Cerita Dewasa Silat : Hokeng Koenloen 18

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Rabu, 30 April 2014

Karena ia berseru dan beriontak, Cie Kiang menerbitkan suara, hingga Cie Liong lompat menghampiri ke jendela.
“Ada apa?“ dia tanya.
Cie Kiang ada bertubuh besar, tenaganya-pun besar sekali, akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Kang Siau Hoo, ia mirip dengan seekor tikus di depan seekor kucing. Siau Hoo tekan tubuhnya pada pembaringan dan pedangnya ditandalkan pada tenggorokannya. Cie Kiang bungkam saking takutnya,hingga ia tidak jawab Cie Liong.
“Aku tidak akan bunuh kau, asal kau bicra secara terus terang,” Siau Hoo kata dengan berbisik. “Dimana sembunyinya Pau Cin Hui dan dua saudara Liong? Setelah kau beri keterangan, aku segeta berlalu dari sini!”
“Aku nanti beri tahu, kau lepaskan dahulu padaku,” kata piausu ini.
“Aku nanti lepaskan kau,” bilang Siau Hoo sambil terawa perlahan. Ia-pun angkat pedangnya.
Cie Kiang berbangkit, ia terus duduk. Ia-pun menghela napas.
“Saudara Kang, kita tidak bermusuhan, kenapa kau mengarah aku?“ ia tanya.
“Bagaimana kau bilang tidak bermusuhan?” Siau Hoo baliki, sambil tertawa mengejek. “Pada sepuluh tahun yang lalu, dihalaman bukit Cie Nia, apakah aku tidak ditolongi guruku, pasti aku telah terbinasa ditanganmu! Tapi itu ada permusuhan kecil, aku sudah tidak pikirkan itu. Yang aku cari adalah si tua bangka she Pau dan dua saudara Liong! Lekas kau beri tahukan aku dimana adanya mereka itu?”
Dengan samping pedangnya, Siau Hoo ketok orang punya kepala.
“Sampai sekarang Cie Teng telap berada di Cie-yang,” sahut Cie Kiang dengan terpaksa. “Cie Kie baru beberapa hari yang lalu telah berangkat dari rumahku ini, aku tidak tahu dia menuju kemana. Suhu sendiri sudah pergi menyingkir ke rumah sahabatnya. Suhu ada punya banyak sahabat, entah kepada sahabat yang mana suhu menumpang tinggal. Turut katanya Ah Loan, engkongnya itu berangkat sendirian saja, hinga ia-pun tidak ketahui kemana engkongnya sudah menuju ... “
Siau Hoo bersenyum sindir.
“Akan tetapi Ah Loan ada bawa sepucuk surat engkongnya yang dialamatkan untukmu.” Cie Kiang tambahkan. “Surat itu sekarang ada dikantoranku, jikalau kau ingin lihat, nanti aku ambilkan.”
Siau Hoo manggut.
“Ya, aku hendak lihat apa yang ditulisnya dalam surat itu,” ia bilang. “Aku ikut kau kekantormu.”
Ia buka pintu, ia suruh Cie Kiang jalan di depan, ia sendiri mengikuti dengan pedang terhunus.
Ketika itu diluar kamar sudah berkumpul banyak orang, semua sudah siap sedia dengan galah gaetan, piau dan panah. Melihat mereka, Kat Piausu menjadi kaget dan kuatir, hingga ia berlambat dengan tindakannya.
“Jangan takut!” Siau Hoo kata dengan tenang, sambil tertawa, tetapi sebelah tangannya dipakai menjambak punggung Cie Kiang. “ Selama mereka tidak serang aku, aku-pun tidak akan serang padamu!”
Cie Kang segera hadapi semua kawannya.
“Jangan sembarang bergerak!“ ia serukan mereka. “Kang Siau Hoo datang tidak bermaksud jahat, dia cuma ingin bicara kepada kita” ia rogoh sakunya dan keluarkan serenceng anak kunci, yang ia terus lemparkan pada Cie Liong kepada siapa ia segera kata : “Sutee, tolong kau buka peti besar dikantoran, kau ambilkan suratnya suhu untuk Kang Siau Hoo, dia ingin baca itu. Lekas!“
Cie Liong telah sambuti anak kunci itu, ia lantas pergi kekantoran yang berada diruangan depan.
Itu waktu semua orang, pegawai-pegawai piau-tiam dan orang-orang polisi, sudah kurung Siau Hoo,” tetapi karena Cie Kiang berada dibawah pengaruh, mereka sangsi untuk turun tangan, malah mereka tidak berani datang terlalu dekat. Semua mata mengawasi tetamu tidak diundang itu.

Jilid 18
SIAU HOO tetap berlaku tenang, Sedikit-pun tidak tertampak kejerihan pada romannya. Ia pasang mata tajam pada semua pengurungnya.
Ah Loan juga muncul dengan membawa goloknya. Ia-pun tidak mau datang dekat, ia berdiri dipintu angin dimana ia pikirkan surat engkongnya.
“Surat engkong kepada Kang Siau Hoo teralu menyedihkan, ia seperti juga memohon belas-kasihan, maka itu, walau bagaimana besar-pun kesalahannya dulu hari, setelah sekarang dia memohon ampun hatinya Kang Siau Hoo mestinya dapat dibuat tergerak, ia harus buat habis ganjalan diantara mereka, supaya mereka perbaiki pula persahabatan mereka. Kalau Siau Hoo ambil sikap persahabatan ini, aku nanti larang orang banyak ini serang padanya, kemudian aku nanti ajak dia ke suatu tempat dimana berdua aku bisa pasang omong mengenai persahabatan kita pada sepuluh tahun yang lampau ... “
Karena ia memikir demikian Ah Loan tetap sembunyi diri, supaya kang Siau Hoo tidak dapat lihat padanya sebaliknya ia bisa dengan leluasa awasi pemuda itu.
Sebentar kemudian, Cie Liong sudah kembali bersama surat yang dimaksudkan, ia hendak mendekati Siau Hoo untuk serahkan surat itu, tetapi pemuda ini latas mencegahnya, katanya: “Tak usah aku yang membacanya, cukup kau yang membacakannya untuk aku dengar!“
Dengan siap sedia dengan pedangnya, Siau Hoo menantikan, ia tidak ingin orang dapat bokong padanya.
Cie Liong buka suratnya Pau Cin Hui dan baca itu dibawah penerangannya api.
Semua orang turut mendengarkan, lebih-lebih Ah Loan, yang dapat dengar jelas setiap kata-kata.
Pau Cin Hui menulis antaranya sebagai berikut :
“Aku telah menyesal sekali sesudah melakukan perbuatanku pada sepuluh
tahun yang lalu itu. Tapi ayahmu, Kang Cie Seng, sudah bujuk dan sembunyikan isteri orang, sudah selayaknya ia mendapat kematiannya itu. Maka kalau kau mau mengarti duduknya hal dan bersedia buat lenyap permusuhan, kita berdua keluarga boleh tetap menjadi sahabat. Bila kau tetap ingin menuntut balas, itu-pun gampang untuk dilakukannya. Aku mohon kepastian, apabila kau berjanji tidak akan ganggu sedikit jua murid-muridku, aku akan segera munculkan diri, aku akan serahkan jiwaku yang tua kepadamu!”
Ah Loan menangis, air matanya melelh turun, tetapi ia tetap mengawasi pemuda itu, yang berdiri tegak jauhnya sepuluh tindak lebih dari padanya.
Mula-mula tertampak Siau Hoo terharu, akan tetapi sesudah surat dibacakan habis, wajahnya segera menjadi muram, lalu ia tertawa dingin.
“Sungguh bagus tua-bangka yang licin itu!“ demikian terdengar suaranya yang tajam. “Sekarang dia telah hunjuk surat minta keampunan kepadaku untuk dustai aku, supaya aku menaruh belas kasihan memaafkan padanya, nanti dia perintah pula kau semua untuk bokong aku! Sekarang sampaikan jawabku padanya, tidak peduli dia harus bagaimana dikasihani, aku tidak daput beri ampun padanya! Dahulu ayahku telah dipaksa olehnya sampai ayahku lari sembunyi kedalam gunung dimana untuk beberapa hari ia kelaparan dan kedinginan, kemudian dengan diam-diam ayahku bisa pulang, ia cuma bisa mencambak beberapa suap nasi dingin, ia hanya dapat ambil beberapa tail perak dengan apa ia kabur pula dalam ketakutan yang sangat. Dalam keadaannya itu, walau ayahku ada seorang busuk, namun ia harus dikasihani, apapun ia tidak melakukan suatu pelanggaran hukuman mati, tetapi toh Pau Cin Hui tidak mempunyai rasa kasihan padanya, ayahku itu masih dikejar-kejar terus sampai kedalam gunung dimana ayahku telah dibunuh mati! Dulu dia tidak sudi beri ampun pada ayahku, cara bagaimana dia bisa minta aku beri ampun padanya.”
Berkata sampai disitu, kedua matanya pemuda ini menjadi seperti berapi, sedang tangannya membalingkan pedangnya.
“Sudah Pau Cin Hui bunuh ayahku, dia juga tidak beritahukan hal itu kepada ibuku!“ ia berkata pula, “Maka kasihan si nyonya janda she Kang dan anaknya yang piatu, yang mesti hidup sengsara dan menderita bathin dan lahir. Satu kali tua-bangka yang licin dan jahat itu sudah cegat aku ditengah gili-gili sawah, dia hendak bunuh aku, benar dia batal melakukannya, namun itulah disebabkan dia takut orang pergoki keganasannya itu. Kalau tidak Ie-thio Cie han nasehatkan aku menyingkir kekota, tentu aku akhir-akhirnya binasa juga ditangannya! Sungguh mengenaskan keadaan keluarga selama terlunta-lunta dua-tiga tahun, aku menderita sangat. kemudian Pau Cin Hui suruh aku tinggal dirumahnya, dia sengaja berlaku-baik dan manis padaku, tetapi setiap hari dia suruh aku angon babi dan rawat kuda, berbareng dengan mana dia antap dua anaknya menendangi, mendupaki, mengemplangi dan mendamprat aku! Bagaimana aku bisa lupakan semua pengalaman pahit getir itu? Sekarang aku tidak punya sangkutan apa-apa juga dengan kau semua, sekarang sudah tetap aku hendak binasakan dua saudara Liong dan Pau Cin Hui, tidak ada orang yang dapat membujuki aku!”
Baru Siau Hoo berhentikan kata-katanya itu atau satu orang menerjang ia dengan satu bacokan. Dengan sebat ia menangkis dengan pedangnya. Segera ia kenali Ah Loan sebagai penyerangnya.
“Bagus,” berkata ia, “Tadi siang di Pa Kio kau sudah bantui Kie Kong Kiat jalankan tipu untuk bokong aku, setelah itu tidak berhasil, sekarang kau masih ada punya muka untuk ketetuui aku? Sungguh aku tidak sangka, baru selang sepuluh tahun kau sekarang berubah jadi begini rupa! Sungguh, aku tak sudi perdulikan pula pada kau ...”
Ah Loan berduka berbareng mendongkol, sampai ia tak dapat berkata apa-apa, hanya air matanya meleleh. Dengan kertek gigi ia membacok pula.
Siau Hoo dorong Cie Kiang sambil ia tangkis pula serangan itu lalu ia balas menyerang, malah ia merdesak dengan hebat sekali, baru tiga gebrak, ia sudah tendang terlepas dan terpental golok Kun-lun-too.
Melihat demikian, orang semua maju menyerang.
Ah Loan jadi seperti nekat, ia maju dengan sikap hendak menyeruduk dengan kepalanya, rupanya ia ingin sekali Siau Hoo babat batang lehernya supaya ia terbinasa disitu, tetapi Siau Hoo berpikir lain. Dengan tangannya, ia tangkis sesuatu serangan, dengan tangan kirinya ia samber tubuhnya si nona, yang ia terus kempit.
Berada dalam kempitannya pemuda kita, yang tenaganya besar, Ah Loan tidak berdaya, sia-sia saja ia berontak.
Siau Hoo gunakan pedangnya akan buka jalan, setelah mendekati genteng, ia mencelat naik, sambil bawa terus Ah Loan.
Diatas genteng ada Tan Cie Cun serta dua pegawal yang sedang menjaga, ia lihat nona Pau tertawan, ia segera maju untuk merintangi.
“Siau Hoo, kau hendak buat apa pada si nona?” ia tanya, goloknya membarengi menyambar.
Siau Hoo tidak mnjawab, ia tangkis bacokan itu seterusnya ia layani bertempur, tapi baru dua jurus, ia berhasil mendupak musuhnya hingga rubuh dari atas genteng jatuh kebawah.
Kedua pegawal, yang jadi kaget dan takut, karena tergesa-gesa telah tergelincir sendiri dari atas genteng.
Siau Hoo tidak terus menyingkir, sambil kempit terus Ah Loan ia berdiri sambil memandang kebawah, pedangnya diangkat.
“Sapa diantaramu yang berani naik ke atas genteng, dia tidak sayang lagi jiwanya!” ia berseru dengan tantangannya. Kemudian, sembari tunduk ia kata pada Ah Loan: “Kau jangan takut. Ah Loan. Aku hendak bawa kau kesuatu tempat, supaya kita bisa bicara. Ada banyak hal yang aku hendak ucapkan.”
Ah Loan masih berontak-berontak, dia menangis, malah ia gigit lengannya pemuda kita.
“ku tidak bisa ikut kau!” kata ia. “Sekarang aku tidak punya omongan untuk dibicarakan denganmu! Lekas kau lepaskan aku, atau kau segera bunuh padaku!“
Lengan kirinya Siau Hoo digigit sampai ia merasakan sangat sakit tetapi ia tidak pedulikan itu, malah sebaliknya ia bersenyum. suatu anda bahwa ia merasa puas sekali.
Selama itu, Kie Kong Kiat telah muncul diantara kawan-kawannya, bukan main gusarnya melihat isterinya kena ditawan musuh, sambil mengacung-acungkan pedangnya ia mendamprat. Ia hendak loncat naik keatas genteng, apa mau ia tidak mampu lakukan itu. Luka dipahanya membuat ia tidak bisa gerakkan kedua kakinya dengan leluasa. Ia sudah mencobanya beberapa kali, namun setiap kali gagal. Cie Kiang dan Cie Liong juga telah mencegah dengan nasihatnya:
“Sudah, jangan sibuk tak keruan! Kang Siau Hoo sudah dikurung, tidak nanti dia bisa melarikan diri ...”
“Tapi apakah mesti dibiarkan dia bawa lari isteriku?” Kong Kiat berseru.
Ketika itu Ah Loan telah berhasil melepaskan diri dari kempitannya Siau Hoo, karena hatinya pemuda kita menjadi limbung, selagi ia mencoba akan rampas orang punya pedang, pemuda itu joroki ia. Setelah itu, Siau Hoo putar tubuhnya untuk pergi.
Itu waktu dari atas genteng disebelah depan ada menyambar beberapa batang anak panah, Siau Hoo berkelit diri. Itu adalah serangannya beberapa orang polisi yang gunakan tangga untuk naik digenteng diruangan depan itu.
Siau Hoo tidak berniat melukai hamba-hamba negeri. ia menyingkir dari mereka dengan lari kelain jurusan, langkahnya cepat luar biasa.
Sebentar waktu itu diatas tembok diatas genteng dan berbagai ruangan, sudah ada orang-orangnya Cie Kiang dan orang-orang polisi, akan tetapi mreka tidak berdaya, mereka jerih untuk maju mendekati pemuda kita. Mereka hanya berteriak: “Tangkap! Dia lari ke Timur! Kejar!“
Suara mereka itu ada keras, tetapi nyalinya ciut, asal Siau Hoo mendatangi ke arah mereka menyingkir, malah h diwatu mundur. ada diantaranya yang terpeleset jatuh. Maka itu, Siau Hoo jadi ada mendelu sekali, hingaa dilain saat. walaupun orang ikuti dia, dia telah bisa lenyapkan diri.
Teng Jie dan orang-orangnya datang tidak lama kenudan yang hanya bisa mencari ubek-ubekan dengan tidak ada hasilnya.
Cie Kiang ada sangat menyesal dan tawar hatinya, hingga ia cuma bisa menghela napas berulang-ulang.
“Sudah, sudahlah!” katanya. “Dia tak dapat ditangkap!”
Akan tetapi dia tidak mencegah orang masih buat banyak berisik.
Kong Kiat telah dipepayang oleh Cie Liong beramai untuk diantar kedalam, tetapi dia ada sangat gusar, karena Siau Hoo telah perhina sangat padanya sebab isterinya kena dikempit! Untuk sesaat ia coba berontak-berontak, tetapi pedangnya telah dirampas, karena orang kuatirkan ia jadi nekat.
Adalah Ah Loan sendiri, dengan bawa goloknya, sudah loncat naik keatas genteng, akan cari pemuda kita. Malah ia menyusul sampai digentengnya rumah lain orang. Ia mencari dengan sia-sia. Ia melainkan dapatkan sang malan yang gelap, karena awan-awan saling berkumpul, menandakan akan turunnya hujan. Kadang-kadang terdengar guruh serta terlihat berkelebatnya kilat beberapa kali.
“Kiranya Siau Hoo ada seorang busuk!” pikir ia kemudian. Dalam suratnya, engkong sudah memohon dengan sangat, dia masih tidak hendak memberi ampun, dia mau juga bunuh engkong. Dia-pun telah perhina aku dimuka orang banyak!”
Oleh karena hatinya panas, Ah Loan masih mencari terus, ia tidak niat lantas pulang. Ia lewati beberapa rumah, hingga beberapa ekor anjing tetangga, yang lihat ia berkelebat sebagai bayangan, sudah lantas perdengarkan gonggongannya saling sahut.
Disebuah gang Ah Loan loncat turun. Gang itu ada gelap dan sunyi sekali. Ia ti dak tahu berapa jauh sudah terpisah dari piau-tiam. Napasnya ada sedikit memburu maka itu, ia berhenti sebentaran, ia masih mendongol dan masgul, air matanya mengembeng. Selagi ia hendak keluar dari gang itu, tiba-tiba dari belakangnya ada orang sambar kedua lengannya.
“Siapa kau?” ia membentak. Ia-pun meroleh.
Justeru itu, kilat berkelebat, hingga ia lihat nyata mulanya orang itu. Itulah Kang Siau Hoo! Maka ia tidak berontak.
“Lepaskan aku!” ia berteriak.
Akan tetapi orang itu tidak mau lepasknn cekalannya.
“Aku tak dapat lepaskan kau!“ kata Siau Hoo. “Aku hendak bicara dulu ke padamu. Aku hendak menjelaskan bagaimana selama sepuluh tahun aku telah menderita, bagaimana aku telah belajar silat untuk menuntut balas, untuk cari kau juga, tetapi tak kusangka bahwa kau tiada punya liangsim! ... “
“Kau tidak hendak ampuni engkong, cara bagaimana kau mengharap liangsimku?” Ah Loan baliki seraya banting-banting kaki. Ia menangis.
Siau Hoo menghela napas. Dengan tiba-tiba ia lepaskan kedua cekalannya, ia memutar tubuh dan loncat keatas genteng.
Ah Loan tidak panggil pemuda itu, ia-pun tidak mengejar pula, hanya sambil tenteng goloknya ia keluar dari gang itu sampai ia berada dijalan besar sebelah Selatan yaitu Lam Toa-kay.
Ketika itu sang hujan telah mulai turun terus menjadi besar dan guruh berbunyi beberapa kali, halilintar-pun menyambar-nyambar. Maka itu, ketika sinona kembali kepiau-tiam, ia telah bermandikan air hujan, hingga air matanya bercampuran dengan air langit itu.
Dipiau-tiam keadaan telah jadi sunyi pula, tetapi orang-orang polisi tidak lantas berlalu. Cie Kiang dan Cie Liong semua sedang sibuki sinona barulah mereka lega kapan mereka tampak nona itu pulang dengan tidak kurang suatu apa.
“Bagaimana, nona?” mereka menyambut. “Apa kau tidak berhasil menyandak Kang Siau Hoo? Dia lari kemana?”
Ah Loan geleng kepala.
“Kita baik jangan musuhkan dia terlebih jauh,” kata Cie Kiang kemudian, seraya menghela napas dengan lesu sekali. “Begini keras kita atur penjagaan kita-pun berjumlah besar, namun dia bisa datang dan pergi dengan merdeka ... Dia ada terlalu lihay, kita tidak berdaya terhadapnya ... Karena dia sudah angkat kaki, aku percaya dia tidak akan datang pula menganggu kita, dia tidak akan lukai siapa juga diantara kita. Adalah suhu dan dua saudara Liong yang mesti berhati-hati menjaga dirinya. Kalau Siau Hoo dapat cari mereka, dia tentu tidak akan berlaku murah seperti disini ... “
“Aku pikir baik besok kita kirim orang ke Cieyang.” Ce Cun nyatakan, “Suheng Liong Cie Teng mesti diberi kisikan untuk dia sembunyikan diri. Tenttng Cie Khie kita tidak usah kuatirkan, sekarang barang kali ia sudah pergi keperbatasan. Kemudian bersama-sama Nona Ah Loan kita harus suhu untuk dengar keputusannya, umpama suhu suka adu jiwanya, kita juga sediakan jiwa kita untuk membantu. Kalau orang Kun lun Pay binasa, biarlah binasa semuanya Tidak dapat dibiarkan Kang Siau Hoo cuma hendak binasakan suhu dan dua saudara Liong. Tapi andaikata suhu tidak bersedia untuk adu jiwa, kita boleh minta suhu tetap sembunyikan diri, kita ramai-ramai antar dia ke Pakkhia. Pakkhia adalah ibu kota, mustahil Kang Siau Hoo berani berbuat sesuka hatinya disana.”
Cie Kiang pikirkan usul itu, lalu ia goyangkan tangan.
“Tak dapat kita berbuat demikian,” berkata ia kemudian. “Jikalau kita susul suhu, siapa tahu Siau Hoo nanti dengan diam-diam kuntit kia? Apabila itu sampai terjadi, sama juga kita tunjukkan jalan kepadanya. Tentang ini baik kita damaikan nanti saja dengan pelahan-lahan. Tempat suhu sekarang ada sangat terahasia, umpama Siau Hoo ada orang yang memberitahukannya-pun belum tentu dia dapat mencarinya.”
Setelah berkata begitu, setelah nenghela napas, Cie Kiang suruh Ah Loan kembali ke kamarnya.
Nona itu menurut.
Kong Kiat rebah diatas pembaringan sambil merintih, karena lukanya jadi lebih hebat, sebab ia telah paksa keluarkan terlalu banyak tenaga dan jatuh. Mendengar rintihan itu, Ah Loan merasa pilu. Ia mengarti lukanya “suami” itu semua adalah untuk ia dan disebabkan urusan engkongnya.
Sesudah letaki goloknya, nona ini pasang api. Ia tidak menangis lagi, sebaliknya ia jadi gusar, ia benci Siau Hoo. Ia anggap Siau Hoo sudah menghina ia, baik dengan kata-katanya mau-pun dengan perbuatannya. Ia duduk dengan pikiran kusut.
Sang hujan masih turun, suaranya beberapa kali diiringi suara guntur.
Kong Kiat terus merintih, dengan terlebih hebat.
Tidak tega Ah Loan mendengari lebih lama rintihan itu, ia menghampiri.
“Bagaimana dengan lukamu? Apa itu jadi lebih hebat?” ia tanya dengan penuh perhatian.
Kong Kiat berhenti merintih, ia bersenyum. Ia mengeleng kepala.
“Tidak apa-apa, tidak nanti aku mati,” jawabnya. “Aku masih mempunyai tenaga untuk nanti dipakai mengadu jiwa dengan Kang Siau Hoo! Jangan Siau Hoo bangga atau jumawa dengan kemenangannya ini, walaupun ilmu pedangku kalah jauh, aku toh masih mempunyai lain daya untuk lawan padanya! Lihat saja ...“ Ia menghela napas. Ia tambahkan: “Ah Loan, sekarang aku sudah mengarti. Kau ada punya perhubungan dengan Siau Hoo, kalau tidak, tidak nanti kau menangis ketika kan bertemu dia di Pa Kio dan tadi dia telah kempit padamu dibawa naik ke alas genteng. Aku Kie Kong Kiat ada satu laki-laki, turunanku juga ada jauh lebih terhormat dari pada Kang Siau Hoo, maka itu aku tidak butuhkan kau sebagai isteriku! Tunggulah sampai lukamu ini sembuh, bersendirian aku akan cari Loo-ya-cu untuk tuturkan duduknya hal sesudah mana, aku akan angkat kaki, aku akan cari Kang Siau Hoo. Sejak itu aku tidak punya sangkutan apa juga dengan keluarga Pau. Itu waktu kau boleh bantui Kang Siau Hoo akan kepung aku, atau semua orang Kun Lun Pay musuhkan aku, aku tidak takut! Aku ada punya pedang, piau yang aku pesan-pun akau sudah rampung dibuat, aku tak takuti siapa juga!”
Setelah habis kata-katanya itu, Kong Kiat menarik napas, lantas ia berdaim.
Ah Loan juga berdiam. Perkataannya suami itu buat ia berduka dan malu, hingga sembari tunduk air matanya turun mengalir. Hampir ia tuturkan tentang perhubungannya dengan Siau Hoo semasa mereka berdua masih kecil. Namun karena malu sendirinya ia tidak dapat katakan itu. Ia-pun malu dan kuatir engkongnya gusar dan berduka apabila halnya itu sampai diketahui sang engkong. Justeru engkongnya paling benci orang main cintaan, apapula cintanya dia dan Siau Hoo dilakukan ketika mereka masih kanak-kanak. Malah orang yang ia cinta ada anak dari musuh.
“Kau ngaco-belo,” akhirnya ia kata pada Kong Kiat. “Aku tidak punya perhubungan dengan Siau Hoo. Dia justeru ada musuh keluargaku! Dia telah desak engkong dan sekalian susiok, cara bagaimana aku ada perhubungaa dengannya? Tadi aku menangis di Pa Kio karena aku sangat mendongkol sebab dia telah terlalu menghina aku. Apa aku dapat buat untuk lampiaskan kemendongkolanku itu, karena kepandaian kita tidak ada seperti kepandaiannya dia itu?”
“Seperri kepandaiannya dia itu?“ Kong Kiat ulangi. “Memang betul ilmu silat pedangku, kepandaian ya-heng-sinku, semua itu tidak nempil terhadap dia, akan tetapi aku percaya betul senjata piauku akan dapat buat dia mampus! Sayang sudah banyak tabun aku telah tidak melatih piau hingga tanganku jadi kaku. Tunggulah setelah lukaku sudah sembuh, aku gunakan tempo beberapa hari untuk berlatih pula dengan sungguh-sungguh. Setelah itu barulah aku cari Siau Hoo. Andaikata Siau Hoo sanggup menyanggapi pula piauku, aku bersumpah untuk selama-lamanya aku tidak akan merantau pula dikalangan kangou!”
“Biar bagaimana, kau tidak bisa bilang aku ada punya perhubungan dengan Siau Hoo,” kata Ah Loan sambil menangis. “Jikalau sampai orang luar dengar itu, aku tidak mau mengarti!”
Kong Kiat merintih, tetapi ia tahan sakitnya dan tertawa.
“Aku tidak akan sampaikan itu pada orang luar,” kata ia. “Tapi aku hendak tanya kau: Kau telah nikah aku, kenapa kau tidak hendak baik padaku? Kalau aku tidak dapat luka, pasti kau masih tak sudi bicara kepadaku!“
Ditanya demikian Ah Loan bungkam. Ia kucurkan air mata, ia gigit bibirnya. Napasnya-pun memburu. Tapi kemudian ia toh buka mulutnya.
“Bukan saja aku tidak mau baik kepadamu, juga tidak dengan dia!“ demikian katanya. “Ibu telah menutup mata siang-siang, ayah seumur hidupnya tinggal diluaran, tidak ada orang siapa tinggal berdekatan dengan aku kecuali engkoug, maka itu apa yang engkong bilang, aku turut, aku tidak mau menentangnya. Demikian aku menikah dengan kau karena aku turuti kehendak engkong. Sebenarnya aku tidak mau menikah, aku ingin buat seumur hidupku menemani engkong saja ...”
Kong Kiat merintih, lalu ia tertawa dingin.
“Sayang nasibnya engkongmu itu buruk,” kata ia. “Kenapa dia dapat musuh sebagai Kang Siau Hoo? Kalau Siau Hoo dapat mencarinya, jiwa engkongmu itu pasti bakal lenyap! Umpamakan cari lain orang untuk bantu kau kaum Kun Lun Pay aku kuatir tidak akan ada orang sehagai aku yang bersedia mengorbankan jiwa!”
Setelah mengucap demikian, Kong Kiat merintih pula, lantas ia berdiam untuk tidur.
Ah Loan mendongkol mendengar sindiran itu hingga sebaliknya daripada berkasihan, ia jadi membenci.
“Toh tidak semestinya aku mengandalkan orang?” pikir ia dengan hati panas. “Biarlah, hidup atau niati, aku mesti bekerja sendiri! Dahulu engkong telah bunuh orang, karena mana ia tanam bibit permusuhan, jikalau sekarang dia binasa ditangannya Kang Siau Hoo, dia tidak boleh menyesal dan penasaran, akan tetapi kebinasaannya itu mesti sebagai laki-laki, barulah dia jadi satu enghiong!“
Oleh krena berpikir demikian Ah Loan segera ambil keputusan, ia hendak berangkat besok ke Sin Im Kok, Lokyang menyusul engkongnya itu muncul, agar mereka berdua, engkong dan cucu perempuan, hidup atau binasa bersama-sama. Setelah ini, ia tutup pintu dan padamkan api, lantas ia naik ke pembaringan untuk tidur. Goloknya tetap terletak disampingnya.
Malam itu hujan turun melit, suaranya seperti saling sahut dengan rintihannya Kie Kong Kiat, karena mana, Ah loan jadi sukar pulas.
Sampai keesokannya pagi sang hujan masih belum mau berhenti, hanya sekarang turunnya jadi kecil sekali, gerimis seperti kemarinnya selagi orang bertempur di jembatan Pa Kio.
Ah Loan telah pikir untuk berangkat selagi lain-lain orang belum bangun, untuk itu ia bisa siapkan sendiri kudanya, akan tetapi ia lihat Kong Kiat sedang tidur suami itu baru saja dapat tidur ia tidak tega meninggalkannya. Ia-pun lihat dahi mengkerut dari suaminya, yang dalam tidurnya itu sedang menderita sakit hebat.
“Walau aku tiada keakuran, dia toh tetap ada suamiku,” pikir ia dalam kesangsiannya “Dia-pun terluka untuk urusan keluargaku, maka jikalau sekarang aku tinggalkan dia, aku jadi berlaku keterlaluan. Sedkitnya aku harus bicara dahulu kepadanya. Dengan berangkat diluar tahunya, engkong tentu tidak setujui aku, ia bisa jadi gusar, mungkin ia titahkan aku kembali pula.”
Ah Loan terus bersangsi, sehingga Cie Kiang dan yang lain-lain-pun telah bangun dari tidurnya, tidak terkecuali Kong Kiat.
“Tolong ambilkan aku air,” Kong Kiat minta setelah ia merintih.
Ah Loan teriaki pegawai untuk mengambilkan teh, ia tuang secangkir, ia suguhkan itu pada suaminya, malah ia yang tuangkan ke dalam mulutnya.
Setelah dapat minum, Kong Kiat merasakan tubuhnya agak lebih segar.
“Nona Loan, tadi malam aku salah bicara kepadamu, aku minta kau jangan sesalkan aku,” berkaa ia. “Kang Siau Hoo itu adalah musuhnya keluargamu. Pada sepuluh tahun yang lalu, tempo Long Tiong Hiap datang ke Cieyang untuk membuat ribut, apabila ia tak kena dipakul mundur oleh engkongmu, boleh jadi namanya Kun Lun Pay sudah jatuh. Maka aku duga dengan bugeenya yang liehay itu, barangkali engkongmu tak ada dibawahan Siau Hoo. Bahwa engkongmu tidak berani lawan Siau Hoo, itulah disebabkan semangatnya telah jadi lemah, karena dahulu gurunya Kang Siau Hoo sudah buat ia tak berdaya, hingga ia menyangkanya Siau Hoo pasti sama juga bugeenya liehaynya seperti gurunya itu. Menurut penglihatanku engkongmu sudah berkuatir secara keterlaluan. Jikalau dia lawan berkelahi dengan sungguh-sungguh pada Kang Siau Hoo dan disebelah itu kita berdua membantui padanya, aku percaya masih beluni pasti sang manjangan bakal rubuh ditangan siapa ...”
Kong kiat berhenti sebentar, lalu ia menyambungkan. “Adalah kekeliruanku bahwa kemarin aku telah tuduh aku punya perhubungan dengan Kang Siau Hoo. Dulu Kang Siau Hoo telah ojok-ojok Long Tiong Hiap satroni rumahmu membuat kacau, ia telah lukai juga beberapa orang Kun Lun Pay, dan itu tak mungkin kau bersahahat dengan dia. Aku keliru bicara sebab aku sedang terluka, pikiranku kalut. Aku harap kau anggap saja kata-kataku itu tidak ada.”
Mukanya Ah Loan merah sendirinya. ia jengah berbareng berduka. Kong Kiat membuat ia ingat peristiwa kedatangannya Long Tiong Hiap ke rumahnya, ingat itu, ia jadi benci Siau Hoo. Tapi entah kenapa, setiap kali lenyap rasa kebenciannya itu, demikan-pun sekarang ini. Ia membenci pemuda kita, ia menyintai, ia-pun berkasihan ... Maka sebisa-bisa ia kendalikan diri untuk tidak bicara sembarangan dengau Kong Kiat. Karena sikapnya suami ini pula, berubah putusannya untuk berangkat hari itu juga.
Tidak lama piau-tiam jadi ramai pula, dengan kunjunnnya sejumlah tamu yang terdiri dari piausu, guru silat dan sahabat-sahabat, yang telah dengar kejadian semalam untuk menanyakan dan menghibur. Diantaranya ada Cin Tek Giok, mantunya Hoa ciu loohiap Lie Cin Hiap yang dulu pernah membantu tempur Lie Hong Kiat dia sekarang buka piau tiam sendiri. Kapan ia lihat lukanya Kong Kiat bertiga Cie Kin dan Cie Hiap, segera ia kirim orang ke Hoa-ciu, mengambil obat luka buatannya sendiri, kemudian baru ia bicara kepada Cie Kiang, berduaan saja.
“Lie Hong Kiat sekarang berada di Sin-an, Hoolam,” kata orang she Lie ini. “Barangkali ia hendak menuju ke Barat, ke Kwantiong.”
Mendengar ini Cie Kiang kaget, wajahnya melukiskan kekuatiran.
“Siau Hoo tidak menjadi soal,” pikirnya. “Asal dia dapat cari suhu dan dua saudara Liong, dia tidak bakal ganggu aku. Tidak lemikian dengan Lie Hong Kiat. Musuhnya dia adalah aku dan ia pernah dikalahkan, sekarang dia datang pula. Kong Kiat sedang sakit. Cie Tiong tidak ada di sini, siapa nanti sanggup layani padanya?”
Saking kuatir, Cie Kiang jadi duduk salah berdiri salah, tapi meski-pun demikian, didepannya Cin Tek Giok ia coba tenangkan diri. Akan tetapi setelah sahabat itu pamitan pulang, ia jadi bingung tidak keruan. hingga ia memikir hendak tutup saja piau-tiamnya dan angkat kaki. Ia menduga pasti dengan datangnya kali ini, Hong Kiat tentulah akan ada lebih jauh terlebih liehay dan galak.
Walau hatinya sangat sibuk, Ce Kiang toh tidak bicara suatu apa pada yang lain-lain.
Sorenya Cin Tek Giok telah kirimkan obat lukanya, yang walau-pun tidak semanjur Kim-kong Keng-seng-san buatan Thay Bu Siansu tapi ada beda daripada obat-obat di pasar. Cie Kiang lantas obati ketiga kawannya, malah lukanya Kong Kiat ia yang mengobati sendiri. Lukanya Kong Kiat tidak hebat, sebab Siau Hoo tikam ia melulu karena penyerangannya secara membokong, kalau tidak, tidak nanti ia dilukai.
Belasan hari lewat dengan cepat. Selama itu, Cie Kiang terus ibuk, ia tidak tunggu sampai lukanya sembuh betul, ia sudah pergi kebengkel besi Tek Hok dijalan See Toa-kay untuk ambil pesanannya dua puluh batang piau, untuk selanjutnya, ia berlatih dengan rajn.
Sorenya hari itu Cie Kiang bicara dengan Kong Kiat dan Ah Loan. Ia masih tidak bendak beritahukan akan kedatanganya Lie Hong-Kiat, ia melainkan kata, “Sesudah dua kali aku diganggu Lie Hong Kiat dan Kang siau Hoo, aku malu untuk usahakan terus Lie Sun Piau Tiam ini. Selama dua bulan ini, selain aku tidak pegang pekerjaan lagi, langganan-pun tidak ada yang datang minta perlindungan, ini terang disebabkan umum sudah ketahui nama Kun Lun Pay tidak berpengaruh lagi seperti dulu-dulu. Dimana suhu sendiri umpatkan diri di tempat yang orang tidak ketahui, cara bagaimana orang bertetap hati akan titipkan barangnya kepada kita?”
“Memang aku merasa, tidaklah tepat engkong sembunyikan diri,” nyatakan Ah Loan. “Kita-pun jadi tidak ketahui keadaannya engkong. Umpama engkong sakit, aku jadi tidak bisa rawati padanya. Lagi-pun aku percaya, lama-lama Siau Hoo akan dapat cari padanya. Maka pikirku, lenih baik engkong muncul sekarang saja! ...”
”Tidak, suhu tidak boleh muncul!“ menentang Cie Kiang dengan goyangkan tagan. “Suhu sudah berusia lanjut, apa bila dia sampai celaka ditangannya Kang Siau Hoo, kita yang menjdi muridnya bagaimana ada punya muka akan hidup di dalam dunia? Sekarang dia tinggal ditempat yang terahasia sekali, mustahil Siau Hoo mampu cari padanya? Suhu juga ada bertubuh sehat sekali, tidak nanti dia dapat sakit!”
“Tapi aku anggap, memang lebih baik loo-ya-cu muncul,” Kang Kiat setujui Ah Loan. “Kita semua bantu suhu, kita adu jiwa kita dengan Kang Siau Hoo. Kalau tidak, urusan akan terus tergantung, tak ada keputusannya.
“Kat Susok, kau ada punya banyak uang, tanpa jadi piausu kau dapat dengan kecukupan, tidak demikian kalau Sie Sun Piau Tiam ditutup, semua pegawaimu akan terlantar hidupnya, mereka bisa mati kelaparan ...”
“Piautiam Kun Lun Pay tidak bisa ditutup,” Ah Loan bilang. “Tidak mudah engkong angkat namanya sejak tiga atau empat puluh tahun yang lalu, sedang sekarang pekerjaan bukanna tidak ada sama sekali. Usaha Lie Sin Piau Tiam mungkin terhalang, tidak demikian dengan yang lain-lainnya. Maka satu kali susiok tutup perusahaanmu, itu bisa memberi akibat buruk kepada yang lain-lainnya. Dari sekalian piau-tiam kaum Kun Lun Pay kita, adalah yang di Tangan ini, Han-tiong dan Cie-yang yang paling besarm.”
Cie Kiang segera ubah sikapnya.
“Akupun bukannya niat tutup piau-tiam ini,” kata ia. “Aku-pun bukan sudah tawar hati! Aku hanya pikir untuk keluar mengerahkan seantero tenagaku akan layani Kang Siau Hoo dan Lie Hong Kiat!“
“Bagaimana, susiok? Mungkinkah ada dengar kabar apa-apa?“ tanya Kong Kiat yang merasa aneh. “Kabarnya Hong Kiat tidak mati, apa benar dia hendak datang pula untuk cari kita? Aku tidak takut!”
“Bukan-bukan!“ Kat Cie Kiang membantah, seraya goyang-goyangkan tangan. “Lie Hong Kiat tidak ada kabar beritanya ia sudah mati atau masih hidup tidak ada yang ketahui. Aku percaya tidak nanti dia datang kembali ke Kwan-tiong. Sebaliknya Kang Siau Hoo mungkin ia sudah pergi ke Kwan-tiong. Aku kuatirin kedua saudara Liong sekarang sudah hilang jiwanya. Maka aku pikir untuk berangkat kesana.”
“Untuk apa itu, susiok?“ Ah Loan tanya.
“Aku hendak cari ayahmu,” jawab Cie Kiang. “Disana kita nanti kumpulkan semua murid Kun Lun Pay, kita undang orang gagah dari berbagai propinsi guna diminta bantuannya untuk dengan bersatu tenaga kita hadapi Kang Siau Hoo dan Lie Hong Kiat.”
Adalah maksud utama dari Kat Cie Kiang akan singkirkan diri dari orang yang ia buat jerih adalah Lie Hong Kiat, ia kemukakan alasan itu. Adalah tutupi malu. Siapa tahu, mendengar itu, Kie Kong Kiat gebrak meja.
“Bagus!” berseru ia ini. “Aku memang niat ketemui mertuaku. Karena loo-ya-cu tidak mau cut-tau-, mertuaku yang harus maju sebagai wakil, dan aku dapat membatunya! Kita akan tempur Kang Siau Hoo untuk lakukan pertempuran yang memutuskan! ... “
“Bagus, Kat Suiok!” Ah Loan nyatakan setujunya. “Sekarang lekas sisiok atur dan siapkan segala apa, besok kita berangkat!“
Cie Kiang masih betpkir sekian lama, barulah barulah ia ambil putusan.
“Baiklah!” kata ia sambil manggut, malah terus ia perintah orang siapkan pauhok dari kuda, urusan piau-tiam ia serahkan pada Tio Cie Liong dan Tan Cie Cun. Mereka ini dipesan untuk sementara tidak boleh terima pekerjaan.
“Dalam segala hal berlakulah sabar, kau tunggu kembalinya aku,” ia pesan lebih jauh.
Kemudian Cie Kiang masuk kedalam untuk pesan isteri dan anak mantunya.
Kat Siau Kong sudah sembuh, lengan kirinya meninggalkan cacat, tubuhnya sekarang kurus pucat, ia tidak lagi jumawa seperti biasanya.
Malam itu lewat dengan aman, besoknya cuaca ada terang.
Sebuah kereta telah disiapkan untuk Kie Kong Kiat, luka siapa yang belum sembuh menyebabkan dia tak dapat naik kuda, disebelah itu ada lima ekor kuda, yalah untuk Ah Loan dan Cie Kiang serta tiga pegawai piau-tiam.
Pada tukang kereta Kong Kiat sudah lantas pesan: “Sekeluarnya dari kota kau mesti bedal kereta ini, supaya bisa susul dan ikuti mereka yang naik kuda. Hanya hati-hati agar kereta tidak sampai ringsak ... “
Hal itu Ah Loan dan dengan rambutnya terkepang panjang, pakaiannya serba hijau. Ia menungang kuda bulu merah, ia nampaknya cantik. Cuma orang-orang yang menaruh perhatian sajalah dapatkan ia ada sedikit kurus.
Cie Kiang masih berkata berbagai pesanan, baru ia loncat naik atas kudanya dan suruh tiga pegawainya jalan paling depan.
Rombongan ini keluar dari pintu sebelah Selatan menuju ke Barat, mutar ke Utara, mengikuti jalan umum. Kereta keledai tidak bisa jalan cepat-cepat, hingga Kong Kiat jadi uring-uringan. Terutama ia tidak bisa tunggang kuda! Apakah itu tidak memalukan engkongnya, Liong Bun Hiap?
Akhirnya, sesudah tak dapat tahan mendelunya, ia tarik pedangnya yang diletaki disampingnya, dengan itu ia sodok pinggangnya kusir kereta.
“Berhenti! Aku tidak dapat duduk terus dalam kereta keledai yang bobrok ini! Jalannya pelahan masih tidak apa tetapi yang hebat adalah goncangan dan bantingannya aku tidak tahan!“
Terus ia turun dari kereta, ia menghampiri satu pegawai piau-tiam.
“Sun Cit, kau duduk kereta, kudamu kau beri aku yang tunggangi!”
“Kie Kouya,” berkata Cie Kiang, yang tahan kudanya. “Lukamu belum sembuh benar, cara bagaimana kau bisa tunggangi kuda?”
“Tidak!” Kong Kiat geleng kepala “Aku tidak sanggup duduk kereta, aku hendak naik kuda saja,” ia menghampiri Sun cit, yang ia hendak gusur turun dari kudanya, hingga pegawai piau-tiam itu terpaksa mengalah, segera ia turun dari kudanya itu, kemudian ia bantui pemuda itu naik keatas kudanya itu. Ia-pun ambilkan pedangnya Kong Kiat untuk dicantelkan dipelana.
Bukan main girangnya Kong Kiat sesudah ia bercokol atas kuda, ia bepaling pada Ah Loan, ia tertawa, lalu ia cambuk kudanya dilarikan mendahului yang lain-lain.
Cie Kiang kedipi mata pada Ah Loan.
“Inilah tidak bisa.” berkata ia dengan pelahan. “Luka suamimu baru sembuh, luka itu bisa kambuh kembali karena bergosok-gosok pelana. Mari kita jalan pelahan-lahan.”
Demikian kuda dan kereta semua sengaja jalan ayal-ayalan.
Kong Kiat telah larikan kudanya kira-kira satu lie ketika ia menoleh ke belakang, ia dapatkan rombongannya ketinggalan terlalu jauh, dengan terpaksa ia tunggui mereka itu. Ia ada tidak sabaran.
“Lekas, lekas!” ia mendesak berulang-ulang.
“Atau suruhlah kereta itu kembali saja. Kereta ini membuat kita berabe saja!”
Cie Kiang dan Ah Loan tidak perdulikan desakan itu, mereka tetap jalan dengan pelahan. kereta-pun tidak diperintah pulang. Mereka terus ikuti kereta itu.
Ketika itu hawa udara ada panas-terik.
Diakhirnya mereka sampai ditepi sungai Wie Sui, mereka seberangi sungai itu.
Diwaktu tengahari, mereka sampai didalam kota Ham-yang dimana mereka singgah untuk bersantap, sekalian beristirahat, setelah itu perjalanan dilanjutkan pula ke arah Barat.
Cie Kiang lakukan perjalanan ini melulu untuk meninggalkan Tiang-an, See-an, guna menyingkir dari ancamannya Lie Hong Kiat, ia tidak mempunyai lain maksud lagi. Di Han-tiong juga ia tidak akan dapatkan pikiran baik atau undang orang kosen, guna bantu pihaknya menangkis Kang Siau Hoo. Maka itu, begitu lekas sudah meninggalkan kota Tiang-an, hatinya menjadi lega, disepanjang jalan sama sekali ia tertampak gelisah.
Disebelah piausu ini, walau-pun Ah Loan ingin lekas menemui ayahnya, ia-pun tidak mendesak agar perjalanan dilakukan dengan cepat, ia juga berduka. Ia ketahui ayahnya, juga lainnya orang yang ia kenal tidak akan sanggup lawan Kang Siau Hoo.
“Bugeenya Siau Hoo ada terlalu tinggi!” demikian ia berpendapat. Maka akhirnya ia jadi mendongkol, ia berkerot gigi.
“Siau Hoo tak dapat lupakan permusuhannya, sesudah ia berhasil membunuh engkong, baru ia puas ... Bagaimana ini?” pikir si nona terlebih jauh, pikirannya kusut. “Siau Hoo sangat menjemukan ... Keluarga Pau harus sangat dikasihani ...”
Saking jengkelnya hampir nona Pau ini melelehkan air mata ia benci Siau Hoo, tetapi-pun ia mencintainya.
Karena demikanlah, nona ini tidak pikir untuk buat perjalanan segera.
Adalah Kong Kiat yang menjadi sangat sibuk sendirinya. Ia ingin percepat perjalanan itu, tetapi rombongannya itu terus jalan dengan lambat-lambatan. Ia jalan belum limapuluh lie, lukanya telah mengeluarkan darah, karena tapuknya telah pecah pula, ia mesti merasakan sakit bukan main. Seperti diiris-iris saja. Toh tidak urung ia masih larikan kudanya. Sering-sering ia cekal gagang pedangnya, ia raba kantong piau, matanya memandang keempat penjuru. Tapi kapan ia menoleh ke belakang, ia jadi mendelu. Sang kereta terus berjalan seperti merayap. Kalau dikereta itu tidak ada Ah Loan, ia pasti sudah umbar adatnya! Atau sedikitnya ia akan tinggalkan mereka itu.
“Aku tidak sanggup menangkan Siau Hoo, tetapi aku mesti lawan dan adu jiwa padanya sampai dia mampus!” demikian ia ngelamun karena panas hatinya itu. “Meski dengan cara menggelap, aku mesti gunakan. Melainkan dengan cara ini aku bisa perlihatkan Ah Loan bahwa aku ada satu enghiong terbesar, dengan cara ini barulah aku bisa buat Ah Loan kagum dan mencintai kepadaku.”
Hari itu waktu maghrib, mereka sampai di Bu-kong. Menuruti hatinya Kong Kiat tidak ingin singgah, ia hendak jalan terus malam-malam, tetapi rasa sakitnya ada luar biasa hingga untuk turun dari kudanya, Ce Kiang mesti membantuinya, dengan dipepayang ia diantar ke kamarnya dalam sebuah rumah penginapan, disini ia paling dahulu dipakaikan obat.
Keras hatinya orang she Kie ini. walau-pun ia merasakan sangat sakit. Ia masih tidak mau rebah, ia hanya duduk sambil nyender ditembok, dengan paksakan diri ia bicara dan tertawa seperti biasa, ia teriaki jongos akan lekas siapkan barang hidangan serta araknya. Dengan suara perlahan ia tertawa dan bicara dengan Ah Loan.
Setelah saksikan orang punya semangat itu, Ah Loan merasa bahwa Kong Kiat benar-benar laki-laki sejati, hatinya kuat, tubuhnya ulet, nyalinya besar, hingga dengan sendirinya datanglah kekagumannya. Maka itu walau-pun ia ada sangat berduka, ia suka juga layani suami itu bicara dengan lemah lembut.
Di tempat penginapan itu Cie Kiang tidur sendiri dalam sebuah kamar lain, dan tiga pegawainya bertempat diruangan umum. Rumah penginapan itu ada ramai, tamunya kebetulan banyak, dari itu dari setiap kamar terdengar suara orang bercakap-cakap, lagu suaranya dari berbagai daerah. Suara jadi berisik karena ada bocah penjual bakpau, yang memasuki sesuatu kamar menawarkan barang dagangannya. Sedang kemudian terdengar suaranya orang-orang polisi, yang rewel dengan tuan rumah, sebab mereka datang untuk membuat pemeriksaan pada tamu-tamu. Adalah selewatnya jam dua, baru hotel jadi sunyi. Sebagai gantinya terdengar suara menggeros.
Api dalam semua kamar telah dipadamkan, tetapi orang takut hawa panas, pintu kamar telah dipentang, kecuali pintu kamarnya Cie Kang, yang dikunci, dan pintu kamarnya Kong Kiat, yang dirapatkan. Api dalam kamarnya pemuda ini juga dipasang terang-terang
Dengan sebuah kipas bulu Kong Kiat mengipas diri. Kepada isterinya ia tuturkan hal pengalamannya di Hoolam, tentang segala perbuatannya engkongnya, Liong Bun Hiap.
Ah Loan tidak tertarik akan dengarkan segala cerita itu, akan tetapi ia sendiri tidak juga mau tidur, dari itu ia terpaksa antap orang bicara sendiri, ia memikir kelain jurusan. Sekarang, mau atau tidak ia mulai terpengaruh oleh sikap gagah dari suami ini, yang begitu jauh ia perlakukan, sebagai musuh saja. Ia-pun bingung akan kedudukannya yang ganjil itu.
“Apakah tetap begini penghidupanku selanjutnya?“ sekali-sekali ia pernah pikir. “Kalau nanti Kong Kiat sudah sembuh benar dan aku sudah ketemu engkong, dan urusan engkong dapat diselesaikan, mau atau tidak aku toh mesti jadi isterinya Kong Kiat, isteri dalam artian yang benar ... Kalau itu sampai terjadi, bagaimana urusanku dengan Siau Hoo? Apakah aku mesti bunuh saja Siau Hoo itu? ... “
Ingat itu, hampir Ah Loan alirkan air matanya.
“Baiklah kau tidur lebih dahulu,” kemudian Kong Kiat kata sambil tertawa. “Besok kita akan lanjutkan perjalanan pagi-pagi sekali.”
“Aku belum mengantuk,” sahut Si nona sambil menggeleng kepala.
Kong Kiat pandang isteri itu, ia kagum berbareng berkasihan. Ia lantas geraki tubuhnya, untuk berduduk dengan benar.
Ah Loan geser tubuhnya membagi tempat.
Hampir disaat itu Ah Loan dengar suara elahan napas diluar jendela, ia terperanjat, segera ia berbangkit dan pergi keluar untuk melihatnya.
Kong Kiat, dengan melawan rasa sakitnya turut berbangkit, sambil bawa pedangnya ia menyusul keluar.
Malam itu, bintang-bintang ada jarang.
Diluar kamar, diruangan dalam, ada rebah tidur lima atau enam orang.
Ah Loan periksa semua ruangan, juga atas genteng, ia tidak lihat dan dengar suara apa-pun kecuali suara angin malam, yang meniupnya dari arah sungai Wie Sui.
“Kau dengar suara apa?” tanya Kong Kiat, yang berdiri di belakang isterinya. “Apakah kau dapat lihat orang?”
Ah Loan geleng kepala, ia tidak menyahut, ia hanya putar tubuh untuk kembali kekamar mereka. Wajahnya saat itu pucat sekali.
Kong Kiat berdiri dipintu kepada apa ia pepegangan, ia memandang keluar. Dengan tertawa yang dibuat-buat, dengan suara nyaring, ia kata: “Rembulan ada demikian indah-permai, didalam pekarangan ini juga ada orang tidur, dan Kang Siau Hoo bukannya iblis, cara bagaimana ia bisa datang kemari? ...”
Justeru itu diatas genteng, ia lihat suatu benda hitam, segera ia rogoh sakunya akan keluarkan pisau dengan apa ia menimpuk. Dan menyusul itu lalu terdengar suatu suara aneh yang dibarebgi dengan jatuhnya suatu benda.
Dengan tindakan dingkluk-dingkluk Kong Kiat pergi menghampiri, maka itu ia dapat kenyataan yang ia telah berhasil menangkap seeker kucing bulu hitam.
Suara berisik itu menyebabkan dua orang terbangun dari tidurnya.
“Ada apa?” mereka tanya.
“Tidak apa-apa, kucing!“ Kong Kiat jawab. Ia jemput kucing yang terluka itu dibawa kedalam kamar untuk diperlihatkan pada isterinya. “Ini dia makhluknya yang tadi buat kau kaget!” kata ia sambil tertawa.
Ah Loan lihat seekor kucing yang besar, yang perutnya ditembusi pisau, binatang itu mencoba berontak-berontak, maka Kong Kiat lekas cabut pisau yang menancap, lantas beri binatang itu lari keluar, kemudian ia cuci tangan, ia tutup pintu dan padamkan api, lalu ia naik kepembanngan untuk tidur, pedangnya tetap ia letaki disampingnya.
Ah Loan masih berpikir sekian lama, akhirnya ia bisa juga tidur.
Keesoknya pagi orang bangun untuk terus dandan dan dahar setelah mana, perjalanan dilanjutkan menuju ke Barat. Kong Kiat tetap menunggang kuda, karena sia-sia saja Cie Kiang dan ketiga pegawainya bujuki ia untuk naik kereta, hanya sekarang ia tidak kaburkan kudanya seperti kemarin, ia jalankan binatang tunggangan itu berendeng dengan Ah Loan dengan siapa ia bisa bercakap-cakap. Ia ada gembira, sebaliknya isterinya ada dalam kemasgulan.
Diwaktu sore mereka sampai di Tay-san-kwan, langsung mereka pergi ke Kun Lun Piau Tiam dimana Cie Tiong sambut mereka. Cie Tiong telah dengar kabar hal pertempuran dengan Siau Hoo di Pa Kio dan Kong Kiat temuka.
“Bagaimtna dengan engkong?” Ah Loan segera tanya begitu lekas ia lihat Cie Tiong.
“Ia ada baik,” jawab Tie Tiong, yang tidak bicara banyak, karena ia terus repot menyambut Cie Kiang dan Kong Kiat, terutama untuk lantas jamu mereka, untuk bersantap malam.
Ah Loan ingin ketahui lebih banyak tentang engkongnya, ia ulangi pertanyannya, maka sehabinya mereka dahar, Cie Tiong tidak bisa bungkam lebih lama.
“Nanti aku beri keterangan tetapi jangan kau sibuk tak keruan,” kata piausu she Lou ini. “Suhu sampai di San-im dengan tidak kurang suatu apa, ia telah menumpang di rumahnya Ho Tiat Siong. Ho Tiat Siong sudah tua, umurnya lebih tua lima atau enam tahun daripada suhu, ia sudah berumur lebih dari delapan-puluh tahun, gawenya setiap hari adalah liamkeng saja. karena ia sangat memuja Buddha. Ia ada punya dua anak lelaki yang mengarti bugee, keduanya pernah jadi piausu, benar sekarang mereka hidup bertani, tetapi kadang-kadang masih ada sahabat-sahabatnya yang kunjungi mereka. Ia-pun ada punya beberapa cucu lelaki, yang semua sudah berusia dua-puluh lebih, yang sedang belajar silat, dari itu mereka ini-pun ada punya banyak sahabat yang sering datang pada mereka. Oleh karena itu suhu anggap, walau-pun tempat ada sunyi tetapi suasananya ramai, terlalu banyak orang sembarangan datang dan pergi, ia merasa tidak bisa berdiam lama-lama dirumah sahabatnya itu. Begitulah sedang lima hari dimuka, suhu sudah tinggalkan rumahnya Ho Tiat Siong itu, ia pergi seorang diri, dengan menunggang kuda dan bekal goloknya. Suhu-pun larang aku ikut atau ikuti dia ...”
Ah Loan kaget hampir menangis.
“Kemana engkong pergi seorang diri?” tanya ia.
“Suhu menuju ke Selatan,” Cie Tiong berkata dengan pelahan, “katanya ia hendak pergi ke Sucoan. Suhu bilang ia ada punya beberapa sahabat disana.”
“Tapi belum pernah aku dengar engkong bilang dia ada punya sahabat di Su-coan,” kata Ah Loan. “Justeru disana dia ada punya musuh-musuh, seperti Long Tiong Hiap.”
“Dugaanku mungkin suhu bangkit semangat kegagahannya,” Kong Kiat campur bicara. “Bisa menjadi ia sengaja keluar untuk cari Kang Siau Hoo.”
“Itulah tidak bisa jadi,” kata Cie Tiong. “Suhu berangkat dari Lok-yang menuju ke Selatan. Aku telah antar dia sampai di Kim-gu-kiap, sampai disitu ia gusar, ia larang aku mengikuti terlebih jauh, hingga aku pulang dengan terpaksa. Kalau kau datang kemarin lohor aku tentu belum kembali.”
Semua orang jadi diam. Cie Kiang dan Cie Tiong kerutkan dahi, Ah Loan tunduk kepala, sebelah tangannya bertopang dagu, sebelah yang lain menepas air mata. Kong Kiat awasi isterinya itu berpeluk tangan berkerot gigi. Tapi tidak lama ia perdengarkan tertawa dingin.
“Sungguh liehay Kang Siau Hou itu!” kata ia dengan sengit. “Dia desak Pau Kun Lun binga keadaannya demikian menyedihkan, mesti merantau dan terlunta-lunta, dia punya rumah tetapi ia tidak bisa pulang ...”
“Pelahan sedikit ...“ Cie Tiong mencegah, tangannya diulap-ulapkan.
Akan tetap Ah Loan telah dengar itu, ia bangun berdiri, tangannya menggebrak meja. Ia-pun banting-banting kakinya.
“Aku tidak bisa tahan sabar lagi!” berseru nona ini. “Aku mesti cari engkong! Aku berdua engkong mesti cari Kang Siau Hoo, untuk adu jiwa kita! Oh, kang Siau Hoo! ... “ ia menangis. Dan seperti Siau Hoo ada diluar jendela, ia berseru : “Eh, orang kejam, mari, kemari! Kalau kau inginkan jiwa engkong, kau ambillah jiwaku dahulu!”
“Jangan sibuk, nona,” membujuk Cie Tiong. “Suhu ada sehat dan kuat tubuhnya, dengan pergi ke Su-coan, dia pasti tidak akan kurang suatu apa. Suhu sudah berpengalaman, dia kenal seluk-beluknya dunia kang-ou, seandainya Siau Hoo susul dia, tidak nanti ia dapat tercandak.”
Cie Kiang juga bantu membujuki.
“Tapi sudah tiga-puluh-tahun engkong tidak pernah keluar,” kata Ah Loan. “Engkong pasti sudah asing dan tidak kenal jalanan, sebaliknya Siau Hoo ada punya banyak sahabat disana, Long Tong Hiap lihat engkong, tentu ia akan menahannya dan akan segera kirim kabar pada Siau Hoo supaya Siau Ho datang binasakan engkong! ...”
Cie Tiong menggeleng kepala.
“Itulah tidak mungkin terjadi,” ia bilang. “Pasti sekali Long Tiong Hiap tidak akan lakukan perbuaan semacam itu. Ketika pada sepuluh tahun yang lalu snhu kalahkan Long Tiong Hiap, suhu sndah tidak mendesak, itu disebabkan ia tidak ingin tanam permusuhan, ia berlaku murah. Dan ketika Long Tiong Hiap pulang ke Su-coan, selama itu tidak pernah dia merantau pula, kalau diri bicarakan halnya suhu, dia hunjuk hormatnya.”
“Meski umpama benar Long Tiong Hiap muncul pula untuk satrukan loo ya-cu. itulah yang aku harapkan,” berkata Kie Kong Kiat. “Aku memang ingin dia coba-coba pedang dan piauku!“
Ah Loan dibujuk terus sampai ia tidak menangis lagi dan gusar. tetapi ia tidak mau duduk. ia berdiri menyender dijendela, diantara kain jendela ia bisa memandang sang rembulan yang permai.
Cie Tiong berjaga, ia kuatir si nona “buron” pula seperti dahulu.
Sampai jam dua baru orang berpisahan, untuk masuk tidur.
Ah Loan dan Kong Kiat tetap dapatkan kamar pengantin mereka. Kong Kiat ada bergembira sekali, hingga ia godai isterinya akan peristiwa disaat mereka jadi pengantin, bahwa si nona sudah tolak dia masuki kamarnya. Tapi walau-pun ia telah bergurauan, namun Ah Loan diam saja, alisnya terus dikerutkan. kemudian dia rebah dengan tidak buka pakaian lagi.
Kong Kiat rebah celentang sambil mengawasi langit-langit kelambu, karena ia berdiam, kembali ia rasakan sakit pada pahanya yang terluka itu.
Ah Loan dapat tidur sesudah ia lelah sendirinya karena berduka. Tapi keesoknya pagi, baru jam lima ia sudah mendusin, dengan diam-diam ambil goloknya dan sembat buntalannya, dengan hati-hati ia keluar dari kamarnya terus menuju keistal akan siapkan kudanya.
Semua orang masih belum bangun. Lou Cie Tiong tadinya sukar dapat tidur, ia waspada, apa mau, sesudah sekian lama si nona diam saja, ia jadi lelah dan mengantuk, akhirnya ia tidur juga.
Maka dengan tidak ada sesuatu rintangan, Ah Loan bisa tuntun kudanya keluar dari pekarangan, ia loncat naik atas kudanya itu, yang ia segera beri lari menuju ke Selatan dijalan pegunungan.
Diwaktu pagi demikian, gunung masih tertutup kabut, puncknya tak tertampak sama sekali, sedang pepohonan yang terdekat, kelihatan bagaikan bayangan saja. Burung-burung juga masih sedang tidur, belum ada yang bercica atau beterbangan. Maka itu, kaki kudanya Ah Loan perdengarkan suara congklang yang tegas sekali diluar sangkaan Ah Loan, belum dua lie memasuki daerah pegunungan itu, dari belakangnya ia dengar suara panggilan: “Nona Loan! Ah Loan!”
Suara itu berkumandang nyata sekali.
Ah Loan tidak perdulikan panggilan itu, ia kaburkan terus kudanya.
Suara itu terdengar pula. beru!ang’, malah makn lrna, te-rdengarnya maldn dekat.
Ah Loan kabur terus, sampai tiga atau empat lie, selama itu ia sudah lintasi lima atau enam tikungan, selagi ia lari terus, tahu-tahu di depan ia muncul satu penunggang kuda yang merintangi perjalanannya, ia lantas hunus goloknya, siap unuk menerjang. Tapi orang itu, yang napasnya tersengal-sengal lantas berkata, “Nona Loan, hayo mari kita pulang! Kita harus berdamai, kita mesti ada punya daya! Tak dapat kau pergi seorang diri. Jangankan di Su-coan yang kau tidak kenal keletakanyna, walau daerah pegunungan Ciu Nia ini-pun kau tidak boleh sembarang lintasi, tikungannya ada terlalu banyak, lagi lima atau enam lie kau akan kesasar, sampai satu bulan-pun kau bakal tidak dapat keluar dari sini, sedang disini berdiam Gin-Pau Ou Lip serta puteranya, yang semua ada seotang perempuan, mana kau dapat berjalan sendirian disini? Sekarang-pun kau tidak usah, buat perjalanan seperti baru-baru ini untuk pertama kali kau pergi ke Tiang-an, See an ...”
Orang itu adalah Lou Cie Tiong, yalah satu-satunya susiok (paman seperguruan) yang Ah Loan paling hormati, siapa ternyata telah ketahui minggatnya Ah Loan dan sudah lantas susul padanya. Maka Si nona lantas saja jadi sangat berduka, hingga air matanya turun dengan tak dapat dicegah lagi.
“Aku tidak bisa kembali,” ia berkata. “Ketika tadi malam kau bilang engkong berangkat seorang diri, hatiku sudah jadi tidak tenteram. Sekarang aku hendak susul engkong, siapa juga tadi dapat cegah dan perintah aku kembali ke Tay san-kwan!“
Cie Tiong menarik napas.
“Suhu pergi seorang diri, aku juga merasa tidak tenteram,” ia kata dengan masgul. “Aku juga mau ikuti suhu, tetapi ia telah melarangnya. Nona ketahui baik adatnya suhu. Sekarang kau hendak pergi menyusul, umpama kau dapat cari ia, aku percaya iapun akan gusari kau. Maka baik kau kembali dahulu, tunggu lagi beberapa hari, sehingga lukanya Kie Kouya sudah sembuh betul, barulah kau berdua boleh berangkat. Barangkali aku-pun turut kau pergi.”
Ah Loan bersenyum tawar.
“Tunggu sampai lukanya sembuh? Aku musti tunggu sampai kapan?“ tanya ia. “Sebenarnya sekarang-pun ia sudah bisa menunggang kuda, yang tidak bisa adalah untuk suruh dia jalan terus-terusan siang dan malam. Sudahlah, Su-sok jangan kuatirkan aku, tapi andaikata kau sangsi, bagaimana kalau sekarang juga kau turut aku?“
Cie Tiong jadi berpikir.
“Kau lihat, uang sepeser-pun aku tak membawanya, demikian-pun senjataku,” ia menjawab kemudian. “Tapi baiklah, tungu aku kembali dahulu untuk anbil uang dan golokku.”
“Jikalau kau kembali, Kong Kiat tentu akan turutku,” kata si nona. “Kalau dia turut bersama, jadi sulakarlah kita lakukan perjatanan ini. Bagaimana kita dapat susul engkong? Mari kita berangkat sekarang saja, aku ada bekal dua-puluh tail lebih, cukup untuk kita pakai sampai di Hantiong. Sesampainya disana kita tak usah kuarir lagi. Tentang golok, itulah tidak perlu. Dalam gunung ini hanya ada rombongannya Ou Lip, selama beberapa tahun ini dia katanya baik dengan kita keretanya Kun Lun Pay belum pernah dia ganggu, dari itu tak usah kita kuatir terhadapnya.”
Kembali Cie Tiong berpikir, akhirnya ia manggut-manggut.
“Baiklah, aku antar kau sampai di Han-tiong,” katanya. “Disana kita nanti pikir pula.”
Ah Loan jadi sangat girang.
“Nah, susiok, silahkan kau jalan di depan!“ kata ia. “Aku harap dalam tempo dua hari kita akan sudah sampai di Hentiong. sesudah berstirahat sebentar disna, kita lantas melanjutkan menuju ke Sucoan!“
Cie Tiong menurut, ia memajukan kudanya melewati Si nona.
“Tapi jangan terlalu terburu nafsu, nona,” ia memberi nasihat. “Tentu engkongmu tidak kurang suatu apa. Aku merasa pasti ayahmu ketahui baik bahwa engkongmu ada punya beberapa sahabat disana, engkongmu ada seorang yang teliti, tentunya dia ada mempunyai tempat untuk pernahkan diri. Disebelah itu aku ingin sekali bisa bertemu dengan Kang Siau Hoo. Baiklah aku jelaskan padamu. Ketika dahulu Siau Hoo bokong Liong Cie Teng dan kabur dengan kuda curian, dalam gusarnya suhu perintah aku kejar padanya. Digunung Lam San aku berhasil menyandak Siau Hoo. Pada waktu itu bugeenya Siau Hoo masih sangat rendah, asal aku mau, aku bisa bekuk padanya, akan tetapi aku berpikir lain. Ayahnya toh adalah suteeku, sedang ia sendiri ada satu bocah. Demikian aku tidak tega membinasakannya, malah aku hunjukkan dia jalan untuk kabur ke Su-coan. Sesudah aku lepaskan padanya, Cie Khie semua dapat susul aku, bersama mereka aku berpura-pura turut mengejar lebih jauh, sampai di Ban-goan, Su-coan Utara. Kita dapat susul Siau Hoo. Waktu itu Siau Hoo, sedang singgah disebuah rumah makan, kudanya yang ditambat diluar dikenali oleh Cie Khie. Lantas Cie Khie naik keloteng untuk bunuh Siau Hoo. Sangat terancam adalah keadaan Siau Hoo pada saat itu. Syukur aku dapat mendahului naik keloteng, aku segera beri tanda dengan kedipan mata padanya. Atas itu Siau Hoo dobrak jendela akan lontat turun. Begitulah, dua kali aku tolong jiwanya Siau Hoo, maka aku percaya, apabila aku bertemu ia sekarang, ia mesti bisa menimbang budiku itu. Inilah sebabnya kenapa aku ingin bisa bertemu kepadanya.”
Ah Loan yang mendengar keterangan itu tidak kata suatu apa, akan tetapi selagi terus larikan kudanya ia ingat pemuda sie Kang itu. Waktu dahulu itu, mereka sama-sama masih kecil, tapi ia ingat benar, dengan ayahnya terbinasa dan ibunya menikah pula, keadaannya Siau Hoo ada sangat menyedihkan dan harus dikasihani! engkongnya dan kedua saudara Liong telah berlaku sangat kejam terhadap Cie Seng dan Siau Hoo. Maka itu ingat hal ini, reda pula gusarnya terhadap Siau Hoo.
Kedua ekor kuda tidak dilarikan keras, akan tetapi mereka bisa jalan dengan cepat. Nyata Cie Tiong kenal baik jalanan disini dan ia selalu cari jalanan yang agak rata.
Cuaca jadi makin terang, burung-burung mulai beterbangan sambil perdengarkan suaranya. Pepohonan semua nampaknya hijau dan segar. Angin meniup halus dan membawakan bau bunga-bunga yang harum semerbak.
Hampir habis perjalanan gunung itui dilalui, selama itu mereka tidak pernah ketemu lain orang siapa juga.
Dengan naiknya matahari, Ah Loan sudah mandi keringat, bebokongnya telah basah semua, napasnyapun rada memburu. Dilain pihak, Cie Tiong ada tetap tenang.
“Lou Susiok, aku haus, dimana kita bisa dapat air?” tanya si nona.
Cie Tiong menoleh, ia menyahut dengan pelahan : “Lewat lagi tikungan di depan, kita akan ketemui beberapa rumah perududuk gunung, aku kenal satu diantaranya seorang she Thia. Aku-pun sekalian hendak minta pertolongannya untuk ia pergi ke Tay-san-kwan tentang kepergian kita ini, agar disana semua orang tidak sibuk dan berkuatir tak keruan. Hati-hati, nona,” ia terus pesan, “tidak jauh dari sini ada pasanggrahan berandal, yang terdiri dari orang orangnya Ou Lip, jumlah mereka besar dan tabiatnya-pun kasar, tidak kenal persahabatan kangou ...”
Ah Loan diam. Ia sebenarnya tidak senang, ia tidak takut pada berandal, tapi ia sekarang sedang punya urusan penting, ia tidak boleh timbulkan urusan yang tiada faedahnya ia cambuk kudanya akn ikuti sang susiok.
Mereka telah melalui belum setengah lie, belum lagi mereka sampaikan tikungan, tiba-tiba mereka dengar suara kuda mencongklang disebelah belakang mereka. Keduanya menoleh dengan segera, maka segera mereka lihat lima penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Semua merekn masih muda, pakaiannya ringkas dan bersenjatakan golok masing-masing.
Ah Loan menduga pada orang jahat, ia raba goloknya, baru ia mencabutnya separuh, Cie Tiong sudah mencegah.
“Jangan sembrono,” paman ini perintahkan. “Itu yang pakaiannya sutera adalah anaknya Ou Lip.” Lantas ia putar kudanya dimajukan, kemudian sambil tertawa, ia kata : “Ou Lo-jie, aku nupang jalan disini, aku harap kau sudi memandang kepadaku. Bagaimana dengan Loociangkui, apa ia ada banyak baik?”
Dengan “Loo ciang-kui” diartikan Ou Lip.
Anak Ou Lip ini bernama Ou Po San gelar Siau Yo Cian, atau Yo Cian Kecil. Ia sedang awasi Ah Loan, dari itu ia kurang perhatikan Cie Tiong, sesudah ditegur, baru ia menoleh. Terus saja ia tertawa dengan jawabannya: “Kita ada bersahabat, buat apa sebut-sebut numpang jalan?“ Tapi lantas ia tunjuk Ah Loan, sambil tertawa pula ia tanya. “Siapakah nona itu?”
“Dia ada cucu perempuannya guruku,” sahut Cie Tiong. “Dia sudah menikah dengan Kie Kong Kiat.”
“Oh, Nona Pau Ah Loan?” kata Po San. “Ah ... “ ia masih terus awasi nona itu dengan mata keranjangnya.
“Kita ada punya urusan penting, kita mesti lakukan perjalanan lekas,” berkata Cie Tiong, “nah, Loo jie, sampai lain hari!”
Ou Po San tidak menjawab, sebaliknya ia memberi tanda dengan mata pada orang-orangnya, atas mana keempat liaulo itu keprak kuda mereka buat dimajukan melewati, untuk segera mencegat jalanan. Ia-pun turut berbuat demikian.
Mukanya Ah Loan jadi merah-padam saking mendongkolnya, sedang tangannya segera cekal pula gagang golok.
Air mukanya Cie Tiong-pun turut berubah, hanya ia masih sanggup kendalikan diri.
“Loo-jie, apakah artinya ini?” tanya ia dengan sabar. “Bukankah kita ada bersahabat?”
“Aku tidak punya maksud apa-apa,” sahut Po San sambil bersenyum. “Dengan Nona Ah Loan ini aku baru pertama kali bertemu, aku ingin pasang omong dengannya, aku hendak undang dia naik keatas gunung supaya kita bisa minum beberapa cawan arak.”
“Loo-jie, terima kasih untuk undanganmu ini,” Cie Tiong bilang. “Dengan sebenarnya kita ada punya urusan yang penting sekali, kita mesti segera lanjutkan perjalanan kita, yang tidak boleh terlambat. Lain hari saja aku mengunjunginya untuk buat kau repot.”
Mendengar itu, tampangnya Ou Pu San berubah. Ia bersenyum tawar.
“Loo Lou, jangan kau tidak tahu diri!“ berkata ia. “Kau adalah orang-orang Kun Lu Pay. inilah Kau mesti mengarti. Sebenarnya diantara kita bukan saja tidak ada persahabatan, malah ada bermusuhan, hanya karena kau sendiri ada seorang yang baik ayahku pesan supaya aku berlaku istimewa baik terhadapmu, semna kereta piau dibawah perlindunganmu aku tidak ganggu. Mengenai urusan kita sekarang, melihat nona ini, aku merasa sedikit senang, dari itu aku hendak undang dia naik kegunung untuk kita minum arak, sama sekali aku bukan hendak suruh dia temankan aku ...”
Po San ucapkan kata-katanya itu sambil goyang sedikit kepalanya, tetapi sebelum suaranya berhenti, Ah Loan yang tidak bisa tahan sabar lagi, sambil hunus goloknya sudah majukan kuda seraya berseru : “Tutup mulutmu, telur busuk!”
Melihat orang menyerang, Ou Po Sa berkelit sambil miringkan tubuh, dan kudanya-pun dimundurkan, atas mana, Ah Loan mendesak, bacokannya menyusul, gerakannya ada sebat luar biasa.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Dewasa Silat : Hokeng Koenloen 18 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Dewasa Silat : Hokeng Koenloen 18 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2014/04/cerita-dewasa-silat-hokeng-koenloen-18.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Dewasa Silat : Hokeng Koenloen 18 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Dewasa Silat : Hokeng Koenloen 18 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Dewasa Silat : Hokeng Koenloen 18 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2014/04/cerita-dewasa-silat-hokeng-koenloen-18.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar