyum saja mendengar makian ini, bah-kan memandang makin kagum dan sesaat kedua bola matanya seperti lupa untuk berputaran seperti biasa. “Dugaanmu benar, Nona Souw Li Hwa. Aku adalah Ouwyang Bouw, majikan muda dari Pulau Ular ini, dan aku merasa senang sekali dapat berkenalan denganmu. Bolehkah aku mengetahui apa sesungguhnya kehen-dak Nona memberi kehormatan kepada kami dengan mengunjungi pulau ini?”
Ditanya demikian, barulah Li Hwa teringat dan terkejut. Celaka! Rusaklah usahanya menyelidiki bokor emas yang katanya dibawa ke pulau itu! Akan tetapi karena sudah terlanjur, maka dia membentak, “Cih! Siapa sudi berkenalan denganmu? Aku datang hendak membunuhmu dan membersihkan pulau ini dari iblis-iblis macam kalian dan ular-ular jahat!”
“Hayaaa...! Dari mana datangnya nona cantik yang sombong ini?” Tiba--tiba terdengar seruan orang dan muncul-lah dua orang kakek yang dipandang oleh Li Hwa dengan penuh perhatian. Yang berseru tadi adalah seorang kakek tua berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi sekali, tinggi kurus dengan leher panjang sehingga kalau dia bergerak-gerak, tubuhnya seperti seekor ular. Mata-nya sipit memandang tajam penuh selidik dan melihat kakek kurus tidak ragu lagi hati Li Hwa menduganya bahwa tentu kakek inilah Si Raja Ular Ban-tok Coa--ong Ouwyang Kok. Adapun kakek ke dua adalah seorang kakek yang lebih tua lagi, tujuh puluh tahun lebih usianya, juga tubuhnya tinggi kurus dan dia tidak berkata-kata, hanya terbatuk-batuk, rambut-nya tidak terpelihara, panjang penuh uban, juga jenggot dan kumisnya tidak terpelihara. Karena pakaiannya sederhana, kakek ini makin kelihatan jorok (kotor). Diam-diam Li Hwa menduga dengan hati penuh ketegangan bahwa tentu kakek ini yang disebut datuk sesat nomor satu Toat-beng Hoat-su. Tahulah dia bahwa dia telah dikurung oleh orang-orang jahat yang berlimu tinggi, namun sedikit pun hatinya tidak merasa takut, bahkan dia tidak mau berpura-pura lagi, dengan sikap gagah dan suara lantang dia bertanya,
“Apakah kalian berdua orang tua Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su?”
“Hemm, bocah sombong. Engkau telah mengenal kami. Siapakah engkau dan engkau yang masih amat muda dan cantik ini mengapa ingin membunuh diri dengan lancang memasuki Pulau Ular tanpa ijin?” Ban-tok Coa-ong berkata, suaranya mengandung ancaman karena kakek ini telah menjadi marah sekali. Kalau ada orang luar berani memasuki pulaunya tanpa ijin, hal itu selain merupakan pelanggaran yang harus dihukum mati, juga merupakan penghinaan kepadanya karena menunjukkan bahwa Si Pelanggar itu memandang rendah kepadanya.
“Ayah, Nona ini bernama Souw Li Hwa, cantik jelita dan gagah perkasa. Ayah, sekarang aku mengambil keputusan untuk menikah. Bukankah Ayah sering mengatakan bahwa aku sudah cukup dewasa untuk menikah dan bahwa Ayah ingin sekali menimang cucu? Ayah, dia itulah calon isteriku!”
Mendengar kata-kata yang jelas membayangkan kegilaan ini, Li Hwa menjadi marah bukan main. Dia melangkah maju menudingkan telunjuk kirinya kepada Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong lalu membentak, “Ban-tok Coa-ong, aku mondengar bahwa engkau dan Toat-beng Hoat-su sudah merampas bokor emas, maka aku datang untuk minta kembali bokor emas itu. Mungkin saja Suhu akan suka mengampuni kalian kalau kalian mengembalikan pusaka itu secara baik-baik kepadaku. Kalian tahu, kalau Suhu marah dan mendengar kalian tidak mau mengembalikan benda pusaka milik Suhu itu, kemana pun kalian melarikan diri dan bersembunyi, akhirnya kalian tentu akan menerima hukuman dari Suhu.”
Mula-mula Ban-tok Coa-ong marah sekali mendengar ucapan nona itu yang dianggapnya sombong. Akan tetapi ketika mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, dia dan Toat-beng Hoat-su terkejut.
“Kau... kau murid The Hoo?” Toat-beng Hoat-su bertanya dengan alis berkerut dan hati masih ragu-ragu. The Hoo adalah seorang panglima besar yang amat terkenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian hebat. Benarkah dara jelita yang muda ini muridnya?
“Panglima Besar The Hoo adalah guruku dan aku menerima tugas dari Suhu untuk minta kembali bokor emas yang terjatuh ke tangan kalian.” Li Hwa menjawab dengan suara lantang.
Muka Ban-tok Coa-ong berubah merah. “Bagus, kaukira aku mudah menyerah begitu saja? Bocah lancang sombong, jangan kau mempergunakan nama The Hoo untuk menakut-nakuti Ban-tok Coa-ong!”
“Wuuuuttt...!” Angin keras yang dahsyat menerjang ke arah Li Hwa ketika kakek bertubuh ular itu tahu-tahu telah menyerangnya. Kedua kakinya masih tidak bergeser, akan tetapi tubuh atasnya melengkung dan kedua tangannya dengan jari terbuka mencengkeram ke arah dara itu. Panjang tubuh disambung lengan cukup untuk menjangkau dan mencapai tubuh Li Hwa.
“Ayah, jangan lukai calon isteriku!” Ouwyang Bouw berseru.
Akan tetapi, betapapun lihai serangan itu, dengan mudah saja Li Hwa mengelak dengan gerakan cekatan sekali, dan lengannya bergerak, tangannya mengebut ke samping mengenai lengan tangan kanan kakek itu.
“Plakkk!”
Biarpun Li Hwa harus meloncat ke belakang karena pertemuan tenaga itu membuat lengannya tergetar, akan tetapi juga kakek Raja Ular itu merasa betapa kulit lengannya panas, tanda bahwa dara muda itu benar-benar memiliki kepandaian hebat dan tenaga sin-kang yang kuat!
Dengan marah dan penasaran, tanpa mempedulikan seruan puteranya, Ouwyang Kok sudah hendak menerjang lagi, akan tetapi Toat-beng Hoat-su mendekatinya dan membisikkan siasatnya, “Tunggu... dia merupakan sandera yang baik dan berharga sekali... mungkin dapat ditukar dengan bokor...!”
Mendengar ini, Ban-tok Coa-ong menghentikan gerakannya hendak menyerang dan dengan wajah berseri kakek ini menghadapi Li Hwa dan berkata lantang “Nona Souw Li Hwa. Engkau dapat menghindarkan seranganku, hal ini saja sudah membuat engkau cukup berharga untuk bicara denganku. Engkau mengaku murid The Hoo, dan puteraku jatuh cinta kepadamu. Semua itu baik-baik saia, akan tetapi engkau harus diuji lebih dulu apakah benar engkau murid The Hoo dan apakah engkau cukup berharga untuk menjadi mantuku, ha-ha-ha!” Kakek Raja Ular itu menggapai kepada seorang Nepal yang tubuhnya tinggi besar seperu raksasa dan kumis jenggotnya lebat sekali hampir menutupi seluruh mukanya, sambil berkata, “Maju dan lawanlah nona ini!”
Orang Nepal itu menyeringai sehingga tampaklah giginya yang besar-besar, dan dengan sikap jumawa sekali dia melangkah ke dalam lapangan itu menghadapi Li Hwa. Sengaja dia mengerahkan tenaga pada kedua kakinya sehingga langkahnya seperti langkah gajah, membuat tanah tergetar setiap kali dia membanting ka-kinya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa mendengar ucapan Ban-tok Coa-ong tadi. Ucapan itu dianggap amat menghinanya, akan tetapi karena dia pun cukup maklum bahwa dia berada di sa-rang harimau dan menghadapi banyak lawan pandai, dia tidak mau terseret oleh kemarahannya. Gurunya pernah me-ngatakan kepadanya bahwa dalam meng-hadapi lawan tangguh, yang terpenting sekali adalah sikap tenang dan sikap tenang ini akan rusak apabila membiar-kan diri dikuasai pikiran yang menda-tangkan kemarahan, ketakutan, atau kesombongan. Maka kini menghadapi raksa-sa Nepal itu, dia bersikap tenang, sedikit pun tidak merasa takut, juga tidak me-mandang rendah dan sama sekali bebas dari kemarahan. Dengan sikapnya yang tenang, dia dapat memandang tajam dan segera dapat melihat bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki tenaga kasar yang amat kuat dan otot-otot yang menggembung di seluruh tubuh raksasa ini telah terlatih, Namun, sekilas pan-dang saja Li Hwa sudah dapat menduga kelemahan lawan ini yaitu kelambanan gerak sehingga dia sudah tahu bahwa untuk mengalahkannya dia harus mengan-dalkan kecepatannya.
Dengan pikiran ini, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menye-rangnya Li Hwa sudah menerjang maju dan mengirim dua kali pukulan beruntun ke arah dada dan lambung. Gerakannya cepat bukan main karena dara ini telah mempergunakan jurus Ilmu Silat Jit-goat--sin-ciang-hoat. Dua pukulan yang dilaku-kan kedua tangan itu pun mengandung dua macam tenaga keras dan lembut, akan tetapi keduanya amat berbahaya karena yang keras dapat meremukkan tulang, dan yang lembut dapat merusak urat syaraf!
“Plakk! Blukk!”
Li Hwa terkejut bukan main karena kedua pukulannya, baik yang mengandung tenaga Yang-kang (keras) maupun Im-kang (lembut) bertemu dengan kulit dada dan kulit lambung yang kerasnya seperti baja! Tak disangkanya sama sekali bahwa raksasa itu memiliki tubuh yang kebal dan kuat bukan main. Dan lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba kedua lengannya telah ditangkap oleh raksasa itu dan dengan tenaga yang seperti tarikan gajah, tubuh Li Hwa telah diangkat ke atas!
“Jangan bunuh dia...!” bentakan Ouwyang Bouw itu dijawab dengan suara tertawa bergelak oleh raksasa Nepal itu yang cepat melontarkan tubuh Li Hwa ke atas dan sambil bertolak pinggang dia tertawa-tawa menanti turunnya tubuh itu. Dia jelas bendak mempermainkan tubuh dara itu seperti sebuah bola yang dilempar-lemparkan ke atas!
Li Hwa sudah mempergunakan gin-kangnya, ketika tubuhnya meluncur ke atas seperti anak panah meluncur, cepat dia berjungkir balik sampai lima kali untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian melayang turun. Dari atas dia melihat betapa lawannya sudah siap me-nyambutnya dengan kedua lengannya yang berbulu dan kuat sekali itu, kedua lengan yang sudah dikembangkan dan diacungkan ke atas. Sudah terdengar suara lawannya tertawa bergelak. Li Hwa maklum bahwa kalau dia tidak dapat merobohkan lawan dari atas, dia akan tak berdaya sama sekali begitu tubuhnya tertangkap oleh
kedua tangan yang kuat itu. Untuk mempergunakan jarum peraknya, dia tidak sudi karena hal itu berarti bahwa dia jerih menghadapi lawan dengan terbuka. Pula, dengan kehadiran dua orang datuk kaum sesat itu, menggunakan senjata rahasia pun takkan ada gunanya. Maka dia lalu menggunakan akal dan sengaja membuat tubuhnya melayang turun seperti seorang yang tidak berdaya dan ketakut-an.
“Ha-ha-ha, Nona manis, marilah kita main-main!” Orang Nepal itu berkata dengan logat bicaranya yang kaku.
Ketika tubuhnya sudah meluncur dekat, tiba-tiba Li Hwa membalik, kepalanya di bawah dan kedua tangannya seperti seorang yang kebingungan hendak mencari pegangan, akan tetapi begitu kedua tangan raksasa itu menangkap pinggang dan pundaknya, Li Hwa sudah menggerakkan kedua jari telunjuknya untuk menotok ke arah pundak dan teng-kuk.
“Cusss! Cusss!”
“Auggghhh...!” Tubuh raksasa itu terguling dan cengkeraman kedua tangannya terlepas. Dia telah terkena serangan Ilmu Menotok Jalan Darah It-ci-san yang amat lihai. Biarpun tubuhnya kebal, na-mun totokan satu jari yang amat hebat itu dengan tepat mengenai jalan darah-nya sehingga untuk sesaat tubuhnya se-perti lumpuh yang menyebabkan tubuhnya terguling. Kesempatan ini tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh Li Hwa. Jari tangan kirinya menjambak rambut panjang lawannya dan dengan pengerahan tenaganya, ditariknya tubuh itu ke atas dan kemudian tangan kanannya yang dimiringkan menghantam ke arah teng-kuk.
“Krekkkk!”
Tubuh itu terkulal dan raksasa Nepal itu roboh pingsan! Semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak, sama sekali tidak mengira bahwa raksasa Nepal yang terkenal hebat dan amat kuat itu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja!
“Tidak salah lagi, dia murid The Hoo...!” Toat-beng Hoat-su berkata lirih.
Ban-tok Coa-ong mengangguk. “Benar, tadi tentu It-ci-san yang terkenal dari The Hoo...”
Ban-tok Coa-ong kini menggapai ke-pada seorang Han yang tubuhnya pendek kecil, amat kurus seperti rangka hidup, mukanya pucat dan sepasang matanya yang cekung itu mengerikan sekali.
“Pek-mo (Iblis Putih), tangkap dia!”
Laki-laki bermuka pucat yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu mengangguk, mengeluarkan suara rintihan panjang seperti orang menangis dan tiba--tiba, tubuhnya sudah mencelat ke depan Li Hwa, matanya yang cekung bersinar mengerikan dan ketika mulutnya meri-ngis, ternyata di dalam mulutnya tidak terdapat gigi sepotong pun!
Li Hwa memandang penuh perhatian. Keadaan tubuh orang ini sungguh merupakan kebalikan dari keadaan raksasa Nepal tadi. Kalau raksasa Nepal tadi membayangkan kekuatan dahsyat, orang ini sebaliknya kelihatan seperti seorang berpenyakitan yang sudah berdiri di ambang kuburan. Kelihatan lemah dan agaknya hembusan angin yang agak besar saja sudah akan cukup untuk merobohkannya. Akan tetapi Li Hwa tidak tertipu oleh keadaan luar, dan dia sudah dapat menduga bahwa orang yang kecil seperti mayat hidup ini tentulah memiliki kepandaian yang tinggi dan memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Baru caranya meloncat ke depan tadi saja sudah membuktikan betapa Si Mayat Hidup ini mempunyai kegesitan yang tak boleh dipandang ringan! Maka tanpa menanti gerakan lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Si Mayat Hidup itu dengan totokan-totokan maut!
Orang kurus kecil itu mengeluarkan pekik menyeramkan, kemudian tubuhnya bergerak dan bersilat dengan cara yang aneh namun gesit sekali. Bagaikan gerakan seekor monyet, orang itu dapat menghindarkan totokan-totokan Li Hwa dan membalas dengan serangan yang berupa cengkeraman-cengkeraman. Yang hebat, kalau tadi jari tangannya kelihatan biasa, kini jari tangan itu menjadi bertambah panjang oleh kuku-kukunya! Ternyata orang itu mempunyai kuku-kuku jari yang aneh, yang dapat digulung dan kalau perlu, dengan kekuatan sin-kangnya, kuku yang tadinya bergulung itu dapat menegang dan panjangnya setiap kuku tidak kurang dari sepuluh senti!
“Brettt...!”
“Aihhh...!” Li Hwa menjerit kaget ketika ujung bajunya kena dicakar dan robek. Hal ini adalah karena dia tidak mengira bahwa kuku jari itu dapat memanjang maka ketika cengkeraman lawan dapat dielakkan, kuku-kuku yang memanjang itu masih dapat mencakar ujung bajunya. Untung bukan kulit lambungnya yang kena dicakar!
Marahlah Li Hwa. Dia tahu sekarang bahayanya lawan ini, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya mainkan jurus-jurus pilihan dari Jit-goat-sin-ciang--hoat, yang sukar dicari tandingannya itu. Gerakan kedua tangannya yang menye-rang terisi dengan tenaga Im-yang-sin-kang, dan kadang-kadang pukulannya dicampur dengan It-ci-sian mengarah jalan darah yang berbahaya.
Ternyata bagi Li Hwa bahwa lawan-nya ini hanya kelihatannya saja menye-ramkan dan berbahaya. Padahal ilmu silatnya hainyalah ilmu silat golongan hitam yang hanya berbahaya tampaknya dan tidak memiliki dasar yang kuat. Kalau berhadapan dengan ahli silat biasa, tentu Si Mayat Hidup ini merupakan lawan yang berbahaya sekali dan setiap serangannya dapat mendatangkan maut. Akan tetapi terhadap dia yang sudah me-nerima gemblengan seorang sakti seperti The Hoo, segera dara ini dapat melihat kelemahannya. Setelah bertanding selama tiga puluh jurus, tiba-tiba Li Hwa mengerahkan khi-kang, membentak keras sekali, kedua kakinya seperti kitiran angin melakukan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) sehingga lawannya merintih panjang dan terpaksa mengelak ke kanan kiri untuk menghindarkan tendangan bertubi-tubi yang amat berbahaya itu. Tiba-tiba tangan kiri Li Hwa bergerak dari atas, dikebutkan ke arah pundak lawan.
“Krekk!”
Si Mayat Hidup mengeluh dan sebuah tendangan tepat mengenai pinggulnya sehingga tubuh yang ringan itu terlempar sampai empat meter dan terbanting roboh. Di situ dia merintih karena tulang pundaknya terlepas dan pinggul yang tidak berdaging itu menjadi biru!
Terdengar orang bersorak. Kiranya Ouwyang Bouw yang bersorak “Hidup calon isteriku yang perkasa!” Dia berlari menghampiri Li Hwa dan menjura dengan hormat. “Terimalah rasa kagum dan hormatku, Nona Souw calon isteriku yang cantik dan gagah perkasa!”
Biarpun dia sudah menjaga diri agar tidak terserang marah, menghadapi pemuda ini, naik juga darah Li Hwa. Mukanya menjadi merah, matanya mendelik mengeluarkan sinar berapi dan dia mem-bentak. “0rang gila menjemukan! Mampuslah!”
Tamparan tangan kiri Li Hwa itu sama sekali tidak ditangkis oleh Ouwyang Bouw yang hanya mengangkat sedikit kepalanya ke atas sehingga telapak ta-ngan Li Hwa yang menampar kepala itu mengenal pipinya.
“Plakk...!”
“Wah, terima kasih, Nona. Telapak tanganmu sungguh halus, hangat, dan harum sekali!” kata Ouwyang Bouw sam-bil mengelus-elus pipinya yang kena tam-par.
Bukan main marahnya hati Li Hwa, apalagi mendengar suara ketawa anak buah Pulau Ular yang tertawa-tawa. Dia maklum bahwa pemuda gila ini tidak beleh disamakan dengan jagoan Nepal dan Si Mayat Hidup tadi, dan dia pun maklum bahwa dia tidak dapat mundur lagi. Melarikan diri tak mungkin, maka jalan satu-satunya hanya mengadu kepandaian untuk menuntut dikembalikannya bokor emas atau kalau perlu berkorban nyawa.
“Srattt...!” Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Dengan sikap gagah dia lalu berkata kepada Ban-tok Coa-ong, “Ban-tok Coa-ong, engkau sebagai tuan rumah di pulau ini, majulah. Mari kita tentukan siapa yang herhak membawa bokor emas di ujung pedang. Jangan mengajukan anakmu yang gila!”
“Ha-ha, Nona Souw yang manis, calon isteriku yang cantik. Jangan begitu, ah! Menggodaku beleh saja, tapi jangan ke-terlaluan. Aku memang gila, siapa tidak akan tergila-gila memandang wajahmu yang cantik manis? Engkau ingin main--main dengan pedang? Baik, mari kulayani. Memang calon suami isteri harus menge-nal kelihaian masing-masing!”
Pemuda sinting itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang pedang yang berbentuk tubuh ular telah tercabut keluar. Sambil melintangkan pedang ular yang mengerikan itu di depan dada, Ouwyang Bouw memasang kuda-kuda dengan lagak yang dibuat gagah sehingga kelihatan lucu namun menjemukan bagi Li Hwa karena pemuda itu tersenyum--senyum dan melirik-lirik kepadanya!
“Iblis bermulut busuk!” Dia memaki dengan marah, pedangnya sudah bergerak menerjang dengan kecepatan laksana kilat.
“Trang-trang-cringgg...!” Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu berkali-kali. Merasa betapa pedangya tergetar oleh tangkisan pemuda itu, Li Hwa maklum bahwa tenaga sin-kang lawannya tidak lemah, maka cepat dia menggunakan tenaga lawan ketika menangkis lagi untuk mencelat ke atas, berjungkir balik dan dari atas tangan kirinya diayun. Sinar putih berkeredepan menyambar ke arah Ouwyang Bouw. Itulah gin-ciam (jarum perak), senjata rahasia Li Hwa yang amat lihai.
“Aihhh... engkau pandai main jarum. Bagus...!” Ouwyang Bouw menggerakkan tangan kirinya dan lengan bajunya menerima jarum-jarum perak yang menancap dan berjajar rapi di ujung lengan baju-nya! Sambil tersenyum dia menggerakkan lengan baju itu dan sinar perak menyambar ke arah kaki Li Hwa yang masih belum turun ke atas tanah. Dara ini cepat menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian rupa sehingga gulungan sinar pedang menggulung jarum-jarum peraknya sendiri itu, kemudian dia menggerakkan pedang dan jarum-jarum itu kembali melesat ke arah Ouwyang Bouw.
“Cuiiitttt... trakkk...!” Sinar perak itu bertemu dengan sinar merah dan runtuhlah jarum-jarum perak itu bertemu dengan jarum-jarum merah yang dilepaskan oleh Ouwyang Bouw. Li Hwa terkejut. Kiranya dalam kepandaian melemparkan jarum, pemuda sinting itu tidak kalah pandai olehnya. Maka dia lalu berteriak nyaring dan menerjang maju, memutar pedangnya dengan hebat karena dara ini telah mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya.
“Kau hebat... kau cantik menarik, kau gagah perkasa... heeeiiitttt!” Ouwyang Bouw terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Karena dia tadi bicara dan menggoda, maka hampir saja dia celaka oleh sinar pedang dara itu yang amat hebat. Dia cepat meloncat lagi melihat pedang lawan terus menge-jarnya, menangkis dan terpaksa balas menyerang ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dara itu benar-benar amat lihai dan sama sekali tidak boleh dia lawan sambil bersendau-gurau!
Pertandingan itu berlangsung dengan seru sekali dan ternyata oleh kedua pihak bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, baik mengenai kecepatan mau-pun tenaga sin-kang. Hanya bedanya, kalau ilmu pedang Li Hwa mengandung dasar yang amat kuat dan aseli, mempu-nyai daya tahan yang kokoh dan daya serang langsung dan menekan, sebaliknya ilmu pedang yang dimainkan oleh Ouwyang Bouw mengandung perkembangan yang penuh tipu muslihat, banyak gerakan pancingan dan pura-pura yang amat curang. Akan tetapi, karena Li Hwa selalu menyerang dengan niat membunuh lawan sedangkan sebaliknya pemuda yang tergila-gila itu tidak ingin melukai apalagi membunuh lawan, perlahan--lahan pemuda itu terdesak dan gulungan sinar pedangnya makin tertekan.
“Jelas dia murid The Hoo dan kalau dia bisa dijadikan tawanan sebagai san-dera, tentu The Hoo tidak berani mengganggu kita!” Toat-beng Hoat-su barkata.
“Benar sekali,” jawah Ban-tok Coa--ong sambil memperhatikan pertandingan antara dara itu dengan puteranya. “Bouw-ji (Anak Bouw) tidak tega melu-kainya, keadaannya amat berbahaya. Kalau sampai dia terluka, tentu dia akan lupa diri dan jangan-jangan dia akan membunuh dara itu. Sebaiknya kita turun tangan menangkapnya.”
Toat-beng Hoat-su tidak percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengalah-kan Li Hwa, akan tetapi dia diam saja, hanya mengangguk dan kedua kakek ini lalu bergerak maju ke medan pertandingan. Pada saat itu, pedang di tangan Li Hwa sedang bertemu dengan pedang ular di tangan Ouwyang Bouw. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang datuk yang lihai itu untuk turun tangan, Ban-tok Coa-ong mengetuk pergelangan tangan kanan Li Hwa sehingga pedangnya terlepas sedangkan Toat-beng Hoat-su menepuk pundaknya. Li Hwa mengeluh dan roboh, tubuhnya disambar oleh pelukan Ouwyang Bouw. Dara itu yang lumpuh kedua tangannya, menggerakkan kaki menendang pusar, akan tetapi pemuda itu menangkap kakinya dan menotok punggungnya sehingga kini kedua kakinya lumpuh pula. Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw memondong tubuh dara itu dan tangan kanannya masih memegang pedang ular, lalu membawa dara itu lari.
“Bouw-ji... awas jangan kau sampai membunuhnya!” teriak Ban-tok Coa-ong.
Ouwyang Bouw menoleh sambil tertawa. “Apakah Ayah telah menjadi gila? Aku cinta kepadanya, mana mungkin membunuhnya? Ha-ha-ha!”
“Ha-ha-ha, engkau memang sudah pantas kawin, Anakku!”
“Setahun lagi Ayah akan memondong cucu!” Pemuda gila itu tertawa-tawa sambil lari memhawa Li Hwa memasuki pondok yang menjadi tempat kediamannya.
Ban-tok Coa-ong menyuruh anak buahnya menyingkirkan mayat Madhula dan mayat Sanghida yang tinggal tulang kemudian bersama Toat-beng Hoat-su dia kembali ke dalam pondok besar.
“Harus dicegah agar puteramu jangan sampai membunuh tawanan penting itu,” kata Toat-beng Hoat-su, khawatir juga menyaksikan kelakuan pemuda yang edan-edanan itu.
“Jangan khawatir. Agaknya anakku sekali ini benar-benar jatuh cinta. Alangkah baiknya kalau aku dapat berbesan dengan The Hoo. Tentu soal bokor emas bukan hal yang perlu dia ributkan lagi.”
“Lebih penting lagi, dia tentu akan mau membuka rahasia bokor itu. Sungguh menjengkelkan. Susah-payah dicari dan diperebutkan, setelah berada di tangan kita, kita tidak mampu membuka rahasianya.” kata Toat-beng Hoat-su dengan wajah kesal. Berhari-hari mereka berdua menyelidiki bokor emas, membolak-balik, menekan sana-sini, namun belum juga dapat menemukan rahasianya. Padahal kabarnya bokor itu mengandung petunjuk tempat penyimpanan harta pusaka kitab-kitab pusaka yang amat luar bia-sa. Tidak takut bokor itu rusak dan raha-sianya ikut pula terusak, tentu mereka sudah membanting pecah benda pusaka itu! Kini mereka memasuki kamar raha-sia dan kembali kedua orang kakek yang menjadi datuk kaum sesat itu melanjut-kan penyelidikan mereka tentang bokor emas. Memang ada guratan-guratan aneh di sebelah dalam bokor, akan tetapi me-reka tidak dapat memecahkan rahasia guratan-guratan ini karena guratan-guratan itu bukan merupakan huruf-huruf yang dapat terbaca, juga bukan merupakan peta yang dapat dimengerti.
Sementara itu, Li Hwa yang sadar akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya itu dipondong oleh Ouw-yang Bouw dan dibawa masuk ke dalam pondoknya, terus memasuki kamarnya dan dengan hati-hati, bahkan dengan lemah -lembut dan mesra dibaringkannya tubuh dara itu di atas pembaringannya yang mewah, bersih dan harum baunya. Namun diam-diam Li Hwa bergidik melihat be-tapa di dalam kamar itu penuh dengan belasan ekor ular-ular berbisa yang me-lingkar di sana-sini, merayap di sana-sini dalam keadaan jinak seolah-olah ular berbisa itu adalah binatang peliharaan dan kesayangan! Diam-diam dia mengam-bil keputusan bahwa kalau dia sempat dia akan memukul mati pemuda ini, ke-mudian mengamuk dan kalau perlu me-ngadu nyawa karena dia pun mengerti bahwa keselamatannya terancam hebat, bukan karena nyawanya yang terancam, juga kehormatannya!
Setelah merebahkan tubuh Li Hwa, Ouwyang Bouw duduk di pinggir pemba-ringan itu, menatap wajah yang cantik itu penuh kagum, penuh kasih sayang, bahkan dengan pandang mata mesra. Pandang mata yang membuat Li Hwa bergidik karena pandang mata itu seolah--olah dapat dia rasakan menyelusuri se-luruh tubuhnya, seolah-olah pandang mata itu mampu menelanjanginya!
“Moi-moi yang manis... kau menurutlah menjadi isteriku, hidup dengan makmur dan mulia di pulau ini, sebagai ratu! Ya, aku akan memuliakanmu sebagai seorang ratu... adikku yang tercinta...!”
Namun Li Hwa memandang dengan mata mendelik penuh kebencian biarpun di dalam hatinya dia merasa khawatir sekali. Dia maklum bahwa jika pemuda gila itu pada saat dia lumpuh kaki tangannya melakukan segala kekejian terhadap dirinya, dia tidak akan mampu mempertahankan kehormatannya, tidak akan mampu membela diri. Hampir dia pingsan memikirkan kemungkinan yang mengerikan ini. Akan tetapi untung baginya pemuda itu memang tidak suka memperkosa wanita dan biarpun dia ingin sekali menguasai tubuh Li Hwa, namun dia mempunyai perasaan lain terhadap dara ini, tidak seperti perasaannya terhadap wanita-wanita lain yang telah menjadi korbannya. Dia sudah jatuh cinta kepada Li Hwa dan ingin mengambil Li Hwa ini sebagai isterinya! Karena itu, dia tidak akan menggunakan cara-cara yang keji untuk sementara waktu ini, hanya ingin mengandalkan bujukan dan rayuannya. Setelah dia menggunakan tali kain sutera yang halus akan tetapi kuat sekali untuk membe-lenggu kaki tangan dara itu, dia membebaskan totokan pada tubuh Li Hwa se-hingga dara itu tidak terlalu tersiksa, dapat menggerakkan kaki tangannya sungguhpun tidak berdaya melawan kare-na kaki dan tangannya dibelenggu di belakang tubuhnya.
“Adikku sayang, kalau menu-rut, engkau akan kubebaskan dan kita akan merayakan pesta pernikahan kita di pulau ini”
“Huh, lebih baik aku mati!” Li Hwa menjawab sambil membuang muka.
Ouwyang Bouw tersenyum. “Kita sama lihat saja apakah engkau akan dapat terus berkeras kepala, Adikku. Engkau menolak orang seperti aku? Ha-ha, hendak memilih yang macam yang macam bagaimana? Lihat baik-baik, bukankan aku seorang pemuda yang tampan dan gagah?”
Melihat betapa Li Hwa tidak mau menoleh, Ouwyang Bouw lalu meloncat dekat dan sekali menotok, dia membuat Li Hwa tak mampu menggerakkan lehernya lagi sehingga ketika mukanya dihadap-kan kepada pemuda itu, dia tidak dapat membuang muka. Terpaksa dia melihat pemuda itu bergaya di depannya, dengan senyum dibuat-buat dan dada diangkat. Bahkan kemudian pemuda itu menyeli-nap ke kamar lain dan ketika muncul kembali, dia telah mengenakan pakaian lain yang lebih mewah. Sampai tiga kali pemuda itu bertukar pakaian dan bergaya di depan Li Hwa seperti lagak seorang peragawan memamerkan pakaian.
“Lihat, bukankah aku tidak kalah tampan oleh para pangeran di istana? Banyak wanita tergila-gila kepadaku, akan tetapi aku hanya memilih engkau, Li Hwa! Aku cinta kepadamu dan kau sudah tahu akan kelihaian ilmuku.”
Li Hwa mencibirkan bibirnya, sengaja memperilhatkan muka dan sinar mata mengejek dan memandang rendah.
“Apa engkau belum puas? Bukan ha-nya pakaianku saja yang membuat aku kelihatan tampan dan gagah, bahkan seluruh tubuhku pun tidak ada cacadnya! Nah, kaulihat baik-baik!” Pemuda yang sinting itu kini menanggalkan pakaiannya satu demi satu! Tadinya Li Hwa mengira pemuda itu memamerkan bentuk tubuh-nya yang memang tegap berotot, akan tetapi matanya yang terbelalak itu kemudian dipejamkan ketika tenyata bahwa pemuda itu menanggalken seluruh pakaiannya, termasuk pakaian dalamnya sehingga pemuda itu berdiri telanjang bulat di depannya, hanya mengenakan sepatunya!
“Ha-ha-ha, engkau tidak tahan me-lihatku dan memejamkan mata? Bagus, kalau kau tidak memejamkan mata, eng-kau tentu akan tergila-gila, kepadaku!”
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan jijik rasa hati Li Hwa menghadapi pemu-da gila ini. Ketika tadi dia melihat pemuda itu menanggalkan baju dalamnya, sebelum dia memejamkan mata, dia me-lihat dada yang telanjang dan aneh, be-gitu dia memejamkan mata, tampaklah dada telanjang dari Yuan de Gama! Le-bih aneh lagi, muncul rasa rindu hatinya kepada Yuan, pemuda yang bersikap so-pan santun kepadanya, menjadi kebalikan dari pemuda sinting ini. Tanpa disadarinya, dalam keadaan terancam seperti itu, dia membayangkan wajah Yuan dan hati-nya menjeritkan nama pemuda asing itu!
Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mengenakan lagi pakaiannya kemudian meninggalkan kamar setelah menyuruh beberapa orang penjaga melakukan penja-gaan di luar kamarnya. Li Hwa diting-galkan seorang diri di dalam kamar itu dan dia termenung, memutar otaknya mencari akal untuk dapat meloloskan diri dari tempat berbahaya ini. Satu-satunya harapannya adalah gurunya. Gurunya tahu akan bokor emas, telah menerima lapor-an pengawal Tio Hok Gwan dan gurunya tahu pula bahwa dia sendirian melakukan penyelidikan. Gurunya tentu mengirim orang-orang pandai, mungkin Tio Hok Gwan sendiri, mungkin pula Pendekar Sakti Cia Keng Hong, untuk menyerbu Pulau Ular dan saat inilah yang ditunggu-tunggunya karena hanya itu yang mung-kin akan memberi harapan baginya untuk lolos dari bahaya ini.
Maka Li Hwa juga tidak mengambil keputusan pendek setelah dengan jelas dia melihat gelagat bahwa Ouwyang Bouw tidak akan memperkosanya, melain-kan hendak membujuknya agar dia suka tunduk dan menyerahkan diri. Kini dia dipindahkan ke dalam sebuah kamar ta-hanan. Belenggu kaki tangannya dilepas-kan, akan tetapi kedua kakinya diikat dengan rantai baja yang panjang, yang memungkinkan untuk bergerak dan berja-lan di dalam kamar tahanan itu, akan tetapi tidak memungkinkan dia untuk melarikan diri. Juga kedua tangannya dibelenggu dengan rantai baja yang pan-jang.
Hanya rantai itu yang menyatakan bahwa dia menjadi tawanan. Akan tetapi selain dari rantai itu dia diperlakukan dengan baik, diberi kesempatan untuk mandi dan makan, bahkan para penjaga bersikap hormat kepadanya karena dia dianggap sebagai calon isteri Ouwyang Bouw! Sampai berhari-hari lamanya, Li Hwa tetap tidak mau tunduk dan selalu menyambut kedatangan Ouwyang Bouw ke kamarnya dengan caci maki. Di sam-ping ini, dia berlaku hati-hati sekali, selalu menggunakan jarum peraknya un-tuk memeriksa setiap makanan dan mi-numan agar jangan sampai dia dipenga-ruhi racun. Akan tetapi, ternyata bahwa Ouwyang Bouw belum sampai sejauh itu usahanya untuk menguasainya. Ouwyang Bouw menghendaki agar wanita yang membuatnya tergila-gila itu benar-benar tunduk bukan karena terpaksa oleh pe-ngaruh racun atau karena dia perkosa. Dan kesabaran seorang glia seperti dia memang luar biasa sekali!
Tiga hari kemudian sejak Li Hwa ditangkap, sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke Pulau Ular dari daratan Teluk Pohai. Di dalam perahu itu hanya ada seorang pemuda berkepala gundul yang bukan lain adalah Kun Liong. Pemuda ini mulai dengan penyelidikannya untuk membantu Li Hwa yang dikabarkan telah lebih dahulu melakukan penyelidikan. Kun Liong maklum betapa berbaha-yanya tempat tinggal orang-orang seperti Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong maka dia sangat mengkhawatirkan ke-selamatan Li Hwa. Dia mulai mencari Pulau Ular dan hari telah malam ketika dia melihat bayangan pulau yang bentuknya seperti ular melingkar di atas batok di sebelah selatan itu, presis seperti penjelasan dan gambaran yang didapat-kannya dari keterangan Cia Keng Hong sebelum dia berangkat.
Tiba-tiba Kun Liong terkejut. Hampir perahunya terguling ketika ombak tiba--tiba datang bergelombang! Dan malam itu mendadak saja menjadi gelap, bin-tang-bintang yang tadi menghias angkasa kini lenyap tertutup awan hitam. Wah, celaka! Benarkah datuk-datuk kaum sesat itu menggunakan ilmu hitam seperti yang didongengkan orang, sehingga setelah perahunya mendekati Pulau Ular dia diserang badai? Ilmu hitam atau bukan, dia harus berjuang melawan ombak yang datang bergulung-gulung! Dia memegang dayungnya dan sejenak pemuda yang bia-sanya tabah ini menjadi bingung juga. Tidak tampak lagi pulau tadi, tidak tam-pak pula deratan. Di sekelilingnya air menghitam dengan suara menderu-deru. Perahunya diombang-ambingkan ombak, tak tentu lagi arahnya.
Betapapun tabahnya, Kun Liong menjadi gelisah. Selama ini, pengalamannya dengan air hanya di sepanjang Sungai Huang-ho, dan betapa pun lebar Sungai Huang-ho, dibandingkan dengan laut ini bukan apa-apa. Bagaimana kalau perahu-nya terguling? Dahulu dia pernah hanyut di sungai. Baru hanyut di sungai saja sudah sukar baginya untuk berenang ke tepi. Apalagi sampai hanyut di laut!
Tiba-tiba tampak otehnya sinar api di depan. Terlambat dia mengetahui bahwa sinar itu adalah sinar lampu yang bergantungan di sebuah perahu yang besar. Tahu-tahu di depannya muncul tubuh perahu besar sekali, seperti iblis lautan hendak melawannya.
“Heiii... ada perahu.. minggir...!” Kun Liong menggunakan suara yang didorong oleh tenaga khi-kang yang amat kuat untuk berseru. Suaranya melengking tinggi melawan gemuruh air laut yang bergelombang. Akan tetapi terlambat. Terdengar suara keras, perahunya pecah terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!
“Heii...! Tolooong, auuupp...!” Kun Liong gelagapan ketika mulutnya yang menjerit itu kemasukan air yang rasanya
sampai pahit saking asinnya!
Dia menggerakkan kaki tangan dan terasa betapa tubuhnya ringan sekali dan lebih mudah baginya untuk mengambang di permukaan air. Ini pengalaman baru baginya karena dia tidak tahu bahwa air yang asin membuat tubuhnya lebih ringan, tidak seperti di air tawar.
Teriakan-teriakan Kun Liong yang amat nyaring tadi karena didorong oleh tenaga khi-kang ternyata ada juga gunanya karena terdengar oleh mereka yang berada di atas perahu. Beberapa sosok bayangan orang tampak di langkan ping-gir perahu, menjenguk ke bawah dan ada suara orang dalam bahasa asing. Kemudian tampak segulung tambang dilontar-kan ke bawah. Melihat ini, Kun Liong cepat menyambar tambang itu dan de-ngan girang dia merasa betapa tubuhnya diseret. Kemudian ditarik naik ke tubuh perahu. Beberapa pasang tangan memban-tunya naik. Kun Liong duduk terengah--engah di atas dek perahu, tidak peduli kepada beberapa orang yang datang membawa lampu perahu yang bergoyang--goyang. Dia mengerahkan hawa di perut untuk mendorong keluar air laut yang membuat perutnya membusung. Beberapa kali dia muntahkan air laut sampai pe-rutnya kosong kembali. Terlalu kosong sampai lapar! Barulah dia memperhatikan muka orang-orang yang merubungnya. Muka-muka yang asing berkulit putih. Mata yang biru! Akan tetapi pandang matanya terpikat dan melekat pada se-pasang mata biru indah yang... bukan main! Bulu matanya panjang, alisnya melengkung dan hidungnya mancung se-kali di atas sepasang bibir yang... bukan main! Baru sekarang Kun Liong menyak-sikan kecantikan seorang wanita yang hebat dan aneh dan... khas. Tahulah dia bahwa wanita muda yang memandangnya dengan mata setengah terpejam itu ada-lah seorang wanita sebangsa dengan Yuan de Gama, akan tetapi cantik bukan main.
“Engkau siapakah? Mengapa malam--malam begini naik perahu kecil seorang diri? Apakah kau seorang nelayan?” Bibir yang merah manis itu menghujankan pertanyaan.
Kun Liong tidak menjawab, terpesona oleh gerak bibir manis yang kadang-ka-dang memperlihatkan kilauan gigi putih tertimpa sinar lampu merah.
“Ahh, apakah bahasaku tidak jelas? Aku baru belajar bahasa pribumi, maaf-kan kalau kaku...”
“Aku mengerti semua, Nona. Baha-samu baik sekali... terima kasih... aku bukan nelayan, aku... aku sedang melancong...”
“Ha-ha-ha, melancong di malam hari di atas perahu kecil di tengah laut! Bukan main anehnya bangsa pribumi!” Terdengar suara parau besar dan suara tertawa itu bergelak seperti gelora ombak gemuruh tidak terkekang. Kun Liong menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan, namun ram-butnya yang keemasan sudah mulai memutih di atas kedua telinga. Kumisnya tebal melintang di atas mulut dan sinar matanya lembut.
Tiba-tiba terdengar seruan-seruan keras dalam bahasa asing disusul jeritan beberapa orang wanita muda yang berlari mendatangi. Keadaan di atas perahu besar itu menjadi kacau balau. Dara jelita tadi bersama teman-teman perem-puan lainnya berlari-larian memasuki bilik perahu, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah tadi mengeluarkan suara memerintah. Anak buah perahu yang terdiri dari belasan orang laki-laki asing yang berkaos loreng, sibuk hilir-mudik di atas perahu.
Kun Liong merasa heran. Kesehatannya telah pulih kembali dan dia bangkit berdiri. Keadaan di atas perahu itu kini terang benderang karena para anak buah perahu menyalakan banyak lampu yang digantungkan di sekeliling perahu. Kira-nya di dekat perahu besar itu kini tam-pak muncul enam buah perahu kecil yang seperti iblis bermunculan dari dalam gelap, dan di atas perahu-perahu kecil itu berdiri orang-orang yang mremegang senjata golok dan pedang. Setiap perahu terdapat tiga orang sehingga semuanya ada delapan belas orang. Setelah pera-hu-perahu kecil menempel pada perahu besar seperti sekumpulan lintah, tampak tali-tali melayang dari bawah, ujungnya ada kaitannya dan orang-orang itu memanjat ke atas, bahkan ada yang lang-sung meloncat dari perahu kecil ke atas perahu besar dengan gerakan ringan sekali.
“Hemmm, bajak-bajak laut,” pikir Kun Liong dan cepat dia melangkah maju.
Cepat sekali para bajak itu sudah berada di atas perahu besar dan terjadilah perkelahian seru antara para bajak laut dan anak buah perahu. Kakek tua gagah perkasa itu pun ikut berkelahi. Dengan kedua tangan terkepal dia mengamuk. Seorang bajak menyerangnya dengan go-lok, kakek asing itu mengelak, akan te-tapi bahu kirinya terserempet golok sehingga terluka. Tanpa mempedulikan lukanya, kakek itu menghantam dada bajak itu dengan kepalan tangan kanannya, membuat bajak itu terjengkang dan terbatuk-batuk. Bajak ke dua sudah da-tang menyerbu dengan pedang diputar--putar di atas kepala, langsung membacok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya men-jadi kaku karena dari belakang dia telah ditotok oleh Kun Liong. Pemuda ini lalu menarik lengan bajak itu, sekali dia mengayun tangan, tubuh bajak itu ter-lempar ke luar perahu besar!
Kun Liong tidak mempedulikan seruan girang kakek berkumis melintang yang agaknya menjadi pemilik perahu besar itu, terus dia menyerbu ke depan. Se-orang bajak menyambutnya dengan bacokan golok. Kun Liong miringkan tubuhnya, menampar lengan yang memegang golok. Orang itu berterlak kesakitan, goloknya terlepas, akan tetapi dia nekat dan menerjang Kun Liong dengan tangan kanan mencengkeram leher, Kun Liong menyambut tangan itu dengan tangkisan, kemudian kakinya menendang.
“Desss!” Tubuh bajak ini pun terlem-par keluar dari perahu besar.
Kun Liong tahu bahwa pada saat itu ada golok menusuk dari belakang meng-arah punggungnya.
“Saudara muda, hati-hati belakang-mu...!” Kakek itu berseru, akan tetapi Kun Liong yang sudah menangkap seorang bajak lain, tidak mempedulikan tusukan itu melainkan mengerahkan sin-kangnya. Ujung golok itu mengenai punggungnya, merobak bajunya sampai terbuka lebar akan tetapi ketika mengenai kulitnya yang terlimdung sin-kang dari dalam, golok itu meleset. Kun Liong melemparkan orang yang ditangkapnya, membalik dan tendangannya membuat orang yang menusuknya tadi terjungkal, kemudian dia pun melemparkan orang ini ke luar pera-hu.
Amukan Kun Liong membuat para bajak yang terdiri dari orang Nepal berambut panjang dan orang-orang Han yang kasar itu menjadi jerih. Mereka bersuit panjang dan seorang demi seorang melompat keluar dari perahu besar. Para anak buah perahu besar menjenguk ke luar, melihat betapa para bajak yang pandai berenang itu saling bantu menye-lamatkan diri dengan perahu-perahu kecil mereka dan sebentar saja perahu-perahu itu lenyap ditelan kegelapan malam.
Kun Liong dirubung semua orang. Kakek asing itu memerintahkan agar perahunya mengambil arah ke utara, menjauhi sebuah pulau yang sore tadi nampak, karena dia menduga bahwa agaknya bajak-bajak itu datang dari pu-lau itu, deratan yang terdekat dari situ.
Kun Liong menghapus peluh den air laut yang membasahi muka, leher dan kepalanya yang gundul. Dia dihujani pertanyaan oleh orang-orang yang merubung-nya, akan tetapi karena pertanyaan itu ditujukan dalam bahasa asing, dia hanya tersenyum, tak tahu apa yang mereka maksudkan.
“Kalian telah menolong aku dari laut, sudah semestinya aku membantu kalian mengusir bajak-bajak jahat itu,” katanya berkali-kali karena dia menduga bahwa agaknya mereka itu menyatakan terima kasih mereka.
Makin bingunglah Kun Liong ketika muncul dara jelita bermata biru tadi bersama tiga orang wanita muda lain yang agaknya adalah pelayan-pelayannya. Tiga orang wanita muda yang rambutnya memakai kerudung dan wajahnya manis--manis, sikapnya genit-genit itu pun menghujaninya dengan pertanyaan, se-nyuman dan kerling mata penuh kagum, membuat Kun Liong tersenyum meringis dengan kemalu-maluan sambil memandang ke arah dara jelita yang sejak tadi me-mandangnya dengan senyum dan pandang mata kagum.
“Ahhh, ternyata engkau sebangsa pendekar yang sering kudengar dicerita-kan kakakku. Dan engkau mentang hebat, pendekar gundul...!” kata dara jelita itu.
Kun Liong tersenyum-senyum dan menggerak-gerakkan kepalanya yang gun-dul. Baru sekarang gundulnya tidak dipergunakan orang untuk mengejek atau dianggap pendeta, melainkan dijadikan sebutan pendekar gundul!
“Aaaah, aku... aku biasa saja, Nona...!” katanya agak gagap karena sinar mata biru itu benar-benar mempesona.
“Heiiii, jangan dirubung seperti ini! Minggir, minggir!” Tiba-tiba kakek asing itu datang dan sambil tertawa girang dia menyodorkan tangannya kepada Kun Liong. Tentu saja Kun Liong tidak me-ngerti dan memandang tangan yang diso-dorkan, bahkan otomatis sin-kangnya bergerak ke arah perut dan dada karena dia mengira bahwa kakek itu akan me-nyerangnya!
Sebetulnya kakek asing itu mengajaknya bersalaman, tanda menghormat bagi bangsanya. Akan tetapi persangkaan Kun
Liong lain lagi. Melihat tangan yang besar dan kelihatan kuat itu diacungkan miring seperti hendak menyodoknya, otomatis dia “memasang” sin-kangnya melindungi perut dan memandang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik!
“Perkenalkan, saya adalah Richardo de Gama. Siapakah nama Tuan Muda yang gagah perkasa dan yang telah menolong dan menyelamatkan kami dari serbuan bajak laut?”
Mendengar ucapan yang kaku namun jelas itu barulah Kun Liong mengerti bahwa dia salah sangka, maka ketika tangan itu menjabat tangannya, dan mengguncang-guncang, dia diam saja tidak menarik tangannya dan balas tersenyum ramah. Apalagi mendengar nama itu, teringatlah dia akan Yuan de Gama!
“Nama saya Yap Kun Liong dan harap Tuan jangan bicarakan tentang pertolongan. Bajak-bajak itu memang jahat dan pantas diusir. Mendengar nama Tuan, apakah Tuan masih ada hubungan dengan Yuan de Gama?”
“Yuan...?” Terdengar seruan halus dan ternyata dara permata biru tadi yang berseru dan memegang lengan Kun Liong, memandangnya penuh perhatian. “Yuan adalah kakakku. Apakah engkau kenal dengan Yuan?”
Berseri wajah Kun Liong. Kiranya dara jelita ini adalah adik perempuan Yuan de Gama. Dengan mata terbelalak dan terpesona menatap wajah cantik dan mata biru itu, dia menggumam, “Engkau... Adik Yuan?”
Gadis itu mengangguk. Manis sekali ketika senyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih mengkilap. “Aku Yua-nita... Yuanita de Gama.”
“Yuanita...!” Nama yang terdengar aneh, lucu dan indah bagi telinga Kun Liong, dan ketika dia menyebut nama itu, logat lidahnya juga terdengar aneh dan lucu bagi Yuanita, lucu akan tetapi menyenangkan sehingga dia tertawa geli. “Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan dia, seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa,” Kun Liong melanjut-kan kata-katanya dengan setulusnya ka-rena memang dia menyaksikan sikap Yuan de Gama yang pernah bertanding dalam beberapa jurus dengannya dan pernah dilihatnya ketika pemuda itu menyelamatkan Li Hwa.
“Ha-ha-ha! Kiranya sahabat Yuan! Pantas saja begini hebat. Tuan Muda, ternyata engkau adalah seorang tamu kehormatan, seorang sahabat baik. Te-rima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kami dengan engkau!”
“Ayah, pakaian Yap-taihiap (Pendekar Besar Yap) basah semua dan robek-robek. Selayaknya seorang tamu agung disambut dengan hormat dan baik,” kata Yuanita.
“Ha-ha-ha! Saking girang hatiku, aku sampai lupa. Terserah kepadamu!” kata kakek itu.
Yuanita lalu memberi aba-aba kepada tiga orang pelayannya. Tiga orang gadis yang genit-genit itu tertawa, lalu mereka memegang kedua lengan Kun Liong dan menarik-narik pemuda itu memasuki ruangan perahu di bawah.
“Eh-eh... apa ini...? Ke mana...? Eh, mengapa menyeret saya...?” Kun Liong membantah, akan tetapi dia pun tidak tega untuk menggunakan kekerasan, maka dia membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh tiga orang pelayan muda itu, diikuti suara ketawa bergelak dari Richardo de Gama dan anak buahnya serta senyum lebar yang manis dari Yuanita.
Kun Long yang tersenyum-senyum masam karena malu dan bingung itu ditarik oleh tiga orang pelayan wanita muda dan genit-genit yang tertawa-tawa itu ke dalam sebuah kamar di perahu itu.
“Eh, kalian ini mau apa?” Berkali--kali Kun Liong bertanya.
Akan tetapi tiga orang wanita itu mengeluarkan ucapan dalam bahasa asing yang sama sekali tidak dimengerti oleh Kun Liong. Mereka menunjuk-nunjuk ke sebuah tong kayu besar bundar yang terisi air jernih. Karena tidak mengerti, Kun Liong menghampiri tong air itu dan menjenguk ke dalam. Airnya jernih sekali, akan tetapi tidak ada apa--apanya yang aneh, maka dia tersenyum menyeringai, memandang tiga orang gadis pelayan itu berganti-ganti dan mengang-kat pundaknya.
“Ini air... dalam tong, airnya jernih sekali, tapi ada apa?” Kun Liong berta-nya.
Tiga orang itu saling pandang, lalu saling bicara ramai dalam bahasa yang bagi telinga Kun Liong seperti kicau burung yang tidak karuan artinya. Kemu-dian seorang di antara mereka, yang agaknya sudah dapat “memungut” sepatah dua patah kata-kata dalam bahasa pri-bumi, menunjuk ke arah air di tong air itu sambil berkata kaku, “Mandi...! Man-di...!”
“Mandi...!” Dua orang gadis lainnya bersorak dan menunjuk-nunjuk ke tong air.
Kun Liong terbelalak, “Mandi...?” Dia bertanya dan memandang bingung. Jadi dia disuruh mandi? Dipandangnya pakai-annya yang basah kuyup dan robek, dan hidungnya memang mencium bau amis air laut. Dilihatnya seorang di antara tiga pelayan wanita muda itu menuangkan sesuatu dari dalam botol kecil dan ter-ciumlah bau wangi sekali ketika isi botol itu memasuki air di tong.
“Mandi...!” Tiga orang dara itu ber-kali-kali mendesaknya.
Kun Liong makin bingung. Ah, lebih baik diturut saja kehendak tiga siluman cantik ini, pikirnya, kalau tidak tentu mereka tiada akan sudahnya mengganggunya.
“Baiklah. Aku akan mandi. Nah, kalian keluarlah dari kamar ini!” Telunjuknya menuding ke arah pintu kamar itu.
Tiga orang gadis itu saling pandang dan kelihatan bingung. Mereka kelihatan menjadi hilang sabar dan mendekati Kun Liong, mendorong-dorongnya dengan halus sambil menunjuk-nunjuk ke arah tong air dan bibir mereka berkata dengan kaku dan sukar, “Mandi... mandi... mandi...!” Celaka, pikir Kun Liong. Kalau dia menolak dan memaksa diri lari keluar untuk membebaskan diri dari desakan tiga orang gadis itu, tentu dia akan menghadapi keadaan yang membuatnya tidak enak dan canggung. Begitu pun aneh dan asingnya, jelas bahwa pihak tuan rumah bersikap hormat dan baik kepadanya. Agaknya karena mereka tadi melihat pakaiannya kotor basah dan robek, dia dipersilakan mandi lebih dulu. Akan tetapi mana mungkin mandi dijaga oleh tiga orang gadis pelayan yang cantik-cantik, genit-genit, dan cerewet akan tetapi tidak dia mengerti ucapannya itu?
“Baiklah! Mandi ya mandi...!” Akhirnya dia berkata kesal dan serta merta dia meloncat ke dalam tong air!
“Byuuurrr...!” Air itu sungguh sejuk menyegarkan dan berbau harum!
Seperti induk-induk ayam berkotek, petok-petok dengan sikap yang sibuk sekali, tiga orang gadis pelayan itu mengelilingi tong air. Mereka berteriak--teriak tanpa dimengerti oleh Kun Liong, kemudian seorang di antara mereka
agaknya ingat akan hafalannya dan ber-kata, “Pakaian... pakaian...!”
“Hehh? Apa? Pakaian...?” Kun Liong tidak mengerti dan tiba-tiba tiga orang gadis pelayan itu menyerbunya, menarik--narik baju dan celananya dengan paksa untuk menanggalkan pakaiannya!
“Heiii... eh-eh, heeiiittt... aduh bagaimana ini...?” Kun Liong berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang wanita muda itu tertawa-tawa dan tidak mau melepaskan lagi pakaiannya sehingga akhirnya baju dan celananya terlepas dan ditarik lolos dari tubuhnya.
“Wah, kalian rusuh...! Kailan melanggar susila...! Wah, bagaimana ini...?” Kun Liong yang kini telanjang bulat itu merendam tubuh di dalam air dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi bawah pusar. Hanya kepalanya yang gundul itu tampak di atas permukaan air, kepalanya menjadi merah mengikuti warna mukanya, merah karena jengah, malu, dan juga bingung dan ngeri!
Akan tetapi tiga orang gadis pelayan itu tidak mempedulikan semua protesannya. Mereka melemparkan pakaian kotor itu di sudut kamar, kemudian dengan senyum manis mereka menyerbu Kun Liong dan mulailah mereka memandikan pemuda itu. Ada yang menyabuni tubuhnya, ada yang menggosok-gosok kepala gundulnya, dan ada yang menggunakan air harum itu menyiram mukanya. Sabun itu pun wangi sekali dan kini mengertilah Kun Liong bahwa mereka itu ternyata benar-benar sedang memandikannya! Digosok-gosok dan dipijit-pijit pundaknya, terasa nyaman sekali sehingga dia tidak meronta lagi. Hanya bersandar kepada pinggiran tong itu dengan kedua tangan masih melindungi anggauta rahasianya dan matanya merem melek, bukan karena keenakan saja melainkan karena kadang-kadang terasa pedas kemasukan air sabun. Mulutnya mengomel panjang pendek, sungguhpun bukan omelan marah lagi. “Ihh, kalian ini apa-apaan sih? Apakah aku ini dianggap bayi? Mentang-mentang kepalaku gundul... masa ada bayi sebegini besarnya? Sudahlah, sudah... aku bisa mandi sendiri!”
Akan tetapi tentu saja tiga orang gadis itu tidak mengerti ucapannya dan terus memandikannya sambil bicara sendiri dalam bahasa mereka, tersenyum-senyum dan kadang-kadang, seorang di antara mereka yang termanis dan tergenit, menggunakan telunjuk dan ibu jari tangannya mencubit paha Kun Liong.
Menghadapi tiga dara yang berwajah cantik manis, bersikap lincah dan genit, mencium bau harum dari air tong, sabun, dan yang keluar dari rambut dan pakaian tiga orang pelayan itu, merasakan betapa jari-jari tangan yang halus itu memijit-mijitnya dengan mesra, mendengar suara mereka bersendau-gurau biarpun dia tidak mengerti artinya, semua ini mendatangkan perasaan aneh pada dirinya. Debar jantungnya makin keras, menggedur-gedur seperti akan memecahkan dadanya, tubuhnya panas dingin dan tegang. Keadaan dirinya ini membuat Kun Liong menjadi makin bingung dan akhirnya dia maklum bahwa kalau tiga orang pelayan itu tidak segera pergi, dia takkan kuat bertahan dan entah akan apa jadinya!
“Sudah! Sudah... cukup! Aku bisa mandi sendiri. Pergilah kalian, pergilah...!” katanya sambil menggunakan sebelah tangan menepuk-nepuk air sehingga air memercik ke arah muka tiga orang pelayan itu, sedangkan tangan yang sebelah lagi tetap dipergunakan untuk menutupi tubuh bawah. Karena Kun Liong mempergunakan sin-kang, maka tepukannya itu mengandung tenaga kuat sekali sehingga percikan air itu terasa pedas dan panas ketika mengenai muka tiga orang pelayan itu. Mereka menjerit dan mundur kemudian bicara dalam baha-sa mereka dan seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk pakaian yang ditaruhnya di atas bangku.
“Keluar! Keluarlah kalian!” Kun Liong berkata sambil menuding ke arah pintu. Tiga orang pelayan itu mengangkat pun-dak, menggerakkan kepala untuk memin-dahkan gumpalan rambut yang terurai itu ke belakang, kemudian sambil tersenyum dan tertawa-tawa mereka keluar dari kamar itu.
Bukan main lega hati Kun Liong. Cepat sekali, takut kalau mereka kemba-li, dia meloncat keluar dari tong air. menyambar handuk dan menyusuti tubuh-nya yang basah, kemudian mencari-cari pakaiannya. Celaka, pakaiannya tidak ada lagi, tentu diambil oleh gadis-gadis itu! Karena takut mereka itu kembali sebe-lum tubuhnya yang telanjang itu tertutup pakaian, dia lalu menyambar pakaian yang ditinggalkan oleh mereka di atas bangku. Ternyata pakaian itu adalah se-potong celana dan sepotong baju yang bersih dan aneh karena selain jubah ber-lengan panjang terdapat pula baju berlengan pendek dan kain pembungkus atau pelindung leher. Terpaksa dia memakai pakaian itu dan diam-diam dia mengeluh ketika dia melihat tubuh bawahnya yang sudah bercelana. Celana itu potongannya sempit sekali sehingga biarpun seluruh pakaiannya tertutup, dia merasa seperti masih telanjang! Betapapun juga, ini jauh lebih baik daripada tidak berpakaian sama sekali. Maka, sambil mengingat--ingat cara Yuan de Gama berpakaian, dia lalu memakai rompi dan jubahnya, sedangkan pelindung leher itu hanya dia kalungkan saja di lehernya. Di ujung kamar itu terdapat sebuah cermin. Ke-tika Kun Liong melihat bayangannya sendiri di cermin itu, dia menyeringai. Betapa lucu keadaannya!
Daun pintu kamar terbuka, dan ter-dengar suara halus, “Sudah selesaikah Tai-hiap mandi? Kami telah menunggu--nunggu Tai-hiap untuk makan malam.”
Kun Liong cepat membalikkan tubuh dan memandang Yuanita. Sejenak dia terpesona. Dara ini agaknya sudah bertukar pakaian. Pakaian dari sutera biru yang panjang sampai ke kaki, rambutnya disanggul indah dan dihias permata. Teringatlah dia akan keadaannya sendiri dan tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Dara ini demikian cantik jelita, sedangkan dia seperti badut!
“Maaf... aku... aku tentu kelihatan seperti seorang badut wayang!” Akhirnya dia berkata ketika dia melihat betapa dara itu pun memperhatikannya.
Yuanita tertawa. Tertawa dengan bebas lepas, tidak malu-malu atau menutupi mulut yang tertawa dengan tangan seperti kebiasaan dara-dara pribumi. Akan tetapi anehnya, kebebasan dara ini tidak membayangkan kekasaran, padahal tertawa seperti itu kalau dilakukan oleh seorang gadis pribumi, tentu akan kelihatan kasar dan tidak sopan!
Kun Liong makin kikuk, mengira bahwa dara itu tentu mentertawakan keadaan pakaiannya yang lucu dan tidak cocok untuknya itu. “Aku seperti badut dan... dan Nona... begitu cantik seperti bidadari...!”
Yuanita menghentikan tawanya dan kini dia memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh kagum. “Yap-taihiap, engkau mengingatkan aku kepada seorang panglima muda di Thian-cin yang menjadi utusan Kaisar menemui Ayah. Aku amat kagum kepada panglima muda itu, tampan, gagah perkasa dan... seperti engkau. Hanya bedanya, dia angkuh sedangkan engkau begini rendah hati. Hal ini membuat aku makin kagum kepadamu, Tai-hiap. Engkau telah memperlihatkan kegagahan, menolong kami, engkau begini gagah dan tampan akan tetapi engkau merendahkan diri dan memuji-muji orang lain.”
Kata-kata ini membuat Kun Liong makin merasa canggung. “Ahhh, aku... aku orang biasa saja... seorang gundul yang...”
Kembali Yuanita tertawa dan melangkah maju, menggandeng lengan Kun Liong sambil berkata, “Sudahlah, kalau engkau merendah terus seperti itu, aku bisa menjadi bersedih dan menangis! Ayah sudah menanti kita di ruangan makan. Hayolah!”
Jantung Kun Liong berdebar tidak karuan. Sikap dara ini begini bebas. Mana ada seorang dara jelita yang baru saja dikenalnya telah berani menggandeng-gandengnya seperti itu, lengan mereka saling bergandengan, ketika berjalan kadang-kadang si pinggul yang meliuk-liuk itu menyentuh pahanya.
Ketika mereka memasuki ruangan di mana tampak Richardo de Gama duduk menghadapi meja besar, Kun Liong hendak merenggut tangannya. Apa akan kata ayah dara itu kalau melihat mereka bergandengan tangan seperti itu? Akan tetapi agaknya Yuanita merasa akan gerakannya, maka dara itu menggandeng lebih erat lagi! Hal ini membuat Kun Liong khawatir sekali dan dia memandang ke arah kakek asing itu dengan bingung.
Akan tetapi Richardo bangkit dan menyambutnya dengan tertawa lebar dan wajahnya berseri-seri. “Aaakhhh... Yap Kun Liong-taihiap, engkau sudah berganti pakaian kering? Kau gagah sekali. Silakan duduk dan mari kita makan bersama.”
Yuanita melepaskan tangannya dan berkata kepada ayahnya, sengaja bicara dalam bahasa pribumi agar tamunya mengerti, “Ayah, Tai-hiap terlalu meren-dahkan diri, bikin orang penasaran saja!”
“Ha-ha-ha, begitulah sikap seorang pendekar sejati dari negeri ini, Anakku! Dalam bicaranya merendah sampai tidak kelihatan, akan tetapi sepak terjangnya menonjol tinggi penuh kegagahan.”
Kun Liong duduk bersama ayah dan anak itu dan kembali dia merasa kikuk sekali ketika harus makan dari piring dan menggunakan garpu, pisau dan sendok. Sambil tertawa-tawa Yuanita mengajarinya, akan tetapi karena kikuk sekali akhirnya Richardo menyuruh pelayan mengambil sepasang sumpit. Barulah lega hati Kun Liong dan dia dapat makan seperti yang dikehendakinya. Mereka makan sambil bercakap-cakap dan dalam pem-bicaraan ini Kun Liong mendengar bahwa Richardo de Gama adalah pemimpin rombongan saudagar yang hendak ber-dagang di Tiongkok. Bahkan setelah pemberontakan yang dibantu oleh beberapa orang asing, hal yang tidak disetujui Richardo itu gagal, Richdrdo yang mengajukan permohonan kepada Kaisar menemui pejabat, akhirnya dapat bicara dengan utusan Kaisar sendiri dan memperoleh ijin untuk berdagang di pantai Teluk Pohai.
“Kami sekarang sedang mencari Kapal Kuda Terbang yang disewa oleh rombongan Legaspi Selado,” kakek itu melanjutkan.
“Yang dipimpin oleh Yuan de Gama?” Kun Liong bertanya.
KAKEK itu menghela napas. “Benar dan itulah kesalahan kami. Kami telah menyewakan kapal itu kepada rombongan Selado yang ternyata amat jahat sehingga anakku Yuan ikut pula terbawa- bawa, terseret ke dalam petualangan Legaspi Selado. Mendengar betapa Legaspi Selado bersekutu dengan pemberontak, aku segera menyusul ke sini dan aku akan membatalkan kontrak persewaan Kapal Kuda Terbang itu karena telah dipergunakan untuk pekerjaan buruk.”
“Siapakah sebenarnya Legaspi Selado yang berilmu tinggi itu?” Kun Liong ber-tanya lagi.
“Sebetuinya dia adalah bekas seorang jenderal yang telah dipecat oleh peme-rintah karena perbuatannya yang kotor dan berkhianat. Sedangkan anak buahnya itu pun ternyata adalah orang-orang ja-hat yang menjadi buruan pemerintah di negara kami.”
“Anakku Yuan de Gama terpaksa ter-libat karena selain dia mewakili aku menjadi kapten kapal juga dia menjadi murid Legaspi Selado.”
Kun Liong mengangguk-angguk dan kini mengertilah dia mengapa seorang pemuda sebaik Yuan de Gama sampai membantu orang jahat seperti Legaspi Selado kakek botak yang lihai itu. “Akan tetapi persekutuan pemberontak itu telah dibancurkan, tentu Legaspi Selado tidak akan menyusahkan Yuan lagi.”
Kakek itu mengelus jenggotnya. “Hemmm... siapa tahu isi hati orang seperti Legaspi Selado? Selama dia masih menyewa Kapal Kuda Terbang, Yuan akan terus terikat. Sebagai kapten kapal, ten-tu Yuan tidak akan dapat meninggalkan kapalnya dan apa pun yang dilakukan oleh Legaspi Selado, berarti Yuan akan ter-seret.”
Mereka bercakap-cakap setelah makan dan Kun Liong merasa makin suka kepa-da kakek yang luas pengetahuannya itu, sebaliknya Richardo juga kagum kepada Kun Liong yang berwajah jujur dan polos, sepolos kepalanya yang gundul! Mereka bercakap-cakap di dek perahu itu. Ketika Yuanita muncul, gadis itu berkata, “Ahh, kalian berdua bercakap-cakap sejak tadi tiada sudahnya. Ayah, biasanya Ayah tidak berani terlalu lama terkena angin malam membuat Ayah sakit.” Dengan gaya manja gadis itu merangkul leher ayahnya.
Richardo tertawa, lalu bangkit berdiri. “Wah, asyik benar bicara dengan Yap--taihiap, sampai aku lupa waktu. Yap-taihiap, aku hendak mengaso dulu, biar-lah Yuanita yang menemanimu bercakap-cakap.” Orang tua itu lalu meninggalkan dek dan bangku tempat duduknya kini diduduki oleh Yuanita.
Berdebar jantung Kun Liong menyaksikan kebebasan kedua orang ayah dan anak itu. Baru sekarang dia melihat betapa seorang ayah meninggalkan anak gadisnya begitu saja untuk menemani seorang pemuda bercakap-cakap di dek yang sunyi, di waktu malam lagi!
“Nona...”
Yuanita menoleh kepadanya dan me-mandang dengan senyum, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia menegur, “Namaku Yuanita, dan setelah menjadi sahabat, harap jangan menyebut nona lagi kepadaku, Tai-hiap.”
Kun Liong tersenyum. “Kau mau me-nang sendiri saja, Yuanita. Aku bukan pendekar besar kau selalu menyebutku tai-hiap, sedangkan kau, seorang nona yang cantik dan kaya raya, pula terpela-jar dan pandai, begitu merendah minta disebut namanya saja. Di mana keadilan kalau begini? Kaupun sudah tahu bahwa namaku Kun Liong.”
Yuanita tertawa dan memegang ta-ngan pemuda itu. “Kau lucu dan baik sekali, Kun Liong. Aku sungguh merasa gembira dapat bersahabat denganmu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa di antara bangsa pribumi di negara ini ter-dapat seorang seperti engkau. Aku selalu membayangkan bahwa semua penduduk pribumi memandang rendah kepada semua orang asing, menganggap semua orang asing sebangsa manusia biadab. Dan aku membayangkan bahwa semua orang yang disebut pendekar di negaramu adalah orang-orang kejam yang mudah memainkan pedang memenggal kepala orang dan mengirim kepala itu sebagai hadiah ke-pada keluarga musuhnya! Kiranya engkau amat baik dan rendah hati, engkau se-perti seorang kanak-kanak yang berhati tulus dan wajar...”
“Wah, karena kepalaku gundul kau menganggap aku kanak-kanak?” Kun Liong tertawa.
Yuanita juga tertawa. “Maaf, aku tahu kau bukan kanak-kanak lagi. Tiga orang pelayan itu menceritakan sikapmu di waktu kau mandi...”
Kun Liong cepat menoleh ke kanan kiri. “Tiga orang wanita genit itu? Iihhh, mereka membikin aku merasa ngeri. Mengapa ada kebiasaan seaneh itu pada bangsamu, Yuanita?”
“Ah, mereka hanya pelayan-pelayan dan mereka sudah biasa melayani majikan dan para tamu pria yang manja.”
“Aku pun tadinya mendengar kabar yang menyeramkan tentang bangsamu, bangsa kulit putih yang berambut berwarna dan bermata biru. Bahkan aku mendengar bahwa mereka itu adalah bangsa biadab yang suka makan daging manusia, sebangsa siluman yang berbahaya dan yang datang ke negeri kami hanya untuk menipu bangsa kami. Akan tetapi setelah bercakap-cakap dengan ayahmu, aku mendapat kenyataan bahwa ayahmu adalah seorang tua yang luas pengetahuannya, pandai dan bijaksana. Apalagi melihat engkau...”
“Bagaimana?” Yuanita menyambung ketika Kun Liong berseru. “Apakah aku seperti siluman berambut kuning berkulit putih bermata biru yang suka makan daging manusia?”
“Wah, sama sekali tidak! Sungguh tolol aku kalau dulu pernah merasa ngeri mendengar kabar bohong itu. Ternyata di antara bangsamu yang dikabarkan menakutkan itu terdapat orang-orang seperti ayahmu yang bijaksana, seperti Yuan yang tampan dan gagah berani, seperti engkau yang... yang begini cantik jelita, jujur dan amat ramah dan baik hati.”
“Benarkah engkau menganggap aku cantik jelita? Bukankah karena perbedaan kulit dan warna rambut serta mata membedakan pula selera pandangan ter-hadap kecantikan seseorang?”
“Engkau memang cantik sekali, Yuanita,” kata Kun Liong sambil memandang penuh perhatian wajah yang tertimpa cahaya merah dari lampu gantung itu. “Dan kurasa, cantik tidaknya seseorang tergantung dari rasa suka di hati. Kalau hati merasa cocok dan suka, tentu kelihatan cantik, sebaliknya kalau tidak tentu akan kelihatan buruk. Dan agaknya watak dan sikap seseoranglah yang menentukan cantik tidaknya orang itu. Dan engkau... amat manis dan baik hati, siapa yang takkan merasa suka sehingga engkau kelihatan selalu cantik jelita?”
Dara itu memandang dengan sinar mata bercahaya dan wajah berseri. “Wah, engkau memang mengagumkan sekali, Kun Liong! Yuan tentu senang sekali denganmu, engkau tentu menjadi sahabat baiknya!”
“Sayang bahwa pertemuan antara kami hanya sebentar saja,” Kun Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan Yuan de Gama yang mengakibatkan me-reka untuk beberapa gebrakan mengadu tenaga.
“Ahhh, kasihan kakakku itu...” Yuani-ta berkata setelah Kun Liong menyelesaikan penuturannya. “Dia adalah seorang yang berhati baik, akan tetapi karena dia terlalu suka mempelajari ilmu berkelahi, dia menjadi murid Kakek Legaspi Selado yang mengerikan itu. Ketika kapal Ayah disewa oleh rombongan Legaspi, Yuan menjadi kapten kapal menggantikan Ayah. Sama sekali kami tidak tahu bah-wa rombongan Legaspi terdiri dari orang--orang jahat. Juga Yuan sama sekali tidak akan mengira bahwa gurunya dan rom-bongannya yang katanya hanyalah orang--orang pedagang itu bertualang di nega-ramu dan bersekutu dengan pemberontak. Yuan terkenal sebagai seorang yang kuat, bahkan Hendrik, pemuda sombong dan kejam putera Legaspi itu sendiri merasa sungkan kepada Yuan. Akan tetapi, aku tahu bahwa bertemu dengan engkau, dia kalah jauh!”
“Aahhh, tidak begitu, Yuanita. Kakak-mu kuat sekali, hanya di antara kami tidak ada permusuhan, maka kami tidak melanjutkan pertandingan itu. Aku hanya seorang biasa yang bodoh, apalagi me-ngenai pengalaman dan ilmu pengetahuan. dibandingkan dengan Yuan atau engkau, aku bukan apa-apa.”
Yuanita memegang tangan Kun Liong dan memandang dengan sungguh-sungguh. “Engkau terlalu merendahkan diri dan inilah yang membuat aku kagum sekali, Kun Liong. Aku suka kepadamu, dan aku akan... kalau diberi kesempatan... mung-kin bisa jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau ini. Engkau telah menye-lamatkan aku, bukan hanya aku, melain-kan juga Ayah dan semua anak-anak pe-rahu ini. Ayah sendiri berkata demikian kepadaku. Orang-orang Nepal itu ganas, kejam dan kuat, kalau tidak ada engkau, kami semua pasti menjadi korban. Akan tetapi engkau masih selalu merendahkan diri. Betapa kuat kedua tanganmu yang tidak kelihatan kasar ini, seperti tangan wanita...” Yuanita menarik kedua tangan Kun Liong dan mencium tangan itu de-ngan bibirnya.
Dengan bibirnya! Kun Liong merasa kecupan bibir hangat pada tangannya dan wajahnya menjadi merah sampai ke kepalanya, jantungnya berdebar dan dia me-narik kedua tangannya.
“Ahhh, jangan berlebihan, Yuanita...” katanya agak terharu karena perbuatan dara itu dianggapnya terlalu merendah.
Yuanita bangkit berdiri menarik ta-ngan Kun Liong. Mereka berdiri berha-dapan, dan Yuanita merapatkan tubuhnya. “Kun Liong... kami berhutang nyawa kepadamu dan sebagai tanda terima ka-sih, baru mencium tanganmu saja engkau sudah merasa aku berlebihan. Kun Liong, aku tahu bahwa orang seperti engkau ini, seorang pendekar dari bangsamu, seorang jantan yang berhati lembut, tentu tak mungkin bisa jatuh cinta kepadaku, seorang wanita asing yang serba kasar, tidak selembut wanita-wanita bangsamu yang seperti batang pohon yangliu tertiup angin lembut, yang bersikap malu-malu dan agung... akan tetapi, untuk menyata-kan terima kasihku dengan setulus hati-ku, kau... kau boleh... kalau engkau su-ka... kau menciumku, Kun Liong.”
Kun Liong terkejut. Ucapan seperti ini sama sekali tak pernah disangka--sangkanya. Tak pernah dia berani membayangkan untuk mencium dara itu, seorang dara asing, puteri seorang hartawan besar dan puteri seorang yang bijaksana dan pandai seperti Richardo de Gama!
Tentu saja dia tidak tahu bahwa dara asing dari Barat ini mempunyai kesan lain terhadap dirinya. Semenjak kecil, seperti anak-anak bangsanya yang lain, Yuanita sudah seringkali mendengar do-ngeng tentang ksatria-ksatria berbaju
besi yang menolong puteri dari tangan mahluk-mahluk buas, dan setiap kali seorang ksatria membebaskan seorang puteri cantik dari tangan mahluk buas dari ancaman mengerikan yang lebih hebat dari maut, Si Pu-teri akan menghadiahkan ciuman mesra dan hal ini biasanya bahkan menjadi tuntutan setiap orangi ksatria! Kesan ini amat mendalam sehingga ketika melihat betapa dengan gagah perkasanya Kun Liong menyelamatkan dia, bahkan ayah-nya dan seisi perahu dari keganasan ba-jak, apalagi setelah bercakap-cakap dan melihat sikap Kun Liong yang rendah hati, timbul keinginan di hati Yuanita unluk bersikap seperti seorang puteri yang tertolong oleh ksatria, dia menawarkan ciuman kepada pemuda gun-dul itu.
“Be... benarkah pendengaranku tadi, Yuanita?” Kun Libng bertanya, suaranya gemetar karena jantungnya sudah bergelora. Sejak tadi merasakan betapa bibir yang hangat dan lunak itu mencium tangannya, jantung Kun Liong sudah berdebar tidak karuan, apalagi mendengar betapa dara yang mempunyai kecantikan aneh ini menawarkan ciuman!
“Pendengaran apa, Kun Liong?” Yua-nita bertanya, mengangkat mukanya sehingga makin berdekatan dengan wajah pemuda itu, senyumnya menggoda, mata-nya setengah terpejam sehingga bulu matanya hampir merapat dan menjadi tebal menimbulkan bayang-bayang indah di atas pipinya tertimpa sinar lampu.
“Aku mendengar bahwa... bahwa... aku boleh menciummu?”
“He-hemmm... kalau kau suka...”
“Kalau aku suka...? Tentu saja aku suka...”
“Ihhh, canggung benar kau...” Yuanita tersenyum lebar mendengar kata-kata dan melihat sikap pemuda itu. Kedua lengannya bergerak merangkul leher Kun Liong dan dara itu dengan tarikan halus membuat muka Kun Liong menunduk dan tergetarlah seluruh tubuh Kun Liong ketika merasa betapa dara itu yang menciumnya! Mencium bibir dengan ke-mesraan dan kehangatan! Ketika dia mencium bibir Hwi Sian dahulu itu, terdapat kecanggungan dan biarpun dia senang melakukannya dengan Hwi Sian, namun karena dara itu sendiri pun takut dan tidak tahu caranya, maka perbuatan mereka itu jauh sekali bedanya kalau dibandingkan dengan apa yang dia alami sekarang. Ciuman Yuanita ini seolah-olah merupakan pertemuan lebih mendalam, antara kedua hati dan kalbunya, seolah-olah dia merasa dilebur menjadi satu dengan dara ini, seolah-olah tiada pemisah lagi antara kedua tubuh mereka. Seperti naik sedu-sedan dari dada Kun Liong, kedua lengannya mendekap tubuh itu, seluruh tubuhnya menggigil dan dia tidak dapat menguasai lagi kedua kakinya yang gemetar dan lemas, membuatnya terhuyung dan akhirnya dia jatuh berlutut sambil memeluk Yuanita.
“Hemmm... Kun Liong...” Yuanita berbisik, hanya untuk bernapas dan mereka sudah berciuman pula, kini Kun Liong duduk di atas papan perahu dan dara itu dipangkunya.
Entah apa yang akan terjadi dengan dua orang muda yang dilanda perasaan mesra yang biasanya tentu akan membangkitkan berahi itu kalau dibiarkan terlalu lama dalam keadaan seperti itu. Bagi Kun Liong, Yuanita merupakan seorang dara yang panas, segar dan berani, seperti gelora air laut di luar perahu itu, merupakan seorang mahluk aneh yang mempunyai kekuatan luar biasa sehingga membawanya terseret, hanyut dan tenggelam. Kun Liong sudah tak dapat menguasai hati dan pikirannya sendiri, yang terasa sepenuhnya hanyalah kelembutan bibir yang mengecup bibirnya, kepanasan hawa dari mulut yang memabokkan, kehangatan dan kepadatan tubuh yang merapat dengan tubuhnya, dan dia pun mabuk dibuai alunan nafsu berahi yang belum pernah menyerangnya sehebat itu! Nafsu berahi memang seperti api menjalar, begitu bertemu dengan bahan bakarnya, makin dibiarkan makin menjadi, makin diberi makin menuntut dan takkan pernah mau berhenti, takkan mau sudah kalau belum sampai titik terakhir.
Bagi Yuanita sendiri Kun Liong me-rupakan seorang pemuda yang asing dan aneh karenanya mendatangkan daya tarik yang luar biasa. Sebagai seorang dara berbangsa Portugis yang jauh lebih bebas dalam pergaulan antara pria dan wanita, sudah tentu saja dia pernah berkenalan dengan teman pria dan ciuman bukan merupekan hal baru dan aneh baginya. Namun, belum pernah Yuanita mengalami guncangan perasaan seperti saat itu. Hal ini terdorong oleh rasa terima kasihnya, rasa kagumnya terhadap Kun Liong, ditambah keadaan Kun Liong yang asing dan aneh yang membuat pemuda itu merupakan seorang pemuda atau pria yang lain daripada yang telah dikenalnya sebelum itu. Maka dia pun terhanyut oleh gelombang peraaaannya sendiri se-hingga bersama Kun Liong dia pun hampir lupa segalanya, hampir tidak mempeduli-kan lagi segala hal yang terjadi di luar mereka, dan yang ada hanyalah membiar-kan diri terseret oleh nafsu berahi yang membuai dan melayangkan mereka ke tengah-tengah awan kenikmatan.
“Tuuuttt... tuuuut... tuuutttt...!”
Suara bunyi tanda peluit dari tempat penjagaan di atas ini mengejutkan kedua ordng muda itu dan serentak Kun Liong melepaskan pelukannya. Sejenak mereka saling pandang, seperti baru sadar dari sebuah mimpi muluk dan pertukaran pan-dang ini cukup menyadarkan mereka benar-benar.
“Ahh... Yuanita... maafkan aku...”
“Bukan salahmu... Kun Liong... aku pun membiarkan diriku terseret...”
“Untung kita sadar, Yuanita. Hampir saja...!” Kun Liong cepat merapikan pakaiannya sendiri dan membantu mera-pikan pakaian dara itu yang dia sendiri tidak ingat lagi bagaimana bisa menjadi tidak karuan dan setengah terbuka seper-ti itu!
Yuanita membiarkan dirinya digandeng dan ditarik ke atas. Mereka berdiri dan berpandangan. Yuanita memegang kedua tangan Kun Liong. “Memang... hampir saja, Kun Liong. Akan tetapi... andaikata terjadi, aku.. aku akan merasa bahagia dan bangga, kalau... kalau... engkau menjadi pria pertama...”
“Husss...! Bagaimana kau bisa bilang begitu, Yuanita? Kita bukan suami isteri, kita tidak saling mencinta... betapa besar dosaku kalau sampai terjadi.. engkau tentu akan menyesal seumur hidup, dan aku... aku... selamanya akan merasa berdosa kepadamu.”
“Mungkin. Akan tetapi, kurasa tidak akan sukar bagiku untuk belajar mencintamu, Kun Liong.”
Kun Liong memandang bingung. Segala ucapan dara asing ini mendatangkan perasaan aneh dan membingungkan. “Aku tidak tahu... apakah mungkin cinta dipelajari? Betapapun juga, maafkan aku, Yuanita, aku tadi lupa diri... dan percayalah, selama bidupku aku takkan melupakan engkau. Engkau akan selalu kukenang sebagai seorang perempuan yang amat baik, ramah, lembut dan cantik, jelita, seorang sahabatku yang luar biasa...”
“Tuut... tuut... tuuuutttt!”
Mereka menengok ke atas kiri dan melihat penjaga di atas tali-temali layar meniupkan terompetnya yang panjang.
“Ada apakah?” Kun Liong tertanya, tidak mengerti apa artinya itu.
“Tentu penjaga itu melihat sesuatu,” kata Yuanita.
Terdengar derap langkah sepatu ke luar dari dalam dan muncullah Richardo de Gama dan orang-orang lain. Kakek ini memandang kepada puterinya, kemudian kepada Kun Liong sejenak, lalu bertanya, “Apa yang terjadi? Mengapa terompet ditiup? Haiii! Ada apa?” Teriaknya ke atas dalam bahasanya sendiri.
Penjaga di atas menjawab dengan teriakan parau, “Ada kapal di sebelah kiri!”
“Lekas nyalakan lampu sorot!” Richardo de Gama memerintah. Terjadi kesibukan di situ dan tak lama kemudian kapal besar itu tampak bayangannya, seperti seorang raksasa muncul dari dalam malam gelap di tengah lautan. Mula-mula terjadilah pertukaran isyarat melalui gerakan lampu kemudian setelah makin mendekat, antara kedua kendaraan air itu terjadi kontak dengan penggunaan corong dan teriakan mulut.
Terdengar sorak-sorai di kedua pihak dan semua orang di perahu yang ditumpangi Kun Liong bergembira ria.
“Apakah yang terjadi, Yuanita?” tanya Kun Liong kepada dara yang berdiri di dekatnya.
Yuanita juga berseri wajahnya ketika menjawab, “Kapal itu adalah Kuda Terbang!”
Tentu saja Kun Liong terkejut dan juga gembira mendengar ini. “Dan aku akan dapat berjumpa dengan Yuan di sana?” Dia menuding ke arah bayang-bayang hitam besar itu.
Yuanita mengangguk manis “Bukan hanya Yuan kakakku, juga di sana ada pula Legaspi Selado dan isteri mudanya yang bernama Nina, dan puteranya bernama Hendrik, dan masih banyak lagi karena semua bangsa kami yang berada di sini telah berkumpul di kapal itu.”
Terjadi kesibukan luar biasa ketika perahu besar dan kapal itu mepet. Sebuah anak tangga dipasang dan Richardo de Gama mengajak Kun Liong dan Yuanita untuk menyeberang ke Kapal Kuda Terbang yang jauh lebih besar dan lebih lengkap itu. Kung Liong ikut bergembira melihat Yuan de Gama yang menyambut ayahnya dan adik perempuannya. Dia terharu melihat Yuanita berpelukan dengan kakaknya, terkenang betapa beberapa saat yang lalu dara yang cantik itu telah berpelukan dan berciuman dengan dia! Ketika Yuanita membisiki sesuatu kepada kakaknya dan menoleh, Yuan mengangkat muka memandang.
“Halooo...! Bukankah kau Yap Kun Liong-taihiap?” serunya, melepaskan adiknya dan melangkah lebar menghampiri Kun Liong dan mengulur lengan kanannya.
Kun Liong tidak kaget lagi melihat ini. Dia sudah tahu sekarang bahwa cara pemberian hormat, atau bersalaman dari orang-orang asing ini adalah dengan jalan berjabat tangan dan mengguncang-guncangnya. Maka dia menyambut sodoran tangan itu dan mereka berjabat tangan.
“Tuan Yuan de Gama, sungguh tak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” kata Kun Liong gembira.
Yuanita telah mendekat dan dengan sibuk menceritakan dalam bahasanya sendiri kepada kakaknya tentang pertolongan yang diberikan oleh Kun Liong kepada anak buah Perahu Ikan Duyung, yaitu perahu ayahnya itu, ketika Perahu Ikan Duyung diserbu penjahat.
“Ahhh, terima kasih banyak, Yap--taihiap...”
“Jangan menyebutnya tai-hiap, dia bisa marah. Namanya Kun Liong!” Yuani-ta mencela kakaknya.
“Dia benar, Yuan. Kita adalah saha-bat, sebut saja namaku,” kata Kun Liong.
Yuan memandang kepada adiknya, kemudian kepada Kun Liong, lalu terse-nyum lebar. “Apa pula ini? Eihhh, jangan main-main kau, Yuanita. Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau telah menjatuhkan hatimu di depan kaki pen-dekar perkasa ini?” Dia tertawa berge-lak.
“Andaikata benar demikian, apakah kau tidak setuju?” Yuanita juga berkata sambil tertawa.
“Tentu saja!”
Kun Liong benar-benar terkejut bukan main. Kelakar kakak beradik itu diang-gapnya keterlaluan dan luar biasa sekali sampai muka dan kepalanya menjadi merah semua. Mengapa mereka bicara bebas, seolah-olah urusan cinta merupa-kan hal yang boleh dianggap main-main?
Mereka menghentikan sendau-gurau ketika melihat Legaspi Selado dan se-orang wanita berusia tiga puluh tahun yang amat cantik dan yang berpakaian mewah, sedangkan Hendrik Selado berja-lan di sebelah wanita ini, mata pemuda itu memandang kepada Kun Liong dengan penuh perhatian. Kun Liong tidak mem-pedulikah yang lain, hanya dia menatap tajam ke arah Legaspi Selado, kakek botak gendut yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.
“Heiii! Bukankah ini penjahat itu...?”
Tiba-tiba Hendrik berseru ketika dia sudah datang dekat dan telunjuknya me-nuding ke arah muka Kun Liong. “Tidak salah lagi, inilah dia Si Gundul yang dahulu menolong dan melarikan mata--mata wanita di Ceng-to!”
Ucapan itu dikeluarkan dalam bahasa asing sehingga Kun Liong tidak mengerti maksudnya, akan tetapi karena sejak tadi pemuda ini memperhatikan Legaspi Selado maka dia dapat melihat ketika kakek itu menggerakkan tangan yang memegang cambuk kuda.
“Tar-tar-tarrr...!”
Kun Liong sudah mengelak cepat sehingga tiga kali serangan itu luput.
“Tuan Selado, engkau tidak boleh menyerang dia!” Tiba-tiba Yuanita lari ke depan, menghadang di depan kakek yang memegang cambuk itu dengan sikap menantang dan membusungkan dadanya yang sudah membusung penuh itu.
Yuan meloncat ke depan dan berteriak. “Hendrik, jangan...!” Pemuda itu sudah memegang tangan Hendrik yang telah mencabut pistolnya. “Jangan ganggu dia, dia telah menyelamatkan Perahu Ikan Duyung, menyelamatkan ayahku dan adikku!”
Menyaksikan keributan ini, Richardo sudah melangkah maju dan segera terjadi percakapan dan perbantahan antara orang-orang asing itu, ditonton dan didengarkan oleh Kun Liong yang tidak mengerti artinya, namun dia dapat menduga dengan mudah, bahwa terjadi perbantahan antara pihak Legaspi dan Hendrik melawan pihak Richardo dan dua orang anaknya yang membela dia! Terutama sekali yang amat mengharukan hatinya adalah sikap Yuanita yang seperti telah menjadi seekor harimau betina, sepasang mata biru itu menyinarkan api, rambutnya terkena angin laut berkibar-kibar, sikapnya penuh semangat.
Ketika terjadi percekcokan itu, nyonya muda cantik yang tadi datang bersama Legaspi Selado dan Hendrik, mendekati Kun Liong dan menatap wajah pemuda ini dengan penuh perhatian. Kun Liong dapat menduga tentu inilah yang bernama Nina Selado, isteri muda Si Kakek Botak itu. Hem, seorang wanita yang cantik dan sikapnya berani dan masak, pikirnya.
“Jadi engkau seorang yang biasa disebut pendekar-pendekar itu?” tanya wanita itu dengan suara kaku namun suaranya yang basah agak parau menda-tangkan sesuatu yang memikat, juga menyeramkan bagi Kun Liong. Dia tidak menjawab, hanya membalas pandang ma-ta itu dengan waspada, karena dia tidak tahu apakah wanita cantik ini tidak berbahaya pula seperti Legaspi Selado. Ka-kek itu memanggil, “Nina...!” dan wanita itu meninggalkan Kun Liong. Kemudian, Legaspi Selado, Nina, dan Hendrik pergi memasuki kamar kapal dengan sikap tidak puas.
Yuan dan Yuanita menghampiri Kun Liong. “Kun Liong, untung Ayah dapat menekan kemarahan Tuan Selado,” kata Yuanita. “Dan terutama sekali Yuan sebagai kapten Kapal Kuda Terbang ber-kuasa penuh untuk menanggungmu seba-gal seorang tamu yang tak boleh digang-gu.”
“Terima kasih, Yuan. Engkau baik sekali. Akan tetapi, bukankah dia itu gurumu? Bagaimana engkau dapat menantang gurumu sendiri?”
“Biarpun dia guruku, akan tetapi se-bagai kapten kapal, akulah yang menjadi orang pertama yang berkuasa menentukan segala yang terjadi di atas kapal ini. Aku memberitahukan guruku bahwa per-musuhan antara dia dan kau terjadi ketika kami masih bekerja sama dengan para pemberontak di Ceng-to. Karena kita semua berada di kapal, tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah pembe-rontakan di darat, maka saat itu engkau tidak boleh dianggap musuh. Mari kita masuk ke kamarku dan kita berunding bagaimana baiknya.”
Kun Liong mengikuti Yuan, Yuanita dan Richardo de Gama memasuki kamar Yuan yang cukup luas dan mereka duduk menghadapi meja sambil bercakap-cakap. -Dari Yuan, mereka semua mendengar penuturan tentang pemberontakan yang gagal dan tentang usaha pendekatan para pedagang asing itu terhadap pembesar pemerintah.
“Kaisar telah bersikap baik sekali kepada kami,” Yuan menutup penuturan-nya dan menarik panjang. “Setelah keributan mereda, kami masih diperkenankan untuk mendarat dan berdagang di sekitar pantai Teluk Pohai. Karena itu, maka aku tadinya mengambil keputusan untuk kembali ke barat dan mengebar-kan kepada para pedagang yang berniat membawa berang dagangan ke timur. Akan tetapi yang masih memusingkan adalah sikap guruku, Tuan Legaspi Selado dan teman-temannya. Mereka itu tidak merasa puas dengan keputusan dan kebi-jaksanaan Kaisar. Mereka menganggap bahwa perdagangan di tempat terbatas, yaitu di pantai itu, tidak akan menda-tangkan cukup keuntungan, tidak seperti kalau kita dapat mendarat sampai ke pe-dalaman dan langsung membeli rempa--rempa dari para penduduk pribumi, juga dengan langsung menjual barang-barang kepada mereka, tidak melalui perantara-perantara yang akan memeras di pantai. Karena itu, aku khawatir sekali akan timbul hal-hal tidak menyenangkan seperti pemberontakan ke dua dan sebagainya...”
“Apa pun yang akan mereka lakukan asal engkau tidak mencampurinya, Yuan. Lebih baik engkau membentuk kelompok sendiri dari pedagang-pedagang yang jujur dan yang memang beritikad baik, semata-mata untuk berdagang dan tidak hendak mencampuri urusan pemerintah dan pemberontakan,” kata Kun Liong.
“Apa yang dikatakan Yap-taihiap be-nar, Yuan,” kata Richardo de Gama. “Semenjak dahulu, kita bukanlah keluarga pemberontak dan petualang. Kita adalah keluarga pedagang.”
Yuan mengangguk-angguk. “Aku pun tidak suka terseret ke dalam pemberon-takan pribumi terhadap kaisar mereka. Akan tetapi sayang hal itu telah terjadi dan tentu kami telah mendapat kesan buruk dari Kaisar. Andaikata tidak pernah terjadi persekutuan dengan pembe-rontak terkutuk itu, agaknya pihak peme-rintah akan lebih longgar terhadap kita, apalagi mengingat akan hubungan pemerintah yang makin luas dengan luar ne-geri berkat pelayaran-pelayaran Laksa-mana The Hoo yang bijaksana...”
“Ahhhh... ada jalan untuk berjasa kepada Panglima Beser The Hoo!” Tiba--tiba Kun Liong berkata, teringat akan bokor emas di Pulau Ular. “Bokor emas pusaka milik Panglima The Hoo yang hilang itu terampas orang dan berada tak jauh dari tempat ini. Kalau saja engkau berhasil mengembalikan bokor itu, dan menyerahkannya kembali kepada Panglima The Hoo, agaknya engkau akan berjasa besar dan soal ijin perdagangan ke pedalaman tentu akan ditinjau kembali.”
“Ha-ha-ha! Pendapat yang bagus sekali! Aku setuju seratus prosen. Di mana bokor itu?” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tubuh gendut Legaspi Selado memasuki kamar itu.
Yuan bangkit berdiri. “Tuan, terpaksa saya menyatakan tidak setuju kalau Tuan hendak membawa kita memperebutkan bokor emas yang menghebohkan itu, yang bukan menjadi hak kita!”
Legaspi Selado menggerakkan tangannya mencela. “Aihh, Yuan. Mengapa begitu bodoh? Siapa yang ingin merampas bokor? Segala yang telah kita lakukan, dari memperebutkan bokor sampai ikut pemberontak, tiada lain hanya untuk memperoleh kesempatan berdagang sebaiknya. Semua usaha kita gagal, sekarang sahabat muda ini telah menunjukkan jalan yang amat baik. Kita usahakan agar bokor emas itu dapat kita peroleh, kemudian kita haturkan kepada Panglima The Hoo, tentu kita mendapat jasa dan tentang perdagangan, akan tetapi mudah saja. Ha-ha-ha! Sahabat Yap Kun Liong yang baik, di manakah bokor itu?” Kun Liong adalah seorang muda yang cerdik. Dia sudah terlanjur bicara, kalau merahasiakan, kakek aneh yang sakti ini tentu akan menjadi pengha1ang dan musuh, dan amat tidak enak kalau terjadi perpecahan di kapal itu. Kakek itu lihai, baik sekali kalau diajak bersama-sama merampas bokor karena Pulau Ular merupakan tempat yang berbahaya. Apalagi dua orang datuk itu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya, Ouwyang Bouw, dibantu lagi oleh Toat-beng Hoat-su dan semua anak buah mereka, bukan merupakan lawan ringan.
“Memang kita harus bekerja sama,” akhirnya dia berkata setelah semua du-duk. “Bokor emas itu berada di tangan dua orang datuk kaum sesat. Ouwyang Kok yang berjuluk Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su. Mereka bersama anak buah mereka bersembunyi di Pulau Ular, tidak jauh dari sini, di sebelah selatan Teluk Pohai.” Legaspi Selado bangkit berdiri, “Yuan de Gama! Kalau begitu kita menunggu apalagi? Kita putar haluan, ke selatan mencari Pulau Ular!”
Kun Liong menyambut pandang mata penuh pertanyaan dari Yuan itu dengan anggukan kepala, maka Yuan lalu meneriakkan perintah melalui corong agar kapal itu diputar dan digerakkan ke selatan sedangkan Perahu Ikan Duyung mengikuti dari betakang. Setelah Legaspi Selado yang kelihatan gembira dan bertemangat itu meninggalkan kamar, Yuan de Gama berkata lirih.
“Kun Liong, kenapa engkau membuka rahasia itu kepada guruku?”
“Sst... dia dapat merupakan pembantu yang amat kuat, Yuan. Ketahuilah, bukan hanya bokor emas itu yang penting. Kita memang harus menyerbu ke Pulau Ular dan di sana terdapat dua orang datuk yang sakti bersama anak buah mereka yang kuat.”
“Aku tidak inginkan bokor emas!”
“Hussshhh, engkau tidak mengingin-kannya, akan tetapi kalau kau dapat mengembalikan kepada Panglima Besar The Hoo, besar sekali jasamu. Selain kau, engkau tidak tahu bahwa kita harus me-nolong Nona Souw Li Hwa...”
Wajah Yuan de Gama berubah dan dia memegang lengan Kun Liong, mencengkeramya erat-erat. “Apa katamu? Dia... dia... kenapa?”
Yuanita membelalakkan mata. “Yuan! Siapakoh nona itu?”
“Dia sahabat baikku. Dia seorang panglima wanita yang hebat. Kun Liong, lekas katakan apa yang terjadi dengan dia?”
“Aku sendiri tidak tahu, akan tetapi yang jelas, Nona Souw Li Hwa telah me-lakukan penyelidikan sendiri ke Pulau Ular yang berbahaya itu sehingga aku khawatir sekali dia akan menghadapi malapetaka di sana. Karena itu, bukan-kah tepat sekali kalau kita pergi ke sana, selain untuk membantu mendapat-kan kembali pusaka Panglima Tht Hoo, juga untuk melindungi Nona Souw Li Hwa?”
“Kalau begitu kita harus cepat ke sana!” Yuan de Gama kembali menyambar corong untuk memerintahkan anak buahnya agar melakukan pelayaran secepatnya. Richardo de Gama menghela napas panjang, mendekati Kun Liong dan berbisik, “Apakah dia telah jatuh cinta kepada panglima wanita itu?” Kun Liong hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian setelah minta diri, dia mundur dan memasuki kamarnya yang sudah dipersiapkan untuk dia.
Kun Liong meniup padam lilin di atas meja kamar kecil itu, lalu menanggalkan pakaian luarnya dan sepatunya. Setelah ia merebahkan diri di atas pembaringan, dia termenung. Sungguh banyak pengalaman yang dialaminya selama ini, pengalaman yang aneh-aneh, terutama sekali pengalaman dengan wanita-wanita cantik. Masih terasa olehnya cumbu rayu yang saling ditukarnya dengan Yuanita. Di dalam kegelapan kamarnya itu, terbayanglah wajah Yuanita yang cantik, terdengar bisikan halus menggetar yang suaranya asing itu. Akan tetapi tak lama kemudian, wajah wanita yang dibayangkannya ini sudah berganti rupa, berubah menjadi wajah Yo Bi Kiok, kemudian berubah lagi menjadi wajah Souw Li Hwa, wajah Cia Giok Keng, dan akhirnya berubah menjadi wajah Lim Hwi Sian yang takkan pernah dilupakannya! Diam-diam Kun Liong menghela napas panjang. Mengapa hidupnya terisi oleh pertemuan-pertemuan yang mengesankan dengan berbagai gadis cantik itu? Dan mengapa setiap kali bertemu dengan dara jelita, dia merasa tertarik dan suka? Apakah ini yang disebut mata keranjang? Apakah dia mata keranjang? Adakah di dunia ini seorang pemuda yang tidak suka melihat dara jelita? Apakah hanya dia yang selelu merasa tertarik, ingin bercakap-cakap dengan mereka, ingin bersahabat dengan mereka dan ingin... mencium bibir yang segar kemerahan itu? Kotorkah pikiran seperti ini? Dia tidak dapat menjawab dan kembali dia menarik napas panjang.
Kau mata keranjang, tolol, dan anak durhaka! Dia memaki diri sendiri. Sampai selama ini, dia masih belum berhasil mendengar berita tentang ayah bundanya. Dan tidak ada sebuah pun di antara tugas-tugasnya yang dapat dia selesaikan dengan baik! Mencari orang tua belum ada hasilnya. Urusan bokor emas yang telah berada di tangannya malah berlarut-larut menjadi makin sulit diperoleh. Usaha mengembalikan pusaka Siauw-lim-pai dan minta pusaka itu kembali dari Kwi-eng-pang juga belum berhasil. Sekarang ditambah lagi dengan tugas membantu dan menyelamatkan Souw Li Hwa! Sekali ini dia harus berhasil. Biarpun Pulau Ular kabarnya -berbabaya, akan tetapi Kapal Kuda Terbang itu besar dan kuat, diperlengkapi dengan senjata meriam. Juga ia memperoleh bantuan orang-orang pandai seperti Legaspi Selado, Hendrik, Yuan dan semua anak buah mereka. Kalau dia berhasil membantu Li Hwa, apalagi berhasil merampas kembali bokor emas, berarti tidak sia-sia semua jerih payahnya. Dia harus cepat menyelesaikan urusan ini, kemudian dia harus mencari orang tuanya. Dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya untuk mencari jejak orang tuanya. Urusan pribadi ini sebetulnya paling penting dan jantungnya berdebar agak tegang penuh kekhawatiran kalau dia teringat akan ucapan Pendekar Sakti Cia Ken Hong. Bukan hanya kekhawatiran kosong yang diucapkan supeknya itu. Kalau memang ayah bundanya masih hidup di dunia ini, mengapa sekian lamanya mereka diam saja dan tidak ada kabar beritanya? Orang-orang gagah perkasa seperti ayah bundanya, tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut akan sesuatu!
Malam mulai larut dan Kun Liong yang tenggelam timbul dalam lamunan, mulai berselubung rasa kantuk. Dia sudah memperoleh pegangan atau rencana masa mendatang, yaitu setelah selesai dengan urusan Pulau Ular, dia akan meninggalkan semua urusan untuk mencurahkan perhatian seluruhnya dalam mencari orang tuanya. Rencana yang menjadi pegangan ini melegakan hatinya dan dia hampir tertidur pulas ketika tiba-tiba pintu biliknya dibuka orang dari luar. Mula-mula, sesuai de-ngan ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya, dalam saat itu juga semua urat syarafnya menegang dalam kesiapsiagaan menghadapi suatu ancaman bahaya. Namun ketika melihat bayangan tubuh yang tersorot penerangan dari luar kamar, ketegangannya meningkat akan tetapi berubah, bahkan tegang karena khawatir, melainkan karena heran. Jelas tampak sosok bayangan tubuh yang berpinggang ramping, tubuh seorang wanita! Yuanita? Dadanya berdebar ke-ras. Benarkah Yuanita yang masuk? Be-tapa beraninya memasuki kamarnya yang gelap. Akan terulang lagikah peristiwa yang memabokkan itu? Sekarang amat berbahaya karena mereka berada di dalam kamamya, kamar yang gelap! Timbul kekhawatiran di dalam hati Kun Liong. Dia ingin melompat, ingin menyalakan lampunya, ingin membujuk agar Yuanita tidak melanjutkan niatnya, agar dara itu keluar dari kamar, meninggalkannya. Akan tetapi semua keinginannya itu tertunda ketika dia mondengar suara lirih, suara wanita yang basah merdu, “Tuan... kekasihku...” Suara yang basah parau namun lunak merdu, suara Nina!
Kun Liong terpesona dan bagaikan se-ekor kelinci mencium bau harimau, dia bangkit duduk, kemudian mengambil ke-putusan untuk cepat meninggalkan kamar itu karena keadaannya amat “berbahaya”. Tanpa berkata apa-apa dia lalu meloncat dan lari dari kamarnya, akan tetapi baru saja keluar dari pintu, dia sudah diserbu wanita itu, dirangkul dan ditarik kembali ke dalam kamar yang gelap! Wanita itu melempar daun pintu tertutup, kemudian terdengar langkahnya mendekatinya, membuat Kun Liong menggigil dan duduk di atas pembaringannya, tak dapat me-ngeluarkan suara sedikit pun.
“Yuan... gelap amat...” wanita itu berbisik lagi akan tetapi kini dua buah tangan meraba pundak Kun Liong. Dua buah lengan merangkul dan sebuah tubuh yang lunak hangat mendekapnya, sepasang bibir yang basah terengah-engah menjelajahi mukanya untuk kemudian berhenti mengecup mulutnya dalam sebuah ciuman yang membuat Kun Liong hampir pingsan! Tak pernah dia dapat membayangkan akan ada ciuman seperti itu! Yuanita sudah merupakan pengalaman luar biasa ketika menciumnya, akan tetapi dibandingkan dengan ini, Yuanita bukan apa-apa! Ciuman wanita ini seolah-olah menembus jantungnya, terasa sampai di tulang sumsum dan membuat seluruh tubuh Kun Liong panas dingin, kaki tangannya menggigil, kepalanya berdenyut dan pandang matanya berkunang!
“Haiii...!” Tiba-tiba Nina berteriak lirih, tangan wanita yang halus itu mem-belai, meraba muka dan kepala yang gundul, kemudian terdengar wanita itu menahan tawa, terkekeh genit. “Kaukah ini...? Kau... pemuda yang katanya se-orang pendekar yang sakti? Ahh, aku mendengar bahwa pendekar memiliki kekuatan yang luar biasa... aku kagum padamu...”
Kun Liong gelagapan ketika wanita itu merayunya, membelainya, memeluk dan menciumnya. Ucapan Nina dalam bahasa daerah bercampur bahasa asing membuatnya bingung. Bau minyak wangi yang aneh memabokkannya, dan terutama sekali tubuh wanita yang hidup mendekapnya itu membuat Kun Liong kehilangan akal.
“Jangan... Nyonya... jangan... maafkan aku, harap suka tinggalkan aku, aku... aku takut kalau ketahuan orang...” kata-nya gagap.
“Hi-hik, beginikah pendekar? Mengapa penakut? Tidak sukakah kau kepadaku? Tidak senangkah kau kucium seperti ini?”
Nina kembali menciuminya, mencium kepalanya, mukanya, bibirnya dan kedua lengannya merangkul ketat sehingga tubuh Kun Liong menjadi panas dingin dibuatnya.
Kun Liong hanyalah seorang manusia biasa seorang pria muda yang tentu saja berdarah panas. Menghadapi rayuan yang amat luar biasa itu, hampir dia tidak dapat menahan dirinya. Tubuhnya panas dingin dan gemetar, dan seperti seorang yang mabok, pandang matanya berkunang. Tubuh wanita yang masak itu kelihatan luar biasa menariknya tersorot cahaya remang-remang dari sinar lampu yang memasuki kamar itu melalui celah-celah jendela dan pintu. Akan tetapi dia masih teringat bahwa wanita ini adalah isteri Legaspi Selado, bahwa merupakan perbuatan terkutuk untuk berjina dengan isteri orang lain! Ingatan ini mengeraskan hatinya dan dia mendorong tubuh wanita itu dengan halus.
“Nyonya, jangan lakukan ini! Jangan lanjutkan perbuatan gila ini!” katanya lirih.
“Ahhh... berani engkau menolak aku? Engkau yang sudah menggigil penuh nafsu ini... hi-hik, orang muda yang kuat, ja-ngan kau berpura-pura alim...”
Mereka seperti bergulat. Kun Liong mencegah dan wanita itu hendak meng-gelutinya. Pada saat itu terdengar suara Yuan, “Kun Liong, dengan siapakah kau di dalam?”
Kun Liong terkejut bukan main. Apalagi pintu kamar itu terbuka dari luar dan Yuan de Gama masuk membawa sebuah lampu! Kun Liong cepat meloncat menjauhi Nina dan membetulkan kancing bajunya yang hampir terlepas semua. Wanita itu hanya tersenyum dengan mulut agak terengah, matanya seperti mata seekor singa kelaparan!
“Yuan... dia... dia ini...” Kun Liong berkata gagap.
Yuan mengangguk. “Aku tahu, Kun Liong. Karena itu aku masuk ke sini untuk menolong dan membebaskanmu dari harimau betina kelaparan!”
Lega rasa hati Kun Liong. Dia memandang kepada sahabatnya itu penuh terima kasih, kemudian tanpa berkata apa-apa dia meloncat keluar dari kamar, langsung menuju ke dek kapal untuk mencari “hawa segar”.
“Nina, sungguh kau terlalu sekali! Dia adalah penolong dan tamu terhormat, mengapa kau begitu tidak tahu malu untuk...” Yuan de Gama menegur wanita muda yang kini duduk di pembaringan Kun Liong dengan baju atas setengah terbuka membayangkan dada yang membusung penuh, yang tersenyum dengan muka kemerahan dan mata mengerling basah ke arah Yuan, senyum yang penuh ejekan dan tantangan!
“Yuan, kau tidak tahu. Semua ini gara-gara engkaulah! Betapa rinduku kepadamu hampir tak dapat aku menguasai diriku lagi, dan kau selalu berpura-pura, selalu menjauhkan diri setelah dahulu...”
“Cukup, Nina! Satu kali saja sudah cukup. Aku pernah gila, akan tetapi se-mua adalah karena bujuk rayumu. Aku tidak akan mengulanginya lagi perbuatan terkutuk kita itu!”
“Hi-hik, Yuan! Ketahuilah, aku tidak sengaja masuk ke kamar ini. Siapa sudi bercumbu dengan Si Gundul itu kalau ada engkau di gini? Kukira ini kamarmu, aku lupa bahwa kau memberikan kamar ini kepada Si Gundul. Aku kesalahan masuk, dan karena sudah terlanjur, untuk menu-tupi maluku, aku... hemm... dia pun...”
“Sudahlah, Nina. Tak perlu berpura-pura. Aku mengenal pemuda seperti Kun Liong, seorang pendekar sakti, seorang jantan sejati yang tak mungkin akan sudi mengganggu seorang wanita kalau tidak kaubujuk rayu. Keluarlah dari kamar ini sebelum Tuan Selado mengetahuinya sehingga terjadi hal yang memalukan.”
Akan tetapi Nina malah bangkit, dengan melenggang-lenggok menggairahkan menghampirl Yuan de Gama, merangkulnya dan berkata dengan sikap dan suara manja. “Yuan, tidak kasihankah kau kepadaku? Aku rindu kepadamu, aku cinta kepadamu...”
“Diam!” Yuan merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan wanita itu. “Orang seperti engkau tidak patut bicara tentang cinta! Dan aku tidak cinta kepadamu! Ketahuilah, hanya ada seorang wanita saja di dunia ini yang benar-benar patut kucinta, yang kucinta sepenuh nyawaku. Dia adalah Souw Li Hwa!”
Kun Liong yang sudah kembali dan mendengarkan dari luar, terkejut dan menyelinap pergi, akan tetapi dia tidak mengira bahwa pemuda asing itu akan terang-terangan mengaku di depan Nina bahwa dia hanya mencinta Li Hwa seorang. Diam-diam Kun Liong merasa terharu dan kasihan kepada Yuan de Gama. Li Hwa adalah seorang gadis gagah perkasa dan keras hati, murid tunggal Pendekar Sakti The Hoo yang berkedudukan tinggi. Mungkinkah seorang dara seperti Li Hwa akan dapat membalas cinta seorang pemuda asing seperti Yuan de Gama?
Terjadi kegaduhan di kamar itu kare-na dengan berkeras Yuan menolak bujuk rayu Nina. Akhirnya tampak oleh Kun Liong yang menyelinap bersembunyi be-tapa Nina berlari keluar dari kamar itu sambil terisak menangis. Diam-diam Kun Liong merasa kasihan juga kepada wanita itu, maka dia menyelinap dan memba-yangi dari jauh untuk melihat apa yang akan terjadi dengan wanita yang dianggapnya bernasib malang itu. Biarpun dia sendiri belum berpengalaman, namun dia dapat merasakan bahwa wanita itu tersiksa oleh nafsunya sendiri, nafsu yang mendesak-desaknya membutuhkan penyaluran, akan tetapi celaka bagi wanita itu, dua orang pria muda yang ditemuinya, dia sendiri dan Yuan de Gama, tidak bersedia melayaninya.
Nina berlari menuju ke sebuah kamar di sudut depan, akan tetapi sebelum dia mengetuk pintu kamar itu, pintu kamar dibuka orang dan keluarlah Legaspi Sela-do! Kakek botak itu membawa sebuah batol yang tinggal sedikit isinya, mukanya merah dan begitu melihat Nina, dia mengayun tangan kirinya menampar,
“Plakkk!!”
“Aughhh...!” Nina menjerit lirih dan mengelus pipinya yang membengkak me-rah, matanya terbelalak memandang suaminya. Melihat ini, Kun Liong merasa langannya gatal dan hatinya panas. Kalau dia tidak ingat bahwa yang menampar adalah suami sedangkan yang ditampar adalah isterinya tentu dia sudah keluar menegur kakek botak itu!
“Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu!” Legapsi Selado memaki lalu menenggak minuman keras yang masih tinggal sedikit di dalam botol, setelah itu sekali mengayun tangan, botol yang sudah kosong itu melayang jauh sekali keluar dari kapal menuju ke laut gelap.
Kun Liong mendengar betapa Nina bicara dengan penuh semangat, agaknya wanita itu marah-marah, mengata-ngatai-nya dengan gerakan tangan dan sambil bercucuran air mata. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan wa-nita itu, akan tetapi dia melihat betapa Nina kelihatan berduka, penasaran, dan marah sekali sedangkan Legaspi Selado hanya menunduk, kemudian kakek itu menggerakkan pundak dengan acuh tak acuh dan pergi meninggalkan Nina. Wa-nita itu membanting-banting kaki, berteriak-teriak dan menangis. Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda yang bukan lain adalah Hendrik Selado, putera Legapsi Selado. Melihat pemuda ini, Nina menubruk dan merangkulnya, bergantung pada pundak pemuda itu, dan menangis terisak-isak. Hendrik menge-luarkan kata-kata menghibur, bahkan mencium pipi ibu tirinya, kemudian dia menarik tubuh ibu tirinya, diajak mema-suki kamar dan lenyaplah kedua orang itu di balik pintu kamar yang tertutup.
Kun Liong berdiri tertegun. Semua pengalaman tadi merupakan hal yang baru dan aneh sekali. Kelakuan Nina benar-benar mengejutkan hatinya. Tiba--tiba terdengar suara tarikan napas pan-jang di belakangnya. Dia cepat menengok dan melihat bahwa Yunita telah berdiri tak jauh dari situ.
“Keluarga yang luar biasa...” Yuanita berkata lirih, “Kotor dan mengerikan sekali...”
Kun Liong menghampiri. “Apa maksudmu, Yuanita? Aku tidak mengerti.”
“Mereka itu...” Yuanita mengangkat muka ke arah pintu kamar di mana ibu tiri dan pemuda itu tadi lenyap. “Sungguh mengerikan! Tentu engkau tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Nina tadi kepada suaminya.”
Kun Liong menggeleng kepalanya dan memandeng wajah dara itu penuh perhati-an. Wajah yang cantik sekali, agak pucat tertimpa sinar bulan, agaknya dara itu terkejut menyaksikan adegan yang mene-gangkan tadi antara Nina, suaminya dan putera tirinya.
“Dia menegur dan menyalahkan suaminya. Dia berkata bahwa dia tidak pernah mendapat kepuasan batiniah dari suaminya. Dia mengatakan bahwa suami-nya hanya namanya saja suami, akan tetapi tidak pernah mencintanya, tidak pernah memperlakukannya sebagai isteri, tidak pernah tidur dengannya. Dia bi-lang... suaminya yang terkenal sebagai seorang sakti dan kuat itu hanyalah seorang yang mati kejantanannya, tidak mampu lagi melakukan kewajiban seorang suami terhadap isterinya. Nina menuntut dan mengatakan bahwa dia adalah se-orang wanita yang masih muda, yang membutuhkan cinta kasih seorang pria. Dia tidak mau disiksa lebih lama lagi dan katanya kalau dia mencari pria lain yang suka melayani kebutuhan tubuhnya sebagai seorang wanita muda, bukan semata-mata karena dia serong dan suka berjina, melainkan karena kesalahan sua-minya yang tak pernah dapat melayani nafsu berahinya...”
“Sudahlah, Yuanita... sudah cukup...” kata Kun Liong yang menjadi merah sekali mukanya sampai kepalanya. Dia merasa heran sekali akan kebebasan sikap dan kata-kata orang wanita barat ini. Begitu bebas bicara tentang urusan yang bagi bangsanya merupakan pelanggaran susila yang memalukan! Sungguhpun dia sendiri tidak melihat sebabnya mengapa urusan manusia ini dianggap pentang untuk dibicarakan!
Yuanita memegang lengan Kun Liong dan tanpa berkata-kata kedua orang muda ini berjalan bergandeng tangan menuju ke ujung kapal yang sunyi.
“Kasihan sekali Nina” kata Yuanita. “Dia hanya dipermainkan oleh nafsu berahi, dan tidak mengenal cinta kasih. Aku merasa jauh lebih berbahagia karena aku mengenal cinta. Kun Liong, engkau tahu siapa yang kumaksudkan. Tadinya sebelum berjumpa denganmu, aku pun hanya melamunkan cinta, tak pernah aku mengenalnya. Akan tetapi, begitu berte-mu denganmu, tahulah aku apa yang disebut cinta itu, Kun Liong, dan setelah mengenal cinta, nafsu berahi sama sekali bukan hal yang terpenting.”
Mereka duduk di atas dek di ujung kapal yang sunyi dan agak gelap karena terselimut bayangan tihang-tihang layar dan tidak tampak dari tempat penjagaan di atas. Duduk berdampingan dan sejenak mereka tidak bicara, hanya saling pan-dang dengan bantuan sinar bulan yang menimpa di atas wajah masing-masing. Kemudian Kun Liong menarik napas panjang dan berkata, “Tetap saja aku harus mengecewakan hatimu, Yuanita. Aku tidak dapat membalas cinta kasihmu yang demikian murni, bahkan agaknya aku tidak akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita yang manapun juga.”
Yuanita menatap wajah pemuda gundul itu dengan tajam penuh selidik, ke-mudian dia berbisik, “Aku tahu bahwa engkau tidak dapat mencintaku, Kun Liong. Mungkin seleramu berbeda dan kau tidak dapat memandang aku sebagai seorang wanita cantik yang menarik ha-timu karena aku memang seorang asing. Mataku kebiruan tidak seperti matamu yang hitam, rambutku keemasan tidak seperti rambutmu yang hitam arang dan kulit tubuhku putih berbulu halus seperti kulitmu yang kekuningan dan halus licin tak berbulu. Akan tetapi, kalau kau bilang bahwa kau tidak akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita yang mana pun, hal itu... ah, bagaimana aku dapat percaya?”
“Percaya atau tidak terserah, Yuanita, akan tetapi setelah melihat segala peristiwa tentang cinta, aku menjadi ngeri untuk jatuh cinta!”
“Aihh, mengapa?”
“Karena melihat cinta yang ada sekarang ini bagiku tampak palsu dan hanya mendatangkan kesengsaraan belaka. Cinta yang banyak disebut-sebut orang, cinta antara pria dan wanita, cinta antara sahabat, cinta antara orang tua dan anak-anaknya, cinta antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan tanah airnya, antara manusia dengan dunia, harta, kemuliaan, kedudukan dan lain-lain, ternyata hanyalah pengikatan diri belaka. Cinta yang ada sekarang ini adalah pengikatan diri, dan dengan apapun juga kita mengikatkan diri, berarti kita menanam bibit kesengsaraan. Bibit itu berakar di hati, kita terikat, dan sekali waktu tentu akan datang saat perpisahan sehingga akar yang sudah mengikat itu akan membuat hati kita terluka dan membuat kita sengsara. Ikatan itu akan mendatangkan cemburu, iri hati, dendam dan kebencian, karena itu cintakah ikatan itu? Kurasa bukan!”
Yuanita memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak. “Tentu saja itu cinta! Cinta antara pria dan wanita yang disebut asmara! Cinta seperti itu memang mengandung pengikatan diri, ingin memilikinya sendiri, ingin memberi dan diberi, ingin menikmati kesenangan, dan tentu saja di situ terdapat pula cemburu, iri, dendam dan kebencian. Itulah memangnya cinta!”
Kun Liong tersenyum dan memandang wajah yang cantik itu. “Kalau begitu, kasihan sekali orang yang terjun ke dalam jurang cinta, Berarti hanya menanti kesengsaraan hidup belaka. Aku tidak mau terperosok ke dalam perangkap cinta yang hanya menimbulkan kesengsaraan seperti itu, Yuanita.”
“Habis kalau menurut pendapatmu, apakah cinta itu?”
Kun Liong menggeleng kepalanya yang gundul. “Aku sendiri tidak tahu, Yuanita. Aku belum mengenal cinta, karenanya aku tidak berani jatuh cinta.”
Yuanita merangkul dan merebahkan dirinya di atas pangkuan Kun Liong, menarik napas panjang. “Orang yang menajiskan cinta asmara seperti engkau ini, Kun Liong, sekali jatuh cinta benar--benar tentu akan hebat sekali! Ah, sungguh buruk nasibku, tidak dapat me-miliki cinta seorang pria seperti engkau.”
“Jangan berduka, Yuanita. Betapapun juga, aku tetap sahabatmu, sahabat yang baik yang siap mengorbankan nyawa demi untuk membelamu.”
Mendengar ucapan ini, ucapan yang sebenarnya biasa saja bagi seorang yang berwatak pendekar, membual hati Yuanita terharu sekali dan dia terisak menangis di atas dada Kun Liong yang memeluk dan menghiburnya, mengelus rambutnya. Sampai lama mereka berdiam diri, karena bagi mereka, kata-kata sudah tidak ada artinya lagi, detak jantung dan perasaan mereka melebihi seribu kata-kata indah.
Tak tama kemudian, Kun Liong berkata, “Yuanita, kembalilah kau ke kamarmu. Biarpun aku suka sekali berada di sini bersamamu, akan tetapi kau tahu bahwa pertemuan seperti ini amatlah berbahaa bagi kita berdua dan tidak baik bagi namamu. Engkau adalah seorang dara terhormat, tidak seperti Nina. Maka kalau ada yang melihatnya, tentu namamu akan tercemar. Pergilah tidur, sahabatku yang baik.”
Yuanita menghela napas, melepaskan diri dari atas pangkuan Kun Liong, bang-kit berdiri dan membereskan rambutnya yang kusut. Sejenak dia memandang wa-jah pemuda itu lalu berkata, “Selama hidupku, pertemuan kita malam ini takkan pernah kulupakan, Kun Liong. Apa pun yang terjadi dengan diriku, di lubuk hati setalu tersimpan cinta kasih murni untukmu.”
“Ahhh, engkau memang seorang dara yang baik sekali.” Kun Liong merangkul dan mencium dahi dara itu. Ciuman yang mesra dan lembut seperti ciuman seorang kakak kepada adiknya, akan tetapi sikap dan ciuman ini seperti merobek hati Yuanita. Dara itu terisak, merenggutkan dirinya lalu membalik dan melarikan diri kembali ke kamarnya.
Kun Liong berdiri tertegun, menyesal bahwa dia terpaksa harus menyakiti hati seorang dara sebaik Yuanita dengan menolak cintanya.
Belum juga Kun Liong pulas, tiba-tiba dia mendengar suara orang-orang di atas dek, terdengar suara pukulan dan orang merintih. Seperti dia sendiri yang merasakan pukulan itu, Kun Liong me-loncat turun dan lari keluar dari kamar-nya.
Di atas dek itu dia melihat seorang pribumi merintih-rintih dan merangkak di depan kaki seorang laki-laki asing yang bertubuh tinggi besar. Laki-laki itu de-ngan suara kaku membentak, “Hayo kau mau mengaku tidak bahwa kau telah membunuh nona itu!”
Orang pribumi yang kurus itu berlutut dan berkata dengan logat orang daerah Pantai Pohai, “Ampunkan saya, Tuan... ampun.... saya sungguh mati tidak me-lakukan pembunuhan itu.”
“Bukkkk...!” Sebuah pukulan disusul tendangan membuat tubuh kurus itu terguling-guling. Penyiksa itu kembali membentak, “Hayo, mengaku atau tidak? Tuan muda Hendrik sendiri melihatmu melakukan pembunuhan dan kau masih hendak mungkir? Hayo mengaku!”
Dengan tubuh matang biru dan mulut-nya mengeluarkan darah karena giginya rontok, orang itu berkata lemah, “Tidak... tidak... saya tidak membunuh-nya...”
Raksasa itu melotot dan melangkah maju. “Kalau begitu kau ingin mati!” Diayunnya lengan yang sebesar paha orang itu dengan tangan dikepalnya. Ten-tu akan pecah atau setidaknya gegar otak kepala itu kalau terkena hantaman dahsyat itu.
“Dukkkk!” Raksasa itu berteriak ke-saktian dan terhuyung ke belakang me-megangi lengan kanannya yang tertangkis oleh Kun Liong.
“Adouuww... kau... kau mau membela bangsamu?” Raksasa itu membentak ke-tika mengenal pemuda gundul yang telah membuat hatinya iri dan benci karena pemuda asing gundul ini diaku sahabat oleh Tuan Muda Yuan bahkan Nona Yuanita kelihatannya begitu akrab dengan pemuda ini!
“Menyaksikan orang disiksa tanpa jelas kesalahannya, saya tidak peduli dia itu bangsa apa. Yang sudah jelas, baik penyiksanya maupun yang disiksa adalah manusia. Tuan mengapa kau menyiksa orang ini?” Kun Liong melirik dan kini dia mengenal orang kurus itu sebagai seorang di antara enam tujuh orang pribumi yang bekerja di kapal itu sebagai pelayan.
“Dia telah membunuh seorang di an-tara lima orang wanita pelayan Nona Yuanita yang bemama Ketty. Dia mem-perkosa dan mencekiknya. Apakah kau hendak bilang bahwa orang macam ini tidak pantas disiksa dan dihukum?” Rak-sasa itu menghardik.
Kun Liong memandang kepada orang kurus itu. Orang itu masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya dan biarpun tubuhnya kurus akan tetapi wajahnya tampan. Orang itu segera berlutut menghadapi Kun Liong dan berkata, “Demi Tuhan, saya tidah membunuh Nona Kitty, saya... mana mungkin saya tega untuk membunuhnya? Menyusahkannya saja saya tidak tega... Nona Kitty begitu baik...” Dan laki-laki itu menangis!
“Dia, bohong! Pasti dia yang membunuhnya setelah memperkosanya. Dia takut kalau Nona Kitty menuduhnya, maka dia membunuhnya,” raksasa itu berkata. “Saya hanya seorang petugas yang disuruh oleh Tuan Muda Hendrik untuk menyiksanya agar dia mengakui perbuatannya yang biadab!”
KUN LIONG merasa curiga. Agaknya orang kurus itu suka kepada Nona Kitty, bahkan sekarang pun menangis bukan karena didakwa, melainkan menangisi kematian nona itu. Ia mengingat-ingat. Lima orang pelayan wanita itu memang itu memang cantik dan genit-genit. Agaknya seorang laki-laki muda seperti Si Kurus ini, dengan wajahnya yang tampan, tidak perlu harus menggunakan pak-saan untuk bermain-main dengan seorang di antara mereka.
“Soal pembunuhan adalah soal yang ruwet kalau tidak dilihat sendiri buktinya. Memaksa orang melakukan pengakuan dengan cara menyiksa adalah perbuatan yang biadab, tidak kalah biadabnya dengan pemerkosa dan pembunuh. Seorang penegak hukum adalah seorang yang menentang dan memberantas per-buatan jahat, akan tetapi apa jadinya dunia ini kalau si penegak hukum lebih kejam, lebih ganas, lebih ngawur, dan lebih jahat daripada si penjahat sendiri? Seperti semua bangsamu, engkau tentu seorang ber-Tuhan, dan perbuatanmu ini mencemarkan Ketuhanan, juga kau seba-gai seorang manusia, dia pun manusia, perbuatanmu ini jelas melanggar perikemanusiaan. Tak perlu lagi bicara tentang keadilan dan kebebasan seorang manusia. Dia boleh jadi bersalah, akan tetapi pe-meriksaan harus dilakukan dengan teliti dan hukuman dijatuhkan sesuai dengan kesalahannya. Untuk itu telah tersedia di daerah. Mengapa kau meng-gunakan hukum rimba?”
Ribut-ribut itu menarik perhatian orang dan muncullah berturut-turut Yuan de Gama, Yuanita, Richardo de Gama, Hendrik, Nina dan Legaspi Selado sendiri. Yuan de Gama heran melihat Kun Liong bertengkar dengan seorang anak buah yang terkenal sebagai tukang pukulnya Hendrik Selado.
“Kun Liong, apa yang terjadi?” dia bertanya.
“Yuan aku hanya mencegah penyiksaan sewenang-wenang. Orang ini dituduh melakukan pembunuhan. Pembunuhan yang tidak diketahui dilakukan oleh siapa sepatutnya diselidiki oleh orang pandai, menggunakan kecerdikan untuk membong-kar rahasia itu. Akan tetapi kulihat se-karang, usaha penyelidikan diserahkan kepada segala macam tukang pukul yang kasar, kejam dan sepatutnya menjadi penjahat.”
Dimaki seperti itu di depan banyak orang, apalagi di situ terdapat Hendrik yang menjadi majikannya, raksasa itu marah sekali dan sambil menggereng dia sudah menerjang Kun Liong dengan gaya seorang petinju jagoan. Kepalan kanannya menghantam lurus ke arah dada Kun Liong sedangkan kepalan kirinya dari bawah melakukan uppercut, yaitu pukulan dengan lengan ditekuk, dari bawah me-nyambar ke atas mengarah dagu lawan.
Dua pukulan ini dilakukan susul-menyusul dan hanya berselisih dua detik saja.
Kun Liong bersikap tenang. Dari gerakan pundak raksasa itu saja dia sudah tahu ke arah mana dua kepalan itu menyerang dirinya. Setelah pukulan mendekat, secepat kedua tangannya bergerak dari kanan kiri, membuat gerakan memotong dengan tangan terbuka.
“Krekk! Krekk! Oouuuwww...!” Raksasa itu terpelanting, mengaduh-aduh menggerak-gerakkan kedua tangannya yang sudah patah tulang lengan dekat pergelangan dan menimbulkan rasa nyeri yang menusuk jantung.
“Kau berani melukai orangku...?” Hendrik menghampiri Kun Liong yang bersikap tenang dan sama sekali tidak mempedulikan pemuda ini, karenanya Kun Liong mencurahkan sebagian besar perhatiannya ke arah Legaspi Selado yang dianggapnya orang yang paling berbahaya.
“Tahan!” Yuan melompat maju menghalangi Hendrik. “Hendrik, kau tidak boleh menimbulkan ribut-ribut di kapal ini!”
“Tapi dia melukai orangku, Yuan!”
“Hemmm, semua mata melihat bahwa orangmu yang memukul, Kun Liong hanya menangkis. Aku tidak ingin terjadi ribut di sini. Aku adalah kapten kapal ini, akulah yang bertanggung jawab akan segala urusan. Siapapun juga, bahkan ayahku sendiri, kalau berada di kapal ini harus tunduk kepada keputusanku sebagai kapten kapal. Aku yang bertanggung jawab dan membela kapal ini dengan keamanannya, kupertaruhkan nyawa sebagai seorang kapten. Urusan ini, aku yang berhak untuk menyelidiki.”
Hendrik terpaksa mundur dan Yuan menghampiri laki-laki yang masih berlutut dan menundukkan mukanya, merintih perlahan karena tubuhnya nyeri semua akibat penyiksaan raksasa tadi yang kini telah dibawa pergi semuanya untuk mengobati kedua lengannya.
“Hayo katakan terus terang, apa yang kauketahui tentang pembunuhan itu!” kata Yuan kepada orang tersiksa tadi.
Sedangkan Yuanita mendekati Kin Liong dan merasa kaget dan ngeri mendengar bahwa seorang di antara pelayan-pelayannya telah diperkosa dan dibunuh orang.
Orang itu mengangkat muka memandang Yuan de Gama, kemudian melirik ke arah Hendrik dan menunduk lagi, menangis! Kun Liong yang mengikuti semua ini dengan pandang mata tajam, melihat betapa orang itu tadi memandang Yuan de Gama penuh permohonan dan perto-longan, kemudian lirikannya kepada Hen-drik penuh ketakutan melihat betapa Hendrik memandangnya dengan mata melotot penuh ancaman maut!
Melihat semua itu, Kun Liong berkata kepada orang yang menangis itu, “Kawan, kau dituduh membunuh, kalau kau tidak mengaku, mungkin kau akan dihukum mati, dan sungguh tidak enak mati penasaran sebagai seorang pembohong. Kalau kau bercerita terus terang, andaikata kau mati pun, kau mati sebagai seorang terhormat dan gagah. Pula, kalau kau tidak bersalah, mengapa takut bicara?”
Mendengar ini, orang itu mengangkat mukanya dan berkata kepada Yuan, “Tuan Muda Yuan, saya telah berhutang banyak budi kepada Tuan, maka saya akan bercerita terus terang. Saya telah berbuat dosa karena saya... saya mencinta Nona Kitty, sudah lama ada hubungan cinta di antara kami. Sampai tadi... tadi pertemuan antara kami diketahui orang. Saya melarikan diri dan mendengar Nona Kitty menjerit akan tetapi saya tidak berani keluar, kemudian saya diseret dan disiksa di sini.”
Yuan de Gama mengerutkan alisnya, dan Kun Liong dapat bertanya, “Siapa orang yang melihat pertemuan kalian itu?”
“Dia... dia adalah... darrr!”
Tubuh orang itu terjengkang dan dia mati seketika karena kepalannya ditembus sebutir peluru. Asap mengepul dari pistol yang berada di tangan Hendrik. Melihat ini, Kun Liong marah sekali dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Yuan memegang lengannya.
“Hendrik, mengapa kau membunuh dia?” Yuan bertanya dengan nada menegur.
“Hemm, manusia rendah itu sedang membohong dan hendak menghina orang. Terang dia bersalah dan karena takut dia hendak melemparkan tuduhan kepada orang lain. Aku tidak sabar lagi mendengar omongannya.”
“Ha-ha-ha, Yuan! Urusan seekor an-jing pribumi hina ini saja mengapa perlu diributkan? Lempar saja bangkainya ke laut dan habis perkara!” Legaspi Selado berkata sambil tertawa akan tetapi ma-tanya melirik ke arah Kun Liong. Pemuda ini makin merah mukanya, akan teta-pi dia maklum bahwa kalau dia kena pancingan sehingga terjadi pertempuran di kapal itu, hal ini akan menyusahkan Yuan dan keluarganya. Apalagi, orang itu sudah mati, dan betapapun juga dia telah mencari penyakit sendiri dengan bercin-taan dengan Kitty. Di samping itu, tugas ke Pulau Ular lebih penting lagi. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya tanpa menoleh lagi memasuki kamarnya dan tidur. Di atas pembaringannya dia mengenangkan peristiwa tadi. Dia dapat menduga apa yang terjadi. Orang yang menjadi korban itu tentu karena rayuan Kitty, kalau tidak mana mungkin seorang pelayan berani main gila dengan seorang nona asing? Dan agaknya Kitty itu merupakan seorang di antara kekasih Hendrik maka melihat keduanya bermain cinta, Hendrik lalu membunuh Kitty dan menimpakan kesalahannya kepada orang itu. Hemm... cinta selalu mendatangkan persoalan dan korban. Akan tetapi, apakah itu patut dinamakan cinta?
Wajahnya yang cantik kelihatan agak pucat seperti menderita sakit. Namun sepasang matanya yang jernih dan tajam itu masih bersinar-sinar penuh semangat perlawanan, sungguhpun keadaannya amat mengkhawatirkan. Dengan sikap gagah dan sama sekali tidak membayangkan tanda-tanda menyerah atau takut, Souw Li Hwa yang dibelenggu tubuhnya pada sebuah tihang di ruangan batu itu memandang kepada pemuda yang berdiri di depannya. Ouwyang Bouw hampir kehilangan kesabaran menghadapi tawanan wanita yang dicintanya ini. Terhadap Li Hwa, dia tidak mau menggunakan pemaksaan, tidak mau menggunakan kekerasan untuk menggagahinya. Dia benar-benar jatuh hati kepada dara ini dan mengha-rapkan Li Hwa suka menjadi isterinya dengan suka rela. Namun, setelah ber-hari-hari dia membujuk dengan halus dan kasar, tetap saja Li Hwa tidak meng-acuhkan, bahkan setiap kali membuka mulut tentu menghinanya dan menantang minta dibunuh. Hal ini membuat hati Ouwyang Bouw marah, pesaaran, juga duka sekali sehingga beberapa hari dia tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan tubuhnya menjadi kurus, matanya makin liar dan terhadap orang lain dia mudah marah-marah.
“Li Hwa, mengapa engkau begini keras kepala? Biarpun engkau murid Panglima Besar The Hoo, akan tetapi aku pun bukan pemuda sembarangan. Aku putera dan sekaligus murid Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang dahulu juga pernah menjabat kedudukan tinggi di Mongolia. Engkau tidak turun derajat jika menjadi isteriku dan aku bersumpah bahwa aku akan menjadi suami yang baik dan pe-nurut, sayangku!”
“Phuih! Laki-laki rendah budi tak mengenal malu. Sudah berapa ribu kali kukatakan bahwa aku tidak sudi menjadi isterimu, dan kalau menggunakan paksaan memperkosaku, kemudian aku akan membunuh diri dan rohku akan menjadi setan yang selalu akan mengejar dan menganggumu sampai kau mampus!”
Wajah tampan yang tadinya menyeri-ngai itu kini berubah beringas. Matanya yang memang liar itu berputaran menakutkan. Dia sudah bangkit dari duduknya, tangannya sudah gemetar hendak membu-nuh saja dara yang membuatnya sengsara ini. “Kalau begitu, engkau akan kubunuh!”
“Terima kasih, memang aku suka mati daripada melihat mukamu lebih lama lagi!”
“Keparat, engkau tidak akan mati begitu enak!” Dia mengeluarkan sebatang suling, suling biasa tidak seperti terom-petnya, kemudian dia meniup suling itu dengan suara meliuk-liuk yang sifatnya liar. Li Hwa dapat menduga bahwa Putera Raja Ular ini tentu sedang mememanggil ular. Di dalam hatinya, tentu saja sebagai wanita dia jijik dan takut melihat ular, akan tetapi menghadapi bujukan pemuda gila ini, dia sanggup menghadapi siksaan apa saja dan lebih baik mati daripada harus menyerahkan diri secara sukar rela.
Tepat dugaan Li Hwa. Tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan muncullah seekor ular merayap cepat memasuki ruangan itu. Li Hwa membelalakkan matanya melihat ular itu besar sekali, sebesar pahanya dan panjangnya luar biasa. Dia tidak dapat menahan kengerian hatinya dan memejamkan matanya.
Ular itu mendekati Ouwyang Bouw dan Si Pemuda menggunakan tangan kiri mengusap kepala ular itu seperti orang mengelus kepala seekor anjing kesayangannya, tiupan sulingnya dihentikan dan dia tertawa melibat Li Hwa memejamkan mata.
“Nah, kau melihatnya, bukan? Li Hwa, jangan kau memaksa aku menyuruh dia membelit-belit tubuhmu yang indah itu, kemudian mengganyang dagingnya sedikit demi sedikit.”
Biarpun tadinya dia merasa ngeri, jijik dan takut, akan tetapi mendengar suara Ouwyang Bouw semua rasa takut lenyap seketika terganti rasa marah dan kebencian hebat. Dia membuka mata, tidak peduli lagi kepada ular itu, matanya mendelik memandang Ouwyang Bouw sambil membentak, “Mau bunuh, bunuhlah dengan jalan apa pun terserah, aku tidak takut!”
Habislah kesabaran Ouwyang Bouw. Dia melangkah maju, kedua tangannya menjangkau dan mencengkeram.
“Bret-brett-brettt!” Pakaian yang melekat di tubuh Li Hwa cabik-cabik sehingga sebagian besar tubuh dara itu telanjang. Li Hwa meludah sambil mengerahkan tenaganya. Air ludah itu dapat dijadikan senjata untuk menyerang lawan, akan tetapi Ouwyang Bouw yang lihai dapat mengelak, kemudian meniup lagi sulingnya.
Ular besar yang berwarna hitam ber-belang hijau dan merah itu mengangkat kepala agak tinggi, matanya bersinar-sinar menoleh ke arah Li Hwa, lidahnya yang panjang dan berwarna itu menjilat--jilat keluar, kemudian dengan lambat karena tubuhnya yang besar membuat gerakannya lamban, ular itu merayap menghampiri Li Hwa!
Li Hwa mencoba untuk bersikap ta-bah membuka mata lebar-lebar meman-dang binatang itu, menekan rasa jijiknya dan mencari akal bagaimana dia akan dapat melepaskan diri dari bahaya maut ini. Namun dia tidak dapat menemukan jalan itu, dan agaknya terpaksa dia harus menerima kematian oleh ular itu. Biar-pun dia berusaha bersikap tabah, akan tetapi ketika ular itu mulai menyentuh kakinya, naik ke betis dan pahanya yang telanjang, merasakan tubuh ular yang dingin menggeliat-geliat, dia tidak kuat menahan dan memejamkan kedua matanya rapat-rapat dan berusaha melakukan samadhi mematikan rasa. Namun hal ini sukar sekali, karena kini ular itu merayap naik terus, menjilati seluruh tubuhnya dan seolah-olah ular itu sedang memak-sanya bermain cinta! Dia hampir pingsan akan tetapi masih mendengar suara Ouw-yang Bouw, “Li Hwa, katakanlah engkau suka menjadi isteriku dan aku akan membebaskanmu.”
Biarpun kedua matanya masih terpejam dan alisnya berkerut-merut menahan kegelian dan kejijikannya Li Hwa masih mampu menggeleng kepala kuat-kuat dan baru berhenti ketika ular itu juga membelit leher, kemudian melepaskannya lagi, membelit bagian tubuh yang lain dari kaki sampai ke leher, menyelusuri tubuh itu dan belum menggigitnya, seolah-olah hendak main-main dulu sampai puas dengan calon bangsa yang bertubuh putih mulus, halus dan hangat itu.
Kegelian dan kejijikan itu akhirnya dapat diatasi Li Hwa. Dia membuka- mata dan melihat kepala ular itu dengan moncong terbuka lebar berada di depan mukanya seperti hendak menelan kepalanya sqkaligus! Tak dapat dia menaham kengerian itu dan dia memejamkan mata, tubuhnya lemas dan dia pingsan!
Ular itu sudah menarik kepala ke belakang, siap untuk mematuk dan menggigit, akan tetapi tiba-tiba Owyang Bouw meniup sulingnya keras-keras. Ular itu terkejut, menoleh ke arah majikannya, lehernya bergoyang-goyang seperti dalam keadaan ragu-ragu, akan tetapi suara suling makin hebat, penuh ancaman kepadanya. Ular yang sudah terlatih ini, lalu mengendurkan libatan, perlahan-lahan merayap turun dan meninggalkan ruangan itu.
Dengan mata merah saking marah dan kecewanya, Ouwyang Bouw menanti sampai Li Hwa mengeluh dan membuka mata. Dara itu, terheran akan tetapi jelas merasa lega karena dia menarik napas panjang ketika melihat dia masib terbelenggu dan ular mengerikan itu telah tidak ada lagi. Mimpikah dia tadi? Mimpi menyeramkan dan sekarang baru bangun dari tidur? Akan tetapi Ouwyang Bouw masih berdiri di depannya.
“Li Hwa, aku tidak tega membunuhmu. Celaka! Keparat benar! Aku tidak mau membunuhmu. Aku harus membebaskanmu demi cintaku. Akan tetapi, kalau aku tidak boleh memiliki hatimu, aku harus memiliki tubuhmu. Aku akan memperkosamu!”
“Cih, laki-laki pengecut, rendah dan tak tahu malu!” Li Hwa mendesak.
Ouwyang Bouw tidak mempedulikan makian dara itu, tubuhnya bergerak ke depan, kedua tangannya menyambar em-pat kali dan Li Hwa telah tertotok, totokan yang membuat kedua lengan dan kedua kakinya lumpuh! Pemuda itu lalu membuka belenggu kaki tangan, memon-dong tubuh Li Hwa dan membawanya pergi ke dalam kamamya sendiri. Dia sudah melempar tubuh Li Hwa ke atas pembaringannya dan mulai membuka bajunya sendiri ketika tiba-tiba dia di-kejutkan oleh suara kentungan gencar dari luar. Tanda bahaya! Segencar itu kentungan dipukul, bukan hanya satu melainkan banyak sekali, tanda bahwa bahaya yang mengancam Pulau Ular bukanlah main-main!
Dia mengancingkan lagi bajunya dan menoleh kepada Li Hwa. “Kautunggu sebentar, manis, aku hendak melihat apa yang terjadi di luar.” Dia lalu meloncat ke luar, maklum bahwa totokannya yang membuat dara itu lumpuh akan bertahan sampai beberapa jam lamanya.
Li Hwa tak dapat bergerak, atau lebih tepat tidak dapat menggerakkan kedua kaki tangannya, hanya lehernya saja yang dapat digerakkan. Dia rebah telentang, pakaiannya setengah telanjang, robek-robek tidak karuan dan dia mendengar suara di luar dengan teliti dan penuh harapan. Apakah pertolongan datang? Gurunya? Pasukan gurunya? Atau panglima Tio Hok Gwan? Bahkan mungkin juga Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Akan tetapi terdengar suara ledakan-ledakan senjata dan dia makin heran. Biasanya yang menggunakan senjata api hanyalah orang-orang asing! Yuan! Jantungnya berdebar-debar penuh harapan, bukan hanya harapan tertolong, akan tetapi harapan berjumpa dengan Yuan de Gama. Baru sekarang dia sadar dengan hati kaget sekali bahwa dia mencinta pemuda asing itu! Tak terasa lagi air mata bertitik turun di atas pipinya.
Akan tetapi dia khawatir lagi meli-hat yang berkelebat masuk adalah Ouw-yang Bouw. Muka pemuda itu agak pucat dan tanpa berkata-kata pemuda itu kem-bali membelenggu kaki dan tangan Li Hwa, kemudian menyambar pedang ular yang tergantung di atas dinding kamar-nya itu, menyambar pula kantung jarum merahnya yang amat berbahaya, dan meloncat keluar dari kamar itu setelah menutup dan mengunci pintu kamar itu dari luar.
Li Hwa menarik napas panjang. Dia benar-benar kecewa dan menyesal. Siapa kira pemuda gila itu ingat untuk membuat dia makin tidak berdaya. Kalau tidak terbelenggu, mungkin perlahan-lahan dia dapat membuyarkan totokan dan dapat bebas, akan tetapi sekarang, andaikata totokannya buyar sekalipun, dia tetap saja masib terbelenggu dan tidak dapat bebas! Nemun dia masih penuh harapan dan di hatinya bertanya-tanya, apakah yang sedang terjadi di luar?
Setiap pagi, permukaan bumi dimulai dengan kesunyian dan keheningan yang indah sekali. Seperti pagi hari itu. Harinya indah sekali!
Kun Liong bangun pagi-pagi dan sudah berada di atas dek kapal, sempat menikmati munculnya matahari yang merupakan sebuah bola api merah yang muncul dari permukaan laut sebelah timur selatan (tenggara). Kun Liong seperti terbenam dalam semua keindahan itu. Matahari seperti bola api besar kemerahan yang mulai menyinarkan cahayanya, seperti membakar seluruh permukaan laut dengan warna kemerahan. Laut merah ini tampak berkeriput kecil, seperti tidak pernah bergerak. Tidak ada suara terdengar kecuali percikan air di tubuh kapal. Langit biru kemerahan mulai ditinggalkan titik-titik bintang dan di sana-sini tampak burung-burung camar laut beterbangan di angkasa dengan bebasnya. Mereka tidak tampak menggerakkan sayap, hanya meluncur dengan halusnya membuat lingkaran-lingkaran lebar. Pada saat seperti itu, Kun Liong sudah lupa diri, seolah-olah dia tidak ada lagi, yang ada hanyalah kesadaran akan keindahan itu. Tidak lagi akunya yang menikmati keindahan, yang ada hanyalah memandang. Dia seperti matahari, seperti air laut, seperti burung camar, dia merupakan sebagian dari dalam dan keindahan itu yang tak terpisahkan.
Semua ini akan membuyar jika pikiran datang mengaduk keheningan dengan bentukan aku-nya. Kalau ada si aku yang menjadi pemandang, yang menjadi penonton, maka timbullah perbandingan. Keindahan pagi ini tidak seindah yang kulihat sepekan yang lalu, atau keindahan ini lebih indah dari yang kemarin, atau aku ingin melihat keindahan ini lagi atau aku tak ingin melihatnya lagi dan sebagainya. Kalau sudah begitu, kalau si aku sudah muncul, rusaklah semuanya. Keindahan itu tercemar, menjadi gambaran yang melekat di dalam ingatan sehingga kelak akan menimbulkan keinginan melihat lagi, menimbulkan perbandingan, menimbulkan suka dan tidak suka. Demikian pula dengan segala keindahan di dunia ini. Selama si aku yang menjadi pemandang dan penilai, selalu terjadi pertentangan. Dia lebih kaya dari aku dan timbullah iri hati. Dia lebih miskin dari aku dan timbullah kesombongan. Dan sebagainya dan sebagainya. Semua timbul dari perbandingan, perbandingan timbul dari si aku yang dibentuk pikiran. Kalau kita menghadapi keadaan kita dan yang kita hadapi sewajarnya, menghadapi hanya memandang penuh kewaspadaan tanpa si aku yang menjadi pengawas dan penilai, maka tidak akan timbul konflik batin yang hanya menelurkan pertentangan lahir. Kalau sudah begitu, baru ada kemungkinan kita melakukan setiap perbuatan berdasarkan kasih, kasih suci murni tanpa pamrih tanpa tujuan tanpa keinginan tanpa DISADARI bahwa perbuatannya itu baik!
Namun, hanya beberapa jam saja Kun Liong berada dalam keadaan hening yang penuh rahasia keindahan itu karena perhatiannya tertarik oleh bayangan sebuah pulau di selatan. Agaknya itulah Pulau Ular! Tak salah lagi, cocok dengan gambaran yang diberikan oleh supeknya, Cia Keng Hong!
Bukan hanya dia seorang yang melihat pulau ini, juga penjaga di atas yang segera memberi tanda ke bawah. Tak lama kemudian, semua penghuni kapal sudah bangun dan berkumpul di dek. Keadaan menjadi sibuk ketika Yuan menyerukan perintah. Legaspi Selado memberi petunjuk-petunjuk. Perahu besar Ikan Duyung mendekati kapal dan Richardo de Gama bersama Yuanita, Nina Selado dan empat orang pelayan wanita, mengungsi ke perahu besar itu. Kapal Kuda Terbang sudah siap untuk menyerbu ke Pulau Ular sedangkan Kapal Ikan Duyung hanya menanti di pantai bersama Richardo de Gama, puterinya dan pelayan-pelayan itu termasuk anak buah perahu.
Sebelum pindah ke perahu, Yuanita lari menghampiri Kun Liong, secara terang-terangan di depan banyak orang, Yuanita merangkul leher Kun Liong, menariknya ke bawah dan memberi kecupan pada bibir pemuda itu sambil berbisik, “Hati-hatilah kau...”
Tentu saja Kun Liong gelagapan dan mukanya menjadi merah sampai ke kepalanya, akan tetapi dia agak merasa terhibur dan berkurang rasa malunya ketika melihat Yuanita juga merangkul kakaknya dan memberi ciuman, bukan di bibir melainkan di pipi. Setelah itu Yuanita lari kepada ayahnya dan bersama-sama pindah ke perahu Ikan Duyung. Tak sengaja Kun Liong melirik dan melibat Hendrik memandangnya dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian!
Meriam-meriam Kapal Kuda Terbang sudah disiapkan, pistol dan bedil sudah dibersihkan dan peluru-pelurunya dibagi-bagi. Ketika Yuan menyerahkan sebuah pistol kepada Kun Liong, pemuda ini menolak. “Senjata apimu itu sama saja dengan senjata gelap berupa piauw, paku, jarum dan lain-lain. Dan aku tidak pernah menggunakan am-gi (senjata gelap), bahkan tidak pernah menggunakan senjata karena aku benci perkelahian, benci perang, benci kekerasan. Suruh aku menggunakan senjata untuk membunuh atau melukai orang? Sama saja dengan menyuruh aku memotong kedua tanganku!”
“Aihh! Habis kalau kau berhadapan dengan orang jahat yang menyerangmu?”
“Akan kubela dengan kedua tangan, dan kalau dalam membela diri aku melukainya, sungguhpun kuusahakan agar jangan terlalu hebat, hal itu tentu saja lain lagi, bukan sengaja aku hendak melukai atau membunuh orang.”
Yuan memandang sahabatnya itu. “Kau orang aneh! Mungkin karena keanehanmu inilah adikku jatuh cinta kepadamu!”
Kun Liong tidak menjawab, akan tetapi mukanya menjadi merah sekali.
“Sayang kau tidak membalas cintanya.”
Kun Liong kaget, mengangkat muka. Agaknya antara kakak dan adik itu tidak ada rahasia! “Maafkan aku...” katanya lirih.
Yuan menepuk-nepuk pundaknya. “Tidak ada yang dimaafkan. Engkau jujur dan gagah, tidak menggunakan kesempat-an selagi ada gadis cantik mencintamu kaupergunakan untuk memuaskan diri seperti hampir semua pria lain. Cinta tak dapat dipaksakan. Sudahlah, lupakan saja. Kun Liong, karena aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian, hanya engkau yang pantas menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu...”
“Tuan, dengarlah baik-baik. Tugasku hanya dua, pertama merampas kembali bokor emas dan ke dua menolong Nona Souw Li Hwa.”
“Serahkan nona itu kepada tanggungjawabku!” Ucapan itu dikeluarkan keras-keras sehingga mengagetkan Kun Liong, akan tetapi karena maklum bahwa hal ini terdorong oleh rasa cinta pemuda ini, maka dia mengangguk dan berkata lirih, “Engkau pun gila oleh cinta seperti adikmu.”
Yuan menghela napas duka. “Agaknya memang sudah nasib kami berduka, menjadi korban cinta sepihak.”
“Bagimu belum tentu, Yuan.”
Agaknya Yuan tidak menghendaki persoalan itu dilanjutkan, maka dia berkata, “Semua sudah diatur seperti siasat yang direncanakan. Kau dan Tuan Legaspi Selado menghadapi Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw, dibantu oleh Hendrik, anak buahku menghadapi anak buah Pulau Ular, kupimpin sendiri dan aku sekalian mencari Li Hwa. Harap saja engkau suka mentaati perintah ini, sesuai dengan rencana penyerbuan.”
Kun Liong meniru gerakan salut seorang anak buah kapal sambil berkata, “Aku siap dan taat, Kapten!”
Yuan tertawa dan menampar pundak Kun Liong. “Gila kau!”
Sesuai rencana, Kapal Kuda Terbang mendekat pantai lalu menembakkan meriamnya. Para anak buah Pulau Ular- yang berkumpul di pantai untuk menyam-but penyerbuan itu, kocar-kacir dan lari bersembunyi, lalu mundur. Hal ini dipergunakan oleh Yuan dan anak buahnya serta pembantu-pembantunya untuk meloncat turun mendarat. Mulailah terjadi pertempuran hebat di pantai. Ledakan-ledakan senjata api membuat bising, diseling teriakan-teriakan dan hujan anak panah yang membalas perang jarak jauh ini. Akan tetapi pihak Yuan terus mendesak sampai ke tengah pulau di mana terjadi sergapan-sergapan mendadak sehingga pistol-pistol makin tidak berguna, lebih banyak terjadi perang tanding dengan senjata tajam dan kepalan tangan.
Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong sudah siap menyambut, Kun Liong bersama Legaspi Selado dan Hendrik, seperti direncanakan, menghadapi mereka. Kun Liong melawan Toat-beng Hoat-su sedangkan Legaspi dan puteranya mengeroyok Ban-tok Coa-ong. Akan tetapi pertandingan yang seru ini tidak berlangsung lama karena terdengar Legaspi berkata kepada Kun Liong sambil meloncat jauh, “Aku mencari benda itu!” Dan pergilah dia diikuti oleh Hendrik, membiarkan Kun Liong dikeroyok dua oleh Ban-tok Coa-ong. Agaknya Ban-tok Coa-ong tidak mengejar kakek asing yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi dan setingkat dengannya itu, karena dia yakin bahwa kakek itu takkan mungkin dapat menemukan bokor yang telah disimpannya di tempat rahasia. Hanya dia, Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw saja yang tahu di mana rahasia tempat itu.
Diam-diam Kun Liong terkejut sekali. Tadi ketika melawan Toat-beng Hoat-su, dia repot setengah mati menghadapi serbuan kakek ini yang benar-benar amat lihai. Mula-mula kakek yang memandang rendah Kun Liong ini menyerangnya dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, pemuda itu selalu dapat mengelak dari serangannya, bahkan berani pula menangkis dan setiap tangkisan tentu membuat seluruh lengannya tergetar, tanda bahwa pemuda gundul itu memiliki ilmu sinkang yang amat kuat! Karena penasaran, Toat-beng Hoat-su menggunakan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya dan begitu diserang oleh senjata aneh yang kelihatan sepele namun membawa tangan maut, Kun Liong mulai terdesak karena setiap tangkisannya biarpun membuat jubah terpental, namun lengannya terasa pedas sedangkan lawan tentu saja tidak merasakan apa-apa, berbeda kalau lengan kakek itu yang ditangkisnya! Dan seka-rang tiba-tiba Hendrik dan Legaspi meninggalkannya. Mengertilah dia bahwa kakek dan puteranya itu berwatak cu-rang, membiarkan dia dikeroyok dua orang datuk sedangkan mereka sendiri pergi mencaari bokor. Dia yakin bahwa kalau bokor emas itu terjatuh ke tangan Legaspi, tidak mungkin kakek asing yang tidak kalah jahatnya dibandingkan dengan para datuk kaum sesat ini tentu akan angkat kaki melarikan bokor pusaka.
Namun, dia tidak mempedulikan kakek asing itu. Andaikata bokor terdapat oleh kakek itu, mudah kelak dicari. Sekarang yang penting dia harus mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong yang lihai.
Sebetulnya, mengingat akan ilmu-ilmu silat yang telah dipelajarinya dari dua orang sakti Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, mutu dan tingkat ilmu silat Kun Liong masih jauh lebih murni dan tinggi dibandingkan dengan kedua orang kakek sesat yang hanya memiliki ilmu silat dari golongan sesat yang sudah campur aduk tidak karuan dan semata-mata mengandalkan tipu daya licik sehingga tidak memiliki dasar yang kuat. Juga dalam hal sin-kang, pemuda gundul ini telah memiliki sin-kang Pek-in-ciang dari Tiang Pek Hosiang, sin-kang istimewa untuk membetot dari Bun Hoat Tosu, dan terutama sekali Thi-khi-i-beng dari Cia Keng Hong. Maka dalam hal ilmu tenaga sakti, dia pun jauh lebih tinggi tingkatnya dari kedua orang lawannya. Akan tetapi, dia kalah pengalaman, terutama sekali dua orang kakek itu adalah ahil-ahli ilmu muslihat licik, ditambah lagi Toat-beng Hoat-su menggunakan senjata jubah sedangkan Ban-tok Coa-ong menggunakan senjata terompet di tangan kiri dan pedang ular di tangan kanan. Maka repotlah Kun Liong sekarang, harus mengerahkan sin-kangnya melindungi tubuh, mengerahkan gin-kang untuk mengelak dengan berloncatan ke sana-sini dan mainkan Pat-hong-sin-kun yang dapat membuat penjagaan delapan penjuru!
Pertempuran antara Yuan dan anak buahnya juga terjadi amat ramai, akan tetapi karena tidak lagi ada kesempatan menggunakan senjata api, orang-orang barat itu dalam pertandingan senjata tajam dan kepalan tangang kalah pandai oleh anak buah Pulau Ular yang rata-rata pandai ilmu silat sehingga anak buah Yuan mulai terdesak. Akan tetapi Yuan de Gama, yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk segera menolong Li Hwa telah menangkap seorang anggauta lawan dan menyeretnya ke pinggir.
“Lekas katakan, di mana ditahannya Nona Souw Li Hwa, baru kau akan kuampuni!”
Orang Nepal itu yang tengkuknya dicengkeram tangan Yuan yang terlatih, merasa nyeri sekali, menjawab gagap. “Dia... di... pondok Kongcu...!”
“Lekas bawa aku ke sana, kalau kau membohong akan kubunuh. Kalau tidak, akan kulepaskan!”
Sambil mencengkeram tengkuk orang itu, Yuan memaksanya berdiri dan berjalan ke arah pondok Ouwyang Bouw. Yuan menendang pintu, sambil menyeret orang itu dia lari masuk sambil berteriak memanggil, “Li Hwa...! Li Hwa...!”
“Tuan...!” Teriakan yang amat dikenalnya ini membuat Yuan hampir bersorak. Ditamparnya leher lawannya itu sehingga roboh terguling dan pingsan, kemudian dia lari masuk, menendang terbuka pintu kamar. Ketika melihat Li Hwa rebah di pembaringan dengan kaki tangan terikat, pakaian cabik-cabik setengah telanjang, rambut awut-awutan dan muka pucat, Yuan menjerit. “Duhai... Li Hwa... kau...!”
“Yuan! Syukur kau datang...!”
Yuan cepat melepaskan belenggu kaki tangan dara itu dan mereka seperti digerakkan tenaga mujijat saling dekap, saling cium dan keduanya menangis! Akan tetapi Yuan berbisik, “Tenanglah, kekasihku, dewiku... ah, Li Hwa yang kucinta, kau sudah selamat... mari kau kubawa menyingkir dari tempat terkutuk ini...”
Sambil tersedu menangis, Li Hwa membiarkan dirinya dipondong karena tubuhnya masih lemas sekali. Pergelangan kedua tangan dan kakinya masih luka-luka bekas belenggu yang kuat, dia hanya merangkul leher pemuda yang dicintanya itu, merebahkan dan menyembunyikan mukanya di dada yang bidang sambil berbisik, “Yuan... aku... aku cinta padamu...”
Ucapan ini membuat Yuan hampir menari kegirangan, akan tetapi karena keadaan tidak mengijinkan, hanya air matanya saja berderai saking terharu dan bahagianya, dan memondong tubuh orang yang dikasihinya itu seperti memondong sebuah benda pusaka keramat yang dipujanya, kemudian lari keluar dari pondok itu dan terus berlari cepat menuju ke pantai, tidak lagi mempedulikan perang yang masih terjadi di situ. Setibanya di Kapal Kuda Terbang, dia memerintahkan beberapa anak buah yang melayani kapal dan tidak ikut berperang, yaitu orang-orang Han, untuk menggerakkan kapal agak ke tengah akan tetapi melepaskan perahu-perahu kecil di pantai sehingga para anak buahnya dapat menggunakan perahu itu ke kapal kalau pertandingan sudah selesai.
Setelah memondong tubuh Li Hwa ke kamarnya, merebahkan dara itu ke atas pembaringan, memeluk dan menciumnya sampai keduanya gelagapan kehabisan napas, lalu mengobati dan membalut luka-luka pada pergelangan tangan dan kaki, memberikan seperangkat pakaian Yuan untuk dipakai kekasihnya ini, dan lalu berkata, “Li Hwa, kau menanti saja di sini dan istirahatlah, aku akan membantu kawan-kawan yang masih bertempur.”
“Jangan...!” Li Hwa memegang lengannya karena dia teringat akan kelihaian Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong dan Ouwyang Bow. “Mereka amat sakti...”
Tahu bahwa dara yang dicintanya itu mengkhawatirkan keselamatannya, hati Yuan membesar, dia membungkuk dan mencium dara yang sudah duduk itu. Maka Li Hwa menjadi merah karena dia merasa betapa setiap ciuman pemuda itu selalu dibalasnya dengan kemesraan dan dengan seluruh cintanya. Teringat ini dia menjadi malu sendiri dan dia ikut turun dan berdiri.
“Jangan khawatir, sayang. Di sana ada Legaspi Selado guruku, ada Hendrik, semua anak buah, dan terutama sekali, di sana ada sahabatku yang paling hebat, yaitu Yap Kun Liong.”
“Ohhhh...!” Sungguh Li Hwa tidak me-nyangka akan hal ini dan diam-diam dia pun girang karena dia tahu bahwa pemu-da gundul itu benar-benar lihai, sungguh- pun dia masih sangsi apakah mereka semua dapat melawan orang-orang Pulau Ular.
Mereka keluar dari kamar dan menuju ke dek kapal “Aku harus membantu mereka, dan kau tinggallah di sini, sayang.”
“Tidak, aku akan ikut denganmu!”
“Jangan kau masih lemah.”
“Hanya luka ringan dan sekarang su-dab pulih begitu bertemu denganmu. Dan... ahh, lihat, mereka datang...”
Yuan menengok ke arah yang ditunjuk kekasihnya dan benar saja, tampak perahu besat milik pemerintah di tepi pantai dan banyak orang berloncatan dengen sigap ke darat lalu menyerbu ke pulau.
“Mereka itu tentulah anak buah Suhu!” Li Hwa berseru girang.
Mendengar ini Yuan tidak jadi mendarat, hanya berdiri memandang di samping Li Hwa yang menggandeng lengannya, agaknya dara ini khawatir kalau ditinggal pergi. Diam-diam dia melamun penuh kegelisahan hati. Dia mencinta Yuan dan Yuan mencintanya. Cinta yang menda-lam. Dia lebih baik mati kalau tidak hidup bersama Yuan. Akan tetapi Yuan, pemuda asing. Bagaimana gurunya yang menjadi walinya akan dapat menyetujui perjodohan ini? Apa pun yang akan ter-jadi, dia tetap akan hidup bersama Yuan. Kalau perlu dia akan menentang gurunya. Perjodohan merupakan jalan hidupnya, siapa pun tidak boleh mencampurinya, termasuk gurunya sendiri!
Apakah yang terjadi di Pulau Ular setelah ditinggalkan Yuan dan Li Hwa? Ketika itu, Kun Liong sedang mati-matian menghadapi pengeroyokan dua orang datuk kaum sesat yang amat lihai itu. Hampir saja dia tertusuk pedang ular. Untung dia masih sempat mengelak, kemudian melanjutkan lagi elakannya dari sambaran senjata terompet, akan tetapi dari samping, jubah di tangan Toat-beng Hoat-su menyambar dan dia merasa seperti diseruduk gajah, tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai sepuluh me-ter jauhnya! Baiknya, sin-kang di tubuhnya yang otomatis itu sudah menyelamatkannya sehingga dia tidak terluka, hanya kepalanya agak pening, tampak bintang-bintang kecil menari-nari. Terlempar sejauh itu menguntungkan Kun Liong, karena dia sempat menyambar sebatang ranting kayu yang dekat dengannya, dan ketika dua orang lawannya menerjang datang, dia dapat menjaga diri dengan ranting itu. Cepat dia mainkan Siang-liong-pang-hoat dengan dua tongkat di tangan kanan kiri dan kedua orang kakek itu terkejut bukan main karena dalam gebrakan pertama itu, mata kanan Toat-beng Hoat-su hampir buta tertusuk ujung ranting, sedangkan jalan darah pundak kiri Ban-tok Coa-ong tertotok lumpuh sehingga terompetnya terlepas. Mereka kaget dan marah, Ban-tok Coa-ong sudah menyambar terompetnya lagi dan bersama kawannya dia sudah menerjang dengan dahsyat sekali sehingga kembali Kun Liong terdesak. Akan tetapi sekali ini, dengan kedua ranting di tangan, die lebih leluasa melawan dan lebih kuat penjagaannya, karena ranting-ranting itu setiap kali menangkis dapat dia serongkan sebagai serangan balasan.
Pada saat itu, terdengar bunyi tambur dan terompet dan menyerbulah pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Panglima Besar The Hoo dan Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Panglima Besar The Hoo sekali ini memimpin sendiri penyerbuan, bukan semata-mata untuk mendapatkan kembali bokor emas pusakanya, akan tetapi terutama sekali karena dia khawatir akan keselamatan murid tunggalnya yang juga seperti puterinya sendiri, Souw Li Hwa.
Kedatangan pasukan pemerintah ini tentu saja membuat keadaan menjadi terbalik sama sekali. Tadinya pihak anak buah orang barat itu terdesak hebat dan banyak jatuh korban di antara mereka. Mereka tinggal sepuluh orang saja yang masih melawan terus. Para pasukan pemerintah yang melihat orang-orang barat itu menganggap mereka kawan karena bukankah sekarang telah ada semacam “perdamaian” antara orang-orang bule ini dengan pemerintah , karena Kaisar telah memberi ijin mereka berdagang di pantai Pohai? Maka begitu mereka menyerbu, sepuluh orang itu girang sekali dan mundur untuk beristirahat, malah kembali ke pantai. Pihak anak buah Pulau Ular terdesak hebat dan banyak di antara mereka berjatuhan.
Sementara itu, ketika Cia Keng Hong melihat Kun Liong dikeroyok dua oleh dua orang datuk, bersama Panglima The Hoo menonton sebentar. Kedua orang sakti ini kagum bukan main menyaksikan betapa pemuda gundul itu dengan senjata sepasang ranting mampu mempertahankan diri terhadap pengeroyokan dua orang datuk selihai itu. Mereka segera maju dan Keng Hong berseru kepada Kun Liong, “Mundurlah kau dan mengasolah!”
Kun Liong menjadi girang bukan main melihat munculnya Cia Keng Hong yang sudah menghadapi Ban-tok Coa-ong dan dia baru teringat sekarang mengapa dia tidak melihat Owyang Bouw? Ke mana perginya putera Ban-tok Coa-ong ini? Pemuda itu sedang berada di kamar rahasia, sengaja bertugas menjaga bokor emas, karena dua orang datuk itu takut kalau-kalau musuh menggunakan siasat memancing harimau keluar dari guha, selagi mereka bertempur dapat merampas bokor. Pula, karena mereka sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri, tidak perlu kiranya Ouwyang Bouw membantu mereka, lebih perlu menjaga keselamatan bokor emas!
“Supek, teecu hendak mengejar Legaspi, mencari bokor!”
“Hemmm, kalau begitu pergilah!” Keng Hong berkata cepat.
Setelah memandang kagum kepada kakek berpakaian panglima yang ternyata bukan main gagahnya itu, Kun Liong dapat menduga tentu inilah orangnya manusia sakti The Hoo itu! Dia lalu pergi dan meloncat ke arah ke mana perginya Legaspi dan Hendrik tadi.
Ke mana perginya Legaspi Selado dan puteranya? Legaspi cerdik sekali. Dia pun tidak melihat Ouwyang Bouw, dan dia menduga bahwa tentu putera Raja Ular itu yang bertugas menjaga pusaka. Maka dia menangkap seorang anak buah Pulau Ular, mencekiknya dan mengancam, “Hayo katakan di mana adanya Ouwyang-kongcu!” Dia tidak menanyakan bokor emas karena menduga bahwa anak buah di situ kiranya tidak ada yang diberi tahu dan memang dugaannya itu tepat.
Karena takut, orang itu lalu memberi tahu di mana kamar pusaka, karena tadi dia melihat putera majikannya itu memasuki kamar pusaka yang berada di tempat rahasia. Dinding itu tidak tampak ada pintunya, akan tetapi ketika orang itu memutar sebuah patung singa di depan, tiba-tiba saja dinding terbuka dan terdapat sebuah pintu! Legaspi menampar pecah kepala orang itu, kemudian bersama Hendrik dia memasuki pintu rahasia!
Ketika Legaspi yang lebih cepat larinya itu melewati sebuah gang, Hendrik melihat berkelebatnya bayangan Ouwyang Bouw. Memang Ouwyang Bouw tentu saja sudah tahu bahwa pintu depan terbuka. Ketika dia mengintai dan melihat Legaspi Selado yang sudah diketahuinya, dia terkejut dan tahu bahwa dia tidak menang melawan kakek botak itu. Maka sambil mengempit bokor dia melarikan diri, dan terlihat oleh Hendrik.
“Heee... berhenti...!” Hendrik menge-jar dan mencabut pistolnya.
Melihat ada lawan mengejarnya, Ouwyang Bouw menengok dan dia tertawa mengejek ketika melihat bahwa yang mengejarnya hanyalah seorang pemuda asing dengan senjata api di tangan. Dia maklum akan kelihaian senjata itu dan ketepatan pelurunya, lebih bahaya lagi kalau dia membelakangi lawan. Maka cepat dia membalik, tangannya sudah menggenggam jarum-jarum mautnya.
Melihat orang yang membawa bokor emas itu membalik, Hendrik yang juga tahu bahwa orang-orang di Pulau Ular tentu lihai sekali, cepat mengangkat lengan, membidik dan menarik pelatuk pistolnya. Semua gerakan ini dilakukan cepat sekali karena dia termasuk seorang penembak ulung di negaranya. Akan tetapi terlalu lambat bagi pandangan Ouwyang Bouw yang telah bergerak lebih cepat lagi begitu moncong pistol diarahkan kepadanya. Dia miringkan tubuh dan gerakan ini hanya membutuhkan waktu seperempat detik saja, sedangkan jalannya peluru yang ditembakkan untuk mencapai sasarannya paling cepat setengah detik. Peluru lewat tanpa mengenai sasaran dan sebelum Hendrik sempai menembak lagi, Ouwyang Bouw sudah meloncat ke atas dan menggerakkan tangannya.
Melihat sinar merah menyambar, Hendrik maklum bahwa dia diserang senjata gelap, cepat dia mengelak, namun dia tidak mengira akan kelicikan lawan.
Hanya tiga perempat saja dari jarum--jarum yang digenggam itu menyerang dan semua ini dapat dielakkan oleh Hendrik, akan tetapi sisa jarum menyusul sedetik kemudian dan sekali ini, biarpun Hendrik masih mencoba mengelak, dia kalah ce-pat dan sambil berteriak keras Hendrik roboh dengan tiga jarum merah mema-suki dadanya!
“Hendrik...!” Legaspi berteriak. Kakek botak ini sudah keluar dari rumah itu dan mengejar. Terlambat dia melihat puteranya menjadi korban lawan dan dia hanya dapat memanggil nama puteranya. Akan tetapi melihat seorang pemuda berlari pergi dengan cepatnya sambil memondong sebuah bokor emas, kakek ini seketika melupakan puteranya dan terus mengejar.
Owyang Bouw tidak berani melawan Kakek Botak itu. Dia sudah mendengar dari para datuk kaum sesat betapa lihainya kakek asing bule ini, maka dia tidak mau membahayakan dirinya sendiri. Dia mengerahkan tenaga gin-kangnya, dan berlari lebih cepat lagi masuk keluar hutan dan naik turun gunung di tengah pulau itu. Namun kakek itu tetap dapat mengejarnya makin lama makin dekat sehingga Ouwyang Bouw menjadi panik sekali. Sebentar lagi, dia tentu akan tersusul. Dia meloncati jurang, namun pengejarnya dapat meloncatinya lebih cepat lagi. Akhirnya dia mendengar suara kakek itu dekat di belakangnya. “Serahkan bokor itu kepadaku, ke mana pun kau lari tentu akan terdapat olehku!”
Mendengar suara ini tanpa mendengar jejak kakinya, maklum pula Ouwyang Bouw betapa tinggi ilmu gin-kang pengejarnya. Ia makin panik dan terjadilah perang di dalam pikirannya. Bokor atau nyawa? Dia memilih nyawa dan tiba-tiba dia melontarkan bokor emas itu sekuatnya ke dalam jurang!
Perhitungannya tepat sekali. Melihat bokor emas itu dibuang, tentu saja Legaspi cepat mengejar benda itu dan tidek lagi mempedulikan Ouwyang Bouw. Baginya yang terpenting adalah bokor itu dan dia tidak butuh Ouwyang Bouw. Andaikata tidak ada bokor itu, tentu saja dia akan bunuh pemuda itu karena telah merobohkan puteranya.
Mendapatkan bokor itu di tangan, Legaspi Selado tertawa bergelak, kemudian berlari kembali. Kelika melihat tubuh puteranya terkapar, dia berlutut dan membalikkan tubuh itu telentang. Sebentar saja memeriksa tahulah dia bahwa jarum-jarum beracun yang amat jahat telah memasuki dada puteranya dan tidak dapat lagi dia menolong.
“Ayah... tolonglah saya...”
Legaspi Selado bangkit berdiri. “Per-cuma, kau tentu akan mati tak lama lagi. Dan lebih baik begini, kau tidak akan bermain gila dengan Nina.”
Setelah berkata demikian Legaspi lari dari situ, membawa bokor menuju ke pantai. Dia sudah mendapatkan bokor, dia tidak mempedulikan pertempuran yang masih berlangsung, apalagi meno-long Souw Li Hwa seperti yang direnca-nakan. Bokor sudah didapat, lebih lekas pergi meninggalkan tempat itu lebih baik! Apalagi, dia melihat dari jauh beta-pa dua orang kakek datuk kaum sesat itu sedang bertanding dan terdesak oleh dua orang yang lihai bukan main. Yang seorang dia tidak mengenalnya, akan tetapi yang melawan Toat-beng Hoat-su yang dia tahu amat sakti, adalah seorang yang membuat jantungnya berdebar penuh rasa ngeri, karena dia mengenal orang itu sebagai Panglima Besar The Hoo yang namanya tidak saja menggemparkan se-luruh Tiongkok, akan tetapi juga terkenal jauh di negara-negara di luar Tiongkok!
Maka dia makin cepat lari dari situ, tidak tahu bahwa dari jauh ada bayangan orang berkelebat mengejarnya. Bayangan ini bukan lain adalah Kun Liong. Dari jauh dia tidak melihat apakah kakek itu sudah menemukan bokor, akan tetapi karena dia tahu bahwa Legaspi Selado dan puteranya tadi meninggalkan gelang-gang pertandingan tentu untuk mencari bokor, dia mengejar terus. Di jalan tadi dia melihat Hendrik sudah mati dengan tanda-tanda keracunan jarum merah milik Ouwyang Bouw. Akan tetapi tidak tampak Ouwyang Bouw atau mayatnya di situ. Apakah kakek di depan itu masih sedang mengejar Ouwyang Bouw? Dia tidak tahu maka dia mempercepat larinya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek itu benar-benar lihai dan larinya cepat sekali biarpun dia sudah tua dan tubuhnya gendut.
Legaspi sudah meloncat ke sebuah perahu yang disediakan di situ, terus mendayung kuat-kuat ke arah Kapal Kuda Terbang yang berjajar dengan Perahu Ikan Duyung di tengah laut, dalam jarak yang tidak terlalu jauh.
Kun Liong yang datang terlambat melihat kakek yang dikejarnya itu sudah sampai di kapal dan meloncat ke atas kapal itu. Maka dia pun cepat menggunakan sebuah di antara perahu-perahu itu untuk menuju ke kapal Kuda Terbang. Akan tetapi sengaja dia mengambil jalan memutar.
Sementara itu, Yuan de Gama yang melihat Legaspi datang sendiri berperahu, maklum bahwa penyerbuan itu gagal. Maka dia cepat-cepat memerintah Perahu Ikan Duyung yang ditumpangi ayah dan adiknya untuk memasang layar mengangkat sauh (jangkar) dan berlayar lebih dulu ke utara. Adapun dia dengan Li Hwa yang memiliki kepandaian tinggi, menanti di Kapal Kuda Terbang untuk memberi kesempatan kepada kawan-kawan yang lain untuk kembali ke kapal. Dan benar saja, dia melihat dari pantai ada tujuh orang temannya yang tergesa-gesa naik perahu, menuju ke kapalnya. Akan tetapi Legaspi Selado sudah meloncat lebih dahulu ke kapal dan tampaklah oleh Yuan de Gama dan Li Hwa betapa bokor emas itu telah dibawa oleh kakek ini, disembunyikan di balik jubahnya!
“Guruku telah berhasil merampas bokor!” kata Yuan gembira karena memang menurut rencana bokor itu harus dirampas untuk dikembalikan kepada The Hoo agar perhubungan antara para pedagang dan kerajaan menjadi makin erat yang hasilnya tentu saja menguntungkan pihak pedagang asing.
Souw Li Hwa menghadapi Legaspi dan berkata, “Kembalikan bokor emas itu kepadaku.”
Akan tetapi Legaspi memandang dengan mata terbelalak dan melotot marah. “Kau! Bukankah kau wanita yang memimpin pasukan pemerintah menghancurkan pasukan sahabatku? Kau harus mati!” Sambil berkata demikian, Legaspi sudah mengeluarkan cambuknya yang lihai, mengayun cambuk di atas kepala sampai terdengar ledakan-ledakan, kemudian cambuk menyambar turun ke arah tubuh Li Hwa! Biarpun Li Hwa masih lemah, namun dengan ringannya dia dapat menghindarkan diri dengan meloncat ke kiri. Dia telah kehilangan pedangnya ketika ditawan, maka kini dia siap menghadapi lawan tangguh itu dengan tangan kosong.
“Tuan Legaspi Selado, jangan serang dia!” Yuan de Gama membentak, “Dia adalah murid Panglima The Hoo! Kita sudah berjanji akan mengembalikan bokor...”
Cambuk itu menyambar, pemuda itu terpelanting dan terbanting di atas dek.
“Ha-ha, kau hendak melawan gurumu, ya?”
Legaspi kini kembali menghadapi Li Hwa. Cambuknya bertubi-tubi menyerang dan biarpun Li Hwa dapat mengelak ke sana-sini, namun dara ini tidak dapat balas menyerang. Tubuhnya masih lelah dan dia tidak bersenjata, sedangkan ilmu kepandaian Legaspi bermain cambuk amat dahsyat. Ujung cambuk sudah mematuk dua kali di pundak dan pinggulnya, membuat dua bagian tubuh ini berdarah dan pakaiannya robek.
“Tuan Legaspi, berhenti menyerang. Kalau tidak kutembak!”
Mendengar ini, Legaspi menghentikan serangannya dan menoleh ke arah Yuan de Gama. Dia maklum akan kemahiran Yuan menembak, maka dia ragu-ragu.
“Saya adalah kapten kapal ini, biarpun Anda guru saya, harus tunduk kepada perintah kapten!”
Pada saat itu, tujuh orang asing yang melarikan diri dari pulau telah tiba dan mendarat di atas dek kapal. Yuan de Gama menoleh kepada mereka dan terkejut melihat mereka itu adalah kaki tangan Legaspi. Gerakannya menoleh yang sebentar itu cukup bagi Legaspi. Cambuknya menyambar dan Yuan de Gama berteriak kaget ketika pistolnya direnggut ujung cambuk dari tangannya!
“Ha-ha-ha! Tangkap mereka!” Legaspi Selado berteriak dan kembali dia menyerang dengan cambuknya. Yuan dan Li Hwa mencoba untuk melawan, akan tetapi ketika dua orang di antara tujuh kaki tangan Legaspi mengeluarkan pistol dan mengancam, terpaksa mereka menghentikan perlawanan. Mereka tahu bahwa melawan terus berarti mati, maka sementara ini lebih baik menyerah.
“Ikat mereka di tihang kapal. Kita jadikan mereka sebagai sandera!” kata Legaspi. “Angkat sauh dan kembangkan layar, cepat kita pergi dari sini!”
Di dalam kesibukan itu, mereka semua tidak melihat Kun Liong yang me-nyelinap dan tahu-tahu pemuda ini sudah berada di belakang tihang di mana Li Hwa dan Yuan dibelenggu. Mudah saja Kun Liong mematahkan belenggu kaki tangan mereka dan membebaskan mereka dari totokan yang tadi dilakukan Legaspi agar dua orang tawanannya itu tidak mungkin lolos.
“Terima kasih, Kun Liong...”
“Ssst, kalian lawan tujuh orang itu dan aku menghadapi Legaspi!” Kun Liong cepat meloncat ke luar dan gegerlah tujuh orang itu dan Legaspi ketika melihat pemuda gundul ini muncul seperti setan saja. Dua orang awak kapal mencabut pistol, hanya mereka yang masih bersenjata, lainnya sudah kehabisan senjata ketika melarikan diri dan meninggalkan banyak mayat kawan mereka, tapi dari belakang mereka meloncat keluar lima orang pelayan pribumi yang langsung menyergap mereka. Terjadi perkelahian cepat dan lima orang itu tewas seketika oleh cambuk Legaspi, akan tetapi Kun Liong yang bergerak seperti kilat sudah dapat pula membuat dua buah pistol terlempar ke laut, Li Hwa dan Yuan muncul dan mengamuk, menghadapi tujuh orang anak buah Legaspi Selado, dan kakek botak itu sendiri, dengan bokor emas dirangkul oleh lengan kiri dan cambuknya dipegang tangan kanan, terpaksa menghadapi serbuan Kun Liong!
Adapun Li Hwa mengamuk berdampingan dan tujuh orang itu tentu saja bukan lawan mereka. Apalagi Li Hwa yang tegang hatinya melihat bokor emas berada di tangan kakek botak yang lihai itu, dia menggerakkan semua tenaga yang masih ada dan berkat ilmu silatnya yang tinggi, sebentar saja dia dapat merobohkan mereka, dibantu Yuan, seorang demi seorang.
Sementara itu, pertempuran antara Legaspi dan Kun Liong juga berlangsung seru. Cambuk itu meledak-ledak dan Kun Liong yang bertangan kosong menggunakan ilmu gin-kangnya, selalu dapat mengelak dan balas menyerang dengan pukulan jauh menggunakan sin-kang. Tentu saja karena pemuda ini merasa pantang untuk membunuh orang, menghadapi Legaspi sekalipun dia tidak pernah bermaksud membunuh, hanya untuk merampas bokor. Hal inilah yang membuat dia belum juga dapat merobohkan lawan. Andaikata dia tidak berpantang membunuh, dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, dengan sin-kangnya yang hebat dan Thi-khi-i-beng yang mujijat, dia tentu sudah berhasil membunuh lawan.
Legaspi menjadi bingung melihat anak buahnya terdesak, bahkan tinggal tiga orang lagi yang melawan mati-matian. Dia sendiri agaknya belum tentu dapat menangkan pemuda gundul yang lihai seperti setan ini, biarpun hanya bertangan kosong. Tiba-tiba ia berseru keras, tangan kirinya melempar sebuah benda ke tengah kapal, dekat tihang induk. Terjadi ledakan dahsyat dan ternyata benda itu adalah alat peledak. Begitu meledak, timbul kebakaran di tempat itu, karena angin bersilir dan api menjilat layar, sebentar saja kapal itu sudah berkobar-kobar.
Melihat ini, Yuan dan Li Hwa cepat merobohkan tiga orang sisa lawan, kemudian keduanya mencoba memadamkan api dengan siraman air. Namun, air yang hanya sedikit itu mana mampu membunuh api yang sudah berkobar begitu dah-syat?
Kun Liong penasaran sekali. Ketika cambuk menyambar, dia sengaja menubruk dan melindungi tubuh dengan sin-kangnya. “Tarrr!” cambuk menghantamnya dan membelit tubuhnya, akan tetapi Kun LiOng mencengkeram ke arah tangan kanan yang memegang cambuk.
“Augghh!” Legaspi berteriak dan terpaksa melepaskan gagang cambuk dan menarik tangannya. Pada saat itu juga, Legaspi memukulkan telapak tangan kanannya yang besar ke arah dada Kun Liong. Kembali Kun Liong menerima pukulan tangan terbuka ini dengan dadanya menggunakan Thi-khi-i-beng dan... telapak tangan itu melekat pada dada-nya, terus saja sin-kang dari tubuh Le-gaspi mengalir seperti air membanjir ke tubuh Kun Liong! Mereka berada dekat ril dek, di pinggir kapal.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Legaspi ketika merasa babwa tangannya disedot, makin lama makin banyak membuat tubuhnya menggigil. Kun Liong sudah mengulurkan tangan merampas bokor dan pada saat itu juga dia membebaskan lawan dari Thi-khi-i-beng dan mendorongnya ke belakang.
Dengan jeritan mengerikan tubuh gendut itu terlempar ke balakang, mela-lui ril dan jatuh tercebur ke laut yang kini agak besar ombaknya. Kun Liong menjenguk ke bawah dan menarik napas panjang. Hatinya merasa menyesal sekali, bulu tengkuknya berdiri. Dia tidak senga-ja membunuh orang, akan tetapi orang itu betapapun juga mati tenggelam di laut karena bertanding dengan dia!
“Gara-gara benda tertutuk ini!” Dia memandang bokor yang telah banyak mendatangkan korban.
“Kun Liong, syukur kau telah dapat merampas bokor dan membunuhnya!” kata Li Hwa.
“Aku tidak membunuhnya dan...”
“Hem, mengapa mengobrol saja?” teriak Yuan yang membuka baju, tampak tubuhnya yang kekar itu penuh keringat. “Lebib balk lekas bantu memadamkan api kalau tidak ingin dibakar hidup-hidup!”
Kun Liong dan Li Hwa segera membantu dengan ember, menguras persediaan air, bahkan menimba dari pinggir kapal untuk menanggulangi kebakaran yang hebat itu. Namun usaha mereka itu sia-sia, sedikit api padam, di lain bagian sudah mendapatkan bahan bakar yang lebih banyak.
KITA tinggalkan dulu tiga orang muda yang sibuk berusaha memadamkan api itu dan kembali ke Pulau Ular. Pertandingan antara empat orang tokoh sakti masih berlangsung dengan hebatnya. Namun kini sudah tampak perubahan besar. Toat-beng Hoat-su sudah terengah-engah, keringat memenuhi mukanya dan dari kepalanya tampak uap putih mengepul, sedangkan lawannya, Panglima The Hoo masih tenang saja dan setiap gerakannya mantap. Demikian pula dengan Ban-tok Coa-ong yang menghadapi Keng Hong. Pendekar sakti ini dapat mempermainkan lawannya sekarang setelah lawannya menjadi lelah dan lemah.
“Hayo katakan di mana bokor emas itu kau sembunyikan!” kata The Hoo sambil mendesak lawan. “Dan menyerahlah, mungkin engkau tidak akan dihukum mati.”
Namun Toat-beng Hoat-su tidak menjawab melainkan terus melawan mati-matian, setiap gerakan kedua tangannya yang terkepal mantap dan mendatangkan angin dahsyat. Namun lawannya, Panglima The Hoo adalah scorang yang selain memiliki ilmu kepandaian amat tinggi dan pengalaman yang amat luas, juga terkenal sebagai seorang yang memiliki sin-kang yang mujijat. Dari kedua tangan kakek panglima sakti ini tampak uap putih mengepul dan setiap kali mereka beradu lengan, tentu tubuh Toat-beng Hoat-su terdorong mundur dan membuatnya terhuyung-huyung. Hal ini membuat Toat-beng Hoat-su marah sekali. Sambil berteriak keras dia mengeluarkan jubahnya dan mengamuk dengan senjata istimewa ini. Namun, The Hoo sudah pula mengeluarkan pedangnya, dan tampaklah sinar kilat berkelebatan menyilaukan mata ketika pedang itu dimainkan.
“Brett-brett-brett...!” Betapa kagetnya hati Toat-beng Hoat-su melihat bahwa jubahnya, senjata yang amat diandalkannya, kini cabik-cabik oleh pedang di tangan lawannya.
Di lain pihak, pertandingan antara Ban-tok Coa-ong dan Cia Keng Hong juga berlangsung tidak kalah hebat dan serunya.
“Ha-ha-ha, jadi engkau adalah supek dari pemuda gundul itu? Ha-ha-ha kalau begitu biarlah aku mengirim engkau ke neraka menyusul ayah bundanya!” Bantok Coa-ong tertawa mengejek ketika mendengar tadi Kun Liong menyebut lawannya ini “supek”.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong mendengar kata-kata itu. Ucapan Ban-tok Coa-ong itu berarti bahwa Gui Yan Cu dan Yap Cong San telah tewas! Dia merasa kaget, duka, dan marah sekali. Hal ini membuat gerakannya menjadi kacau dan tenaganya berkurang maka Ban-tok Coa-ong dapat mendesaknya dengan hebat. Datuk kaum sesat ini memang lihai sekali, maka begitu Cia Keng Hong mengalami pukulan batin yang membuat gerakannya mengendur. Kakek Raja Ular itu mendesaknya dengan kedua senjatanya yang aneh. Cia Keng Hong seperti nanar dan pening kepalanya mendengar berita mengejutkan itu dan selama belasan jurus pendekar sakti ini hanya dapat menangkis dan mundur?mundur.
“Mampuslah! Ha?ha!” Ban?tok Coa?ong sudah menyerang dengan pedang ularnya, menusuk ke arah leher dengan kuatnya, sedangkan terompetnya yang merupakan senjata ampuh itu menghantam arah dada lawan.
Menghadapi serangan yang amat berbahaya ini, barulah Cia Keng Hong sadar akan ancaman maut, maka dia cepat menggoyang kepalanya, menggerakkan pedang dan mengerahkan sin?kang untuk menempel pedang lawan, kemudian menerima hantaman di dada itu dengan cengkeraman tangan sehingga terompet itu remuk dan tangan Keng Hong terus mencengkeram tangan kiri lawan schingga jari?jari tangan mereka saling mencengkeram!
“Lepaskan pedang!” Keng Hong membentak dan sebuah kekuatan dahsyat membuat kedua pedang yang saling menempel itu terlepas karena tangan kanan Ban-tok Coa-ong tergetar hebat. Sepasang pedang itu terlempar kesamping dan kedua tangan kanan mereka pun saling cengkeram. Kini kedua tangan mereka dengan jari-jari saling mencengkeram mengadu telapak tangan dan keduanya mengerahkan tenaga.
Ban-tok Coa-ong mengandalkan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun mengerahkan seluruh tenaga untuk mengirim racun ke tubuh lawan melalui telapak tangannya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasa betapa sin-kangnya menerobos ke luar disedot oleh kedua tangan pendekar itu. Mukanya menjadi pucat sekali, dan teringatlah ia kini akan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng yang kabarnya di dunia in hanya dimiliki oleh Pendekar Cia Keng Hong seorang. Dia merasa makin lemah, tak kuat lagi menahan sin-kangnya yang membanjir keluar membuat tubuhnya kehilangan tenaga sehingga tak terasa lagi dia jatuh berlutut, keringatnya menetes-netes.
“Le... lepaskan aku...!” katanya di luar kesadarannya, terdorong oleh rasa ngeri ketika merasa betapa sin-kangnya terus membanjir keluar.
“Siapa yang membunuh Yap Cong San dan Gui Yan Cu?” terdengar suara pendekar itu bertanya, penuh wibawa menyembunyikan kekagetan, kedukaan, dan kemarahannya mendengar berita itu.
“Para datuk kaum sesat... kecuali aku... eh, Toat-beng Hoat-su, Siang-tok Mo-li, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin... Harap kaulepaskan aku...!”
“Di mana dibunuhnya mereka?”
“Di... di Tai-goan... auggghhhh!” Tubuh Ban-tok Coa-ong roboh dan tewas seketika ketika tangan kiri Keng Hong menampar kepalanya.
“Desss... aduhhh...!” Tubuh Toat-beng Hoat-su juga terpelanting dan tewas seketika. Dedanya remuk terkena pukulan mujijat Panglima The Hoo yang disebut Jit-goat-sin-ciang-hwat.
“Sayang mereka tidak mengaku di mana adanya bokor... heiii, mengapa wajahmu murung, Cia-sicu?” Panglima itu bertanya heran.
“Hamba... baru saja mendengar dari dia...” Keng Hong menunjuk ke arah mayat Ban-tok Coa-ong “...bahwa sahabat hamba Yap Cong San dan isterinya, sumoi hamba telah dibunuh oleh kelima datuk kaum sesat di Tai-goan.” Tak terasa dua titik air mata turun dari mata pendekar itu dan cepat dihapusnya.
“Hemmm, orang-orang jahat itu hanya mendatangkan bencana saja.” Dia menoleh dan melihat bahwa pertempuran sudah selesai, tidak tampak pihak musuh, hanya pasukannya yang siap menanti perintah dan ada yang mempersiapkan kapalnya. Ketika menoleh inilah dia melihat api berkobar di laut. “Ada kebakaran di sana...!” teriaknya.
Keng Hong menoleh dan keduanya lari ke pantai di mana semua pasukan juga sedang memandang kebakaran. Dari jauh, para pasukan tidak dapat melihat apa yang terjadi di Kapal Kuda Terbang yang terbakar itu, akan tetapi begitu melihat mata Keng Hong dan Panglima The Hoo dapat melihat dua orang sedang bertanding hebat, yang seorang adalah kakek berjubah aneh yang mudah saja diduga tentulah Legaspi, sedangkan lawannya adalah seorang pemuda gundul.
“Kun Liong menghadapi Legaspi. Tentu bokor sudah di tangan Legaspi.” kata Keng Hong.
“Akan tetapi kapal itu terbakar. “Dan ehhh... bukankah itu Li Hwa di sana, membantu seorang pemuda asing tanpa baju sedang mencoba memadamkan api?”
Keng Hong juga melibat ini. “Kalau begitu Nona Souw sudah tertolong!”
“Kapal itu terbakar hebat, kita harus mencoba menolong mereka!” Panglima The Hoo, diikuti oleh Keng Hong lalu lari ke kapal dan panglima itu memerintahkan supaya kapal cepat diluncurkan menuju ke Kapal Kuda Terbang yang terbakar. Akan tetapi ketika mereka sudah tiba agak dekat, mereka tidak mungkin dapat terlalu dekat, karena hal itu berbahaya sekali. Potongan-potongan kayu yang masih bernyala mulai beterbangan dan kalau mengenai kapal atau layarnya, bisa berbahaya. Di samping lain, juga Perahu Ikan Duyung mendekati kapal yang terbakar namun mereka tidak berdaya melakukan sesuatu.
Panglima The Hoo dan Keng Hong melihat betapa Kun Liong dapat merobohkan Legaspi yang terjungkal ke laut, kemudian melihat Kun Liong membantu memadamkan api. Namun api makin membesar dan sudah makan setengah kapal, membuat kapal miring dan sebentar lagi tentu tenggelam!
Panglima The Hoo dan Keng Hong memandang penuh kekhawatiran. “Mereka harus segera meloncat ke luar dan berenang, nanti kita jemput dengan perahu. Kalau sampai kapal itu meledak, celaka...!”
Keng Hong mengerahkan khi-kangnya dan terdengar dia berteriak, nyaring bukan main. “Yap Kun Liong, kalian semua tinggalkanlah kapal...!”
Panglima The Hoo juga berteriak, teriakannya bahkan lebih nyaring lagi. “Li Hwa, aku gurumu memerintahkan kau lekas tinggalkan kapal!”
Tiga orang muda itu mendengar seruan-seruan ini, dan mereka baru melihat bahwa kapal perang Panglima The Hoo berada tidak begitu jauh dari situ, demikian pula Perahu Ikan Duyung.
“Yuan, Li Hwa, mari kita tinggalkan saja kapal terbakar ini!”
“Tidak, Kun Liong. Aku adalah kapten kapal ini, dan seorang kapten tidak akan meninggalkan kapalnya. Lebih mati bersama tenggelamnya kapal daripada meninggalkan kapal yang akan tenggelam!” Jawaban ini penuh semangat, dada yang bidang itu dibusungkan, penuh peluh dan hangus, tampak gagah bukan main.
“Li Hwa, hayo kita pergi dari sini. Gurumu memanggil.”
Li Hwa tampak bingung, sebentar menoleh ke arah kapal perang gurunya, kemudian menoleh kepada Yuan yang tersenyum kepadanya dan berkata, “Pergilah kekasihku, engkau harus diselamatkan.”
“Tidak...!” Li Hwa terisak lalu lari merangkul Yuan. “Kalau kau tidak pergi, aku tidak. Aku harus berada di sampingmu selalu, hidup atau mati!”
“Li Hwa...”
“Yuan...”
Mereka berpelukan dan Kun Liong memandang dengan mata terbelalak. Sudah diduganya bahwa kedua orang muda ini saling mencinta, akan tetapi tidak diduganya akan menyaksikan cinta sehebat dan sebesar itu, cinta sampai mati!
“Apakah kau telah gila, Yuan?”
“Bukan aku, melainkan engkau yang gila kalau hendak memaksa seorang kapten kapal meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam. Apa artinya hidup tanpa kehormatan? Nenek moyangku terkenal memegang teguh kehormatan, lebih berharga daripada nyawa, dan aku tidak sudi mengecewakan mereka.”
“Yuan... kau hebat...!” Li Hwa mendekap makin erat, penuh bangga dan cinta kepada kekasihnya.
“Li Hwa, kau... ditunggu gurumu... dan kau seorang panglima wanita negaramu... Apakah kau juga gila, ketularan Yuan?”
Li Hwa tidak melepaskan dekapannya, hanya menoleh dan tersenyum kepada Kun Liong. Senyum mulutnya tapi air matanya bertetesan, pemandangan yang tak mungkin akan dapat dilupakan oleh Kun Liong selama hidupnya. “Kun Liong, engkaulah yang gila seperti dikatakan kekasihku, kalau kau hendak memaksa seorang dara meninggalkan kekasihnya yang terancam kematian. Aku harus tinggal bersama dia, kaupergilah, bawalah bokor itu dan serahkan kepada Suhu, berikut hormatku yang terakhir kepada beliau...”
“Yuan... Li Hwa...”
Kapal makin hebat kebakarannya dan kapal itu sudah miring sekali, sebentar lagi tenggelam.
“Kun Liong...!” terdengar lagi suara Keng Hong memanggil.
“Li Hwa...!” tersusul suara Panglima The Hoo.
Kun Liong mengangkat pundak, kehabisan akal. Tentu saja, dengan kepandaiannya, dia mampu mengusai dua orang itu dan memaksanya meloncat ke air, akan tetapi dia tidak tega melakukannya karena kehidupan Yuan pasti akan sengsara dan karenanya Li Hwa juga akan sengsara. Pula, seandainya mereka berdua tertolong, mungkinkah Li Hwa menjadi jodoh Yuan? Pikiran ini membuat dia melangkah maju, menjabat tangan Yuan dan Li Hwa, hampir tak dapat berkata-kata karena haru, matanya basah dan air matanya bertitik. “Selamat tinggal, Li Hwa dan Yuan... semoga kalian... semoga... kalian... bahagia...!” Kun Liong membalikkan tubuh lalu meloncat ke air membawa bokor emas. Keharuan dan pertandingan hebat melawan Legaspi tadi membuat dia lemah, namun dia mengerahkan tenaganya untuk berenang. Tak lama kemudian tubuhnya ditarik ke atas perahu kecil dan langsung dia dibawa ke kapal, dinaikkan ke kapal perang.
Cia Keng Hong dan The Hoo menyambutnya, Kun Liong berlutut dan menyerahkan bokor emas kepada The Hoo tanpa kata-kata, kemudian dia membalik dan memandang ke arah Kapal Kuda Terbang yang terbakar, kemudian, melihat betapa Yuan dan Li Hwa masih saling berdekapan, di antara api dan air, di pinggir ujung kapal yang sudah tenggelam sebagian. Kun Liong tak dapat menahan diri, dia menangis mengguguk seperti anak kecil!
“Apa yang terjadi...?” Keng Hong bertanya, mengguncang pundak Kun Liong.
“Yuan de Gama... dia kapten kapal itu... dia tidak mau disuruh pergi... dia memilih mati bersama kapalnya dan... dan Li Hwa... yang mencintanya, mencinta sampai mati tak mau terpisah darinya...”
“Li Hwa...?” Panglima The Hoo berseru penuh keheranan, kekaguman, penasaran, juga kedukaan, Li Hwa seperti puterinya sendiri. Kalau dia menggunakan kepandaiannya, mungkin dia masih akan dapat memaksa puterinya itu pergi meninggalkan Yuan, akan tetapi, melihat kedua orang itu berdekapan ketat menghadapi maut, dia menghela napas panjang.
“Semua beri hormat kepada kapten Kapal Kuda Terbang. Tuan Yuan de Gama dan Nona Souw Li Hwa!” Tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba yang nyaring dan semua pasukan bangkit dan berdiri tegak ke arah kapal yang mulai tenggelam itu dengan sikap memberi hormat kepada dua orang yang berdekapan itu.
Hanya ujung kapal yang masih tampak, itu pun sudah dijilat api sehingga kedua orang itu seolah-olah berada di tengah-tengah api yang mulai tenggelam!
Tiba-tiba terdengar jerit yang penuh kemesraan.
“Li Hwa...!”
“Yuan...!”
Jerit penuh kebahagiaan dari mulut Yuan dan Li Hwa itu seolah-olah merupakan jerit kebahagiaan sepasang mempelai di pelaminan. Tubuh mereka mulai ditelan air perlahan-lahan, kemudian lenyap. Sunyi senyap di kapal perang, kecuali suara mengguguk tangis Kun Liong. Cia Keng Hong dan Panglima The Moo berdiri tegak dan mereka berdua mengusap air mata yang menitik ke atas pipi mereka yang sudah mulai keriputan.
Di tempat lain, di atas Perahu Ikan Duyung, juga terjadi hujan tangis. Yuanita jatuh pingsan, dan Richardo de Gama berlutut dan bersembahyang kepada Tuhan untuk menerima roh puteranya yang gugur sebagai seorang gagah perkasa, menjunjung tinggi nama keluarga de Gama yang memang terkenal. Di hati bapak tua ini, terdapat keharuan, kedukaan hebat, namun ada pula sedikit kebanggaan. Dengan matinya Yuan, dia mengajak puterinya kembali ke negaranya.
Kun Liong yang berdiri di ujung kapal perang, memandang Perahu Ikan Duyung. Biarpun dia tidak dapat melihatnya, dia dapat membayangkan betapa duka hati Richardo de Gama, terutama hati Yuanita. Ingin dia dapat dekat dengan nona itu dan menghiburnya. Akan tetapi dia melihat perahu itu mengangkat sauh dan meluncur pergi meninggalkan tempat itu. Maka dia hanya dapat menghela napas saja. Betapa buruk nasib menimpa putera-puteri Richardo de Gama. Biarpun Yuan yang mencinta Li Hwa mendapat balasan yang tidak kalah mesranya, namun dia harus mAti dengan kekasihnya itu. Sedangkan Yuanita, yang dia tahu jatuh cinta kepadanya, terpaksa harus menanggung penderitaan hati akibat cinta gagal.
Sebuah tangan menyentuh pundaknya. Dia menengok dan melihat Cia Keng Hong sudah berdiri di depannya dan agaknya supeknya ini akan bicara hal yang serius melihat wajahnya.
“Ada apakah, Supek?”
“Ada berita penting untukmu, Kun Liong. Harus kusampaikan sekarang juga sebelum kita berpisah. Aku telah mendengar tentang ayah bundamu...” Sampai sini leher Keng Hong seperti dicekik.
Wajah Kun Liong seketika berubah dan kedukaan mengingat nasib Yuanita dan Yuan tersapu bersih berganti harapan cerah pertemuan dengan orang tuanya yang sudah terpisah belasan tahun dengannya. “Di mana mereka, Supek? Ahhh, girang sekali hatiku dan... ihhh, mengapa, Supek?” Dia kaget setengah mati melihat orang tua itu menitikkan air mata!
Dengan suara parau dan sukar, Keng Hong berkata, “Jangan kaget, anakku... aku mendengar dari mulut Ban-tok Coa-ong sebelum dia kutewaskan bahwa... bahwa... sahabatku Yap Cong San... sumoiku Gui Yan Cu, ayah bundamu itu...” Kembali dia berhenti dan air matanya makin deras.
“Supek!” Kun Liong menjadi pucat dan lupa diri, dia memegang lengan supeknya dan mengguncangkan keras-keras!
“Mereka telah tewas, dibunuh oleh lima datuk kaum sesat...”
Kun Liong terhuyung ke belakang, seolah-olah supeknya memukulnya dengan pukulan maut, matanya terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia menjerit sekuatnya yang terdengar seperti auman harimau yang akan mati, tubuhnya terguling dan cepat disambar oleh Cia Keng Hong. Kun Liong jatuh pingsan, mulutnya terkancing rapat dan matanya terbuka tanpa cahaya!
“Kun Liong... kasihan kau...” Keng Hong mendukung tubuh pingsan itu dan membawanya ke biliknya di kapal perang itu.
Panglima The Hoo memerintahkan kapal menuju ke Teluk Pohai dan mendarat, di mana telah menanti kereta kebesaran untuk membawanya kembali ke istana. Sedangkan Keng Hong setelah merawat Kun Liong sehingga pemuda itu sadar, menghiburnya dengan nasihat-nasihat mendalam, lalu meninggalkan tempat itu kembali ke Cin-ling-san.
Kun Liong juga meninggalkan tempat itu dan mulai merantau seorang diri, akan tetapi pertama-tama dia menuju ke Tai-goan untuk mencari berita tentang kematian ayah bundanya.
Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam suntuk dia menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka. Dia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga keluarga Theng yang sudah tua dan tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya. Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat! Bahkan dia mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi. Dia menyembahyangi kuburan empat orang anggauta keluarga Theng dan setelah air matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata,
“Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah buruk, perkelahian adalah tidak baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa pun juga alasannya! Akan tetapi, perbuatan yang paling biadab telah dilakukan oleh lima orang datuk kaum sesat dan saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat mencari mereka yang masih hidup dan membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo, Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoat-su. Jadi hanya tinggal Kwi-eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang.”
Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tak perlu ditangisi dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia sekarang menjadi yatim piatu, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara. Namun, masih ada tugasnya yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang telah mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah. Dengan demikian, dia dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama merampas kembali pusaka Siauw-lim-pai seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia bergidik ketika teringat akan kata-kata “membunuh” ini. Selamanya dia tidak akan pernah membunuh orang dengan sengaja, apalagi dalam perbuatan, bahkan tidak dalam pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun alasan pembunuhan ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi pendirian tentang itu. Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biarpun hal ini berlawanan dengan isi hatinya.
Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali, maka dia memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk di atas bangku panjang menghadapi meja dan karena tidak ada seorang pun di dalam warung yang terpencil di ujung dusun itu, dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya sambil berteriak, “Haiii, ada orangnyakah di sini?”
Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu dapat menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka sedang mengintai dan mengawasinya. Tak lama kemudian setelah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang laki-laki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh. Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya, “Tuan Muda hendak memesan apakah?”
Kun Liong yang merasa lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam makanan yang disukainya, “Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak yang manis.”
Akan tetapi betapa mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut yang bibirnya tebal itu menjawab, “Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi dan arak tua, dan bakpauw.”
“Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua pun lumayan, pokoknya asal perutku kenyang.”
Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam suntuk dia menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka. Dia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga keluarga Theng yang sudah tua dan tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya. Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat! Bahkan dia mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi. Dia menyembahyangi kuburan empat orang anggauta keluarga Theng dan setelah air matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata,
“Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah buruk, perkelahian adalah tidak baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa pun juga alasannya! Akan tetapi, perbuatan yang paling biadab telah dilakukan oleh lima orang datuk kaum sesat dan saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat mencari mereka yang masih hidup dan membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo, Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoat-su. Jadi hanya tinggal Kwi-eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang.”
Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tak perlu ditangisi dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia sekarang menjadi yatim piatu, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara. Namun, masih ada tugasnya yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang telah mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah. Dengan demikian, dia dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama merampas kembali pusaka Siauw-lim-pai seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia bergidik ketika teringat akan kata-kata “membunuh” ini. Selamanya dia tidak akan pernah membunuh orang dengan sengaja, apalagi dalam perbuatan, bahkan tidak dalam pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun alasan pembunuhan ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi pendirian tentang itu. Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biarpun hal ini berlawanan dengan isi hatinya.
Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali, maka dia memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk di atas bangku panjang menghadapi meja dan karena tidak ada seorang pun di dalam warung yang terpencil di ujung dusun itu, dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya sambil berteriak, “Haiii, ada orangnyakah di sini?”
Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu dapat menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka sedang mengintai dan mengawasinya. Tak lama kemudian setelah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang laki-laki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh. Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya, “Tuan Muda hendak memesan apakah?”
Kun Liong yang merasa lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam makanan yang disukainya, “Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak yang manis.”
Akan tetapi betapa mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut yang bibirnya tebal itu menjawab, “Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi dan arak tua, dan bakpauw.”
“Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua pun lumayan, pokoknya asal perutku kenyang.”
Biarpun tidak begitu tertarik karena pemuda asing bernama Markus (Marcus) itu hanya mementingkan urusannya sendiri, namun untuk menanti datangnya pasukan yang diberi laporan, Marcus bertanya, “Siapakah gurumu, Lo-mo? Tentu dia lihai bukan main.”
“Seperti dewa! Guruku itu, biarpun sampai kini tidak atau belum mau meninggalkan guha pertapaannya karena sedang mencipta ilmu untuk melawan Thi-khi-i-beng ilmu tertinggi Cia Keng Hong, namun jelas guruku adalah orang yang paling sakti di dunia ini pada saat sekarang. Namanya pun harus kurahasiakan sampai guruku itu keluar dari guha dan turun ke dunia ramai.”
Marcus mengangguk-angguk. “Dan, tiga orang susiokmu itu siapakah, mengapa pula sampai terbunuh oleh Cia Keng Hong?”
“Mereka dahulu terkenal sekali sebagai Thian-te Sam-lomo (Tiga Iblis Tua Langit dan Bumi) yang masing-masing bernama julukan Kai-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Pengemis), Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastra), Thian-to Lo-mo, yang menjadi seorang pendeta agama To. Kepandaian mereka hebat sebagai adik-adik seperguruan guruku, dan tentu dengan secara licik, dengan Thi-khi-i-beng maka Cia Keng Hong dapat membunuh mereka. Karena itulah maka selama belasan tahun guruku bersamadhi mencipta ilmu untuk menandingi Thi-khi-i-beng.”
Mengenai kematian Thian-te Sam-lo-mo di tangan Cia Keng Hong ini terjadi dalam cerita Pedang Kayu Harum. Akan tetapi Kun Liong yang tak pernah mendengar cerita ini, terkejut bukan main. Dua kali dia terkejut, pertama mendengar bahwa bokor emas yang dirampasnya di Pulau Ular itu ternyata palsu dan ke dua adalah urusan dendam terhadap supeknya itu. Namun dia tetap diam, pura-pura pingsan.
Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan pemerintah yang sedikitnya ada lima puluh orang banyaknya. Beberapa orang perajurit segera memasuki warung itu dan menodongkan tombaknya kepada Kun Liong yang masih terkulai lemas bersandar pada tiang.
“Heh-heh-heh, tak perlu menggunakan kekerasan. Selama setengah hari dia tidak akan dapat bergerak. Belenggu saja dia kuat-kuat,” kata kakek yang disebut Lo-mo tadi, kemudian bersama Marcus ia menemui komandan pasukan. Komandan pasukan memang tahu akan bokor emas yang palsu, maka mendengar laporan dua orang asing baginya ini bahwa tentu pemuda ini sebagai penemu pertama bokor emas yang telah memalsukannya, menjadi percaya dan girang.
“Kita tangkap dia dan bawa kepada The-ciangkun. Kalian berdua tentu menerima hadiah banyak kalau bokor yang aseli dapat ditemukan melalui pemuda gundul ini.”
“Kami tidak mengharapkan hadiah, Ciangkun, karena kami, para pedagang di Teluk Pohai, selalu dengan senang hati akan membantu pemerintah.” Jawab Marcus dan hati komandan itu makin senang, apalagi setelah Marcus membagi-bagikan dinar emas kepada para anggauta pasukan, seorang satu dan lima buah untuk Sang Komandan.
Kun Liong dibelenggu kaki tangannya, dan digusur keluar, kemudian dinaikkan ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, sedangkan Marcus dan Lo-mo itu pun memperoleh seekor kuda masing-masing. Marcus membebaskan suami isteri pemilik warung dan memberi hadiah pula.
Berangkatlah rombongan itu dan Kun Liong masih pura-pura menelungkup pingsan. Dia tertarik sekali dan ingin dihadapkan Panglima The Hoo untuk mendapatkan keterangan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan bokor itu. Dia tidak percaya bahwa seorang sakti bijaksana seperti panglima itu akan menuduhnya sembarangan saja seperti yang dilakukan orang-orang ambisius yang gila uang ini.
Setelah setengah hari lamanya, Kun Liong pura-pura sadar dan mengeluh. Pura-pura meronta akan tetapi punggungnya ditodong cakar di ujung tongkat kakek itu, dan beberapa ujung tombak runcing para perajurit juga menodongnya.
“Kenapa aku dibelenggu? Ke mana aku dibawa pergi?” Kun Liong pura-pura bertanya untuk menyempurnakan sandiwara.
“Heh-heh-heh, engkau Yap Kun Liong, murid keponakan Cia Keng Hong, bukan? Engkau penipu busuk yang menyembunyikan bokor emas pusaka Panglima The Hoo dan menggantinya dengan yang palsu. Katakan di mana kau menyimpan yang aseli, kalau tidak, engkau akan dihukum penggal kepala, heh-heh-heh!”
Dengan susah payah Kun Liong menggerakkan lehernya menengadah, memandang kakek itu dan bertanya, “Kakek yang botak, jauhkan cakar bebek itu dari kepalaku! Kau ini siapakah? Bukankah kau pemilik warung tadi?”
“Heh-heh-heh, bocah gundul tolol. Mau tahu siapa aku? Heh-heh, di dunia kang-ouw orang menyebutku Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakat Beracun)!”
“Hemm, aku tidak mengenalmu.”
“Orang macam engkau mana mengenal? Lebih baik katakan di mana bokor itu.”
“Aku tidak tahu, yang kutahu hanyalah bokor yang telah diserahkan kepada The-ciangkun.”
“Bohong!”
“Terserah penilaianmu. Hadapkan aku kepada The-ciangkun dan biarlah beliau yang menentukan apakah aku bohong atau tidak.”
Mendengar ucapan ini, Tok-jiauw Lo-mo tidak berani turun tangan. Di situ terdapat banyak perajurit dan juga terdapat Marcus yang tentu saja tidak suka kalau dia menyiksa pemuda ini untuk kepentingannya sendiri. Dia harus berlaku cerdik, dan tentu saja tidak ada selembar rambut pun di hatinya seperti kepala botaknya, untuk menyerahkan bokor emas yang aseli kepada Panglima The Hoo! Kalau sampai dia berhasil, tentu akan dibawanya kepada gurunya dan dinikmatinya bersama.
Ujung tongkatnya yang sebelah belakang, yang tumpul, bergerak cepat sekali dan tahu-tahu dia telah menotok punggung dan pinggul Kun Liong. Seketika pemuda ini merasa betapa kedua tangannya dan kedua kakinya menjadi lumpuh dan diam-diam dia mengutuk kakek ini yang amat cerdik. Kalau tidak ditotok seperti itu, betapa mudahnya mematahkan belenggu dan membebaskan diri. Sekarang dia benar-benar tidak berdaya dan terpaksa dia melemaskan tubuhnya untuk dibawa pergi oleh pasukan itu.
Malam itu, rombongan pasukan berhenti beristirahat di sebuah hutan. Mereka semua telah melakukan perjalanan jauh sehari suntuk dan semua merasa lelah. Setelah menghabiskan ransum yang dibagi-bagi, dan Kun Liong juga kebagian karena biarpun dia dibelenggu kaki tangan dan tubuhnya pada sebatang pohon namun di waktu makan tali yang membelenggu tangannya diperpanjang, maka para perajurit itu pergi tidur di bawah pohon-pohon. Adapun Tok-jiauw Lo-mo dan Marcus, yang merasa bahwa Kun Liong takkan mampu berkutik lagi karena selain kedua tangannya tergantung dengan belenggu di batang pohon, kedua kakinya dan tubuhnya diikat erat dengan sebatang pohon, ditambah lagi totokan baru yang dilakukan oleh Lo-mo untuk melumpuhkan kedua kaki tangannya, mereka lalu tidur juga bersama komandan pasukan, di dalam sebuah tenda yang didirian secara darurat. Seperti biasa, para atasan tidur di dalam tenda sedangkan para perajurit menggeletak begitu saja di atas tanah. Hal ini sudah lajim terjadi di manapun juga, yang tinggi selalu enak dan bekerja ringan, yang rendah selalu kekurangan dan bekerja paling berat!
Yang menjaga tawanan dilakukan secara bergilir. Dua belas orang sekali menjaga dan mereka ini mengambil tempat duduk mengelilingi pohon di mana Kun Liong diikat. Karena mereka merasa bahwa tawanan itu pun tidak akan mampu lolos, maka mereka itu banyak yang duduk sambil melenggut-lenggut diserang kentuk, bahkan ada pula yang tidak tahan terus terguling rebah dan tidur mengorok!
Hawa amat dingin di malam itu dan api unggun dibuat di beberapa tempat untuk memperoleh penerangan juga untuk sekedar menghangatkan tubuh. Menjelang tengah malam, Kun Liong melihat berkelebatnya bayangan yang cepat sekali menyelinap di antara pepohonan, makin lama makin dekat, kemudian dengan gerakan yang amat mengagumkan hatinya karena cepatnya, bayangan itu berloncatan dan setiap kali loncat dekat seseorang tentu terus menotoknya dengan tepat dan membuat mereka pingsan seorang demi seorang dalam keadaan masih seperti semula. Yang jongkok tetap berjongkok, yang bersandar pohon dan yang rebahan tetap begitu pula. Kemudian bayangan itu berkelebat dan berada di depan Kun Liong.
Kun Liong memandang dengan takjub dan sejenak dia terpesona. Orang ini jelas seorang wanita yang pakaiannya seperti nikouw, memakai kerudung kepala, semua pakaian berwarna putih. Akan tetapi yang mempesonakannya adalah waiah orang itu. Wajah seorang dara masih amat muda dan luar biasa cantik jelitanya! Alisnya melengkung seperti digambar, matanya seperti sepasang bintang pagi terlindung bulu mata yang lentik panjang, hidungnya mancung kecil dan mulutnya sama kecilnya dengan hidung, akan tetapi bibirnya penuh kemerahan, tubuhnya ramping dan biarpun pakaiannya kebesaran akan tetapi belum dapat menyembunyikan secara sempurna bentuk tubuh yang penuh lekuk-lengkung indah sekali. Seorang dara yang benar-benar cantik jelita, akan tetapi anehnya menjadi nikouw dan kepalanya tentu gundul pelontos seperti kepalanya sendiri, sungguhpun kepala gundul dara ini tertutup kerudung putih!
“Engkau siapakah, Nikouw muda yang lihai...?” tanya Kun Liong.
“Sssttt...!” Desis halus ini keluar dari mulut nikouw itu dan telunjuk tangan kirinya yang panjang meruncing itu menyentuh bibirnya sendiri. Dengan langkah ringan sekali dia meloncat ke depan pemuda itu dan dengan gerakan cekatan, jari-jari tangan yang halus lunak dan meruncing, yang agaknya hanya pantas untuk dipakai menulis sajak, melukis, menyulam atau mengobati orang terluka itu sekali renggut saja telah mematahkan semua tali yang mengikat kedua lengan, dan kaki Kun Liong! Kembali hal ini merupakan demonstrasi sin-kang yang amat kuat di samping gin-kangnya tadi yang membuat dia bergerak seperti seekor burung dan totokan-totokannya yang lihai. Begitu tali-tali itu tidak mengikatnya, Kun Liong merosot dengan lemasnya karena dia telah tertotok lumpuh.
“Aihhh... kau kenapa...?”
Dengan lemas Kun Liong memandang penuh perhatian. “Aku... agaknya aku pernah mendengar suaramu yang halus merdu itu... akan tetapi di mana, ya? Wajahmu yang cantik jelita seperti bidadari itu belum pernah aku melihatnya, mungkin hanya dalam mimpi naik ke sorga...”
“Hushhh!” Muka yang berkulit putih halus itu menjadi merah sekali. “Kau kenapa?”
“Tertotok pusat jalan darah ke lengan dan kaki terhenti, membuat lumpuh kaki tanganku.”
Tanpa banyak cakap lagi, jari-jari tangan yang halus itu menotok beberapa kali di kedua pundak di kedua pinggang kanan kiri dan seketika Kun Liong dapat bergerak lagi. Dia meloncat berdiri, menghadapi nikouw itu dan berkata, “Kau hebat! Kau luar biasa sekali, Nona... eh, Suthai!”
“Dan kau tolol sekali membiarkan dirimu ditawan oleh mereka, Tuan... eh, Hwesio!”
“Wah, aku bukan hwesio!”
“Kau pun mengatakan aku nikouw!”
“Kan pakaianmu pakaian nikouw dan aku berani bertaruh bahwa kepalamu itu tentu gundul halus dan bersih sekali.”
“Kau juga gundul.”
“Tapi aku bukan hwesio, aku Yap Kun Liong orang biasa, orang sialan dangkalan yang selalu bernasib malang, akan tetapi juga orang berbintang terang karena selalu tertolong wanita-wanita cantik!”
“Engkaii gundul tetapi bukan hwesio, apa kaukira kalau aku berpakaian nikouw dan gundul aku lalu seorang nikouw aseli?”
“Eh, eh! Apa ada nikouw palsu?”
“Tentu saja ada!”
“Mana?”
“Ini, yang berdiri di depanmu!”
Keduanya saling pandang dan perbantahan itu serasa lucu bagi mereka sehingga mereka tertawa kecil. Kun Liong masih celangap tertawa tapi segera suara ketawanya terhenti dan dia masih celangap memandang wajah dara itu. Dara itu tersenyum simpul, cukup untuk memperlihatkan sedikit kilatan gigi dan cukup untuk menciptakan dua lesung pipit di kanan kiri pipinya. Manis sekali! Manis dan jelita membuat Kun Liong terpesona dan bengong terlongong karena dia harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang dara secantik ini, belum pernah melihat wajah seperti itu, tiada cacatnya baginya, sempurna dan... dan... sukar dia mengatakan, pendeknya, tidak ada keduanya di dunia ini!
“Kenapa kita berbantahan tidak karuan? Hayo cepat ikut denganku. Kita harus cepat pergi dari sini.”
“Kenapa? Aku tidak takut! Dan terus terang saja, aku memang sengaja membiarkan diriku ditangkap agar dibawa ke depan Panglima The Hoo yang sudah kukenal baik. Aku tentu akan dibebaskan dan...”
“Bodoh! Kaukira aku tidak tahu itu semua? Sudah semenjak kau ditangkap aku mengintai dan membayangimu. Akan tetapi jangan mengira kau akan dibawa ke sana, kau akan disiksa dan dipaksa mengaku di mana adanya bokor, kemudian setelah bokor terdapat, kau akan dibunuh.”
“Tak mungkin, pasukan itu adalah pasukan pemerintah...”
“Tapi kau tidak kenal siapa itu, Tok-jiauw Lo-mo. Gurunya... hemmm, lihai bukan main. Dan pemuda asing itu agaknya sekutunya. Mari kita pergi...”
Kun Liong terkejut. “Tidak, aku akan menemui mereka. Akan kutanya secara terang-terangan mengapa mereka hendak mengkhianati Panglima The Hoo. Mereka harus dihajar dan kalau begitu, harus ditangkap dan dihukum!” Setelah berkata demikian, Kun Liong malah lari ke tenda dan berteriak-teriak, “Lo-mo setan tua, hayo ke sini kau bersama Marcus itu! Kalian mau berkhianat, ya?” Tanpa mempedulikan lagi kepada nikouw muda itu yang membanting kaki gemas dan meloncat pergi ke dalam gelap, Kun Liong terus berteriak-teriak dengan penuh kemarahan.
Segera terjadi geger di tempat itu. Para perajurit terbangun, kecuali dua belas orang yang tertotok, dan komandan pasukan bersama Marcus dan Tok-jiauw Lo-mo juga berlari mendatangi. Melihat pemuda gundul itu telah bebas, belenggunya terputus semua dan dua belas orang penjaganya tertotok semua tak mampu bergerak, mereka menjadi terkejut dan semua orang sudah mengeluarkan senjata, siap untuk mengeroyok.
“Hai, komandan pasukan. Jangan kau percaya kepada dua orang ini!” Kun Liong menudingkan telunjunya ke arah Lo-mo dan Marcus. “Mereka ini hendak berkhianat. Mereka tidak akan membawaku kepada Panglima The Hoo, melainkan hendak menculikku dan mungkin membunuh kalian semua. Hayo tangkap mereka dan kita bersama pergi menghadap Panglima The Hoo, untuk minta keadilan!”
“Heh-heh-heh, bocah gundul kalau kau tidak tolol tentu kepalamu terisi otak yang miring!” Tok-jiauw Lo-mo berkata nyaring, “Aku yang telah menangkapmu, kalau aku hendak berkhianat apa aku memberi kabar kepada komandan? Hayo Ciangkun, kerahkan orang-orangmu menangkap kembali tawanan gila yang berbahaya ini!”
Sang Komandan tentu saja lebih percaya kepada Lo-mo, apalagi kepada Marcus yang sudah membagi-bagi uang emas, maka dia memberi aba-aba dan serentak Kun Liong diterjang dari seluruh penjuru!
“Heiii, orang-orang bodoh...! Kalian ditipu setaan tua itu... wah, celaka ini!” Kun Liong terpaksa mengelak ke sana sini dan mendorong-dorong dengan kedua tangannya. Robohlah belasan orang oleh angin dorongan kedua tangan, akan tetapi mereka bangkit lagi dan lebih banyak yang mengeroyoknya karena ketika mereka terbanting, mereka tidak mengalami luka apa-apa.
Marcus sudah mengeluarkan pistolnya, akan tetapi tidak sempat menembak karena Kun Liong “terlindung” oleh demikian banyak pengeroyoknya. Tok-jiauw Lo-mo sudah menggerakkan tongkat pendeknya yang berujung cakar setan, lalu maju menerjang pula.
Kun Liong memang tidak suka berkelahi, akan tetapi dikeroyok seperti itu tentu saja dia harus mempertahankan diri dan menghalau lawan tanpa melukainya. Akan tetapi ketika Lo-mo maju, dia terkejut dan hampir saja lehernya kena dicengkeram oleh cakar setan kalau dia tidak cepat-cepat menggulingkan diri dan bergulingan sambil menarik banyak kaki sehingga lima orang perajurit pengeroyoknya jatuh tumpang tindih!
“Tolol! Tolol!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Marcus roboh tak bangkit lagi karena kena hantam kepalanya oleh tamparan tangan halus nikouw muda. Beberapa orang terpelanting dan ada yang terlempar ke atas pohon dilontarkan oleh tangan kecil itu, nikouw itu mengamuk menghampiri Kun Liong dan di tangannya terdapat sebuah saputangan putih yang digerakkan secara istimewa lihainya.
“Siuttt...!” Ujung saputangan putih itu menangkap cakar setan sehingga serangannya terhadap Kun Liong terhalang. Kakek tinggi kurus itu terkejut sekali, membentak. “Siapa kau!” Akan tetapi nikouw muda itu tidak peduli, cepat melepaskan libatan saputangannya dan menyerang kakek itu dengan tamparan tangan kirinya. Pukulannya seperti pukulan biasa saja, seperti seorang wanita menampar muka seorang pria yang hendak berkurang ajar kepadanya, namun tamparan itu cepat dan mendatangkan angin tenaga sin-kang yang kuat, juga datangnya tidak langsung melainkan membentuk lingkaran.
“Aihhh...!” Lo-mo terkejut dan meloncat ke belakang lalu membalas dengan gerakan tongkat cakar setannya, mengarah muka nikouw itu.
“Hemm, manusia ganas!” Nikouw itu berseru, dengan mudah mengelak dan ujung saputangannya meledak mengenai pundak kakek itu.
“Nikouw keparat!” Kakek itu marah ketika melihat pakaian di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa panas. Sebaliknya Si Nikouw Muda maklum bahwa tubuh kakek itu kebal. Hantaman ujung saputangannya tadi dapat menghancurkan batu karang, akan tetapi pundak kakek itu lecet pun tidak! Maka dia lalu menangkap lengan Kun Liong.
“Hayo pergi!”
Kalau Kun Liong menghendaki, tentu saja dia dapat merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan dan dapat menahan tarikan nikouw itu. Akan tetapi karena nikouw itu telah menjadi penolongnya dan dia pun sudah bosan harus melayani pengeroyokan sekian banyaknya perajurit, dia pun membiarkan dirinya diseret dan dia lari cepat sekali diseret
oleh nikouw muda yang ternyata memiliki gin-kang istimewa, Tentu saja Kun Liong tidak tega membiarkan nikouw itu kelelahan, maka diam-diam dia pun mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya ringan dan biarpun kelihatan dia diseret, namun sebenarnya dia berlari sendiri!
Setelah lari jauh dan para pengejarnya sudah tidak tampak atau terdengar lagi, Kun Liong sengaja terengah-engah dan berkata, “Aduhhh... berhenti... aduhh... napasku... senin kamis... huh-huh-huhhh...”
Nikouw itu melepaskan pegangannya dan mereka menjatuhkan diri duduk di bawah pohon. Nikouw itu memandang kepada Kun Liong sambil tersenyum melihat betapa pemuda itu ngos-ngosan napasnya.
“Aih, kiranya engkau hanya pandai dalam hal ilmu pengobatan saja, akan tetapi ilmu silatmu tidak berapa tinggi.”
“Huuh-hahhh... kau sih lari seperti kuda saja!”
Nikouw itu cemberut dan heranlah Kun Liong. Mana ada orang cemberut kok malah makin manis?
“Kausamakan aku dengan kuda?”
“Ibarat kuda, engkau tentulah kuda ajaib yang disebut Han-hiat-po-ma (Kuda Ajaib Berkeringat Darah) yang kabarnya sehari dapat lari seribu li.”
“Tidak sudi! Biarpun disamakan dengan kuda dewa sekalipun aku tidak sudi. Kuda nasibnya hanya ditunggangi orang! Aku bukan kuda!” Kun Liong bengong, tidak hanya terheran-heran melihat sikap wanita, watak wanita yang selalu berbeda dan dianggapnya edan-edanan dan kekanak-kanakan ini, akan tetapi juga heran karena setelah marah malah lebih manis daripada ketika cemberut tadi. Agaknya dalam setiap gerak-geriknya, nikouw muda jelita ini memiliki daya tarik yang berbeda, yang satu lebih menarik dan manis daripada yang lain!
“Sabar... sabar... aku hanya mengatakan larimu seperti kuda saking cepatnya.”
“Itu pun menghina namanya!”
“Elhoooh! Bukankah kuda itu paling cepat larinya? Bukan menghina melainkan memuji.”
“Siapa bilang. Larinya kuda saja berapa cepatnya sih? Aku sanggup berlari lebih cepat dari kuda!”
“Wah-wah, kalau begitu engkau tentu seorang bidadari dari kahyangan, bukan seorang manusia.”
“Ngawur, aku hanya seorang nikouw.”
“Nikouw palsu.”
“Nikouw benar-benar, tetapi nikouw terpaksa, hatiku bukan nikouw akan tetapi terpaksa aku menjadi nikouw...” Dan tiba-tiba nikouw itu menangis sesenggukan!
“Aihhh... Nona yang baik, kaumaafkan aku...” Kun Liong berlutut di depan nikouw itu.
“Heii, apa kau gila? Apa yang kaulakukan ini?” Nikouw itu lupa kesedihannya dan membentak menegur Kun Liong yang sudah duduk kembali.
“Kaukira engkau menangis karena kata-kataku yang tidak sopan atau yang menyinggung.”
“Tidak sama sekali. Aku hanya ingat akan nasibku. Sudahlah, tak perlu bicara tentang diriku.”
“Aku seperti pernah mendengar suaramu, bukan menjadi kebiasaanku melupakan suara yang amat merdu dan halus. Selama hidupku tentu akan teringat, akan tetapi entah di mana karena kita tidak pernah saling bertemu. Mungkin dalam mimpi aku mendengar suaramu...”
“Bodoh, biarpun dalam mimpi, mana bisa mendengar suara orang yang belum dijumpainya. Engkau memang pernah mendengar suaraku.”
“Benar-benarkah? Di mana? Kapan?”
“Ketika engkau mengobati seorang nikouw di dalam joli yang terluka... anunya...” Agaknya nikouw muda itu tidak sampai hatinya untuk menyebut sebuah pinggulnya yang terluka dahulu itu. Menceritakannya kembali saja membuat dia teringat dan seolah-olah dia merasakan kembali betapa jari tangan pemuda ini telah menyentuh kulit pinggulnya, membuat bulu tengkuknya berdiri!
“Apa...?” Kun Liong bengong memandang wajah nikouw itu dan aneh! Yang tampak olehnya adalah sebukit pinggul berkulit putih kuning halus dan yang terluka oleh jarum merah. “Pinggul... eh pinggul...” Dia mau bicara akan tetapi karena matanya membayangkan pinggul otomatis dari mulutnya keluar kata-kata itu membuat Si Nikouw Muda makin merah mukanya. “Maaf, iihh, kenapa mulut ini? Aku sekarang ingat. Pantas saja aku mengenal suaramu. Jadi engkaukah nikouw yang terluka oleh jarum merah itu? Siapakah engkau dan mengapa pula engkau sampai bisa terluka oleh Ouwyang Bouw?”
Kini nikouw itu memandang wajah Kun Liong dengan penuh keheranan. “Kau mengenal senjata rahasia Ouwyang Bouw?”
Kun Liong mengusap-usap kepalanya. “Karena jarumnya itulah maka kepalaku sekarang menjadi gundul pelontos seperti ini. Tentu saja aku pernah berjumpa dengan Ouwyang Bouw dan bapaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok.”
Nikouw muda itu bergidik, ngeri mendengar nama-nama itu. “Anaknya jahat, ayahnya lebih kejam dan lihai luar biasa. Yap Kun Liong, aku telah mendengar namamu disebut banyak orang karena urusan bokor emas, dan memang engkau orang luar biasa sekali. Semua tokoh kang-ouw memperebutkan bokor, engkau yang sama sekali tidak tahu apa-apa malah yang menemukan bokor itu! Aku... aku adalah Pek Hong Ing dan terus terang saja, aku... aku hanya terpaksa menjadi nikouw, maka jangan engkau menyebutku seperti nikouw. Lain orang tidak apa-apa, akan tetapi aku merasa canggung dan tidak enak kalau kau menyebutku sebagai nikouw.”
“Eihh, kalau aku yang menyebutnya mengapa sih? Apa bedanya aku dengan orang lain?”
Hong Ing cemberut dan kembali Kun Liong menelan ludah. Manisnya! “Kau boleh menyebut aku nikouw, akan tetapi aku pun akan menyebutmu hwesio karena kepalamu juga gundul seperti kepalaku. Bagiku, menjadi pendeta bukanlah lahirnya melainkan batinnya, dan di dalam batinku, aku sama sekali tidak ingin menjadi nikouw.”
Mendengar dara itu bicara dengan serius, Kun Liong tidak mau menggoda lagi. “Ya sudahlah, Hong Ing, aku menganggap saja engkau seorang dara yang berkepala gundul seperti aku. Tapi kau belum menceritakan bagaimana sampai anumu itu terluka jarum merah milik Ouwyang Bouw.”
“Sebut saja pinggulku, mengapa anumu-anumu? Tidak enak sekali mendengarnya.”
“Eh, bukankah kau sendiri yang menyebut begitu tadi? Aku hanya menirumu.”
“Apa engkau ini selalu hanya pandai meniru orang lain? Meniru sih baik asal yang benar, kalau yang salah masa harus ditiru?”
KUN LIONG tertawa. Mengelus gundulnya dan berkata, “Memang aku tolol... ha-ha, mungkin karena gundul...”
“Ingat, aku pun gundul...” kata Hong Ing dan keduanya tertawa geli.
Tiba-tiba wajah Hong Ing pucat sekali dan Kun Liong cepat membalikkan tubuh karena mendengar gerakan perlahan. Tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang dara lain yang wajahnya cantik jelita pula namun dingin dan pada saat itu wajah cantik ini kelihatan marah, sepasang matanya menyinarkan api dan bergantian mata itu menatap wajah Kun Liong dan Hong Ing. Dengan tubuh lemas Hong Ing bangkit berdiri, sedangkan Kun Liong tetap saja duduk enak-enak karena dia tidak mengenal wanita gagah dan cantik yang datang itu dan tidak merasa bersalah apa-apa, hanya terheran mengapa wanita muda secantik itu kelihatan marah sekali dan mengapa pula Hong Ing kelihatan pucat ketakutan.
“Engkau... Pek Hong Ing! Hemm, biarpun menyamar sebagai nikouw, aku tetap dapat mengenalmu. Sungguh tak tahu malu engkau, Sumoi! Menghindarkan diri dari pernikahan dengan cara menjadi nikouw, akan tetapi apa yang kutemukan di sini? Kau bermain gila dengan seorang hwesio muda! Betapa memalukan dan kau mencemarkan orang yang menjadi gurumu dan sucimu!”
“Suci! Jangan menuduh sembarangan!” Hong Ing berseru, suaranya mengandung isak karena ucapan sucinya itu benar-benar menusuk perasaannya yang halus.
“Tak perlu memutar lidah membela diri karena jelas kalian tertangkap basah! Apa perlunya kalau tidak main gila duduk di dalam hutan sunyi berduaan saja dan bersendau-gurau tertawa-tawa? Ah, sungguh percuma saja kepala kalian yang gundul itu. Sumoi, hayo kau ikut bersamaku menghadap Subo (Ibu Guru).”
Hong Ing dengan mata terbelalak dan muka pucat menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak... tidak... aku tidak mau kembali ke sana... aku lebih baik mati daripada dipaksa menikah...”
“Keparat! Berbulan-bulan aku mencarimu dengan susah-payah, setelah bertemu kau kudapatkan main gila dengan hwesio ini, dan aku masih sabar, masih mau melupakan itu semua asal engkau suka turut bersamaku menghadap Subo. Aku tidak ingin bicara tentang kelakuanmu di pagi hari ini, dan kau menolak, bahkan memilih mati?”
“Memang lebih baik aku mati!” kata Hong Ing, suaranya kini mantap.
“Singgg...!” Tampak sinar berkilat ketika wanita cantik yang galak itu mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya. “Kau memilih mati? Nah, biarlah aku memenuhi permintaanmu, sesuai pula dengan perintah Subo, kalau kau masih membangkang supaya aku membunuhmu.” Selesai ucapan ini, pedang itu berkelebat dan dia telah menyerang Hong Ing dengan gerakan yang dahsyat sekali. Kun Liong terkejut melihat gerakan itu yang benar-benar amat cepat dan mengandung tenaga kuat sekali. Akan tetapi, Hong Ing masih sempat mengelak dengan gerakannya yang lincah dan ringan seperti burung. Namun sucinya terus menyerangnya bertubi-tubi, membuat Hong Ing terdesak hebat dan terpaksa harus berloncatan ke kanan kiri dan belakang untuk menghindarkan diri dart ujung senjata yang membawa maut itu. “Suci, begini tegakah engkau...? Kita sudah semenjak kecil seperti kakak beradik...”
“Wuuuuttt!” Hong Ing cepat menjatuhkan dirinya untuk menghindarkan diri dart sambaran pedang itu. Biarpun Kun Liong dapat melihat bahwa gerakan Hong Ing tidak kalah ringan daripada gerakan sucinya, namun karena dara ini tidak memegang senjata dan juga sama sekali tidak melakukan serangan balasan, hanya mengelak ke sana-sini saja, maka hatinya gelisah sekali dan tak terasa lagi tangannya meraba sebatang ranting kering yang menggeletak di dekatnya. Kegelisahannya terbukti ketika Hong Ing menjerit terkena tendangan sucinya. Tubuhnya terbanting dan dengan kecepatan kilat sucinya sudah datang menerjang dengan tusukan maut yang agaknya tak mungkin dapat dihindarkan lagi oleh Hong Ing yang sudah rebah miring itu.
“Trangggg...!” Kun Liong sengaja mengerahkan sin-kangnya yang mendatangkan getaran hebat sehingga ketika rantingnya bertemu dengan pedang yang ditangkisnya pedang itu terpental, terlepas dari tangan pemiliknya! Dara itu terbelalak memandang, bukan main rasa heran dan penasarannya dan merasa seperti dalam mimpi. Siapa orangnya yang mampu menangkis pedangnya dengan sebuah ranting dan sekali tangkis membuat pedangnya terlepas dari tangannya? Benar-benar aneh dan luar biasa sekali! Ataukah dia yang lengah dan tidak memegang pedangnya erat-erat karena sudah memastikannya bahwa sumoinya tentu tewas di tangannya?
Kun Liong tidak mempedulikannya lagi. Dia membuang ranting itu dan menghampiri Hong Ing yang masih rebah. “Hong Ing, kau... terluka...?”
Hong Ing bangkit duduk dan menggeleng kepala. “Tidak apa-apa, Kun Liong, biarkanlah aku... heiiii... hati-hati...!”
Namun terlambat. Hui-to (pisau terbang) yang disambitkan oleh sucinya itu hebat sekali meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah menuju ke sasarannya, yaitu punggung Kun Liong. Pemuda ini sama sekali tidak menyangka bahwa ada dara demikian cantiknya akan sudi menyerang orang dengan menggelap, maka seruan Hong Ing itu terlambat. Pula, kalau dia mengelak, bukankah Hong Ing yang terancam oleh senjata rahasia itu? Dia lalu mengerahkan sin-kangnya dan hui-to itu menancap di punggungnya, tidak terus, melainkan menancap paling banyak sepanjang jari telunjuk dan menempel di situ. Darah muncrat dan Hong Ing menjerit, “Kun Liong...!” Sebelum Kun Liong sempat melakukan sesuatu, Hong Ing telah menggendongnya dan dara ini lalu meloncat jauh dan terus melarikan diri setepat kilat sambil menggendong tubuh Kun Liong!
Hemm, Sumoi Pek Hong Ing...! Begitu tak tahu malukah engkau? Berhenti!” ia mengejar dari belakang setelah menyambar pedangnya dan menyarungkannya.
Akan tetapi Hong Ing tidak peduli, terus menggendong Kun Liong dan mengerahkan seluruh gin-kangnya untuk melarikan diri. Ketika dia menengok dan melihat sucinva mengejar, dia berlari makin cepat lagi.
Kun Liong diam-diam merasa geli, juga terharu. Tak disangkanya bahwa sang suci seganas dan segalak itu sedang sang sumoi begini halus budinya. Sebenarnya luka di punggungnya itu tidak seberapa dan kalau dia mau, tentu saja dia dapat melawan suci itu, atau andaikata melarikan diri sekalipun, tak perlu digendong karena dia dapat lari lebih cepat dari Hong Ing. Akan tetapi, sekali merasa digendong belakang, dia merasa kenikmatan yang luar biasa. Tubuhnya mendekap ketat punggung Hong Ing, terasa kelembutan yang hangat dan hidungnya mencium keharuman memabukkan, maka dia merangkulkan kedua lengan di atas pundak Hong Ing sedangkan kedua kakinya yang panjang dia kempitkan di pinggang dara itu. Dia pura-pura setengah pingsan! Akan tetapi karena maklum bahwa mereka berdua dikejar, diam-diam Kun Liong mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya ringan sekali dan tidak menjadi penghalang bagi Hong Ing untuk mengerahkan seluruh ilmunya berlari cepat. Dan ternyata dalam hal ilmu berlari cepat, Hong Ing lebih menang dibandingkan dengan sucinya. Dia memasuki hutan, menyelinap di antara pohon-pohon dan makin lama jarak antara dia dan pengejarnya makin jauh dan akhirnya Hong Ing tiba di tempat yang ditujunya yaitu sebuah kuil kuno di tengah hutan. Dia segera menyelinap di balik pohon dan memasuki semak-semak, menurunkan tubuh Kun Liong yang pura-pura pingsan, mencabut hui-to itu dan memeriksa lukanya. Betapa heran rasa hati Hong Ing ketika memeriksa luka itu. Ketika mencabut hui-to tadi, dia pun sudah heran melihat hulto yang panjang itu hanya masuk sedikit saja, padahal ia tahu benar bahwa sucinya adalah seorang ahli penyambit pisau terbang yang amat lihai dan yang telah mewarisi kepandaian guru mereka sepenuhnya. Tidak saja hui-to itu amat cepat jika dilontarkan sucinya, juga pasti mengenai sasarannya dan biasanya tentu akan menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi dia tidak memusingkan hal itu, merasa bersyukur dan selagi dia hendak mengambil obat dari dalam saku jubahnya, tiba-tiba dia merangkul Kun Liong dan mendekap mulut pemuda itu dengan tangannya, khawatir kalau-kalau pemuda itu setelah siuman mengeluarkan suara. Matanya memandang ke depan di mana terdapat sebuah lorong kecil dan di atas lorong ini tampak tujuh orang nikouw berjalan beriringan sambil membaca doa! Kun Liong melirik dan melihat pula iring-iringan itu. Dia senang sekali didekap dan kepalanya berbantal lengan halus itu, apalagi mulutnya didekap. Dengan halus dia memegang lengan yang mendekap mulutnya dan menariknya sehingga mulutnya tidak tertutup lagi. Dia mengeluarkan rintihan perlahan, pura-pura merasa kesakitan hebat!
“Sssttt...!” Dalam kekhawatirannya akan terlihat oleh para saudaranya dari kuil itu, tanpa disadarinya lagi Hong Ing mendekap kepala Kun Liong ke dadanya dan kebetulan sekali Kun Liong miringkan mukanya sehingga kini mukanya terdekap ke dada. Kun Liong meram melek dan dia sekali ini benar-benar hampir pingsan ketika merasa betapa hidung dan pipinya merapat pada dada yang membusung itu dan tercium olehnya keharuman yang aneh. Aduh, mau rasanya aku selamanya begini, pikirnya dan tak terasa lagi mulutnya tersenyum penuh kesenangan hati!
Setelah rombongan nikouw yang berdoa itu lewat dan sudah jauh, barulah Hong Ing bernapas lega dan ketika dia menunduk, matanya terbelalak melihat betapa tanpa disadarinya dia mendekap muka Kun Liong ke dadanya! Hampir dia menjerit dan dia cepat melepaskan kepala itu sehingga kepala gundul itu jatuh ke tanah mengeluarkan suara berdebuk.
“Aduhhhh...!” Kun Liong mengeluh.
“Kusangka kau masih pingsan!”
“Aku tidak pernah pingsan!”
“Kalau begitu, mengapa kau diam saja?”
“Habis disuruh apa?”
“Hemmm, kau aneh dan kadang-kadang timbul sangkaanku bahwa kau seorang yang kurang ajar! Nah, miringlah, biar kuobati lukamu!”
Kun Liong tidak bicara lagi, takut kalau benar-benar dia dibenci karena dianggap kurang ajar, maka dia miring dan membiarkan lukanya diobati olch Hong Ing. Sekali ini Kun Liong merasakan sesuatu yang aneh di hatinya. Dia merasa amat kasihan kepada dara ini dan sama sekali tidak ada niat di hatinya untuk menggoda, sungguhpun kehadiran dan kecantikan dara ini jauh lebih hebat pengaruhnya terhadap dirinya dibandingkan dengan gadis-gadis cantik lain yang pernah dijumpainya dan digodanya.
Setelah selesai mengobati luka di punggung Kun Liong, Hong Ing berkata, “Aku girang sekali dapat membalas kebaikanmu dahulu ketika mengobati aku dengan sekarang merawat lukamu, Kun Liong. Sekarang, harap kau suka cepat pergi sebelum Suci datang lagi dan sebelum para nikouw di Kwan-im-bio tahu bahwa kau berada di sini.”
Kun Liong sudah duduk. Mereka duduk berhadapan dan Kun Liong menggeleng kepalanya. “Nanti dulu, Hong Ing. Sudah terlalu banyak kita mengalami bahaya bersama, dan sudah terlalu banyak aku berhutang budi kepadamu. Aku ingin sekali mengenalmu lebih dekat dan lebih baik lagi. Sudikah kau menceritakan kepadaku semua hal ihwalmu, barangkali saja aku dapat membantumu, baik dengan nasihat maupun dengan perbuatan?”
Hong Ing meragu, sejenak mereka berpandangan. Kemudian Hong Ing menghela napas dan berkata, “Baiklah. Kita memang masih harus bersembunyi sampai keadaan aman benar.” Mulailah dara cantik jelita dan terpaksa menjadi nikouw ini menceritakan riwayatnya kepada Kun Liong dengan suara bisik-bisik dan yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong.
Pek Hong Ing yang pada waktu itu baru berusia tujuh belas tahun adalah murid tersayang dari seorang pertapa wanita di Pegunungan Go-bi-san yang berjuluk Go-bi Sin-kouw (Wanita Sakti dari Go-bi). Nenek sakti ini hanya mempunyai dua orang murid, yang pertama adalah Lauw Kim In, yaitu dara jelita galak yang menyerang Hong Ing itu. Hong Ing adalah seorang anak yatim piatu, demikian pula sucinya, Kim In. Semenjak berusia lima tahun, dia telah digembleng bersama sucinya oleh Go-bi Sin-kouw, dan kedua orang anak perempuan yang sama-sama yatim piatu ini hidup seperti kakak beradik, Kim In lebih tua tiga tahun dari Hong Ing, dan sekarang telah berusia dua puluh tahun.
Sukar dikatakan siapa di antara dua orang dara ini yang lebih berhasil mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Sin-kouw. Kim In kelihatan lihai sekali dengan ilmu pedangnya dan terutama sekali senjata rahasia hui-to (pisau terbang) yang membuat dara ini sukar dicari tandingannya. Sedangkan Hong Ing telah mewarisi ilmu cambuk dari gurunya yang dapat dia mainkan hanya dengan sehelai saputangan sutera! Di samping ini, juga dalam hal ilmu meringankan tubuh (gin-kang), si sumoi ini agaknya jauh melampaui sucinya.
Ketika Kim In berusia delapan belas tahun, oleh gurunya yang terkenal galak dan berhati baja itu ditunangkan dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi, ketika pada suatu hari pemuda tunangannya ini oleh Go-bi Sin-kouw disuruh berkunjung kepada seorang sahabatnya di kaki Pegunungan Go-bi-san, terjadilah hal yang amat hebat. Sahabat dari Go-bi Sin-kouw itu adalah seorang tokoh yang amat sakti, terkenal sekali namun seperti juga Go-bi Sin-kouw, tidak pernah turun gunung. Julukannya adalah Thian-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Langit) dan sudah lama menjadi sahabat baik Go-bi Sin-kouw karena memang masih ada pertalian perguruan di antara mereka. Ketika pemuda tunangan Kim In itu tiba di tempat pertapaan Thian-ong Lo-mo dia diterima baik, suratnya dari Go-bi Sin-kouw juga diterima dan karena hari sudah malam, pemuda itu disuruh bermalam di pondok si kakek pertapa. Dan di malam hari itulah terjadinya malapetaka. Kakek Thian-ong Lo-mo di samping kesaktiannya juga terkenal sebagai seorang kakek yang tak pernah hidup sendiri, selalu tentu ditemani seorang isteri yang cantik dan muda dan yang hampir setiap tahun berganti orang!
Isteri atau selir cantiknya pada waktu itu, yang biasanya hanya tidur dan dipeluk seorang kakek yang usianya sudah hampir seratus tahun, tentu saja menjadi terpesona dan tergila-gila kepada pemuda tampan yang menjadi tamu suaminya. Hal yang lumrah pun terjadilah. Si pemuda tidak kuat menahan bujuk rayu si cantik jelita dan terjadilah perjinaan diantara mereka. Dan celakanya, mereka tertangkap basah oleh Thian-ong Lo-mo sendiri! Kedua orang kekasih itu dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo dan kepala mereka dikirimnya kepada Go-bi Sin-kouw yang dapat mengerti apa yang telah terjadi, maka karena kesalahan berada di pihak calon mantunya itu, Go-bi Sin-kouw juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali minta maaf.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Lauw Kim In melihat peristiwa ini. Bukan hanya hancur karena ia urung menikah, namun terutama sekali hancur karena sakit hati mendengar betapa tunangannya itu berjina dengan isteri Kakek Thian-ong Lo-mo. Dengan demikian baginya dianggap bahwa dia dihina dan diremehkan oleh tunangannya, dan mulai saat itu tumbuhlah bibit kebencian yang amat mendalam di hatinya terhadap kaum pria! Semenjak itu, dia bersumpah di depan gurunya untuk tidak menikah dan gurunya pun tidak dapat berbuat apa-apa karena maklum apa yang diderita oleh murid pertama ini. Kim In dan sumoinya yang ketika itu baru berusia lima belas tahun, makin giat berlatih silat sampai dua tahun lamanya.
“Dan pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kurang lebih tiga bulan yang lalu, malapetaka menimpa diriku...” kata Hong Ing menyambung ceritanya yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong. Cerita tentang suci dara ini memang menarik namun dia tidak begitu mempedulikan, akan tetapi kini setelah Hong Ing mulai menceritakan riwayatnya sendiri, dia benar-benar menaruh perhatian sehingga pandang matanya seakan-akan tergantung kepada bibir yang merah kecil mungil itu.
Hong Ing melanjutkan ceritanya. Pada pagi hari itu, dia seorang diri seperti biasa berjalan-jalan di dalam hutan di lereng puncak Go-bi-san. Semenjak kecilnya, tidak seperti sucinya, dara ini memang suka sekali akan keindahan alam, suka menyendiri di dalam hutan-hutan besar, apalagi di waktu pagi hari ketika matahari baru saja muncul menyinarkan cahaya keemasan den burung-burung berkicau menyambut datangnya sinar surya yang cemerlang indah itu, butir-butiran embun menghias setiap ujung daun dan membuat rumput dan kembang berseri-seri pepuh kesegaran. Kalau sudah berjalan seorang diri di dalam hutan seperti itu, Hong Ing merasa hidup di dunia lain, dunia yang tidak ada lagi kesunyian baginya karena semua di sekelilingnya seperti telah menjadi satu dengan dirinya, membuat dia tidak lagi kehilangan orang tuanya yang telah tiada.
Ketika pagi hari itu dia dengan wajahnya yang cantik segar kemerahan berseri-seri, seperti peri jelita penjaga hutan itu sendiri, berlari-larian kecil mengejutkan burung-burung dan kelinci-kelinci, membuatnya tertawa terkekeh karena tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara auman keras dan suara jerit orang minta tolong.
Cepat laksana seekor kijang meloncat, Hong Ing melarikan diri menuju ke arah suara itu dan apa yang dilihatnya membuat dia terkejut sekali. Seekor harimau yang sebesar anak kerbau telah merobohkan seekor kuda dan penunggang kuda itu, seorang laki-laki berpakaian indah, ikut pula roboh dengan sebelah kaki tertindih tubuh kudanya. Kini harimau itu siap untuk menerkam orang laki-laki itu yang tadi menjerit minta tolong.
Dengan tiga loncatan saja Hong Ing telah tiba di tempat itu, berdiri di antara laki-laki dengan harimau. Binatang ini menggereng, memperlihatkan taringnya, dan matanya seolah-olah hendak menyihir Hong Ing. Di dalam hatinya, dara itu merasa gentar juga karena selamanya belum pernah dia melawan harimau. Akan tetapi karena maklum bahwa kalau dia tidak turun tangan tentu laki-laki itu akan menjadi korban harimau, dia sudah siap dan meloloskan saputangan yang biasanya diselipkan diantara kancing bajunya. Dengan gerakan hati-hati Hong Ing memutar-mutar saputangannya sehingga ujungnya menjadi sebuah cambuk, matanya tak pernah berkedip menentang pandang mata harimau itu. Adapun laki-laki yang masih rebah itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri, bahkan dia kini berhasil menarik kakinya dari tubuh kudanya yang sekarat, lalu bekata, “Awas Nona.... harap lekas menyingkir...!”
Ucapan ini memperkuat keputusan Hong Ing untuk menolong laki-laki itu. Seorang yang terancam bahaya maut seperti laki-laki itu akan tetapi masih ingat untuk mengkhawatirkan keselamatan orang lain, tentulah seorang yang baik budi dan patut ditolong.
Akan tetapi ucapan laki-laki itu seolah-olah menjadi aba-aba bagi sang harimau yang sudah menggereng keras dan meloncat tinggi menubruk ke arah Hong Ing dengan mulut terbuka lebar dan kedua kaki depan siap mencakar dan merobek-robek kulit daging lunak halus dari dara itu!
“Celaka...!” Laki-laki itu berseru dan kini dia sudah mencabut pedangnya, akan tetapi baru saja melangkah setindak, dia hampir jatuh karena ternyata kakinya yang terhimpit kuda tadi terkilir. Akan tetapi, laki-laki itu terbelalak dan memandang dengan mata penuh kagum melihat betapa dengan ringan dan cepat dara itu sudah meloncat ke kiri dan ketika tubuh harimau besar itu lewat, dia melihat dara itu mengebutkan sehelai saputangan sutera putih yang mengeluarkan bunyi meledak nyaring dan harimau itu terjungkal dan menggereng-gereng, akan tetapi matanya tinggal yang sebelah kiri saja karena mata kanannya sudah hancur dan bercucuran darah! Karena nyeri dan marah, harimau itu mengaum dan sekali lagi meloncat dengan dahsyat sekali menubruk si dara muda dan sekarang laki-laki itu lebih bengong lagi melihat betapa dara itu pun meloncat menyambut terkaman si harimau, saputangannya kembali meledak, kakinya di udara menendang dan tubuh harimau itu terlempar sampai tiga meter, jatuh terbanting dan mata kirinya juga sudah hancur. Harimau itu menggereng-gereng, lalu seperti gila menubruk sana-sini, lari sana-sini akhirnya kepalanya menumbuk sebuah batu karang besar, pecah dan roboh berkelojotan, kemudian tak bergerak lagi!
Laki-laki itu sejenak tak dapat berkata-kata, memandang ke arah bangkai harimau, kemudian menghampiri Hong Ing yang menyeka keringatnya dengan seputangannya. Betapapun juga, tadi dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya untuk mengalahkan binatang yang kuat dan galak itu.
Laki-laki itu seperti merasa berada dalam mimpi. Hampir dia tidak dapat percaya, apalagi setelah kini berhadapan dekat dengan dara itu. Seorang dara yang usianya baru belasan tahun, tujuh belas tahun, dapat membunuh harimau dengan cara demikian aneh dan mudah, hanya bersenjata sehelai saputangan yang kini dipakai menghapus keringat yang membasahi leher! Bukan main!
“Nona...” Laki-laki itu menjura. “Nona telah menolong nyawaku dan aku tidak mungkin diam saja. Nona, ketahuilah bahwa aku adalah Pangeran Han Wi Ong dari kota raja. Aku sedang berburu, akan tetapi tersesat dan terpisah dari para pengawal sampai di tempat ini. Ketika tadi harimau muncul, kudaku terpeleset dan diterkam, kemudian... ah, aku tentu telah menjadi makanan harimau kalau Nona tidak datang menolong.”
Diam-diam Hong Ing terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa orang yang ditolongnya adalah seorang pangeran dari kota raja! Putera Kaisar! Akan tetapi karena dia selamanya tinggal di gunung dan tidak mengenal tata susila cara bangsawan, dia hanya membalas penghormatan dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu menjawab, “Harap Pangeran tidak bersikap berlebihan. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk saling menolong apabila melihat orang terancam bahaya. Nah, bahaya sudah lewat, saya mohon diri, Pangeran.”
Hong Ing sudah membalikkan tubuhnya, akan tetapi laki-laki yang gagah tampan, dan usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian indah sekali itu berseru, “Tahan dulu, Nona. Setidaknya harap Nona sudi memperkenalkan nama dan di mana tempat tinggal Nona. Kalau tidak, selamanya aku akan merasa menyesal dan merasa berdosa tidak mengenal nama penolongku yang telah menyelamatkan nyawaku.”
Karena sikap pangeran itu sopan dan tutur sapanya halus, Hong Ing menjawab terus terang, “Namaku Pek Hong Ing, dan aku tinggal bersama guruku, Go-bi Sin-kouw, dan suciku di puncak sana itu.” Setelah berkata demikian, dara itu berkelebat dan lenyap dari depan Pangeran Han Wi Ong. Pangeran itu makin kagum, sejenak dia terpesona dan kemudian dia menarik napas panjang dan berkata seorang diri, “Dialah yang patut mendampingi aku selama hidupku. Cantik jelita, muda, jujur, dan memiliki ilmu kepandaian yang dapat menjadi pelindungku selamanya! Go-bi Sin-kouw...? Hemm, harus kupinang dia!”
Demikianlah, pada keesokan harinya, Pengeran itu telah bersama dengan rombongan pasukan pengawalnya mendatangi pondok Go-bi Sin-kouw dan dengan jujur dan langsung karena dia pun terkenal jujur dan terang-terangan, mengajukan pinangan kepada Hong Ing untuk dijadikan isterinya!
“Hendaknya Sin-kouw yakin bahwa saya ingin mengambil Nona Pek Hong Ing sebagai isteri sah, bukan sebagai selir dan pernikahan antara kami akan dirayakan besar-besaran di istanaku. Andaikata kelak saya mempunyai keberuntungan menjadi kaisar, dia pasti menjadi permaisuriku!”
Tentu saja hati nenek itu menjadi bangga bukan main. Serta-merta dia menerima pinangan itu, karena bukankah dia yang berhak penuh atas diri murid-muridnya? Hong Ing sudah yatim piatu dan sejak kecil dididiknya, maka dengan berani dia menerima pinangan, bahkan menerima tanda ikatan jodoh berupa pedang bergagang mutiara dan emas dan menerima ketentuan bahwa sebulan lagi Sang Pangeran akan mengirim pasukan menjemput isterinya!
“Demikianlah, Kun Liong,” kata Hong Ing melanjutkan ceritanya dan suaranya kini tergetar penuh kedukaan hati yang ditahan-tahan, “kau dapat membayangkan betapa hancurnya hatiku. Aku oleh Subo dianggap seperti seekor binatang saja, begitu mudah dijodohkan, atau sebuah benda yang mudah saja dihadiahkan kepada seorang pria. Memang harus kuakui bahwa Pangeran Han Wi Ong seorang laki-laki yang gagah, baik dan juga berkedudukan tinggi. Akan tetapi usianya sudah empat puluhan tahun, sepantasnya menjadi ayahku, mana aku dapat suka menjadi isterinya? Aku menangis dan menolak, akan tetapi Subo adalah seorang yang berkemauan baja dan dia lebih baik melihat aku mati di depan kakinya daripada melihat aku menolak dan dia harus membatalkan perjanjiannya dengan seorang pangeran. Apalagi karena sudah belasan kali aku menolak pinangan orang, maka Subo menjadi marah dan memaksa aku dengen ancaman mati. Aku sudah putus harapan dan malam itu aku sudah menggantung diri, hendak membunuh diri...”
“Hong Ing...!” Kun Liong terkejut sekali dan tak terasa lagi dia memegang lengan dara itu, mukanya menjadi pucat.
Hong Ing tersenyum pahit menyaksikan sikap pemuda gundul itu. “Agaknya baru sekaranglah aku bertemu dengan orang sebaik engkau, Kun Liong, yang begitu memperhatikan nasib diriku. Aku ditolong oleh Suci yang menurunkan aku dari gantungan, menangisi aku dan menghiburku. Dia mengingatkan aku bahwa kami telah berhutang budi kepada Subo dan sudah sepatutnyalah kalau aku membalas budi Subo dengan mentaati perintahnya. Pula, demikian kata Suci, bukankah aku menjadi istri seorang pangeran dan bahkan besar kemungkinan menjadi permaisuri? Kalau aku membunuh diri, berarti aku menghina Subo dan Subo tentu akan tercemar terhadap keluarga kaisar, mungkin akan dianggap sebagai pemberontak.”
“Hemm, nasibmu sungguh buruk, Hong Ing. Lalu bagaimana engkau sampai menjadi nikouw?”
“Akhirnya aku mengambil keputusan untuk melarikan diri dari puncak Go-bi-san. Aku lari pada malam hari dan terus melarikan diri sampai akhirnya aku tiba di Kuil Kwan-im-bio itu, di mana tinggal belasan orang nikouw dikepalai oleh seorang nikouw tua yang saleh. Aku menghadap kepada Biauw Kwi Nikouw, ketua kuil itu, dan minta supaya diterima menjadi nikouw. Kupikir bahwa ke mana pun aku pergi, tentu Subo dan Suci akan dapat mencari dan memaksaku. Akan tetapi setelah aku menjadi nikouw, kiranya mereka takkan berani mengganggu seorang yang sudah memilih hidup suci. Untuk membebaskan diri dari pernikahan yang tidak kusuka itu, aku rela mengorbankan hidupku menjadi nikouw, biarpun di dalam hatiku sungguh mati aku tidak berniat menjadi seorang pendeta.”
Kun Liong mengangguk-angguk dan hanya di dalam hatinya dia berkata bahwa memang amat tidak patut dan terlalu amat sayang sekali seorang dara berusia tujuh belas secantik Hong Ing ini harus menjadi nikouw gundul yang selama hidup tidak berurusan denen dunia!
“Mula-mula Biauw Kwi Nikouw menolak dan aku sudah hampir putus harapan...”
“Aih, mengapa menolak orang hendak menjadi nikouw dengan suka rela?” tanya Kun Liong terheran.
Hong Ing melanjutkan penuturan pengalamannya. Ketika dia menghadep Biauw Kwi Nikouw untuk diperkenankan menjadi nikouw, nikouw tua itu berkata. “Nona, engkau masih muda dan cantik sekali. Kalau engkau menjadi nikouw di sini, berarti engkau akan mencari malapetaka dan kami pun terkena getahnya. Tidak, kami tidak berani menerimamu menjadi nikouw di sini, Nona.”
“Mengapa, Subo? Apa yang telah terjadi?”
“Sudah ada tiga orang muridku, nikouw-nikouw muda, mati menggantung diri dalam waktu sepekan ini.”
Hong Ing terkejut. “Mati menggantung diri? Mengapa?”
“Karena mereka tidak sudi lagi hidup di dunia setelah mereka tercemar.”
“Tercemar?”
“Ya, diperkosa seorang laki-laki, omitohud...”
Hong Ing meloncat bangun. “Laki-laki mana yang berani memperkosa nikouw?”
“Ah, kami tidak tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi selama sepekan, berturut-turut tiga orang nikouw muda diculik dari kamarnya, dibawa ke hutan den diperkosa. Pada keesokan harinya, mereka itu satu-satu menggantung diri sampai mati. Nah, dengan adanya peristiwa ini, apakah Nona masih ingin menjadi nikouw di sini dan terancam bahaya?”
“Aku tetap ingin menjadi nikouw, dan harap Subo tidak khawatir. Aku akan menangkap dan menghajar binatang busuk itu!”
Demikianlah, karena desakan Hong Ing, akhirnya dara ini digunduli rambutnya, diberi pakaian nikouw den menjalanken upacara sembahyang menjadi nikouw, disaksikan oleh belasan orang nikouw yang menjadi murid Biauw Kwi Nikouw. Hong Ing menangis tersedu-sedu, akan tetapi betapapun juga, kepalanya sudah menjadi gundul licin dan ditutupi dengan penutup kepala berwarna putih.
Malam hari itu, sengaja Hong Ing keluar seorang diri dan berjalan-jalan di sekeliling kuil untuk menjadikan dirinya sebagai “umpan” memancing datangnya laki-laki terkutuk yang sudah memperkosa tiga nikouw den menyebabkan mereka membunuh diri. Para nikouw lain yang maklum akan usaha nikouw baru ini, mengintai dari tempat aman dengan hati berdebar tegang.
Tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang yang tinggi besar den begitu tiba di depan Hong Ing, dara ini terkejut den jijik sekali. Laki-laki itu tinggi besar, usianya sudah lima puluh tahunan, rambut den jenggot serta kumisnya riap-riapan menakutkan, kotor sekali, matanya lebar den dia terkekeh memandang kepada Hong Ing sambil berkata, “Ha-ha-heh-heh, nikouw muda baru ya? Wah, cantiknya, wah, malam ini aku benar-benar untung besar! Orang secantik engkau ini sedikitnya harus kupeluk selama sebulan, ha-ha-ha!”
Hong Ing sudah meloncat dan sekali tangannya menampar, terdengar suara “plak-plak-plak!” keras sekali dan tubuh laki-laki itu terpelanting. Akan tetapi ternyata dia kuat juga, karena sudah dapat bangun kembali, matanya makin terbelalak lebar.
“Ho-ho, jadi kau memiliki sedikit kepandaian? Bagus, lebih menarik lagi!”
Terjadilah pertandingan, namun sebentar saja laki-laki itu terdesak hebat dan beberapa kali terkena pukulan tangan Hong Ing. Biarpun tubuhnya kebal, namun pukulan Hong Ing bukan tidak keras dan mendatangkan rasa yang cukup nyeri, maka akhirnya laki-laki itu melarikan diri.
“Binatang terkutuk, hendak lari ke mana kau?” Hong Ing mengejar dan para nikouw lain yang menyaksikan betapa nikouw muda baru itu benar-benar lihai dan berhasil mengalahkan laki-laki cabul yang seperti orang gila itu, segera ikut pula mengejar!
Mereka masih sempat melihat betapa Hong Ing telah dapat menyusul laki-laki itu, menghajar laki-laki itu sampai jatuh bangun. Laki-laki itu marah, tiba-tiba menggereng dan dengan kedua lengannya laki-laki itu mengangkat sebuah batu besar sekali dan hendak menimpakan batu itu kepada Hong Ing.
“Aihhh...!” Dua orang nikouw lain yang lebih dulu datang di tempat itu menjerit ngeri.
Akan tetapi Hong Ing cepat meloncat ke depan, menerima batu itu dan mengerahkan sin-kangnya mendorong sehingga kini laki-laki itulah yang tertindih batu dan tergencet oleh batu besar itu. Terdengar suara orang berteriak mengerikan dan ketika Hong Ing melepaskan batu itu, ternyata laki-laki itu telah hancur dan gepeng terhimpit batu dan bersandar pada batu gunung. Dada dan kepalanya pecah dan darah muncrat-muncrat membasahi tempat di sekelilingnya!
“Omitohud...!” Para nikouw berseru ketika menyaksikan ini. Biauw Kwi Nikouw lalu memerintahkan murid-muridnya untuk mengubur mayat yang mengerikan itu, dan semenjak saat itu, Hong Ing dianggap sebagai seorang nikouw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bahkan Biauw Kwi Nikouw sendiri berikap manis dan kagum kepadanya.
“Demikianlah, Kun Liong.” Hong Ing menutup penuturannya, “semenjak hari itu aku menjadi nikouw di Kwan-im-bio dan aku melatih mereka ilmu silat. Tentu saja aku tidak mau diangkat menjadi guru mereka, maka mereka semua, kecuali ketua kuil, menyebutku Toa-suci (Kakak Seperguruan Tertua).”
Kun Liong makin terharu. Sungguh malang sekali nasib dara ini. Patut dikasihani dan dia sendiri merasa menyesal bahwa dia pernah menggoda dara yang sepatutnya dilindungi dan dibela ini. ”Ahh, kasihan sekali engkau, Hong Ing. Tak kusangka orang seperti engkau ini dapat dilanda kesengsaraan hidup seperti itu. Dan dahulu, mengapa engkau sampai dapat terluka oleh jarum merah milik Ouwyang Bouw?”
“Ah, sebetulnya soalnya sepele saja, akan tetapi dasar kami yang tak mengenal orang pandai. Pada hari itu, di kuil kedatangan seorang kakek aneh dan seorang pemuda. Karena hari telah malam dan mereka minta menginap, tentu saja Subo tidak dapat menerima mereka, mengatakan bahwa Kuil Kwan-im-bio adalah kuil para nikouw maka merupakan pantangan besar untuk menerima pria sebagai tamu bermalam di kuil.”
“Hemm, orang-orang macam Ban-tok Coa-ong dan anaknya yang gila itu mana mau mengerti” kata Kun Liong.
“Memang demikianlah. Ban-tok Coa-ong memaki Biauw Kwi Nikouw sebagai nenek gila cerewet yang bosan hidup dan sekali tangannya menampar, Biauw Kwi Nikouw terguling roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika! Para nikouw menjadi marah dan menyerbu, karena mereka itu sedikit banyak telah belajar silat kepadaku. Akan tetapi, hanya dengan dorongan-dorongan jarak jauh, semua nikouw terpelanting dan tak dapat bangkit kembali karena telah mengalami luka dalam. Aku sendiri menubruk Biauw Kwi Nikouw dan pada saat itu dari belakang Ouwyang Bouw menyerangku dengan jarum merah. Aku tak dapat mengelaknya dan aku roboh pingsan. Mereka ayah dan anak iblis itu pergi sambil tertawa-tawa dan selebihnya kau mengetahui sendiri. Aku minta supaya dibawa ke seorang ahli obat di kota, dan ketika berada di joli kebetulan sekali berjumpa denganmu dan engkau telah menyelamatkan nyawaku.”
“Aihhh... sungguh kau telah mengalami banyak hal yang amat sengsara, Hong Ing. Hanya aku menyesal sekali mengapa engkau mengambil jalan pendek menjadi nikouw.”
“Tidak ada jalan lain. Untuk membunuh diri aku... aku tidak berani...”
“Jangan!” Kun Liong setengah berteriak. “Perbuatan itu adalah perbuatan paling rendah dan pengecut di dunia ini. Sekarang engkau tidak perlu takut lagi. Setelah engkau menjadi nikouw, apa yang dapat dilakukan oleh sucimu dan gurumu? Apakah mereka bisa memaksamu? Pula, kalau pangeran tua mata keranjang itu melihat kau sudah menjadi nikouw, apakah dia hendak memaksa memperisteri seorang nikouw?”
Melihat sikap Kun Liong yang marah-marah ini, terharulah hati Hong Ing karena hal ini membuktikan betapa besar perhatian pemuda ini kepada nasib dirinya “Ah, kau tidak mengenal guruku, Kun Liong. Dia adalah seorang yang berhati keras seperti baja dan semua kehendaknya harus terlaksana. Apa sukarnya memaksa aku memelihara rambut lagi dan memaksaku menikah? Sudahlah, serahkan hal itu kepadaku. Kau tidak perlu ikut berduka dan bingung, Kun Liong. Engkau sudah terlampau baik kepadaku dan percayalah, sampai mati aku tidak akan dapat melupakan kebaikanmu. Lihat, itu Suci mendatangi kuil, kalau aku tidak lekas menemuinya, tentu para nikouw akan terancam bahaya. Kalau sudah marah, Suci seperti Subo saja, keras dan ganas. Kau pergilah, Kun Liong, pergilah, selamat berpisah, sahabat dan penolongku yang baik!” Hong Ing menyentuh lengan Kun Liong, kemudian terisak dia meloncat dan lari ke arah kuil di mana tadi bayangan Kim In telah masuk lebih dahulu.
Hati Kun Liong seperti diremas-remas rasanya. Entah mengapa, dia merasa kasihan sekali kepada Hong Ing dan mengambil keputusan untuk membela dara itu dari segala bahaya. Dengan pikiran ini, dia lalu melompat dan menyelinap, menghampiri kuil itu dari samping dan melakukan pengintaian. Dengan jantung berdebar Kun Liong melihat Hong Ing berdiri dengan kepala tunduk berhadapan dengan sucinya, Lauw Kim In yang galak itu.
Kim In sudah memegang pedangnya dan dengan suara keren berkata, “Pek Hong Ing, aku mewakili Subo Go-bi Sin-kouw memerintahkan engkau untuk berlutut!”
Hong Ing menarik napas panjang dan dia benar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan sucinya yang galak itu.
“Pek Hong Ing, sebagai murid engkau telah murtad, melanggar perintah guru dan pergi tanpa pamit. Untuk semua itu, Subo masih dapat mempertimbangkannya asal saja engkau ikut bersamaku ke puncak Go-bi-san. Kalau tidak, sekarang juga akan kupenggal kepalamu dan akan kubawa kepalamu kepada Subo seperti yang diperintahkan Subo!”
Mendengar ucapan itu, belasan orang nikouw yang berada di situ dan yang menonton dengan muka marah itu menjadi makin marah. “Dari mana datangnya perempuan jahat yang menghina Toa-suci?” Mereka itu lalu menyerbu den mengeroyok Kim In.
“Para sumoi... jangan...!” Hong Ing berteriak, namun cegahannya terlambat, tubuh Kim In melesat ke sana-sini dan dalam segebrakan saja belasan orang nikouw itu sudah roboh semua den mengaduh-aduh terkena pukulan den tendangan kaki Kim In.
“Hemm, kalau tidak ingat kalian semua adalah pendeta, apakah kalian dapat mengharapkan untuk dapat hidup?” Kim In berkata, sikapnya dingin sekali.
Para nikouw yang hendak membela Hong Ing itu sudah bangun lagi dan mereka mulai mencari senjata. Akan tetapi Hong Ing melompat dan mengangkat kedua tangan ke atas. “Para sumoi kuperintahkan agar jangan melawan! Biarkan aku pergi bersama dia, dia ini adalah suciku!” Kemudian dia menoleh kepada Kim In sambil berkata, “Saya menurut kehendak Suci dan ikut bersamamu menghadap Subo, akan tetapi baik engkau maupun Subo jangan mengharap akan dapat memaksaku menikah setelah aku sekarang menjadi nikouw.”
“Sumoi, kau tahu betapa sejak dahulu aku menganggapmu sebagai adik sendiri. Akan tetapi, betapapun juga kita tidak bisa menentang Subo.” Kata-kata ini membuat Hong Ing terharu. Dia teringat dahulu sucinya ini yang mencegahnya membunuh diri dan tahu pula bahwa andaikata sucinya itu membantunya lari, tetap saja mereka berdua tidak akan dapat terlepas dari pengejaran subo mereka yang memiliki kepandaian seperti dewi!
Maka berangkatlah kedua orang sumoi den suci ini meninggalkan Kuil Kwan-im-bio, diiringi tangis para nikouw yang dapat menduga bahwa toa-suci mereka yang juga guru mereka yang mereka sayang itu tentu menghadapi malapetaka yang besar dan mereka sama sekali tidak berdaya untuk menolongnya.
Kim In den Hong Ing melakukan perjalanan cepat sekali karena keduanya menggunakan ilmu berlari cepat. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan besar yang amat sunyi. Tiba-tiba keduanya berhenti karena tahu-tahu ada bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar di depan mereka. Ketika keduanya memandang ternyata orang itu bukan lain adalah Yap Kun Liong yang berdiri dengan tenang namun dengan kedua alis dikerutkan dan wajah serius sekali, berbeda dari biasanya yang selalu berseri gembira.
“Kun Liong...! Apa yang akan kaulakukan di sini?” Hong Ing berseru kaget sekali.
“Hemmm, hwesio cabul apakah kau berani menghadang kami?” Kim In memaki dan sudah mencabut lagi pedangnya.
Kun Liong menggelengkan kepalanya yang gundul. “Nona Ing, betapa lemahnya engkau, menurut saja kepada kehendak orang lain yang hendak mencelakakan. Dan engkau, Nona. Apakah engkau demikian kejam hendak mencelakakan sumoi sendiri? Ke mana perikemanusiaanmu?”
“Jangan mencampuri urusan kami!” Kim In membentak.
“Kun Liong... aku tahu maksudmu baik, tapi... tapi ahhh, pergilah, jangan membikin aku lebih susah dan bingung...!” Hong Ing memohon.
“Tidak! Sebelum aku bicara, aku tidak akan membiarkan kau dipaksa pergi oleh siapapun juga!” Dia memandang kepada Kim in, pandang matanya berkilat sehingga gadis itu terkejut juga. “Nona, kau salah sangka, aku bukan hwesio bukan pula melakukan perbuatan busuk dengan sumoimu. Kami adalah dua orang sahabat yang kebetulan saja saling bertemu dan saling menolong dari bahaya, hanya orang yang kotor pikirannya saja yang akan menyangka yang bukan-bukan! Sumoimu ini sudah menjadi nikouw, berarti menjadi seorang suci yang tidak mau lagi berhubungan dengan dunia ramai. Mengapa sekarang dipaksa hendak dibawa dan dikawinkan? Aturan mana ini? Pula, andaikata dia tidak menjadi nikouw, juga amat tidak patut kalau memaksa seorang dara seperti dia menikah di luar kehendaknya. Apakah dia itu seekor kucing atau anjing yang boleh dikawinkan begitu saja menurut selera dan pilihan orang lain? Apakah dia itu sebuah benda yang diperjualbelikan, dan karena yang membeli seorang pangeran kaya lalu diserahkan begitu saja biarpun dia tidak sudi menjadi isteri seorang tua bangka? Kau dan gurumu yang berjuluk Go-bi Sin-kouw itu sungguh tidak berperikemanusiaan dan kejam, sungguh kejam!”
“Keparat, jahanam, tutup mulutmu!” Kim in sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berkelbat menyerang dengan serbuan ganas dan dahsyat sekali. Akan tetapi dengan mudah Kun Liong sudah mengelak dan pemuda ini sudah siap untuk melawan. Dia akan merobohkan gadis ini tanpa melukainya agar mendapat kesempatan untuk mengajak lari Hong Ing. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat Hong Ing menggerakkan saputangannya menyambar dan menyerangnya.
“Tar...!” Ujung saputangan menghantam kepala gundulnya dan dia sengaja tidak menangkis karena dia merasa heran sekali. Seperti disengat lebah, tampak bagian kepala yang dihantam ujung saputangan tadi menjendol dan berwarna merah. Hal ini karena Kun Liong sengaja membiarkan kepalanya dihantam, hanya gerakan otomatis dari sin-kangnya saja yang melindungi sebelah dalam kepala, akan tetapi kulitnya tidak kebal dan kepala di bagian itu menjendol sebesar telur ayam.
“Hong Ing...” Dia mengeluh.
Hong Ing berdiri dengan wajah pucat. “Sudah kukatakan, pergilah... jangan membikin aku lebih susah lagi, Kun Liong. Engkau takkan menang melawan dan kalau sampai Suci membunuhmu, aku... lebih berat lagi untuk mentaatinya. Pergilah, aku tahu niatmu baik dan maafkan seranganku tadi, Kun Liong.”
“Bagalmana... kalau... kalau mereka memaksamu menikah?” Kun Liong masih bertanya ketika kedua orang gadis itu sudah berjalan pergi lagi.
Tanpa menengok Hong Ing menjawab, “Mudah saja membebaskan diri dari segala keruwetan dunia ini!”
Kun Liong masih berdiri pucat setelah bayangan dua orang gadis itu tidak tampak lagi. Ucapan Hong Ing itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bunuh dir! Kematian memang menjadi jalan yang paling mudah untuk membebaskan diri dari segala macam keruwetan dunia.
“Nona Ing...!” Dia mengeluh dan menghapus dua bintik air matanya dan dia kaget sendiri. Apa artinya ini? Mengapa dia merasa begini sengsara, merasa begini kesepian setelah Hong Ing pergi? Ah, apakah aku telah gila, pikirnya dan dia membalikkan tubuh, lalu berlari-lari cepat sekali menuju ke Kwi-eng-pang herusaha untuk mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu otaknya. Betapapun juga, masih saja wajah cantik jelita penuh kelembutan, mata yang bening dan sedalam lautan, sikap halus penuh pengertian itu selalu terbayang di depan matanya sampai kadang-kadang Kun Liong berhenti berlari, mengusap mukanya, mengeluh, kemudian berlari lagi secepatnya.
Dengan bantuan peta yang dahulu dibuatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong untuknya, Kun Liong dapat menyeberangi Telaga Setan. Dia menemukan sebuah perahu kecil di semak-semak di tepi telaga, kemudian dengan mengambil cara memutar sesuai dengan petunjuk di peta, dia mendayung dan menyeberangi Kwi-ouw menuju ke pulau di tengah telaga itu.
Sesuai dengan petunjuk di dalam peta itu, dia menyeberangi Kwi-ouw di waktu malam terang bulan dan mengemudikan perahunya melalui bagian-bagian tertentu, menyelusup alang-alang, melintasi bawah sebuah jembatan yang menjulur ke telaga, kemudian melalui semacam pintu dari dinding batu karang dan akhirnya dia dapat mendarat di tepi pulau sebelah timur, bagian yang tebingnya amat terjal dan terdiri dari batu karang yang amat kuat berwarna hitam kemerahan. Dia menggunakan tali yang berada di perahu untuk mencancang perahunya pada batu karang, kemudian dia mengaso dan tidur di atas perahu kecil, dibuai ombak sehingga tidurnya enak sekali. Dalam tidur itu dia bermimpi dia bertemu dengan Hong Ing, melihat Hong Ing menjadi pengantin den diarak dengan joli, akan tetapi di tengah jalan dara itu menangis dan dia lalu mengobatinya seperti dahulu, hanya melihat sebagian pinggul gadis itu saja!
Dia terbangun den di ufuk timur sudah tampak sinar kemerahan yang belum muncul. Tertawa sendiri dia mengingat akan mimpinya. Mengapa pinggul itu tak pernah dapat dia lupakan?
Mulailah Kun Liong mendaki batu karang, dibantu dengan alat yang telah disediakannya sebelumnya sesuai dengan petunjuk Cia Keng Hong, yaitu dua betang besi kaitan. Biarpun dia seorang ahli sin-kang yang kuat den dapat merayap ke atas dinding seperti seekor cecak, namun mendaki tebing itu merupakan perbuatan berbahaya sekali dan bermain-main dengan maut tanpa dibantu dua buah kaitan itu, karena tebing itu selain curam, juga licinnya bukan main penuh dengan lumut yang tercipta dari air yang tersinar panasnya matahari.
Akhirnya dengan perasaan lega dia dapat mencapai puncak tebing, lalu melemper kedua kaitannya di atas batu dan mulailah dia berloncatan menuju ke tengah pulau, ini pun dia lakukan dengan hati-hati, dengan perhitungan ke kanan kiri mengatur langkahnya dan menghitung langkah karena tempat ini pun tidak terluput penuh dengan jebakan-jebakan yang amat berbahaya. Dia sudah menghafalkan lebih dulu petunjuk dalam peta, maka dengan enaknya dia dapat berloncatan dengan selamat sampai akhirnya dia tiba di depan pondok terbesar yang menjadi tempat tinggal Kwi-eng Niocu, Ketua Kwi-eng-pang. Dia masih ingat tempat ini dan tersenyum ketika teringat betapa dia pernah ditangkap oleh para pelayan seperti orang-orang menangkap ikan saja.
Peta itu dia butuhkan hanya untuk menunjukkan jalan kepadanya. Setelah sampai di depan pondok musuhnya ini dia tidak perlu lagi bersikap sembunyi-sembunyi. Dia menggunakan peta hanya agar dapat bertemu dengan Kwi-eng Niocu. Dia datang bukan sebagai pencuri, perlu apa sembunyi-sembunyi? Maka Kun Liong berdiri dengan tegak di depan pondok itu, mengangkat dada dan mengerahkan khi-kangnya berteriak nyaring sekali, “Kwi-eng Niocu...! Keluarlah, ini aku Yap Kun Liong ingin bertemu denganmu untuk bicara...!”
Gegerlah pulau itu karena suara Kun Liong bergema dahsyat sampai ke seluruh permukaan pulau. Para petugas yang menjaga di sekitar pondok, yang tadinya tertidur karena memang tidak menyangka akan ada sesuatu, serentak bangun, menyambar senjata dan berlari-larian datang mengurung Kun Liong. Akan tetapi pemuda ini tenang-tenang saja dan ketika seorang di antara mereka, seorang komandan penjaga menodongkan tombaknya di depan dadanya sambil membentak agar
dia menyerah, Kun Liong menggerakkan tangan dan tombak itu sudah pindah ke tangannya, kemudian dipatah-patahkannya tombak itu seperti mematah-matahkan sebatang biting (lidi) saja! Semua penjaga menjadi bengong dan Kun Liong berkata, “Aku tidak berurusan dengan kalian. Aku mau hicara dengan ketua kalian Kwi-eng Niocu!”
Karena melihat pemuda itu sedemikian lihainya dan benar saja tidak bergerak apa-apa, mereka lalu mundur dan mengurung dengan membuat lingkaran lebar sambil menanti datangnya ketua mereka untuk menerima perintah.
Tak lama kemudian, dari dalam pondok itu terdengar suara, pintu pondok terbuka dan muncullah tiga orang dengan sikap garang. Seorang wanita setengah tua yang sikapnya agung berdiri di tengah. Wanita ini usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi pantasnya dan kelihatannya baru kurang dari empat puluh tahun, tubuhnya masih ramping dan gerakannya masih lemah gemelai ketika melangkah menuruni anak tangga depan pondoknya. Di sebelah kirinya tampak seorang pemuda tampan tinggi besar yang selain tampan juga gagah sikapnya, pakaiannya indah dan mewah. Tentu itulah putera angkat Kwi-eng Niocu yang kabarnya bernama Liong Bu Kong, tinggi kepandaiannya dan yang diduga oleh Kun Liong sebagai pemimpin para pencuri di Siauw-lim-pai. Dan di sebelah kanan wanita itu berjalan seorang kakek yang hebat sekali keadaannya. Kakek ini sekepala lebih tinggi dari Liong Bu Kong yang sudah tinggi besar itu, tubuhnya seperti raksasa dan jelas tampak kuat seperti gajah! Usianya tentu amat tinggi, namun sukar ditaksir berapa! Brewoknya menutupi sebagian besar mukanya dan brewok itu, seperti rambutnya, sudah putih semua berikut alis dan bulu matanya! Namun langkahnya masih gagah seperti langkah seekor harimau, kedua lengannya diayun agak jauh dari tubuhnya dan kakinya menginjak bumi dengan mantap seperti kaki gajah berjalan! Matanya lebar dan sinar matanya tajam luar biasa, menandakan bahwa kakek aneh ini cerdik dan tentunya amat lihai, melihat sikap ibu dan anak itu yang menghormatinya sebagai tamu yang berjalan paling kanan.
Melihat pemuda gundul ini, seketika wajah cantik nenek itu berseri-seri dan seperti berbisik dia berkata kepada kakek raksasa di sebelah kanannya, “Inilah dia yang bernama Yap Kun Liong!”
Kakek itu memandang dengan matanya yang lebar, kemudian tertawa bergelak, suara ketawa yang keluar dari perut dan mengejutkan Kun Liong karena suara ini mengandung khi-kang yang kuat sekali!
“Hua-ha-hah-ho-hoh! Ini namanya ular mencari penggebuk, ikan menghampiri sujen!”
“Aku yakin dia ini yang menyembunyikan bokor emas yang aseli. Hai, orang muda, bukankah engkau yang memalsukan bokor emas? Bocah tampan, katakanlah di mana adanya bokor yang aseli dan engkau akan kujadikan muridku, hidup mewah dan mulia di pulau ini!”
Kun Liong cemberut, menyembunyikan kepanasan hatinya mengingat bahwa mereka ini adalah seorang diantara mereka yang membunuh ayah bundanya, satu-satunya orang yang masib hidup dan yang akan dibunuhnya untuk membalas kemaitian ayah bundanya. Namun dia dapat bersikap tenang karena dia ingin mendapatkan lebih dulu pusaka Siauw-lim-si, maka dia berkata, “Kwi-eng Niocu, dahulu aku telah melemparkan bokor emas kepadamu, aku tidak tahu-menahu tentang bokor palsu atau tulen dan aku juga tidak peduli. Yang penting aku datang menagih janjimu karena bukankah dahulu kau berjanji akan mengembalikan dua buah pusaka Siauw-lim-si yang dicuri oleh orang-orangmu kalau aku memberikan bokor kepadamu? Nah, aku datang untuk menerima sebatang pedang pusaka dan sebuah hiolouw, keduanya merupakan benda lama yang menjadi pusaka Siauw-lim-si. Harap engkau sebagai seorang yang terkenal, sebagai seorang Pangcu (Ketua) dari Kwi-eng-pang, suka memegang janji dan menyerahkan kedua benda pusaka itu kepadaku untuk kukembalikan ke Siauw-lim-si.”
“Yap Kun Liong, seorang Ketua Kwi-eng-pang tidak akan melanggar janjinya. Dahulu memang aku berjanji akan mengembalikan dua buah benda Siauw-lim-si kalau ditukar dengan bokor emas pusaka The Hoo. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa pusaka yang terlepas kembali dari tanganku itu adalah pusaka palsu! Oleh karena itu, tidak mungkin aku menukarkan dua buah pusaka itu dengan sebuah benda palsu.”
“Hemmm, tentang bokor emas aku tidak tahu-menahu, akan tetapi pedang dan hiolouw itu jelas adalah milik Siauw-lim-si yang kalian curi. Maka sekarang aku datang mewakili Siauw-lim-pai untuk minta kembali dua buah benda itu, apa pun yang terjadi!” Kun Liong sengaja bicara dengan nada marah dan bersikap menantang.
“Gundul sombong!” Tiba-tiba Liong Bu Kong, pemuda tampan gagah putera angkat Ketua Kwi-eng-pang itu sudah meloncat maju ke depan. “Ketahuilah dahulu aku yang mencuri dua buah pusaka itu dan semua orang di dunia tahu bahwa untuk mengambil pusaka dari gudang pusaka Siauw-lim-si membutuhkan kepandaian dan harus menempuh kesukaran, yang mengandalkan kepandaian. Kalau engkau ada kepandaian, boleh kaucoba merampasnya kembali dari tanganku!”
Liong Bu Kong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah tiga orang pelayan cantik manis akan tetapi yang seorang lagi mukanya bopeng biarpun potongon mukanya paling cantik di antara mereka bertiga. Totol-totol hitam di muka pelayan ketiga ini benar-benar amat menyayangkan, pikir Kun Liong dan diam-diam merasa heran mengapa dia seperti pernah melihat pelayan bopeng yang cantik ini!
Akan tetapi dia segera tertarik kepada dua buah benda yang dibawa oleh seorang diantara tiga pelayan itu, yaitu yang tertua dan yang matanya bergerak genit. Perempuan ini membawa sebuah baki dan di atas baki terdapat benda yang ditutup sutera kuning. Setelah mereka bertiga datang dekat dan berlutut di pinggiran, Liong Bu Kong merenggut lepas kain kuning dan tampaklah dua benda yang dicari-cari Kun Liong, yaitu sebatang pedang kuno dan sebuah hiolouw kuno, dua buah benda pusaka Siauw-lim-si yang dahulu dicuri oleh pemuda putera angkat Kwi-eng Niocu ini!
Kun Liong memandang Bu Kong dan berkata, “Aku menerima tantanganmu! Kalau aku dapat menangkan engkau, berarti dua buah benda pusaka itu dikembalikan kepadaku?”
Liong Bu Kong tertawa mengejek. “Kita lihat saja nanti, tapi coba lebih dulu kaulawan aku, Gundul!” Sambil berkata demikian, Liong Bu Kong sudah mencabut sebatang pedang yang membuat mata Kun Liong silau karena pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang amat terang. Itulah pedang pusaka Lui-kong-kiem (Pedang Kilat) yang ampuh!
“Bu Kong jangan bunuh dia, aku masih membutuhkannya!” Kwi-eng Niocu berseru khawatir melihat putera angkatnya itu menghunus Lui-kong-kiam.
“Ha-ha, jangan khawatir, Ibu. Aku hanya ingin menggurat beberapa garis di atas kepalanya yang gundul pelontos itu. Yap Kun Liong bocah gundul, sambutlah ini!” Tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menggunakan suatu senjata, Bu Kong sudah menyerang dengan pedangnya. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar ke arah leher Kun Liong.
Kun Liong mengenal pedang ampuh, akan tetapi dia pun mengenal gerakan yang tidak begitu berbahaya seperti yang mula-mula dikhawatirkannya. Boleh jadi bagi umum, ilmu kepandaian Liong Bu Kong ini sudah hebat sekali, akan tetapi bagi dia, pemuda itu bukan merupakan lawan yang terlalu berbahaya sungguhpun dibantu oleh sebatang pedang seampuh itu. Dengan mudah dia lalu mengelak dan meloncat ke sana-sini dikejar bayangan pedang. Setelah belasan jurus menyerang tanpa dapat mengenai sasarannya, Liong Bu Kong menjadi penasaran, malu dan marah. Jangankan menggurat-gurat kepala lawan, sedangkan ujung baju lawan saja sekian lamanya belum juga dia mampu menyentuh dengan ujung pedangnya. Maka dikeluarkanlah semua jurus-jurus maut dan dia mengurung tubuh Kun Liong dengan lingkaran sinar pedang yang bergulung-gulung.
Biarpun Kun Liong tidak memegang senjata apa-apa, namun karena dia telah mengeluarkan ilmu silatnya yang sakti, yaitu Pat-hong-sin-kun, andaikata dia harus menjaga diri dengan elakan dan tangkisan saja, kiranya dia akan dapat bertahan sampai ratusan jurus tanpa membalas. Namun, yang menjadi pokok perhatiannya bukanlah mengalahkan pemuda ini. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan dengan Bu Kong, maka perlu apa mengalahkannya, apalagi melukainya? Yang penting baginya adalah merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, kemudian baru dia akan menandingi Kwi-eng Niocu menuntut balas atas kematian ayah bundanya. Oleh karena pikiran ini, sambil mengelak ke sana-sini sehingga dia kelihatan repot terdesak hebat, dia melirik ke arah pelayan yang membawa baki terisi dua benda pusaka. Dia sengaja mpngelak dan membiarkan dirinya terdesak mundur-mundur mendekati pelayan dan tiba-tiba, bagaikan gerakan seekor burung walet, tangannya menyambar dan di lain detik dua buah benda pusaka itu telah dapat dirampasnya!
“Eeiiihhh...!” Pelayan itu menjerit dan terjengkang pingsan, buru-buru ditolong oleh pelayan bopeng dan temannya yang seorang lagi, kemudian digotong masuk ke dalam.
Liong Bu Kong marah bukan main. “Kurang ajar! Kembalikan benda itu!” Teriaknya dan pedangnya menusuk dada Kun Liong. Pemuda gundul ini membiarkan pedang meluncur, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga pedang itu menusuk tempat kosong di bawah lengannya dan sekali lengannya dirapatkan, pedang terjepit dan kakinya menendang perlahan ke arah lutut Bu Kong.
“Auhhh...!” Seketika kaki Bu Kong lumpuh dan pemuda ini jatuh berlutut, pedangnya masih dikempit oleh Kun Liong. Setelah menyimpan dua benda itu dengan mengikatkan kain kuning yang membungkusnya ke belakang pundak, Kun Liong lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam, melempar pedang itu ke bawah dan pedang menancap di depan kaki Bu Kong, amblas sampai hampir ke gagangnya!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Kwi-eng Niocu menyaksikan kekalahan puteranya yang memalukan itu. Melawan pemuda gundul bertangan kosong yang sama sekali tidak balas menyerang saja, sampai puluhan jurus puteranya tak mampu menang, bahkan akhirnya dua benda pusaka dapat dirampas, juga pedang Lui-kong-kiam dan puteranya roboh berlutut! Betapa memalukan hal ini!
Betapapun juga, sebagai seorang Ketua Kwi-eng-pang yang berkuasa, dia harus malu kalau harus menarik kembali janjinya, maka dia membentak, “Serahkan dulu bokor emas yang tulen, baru boleh pergi!” Setelah berkata demikian, dengan gerakannya yang amat dahsyat Kwi-eng Niocu sudah menyerang Kun Liong dengan cengkeraman kuku tangannya yang panjang.
“Wussss... brettt!” Kun Liong terpekik kaget. Dia sudah mengelak cepat namun tetap saja kuku itu masih merobek pinggir bajunya dekat pundak. Padahal tadi pedang di tangan Liong Bu Kong sampai puluhan jurus tak pernah mampu menyentuhnya, dan sekarang ibu pemuda ini, begitu menyerang telah merobek bajunya! Dari bukti ini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya Ketua Kwi-eng-pang ini. Tidaklah percuma nenek ini mendapat julukan Si Bayangan Hantu karena memang ilmu kepandaiannya hebat.
Kun Liong mengenal pedang ampuh, akan tetapi dia pun mengenal gerakan yang tidak begitu berbahaya seperti yang mula-mula dikhawatirkannya. Boleh jadi bagi umum, ilmu kepandaian Liong Bu Kong ini sudah hebat sekali, akan tetapi bagi dia, pemuda itu bukan merupakan lawan yang terlalu berbahaya sungguhpun dibantu oleh sebatang pedang seampuh itu. Dengan mudah dia lalu mengelak dan meloncat ke sana-sini dikejar bayangan pedang. Setelah belasan jurus menyerang tanpa dapat mengenai sasarannya, Liong Bu Kong menjadi penasaran, malu dan marah. Jangankan menggurat-gurat kepala lawan, sedangkan ujung baju lawan saja sekian lamanya belum juga dia mampu menyentuh dengan ujung pedangnya. Maka dikeluarkanlah semua jurus-jurus maut dan dia mengurung tubuh Kun Liong dengan lingkaran sinar pedang yang bergulung-gulung.
Biarpun Kun Liong tidak memegang senjata apa-apa, namun karena dia telah mengeluarkan ilmu silatnya yang sakti, yaitu Pat-hong-sin-kun, andaikata dia harus menjaga diri dengan elakan dan tangkisan saja, kiranya dia akan dapat bertahan sampai ratusan jurus tanpa membalas. Namun, yang menjadi pokok perhatiannya bukanlah mengalahkan pemuda ini. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan dengan Bu Kong, maka perlu apa mengalahkannya, apalagi melukainya? Yang penting baginya adalah merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, kemudian baru dia akan menandingi Kwi-eng Niocu menuntut balas atas kematian ayah bundanya. Oleh karena pikiran ini, sambil mengelak ke sana-sini sehingga dia kelihatan repot terdesak hebat, dia melirik ke arah pelayan yang membawa baki terisi dua benda pusaka. Dia sengaja mpngelak dan membiarkan dirinya terdesak mundur-mundur mendekati pelayan dan tiba-tiba, bagaikan gerakan seekor burung walet, tangannya menyambar dan di lain detik dua buah benda pusaka itu telah dapat dirampasnya!
“Eeiiihhh...!” Pelayan itu menjerit dan terjengkang pingsan, buru-buru ditolong oleh pelayan bopeng dan temannya yang seorang lagi, kemudian digotong masuk ke dalam.
Liong Bu Kong marah bukan main. “Kurang ajar! Kembalikan benda itu!” Teriaknya dan pedangnya menusuk dada Kun Liong. Pemuda gundul ini membiarkan pedang meluncur, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga pedang itu menusuk tempat kosong di bawah lengannya dan sekali lengannya dirapatkan, pedang terjepit dan kakinya menendang perlahan ke arah lutut Bu Kong.
“Auhhh...!” Seketika kaki Bu Kong lumpuh dan pemuda ini jatuh berlutut, pedangnya masih dikempit oleh Kun Liong. Setelah menyimpan dua benda itu dengan mengikatkan kain kuning yang membungkusnya ke belakang pundak, Kun Liong lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam, melempar pedang itu ke bawah dan pedang menancap di depan kaki Bu Kong, amblas sampai hampir ke gagangnya!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Kwi-eng Niocu menyaksikan kekalahan puteranya yang memalukan itu. Melawan pemuda gundul bertangan kosong yang sama sekali tidak balas menyerang saja, sampai puluhan jurus puteranya tak mampu menang, bahkan akhirnya dua benda pusaka dapat dirampas, juga pedang Lui-kong-kiam dan puteranya roboh berlutut! Betapa memalukan hal ini!
Betapapun juga, sebagai seorang Ketua Kwi-eng-pang yang berkuasa, dia harus malu kalau harus menarik kembali janjinya, maka dia membentak, “Serahkan dulu bokor emas yang tulen, baru boleh pergi!” Setelah berkata demikian, dengan gerakannya yang amat dahsyat Kwi-eng Niocu sudah menyerang Kun Liong dengan cengkeraman kuku tangannya yang panjang.
“Wussss... brettt!” Kun Liong terpekik kaget. Dia sudah mengelak cepat namun tetap saja kuku itu masih merobek pinggir bajunya dekat pundak. Padahal tadi pedang di tangan Liong Bu Kong sampai puluhan jurus tak pernah mampu menyentuhnya, dan sekarang ibu pemuda ini, begitu menyerang telah merobek bajunya! Dari bukti ini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya Ketua Kwi-eng-pang ini. Tidaklah percuma nenek ini mendapat julukan Si Bayangan Hantu karena memang ilmu kepandaiannya hebat.
Kun Liong kini siap siaga dan melawan mati-matian. Berbeda dengan tadi ketika menghadapi Bu Kong, dia tadi tidak mau melukai berat apalagi membunuh pemuda itu, akan tetapi sekarang, maklum bahwa nenek ini merupakan orang terakhir yang membunuh ayah bundanya, dia tidak hanya mengelak dan menangkis, namun juga balas menyerang!
“Siuuuuttt...!” Kedua lengan Kwi-eng Niocu bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong, yang kiri mencengkeram ke arah bawah pusar. Dua serangan sekaligus yang merupakan cengkeraman maut dan yang datangnya amat cepat.
Kun Liong menggerakkan kedua lengannya ke atas dan ke bawah menangkis. “Duk! Dukkk!” tangkisan yang amat kuat sehingga kedua lengan lawan terpental, namun dengan amat cepatnya Kwi-eng Niocu sudah menyerang lagi dengan cakar ke arah mata dan dada.
“Plak! Dukkk...! Haittt...!” Kun Liong menangkis dua kali dan melanjutkan dalam detik berikutnya dengan hantaman tangan kiri dengan tangan terbuka, tangan kirinya mengeluarkan uap putih dan itulah pukulan Pek-in-ciang yang amat ampuh, yang dia pelajari dari manusia sakti Tiang Pek Hosiang.
Kwi-eng Niocu cepat menangkis dengan kedua tangan sambil melempar tubuh ke kiri, namun tetap saja hawa pukulan membuat dia terjengkang dan bergulingan. Dia tidak terluka parah, namun mengalami kekagetan hebat sekali.
Tak disangkanya bahwa pemuda itu benar-benar amat lihai! Dia sudah meloncat bangun lagi, dan berseru “Lo-mo, kenapa kau diam saja? Bantulah aku!”
Kakek raksasa itu tertawa bergelak. “Huah-ha-ha, Niocu. Menghadapi seorang bocah gundul saja mengapa harus minta bantuanku? Kau sendiri tidak mau memenuhi permintaanku, bagaimana aku bisa memenuhi permintaanmu sekali ini?” Kwi-eng Niocu sudah menyambut lagi serangan Kun Liong. Sekali ini, Kun Liong yang menyerang dan serangannya itu adalah pukulan dari jurus Im-yang Sin-kun dan masih menggunakan tenaga Pek-in-ciang. Dia mengambil keputusan untuk menggunakan ilmu yang didapatnya dari Tiang Pek Hosiang tokoh besar Siauw-lim-pai itu untuk mempertahankan dan merampas kembali benda pusaka Siauw-lim-pai.
“Plak-plak...!!” Kwi-eng Niocu masih dapat menangkis, akan tetapi kembali dia terhuyung. Dia masih sempat mengirim cakar mautnya dan melihat kuku-kuku meruncing itu menyambar dekat mukanya, dengan gemas Kun Liong menyentil dengan jari telunjuknya.
“Krakkk!” Dan patahlah sebuah kuku runcing dari ibu jari tangan kiri Kwi-eng Niocu.
“Aihhhh... Lo-mo, bantulah aku, dan aku akan melayanimu semalam nanti. Keparat!”
“Ha-ha-ha-ha! Begitu baru sepadan, namanya!”
Kini raksasa itu sudah bergerak maju, kedua lengannya yang sebesar paha orang dan panjang berbulu itu sudah menyambar dari kanan kiri dengan membawa angin pukulan yang dahsyat.
“Aihh!” Kun Liong kaget bukan main. Cepat dia mengelak ke belakang, kemudian tangannya menampar ke arah leher lawan. Raksasa itu tidak mengelak, hanya mengangkat bahunya ke atas menerima tamparan itu.
“Desss!” Tamparan yang amat hebat yang dilakukan oleh Kun Liong itu akibatnya membuat pemuda ini terpelanting sendiri seolah-olah dia tadi menampar sehuah gunung baja!
“Huah-ha-ha-hah!” Kakek itu tertawa dan dengan cepatnya menubruk seperti sikap seekor harimau menubruk seekor domba. Dengan menggunakan kedua tangan menekan bumi, Kun Liong mencelat ke atas untuk menghindarkan, namun lengan kakek raksasa itu terlalu panjang sehingga tetap saja dia dapat dirangkul dan dipeluk erat-erat. Dua lengan panjang besar itu seperti dua ekor ular membelit tubuhnya, melingkari leher dan pinggangnya dengan kekuatan belalai seekor gajah! Terpaksa Kun Liong menggunakan Thi-khi-i-beng karena kalau tidak, dia tentu takkan dapat bernapas dan jangan-jangan tulang-tulang iganya akan remuk!
“Aduhhh... auuuggghhh...!” Raksasa itu berteriak-teriak dengan mata melotot ketika merasa betapa tenaganya memberobot keluar disedot oleh tubuh pemuda yang dipeluknya itu.
Melihat ini, Kwi-eng Niocu cepat melolos saputangannya dan sekali dia menggerakkan tangan, saputangan itu meluncur ke arah leher Kun Liong.
“Prattt!” Tubuh Kun Liong menjadi lemas karena jalan darahnya telah tertotok secara tepat sekali. Andaikata Kwi-eng Niocu menggunakan tangannya, tentu nenek ini pun akan ikut tersedot tenaga sin-kangnya oleh Thi-khi-i-beng. Akan tetapi sebagai Ketua Kwi-eng-pang dan sebagai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang sudah luas pengetahuannya, melihat halnya raksasa tadi dia sudah dapat menduga, sungguhpun penuh keheranan, maka dia menggunakan saputangannya, sebagai pengganti jari tangan.
Raksasa itu adalah Thia-ong Lo-mo. Dia ini bukan lain adalah guru dari Tok-jiauw Lo-mo, dan dia adalah suheng dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo (baca cerita Pedang Kayu Harum). Tempat tinggalnya adalah di kaki Pegunungan Go-bi-san dan pada hari itu dia menjadi tamu Kwi-eng Niocu yang merasa kehilangan teman-teman, sengaja mendekati kakek raksasa yang lihai ini untuk diajak bersekutu mencari bokor emas yang tulen, juga untuk membalas dendamnya kepada Panglima The Hoo.
Thian-ong Lo-mo melepaskan pelukannya dan mengusap keringatnya dari dahi. “Hebat benar... ilmu apa itu tadi? Seperti setan, tahu-tahu tenagaku disedotnya tanpa dapat kutahan.”
“Hemm, ilmu itu kalau bukan Thi-khi-i-beng apalagi?” kata Kwi-eng Niocu.
“Thi-khi-i-beng?” Liong Bu Kong menghampiri dan bertanya kaget. Dia pun terheran-heran menyaksikan kelihaian Kun Liong sehingga setelah dikeroyok dua oleh ibunya dan Thian-ong Lo-mo, baru dapat ditangkap.
“Thi-khi-i-beng? Bukankah katanya hanya Pendekar Cia Keng Hong yang memilikinya?” tanya pula Thian-ong Lo-mo.
“Hemm, siapa tahu bocah ini telah mewarisinya. Bocah ini amat penting...”
“Bunuh saja dia, Ibu! Dia berbahaya!” kata Bu Kong.
“Hush! Bodoh kau. Dia penting sekali. Pertama, dialah yang agaknya tahu di mana letaknya bokor yang tulen. Ke dua, kalau dia mengerti Thi-khi-i-beng, hemm, kita bisa siksa dan paksa dia untuk mengajarkannya kepada kami.”
“Ha-ha-ha! Pikiran bagus sekali! Dia harus ditahan dan dibelenggu kuat-kuat. Jangan khawatir, pergunakan ini untuk mengikatnya, dia tidak akan mampu lolos!” Kakek raksasa itu melepaskan “kolor” celananya yang berwarna hitam. Benda ini terbuat dari otot binatang ajaib di Go-bi, dan uletnya tidak ada yang dapat menandinginya. Kaki tangan Kun Liong lalu dibelenggu dengan tali otot itu, dan dia dilempar ke dalam kamar tahanan, dijaga ketat oleh selosin orang penjaga.
Malam itu sunyi sekali. Tiap dua jam sekali selosin penjaga yang menjaga di luar kamar tahanan Kun Liong diganti dan diantara mereka itu dipilih para anak murid yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.
Sementara itu, di kamar para pelayan, tak jauh dari kamar Kwi-eng Niocu, tiga orang pelayan wanita muda saling berbisik-bisik, “Niocu tidak mau diganggu malam ini, kita menganggur...” kata seorang yang paling genit.
“Hemm, mengapa Niocu suka melayani kakek seperti itu? Idihhh, menjijikkan sekali, raksasa seperti itu... bisa mati aku kalau harus melayaninya!” kata yang ke dua sambil terkekeh genit.
“Kalian jangan main-main, kalau terdengar Niocu kalian bisa dibunuh,” kata pelayan ke tiga yang mukanya bopeng.
“Sebaiknya kita pergi saja ke kamar Kongcu, dia tentu membutuhkan kita. Lebih senang melayani dia, biar hanya untuk memijati tubuhnya yang kuat dan gagah...” kata orang pertama.
“Cocok! Mari kita menghadap Kongcu. Sudah lebih sepekan dia tidak mengundang kita.”
“Pergilah kalian. Aku sih tidak dibutuhkan Kongcu,” kata yang bopeng.
“Aihh, A-hwi, kau sebenarnya cantik sekali, lebih manis daripada kami berdua, sayang mukamu banyak totol-totol hitam. Kau sih tidak mau menurut, kalau kau berobat dan totol-totolmu itu bersih, tentu Kongcu akan tergila-gila kepadamu.”
“Huh, aku tidak memikirkan soal itu. Pergilah kalian kepadanya, aku sendiri akan menjaga di kamar ini, kalau-kalau Niocu membutuhkan sesuatu. Kalau dia memanggil dan kita bertiga tidak ada semua, bukankah celaka?”
“Kau mau menjaga di sini untuk kami? Ah, A-hwi kau baik sekali.”
“Pergi dan bersenanglah,” kata A-hwi yang bopeng. Dua orang pelayan cepat berdandan, menambah bedak dan gincu di muka dan bibir, memakai beberapa tetes minyak wangi, membereskan rambut dan pakaian, kemudian sambil tersenyum-senyum dan tertawa-tawa genit mereka menuju ke kamar Liong Bu Kong yang memang sudah menjadikan mereka berdua sebagai kekasihnya dan kadang-kadang memanggil mereka ke kamarnya untuk melayaninya bersenang-senang.
Setelah dua orang pelayan itu pergi, A-hwi yang mukanya bopeng itu cepat meloncat keluar dari kamar, tangannya mengusap mukanya dan... selaput tipis terlepas atau terkupas dari kulit mukanya yang halus dan sedikit pun tidak ada totol hitamnya. Dara ini sama sekali bukan bopeng, melainkan memiliki wajah yang cantik jelita dan tidak ada cacat bopengnya sebuah pun! Gerakannya berubah lincah sekali ketika dia berkelebat lenyap dalam gelap.
Siapakah dara jelita ini? Dia bukan lain adalah Lim Hwi Sian, dara cantik murid Gak Liong di Secuan, atau masih terhitung cucu keponakan murid dari Panglima The Hoo karena Gak Liong adalah murid keponakan panglima besar itu. Telah sebulan lebih Hwi Sian menyelundup ke Kwi-ouw dan diterima sebagai pelayan. Dia dapat melindungi dirinya dari Bu Kong yang mata keranjang itu dengan jalam menyelaputi mukanya dengan selaput tipis sehingga mukanya yang cantik jelita itu menjadi bopeng. Dan semua ini dikerjakan memenuhi rencana dan siasat Cia Giok Keng, puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong!
Setelah menyelinap di tempat gelap agak jauh dari kelompok bangunan, terdengar suara burung malam. Hwi Sian cepat menghampiri dan ternyata Giok Keng telah berada di situ, tepat seperti telah mereka janjikan. Giok Keng telah mendengar dari ayahnya tentang ayah bunda Kun Liong yang dibunuh oleh lima datuk, juga tentang bokor yang dipalsukan dan yang diduga dilakukan oleh Kwi-eng Niocu. Karena merasa marah mendengar kematian bibi gurunya Gui Yan Cu dan suaminya, Giok Keng lalu minggat untuk menyelidiki Kwi-ouw dan di jalan dia bertemu dengan Hwi Sian yang tentu saja sudah dikenalnya.
“Bagaimana, Hwi Sian? Sudah dapatkah kau menyelidiki tentang bokor...”
“Sssttt... Cia-lihiap,” Hwi Sian menyebut lihiap kepada Giok Keng mengingat bahwa nona ini adalah puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan yang ia tahu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri. “Ada berita hebat sekali...”
Dengan suara bisik-bisik Hwi Sian lalu menuturkan tentang munculnya Yap Kun Liong yang hendak merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai.
“Dia sudah berhasil mengalahkan Liong Bu Kong dan merampas pusaka, akan tetapi dia dikeroyok oleh Kwi-eng Niocu dan Thian-ong Lo-mo, tertawan dan dijebloskan di dalam kamar tahanan bawah tanah.”
Giok Keng membanting-banting kakinya dengan gemas. “Si tolol itu! Sungguh tak tahu diri, berani mendatangi guha harimau. Biar dirasakan kelancangannya sendiri itu!”
“Tapi... Li-hiap... dia itu orang baik. Kita harus menolongnya. Dengan adanya dia membantu kita, agaknya pekerjaan kita akan lebih ringan. Pula, bukankah dia pun berhak untuk membalas kematian orang tuanya?”
Karena suara ini dilakukan dalam bisik-bisik, maka Giok Keng tidak dapat menangkap getaran aneh dalam suara Hwi Sian ini. Akhirnya, mengingat bahwa betapapun juga dia harus menolong Kun Liong, dia mengangguk dan keduanya lalu berindap mendekati kelompok bangunan. Tidak percuma Hwi Sian menjadi pelayan di situ selama sebulan. Selama itu dia telah menyelidiki semua tempat rahasia, dan tahu di mana Kun Liong disekap. Dengan hati-hati dua orang dara perkasa ini mmyelinap, Hwi Sian di depan dan Giok Keng di belakang. Giok Keng telah menyerahkan sebatang pedang kepada Hwi Sian, sedang dia sendiri memegang pedang Gin-hwa-kiam yang berkilauan, sebatang pedang pusaka perak yang ampuh.
Ketika kedua orang dara itu menuruni anak tangga menuju ke kamar tahanan di bawah tanah, mereka bengong melihat betapa pintu menembus ke anak tangga itu telah terbuka dan dua orang pmjaga pintu telah menggeletak dan “tidur” alias pingsan tanpa luka. Lebih besar lagi keheranan mereka ketika mereka melihat dua belas orang penjaga di luar kamar tahanan sudah rebah malang-melintang, kesemuanya pingsan dan kamar tahanan itu sendiri sudah kosong! Tampak “kolor” hitam terbuat dari otot yang dibanggakan oleh Thian-ong Lo-mo itu menggeletak di kamar tahanan akan tetapi Kun Liong si Pemuda Gundul sudah tidak berada di tempat itu!
“Ke mana dia?” Giok Keng bertanya heran.
“Entah, tapi itu tadi tali pengikatnya..., tentu dia telah dapat mololoskan diri, atau mungkin ada yang menolongnya. Mari kita cepat keluar sebelum ada penjaga yang melihatnya.” Dua orang dara itu bergegas keluar dari kamar tahanan bawah tanah.
Ke manakah perginya Kun Liong? Dugaan Hwi Sian memang benar. Pemuda itu dapat meloloskan diri, akan tetapi bukan karena pertolongan orang lain. Thian-ong Lo-mo terlalu memandang rendah pemuda ini, tidak tahu bahwa pemuda ini adalah murid gemblengan dari tokoh sakti Siauw-lim-pai Tiang Pek Hosiang dan tentu saja sebagai murid Siauw-lim-pai, dia telah mempelajari Ilmu Jiu?kut-kang, yaitu ilmu melemaskan tulang dan tubuh dari Siauw-lim-pai, bahkan dia telah mempelajari ilmu ini bagian tingkat tinggi karena digembleng oleh Tiang Pek Hosiang sendiri. Oleh karena itu, ketika dia dimasukkan ke dalam kamar tahanan, sebentar saja dia sudah dapat meloloskan kaki tangannya dari belenggu otot hitam itu tanpa mematahkan belenggu karena untuk mematahkan belenggu yang ulet dan mulur itu memang tidak mungkin. Ketika melihat malam tiba dan para penjaga sudah mengantuk, dengan gerakan secepat kilat Kun Liong lalu mematahkan pintu besi kamar tahanan dan sebelum dua belas orang penjaga yang sebagian besar sudah setengah pulas itu dapat berteriak, tubuhnya menyambar ke sana-sini dan totokan-totokannya membuat selosin orang penjaga itu malang melintang dan tumpang tindih dalam keadaan “ngorok” akan tetapi bukan tertidur pulas melainkan pingsan!
Cepat dia lari ke pintu di atas anak tangga yang menuju ke jalan keluar. Di sini terdapat pula dua orang penjaga, mereka ini pun dibikin “pulas” sebelum sempat berteriak. Kun Liong kini mengerti bahwa kalau dia hanya menggunakan “cengli” (aturan) saja terhadap Ketua Kwi-eng-pang akan percuma. Terpaksa dia harus menggunakan kekerasan, yaitu dengan paksa dia akan berusaha mencuri kembali pusaka-pusaka Siauw-lim?pai itu, kemudian dia akan berusaha membunuh orang terakhir yang menjadi pembunuh ayah bundanya.
Gerakannya ringan dan cepat sekali dan tak lama kemudian dia telah mengintai di luar jendela sebuah kamar. Kamar Kwi-eng Niocu! Kun Liong tidak dapat melihat ke dalam, namun telinganya yang berpendengaran tajam dapat menangkap suara Kwi-eng Niocu dan Kakek Thian-ong Lo-mo yang bercakap-cakap di dalam kamar itu.
“Ahhh, Ang Hwi Nio, sungguh aku tidak menyangka bahwa engkau yang terkenal sebagai seorang gadis itu ternyata hanya kabar kosong belaka!” Suara kakek itu penuh kecewa dan penyesalan.
“Cih, tua bangka tak tahu malu! Bagimu apa sih bedanya? Engkau tergila-gila kepadaku dan karena engkau sudah membantu dan aku sudah berjanji, aku menyerahkan diriku kepadamu dan kau masih berani mengomel!”
“Aku tidak mengomel. Engkau hebat dan aku cinta kepadamu, Niocu, akan tetapi aku hanya heran bahwa kenyataannya...”
“Bodoh! Aku terkenal sebagai seorang perawan karena aku tidak pernah menikah, bukan berarti bahwa aku tidak pernah berhubungan dengan pria. Bahkan aku telah menjadi seorang ibu...”
“Hehhh...?”
“Engkau kuanggap sebagai seorang sahabat baik, Lo-mo, dan kuharap selanjutnya kita dapat bekerja sama untuk memperoleh bokor pusaka itu. Maka biarlah kubuka rahasiaku kepadamu seorang. Ketahuilah bahwa dulu, aku berhubungan dengan seorang pemuda she Liong. Hubungan kami akrab dan karena bujuk rayunya aku tidak dapat mempertahankan diri sampai aku mengandung. Akan tetapi apa yang dilakukan pemuda
keparat itu? Dia tidak mau mengakui kandunganku karena dia merasa malu menjadi suami seorang anggauta kaum sesat, katanya. Nah, aku membunuhnya dan setelah anak itu terlahir, kuangkat dia menjadi anakku. Padahal dia anakku sendiri, darl hubunganku dengan pemuda she Liong itu, anak terlahir tidak sah...”
“Liong Bu Kong...?”
“Benar. Nah, kau sudah mendengar dan kuharap saja engkau menyimpan rahasia ini baik-baik.”
“Tentu saja selama engkau suka melayaniku, manis.”
“Aku akan melayanimu sepuasmu asal engkau selalu suka membantuku.”
Kun Liong yang mendengarkan penuturan wanita itu menjadi bengong dan tanpa disadarinya timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio! Kembali ada seorang manusia menjadi korban apa yang tadinya dianggapnya “cinta”! Benarkah cinta itu selalu mendatangkan malapeta? Betapa banyaknya peristiwa yang disaksikannya sendiri, peristiwa menyedihkan akibat perasaan yang terkenal dinamakan cinta. Hwi Sian mencintanya dan karena dia tidak dapat membalasnya, dara itu merana. Demikian pula Yuanita. Dan Li Hwa, demi cintanya dengan Yuan, keduanya menjadi korban dan binasa. Sekarang, ternyata Kwi-eng Niocu, seorang di antara datuk kaum sesat yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan ditakuti, yang terkenal sebagai seorang gadis tua, kiranya hanyalah seorang wanita korban cinta sehingga melahirkan seorang anak yang terpaksa dianggap sebagai anak angkat!
Tiba-tiba terdengar bentakan keras di sebelah belakangnya. “Keparat, jadi engkau dapat meloloskan diri? Kalau begitu engkau memang layak mampus!” Ucapan ini disusul menyambarnya sebatang pedang kilat yang mengejutkan Kun Liong. Namun pemuda gundul ini sudah dapat menghindarkan diri dan mengelak dengan loncatan kiri dan dia berhadapan dengan Liong Bu Kong yang sudah memegang pedang Lui-cong-kiam. Terdengar bentakan-bentakan dan sebentar saja Kun Liong telah dikurung, bahkan kini Kwi-eng Niocu sendiri dengan rambut masih kusut dan muka masih kemerahan, telah datang pula bersama Thian-ong Lo-mo, kakek raksasa yang mulai malam itu telah menjadi kekasihnya itu!
“Kepung! Tangkap dia! Jangan biarkan dia lolos!” teriak Kwi-eng Niocu yang merasa terkejut sekali melihat tawanan penting itu telah dapat lolos. Akan tetapi karena semua anggauta Kwi-eng-pang maklum betapa lihainya pemuda gundul ini, mereka hanya mengepung dari jarak jauh dengan membentuk lingkaran dan memegang obor sehingga tempat itu menjadi terang sekali, sedangkan yang maju menyerang Kun Liong tentu saja adalah Kwi-eng Niocu sendiri yang kini menggunakan sebuah kebutan bulu panjang berwarna kuning di samping cengkeraman kukunya yang beracun, adapun Thian-ong Lo-mo sudah pula mengeluarkan senjatanya yang luar biasa dan mengerikan, yaitu sehelai sabuk terbuat dari baja lemas berbentuk runcing tajam penuh dengan gigi seperti gergaji. Sebuah senjata yang mengerikan, apalagi dimainkan oleh seorang yang bertenaga gajah seperti kakek itu, senjata aneh ini lenyap bentuknya dan hanya terdengar suara mengaung dan tampak sinar bergulung-gulung seperti seekor naga bermain di angkasa! Selain kedua orang tokoh sakti ini, Liong Bu Kong juga ikut pula mengeroyok dengan pedang pusakanya yang ampuh.
Karena maklum bahwa dia menghadapi orang-orang pandai dan nyawanya terancam bahaya, maka sekali ini Kun Liong tidaklah hanya menjaga diri seperti pertama kali dia dikeroyok, melainkan tubuhnya mencelat ke sana ke mari mengerahkan gin-kangnya dan dia sudah membalas dengan pukulan-pukulan tak kalah berbahayanya pula kepada tiga orang pengeroyoknya. Namun, karena tiga orang itu masing-masing menggunakan senjata ampuh dan hebat, tentu saja Kun Liong tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan Thi-khi-i-beng, hanya terpaksa mengerahkan den mengandalkan kecepatan gerakannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet yang beterbangan di antara sinar-sinar senjata lawan yang bergulung-gulung.
Tiba-tiba timbul kekacauan di bagian kiri para pengepung karena beberapa orang anggauta Kwi-eng-pang roboh dan berkelebatlah bayangan dua orang gadis yang keduanya memegang sebatang pedang dan yang gerakannya gesit sekali, terutama sekali gadis yang pedangnya mengeluarkan sinar perak. Mereka ini bukan lain adalah Cia Giok Keng dengan pedang Gin-hwa-kiam dan Lim Hwi Sian yang memegang sebatang pedang yang baik pula. Keduanya sudah menerjang memasuki kepungan dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerbu ke medan pertandingan membantu Kun Liong!
“Kun Liong, mari kita basmi ibils-iblis ini!” kata Hwi Sian sambil memutar pedangnya menyerang Thian-ong Lo-mo.
“Hwi Sian!” Kun Liong berseru kaget dan girang, kemudian dia melihat pula Giok Keng dan berseru, ”Nona Cia...!”
Akan tetapi Giok Keng tidak menjawab. Hatinya malah mendongkol. Mengapa Kun Liong menyebut Hwi Sian dengan namanya begitu saja, dengan suara mesra, sedangkan kepadanya menyebut Nona Cia segala macam? Dia tidak mengerti bahwa sengaja Kun Liong menyebutnya nona untuk mengangkatnya, untuk menghormatinya sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, apalagi mereka berada di depan banyak orang.
Cia Giok Keng cepat melepaskan anak panah berapi. Anak panah itu meluncur ke udara, tinggi sekali dan tampak api kehijauan menyala-nyala. Itulah tanda rahasia yang diberikan kepada pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan dan yang sudah siap menanti di pantai untuk menyerbu begitu ada tanda dari Cia Giok Keng! Setelah itu, Giok Keng membantu Hwi Sian yang segera terdesak oleh senjata berbentuk gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo. Adapun Kun Liong kini menghadapi Kwi-eng Nioeu seorang diri, cepat dia mendesaknya dan berkata. “Kwi-eng Niocu, sekarang tiba saatnya aku membalaskan kematian ayah bundaku! Kaulah seorang di antara mereka yang membunuh ayah bundaku!”
Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat. “Kau... sudah tahu? Hi-hi-hik!” Dia memaksa diri tertawa untuk menutupi rasa gentarnya melihat betapa lihainya pemuda gundul ini. “Kalau begitu biar kau kukirim menyusul ayah bundamu!”
Sementara itu, begitu Liong Bu Kong melihat munculnya Cia Glok Keng, seketika kumat gilanya. Dia tergila-gila kepada nona ini dan kini melihat wajah cantik itu di bawah sinar penerangan obor yang kemerahan, dia terpesona sehingga sampai lama dia diam saja berdiri tegak dengan pedang di tangan.
“Bu Kong, bantulah aku!” Kwi-eng Niocu berseru minta bantuan puteranya karena sebagian bulu kebutannya kena ditampar tangan Kun Liong sehingga membodol dan berhamburan! Demikian kuatnya jari tangan pemuda itu sehingga kebutannya yang biasanya dapat menghancurkan batu karang itu kini membodol kena tamparan jari tangan Kun Liong.
Akan tetapi seperti orang mabuk, Bu Kong sama sekali tidak mempedulikan ibunya, bahkan dia lalu meloncat ke depan Giok Keng dan berkata, “Nona Cia Giok Keng, selamat datang di tempatku yang buruk. Nona, mengapa Nona datang sebagai penyerbu? Bukankah kita sahabat baik dan bukankah aku mempunyai niat baik terhadap dirimu. Nona, aku masih cinta kepadamu, selamanya aku cinta kepadamu...!”
“Keparat!” Giok Keng menjadi merah sekali mukanya. Harus dia akui bahwa dia dahulu tertarik kepada pemuda tampan ini, dan andaikata Bu Kong tidak bersikap semanis itu di depan banyak orang, agaknya dia pun akan lebih merasa bangga daripada marah. Akan tetapi, di depan banyak orang, apalagi di depan Kun Liong dan Hwi Sian, pemuda ini berani menyatakan cintanya. Maka sambil membentak pedangnya berkelebat menyerang dengan tusukan kilat.
“Cringgg!” Bu Kong menangkis dan Giok Keng menjadi makin marah. Kepandaiannya kini tentu saja tidak dapat disamakan dengan dahulu, ketika Liong Bu Kong datang ke Cin-ling-san. Dia sudah memperoleh kemajuan hebat dan begitu dia memutar pedang mendesak, Bu Kong menjadi terkejut dan hanya dapat menangkis sambil mundur. Betapapun juga, pemuda ini bukan orang sembarangan dan dia sudah mewarisi kepandaian ibunya. Hanya dia benar-benar jatuh hati kepada Giok Keng dan tidak mau melukainya, maka dalam pertandingan itu, dia terus main mundur didesak oleh Giok Keng sehingga makin lama keduanya makin menjauh dari medan pertandingan.
Setelah ditinggalkan Giok Keng, tentu saja Hwi San menjadi repot sekali. Biarpun dia juga seorang dara yang berilmu tinggi, namun ilmunya kalau dibandingkan dengan Giok Keng kalah jauh, apalagi dibandingkan dengan kepandaian Thian-ong Lo-mo! Dia terdesak hebat sekali dan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban senjata gergaji di tangan lawannya yang tertawa-tawa mengejek.
“Huah-ha-ha, mukamu yang halus akan kugurat-gurat malang melintang, tubuhmu yang montok akan kurobek dengan senjataku, huah-ha-ha!” kakek itu agaknya girang sekali dapat mendesak Hwi Sian yang merupakan makanan empuk baginya. Namun Hwi Sian menggigit bibir dan tak pernah mau menyerah, bahkan memutar pedangnya dengan gerakan nekat.
“Wirrrr...!” Senjata gergaji itu menyambar dengan gerakan berputar. Hwi Sian menangkis.
“Plak... krekkk!” Hwi Sian mengeluh karena hampir saja telapak tangannya terkupas kulitnya ketika dia hendak mempertahankan pedangnya yang kena dikait dan diputar oleh senjata lawan sehingga akhirnya patah-patah. Tangan kiri kakek itu menyambar ke arah kepala Hwi Sian, ketika dara itu mengelak, tiba-tiba saja tangan itu menghantam ke bawah.
“Plakkk!” Telapak tangan kiri kakek itu telah menampar paha kanan Hwi Sian dengan sikap kurang ajar sekali, akan tetapi karena tamparan itu mengandung hawa sin-kang yang beracun, akibatnya Hwi Sian terpelanting.
“Huah-ha-ha!” Kakek itu maju dengan senjatanya digerakkan ke arah muka Hwi Sian.
“Plak! Bukkk...! Aadouuuhhh...!” Kakek raksasa itu terhuyung mundur. Tadi lengannya yang memegang senjata kena ditampar tangan Kun Liong kemudian pinggangnya dihantam pemuda itu. Untung bahwa Hwi Sian terancam maut, Kun Liong melihatnya maka pemuda ini cepat meninggalkan Kwi-eng Niocu yang sebetulnya sudah terdesak untuk menolong nyawa Hwi Sian dan dia berhasil.
“Kun Liong, aku... terluka... ahhh...” Hwi Sian mengeluh tak dapat bangkit kembali, pahanya terasa panas dan kakinya lumpuh.
“Jangan khawatir, aku melindungimu!” Kini Kun Liong menyambar pedang buntung bekas milik Hwi Sian dan dengan senjata ini, dia mainkan ilmu Silat Siang-liong-pang, diimbangi tangan kirinya yang dipergunakan sebagai tongkat. Hebat bukan main permainan ini sehingga biarpun kakek raksasa dan Kwi-eng Niocu mengeroyoknya, dia tetap dapat mempertahankan diri dan sekaligus juga melindungi tubuh Hwi Sian yang rebah miring.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan muncullah pasukan yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan! Jumlah mereka banyak sekali dan terjadilah perang campuh yang seru dan kacau balau di mana anak buah Kwi-eng-pang mengalami himpitan yang luar biasa sehingga mereka menjadi panik.
Adapun Tio Hok Gwan ketika melihat Kun Liong dikeroyok dan Hwi Sian menggeletak dilindungi oleh Kun Liong, segera menerjang maju. Di tangannya terpegang sabuk pecut, yaitu senjata joan-pian (ruyung lemas) yang amat lihai. Ketika dia menggerakkan pecutnya, terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan terdengar dia berseru, “Tua bangka Thian-ong Lo-mo, tak tahu malu melakukan pengeroyokan, Akulah lawanmu!”
Jelas nampak betapa kakek raksasa ini jerih ketika melihat kakek tinggi kurus yang seperti orang pengantuk itu. Dia sudah mengenal Tio Hok Gwan, mengenal pengawal nomor satu dari Panglima The Hoo yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati) dan amat lihai ini. Namun dia juga menggereng keras, dan senjatanya juga berupa sabuk akan tetapi berbentuk gergaji, digerakkan dengan cepat. Terjadilah pertandingan antara dua orang sakti ini. Kini Kun Liong kembali menyerang Kwi-eng Niocu yang menjadi makin panik.
“Kun Liong... kuserahkan pusaka Siauw-lim-pai... tetapi engkau bebaskan aku dari sini...” Nenek itu memohon, akan tetapi Kun Liong tidak menjawab, melainkan mendesak terus dengan pedang buntungnya.
“Cring-trak-trakkk... aihhh...!” Kwi-eng Niocu memekik ngeri ketika kuku jari tangan kanannya semua buntung terbabat pedang buntung! Dengan nekat dia lalu menghantamkan kebutannya ke arah kepala Kun Liong. Pemuda ini menggerakkan pedang buntungnya dan segera bulu kebutan melibat pedangnya sehingga tak dapat ditarik kembali, sedangkan tangan kiri nenek itu sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya.
Kun Liong juga menggerakkan tangan kiri, menyambut. Dia merasa sakit sekali ketika kuku-kuku runcing mencengkeram telapak tangannya, namun segera nenek itu menjerit dan jatuh berlutut, ketika tenaga sin-kangnya membanjir keluar disedot melalui telapak tangan pemuda yang dicengkeramnya.
“Auuughhh... celaka...!” Dia berseru dan berusaha untuk menarik kembali tangannya. Celakanya kebutannya melibat pedang buntung dan tak dapet digerakkan pula dan ketika dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kang untuk menarik tangannya yang melekat, makin banyak sin-kangnya memberobot keluar. Makin dia mengerahkan sin-kang, makin banyak pula tenaga saktinya keluar.
“Oughhh... lepaskan aku... ampunkan aku...” Tanpa malu-malu lagi nenek itu memohon. Kun Liong mengeraskan hatinya dan tidak mau menghentikan Thi-khi-i-beng sambil membayangkan kematian ayah den ibunya di tangan nenek ini dan datuk?datuk hitam lain yang telah tewas.
Wajah nenek itu menjadi pucat sekali dan dia merasa betapa tenaga sin-kangnya makin lama makin habis membanjir keluar melalui tangannya yang melekat pada telapak tangan pemuda itu. Tahulah dia apa artinya ini. Dia maklum pula bahwa pemuda ini tak mungkin mau mengampuninya, karena sudah tahu bahwa ayah bundanya dibunuh oleh dia dan teman-temannya ketika itu. Maka sebagai seorang yang berkedudukan tinggi, sebagai Ketua Kwi-eng-pang, sebagai seorang di antara para datuk kaum sesat, Kwi-eng Niocu tidak mau terbunuh oleh lawan seorang pemuda seperti ini. Lebih baik bunuh diri! Dilepasnya gagang kebutannya dan secepat kilat dia mengerahkan seluruh tenaga yang masih ada, menggunakan tangan kanan yang sudah tidak ada kukunya itu mencengkeram ke arah kepalanya sendiri.
Pada saat itu, Kun Liong sudah melepaskan Ilmu Thi-khi-i-beng karena di dalam hatinya timbul perasaan tidak tega untuk membunuh nenek itu. Tepat pada saat dia melepaskan tangan nenek yang menempel pada telapak tangannya, nenek itu telah mencengkeram ubun-ubun kepalanya sendiri dengan tangan kanan.
“Crottt.. aughhh...!” Nenek itu roboh, kepalanya pecah dan otak serta darahnya berhamburan, matanya melotot memandang ke arah Kun Liong!
Kun Liong berdiri seperti arca, matanya terbelalak memandang mayat Kwi-eng Niocu, hatinya merasa ngeri dan menyesal sekali. Dia tahu bahwa nenek itu membunuh diri sendiri, akan tetapi dia merasa bahwa dialah yang membunuh nenek ini. Dia membunuh karena nenek ini telah membunuh ayah bundanya. Kalau dia menganggap nenek ini jahat karena membunuh ayah bundanya, lalu apa bedanya dengan dia sendiri kalau dia sekarang membunuh nenek itu? Baik nenek itu, maupun dia, apa pun alasannya, keduanya adalah sama-sama pembunuh! Kun Liong menutupi muka dengan kedua tangannya.
“Kun Liong... aduh... kakiku...!”
Keluhan suara Hwi Sian ini menyadarkan Kun Liong. Dia menurunkan kedua tangannya, membalik dan tidak melihat lagi kepada mayat Kwi-eng Niocu. Ketika melihat betapa Tio Hok Gwan mendesak hebat kakek brewok tinggi besar yang lihai itu dan para perajurit kerajaan juga mendesak anak buah Kwi-eng-pang, dia lalu membungkuk dan membangunkan Hwi Sian. Dilihatnya paha kanan dara itu terluka parah dan matang biru, tahulan dia bahwa Hwi Sian telah menderita pukulan beracun, maka dipondongnya tubuh dara itu.
“Ke mana Nona Cia Giok Keng?” tanyanya sambil menoleh ke kanan kiri karena dia tidak melihat gadis itu.
“Dia... tadi kulihat dia mengejar Liong Bu Kong ke sana... aduh...” Hwi Sian merintih dan merangkul leher Kun Liong.
“Hemmm, jangan-jangan dia terjebak musuh. Mari kita kejar!” Kun Liong berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Hwi Sian sambil memondong tubuh dara ini.
Akan tetapi sampai di pantai pulau, mereka tidak melihat bayangan Giok Keng dan Bu Kong yang dikejar gadis itu. “Mereka tentu telah menyeberang ke darat, sebaiknya kita kejar mereka!” Kun Liong merebahkan tubuh Hwi Sian ke dalam sebuah perahu kecil, kemudian mendayung perahu itu dengan cepat dengan harapan akan dapat menyusul Cia Giok Keng yang dikhawatirkannya.
Melihat kegelisahan Kun Liong, Hwi Sian yang merasa makin lemah, tubuhnya panas semua itu berkata, “Kun Liong... jangan takut... dia... dia memiliki ilmu kepandaian tinggi... takkan kalah oleh Liong Bu Kong... aku... aku... ahhh...” Dara ini tak dapat bertahan lagi dan pingsan.
Barulah Kun Liong terkejut. Cepat dia memeriksa dan diam-diam dia memaki kakek raksasa yang memukul gadis ini. Paha itu matang biru dan menghitam, dan seluruh tubuh Hwi Sian panas sekali. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat pemunah tentu akan berbahaya sekali keadaannya. Maka dia menghentikan usahanya mencari Giok Keng dan mendayung perahunya menuju ke sebuah hutan di seberang. Kemudian setelah perahunya mendarat, dia memondong tubuh Hwi Sian dan meloncat ke darat, terus membawa dara itu memasuki hutan karena dia harus cepat-cepat berusaha mengobatinya sebelum terlambat.
Hwi Sian merintih lirih, membuka matanya. Pertama-tamna yang menarik pandang matanya adalah nyala api unggun di sebelah kanannya, api unggun yang bukan hanya mendatangkan hawa hangat nyaman, akan tetapi juga mendatangkan penerangan sehingga dia dapat melihat bahwa dia berada di dalam sebuah kamar kuil tua, di atas lantai yang agaknya baru saja disapu bersih. Dan Kun Liong duduk di atas lantai, dekat dia, memeriksa dan mengobati paha kanannya dengan cara menempelkan telapak tangannya ke atas paha.
Hwi Sian merasa heran sekali. Dia dapat merasakan betapa dari telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang menyedot pahanya, dan dia merasa betapa panas yang tadi menyerangnya telah menurun, kepalanya tidak pening lagi, rasa nyeri pada pahanya sudah mengurang. Ketika Kun Liong menghentikan pengobatannya menyedot hawa beracun dari paha dara itu, dia lalu memandang Hwi Sian, tersenyum dan berkata, “Tenanglah, Hwi Sian. Hawa beracun telah lenyap dan untung tidak ada tulang dan urat yang rusak oleh pukulan keji itu.”
Sejenak Hwi Sian tidak menjawab, hanya memandang wajah pemuda berkepala gundul itu, bibirnya tersenyum akan tetapi dari matanya keluar dua titik air mata. Mula-mula Kun Liong juga hanya memandang. Mereka saling pandang di bawah cahaya nyala api unggun yang kemerahan dan yang membuat wajah mereka nampak indah dan aneh. Kemudian pemuda itu melihat keluarnya dua titik air mata, maka dia berseru,
“Heiii! Ada apa lagi ini? Mengapa kau sekarang berubah menjadi cengeng (mudah menangis)?”
Ditanya dengan suara sendau gurau ini, makin bertambah air mata mengalir di atas sepasang pipi yang halus itu, bahkan kini Hwi Sian terisak.
“Eh-eh...! Kau kenapakah?” Kun Liong mengangkat bangun dara itu sehingga terduduk, dan menggunakan tangannya menghapus air mata yang membasahi pipi. Tak disangkanya bahwa perbuatannya ini bahkan membuat Hwi Sian tersedu-sedu dan dara itu menjatuhkan mukanya di atas dada Kun Liong.
Kun Liong bingung dan bengong, tak tahu dia apa yang berada di dalam hati dara ini dan tak tahu pula apa yang harus dilakukannya. Maka dia diam saja, hanya mengelus rambut yang halus dan harum itu.
“Kun Liong...” Akhirnya Hwi Sian dapat juga bicara setelah tangisnya mereda.
“Hemmm...?” Kun Liong tidak berani bicara banyak, khawatir kalau kata-katanya akan mendatangkan lebih banyak air mata lagi.
“Kau terlampau baik kepadaku...”
“Ehh...? Masa...?” Dia masih belum berani bicara banyak, karena belum tahu kata-kata bagaimana yang harus dia keluarkan agar tidak mendatangkan tangis lagi.
“Berkali-kali kau menolongku, menyelamatkan aku dari malapetaka, seolah-olah memberikan kembali nyawaku yang sudah terancam maut, dan aku... aku hanya menghinamu...”
Kun Liong tersenyum di balik rambut-rambut yang harum itu. Kini lega hatinya. Kiranya itu yang membuat Hwi Sian menangis. Dara ini diserang perasaan terharu! Untuk membuyarkan perasaan haru, satu?satunya jalan adalah sendau- gurau. “Ah? Masa? Kan engkau sudah memberi upah berkali-kali kepadaku! Engkau pernah memberi upah cium, ingatkah?”
Seketika Kun Liong merasa betapa tubuh yang merapat di dadanya itu menggigil, kemudian terdengar suara Hwi Sian dari dadanya. “Itulah... dan aku menganggapmu... ahhh...” Kembali dara itu menangis!
Celaka, pikir Kun Liong. Dibawa sendau gurau, malah menangis lagi. Apa akalnya? Bagaimana kalau dipancing biar dara ini marah saja? Kemarahan dapat menghilangkan haru dan duka, biasanya begitu.
“Eh, Hwi Sian!Kau menangis lagi?”
“Aku... berhutang budi terlalu banyak kepadamu...”
“Budi apa? Sudah lunas? Dan sekarang juga akan lunas kalau kau mau memberi upah cium kepadaku!” Ucapan ini sengaja dikeluarkan oleh Kun Liong, bukan hanya karena setiap kali melihat Hwi Sian, melihat mulut dara ini yang luar biasa manisnya membuat dia ingin menciumnya, akan tetapi juga dia keluarkan dengan maksud agar dara itu menjadi marah kepadanya.
Benar saja. Tubuh itu meregang dalam pelukannya, akan tetapi Kun Liong yang sudah mengharapkan gadis itu marah dan menampar atau memakinya, merasa betapa tubuh itu lemah kembali dan terdengar suara halus menggetar, “Kalau begitu... kau... kauciumlah aku, Kun Liong...”
Kun Liong terkejut dan menunduk. Inilah salahnya. Begitu menunduk, dia melihat wajah gadis itu yang diangkat sehingga dia melihat mulut yang bibirnya merah membasah, terbuka sedikit dan seperti menantang itu. Tidak kuat dia bertahan lagi, apalagi ciuman ini disetujui dan diminta oleh Hwi Sian! Dan dia memang suka menciumnya. Apa salahnya? Tanpa bicara lagi, dia menunduk dan bertemulah dua buah mulut itu dalam ciuman yang mesra dan lama. Kun Liong merasa betapa mulut dara itu menggetar, kemudian mengeluarkan rintihan dan kedua lengan Hwi Sian merangkulnya ketat sehingga ciuman mereka makin melekat.
Setelah mereka menghentikan ciuman dengan napas terengah-engah, Hwi Sian merangkul Kun Liong dan berkata dengan suara merintih, dengan tubuh panas dan mata terpejam, “Kun Liong... Kun Liong... aku cinta padamu...”
“Aih, Hwi Sian, jangan bicara tentang cinta. Kau sudah tahu...”
“Memang, aku sudah tahu. Kau tidak cinta padaku. Kau hanya suka menciumku. Bukankah begitu?”
“Maafkan aku...”
“Kun Liong, aku... aku akan membunuh diri saja...”
“Heiii! Gila kau...!”
“Ketahuilah, aku... telah ditunangkan dengan Ji?suheng (Kakak Seperguruan ke dua)...”
“Ah, dengan Tan Swi Bu? Bagus sekali! Tan-enghiong itu seorang laki-laki yang gagah perkasa!” Ucepan ini keluar dengan setulus hatinya.
“Tidak, setelah ini, aku tidak mungkin dapat menjadi isterinya atau isteri siapagun juga. Aku... aku akan membunuh diri saja!”
“Hushh, jangan bicara ugal-ugalan kau!” Kun Liong menegur setengah menggoda. “Aku takkan membiarkan engkau membunuh diri.”
“Dengan kepandaianmu, kau tentu bisa mencegahku, akan tetapi apakah selamanya engkau akan menjagaku? Tidak, Kun Liong. Engkau takkan dapat mencegahku, dan aku bukan bicara main-main, aku benar-benar akan membunuh diri. Aku cinta kepadamu, aku diam-diam telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, akan tetapi kalau aku terpaksa harus berpisah darimu dan menjadi isteri orang lain yang tidak kucinta, biarlah aku membunuh diri saja daripada membikin susah hati orang lain.”
“Wah-wah, kaubikin aku bingung, Hwi Sian. Kau tahu aku tidak mencintamu, tidak mencinta siapa-siapa dan aku jujur dalam hal ini. Aku suka kepadamu, akan tetapi tidak mencinta seperti yang kaumaksudkan, cinta yang membawa pernikahan antara pria dan wanita. Aku... aku... wah, aku jadi bingung karena khawatir. Jangan kau bunuh diri, Hwi Sian. Berjanjilah, bersumpahlah bahwa kau tidak akan membunuh diri. Kalau tidak, selamanya aku takkan dapat nyenyak tidur dan enak makan!”
“Kun Liong, keputusanku sudah bulat. Aku akan membunuh diri begitu kita saling berpisah, kecuali... kecuali kalau kau menaruh kasihan kepadaku.”
“Lho! Kau ini benar-benar aneh! Ataukah iblis penjaga hutan dan kuil tua ini yang sudah menggoda pikiranmu? Tentu saja aku menaruh kasihan kepadamu, Sayang.”
“Benarkah? Kau kasihan kepadaku dan mau melakukan apa saja untuk menolong diriku dari kenekatan membunuh diri?” Hwi Sian memandang wajah itu. Kun Liong juga memandang tajam penuh selidik, hendak menjenguk isi hati yang tersembunyi di balik wajah yang basah oleh air mata itu. Dia tahu bahwa Hwi Sian tidak main-main bahkan belum pernah dia melihat dara yang berwatak jenaka dan periang itu bersikap serius seperti saat ini. Akan tetapi dia harus cerdik, tidak boleh membiarkan diri diakali.
“Aku memang kasihan kepadamu, suka kepadamu, dan tentu saja aku suka melakukan apa saja untuk menolongmu dari kenekatan gila itu, asal saja bukan untuk... untuk menikah denganmu!” Bangga hati Kun Liong karena dia sudah dapat mendahului gadis itu sehingga menutup jalan bagi Hwi Sian untuk mengakalinya. Akan tetapi dia kecele ketika mendengar dara itu berkata.
“Tidak, aku pun tahu bahwa tak mungkin aku menikah denganmu, karena selain engkau tidak mencintaku, juga aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Aku hanya minta tolong kepadamu agar engkau suka menjadikan aku sebagai isterimu...”
“Heiii! Gila kau! Tidak ingin menikah denganku tapi ingin menjadi isteriku, apa artinya ini?”
“Kun Liqng, hanya... hanya untuk malam ini... kaupenuhilah hasrat hatiku, aku hanya dapat menyerahkan hati dan tubuhku kepadamu. Kalau kau sudi memenuhi permintaanku, aku... aku bersumpah tidak akan membunuh diri... bahkan aku akan rela menjadi isteri Ji-suheng...”
“Wah, apa-apaan ini? Aku...”
Hwi Sian sudah merangkulnya lagi. “Kau suka kepadaku, bukan? Kau suka menciumku, bukan? Kun Liong...” Dara itu mendekap dan menciuminya.
Gairah yang membuat Hwi Slan seperti berkobar-kobar itu akhirnya membakar Kun Liong juga. Pemuda yang pada dasarnya memang romantis ini, tak dapat menahan gelombang dahsyat yang menyerangnya, yang datang dari dara yang mencintanya lahir batin itu. Tak mampu dia menahan diri dan sebentar saja keduanya sudah dikuasai oleh berahi yang amat kuat dan tidak ada seorang pun manusia yang kuat bertahan apabila sudah diamuk berahi.
Sekali nafsu mencengkeram manusia, akan mendatangkan keadaan yang tidak mengenal puas. Diberi sejengkal ingin sedepa. Belaian dan dekapan, ciuman mesra sudah tidak memuaskan lagi, ingin lebih, ingin yang terakhir, bagaikan mabuk, dan memang sudah mabuk oleh nafsu yang membuatnya buta akan segala hal, lupa akan segala hal, dengan mata seolah-olah terselubung, Kun Liong menciumi seluruh tubuh Hwi Sian, dari ubun-ubun kepala sampai ke telapak kakinya bahkan mereka berdua sudah tidak merasa atau melihat lagi betapa api unggun menjadi padam, keadaan di dalam kuil menjadi gelap sama sekali, seolah-olah sang api sengaja melarikan diri karena tidak tahan menyaksikan peristiwa yang amat mengharukan itu, peristiwa di mana dua insan hanyut oleh dorongan hasrat dan nafsu, yang membuat mereka lupa akan diri... lupa akan segala sehingga lenyaplah sang aku, lenyaplah segala pikiran, segala ingatan, segala keruwetan dan lenyap pula batas antara suka dan duka.
Di dalam kegelapan kuil dalam hutan itu, tidak tampak apa?apa. Hutan itu pun sunyi tidak disentuh angin. Namun terdengar suara-suara di dalam hutan. Suara malam yang penuh rahasia, suara mahluk-mahluk kecil yang tak tampak, kutu-kutu belalang dan jengkerik, burung malam dan segala macam binatang. Suara yang bersatu padu tanpa diatur, yang menciptakan suara yang aneh penuh rahasia, kadang-kadang terdengar seperti rintihan lirih dan desah napas manusia dalam derita dan siksa, kadang-kadang terdengar seperti jerit kemenangan, jerit kesukaan dan penuh kegembiraan. Sukar menentukan garis pemisah antara kecewa dan kepuasan, antara derita dan nikmat kesenangan!
Pada keesokan harinya, setelah cahaya matahari pertama memasuki kuil, tampak Kun Liong duduk bersandar dinding, dan Hwi Sian rebah terlentang di atas lantai. Keduanya tidak mengeluarkan kata-kata, dan Kun Liong membelai rambut Hwi Sian yang kusut masai itu. Wajah keduanya agak pucat, namun di balik kepucatan wajah Hwi Sian, terbayang kepuasan dan kebahagiaan yang membuat bibirnya tersenyum, mata yang masih kelihatan mengantuk itu mengeluarkan cahaya berseri, biarpun ada air mata di pipinya. Kun Liong kelihatan tidak sebahagia Hwi Sian, biarpun dia kelihatan masib terpesona oleh pengalaman luar biasa yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, namun terbayang kekhawatiran dan keraguan pada wajahnya yang agak pucat. Baru teringat olehnya sekarang betapa mereka berdua telah menjadi seperti orang mabuk, tidak ingat akan sesuatu kecuali pencurahan gairah hati, menuruti nafsu berahi tak kunjung berhenti sampai semalam suntuk. Barulah dia meragukan apakah yang diperbuatnya bersama Hwi Sian itu bukan merupakan suatu perbuatan yang amat kotor dan jahat? Dengan keras dia menggeleng kepalanya! Dia tidak melakukan sesuatu paksaan! Dan bahkan lebih dari itu, dia terpaksa oleh Hwi Sian yang mengancam akan membunuh dirl! Dan bagi Hwi Sion sendiri? Berdosakah dia? Kotorkah perbuatannya itu? Hinakah wanita ini yang ingin menyerahkan tubuhnya dengan suka rela kepada pria yang dikasihinya sebelum dia terpaksa menyerahkm diri kepada pria lain yang tak dicintanya akan tetapi yang harus menjadi suaminya? Entahlah, Kun Liong tak mampu menjawabnya.
“Kun Liong...” Suara Hwi Sian lirih dan serak, suara orang yang kurang tidur dan kelelahan.
“Hemm...”
“Aku... aku tidak bisa berpisah darimu lagi...!”
“Heiii!” kun Liong melepaskan pelukannya, menjauhkan diri dan membereskan pakaiannya. “Jangan begitu kau, Hwi Sian! Betapapun aku masih percaya bahwa kau adalah seorang wanita gagah yang takkan melanggar janji!”
Hwi Sian tersenyum masam, membereskan pakaiannya dan duduk berhadapan dengan Kun Liong mengangkat kedua tangan membereskan rambutnya. Melihat gadis itu mengangkat kedua lengan membereskan rambut, melihat wajah kusut yang agak pucat, melihat mulut yang membayangkan kepahitan, merupakan penglihatan yang amat mesra dan hampir meluluhkan hati Kun Liong. Ingin dia mendekap Hwi Sian, menciuminya dan menghiburnya, mengatakan bahwa dia selamanya takkan meninggalkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa hal ini hanyalah seretan perasaan sejenak saja, maka dia tidak membuka mulut.
“Kun Liong,” kata Hwi Sian setelah selesai menyanggul rambutnya sehingga kelihatan manis sekali. “Aku tadinya mengharap, setelah peristiwa semalam, kalau-kalau engkau akan jatun cinta kepadaku. Akan tetapi aku lupa bahwa engkau adalah seorang pria yang luar biasa, yang jujur dan tidak pernah mengingkari kata-kata sendiri. Akan tetapi aku.... ahhh, betapa makin mendalamnya perasaan cintaku mengukir di dalam hatiku. Betapa mungkin aku dapat berpisah darimu, Kun Liong?”
“Hwi Sian!” Kun Liong berkata agak keras. “Ingatlah bahwa engkau yang minta sehingga terjadi peristiwa semalam. Engkau tahu bahwa aku melakukannya, bukan semata-mata karena aku memang suka kepadamu, bahwa aku memang suka melakukannya, akan tetapi terutama sekali karena hendak menolongmu terhindar dari kenekatanmu. Sekarang, berjanjilah bahwa engkau takkan membunuh diri dan akan baik-baik menjadi isteri Tan-enghion.”
Mata itu terpejam dan air matanya tertumpah keluar seperti diperas oleh bulu-bulu mata yang panjang itu. Kepalanya mengangguk dan bibirnya berbisik, “Aku berjanji.”
“Kau bersumpah?”
“Aku bersumpah.”
“Nah, begitulah baru Hwi Sian seperti yang kukenal dan kupercaya! Kau yakinlah bahwa selamanya aku tidak akan lupa kepadamu, Hwi Sian dan dengan sepenuh hatiku aku doakan semoga kau dapat menemukan bahagia bersama Tan-enghiong. Percayalah bahwa cinta yang kaukira terukir dalam hatimu terhadap aku itu akan mudah terhapus oleh ukiran cinta lain yang mungkin kautemukan bersama Tan-enghiong...”
“Tidak mungkin!” Hwi Sian berseru dengan suara merintih dan dia menangis!
“Jangan bilang tidak mungkin. Cinta seperti ini, yaitu mencintai sesuatu akan tertutup oleh cinta kepada sesuatu yang lain lagi. Cinta seperti yang kaurasakan terhadap diriku hanyalah nafsu berahi yang didorong oleh rasa suka dan kecocokan, yang kita sebut cinta dan cinta seperti itu takkan kekal. Hari ini cinta, besok bisa berubah menjadi benci. Aku tidak cinta kepadamu, aku hanya suka dan kasihan kepadamu, karena itu apa pun yang terjadi, aku tidak akan bisa benci kepadamu. Cinta yang bersifat memiliki bukanlah cinta, karena memiliki berarti kehilangan, memiliki berarti kecewa dan sengsara apalagi menjadi benci. Nah, lebih baik kita berpisah di sini, Hwi Sian. Selamat tinggal.”
“Kun Liong...!”
Kun Liong yang sudah melangkah itu terhenti di pintu bekas kamar kuil itu dan menoleh sambil tersenyum.
“Sudahlah, Hwi Sian. Ingat, engkau akan jauh lebih bahagia hidup di samping Tan-enghiong daripada di sampingku. Mencinta tanpa balasan merupakan siksaan jauh lebih berat daripada dicinta tanpa membalas. Selamat tinggal!” Kun Liong meloncat jauh dan cepat lari meninggalkan tempat itu.
“Kun Liong...!” Hwi Sian mengeluh dan menangis. Tak lama kemudian dia sudah terjun ke dalam sungai tak jauh dari kuil itu, merendam tuhuhnya sebatas dada dan masih terus menangis sampai matanya menjadi merah.
Setelah berlari cepat keluar masuk beberapa buah hutan, baru legalah hati Kun Liong, tidak khawatir kalau-kalau Hwi Siap mengejarnya. Dia lalu berjalan seenaknya dalam hutan yang sunyi itu.
Pikirannya melayang, mengenangkan peristiwa semalam. Peristiwa luar biasa yang merupakan pengalaman pertamanya, demikian pula bagi Hwi Sian dan seribu satu macam pikiran mengaduk diotaknya.
Berdosakah dia dengan perbuatannya itu? Bagaimana kalau kelak Tan-enghiong, calon suami Hwi Sian, mengetahuinya? Bagaimana kalau sampai peristiwa semalam bersama Hwi Sian itu berbuah menjadi anak? Bagaimana kalau... kalau... kalau... makin dibayangkan, makin khawatirlah hati Kun Liong dan mulailah dia menyesali kelemahannya sehingga dia membiarkan dirinya terseret. Itu bukan cinta! Itu hanyalah nafsu berahi yang menyeret dia dan Hwi Sian. Berdosakah kalau dia menikmati akibat dorongan nafsu berahi? Dengan suka rela Hwi Sian mengajaknya, menyerahkan dirinya. Kalau dia menolak dan gadis itu benar-benar membunuh diri, apakah penolakannya itu bukan merupakan dosa pula? Kalau diterima dosa, ditolak dosa, lalu bagaimana? Dia bergidik. Bergidik dan merasa ngeri membayangkan kembali perbuatan dia dan Hwi Sian semalam. Celaka dia dan Hwi Sian telah seperti gila semalam, menikmati bujukan nafsu berahi tak kenal puas. Akan dapatkah dia menahan diri kalau kelak berhadapan dengan wanita cantik? Jangan-jangan dia memang mata keranjang, menjadi hamba nafsu berahi, jangan-jangan dia kelak akan menjadi jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa)! Memperkosa wanita? Tidak sudi!
“Dessss! Kraaaakkkk!”
Suara hatinya “tidak sudi” tadi disuarakan melalui mulutnya dan diikuti dengan meninju sebatang pohon di dekatnya sehingga pohon itu patah dan tumbang!
“Aku sudah gila!” katanya sambil menjatuhkan diri duduk di atas rumput. Mengangkat kedua lutut ke atas dan menunjang dagunya dengan telapak tangan kanan, termenung seperti patung.
Harus diakuinya, sejak dulu dia suka berdekatan dengan wanita, suka menyentuh, mendekap dan mencium wanita. Sekarang, setelah dia mengalaminya semalam, dia harus mengakui pula bahwa dia suka bermain cinta dengan wanita! Akan tetapi semua itu harus terjadi dengan suka rela dan dia tidak akan sudi memaksa siapapun juga, betapa pun cantiknya, betapa pun menariknya!
Salahkah ini? Inikah yang dikatakan mata keranjang? Gila wanita? Salahkah dia kalau dia suka memandang yang indah-indah diantaranya wajah dara yang cantik dan bentuk tubuhnya yang menggairahkan? Salahkah dia kalau dia suka mencium yang harum-harum dan sedap, diantaranya mencium bunga dan mencium bibir seorang dara? Salahkah dia kalau dia suka mendengar yang merdu-merdu, diantaranya suara seorang gadis manis? Salahkah kalau dia merasakan yang lezat-lezat, salahkah kalau dia menikmati hidup? Salah siapa? Semua itu sudah ada padanya, dan dia sama sekali tidak mengada-ada, tidak mencari?cari! Rasa suka akan semua itu memang sudah ada padanya!
Kalau tidak ada dara yang suka kepadanya, tentu semua itu tidak akan terjadi. Semua pengalamamya dengan Yuanita, dengan Nina, dengan Li Hwa, Giok Keng, Hwi Sian dan Bi Kiok, sungguhpun semua itu tidaklah sejauh dengan Yuanita, atau terutama sekali dengan Hwi Sian. Kalau dara-dara itu tidak suka kepadanya, tentu dia pun tidak akan berani mendekati mereka! Betapa pun cantik menariknya, kalau tidak suka kepadanya dia tidak akan memaksa! Memperkosa?
“Tidak sudi! Desss... pyuuuurr...!” Sebuah batu besar yang berada di sampingnya pecah berantakan terkena hantaman kepalan tangannya!
Dan setelah debu yang mengepul tebal karena pecahan batu itu menghilang, muncul seorang dara jelita yang langsung menegur. “Apakah engkau sudah menjadi gila? Pohon dan batu dipukuli sampai tumbang dan pecah!”
Tadinya Kun Liong terkejut sekali, mengira bahwa Hwi Sian yang menyusulnya. Dia tidak ingin berkepanjangan dengan dara itu, setelah apa yang mereka perbuat bersama semalam. Akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul adalah Cia Giok Keng, dia menjadi gugup dan wajahnya berubah merah!
“Ah, tidak... Nona. Saya... sudah latihan... dan... eh, bagaimana Nona dapat tiba di sini? Saya sudah mengkhawatirkan dirimu...”
GIOK KENG meragu untuk menjawab. Bagairnana dia dapat menjawab setelah apa yang terjadi kemarin? Seperti diketahui, dara perkasa ini mengejar Liong Bu Kong yang melarikan diri. Bu Kong sengaja melarikan diri menjauh, akhirnya berhasil memancing Giok Keng mengejarnya dengan perahu meninggalkan pulau di Telaga Kwi-ouw dan mendarat memasuki hutan. Giok Keng terus mengejarnya. Hati gadis ini merasa penasaran sekali kalau dia tidak dapat merobohkan atau menawan pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu.
Hari telah menjadi senja ketika akhirnya Giok Keng dapat menyusul Liong Bu Kong di dalam sebuah hutan lebat. Pemuda itu sengaja menantinya dan begitu Giok Keng muncul, pemuda itu menjura dan berkata, “Nona Cia Giok Keng, mengapa Nona mengejarku terus? Apakah Nona begitu benci kepadaku? Padahal, aku cinta padamu, Nona. Sampai kini pun belum pernah lenyap harapan hatiku untuk dapat berjodoh dengan seorang dara jelita dan perkasa seperti Nona. Aku cinta kepadamu dengan sepenuh jiwa ragaku, apakah Nona tega untuk mengejarku dan hendak membunuhku?”
Wajah Giok Keng menjadi merah sekali. Entah mengapa, semenjak pemuda ini datang ke Cin-ling-san dahulu itu untuk meminangnya, dia tidak pernah dapat melupakan pemuda ini yang sekarang kelihatan lebih matang dan lebih gagah daripada dahulu! Dia sendiri heran mengapa segala gerak-gerik pemuda itu, gerak mulutnya, gerak matanya, dan suaranya, semua amat menyenangkan hatinya. Apalagi pengakuan cinta pemuda itu, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan diam-diam hatinya telah terpikat! Akan tetapi, sebagai puteri pendekar sakti ketua dari Cin-ling-pai, tentu saja dia tidak sudi tunduk begitu saja, maka dia pura-pura marah dan membentak, “Manusia jahat! Siapa sudi bicara denganmu? Engkau adalah anak dari datuk sesat Kwi-eng Niocu, dan aku adalah puteri dari Ketua Cin-ling-pai yang selalu bertugas membasmi kaum sesat. Antara engkau dan aku terdapat jurang yang amat dalam, dan kita hanya dapat berhadapan sebagai musuh!”
“Aku memusuhimu? Demi Tuhan, tidak! Aku cinta padamu, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata melawanmu? Jangankan kepandaianku tidak mungkin menandingi ilmu kepandaian puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, andaikata kepandaianku lebih tinggi sekalipun, aku tidak akan tega untuk melawanmu, Nona.”
“Singggg...!” Giok Keng sudah mencabut pedangnya dan tampak sinar putih berkilau ketika Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) terhunus.
“Hayo cabut pedangmu, tak perlu banyak bicara!” Dara itu membentak.
“Srettt...!” Liong Bu Kong mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat, akan tetapi dia melemparkan pedang Lui-kong-kiam yang ampuh itu ke atas tanah. “Lihat, aku telah membuang pedangku, Nona. Aku tidak akan melawan seorang dara yang kucintai sepenuh jiwa ragaku.”
Giok Keng terkejut bukan main. Tadinya dia masih meragukan ketulusan hati pemuda putera datuk sesat ini, maka dia masih mempertahankan hatinya dan menekan perasaan. Kini melihat pemuda itu benar-benar tidak mau melawannya dan membuang pedang, hatinya terguncang. Namun dia bukanlah seorang dara yang bodoh dan mudah dibujuk orang. Biarpun hatinya terguncang, dia masih membentak. “Ambil pedangmu dan lawanlah, kalau tidak... hemmm, aku akan membunuhmu!”
Liong Bu Kong tersenyum dan memang pemuda ini tampan dan gagah sehingga senyumnya menambah ketampanan wajahnya. “Silakan serang dan bunuh aku, Nona. Mati di tangan seorang dara yang kucinta merupakan kematian yang amat bahagia.”
“Siapa percaya bujukanmu? Mampuslah!” Giok Keng sudah menerjang maju, menggerakkan pedangnya menyerang dahsyat dengan tusukan ke arah leher pemuda itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Giok Keng melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak mengelak, hanya memandang kepadanya dengan senyum di bibir.
“Aihhh...!” Giok Keng yang terkejut itu berusaha menyelewengkan tusukannya karena tentu saja dia sebagai seorang dara perkasa tidak mau membunuh orang yang tidak melawan, namun usahanya itu tidak berhasil sepenuhnya dan pedangnya sudah menembus pundak kiri Bu Kong!
Ketika Gin-hwa-kiam dicabutnya dan ditariknya kembali, darah mengucur dari pundak pemuda itu yang berdiri dengan tubuh bergoyang menahan rasa nyeri yang hebat akan tetapi yang masih memandang Giok Keng dengan pandang mata mesra penuh cinta dan mulut tetap tersenyum.
“Ahhh... apa yang kaulakukan...? Mengapa kau tidak mengelak? Mengapa tidak menangkis? Mengapa...?” Giok Keng terbelalak, melepaskan pedangnya jatuh ke atas tanah dan bagaikan dalam mimpi dia menghampiri pemuda itu, merobek baju di bagian pundak yang terluka dan ternyata pedangnya telah mengakibatkan luka yang cukup hebat karena pedang yang runcing tajam itu telah menembus pundak kiri pemuda itu!
“Celaka... kau... kau membiarkan aku melukai seorang yang tidak melawan... darahnya mengucur deras, kalau tidak dihentikan, bisa berbahaya...”
“Hemm, biarlah, Nona. Kalau kau memang benci kepadaku, apa artinya luka ini? Kaubunuh pun aku akan rela, karena biarpun kau benci, aku tetap cinta padamu...”
Giok Keng sudah mengeluarkan saputangannya. “Bodoh! Siapa benci padamu?” katanya dan tanpa bicara lagi dia membalut luka di pundak itu dengan saputangannya. Mula-mula ditaruhnya obat luka yang dibawanya ke atas luka di depan dan belakang pundak, kemudian dia menggunakan saputangannya yang bersih menutupi luka itu, dan membalutnya dengan robekan baju pemuda itu sendiri sampai erat sekali sehingga darahnya berhenti mengucur.
“Nona... nona... Giok Keng... benarkah itu? Benarkah kau tidak membenciku?” Kedua tangan Bu Kong menekan kedua pundak dara itu dengan gemetar semua jari tangannya, suaranya juga menggetar penuh perasaan. “Kalau begitu... kalau begitu engkau pun... cinta kepadaku seperti aku cinta padamu...?”
Wajah Giok Keng menjadi pucat, kemudian merah sekali. Dia telah selesai membalut dan menghadapi pertanyaan itu, dia menundukkan mukanya. “Entahlah...”
Jari-jari tangan yang gemetar itu memegang muka dara itu, dipaksanya dengan halus muka itu tengadah. “Giok Keng... Moi-moi... kaupandanglah aku... kau... kau... kau juga cinta padaku? Benarkah ini? Demi Tuhan... kau juga cinta padaku seperti aku cinta padamu...?”
Sejenak mereka berpandangan, dan Giok Keng lalu memejamkan matanya, dan dua butir air mata bertitik turun.
“Moi-moi...!” Bu Kong mengecup kedua pipi, mengecup air mata itu, kemudian dia mencium bibir Giok Keng.
Kalau hati sudah tertarik memang membuat orang atau tepatnya seorang dara muda gampang sekali jatuh! Giok Keng menggigil, seluruh tubuhnya menggigil ketika mula-mula merasa betapa air mata di pipinya dikecup pemuda itu, kemudian bumi serasa goyah seperti ada gempa bumi hebat, dunia seperti berputar ketika dia merasa betapa mulutnya dicium oleh pemuda itu, dicium dengan mesra sekali. Hampir dia pingsan dan sejenak dia menyerah, menyerah bulat-bulat dengan setulusnya hati, dengan hati yang penuh kebahagiaan, merasa dicinta dan mencinta. Akan tetapi dia segera teringat, meronta dan melangkah mundur. Dengan muka pucat dipandangnya pemuda itu yang kini menunduk, dengan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri tubuh, lalu berkata dengan suara penuh penyerahan. “Ampunkan aku, Giok Keng. Aku... aku cinta padamu... dan kalau kauanggap perbuatanku tadi terlalu kurang ajar, ambillah pedangmu, jangan berlaku kepalang. Kalau kau tidak membalas cintaku, bunuhlah aku. Tusuklah tembus dada ini agar berakhir penderitaanku...!”
Wajah yang pucat itu menjadi merah lagi. Giok Keng cepat menyambar pedang Gin-hwa-kiam, disarungkannya dan dia memaksa hatinya untuk dapat bicara, suaranya gemetar, “Aku... aku tidak benci padamu... aku tidak tahu apakah cinta... akan tetapi aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Selamat tinggal...!” Giok Keng lalu melarikan diri secepatnya. Dia mendengar suara pemuda itu memanggilnya, dan hampir saja dia berlari kembali, akan tetapi ditahannya hatinya dan ditulikannya telinganya. Air matanya bercucuran dan dia mempercepat larinya sehingga tak lama kemudian panggilan pemuda itu lenyap, tak terdengar lagi olehnya.
Semalam suntuk dia melanjutkan perjalanannya dan pada keesokan harinya dia mendengar suara tangis di dalam sungai dekat kuil tua. Ketika dia menghampiri sungai itu, dilihatnya Hwi Sian sedang merendam tubuh di dalam air yang jernih sambil menangis!
“Hwi Sian...! Mengapa kau? Mengapa pula menangis?” Giok Keng menegur penuh keheranan, dan seketika dia lupa akan urusannya sendiri yang selama semalam telah mengganggu pikirannya.
Hwi Sian terkejut, menengok dan melihat Giok Keng, dia merasa makin berduka sehingga tangisnya mengguguk, dari mulutnya hanya terdengar suara tangis dan kata-kata yang tak dapat dimengerti oleh Giok Keng.
“Hwi Sian, ada apakah?” kembali dara ini mendesak penuh keheranan.
“...aku cinta padanya... hu-hu-huuh, aku cinta padanya...” Akhirnya Hwi Sian dapat menjawab, akan tetapi jawabannya hanya “aku cinta padanya” yang dikatakan berkali-kali.
Ucapan ini merupakan ujung pedang yang menusuk hati Giok Keng karena seolah-olah merupakan sindiran akan cintanya kepada Liong Bu Kong! Akan tetapi melihat bahwa Hwi Sian menangis benar-benar, dia lalu memutar otak dan menduga-duga siapakah gerangan yang dicinta oleh gadis itu!
“Siapa? Siapa yang kaucinta itu?”
“Aku cinta padanya... aaahhh, aku cinta padanya!” Hwi Sian berkata lagi.
Giok Keng menjadi tidak sabar. “Ke mana dia sekarang?”
“Dia pergi... meninggalkan aku... huhuuhhh, aku cinta padanya tapi dia pergi...”
“Ke mana?”
Hwi Sian seperti seorang anak kecil, hanya menudingkan telunjuknya ke depan dan Giok Keng segera meloncat dan berlari cepat, menuju ke arah yang ditunjuk oleh gadis itu.
Tak lama kemudian, di dalam sebuah hutan, dia mendengar suara keras disusul robohnya sebatang pohon. Dia cepat menghampiri dan melihat Kun Liong yang merobohkan dengan pukulannya tadi. Kemudian dia melihat pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah, termenung-menung, kemudian berteriak. “Tidak sudi!” dan memukul hancur sebuah batu besar di dekatnya. Maka muncullah Giok Keng sambil menegur karena perbuatan Kun Liong itu amat mengherankan hatinya.
Demikianlah, Kun Liong yang ditegur menjadi gugup dan menjawab bahwa dia memukul pohon dan batu untuk latihan! Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar dara itu berkata dengan suara bernada penuh teguran, “Yap Kun Liong, engkau sungguh seorang yang berhati kejam!”
“Cia Giok Keng, apa maksudmu?” Kun Liong bertanya dan memandang heran.
“Mengapa engkau begitu kejam terhadap Hwi Sian!”
Seketika pucat wajah Kun Liong mendengar ini. Celaka, pikirnya. Temyata Hwi Sian seorang yang tidak bisa dipercaya! Betapa mudahnya Hwi Sian menceritakan peristiwa itu kepada orang lain begitu saja! Saking kaget dan bingungnya, dia tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak.
“Mengapa engkau pergi meninggalkan Hwi Sian begitu saja, padahal dia sanget mencintamu? Aku melihat dia menangis dan seperti orang kehilangan ingatan, hanya bilang bahwa dia mencintaimu berkali-kali dan bahwa engkau pergi meninggalkan dia. Apakah itu tidak kejam?”
Lega hati Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali kepada Hwi Sian. Kiranya dara itu tidak menceritakan peristiwa semalam, hanya mengatakan cinta kepadanya dan ditinggal pergi karena ketahuan menangis oleh Giok Keng. Dia menarik napas panjang lalu berkata, “Giok Keng, betapa cinta kasih dapat dipaksakan? Betapa mungkin cinta kasih dapat memilih orangnya? Memang Hwi Sian menyatakan cinta kepadaku, akan tetapi kalau tidak ada perasaan seperti itu di dalam hatiku kepadanya, salahkah aku?”
“Kun Liong, Hwi Sian adalah seorang dara yang cantik dan gagah, seorang wanita yang baik. Bagaimana mungkin engkau tak dapat membalas cintanya?”
“Dia sudah bertunangan dengan Ji-suhengnya...”
“Pertunangan bisa saja diputuskan! Ikatan jodoh haruslah diadakan oleh dua orang yang bersangkutan, oleh pria dan wanita itu sendiri karena hal itu menyangkut kehidupan mereka selamanya! Mereka berdualah yang akan menghadapinya, yang akan berdampingan selama hidupnya, bukan orang tua atau guru yang menjodohkan!” Ucapan ini dikeluarkan dengan penuh semangat oleh Giok Keng sehingga mengherankan hati Kun Liong. “Apalagi, engkau sendiri pun sudah bertunangan. Sebaliknya engkau dan dia, kalau memang saling mencinta, membatalkan pertunangan masing-masing dan...”
“Giok Keng, apa maksudnya ucapan ini? Aku bertunangan? Bagaimana ini, aku tidak mengerti.”
Giok Keng menarik napas panjang. “Tentu saja kau tidak mengerti. Nah, kaubacalah ini dulu.” Dia mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya, menyerahkannya kepada Kun Liong kemudian meninggalkan pemuda itu, duduk di atas sebuah batu besar tak jauh dari situ, termenung dan membelakangi Kun Liong.
Pemuda gundul ini menjadi makin heran. Dengan hati berdebar den merasa tidak heran. Dengan hati berdebar dan merasa tidak enak dia membuka sampul dan membaca surat yang ditulis dengan gaya coretan yang indah dan gagah. Tulisan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, ditujukan kepadanya! Membaca kalimat-kalimat terakhir, mukanya berubah menjadi merah sekali, dan matanya terbelalak.
“Karena ayah ibumu telah meniggal dunia, sebagai supekmu boleh dibilang aku adalah walimu. Karena itulah, maka kuharap kau datang ke Cin-ling-san bersama Giok Keng, dan kita dapat membicarakan tentang perjodohan antara kau dan Giok Keng.”
Dia dijodohkan dengan Giok Keng! Otomatis dia memandang ke arah punggung dara yang duduk termenung di atas batu besar itu. Sepatutnya dia bersyukur! Sepatutnya dia menerima berita ini dengan girang. Cia Giok Keng adalah seorang dara yang cantik jelita, berkepandaian tinggi, dan puteri pendekar sakti yang terkenal. Dan dia harus mengakui bahwa dia suka kepada Giok Keng, terutama sekali kepada hidung dara itu yang bentuknya amat manis! Tapi, membayangkan betapa selamanya dia akan hidup berdampingan dengan Giok Keng sebagai suami isteri, tidak bebas lagi, terikat dan diancam bahaya pertengkaran karena cemburu dan kesalahpahaman yang lain, dia merasa ngeri juga! Kemudian teringatlah dia akan bujukan Giok Keng agar supaya dia membatalkan perjodohan ini dan membalas cinta Hwi Sian! Apa artinya ini? Hanya satu, ialah bahwa Giok Keng sendiri di dalam hatinya menentang perjodohan ini!
Cepat dia menghampiri Giok Keng dan duduk pula di atas batu, di depan dara itu, setelah menyimpan surat di sakunya. Mereka saling berhadapan, saling berpandangan sejenak, kemudian Kun Liong bertanya, “Engkau sudah tahu tentang ini?” Dia menepuk saku bajunya. Giok Keng mengangguk.
“Dan bagaimana pendapatmu?”
Giok Keng menggeleng kepala. “Aku tidak tahu.”
“Engkau agaknya tidak setuju.”
“Memang, mana bisa hal perjodohan diatur orang lain? Pula, engkau dicinta oleh Hwi Sian yang mengaku sendiri kepadaku. Mana mungkin aku merampas orang yang sudah dicinta oleh dara lain?”
“Giok Keng, aku sudah menjawab bahwa aku tidak membalas cinta Hwi Sian.”
“Dan kau... kau... eh, bagaimana pendapatmu dengan surat ayah?”
“Tidak tahulah. Aku menjadi bingung, urusan ini dikemukakan begini tiba-tiba.” Sepasang mata dara itu yang amat jernih dan tajam kini memandang penuh selidik seolah-olah hendak menembus dan menjenguk isi hati Kun Liong, kemudian terdengar pertanyaannya yang terang-terangan, “Kun Liong, apakah engkau cinta kepadaku?”
Kun Liong cepat menggelengkan kepalanya yang gundul. “Aku tidak mencinta siapa-siapa, Giok Keng. Hati dan pikiranku jauh daripada cinta seperti yang kumaksudkan itu. Tidak, aku rasa aku tidak cinta padamu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku tidak suka kepadamu, terutama kalau aku memandang... hidungmu. Aku suka padamu, akan tetapi cinta? Entahlah, kukira tidak!”
Sepasang mata itu makin tajam pandangnya ketika Giok Keng bertanya lagi, “Kalau begitu, mengapa dahulu itu di Siauw-lim-si engkau... menciumku?”
Bukan main kaget hati Kun Liong mendengar ini. “Kau... bagaimana kau bisa tahu? Kau pingsan dan...”
“Aku telah siuman ketika engkau menciumku, karena terlampau kaget melihat perbuatanmu dan melihat pula Ayah datang, aku diam saja, pura-pura masih pingsan. Kenapa engkau dahulu menciumku seperti itu dan sekarang kau bilang tidak cinta padaku?”
“Aihh, harap jangan salah paham, Giok Keng. Kau pingsan dan aku melihat bahwa pernapasanmu terhenti oleh serangan asap, maka jalan satu-satunya pada saat itu adalah pernapasan bantuan. Aku tidak menciummu, melainkan meniupkan hawa melalui mulutmu untuk jalankan kembali paru-parumu yang berbenti bekerja. Mengertikah kau?”
Giok Keng mengangguk, di dalam hatinya timbul dua macam perasaa. Lega dan kecewa! Dia merasa lega karena ternyata bahwa Kun Liong tidak mencintanya sehingga perjodohan itu dapat dibatalkan, karena dia harus mengaku bahwa dia jatuh cinta kepada Liong Bu Kong. Akan tetapi pada saat itu pula dia kecewa karena ternyata Kun Liong yang disangkanya menciumnya karena cinta kepadanya, ternyata tidak! Wanita memang ingin sekali digilai dan dicinta oleh semua pria di dunia ini, walaupun dia hanya akan menjatuhkan hatinya kepada seorang saja di antara mereka!
“Kun Liong, aku ingin sekali tahu. Apakah engkau suka menciumku?”
Mata Kun Liong terbelalak. Betapa anehnya dara ini! Begitu terus terang, maka dia pun harus bersikap jujur dan dia mengangguk. “Tentu saja aku suka!”
Mata Giok Keng mengeluarkan sinar marah. “Kau bilang tidak cinta kepadaku akan tetapi mengapa kau suka menciumku?”
“Mengapa tidak?” Kun Liong menjawab dengan terus terang pula. “Aku suka sekali melihat bunga yang indah, aku suka mencium bunga yang harum sungguhpun aku tidak berniat memiliki bunga itu. Aku suka mencium dara yang cantik menarik, apalagi seperti engkau, Giok Keng, akan tetapi kesukaanku itu bukan berarti bahwa aku ingin memilikimu sebagai jodohku. Aku akan bohong kalau aku bilang bahwa aku cinta kepadamu.”
Diam-diam Giok Keng menjadi heran sekali dan juga kagum akan kejujuran Kun Liong. Agaknya, semua pemuda di dunia ini takkan segan-segan mengaku cinta dengan sumpah seribu macam untuk memancing dan mendapatkan sekedar ciuman seorang dara, apalagi kalau untuk mendapatkan tubuhnya! Akan tetapi Kun Liong dengan terang-terangan pula menyatakan tidak cinta! Dia pun mulai bingung dan menduga-duga apakah rasa sukanya kepada Liong Bu Kong itu benar-benar cinta seperti yang diduganya?
“Kun Liong, bagaimanakah cinta itu? Tadinya kukira bahwa kalau storang pria suka kepada seorang wanita atau sebaliknya adalah cinta. Bagaimanakah sebenarnya dan apakah cinta itu?”
Kembali kepala yang gundul itu bergerak digelengkan. “Aku sendiri pun tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa kalau orang ingin selamanya bersanding dengan seorang dara, berarti dia mengundang datangnya penderitaan karena sudah pasti akan timbul kebosanan, pertentangan, cemburu, kemarahan dan mungkin kebencian. Kalau perasaan suka itu cinta, maka aku tidak berani jatuh cinta seperti itu! Tidak, aku tidak akan jatuh cinta. Aku tidak mau mengikatkan diriku kepada seorang wanita. Apalagi menikah. Setahuku, wanita adalah mahluk lemah akan tetapi aneh dan luar biasa sekali. Satu kali aku menikah dan mengikatkan diri, tentu aku akan sengsara, tidak bebas lagi, setiap hari menghadapi kerewelannya, cemburunya, kemanjaannya, dan celakalah aku. Tidak, aku tidak akan mencinta wanita, sungguhpun aku suka sekali kepada mereka, terutama yang cantik seperti kau, Giok Keng.”
Alis Giok Keng berkerut. Betapa tidak menyenangkan ucapan Kun Liong! Betapa meremehkan dan merendahkan wanita. Betapa bedanya dengan ucapan Bu Kong!
“Kun Liong...!” Tegurnya dengan kemarahan ditahan.
“Hemm...”
“Kurasa engkau ini seorang yang...”
“Ya...?”
“Seorang pemuda yang sombong, memandang rendah wanita, terlalu tinggi hati, merasa suci dan bersih sendiri, dan kepala angin!”
Makin lebar mata Kun Liong, apalagi mendengar makian terakhir itu. “Kepala angin?”
“Ya! Kepalamu hanya terisi angin kosong belaka! Kau bilang tidak pernah mencinta seorang wanita, akan tetapi kau pandai berceramah tentang cinta, ceramah tolol dan ngawur. Betapa bodohnya Hwi Sian yang menangisi dan jatuh cinta kepada seorang tolol macam engkau. Engkau memualkan perutku! Betapa benci aku kepadamu!”
“Eh? Benci? Sayang sekali, Giok Keng. Itulah yang tak kusukai tentang cinta. Kalau tidak cinta, lalu benci. Apakah hanya ada dua macam peraaaan itu dalam hati wanita? Kalau tidak cinta, benci? Apakah tidak ada perasaan di antara cinta dan benci? Tidak cinta akan tetapi juga tidak benci?”
Giok Keng makin bingung dan marah. “Sudahlah, dari mana kau mendapatkan kepandaian hebat dan pengertian tentang cinta kalau kau sendiri tidak pernah jatuh cinta?”
“Eh, dari... dari kitab-kitab dan dari kesadaran...”
“Huh, kitab! Mempelajari cinta dari kitab! Aku muak dan benci kepadamu!”
“Benarkah? Sayang sekali.”
“Akan tetapi aku pun berterima kasih kepadamu bahwa kau tidak cinta padaku, Kun Liong.”
“Eh, apa pula ini? Muak dan benci akan tetapi berterima kasih?”
“Setelah kau menyatakan dengan jujur bahwa kau tidak cinta kepadaku, tentu kita tidak setuju dengan ikatan jodoh di antara kita yang diadakan oleh ayah ibuku.”
“Ya, begitulah.”
“Dan kau tentu suka untuk menyatakan secara terus terang pula kepada ayahku bahwa kau tidak bisa menerima ikatan jodoh ini karena kau tidak cinta padaku, dan aku pun tidak cinta padamu.”
Kun Liong mengangguk-angguk. “Sudah sepantasnya begitu. Aku akan menghadap ayahmu dan aku akan minta agar ikatan jodoh kita ini dibatalkan.”
Giok Keng bersorak girang, meloncat dan merangkul Kun Liong, lalu... mencium kepala gundulnya! “Terima kasih, Kun Liong. Terima kasih!” Dia meloncat pergi dan lari dari tempat itu, sehingga Kun Liong yang termangu-mangu, bengong meringis bingung dan mengusap-usap kepala gundulnya yang dicium tadi. Makin tidak mengertilah dia akan perangai wanita, terutama Giok Keng!
Dua orang wanita muda itu beristirahat di bawah sebatang pohon besar di dalam hutan itu. Mereka telah tiba di kaki Pegunungan Go-bi-san yang amat luas, penuh dengan hutan lebat dan amat sunyi itu. Mereka adalah Pek Hong Ing dan sucinya, Lauw Kim In. Keduanya berwajah muram dan Pek Hong Ing masih mengenakan pakaian seorang nikouw. Juga wajah Kim In yang cantik manis itu kelihatan muram sekali dan dia selalu menghindarkan pandang matanya kepada sumoinya. Mereka berdua telah semenjak kecil menjadi murid Go-bi Sin-kouw, tinggal di pegunungan sunyi berdua, rukun dan saling mencinta seperti kakak beradik. Maka dapat dibayangkan betapa duka hati Kim In bahwa dia terpaksa harus menangkap sumoinya dan memaksanya menghadap subo mereka, padahal dia tahu benar bahwa sumoinya itu tidak suka dinikahkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang usianya sudah lima puluh tahun itu. Sedih hatinya memikirkan nasib sumoinya. Akan tetaph dia pun marah dan penasaran sekali melihat sumoinya yang sudah menjadi nikouw itu bersendau-gurau dengan seorang pemuda tampan berkepala gundul! Andaikata dia tidak melihat mereka dan hatinya yakin bahwa mereka bermain gila, agaknya dia tetap tidak akan tega menangkap sumoinya dan dia akan pulang dengan tangan kosong, nekat membohongi gurunya bahwa dia gagal mencari sumoinya! Akan tetapi, perbuatan sumoinya bermain cinta dengan pemuda gundul aneh yang luar biasa itu membuat hatinya penasaran dan marah sekali.
“Suci, sudah berkali-kaii kukatakan kepadamu bahwa Kun Liong bukanlah seorang hwesio...” terdengar suara Hong Ing penuh kedukaan.
Sucinya tidak menoleh, hanya menghela napas dan diam saja. Hening sekali keadaan di situ dan akhirnya Kim In berkata lirih, “Mungkin dia bukan hwesio, mungkin hanya seorang pemuda ugal-ugalan yang sengaja menggunduli kepalanya. Akan tetapi apa bedanya? Tetap saja engkau bermain dengan dia, padahal engkau sudah menjadi nikouw. Betapa memalukan ini, Sumoi. Sebagai encimu, tentu saja hal ini merupakan tamparan hebat dan aku malu sekali. Kalau aku tidak sayang kepadamu, bukankah perbuatan itu cukup bagiku untuk menjadi alasan membunuhmu? Akan tetapi aku tidak tega, dan aku hanya akan membawamu kembali kepada Subo. Selanjutnya terserah kepada Subo, dan aku pun tidak akan menceritakan tentang peristiwa di balik semak-semak itu.”
“Suci, engkau benar kejam sekali! Pernahkah aku membohong kepadamu semenjak kita menjadi saudara di Go-bi-san! Kami tidak bermain gila seperti yang Suci sangka. Memang aku tidak dapat menahan ketawa, dan ketawa kami berdua tertawa itu sema sekali bukan sedang main gila, bermain cinta atau bersendau-gurau seperti yang kau duga. Dia memang lucu sekali...”
“Ya, lucu dan tampan!”
“Aihh Suci. Bukan demikian maksudku. Kalau engkau sendiri mendengar kata-katanya, sikap dan pandangan hidupnya, tentu engkau akan tertawa juga. Kun Liong seorang yang baik, Suci. Pertama-tama aku bertemu dengannya adalah ketika aku terluka parah oleh jarum beracun dari Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan dia yang telah mengobatiku secara luar biasa! Dan tahukah engkau bagaimana aneh dan lucunya? Katanya, kepalanya menjadi gundul juga karena jarum beracun Ouwyang Bomw itu! Aku telah berhutang budi kepadanya, maka ketika aku melihat dia tertawan pasukan, aku lalu menolongnya. Dan kau melihat sendiri betapa dia kembali mengorbankan diri menolongku ketika hui-tomu menyambar.”
Kim In membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi sumoinya dan menatap wajah sumoinya dengan tajam penuh selidik, kemudian bertanya lantang, “Sumoi, apakah kau jatuh cinta kepada pemuda gundui itu?”
Seluruh wajah yang cantik dan kepala yang gundul kelimis itu menjadi merah sekali. Dengan suara gemetar Hong Ing menjawab, “Mengapa Suci bertanya demikian? Aku baru saja bertemu dengan dia. Aku kagum kepadanya, aku suka... akan tetapi, aku tidak tahu... tentang cinta... hemmm, entahlah.”
“Itu tandanya kau mulai jatuh cinta. Hemm, laki-laki semua penipu, tak dapat dipercaya! Jangan kau mudah menjatuhkan hati kepada seorang pria, Sumoi. Kau akan kecewa!”
Hong Ing memandang sucinya dengan sinar mata penuh iba. “Aku tahu, Suci. Kau sakit hati karena kau pernah tertipu. Akan tetapi aku yakin bahwa sampai detik ini pun kau mas1h... masih mencintanya.”
Berubah wajah Kim In dan cepat dia menghapus dua titik air mata yang membasahi bulu matanya. “Memang, tapi dia sudah mati. Andaikata dia masih hidup, belum tentu aku dapat memaafkan perbuatannya yang terkutuk! Berjina dengan isteri muda Thian-ong Lo-mo! Cihh! Akan tetapi dia sudah mati dan bagaimana pun juga aku akan membalaskan kematiannya kepada Thian-ong Lo-mo.”
“Tapi kabarnya kakek itu lihai sekali, Suci. Bahkan kabarnya tingkatnya seimbang dengan Subo.”
“Akan tiba masanya aku dapat membalaskan kematian tunanganku kepada kakek itu!” kata Kim In berkeras.
Tiba-tiba dua orang dara yang cantik itu meloncat berdiri dan memutar tubuh. Mereka mendengar suara langkah kaki orang, akan tetapi ketika mereka meloncat dan memutar tubuh, tidak ada bayangan orangnya! Selagi mereka terheran-heran dan saling pandang, di sebelah belakang mereka terdengar suara orang tertawa, suara tertawa seorang laki-laki! Cepat mereka kembali memutar tubuh dan... tidak melihat apa-apa di situ kecuali pohon-pohon yang lebat dan sunyi. Padahal gema suara ketawa itu masih terdengar oleh mereka.
Kim In dan Hong Ing saling pandang dan merasa ngeri. Mereka tidak percaya akan adanya setan. Telah belasan tahun mereka tinggal di Pegunungan Go-bi-san, telah belasan tahun mereka mengenal hutan-hutan lebat namun belum pernah mereka bertemu setan. Mereka sebagai murid-murid orang pandai, tahu bahwa mereka kini berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Harap Locianpwe suka memperlihatkan diri kalau ada keperluan dengan kami berdua murid Subo Go-bi Sin-kouw!” Kim In berkata dengan sikap hormat akan tetapi dengan suara berwibawa mengandalkan nama besar subonya.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak lagi di belakang mereka. Ketika mereka memutar tubuh mereka berdua menjadi bengong keheranan karena yang disebut locianpwe (orang tua gagah) oleh Kim In itu temyata adalah seorang laki-laki muda, berusia paling banyak dua puluh lima tahun, berwajah tampan, bertubuh tegap, dan pakaiannya mewah!
“Ha-ha-ha-ha, kukira tadi dua orang bidadari penunggu hutan yang berada di sini, kiranya dua orang wanita yang cantiknya melebihi bidadari. Hemm, biarpun yang seorang menjadi nikouw, namun cantik juga.”
Melihat pemuda itu, segera muka Hong Ing berubah dan dengan desis marah dia berkata, “Engkau... Ouwyang Bouw!”
Pemuda itu memang Ouwyang Bouw. Terkejut juga dia mendengar namanya disebut oleh nikouw muda itu, akan tetapi dia tersenyum dan berkata, “Engkau sudah mengenal namaku, Nikouw muda? Bagus sekali. Aku memang Ouwyang Bouw.”
Kim In sudah mencabut pedangnya, bahkan dia melemparkan pedang ke dua kepada sumoinya. Mendengar bahwa pemuda ini yang pernah melukai sumoinya, apalagi bahwa pemuda ini adalah putera datuk sesat Ban-tok Coa-ong, dia sudah menjadi marah sekali walaupun diam-diam dia kagum bukan main menyaksikan kepandaian pemuda ini yang dapat muncul tanpa mereka ketahui.
“Kiranya anak datuk kaum sesat yang pernah melukaimu, Sumoi. Mari kita hajar dia!”
Sambil berkata demikian, tubuh Kim In sudah berkelebat ke depan dan dia sudah menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan kilat ke arah tenggorokan Ouwyang Bow. Namun sambil terkekeh, dengan mudahnya Ouwyang Bouw mengelak dan memang pemuda ini memiliki gin-kang yang amat tinggi. Ketika Hong Ing juga menerjang maju, pemuda itu masih enak-enak melayani kakak beradik sperguruan itu dengan mengandalkan kegesitannya, mengelak den berloncatan ke sana-sini sambil tertawa-tawa.
“Eh, tahan dulu! Aku mau bicara!” Tiba-tiba dia meloncat ke belakang sedemikian cepatnya sehingga dua orang dara itu mendadak kehilangan lawan, den baru tahu setelah Ouwyang Bouw berdiri belasan meter jauhnya di depan mereka.
“Hemm, bicara apalagi?” bentak Kim In, dan dia melintangkan pedangnya di depan dada, sikapnya gagah sekali.
“Aku baru datang, tidak merasa mengganggu kalian, mengapa kalian memusuhiku?”
“Tidak mengganggu, ya?” Hong Ing menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu. “Lupakah kau ketika bersama ayahmu kau datang ke Kuil Kwan-im-bio, membunuh Biauw Kui Nikouw ke kuil, kemudian secara menggelap menyerangku dengan jarum merah beracun?”
Berkerut alis Ouwyang Bouw dan matanya yang liar itu sejenak menghentiken gerakannya, seolah-olah dia mengingat-ingat. Kemudian dia mengangguk-anggukkan kepalanya den berkata, “Aihh, kiranya engkaukah itu? Aku tidak tahu, kalau aku tahu bahwa dia itu engkau yang cantik ini, tentu aku tidak akan menyerangmu dengan jarum! Wah, kau lihai juga dapat menyelamatkan diri dari jarumku. Dengar, jangan menyerang dulu. Kalian takkan menang. Dengar dulu kata-kataku. Aku sekarang hidup sebatang kara. Teringat aku betapa Ayah dahulu seringkali membujukku untuk memilih seorang gadis yang baik dan menikah. Tadi aku melihatmu, Nona, dan mendengar engkau menaruh dendam kepada Thian-ong Lo-mo.” Dia memandang Kim In dengan sinar mata kagum. “Ha-ha, tua bangka itu hampir saja mampus di Telaga Kwi-ouw, tapi kakek licin itu masih berhasil menyelamatkan diri dari kepungan pasukan pemerintah dan sekarang bersembunyi. Hanya aku yang tahu tempatnya. Nona, begitu melihatmu, aku tertarik sekali kepadamu. Kau gagah dan cantik, terbayang kekerasan hati di balik kelembutan dan kehalusan kulitmu. Hebat! Aku sudah jatuh cinta kepadamu, Nona, dan aku tahu, hanya engkaulah yang pantas menjadi isteriku!”
“Tutup mulutmu, keparat!” Kim In sudah menerjang dengan dahsyat, dan sumoinya juga cepat membantu sucinya mengeroyok pemuda yang lancang mulut dan kurang ajar itu.
“Trang-cringgg...!” Dua orang dara itu meloncat mundur ke belakang dengan kaget ketika merasa betapa telapak tangan mereka panas setelah pedang mereka tertangkis oleh sebatang pedang yang bentuknya seperti ular.
“Ha-ha-ha, percuma saja kalian melawan. Biar subo kalian takkan menang bertanding melawanku!” Ouwyang Bouw mengejek.
Kim In yang sudah marah sekali, kembali menerjang dibantu oleh Hong Ing. Terjadi pertandingan yang hebat, namun Ouwyang Bouw hanya menggunakan pedangnya untuk melindungi tubuh, sama sekali tidak membalas. Bahkan dia masih dapat bicara seenaknya.
“Nona, sampai mati kau takkan mampu melawan Thian-ong Lo-mo. Jadilah isteriku dan aku akan menyeret tua bangka itu ke depan kakimu!”
“Keparat!” Kim In berteriak lagi dengan marah dan menggunakan jurusnya yang paling ampuh untuk menyerang lawan yang tangguh ini. Juga Hong Ing menjadi marah dan membantu sucinya, menyerang sekuat tenaga.
“Cring! Cringgg... aughhh...!” Dua orang dara itu roboh tak dapat bergerak lagi karena telah terkena totokan jari tangan kiri Ouwyang Bouw yang lihai bukan main itu.
Dua orang dara itu memandang dengan mata melotot, setengah ngeri ketika Omyang Bouw berlutut di dekat mereka sambil tertawa-tawa. Dengan tangan kirinya, Ouwyang Bouw mengelus dagu Kim In, memandang penuh kagum dan dia berkata, “Bagaimana, Nona? Apakah kurang lihai dan kurang berharga aku untuk menjadi suamimu? Maukah kau menjadi isteriku, isteri tercinta dan aku bersumpah untuk menjadi seorang suami yang setia, yang baik, yang akan menuruti segala kehendakmu, manis?”
“Tidak sudi!” Kim In yang memang sudah merasa sakit hati terhadap pria setelah tunangannya menyeleweng itu, membentak. Dia dapat bicara akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.
“Hemm, begitukah? Aku jatuh cinta padamu, tidak seperti kepada wanita lain. Aku tidak suka memaksamu, tidak tega memperkosamu. Akan tetapi kalau kau tidak menerima lamaranku secara baik-baik, apa boleh buat! Kalau kau berkeras tidak mau, akan kubunuh sumoimu ini, aku ngeri untuk memperkosa seorang nikouw, takut kelak di neraka mengalami hukuman yang terlampau berat! Setelah membunuh sumoimu, aku akan memperkosamu, walaupun dengan hati terluka, dan hendak kulihat apakah kau akan terus berkeras hati menolakku.”
Setelah berkata demikian, Ouwyang Bouw menghampiri Hong Ing. Dara ini sama sekali tidak takut menghadapi kematian, namun mati secara konyol demikian sungguh mengerikan dan membuat dia penasaran. Kalau dia mati dalam pertandingan, hal itu bukan apa-apa. Akan tetapi untuk mati dalam keadaan tertotok seperti itu, benar-benar mengerikan juga, maka dia memandang pemuda yang menghampirinya itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
“Ha-ha-ha, kau dulu dapat menyelamatkan diri dari jarum-jarumku, bukan? Mungkin hanya mengenai bagian yang tidak berbahaya. Sekarang hendak kulihat, apakah goresan jarum-jarumku di dadamu akan dapat kaupertahankan. Ha-ha-ha-ha!” Sambil tertawa-tawa, Ouwyang Bouw mengeluarkan dua batang jarum kecil merah. Jari tangan kirinya bergerak cepat dan... jubah pendeta yang menutupi dada Hong Ing telah terbuka, memperlihatkan pakaian dalamnya berikut belahan dadanya yang membusung keluar. Ketika pemuda itu sudah mengangkat jarum ke atas hendak diguratkan pada kulit dada yang membusung dart halus itu, tiba-tiba Kim In menjerit. “Tahan dulu!”
“Ha-ha-ha, kau kasihan kepada sumoimu, Manis? Baik benar hatimu, dan aku menjadi makin cinta kepadamu.”
Kim In mengerutkan alisnya dan memutar otaknya yang sejak tadi sudah menimbang-nimbang. Jelas bahwa pemuda ini amat lihai, mungkin tidak kalah oleh subonya dan tidak kalah oleh Thian-ong Lo-mo! Keadean dia dan sumoinya sudah tidak berdaya sama sekali. Sumoinya tentu akan tewas dalam keadaan tersiksa dan mengerikan, dan bagaimana dia akan dapat menghindarkan dirinya dari perkosaan dan penghinaan? Hanya ada satu jalan, yaitu menerima lamaran pemuda itu yang betapapun juga merupekan seorang pemuda yang tampan, tegap dan gagah.
“Aku mau menerima pinanganmu, akan tetapi dengan tiga syarat!” katanya.
Sekali meloncat, Ouwyang Bouw sudah menghampiri Kim-In, tangannya bergerak dan dara itu telah terbebas dari totokan. Kim In bangkit berdiri, dibantu oleh Ouwyang Bouw dengan gerakan lemah lembut dan mesra, kelihatannya gembira bukan main mendengar kesanggupan Kim In.
“Apakah syaratnya, Manis!”
“Pertama, kau harus membebaskan sumoi.”
“Suci! Jangan korbankan diri untukku!” Hong Ing berseru ngeri.
“Tidak, Sumoi. Hanya inilah jalan terbaik, untukmu dan juga untukku. Kau bebas dan asal kau menjadi nikouw dan bersembunyi di dalam bio yang terasing, kiranya Subo takkan dapat menemukanmu,” kata Kim In sambil menarik napas panjang.
“Dan... kau...?” Hong Ing berbisik dengan mata terbelalak.
“Aku...? Tak perlu kau memikirkan aku. Aku akan menjadi isterinya dan aku akan membalas dendam kepada musuh-musuhku.”
“Apa syaratnya yang ke dua dan ke tiga? Syarat pertama tentu saja kulaksanakan sekarang juga!” Ouwyang Bouw yang kegirangan itu sudah meloncat ke dekat Hong Ing dan berkata, “Adikku yang baik, sumoiku. Maafkan cihumu (kakak iparmu), ya?” Dia membebaskan totokan Hong Ing dan dengan sopan menutupkan kembali jubah Hong Ing yang terbuka!
Hong Ing bangkit berdiri, menalikan lagi ikat pinggangnya dan memandang sucinya dengan muka pucat. Benarkah sucinya hendak mengorbankan diri seperti itu, menjadi isteri pemuda gila putera datuk sesat itu?
“Syarat ke dua, mulai saat ini engkau harus tunduk kepada semua keinginanku.”
“Baik, baik, tentu aku akan tunduk kepada keinginan isteriku yang tercinta.”
“Dan syarat ke tiga, engkau harus menurunkan seluruh kepandaianmu kepadaku.”
“Ha-ha-ha, isteriku yang manis. Tentu saja! Aku menerima semua syarat itu!”
“Bersumpahlah!”
Ouwyang Bouw lalu berlutut dan bersumpah. “Disaksikan Langit dan Bumi, aku Ouwyang Bouw bersumpah untuk memenuhi semua keinginan isteriku yang bernama... eh, siapa namamu?”
Mau tak mau Kim In merasa geli hatinya sedangkan Hong Ing memandang ngeri.
“Namaku Lauw Kim In,”
“Wah, namanya seindah orangnya!”
“Teruskan sumpahmu.”
“O ya... aku bersumpah untuk memenuhi semua keinginan isteriku yang bernama Lauw Kim In dan mengajarkan semua ilmuku kepadanya. Kalau aku melanggar sumpah, biar aku tidak akan lama menjadi suaminya!”
Dia meloncat bangun dan langsung merangkul dan mencium pipi Kim In! Gadis ini menjadi merah sekali mukanya, berpaling kepada sumoinya dan berkata, “Nah, Sumoi. Kau pergilah, dan semoga kau berbahagia dengan... Kun Liong...” Dia mengusap air matanya dan berkata kepada Owyang Bouw. “Mari kita pergi!”
“Isteriku yang tercinta!” Owyang Bouw bersorak, lagsung memondong tubuh Kim In, berjingkrak seperti anak kecil. “Isteri yang manis, Kim In... Moi-moi..., mari kita berbulan madu di puncak gunung... di tepi telaga... ha-ha-ha...!” Cepat seperti terbang pemuda yang memondong tubuh Kim In itu lari dan lenyap dari depan Hong Ing yang masih bengong dengan air mata mengalir turun membasahi kedua pipinya.
Peristiwa itu seperti mimpi saja bagi Hong Ing. Sungguh merupakan hal yang sama sekali tidak terduga-duga. Begitu saja pemuda itu datang, dan begitu saja terjadi perubahan hebat dalam hidup Kim In dan dia sendiri! Dalam beberapa menit saja keadaen hidup mereka telah berubah sama sekali, dan sedikit pun hal itu tidak pernah mereka sangka. Betapa anehnya hidup! Begitu saja kini sucinya menjadi isteri Ouwyang Bouw, dan dia yang sudah putus asa kini bebas sama sekali! Dengan jantung berdebar-debar Hong Ing menjatuhkan diri duduk di atas rumput. Dia memikirkan keadaan sucinya. Mengapa sucinya demikian mudahnya menerima pinangan Ouwyang Bouw, pemuda yang biarpun tampan dan lihai sekali namun seperti berotak miring itu? Dia mengenangkan lagi apa yang baru saja terjadi, dan dia merasa terharu setelah dia mengerti akan keputusan yang diambil sucinya. Sucinya adalah seorang yang telah patah dan hancur hatinya, patah oleh penyelewengan tunangan yang dicintanya, kemudian hancur oleh kematiannya. Hatinya dirundung dendam terhadap Thian-ong Lo-mo yang sukar untuk dibalas dan dia selalu menantikan kesempatan untuk membalasnya. Kemudian terjadi peristiwa pertemuan dengan Ouwyang Bouw itu. Agaknya dalam waktu singkat, sucinya telah dapat mempertimbangkan dan mengambil keputusan yang bulat. Kalau dia menolak, tentu Ouwyang Bouw akan membunuh Hong Ing dan kemudian akan memperkosanya, mungkin kemudian membunuhnya pula. Dan selain bahaya ini, juga sucinya menghadapi keadaan yang amat tidak enak dengan memaksa Hong Ing kembali menghadapi subo mereka. Kalau dia menerima, tidak saja Hong Ing akan terbebas, juga dia mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam kepada Thian-ong Lo-mo dan memperoleh ilmu-ilmu yang hebat! Keuntungannya jauh lebih besar kalau dia menerima dan kerugiannya amat hebat kalau dia menolak. Itulah sebabnya!
Hong In menarik napas panjang. “Terima kasih atas pengorbananmu, Suci... semoga engkau berbahagia...” Dan sambil menghapus air matanya, nikouw muda ini meninggalkan hutan, meninggalkan kaki Pegunungan Go-bi-san, menjauhkan diri dari tempat tinggal subonya di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Go-bi-san.
Akan tetapi karena pikirannya masih terpengaruh oleh peristiwa tadi dan dia merasa berduka mengenangkan nasib sucinya, Hong Ing salah jalan. Benar dia menjauhi puncak tempat tinggal subonya, akan tetapi dia memasuki daerah lain dari Pegunungan Go-bi-san yang tak dikenalnya, daerah selatan yang penuh dengan hutan besar dan kabarnya merupakan daerah yang sukar dan amat berbahaya sehingga subonya sendiri seringkali mengatakan agar kedua orang muridnya itu jangan memasuki daerah ini.
Hong Ing sadar babwa dia salah jalan setelah malam tiba dan dia terseret dalam sebuah hutan yang amat lebat. Karena tidak mungkin mencari jalan keluar dalam cuaca gelap itu, terpaksa Hong Ing bermalam di hutan itu setelah mendapatkan sebuah guha yang cukup besar. Dia membuat api unggun dan dapat pulas sejenak, cukup untuk menghilangkan lelahnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hong Ing sudah keluar dari guha dengan niat mencari buah yang dapat dimakan. Perutnya terasa lapar sekali. Setelah makan, baru dia akan mencari jalan keluar dari hutan itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berkeredepan disusul berkelebatnya bayangan banyak orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri tiga belas orang wanita muda yang cantik-cantik mengurungnya! Melihat sikap mereka yang galak dan seperti arca hidup itu, Hong Ing terheran dan teringat bahwa dia adalah seorang nikouw, maka cepat dia merangkap kedua telapak tangannya dan berkata. “Omitohud, Cuwi (Anda Sekalian) mau apakah mengurung pinni (aku) yang sedang mencari buah untuk menghilangkan rasa lapar?”
Seorang di antara mereka melangkah maju. Mereka itu adalah gadis-gadis berusia antara lima belas sampai dua puluh lima tahun, ada yang membawa pedang, golok atau tombak, sikap mereka membuktikan bahwa mereka itu rata-rata pandai limu silat akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada pandang mata mereka yang seperti pandang mata sebuah boneka!
“Nikouw (Nona pendeta) siapakah dan tidak tahukah bahwa engkau telah melanggar wilayah kami tanpa ijin?” tanya wanita yang melangkah maju. Seperti semua temannya, pakaiannya indah akan tetapi berwarna kuning semua, dan rambutnya digelung dua di kanan kiri dan dibungkus sutera merah merupakan sepasang bunga mawar.
“Pinni adalah Pek Nikouw dan maafkan kalau pinni melanggar wilayah Cuwi karena sesungguhnya pinni tidah sengaja.”
Wanita yeng memimpin pasukan aneh ini bermain mata dengan teman-temannya, kemudian berkata, “Kalau engkau bukan seorang nikouw, tentu sudah kami tangkap dan kami seret ke depan Siocia. Akan tetapi, karena engkau seorang nikouw, maka kami harap Sukouw suka ikut bersama kami menghadap Siocia (Nona) agar Siocia sendiri yang memutuskan.”
Hong Ing adalah seorang dara perkasa, yang tentu saja memiliki keberanian besar dan memiliki watak tidak mau dihina atau ditundukkan orang begitu saja. Biarpun dia berpakalan nikouw dan kepalanya gundul, akan tetapi dia menjadi nikouw karena terpaksa, maka wataknya sebagai seorang, dara perkasa masih tetap ada. Dia mengerutkan alisnya dan berdiri dengan tegak, memandang mereka dan berkata, “Aturan apakah ini? Andaikata benar ini wilayah kalian, mana tanda-tandanya? Dan aku masuk kesini bukan sengaja, mengapa hendak ditangkap? Kalau aku tidak mau ditangkap, kalian mau apa?”
Mendengar ini, tiga belas orang gadis itu berseru marah dan pemimpin mereka segera membentak, “Tangkap dia!”
Dua orang menubruk, akan tetapi dengan mudah Hong Ing mengelak sambil menggerakkan kaki tangannya menendang dan memukul. Akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat bahwa dua orang itu dapat pula mengelak dan menangkis serangan balasannya dan mulailah dia dikeroyok! Dengan marah Hong Ing mencabut pedang pemberian sucinya dan membentak. “Mundur semua, kalau tidak ingin mati di ujung pedangku!”
“Phuihh, perempuan sombong!” bentak mereka dan tiga belas orang wanita itu menggunakan senjata masing-masing untuk mengeroyok Hong Ing.
Hong Ing cepat memutar pedangnya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata olehnya bahwa biarpm kepandaiannya masih lebih tinggi dibandingkan dengan mereka ini, namun sebagai anak buah, tingkat mereka itu sudah hebat dan jumlah mereka yang banyak membuat dia repot juga. Apalagi karena senjata yang mereka pergunakan ada tiga macam, ada yang menggunakan pedang, ada yang mainkan golok dan ada pula yang bersenjata tombak gagang panjangdan mereka semua adalah ahil-ahli dalam mainkan senjata mereka. Dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan jurus-jurus yang terpilih dari ilmu pedangnya agar dapat melindungi diri dengan baik dan balas menyerang. Akan tetapi, setelah lewat seratus jurus lebih, dia hanya baru dapat melukai pundak dua orang pengeroyok dan ini bukan berarti dia menjadi ringan karena dua orang itu biarpun sudah terluka, masih terus ikut mengeroyoknya!
Mulailah Hong Ing merasa khawatir dan menyesal mengapa dia tidak menyerah saja tadi. Kalau sekarang, dia pantang menyerah sebelum kalah karena sudah terlanjur bertanding. Siapa tahu, mereka itu biarpun aneh bukanlah golongan jahat dan orang yang mereka sebut siocia itu kiranya seorang wanita sakti yang baik-baik! Dengan demikian, dialah yang kelihatan buruk, sebagai seorang melanggar “wilayah” yang melawan dengan kekerasan ketika ditegur dan hendak dihadapkan kepada yang berkuasa di daerah itu!
“Hi-hi-hi, bodoh kalian, mengeroyok seekor anjing gundul saja tidak mampu mengalahkannya. Mundurlah!”
Seruan ini disusul berkelebatnya bayangan merah dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis berpakaian merah yang lebih cantik daripada tiga belas orang tadi, seorang gadis berusia dua puluhan tahun yang memegang sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Tiga belas orang yang mengeroyok Hong Ing tadi sudah mundur semua dan membentuk lingkaran lebar, berdiri sambil menonton.
Hong Ing memandang dara baju merah itu penuh perhatian, kemudian merangkapkan kedua tangan sambil berkata, “Omitohud... agaknya Nona yang disebut Siocia oleh mereka tadi.”
Gadis itu tertawa terkekeh dan kagetlah hati Hong Ing melihat betapa gigi yang bentuknya bagus berderet rapi itu semua berwarna hitam, hitam mengkilap! Betapa sayang, pikirnya, gadis secantik itu giginya hitam semua. Dia tidak tahu bahwa warna giginya itulah yang menjadi kebanggaan gadis itu.
“Hi-hi-hik, bukan, Sukouw. Aku hanyalah Amoi, pelayan ke due dari Siocia. Pelayan pertama adalah Cici Acui. Mengapa engkau berkelahi dengan pasukan peronda kami?”
Hanya pasukan peronda! Dan hanya tiga belas orang dan dia tidak mampu menangkan mereka! Benar-benar hal ini membuat Hong Ing penasaran sekali. Dia sudah kepalang melawan, kalau sekarang berhadapan hanya dengan seorang pelayan saja dia bersikap mengalah, benar-benar amat memalukan. Lain lagi kalau umpamanya yang datang adalah Si Suocia yang menjadi kuasa daerah itu, kiranya lebih baik dia mengalah karena tentu Siocia itu lihai bukan main melihat betapa pasukan perondanya saja sudah begitu lihai.
“Aku hendak ditangkap, tentu saja aku tidak mau karena tidak merasa bersalah.” jawabnya.
“Hi-hi-hik, ada nikouw bersikap kasar dan suka mainkan pedang. Sungguh lucu! Siocia tentu akan suka melihatmu. Sukouw, siapa pun yang lewat di sini tanpa ijin harus ditangkap, maka tidak ada kecualinya, biarpun engkau seorang nikouw muda berkepala gundul, tetap saja harus menghadap Siocia.”
“Aku tidak mau, kecuali kalau Siocia kalian itu datang sendiri ke sini, jika hendak bicara dengan pinni,” kata Hong Ing dengan sikap angkuh.
“Bagus, ingin kulihat sampai di mana sih kepandaianmu! Sambut golokku ini!” Wanita baju merah itu sudah menerjang dengan goloknya. Gerakannya cepat dan mantap, maka Hong Ing tidak berani memandang rendah, cepat dia melangkah mundur sambil menangkis dengan pedangnya.
“Cringgg!!” Bunga api berpijar dan keduanya terpental mundur, membuat Hong Ing makin terkejut karena ternyata tenaga sin-kang yang dikerahkannya tadi hanya seimbang saja dengan lawannya.
“Hi-hik, bagus sekali! Tenagamu lumayan! Mari kita main-main sebentar!”
Gadis baju merah itu menyerang lagi setelah tertawa-tawa dan Hong Ing kini cepat mainkan ilmu pedangnya, memutar
pedangnya secepat kitiran, menjaga diri sambil balas menyerang dengan dahsyat.
Karena dia maklum bahwa biarpun hanya seorang pelayan, kepandaian Amoi ini benar-benar hebat dan amatlah memalukan kalau dia sampai kalah oleh seorang pelayan saja! Dia mainkan limu Pedang Pek-eng-kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Putih) yang merupakan ilmu pedang kebanggaan subonya. Benar saja, begitu dia mainkan ilmu pedang yang bersumber pada ilmu pedang Go-bi-pai ini, wanita baju merah menjadi kaget dan mengeluarkan seruan nyaring, kemudian goloknya dimainkan sedemikian rupa yang membuat Hong Ing terheran-heran dan kagum.
Ilmu golok itu amatlah aneh dan lucunya, kelihatannya kacau-balau akan tetapi justru kekacaubalauan gerakan ini yang membuat lawan menjadi bingung! Di balik kekacauan ini terdapat gerakan inti yang amat kuat, membuat gadis itu dapat menangkis semua serangan pedang Hong Ing, bahkan membalas dengan tiba-tiba, tak terduga-duga dan tidak kalah dahsyatnya! Semua ini dilakukan oleh gadis baju merah itu sambil terkekeh-kekeh genit!
Dengan penasaran sekali Hong Ing lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, menerjang maju dan mainkan jurus yong paling berbahaya dari Pek-eng-kiam-hoat. Pedang itu mula-mula menangkis golok lawan yang menyambar, lalu dari tenaga lawan yang dipinjamnya, pedangnya meluncur ke atas, berputaran dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung, kemudian sinar ini meluncur ke bawah dengan gerakan masih membentuk lingkaran akan tetapi dari lingkaran itu menyambar sinar kilat ke arah dua tempat secara bertubi dan susul-menyusul sedemikian cepatnya sehingga hampir berbareng, yaitu ke arah ubun-ubun kepala lawan dengan tusukan yang disambung dengan babatan ke arah leher. Inilah jurus yang dinamakan Pek-eng-to-coa (Garuda Putih Mematuk Ular), sebuah jurus pilihan yang amat sukar dihindarkan lawan saking cepatnya dua serangan susul-menyusul itu.
“Hi-hik... haiii...! Cringgg... trangg...!” Gadis baju merah yang tadinya terkekeh itu menjerit kaget, cepat menggunakan goloknya menangkis dua kali, namun karena agak terlambat, goloknya terlepas dari pegangannya dan pada saat itu juga, sambil terkekeh lagi gadis itu sudah menubruk maju hendak memeluk pinggang Hong Ing!
Hong Ing masih merasa betapa lengan kanannya tergetar ketika pedengnya ditangkis tadi, maka terkejut melihat lawan meraih pinggangnya. Dia meloncat ke belakang dan menjerit karena ternyata bahwa gerakan gadis baju merah itu hanya merupakan tipuan belaka dan sebenarnya, pada saat itu gadis baju merah yang lihai ini sudah melakukan tendangan tersembunyi dari bawah yong tepat mengenai pergelangan tangan kanan Hong Ing yang memegang pedang. Karena lengannya masih tergetar maka tendangan itu tepat sekali, membuat pedangnya juga terlepas dan terlempar!
“Hi-hi-hik, sekarang kita sama-sama, tidak bersenjata!” kata gadis beju merah yang mengaku bermma Amoi itu.
Hong ing menjadi marah dan penasaran sekali. Masa dia harus kalah menghadapi seorang pelayan saja? Dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang lihai, maka tentu saja dia tidak gentar untuk bertanding dengan tangan kosong. Sambil berseru marah dia menerjang maju.
“Bagus! Mari kita berlatih sebentar!” Amoi berseru dan cepat mengelak ke belakang menghindarkcn diri dari tendangan Hong Ing, kemudian tendangan berantai itu hendak digagalkannya dengan sambaran tangannya yang hampir saja berhasil menangkap sepatu kiri Hong Ing. Dara ini terkejut, cepat menarik kembali kakinya dan pada saat itu Amoi sudah membalas menyerang dengan cengkeraman ke arah leher kanannya yang juga dapat dihindarkan dengan baik oleh Hong Ing. Terjadilah pertandingan yang amat seru. Keduanya sama gesit dan sama lincah sehingga setiap gerakan lawan kalau tidak dapat dielakkan tentu dapat ditangkis dengan baik. Terdengarlah berkali-kali suara beradunya kedua lengan yang berkulit putih dan kelihatan halus lemah namun yang sebenarnya mengandung tenaga sin-kang kuat itu menyelingi suara gerakan mereka yang menimbulkan angin. Tadinya kedua orang gadis itu mengandalkan kelincahan mereka untuk saling mengalahkan lawan, akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, bukan main kagetnya hati Hong Ing, kaget dan terheran-heran melihat perubahan aneh dalam permainan silat gadis baju merah itu. Lawannya kini mulai terkekeh-kekeh lagi dan ilmu silatnya amat luar biasa, kadang-kadang lawannya itu bergerak dengan halus dan lemah gemulai seperti bukan sedang bertanding melainkan sedang menari-nari bersamanya, akan tetapi tiba-tiba saja tarian indah itu berubah menjadi gerakan kaku dan buruk sekali seperti gerakan seekor monyet pincang! Bahkan lebih aneh lagi, kadang-kadang Amoi menjatuhkan diri ke atas tanah, bergulingan sambil menangis, menjambak-jambak rambutnya sampai awut-awut, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, selagi Hong Ing terbelalak kaget, dia mencelat ke atas dan menyerang dengan hebat!
“Aihhhh...!” Hong Ing menjerit kaget dan untung masih dapat melempar tubuh ke belakang terhindar dari hantaman yang amat dahsyat ke arah dadanya.
Mulailah Hong Ing bersikap hati-hati. Kini dia tahu bahwa ilmu silat aneh seperti gila itu bukan semata-mata ilmu yang dimainkan oleh seorang gila, melainkan ilmu silat yang terselubung sikap gila-gilaan yang bukan tidak ada gunanya, karena sikap gila-gilaan itu justeru untuk memancing lawan dan mengacaukan perhatian lawan! Kini dia bersikap hati-hati sekali kalau Amoi menjambak-jambak rambutnya atau jatuh terduduk dan menangis seperti seorang anak kecil yang merengek minta makanan, tidak peduli lagi kalau Amoi membanting-banting kaki atau bahkan merangkak-rangkak seperti anak kecil belajar merangkak! Dan memang dia benar karena di tengah-tengah gerakan aneh ini tiba-tiba sekali Amoi mencelat ke atas dan menyerangnya dengan dahsyat. Karena dia tidak mempedulikan gerakan-gerakan aneh dari lawan, maka kini dia dapat menghadapi serangan mendadak itu dengan baik sehingga semua serangan Amoi dapat digagalkannya.
“Robohlah!” Tiba-tiba Hong Ing membentak dan dia menerjang maju dengan tendangan berantai, tendangan yang hanya dilakukan untuk mengacaukan posisi lawan, dan selagi Amoi sibuk mengelak dan menangkis, Hong Ing melihat lowongan baik lalu “memasukinya”, tangan kirinya dengan jari terbuka menampar ke arah leher kanan lawan.
“Hayaaaa...!” Amoi menjerit dan berusaha mengelak, namun tetap saja pundaknya kena ditampar sehingga dia terpelanting dan jatuh miring. Akan tetapi, sambil menangis tersedu-sedu dia sudah meloncat lagi ke atas dan kedua tangannya membentuk cakar. Melihat ini, Hong Ing bersiap-siap karena maklum bahwa lawan hendak menggunakan ilmu silat semacam Eng-jiauw-kang atau Houw-jiauw-kang (Ilmu Silat Cakar Harimau) yang berbahaya. Dia melihat Amoi menerjang maju, menggerakkan kedua tangannya untuk mencakar mukanya.
“Heiiii!” Hong Ing berteriak kaget dan maju untuk mencegahnya. Dia merasa kasihan kepada Amoi yang dikalahkannya dan menangis itu, sikap seperti seorang anak kecil saja dan kini Amoi agaknya merasa kesal dan jengkel, hendak mencakar muka sendiri. Perhuatan ini tentu saja berbahaya, bisa merobek hidung atau mencokel mata sendiri!
“Hi-hik...! Dukkk!”
“Kau curang...!” Hong Ing berteriak akan tetapi karena sambungan lututnya kena disentuh ujung sepatu Amoi, tentu saja dia jatuh berlutut dan pada saat itu terdengar suara bersiutan dan tahu-tahu tali-tali hitam telah menyambar dan membelenggu tubuhnya. Kiranya belasan orang gadis lain telah menggunakan tali hitam yang berbentuk lasso dan melempar lasso itu dengan baik sekali sehingga semua lemparan tepat mengenai dirinya. Lingkaran-lingkaran lasso itu semua tepat menelikung tubuhnya. Dia kaget sekali akan tetapi diam-diam tersenyum mengejek ketika merasakan dengan lengannya betapa tali-tali itu tidaklah kuat. Dia akan menanti sampai rasa kesemutan di lututnya lenyap, baru akan memutuskan semua tali yang mengikatnya.
Dengan pura-pura tak berdaya Hong Ing masih berlutut, ditertawakan oleh semua gadig itu. Kemudian, setelah lututnya tidak kesemutan, dia bangkit berdiri dengan tubuh terbelenggu seperti seekor domba hendak disembelih dan memandang kepada Amoi dan tiga belas orang gadis yang tertawa dengan mulut terbuka lebar, bebas lepas ketawa mereka, seperti segerombolan laki-laki kasar saja. Hemmm, tunggu saja kalian, pikir Hong Ing dengan gemas. Diam-diam dia mengerahkan sin-kangnya dan tiba-tiba dia menggerakkan kaki tangannya sambil menjerit dengan suara melengking nyaring
“Haaaiiittt!”
“Hi-hi-hik!”
“Heh-heh-hi-hik!”
Belasan orang gadis itu cekikikan tertawa dan merahlah muka Hong Ing. Beberapa kali dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan mencoba lagi, namun sia-sia saja dan akhirnya dia maklum, bahwa tidak akan mungkin baginya untuk membebaskan diri dari ikatan tali-tali yang ujungnya masih dipegangi oleh para gadis yang mengurungnya itu. Betapa mungkin memutuskan tali yang sifatnya seperti karet, dapat mulur ketika dia mengerahkan sin-kang akan tetapi segera mengkeret dengan ketat lagi setelah itu? Tenaga hanya dapat menghancurkan atau mematahkan benda keras, betapa mungkin dapat melawan benda lunak yang sifatnya mulur akan tetapi yang mempunyai keuletan luar biasa?
Seperti menerima komando tak bersuara, tiba-tiba tiga belas orang gadis itu menyendal ujung tali dan tubuh Hong Ing melayang ke atas! Ketika tubuhnya yang sudah tak dapat bergerak itu meluncur turun, beberapa buah lengan menyambutnya dan sambil tertawa-tawa para gadis itu menggotong tubuh Hong Ing yang sudah ditelikung seperti ayam itu.
Hong Ing bergidik melihat wajah muda-muda dan cantik-cantik yang tertawa-tawa seperti siluman-siluman ini. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya di tangan orang-orang seperti ini. Segala bisa terjadi dengan dirinya di tangan mereka. Apakah dia akan dipanggang seperti seekor anak babi (babi guling?) sampai kulitnya menjadi kering kemerahan untuk kemudian mereka makan bersama arak wangi dan dagingnya dikerat-kerat dan dicocolkan kecap? Hong Ing membelalakkan matanya penuh kengerian, apalagi ketika Amoi Si Gadis Baju Merah yang lihai itu di tengah perjalanan mengelus kepalanya yang gundul sambil tertawa dan berkata, “Hi-hik, kepalanya gundul pelontos. Haluuuusss... hi-hi-hik!”
Hong Ing bergidik. Celaka. Mereka ini adalah orang-orang yang gila atau setidaknya adalah orang-orang yang sudah terasing dari dunia ramai sehingga menjadi seperti orang-orang biadab. Tiba-tiba dia teringat. Gila? Subonya, Go-bi Sin-kouw, pernah menceritakan bahwa dahulu, dua tiga puluh tahun lalu, di Go-bi-san terdapat seorang nenek yang saktinya seperti siluman. Kalau dia tidak salah ingat, julukan nenek yang disebut-sebut oleh gurunya itu adalah Go-bi Thai-houw (Ratu Pegunungan Go-bi-san). Ketika Go-bi Thai-houw masih berada di daerah Pegunungan Go-bi, tidak ada tokoh lain yang berani tinggal di situ, bahkan gurunya sendiri dahulu tidak berani mendekati Go-bi-san. Akan tetapi menurut gurunya, Go-bi Thai-houw dikabarkan sudan tewas di tangan Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang amat terkenal pula sebagai ketua Cin-ling-pai. Jangan-jangan nenek sakti yang menurut gurunya adalah seorang gila itu belum mati dan yang menangkapnya ini anak buahnya! Dia bergidik lagi.
Akan tetapi matanya terbelalak kaget ketika rombongan itu tiba di sebuah puncak yang dikelilingi hutan gelap, karena dari tempat dia digotong tergantung dengan kepala di bawah itu dia melihat sebuah bangunan besar den megah di tempat sunyi itu! Pantas kalau dinamakan sebuah istana dan dugaannya makin tebal bahwa nenek siluman Go-bi Thai-houw agaknya benar-benar belum mati seperti yang diceritakan gurunya.
Dia digotong masuk, melalui lorong yang panjang dan dengan dinding yang terhias lukisan-lukisan indah dan kain sutra bergantungan di mana-mana. Akhirnya, Amoi mengempit tubuh Hong Ing dan meninggalkan tiga belas orang anak buah yang agaknya tidak diperbolehkan memasuki sebuah ruangan besar di tengah rumah itu. Amoi mengempitnya dengan ringan dan masuklah gadis berbaju merah itu ke dalam ruangan yang amat mewahnya. Begitu masuk, hidung Hong Ing mencium bau dupa wangi yang dibakar orang di dalam raungan itu.
”Brukkk!” Tubuhnya dilempar ke atas lantai yang terbuat dari batu marmer putih, begitu bersih sampai mengkilap. Mata Hong Ing memandang ke sekeliling dangan menggerakkan lehernya. Dia melihat Amoi berlari menghampiri seorang wanita gemuk yang duduk setengah rebah setengah terlentang di atas kursi yang lebih patut disebut pembaringan saking lebarnya, kemudian Amoi berlutut dan mencium kaki yang tertutup sepatu kain sutera itu.
“Siocia...”
“Hemm, Amoi. Kau baru datang? Agaknya engkau membawa seorang tawanan.” kata wanita gemuk itu.
Hampir saja Hong Ing tertawa. Itukah yang menjadi nona majikan istana ini dan yang disebut Siocia? Ataukah Si Gendut ini puteri dari Go-bi Thai?houw? Dia memperhatikan wanita itu. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya amat subur, gemuk dan sehat sehingga wajahnya menjadi seperti buah masak, kemerahan. Perutnya yang gendut tak dapat disembunyikan di balik jubah yang indah dan mewah, demikian pula buah dadanya yang amat besar. Wajahnya biasa saja, cantik tidak akan tetapi juga tidak terlalu buruk, bahkan kulit mukanya putih bersih dan halus. Ketika tertawa,
mulutnya yang lebar terbuka memperlihatkan gigi besar-besar akan tetapi putih bersih dan ketika tertawa kepalanya agak diangkat sehingga tampak jelas gerakan lehernya dan dagunya yang bersusun empat! Telinganya dihias anting-anting besar dan memang pantas dan sesuai dangan dirinya. Wajahnya kelihatan ramah, tersenyum selalu akan tetapi dari matanya yang lebar itu keluar wibawa yang kuat.
Seorang gadis lain yang juga berpakaian merah seperti Amoi, yang lebih cantik malah dari Amoi dan lebih tinggi tubuhnya, segera menyusul pertanyaan Siocia itu. “Moi-moi, siapakah tawanan itu? Kelihatannya seperti seorang nikouw?”
Amoi tersenyum dan duduk di dekat majikannya, bersanding dangan gadis yang menegurnya. Hong Ing dapat menduga bahwa tentu gadis itu yang disebut oleh Amoi sebagai Acui.
“Siocia, dia adalah seorang nikouw yang bernama Pek Nikouw. Dia melanggar wilayah kita dan ketika hendak ditangkap, dia melawan. Ilmu kepandaiannya boleh juga, Siocia. Hampir saya kalah olehnya,” kata Amoi.
“Ahhh, begitukah? Sungguh kebetulan sekali kalau begitu! Nikouw muda bangunlah!” Wanita gendut itu berkata dan suaranya ramah sekali, tangannya dangan telapak terbuka bergerak ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar, mendorong sebuah tusuk sanggul emas yang menyambar seperti kilat, menembus putus tali pengikat tubuh Hong Ing dan seperti hidup, tusuk sanggul emas itu melayang kembali ke tangan wanita gendut itu yang mengenakannya kembali ke atas sanggulnya sambil tersenyum.
Menyaksikan kepandaian yang seperti sulapan Hong Ing menelan ludah. Bukan main! Maklumlah dia bahwa dia tidak akan mampu menandingi wanita gendut itu maka begitu dia meloloskan tali yang telah putus itu dari tubuhnya, dia lalu berdiri dan menjura dangan sikap penghormatan seorang pendeta, kedua tangannya dirangkap di depan dada.
“Harap maafkan pinni karena pinni telah tanpa sengaja melanggar wilayah Siocia,” katanya.
“Tidak apa, Pek Nikouw. Engkau datang dari kuil apakah, Pek Nikouw?” tanya wanita gendut itu dengan suara ramah.
“Pinni datang dari kuil Kwan-im-bio.”
“Aihhh... sungguh kebetulan sekali. Agaknya Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan In) sendiri yang mengutusmu untuk menolongku! Di sini aku telah mempunyai segala sesuatu dengan lengkap, kecuali satu, seorang yang berhati suci, seorang nikouw seperti engkau inilah. Apalagi kalau memiliki kepandaian yang baik, tidak akan memalukan istanaku. Hi-hi-hik! Lihat, setiap saat aku berdoa, setiap saat aku membakar dupa untuk menyenangkan para dewa, akan tetapi agaknya para dewa tidak berhasil menyampaikan doaku kepada Thian! Maka aku membutuhkan seorang nikouw untuk berdoa dan kebetulan engkau datang, dan engkau adalah murid Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih yang agaknya menaruh iba kepadaku. Pek Nikouw, demi Dewi Kwan Im yang welas asih, engkau tentu mau berdoa untukku, tentu mau menolongku agar Thian mengabulkan permintaanku, bukan?”
Diam-diam Hong Ing bergidik. Wanita ini dengan begitu saja menyebut-nyebut nama segala dewa. Kwan Im Pouwsat, bahkan Thian, seolah-olah semua itu diadakan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan wanita gendut ini! Biarpun kata-katanya terdangar ramah dan lembut, namun di balik itu terdapat sesuatu yang tidak normal dan membuat Hong Ing menduga bahwa juga Siocia ini tidak bisa dibilang waras otaknya!
“Siocia, sebagai seorang nikouw, tentu saja pinni bertugas untuk berdoa bagi kesejahteraan manusia dan sedapat mungkin menolong manusia terhindar dari kesengsaraan. Doa apakah yang harus pinni lakukan untuk Siocia?”
“Ada dua hal yang bertahun-tahun mengganggu hatiku, Pek Nikouw, dan setiap hari aku berdoa kepada Thian agar mengabulkan permohonanku ini, pertama-tama adalah agar aku dapat menemukan jodohku...” Suara wanita gendut itu menjadi gemetar oleh keharuan sehingga diam-diam Hong Ing harus menahan geli hatinya mendengar ini.
Wanita gendut itu berhenti bicara dan menggunakan lengan bajunya yang lebar untuk mengusap air matanya! Kemudian dia melanjutkan, “Adapun hal yang ke dua adalah agar supaya aku dapat segera membalas dandam kepada musuh besarku.”
“Maaf , Siocia. Untuk berdoa, pinni harus mengetahui siapakah musuh besar Siocia, dan mengapa orang itu menjadi musuh besarmu.” kata Hong Ing memancing karena dia ingin sekali mendangar riwayat wanita aneh ini.
“Siapa lagi kalau bukan Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai! Dia telah membunuh majikanku. Kematian Go-bi Thai-houw harus dibalas dan siapa lagi kalau bukan aku sebagai ahli warisnya yang dapat membalaskan kematiannya?”
Diam-diam Hong Ing terkejut sekali. Tak salah dugaamya, atau setidaknya tidak meleset terlalu jauh. Wanita ini, tempat ini, pasukan wanita gila itu, ada hubungannya dengan Go-bi Thai-hou seperti yang diberitakan subonya. Pantas saja mereka begitu lihai. Kiranya wanita ini adalah keturunan nenek iblis itu.
“Namaku Kim Seng Siocia (Nona Bintang Emas),” wanita gendut itu menerangkan. “dahulu ketika Thai-houw masih hidup, aku adalah seorang pelayannya yang paling kecil. Aku baru berusia delepan tahun. Akan tetapi sebelum beliau pergi, beliau meninggalkan semua pusaka dan kitab-kitabnya kepadaku, maka akulah yang berhak mewarisi semua peninggalannya, termasuk ilmu kepandaiannya dan juga istananya ini yang sudah kuubah menurut seleraku. Nah, kau sudah mendengar, Pek Nikouw, sekarang kau harus tinggal di sini untuk berdoa sampai terkabul kedua permintaanku itu. Aku harus menemukan jodohku, seorang laki-laki yang memiliki ilmu kepandaian tinggi agar dapat membantuku membunuh Cia Keng Hong. Kalau kau menolak, kau akan kubunuh dan kalau kau menerima, kau akan menjadi tamu kehormatan kami, dan hidup terhormat dan mulia di istana ini.”
Hong Ing tidak dapat menjawab, mukanya agak berubah. Bagaimana mungkin dia berani menolak? Sekali menolak dan wanita itu turun tangan, tentu dia akan tewas. Akan tetapi bagaimana pula dia dapat menerima diharuskan tinggal di tempat ini bercampur dengan orang-orang yang miring otaknya?
“Baiklah, Siocia. Pinni akan berdoa untukmu don tinggal sementara di sini. Semoga saja segera terkabul pormohonanmu itu.”
Wanita itu tertawa dAn mukanya berseri gembira. “Yahuuuu...! Sediakan hidangan yang paling lezat untuk Pek Nikouw!”
Hong Ing memang bukan seorang nikouw tulen, maka tentu saja dia tidak keberatan makan daging dan minum arak yang disuguhkan. Sambil makan minum, Kim Seng Siocia lalu memerintahkan anak buahnya menabuh musik dan menari-nari. Hong Ing makin mengenal keadaan di situ dan tahulah dia bahwa Kim Seng Siocia memang merupakan seorang “ratu” di tempat ini, dangan anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang lebih, rata-rata pandai ilmu silat seperti pasukan yang menawannya. Adapun dua orang pembantunya yang paling dipercaya dan yang paling lihai pula adalah Acui dan Amoi itulah, yang bukan hanya merupakan pelayan pribadinya, akan tetapi juga wakil-wakilnya dan murid-muridnya!
Benar saja seperti yang dijanjikan Kim Seng Siocia, Hong Ing diperlakukan dangan penuh hormat oleh semua orang, mendapatkan sebuah kamar yang bersih dan indah di dalam istana, diberi pakaian pendeta yang serba indah dan makanan yang lezat. Pekerjaan Hong Ing sehari-hari hanyalah membaca Jiam-keng (doa) dan tentu saja doa yang keluar dari hatinya bukanlah untuk Si Gendut itu, melainkan dia berdoa untuk keselamatan sucinya, Lauw Kim In yang mengorbankan dirinya menjadi isteri pemuda iblis Ouwyang Bouw, kemudian doa untuk keselamatan dirinya sendiri agar dia dapat segera membebaskan diri dari tempat yang mengerikan ini, dan kadang-kadang kalau dia terbayang wajah Kun Liong yang sukar untuk dapat dilupakannya itu, dia berdoa agar mendapat kesempatan lagi bertemu dangan pemuda gundul itu!
Sedikit pun tidak ada doa di dalam hatinya untuk permintaan Kim Seng Siocia!
Setelah tinggal sebagai tamu terhormat, atau lebih tepat tahanan terhormat di istana itu belasan hari lamanya, Hong Ing mendapat kenyataan bahwa Kim Seng Siocia benar-benar merupakan seorang wanita aneh yang memiliki banyak ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa, juga wanita ini memiliki kekebalan dan pandai mainkan segala macam senjata, termasuk ahli pula dalam hal menggunakan anak panah. Dia pernah dibuat kagum bukan main ketika pada suatu sore nona gendut itu mendemonstrasikan kepandaiannya memanah burung. Sekelompok burung sedang terbang di udara, tinggi sekali sampai hanya kelihatan sebagai titik-titik hitam kecil. Burung-burung itu sedang terbang berkelompok kembali ke sarang mereka arah selatan.
“Aku ingin makan panggang burung dada hijau!” kata nona gendut itu dan Amoi segera memberikan gendewa dan tempat anak panah yang terisi belasan batang anak panah.
Biarpun tubuhnya gendut, ternyata Kim Seng Siocia dapat bergerak cepat sekali, tahu-tahu gendewa telah dipentangnya dan berturut-turut dilepasaya tiga belas batang anak panah ke udara. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata dan anak-anak panah itu meluncur beriringan seperti bersambung.
Tak lama kemudian, anak panah yang tiga belas batang jumlahnya berjatuhan dan.. setiap batang membawa dua ekor burung yang tertembus dadanya! Hampir saja Hong Ing tak dapat percaya akan apa yang disaksikannya dan diam-diam dia merasa ngeri. Demikian hebatnya ilmu memanah nona gendut ini!
Menyaksikan kelihaian Kim Seng Siocia, makin berhati-hatilah Hong Ing, tidak berani sembarangan melarikan diri karena dia maklum akan keanehan watak nona gendut itu yang tentu tidak akan segan-segan membunuhnya kalau dia melarikan diri dan tertangkap. Maka dia harus menanti saat yang paling tepat dan baik, dan dia hanya akan melarikan diri kalau sudah yakin takkan tertangkap kembali. Pula, kalau dia berdiam di tempat itu tentu tidak akan dapat dicari oleh subonya! Andaikata subonya dapat mencarinya di tempat ini, agaknya subonya akan menghadapi lawan berat sekali dalam diri Kim Seng Siocia dan anak buahnya! Lebih baik di sini daripada bersembunyi di dalam kuil, karena sesungguhnya dia pun tidak suka untuk menjadi nikouw. Akan tetapi, karena dia berada di istana itu dalam tugasnya sebagai nikouw, terpaksa dia selalu membersihkan rambut dari kepalanya kalau ada rambut mulai tumbuh. Dia tidak boleh memancing kecurigaan Kim Seng Siocia dan harus bersikap seperti seorang nikouw tulen yang saleh!
Pada suatu senja, dia melihat Acui dan Amoi berlari-larian dan mengumpulkan anak buahnya. Karena tertarik dia keluar dari kamarnya dan bertanya kepada Amoi yang bersikap bersahabat dangannya.
“Amoi, apakah yang terjadi?”
Amoi tertawa terkekeh-kekeh. “Hi-hi?hik, pesta besar, Sukouw. Banyak lalat jantan terjebak dalam sarang laba-laba, dan diantaranya adalah seekor lalat bule (putih) yang tentu menarik perhatian Siocia. Siocia menyuruh kami menangkap mereka hidup-hidup!” Setelah berkata demikian, dua orang pelayan yang berpakaian merah itu berlari-lari diikuti anak buah mereka.
Hong Ing menjadi penasaran dan dia bertanya kepada serombongan pasukan yang agaknya hendak membantu pula. “Apakah yang terjadi? Banyak lalat terjebak dalam sarang laba-laba? Apa artinya itu?”
Karena Kim Seng Siocia menganggap Hong Ing sebagai tamu agung maka sudah menjadi kebiasaan para anak buah di situ menghormati nikouw muda ini, maka seorang diantaranya menjawab singkat, “Lalat berarti manusia dan lalat jantan adalah laki-laki. Hi-hik, mudah-mudahan aku mendapat bagian!”
“Cuihh, laki-laki!” kata wanita ke dua sambil membuang ludah, entah mengapa agaknya wanita ini pernah mengalami hal yang tidak enak yang ada hubungannya dangan pria sehingga dia membenci pria.
“Hayo kita berangkat!” kata orang ke tiga sambil menanya kepada Hong Ing, “Apakah Sukouw hendak menonton?”
Hong Ing menggngguk dan dia ikut pula berlarian dengan rombongan itu memasuki hutan yang gelap. Belum pernah dia masuk hutan ini dan ternyata rombongan ini membawanya ke sebuah daerah yang penuh dengan guha-guha di dalam hutan itu dan Acui serta Amoi bersama anak buahnya sudah pula berada di situ, menyalakan obor dan mereka bicara sambil tertawa-tawa dan menuding-nuding ke dalam guha-guha itu.
Hong Ing melangkah maju dan memandang. Bukan main herannya ketika dia melihat enam orang laki-laki di dalam dua buah guha itu dan mereka ini benar-benar terjebak dalam sarang laba-laba! Sarang laba-laba yang besar dan yang melekat di tubuh enam orang itu. Betapa pun enam orang itu meronta-ronta, mereka tidak dapat melepaskan diri dari lekatan benang yang sebesar tali itu, benang sarang yang memiliki daya melekat dan membelit!
“Iihhh, apakah itu sarang laba-laba tulen?” tanya Hong Ing mendekati Acui.
“Lihat saja di sana, kami sudah membunuh laba-labanya,” dia menuding ke kiri dan hampir saja Hong Ing menjerit.
Benar saja, di situ terdapat dua bangkai binatang yang mengerikan sekali. Jelas dua bangkai itu adalah tubuh binatang laba-laba hitam akan tetapi bentuknya luar biasa! Sebesar kucing atau anjing kecil! Pantas saja sarangnya demikian besar dan sangat kuat, sanggup menangkap manusia!
Akan tetapi dia segera tertarik ketika melihat seorang di antara enam pria itu. Dia mengenal orang yang berkulit putih itu. Itulah orang kulit putih yang bersama Tok-jiauw Lo-mo pernah menggunakan pasukan pemerintah menangkap Kun Liong dan menawan pemuda itu! Kalau dia tidak salah ingat, Kun Liong pernah menyebutkan namanya, Marcus! Ya, Marcus!
Marcus dan lima orang laki-laki lain yang sama sekali tidak berdaya itu segera ditangkap, dibelenggu kedua tangannya dan digiring keluar dari guha. Marcus berkata-kata dalam bahasa asing, kelihatannya marah, dan seorang di antara lima anak buahnya itu berkata dengan penasaran, “Kami ini mau dibawa ke mana? Kami tidak bersalah apa-apa terhadap kalian!”
Para gadis yang menggiring mereka itu tertawa-tawa saja, dan Amoi yang genit membentak. “Hushhh, diamlah! Kalian berenam seharusnya berterima kasih kepada kami. Kalau kami tidak membunuh dua ekor laba-laba hitam raksasa itu, agaknya sekarang semua darah dan sumsum kalian telah disedot habis!”
Hong Ing menyelinap ke belakang ketika melihat Marcus. Dia khawatir kalau pemuda asing itu mengenalnya. Akan tetapi diam-diam dia mengikuti perkembangan dan ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Kim Seng Siocia dan anak buahnya terhadap enam orang tawanan itu. Maka dia mendahului rombongan yang sambil tertawa-tawa menggiring enam orang laki-laki itu, berlari dan memasuki istana bertemu dangan Kim Seng Siocia, disambut oleh wanita gendut itu dangan senyum ramah.
“Ha-ha, aku mendengar ada enam orang pria menjadi tawanan. Hi-hik, Pek Nikouw, apakah ini hasil doamu? Mudah-mudahan saja jodohku berada di antara mereka.”
“Omitohud, mudah-mudahan begitu, Siocia. Pinni telah melihat mereka dan harap Siocia yang menentukan sendiri. Akan telapi sebagai seorang pendeta, pinni tidak boleh berhadapan dengan kaum pria, maka pinni hanya akan menonton dari belakang tirai saja.”
Kim Seng Siocia tertawa. “Hi-hi-hik, kasihan sekali engkau. Masih begitu muda sudah harus menjauhkan diri dari pria. Tentu saja boleh, Pek Nikouw, dan kalau benar di antara mereka terdapat jodohku, berarti doamu manjur sekali dan aku tentu akan memberi hadiah besar kepadamu.”
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita ABG Dewasa Silat : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 3, cersil terbaru, Cerita Dewasa Cerita ABG Dewasa Silat : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 3, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita ABG Dewasa Silat : Petualang Asmara (Kho Ping Hoo) 3
{ 1 komentar... read them below or add one }
VIMAX PEMBESAR PENIS CANADA
Bikin Penis Besar, Panjang, Kuat, Keras, Dengan Hasil Permanent
isi 30 cpsl Untuk 1Bulan Hanya.500.000;
Promo 3 Botol Hanya.1.000.000;
ANEKA OBAT KUAT EREKSI DAN T.LAMA
PERANGSANG WANITA SPONTAN
( Cair / Tablet / Serbuk / Cream) 5Menit Reaksi Patent.
Sangat Cocok Untuk Wanita Monopouse/ Kurang Gairah.
ANEKA COSMETIK BERKWALITAS TERBAIK
( Pelangsing Badan, Pemutih Muka & Badan, Flek Hitam,
Jerawat Membandel, Gemuk Badan, Cream Payudara,
Obat Mata Min/ Plus, Peninggi Badan, Cream Selulit,
Pemutih Gigi, Pembersih Selangkangan/ Ketiak,
Pemerah Bibir, Penghilang Bekas Luka, Perapet Veggy,
ALAT BANTU SEXSUAL PRIA WANITA DEWASA
087833979288-082221218228 BBM.24CEE3AE MR.SHOLE
Posting Komentar