Cerita Super Sex : To Liong To 6

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Rabu, 30 April 2014

Description: Cerita Super Sex : To Liong To 6 Rating: 4.5 Reviewer: Unknown - ItemReviewed: Cerita Super Sex : To Liong To 6
"Samko" teriaknya sambil mengucurkan air mata. "Samko...mengapa kau? Aku Ngotee.. .Ngoteemu...." Dan perlahan dan hati2 ia bangun berdiri. Sekali lagi, jantungnya memukul keras, ke dua tangan danw kedua kaki Jie Thay Giam kontal kantul kebawah. Ternyata tulang2nya telah dipukul patah, sedang darah mengalir dari jeriji pergelangan tangan lengan dan betis nya. Melihat kekejaman musuh, Thio Cui San marasa dadanya mau meledak, melihat luka itu ia tahu bahwa musuh belum pergi jauh dan jika diubar ia masih bisa menyandaknya. Dalam kalanya ia lantas saja melompat keatas punggung kuda untuk mengejar, tapi dilain sa at ia mendapat lain pikiran yang lebih jernih. "Luka Jie Samko berat luar biasa dan perlu segera ditolong," pikirnya. "Jika seorang kuncu mau membalas sakit hati, sepuluh tahun masih belum terlambat,"

Karena kuatir goncangan2 diatas kuda memperhebat luka sang Suko, maka, sesudah berpikir sejenak, ia segera mendukung tubuh Jie Thay Giam dengan hedua tangannya dan lain berjalan pulang dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Kuda jempolan itu, yang mungkin merasa heran mengapa sang majikan tidak menunggunya, mengikuti dari belakang.

==========================

HARI itu adalah hari ulang tahun kesembilan puluh dari Couw-su Bu-tong-pay Thio Sam Hong. Sedari pagi sekali, Giak-hie-kiong sudah diliputi dengan suasana bersuka ria. Dengan bergiliran, ke-6 muridnya memberi selamat panjang umur dan berlutut. Hanya sayang diantara 7 murid itu masih kurang seorang. Menurut perhitungan, sesudah menjalankan tugas membunuh seorang penjahat besar di Tiongkok Selatan. siang2 Jie Thay Giam sudah harus kembali. Tapi ditunggu sampai tengah hari, ia belum juga kelihatan mata hidungnya. "Semua orang dibawah_gunung," kata Thio Cui San.

Tapi begitu pergi, Thio Cui San pun tak ada kabar ceritanya. Dengan menunggang kuda istimewi, andaikata ia pergi sampai di Lao ho kouw, iapun sudah mesti pulang lebih siang, tapi ditunggu hingga Yoe sie dari jam 5 sore sampai tujuh malam, ia belum juga kelihatan bayangan bayangannya.

Di ruang tengah, meja perjamuan sudah di atur rapih, sedang lilin merah sudah habis separuhnya. Semua orang mulai bingung. Murid keenam In Lie Heng dan murid ke7 Boh Seng Kok sudah keluar masuk puluhan kali, sedang saudaranya yang lainpun tak kurang bingungnya. Sebagai seorang yang ilmu kebatinannya sudah sangat tinggi, Thio Sam Hong tetap t nang. Tapi ia yakin, bahwa belum pulangnya kedua murid itu mesti disebabkan oleh kejadian sangat luar biasa. Ia kenal baik watak mereka. Jie Thay Giam sangat ber-hati2 dan boleh diandalkan untuk memegang pekerjaan penting sedang Thio Cui San seorang pemuda yang cerdas dan selalu bisa bertindak dengan mengimbangi jelatatan.

Serasa mengawasi lilin yang semakin pendek Song Wan Kiauw berkata sambil tertawa "Su hu, Jie Samtee dan Thio Ngotee tentulah juga bertemu dengan urusan ganjil dan mereka lalu menggulung tangan baju untuk mencampurinya, Suhu selamanya menganjurkan kami untuk melakukan perbuatan mulia dan hari ini, hari ulang tahun Suhu, kedua sutee menolong sesama manusia sebagai hadiah ulang tahun."

Thio Sam Hong mengurut jenggotnya."Hm pada hari ulang tahunku yang kedelapanpuluh kau telah menolong seorang janda yang mem buang diri kedalam sumur" katanya seraya tertawa, "perbuatanmu itu memang harus dipuji akan tetapi jika dalam sepuluh tahun baru menolong orang satu kali mereka yang perlu di tolong sungguh harus menunggu dengan sangat tidak sabaran". Mendengar perkataan guru mereka lima murid itu lantas saja tertawa geli, tapi adatnya sangat terbuka dan sering sekali ia berguyon dengan murid2nya "paling sedikit Suhu akan bisa hidup dua ratus tahun kata", Thio Siong Kee murid keempat sambil bersenyum "jika setiap sepuluh tahun kami melakukan sesuatu perbuatan baik ditambah jumlah nya tidak sedikit."

Boh Seng Kek murid ketujuh tertawa nyaring "hanya mungkin sekali kita tak bisa makan umur begitu panjang" katanya.

Baru saja perkataan itu habis diucapkan, Song Wan Kiauw dan Jie Liam Ciu, murid ke dua se konyong2 melompat keluar seraya ber teriak:" Apa Samtee!"

"Benar" jawab Thio Cui San dengan suara parau dilain saat dengan kedua tangan pakaian berlepotan darah dan penuh keringat ia bertindak masuk dengan tindakan limbung dan lalu berlutut di hadapan Thio Sam Hong. "Su hu...." katanya "Jie Samko.,..telah dibokong orang!"

Semua orang terkesip. Sehabis berkata begitu, badan Thio Cui San bergoyang, dan ia roboh terjengkang karena terlalu lelah dan duka.

Song Wan Kiauw dan Jie Lian Ciu adalah orang2 yang mempunyai pengalaman luas dan mereka tahu sebab musabab dari pingsannya Thio Cui San. Mereka mengerti bahwa apa yang penting adalah Jie Tay Giam. Maka itu dengan berbareng mereka menubruk dan mengangkat tubuh Jie Sam. Begitu meraba dada si adik, hati mereka mencelos sebab napas Jie Thay Giam tinggal sekali.

Melihat muridnya yang disayang terluka begitu berat tanpa mengeluarkan sepatah kata, Thio Sam Hong buru-buru masuk kekamarnya dan keluar lagi dengan membawa pels Pek houw Tok bang tan (pememulihkan jiwa yang mulutnya ditutup dengan lilin putih)Untuk tidak membuang tempo dengan dua jarinya ia mememijit peles itu yang lantas saja menjadi hancur. Ia mengambil tiga butir pel yang lalu dimasukkan kedalam mulut Jie Thay Giam. Tapi gigi Jie Sam hiap terkancing dan mulutnyn tertutup rapat.

Thian Sam Hong segera mengangkat kedua tangannya dan dengan menggunakan jempol dan telunjuk, ia menotok Liong yauw kiauw diujung kuping Jie Thay Giam dengan tenaga Ho cweekin. Pada waktu itu kepandaian Thio Sam Hong sudah sedemikian tinggi sehingga dengan Ho cweekin Tiam Liong yauw kiauw, tenaga Ho cwee kin menotol Liong yauw kiauw ia malahan dapat menyadarkan untuk sementara waktu orang. Sesudah menotol dua puluh kali, simurid masih juga tidak bergerak.

Sambil menghela napas, ia segera menengkurupkan kedua telapak tangannya dan menotol jalanan darah Kian kie hiat didagu muridnya, dengan menggunakan In ciu atau telaga dingin. Sesudah itu, ia membalik kedua telapak tangannya dan menotok pula dengan Yang ciu atau tenaga panas, per-lahan-lahan mulut Jie Thay Giam terbuka dan ia lalu menelan tiga butir pil itu.

Tapi otot2 leher Jie Sam hiap sudah menjadi kaku, sehingga biarpun masuk kedalam tenggorokan pel itu tak bisa turun terus sampai di perut. Guru besar itu segera memerintahkan Thio Siong Kee mengurut leher Jie Thay Giam sedang ia sendiri lalu menotok jalanan darah Kwat poen dan Jie hu dibagian pundak serta Yang koan dan Beng Bun diujung tulang punggung, supaya sesudah tersadar si murid jangan merasakan kesakitan yang terlalu hebat.

Semenjak Song Wan Kiauw dan Jie Lian Ciu berguru biarpun menghadapi urusan yang bagai mana besar, sang guru selalu bersikap tenang. Tapi sekarang tangan guru itu bergemetar sedang paras mukanya mengunjuk rasa bingung sehingga mereka mengerti, bahwa luka adik mereka luar biasa berat.

Selang beberapa saat, Jie Thay Giam mulai tersadar.

"Suhu," kata Thio Cui San dengan suara pilu. "Apakah Jie San ko masih bisa ditolong jiwanya ?"

Thio Sam Hong tidak menjawab secara langsung. Ia hanya berkata: "Dalam dunia ini siapa kah yang bisa hidup untuk se-lama2nya ?"

Tiba2 terdengar suara tindakan orang. Seorang toojin kecil masuk kedalam ruangan itu dan memberitahu, bahwa Touw Tay Kim dan lain2 piauw tauw Liong bun Piouw kiok datang berkunjung.

Paras muka Thio Cui San lantas saja berubah gusar. "Ini semua gara2 kawanan manusia itu!" teriaknya seraya melompat keluar. Dilain saat diluar kelenteng terdengar suara jatuhnya senjata2 diatas tanah. Baru saja In Lie Heng dan Boh Seng Kok ingin melompat keluar untuk membantu Suhengnya, Thio Cui San sudah kelihatan berjalan masuk dengan satu tangan menenteng seorang lelaki yang badannya tinggi besar. Sambil melontarkannya keras2 di atas lantai ia berseru: "Manusia inilah yang sudah merusak urusan besar!"

Diantara Bu tong Cit hiap, In Lie Henglah yang beradat paling berangasan. Mendengar orang itu yang menyebabkan terlukanya sang Suko, ia segera melompat dan mengangkat kaki untuk menendang Touw Tay Kim.

"Lioktee! Tahan!" bentak Song Wan Kiauw.

"Hei! Orang2 Butong memakai aturan atau tidak?" demikian terdengar teriakan diluar kelenteng. "Kami adalah tamu2 yang datang ber kunjung. Mengapa kau menghina kami?"

Song Wan Kiauw mengerutkan alisnya. Ia menghampiri Touw Tay Kim dan menepuk belakang kepala dan punggung Cong-piauw-tauw itu, untuk membuka jalanan darahnya. "Yang di luar harap jangan ribut," teriaknya, "Tunggu sebentar". Suara itu angker dan nyaring luar biasa dan orang2 Liong-bun Piauw-kiok yang menduga bahwa teriakan itu adalah teriakan Thio Sam Hong, tak berani banyak ribut lagi.

"Ngo-tee," kata Song Wan Kiauw. "Bagaimana Samtee bisa mendapat luka begitu berat ? Ceritakanlah dengan tenang."

Sesudah mengawasi Tauw Tay Kim dengan sorot mata gusar, barulah Thio Cui San menerangkan, bagaimana Liong bun Piauw-kiok telah diminta oleh seorang untuk mengantarkan Jie Thay Giam ke Butong-san dan bagai mana saudara itu akhirnya diambil enam penjahat yang menyamar sebagai murid2 Butong. Sedari tadi, sesudah lihat kepandaian Tay Kim, Song Wan Kiauw sudah tahu, bahwa Cong piauw tauw itu bukan orang yang bisa mencelakakan Su-teenya. Begitu mendengar keterangan Thia Cui San, paras mukanya lantas saja berubah sabar dan dengan kata2 manis, ia segera bertanya kepada Tauw Tay Kim hal ihwal peristiwa itu.

Touw Tay Kim lantas saja menceritakan segala kejadian se-terang2nya. Pada akhirnya ia berkata dengan suara duka: "Song Tayhiap, aku benar2 tolol dan karena kebodohanku, Jie Samhiap mesti menderita begitu lebat. Kutahu bahwa aku berdoa besar sekali dan pantas mendapat hukuman mati. Nasib keluarga kami di Lim an juga belum tahu bagaimana jadinya."

Selagi muridnya bicara dengan tamu itu, Thia Sam Hong tidak mencampuri dan sambil mengempos semangat terus menempelkan telapak tangannya pada jalan darah Sincong dan Lengtay untuk memberi bawa panas kepada Jie Thay Giam, Tapi begitu lekas mendengar perkataan Tauw Tay Kim yang berakhir ia segera berkata: "Lian Cu, bersama Seng Kok sekarang juga kau harus berangkat ke Lim an untuk melindungi keluaga Long bun Piauw kiok"

"Suhu." kata Thio Cui San dengan suara penasaran. "Orang she Touw itu terlalu gila dan karena gara2nya, biarpun tidak disengaja Sam suko mesti menderita begitu hebat. Bahwa kita tidak membuat perhitungan dengannya, dia sudah untung besar. Perlu apa melindungi anak isteri dan keluarganya ?"

Sang guru tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala, sebagai tanda tidak setuju dengan pendapat si murid.

"Ngo tee," kata Song Wan Kiauw. "Mengapa pemandanganmu begitu sempit? Untuk siapa Tauw Cong piauw tauw datang kemari dengan melalui perjalanan ribuan li ?"

"Untuk mengantongi dua ribu tahil emas," jawabnya sambil tertawa dingin. Mendengar perkataan itu, muka Touw Tay Kim lantas saja berubah merah. Dalam hati kecilnya ia juga mengakui, bahwa kesudiannya untuk mengantar Jie Thay Giam memang sebab hadiah yang besar itu.

"Ngo tee!" bentak Song Wan Kiauw. "Jangan kau kurang ajar terhadap tamu kita ! Kau sudah terlalu capai pergilah mengaso."

Dalam kalangan Bu tong pay kedudukan seorang Suheng sangat diindahkan dan disegani. Baik dalam ilmu silat dan usia maupun dalam pribadi dan kemuliaan Song Wan Kiauw lebih menang setingkat daripada semua saudara seperguruannya. Maka itu dari Jie Lian Ciu sampai Boh Seng Kok, tak seorangpun yang tidak menghormatinya. Begitu dibentak Thio Cui San tidak berani mengeluarkan suara lagi, tapi ia terus berdiri disitu sebab sangat memikiri keadaan Jie Thay Giam.

"Jie tee," kata pula Song Wan Kiauw. "Menolong jiwa orang seperti menolong bahaya kebakaran. Sesudah Suhu mengeluarkan perintah, kurasa lebih baik kau berangkat malam ini juga ber-sama2 Cittee," Jie Lian Ciu dan Boh Seng Kok lantas saja meninggalkan ruangan itu untuk bebenah.

Melihat kedua pendekar itu ber-siap2 untuk pergi ke Lim-an guna melindungi keluarga Liong bun Piauw kiok bukan main rasa berterima kasihnya Touw Tay Kim. Tapi rasa terima kasih itu bercampur dengan rasa malu yang besar. "Thio Cinjin," katanya sambil memberi hormat kepada Thio Sam Hong dengan merangkapkan kedua tangannya. "Dalam urusan kami Boanpwee tidak berani merepotkan Jie hiap dan Boan hiap. Sekarang saja kami berpamit."

"Malam ini kalian menginap saja di tempat kami " kata Song Wan Kiauw, "Kami masih ingin menanyakan beberapa hal". Perkataan itu diucapkan dengan manis budi mengandung pengaruh besar yang sukar ditolak, sehingga tanpa membantah lagi Touw Tay Kim segera duduk dipinggiran. Beberapa saat kemudian Jie Liam Ciu dan Boh Seng Kok mengambil selamat berpisah dari gurunya dan sesudah mengawasi Jie Thay Giam beberapa kali, dengan perasaan tertindih mereka turun gunung untuk menjalankan perintah sang guru. Bahwa mereka merasa berat untuk meninggalkan saudara seperguruannya yang terluka berat, sangat bisa dimengerti, karena masih merupakan pertanyaan, apakah mereka akan bisa bertemu muka lagi.

Seluruh ruangan sunyi senyap dan apa yang terdengar, hanialah suara nafas Thio Sam Hong yang ter-sengal2. Diatas kepala guru besar itu kelihatan keluar semacan uap panas, sebagai tanda bahwa Thio Sam Hong tengah mengerahkan Lweekang yang sangat dahsyat. Berselang kira2 setengah jam, se-konyong2 Jie Thay Giam mengeluarkan teriakan menggeledek, sehingga ruangan itu se-olah2 tergetar.

Touw Tay Kim terkesiap dan tanpa merasa, ia melompat bangun dari kursinya. Ia melirik Thio Sam Hong dan dapat kenyataan, paras muka orang itu mengunjuk rasa jengkel atau rasa girang, sehingga sukar sekali ditebak apa artinya teriakan Jie Thay Giam itu.

"Siong Kee, Lie Heng, bawalah Samkomu kedalam kamar supaya ia bisa mengaso."

Sesudah menjalankan titah gurunya, mereka masuk lagi kedalam ruangan itu, "Suhu, apa ilmu silat Samko bisa pulih lagi seperti biasa?" tanya In Lie Heng.

Thio Sam Hong menghela napas panjang. Selang beberapa saat, barulah ia menjawab dengan suara perlahan: "Apakah jiwanya bisa tertolong, masih harus menunggu tempo sebulan. Urat2nya yang sudah rusak dan tulang2-nya yang patah, tak bisa disambung lagi. Selama hidupnya...." ia tak dapat meneruskan perkataannya dan hanya meng-geleng2kan kepalanya dengan paras berduka.

Mendengar jawaban itu, In Lie Heng tak bisa menahan lagi rasa sedihnya, ia lantas saja menangis tersedu2. Diantara saudara seperguruannya, biarpun sudah memiliki kepandaian sebagai ahli silat kelas utama, hatinya paling lembek dan mudah sekali menangis.

Melihat saudaranya menangis, Thio Cui San lantas meluap darahnya. Dengan sekali me lompat, tangannya melayang menggaplok muka Touw Tay Kim. Congpiauw tauw ini coba menangkis, tapi tangan Thio Cui San menyambar bagaikan kilat cepatnya dan pipinya sudah kena digampar. Kena belum puas, Cui San lalu mengirim tinju kepinggang Touw Tay Kim tapi untung sebelum mengenakan sasarannya, Thio Siong Kee keburu men dorong pundak saudaranya sehingga tinju itu jatuh di tempat kosong. Saat itu, Touw Tay Kim pun coba menolong diri dengan melomat kebelakang dan selagi ia melompat tiba2 terdengar suara "trang" sepotong emas jatuh dilantai dari sakunya.

Thio Cui San menjemput emas itu dan berkata dengan suara dingin "manusia serakah begitu lihat berkredepnya emas kau segera menyerahkan Jie Samko kepada orang...." Tiba2 perkataannya putus ditengah jalan disusul dengan seruan "ih".

"Toako" katanya sambil mengawasi potongan emas itu, "lihatlah tapak jari2 ini adalah akibat ilmu Kim kong cie dari Siauw lim pay"

Song Wan Kiauw meneliti potongan emas itu beberapa lama dan kemudian menyerah kan kepada sang guru yang lalu mengawasi dengan penuh perhatian dan membulak balik nya beberapa kali tapi tidak berkata apa2.

"Suhoa" teriak Thio Cui San "tak bisa salah lagi itulah ilmu Kim kong cie dari Siauw lim pay. Dalam dunia ini tiada lain partai yang memiliki ilmu begitu, Subu bukankah begitu?"

Pada saat itu didepan mata Thio Sam Hong kembali terbayang kejadian dimasa lampau. Ia ingat bagaimana diwaktu masih kecil ia melayani gurunya. Kak wan Tay Su yang bertugas dalam Cong keng kok, bagaimana mereka telah merobohkan Kun lun Sam sang, bagaimana mereka kabur dengan diuber oleh pendeta Siauw Him sie, dan bagaimanaia akhirnya menetap di gunung Bu tong san. Melihat tapak jarak pada potongan emas itu memang tak bisa dipungkir lagi itu semua adalah akibat perbuatan seorang Siauw lim sie. Ilmu silat Bu tong pay mengutamakan Lweekang dan tidak memperhatikan ilmu keras untuk bisa menghancurkan batu dan sebagainya. Dalam lain2 partai persilatan mempelajari ilmu Gwa kang (ilmu silat luar) terdapat tenaga telapak tangan, tenaga tinju, tenaga kaki dan sebagai nya yang hebat tapi tak satu partaipun yang memiliki tenaga jari tangan yang begitu dahsyat.
Maka itulah sesudah Thio Cui San menanya dua tiga kali ia masih juga belum memberi jawaban. Jika ia bicara terus muridnya tentu tak mau mengerti dan sebagai akibatnya dua partai besar dalam Rimba Persilatan akan saling bertempur.

Thio Cui San yang sangat cerdas lantas saja bisa menebak jalan pikiran gurunya. "See-hu", katanya pula. "Apakah dalam Rimba Persilatan bisa muncul seorang luar biasa, yang tanpa didikan guru, dapat memiliki ilmu Kim kong cie?"

Thio Sam Hong menggelengkan kepalanya. "Tak mungkin", jawabnya. "Kim-kongcie adalah hasil pengalaman, bukan ilmu yang bisa digubah dalam tempo pendek. Menurut pendapatku, seorang yang paling cerdas otaknya tak akan bisa memiliki Kim kong cie, tanpa pimpinan guru". Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Dulu, pada waktu berdiam dalam kuil Siauw lim sie, aku pun tak tahu, bagaimana jari tangan manusia bisa mempunyai kekuatan yang begitu luar biasa."

Sesaat itu pada kedua mata Song Wan Kiauw terlihat sorot yang luar biasa "suhu," katanya. Dilihat begini, urat dan tulang sam tee juga dihancurkan dengan ilmu Kimkong ci.

Mendengara perkataan sang Toako. InLie Hang menangis pula.

Dilain pihak, Touw Tay Kim mendengar pembicaraan antara guru dan murid itu dengan hati berdebar2. Beberapa kali ia sudah membuka mulut, tapi mulutnya tak dapat mengeluarkan suara. Akhirnya, sesudah menenteramkan hati, ia dapat juga berkata: "Tidak! Tak mungkin orang Siauw Lim-sie. Belasan tahun aku berdiam dalam kuil Siauw lim sie tapi belum pernah aku bertemu dengan orang itu."

Song Wan Kiauw mengawasi Cong piauwtauw itu dengan sorot mata bersangsi. "Liok tee, antarlah tamu2 kita keruangan belakang, supaya mereka bisa mengaso," katanya. "Bari tahukan Loo-ong supaya ia merawat baik2 semua tamu kita." In Lie Heng mengiakan dan lain mengajak Touw Tay Kim dan yang lain2 pergi kebagian belakang kelenteng itu.

Sesudah mengantarkan Piauw tauw dan pegawai Liong bun Piauw kiak kekamar tamu, In Lie Heng pergi kekamar Jie Thay Giam. Ia lihat kakak itu rebah dengan paras muka seperti mayat, sedang napasnya pun terdengar lemah sekali, "Samko!" serunya dengan suara menyayat hati dan kemudian sambil menekap muka dengan kedua tangan, Song Wan Kiauw dan lain2 saudara seperguruannya sedang duduk diseputar guru mereka, maka iapun segera mengambil tempat duduk disamping Thio Cui San.

Untuk beberapa lama dengan mata mendelong Thio Sam Hong mengawasi pohon kwie yang, tumbuh ditengah cemehe. Ia meng gelengkan kepala dan berkata dengan suara duka: "Urusan ini sulit sekali. Siong Kee, bagaimana pendapatmu?"

Diantara tujuh murid Bu tong. Thio Siong Keelah yang paling berakal budi. Jika Bu tong pay menghadapi soal2 sulit, ialah yang jadi juru pemikir dan biasanya ia selalu dapat memecahkan cengkeraman sukar. Tak usah dikatakan lagi, sedari pulangnya Thio Cui San dengan mendukung Jie Thay Giam yang luka berat, ia sudah mengasah orak untuk menembus kabut yang meliputi peristiwa itu. Mendengar pertanyaan gurunya, ia lantas saja menjawab: "Menurut pendapat teecu, bencana ini bukan bersumber pada Siauw lim-pay, tapi pada To liong to."

"Sie tee." kata Song Wan Kiauw. "Coba ceritakan pendapatmu se-terang2nya, supaya bisa dipertimbangkan Suhu."

"Jie Sam ko adalah seorang yang sangat berhati2 dan juga pandai bergaul, sehingga tak mungkin ia menanam bibit permusuhan secara semberono." kata Siong Kee. "Disamping itu, penjahat besar yang telah dibinasakan Sam ko hanya memiliki ilmu silat kelas tiga dan sangat dibenci oleh orang Rimba Persilatan. Maka itu, tak mungkin orang Siauw lim-pay turunkan tangan jahat untuk membela penjahat itu."

Thio Sam Hong manggut2kan kepalanya.

"Putusnya urat2 dan tulang2 Sam ko sudah terjadi ditengah jalan." katanya pula. "sebelum berangkat dari Lim an, Sam ko memang sudah kena racun yang sangat hebat, sehingga menurut teecu, jalan satu2nya bagi kita ialah pergi ke Lim an untuk menyelidiki, bagaimana Sam ko kena senjata beracun dan siapa yang melepaskan senjata itu."

"Benar," kata sang guru. "Racun yang masuk kedalam badan Thay Giam sangat luar biasa. Sampai sakarang, aku belum tahu, racun apa adanya itu. Pada telapak tangannya terdapat tujuh lubang kecil, seperti ditusuk jarum. Dalam dunia Kangouw, belum pernah kudengar senjata rahasia yang begitu aneh."

"Peristiwa ini memang aneh bukan main." kata Song Wan Kiauw. "Menurut pantas, seorang yang bisa melukakan Sam tee dengan senjata rahasia, mestinya seorang ahli silat dari kelas satu. Tapi, seorang ahli silat kelas satu biasanya sungkan menggunakan senjata rahasia keracun."

Semua bungkam. Seluruh ruangan sunyi senyap, sehingga suara nafas guru dan murid2 itu bisa terdengar nyata. Selang beberapa saat, kesunyian itu, dipecahkan oleh Thio Siong Kee "mengapa orang yang bertahi lalat itu menghancurkan tulang Sam ko?" tanyanya "jika ia sakit hati dengan sekali pukul saja ia bisa mengambil jiwa Sam ko. Kalau mau menyiksa mengapa ia tidak menghantam tulang punggung. Kurasa dipersakitinya Samko bertujuan untuk mengorek keterangan dari mulut Samko. Keterangan apa tentang To liong to? Bukankah Tauw Tay Kim memberi tahukan bahwa salah seorang diantara mereka telah menyebut To Liong to?"

"Perkataan Bu lim cie coat po to to liong, Ie thian poet coat sweeie ceng hong sudah tersiar beberapa ratus tahun" kata Song Wan Kiauw "apakah bisa jadi baru sekarang benar muncul sebilah To liong to?"

"Bukan beberapa ratus tahun", membantah sang guru, "perkataan itu baru tersiar pada kira2 tujuh puluh tahun berselang.Waktu aku masih muda dalam kalangan Kang ouw tidak pernah terdengar perkataan bagitu."

Sekonyong2 Thio Cui San bangun seraya berkata "apa yang dikatan Sie ko sedikitpun tak salah. Orang yang mencelakakan Sam ko mestinya berada didaerah Kanglam, marilah kita sama2 cari manusia itu. Akan tetapi orang Siauw lin pay yang sudah turunkan tangan begitu kejam juga tidak boleh dibiarkan begitu saja."

"Wan Kiauw bagaimana kita harus menghadapi urusan ini?" tanya Thio Sam Hong sambil menengok kepada muridnya. Selama berapa tahun yang paling akhir segala urusan besar dan kecil dalam Bu tong pay memang sudah di serahkan kepada murid itu oleh sang guru. Sebagai seorang yang pandai bekerja dan selalu bertindak dengan hati2, sebegitu jauh Wan Kiauw belum pernah mengecewakan pengharapan gurunya.

Mendengar pertanyaan itu ia lantas saja bangun berdiri dan segera menjawab dengan sikap hormat, "Suhu urusan ini bukan hanya urusan membalas sakit hati Sam tee, tapi juga bersangkut paut dengan keselamatan nama dan Bu tong pay. Kalau kita bertindak salah sedikit saja akibatnya bisa hebat sekali dan mungkin merupakan bencana besar bagi seluruh rimba Persilatan. Maka itu dalam urusan yang sangat besar ini tee cu memohon petunjuk dan keputusan Suhu sendiri."

"Baiklah", kata Thio Sam Hong "bersama Siauw Kee dan Lie Heng kau pergi kekuil Siauw lim sie dan menyerahkan suratku kepada Hong thio Hong hoat Sian su serta ceritakan juga se-terang2nya. Kau boleh tambah dengan permintaan supaya Hong-hoat Siansu suka memberi petunjuk2. Dalam urusan Siawlim pay menurut hematku, kita boleh tak usah mencampuri. Siauwlim pay adalah sebuah partai persilatan yang memegang keras segala peraturannya, sedang Hong hoat Siansu pun seorang yang sangat dihormati dalam Rimba per silatan. Maka itu, aku merasa pasti, bahwa soal yang mengenakan Siauw lim pay dapat di bereskan oleh mereka sendiri."

Ketiga murid itu lantas jaja mengiakan de ngan sikap menghormat.

"Kalau hanya untuk mengirim sepacuk surat Liok Sietee sendiri sudah lebih daripada cukup," pikir Thio Siong Kee. "Mengapa Suhu memerintahkan juga Toasuko dan aku sendiri untuk pergi bersama? Perintah ini pasti mempunyai maksud yang lebih dalam. Mungkin sekali Sunoe kuatir Siauw limpay akan rewel dan ingin supaya kita bertiga bisa bertindak dengan mengimbangi selatan,"

Sesaat kemudian benar saja sang guru berkata pula: "Perhubungan antara partai kita dan Siauw lira pay tidak begitu erat. Aku adalah seorang murid Siauw lim sie yang telah kabur dari tersebut. Mungkin sekali karena memandang usiaku yang sudah lanjut, mereka tidak menyatroni Butong san dan menyeretku kembali ke Siauw lim-sie. Tapi biar bagaimanapun jua, antara kedua partai masih mempunyai sangkut paut." Ia tertawa dan kemudian berkata pula. "Kalau sudah tiba di Siauw lim sie kau bertiga harus bersikap hormat terhadap Hong boat Hong thio. Tapi kamipun tak boleh bikin merosot derajatnya partai kita."

Ketiga murid itu manggut2kan kepala sebagai janji, bahwa mereka akan memperhatikan segala pesanan sang guru. Thio Sam Hong menengok kepada Thio Cui Sam dan berkata pula: "Cui San, besok kau berangkat ke Kanglam untuk menyelidiki urusan ini dan dalam segala hal kau harus mendengar perkataan Jie suko." Murid ia lantas saja membungkuk dan mengiakan

"Malam ini perjamuan dibatalkan saja," kata lagi Thio Sam Hoag. "Satu bulan kemudian kita berkumpul lagi disini. Andaikata Thay Giam tak bisa disembuhkan, kamu masih bisa bertemu lagi dengannya." Perkataan yang paling akhir diucapkan dengan suara gemetar. Di dalam hati orang itu sangat berduka. dan ia tak nyana bahwa sesudah mempunyai nama besar selama puluhan tahun, dalam usia sembilan puluh, salah seoreng muridnya yang tercinta mengalami bencana. In Lie Hong yang cetek air matanya lantas saja menangis dengan perlahan.

"Pergi tidurlah," kata sang guru seraya mengebas tangan jubahnya.

"Suhu," kata Song Wan Kiauw dengan suara menghibur. "Samsutee adalah seorang mulia yang selalu menolong sesama manusia. Orang kata manusia yang baik selalu dipayungi Tuhan Yang Maha Kuasa. Teecu percaya, Langit mempunyai Mata dan Samsutee pasti akan tertolong jiwanya...." berkata sampai di situ suaranya parau dan air matanya mengalir turun.

Demikian pendekar2 itu yang biasa menghadapi bahaya tanpa berkedip sekarang menangis ter-sedu2 karena rasa duka dan penasaran yang sangat hebat.

Diantara saudara2 seperguruannya Jie Tay Giam dan In Lie Henglah yang bergaul paling erat dengan Thio Cui San. Maka itu Thio Cui Sanlah yang paling bergusar dan kegusaran itu menyesak dalam dadanya sebab tak bisa dilampiaskan. Sesudah kurang lebih satu jam rebah diatas pembaringan dengan gelisah per-lahan-lahan ia bangun dan berjalan keluar dari kamarnya dengan niatan mencari Touw Tay Kim dan menghajar Cong piauw tauw itu untuk melampiaskan kemendongkolannya. Karena kuatir ia berlaku dengan hati-hati supaya tindakannya tidak didengar orang.

Waktu tiba di ruangan itu sambil menggendong kedua tangannya, orang yang bertubuh jangkung itu, bukan lain dari pada gurunya sendiri. Ia berdiri terpaku dibelakang satu tiang tanpa berani ber gerak. Ia tahu, bahwa jika sekarang ia kembali kekamarnya, gerak geriknya pasti diketahui sang guru. Kalau ia mengaku sejujurnya yaitu hendak menghajar Tauw Tay Kim, ia pasti bakal dapat teguran keras.


Beberapa saat kemudian, tiba2 Thio Sam Hong mengangkat tangan kanannya dan menulis huruf2 ditengah udara. Dengan memperhatikan gerak2an tangan itu, Cui San mendapat kenyataan, bahwa yang ditulis gurunya adalah dua huruf "Song loan" atau Kesedihan kekalutan. Sesudah mengulangi beberapa kali sang guru menulis dua huruf lain yaitu "To-tok" atau Penganiayaan hebat, diubrak abrik. Melihat begitu, Thio Cui San lantas saja tahu, bahwa gurunya sedang menulis "Song loan siap" dari Ong Hie Cie.

(Bersambung Jilid 6)


BU KIE
Karya : CHING YUNG
Terjemahan: Bu Beng Tjoe

Jilid 6

THIO CUI SAN mendapat gelaran Gin kauw Tiat hoa (Gaetan perak Coretan besi) karena tangan kirinya menggunakan Houw tauw kauw (Gaetan kepala harimau ) yang terbuat dari pada perak, sedang tangan kanannya bersenjatakan Poan koan pit (senjata yang menyerupai pena Tionghoa) yang terbuat daripada besi. Sebab kuatir ditertawai oleh kaum sasterawan, maka sesudah mahir dalam ilmu silat, ia lalu mempelajari juga ilmu surat di bawah pimpinan gurunya yang Bun bu coan cay (pandai ilmu surat dan ilmu silat). Song loan tiap itu pernah dipelajari olehnya pada dua tahun yang lain.

Sambil bersembunyi di belakang tiang, ia memperhatikan gerakan tangan gurunya yang menulis seperti berikut: "Hie Cie toen sioe, song loan cie kek, sian bok cay lie to tok, toei wie kouw seng. (Hie Cie memberi hormat. Kesedihan dan kekalutan melampaui batas, kuburan-kuburan leluhur diubrak abrik, kalau diingat sungguh hebat perasaan duka).

Lewat beberapa saat, Cui San dapat merasakan bahwa setiap coretan yang dibuat oleh gurunya mengandung kedukaan dan secara mendadak, ia berhasil menyelami perasaan Ong Hie Cie sendiri pada waktu ia menulis Song loan tiap itu.

Ong Hie Cie adalah seorang sasterawan besar pada jaman kerajaan Cin Timur. Di waktu itu, Tiongkok kacau balau dan bangsa asing menentang kekuasaannya. Dalam kesedihan dan kekalutan hebat (song loan), murid-murid Ong Hie Cie teleh melarikan diri ke Tiongkok Selatan. Bukan saja manusia, tapi kuburan-kuburan pun turut diubrak abrik, sehingga dapatlah dibayangkan, kedukaan dan kegusaran rakyat yang sangat menghormati kuburan leluhur mereka. Penderitaan yang hebat itu semua dilukiskan dalam Song loan tiap.

Diwaktu yang lampau, dalam keadaan yang selalu riang dan gembira, Thio Cui San tidak bisa memahami maksud yang sebenarnya arti 'tiap' itu. Tapi sekarang, karena ia sendiri tengah diliputi dengan kedukaan berhubung dengan terlukanya Jie Thay Giam maka secara mendadak ia dapat menyelami arti "Song loan? dan "To tok".

Sesudah menulis beberapa kali, Thio Sam Hong menghela napas panjang dan lalu masuk keruangan tengah, dimana ia termenung-menung beberapa lama. Tiba-tiba ia mengangkat pula tangan kanannya dan menulis huruf-huruf ditengah udara. Kali ini, huruf-huruf itu berbeda dengan huruf-huruf Song loan tiap. Huruf-huruf pertama adalah "Bu" (Persilatan), sedang yang kedua "Lim" Rimba. Ia menulis terus sampai duapuluh empat huruf.

Dengan mengawasi gerakan tangan sang guru, Thio Cui San tahu, bahwa yang ditulisnya ialah: "Bu lim cie cun, po to To liong hauw leng thian hee, boh kam poet ciong, Ie thian poet cut swee ie ceng hong."

"Apakah Suhu sedang coba memecahkan teka teki dalam kata itu", tanyanya di dalam hati. Thio Sam Hong menulis huruf-huruf itu berulang-ulang, semakin lama gerakan tangannya jadi semakin perlahan, setiap gerakan menyerupai gerakan silat. Mendadak saja, Thio Cui San tersadar. Ia sekarang mengerti, bahwa dengan menulis duapuluh empat huruf itu, sang guru sebenarnya tengah menjalankan serupa ilmu silat yang sangat tinggi, dalam mana setiap huruf berarti setiap pukulan.

Dalam duapuluh empat huruf itu, hurup "liong" (naga) dan huruf "hong" (tajam) yang paling banyak coretannya, sedang huruf "to" (golok) dan huruf "hee" (bawah) yang paling sedikit coretannya, Tapi, walaupun coretannya banyak, gerakannya tidak kelihatan berlebihan, sedang biarpun coretannya sedikit, gerakannya tidak kelihatan kekurangan. Setiap gerakan pukulan tepat dan mantep, indah dan lincah, angker bagaikan badai, bertenaga seperti tubrukan harimau, kokoh kuat seakan-akan tindakan gajah, cepat seolah-olah berkredepan kilat diangkasa. Dalam duapuluh empat huruf itu terdapat dua "poet" dan dua "thian" tapi, sesuai dengan artinya yang berbeda beda, jiwa dari pukulan pukulannya berbeda-beda.

Dalam tahun-tahun yang belakangan ini, jarang sekali Thio Sam Hong berlatih silat. Ilmu silat In Lie Heng dan Boh Seng Kok didapat dari Song Wan Kiauw dan Jie Lian Cu yang mewakili gurunya. Maka itu, biarpun Thio Cui San murid kelima, tapi sebenar-benarnya ia, adalah murid penutup, atau murid terakhir yang mendapat pelajaran dari Thio Sam Hong sendiri.

Malam itu guru dan murid mempunyai perasaan yang sama, berhubung dengan terjadinya peristiwa mendukakan itu. Mereka berduka sebab memikiri keselamatan Jie Thay Giam dan mendongkol karena adanya ancaman dari pihak yang belum di ketahui siapa adanya. Dalam jengkelnya, Thio Sam Hong sudah menulis huruf-huruf itu dan secara kebetulan, ia telah menciptakan semacam ilmu silat baru. Secara kebetulan, oleh karena, pada waktu baru menulis huruf-huruf itu, ia sedikit pun tak punya niatan untuk menggubah ilmu pukulan. Sementara itu, Thio Cui San yang kebetulan bersembunyi dibelakang tiang, telah melihat dipertunjukkannya ilmu silat tersebut, yang lantas saja dapat dipahami olehnya lantaran iapun sedang diliputi dengan perasaan duka. Demikianlah, secara sangat luar biasa, satu ilmu silat baru yang berdasarkan seni menulis huruf, telah tercipta dalam Rimba Persilatan.

Dua jam lamanya, sehingga rembulan naik tinggi, Thio Sam Hong berlari terus menerus. Beberapa lama kemudian, sambil bersiul nyaring, telapak tangan kanannya menyabet dari atas kebawah, bagaikan menyambernya sehelai sinar pedang. Sabetan yang dahsyatitu merupakan coretan terakhir dari huruf "hong".

Sehabis menyabet, ia dongak seraya berkata: "Cui San, bagaimana pendapatmu dengan Su hoat (seni menulis huruf indah) ini?"

Thio Cui San terkesiap. Ia tak nyana bahwa bersembunyinya telah diketahui oleh sang guru. Buru-buru ia manghampiri seraya menjawab: "Hari ini teecu mujur luar biasa, karena dapat melihat ilmu silat Suhu yang begitu tinggi. Apa boleh teecu panggil Toasuko dan yang lain-lain, supaya mereka pun bisa turut menyaksikan?"

Sang guru meoggelengkan kepalanya. "Kegembiraanku sudah habis, sehingga mungkin sekali aku tak bisa menulis lagi begitu bagus," katanya "Wan Kiauw, Siong Kee dan yang lain lain tidak mengerti Suhoat, sehingga meskipun melihat, belum tentu mereka bisa menarik banyak kefaedahan." Sehabis berkata begitu seraya mengebas tangan jubahnya, is berjalan masuk keruangan dalam.

Thio Cui San tidak berani tidur, sebab kuatir sesudah pulas, ia akan lupakan ilmu silat itu. Dengan lantas ia bersilat dan menjernihkan pikiran, sambil mengingat-ingat setiap coretan yang barusan dilihatnya, dengan tempo-tempo bangun berdiri dan menjalankan beberapa pukulan sulit. Entah berapa jam ia bersila disitu, tapi pada akhirnya dapatlah ia menghapal seluruh ilmu silat tersebut yang terdiri dari duapuluh empat huruf dengan seluruh lima belas perubahan-perubahannya.

Beberapa saat kemudian, ia melompat bangun dan lalu menjalankan semua pukulan itu. Sesudah beberapa jurus, pukulan pukulannya keluar dengan deras dan lancar bagaikan air tumpah, sedang tubuhnya enteng melompat kian kemari seperti seekor kera. Akhirnya, ia membuat coretan paling penghabisan dari huruf 'Hong' (tajam) dengan telapak tangan kanannya yang menyambar dari atas kebawah dan "bret!", ujung bajunya robek karena pukulan itu. Ia kaget tercampur girang. Tiba tiba saja, ia mendapat kenyataan, bahwa matahari sudah naik tinggi.

Sesudah menyusut keringat yang membasahi mukanya, ia segera berlari lari kekamar Jie Thay Giam, di mana sang guru sedang menempelkan kedua telapak tangannya pada dada saudara seperguruan itu sambil mengerahkan Lweekang untuk mengobati lukanya.

Perlahan-lahan supaya tidak mengganggu, ia berjalan keluar dari kamar itu. Ternyata Song Wan Kiauw, Thio Siong Kee dan In Lie Heng sudah berangkat. Sedang rombongan Liang bun Piauw kiok pun sudan turun gunung. Karena sungkan mengganggu latihannya, maka ketiga saudara seperguruan itu sudah pergi tanpa pamitan lagi.

Ia pun segera berkemas, membekal senjata dan beberapa puluh tahil perak, akan kemudian, pergi lagi ke kamar Jie Thay Giam. "Suhu, teecu mau berangkat sekarang" katanya. Sambil bersenyum, sang guru manggut manggutkan kepalanya.

Sehabis berkata begitu, Cui San mendekati pembaringan dan lihat muka Thay Giam yang berwarna kehitam hitaman karena pengaruh racun, sedang tanda tandanya bahwa kakak seperguruan itu masih bidup, hanya napasnya yang berjalan perlahan sekali. Bukan main rasa dukanya. "Samko," katanya dengan suara serak, "Biarpun badanku hancur lulur, aku pasti akan, membalas sakit hatimu". Ia menekuk lutut di hadapan gurunya dan kemudian sambil menekap muka dengan kedua tangannya, ia meninggalkan kamar itu.

Dengan menuggang Cengcong ma (kuda bulu hijau putih), ia turun dari Bu tong san. Sesudah melalui lima puluh li lebih, siang terganti dengan malam dan awan mendung meliputi langit. Baru saja ia masuk kedalam sebuah rumah penginapan. Hujan mulai turun. Semakin lama, hujan itu jadi semakin besar dan semalam suntuk turun tak henti hentinya. Pada keesokan paginya, awan gelap belum buyar dan hujan masih terus turun dengan tidak kurang hebatnya.

Karena ingin membalas sakit hati Sukonva secepat mungkin, ia tak mau membuang buang tempo. Ia segera membeli baju hujau dan tudung dari pemilik penginapan dan lalu meneruskan perjalanan. Untung juga Cengcong ma bukan sembarang kuda, sehingga dia dapat berlari terus dijalanan berlumpur sangat jelek.

Sesudah melewati Lao ho kouw, ia menyebrang sungai Han sui yang airnya banjir dan menerjang kealiran bawah dengan dahsyatnya. Cengcong ma dibedal terus melalui kota Siang yang dan Hoan soie. Ia dengar berita orang bahwa di aliran sebelah bawah Han sui, gili-gili bobol rakyat diserang air bah. Setibanya di Gie shia, ia mulai bertemu dengan rakyat yang melarikan diri dari serangani banjir dengan berbondong-bondong. Hujan masih turun terus dan penderitaan rakyat hebat bukan main.

Selagi mengaburkan tunggangannya, disebelah depan terlihat sejumlah penunggang kuda yang mengibarkan bendera piauw hang. Segera juga ia mengenali, bahwa mereka mereka itu adalah orang orang Liong bun piauw kiok. Ia lantas saja mencambuk Cengcong ma yang segera lari bagaikan terbang dan sesudah melewati rombongan itu, ia menahan les, memutar tunggangannva dan menghadang ditengah jalan.

Melihat Thio Cui San, Touw Tay Kim menanya dengan suara dingin: "Thio Ngo hiap, ada urusan apa kau mengubar kami?"

"Apakah Touw Cong piauw tauw lihat penderitaan rakyat yang kelanggar bencana banjir itu ?" ia balas menanya.

Touw Tay Kim tak duga ia bakal ditanya begitu.

"Apa?" menegasnya dengan terkejut.

Pemuda itu tertawa-dingin. "Aku ingin minta para dermawan mengeluarkan emas mereka untuk menolong rakyat yang bersengsara" jawabnya.

Paras Cong piauw tauw itu lantas saja berubah pucat. "Kami orang-orang piauw hang setiap hari hidup diujung senjata dan mencari makan dengan mempertaruhkan jiwa," katanya dengan suara gusar. "Mana kami mempunyai kekuatan untuk menolongg begitu banyak orang ?"

"Serahkan itu duaribu tahil emas yang berada dalam sakumu!" bentak Thio Cui San.

"ThioNgo hiap, apa kau mau mencari-cari urusan dengan aku?" tanya Touw Tay Kim seraya meraba gagang golok.

Ciok dan Su Piauw tauw lantas saja menghunus senjata mereka dan berdiri didekat pemimpinnya.

Dengan tetap bertangan kosong, Thio Cui San berkata sambil tertawa dingin: "Touw Cong piauw tauw, tanialah dirimu sendiri. Sesudah makan upah, apakah kau sudah menjalankan tugasmu? Hmn! Kau, masih ada muka untuk mengantongi duaribu tahil emas itu ?"

Muka Touw Tay Kim merah padam, karena malu dan gusar. "Bukankah kami sudah mengantar Jie Sam hiap sampai di Bu tong san ?" Ia membela diri. "Sebelum kami menerima tugas itu, ia memang sudah terluka berat. Sekarang pun ia masih belum mati."

"Jangan ngaco!" bentak Cui-San "Apa kaki tangan Jie Sam ko sudah patah-waktu ia berangkat dan Lim an?"

Touw Tay Kim tak dapat menjawab.

"Thio Ngo hiap." menyelak Su Piauw Tauw, "Apakah sebenarnya maksudmu. Katakan saja terang-terangan."

"Aku balas hancurkan tulang tulang tanganmu!" bentaknya sambil melompat dan menerjang. Su piauw tauw mengangkat toyanya untuk menangkis, tapi ia kalah cepat. Bagaikan kilat, Thio Cui San mengebas dan membabat dengan tangan kirinya dan toya itu terbang sedang Su Piauw tauw jatuh terpelanting dari tungganannya. Dalam serangan itu, Thio Cui San menggunakan huruf "thian" (langit) dari ilmu silat yang baru didapatinya.

Piauw tauw yang bisa lihat selatan, coba menyingkirkan diri, tapi sudah tidak keburu lagi. Karena tangan Cui San sudah menyapu pinggangnya dalam gerakan garis melintang dari huruf "thian" sehingga tanpa ampan lagi, tubuhnya bersama-sama sela kuda terpental setombak lebih dan jatuh terjengkang diatas tanah. Waktu diserang, kedua kaki piauw tauw, itu menginjak sanggurdi keras-keras, tapi sebab lawannya menghantam dengan Lwekang yang sangat hebat, maka tali ikatan perut kuda menjadi putus dan sela kuda turut terlempar.

melihat hebatnva serangan musuh, Touw Tay Kim mengeprak kudanya dan menerjang. Dengan sekali memutar badan. Cui San menghantam dengan pukulan huruf "hee" (bawah).

"Buk!" pukulan itu mengenakan tepat dipunggung Touw Tay Kim yang tubuhnya lantas saja ber goyang-goyang. Karena ilmunya banyak lebih tinggi daripada kawannya, maka ia tidak sampai roboh dari tungganannya. Baru saja ia melompat turun dari punggung kuda untuk mengadu jiwa, tiba tiba ia merasa tenggorokannya penuh dan "ugh!" ia muntahkan datah. Ia terhuyung beberapa tindak. Kakinya lemas roboh duduk diatas tanah. Tiga piauw su lainnya dan para pegawai piauw hang tentu saja tidak berani bergerak lagi.

Waktu baru bertemu dengan rombongan piauw hang itu, dengan kegusaran yang meluap luap Thio Ngo hiap betekad untuk mematahkan kaki tangan para piauw su itu. Tetapi sesudah melukakan tiga orang secara begitu mudah, malah seorang diantaranya mendapat luka berat, ia sedikitpun tidak menduga, bahwa ilmu silat yang baru dipelajarinya itu sedemikian hebat. Hatinya jadi lemas dan ia tak tega untuk turun tangan lebih jauh.

"Orang she Touw!" bentaknya, "Hari ini aku berlaku murah terhadapmu. Keluarkan dua ribu tahil emas itu untuk menolong rakyat yang kelanggar bencana alam. Aku akan menilik sepak terjangmu dari kejauhan dan jika setahil saja kau sembunyikan dalam kantong mu, aku akan basmi seluruh Liong bun Piauw kiok, aku akan binasakan kecil besar tujuh puluh dua jiwa, malah ayam dan anjing pun tak akan diberi ampun!"

Ia mengancam dengan menggunakan kata-kata dari orang yang memberikan dua ribu tahil emas sebagai upah untuk mengantar Jie Thay Giam ke Bu tong san.

Perlahan-lahan Tauw Tay Kim bangun berdiri, tapi ia merasa punggungnya sakit sangat dan begitu bergerak, ia kembali muntahkan darah. Su Piauw tauw yang hanya mendapat luka enteng, segera berkata dengan suara lemas "Thio Ngo hiap, emas itu berada di Lim an, sehingga tak dapat kami menolong orang-orang yang berada di sini"

Thio Cui San tertawa dingin. "Kau kira aku anak kecil?" tanyanya dengan nada mengejek, "Semua jago Liong bun Piauw kiok keluar dari sarangnya dan Lim an hanya ketinggalan keluarga kamu yang tak bisa melindungi harta itu. Emas itu sudah pasti berada disini!" Sambil berkata begitu, ia menyapu rombongan piauw hang dengan matanya. Mendadak ia menghampiri sebuah kereta dan menghantam dengan telapak tangannya, "Brak!" kereta hancur dan belasan potongan emas jatuh berhamburan di tanah.

Semua orang pucat mukanya. Mereka tidak mengerti, bagaimana pemuda itu tahu tempat menyimpan emas. Ternyata, biarpun masih berusia muda, Thio Ngo hiap berotak cerdas, bermata awas dan berpengalaman luas. Melihat tanda lumpur diroda kereta yang mengunjuk bahwa roda-roda tersebut amblas lebih dalam dari pada kereta-kereta lainnya dan melihat bagaimana sesudah ia menghajar Touw Tay Kim, sebaliknya dari pada menolong pemimpin itu, tiga piauw su buru-buru mendekati kereta tersebut, maka ia segera menarik kesimpulan, bahwa kereta itu, yang muatnya diisi dengan muatan sangat berharga. Ia mengawasi potongan-potongan emas itu sambil tertawa dingin dan kemudian tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi ia melompat kepunggung Kuda yang terus di kaburkan.

Sembari jalan hatinya senang sekali. Ia menduga pasti, bahwa demi keselamatan keluaga mereka, piauwsu-piauwsu itu tak akan berani membantah perintahnya. Perasaan senang itu sebagian besar disebabkan oleh kenyataan, bahwa ilmu silat yang berdasarkan dua puluh empat huruf yang baru di dapatnya, bukan main lihaynya.

Dengan melawan hujan, beberapa hari ia membedal kudanya terus menerus. Meskipun binatang itu binatang luar bias, tenaganya ada batasnya.

Demikianlah, waktu tiba didaerah propinsi Kang say, mulut kudanya mengeluarkan busa putih dan badannya panas, Cui San menyesal bukan main, karena ia sangat sayang tunggangannya itu. Ia segera berhenti disebuah rumah penginapan, memberi obat kepada kudanya dan selang beberapa hari, barulah panasnya turun. Sesudah binatang itu sembuh, ia meneruskan perjalanan dengan perlahan-lahan dan pada tanggal Sie gwee Sha cap (Bulan Empat tanggal 30) barulah ia masuk kedalam kota Lim an.

Sesudah dapat kamar disebuah hotel, ia segera menimbang-nimbang tindakan apa yang akan diambilnya. "Karena kudaku sakit, aku sangat terlambat," pikirnya. "Apa rombongan Liongbun Piauw kiok sudah pulang? Dimana adanya Jieoko dan Citee? Biarlah malam ini aku menyelidiki digedung piauw kiok itu."

Sesudah makan malam, ia segera mencari tahu letaknya gedung Liong bun Piauw kiok dari pelayan-pelayan hotel yang memberitahu bahwa gedung itu berdiri dipinggir telaga See Ouw. Kemudian ia pergi kepusat toko-toko dan membeli seperangkat pakaian baru dengan kopiah sasterawan serta sebuah kipas Hang ciu yang tersohor. Ia kembali kehotel, mandi, menyisir rambut dan lalu menukar pakaian. Waktu berdiri didepan kaca dan memandang bayangannya sendiri, ia tertawa gali. Bayangan itu adalah bayangan seorang Kongcu sasterawan dan bukan seorang Hiapsu (pendekar) yang namanya menggetarkan Rimba Persilatan.

Dengan bersenyum senyum, ia meminjam alat tulis dari pengurus hotel untuk menulis syair dikipasnya. Secara wajar, apa yang ditulisnya adalah itu dua puluh empat huruf "Ie thian to liong". Ia merasa heran sebab setiap coretan yang turun diatas kipas banyak lebih bertenaga dan indah daripada biasanya. "Sesudah mempelajari silat itu, Su hoatku juga dapat banyak kemajuan," pikirnya.

Pada waktu itu kerajaan Song sudah roboh dan seluruh Tiongkok berada di bawah kekuasaan dinasti Goan. Karena Lim an adalah bekas ibukota Lam song (Song Selatan), bangsa Mongol telah membuat penjagaan lebih kuat dikota itu daripada dilain lain kota. Mereka memerintah dengan tangan besi, sehingga dalam kekuatannya, banyak penduduk bearpindah kelain tempat. Maka itulah, disepanjang jalan Thio Cui San bertemu dengan banyak rumah yang rusak karena akibat perang dan yang kosong sebab ditinggalkan penghuninya. Kota yang sepi itu memperlihatkan pemandangan menyedihkan, tidak tertampak pula keramaian serta kemakmuran dari Lim an yang dulu, yang merupakan salah sebuah kota tersohor dari Kanglam yang indah permai.

Cuaca masih belum gelap, tapi banyak rumah sudah pada menutup pintu dan di jalanan jarang sekali terlihat rakyat jelata. Apa yang ditemukan Cui San hanialah serdadu-serdadu Mongol yang meronda dengan menunggang kuda. Sebab tak ingin banyak urusan, sedapat mungkin ia menyingkirkan diri dari peronda-peronda itu.

Dulu, di waktu malam, apapula pada malam malam terang bulan, telaga See ouw bukan main ramainya dan seluruh telaga seolah-olah ditabur dangan lampu-lampu perahu pelesir. Tapi sekarang, ketika ia tiba di Pak tee dan memandang ketempat jauh, telaga itu diliputi dengan kegelapan yang menyeramkan dan diatas air tak terdapat sebuah perahupun. Ia menghela napas berulang-ulang dan sesuai dengan petunjuk pelayan hotel, ia lalu berjalan menuju kegedung Liong bun Piauw kiok.

Gedung itu sangat besar dan berhadapan dengan telaga See ouw sedang dua singa-singaan batu di depan pintu sangat menambah keangkerannya. Perlahan-lahan Thio Cui San mendekati.

Tiba-tiba, ia melihat sebuah perahu pelesir ditepi telaga depan gedung itu. Dalam perahu dipasang dua tengloleng sutera dan dibawah penerangan itu kelihatan duduk seorang lelaki yang sedang minum arak seorang diri. "Enak betul minum arak diatas air," katanya dalam hati sambil menghampiri pintu. Teng besar yang tergantung didepan gedung tidak dipasangi lilin, sedang pintunya yang dicat merah tua tertutup rapat. Penghuni gedung itu rupanya sudah pada tidur. "Sebulan yang lalu Samko masuk ke pintu ini," pikirnya dengan rada duka. Mendadak ia terkejut, karena di belakang nya terdengar hela napas yang panjang.

Ditengah malam yang sunyi, hela napas itu kedengarannya menyeramkan dan menyayat hati. Dengan cepat ia memutar badan, tapi ia tidak lihat bayangan satu manusiapun. Kecuali orang yang sedang minum arak data in perahu, di sekitar itu tidak terdapat lain manusia. Dengan perasaan heran, ia mengawasi orang itu, yang mengenakan tiungsha (jubah panjang) warna hijau dan memakai topi empat persegi, yaitu dandanan seorang sasterawan seperti ia sendiri. Ia tak dapat melihat tegas muka orang itu, tapi dipandang dari samping dengan bantuan sinar tengloleng, kelihatannya pucat pasi. Orang itu duduk termenung-menung dengan tidak bergerak dan gerakan satu-satunya hanialah berkibatnya tangan jubah karena tiupan angin.

Sesudah mengawasi beberapa lama, ia memutar badan lagi dan mencekal cincin tembaga yang menempel dipintu dan lalu mengetuk-ngetuknya beberapa kali. Sebenarnya ia ingin masuk dengan melompat tembok, tapi sesudah melihat orang di perahu itu, ia merasa jengah sendiri. Suara ketukan itu terdengar nyaring sekali dan sehabis mengetuk, ia menempelkan kupingnya didaun pintu, tapi di dalam sunyi-sunyi saja tidak terdengar suara manusia yang menghampiri pintu.

Dengan heran, ia mendorong sedikit dan pintu itu terbuka. Lantas saja ia bertindak masuk seraya berseru: "Apa Touw Cong piauw tauw ada dirumah ?"

Ia berjalan terus keruangan tengah yang gelap gelita. Mendadak terdengar suara "truk!" pintu tertutup keras seperti di tiup angin.

Ia kaget, lalu melompat keluar dari ruangan itu dan menghampiri pintu. Ia terperanjat karena pintu itu sudah dikunci orang. Tapi sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, nyalinya sangat besar. Sambil tertawa dingin, ia masuk pula ke ruangan tengah.

Baru saja masuk beberapa tindak, tiba-tiba ia merasakan sambaran angin tajam dari depan belakang, kiri dan kanan. Dengan sekali melompat, ia kelit serangan keempat pembokong itu. Dalam kegelapan ia lihat berkelebatnya sinar-sinar putih, sebagai tanda, bahwa penyerang-penyerang menggunakan senjata golok. Cepat seperti kilat, ia meloncat kesebelah barat dan telapak tangan kanannya membabat salah seorang dari kanan kiri. "Ptak!" tangannya mengenakan jitu jalanan darah Tay yang hiat orang itu yang lantas saja roboh terguling. Hampir berbareng, telapak tangan kirinya menyabet dari kanan atas kiri bawah dan mampir tepat dipinggang seorang musuh lainnya yang juga ambruk dilantani. Dua pukulan itu merupakan satu garis melintang dan satu coretan miring dari huruf "poet" (tidak). Sesudah berhasil merobohkan dua musuh, ia mengirim pukulan lurus dari atas kebawah dan satu totokan yaitu coretan lurus dan sebuah titik dari hurup "poet" dan dua penyerang lainnya terjungkal di lantai.

Demikianlah, dengan empat pukulan yang merupakan tiga coretan dan sebuah titik huruf "poet", ia berhasil menjatuhkan empat pembokong itu.

Karena tak tahu siapa empat penyerang itu, Thio Cui San sunkan berlaku kejam, dan hanya menggunakan tiga bagian tenaganya. Orang keempat yang "ditotok" olehnya, terhuyung beberapa tindak dan badannya menubruk sebuah kursi yang lantas saja menjadi hancur "Binatang! Sungguh kejam kau!" cacinya: "Kalau kau benar2 laki-laki, beritahukan namamu,"

"Jika aku berlaku kejam, jiwamu sudah melayang" katanya sambil tertawa. "Aku adalah Thio Cui San dari Bu tong san."

Orang itu mengeluarkan seruan kaget. "Apa.... benar kau Gin kauw Tiat hoa Thio Cui San?" tanyanya dengan suara tidak percaya.

Sambil bersenyum, Thio Ngo hiap meraba pinggangnya dan di lain saat, tangan kirinya sudah mencekal gaetan Houw tauw kauw yang terbuat dari pada perak, sedang tangan kanannya memegang Poan koan pit besi. Dengan sekali membenturkan kedua senjata, lelatu api muncrat disertai dengan suara yang sangat nyaring.

Dengan bantuan sinar lelatu api, Thio Cui San mendapat lihat, bahwa keempat penyerang itu mengenakan jubah pertapaan hweshio yang warnanya kuning. Dua di antaranya, yang mukanya kebetulan berhadapan dengannya, mengawasi dengan sorot mata gusar dan membenci.

Bukan main herannya Ngo hiap. "Siapa Tay-su?" tanyanya.

"Sakit hati yang dalam seperti lautan, tak bisa dibalas hari ini!" teriak satu diantaranya. "Ayo berangkat!" Hampir bareng dengan teriakan itu, mereka melompat bangun dan lalu berjalan keluar. Salah seorang yang rupanya terluka berat, sempoyongan dan roboh dilantai. Dua kawannya lantas memberi pertolongan dan mereka berlalu tanpa menengok lagi. "Su wie tahan dulu!" teriak Cui San. "Sakit hati apa ?" Tapi keempat pendeta itu tidak meladeni dan jalan terus.

Thio Cui San bingung campur heran. Untuk beberapa saat ia berdiri bengong sambil mengasah otak, tapi tak berhasil memecahkan teka teki itu.

Mengapa dalam gedung Liong bun Piauw kiok bersembunyi empat orang Hweeshio? Mengapa mereka lantas menyerang secara membabi buta? Mengapa mereka mengatakan sakit hati yang dalam seperti lautan? "Untuk menjawab pertahyaan-pertanyaan itu, jalan satu-satunya adalah menanyakan orang-orang Liong bun Piauw kiok," pikirnya.

Memikir begitu, ia lantas saja berteriak: "Apa Touw Cong piauw tauw berada di rumah? Apa Cong piauw tauw ada?" Tapi sesudah berteriak berulang-ulang, ia tetap tak dapati jawaban. "Tak bisa jadi manusia tidur seperti bangkai." katanya daiam hati. "Apa mereka mabur ketakutan?" Ia terus mengeluarkan bahan api yang lalu dinyala kan, sehingga ruangan yang gelap gelita itu lantas menjadi terang. Ia menghampiri sebuah ciak tay (tempat menancap lilin) yang berdiri di atas meja teh dan menyulut lilinnya. Sesudah itu, dengan berwaspada, sambil membawa ciaktay, ia berjalan ke ruangan belakang.

Barusan belasan tindak, tiba tiba ia lihat tubuh seorang wanita yang rebah di lantai seperti sedang tidur. "Toacie, mengapa kau tidur di situ?" tegurnya. Wanita itu tidak menjawab dan tidak berqerak. Dengan tangan kiri ia medorong pundak wanita itu, sedang tangan kanannya yang mencekel ciaktay menyuluhi muka orang. Tiba-tiba saja, ia terkesiap.

Wanita itu sedang tertawa, tapi otot-ototnya kaku! Dia sudah mati lama juga. Perlahan-lahan ia melempangkan pinggangnya dan lagi-lagi ia terperanjat, sebab di depan tiang disebelah kiri kelihatan menggeletak sesosok tubuh lain. Ia menghampiri dan memeriksanya. Ternyata orang itu seorang kakek yang berdandan sebagai pelayan, juga sudah mati dengan muka tertawa!

Dengan jantung berdebar-debar, Thio Cui San meraba pinggang dan kemudian, dengan tangan kiri mencekel gaetan dan tangan kanan mengangkat ciaktay tinggi-tinggi, ia bertindak maju setindak demi setindak. Dengan rasa kaget dan heran yang sukar dilukiskan, apa yang ditemukannya adalah puluhan mayat-mayat, yang menggeletak di sana sini! Di seluruh gedung Liong bun Piauw kiok yang besar dan luas itu, tak terdapat lagi manusia hidup.

Thio Cui San adalah seorang pendekar kenamaan dalam Rimba Persilatan yang sudah kenyang mengalami kejadian-kejadian hebat. Tapi kali ini, melihat kekejaman manusia yang sudah membasmi sesama manusia, ia menggigil. Bayangannya ditembok kelihatan bergoyang-goyang, karena tangannya yang mencekel ciaktay bergemetaran.

Mendadak ia ingat ancaman itu orang yang telah memberi upah kepada Liong bun Piauw kiok untuk mengantarkan kakak seperguruannya ke Bu tong san.
Sekarang benar-benar seisi-Piauwkiok telah dibasmi. Apakah kekejaman itu sudah dilakukan sebab piauwkiok tersebut sudah gagal dalam menunaikan tugasnya? "Orang itu turunkan tangan kejam karena Jie Samko sehingga menurut pantas dia mestinya sahabat Samko", katanya di dalam hati. "Orang itu berkepandaian banyak lebih tinggi daripada Touw Tay Kim. Sesudah mengetahui, mengapa bukan ia sendiri yang mengantar Samko? Kakak adalah seorang pendekar mulia yang membenci setiap kejahatan. Apa mungkin ia bersahabat dengan manusia yang begitu kejam?"

Dangan rasa heran yang semakin lama jadi semakin besar, ia bertindak keluar dari ruangan sebelah barat. Dengan pertolongan sinar lilin, ia lihat dua orang pendeta yang mengenakan jubah warna kuning sedang bersender ditembok dan mengawasi padanya dengam paras muka tertawa. Ia mendekati dan membentak: "Perlu apa Jie wie datang disini?" Tapi mereka tidak menyahut dan juga tidak bergerak.

Mayat!

Pada tubuh kedua mayat itu tidak terdapat luka apapun juga, hanya dada jalanan darah Siauw yauw hiat (jalan darah yang membangkitkan tertawa) terdapat total merah. Ia manggut manggutkan kepala dan mengerti, bahwa paras muka tertawa dari mayat-mayat itu adalah akibat totokan pada jalanan darah tersebut.
Mendadak, ia terkesiap karena ingat sesuatu. "Celaka!" Ia mengeluh, "Sakit hati yang dalam seperti lautan ..."Ia teringat cacian salah seorang dari empat hweeshio yang telah menyerang dirinya. Ia merasa bahwa semua tuduhan bakal ditumpuk diatas pundaknya. Siapa keempat pendeta itu? Dilihat dari pukulan pukulannya, mereka adalah ahli-ahli ilmu silat Siauw limpay. Touw Tay Kim seorang Siauw lim sehingga mungkin sekali mereka berada disitu atas undangan Cong piauw tauw tersebut. "Tapi dimana adanya Jie Jieko dan Boh Cit tee?" tanyanya di dalam hati. "Mereka diperintah Suhu untuk melindungi keluarga Liong bun Piauw kiok. Apa bisa jadi, dengan memiliki kepandaian sangat tinggi mereka telah dirobohkan orang?"

Semakin dipikir, teka teki itu jadi semakin sulit. "Dengan pulangnya keempat hweesio Siauw lim pay pasti akan menaruh kecurigaan atas diriku," katanya di dalam hati. "Tapi, biar bagaimanapun juga urusan ini akan menjadi terang. Satu waktu, kita pasti akan tahu siapa adanya manusia kejam itu. Siauw lim dan Butong harus bekerja sama untuk mencari manusia itu. Yang paling penting adalah cari Jie-ko dan Cit-tee." Memikir begitu ia segera meniup lilin dan keluar dari gedung tersebut dengan melompati tembok.

Tapi pada sebelum kedua kakinya hinggap diatas bumi diluar tembok, tiba tiba ia merasakan kesiuran angin yang menyambar pinggangnya, disusul dengan bentakan: "Thio Cui San, Roboh kau!"

Pula saat itu, badannya masih berada ditengah udara, sehingga ia tak dapat berkelit lagi. Dalam bahaya, Thio Ngo hiap tak jadi bingung, secepat arus kilat, tangan kirinya menekan senjata musuh dan dengan meminjam tenaga, badannya melesat keatas lagi dan kedua kakinya hinggap diatas tembok.

Hampir berbareng dengan hinggapnya diatas tembok, kedua tangannya sudah mencekal kedua senjatanya.

Melihat lihaynya pemuda itu, sipenyerangpun kaget dan kagum, karena ia mengeluarkan seruan tertahan dan berkata: "Bocah ! Kau sungguh lihay !"

Dengan tangan kiri mencekal gaetan dan tangan kanan memegang Poan koan pit, Cui San melintangkan senjata itu di depan dadanya, kepala gaetan dan ujung pit menunduk kebawah. Itulah gerakan Kiong leng kauw hui (Dengan hormat menerima pelajaran) yang digunakan dalam Rimba persilatan. Jika seorang yang tingkatannya lebih rendah berhadapan dengan orang yang lebih tinggi, sebagai seorang kesatria, walaupun hatinya mendongkol, Cui San tetap sungkan melanggar adat istiadat.

Ia menunduk dan melihat dua pendeta yang mengenakan jubah pertapaan warna merah dengan sulaman benang emas berdiri berendeng dibawah dengan masing-masing mencekal Sian thung (toya yang mengeluarkan sinar emas).

Melihat jubah pertapaan itu, Cui San terkejut. "Apakah mereka anggauta Siauw Lim Cap peh Lo han yang tersohor?" tanyanya di dalam hati. (Siauw lim Cap peh lohan = Delapan belas Lohan dari Siauwlim sie).

Dengan San thungnya, pendeta yang disebelah kiri menubruk batu hijau, sehingga mengeluarkan suara yang sangat nyaring. "Thio Cui San!" bentaknya "Bu tong Cit hiap mempunyai nama yang cukup baik. Tapi mengapa begitu kejam?"

Mendengar pendeta itu tidak menggunakan panggilan "Thio Ngo hiap atau Thio ngoya, Cui San jadi mendongkol. Diantara Butong Cit Hiap, biarpun gerak geriknya sopan dan paras mukanya halus, dialah yang berada paling tinggi. Dalam kedongkolannya, ia segera menyahut dengan suara dingin: "Tanpa menanyakan lebih dulu siapa yang salah, siapa yang benar, dengan bersembunyi dikaki tembok, Tay su sudah membokong aku. Apakah perbuatan itu perbuatan seorang gagah? Kudengar ilmu silat Siauw Lim menggetarkan seluruh dunia, tapi aku tak nyana di antara orang Siauwlim ada juga yang pandai membokong."

Bukan main gusarnya hweeshio itu. Dengan sekali menggenjot tubuh, ia melesat ke atas tembok, sedangkan kedua kakinya belum hinggap ditembok, toyanya sudah menyambar. Dengan cepat Cui San mangangkat Hauw tauw kauw untuk menahan sambaran Sian thung dan dengan berbareng Poan koan pit nya menotok senjata lawan, "Trang!" ujung Poan koan pit membentur Sian thung dengan dahsyatnya. Kedua tangan pendeta itu tergetar dan tubuhnya melayang kebawah lagi, tapi kedua lengan Cui San juga kesemutan sehingga ia jadi kaget. Ia mengerti bahwa kini ia berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi dan jika mereka berdua mengrubuti, ia mungkin tak mampu membela diri.
"Siapa Jie wi?" bentaknya.

"Pinceng adalah Goan im" jawab pendeta yang berdiri disebelah kanan "Yang ini adalah Suteku Goan giap."
More aboutCerita Super Sex : To Liong To 6