Cerita Silat : Pedang Kiri Pedang Kanan 5 Tamat

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 07 Agustus 2012

Description: Cerita Silat : Pedang Kiri Pedang Kanan 5 Tamat Rating: 4.5 Reviewer: Unknown - ItemReviewed: Cerita Silat : Pedang Kiri Pedang Kanan 5 TamatCerita Silat : Pedang Kiri Pedang Kanan 5 Tamat-Cerita Silat : Pedang Kiri Pedang Kanan 5 Tamat-Cerita Silat : Pedang Kiri Pedang Kanan 5 Tamat

Ciamtay Cu-ih tertawa, jawabnya: "Di dunia ini penuh
perempuan cantik, mati satu masih ada seribu, kenapa mesti
dipikir? Ayolah, silakan duduk, marilah kita sembari makan
sambil bicara. Habis bicara, kujamin akan mengganti rugi
adik Leng itu dengan sepuluh gadis yang lebih cantik."
Peng-say menengadah dan tergelak, teriaknya, "Bangsat
tua, membunuh orang harus mengganti nyawa. Sekarang
juga kuhendak ambil kepalamu!"
"Boleh saja, silakan, silakan duduk dulu, segala urusan
boleh dibicarakan lagi nanti," ujar Ciamtay Cu-ih.
"Tapi sekarang juga hendak kuambil kepalamu!" bentak
Peng-say sambil mengacungkan pedangnya.
"Apakah kau tidak sudi makan minum dulu bersamaku?"
tanya Ciamtay Cu-ih,
"Aku tidak berminat!" jawab Peng-say ketus
"Lalu apakah berminat mendengarkan ceritaku cara
bagaimana kutahu Sau Ceng-hong adalah ayah-mu?"
Hal ini memang sangat ingin diketahuinya, maka Pengsay
bertanya: "Siapa yang memberitahukannya padamu?"
"Seorang perempuan!" jawab Ciamtay Cu-ih dengan
lagak misterius.
"Perempuan she Soat?" Peng-say menegas dengan agak
tegang.
"Apakah Soat Koh yang kau maksudkan?" tanya
Ciamtay Cu-ih
Tangan Peng-say sudah basah keringat dingin, dengan
tersendat ia bertanya: "Di..... di mana dia sekarang?"
"Dari mana kutahu?" jawab Ciamtay Cu-ih dengan
mendelik. "Sampai saat ini belum lagi kutemui dia untuk
menuntut balas sakit hati anakku yang dibunuhnya itu."
Diam2 Peng-say menghela napas lega, tanyanya
kemudian dengan heran: "Habis siapa yang
memberitahukan padamu kalau bukan Soat Koh?"
"Duduk, ayolah duduk dulu, sembari makan sambil
mengobrol, kalau berminat boleh ikut makan jika takut
keracunan boleh tidak makan, setelah makan kenyang dan
puas mengobrol barulah kita berkelahi dengan baik2, bila
mampu boleh kau ambil kepalaku ini."
"Baik, akan kutunggu kau," kata Peng-say sembari
berduduk dikursi kosong itu.
Melihat anak muda itu sudah berduduk, dengan tertawa
barulah Ciamtay Cu-ih berkata: "Nah begini barulah enak.
Kau muncul lagi di dunia Kangouw, tentunya Siang-liukiam-
hoat sudah lengkap kau pelajari? Bicara terus terang,
Siang-liu-kiam-hoat itu memang tak dapat kutandingi, kalau
tekadmu sudah bulat hendak membalaskan sakit hati adik
Leng-mu, rasanya aku pun tidak sanggup melawan kau,
Harap kau beri kesempatan padaku agar makan kenyang
lebih dulu, andaikan sebentar lagi aku harus mati di
tanganmu, di akhirat nanti akupun tidak akan menjadi
setan kelaparan."
"Boleh kau makan sekenyangmu," jengek Peng-say.
"Kapan kau selesai makan, saat itu pula kita mengadu
nyawa."
Segera Ciamtay Cu-ih mengangkat sumpit didepannya,
tangan yang lain menunjuk santapan yang tersedia di atas
meja, katanya: "Ayolah silakan makan, jangan sungkan2."
"Hm, aku tidak makan barang musuh!" jengek Peng-say
ketus.
"Tampaknya kemenangan sudah pasti berada di
tanganmu sehingga boleh kau tidak makan, tapi aku adalah
tuan rumahnya, sopan santun tidak boleh dikesampingkan.
mau makan atau tidak terserah padamu. yang penting
kewajiban sebagai tuan rumah sudah kulaksanakan," habis
itu mendadak ia bertepuk tangan sambil memanggil:
"Ayolah kemari. tuangkan arak bagi Sau-kongcu!"
Terdengar suara gemerincing sebangsa perhiasan gelang
dan lain2 serta suara langkah kaki yang pelahan sedang
mendatang.
Dengan suara tertahan Ciamtay Cu-ih berbisik kepada
Peng-say: "Aku baru saja membeli dua selir cantik, kukuatir
aku tidak sanggup satu lawan dua, jika sekiranya adik
merasa cocok, boleh silakan kau ambil-alih mereka. Kan
sudah kunodai Piaumoaymu, jadi tidak perlu kita hitung
untung ruginya. Haha, mungkin ini namanya timbal balik.
Sayang isteri kawinku sudah meninggal, kalau tidak-bila
kau ambil-alih sekalian barulah asooi!"
Habis berkata ia menengadah dan ter-bahak2.
"Binatang!" damperat Peng-say.
Ciamtay Cu-ih tidak menghiraukan, katanya pula: "Tapi
umpama isteri kawinku itu masih hidup saat ini tentunya
juga sudah tante2, kukira juga tidak Cocok dengan selera
anak muda seperti kau ini. Justeru kedua selirku yang baru
ini, kutanggung kau akan suka salah satu di antaranya."
Tengah bicara, terendus bau harum menusuk hidung,
suara seorang perempuan berkata: "Loya-Ho-hoa akan
melayanimu!" — Dari suaranya yang genit dan di-bikin2
itu, jelas seorang perempuan yang jalang.
Ciamtay Cu-ih memberi tanda dan berkata: ''Kau
melayani Sau-kongcu saja, biar Sisi yang menuangkan arak
bagiku."
Perempuan itu mendekati Peng-say dan tertawa,
katanya: "Kongcu, hamba menuangi arak bagimu!"
Namun Peng-say duduk diam saja, matanya memandang
hidung, hidung menghadap ulu hati, seperti orang
bersemadi. Kedatangan perempuan itu sama sekali tak
dipandangnya. Namun bau harum yang menyebar dari
tubuh orang mau-tak-mau terendus juga olehnya. ia
berkerut kening.
Perempuan itu masih tidak tahu diri, diangkatnya poci
arak dan menempelkan tubuhnya, seperti tidak sengaja ia
gosok2kan dadanya di bahu Peng-say.
Anak muda itu menjadi gusar, bentaknya tertahan:
"Hendaklah kau tahu diri! "
Mungkin terkejut, "brak", poci arak antik yang
dipegangnya itu jatuh dan pecah berantakan.
"Ho-hoa," jengek Ciamtay Cu-ih, "menuang arak saja
tidak becus, untuk apa kedua tanganmu itu?"
Dengan ketakutan Ho-hoa lantas berlutut, katanya
dengan suara gemetar: "Hamba kurang.....kurang hati2,
mohon......mohon ampun. Loya!"
Tapi Ciamtay Cu-ih tidak menggubrisnya, hanya berulang2
mendengus.
Ho-hoa mengalihkan permohonannya kepada Peng-say:
"Tolong Kongcu, tolong jiwaku, Kongcu.."
Peng-say ingin tahu sandiwara apa yang akan mereka
mainkan, maka ia tidak menggubris, melirik saja tidak.
Ho-hoa mengesot ke samping kaki Peng-say terus
menyembah ber-ulang2 sambil memohon: "Sudilah Kongcu
memintakan ampun bagiku, kalau,..-..kalau tidak, kedua
tangan hamba ini tentu......tentu tamatlah, . . .,"
Karena yakin perempuan ini sedang main sandiwara
belaka, maka diam2 Peng-say ber-jaga2 sikapnya tetap
dingin saja tanpa menghiraukan ucapan orang.
"Sisi." kata Ciamtay Cu-ih kemudian kepada perempuan
satunya lagi, "kau saja yang menuangkan arak bagi Saukongcu!"
Sisi lantas mendekati Peng-say, tapi anak muda itu tetap
duduk diam seperti seorang pertapa sedang bersemadi.
Sopan juga Sisi itu, ia angkat poci arak yang lain dan
menuangi cawan arak di depan Peng-say Mungkin kuatir
menghancurkan poci seperti Ho-hoa, tangan Sisi tampak
gemetar, lantaran itulah cara menuangnya jadi rada gugup,
sebagian arak tercecer di atas meja.
Meski pandangan Peng-say lurus ke bawah, tapi gerakgerik
Sisi yang menuang arak itu dapat dilihatnya, ia
merasa kegugupan Sisi itu agaknya tidak di-buat2, mau-takmau
ia merasa kasihan padanya. Pikirnya: "Ciamtay Cu-ih
yang tua bangka ini berhati keji dan buas seperti binatang,
mana dia tahu mengasihi perempuan cantik segala, tentu
dia pandang selirnya sebagai hewan sehingga mereka sudah
terbiasa takut padanya. Mungkin Ho-hoa bukan lagi main
sandiwara, kalau sebentar ke dua tangannya benar2
dipotong oleh bangsat tua ini, hal ini tidak boleh terjadi di
depanku."
Didengarnya Ciamtay Cu-ih telah mendengus pula dan
berkata; "Sisi, cara bagaimana kau menuang arak?
Pikiranmu me-layang2 kelain tempat, apa artinya kau hidup
di dunia ini?"
"Tua bangka, jangan kau main kuasa secara se-wenang2
di depanku," tiba2 Peng say menjengek.
Ia menyangka Sisi juga akan berlutut untuk minta ampun
kepada Ciamtay Cu-ih, maka ia berpaling dan berkata
padanya: "Jangan takut ....'' mendadak suaranya terputus,
sambungnya dengan terkejut: "He, kau ....kau Liu Ji-si!"
-ooo0dw0ooo-
Jilid 33
Memang tidak salah, Sisi yang dimaksudkan ini bukan
lain ialah Liu Ji-si, itu perempuan "P" yang cuma menjual
seni tanpa menjual tubuh di rumah pelacuran "Kun-hongih"
di Song-toh dahulu.
Air mata tampak meleleh di pipinya dengan kepala
tertunduk, tampaknya tidak kepalang menyesalnya dan
malu bertemu dengan Sau Peng-say.
Mendadak bertemu dengan kenalan lama, melengak juga
Peng-say sehingga lupa ber-jaga2 terhadap Ho-hoa yang
berjengkok di sampingnya. Selagi ia hendak tanya cara
bagaimana sampai Liu Ji-si dijadikan selir si bangsat tua
Ciamtay Cu-ih. mendadak tangan Ho-hoa meraba sesuatu
di bawah kursinya, seketika terdengar bunyi pegas. Tentu
saja Peng-say merasakan gelagat jelek, namun sudah
terlambat, tahu2 kedua tangan dan kedua kakinya telah
terbelenggu oleh alat rahasia yang mendadak jeplak keluar
dari kursi.
Sebelumnya Lui Ji-ji tidak tahu apa2, karena takut
kepada Ciamtay Cu-ih, meski waktu keluar sudah
dilihatnya Peng-say yang berduduk di situ, namun dia tidak
berani menyapa. Kini melihat anak muda itu terperangkap,
la menjadi kaget dan kuatir, cepat ia berjongkok dan meraba2
di bawah kursi, maksudnya hendak mencmukan
tombol untuk membuka alat rahasianya.
Ciamtay Cu-ih bergelak tertawa, katanya: "Kun sian-ih
(kursi pengikat dewa) dari Hong-hoa-wan selain Wancu
sendiri tiada orang lain yang mampu membukanya."
Dia melangkah maju, sekali cengkeram seperti elang
mencengkeram anak ayam, Liu Ji-si diangkatnya ke
samping kursinya dan dibanting ke lantai sambil
membentak: "Layani tuanmu dengan baik2, jangan cari
penyakit sendiri!"
Tidak kepalang gusar Peng-say, ia meronta sekuatnya,
namun borgol di kaki dan tangannya tidak rusak sedikitpun,
sebaliknya kursi besar itu lantas terguling karena
rontakannya itu.
"Bangun kau," kata Ciamtay Cu-ih kepada Ho-hoa,
"tidak kecil jasamu, ambil gelang kemala itu!"
Ho-hoa menjura dan mengucapkan terima kasih, lalu
berbangkit, dengan genit ia melirik Peng-say sekejap, lalu
dengan mengegol pinggul ia melangkah ke ruang dalam.
Peng-say mengertak gigi, tak terkatakan gemesnya
terhadap perempuan rendah itu.
"Ci-ho, Ci-kang, bangunkan Sau-kongcu!" seru Ciamtay
Cu-ih,
Dari dalam segera berlari keluar dua orang muridnya,
kursi itu cukup besar, ditambah bobot Peng-say, beratnya
cukup membuat kedua orang itu menggeh2, dengan susah
payah barulah mereka menegakkan kursi bersama Peng-say.
Sesudah kedua muridnya mengundurkan diri. dengan
tertawa Ciamtay Cu-ih berkata: "Karena kau tidak sudi
makan, maka boleh kau tunggu saja dengan sabar, kalau
ingin hidup, segalanya harus turut kepada perintahku."
Melihat Liu Ji-si berada di bawah ancaman Ciamtay Cuih,
tahulah Peng-say maksud tujuan orang. Diam2 iapun
sudah siap dengan akalnya untuk menghadapi lawan. Ia
lantas duduk tenang dan tidak meronta percuma lagi.
Ciamtay Ca-ih lantas membentak Liu Ji-si yang
menggeletak di lantai itu: "Bangun dan tuangkan arak,
perempuan hina! Tidak perlu kau pura2 mampus di situ!"
Sekujur badan Liu Ji-si terasa sakit pegal. dengan air
mata berlinang ia merangkak bangun.
Kontan Ciamtay Cu-ih menempelengnya sambil
membentak: "Tuangkan arak,"
Pipi Liu Ji-si yang halus itu seketika timbul lima jalur
merah, darahpun merembes keluar dari ujung mulutnya,
dengan menangis ia mangangkat poci arak. Tapi lantaran
masih kesakitan oleh bantingan Ciamtay Cu-ih tadi, ia tidak
kuat memegangi poci arak, baru saja arak tertuang, segera
berceceran di atas meja.
Dengan marah Ciamtay Cu-ih rampas poci itu. kakinya
mendepak perut Liu Ji-si dan membuatnya jatuh terguling-.
"Bangun!" bentak Ciamtay Cu-ih sambil menggabrukkan
poci arak di atas meja. "Tuang lagi, awas, tercecer setetes
saja segera kubikin kau rasakan lagi tubuh digeragoti
berlaksa semut."
Kiranya Liu Ji-si pernah ditutuk bagian Thian-tut-hiat,
akibatnya ia merasa didalam tubuh seperti dirayapi berlaksa
ekor semut, sungguh lebih menderita daripada disiksa
dengan alat macam apapun.
Ciamtay Cu-ih sangat kejam, bisa bicara berani berbuat,
Liu Ji-si menjadi takut akan disiksa lagi, maka sekuatnya ia
merangkak bangun dan menuang arak pula, sedapatnya ia
menuang dengan hati2 dan dapatlah diisi secawan penuh.
Ciamtay Cu-ih mengangkat cawan dan menenggaknya
habis, ia menyumpit sayur, sembari makan sambil bicara:
"Perempuan hina ini kubeli dengan seribu tahil perak,
kukira dia akan meladeni diriku dengan baik, siapa tahu,
neneknya, sepanjang hari hanya murung melulu, kerja tidak
beres, sialan! Bila teringat kepada seribu tahil perak
terbuang percuma, aku menjadi keki. Makanya kuharap
saudara Sau maklum."
"Maklum atau tidak, yang pasti orang sudah kau beli,
tentu boleh kau perlakukan sesukamu," jengek Peng-say.
Mendengar ucapan anak muda itu, Liu Ji-si merasa lebih
sakit daripada dicambuki, air matanya berderai, ia pikir
anak muda itu tidak bersimpatik lagi padaku, jangan2 dia
mengira aku ikut bantu si tua bangka ini mencelakai dia.
"Keparat, menangis lagi!" damperat Ciamtay Cu-ih,
Sekali raih, ia jambak rambut Liu Ji-si terus disengkelit ke
lantai dan berdarahlah kepala Liu Ji-si.
Hampir meledak dada Peng-say menyaksikan kekejaman
Ciamtay Cu-ih itu, namun sedapatnya ia bersabar, ia
berlagak seperti tidak ambil pusing.
Rupanya Ciamtay Cu-ih tidak percaya anak muda itu
berhati baja, segera ia angkat Liu Ji-si. serunya dengan
bergelak tertawa: "Lepaskan pakaianmu hingga telanjang,
iringi tuanmu minum arak, jika dapat kau bikin gembira
hatiku, mungkin akan kuampuni jiwamu!"
Rambut Liu Ji-si yang panjang itu terurai, ditambah lagi
mukanya penuh darah, keadaannya jadi mirip setan
gentayangan. Keras kepala juga dia, ia tetap berdiri tegak
dan tidak mau buka pakaian.
"Eh, apakah kau malu?" teriak Ciamtay Cu-ih.
"Neneknya, pakai berlagak suci segala, memangnya belum
pernah kau buka pakaian di depanku, pakai malu apa? Nah
kuberi waktu sepuluh kali, bila sepuluh kali kuhitung habis
dan kau tetap ttdak buka baju, rasakan nanti!" Lalu ia mulai
menghitung: "Satu.....dua......tiga......empat......"
Liu Ji-si tahu bila tidak buka pakaian, tentu tak terhindar
dari siksaan kejam lagi, akan tetapi di hadapan Sau Pengsay,
betapapun ia tidak mau telanjang sehingga akan
dipandang hina oleh anak muda itu.
"Lima......enam....." Ciamtay Cu-ih masih terus
berhitung, "delapan.....sembilan. . . ."
Sampai disini mendadak ia tidak melanjutkan lagi, tiba2
ia bergelak tertawa: "Haha, hebat, sungguh pemberani! Tapi
aku pun tidak menyalahkan kau. Di depan tamu, dengan
sendirinya tak dapat dipersamakan bila berada berduaan
denganku. Baiklah, tidak jadi telanjang, baik, baik!"
Nadanya se-olah2 dia dapat memaklumi isi hati Liu Ji-si.
Akan tetapi mendadak ia menarik muka pula dan berkata:
"Di depan tamuku kau berani membangkang perintahku
dan membikin malu padaku, jika tidak kuhajar adat
padamu kan dapat ditertawakan Sau-lote. Boleh begini saja,
berlututlah kau di depan Sau-lote dan minta maaf
kepadanya, Asalkan kau menurut, segera kuampuni kau."
Selagi Liu Ji-si merasa ragu2, Ciamtay Cu-ih menjadi
gusar, se-konyong2 sepasang sumpitnya disambitkan dan
tepat mengenai dengkul Liu Ji-si, kontan perempuan itu
bertekuk lutut.
Menyusul Ciamtay Cu-ih lantas melompat maju,
dijambaknya pula rambut Liu Ji-si terus ditekan ke lantai,
teriaknya dengan gusar: "Ayo omong, ayo bicara!"
Tapi aneh, Liu Ji-si justeru tetap tutup mulut tanpa
gentar.
Diam2 Peng-say menghela napas, pikirnya: "Mungkin
dia menyesal karena aku tidak menggubrisnya, maka
matipun dia tidak mau bicara. Dia tidak tahu aku sengaja
berlagak ketus padanya agar dia tidak diperalat oleh si
bangsat tua ini untuk memeras diriku. Padahal kalau aku
dapat mengadu jiwa dengan bangsat tua itu, mana mungkin
kutinggal diam dan menyaksikan dia tersiksa di depanku?"
Didengarnya Ciamtay Cu-ih lagi membentak
"Perempuan hina, satu patah kata saja masa kau tidak mau
bicara? Jika tidak kuhajar adat padamu selanjutnya tentu
aku akan kau remehkan!" — Habis bicara, segera ia angkat
tubuh Liu Ji-si.
Tiba2 Peng-say bersuara: "Kutahu kau pintar menghajar
kaum hambamu, kan tidak perlu kau pamerkan padaku?!"
Diam2 Ciamtay Cu-ih merasa senang, ia kira hati Pengsay
sudah mulai goyah. Ia berlagak tambah gusar, segera ia
tutuk Thian-tut-hiat di tubuh Liu Ji-si, seketika perempuan
itu ber-geliat2, waktu Ciamtay Cu-ih membantingnya
kelantai segera Liu Ji-si ber-guling2 seperti orang sekarat.
"Kejam amat, bangsat tua!" damperat Peng-say.
Ciamtay Cu-ih pura2 tidak dengar. sama sekali ia tidak
pedulikan penderitaan Liu Ji-si itu, ia berteriak: "Ayolah
bicara, kalau tidak tahan, lekas bicaralah!"
Liu Ji-si benar2 tidak tahan lagi, ia membuka mulut, tapi
yang keluar hanya suara "ah-uh-ah-uh" saja.
Betapapun tersiksanya semula Liu Ji-si tetap tutup mulut
rapat2, sekarang ia membuka mulut sehingga dapat dilihat
oleh Peng-say, seketika anak muda itu merinding.
"Oya, kulupa bahwa sebenarnya kau memang tidak
dapat bicara, ai, pantas!" kata Ciamtay Cu-ih. Lalu ia
mendekati nona itu, ia depak Hiat-to yang ditutuknya tadi
dan berucap pula: "Kenapa tidak sejak tadi2 kau buka
mulut, mestinya kau tidak perlu menderita begini." — Ia
bicara se-olah2 ia benar2 lupa pada perbuatannya sendiri.
Dengan gusar Peng-say lantas membentak: "Bangsat tua,
ada permusuhan apa antara dia dengan kau? mengapa kau
potong lidahnya?!"
Dengan cengar-cengir Ciamtay Cu-ih menjawab:
"Agaknya Sau-lote tidak tahu, perempuan hina ini sudah
punya seorang kekasih, meski aku telah membelinya
dengan seribu tahil perak dari induk-semangnya. tapi
matipun dia tidak mau menuruti kehendakku. Katanya dia
selama hidup mau menjadi kerbau atau kuda, hendak
memukul dan membunuhnya juga dia bersedia, hanya satu
saja permintaannya, yaitu mempertahankan kesuciannya.
Neneknya, coba kau pikir, kubeli dia, kalau tidak untuk
menemani aku tidur apa gunanya kubeli?"
Setelah berhenti sejenak, lalu ia menyambung pula:
"Namun aku pun bukan orang baik, dia tidak menurut,
terpaksa kumain paksa. Tapi dia memang bandel dan tetap
ingin mempertahankan kesuciannya, ia hendak mengertak
lidah sendiri untuk membunuh diri. Untung keburu
diketahui dan cepat kututuk Hiat-tonya sehingga dia gagal
membunuh diri. Akan tetapi aku menjadi kuatir dia akan
mencari mati lagi, bisa2 seribu tahil perak akan terbang
tanpa hasil apa2, maka sekalian kupotong saja lidahnya,
soal dia akan bunuh diri dengan cara lain tentu masih dapat
kuawasi lebih ketat."
Tidak kepalang rasa murka Peng-say, tapi dengan
hambar ia lantas berkata: "Aku menjadi kasihan padanya,
begini saja, kubayar kau seribu tahil perak dan berikan
kebebasan padanya, bagaimana?"
"Wah, tampaknya tuan muda dari Soh-hok-han
mendadak menaruh belas kasihan kepada perempuan ini."
seru Ciamjay Cu-ih dengan tertawa. "Baiklah, kuterima,
rasanya aku pun sudah bosan, kalau setiap hari harus
menyaksikan wajahnya yang masam melulu mungkin
dadaku bisa meledak. Kalau dapat kuterima kembali harga
pokok sudah lumayanlah."
"Padaku ada Ginbio (surat uang, seperti cek jaman
sekarang) bernilai seribu tahil lebih, boleh kau ambil saja,"
kata Peng-say.
"Nanti dulu, tidak perlu buru2," ujar Ciamtay Cu-ih.
"Kau sudah kutawan, masa kukuatir kau akan lari? Apa
yang kukatakan tentu kulaksanakan, akan kulepaskan dia
dihadapanmu agar kelak kau tidak menuduh aku
menyembunyikan dia lagi setelah menerima pembayaran
darimu."
Lalu ia berpaling kepada Liu Ji-si dan berkata: "Nah,
selanjutnya dapatlah kau lakukan segala apa yang menjadi
cita2mu, lekaslah kau mengaturkan terima kasih kepada
Sau-kongcu!"
Liu Ji-si mengira Cirmtay Cu-ih benar2 akan memberi
kebebasan padanya, biarpun sekarang badannya tidak
bersih lagi, tapi bisa terlepas dari cengkeraman iblis, jelas
semua ini adalah pertolongan Sau Peng-say, segera ia
berlutut dan hendak menyembah.
"Sudahlah, pergi sajalah kau, tidak perlu banyak adat,"
kata Peng-say cepat.
Liu Ji-si berbangkit, dipandangnya anak muda itu
sekejap dengan mengembeng air mata, lalu putar tubuh
hendak melangkah pergi.
"Nanti dulu," kata Ciamtay Cu-ih tiba2, "dahulu kau
selalu minta agar aku mengampuni kau agar kau dapat
menjadi Nikoh, meski sekarang Sau-kongcu sudah menebus
tubuhmu, kau pun tetap menjadi Nikoh. Kau tahu,
perempuan yang sudah pernah kupakai, selama aku masih
hidup, selama itu pula dia tidak boleh disentuh lelaki kedua.
"Sekarang atas permintaan Sau-kongcu kuterima seribu
tahil perak dan kubebaskan kau, tapi hanya ada satu jalan
bagimu, yaitu kau harus menjadi Nikoh. Kalau tidak. lebih
baik seribu tahil perak ini kukembalikan kepada Saukongcu.
Nah, bagaimana, mau menjadi Nikoh atau tidak?"
Liu Ji-si pikir selama hidupnya jelas tidak mungkin
menikah lagi, kalau diharuskan menjadi Nikoh kan
kebetulan malah? karena itulah ia lantas mengangguk tanda
mau.
"Bagus," kata Ciamtay Cu-ih dengan tertawa. "Nah,
kesini, akan kucukur rambutmu agar ku-tahu pasti kau telah
menjadi Nikoh."
Tanpa menghiraukan kehendak Liu Ji-si lagi, segera ia
menariknya ke sampingnya sambil berseru: "Ci-ho, ambil
pisau cukur!"
Ber-gegas2 Ci-ho berlari masuk dan menjawab: "Suhu,
disini tidak ada tukang cukur, darimana ada pisau cukur?"
"Tidak ada kan bisa beli. ayolah lekas pergi!" teriak
Ciamtay Cu-ih.
Ci-ho merasa serba susah, katanya; "Tengah malam
buta, toko sudah tutup pintu semua......"
Seketika Ciamtay Cu-ih mendelik, "Goblok, tak berguna,
lekas enyah!"
Dengan takut Ci-ho lantas mengundurkan diri.
Ciamtay Cu-ih mendengus: "Hm, tanpa pisau cukur juga
dapat kucukur rambutmu?!"
Mendadak ia melolos golok sabitnya, "sret", secomot
rambut Lin Ji-si yang panjang segera ditabasnya putus.
Liu Ji-si berduduk dilantai dengan gemetar.
"Jangan bergerak, beberapa kali tabas saja tentu
kepalamu akan kelimis!" bentak lagi Ciamtay Cu-ih sambil
mengerjakan goloknya.
Sinar golok terus berkelebat di atas kepala Liu Ji-si,
keruan nona itu ketakutan, Peng-say juga kebat-kebit, kuatir
kalau2 golok Ciamtay Cu-ih itu kurang hati2 dan buah
kepala Liu Ji-si bisa terbelah.
Hanya beberapa kali tabas, rambut Liu Ji-si sudah tinggal
satu-dua senti saja panjangnya, tiba2 Ciamtay Cu-ih tidak
menabas lagi, ia menggeleng dan bergumam sendiri: "Wah,
tidak, tidak boleh jadi. Kalau cuma dicukur saja tentu akan
tumbuh lagi. Bila kembali seperti biasa, perempuan ini tentu
akan mencari kekasihnya yang lama dan aku pun tak dapat
berbuat apa2. Jalan paling baik adalah cabut saja sampai
akar2nya, dengan demikian tentu tidak dapat tumbuh lagi
dan perempuan hina ini-pun pasti akan menjadi Nikoh
untuk selamanya."
Baru habis ucapannya, dengan lengan kiri ia memiting
Liu Ji-si, dengan dua jari tangan kanan ia terus menarik
beratus utas rambut yang sudah pendek itu, sekali betot,
kontan rambut berikut kulit kepala lantas terkelupas.
Keruan tidak kepalang sakit Liu Ji-si, ia merintih
tertahan. Ber-ulang2 Ciamtay Cu-ih mencabut lagi dengan
cara yang sama sehingga kulit kepala Liu Ji-si terkelupas
disana sini. Meski sekuatnya ia bertahan, tidak urung ia
merintih juga dan badan menggelepar.
Dengan kejam Ciamtay Cu-ih masih terus mencabuti
rambut Liu Ji-si. Padahal rambut tidak terhitung
banyaknya, dicabuti cara begitu, setengah jam juga belum
rampung. Dan bila habis dicabut rambutnya, andaikan Liu
Ji-si tidak mati kesakitan tentu juga akan mati kehabisan
darah.
Tidak kepalang murka Peng-say, ia mengerahkan
segenap tenaga dengan maksud menghancurkan kursi itu,
akan tetapi kursi itu ternyata dibuat dari kerangka besi, kaki
kursi sampai ambles ke dalam ubin, namun kursinya tidak
rusak sedikitpun
Ciamtay Cu-ih tidak memandang Peng-say, ia berkata
sambil terbahak: "Kun-sian-ih ini adalah pusaka Hong-hoawan
kami, entah betapa banyak jago dan tokoh yang telah
menjadi korban kursi ajaib ini. Ingin kau rusak? Huh, hanya
sedikit Lwekangmu saja masa mampu?"
Mendadak Peng-say menghela napas panjang, katanya:
"Bangsat tua, sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?"
"Siang liu-kiam-boh!" jawab Ciamtay Cu-ih.
"Sediakan kertas dan pencil!" kata Peng-say.
Baru saja dia bersuara, segera Ci-ho mengiakan didalam,
hanya sekejap saja ia sudah berlari keluar dengan membawa
alat2 tulis yang diperlukan dan ditaruh di atas meja, lalu ia
mengundurkan diri lagi
Mendadak Ciamtay Cu-ih mengentakkan Liu Ji-si
hingga jatuh terjungkal, katanya dengan tertawa: "Jika sejak
tadi kau mau begini kan gendakmu tidak perlu menderita?"
"Gendak apa katamu? Hendaklah mulutmu di-sikat
bersih, bangsat tua!"! damperat Peng-say dengan gusar.
Ciamtay Cu-ih cengar-cengir, katanya: "Waktu kubeli
perempuan ini, dia masih barang orisinil. Ya, memang
akulah yang salah omong, cuma meski kalian tidak ada
hubungan cinta, sedikitnya ada hubungan persahabatan,
tentunya tak dapat kau-saksikan dia mati begitu saja.
Memang sudah kuperhitungkan selama perempuan ini
berada padaku, pada suatu hari tenlu kau akan menyerah
padaku. Benar juga, haha, sikapmu tadi yang ketus itu
hampir saja membuatku putus asa."
"Jadi dari nona Liu kau tahu kubelajar Siang-liu-kiam
dengan Soat Koh?" tanya Peng-say.
"Memang betul." jawab Ciamtay Cu-ih. "Kutahu kau
dan Soat Koh sama2 menguasai setengah bagian Siang-liukiam-
hoat, dengan sendirinya tidak kudiamkan. Sayangnya
dunia sangat luas, Soat Koh sukar kutemukan, terpaksa
padamu kucurahkan harapanku untuk mendapatkan Kiamboh
itu.
"Waktu kau pergi bersama Sau Ceng-hong, kujeri
padanya, dengan sendirinya tak dapat kurintangi kau,
terpaksa hanya mengirim orang mengawasi kau. kusangka
sedikitnya akan beberapa tahun kau tinggal di Soh-hok-han,
siapa duga cuma sebulan saja kau lantas meninggalkan
sana. Waktu itu mestinya dapat kutangkap kau, tapi lantas
kupikir tiada gunanya melulu menawan kau saja,
memancing ikan besar harus mengulur tali pancing yang
panjang, asalkan kukuntit kau, akhirnya pasti juga akan
kutemukan Soat Koh. Benar juga, sampai di Liong-bun-tin,
demi melihat Sau Peng-lam dibawa pergi oleh Thio Yancoan,
kau lantas bertekad akan mempelajari Siang-liu-kiam
dengan lengkap agar dapat kau tolong Sau Peng-lam dari
tangan Thio Yan-coan. Kau pakai semboyan menjual seni
mencari isteri, kau jelajahi berbagai propinsi, tentu saja
kami ikut capai mengintil kau kemana pun kau pergi.
Syukurlah jerih-payahmu tidak sia2, akhirnya dapat kau
temukan Soat Koh. Tapi lantaran muridku Ong Ci-kang
yang kutugaskan mengawasi kau ikut berpengaruh oleh
suara serulingmu sehingga lupa daratan, kemana perginya
dirimu ternyata tidak diketahuinya. Salahmu sendiri, kau
pamer kepandaianmu lagi di Kun-hong-ih, dari tamu yang
habis main di rumah pelacuran itu kudengar hal itu. Segera
kami menyusul ke Kun-hong-ih, tapi, keparat, terlambat
selangkah, kau dan Soat Koh sudah pergi. Cepat kusuruh
orang menyusul kalian, aku sendiri tinggal di Kun-hong-ih,
kupanggil perempuan hina ini untuk melayani diriku,
kutanyai dia apa yang terjadi selama kau berada di Kunhong-
ih, maksudku ingin tahu kemana kalian pergi. Tak
tersangka, dasar perempuan hina, dia justeru membela kau,
mati pun dia tidak mau memberi keterangan."
Peng-say memandang Liu Ji-si sekejap, katanya
kemudian: "Kemana Soat Koh hendak membawaku pergi,
aku sendiri pun tidak tahu, apalagi dia?"
"Kalau dia tidak tahu kemana kalian pergi tidaklah
menjadi soal, tapi apa maksud kedatanganmu di Kun-hongih
masakah iapun tidak tahu? Jelas dia sengaja hendak
melindungi kau," kata Ciamtay Cu-ih dengan gemas.
"Sudah tentu waktu itu aku tidak tahu untuk apa kau
datang ke Kun-hong-ih, kutanyai dia apakah disitu kau
menemui seorang perempuan bernama Soat Koh, tapi
perempuan hina ini matipun tidak mau buka mulut.
terpaksa kukerjai dia."
Peng-say menghela napas, katanya terhadap Liu Ji-si;
"Nona Liu, akulah yang bikin susah padamu, hendaklah
maafkan sikapku yang dingin tadi."
Muka Liu-Ji-si penuh keringat dan air mata, sama sekali
tidak diusapnya, ia hanya menggeleng saja. Ia ingin
meminta maaf pula, sebab akhirnya toh ia menceritakan
apa yang ditanya bangsat tua itu, akibatnya sekarang anak
muda itu tertawan. Mestinya ia ingin mencegah Peng-say
menuliskan Siang-liu-kiam-boh, cuma sayang, ia tidak
dapat bicara lagi.
Ciamtay Cu-ih berkata pula: "Kupikir perempuan hina
ini tentu masih merahasiakan sesuatu, maka kucoba
geledah kamarnya. Haha, banyak juga tabungannya,
kutemukan sebuah peti uang di bawah tempat tidurnya.
Dengan uang itulah kugunakan seribu tahil perak untuk
menebus perempuan hina ini dari induk-semangnya dan
kujadikan selir."
"Hm, tadinya kukira dengan uangmu sendiri kau beli
nona Liu, tak tahunya kau telah menjadi perampok, dengan
uang tabungan nona Liu sendiri kau gunakan untuk
menebus dia, sungguh kejam kau."
"Kalau perampok benar, untuk apa kubeli dia dengan
seribu tahil perak kepada induk semangnya? Aku memang
bukan orang bajik. terserah penilaianmu atas diriku, demi
menemukan dirimu, apa salahnya kugunakan segala akal.
Keparat, larimu ternyata sangat cepat, anak muridku yang
ku-kirim menyusul kau kehilangan jejakmu."
Peng-say tidak menggubrisnya, ia tahu sebabnya orang
tidak dapat menemukan jejaknya adalah karena dia terluka
dalam sehabis meniup lagu Siau-go-yan-he dan mondok di
tengah jalan, dengan sendirinya murid Ciamtay Cu-ih tak
dapat menemukannya.
"Karena tak dapat menemukan kau, rasa gusarku
kulampiaskan atas diri perempuan hina ini. kupaksa dia
mengaku apa tujuanmu pergi bersama Soat Koh, kiranya
maksudmu ingin belajar Siang liu-kiam secara lengkap. Aku
menjadi ngeri membayangkan hanya dalam lima jurus saja
aku telah dikalahkan Leng-hiang-caycu, aku menjadi kuatir
bilamana kelak kau berhasil menguasai ilmu pedangnya
yang sakti itu, pasti aku bukan tandinganmu. Terpaksa
kusuruh ambil kursi ajaib ini dari laut timur sana dan kuatur
segala sesuatu untuk menanti kemunculanmu," Bicara
sampai di sini Ciamtay Cu-ih ter-bahak2 gembira, lalu
menyambung: "Dan akhirnya terkabul juga cita2ku. Nah,
tulislah sekarang!"
Peng-say tidak bersuara melainkan memandang
tangannya yang masih terbelenggu.
Ciamtay Cu-ih tahu maksudnya, katanya: "Jangan
kuatir, sudah tentu akan kulepaskan dulu," ia pandang Liu
Ji-si dan membentak: "Kemari kau!"
Cepat Peng-say berseru: "Boleh kau tutuk Hiat-to penting
tubuhku agar aku tidak dapat berkutik, untuk apa kau
gunakan dia untuk mengancam diriku? Dia harus kau
bebaskan seperti janjimu tadi, habis itu barulah akan
kutuliskan Kiam-boh untukmu."
"Bila tulisanmu benar, tentu akan kubebaskan dia," kata
Ciamtay Cu-ih.
"Lepaskan dia lebih dulu, kalau tidak, mati pun aku tidak
mau menulis," jawab Peng-say ketus.
Setelah berpikit sejenak, kemudian Ciamtay Cu-ih
berkata sambil menyeringai: "Boleh juga! Nah, perempuan
hina, bolehlah kau pergi sendiri."
"Tapi jangan kau pakai tipu muslihat, bangsat tua!" kata
Peng-say pula.
"Apalagi maksudmu?" tanya CiamtayCu-ih.
"Tidak seberapa jauh dia pergi, bukan mustahil muridmu
akan membekuknya kembali, dan darimana kutahu?"
"Sebagai seorang pemimpin besar suatu perguruan
ternama, masa sedikit kepercayaan saja tidak ada padaku?"
"Betapapun aku tetap sangsi,"jawab Peng-say.
"Habis apa kehendakmu?" tanya Ciamtay Cu-ih dengan
mendongkol.
"Setelah kutuliskan Kiam-boh yang kau minta, lalu aku
bakal mati atau tetap hidup?" tanya Peng-say.
"Bila kuperiksa tulisanmu memang benar, segera
kulepaskan kau. Kelak kalau Siang-liu-kiam sudah berhasil
kukuasai sepenuhnja, masa kutakut kau akan menuntut
balas padaku?"
"Jika demikian, biarkan nona itu ikut bersamaku nanti,"
kata Peng-say.
Ciamtay Cu-ih tertawa, katanya: "Hah, tampaknya kau
merasa berat ditinggal pergi lebih dulu. Boleh juga, asalkan
kau suka, aku pun takkan memaksa dia menjadi "Nikoh",
boleh dia ikut bersamamu. Selain cantik, soal tehnik tempat
tidur budak ini pun tergolong kelas tinggi. Bersama dia,
Sau-lote setiap malam pasti dapat naik surga."
Diam2 Peng-say memaki kekotoran pikiran bangsat tua
itu. Tapi iapun tidak berbantah dengan dia dan biarkan dia
mengoceh sesukanya.
Karena sekarang Ciamtay Cu-ih mengharapkan rekaman
Kiam-boh dari Peng-say, sedapatnya ia mengambil hati
anak muda itu, kembali ia berkata kepada Liu Ji-si: "Nah,
lekas gosokkan bak (tinta) bagi Sau-kongcu dan
menuangkan arak, ladeni yang baik, Kedua ribu tahil perak
tabunganmu itu bilamana kau akan pergi tentu akan
kukembalikan. Yang penting, jangan sampai Sau-kongcu
salah tulis, kalau tidak, hehe. . . ."
Sembari bicara, mendadak ia tutuk tujuh Hiat-to penting
Sau Peng-say, lalu mengeluarkan kunci, diputarnya lubang
kunci rahasia dibawah kursi, "krek", seketika keempat
borgol terbuka seluruhnya Peng-say berdiri dengan lemas,
karena sedikit menggunakan tenaga, segera kepala terasa
pusing dan mata ber-kunang2, lekas2 ia berduduk kembali.
"Lewat 12 jam segalanya akan pulih kembali seperti
biasa," kata Ciamtay Cu-ih dengan tertawa. "Kupercaya
dalam waktu 12 jam tentu kau dapat menyelesaikan
tulisanmu."
"Tidak tentu," ujar Peng-say.
"Sebaiknya dalam waktu 12 jam harus kau selesaikan,
kalau tidak, terpaksa harus kututuk lagi Hiat-to penting tadi
dan hal ini tentu tidak baik bagi kesehatanmu."
"Syukur dapat kuselesaikan dalam batas waktu. kalau
tidak, boleh saja kau tutuk lagi diriku, tidak perlu kau pura2
baik hati memikirkan kepentinganku," jengek Peng-say.
Ciamtay Cu-ih menyengir untuk melepaskan diri dari
kekikukan, lalu ia pindahkan kursinya kesamping, ia duduk
berbaring disitu sambil memejamkan mata untuk istirahat.
Tampaknya dia tidak menguatirkan Peng-say, padahal
diam2 ia mengawasi dengan ketat, asalkan anak muda itu
memperlihatkan sesuatu gerak-gerik mencurigakan, segera
ia akan turun tangan untuk menangkapnya,
Tapi iapun yakin betapapun lihay Lwekang anak muda
itu di dalam waktu 12 jam pasti tidak mampu melepaskan
diri dari ilmu Tiam-hiatnya yang khas, untuk
menangkapnya tentu saja seperti menangkap anak kecil
yang tak dapat memberi perlawanan.
Liu Ji-si lantas menyingkirkan mangkuk piring kesisi
meja sana, ia lantas menggosokkan tinta, tiba2 ia ambil pit
(pensil bulu) yang dipegang Peng-say.
Selagi anak muda itu heran apa yang akan dilakukan si
nona, dilihatnya Liu Ji-si telah menulis di atas kertas:
"Kutahu setelah menulis, tentu si bangsat tua takkan pegang
janji untuk melepaskan kau."
Peng-say mengangguk sebagai tanda sudah tahu.
Lalu Liu Ji-si menulis pula: "Jika demikian. akhirnya toh
tetap mati, untuk apa mesti memenuhi kehendak si bangsat
tua?"
Peng-say angkat bahu sebagai tanda apa boleh buat,
terpaksa menulis.
Akhirnya Liu Ji-si hanya menulis empat huruf saja:
"Biarlah kupergi lehih dulu!"
"Jangan!" seru Peng-say.
Mendengar suara itu, Ciamtay Cu-ih lantas membuka
mata dan berpaling, dilihatnya Liu Ji-si sedang
membenturkan kepalanya kepada sandaran kursi Sau Pengsay.
Untuk bergerak saja sulit, dengan sendirinya Peng-say
tidak mampu mencegah tindakan nekat Liu Ji-si itu.
Sedangkan Ciamtay Cu-ih memang cukup cepat reaksinya.
tapi juga tetap terlambat selangkah, waktu ia menarik Liu
Ji-si, dilihatnya batok kepalanya sudah pecah, otak
berceceran keluar.
Seperti diketahui, kursi yang diduduk Peng-say itu
terbuat dari baja. Rupanya Liu Ji-si sudah bertekad akan
bunuh diri agar Peng-say tidak dipaksa berbuat sesuka hati
Ciamtay Cu-ih. Maka sekuatnya ia membenturkan
kepalanya kepada kerangka kursi baja itu, dengan
sendirinya batok kepalanya lantas pecah.
Sedetik sebelum mengembuskan napasnya yang
penghabisan, Liu Ji-si masih sempat memandang Peng-say
sekejap sambil menggeleng.
Ciamtay Cu-ih sempat merampas kertas yang dibuat
menulis tadi, setelah dibaca sekadarnya, ia lantas memaki:
"Perempuan hina, memangnya aku Ciamtay Cu-ih kau
anggap manusia yang tidak dapat pegang janji?!"
Saking gemasnya jenazah Liu Ji-si yang dipegangnya itu
akan dibanting kedinding. Tapi segera teringat olehnya
bahwa dalam keadaan demikian tidak boleh lagi
membangkitkan rasa gusar Peng-say, bisa jadi segala urusan
akan runyam.
Maka pelahan ia lepaskan jenazah Liu Ji si itu, lalu
beseru: "Ci-ho!"
Segera Ih Ci-ho berlari masuk. Ciamtay Cu-ih lantas
memberi pesan: "Angkat keluar mayat perempuan hina itu,
besok belikan sebuah peti mati yang paling bagus dan
tanam dia agar tidak sampai di makan anjing hutan!"
Ci-ho mengiakan dan membawa pergi mayat Liu Ji-si.
"Nah, Sau Peng-say," kata Ciamtay Cu-ih kemudian,
"sekarang kau mau menulis atau tidak?"
Peng-say lagi berduka, seketika ia tidak dapat menjawab.
"Tulislah!" kata Ciarmay Cu-ih pula. "Mayat nona Liu
itu tidak sampai dimakan anjing hutan. apalagi aku
bersumpah, nanti sehabis kau menulis, bila kucelakai
nyawamu dan tidak melepaskan kau, biarlah aku Ciamtay
Cu-ih terkutuk dan mati tak terkubur."
Meski di mulut ia bersumpah, tapi di dalam hati ia
membatin; "Asalkan kupunahkan Kungfumu tak perlu
kubunuh kau kan berarti tidak melanggar sumpah!"
Sejenak kemudian ia berkata pula: "Kalau kau tidak
menulis, akan kugunakan cara keji, betapa pun kerasnya
tulangmu pasti juga tak tahan. Nah, bagaimana, menulis
atau tidak?"
Dengan air mata berlinang Peng-say menjawab pelahan;
"Akan kutulis. . . ."
Ciamtay Cu-ih tertawa puas, katanya: "Orang yang bisa
melihat gelagat adalah seorang yang pintar. Nah, bolehlah
kau menulis, janganlah kau berduka lagi perempuan hina
itu. Dunia ini masih luas, di-mana2 terdapat perempuan
cantik. Hanya seorang perempuan yang sudah tidak suci
lagi, sudah mati biarkanlah, kenapa mesti dipikirkan?
Ayolah lekas menulis, biarkan kugosokkan tinta bagimu."
"Hm, tidak perlu kau ikut repot, duduk saja di samping
sana," jengek Peng-say.
"Masa tidak mau kugosokkan tinta bagimu?”. kata
Ciamtay Cu-ih dengan cengar-cengir.
"Melihat tampangmu saja aku lantas muak." kata Pengsay.
"Jika kau berdiri disini, satu huruf saja tidak dapat
kutulis. Lebih baik kau menyingkir sejauhnya,"
Diam2 Ciamtay Cu-ih sangat gusar, napsu bunuhnya
timbul pada air mukanya, tapi segera ia bersabar
sedapatnya, katanya dengan tertawa: "Baik-baik, aku akan
menyingkir se-jauh2nya."
Ia lantas berduduk kembali di kursinya, memejamkan
mata dan mengumpulkan semangat.
Peng-say berduduk tegak di kursinya, lalu ia benar2
menulis satu huruf demi satu huruf dengan tekun.
Semula Ciamtay Cu-ih kuatir anak muda itu tidak mau
menulis, tapi setelah diketahui Peng-say benar2
mencurahkan pikirannya buat menulis, ia merasa senang.
Tidak lama kemudian, ia merasa mengantuk dan akhirnya
dia tertidur, bahkan mendengkur.
Apakah orang benar2 mengorok atau cuma pura2 tidur,
betapapun Peng-say tidak berani berbuat sesuatu atau
melarikan diri, ia tahu disekitar rumah itu dijaga ketat oleh
anak murid Ciamtay Cu-ih, sebelum tenaga sendiri pulih
jelas tidak mungkin dapat melarikan diri.
Dia menulis dengan sangat lambat, seperti bekicot
merayap. Bukannya sengaja, tapi karena sebagian besar
perhatiannya digunakan untuk mengerahkan tenaga dalam
untuk membuka Hiat-to yang tertutuk. Syukur usahanya
membawa hasil, kira2 setengah jam kemudian ada satu
tempat Hiat- to itu telah dipunahkannya.
Menurut perhitungan, untuk membuka tujuh tempat
Hiat-to yang tertutuk itu diperlukan tiga empat jam. Tatkala
mana pagi sudah tiba, tentu Ciamtay Cu-ih juga akan
mendusin.
Sebab itulah dia tidak dapat mencurahkan seluruh
pikirannya untuk membuka Hiat-to, sedikit2 dia juga harus
menulis agar tidak menimbulkan curiga Ciamtay Cu-ih.
Rupanva dia salah hitung, baru empat Hiat-to berhasil
dilancarkan, tahu2 hari sudah terang tanah. Keruan ia
menjadi gelisah, Bila sebentar lagi Ciamtay Cu-ih bangun
tidur dan melihat kelambatan menulisnya, tentu dia tidak
dapat mengelabui bangsat tua yang licin dan cerdik itu. Jika
orang mengetahui sebagian Hiat-to sudah lancar, maka
kesempatan kedua tentu sukar diperoleh lagi. Karena itulah
ia ambil keputusan bila Ciamtay Cu-ih mendusin, segera
pula ia akan menghentikan usahanya membuka Hiat-to
yang lain.
Selagi berpikir, benarlah Ciamtay Cu-ih telah mendusin,
cepat ia berhenti mengerahkan tenaga dan berlagak lagi
menulis, tapi tulisnya tetap tidak cepat, masih menuruti
kecepatan semula.
"Selamat pagi!" sapa Ciamtay Cu-ih begitu bangun tidur.
"Apakah kau perlu tidur sebentar baru nanti menulis lagi?"
"Ya, kukira perlu tidur dulu agar tidak salah menulis,"
jawab Peng-say.
"Sudah berapa banyak yang kau tulis?" tanya Ciamtay
Cu-ih.
"Sedapatnya kutulis se-baik2nya, dengan sendirinya agak
lambat."
Ciamtay Cu-ih mendekatinya dan melihat hasil
tulisannya itu, ia berkerut kening dan berkata: "Kenapa
baru sekian? Terlalu lambat!"
"Lebih cepat juga bisa, cuma tulisannya tentu kurang
rajin, jangan2 tak dapat kau baca?" kata Peng-say.
"Eh, kenapa tiba2 kau memikirkan kepentinganku?"
tanya Ciamtay Cu-ih dengan sangsi.
"Kalau mau menulis tentunya perlu ditulis se-baik2nya,
tidak boleh kutulis secara coret-coret sehingga tak dapat kau
baca."
"Ehm, bagus, bagus, kau serius, aku pun serius, sekarang
juga kupesan kepada Ci-ho agar mengubur nona Liu
dengan baik," kata Ciamtay Cu-ih dengan tertawa.
Segera dia keluar, sejenak kemudian dia masuk lagi,
tanyanya dengan tertawa: "Apa jadi tidur dulu?"
Tidur, tentu saja sangat penting bagi Peng-say Sebab
dengan berlagak tidur. diam2 ia dapat mengerahkan tenaga
untuk melancarkan sisa Hiat-to lain yang belum tembus,
untuk itu mungkin tidak sampai satu jam sudah dapat
diselesaikannya,
Karena itulah ia berlagak acuh-tak-acuh dan berkata:
"Boleh juga kutidur sebentar."
Tapi mendadak Ciamtay Cu-ih menjengek: "Hm,
beberapa huruf terakhir ini barulah benar2 rajin."
Hati Peng-say terkesiap, rupanya barusan dia memang
menulis dengan lebih rajin sehingga berbeda jauh dengan
tulisan permulaan.
Cepat ia menjawab: "Semalam terasa sangat mengantuk,
sesudah pagi baru tambah semangat, dengan sendirinya
goresan pensilku berbeda."
"Jika begitu, bolehlah kau tidur dulu," kata Ciamtay Cuih.
"Tidur dimana?" tanya Peng-say.
"Duduk saja disitu kau sama saja!" ujar Ciamtay Cu-ih.
"Aku tidak biasa tidur dengan berduduk. Hanya buang2
waktu percuma saja jika tidak dapat pulas."
"Jika begitu, mudah saja, kututuk Hiat-to tidurmu dan
tentu kau dapat pulas dimana pun juga."
Peng-say berdehem, jawabnya kemudian: "Kalau. ..kalau
begitu, sudahlah, biar kuteruskan menulis."
"Hm, jika tidak jadi tidur, ayolah lekas menulis," jengek
Ciamtay Cu-ih. "Aku tidak percaya kau benar2 ingin tidur.
Padahal setelah bangun tidur lalu kututuk lagi ketujuh Hiatto
semula, kan merugikan kesehatanmu sendiri?"
"Ya, betul juga," kata Peng-say.
Tiba2 Ciamtay Cu-ih mendengus: "Hm, jiwamu
sekarang tergenggam di tanganku, jangan kau bertingkah.
Memangnya kau kira aku tidak tahu, kau ingin main gila
dengan pura2 tidur, betul tidak?"
Peng-say menjawab dengan kurang senang: "Tidak boleh
tidur ya sudahlah, apa yang perlu kau rewelkan?"
"Rewel? Hm, tanpa alasan kau minta tidur, teatu ada
muslihat dibalik permintaanmu ini," jengek Ciamtay Cu-ih.
Mendadak ia meraba "Yang-kau-hiat", "Co-pin-hiat dan
Ki-bun-hiat", ketiga Hit-to ini belum sempat dipunahkan
oleh Peng-say, sebab itulah Ciamtay Cu-ih tidak merasakan
sesuatu kelainan pada Hiat-to itu.
Apabila dia meraba Hiat-to lain lagi, maka celakalah
Peng-say. Dalam gugupnya tiba2 timbul akalnya,
mendadak ia menyebut: "Saluran tenang menembus Samkoan.
. . ."
Ciamtay Cu-ih melengak demi mendengar ucapan itu,
dia berhenti meraba lebih jauh dan bertanya: "Apa itu yang
kau sebut?"
"Itulah rumus Lwekang pada jurus kelima Siang-liukiam."
jawab Peng-say.
"Rumus Lwekang jurus kelima? Apakah setiap jurusnya
terdapat rumus Lwekang tersendiri?" tanya Ciamtay Cu-ih
dengan sangsi.
"Ya, disinilah terletak kelihayan Siang-liu kiam-hoat,"
tutur Peng-say. "Satu jurus serangan membawa dua arus
tenaga kanan dan kiri, seluruhnya meliputi 98 serangan dan
terdiri dari 49 rumus Lwekang."
"Apa gunanya rumus Lwekang segala?" kata Ciamtay
Cu-ih.
"Sudah tentu besar gunanya," kata Peng-say. "Tenaga
setiap jurusnya berbeda, menghadapi keadaan demikian,
betapapun luas pengetahuan musuh juga sukar meraba
kemana perubahan serangan Siang-liu-kiam."
Ciamtay Cu-ih termenung sejenak, katanya kemudian:
"Pantas setelah jurus pertama, jurus kedua lantas banyak
berubah dan rada membingungkan, malah jurus ketiga
semakin sukar diraba. Kiranya Siang-liu-kiam-hoat
menempuh cara yang tidak pernah digunakan orang lain,
sampai2 cara mengerahkan tenaga juga berbeda setiap
jurusnya."
Sejenak kemudian, tiba2 ia berkata pula: "Hm. dahulu
waktu Leng-hiang-caycu hadir dalam pertemuan di Ki-liansan,
waktu bicara tentang Siang-liu-kiam-hoat, yang
ditonjolkan hanya mengenai keunggulan ilmu pedangnya,
jika dia berani membuka rahasia ilmu pedangnya ini, masa
aku sampai dikalahkan hanya dalam lima jurus saja?!"
Peng-say tidak sudi berbantah dengan dia, cepat ia
menulis istilah2 yang disebutnya tadi dengan berbagai
perubahannya. Caranya menguraikan satu jurus itu
memerlukan satu halaman penuh. Sementara itu Peng-say
sudah selesai menulis keterangan empat jurus, tapi
semuanya belum sempat dibaca oleh Ciamtay Cu-ih.
Sekarang yang dilihat Ciamtay Cu-ih justeru jurus kelima
yang disebut tadi, dilihatnya uraian Peng-say itu makin
lama makin bagus, jurus inilah yang pernah
mengalahkannya di Ki-lian-san dahulu. Ia jadi tertarik dan
terus membacanya dengan penuh perhatian, sebab itulah
tangannya yang meraba tubuh Peng-say itu masih tetap
terletak di atas Ci-ju-hiat.
"Ci-ju-hiat" ini adalah salah satu Hiat-to yang telah
dibuka oleh Peng-say tadi, kalau rabaan Ciamtay Cu-ih itu
diteruskan, tentu akan ketahuan ada kelainan. Karena
itulah ia berusaha memancing membelokkan perhatian
orang, maka begitu jurus kelima selesai ditulisnya, tanpa
berhenti ia membalik halaman kertas lain dan mulai
menulis lagi jurus keenam.
Melihat Ciamtay Cu-ih asyik mengikuti tulisannya dan
lupa pada tangannya yang masih meraba di atas Ci-ju-hiat,
Peng-say tidak berani berhenti, ia menulis terus jurus
ketujuh dan jurus kedelapan.
Sampai disini dahi Peng-say mulai berkeringat. Soalnya,
setelah jurus ini ditulis, ia sendiri tidak dapat menulis
sambungannya lagi. Sebab jurus kesembilan hakikatnya
memang belum pernah dipelajarinya secara lengkap, cara
bagaimana ia dapat menguraikannya.
Diam2 ia berdoa semoga sebelum selesai ia menulis jurus
kedelapan itu tangan Ciamtay Cu-ih sudah meninggalkan
Ci-ju-hiatnya.
Akan tetapi Ciamtay Cu-ih seperti lupa daratan
membaca tulisan Peng-say itu sehingga sama sekali tidak
bergerak. Beberapa kali Ci-ho bertanya apakah sang guru
tidak sarapan pagi dulu juga tidak digubrisnya.
Agar lebih menarik perhatian orang, Peng-say agak tidak
berani menulis lambat, akhirnya jurus kedelapan juga
ditulisnya, kini dia harus menulis jurus kesembilan dan
disinilah dia mengalami kesulitan, sebab pada hakikatnya ia
sendiri belum paham jurus kesembilan itu secara lengkap.
Diam2 ia membatin: "Orang ini adalah seorang gurubesar
ilmu silat, jika aku sembarangan menulis dan
mengarang tentu akan diketahuinya. Tulisan empat jurus
bagian depan tadi belum sempat dibacanya, andaikan jurus
kesembilan ini kuulangi tulisan jurus pertama mungkin
takkan diketahuinya untuk sementara waktu. Bisa jadi
selagi kutulis ulang empat jurus pertama dan tangannya.
akan ditarik kembali sehingga lupa memeriksa Ci-juhiatku."
Karena pikiran itu, segera ia bekerja, pada halaman
berikutnya ia terus menulis lagi jurus pertama.
Baru habis jurus pertama ini ditulisnya, mendadak
Ciamtay Cu-ih bersuara heran, kontan ia ambil halaman
kertas itu dan bertanya: "Kenapa jurus kesembilan ini tidak
bersambung dengan jurus kedelapan?"
"Siapa bilang?" jawab Peng-say. "Kau sendiri belum
paham benar, hanya membacanya sepintas lalu tentu
rasanya tidak sambung—menyambung. Bilamana sudah
kutulis seluruhnya dan kau baca lagi satu kali tentu akan
menjadi jelas bagimu."
"Jika begitu lekas kau tulis lagi menurut kecepatan ini,
tidak perlu terlalu rajin, hanya buang2 waktu belaka, kukira
tulisanmu cukup jelas untuk dibaca biarpun tulis cepat,"
kata Ciamtay Cu-ih.
Diam2 Peng-say menghela napas lega, sebab pada waktu
merampas halaman kesembilan tadi sekaligus Ciamtay Cuih
telah menarik tangannya dari Ci-ju-hiat yang sedang
dirabanya itu.
Maka ia tidak ayal lagi, menyusul ia menulis ulang jurus
kedua pada halaman kesepuluh. Hanya kecepatannya agak
berkurang, sebab dia harus membagi perhatiannya untuk
melancarkan sisa Hiat-to yang belum terbuka tadi.
Ciamtay Cu-ih berdiri di belakangnya dan asyik
rmembaca dan mempelajari halaman kesembilan itu.
Sebagai seorang ahli ilmu silat, dengan sendirinya ia
merasakan kejanggalannya, makin dibaca makin merasakan
tidak cocok, tiba2 ia ambil pula halaman kedelapan dan
disesuaikan.
Melihat orang tetap sangsi, Peng-say menyadari lama2
tentu urusan bisa runyam, diam2 ia sangat gelisah.
Mendadak ia berhenti menulis sekalian dan mengerahkan
sepenuh perhatian untuk membuka Ki-bun-hiat, salah satu
Hiat-to yang belum lancar.
Karena sedang menekuni kelanjutan antara jurus
kedelapan dan jurus kesembilan, Ciamtay Cu-ih jadi tidak
mengetahui kalau anak muda itu telah berhenti menulis,
Setelah merasa sambungan antara jurus kedelapan ke jurus
kesembilan tidak cocok, ia coba menyesuaikan pula antara
jurus ketujuh dan jurus kedelapan.
Pada jurus ketujuh dan kedelapan ini ia merasa ada
kaitannya, tapi mengapa antara jurus kedelapan dan
kesembilan se-akan2 terputus, se-olah2 tangan disambung
pada kaki, jelas tidak cocok. Waktu ia periksa antara jurus
keenam dan ketujuh, satu dan lain juga berkaitan dengan
baik.
Diam2 ia berpikir: "Jika kedelapan lainnya ber-turut2
dapat sambung menyambung dengan baik, hanya jurus
kesembilan ini saja tidak dapat berkaitan dengan jurus
kedelapan, jelas bocah she Sau ini sengaja hendak menipu
aku."
Segera ia mencocokkan lebih teliti pada jurus2
pemulaan.
Ketika mem-balik2 sampai pada halaman kedua, Pengsay
merasa Ki-bun-hiat yang ingin cepat2 dilancarkan itu
belum berhasil dengan baik. ia menjadi kecewa dan juga
takut.
Setelah membalik halaman pertama, baru membaca
beberapa baris saja, mendadak Ciamtay Cu-ih berteriak:
"Kurang ajar! Kiranya demikianlah halnya."
Usahanya jelas gagal total, Peng-say menghela napas
panjang, ia hanya memejamkan mata dan menunggu ajal
belaka.
Merasa dirinya ditipu seperti anak kecil umur tiga,
Ciamtay Cu-ih sangat murka, mendadak ia menghantam
sehingga Peng-say mencelat dari ujung meja sini ke ujung
sana.
Selangkah demi selangkah Ciamtay Cu-ih mendekatinya,
bentaknya: "Apa maksud tujuanmu dengan menulis ulang
begini?"
Se-konyong2 Peng-say merasakan tubuh bagian atasnya
penuh tenaga. Rupanya ketujuh Hiat-to yang ditutuk
Ciamtay Cu-ih itu sebagian besar terletak di tubuh bagian
atas.
Tadi Ciamtay Cu-ih meraba dan memeriksa Hiat-to yang
ditutuknya itu, sudah tiga Hiat-to yang diperiksanya
kembali, yaitu Hiat-to yang terletak di bagian tujuh bagian
bawah, antara pinggang dan paha, ia berhenti ketika
meraba Ci-ju-hiat di bagian pinggang.
Semalam Peng-say telah berhasil melancarkan Hiat-to
bagian atas, tinggal Ki-bun-hiat saja yang belum tembus,
bilamana Hiat-to ini pun lancar, maka tubuh bagian atas
akan penuh tenaga murni lagi.
Perawakan Ciamtay Cu-ih itu pendek, waktu dia
menghantam tadi, kebetulan yang kena dihantam adalah
Ki-bun-hiat di bagian dada Peng-say. Padahal waktu itu
Peng-say sedang mengerahkan tenaga untuk melancarkan
Hiat-to yang macet itu, Hiat-to itu seperti ditumbuk hingga
terbuka, tenaga lantas lancar dan dapat bekerja penuh.
Lantaran tenaga sudah dapat dilancarkan di seluruh
tubuh bagian atas, kedua tangan Sau Peng-say lantas penuh
tenaga pula. Hanya saja Hiat-to bagian bawah belum
terbuka, maka dia belum sanggup berdiri, terpaksa ia duduk
bersila disitu.
Melihat gerak-gerik anak muda itu seperti sudah dapat
melancarkan Hiat-to sendiri yang tertutuk tadi, Ciamtay
Cu-ih terkejut. Tanpa ayal lagi ia memburu maju, kedua
tangannya menghantam, ia bermaksud melukai Peng-say
dahulu, habis itu baru menutuk lagi Hiat-to seperti tadi.
Akan tetapi sekarang Peng-say tidak mau pasrah nasib
dan menanti ajal lagi, cepat tangan kirinya juga
menghantam untuk menahan kedua tangan lawan,
sedangkan tangan kanan terus meraba kebelakang, untung
kedua pedangnya masih tersandang di punggung dan belum
dilucuti oleh Ciamtay Cu-ih.
Ketika ketiga tangan beradu, "blang", kontan Ciamtay
Cu-ih tergetar mundur beberapa tindak, ia berteriak kaget:
"He, kau . . . kau ...,."
Sungguh ia tidak menyangka Peng-say memiliki tenaga
dalam sehebat itu.
Serentak Peng-say melolos kedua pedangnya sambil
membentak: "Bangsat tua, sambutlah kedelapan jurusku!"
"Delapan jurus?" Ciamtay Cu-ih menegas dengan sangsi.
"Jangan2 hanya delapan jurus saja yang dapat kau pelajari
dengan lengkap?"
"Betul," jawab Peng-say, "melulu delapan jurus saja
sudah cukup untuk memenggal kepala anjingmu sambil
berduduk!"
"Hahahaha!" Ciamtay Cu-ih mendongak dan ter-bahak2.
"Hanya delapan jurus saja yang kau kuasai, apa yang mesti
kutakuti?"
Sementara itu Ci-ho dan anak murid Tang-wan lainnya
sama berlari masuk kesitu demi mendengar suara ribut2.
Tapi Ciamtay Cu-ih lantas memberi tanda dan berseru;
"Kalian keluar semua! Ingin kulihat cara bagaimana dia
memenggal kepalaku sambil berduduk?"
Habis berkata, segera ia mengitari Peng-say. secepat kilat
golok sabitnya telah menyabat sembilan kali.
Akan tetapi Peng-say telah mengerahkan tenaga dalam
kedua pedangnya, ia pasang tabir pedang sedemikian
rapatnya sehingga sukar ditembus serangan Ciamtay Cu-ih
itu, sejurus demi sejurus ia lantas melancarkan Siang-liukiam-
hoat.
Ciamtay Cu-ih telah menyerang berpuluh kali, tapi tetap
sukar mendekati anak muda itu, tentu saja ia sangat gusar.
Ketika melihat Peng-say melancarkan jurus kelima yang
disebut "Tam-jian-tit-ci" atau menghadapinya dengan tak
acuh, ia menjadi nekat, tanpa pikir terus menerjang
kedalam tabir sinar pedang, sekuatnya ia berniat
mematahkan jurus yang pernah mengalahkan dia di Ki-liansan
dahulu.
Sudah hampir tiga puluh tahun dia merenungkan jurus
kelima yang lihay ini, ia telah menemukan satu jurus aneh
untuk mematahkan jurus ini. Ia yakin, sekalipun Sau Cengin
sendiri masih hidup juga dia sanggup membobol jurus
serangannya yang kelima ini dengan jurus aneh
penemuannya ini.
Maklumlah, karena dia pernah dikalahkan pada jurus
kelima Siang-liu-kiam-hoat ini, dengan sendirinya kesan
Ciamtay Cu-ih pada jurus ini sangat mendalam.
Bagi orang yang belajar ilmu silat, lebih2 tokoh atau ahli
silat kelas tinggi, hampir boleh dikatakan selama hidupnya
selalu mencurahkan segenap pikirannya untuk menciptakan
jurus serangan yang aneh, terutama untuk mematahkan
setiap jurus serangan musuh yang lihay. Dan bilamana pada
saat berhasil, maka sama halnya seorang menjadi kaya
mendadak, girangnya tak terhingga.
Secara ilmu jiwa, orang kaya mendadak tentu ingin
pamer untuk memperlihatkan kekayaannya. Kalau tidak
demikian, mau diapakan kekayaan yang datang mendadak
itu?
Dan seperti inilah jalan pikiran Ciamtay Cu-ih sekarang.
Bagi Peng-say, dalam keadaan kaki belum cukup kuat
untuk berdiri, ia hanya ingin bertahan saja sehingga Hiat-to
lancar seluruhnya, habis itu barulah dia akan menandingi
Ciamtay Cu-ih secara resmi.
Tapi sekarang secara nekat Ciamtay Cu-ih telah
menerjang masuk ke dalam tabir pertahanannya, terpaksa ia
mengerahkan tenaga sepenuhnya, ia putar pedangnya
sedemikian kuat sehingga menimbulkan suara gemercit,
sekujur badannya se-akan2 lapisi oleh dinding yang tak
berwujud,
Terjangan Ciamtay Cu-ih itu hanya sampai setengah
jalan dan segera terbendung olah lapisan dinding tak
berwujud itu, jadi sia2 saja jurus aneh yang sudah disiapkan
itu, kalau tak dapat menembus tabir pertahanan lawan, apa
yang dapat dilakukannya?
Melihat gelagat tidak menguntungkan, seketika
runtuhlah semangat Ciamtay Cu-ih, segera ia bermaksud
melompat mundur untuk menyelamatkan jiwa, akan tetapi
angin pedang Peng-say yang dahsyat itu se-olah2
menimbulkan daya tarik sehingga ketika ia hendak
melompat mundur, gerak-geriknya menjadi agak lamban.
Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh Sau Peng-say, jurus
keenam Siang-liu-kiam segera bekerja, "cret", kaki kiri
Ciamtay Cu-ih tertabas putus oleh pedang Kiri.
Namun Ciamtay Cu-ih juga tidak tinggai diam2, dalam
keadaan terapung di udara, meski kaki sudah buntung,
sekuatnya goloknya membacok, sebisanya ia melawan
mati2an.
"Lihat pedang!" teriak Peng-say.
Tentu saja Ciamtay Cu-ih kelabakan, sebisanya ia
menangkis, akan tetapi tenaganya sudah jauh berkurang,
mana dia sanggup menahan serangan pedang Kanan,
"cret", kembali lengan kanan yang memegang golok itupun
tertabas buntung sebatas siku. Sampai disini ia tidak bisa
nekat lagi, ia menjerit dan roboh terbanting.
Dahulu setelah dia dikalahkan jurus kelima Siang-liukiam-
hoat, ia merasa kekalahan itu sebagai penghinaan
selama hidup, tak terduga sekarang kembali ia dikalahkan
oleh jurus keenam Siang-liu- kiam yang dimainkan oleh
anak murid Sau Ceng-in. bahkan jauh lebih mengenaskan
kekalahannya.
Setelah menabas buntung sebuah kaki dan sebuah tangan
musuh. betapapun Sau Peng-say belum puas sebelum
membunuh Ciamtay Cu-ih untuk membalaskan sakit hati
Cin Yak-leng dan Liu Ji-si. Menyusul pedangnya menyabat
pula, sekarang kepala Ciamtay Cu-ih yang diincar,
Untung bagi Ciamtay Cu-ih, pada detik paling gawat itu
sesosok bayangan kelabu melayang tiba, jari telenjuk lantas
menjentik. "Cring", pedang Peng-say tahu2 terselentik
patah,
Berbareng itu si bayangan kelabu terus berjongkok untuk
mengangkat tubuh Ciamtay Cu-ih.
"Lepaskan!" bentak Peng-say, pedang lain terus
menusuk.
Tapi kembali bayangan kelabu itu menyelentik dengan
jarinya sambil memutar tubuh. tahu2 pedang Sau Peng-say
terselentik patah pula.
Selentikan kedua ini dapat dilihat Peng-say dengan jelas,
berbareng itu ia pun dapat melihat potongan tubuh si
bayangan kelabu, dengan terkejut dan heran ia bertanya:
"He, kau. . . .kau anak murid Ci-tiok-to di Tang-hay?"
Tapi si baju kelabu tidak menghiraukan tegurannya itu,
ia bawa tubuh CiamtayCu-ih terus melayang keluar.
"Berhenti! Lepaskan!" bentak Peng-say pula.
Segera ia bermaksud berdiri untuk mengejar tapi apa
daya, maksud ada tenaga kurang, terpaksa dia berduduk
kembali.
"Nikoh bangsat," dia mencari-maki, "berani kau bawa
lari bangsat tua itu, pada suatu hari tentu akan kupotong
jarimu itu!"
Walaupun begitu dia memaki, tapi didalam hati ia
membatin: "Apakah aku mampu?"'
Jelas selentikan tadi adalah ilmu sakti "It-sian-ci atau Jari
sakti” yang termashur di dunia persilatan dan diketahui
sebagai ilmu sakti andalan Keng-goat Sinni, seorang Nikoh
tua yang maha sakti yang bermukim di Ci-tiok-to atau
pulau bambu ungu sebuah pulau yang jauh terletak di
lautan timur.
"It-ci-sian," pelahan Peng-say menyebut nama itu sambil
menggeleng, ia menyadari betapa pun tidak mampu
menandingi ilmu sakti itu.
Ia berduduk tenang hingga lama, akhirnya dapatlah dia
melancarkan Hiat-to lain dan berdiri ia pikir tadi kalau tidak
berkat "Ci-he-kang" dari mendiang ayahnya itu, tidak
mungkin dia mampu membuka sendiri ketujuh Hiat-to yang
ditutuk Ciamtay Cu-ih itu.
Memang, kalau bukan Ci-he-kang yang merupakan
rajanya Lwekang, di dunia ini memang tiada seorang pun
yang mampu membuka Hiat-to yang ditutuk Ciamtay Cuih.
Dia menjemput kembali kedua pedangnya yang patah,
teringatlah dia kepada Nikoh tadi, sungguh ia tidak paham
dari manakah orang dan sekarang sudah jelas Nikoh itu
bukan orang kiriman Sam-lo yang ditugaskan untuk
melindunginya,
Ia menjadi sangsi, pikirnya: "Jangan2 selentikan tadi
bukan It-ci-sian melainkan Pek-niau-tiau-long (beratus
burung menyembah burung Hong) dariMo-kau?"
Bahwa tadi dia mengira ilmu si Nikoh adalah It-ci-sian,
soalnya gaya serangan Nikoh itu mirip sama Kik Fi-yan
menyelentik pulungan kertas yang disambitkan Ciamtay
Cu-ih kepadanya di ruang pendopo kediaman Wi Kay-hou
dahulu, Saat itu Kik Fi-yan mengaku ilmu jarinya adalah Itci-
sian dan tidak diragukan orang.
Padahal sebenarnya Kik Fi-yan adalah anggota Ma-kau,
jelas ilmu jarinya itu adalah "Pek-niau-tiau-hong" dari Mokau
yang terkenal dan bukan It-ci-sian. Cuma di antara
kedua ilmu sakti itu pasti sangat mirip.
Akan tetapi waktu itu agar tidak menimbulkan
kemurkaan orang banyak, maka Kik Fi-yan telah sengaja
mengaku ilmu jarinya adalah It-ci-sian, hal itupun
dipercayai semua orang. Jika tidak ada kemiripan di antara
It-ci-san dan Pek-niau-tiau-hong, mana para tokoh
terkemuka yang hadir di tempat Wi Kay-hou itu dapat
dikelabui?
Jadi seharusnya sekarang Peng-say memperkirakan ilmu
jari Nikoh tadi adalah Pek-niau-tiau-hong, akan tetapi
setelah dipikir, orang adalah Nikoh, dengan sendirinya ada
kemungkinan anak murid Keng-goat Sin-ni, si Nikoh sakti
di lautan timur itu.
Berdasarkan ini pula sama sekali dia tidak berpikir
bahwa Nikoh tadi ada sangkut-pautnya dengan Mo-kau,
langsung dia anggap ilmu jari orang adalah ilmu sakti dari
Ci-tiok-to.
Tapi sekarang, setelah direnungkan lagi lebih teliti,
kembali ia menyangsikan ilmu jari si Nikoh tadi adalah
Pek-niau-tiau-hong.
Namun ia pun belum berani memastikannya, sebab
kalau betul ilmu jari itu Pek-niau-tiau-hong dari Ma-kau,
mengapa Nikoh itu tidak menyergapnya, sebaliknya ada
tanda2 hendak membantunya?
Begitulah ia menjadi serba salah memikirkan asal-usul
Nikoh itu. hanya satu hal sudah pasti, yaitu Nikoh pasti
bukan orang kiriman Sam-lo, sebab sudah jelas Kungfu si
Nikoh tidak di bawah Sam-lo mana mungkin dapat
diperintah oleh Sam-lo,
Ia coba melangkah keluar, dilihatnya di luar sana
menggeletak anak murid Ciamtay Cu-ih, rupanya mereka
telah tertutuk Hiat-to tidurnya, pantas tiada seorang pun
yang masuk lagi kesana untuk membantu gurunya.
Diam2 Peng-say bersyukur dirinya terlepas dari
malapetaka, Bayangkan saja betapa bahayanya, andaikan
anak murid Ciamtay Cu-ih itu tidak tertutuk Hiat-to yang
membuat mereka tak bisa berkutik, lalu salah seorang di
antaranya menyalakan api sehingga perkampungan itu
terbakar. Dalam keadaan tak bisa berjalan, bukankah Pengsay
akan mati terbakar hidup2?
Karena itulah, tindakan si Nikoh tadi sama seperti telah
menyelamatkan lagi Sau Peng-say. anak muda ini jadi
menyesal telah memakinya sebagai Nikoh bangsat.
Tapi apapun juga dia tetap tidak paham sebab apa orang
menolongnya.
Waktu ia periksa lagi ruangan depan, benar juga, peti
mati memang sudah dibelikan oleh Ci-ho,
Sendirian Peng-say mengubur Liu Ji-si, ia pun tidak
membikin susah Ci-ho dan begundalnya, dibiarkan Hiat-to
mereka terbuka dengan sendirinya. Ia berdiri
mengheningkan cipta hingga lama di depan kuburan Liu Jisi,
habis itu barulah dia melangkah pergi, melanjutkan
perjalanan ke Si-an.
OoOd wOoO
Si-an adalah sebuah kota besar di propinsi Siamsay, di
barat-laut Tiongkok. Sebuah kota yang paling lama
dijadikan ibu kota dari berbagai dinasti kerajaan di
Tiongkok, di antaranya dinasti Ciu selama 342 tahun, Han
selama 215 tahun, Tang 290 tahun, boleh dikatakan
memakan waktu hampir seribu tahun selama sejarah
kerajaan di Tiongkok.
Kota yang berbentuk lonjong ini cukup ramai dengan
jalan raya dan istana yang megah, Banyak pula terdapat
tempat2 bersejarah dan tempat tamasya yang terkenal.
Diantara tempat2 terkenal itu terdapat "Gan-tah" atau
Pagoda Belibis.
"Pagoda Belibis" ini ada dua, dibedakan dengan besar
dan kecil, semuanya terletak di kota selatan. Pagoda Belibis
besar berada di lingkungan biara Cu-in-si, konon di pagoda
inilah Hian-cong, paderi yang juga terkenal dengan Samcong,
pernah berdiam menyalin kitab pelajaran Buddha
yang dibawanya pulang dari negeri Hindu.
Sedangkan Pagoda Belibis kecil terletak di biara Pianhok-
si.
Pagoda di dalam agama Buddha dikenal sebagai Budur
atau candi. Gan-tah kecil di Pian-hok-si ini tingkat lima
belas, tingginya lebih 300 kaki, dibangun pada jaman
kerajaan Keng-hong dinasti Tang.
Konon pada jaman kaisar Kah-ceng, dinasti, Beng
jadilah gempa bumi, Pagoda Belibis kecil ini telah rusak
menjadi dua, tapi tahun berikutnya terjadi lagi gempa bumi
dan pagoda itu pun rapat menjadi satu lagi. Dan begitu
seterusnya bila terjadi gempa bumi, pagoda itu selalu retak
dan rapat kembali. Hal ini benar2 sesuatu keajaiban alam.
Pada Gan-tah kecil itu terdapat pula sebuah genta
raksasa yang terkenal dan dipandang sebagai delapan
keajaiban di Tiongkok.
Konon genta raksasa itu ditemukan di tepi sungai ketika
seorang perempuan dusun lagi mencuci pakaian di tepi
sungai, waktu baju yang dicucinya itu dibanting pada
sepotong batu cadas yang menonjol di tepi sungai, tiba2
menimbulkan suara gemerantang nyaring dan
berkumandang jauh.
Orang yang berlalu lalang di situ merasakan keanehan
tersebut, ketika diperiksa dan digali, diketahui batu cadas
besar itu ternyata sebuah genta saksasa.
Genta itu lantas dipindahkan ke puncak Pagoda Belibis
kecil dan menjadi tempat tamasya yang terkenal di seluruh
negeri.
—0O0d w0O0—
Di kota Si-an terdapat sebuah Ban-seng-piau-kiok,
sebuah perusahaan ekspedisi yang terkenal, merupakan
satu2nya Piaukiok yang ada di Si-an.
Sebab apakah di kota Si-an yang besar ini hanya terdapat
sebuah Piaukiok saja?
Sudah tentu ada alasannya. Sebab selain Piau¬kiok ini,
siapa pun tidak berani membuka Piaukiok di daerah
kekuasaan Ma-kau ini. Dan cukong dibelakang layar Banseng-
piau-kiok ini dengan sendirinya ada hubungan erat
dengan Ma-kau, makanya dapat berdiri dan berusaha
dengan aman dan makmur.
Pemimpin umum Ban-seng-piaukiok itu bernama Tan
Tiang-hoat.
Pagi hari ini, baru saja Ban-seng-piau-kiok membuka
pintu, petugasnya yang bernama Ci Ji itu seketika kaget dan
pucat, ia ber-lari2 ke ruangan belakang sambil berteriak2;
"Wah, celaka! Celaka."
"Ada apa, Ci Ji?" tanya Tang Tiang-hoat, itu Congpiauthau
atau pemimpin umum Ban-seng-piau-kiok yang
baru bangun tidur.
Sampai lama Ci Ji tidak sanggup bersuara, akhirnya ia
menjawab dengan menggeleng sambil menuding keluar:
"Ada gen. . .genta. . . ."
"Genta apa?" tanya pula Tang Tiang-hoat. Ada kejadian
apa, tuturkanlah dengan pelahan, jangan gugup!"
Ci Ji berganti napas dulu, akan tetapi belum juga dia
dapat melapor dengan jelas, ucapnya dengan rasa takut:
"Genta. . .genta raksasa di Gan-tah itu telah.... telah
berpindah kedepan pintu perusahaan kita!"
Tanpa bertanya lagi Tan Tiang-hoat terus berlari ke
depan.
Genta raksasa itu tingginya kira2 sama dengan tinggi dua
orang, besarnya tidak cukup untuk dipeluk dua orang.
Sekarang genta itu bertengger di depan pintu Ban-seng-piaukiok
dengan tegaknya. sungguh mengejutkan dan
membingungkan.
Air muka Tan Tiang-hoat berubah kelam, ia berdiri termangu2
didepan pintu. Pikirnya: "Gan-tah kecil sedikitnya
lima li jauhnya dari sini, untuk bisa sampai disini
diperlukan berlari. Tapi untuk mengangkat benda berbobot
ribuan kati ini saja sudah sulit, apalagi harus
menurunkannya dari pagoda yang tingginya lebih 300 kaki,
lalu semalam suntuk berlari kesini dengan mengangkat
genta ini, jelas maha sulit, kecuali orang yang mempunyai
tenaga dalam yang sukar ada tandingannya, kalau tidak
jangan harap akan mampu melakukannya."
Hampir setiap penduduk kota Si-an kenal genta raksasa
ini, kalau diangkut disiang hari pasti akan membikin
gempar seluruh penduduk kota. Jadi jelas orang
melakukannya diwaktu malam sehingga belum sampai
dilihat orang.
Untung hari masih sangat pagi, jalan raya belum ada
orang berlalu-lalang. Apabila kejadian ini sampai diketahui
orang dan tersiar, maka papan merek Ban-seng-piau-kiok
pasti akan runtuh.
Diam2 Tan Tiang-hoat juga berpikir: "Tenaga dalam
orang yang membawa genta ini jelas sangat mengejutkan,
pasti bukan sembarangan tokoh persilatan. Mungkin
sasarannya bukan diriku orang she Tan ini, bisa jadi ada
sangkut-pautnya dengan Mo-kau, rasanya perlu cepat2
kulaporkan."
Tan Tiang-hoat memang berpengalaman dan cekatan,
menghadapi urusan apa pun tidak menjadi gugup, setelah
dipikir dan direnungkan lagi, segera tahu apa yang harus
diperbuatnya, Padahal ilmunya tidaklah tinggi justeru
lantaran kecekatan bekerja dan pintar berpikir inilah, maka
dia diserahi tugas memimpin Ban-seng-piau-kiok oleh Makau.
Dalam pada itu Ci Ji sudah memberitahukan yang terjadi
itu kepada seluruh anggota Piau-kiok sehingga berbondong2
mereka sama keluar. yang belum bangun, begitu
mendengar geger2 tanpa berbaju mereka terus memburu
keluar.
Melihat orang banyak itu, Tan Tiang-hoat berkerut
kening, katanya. "Kejadian ini tidak boleh tersiar, lekas
kalian pergi mengambil sebuah layar kerundungi saja genta
ini, biarkan kupergi kepada pimpinan Ma-kau."
Setiba di Congtong atau markas pusat, segera ia
beritahukan peristiwa ini kepada Hiangcu (pemimpin seksi)
yang dinas piket.
Hiangcu yang berpiket itu pun hampir tidak percaya apa
yang terjadi itu, lekas2 ia melaporkan hal itu kepada salah
seorang Tianglo (tertua) Ma-kau, yaitu Go Hui.
Setelah mendapat laporan lebih jelas dari Tan Tianghoat,
Go Hui ternyata sependapat dengan Tan Tiang-hoat,
yaitu orang yang sengaja pamer kekuatan dengan
memindahkan genta raksasa dari Gan-tah kecil kedepan
pintu Ban-seng-piau-kiok itu, tujuannya bukan terhadap
Ban-seng-piau-kiok.
Yang menjadi persoalan adalah kebetulan yang Kaucu
lagi pergi jauh dan belum pulang. Maka Go Hui lantas
memutuskan akan pergi sendiri ke Ben-seng-piau-kiok, ia
menduga orang yang bersangkutan itu hari ini pasti akan
mencari perkara ke Piau-kiok.
Di antara ketiga Tiangio Ma-kau sekarang, ilmu silat Go
Hui terhitung yang paling tinggi. Jika Tianglo ini mau pergi
kesana, tentu saja Tan Tiang-hoat tidak perlu kuatir apa2
lagi.
Diluar dugaan, meski Go Hui sudah menunggu hingga
senja tiba, tetap tidak nampak munculnya si penyatron.
"Go-tianglo, kata Tan Tiang-hoat kemudian, kukira
genta ini tidak boleh tertinggal di sini.""
Sehari penuh sudah banyak kedatangan orang yang ingin
tahu barang apakah yang dikerudungi layar besar itu,
malahan ada yang bermaksud mengintip.
Untung penjagaan orang2 Piau-kiok cukup ketat apalagi
orang luar juga tahu Ban-seng-piau-kiok adalah usaha Makau,
maka tidak ada yang berani bertanya lebih lanjut.
Akan tetapi bila keadaan demikian terus berlarut. kertas
tentu tak dapat membungkus api, akhirnya kejadian itu
tentu juga akan bocor. Apalagi pintu gerbang Ban-sengpiau-
kiok tertutup oleh layar, lalu mau usaha apa? Sedikit
hari lagi jika hal itu tersiar tentu juga akan memalukan
nama perusahaan.
Rusaknya nama baik Ban-seng-piau-kiok tidak jadi soal,
tapi setiap orang tahu Cukong Ban-seng-piau-kiok yang
sebenarnya adalah Ma-kau, apakah hal itu tidak berartiMakau
ikut kehilangan muka?
Maka setelah berpikir, kemudian Go Hui berkata:
"Maksud tujuan orang itu memindahkan genta ini ke sini,
jelas dia sengaja hendak membikin malu Mo-kau kita. Hm,
dia menyangka Mo-kau kita tiada seorang pun yang
sanggup memindahkan kembali genta ini ke tempat
asalnya?"
"Bagaimana kalau malam nanti kusuruh sepuluh orang
kuat memindahkan kembali genta ini ke Gan-tah kecil?"
tanya Tan Tiang-hoat
Go Hui menggeleng, katanya: "Meski sepuluh orang
kuat mampu menggotong genta ini, tapi mereka tak dapat
berlari, dalam waktu semalam tetap tidak dapat mencapai
tempat tujuan. Kita tidak perlu tahu berapa orang pihak
lawan membawa genta ini kesini, yang jelas Ma-kau kita
pasti akan ada orang kuat yang sanggup mengangkat
sendirian genta ini ke tempat asalnya."
Tan Tiang-hoat mengiakan. ia tidak berani bertanya
siapakah orang kuat yang dimaksudkan.
Tapi pagi2 esoknya, baru saja remang fajar akan
menyingsing, tertampaklah di bawah Gan-tah kecil itu
datang seorang Hwesio berjubah kelabu dengan tangan
mengangkat genta raksasa itu.
Seperti sudah diceritakan, pagoda atau candi bertingkat
lima belas, tinggi setiap tingkatnya dua tombak (empat
meteran).
Hwesio jubah kelabu itu menarik napas panjang lalu
meloncat ke atas, tanpa bersuara dapat ia mencapai tingkat
kedua. Begitulah ber-turut2 ia meloncat ke atas hingga
tingkat kesembilan, sampai disini, waktu hinggap di lantai
sudah menimbulkan suara pelahan. Waktu dia naik lagi
lebih keatas, ketika hinggap di lantai, suara yang
ditimbulkan juga tambah keras. Sampai tingkatan terakhir,
yaitu tingkat ke-15, suara yang ditimbulkan sudah mirip
tubuh orang terbanting, berbunyi "blang" dengan keras.
Air Muka Hwesio jubah kelabu itu pun ber-ubah2 dari
merah berubah menjadi pucat, dari pucat kembali merah.
Dia harus mengerahkan tenaga dan air muka berubah tiga
kali barulah cukup kuat mencapai tingkat tertinggi itu, lalu
pelahan dia menurunkan genta raksasa yang dibawanya.
Pada saat itulah tiba2 seorang berkata di belakangnya:
"Anda ini tentunya Ma-kau-tianglo Sip-lik Taysu adanya!"
Hwesio jubah kelabu itu memang betul Sip-lik Taysu.
salah seorang Tianglo yang terkenal bertenaga raksasa di
dalamMa-kau.
Pelahan Sip-lik Taysu membalik tubuh, lalu bertanya:
"Darimana anda kenal akan diriku?"
"Kalau bukan Sip-lik Taysu, siapakah di dunia ini yang
mampu mengangkat genta besar ini sambil ber-lari2 sejauh
lima li lalu meloncat keatas candi setinggi lima belas tingkat
ini tanpa lelah?" demikiah jawab orang itu.
"Siapakah nama anda yang terhormat?" tanya Sip-lik
Taysu dengan tersenyum.
"Cayhe Sau Peng-say," kata orang itu.
Orang ini memang benar Peng-say adanya. Melihat Siplik
Taysu menyambut pujiannya dengan tersenyum, tahulah
dia orang bukan seorang paderi yang memandang kosong
segalanya sesuai ajaran agama Buddha. Maka diam2 ia
sudah mempunyai akal.
Maklumlah, sudah jelas dia kelihatan sangat lelah, hal ini
terbukti dari suara yang diterbitkannya ketika hinggap
ditingkatan teratas tadi, mana dia dapat menerima pujian
Peng-say sebagai tidak letih.
Karena itulah Sip-lik Taysu lantas berkata: "Sau Pengsay,
apakah kau yang memindahkan genta besar ini ke
depan pintu Ban-seng-piau-kiok sana?"
Ia lihat Peng-say masih muda belia, namanya tidak
terkenal, betapa pun ia tidak percaya hal itu dapat
dilakukan olehnya.
Maka Peng-say lantas menjawab: "Jadi Taysu tidak
percaya? Padahal Cayhe cukup yakin akan diriku sendiri
pasti sanggup melaksanakannya tanpa letih sedikitpun."
Dengan ucapan "pasti sanggup" itu dia se-akan2 hendak
menyindir pihak lawan yang jelas2 tidak sanggup.
Sudah tentu Sip-lik Taysu tahu arti ucapan anak muda
itu, ia berdehem, lalu menjawab: "Melompat turun dengan
membawa genta itukan jauh lebih mudah daripada
membawanya keatas."
Di balik ucapannya itu ia pun ingin ber-olok2 bahwa
membawa genta itu ke bawah mana dapat dibandingkan
dengan membawanya ke atas.
Peng-say tertawa, katanya: "Melompat ke atas dengan
membawa genta itupun tidak sulit dan tidak perlu letih."
"Ya, memang tidak sulit," jengek Sip-lik Taysu.
"Jika begitu, boleh coba. . . ." belum habis ucapannya,
mendadak sebelah tangan Peng-say menghantam ke depan.
Cepat Sip-lik Taysu menangkis sekuatnya, tapi belum
lagi kedua tangan beradu benar. mendadak ia jatuh
terduduk karena dorongan tenaga lawan yang maha
dahsyat.
Peng-say tersenyum dan tidak bersuara.
Tentu saja senyuman Peng-say itu dirasakan sangat
menusuk perasaan oleh Sip-lik Taysu, ucapnya dengan
geram: "Hm, pada saat tenagaku sudah lemah baru kau
menyerang, kenapa mesti senang?"
"Tenaga lemah? Kalau tidak letih, kenapa tenaga sampai
lemah?" kata Peng-say. Sejenak kemudian ia menyambung
pula: "Katanya tidak sulit? Haha, lucu, sungguh
menggelikan."
Kelam air muka Sip-lik Taysu saking gemasnya,
mendadak ia berteriak: "Jika kau benar2 tidak letih
meloncat keatas dengan membawa genta itu, biarlah
kuberikan kepalaku ini!"
"Apa gunanya kepalamu yang gundul itu?" ujar Pengsay.
"Habis apa kehendakmu?" jawab Sip-lik Taysu.
"Aku cuma ingin tanya satu hal padamu."
"Hanya begitu saja?"
"Betul."
"Kalau tidak dapat kau lakukan?"
"Terserah kepada kehendakmu, apa pun akan
kusanggupi."
"Baik, setuju!" kata Sip-lik Taysu. "Nah. bertepuk tangan
sebagai tanda akan pegang janji!" kata Peng-say.
Setelah kedua orang mengadu tangan, mendadak jari
Peng-say menutuk Siok-kin-hiat di pinggang Sip-lik Taysu
sehingga roboh tak berkutik.
"Bocah busuk. . . ." belum habis Sip-lik memaki, kembali
Peng-say menutuknya pula Hiat-to bagian bisu.
"Maaf, terpaksa bikin susah kau satu hari." kata Peng-say
dengan tertawa. Dia menyingkap genta raksasa itu dan
mendorong Sip-lik Taysu kedalam genta, habis itu barulah
ia melayang turun pagoda itu dan berlari pergi secepat
terbang.
Menghilangnya Sip-lik Taysu tentu saja membuat panik
segenap anggota Mo-kau hampir seluruh pelosok kota Si-an
telah digeledah dan dicari secara rahasia oleh anak murid
Mo-kau. Akan tetapi semua usaha hanya sia2 belaka,
bayangan Sip-lik Taysu tetap tidak ditemukan. Siapapun
tidak sangka bahwa Sip-lik Taysu disembunyikan di genta
raksasa di puncak Pagoda Belibis itu.
Go Hui paling akrab dengan Sip-lik Taysu, keduanya
sama2 Mo-kau-tianglo, dia yang minta Sip-lik Taysu agar
membawa kembali genta itu ke tempatnya yang semula.
Ketika hal itu dilaksanakan Sip-lik, diam2 ia merasa urusan
tidak sederhana, maka ia bermaksud melindungi Sip-lik
secara diam2.
Namun ia pun tahu Sip-lik Taysu rada tinggi hati dan
suka menang, maksud Go Hui itu bisa jadi dianggapnya
sebagai suatu penghinaan. Apalagi ia pun yakin di dunia ini
jarang ada yang mampu menandingi Sip-lik, maka
maksudnya mengawal Sip-lik lantas dibatalkan.
Tapi ketika keesokannya Sip-lik tidak kelihatan pulang,
Go Hui menjadi gelisah. Cepat ia menyusul ke Gan-tah
kecil, dilihatnya genta itu sudah kembali di tempat asalnya,
namun Sip-lik tetap tidak kelihatan bayangannya.
Diam2 ia lantas memerintahkan anggota Ma-kau
menyelidiki seluruh pelosok kota, setiap orang yang
sekiranya mencurigakan juga diawasi. Tapi sampai petang
hari tetap tidak diperoleh sesuatu petunjuk yang
memuaskan.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 34
Dalam pada itu. ketika malam tiba, Peng-say melayang
lagi kepuncak Pagoda Belibis itu dan melepaskan Sip-lik
dari bawah genta.
Karena terkurung sehari penuh di dalam genta yang
pengap, meski Hiat-to yang tertutuk sudah terbuka tapi
terasa lemas juga seluruh badan. Diam2 Sip-lik Taysu
hanya memendam rasa gusarnya didalam hati dan tidak
berani diperlihatkan.
Peng-say menyodorkan satu bungkus rangsum kedepan
paderi itu, katanya dengan menyesal, "Maafkan tindakanku
yang tidak sopan ini. Soalnya kekuatan Ma-kau kalian
teramat besar di daerah ini, Cayhe hanya sendirian dan
masuk ke sarang harimau untuk memusuhi kalian, demi
keselamatanku sendiri terpaksa harus kubikin susah
padamu. Silakan dahar, silakan!"
Biarpun gusar, isi perut terlebih penting. Hanya sekejap
saja Sip-lik Taysu telah menyikat bungkusan makanan itu.
"Taysu ternyata seorang yang lugu, sama sekali tidak
takut kuracuni kau," kata Peng-say dengan tertawa.
"Aku kan sudah jatuh didalam cengkeramanmu, kalau
mau dapat kau sembelih sesukamu, kenapa ku-takut
diracun?" jawab Sip-lik Taysu.
"Ah, sama sekali tiada maksudku hendak mencelakai
Taysu, lewat malam ini tentu akan kukembalikan
kebebasan Taysu," ujar Peng-say.
"Dengan tipu daya yang kau atur ini, apakah tujuannya
cuma untuk pertaruhan malam ini saja?"
"Betul. Kalau tidak demikian, rasanya tidaklah mudah
bagiku untuk berjumpa dengan tokoh penting di dalamMakau
kalian seperti Taysu."
"Jadi menurut perhitunganmu aku pasti akan masuk
perangkapmu?" jengek Sip-lik.
"Ah, juga kebetulan saja," jawab Peng-say.
"Jika waktu Taysu mengangkut pulang genta ini dikawal
orang, tentu Cayhe tidak berani bertindak apa pun terhadap
Taysu."
Dengan angkuh Sip-lik menjawab: "Selaku Tianglo
terkemuka di dalan. Mo-kau kami, kenapa harus dikawal
orang?"
Peng-say tersenyum, pikirnya di dalam hati: "Justeru
lantaran watakmu yang sok inilah. maka sudah
kuperhitungkan hasil seperti sekarang ini."
Sip-lik Taysu dapat meraba jalan pikiran anak muda itu,
ia menjengek pula: "Hm, kau pun tidak perlu gembira, apa
yang kau lakukan juga tidak berdasarkan kepandaian
sejati."
"Jadi Taysu masih penasaran?" tanya Peng-say.
"Bila benar2 dapat kau kalahkan diriku, biarpun tertawan
juga tidak akan menyesal," ujar Sip-lik.
"Kutahu Taysu terhitung tokoh Mo-kau nomor satu
dengan tenaga saktimu, sebab itulah sengaja kutetapkan
pertaruhan malam ini, supaya Taysu akan kalah dengan
takluk lahir batin."
"Jika anda benar2 dapat meloncat ke atas Pagoda dengan
membawa genta ini tanpa memperlihatkan rasa letih, tentu
saja aku akan menyerah sepenuhnya. Cuma, dengan susah
payah kau atur tipu muslihatmu ini. perlu juga kutanya apa
maksud tujuanmu."
"Tentang tujuanku, biarlah kita bicarakan setelah selesai
taruhan," kata Peng-say.
"Baik, silakan mulai!" kata Sip-lik.
"Coba, kalau menurut perkiraan Taysu, berapa
panjangnya kira2 sekeliling pagoda ini?" tanya Peng-say.
Sip-lik berpikir sejenak, jawabnya kemudian, ”Kurang
lebih 20 tompak."
"Betul, sudah kuukur, memang persis 20 tombak " kata
Peng-say.
Habis berkata segera ia angkat genta besar itu. melompat
turun setingkat demi setingkat, hanya sekejap saja ia sudah
berada di dasar pagoda itu.
Semula Sip-lik Taysu rada sangsi apakah pemuda sebelia
dia ini mampu mengangkat genta sebesar itu. Ia menduga
orang yang mengangkat genta ini kedepan pintu Ban-sengpiau-
kiok tentu tidak dilakukan oleh Peng-say seorang saja.
Sekarang terbukti Peng-say dapat mengangkat genta
besar itu dengan enteng dan melompat ke bawah pagoda
seenaknya, maka Sip-lik tidak sangsi lagi. Namun begitu dia
masih ragu2 apakah anak muda itu mampu meloncat
kembali keatas pagoda melebihi dirinya tadi dan tidak
memperlihatkan rasa letih sedikit pun?
Ia memandang kebawah dari puncak pagoda, ia tidak
melihat Peng-say meloncat lagi keatas. tapi anak muda itu
mulai berlari cepat mengelilingi pagoda, maka pahamlah
dia untuk apa Peng-say bertanya tentang panjang lingkaran
pagoda itu tadi.
"Hm, bocah ini tidak tahu diri, berani dia bertanding
dengan aku secara sama," demikian diam2 Sip-lik
menjengek.
Kiranya dia menganggap tenaga saktinya sangat kuat,
asalkan Peng-say mampu mengangkat genta itu kembali
keatas, maka iapun akan mengaku kalah, ia rela memberi
jarak lima li. dari Ban-seng piau-kiok ke pagoda ini. Siapa
tahu, Peng-say ternyata tidak mau menarik keuntungan ini.
Kalau satu li sama dengan seratus tombak, lima li berarti
lima ratus tombak, Sedangkan sekeliling pagoda itu
panjangnya 20 tombak, maka lima li sama dengan 25 kali
mengitari pagoda itu.
Begitulah dengan cepat Peng-say terus mengitari pagoda
itu, tidak sampai setengah jam 25 putaran sudah
diselesaikannya.
Menyaksikan tenaga anak muda itu, mau-tak-mau Sip-lik
Taysu menjulurkan lidah. Pikirnya, "Meski pun berlari
cepat juga menghemat tenaga, tapi kalau aku diharuskan
berbuat sama, apakah aku mampu?"
Rupanya waktu dia membawa genta besar itu dari Ban
seng-piau-kiok kembali ke pagoda ini, di tengah jalan dia
perlu beristirahat beberapa kali dan makan waktu tiga jam
baru bisa tiba di tempat tujuan. Jika dia diharuskan
mencapainya dalam waktu setengah jam, jelas tidak
sanggup dilakukannya.
Sampai di sini, tidak perlu lagi Peng-say mengangkat
genta itu keatas pagoda, diam2 Sip-lik Taysu sudah
mengaku kalah.
Akan tetapi taruhan mereka memakai patokan letih dan
tidak, maka iapun ingin menyaksikan apakah pemuda itu
mampu meloncat ke atas pagoda setingkat demi setingkat
dan apakah takkan menerbitkan suara setiba di puncak
pagoda?
Dalam pada itu Peng-say sudah mulai meloncat ke atas
dengan membawa genta raksasa itu. Setiba di tingkat ke-13,
tampaknya dia masih gagah dan kuat, sedikit pun tidak
kelihatan letih, waktu menghinggap di lantai juga tidak
bersuara.
Seketika Sip-lik Taysu merasa lemas, katanya di dalam
hati: "Sudahlah, selanjutnya aku malu menggunakan nama
'Sip-lik' (tenaga sepuluh) lagi. Entah apa yang akan
ditanyakan bocah ini? Ku kira persoalannya pasti tidak
sederhana, kalau tidak masakah aku yang menjadi
sasarannya? Apakah nanti harus kujawab atau tidak?"
Baru sekarang ia merasakan gawatnya urusan, Jika
lawan nanti bertanya tentang urusan penting Mo-kau, kalau
menjawab berarti mengkhianat, bila diketahui Kaucu pasti
takkan bebas daripada hukuman mati.
Sebaliknya kalau urusannya tidak penting, tentu lawan
tidak perlu bersusah payah mengatur tipu daya sejauh ini?
Ia mengira yang akan ditanyakan Peng-say nanti pasti
urusan penting, daripada nanti dirinya menanggung risiko,
akan lebih baik kalau sekarang bertindak secara untung2an.
Berpikir demikian, segera ia menghimpun tenaga pada
kedua tangannya dan siap menghantam. Cuma lantaran
sehari penuh meringkuk didalam genta dan Hiat-to baru
saja lancar kembali, betapa pun tenaganya tidak sekuat
semula. Padahal pihak lawan jelas memiliki Lwekang yang
sempurna, tenaga dalamnya tidak pernah kering, makanya
dapat berlari dengan mengangkat genta besar itu tanpa letih
sedikit pun. Jadi apakah akan berhasil serangannya,
sungguh sukar diduga.
Dengan hati berdebar ia menyaksikan Peng-say telah
meloncat kelingkatan teratas dan sama sekali tidak
mengeluarkan suara, segera ia menyongsongnya sambil
berseru: "Wah, sungguh Kungfu yang hebat! Ayolah
kubantu pegang genta ini?"
Dengan lagak hendak bantu mengangkat genta yang
dipegang Peng-say itu, diam2 ia mengerahkan segenap
tenaganya dan mendorong pelahan ke depan.
Budur tingkat tertinggi ini lantainya juga lebih sempit,
dengan mengangkat genta besar itu jelas Peng-say tidak
dapat mengelak, baginya hanya ada pilihan antara
menyambut tenaga dorongan Sip-lik Taysu itu atau ia pun
mendorong genta itu ke depan dan mengharuskan Sip-lik
memegang genta itu.
Bila genta itu didorong Peng-say, rupanya tindakan ini
sudah diperhitungkan oleh Sip-lik Taysu, dia sudah
mengambil keputusan takkan memegang genta itu, dia rela
tertindih oleh genta itu, biar pun mati atau terluka parah dia
tetap harus berhasil menghantamSau Peng-say.
Diluar dugaan, Peng-say sama sekali tidak pedulikan apa
maksud orang, ia pun tidak mendorong genta itu ke depan,
tapi sebelah tangannya yang bebas itu mendadak mengebas
ke depan untuk memapak tenaga pukulan Sip-lik Taysu
sambil berkata: "Tidak usah Taysu ikut repot!"
Dia berlagak tidak tahu tujuan Sip-lik, tapi kebasan
tangannya itu sebenarnya telah menggunakan segenap sisa
tenaganya.
Maksud Peng-say, bila lawan tidak berniat
menyerangnya, maka ia pun akan menahan tenaga
serangannya, tapi bila lawan menyerang benar2. maka ia
pun akan menangkisnya dengan keras lawan keras agar Siplik
tahu akan kelihayannya dan kalah tanpa penasaran.
Untung juga dia bertindak demikian, dari bahaya Pengsay
jadi selamat malah. Kalau tidak, umpama dia dapat
menindih Sip-lik hingga terluka parah atau mati, tapi karena
tenaga dorongan itu, daya pertahanan sendiri tentu juga
berkurang dan dia pasti akan binasa oleh pukulan Sip-lik
yang dilancarkan sepenuh sisa tenaganya itu.
Keadaan sekarang tangan yang satu mengangkat sebuah
genta raksasa, tenaga yang dapat digunakan pada sebelah
tangannya hanya setengah saja. Sebaliknya tenaga Sip-lik
belum pulih seluruhnya, kedua tangannya yang sedang
menghantam itu hanya dapat mengerahkan tujuh atau
delapan bagian tenaga yang biasa dimilikinya. Namun adu
tenaga pukulan ini ternyata seimbang alias sama kuat.
Sebelah tangan Peng-say jadi melengket di antara kedua
telapak tangan Sip-lik, kedua orang sama bertahan dan
tidak mau mundur setengkah pun.
Dalam pada itu Sip-lik sudah mengerahkan sepenuh
tenaga, dengan demikian barulah dia bertahan tanpa
terdesak mundur, tapi seluruh badannya jadi tidak dapat
berkutik pula. Sebaliknya dengan tangannya yang
mengangkat genta itu, tenaga. Peng-say masih tersedia pada
tangan itu.
Dia mengincar baik2 tempatnya, mendadak ia dorong
genta itu kesana. ia kuatir bila genta itu jatuh ke lantai akan
menimbulkan suara keras, maka tenaga yang digunakan
mendorong itu cuma enam bagian saja.
Karena itu, tenaga tangan yang digunakan menahan
serangan Sip-lik tadi lantas berkurang, seketika ia tertolak
mundur dua-tiga tindak. Akan tetapi genta besar itu dapat
melayang ke dalam pagoda dan menyentuh lantai tanpa
menerbitkan suara apapun. Coba kalau genta itu
menerbitkan suara nyaring keras, tentu akan mengagetkan
seluruh penduduk kota Si-an.
Karena serangannya tidak berhasil, sebaliknya lawan
sekarang telah melepaskan gentanya, apabila tenaga lawan
yang digunakan mengangkat genta itu dipindahkan untuk
menghantamnya, maka dirinya pasti akan binasa. Keruan
Sip-lik menjadi kelabakan, butiran keringat memenuhi
dahinya, ia bermaksud menarik tangannya, tapi sayang,
tiada tersedia tenaga lagi,
Rupanya Peng-say tidak bermaksud mencelakai Sip-lik
Taysu, mendadak sebelah tangannya memotong ke-tengah2
ketiga tangan yang melengket itu sambil membentak:
"Mundur!"
Kesempatan baik ini segera digunakan oleh Sip-lik Taysu
untuk menarik tangannya.
Dengan tertawa Peng-say berkata pula: "Apakah Taysu
memang sengaja hendak menjajal kemampuan Cayhe?"
"Setelah menjajal, Anda ternyata betul tidak letih sedikit
pun, sungguh kagum!" jawab Sip-lik dengan kikuk.
"Kalau sudah menerima tanpa membalas tidaklah
sopan!" seru Peng-say mendadak. sebelah pedangnya terus
menusuk.
Selamanya Sip-lik bertempur dengan bertangan kosong,
maka tidak pernah membawa senjata, segera ia pun
membentak: "Bagus!" Telapak tangan kanan terus
menyampuk kedepan dan "plak", dengan tepat batang
pedang Peng-say tersampuk.
Dia memang tidak malu menjabat Tianglo Ma-kau,
serangan Peng-say itu cukup cepat, tapi batang pedang tetap
tersampuk, untung tenaga dalam Peng-say lebih kuat
sehingga pedang tidak sampai terlepas dari cekalan.
Ucapan Peng-say tadi masih belum selesai, maka
sekarang ia menyambung: "Terimalah satu jurus Siang-liukiamku!"
"Siang liu-kiam?" Sip-lik Taysu terkejut oleh nama itu
sehingga rada lena.
"Kena!" bentak Peng-say ketika pedang Kiri menyambar
kedepan, secepat kilat ia menggores tanda silang di depan
dada Sip-lik Taysu.
Sambil mendekap dadanya Sip-lik melompat mundur,
tapi ia pun tahu cuma terluka luar saja dan tidak berbahaya,
"Taysu menganggap aku seperti anak kecil umur tiga dan
mencari susah sendiri, maaf, terpaksa aku bertindak kasar!"
kata Peng-say dengan tertawa.
Ber-ulang2 mengalami kekalahan, lenyaplah semangat
Sip-lik Taysu, katanya kemudian sambil menghela napas:
"Baiklah, apa yang ingin ditanyakan Anda, silakan bicara."
"Ma-kau kalian kenapa mempunyai lima tempat
Contong, masa begini banyak?" tanya Peng-say.
"Pimpinan pusat kami membawahi Ngo-heng-tong, lima
seksi ini menduduki lima tempat, semuanya merupakan
Congtong kami, makanya terdapat lima tempat," tutur Siplik.
"Rapi benar cara berpikir Ma-kau kalian, dengan cara
menyebarkan markas pimpinan, bila satu tempat
dimusnakan musuh masih tetap ada tempat pimpinan yang
lain untuk meneruskan perlawanan."
"Bukan begitu tujuannya, tapi untuk lebih luas
penyebaran ajaran agama kami," kata Sip-lik. "Kecuali
urusan penting harus minta keputusan kepada Kaucu,
biasanya pekerjaan rutin dapat diputuskan oleh Ngo-hengtong
sendiri."
"Oo," Peng-say mengangguk. Lalu bertanya. "Dan entah
Tonghong-kaucu kalian berdiam di markas pusat mana?"
"Sesungguhnya apa yang akan kau tanyakan menurut
janji kita tadi?"
"Ialah tempat kediaman Tonghong-kaucu," jawab Pengsay.
"Sebenarnya ada urusan apa kau cari Kaucu kami?"
"Urusan pribadiku, tidak perlu kujelaskan bukan?"
"Ya, aku sudah kalah, sudah seharusnya kupegang janji
dan kujawab setiap pertanyaanmu. yang kutanyakan ini
hanya sepintas lalu saja."
"Tempat kediaman Kaucu kalian ternyata sangat
dirahasiakan, sudah beberapa anggota Ma-kau kutanyai dan
tiada seorang pun yang tahu," kata Peng-say.
"Kaucu kami dipandang se-akan2 malaikat dewata oleh
setiap anggota Ma-kau kami, sebagian besar anggota tidak
pernah melihat wajah asli Kaucu, kecuali para Tianglo dan
kelima Tongcu dari Ngo-heng-tong, selebihnya tidak ada
yang tahu jejak dan tempat kediaman beliau."
"Oo. makanya ingin kutanyai Taysu mengenai tempat
kediaman Kaucu kalian," kata Peng-say dengan tertawa.
"Ini soal kecil," kata Sip-lik. "Dengan ilmu silat Anda
yang hebat, biar pun langsung minta bertemu juga Kaucu
kami akan menyambut sendiri kunjunganmu. untuk apa
Anda memasang perangkap dan banyak membuang tenaga
percuma?"
"Hah, rupanya Taysu ingin memancing lagi maksud
tujuanku mencari Kaucu kalian," ujar Peng-say dengan
tertawa.
"Ilmu silat Tonghong-kaucu kami lain daripada yang
lain, baik Lwekang mau pun ilmu pedangnya sudah
mencapai puncaknya kesempurnaan, dengan kelihayan
Anda memang tidak sulit untuk mengalahkan diriku, tapi
kalau ingin berbuat sesuatu terhadap Kaucu, hm, kukira
biar pun Siang-liu-kiam-hoat yang termashur juga tiada
gunanya."
"Jika demikian, tentunya tidak perlu kau kuatirkan
Cayhe akan menyergap Kaucu kalian," kata Peng-say.
"Nah, hendaklah kau katakan tempat kediamannya."
"Tempat kediaman Kaucu kami tidak berada di dalam
kota. . . ."
"Taysu, ada satu hal ingin kukatakan lebih dulu," sela
Peng-say. "Tentang kau terkurung satu hari dibawah genta
serta dadamu terluka, Cayhe berjanji akan menjaga rahasia
bagimu, pasti takkan kuceritakan kepada siapa pun juga."
"Terima kasih," kata Sip-lik Taysu. "Tapi kau pun jangan
kuatir, tidak nanti kutipu kau dengan sembarangan
menyebut nama tempatnya. Nah, dengarkan, diluar pintu
gerbang barat kota ada sebuah perkampungan bernama
Jian-liu-ceng, di situlah tempat kediaman Kaucu kami."
"Dan mengenai jejakku, hendaknya. . . ."
"Jangan kuatir, asalkan kau jaga rahasia bagiku, tentu
akupun akan jaga rahasia bagimu," jawab Sip-lik,
"Terima kasih," ucap Peng-say sambil memberi hormat.
"Soalnya Cayhe kuatir orang Mo-kau kalian menganggap
diriku sebagai musuh, terpaksa kuminta jejakku
dirahasiakan."
"Jika demikian, jadi tujuanmu mencari Tong-hong
Kaucu tidak bermaksud jahat?" tanya Sip-lik.
"Ya, sementara ini tiada maksudku handak memusuhi
beliau," jawab Peng-say.
"Tapi selanjutnya?" tanya pula Sip-lik.
"Ada satu urusan penting, setelah kuselidiki dan ternyata
tiada sangkut-pautnya dengan Kaucu kalian, maka
seterusnya aku pun takkan memusuhi beliau,"
"Urusan apa yang hendak kau selidiki?"
"Maaf, ini urusan pribadiku."
"Oo, maaf, akulah yang terlalu banyak bertanya. Cuma,
bila Anda ingin mencari Kaucu, dalam waktu dekat ini
mungkin sukar bertemu."
"Sebab apa?" tanya Peng-say.
"Kaucu sedang pergi jauh dan entah kapan pulangnya,"
tutur Sip-iik.
"Terima kasih atas keteranganmu, biarlah kumohon diri
saja," ucap Peng-say sembari memberi hormat.
Sip-lik Taysu berdiri terkesima di puncak pagoda
menyaksikan kepergian Peng-say, sampai lama ia
termenung di situ.
"Entah apa sebenarnya maksud tujuan orang ini, apakah
jejak orang ini harus kulaporkan kepada Kaucu atau tidak?"
demikian ia meminang-minang dengan ragu-ragu,
sesungguhnya dia tidak takut anak muda itu akan
menyerang Tonghong Put-pay secara menggelap, yang
dikuatirkan adalah kalau Peng-say tertangkap oleh sang
Kaucu
Pikirnya: "Bila apa yang kualami ini tidak kulaporkan,
jangan-jangan dia tertangkap oleh Kaucu, lalu mengaku
bahwa akulah yang memberitahukan padanya tempat
kediaman Kaucu, kan bisa celaka diriku ini mengingat
betapa tegasnya hukum agama kita."
Tapi lantas terpikir pula olehnya: "Jika sudah begitu,
jiwa saja sukar diselamatkan, apa artinya lagi nama segala?"
Mendadak ia mengepal dan mengambil keputusan:
"Peduli nama apa segala? Jiwa selamat paling penting.
Biarlah apa yang terjadi ini harus kulaporkan kepada Kaucu
dengan terus terang dan sejelasnya."
Akan tetapi sejenak kemudian ia geleng-geleng kepala
pula dan berpikir: "Nama Sip-lik Taysu yang sudah terkenal
selama berpuluh tahun ini mana boleh musnah dalam
sekejap dengan begitu saja? Bilamana diketahui Kik Koan
bahwa aku dikalahkan oleh seorang anak muda yang baru
berumur likuran, bukankah aku akan ditertawakannya
hingga giginya copot, lalu kemana pula akan kutaruh
mukaku?"
Kik Koan yang dimaksud adalah saudara muda Kik
Yang, tertua Ma-kau yang mati bersama Wi Kay-hou
dahulu itu.
Kik Koan, Kik Yang, Go Hui dan Sip-lik. Taysu
berempat adalah empat tertua Ma-kau yang berpengaruh.
Akan tetapi empat orang terbagi menjadi dua grup, Kik
Koan dan Kik Yang di satu pihak sering perang dingin
dengan Go Hui dan Sip-lik Taysu di lain pihak.
Perang dingin antara mereka terjadi karena pertentangan
pendapat, Kik Yang dan Kik Koan adalah golongan
"lunak", yaitu ingin berdamai dan hidup berdampingan
dengan orang Bu-lim umumnya. Sebaliknya Go Hui dan
Sip-lik Taysu termasuk golongan "keras". mereka ingin
merajai dunia persilatan. ambisi pribadi mereka sangat
besar.
Karena terbaginya dua grup saling bertentangan ini,
mereka akur diluar tapi sirik di dalam. Sebagai Kaucu,
sedapatnya Tonghong Put-pay berusaha menengahi
mereka. Tapi ia pun cenderung pada Kik Yang bersaudara,
sebab itulah dia mengutamakan prinsip "orang tidak
melanggar diriku, aku pun tidak mengganggu orang lain."
Akan tetapi setelah Kik Yang meninggal dunia pengaruh
grup Go Hui dan Sip-lik Taysu lambat laun mulai
mengatasi Kik Koan, Sering mereka menghasut agar
Tonghong Put-pay menaklukkan dunia dan merajai dunia
persilatan.
Karena sering dikili-kili, tentu saja hati Tonghong Putpay
tergerak, apabila Kik Koan tidak mengalanginya, tentu
sudah lama terjadi banjir darah di dunia persilatan.
Karena maksud mereka tak sampai, dengan sendirinya
Go Hui dan Sip-lik sangat benci terhadap Kik Koan. Cuma
sayang, Kungfu mereka berdua bukan tandingan Kik Koan,
mereka hanya benci di dalam batin dan tidak berani
melawannya secara terang-terangan.
Mendingan kalau kekalahannya hanya ditertawakan oleh
Kik Koan saja, kalau kejadian ini tersiar, lalu apakah
wibawaku dapat ditegakkan untuk memimpin anak buah
yang berpuluh ribu jumlahnya ini? Jika kekuatanku
merosot, apalagi yang kuandalkan untuk menjagoi Bu-lim?
Setelah dipikir dan pikir lagi. akhirnya dia bergumam
sendiri, "Toh lebih baik tetap kututup saja rahasia ini!"
Cuaca mulai remang-remang, fajar sudah tiba. Akhirnya
Sip-lik meninggalkan pagoda itu dan pulang ke tempat
kediamannya untuk mengatur kebohongannya.
Bahwa Peng-say sengaja memberi kebebasan kepada Siplik
Taysu, tindakan ini boleh dikatakan terlampau berani.
Kalau dipikir sebenarnya bukan tindakan yang bijaksana,
tapi soalnya dia terpaksa.
Begitulah tentang hilangnya Sip-lik Taysu telah
membikin geger Mo-kau, di mana-mana kelihatan keadaan
tegang, pencarian dan penggeledahan dilakukan dengan
cermat dan hati-hati.
Dalam keadaan demikian Peng-say jangan harap akan
dapat memperlihatkan dirinya dimuka umum dan mencari
Tonghong Kui-le, sebab ia pasti akan kepergok oieh anggota
Ma-kau. Dengan begini untuk menyelidiki seluk-beluk
pembunuhan ayahnya sementara ini menjadi terkatungkatung
dan sukar terlaksana.
Agar dapat bertemu dengan Tonghong Kui-le, terpaksa
Peng-say harus bertindak dengan menyerempet bahaya. Ia
pikir. Sip-lik Taysu tentu sayang pada namanya, demi nama
baik dan kehormatannya Hwesio itu pasti takkan
membocorkan kedatangannya ini. Maka diam-diam ia
mendatangi Jian-liu-ceng, tempat kediaman Tonghong Putpay
sebagaimana diterangkan oleh Sip-lik Taysu itu.
= ooOdwOoo =
Jian-liu-ceng, artinya perkampungan beribu pohon Liu.
Sesuai namanya, perkampungan ini penuh dengan
pepohonan Yang-liu yang rindang. Dibalik pepohonan itu
tertampaklah bangunan yang megah, itu kalau dipandang
dari kejauhan, tapi kalau sudah masuk kehalaman
perkampungan itu, tertampaklah rumah gedung ber-deret2
dan bersusun.
Yang paling menyolok adalah sebuah gedung berloteng
yang dicat berwarna merah, pada sebuah kamar loteng
dengan jendela terbuka menghadap pagar pekarangan sana
tatkala mana sedang berduduk berhadapan dua gadis jelita,
yang satu berbaju hitam dau yang lain berbaju putih. Yang
berbaju hitam itu tampak berusia lebih tua, yaitu sang
kakak. dia inilah Tonghong Kui-le, rupanya dia sedang
mengajar memetik kecapi kepada adiknya, Tonghong Kuijin.
Saat itu Tonghong Kui-le sedang memberi contoh
memetik kecapi, Tonghong Kui-jin mengikuti gerak jari
sang Taci dengan cermat, terkadang jari jemarinya ikut bergerak2
menjentik kecapi lain yang terletak di meja kecil di
sebelahnya.
Belum lagi selesai mengajar, mendadak Tong-hong Kuile
berhenti sambil menghela napas.
"Kenapa berhenti, Cici?" tanya Tonghong Kui-jin.
"Kau tidak mau berlatih semadi dan menyakinkan
tenaga dalam sekuatnya, tapi hanya gerak jari yang kau
pelajari, manabisa membawakan lagu Siau-go-yan-he ini
dengan baik, maka aku menjadi malas untuk mengajar
lagi," kata Kui-le.
- o -d o -w o -
"Bukannya aku tidak mau berlatih dengan giat, Cici,"
kata Tonghong Kui-jin, "usiaku lebih muda, Lwekangku
lebih cetek daripada latihanmu, mana dapat kuyakinkan ke-
18 macam gaya semadi itu secepat engkau? O, Cici yang
baik, ajarkan lagi, tentu aku akan berlatih semadi dengan
tekun, tapi kalau gerak jariku sudah apal, caraku belajar kan
dapat maju lebih cepat?"
Namun Tonghong Kui-le tampak lesu dan kesal,
ucapnya: "Sudahlah, aku sudah lelah, besok kuajari lagi."
"Baru saja mengajar setengah jam, mengapa sudah
lelah?" tanya Kui-jin.
"Ya, rasanya aku kurang bersemangat," jawab Kui-le.
"Hihi, kau ini. . ." Kui-jin tertawa nyekikik, lalu
menyambung pula, "setiap hari senantiasa bilang tidak
bersemangat, entah mengidap penyakit apa Cici ini. . . ."
"Ya, setiap hari selalu lesu, makan tidak nafsu, duduk
tidak tenang, rasanya seperti kehilangan sesuatu, apa pun
tidak menarik bagiku, aku sendiri tidak tahu mengidap
penyakit apa," ucap Tonghong Kui-le dengan termangumangu.
"Kutahu penyakit apa yang menghinggapi Cici ini," ujar
Tonghong Kui-jin dengan tertawa.
"Oo? Kau tahu?" Tonghong Kui-le menegas. "Coba
katakan, apa penyakitku?"
"Tapi jangan kau marah jika kukatakan," kata Kui-jin.
"Penyakitmu ini namanya sakit rindu!"
"Apa betul?!" gumam Tonghong Kui-le, lalu ia berpaling
ke luar jendela dan bersenandung beberapa bait syair cinta,
akhirnya dia menghela napas pelahan, lalu berkata: "Moaymoay,
kau adalah satu2nya orang yang tahu akan isi hatiku.
Dalam keadaan begini, apa artinya pula hidup ini bagiku?
Menurut kau, apa yang harus kulakukan?"
"Sederhana sekali," ujar Tonghong Kui-jin. "Pergilah dan
cari dia!"
"Ti. . . .tidak. tidak bisa. . . ." Tonghong Kui-le
menggeleng.
"Kalau begitu. boleh suruhan orang mencari dia dan
menyampaikan rasa rindumu kepadanya," kata Kui-jin
pula,
"Ini pun tidak bisa," ujar Kui-le.
"Lalu bagaimana, ini tidak bisa, itu pun tidak bisa,
terpaksa harus tunggu sampai dia datang sendiri mencari
Cici," kata Kui-jin.
”Menurut kau, apakah dia akan. . .akan datang mencari
diriku?" tanya Kui-le.
"Sukar untuk kukatakan," jawab Kui-jin. "Apa bila dia
juga sakit rindu, tentu besar sekali kemungkinannya dia
akan datang, kalau tidak. . . ."
Mendadak Tonghong Kui-le mendesis: "Eh, coba
dengarkan!"
"Suara apa?" tanya Kui-jin.
"Suara seruling," jawab Kui-le.
Waktu mereka pasang telinga dan mendengarkan dengan
cermat, benarlah terdengar suara seruling sayup-sayup di
kejauhan.
"Siapa itu, besar amat nyalinya, berani main2 disini?"
ujar Kui-jin,
"Dia!" kata Kui-le.
"Maksud Cici, pemuda yang kita temui di Thay-san itu?"
tanya Kui-jin dengan bersemangat-
Tonghong Kui-le mengangguk.
"O, kiranya orang yang telah mengakibatkan Cici sakit
rindu itu, sekarang ia pun datang kemari," Tonghong Kuijin
berhenti sejenak, lalu menyambung, "Jika demikian,
tampaknya dia juga sakit rindu."
"Masa?" ucap Kui-le dengan tersenyum riang.
"Bila betul dia, kuyakin dia pasti juga rindu kepada Cici,"
ujar Kui-jin. "Kuatirnya bukan dia melainkan anak muda
kampung tetangga yang coba2 main gila ke sini."
"Tidak, kutahu pasti dia," kata Tonghong Kui-le. "Cukup
kudengar beberapa nada saja segera dapat kupastikan dia
atau bukan. Di dunia ini selain dia tiada orang kedua lagi
yang mampu meniupkan seruling semerdu itu "
Pada saat ituiah mendadak suara seruling terputus,
menyusul lantas terdengar suara orang bersenandung,
menyanyikan syair cinta yaug menyatakan rasa rindunya.
Dengan tertawa Tonghong Kui-jin berkata: "Nah. betul
tidak? Tebakanku ternyata tepat. Dari syair lagunya itu,
bukankah sudah jelas dia juga menanggung rasa rindu
seperti halnyaCici?"
Dengan malu-malu Tonghong Kui-le berkata: "Jika dia
sudah datang kemari, boleh. . .boleh kau pergi
mengundangnya kesini. . . ."
"Aku?!" Tonghong Kui-jin menegas sambil menuding
hidungnya sendiri. "Kenapa aku yang mengundangnya?
Kan bukan diriku yang merindukan dia? Ah, emoh aku.
Jangan-jangan akan menimbulkan salah sangkanya bahwa
kita kakak beradik bersama-sama telah mencintai dia."
"O, adik yang baik, hendaklah kau bantu satu kali saja
dan mengundangnya kemari," pinta Tonghong Kui-le.
"Satu kali saja? Memang betul cukup satu kali saja,
masakan lain kali perlu pakai mengundang lagi?" ujar
Tonghong Kui-jin sambil mencibir. "Satu kali mungkin
masih asing, dua kali tentu sudah apal, lain kali masakan
dia tidak datang sendiri?'"
"Baiklah, adik yang baik, bantulah Taci, pergi sana!"
pinta Kui-le pula.
Namun Tonghong Kui-jin sengaja jual mahal, jawabnya:
"Ah, tidak mau! Pernah aku ditutuk Hiat-to sehingga
menggeletak tak bisa berkutik. untuk ini dia belum lagi
minta maaf padaku, mana boleh aku merendahkan diri
untuk mengundangnya kesini malah?"
"O, adikku yang manis. biarlah Cici mintakan maaf
padamu! Nah, pergilah sana, selanjutnya jika ada peluang
tentu akan kuajarkan lagu Siau-go-yan-he padamu, tentu
aku tidak malas lagi."
"Huh, belum lagi bicara dengan dia masa sudah kau
anggap seperti anggota keluarga sendiri, cepat amat
akrabnya," Tonghong Kui-jin ber-olok2 sambil menggeleng.
"Baiklah, mengingat kau takkan malas lagi dan akan
mengajar dengan sungguh-sungguh, terpaksa kulakukan
tugas yang tidak menyenangkan ini. Cuma, awas. jangan
lupa akan janjimu kelak."
Habis berkata ia terus melangkah turun kebawah.
Tonghong Kui-le lantas sibuk berdandan dan bersolek,
hatinya berdebar keras, sampai sekian lama menyisir
rambut saja belum rapi.
Tidak lama kemudian datanglah Tonghong Kui-jin
kembali, begitu muncul dia lantas mengomel. "Huh,
semuanya gara-gara Cici, bikin kheki orang saja. Melihat
lagaknya yang tengik itu, sungguh aku gemas."
"He, kenapa dia?" tanya Tonghong Kui-le dengan tidak
sabar.
"Dia apa? Sudah pergi! Tanpa bicara apa pun terus pergi
begitu saja!" omel Kui-jin pula.
"Ah, mana...,, mana bisa jadi? Apakah betul begitu?"
tanya Tonghong Kui-le dengan gelisah.
"Masa kudusta padamu?" jawab Tonghong Kui-jin.
"Coba kau terka apa yang dilakukannya tadi"? Begitu
melihat diriku, dia masih tetap bersyair segala, kudengar dia
menyebut 'Di bawah Yangliu seberang, angin sepi bulan
suram. . . .' dan entah apa artinya, lalu dia pergi begitu saja.
Coba apa tidak mendongkol?"
Tiba-tiba Tonghong Kui-le tertawa, katanya: "O, begitu?
Ya, pahamlah aku!"
"Paham? Paham apa?" tanya Tonghong Kui-jin dengan
melenggong.
"Di bawah Yangliu di seberang, tatkala angin sepi dan
bulan suram. Pantas senandungnya sampai di sini lantas
terhenti," kata Tonghong Kui-le.
"Mestinya tidak perlu kusuruh kau pergi
mengundangnya, kan sebelumnya dia sudah meninggalkan
janji pertemuan pada tempat tertentu."
"Bilakah dia meninggalkan janjinya? Kenapa aku tidak
tahu sama sekali?" tanya Tonghong Kui-jin.
"Coba pikir, "kata Tonghong Kui-le. "Syiar yang
disenandungkan itu adalah syair perpisahan gubahan Liu
Yong, yaitu waktu Liu Yong mengadakan pertemuan
dengan kekasihuya di bawah pohon Yangliu di seberang
jembatan Pah-kio. Dengan perantaraan syair ini, bukankah
dia juga menyatakan hasratnya akan bertemu denganku di
bawah pohon Yangliu di seberang jembatan tempat
kediaman kita ini."
"Ya, betul, pintar juga Cici," ujar Tonghong Kui-jin
sambil mengangguk. "Penyair jaman Tang itu menyatakan
rasa beratnya untuk berpisah dengan kekasihnya di
jembatan Pah-kio disekitar jembatan itu penuh dengan
pepohonan Yangliu. Memang betul dia juga bermaksud
mengajak Cici menemuinya diseberang jembatan yang
banyak pepohonannya diperkampungan kita ini. Tapi entah
kapan dia berjanji akan menemui Cici?"
"Yaitu pada waktu angin sepi dan bulan suram," kata
Tonghong Kui-le. "Artinya tatkala jauh malam dan keadaan
sunyi."
"Ai, Cici yang pintar, kalau aku, selama hidup juga tak
dapat menangkap maksudnya," ujar Toaghong Kui-jin
dengan gegetun. "Orang ini pun aneh, kenapa tidak bertemu
di siang hari, tapi sengaja mengajak Cici menemuinya
ditengah malam buta. memangnya pertemuan ini harus
dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak boleh
dilihat orang?"
"His, jangan sembarang omong dan berpikir yang
bukan2," omel Tonghong Kui-le dengan muka merah.
"Habis, ingin kutanya padamu, sebab apa pertemuan
kalian harus dilakukan pada waktu larut malam!" tanya
Tonghong Kui-jin pula.
Dengan membayangkan keindahan yang akan terjadi,
Tonghong Kui-le menjawab: "Pada waktu malam sepi,
bukankah saat yang paling baik untuk mengobrol?"
"Kata mengobrol kukira tidak tepat, harus kau pakai
istilah untuk asyik masyuk," kata Tonghong Kui-jin dengan
tertawa, "sebab ...,."
"Ayo, jangan sembarangan omong?" omel Tonghong
Kui-le, sebab ia tahu kata2 lanjutannya tentu tidaklah enak
didengar.
Tonghong Kui-jin meleletkan lidahnya, lalu bertanya:
"Dan Cici akan memenuhi ajakannya atau tidak?"
"Sesungguhnya aku ingin pergi, tapi .... tapi takut
diketahui ayah. . . ."
"Ayah kan tidak di rumah, apa alangannya?" ujar Kuijin.
”Kita tahu, dia adalah orangnya Tionggoan Sam-yu yang
menjadi lawan kita," kata Tonghong Kui-le, "apabila aku
mengadakan pertemuan dengan dia, kan bisa susah kalau
sampai diketahui oleh ayah."
"Asalkan aku tidak omong, kaum hamba juga tak ada
yang berani banyak mulut, kenapa Cici takut?" ujar Kui-jin.
"Ah, bagus sekali jika Moay-moay berjanji takkan
omong," seru Kui-le dengan senang dan lega.
"O, rupanya Cici kuatir kulaporkan kapada ayah, begitu
bukan?" tanya Kui-jin sambil mengernyitkan hidung. "Nah,
jangan kuatir. Biarpun dia pernah bertindak kasar padaku di
Tay-san dahulu, tapi karena Cici sudah menyukai dia,
terpaksa kuanggap selesai persoalan ini. Adik kan tidak
dapat menyaksikan Cici dirundung rindu terus menerus.
Hanya saja, kalau nanti Cici pergi memenuhi janji
pertemuannya hendaklah kau hati-hati, jangan sampai di. .
." dia tidak melanjutkan ucapannya, tapi memberi muka
setan, lalu berlari keluar kamar.
oOo o ^dw^ o oOo
Seperti sudah diceritakan, di kota Si-an banyak terdapat
tempat-tempat tamasya yang indah dan terkenal.
Di luar gerbang timur, kira2 belasan li jauhnya terdapat
sebuah sungai Pah, konon disitu ada sebuah jembatan dan
disebut Pah-kio atau jembatan Pah.
Pah-kio inilah yang sering di sebut-sebut dalam syair
para pujangga jaman dahulu. Sebab menurut cerita, dulu
bila orang bepergian jauh, para pengantarnya, terutama
kekasih atau isterinya sering mengantar dan berpisah
dibatas jembatan ini.
Jembatan ini dibangun dari balok batu yang kuat,
panjang jembatan ini ribuan kaki dengan tiang-tiang ukir
yang indah. Selama berabad-abad jembatan ini banyak
mengalami perbaikan, tapi bentuk aselinya masih tidak
beruhah. Di kedua sisi jembatan ini memang banyak
pepohonan Yangliu yang rindang, suasana indah dan
romantis, makanya selalu menjadi obyek penyair di jaman
dahulu.
Malam itu Tonghong Kui-le telah pergi ke jembatan
indah itu untuk memenuhi janji, sampai siang hari esoknya
baru dia pulang.
Tentu saja Tonghong Kui-jin rada gelisah menantikan
pulangnya sang Cici, ia berjalan mondar-mandir di kamar
dengan cemas, hatinya menjadi lega setelah Kui-le pulang.
Segera ia bertanya, "Kenapa baru pulang sekarang?
Sungguh kukuatir kalau-kalau Cici telah digondol lari oleh
dia."
Tonghong Kui-le tidak menjawabnya, dia tampak agak
linglung, sebentar berduduk, segera berbangkit lagi, lain saat
berbaring, tapi tak bisa tidur, bangun lagi. Namun air
mukanya jelas menampilkan senyuman kepuasan yang tak
terhingga.
Tonghong Kui-jin memandangi sang Taci dengan rada
bingung. Akhirnya ia coba bertanya, "Cici, semalam suntuk
kalian bicara, sesungguhnya apa saja yang kalian
perbincangkan?"
"Ah, tidak memperbincangkan apa-apa," jawab
Tonghong Kui-le dengan lirih.
"Habis, ap..... apa yang kalian yang kalian lakukan di
sana?. . ." tanya pula Tonghong Kui-jin dengan agak kuatir.
"Juga tidak melakukan apa-apa kecuali dia meniup
seruling dan aku memetik kecapi," tutur Kui-le.
"Masa cuma itu saja, lebih dari itu?" tanya Kui-jin.
"Hanya itu saja," jawab Kui-le.
Tonghong Kui-jin menggeleng-geleng kepala sebagai
tanda tidak habis mengerti. Ucapnya, "masa cuma begitu
saja? Lalu apa artinya?"
"Sekarang kau memang tidak paham, tapi kelak
bilamana kau sudah nenguasai lagu Siau-go-yan-he, lalu
main bersama dia, maka kau tentu akan paham segalanya.
Pendek kata, Sukar mencari orang yang tahu benar-benar
akan suara hatimu."
"O, kiranya begitu," Tonghong Kui-iin manggutmanggut.
"Lalu adakah janji pertemuan selanjutnya?"
"Ada, malam nanti," tutur Kui-le.
= oOo =dw= oOo =
Dan begitulah, berturut-turut tiga malam Tonghong Kuile
selalu pergi dan baru pulang pada keesokan harinya.
Pada siang hari keempat, saking ingin tahu tanyalah
Tonghong Kui-jin kepada sang Taci, "Semalam tentunya
kalian berbicara apa2 bukan?"
Tak terduga, Tonghong Kui-le hanya menggeleng saja.
"Aneh, kenapa masih tetap begitu? Masa sampai
sekarang namanya saja tidak diketahui, lalu terhitung
sahabat macam apa?" ujar Tonghong Kui-jin.
Tonghong Kui-le tertawa, katanya, "Baiklah, malam
nanti akan kutanya namanya." Esoknya, begitu Tonghong
Kui-le pulang, dengan tidak sabar Kui-jin lantas bertanya,
"Bagaimana, sudah kau tanyai dia, siapa namanya?"
"Sau Peng-say," tutur Kui-le.
"Setelah kau buka suara lebih dulu, tentunya dia tidak
dapat berlagak bisu lagi," ujar Kui-jin.
"Ya, dia telah bicara padaku. Tapi dia hanya bilang:
'Nama nona sudah kuketahui di Thay-san tempo hari.
Sebab itulah dia tidak balas tanya namaku."
"Dan apapula yang kau katakan padanya?" tanya Kuijin.
"Kubilang: 'Adik perempuanku ingin bertemu dengan
Kongcu, entah Kongcu sudi berkunjung tidak ke kediaman
kami?"
"Aha, bagus caramu ini!" seru Tonghong Kui-jin. "Kau
sendiri yang ingin mengundang dia berkunjung kerumah
kita, tapi kau gunakan alasan diriku yang mengundang dia.
Hm, tampangnya yang tengik itu kan sudah pernah kulihat
di Thay-san dahulu, aku menjadi malas untuk melihatnya
lagi."
"Bila tidak memakai cara begitu, bagaimana alasanku
untuk mengundang dia kesini?" ujar Tonghong Kui-le
dengan tertawa.
"Lantas bagaimana jawabnya?" tanya Kui-jin.
"Dia bilang tentu saja dia sangat berharap akan
memenuhi undanganku. Cuma dia pikir agak tidak leluasa,
lebih-lebih dia merasa pernah bersalah kepada adik,
persoalan ini pasti takkan dimaafkan oleh ayah. Yang
dimaksudkannya adalah kejadian di Thay-san dahulu, di
mana dia telah menggagalkan rencana kita akan membunuh
Tionggoan Sam-yu, untuk ini tentu ayah tak dapat
mengampuni."
"Memang betul. jiwa Tionggoan-sam-yu sebenarnya
sudah tergenggam di tangan kita, gara-gara dia sehingga
usaha kita berantakan dan gagal total. tentu saja ayah
takkan mengampuni dia." ujar Tonghong Kui-jin. "Sungguh
besar juga nyalinya, demi menjenguk Cici jauh-jauh dia
berani datang ke Si-an sini. Tapi untuk berkunjung kerumah
ini, kukira dia pasti tidak berani."
"Kau salah terka." kata Tonghong Kui-le. "Dia justeru
menerima undanganku dan berjanji lohor nanti pasti akan
datang kemari."
"Oo?" Tonghong Kui-jin bersuara heran, sungguh
keterangan sang Taci diluar dugaannya. Segera ia bertanya
pula, "Cara bagaimana Cici mengundang dia sehingga dia
berjanji akan datang nanti?"
"Kujelaskan padanya tentang tindakannya kepada adik
di Thay-san dahulu, sesudah kubujuk kini adik sudah tidak
memikirkan lagi kejadian itu," tutur Tonghong Kui-le.
"Mengenai ayah, karena saat ini beliau sedang pergi jauh,
tentu tidak beralangan apabila dia sudi berkunjung kemari."
"Wah, rupanya kata2 terakhir Cici tentang 'tak
beralangan' itu telah menjaminnya, jika dia tetap menolak.
jelas kelihatan akan sifat penakutnya," kata Kui-jin dengan
tertawa.
"Sebenarnya tiada maksudku hendak memancing
keberaniannya, namun setelah telanjur kukatakan barulah
kurasakan ucapanku itu mungkin menyinggung
perasaannya," tutur Tonghong Kui-le. "Tapi dia telah
menjawab: Tanpa pikir nona telah memenuhi undanganku
ke sini, kalau sekarang nona balas mengundang diriku. bila
kutolak, rasanya juga kurang hormat. Baiklah. tolong tanya
bilakah nona sempat menerima diriku. Cayhe pasti akan
hadir tepat pada saatnya."
"Maka Cici lantas mengundangnya datang pada waktu
lohor agar sekalian makan siang disini bukan?" tukas
Tonghong Kui-jin dengan tertawa.
"Jauh-jauh dia datang ke Si-an sini untuk mencari diriku,
kan pantas jika kupenuhi kewajiban sebagai tuan rumah?"
kata Kui-le.
"Ya, betul juga, sekalian Cici dapat pertunjukkan
beberapa sajian yang menjadi kemahiran Cici untuk
menarik kesan baiknya, begitu bukan?"
"Jika kumasak sendiri sekadar memperlihatkan
kesungguhanku, apa tidak boleh?"
”Sudah tentu boleh, sudah tentu boleh!” seru Kui-jin
dengan tertawa. "Cuma, tiba saatnya nanti bila Cici tidak
menjelaskan, bisa jadi dia akan mengira santapan yang
dihidangkan itu adalah buatan koki kita, mana dia
mengetahui akan maksud Cici turun ke dapur sendiri demi
memberi pelayanan yang baik kepadanya."
Dia mengikik-tawa. lalu menyambung: "Untuk ini kukira
perlu adikmu ini ikut propaganda bagimu agar
diketahuinya, bila kelak dia memperistrikan Cici. paling
sedikit dalamhal kenikmatan makan pasti akan terpenuhi."
Muka Tonghong Kui-le menjadi merah, ucapnya
setengah mengomel: "Budak nakal, biarlah hari ini kau
menggoda diriku, kelak bila kau punya teman laki-laki pasti
akan kubalas."
Tonghong Kui-jin berlagak tak acuh. jawabnya: "Untuk
itu entah kau mesti menunggu beberapa tahun lagi."
"Huh. masa perlu beberapa tahun lagi?" Ujar Tonghong
Kui-le. "Pemuda mana yang tidak ter-gila2 pada gadis
cantik seperti kau. Kukira tidak lama lagi pasti akan tiba
giliranmu."
"Ai, Cici benar-benar sangat cepat membalas olok
olokku," kata Kui-jin dengan tertawa. "Sudahlah. lekas kau
turun ke dapur, sudah dekat waktunya, bisa jadi tamunya
sudah datang dan kau belum lagi rampung menyiapkan
sesuatu yang perlu."
Kakak beradik ini sejak kecil sudah kehilangan ibu,
Tonghong Put-pay sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaan
organisasinya, selain menyebar ajaran agama juga harus
memimpin anggota yang ber-puluh2 ribu jumlahnya. Maka
kecuali pada waktu mengajarkan ilmu silat kepada kedua
anak perempuannya ini. biasanya jarang berkumpul dan
memberi bimbingan tentang kehidupan berumah tangga.
Padahal Ma-kau berasal dari luar negeri, ajaran tentang
hubungan laki2 dan perempuan jauh lebih bebas daripada
tata adat di daerah Tionggoan Umumnya asalkan si
perempuan suka, maka boleh langsung menyatakan rasa
cintanya. Berbeda dengan perempuan daerah Tionggoan
yang terikat oleh adat istiadat kolot, biarpun cinta luar
biasa, paling2 hanya dipendam di dalam hati dan tidak
berani mengutarakannya kepada siapa pun.
—oOo—O d-w O—oOo—
Akhirnya tibalah lohor yang ditentukan.
Meja perjamuan sudah disiapkan di ruangan tengah di
atas loteng. Benarlah Sau Peng-say hadir tepat pada
waktunya Tonghong Kui-le dan Tonghong Kui-jin
mengiringi berduduk di kedua sisi Peng-say.
Kedua kakak beradik itu tidak minum arak, Peng-say
sendiri tidak enak untuk minum arak sendiri, seketika ketiga
orang hanya duduk termangu. suasana menjadi rada
canggung.
Setelah masing-masing menyumpit semacam hidangan
dan dimakan, Tonghong Kui-jin lantas berbangkit
meninggalkan meja perjamuan itu, katanya. "Sau-kongcu,
Cici sendiri telah turun ke dapur untuk mengolah santapan
ini bagimu, janganlah engkau hanya duduk termenung dan
lupa dahar, Silakan kalian makan sebanyak-banyaknya,
adik tidak menemani lagi."
Cepat Tonghong Kui-le berseru, "He, Moay-moay,
jangan pergi. . . ."
Namun Tonghong Kui-jin lantas berkata dengan tertawa,
"Aku dan Sau-kongcu tidak terlalu akrab, bila aku hadir
disini tentu dia tidak leluasa untuk dahar dan minum."
Habis berkata ia terus berlari keluar.
Muka Tonghong Kui-le menjadi merah. ucapnya malumalu,
"Kongcu silakan dahar."
"Kiranya nona sendiri yang mengolah hidangan ini, wah,
aku membikin repot saja padamu," kata Peng-say.
"Ah, pekerjaan biasa. repot apa?" ujar Tonghong Kui-le.
Berturut-turut Peng-say mencicipi beberapa macam
hidangan. lalu memuji, "Nona sungguh mahir masak,"
Diam-diam Tonghong Kui-le merasa senang, katanya
pula, "Silakan Kongcu minum arak."
Tanpa sungkan lagi Peng-say menenggak setengah
cawan arak yang tersuguh di depannya, lalu berkata,
"Sesungguhnya Cayhe ingin tanya sesuatu kepada nona,
entah nona sudi mendengarkan atau tidak?"
"Silakan Kongcu bicara," jawab Tonghong Kui-le, sambil
menjulurkan tangannya yang putih mulus itu untuk
mengangkat poci dan menuangkan arak bagi anak muda
itu.
"Ingin kutanya, kepandaian nona memetik kecapi itu
dapat belajar dari siapa?" kata Peng-say.
"Ajaran mendiang Kik-tianglo, salah seorang tertua Makau
kami," tutur Tonghong Kui-le.
"Kik Yang maksud nona?" Peng-say menegas.
"Betul," jawab Kui-le. "Sejak berumur tujuh sudah
belajar memetik kecapi dengan Kik-tianglo, tapi lantaran
bakatku jelek dan pembawaanku bodoh, hakikatnya belum
ada sepersepuluh bagian kepandaian Kik-tianglo yang
kuperoleh."
"Ah, nona terlalu rendah hati," ujar Peng-say. "Kiktianglo
adalah ahli kecapi, guru yang pandai mana ada
murid yang bodoh. Kukira bicara tentang kemahiran
memetik kecapi, di dunia ini tiada yang kedua lagi kecuali
nona sendiri."
"Ai, mana berani kuterima pujian Kongcu ini," jawab
Tonghong Kui-le dengan tertawa. "Justeru kemahiran
seruling Kongcu itulah kuyakin terhitung nomor satu di
dunia."
Sambil minum arak dan bersantap, Peng-say sembari
bicara pula, "Sungguh sangat kebetulan jika diceritakan,
sebuah lagu yang kupelajari juga berjudul 'Siau-go-yan-he",
sama dengan lagu kecapi nona."
"Oya, apa betul?" tanya Kui-le.
"Betul, yaitu lagu yang kumainkan bersama dengan
kecapi nona itu," kata Peng-say.
"Pantas setiap kali bila kumainkan kecapiku bersama
tiupan seruling Kongcu, rasanya permainan kita itu seolaholah
ditakdirkan suatu pa. . . ." mendadak nona itu tidak
melanjutkan ucapannya.
Peng-say tahu yang akan diucapkan si nona adalah
"pasangan", maka dia tertawa dan bertanya pula, "Entah
lagu Siau-go-yan-he yang dipelajari nona itu pun ajaran
Kik-tianglo atau bukan?"
Caranya bertanya seolah olah tidak sengaja, padahal di
dalam hati dia sangat tegang. Maklumlah, pertanyaan ini
menyangkut duduk perkara yang sebenarnya mengenai
sakit hati kematian ayahnya.
Seperti diketahui, kedatangannya ke Si-an, pusat
kekuasaan Mo-kau ini adalah untuk menyelidiki kejadian
yang sebenarnya yang menyangkut pembunuhan segenap
anggota Lam-han. Apabila kitab nada kecapi yang tadinya
berada pada Sau Peng-lam itu terbukti berada pada
Tonghong Put-pay sekarang, maka tidak perlu disangsikan
lagi si pembunuh segenap anggota Lam-han itu ialah
Tonghong Put-pay dan bukan dilakukan Ting Tiong dan
Liok Pek dari Say-koan.
Begitulah maka didengarnya Tonghong Kui-le telah
menjawab; "Ya. . . ."
Hati Peng-say terasa lega, sebab apa pun juga tidak
berharap bahwa Tonghong Put-pay adalah musuh yang
membunuh ayahnya sehingga akan terjadi suatu jurang
pemisah yang mendalam dengan nona pemaham isi hatinya
yang selama hidup ini sukar dicarinya ini.
Tak terduga, setelah berhenti sejenak tiba-tiba Tonghong
Kui-le menyambung pula, "Namun bukan ajaran langsung
dari Kik-tianglo, tapi hasil pelajaranku menurut sebuah
kitab nada tinggalan beliau."
Sekujur badan Peng-say tergetar mendadak, hampir saja
cawan arak yang dipegangnya jatuh berantakan.
Sedapatnya ia menahan guncangan perasaannya, tanyanya
pelahan, "Apakah kitab nada itu diberikan langsung dari
Kik-tianglo?"
"Tidak," tutur Tonghong Kui-le. "Kik-tianglo meninggal
di tempat jauh, beliau tidak meninggalkan kitap nada apa
pun bagiku. Tapi adalah karena mengetahui mendiang Kiktianglo
telah menciptakan satu buku nada kecapi yang tiada
bandingannya, ayah telah berusaha mencarinya ke-mana2,
akhirnya dapatlah ditemukan pada jenazah Kik-tianglo."
Cerita ini jelas tidak benar, nyata Tonghong Put-pay
tidak pernah menceritakan kejadian yang sebenarnya
kepada anak perempuannya ini.
Seketika air muka Peng-say berubah menjadi pucat,
dalam hati dia menjerit: "O, sakit hati pembunuhan ayah
sedalam lautan! Wahai Tonghong Put-pay, demi
mendapatkan satu buku nada kecapi, tanpa segan-segan kau
telah menumpas segenap anggota Soh-hok-han kami, sakit
hati ini harus kutuntut, antara kau dan aku tidak mungkin
hidup bersama, kalau bukan kau yang mampus biarkanlah
aku yang gugur."
Tonghong Kui-le terkejut oleh perubahan air muka Pengsay
itu, serunya kuatir, "He, kenapa kau? Air mukamu
sungguh menakutkan. apakah kau sakit?"
Peng-say tidak ingin bertengkar dan bermusuhan dengan
si nona, tapi ia pikir barang musuh tidak boleh lagi
kumakan. Maka ia lantas meletakkan cawan araknya dan
menjawab: "Mendadak aku merasa kurang sehat, biarlah
kumohon diri saja!"
Habis berkata mendadak ia berbangkit. Karena gerakan
ini, ditambah lagi rasa dukanya yang hebat, seketika ia
merasa kepala pusing dan mata gelap, ia sempoyongan dan
akan roboh.
"Ai, tampaknya kau memang sakit, lekaslah berbaring
saja di tempat tidur!" seru Tonghong Kui-le.
"Ti. . .tidak!" teriak Peng-say. "Sedetik pun tidak boleh
kutinggal lagi disini!"
Tapi mendadak terdengar seorang bergelak tertawa
diluar, "Hahaha! Sau Peng-say, kau sudah makan Bonghan-
yo (obat tidur), kau bisa datang tak bisa lagi pergi!"
"Ayah!" seru Tonghong Kui-le.
Rupanya yang tertawa dan berseru diluar itu adalah
Tonghong Put-pay, gembong nomor satu Ma-kau.
Seketika Peng-say menjadi murka, dengan melotot ia
tanya Tonghong Kui-le, "Bukankah kau bilang ayahmu. . .
.ayahmu tidak berada di rumah?"
Mendadak ia duduk lagi dengan lemas, katanya dalam
hati: "Untuk apa pula kutanya, mana ada anak yang tidak
condong kepada ayahnya sendiri. Aku sendiri yang kelewat
tolol, masa mengira tidak bakalan mencelakai diriku?"
Bong-han-yo adalah sejenis obat tidur atau bius yang
sangat sederhana, dengan semacam bubuk dan
dicampurkan di dalam arak, bila diminum dengan segera
akan tertidur. Tapi kalau pengaruh alkohol hilang, segera
pula orangnva akan mendusin
Bila tenaga dalam orang yang minum Bong-han-yo itu
sangat kuat dan dapat mendesak keluar pengaruh arak,
biarpun minum obat bius itu pun tidak akan jatuh tidur!
Sebab itulah Bong-han-yo tidak besar khasiatnya, pada
umumnya jarang digunakan oleh orang Kangouw.
Tapi lantaran obat tidur ini kalau sudah tercampur
didalam arak sama sekali tidak kelihatan sesuatu perubahan
warna dan juga tidak ada bau, sangat mudah untuk
mengelabui mata seorang ahli sekalipun. Rupanya demi
kelancaran tujuannya, Tonghong Put-pay tidak
menggunakan obat bius lain yang lebih keras, tapi justeru
menggunakan Bok-han-yo paling sederhana ini.
Tonghong Put-pay tahu Lwekang Peng-say sangat hebat,
hanya dalam waktu singkat pengaruh itu dapat dibuyarkan
olehnya. Maka dia harus bekerja cepat. pada waktu anak
muda itu sedang berduduk dan mengerahkan tenaga dalam,
secepat kilat dia menyelinap masuk kedalam ruangan terus
hendak menutuknya.
"Jangan, ayah!" jerit Tonghong Kui-le dengan kuatir,
segera ia menubruk maju hendak menghadang di depan Sau
Peng-say agar anak muda itu tidak sampai ditutuk sang
ayah.
Akan tetapi Tonghong Put-pay sudah telanjur, tangan
kiri terus menyampuk, kontan Tonghong Kui-le
dihantamnya hingga terlempar keluar ruangan. Menyusul
jari tangan kanan terus menutuk dan tepat mengenai "Kinsok-
hiat" di pinggang Peng-say.
Karena Hiat-to penting itu tertutuk, seketika tenaga
dalam Peng-say yang sedang bekerja itu menjadi buyar,
belum lagi dia sempat mendesak keluar hawa arak, tahutahu
ia sudah roboh terkulai dan tertidur pulas. . . .
^ o dwo ^
Waktu Peng-say siuman, ia merasa dirinya terkurung di
dalam penjara batu dengan kaki dan tangan terbelenggu.
Petangnya, ia dengar pintu penjara di buka orang.Waktu
ia menengadah, dilihatnya Sip-lik Taysu melangkah masuk
dengan membawa lentera. Karena Tonghong Kui-le telah
berusaha membelanya pada saat dia diserang Tonghong
Put-pay, tahulah Peng-say bahwa yang membocorkan
rahasia kedatangannya bukanlah Tonghong Kui-le.
Melihat munculnya Sip-lik Taysu, segera ia paham
duduknya perkara. Jelas Sip-lik inilah yang
membocorkan jejaknya sehingga Tonghong Put-pay lantas
mengatur tipu muslihat untuk menjebaknya dengan
menaruh obat di dalam arak yang akan diminumnya, sudah
barang tentu semuanya itu dikerjakan di luar tahu
Togghong Kui-le.
Dia menghela napas, katanya, "Taysu, akhirnya kau
mencelakai diriku."
Sip-lik Taysu juga tidak menyangkal, ucapnya,
"Maklumlah, selaku Mo-kau-tianglo, adalah jamak jika aku
harus setia kepada agamaku, segala sesuatu harus
kulaporkan kepada Kaucu. Untuk ini hendaklah kau suka
memaafkan diriku."
Sekali sudah salah langkah, maka runtuhlah segalanya,
siapa yang mesti disalahkan? Mau tak mau Peng-say harus
menerima nasib. Cuma ia tidak habis mengerti mengapa
Sip-lik Taysu yang berwatak tak mau kalah bisa melakukan
hal-hal di luar dugaannya?
Ia coba bertanya, "Jadi Taysu tidak sayang pada nama
baikmu yang sudah termashur selama berpuluh tahun dan
sekarang dibiarkan hanyut begitu saja?"
Sip-lik Taysu menjawab: "Kau berani memusuhi Kaucu,
dengan kesaktian Kaucu, cepat atau lambat kau pasti akan
tertangkap. Dari pada nanti kau mengaku dihadapan Kaucu
tentang apa yang terjadi dan tidak urung aku pun bisa
dihukum mati terpaksa kulaporkan lebih dulu tanpa
menghiraukan soal nama baik dan kehormatan lagi."
"Kedatangan Taysu ini apakah hendak menyampaikan
sesuatu pesan Kaucu kalian?" tanya Peng-say.
"Bicara terus terang," jawab Sip-iik, "Kaucu menyuruh
aku melakukan pahala untuk menebus dosa, asalkan dapat
kubujuk kau, maka beliau berjanji akan menutup rahasia
kekalahanku oleh dirimu ini."
"Berpahala untuk menebus dosa?" Peng-say menegas.
"Ya," kata Sip-lik. "Kaucu memang maha pintar begitu
beliau pulang dan mendapat laporan tentang genta raksasa
yang dipindahkan orang ke depan pintu Ban-seng-paiu-kiok
itu, beliau lantas menyangsikan lenyapnya diriku selama
satu hari itu, beliau bertanya padaku apakah ada sesuatu
yang sukar untuk dibicarakan terus terang."
Baru sekarang Peng-say menyadari tindakannya yang
keliru. Pikirnya: "Kupasang perangkap dan berhasil
menawannya, hal ini rasanya mudah diterka oleh setiap
orang yang cerdas. Apalagi Kaucu mereka, sudah tentu
cukup kenal watak anak buahnya, terutama sifat Sip-lik
yang suka menang ini. Ai, memang akulah yang salah
langkah."
Dalam pada itu Sip-lik telah bercerita pula, "Semula aku
berusaha menutupi apa yang terjadi dan menyangkal telah
terjadi sesuatu. Namun Kaucu terus mendesak dan
bertanya. Demi teringat kepada akibatnya nanti, akhirnya
kulaporkan segalanya. Sebab kalau tidak segera kulaporkan,
apalagi Kaucu sudah mendesak dan bertanya, bilamana
kejadian ini tetap tidak kulaporkan akan berarti berdusta
dan mengelabui Kaucu. Padahal dalam Ma-kau kami
Kaucu kami junjung seolah-olah raja, biarpun kedudukanku
adalah Tianglo juga tidak terhindar daripada hukuman mati
lantaran telah berdusta kepada sang Kaucu. Syukurlah,
Kaucu cukup bijaksana dan welas asih, beliau mau
mengerti akan kesukaranku dan tidak segera menjatuhkan
hukuman padaku, sebaliknya malah memberi kesempatan
padaku agar mencari pahala untuk menebus dosaku."
"Dan apa yang kau harapkan dariku?" tanya Peng-say.
"Sejilid kitab nada seruling." jawab Sip-lik.
"Apakah kitab nada seruling yang berjudul 'Siau-go-yanhe'?"
tanya Peng-say.
"Betul," jawab Sip-lik Taysu. "Kitab nada seruling itu
sudah lama dicari Kaucu, beliau telah menggeledah seluruh
Lam-han dan tidak berhasil menemukannya."
"Hanya satu buku nada seruling saja, apa artinya?" ujar
Peng-say.
"Jika demikian, sudilah berikan padaku," kata Sip-lik
Taysu. "Sudah barang tentu tidak akan kuterima tanpa
balas jasa. dengan jiwaku akan kujamin keselamatanmu."
"Kitab nada seruling itu tidak kubawa," kata Peng-say.
"Habis dimana kau menyimpannya?" tanya Sip-lik
Taysu.
"Sudah kuapalkan dengan baik, tiada gunanya lagi
kusimpan kitab nada itu, maka sudah kubakar."
"Jika begitu, mohon sudilah engkau merekamnya
kembali satu buku," pinta Sip-lik.
"Coba jawab dulu, darimana Kaucu kalian mengetahui
pentingnya kitab nada seruling ini?" tanya Peng-say.
Sip-lik mengira anak muda ini sudah mau menyalin lagi
satu buku nada itu, untuk mengambil hatinya, tanpa pikir ia
memberi penjelasan: "Lagu Siau-go-yan-he itu tercatat
masing-masing pada nada seruling dan kecapi. Kaucu
sudah mengetahui betapa hebat dan pentingnya kitab nada
kecapi, dengan sendirinya beliau juga sangat menghargai
kitab nada seruling. Sebab itulah, asalkan Kongcu dapat
menyalin lagi satu buku nada seruling itu, kutanggung
jiwamu pasti takkan diganggu."
"Darimana pula Kaucu kalian mengetahui betapa
hebatnya kitab nada kecapi?" tanya Peng say pula.
"Barang hasil karya Kik-tianglo dari Mo-kau kami
masakan Kaucu tidak mengetahui betapa nilainya?" ujar
Sip-lik.
"Aku justeru tidak tahu apa maksud tujuan Kik-tianglo
kalian menciptakan buku nada kecapi" tanya Peng-say
"Baiklah, biar kuceritakan terus terang." tutur Sip-lik
Taysu. "Pada jaman kerajaan Goan, Ma-kau kami
berkembang dengan jaya. hal ini disebabkan pada waktu itu
Ma-kau kami menggunakan panji mengusir musuh negara
dan bangkit melawan penjajah (dinasti Goan atau Yuan
dalam sejarah kerajaan Tiongkok dianggap sebagai terjajah
oleh rakyat Tiongkok, sebab rajanya adalah bangsa
Mongol, Khan). Dengan semboyan mempersatukan bangsa
untuk melawan penjajah, dengan sendirinya Ma-kau kami
banyak mendapat pengikut. Cuma sayang, keadaan jaya itu
tidak bertahan lama, kerajaan Goan runtuh, tanah air
kembali lagi dikuasai bangsa Han sendiri, maka semboyan
kami itu lantas ketinggalan jaman, ditambah keparat Cu
Goan-ciang (cakal-bakal dinasti Beng atau Ming), itu
ternyata seorang yang khianat dan tak berbudi. Dengan
mati-matian Ma-kau kami bantu dia merampas kembali
tanah air ini dari Mongol, sesudah dia naik tahta, dia
berbalik menuduh Ma-kau kami adalah agama asing dan
golongan jahat, ia melakukan penyembelihan besar2an
terhadap anggota Ma-kau kami. Kalau ada yang beruntung
tidak terbunuh, ber-ramai2 sama terusir keluar Kwan-gwa
(diluar tembok besar).
-Selama ratusan tahun iniMa-kau kami hanya tersebar di
daerah Kwan-gwa dan tidak berani melintasi perbatasan
(sejak berdirinya tembok besar, pada umumnya bangunan
raksasa itu dianggap sebagai perbatasan negeri Tionggoan
yang dikuasai bangsa Han dengan suku bangsa lain yang
bercokol diluar tembok besar). Baru pada waktu Tonghongkaucu
menjabat pimpinan kami, berkat kepintaran beliau
yang jarang ada bandingannya, lambat-laun Ma-kau kami
bangkit kembali dan secara rahasia berpindah pula ke
Kwan-lay (di dalam tembok besar).
-Akan tetapi, dengan kekuatan Ma-kau kami sekarang,
hendak melawan kerajaan Beng juga tidak mungkin. Sakit
hati terhadap keluarga Cu yang lupa budi dan ingkar janji
itu terang sukar terbalas. Jalan lain terpaksa kami tempuh,
yaitu menjagoi dunia Kangouw dan menyebar luaskan
ajaran agama, menanamkan kepercayaan dikalangan
rakyat, itulah tujuan utama kami sekarang. Namun
dibawah kekuasaan keluarga Cu yang khianat itu, jelas
kami tidak dapat menyebarkan agama kami sesara terang
terangan, kami juga tidak mempunyai semboyan lagi yang
gemilang seperti dahulu, lalu dengan cara bagaimana kami
dapat menarik perhatian umum? Maka terpaksa kami
berjalan menyimpang. Dengan perkataan lain, kami
menyebarkan ajaran yang mengelabui rakyat. Padahal
tindakan ini terpaksa kami lakukan demi mempertahankan
hidup berpuluh ribu anggota Ma-kau kami, supaya bisa
hidup terpaksa tidak memikirkan cara lagi.
-Padahal kalau kita melihat sejarah, sudah banyak
kerajaan berganti kerajaan, dinasti ini mengantikan dinasti
itu. Demi untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan
rakyat, penguasa baru tidak segan-segan menggunakan
segala cara untuk memikat rakyat, juga raja baru sering
menggunakan cara-cara yang dianggap oleh raja lama
sebagai propaganda untuk mengelabui rakyat? Walaupun
begitu, untuk menempuh jalan menyimpang agar dipercaya
oleh rakyat juga bukan pekerjaan yang sederhana. Demi
menyebar luaskan pengaruh Mo-kau kami, Kaucu harus
memeras otak dan berjuang mati-matian, maka timbul
suatu pikirannya yang aneh, yaitu hendak memperalat
kemahiran memetik kecapi Kik-tianglo itu untuk menarik
perhatian umum, maka Kik-tianglo diminta menciptakan
satu lagu.
-Menurut pendapat Kaucu, setiap manusia
membutuhkan hiburan, hiburan itu dapat melalui mata dan
telinga, yaitu suara dan kecantikan. Kalau kami menghibur
sambil memikat hati umum, bukankah cara ini lebih cepat
untuk mengumpulkan pengikut? Dalam hal main kecapi
Kik-tianglo memang sangat mahir, hanya dalam beberapa
tahun saja sudah tidak sedikit lagu ciptaannva menjadi
populer dan disukai, baik para Tongcu dan anggota setia
kami hampir semuanya gemar belajar lagu baru Kiktianglo.
Malahan waktu menyebarkan ajaran agama kami
gunakan pula dengan memetik kecapi sehingga menarik
perhatian berjuta pengikut dikalangan rakyat, hal ini pun
mendatangkan banyak keuntungan bagi perbekalan dan
kebutuhan lain bagi agama kami.
-Meski agama kami sudah semakin maju, namun Kaucu
masih belum puas, Kik-tianglo diperintahkan menciptakan
lagu baru yang lebih bagus lagi. Tidak lama kemudian Kiktianglo
memberi laporan bahwa ada sebuah lagu baru yang
sangat lihay telah dirancangnya. katanya bilamana lagu
tersebut dimainkan, jangankan khalayak ramai akan kesima
dan termangu-mangu, sekalipun tokoh Bu-lim bila
mendengar lagunya itu juga akan terjerumus ke alam khayal
dan melupakan segalanya. Kaucu sangat girang, setiap
beberapa hari beliau tentu bertanya apakah Kik-tianglo
sudah selesai menciptakan lagu tersebut. Dan begitulah
beberapa tahun telah berlalu dengan cepat, Kaucu pun tahu
lagu baru ciptaan Kik-tianglo itu berjudul "Siau-go-yan-he",
cuma sejauh itu Kik-tianglo belum lagi serahkan buku nada
lagu ciptaannya itu. Kaucu tahu lagu itu sudah berhasil
diciptakan Kik-tianglo dengan baik, cuma entah mengapa
belum lagi dilaporkan kepadanya, Kaucu menjadi curiga
jangan2 kesetiaan Kik-tianglo terhadap Ma-kau sudah
mulai goyah. Akan tetapi selama ini kesetiaan Kik-tianglo
cukup diketahui setiap anggota kami. biarpun curiga tanpa
bukti yang nyata, betapapun Kaucu tidak berani
menegurnya, beliau kuatir kalau-kalau membikin sirik Kiktianglo
dan benar-benar memberontak, kan urusan bisa
bertambah runyam. Maka kaucu hanya menyelidiki gerakgerik
Kik-tianglo secara diam-diam saja. . . Akhirnya
diketahui bahwa Kik-tianglo mempunyai hubungan yang
sangat akrab dengan tokoh Thay-san-pay yang menjadi
sekutu Ngo-tay-lian-beng yaitu Wi Kay-hou. Padahal
persekutuan Lima besar itu bertujuan memusuhi Ma-kau
kami. Kik~tianglo berhubungan dengan musuh, jelas ada
tanda-tanda berkhianat. Satu hari, Kaucu menangkap Kiktianglo
dan ditanyai mengenai hubungannya dengan Wi
Kay-hou. Kik-tianglo memberi penjelasan bahwa
persahabatannya dengan Wi Kay-hou itu tidak bertujuan
mengkhianati agama, tapi dia dan Wi Kay-hou justeru
bersama-sama sedang menggubah lagu Siau-go-yan-he.
-Dengan terus terang dia menyatakan kesetiaannya
terhadap agama, karena itu Kaucu menjadi terharu dan
beliau sendiri yang membebaskan Kik-tianglo dari
ringkusan serta minta maaf padanya. Lalu minta Kiktianglo
menyerahkan buku nada Siau-go-yan-he itu. Namun
Kik-tianglo bilang lagu itu belum sempurna digarap, untuk
menyelesaikannva masih diperlukan sedikit hari lagi. Kaucu
percaya sepenuhnya kepada Kik-tianglo dan suruh dia lekas
merampungkannya bersama Wi Kay-hou. Diluar dugaan.
beberapa bulan kemudian, pulanglah Kik Fi-yan, yaitu cucu
perempuan Kik-tianglo, dan melaporkan bahwa kakeknya
telah meninggal dunia,
-Kaucu menanyai Fi-yan apa yang telah terjadi, dari
cerita Fi-yan baru diketahui bahwa lagu Siau-go-yan-he
ciptaan gabungan antara Kik-tianglo dan Wi Kay-hou itu
sebenarnya sudah lama jadi tapi pada waktu hendak
mengembuskan napas penghabisan, buku nada kecapinya
oleh Kik-tianglo telah diserahkan kepada Sau Peng-lam,
murid Lam-han yang juga menjadi musuh Ma-kau kami.
Meski tahu sampai matipun Kik-tianglo tiada bermaksud
mengkhianat, tapi Kaucu juga tahu persahabatan antara
Kik-tianglo dan Wi Kay-hou telah terjalin sedemikian erat
dan akrabnya melalui musik mereka, rupanya Kik-tianglo
tidak ingin kaucu mendapatkan lagu Siau-go-yan-he itu
yang akibatnya akan membikin celaka saudara seperguruan
kawan-kawan sahabat karibnya, makanya sejauh itu buku
nada Siau-go-yan-he belum lagi diserahkannya kepada
Kaucu.
-Kaucu menjadi sakit hati karena Kik-tianglo
menyerahkan buku nadanya kepada seorang murid Lamhan,
dalam gusarnya beliau terus membunuh cucu
perempuan Kik-tianglo, lantaran itulah sampai sekarang
Kik Koan, yaitu saudara muda Kik Yang masih merasa
menyesal terhadap Kaucu.
"Namun dibawah kekuasaan keluarga Cu yang khianat
itu, jelas kami tidak dapat menyebarkan agama kami secara
terang terangan, kami juga tidak mempunyai semboyan lagi
yang gemilang seperti dahulu, lalu dengan cara bagaimana
kami dapat menarik perhatian umum? Maka terpaksa kami
berjalan menyimpang. Dengan perkataan lain, kami
menyebarkan ajaran yang mengelabui rakyat. Padahal
tindakan ini terpaksa kami lakukan demi mempertahankan
hidup berpuluh ribu anggota Ma-kau kami, supaya bisa
hidup terpaksa tidak memikirkan cara lagi.
-Padahal kalau kita melihat sejarah, sudah banyak
kerajaan berganti kerajaan, dinasti ini mengantikan dinasti
itu. Demi untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan
rakyat, penguasa baru tidak segan-segan menggunakan
segala cara untuk memikat rakyat, juga raja baru sering
menggunakan cara-cara yang dianggap oleh raja lama
sebagai propaganda untuk mengelabui rakyat? Walaupun
begitu, untuk menempuh jalan menyimpang agar dipercaya
oleh rakyat juga bukan pekerjaan yang sederhana. Demi
menyebar luaskan pengaruh Mo-kau kami, Kaucu harus
memeras otak dan berjuang mati-matian, maka timbul
suatu pikirannya yang aneh, yaitu hendak memperalat
kemahiran memetik kecapi Kik-tianglo itu untuk menarik
perhatian umum, maka Kik-tianglo diminta menciptakan
satu lagu.
-Menurut pendapat Kaucu, setiap manusia
membutuhkan hiburan, hiburan itu dapat melalui mata dan
telinga, yaitu suara dan kecantikan. Kalau kami menghibur
sambil memikat hati umum, bukankah cara ini lebih cepat
untuk mengumpulkan pengikut? Dalam hal main kecapi
Kik-tianglo memang sangat mahir, hanya dalam beberapa
tahun saja sudah tidak sedikit lagu ciptaannva menjadi
populer dan disukai, baik para Tongcu dan anggota setia
kami hampir semuanya gemar belajar lagu baru Kiktianglo.
Malahan waktu menyebarkan ajaran agama kami
gunakan pula dengan memetik kecapi sehingga menarik
perhatian berjuta pengikut dikalangan rakyat, hal ini pun
mendatangkan banyak keuntungan bagi perbekalan dan
kebutuhan lain bagi agama kami.
-Meski agama kami sudah semakin maju, namun Kaucu
masih belum puas, Kik-tianglo diperintahkan menciptakan
lagu baru yang lebih bagus lagi. Tidak lama kemudian Kiktianglo
memberi laporan bahwa ada sebuah lagu baru yang
sangat lihay telah dirancangnya. katanya bilamana lagu
tersebut dimainkan, jangankan khalayak ramai akan kesima
dan termangu-mangu, sekalipun tokoh Bu-lim bila
mendengar lagunya itu juga akan terjerumus ke alam khayal
dan melupakan segalanya. Kaucu sangat girang, setiap
beberapa hari beliau tentu bertanya apakah Kik-tianglo
sudah selesai menciptakan lagu tersebut. Dan begitulah
beberapa tahun telah berlalu dengan cepat, Kaucu pun tahu
lagu baru ciptaan Kik-tianglo itu berjudul "Siau-go-yan-he",
cuma sejauh itu Kik-tianglo belum lagi serahkan buku nada
lagu ciptaannya itu. Kaucu tahu lagu itu sudah berhasil
diciptakan Kik-tianglo dengan baik, cuma entah mengapa
belum lagi dilaporkan kepadanya, Kaucu menjadi curiga
jangan2 kesetiaan Kik-tianglo terhadap Ma-kau sudah
mulai goyah. Akan tetapi selama ini kesetiaan Kik-tianglo
cukup diketahui setiap anggota kami. biarpun curiga tanpa
bukti yang nyata, betapapun Kaucu tidak berani
menegurnya, beliau kuatir kalau-kalau membikin sirik Kiktianglo
dan benar-benar memberontak, kan urusan bisa
bertambah runyam. Maka kaucu hanya menyelidiki gerakgerik
Kik-tianglo secara diam-diam saja. . . Akhirnya
diketahui bahwa Kik-tianglo mempunyai hubungan yang
sangat akrab dengan tokoh Thay-san-pay yang menjadi
sekutu Ngo-tay-lian-beng yaitu Wi Kay-hou. Padahal
persekutuan Lima besar itu bertujuan memusuhi Ma-kau
kami. Kik~tianglo berhubungan dengan musuh, jelas ada
tanda-tanda berkhianat. Satu hari, Kaucu menangkap Kiktianglo
dan ditanyai mengenai hubungannya dengan Wi
Kay-hou. Kik-tianglo memberi penjelasan bahwa
persahabatannya dengan Wi Kay-hou itu tidak bertujuan
mengkhianati agama, tapi dia dan Wi Kay-hou justeru
bersama-sama sedang menggubah lagu Siau-go-yan-he.
-Dengan terus terang dia menyatakan kesetiaannya
terhadap agama, karena itu Kaucu menjadi terharu dan
beliau sendiri yang membebaskan Kik-tianglo dari
ringkusan serta minta maaf padanya. Lalu minta Kiktianglo
menyerahkan buku nada Siau-go-yan-he itu. Namun
Kik-tianglo bilang lagu itu belum sempurna digarap, untuk
menyelesaikannva masih diperlukan sedikit hari lagi. Kaucu
percaya sepenuhnya kepada Kik-tianglo dan suruh dia lekas
merampungkannya bersama Wi Kay-hou. Diluar dugaan.
beberapa bulan kemudian, pulanglah Kik Fi-yan, yaitu cucu
perempuan Kik-tianglo, dan melaporkan bahwa kakeknya
telah meninggal dunia,
-Kaucu menanyai Fi-yan apa yang telah terjadi, dari
cerita Fi-yan baru diketahui bahwa lagu Siau-go-yan-he
ciptaan gabungan antara Kik-tianglo dan Wi Kay-hou itu
sebenarnya sudah lama jadi tapi pada waktu hendak
mengembuskan napas penghabisan, buku nada kecapinya
oleh Kik-tianglo telah diserahkan kepada Sau Peng-lam,
murid Lam-han yang juga menjadi musuh Ma-kau kami.
Meski tahu sampai matipun Kik-tianglo tiada bermaksud
mengkhianat, tapi Kaucu juga tahu persahabatan antara
Kik-tianglo dan Wi Kay-hou telah terjalin sedemikian erat
dan akrabnya melalui musik mereka, rupanya Kik-tianglo
tidak ingin kaucu mendapatkan lagu Siau-go-yan-he itu
yang akibatnya akan membikin celaka saudara seperguruan
kawan-kawan sahabat karibnya, makanya sejauh itu buku
nada Siau-go-yan-he belum lagi diserahkannya kepada
Kaucu.
-Kaucu menjadi sakit hati karena Kik-tianglo
menyerahkan buku nadanya kepada seorang murid Lamhan,
dalam gusarnya beliau terus membunuh cucu
perempuan Kik-tianglo, lantaran itulah sampai sekarang
Kik Koan, yaitu saudara muda Kik Yang masih merasa
menyesal terhadap Kaucu.
-Akan tetapi segala persoalan harus dikembalikan kepada
awal mulanya, jika Kik Yang tidak cari penyakit sendiri,
buku nadanya itu boleh dibakar saja andaikan tidak suka
diberikan kepada Kaucu, kan urusan menjadi beres dan
cucu perempuan yang tak berdosa tidak akan ikut menjadi
korban? Kaucu tidak lupa kepada buku nada Siau-go-yan-he
itu, beliau tidak tinggal diam, berangkatlah beliau ke Huiciu,
akhirnya dapatlah ditemukan buku nada itu pada Sau
Peng-lam, akan tetapi buku nada seruling tidak dapat
ditemukan, meski Kaucu sudah menggeledah setiap pelosok
Soh-hok-han tetap tidak menemukan kitab itu."
"Jika demikian, jadi lebih dari 20 jiwa perguruanku itu
adalah korban keganasan gembong iblis Ma-kau kalian?!"
ucap Peng-say dengan mengertak gigi
"Segenap anggota Lam-han kalian dibunuh oleh Ting
Tiong dan Liok Pek dari Say-koan, siapa didunia ini yang
tidak tahu akan peristiwa tersebut?" jawab Sip-lik Taysu.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 35
Peng-say tidak ingin banyak omong lagi dengan dia,
katanya dengan setengah berteriak, "Sudahlah, boleh kau
katakan kepada pimpinanmu, mimpi pun jangan harap
akan mendapatkan buku nada serulingku."
"Dengan penjelasanku ini tujuanku agar kau dapat
memahami maksud kami," kata Sip-lik Taysu. "Tentang
buku nada seruling, Kaucu bertekad harus
mendapatkannya. Jika tidak kau serahkan, jiwamu tak
dapat dipertahankan lagi."
"Hm, sejak dahulu sampai sekarang, orang hidup
akhirnya pasti mati!" jawab Peng-say tanpa gentar.
"Daripada mati terpuji kan lebih baik hidup tercela!" ujar
Sip-lik.
"Biarpun kuserahkan buku nada yang kalian inginkan,
akhirnya akupun tidak terhindar dari kematian," kata Pengsay.
"Untuk ini tidak perlu kau kuatir, asalkan buku nada kau
serahkan, bila Kaucu hendak membunuh kau, biarlah aku
mati bersamamu!" kata Sip-lik tegas.
"Terima kasih," ucap Peng-say. "Tapi, kalau tidak
sampai dibunuh. lalu bagaimana pula dengan nasibku
nanti?"
"Dengan sendirinya membebaskan kau," kata Sip-lik.
"Bebas dalam keadaan baik tanpa cedera sedikit pun?"
Peng-say menegas.
"Untuk ini.... . ." Sip-lik menjadi ragu-ragu untuk
menjawab.
Sejenak kemudian, tiba-tiba ia berkata pula, "Kau tunggu
sebentar, akan kutanyakan kepada Kaucu."
"Pokoknya aku harus dibebaskan tanpa cedera apa pun,
bahkan juga harus dijamin akan diperlakukan dengan baik
dan diberi ketenangan, dengan demikian barulah dapat
kutuliskan nada Siau-go-yan-he." kata Peng-say tegas.
"Kalau tidak,_hm, biarpun kalian akan menggunakan cara
keji apa pun terhadapku boleh silakan laksanakan saja, jika
aku berkerut kening sedikit saja jangan dianggap sebagai
keturunan keluarga Sau dari Lam-han!"
Tanpa bicara lagi Sip-lik Taysu lantas meninggalkan
Peng-say.
Tidak lama kemudian dia datang kembali, katanya
sambil menggeleng: "Kaucu tidak dapat menjanjikan tanpa
cedera apa pun bagimu. Kata beliau. asalkan buku nada
seruling sudah kau serahkan, jiwamu pasti diampuni dan
memberi kemerdedkan padamu."
"Jika tak dapat terhindar dari cedera sedikit pun, lalu
cara bagaimana dia akan mencelakai diriku?" tanya Pengsay.
"Memunahkan ilmu silatmu," tutur Sip-lik Taysu.
Peng-say terbahak-bahak, teriaknya: "Hahaha! Kenapa
tidak penggal saja kepalaku?!"
"Selama gunung masih menghijau. tidak perlu kuatir
takkan ada kayu bakar," ujar Sip-lik Taysu berusaha
membujuk. "Adik cilik, kau masih muda belia. . . ."
"Sudahlah, boleh kau pergi saja!" potong Peng-say
dengan tidak sabar.
Tapi Sip-lik Taysu masih belum putus harapan, ia coba
membujuk pula: "Adik cilik, kau. . . ."
Mendadak Peng-say mengangkat kedua tangannya yang
terbelenggu dan membentak dengan gusar, "Jangan banyak
omong lagi, apa kau minta kuhantam mampus kau?!"
Sip-lik menjadi keder, ia menyurut mundur hingga diluar
jangkauan Peng-say, setelah terdiam sejenak, kemudian ia
berkata pula, "Kaucu memberi batas waktu satu malam
bagimu untuk mempertimbangkannya, besok aku akan
datang lagi."
Tapi Peng-say terus berduduk bersandar dinding dan
tidak menghiraukannya.
Sip-lik Taycu berkata pula: "Menurut Kaucu, dengan
nada kecapi tinggalan Kik-tianglo saja sudah lebih daripada
cukup untuk menundukkan tokoh Bu-lim mana pun.
mengenai buku nada seruling, ada syukur, tidak ada juga
tidak menjadi soal. Kenapa kau berkeras kepala
mempertahankan nada seruling yang sebenarnya tidak ada
artinya lagi bagi Kaucu dengan mempertaruhkan jiwamu
yang berharga?"
Namun Peng-say tetap tidak menggubrisnya.
Sampai agak lama, karena anak muda itu tetap tidak
menghiraukannya, Sip-lik Taysu menghela napas, katanya:
"Baiklah, boleh kau renungkan lagi nasihatku ini, besok aku
akan datang lagi untuk minta jawabanmu. Selewatnya
besok, siapapun tidak berani menyelamatkan kau lagi,
sebab Kaucu sudah memerintahkan algojo agar siap pada
malam hari besok."
Setelah tertegun sejenak, akhirnya Sip-lik melangkah
pergi sambil menggeleng.
Peng-say sudah bertekad akan menghadapi kematian
dengan ikhlas. Pikirnya: "Daripada ilmu silatku dipunahkan
musuh dan sakit hati kematian ayah dan segenap anggota
perguruan tak terbalas, kan lebih baik mati saja bagiku!"
Baginya, tamak hidup di dunia ini sebagai pengecut
takkan dilakukannya, lebih baik mati berkalang tanah
daripada hidup ternista.
Seorang kalau sudah bertekad akan mati, hatinya akan
menjadi tenang malah.
Begitulah Peng-say terus berduduk tenang bersandar
dinding, ia tidak mau memikirkan apa2 lagi. Sang waktu
berlalu dengan cepat, sedetik, semenit. . . .terus berlalu,
akhirnya fajar pun menyingsing. Biasanya, pada waktu
subuh, pada saat dekat fajar itulah tidur orang paling lelap.
Saat itu Peng-say masih tidur nyenyak, ketika tiba-tiba
dirasakan sesuatu, mendadak ia terjaga bangun. Ia
merasakan ada sesuatu perubahan yang luar biasa, suara
langkah penjaga di pintu penjara itu entah mengapa
mendadak tak terdengar lagi.
Selagi Peng-say merasa heran dan curiga, sekonyongkonyong
seorang di dalam penjara menegur dengan suara
tertahan, "Siapa itu?"
Peng-say tahu, kecuali di sekeliling luar penjara itu
terdapat penjaga yang terus berputar tiada hentinya, di
dalam penjara terdapat pula sembilan orang penjaga. Hal
ini diketahuinya dari suara mendengkur mereka penjagapenjaga
itu, dari suara mendengkur itu pula dapat
diketahuinya penjaga-penjaga itu bukanlah perajurit biasa
melainkan jago silat pilihan. Mungkin penjagaan terhadap
Peng-say memang sengaja diperketat.
Orang yang menegur dengan suara tertahan tadi
mungkin juga baru terjaga bangun seperti Peng-say dan
sama merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Terdengar orang itu membuka pintu penjara, lalu
suaranya bertanya pula, "Siapa itu?"
Agaknya delapan orang temannya yang sedang tidur
itupun terjaga bangun, semunya lantas berbangkit dan siap
siaga. Seorang di antaranya bertanya, "Lau Pek, ada
kejadian apa?"
"Kukira ada sesuatu yang tidak beses," jawab orang she
Pek yang ditanya itu.
"Kau keparat yang suka ngacau," demikian omel seorang
lagi, "fajar saja hampir menyingsing, masakah bisa terjadi "
Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara
"ngek" tertahan, hampir pada saat yang sama berturut-turut
terdengar suara "blak bluk" sembilan kali, lalu sunyi
kembali seperti semula.
Diam-diam Peng-say terkejut akan kelihayan pendatang
ini, bila dirinya disuruh mengatasi sembilan jago pilihan
Mo-kau dalam waktu sekejap itu rasanya sulit
dilakukannya.
Pendatang ini menggeledah tubuh kesembilan jago Mokau
yang sudah tak bisa berkutik itu, dari salah seorang itu
dapat ditemukan serenceng anak kunci, lalu pendatang ini
memeriksa setiap kamar tahanan, ketika sampai di depan
kamar tahanan Sau Peng-say, dia berhenti, lalu
memasukkan anak kunci pada gemboknya.
Melihat pendatang ini bermaksud menolong dirinya,
cepat Peng-say bertanya, "Siapakah Anda ini?"
Namun orang itu diam saja, rupanya anak kunci yang
satu tidak cocok, segera ia ganti anak kunci yang lain.
Peng-say coba mengamat-amatinya, dalam kegelapan
dilihatnya orang itu berpakaian hitam ringkas, sampai
kepalanya juga memakai kedok kain hitam. seluruh kepala
terkerudnng, hanya kelihatan kedua matanya saja. Kalau
dipandang sepintar lalu dandanannya mirip -mirip seorang
algojo, cuma perawakannya langsing kecil, jelas bukan
lelaki.
Setelah mencoba beberapa anak kunci, akhirnya pintu
kamar penjara itu dapat dibukanya.
"Apakah kau ini.... nona Tonghong?" tanya Peng-say
dengan sangsi.
Orang itu tetap diam saja, ia mendekati Peng-say, ia
segera berjongkok dan bantu Peng-say membuka belenggu
kakinya, tapi belenggu ditangan tidak dibukanya., anak
kunci terus dimasukkan kedalam baju. Dia memutar tubuh
keluar kamar tahanan sambil memberi tanda agar Peng-say
mengikuti dia.
Meski ragu-ragu, karena orang datang buat
menolongnya, apapun juga maksudnya. yang penting kabur
keluar penjara dulu.
Segera Peng-say melompat keluar dan mengikuti
penolongnya itu. Mereka melalui sebuah lorong penjara,
didepan mereka adalah sebuah ruangan besar masih
didalam penjara itu. Di lantai ruangan tampak menggeletak
disana sini beberapa sosok tubuh orang, semuanya
berjumlah sembilan orang, semuanya tertidur nyenyak.
Waktu Peng-say memandang lebih cermat, agaknya pada
Hiat-to tidur masing-masing itu terkena sebuah Am-gi atau
senjata gelap yang sangat lembut, senjata halus demikian
biasanya hanya dapat disambitkan dengan jentikan jari.
"It-ci-sian!" seru Peng-say dengan suara tertahan.
Pantas dalam sekejap saja kesembilan jago Ma-kau itu
dapat dirobohkannya, kiranya mereka terkena oleh senjata
rahasia kecil yang diselentikkan dengan jari. Hal ini cukup
sederhana untuk dijelaskan, kalau bukan ilmu tenaga jari
sakti It-ci-sian di dunia ini tiada orang yang mampu
sekaligus menyambitkan sembilan biji senjata rahasia
lembut itu dan dapat mengenai Hiat-to sembilan lawan
dengan jitu.
Mendengar suara Peng-say tadi, orang itu menoleh, biji
matanya yang hitam pekat itu menatap Peng-say dengan
sorot mata yang tajam.
"Di mana si bangsat tua Ciamtay Cu-ih?" tanya Peng-say
dengan suara tertahan, rupanya sekarang dia sudah tahu
siapa penolongnya ini.
Namun orang itu hanya menggeleng saja tanpa
menjawab.
"Maksudmu kau tidak tahu?" tanya Peng-say pula.
"Bukankah tempo hari telah kau bawa pergi dia?"
Orang itu menghela napas pelahan, ucapnya dengan
suara lirih, "Satu tangan dan satu kakinya sudah buntung,
kukira sudah cukuplah untuk menebus dosa selama
hidupnya."
Untuk pertama kalinya orang ini membuka suara. Pengsay
merasa suara orang sudah pernah dikenalnya, cuma
seketika tidak ingat dimana pernah mendengar suaranya.
Seingatnya, diantara orang yang pernah dikenalnya
dengan baik tiada seorang pun yang menjadi Nikoh.
Maka tanpa banyak pikir ia lantas berkata, "Cayhe tidak
mau menerima budi pertolonganmu tanpa sebab dan
alasan."'
Kesempatan ini cepat digunakan orang itu untuk berkata:
"Kumohon agar engkau suka mengampuni jiwa Hong-hoawancu!"
"Hanya membuntungi satu kaki dan satu tangannya saja
belum cukup untuk menggantikan nyawa Yak-leng dan
nona Liu, betapapun tak dapat kuterima permintaanmu,"
kata Peng-say. Habis berkata segera ia membalik tubuh dan
hendak kembali ke kamar tahanannya tadi.
Dengan sekali melompat, secepat burung terbang orang
itu telah mengadang di depan Peng-say, serunya cepat dan
kuatir: "He, hendak ke mana kau?"
"Karena Cayhe tak dapat menerima permintaan nona,
terpaksa kukembali ke kamar tahanan tadi dan menantikan
hukuman mati yang akan dijatuhkan Tonghong Put-pay
padaku," jawab Peng-say.
"Jika demikian, bila kau sudah mati, bukankah Honghoa-
wancu tetap dapat hidup di dunia ini?" ujar orang itu.
"Daripada hidupku tidak dapat membunuh bangsat tua
itu, akan lebih baik kalau kumati saja." kata Peng-say tegas.
"Ah, ini hanya alasan yang dicari-cari saja, tampaknya
kau teramat kepala batu," ujar orang itu.
Tapi Peng-say lantas membentak: "Menyingkir!"
Berbareng ia terus menyeruduk ke depan, maksudnya
hendak memaksa orang menyingkir agar dia dapat masuk
lagi ke dalam kamar tahanan tadi.
Cepat orang itu mengegos ke samping, tapi pada waktu
Peng-say berjalan lewat disisinya. secepat kilat ia tutuk
Hiat-to tidur anak muda itu.
It-ci-sian adalah ilmu jari sakti termashur dari Ci-tiok-to
di lautan timur, mana mampu Peng-say menghindarnya
dalam keadaan tak ber-jaga2 begitu?
Ketika Peng-say siuman kembali, hari ternyata sudah
lewat lohor, ia melihat dirinya berbaring di dalam sebuah
rumah gubuk dengan tangan masih terbelenggu. Cepat ia
melompat bangun dan keluar rumah gubuk itu.
Gubuk ini ternyata di bangun di tempat ketinggian .di
bawah pepohonan yang rindang, dari atas memandang ke
bawah sana dengan jelas dapat melihat Pah-kio yang
membentang megah itu, dengan jelas juga dapat terlihat
sebuah gubuk lain di bawah pohon sebelah sana,
"Pantas dia tahu aku tertangkap Tonghong Put-pay,
kiranya dia senantiasa mengintai dari sini, setiap gerakgerikku
jelas terlihat olehnya," demikian pikirnya.
Rupanya agar lebih leluasa mengadakan pertemuan
dengan Tonghong Kui-le, selama di Si-an Peng-say tidak
menginap di hotel agar jejaknya tidak mudah kepergok
musuh. Untuk berteduh dia membangun sebuah rumah
gubuk di suatu tempat ketinggian. Rupanya gubuk yang
dapat dipandangnya dari sini adalah gubuk yang
dibangunnya itu.
Sama sekali tak disangkanya bahwa di suatu perbukitan
yang sama belum lama ini juga telah dibangun sebuah
gubuk lain yang digunakan untnk mengawasi tindaktanduknya.
"Secara diam2 dia selalu melindungi diriku, apakah
tujuannya agar jiwa si bangsat tua Ciamtay Cu-ih itu dapat
kuampuni? Untuk apakah dia berbuat demikian? Ada
hubungan apakah antara dia dan Hong-hoa-wancu Ciamtay
Cu-ih?"
Demikian selagi Peng-say tidak habis berpikin mendadak
orang yang berbaju dan berkerudung hitam yang
menolongnya semalam muncul pula di belakangnya.
= = oo OdOwO oo = =
Kini dia sudah kembali berdandan sebagai Nikoh, hanya
mukanya masih pakai cadar kain hitam.
Dia melemparkan serenceng anak kunci kepada Peng-say
dan berkata. "Bukalah sendiri belenggumu."
Tapi Peng-say tidak menerima anak kunci itu, katanya,
"Kau sengaja menolong diriku, tapi tidak pernah kujanjikan
akan melepaskan Hong-hoa-wancu."
Nadanya sekarang sudah agak sungkan, dia tidak
memaki Ciamtay Cu-ih sebagai bangsat tua lagi di hadapan
orang.
"Ingat, bila sekarang kubunuh kau semudah kubaliki
tanganku sendiri," kata orang itu.
"Memangnya aku tak dapat hidup sampai saat ini, berkat
pertolonganmu sehingga aku dapat menyambung hidup
sampai sekarang. Karena jiwaku adalah hadiah darimu.
akan kau bunuh atau tidak boleh terserah kehendakmu,
sedikitpun aku takkan melawan."
"Aku memang dapat membunuh kau, tapi tidak akan
kulakukan," kata orang itu,
"Terima kasih. Tapi kau pun jangan lupa, setelah kubuka
belenggu tanganku, jika kau hendak membunuhku tentu
tidak gampang lagi."
"Seyogianya harus kubunuh kau, sedikitnya harus
kutabas satu kaki dan satu tanganmu."
"Jika kau hendak membalaskan sakit hati Hong-hoawancu,
silakan saja lekas turun tangan."
Orang itu menjadi ragu-ragu dan berpikir sejenak,
akhirnya ia menggeleng.
Peng-say menjemput anak kunci tadi, katanya,
"Hendaknya dipikir lagi masak-masak, sebelum kubuka
belengguku, hendak kau apakah diriku pasti aku tidak akan
melawan."
"Dan setelah belenggu kau buka?"
"Biarpun bukan tandinganmu juga akan kulawan
sepenuh tenaga. Cuma. setengah tahun kemudian bila aku
masih hidup dan kau juga tetap ingin menuntut balas bagi
Hong-hoa-wancu, takkala mana aku tidak akan melawan
lagi dan boleh kau bunuh diriku sesukamu sebagai balas
budiku atas pertolonganmu sekarang ini."
"Mengapa kau takkan melawan setelah lewat setengah
tahun lagi?"
"Dalam waktu setengah tahun ini aku akan mencari Makau-
kaucu untuk duel, bila beruntung aku masih hidup,
sedikitnya sakit hati ayahku juga sudah terbalas, maka mati
pun aku tidak menyesal lagi."
"Kau dendam kepada Tonghong Put-pay karena dia
membunuh ayahmu?"
"Betul. Maka bila sekarang kau tidak membunuh diriku
berarti lebih berharga daripada kau telah menyelamatkan
jiwaku."
"Selamanya tiada maksudku hendak membunuhmu,
sekalipun Hong-hoa-wancu adalah ayahku sedarah!" kata
orang itu.
"Hah! Kau?!. . . ." seru Peng-say kaget.
"Aku. Sau Kim-leng, tentunya sudah kau ketahui Honghoa-
wancu adalah ayah sedarahku" jawab orang itu sambil
menanggalkan kain kerudungnya.
Memang betul, dia inilah Sau Kim-leng yang sudah
berpisah selama tiga tahun itu.
"He, dan. . . .dan ilmu silatmu ini?. . . ." seru Peng-say
dengan tergegap.
Sungguh sukar untuk dipercaya bahwa hanya berpisah
tiga tahun, Sau Kim-leng yang dulu lemah tak bertenaga,
ibaratnya memotong ayam saja tidak kuat, tapi sekarang
menguasai ilmu silat setinggi ini.
"Ilmu silatku adalah ajaran Keng-goat Sin-ni di Ci-tiok-to
yang terletak di lautan timur sana," tutur Kim-leng.
"Ya, ilmu jarimu memang betul ilmu sakti It ci-sian yang
terkenal dari Sin-ni, tapi ....tapi kau diketahui 'Lak-im-coatmeh'
(buntu pada urat nadi bagian anggota badan), kenapa
....kenapa berhasil mempelajari ilmu silat? . . . . "
"Hong-hoa-wancu sendiri kan juga Lak-im-coat-meh?"
ujar Kim-leng.
"Walaupun begitu juga cuma ilmu silat aliran Hong-hoawan
saja yang dapat dipelajari oleh orang yang Lak-imcoat-
meh, sedangkan ilmu silatmu bukan dari aliran Honghoa-
wan, mana bisa jadi?"
"Di dunia persilatan umumnya hanya diketahui ilmu
silat aliran Hong-hoa-wan lain daripada yang lain, tidak ada
yang tahu bahwa ilmu silat Ci-tiok-to juga berbeda dengan
ilmu silat umumnya," tutur Kim-leng.
"O, apakah maksudmu ilmu silat yang kau pelajari dari
Keng-goat Sin-ni itu ada hubungannya dengan ilmu silat
Hong-hoa-wan?" tanya Peng-say.
"Betul," tutur Kim-leng. "Sebelum menjadi Nikoh,
asalnya Keng-goat Sin-ni she Ciamtay, jadi satu marga
dengan Hong-hoa-wancu.Menurut cerita ibuku, Hong-hoawancu
angkatan pertama dapat menjagoi dunia persilatan
adalah karena dia berhasil mencuri belajar sebagian kungfu
andalan Ci-tiok-to. Dan ibu kandung Keng-goat Sin-ni
adalah isteri Hong-hoa-wancu yang pertama itu. Setelah
ditinggal minggat sang suami, ibu Keng-goat Sin-ni lantas
mencukur rambut dna menjadi Nikoh."
"O, jika begitu, jadi Ciamtay Cu-ih terhitung apanya
Keng-goat Sin-ni?. . . ."
"Ciamtay Cu-ih adalah Hong-hoa-wancu angkatan
ketiga, terhitung keponakan Keng-goat Sin-ni."
"Apakah Hong-hoa-wancu yang pertama itu juga Lakim-
coat-meh?" tanya Peng-say.
"Ya, justru karena dia juga Lak-im-coat-meh, maka
biarpun cuma sebagian kecil saja ilmu silat Ci-tiok-to yang
dicurinya, namun sudah cukup untuk menjagoi dunia
persilatan," tutur Kim-leng.
"Lalu bagaimana selanjutnya dengan Ci-tiok-to?" tanya
Peng-say pula.
"Ci-tiok-to telah mengisolasi diri dan putus hubungan
dengan dunia luar," tutur Kim-leng. "Leluhur kami adalah
pendekar di akhir dinasti Song, ketika bangsa Mongol
menjajah Tionggoan, leluhur kami lantas kabur ke lautan
timur sana, anak muridnya juga jarang menginjak
Tionggoan lagi. Leluhur kami itu juga Lak-im-coat-meh
sehingga keturunannya rata-rata juga begitu. Hong-hoawancu
yang pertama asalnya adalah seorang nelayan,
karena topan dia terdampar ke Ci-tiok-to dan diselamatkan
oleh Tocu, lantaran nelayan itu pun Lak-im-coat-meh, Tocu
menyukainya dan menjodohkan anak perempuan satusatunya
kepadanya. Setelah Tocu wafat, nelayan itu
meninggalkan isterinya dan mendirikan Hong-hoa-wan."
"Konon orang yang Lak-im-coat-meh tidak cocok untuk
belajar silat, tapi kalau ketemu guru yang cocok,
kemajuannva akau sangat pesat," tanya Peng say.
"Ya, mungkin betul," kata Kim-leng.
"Hal ini terbukti pada dirimu, hanya dalam waktu
singkat selama tiga tahun saja, kemajuanmu sungguh sukar
membuat orang percaya," ujar Peng say sambil menggeleng.
Mendadak Sau Kim-leng berlutut dan menyembah
kepada Peng-say, katanya, "Kumohon engkau suka
mengampuni jiwa ajahku."
"He, cepat bangun," seru Peng-say dengan agak gugup.
Tapi Sau Kim-leng tetap memohon dengan sangat,
katanya, "Meski dosanva tak dapat ditakar, tapi hendaklah
kau pandang diriku, jelek-jelek dia adalah ayah-sedarahku,
sudilah kau ampuni jiwanya."
Peng-say tidak leluasa untuk membangunkan Kim-leng,
terpaksa ia menghela napas, dan berkata, "Sudahlah! Di
dunia ini siapa yang tidak sayang kepada ayah-bundanya
sendiri? Malahan aku harus berterima kasih padamu karena
kau tidak dendam atas diriku yang telah membuntungi kaki
dan tangan ayahmu."
Kim-leng berdiri, katanya. "Sesunggunnya kematian
Piaumoaymu adalah gara-garaku."
"Mengapa kau berkata demikian?" tanya Peng-say.
"Coba kalau Liok-ma tidak memalsukan Piaumoaymu
sebagai diriku, mana dia bisa jatuh di tangan Ciamtay Bohko
dan akhirnya terbunuh oleh ayahku? Jadi semuanya itu
berawal dari diriku bukan?"
"Apa yang dilakukan Liok-ma itu kan bukan atas
perintahmu. Liok-ma hanya tahu setia padamu, bukan
salahmu."
"Tapi jelas kutahu Liok-ma telah mengancam
Piaumoaymu dengan keselamatanmu, terpaksa dia ikut
pergi bersama Ciamtay Boh-ko, malahan aku sengaja
mencemarkan nama baik Piaumoaymu dengan menuduh
dia berjiwa kotor segala....." Kim leng meraba pipinya
sendiri dan menyambung pula, "Lantaran ocehanku itu
sehingga kau telah menggampar mukaku."
"Maaf, waktu itu khilap sehingga sembarangan memukul
kau," kata Peng-say dengan menyesal.
"Tapi tamparanmu itu sukar kulupakan," kata Kim-leng.
"Demi membalas dendam tamparan itu, aku sengaja
mengembara ke lautan timur sana dan mohon Keng-goat
Sin-ni mengajarkan ilmu sakti padaku."
Bicara sampai di sini, ia merandek seperti hendak
berbuat sesuatu.
Peng-say kuatir orang akan terus menamparnya, padahal
tangan sendiri masih terbelenggu dan pasti sukar
menangkis, maka cepat ia menyurut mundur dua langkah.
Tapi Kim-leng lantas berkata, "Kau tidak perlu kuatir,
aku takkan membalas tamparanmu itu."
Kalau sampai ditampar orang perempuan, sungguh
Suatu penghinaan besar yang sukar dicuci, maka legalah
hati Peng-say demi mendengar orang takkan menuntut
balas padanya.
Kim-leng berkata pula, "Setiba di Ci-tiok-to, Keng-goat
Sin-ni mengharuskan aku menjadi ahli warisnya, kalau
tidak beliau takkan mengajarkan ilmu sakti padaku.
Sebenarnya aku merasa berat meninggalkan dunia ramai
ini, tapi setelah dibujuk dan dibina, aku menyadari bahwa
segala sesuatu di dunia ini akhirnya adalah kosong belaka.
Maka dengan rela kucukur rambut dan menjadi Nikoh.
Sebab itulah dapat kupelajari ilmu sakti Sin-ni, selama tiga
tahun ini tidak sia-sia jerih payahku, dulu aku diutus Sin-ni
ke Tionggoan sini untuk menebus dosa dimasa lalu. Selama
hidupku, satu-satunya dosaku adalah membikin celaka
Piaumoaymu, sebelum urusan ini kuselesaikan dengan baik.
tidak nanti kupulang ke Ci-tiok-to lagi."
"Kesalahan yang tidak sengaja bukanlah sesuatu dosa
yang tak dapat diampuni, jangan kau pikirkan didalam
hati," ujar Peng-say.
"Sebenarnya ingin kutemui Cin Yak-leng untuk minta
maaf padanya, setelah dia memaafkan diriku barulah aku
akan pulang ke Ci-tiok-to, tak tersangka dia tidak
kuketemukan, malah kau yang kulihat lebih dulu. Kupikir
bila aku mengikuti jejakmu, akhirnya pasti dapat bertemu
dengan nona Cin. Siapa tahu dia sudah meninggal, bahkan
mati di tangan ayahku. Apa yang dialami Liu Ji-si tempo
hari juga kusaksikan sendiri, kusembunyi diatap rumah dan
melihat dan mendengar semua perbuatan ayahku itu.
Sungguh tak tersangka ayahku adalah orang yang
sedemikian kotor dan jahat, bahwa kau hendak membunuh
dia untuk membalaskan sakit hati Piaumoaymu dan nona
Liu, tindakanmu ini dapat dimengerti, tidak seharusnya
kutolong pergi ayahku yang berdosa itu."
Peng-say terdiam dan tidak menanggapi.
"Kau terima permintaanku agar mengampun jiwanya,
tentunya sangat bertentangan dengan pikiranmu bukan?"
tanya Kim-leng.
"Sudahlah, urusan yang sudah lalu tidak perlu
dibicarakan lagi," kata Peng-say.
"Aku masih ingat apa yang kau bicarakan tempo hari,
karena kutolong orang yang hendak kau bunuh, kau
mengancam pada suatu hari pasti akan memotong jariku,
begitu bukan?"
"Ucapanku pada waktu gusar, hendaklah jangan
kauanggap sungguh-sungguh." kata Peng-say.
Tapi Sau Kim-leng terus menjulurkan jari telunjuk
kanannya dan berkata, "Tempo hari kugunakan jari ini
untuk menyelentik patah pedangmu, dengan begitu
dapatlah kuselamatkan ayahku. Jika karena terpaksa kau
terima permintaanku agar mengampuni jiwa ayahku,
biarlah kutabas sendiri jariku ini."
Peng-say mengira orang hanya bicara sekadarnya, siapa
tahu dia benar-benar memegang jari telunjuknya sendiri
terus dipuntir, "krek", jari itu telah ditariknya hingga putus
tulang berikut kulitnya darah pun lantas bercucuran.
Keruan Peng-say terkejut, tangannya masih terbelenggu,
ingin mencegah pun tidak keburu lagi, serunya, "He, untuk
apakah kau bertindak demikian?!"
Kim-leng tersenyum, ia pun tidak membungkus jarinya
yang putus itu. katanya, "Piaumoaymu terbunuh oleh
ayahku, tapi kumohon agar kau jangan menuntut balas
kepada ayahku, terpaksa kugunakan jariku ini sebagai tanda
terima kasihku kepada arwah Piaumoaymu, kelak aku
masih akan berziarah lagi kemakamnya untuk
memberitahukan segala apa yang terjadi dan memohon
akan pengertiannya, dengan begitu dapatlah aku bertirakat
di Ci-tiok-to dengan hati tenteram."
Habis berkata, dengan kedua tangan terangkap di depan
dada ia memberi hormat kepada Peng-say, katanya,
"Hendaklah Sicu menjaga diri baik-baik." Lalu pergilah dia
tanpa menoleh lagi.
Peng-say termangu-mangu memandangi potongan jari
yang berlumuran darah di atas tanah itu, Tepat sang surya
sudah terbenam di ufuk barat sana barulah ia menghela
napas dan meninggalkan tempat itu.
—0O0--dw--0O0—
Dua bulan kemudian, pada setiap jalan raya penting di
setiap kota besar tertampak papan pengumuman yang
berbunyi sebagai berikut:
Duel Maut Antara: Sau Peng-say, jago Lam-han dengan
Siang-liu-kiam-hoatnya
Melawan: Tonghong Put-pay,Ma-kau-kaucu
Tempat : Lok-jit-keh, pegunungan Tiongtiau
Waktu : Tanggal 1 bulan 12 jam 8 pagi
Tidak ada yang tahu siapakah yang memasang papan
pangumuman itu, tapi lantaran tertarik oleh nama "Lamhan",
"Siang-liu-kiam-hoat", "Ma-kau-kaucu" dan
sebagainya, maka dunia Kangouw menjadi gempar.
Soalnya sudah lama orang Kangouw mengetahui
anggota Lam-han sudah terbunuh habis oleh Ting Tiong
dan Liok Pek, masa sekarang bisa muncul lagi orang Lamhan?
Masakah Sau Ceng-hong masih mempunyai
keturunan yang hidup di dunia ini?
Mereka tidak tanya siapakah gerangan Sau Peng-say itu?
Yang mereka herankan adalah Lam-han yang sudah
terbasmi habis tiga tahun yang lalu mengapa sekarang bisa
muncul kembali keturunannya?
Siang-liu-kiam-hoat? Apakah benar di dunia ada Siangliu-
kiam-hoat?
Padahal semboyan "Siang-liu-kiam-hoat nomor itu di
dunia" sudah tersiar semenjak 30 tahun yang lalu di dunia
persilatan, tapi belum pernah ada orang memainkan ilmu
pedang sakti itu, juga tidak pernah ada ahli pedang yang
membuktikan kebenaran berita itu.
Sebab itulah di dunia Kangouw umumnya lantas timbul
kesangsian akan kebenaran Siang-liu-kiam-hoat nomor satu
di dunia itu, mereka menganggapnya cuma isyu belaka,
hanya desas-desus saja.
Tapi sekarang ada orang secara terang-terangan
menyatakan akan menggunakan Siang-liu-kiam-hoat untuk
menantang Tonghong Put-pay dari Ma-kau, tentu saja hal
ini seketika menggegerkan dunia Kangouw.
Mengenai Ma-kau-kaucu Tonghong Put-pay, terjadilah
percakapan ramai orang ditepi jalan. Seorang bertanya
kepada kawannya yang she Thio.
"He, Thio tua, menurut pendapatmu, pada tanggal 1
bulan 12 nanti, Tonghong Put-pay berani menerima
tantangan Sau Peng-say atau tidak?"
"Pasti tidak berani!" jawab si orang she Thio.
"Tentang Siang-liu-kiam-hoat uomor satu didunia, siapa
orangnya yang tidak tahu, kalau sekarang pihak lawan
berani menantangnya dengan ilmu pedang sakti itu, maka
dapat kuduga, jangankan menerima tantangan itu, mungkin
saat ini Tonghong Put-pay sudah ketakutan setengah mati
dan mengkeret di dalam sarangnya seperti kura-kura.
Malahan ia takut kalau si penantang yang ahli Siang-liukiam-
hoat itu akan mencari kerumahnya."
Nyata. orang she Thio itu seorang yang anti Ma-kau,
bisa jadi ada sanak keluarganya yang pernah menjadi
korban keganasanMa-kau.
Akan tetapi kawannya agaknya seorang simpatisan Makau,
kontan dia mendebat, "Ah, jangan kau menghina
orang. Siapa bilang Mo-kau kaucu tidak berani menerima
tantangan orang she Sau itu? Setiap orang Kangouw sudah
sama-sama mengakui Ma-kau-kaucu adalah tokoh yang tak
terkalahkan sesuai namanya yang Put-pay itu, masa beliau
takut kepada seorang anak kemarin sore dari Lam-han?
Kukira bukannya Ma-kau-kaucu tidak berani terima
tantangannya, yang benar ialah beliau tidak sudi bertempur
melawan seorang anak muda begitu."
"Apa dasarnya kau berani bilang gembong iblis itu tidak
sudi bertampur?"
"Habis, coba kau pikir. Beliau adalah seorang pemimpin
besar suatu agama ternama, namanya disegani dan
dihormati baik didalam maupun diluar negeri, mana dia
sudi menggubris tantangan orang yang tak terkenal begitu.
Kukira orang she Sau itu hanya ingin mencari nama saja,
padahal cukupMo-kau-kaucu mengirim salah seorang anak
buahnya dan tentu orang itu akan dihajar hingga terbiritbirit."
"O, jadi pendapatmu, sampai waktunya nanti gembong
Ma-kau itu pasti tidak akan hadir ditempat?"
"Ya, paling banter beliau mengirim seorang pangcu saja
untuk mewakili dia, ini pun mengingat penantangnya yang
tidak tahu diri itu telah menonjolkan Siang-liu-kiam-hoat
segala, agar orang tidak menyangka Kaucu takut kepada
Kiam-hoat yang cuma bernama kosong itu, kalau tidak
mana mau menggubris tantangan kaum keroco yang tidak
ada artinya itu. Biarkan saja orang mendirikan papan
pengumuman segala, untung kalau mereka tak kepergok
anggota Mo-kau, bisa jadi akan dihajar hingga babak belur
dan tunggang langgang."
Sekali pun begitu, sebulan kemudian, papan
pengumuman yang dipasang telah bertambah banyak.
Bedanya, papan pengumuman yang didirikan belakang
ini semuanya dibubuhi tanda tangan "Tionggoan-samyu",
tiga serangkai tokoh terkemuka Tionggoan.
Jelasnya, papan pengumuman yang didirikan belakangan
itu didukung oleh Tionggoan-samyu.
Dengan demikian penilaian orang terhadap Sau Peng-say
lantas berlainan. Banyak yang percaya orang yang mengaku
ahliwaris Lam-han ini pasti berbobot dan mahir
menggunakan Siang-liu-kiam-hoat, sebab itulah dia
mendapat dukungan dan kepercayaan dari Tionggoansamyu.
Maka percakapan orang di tepi jalan juga mengalami
perubahan, betapapun anak buah Ma-kau atau
simpatisannya membela Tonghong Put-pay. orang lain
cukup bilang: "Pokoknya bila tiba waktunya nanti
Tonghong Put-pay tidak hadir, maka berarti dia takut dan
tunduk kepada Siang-liu-kiam-hoat yang nomor satu di
dunia itu!"
Sudah tentu tidak kepalang rasa gusar Tong hong Putpay
ketika mendengar desas-desus itu, hampir saja dia
tumpah darah saking gemasnya. Tadinya dia memang
merasa tidak ada harganya meladeni tantangan itu, tapi
sekarang mau-tak-mau dia harus menerima tantangan itu.
—0O0-dw-0O0—
Kira-kira baru pertengahan bulan sebelas, yaitu setengah
bulan sebelum tibanya hari yang ditentukan. kota-kota di
sekitar pegunungan Tiongtiau serentak bertambah ramai
daripada biasanya. Semua rumah penginapan penuh terisi
tamu, yaitu orang persilatan yang datang dari seluruh
negeri.
Diantara mereka ada yang ingin menyaksikan Siang-liukiam-
hoat yang konon nomor satu didunia itu, ada yang
ingin tahu betapa lihaynya Ma-kau-kaucu yang katanya
ilmu silatnya tak terkalahkan itu. Semuanya ingin tahu
sesungguhnya siapa yang lebih lihay?
Yang-sia dan Sim-cui adalah dua kota yang berdekatan
dengan Lok-jit-keh atau tebing matahari terbenam yang
terletak di lereng pegunungan Tiongtiau itu.
Sudah semenjak sebulan sebelumnya, semua hotel yng
berada di Yangsia telah diborong oleh Tionggoan-samyu.
Sedangkan pihak Ma-kau memborong semua rumah
penginapan di Sim-cui.
Tiga hari sebelum tanggal satu bulan 12, Tionggoansamyu
sudah berada di Yangsia. Pada saat yang sama
Tonghong Put-pay juga sudah berada di Sim-cui.
Esoknya, kedua pihak. lantas saling mengirim utusan
untuk mengadakan perundingan dan menanda-tangani
perjanjian rahasia. Perjanjian itu menyatakan Tionggoansamyu
menjagoi Sau Peng-say, pertarungan San Peng-say
sama dengan pertarungan Tionggoan-samyu melawan
Tonghong put-pay.
Pertarungan akan berlangsung satu lawan satu, kedua
pihak tidak boleh menggunakan pembantu, bila Sau Pengsay
kalah, Tionggoan-samyu berjanji akan mengundurkan
diri dari dunia ramai dan takkan ikut campur urusan
Kangouw apa pun. Sebaliknya kalau Tonghong Put-pay
kalah, segenap anggota Ma-kau akan ditarik keluar
perbatasan dan tidak boleh masuk lagi ke Tionggoan.
Perjanjian ini sangat menyenangkan Tonghong Put-pay,
ia anggap dengan adanya perjanjian ini barulah pertarungan
itu tidak sia-sia.
Atas permintaan Tionggoan-samyu agar kedua pihak
tidak memakai pembantu, sejak mulai hingga akhir hanya
Sau Peng-say dan Tonghong Put-pay berarung satu
melawan satu, bilamana salah satu pihak tidak mematuhi
kontrak ini, maka surat perjanjian itu akan diumumkan dan
para ksatria dunia serentak akan mengerubutnya.
Sudah tentu Tonghong Put-pay menerima dengan baik
usul itu karena dia yakin pihaknya pasti akan menang.
Perjanjian rahasia itu hanya diketahui oleh tokoh-tokoh
penting kedua pihak, tapi tidak disiarkan pada umum, baik
Tionggoan sam-yu yang mengundurkan diri dari dunia
ramai atau Mo-kau akan keluar perbatasan, begitu
pertandingan berakhir segera akan dilaksanakan secara
rahasia. Hal ini dilakukan untuk mencegah segala
kemungkinan yang tidak diinginkan, misalnya gangguan
dari pengikut kedua pihak yang fanatik.
Pada hari ketiga, malam sebelum tanggal satu terakhir
itu, selagi Tonghong-samyu berkumpul di suatu kamar
hotel dan asyik membicarakan pertandingan esoknya, tibatiba
masuk seorang murid dan memberi lapor bahwa
Tonghong Kui-le ingin bertemu dengan Sam-lo.
"Silakan dia masuk," kata Bok Jong-siong tanpa curiga.
Sejenak kemudian tertampaklah Tonghong Kui-le
muncul dengan membawa sebuah kantong sulam berbentuk
panjang.
"Ada urusan apa nona datang kemari? Ingin menemui
Sam-yu kami?" tanya Bok Jong-siong.
"Dimanakah Sau-kongcu?" Tonghong Kui-le balas
bertanya.
Bok Jong-siong menggeleng, jawabnya, "Entah, kami
tidak tahu."
Sudah tentu Tonghong Kui-le tidak percaya, ia
memohon pula, "Tolong pertemukan diriku dengan dia,
hanya sebentar saja, aku cuma ingin bicara beberapa patahkata
dan pasti tidak akan mengganggu terlalu lama."
Namun Bok Jong-siong menjawab dengan ketus, "Nona
silakan pulang saja."
"Mengapa aku tidak boleh menemuinya untuk
penghabisan kalinya? Memangnya kau takut akan kubujuk
dia agar mengundurkan diri dari pertandingan besok?" kata
Tonghong Kui-le.
"Hm, biarpun kecantikanmu bak bidadari, mana dapat
kau pikat dia dan menyuruhnya membatalkan balas
dendamnya atas kematian ayahnya serta menggagalkan
pertarungannya yang menyangkut sakit hati terbunuhnya
segenap anggota perguruannya?" demikian Bok Jong-siong
menjengek.
Ting-sian Suthay ikut bertanya, "Apa yang hendak kau
katakan padanya dalam pertemuan penghabisan kali ini?"
Tonghong Kui-le menghela napas, ucapnya dengan
hampa, "Bilamana dia kalah, hidup atau mati akan berpisah
ditempat yang jauh. Kalau dia menang, kami sama-sama
menanggung dendam terbunuhnya ayah, permusuhan
antara kami akan tambah semakin mendalam. Jadi menang
atau kalah, hidupku ini jelas tidak mungkin bersahabat lagi
dengan dia. Jadi tinggal malam ini saja kami masih dapat
bersahabat, besok keadaan sudah akan berubah sama sekali,
bukankah pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir?"
"Tapi hendaklah kau maklum bahwa sampai saat ini
kami benar-benar tidak tahu di mana beradanya Sau-sicu,
jadi bukan kami yang sengaja merintangi pertemuanmu
dengan dia." kata Ting-sian Suthay.
Tonghong Kui-le melenggong, ucapnya, "Habis
bagaimana dengan pertarungan besok?"
"Beberapa bulan yang lalu kami menerima surat khusus
dari Sau-sicu yang memberitahukan bahwa dia sudah
berhasil menyelidiki dengan jelas, katanya Tonghong Putpay
memang betul musuh yang membunuh ayahnya,"
demikian tutur Ting-sian Suthay. "Tapi dia tidak ingin
orang lain ikut tersangkut dalam pertarungan maut ini,
maka dia mendirikan papan tantangan sendiri. Meski dia
menonjolkan Siang-liu-kiam-hoat untuk menarik perhatian
khalayak ramai agar ayahmu mau-tak-mau harus menerima
tantangannya, tapi kami tetap kuatir papan
pengumumannya itu kurang efektif, maka kami juga
mendirikan papan pengumuman baginya. Namun sampai
saat ini kami belum lagi bertemu dengan dia. Cuma kami
yakin, tepat pada waktunya besok pagi dia pasti akan
berada di Lok-jit-keh."
"Bilamana dia tidak hadir? Lalu bagaimana?" tanya
Tonghong Kui-le.
"Kalau tidak hadir berarti melepaskan haknya dan
dianggap kalah," sela Thian-bun Totiang.
"Lalu perjanjian rahasia kedua pihak yang sudah
disetujui itu tetap dilaksnnakan atau tidak?" tanya
Tonghong Kui-le.
"Sudah tentu dilaksanakan!" jawab Bok Jong-siong tegas.
Tonghong Kui-le menggeleng, ia merasa tidak mengerti,
katanya, "Urusan sepenting ini, mana boleh diputuskan
begitu saja tanpa keyakinan."
"Apa yang dimaksudkan nona?" tanya Bok Jong-siong.
"Maksudku. mungkin besok pagi dia takkan hadir." kata
si nona.
"Apakah benar kau sahabatnya?" Bok Jong-siong
menegas
"Berkat perantaraan kecapi dan seruling, meski kami
cuma bersahabat selama beberapa hari, namun sudah mirip
sahabat karib berpuluh tahun lamanya," kata Tonghong
Kui-le.
"Jika demikian, jadi kau anggap sahabatmu ini seseorang
yang tidak dapat dipegang janjinya?" jengek Bok Jongsiong.
Tonghong Kui-le menjadi bungkam dan tak dapat
menjawab. Sejenak kemudian barulah ia berkata, "Apakah
kalian yakin besok dia pasti akan menang?"
"Ilmu silat ayahmu lain daripada yang lain. betapapun
kami tidak berani memastikan jago kami akan menang,"
ujar Bok Jong-siong.
"Lalu. kenapa kalian mengadakan perjanjian rahasia
dengan ayahku?" tanya Tonghong Kui-le.
"Tanpa perjanjian yang mengikat, mungkinkah
Tonghong Put-pay memberi kesempatan kepadanya untuk
bertempur secara adil?" sela Thian-bun Totiang. "Hm,
kedatanganmu ini kukira ada tipu muslihat tertentu."
Tonghong Kui-le menghela napas pelahan, katanya,
"Bicara terus terang, ayahku menyuruhku kemari untuk
membujuknya agar dia melepaskan hak pertandingan
besok."
"Hehe, untung dia tidak berada disini!" Thian-bun
Totiang tertawa dingin.
"Andaikan berada disini juga takkan kubujuk dia," ujar
Tonghong Kui-le, "apalagi biarpun kubujuk juga tiada
gunanya. Memang tepat seperti apa yang dikatakan Bok-lo
tadi, mana dia mau membatalkan pertarungan yang
menentukan itu demi menuntut balas kematian ayahnya
serta terbunuhnya segenap anggota perguruannya?"
Bicara sampai disini, ia memberi hormat dengan lembut,
lalu menambahkan, "Sam-lo sudi bicara secara blak-blakan,
sungguh aku sangat kagum. Sekarang juga kumohon diri
saja."
Belum jauh meninggalkan tempat kediaman Sam-lo itu,
tiba-tiba Tonghong Kui-le mendengar seseorang
menegurnya dari belakang, "Apakah nona mencari diriku?"
Dari suaranya segera Tonghong Kui-le tahu siapa
gerangannya, dengan girang ia berseru. "Sau-heng!"
Memang betul, orang yang menegurnva ini ialah Sau
Peng-say.
Kedua orang terus menuju ke luar kota, sepanjang jalan
tidak ada yang bersuara.
Setiba di tempat yang sepi, sejauh mata memandang di
sekeliling tidak ada orang lain lagi. Tonghong Kui-le lantas
berduduk di atas tanah rumput, dibukanya bungkusan
panjang itu dan dikeluarkannya sebuah kecapi tujuh senar.
Peng-say juga tidak bicara apa pun, ia mengeluarkan
serulingnya dan duduk berhadapan dengan si nona.
Sejenak kemudian, terdengarlah suara paduan suara
antara seruling dan kecapi, suaranya merdu meresap.
Habis membawakan satu lagu, malam pun sudah larut.
Mendadak sebelah tangan Tonghong Kui-le menghantam
sehingga kecapinya pecah berantakan.
Peng-say menghela napas menyesal, ucapnya; "Sejak kini
Siau-go-yan-he takkan bergema lagi!"
"Semoga Anda menjaga diri baik-baik," ucap Tonghong
Kui-le, habis itu ia berbangkit dan melangkah pergi.
Sampai sekian lama Peng-say termangu-mangu,
gumamnya kemudian, "Selamanya takkan bertemu lagi,
untuk apa pula serulingku ini?"
Selagi seruling itu hendak ditekuknya patah, tiba-tiba
teringat seruling itu adalah barang tinggalan Cin Yak-leng,
sekian lama ia mengusap seruling itu, lalu disimpannya
kembali dengan hati2. Seruling ini selanjutnya cuma benda
kenang2an belaka dan takkan digunakannya untuk
membawakan lagu "Siau-go-yan-he" lagi.
-0O0-dw-0O0-
Fajar sudah menyingsing, suatu pagi yang cerah, Di Lokjit-
keh di gunung Tiongtiau sudab ramai berjubel-jubel
berpuluh ribu manusia.
Apa yang disebut Lok-jit-keh itu sebenarnya adalah
sebuah tanah datar dilereng gunung, tingginya ratusan
tombak, sangat luas dan cukup dibuat medan tempur
berpuluh pasang jago silat.
Waktu itu di kanan-kiri tepi tanah datar itu berdiri
seorang lelaki kekar dengan pakaian yang ringkas
sebagaimana dandanan jago silat umumnya, keduanya
adalah petugas yang dipilih pihak Sam-yu dan Mo-kau
untuk berjaga di situ,kecuali kedua orang yang akan duel,
orang lain dilarang naik ke atas.
Beberapa saat sebelum tiba waktu yang ditentukan,
tertampaklah Tonghong Put-pay naik panggung lebih dulu.
Selama hidup, baru pertama kali inilah gembong Mo-kau
itu memperlihatkan wajah aslinya didepan umum. Orang
persilatan rata-rata tidak kenal dia, setelah bertanya dan
diketahui orang inilah Mo-kau-kaucu, maka ramailah orang
membicarakan kisah hidupnya.
Di sebelah timur dan barat di bawah panggung itu
dibangun bangsal dengan atap rumput alang2. di bangsal
timur berkumpul Tionggoan-samyu dan pengikutnya, di
sebelah barat penuh anak buah Ma-kau.
Suasana kedua bangsal sunyi senyap, kalau ada suara
ribut, semua itu datang dari para penonton yang
berkerumun di depan panggung.
Beberapa detik lagi akan tiba waktu yang ditentukan itu,
tapi Sau Peng-say masih belum nampak muncul. Sam-yu
tidak gelisah, justeru orang luar yang tidak bersangkutan
yang tidak sabar malah,
"Mengapa belum lagi datang? Sudah hampir tiba saat
yang ditentukan!" demikian orang ramai membicarakannya.
Maka anak buah Mo-kau dan simpatisannya sama
menyindir, "Tentunya karena tahu bukan tandingan Kaucu,
maka pada saat terakhir dia telah mengkeret!"
Sebagian penonton merasa penasaran bilamana
pertarungan itu tidak jadi berlangsung, segera ada yang
berteriak, "Wah, kalau ada yang tidak hadir, kan batal
bertanding, padahal kita sengaja datang dari tempat jauh."
"Apa mau dikatakan lagi?" ujar yang lain. "Kalau salah
satu pihak terima menyerah, siapa yang dapat
mengalanginya? Jika kau suka ramai2 dan tidak takut mati,
silakan kau sendiri yang naik ke atas untuk bertanding."
"Aku tidak ada sangkut-paut apa pun dengan orang she
Sau itu, untuk apa kuantar kematian baginya? Yang jelas
kita tidak boleh datang kesini dengan sia-sia. Kan
Tionggoau-samyu ikut mendukung orang she Sau itu,
biarlah salah seorang tua bangka itu yang mewakilkan
orang she Sau itu untuk bertanding."
"Jangan kuatir. sebentar pasti ada tontonan menarik,
antara anak buah Mo-kau pasti akan terjadi pertempuran
sengit dengan pengikut Sam-yu, senjata tidak kenal orang,
jangan-jangan kita akan ikut kena getahnya dan mungkin
jiwa ikut melayang."
"Hah, lucu, kalau tidak percaya kepada kemampuannya
sendiri, masa kita berani datang menonton? Bahwa antara
pihak Sam-yu dan Mo-kau pasti akan terjadi pertempuran
sengit memang sudah kita duga, biarlah kita saksikan cakarcakaran
diantara mereka."
Bicara tentang persengketaan antara Tionggoan-samyu
dan Ma-kau, segera ada orang bertanya, "He, sobat, kau pro
pihak mana?"
"Tionggoan-samyu. Dan kau?"
"Mo-kau!"
Begitulah orang yang mengaku pro Tionggoan-samyu
lantas berkumpul menjadi satu, sedangkan simpatisan Makau
juga bergerombol ditempat lain, diam-diam kedua
pihak juga bersiap siaga. Hanya sebagian kecil saja yang
benar-benar penonton murni, mereka juga bergerombol
disuatu tempat, bilamana gelagat tidak enak segera mereka
akan menyingkir ketempat yang aman agar tidak ikut
keciprat malapetaka.
Jam 8 pagi tepat, semua orang merasa kecewa karena
belum nampak munculnya Sau Peng-say, terdengar
gerundelan di sana-sini: "Jelas tidak datang, pasti tidak
bakal datang lagi!"
Ditengah suara ramai itulah tiba-tiba seorang pemuda
melompat keatas panggung sambil berteriak, "Ini dia Sau
Peng-say!"
Serentak sebagian besar penonton dibawah panggung
sama berseru, "He, masih muda belia!"
Mereka terkejut pada usia Peng-say yang masih muda,
tapi tiada yang berani meremehkan kemampuannya.
Mereka berpikir: "Waktu memperkenalkan namanya tadi
suaranya menggelegar memekak telinga, jelas Lwekangnya
sangat kuat dan tidak dapat diukur dari usianya."
Menghadapi musuh yang pembunuh ayahnya, Peng-say
tidak mau banyak omong lagi, serentak ia melolos kedua
pedangnya, begitu maju segera ia melancarkan jurus
pertama Siang-liu-kiam-hoat, yaitu "Kiong-siang-kut-thau."
Tonghong Put-pay tidak berani ayal, cepat ia pun
menghunus goloknya dan berseru, "Bagus!"
"Trang, trang," serangan Peng-say yang lihay itu telah
ditangkisnya.
Bagi para penonton, biarpun tidak tinggi ilmunya juga
dapat melihat serangan Peng-say itu sangat hebat.
Serentak terdengarlah suara sorak-sorai, "Siang-liu-kiam
yang bagus!"
Ketika menyaksikan Tonghong Put-pay dapat menangkis
serangan lihay itu dengan sama bagusnya, kembali
penonton berteriak, "Asooi!"
Sekali mulai menyerang, Peng-say terus aktif dipihak
penyerang, jurus pertama segera disusul dengan jurus
serangan berikutnya, seketika sinar pedang berhamburan.
Bagi penonton yang bukan jago kelas tinggi, sukarlah
untuk mengikuti jurus serangan Peng-say yang cepat dan
aneh itu dan juga tidak diketahui bagus jeleknya, yang pasti
Tonghong Put-pay kelihatan terdesak mundur berulang kali,
nyata dia tidak sanggup lagi menangkis serangan Peng-say
yang lihay itu.
Setelah kedelapan jurus Siang-liu-kiam-hoat yang
dikuasainya habis dilancarkan, Tonghong Put-pay juga
terdesak mundur lima tindak, maka mulailah Peng-say
kehabisan "modal". Namun ia tidak patah semangat,
menyusul jurus kesembilan lantas dilontarkan.
Pada kedelapan jurus pertama, baik Tionggoan-samyu
maupun tokoh-tokoh pihak Ma-kau diam-diam sama
bersorak memuji akan kelihayannya, mereka percaya
pertarungan ini pasti akan dimenangkan oleh Sau Peng-say
dan nyata Siang-liu-kiam-hoat memang nomor satu di
dunia.
Akan tetapi selewatnya jurus kedelapan, mau-tak-mau
mereka sama berkerut kening, pikirnya, "Siang-liu-kiamhoat
ini ternyata cuma delapan jurus bagian permulaan saja
yang kelihatan lihay, jurus serangan lainnya juga cuma
biasa-biasa saja. Tampaknya Siang-liu-kiam-hoat belum
memenuhi syarat untuk disebut nomor satu di dunia."
Mereka tidak tahu bahwa mulai jurus kesembilan dan
seterusnya adalah ciptaan Sau Peng-say sendiri, makanya
berbeda daripada kedelapan jurus permulaan.
Seperti diketahui, dari Soat-koh baru sempat Peng-say
belajar delapan jurus Pedang Kiri dan Pedang Kanan secara
lengkap, namun begitu intisari daripada Siang-liu-kiam-hoat
itu sudah dapat diselaminya dengan baik. ditambah lagi ke
49 jurus Pedang Kiri yang asli, lalu Peng-say memeras otak
dan akhirnya berhasil diciptakannya tambahan 41 jurus
Pedang Kanan sebagai pelengkap Pedang Kiri telah
dikuasainya.
Belum sampai setahun dia ditinggal pergi Soat-koh,
dalam waktu sesingkat ini dia dapat menciptakan ke-4l
jurus Pedang Kanan, kelemahan ilmu pedang ciptaannya
ini tidak diketahui oleh Tionggoan-samyu, mereka mengira
jurus serangan Siang-liu-kiam yang lain cuma biasa saja dan
tidak se-lihay kedelapan jurus permulaan.
Padahal kalau dipikir kecerdasan Peng-say harus dipuji
juga. Bila orang lain, biarpun sepuluh tahun juga belum
tentu mampu menciptakan ke-41 jurus Pedang Kanan itu.
Dengan sendirinya ini ada hubungannya dengan
kedelapan jurus Pedang Kanan ajaran Soat-koh serta
setengah jilid Siang-liu-kiam yang telah dikuasainya. Kalau
tidak, betapapun cerdasnya juga sukar menciptakan ke-41
jurus Pedang Kanan yang secara lahir dapat bekerja sama
serapat itu dengan Pedang Kirinya.
Jadi, meski ke-41 jurus ciptaannya itu kurang kuat daya
tempurnya, tapi karena dapat kerja sama rapat dengan
Pedang Kiri, hal ini cukup digunakan untuk bertahan dan
tak terkalahkan.
Begitulah sejurus demi sejurus Peng-say terus
menyerang, setelah Siang-liu-kiam-hoat selesai dimainkan,
sedikit pun tiada tanda dia akan kalah, hanya saja ke-41
jurus Pedang Kanan ciptaannya sendiri itu pun tidak
berhasil mendesak mundur Tonghong Put-pay barang
selangkahpun.
Terpaksa ia mengulangi Siang-liu-kiam-hoat dari jurus
pertama lagi, dengan delapan jurus permulaan kembali ia
dapat mendesak mundur Tong¬hong Put-pay hingga tiga
tindak.
Tionggoan-samyu tidak mengerti sebab apakah daya
tekan mulai jurus kesembilan dan selanjutnya tidak sekuat
delapan jurus sebelumnya, diam-diam mereka gegetun,
pikirnya, "Jika jurus lanjutannya juga sehebat kedelapan
jurus permulaan, tentu sejak tadi Tonghong Put-pay telah
dikalahkan."
Sekarang mereka tidak berani lagi memastikan Sau Pengsay
akan menang, hati mereka menjadi sedih. Akan tetapi
buktinya Sau Pang-say masih tetap dapat bertahan dan tak
terkalahkan, hal ini pun tidak mudah. Coba kalau mereka
sendiri, jelas tiada seorang pun di antara mereka yang
sanggup menahan 50 jurus serangan golok Tonghong Putpay
yang gencar dan lihay itu,
Mereka pikir sekalipun Peng-say kalah dan mereka harus
menepati janji dengan mengundurkan diri dari dunia
persilatan. hal inipun tidak membuat mereka penasaran.
Hanya saja seketika pengikutnya akan kehilangan
pimpinan, mirip ular yang mendadak kehilangan kepala,
keadaanya tentu sangat kacau. Selanjutmya siapa pula di
dunia persilatan yang akan memimpin kaum pahlawan
untuk melawan Ma-kau serta pengaruh Say-koan?
Begitulah mereka bertambah sedih demi teringat pada
masa depan dunia persilatan yang suram, maka diam-diam
mereka sama berdoa semoga Thian memberkahi Peng-say
dan supaya anak muda itu yang menang,
Dalam pada itu Peng-say telah mengulangi Siang-liukiam-
hoat untuk ketiga kalinya, kini satu langkah saja
Tonghong Put-pay tidak terdesak mundur oleh kedelapan
jurus permulaan Sau Peng-say. Hal ini menandakan daya
perlawanan Tonghong Put-pay makin lama makin kuat.
Benar saja, ketika untuk keempat kalinya Peng-say
mengulangi Siang-liu-kiam-hoat, dengan beberapa jurus
serangan aneh Tonghong Put-pay berbalik mendesak
mundur Sau Peng-say.
Diam-diam semua orang berpikir. "Kekuatan kedua
pihak kini telah terbalik, pertarungan ini akhirnya akan
dimenangkan juga oleh Tonghong Put-pay dan
mempertahankan rekornya yang tak terkalahkan."
Cuma orang pun tidak berani cepat-cepat memastikan
Peng-say pasti kalah, sebab bukan mustahil anak mxida itu
juga masih mempunyai jurus serangan simpanan lain.
Bagi Peng-say sendiri, sebelum pertarungan ini
berlangsung sudah dirasakannya sukar menang dengan
cepat, akan tetapi iapun tidak pernah berpikir akan kalah. Ia
pikir, asalkan aku bertahan hingga tak terkalahkan, coba
saja akhirnya siapa yang akan mati kehabisan tenaga?
Rupanya dia sudah bertekad akan bertempur lama, bila
dia sanggup bertahan, dengan usianya yang muda,
Lwekangnya juga tidak lebih lemah daripada lawannya,
maka kemenangan terakhir pasti akan diraihnya.
Akan tetapi Kungfu Tanghong Put-pay ternyata beraneka
macam ragamnya, mampukah dia bertahan dengan
sebagian besar Siang-liu-kiam ciptaannya sendiri itu hingga
Tonghong Put-pay kehabisan tenaga?
Pada saat Peng-say mulai lagi mengulangi Siang-liukiam-
hoat untuk kelima kalinya, sekonyong-konyong
seorang lelaki tua bercaping seperti orang udik melompat ke
atas panggung.
Sudah tentu lelaki berpakaian ringkas yang berjaga ditepi
panggung itu segera akan merintangi kedatangan kakek
bercaping itu.
Tapi sekali pedang kakek itu bekerja, kontan penjaga itu
telah dirobohkannya.
"Im-kan-kiam-hoat!" teriak Tionggoan-samyu dengan
suara tertahan.
Kalau ketiga tokoh itu dapat mengenali gaya ilmu
pedang si kakek bercaping, tokoh-tokoh Ma-kau ternyata
juga sudah dapat melihat ilmu pedang tu adalah Im-kankiam-
hoat andalan Say-koan.
Serentak Peng-say dan Tonghong Put-pay lantas berhenti
menyerang, mereka ingin tahu kakek itu akan membantu
pihak mana.
Dalam keadaan sukar menentukan kalah dan menang,
siapa pun berharap kakek itu akan membantu pihaknya,
karena itulah mereka pun tidak mencegah kedatangan si
kakek.
Tanpa bicara kakek itu terus menerjang ketengah
pertempuran, pedangnya terus menusuk Tonghong Put-pay.
Maka ramailah orang Ma-kau membentak, "Huh, tidak
tahu malu!"
Serentak kelima Tongcu Ma-kau berdiri dan bermaksud
mengenyahkan kakek itu.
Tak terduga, serangan si kakek berikutnya lantas tertuju
Sau Peng-say.
Seketika orang pihak Tionggoan-samyu juga geger,
beratus orang sama berbangkit dan menyatakan protes.
Anehnya, ketika kakek itu menyerang lagi untuk ketiga
kalinya, yang menjadi sasaran kembali ialah Tonghong Putpay.
Jadi serangannya silih berganti, kalau Peng-say ditusuk
satu kali, segera ia tusuk pula Tonghong
Put-pay satu kali, nyata ia tidak membantu pihak mana
pun.
Kakek bercaping ini tak-lain-tak-bukan adalah Coh Cujiu,
ketua Ngo-hoa-koan atau Say-koan.
Maka tahulah Tionggoan-samyu dan tokoh Ma-kau akan
maksud tujuan Coh Cu-jiu. Rupanya din sengaja menunggu
selagi pertarungan Tonghong Put-pay dan Sau Peng-say
dalam keadaan saling bertahan dan sukar dipisahkan,
segera ia ikut terjun ketengah kalangan untuk membereskan
ke-dua orang itu, dengan demikian sekaligus namanya akan
termashur dan disegani siapa pun juga. Sungguh seenaknya
saja perhitungan suipoanya.
Maksud jahat dan kotor Coh Cu-jiu itu dengan
sendirinya dapat diketahui Sam-yu, tapi mereka hanya
dapat mencaci-maki akan kerendahan moral orang dan
tidak berani ikut naik ke atas panggung untuk mengusirnya.
Sebab kalau mereka mengusirnya dalam keadaan
demikian, jadinya mereka pasti akan ikut terjun di medan
tempur. Dan kalau Sam-yu maju, pasti juga tokoh-tokoh
Ma-kau akan ikut campur pula. Dan kalau pimpinan kedua
pihak sudah sama-sama ikut bertempur, anak buah kedua
pihak pasti akan panik dan turun tangan juga. Kalau cuma
urusan Coh Cu-jiu, akibatnya terjadi pertempuran sengit
secara beramai-ramai dan akhirnya kedua pihak akan rugi
bersama, sebaliknya yang untung adalah Say-koan.
Karena pertimbangan ini, mereka tambah jelas akan
muslihat keji Coh Cu-jiu, demi keamanan umum terpaksa
mereka tidak menghiraukan ikut campur Coh Cu-jiu itu,
apalagi biarpun Coh Cu-jiu cukup lihay juga belum pasti
mampu mengalahkan Sau Peng-say dan Tonghong Put-pay
berdua.
Karena itulah kedua pihak lantas sama-sama menunggu
dan melihat perkembangan selanjutnya. Tapi pertarungan
di atas panggung telah bertambah ramai.
Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu adalah musuh
bebuyutan, seperti api dan air yang tidak mungkin
didamaikan. Maka begitu Coh Cu-jiu terjun ketengah
kalangan, sebagian tenaga dan perhatian Tonghong Put-pay
lantas disisihkan untuk melayani dia.
Peng-say kini sudah tahu bukan Ting Tiong dan Liok
Pek yang membunuh segenap anggota perguruannya, maka
dia tidak pandang Coh Cu-jiu sebagai musuh pembunuh
ayahnya lagi, tekadnya sekarang adalah membunuh
Tonghong Put-pay.
Tapi kalau Coh Cu-jiu menyerangnya, bila tidak
menangkis, tentu dirinya akan binasa, dan kalau dirinya
binasa. lalu cara bagaimana dapat menuntut balas lagi
terhadap Tonghong Put-pay? Karena itulah terpaksa ia pun
membagi setengah tenaganya untuk melayani Coh Cu-jiu.
Di tengah pertarungan segi tiga itu, sekonyong-konyong
Coh Cu-jiu berseru, "Sau Peng-say, bagaimana kalau
kubantu kau membalaskan sakit hatimu?"
Teringat orang she Coh ini bersama Ciamtay Cu-ih
membikin celaka Toapek atau Pamannya, yaitu Sau Cengin,
seketika Peng-say naik pitam, bentaknya murka, "Enyah
kau!Manusia yang tak tahu malu!"
"Caci-maki yang tepat!" seru Tonghong Put-pay dengan
tertawa. "Bocah she Sau, jika kau ingin menuntut balas
kematian ayahmu, harus berdasarkan kepandaianmu
sendiri untuk membunuh aku, dengan begitu barulah kau
benar-benar seorang gagah sejati!"
"Jika demikian," tukas Coh Cu-jiu, "bagaimana kalau
kubantu kau, Tonghong-kaucu?"
"Baik, silakan!" jawab Tonghong Put-pay.
Tapi ketika Coh Cu-jiu menyerang Sau Peng-say, tahutahu
golok Tonghong Put-pay malah membacok Coh Cujiu.
"He, apa-apaan kau?!" teriak Coh Cu-jiu kaget cepat ia
menangkis, karena tidak berjaga-jaga tampaknya dia rada
kelabakan.
"Bila kau bantu aku membunuh dia, aku sangat
berterima kasih," ucap Tonghong Put-pay dengan tertawa.
"Tapi kita adalah musuh turun temurun. jika tidak kubunuh
kau, apakah aku harus menunggu setelah dia kau bunuh,
lalu aku akan kau binasakan pula?"
Ia berhenti sejanak, kemudian berkata pula "Kalau sudah
terjun dimedan tempur, maka keluarkanlah segenap
kemahiranmu, jangan kau harap akan main tipu 'sekali
timpuk dua burung'. Pendek kata, pertempuran hari ini kita
bertiga mewakili tiga kekuatan besar di dunia persilatan saat
ini, coba saja siapa yang roboh lebih dulu!"
Dalam pada itu, karena dia baru terjun, dengan
sendirinya tenaga Coh Cu-jiu lebih kuat daripada Peng-say
dan Tonghong Put-pay. Tapi pertempuran segi tiga, yang
paling kuat tentu juga akan mendapat tekanan lebih hebat
daripada dua pihak yang lain, hal ini adalah logis bagi
kedua pihak yang lebih lemah itu yang ingin
mempertahankan diri. Maka Tonghong Put-pay dan Sau
Peng-say telah menyisihkan tujuh bagian tenaganya untuk
melayani Coh Cu-jiu, sebaliknya cuma menggunakan tiga
bagian sisa tenaga untuk saling labrak.
Dengan demikian, impian Coh Cu-jiu akan menjagoi
dunia persilatan dengan menumpas kedua lawannya
menjadi buyar.
Sebaliknya karena 14 bagian tenaga kedua orang itu telah
mendesaknya hingga hampir tak dapat bernapas, terpaksa ia
melawan mati-matian, karena itu tenaganya juga terkuras
lebih cepat, tidak lama kemudian. keadaannya sudah samasama
payahnya seperti Peng-say dan Tonghong Put-pay.
Daya tekanan pedang kanan Peng-say tidak selihay
pedang kiri, pada waktu satu lawan satu menghadapi
Tonghong Put-pay tadi, pedang kirinya dapat membantu
kelemahan pedang kanannya. Tapi sekarang dia harus
melayani dua orang, pedang kiri tidak sempat membantu
pedang kanan lama-lama jurus serangan ciptaannya sendiri
kelihatan cirinya bila dibandingkan jurus serangan golok
dan pedang kedua lawannya.
Melihat kelemahan Peng-say itu, dengan sendirinya
Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu memanfaatkan titik
kelemahan itu dengan baik, mereka selalu menyerang
bagian Peng-say yang lemah itu dan menghindari pedang
kirinya. Keruan Peng-say rada kelabakan dan kewalahan,
apalagi jurus serangan ciptaannya sendiri itu memang juga
belum terlatih dengan baik.
Pertarungan sengit itu terus berlangsung hingga lohor,
keadaan Peng-say paling runyam, kedua lawannya belum
ada yang terluka, tapi bahu kanan dan dibawah ketiaknya
sudah tersayat oleh golok Tonghong Put-pay hingga darah
bercucuran.
Untung lukanya tidak parah. Walaupun begitu, melihat
gelagatnya, setiap orang yakin orang pertama yang akan
roboh pastilah Sau Peng-say.
Saking asyiknya menonton pertarungan sengit yang
jarang terdapat didunia persilatan, maka semua orang sama
lupa lapar meski hari sudah lewat lohor. Pandangan semua
orang sama terpusat keatas panggung, tiada seorang pun
yang bersuara, hanya terdengar suara gemerincing
beradunya senjata.
Di tengah kesunyian itu, tiba-tiba terdengar suara
seorang perempuan lagi bersenandung, "Barang apa sebagai
keemasan kehidupan manusia, cahaya sang surya ...."
Perhatian semua orang terpusat ke panggung
pertandingan, tiada seorang pun yang urus suara senandung
itu. Hanya Sau Peng-say saja yang kegirangan demi
mendengar suara itu.
Ia tahu Soat-koh telah datang. Orang lain tidak paham
arti syair itu, tapi dia tahu bahwa syair itu adalah petunjuk
cara mengerahkan tenaga dalam guna memainkan Siangliu-
kiam-hoat.
Di antara ke 49 jurus Siang-liu-kiam-hoat, untuk gerakan
tangan kanan dan kiri seluruhnya ada 98 bait syair petunjuk
pengerahan tenaga. Untuk itu Peng-say hanya tahu delapan
bait saja bagi Pedang kanan, ke-41 bait lainnya belum
diajarkan oleh Soat-koh kepadanya.
Lantaran itulah, meski dia berhasil menciptakan sendiri
41 jurus serangan Pedang Kanan sebagai pelengkap Pedang
Kiri, tapi sayang dia tidak tahu cara bagaimana
mengerahkan tenaga dalam, padahal daya serangan Siangliu-
kiam-hoat itu terletak pada cara mengerahkan tenaga
menurut petunjuk setiap bait syair yang berbeda itu. Kalau
tidak, biarpun dapat memainkan pedangnya. paling-paling
hanya indah dipandang tapi tidak berguna untuk bertempur,
bila ketemu lawan tangguh dengan mudah akan
dipatahkan. Untung Lwekang Peng-say diperoleh dari Cihe-
kang ayahnya, tenaga dalamnya lebih kuat daripada
kedua lawannya, maka dia sanggup bertahan sampai
sekarang.
Kini demi mendengar senandung Soat-koh, tanpa pikir
iapun yakin pasti Soat-koh sedang memberi petunjuk cara
mengerahkan tenaga serangan pada jurus kesembilan.
Maka ketika tiba jurus kesembilan, segera ia mengikuti
petunjuk itu, tenaga dikerahkan pada lengan kanan. kontan
Coh Cu-jiu yang sedang menyerangnya didesak mundur.
Menyusul didengarnya pula Soat-koh lagi menembang,
"Pikiran jernih seterang kaca, air mengalir. . . ."
Saat itu Peng-say telah memainkan pedangnya sampai
jurus keempat-belas, tapi dia tidak mengikuti urutannya
lagi, ia paksakan jurus kesepuluh sesuai petunjuk Soat-koh
itu sebagai jurus kelima-belas, "trang", tahu-tahu golok
Tonghong Put-pay yang sedang membacok dapat
ditangkisnya ke samping dan hampir saja Coh Cu-jiu yang
terbacok.
Dalam pada itu Soat-koh menyambung pula
tembangnya, begitu habis mendengarkan, segera Peng-say
melancarkan serangannya, jurus kesebelas ini membuat
Tonghong Put-pay terdesak mundur juga satu langkah.
Begitulah dalam waktu lima jurus serangan Peng-say
didengarnya Soat-koh menembang satu bait syairnya, maka
setiap lima jurus lantas keluar satu jurus serangan Peng-say
yang maha dahsyat dari Siang-liu-kiam-hoatnya.
Sudah tentu para penonton terheran-heran menyaksikan
serangan Peng-say itu, mereka tidak mengerti mengapa baru
sekarang orang ini mengeluarkan tipu serangan
simpanannya? Kalau saja sejak tadi dia mengeluarkan tipu
serangan lihay ini, tentu dia tidak perlu terluka. Kalau
dikatakan tipu serangan simpanan juga sukar dipercaya
sebab pertarungan itu setiap saat dapat merenggut jiwanya,
masakah dia bergurau dengan jiwanya sendiri dan sengaja
mengalah pada lawan?
Betapapun mereka tidak mengerti bahwa kepandaian
sejati Peng-say itu baru sekarang dipahaminya melalui
tembang seorang anak perempuan.
Bahwa ada orang langsung mengajarkan ilmu dimedan
tempur, hal ini sungguh sukar untuk dipercaya siapa pun.
Meski Tionggoan-samyu juga curiga terhadap tembang
perempuan itu, tapi mereka tidak menyangka dan
membayangkan bahwa tembang itu dapat memperkuat
daya serang Sau Peng-say, mereka mengira Thian yang
telah memberkati anak muda itu dan memberi kemenangan
padanya.
Bahwa setiap lima jurus serangan Peng-say pasti timbul
suatu serangan dahsyat, hal ini tak diketahui oleh orang lain
kecuali Tionggoan-samyu, para tertua Ma-kau dan sedikit
jago kelas tinggi.
Diam-diam Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu
mengeluh, mereka pun bersyukur bahwa hanya setiap lima
kali serangan barulah Peng-say melancarkan satu kali
serangan lihay, biarpun rada kelabakan mereka masih dapat
bertahan mati-matian.
Mereka tidak tahu bahwa bila bait syair terakhir sudah
ditembangkan Soat-koh, maka jurus serangan terakhir juga
akan dilancarkan Peng-say dan celakalah bagi mereka.
Terdengarlah Soat-koh lagi menembang bait terakhir:
"Jika sudah terikat tanpa ketahuan. . . .Alangkah sedih tuan
rumah mengenyahkan tamu!"
Pada kalimat terakhir itu, mendadak Peng-say
membentak dan juga mengulangi kalimat tersebut,
"Alangkah sedih tuan rumah mengenyahkan tamu!"
"Cret-cret", sekaligus kedua pedangnya menusuk ke dada
kedua lawan.
Untung Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu masih
mempunyai jurus penyelamat simpanan, yang satu dengan
gerakan "Kip-liu-yong-de" atau air mengalir menyurut
cepat, seorang lagi dengan jurus "Si-lay-to-seng" atau
menyelamatkan diri di tengah ancaman maut, berbareng
kedua orang itu melompat mundur. Ketika mereka
memeriksa dada sendiri, dada masing-masing ternyata
sudah luka tersayat. Keruan muka mereka menjadi pucat.
"Wah, tampaknya tamu sukar dienyahkan!" demikian Pengsay
bergumam sambil menggeleng.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, cepat Coh Cu-jiu
putar haluan, sambil menyengir ia berkata, ”Pertarungan ini
memangnya urusan kalian dan tidak ada sangkut-pautnya
dengan diriku. biarlah kumohon diri saja!"
Tapi sebelum dia melangkah pergi, mendadak Peng-say
membentak: "Mau kemana?!" Berbareng itu pedang kirinya
lantas melintang untuk menghalangi kepergian orang.
"Kan lebih penting kau menuntut balas padanya, kenapa
kau meributkan diriku?" kata Coh Cu-jiu.
Dengan pedang kanan menuding Tonghong Put-pay,
dengan suara kereng Peng-say berkata, "Akan kubunuh kau
untuk membalas sakit hati pembunuhan segenap anggota
perguruanku!" Lalu dengan pedang kiri ia tuding Coh Cujiu
dan menyambung pula, "Dan akan kubinasakan kau
untuk membalas sakit hati kematian Toapek!"
"O, jika demikian jadi hari ini sekaligus hendak kau
selesaikan dua kasus sakit hatimu?" tanya Coh Cu-jiu.
"Betul, agar setelah kubunuh Tonghong Put-pay tidak
perlu lagi kupergi mencari dirimu," jawab Peng-say. "Kau
sendiri yang mengantarkan jiwamu kesini, maka aku dapat
menghemat tenaga dan tidak perlu bersusah payah mencari
kau lagi."
"Wah, Tonghong-heng, tampaknya mau-tak-mau kita
harus bersatu untuk menghadapi dia," ujar Coh Cu-jiu
kepada Tonghong Put-pay.
Namun Ma-kau-kaucu itu menolaknya dengan tegas,
jengeknya, "Hm, siapa yang sudi berkomplot dengan kau?!"
Tanpa bicara lagi, langsung ia mendahulu menyerang
Sau Peng-say.
Dengan pedang kiri menangkis serangan Tonghong Putpay,
pedang kanan Peng-say tetap melintang di depan Coh
Cu-jiu sambil membentak, "Kau tidak boleh pergi!"
"Tidak boleh pergi juga tidak menjadi soal, memangnya
kujeri padamu?" teriak Coh Cu-jiu, dari malu ia menjadi
gusar. Segera ia pun melancarkan serangan terhadap Pengsay
dengan sekuat tenaga.
Tonghong Put-pay tidak sudi menarik keuntungan
daripada main kerubut itu, setelah dia menyerang Peng-say
satu kali, berikutnya ia pun menyerangCoh Cu-jiu satu kali.
Coh Cu-jiu menjadi gemas, damperatnya, "Tua bangka,
bila Siang-liu-kiam-hoatnya sudah lancar, ajalmu pun sudah
di depan mata masakah kau masih berlagak gagah segala?"
Akan tetapi Tonghong Put-pay tidak gubris padanya dan
tetap menyerang kesana dan kesini, terpaksa Coh Cu-jiu
harus membagi perhatiannya untuk melayani dua orang.
Namun sekarang setiap daya serangan Peng-say sudah
tambah kuat. belasan jurus kemudian, Tonghong Put-pay
tidak sempat lagi menyerang Coh Cu-jiu, terpaksa ia
menghadapi Peng-say dengan sepenuh tenaga.
Kekuatan Coh Cu-jiu lebih lemah daripada Tonghong
Put-pay, tentu saja dia lebih2 payah, apalagi menghadapi
keadaan gawat yang menentukan mati dan hidup, ia pun
tidak sempat lagi menyerang Tonghong Put-pay dan
terpaksa harus menangkis serangan Peng-say sekuatnya.
Dengan demikian, posisi sekarang sama dengan
Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu berdua mengerubuti Sau
Peng-say sendirian.
Maka para pengikut Tionggoan-samyu lantas mencacimaki,
"Huh. keparat. dua lawan satu. tidak tahu malu!"
Tapi meski mereka mencaci maki dan penasaran, namun
Sam-yu tetap melarang mereka memberi bantuan kepada
Peng-say.
Dengan satu lawan dua, Peng-say memperlihatkan
keperkasaannya angin pedang mendesis-desis dan dapat
didengar oleh para penonton, Segenap kemampuannya
telah dikeluarkannya.
Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu terdesak mundur
melulu.
Pada jurus terakhir Siang-liu-kiam-hoat yang disebut "Kiih-
san-lim" atau tirakat digunung sepi, ditengah suara
tembang "alangkah sedihnya tuan rumah mengenyahkan
tamunya", pedang Peng-say menyambar secepat kilat, baik
Tonghong Put-pay maupun Coh Cu-jiu, kedua-duanya
tidak sempat. menggunakan jurus penyelamat masingmasing,
Sekali pedang kanan Peng-say menabas, kontan kepala
Coh Cu-jiu berpisah dengan tubuhnya. Waktu pedang kiri
ditimpukkan, tembuslah dada Tonghong Put-pay.
Kedua orang itu hanya sempat menjerit ngeri, lalu roboh
dan binasa.
Tanpa menjemput kembali pedang kirinya, hanya
memegang satu pedang saja Peng-say berdiri di tengah
kedua sosok mayat itu dan menengadah sambil tertawa
terbahak-bahak.
Kebanyakan orang menganggap tertawa anak muda ita
terlalu latah, tapi jeri kepada kesaktiannya, tiada seoraug
pun berani bersuara.
Hanya ada seorang saja yang merasa gemas terhadap
sikap temberang Peng-say itu. Orang ini adalah anak
perempuan berbaju ringkas berwarna kuning telur, dengan
pedang terhunus ia melompat ke atas panggung sambil
membentak,
"Sau Peng-say, Goay-hoat-kiam keluarga Beng
menantang duel padamu!"
Anehnya Peng-say tidak berani memandang anak dara
itu, mendadak ia mendekap muka sendiri dan menangis
sedih.
Kiranya anak dara itu ialah Beng Siau-gi, cucu
perempuan Beng Eng-kiat sebagaimana sudah kita kenal
pada permulaan cerita ini.
Sampai sekian lama Peng-say menangis, katanya
kemudian sambil mengusap air mata, "Nona Siau-gi. aku
tidak mau bertempur dengan kau,"
"Apa katamu?" Beng Siau-gi menegas.
"Aku tidak mau bertempur dengan kau," Peng say
mengulangi ucapannya.
"Kau tidak berani?" Beng Siau-gi sengaja berteriak.
"Baik, jika demikian kuampuni jiwamu!"
Maka bergemuruhlah suara tertawa para penonton di
bawah panggung.
"Tertawa apa?!" tanya Beng Siau-gi sambil menyapu
pandang para penonton dengan sebelah tangan bertolak
pinggang. "Apa artinya Siang-liu-kiam-hoat bagiku? Dahulu
Leng-hiang-caycu Sau Ceng-in, si pencipta Siang-liu-kiam
ini. bukankah pernah dikalahkan oleh kakekku, Beng Engkiat,
Beng-loenghiong. Jika kalian tidak percaya, tanyakan
saja langsung kepada bocah ini, Siapakah yang melukai
muka Sau Ceng-in sehingga meninggalkan codet yang tak
pernah terhapus dimukanya? Hm, ketahuilah, justeru
kakekku yang melukai dia. Nah, kalau benar Siang-liukiam-
hoat nomor satu di dunia, kenapa pencipta ilmu
pedang sakti itu bisa dilukai oleh kakekku?!"
Codet di muka Sau Ceng-in memang betul dilukai oleh
Beng Eng-kiat, itu terjadi sewaktu Sau Ceng-in masih
muda, tatkala mana Beng Eng-kiat sendiri sudah menjadi
guru silat ternama dan telah menciptakan sendiri ilmu
pedang yang disebut Goay-hoat-kiam, ilmu pedang gembira
ria.
Beng Eng-kiat sendiri asalnya juga murid Pak-cay,
terhitung Suhengnya Sau Ceng-in. Keduanya tidak akur
dan berlain paham.
Pernah satu kali mereka berlatih, didepan sang guru
Beng Eng-kiat sengaja melukai Sau Ceng-in. Sudah tentu
gurunya, yaitu ayah Sau Ceng-in, menjadi gusar, Beng Engkiat
dipecat dari perguruan. Setelah mengalami luka itu,
Sau Ceng-in pikir ilmu pedang perguruannya sudah dikenal
seluruhnya oleh Beng Eng-kiat, untuk mengalahkan Goayhoat-
kiam ciptaan Beng Eng-kiat dan untuk membalas
dendam, ia sendiri harus juga menciptakan semacam ilmu
pedang yang dapat mengalahkan Goay-hoat-kiam.
Beberapa tahun kemudian, ayah Sau Ceng-in wafat,
sebagai ahliwaris Sau Ceng-in menggantikannya sebagai
Leng-hiang-caycu. Tatkala mana Siang-liu-kiam-hoat buah
pemikirannya sudah mulai ada kemajuan, maka dia
menyatakan akan menggunakan ilmu pedang baru itu
untuk melukai muka Beng Eng-kiat.
Diantara saudara seperguruan tentu ada juga yang pro
Beng Eng-kiat, maka diam2 pernyataan Sau Ceng-in itu
disampaikan pada Beng Eng-kiat. Hal ini tentu saja
diperhatikan oleh Beng Eng-kiat. Tapi sebegitu jauh dia
tidak melihat datangnya Sau Ceng-in.
Lewat beberapa tahun lagi, tersiar hilangnya Sau Cengin.
Beng Eng-kiat mengira sakit hati sang Sute juga tidak
perlu dipikirkan lagi.
Tak tersangka secara kebetulan muncul seorang Tio Taypeng
yang mahir setengah bagian Siang-liu-kiam dan
akhirnya Eng-kiat dan puteranya, Beng Si-hian berturutturut
terbinasa di bawah ilmu. pedang Sau Ceng-in itu.
Karena Beng Eng-kiat berasal dari Pak-cay, meski dia
tidak tahu sampai di mana lihaynya Siang-liu-kiam-hoat
ciptaan Sau Ceng-in itu, tapi ia yakin Siang-liu-kiam pasti
juga bersumber dari intisari ilmu pedang Pak-cay dan hanya
Sau Ceng in saja sebagai satu-satunya ahliwaris yang dapat
menciptakan ilmu pedang maha lihay yang tak dapat
ditandinginya itu.
Untuk menjaga pembalasan dendam sang Sute,
sebelumnya Beng Eng-kiat telah menceritakan riwayat
hidupnya kepada anaknya sendiri. Malahan ia kuatir sang
Sute tidak puas hanya menuntut balas padanya, bisa jadi
puteranya juga akan ikut menjadi korban, maka dia tidak
berani secara terbuka mengajar Kungfu kepada Beng Sihian.
ia pikir kalau umum mengetahui anaknya tidak mahir
silat. betapa kejamnya sang Sute tentu takkan mengganggu
seorang Suseng atau pelajar yang lemah.
Padahal kekuatiran Beng Eng-kiat itu hanya berlebihan.
Sau Ceng-in bukan seorang yang berjiwa sempit, lebih-lebih
setelah berhasil menciptakan Siang-liu-kiam-hoat,
betapapun jadilah dia seorang maha-guru persilatan, mana
dia sudi mengingat sakit hati yang tidak ada artinya.
Terbunuhnja Beng Eng-kiat dan Beng Si-hian oleh Tio Taypeng
hanya terjadi secara kebetulan saja.
Tapi lantaran kematian kakek dan ayahnya itu. Beng
Siau-gi bersumpah akan menuntut balas dan membunuh
habis setiap orang yang mahir Siang-liu-kiam.
Akan tetapi Sau Peng-say, yaitu yang dahulu dikenalnya
sebagai Soat Peng-say, kenal baik dengan dia, masa dia tega
membunuh seorang yang diam-diam disukainya dan
sebenarnya juga tidak bersalah apa pun terhadap dirinya
ini? Apalagi kalau bertempur sungguhan, dengan Siang-liukiam-
hoat yang maha sakti itu, biarpun sepuluh orang
dirinya juga bukan tandingan anak muda itu.
Begitulah maka hapuslah hasrat Beng Siau-gi akan
membunuh Sau Peng-say, untuk kepuasan, Peng-say hanya
dihina dan dicemoohkannya saja di depan orang banyak.
Dalam pada itu para pengikut Tionggoan-samyu di
bawah panggung lantas menanggapi ucapan Beng Siau-gi
tadi dengan gelak tertawa, ada yang berteriak, "Seumpama
betul kakekmu pernah melukai si pencipta Siang-liu-kiamhoat,
tapi jelas bukan kau yang melukainya. Jika mampu.
coba kau pun menyayat muka Sau-tayhiap hingga terluka,
untuk apa kau sebut kakekmu yang sudah mati itu?"
Siau-gi terus mengangkat pedangnya dan membentak
terhadap Sau Peng-say, "Nah. apa kau berani terima
tantanganku?!"
Peng-say menghela napas, jawabnya, "Terbunuhnya
kakek dan ayahmu adalah kesalahan guruku. . . ."
"Jangan banyak omong, kalau berani bertempur ayolah
kita mulai!" teriak Siau-gi sambil mendesak maju satu
langkah.
Mendadak Peng-say angkat pedangnya, semua orang
mengira anak muda itu akan terima tantangan Beng Siau-gi.
Tak terduga, mendadak tangan Peng-say yang lain
memegang batang pedang terus ditekuk, "ple-tak", pedang
itu patah menjadi dua.
"Nona Siau-gi, Sau Peng-say tidak berani terima
tantanganmu!" kata Peng-say kemudian sambil menggeleng.
Jawaban Peng- say ini seketika membikin gempar para
penonton.
"Huh, terhitung ahliwaris Lam-han macam apa itu?"
"Hah, pahlawan kita ternyata bernyali kecil seperti
tikus!"
"Wah, sungguh sangat penasaran Tonghong kaucu
terbunuh oleh pengecut macam begini!"
Begitulah macam-macam sindiran dialamatkan kepada
Sau Peng-say, sudah tentu semuanya itu datang dari anak
buah Ma-kau. Maklum, Kaucu mereka terbunuh,
mumpung ada kesempatan, sedikit banyak terlampias
dendam mereka dengan mencaci-maki.
Tapi bagi orang yang dapat berpikir, mereka tahu Pengsay
tidak suka bertempur dengan Beng Siau-gi karena dia
merasa gurunya memang bersalah, biarpun kehilangan
pamor, tapi tindakannya itu sungguh bijaksana dan patut
dipuji.
"Fuh" Beng Siau-gi meludah, karena maksudnya
menghina Sau Peng-say sudah tercapai, maka pergilah dia
dengan puas.
— 00O00—d w—00O00-
Dalam waktu sebulan. sesuai dengan perjanjian rahasia
yang ditanda tangani bersama, di bawah pimpinan
Tonghong Kui-le, segenap kekuatan Ma-kau di daerah
Tionggoan telah ditarik keluar ke Kwan-gwa.
Coh Cu jiu sudah binasa, kekuatan Say-koan banyak
berkurang, apalagi Ma-kau telah mundur ke Kwan-gwa,
kedua golongan yang merupakan musuh bebuyutan itu
harus selalu berjaga-jaga segala kemungkinan, maka Saykoan
di bawah pimpinan Ting Tiong dan Liok Pek juga
sukar mengembangkan lagi pengaruhnya ke daerah Tionggoan,
Kalau di Kwan-gwa terjadi persaingan terus menerus
antara Ma-kau dan Say-koan, sebaliknya di daerah
Tionggoan suasana menjadi tenang, kecuali tindakan
perorangan sampah persilatan, pada umumnya tidak terjadi
lagi permusuhan dan bunuh membunuh antar golongan dan
aliran.
Soh hok-han dengan sendirinya bangkit kembali dan
diketuai Sau Peng-say, namanya bertambah jaya dan
disegani, bahkan jauh lebih cemerlang daripada masa hidup
Sau Ceng hong.
Mestinya ada maksud Say Peng-say hendak mencari
Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan untuk menolong Sau Penglam,
kalau guru Thio Yan-coan. yaitu Tonghong Put-pay,
juga terbunuh olehnya. tentu golok kilat Thio Yan-coan
tidak perlu ditakuti lagi.
Akan tetapi kemudian Peng-say menerima sepucuk surat
dari Sau Peng-lam yang dikirim dari daerah selatan yang
jauh, katanya penyakit syaratnya sudah berhasil
disembuhkan oleh Thio Yan-coan dan Peng-say diminta
jangan menguatirkan dia.
Rupanya Thio Yan-coan tidak bermaksud jahat terhadap
Sau Peng-lam, bahkan dia telah mengobati dan
menyembuhkan penyakit gilanya. Tentu saja Peng-say
sangat senang, kalau ketemu lagi dengan Thio Yan-coan
tentu bukan lagi melabraknya melainkan akan
mengucapkan terima kasih atas kebaikannya.
Meski Sau Peng-lam sudah waras, tapi dia tidak pernah
muncul lagi di daerah Tionggoan, bahkan di daerah selatan
juga tidak dikenal nama Sau Peng-lam, di dunia ini seolaholah
sudah tiada terdapat lagi orang yang bernama Sau
Peng-lam.
Satu kali Peng-say dapat menemukan Thio Yan-coan,
orang she Thio ini sudah tidak pernah berbuat jahat lagi,
tapi watak bangor sukar diperbaiki, ketika ditemui Pengsay,
Thio Yan-coan lagi foya-foya di rumah lampu merah.
Dari Thio Yan-coan barulah Peng-say mengetahui
keadaan kakak angkatnya. Kiranya Sau Peng-lam sekarang
telah cukur rambut dan menjadi Hwesio, nama agamanya
"Bong-tim", artinya melupakan dunia fana ini. Pantas nama
Sau Peng-lam tidak dikenal oleh khalayak ramai.
Bong-tim tidak tinggal di suatu biara tertentu, dia adalah
Hwesio pengembara. sebangsa fakir yang
jejaknya tak menentu. Setiap kali Peng-say menyusulnya ke
suatu tempat bila diterima kabar, selalu jejak Bong-tim
sudah hilang. Sampai tua tidak pernah lagi Peng-say
bertemu dengan dia.
OoO d w OoO
Sepuluh tahun kemudian, Peng-say mempunyai tujuh
anak lelaki dan lima anak perempuan. tahun kesebelas
isterinya hamil lagi.
Tentu pembaca akan merasa beran dan ber-tanya2
mengapa cuma dalam sepuluh tahun Peng-say mempunyai
12 orang anak, padahal anaknya tidak ada yang lahir
kembar.
Begini ceritanya, setiap tahun isterinya pasti melahirkan.
Dan dua tahun diantara kelahiran itu terjadi lahir dua kali,
yakni dalam bulan pertama melahirkan, pada bulan 12 atau
akhir tahun lahir lagi anak berikutnya.
Makanya dalam sepuluh tahun isterinya melahirkan 12
anak. Dan pada kehamilan yang kesebelas ini entah akan
lahir anak lelaki atau perempuan, entah lahir satu anak atau
kembar dua atau mungkin juga kembar lima. Rekor
melahirkan demikian ini entah akan terus berlangsung
hingga kapan. Maklumlah, pada masa itu belum dikenal
KB atau Keluarga Berencana alias pembatasan melahirkan
anak.
Dan siapakah nyonya Sau Peng-say?
Ialah Soat-koh yang Peng-say pernah bersumpah takkan
memperisterikannya dengan upacara nikah itu.
Tanpa upacara kan juga dapat menikah? Untuk
melahirkan anak kan tidak harus melalui upacara nikah?
Dan bilakah pendekar besar kita Sau Peng-say kawin?
Tidak ada yang tahu. Yang jelas dan nyata, perempuan
yang melahirkan anak baginya itu bernama Tio Soat-koh.
Meski Tio Soat-koh adalah isteri Sau Peng-say tanpa
upacara nikah alias isteri tidak resmi, tapi keduanya dapat
hidup bahagia sampai hari tua.
= T AM A T=

More aboutCerita Silat : Pedang Kiri Pedang Kanan 5 Tamat