Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 4 Tamat (Kho Ping Hoo)

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 19 April 2012

Description: Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 4 Tamat (Kho Ping Hoo) Rating: 4.5 Reviewer: Unknown - ItemReviewed: Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 4 Tamat (Kho Ping Hoo)
19 Sep 2011 ... Download Koleksi Cerita Silat Komplit, Cerita ABG | Cerita Dewasa | Baca Cersil Cerita Silat Online- Cerita Eysa, Download Koleksi Cerita Silat ...
cerita-eysa.blogspot.com
27 Jun 2011 ... Kembali kami hadirkan 4 Cerita Dewasa Pilihan Minggu Ini neh buat ente ente semue yang cinté métì amé yang naményé cerité dèwèsé.
cerita-eysa.blogspot.com
 Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 4 Tamat  (Kho Ping Hoo)
Baca sebelumnya....
3 Okt 2011 ... Kumpulan Cerita Silat / Cersil Bulan September, Cerita ABG | Cerita Dewasa | Baca Cersil Cerita Silat Online- Cerita Eysa, Kumpulan Cerita ...
cerita-eysa.blogspot.com
28 Des 2011 ... Cerita Silat Seru Dewasa : Unta Sakti 4 “Akhirnya terjadilah peristiwa yang kita alami dulu!” “Benar! Penyakit Im Lee hoa waktu itu belum ...
cerita-eysa.blogspot.com
1 Mei 2011 ... KUMPULAN CERITA DEWASA LUCAH, Cerita ABG | Cerita Dewasa | Baca Cersil Cerita Silat Online- Cerita Eysa, KUMPULAN CERITA ...
cerita-eysa.blogspot.com

Bun Houw menjadi bengong dan melamun. Sungguh sukar dimengerti sikap In Hong tadi. Dia mencabut pedang Hong-cu-kiam dan hatinya tiba-tiba terasa kosong dan sunyi sekali. Dipungutnya sarung pedang Hong-cu-kiam yang tadi dilemparkan ke atas tanah oleh In Hong yang marah, lalu disimpannya pedang itu Dia teringat akan burung hong kemala di dalam saku bajunya dan otomatis tangannya meraba benda itu dan hatinya makin terasa sedih.

“Sungguh aneh... sungguh tak mengerti aku...” Hatinya berbisik dan pada saat itu terdengar seruan nyaring, “Houw-ji (anak Houw)...!”

Bun Houw mengangkat muka memandang dan melihat ayah dan ibunya turun dari puncak dengan cepat. Mereka tadi mendengar pelaporan Kwee Siong tentang kedatangan putera mereka itu dan karena khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu antara Bun Houw dan Kwee Tiong berdua Yalima, mereka cepat-cepat turun.

“Ayah! Ibu!” Bun Houw memberi hormat dan ibunya merangkulnya dengan hati lapang. Terutama sekali ibunya merasa lega melihat puteranya kelihatan tidak marah sungguhpun pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa Yalima baru saja menangis den wajah Kwee Tiong masih pucat, tanda bahwa mereka berdua baru saja mengalami guncangan batin yang hebat.

“Bukankah kau tadi datang bersama In Hong?” Cia Keng Hong yang tadi menerima laporan Kwee Siong bertanya heran, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.

“Dia sudah pergi, ayah.” jawab Bun Houw dengan lesu dan keadaan puteranya ini tidak terlepas dari pandang mata ayahnya.

“Lebih baik kalau begitu. Bocah galak itu membikin ribut saja.” kata Sie Biauw Eng yang menggandeng tangan puteranya den mengajaknya naik ke puncak. Beramai mereka naik ke puncak Cin-ling-san, menuju ke markas Cin-ling-pai yang barada di lereng dekat puncak. Nenek Sie Biauw Eng kelihatan gembira bukan main dan menghujani puteranya dengan pertanyaan-pertanyaan.


Setelah tiba di dalam rumah, Bun Houw lalu lebih dulu menceritakan soal pembunuh isteri Kun Liong yang menjadi pokok den penyebab semua peristiwa menyedihkan antara keluarga Kun Liong itu. “Ayah dan ibu, sekarang pembunuh isteri Yap-suheng telah diketahui.”

Tentu saja suami isteri pendekar itu menjadi terkejut den juga girang. “Siapa dia?”

“Dia adalah seorang wanita bernama Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-hong-pang. Dia lihai sekali karena sebetulnya dialah yang dahulu memperoleh bokor emas pusaka dari Panglima The Hoo, Ayah.”

“Ahhh...!” Cia Keng Hong terkenang akan keributan puluhan tabun yang lalu ketika pusaka bokor emas itu diperebutkan orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw.

“Di mana sekarang keparat itu? Biar kucari dan kubunuh iblis betina yang menjadi gara-gara itu!” kata nenek Sie Biauw Eng yang masih belum juga kehilangan kegalakannya setiap kali menghadapi kejahatan.

“Dia sudah tewas di tangan Yap-suheng sendiri, ibu. Yo Bi Kiok itu dahulunya adalah seorang sahabat baik dari Yap-suheng sendiri, malah wanita itu... dia adalah guru dari adik Yap In Hong.”

“Ahhh...!” Suami isteri pendekar itu berseru kaget, lalu mereka mendengarkan penuturan puteranya tentang peristiwa di dalam benteng Raja Sabutai dan tentang kematian Yo Bi Kiok yang mengaku sebagai pembunuh Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong karena iri!

Mendengar penuturan puteranya itu, suami isteri yang sudah tua itu menggeleleng kepalanya. “Jadi kembali gara-gara cinta...” Nenek Sie Biauw Eng berbisik. “Betapa hanya mendatangkan malapetaka belaka.”

“Hemm, jangan berkata demikian, isteriku. Hanya cinta palsu saja yang mendatangkan malapetaka. Buktinya, di antara kita berdua yang ada hanyalah kebahagiaan dan belas kasihan, baik dalam keadaan apapun juga.”

Sie Biauw Eng menjadi terharu dan menyentuh tangan suaminya. Ingin rasanya dia menangis kalau suaminya bersikap dan berkata seperti itu.

“Jadi engkau telah berhasil membunuh sisa Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu, Bun Houw?” Cia Keng Hong bertanya.

“Benar, ayah.”

“Dan Siang-bhok-kiam...”

“Itulah yang membikin jengkel, ayah. Siang-bhok-kiam itu oleh Bayangan Dewa diserahkan kepada Raja Sabutai yang kemudian memberikannya kepada gurunya, yaitu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dan mereka tidak mau menyerahkan pedang pusaka kita kepadaku.”

“Eh, mengapa? Mau apa dua orang iblis jantan dan betina itu?” Ibunya membentak.

“Ada sebabnya, ibu. Mereka itu ternyata adalah musuh-musuh yang menaruh dendam kepada mendiang Panglima The Hoo dan karena mereka tidak dapat lagi membalas dendam mereka kepada Panglima The Hoo yang sudah tidak ada, maka mereka menimpakan dendamnya kepada Cin-ling-pai. Mendengar bahwa pedang itu milik ayah, dan karena mereka tahu bahwa ayah dahulu adalah sahabat dan pembantu yang baik dari mendiang Panglima The Hoo, maka mereka menahan pedang itu.”

“Keparat!” Sie Biauw Eng memaki.

“Hemm, sudah setua ini masih dicari orang untuk bermusuhan.” Cia Keng Hong mengomel.

“Mereka itu menantang kepada ayah untuk datang ke Lembah Naga jika ayah menghendaki kembalinya pedang pusaka kita Siang-bhok-kiam.”

Kembali Cia Keng Hong menarik napas panjang. “Aku bukan anak kecil, bukan pula orang muda yang berdarah panas. Untuk apa susah payah dan jauh-jauh pergi hanya untuk berkelahi memperebutkan pedang?”

“Akan tetapi kita harus menjaga nama! Pedang Siang-bhok-kiam adalah pusaka dari lambang kebesaran Cin-ling-pai. Kalau jatuh ke tangan orang dan mereka menentang, lalu kita diam saja, tentu kita akan diketawai orang sedunia!” bantah isterinya.

“Huh, kalau ada yang mau mentertawakan kita, biarlah mereka itu tertawa sampai robek mulutnya, perduli apa kita?” Cia Keng Hong membantah.

“Tapi...” bantah isterinya.

“Isteriku, hidup kita tidak ditentukan oleh pendapat orang lain, bukan? Ingat, pendapat orang-orang itu tidaklah sama dan kalau kita mengandalkan pendapat-pendapat orang lain, bagaimana macamnya kehidupan yang kita tempuh?”

“Akan tetapi, suamiku. Memang kita sendiri secara pribadi tidak perlu memikirkan omongan orang lain, namun kita sebagai pendiri dan pimpinan Cin-ling-pai bertanggung jawab untuk menjaga nama dan kehormatan Cin-ling-pai! Setelah sudah berhasil jerih payah Bun Houw membasmi Lima Bayangan Dewa, apakah kini gangguan dua orang iblis keparat itu harus didiamkan saja? Kalau kau enggan pergi, biarlah aku sendiri yang akan pergi mencari mereka ke Lembah Naga!”

“Ayah dan ibu harap suka bersabar. Urusan Siang-bhok-kiam tentu saja dapat kita rundingkan kemudian dan aku sendiripun merasa bertanggung jawab den aku yang akan mewakili ayah dan ibu demi menjaga kehormatan Cin-ling-pai. Akan tetapi ada berita yang lebih menyenangkan untuk disampaikan... eh, di manakah enci Giok Keng? Dia yang terutama akan senang mendengar berita ini.”


Ibunya mengerutkan alis. “Encimu belum pulang sampai sekarang. Sungguh malang sekali nasib encimu, Houw-ji.”

“Kalau begitu biarlah ayah dan ibu mendengarnya lebih dulu. Lie Seng telah dapat diketahui berada di mana.”

“Ahh! Di mana cucuku itu?” Cia Keng Hong bertanya girang.

“Ternyata dia telah tertolong oleh suhu. Hampir saja dia tewas di tangan wanita kejam Yo Bi Kiok itu, terkena racun Siang-tok-swa, akan tetapi baiknya masih dapat tertolong oleh adik In Hong.”

Lalu diceritakanlah oleh Bun Houw tentang Lie Seng seperti yang didengarnya dari In Hong. Tentu saja dua orang tua itu merasa girang dan lega sekali. Kalau cucu mereka itu sudah berada di tangan Kok Beng Lama, tentu saja akan terlindung.

“Hanya aku khawatir sekali... melihat keadaan gurumu itu...” Teringatlah Cia Keng Hong akan sikap Kok Beng Lama yang seolah-olah tidak kuat menahan guncangan hatin karena kematian anaknya yaitu Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong. Akan tetapi sebagai seorang bijaksana, dia tidak mau menyiksa diri dengan bayang-bayang khayal yang buruk.

“Sudahlah, semua urusan itu telah lewat dan ternyata semua hal yang membingungkan telah terbongkar. Lima Bayangan Dewa telah terbasmi dan biang keladi kehancuran rumah tangga Giok Keng dan Kun Liong telah pula ditewaskan. Sekarang kami ada berita yang amat menyenangkan untukmu, anakku,” kata Sie Biauw Eng sambil tersenyum. Aneh tapi nyata, Sie Biauw Eng yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu setelah tersenyum masih jelas nampak bekas-bekas kecantikannya!

Bun Houw memandang ibunya dengan wajah berseri, girang melihat ibunya begitu gembira. Cia Keng Hong yang hendak menjawab, akan tetapi dengan tangannya, Sie Biauw Eng mencegahnya dan pada saat itu, pelayan-pelayan mereka datang menghidangkan makanan dan minuman. Percakapan tertunda sebentar, setelah para pelayan itu pergi, Sie Biauw Eng yang agaknya tidak sabar lagi untuk segera menyampaikan berita itu kepada puteranya, melanjutkan, “Beberapa pekan yang lalu, ketika ayahnya baru saja tiba di sini, pulang dari kota raja, di sini kedatangan tamu yang sama sekali tidak kami sangka-sangka.” Dia berhenti dan kelihatan girang sekali melihat puteranya memandang dengan penuh perhatian dan penuh keinginan tahu.

“Siapa, ibu?”

“Kau tentu tidak dapat menduganya. Dia adalah murid mendiang Panglima The Hoo dan...”

“Ah, aku tahu...! Tentu ibu Souw Kwi Beng den Souw Kwi Eng si kembar itu!”

Suami isteri pendekar itu saling pandang dan tersenyum.

“Kau benar, dan mereka berdua ikut datang bersama ibu mereka,” kata pula Sie Biauw Eng.

“Eh, sayang aku tidak dapat berjumpa dengan mereka!” kata Bun Houw membayangkan dua orang kakak beradik kembar itu, terutama Kwi Eng, yang memiliki kecantikan yang khas dari seorang berdarah campuran, dengan matanya yang biru dan rambutnya yang hitam agak keemasan!

“Kwi Eng itu cantik bukan main, anakku!” Tiba-tiba ibunya berkata dan karena pada saat itu Bun Houw sedang membayangkan wajah Kwi Eng, tentu saja dia menjadi terkejut dan wajahnya menjadi merah sekali.

Ibunya tertawa. “Dan engkau sudah mengenalnya, Houw-ji.”

“Benar, ibu. Kami telah berkenalan dan bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng membantuku menghadapi dua orang Bayangan Dewa dan para pembantu mereka yang lihai.”

“Dara itu sudah menceritakan semuanya kepada kami. Dia memang cantik jelita, belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis yang seperti itu cantiknya, dan dia cerdas sekali, juga gagah perkasa aeperti ibunya, selain itu dia juga pada dasarnya lemah lembut, sopan, tidak seperti... eh, misalnya Yalima yang lemah dan... si In Hong yang liar itu...”

“Ibu, kenapa ibu menceritakan semua kepadaku?” Bun Houw memotong karena hatinya tidak senang mendengar In Hong dibawa-bawa dan disebut liar.

Di sini ayahnya turun tangan mencampuri. “Sebenarnya, Bun Houw, kedatangan nyonya Yuan de Gama atau Souw Li Hwa itu, selain untuk mengunjungi sebagai murid mendiang Panglima The Hoo, mempererat persahabatan, juga untuk mengajukan usul atau permohonan agar diadakan ikatan jodoh...”

“Ehh? Ikatan jodoh...?” Hati Bun Houw berdebar keras.

“Ya, antara engkau dan Kwi Eng, anakku! Aku girang sekali, aku sudah cocok dan suka kepada anak itu, aku senang mempunyai mantu dia!”

“Ibu...!” Dan Bun Houw lalu menundukkan mukanya, memejamkan matanya, karena dia merasa pening dan bingung. Cia Keng Hong mengedipkan mata kepada isterinya, mencegah isterinya bicara dan memberi kesempatan kepad puteranya untuk menenangkan diri. Bun Houw yang memejamkan matanya itu melihat bayangan Kwi Eng, terbayang olehnya betapa dahulu ketika dia menolong Kwi Eng menyelamatkan dara jelita itu dari perkosaan Gu Lo It, melihat Kwi Eng dalam keadaan tanpa pakaian, kemudian... kemudian teringatiah dia betapa mereka berciuman ketika dia memondong gadis itu. Membayangkan itu, Bun Houw merapatkan matanya dan diam-diam dia merasa menyesal, mengapa dia melakukan hal itu, mengapa dia selalu ingin mendekap dan mencium dara-dara cantik! Dan terbayanglah dia akan wajah In Hong, dan pikirannya menjadi makin bingung.


Houw-ji...!” Terdengarlah suara ayahnya yang tenang dan dia membuka matanya, sadar kembali akan keadaannya.

“Maaf, ayah dan ibu...”

“Bun Houw, ayah dan ibumu melihat engkau sudah cukup dewasa, tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun lebih, dan ayah ibumu sudah makin tua, ingin menimang cucu dalam sebelum menutup mata,” kata Sie Biauw Eng dan nada suaranya terharu.

“Bun Houw, tadinya kami berdua bersepakat untuk menjodohkan engkau dengan In Hong, bahkan kami telah merundingkan hal ini dan mendapat persetujuan Yap Kun Liong. Akan tetapi, terjadi peristiwa dengan Yalima itu dan In Hong sendiri yang memutuskan tali perjodohan itu...”

Bun Houw mengangguk dan hatinya terasa perih. Dia sudah mendengar akan hal itu dari Yalima dan kini mengertilah dia mengapa setelah In Hong tahu bahwa dia adalah Cia Bun Houw, dara itu berubah sikapnya dan menjadi dingin. Mengertilah dia mengapa In Hong memakinya sebagai seorang perayu wanita yang tidak setia! Tentu In Hong merasa penasaran mengapa dia yang dianggapnya sudah “bertunangan” dengan Yalima, mau dijodohkan dengan In Hong dan hal ini oleh dara yang berhati keras itu dianggapnya sebagai suatu penghinaan!

“Kemudian kami mencari-cari dan memilih-milih,” sambung Sie Biauw Eng melanjutkan penjelasan suaminya. “Dan ketika kami melihat Kwi Eng, dan mendengar permohonan ibunya, kami berdua dengan hati bulat menyetujuinya.”

“Ibu...!” Kembali Bun Houw berseru, kaget sekali.

“Hemm, kenapakah, Bun Houw? Apakah kau tidak setuju dengan Kwi Eng? Kulihat dari gerak-gerik dara itu, dia sudah jatuh cinta padamu,” sambung pula ibunya.

“Bun Houw, katakanlah, apa yang menyebabkan engkau keberatan dan tidak menyetujui pilihan ayah bundamu?” Keng Hong berkata dengan tenang mendesak.

“Ayah dan ibu, sesungguhnya sama sekali bukan karena saya tidak suka kepada adik Kwi Eng, akan tetapi aku... aku belum ingin terikat oleh tali perjodohan.”

“Ha-ha, mengapa begitu saja dirisaukan amat?” Ayahnya mencela. “Ikatanmu dengan Kwi Eng barulah pertunangan saja, sedangkan tentang pernikahannya, hemmm... sesungguhnya kami ingin segera melihat engkau menikah, akan tetapi kalau kau masih belum suka, dapat diundur beberapa lamanya karena Kwi Eng juga baru berusia enam belas tahun lebih.”

“Akan tetapi jangan lama-lama, anakku,” kata Biauw Eng. “Aku sudah ingin sekali mempunyai cucu dalam dan dilayani mantu perempuan!”

Bun Houw merasa hatinya bingung dan tertindih oleh desakan-desakan ayah bundanya. Tiba-tiba dia memperoleh pandangan, seolah-olah ada sinar terang memasuki hatinya.

“Ayah dan ibu, kita masih menghadapi urusan, Siang-bhok-kiam masih berada di tangan orang lain. Aku hendak mencari dan merampas kembali pusaka itu, barulah kita bicarakan urusan perjodohan. Dan aku harus cepat-cepat pergi ke Lembah Naga, karena kalau dibiarkan terlalu lama, aku khawatir akan makin sukarlah pusaka kita itu dapat dirampas kembali. Kalau saja dua orang iblis itu tidak berada di benteng Raja Sabutai ketika mereka menguasai Siang-bhok-kiam, tentu sudah kuserang mereka dan kurampas pedang pusaka kita itu.”

“Eihh, baru saja kau datang, jangan tergesa-gesa pergi lagi, Houw-ji!” ibunya berseru dan memegang pundak puteranya. “Engkau hampir tidak pernah berkumpul dengan kami. Sejak kecil berguru kepada Lama itu Tibet sampai bertahun-tahun, begitu pulang kau terus pergi mencari Lima Bayangan Dewa. Sekarang, baru saja datang hendak pergi lagi merampas kembali Siang-bhok-kiam di Lembah Naga yang begitu jauh di utara. Tidak, kau tidak boleh cepat-cepat pergi!”

“Ibumu benar, Bun Houw. Kau harus beristirahat dulu dan nanti kalau kau pergi, kami akan titip surat untuk keluarga Souw atau keluarga de Gama di pelabuhan Yen-tai. Kami sudah tua, tidak sempat membalas kunjungan mereka, maka kaulah yang mewakili kami membalas kunjungan mereka di Yen-tai. Selain itu, kaupun harus menyerahkan suratku kepada kaisar di kota raja. Sesudah kauselesaikan tugas itu, baru kau boleh mencari dua orang tua yang merampas Siang-bhok-kiam itu di Lembah Naga.”

Bun Houw tidak dapat membantah lagi dan dengan berkeras ibunya menahannya sehingga baru satu bulan kemudian dia meninggalkan Cin-ling-san, membawa dua buah surat dari ayahnya, yang satu untuk diserahkan kepada Yuan de Gama dan keluarganya di Yen-tai, dan yang satu lagi untuk dihaturkan kepada kaisar di kota raja.


***

In Hong bersandar pada batang pohon di dalam hutan itu, memejamkan matanya dan mengatur kembali napasnya yang agak terengah-engah. Kepalanya terasa pening dan biarpun matanya dipejamkan, namun nampak bayangan beberapa orang berputaran, yaitu bayangan wajah Bun Houw dan Yalima. Ingin dia menjerit dan menangis untuk memberi pelepasan kepada perasaan hatinya yang berdesakan dan penuh dengan segala macam perasaan yang saling bertentangan. Dia suka kepada Bun Houw, hal ini tak mungkin dapat dibantahnya lagi! Bahkan, sejak pertama kali dia melihat pemuda itu dengan gagahnya menolak bujuk rayu wanita-wanita itu, dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Bun Houw. Anehnya, ketika dia memperoleh kenyataan pahit bahwa pemuda itu adalah tunangannya sendiri yang telah ditolaknya, ketika dia mendapat kenyataan bahwa Bun Houw adalah seorang pemuda yang luar biasa lihainya, yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya, rasa kagum dan suka makin meresap di dalam hatinya! Dan kalau tadinya dia menganggap seorang yang bernama Cia Bun Houw itu dengan pandangan rendah karena dianggap tidak setia kepada Yalima, setelah dia tahu bahwa Cia Bun Houw adalah pemuda yang telah memberi pedang pusaka kepadanya, yang telah diberi Giok-hong-cu olehnya, pandangan tidak setia kepada Yalima berobah cemburu dan iri terhadap Yalima! Bahkan ketika dia melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai, biarpun dia selalu bersikap diam dan dingin kaku, namun diam-diam dia merasakan sesuatu yang indah di dalam hatinya, sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan!

Dan ketika dia melihat Yalima ternyata telah menikah dengan orang lain, saking malunya terhadap Bun Houw dia ingin membunuh Yalima! Akan tetapi di balik itu semua, harus dia akui bahwa dia merasa girang bukan main melihat Yalima telah menjadi isteri orang lain.

“Aku telah gila... aku telah gila...!” Dia berbisik dan menjambak rambutnya sendiri

Houw-koko...!” Keluh hatinya dan dia merasa betapa hidupnya sunyi dan sendiri, betapa dia merindukan kehadiran Bun Houw di sampingnya, di dekatnya, biarpun tidak usah berdekatan dan bersikap baik, asal ada nampak Bun Houw di situ dia tidak akan merasa tersiksa seperti sekarang ini. Dia merasa rindu sekali dan otomatis tangannya meraba pinggang. Dia terkejut, memandang ke arah pinggangnya dan baru teringat dia bahwa Hong-cu-kiam telah ditinggalkannya di Cin-ling-san! Dia mengeluh panjang dan merasa makin sunyi dan sepi, merasa kehilangan!

“Houw-ko...!” Kembali bibirnya mengeluh, jantungnya seperti diremas rasanya dan ingin dia menjerit-jerit memanggil nama pemuda yang dirindukannya itu.

In Hong mengepal tinju dan membuka matanya. Kekerasan hatinya yang dulu timbul lagi dan matanya menjadi beringas. Dia cepat membalik seolah-olah diserang orang dari belakangnya, dan tangannya yang dikepal itu menghantam batang pohon.

“Dessss... krakkkkk!” Batang pohon itu patah dan kepalan tangannya berdarah karena saking marahnya dan saking gelisahnya dia tadi menghantam tanpa melindungi tangan dengan sin-kang. Terasa nyeri sekali tangannya yang berdarah dan dia mencucupi darahnya sendiri di tangan itu, wajahnya agak terang dan dia berterima kasih kepada rasa nyeri di tangannya, karena rasa nyeri itu mengurangi rasa nyeri yang lebih mendalam dan menyiksa tadi.

“Persetan dengan Cia Bun Houw...!” Dia membentak lalu dara ini lari secepatnya keluar dari hutan itu dan mendaki lereng gunung di depan.

Ketika dia keluar dari hutan dan tiba di jalan raya kasar yang diapit-apit padang rumput, dia mendengar derap kaki kuda dan melihat serombongan orang berkuda, pakaian mereka seragam mendatangi dengan cepat. Karena hatinya lagi risau In Hong tidak perduli dan terus saja dia mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga dia berpapasan dengan rombongan belasan orang itu tanpa memperhatikan sama sekali.

“Heiii...!” Tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan penunggang kuda itu dan In Hong masih tetap berlari terus. Akan tetapi kini dia mendengar derap kaki kuda dari belakangnya dan agaknya rombongan penunggang kuda tadi telah membalikkan arah kuda mereka dan kini mengejar In Hong.

“Lihiap...! Perlahan dulu...!”

Setelah tiga kali mendengar seruan ini, barulah In Hong sadar bahwa ada orang-orang mengejarnya dan bahwa panggilan itu ditujukan kepadanya, maka dia lalu berhenti berlari dan menanti di pinggir jalan sambil memandang tajam penuh perhatian, hatinya sudah mulai panas karena merasa bahwa perjalanannya diganggu orang! Kalau serombongan orang laki-laki itu hendak berlaku kurang ajar kepadanya, awas, pikirnya! Aku takkan mengampunkan kalian!

Kini rombongan yang terdiri dari lima belas orang berpakaian seragam gemerlapan karena disulam benang emas itu berhenti pula di situ dan seorang di antara mereka, yang bertubuh tegap dan bersikap gagah, usianya empat puluhan tahun, meloncat dengan gesitnya dari atas kuda lalu menghampiri In Hong yang berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang depan dada.

Laki-laki yang ternyata adalah komandan dari pasukan itu, menjura dan mengeluarkan sehelai kain bergambar, dipandangnya kain itu, kemudian dia menatap wajah In Hong penuh selidik dan bertanya, “Maafkan saya, lihiap. Bukankah lihiap ini yang bernama Yap In Hong?”

Tangan dara itu bergerak cepat seperti kilat menyambar. Komandan pasukan itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang komandan atau perwira dari pasukan Kim-i-wi yaitu pasukan pengawal istana yang berpakaian seragam keemasan atau yang dinamakan Pasukan Baju Emas. Kepandaiannya sudah cukup tinggi, kalau tidak tentu saja dia tidak akan terpilih menjadi perwira. Melihat gerakan dara itu, dia terkejut sekali dan cepat mengelak sambil menarik kembali tangannya yang memegang lukisan.

“Prrrttt...!” Betapapun cepatnya perwira itu mengelak, tetap saja gambar itu telah berpindah tangen dan kini dengan tenang, tanpa merobah kedudukan tubuhnya, In Hong yang masih cemberut itu memandang gambar di tangannya. Dia kaget dan heran sekali melihat lukisan yang indah di atas kain itu, lukisan seorang wanita muda yang bukan lain adalah dirinya sendiri!

In Hong mengerutkan alisnya dan pandang matanya ke arah wajah perwira itu seperti todongan ujung pedang yang amat runcing sehingga perwira itu kembali terkejut dan otomatis mundur selangkah ke belakang.

“Hayo katakan, siapa yang melukis ini dan apa maksudnya semua ini?” Suaranya dingin sekali dan nadanya mengancam sehingga terasa pula oleh semua anggauta pasukan pengawal Kim-i-wi yang mendengarnya.

Akan tetapi, pasukan pengawal Kim-i-wi adalah terkenal sebagai pasukan yang gagah berani dan setia, semacam pasukan pengawal istana yang telah disumpah untuk setia sampai mati! Perwira itupun lalu menjawab dengan tabah, “Maafkan saya, lihiap. Demi tugas kami, maka sebelum lihiap menjawab apakah benar lihiap yang bernama Yap In Hong, kami tidak dapat menerangkan apapun.”

In Hong memandang dengan marah, akan tetapi ketika dia bertemu pandang dengan perwira itu, dia merasa kagum. Perwira ini benar-benar berani, akan tetapi tidak kurang ajar, dan tidak sombong pula. Kekagumannya membuat dia agak lunak.

“Aku benar Yap In Hong. Nah, sekarang terangkan semua, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajar kalian semua karena gangguan ini!”

Wajah perwira itu menjadi berseri gembira dan juga anak buahnya menjadi girang sekali nampaknya. “Wah, maaf... eh, betapa girang hati kami, lihiap. Susah payah kami mencari lihiap. Ketahuilah, kami adalah pasukan Kim-i-wi dari istana kaisar dan ratusan orang anggauta kami disebar di seluruh pelosok untuk mencari lihiap dan ini merupakan perintah dari sri baginda kaisar sendiri! Setiap pasukan diberi gambar seperti ini agar lebih mudah mengenal lihiap. Ketika tadi kita saling berpapasan, saya segera mengenal lihiap maka kami melakukan pengejaran.”

Akan tetapi pandang mata In Hong masih belum melenyapkan kecurigaannya. “Apa sebabnya istana mengerahkan pasukan pengawal untuk mencari aku?”

“Lihiap, saya hanya seorang pemimpin pasukan kecil saja, mana saya bisa mengetahui akan kehendak sri baginda kaisar? Yang saya ketahui hanya bahwa pasukan-pasukan pengawal menerima perintah keras dari sri baginda kaisar untuk mencari lihiap sampai jumpa...”

“Dan kalau sudah jumpa?”

“Agar dipersilakan ke istana untuk memenuhi undangan kaisar.”


In Hong berpikir sejenak. Tidak mungkin ada sesuatu yang buruk di belakang undangan kaisar ini, pikirnya. Dia tahu bahwa kaisar yang muda itu adalah seorang yang baik dan gagah. Dia sudah menolong kaisar lolos dari benteng Sabutai, tidak mungkin kaisar yang kini sudah menduduki tahtanya lagi itu berniat buruk terhadap dirinya. Menarik juga undangan kaisar ini, menjanjikan pengalaman-pengalaman baru untuknya, dan pada saat seperti itu, selagi hatinya diliputi gundah, pergi kepada kakaknya di Leng-kokpun tidak ada gunanya. Lebih baik ke kota raja memenuhi undangan kaisar dan hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan oleh kaisar terhadap dirinya.

“Baik, aku akan ikut dengan kalian ke istana,” katanya.

Wajah perwira itu berseri-seri dan girangnya bukan main. Juga anak buahnya semua tersenyum girang karena kalau pasukan mereka ini yang menemukan pendekar wanita itu, tentu berarti mereka akan menerima pujian dan ganjaran besar! “Saya akan memberi isyarat kepada semua pasukan Kim-i-wi!” katanya dan tak lama kemudian dia melepaskan panah ke udara, anak panah berapi yang menyalakan kembang api berwarna biru di udara.

Setiap hari mereka mengirim isyarat panah berapi itu dan sebelum mereka tiba di istana pasukan itu telah bertambah terus, didatangi oleh pasukan-pasukan Kim-i-wi lain yang tersebar ke mana-mana dan akhirnya ketika rombongan itu tiba di istana, yang mengirimkan In Hong tidak kurang dari seratus orang! Dara itu sendiri diberi seekor kuda yang pilihan dan di sepanjang perjalanan memperoleh pelayanan sebagai seorang puteri saja sehingga In Hong yang sudah biasa hidup bebas dan menghadapi kesukaran-kesukaran sampai merasa sungkan sendiri. Akan tetapi karena dia tahu bahwa perlakuan dan sikap mereka itu adalah untuk memenuhi perintah kaisar, maka diapun tidak menolak. Kalau mereka kemalaman di jalan, setiap pembesar-pembesar setempat menyambutnya dengan penuh penghormatan, menjamunya dan memberinya kamar yang terbaik dari gedung mereka.

Akhirnya In Hong dibawa oleh panglima pengawal menghadap kaisar. Begitu melihat dara perkasa ini muncul di ruangan, kaisar sudah tersenyum lebar dan melambaikan tangannya dengan girang, sehingga para menteri dan pembesar yang hadir di situ menjadi terheran-heran.

“Yap In Hong lihiap...! Alangkah girang hati kami mendengar akan kedatanganmu!”

In Hong adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di dunia kang-ouw dan tentu saja dia tidak mengenal tata tertib istana, tidak pula mengenal kesusilaan yang sudah menjadi tradisi di dalam istana kaisar. Akan tetapi dia seorang yang cerdas, maka biarpun dia tidak tahu akan kebiasaan di situ, dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata. “Semoga paduka selamat, bahagia, dan berusia panjang!”

Tiba-tiba kaisar yang kini agak gemuk dan wajahnya segar berseri itu tertawa bergelak dan kembali semua menteri saling pandang dengan heran. “Ha-ha-ha, Hong-lihiap, dari manakah engkau memperoleh kepandaian memberi hormat seperti itu! Bangkitlah dan duduklah di atas bangku yang sudah tersedia itu. Kita bicara seperti dahulu ketika kita bersama lolos dari benteng Sabutai dan keluar masuk hutan!”

Wajah In Hong menjadi merah dan dia bangkit, menjura lalu duduk di atas bangku sambil tersenyum. “Hamba hanya ikut-ikut saja, sri baginda. Kalau keliru harap tidak ditertawakan dan diampunkan.”

“Tidak, engkau adalah tamuku, penolongku, bahkan kuanggap saudaraku sendiri, Hong-lihiap! Semenjak aku kembali ke sini, aku selalu teringat kepadamu dan kusuruh mencari ke mana-mana. Aku minta kepadamu, lihiap, agar engkau suka tinggal di istana ini, sebagai seorang saudaraku dan untuk jasa-jasamu kuangkat engkau menjadi Puteri Pelindung Kaisar yang juga kuanggap sebagai adikku sendiri. Engkau berhak keluar masuk di selurub istana ini dan berhak tinggal di sini selama yahg engkau sukai.”

Kembali semua menteri melongo mendenger ini, akan tetapi karena merekapun sudah mendengar behwa pendekar wanita bernama Yap In Hong inilah yang telah membebaskan kaisar dari tawanan Raja Sabutai, maka mereka hanya dapat mengangguk. Di waktu kaisar menjadi tawanan dan terancam bahaya, orang sekerajaan tidak ada yang mau atau berani menolong kecuali dara ini! Sudah sepatutnya kalau kini kaisar membalas jasanya yang amat besar itu.

In Hong merasa terharu juga oleh limpahan perasaan seperti itu, akan tetapi dia masih bertanya, “Tentu hamba tidak terikat di sini, bukan?”

Kaisar tersenyum lebar. “Tidak, lihiap. Akan tetapi kuharap dengan sungguh agar engkau dapat selamanya tinggal di sini, bahkan kelak kalau engkau sudah bersuami, suamimu akan kami beri pangkat dan kedudukan tinggi agar engkau selalu dekat dengan kami.”

In Hong lalu menghaturkan terima kasih dan kaisar lalu memanggil kepala pengawal dalam istana dan memerintahkan panglima ini untuk mengantar In Hong ke dalam istana dan memberinya sebuah gedung yang serba indah dan lengkap di bagian keputren.

Mulai hari itu, kehidupan In Hong berobah sama sekali! Biarpun dia tidak suka bersolek, dan tidak ingin memakai pakaian yang indah-indah, akan tetapi setelah semua pakaian tersedia dan dia tidak ingin membikin malu kaisar karena dia dianggap sebagai seorang puteri, atau adik angkat kaisar sendiri, terpaksa In Hong mengganti pakaiannya yang sederhana dengan pakaian yang serba indah gemerlapan! Dan diapun menduga bahwa di balik semua ini, tentu ada suatu maksud dari kaisar dan dia menduga bahwa hal itu tentulah ada hubungannya dengan Khamila! Karena, bukankah hanya dia yang tahu bahwa kaisar ini dengan isteri Raja Sabutai itu terdapat jalinan hubungan yang amat mesra?

Dugaannya memang tepat karena beberapa hari kemudian, ketika terdapat kesempatan kaisar bertemu berdua saja dengan dia, kaisar berkata, “Hong-lihiap, aku lebih suka menyebutmu lihiap daripada adik atau puteri, karena sebutan ini mengingatkan aku akan pengalaman-pengalaman kita dahulu. Engkau tentu tahu, lihiap, bahwa hadirnya engkau di dalam istana ini, di dekatku membuat aku merasa seolah-olah diapun tidak jauh dariku.”

In Hong mengangkat muka memandang wajah kaisar yang kelihatan terharu dan berduka itu. Dia mengangguk akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.

“Aku hanya mengharap, lihiap, engkau sebagai satu-satunya orang yang tahu akan rahasia kami itu, selain tidak akan membocorkan rahasia ini, juga kelak sekali waktu engkau dapat mewakili aku untuk menengok... anak itu di sana.”

In Hong mengangguk-angguk. Dia mengerti, dan mudahlah menduga siapa yang dimaksudkan dengan anak itu. Tentu anak yang dulu dikandung oleh Khamila.

“Harap paduka jangan khawatir. Sewaktu-waktu hamba akan memenuhi perintah paduka.”

Demikianlah In Hong kini menjadi seorang puteri yang bebas keluar masuk di seluruh bagian istana itu, dihormati oleh semua pengawal, pelayan dan ponggawa istana. Kalau tadinya ada yang menduga bahwa pendekar wanita yang cantik itu menjadi kekasih kaisar, kini mereka itu keliru dan ternyata bahwa benar-benar kaisar melakukan kebaikan itu untuk membalas jasa. Akan tetapi, karena sikap In Hong yang tidak sombong, bahkan kini dara itu mempelajari segala macam kebiasaan di istana, dan mulai dapat merobah sifatnya yang tadinya dingin, kaku dan ganas, di samping berita akan kelihaian dara itu, semua orang merasa suka kepadanya.


***


Tio-twako...!”

“Eh, Tio-twako datang...!”

Kwi Beng dan Kwi Eng yang sedang duduk di serambi depan rumah mereka di Yen-tai, meloncat dengan girang dan lari ke pekarangan menyambut kedatangan seorang pemuda yang tinggi kurus, bersikap gagah dan berpakaian sederhana, berwarna kuning dan yang memasuki pekarangan itu dengan sikap ragu-ragu. Pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun. Begitu bertemu dan melihat wajah Maria de Gama atau Souw Kwi Eng, sepasang mata Tio Sun bersinar-sinar, kedua pipinya menjadi agak kemerahan dan jantungnya berdebar keras. Betapa hebat rasa rindu hatinya terhadap dara ini, baru sekarang benar-benar terasa olehnya setelah berhadapan muka! Akan tetapi, tentu saja dia menekan perasaannya ini dan cepat menjura. “Beng-te dan Eng-moi, apa kabar? Kuharap kalian baik-baik saja selama ini. Apakah aku tidak mengganggu kalian dengan kunjunganku ini?”

“Ahhhh, Tio-twako kenapa begini sungkan?” Kwi Eng yang memang berwatak bebas dan ramah itu menegur. “Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?”

“Tio-twako, marilah masuk menemui ayah dan ibu kami, kemudian kami ingin banyak bicara, banyak bertanya kepadamu, twako.” Kwi Beng lalu menggandeng tangan tamunya itu.

“Aih, dia ingin banyak bertanya tentang enci Hong yang dirindukannya, hi-hik!” Souw Kwi Eng menggoda.

“Hushh, jangan main-main kau!” Kwi Beng membentak dan melototkan matanya. Tio Sun tersenyum menyaksikan dua orang yang wajahnya serupa hanya bedanya pria dan wanita itu berkelakar dan bergurau.

Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, segera keluar menyambut dengan ramah ketika mendengar akan kedatangan sahabat kedua orang anak mereka itu. Tentu saja mereka telah mendengar penuturan kedua orang anak mereka tentang Tio Sun yang dahulu telah membantu Kwi Eng ketika hendak menyelamatkan Kwi Beng yang diculik oleh Tokugawa. Tentu saja mereka berterima kasih sekali kepada Tio Sun, apalagi ketika mendengar bahwa Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, Souw Li Hwa makin suka dan ramah kepada pemuda sederhana itu.

“Aku mengenal baik ayahmu itu,” katanya. “Dia seorang pengawal yang amat setia dan berlimu tinggi.”

Tio Sun memandang dengan wajah berseri dan menjura. “Ayah banyak bercerita tentang toanio sebagai murid yang amat lihai dari mendiang Panglima The Hoo.”

“Aih, jangan menyebut aku toanio, Tio Sun. Sebut saja bibi, karena sesungguhnya kita adalah orang-orang sendiri bukan?” kata Souw Li Hwa dengan ramah sambil tersenyum dan biarpun usia nyonya ini sudah sekitar empat puluh tahun, namun dia masih nampak muda den cantik.

“Terima kasih, bibi.”

“Dan kau boleh menyebut aku paman, Tio Sun.” kata pula Yuan de Gama yang sudah pandai sekali berbahasa daerah sehingga tidak seperti orang asing, sungguhpun kebiruan matanya den kekuningan rambutnya tentu saja tidak dapat menyembunyikan keasingannya.

Suami isteri itu mengajak Tio Sun bercakap-cakap sejenak dan mereka berdua menyatakan terima kasih mereka kepada pemuda ini yang telah menolong anak-anak mereka ketika mereka dahulu sedang berlayar ke barat. Tio Sun merendahkan diri dan akhirnya menerima penawaran mereka untuk bermalam di rumah mereka selama beberapa hari dan untuk mempererat persahabatan. Kemudian, suami isteri itu meninggalkan tiga orang muda itu untuk bercakap-cakap sendiri.

Setelah ayah bundanya maninggalkan mereka, dan pelayan membawa buntalan pakaian Tio Sun ke sebuah kamar serta mengeluarkan makanan dan minuman, Kwi Eng lalu berkata, “Tio-twako, dia itu sudah tidak sabar menanti ceritamu.”

“Eh, cerita apa?” Tio Sun balas menanya.

“Jangan pura-pura, twako, lihat dia seperti ikan di darat. Lekas kauceritakan apakah kau pernah bertemu dengan enci Hong itu?” Kwi Eng berkata pula.

“Enci Hong...? Ah, tentu kaumaksudkan nona Yap In Hong itu? Hemmm, memang menarik sekali ceritanya.”

Kini Kwi Beng benar-benar tidak dapat menahan keinginan tahunya. “Kau berjumpa dengan dia, twako? Di mana? Bagaimana dengan dia? Bagaimana ceritanya?”

Tio Sun memegang tangan pemuda itu dan diam-diam dia menghela napas panjang. Jelas bahwa pemuda remaja ini yang usianya kurang lebih tujuh belas tahun, telah jatuh cinta kepada Yap In Hong!

“Bertemu sih tidak, akan tetapi nona Yap In Hong...”

“Begitukah namanya? Setahu kami hanya Hong saja...” kata pula Kwi Beng dengan girang. “Yap In Hong... sungguh tepat, namanya memang sesuai dengan orangnya yang...”

“Cantik manis!” Kwi Eng menggoda.

“Yang amat lihai,” Kwi Beng melanjutkan tanpa memperdulikan godaan saudaranya.

Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tidak tahan dia melihat gerak-gerik Kwi Eng yang serba membetot semangat dan menarik hatinya. Pandang mata yang biru itu, kerlingnya, senyumnya, gerakan bibirnya, cara dara itu menggerakkan kepala untuk menyingkapkan rambut yang selalu turun menutupi mukanya, ahhhh... sungguh sukar baginya untuk bercerita, apalagi menceritakan orang lain. Kalau boleh, dia hanya akan duduk saja memandangi dara itu yang demikian lincah, demikian jelita, demikian...

“Eh, kenapa kau bengong saja, twako?” tiba-tiba Kwi Beng menegur.

“Dan kau memandang saja padaku, ada apa sih pada wajahku? Apa ada kotorannya?” Kwi Eng sibuk mengusap hidung dan pipinya.

“Tio-twako tentu jengkel karena kau menyela terus, sih!” Kwi Beng mengomel. Bagi Kwi Beng, tentu saja amat sukar membayangkan ada orang laki-laki bisa tergila-gila kepada saudara kembarnya ini!

“Tidak apa-apa, maafkan aku...” Tio Sun menunduk dan menelan ludah menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan. “Sebetulnya... eh, banyak sekali hal-hal aneh kudengar tentang nona Yap In Hong itu. Dia benar-benar amat luar biasa, di luar dugaan dan hebat!”

“Nah, apa kataku? Dia memang wanita paling hebat di dunia ini!” kata Kwi Beng sambil memandang kepada adiknya.

“Siapa yang menyangkal?” Kwi Eng menjawab. “Akan tetapi dia terlalu hebat untukmu. Tio-twako, ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya,” kata Kwi Eng sambil menyentuh tangan pemuda tinggi kurus itu. Tersirap darah ke leher dan muka Tio Sun dan tangannya yang tersentuh itu menggigil. Dia merasa heran sendiri mengapa dia menjadi lemah seperti ini menghadapi gadis itu. Untuk menenangkan jantungnya yang bergelora, Tio Sun meneguk air teh di depannya, kemudian dia bercerita.

“Pertama-tama, dara perkasa yang kita kenal sebagai nona Hong itu bernama Yap In Hong, adik kandung dari paman Yap Kun Liong...”

“Ahhh...!” Seruan ini keluar dari dua mulut yang bentuknya sama, mulut Kwi Eng dan mulut Kwi Beng. “Tapi... tapi paman Yap Kun Liong sudah setengah tua dan nona Hong...”

“Tentu lebih tua daripada kita!” kata Kwi Eng.

“Paling banyak selisih dua tahun!” kata Kwi Beng membantah.

“Entahlah. Akan tetapi kenyataannya demikian, dia adalah adik kandung paman Yap Kun Liong dan dia memang memiliki ilmu tinggi sekali karena kabarnya dia itu adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang. Yang paling hebat adalah karena dialah yang berhasil menyelamatkan kaisar.”

“Hebat...!” seru Kwi Eng.

“Twako, bukankah kabarnya kaisar telah ditawan oleh raja liar dan kini telah kembali lagi ke kota raja?” tanya Kwi Beng.

“Benar, dan Yap In Hong itulah yang menyelamatkan kaisar, menolong kaisar lolos dari tawanan benteng Raja Sabutai.”

“Luar biasa! Dia seorang pahlawan kalau begitu!” Souw Kwi Beng berseru gembira.

“Memang hebat dia, bahkan ketua Cin-ling-pai sendiri, dengan bantuan banyak orang pandai, tidak mampu menyelamatkan kaisar yang ditawan. Akan tetapi nona Yap In Hong seorang diri menyelundup ke dalam benteng musuh, pura-pura menjadi kaki tangan Raja Sabutai, akan tetapi tahu-tahu dialah yang meloloskan kaisar dari tawanan.”

“Bukan main...! Di mana sekarang dia berada, twako?” Kwi Beng bertanya.

“Entah, saya belum mendengar lagi, akan tetapi ada berita bahwa nona Yap In Hong kini berada di kota raja.”

“Dan bagaimana kabarnya dengan... kanda Cia Bun Houw...?” tiba-tiba Kwi Eng bertanya.

“Ehm, ehm...!” Kwi Beng terbatuk-batuk, dehem buatan dan Kwi Eng melotot kepadanya.

Tio Sun merasa jantungnya tertusuk. Dahulupun dia sudah melihat bahwa dara ini tertarik kepada Bun Houw.

“Dia...? Dia bersama dengan aku membantu ayahnya ketika kami berusaha menyerbu benteng Sabutai untuk menolong kaisar, akan tetapi gagal. Kemudian, setelah kaisar dapat diselamatkan oleh nona Yap In Hong, agaknya terjadi perdamaian antara kaisar dan Raja Sabutai, dan Cia-taihiap lalu pergi menyusul nona Yap In Hong yang setelah berhasil menolong kaisar lalu kembali ke dalam banteng Raja Sabutai.”

“Aih, berbahaya sekali! Lalu apa yang terjadi?” Kwi Eng bertanya kaget mendengar betapa Bun Houw memasuki benteng Raja Sabutai.

“Kabarnya banyak yang terjadi di sana. Banyak terjadi pertempuran antara orang-orang pandai yang sengaja diadu oleh Raja Sabutai dan katanya tiga orang Bayangan Dewa telah tewas di tangan Cia-taihiap.”

“Hebat...!” Kwi Eng bersorak girang.

“Lalu bagaimana, twako? Pedang Siang-bhok-kiam tentu sudah kembali kepada Houw-koko, bukan?”

“Entahlah, aku sendiri belum sempat bertemu lagi dengan dia.”


Sayang, kami berduapun belum lama kembali dari Cin-ling-san, akan tetapi juga tidak berjumpa dengan dia,” kata Kwi Eng.

“Cin-ling-san?” Tio Sun bertanya heran.

“Ya, bersama ibu,” jawab Kwi Eng dan tiba-tiba dia menunduk dengan kedua pipi berobah merah sekali.

“Ha, dia sudah amat rindu kepada Houw-koko, Tio-twako, rindu kepada tunangannya! Ha-ha!”

“Ihhh, tak tahu malu kau!” Kwi Eng mencubit lengan saudaranya lalu lari ke dalam.

Seketika wajah Tio Sun berobah pucat. “Tunangan...?” Dia berbisik.

“Kami ke sana bersama ibu dan ibu membicarakan tentang pertunangan mereka, dan sudah disetujui. Adikku yang bengal itu beruntung sekali telah dijodohkan dengan kanda Cia Bun Houw... eh, kau kenapa, Tio-twako?” Kwi Beng bertanya kaget melihat wajah yang menjadi pucat dan mata yang dipejamkan itu.

“Ahh... ehh, tidak apa-apa...” Tio Sun membuka matanya dan meraba-raba cangkirnya, lalu diminumnya isi cangkir, akan tetapi jelas tangannya gemetar dan ketika dia mengembalikan cangkir ke atas cawan, terdengar bunyi berkeretakan karena tangan itu tidak dapat diam.

“Kau... kau pucat sekali dan gemetar... kau seperti orang sakit, twako,” Kwi Beng bertanya khawatir.

Tio Sun menggigit bibir. “Tidak apa-apa, mungkin karena lelah, Beng-te, aku permisi...” Tio Sun bangkit dari bangkunya.

“Ehhh? Ke mana?” Kwi Beng berseru kaget.

Tio Sun sadar kembali bahwa dia telah menerima undangan mereka untuk menginap di situ, maka dia menahan kakinya yang sudah hendak melangkah pergi. “Eh... mau beristirahat...”

“Kamarmu di sebelah sana, twako. Marilah kuantar, kau kelihatan pucat dan gemetar, agaknya kau sakit.”

“Agaknya begitulah, Beng-te... terima kasih...” Tanpa bicara apa-apa lagi Tio Sun lalu mengikuti Kwi Beng yang mengantarkan sampai ke kamarnya. Setelah pemuda itu meninggalkannya, Tio Sun menutup pintu kamarnya dan rebah terlentang, berkali-kali menarik napas panjang dan akhirnya dia bisa menenangkan batinnya yang terguncang hebat mendengar bahwa Kwi Eng telah bertunangan dan dijodohkan dengan Bun Houw itu.

“Ahh, engkau sungguh tak tahu diri!” Dia menghela napas dan menyesalkan diri sendiri. “Sejak dulupun sudah jelas bahwa dia tertarik kepada Cia Bun Houw, dan memang sudah sepantasnyalah demikian. Dia seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan kaya raya, sudah sepatutnya berjodoh dengan Cia Bun Houw yang lihai, putera ketua Cin-ling-pai. Sedangkan aku ini apa? Sungguh tak tahu diri!”

Penyesalan kepada dirinya sendiri dan kesadaran bahwa sudah sepatutnya kalau Kwi Eng berjodoh dengan Cia Bun Houw yang dikaguminya dan bahwa sudah semestinya kalau dia ikut girang melihat gadis yang dicintanya itu berbahagia memperoleh jodoh seorang pilihan seperti putera ketua Cin-ling-pai itu dan mengesampingkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri, meringankan beban guncangan batinnya dan ketika Kwi Eng dan Kwi Beng datang menengoknya, Tio Sun telah tenang pula.

“Kata Beng-ko engkau sakit, twako?” Kwi Eng menegurnya ketika dia menyambut kedatangan dua orang kakak beradik itu ke kamarnya.

“Ah, mungkin hanya terlalu lelah dan masuk angin.” jawab Tio Sun sambil tersenyum. “Akan tetapi setelah mengaso
sebentar di kamar yang nyaman ini sudah sembuh kembali. Terima kasih. Oh ya, aku... aku menghaturkan selamat atas pertunanganmu dengan Cia-taihiap, adik Kwi Eng!”

Tergopoh-gopoh Kwi Eng membalas pemberian selamat itu dengan kedua pipi berobah merah. “Terima kasih, Tio-twako. Kau baik sekali.”

Tio Sun yang bijaksana itu ternyata telah dapat memulihkan sikapnya dan dia bergaul seperti biasa dengan Kwi Eng dan Kwi Beng. Souw Li Hwa dan suaminya diam-diam juga merasa suka kepada pemuda yang sederhana dan rendah hati ini. Maka dia membujuk Tio Sun untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada anak-anaknya. Permintaan ini dipenuhi dengan suka hati oleh Tio Sun dan setiap hari nampak tiga orang muda itu berlatih silat di taman bunga. Dalam waktu beberapa hari saja mereka bergaul dengan akrab sekali. Dan karena maklum bahwa harapannya untuk dapat berjodoh dengan dara yang dicintanya itu lenyap sama sekali, sikap Tio Sun terhadap Kwi Eng dan Kwi Beng seperti sikap seorang kakak terhadap adik-adiknya sehingga dua orang saudara kembar itupun merasa seolah-olah Tio Sun adalah kakak mereka.

Keakraban inilah yang membuat Kwi Beng menaruh kepercayaan pada suatu hari, ketika memperoleh kesempatan berdua saja dengan Tio Sun, pemuda ini dengan muka sedih mengeluarkan isi hatinya. “Tio-twako, setelah beberapa hari bergaul denganmu, aku memperoleh keyakinan bahwa engkau seoranglah yang akan dapat menolongku, twako. Sebenarnya aku menderita sekali, menderita batin yang hebat dan selama ini hanya kusimpan dan kutahan-tahan agar jangan sampai ketahuan oleh adikku dan oleh orang tuaku. Akan tetapi kalau terus kusimpan, akhirnya aku tentu tidak tahan juga.”

Melihat wajah yang biasanya gembira itu kini kelihatan amat berduka, Tio Sun terkejut dan merasa heran. Dia memegang pundak pemuda tampan itu dan berkata sambil tersenyum, “Ah, Beng-te. Seorang pemuda dalam keadaan seperti engkau ini bagaimana bisa mengatakan menderita batin yang hebat? Engkau mesih muda, mempunyai orang tua dan saudara yang amat baik, berkepandaian cukup tinggi, hartawan dan apapun yang kaukehendaki tentu terlaksana. Mengapa masih menderita, tekanan batin?”

“Justeru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako.”

Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah hidup! Manusia, termasuk dia sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!

“Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?”

“Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong.”

Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari sendau-gurau antara Kwi Beng den Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia tersenyum. “Mengapa orang jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu, Beng-te? Kau mencinta siapapun, apa halangannya?”

Kwi Beng menarik napas panjang. “Akan tetapi, twako. Cintaku ini tidak akan dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju.”


Justeru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako.”

Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah hidup! Manusia, termasuk dia sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!

“Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?”

“Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong.”

Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari sendau-gurau antara Kwi Beng den Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia tersenyum. “Mengapa orang jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu, Beng-te? Kau mencinta siapapun, apa halangannya?”

Kwi Beng menarik napas panjang. “Akan tetapi, twako. Cintaku ini tidak akan dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju.”

Tio Sun memandang heran. “Tidak setuju? Apa maksudmu, Beng-te?”

“Ketika aku dan adikku pulang dahulu itu, kami berdua langsung menyatakan isi hati kami kepada ayah dan ibu. Dalam hal pilihan hati, ayah sama sekali memberi kebebasan. Ibu segera menyatakan persetujuannya ketika Eng-moi menyatakan cintanya kepada Cia Bun Houw, bahkan ibu lalu mengajak kami pergi ke Cin-ling-pai untuk membicarakan soal jodoh Eng-moi dan Cia Bun Houw itu sehingga berhasil diterima baik. Akan tetapi ketika aku menyatakan cintaku kepada nona Yap In Hong, ibu menolaknya!”

Tio Sun menahan senyumnya melihat pemuda itu kelihatan berduka sekali. Pemuda itu masih demikian kekanak-kanakan! Kedukaannya itu lebih merupakan sikap merajuk dan “ngambek” kepada ibunya!

“Menolak bagaimana maksudmu, Beng-te?”

“Aku minta agar ibu juga mengurus perjodohanku dengan nona Yap In Hong, akan tetapi ibu keberatan.”

“Mengapa?”

“Pertama, karena tadinya kami belum tahu siapa sebenarnya nona itu, hanya tahu sebagai penolongku yang bernama nona Hong. Dan kedua, karena ibu mendengar dari Eng-moi bahwa nona itu lebih tua kira-kira dua tahun dari aku. Akan tetapi, dalam hal cinta, apa artinya perbedaan usia? Ayah sendiri mengatakan bahwa hal itu sebenarnya bukan merupakan soal yang besar, hanya ayah setuju dengan ibu bahwa kami harus mengenal dulu siapa sebenarnya nona itu. Ketika kemarin, setelah mendengar darimu bahwa Yap In Hong adalah adik dari Yap Kun Liong, ibu lebih-lebih merasa tidak setuju lagi.”

“Hemm... mengapa pula?”

“Kata ibu, Yap Kun Liong adalah sababatnya yang sebaya. Setelah kini nona Hong tidak mempunyai orang tua, jelas bahwa kami harus melamar kepada Yap Kun Liong sebagai wali gadis itu. Dan ibu merasa malu dan sungkan kalau harus melamar adik sahabatnya itu untuk menjadi calon mantunya. Akan tetapi aku tahu bahwa keberatan itu yang terutama adalah soal perbedaan usia. Menurut ibu, seorang calon suami haruslah lebih tua daripada calon isteri.”

“Siapa yang mengharuskan, Beng-te?”

“Entahlah, akan tetapi begitulah kata ibu. Pendeknya, ibu menolak dan hatiku hancur, twako.”

Tio Sun tersenyum, senyum yang pahit. Betapa banyaknya manusia yang dipermainkan oleh cinta! Betapa banyaknya kisah duka ditimbulkan oleh cinta yang sepihak. Dia sendiri jatuh cinta kepada Kwi Eng, namun dara itu sebaliknya mencinta Bun Houw, bahkan telah terikat sebagai calon jodoh pemuda Cin-ling-pai itu. Dia menderita karena cinta sepihak. Sedangkan Kwi Beng jatuh cinta kepada gadis yang lebih tua dari padanya dan biarpun belum diketahui apakah gadis yang dicintanya itu akan menerima atau membalas cintanya ataukah tidak, namun ibunya tidak menyetujuinya! Apakah Kwi Beng juga akan menderita cinta yang gagal?

“Aku merasa ikut berduka mendengar keadaanmu, Beng-te. Akan tetapi apa maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa hanya aku yang dapat menolongmu?”

Pemuda yang usianya baru tujuh belas tahun itu memegang lengan Tio Sun dan memandang dengan matanya yang biru, penuh permohonan. “Twako, sudikah twako menolongku?”

Tio Sun merasa terharu. Mata itu sama benar dengan mata Kwi Eng dan ketika pemuda ini memegang lengannya dan mengajukan permohonan itu, seolah-olah dia menghadapi Kwi Eng sendiri yang memohon pertolongan kepadanya!

“Tentu saja, Beng-te. Jangan khawatir, aku selalu siap untuk menolongmu. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana mungkin aku dapat menolongmu?”

“Aku mohon engkau suka menjadi waliku twako! Ibu tidak mau melamarkan nona Yap In Hong, biarlah engkau yang menjadi waliku dan melamarkan untukku kepada kakak nona itu, yaitu kepada pendekar Yap Kun Liong.”

“Ahhh...?” Tio Sun terkejut sekali, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan mengajukan pormintaan seperti itu. “Mana mungkin, Beng-te? Ayah bundamu masih ada, bagaimana aku berani lancang...”

Dan tiba-tiba Kwi Beng menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun! “Kalau twako tidak mau menolongku, habislah harapanku...” katanya dengan suara seperti orang hendak menangis.

Tio Sun cepat membangunkan pemuda itu. “Duduklah, Beng-te dan mari kita bicara dengan baik dan dengan tenang.”

“Akan tetapi twako tidak mau menolongku...”


Baiklah, aku mau menolongmu, akan tetapi hanya atas dasar desakan dan permintaanmu. Kalau kelak orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku lancang...”

“Aku yang bertanggung jawab dan akan kukatakan bahwa twako melakukan itu hanya karena desakanku dan permohonan tolong dariku.”

Tio Sun merasa terdesak. “Akan tetapi, apakah itu bijaksana kalau langsung mengajukan lamaran, Beng-te? Apakah tidak lebih baik kalau lebih dulu diadakan pendekatan dari fihakmu kepada gadis itu? Sebaiknya mengukur isi hatinya lebih dulu, apakah kiranya dia akan mau menerimanya, sehingga dengan demikian tidak sampai kelak hatimu patah karena penolakan dari fihaknya.”

“Tidak, tidak! Kalau terlambat, tentu ibu akan mendahului kita, mencarikan jodoh untukku, karena Eng-moi juga sudah terikat jodoh dengan calon suaminya. Dan kalau aku sudah diikat jodoh dengan orang lain, sampai bagaimanapun tentu ibu akan menghalangi aku berjodoh dengan nona Yap In Hong. Mengingat bahwa kakak nona itu adalah sahabat baik ayah dan ibu, yaitu menurut penuturan ibu, agaknya lamaran itu tidak akan ditolaknya. Dan tentang nona Yap In Hong sendiri, kurasa diapun... eh, cinta padaku. Buktinya dia telah menyelamatkan nyawaku dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan sikapnya terhadapku baik sekali.”

“Hemm, Beng-te. Pertolongan adalah kewajiban setiap orang gagah dan sama sekali tidak boleh dimaksudkan sebagai tanda cinta, demikian pula sikap yang baik belum tentu membayangkan cinta.”

“Aku yakin bahwa kita tidak akan gagal, twako. Akan tetapi kalau kaupikir lebih dulu menemui nona itu, akupun setuju. Pendeknya, aku ingin pergi dari sini untuk mendahului ibu. Aku akan menemui nona Hong, akan tetapi untuk mengajukan lamaran kepada kakaknya, aku mengharapkan bantuanmu, twako. Dan aku minta agar twako suka menemaniku pergi besok pagi.”

“Ehh...? Tentu orang tuamu akan melarang.”

“Tidak! Aku tidak akan berterus terang. Twako bilang saja terus terang bahwa twako hendak pergi ke kota raja dan aku akan ikut untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan.”

Tio Sun menarik napas panjang. “Ahhh... engkau menarik aku dalam keadaan amat tidak enak terhadap orang tuamu, Beng-te.”

“Tidak, twako. Aku yang bertanggung jawab akan hal itu. Kalau twako berpamit dan berkata hendak pergi ke kota raja, berarti twako tidak membohongi mereka, karena bukankah nona Hong kabarnya berada di sana? Dan aku ikut pergi bersama twako, apa salahnya itu?”

Akhirnya Tio Sun tak dapat mengelak lagi karena diam-diam dia merasa kasihan juga kepada pemuda remaja ini. Pula, diapun tidak ingin terlalu lama tinggal di Yen-tai, karena makin lama dia berkumpul dengan Kwi Eng, makin beratlah penderitaan dan kekecewaan hatinya. Kalau sudah jelas bahwa nona itu bukan jodohnya, lebih baik secepat mungkin pergi dan sejauh mungkin agar tidak usah berjumpa lagi dengan dara yang dicintanya akan tetapi yang menjadi milik orang lain itu.

Ketika Tio Sun berpamit kepada Yuan de Gama dan isterinya, juga kepada Souw Kwi Eng, mereka menyatakan sayang bahwa pemuda itu tidak tinggal lebih lama lagi, akan tetapi mereka tidak berani menahan, dan mengucapkan selamat jalan. Namun, ketika Kwi Beng minta perkenan orang tuanya untuk ikut bersama Tio Sun ke kota raja untuk meluaskan pengetahuan dan orang tuanya tidak keberatan karena mereka percaya penuh atas bimbingan Tio Sun kepada putera mereka, Kwi Eng yang rewel!

“Aku juga ikut...!” katanya manja.

“Maria, engkau seorang gadis dewasa, kurang leluasa dan kurang baik untuk pergi jauh menempuh perjalanan sukar tanpa orang tuamu!” kata Yuan de Gama mencegah.

“Dan kau harus ingat bahwa engkau telah terikat sekarang, Kwi Eng. Bagaimana kalau ada utusan dari Cin-ling-pai datang dan engkau tidak berada di rumah? Alangkah akan mengecewakan dan membuat kami menjadi malu.”

Diingatkan akan hal ini, reda kekecewaan Kwi Eng dan akhirnya dua orang pemuda itu berangkat meninggalkan Yen-tai menuju ke kota raja. Tidak ada seorangpun di antara keluarga itu yang tahu betapa beratnya hati Tio Sun ketika dia melangkah pergi menjauhi dara yang dicintanya itu. Semangatnya seolah-olah tertinggal di rumah gedung itu, dan telinganya selalu mendengar suara ketawa Kwi Eng sehingga beberapa kali dia kadang-kadang tidak mendengar kata-kata Kwi Beng ketika pemuda ini bicara kepadanya.


***


Malam yang gelap. Langit hitam pekat, tidak nampak sebuahpun bintang. Padahal malam itu sebetulnya adalah giliran bintang-bintang menggantikan bulan yang tidak muncul di malam hari itu, akan tetapi awan hitam tebal memenuhi langit.

Biar di kota raja sekalipun, tempat tinggal orang-orang yang beruang dibandingkan dengan orang-orang dusun, lampu-lampu yang digantung di luar rumah tidak mampu menembus kegelapan yang tebal itu, bahkan penerangan yang dibandingkan dengan kekuatan malam gelap itu amat lemah mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan. Hanya di daerah bangunan istana sajalah, di sebelah dalam lingkungan tembok istana, keadaannya agak terang karena banyaknya lentera dan lampu besar yang dinyalakan para penjaga keamanan.

Di malam yang gelap itu, yang mengancam dengan hujan, orang-orang menjadi malas keluar, toko-toko dan restoran-restoran sepi sehingga mereka itu menutup dagangan mereka sebelum waktunya. Hanya mereka yang mempunyai keperluan penting sekali, dan laki-laki iseng yang tak betah di rumah dan keluar untuk mencari hiburan, kaum penjudi, kaum pemabok dan kaum hidung belang saja yang malam itu masih nampak berkeliaran d luar rumah-rumah yang sudah menutupkan daun pintu dan jendelanya

Seorang laki-laki setengah tua yang mabok jalan sempoyongan di atas jalan raya, digandeng oleh seorang laki-laki muda yang setengah mabok dengan susah payah karena si penggandeng itu sendiri pun tidak tetap langkahnya. Keduanya bernyanyi-nyanyi gembira dan memang orang yang mabok dapat merasakan kegembiraan yang luar biasa, karena dalam keadaan terbius oleh minuman keras itu segala macam keruwetan hidup lenyap atau terlupa oleh pikiran sehingga pikiran menjadi kosong, bebas dan karenanya dapat melihat segala sesuatu tanpa penolakan dan menimbulkan kegembiraan

“Heeeee, manusia-manusia terbang...! Ha-ha, manusia-manusia terbang...!” Tiba-tiba yang mabok sekali itu berkata sambil menuding ke atas genteng-genteng rumah di sepanjang jalan raya itu.

“Manusia terbang... heh-heh, ya benar... manusia terbang...” sambung yang setengah mabok.

Orang-orang di dekat mereka memandang sambil tersenyum. Kata-kata orang mabok, pikir mereka tak acuh. Akan tetapi ada sebagian di antara mereka yang mempercepat langkahnya agar dapat segera tiba di rumah yang aman. Mereka merasa ngeri karena bukankah orang mabok itu kadang-kadang dapat melihat lebih awas daripada orang yang sadar dan tidak mabok? Siapa tahu mereka benar-benar melihat manusia terbang yang berarti bahwa mereka itu melihat setan dan iblis berkeliaran di malam gelap itu?

Dan bukan tidak mungkin karena malam itu memang menyeramkan, bahkan setiap bayang-bayang yang dipantulkan oleh pohon-pohon dan rumah-rumah tersinar penerangan pucat membentuk iblis-iblis mengerikan.

Akan tetapi kalau kebetulan di atas genteng-genteng rumah itu terdapat seorang berkepandaian tinggi yang berpandangan tajam, tentu dia akan menyaksikan keanehan dan bahwa teriakan orang mabok tadi bukanlah penglihatan khayal belaka karena sesungguhnya memang terdapat dua bayangan manusia yang seolah-olah terbang saja di atas genteng-genteng rumah itu. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga seperti dua ekor kucing berlari-larian dia atas genteng-genteng itu, tanpa menimbulkan suara dan mereka menuju ke arah istana!

Ketika dua bayangan yang benar-benar memiliki kegesitan dan keringanan tubuh luar biasa itu tiba di luar tembok istana, mereka mendekam dan menanti dengan penuh kewaspadaan. Sudah tentu saja banyak terdapat penjaga dan peronda di luar tembok istana itu. Pintu gerbang istana sudah ditutup rapat-rapat dan dijaga oleh belasan orang pengawal luar. Di atas menara di ujung tembok juga terdapat pengawal yang mengawasi ke arah sekeliling tempat itu. Kemudian secara bergiliran masih diadakan perondaan, dan sekali meronda terdiri dari enam orang bersenjata tombak dan memegang lentera yang terang.

Bayangan yang berpakaian putih dan mukanya hitam, tubuhnya kecil dan agak pendek, memberi isyarat kepada kawannya yang berpakaian hitam dan bermuka putih, menudingkan telunjuk tangannya yang kecil ke arah menara. Si muka putih mengangguk, dan diapun menunjuk ke arah enam orang peronda yang datang dari depan. Keduanya mengangguk. Agaknya tanpa kata-kata mereka sudah saling mengerti dan kini si muka hitam merunduk ke depan, setengah merangkak seperti seekor harimau mengintai korban mendekati menara. Setelah dekat, dia memandang ke atas, ke arah dua orang penjaga yang berdiri di menara, hanya kelihatan tubuh bagian atas, dari dada sampai ke pundak dan tangan mereka memegang sebatang busur sedangkan segebung anak panah tersandang di pundak. Mereka berdua adalah ahli-ahli panah yang dapat menyerang setiap orang pengacau dari atas dengan anak panah mereka.

Sementara itu, si muka putih menggunakan kedua tangannya, mengangkat sebuah batu besar, sebesar perut kerbau hamil. Seperti dikomando saja, pada saat si muka hitam menggerakkan tangannya dan sinar mengkilat menyambar ke arah menara, si muka putih melontarkan batu besar itu jauh ke depan, ke arah yang berlawanan dengan menara. Terdengar suara pekik dua orang penjaga di menara yang roboh di tempat penjaga mereka dengan leher tertusuk pisau hitam! Akan tetapi pekik ini tertutup oleh suara berdebuk yang amat keras dibarengi suara berkerosakan ketika sebongkah batu besar itu menimpa pohon, menumbangkan batang pohon dan jatuh berdebuk ke atas tanah. Enam orang peronda itu terkejut sekali dan cepat memburu ke depan, sama sekali tidak mendengar pekik dua orang penjaga di menara, juga sama sekali tidak tahu bahwa begitu mereka lari ke arah pohon tumbang, ada dua bayangan melesat ke atas tembok istana dengan keringanan tubuh yang luar biasa dan sekejap mata saja bayangan dua orang itu lenyap ke sebelah dalam tembok istana!

Kalau orang melihat ke atas menara penjaga dan melihat betapa dua orang penjaga itu tewas dengan muka mereka menjadi hitam mengerikan, maka dia akan tahu bahwa dua orang luar biasa itu benar-benar memiliki kepandaian yang mengerikan dan bahwa pisau yang menghunjam ke leher dua orang penjaga itu adalah pisau-pisau beracun yang keji.

“Kenapa tidak diambil dulu dua hui-to (golok terbang) itu?” si muka pucat berbisik ketika kedua orang itu menyelinap ke dalam taman istana, bersembunyi di balik semak-semak.

“Nanti saja kembalinya, biar kenyang dulu menghirup darah segar, hi-hik!” bayangan kedua yang bermuka hitam terkekeh. “Pula, masih ada belasan batang lagi padaku, cukup untuk menghadapi pengawal-pengawal istana.”

“Jangan banyak main gila, Mo-li. Kedatangan kita hanya untuk membunuh Ceng Tung dan secepat mungkin kita harus pergi dari sini.”

“Baik, Mo-ko. Memang kaisar jahanam itu harus kita bunuh, hanya sayang kalau kita tidak dapat mengambil satu dua buah pusaka kerajaan yang hebat.”

Keduanya mendekam dan menahan napas ketika berkelebat bayangan orang yang cukup gesit gerakannya. Bayangan ini adalah bayangan seorang pengawal Kim-i-wi, yaitu Pengawal Baju Emas yang merupakan pengawal-pengawal bayangan, atau yang melakukan tugas penjagaan keemasam secara rahasia dan mereka ini memang terdiri dari orang-orang yang berilmu dan pandai ilmu silat.

Siapakah adanya dua orang yang begitu berani mati memasuki daerah istana dengan jalan membunuh penjaga menara dan meloncat ke tembok pagar istana secara demikian lihainya? Melihat orang yang bermuka putih seperti kapur itu berpakaian hitam, sebaliknya yang bermuka hitam seperti arang itu berpakaian putih, sungguh amat menyeramkan dan seperti bukan manusia saja!


Dan memang sesungguhnyalah. Mereka itu setengah manusia setengah iblis! Mereka ini bukan lain adalah Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Berdarah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Seperti telah dituturkan di bagian depan, Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam itu adalah dua orang tokoh lihai yang datang dari Negeri Sailan. Ketika dahulu Panglima Besar The Hoo memimpin bala tentara menjelajah ke pelbagai negeri tetangga, di Sailan Panglima The Hoo yang sakti pernah berhadapan dan bertanding melawan dua orang jagoan Sailan ini. Pukulan-pukulan beracun dari mereka berdua, ketika bertemu dengan The Hoo, tidak ada gunanya bahkan membalik dan meracuni diri mereka sendiri, membuat mereka nyaris tewas dan biarpun mereka akhirnya tertolong, namun muka mereka yang tadinya normal kini berobah seperti iblis, yaitu yang laki-laki mukanya menjadi seperti kapur sedangkan yang wanita mukanya menjadi seperti arang. Hal ini adalah karena racun yang mereka pergunakan melawan The Hoo, hawanya membalik den meracuni diri mereka sendiri.

Dengan dendam yang meluap-luap di dalam hati, dua orang ini memperdalam ilmu mereka sambil bertapa di puncak-puncak pegunungan utara. Kemudian, setelah merasa bahwa mereka sanggup menandingi The Hoo, keduanya turun gunung dan karena maklum bahwa The Hoo adalah seorang panglima besar yang selain memiliki kepandaian tinggi juga terlindung oleh pasukan yang puluhan laksa jumlahnya, maka mereka mendekati dan mengangkat murid kepada Raja Sabutai. Mereka menurunkan ilmu kepada Raja Sabutai den mengharapkan bahwa melalui bala tentara Sabutai, mereka akan dapat menyerbu ke selatan, kalau mungkin menduduki Kerajaan Beng-tiauw dan dengan demikian mereka akan dapat berhadapan dengan The Hoo tanpa bahaya dikeroyok puluhan laksa perajurit Kerajaan Beng!

Karena harapan-harapan inilah maka mereka bersabar saja menyaksikan semua gerak-gerik dan usaha murid mereka, bahkan merekapun tidak ambil perduli melihat isteri Sabutai oleh murid mereka itu “diserahkan” kepada Kaisar Ceng Tung hanya karena Sabutai menghendaki seorang anak keturunan dari kaisar itu, karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan! Sebetulnya, hal ini amat menyakitkan hati dua orang itu, namun karena mereka mempunyai dendam dan rencana yang lebih basar, maka mereka juga tidak menegur murid mereka.

Akan tetapi, ketika Sabutai merobah siasat dan agaknya mau berdamai dengan kaisar, bahkan hendak menarik mundur tentaranya yang tadinya sudah berhasil maju sampai ke pintu gerbang kota raja, hati dua orang kakek den nenek itu kecewa bukan main. Maka mereka lalu hendak berusaha sendiri untuk membalas dendam. Mereka kini sudah mendengar bahwa musuh besar mereka, The Hoo, telah meninggal dunia. Maka mereka hendak menumpahkan dendam mereka kepada para pembantu dan para sahabat The Hoo dan satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Karena itulah maka mereka menahan Siang-bhok-kiam dengan maksud memancing Cia Keng Hong datang ke tempat mereka untuk dibunuh sebagai wakil The Hoo!

Kalau di waktu Sabutai mengadu kepandaian para tokoh yang bermusuhan kedua orang ini tidak turun tangan membunuh Cia Bun Houw dan Yap In Hong adalah karena mereka masih segan terhadap murid mereka sendiri yang tentu saja dibantu oleh ribuan orang pasukan, pula mereka tidak ingin bermusuhan dengan murid mereka sendiri. Selain itu, melihat pukulan Thian-te Sin-ciang yang dilakukan oleh Bun Houw, kemudian mereka melihat pula pukulan sakti itu pula dipergunakan oleh In Hong biarpun belum sempurna, mereka berdua agak jerih. Bukan jerih menghadapi orang-orang muda itu, melainkan jerih kalau-kalau pendeta Kok Beng Lama juga akan muncul! Padahal, mereka sedang melatih diri dan belum selesai dengan latihan itu, latihan kekebalan yang akan sanggup menghadapi Thian-te Sin-ciang atau pukulan apapun juga!

Setelah Sabutai mengundurkan diri, merekapun meninggalkan murid itu dan membawa Siang-bhok-kiam menuju ke Lembah Naga di tepi Sungai Luan-ho yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, di luar tembok besar. Di sini mereka melanjutkan latihan mereka dengan tekun sampai akhirnya mereka berhasil dengan ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu kekebalan yang amat luar biasa, yang hanya mampu dikuasai oleh orang-orang yang darahnya beracun seperti mereka! Setelah menguasai ilmu ini, barulah mereka menjadi berani dan untuk melampiaskan dendam mereka tanpa mengharapkan bantuan pasukan Sabutai yang telah berbaik dengan Kerajaan Beng, mereka mencari gara-gara dan hendak membikin kacau Kerajaan Beng dengan membunuh Kaisar Ceng Tung! Pertama-tama mereka hendak lakukan ini untuk menghukum kaisar yang mereka anggap telah merendahkan dan menghina murid mereka dengan menjinai isterinya, dan kedua untuk memancing agar para Panglima Beng-tiauw mencari mereka untuk mereka bunuh semua. Demikianlah rencana pembalasan mereka terhadap Panglima The Hoo yang sudah tidak ada lagi itu.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih mendekam di balik semak-semak untuk meneliti keadaan. Beberapa kali mereka melihat berkelebatan pengawal Kim-i-wi dan setiap kali mereka ini meronda lewat di taman itu, paling banyak mereka hanya berdua, bahkan kadang-kadang hanya seorang saja. Di samping mereka, ada pula pengawal-pengawal biasa yang meronda bergerombol enam orang membawa lentera dan kentongan.

Mereka berunding sebentar setelah menghitung jarak waktu antara perondaan para pengawal Kim-i-wi. Mereka bersiap-siap, berindap-indap mendekati lorong kecil yang selalu dipakai oleh pengawal-pengawal Kim-i-wi yang meronda. Tak lama kemudian, tepat pada waktu seperti yang mereka perhitungkan, berkelebat dua bayangan pengawal Kim-i-wi dan dua orang kakek dan nenek itupun menerkam dari balik semak-semak pohon kembang. Dua orang Kim-i-wi terkejut sekali, berusaha mengelak dan menangkis, namun bagi kakek dan nenek itu, gerakan mereka terlampau lamban dan jari-jari tangan kakek dan nenek iblis itu telah menusuk masuk ke dalam leher dua orang Kim-i-wi itu sehingga mereka itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Mayat mereka lalu dilempar ke dalam semak-semak dan dua orang kakek dan nenek itu cepat berlari meninggalkan taman menuju ke bangunan-bangunan istana, tidak berani meloncat naik melainkan mendekam di dalam bayangan gelap menanti kesempatan selanjutnya.

Sementara itu, di dalam kamarnya, In Hong masih duduk membaca buku. Setelah berada di dalam istana, dia memperoleh kesempatan banyak untuk membaca, karena di situ tersedia banyak sekali buku-buku kuno yang amat menarik hatinya. Dia dahulu diajar membaca oleh gurunya dan hanya sedikit memperoleh kesempatan membaca, dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan, dan karena dia leluasa dan boleh keluar masuk di seluruh bagian istana, maka dia dapat pula memasuki gedung perpustakaan untuk memilih buku yang disukainya.




Karena dia memang kurang pekerjaan selama tinggal di istana, maka dia banyak membaca dan mulailah terbuka hati dan pikiran In Hong betapa selama ikut dengan gurunya dia telah hidup secara liar dan betapa ganasnya watak gurunya dan para anak buah Giok-hong-pang. Banyak hal-hal di dalam kitab-kitab yang ditemukan dan yang menyadarkan pikirannya, membuat dia sering kali termenung dan mulailah dia merasa menyesal akan pengaruh-pengaruh yang ditanamkan gurunya ke dalam dirinya sehingga dia dahulu membenci dan menjauhkan diri dari kakaknya. Sekarang dia melihat betapa kakaknya telah mengalami derita kehidupan yang hebat, selain kematian isterinya yang tercinta, kehilangan puterinya, juga adik kandung yang dicari-carinya itu setelah bertemu bersikap jauh daripada manis kepadanya. Dia merasa girang bahwa dalam pertemuan terakhir dengan kakaknya itu dia telah memperlihatkan sikap manis.

Tiba-tiba terdengar kentongan dipukul bertalu-talu, tanda bahwa ada bahaya mengancam di istana! Tanda bahaya ini dibunyikan oleh para penjaga dan pasukan Kim-i-wi yang menemukan mayat-mayat di atas menara penjaga dan di dalam taman. Gegerlah seluruh istana!

Mendengar tanda bahaya ini, In Hong melempar buku yang dibacanya ke atas meja, sekali tangannya bergerak dia memadamkan lampu-lampu dan lilin-lilin penerangan di kamarnya kemudian dia meloncat keluar melalui jendela dan langsung menuju ke istana di mana terdapat kamar kaisar! Yang lain-lain dia tidak perduli, akan tetapi keselamatan kaisa harus dijaganya. Karena itulah dia berada di istana, dan dia diangkat menjad Puteri Pelindung Kaisar! Dengan gerakan seperti seekor burung walet cepat dan ringannya, In Hong berloncatan dan tidak memperdulikan para anggauta pasukan Kim-i-wi yang berebutan dengan panik. Dia langsung berlari ke arah kamar kaisar. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat mayat-mayat berserakan di depan kamar kaisar, mayat mayat para pengawal Kim-i-wi yang bertugas jaga di sekitar tempat itu, bahkan kini dia mendengar suara orang bertempur di depan kamar itu! Karena tempat itu agak gelap, dia hanya melihat dua bayangan dikeroyok oleh lima orang Kim-i-wi, maka karena dia khawatir akan keselamatan kaisar, In Hong cepat melompat dan sambil melompat dia mendorong jendela kamar. Pada saat itu, dia mendengar pekik beruntun dan lima orang Kim-i-wi itu roboh semua sedangkan dua bayangan itu telah menerjang pintu kamar kaisar!

“Sing-sing-singgg...!” Tampak sinar-sinar berkelebatan ke arah kaisar yang duduk dengan tenang di atas pembaringan. Melihat ini, In Hong cepat menubruk ke depan, kedua tangannya bergerak dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan tiga batang pisau terbang runtuh ke atas lantai, patah-patah!

“Sri baginda, cepat lari...!” In Hong berseru kaget ketika mengenal bahwa yang masuk melalui pintu kamar yang sudah terbongkar itu bukan lain adalah dua orang kakek dan nenek guru Sabutai, yaitu Pek-hiat Mo-ko den Hek-hiat Mo-li yang dia tahu amat lihai itu. Maka dia cepat menghadang di tengah kamar dan berteriak agar kaisar melarikan diri.

“Heh-he-he, kiranya engkau adalah bocah Yap itu. Jangan kira aku takut menghadapi pukulanmu itu!” Hek-hiat Mo-li terkekeh dan menubruk ke depan, kukunya yang panjang mencengkeram ke arah dada In Hong. Cengkeraman ini cepat dan kuat sekali, dan jelas bahwa kuku-kuku panjang itu mengandung racun yang berbahaya. Akan tetapi In Hong yang mengkhawatirkan keselamatan kaisar, tidak melayani nenek ini melainkan cepat dia meloncat ke arah kaisar yang telah ditubruk oleh kakek muka putih itu dengan pukulan dahsyat, sedangkan kaisar hanya diam saja seolah-olah menanti datangnya maut!

“Desss...!” Tubuh In Hong terlempar ketika dia menangkis pukulan dahsyat itu, akan tetapi si kakek muka putih juga terjengkang.

“Sri baginda, cepat lari...!” In Hong berseru lagi. Akan tetapi kaisar yang duduk di atas pembaringan itu tidak bergerak, enak-enak saja sehingga In Hong makin bingung dan cepat dia meloncat ke depan kaisar dan menangkis hantaman Hek-hiat Mo-li.

“Dukkkk!” Kembali tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan tubuh nenek itupun roboh bergulingan. Ternyata bahwa kalam melawan kakek itu tenaga In Hong kalah kuat setingkat, akan tetapi melawan nenek itu tenaga mereka seimbang! Hanya kagetnya, agaknya dua orang kakek den nenek itu tidak terpengaruh oleh tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang telah dilatihnya dengan hebat selama ini! Agaknya mereka memiliki kekebalan terhadap hawa pukulan sakti itu.

Selagi In Hong meloncat bangun, dia telah diserang oleh kakek muka putih dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Terpaksa dia mengelak ke sana-sini dan kadang-kadang menangkis, akan tetapi kini kaisar tidak terlindung sama sekali.

“Lari...! Lari...!” teriaknya, akan tetapi kaisar itu tetap saja duduk dan nenek muka hitam sudah menghantamkan tangan kirinya yang ampuh ke arah kepala kaisar.

“Celaka...!” In Hong berteriak ngeri.

“Krakkk!!” Kepala kaisar itu pecah berantakan dan dari dalam kepalanya menyambar belasan jarum dan paku-paku ke arah pemukulnya, si nenek itu.

“Aihhhh...!” Nenek itu terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja sebatang jarum memasuki mata kirinya membuat dia menjerit-jerit kesakitan dan marah sekali! Kiranya “kaisar” itu hanya sebuah patung mirip kaisar yang duduk di pembaringan dan di dalam kepalanya terkandung senjata-senjata rahasia itu! Sesungguhnya robot macam itu adalah hasil ciptaan mendiang Panglima The Hoo dan sejak dulu setiap orang kaisar memilikinya beberapa buah untuk menyelamatkan diri. Tadi, begitu mendengar suara ribut-ribut dan tanda bahaya, kaisar sudah menyelinap dan menyembunyikan diri di kamar rahasia, meninggalkan robot itu di kamarnya dan sekarang, robot ciptaan mendiang Panglima The Hoo itu masih mampu melukai seorang nenek selihai Hek-hiat Mo-li. Biarpun orangnya sudah meninggal dunia, namun ciptaannya masih sedemikian hebatnya, maka dapat dibayangkan betapa tinggiliya tingkat kepandaian panglima yang disohorkan orang seperti dewa saktinya itu!


“Para panglima, hayo bantu Puteri Pelindung Kaisar!” Terdengar suara kaisar, dan kakek bersama nenek itu bingung karena suara ini terdengar dari mana-mana, dari atas bawah depan belakang dan kanan kiri dan mereka mengenal suara kaisar ini!

In Hong girang bukan main melihat bahwa yang dipukul hancur kepalanya itu hanya sebuah arca, maka sambil tersenyum dia berkata, “Kakek nenek iblis, kalian telah gagal!”

Bukan main marahnya nenek Hek-hiat Mo-li. Matanya yang kiri masih terasa nyeri bukan main biarpun dia telah mencabut jarumnya dan mata itu tentu buta. “Keparat jahanam, engkau yang menggagalkan kami!”

“Dia Puteri Pelindung Kaisar? Hemm, kita tangkap saja dia!” Pek-hiat Mo-ko berseru marah dan nenek itu sudah mendahului menubruk ke arah In Hong.

“Dessss!” In Hong menyambutnya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang dan biarpun nenek itu menangkisnya, namun pukulan itu tepat mengenai pundak nenek itu. Nenek itu terpelanting roboh akan tetapi meloncat bangkit kembali.

In Hong terbelalak, hampir tidak percaya. Pukulannya tadi hebat sekali dan biarpun dia sendiri mengenal ilmu kekebalan yang bernama Tiat-po-san (Baju Besi), namun ilmu kekebalannya pasti tidak akan mampu menghadapi pukulan yang dilakukan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang. Akan tetapi nenek ini yang terkena pukulan pada pundaknya, seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan sudah mencelat bangun kembali. Maklumlah dia bahwa nenek ini memiliki kekebalan luar biasa dan andaikata tadi jarum dari dalam kepala area itu tidak tepat memasuki mata, agaknya juga tidak akan melukai nenek itu.

“Heh-heh-heh, itukah pukulan dari si Lama keparat? Kami tidak takut, heh-heh!” nenek itu tertawa dan Pek-hiat Mo-ko kini menubruk untuk menangkap In Hong.

Tentu saja In Hong tidak sudi ditangkap dan ketika kakek itu menubruk, dia cepat mengerahkan seluruh tenaganya dan menghantamkan kedua tangannya beruntun ke arah dada dan lambung kakek itu.

“Dukk! Desss!” Pukulan Thian-te Sin-ciang menggetarkan kamar itu dan tepat mengenai dada dan lambung, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menangkisnya, malah cepat menangkap dua pergelangan tangan In Hong yang tak sempat mengelak karena kedua lengannya ditangkap pada saat sedang memukul tadi.

“Plakkk!” Sebelum In Hong sempat melepaskan kedua lengannya, tengkuknya disambar oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li dan seketika tubuhnya menjadi lemas tak mampu bergerak.

Pada saat itu, belasan orang perwira dan panglima Kim-i-wi berserabutan masuk dari pintu dan jendela.

“Mo-ko, kaupondong dia!” teriak Hek-hiat Mo-li sambil melemparkan tubuh In Hong kepada kawannya, Pek-hiat Mo-ko menerima tubuh yang lemas itu dan memanggulnya, kemudian dia bersama kawannya menerjang ke depan, ke arah para perwira Kim-i-wi yang mengepung dengan pedang di tangan.

“Awas, jangan sampai mengenai tubuh Puteri Pelindung Kaisar!” teriak seorang panglima dan hal ini benar-benar merupakan rintangan hebat bagi para perwira dan panglima itu. Dua orang kakek dan nenek itu gerakannya dahsyat sekali dan begitu mereka menerjang, terdengar pedang berkerontangan dan terlempar ke kanan kiri disusul robohnya empat orang perwira yang tewas seketika terkena pukulan-pukulan beracun! Kakek dan nenek itu cepat melompat ke atas genteng.

“Kejar...!” Para perwira itu berloncatan naik dan terjadilah kejar-mengejar di atas genteng bangunan-bangunan istana yang amat luas itu. Namun gerakan kakek dan nenek itu memang hebat sekali, gin-kang mereka jauh lebih sempurna daripada para perwira Kim-i-wi sehingga mereka cepat menghilang ke arah tembok istana.

“Jangan lepas senjata rahasia atau anak panah! Jangan! Yap-lihiap dipondongnya, jangan sampai terkena dia sendiri!”

“Jangan lukai Puteri Pelindung Kaisar!”

Karena teriakan-teriakan ini, maka para penjaga yang sudah siap dengan barisan anak panahpun tidak berani menggunakan anak panah dan hanya para panglima yang berkepandaian tinggi saja menyambitkan senjata-senjata rahasia mereka ke arah kaki kedua orang itu, namun dengan mudah kakek dan nenek itu mengelak atau menendangi senjata-senjata rahasia yang menyambar kaki mereka bahkan ada pula yang mengenai kaki mereka akan tetapi agaknya tidak mereka rasakan sama sekali!

Melihat bahwa In Hong ternyata merupakan orang penting, Pek-hiat Mo-ko menjadi girang sekali dan dengan enaknya dia memegang kedua kaki In Hong dan memutar-mutar tubuh dara itu ketika dia dan temannya keluar dari tembok istana dan tidak ada seorangpun pengawal yang berani menyerang mereka!

Dengan “perisai” hidup istimewa ini, akhirnya kakek dan nenek itu menghilang ditelan kegelapan malam dan dapat lolos
dari kota raja dengan amat mudahnya. Yang terdengar hanya suara rintihan dan keluhan nenek yang mata kirinya buta itu, akan tetapi suara inipun segera menghilang dan para pengawal sibuk mencari dan mengejar ke sana ke mari tanpa tujuan tertentu karena bayangan dua orang itu telah lenyap. Peristiwa itu menggegerkan istana dan ketika kaisar mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek itu, dia marah sekali dan memerintahkan kepada kepala pasukan peng awal Kim-i-wi yang bernama Lee Cin untuk mengerahkan tenaga pengawal dan mencari dara itu sampai dapat!

Kakek dan nenek itu adalah guru-guru Sabutai!” antara lain kaisar yang marah itu berkata. “Kami akan mengirim surat kepada Sabutai dan menegurnya. Kalau dia yang menyuruh kakek dan nenek itu menyerbu ke sini, akan kami gempur dia!”

Peristiwa itu benar-benar mengejutkan dan menggegerkan istana. Bagaimana dua orang saja, seorang kakek dan seorang nenek yang seperti iblis, dapat memasuki istana dan membunuh sepuluh orang penjaga dan dua belas orang pengawal Kim-i-wi, memasuki kamar kaisar dan nyaris membunuh kaisar, bahkan menculik Puteri Pelindung Kaisar yang mereka kenal sebagai seorang dara yang amat lihai? Sungguh mengejutkan sekali dan selain Panglima Kim-i-wi Lee Cin yang berusaha mati-matian untuk mencari jejak dua orang kakek dan nenek itu, juga mulai saat itu penjapan di istana diperketat, bahkan didatangkan bala bantuan barisan dari luar kota raja untuk menjaga keamanan di kota raja!


***


Mereka berempat duduk menghadapi meja di luar kamar tahanan itu dan beberapa kali mereka sambil makan minum memandang ke arah tubuh In Hong yang menggeletak tak sadarkan diri di atas lantai kamar tahanan. Kamar tahanan itu berukuran tiga kali tiga meter, seluruhnya terbuat dari dinding baja yang amat kuat dan pintunya juga terbuat dari baja tebal dan kokoh, hanya ada jeruji besi sebagai jalan hawa dan jendela yang lebarnya tak mungkin dipakai meloloskan diri andaikata jeruji-jeruji itu dapat dipatahkan-patahkan sekalipun. Seekor gajahpun tak mungkin dapat membobol keluar jika dimasukkan dalam kamar tahanan ini.

“Mo-ko, kenapa kalian berdua dengan Mo-li bersusah payah membawa dara ini ke sini dan menahannya? Mengapa tidak dibunuh saja bocah yang amat berbahaya itu?” Hek I Siankouw bertanya dengan nada tidak puas karena sesungguhnya nenek berpakaian serba hitam ini amat membenci In Hong yang telah menewaskan sahabat dan kekasihnya, yaitu Hwa Hwa Cinjin.

Pek-hiat Mo-ko tertawa. “Banyak sekali sebab-sebabnya mengapa kami belum membunuh dia, Siankouw. Coba kami ingin menguji kecerdikan Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu, apakah kalian berdua mengerti dan dapat menebak apa sebab-sebab itu?”

“Karena dia telah menggagalkan kalian membunuh kaisar maka kalian hendak menyiksanya dulu sebelum membunuhnya!” jawab Hek I Siankouw.

“Ha-ha, itu hanya satu di antara sebab-sebab yang kecil saja,” kini Hek-hiat Mo-li yang berkata.

Bouw Thaisu berpikir sejenak, kemudian berkata dengan suaranya yang tenang, “Kalian hendak memancing datangnya para pembesar Beng-tiauw dengan umpan dara ini di sini.”

“Bagus! Memang benar sekali. Masih ada lain-lain lagi!” kata Pek-hiat Mo-ko.

“Aha, setan tua,” Hek I Siankouw berkata, “Tentu kau hendak menjadikan dia semacam sandera agar kau dapat menguasai ketua Cin-ling-pai dan yang lain-lain kalau mereka muncul.”

“Hemm, kami tidak takut menghadapi mereka, tanpa sanderapun! Akan tetapi pikiranmu itu bagus juga, Siankouw, dan mungkin sekali boleh dipergunakan kalau perlu.” Hek-hiat Mo-ko teringat betapa ketika dia dan Mo-li meloloskan diri dari istana, kiranya tidaklah akan demikian mudah kalau saja mereka tidak “dilindungi” oleh keselamatan In Hong. Andaikata mereka tidak membawa lari gadis itu, agaknya belum tentu mereka akan dapat meloloskan diri dari istana yang dijaga ketat itu. “Akan tetapi itu semua bukan sebab-sebab yang mutlak.”

“Pinto (aku) mengerti sekarang,” tiba-tiba Bouw Thaisu berkata setelah berpikir sejenak. “Kalian sudah tahu bahwa nona ini adalah murid ketua Giok-hong-pang, dan melihat kelihaian nyonya itu, tak dapat disangsikan lagi bahwa dialah yang dahulu berhasil memperoleh pusaka bokor emas yang diperebutkan itu. Maka sekarang kalian tentu hendak memaksanya mengaku untuk mendapatkan pusaka itu!”

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li saling pandang, agaknya terkejut dan kagum mendengar tebakan yang memang tepat itu. Kemudian Pek-hiat Mo-ko tertawa dan menggerak-gerakkan tangannya.

“Ha-ha-ha, memang pantaslah kalau Bouw Thaisu menjadi seorang tokoh tersembunyi di timur yang amat sakti! Kiranya selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kecerdasan istimewa. Akan tetapi, apakah kalian berdua tahu apa hubungan kami dengan bokor emas itu? Apakah kalian yang mungkin dahulu ikut pula mencari bokor emas tahu akan riwayat bokor emas itu?”

Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw terus terang mengatakan tidak tahu dan memang sejak pusaka itu diperebutkan orang belasan tahun yang lalu sehingga menggegerkan dunia kang-ouw, tidak ada orang tahu dari mana asal mulanya pusaka itu. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa Panglima The Hoo kehilangan pusaka bokor emas yang katanya mengandung harta kekayaan dan ilmu-ilmu silat yang tinggi.

“Ketahuilah bahwa bokor emas itu sesungguhnya adalah milik kami!”

Keterangan ini mengejutkan hati Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, juga Yap In Hong yang telah siuman itu ikut mendengarkan sejak tadi dan menjadi kaget dan heran. Dia diam-diam saja masih rebah terlentang di atas lantai akan tetapi dia ikut mendengarkan dengan penuh perhatian karena biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah pewaris ilmu-ilmu dari bokor emas itu, namun diapun tidak pernah mendengar akan riwayat bokor emas itu, bahkan mungkin gurunya sendiripun tidak mengetahui, karena pernah beberapa kali gurunya menyebut-nyebut bokor emas itu sebagai milik Panglima The Hoo yang hilang dan diperebutkan dan akhirnya berkat kecerdikan gurunya, bokor itu terjatuh ke tangan gurunya.

Milik kalian?” Bouw Thaisu yang menjadi terkejut memandang tajam, penuh kesangsian. Di seluruh dunia kang-ouw telah terkenal bahwa bokor itu milik Panglima The Hoo, kenapa kini diaku oleh dua orang tokoh yang merupakan orang-orang asing dari Sailan ini? “Akan tetapi semua orang mengira bahwa pusaka itu milik mendiang Panglima The Hoo yang dilarikan oleh anak buahnya dan kemudian lenyap lalu diperebutkan!”

“Benar, akan tetapi tentu engkau belum tahu dari mana The Hoo mendapatkan pusaka itu, bukan? Dia merampasnya dari kami!”

“Manusia pengecut dan pembohong besar!” Tiba-tiba In Hong tak dapat menahan kemarahannya mendengar ucapan itu. “Kalian berdua selain pengecut, juga pembohong! Kalau benar pusaka itu milik kalian, tentu semua isinya yang menjadi rahasia berada di Sailan, bukan di daratan sini!”

Mendengar ucapan In Hong yang sudah duduk itu, Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw membenarkan. “Memang demikian, Mo-ko!” kata Bouw Thaisu.

“Ha-ha-ha, kau sudah sadar kembali? Wah, Mo-li, engkau menang. Ternyata racunku itu hanya bertahan membikin dia pingsan tidak lebih dari sepuluh hari! Eh, Yap In Hong, kau juga ingin mendengarkan tentang bokor emas itu yang terjatuh ke tangan mendiang gurumu? Nah, dengarkan sebelum engkau menyerahkan kembali pusaka itu kepada kami yang berhak memilikinya.”

Pek-hiat Mo-ko lalu bercerita. Dua orang ini pada puluhan tahun yang lalu telah menjadi sepasang jagoan di Sailan yang tidak ada tandingannya. Selain ilmu-ilmu mereka yang tinggi, juga mereka dipercaya oleh Raja Sailan sehingga mereka memiliki kekuasaan yang besar.

Karena kekuasaan inilah maka mereka berdua dapat menguasai sebuah bokor emas yang tadinya merupakan pusaka dari gudang pusaka Raja Sailan. Bokor emas ini dahulu, ratusan tahun yang lalu, ditinggalkan oleh seorang pendeta atau hwesio sakti yang ikut dalam rombongan ekspedisi yang dikirim oleh Kaisar Kerajaan Goan-tiauw, yaitu Kerajaan Mongol yang pada waktu itu menguasai Tiongkok, bahkan yang telah menaklukkan Sailan den semua negara di selatan dan barat. Ketika hendak mengikuti rombongan ekspedisi sebagai utusan kaisar itu, hwesio sakti ini meninggalkan harta pusaka dan kitab-kitab ilmu silat miliknya, disembunyikan di suatu tempat dan ketika dia terserang penyakit hebat dan tahu bahwa dia akan meninggal dunia di Sailan dia lalu menyuruh buat bokor emas itu dan rahasia dari harta pusaka peninggalannya dia ukir di sebelah dalam bokor emas itu.

Raja Sailan hanya mengira bahwa bokor emas itu adalah bokor emas biasa akan tetapi dua orang lihai itu segera tahu bahwa bokor itu mengandung rahasia pusaka terpendam yang tentu saja berada di Tiongkok. Maka mereka menguasai bokor itu dan pada waktu itu, Panglima The Hoo dan pasukannya yang mengadakan perjalanan ekspedisi pula tiba di Sailan. Raja Sailan yang maklum akan kebesaran Kerajaan Beng-tiauw yang sedang berkembang, menyambutnya dengan baik sehingga tidak terjadi perang. Akan tetapi, Pek-hiat Mo-ko den Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran itu lalu minggat dari istana, dan membawa banyak barang-barang pusaka berharga, di antaranya adalah bokor emas itu!

Mendengar berita ini dari Raja Sailan, Panglima The Hoo menjadi tidak senang dan segera mengajak beberapa orang pembantunya untuk melakukan pengejaran. Akhirnya di lereng pegunungan yang sunyi Panglima The Hoo dapat menyusul mereka den terjadilah pertandingan hebat. Panglima The Hoo yang berwatak gagah itu melarang para pembantunya mengeroyok dan dia seorang diri menghadapi Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang tokoh Sailan yang memiliki banyak ilmu pukulan beracun itu. Akhirnya, mereka berdua kalah, bahkan hawa beracun dari pukulan-pukulan mereka membalik dan meracuni diri mereka sendiri. Mereka melarikan diri meninggalkan semua harta pusaka curian itu, termasuk bokor emas itu, dan The Hoo tidak mengejar mereka melainkan menyuruh para pembantunya membawa pusaka kembali ke istana Raja Sailan.

Raja Sailan girang sekali dan menghadiahkan bokor emas itu kepada The Hoo. Sebagai seorang berilmu tinggi, The Hoo segera mengenal bokor itu sebagai bokor pusaka yang mengandung rahasia, maka dibawanyalah bokor emas itu pulang ke Tiongkok. Akan tetapi, seorang di antara para pembantunya yang mendengar akan rahasia bokor emas, mencurinya dan melarikan bokor itu sehingga akhirnya bokor itu lenyap di dasar sungai. Berita tentang bokor milik Panglima The Hoo tersebar luas dan semua tokoh kang-ouw mencari dan memperebutkannya. Semua itu diceritakan dengan jelas dalam cerita Petualang Asmara dan akhirnya bokor itu terjatuh ke tangan Yo Bi Kiok. Panglima The Hoo sendiri sampai meninggal dunia belum pernah mengetahui akan pusaka yang dikandung oleh bokor emas itu, demikian pula dua orang jagoan Sailan itu.

Tentu saja penuturan Pek-hiat Mo-ko dirubahnya sedikit den dikatakannya bahwa bokor emas itu adalah milik mereka akan tetapi ketika mereka kalah bertanding melawan The Hoo, bokor itu dirampas oleh The Hoo!

“Demikianlah,” Pek-hiat Mo-ko mengakhiri ceritanya. “Memang kami kalah pada waktu itu oleh The Hoo, dan dia merampas bokor yang menjadi milik kami. Sekarang, kami menghendaki kembalinya bokor itu atau lebih tepat lagi, menghendaki semua pusaka yang ditemukan oleh petunjuk rahasia dalam bokor. Bukankah itu sudah adil namanya? Bokor itu adalah milik kami!”

“Memang milik kalian kalau begitu,” Hek I Siankouw mengangguk akan tetapi Bouw Thaisu diam saja.

“Pek-hiat Mo-ko, engkau sungguh tak tahu malu!” Tiba-tiba In Hong berkata. “Kau sendiri tadi menceritakan bahwa bokor emas itu bukan milikmu, juga bukan milik mendiang Panglima The Hoo, melainkan milik seorang hwesio perantau yang meninggalkannya di Sailan. Berarti tidak ada yang memiliki lagi secara mutlak atau tidak ada yang berhak lagi. Yang berhak mewarisi adalah dia yang berhasil memperolehnya, dan karena akhirnya mendiang subo yang memperolehnya, maka mendiang subo yang berhak.”

“Hemm, dan sekarang subomu telah mati, akan tetapi masih ada kau dan kau menjadi tawanan kami, maka engkau harus mengembalikan semua pusaka itu kepada kami,” kata Hek-hiat Mo-li. “Engkau sudah kalah oleh kami, berarti kami yang kini berhak merampas pusaka itu.”

“Tak tahu malu! Kalian mengeroyokku secara curang, bagaimana bisa bilang bahwa kalian menang dariku?”

“Eh, eh, bocah sombong! Kaukira aku tidak mampu mengalahkanmu?” Hek-hiat Mo-li membentak marah.

In Hong sudah bangkit berdiri, kepalanya agak pening dan seluruh tubuhnya terasa kaku saking lamanya dia pingsan, akan tetapi dua orang iblis itu yang menghendaki dia hidup telah memberinya mekan di waktu dia dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan seperti orang mabok, sehingga kini tenaganya masih tetap terpelihara. Dia merasa kuat menghadapi lawan, maka kini dia menantang, “Hek-hiat Mo-li, kalau benar kau gagah, mari kita bertanding satu lawan satu, jangan menggunakan kecurangan.”

“Baik, aku ingin menghajar bocah sombong macammu ini!” Hek-hiat Mo-li sudah meloncat bangun.

“Hati?hati Mo-li, jangan kena dipancing oleh dia. Perlu apa melayani seorang tawanan yang sudah tidak berdaya lagi?” kata Hek I Siankouw yang maklum betapa lihainya dara itu. Bouw Thaisu hanya diam saja dan diam-diam dia tertarik karena dia mendengar berita bahwa kini dua orang iblis ini telah menguasai ilmu yang amat hebat, yaitu kekebalan yang membuat tubuh mereka tak dapat dirobohkan oleh pukulan atau senjata yang bagaimana ampuh sekalipun, sehingga mereka seolah-olah tidak bisa mati!

Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan berkata, “Boleh kaucoba ketangguhanmu terhadap dia, Mo-li. Akan tetapi hati-hati, jangan kaubunuh dia. Kita masih amat memerlukannya.”

“Aku tahu!” jawab Hek-hiat Mo-li dan dia lalu menekan sebuah tombol yang menghubungkan dengan alat. Kuncinya terbuka dan dengan mudah dia mendorong pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja berat itu terbuka. “Keluarkanlah, bocah sombong!”

In Hong maklum bahwa dia tidak akan mampu meloloskan diri dari tempat ini sebelum dia mengalahkan empat orang itu, dan dia tidak tahu apakah di luar rumah besar ini, dari mana dia tidak dapat melihat keluar, tidak terdapat orang-orang lain yang menjadi kaki tangan mereka. Tentu saja dia tidak mau sembrono mencoba untuk melarikan diri, karena selain hal itu berbahaya, juga dia tidak sudi kalau dikatakan takut! Ruangan itu luas dan dengan tenang In Hong lalu berjalan di tengah ruangan itu, lalu membalikkan tubuh menghadap ke arah mereka sambil berkata, “Nah, majulah Hek-hiat Mo-li!”


Hek-hiat Mo-li meloncat ke depan In Hong, sejenak dia memandang kepada dara itu dengan penuh selidik, kemudian dia membentak, “Jaga seranganku ini!” Dan cepat kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher dan yang kiri menghantam ke arah pusar. Gerakannya dahsyat dan cepat, mendatangkan angin bersiut, tanda bahwa nenek itu mempergunakan tenaga yang amat kuat. Namun dengan tenang In Hong menyambut serangan itu, mengelak dari cengkeraman dan tangan kanannya menangkis pukulan tangan kiri lawan, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari samping secara tidak terduga-duga dibarengi suara angin berdesir kuat.

“Desss...!” Itulah pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat hebat dan yang tepat mengenai pangkal lengan nenek itu sehingga tubuh si nenek itu terlempar dan bergulingan di atas lantai.

Hek I Siankouw bangkit berdiri dan wajah Bouw Thaisu menegang, namun Pek-hiat Mo-ko sambil tersenyum memberi isyarat agar mereka duduk kembali dan tenang saja. Mereka melihat nenek bermuka hitam itu ternyata tidak apa-apa dan sudah meloncat berdiri, lalu menerjang lagi dengan gerakan yang lebih dahsyat dan lebih cepat, menghujani In Hong dengan serangan-serangannya.

In Hong kagum bukan main. Memang dia sudah menduga bahwa nenek ini memiliki kekebalan yang amat hebat, sehingga hantaman dengan Thian-te Sin-ciang tidak merobohkannya. Padahal nenek itu sekarang telah buta mata kirinya, namun serangan-serangannya masih cepat dan kuat dan kekebalannya agaknya juga tidak berkurang! Dan melihat betapa serangan-serangan nenek itu berbahaya sekali, diapun lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, mainkan ilmu silat yang dilatihnya dari gurunya, ilmu silat tinggi yang gerakannya aneh. Bouw Thaisu yang memperhatikan semua gerakan In Hong, menjadi kagum. Ada dasar-dasar ilmu silat dari Siauw-lim-pai di dalam gerakan silat In Hong, akan tetapi telah berubah banyak sekali sehingga dia tidak dapat mengenalnya. Itulah agaknya ilmu simpanan yang menjadi rahasia dari bokor emas, pikirnya dan memang hebat ilmu itu. Seorang gadis semuda itu dapat menghadapi serangan-serangan seganas serangan Hek-hiat Mo-li dengan baik dan hal ini sudah membuktikan bahwa ilmu silat yang didapat dari pusaka bokor emas itu adalah ilmu silat pilihan yang tinggi tingkatnya.

“Plakk! Dukk!” Tubuh nenek itu tarhuyung. Dua kali dia terkena pukulan, pertama tengkuknya kena ditampar dan kedua perutnya kena dihantam oleh In Hong. Kalau orang lain yang terkena satu saja dari dua pukulan itu tentu roboh, akan tetapi nenek itu hanya terhuyung, bahkan masih dapat terkekeh mengejek dan langsung menubruk lagi! In Hong mulai merasa serem! Nenek ini bukan manusia agaknya! Belum pernah dia mendengar akan kekebalan sehebat itu, apalagi menyaksikannya!

Karena ternyata buhwa ilmu silat yang dimainkan oleh In Hong lebih lihai sehingga tampak sekali dia menguasai pertandingan itu dan lebih sering dapat memukul lawan, maka semua orang yang menonton pertandingan itu makin kagum. Pek-hiat Mo-ko mengelus jenggotnya. Kalau dia dapat menguasai ilmu silat yang dimiliki gadis itu, pikirnya, maka kelihaiannya akan bertambah hebat dan kiranya tidak akan ada lagi tandingannya di dunia ini. Biarpun sekarang dia memiliki kekebalan seperti yang dimiliki nenek itu, namun tanpa ilmu silat tinggi, juga tidak mudah merobohkan lawan.

Seratus jurus telah lewat dan sudah lebih dari enam kali nenek itu terpelanting roboh dan terhuyung, namun dia selalu maju lagi dengan makin ganas, seolah-olah pukulan-pukulan maut itu yang kadang-kadang mengandung Thian-te Sin-ciang, tidak membuatnya nyeri malah memberinya tambahan tenaga dan semangat! In Hong menjadi penasaran dan marah. Teringat bahwa mata kiri nenek itu dapat dibikin buta oleh jarum yang menyambar keluar dari arca kaisar, kini dia menujukan serangan-serangan ke arah mata kanan nenek itu!

“Aihhh!!” Nenek itu menjerit marah dan Pek-hiat Mo-ko kini mengepal tinjunya, agaknya diapun terkejut dan siap-siap untuk membantu kawannya. Betapapun hebat ilmu kekebalan mereka, namun mereka tidak dapat membuat biji mata mereka kebal!

Karena Hek-hiat Mo-li selalu melindungi mata kanannya, maka usaha In Hong untuk menusuk mata itu dengan jari tangannyapun tidak berhasil. Pukulan-pukulannya mengenai pipi dan kepala, namun ternyata kepala nenek itupun kebal! Dengan geram dia lalu mengerahkan Thian-te Sin-ciang di tangan kirinya dan pada saat yang baik dia lalu menghantam ulu hati nenek itu dengan tangan kirinya yang terbuka.

“Desss... plakkk...!” Tubuh nenek itu kembali terjengkang dan bergulingan sampai jauh akan tetapi dia segera meloncat berdiri lagi, sedangkan tubuh In Hong terkulai lemas dam dia roboh karena tadi, ketika dia memukul, nenek itu sama sekali tidak menangkis melainkan membarengi dengan tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak In Hong. Tamparan itu tidak terlalu hebat, akan tetapi karena kuku jari tangan nenek itu beracun dan kuku itu menggurat pundak dekat leher, maka In Hong segera menjadi lemas dan pening oleh pengaruh racun.

“Heh-he-he-heh!” Nenek itu meloncat dekat. “Dessss!” Tubub dara itu ditendangnya sampai terguling-guling.

“Cukup, Mo-li!” Pek-hiat Mo-ko berseru dan dia lalu meloncat, menyambar tubuh In Hong, membawanya ke pintu kamar dan melemparkan tubuh yang lunglai itu ke dalam kamar lalu menutupkan pintunya kembali. In Hong rebah miring dan masih memejamkan matanya karena kepalanya pening.

“Racun itu tidak akan membunuhmu, Yap In Hong, akan tetapi akan menyiksamu selama tiga hari. Biarlah itu menjadi peringatan bagimu bahwa engkau tidak dapat mengandalkan kepandaianmu terhadap kami di sini. Baru menghadapi Mo-li seorang saja engkau sudah tidak berdaya. Dan kami ada berdua, dibantu pula oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw yang ingin sekali membunuhmu untuk membalas kematian Hwa Hwa Cinjin, dan anak buah kami ada seratus orang berjaga di luar! Biarlah dalam tiga hari ini kauingat baik-baik agar engkau pertimbangkan permintaan kami untuk menyerahkan pusaka dari bokor emas itu kepada kami!” Setelah berkata demikian, Pek-hiat Mo-ko mengajak tiga orang kawannya untuk melanjutkan makan minum.


“Kita harus bersiap-siap,” kata Pek-hiat Mo-ko. “Sudah kurang lebih setengah bulan sejak gadis ini kami larikan dari istana. Mengingat bahwa gadis ini mempunyai hubungan dengan orang-orang pandai, di antaranya putera ketua Cin-ling-pai, maka tidak mustahil kalau sekarang mereka itu sudah mulai menuju ke sini.”

“Tidak hanya di sini kita harus bersiap-siap,” sambung Hek-hiat Mo-li. “Akan tetapi jalan menuju ke lembah ini hanya melalui Padang Bangkai, maka sebaiknya kalau kita berpesan kepada majikan Padang Bangkai untuk berjaga-jaga pula dan cepat mengabarkan kalau ada orang dapat melewati Padang Bangkai dan menuju ke sini.

“Keadaan sudah mulai gawat dan yang kita hadapi nanti adalah orang-orang pandai,” kata Hek I Slankouw. “Maka urusan mengirim pesan kepada majikan Padang Bangkai biarlah dilakukan oleh muridku.”

“Ha-ha-ha, baiklah, Siankouw. Engkau baik sekali bersama muridmu mau membantu kami dengan sungguh-sungguh.”

“Dan ingat, Mo-ko, semua bantuanku ini hanya untuk satu balasan, yaitu kauserahkan gadis keparat itu kepadaku untuk kupenggal kepalanya dan kupakai sembahyang di depan kuburan Hwa Hwa Cinjin!” kata nenek berpakaian hitam ini gemas.

“Ha-ha, jangan khawatir. Setelah kami selesai dengan dia pasti akan kuserahkan kepalanya kepadamu,” jawab Pek-hiat Mo-ko.

“Dan pinto membantumu hanya karena pinto hendak menghadapi keluarga Cin-ling-pai untuk membalas kematian Thian Hwa Cinjin sahabatku,” kata Bouw Thaisu.

Hek I Slankouw lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan tak lama kemudian terdengarlah suara lengking yang sama dan disusul berkelebatnya bayangan merah. Seorang gadis yang usianya tentu ada dua puluh lima tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis sekali. Gadis ini adalah murid Hek I Siankouw yang bernama Liong Si Kwi, seorang gadis manis yang sampai berusia dua puluh lima tahun belum juga menikah karena gurunya menghendaki agar dia menikah dengan seorang laki-laki pilihan, seorang pangeran atau setidaknya putera seorang pangcu yang terkenal atau seorang laki-laki yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari gadis itu sendiri, muda dan tampan! Tentu saja sukar sekali mencari jodoh yang ditentukan nilai-nilainya ini dan banyak sudah pemuda yang jatuh hati kepada Si Kwi yang manis itu terpaksa mundur teratur sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, Liong Si Kwi masih perawan dan biarpun di dalam hatinya dia sudah ingin sekali menjadi isteri orang, namun keinginan ini selalu ditahannya karena selain malu, diapun takut kepada gurunya yang dalam hal ini amat galak!

“Subo!” kata Si Kwi sambil menjura ke arah gurunya, sikapnya manis dan gagah, dan sepasang pedang yang bersarung dan bergagang indah terukir itu tergantung di punggung, gagangnya nampak di kanan kiri pundaknya, menambah kegagahannya. Pakaiannya sederhana namun terbuat dari sutera merah dan menempel ketat mencetak tubuhnya yang penuh lekuk lengkung menggairahkan, tanda bahwa dia adalah seorang wanita yang sudah masak, seperti setangkai bunga atau buah yang siap untuk dipetik.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li memandang dengan kagum, sedangkan Bouw Thaisu mengerutkan alisnya sambil berkata, “Siankouw, apakah bijaksana mengutus muridmu ini ke Padang Bangkai? Muridmu masih muda dan cantik, dan sepanjang pendengaran pinto, Ang-bin Ciu-kwi si pemabok dari Padang Bangkai itu sukar melewatkan seorang wanita muda yang cantik tanpa diganggunya.”

“Hemm,” Hek I Slankouw mendongkol. “Dia mencari mampus kalau berani mengganggu muridku, pula, Si Kwi dapat menjaga diri sendiri.” Lalu nenek berpakaian hitam ini bertanya kepada muridnya, “Eh, Si Kwi, beranikah engkau diutus ke Padang Bangkai menemui Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, majikan-majikan Padang Bangkai?”

Gadis itu yang tadi mendengar ucapan Bouw Thaisu bahwa si pemabok yang berjuluk Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) itu suka menggoda wanita muda, menjadi merah mukanya dan dia meraba kantong di pinggangnya, yaitu kantong yang terisi senjata rahasianya yang ampuh seperti senjata rahasia gurunya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam), lalu menjawab, “Tentu saja teecu berani, subo.”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir, anak baik!” kata Hek-hiat Mo-li. “Kalau si pemabok gila itu hendak mengganggumu, katakan bahwa engkau utusan kami, tentu dia akan mundur teratur!”

“Liong Si Kwi, kami menerima usul gurumu agar engkau yang menjadi utusan kami pergi ke Padang Bangkai!” kata Pek-hiat Mo-ko. “Temuilah suami isteri mabok itu dan katakan bahwa menurut pikiran kami, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh mulai berdatangan, maka mereka harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andaikata ada lawan yang tangguh mampu melewati Padang Bangkai, agar mereka secepatnya memberi kabar kepada kami di sini!”

“Baik, locianpwe,” jawab Si Kwi dan nona ini melirik ke dalam kamar tahanan, melihat betapa dara yang ditawan itu duduk bersila sambil memejamkan mata seperti orang sedang siulian (samadhi). Dara murid Hek I Siankouw ini bukanlah orang jahat, dan sesungguhnya, Hek I Siankouw sendiripun dahulunya adalah seorang tokouw yaitu pendeta wanita Agama To yang hidup dengan bersih, bahkan menjauhkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi, dia bersama Hwa Hwa Cinjin terjebak dalam perangkap nafsu berahi dan mereka itu, seorang pendeta wanita dan seorang pertapa pria, mengadakan hubungan gelap dan selanjutnya menjadi kekasih. Karena Hwa Hwa Cinjin adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoat-su yang terbunuh oleh The Hoo, maka diapun terkena bujukan Lima Bayangan Dewa untuk membantu mereka menghadapi ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai sahabat The Hoo dan juga musuh Toat-beng Hoat-su. Ke manapun Hwa Hwa Cinjin pergi, apalagi menghadapi urusan berbahaya, tentu saja Hek I Siankouw ikut dengan meninggalkan muridnya. Dan kini, setelah Hwa Hwa Cinjin kekasihnya sejak muda itu tewas oleh In Hong, tentu saja Hek I Siankouw menaruh dendam dan maulah dia bekerja sama dengan dua orang kakek nenek guru Sabutai itu sambil mengajak muridnya.

Sungguhpun wataknya angkuh dan keras sebagai murid seorang pandai, namun Liong Si Kwi tidak pernah terlibat dalam kejahatan, bahkan dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar wanita yang keras hati dan menentang kejahatan! Tentu saja dia tidak menganggap bahwa subonya itu jahat, pula dia tidak menganggap bahwa orang-orang yang kini dibantu subonya itu jahat, karena dianggapnya mereka, seperti juga subonya, hendak menuntut balas, dan pembalasan dendam dianggapnya bukanlah perbuatan jahat.

Kini melihat betapa tawanan wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, juga kelihatan tenang saja, dia sudah menjadi kagum bukan main. Akan tetapi justeru gadis di dalam tahanan itulah yang menjadi pembunuh supeknya, yaitu Hwa Hwa Cinjin, demikian menurut keterangan subonya, maka dia memandang ke arah In Hong dengan sinar mata benci. Musuh gurunya berarti juga musuhnya, karena gurunya itupun menjadi pengganti orang tuanya. “Subo, kenapa tidak dibunuhnya saja dia itu?”

“Justeru dia menjadi umpan untuk memancing datangnya musuh-musuh besar yang lain, Si Kwi. Akan tetapi dia sudah tidak berdaya dan nyawanya berada di tangan kita,” jawab gurunya dengan wajah beringas penuh dendam. “Sekarang berangkatlah, muridku, dan hati-hatilah karena majikan Padang Bangkai adalah orang-orang setengah gila!”

Gadis itu mengangguk, memberi hormat lalu meloncat dengan cepat sekali, lenyap dari tempat itu. Bouw Thaisu mengangguk-angguk. “Gin-kang murldmu itu pinto lihat amat hebat, mungkin tidak kalah oleh gurunya!”

“Memang betul, Thaisu. Si Kwi menerima pelajaran khusus dari mendiang Hwa Hwa Cinjin sehingga gin-kangnya menjadi matang dan lumayan. Karena gin-kangnya itulah maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya dan dia dijuluki orang Ang-yan-cu (Si Walet Merah),” jawab Hek I Siankouw dengan bangga.


***


Tempat In Hong ditahan itu adalah sebuah tempat yang terdiri dari beberapa bangunan yang kokoh kuat dan pernah menjadi markas atau benteng ketika Raja Sabutai dahulu bermarkas di situ bersama puluhan orang pengikutnya yang setia. Kini, oleh Raja Sabutai, bekas markas itu diberikannya kepada kedua orang gurunya. Memang tempat ini amat baik untuk dijadikan semacam benteng kecil, juga amat baik untuk menjadi tempat tinggal di daerah yang berbahaya itu. Tempat itu berada di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Naga dan berada di kaki Pegunungan Khing-an-san. Karena lembah itu berada di tepi Sungai Luan-ho, tepat di tikungan sungai yang disusul dengan banyak tikungan-tikungan kecil, sehingga dari atas lembah itu Sungai Luan-ho kelihatan seperti seekor naga yang tubuhnya berliku-liku, maka lembah itu dinamakan Lembah Naga. Lembah Naga terletak di luar Tembok Besar, di daerah Mongol dan di daerah itu terdapat banyak tempat-tempat yang amat berbahaya, gunung-gunung yang tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tak bertepi, diseling gurun-gurun pasir yang tandus.

Jalan menuju ke Lembah Naga itu kalau didatangi dari barat, timur dan selatan, hanya ada satu saja, yaitu dari selatan melalui Padang Bangkai! Tidak ada jalan lain yang mungkin membawa manusia mendatangi Lembah Naga kecuali melalui Padang Bangkai ini.

Mengapa dinamakan Padang Bangkai? Sebetulnya padang itu adalah padang rumput yang luas, akan tetapi keadaannya demikian aneh dan banyak sekali binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang manusia yang melakukan perjalanan lewat tempat itu dan tersesat, berserakan di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai! Memang amat berbahaya sekali. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa, dengan rumput-rumputnya yang hijau segar seperti beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah itu, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, baik di musim panas maupun di musim semi tetap saja hijau segar itu, merupakan tempat maut yang mengerikan. Salah sangka membuat banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjerumus, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tak terukur besarnya. Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biarpun demikian tetap saja orang atau binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Ada pula bagian yang rumputnya berwarna aneh kebiruan dan ternyata rumput di bagian ini mengandung racun yang berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka lalu terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas. Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan alang-alang setinggi orang dan yang dapat menyesatkan karena luasnya dan karena lorong di antara alang-alang tinggi ini berlika-liku, bercabang-cabang dan semua sama bentuknya, yaitu lorong setapak yang di kanan kiri diapit-apit oleh alang-alang tinggi! Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini, maka amat berbahaya, belum lagi binatang-binatang buas yeng menghuni di dalam rumpun alang-alang lebat itu.

Dan jalan umum yang melalui Padang Bangkai ini terhenti oleh sebuah dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah rumah. Dusun ini dikelilingi oleh sungai yang memang sengaja dibuat, yaitu air dari Sungai Luan-ho yang dialirkan di sekeliling dusun itu sehingga kalau orang hendak melanjutkan perjalanan, mau tidak mau orang itu harus menyeberangi sungai dengan jembatan yang terdapat di situ, melewati dusun itu dan menyeberang lagi di sungai yang berada di belakang dusun, karena kalau tidak mengambil jalan melalui dusun itu, orang harus mengambil jalan melalui padang rumput maut yang bawahnya lumpur itu, yang penuh di kanan kiri dusun menghadang jalan! Untuk mengelilingi dusun dengan perahupun tentu saja bisa, jadi tanpa melalui dusun, akan tetapi di situ tidak ada sebuahpun perahu, dan andaikata ada orang luar yang membuat perahu dan menggunakan jalan air di sekeliling dusun, tentu sebelum sampai di tempat tujuan perahunya sudah akan digulingkan oleh anak buah Padang Bangkai!


Sebetulnya tempat inipun dahulu dibuat oleh orang-orang Mongol atas perintah Raja Sabutai yang dipergunakan sebagai semacam gerbang maut untuk menghalang musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Akan tetapi karena tempat ini berbahaya sekali, setelah Sabutai meninggalkan tempat itu untuk menghimpun bala tentara yang besar, tempat itu tidak ada yang mau mempergunakannya dan ditinggalkan terlantar. Baru pada beberapa tahun yang lalu, dua orang aneh datang ke tempat itu, kemudian menjadi penghuni di situ, bahkan mereka lalu mengumpulkan anak buah mereka yang jumlahnya ada belasan orang, yang menjadi murid, anak buah, juga melayani segala kebutuhan mereka.

Siapakah dua orang aneh yang berani tinggal di tempat yang berbahaya itu? Mereka bukanlah orang-orang biasa tentu saja, melainkan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka merupakan sepasang suami isteri yang aneh dan tidak lumrah suami isteri biasa, melainkan lebih tepat kalau dinamakan sekutu yang kadang-kadang saling memperlihatkan kekuasaan dan memang kepandaian mereka adalah seimbang. Yang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan sikapnya kasar dan wajahnya yang membayangkan kekasaran dan keberanian itu selalu berwarna merah, matanya lebar dan jarang sekali orang melihat dia terlepas dari guci arak. Dialah yang dijuluki orang Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah), seorang yang memiliki tenaga besar dan dapat membunuh orang dengan kejam, mencekik leher orang dengan tangan kiri dan selagi orang itu berkelojotan, tangan kanannya membawa guci arak ke mulutnya untuk diminum mengglogok!

Isterinya berusia empat puluhan tahun, wajahnya cukup cantik dan karena dia pesolek dan sikapnya agak genit, maka dia masih menarik. Tubuh yang terawat itu masih ramping dan padat, dan melihat sikapnya, orang mengira dia seorang wanita yang baik hati karena sikapnya lemah dan manis budi. Akan tetapi, sebetulnya, di balik senyumnya yang manis itu bersembunyi hati yang amat kejam, yang merasa gembira kalau melihat orang atau lawan tersiksa! Dia ahli racun, dan jarum-jarumnya yang beracun amat terkenal karena dia memiliki bermacam-macam jarum yang mengandung racun-racun bermacam-macam ular sehingga kalau mengenai tubuh lawan, juga menimbulkan siksaan bermacam-macam pula. Inilah wanita yang dijuluki Coa-tok Sian-li (Si Dewi Racun Ular)!

Ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li meninggalkan Raja Sabutai yang mengecewakan hati mereka karena raja yang menjadi murid mereka itu tidak melanjutkan serangan ke selatan bahkan berdamai dengan kaisar, dan terutama sekali menyuguhkan isterinya kepada kaisar, kedua orang kakek dan nenek ini lalu tinggal di Lembah Naga yang diberikan kepada mereka oleh Sabutai. Dan Raja Sabutai juga memberikan seratus orang pengawal kepada dua orang gurunya ini yang dipilih sendiri oleh kakek dan nenek itu. Seratus orang inilah yang kini menjadi anak buah mereka di Lembah Naga! Akan tetapi ketika dua orang kakek dan nenek ini mendengar bahwa Padang Bangkai kini mempunyai majikan baru, mereka lalu datang ke tempat itu untuk menuntut bahwa tempat itu termasuk wilayah Lembah Naga.

Tentu saja suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tidak mengenal kakek dan nenek berasal dari Sailan ini memandang rendah dan menyerang mereka, akan tetapi keduanya terkejut karena dengan amat mudahnya suami isteri itu dihajar jatuh bangun oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko sampai mereka minta-minta ampun! Kakek dan nenek itu melihat betapa kepandaian mereka berdua itu lumayan, dan karena untuk menghadapi para pembesar Beng-tiauw yang mempunyai banyak orang pandai itu merekapun membutuhkan kawan, maka mereka tidak membunuh suami isteri itu bahkan ditarik menjadi sekutunya! Padang Bangkai diberikan kepada mereka sebagai tempat tinggal akan tetapi mereka harus menjaga agar jangan ada musuh yang dapat mendekati Lembah Naga tanpa diketahui.

Demikianlah sedikit keterangan tentang Lembah Naga dan Padang Bangkai, dan pada suatu hari, kini matahari telah naik tinggi, serombongan orang yang jumlahnya tiga puluh enam orang kelihatan berjalan dari selatan menuju ke Padang Bangkai! Mereka itu terdiri dari tiga puluh orang wanita dan enam orang pria, dipimpin oleh seorang wanita yang berusia tiga puluh tahun lebih, cantik dan gagah. Dua puluh sembilan wanita lain yang menjadi anak buahnya juga rata-rata memiliki gerakan yang gagah dan usia mereka itu paling tinggi empat puluh tahun dan paling muda tiga puluh tahun. Kesemuanya membawa sebatang pedang di pinggang mereka, kecuali wanita yang menjadi pemimpin dan yang berpakaian serba hijau itu, yang selain membawa sebatang pedang panjang, di pinggangnya terselip pula sepasang pedang pendek. Adapun enam orang laki-laki itu agaknya menjadi semacam pelayan, karena enam orang inilah yang membawa buntalan-buntalan mereka dan berjalan di tengah-tengah, dan sungguhpun mereka juga terdiri dari orang-orang muda berusia paling tinggi tiga puluh tahun dan bertubuh tegap dan gerakannya gesit, namun sikap mereka terhadap para wanita itu jelas memperlihatkan bahwa mereka itu kalah pengaruh!

Siapakah mereka ini yang begitu berani mati mendatangi tempat berbahaya ini? Mereka itu bukan lain adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang dan hal ini jelas dapat dilihat dari hiasan rambut wanita-wanita itu yang berbentuk burung Hong! Mereka adalah anak buah Yo Bi Kiok yang telah tewas. Seperti telah kita ketahui, Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw (Telaga Setan) dan menjadikan tempat itu sebagai markas mereka dan menawan sebagian dari anak buah Ui-hong-pang yang dipimpin oleh Kiang Ti yang dibunuh oleh Yo Bi Kiok. Kemudian perkumpulan itu ditinggalkan oleh Yo Bi Kiok dan ketika Yo Bi Kiok membantu Sabutai, ketua ini membawa sebagian besar anak buahnya untuk membantu. Setelah Yo Bi Kiok tewas, anak buahnya itu tersebar tidak karuan, ada yang menjadi isteri para perwira Sabutai, ada pula yang tewas atau melarikan diri.

Akan tetapi, ada pula beberapa orang di antara mereka yang berhasil kembali ke Telaga Setan dan menceritakan kepada kawan-kawan mereka tentang kematian ketua mereka!

Kini jumlah mereka tinggal tiga puluh orang dan belasan orang laki-laki yang selama ini menjadi semacam pelayan yang melayani segala keperluan mereka, dari keperluan makan sampal keperluan sex! Adapun yang menjadi pemimpin mereka, setelah Yo Bi Kiok tewas dan Yap In Hong murid ketua mereka itu tidak di situ, adalah Bhe Kiat Bwee. Di permulaan cerita ini telah diceritakah tentang Bhe Kiat Bwe ini. Dia adalah seorang kekasih mendiang Kiang Ti yang tercinta, yaitu ketua dari Ui-hong-pang yang tadinya bersarang di Telaga Setan dan kemudian terbunuh oleh Yo Bi Kiok. Bhe Kiat Bwee ini seorang wanita cantik yang dipermainkan oleh Kiang Ti sebagai benda permainan indah yang menyenangkan dan menjadi pemuas nafsu berahi belaka. Oleh karena itu, Bhe Kiat Bwee amat membenci Kiang Ti, bahkan karena semenjak muda dia diperkosa dan dipermainkan oleh ketua Ui-hong-pang itu, timbul rasa bencinya terhadap pria pada umumnya. Oleh karena itu, ketika Ui-hong-pang dihancurkan oleh Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang, diapun lalu menjadi anggauta Giok-hong-pang, bahkan dia dapat menjilat dan menyenangkan hati ketua Giok-hong-pang sehingga diam-diam Bhe Kiat Bwee menerima ilmu-ilmu silat tinggi dari Yo Bi Kiok! Ketua Giok-hong-pang ini, yang merasa kasihan melihat Bhe Kiat Bwee yang seperti juga dia, hidupnya dirusak oleh seorang pria, hanya bedanya Bhe Kiat Bwee dirusak kehormatarmya dan dijadikan benda permainan sedangkan dia dirusak hatinya oleh cinta tak terbalas, bahkan meninggalkan sebuan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepada pelayan pribadinya itu ketika dia meninggalkan Giok-hong-pang. Oleh karena inilah, maka dengan cepat Bhe Kiat Bwee berobah menjadi seorang yang tinggi kepandaian silatnya, paling tinggi di antara para anggauta Giok-hong-pang!


Setelah semua anggauta Giok-hong-pang yang masih ada melihat bahwa pelayan pribadi ketua mereka ini ternyata memiliki kepandaian tinggi bahkan mewarisi ilmu permainan sepasang pedang pendek dari ketua mereka, tentu saja mereka dengan senang hati menerima Bhe Kiat Bwee menjadi wakil ketua dan pemimpin mereka. Bhe Kiat Bwee yang amat mencinta ketua Giok-hong-pang, ketika mendengar akan kematian Yo Bi Kiok, menjerit dan menangis dengan sedih sekali. Dia lalu mengatur upacara sembahyang untuk menyembahyangi roh dari ketua mereka, kemudian dia mengumpulkan seluruh sisa anggauta Giok-hong-pang yang berjumlah tiga puluh orang dengan dia itu untuk pergi menyusul Yap In Hong, murid ketua mereka yang kabarnya berada di kota raja dan menjadi seorang puteri istana! Akan tetapi, di kota raja mereka mendengar bahwa baru beberapa hari ini puteri Yap In Hong itu telah diculik oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Marahlah Bhe Kiat Bwee dan dengan anak buah bekas pengikut Yo Bi Kiok sebagai petunjuk jalan, berangkatlah dia dan rombongannya itu menyusul ke utara untuk menolong Yap In Hong. Tiga orang pengikut Yo Bi Kiok yang berhasil lolos dari kematian dan yang pernah membantu Raja Sabutai, tahu siapa adanya kakek dan nenek iblis itu, dan merekapun tahu bahwa mereka itu tentu berada di Lembah Naga. Maka ke sanalah mereka menyusul, tiga puluh orang wanita Giok-hong-pang yang penuh dendam, ditemani oleh enam orang pria dari Telaga Setan yang mereka jadikan pembawa barang perbekalan dan pelayan. Menjelang sore rombongan itu tiba di batas wilayah Padang Bangkai dan mereka menghadapi padang yang amat luas, dan dari situ mereka dapat melihat bangunan rumah-rumah di dusun seberang padang yang luas itu.

“Kita malam ini harus dapat tiba di dusun depan itu,” kata Bhe Kiat Bwee sambil menudingkan telunjuknya ke depan. “Kita bermalam di sana dan besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga.”

Teman-temannya mengangguk, dan seorang di antara mereka yang pernah mendengar tentang tempat ini ketika dia bersama sang ketua dan teman-temannya dahulu membantu Raja Sabutai, berkata, “Harap Bwee-suci (kakak seperguruan Bwee) suka berhati-hati, kerena kalau tidak salah, daerah inilah yang disebut Padang Bangkai. Lihat di sana itu, bukankah itu kerangka manusia? Dan di sana itu terdapat bangkai seekor kuda yang membusuk. Hemm, tempat ini menyeramkan sekali dan tentu berbahaya.”

Bhe Kiat Bwee memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. “Biarpun berbahaya, kita tidak perlu takut. Yang penting kita harus berhati-hati sekali. Persiapkan tali panjang yang kita bawa!”

Segulung tali hitam panjang diambil dari buntalan yang dibawa oleh para laki-laki itu dan Bhe Kiat Bwee membawa gulungan tali itu di pundaknya. Kemudian dia memimpin teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan dan memesan agar mereka semua bersikap hati-hati dan jangan sembrono.

Tak lama kemudian, ketika melalui jalan setapak yang di kanan kirinya penuh dengan rumput hijau, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan di sebelah kanan. Bhe Kiat Bwee dan teman-temannya cepat menengok dan mereka melihat seorang di antara teman mereka yang menginjak rumput hijau itu telah amblas disedot oleh lumpur di bawah rumput. Wanita ini menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi makin hebat dia meronta, makin cepat tubuhnya disedot ke bawah!

Seorang temannya cepat hendak menolongnya, dengan tangan terulur dia menghampiri dan diapun menjerit karena kaki kanannya juga tersedot dan ditarik oleh lumpur di bawah rumput yang diinjaknya.

“Kalian diam...! Jangan bergerak sedikitpun! Yang lain semua mundur! Jangan menginjak rumput hijau itu!” Bhe Kiat Bwee yang cerdik cepat berteriak, kemudian dia sendiri lalu melontarkan ujung tali hitam ke arah dua orang itu. Mereka yang sudah pucat mukanya, seorang terbenam sampai ke leher dan yang kedua terbenam sampai ke pinggang, dengan kedua tangan menggigil menangkap ujung tali itu. Kiat Bwee lalu menarik, akan tetapi betapapun dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, dua orang itu tidak dapat ditariknya! Dia lalu minta bantuan teman-temannya, akan tetapi sampai semua orang menarik tali itu beramai-ramai, tetap saja dua orang itu tidak dapat ditarik keluar!

“Satu demi satu!” Kiat Bwee tidak kehilangan akal. “Kalian berdua jangan bergerak sama sekali, makin bergerak tentu akan makin dalam kalian tenggelam!” Dua orang yang sudah ketakutan dan lemas itu melepaskan tali dan kini Kiat Bwee membuat sebuah jeratan di ujung tali lalu dilemparkannya ke arah orang kedua yang hanya terbenam sampai ke pinggang. Lemparannya tepat dan jeratan yang berlingkar itu memasuki tubuh orang itu dan tali dapat menjerat pinggangnya. Wanita itupun memegangi tali seperti gila, karena dia maklum bahwa di situlah nyawanya tergantung.

Tiba-tiba terdengar wanita yang terbenam sampai ke lehernya itu menjerit-jerit, matanya terbelalak dan teriakannya makin mengerikan.

“Jangan bergerak!” Kiat Bwee berseru keras dan marah, akan tetapi wanita itu makin hebat menjerit-jerit dan meronta-ronta sehingga akhirnya kepalanyapun terbenam, tinggal kedua lengan yang masih meronta dan jari-jari tangannya yang mencengkeram-cengkeram ke udara. Itupun tidak lama karena segera kedua tangan itupun lenyap ditelan rumput-rumput hijau.

Semua orang masih pucat dan merasa seram menyaksikan pemandangan itu, dan tiba-tiba wanita kedua itupun menjerit-jerit, “Aduuhhh... augghh... aihhhh, lekas... lekas... tolong aku...!”

Dia mulai pula meronta-ronta dan Kiat Bwee cepat menarik tali yang kini sudah mengikat pinggang wanita itu. Teman-temannya membantu. Dengan pengerahan tenaga, mereka dapat menarik tubuh wanita itu sedikit demi sedikit karena amat sukar mencabut tubuh itu, apalagi karena wanita itu meronta dan menjerit-jerit seperti orang gila. Akhirnya wanita itu yang meronta-ronta seperti gila akhirnya mengejang, lalu lemas dan pingsan. Maka lebih mudahlah bagi Kiat Bwee dan teman-temannya untuk membetotnya keluar dari lumpur di bawah rumput hijau segar itu. Pakaian wanita itu, dari dada sampai ke ujung kaki, penuh dengan lumpur kehitaman dan ketika dia sudah ditarik ke atas tanah keras dalam keadaan pingsan, teman-temannya cepat membuka pakaiannya untuk dibersihkan tubuhnya dan ditukar pakaian kering dan bersih.


Aaihhhhh...!”

“Hiiiiihhhhh...!”

Jeritan-jeritan mengerikan terdengar ketika mereka sudah membuka celana dan baju wanita itu, karena ternyata di bawah pakaian itu kelihatan banyak binatang yang seperti lintah, yang sudah menggembung oleh darah yang dihisap mereka dari tubuh wanita itu sehingga menjadi merah gemuk! Dari dada sampai ke kaki, di situ menempel ratusan ekor binatang seperti lintah, warnanya kehijauan dan agak merah karena penuh darah, menempel pada kulit yang putih halus itu. Pantas saja wanita itu menjerit-jerit, kiranya selagi tubuhnya terbenam di dalam lumpur tadi, dia dikeroyok ratusan ekor binatang itu yang menggigitnya dan memasuki pakaiannya untuk dapat langsung menggigit kulit dan daging, mengisap darah langsung dari bagian-bagian yang lunak! Biarpun dengan memberanikan hati yang merasa jijik dan ngeri akhirnya Kiat Bwee dan teman-temannya dapat mencabuti semua lintah itu dari tubuh teman mereka, namun wanita itu tidak dapat hidup lama, bahkan tidak sadar lagi dari pingsannya, tubuhnya berubah menjadi kehitaman dan ternyata lintah-lintah itu bukan hanya menyedot darah, akan tetapi juga meninggalkan racun yang saking banyaknya menjadi berbahaya dan mematikan juga!

Terpaksa mereka menguburkan mayat teman ini di tempat itu, menggali lubang di tanah keras antara dua padang rumput yang mengerikan itu. Kiat Bwee lalu berkata, “Kita maju terus. Ini adalah daerah musuh, akan tetapi untuk membela nona In Hong, kita tidak boleh takut atau mundur, hanya kita harus makin berhati-hati.”

Mereka kini menggunakan tongkat-tongkat untuk memeriksa keadaan sehingga tidak sampai terjebak seperti dua orang temen mereka tadi. Ketika mereka menghadapi padang yang penuh dengan rumput alang-alang, Kiat Bwee berkata, “Jalan kecil ini melalui rumput alang-alang, agaknya aman di sini, akan tetapi kalian siapkan senjata masing-masing agar mudah menjaga diri kalau ada serangan musuh.”

Rombongan yang sudah berkurang dua orang itu kini berjalan berindap-indap melalui jalan kecil di antara dua hutan alang-alang itu. Akan tetapi, makin lama mereka berjalan, makin tinggi juga alang-alang di kanan kiri mereka, sampai akhirnya rumpun alang-alang di kanan kiri itu sama tingginya dengan mereka sehingga mereka tidak dapat melihat apa-apa di kanan kiri mereka kecuali rumpun alang-alang!

Kiat Bwee mengeluarkan sehelai saputangan merah dan dicabik-cabiknya saputangan ini menjadi potongan-potongan kecil-kecil dan setiap sepuluh langkah dia melemparkan sepotong cabikan saputangan merah ke atas tanah yang mereka lewati. Memang wanita ini cerdik sekali. Dia tahu bahwa lorong di antara rumpun alang-alang ini merupakan tempat berbahaya yang dapat menyesatkan, maka dia sudah bersiap-siap lebih dulu dengan memberi tanda-tanda kepada lorong yang sudah mereka lewati agar mudah nanti menemukan jejak mereka kembali.

Dan dugaannya memang tepat sekali. Lorong di antara dua “dinding” alang-alang itu mulai terpecah, mulai bercabang-cabang dan membelak-belok! Dan di luar pengetahuan mereka, semenjak mula-mula mereka memasuki wilayah Padang Bangkai memang mereka sudah diawasi terus oleh anak buah Padang Bangkai! Banyak pasang mata pria yang terbelalak dan dengan mulut menyeringai dan mengilar, para anak buah Padang Bangkai memandang wanita-wanita yang rata-rata memiliki tubuh padat berisi dan wajah cantik itu, seperti sekumpulan laba-laba yang melihat masuknya lalat-lalat gemuk ke dalam sarang mereka!

Rombongan wanita yang dipimpin Bhe Kiat Bwee itu mulai menjadi bingung ketika jalan kecil itu berputar-putar, bahkan lalu memutar kembali lagi ke arah semula! Dan selagi mereka kebingungan, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ratusan ekor ular dari kanan kiri, keluar dari rumput alang-alang itu menyerang mereka dengan ganas!

“Awas, mundur...!” Kiat Bwee berseru kaget sambil menggunakan sepasang pedang pendek yang sejak tadi dipegangnya untuk membabat putus dua ekor ular yang menyerangnya. Akan tetapi anak buahnya yang terkejut itu menjadi panik dan terjadilah pengeroyokan ular-ular yang mengerikan dan tiga orang di antara mereka terkena gigitan pada kaki mereka. Mereka menjerit-jerit dan roboh berkelojotan karena ular-ular itu ternyata adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya!

“Mundur...!” Kembali Bhe Kiat Bwee berteriak, akan tetapi kembali dua orang memekik dan roboh berkelojotan. Mereka itu ternyata adalah dua di antara enam orang laki-laki yang membawakan perbekalan mereka. Terpaksa beberapa orang wanita anggauta Giok-hong-pang mengambil perbekalan itu dan mereka terus mundur meninggalkan lima mayat yang kini menjadi sasaran kemarahan ular-ular itu.

Untung bagi mereka bahwa tadi Kiat Bwee telah memberi tanda-tanda dengan potongan-potongan kain merah. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka hanya dapat mundur beberapa puluh meter saja karena setelah itu, mereka tidak dapat menemukan lagi potongan-potongan kain merah yang tadi disebar oleh Kiat Bwee. Tentu saja mereka tidak mampu menemukan benda-benda itu kembali karena benda-benda itu telah dibersihkan oleh anggauta Padang Bangkai! Dan dengan sendirinya rombongan wanita itu menjadi tersesat di dalam padang rumput alang-alang itu.

Terdengar auman yang menggetarkan disusul auman-auman lain dan muncullah lima ekor harimau besar dari kanan kiri yang langsung menyerang mereka karena binatang-binatang itu sudah kelaparan agaknya. Kiat Bwee dan anak buahnya terkejut bukan main, dan mereka cepat menggerakkan senjata untuk membela diri dan balas menyerang. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian antara rombongan wanita yang sudah mulai ketakutan itu melawan lima ekor harimau buas, dan akhirnya lima ekor harimau buas itu menggeletak mati, akan tetapi di fihak rombongan itupun ada delapan orang yang tewas menjadi korban cakaran dan gigitan harimau buas itu, belum dihitung beberapa orang yang terluka!

Kemudian terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan nyaring dan di dalam kegelapan malam itu, dari kanan kiri menyambar jala-jala hitam yang amat kuat, meringkus tiga belas orang wanita dan dua orang laki-laki yang masih mengadakan perlawanan itu. Mereka roboh dan meronta-ronta seperti sekelompok ikan kena jaring, namun segera muncul belasan orang laki-laki tinggi besar dan mereka lalu diseret di dalam jaring mereka itu setelah tengkuk mereka satu demi satu dipukuli sehingga mereka roboh pingsan.

Ketika Kiat Bwee dan teman-temannya siuman, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh lampu-lampu besar. Kaki tangan mereka terikat ke belakang dan mereka tidak mampu bergerak lagi. Di depan mereka, di atas dua buah kursi, duduklah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka merah dan bermata lebar, bersama seorang wanita setengah tua yang pesolek dan cantik dengan senyum selalu menghias bibirnya. Mereka ini bukan lain adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li!

“Ha-ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi menenggak arak dari guci besar, mengusap mulutnya yang berlepotan arak, memandangi wanita-wanita itu satu demi satu, kemudian pandang matanya berhenti pada wajah Bhe Kiat Bwee.

“Inikah pemimpinnya?” terdengar suaranya parau, bertanya kepada anak buahnya yang berdiri di situ, anak buahnya yang wajahnya serem-serem dan bertubuh besar-besar dan yang berdiri menyeringai dengan wajah girang. Mereka ini terdiri dari lima belas orang laki-laki kasar, anak buah Padang Bangkai.

“Benar, twako!” jawab seorang di antara mereka. Mereka semua menyebut twako kepada Ang-bin Ciu-kwi. Twako artinya kakak tertua, akan tetapi anehnya, terhadap Coa-tok Sian-li mereka menyebut twanio atau nyonya besar! Hal ini saja menunjukkan bahwa Ang-bin Ciu-kwi tergolong orang kasar yang tidak memperdulikan segala macam sebutan, sebaliknya dengan isterinya yang ingin dihormat sebagai nyonya besar!




Ha-ha-ha! Eh, perempuan manis, mengapa engkau dan teman-temanmu berani memasuki Padang Bangkai? Siapakah kalian?”

Bhe Kiat Bwee menjawab berani, “Kami adalah orang-orang Giok-hong-pang, dan kami hendak mencari nona kami, Yap In Hong.”

“Hemm, suamiku, kau memang tolol. Bukankah sudah kukatakan tadi bahwa wanita-wanita yang memakai hiasan rambut seperti itu adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang? Mereka adalah anak buah musuh, perlu apa ditanya lagi?” Coa-tok Sian-li berkata, suaranya halus dan ramah sungguhpun kata-katanya kasar terhadap suaminya.

“Ha-ha-ha, kau benar, isteriku! Kau memang selalu benar. Hei, kau yang menjadi pemimpin, siapa namamu?”

“Namaku Bhe Kiat Bwee.”

“Nama yang manis! Ha-ha-ha! Dan dua orang laki-laki ini siapa?”

“Dia adalah pelayan kami.”

“Pelayan? Pelayan saja? Wah, kenapai pelayan-pelayan dibawa ke sini, tidak dibunuh saja?” Ang-bin Ciu-kwi membentak kepada anak buahnya.

“Membunuh mereka sekarangpun belum terlambat, twako.” kata seorang anak buahnya yang bermata merah dan dia sudah menggerakkan tangan, memukul ke arah kepala seorang di antara dua pelayan Giok-hong-pang itu.

“Plakk! Aduuuuhhh...!” Orang itu berseru kesakitan dan meloncat mundur, memegangi tangannya yang tadi bertemu dengan tangan halus Coa-tok Sian-li, ketika nyonya itu menangkisnya. Memang kelihatan aneh sekali betapa tangan besar berbulu yang nampak kuat itu menjadi terpental dan pemilik tangan itu berteriak kesakitan ketika tangan itu bertemu dengan tangan kecil berkulit putih halus dari Coa-tok Sian-li.

“Manusia lancang! Berani kau hendak turun tangan di depanku?” Nyonya itu membentak, akan tetapi pandang matanya masib berseri dan mulutnya masih tersenyum.

“Ampunkan saya, twanio...” Laki-laki bermata merah itu menjura dengan ketakutan.

“Bawa mereka ke kamarku, bebaskan dari belenggu dan beri makan secukupnya, suruh mereka mandi yang bersih!” kata pula nyonya itu dan si mata merah mengangguk-angguk, kemudian bersama seorang kawan lain dia membawa pergi dua orang laki-laki yang ditawan itu.

“Ha-ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Engkau sungguh masih bernafsu besar, isteriku. Sekaligus mengambil dua orang untuk melayanimu! Wah, jangan biarkan aku ketinggalan untuk menikmati tontonan itu. Ha-ha, kau membikin aku menjadi iri, isteriku! Perempuan inipun kelihatannya boleh juga!” Dia lalu menggerakkan tangan ke depan.

“Breeeetttt...!” Sekali dia merenggutkan dengan tangannya yang kuat, robeklah bagian depan pakaian yang menempel di tubuh Bhe Kiat Bwee, pakaian luar dan dalam, seperti kertas saja rapuhya di tangan si muka merah itu dan bagian depan tubuh wanita itu nampak seluruhnya.

“Ha-ha-ha, benar dugaanku. Boleh juga! He, bawa dia ke kamarku!” perintahnya dan kembali seorang anak buahnya membawa Kiat Bwee pergi dari situ.

“Mereka ini adalah musuh-musuh kita,” kata pula Coa-tok Sian-li, “Boleh kalian miliki bersama untuk semalam ini. Akan tetapi, besok pagi-pagi mereka itu semua harus sudah bersih, harus kalian lemparkan ke padang rumput hijau. Nah, bawa mereka pergi!”

Para anak buah itu bersorak girang dan seperti harimau-harimau kelaparan mereka menubruk wanita-wanita Giok-hong-pang yang seperti domba-domba terikat tak berdaya itu. Terdengar jerit dan rintih di antara mereka, diseling gelak tawa para anak buah Padang Bangkai ketika mereka membawa pergi wanita-wanita itu dari situ.

Malam penuh kemaksiatan berlangsung di dusun kecil terpencil itu, di dalam beberapa buah rumah itu, di mana semua anak buah Padang Bangkai berpesta pora memuaskan nafsu mereka secara buas sekali! Dua belas orang wanita anggauta Giok-hong-pang itu diperkosa bergantian, di antara daging dan arak, mereka dipermainkan dan kebuasan yang dilakukan oleh manusia-manusia itu jauh lebih mengerikan daripada kebuasan binatang liar manapun juga! Sukar untuk melukiskan keadaan di tempat pesta itu, di mana terdengar rintihan dan keluhan, tangis yang diseling suara tertawa seperti iblis-iblis bangkit dari neraka. Makin hebat wanita-wanita itu merintih dan menangis, makin menggila lagi tingkah polah anak buah Padang Bangkai, makin keras pula mereka tertawa-tawa seolah-olah suara tangis dan rintihan itu terdengar oleh mereka sebagai suara nyanyian yang membangkitkan gairah birahi.

Orang yang menyaksikan dan mendengar semua yang terjadi di ruangan besar itu tentu akan merasa muak, ngeri dan juga sedih menyaksikan tingkah polah manusia yang demikian ganas dan buas, demikian penuh dengan kejahatan yang mengerikan. Akan tetapi, kalau dia pergi meninggalkan tempat itu dan melihat apa yang berlangsung di dalam sebuah kamar lain, kamar besar yang cukup indah dan lengkap, dia akan merasa lebih muak lagi. Di dalam kamar ini, suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li juga sedang berpesta, sama saja dengan anak buah mereka, pesta penuh nafsu berahi yang menjijikkan di mana suami isteri itu membawa tawanan-tawanan mereka berkumpul di dalam satu kamar dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka secara terbuka! Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah menggunakan arak yang dicampur racun dan yang diminumkan secara paksa kepada Bhe Kiat Bwee dan dua orang laki-laki pelayan Giok-hong-pang sehingga wanita dan dua orang laki-laki itu menjadi seperti gila diamuk nafsu berahi mereka, dalam keadaan setengah sadar mereka itu memenuhi segala keinginan suami isteri itu melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan biasa tentu membuat mereka malu bukan main. Namun, mereka telah terbius oleh racun sehingga mereka dapat melakukan apapun juga untuk melampiaskan dorongan mujijat yang membangkitkan gairah nafsu berahi mereka.

Menjelang pagi, Coa-tok Sian-li yang telah merasa puas dan kekenyangan oleh pelayanan dua orang laki-laki muda yang
dibikin kuat oleh arak beracun, lalu menyeret mereka pergi keluar kamar dan tak lama kemudian terdengar bunyi gerengan menyeramkan dari empat ekor anjing kelaparan, yaitu anjing-anjing hutan yang dipelihara oleh nyonya ini di dalam kerangkeng, diseling teriakan-teriakan menyayat hati dari dua orang pria itu yang tubuhnya dirobek-robek oleh empat ekor anjing hutan itu, sampai akhirnya teriakan-teriakan itu makin lemah dan akhirnya berhenti sama sekali dan yang terdengar hanya suara anjing makan daging dan tulang, menjilat-jilat darah segar dan Coa-tok Sian-li yang tadi berdiri di luar kerangkeng dan menonton dengan mata berkilat-kilat, kini meninggalkan tempat itu dengan senyum penuh kepuasan. Dia lalu memasuki kamarnya sendiri, dalam keadaan masih setengah telanjang dia melempar tubuhnya ke atas kasur dan tak lama kemudian terdengar wanita ini mendengkur dengan enaknya!


***


Pagi-pagi sekali, sesosok bayangan berkelebat di antara pohon-pohon menuju ke Padang Bangkai. Bayangan ini adalah Liong Si Kwi, gadis manis murid Hek I Siankouw yang diutus untuk menghubungi majikan Padang Bangkai. Karena dia telah mengenal jalan, dan telah diberi tahu akan rahasia dan keganasan tempat-tempat itu, maka dia mengambil jalan yang aman dan sama sekali tidak mau mendekat padang rumput hijau dan lain bagian yang berbahaya, melainkan dia hendak langsung mengambil jalan lorong kecil yang diapit-apit rumput alang-alang itu.

Akan tetapi tiba-tiba Si Kwi menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia mendengar suara orang-orang tertawa-tawa di antara suara rintihan-rintihan wanita! Tak lama kemudian, dari balik rumpun alang-alang muncul lima belas orang laki-laki tinggi besar yang dikenalnya sebagai anak buah Padang Bangkai. Mereka itu tertawa-tawa dan menyeret-nyeret tubuh dua belas orang wanita yang kesemuanya telanjang bulat, menangis dan merintih-rintih dalam keadaan menyedihkan sekali.

“Ha-ha-ha, sayang. Kita cuma diberi waktu semalam saja!”

“Semalampun sudah cukup, A-ban! Kalau kita berpesta seperti semalam selama tiga malam saja engkau akan mati lemas, ha-ha-ha!”

“Akupun sudah puas!”

“Dan mereka ini bisa menjemukan!”

Si Kwi yang mengintai, memandang dengan mata terbelalak. Jantungnya berdebar dan dadanya terasa panas dan tidak enak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak boleh mencampuri urusan mereka! Kemudian, dia melihat betapa wanita-wanita telanjang bulat itu oleh para anak buah Padang Bangkai dilemparkan ke arah padang rumput hijau yang dia tahu adalah tempat berbahaya sekali! Hampir saja dia menjerit untuk mencegah, akan tetapi dia sadar dan mendekap mulutnya sendiri. Hanya matanya saja yang terbelalak memandang ketika wanata-wanita itu dilemparkan dan jatuh ke atas rumput hijau segar itu. Akan tetap segera terdengar mereka menjerit-jerit karena tubuh mereka begitu terbanting terus saja tenggelam sampai ke pinggang!

“Aughhhh... tolooongggg...!”

“Aduhhh... lepaskan aku...!”

Mereka menjerit-jerit dan memohon-mohon, akan tetapi makin hebat mereka itu meronta, tubuh mereka amblas makin dalam. Lima belas orang anggauta Padang Bangkai itu menonton sambil tertawa-tawa, seolah-olah penglihatan itu merupakan tontonan yang amat menyenangkan dan menegangkan hati mereka. Bahkan mereka mulai bertaruh siapa di antara wanita-wanita itu yang paling tahan lama!

Si Kwi hampir tidak dapat menahan hatinya mengintai dan melihat itu semua. Mulai tampak wanita-wanita itu terbelalak dan melolong-lolong. Tentu mulai digigiti lintah-lintah beracun, pikirnya karena dia telah memperoleh keterangan tentang tempat-tempat berbahaya itu dan dia bergidik membayangkan betapa tubuh telanjang itu diserang oleh ratusan ekor lintah. Wanita-wanita itu makin hebat meronta-ronta, ketakutan dan kengerian yang amat hebat terlukis di wajah mereka dan mulai ada yang kehilangan suaranya, karena perlahan-lahan, kepalanya mulai terbenam pula, hanya kedua tangan mereka yang menegang dan mencengkeram. Tentu saja pemandangan ini membuat kawan-kawan wanita lainnya menjadi makin ketakutan. Suara jeritan-jeritan itu makin berkurang dan akhirnya, wanita terakhir yang melihat betapa semua temannya lenyap dari merasakan seluruh tubuhnya seperti ditusuki jarum dan dibakar, tiba-tiba tertawa bergelak. Melihat wajah yang cantik itu tertawa seperti itu, dengan matanya menjadi liar, Si Kwi bergidik dan maklumlah dia bahwa wanita itu menjadi gila saking takutnya!

Sambil tertawa-tawa laki-laki yang dalam pertaruhan memilih wanita ini, sibuk menerima uang pembayaran dari kawan-kawannya dan suara ketawa menyeramkan dari wanita itupun lenyap ketika mulutnya mulai terbenam, hanya kelihatan matanya saja yang masih liar melirik ke kanan kiri dan akhirnya pemandangan yang mengerikan inipun lenyap. Tidak ada bekasnya lagi dari dua belas orang wanita itu dan rumput-rumput di situ tetap hijau segar seolah-olah mendapat rabuk dari mayat dua belas orang wanita itu. Si Kwi bergidik dan dia lalu keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan dengan tenang tanpa memperdulikan lima belas orang itu.

“Heiii... masih ada satu...!” Tiba-tiba Si mata merah berteriak dan mereka semua lalu berloncatan mengejar dan mengurung Si Kwi.

“Ah, bukan! Dia bukan teman mereka.”

“Dia ini masih muda. Hemm, manisnya!”

Bermacam-macam komentar mereka sambil mengepung Si Kwi dan menilai-nilai, seperti sekumpulan srigala mengepung seekor domba gemuk, akan tetapi tidak menyerangnya karena mereka masih kekenyangan oleh pesta semalam! Selain itu, juga karena mereka menduga bahwa gadis ini bukanlah teman dari orang-orang Giok-hong-pang, mereka tidak mau lancang bertindak sembarangan. Kalau mereka semalam berani memperebutkan dan mempermainkan wanita-wanita itu adalah karena majikan mereka yang memberi ijin! Kini mereka menghadapi Si Kwi sebagai seorang baru, seorang musuh baru yang berani memasuki wilayah Padang Bangkai tanpa ijin.

“Hei, nona! Siapakah engkau?” tanya si mata merah yang agaknya selalu menjadi pemimpin di antara anak buah Padang Bangkai itu.

Si Kwi memandang mereka dengan sinar mata jijik dan tidak suka. “Siapa adanya aku tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian manusia-manusia iblis!” jawabnya.

Mereka membelalakkan mata, saling pandang dan tertawa.


Ha-ha-ha, si manis ini galak sekali!”

“Tunggu aku menjinakkan dia!”

“Tangkap saja dulu dan laporkan ke dalam!”

“Biar aku yang menangkap, akan kuhukum dia dengan satu kali ciuman!”

Si mata merah yang melihat sikap Si Kwi begitu menantang, menjadi curiga dan dia mengangkat tangannya. Semua temannya diam dan si mata merah kini melangkah maju menghadapi Si Kwi. “Nona, engkau telah memasuki wilayah kami, maka harus mengaku siapa nama dan mau apa engkau melanggar wilayah kami.”

“Minggirlah kalian! Aku hendak bertemu dengan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!” kata Si Kwi.

“Wah-wah, bocah ini kurang ajar sekali!” terdengar teriakan, dan mereka kini mengurung makin rapat.

“Tunggu...! Biar kita coba dulu sampai di mana kelihaiannya maka dia ingin bertemu dengan twako dan toanio tanpa mengindahkan kita sama sekali.”

“Biarlah aku mencobanya!”

“Aku saja!”

“Biar kutangkap dia untukmu!”

Mereka seperti berebut dan akhirnya, dua orang tinggi besar telah menubruk ke arah Si Kwi dari depan dan belakang, agaknya mereka itu sudah ingin sekali untuk menubruk, memeluk dan mendekap gadis manis itu untuk menangkapnya.

Akan tetapi, Liong Si Kwi memang sudah bersiap-siap untuk ini dan kebetulan sekali, dia dapat melampiaskan kebenciannya terhadap laki-laki yang dianggapnya sebagai manusia-manusia iblis ini. Begitu melihat ada dua orang menyergapnya dari depan belakang, dia cepat mengubah kedudukan kakinya dengan miringkan tubuh sehingga mereka berdua itu kini bukan menyergap dari depan belakang, melainkan dari kanan kiri. Kedua tangannya bergerak secepat kilat, dengan dua jari tangan kanan kiri dia mendahului mereka, menotok ke arah ulu hati mereka.

“Hukk! Hukk!”

Dua orang laki-laki tinggi besar itu terkejut dan napas mereka seolah-olah terhenti, dan pada saat itu, kedua tangan Si Kwi sudah menangkap rambut mereka dengan jambakan kuat dan sekali dara itu membentak dengan suara nyaring sekali, tubuh mereka telah terlempar ke arah rumput hijau!

“Bress! Bress!” Karena mereka tidak berdaya dan tubuh mereka yang berat terbanting, maka seketika mereka telah amblas ke dalam lumpur maut itu sampai ke dada!

“Tolonggg...! Tolooonggg...!” Mereka berteriak dengan mata terbelalak ketakutan, dan karena mereka sudah mengenal tempat maut ini, mereka sama sekali tidak berani bergerak, hanya mata mereka yang terbelalak dan melirik ke sana-sini.

Tentu saja teman-temannya menjadi terkejut dan cepat mereka itu mengeluarkan tali panjang, lalu melontarkan ujung-ujung tali ke arah mereka, dan tiga belas orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik keluar dua orang teman yang sial itu.

“Aduhh... aduhhh... cepat... mereka mengeroyokku, perempuan-perempuan itu...!” yang seorang berteriak-teriak ketakutan, merasa seolah-olah tubuhnya yang terbenam itu dicubiti dan digigiti oleh wanita-wanita Giok-hong-pang yang menjadi korban keganasan mereka tadi.

“Auwwww... aduhhh... mati aku...!”

Orang kedua tiba-tiba menjerit, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.

Akhirnya, dengan susah payah mereka dapat menarik dua orang itu ke tempat aman. Cepat mereka membersihkan lintah-lintah beracun yang menempel di tubuh mercka dan memberi obat penawarnya. Dan mereka tertawa geli ketika melihat bahwa yang mengaduh-aduh dan sambat mati tadi ternyata ditempeli seekor lintah besar pada anggauta rahasianya!

“Eh, mana dia?”

“Iblis betina itu telah pergi!”

“Itu lihat...! Dia menuju ke sarang kita!”

“Kejar...!”

Tiga belas orang itu meninggalkan dua orang teman mereka yang sudah terhindar dari bahaya maut untuk mengejar bayangan Si Kwi yang sudah berlari cepat memasuki padang alang-alang yang sudah dikenalnya dari petunjuk gurunya pula, memang jalan kecil yang datang dari utara Padang Bangkai tidaklah begitu ruwet dan berbahaya, kecuali melalui satu padang rumput hijau yang merupakan tempat maut itu dan sedikit pada alang-alang yang tidak begitu luas dan tidak ada mengandung jebakan-jebakan yang mengerikan. Yang berbahaya adalah jalan yang ditempuh oleh rombongan Giok-hong-pang kemarin, yaitu dari selatan, akan tetapi jalan inipun sudah diketahui oleh Si Kwi karena memang gurunya sudah mengenal daerah berbahaya ini dan telah menceritakan kepada muridnya.

Pagi hari itu, Ang-bin Ciu-kwi sedang duduk di beranda depan bersama isterinya. Sepagi itu dia sudah minum arak dan Bhe Kiat Bwee yang setengah telanjang itu masih belum dilepaskannya, wanita yang belum sadar benar karena terus dilolohi arak dan racun itu dipangkunya dan dibelainya. Seperti orang gila, Kiat Bwee terkekeh dan melayani belaian Ang-bin Ciu-kwi, sedangkan Coa-tok Sian-li melihat dengan muka membayangkan kejemuan hatinya.

Tiba-tiba mereka melihat Si Kwi yang berlari cepat mendatangi dari jauh dikejar oleh anak buah mereka. Dengan tenang saja kedua orang ini memandang, dan Ang-bin Ciu-kwi masih memangku dan merangkul pinggang Kiat Bwee ketika Si Kwi tiba di depan mereka, gadis itu memandang dengan alis berkerut. Suami isteri itu tentu lupa lagi kepadanya, dan biarpun dia pernah melihat suami isteri ini, akan tetapi hanya sebentar saja tanpa diperkenalkan, yaitu ketika suami isteri ini datang menghadap Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga. Setelah dia tadi menyaksiken kebuasan anak buah Padang Bangkai yang membunuh wanita-wanita itu, dan kini melihat Ang-bin Ciu-kwi memangku seorang wanita setengah telanjang pula dan mempermainkannya, hati Si Kwi menjadi muak dan panas sehingga sampai lama dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata.

“Twako! Twako...! Dia telah menyerang kami! Ditanya nama tidak mengaku malah dia melemparkan dua teman kita ke rumput maut!” dari jauh si mata merah sudah berteriak-teriak.

“Ahhhh??” Ang-bin Ciu-kwi terkejut dan marah. Dia bangkit berdiri dan didorongnya Kiat Bwee ke samping sampai wanita ini roboh. Akan tetapi Kiat Bwee tidak marah, malah tersenyum-senyum dengan genitnya! Wanita ini sudah menjadi setengah gila karena minum obat bius.

“Hemm, kau bocah sombong, patut diberi hajaran!” Ang-bin Ciu-kwi yang sudah menjadi marah mendengar teriakan anak buahnya itu, cepat menubruk dan dalam tubrukan ini, tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala Si Kwi sedangkan tangan kirinya yang memegang guci arak itu mendorongkan gucinya ke arah dada gadis itu dalam pukulan yang dahsyat!

Si Kwi terkejut sekali. Tak disangkanya dia akan diserang oleh majikan Padang Bangkai itu. Akan tetapi, karena hatinya sudah tidak senang kepada mereka, timbul keinginannya untuk melawan dan melihat sampai di mana kepandaian majikan Padang Bangkai yang sikapnya menjemukan hatinya itu. Mengandalkan gin-kangnya yang istimewa, Si Kwi dapat mengelak dan balas menendang dari samping ke arah lambung majikan Padang Bangkai itu.

“Ahh!” Ang-bin Ciu-kwi berseru kaget. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu dapat mengelak demikian mudahnya dari serangannya tadi, bahkan dapat membalas serangannya dengan tendangan yang demikian cepatnya. Dia menggunakan tangan kanan untuk menangkap kaki gadis itu. Tentu saja Si Kwi tidak sudi membiarkan kakinya tertangkap, dia menarik kakinya dan dengan loncatan kilat dia sudah berada di sebelah kiri lawan dan dari sini dia menggunakan tangan terbuka menampar ke arah tengkuk lawan.

“Plakk!” Ang-bin Ciu-kwi menangkis dan tubuh Si Kwi agak terhuyung, akan tetapi si Setan Arak itupun terkejut.

“Wah, boleh juga gadis ini!” serunya dan dia kini dengan gembira menubruk lagi. Ketika gadis itu mengelak, tiba-tiba dari dalam guci arak itu muncrat arak yang langsung menyerang ke arah muka Si Kwi.

“Aihhh...!” Si Kwi menjerit dan biarpun dia sudah cepat meloncat namun tetap saja pinggulnya kena diraba oleh tangan Ang-bin Ciu-kwi.

“Ha-ha-ha, isteriku. Dia masih perawan! Ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan isterinya hanya mendengus, akan tetapi mulutnya tersenyum.

Wajah Si Kwi menjadi merah sekali dan marahlah gadis ini. Tugas tinggal tugas, akan tetapi majikan Padang Bangkai ini terlalu menghina dia! Dicabutnya siang-kiamnya dan dengan kedua pedang di tangan kanan kiri dia sudah menyerang dengan ganasnya.

“Wah-wah-wah, hebat juga... ganas... hemm...” Ang-bin Ciu-kwi cepat mengelak dan menggerakkan gucinya menangkis. Terdengar bunyi berkentrangan nyaring ketika sepasang pedang berkali-kali bentrok dengan guci. Akan tetapi karena Ang-bin Ciu-kwi agaknya tidak ingin membunuh gadis yang mulai menarik perhatiannya ini, dia mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan dia kelihatan terdesak hebat oleh sepasang pedang Si Kwi yang telah berobah menjadi dua gulungan sinar pedang yang amat cepat gerakannya itu.

“Hem, isteriku, apa kau sudah bosan padaku dan ingin melihat aku mampus?” Berkali-kali Ang-bin Ciu-kwi berteriak. “Bantulah aku menangkap gadis ini...”

“Hemm, yang seorang masih ada dan engkau masih inginkan dia ini?” isterinya mencela.

“Aaaahhh, isteriku, aku ingin yang masih perawan ini. Hayo, bantulah, kelak akan kucarikan seorang perjaka yang ganteng dan gagah perkasa untukmu. Aku berjanji!”

Tentu saja Si Kwi menjadi makin marah dan dia membentak, “Mampuslah!” Pedangnya menyambar-nyambar dahsyat, sehingga majikan Padang Bangkai itu menjadi repot juga.

Tiba-tiba terdengar seruan Coa-tok Sian-li halus, “Bocah sombong, robohlah!”

Si Kwi mendengar suara halus dan maklumlah dia bahwa ada senjata-senjata rahasia halus menyambar ke arahnya. Cepat dia mengelak dan dia berhasil menghindarkan jarum-jarum halus yang menyambar ke arah tengkuk dan kedua pundaknya, akan tetapi sebatang jarum yang menyambar ke arah kakinya tak dapat diketahuinya. Tiba-tiba dia merasa pergelangan kakinya seperti digigit semut, kemudian menjadi lumpuh dan tergulinglah dia!


Ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi menubruk dan menotoknya sehingga gadis itu tidak dapat bergerak lagi, sepasang pedangnya dirampas. Si muka merah ini lalu memondong tubuh Si Kwi sambil tertawa-tawa.

Terdengar suara wanita terkekeh dan Kiat Bwee sudah mendekati Ang-bin Ciu-kwi, merangkul dengan sikap manja.

“Ahhh, pergi kamu! Aku sudah bosan! Nah, kalian ambillah dia ini, untuk dibagi rata ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi menendang dan tubuh Kiat Bwee terlempar ke arah lima belas orang anak buahnya. Tentu aaja mereka menyambut tubuh Kiat Bwee yang masih montok itu dengan gembira. Kiat Bwee sendiri tertawa-tawa genit ketika dia dipeluk dan diciumi banyak laki-laki, lalu dia dibawa pergi. Terdengar suara ketawanya yang lambat-laun berobah menjadi pekik dan terdengar wanita itu menjerit-jerit menyayat hati.

“Kau jadi milikku sekarang, ha-ha. Kau perawan liar, kepandaianmu boleh juga!” Ang-bin Ciu-kwi hendak mencium Si Kwi, ditonton oleh isterinya yang tersenyum saja.

“Lepaskan aku! Lepaskan...! Aku adalah murid subo Hek I Siankouw!” Si Kwi yang merasa terkejut dan ketakutan karena kini dia terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut itu menjerit akan tetapi tidak dapat meronta.

Ang-bin Ciu-kwi mengurungkan niatnya untuk mencium. “Ah? Murid Hek I Siankouw yang berada di Lembah Naga?” Dia meragu.

“Huh, Hek I Siankouw memandang rendah kita!” tiba-tiba Coa-tok Sian-li berkata dan diapun bangkit dari tempat duduknya. “Akan tetapi kita jangan membunuhnya, hanya kita harus memberi pelajaran mengapa Hek I Siankouw mengutus muridnya menyelidiki tempat kita.” Dia lalu memberi obat kepada mata kaki Si Kwi yang terkena jarum racun ularnya itu setelah mengeluarkan jarumnya, kemudian dia berkata lagi, “Suamiku, hayo bawa dia ke dalam kamar. Kau boleh menikmati dia sebelum kita suruh dia kembali kepada gurunya!”

Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi menjadi girang bukan main. Dia memondong tubuh gadis itu dan bersama isterinya membawanya ke dalam kamar di mana tadi malam dia dan isterinya berpesta pora mengumbar nafsu bersama Kiat Bwee dan dua orang pelayan pria dari Giok-hong-pang itu. Setelah melemparkan tubuh gadis itu ke atas pembaringan, Ang-bin Ciu-kwi menenggak araknya dan berkata, “Kaubantu aku memeganginya setelah kubebaskan totokannya, isteriku!”

Suami isteri ini memang sudah bukan merupakan manusia-manusia normal lagi. Mereka itu menjadi budak-budak nafsu berahi yang aneh dan cabul. Kesukaan mereka nonton adegan-adegan cabul sama besarnya dengan nafsu-nafsu berahi mereka sendiri. Maka tidaklah mengherankan kalau mereka itu kadang-kadang saling menonton apabila seorang di antara mereka sedang main gila dengan orang lain! Kini, Coa-tok Sian-li bahkan hendak membantu suaminya menggagahi dan memperkosa seorang gadis yang mereka tawan!

Terdengar suara kain robek ketika bagaikan seekor binatang buas kelaparan Ang-bin Ciu-kwi merenggutkan semua pakaian dari tubuh Si Kwi sambil memegangi kedua tangan gadis itu dengan tangan kanannya, sedangkan kedua kaki gadis yang telah dibebaskan dari totokan itu dipegangi oleh Coa-tok Sian-li yang biarpun hanya ingin menonton, akan tetapi gairah nafsunya sama berkobarnya seperti suaminya.

“Lepaskan aku...!” Si Kwi menjerit ngeri. “Aku... aku adalah utusan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dari Lembah Naga!”

“Ahhh...?” Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya terkejut bukan main mendengar pengakuan ini. Tadinya Si Kwi memang enggan menggunakan nama kakek dan nenek iblis itu karena dia mengira bahwa nama gurunya sudah cukup besar dan berpengaruh. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya sendiri ditambah nama besar gurunya tidak dapat menyelamatkannya dan dia telah berada di ambang malapetaka yang amat mengerikan hatinya, terpaksa berantakanlah keangkuhannya dan dia mengaku bahwa dia adalah utusan kakek dan nenek iblis itu. Pengakuan ini sekaligus membuyarkan semua nafsu dari dalam kepala Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, terganti oleh rasa takut yang hebat.

“Benarkah...?” Coa-tok Sian-li bertanya, mukanya agak pucat.

“Siapa membohong? Aku datang atas perintah mereka!” kata pula Si Kwi.

“Akan tetapi, mengapa tidak kaukatakan sejak tadi?” Ang-bin Ciu-kwi bertanya.

“Lepaskan aku, baru akan kuceritakan, atau kaulanjutkan perbuatanmu yang terkutuk dan jantung kalian akan dimakan mentah-mentah oleh mereka!” Si Kwi menggertak.

Suiami isteri yang memang amat takut terhadap kakek dan nenek iblis itu segera melepaskan pegangan mereka dan membiarkan Si Kwi duduk. Bahkan Coa-tok Sian-li lalu mengambilkan satu setel pakaiannya sendiri, diberikan kepada Si Kwi untuk dipakai karena pakaian merah gadis itu telah robek.

Dengan cemberut karena masih merasa malu dan terhina oleh perlakuan tadi, Si Kwi memakai pakaian nyonya rumah. “Suruh jahit kembali pakaianku sendiri ini!” bentaknya.

“Eh... maafkan kami, maafkan aku...” Ang-bin Ciu-kwi berkata sambil menenggak araknya. Sedikitpun dia tidak menduga bahwa daging yang berada di depan mulutnya, tinggal telan itu akan gagal dimakannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani nekat setelah mendengar nama kakek dan nenek yang amat ditakutinya itu karena dia dan isterinya maklum bahwa mereka sama sekali bukan tandingan kakek dan nenek itu.

Sebetulnya kami tidaklah salah,” Coa-tok Sian-li membantah sambil memandang gadis itu yang sudah duduk di atas pembaringan sambil memandang mereka dengan sinar mata penuh kebencian, lalu diapun duduk di dekat gadis itu. “Mengapa kau tidak memperkenalkan diri dan malah memusuhi kami?”

Si Kwi menghela napas. Dia terpaksa harus menekan kemarahannya dan kebenciannya karena mereka ini benar-benar tangguh. “Semua adalah salahnya anak buah kalian,” katanya, “Mereka mengganggu aku dan menimbulkan kemarahanku.”

“Sudahlah,” Coa-tok Sian-li menghibur. “Untung belum sampai terjadi hal-hal yang lebih hebat. Sekarang ceritakan, siapakah engkau dan apa tugasmu ke sini?”

“Namaku Liong Si Kwi, aku murid subo Hek I Siankouw yang membantu kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Kedua locianpwe itu yang mengutus aku datang ke sini menemui kalian untuk menyampaikan pesan mereka.”

“Hemm, apakah pesan kedua locianpwe itu?” Ang-bin Ciu-kwi bertanya, agak gelisah juga kalau teringat betapa hampir saja dia menghina utusan dari dua orang kakek dan nenek iblis itu!

Si Kwi memandang kepada si muka merah itu dengan sinar mata penuh kebencian! Lalu dia menjawab perlahan, “Aku diutus untuk menyampaikan kepada kalian bahwa menurut perkiraan kedua locianpwe itu, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh mulai berdatangan, maka kalian harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andaikata ada lawan tangguh mampu melewati Padang Bangkai, kalian harus cepat-cepat memberi khabar ke Lembah Naga.”

“Ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya. “Harap sampaikan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga agar mereka jangan khawatir. Kami telah siap berjaga-jaga dan tidak mungkin ada lawan yang dapat melewati Padang Bangkai!”

“Hemm, ucapan bagus akan tetapi kosong!” Si Kwi berkata sambil memandang marah. “Apa yang harus kukatakan kepada ji-wi locianpwe itu tentang keadaan yang kulihat di sini? Semua anak buahmu bersenang-senang, mengganggu dan menyiksa wanita, dan kulihat majikan mereka sendiripun sama saja, bahkan yang memberi contoh! Sungguh menjijikkan!”

Akan tetapi Si Kwi makin mendongkol, penasaran dan terheran-heran ketika melihat stmmi isteri itu tertawa bergelak. Benar-benar orang-orang ini setengah gila atau mabok, pikirnya.

“Ha-ha-ha, bagus sekali, nona! Kaulaporkan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga apa yang telah kami perbuat terhadap tiga puluh orang wanita dan enam orang pria yang kemarin berani menyerbu ke sini! Ceritakanlah! Engkau telah melihat betapa anak buah kami membunuhi perempuan-perempuan itu, bukan? Dan perempuan yang kuhadiahkan kepada mereka tadi adalah pimpinan mereka. Ceritakanlah kepada ji-wi locianpwe bahwa kami telah membasmi tiga puluh orang wanita dan enam orang pria, semua anggauta-anggauta Giok-hong-pang, anak buah nona yang kini menjadi tawanan ji-wi locianpwe itu. Ha-ha-ha! Kami layak menerima ganjaran!”

Bukan main kagetnya hati Si Kwi mendengar ini. Akan tetapi dia masih mengomel. “Hemmm, kiranya mereka adalah fihak musuh? Mengapa mereka tidak dibunuh saja melainkan dipermainkan seperti itu? Kalian adalah iblis-iblis keji, bukan manusia!”

Dua orang suami isteri itu hanya tertawa dan sehari itu Si Kwi terpaksa harus tinggal di Padang Bangkai karena kakinya harus diobati. Kalau tidek mendapat obat penawar yang mujarab dari Coa-tok Sian-li sendiri, tentu nyawanya akan terancam atau kalau diobati orang lain, akan memakan waktu lama sekali. Akan tetapi setelah diobati oleh Coa-tok Sian-li dan beristirahat selama sehari semalam, pada keesokan harinya gadis itu telah pulih kembali kesehatannya, dan dia meninggalkan Padang Bangkai dengan muka masih membayangkan rasa ketidaksenangan hatinya terhadap suami isteri itu.

“Bagaimana pendapatmu tentang dia?” Ang-bin Ciu-kwi bertanya kepada isterinya sambil memandang tubuh belakang Si Kwi ketika gadis itu berjalan pergi.

“Hemm, heran mengapa ji-wi locianpwe mempergunakan orang macam dia. Dia berbahaya sekali, dan setelah dia datang, entah bagaimana nasib kita nanti,” jawab isterinya.

“Bagus! Akupun berpikir demikian. 0rang seperti dia harus ditundukkan, kalau tidak bisa berbahaya untuk kita!”

“Kau benar,” isterinya mengangguk, lalu mengeluarkan sebungkus obat dari saku bajunya. “Pergunakan ini, kalau kemudian dia masih tidak mau tunduk, habiskan saja!”

Wajah yang merah itu menjadi berseri dan Ang-bin Ciu-kwi merangkul dan mencium mulut isterinya. “Kau manis!” Kemudian sambil tertawa-tawa dan membawa guci araknya, dia lalu melompat dan berlari cepat, menyusul Si Kwi mengambil jalan lain untuk memotong jalan dan menghadang gadis itu.

Suami isteri ini selain aneh, cabul dan kejam, juga amat cerdik. Mereka khawatir melihat sikap Si Kwi yang terang-terangan membenci mereka dan membenci perbuatan mereka mempermainkan orang-orang Giok-hong-pang sebelum membunuh mereka itu, dan karena mereka berdua pernah melakukan kesalahan, hampir saja menghina utusan dua orang kakek dan nenek iblis, maka mereka merasa curiga kalau-kalau Si Kwi akan mengadu kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentang penghinaan itu. Kalau demikian, bisa berbahaya untuk mereka. Maka keduanya bersepakat untuk menundukkan perawan itu dengan jalan memaksanya mengadakan hubungan kelamin dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan menggunakan obat racun yang pernah mereka lolohkan kepada Bhe Kiat Bwee. Kalau perawan itu menyadari kemudian bahwa dia telah melakukan hubungan dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan dasar “suka sama suka”, tentu saja melalui obat bius itu, tentu gadis itu tidak berani lagi melaporkan yang bukan-bukan. Kalau kemudian siasat itu gagal dan si gadis masih memperlihatkan sikap bermusuh, agar dibunuh saja dan disembunyikan, lalu pura-pura tidak tahu akan kedatangannya.

Sementara itu, ketika meninggalkan rumah suami isteri itu, Si Kwi merasa tidak senang sekali. Dia merasa menyesal mengapa subonya kini bergaul dengan segala macam orang seperti itu! Bukan manusia lagi, melainkan iblis! Dan dia harus bersekutu dengan orang-orang macam itu! Gadis ini merasa menyesal sekali dan ketika dia berjalan meninggalkan rumah itu, terjadi perang di dalam hatinya. Kalau teringat akan subonya, dan teringat akan supeknya, Hwa Hwa Cinjin yang telah terbunuh mati musuh dan harus dibalas, memang dia ingin kembali ke utara, ke Lembah Naga. Akan tetapi kalau teringat akan kekejaman kakek dan nenek iblis, kemudian teringat akan keadaan para pembantunya seperti orang-orang Padang Bangkai yang demikian mengerikan, ingin dia meninggalkan tempat itu jauh-jauh dan tidak mencampuri urusan mereka!

Akhirnya, kengerian yang disaksikannya di Padang Bangkai membuat dia mengambil keputusan tetap untuk meninggalkan saja tempat itu, menuju ke selatan! Dia bukanlah seorang penjahat, tidak! Dia biasanya malah menentang dan memusuhi penjahat-penjahat macam majikan Padang Bangkai itu bersama anak buah mereka! Akan tetapi kini dia disuruh bersekutu dengan orang-orang macam mereka! Huh, lebih baik mati kalau begitu. Pikiran ini mendorong Si Kwi untuk mengayun langkah lebih cepat menuju ke pintu gerbang selatan di mana terudapat jembatan yang menyeberang sungai yang mengelilingi benteng dusun itu. Tidak nampak seorangpun penjaga, dan memang inilah keistimewaan benteng sarang gerombolan Padang Bangkai itu. Para anak buah Padang Bangkai tidak pernah memperlihatkan diri, hanya melakukan penjagaan sambil bersembunyi, dan hal ini menambah bahayanya tempat yang menyeramkan itu. Kini, tentu saja para anak buah Padang Bangkai tahu bahwa Si Kwi telah meninggalkan rumah majikan mereka, akan tetapi karena mereka maklum bahwa gadis itu ternyata bukan musuh melainkan utusan dari Lembah Naga, mereka tidak berani mengganggu, hanya merasa heran mengapa gadis itu meninggalkan kampung mereka pergi ke selatan!

Bukan hanya mereka yang heran. Terutama sekali Ang-bin Ciu-kwi yang terheran-heran ketika dia membayangi gadis itu dan melihat gadis itu keluar dari pintu gerbang selatan! Cepat dia menyelinap dan mengambil jalan rahasia memotong jalan gadis itu, lalu menanti di dalam rumpun alang-alang karena dia tahu bahwa gadis itu harus melalui jalan ini berhubung tidak ada jalan lain.

Si Kwi merasa menyesal dan juga berduka. Mengapa gurunya rela bergaul dengan orang-orang macam itu? Sejak dulu dia tidak setuju, yaitu ketika gurunya itu bergaul dengan golongan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa. Dia tahu bahwa gurunya hanya terbawa-bawa oleh Hwa Hwa Cinjin yang hendak membalas dendam atas kematian suheng dari tosu itu, yang bernama Toat-beng Hoatsu. Dendam-mendendam itu membuat gurunya akhirnya terpaksa harus bersekutu dengan manusia-manusia iblis seperti kakek dan nenek yang tinggal di Lembah Naga itu. Mengerikan! Dia tahu bahwa sebenarnya subonya bukanlah seorang jahat, hanya karena terseret-seret dalam dendam maka terpaksa bersatu dengan orang-orang golongan hitam. Kini subonya menjadi kaki tangan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li hanya karena gurunya hendak membalas kematian Hwa Hwa Cinjin oleh gadis perkasa Yap In Hong itu.


Si Kwi menyesal sekali. Dia sudah tidak mempunyai ayah bunda, dan satu-satunya keluarganya hanyalah subonya itu. Akan tetapi terpaksa dia meninggalkan subonya karena dia tidak ingin kembali ke sana, menjadi kaki tangan orang-orang dari kaum sesat.

Kini dia tiba di antara rumpun alang-alang. Dia sudah tahu jalan mana yang aman dari gangguan ular-ular berbisa den binatang lain. Akan tetapi, tiba-tiba alang-alang di depan bergoyang dan gadis itu terkejut, meraba senjatanya. Betapa kagetnya ketika dia tidak mendapatkan siang-kiamnya di punggung dan baru teringat dia bahwa sepasang pedangnya itu terampas oleh Ang-bin Ciu-kwi dan karena dia tergesa-gesa hendak lekas-lekas meninggalkan tempat itu, dia sampai lupa untuk memintanya kembali.

Akan tetapi, dia menjadi heran dan juga lega ketika melihat seorang laki-laki muncul dari rumpun alang-alang dan ternyata orang itu adalah Ang-bin Ciu-kwi sendiri! Kebetulan sekali, pikirnya dan melihat laki-laki bermuka merah itu berdiri sambil tersenyum lebar, Si Kwi lalu berkata, “Tentu engkau hendak mengembaliken siang-kiamku yang ketinggalan!”

Akan tetapi Si Kwi terkejut karena orang itu menyeringai dan pandang matanya mentertawakan bahkan lalu menenggak araknya dari guci dengan sikap yang mengejek dan mempermainkan.

“Liong Si Kwi, engkau memang patut sekali memakai pakaian merah. Makin manis saja kau. Akan tetapi aku percaya bahwa tanpa pakaian engkau akan lebih menarik lagi!”

Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali dan matanya berkilat saking marahnya mendengar pujian yang mengandung kekurangajaran itu. “Ang-bin Ciu-kwi, mau apa engkau menghadangku? Kukira tadinya engkau hendak mengembalikan siang-kiamku!” Si Kwi masih menahan kemarahannya karena dia maklum akan kelihaian orang ini.

“Ha-ha-ha! Baik sekali engkau ketinggalan senjatamu agar tidak terialu repot bagiku untuk menundukkanmu, manis!”

“Ciu-kwi! Jangan kau kurang ajar atau aku akan melapor kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga!”

“Ha-ha-ha, nona manis, engkau tidak lagi bisa membohongi aku! Kalau engkau hendak kembali ke Lembah Naga, mengapa kau keluar dari sebelah selatan?”

Si Kwi terkejut dan baru ingat akan keadaannya yang memang mencurigakan. Akan tetapi dengan cerdik gadis ini menjawab, “Aku masih mempunyai suatu urusan di selatan, juga atas perintah ji-wi locianpwe. Bukan urusanmu!”

Ang-bin Ciu-kwi tidak bisa menentukan apakah jawaban ini dicari-cari atau memang benar, maka dia kembali tertawa lebar. “Baiklah, kalau begitu aku hanya akan menghaturkan selaman jalan, nona. Minumlah seteguk arak sebagai ucapan selamat jalan dariku.” Dia mengambil sebuah cawan kecil dari saku bajunya dan menyerahkan cawan kosong itu kepada Si Kwi untuk diisi dengan arak dari gucinya.

Tentu saja Si Kwi menolak dengan marah. “Cui-kwi, jangan ganggu aku lagi!”

“Ha-ha, kalau mengganggumu mengapa? Jangan pura-pura, nona manis. Di sini tidak ada orang lain, hanya engkau dan aku. Dan alang-alang itu lunak sekali.”

“Keparat busuk!” Si Kwi sudah menerjang dengan kepalan tangannya, akan tetapi Ang-bin Ciu-kwi sudah menangkis dan tangkisannya yang disertai pengerahan tenaga itu membuat Si Kwi terhuyung. Dengan marah gadis ini lalu merogoh saku tempat menyimpan senjata rahasianya dan sekali tangannya bergerak, dua batang Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun) menyambar ke arah leher dan dada lawan. Ciu-kwi cepat menggerakkan gucinya dan mengelak.

“Tringgg...!” sebatang paku runtuh dan yang sebatang lagi dapat dielakkannya.

“Ha-ha-ha, tanpa pedangmu dengan mudah aku akan dapat merobohkan engkau, nona. Dan pakumu itupun tidak banyak gunanya. Bukankah lebih baik minum secawan arak sebagai sahabat daripada kita harus bertempur dan saling serang sendiri?” Setan Arak ini lalu menenggak guci araknya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyodorkan cawan kecil itu kepada Si Kwi.

Orang gila ini berbahaya, pikir Si Kwi. Menggunakan kekerasan agaknya akan lebih berbahaya baginya. Dia melihat Setan Arak itu berkali-kali meneguk arak dari guci itu, maka apa salahnya kalau hanya minum secawan? Biarpun dia merasa jijik harus minum arak dari guci yang sudah diteguk begitu saja oleh mulut Setan Arak itu, akan tetapi agaknya ini lebih aman daripada harus menggunakan kekerasan karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian Setan Arak ini lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.

“Ciu-kwi, benarkah kau tidak akan menggangguku lagi setelah aku minum secawan arak?” tanyanya. “Kau berani berjanji demi kedua locianpwe di Lembah Naga?” Dia menyebutkan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li karena maklum betapa takutnya orang gila ini terhadap mereka itu.

“Ha-ha-ha, aku berjanji demi nama beliau berdua! Kau baik sekali mau menerima penghormatanku dan ucapanku selamat jalan, nona!” Ang-bin Ciu-kwi lalu menuangkan arak dari gucinya ke dalam cawan itu, lalu menyodorkannya kepada Si Kwi. Tanpa ragu-ragu lagi gadis itu lalu menenggak arak dari dalam cawan sampal habis, kemudian mengembalikan cawannya.

Sambil menerima cawan itu dan menyimpannya, Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. Arak di dalam cawannya itu sudah dimasukinya obat bubuk pemberian isterinya dan tentu saja bagi dia tidak ada bahayanya karena dia telah lebih dulu minum obat penawarnya. Kini dia melihat wajah gadis itu menjadi kemerahan dan pandang mata gadis itu kelihatan aneh!


Ha-ha-ha, selamat jalan, nona manis!”

Si Kwi menggerakkan kedua kaki hendak pergi dari situ, akan tetapi tiba-tiba dia terhuyung.

“Ouhhhh...!” Dia mengeluh dan berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, pandang matanya berkunang dan kepalanya terasa pening sekali, jantungnya berdebar aneh dan biarpun dia masih memiliki kesadaran bahwa dia merasakan segala keanehan ini, namun kemauannya lenyap sama sekali dan dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, seolah-olah semangatnya terbang melayang.

“Kau kenapa, nona manis...?” Ang-bin Ciu-kwi sudah berada di sampingnya den merangkul lehernya.

“Auhhh... aku... auhhhh...!” Si Kwi hanya dapat mengeluh den merintih, bahkan dia memegang lengan Ang-bin Ciu-kwi, sama sekali tidak menolak ketika laki-laki itu merangkul lehernya dan mengecup pipinya sambil tertawa girang. Biarpun dia same sekali tidak pernah melakukan penyelewengan, namun sebagai seorang gadis berusia dua puluh lima tahun yang sehat den normal, karena kesukaran gurunya memilih jodoh untuk muridnya ini, tentu saja di dalam diri Si Kwi terdapat api gairah yang wajar, dorongan nafsu berahi yang normal bagi seorang dewasa yang sehat. Api gairah ini selalu ditekannya dan hanya dilepaskan di alam mimpi di mana dia bermimpi dengan bebas, bercumbu dengan pria yang dibayangkannya di dalam mimpi. Maka biarpun lahiriah Si Kwi merupakan seorang gadis yang alim, akan tetapi di dalam tubuhnya terkandung api yang bergairah sekali, maka kini setelah dia minum racun yang membiusnya, dia merasa seperti dalam mimpi den bercumbu dengan pria yang dirindukannya!

“Ha-ha-ha, marilah manis!” Ang-bin Ciu-kwi lalu menuntunnya dan merebahkan gadis ini di atas rumput alang-alang. Si Kwi hanya memejamkan matanya dan seperti seekor domba jinak dia menurut saja apa yang dilakukan oleh Ciu-kwi yang menurut perasaan hatinya seperti pria di dalam mimpinya selama ini.

Kini Ang-bin Ciu-kwi tidak perlu lagi merenggut dan merobek baju gadis itu, karena Si Kwi sama sekali tidak menolak ketika sambil membelai den menciumnya Ang-bin Ciu-kwi menanggalkan pakaiannya.

“Bedebah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

Ang-bin Ciu-kwi terkejut sekali dan menghentikan usahanya menanggalkan pakaian gadis itu. Ketika melihat ada seorang pemuda berdiri di jalan sambil memandangnya dengan mata tajam dan penuh kemarahan, Ang-bin Cui-kwi merasa heran dan marah. Orang ini bukan anak buahnya, jadi jelas adalah seorang luar! Maka dia meloncat meninggalkan Si Kwi yang masih rebah terlentang. Ketika merasa ditinggalkan orang, Si Kwi merintih, membuka matanya sedikit dan mengulurkan kedua lengannya ke arah pemuda itu sambil tersenyum penuh arti!

“Keparat, siapa kau berani memasuk wilayah ini?” bentak Ang-bin Ciu-kwi sambil memegang guci araknya erat-erat.

“Manusia iblis, siapapun adanya aku bukan hal yang penting. Akan tetapi setelah aku berada di sini, jangan harap engkau akan dapat melanjutkan perbuatanmu yang terkutuk itu!” jawab si pemuda yang memperhatikan keadaan gadis setengah telanjang itu dengan alis berkerut karena dia masih merasa heran akan keadaan dan sikap gadis itu. Kemudian dia dapat menduga mendengar rintihan gadis yang seperti orang mabok itu. “Hemm, keparat, engkau tentu menggunakan racun untuk membiusnya, bukan?”

Ang-bin Ciu-kwi yang merasa marah sekali karena kesenangannya diganggu, sudah membentak keras. “Bocah yang bosan hidup!” Dan tangan kanannya menyambar dengan cepat sekali, juga amat kuat karena dia mengerahkan tenaganya untuk sekali pukul merobohkan pemuda yang mengganggunya ini.

“Wuuuuuttt... dukkkk!” Ang-bin Ciu-kwi terpelanting dan dia memekik dengan kaget bukan main ketika merasakan betapa lengan tangannya nyeri sekali beradu dengan lengan pemuda itu. Akan tetapi dia meloncat berdiri lagi dan memandang penuh perhatian. Pemuda yang berpakaian sederhana namun tampan bukan main, tampan dan gagah dan tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada isterinya tadi dan tertawalah Ang-bin Ciu-kwi!

“Ha-ha-ha, bagus! Engkau ternyata tampan dan gagah, cocok sekali untuk isteriku! Ha-ha-ha! Orang muda, lebih baik kita bersahabat. Aku adalah Ang-bin Ciu-kwi dan mari kuperkenalkan dengan isteriku di rumah.”

Pemuda itu memandang tajam dan alisnya berkerut. Celaka, pikirnya. Orang ini kalau bukan pemabok besar tentu miring otaknya. Akan tetapi betapapun juga, orang ini bukan orang sembarangan karena dalam pukulannya tadi terkandung tenaga yang hanya dimiliki orang yang lihai.

“Aihhhh... peluklah aku... peluklah...” Si Kwi kini rebah dengan gelisah, tubuhnya bergoyang ke kanan kiri dan mulutnya berbisik-bisik matanya setengah dipejamkan.

“Ha-ha-ha, apakah tidak sayang dia dibiarkan sendiri saja?” Ang-bin Ciu-kwi tertawa. “Dan isteriku lebih hebat dari dia, orang muda.”

“Jahanam busuk engkau!” Kini pemuda itu menjadi marah dan tangannya menyambar. Ang-bin Ciu-kwi yang masih tertawa itu dengan cepat mengelak dan balas memukul, kini menggunakan guci araknya yang merupakan senjata ampuh memukul ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi, dengan mudah pemuda itu mengelak dan sekali tangannya digerakkan dengan gerakan mendorong, hawa pukulan yang dahsyat menyambar dan Ang-bin Ciu-kwi terjengkang dan roboh! Si pemabok ini terkejut bukan main, cepat dia meloncat bangun lagi dan kini pandang matanya berbeda.

“Siapa engkau? Mau apa engkau?” tanyanya, tidak lagi tertawa-tawa seperti tadi.

“Tak perlu kaukenal dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Aku hendak pergi ke Lembah Naga...”

Heii, keparat!” Ang-bin Ciu-kwi kini tidak ragu-ragu lagi. Ini tentu seorang musuh yang harus dijaganya agar jangan sampai ke Lembah Naga. “Memang kau harus mampus!” Dia menerjang lagi, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun pemuda itu, sedangkan guci araknya menyambar ke arah lambung, ada arak muncrat dari dalam mulut guci menyambar ke arah kedua mata lawan! Memang hebat serangan dari Ang-bin Ciu-kwi ini, dan muncratnya arak itupun merupakan serangannya yang istimewa.

Namun, sekali ini Ang-bin Ciu-kwi menemukan tandingannya. Dengan tenang saja pemuda itu miringkan kepala untuk menghindarkan sambaran arak, kemudian tangan kiri menangkis cengkeraman ke arah ubun-ubun sedangkan hantaman guci itu diterimanya begitu saja dengan lambung yang terbuka. Ang-bin Ciu-kwi sudah girang sekali karena isi perut pemuda itu tentu akan berantakan terkena hantaman gucinya.

“Bukkk! Plakk!” Lambung itu tepat kena dihantam guci akan tetapi bukan si pemuda yang roboh, melainkan Ang-bin Ciu-kwi sendiri yang terpelanting dan hampir pingsan dia karena lehernya yang ditampar oleh tangan pemuda itu rasanya seperti remuk dan patah-patah, kepalanya menjadi pening dan dengan susah payah barulah dia bisa bangkit berdiri. Dia memandang sejenak, kemudian larilah Ang-bin Ciu-kwi kembali ke Padang Bangkai, bahkan sedikitpun tidak lagi menengok ke arah Si Kwi yang masih rebah di atas rumput alang-alang tebal yang lunak seperti kasur!

Pemuda itu memandang ke arah larinya lawan dan selagi dia hendak melanjutkan langkahnya, terdengar rintihan dan teringatlah dia kepada gadis setengah telanjang yang masih rebah merintih-rintih di atas rumput itu. Pemuda itu menarik napas panjang dan menghampiri, lalu berjongkok di dekat wanita itu.

“Engkau siapakah? Apa yang telah dilakukan terhadapmu? Engkau diberi minum apa?” Suara pemuda itu halus namun mengandung wibawa.

Si Kwi membuka matanya, menggigit bibirnya, kelihatannya tersiksa sekali. “Si iblis... Ang-bin Ciu-kwi... aku minum arak... ahhhh, kau... kau... peluklah aku...”

Pemuda itu meraba dahi gadis itu, meraba pergelangan tangannya dan gadis itu bangkit duduk, merangkul pemuda itu dan menciuminya dengan mata terpejam.

“Ah, tenanglah...” Pemuda itu memalingkan mukanya menghindarkan ciuman. “Engkau keracunan, terbius, biar kucoba mengusir hawa beracun dari tubuhmu.”

Karena Si Kwi terus menggeliat dan hendak merangkul dan menggelutnya, pemuda itu menjadi repot juga, maka sekali dia menotok, Si Kwi mengeluh panjang dan terkulai lemas. Pemuda itu lalu menelungkupkan gadis itu, dan dengan tangan kirinya ditempelkan di punggung gadis itu, dia mengerahkan sin-kangnya, mengusir hawa beracun yang membuat gadis itu seperti orang mabok yang dirangsang nafsu berahi.

Tenaga sin-kang pemuda itu memang luar biasa kuatnya. Hanya sepuluh menit kemudian, terdengar Si Kwi mengeluh normal dan pemuda itu lalu menotok pundaknya untuk membebaskannya. Si Kwi mengeluh lagi, membalikkan tubuhnya dan melihat pemuda itu, dia cepat meloncat dan dengan gerakan cepat dia sudah menghantam pemuda ini!

“Eh, sabar dan tenanglah...!” Pemuda itu menangkis dan tubuh Si Kwi terhuyung ke belakang.

Kini agaknya Si Kwi baru sadar benar dan melihat pemuda yang asing itu, dia terkejut dan heran, kemudian dia melihat betapa tubuhnya hanya tertutup pakaian dalam sedangkan pakaian luarnya telah tertumpuk di atas rumput.

“Ihhhhh...!” Die menjerit dan dengan gerakan canggung den repot dia berusaha menutupi dada dan bawah pusarnya, kemudian membalikkan tubuh membelakangi pemuda itu.

Pemuda itu tersenyum, lalu mengambil tumpukan pakaian den melemparkannya kepada dara itu, tepat menutup di pundaknya. “Kaupakailah kembali pakaianmu.”

Tanpa menjawab, Si Kwi mengenakan lagi pakaian luarnya, barulah dia membalik dan memandang pemuda itu dengan muka merah dan sinar mata masih bingung. “Apa yang terjadi? Apa yang kaulakukan?”

“Aku? Aku hanya mengusir hawa beracun yang menguasaimu, nona.”

“Mana dia? Mana iblis itu?”

“Kaumaksudkan si pemabok tadi? Dia sudah lari.”

Si Kwi mulai teringat semuanya. Betapa dia minum arak dari cawan dan menjadi pening, kemudian betapa dia senang sekali dirangkul dan diciumi Ang-bin Ciu-kwi, bahkan dibaringkan di atas rumput alang-alang.

“Cuhhh...!” Tiga kali dia meludah ke arah rumput alang-alang tadi, penuh kejijikan.

Pemuda itu tersenyum. “Jangan khawatir, nona. Belum terlambat si bedebah itu melanjutkan perbuatannya yang terkutuk.”

Si Kwi memandang pemuda itu, menatap wajah yang tampan den gagah itu dan mukanya menjadi makin merah. Dia telah terlihat oleh pemuda ini dalam keadaan setengah telanjang!

“Engkau mengusirnya?” tanyanya hampir tidak percaya bahkan pemuda tampan sederhana ini telah menyebabkan Ang-bin Ciu-kwi melarikan diri.

Pemuda itu mengangguk. “Aku lewat dan melihat perbuatannya yang terkutuk, maka aku menegurnya dan akhirnya dia lari.”

“Dan kau lalu mengobatiku?”

Kembali pemuda itu mengangguk. “Melihat sikapmu yang... eh, tidak wajar, aku tahu bahwa engkau terbius hawa beracun, maka aku lalu mengusir hawa beracun dari tubuhmu.”


Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut dan dua titik air mata membasahi pipinya, “Ah, banyak terima kasih, taihiap. Tanpa ada pertolonganmu, tentu celakalah saya...” katanya terharu.

“Sudahlah, nona, tidak perlu kau bersikap begini. Bangunlah dan ceritakan apa yang terjadi.” Pemuda itu mengangkat bangun Si Kwi yang kemudian berdiri dengan kedua pipi kemerahan dan sinar matanya penuh kagum memandang pemuda tampan yang demikian halus sikapnya, dan yang tentu berilmu tinggi karena buktinya dengan mudah mengusir Ang-bin Ciu-kwi dan juga dapat menyembuhkan dia dari pengaruh racun.

“Nama saya Liong Si Kwi dan saya akan... ah, akan pergi meninggalkan tempat terkutuk ini, akan tetapi Setan Arak itu menghadang saya. Kami pernah bertanding dan saya kalah... lalu saya kena ditipunya, minum secawan arak dan...”

“Cukuplah. Aku sudah dapat menduganya. Orang itu jahat sekali.”

“Tentu saja jahat, taihiap, karena dia adalah majikan Padang Bangkai di sini. Selain dia, masih ada lagi isterinya, Coa-tok Sian-li yang tidak kalah kejamnya. Mereka berdua menjadi majikan Padang Bangkai, dibantu oleh lima belas orang anak buah mereka. Daerah ini amat berbahaya, taihiap, maka sungguh mengherankan taihiap dapat datang ke tempat seperti ini.”

“Aku hendak pergi ke Lembah Naga.”

“Ohhhh...!”

Melihat gadis yang manis itu berseru kaget dan mukanya berubah, pemuda itu cepat bertanya, “Nona Liong, apakah engkau mengenal tempat itu?”

“Mengenal Lembah Naga? Tentu saja, akan tetapi sebelumnya, siapakah taihiap ini dan apa perlunya mencari Lembah Naga?” Sinar mata gadis itu menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kekhawatiran.

Pemuda itu juga memandang si gadis penuh perhatian dan dia mengharap bahwa gadis yang telah diselamatkannya dari ancaman bahaya mengerikan tadi, yang agaknya mengenal daerah itu, akan dapat membantunya dengan petunjuk-petunjuk, maka dia lalu menjawab sejujurnya, “Aku bernama Cia Bun Houw...”

“Aihhh...!” Kembali Si Kwi berseru kaget, mulutnya agak terbuka, matanya terbelalak menatap wajah pemuda itu seperti orang melihat sesuatu yang luar biasa! Tentu saja dia telah mendengar nama ini dari gurunya, nama putera ketua Cin-ling-pai yang kabarnya memiliki kepandaian amat hebat! Tak disangkanya kini dia berhadapan dengan orangnya, seorang pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah, dan telah menyelamatkannya dari perkosaan Ang-bin Ciu-kwi!

Bagaimana Cia Bun Houw dapat muncul di tempat itu dan secara kebetulan dapat menyelamatkan Liong Si Kwi dari bahaya perkosaan? Seperti telah kita ketahui, pemuda ini meninggalkan Cin-ling-pai, diutus oleh ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Yuan de Gama di Yen-tai calon besan Cin-ling-pai, dan menghaturkan surat untuk kaisar di kota raja. Setelah mendengar bahwa dia telah dipertunangkan dengan Souw Kwi Eng atau Maria de Gama, hati Bun Houw merasa tidak tenang, karena sesungguhnya pemuda ini telah jatuh cinta kepada In Hong. Maka, menerima tugas ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Souw itu, dia merasa enggan, karena dia merasa malu bertemu mereka, apalagi bertemu dengan Kwi Eng yang tentu telah tahu bahwa mereka telah bertunangan! Ah, menyesallah rasa hati Bun Houw kalau teringat betapa dahulu dia telah mencium gadis itu! Karena keengganan ini, maka dia tidak lebih dulu ke Yen-tai, melainkan lebih dulu ke kota raja untuk menyerahkan surat ayahnya kepada kaisar. Dan begitu tiba di kota raja, dia mendengar bahwa baru beberapa hari yang lalu, In Hong yang kini menjadi seorang puteri itu telah diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan marah. Dia menyerahkan surat ayahnya kepada kaisar dengan menghadap sendiri.

Kebetulan sekali pada waktu itu, kaisar telah menerima balasan dari Raja Sabutai bahwa urusan kakek dan nenek guru Sabutai itu adalah di luar tanggung jawab Sabutai, bahwa Sabutai tidak tahu-menahu dengan semua perbuatan kedua orang gurunya itu yang kini telah meninggalkan dia dan berada di Lembah Naga.

Maka begitu membaca surat ketua Cin-ling-pai yang mohon bantuan kaisar karena puteranya hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai dan dikhawatirkan bahwa kakek dan nenek iblis itu mengandalkan pasukan liar di utara, kaisar lalu memanggil panglima pengawal untuk mengerahkan pasukan pengawal dan membantu putera ketua Cin-ling-pai itu menuju ke Lembah Naga, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi terutama sekali untuk menyelamatkan Yap In Hong.

Akan tetapi Bun Houw yang tidak sabar menanti, berpamit dan berangkat lebih dulu seorang diri dengan cepat sehingga pada hari itu, dia tiba di luar dusun Padang Bangkai dan secara kebetulan dapat menolong Si Kwi.

Ketika dia melihat Si Kwi terkejut mendengar namanya, bahkan wajah gadis yang manis itu menjadi pucat, dia lalu bertanya, “Nona, apakah engkau sudah mengenal namaku?”

Si Kwi mengangguk, “Taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai, bukan?”

“Benar. Bagaimana engkau bisa tahu, nona?”

“Dan taihiap hendak pergi ke Lembah Naga untuk menuntut kembalinya Siang-bhok-kiam dan menolong nona Yap In Hong?”

“Benar...! Bagaimana dengan nona itu?” Bun Houw girang sekali.

Si Kwi menghela napas panjang. “Taihiap, mereka telah menanti-nanti datangnya orang-orang yang hendak menolong nona Yap In Hong, dan mereka telah bersiap-siap! Taihiap, kalau taihiap percaya kepada saya... harap taihiap jangan pergi ke sana. Berbahaya sekali...!” Si Kwi menatap wajah itu dan dia merass makin khawatir. Entah bagaimana, dia tidak dapat membayangkan pemuda ini menemui bencana di Lembah Naga



Hemm, mengapa begitu, nona?”

“Cia-taihiap, percayalah kepadaku. Di sana, selain ada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, juga ada Bouw Thaisu dan ada pula guruku, Hek I Siankouw di samping masih ada seratus orang anak buah kedua orang kakek dan nenek itu...”

“Ah, kiranya engkau adalah murid Hek I Siankouw?”

Tiba-tiba Si Kwi berlutut kembali dan kini dia tidak dapat menahan air matanya. “Taihiap harap jangan samakan saya dengan mereka! Tidak... saya hanya terbawa oleh subo yang tentu saja ingin membalas dendam kematian supek Hwa Hwa Cinjin. Akan tetapi sekarang saya telah melihat dengan jelas betapa mereka itu adalah orang-orang jahat. Karena itu, tadinya saya hendak melarikan diri dari sini, taihiap, sampai saya terhadang oleh Ang-bin Ciu-kwi dan hampir celaka... sungguh, saya amat khawatir kalau taihiap melanjutkan perjelanan. Amat berbahaya menempuh bahaya itu scorang diri saja. Kembalilah, taihiap, atau setidaknya, kalau taihiap hendak menyerbu, bawalah teman sebanyaknya.”

Bun Houw dapat mempercayai keterangan gadis ini. Dia merasa beruntung bahwa secara kebetulan dia dapat menolong gadis ini sehingga dia akan mendengar keterangan yang amat jelas, boleh dipercaya dan berharga dari gadis ini. Maka dia lalu duduk di atas rumput.

“Liong-kouwnio, kaududuklah dan mari kita bicara baik-baik. Engkau tentu tahu, sebagai putera ketua Cin-ling-pai aku tidak mungkin kembali dan mundur.”

“Akan tetapi itu berarti bunuh diri, taihiap! Berbahaya sekali...”

Bun Houw menggeleng kepalanya. “Bahayanya akan berkurang banyak kalau saja engkau suka menceritakan kepadaku keadaan di sana.”

“Tentu! Tentu saja saya suka menceritakan. Taihiap, baru perjalanan menuju ke Lembah Naga saja sudah merupakan perjalanan penuh bahaya. Tidak ada jalan lain menuju ke Lembah Naga kecuali harus melalui Padang Bangkai yang dimulai dari sini. Banyak terdapat bagian-bagian yang amat berbahaya.” Gadis ini lalu menuturkan dengan jelas tentang rahasia tempat itu, mana jalan yang merupakan ancaman maut siapapun yang melanggarnya, dan mana pula jalan rahasia yang harus diambil.

“Melihat kelihaian taihiap, agaknya Padang Bangkai masih akan dapat taihiap lewati. Akan tetapi setelah taihiap berada di daerah Lembah Naga, haruslah berhati-hati sekali. Seratus orang anak buah kakek dan nenek itu adalah orang-orang pilihan dari pasukan Raja Sabutai, dan Pek-hiat Mo-ko serta Hek-hiat Mo-li memiliki kesaktian luar biasa, taihiap.
Dan taihiap hanya sendirian saja...”

Mendengar penuturan yang panjang lebar itu Bun Houw menjadi girang sekali. Setidaknya dia kini tahu jalan mana yang harus diambil. Maka dia lalu bangkit berdiri, diikuti oleh Si Kwi, dan menjura sambil berkata, “Liong-kouwnio telah memberi bantuan yang amat berharga kepadaku, banyak terima kasih atas kebaikanmu, kouwnio.”

“Jangan berkata demikian, taihiap. Sayalah yang berhutang budi dan nyawa...”

“Selamat berpisah, kouwnio, aku hendak melanjutkan perjalanan.”

Si Kwi masih hendak mencegah, namun pemuda itu telah menggerakkan kakinya dan berkelebat lenyap di antara rumpun alang-alang yang tinggi. Dia terkejut dan kagum bukan main. Dia sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu gin-kang yang tinggi, namun gerakan pemuda itu demikian cepatnya sehingga dia maklum bahwa dibandingkan dengan tingkat kepandaian putera ketua Cin-ling-pai itu, kepandaiannya seperti permainan kanak-kanak saja! Jantungnya berdebar ketika dia teringat bahwa pemuda itu adalah putera seorang ketua perkumpulan yang amat besar dan terkenal. Subonya selalu menolak pinangan pemuda-pemuda yang jatuh cinta kepadanya karena subonya hanya mau menjodohkan dia dengan pemuda pilihan, bangsawan atau putera ketua perkumpulan yang berilmu tinggi dan terkenal. Dan pemuda tadi... “Ah, aku melamun yang bukan-bukan!: dia mencela diri sendiri, akan tetapi dara itupun kini melangkah, bukan melanjutkan perjalanan ke selatan, melainkan kembali ke utara, karena dia ingin kembali ke Lembah Naga! Pertemuannya dengan Bun Houw, mendengar bahwa pemuda itu akan menyerbu Lembah Naga, membuat dia khawatir sekali dan berubah sama sekali niatnya. Dia harus kembali ke Lembah Naga, dia tidak mungkin bisa meninggalkan pemuda itu begitu saja tertimpa malapetaka di Lembah Naga!

Bun Houw berlari cepat akan tetapi juga dengan penuh kewaspadaan. Dia maklum akan bahaya yang terdapat di Padang Bangkai ini dan merasa bersyukur bahwa dia dapat menolong Si Kwi sehingga mendapatkan petunjuk-petunjuk yang amat berharga dari gadis itu. Dari Si Kwi dia mendengar tadi bahwa In Hong masih dalam keadaan baik-baik saja, karena memang gadis itu ditawan untuk dipergunakan sebagai umpan. Mendengar bahwa In Hong masih selamat, hatinya lega bukan main. Memang amat penting baginya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah menyelamatkan In Hong. Dirabanya perhiasan rambut burung hong kumala yang selalu berada di saku bajunya bagian dalam, kemudian dirabanya pedang Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya. Apapun yang terjadi, dia harus menyelamatkan In Hong!

Tiba-tiba dia berhenti dan menyelinap di balik rumpun alang-alang ketika dari jauh dia melihat serombongan orang berjalan sambil tertawa-tawa, akan tetapi di antara suara ketawa banyak orang laki-laki itu dia mendengar suara isak tangis seorang wanita! Ketika rombongan itu telah tiba dekat, dia memandang dengan mata berkilat saking marahnya. Rombongan itu terdiri dari belasan orang laki-laki tinggi besar dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang wanita cantik yang telanjang bulat, kedua tangannya dipegangi banyak orang dan dia setengah diseret menuju ke sebuah padang rumput hijau tak jauh dari situ. Dia mendengar dari penuturan Si Kwi tadi bahwa padang rumput hijau itu amat berbahaya, karena di bawahnya menyembunyikan lumpur maut yang sekali diinjak akan menyedot tubuh manusia dan di dalamnya terdapat lintah dan binatang lain yang beracun.


Kini rombongan laki-laki itu mengangkat tubuh si wanita telanjang dan beramai-ramai mereka melemparkan tubuh wanita itu ke tengah padang rumput! Wanita itu menjerit, tubuhnya terbanting dan amblas ke bawah sampai ke pinggang. Matanya terbelalak dan dia meronta-ronta, akan tetapi terbenam makin dalam. Tiba-tiba wanita itu tertawa, lalu menangis lagi dan karena dia terus meronta, sebentar saja suara tawa atau tangisnya itu lenyap karena kepalanya telah terbenam, hanya tinggal kedua tangannya saja yang nampak, membentuk sepasang cakar yang kaku!

Bun Houw menahan napas saking ngeri dan marahnya melihat peristiwa ini. Dia tidak menyangka bahwa wanita itu akan dilempar ke tempat berbahaya itu dan ketika dia melihat hal ini terjadi, dia sudah terlambat dan dia maklum bahwa tak mungkin lagi menolong wanita itu, maka setelah wanita itu tidak nampak lagi dan orang-orang kasar itu masih tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata cabul dan tidak senonoh, dia lalu keluar dan berdiri tegak, memandang mereka penuh kemarahan sambil membentak, “Iblis-iblis bermuka manusia!”

Tentu saja anak buah Padang Bangkai itu terkejut sekali. Cepat mereka menengok dan melihat seorang pemuda asing berdiri di situ, mereka segera mengepungnya. Mereka merasa heran sekali mengapa mereka tadi tidak melihat pemuda ini datang dan tahu-tahu pemuda itu telah berada di situ. Akan tetapi sebelum mereka bertanya, terdengar suara bentakan nyaring.

“Hayo kepung den bunuh orang ini!” Itulah suara Ang-bin Ciu-kwi yang telah datang di situ bersama isterinya, Coa-tok Sian-li. Suami itu bercerita kepada isterinya bahwa dia telah gagal menggagahi Liong Si Kwi karena munculnya seorang pemuda yang amat lihai, pemuda yang amat tampan dan gagah. Mendengar ini, Coa-tok Sian-li sudah tertarik sekali, maka dia cepat bersama suaminya keluar dari sarang untuk menangkap pemuda yang tampan dan gagah itu. Kiranya pemuda itu telah dikepung oleh anak buah mereka.

“Jangan!” Coa-tok Sian-li berseru, lebih nyaring dari suaminya. “Tangkap dia hidup-hidup!” Nyonya yang cantik ini memang tertarik sekali melihat Bun Houw yang tampan dan ganteng dan merasa sayang kalau seorang pemuda seperti itu dibunuh begitu raja!

Mendengar perintah Coa-tok Sian-li, orang-orang kasar itu tersenyum dan saling pandang. Mereka ini tentu saja sudah mengenal baik akan kesenangan nyonya majikan itu, dan sambil tertawa-tawa, mereka lalu mengeluarkan sehelai jala, masing-masing mengeluarkan sehelai dan mengurung pemuda itu dengan jala siap di tangan. Bun Houw sejak tadi memperhatikan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, maklum bahwa suami isteri inilah majikan Padang Bangkai itu seperti yang diceritakan oleh Si Kwi tadi. Dia harus melalui Padang Bangkai untuk dapat pergi ke Lembah Naga dan untuk dapat melalui Padang Bangkai dia harus dapat mengalahkan suami isteri ini bersama belasan orang anak buah mereka. Kebetulan, pikirnya, mereka kini telah berkumpul semua di sini, di tepi padang rumput hijau yang menyeramkan itu. Teringat akan nasib wanita telanjang tadi, Bun Houw merasa perutnya muak dan kini sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah belasan orang yang mengurungnya itu, dengan sinar berkilat-kilat.

“Haaaiiittt...!”

“Tangkaaappp...!”

Empat orang menubruk dari empat penjuru dengan jala mereka. Jala itu bentuknya seperti jala ikan biasa, ada talinya dan ketika dilontarkan, jala-jala itu mengembang seperti layar dan keempatnya dengan tepat menyelimuti tubuh Bun Houw. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, membiarkan jala-jala itu menyelimutinya, akan tetapi segera dia menggerakkan kedua tangannya.

“Breeeetttt...!” Empat helai jala itu pecah dan koyak-koyak hancur, dan si pemuda tampan itu masih berdiri di tengah-tengah pengepungan mereka dengan sikap tenang.

“Heiii...!”

“Ahhh...!”

Mereka terkejut bukan main. Jala mereka itu amat terkenal kuat dan dapat menahan bacokan golok. Musuh yang sudah terjala, baru sehelai jala saja, akan sukar meloloskan diri. Akan tetapi kini pemuda itu, dengan tangan kosong telah menghancurkan empat helai jala sekali gerak! Suami isteri itupun terkejut bukan main dan jantung Coa-tok Sian-li makin berdebar penuh gairah berahi terhadap pemuda yang demikian jantan dan lihainya.

“Serbu! Tangkap!” teriaknya dan kini lima belas orang anak buah Padang Bangkai itu bergerak seperti harimau-harimau kelaparan memperebutkan seekor domba. Sekaligus dua orang menubruk dari depan dan dua orang pula menyergap dari belakang. Karena mereka diperintah untuk menangkap, maka mereka tidak menghantam, hanya menubruk untuk meringkus pemuda ini yang mereka tahu amat diidamkan oleh nyonya majikan mereka.

Kembali Bun Houw membiarkan empat orang itu meringkus dan merangkulnya, kemudian dia mengeluarkan suara melengking dahsyat dan menggerakkan tubuhnya. Akibatnya hebat karena empat orang tinggi besar itu semua terlempar seperti dilontarkan ke arah... padang rumput hijau!

Mereka memekik ketakutan, akan tetapi karena tenaga yang melontarkan mereka itu amat kuat, akhirnya mereka terbanting ke atas padang rumput hijau dan celakanya, mereka jatuh dengan kepala lebih dulu dan langsung tubuh mereka menancap di lumpur dari kepala sampai ke pinggang, tinggal dua kaki mereka saja bergoyang-goyang lucu dan aneh! Teman-teman mereka terkejut dan hendak menolong kawan-kawan mereka itu dengan tali, akan tetapi kini Bun Houw mengamuk, tidak memberi kesempatan kepada mereka, kaki tangannya bergerak dan terdengar suara berkeretaknya tulang-tulang patah dan ada pula yang terlempar ke padang rumput hijau. Dengan gerakan kilat Bun Houw berloncatan dan ke manapun tubuhnya berkelebat, tentu ada anggauta Padang Bangkai yang roboh atau terlempar ke padang rumput berbahaya itu. Dalam waktu singkat, delapan orang terlempar ke padang rumput hijau dan “ditelan” lumpur, yang tujuh orang roboh tak dapat bangkit kembali, ada yang pingsan katena kena ditampar, ada yang patah tulang kaki atau tangannya dan mereka kini hanya merupakan sekumpulan orang cacad yang tidak mampu bangkit, hanya mengerang kesakitan!


Melihat ini, tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li terkejut bukan main. Semua gairah nafsu berahi lenyap dari benak wanita itu ketika melihat betapa lima belas orang anak buahnya telah roboh semua. Kini mukanya yang dihias tebal itu menjadi buruk karena ditarik sedemikian rupa oleh perasaan marah, tangannya bergerak berkali-kali dan puluhan batang jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) menyambar ke tubuh Bun Houw dari kepala sampai ke kaki! Hebat bukan main serangan beruntun dan bertubi-tubi dari jarum-jarum yang dilontarkan oleh Coa-tok Sian-li yang sudah marah, akan tetapi anehnya, Bun Houw sama sekali tidak mengelak, hanya mengangkat tangan untuk melindungi mukanya dari serangan jarum-jarum itu. Dan semua jarum itu tepat mengenai tubuhnya, dari leher sampai kaki, akan tetapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan jarum-jarum itu banyak yang menancap di pakaiannya!

Kini Bun Houw menggunakan tangannya mengusap pakaiannya dan jarum-jarum itu telah berada di tangannya, lalu tangannya bergerak dan belasan batang jarum menyambar ke arah suami isteri itu dan orang-orang mereka yang masih mengerang kesakitan.

“Celaka...!” Coa-tok Sian-li berseru.

Dia dan suaminya dapat meloncat jauh ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum itu, akan tetapi empat orang anggauta atau anak buah mereka yang telah terluka tadi, kini menjerit dan terjengkang roboh berkelojotan termakan oleh jarum-jarum beracun! Hanya mereka yang tadi sudah pingsan dan rebah saja yang lolos dari maut.

Melihat ini, Coa-tok Sian-li dan Ang-bin Ciu-kwi menjadi pucat dan tanpa menanti komando lagi, keduanya telah membalikkan tubuh dan lari dari situ seperti dikejar hantu! Mereka melarikan diri ke utara untuk melapor ke Lembah Naga tentang kedatangan pemuda yang luar biasa lihainya ini. Sementara itu, dari jauh Si Kwi melihat semua peristiwa itu dan jantungnya berdebar tegang dan penuh kekaguman. Makin kagumlah dia kepada Bun Houw, dan makin tetaplah tekadnya bahwa apapun yang akan terjadi, dia harus menjaga agar Bun Houw jangan sampai tertimpa malapetaka, atau dia akan berusaha untuk menolongnya sedapat mungkin.

Ketika dia melihat pemuda itu dengan gerakan cepat sekali telah meninggalkan tempat itu dan agaknya seperti mengejar suami isteri yang melarikan diri, Si Kwi juga cepat melanjutkan perjalanannya. “Ohh, aku cinta padamu... betapa aku cinta padamu...” Bibirnya berkemak-kemik ketika dia memandang bayangan Bun Houw yang segera lenyap itu.

Si Kwi bukan seorang gadis yang mudah jatuh cinta. Biasanya, karena sikap gurunya, dia malah ada kecondongan memandang rendah kaum pria, biarpun di dalam lubuk hatinya dia merindukan seorang suami yang seperti yang diidam-idamkan gurunya dan diidamkannya sendiri pula. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan lebih lihai daripada dia sendiri, dan tentu saja yang tampan dan ganteng. Maka kini, bertemu dengan Cia Bun Houw dan melihat betapa semua idaman hatinya itu terkumpul di dalam diri pemuda itu, tidaklah mengherankan apabila dia tertarik, kagum, dan jatuh cinta! Apalagi karena justeru pemuda hebat itulah yang telah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut! Dan selain ini, juga pemuda itu telah melihat dia dalam keadaan setengah telanjang, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan pendek saja! Seluruh kerinduan yang timbul semenjak beberapa tahun ini, semenjak dia telah menjadi dewasa, kini ditumpahkan kepada diri Bun Houw seorang!


***

Berkat petunjuk dari Liong Si Kwi, Bun Houw tidak mengalami kesukaran melewati Padang Bangkai yang telah kosong ditinggalkan penghuninya itu dan akhirnya tibalah dia di luar tembok yang mengelilingi tempat tinggal Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Lembah Naga. Tembok itu seperti benteng saja, kokoh kuat dan tinggi. Akan tetapi sungguh aneh sekali, kalau benteng dijaga dengan ketat dan tentu tampak para perajurit penjaga hilir-mudik melakukan penjagaan dan perondaan, sebaliknya tempat ini sunyi saja tidak nampak seorangpun penjaga. Ketika Bun Houw tiba di depan pintu gerbang, pintu besar dari tembok benteng itu malah terbuka lebar-lebar dan tidak nampak ada yang menjaganya, seolah-olah pintu yang terbuka lebar itu mempersilakan dia memasukinya. Akan tetapi, Bun Houw bukan seorang pemuda sembrono atau bodoh. Baginya, pintu benteng yang terbuka lebar itu seperti mulut seekor naga yang terbuka, siap menelannya kalau dia tidak berhati-hati!

Bun Houw menduga bahwa tidaklah mungkin Lembah Naga begitu lengah setelah sengaja menawan In Hong dan menggunakan gadis itu sebagai umpan datangnya para tokoh Kerajaan Beng. Apalagi karena sekarang Siang-bhok-kiam juga telah mereka rampas dan setiap saat mereka menanti datangnya orang Cin-ling-pai untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Ini pasti sebuah perangkap, pikirnya. Dia teringat akan suami isteri majikan Padang Bangkai yang melarikan diri. Pasti karena dua orang itu telah datang melapor, maka kini Lembah Naga sudah siap menyambutnya dan mengatur perangkap.

Namun Bun Houw sama sekali tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan In Hong gadis yang dicintanya itu. Dia lalu pergi mencari sebongkah batu yang beratnya kurang lebih seberat orang biasa, lalu dia melontarkan batu itu ke lantai di tengah pintu gerbang sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung terbang saja.

“Bukkkk...!” Baru saja batu itu tiba di lantai pintu, terdengar bunyi berderit nyaring dan lantai di bawah pintu gerbang itu terkuak lebar sekali merupakan sumur besar yang dapat menelan puluhan orang perajurit yang menyerbu pintu gerbang itu. Kemudian, dari atas kanan kiri pintu gerbang itu, belasan orang laki-laki yang sudah bersiap dengan gendewa mereka melepas anak panah seperti hujan saja ke dalam lubang.

Bun Houw bergidik. Jangankan baru dia seorang, andaikata ada pasukan yang lancang menyerbu masuk, tentu pasukan itu akan terjeblos ke dalam lubang sumur besar itu dan semua tewas di bawah hujan anak panah itu! Akan tetapi kini para anak buah Lembah Naga itu sudah melihat Bun Houw yang berdiri di atas tembok, maka mereka kini lalu membalikkan gendewa mereka dan menyerang pemuda itu dengan anak panah.


Bun Houw meloncat ke bawah, kaki tangannya menangkis dan menendang anak panah yang datang menyerangnya, ada pula yang mengenai tubuhnya akan tetapi semua anak panah itu runtuh ke bawah, tidak ada yang dapat melukai tubuhnya yang sudah dilindungi oleh sin-kang menjadi kebal. Begitu tiba di bawah, Bun Houw berseru nyaring, “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Keluarlah kalian kalau memang kalian bukan pengecut-pengecut hina! Aku Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah datang!”

Semua anak buah Lembah Naga terkejut mendengar ini. Di antara mereka memang ada yang sudah pernah melihat Cia Bun Houw ketika pemuda ini dahulu memasuki benteng Sabutai, akan tetapi ada pula yang belum melihatnya. Akan tetapi, mereka semua telah mendengar akan nama pemuda Cin-ling-pai yang kabarnya amat lihai itu dan tadi mereka sudah menyaksikan sendiri betapa selain tidak dapat terjebak di pintu gerbang, juga pemuda itu telah memperlihatkan kelihaiannya ketika dihujani anak panah.

“Ha-ha-ha, bocah sombong!” Terdengar suara keras dan nampaklah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li muncul dari dalam sebuah rumah gedung, langsung menghampiri tempat yang telah dikurung oleh puluhan orang anak buah mereka itu. Juga, nampak muncul Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, kemudian paling akhir muncul pula Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang memandang ke arah pemuda itu dengan sikap gentar.

“Ha-ha-ha! Mana ketua Cin-ling-pai? Aku mengharapkan dia yang muncul di sini, bukan seorang bocah masih ingusan macam kau!” Pek-hiat Mo-ko berkata lagi, memandang rendah kepada Bun Houw.

Bun Houw sudah memandang penuh perhatian. Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan berpakaian hitam di samping Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam berpakaian putih itu benar-benar merupakan pasangan yang menyeramkan sekali. Akan tetapi, teringat bahwa In Hong berada di sebelah dalam dari satu di antara rumah-rumah di benteng ini, bangkit kembali semangat Bun Houw dan dengan tabah dia lalu berkata, “Ji-wi locianpwe adalah dua orang tua yang berilmu, mengapa menggunakan cara yang amat tercela? Kalau hendak menantang kami mengapa harus menggunakan akal pancingan?”

“Heh-heh-heh, bocah ini bermulut lancang!” Hek-hiat Mo-li mengejek. “Pedang Siang-bhok-kiam memang ada pada kami, suruhlah ketua Cin-ling-pai sendiri datang untuk mengambilnya kalau dia berani!”

“Cukup dengan aku saja sebagai putera ketua Cin-ling-pai mewakili ayah dan seluruh Cin-ling-pai!” kata Bun Houw tenang. “Dan bukan hanya untuk Siang-bhok-kiam, terutama sekali hendaknya ji-wi suka membebaskan nona Yap In Hong sekarang juga!”

Ucapan yang tenang dari Bun Houw ini mengherankan semua orang, heran akan keberanian pemuda ini yang datang seorang diri di tempat itu namun telah membuka suara lantang hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam dan menuntut dibebaskannya Yap In Hong! Sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang menanti jawaban dari dua urang kakek dan nenek itu dan tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara lemah, “Subo...”

Semua orang menengok dan Hek I Siankouw juga menoleh. Ketika dia melihat muridnya yang berpakaian merah itu telah tiba di situ dengan muka agak pucat, dia cepat memanggil dengan suara dingin, “Si Kwi, ke sinilah engkau!”

Mendengar suara gurunya, Liong Si Kwi terkejut dan melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang keduanya menyeringai itu, dia lalu cepat menghampiri gurunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Hek I Siankouw.

“Heh-heh, bagus sekali muridmu, Siankouw! Kiranya muridmu yang kaubilang amat boleh dipercaya itu hanya seorang pengkhianat tak tahu malu!” kata Hek-hiat Mo-li.

“Nanti dulu, Mo-li!” Hek I Siankouw membantah. “Kita tidak boleh hanya mendengarkan keterangan yang sepihak saja. Persoalan ini perlu diselidiki baik-baik sebelum menjatuhkan kesalahan kepada satu pihak. Eh, Si Kwi, bagaimana dengan perintah yang kuberikan kepadamu untuk menemui majikan-majikan Padang Bangkai dan menyampaikan pesan?”

“Sudah teecu lakukan dengan baik, subo. Akan tetapi...” Dara itu mellrik ke arah Ang-bin Ciu-kwi yang masih menyeringai.

“Akan tetapi engkau berkhianat kata orang, hendak melarikan diri dari sini, kemudian engkau bermain gila dengan pemuda Cin-ling-pai ini, berjina dengan dia dan ketahuan oleh Ang-bin Ciu-kwi dan...”

“Bohong...!” Si Kwi menjerit dan dia melompat bangun, menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan menudingkan telunjuknya kepada majikan Padang Bangkai itu. “Dia bohong, dia bukan manusia, subo! Dia inilah manusianya yang hampir saja memperkosa teecu! Ketika teecu tiba di sana, mereka ini dan anak buah mereka tidak melakukan penjagaan, melainkan mengganggu banyak wanita biarpun kemudian mereka bilang bahwa wanita-wanita itu adalah anak buah Giok-hong-pang. Kemudian... dengan curang iblis ini menyuguhkan arak beracun kepada teecu dan nyaris teecu diperkosa olehnya! Bedebah keparat dia ini!”

“Ha-ha-ha, kami lihat engkau dan pemuda Cin-ling-pai itu bergumul di antara rumpun alang-alang... ha-ha-ha, betapa asyiknya... dan sekarang masih memutar balikkan omongan!” kata Ang-bin Ciu-kwi.

“Nanti dulu, Ciu-kwi. Benarkah omonganmu dan isterimu bahwa kalian melihat muridku berjina dengan pemuda Cin-ling-pai ini?”

“Benar! Kami berdua melihatnya!” jawab Coa-tok Sian-li dengen tegas.

“Bohonggg...!” Si Kwi menjerit lagi.

“Diam kau, Si Kwi!” Hek I Siankouw membentak muridnya, lalu berkata kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, “Kalian berdua tentu bukan anak kecil dan hal ini tentu saja dengan mudah dapat kita periksa. Sepanjang pengetahuanku, muridku adalah seorang perawan. Akan tetapi kini dua orang majikan Padang Bangkat ini mengatakan bahwa muridku berjina dengan seorang laki-laki. Harap Hek-hiat Mo-li suka memeriksa kebenaran keterangan itu. Kalau benar muridku sekarang sudah bukan perawan lagi, aku sendiri yang akan membunuhnya!”


Heh-heh, itu benar sekali!” Hek-hiat Mo-li melangkah maju dan sebelum Si Kwi sempat mengelak, dia telah tertotok roboh. Dengan cekatan jari-jari tangan Hek-hiat Mo-li meraba-raba dan tak lama kemudian dia membebaskan totokannya, mencelat ke tempatnya kembali sambil berkata kecewa, “Dia benar masih perawan!”

“Hemm...” Hek I Siankouw kini menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. “Bagaimana sekarang, manusia-manusia palsu? Kalau muridku telah berjina dengan seorang pria, bagaimana mungkin dia masih perawan sekarang?”

Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li tentu saja menjadi bingung. Mereka memang sengaja memutarbalikkan fakta agar gadis itu tidak mengadukan keadaannya ketika berada di Padang Bangkai, siapa tahu kini terdapat bukti bahwa cerita mereka itu bohong belaka!

“Akan tetapi dia... dia hendak lari ke selatan dan... sekarang buktinya, pemuda Cin-ling-pai ini mana mungkin bisa
melewati Padang Bangkai dan tiba di sini kalau tidak atas petunjuk Si Kwi?” kata Ang-bin Ciu-kwi yang biarpun pemabok namun cukup cerdik itu.

Kembali Hek I Siankouw meragu. “Si Kwi, benarkah engkau memberi petunjuk kepada pemuda Cin-ling-pai ini?”

“Tidak, Hek I Slankouw, dia sama sekali tidak memberi petunjuk apa-apa kepadaku. Mengapa kalian ini begitu tolol untuk mempercaya omongan manusia-manusia macam suami isteri yang cabul dan kotor ini? Aku memaksa seorang anggauta Padang Bangkai untuk menunjukkan jalan ke sini!” Bun Houw cepat berkata untuk melindungi Si Kwi.

“Nah, jelas bahwa engkau sengaja hendak memburukkan nama muridku, hanya karena engkau tadinya hendak memperkosanya dan kini kau memutarbalikkan kenyataan! Ang-bin Ciu-kwi, kau menghina muridnya, berarti kau menantang gurunya!”

“Bagus, Hek I Siankouw, engkau sombong sekali!” Tiba-tiba Coa-tok Sian-li berteriak dan meloncat ke depan membela suaminya. “Muridmu bisa bercerita bohong dan tentu saja pemuda musuh ini membelanya, akan tetapi kami suami isteri juga mempunyai cerita tersendiri. Muridmu yang tak tahu malu...”

“Tutup mulutmu, perempuan cabul!” teriak Hek I Siankouw.

“Engkau yang harus tutup mulut!” teriak Coa-tok Sian-li. Dua orang wanita itu, tentu saja Coa-tok Sian-li dibantu suaminya, sudah akan saling serang ketika terdengar Hek-hiat Mo-li berseru keras.

“Sungguh bodoh kalian! Mudah saja diadu domba oleh musuh. Sedangkan musuh masih berdiri di antara kita, kalian sudah saling cekcok! Lebih baik kalian bertiga cepat maju menangkap pemuda Cin-ling-pai ini!”

“Benar, kalau memang kalian bertiga merupakan pembantu-pembantu kami yang setia, hayo kalian tangkapkan pemuda ini untuk kami!” kata pula Pek-hiat Mo-ko.

Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan kelihaian pemuda itu, merasa jerih. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat betapa jarum-jarumnya yang ampuh itupun sama sekali tidak dapat melukai pemuda ini. Juga Hek I Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka diapun meragu untuk turun tangan. Akan tetapi dalam saat yang membingungkan bagi mereka itu, tiba-tiba saja semua kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang mata mereka itu saling melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus bekerja sama untuk menandingi pemuda Cin-ling-pai itu.

“Singggg...!” Tangan kanan Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya, sedangkan tangan kiri merogoh kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).

“Singggg...!” Coa-tok Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang berlika-liku seperti ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga mengambil segenggam jarum racun ular.

“Wuuut-wuuuttt...!” Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya.

Tiga orang ini karena terpaksa kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat ketiganya sudah menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah guci arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu. Namun Bun Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-serangan itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang telah mewarisi Thian-te Sin-ciang secara sempurna, sehingga biarpun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok Beng Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani untuk menangkis senjata-senjata pusaka yang tajam! Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia mengelak dan menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.

“Plak-plak-plakkk...!”

Tiga orang pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan otomatis Hek I Slankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam menyambar dan itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangannya. Coa-tok Sian-li juga menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu berupa uap yang amat kuat menyambar ke depan dan biarpun hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan dorongan tenaga khi-kang yang hebat, tidak kalah berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya!


Bun Houw meloncat ke atas dan kedua kakinya bergerak menendangi senjata-senjata rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian tubuhnya itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, kini tubuhnya meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan kanan, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka menghantam ke arah Hek I Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga.

Melihat suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat menubruk maju dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang mencengkeram, sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap saja hawa pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya dan pendeta wanita tua ini terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah pucat.

Bun Houw menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi. Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar suara Bouw Thaisu, “Siancai, bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!”

“Wuuut-wuuuuuttt...!”

Bun Houw cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik dan mengelak dari sambaran kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya ujung lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung lengan baju ini lebih lihai daripada senjata-senjata tajam tiga orang pengeroyoknya yang lain.

“Bagus! Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-orang tua pengecut ini!” Bun Houw berseru dan diapun balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang tua yang kesemuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Namun, pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat mendorong mereka biarpun tidak mengenai langsung.

Sementara itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terkejut dan kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jerih lagi menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Kini mereka telah menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut lagi menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain!

“Kalau kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu tidak akan mampu merobohkannya,” kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas.

“Bukan salah mereka. Mereka merupakan pembantu-pembantu yang cakap, hanya pemuda inilah yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik untuk menjamin kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini,” kata Hek-hiat Mo-li.

“Engkau benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia.”

“Jangan kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia. Kita harus menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan nona itu daripada pedang pusaka Siang-bhok-kiam? Hemm, ini tentu ada apa-apanya. Mo-ko, kaubantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh. Aku mempunyai akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan kita.”

Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah meloncat dan menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat dari tangan kanannya. Pek-hiat Mo-ko terkenal dengan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun dan yang mendatangkan hawa dingin sekali.

Ketika Bun Houw yang sedang berusaha merobohkan empat orang pengeroyoknya itu tiba-tiba merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuat. Cepat diapun mengerahkan tenaganya menangkis ke kiri, disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini.

“Prattt... dessss...!” Tangkisannya membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu membuat si kakek bermuka putih ini bergulingan, akan tetapi sambil tersenyum dia sudah bangkit kembali, tanda bahwa pukulan sakti itu sama sekali tidak melukainya!

“Ha-ha-ha, Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk dari Tibet itu datang ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya, ha-ha!” Pek-hiat Mo-ko tertawa girang. Tadi dia memang hendak menguji keampuhan ilmunya yang baru dan ternyata lulus dengan baik karena pukulan hebat itupun dapat diterimanya tanpa melukai bagian dalam tubuhnya! Dan kini dia menyerang lagi lebih hebat daripada tadi.

Bun Houw menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia lebih dulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu lawan satu, dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biarpun kakek ini memiliki kekebalan yang begitu istimewa. Berpikir demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat orang yang lain! Hebat bukan main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari tangannya dan selagi empat orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pedang Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan menyilaukan mata.


“Trang-trang-trakk-breetttt...!”

Sinar emas itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok Kiam-sut yang dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I Siankouw rusak ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor dan ujung lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus! Empat orang itu berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-hiat Mo-ko. Memang Bun Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih dulu sebelum dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menandingi kakek yang amat lihai itu.

“Tahan...! Cia Bun How, lihat ini...!” Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li dengan suara nyaring.

Bun Houw meloncat ke belakang, menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu.

“Hong-moi...!” Tak disadarinya lagi Bun Houw berseru girang melihat gadis itu benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan maut!

“Cia Bun Houw, pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan kuhabiskan nyawanya di depan matamu!”

“Jangan dengarkan dia! Aku tidak takut mati!” Tiba-tiba In Hong berserun yaring dan Bun Houw menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis lincah dan berani, tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan “nona Hong” yang dulu itu, dengan “Hong-moi” yang dulu itu!

“Hong-moi...!” Kembali dia mengeluh dan meragu.

“Cia Bun Houw, engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai yang perkasa. Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan perdulikan aku!” Kembali In Hong berkata. “Jangan kau merendahkan nama ayahmu.”

“Cia Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!” Tangan berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong.

“Hek-hiat Mo-li!” Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar amat berwibawa dan menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya. “Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong akan tetapi akupun dapat membunuh kalian semua!”

“Ha-ha-ha, Cia Bun Houw bocah sombong! Kaukira akan mampu membunuh kami? Ha-ha, nona itu dapat kami bunuh dan kaupun juga! Lihat berapa besar kekuatan kami?”

Ucapan Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan ternyata tempat itu telah terkurung oleh seratus orang anak buah yang kelihatannya kuat-kuat dan bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi sekejap dan diam-diam dia mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini kelihatan amat berduka memandang ke arahnya.

“Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biarpun demikian, tetap saja untuk kematian nona Yap In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini! Maka tidak adillah kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan nona Yap In Hong dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau kalian bunuh atau apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!”

“Houw-ko, jangan gila...!” In Hong menjerit dan tanpa disadarinya dia kembali telah menyebut Houw-ko kepada Bun Houw.

Bun Houw tersenyum kepadanya. “Hong-moi, sudah sepatutnya kalau laki-laki yang menjadi tawanan, bukan wanita. Pula, mereka tidak mempunyai urusan denganmu, melainkan dengan Cin-ling-pai. Kalau engkau yang ditawan, hal itu kiranya belum tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku yang ditawan!” Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh semua orang.

“Cia Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?” Hek-hiat Mo-li berteriak.

“Sesukamulah kalau kau hendak membunuhnya akan tetapi aku bersumpah akan membasmi kalian, akan melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah kalian bebaskan saja, aku mau menyerah tanpa syarat.”

“Houw-ko...!” In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah. Tak disangkanya pemuda itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya, mengorbankan keselamatan nyawanya untuk menolong dia!

“Bagaimana ji-wi locianpwe?” Bun Houw mengejek. “Kalian memilih aku mengaku dan membunuhi semua orang di sini ataukah menukar aku dengan nona itu?”

Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li dan mereka bicara dalam Bahasa Sailan. “Memang dia lebih berharga daripada gadis ini,” kata Pek-hiat Mo-ko.

“Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita? Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini,” kata Hek-hiat Mo-li.

“Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis itu.”


Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, “Cia Bun Houw, kami menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau menyerahlah dan lemparkan pedang itu.”

Bun Houw tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat. “Siapa bisa percaya omongan kalian? Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang di tanganku ini adalah pedengnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah keluar dari tempat ini, barulah aku akan menyerah.”

Kakek dan nenek itu marah sekali, merasa terhina. “Bocah lancang! Kami adalah guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai orang-orang yang akan melanggar janji? Kalau tidak percaya kepada kami, kamipun bisa tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan, kau tidak mampu menyerah?”

“Aku adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai melanggar janji? Kalian sudah jelas pernah melanggar ketika di antara Bayangan Dewa dan aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Aku keluar sebagai pemenang, akan tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian tahan! Aku sudah berjanii dan lebih baik mati daripada melanggar janji, itulah watak seorang pendekar!”

“Baiklah, memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai melanggar janji daripada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke seluruh dunia kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!” kata Pek-hiat Mo-ko yang cerdik itu. “Mo-li, bebaskan nona ini!”

“Eh, eh, nanti dulu, Moli!” Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan mencegah. “Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku? Nona itu adalah milikku, kalian harus ingat ini!”

“Hek I Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!” Hek-hiat Mo-li menjawab. “Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami menjanjikan kepadamu kalau urusan kita semua sudah selesai, dan sekarang urusan belum selesai, bantuanmupun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini dibebaskan menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja sebagai penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya kembali? Kalau sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana kaisarpun kami dapat mengambilnya apalagi di tempat lain!”

Hek I Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantahpun tidak akan ada gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang amat lihai dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap gadis yang telah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, daripada sekarang memusuhinya dan sama sekali tidak akan menguntungkannya.

Hek-hiat Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk mematahkan semua belenggu kaki tangan In Hong dan membebaskan totokannya dengan jalan menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau saja dia tidak cepat meloncat karena pembebasan totokan dan belenggu itu membuat seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri.

Bun Houw sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya. “Hong-moi, kau pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi, Hong-moi dan ini kukembalikan pedangmu.” Bun Houw menyerahkan Hong-cu-kiam.

Seperti dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu, matanya masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw. “Houw-ko... tidak boleh begini...” katanya dengan suara berbisik.

“Sudahlah, Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau bebas dari neraka ini!”

“Tapi... tapi... kau...?”

“Sudahlah, jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku sebagai umpan. Pergilah, Hong-moi dan... kaumaafkan semua keselahanku yang sudah-sudah...”

“Houw-koko!” In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus dua titik air mata. Lalu dia mengepal tinju tangan kirinya, memalangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dada. “Houw-ko, biar kuhajar mereka ini!”

“Hssshhh, jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka.”

“Hayo lekas pergi, mengapa kami disuruh nonton sandiwara?” bentak Ang-bin Ciu-kwi dengan marah.

“Pergilah, Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu,” kata pula Bun Houw sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus.

Dengan isak tertahan In Hong membalikkan tubuhnya dan berlari keluar dari pintu gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah melihat In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya lagi memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. “Nah, sekarang aku menyerah.”

“Engkau memang sungguh seorang muda yang amat gagah!” Pek-hiat Mo-ko memuji sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li.

“Akan tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!” kata Hek-hiat Mo-li dan secepat kilat, jari tangannya menotok.


Bun Houw mengangguk. “Maaf, anggauta tubuhku bergerak otomatis tanpa kusengaja.”

Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya, “Blar kuikat saja dengan ini.” Dan kakek inipun lalu mengikat kedua tangan pemuda itu di belakang tubuhnya. Tali ini bukan tali semberangan, melainkan otot dari harimau hitam yang hanya terdapat di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah direndam obat, merupakan benda yang ulet dan tidak dapat dibikin putus oleb apapun. Setelah dibelenggu kedua tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak dimasukkan dalam kamar tehanan.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Bebaskan dia!”

“Hong-moi...!” Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata terbelalak lebar dan muka berubah saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah In Hong! Gadis ini kelihatan jelas habis menangis, matanya merah den pipinya basah. Kini dia tidak menangis lagi, bahkan sikapnya gagah dan beringas, pedang Hong-cu-kiam di tangannya dan dia berdiri tegak, sikapnya mengancam seperti seekor harimau betina yang dirampas anaknya.

“Hong-moi, pergilah...! Ahhh...!” Bun Houw menjadi bingung sekali. Sementara itu, Hek I Siankouw dan muridnya, Liong Si Kwi, sudah menerjang In Hong dengan senjata mereka, yaitu Hek I Siankouw menggunakan pedang hitamnya yang ujungnya rusak oleh Bun Houw tadi sedangkan Si Kwi mempergunakan sepasang pedang. Melihat betapa gadis itu melawan dengan nekat den gerakannya cepat bukan main, Bouw Thaisu juga sudah turun tangan membantu. Hanya Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang masih marah kepada Hek I Siankouw tidak mau membantu, hanya menonton.

“Ha-ha-ha, tidak usah dicari dia sudah kembali, ha-ha!” Pek-hiat Mo-ko tertawa bergelak den Hek-hiat Mo-li sudah meloncat dan ikut mengeroyok In Hong. Tentu saja In Hong segera terdesak mundur karena nenek ini memang lihai bukan main. Pernah dia dicoba oleh nenek ini dan tidak dapat menang karena nenek ini memiliki kekebalan yang luar biasa. Akan tetapi, dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, In Hong merupakan seorang yang sukar dikalahkan begitu saja dan dia mengamuk dengan hebat sehingga Si Kwi yang tingkat kepandaiannya paling rendah terpaksa mundur.

“Hek-hiat Mo-li! Apakah engkau demikian tak tahu malu untuk melanggar janji?” Bun Houw membentak den berusaha untuk membebaskan diri, namun biar dia telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, kedua lengannya tidak mampu membikin putus tali yang membelenggunya. Tali itu terlampau ulet dan juga agak mulur sehingga tidak mungkin dapat dibikin putus.

“Hemm, Cia Bun Houw! Siapa yang melanggar janji? Nona itu datang sendiri, dan kami tidak mengejarnya, dia yang datang mengamuk. Apakah itu berarti kami melanggar janji?” Pek-hiat Mo-ko berkata.

Tentu saja Bun Houw tidak membantah kata-kata itu dan kembali dia berseru. “Hong-moi, jangan...! Pergilah lekas!”

Sambil menangkis serangan yang dilakukan dengan penuh kebencian oleh Hek I Siankouw, In Hong menjawab, “Tidak! Kalau engkau tidak dibebaskan, aku akan mengamuk sampai titik darah terakhir!”

Hek I Siankouw menjerit dan meloncat mundur karena pundaknya tergores ujung pedang Hong-cu-kiam sehingga berdarah. Hek-hiat Mo-li menubruk dan ketika sinar keemasan pedang Hong-cu-kiam menyambar, nenek ini menangkis dengan lengannya dan sebuah tamparannya mengenai pundak In Hong sehingga dara ini terhuyung.

“Hong-moi, pergilah...!” kembali Bun Houw berteriak, akan tetapi In Hong sudah marah seperti seekor harimau terluka. Dia meloncat bangun dan dengan mata beringas memandang nenek bermuka hitam itu dan lima belas orang anak buahnya yang kini sudah mengurung In Hong dengan membawa tali-tali panjang yang digulung. Inilah pasukan tali yang sudah terlatih baik oleh dua orang kakek dan nenek itu. Begitu Hek-hiat Mo-li berseru keras, orang-orang itu menggerakkan tangan dan meluncurlah tali-tali yang panjang itu ke sekitar tubuh In Hong, dan ujung itu diterima oleh seorang teman di seberang. Dengan demikian, tahu-tahu In Hong telah dikurung oleh tali-tali yang ruwet dan aneh sehingga dia sukar untuk bergerak karena ke manapun dia maju, tentu terhalang oleh tali yang ruwet itu!

In Hong menjadi marah, akan tetapi dia tidak mampu menyerang lima belas orang yang mengurungnya itu. Mereka ikut bergerak kalau dia bergerak, dan kedudukannya tetap saja di tengah-tengah terhalang oleh tali-temali itu. Terdengar dara ini mengeluarkan suara melengking keras dan pedangnya kini tidak lagi mencari sasaran manusia melainkan mengamuk kepada tali-tali itu. Tali itu ternyata juga terbuat dari bahan yang kuat sekali, akan tetapi Hong-cu-kiam yang tajam digerakkan oleh tangan dara itu yang mengandung sin-kang kuat, merupakan sinar yang bukan main hebatnya sehingga tak lama kemudian tali-temali itu mulai putus! Lima belas orang yang memegang ujung tali-temali itupun mulai menjadi kacau dan In Hong sudah dapat minggir mendekati mereka yang makin panik dan jerih karena tali-temali yang membentuk semacam jaring itu kini telah robek-robek!

“Mundur!” teriak Pek-hiat Mo-ko setelah dia mengikat kedua kaki Bun Houw dengan tali otot hitam sehingga pemuda ini sekarang rebah di atas tanah tak dapat bergerak lagi. Kakek ini sekarang bersama nenek muka hitam lalu menyerbu ke depan.

Melihat dua orang musuhnya ini, In Hong membentak dan pedangnya berkelebat menyerang dengan ganas. Namun, kakek dan nenek yang kini telah memegang sebatang tongkat itu menangkis dan mendesak ke depan. In Hong dikurung rapat dan didesak sedemikrian rupa sehingga gadis itu menjadi repot juga. Menghadapi seorang di antara mereka dia sudah kewalahan karena kekebalan mereka yang luar biasa, apalagi kini dikeroyok dua dan mereka berdua itu memainkan sebatang tongkat secara istimewa pula. Belum sampai lima puluh jurus dia mempertahankan, dia telah roboh oleh totokan istimewa yang dilakukan dengan ujung tongkat oleh Pek-hiat Mo-ko. Tubuh In Hong terguling dan segera diapun diikat kaki tangannya seperti Bun Houw dan dilempar di dekat Bun Houw. Kebetulan sekali In Hong terjatuh dengan muka berhadapan dengan pemuda itu. Mereka saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, kemudian terdentar Bun Houw mengeluh kekecewaan. Percuma saja dia mengorbankan dirinya untuk gadis ini!


Dukk! Dukk!”

Dua kali tangan Pek-hiat Mo-ko bergerak ke arah tengkuk Bun Houw dan In Hong, dan kedua orang muda itu mengeluh dan tak bergerak lagi, mata mereka terpejam karena mereka telah pingsan. Kakek dan nenek itu sendiri yang mengempit tubuh dua orang muda yang merupakan tahanan dan sandera amat berharga itu, diiringkan oleh semua pembantunya mereka lalu membawa dua orang tawanan itu dan setelah membebaskan totokan dan tali, melemparkan mereka ke dalam kamar tahanan yang amat kuat, kamar tahanan dari baja yang tidak mungkin dapat dibobol oleh seorang lihai seperti Bun Houw sekalipun!

“Mengapa mereka dibebaskan? Sungguh berbahaya, locianpwe,” Ang-bin Ciu-kwi mencela Pek-hiat Mo-ko setelah dua orang muda itu dibebaskan dari belenggu dan dilempar ke dalam kamar tahanan dan pintunya dikunci dari luar.

Pek-hiat Mo-ko tersenyum. “Biarpun berbahaya, mereka itu hanya seperti dua ekor harimau di dalam kerangkeng. Mereka tidak berbahaya lagi dan sewaktu-waktu, mudah saja kita merobohkan mereka dari luar kerangkeng. Mereka adalah sandera-sandera yang amat berharga, harus dijaga jangan sampai sakit dan mati sebelum semua teman The Hoo si keparat itu mewakilinya datang ke sini dan menerima hukuman.”

Ang-bin Ciu-kwi bergidik karena dalam suara kakek ini terkandung ancaman yang amat hebat. “Sungguh saya merasa heran, locianpwe. Panglima The Hoo sudah mati, kenapa ji-wi locianpwe menaruh dendam yang demikian hebat sehingga semua temannya harus dihukum!”

Tiba-tiba leher baju Setan Arak itu dicengkeram oleh tangan kiri Pek-hiat Mo-ko sehingga Si Setan Arak kaget dan ketakutan. “Ampun... maafkan kalau saya salah bicara...”

Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko menarik muka Ang-bin Ciu-kwi sampai dekat dengan mukanya. “Lihat! Lihat baik-baik mukaku, dan lihat muka Hek-hiat Mo-li! Apakah seperti manusia lagi? Itu semua gara-gara si keparat The Hoo!” Dia lalu mendorong dan melepaskan tubuh Ang-bin Ciu-kwi yang jatuh terjerembab ke atas lantai. “Sekarang, engkau dan isterimu, harus menjaga baik-baik dua orang tawanan ini. Awas, kalau sampai mereka itu sakit atau mati atau lolos, nyawa kalian berdua yang menjadi gantinya!”

Pek-hiat Mo-ko memang cerdik. Dia tidak mempercayakan penjagaan atas diri dua orang tawanan itu kepada Bouw Thaisu, atau Hek I Siankouw, karena dia tahu bahwa dua orang itu hanya membantunya karena mereka itu mempunyai tujuan pribadi masing-masing. Tidak seperti Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang sudah menjadi kaki tangan dan orang-orang taklukannya. Orang-orang seperti ini tentu saja lebih tunduk dan taat.


***


Bun Houw siuman lebih dulu dan segera dia bangkit di atas lantai di mana tadi ia menggeletak. Yang pertama-tama menarik matanya adalah tubuh In Hong yang rebah pula di lantai itu, masih pingsan akan tetapi dalam keadaan sehat. Hal kedua yang lebih menarik perhatiannya adalah bahwa dia dan In Hong sama sekali tidak terbelenggu. Hal-hal ini menenangkan hatinya dan mulailah dia memeriksa keadaan di dalam kamar tahanan itu. Sebuah kamar yang tidak begitu besar, kurang lebih empat meter persegi, dindingnya terbuat dari baja yang amat kuat dan hanya ada sebuah daun pintu yang juga terbuat dari baja tebal. Pergantian udara hanya melalui lubang-lubang di atas pintu, yang cukup banyak sehingga mereka tidak akan mati pengap, akan tetapi terlalu sedikit sehingga mereka tidak dapat merasa enak bernapas. Betapapun juga, mereka tidak akan mati tinggal di kamar ini. Dari lubang-lubang itu, kadang-kadang dia melihat bayangan orang di luar daun pintu.

Bun Houw melihat ada sebuah pembaringan di dalam kamar dan di sudut kamar terdapat sebuah lubang di lantai, agaknya dimaksudkan untuk tempat buang air! Kemudian dia melihat sebuah lubang yang lebarnya kurang lebih tiga puluh sentimeter persegi di bagian bawah pintu, akan tetapi lubang ini ditutup dari luar oleh baja pula dan agaknya lubang itu adalah tempat untuk memasukkan makanan dan lain-lain ke dalam kamar.

Paling penting adalah menyadarkan In Hong, pikirnya dan dipondongnya tubuh nona itu, dibaringkannya terlentang di atas pembaringan. Kemudian Bun Houw mengurut tengkuk gadis itu yang tadi kena pukul. Tak lama kemudian gadis itu mengeluh perlahan dan membuka mata. Begitu melihat Bun Houw, dia cepat bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, melihat kaki tangannya dan serunya pertama, “Kita bebas...!”

Bun Houw mengangguk. “Ya, akan tetapi kita dikurung di dalam kamar tahanan yang kuat sekali.”

In Hong lalu turun, memeriksa kamar itu, melangkah hilir-mudik dan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Bun Houw dan berkata, “Kita tidak ditotok, tidak dibius dan tidak dibelenggu. Kita bebas dan kalau kita berdua mengamuk, apa sukarnya kita basmi mereka dan lolos dari sini?”

Bun Houw menggeleng kepala dan duduk di sudut pembaringan yang juga terbuat dari baja!

“Kurasa tidak begitu mudah, Hong-moi. Merekapun bukan orang-orang bodoh. Sudah kuperiksa tadi dan jelas bahwa kita tidak mungkin membobol kamar ini. Pula, kalau kita memberontak dan mengamuk di dalam kamar ini, betapa akan mudahnya bagi mereka untuk membuat kita tidak berdaya dengan asap beracun atau serangan lain.”

In Hong terkejut. “Aihhh... habis bagaimana?”


“Hong-moi, tadi engkau sudah dapat lolos, kenapa engkau kembali?” Bun Houw tidak menegur, melainkan menyesal karena melihat dara itu tertawan kembali.

In Hong kini berdiri dan memandang wajah pemuda itu dengan angkuh, mengingatkan Bun Houw akan sifat dara ini yang memang keras, akan tetapi keangkuhan itu baginya amat menarik karena dara itu tidak berpura-pura dan di dalam keangkuhan itu terdapat keagungan yang membuat dara itu menjadi makin menarik. “Kaukira aku ini orang macam apa, Houw-ko? Engkau mengorbankan dirimu untuk kebebasanku. Aku bebas akan tetapi engkau tertawan dan terancam nyawamu. Aturan mana itu? Mana bisa aku diam saja? Tentu selama hidupku aku akan merasa tersiksa oleh penyesalan kalau sampai terjadi sesuatu dengan engkau yang mengorbankan diri untukku. Tidak! Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan kebebasanku dan aku nekat kembali untuk mencoba menolongmu dan membebaskanmu.”

“Dan kau gagal...”

“Lebih baik gagal dan sama-sama menghadapi kematian daripada mati sedikit demi sedikit digerogoti penyesalan kelak.”

Hening sejenak. “Hong-moi...”

“Hemm...?”

“Agaknya engkau ini...”

“Ya...?”

“Angkuh bukan main!”

“Maksudmu?”

“Sedikitpun engkau tidak sudi menerima budi orang...”

“Tentu tidak! Sejak kecil aku hidup sendiri, bersama subo yang kini sudah tidak ada. Aku tidak mengemis budi, tidak mengharapkan budi, dari siapapun!”

“Hemm, engkau menjadi keras oleh keadaan, Hong-moi. Sungguh kasihan...”

“Aku tidak mengharapkan kasihan orang...!”

“Akan tetapi aku bukan orang biasa. Aku adalah seorang sahabatmu, Hong-moi. Lupakah engkau akan itu? Engkau malah sudah memberi Giok-hong-cu (Burung Hong Kumala) kepadaku dan aku memberikan Hong-cu-kiam padamu. Berarti kita telah terikat oleh persahabatan!”

“Dan pedang itu terampas oleh mereka!” In Hong berkata kecewa.

“Akan tetapi Giok-hong-cu pemberianmu masih kusimpan!” Bun Houw berkata dan tangannya merogoh ke saku baju sebelah dalam dan dikeluarkanlah hiasan rambut yang terbuat dari batu kumala indah berbentuk burung hong itu, “Benda ini selamanya tidak pernah terpisah dari badanku, Hong-moi!”

Melihat pemuda itu memegang burung hong kumala dan menyatakan demikian, tiba-tiba saja jantung In Hong berdebar keras dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah dan dia merasa senang bukan main!



“Kita harus mencari akal untuk dapat lolos dari kurungan ini, Houw-ko, kemudian kita serbu mereka, rampas kembali Siang-bhok-kiam dan...”

“Ssstt, jangan terburu nafsu, Hong-moi. Tidak akan mudah. Kita harus bersabar dulu.”

“Tapi kita akan celaka...”

“Kurasa tidak, Hong-moi. Sebetulnya, yang diinginkan oleh kakek dan nenek itu adalah ayahku dan para panglima bekes pembantu Panglima The Hoo, bukan kita. Kita ini hanya dijadikan umpan belaka. Kalau mereka hendak membunuh kita, tentu agaknya engkau sudah mereka bunuh, dan aku juga.”

“Ssstt...!” In Hong memberi tanda agar pemuda itu jangan mengeluarkan kata-kata, dan keduanya memandang dengan penuh perhatian kepada lubang kecil yang tiba-tiba terbuka dari luar pintu. Kalau saja ada tangan diulur masuk, tentu In Hong yang sudah siap itu akan menangkapnya. Akan tetapi, terdengar suara ketawa Coa-tok Sian-li di luar pintu itu dan sebuah panci besar dan beberapa mangkok didorong masuk ke dalam satu demi satu tanpa memperlihatkan tangan yang mendorongnya. Kemudian juga sebuah poci minuman. Panci itu berisi masakan sayur mayur dan daging, baunya cukup sedap merangsang selera dan nasi itu putih dan masih mengebulkan uap, masih panas. Poci itu berisi air teh.

“Iblis, aku tidak sudi makan dan minum suguhanmu!” In Hong hendak menendang hidangan itu, akan tetapi cepat-cepat Bun Houw mencegahnya dan memegang lengannya.

“Hong-moi, apa gunanya itu?” Ketika gadis itu memandangnya, dia berkedip dan menggelengkan kepalanya. In Hong tidak berkata apa-apa dan keduanya diam.

“Ha-ha-ha!” Terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi di luar. Kiranya suami isteri itu menjaga di luar. Bun Houw dan In Hong cepat mengintai dari lubang-lubang angin dan benar saja. Di luar terdapat Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li duduk berjaga dan kini Ang-bin Ciu-kwi berkata, “Memang bocah she Cia itu pintar! Tidak seperti gadis itu yang liar!”

Tiba-tiba terdengar suara Hek I Siankouw. “Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kalian dan aku adalah sekawan, lupakanlah pertikaian antara kita dan kalian turutilah permintaanku sedikit.”

“Hemm, apakah permintaanmu itu, Siankouw?”

“Biarkah aku memotong tangan kanan gadis bernama Yap In Hong itu untuk membalas kematian sahabatku.”

“Wah, wah, dalam keadaan biasa aku sendiri akan suka menonton kau melakukan penyembelihan terhadap dia, akan tetapi kami berdua bertugas jaga di sini, tidak saja menjaga agar mereka jangan lolos, juga jangan mereka sakit atau mampus. Bagaimana mungkin kami berani membiarkan kau memotong lengannya? Tentu lengan kami akan hilang pula sebagai gantinya!” kata Ang-bin Ciu-kwi.

“Siankouw, harap kau jangan cari-cari perkara. Kau tahu bahwa yang menentukan hanyalah dua orang locianpwe yang berkuasa di sini. Kalau engkau hendak minta sesuatu, mintalah kepada beliau berdua. Kalau sudah ada perkenan beliau, biar kaubunuh gadis itupun kami tidak mencampuri,” kata Coa-tok Sian-li.

Hek I Siankouw menghela napas panjang. Diapun tidak berani melanggar perintah dua orang kakek dan nenek iblis itu, betapapun sakitnya hatinya dan betapa inginnya untuk segera membalas dendam. Tiga orang itu tiba-tiba bicara bisik-bisik dan menjauhi pintu kamar itu sehingga Bun Houw dan In Hong tidak lagi melihat atau mendengar mereka.

“Hong-moi, mari kita makan, mumpung masih panas-panas.” Bun Houw mengangkati semua hidangan itu ke atas pembaringan besi dan mempersilakan gadis itu makan.

“Uhhh! Aku tidak sudi makan hidangan mereka.”

“Hong-moi, pikirlah dengan tenang. Kita perlu memelihara kesehatan dan mengumpulkan tenaga, bukan? Sekali waktu akan ada gunanya bagi kita. Kalau kau tidak mau makan sampai jatuh sakit dan lemah, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka kalau saatnya tiba?”

Dibujuk demikian, In Hong termenung, lalu dengan cemberut dia duduk pula di atas pembaringan dan menerima semangkok nasi dan sumpitnya. Akan tetapi ketika dia hendak menyendok sayur, dia berkata penuh curiga, “Siapa tahu masakan ini mengandung racun!”

Bun Houw tersenyum, menyendok sayur dan daging lalu memakannya dengan enak. “Tidak mungkin,” katanya. “Mereka perlu dengan kita sebagai sandera, mengapa mereka harus meracun kita? Pula banyak jalan untuk membunuh kita yang sudah tidak berdaya, mengapa menggunakan racun dalam makanan seperti perbuatan orang-orang lemah? Aku yakin mereka tidak akan meracun makanan kita.”

In Hong lalu mau makan juga dan karena memang dia amat lapar, maka sebentar saja dia makan sama lahapnya dengan Bun Houw. Mereka lalu minum teh dan tak lama kemudian In Hong duduk melenggut karena mengantuk. Badannya terasa segar dan sehat, dan Bun Houw lalu turun dari pembaringan setelah menaruh semua perabot makan di depan lubang bagian bawah pintu yang sudah tertutup lagi dari luar itu. Dia mengintai dari lubang-lubang angin yang kecil, akan tetapi karena tidak dapat melihat Hek I Siankouw maupun Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, juga tidak mendengar suara mercka maka diapun lalu membiarkan In Hong istirahat dan mulailah dia memeriksa keadaan kamar tahanan itu lebih teliti. Akan tetapi, tepat seperti telah diduganya, tempat itu amat kuat dan kokoh, tidak mungkin meloloskan diri dari tempat itu dengan menggunakan tenaga saja. Bagian depan yang ada pintunya terbuat dari baja, demikian pula seluruh dindingnya. Hanya lantainya saja terbuat dari batu. Akan tetapi untuk apa membongkar lantai? Selain tidak mudah, juga tentu nampak dari luar sebelum dia dan In Hong berhasil lolos. Setelah memerika dengan teliti, Bun Houw juga duduk bersila di atas lantai batu untuk menghimpun tenaga.



Sementara itu, Hek I Siankouw dan dua orang majikan Padang Bangkai itu berunding tidak jauh dari kamar tahanan sambil berbisik-bisik. “Jangan khawatir aku akan ikut bortanggung jawab. Bukankah Mo-ko dan Mo-li hanya berpesan agar mereka tidak sakit, mati atau lolos? Nah, ketiganya itu tidak akan terjadi. Aku ingin melihat mereka itu terhina dan rusak nama dan kehormatan mereka sedangkan kalian dapat menikmati tontonan itu!” Demikian antara Lin Hek I Siankouw berkata dan membujuk mereka.

“Memang menyenangkan sekali!” Coa-tok Sian-li berkata.

“Asyik sekali kalau menonton itu!” kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

“Andaikata Mo-ko dan Mo-li mendengarnya, tentu mereka tidak akan marah. Justeru mereka sendiri yang menyuruh mengurung dua orang itu dalam satu kamar, maka kejadian itu bukankah sudah sewajarnya?” kita pula Hek I Siankouw.

“Baikiah, Siankouw. Lihat saja malam nanti, kehendakmu pasti terlaksana dan kami akan menikmati tontonan itu, hik-hik!” Coa-tok Sian-li tertawa-tawa genit.

Sore hari itu, kembali Bun Houw dan In Hong mendapatkan suguhan makanan dan minuman, bahkan ada seguci kecil arak wangi. Lampu penerangan telah dipasang dan karena sinar lampu hanya dapat memasuki kamar tahanan itu melalui lubang-lubang angin kecil, maka kamar tahanan itu biarpun tidak gelap sama sekali, akan tetapi juga tidak terlalu terang, hanya remang-remang saja.

Kini In Hong tidak ragu-ragu lagi untuk makan dan minum, bahkan diapun minum arak wangi yang manis dan lezat itu untuk menghangatkan tubuhnya, ditemani oleh Bun Houw yang sama sekali tidak kelihatan berduka atau khawatir. Dan memang sesungguhnya, secara aneh sekali kedua orang muda itu tidak merasa khawatir atau tidak senang, bahkan baru sekarang mereka merasakan kegembiraan yang aneh! Mereka tidak sadar bahwa itulah tanda-tanda cinta! Cinta tidak mengenal duka dan khawatir, dalam keadaan bagaimanapun juga.

Ketika mereka selesai makan minum dan Bun Houw menaruh perabot-perabot makan di dekat lubang, lubang itu terbuka dari luar dan dengan cepatnya mangkok piring itu disambar oleh tangan yang tidak nampak, dibawa keluar dan terdengarlah suara terkekeh genit dari Coa-tok Sian-li yang berkata. “Hi-hi-hik, selamat menikmati malam pengantin!”

Bun Houw mengerutkan alisnya. Ucapan seorang cabul seperti Coa-tok Sian-li memang tidak perlu diperhatikan, akan tetapi di dalam kata-kata itu terkandung sesuatu yang membuat dia menaruh curiga. Apalagi ketika lampu penerangan di luar dibesarkan sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi lebih terang, dan dia mendengar suara-suara manusia di luar kamar seolah-olah ada beberapa orang yang mengintai dari luar! Dia merasa curiga, maka didekatinya In Hong yang duduk di tepi pembaringan sambil berbisik, “Hong-moi, hati-hatilah...”

“Ada apakah, Houw-koko?”

“Aku menaruh curiga kepada mereka. Agaknya mereka hendak melakukan sesuatu, entah apa.” Karena merasa tegang, Bun Houw memegang tangan gadis itu dan tanpa disengaja jari-jari tangan mereka saling genggam. Rasa hangat yang aneh menjalar dari sentuhan tangan itu, getaran yang luar biasa menjalar dari ujung-ujung jari yang bersentuhan terus ke lengan dan ke seluruh tubuh, mengguncangkan jantung. Otomatis mereka saling pandang dan sinar mata mereka melekat.

Di dalam cahaya yang remang-remang namun cukup terang itu, Bun Houw melihat wajah yang luar biasa cantiknya, luar biasa manjanya dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Sepasang mata yang bening dan pandang matanya tajam penuh semangat hidup, hangat dan begitu dalam seperti lautan yang sukar dijajagi dalamnya, bibir yang agak terbuka seolah-olah menantangnya, napas yang panjang halus agak tersendat membuat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis, leher
yang panjang dan seperti tangkai bunga. Dia terpesona! Dan sebaliknya, In Hong juga memandang wajah Bun Houw seolah-olah baru sekarang dia menemukan ketampanan dan kegagahan wajah pemuda itu.

“Ahhh...!” In Hong berseru dan cepat menarik tangannya.

“Maaf, Hong-moi...!” Bun Houw juga cepat melangkah mundur. Napas mereka agak memburu.

In Hong menundukkan mukanya. Muka itu tentu merah sekali, pikir Bun Houw, di dalam cuaca yang agak remang-remang kelihatan gelap. Namun mata itu mengerling dari bawah, kerlingan yang seperti menggapai! Seperti didorong oleh tenaga yang tidak kelihatan, Bun Houw melangkah maju lagi, jantungnya berdebar sampai terdengar di dalam kedua telinganya. Benarkah penglihatannya? Dia melihat gadis yang menundukkan muka itu mengerling malu-malu dan tersenyum! Dan dada yang membusung itu kelihatan naik turun, napasnya memburu.

“Hong-moi...” Kembali jari-jari tangannya menyentuh, perlahan saja, di ujung pundak gadis itu.

Pundak itu tertutup baju dan sentuhan itu hanya perlahan saja, akan tetapi sungguh aneh. Sentuhan yang ringan ini mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh tubuh In Hong menggigil dan juga Bun Houw merasa betapa gairah yang dahsyat mendorongnya untuk merangkul gadis itu dan mendekap sekuatnya. Dengan seluruh kekuatan batinnya, dilawannya gairah ini dan kedua kakinya menggigil!

“Ada apa... koko...?”

Dara itu mengangkat mukanya, mukanya benar saja merah sekali setelah kini tertimpa sinar dari luar dan sepasang mata itu amat bercahaya seperti ada apinya, seolah-olah di dalam tubuh gadis itu terjadi kebakaran!



“Tidak... eh, aku hanya hendak mengatakan eh, kau... kau cantik sekali, Hong-moi!” Bun Houw sendiri terkejut mendengar kata-katanya ini. Apa yang telah terjadi? Dia menanti kemarahan dara itu andaikata akan menamparnya, dia akan menerimanya dengan rela karena dia menyadari betapa lancang mulutnya.

Akan tetapi aneh! In Hong tidak marah, malah tersenyum, senyum manja dan senyum yang membayangkan kebesaran hati yang bangga! “Terima kasih... Houw-ko...” suaranya tersendat-sendat. Mereka masih saling pandang dan akhirnya tak kuat lagi menahan gelora hatinya yang membuatnya seperti mabok dan tidak sadar, Bun Houw merangkul leher gadis itu. Anehnya, In Hong juga balas merangkul pinggangnya, kini muka mereka saling berdekatan, begitu dekat sehingga mereka saling merasakan tiupan nafas masing-masing. Bibir mereka hampir saling bersentuhan, akan tetapi naluri kewanitaannya membuat In Hong menundukkan muka dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw, mendekap dada itu dengan mukanya dan mengeluh, “Houw-ko...”

“Hong-moi ah, Hong-moi...” Bun Houw terengah sambil mendekap kepala itu ke dadanya, timbul berahinya yang amat hebat sehingga ingin rasanya dia memasukkan kepala itu, seluruh tubuh gadis itu, ke dalam dirinya agar menjadi satu dan takkan terpisah lagi dengan dia!

“Hi-hi-hik!”

Suara ketawa ini seperti halilintar menyambar Bun Houw dan In Hong. Keadaan setengah sadar tadi kini buyar dan seperti ada sinar terang memasuki benak mereka, membuat mereka maklum behwa mereka sedang diintai orang! Bun Houw mclepaskan pelukannya, berseru kaget dan meloncat ke belakang. Dia terhuyung.

In Hong juga memandangnya dengan mata terbelalak, kedua tangannya menekan pipi sendiri, bingung dan terkejut.

“Hong-moi... celaka... kita keracunan...!” Bun Houw berseru dan mengepal tinjunya karena ada rangsangan yang makin hebat mendorongnya untuk mendekati gadis itu.

“Ahhh... pantas aku merasa tidak wajar... panas sekali... tentu dalam makanan tadi...”

“Dalam arak mungkin...”

“Ha-ha-ha!” terdengar suata ketawa Ang-bin Ciu-kwi. “Memang kau pintar, putera Cin-ling-pai. Racun itu berada dalam arak tadi dan kalian sudah meminumnya. Kalian tahu racun apa? Eh, isteriku yang cantik dan cerdik, kauceritakan agar mereka itu dapat bersenang sepuasnya, ha-ha!”

“Hi-hik, sebetulnya bukan racun berbahaya, kalian boleh tenang-tenang saja. Lebih baik dinamakan obat, dan arak itu kuciptakan sendiri, namanya Arak Malam Pengantin! Bersenanglah kalian!”

“Coa-tok Sian-li iblis betina cabul!” In Hong membentak marah. “Kalau sekali aku dapat berhadapan denganmu, akan kuhancurkan kepalamu!”

“Jangan harap kau dapat mempermainkan kami!” Bun Houw juga berteriak, namun jantungnya berdebar aneh dan ada suatu kekhawatiran besar timbul di dalam hatinya.

“Ha-ha, mari kita sama lihat! Binatang-binatang seperti kuda dan kerbau saja tidak kuat menahan pengaruh obat ciptaan isteriku itu, apalagi manusia, dan masih muda seperti kalian! Ha-ha, ingin kulihat putera ketua Cin-ling-pai berjina di dalam kamar tahanan!” kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

“Dan aku ingin sekali melihat Yap In Hong perawan sombong yang telah membunuh sahabatku Hwa Hwa Cinjin itu menyerahkan kehormatannya secara murah seperti seorang pelacur!” terdengar suara Hek I Siankouw.

Mendengar ini, terkejutlah Bun Houw. Kiranya itulah rencana mereka! Dia dan In Hong sengaja diberi minum racun yang agaknya merupakan racun perangsang nafsu berahi agar mereka berdua dalam keadaan tidak sadar melakukan hubungan kelamin, berjina di dalam kamar tahanan itu dan disaksikan oleh mercka. Maksud mereka tidak lain tentu agar mereka dapat menyebarluaskan peristiwa itu untuk menghancurkan nama dan kehormatan dia sebagai putera ketua Cin-ling-pai dan Yap In Hong sebagai seorang puteri yang dipercaya oleh kaisar!

“Manusia-manusia iblis! Jangan mengharap kalian akan dapat memaksa kami melakukan perbuatan hina! Kami bukanlah manusia-manusia macam kalian!” Bun Houw membentak marah.

“Hayo masuklah kalian ke sini kalau berani!” In Hong juga berteriak. “Akan kuhancurkan kepala kalian satu demi satu!”

“Hi-hik, malam pengantin kenapa diisi dengan ribut-ribut? Yang tidak tahu akan menyangka pengantinnya cekcok!” Coa-tok Sian-li mengejek.

“Sssttt... isteriku, diamlah. Kita beri kesempatan mereka bermesra-mesraan,” terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi dan akhimya mereka bertiga itu tidak bersuara lagi, akan tetapi dua orang muda itu merasa yakin bahwa mereka, setidaknya suami isteri cabul itu, tentu diam-diam mengintai dari luar!

Mereka berdiri berhadapan, hati mereka penuh ketegangan, akan tetapi juga penuh dengan gelora nafsu berahi yang menyesakkan dada.

“Hong-moi... bagaimana rasanya tubuhmu...?”



In Hong yang merasa kepalanya pening itu duduk di tepi pembaringan. “Kepalaku pening, Houw-ko, dan tubuhku panas sekali... seolah-olah ada api yang membakar di dalam tubuh... hampir tak tertahankan rasanya, Houw-ko...”

“Demikianpun keadaanku, Hong-moi. Kita tahu bahwa ini adalah akibat racun mereka. Kita harus melawannya, Hong-moi. Duduklah dan atur pernapasan, masukkan hawa murni sebanyaknya, pergunakan sin-kang untuk mengusir hawa yang memabokkan.”

Bun Houw sendiri lalu duduk bersila di atas lantai, sedangkan In Hong duduk bersila di atas pembaringan, keduanya memejamkan mata dan melawan dorongan hasrat nafsu berahi yang makin kuat.

Akan tetapi dua orang muda itu tidak tahu bahwa arak beracun buatan Coa-tok Sian-li itu memang amat luar biasa. Arak seperti itu terkenal dimiliki oleh para raja kuno di Sailan. Seperti raja-raja di negara manapun juga di dunia ini di jaman kuno, mereka tidak hanya memiliki seorang isteri, melainkan memelihara banyak selir. Tentu saja jika mereka mendapatkan seorang selir baru, seorang perawan yang usianya baru belasan tahun, raja itu tidak dapat mengharapkan pelayanan yang baik dari dara remaja itu. Pertama-tama karena anak itu memang belum tahu apa-apa, kedua kalinya karena tentu saja wanita muda itu tidak suka melayani seorang pria tua, sungguhpun pria itu seorang raja. Karena ini, untuk menyenangkan hati raja yang pada masa itu dianggap sebagai utusan Tuhan atau manusia pilihan, maka para ahli pengobatan lalu membuatkan minuman arak yang mengandung racun atau obat perangsang yang amat kuat. Obat ini juga sekaligus merupakan racun, kalau pada ukuran tertentu merupakan obat mujarab untuk mendatangkan rangsangan berahi sehingga raja yang tua itu akan memperoleh pelayanan istimewa dari seorang gadis yang masih perawan sekalipun, juga untuk raja sendiri yang sudah kekurangan gairah itu dapat dirangsang kembali oleh pengaruh obat. Akan tetapi kalau melewati ukuran tertentu akan dapat mematikan orang yang bagaimana kuatpun.

Coa-tok Sian-li adalah seorang ahli racun, maka tentu saja dia dapat membuat obat perangsang ini yang dibuatnya dari sebangsa lalat istimewa yang hanya terdapat di rawa-rawa di daerah utara Sailan. Lalat-lalat ini dikeringkan dan ditumbuk halus, dicampur beberapa macam akar yang mempunyai daya panas, lalu dicampur arak. Sama sekali tidak merobah rasa arak sehingga mudah saja meracuni orang lain.

Bun Houw dan In Hong adalah dua orang muda yang sudah memiliki dasar sin-kang kuat. Kalau hanya terkena pukulan beracun saja, atau hawa beracun mengeram di tubuh, tentu mereka akan dapat menyelamatkan diri dengan pengerahan sin-kang mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi, arak itu langsung menyerang darah dan otak, langsung menembus bagian otak yang menggerakkan nafsu berahi sehingga biarpun mereka mengerahkan sin-kang, tetap saja tidak mampu mengusir rangsangan berahi itu.

Makin malam, makin tersiksalah mereka berdua. Lebih-lebih lagi In Hong yang pada dasarnya sebetulnya memiliki gairah yang menggelora dan darah yang panas, hanya sejak kecil semua itu ditutupi oleh sikap dingin akibat didikan gurunya. Keadaan dara ini seperti gunung api tertutup salju, kelihatan dingin luarnya, akan tetapi di sebelah dalam menggelora dan panas sekali! Kini, beberapa kali In Hong mengeluh dan merintih dan duduknya sudah tidak tetap lagi. Beberapa kali dia membuka mata memandang ke arah Bun Houw dengan mata sayu dan setengah terpejam, seperti mata orang mengantuk, agak basah, hidungnya kembang-kempis, mulutnya setengah terbuka, bibirnya bergerak-gerak dan napasnya memburu, terdengar rintihan halus dari dalam kerongkongannya. Semua ini merupakan tanda-tanda seorang wanita yang sedang diamuk rangsangan berahi!

Bun Houw juga sukar dapat mempertahankan dirinya. Diapun sudah membuka mata, memandang ke arah In Hong, melihat gadis itu kini merebahkan diri, menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas.

“Oohhhh... Houw-ko... ahhhh... Houw-ko... tolonglah aku, tolonglah...” In Hong merintih-rintih memelas sekali.

“Pertahankanlah, Hong-moi. Memang, pengerahan sin-kang tidak menolong, jalan satu-satunya hanya bertahan sampai pengaruhnya lenyap kembali bersama waktu. Kita harus mempertahankan... harus ahhh...” Dan Bun Houw cepat memejamkan matanya kembali karena dalam keadaan terangsang hebat seperti itu, melihat In Hong menggeliat-geliat merupakan pemandangan yang menambah rangsangan makin hebat.

“Houw-koko... aku tidak tahan lagi... Houw-koko... panas sekali... ah, panas sekali tubuhku...” Dan In Hong mulai melepaskan bajunya, direnggutnya begitu saja sehingga ada yang robek dan nampaklah sebagian dari dadanya yang putih mulus!

“Hong-moi... jangan, Hong-moi!” Bun Houw meloncat, hampir jatuh karena dia terhuyung dan mendekati pembaringan itu, cepat dia menutupkan kembali baju In Hong yang setengah terbuka.

“Houw-koko, panas sekali... aku tak tahan...” In Hong mengeluh dan setengah terisak.

“Pertahankan, adikku, pertahankan...”

“Ohhh, Houw-ko...” In Hong merintih dan terisak, merangkul leher pemuda itu. Bun Houw memejamkan matanya dan memalingkan mukanya agar jangan sampai mukanya menyentuh muka dara itu. Akhirnya In Hong terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw.

“Houw-koko...” Suaranya memelas sekali, tergetar dan berbisik serak.

“Bagaimana, Hong-moi...”

“Houw-koko... selama hidupku... belum pernah aku mengalami seperti ini... aku tidak kuat, koko... ah, aku tidak perduli... kaulakukanlah sekehendak hatimu...” kedua lengan In Hong yang merangkul itu makin menguat dan mukanya dibenamkan di dada pemuda itu, tubuhnya tergetar dan panas sekali, matanya terpejam dan ada beberapa titik air mata di atas kedua pipinya.

Bun Houw merasakan suatu dorongan yang amat kuat dan diapun merangkul akan tetapi dia menekan perasaan hatinya sedemikian rupa agar tidak sampai melakukan hal yang lebih jauh daripada berpelukan itu.



“Tidak, Hong-moi, tidak...! Kita harus kuat...! Hong-moi, betapa aku cinta padamu, Hong-moi. Aku cinta padamu...!”

“Houw-ko...” In Hong terisak, tidak karuan perasaan hatinya mendengar pengakuan ini. Dia masih memejamkan matanya karena kepalanya pening dan dia dalam keadaan hampir tidak sadar, sama sekali tidak ingat lagi berada di mana dan berada dalam keadaan bagaimana “Kalau kau cinta padaku... apa salahnya lagi... ah, aku... aku rela... menyerahkan jiwa ragaku...”

“Hong-moi, tidak...!” Bun Houw yang hampir tidak kuat lagi itu melepaskan pelukannya dan meloncat jauh ke belakang, sampai tubuhnya menabrak dinding dan dia roboh terguling. Dia lalu duduk bersila dan memejamkan mata, berusaha sekuatnya untuk melawan dorongan hasrat yang bernyala-nyala itu. In Hong terisak di atas pembaringan. Selama hidupnya, belum pernah dia menangis, dan baru sekarang ini dara perkasa yang biasanya berhati baja itu terisak dan merintih-rintih.

“Kau benar... Houw-ko, kau benar...”

Hening kini di kamar itu, yang terdengar hanya isak tertahan dari In Hong yang masih rebah di atas pembaringan. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan, di sana-sini terbuka karena dia menggeliat-geliat tadi. Beberapa kancing baju terbuka didiamkannya saja karena memang dia pun tidak menyadarinya. Rambutnya morat-marit kondenya terlepas dan rambut yang panjang itu awut-awutan, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya kalau tak dapat dikatakan bahkan menambah keaslian wajah yang amat jelita itu.

Bun Houw sendiri masih berjuang dengan diri sendiri, karena setelah dia berdiam diri duduk di lantai, dia merasa tubuhnya seperti dibakar dan keadaannva malah makin menderita lagi. Mendengar suara rintihan dan isak tangis tertahan dari In Hong, Bun Houw membuka mata dan mengangkat muka memandang. Dia melihat betapa In Hong rebah terlentang, dadanya agak diangkat dan terengah-engah, kedua tangan menutupi muka dan gadis itu jelas kelihatan tersiksa sekali. Dia tidak tahan untuk mengawasi saja dan Bun Houw bangkit berdiri, terhuyung menghampiri pembaringan itu, lalu berdiri di dekat pembaringan sambil memandang gadis itu dengan perasaan kasihan sekali.

“Hong-moi, ah, Hong-moi...” Perasaan kasihan mempunyai daya yang kuat sekali mendorong berahi. Kini Bun Houw yang sudah tidak kuat lagi dan dia lalu memeluk In Hong. Gadis itupun otomatis menggerakkan kedua lengan memeluknya. Bun Houw mendekatkan muka, seperti orang mabok dia berada di antara sadar dan tidak dan akhirnya dorongan nafsu membuat pertahanannya bobol dan dia mencium mulut dara itu.

Begitu bibir mereka saling bertemu, naluri kewanitaan In Hong bangkit dan untuk sekilat cepatnya dia sadar. Dia menjerit dan cepat mendorong dada Bun Houw, lalu bangkit dan kepalanya bergoyang-goyang.

“Tidak...! Jangan, Houw-ko...! Tidak boleh...!” teriaknya.

“Hong-moi... aku tidak tahan lagi... Hong-moi...” Bun Houw kembali hendak merangkul, akan tetapi untuk kedua kalinya In Hong mendorong dadanya sehingga Bun Houw terjengkang dan jatuh dari atas pembaringan, berdebuk ke atas lantai seperti orang yang sama sekali tidak memiliki kepandaian atau tenaga.

“Houw-ko...!” Melihat pemuda itu terbanting jatuh, In Hong cepat turun dan berlutut. “Kau... kau tidak apa-apa...?”

Dengan mulut mengigau seperti orang mabok Bun Houw kembali memeluknya. Sejenak In Hong membiarkan pemuda itu memeluknya, akan tetapi ketika Bun Houw hendak menciumnya, dara ini sekuat tenaga menekan gairahnya sendiri dan dia memalingkan muka, “Houw-koko... kau begitu kuat, kenapa sekarang berbalik menjadi lemah? Koko, kita tidak boleh... kita harus mempertahankan sekuat tenaga...”

“Ah, Hong-moi...”

“Maafkan, aku, koko...” In Hong meponta dan melepaskan pelukan pemuda itu, kemudian dia menjauhkan diri.

Bun Houw menjambak rambutnya sendiri. “Ah, apa yang kulakukan tadi? Kau benar, Hong-moi... lebih baik mati daripada tunduk kepada mereka...”

Untung bagi Bun Houw bahwa In Hong pada saat terakhir itu disadarkan oleh naluri kewanitaannya yang sejak kecil memang jauh daripada penghambaan nafsu berahi sehingga dara itu menolak ketika pemuda ini sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dan untung bagi In Hong bahwa tadi, ketika dara ini memuncak nafsunya sehingga dia tidak sadar, Bun Houw yang masih ingat dan yang menyadarkannya. Dengan demikian, tidak sampai terjadi perjinaan atau hubungan kelamin seperti yang diharapkan oleh dua orang suami isteri di luar tempat tahanan itu dan oleh Hek I Siankouw yang tidak ikut mengintai karena tokouw ini sama sekali tidak cabul seperti mereka, sungguhpun di waktu mudanya Hek I Siankouw juga tidak dapat menahan godaan nafsu sehingga sebagai pendeta dia melakukan perjinaan dengan mendiang Hwa Hwa Cinjin dan hidup seperti suami isteri tidak sah saja dengan pendeta itu.

Waktu itu hampir tengah malam. Pengaruh obat perangsang ttu sudah mencapai puncaknya sehingga kedua orang muda itu mengerang dan menggeliat-gellat di tempat masing-masing! In Hong di atas pembaringan dan Bun Houw di atas lantai. In Hong sudah hampir telanjang dan dara ini merosot turun dari pembaringan, tidak kuat lagi berdiri dan dengan merangkak dia menghampiri Bun Houw, tangannya meraba-raba karena matanya terpejam dan dia hanya dapat menghampiri karena mendengar suara rintihan Bun Houw saja.

“Koko...”

“Hong-moi...” Mereka otomatis saling berdekapan dan kini adalah In Hong yang mendahului, mencium atau lebih tepat merapatkan mukanya dengan muka Bun Houw karena dorongan hati hendak membelai pemuda itu dan merapatkan tubuhnya sedekat mungkin. Bun Houw tidak tahan, lalu dia mencium mulut In Hong. Hanya satu kali saja mereka berciuman sampai napas mereka hampir putus, lalu Bun Houw cepat merenggut dirinya lepas.

“Hong-moi, hanya ini satu-satunya jalan, maafkan aku...” Tangannya bergerak dan menotok tengkuk In Hong. Karena dia sudah hampir pingsan, maka tentu saja totokannya tidak tepat dan In Hong mengeluh, terkulai. Begitu melihat dari itu terkulai, Bun Houw bangkit, terhuyung menjauhi dan roboh dalam keadaan setengah pingsan pula.

“Terkutuk!”

“Keparat!”

Suami isteri di luar tempat tahanan itu menyumpah-nyumpah karena kecewa. Mereka telah menanggung resiko dimarahi oleh kakek dan nenek iblis itu hanya karena mereka mempunyai kesukaan yang luar biasa, yaitu menonton kecabulan. Dan kini, setelah mereka berhasil meracuni dua orang muda itu, ternyata mereka gagal!



Hampir pada umumnya manusia memiliki kesukaan yang sama atau mirip dengan kesukaan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki sendiri, karena merupakan kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda tentunya, ada yang terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada yang kasar ada pula yang halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan, baik itu berupa tontonan atau mendengar penuturan orang maupun membaca. Kalau toh ada yang menyangkal, penyangkalan itu timbul dari penekanan kemauan yang didasari oleh pengetahuan bahwa hal itu adalah tidak baik, maka terjadilah penyangkalan bahwa dia tidak suka melihat atau mendengar itu. Namun kenyataannya, rasa suka itu ada! Dicobanya dilenyapkan dengan keyakinan atas dasar pelajaran, kesusilaan, agama dan lain-lain bahwa hal itu tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan! Namun, cara demikian tidak akan melenyapkan kesukaan itu. Seperti api, kesukaan itu belum padam! Hanya ditutup saja. Bersembunyi di balik pelejaran-pelajaran tentang kesusilaan dan sebagainya tidak akan ada gunanya. Lari dari kenyataan ini tidak ada gunanya.

Yang penting adalah menghadapinya sebagai suatu kenyataan! Menghadapinya, mendekatinya dan memandangnya penuh kewaspadaan. Pandangan penuh kewaspadaan tanpa mencelanya, tanpa menerima atau menolaknya, akan menimbulkan pengertian akan segala hal-ihwal mengenai kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa suka melihat kecabulan?

Sesungguhnya, kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan dalam hubungan kelamin (sex). Cabulkah kalau kita melihat binatang, terutama yang kecil sedang mengadakan hubungan kelamin? Kiranya tidak! Akan tetapi mengapa kalau melihat binatang yang besar, teruhama manusia, metakukan hubungan sex, lalu timbul istilah cabul? Barangkali karena melihat binatang besar terutama manusia melakukan hubungen sex mempunyai daya rangsang yang merangsang gairah dan nafsu berahi kita! Inilah sebabnya mengapa timbul istilah cabul. Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu berahi dianggap cabul!

Padahal, tidak ada peristiwa apapun di dunia ini yang merangsang gairah nafsu berahi. Hubungan sex adalah sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak merangsang gairah nafsu berahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA SENDIRI! Pikiran kitalah yang menambah penglihatan itu dengan bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan lahir batin kita, mengenang kembali semua pengalaman sex kita, atau bagi yang belum pernah mengalaminya secara badaniah, tentu membayangkan pengalaman yang pernah dibacanya, dilihatnya, atau didengarnya dari orang lain. Permainan pikiran kita sendiri itulah yang merangsang dan membangkitkan gairah berahi kita sendiri.

Dan bagi orang-orang seperti Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, perbuatan menonton kecabulan itu yang menimbulkan semacam kerikmatan tertentu, menjadi suatu kebiasaan yang telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan telah menjadi sesuatu yang dicari-cari.

Kenyataan itu hanya dapat terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala hal yang oleh umum dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan, kemaksiatan, kepalsuan, kemunafikan, kemarahan, kebencian, iri hati dan segalanya itu tidak terletak di tempat jauh di luar kita, melainkan terletak di dalam diri kita sendiri! Dan semua itu pasti timbul karena kita selalu mengejar kesenangan dalam bentuk apapun juga, kesenangan lahir maupun kesenangan batin. Pengejaran kesenangan menjadi sumber daripada semua kesengsaraan hidup yang timbul karena pertentangan dan kedukaan. Bukan KESENANGAN yang merusak hidup, melainkan PENGEJARAN kesenangan!

In Hong rebah pingsan di atas lantai, sedangkan Bun Houw juga sudah setengah pingsan. Karena inilah maka mereka berdua tidak mendengar suara apa-apa, bahkan tidak melihat ketika lantai di sudut belakang kamar itu dibobol dari bawah dan tak lama kemudian muncullah sebuah kepala orang. Kepala seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Liong Si Kwi! Seperti kita ketahui, gadis murid Hek I Siankouw ini telah diselamatkan oleh Bun Houw ketika dia hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi dan gadis ini selain merasa utang budi, juga gadis itu sekaligus jatuh cinta kepada pemuda itu. Apalagi ketika pemuda itu, yang telah dikurung dan diancam keselamatannya, namun masih juga membelanya di depan subonya, benar-benar membuat hati gadis ini jatuh! Diam-diam dia mengambil keputusan nekat untuk menolong pemuda itu. Kini terbuka matanya betapa demi untuk memuaskan nafsu dendam dan sakit hatinya, subonya tidak segan-segan untuk bersekutu dengan manusia-manusia iblis! Dia harus menyelamatkan Bun Houw, dia harus membebaskan putera ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa itu, kalau perlu dengan taruhan nyawanya. Hatinya makin kagum, akan tetapi juga iri sekali melihat betapa pemuda yang gagah perkasa itu telah mengorbankan dirinya, menyerah untuk menebus Yap In Hong yang dibebaskan. Kemudian, diapun iri kepada In Hong yang ternyata juga merupakan seorang gadis yang amat gagah, yang datang kembali dengan nekat untuk membebaskan pemuda itu. Dia merasa iri karena dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan cinta kasih antara pemuda dan dara itu. Namun, rasa cemburu dan iri hati ini tidak menghentikan tekadnya untuk menolong Bun Houw dengan cara apapun juga.

Ketika dia melihat bahwa yang menjaga kamar tahanan adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, dan betapa Cia Bun Houw serta Yap In Hong dimasukkan dalam kamar tahanan tanpa dibelenggu dan bebas, timbullah harapannya. Asal saja dia dapat mengeluarkan mereka itu dari dalam kurungan, tentu dua orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu akan mampu membebaskan diri, atau lebih penting baginya, asal Bun Houw dapat keluar dari kurungan, tentu pemuda itu akan dapat melarikan diri!

Demikianlah, karena kebetulan sekali kamar yang ia dapat sebagai tamu Lembah Naga itu berdekatan dengan kamar tahanan, sore-sore dia telah menutup diri di dalam kamarnya, memberi alasan bahwa dia merasa tidak sehat, dan diam-diam dia telah menyelundupkan sebuah cangkul ke dalam kamarnya. Mulailah dia menggali lantai kamarnya, membuat terowongan di dalam tanah menuju ke kamar tahanan. Dia bekerja keras sampai kedua tangannya lecet-lecet berdarah, namun tidak pernah dia berhenti sebentarpun. Dengan penuh semangat dia terus menggali dan akhirnya, lewat tengah malam, dia dapat menembus kamar tahanan dan muncul di dalam kamar itu di waktu In Hong masih pingsan dan Bun Houw dalam keadaan setengah sadar karena saat itu pengaruh racaun perangsang sudah mencapai puncak kekuatannya yang hampir tak tertahan olehnya. Baiknya In Hong telah menggeletak pingsang, kalau tidak entah apa yang akan terjadi antara dia dan gadis itu!



Liong Si Kwi yang sudah berhasil masuk ke kamar itu, ketika melihat Bun Houw menggeletak seperti orang yang bernyawa lagi, segera meloncat mendekati dan berlutut di dekat pemuda itu, memeriksa dan legalah hatinya ketika melihat Bun Houw ternyata masih bernapas, bahkan bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lemah yang tak dimengertinya karena pada saat itu hati Si Kwi tegang bukan main, khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui penjaga sebelum dia berhasil membebaskan Bun Houw dihalangi oleh orang-orang berkepandaian tinggi di tempat itu.

Dia tidak tahu akan apa yang dilakukan oleh suami isteri majikan Padang Bangkai itu, maka dia bingung melihat Bun Houw yang siang tadi masih sehat kini menggeletak di lantai dalam keadaan seperti orang yang tidak sadar. Juga dia melihat In Hong pingsan. Tadinya memang dia berniat untuk membebaskan mereka berdua, karena dengan adanya mereka berdua yang berilmu tinggi, kesempatan atau harapan untuk lolos lebih banyak lagi. Kini, melihat keadaan Bun Houw setengah pingsan dan gadis perkasa itu malah pingsan sama sekali, Si Kwi menjadi bingung, akan tetapi akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw saja. Cepat dia mendukung tubuh Bun Houw dan membawanya masuk ke dalam lubang terowongan yang dibuatnya. Biarpun tidak mudah membawa Bun Houw yang merangkulnya, dan yang mengelus rambutnya, mendekapnya dan kadang-kadang mencium pipi dan lehernya sepertu orang mabok itu, namun akhirnya berhasil jugalah Si Kwi membawa pemuda itu keluar dari lubang terowongan dan tiba di dalam kamarnya.

“Eh... eh, taihiap...!” Si Kwi terkejut sekali karena kini Bun Houw membuka matanya yang merah dan pemuda itu langsung merangkul dan menciumi bibirnya dengan penuh nafsu.

Si Kwi telah lama merindukan seorang pria yang akan memeluk dan menciumi seperti itu, maka kekagetan dan perlawanannya hanya sebentar saja, dan tak lama kemudian dia balas memeluk dan balas menciumi, tidak kalah hebatnya dengan orang yang terpengaruh obat perangsang. Keduanya lalu terguling di atas pembaringan Si Kwi dan mereka melupakan segala-galanya. Kalau tadi Bun Houw masih tidak melanggar keyakinannya dan dapat bertahan sehingga dia tidak melakukan hubungan dengan In Hong seperti yang dikehendaki oleh mereka yang sengaja meracuninya, adalah karena di fihak In Hong masih ada penolakan dan memang di lubuk hati Bun Houw, dia sama sekali tidak melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap dara yang dicintainya itu. Akan tetapi sekali ini, selagi pengaruh obat perangsang itu memuncak dan sepenuhnya menguasainya, dia mendapat pelayanan dari Si Kwi, bahkan gadis itu lebih hebat merayunya seperti orang mabok pula, maka tentu tidak ada lagi yang menahan Bun Houw dan Si Kwi! Berlangsunglah hubungan kelamin seperti yang dikehendaki oleh Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, hanya bedanya, putera ketua Cin-ling-pai itu tidak melakukannya dengan In Hong, melainkan dengan murid He I Siankow!

Pada saat itu, Bun Houw sudah lupa segala-galanya, hampir tidak sadar sama sekali dan yang ada hanyalah keinginan untuk memenuhi desakan nafsu berahinya yang bernyala-nyala itu. Andaikata Si Kwi menolaknya seperti yang dilakukan oleh In Hong tadi, tentu sedikit sisa kesadaran yang masih membekas itu cukup untuk membuat pemuda ini sadar dan menghentikan perbuatannya. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Si Kwi yang sudah jatuh hati benar-benar itu dan yang maklum bahwa perbuatannya menolong pemuda itu merupakan permainan yang mempertarubkan nyawa, ingin dalam saat terakhir dan kesempatan selagi dia masih hidup itu untuk menyerahkan jiwa dan raganya kepada pemuda yang dikagumi dan dicinta ini.

Terjadilah hubungan dan bagaikan sebuah gunung berapi yang penuh dengan api dan uap, meledaklah Bun Houw. Menjelang pagi, barulah dia sadar karena pangaruh racun perangsang itu menipis. Begitu dia sadar dan melihat bahwa dia memeluk tubuh Si Kwi yang memandangnya dengan penuh kemesraan, pemuda ini terkejut bukan main, terkejut karena dia tahu apa yang telah terjadi. Sambil berteriak nyaring pemuda ini yang tadi bangkit duduk, terguling dan roboh pingsan! Penyesalan yang amat hebat, ditembah rasa kaget yang luar biasa besarnya, dan pemborosan tenaga yang didorong oleh racun, ketegangan-ketegangan yang dideritanya sejak dia menghadapi In Hong dalam keadaan keracunan, penggerahan tenaga kemauan yong amat hebat ketika dia menekan dorongan nafau bersama In Hong, semua itu menghantamnya di sebelah dalam sehingga dia roboh pingsan.

“Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat... sungguh hebat bukan main!” Tiba-tiba terdengar suara tertawa Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela kamar itu.

Si Kwi yang tadinya terlena oleh kepuasan hasrat yang terpenuhi, yang makin menebal rasa kasih sayangnya kepada pemuda itu yang kini dianggapnya sebagai miliknya dan yang memilikinya, sebagai suaminya walaupun tidak secara sah, kini seperti disiram air dingin. Dia sadar akan semua yang telah terjadi. Dia tidak menyesal, hanya khawatir karena dia telah ketahuan dan akan celakalah Bun Houw! Dengan cepat dia melompat dan kembali terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela.

“Liong Si Kwi, engkau sungguh hebat! Akan tetapi sayang, dia keburu pingsan! Biarlah aku yang akan memuaskan dirimu, manis. Bukalah jendela ini, biarkan aku masuk.”

Si Kwi menyambar pakaiannya, memakai pakaian itu secepatnya dan segera disambamya siang-kiam di atas mejanya dan dicabutnya sepasang pedang itu lalu menghadapi jendela dengan beringas, siap untuk mengadu nyawa dengan Ang-bin Ciu-kwi.

“Ha-ha-ha, tenanglah, manis. Aku datang untuk menonton pertunjukan menarik yang berlangsung di dalam kamar ini tadi, sungguh asyik sekali... hemm, dan kau membangkitkan gairahku. Bukalah jendela ini, manis dan mari kita bermain-main sebentar. Atau kau lebih suka kalau aku pergi kepada Hek I Siankouw dan melaporkon apa yang telah terjadi di sini?”



Si Kwi yang sudah siap menerjang ke luar jendela itu menjadi terkejut. Maklumlah dia bahwa kalau sampai Setan Arak ini yang melapor kepada gurunya, nyawanya tidak tertolong lagi, demikian pula nyawa Bun Houw. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mandahului laporan orang lain, apalagi laporan Ang-bin Ciu-kwi yang tentu akan memberi bumbu-bumbu lain yang lebih memanaskan hati subonya lagi. Memang, kalau dia menuruti kehendak Ang-bin Ciu-kwi, boleh jadi peristiwa antara dia dan Bun Houw tadi akan tertutup, akan tetapi, lebih baik dia mati saja daripada harus menuruti permintaan Ang-bin Ciu-kwi! Pula, setelah kini keadaannya sama sekali berubah daripada keadaan asyik-masuk seperti tadi, dara ini sadar pula bahwa adanya Bun Houw tadi melakukan perbuatan seperti itu adalah karena pemuda itu berada dalam keadaan tidak sadar, seperti orang mabok. Kini mengertilah dia halawa pemuda itu tentu terkena bius, terkena racun yang menyebabkan pemuda itu mudah saja melakukan perbuatan tadi bersama dia. Dia dapat menduga kini mengapa dia mendapatkan diri Bun Houw menggeletak hampir tidak sadar dengan tubuh panas dan sikap begitu hangat, merangkul dan hendak menciuminya, dan mengerti pula dia mengapa In Hong juga pingsan. Kiranya mereka berdua itu telah diberi racun, dan siapa lagi yang memberi racun kalau tidak suami isteri Padang Bangkai yang terkenal sebagai ahli-ahli tentang racun itu? Dia teringat akan pengalamannya sendiri ketika hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi. Diapun diberi minum arak dan segera dia diserang oleh racun perangasang yang amat hebat sehingga hampir-hampir saja dia menyerahkan diri secara suka rela kepada setan itu!

“Aku harus cepat melapor kepada subo!” pikirnya dan dara itu cepat meloncat, bukan ke jendela melainkan ke pintu yang didorongnya terbuka dan cepat dia melarikan diri ke kamar subonya. Dia terpaksa meninggalkan Bun Houw, karena dia maklum bahwa melarikan diri sendiri saja belum tentu dia selamat, apalagi kalau harus membawa tubuh Bun Houw. Lebih baik dia cepat pergi ke subonya dan minta tolong subonya. Siapa tahu kalau dia sudah memberi tahu subonyo akan semua hal dengan terus terang, subonya suka menolong Bun Houw dan suka mengakuinya sebagai mantu!

“Subo...! Subo... tolonglah teecu, subo...!” katanya sambil mengetuk pintu itu dengan kuat.

Daun pintu terpentang lebar dan Hek I Siankouw telah berdiri di ambang pintu sambil memegang pedang hitamnya. Alisnya berkerut ketika dia melihat muridnya berdiri di situ dengan muka pucat sekali dan dengen siang-kiam di kedua tangan.

“Si Kwi, apakah yang terjadi?” tanyanya dan dia membiarkan muridnya memasuki kamamya. Dia menjenguk keluar dan karena tidak melihat siapapun juga di luar, tokouw itu lalu menutupkan kembali pintu kamarnya.

Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menangis! Gurunya adalah satu-satunya orang yang selama ini dianggap sahabat, guru, juga orang tua! Sekarang, dalam keadaan seperti ini, terancam bahaya hebat, bukan hanya untuk dia, terutama untuk Bun Houw, tidak ada orang lain kecuali gurunya ini yang dapat diharapkan untuk menolongnya dan menolong Bun Houw.

“Subo... sebelumnya harap subo mengampunkan dosa teecu...”

“Si Kwi, jangan seperti anak kecil. Katakan apa yang telah terjadi!” gurunya membentak.

“Subo, teecu telah jatuh cinta... semenjak teecu diselamatkan oleh Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai... ketika teecu akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi, teecu telah jatuh cinta kepada putera ketua Cin-ling-pai itu...”

Gurunya mengerutkan alisnya. ”Memang kalau begitu mengapa engkau menangis?”

Gadis itu mengangkat muka, memandang wajah subonya dengan penuh harapan. “Jadi... subo... setuju...?”

“Dia seorang pemuda yang tinggi ilmunya, putera ketua Cin-ling-pai, kalau memang dia cinta padamu, kenapa aku tidak setuju? Sayangnya, dia berada di fihak lawan.”

“Ah, terima kasih, subo...!” Si Kwi berseru girang dan memberi hormat. “Sesungguhnya... teecu... teecu telah menjadi isterinya...”

Tiba-tiba saja wajah tokouw itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar marah. “Apa? Jadi kalau begitu benar laporan Ang-bin Ciu-kwi?” bentak gurunya.

“Ah, tidak...! Tidak, subo...! Bukankah subo sendiri sudah tahu, juga Hek-hiat Mo-li locianpwe, bahwa teecu... teecu masih perawan? Akan tetapi malam tadi...”

“Malam tadi mengapa? Hayo katakan!”

“Malam tadi, lewat tengah malam... teecu... teecu telah menjadi isterinya.”

“Eh, Apa maksudmu? Pemuda itu berada di dalam kamar tahanan bersama In Hong, dan mereka...” Dia teringat akan minuman yang diberi racun perangsang oleh Coa-tok Sian-li, maka timbul kecurigaannya. “Si Kwi!” Dia membentak, “Ceritakan, apa yang terjadi!”

Dengan suara terputus-putus Si Kwi lalu menceritakan betapa dia telah membuat jalan terowongan dari kamarnya ke dalam kamar tahanan, dan berhasil menolong Bun Houw keluar dari kamar tahanan memasuki kamarnya sendiri.

“Akan tetapi, subo... ketika tiba di kamar teecu... dia... dia seperti mabok atau terbius... dan dia... dia merayu... ah, teecu cinta padanya, subo, teecu tidak mampu menolongnya dan... dan teecu menyerahkan diri kepada Cia Bun Houw... kemudian pagi tadi, muncul di luar jendela kamar teecu, si keparat Ang-bin Ciu-kwi, dia ternyata telah melihat peristiwa itu dan dia... dia menuntut agar teecu suka menyerahkan diri kepadanya. Teecu tidak sudi dan teecu lari ke sini... teecu menyerahkan nyawa teecu ke tangan subo...”



“Desss...!” Tubuh Si Kwi terlempar oleh tendangen gurunya. Muka gurunya sebentar pucat sebentar merah dan hati tokouw ini terasa panas dingin karena terjadi perang di dalam perasaan hatinya. Ada perasaan marah yang amat hebat mendengar penuturan muridnya itu yang telah menyerahkan diri begitu saja dengan amat mudahnya kepada seorang pria, dan biarpun pria itu adalah seorang pemuda yang harus dia akui pilihan, akan tetapi pemuda itu betapapun adalah seorang lawan, atau yang berada di fihak lawan. Akan tetapi di lain fihak, hatinya juga terharu karena dia telah menganggap Si Kwi sebagai puterinya sendiri dan sesungguhnya ada pertalian batin yang kuat antara dia den gadis itu. Sekarang dia tahu bahwa kalau tidak dia lindungi, nyawa dara itu berada dalam ancaman bahaya hebat!

“Murid murtad, engkau hanya akan mencelakakan gurumu saja!”

“Harap subo sudi mengampuni teecu!” kata pula Si Kwi. “Teecu bersedia untuk mati di tangan subo, untuk menebus kesalahan dan dosa besar teecu, akan tetapi, teecu mohon dengan sangat, mengingat akan hubungan antara kita sebagai guru dan murid, dan sebagai orang tua dan anak, teecu mohon sukalah subo menolong dan menyelamatkan Cia Bun Houw. Teecu sungguh cinta kepadanya, subo, teecu mencintanya, melebihi nyawa teecu sendiri!” Dan murid ini menangis lagi, menangis dengan penuh kesedihan.

Sepasang mata Hek I Siankouw menjadi basah ketika dia mendengar dan melihat keadaan muridnya itu. Teringatlah dia ketika dia dahulu bermain cinta dengan Hwa Hwa Cinjin dan diapun amat mencinta Hwa Hwa Cinjin. Adanya dia tidak menjadi isteri yang sah dari Hwa Hwa Cinjin adalah karena sebagai pendeta-pendeta, tentu saja mereka tidak dapat menikah. Namun rasa cinta di hatinya terhadap Hwa Hwa Cinjin amat mendalam sehingga mereka berdua itu seperti suami isteri saja! Mereka saling setia dan tidak pernah mencinta orang lain sampai keduanya menjadi kakek dan nenek.

“Akupun mencinta Hwa Hwa Cinjin melebihi nyawaku sendiri...”

“Ahhh, subo, ampunkan teecu... teecu telah mengecewakan hati subo...” Kembali Si Kwi meratap dengan suara pilu. “Teecu rela mati di depan kaki subo, akan tetapi kalau subo sudi menyelamatkan Cia Bun Houw, biarlah roh teecu akan selalu membantu subo...”

“Bocah yang bodoh! Mana mungkin menyelamatkan nyawa pemuda itu? Apa kaukira kita dapat menghadapi Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko? Tentang pemuda itu, tak perlu kita ributkan, yang penting, lekaslah kau pergi dari sini. Sekarang juga!”

“Akan tetapi... subo...”

“Tutup mulut! Tidak ada tapi lagi. Pergilah kau dari sini dan selamanya jangan kau memperlibatkan muka kepadaku!”

“Subo...!”

“Aku tidak mempunyai murid macammu! Pergiiiii...!” Hek I Siankouw membentak dan mengusir.

Si Kwi terisak, akan tetapi terpaksa dia bangkit dan pergi dari kamar itu, diikuti oleh Hek I Siankouw yang kini basah kedua matanya.

Tokouw ini sengaja mengusir muridnya karena dia tidak ingin muridnya terlibat dalam kesukaran. Dan dia sengaja membayangi muridnya itu agar dapat keluar dari Lembah Naga dengan selamat.

Di tengah jalan, murid dan guru yang membayanginya itu bertemu dengan Hek-hiat Mo-li, Pek-hiat Mo-ko, Ang-bin Ciu-kwi, dan Coa-tok Sian-li. Dari wajah kedua orang kakek dan nenek Lembah Naga itu mengertilah Hek I Siankouw bahwa keduanya tentu telah tahu akan perbuatan Si Kwi. Akan tetapi Si Kwi sendiri berdiri dengan tenang dan air mata masih membanjiri pipinya.

“Mo-ko dan Mo-li, karena perbuatan muridku yang mencemarkan namaku, terpaksa aku mengusirnya pergi dari sini!” Hek I Siankouw memecahkan kesunyian yang mencekam hatinya itu.

“Hemm... agaknya banyak terjadi hal-hal hebat di sini semalam.” Kata Hek-hiat Mo-li. “Dan kejadian-kejadian itu adalah gara-gara muridmu yang baik ini!” Ucapan lanjutan itu bernada keras.

“Kalau aku boleh berterus terang, Mo-li, bukan hanya gara-gara muridku, melainkan gara-gara aku juga, dan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!”

“Eh-eh, Hek I Siankouw, kenapa kau begitu pengecut membawa-bawa nama kami dalam persoalan ini? Sudah jelas bahwa muridmu hendak meloloskan dua orang tawanan itu, untung masih terlihat oleh kami, karena muridmu tidak dapat menahan nafsunya! Kalau tidak, bukankah tawanan-tawanan itu sudah lolos semua oleh muridmu ini?” kata Coa-tok Sian-li.

“Coa-tok Sian-li, aku hanya bicara apa adanya dan sama sekali bukan hendak membela muridku secara membuta. Memang muridku bersalah, akan tetapi kita bertigapun bersalah, bukan? Setelah akibat dari perbuatan kita seperti ini, mengapa kita tidak berani berterus terang saja kepada Mo-ko dan Mo-li?”

“Hemm... apakah sebetulnya yang telah terjadi dan apa yang kalian bicarakan ini, Siankouw?” Pek-hiat Mo-ko membentak marah.

“Terus terang saja, Mo-ko. Kami bertiga, yaitu aku, Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah main-main dengan dua orang tawanan itu. Karena aku ingin melihat gadis keparat itu tercemar, dan karena Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya ingin pula menonton hal-hal yang mereka berdua sukai, maka kami bertiga telah bersepakat untuk mencampuri racun perangsang, yaitu Arak Malam Pengantin buatan Coa-tok Sian-li ke dalam hidangan yang disuguhkan kepada dua orang tawanan itu.”

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengerutkan alis mereka, akan tetapi tidak kelihatan marah. “Hemm, lalu?” tanya Hek-hiat Mo-li.

“Sementara itu, muridku yang murtad ini jatuh cinta kepada Bun Houw. Sama sekali dia tidak berniat untuk membebaskan tawanan, melainkan dia membuat terowongan dari kamarnya ke tempat tahanan, mengajak Cia Bun Houw yang sedang mabok oleh racun Arak Malam Pengantin itu ke kamarnya den menyerahkan dirinya kepada pemuda itu. Hal ini diketahui oleh Ang-bin Ciu-kwi yang menyangka muridku hendak melarikan tawanan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Buktinya tawanan itu ditinggalkan pingsan di kamarnya dan muridku lalu melapor kepadaku. Dia sama sekali tidak hendak melarikan tawanan, karena kalau benar demikian, tentu dia telah mengajaknya pergi dari sini.” Hek I Siankouw berhenti sebentar untuk melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi. Dia sengaja tidak menceritakan tentang ancaman Ang-bin Ciu-kwi yang hendak menuntut agar Si Kwi menyerahkan dirinya kepada Setan Arak itu den hal ini dilakukan sebagai “pukulan simpanan” kalau-kalau Ang-bin Ciu-kwi tidak mau bekerja sama melindungi muridnya!



Ang-bin Ciu-kwi bukan seorang bodoh. Dia melihat bahwa yang dikemukakan oleh Hek I Siankouw memang cukup kuat dan beralasan, dan memang harus diakuinya bahwa dia mendapatkan Si Kwi dan Bun Houw sama sekali bukan dalam keadaan hendak melarikan diri. Sama sekali bukan, bahkan mereka itu bermain cinta sampai pagi! Dan diapun tahu bahwa Hek I Siankouw sengaja tidak menceritakan niatnya memaksa Si Kwi untuk menyerahkan diri dan dia maklum apa kehendak tokouw berpakaian hitam itu.

“Keterangan yang diberikan Siankouw itu memang benar, ji-wi locianpwe,” katanya mendahului isterinya karena dia khawatir kalau-kalau isterinya tidak mengerti akan uluran tangan Hek I Siankouw. “Memang kami tadinya hanya ingin main-main karena Arak Malam Pengantin itu tidak menyakitkan dan tidak membunuh, malah dapat dikata menyehatkan, heh-heh... dan kalau tadi kami melapor kepada ji-wi locianpwe adalah karena kami kurang mengerti akan niat nona Liong Si Kwi. Kiranya dia hanya ingin begituan dengan pemuda itu.”

“Memang harus kuakui bahwa muridku telah bersalah dan karena cintanya dia menjadi murtad terhadap gurunya yang dianggap orang tuanya. Oleh karena itu, sebagai hukumannya aku mengusirnya dan tidak mengakuinya lagi sebagai murid. Harap saja kalian berdua tidak mencampuri urusan antara guru dan murid ini, karena jelas bahwa tawanan tidak dilarikan. Dan harap kallan orang-orang tua cukup bijaksana terhadap orang muda yang gila cinta!”

Setelah dua orang kakek dan nenek itu mendengar keterangan Hek I Siankouw dan Ang-bin Ciu-kwi, kemarahan mereka mereda, akan tetapi Hek I Siankouw maklum bahwa tidaklah begitu mudah untuk memuaskan hati dua orang kakek nenek itu, maka dia masih tetap waspada. Biarpun dia marah sekali kepada muridnya atas perbuatan muridnya itu, namun rasa kasih sayang dalam hatinya membuat dia masih selalu ingin melindungi dan agar muridnya itu menerima hukuman yang seringan mungkin atas kesalahan yang dilakukannya.

Benar saja dugaannya, Hek-hiat Mo-li terdengar berkata nyaring, “Mendengar semua keteranganmu, Siankouw, kami boleh memandang mukamu untuk mengampunkan muridmu, akan tetapi tidak ada budi yang tidak terbalas. Oleh karena itu, sebelum kami membebaskan muridmu, dia harus meninggalkan sesuatu sebagai tanda bahwa dosanya sudah terhukum dan lunas, ditambahi janji bahwa engkau akan terus membantu kami sampai selesai.”

Hek I Slankouw mengerutkan alisnya, lalu tiba-tiba dia berkata, “Si Kwi, kau sudah merasa berdosa terhadap aku?”

“Teecu menyerahkan jiwa raga teecu ke tangan subo.”

“Ke sinilah!”

Gadis itu menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut.

“Singgg...crattt!” Nampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitamnya menyambar ke depan. Si Kwi menjerit dan tangan kanannya memegangi lengan kirinya yang telah terbabat pedang dan buntung sebatas pergelangan tangannya! Dia masih berlutut dan mukanya pucat sekali memandang tangan kirinya yang sudah buntung itu.

Dengan tenang Hek I Siankauw mengambil tangan muridnya itu, lalu menghampiri Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sambil menyodorkan tangan berdarah itu. “Mo-ko dan Mo-li, harap kalian puas dengan tangan yang ditinggalkan muridku ini, dan aku berjanji akan membantu kalian sampai selesai.”

“Ha-ha-ha, engkau sungguh mencinta muridmu. Sebenarnya, harus kedua tangannya dibuntungi, akan tetapi karena kau bertindak sendiri dengan suka rela, biarlah inipun cukup,” keta Hek-hiat Mo-li sambil menerima tangan yang berkulit halus itu.

Hek I Siankouw menghampiri muridnya, menotok jalan darah di siku dan pundaknya, menggunakan obat bubuk ditaruh di lengan yang buntung, lalu membalutnya dengan saputangannya. Setelah selesai, diapun berkata dengan suara gemetar, “Nah, pergilah! Mau tunggu apa lagi?”

Si Kwi maklum bahwa nyawanya telah ditolong oleh subonya dan sebagai penggantinya, subonya membuntungi tangan kirinya dan yang lebih berat lagi, subonya berjanji akan membantu kakek dan nenek iblis itu sampai selesai, berarti subonya telah mempertaruhkan nyawa demi untuk menyelamatkannya. Maka sambil menangis dia berlutut dan mencium kaki subonya sambil berkata, “Subo, terima kasih... sampai mati teecu tidak akan melupakan budi subo...”

“Pergilah! Pergilah...!” Hek I Siankouw menjerit dan membalikkan tubuh, memalingkan muka tidak mau memandang muridnya dan dengan cepat tangannya menghapus dua butir air matanya.

Si Kwi bangkit lalu pergi dari situ dengan cepat. Air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya.


***

Ketika Bun Houw siuman dari pingsannya, dia melihat In Hong telah duduk di tepi pembaringan dengan muka penuh kekhawatiran. Pemuda ini lalu teringat akan semua pengalamannya yang hanya setengah disadarinya itu, seperti sebuah mimpi yang hampir terlupa. Akan tetapi teringat bahwa dia telah bermain cinta dengan seorang gadis, dia cepat bangkit berdiri dengan gerakan kuat.

“Ah, kau mengasolah dulu, Houw-ko... kau agaknya terserang sakit, wajahmu pucat sekali dan tubuhmu lemah.” In Hong memegang pundaknya dan dengan halus menyuruh pemuda itu berbaring kembali.

Akan tetapi Bun Houw tidak mau rebah dan terus duduk di tepi pembaringan itu, matanya dipejamkan dan alisnya berkerut. “Hong-moi... apa yang terjadi...? Bagaimana aku bisa berada di sini lagi?”



Dia membuka mata dan memandang ke sudut kamar tahanan itu. Ternyata di situ terdapat bekas galian yang telah ditutup kembali. Jantungnya berdebar penuh penyesalan. Tadinya dia mengharapkan bahwa apa yang diingatnya itu hanya mimpi belaka, akan tetapi begitu melihat bekas lubang yang berada di sudut kamar tahanan dan yang telah ditutup kembali itu, tahulah dia bahwa semua pengalaman itu bukan sekedar mimpi! Melainkan kenyataan! Dan dia telah bermain cinta dengan seorang gadis, kalau dia tidak salah, Liong Si Kwi! Dia telah berjina!

“Ohhh...!”

“Kenapa, Houw-ko?” In Hong memegang lengan pemuda itu ketika melihat pemuda itu menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya, seolah-olah hendak mengusir sesuatu dari depan matanya.

Tanpa melepaskan kedua tangan dari depan mukanya, Bun Houw berkata lagi, “Hong-moi... demi Tuhan... kauceritakanlah padaku, apa yang telah terjadi semalam?”

“Houw-ko, aku sendiripun tidak mengerti. Bahkan aku yang hendak bertanya kepadamu. Engkau tahu, setelah kita tersiksa semalam, aku lalu... tertidur atau pingsan dan aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, ketika aku siuman, aku melihat engkau telah rebah di lantai dan...” Wajah gadis itu menjadi merah sekali dan lehernya seperti tercekik, dan dia tidak dapat melanjutkan ceritanya.

Bun Houw menurunkan kedua tangannya dan menoleh. Melihat wajah itu menjadi merah dan bibir gadis itu tersenyum menahan rasa malu, dia cepat mendesak, “Dan bagaimana, Hong-moi? Ceritakanlah... ceritakanlah...!”

“Kau... kau dalam keadaan... ahhh... telanjang, Houw-ko. Dan pakaianmu bertumpuk di dekatmu. Tentu saja aku terkejut sekali dan melihat bahwa aku tidak apa-apa, hatiku lega. Maka selama engkau masih pingsan aku lalu mengenakan pakaian pada tubuhmu, memindahkanmu ke atas pembaringan dan aku menjagamu sampai kau sadar...”

“Dan lubang itu...” Bun Houw bertanya, menoleh ke arah bekas lubang di sudut kamar.

“Entahlah, sudah begitu ketika aku siuman. Houw-ko, apakah yang terjadi sebetulnya ketike aku sedang pingsan atau pulas?” Kembali In Hong memegang lengan pemuda itu dan tiba-tiba Bun Houw mengelak dan mundur menjauhi.

“Aku tidak tahu... tidak tahu, Hong-moi... aku... aku terbius den seperti orang gila...” Bun Houw kembali menggunakan kedua tangan menutupi mukanya. Akan tetapi tetap saja terbayang pengalaman remang-remang yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya itu, di dalam sebuah kamar asing, di atas pemberingan, bersama Liong Si Kwi! Dia menduga-duga apa yang terjadi dengan gadis itu! Dan mengapa pula Si Kwi membuat terowongan dari kamarnya ke kamar tahanan? Tentu untuk menolongnya keluar! Dan dia sedang dalam keadaan terbius dan di bawah pengaruh obat atau racun perangsang yang amat hebat. Tentu dia dan Si Kwi telah... ah, ingin dia mengusir semua bayangan dan kenangan itu. Dia merasa malu, malu dan menyesal sekali!

“Aku malu... aku malu...!” Tak terasa lagi bibirnya berbisik.

“Houw-koko, sudahlah. Memang amat memalukan kalau mengenangkan kembali peristiwa semalam yang hanya samar-samar teringat olehku. Akan tetapi perbuatan kita itu terjadi karena di luar kesadaran kita, bukan? Kita berdua telah minum arak beracun! Karena itu, biarlah kita lupakan semua itu. Pula, bukankah tidak terjadi sesuatu di antara kita? Kita patut bersyukur bahwa kita tidak sampai terseret... ah, dan semua ini berkat kekuatan batinmu, koko.”

“Tidak...! Tidak...! Engkaulah yang kuat dan hebat, Hong-moi. Dan aku... aku berterima kasih kepadamu, dan aku minta maaf...”

“Sudahlah. Yang penting sekarang, kita harus mencari akal bagaimana dapat keluar dari tempat tahanan ini. Kalau kita menggabungkan tenaga dan berusaha untuk membongkar pintu ini...”

“Hemm, sudah kupertimbangkan hal itu, Hong-moi, ketika engkau menolongku dahulu, mencarikan obat untukku, engkau bertemu dengan keponakanku, Lie Seng, putera enciku yang dibawa oleh seorang Pendeta Lama. Dan engkau pernah dapat mainkan Thian-te Sin-ciang, engkau belajar dari suhu Kok Beng Lama. Hong-moi, engkau sumoiku.”

“Bukan. Suhumu sudah kuberikan janji bahwa aku tidak mengangkatnya segai guru. Betapapun juga, mengingat bahwa mendiang ibuku adalah sumoi dari ayahmu, maka kitapun boleh saja terhitung kakak dan adik seperguruan.”

“Hong-moi coba kautampar telapak tanganku ini dengan Thian-te Sin-ciang!”

“Apa maksudmu? Apa gunanya?”

“Aku hendak mengukur sampai di mana tingkat ilmu itu pada dirimu.”

Bun Houw lalu berdiri dan mengulur tangannya, dengan telapak tangan terlentang. Biarpun belum mengerti sepenuhnya apa yang dimaksudkan selanjutnya oleh pemuda itu, namun karena tahu bahwa pemuda itu hendak menguji kekuatannya, In Hong lalu mengerahkan tenaga dan menghantamkan telapak tangannya ke arah telapak tangan Bun Houw, tanpa ragu-ragu karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai daripada tingkatnya.

“Tarrrr...!” Terdengar bunyi seperti ledakan ketika dua telapak tangan itu bertemu. In Hong merasakan tangannya panas dan membalik sehingga dia terhuyung.

“Engkau hebat, Hong-moi. Baru mendapat petunjuk sebentar saja dari suhu, telah dapat menguasai Thian-te Sin-ciang hampir seperempat bagian”

“Baru seperempat bagian?” In Hong bertanya dengan mata terbelalak dan kecewa. “Kukira sudah hampir sempurna!”



Bun Houw terganyum dan hatinya girang melihat kenyataan bahwa berbicara dengan In Hong, dia mulai melupakan peristiwa di dalam kamar bersama Si Kwi yang mendatangkan penyesalan amat besar di hatinya itu. “Hong-moi, engkau belum tahu benar kehebatan dari Thian-te Sin-ciang. Hanya suhu seoranglah yang telah memiliki ilmu itu dan menguasai secara sempurna. Kalau suhu berada di sini, pintu ini bukan apa-apa. Engkau memiliki hampir seperempat bagian sudah hebat, Hong-moi.”

“Dan engkau sendiri, koko. Engkau sudah begitu hebat!”

“Ah, mana bisa aku menandingi suhu? Paling-paling aku baru menguasai setengahnya atau lebih sedikit. Karena itu, biarpun kita menggabungkan tenaga, tidak akan mungkin dapat menjebol pintu ini. Akan tetapi ada kemungkinan kecil kalau engkau dapat memperkuat tenagamu di sini, dengan latihan-latiban khusus.”

“Pikiran itu baik sekali, Houw-ko.”

Bun Houw lalu menyuruh gadis itu duduk bersila di depannya, di atas pembaringan. Mereka berdua duduk bersila dengan kaki melintang di atas kedua paha, punggung mereka lurus dan kedua lengan mereka dilonjorkan sehingga kedua telapak tangan mereka saling bertemu, dengan jari-jari tangan lurus ke atas.

“Sekarang kendurkan seluruh urat syarafmu, Hong-moi, sedikitpun jangan melakukan perlawanan dan kauikuti saja dorongan hawa dariku, kemudian terus ikuti sampai kau dapat melakukan latihan ini sendirl.” Bun Houw lalu memberi tahu tentang teori-teorinya melatih diri untuk memperkuat tenaga sin-kang Thian-te Sin-ciang. “Mula-mula gerakkan hawa melalui sepanjang Ci-kiong-hiat, lalu naik ke Koan-goan-hiat, turun lagi ke Tiong-teng-hiat dan akhirnya berhenti dan dipusatkan di Thian-te-hiat-to,” demikian Bun Houw mulai memberi petunjuk sambil mengerahkan sin-kangnya melalui telapak tangan gadis itu. In Hong merasakan hawa yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya melalui telapak tangannya. Perasaan ini mendatangkan kenikmatan dan rasa nyaman menyelimuti seluruh tubuhnya itu, apalagi ketika dia teringat bahwa hawa itu datang dari Bun Houw, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terguncang! Hal ini terasa oleh Bun Houw dan pemuda ini menjadi terkejut karena ada hawa melawan dari In Hong, bukan melawan melainkan “menyambut”, akan tetapi hal itu sama saja karena dapat menghalangi penembusan jalan-jalan darah itu dengan hawa murninya.

“Harap kau jangan membiarkan pikiran berkeliaran, Hong-moi. Pikiran harus kosong dan seluruh perasaan berpusat kepada perjalanan hawa sakti...”

“Maaf, Houw-ko... aku tidak sengaja,” In Hong menjawab dan kedua pipinya merah sekali karena merasa jengah. Melihat sepasang pipi yang begitu kemerahan dan halus menyegarkan, cepat-cepat Bun Houw memejamkan matanya agar jangan melihat sepasang pipi yang demikian dekatnya!

Demikianlah, dua orang muda itu mulai dengan latihan mereka dan mereka hampir tidak perduli akan hidangan yang disuguhkan melalui lubang kecil. Hanya kalau mereka sudah merasa lelah dan lapar saja mereka berhenti, makan dan mengaso. Setelah menerima petunjuk dari Bun Houw dan sudah hafal benar akan cara berlatih untuk memperkuat tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, dua hari kemudian In Hong sudah mulai berlatih sendiri, dan Bun Houw juga mempergunakan kesempatan itu untuk berlatih, karena diapun perlu memperkuat tenaganya agar kelak dapat digabung dengan tenaga In Hong untuk mencoba membobolkan pintu baja itu.


***


Meriah sekali pesta yang diadakan oleb Raja Sabutai di tempat tinggalnya yang baru itu, di tepi sungai yang bergabung dengan Sungai Nun-kiang di utara. Pesta besar itu dirayakan karena lahirnya sang putera, hal yang amat dinanti-nantikan dan diidam-idanikan selama bertahun-tahun oleh Sabutai. Isterinya yang tercinta, Khamila, telah melahirkan seorang putera yang sehat dan montok, dan yang tangisnya amat nyaring dan terdengar sebagai nyanyian yang paling merdu bagi telinga Sabutai dan Khamila.

Pesta untuk merayakan kelahiran putera Sabutai itu dihadiri oleh semua kepala Suku Nomad yang banyak terdapat di luar tembok besar utara, dari suku-suku kelompok kecil sampai yang besar, dan di antara para tamu itu terdapat pula orang-orang Han dari dalam tembok besar. Mereka ini adalah pedagang-pedagang yang suka membawa barang-barang dagangan dari selatan, untuk diperdagangkan dan ditukar dengan barang-barang dari utara. Biarpun perjalanan yang mereka tempuh amat jauh dan sukar, namun karena keuntungannya cukup baik, maka banyak pula yang berani menempuhnya. Selain para pedagang, juga banyak hadir tokoh-tokoh persilatan di perbatasan, karena Sabutai selain terkenal sebagai seorang raja atau kepala suku yang besar, juga dia terkenal pula di antara tokoh-tokoh kang-ouw sebagai seorang ahli silat yang lihai.

Selain hidangan yang berlimpah-limpah dan tari-tarian serta nyanyian daerah yang diselenggerakan untuk menghibur para tamu, juga Sabutai mengadakan pertandingan silat dan gulat dengan hadiah-hadiah yang menarik. Hal ini dilakukan dengan harapan agar kelak puteranya menjadi seorang gagah perkasa, maka kelahirannya disambut dengan pertandingan-pertandingan ketangkasan, yaitu yang umum di antara mereka adalah silat terutama sekali gulat.

Banyak juga yang mendaftarkan diri untuk mengikuti pertandingan itu. Akan tetapi, Raja Sabutai kecewa melihat bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian biasa saja. Maka ketika menurut giliran maju seorang pegulat yang sudah cukup terkenal di antara para Suku Nomad, seorang pegulat yang tubuhnya seperti gajah, kokoh kuat dan kekar, berhadapan dengan seorang ahli silat bangsa Han di antara para tokoh perbatasan, Sabutai menjadi girang dan tertarik sekali.

“Akan kutambah hadiahnya!” dia berseru girang. “Siapa di antara kalian yang menang, selain hadiah yang telah disediakan untuk tiap pemenang, akan kutambah dengan sebuah hadiah lagi yang boleh dipilih oleh si pemenang di antara barang-barang sumbangan yang kuterima hari ini!” Dia menudingkan telunjuknya ke arah meja besar yang penuh dengan barang sumbangan yang ditumpuk di situ setelah dicatatkan satu demi satu oleh pembantu yang menerimanya. Tentu saja semua orang menjadi gembira dan tegang. Jarang dipertandingkan seorang ahli silat melawan seorang ahli gulat, dan kini timbullah pertaruhan-pertaruhan di antara mereka. Bagi yang belum mengenal kebiasaan mereka, tentu akan merasa heran mendengar betapa di antara para kepala Suku Nomad itu, selain mempertaruhkan kuda mereka yang terbaik, atau ternak mereka, juga ada yang mempertaruhkan anak perempuan mereka, bahkan ada pula yang mempertaruhkan isteri atau selir mereka!



Sabutai memandang penuh perhatian. Dia sudah mengenal jago gulat itu dan tahu akan ketangguhannya. Tentu saja bagi dia sendiri, jago gulat itu bukan apa-apa, karena dia tahu bahwa jago gulat itu hanya mengandalkan tenaga besar dan cara-cara meringkus dan melontarkan lawan, di samping memiliki tubuh yang kuat dan kebal seperti gajah. Akan tetapi yang menarik perhatiannya adalah ahli silat itu. Dia tidak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw perbatasan ini secara dekat, dan melihat cara jago silat itu memasang kuda-kuda, dia maklum bahwa akan terjadi pertandingan yang seru dan menarik. Ahli silat itu mempunyai kuda-kuda yang kuat dan sikapnya begitu meyakinkan, dengan kedua lutut ditekuk seperti orang menunggang kuda, lengan kanan ditekuk di depan dada dengan tangan miring di depan dada, lengan kiri di depan pusar, juga ditekuk dan tangan kirinya miring di depan pusar. Dengan kuda-kuda seperti itu, maka bagian tubuh atas bawah telah terjaga rapat dan kedua tanganpun sudah siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu melakukan penyerangan dari atas atau bawah.

Seorang wasit yang mewakili Raja Sabutai, yaitu seorang di antara panglimanya yang juga merupakan seorang ahli, baik dalam ilmu gulat maupun silat, memberi tanda dengan tangannya ke arah pembantunya yang segera membunyikan canang tanda dimulainya pertandingan itu. Si wasit lalu berdiri di sudut dan mulailah dua orang itu bergerak.

Memang menegangkan sekali pertandingan ini. Bukan seperti pertandingan antara dua orang jago gulat yang saling tubruk den saling cengkeram, bprusaha saling banting, mengandalkan ketepatan saat dan gerak reflex dibantu oleh penggunaan tenaga besar yang tepat pada waktunya, atau seperti pertandingan antara dua orang jago silat yang saling serang mengandalkan kecepatan den ketepatan pukulan atau tendangan, akan tetapi karena masing-masing menghadapi lawan yang memiliki kepandaian berbeda, mereka berdua menjadi hati-hati sekali. Si jago gulat berdiri dengan kedua lengan dikembangkan di kanan kiri tubuhnya, tangannya siap untuk menangkap atau mencengkeram di depan, kedua kakinya agak terpentang dan dia agak membungkuk, sikapnya seperti seekor orang hutan besar menghadapi lawan. Ke manapun lawan bergerak, dia memutar tubuh menghadapinya! Sedangkan si jago silat masih menanti-nanti saat yang tepat, memilih-milih sasaran untuk serangannya dan dia mengatur langkah, digesernya dan perlahan-lahan memutari tubuh si jago gulat dengan perlahan, merobah-robah kedudukan kedua tangannya sesuai dengan kedudukan kedua kakinya, apakah menghadapi lawan dengan miring ataukah langsung berhadapan.

“Hyaaaattt...!” Tiba-tibe si jago silat itu menyerang dari samping setelah dengan cepat dia melangkah ke samping kiri lawan, dengan pukulan cepat ke arah lambung.

“Hehhh!” Si jago gulat mengelak dan tangannya yang panjang mencengkeram ke arah rambut kepala lawan. Akan tetapi jago silat itupun sudah cepat melompat ke belakang menghindarkan diri, memutar tubuhnya dan menendang dari depan ke arah perut lawan.

“Dukkk!” Lengan yang besar itu menangkis dan ketika tangannya menyambar, kembali lawannya dapat menarik kaki sehingga sambaran itu luput.

Kembali ahli silat itu bergerak mengitari si ahli gulat yang tetap tenang, sama-sama mencari kesempatan. Tiba-tiba, sekali ini tanpa mengeluarkan teriakan, jago silat itu meloncat ke atas, kakinya melayang ke arah muka jago gulat itu dengan kerasnya. Jago gulat itu menghindarkan diri dengan elakan, akan tetapi dengan cepat sekali tangan kanan jago silat itu menghantam tengkuknya. Jago gulat yang melihat kecepatan ini kaget, dia miringkan tubuh mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena pukulan.

“Bukkk!”

Dia terhuyung, akan tetapi pemukulnya juga cepat meloncat ke belakang karena tangannya bertemu dengan daging yang tebal dan keras! Karena berbesar hati telah dapat menghantam pundak, jago silat itu kini melakukan serangan bertubi-tubi dengan gerak cepat dan ternyata siasatnya berhasil baik. Berkali-kali dia dapat menggunakan kedua tangan atau kakinya untuk menghantam dan menendang lawan dan ada beberapa di antaranya yang mengenai tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan-pukulan itu mengenai tubuh si jago gulat, akan tetapi pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan itu tidak merobohkan lawan, hanya membuat si jago gulat terhuyung.

Sorak-sorai dan tepuk tangan mulai terdengar, ada pula ejekan-ejekan terhadap si jago gulat, terutama mereka yang bertaruh memegang ahli silat itu. Tentu saja di depan Raja Sabutai, para tamu tidak berani bersikap melampaui batas, akan tetapi di dalam kesempatan seperti ini di tempat ini, bukan hal mustahil kalau gelanggang pertandingan menjadi gelanggang pertempuran antara para penjudi itu yang tentu saja dibela oleh anak buah masing-masing!

Pertandingan dilangsungkan terus dengan serunya. Jago silat itu telah berhasil memukul beberapa kali sehingga pukulan yang mengenai muka jago gulat itu membuat bibirnya pecah dan berdarah. Akan tetapi si ahli silat ketika menendang tulang kering kakinya bertemu dengan tulang kaki si jago guiat yang besar dan kuat, sehingga biarpun tulang kakinya yang kecil itu tidak patah, cukup mendatangkan rasa nyeri dan membuat dia agak terpincang!

Jago gulat itu menjadi marah sekali. Seperti seekor kerbau yang terluka, dia kini mulai aktip menyerang. Namun serangan-serangannya yang berupa cengkeraman dan tangkapan kedua tangan itu selalu dapat dialakkan oleh si jago silat yang lincah, selalu menubruk atau menangkap angin kosong belaka, dan sebagai jawabannya, tentu terdengar suara “Tak!” atau “Plak!” karena tangan jago silat itu berhasil memukul atau menampar. Kini lebih banyak darah lagi keluar ketika sebuah pukulan si jago silat tepat mengenai hidung si jago gulat sehingga muncratlah darah segar dari lubang hidung raksasa itu. Bagaikan serigala-serigala yang haus darah, para penonton berteriak-teriak penuh nafsu menjagoi pilihan masing-masing. Yang menjagoi ahli silat menjadi besar hati karena melihat jagonya lebih banyak membagi pukulan, sedangkan yang menjagoi si ahli gulat juga tidak putus harapan karena biarpun seringkali dipukul, si jago gulat yang kokoh kuat itu belum juga roboh, sedangkan si jago silat sebaliknya malah kelihatan lelah sekali. Hal ini karena si jago silat lebih banyak bergerak, sedangkan si jago gulat hanya berdiri dan bergerak sedikit sekali.



Setelah beberapa kali menerima hantaman den tendangan berturut-turut, tiba-tiba si jago gulat berhasil menangkap pergelangan lengan lawannya! Si jago silat meronta, namun percuma saja karena pegangan itu bukan main kuatnya. Karena maklum bahwa dia tidak akan mampu melepaskan diri, si jago silat lalu menggunakan sebelah tangannya lagi untuk menusuk mata lawan dengan jari tangan. Jago gulat itu miringkan mukanya, akan tetapi tetap saja pipinya kena ditusuk dan kembali darah mengucur.

“Haarrgghhh...!” Jago gulat mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang. Dia maklum betapa bahayanya untuk terus memegang lengan lawannya itu, maka sekali dia merendahkan diri dan mengerahkan tenaga sambil memegang pinggang lawan, dia telah mengangkat tubuh si jago silat tinggi-tinggi di atas kepalanya. Terdengar pekik dan sorak-sorai menyambut kemenangan si jago gulat ini ketika tiba-tiba si jago gulat melontarkan tubuh jago silat yang tak berapa besar itu sehingga terlempar sampai jauh ke arah para tamu!

Jago silat itu berteriak kaget, maklum bahwa nyawanya terancam bahaya. Tubuhnya sudah tidak dapat dikuasainya lagi dan dia dilontarkan seperti peluru cepatnya, menimpa ke arah dua orang tamu yang duduk semeja di sudut yang agak sunyi. Akan tetapi, tiba-tiba seorang di antara dua tamu itu, yang berpakaian sederhana, berbangsa Han, bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit, pakaiannya yang berwarna kuning itu penuh debu tanda bahwa dia telah melakukan perjalanan jauh, bangkit berdiri dan dengan tenangnya dia mengulur tangan kirinya den ketika tubuh si jago silat itu menimpa ke arah mejanya, dia menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu tubuh itu mencelat ke atas mematahkan daya luncurnya, dan ketika turun kembali, disambutnya dengan tangan kiri dan si jago silat itu dapat turun dengan lunak dan sama sekali tidak terluka.

Si jago silat memandang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang berpakaian kuning sederhana itu dengan mata terbelalak, kemudian dia menjura sambil berkata perlahan, “Terima kasih,” dan berjalan terhuyung kembali ke tempatnya, disambut oleh penyesalan dan celaan teman-temannya yang merasa kecewa mengapa ahli silat yang sudah lebih banyak membagi pukulan itu sampai dapat terpegang kalah, dan lain-lain.

Sabutai bermata tajam sekali, dan dia mengenal orang pandai ketika melihat pemuda pakaian kuning tadi menerima tubuh si jago silat secara demikian mudahnya. Biarpun sebagian besar para tamu tidak tahu akan hal itu, namun dia sendiri mengerti bahwa orang yang memiliki sin-kang amat kuat saja yang akan mampu menyambut tubuh yang dilontarkan demikian kuatnya itu secara demikian rupa. Maka Sabutai lalu memberi perintah kepada seorang pengawalnya dan pengawal ini lalu cepat menghampiri dua orang tamu tadi tanpa diketahui orang lain.

Pengawal itu dengan suara perlahan menyampaikan perintah atau pesan Sabutai bahwa dua orang itu dipanggil menghadap Raja Sabutai itu karena hendak ditanya tentang suatu urusan penting sekali.

Dua orang pemuda itu saling pandang dan merasa girang karena memang kedatangan mereka di tempat ini adalah untuk bicara dengan Sabutai. Hanya kebetulan saja ketika mereka datang, tempat itu sedang penuh tamu karena Sabutai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran puteranya. Siapakah mereka itu? Tentu saja dari pakaian pemuda yang tadi secara mengagumkan menerima tubuh si jago silat, mudah diduga bahwa dia bukan lain adalah Tio Sun, sedangkan pemuda kedua yang berambut agak kuning keemasan sedangkan matanya agak biru itu bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Richardo de Gama! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tio Sun “ditangisi” oleh Kwi Beng agar pemuda ini suka menolongnya, yaitu untuk dapat menemaninya mencari In Hong yang dicinta oleh Kwi Beng dan untuk membantu perjodohannya dengan In Hong karena orang tuanya menyatakan tidak setuju. Sebetulnya, permintaan seperti ini jauh lebih berat daripada andaikata pemuda keturunan Portugis itu minta kepadanya membantu menghadapi musuh yang lihai. Akan tetapi, baru saja Tio Sun sendiri menderita “patah hati” karena ternyata gadis yang dicintanya, yang diam-diam dicintanya, yaitu Kwi Eng saudara kembar Kwi Beng, telah ditunangkan dengan Cia Bun Houw! Karena itu, dia merasa tidak tega kepada Kwi Beng dan dia memenuhi permintaan pemuda itu. Apalagi karena diapun ingin cepat-cepat menjauhi Kwi Eng sebelum luka di hatinya menjadi makin parah.

Mereka berdua pergi ke kota raja ketika mendengar bahwa Yap In Hong telah berada di kota raja, bahkan telah menjadi seorang puteri! Akan tetapi, seperti halnya Bun Houw yang datang ke kota raja, mereka mendengar akan peristiwa penculikan atas diri In Hong yang dilakukah oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Tentu saja mereka menjadi terkejut bukan main dan karena Tio Sun pernah membantu Bun Houw dan Cia Keng Hong, maka dia sudah tahu ke mana harus mencari Sabutai. Menurut perkiraannya, kakek dan nenek yang menjadi guru Sabutai itu tentu berada bersama raja itu, maka dia lalu mengajak Kwi Beng untuk langsung pergi keluar tembok besar di utara dan mencari di mana adanya Sabutai dan kedua orang gurunya itu.

Inilah sebabnya mengapa dua orang muda itu kini berada di tempat pesta itu, dan secara tidak disengaja Tio Sun dapat menarik perhatian Sabutai sehingga kini dia dan Kwi Bang dipanggil oleh Sabutai yang tertarik menyaksikan kelihaian Tio Sun tadi.

Pertandingan masih berlangsung terus, akan tetapi Sabutai tidak memperhatikan lagi karena memang dianggapnya tidak begitu menarik. Dia kini dihadap oleh dua orang pemuda itu, dan dengan ramah Sabutai lalu menanyakan nama mereka, juga dia amat memperhatikan Kwi Beng yang matanya agak biru dan rambutnya agak keemasan itu.

“Nama saya Tio Sun dan sahabat saya ini bernama Souw Kwi Beng,” jawab Tio Sun setelah memberi hormat. “Karena kebetulan kami berdua lewat di sini dan mendengar akan perayaan yang diadakan oleh paduka di sini, maka kami lalu memberanikan diri datang menonton keramaian. Atas kelancangan ini, harap paduka sudi memaafkan kami.”

“Ahh...!” Sabutai makin tertarik karena ternyata bahwa pemuda itu amat hormat kepadanya dan pandai membawa diri. “Kami malah merasa girang dan beruntung menerima kedatangan ji-wi sicu yang pandai. Kalau boleh kami mengetahui, ji-wi hendak ke manakah dan ada keperluan apa sampai jauh-jauh ke tempat ini?”

“Kami berdua hendak mencari kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li,” kata Tio Sun dengan terang-terangan. Dia sudah mendengar bahwa Raja Sabutai ini sudah berbaik derigan kaisar, maka dia tidak khawatir memberitahukan maksud kedatangan mereka kepadanya. Apalagi karena mereka tadi tidak melihat adanya dua orang guru raja ini, bahkan ketika mereka bertanya-tanya kepada beberapa orang tamu, merekapun tidak ada yang tahu mengapa guru-guru raja itu tidak muncul di dalam pesta. Maka, terpaksa dia mengaku terus terang dengan harapan akan memperoleh keterangan dari raja ini.



“Ha...? Tahukah kalian siapakah dua orang tua yang kausebut tadi, Tio-sicu?” tanyanya, memandang dengan tertarik.

“Kami telah mendengar bahwa kedua locianpwe itu adalah guru-guru paduka. Oleh karena itulah maka sekalian kami mohon petunjuk paduka, di mana kami kiranya akan dapat bertemu dengan mereka.”

Sabutai menggeleng-geleng kepala dan memandang kagum. “Tio-sicu dan Souw-sicu, sungguh aku kagum sekali kepada kalian! Masih begitu muda sudah memiliki nyali harimau dan hati naga! Kalau tahu bahwa yang kalian cari itu adalah guru-guruku, akan tetapi kalian terang-terangan menanyakannya kepadaku, seolah-olah kalian berani menghadapi kami dengan bala tentara kami yang ribuan orang jumlahnya!”

Tio Sun menjura lagi dan berkata, “Adanya kami berdua berani datang ke sini, karena kami sudah mendengar akan nama paduka yang besar sebagai seorang yang dapat menghargai kegagahan.”

“Ha-ha, jangan kira kami tidak tahu akan maksud kedatangan kalian. Bukankah kalian mencari kedua orang guruku itu berhubung dengan diculiknya nona Yap In Hong?”

Tio Sun tidak terkejut mendengar ini karena dia sudah menduga akan kecerdikan Raja Sabutai. Akan tetapi Souw Kwi Beng terkejut sekali dan karena dia merasa bahwa “rahasia” mereka sudah ketahuan, maka dia segera berkata dengan gagah dan nyaring, “Benar! Nona Yap In Hong telah diculik dan kami sengaja datang mencari untuk menolongnya dan kalau perlu kami akan mengadu nyawa dengan para penculiknya, siapapun adanya mereka itu!”

Tio Sun kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda itu akan mengeluarkan kata-kata yang begitu sembrono. Dia khawatir kalau-kalau Raja Sabutai menjadi marah dan berbahaya kalau begitu, maka dia cepat berkata, “Maafkan, sahabat saya ini amat mengkhawatirkan nona Yap yang amat dicintanya. Tentu paduka maklum...”

Memang tadinya muka Raja Sabutai sudah memperlihatkan kemarahan ketika mendengar kata-kata Kwi Beng, akan tetapi begitu mendengar ucapan Tio Sun, dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, apa yang tidak akan dilakukan oleh orang-orang muda yang mabok cinta! Lautan api akan ditempuhnya, barisan golok akan diterjangnya! Apakah kalian ini utusan pribadi kaisar untuk menyelamatkan nona Yap In Hong?”

Tio Sun cepat-cepat mendahului Kwi Beng. “Dapat dikata demikianlah, sri beginda. Ayah saya adalah seorang bekas pengawal yang amat setia dan karenanya, sayapun seorang yang selalu akan membela kaisar. Karena, nona Yap In Hong telah menjadi seorang puteri istana yang dipercaya oleh kaisar, maka tentu saja kaisar amat marah mendengar puteri itu diculik orang. Di antara banyak utusan kaisar yang mendapat perintah untuk mencari dan menyelamatkan nona Yap, termasuk kami berdua.”
Kwi Beng tentu saja merasa heran sekali mendengar ucapan ini. Mereka menjadi utusan kaisar? Heran dia mengapa Tio Sun harus membohong seperti itu. Dianggpanya perbuatan ini tidak bijaksana dan tidak gagah! Menunjukkan rasa takut dan hendak bersembunyi di balik nama kaisar. Akan tetapi dia segera mengerti ketika mendengar raja itu berkata, Ah, Kaisar Ceng Tung memang seorang yang mengenal budi! Aku telah memberitahu kepada beliau bahwa urusan culik?menculik ini sama sekali tidak ada sangkut?pautnya dengan aku, sungguhpun yang melakukannya adalah guru-guruku. Namun dalam hal ini, mereka berdiri sendiri, dan nanti kita bicarakan lebih lanjut tentang di mana kalian dapat bertemu dengan mereka, kalau kupandang kalian memang pantas untuk bertemu dengan mereka!” Sabutai lalu memerintahkan pelayan untuk menambah tendangan makanan dan arak, kemudian raja ini menjamu mereka. Ini merupakan suatu kehormatan yang besar sekali dan banyak pandang mata para tamu diarahkan ke meja itu dan menduga-duga siapa adanya dua orang muda yang tadinya diundang oleh Raja Sabutai dan kini mereka dijamu itu.

Setelah dua orang muda itu makan dan minum sampai kenyang, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan ternyata para tamu menyambut kemenangan seorang pegulat yang berkulit hitam, bertubuh seperti raksasa dan karena dia hanya mengenakan cawat saja maka kulit hitam yang berkeringat itu kelihatan berkilauan mengkilap. Nampak otot-otot membelit-belit seluruh tubuh yang amat kuat itu dan si pegulat hitam ini dinyatakan sebagai pemenang karena berturut-turut dia telah menangkan lima pertandingan dan kini dia mengangkat kedua tangan ke atas membuat isyarat menantang siapa lagi yang berani bertanding melawan dia di atas panggung!

Raja Sabutai memandang kepada pegulat hitam itu dan dia tersenyum. Dia mengenal pegulat itu yang berjuluk Biruang Hitam, seorang pegulat yang selain memiliki tenaga yang amat kuat, juga telah menguasai ilmu gulat dengan baiknya sehingga dalam hal ilmu gulat, dia sendiri akan sukar mengalahkan Biruang Hitam itu. Maka timbullah pikirannya untuk mempergunakan si Biruang Hitam itu menguji utusan Kaisar Ceng Tung ini.

“Tio-sicu, seperti kukatakan tadi, tidak sembarang orang dapat bertemu dengan kedua orang guruku itu. Apalagi menyelamatkan nona Yap In Hong! Hal itu merupakan tugas amat besar yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pandai yang mempunyai tekad dan keberanian besar saja.”

“Kami berdua tidak berani mengaku sebagai orang-orang pandai, akan tetapi kalau paduka suka memberi tahu di mana kami dapat menjumpai locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, kami bertekad untuk menolong nona Yap In Hong dengan taruhan nyawa seperti yang dikatakan oleh adik Souw Kwi Beng tadi.”

“Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, sicu. Untuk dapat berjumpa dengan kedua orang guruku itu sedikitnya harus mempunyai kepandaian seperti si Biruang Hitam itu. Nah, mampukah Tio-sicu menandingi dia?”

Tio Sun menoleh dan memandang ke arah raksasa hitam yang masih berdiri tegak dan memandang ke sekeliling menantang dengan sikap angkuh itu. Dia maklum bahwa betapapun juga, dia harus dapat meyakinkan hati raja ini agar dia dapat diberi petunjuk. Diapun sudah mendengar bahwa Sabutai paling suka nonton orang bertanding silat dan merasa simpati kepada orang yang pandai ilmu silat. Agaknya, tanpa memperlibatkan kepandaian, dia tidak akan bisa memperoleh petunjuk dari raja ini. Maka dia mengangguk dan berkata perlahan, “Akan saya coba untuk menandingi dia, sri baginda.”

Sabutai tertawa gembira dan dia bertepuk-tepuk tangan dengan keras sehingga semua orang menoleh kepadanya. Juga raksasa hitam itu cepat membalik ke arah Raja Sabutai dan memberi hormat.



“Saudara sekalian, kebetulan sekali ada seorang utusan dari selatan detang menghadiri pesta ini dan dialah yang sanggup untuk menandingi si Biruang Hitam!”

Mendengar ini, semua tamu bertepuk dan bersorak gembira. Tadi mereka sudah merasa khawatir bahwa pertunjukan adu silat dan gulat itu akan berakhir sampai di situ saja karena munculnya Biruang Hitam yang sudah berturut-turut mengalahkan lima orang lawan dan agaknya sudah tidak ada lagi yang berani maju. Maka mendengar bahwa ada utusan dari selatan yang hendak menandingi Biruang Hitam, tentu saja mereka menjadi gembira sekali, maklum bahwa mereka akan menyaksikan pertandingan yang hebat dan mungkin mati-matian karena jagoan dari selatan tentulah seorang ahli silat dan Biruang Hitam paling benci kepada orang selatan yang pandai silat!

“Nah, Tio-sicu, silakan,” kata Sabutai kepada Tio Sun.

Tio Sun bangkit, menjura kepada Sabutai dan memandang kepada Souw Kwi Beng. Pemuda ini mengerutkan alisnya dan berkata, “Tio-twako, hati-hatilah... dia kelihatan kuat sekali.”

Tio Swi mengangguk dan setelah sekali lagi menjura ke arah Sabutai, dengan langkah tenang dia lalu menghampiri panggung dan meloncat ke atas panggung, berhadapan dengan Biruang Hitam. Raksasa hitam ini menyeringai dan mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang ketika melihat bahwa calon lawannya hanyalah seorang tinggi kurus dan berpakaian sebagai orang Han! Dia amat membenci orang Han, apalagi seorang Han yang pandai silat! Dan calon lawannya ini bertubuh kecil, terlalu kecil baginya! Tiga kali tubuh lawan ini dijadikan satu barulah sama dengan dia.

Tio Sun juga memandang lawannya dengan penuh perhatian. Seorang lawan yang berbahaya, pikirnya. Jelas bahwa Biruang Hitam ini mempunyai tenaga otot yang amat besar, mungkin lima kali lebih besar daripada tenaga manusia biasa. Dan kedua lengan yang hitam berbulu itu amat kuat dan panjang, dengan jari-jari tangan yang panjang dan yang dia dapat menduga tentu mempunyai kekuatan mencengkeram atau menangkap yang amat kuat. Celakalah kalau sampai kena dicengkeram oleh jari-jari tangan itu. Dia harus mengandalkan kecepatan gerakannya, karena betapapun kuatnya, raksasa hitam ini karena besarnya tubuh tentu lamban gerakannya dan dengan mengandalkan kegesitannya, mungkin dia akan menang. Pula, dia adalah putera seorang yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati). Ayahnya, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, terkenal memiliki tenaga yang amat besar dan diapun telah mempelajari penghimpunan tenaga itu sehingga diapun merupakan seorang yang bertenaga besar. Namun, dalam hal tenaga luar, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat menandingi raksasa di depannya itu.

“Aku telah siap!” katanya kepada raksasa itu yang kelihatan ragu-ragu. Agaknya Biruang Hitam itu mengerti maksud kata-katanya, karena dia segera mengeluarkan suara menggereng dahsyat dan kedua lengannya bergerak menyambar ke depan dari kanan kiri seperti terkaman seekor biruang yang marah.

“Wuuutttt...! Wuuutttt...!” Kedua tangannya yang lebar dengan jari-jari terbuka itu sampai mengeluarkan angin saking kuatnya dia menggerakkan kedua tangan dari kanan kiri yang mengadakan serangan cengkeraman itu. Namun dengan langkah ke belakang, Tio Sun dapat mengelak dengan mudah dan ketika raksasa hitam itu melanjutkan serangannya dengan menubruk ke depan, dia juga sudah dapat mengelak ke samping dengan lincahnya. Biruang Hitam menggereng marah dan kini dia menerjang lagi dengan pukulan kepalan tangan sebesar kepala Tio Sun sedangkan tangan kiri mencengkeram ke bawah, hendak menangkap kaki pendekar itu.

Kembali Tio Sun cepat mengelak dan dari samping dia sengaja memasang diri untuk ditubruk. Melihat betapa pemuda itu mengelak dengan tubuh terhuyuhg, si raksasa menjadi girang dan cepat dia menubruk dengan kedua lengan terpentang untuk mencegah pemuda itu mengelak ke kanan atau ke kiri. Memang ini yang dikehendaki oleh Tio Sun. Melihat betapa dada itu “terbuka”, secepat kilat dia menghantam dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dengan maksud membuat raksasa itu roboh dengan satu kali pukulan.

Tentu saja gerakan Tio Sun ini amat cepatnya sehingga tidak tersangka-sangka oleh si Biruang Hitam yang lamban, maka sebelum dia tahu apa yang terjadi, dadanya sudah kena dipukul lawan.

“Bukkk!”

Pukulan yang keras bukan main mendarat di dada yang bidang itu. Akan tetapi akibatnya bukan tubuh tinggi besar itu yang roboh terjengkang, sebaliknya malah tubuh Tio Sun sendiri terdorong ke belakang dengan kerasnya! Pukulannya yang mengenai dada itu seolah-olah memukul bola karet yang amat kuat sehingga membalik dan akibatnya dia yang mencelat ke belakang dan tentu dia akan roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik sampai bersalto tiga kali ke belakang, baru dia dapat turun ke atas papan panggung dengan baik.

Sorak-sorai menyambut peristiwa ini karena semua orang melihat betapa si raksasa kena pukulan keras namun yang terlempar malah yang memukul! Si Biruang Hitam tertawa bergelak dan sudah maju lagi dengan kedua lengan dikembangkan, persis seperti seekor biruang yang berjalan dengan dua kaki belakangnya, hidungnya mendengus-dengus dan bibirnya yang tebal itu menyeringai.

Souw Kwi Beng yang melihat ini menjadi gelisah bukan main dan diam-diam dia meraba ke pinggangnya di mana terselip sebuah pistol kecil. Perbuatannya ini tidak terlepas dari pandang mata Raja Sabutai yang hanya tersenyum-senyum menonton pertandingan di atas panggung itu.



Semua mata ditujukan ke atas panggung dan semua jantung berdebar tegang melihat raksasa hitam itu kini telah menghampiri Tio Sun yang mundur-mundur dan memandang dengan sikap waspada sampai akhirnya pendekar itu tersudut. Biruang Hitam menggereng dan menubruk lagi, namun Tio Sun jauh lebih cepat, tubuhnya telah menyelinap melalui bawah lengan kiri lawan dan dia sudah melesat ke belakang raksasa itu. Biruang Hitam membalik dan menubruk lagi, kedua lengan yang panjang itu menyambar-nyambar ganas, namun selalu dapat dielakkan oleb Tio Sun yang mengasah otak bagaimana dia dapat merobohkan Biruang Hitam yang amat kuat dan tubuhnya kebal ini. Mungkin dia tadi kurang mengerahkan tenaga, pikirnya. Setelah memperhitungkan dengan masak-masak, untuk kesekian kalinya kembali dia mengelak ketika Biruang Hitam itu menubruk, akan tetapi sekali ini dia menggunakan gin-kangnya, mengelak sambil meloncat ke atas, kemudian sebelum lawan membalik, dari atas dia telah menghantamkan kedua kakinya ke tengkuk lawan.

“Bresss!” Kembali tubuh Tio Sun terlempar akan tetapi dia dapat melayang turun sedangkan Biruang Hitam kini terhuyung ke depan. Tio Sun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan menghantam dari belakang ke arah punggung dan lambung lawan.

“Bukk! Desss!”

Hantaman-hantaman itu hebat bukan main dan lawan biasa tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi Biruang Hitam memang kuat bukan main seolah-olah tubuhnya dilindungi oleh karet yang tebal. Dia tidak roboh, bahkan dia berhasil membalik dan meraih sehingga pundak Tio Sun kena dicengkeram oleh jari-jari tangan yang panjang dan kuat itu. Tentu saja Tio Sun yang tidak mengira sama sekali bahwa lawan tidak roboh, bahkan terguncangpun tidak oleh dua pukulannya tadi, terkejut ketika tahu-tahu pundaknya dicengkeram. Bukan main nyerinya, seolah-olah tulang pundaknya akan hancur oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Maka dia cepat mengerahkah ilmu melemaskan badan, semacam Ilmu Jiu-kut-kang, membuat kulit pundaknya licin seperti belut dan dengan gerakan lincah dia merenggutkan tubuhnya dan meloncat mundur.

“Breetttt...!” Pundaknya terlepas dari cengkeraman akan tetapi baju di pundak itu robek dan hancur di tangan Biruang Hitam yang tertawa-tawa.

Tio Sun terkejut. Kiranya lawan ini lebih hebat daripada yang disangkanya. Timbul kemarahannya. Tadinya, dia hanya ingin mengalahkan lawan ini tanpa melukainya, karena dia memang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan siapa juga di tempat itu. Akan tetapi pendekar ini maklum bahwa kalau dia tidak sungguh-sungguh dan berhati-hati dia sendiri bisa celaka, bahkan mungkin saja bisa tewas oleh manusia raksasa yang bertenaga gajah dan cara berkelahinya buas seperti harimau ini.

Di antara para tamu sudah ramai orang mengadakan pertaruhan pula, taruhan yang berjumlah tinggi dan tentu saja raksasa hitam itu menjadi jagoan unggul sehingga yang bertaruh atas diri Biruang Hitam berani mempertaruhkan isterinya untuk selir seorang lawan bertaruh! Ini berarti bahwa dia sudah yakin akan kemenangan Biruang Hitam. Akan tetapi hanya sebentar mereka yang bertaruh ini ramai menambah taruhan mereka karena seluruh perhatian mereka segera dicurghkan lagi ke atas panggung di mana Biruang Hitam sudah menghujani serangan kepada Tio Sun yang kembali hanya mengelak ke sana-sini mengandalkan kelincahan tubuhnya. Makin lama, Birulang Hitam menjadi makin marah karena semua pukulan, tendangan dan cengkeramannya hanya mengenai tempat kQsong belaka. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya akan tetapi tenaganya tidak menjadi kendur, bahkan dia makin bersemangat karena terdorong oleh kemarahannya.

Souw Kwi Beng yang menonton pertandingan itu kini bernapas lega. Tahulah dia bahwa kini Tio Sun berhati-hati sekali dan berganti siasat, mengandalkan kecepatan gerakannya untuk menghabiskan tenaga lawan. Dan melihat betapa lamban gerakan Biruang Hitam yang amat kuat itu, dia tidak khawatir bahwa Tio Sun akan dapat tertangkap lagi seperti tadi. Dugaannya ini memang benar. Tio Sun yang maklum akan berbahayanya apabila sampai dirinya tertangkap lawan menggunakan gin-kangnya dan dengan mudah dia mengelak terus sambil menanti datangnya kesempatan.

Kesempatan itu tiba selagi si Biruang Hitam menghentikan serangan dan menghapus keringatnya yang menetes dari dahi memasuki matanya. Saat itu Tio Sun memekik keras dan tubuhnya berkelebat, dengan jari tangan terbuka dia menampar ke arah muka lawan.

“Plakkk!” Hantaman telapak tangannya sengaja dijatuhkan ke atas hidung Biruang Hitam itu.

“Currr...!” Darah segar muncrat dari dalam hidung Biruang Hitam. Betapapun kebalnya, tidak mungkin bagi raksasa ini untuk membikin kebal hidungnya maka begitu kena dihantam dengan keras, darahnya mengucur.

“Oauurrgghh...!” Dia menggereng seperti binatang terluka dan mengamuklah Biruang Hitam. Dengan membabi buta dia menyerang sambil menggereng dan mendengus-dengus penuh kemarahan. Kalau saja kedua tangannya yang besar itu berhasil menangkap tubuh Tio Sun, tentu tubuh itu akan dicabik-cabik, tulang-tulangnya akan dipatah-patahkan dan otot-ototnya akan dicabuti! Namun Tio Sun tidak membiarkan dirinya disentuh, terus dia berkelebatan dan meloncat ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari semua terkaman dan selain mengelak, juga dia selalu menggunakan setiap kesempatan untuk menghantam bagian-bagian yang dianggapnya tidak kebal.

“Plakkk!” Kini telinga kiri raksasa itu digaplok keras sekali. Tubuh raksasa itu terputar karena dia merasa kepalanya pening dan ada suara mengiang-ngiang memenuhi telinganya. Rasa nyeri membuat dia mengeluh dan menggereng, lalu menyerang lagi. Tio Sun mengelak menjauhi, kemudian ketika raksasa itu menubruk, dia melompat ke samping dan dari samping kakinya melayang ke bawah pusar, ke bagian tubuh yang paling penting dan berbahaya bagi seorang pria.



“Dukkk!” Tio Sun meringis dan menarik kembali kakinya yang merasa nyeri. Kakinya bertemu dengan benda yang keras seperti besi! Mungkinkah anggauta kelamin si Biruang Hitam ini sudah mengeras seperti besi? Tidak mungkin! Dan Tio Sun mengerti bahwa tentu di bawah cawat itu dipasangi alat pelindung dari besi.

Biruang Hitam menubruk dan kembali Tio Sun mengelak, kini memukul lagi ke arah telinga kanan.

“Plakkk!” Kembali tubuh itu terputar-putar dan kini tiba saatnya bagi Tio Sun untuk menghajar lawannya dan dia mengerahkan tamparan-tamparan pada kedua telinga, hidung, dan mata. Mulailah para tamu yang menjagoi pendekar ini bersorak-sorak dan tubuh Biruang Hitam kini sudah mulai lemah. Dengan kecepatan kilat, Tio Sun yang melihat kelemahan lawan, cepat menggunakan dua jari tangan menotok. Tadi, selagi lawan amat kuat, dia khawatir totokannya akan tidak mampu menembus kekebalan. Kini, setelah lawannya mulai lemah, dia mengerahkan tenaga dan dengan mudah dia menotok kedua pundak lawan yang telanjang tepat mengenai jalan darah dan dua lengan panjang itu kini tergantung lumpuh!

Tio Sun yang juga merasa lelah dan penasaran, lalu memperlihatkan tenaganya. Setelah kedua tangan yang berbahaya itu dibikin lumpuh, dia berani menerjang maju, menendang lutut lawan sehingga tubuh tinggi besar itu terguling, seperti kilat dia menangkap pinggang orang itu, mengerahkan tenaga dan mengangkat tubuh reksasa itu dengan kedua tangannya ke atas kepala dan melemparkannya ke bawah panggung. Tubuh raksasa itu jatuh berdebuk di atas tanah di luar panggung dan rebah pingsan di situ!

Sorak-sorai memenuhi tempat itu menyambut kemenangan Tio Sun dan wajah mereka yang menang bertaruh berseri-seri dan mereka membayangkan kesenangan-kesenangan yang didapatkan atas kemenangan itu. Raja Sabutai bangkit dari tempat duduknya ketika Tio Sun kembali ke situ, dan sambil mengangguk-angguk, Sabutai memuji, “Sungguh Tio-sicu amat lihai!”

Tio Sun menjura. “Biruang Hitam itu kuat sekali dan hanya kebetulan saja saya dapat mengalahkan dia.” Lalu dia menatap wajah raja itu tajam-tajam sambil berkata, “Saya harap sekarang paduka suka memberi petunjuk di mana adanya...”

“Nanti dulu, sicu. Duduklah. Pasta belum berakhir. Kepandaian Tio-sicu sudah kami saksikan dan memang sicu seorang yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi kami belum melihat kepandaian Souw-sicu.”

Tio Sun merasa khawatir kalau-kalau Kwi Beng akan diadukan. Dia tahu bahwa Kwi Beng sebagai putera pendekar wanita Souw Li Hwa tentu saja memiliki kepandaian yang tinggi juga dan sudah boleh diandalkan, akan tetapi Kwi Beng masih muda dan dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membunuh lawannya sehingga menimbulkan suasana tidak enak terhadap Raja Sabutai. Maka cepat dia berkata, “Sri baginda, tidakkah cukup dengan semua pertandingan itu? Para tamu juga tentu menjadi bosan karenanya. Bagaimana kalau adik Souw ini memperlihatkan kepandaiannya mainkan hui-to (pisau terbang) dan senjata rahasianya yang amat hebat, yang dapat memuntahkan peluru baja sedemikian cepatnya sehingga tidak dapat terlihat oleh mata? Tentu saja untuk permainan ini, tidak diperlukan adu kepandaian yang merupakan lawan karena dapat membunuh orang.”

Sabutai mengangguk-angguk sambil tertawa. “Seorang ahli senjata rahasia, heh? Bagus, nah, aku sendiri yang akan mengujinya.”

Tio Sun terkejut. Dia sudah mendengar bahwa raja ini, sebagai murid kakek dan nenek lihai Mo-ko dan Mo-li, memiliki kepandaian tinggi dan agaknya Kwi Beng bagaimanapun juga bukanlah lawannya. “Mana bisa adik Souw harus menghadapi paduka yang memiliki kepandaian amat tinggi?” dia mengajukan keberatan.

Raja Sabutai tertawa. “Kami hanya menguji kepandaiannya mainkan senjata rahasia, bukan bertanding.” Raja itu lalu bangkit berdiri dan melangkah ke atas panggung. Semua tamu kini memandang dengan mata terbelalak. Apakah Raja Sabutai yang sakti itu kini hendak bertanding? Semua mata memandang ke arah pemuda tampan berambut agak keemasan yang mengikuti di belakang sri baginda dengan sikap tenang.

“Saudara-saudara sekalian. Pemuda inipun seorang utusan dari selatan yang lihai. Anda sekalian tadi telah menyaksikan betapa lihainya Tio-sicu yang telah mengalahkan pegulat hebat kita Si Biruang Hitam. Dan sekarang, Bouw-sicu
akan memperlibatkan kemahirannya menggunakan senjata rahasia.”

Semua orang bertepuk tangan, menyambut dengan gembira karena bagi mereka, senjata yang mereka kenal hanyalah anak panah dan tombak yang dilontarkan, atau batu yang disambitkan. Akan tetapi mereka semua maklum bahwa Raja Sabutai juga mahir menggunakan bermacam senjata rahasia, terutama menggunakan anak panah. Kabarnya, sekali menarik gendewa, raja ini mempu meluncurkan tujuh batang anak panah, semua menuju ke sasaran dengan tepatnya! Atas isyarat raja, seorang pengawal datang berlari bersama dua orang pembantunya yang datang membawa sebuah alat yang biasa dipakai untuk berlatih ilmu memanah, yaitu sasaran terbuat dari kayu tebal yang sudah diberi lingkaran-lingkaran dan di tengah-tengahnya digambar kepala orang dengan mulut terbuka berwama hitam. Atas perintah Sabutai, sasaran itu dipasang dalam jarak seratus langkah. Kemudian Sabutai menerima gendewa dan tempat anak panah dari seorang pengawal lain, dan dia menoleh ke arah Kwi Beng sambil tersenyum.

“Souw-sicu, kami di daerah ini hampir semua orang mahir bermain anak panah, oleh karena itu ingin sekali kami melihat apakah senjata rahasiamu dapat menandingi anak panah kami dan mengenai sasaran itu dengan sama tepatnya.”

Sebelum pemuda itu menjawab, Sabutai sudah memasang tiga batang anak panah sekaligus di gendewanya, lalu menarik tali gendewa dan ketika dia melepaskan tali sehingga terdengar suara menjepret, meluncurlah tiga batang anak panah dengan cepatnya menuju sasaran. Menggunakan tiga batang anak papah sekaligus dapat dilakukan oleh pemanah-pemanah ahli, akan tetapi untuk ditujukan kepada tiga buah sasaran. Kalau tiga batang anak panah ditujukan kepada sasaran yang sama, sungguh merupakan hal yang amat sukar dan jarang dapat dilakukan orang. Akan tetapi, ketika tiga batang anak panah itu meluncur ke arah sasaran, tahulah semua orang dengan kagum bahwa sang raja itu menujukan ketiga batang anak panahnya kepada sasaran yang sama!



“Cep-cep-cepp!” Bagaikan berebut saja, tiga batang anak panah itu menancap di sasaran, dan tiga-tiganya tepat pada mulut hitam gambar kepala di tengah lingkaran itu. Tepuk sorak gemuruh menyambut kemahiran yang luar biasa ini. Raja Sabutai sambil tersenyum mengangkat kedua tangan ke atas untuk meredakan kebisingan itu, kemudian dia menghadapi Kwi Beng sambil berketa, “Nah, Souw-sicu, dapatkah senjata rahasiamu mengenai sasaran dengan tepat seperti anak-anak panahku?”

“Akan saya coba, sri baginda,” kata pemuda ini sambil memandang tajam ke arah sasaran yang jaraknya seratus langkah itu. Dia melihat betapa sasaran inti, yang merupakan mulut hitam kecil dari gambar kepala orang itu, telah penuh oleh tiga batang anak panah sehingga tidak ada tempat lagi bagi senjata rahasianya, maka tahulah dia bahwa Sabutai sengaja mempersulit dia. Akan tetapi, Kwi Beng memiliki kelihaian melepas hui-to seperti juga saudara kembarnya dan memiliki kelihaian ibunya dan kecerdasan otak ayahnya, maka setelah mengincar dengan seksama, tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan pekik dahsyat dan tangan kirinya bergerak ke pinggang, diikuti oleh tangan kanannya, kemudian kedua tangan itu bergerak cepat ke depan dan meluncurlah tiga sinar berkilauan ke arah sasaran. Pemuda ini berturut-turut, hampir sama saat pelemparannya saking cepatnya, telah menyambitkan tiga batang hui-to (pisau terbang) ke arah sasaran itu, diikuti oleh pandang mata semua tamu. Diam-diam Sabutai kagum juga menyaksikan cara pemuda itu melemparkan pisau, demikian cepatnya.

“Cap-cap-cappp!” Tiga batang pisau itu menancap dan tiga bateng anak panah bergoyang-goyang. Ketika semua mata memandang, sejenak suasana hening saking herannya, kemudian lepaslah tepuk sorak dan pujian ketika mereka melihat bahwa tiga batang pisau itu dengan tepatnya telah menancap di ujung gagang anak panah yang tiga tadi!

Raja Sabutai mengangguk-angguk akan tetapi dahinya berkerut. Dia kagum sekali akan tetapi juga ada rasa tidak senang, karena pemuda ini telah membikin rusak tiga batang anak panahnya. Maka timbul keinginannya untuk mengalahkan pemuda ini dan dia lalu mengambil lagi sebatang anak panah, dipasangnya di gendewa yang masih dipegang di tangan kirinya, lalu dia berkata lagi setelah semua tamu diam.

“Souw-sicu, kepandaianmu ternyata hebat. Akan tetapi yang menjadi sasaranmu adalah benda tidak bergerak. Sekarang ingin aku mengujimu satu kali lagi, yaitu ingin aku melihat apakah dengan senjata rahasiamu, engkau dapat mengenai anak panah yang kulepas di udara.”

Kalau saja pemuda tampan berambut keemasan itu menyatakan tidak sanggup, hati Sabutai sudah akan merasa puas dan tidak akan mendesak lagi karena hal itu sudah menyatakan bahwa pemuda itu masih kalah olehnya dalam hal menggunakan senjata rahasia. Akan tetapi, pemuda itu mengangguk dan berkata tenang, “Akan saya coba, sri baginda.”

Sabutai menjadi penasaran. Benarkah pemuda ini akan dapat menjatuhkan anak panahnya? Betapapun mahirnya menggunakan pisau terbang, tentu saja luncuran pisau yang disambitkan tidak akan dapat lebih cepat daripada luncuran anak panahnya, dan pisau itu sampai bagaimanapun tidak akan mampu menyusul anak panahnya, apalagi mengenainya. Dan memang pemuda inipun tahu bahwa pisau terbangnya tidak akan mungkin dapat mengenai anak panah yang diluncurkan, akan tetapi dia sudah bersiap untuk tantangan ini. Semua mata para temu kini memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan, karena merekapun kesemuanya adalah ahli-ahli panah yang tahu belaka bahwa luncuran anak panah, apalagi yang dilepaskan oleh tangan Raja Sabutai yang kuat, tidak mungkin dapat dikejar oleh sambitan biasa.

Gendewa menjepret ketika Sabutai melepaskan tali gendewa dan meluncurlah sebatang anak panah ke angkasa! Pada saat itu, tangan kanan Kwi Beng sudah bergerak mencabut senjata apinya, yaitu sebuah pistol kecil yang tadi memang sudah dipersiapkan dan diisinya, lalu dengan ketepatan seorang jago tembak terlatih dia membidikkan pistolnya dan menarik pelatuknya.

“Darr...!” Semua orang terkejut bukan main mendengar ledakan ini dan semua mata, termasuk mata Sabutai, memandang dengan penuh kagum, kaget, dan heran melihat anak panahnya yang masih meluncur itu tiba-tiba runtuh dan patah menjadi dua, jatuh di depan kaki raja itu!

Dalam keadaan biasa, tentu Raja Sabutai akan menjadi penasaran dan marah sekali melihat anak panahnya runtuh dan patah menjadi dua itu. Akan tetapi pada saat itu dia terlalu kaget dan heran menyaksikan kehebatan senjata kecil yang aneh itu sehingga dia melongo memandang kepada pistol di tangan Kwi Beng yang masih mengepulkan asap. Barulah ketika para tamu yang tadi juga tercengang kini bertepuk tangan dan bersorak gemuruh memuji kehebatan senjata rahasia pemuda itu. Sabutai menjadi sadar dan dengan muka jelas membayangkan kekaguman dia memandang senjata api di tangan kanan Kwi Beng sambil bertanya, “Apakah itu?”

Melihat sikap raja yang jelas sekali kelihatan amat tertarik dan kagum kepada senjata apinya, Kwi Beng lalu memperlihatkan pistolnya sambil berkata, “Ini adalah senjata api, sri baginda.”

Sabutai menyentuh pistol yang masib hangat itu dan memuji, “Hebat bukan main...”

Sambil tersenyum dan menyodorkan pistolnya, Kwi Beng berkata, “Kalau paduka suka memberi petunjuk agar kami dapat tahu di mana adanya nona Yap In Hong, sebagai tanda terima kasih saya menghaturkan pistol ini kepada paduka.”

Sepasang mata Sabutai terbelalak dan wajahnya berseri. “Benarkah? Akan tetapi tidak ada gunanya, aku tidak bisa mempergunakannya.”

“Saya akan mengajar paduka sampai dapat mempergunakannya.”

Sabutai tertawa girang, memegang tangan Kwi Beng dan dituntunnya pemuda itu kembali ke tempat duduk kehormatan dan Tio Sun menyambut temannya itu dengan senyum puas karena dia maklum bahwa temannya telah mendatangkan kesan baik kepada Sabutai yang juga tersenyum-senyum.



Seperti seorang anak kecil meminang-minang permainan baru, Sabutai memegang dan meneliti pistol itu, kemudian dia mempelajarinya dan Kwi Beng menjadi gurunya. Cara mengisi peluru dan obat, cara menembakkan dan lain?lain.

Sabutai yang memang cerdas itu sebentar saja sudah menguasainya dan ketika dia mencobakan pistol itu pada sasaran, ditonton oleh semua tamu, tiga kali tembakan saja Sabutai sudah dapat mengenai mulut kepala dalam gambar sasaran, disambut tepuk tangan para tamu.

Kwi Beng menyerahkan semua peluru yang dibawanya, sebanyak beberapa puluh butir mesiu dan pistol itu kepada Sabutai. Raja ini girang sekali, menyimpan pistol dan peluru-pelurunya, lalu dia berkata, “Tio-sicu dan Souw-sicu, kalian ternyata adalah tamu-tamu yang amat menyenangkan dan kurasa cukup gagah dan berharga untuk berusaha menolong nona Yap In Hong, biarpun kami merasa sangsi sekali apakah kalian akan dapat berhasil. Kami kira kalian tidak akan mampu melawan kedua orang guru kami. Bahkan sekarang, setelah kedua orang guru kami itu berhasil melatih ilmu baru mereka, jangankan baru kalian berdua, biarpun ketua Cin-ling-pai sendiri dan puteranya yang lihai itu pasti tidak akan dapat menangkan suhu dan subo. Mereka telah memiliki kekebalan yang luar biasa sekali sehingga semua pukulan sakti, semua senjata pusaka tidak akan mampu melukai mereka luar dalam!”

“Kami bukan hendak melawan siapapun kalau tidak terpaksa, yang kami kehendaki hanya agar nona Yap In Hong dibebaskan,” kata Tio Sun.

Sabutai tersenyum dan menarik napas panjang. “Kami rasa tidak begitu mudah. Ilmu baru dari suhu dan subo ini amat hebat, dan baru saja diciptakan sehingga kami sendiripun belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi sesuai dengan janji kami, biarlah ji-wi mengetahui di mana suhu dan subo menahan nona Yap In Hong, yaitu di kaki Pegunungan Khing-an-san, di Lembah Naga dekat tikungan Sungai Luan-ho. Nah, di sana ji-wi akan dapat menemui suhu dan subo, juga di sanalah nona Yap ditawan.”

Tio Sun dan Souw Kwi Beng menjadi girang sekali. Mereka bangkit dan menjura sambil mengucapkan terima kasih lalu berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga sekarang juga! Raja Sabutai juga bangkit berdiri dan berkali-kali dia menarik napas panjang. “Sayang... sungguh saya akan selalu menyayangkan bahwa dua orang pemuda sehebat ji-wi ini harus membuang nyawa secara sia-sia saja di Lembah Naga. Akan tetapi, kami tidak berhak untuk mencegah dan selamat jalan, Tio-sicu dan Souw-sicu...”

Pada saat itu, seorang pengawal datang dengan cepat dan memberi hormat, lalu melapor dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh dua orang pemuda itu.

Mendengar laporan itu, Sabutai berseri wajahnya dan berkata, “Tio-sicu dan Souw-sicu, tunggu sebentar! Baru saja pengawal kami melaporkan bahwa isteri kami mendengar akan kunjungan utusan kaisar dan kini beliau minta kepada ji-wi untuk menjenguk putera kami. Kami adalah sahabat kaisar, maka ji-wi sebagai utusan kaisar tentu juga merupakan sahabat kami pula. Bagaimana ji-wi dapat bercerita di kota raja tentang putera kami kalau ji-wi tidak menjenguknya? Nah, isteri kami telah mengundang, harap ji-wi suka masuk ke dalam sebentar.”

Tentu saja Tio Sun dan Souw Kwi Beng tidak berani menolak undangan yang ramah ini dan mereka berdua lalu diantar oleh empat orang pengawal menuju ke dalam yang ternyata suasananya tenteram dan tenang, tidak seramai di tempat pesta itu. Mereka melalui ruangan-ruangan dan lorong-lorong, akhirnya mereka tiba di tempat kediaman Puteri Khamila. Di dalam sebuah kamar yang bersih dan sejuk, terdapat sebuah ayunan bayi yang dijaga oleh lima orang pelayan wanita. Agaknya, para pelayan itu sudah menerima perintah dari Puteri Khamila, karena begitu melihat empat orang pengawal yang mengantar dua orang pemuda asing itu, mereka lalu mundur dan mempersilakan mereka masuk.

“Ji-wi (tuan berdua) dipersilakan masuk dan menjenguk pangeran,” kata seorang di antara empat pengawal itu dengan bahasa yang lancar akan tetapi kaku.

Tio Sun dan Souw Kwi Beng lalu melangkah memasuki kamar itu dan menghampiri ayunan bayi. Mereka menjenguk dan melihat seorang bayi yang amat sehat dan mungil, sedang tidur terlentang dengan nyenyaknya. Dua orang pemuda itu tentu saja memandang dengan penuh perhatian dan diam-diam mereka memuji bahwa putera Sabutai ini memang seorang anak bayi yang sehat dan tampan, juga biarpun masih bayi sudah membayangkan keagungan.

Pada saat itu, terdengar suara kaki melangkah dari dalam dan semua pelayan, juga empat orang pengawal itu cepat menjatuhkan diri berlutut. Souw Kwi Beng dan Tio Sun menengok dan mereka terkejut melihat seorang wanita yang berpakaian indah, keluar dari pintu dalam dan mereka dapat menduga bahwa tentu inilah permaisuri atau isteri Raja Sabutai, maka mereka cepat memberi hormat dengan menjura sampai dalam.

“Saya mendengar bahwa ji-wi adalah utusan dari kaisar, benarkah?” suara Khamila yang halus dan merdu itu terdengar tidak kaku sehingga dua orang muda itu menjadi kagum. Tidak mereka sangka bahwa isteri dari raja liar Sabutai itu seorang wanita yang begini muda, cantik jelita dan juga terpelajar.

Tio Sun yang tadi sudah terlanjur mengaku sebagai utusan kaisar, tentu saja tidak berani menyangkal lagi. “Benar, kami berdua datang dari kota raja.”

“Kalian diutus untuk menghadiri pesta perayaan kelahiran puteraku?” kembali sang puteri bertanya, dan aneh, suaranya agak tergetar.

“Maaf, harap paduka suka memaafkan kami. Sesungguhnya... eh, agaknya sri baginda kaisar belum mendengar akan kelahiran putera Sri Baginda Sabutai, dan kami diutus untuk menyelamatkan nona Yap In Hong, sedangkan kami hanya kebetulan mampir ketika mendengar akan perayaan ini untuk menyelidiki di mana kami dapat mencari nona Yap.”



“Dan kalian sudah tahu tempatnya?”

“Berkat kemurahan hati Sri Baginda Sabutai, kami telah diberi tahu.”

Hening sejenak. Para pengawal dan pelayan masih berlutut dan pelayan tidak berani mengangkat muka memandang sang puteri.

“Saya mendengar bahwa keturunan raja-raja di negerimu sana adalah manusia-manusia utusan Tuhan yang ketika lahir ada tanda-tanda tertentu di tubuh mereka. Sampaikan kepada kaisar dan keluarga kerajaan di negerimu bahwa puteraku inipun mempunyai tanda tahi lalat merah di sebelah kanan pusar. Ingin aku mendengar apakah itupun merupakan tanda dari Tuhan.”

Tio Sun dan Souw Kwi Beng terharu mendengar ini. Harapan scorang ibu di manapun sama saja, tidak perduli ibu itu seorang petani biasa atau seorang permaisuri, yaitu harapan agar puteranya kelak menjadi orang yang mulia dan bahagia!

“Kami menghaturkan selamat atas kelahiran putera paduka dan semoga sang pangeran diberi berkah dan penjang usia. Kami akan menyampaikan semuanya ke kota raja,” jawab Tio Sun tanpa berani menyebut kaisar karena bagaimana dia berani menghadapi kaisar untuk menyampaikan semua ini?

“Terima kasih. Kalian menghadapi tugas yang amat berat. Nah, kalian pergilah,” sambil berkata demikian, puteri itu menyerahkan sehelai kertas terlipat dan berbisik, “Bukalah jika menemui kesulitan.” Lalu puteri itu memberi perintah kepada pengawal untuk mengantar dua orang tamu itu keluar.

Sambil menggenggam kertas itu dengan hati penuh pertanyaan, Tio Sun memberi hormat, diturut oleh Kwi Beng, kemudian keduanya lalu mundur dan meninggalkan kamar itu. Tio Sun cepat mengantongi kertas itu dan ketika Sabutai menyambut mereka, Tio Sun cepat memberi hotmat dan berkata, “Putera paduka sungguh sehat dan tampang semoga diberkahi Tuhan dan dikurniai usia panjang.”

“Ha-ha-ha, terima kasih, sicu. Kelak dia tentu akan menjadi seorang yang lihai seperti sicu.”

Dua orang pemuda itu lalu berpamit dan pergilah mereka meninggalkan tempat itu, langsung keluar dari tembok benteng dan melanjutkan perjalanan mereka menceri tempat yang kini telah mereka ketahui, yaitu Lembah Naga, yang sudah mereka ketahui dari Raja Sabutai.

Di tengah perjalanan, Tio Sun mengeluarkan secarik kertas yang diterimanya dari Puteri Khamila tadi. Ternyata ada tulisannya, dua baris huruf-huruf indah.


“Menemukan kelemahan Hek Pek tidaklah mudah, harus dicari dari lutut ke bawah!”

Tio Sun dan Kwi Beng menjadi girang bukan main. Mereka sudah khawatir mendengar keterangan Raja Sabutai bahwa dua orang gurunya itu memiliki ilmu baru yang hebat, yaitu kekebalan yang tak terlawan oleh pukulan sekti atau senjata pusaka. Mereka percaya akan keterangan itu karena seorang seperti Sabutai tidak nanti membohong atau menyombongkan sesuatu yang tidak ada kenyataannya. Maka kini, membaca tulisan Puteri Khamila mereka selain terheran-heran juga merasa girang sekali. Diam-diam mereka menghafal bunyi tulisan itu lalu merobek-robek kertas itu dan mereka menduga-duga mengapa puteri itu mau membuka rahasia kakek dan nenek iblis itu kepada mereka.

Tentu saja dua orang pemuda itu tidak tahu bahwa Puteri Khamila sendirl merasa kaget, bingung dan penasaran ketika mendengar bahwa nona Yap In Hong diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dia telah berhutang budi kepada In Hong, bahkan bersama dengan In Hong dia telah meloloskan Kaisar Ceng Tung dari tahanan. Kini, mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek iblis yang menjadi guru suaminya, dia merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diapun maklum bahwa suaminya sendiri sebagai murid tentu tidak akan berdaya menghadapi kakek dan nenek itu, maka secara cerdik puteri ini lalu membujuk suaminya untuk bercerita tentang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Sabutai yang amat cinta kepada isterinya dan tidak melihat bahaya kalau rahasia guru-gurunya diketahui isterinya, tidak menyimpan rahasia sesuatu dan menceritakan bahwa kedua orang gurunya itu telah menguasai semacam ilmu kekebalan yang amat mujijat dan bahwa kelemahannya dia sendiri tidak tahu dengan past!, hanya tahu bahwa kelemahannya itu terdapat di bagian tubuh dari lutut ke bawah. Maka, ketika Khamila mendengar bahwa ada dua orang utusan kaisar hadir dalam pesta, cepat dia menuliskan rahasia kelemahan itu pada secarik kertas, kemudian dia mengundang dua orang utusan itu untuk menjenguk puteranya. Dalam peristiwa ini, dia mempunyai dua maksud. Pertama, mengabarkan tentang keadaan puteranya pada ayah kandungnya, yaitu Kaisar Ceng Tung, dan kedua, dia dapat membocorkan rahasia kekebalan dua orang kakek dan nenek yang menculik In Hong.


***


Tio Sun dan Kwi Beng telah tiba di sebelah selatan Padang Bangkai. Lembah Naga telah nampak dari jauh ketika mereka tadi meloncat ke atas pohon tinggi dan mengintai. Akan tetapi jalan menuju ke Lembah Naga itu terhalang oleh padang rumput dan alang-alang yang luas sekali. Mereka tidak tahu bahwa itulah Padan Bangkai yang amat berbahaya, pintu masuk ke Lembah Naga yang merupakan pintu neraka.

Hari masih pagi ketika mereka mulai memasuki daerah Padang Bangkai. Tio Sun yang berwatak hati-hati itu tidak sembrono, melakukan perjalanan perlaban-lahan dan dengan penuh kewaspadaan dia selalu melihat ke kanan kiri menjaga segala kemungkinan. Tiba-tiba dia memberi isyarat kepada Kwi Beng yang berjalan di belakangnya. Mereka berhenti dan menahan napas. Siliran angin dari depan membawa pula suara tangis lirih. Kalau tidak ada angin bersilir, agaknya suara itu tidak akan terdengar oleh mereka.



Dengan isyarat tangan Tio Sun memberi tahu kepada temannya untuk maju perlahan dan tidak mengeluarkan suara berisik. Berindap-indap mereka lalu maju menghampiri ke arah suara tangis wanita itu. Sungguh menyeramkan mendengar suara tangis itu, di tempat yang demikian sunyi, penuh dengan rumput alang-alang tinggi dan tidak nampak orangnya yang menangis. Ketika mereka tiba di rumpun alang-alang yang berada di tepi jalan setapak, mereka terkejut karena melihat bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita muda yang cantik, yang menangis sambil menelungkup di atas tanah yang tertutup batang dan daun alang-alang yang malang melintang menjadi alas tubuhnya. Wanita itu menangis sedih sekali, sesenggukan dan air matanya membasahi seluruh wajahnya yang cantik, tangan kanannya menutupi sebagian mukanya sedangkan tangan kirinya... buntung sebatas pergelangan tangan dan dibungkus dengan kain putih yang masih membekas darah merah, tanda bahwa luka atau buntungnya tangan itu terjadi belum lama.

Dua orang pemuda itu tercengang dan merasa kasihan sekali melihat ke arah lengan kiri yang tidak bertangan lagi itu. “Apa yang terjadi, nona?” Kwi Beng yang memang berperasaan halus den mudah terharu itu bertanya sambil melangkah mendekati.

Gadis itu terkejut, menurunkan tangan kanannya dan dengan mata merah dia memandang. Ketika melihat bahwa di depannya berdiri dua orang laki-laki yang tak dikenalnya, seperti seekor harimau yang marah, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia menyerang Kwi Beng dengan pukulan tangan kanannya. Cepat sekali gerakan tubuhnya, seperti terbang saja dan tubuhnya berkelebat menjadi bayangan merah karena gadis itu memakai pakaian serba merah.

“Ehh...?” Kwi Beng terkejut dan cepat dia menangkis karena kecepatan serangan gadis itu membuat dia tidak sempat lagi mengelak.

“Dukk...!” Dua lengan bertemu dan akibatnya Kwi Beng hampir terjengkang kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik. Kiranya gadis itu memiliki tenaga yang amat kuat biarpun tangannya tinggal satu!

“Eh, nanti dulu, nona!” Tio Sun berseru mencegah, akan tetapi tiba-tiba dia berseru, “Beng-te, awas...!”

Kwi Beng cepat menggulingkan tububnya ke atas tanah. Sebagai seorang ahli melempar pisau terbang, tentu saja dia maklum apa artinya benda-benda hitam kecil yang menyambar ke arahnya. Ternyata paku hitam itu meluncur lewat dan juga Tio Sun sudah berhasil mengelak dari sambaran paku hitam yang disambitkan oleh gadis berpakaian merah itu. Akan tetapi, gadis itu sudah menyerang lagi, kini menyerang Tio Sun dengan tangan tunggalnya. Tio Sun cepat mengelak dan sambil mengelak tiga kali, dia tiba-tiba menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu sambil berkata, “Tahan dulu, nona. Mari kita bicara!”

“Bicara apalagi, kau kaki tangan kakek dan nenek iblis!” Nona itu membentak, meronta dan merenggutkan tangannya sambil menendang. Kakinya mencuat ke arah bawah pusar Tio Sun. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali. Maklum akan bahayanya tendangan maut itu, terpaksa dia melepaskan tangan gadis itu.

“Plakk!” Kembali gadis itu menghantam ke arah Kwi Beng dan ditangkis oleh Kwi Beng yang menjedi terhuyung.

“Twako, gadis ini gila...!” Kwi Beng berseru kaget.

Tio Sun cepat meloncat ke depan menghadang dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat ketika gadis itu mencabut sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi dia telah menyerang Tio Sun dengan pedangnya!

“Hemmm...!” Tio Sun cepat mengelak dan melihat betapa gadis itu menyerang kalang-kabut dan nekat, dia mulai percaya akan ucapan Kwi Beng tadi. Harus diakuinya bahwa gadis ini bukan sembarangan orang, melainkan seorang ahli ilmu silat yang selain memiliki sin-kang yang lebih kuat daripada Kwi Beng, juga memiliki kecepatan yang luar biasa sekali dan ilmu silatnyapun tinggi. Akan tetapi melihat caranya menyerang begitu nekat dan kalang-kabut, dia tahu bahwa kalau tidak gila tentu gadis ini sedang bingung dan kacau pikirannya.

“Minggir, Beng-te!” serunya karena dia tahu betapa bahayanya menghadapi seorang lawan yang kacau pikirannya karena lawan seperti ini hanya tahu menyerang dengan nekat saja sehingga kelihaiannya menjadi bertambah. Diapun cepat mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dan melolos pula sabuknya yang dapat dipergunakan sebagai pecut.

“Tringg-cringgg... tarrr...!”

Dua pedang bertemu berkali-kali dan pecut di tangan kiri Tio Sun menyambar-nyambar. Namun gadis itu sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menyerang makin nekat.

Tio Sun adalah seorang pemuda yang berpandangan luas dan tidak mau sembrono dalam segala tindakannya. Maka, menghadapi gadis yang nekat dan mengamuk ini, tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan besi, tidak mau melukai apalagi membunuh orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak diketahui mengapa mengamuk seperti itu. Dengan hati-hati dia selalu menghalau pedang lawan dan mencari kesempatan baik. Memang dalam hal tenaga dan ilmu silat, Tio Sun masih menang banyak, maka kecepatan gerakan wanita itu tidak membuat pemuda ini menjadi bingung. Dengan tenang dia membiarkan gadis itu menyerang terus dan tiba-tiba dia menangkis sambil mengerahkan tenaga Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati).

“Trangggg... aihhhh...!” Wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas deri tangannya. Akan tetapi, betapa kaget hati Tio Sun melihat lawan yang sudah dilucuti senjatanya itu tiba-tiba menubruknya dan menyerang terus dengan tangan tunggalnya secara nekat!

“Ahh, kau sungguh nekat...!” kata Tio Sun dan cepat sabuknya menyambar. Dua kali ujung sabuknya menotok dan wanita itupun mengeluh dan roboh tertotok, lemas tubuhnya dan tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh!

Akan tetapi matanya masih melotot memandang dan ketika dua orang pemuda itu menghampirinya, tiba-tiba gadis itu berteriak, “Kalian bunuhlah aku dan aku akan berterima kasih kepada kalian! Akan tetapi kalau kalian memperkosa aku, ingatlah, biar sampai matipun arwahku akan menjadi setan dan terus mengejar kalian untuk membalas dendam!”



Wajah kedua orang pemuda itu menjadi merah dan Tio Sun lalu berkata, “Nona, kau ini menganggap kami berdua orang macam apakah? Kami tidak sudi melakukan perbuatan terkutuk itu dan kalau aku merobohkanmu, itu adalah karena terpaksa melihat engkau begitu nekat menyerang kami mati-matian.”

Kini pandang mata gadis itu berobah seperti orang baru sadar dan terheran. “Siapakah kalian? Bukankah kalian diutus oleh Mo-ko dan Mo-li untuk membunuh aku?”

Tio Sun menggeleng kepala. “Kami sama sekali bukan diutus oleh Mo-ko dan Mo-li, bahkan kami datang untuk mencari Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, untuk menolong nona Yap In Hong. Apakah kau tahu tentang itu?”

“Ohhh...!” Gadis itu kelihatan terkejut, memandang mereka berdua bergantian penuh perhatian. “Ahhh... kalau begitu lekas... lekas kalian selamatkan Cia Bun Houw...!” Setelah berkata demikian dia menangis lagi.

Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terkejut mendengar ini dan Tio Sun cepat membebaskan totokannya sehingga dara itu dapat bergerak kembali. Dia bangkit duduk dan berkata berulang kali. “Maafkan aku... maafkan aku...” sambil menangis.

Tio Sun dan Kwi Beng juga duduk. Dengan duduk begitu, mereka kalah tinggi oleh rumpun ilalang dan tidak nampak dari jauh.

“Nona, agaknya ada kesalahfahaman antara kita. Nona mengira bahwa kami adalah anak buah kakek dan nenek iblis di Lembah Naga itu, dan kami mengira bahwa nona adalah kaki tangan mereka yang hendak membunuh kami. Sekarang ceritakanlah dengan jelas, siapa nona dan mengapa mengira kami anak buah mereka? Bagaimana pula dengan saudara Bun Houw yang kausebut-sebut tadi?”

“Ah, dia tentu celaka... kalau kalian ada kepandaian, harap lekas selamatkan dia. Dengar, aku adalah Liong Si Kwi,
murid dari Hek I Siankouw. Guruku itu sekarang juga berada di Lembah Naga, membantu nenek dan kakek iblis itu. Yap In Hong memang ditawan di sana untuk memancing datangnya musuh-musuh kakek dan nenek itu. Akan tetapi yang muncul adalah Cia Bun Houw dan karena hendak membela nona Yap In Hong, Cia Bun Houw kinipun tertangkap dan mereka kini ditawan. Aku... aku... mencoba untuk membebaskan Cia Bun Houw, akan tetapi gagal dan ketahuan... dan aku...” Dia bicara tergagap-gagap dan memandang lengan kirinya yang buntung.

“Engkau lalu dibuntungi tangan kirimu?” Tio Sun bertanya dan gadis itu mengangguk.

“Betapa kejamnya!” Kwi Beng berseru marah dan mengepal tinju.

Gadis itu memandang kepada mereka berdua bergantian, seperti hendak menaksir apakah benar dua orang pemuda itu boleh diandalkan.

“Kalian hanya berdua saja dan hendak menyerbu Lembah Naga?” tanyanya.

“Benar! Kami berdua akan menyerbu dan membebaskan nona In Hong, kalau perlu dengan taruhan nyawa kami!” Kwi Beng berkata dengan penuh semangat.

Si Kwi, gadis yang bernasib malang itu, memandang tajam kepada Kwi Beng, lalu menarik napas panjang dan berkata lirih, “Aihh... engkau agaknya juga menjadi korban cinta...”

Kwi Beng menjadi merah mukanya dan mengerutkan dahinya. “Apa? Apa maksudmu?”

“Tidak apa-apa, hanya kiranya amat berbahaya kalau kalian berdua menyerbu Lembah Naga. Kalian tidak tahu betapa berbahayanya itu.” Kini sikap Si Kwi sudah tenang kembali dan dia lalu menceritakan keadaan Padang Bangkai yang penuh dengan tempat-tempat berbahaya itu. Dengan jelas dia memberi petunjuk tentang jalan menuju ke Lembah Naga yang harus melewati Padang Bangkai.

“Akan tetapi, anak buah Padang Bangkai telah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan ketua mereka suami isteri kini berada di Lembah Naga juga, maka akan mudahlah bagi kalian untuk menyeberangi padang ini. Biarpun begitu, di Lembah Naga kalian akan menghadapi bahaya besar. Kakek dan nenek itu sudah amat lihai dan berbahaya seperti iblis. Pula, selain mempunyai anak buah sebanyak seratus orang, juga mereka dibantu oleh orang-orang pandai seperti Bouw Thaisu, guruku Hek I Siankouw, kemudian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li suami isteri ketua Padang Bangkai! Maka kalau hanya kalian berdua yang menyerbu Lembah Naga, bukankah hal itu sama artinya dengan mengantar nyawa sia-sia belaka?”

Akan tetapi Kwi Beng masih tetap bersemangat dan Tio Sun tenang saja mendengar cerita itu, sungguhpun di dalam hati masing-masing mereka mengambil keputusan untuk bersikap hati-hati sekali setelah mendengar penuturan ini. “Aku tidak takut. Bagaimanapun juga aku harus berusaha untuk menolong dan menyelamatkan nona In Hong!”

Tio Sun memandang kepada nona itu dan berkata, “Nona Liong Si Kwi, kami berterima kasih sekali atas segala petunjukmu dan engkau ternyata adalah seorang sahabat ygng baik sekali. Bahkan engkau telah mengorbankan sebelah tanganmu untuk menolong Cia-taihiap.”

Mendengar ucapan itu, Si Kwi menunduk dan tidak menjawab, kelihatan berduka sekali. Melihat ini, Tio Sun lalu memberi isyarat kepada Kwi Beng dan mereka berdua lalu bangkit berdiri.

“Nona Liong, kami hendak melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Sekali lagi terima kasih,” kata Tio Sun, akan tetapi kini Si Kwi sudah mulai menangis lagi, menelungkup dan memeluki rumput-rumput di tempat itu.



Tio Sun menghela napas dan mengajak Kwi Beng meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan ke utara untuk menyeberangi Padang Bangkai yang ternyata amat berbahaya menurut petunjuk Si Kwi tadi. Kwi Beng juga diam saja mengikuti Tio Sun meninggalkan gadis yang masih menangis, dan setelah jauh baru dia bertanya, “Tio-twako, dia kenapakah?”

Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tidak menjawab langsung melainkan berkata lirih seperti kepada dirinya sendiri, “Betapa banyaknya di dunia ini manusia dipermainkan dan menjadi korban cinta...”

“Eh, kenapa ucapanmu seperti nona Liong Si Kwi tadi? Dia juga mengatakan bahwa aku menjadi korban cinta. Apa maksudnya dan apa maksudmu?”

“Aku tidak tahu bagaimana kenyataannya, akan tetapi menurut dugaanku, melihat keadaan gadis itu, agaknya tidak salah lagi bahwa dia jatuh cinta kepada Cia-taihiap. Karena cintanya maka dia berkhidnat dan berusaha menolong Cia-taihiap akan tetapi dia ketahuan sehingga dia dibuntungi tangan kirinya. Sungguh kasihan dia.” Tio Sun menghentikan kata-katanya karena hatinya seperti ditusuk karena dia teringat akan keadaannya sendiri yang juga gagal dalam cintanya. Dia memandang kepada Kwi Beng dan diam-diam dia mengharapkan agar kegagalan yang menyedihkan itu jangan menimpa pemuda tampan ini yang dia tahu benar-benar cinta dan tergila-gila kepada Yap In Hong.

Biarpun mereka telah memperoleh petunjuk yang amat lengkap dari Si Kwi, namun kedua pemuda itu melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali melewati Padang Bangkai dan benar-benar seperti cerita gadis tadi, dusun Padang Bangkai itu telah kosong dan ditinggalkan penghuninva sehingga tanpa banyak kesukaran mereka dapat melewatinya dan menuju ke Lembah Naga.


***


Pohon di tepi padang rumput itu besar dan rimbun sehingga enak duduk beristirahat di dalam bayangannya di siang hari yang terik itu. Akan tetapi kakek tua renta yang sedang duduk di bawah pohon itu agaknya tidak lagi dapat menikmati kesejukan yang diberikan oleh kerindangan pohon itu kepada siapa saja yang berlindung dari panas matahari di bawahnya, karena seluruh perhatian kakek tua renta itu dicurahkan ke atas sebuah papan catur, dan tangannya menjalankan biji-biji catur putih dan hitam silih berganti. Dia sedang bertanding catur dengan diri sendiri! Kadang-kadang kakek tua renta itu menarik napas panjang seperti orang yang kecewa sekali karena tidak memperoleh musuh bertanding yang tentu akan menggembirakan sekali.

Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir usianya karena sedikitnya tentu sudah ada seratus tiga puluh tahun! Seluruh rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, mukanya penuh keriput, pakaiannya serba putih sederhana dan tubuhnya kurus sehingga kelihatan tulang terbungkus kulit yang sudah tipis. Segala sesuatu pada diri kakek ini kelihatan tua sekali, kecuali sepasang matanya! Sepasang mata itu lembut dan masih jernih, memandang dunia secara terbuka dan seolah-olah tidak ada rahasia lagi bagi sepasang mata yang sudah amat lama memandang dunia ini.

Seorang dara remaja yang cantik duduk di dekatnya. Dara ini usianya kurang lebih lima belas tahun, cantik manis dan pakaiannya juga amat sederhana, bahkan sudah ada dua tambalan di bagian pundaknya. Wajah gadis ini membayangkan bahwa dia memiliki watak yang jenaka dan gembira, namun pandang matanya yang tajam itupun menunjukkan kekerasan hati yang sukar ditundukkan. Sejak tadi, dara remaja ini menjadi penonton, melihat betapa kakek itu bermain catur sendiri. Akan tetapi lama-kelamaan dia menjadi bosan dan tidak sabar. Kakek ini adalah seorang pemain catur yang ahli, maka biarpun dia sendiri sudah bisa bermain catur, namun dia bukan lawan kakek itu dan dia tidak mau menandingi kakek itu karena akan dapat dikalahkan dengan amat mudah. Kini, sebagai penontonpun dia bosan.

Kembali kakek tua renta itu menarik napas panjang dan wajahnya yang tua itu kelihatan berduka. Kerut-merut di dahinya bertambah dan sepasang matanya ditujukan ke atas papan catur seperti orang melamun. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi dara remaja itu memandang wajahnya dan kelihatan makin tidak sabar.

“Suhu, kalau suhu tidak senang bermain-main catur sendiri, mengapa suhu memaksa diri?”

Teguran ini membuat si kakek seperti orang terkejut dan dia menoleh ke arah dara itu.

“Hemm...? Apa...?” katanya pikun.

“Teecu tahu bahwa suhu suka sekali bermain catur, akan tetapi sudah beberapa hari ini kalau suhu bermain catur, selalu kelihatan berduka dan berulang kali menarik napas panjang. Kalau permainan itu hanya mendatangkan kekecewaan dan kedukaan, mengapa suhu tidak berhenti saja?”

Kakek itu memandang kepada muridnya dan kembali dia menghela napas panjang, lalu bersandar ke batang pohon besar itu dan pandang matanya melayang jauh ke depan. Kakek tua renta ini bukan lain adalah Bun Hwat Tosu, seorang tosu tua sekali yang puluhan tahun yang lalu pernah menjadi ketua Hoa-san-pai, akan tetapi kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai dan hidup berkelana ke tempat-tempat sunyi. Di dalam cerita Petualang Asmara diceriterakan bahwa tosu yang amat lihai ini pernah menjadi guru dari pendekar Yap Kun Liong, kemudian dia menghilang dan tidak ada kabar ceritanya lagi, bertapa di puncak-puncak gunung dan di guha-guha tepi laut. Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek ini muncul dan telah menolong Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong. Dara remaja itu adalah Yap Mei Lan yang telah setahun lebih lamanya ikut kakek ini dan menjadi muridnya, sama sekali tidak tahu bahwa kakek yang menjadi gurunya ini adalah guru dari ayahnya sendiri!



Mendengar ucapan muridnya itu, Bun Hwat Tosu menarik napas panjang. Kemudian terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya sendiri, “Melihat kelemahan diri sendiri, siapa yang tidak menjadi sedih? Sudah puluhan tahun aku berhasil melepaskan keduniawian, tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak menginginkan apa-apa lagi, hidup dengan bebas dan bahagia karena tidak dirongrong oleh pikiran dan keinginan sendiri. Akan tetapi sekarang...!”

“Sekarang bagaimana, suhu?” dara itu mendesak sambil menatap wajah tua yang menimbulkan rasa iba di dalam hatinya itu.

“Kaulihat sendiri, aku kegilaan bermain catur! Aku rindu akan adanya seorang lawan bertanding catur, seorang lawan yang kuat, persis seperti kesenangan yang kucari-cari puluhan tahun yang lalu ketika aku selalu mencari-cari seorang lawan bermain silat yang kuat. Dan perasaan ingin ini selalu mengejar-ngejarku, bahkan dalam mimpi! Akan tetapi sampai sekarang aku belum juga mendapatkan lawan yang seimbang dan menyenangkan. Bukankah itu menyedihkan sekali? Ini tandanya bahwa aku sebenarnya belum mati, dan kebebasan yang lalu itu bukan lain hanya mimpi belaka. Kini aku terbangun dan melihat bahwa yang lalu itu hanya merupakan mimpi, maka betapa menyedihkan itu!”

“Memang suhu belum mati.” kata si dara yang menjadi bingung oleh kata-kata yang dianggapnya tidak karuan artinya itu.

“Kalau saja sudah, alangkah baiknya!” kakek itu menghela napas panjang. “Akan tetapi kematian jasmani tidaklah terlalu penting, yang terpenting adalah mati dari semua keinginan den kehendak, mati aku-nya, mati keinginannya mengejar kesenangan.”

Dara remaja yang cantik itu mengerutkan alisnya yang bentuknya indah seperti dilukis.

“Akan tetapi, suhu. Kalau sudah mati keinginannya, sudah mati kehendaknya mengejar kesenangan, kalau sudah tidak butuh kesenangan lagi, bukankah hal itu sama saja dengan hidup seperti sebatang pohon yang suhu sandari itu? Bukankah hidup lalu tidak ada gunanya lagi?”

Kakek itu tersenyum, senyum yang sudah lama tidak nampak oleh dara itu.

“Justeru sebaliknya, muridku. Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kesenangan sajalah yang dapat menikmati
kesenangan yang sesungguhnya! Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kebahagiaan sajalah yang benar-benar bahagia. Orang yang tidak puas saja yang mengejar kesenangan yang dianggapnya akan mengisi kekosongannya, akan memuaskannya. Akan tetapi setelah yang dikejarnya terdapat, ketidakpuasan itu tetap akan menghantuinya, dirinya akan selalu penuh ketidakpuasan dan hidupnya menjadi sengsara selalu.”

“Akan tetapi, apakah kita lalu harus memantang kesenangan dan menjauhi kepuasan?” dara itu mengejar terus, wajahnya membayangkan penasaran.

“Sama sekali bukan, Mei Lan. Bukan memantang kesenangan, bukan menolak kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR, tidak memanjakan dan tidak memusuhi. Kalau sudah begitu, barulah segala saat dalam hidup merupakan kesenangan karena htdupnya adalah kesenangan itu sendiri! Bukan menjauhi kepuasan, melainkan tidak menginginkan kepuasan karena kalau sudah demikian, barulah setiap saat merasa puas karena hidupnya adalah kepuasan itu sendiri!”

“Akan tetapi, kalau tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi, bukankah itu sama saja dengan mati?”

“Nah, itulah! Mati dalam hidup! Jasmaninya memang hidup dan baru benar-benar hidup kalau semua keinginan yang timbul dari si aku yang selalu mengejar keenakan dan kesenangan itu telah mati. Dan celakanya, aku sendiri belum mati, yang kusangka sudah mati puluhan tahun ini hanya mimpi belaka! Dan semua gara-gara papan catur ini!” Dia berkata gemas memandang ke arah papan caturnya. “Aku menjadi kegilaan bermain catur, menjadi pecandu catur, bahkan di dalam hati aku telah bersumpah bahwa aku tidak akan mau mati sebelum bertemu dengan seorang lawan catur yang setingkat!

“Aihhh, sungguh aku seorang tua yang tolol!” Bun Hwat Tosu yang biasanya bersikap halus itu, kini menengadahkan mukanya ke atas, mengepal tinju dan berteriak keras, “Haii, segala dewa! Turunlah dan mari bertanding catur melawan aku!”

Tiba-tiba terdengar suara yang bergema, tidak jelas dari mana datangnya. “Bagus! Aku datang memenuhi tantanganmu, tua bangka sinting!”

Tentu saja Mei Lan menjadi terkejut bukan main dan biarpun dia tergolong seorang anak yang pemberani dan tidak mudah merasa ngeri atau takut, sekali ini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Benarkah muncul setan atau dewa di tengah hari yang terang dan terik itu? Benarkah suara dewa dari angkasa yang menyambut tantangan suhunya itu? Dia bangkit dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja. Ketika dia menoleh kepada suhunya, dia melihat kakek itu tersenyum memandang ke depan. Mei Lan mengikuti arah pandang mata gurunya dan dia melihat betapa rumpun ilalang jauh di depan itu bergerak-gerak ujungnya dan nampak bayangan orang berkelebat seperti terbang melayang di atas rumpun ilalang itu! Dia memandang terbelalak penuh kekaguman. Manusiakah yang datang itu? Ataukah dewa? Dia tahu bahwa gurunya adalah seorang manusia sakti yang sudah pandai terbang di atas rumput, semacam ilmu gin-kang yang sudah mencapai puncak, akan tetapi kiranya kalau yang datang itu manusia, tentu orang itu memiliki kepandaian yang setingkat dengan gurunya!

Setelah tiba dekat, ternyata orang itu gerakannya memang bukan main cepatnya dan tahu-tahu di situ telah meloncat turun seorang kakek raksasa berkepala gundul, jubahnya yang butut dan rombeng itu berwarna merah. Seorang pendeta!

Pendeta miskin agaknya, menuntun seorang anak laki?laki berusia kurang lebih tiga belas tahun, bertubuh tegap dan kuat, wajahnya bundar dan membayangkan keberanian dengan sepasang mata tajam.



Begitu tiba di situ, pendeta Lama itu tertawa bergelak. Sepasang matanya yang lebar itu agak liar pandangannya, sikapnya menakutkan karena bunyi ketawanya aneh, dan dia sudah melangkah lebar menghampiri Bun Hwat Tosu yang duduk bersila menghadapi papan caturnya. Tosu itu memandang dengan senyum di mulutnya, pandang matanya penuh perhatian ditujukan ke arah pendeta Lama itu.

“Sobat, benarkah engkau demikian baik hati untuk menemani aku bermain catur?” Bun Hwat Tosu bertanya dengan suaranya yang halus sambil menentang pandang mata yang aneh, tajam dan agak liar itu.

“Ha-ha-ha, kalau tidak mendengar orang sinting menantang dewa, siapa sudi bermain catur denganmu? Setelah mendengar engkau menantang dewa, tentulah engkau pemain catur jagoan dan patut dilawan.”

“Ha-ha, sobat baik, agaknya engkau seorang ahli main catur,” Bun Hwat Tosu berkata, girang sekali.

“Ahli? Bukan, hanya bisa sedikit-sedikit, akan tetapi di seluruh Tibet tidak ada yang dapat mengalahkan aku!”

Bun Hwat Tosu memandang dengan sinar mata berseri karena merasa bahwa sekali ihi dia benar-benar menemukan seorang tandingan yang pandai. Inilah yang dirindukannya selama ini! Dan sejenak, dua orang kakek itu saling pandang setelah pendeta Lama itu juga duduk bersila menghadapi Bun Hwat Tosu. Sedangkan anak laki-laki yang datang bersama dia juga duduk tidak jauh dari Mei Lan, setelah melempar pandang ke arah gadis cilik ini dengan sikap acuh tak acuh!

Dua orang anak itu sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya, antara orang tua mereka masih terdapat hubungan yang amat erat. Anak laki-jaki yang baru datang itu bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan isterinya, Cia Giok Keng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lie Seng diculik oleh Giok-hong-cu Yo Bi Kiok dan kemudian ditolong dan dibebaskan oleh Kok Beng Lama. Biarpun Lie Seng hampir saja tewas karena serangan pasir beracun dari Yo Bi Kiok, namun akhirnya gurunya dapat memperoleh obat dari Yap In Hong di tempat tinggal Yok-moi (Setan Obat) di puncak Gunung Cemara, dan semenjak saat itu, Lie Seng menjadi murid dari Kok Beng Lama. Seperti kita ketahui, setelah mendengar akan kematian puterinya, Pek Hong Ing, Kok Beng Lama menjadi sinting dan setengah gila. Maka pada tengah hari itu, secara kebetulan dia lewat di dekat tempat itu bersama Lie Seng dan mendengar tantangan Bun Hwat Tosu kepada dewa, maka dia menjadi tertarik dan menyambut tantangan itu.

Adapun di antara Bun Hwat Tosu dan Kok Beng Lama, biarpun keduanya merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, namun karena keduanya sudah puluhan tahun tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, mereka tidak pernah saling mengenal dan baru satu kali ini mereka bertemu muka di tempat sunyi itu secara kebetulan saja. Andaikata keduanya tidak mempunyai kesenangan yang sama, yaitu bermain catur, agaknya kedua orang tokoh besar ini tidak akan dapat saling berjumpa.

“Ha-ha, kiranya engkau adalah jagoan main catur dari Tibet. Lama yang baik, sungguh hatiku girang sekali, dalam keadaan kesepian seperti ini muncul seorang jago catur seperti engkau.”

“Tosu tua bangka, tak perlu puji-memuji dan sungkan-sungkanan ini. Kita sudah sama-sama tua bangka, sama-sama ahli, hanya belum dapat dilihat siapa yang lebih unggul sebelum bertanding. Nah, sebagai tuan rumah tentu engkau suka mengalah dan membiarkan aku memainkan biji putih dan melangkah lebih dulu.” Sambil berkata demikian, Kok Beng Lama menggerakkan tangan kanannya untuk meraih biji catur yang berwarna putih.

“Jangan sungkan-sungkan. Silakan saja, Lama. Kau boleh mengumpulkan biji-biji putih itu kalau bisa.” Sambil berkata
demikian, Bun Hwat Tosu menggunakan tangan kanan memegang papan catur pada pinggirnya dan diam-diam dia menyalurkan sin-kangnya.

“Ehhh?” Kok Beng Lama yang mengambil biji catur, terkejut karena biji catur itu melekat pada papan, seolah-olah berakar. Dia mengangkat mukanya memandang dan dua pasang mata saling bertemu dan kedua pasang mata itu seperti mata anak-anak yang tiba-tiba memperoleh permainan baru yang penuh kegembiraan.

Kok Beng Lama maklum bahwa tosu tua renta ini ternyata lihai bukan main, dan tahu pula bahwa tosu itu agaknya tidak hanya ingin menguji kepandaiannya bermain catur, akan tetapi juga ingin menguji kekuatannya. Maka diapun lalu menyalurkan tenaga sin-kang melalui lengan dan jari-jari tangannya dan dengan pengerahan sin-kang dia berusaha mengambil biji catur putih yang sudah dipegangnya itu, yaitu biji catur raja. Akan tetapi, Bun Hwat Tosu yang tiba-tiba merasa betapa papan catur itu tergetar hebat dan suatu tenaga sakti yang amat kuat bergelombang menyerangnya, timbul kegembiraannya karena dia tahu bahwa pendeta Lama ini benar-benar merupakan tandingan yang amat tangguh, maka dia pun menghimpun tenaga saktinya mempertahankan raja putih itu dengan tenaga membetot.

Maka terjadilah pertandingan yang amat aneh dan luar biasa, pertandingan yang tidak kelihatan oleh mata namun yang terjadi amat serunya karena masing-masing telah mengerahkan tenaga sin-kang yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah amat tinggi tingkat kepandaiannya. Baik Bun Hwat Tosu dan Kok Beng Lama, keduanya bukan main kaget dan herannya karena masing-masing sama sekali tidak mengira bahwa lawan ini sungguh tangguh, seorang yang telah mencapai puncak dari tingkat kepandaiannya! Benar-benar mereka tidak pernah mimpi akan dapat saling bertemu di tempat sunyi ini.

Sementara itu, Mei Lan yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya, Yap Kun Liong si pendekar sakti, dan Lie Seng juga mcrupakan putera suami isteri pendekar dan dari keluarga pendekar sakti ketua Cin-ling-pai, biarpun keduanya belum banyak mewarisi kepandaian dua orang kakek sakti ini, namun sebagai keturunan orang-orang pandai dua bocah itu telah menduga apa yang terjadi ketika melihat Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu duduk bersila berhadapan, pendeta Lama itu memegang biji catur raja putih sedangkan tosu tua itu memegang atau menyentuh papan catur dan keduanya diam saja tanpa bergerak, akan tetapi dari kepala mereka mengepul uap putih! Keadaan menjadi sunyi, sunyi sekali dan menegangkan karena dua orang kakek itu kelihatannya tidak mau saling mengalah! Dan biarpun mereka tidak saling menyerang secara langsung, namun mengadu kekuatan sin-kang untuk memperebutkan biji catur itu juga amat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan mengadu pukulan! Bchkan lebih berbahaya lagi karena kalau pukulan atau tendangan dapat dielakkan, akan tetapi getaran sin-kang ini tak dapat dielakkan, harus dihadapi langsung dengan mengadu kekuatan.



Tiba-tiba kesunyian yang mencekam perasaan itu dipecahkan oleh suara nyaring Mei Lan, “Ji-wi suhu sedang apakah? Katanya hendak bertanding catur! Apakah acara pertandingan telah dirobah?”

Mendengar suara ini, kedua orang kakek itu sadar dan keduanya tertawa dan otomatis keduanya menghentikan saluran sin-kang mereka.

“Ha-ha-ha, pantas berani menantang dewa! Kiranya engkau lihai sekali, tosu!”

“Dan tak kusangka di tempat ini aku dapat bertemu dengan kepala gundul yang sakti seperti engkau, Lama!” kata Bun Hwat Tosu dengan kegembiraan yang tidak disembunyikan lagi. “Mari kita mulai mengatur biji-biji catur!”

Dengan berbareng tangan kanan mereka memunguti biji-biji catur di atas papan, Kok Beng Lama memunguti yang putih sedangkan Bun Hwat Tosu memunguti yang hitam. Begitu tangan mereka bergerak, keduanya segera berlomba pula, bercepat-cepatan mengatur biji-biji catur di atas papan sehingga biarpun masing-masing hanya menggunakan sebelah tangan saja, namun dilihat oleh mata orang biasa, satu tangan itu seperti berubah mbnjadi banyak sekali. Banyak tangan bergerak di atas papan catur itu dan keduanya menyelesaikan pekerjaan mengatur biji-biji catur itu dalam waktu yang sama. Tepat pada saat Bun Hwat Tosu melepaskan biji terakhir, demikian pula Kok Beng Lama melepaskan biji terakhir. Kembali mereka tertawa, saling pandang dan wajah mereka berseri gembira sekali. Gembira karena sekaranglah mereka merasa menemukan tanding yang amat menyenangkan dan berharga!

“Kita bertanding catur dengan taruhan apa?” Tiba-tiba Kok Beng Lama menantang.

Bun Hwat Tosu tersenyum. “Lama, apa sih yang dapat kita pertaruhkan? Pakaianku kumal, jubahmupun butut. Aku tidak mempunyai uang sepeserpun!”

“Dan akupun tidak mempunyai harta secuwilpun!”

Keduanya tertawa lagi dengan gembira.

“Aku sudah tidak menginginkan apa-apa, Lama.”

“Akupun tidak butuh apa-apa. Akan tetapi engkau mempunyai murid.”

“Dan kau juga.”

“Nah, kita berdua tidak butuh apa-apa, akan tetapi murid-murid kita yang masih muda itu tentu membutuhkan sesuatu. Hai, muridmu, gurumu akan bermain catur menandingi tosu tua bangka ini. Kau ingin bertaruh apa?” tanya Kok Beng Lama kepada Lie Seng.

Lie Seng mengerutkan alisnya. Apa yang dapat diharapkan dari tosu tua berpakaian sederhana dan muridnya itu, anak perempuan yang pakaiannya juga tambal-tambalan? Akan tetapi Lie Seng adalah seorang anak yang cerdas dan juga berpandangan tajam. Dari sikap gurunya yang biasanya memandang rendah dan tidak perduli terhadap semua orang, yang kini kelihatan amat bergembira bertemu dengan tosu tua itu, dia dapat menduga bahwa tosu itu adalah seorang tua yang memiliki kesaktian hebat. Maka dengan cepat dia menjawab, “Teecu ingin agar kalau locianpwe itu kalah dari suhu, dia mengajarkan satu macam ilmu silat kepada teecu!”

“Dan teeeu juga bertaruh demikian, suhu. Kalau locianpwe itu kalah, dia harus mengajarkan semacam ilmu kepada teecu!” kata Yap Mei Lan sambil memandang kepada Kok Beng Lama.

Dua orang kakek itu saling pandang, lalu sama-sama tertawa bergelak.”Murid-murid kita memang cerdik, bisa mempergunakan kesempatan. Bagaimana pandapatmu, Lama?” tanya Bun Hwat Tosu.

Kok Beng Lama mengangguk-angguk dan tiba-tiba pandang matanya bersinar aneh. “Mewarisi ilmu dari orang seperti engkau, sungguh amat berguna bagi orang muda, tosu. Eh, tosu tua! Apa yang kau lakukan terhadap aku tadi? Setelah mengadu sin-kang denganmu, aku merasa aneh! Eh, siapakah engkau, orang tua? Dan bagaimana dengan kematian puteriku? Apakah sudah dapat ditemukan pembunuhnya?”

Bun Hwat Tosu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. “Siancai... kiranya baru sekarang engkau dapat pulih kembali ingatanmu, Lama. Terus terang saja, tadi aku melihat sinar aneh di pandang matamu. Aku menduga bahwa tentu engkau menderita semacam penyakit atau keracunan, maka aku tadi sengaja mengerahkan sin-kang untuk membantumu mengusir hawa beracun. Akan tetapi, ternyata sin-kangmu amat kuat, tanda bahwa engkau tidak keracunan. Dan ternyata, tidak gagal sama sekali usahaku, karena ternyata engkau mengalami himpitan batin, pukulan batin yang amat kuat sehingga engkau seperti kehilangan sebagian ingatanmu.”

“Omitohud!” Kok Beng Lama baru sekarang teringat untuk memuji nama Buddha dan dia memandang kakek tua itu dengan mata lebar. “Dan itu berarti bahwa betapapun juga, sin-kangmu masih lebih tinggi setingkat daripada aku, totiang, sehingga tenagamu dapat menyelinap ke dalam tubuhku, akan tetapi bukannya merusak malah menyembuhkan! Ahhh, aku teringat semua sekarang! Puteriku terbunuh orang... hemm, dan kau... bocah, kau menjadi muridku selama ini?” tanyanya kepada Lie Seng.

“Benar, suhu. Setelah suhu menolong saya dari iblis betina itu dan menyerahkan saya dari luka akibat pasir beracun.”

Kok Beng Lama kini bangkit berdiri dan menjura ke arah Bun Hwat Tosu. “Aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganinu, sobat. Aku tidak akan melupakan budimu.”

Bun Hwat Tosu cepat balas menjura, lalu duduk bersila kembali dan mengomel, “Lama yang baik, aku tidak melepas budi apa-apa dan tidak minta balasan apa-apa. Asalkan engkau suka menemani aku main catur dengan taruhan seperti yang sudah dikatakan oleh murid-murid kita tadi, cukup senanglah hatiku. Hayo, kaumulai dan jangan banyak main sungkan-sungkan dan hutang-pihutang budi lagi!”

Kok Beng Lama memandang tosu itu dan tertawa girang. “Aha, tidak mudah di dunia bertemu dengan seorang luar biasa seperti engkau, sahabat. Baiklah, mari kita buktikan, siapa yang lebih unggul mempermainkan biji-biji catur.”



Mulailah dua orang kakek itu bermain catur dan mulai pulalah dua orang anak itu menjadi tidak tenang dan bosan. Mereka memang ingin sekali melihat guru masing-masing menang agar bisa mendapatkan pelajaran ilmu silat tinggi, akan tetapi menonton mereka bermain catur begitu lambat, dua orang anak ini merasa bosan. Kadang-kadang sampai hampir satu jam lamanya seorang di antara dua kakek yang bergiliran jalan, hanya termenung memandang papan caturnya, tidak juga menggerakkan biji catur. Akan tetapi di samping kebosanan mereka, dua orang anak itu tidak berani mengganggu guru masing-masing, maka mereka hanya duduk gelisah, hanya kadang-kadang saja memandang ke arah papan catur, akan tetapi lebih sering mereka memandang ke kanan kiri, dan beberapa kali mereka saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata.

Ketika matahari telah condong ke barat, dua orang bocah itu sudah tidak lagi nonton guru-guru mereka yang bermain catur. Sampai matahari condong ke barat, sudah setengah hari mereka bermain catur, namun belum juga ada yang kalah atau menang, satu permainan juga belum habis!

Kini dua orang anak itu sudah duduk berhadapan, tak jauh dari tempat guru-guru mereka bermain catur. Karena merasa dikesampingkan dan tidak diperhatikan lagi oleh guru-guru mereka, otomatis dua orang anak itu saling memperhatikan. Ketika Mei Lan memetik setangkai bunga merah, Lie Seng berkata, nada suaranya mencela, “Sayang sekali bunga itu dipetik.”

Mei Lan memandang kepadanya, memegang setangkai bunga itu dan mencium baunya yang harum. Bunga itu adalah bunga mawar hutan.

“Kenapa sayang?” tanyanya.

“Bunga itu sudah baik-baik tumbuh di tangkainya, mengapa dipetik? Kalau dipetik bukankah akan cepat layu dan mati?”

“Hemm, memang bunga sepatutnya dipetik dan dinikmati, dan aku suka sekali kepada bunga. Anak-anak perempuan sudah biasa suka memetik bunga.”

Lie Sang tidak membantah lagi. Dia menoleh kepada suhunya yang masih tenggelam bersama lawannya dalam dunia tersendiri, dunia perang catur yang amat mengasyikkan bagi mereka berdua.

“Gurumu suka sekali bermain catur,” kata Lie Seng pula.

“Gurumu juga,” jawab Mei Lan.

“Biasanya, guruku tidak pernah main catur, juga membicarakan soal caturpun tidak pernah. Heran sekali mengapa dia ternyata suka sekali bermain catur. Apakah kau bisa main catur?”

Mei Lan mengangguk, “Aku bisa akan tetapi aku tidak begitu suka, tidak enak menanti lawan berlama-lama memikirkan jalan berikutnya, sampai kesal hati menunggu. Lebih senang bermain silat. Apa kau bisa main catur?”

Lie Seng menggeleng. “Tidak. Akan tetapi aku juga senang bermain silat.”

Mereka berdua sampai lama tidak berkata-kata lagi dan ternyata mereka menjadi makin kesal. Mereka sudah lelah dan lapar, akan tetapi dua orang kakek itu terus saja bermain catur tanpa memperdulikan dua orang anak itu, bahkan mereka itupun sama sekali tidak kelihatan lelah atau lapar atau mengantuk.

Ketika hari berganti malam dan cuaca sudah terlalu gelap untuk dapat bermain catur, dua orang kakek itu menyuruh murid-murid mereka untuk mencari kayu dan daun-daun kering dan agar mereka membuatkan dua api unggun di kanan kiri dua orang kakek yang terus melanjutkan permainan mereka itu.

Setelah membuatkan api unggun untuk guru-guru mereka, Mei Lan dan Lie Seng lalu membuka bungkusan bekal mereka, yaitu roti kering dan air minum, dan tanpa menawarkan kepada guru-guru mereka yang asyik bermain catur itu karena tidak berani mengganggu mereka, dua orang anak ini makan minum sendiri!

Dan ternyata, dua orang kakek itu tanpa makan atau minum atau mengaso, melanjutkan permainan catur mereka sampai semalam suntuk! Tentu saja Mei Lan dan Lie Seng menjadi kesal sekali dan mereka tidur di atas rumput di dekat api unggun. Dua orang kakek itu melanjutkan permainan mereka dan kadang-kadang menambahkan kayu yang ditumpuk sebagai persediaan oleh dua orang murid mereka itu ke dalam api unggun sehingga api unggun di kanan kiri itu bernyala sampai pagi.

Setelah matahari naik dan sinarnya mulai menyusup di antara celah daun pohon, Mei Lan dan Lie Seng terbangun oleh suara Kok Beng Lama yang amat nyaring. Mereka bangun dan duduk dengan kaget, lalu memandang ke arah dua orang kakek itu yang masih saling berhadapan dan mereka kini mulai mengatur lagi biji-biji catur, tanda bahwa baru saja mereka menyelesaikan satu permainan dan hendak mulai lagi dengan permainan berikutnya. Kok Beng Lama kelihatan girang bukan main.

“Ha-ha-ha! Kekalahanku semalam tertebus dengan kemenangan ini, tosu! Semalam engkau mengalahkan aku dan aku berjanji akan memberikan ilmu pedangku yang tidak ada keduanya di dunia. Sekarang, setelah engkau kalah, ilmu apa yang akan kauberikan kepada muridku?”

Bun Hwat Tosu kelihatan gembira sekali pula, akan tetapi wajahnya kelihatan tegang dan juga lelah, sungguhpun semua itu tertutup oleh kegembiraan yang terpancar dari pandang matanya dan senyumnya. “Permainan caturmu hebat, Lama, dan sesuai dengan janji taruhan, biarlah untuk kekalahanku ini aku akan memberikan ilmu tongkat yang tiada duanya di jagad ini, yaitu Siang-liong-pang-hoat.”

“Bagus, bagus! Aku percaya bahwa tua bangka seperti engkau ini tentu menyimpan banyak ilmu yang hebat-hebat. Memang sudah nasib muridku yang baik. Dalam permainan berikutnya, engkau tentu akan kalah terus dan semua ilmumu terkuras habis dalam pertaruhan ini, tosu.”

“Belum tentu, Lama. Pertandingan kita masih ramai, baru satu-satu. Kita lihat saja nanti!”

Dan mereka berdua sudah bermain lagi dengan asyiknya. Mula-mula, mendengar akan kemenangan guru masing-masing satu kali, dua orang murid itu menjadi tertarik dan beberapa lamanya mereka menonton. Masing-masing mengharapkan agar gurunya menang terus agar mereka memperoleh tambahan ilmu silat tinggi sebanyak mungkin. Akan tetapi menonton permainan itu tidaklah begitu menyenangkan seperti kalau mendengar kemenangannya. Dua orang kakek itu seperti arca-arca yang sama sekali tidak bergerak, seluruh perhatian ditujukan ke atas papan catur. Mereka itu bersikap seolah-olah dunia di sekitar mereka tidak ada dan mereka seperti sudah pindah ke dunia di atas permukaan papan catur itu. Tentu saja hal ini kembali mendatangkan kebosanan pada Mei Lan dan Lie Seng.



Mei Lan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan melangkah pergi. Melihat ini, Lie Seng juga bangkit dan cepat mengejarnya. “Kau hendak pergi ke mana?”

Mei Lan menoleh. Dalam keadaan kesepian dan seperti tidak diperdulikan lagi oleh gurunya itu, dia memang membutuhkan seorang kawan, dan anak laki-laki inipun lumayan untuk dijadikan teman.

“Mau mandi.”

“Mandi? Di mana ada air di sini?”

“Di depan sana. Kemarin ketika suhu dan aku berjalan ke sini, aku melihat ada anak sungai kecil di sana, airnya jernih.”

Lie Seng memandang girang. “Ah, suhu membawa aku datang begitu cepat sehingga aku tidak sempat melihatnya. Mari kita pergi, akupun ingin mandi.”

Sambil berjalan, mereka memandang ke kanan kiri di mana tumbuh rumput dan ilalang yang amat luasnya.

“Di bawah pohon di depan itulah tempatnya,” kata Mei Lan menuding ke depan. Mereka mempercepat jalan ke arah pohon itu dan tak lama kemudian setelah tiba di situ, benar saja di situ terdapat anak sungai yang airnya bersih, mengalir sunyi namun gembira dengan dendangnya sambil bermain-main dengan batu-batu yang diterjangnya. Anak sungai itu mengalir menuju ke perkampungan Padang Bangkai dan di daerah ini memang merupakan daerah sebelah selatan Padang Bangkai yang belum berbahaya.

“Kautunggulah dulu di bawah pohon dan jangan melihat ke sini. Aku akan mandi dulu,” kata Mei Lan sambil menuruni tebing sungai yang tidak begitu curam.

“Eh, kenapa? Air itu cukup banyak dan tempatnya juga cukup lebar!” Lie Seng membantah.

Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan mulut Mei Lan cemberut. “Kau bocah laki-laki tahu apa? Mana boleh wanita mandi bersama dengan seorang laki-laki? Hayo kau tunggu dulu di situ, jangan bergerak. Setelah aku selesai, baru engkau yang turun mandi dan aku akan menanti di situ.”

Lie Seng bersungut-sungut akan tetapi lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar tanah. “Baiklah, kalau tidak ingat bahwa engkau yang menemukan sungai ini, tentu aku tidak mau mengalah dengan peraturanmu yang aneh ini!”

Mei Lan hanya tersenyum mendengar ini. Bocah kecil tahu apa engkau, pikirnya. Agaknya biarpun usianya sudah tiga belas tahun, pikiran Lie Seng masih terlalu polos sehingga dia merasa heran mengapa anak perempuan itu tidak mau mandi bersama, bahkan diapun dilarang melihat!

Setelah Mei Lan melihat bahwa Lie Seng benar-benar duduk membelakangi sungai dan sama sekali tidak pernah menengok, dia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan turun ke dalam air yang setinggi paha, lalu dia duduk sehingga tubuhnya terbenam sampai ke leher.

“Aihh, dinginnya...!” Mei Lan berseru dan ketika dia melihat betapa kepala Lie Seng yang kelihatan dari situ sebatas dada itu hendak menoleh, dia cepat berseru, “Awas, tidak boleh menoleh dan melihat ke sini!”

Lie Seng mendengus dan karena hatinya keras, dia sama sekali tidak sudi menoleh. “Akupun tidak ingin melihat engkau mandi!” katanya marah.

Makin meradang lagi rasa hati Lie Seng ketika dia menanti sampai lama. Apa saja sih yang dilakukan bocah itu, pikirnya. Mandi sampai begitu lama belum juga selesai!

“Heii, masa belum juga selesai?” teriaknya tanpa menoleh karena hatinya sudah kesal menanti.

“Sebentar lagi! Aihh, betapa tidak sabaran engkau!”

“Habis, lama benar sih! Memangnya engkau mau berendam di situ sampai sehari penuh?”

Mei Lan tidak menjawab, akan tetapi mempercepat mencuci rambutnya yang hitam panjang itu. Setelah selesai dan berpakaian, dia lalu naik ke atas, rambutnya masih terurai dan dikibas-kibaskannya agar kering. Wajahnya segar kemerahan karena digosok-gosoknya tadi, seperti sekuntum bunga yang sedang mulai mekar.

“Nah, ambillah olehmu seluruh air sungai itu!” katanya kepada Lie Seng yang cemberut.

Lie Seng bangkit dan memandang marah. “Mandi saja sampai berjam-jam, dasar anak perempuan!”

“Huh, dan kau menunggu begitu saja tidak sabar, dasar anak laki-laki!” Mei Lan membalas. Lie Seng tidak menjawab, menuruni tebing den menanggalkan semua pakaiannya lalu masuk ke dalam air. Mandinya mendatangkan suara bising, berkecipak di dalam air. Dia tidak pernah menengok apakah anak perempuan itu masih berada di tepi sungai atau tidak, dan memang dibandingkan dengan waktu yang dipergunakan oleh Mei Lan untuk mandi tadi, Lie Seng hanya menggunakan waktu singkat saja.

Ketika dia sudah berpakaian dan naik ke tepi sungai dengan rambut basah, dia melihat Mei Lan masih duduk di bawah pohon sambil menyisiri rambutnya.

“Eh, kau masih di sini?” tanya Lie Seng, rasa mengkal hatinya agaknya sudah lenyap, larut oleh air sungai atau sudah menjadi dingin oleh air.

“Tentu saja. Bukankah aku tadi berjanji akan menunggu di sini sampai kau selesai?”

Hati Lie Seng menjadi girang. Kiranya anak perempuan ini baik juga, bersahabat dan memegang janji. Maka ketika Mei Lan menyerahkan sisirnya, dia menyambut tanpa berkata-kata, menyisiri rambutnya. Dan kiranya Mei Lan sudah mengeluarkan roti kering yang tadi dibawanya, mengajak Lie Seng untuk sarapan roti kering, Lie Seng duduk di atas akar pohon dan mereka makan roti kering.

“Siapa namamu?” tanya Mei Lan.

“Namaku Lie Seng, dan kau?”

“Mei Lan. Berapa usiamu?”

“Tiga belas tahun.”

“Dan aku lima belas tahun.”

“Kalau begitu kau lebih tua dari aku, enci Mei Lan.”

“Tentu saja! Semua orangpun dapat melihatnya.”

“Oh, belum tentu. Aku tidak kalah tinggi olehmu.”

“Benar, karena kau laki-laki. Akan tetapi kau masih kanak-kanak.”

“Hemm, dan kau sudah tua, ya?”

“Setidaknya, lebih tua daripada engkau.”

Lie Seng tidak dapat membantah. Hening sejenak sampai mereka selesai makan roti kering yang tentu saja tidak enak di mulut karena setiap hari mereka memakannya, akan tetapi berguna bagi perut mereka yang lapar.

“Mengapa kau ikut bersama hwesio aneh itu?”

Lie Seng memandang. “Tentu saja. Dia guruku dan... dia yang telah menolongku dari bahaya. Kau sendiri, mengapa ikut bersama kakek yang sudah amat tua itu?”

“Sama denganmu. Karena dia guruku. Di mana orang tuamu?” tanya Mei Lan.

Ditanya demikian, Lie Seng mengerutkan alisnya dan sepasang matanya penuh dengan sinar kedukaan, wajahnya menjadi muram dan dia menggeleng kepala, tidak menjawab.

Mei Lan menarik napas panjang. “Maafkan aku, adik Seng. Agaknya di dunia ini banyak terdapat anak-anak seperti kita... yang terlantar...”

“Eh, apakah engkau sendiri tidak berayah ibu lagi?”

Mei Lan menggeleng kepala juga. “Pertanyaan itu tak dapat kujawab...” Tiba-tiba gadis cilik itu memegang lengan Lie Seng dan berbisik, “Ssttt, di sana ada dua orang mendatangi tempat ini...!”



Lie Seng cepat memandang dan diapun melihat dua orang datang dari selatan, dua orang laki-laki yang bersikap gagah dan berjalan sambil memandang ke kanan kiri. Seorang di antara mercka bertubuh jangkung, berpakaian sederhana dengan warna kuning, sedangkan yang seorang lagi amat mengherankan hati Lie Seng karena pemuda itu memiliki rambut yang agak keemasan tertimpa sinar matahari, dan setelah dekat, dia melihat bahwa matanyapun agak kebiruan!

Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun dan Souw Kwi Beng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang ini sengaia mencari Yap In Hong dan mereka baru saja meninggalkan benteng Raja Sabutai di mana mereka mendapatkan petunjuk dan bahkan menerima petunjuk rahasia dari Permaisuri Khamila. Kemudian, mereka bertemu dengan Liong Si Kwi, wanita yang bernasib malang itu dan memperoleh petunjuk yang amat penting, yaitu tentang jalan rahasia menyeberangi Padang Bangkai yang amat berbahaya itu. Karena itu, maka mereka memasuki daerah ini dengan hati-hati dan menoleh ke kanan kiri, tidak berani bersikap sembrono karena dari Si Kwi mereka memperoleh keterangan betapa bahayanya memasuki Padang Bangkai.

Ketika mereka melihat ada seorang dara remaja dan seorang anak laki-laki berada di bawah pohon, yang memandang mereka dengan sikap heran dan penuh curiga, tentu saja dua orang pemuda ini mengira bahwa tentu dua orang anak itu adalah anak-anak dari penghuni Padang Bangkai! Menurut penuturan Si Kwi, di tempat berbahaya itu tidak ada orang luar, yang ada hanya anggauta-anggauta Padang Bangkai yang semua sudah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan sebagian melarikan diri ke Lembah Naga. Maka, adanya dua orang anak di situ tentu saja menimbulkan kecurigaan mereka dan mereka menyangka bahwa dua orang anak itu tentulah anggauta-anggauta Lembah Naga atau Padang Bangkai.

“Kita tangkap mereka untuk menunjukkan jalan, twako,” kata Kwi Beng.

“Jangan sembrono, Beng-te. Kita tanya dulu...” kata Tio Sun yang memang selalu berhati-hati dalam sepak terjangnya.

Akan tetapi Kwi Beng sudah mendekati dan memandang dua orang anak itu penuh perhatian. Dia merasa heran mengapa anak-anak dari para penjahat begitu tampan dan cantik, terutama sekali dara remaja itu. Begitu cantik manis dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh keberanian, sungguhpun bajunya tambalan. Dan anak laki-laki itupun jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang anak biasa saja.

“Siapa kalian dan di mana adanya orang-orang Lembah Naga?” Kwi Beng bertanya, nada suaranya tidak manis karena tentu saja menghadapi anak-anak dari fihak musuh dia tidak bisa bersikap manis.

Mei Lan dan Lie Seng memandang tajam, kemudian Mei Lan menggandeng tangan Lie Seng sambil berkata, “Huh! Mari, Seng-te, jangan layani orang sinting ini!” Setelah berkata demikian, Mei Lan lalu menarik tangan Lie Seng dan lari meninggalkan Kwi Beng yang menjadi bengong sejenak.

“Heiii, hendak lari ke mana kalian?” Kwi Beng mengejar.

“Hati-hati, Beng-te, jangan-jangan ini merupakan pancingan!” Tio Sun berseru dan juga mengejar.

Ketika Mei Lan dan Lie Seng sudah tiba di tempat yang tidak jauh dari tempat guru mereka bertanding catur dan sudah kelihatan dari situ, kemudian mendapatkan kenyataan bahwa dua orang itu mengejar, mereka lalu berhenti.

“Engkau ini orang jahat mau apa mengejar kami?” Mei Lan membentak marah.

Kwi Bang mengerutkan alisnya. Anak perempuan ini galak sekali, dan tentu memiliki kepandaian juga, sebagai anak dari tokoh-tokoh sesat di tempat itu.

“Bocah sesat, kami hanya ingin bertanya jalan kepadamu!”

“Kami tidak tahu. Hayo lekas pergi, laki-laki ceriwis dan jangan menggangguku!” Mei Lan mengusir, telunjuk kirinya menuding ke depan dan tangan kanarmya menolak pinggang, sikapnya angkuh sekali, angkuh dan juga cantik!

“Sombong!” Kwi Beng membentak dan dia sudah menerjang untuk menangicap dara remaja yang galak itu.

“Haiiittt...!Ahh!”

Kwi Beng terkejut bukan main karena selain anak perempuan itu dapat mengelakkan tubrukannya dengan cepat dan mudah, juga sambil mengelak ke kiri, anak perempuan itu langsung saja mengirim tendangan ke arah lambungnya. Gerakan tendangan itupun cepat dan kuat sehingga dia terkejut dan cepat meloncat mundur. Kemudian, dengan penasaran dia sudah menerjang lagi dengan cepat, disambut oleh Mei Lan dengan tangkisan, elakan dan serangan balasan yang secara kontan dan bertubi-tubi dia lancarkan, membuat Kwi Beng untuk kedua kalinya terkejut dan cepat dia merobah gerakan menyerang menjadi gerakan bertahan dan melindungi dirinya karena ternyata olehnya betapa serangan-serangan gadis itu bukannya tidak berbahaya.

“Beng-te, jangan berkelahi...!” Tio Sun meloncat ke depan, maksudnya hendak melerai perkelahian itu, karena dia melihat gerakan-gerakan aneh dan hebat dari gadis itu. Akan tetapi pada saat dia meloncat ke depan, dari samping berkelebat bayangan yang langsung menyerangnya.

“Ehh...!” Dia berseru kaget melihat bahwa yang menyerangnya adalah anak laki-laki tadi, dan bukan main kagetnya melihat bahwa pukulan anak laki-laki itupun hebat bukan main sehingga terpaksa dia menangkisnya.

“Dukkkk!” Tubuh Lie Seng terpental, akan tetapi Tio Sun juga merasa betapa lengannya tergetar.



“Hebat...!” Otomatis dia memuji karena seorang bocah sekecil itu dapat membuat lengannya tergetar, hal ini sudah amat luar biasa. Akan tetapi sebelum dia sempat mencegah, Lie Seng yang menganggap bahwa dua orang itu tentu orang-orang jahat, sudah menerjang lagi dengan pukulan-pukulan yang hebat, karena baru saja dia melatih pukulan Thian-te Sin-ciang yang biarpun masih mentah dan tenaga sin-kangnya belum kuat, namun berkat ilmu mujijat itu, ternyata sudah membuat Tio Sun terheran-heran dan terkejut.

Terjadilah pertandingan yang seru antara Mei Lan dan Kwi Beng yang makin lama makin menjadi penasaran karena dia tidak mampu mendesak dara remaja itu. Dan tentu saja Lie Seng bukanlah lawan Tio Sun, sungguhpun pendekar ini tentu saja enggan untuk menjatuhkan tangan kejam terhadap seorang anak yang usianya belum dewasa itu.

Tio Sun cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan Lie Seng, dipegangnya keras-keras pergelangan tangan itu dan dia mengerahkan sedikit tenaga Ban-kin-kang yang amat kuat. Dipegang dengan tenaga itu, Lie Seng tidak mampu bergerak lagi, sungguhpun dia sudah meronta-ronta dan pada saat itu, tiba-tiba Tio Sun berseru lirih dan pegangannya terlepas sehingga Lie Seng dapat meloncat jauh ke belakang! Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa tadi ada batu kecil menyambar lengannya dan membuat lengan itu lumpuh. Dia cepat menoleh ke arah dua orang kakek yang sedang asyik main catur, agaknya tidak memperdulikan pertempuran itu, akan tetapi yakinlah dia bahwa batu kerikil itu datang dari arah dua orang kakek itu.

Pada saat itu, Kwi Beng juga mengeluh dan terhuyung, terpincang-pincang kakinya dan terpaksa dia menjauhi Mei Lan. Ada batu kerikil menyambar mata kakinya, dan biarpun kakinya dilindungi kaos kaki dan sepatu, namun tetap saja terasa nyeri bukan main sehingga dia terpincang dan menjauhi Mei Lan.

Mei Lan dan Lie Seng juga mengerti bahwa diam-diam mereka dibantu oleh guru mereka, maka mereka menjadi girang sekali. Sebaliknya, Kwi Beng makin marah bukan main. Dia memandang ke arah dua orang kakek yang bermain catur, maklum bahwa dua orang kakek itulah yang membantu lawannya tadi dan dia menduga bahwa pasti mereka itu adalah tokoh-tokoh jahat dari tempat itu, kawan-kawan dari mereka yang menculik In Hong. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia mencabut enam hui-to dan melontarkan enam batang pisau terbang itu ke arah dua orang kakek yang bermain catur sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum bahwa tentu dua orang kakek itu memiliki kepandaian tinggi.

“Jangan...!” Tio Sun berseru, namun terlambat dan karena diapun menduga bahwa dua orang kakek itu tentulah fihak musuh, maka diapun akhirnya diam saja, memandang ke arah mereka yang diserang oleh enam batang pisau terbang itu sambil mendekati Kwi Beng.

“Sing-sing-singgg...!” Enam batang pisau terbang itu meluncur dengan cepat, berubah menjadi sinar berkilauan ditimpa sinar matahari pagi menuju ke arah tubuh dua orang kakek itu.

“Mengganggu saja!” terdengar Bun Hwat Tosu berkata dan kakek ini menggunakan ranting kecil di tangan kirinya untuk menyampok.

“Menjemukan!” Kok Beng Lama juga menyampok dengan ranting kecil. Tiga batang pisau terbang yang menyambar ke arah Bun Hwat Tosu kena disampok ranting kecil di tangan tosu itu, runtuh ke atas tanah dan patah-patah. Sedangkan ketika Kok Beng Lama menyampok dengan rantingnya, tiga batang pisau terbang lainnya membalik dan kini meluncur dengan kecepatan kilat menuju ke arah dua orang pemuda itu, yang satu menyambar ke arah Tio Sun sedangkan yang dua batang ke arah Kwi Beng!

“Celaka...!” Tio Sun berseru kaget sekali melihat sinar-sinar berkelebatan yang demikian cepatnya. Dia meloncat ke atas, menendang dari samping pisau yang menyambar ke arahnya dan menggunakan tangannya menyampok pisau yang menyambar ke arah Kwi Beng, sedangkan pisau ketiga dielakkan oleh Kwi Beng yang juga kaget itu dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan! Ternyata, nyaris saja Kwi Beng dimakan oleh senjatanya sendiri!

“Berbahaya... kita pergi, Beng-te...!”

Tio Sun lalu menarik tangan Kwi Beng, diajak pergi dari situ, melanjutkan perjalanan, karena pendekar tinggi kurus ini maklum bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan dua orang kakek yang masih tekun bermain catur itu.

Untung ketika mereka menengok, dua orang kakek itu masih terus bermain catur, agaknya tidak memperdulikan mereka dan sama sekali tidak mengejar. Mereka tidak tahu bahwa ada dua bayangan kecil yang membayangi mereka, menyusup-nyusup di antara rumpun alang-alang yang tinggi.

“Bukan main...” kata Tio Sun setelah mereka pergi jauh. “Dua orang kakek itu memiliki kesaktian yang amat luar biasa.”

“Heran sekali, siapakah mereka? Kalau musuh, mengapa membiarkan kita pergi? Kalau bukan musuh, kenapa di tempat ini?” tanya pula Kwi Beng.

“Akupun tidak tahu dan tidak dapat menduga, Beng-te. Yang jelas, kita berada di tempat berbahaya dan jangan sembarangan turun tangan. Mudah-mudahan saja dua orang kakek itu bukan orang-orang fihak Lembah Naga, karena kalau fihak musuh mempunyai orang-orang seperti mereka, agaknya tidak mudah untuk mengharap dapat menolong nona Yap In Hong yang tertawan di sini.”

“Aku tidak takut! Kita harus dapat menyelamatkan dia!” Kwi Beng berkata dengan kukuh.

Tio Sun tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. “Tentu saja akan kita usahakan sedapat mungkin, saudaraku. Kalau tidak, masa kita berada di tempat berbahaya ini?”

Agaknya Kwi Beng sadar akan kata-katanya, maka cepat dia menjura dan memberi hormat kepada pemuda tinggi itu. “Maafkan aku, twako. Aku terlalu memikirkan keselamatan dia, sehingga lupa akan keselamatan orang lain. Keselamatanku sendiri tidak ada artinya bagiku, akan tetapi keselamatanmu, twako. Kau sudah memasuki bahaya besar di sini karena hendak membantuku menolongya...”

“Ah, sudahlah. Perlu apa hal itu dibicarakan lagi, Beng-te? Tanpa kauminta sekalipun mendengar bahwa Yap-lihiap tertawan orang jahat, tentu aku akan berusaha sedapatku untuk menolongnya.” Dia berhenti sebentar, lalu menyambung, “Apalagi setelah mendengar dari nona Liong Si Kwi bahwa Cia-taihiap tertawan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong mereka, betapapun bahayanya.”

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali, meneliti seluruh tempat dan menuruti petunjuk yang diberikan oleh Si Kwi. Dan memang mereka tidak bertemu dengan seorangpun manusia sampai mereka berhasil melewati perkampungan Padang Bangkai. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa dari jauh, Mei Lan dan Lie Seng terus mengikutinya dengan mengambil jalan yang mereka lewati tadi sehingga dua orang anak inipun terbebas dari malapetaka yang terdapat di sepanjang perjalanan itu!



Sudah terlalu lama kita meninggalkan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai yang sejak berpisah dari Yap Kun Liong tidak pernah kita ikuti itu. Dalam pertemuannya yang terakhir dengan Kun Liong, dia merasa betapa semua peristiwa yang menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya dimulai dengan sikapnya terhadap Yap In Hong. Dia merasa menyesal sekali karena seolah-olah dia melihat betapa tangannya sendirilah yang menyalakan api pertama yang kemudian membakar keluarga Kun Liong dan keluarganya, yang menyebabkan Kun Liong kematian isterinya dan kehilangan puterinya, dan kemudian menyebabkan pula sebagai rangkaiannnya, dia kematian suaminya dan kehilangan Lie Seng, puteranya. Karena penyesalan ini, dia dapat membayangkan betapa sengsaranya hati Kun Liong dan dia bertekad untuk mencari pembunuh Pek Hong Ing isteri Kun Liong dan terutama sekali mencari jejak Yap Mei Lan yang lenyap melarikan diri itu.

Untuk mencari jejak Yap Mei Lan, akhirnya Giok Keng menuju ke Leng-kok, tempat tinggal Kun Liong dari mana anak perempuan itu mula-mula lenyap. Pada suatu hari dia berjalan seorang diri di lereng pegunungan sebelah selatan Leng-kok. Berjalan seorang diri di tempat sunyi itu dengan melamun. Padahal, matahari tersenyum dengan cerahnya, menghidupkan semua yang berada di permukaan bumi, bermain-main dengan kelompok bunga dan pucuk daun, menimbulkan bayang-bayang aneh dan luar biasa di bawah-bawah pohon, menciptakan suasana gembira dan pemandangan indah yang abadi dan selalu berubah setiap saat. Namun, Giok Keng berjalan sendirian seperti tidak melihat semua itu. Matanya memandang jauh tanpa menangkap apa-apa karena pikirannya melayang-layang jauh di masa lampau.

Dia seorang janda yang usianya sudah tiga puluh enam tahun, seorang wanita yang matang dan belum dapat dibilang terlalu tua untuk menyendiri. Di dalam perjalanan selama ini, kadang-kadang timbul perasaan rindu yang amat mendalam terhadap suaminya, Lie Kong Tek yang telah meninggal dunia, dan kadang-kadang pula, secara mendadak, seperti cahaya halilintar menerangi mendung gelap, timbul pula bayangan wajah Yap Kun Liong. Akan tetapi setiap kali dia teringat kepada Kun Liong, cepat diusirnya lagi bayangan itu. Dia seorang janda, dan dia tahu bagaimana kedudukan dan keadaan seorang janda di jamannya. Akan rusaklah nama seorang janda apabila dia membiarkan dirinya berdekatan dengan seorang pria. Apalagi dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Akan cemar namanya, akan ternoda pula nama keluarga Cin-ling-pai.

Giok Keng mengepal tinjunya erat-erat. Tidak, dia harus dapat menahan hatinya, dia harus mematikan perasaan hatinya. Sebagai seorang janda, sudah tertutup baginya untuk berhubungan dengan seorang pria, apalagi untuk memadu kasih! Dia sudah mati, mati kebahagiaannya, mati bersama matinya suaminya. Yang terpenting baginya sekarang adalah menebus kesalahannya, dia harus dapat menemukan Mei Lan kembali!

Tiba-tiba teidengar suara tangis wanita. Buyar semualah lamunan Giok Keng dan dia menghentikan langkahnya, memasang telinga untuk mendengarkan lebih teliti. Ternyata suara tangis itu terdengar dari jauh, di sebelah kiri, maka diapun lalu menggerakkan kedua kakinya menuju ke tempat itu. Setelah dekat, dia melihat seorang wanita tua dipegangi oleh seorang laki-laki tua yang membujuk dan menghiburnya.

“Tidak, biarkan aku mati saja!” Wanita itu meronta dan agaknya dia hendak melempar dirinya ke dalam jurang di depannya.

“Ah, mengapa engkau begini? Belum tentu anak kita celaka, mengapa engkau berputus asa? Tidak ingatkah kau kepadaku, kepada suamimu?”

Wanita itu memandang kepada laki-laki tadi dan mereka saling rangkul dan menangis sedih sekali. Giok Keng merasa tertarik dan cepat dia menghampiri. Melihat ada orang datang, dua orang itu saling melepaskan rangkulan dan dengan masih terisak-isak mereka memandang kepada wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah penuh wibawa itu. Melihat ada pedang tergantung di punggung wanita cantik itu, si nenek cepat menjatuhkan diri berlutut.

“Lihiap, mohon lihiap menolong kami...”

“Bangunlah, lopek. Apakah yang terjadi? Mengapa isterimu hendak membunuh diri? Apa yang terjadi dengan anakmu?”

Kakek yang usianya lima puluh tahun lebih itu lalu berkata, “Lihiap, kami hanya mempunyai seorang anak perempuan saja yang kami harapkan akan dapat menyambung keturunan dan dapat membahagiakan kami di hari tua. Akan tetapi, tiga hari yang lalu anak kami itu lenyap.”

“Lenyap? Apa yang terjadi?”

“Anak saya diculik siluman keparat itu, lihiap!” kini nyonya tua itu berkata dengan nada suara penuh kebencian.

“Siluman? Apa maksud kalian?” Giok Keng bertanya heran.

“Begini, lihiap. Di kota kami sudah kurang lebih satu bulan ini terjadi hal-hal yang aneh. Beberapa orang gadis lenyap di waktu malam, juga banyak hartawan kehilangan hartanya. Anehnya, gadis-gadis yang hilang itu semua adalah gadis yang cantik. Dan karena belum pernah ada yang melihat maling itu, maka dia dijuluki siluman. Katanya ada yang melihat bayangan siluman itu, dan bahkan para hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga mengatakan bahwa ada hawa siluman di kota kami.”

Giok Keng merasa tertarik sekali. Tentu saja dia dapat menduga bahwa yang dianggap siluman itu adalah seorang maling yang berkepandaian tinggi, dan selain maling agaknya penjahat itu juga merangkap seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Jantungnya berdebar keras. Tidak jauh dari Leng-kok terdapat jai-hoa-cat! Jangan-jangan Yap Mei Lan menjadi korban pula!



“Di mana kota kalian?” Dia bertanya penuh gairah karena dia ingin cepat-cepat dapat menangkap penjahat itu, bukan hanya untuk menolong penduduk kota ini, akan tetapi terutama sekali untuk menyelidiki kalau-kalau Mei Lan menjadi korban penjahat itu!

“Kota Heng-tung tak jauh dari sini, di sebelah utara itu, lihiap.”

“Baik, jangan kalian khawatir dan jangan putus asa, aku akan pergi mdnangkap siluman itu.” Setelah berkata demikian, Giok Keng meloncat dan mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sehingga dalam sekejap mata saja dia telah lenyap dari depan dua orang suami isteri tua itu.

Suami isteri itu terkejut dan mereka menjatuhkan diri berlutut, lalu mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk menghaturkan terima kasih kepada para dewa, karena mereka percaya bahwa yang muncul tadi tentulah utusan Kwan Im Pouw-sat, seorang dewi untuk menangkap siluman jahat!

Memang agak mengherankan hati Giok Keng bahwa di Leng-kok, atau setidaknya di dekat Leng-kok, ada seorang penjahat berani muncul di kota besar. Padahal nama Yap Kun Liong di Leng-kok amat terkenal sehingga sampai jauh di sekeliling daerah itu tidak ada penjahat berani melakukan operasi mereka. Akan tetapi janda ini tidak tahu bahwa keadaanya telah berubah banyak. Semenjak peristiwa perebutan kedudukan kaisar di kota raja, yaitu ketika Kaisar Ceng Tung ditawan oleh pasukan liar di utara, keamanan di kota raja memang telah dapat dipulihkan kembali dengan pulangnya Kaisar Ceng Tung dan dengan diangkatnya dia menjadi kaisar kembali. Para thaikam yang tadinya memegang kekuasaan mutlak, telah banyak berkurang kekuasaan mereka, bahkan amat dibatasi. Suasana tertib dapat dipulihkan. Akan tetapi ketertiban ini hanya terdapat di lingkungan istana, atau paling besar hanya terasa di kota raja saja. Di luar kota raja, apalagi di kota-kota yang jauh dari kota raja, para pembesar kehilangan wibawa mereka dan para penjahat mulai berani beroperasi secara terbuka. Bahkan banyak penjahat yang menggunakan pengaruh uang, memikat para pejabat sehingga ada semacam “kerja sama” di antara mereka! Tentu saja kalau hal seperti ini sudah terjadi, rakyat yang menjadi korban dan hal itu berarti bahwa kewibawaan pemerintah telah mulai surut.

Malam hari itu, Gick Keng melakukan penyelidikan. Dengan pakaian ringkas, dia menggunakan kepandaiannya, berloncatan di atas genteng-genteng rumah dan akhirnya dia memilih daerah rumah-rumah gedung tempat tinggal orang-orang kaya dan mendekam di balik wuwungan, melakukan pengintaian dari tempat yang dipilihnya sebagai tempat paling tinggi di sekitar tempat itu. Dia mengintai dan menanti dengan sabar dan menjelang tengah malam, di bawah sinar bintang-bintang di langit, dia melihat ada bayangan hitam berkelebatan di sebelah depan.

“Hemm, itu dia silumannya!” pikir Giok Keng dengan jantung berdebar tegang. Dia merunduk di balik wuwungan-wuwungan, berloncatan dengan hati-hati dan membayangi sosok bayangan di depan itu. Karena cuaca yang agak suram, hanya diterangi sinar bintang-bintang, dia tidak dapat melihat jelas muka orang, hanya dapat menduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang laki-laki yang tubuhnya kurus namun gerakannya gesit sekali, yang berloncatan dari rumah ke rumah dan agaknya mencari-cari. Akhirnya, dia melihat maling itu meloncat turun ke dalam taman sebuah rumah besar.

“Bagus! Dia tentu akan merampok harta atau menculik wanita. Biar kutunggu di sini dan kutangkap basah dia!” pikir Giok Keng yang menanti di atas rumah itu dan bersikep waspada.

Tak lama kemudian, kelihatan kembali bayangan itu berkelebat dari bawah, meloncat ke atas genteng dan kini tangan kirinya memanggul sebuah bungkusan yang berat. Giok Keng merasa kagum juga. Ternyata maling ini adalah seorang yang telah ahli, buktinya dalam waktu singkat saja dia telah berhasil menyikat haria dari pemilik gedung di bawah.

“Maling rendah! Kiranya engkau orangnya?” Giok Keng membentak den tampak jelas betapa maling itu tersentak kaget dan cepat membalikkan tubuhnya. Giok Keng tercengang melihat bahwa maling itu seorang laki-laki yang usianya lima puluh tahun lebih, dan pakaiannya seperti pakaian sasterawan, kepalanya ditutup topi lucu.

“Heh-heh, sampai kaget setengah mati aku!” Maling itu berseru dan sikapnya demikian aneh dan lucu sehingga Giok Keng merasa geli. Mengapa maling yang disohorkan sebagai siluman ini sikapnya begitu pengecut dan penakut?, “Ah... aku bukan...”

“Pengecut!” Giok Keng menerjang dengan pukulannya, tangan kirinya menghantam langsung dari depan ke arah dada maling itu.

“Ehhh...?” Maling itu cepat menghindarkan diri dengan meloncat ke belakang. Giok Keng mendesak dengan pukulan tangan kanan disambung hantaman dari samping dengan tangan kirinya. Wanita cantik ini sekarang jauh bedanya dengan dahulu. Kalau dahulu, Giok Keng selalu berhati keras dan setiap orang musuhnya tentu langsung akan menghadapi serangan-serangan maut dari pendekar wanita itu. Akan tetapi, semenjak peristiwa hebat yang menimpa keluarganya, dia berubah banyak. Kini dia tidak lagi sembrono dan tidak menggunakan pedangnya, juga tidak menggunakan sabuknya yang lihai atau pukulan-pukulan maut, melainkan hanya menyerang dengan pukulan-pukulan San-in-kun-hoat yang amat lincah untuk menundukkan maling ini dan untuk ditanyanya tentang para gadis itu, terutama tentang Yap Mei Lan.

Bertubi-tubi Giok Keng menyerang dan biarpun maling itu berusaha untuk mengelak, tetap saja pundaknya kena disambar jari tangan kiri Giok Keng.

“Aduhh...!” Maling itu terguling di atas genteng dan ketika Giok Keng hendak menyusul dengan tendangan, tiba-tiba maling itu berseru, “Ampunkan saya, lihiap. Lihiap sebagai puteri ketua Cin-ling-pai tentu tidak membunuh orang seperti saya...”

Tentu saja Giok Keng terkejut bukan main. Maling ini telah mengenalnya sebagai puteri ketua Cin-ling-pai! Sementara itu, di dalam gedung telah terdengar suara ribut-ribut, tanda bahwa tuan rumah telah terbangun dan agaknya telah tahu bahwa ada maling bertanding di atas genteng.

“Hayo kau ikut bersamaku!” Giok Keng berkata dan meloncat ke depan.

“Baik, lihiap!” Maling itu berkata dan mengikuti Giok Keng, berlompatan dari genteng ke genteng dan akhirnya tiba di tempat yang sunyi di luar kota itu. Giok Keng berhenti dan maling itupun berhenti, memandang dengan sinar mata takut.

“Nah, hayo ceritakan siapa kau dan bagaimana engkau mengenal aku!” bentaknya.

“Sudah beberapa kali saya melihat lihiap, dan pernah kita saling bertemu di tempat pesta Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han.”

Segera Giok Keng teringat! Ketika itu, dia juga menerima undangan dari piauwsu tokoh Go-bi-pai itu dan dia datang bersama mendiang suaminya, Lie Kong Tek dengan membawa sumbangan berharga. Akan tetapi, bungkusan sumbangannya itu ditukar oleh seorang maling tua, dan itulah orangnya!



“Ah...! Jadi engkaulah orangnya dahulu itu yang menukar barang sumbanganku?”

Maling itu cepat menjura dengan penuh hormat. “Sampai sekarang saya menyesal sekali kalau teringat akan kelancangan saya yang dimaksudkan untuk main-main itu, lihiap, sehingga menimbulkan bentrokan antara lihiap dan Yap In Hong lihiap,” Dia berhenti karena tiba-tiba melihat wajah yang cantik itu berubah, sinar matanya berapi-api. Maling itu bukan lain adalah Can Pouw, maling tunggal yang terkenal di daerah Tai-goan, berpakaian sasterawan dan bertopi, maling yang jenaka dan cerdik sekali dan yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw (Maling Sakti Berjari Seribu)! Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, maling tua ini pernah menjadi teman seperjalanan Yap In Hong dan menggegerkan pesta dari Phoa Lee It.

Akan tetapi, kemarahan Giok Keng hanya sebentar. Memang tadi dia marah sekali karena teringat bahwa awal segala peristiwa dimulai di pesta itu! Di tempat itulah dia bentrok untuk pertama kalinya dengan In Hong sehingga menimbulkan kemarahannya yang mengakibatkan hal-hal yang amat hebat menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah matang digembleng peristiwa-peristiwa hebat, dia dapat teringat bahwa sesungguhnya maling tua ini tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu dan bahwa sesungguhnya dia sendirilah yang tidak dapat menguasai kemarahannya sehingga terjadi hal-hal yang hebat. Dia menarik napas panjang dan wajahnya kembali biasa. Hal ini menyenangkan hati Can Pouw karena sejak tadi dia memperhatikdn dengan hati kebat-kebit. Kalau sampai nyonya pendekar ini marah, dia sudah siap untuk mengambil langkah seribu, sudah mencari tempat-tempat gelap di sekitar situ untuk bersembunyi, karena untuk melawan mana dia mampu?

“Saya memang Can Pouw, lihiap. Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan...”

“Hayo katakan di mana kau menyembunyikan semua harta yang kaucuri itu dan di mana pula kausembunyikan gadis-gadis yang kauculik!” Tiba-tiba Giok Keng membentak dan “sratttt...!” tahu-tahu ada kilat berkelebat dan sebelum Can Pouw tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ujung pedang bersinar perak telah ditodongkan di depan dadanya! Dia tidak melihat kapan nyonya itu mencabut pedangnya dan tahu-tahu ujung pedang sudah menodong dada, terasa olehnya ulung runcing itu menembus baju menyentuh kulitnya! Dia bergidik, karena kalau sudah begini, laripun akan percuma saja.

“Eh... ohhh... maaf, lihiap... saya bukan maling dan penculik itu...”

“Hemm... aku mendengar ada siluman yang mencuri dan menculik gadis-gadis di kota Heng-tung, ketika aku menyelidiki, aku melihat engkau mencuri dari gedung itu. Setelah jelas aku menangkap basah, engkau masih hendak menyangkal?” Ujung pedang itu makin keras menyentuh kulit dadanya, tepat di tempat jantungnya berdenyut. Kedua kaki Can Pouw menjadi lemas dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut dan mengangkat kedua tangannya ke atas.

“Ya ampunnn... lihiap, ada kesalahfahaman di sini! Sungguh lihiap telah salah sangka. Kalau lihiap baru sekarang menyelidiki, saya sudah lebih dari satu minggu menyelidiki maling yang disebut siluman itu! Dan malam ini saja melakukan pencurian hanya untuk memancing dia keluar. Sungguh mati, saya mau bersumpah tujuh turunan...”

Pedang itu ditarik kembali akan tetapi masih dipegang di tangan kanan nyonya pendekar itu. “Ceritakan yang jelas!” bentak Giok Keng sambil memandang tajam karena dia tidak percaya sepenuhnya kepada orang tua yang pandai bicara ini.

“Saya akui bahwa saya memang maling, dan di Tai-goan nama saya cukup dikenal. Akan tetapi, lihiap, saya adalah seorang maling yang terhormat! Haram bagi saya untuk menculik orang, apalagi perawan-perowan cantik! Coba lihiap periksa baik-baik, apakah tampang saya ini tampang seorang jai-hoa-cat? Biarpun saya maling, akan tetapi saya seorang siucai (sasterawan) gagal, lihiap, dan saya mampu membaca susi ngo-keng!”

Giok Keng menahan senyumnya. Maling ini benar-benar seorang yang lincah bicaranya, dan juga lucu. Betapapun juga, sikapnya menimbulkan kepercayaan.

“Tidak perlu banyak ngoceh. Ceritakan sejelasnya tentang siluman itu!”

“Begini, lihiap. Saya mendengar tentang gangguan siluman itu. Saya menjadi marah karena perbuatan siluman itu sungguh melanggar kehormatan dan kesopanan dunia kang-ouw (kode ethik permalingan?)! Maling ya maling saja, masa pakai menculiki perawan-perawan cantik pula! Itu namanya merendahkan dan mencemarkan nama maling-maling terhormat seperti saya. Tentu saja saya tidak mau terima begitu saja dan mulailah saya menyelidiki di kota Heng-tung. Akan tetapi sial dangkalan, sampai seminggu saya setiap malam menyelidiki, tidak pernah maling siluman itu muncul, sampai mata saya bengkak-bengkak karena seminggu tidak pernah tidur! Maka saya lalu mencari akal. Dan dalam hal mencari akal, Jeng-ci Sin-touw adalah gudangnya, lihiap! Saya lalu mengambil keputusan untuk memancing siluman itu keluar, yaitu dengan melakukan pencurian di rumah seorang hartawan. Dengan pencurian itu, tentu siluman tadi akan merasa tersinggung karena bukan dia yang mencuri akan tetapi sudah pasti perbuatan itu dijatuhkan atas namanya, dan dia pula yang dituduh melakukan pencurian lagi. Biasanya, hal ini akan membikin marah orangnya dan dia pasti akan muncul untuk mencari saingannya itu. Siapa kira, bukan dia yang muncul, melainkan lihiap yang menyangka saya siluman itu, sebaliknya, saya menyangka lihiap siluman itu pula kalau saja saya tidak cepat mengenal wajah lihiap yang terhormat.” Dia menjura dengan dalam sehingga kembali hati Giok Keng merasa geli. Mulai dia percaya akan cerita ini, akan tetapi dia masih ragu-ragu dan memandang wajah tua itu dengan tajam.

“Hemm... ceritamu amat menarik, terlalu menarik sehingga aku mana bisa percaya begitu saja? Bagaimana kalau kau membohong?”

Tiba-tiba maling tua itu membusungkan dadanya, kelihatan penasaran. “Lihiap, di dunia ini hanya ada seorang saja Jeng-ci Sin-touw dan saya tidak sembarangan saja membohong! Terhadap pendekar-pendekar sakti seperti lihiap, bagaimana saya berani membohong? Kalau saya orang pembohong rendah, mana mungkin seorang pendekar wanita seperti Yap-lihiap mau bersahabat dengan saya? Ahhh, sungguh kasihan sekali... sungguh menyedihkan sekali, mendengar sahabat baik itu mengalami bencana namun saya tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya.”

Giok Keng makin tertarik. “Apa maksudmu? Apakah terjadi sesuatu dengan Yap In Hong?”



Can Pouw mengerutkan alisnya. “Mengingat bahwa lihiap pernah bentrok dengan dia, agaknya lihiap akan girang mendengar berita ini, akan tetapi sungguh mati saya berduka sekali, lihiap. Baru beberapa hari ini saya datang dari kota raja dan mendengar bahwa Yap-lihiap telah diculik oleh guru-guru dari Raja Sabutai, dibawa ke utara di luar tembok besar. Nah, bukankah itu menyedihkan sekali? Apa yang dapat dilakukan seorang macam saya menghadapi penculik-penculik keji itu?” Kakek itu menghela napas panjang, dengan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura.

Giok Keng juga terkejut sekali, akan tetapi diapun merasa bahwa dia tidak dapat berbuat sesuatu, apalagi dia kini sedang menyelidiki lenyapnya Yap Mei Lan yang dianggapnya jauh lebih penting daripada urusan In Hong. “Can Pouw, aku masih belum percaya benar akan ceritamu tentang siluman itu.”

“Kalau begitu, mari kita bersama menyelidiki dan menangkapnya, lihiap! Akan saya buktikan bahwa saya bukanlah siluman penculik perawan, melainkan seorang maling terhormat!”

“Hemmm, bagaimana caranya? Kalau kau membohong, tentu engkau akan lari bersama uang curianmu itu!” dengan pedangnya Giok Keng menuding ke arah bungkusan berat yang oleh maling itu diletakkan ke atas tanah.

“Biarlah saya tidak akan meninggalkan lihiap, agar lihiap dapat mencegah saya melarikan diri. Dan besok malam, mulai kita menyelidiki. Siluman itu pasti keluar setelah mendengar ada orang menyainginya dan mencuri sejumlah uang yang banyak sekali.” Can Pouw menepuk-nepuk kantong itu dan terdengar suara berkerincingnya uang emas di dalamnya.

“Baik, kalau begitu kau ikut dengan aku ke rumah penginapan.”

Can Pouw menurut dan pergilah mereka berdua ke rumah pengingapan di mana Giok Keng menyewa kamar. Mereka memasuki kamar melalui jendela dan tidak ada orang lain yang mengetahui. Setelah tiba di kamar, Giok Keng lalu menotok roboh maling itu dan melemparkan tubuhnya di atas dipan kecil di sudut kamar, kemudian diapun rebah di atas pembaringan, menutupkan kelambunya dan tidur!

Can Pouw mengomel panjang pendek, akan tetapi dia tidak mampu bergerak dan akhirnya diapun memejamkan mata dan tidur, atau pura-pura tidur. Pada keesokan harinya, Giok Keng membebaskan totokannya. Kemudian mereka keluar untuk mencari keterangan tentang perbuatan Can Pouw semalam dan legalah hati mereka karena berita tentang pencurian itu sudah tersebar luas dan seperti yang mereka harapkan, tentu saja yang dituduh adalah “siluman” itu.

Setelah melihat sikap Can Pouw, Giok Keng mulai percaya kepada maling tua ini, maka, dia lalu mengajak Can Pouw kembali ke penginapan di mana dia menyewa lagi sebuah kamar di samping kamarnya sendiri untuk Can Pouw. Kemudian, malam itu mereka berdua meninggalkan kamar masing-masing dengan melalui jalan jendela dan melompat ke atas genteng, mulai dengan penyelidikan mereka. Seperti malam yang lalu cuaca remang-remang karena di langit hanya diterangi oleh sinar redup bintang-bintang. Mereka melakukan penyelidikan dengan hati-hati dan dengan diam-diam, dan dalam penyelidikan ini, Giok Keng menurut saja kepada Can Pouw yang dianggapnya lebih pengalaman dalam hal mencari jejak maling!

Dengan hati kesal Giok Keng mendapat kenyataan bahwa sampai tengah malam, tidak ada bayangan orang lain di atas genteng-genteng rumah di kota Heng-tung kecuali bayangan mereka berdua. Mulailah dia melirik ke arah Can Pouw karena timbul pula kecurigaannya bahwa jangan-jangan dia dipermainkan oleh Can Pouw yang sesungguhnya adalah sang siluman itu sendiri!

“Aku akan pancing dia!” pikir Giok Keng den mulailah pendekar wanita ini menjauhi Can Pouw, sikapnya seolah-olah menyelidik ke sana-sini, akan tetapi sesungguhnya tidak pernah dia melepaskan bayangan maling tua itu dari sudut matanya. Akan tetapi, Can Pouw malah cepat mengikuti dan mendekatinya dan terdengar Can Pouw berkata, “Lihiap, mari kita menanti di gedung hartawan Gui di sebelah barat. Selain kaya raya, dia juga kabarnya mempunyai seorang anak gadis yang cantik.”

“Giok Keng mengangguk dan mereka lalu menuju ke gedung besar itu, dan kembali Giok Keng sengaja menjauh untuk dapat mengawasi gerak-gerik Can Pouw lebih baik den memberinya kesempatan untuk “melakukan sesuatu”. Dan saat yang dinanti-nantinya itu tiba! Mendadak dia mendenggr maling itu mengeluh den tubuhnya roboh bergulingan di atas genteng rumah gedung itu.

Nah, si maling tua sudah mulai memperlihatkan dirinya, pikirnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia mendengar Can Pouw berteriak. “Tolong, lihiap...!” dan Giok Keng melihat bayangan hitam yang menggunakan sebatang pedang sedang menyerang Can Pouw yang menghindarkan diri dengan terus bergulingan di atas genteng!

Giok Keng cepat mencabut Gin-hwa-kiam dan meloncat ke arah bayangan hitam itu, sambil meloncat dia terus menikam dengan geraken cepat bukan main karena pendekar wanita itu telah menggunakan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut ciptaan ayahnya.

“Ehhh...?” Bayangan hitam itu terkejut ketika ada angin dahsyat menyambar dan melihat sinar perak berkilat menikam dadanya. Dia cepat menarik kembali pedangnya yang dipakai menyerang Can Pouw, lalu menangkis keras.

“Tranggg...!”

Orang itu terhuyung dan pedang Giok Keng terus menghujankan serangan kilat.

“Ahhh...!” Orang itu kembali berseru dan cepat meloncat ke belakang. Gerakannya cepat akan tetapi gerakan Giok Keng lebih cepat lagi sehingga dia sudah menyusul dan menyerang lagi.



“Cring-trang-triinggg...!” Kembali orang itu terhuyung-huyung. Orang itu kuat sekali, akan tetapi menghadapi serangan-serangan kilat itu agaknya dia terkejut dan agak jerih.

“Siluman, hendak lari ke mana kau?” Giok Keng membentak dan cepat mengejar ketika dia melihat bayangan hitam yang ternyata memakai topeng hitam dan hanya kelihatan dua matanya di balik dua lubang itu melarikan diri.

Can Pouw merayap bangun, mukanya pucat dan dadanya bergelombang. Hampir saja dia mampus, pikirnya. Cepat dia bangkit, mencari-cari sepatunya yang copot sebelah ketika dia menghindarkan bacokan-bacokan pedang siluman itu tadi sambil bergulingan, dengan kedua tangan menggigil mengenakan lagi sepatunya, mencari topinya yang juga terjatuh, memakai topi lalu ikut pula mengejar, akan tetapi dia sudah kehilangan bayangan siluman dan Giok Keng yang mengejarnya. Dia menjadi bingung, mencari ke sana-sini tidak berhasil. Dengan hati cemas dia lalu kembali ke hotel dan menanti di dalam kamarnya dengan hati kebat-kebit.

Ke manakah perginya Giok Keng? Ketika siluman itu lari dengan kecepatan tinggi pendekar wanita inipun menggunakan gin-kangnya melakukan pengejaran terus. Lawanpya itu agaknya sudah hafal akan keadaan di atas rumah-rumah penduduk sehingga dapat bergerak lebih leluasa dan akhirnya, ketika bayangan itu berkelebat meloncat ke atas wuwungan sebuah kuil besar yang letaknya berada di sudut kota, bayangan siluman itu lenyap.

Tentu saja Giok Keng merasa penasaran dan diapun meloncat ke atas wuwungan itu dan terus memasuki halaman kuil. Akan tetapi baru saja dia meloncat turun, terdengar teriakan. “Tangkap siluman!” dan muncullah beberapa orang hwesio yang memegang toya dan pedang mengepung dan mengeroyoknya!

“Aku bukan siluman, aku malah mengejar dan mencarinya!” Giok Keng membentak sambil memutar pedangnya menangkis hujan senjata yang menimpa ke arah dirinya.

“Omitohud, wanita pembohong!” tiba-tiba terdengar suara hwesio membentak dan hwesio ini masih memakai pakaian hitam-hitam, akan tetapi kedoknya sudah dilepas sehingga nampak kepalanya yang gundul. “Dia dan seorang kawannya laki-laki adalah siluman-siluman yang mengacau dan maling-maling yang selama ini mengeruhkan kota Heng-tung!”

Giok Keng tidak diberi kesempatan untuk membela diri kecuali dengan pedangnya. Tiba-tiba hwesio yang bertubuh tinggi besar, yang ilmu pedangnya amat kuat dan agaknya menjadi pimpinan dari para hwesio lainnya, membentak keras dan begitu tangan kirinya bergerak, dia mengebutkan saputangan merah dan nampaklah debu kemerahan mengepul dan menyerbu ke arah Giok Keng.

Pada saat itu, Giok Keng sedang sibuk menangkisi semua senjata dan tentu saja dia tidak mau melukai para hwesio yang agaknya salah mengira dialah sebetulnya maling yang dicari-cari. Dia melihat bubuk debu halus kemerahan itu dan terkejut bukan main. Akan tetapi melihat bahwa para pengepungnya juga tidak menghindar, maka dia menahan napas dan menangkis terus. Akan tetapi celakanya debu itu agaknya tebal dan amat halus, sampai lama tidak juga lenyap dan ketika satu kali saja dia menarik napas, dia mencium bau harum dan kepalanya menjadi pening. Dalam keadaan pening itu, gerakannya menjadi kacau dan tiba-tiba pundaknva kena ditotok maka robohlah pendekar wanita ini dalam keadaan setengah pingsan.

Ketika Giok Keng sadar, dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang besar, terbelenggu kaki tangannya dan terlentang di atas sebuah pembaringan. Di dalam kamar itu duduk tiga orang hwesio dan bau di kamar itupun harum dengan dupa wangi.

Giok Keng membuka matanya dan memandang ke arah hwesio yang duduk dekat pembaringan. Seorang hwesio tinggi besar yang usianya tentu hampir enam puluh tahun, tersenyum dengan pandang matanya yang tajam penuh selidik. Di belakang hwesio tinggi besar ini duduk dua orang hwesio lain, usianya juga rata-rata lima puluh tahun, yang seorang wajahnya penuh bekas penyakit cacar (bopeng) dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali.

“Omitohud... seorang wanita yang masih muda dan cantik, pula berkepandaian tinggi, ternyata telah menjadi siluman keji... semoga Sang Buddha mengampuni dosa-dosamu...!” Hwesio tinggi besar itu berkata sambil merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

“Losuhu, kalian salah sangka. Aku bukanlah siluman itu, akan tetapi aku bersama temanku itu bahkan menyelidiki siluman yang mengacau kota Heng-tung.”

Giok Keng berkata. “Harap losuhu suka membebaskan aku.”

Hwesio tinggi besar itu tertawa, juga dua orang hwesio lainnya tertawa. “Sudah sejak manusia mengenal istilah mencuri, tidak ada pencuri yang mau mengakui perbuatannya. Daripada engkau dipaksa dengan siksaan oleh yang berwajib untuk mengakui perbuatanmu, lebih baik engkau mengaku kepada pinceng di mana kausembunyikan harta dari hartawan Ciong yang kaucuri malam kemarin.”

“Losuhu, memang benar temanku yang melakukan pencurian malam kemarin, akan tetapi dia melakukan hal itu hanya untuk memancing keluarnya siluman yang selama ini mengganggu kota ini. Aku sungguh bukan maling, losuhu.”

“Hemm, siapa dapat menjamin bahwa bukan engkau maling atau siluman itu?” Sepasang mata yang besar itu memandang tajam penuh selidik dan Giok Keng merasa ngeri. Sepasang mata itu besar dan amat berpengaruh, juga menakutkan.

“Losuhu, kalau kau tidak percaya kepadaku sebaiknya engkau tahu siapa aku sebenarnya. Nama keluargaku merupakan jaminan. Aku bernama Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai...”

“Ohhhhh...!” Hwesio tinggi besar itu, juga dua orang hwesio lainnya, serentak bangkit dan mengeluarkan seruan kaget. Mata mereka terbelalak memandang kepada Giok Keng, dan mulut mereka terbuka, sampai beberapa lama mereka tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, hwesio tinggi besar itu duduk lagi, mukanya menjadi merah dan dia berdehem beberapa kali untuk menenangkan jantungnya yang tadi berdebar keras sepasang matanya masih melotot dan memandang tajam penuh selidik ke arah muka yang cantik dan gagah itu.



“Omitohud...!” Akhirnya dia menarik napas panjang. “Sungguh berani sekali engkau penjahat wanita mengaku sebagai puteri ketua Cin-ling-pai!”

“Aku tidak bohong, losuhu!” Giok Keng berkata marah.

“Siapa dapat menjamin kebenaran kata-katamu? Akan tetapi untuk menguji apakah benar engkau puteri ketua Cin-ling-pai, pinceng ingin mendengar apakah engkau kenal dengen nama Thian Hwa Cinjin?”

“Ah, pendeta terkutuk itu?” Giok Keng cepat menjawab untuk meyakinkan hati hwesio ini bahwa dia benar puteri ketut Cin-ling-pai. “Tentu saja aku tahu. Thian Hwa Cinjin adalah ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, dahulu bertempat di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning, seorang kakek yang tinggi jangkung dengan jenggot panjang, orangnya pesolek!”

“Hemm, banyak orang tahu akan ketua Pek-lian-kauw itu, akan tetapi pengetahuanmu tentang dia belum meyakinan pinceng bahwa engkau benar puteri ketua Cin-ling-pai...”

“Losuhu, aku yang telah membunuh pendeta keparat itu! Tanganku yang menganter nyawanya ke neraka!” Giok Keng berkata penuh semangat. Memang pengakuannya ini benar. Dalam cerita “Petualang Asmara” dituturkan betapa kakek yang lihai, Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu tewas di tangan pendekar wanita ini! Hal itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu ketika Cia Giok Keng masih seorang gadis perkasa yang keras hati.

Mata hwesio tinggi besar itu terbelalak dan sejenak dia dan dua orang temannya itu diam saja, memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh perhatian. Giok Keng menanti, tidak tahu apa yang terpikir oleh tiga orang hwesio tua itu. Kalau saja dia tahu, tentu pendekar wanita ini akan terkejut setengah mati.

Siapakah hwesio tinggi besar ini? Dia ini bukan lain adalah Kim Hwa Cinjin, seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang tokoh karena dia ini adalah ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan! Juga dua orang “hwesio” bermuka bopeng dan hitam di belakangnya itu adalah dua orang sutenya. Tokoh-tokoh Pek-lian-kauw pula! Bersama belasan orang anak buahnya, Kim Hwa Cinjin hendak meluaskan pengaruh Pek-lian-kauw ke pedalaman dan tibalah mereka di kota Heng-tung itu. Seperti biasa, anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya adalah orang-orang dari golongan hitam ini melakukan pekerjaan mereka dengan diam-diam dan rahasia. Untuk itu, Kim Hwa Cinjin lalu menyergap para hwesio di Kuil Ban-hok-tong di sudut kota itu, dan menggantikan pekerjaan para hwesio dengan anak buahnya yang sudah terlatih. Tentu saja mereka semua menggunduli kepala dan kepada para tamu mereka memberitahukan bahwa mereka adalah hwesio-hwesto pangganti yang dikirim dari kuil pusat karena hwesio-hwesio lama sedang digembleng di kuil pusat! Dan bersama dengan datangnya rombongan Pek-lian-kauw ini di kota Heng-tung, mulailah kota itu diganggu “siluman”. Tentu saja siluman itu bukan lain adalah orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin yang lihai. Dan gadis-gadis itu diculik untuk “makanan” mereka yang sudah biasa mengumbar nafsu rendah mereka dengan jalan kekerasan, sedangkan harta-harta curian mereka pergunakan untuk memperluas kekuatan Pek-lian-kauw. Dengan menyamar sebagai hwesio-hwesio Ban-hok-tong, tentu saja kawanan Pek-lian-kauw ini dapat beroperasi dengan aman, kerena siapakah yang akan menduga bahwa hwesio-hwesio itu adalah orang-orang jahat? Pula, gadis-gadis yang diculik dan harta itu disimpan di dalam kamar-kamar kuil yang besar itu tanpa ada yang berani menggeledahnya, bahkan tidak ada yang menduganya sama sekali.

Ketika Kim Hwa Cinjin yang merobohkan Giok Keng dengan debu racun pembius merah itu melihat Giok Keng, berahinya sudah timbul dan berkobar. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis culikan, wanita-wanita yang masih amat muda dan lemah, wanita-wanita yang baginya masih mentah dan hanya menangis den minta ampun. Kini, melihat seorang wenita seperti Giok Keng, yang “matang” bentuk badannya, yang selain cantik jailta juga mengandung kegagahan, yang memiliki sin-kang kuat den ilmu silat tinggi, dia sudah mengilar dan tentu saja dia sengaja menangkap hidup-hidup wanita ini untuk menjadi kekasihnya yang tentu akan menyenangkan dan memuaskan hatinya yang selalu dilanda kehausan nafsu itu.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendengar bahwa wanita menggairahkan yang kini terbelenggu dan terlentang didepannya, yang tinggal menunggu dia turun tangan mempermainkannya, ternyata adalah Cia Giok Keng, pembunuh dari rekannya, Thian Hwa Cinjin. Wanita ini adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan teringat akan nama Cin-ling-pai, bulu tengkuknya sudah meremang dan perasaan gentar mengusir jauh-jauh semua nafsu berahinya! Bergidik mengenangkan betapa dia tadi ingin memperkosa dan mempermainkan wanita ini. Untung dia lebih dulu menyelidikinya, karena kalau sudah terlanjur dia memperkosa puteri ketua Cin-ling-pai, ngeri dia membayangkan akibatnya! Akan tetapi dia tidak akan membebaskan wanita ini begitu saja! Tentu saja tidak! Dia harus membalaskan kematian rekannya, Thian Hwa Cinjin dan biarpun dia tidak akan memperkosa atau membunuh wanita ini, akan tetapi ada jalan lain yang lebih bagus, bahkan amat bagus, untuk menghancurkan nama wanita musuh Pek-lian-kauw ini dan sekaligus mencemarkan nama Cin-ling-pai. Dia akan menyerahkan wanita ini kepada yang berwajib sebagai “siluman” yang selama ini mengacau Heng-tung!

Akhirnya Kim Hwa Cinjin dapat menguasai hatinya yang terguncang dan dia berkata, “Omitohud... agaknya benar keteranganmu. Akan tetapi, sebelum ada bukti-bukti yang nyata, harap maafkan bahwa kami belum dapat membebaskanmu begitu saja, toanio. Kami harus dapat melihat bukti dan saksi, yaitu harta dari hartawan Ciong dan temanmu itu, untuk melihat apakah bukan dia siluman yang menculik wanita-wanita.”

“Dia adalah seorang maling tunggal yang terhormat. Dia adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan yang juga datang untuk menyelidiki siluman yang mengacau Hek-tung. Dialah yang menggunakan akal mencuri harta itu untuk memancing munculnya siluman dan sekarang dia menanti di rumah penginapan, dan harta itu masih berada di sana karena memang akan kami kembalikan kalau siluman itu sudah tertangkap.”

“Baik, kami akan membuktikan keteranganmu itu. Sute, kalian pergilah ke rumah penginapan itu dan lihat apa benar harta itu disembunyikan di sana. Kalau benar, bawa harta itu ke sini, dan juga Jeng-ci Sin-touw!”

“Baik, suheng,” jawab hwesio muka bopeng dan mereka berdua lalu pergi mtninggalkan kamar itu.

“Toanio tentu maklum bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, pinceng belum berani membebaskan toanio. Tunggu kalau semua bukti dan saksi sudah lengkap, tentu kami akan membebaskan toanio atau minta kepada pejabat untuk memutuskan persoalan ini. Harap toanio maafkan pinceng.” kata Kim Hwa Cinjin dengan sikap sopan dan alim, kemudian dia melangkah keluar meninggalkan Giok Keng terbelenggu di atas pembaringan. Beberapa orang hwesio nampak menjaga di luar kamar itu dan Giok Keng terpaksa menggigit bibir dengan gemas. Akan tetapi, dia tidak dapat menyalahkan hwesio-hwesio ini yang tentu saja bersikap hati-hati. Dia makin marah dan penasaran kepada “siluman” itu yang seperti mempermainkan mereka semua dan diam-diam dia berjanji akan membasmi siluman itu dan tidak akan pergi meninggalkan Heng-tung sebelum berhasil menangkap atau membunuh siluman itu!



Baru satu kali itu selama hidupnya Jeng-ci Sin-touw Can Pouw kehabisan akal dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukan! Biasanya dia adalah seorang yang cerdik dan tidak kekurangan akal. Akan tetapi sekarang, malam itu, dia kelihatan termenung di dalam kamarnya, berulang-ulang menggaruk kepalanya yang awut-awutan. Topi yang biasanya tak pernah meninggalkan kepala itu sekarang menggeletak di atas meja, di dekat bungkusan uang emas yang dicurinya dari gedung hartawan Ciong malam kemarin.

“Sialan!” gerutunya dan dia membuka kantung itu, melihat uang emas yang berkilauan. “Uang sialan!” Dia menonjok ke arah kantung itu. Dia telah mengatur akal, dan memang siluman itu telah keluar, akan tetapi sekarang siluman itu hilang lagi, bahkan pendekar wanita puteri ketua Cin-ling-pai juga hilang bersamanya! Celaka, pikirnya. Bagalmana kalau sampai pendekar wanita itu tertimpa malapetaka? Siluman belum tertangkap, malah pendekar wanita itu celaka. Dan ke mana dia harus mencari siluman itu dan pendekar wanita itu? Mencari siluman itu saja sudah susah payah sampai kini belum berhasil, kini ditambah lagi harus menyelidiki lenyapnya puteri ketua Cin-ling-pai.

“Uang sialan! Siluman sialan!” dia berkata agak keras dan kembali menonjok ke arah kartung uang.

“Hemm, kiranya di sini kau sembunyi!” Tiba-tiba jendela itu terbuka dari luar dan seorang laki-laki tampan berpakaian sederhana meloncat masuk dengan sikap tenang sekali.

Melihat seorang laki-laki yang tak dikenalnya masuk melalui jendela, tentu saja Can Pouw terkejut setengah mati dan dia segera menduga bahwa inilah silumannya! Maka, tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju menggunakan gin-kangnya yang lumayan sehingga gerakannya cepat sekali dan dia sudah menerkam seperti seekor harimau kelaparan yang menubruk seekor kelinci. Akan tetapi sang kelinci ternyata bukan kelinci sembarangan, karena entah bagaimana si Jari Seribu tidak mengerti, tahu-tahu dia merasakan kaki dan tangannya lumpuh dan dia sudah terbanting jatuh ke atas lantai!

Laki-laki itu memandang ke arah uang emas yang nampak di dalam karung terbuka, lalu menoleh kepada Can Pouw. Can Pouw sudah bergerak meloncat, akan tetapi tiba-tiba tengkuknya dicengkeram oleh tangan yang amat kuat dan terdengar laki-laki itu menghardik, “Manusia busuk! Jadi engkaukah silumannya di kota ini? Hayo katakan di mana kausembunyikan gadis-gadis itu dan harta-harta yang lain!”

“Sialan...!” Can Pouw memaki gemas. “Siluman sial dangkalan!” Siapa tidak menjadi gemas? Dia malah disangka siluman itu!

“Eh, apa maksudmu?” Laki-laki itu menghardik. “Hayo jekas mengaku, siluman keji!”

“Bagaimana saya harus mengaku kalau bukan saya silumannya?” dia balas bertanya penuh kemendongkolan.

“Hemm, sudah tertangkap basah masih mencoba untuk menyangkal! Bukankah uang emas di meja itu hasil curianmu?”

“Memang, akan tetapi hal itu kulakukan untuk memancing keluarnya siluman yang aseli! Sudahlah, siapapun adanya engkau, yang tadinya kusangka adalah si siluman yang aseli, kalau tidak percaya kepada Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, kau boleh bertanya kepada puteri ketua Cin-ling-pai! Nah, kalau kepada puteri ketua Cin-ling-pai kau masih juga tidak percaya, agaknya memang engkau inilah silumannya!”

Orang itu kelihatan terkejut bukan main. “Apa? Siapa? Puteri ketua Cin-ling-pai? Apa maksudmu? Di mana dia?”

Tubuh Can Pouw terguncang ke kanan kiri sehingga dia merasa seolah-olah semua tulangnya rontok. “Eh-eehhhh... bagaimana aku bisa menjawab hujan pertanyaan itu kalau aku kaugoncang-goncang seperti ini?”

“Brukk!” Tubuh Can Pouw dilempar ke atas kursi dan laki-laki itu berkata, “Cepat kauceritakan yang sebenarnya dan mengapa kau membawa-bawa nama puteri ketua Cin-ling-pai?”

Can Pouw meraba-raba tengkuknya yang masih terasa nyeri, lalu memandang kepada laki-laki itu dengan mata agak dipicingkan. Memang matanya sudah agak lamur selama beberapa bulan ini sehingga kalau hendak melihat sejelasnya, perlu agak dipicingkan. Dia melihat bahwa laki-laki itu berusia kurang dari empat puluh tahun, kelihatan masih muda, berwajah tampan, bersikap tenang dan berpakaian sederhana, akan tetapi ada sinar duka di kedua matanya yang luar biasa tajamnya itu. Can Pouw adalah seorang kang-ouw yang berpengalaman, maka melihat keadaan laki-laki ini, dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dengan seorang pendekar, karena tidak mungkin laki-laki seperti ini menjadi jai-hoa-cat. Akan tetapi dia mendongkol karena kembali dia disangka siluman.

“Hemm, kalau awak lagi sial!” dia menggerutu. “Dua kali berturut-turut aku disangka jai-hoa-cat, disangka siluman! Pertama oleh puteri ketua Cin-ling-pai, kedua oleh kau!”

“Lekas ceritakan apa yang terjadi, jangan banyak rewel!”

“Baik, dengarkanlah, orang gagah. Kemarin malam aku yang sudah sepekan menyelidiki adanya siluman itu tanpa hasil, mengambil keputusan untuk memancing keluarnya siluman itu dengan mencuri harta milik hartawan Ciong. Celakanya, perbuatanku itu ketahuan oleh Cia Giok Keng lihiap, puteri ketua Cin-ling-pai dan hampir saja aku mampus di tangannya. Untung aku sempat memberi tahu dan kemudian malam ini kami bardua menanti akan hasil rencanaku itu yang disetujui pula oleh Cia-lihiap. Dan siluman itu memang muncul. Aku dihajar sampai hampir celaka, untung ditolong oleh Cia-lihiap yang kemudian mengejar siluman itu. Akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana dan selagi aku termenung bingung menanti di sini bersama harta curian yang digunakan sebagai pancingan ini, engkau datang-datang menyangka aku siluman lagi!”

“Ah, ke mana perginya Cia-lihiap...?”

Laki-laki itu bertanya dengan nada suara khawatir.

“Bagaimana saya tahu?” Can Pouw lalu menceritakan sejelasnya tentang pertemuannya dengan Giok Keng dan tentang peristiwa tadi.



“Sudah kuceritakan bahwa aku hampir tewas di tangan siluman itu, dan untung Cia-lihiap menolongku. Mereka bertanding ramai dan siluman itu lalu melarikan diri, dikejar oleh Cia-lihiap. Mereka lenyap ditelan kegelapan malam, dan karena aku tahu bahwa siluman itu lihai sekali dan aku tidak dapat mencari, terpaksa aku kembali ke sini dan menanti kembalinya Cia... ehhh, apa ini?” Can Pouw terkejut karena tiba-tiba laki-laki itu meniup padam lilin di atas meja, kemudian bagaikan seekor burung rajawali menerkam tikus, dia sudah menyambar tubuh Can Pouw dan dibawanya meloncat keluar dari jendela, lalu mendekam tak jauh dari situ.

“Ssstt, ada orang datang...!” bisik laki-laki itu kepada Can Pouw. Mereka menanti dan jantung Can Pouw bordebar tegang. Belum pernah dia mengalami hal seperti ini di mana dia menjadi orang yang sama sekali tidak berdaya dan lemah!

Tak lama kemudian, kelihatan berkelebat bayangan dua orang yang kepalanya gundul. Hwesio! Mereka itu memiliki gerakan lincah sekali, meloncat memasuki kamar dan tak lama kemudian, mereka terdengar berbisik-bisik di dalam kamar, lalu dua bayangan itu berkelebat keluar lagi terus melayang ke atas genteng. Can Pouw hanya merasa ada angin menyambar di belakangnya, dan ketika dia menoleh, ternyata laki-laki yang tadi menangkapnya telah lenyap pula.

Can Pouw membanting-banting kakinya. “Sialan! Tentu dia tadi siluman dan dua orang tedi teman-temannya! Celaka, harta itu mereka bawa pula! Akan tetapi dia segera berpikir bahwa tidak mungkin siluman itu si laki-laki sederhana tadi. Kalau benar demikian, dengan kepandaiannya yang tinggi, apa sukarnya untuk membawa pergi harta itu dan membunuhnya? Tidak, tentu tidak ada hubungannya antara laki-laki gagah tadi dengan dua orang hwesio yang membawa pergi harta. Hwesio? Hanya ada satu kuil di Heng-tung. Kuil Ban-hok-tong!

Can Pouw adalah seorang yang cerdik. Begitu melihat bahwa dua orang yang mengambil harta itu adalah hwesio-hwesio, maka segera timbul dugaan keras di hatinya bahwa tentu ada apa-apa di Kuil Ban-hok-tong, ada hubungan antara para hwesio di sana dengan siluman yang menghebohkan Heng-tung itu. Maka dia tidak ragu-ragu lagi cepat diapun meloncat ke atas genteng dan menggunakan kepandaiannya, cepat-cepat dia menuju ke Kuil Ban-hok-tong!

Siapakah laki-laki gagah perkasa berpakaian sederhana yang terkejut mendengar nama Cia Giok Keng tadi? Dia itu bukan lain adalah Yap Kun Liong! Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, setelah berpisah dari pertemuannya dengan Cia Giok Keng, Kun Liong juga pergi hendak mencari putera Giok Keng yang lenyap diculik penjahat, yaitu Lie Seng. Akan tetapi, dia lebih mementingkan penyelidikannya tentang Lima Bayangan Dewa sampai akhirnya dia dapat membongkar semua rahasia setelah dia bertemu dengan Yo Bi Kiok pembunuh isterinya, berhasil merobohkan Bi Kiok dan di tempat Raja Sabutai itupun dia telah bertemu dengan In Hong dan mendengar bahwa Lie Seng ternyata telah ditolong Oleh ayah mertuanya, yaitu Kok Beng Lama.

Setelah kembali dari utara, Kun Liong lalu pulang ke Leng-kok untuk menengok kuburan isterinya. Di Leng-kok inilah dia mendengar tentang siluman yang mengacau di Heng-tung, kota yang tidak jauh letaknya dari Leng-kok, maka dengan hati penasaran pendeker ini lalu menyelidikinya dan kebetulan dia melihat gerak-gerik Can Pouw yang mencurigakan melam itu ketika Can Pouw dengan jalan tidak semestinya memasuki kamar hotelnya dari atas genteng!

Kini Kun Liong dengan perasaan terheran-heran mengikuti dua orang hwesio yang mengambil karung berisi uang emas dari kamar Can Pouw itu. Dua orang hwesio itu memasuki Kuil Ban-hok-tong dan dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, Kun Liong dapat terus membayangi mereka dan ketika mereka berdua memasuki kamar besar itu, Kun Liong sudah mengintai dari atas dengan menggantungkan kedua kakinya di tiang melintang. Alangkah kaget dan juga girangnya ketika dia melihat Cia Giok Keng rebah terbelenggu di atas pembaringan dan dua orang hwesio itu memasuki kamar sambil membawa karung berisi uang emas.

“Suheng, inilah karung uang emas yang dicuri itu, ditinggalkan di sebuah kamar kosong di penginapan itu. Kami tidak melihat adanya Jeng-ci Sin-touw, maka kami hanya dapat mombawa karung ini saja.”

“Nah, losuhu. Bukankah benar semua penjelasanku?” terdengar Giok Keng berkata.

“Nanti dulu, toanio. Benar ada karung emas ini, akan tetapi Jeng-ci Sin-touw belum ditangkap. Siapa tahu kalau-kalau dialah silumannya dan engkau hanya ditipu saja! Betapapun juga, sudah menjadi kewajiban kami untuk melaporkan semua ini kepada yang berwajib. Kami masih ragu-ragu karena bagaimana kami dapat tahu bahwa benar-benar toanio adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan satu di antara siluman-siluman yang selama ini mengacau kota ini?”

“Losuhu keliru! Dia benar puteri ketua Cin-ling-pai!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan scorang laki-laki berdiri di dalam kamar itu. Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya terkejut setengah mati! Bagaimana mereka bertiga yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, merupakan tokoh-tokoh ternama dari Pek-lian-kauw wilayah selatan, sampai tidak melihat ada orang memasuki kamar di mana mereka berada, dan orang itu bahkan agaknya sudah lama mengintai, buktinya dapat menyambung percakapan mereka!

“Yap-suheng...!”

“Cia-sumoi, tenanglah,” kata Kun Liong.

Mendengar sebutan itu, Kim Hwa Cinjin terkejut. Sutenya yang bermuka bopeng sudah mengeluarkan teriakan keras dan berbondong datanglah belasan orang hwesio mengepung kamar itu. Akan tetapi Kim Hwa Cinjin yang sudah mendengar akan nama seorang pendekar sakti she Yap, yaitu Yap Kun Liong, cepat mengangkat tangan ke atas sebagai isyarat agar anak buahnya jangan bertindak sembrono. Kemudian dengan tangan tetap terangkap di dada dia berkata, “Omitohud... banyak orang pandai kami temui malam ini! Agaknya persoalan siluman di Heng-tung menarik datangnya pendekar-pendekar sakti. Siapakah sicu dan apa maksud kedatangan sicu di sini?”

Kun Liong cepat menjura, lalu berkata dengan sikap hormat. “Saya bernama Yap Kun Liong, tinggal di Leng-kok. Mendengar akan adanya siluman mengganas, saya menyelidiki den tadi saya melihat dua orang losuhu ini membawa karung emes ke sini, maka saya lancang membayangi mereka dan melihat bahwa sumoi Cia Giok Keng ditawan di sini, maka saya cepat menjelaskan. Losuhu salah tangkap dan harap suka membebaskan sumoi. Dia itu benar puteri ketua Cin-ling-pai dan tidaklah mungkin kalau dia yang menjadi silumannya!”



“Omitohud... pinceng benar-benar menjadi bingung,” Kim Hwa Cinjin berkata. “Sumoi dari sicu ini, Cia-toanio, juga mengaku sebagai penyelidik, akan tetapi kemarin malam hartawan Ciong kemalingan dan ternyata emas itu berada pada Cia-toanio yang katanya memang dicuri oleh temannya untuk memancing keluar siluman. Ah, Yap-sicu, tentu sicu mengerti kedudukan kami sehingga terpaksa kami menangkap Cia-toanio yang mencurigakan perbuatannya itu. Akan tetapi, setelah sicu muncul, ada saksi bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pal, maka tidak ada perlunya lagi kami menahannya. Sute, lepaskan belenggu itu!”

“Biarkan saya yang melepaskannya!” kata Kun Liong sambil menghampiri pembaringan. Jari-jari tangannya meraba dan belenggu itu putus semua, kemudian dia membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng. Giok Keng bangkit berdiri, mengurut kaki tangannya untuk melancarkan darah.

“Maaf, toanio,” Kim Hwa Cinjin menjura. “Kami hanya menjalankan kewajiban kami, dan betapapun juga, kami harap toanio suka pergi kepada pembesar setempat dengan Yap-sicu dan melaporkan semua peristiwa agar kami tidak terlibat dalam kesukaran. Dan untuk menyatakan maaf kami, harap ji-wi sudi menerima suguhan teh harum dari kami. Sute, lekas ambilkan teh untuk menghilangkan rasa tidak enak dan kekagetan Cia-toanio.”

Si muka bopeng mengangguk dan keluar dari kamar. Akan tetapi, segera terdengar suaranya dari kamar belakang, “Heiii! Siapa yang mencuri cawan-cawan teh? Tadi masih di sini, kenapa sekarang lenyap semua?”

Tiba-tiba banyak benda menyambar dari luar kamar memasuki kamar itu, menyambar ke arah Kim Hwa Cinjin dan teman-temannya. Tentu saja mereka sibuk menghindarkan diri, menangkis dan mengelak.

“Cia-lihiap, awas, mereka itu bukanlah hwesio-hwesio Ban-hok-tong! Mereka adalah tosu-tosu Pek-lian-kau!” Terdengar suara teriakan keras dan muncullah Can Pouw bersama seorang hwesio tua yang dikenal oleh Kun Liong sebagai Kai Sek Hwesio, ketua Ban-hok-tong!

Bagaimana Can Pouw bisa muncul dan membongkar rahasia kawanan Pek-lian-kauw itu? Seperti telah kita ketahui Can Pouw merasa curiga melibat bahwa yang mengambil karung uang emas itu adalah dua orang hwesio, maka dengan cepat dia pergi memasuki Kuil Ban-hok-tong. Kebetulan sekali, ketika dia tiba di situ, semua anak buah Pek-lian-kauw telah berkumpul mengurung kamar besar atas isyarat sute dari Kim Hwa Cinjin untuk menghadapi Kun Liong. Karena kuil itu sepi dan ditinggalkan, enak saja maling yang berpengalaman ini untuk menyelinap masuk. Dia terus pergi ke belakang dan mendengar isak tangis tertahan. Cepat dia mengintai dan di dalam beberapa buah kamar dia melihat beberapa orang gadis cantik yang tidak berpakaian sama sekali berada di atas pembaringan atau duduk di atas kursi sambil menangis, tangis yang ditahan-tahan karena mereka itu kelihatannya takut sekali!

Can Pouw tidak berani masuk melihat gadis-gadis cantik itu telanjang bulat, maka dia terus menyelidiki ke belakang dan akhirnya di dalam sebuah kamar gudang dia melihat hwesio-hwesio aseli dari Ban-hok-tong dibelenggu menjadi satu dan disumbat mulut mereka!

Can Pouw cepat membebaskan belenggu Kai Sek Hwesio, kemudian bersama dengan ketua itu yang telah menceritakan semua perbuatan tosu-tosu Pek-lian-kauw yang menyergap mereka dan menguasai kuil, dia cepet pergi ke kamar yang terkurung dan membikin ribut, dengan mencuri cawan-cawan dan menggunakannya sebagai senjata-senjata rahasia.

Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan anak buahnya terkejut bukan main. Melihat bahwa rahasia mereka telah terbuka, Kim Hwa Cinjin memberi isyarat dan semua hwesio palsu itu mencabut senjata dan menyerbu, menyerang Kun Liong, Giok Keng, dan Can Pouw dengan ganas karena tiga orang ini harus cepat dibunuh!

Akan tetapi orang-orang Pek-lian-kauw itu menemui batunya sekarang! Kun Liong dan terutama sekali Giok Keng mengamuk dengan hebat karena mereka marah sekali melihat bahwa hwesio-hwesio itu ternyata adalah penjahat-penjahat Pek-lian-kauw yang menyamar, juga Can Pouw mengamuk dan dikeroyok oleh dua orang hwesio, sedangkan hwesio-hwesio penyamaran orang-orang Pek-lian-kauw yang lain membantu Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya mengeroyok Kun Liong dan Giok Keng.

Pertempuran hebat di dalam dan di luar kamar itu hanya ramai suaranya saja, akan tetapi pertempuran itu sendiri sama sekali tidak seimbang. Belasan orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya itu sama sekali bukanlah lawan yang seimbang dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

Memang harus diakui bahwa kepandaian tiga orang pemimpin itu, terutama Kim Hwa Cinjin, cukup tinggi. Akan tetapi berhadapan dengan Yap Kun Liong, mereka itu mati kutu dan bukan apa-apa. Karena itu, pertempuran itu lebih tepat disebut penghancuran orang-orang Pek-lian-kauw yang dilakukan oleh dua orang pendekar itu yang menghajar mereka. Bahkan, Can Pouw yang dikeroyok oleh dua orang anak buah Pek-lian-kauw itu juga memperlihatkan keunggulannya!

Ketika Can Pouw sedang dikeroyok dan dia menggunakan kegesitannya untuk mengelak ke sana-sini, tangannya seperti dua ekor ular dengan jari-jarinya yang panjang bergerak-gerak, tiba-tiba dia membentak, “Lihat ini!” Dan dia sudah memainkan sehelai kalung emas bermata mutiara yang digantungkan di antara jari-jari tangannya.

“Hem, itu punyaku!” teriak seorang di antara dua orang pengereyoknya yang bermata juling. Kiranya kalung itu adalah satu di antara barang-barang berharga yang dia sembunyikan dari kumpulan barang-barang curian mereka dan entah bagaimana telah dicopet oleh si pencopet Jari Seribu dari saku sebelah dalam bajunya!

“Nah, ambillah!” kata Can Pouw, akan tetapi ketika si mata juling itu mengulurkan tangan hendak mengambil kalung itu, tiba-tiba kaki Can Pouw bergerak dari bawah menendang.



“Dessss...! Auwww...!” Si juling terkejut dan berteriak, lalu berloncatan dengan kaki kiri sambil memegang kaki kanan dengan kedua tangannya karena tulang kering kaki kanannya kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Can Pouw secara licik. Mata itu makin menjuling menahan rasa nyeri yang menyusup ke tulang sumsum.

“Heh-heh, dan ini punya siapa?” Kembali Can Pouw memperlihatkan sebuah hiasan rambut berupa burung terbuat dari emas dan mutiara, yang dicopetnya dari saku baju pengeroyok kedua yang hidungnya besar. Hidung itu kembang kempis ketika orangnya mengenal barangnya.

“Si copet busuk! Kembalikan barangku!” hardiknya.

“Boleh, mari ambillah!” Can Pouw mengulurkan benda itu di atas telapak tangannya. Akan tetapi orang ini tidak mau diakali, dia mengambil benda itu sambil memperhatikan kaki Can Pouw.

“Plokkk! Aduhhh...!” Kiranya Can Pouw bukannya menggunakan kakinya, melainkan menggunakan hiasan rambut yang terbuat dari emas dan runcing keras itu untuk menghantam hidung yang besar itu. Tentu saja hidung itu menjadi remuk dan darah mengucur deras.

Sambil tertawa, Can Pouw lalu menghujankan pukulan dan tendangan kepada dua orang pengeroyoknya sampai mereka jatuh bangun dan roboh pingsan. Akan tetapi ketika itu, pertempuran telah selesai. Semua anak buah Pek-lian-kauw roboh, ada yang tewas dan ada pula yang pingsan, akan tetapi Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya berhasil meloloskan diri dengan menggunakan selampe merah yang mengeluarkan debu merah beracun.

Semua hwesio Ban-hok-tong lalu dibebaskan dari belenggu dan tujuh orang gadis cantik yang menjadi korban kebiadaban orang-orang Pek-lian-kauw itu diberi pakaian. Dengan girang Gjok Keng dapat menemukan kembali pedang dan setelah mewakilkan kepada Can Pouw untuk menyelesaikan urusan itu dengan pembesar setempat, Kun Liong dan Giok Keng cepat meninggalkan kuil itu di waktu itu juga, yaitu lewat tengah malam menjelang pagi!

Can Pouw dengan sikap dan lagak sebagai seorang pahlawan, mengumpulkan gadis-gadis dan semua harta curian, menerima kedatangan pembesar yang telah dilapori dan datang untuk mengadakan pemeriksaan. Can Pouw dihujani pujian, baik dari para hwesio dan dari para pembesar maupun dari semua penghuni kota Heng-tung. Berkat jasanya yang beser, di kemudian hari Can Pouw menjadi seorang tokoh di Heng-tung, hidup sebagai seorang warga terhormat, dihadiahi banyak harta oleh kaum hartawan yang mendapatkan kembali harta mereka, diberi kedudukan sebagai penasihat oleh kepala daerah, bahkan dijadikan pelindung oleh Kuil Ban-hok-tong. Dia memperoleh sebuah rumah dan hidup dengan makmur dan terhormat. Tentu saja dia membuang julukannya yang lama, tidak lagi Jeng-ci Sin-touw atau Maling Sakti Jari Seribu, melainkan Jeng-cl Ho-han (Orang Gagah Jari Seribu). Jari-jarinya yang seribu kini bukan digunakan untuk mencopet, melainkan untuk menolong orang! Demikianlah anggapan orang banyak, dan termasuk anggapannya sendiri.

Sementara itu, Kun Liong dan Giok Keng sudah berjalan cepat meninggalkan kota Heng-tung dan setelah tiba di luar kota yang sunyi, di waktu pagi yang berkabut, dengan warna-warni biru merah keemasan indah di langit timur, mereka berhenti dan berdiri berhadapan. Sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, kemudian terdengar ucapan Giok Keng, “Terima kasih, suheng. Untuk kesekian kalinya, engkau menyelamatkan aku.”

“Ah, tidak perlu disebut lagi hal itu, sumoi. Aku mempunyai berita yang jauh lebih menyenangkan bagimu.”

“Lie Seng?” Giok Keng bertanya penuh gairah dan sinar matanya penuh harapan.

Kun Liong mengangguk.

“Bagaimana dengan dia, suheng? Dan di mana dia?”

“Dia selamat, diselamatkan oleh... ayah mertuaku...”

“Kok Beng Lama...?” Giok Keng bertanya dengan mata terbuka lebar.

Kun Liong mengangguk lalu menceritakan apa yang didengarnya dari In Hong tentang Lie Seng yang terluka oleh pasir beracun Siang-tok-swa dan diobati oleh In Hong sendiri dan diapun mengatakan bahwa racun yang jahat itu telah berhasil dikeluarkan dan bahwa Siang-tok-swa adalah senjata rahasia dari Yo Bi Kiok ketua dari Giok-hong-pang.

Giok Keng mendengarkan dengan jantung berdebar dan dengan perasaan bercampur aduk. Siapa mengira bahwa akhirnya, orang-orang yang tadinya dianggap memusuhinya itu malah yang menolong puteranya! Kok Beng Lama yang menyeretnya ke Cin-ling-pai dahulu karena menuduh dia membunuh puteri pendeta itu, dan Yap In Hong yang dianggap menghinanya, yang bahkan merupakan sebab yang menimbulkan keributan dan malapetaka, malah menjadi penyelamat puteranya. Teringatlah dia akan kata-kata ayahnya yang ternyata amat tepat sekarang, yaitu bahwa tidak benar kalau kita menilai orang dari perbuatan yang lalu, karena setiap saat bisa saja terjadi perubahan pada orang itu!

“Jadi... kalau begitu... yang menculik puteraku, yang membunuh Hong Khi Hoatsu guru mendiang suamiku, adalah Yo Bi Kiok?”

“Yang menculik puteramu memang jelas dia, akan tetapi yang membunuh Hong Khi Hoatsu tentu orang-orang Bayangan Dewa.”

“Hemm, Yo Bi Kiok perempuan laknat. Aku harus mencarinya!” Giok Keng berkata geram.

“Tidak perlu lagi, sumoi. Dia sudah tewas dan tahukah engkau siapa yang membunuh isteriku?”

Giok Keng terkejut sekali. “Siapa? Sudah tahukah engkau, suheng?”



Kun Liong mengangguk. “Yang membunuh dia juga, Yo Bi Kiok itulah.”

“Bukankah dia guru adikmu? Bagaimana ini? Aku menjadi bingung, suheng,” kata Giok Keng yang tentu saja sama sekali tidak menduga akan hal ini.

Kun Liong lalu menceritakan semuanya, menceritakan tentang Yo Bi Kiok yang ternyata berhasil mewarisi pusaka dari mendiang Panglima The Hoo dan menjadi seorang sakti setelah mempelajari ilmu dari pusaka itu. Betapa secara kebetulan saja adiknya, Yap In Hong, telah ditolongnya dan menjadi murid wanita sakti itu dan diapun mengaku terus terang bahwa semua perbuatan Yo Bi Kiok itu terjadi karena dorongan rasa cemburu dan cinta kepadanya.

“Apa? Karena cinta kepadamu, suheng?”

Kun Liong mengangguk lesu, diam-diam dia kembali menyesali semua pengalamannya di waktu muda dahulu, sikapnya yang selalu ramah, dan memikat terhadap gadis-gadis cantik, ternyata menimbulkan banyak hal yang hebat sekarang. “Karena
aku tidak dapat membalas perasaannya itu, karena aku telah menikah dengan Hong Ing, dia menjadi kecewa, benci dan dendam. Semua itu diakuinya setelah dia hampir mati.” Dia lalu menceritakan pertempuran antara dia dan Yo Bi Kiok di benteng Raja Sabutai.

Mendengar cerita yang hebat itu, Giok Keng menarik napas panjang. “Ternyata bahwa cinta hanya mendatangkan kedukaan dan malapetaka belaka...”

“Memang, kalau cinta itu hanya didorong mencari kesenangan untuk diri pribadi seperti cinta Yo Bi Kiok dan... dan makin menyesal hatiku mengapa perbuatan sesat yang dilakukan Bi Kiok itu sampai akibatnya menimpa keluargamu, sumoi...”

“Sudahlah, sekarang sudah tidak ada ganjalan lagi. Lie Seng telah selamat, akan tetapi engkau... masih ada Mei Lan yang belum kauceritakan. Bagaimana dengan dia?”

Wajah Kun Liong menjadi muram. Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Aku belum menemukan jejaknya, sumoi.”

“Aku justeru sedang menyelidikinya dari Leng-kok dari mana dia menghilang dan ketika aku mendengar tentang siluman yang menculik gadis-gadis itu, aku cepat menyelidikinya karena khawatir kalau-kalau puterimu menjadi korban. Karena menyelidiki Mei Lan maka aku berada di sini.”

“Aku sendiripun baru saja pulang dan menengok kuburan isteriku ketika aku mendengar tentang siluman itu dan kebetulan dapat bertemu denganmu di sini, sumoi.”

Tiba-tiba Giok Keng berkata, “Suheng, apakah engkau tidak hendak menolong adikmu?”

Kun Liong terkejut dan memandang wanita cantik itu. “Apa maksudmu, sumoi? Apa yang terjadi dengan In Hong? Bukankah dia telah menjadi seorang puteri istana kaisar?”

“Jadi kau belum tahu tentang penculikan itu?”

“Penculikan? Apa? Siapa...?”

“Akupun baru mendengar malam tadi, suheng. Dari Jeng-ci Sin-touw. Dia yang baru mendengar dari kota raja bahwa In Hong telah diculik oleh guru-guru Raja Sabutai dan dibawa keluar tembok besar...”

“Ehhh...?” Kun Liong terkejut bukan main mendengar berita ini. “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li? Berbahaya sekali! Sumoi, benarkah berita itu?”

“Kurasa orang seperti Jeng-ci Sin-touw itu, biarpun maling, ternyata dapat dan boleh dipercaya, suheng.”

“Kalau begitu, aku akan cepat mengejar ke utara!”

“Aku akan membantumu, suheng.”

“Jangan, sumoi. Mereka itu lihai bukan main dan perjalanan ke sana amat sukar...”

“Suheng, apakah engkau masih meragukan perasaanku yang amat menyesal dan berdosa terhadap dirimu? Apakah engkau tega menolak kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku ini? Andaikata engkau tidak sudi mengajak aku, tetap saja aku akan menyusul sendiri ke sana untuk menolong In Hong.”

Kun Liong menarik napas panjang. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan kembali di dalam lubuk hatinya, Kun Liong merasa yakin bahwa hanya wanita inilah yang akan mampu mengisi bekas tempat Hong Ing di dalam hatinya. Dia menghela napas panjang dan mengangguk, berkata lirih, “Baiklah, sumoi. Mari kita pergi.”

Mereka berdua tidak bicara apa-apa lagi melainkan mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk berlari cepat dan melakukan perjalanan ke utara.


***


Biarpun pengalaman mereka bertemu dengan dua orang kakek tadi amat mengejutkan hati akan tetapi tidak membuat dua orang pemuda itu menjadi takut. Setelah berhasil melewati Padang Bangkai dengan selamat, Tio Sun dan Kwi Beng melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga menurut petunjuk yang mereka dapat dari Si Kwi. Mereka tentu saja maklum bshwa memasuki Lembeh Naga sama artinya dengan memasuki guha naga siluman yang berbahaya dan dengan mengandalkan kepandaian mereka saja mereka tentu tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh tempat itu. Akan tetapi mereka bertekad untuk mencari In Hong sampai dapat, dan mereka mengharapkan dapat bertemu dengan In Hong dan Bun Houw agar mereka dapat menyampaikan rahasia kelemahan dua orang kakek den nenek iblis seperti yang mereka ketahui dari Ratu Khamila.

Akan tetapi, dua orang pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak memasuki Lembah Naga, mereka telah diawasi den semua gerak-gerik mereka telah ketahuan oleh fihak musuh!

Oleh karena itu terkejutlah mereka ketika mereka melewati dua buah batu besar yang seolah-olah merupakan pintu gerbang, tiba-tiba saja dari balik batu-batu besar itu muncul Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, Ang-bin Ciu-kwi, Coa-tok Sian-li dan belasan orang tinggi besar anak buah Lembah Naga!



Melihat munculnya banyak tokoh ini, Kwi Beng yang berdarah panas dan tidak mengenal takut sudah meraba sisa pisau terbangnya, akan tetapi Tio Sun yang melihat gerakan itu cepat memegang lengannya. Tio Sun memang lebih berhati-hati dan waspada dalam setiap perbuatannya. Melihat bahwa orang-orang yang mengurung mereka, terutama empat orang tua yang berdiri menghadang itu jelas memperlihatkan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang tentu memiliki kepandaian tinggi, Tio Sun lalu menjura dan pura-pura bertanya, “Kami mohon maaf kalau mengganggu cu-wi sekalian. Kami hendak bertanya di manakah letaknya Lembah Naga?”

“Huah-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya, matanya yang merah itu mengincar dua orang pemuda itu dari balik guci araknya. “Sudah berada di depan mulut naga masih bertanya-tanya. Ha-ha-ha! Thaisu, apakah aku boleh menangkap dua ekor kelinci ini untukmu?” setelah berkata demikian, tiba-tiba Ang-bin Ciu-kwi menyemburkan arak dari mulutnya ke arah Tio Sun dan Kwi Beng. Tio Sun cepat menyampok dengan lengan bajunya sehingga arak yang menyambarnya tertangkis dan membuyar, akan tetapi Kwi Beng yang menganggap ringan semburan arak itu menghindar dan masih kecipratan arak lehernya, terasa panas dan sakit seperti jarum. Hal ini membuat dia marah dan sekali, tangan kirinya bergerak, nampak sinar kilat berkelebat dan sebatang pisau terbang menyambar ke arah leher Ang-bin Ciu-kwi.

“Tranggg!” Pisau itu tertangkis guci dan menancap di atas tanah. Ang-bin Ciu-kwi menggereng, akan tetapi Bouw Thaisu cepat berkata, “Ciu-kwi, tahan dulu, jangan engkau menurutkan nafsumu, kita belum tahu siapa yang datang!”

Ang-bin Ciu-kwi mendengar dan kembali minum arak dari gucinya, sedangkan Coa-tok Sian-li sudah berdiri bengong memandang kepada Kwi Beng karena wanita cabul ini sudah terbangkit nafsu berahinya ketika dia melihat seorang pemuda yang bermata kebiruan dan berambut kuning keemasan itu!

“Orang muda, kalian siapakah dan apa maksud kalian datang ke Lembah Naga?” Bouw Thaisu bertanya dengan sikapnya yang memang halus.

Tio Sun melangkah maju dan menjawab. Dia maklum bahwa menghadapi orang-orang pandai ini, biarpun mereka itu agaknya merupakan sekutu fihak lawan, tidak ada gunanya lagi untuk membohong dan sebaiknya bersikap gagah dan terang-terangan. “Saya bernama Tio Sun, dan sahabatku ini adalah Souw Kwi Beng. Kami berdua sengaja datang ke Lembah Naga, untuk mencari keterangan tentang nona Yap In Hong yang kabarnya dibawa oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li ke Lembah Naga.”

“Hemm, sungguh kalian ini orang-orang muda yang bernyali besar!” Bouw Thaisu berseru kagum juga. “Apakah kalian ini utusan kaisar?”

“Bukan, akan tetapi kami adalah sahabat nona Yap In Hong. Dan biarpun kami bukan langsung menjadi utusan kaisar, namun saya adalah putera dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas pengawal kepercayaan mendiang Panglima Besar The Hoo, dan sahabat saya ini bahkan masih terhitung cucu murid dari mendiang Panglima The Hoo. Oleh karena itu...”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring disusul suara seorang kakek, “Bagus sekali! Thaisu, Siankouw, tangkaplah mereka hidup-hidup! Mereka adalah keturunan musuh-musuh kami!”

Tio Sun dan Kwi Beng terkejut karena biarpun mereka mendengar jelas suara kakek itu, namun mereka tidak melihat orangnya. Tio Sun maklum bahwa tentu kakek itu seorang sakti yang mengirim suara dari jauh dan agaknya juga memiliki pendengaran sakti sehingga mampu mendengarkan percakapan itu dari jauh pula. Akan tetapi dia dan Kwi Beng tidak mempunyai kesempatan untuk banyak menduga lagi karena begitu mendengar suara itu, Bouw Thaisu telah menerjang Tio Sun sedangkan Hek I Siankouw telah menyerang Kwi Beng. Dua orang muda ini memang sudah siap menghadapi segala bahaya, maka begitu melihat kakek dan nenek itu bergerak menyerang, mereka cepat mengelak dan menandingi mereka.

“Dukkk!” Tio Sun terhuyung mundur sampai tiga langkah ketika lengannya beradu dengan lengan kakek tua itu yang terlindung lengan baju. Dia terkejut sekali. Tadi, karena sudah menduga bahwa penyerangnya itu tentu seorang kakek yang berilmu tinggi, pemuda ini telah mengerahkan tenaga Ban-kin-kang sekuatnya untuk menangkis. Akan tetapi ternyata ujung lengan baju kakek itu mengandung tenaga yang bukan main kuatnya sehingga dia tergetar dan terhuyung. Karena maklum bahwa lawannya ini seorang yang berilmu tinggi, Tio Sun tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang pecut yang sebenarnya adalah sabuknya sendiri di tangan kiri. Dengan sepasang senjata ini di tangan, dia menerjang maju, disambut oleh Bouw Thaisu dengan tenang dan kakek ini seperti biasa hanya mengandalkan kedua lengan bajunya sebagai senjata yang amat berbahaya.

Sementara itu, Kwi Beng yang dihadapi oleh Hek I Siankouw, dalam belasan jurus saja sudah terdesak hebat. Selisih tingkat kepandaian mereka jauh sekali sehingga biarpun Kwi Beng mengamuk, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, namun belum sampai dua puluh jurus saja, pedangnya terampas dan dia roboh tertotok. Setelah merobohkan Kwi Beng yang segera diringkus oleh Ang-bin Ciu-kwi, Hek I Siankouw lalu membantu Bouw Thaisu mengeroyok Tio Sun.

Tentu saja pemuda ini menjadi makin repot. Melawan Bouw Thaisu seorang saja dia sudah kalah lihai dan kalau dilanjutkan akhirnya dia tentu akan roboh, dan kini maju lagi Hek I Siankouw yang juga lebih lihai daripada dia. Pemuda perkasa ini melawan mati-matian, namun akhirnya, pedang hitam di tangan Hek I Siankouw membuat pedang di tangan Tio Sun terlepas, cambuknya dapat ditangkap oleh Bouw Thaisu dan sebuah tendangan yang secepat kilat dari Hek I Siankouw mengenai lututnya dan membuat dia roboh. Seperti juga Kwi Beng, Tio Sun ditubruk oleh banyak anak buah Lembah Naga dan diringkus.

Tubuh dua orang pemuda yang sudah diringkus kaki tangannya itu diseret ke dalam sebuah rumah besar dan dihadapkan kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memandang dengan mulut menyeringai girang. Dengan kasar, para anak buah Lembah Naga memaksa Tio Sun dan Kwi BW duduk di atas lantai menghadapi kakek dan nenek yang duduk di atas kursi itu.

“Benarkah engkau putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan pengawal kepercayaan The Hoo?” Pek-hiat Mo-ko bertanya kepada Tio Sun.

Pemuda ini mengangguk.

“Hemm, kenapa tidak ayahmu sendiri yang datang untuk menghadapi kami? Kenapa mengutus seorang pemuda yang masih hijau seperti engkau?” tanya pula Pek-hiat Mo-ko.

Tio Sun memandang dengan sikap tenang. “Pek-hiat Mo-ko, ayahku tidak tahu-menahu akan kedatanganku ke sini. Aku datang bersama sahabatku atas kehendak sendiri untuk menentangmu dan menuntut agar engkau membebaskan nona Yap In Hong.”

“Ha-ha-ha, nyalimu besar sekali. Engkau sudah tahu siapa aku?”

“Tentu saja aku tahu. Ketika engkau bersama Hek-hiat Mo-li bertempur dengan ketua Cin-ling-pai, aku melihat kalian.”



Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li yang sejak tadi memandang kepada Kwi Beng, menghardik kepada pemuda itu. “Kau bukan orang Han! Engkau orang asing dari barat! Bagaimana engkau berani mengaku tadi bahwa engkau cucu murid The Hoo?”

Kwi Beng balas memandang dengan mata melotot, “Nenek gila! Dengarlah baik-baik. Ibuku adalah pendekar wanita Souw Li Hwa, murid dari mendiang Panglima The Hoo, sedangkan ayah adalah seorang Portugis. Aku datang untuk menuntut kepada kalian agar membebaskan nona Yap In Hong!”

“Heh-heh-heh-hi-hik!” Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh dan mata kananya bersinar-sinar aneh. “Bawa mereka ke lapangan dan ikat di kayu tonggak agar menjadi makanan burung nazar, heh-heh-heh!”

“Benar! Bawa mereka kcluar. Terserah nasib mereka. Kalau nasib baik, tentu orang-orang yang lebih penting datang untuk menolong mereka dan menghadapi kita, kalau nasib buruk, biar mereka dicabik-cabik burung-burung nazar!” kata Pek-hiat Mo-ko dan para anak buah Lembah Naga lalu menyeret Tio Sun dan Kwi Beng keluar dari tempat itu, dibawa ke lapangan dan mereka segera sibuk membuat tonggak kayu salib dan mengikat mereka berdua di tonggak kayu itu. Kemudian mereka meninggalkan Tio Sun dan Kwi Beng berdua di tempat itu, tertimpa panas sinar matahari tanpa terlindung apapun.

Kedua orang pemuda itu berusaha untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi Tio Sun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin mereka dapat lolos. Melihat betapa Kwi Beng meronta-ronta dengan beringas dan nampak darah di pergelangan tangan dan kaki pemuda itu karena kulitnya pecah-pecah ketika dia meronta-ronta dengan kuat, Tio Sun berkata, “Tenanglah, Beng-te. Tali untuk mengikat kaki tangan kita ini adalah tali kulit kerbau yang kuat sekali dan tidak mungkin dapat kita patahkan begitu saja. Tidak baik membuang-buang tenaga dan tidak baik kalau sampai darah kita keluar karena hal itu akan menarik perhatian burung-buruhg di sana-sini.”

Kwi Beng mengikuti pandang mata Tio Sun dan dia melihat beberapa ekor burung yang besar bertengger di atas sebatang pohon dan ada beberapa ekor lagi yang beterbangan di sekitar tempat itu. Itulah burung-burung nazar, burung-burung pemakan bangkai yang liar dan buas!

Wajah Kwi Beng menjadi pucat karena dia merasa ngeri. Melihat ini, Tio Sun bertanya, hatinya penuh iba. “Engkau takut, Beng-te?”

Kwi Beng memandang kepadanya, lalu mengangguk.

“Tidak aneh, akupun merasa ngeri melihat burung-burung itu. Akan tetapi janggan khawatir, burung-burung yang kelihatan menyeramkan itu sebetulnya adalah binatang-binatang yang penakut dan mereka tidak akan menyerang sesuatu yang hidup. Hanya kalau kita sudah mati saja mereka berani menyerang. Dan kurasa kita tidak akan mudah mati begitu saja. Pula, orang-orang seperti kita, mana takut mati? Hanya sayangnya, kita belum menyampaikan rahasia mereka itu kepada Cia-taihiap atau nona Yap.”

Kwi Beng kelihatan termenung, tidak lagi memperdulikan burung-burung itu. “Ah, bagaimana dengan dia? Jangan-jangan dia telah mereka bunuh...”

“Nona Yap? Kiranya tidak mungkin. Kalau mereka itu hendak membunuh nona Yap In Hong, perlu apa mereka susah payah menculik dan membawanya ke tempat sejauh ini. Tentu ada maksudnya, dan kurasa kakek dan nenek gila itu tentu menangkap dan menculiknya untuk dipakai sebagai umpan untuk memancing datangnya orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh, seperti Cia-locianpwe ketua Cin-ling-pai dan lain-lain.”

Mereka kini tidak bercakap-cakap lagi dan terik matahari mulai menyengati kulit tubuh mereka. Peluh mulai mengalir keluar. Akan tetapi kini Kwi Beng bersikap tenang saja. Dia merasa malu untuk memperlihatkan kelemahannya. Tidak, dia tidak akan mengeluh dan akan menghadapi kematian dengan gagah kalau perlu. Memang sudah disengaja untuk datang ke tempat berbahaya ini, untuk berusaha menolong In Hong dengan taruhan nyawa. In Hong! Dara yang telah membetot semangatnya, merampas hatinya, dara yang dicintanya, akan tetapi... bagaimana kalau gadis itu tidak membalas cinta kasihnya? Membayangkan hal ini rasanya jauh lebih menyiksa daripada keadaan jasmaninya yang terbelenggu di atas tonggak kayu dan disengati panas matahari ini. Dia melirik ke arah Tio Sun. Pemuda tinggi kurus itu memejamkan mata, seperti orang dalam samadhi.

Kwi Beng merasa gelisah sekali. Membayangkan betapa gadis cantik jelita dan perkasa itu, yang dicintanya dan membuatnya tergila-gila, sama sekali tidak memperdulikan dia, apalagi membalas cintanya, membuat dia merasa tidak tenang. Akhirnya, kegelisahan hati itu tidak dapat ditahannya lebih lama lagi karena perasaan itu mendorong keluarnya keringat lebih banyak lagi. Keringat yang memenuhi dahinya dan tidak dapat dihapusnya sehingga kini keringatnya mulai mengalir turun dan ada yang memasuki matanya. Pedih rasanya.

“Tio-twako...!”

Tio Sun membuka matanya, menoleh dan dia mengerutkan alianya ketika melihat dua mata Kwi Beng basah.

“Eh, kau menangis, Beng-te?” tanyanya kaget dan kecewa karena tak disangkanya pemuda itu demikian lemah dan cengeng.

“Tidak, twako, jangan salah kira. Keringat memasuki mataku...”

Tio Sun menarik napas lega dan tersenyum. “Maafkan aku, Beng-te, hampir aku lupa bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersemangat pendekar sejati.”

“Twako, aku menderita sekali...”

Tio Sun yang tadi sudah memejamkan mata kembali, kini membukanya dan untuk kedua kalinya dia menoleh, memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian dan keheranan. “Aku mengerti, Beng-te, akupun menderita. Siapa yang tidak menderita dalam keadaan seperti kita ini?”

“Bukan itu maksudku, twako. Belenggu dan panas ini tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang timbul dari keraguan di hatiku.”

“Maksudmu?”

“Aku merasa ragu-ragu, twako, apakah nona Yap In Hong yang kurindukan dan kucinta itu dapat membalas cintaku dan keraguan inilah yang menimbulkan kegelisahanku, twako.”

Tio Sun mengerutkan alisnya. Terbayanglah dia akan semua peristiwa yang dialaminya bersama pendekar muda Cia Bun Houw dan makin menebal dugaannya bahwa besar sekali kemungkinannya bahwa In Hong mencinta Bun Houw! Seperti juga Kwi Eng mencinta Bun Houw! Diam-diam dia mengeluh di dalam hati melihat persamaan nasib antara dia dan Kwi Beng.

“Mudah-mudahan dia membalas cintamu, adikku. Mudah-mudahan kau tidak bernasib seperti aku...”

“Eh? Kau, twako? Kau juga mencinta seorang gadis yang tidak dapat membalas cintamu, benarkah?”

Tio Sun mengangguk. Kwi Beng mengingat-ingat, menatap wajah yang kini kembali telah memejamkan matanya dan tiba-tiba pemuda ini teringat. Sikap Tio Sun terhadap saudara kembarnya! Pandang mata pemuda ini kepada Kwi Eng, caranya bicara, dan dia melihat betapa Tio Sun seperti orang disambar petir dan seperti orang sakit ketika mendengar Kwi Eng telah bertunangan dengan Cia Bun Houw! Ah, mengapa dia begitu bodoh dan tidak melihat kenyataan itu?



“Twako... maafkan aku, apakah... dia... Kwi Eng?”

Tio Sun merapatkan bibirnya, membuka mata dan mengangguk.

“Ah, maaf, twako... sungguh kasihan kau...” Kwi Beng berkata dengan hati terharu.

Akan tetapi Tio Sun telah depat menguasai keadaan batinnya kembali. Dia menoleh, memandang kepada Kwi Beng dan tersenyum. “Kuharapkan engkau tidak akan mengalami seperti aku, Beng-te. Akan tetapi andaikata begitu, andaikata nona Yap telah mencinta orang lain dan terpaksa tidak dapat membalas perasaan hatimu, engkau harus dapat melihat kenyataan, seperti aku. Cinta bukanlah berarti kesenangan bagi diri sendiri belaka! Cinta sejati menimbulkan perasaan ingin melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang kita cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau orang yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita harus dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang kita cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin memperoleh kesenangan darinya? Tidak, Beng-te, cinta yang hanya mementingkan diri sendiri adalah picik dan curang, karena itu aku rela melihat dia memilih orang lain, demi kebahagiannya.”

Kwi Beng memandang dengan mata terbelalak, kadang-kadang dikejapkan untuk mengusir air di dalam matanya, kini bukan hanya air karena keringat memasuki mata, melainkan bercampur pula dengan air mata keharuan.

“Twako... kau sungguh seorang laki-laki yang jantan dan bijaksana. Kalau saja... Kwi Eng belum bertunangan dengan Cia-taihiap, aku akan merasa bangga sekali mempunyai seorang ipar seperti engkau, Tio-twako.”

“Terima kasih, Beng-te.”

Mereka tidak bercakap-cakap lagi sekarang. Matahari makin panas karena makin mendekati kepala mereka. Burung-burung pemakan bangkai itu kadang-kadang terbang mengelilingi udara di atas kepala mereka, seolah-olah mereka itu hendak memeriksa apakah belum tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati hidangan daging-daging segar itu! Kemudian mereka terbang kembali ke atas pohon, hinggap di atas cabang dan ranting pohon sampai mentul-mentul menahan berat tubuh mereka dan burung-burung yang baru saja melakukan pengintaian ini mengeluarkan suara seolah-olah memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa saatnya belum tiba! Kwi Beng bergidik menyaksikan semua ini, yang diikuti oleh pandang matanya dan seolah-olah dia dapat mengerti maksud burung-burung itu. Tiba-tiba, pandang mata Kwi Beng tertuju ke depan.

“Twako... lihat...” Dia berbisik.

“Sstttt...!” Bisik Tio Sun kembali dan ternyata pendekar inipun sudah membuka matanya yang sipit, memandang ke arah dua bayangan yang bergerak cepat datang ke arah mereka, lalu bayangan itu memasuki lapangan dan lari menghampiri mereka. Kiranya mereka itu adalah dua orang anak-anak yang seorang perempuan, yang seorang lagi laki-laki. Yang perempuan sudah remaja, berusia lima belas tahun dan yang laki-laki lebih kecil, berusia tiga belas tahun. Mereka ini bukan lain adalah Mei Lan dan Lie Seng!

Seperti kita ketahui, dua orang anak remaja ini diam-diam membayangi Tio Sun dan Kwi Beng dari jauh dan mereka terkejut sekali ketika melihat Tio Sun dan Kwi Beng dikepung lalu ditangkap. Mereka tidak berani memperlihatkan diri dan bersembunyi di dalam rumpun ilalang. Akhirnya mereka melihat Tio Sun dan Kwi Beng diikat di tonggak salib itu dan karena tidak tega menyaksikan mereka, akhirnya Mei Lan dan Lie Seng memberanikan hati datang dengan niat menolong mereka.

Ketika mengenal dua orang bocah yang pernah mereka jumpai, bocah-bocah yang berada bersama dua orang kakek yang memiliki kesaktian hebat, timbul harapan di hati Tio Sun. Kiranya dua orang anak ini bukanlah anak Lembah Naga, dengan demikian berarti dua orang kakek itupun bukan orang Lembah Naga! Betapabun juga, yang datang hanya dua orang bocah yang tidak mungkin akan dapat melawan orang-orang Lembah Naga. Bocah-bocah ini memang lihai, akan tetapi dia sendiri sudah melihat tingkat mereka yang masih mentah.

Karena itu, Tio Sun cepat berbisik kepada Mei Lan. “Nona, kau lekas tinggalkan kami... harap kaubantu kami menyelundup ke dalam... dan kaucari nona Yap In Hong dan Cia Bun Houw taihiap yang tertawan di dalam... katakan... bahwa kelemahan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li berada di bagian lutut ke bawah. Cepat...!”

Mei Lan adalah seorang anak yang cerdas sekali. Melihat sikap sungguh-sungguh dari Tio Sun, dia dapat menduga bahwa tentu pesan itu amat penting. Apalagi dia mendengar nama Yap In Hong. Itulah nama bibinya, adik dari ayahnya! Bibinya itu tertawan di sini? Dia mengangguk dan cepat pergi dari situ, lari dengan cepat sekali ke arah yang diisyaratkan oleh kepala dan pandang mata Tio Sun, yaitu ke arah perkampungan Lembah Naga. Sedangkan Lie Seng melanjutkan usahanya untuk melepaskan belenggu dari kedua lengan Kwi Beng. Namun, tidak
mudah bagi pemuda cilik ini untuk melepaskan belenggu yang demikian kokoh kuatnya. Dan pada saat itu terdengar suara bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang anak buah Lembah Naga Yang memang bertugas menjaga “umpan” itu agar jangan lolos dan juga agar kalau ada orang luar datang mereka dapat cepat melapor.

“Tangkap bocah itu!”

“Kejar yang perempuan! Dia lari ke dalam...!”

Lie Seng yang diserbu oleh dua orang itu cepat meloncat dan menerjang mereka dengan keberanian yang mengagumkan. Seorang anak buah Lembah Naga kena dihantam mukanya dan ditendang pusarnya sehingga orang itu terjengkang dan mengaduh-aduh, akan tetapi empat orang kini sudah datang menubruk dan meringkusnya!

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li marah mendengar bahwa yang berhasil “dipancing” hanya dua orang bocah-bocah bahkan yang perempuan dapat melenyapkan diri dan belum tertangkap. Mereka mengharapkan mendapat kakap dengan umpan pancing itu, kiranya yang mereka tangkap hanya teri! “Ikat bocah itu bersama mereka di lapangan, biar dimakan burung nazar!” bentak Pek-hiat Mo-ko sebal. Karena memandang rendah kepada anak-anak, dia sampai tidak memeriksa labih jauh dan tidak tahu bahwa anak laki-laki yang kelihatan sama sekali tidak takut itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai!

Tio Sun dan Kwi Beng memandang kagum ketika melihat betapa anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak kelihatan takut, ketika dengan kasaran anak buah Lembah Naga mengikat dia pada tonggak kayu ketiga di dekat mereka. Sinar mata anak laki-laki itu penuh dengan keberanian!

Setelah para anak buah Lembah Naga pergi meninggalkan lapangan terbuka yang panas itu, burung-burung nazar kembali beterbangan mengelilingi mereka sambil mengeluarkan bunyi, seolah-olah bergembira melihat jatah makanan mereka bertambah dengan seorang anak yang tentu dagingnya lebih lunak lagi! Ketika ada seekor burung nazar mendekati kepala Lie Seng, anak itu membentak dan meludah.

“Phuhhh! Burung keparat, kupatahkan batang lehermu nenti!” Burung itu terkejut dan Kwi Beng tersenyum. Burung itu buruk sekali, kepalanya botak, juga leher yang panjang itu sudah mulai rontok bulunya maka tentu mudah dan enak untuk memutar dan mematahkan batang leher itu.



“Eh, adik kecil. Kau tidak takut?”

Lie Seng menoleh ke arah Kwi Beng, mulutnya membayangkan kekerasan dan keberanian yang wajar. “Takut? Takut apa?”

“Takut kepada burung-burung itu, takut kepada kematian.”

“Huh, siapa takut burung-burung setan seperti itu? Dan kematian? Apakah itu maka perlu ditakuti?” Lie Seng mengeluarkan ucapan yang sering dia dengar keluar dari mulut Kok Beng Lama, maka mendengar ini, bukan hanya Kwi Beng yang terkejut, akan tetapi juga Tio Sun memandang dengan sinar mata keheranan.

“Adik kecil, siapakah namamu dan mengapa engkau dan adik perempuan tadi menolong kami?”

“Aku she Lie, bernama Seng. Aku tidak sengaja menolong kalian, hanya tadi aku dan Mei Lan cici sengaja membayangi kalian karena curiga melihat sikap kalian. Melihat kalian ditangkap dan diikat di sini, kami berdua lalu berusaha membebaskan, akan tetapi sial, aku tertangkap pula.”

Bocah ini memiliki watak yang berani dan keras, pikir Tio Sun. Bicaranya singkat den padat.

“Apakah anak perempuan tadi kakakmu? Ataukah kakak seperguruanmu?” tanyanya.

“Bukan. Akupun baru saja kenal dengan enci Mei Lan. Guru-guru kami sedang saling bertanding catur, maka kami berdua keisengan dan membayangi kalian.”

“Adik Lie Seng, kami berterima kasih sekali atas usaha kalian menolong kami. Akan tetapi, ternyata engkau tertawan pula. Sungguh kami menyesal...”

“Bukan salah kalian. Tak perlu disesalkan.”

Tio Sun kembali tertegun. “Kau tidak menyesal? Tidak khawatir? Apakah engkau mengandalkan gurumu yang sakti untuk menyelamatkanmu?”

Lie Seng menjawab singkat, “Kalau suhu tahu, tentu aku diselamatkan. Andaikata tidak tahu dan aku akan mati, apa bedanya?”

Tentu saja Tio Sun den Kwi Beng terbelalak mendengar ucapan dan melihat sikap bocah itu.

“Adik kecil, engkau luar biasa! Maukah engkau menceritakan, siapa orang tuamu dan engkau datang dari kcluarga mana?” Tio Sun mendesak karena dia sudah merasa amat tertarik.

Lie Seng memandang kepada mereka berdua bergantian. Bukan wataknya untuk menceritakan keadaan keluarga, apalagi menyombongkan nama keluarganya. Akan tetapi dia melihat bahwa dua orang yang terikat seperti dia itu bersikap gagah, maka dia menjawab singkat. “Yang kalian sebut Cia Bun Houw taihiap tadi adalah pamanku, dialah adik ibuku.”

“Ohhh...!” Seruan ini keluar dari mulut Tio Sun dan Kwi Beng hampir berbareng karena mereka sungguh tidak pernah menduga bahwa anak ini adalah keponakan dari Bun Houw atau cucu dari ketua Cin-ling-pai!


***


Berbeda dengan Tio Sun dan Kwi Beng yang kebetulan bertemu dengan Si Kwi sehingga mereka berdua memperoleh petunjuk dari Si Kwi tentang jalan memasuki Lembah Naga yang amat berbahaya itu, Kun Liong dan Giok Keng tidak mengenal jalan. Oleh karena itu, tanpa mereka sadari, mereka memasuki Padang Bangkai melalui jalan liar yang amat berbahaya, penuh dengan jebakan-jebakan alam yang mengerikan!

Kedua orang ini, terutama sekali Yap Kun Liong, adalah pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi dan telah seringkali dalam kehidupan mereka, keduanya berhasil menanggulangi berbagai macam bahaya yang menghadang di jalan kehidupan mereka. Akan tetapi, begitu mereka memasuki daerah Padang Bangkai, mereka menjadi bingung juga. Beberapa kali mereka tersesat dan tak tahu jalan sama sekali ketika mereka memasuki daerah rumpun ilalang yang merupekan padang ilalang yang seperti lautan, yang seolah-olah tidak ada batasnya dan lorong yang kecil dan merupakan jalan setapak itu membawa mereka tersesat dan berkali-kali kembeli ke lorong yang sama!

“Ini tentu merupakan jalan rahasia yang menyesatkan,” akhirnya Giok Keng berkata karena sudah kehabisan kesabaran. “Suheng, lebih baik kita memotong jalan, menerobos ilalang saja!”

Sambil berkata demikian, pendekar wanita itu mulai memasuki rumpun ilalang yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya.

“Ihhhh...!” Tiba-tiba dia menjerit ketika melihat seekor ular menyambarnya dari kanan. Cepat dia menggerakkan kaki dan menginjak kepala ular itu. Tubuh ular membelit-belit kaki pendekar wanita itu, akan tetapi kepalanya remuk dan belitannyapun mengendur. Kemudian terdengar suara berkeresakan gaduh dan banyak sekali ular-ular berbisa datang menyerang mereka dari empat jurusan! Giok Keng menjadi marah, pedangnya berkelebatan dan banyak ular-ular yang putus menjadi beberapa potong disambar sinar pedangnya.

“Sumoi, kita pergi menjauhi tempat ini!” kata Kun Liong. Biarpun mereka tidak usah takut akan serangan ular-ular itu, namun hawa yang beracun di sekitar tempat itu dapat membahayakan juga.



Akhirnya mereka dapat juga keluar dari padang ilalang dan legalah hati mereka melihat padang rumput kehijauan yang luas membentang di depan mereka. Menyenangkan sekali melihat padang rumput yang terbuka ini setelah tadi tersesat dan berkeliaran sampai lama di antara ilalang yang tinggi sehingga pandang mata mereka terhalang.

“Aihhh... indah sekali!” Giok Keng menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya karena di tempat terbuka seperti itu tidak perlu lagi mempersiapkan pedang di tangan. “Kita dapat melakukan perjalanan cepat kalau begini,” katanya sambil melompat ke depan, ke atas tanah yang tertutup rumput hijau segar.

“Clupp... aihhh...! Suheng...!” Giok Keng menjerit karena dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika kedua kakinya yang meloncat tadi mendarat di tempat yang lunak dan sekaligus tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur yang amat lunak dan lembek. Betapapun dia sudah mengerahkan gin-kangnya, namun tetap saja kedua kakinya sudah tersedot oleh lumpur itu sehingga tubuhnya tenggelam sampai ke pinggang!

“Tahan...! Jangan bergerak! Sumoi, perhatikan, jangan bergerak sedikitpun juga!” Kun Liong berteriak keras dengan wajah pucat. Dia maklum akan bahayanya tempat seperti ini dan dia tidak mau sembrono untuk meloncat mendekati wanita itu karena hal itu berarti dia akan terjeblos pula. “Pertahankan, jangan bergerak, sumoi, tunggu aku akan mengambil cabang yang panjang untuk menolongmu!”

Akan tetapi dia mendengar Giok Keng menjerit dengan suara tertahan, pendekar wanita itu menggigit bibir dan matanya terbelalak seperti menahan sakit, kemudian terdengar wanita itu berseru. “Tidak perlu, suheng... lekas tolong... kausambut ini...!” tangan Giok Keng sudah bergerak menanggalkan sabuknya yang berwarna merah muda, sabuk yang selalu dilibatkan di pinggang karena benda ini merupakan senjatanya yang ampuh. Begitu dia menggerakkan tangan, sabuk itu meluncur ke depan dan ujungnya ditangkap oleh Kun Liong.

“Pegang kuat-kuat, sumoi!” kata Kun Liong dan pendekar ini mulai mengerahkan tangannya untuk menarik Giok Keng keluar dari dalam lumpur maut itu.

Biarpun agak susah payah dan hati-hati sekali agar sabuk merah itu tidak putus, akhirnya Giok Keng dapat ditarik keluar dari dalam lumpur dan begitu tiba di atas tanah yang keras, Giok Keng mengeluh. “Aduhhh... suheng... ada binatang-binatang menggigiti aku...!” Dia cepat menyentuh kakinya dan ketika melihat seekor lintah menempel di betisnya, wanita itu menjerit saking jijiknya dan tanpa ingat apa-apa lagi, dibantu oleh Kun Liong, Giok Keng menanggalkan pakaiannya! Dan ternyata ada beberapa ekor lintah menempel di kulit tubuh yang putih mulus namun berlepotan lumpur itu!

Kun Liong membunuh lintah-lintah itu, kemudian memondong tubuh Giok Keng yang hampir pingsan saking ngeri den jijiknya, membawanya ke saluran air yang mengalir di tepi lorong dan menurunkan tubuh itu sehingga terendam air.

“Ahhh, suheng...!” Giok Keng torisak, kedua lengannya masih merangkul leher Kun Liong.

Sejenak mercka berada dalam keadaan seperti itu, saling rangkul dan masih tegang oleh peristiwa yang amat mengerikan itu. Dalam keadaan seperti itu, dua hati yang memang sejak dahulu saling tertarik namun tidak memperoleh kesempatan untuk bersatu, merasakan getaran aneh. Kun Liong maklum akan hal ini, maklum pula bahwa keadaan mereka yang ditinggal mati oleh teman hidup masing-masing memperkuat dorongan itu.

“Sumoi...”

“Suheng, aku cinta padamu, suheng... ah, baru sekarang aku merasakan hal itu...”

“Sumoi, akupun cinta padamu. Akan tetapi, sumoi, kita tidak boleh... dan cinta bukan hanya hubungan antara jasmani belaka. Dapatkah kau merasakan itu, sumoi? Kita saling mencinta, dan justeru cinta kita yang menyadarkan kita bahwa hubungan jasmani antara kita akan merupakan perbuatan yang dikutuk oleh umum, yang melanggar kesusilaan, yang dianggap kotor dan rendah. Aku tidak ingin melihat engkau dianggap rendah, sumoi, dan engkaupun tentu begitu pula, kalau memang engkau cinta padaku...”

“Suheng, aku cinta padamu... buken untuk itu saja... oohhh...” Tubuh itu menjadi lemas dan Giok Keng roboh pingsan.

Kun Liong terkejut sekali. Cepat dia mebersihkan semua lumpur yang menempel di tubuh Giok Keng, kemudian mengangkat tubuh itu keluar dari air, merebahkannya di atas alang-alang kering dan menyelimutinya dengan baju luarnya yang dia tanggalkan. Setelah memeriksa dengan cepat, dia memperoleh kenyataan bahwa Giok Keng keracunan, sungguhpun tidak berapa hebat racun itu, namun ditambah dengan kengerian hebat tadi, agaknya membuat wanita itu roboh pingan.

Kun Liong cepat meneuci pakaian Giok Keng yang berlumpur, memeras airnya dan beberapa kali dia menggerakkan pakaian itu dengan cepat sehingga pakaian itu berkibar dan sebentar saja mengering, kemudian dia mengenakan kembali pakaian itu ke tubuh Giok Keng yang masih pingsan.

Dibantu oleh hawa murni yang mengalir dari telapak tangan Kun Liong, sebentar saja hawa beracun dari gigitan lintah-lintah tadi telah lenyap dan Giok Keng mengeluh, lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk. Ketika dia melihat bahwa tubuhnya telah memakai pakaiannya, dia menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan penuh rasa haru dan terima kasih.

Akan tetapi kedua pipinya berobah merah sekali ketika dia teringat akan keadaannya tadi.



“Syukur engkau tidak apa-apa, sumoi,” kata Kun Liong.

Giok Keng menarik napas panjang, “Sungguh berbahaya... terima kasih atas pertolonganmu dan atas... atas segala-galanya yang telah kaulakukan untukku, suheng.”

Kun Liong tersenyum, memegang tangan wanita itu dan menariknya berdiri sambil tersenyum dan berkata, “Masih perlukah lagi sikap sungkan-sungkan dan kata-kata tentang budi dan pertolongan di antara kita, sumoi?”

Dengan saling berpegangan tangan, mereka diam tak bergerak, saling pandang dan sadar, mata mereka seolah-olah menyorot sampai ke lubuk hati masing-masing, mendatangkan perasaan hangat dan bahagia.

“Mari kita lanjutkan perjalanan ini, sumoi.”

“Baik, suheng. Dan kita harus berhati-hati sekali. Tempat ini ternyata amat berbahaya.”

Keduanya lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan. Mereka saling berpegang tangan bukan untuk menurutkan kemesraan hati, melainkan agar dapat saling menolong dengan secepat mungkin kalau ada bahaya menyerang mereka. Andaikata tadi mereka saling bergandengan ketika kaki Giok Keng terjeblos, tentu Kun Liong dapat seketika menolongnya.

Berkat ilmu mereka yang tinggi dan sikap mereka yang amat hati-hati, akhirnya kedua orang pendekar ini dapat melampaui Padang Bangkai, memasuki perkampungan, menyeberangi jembatan dan melanjutkan perjalanan mereka ke daerah Lembah Naga. Kedua orang itu kini merasakan sesuatu yang amat mendalam di antara mereka, perasaan kasih sayang yang jauh lebih tinggi dan lebih murni daripada perasaan cinta yang hanya menuntut pemuasan nafsu berahi semata. Lebih mirip cinta antara sahabat yang tanpa pamrih memuaskan hasrat nafsu pribadi, bersih daripada keinginan untuk disenangkan, bahkan ingin membuat orang yang dicinta itu selalu bahagia dan gembira, perasaan yang timbul dari belas kasihan dan penyesalan atas kesalahan diri sendiri.

Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba di daerah Lembah Naga. Tiba-tiba Giok Keng menahan seruannya den menunjuk ke depan, ke arah titik-titik hitam yang bergerak den beterbangan di atas sebatang pohon.

Kun Liong juga memandang dan berkata, “Agaknya itu adalah burung-burung rajawali...”

“Bukan, suheng. Burung rejawali lebih besar, seperti burung elang.”

Mereka mempercepat langkah mereka menuju ke lembah di depan dan kini mereka dapat melihat dengan lebih jelas.

“Ah, buKung nazar, burung pemakan bangkai!” kata Kun Liong.

“Mari kita ke sana, suheng. Menurut cerita, burung seperti itu tidak akan beterbangan lagi kalau di sana terdapat bangkai. Mereka hanya beterbangan menanti kalau di bawah terdapat mahluk yang mereka harapkan akan mati tak lama lagi.”

“Mari, sumoi. Tempat ini memang menyeramkan dan segala hal bisa saja terjadi!”

Mereka kini menggunakan kepandaian untuk mendaki tempat itu, namun masih tetap waspada dan hati-hati sekali. Dari jauh mereka melihat tiga orang yang terikat di tonggak kayu di tengah lapangan terbuka itu.

“Ah, benar saja ada orang-orang disiksa di sana dan burung-burung itu menanti mereka mati,” kata Kun Liong.

Mereka cepat memasuki lapangan. Dari jauh terlihat oleh mereka dua orang laki-laki dewasa dan seorang anak laki-laki terikat di tonggak kayu salib masing-masing dalam keadaan lemah dan hampir pingsan dan sudah ada dua ekor burung nazar dengan berani hinggap di atas kayu salib di mana bocah itu terikat.

Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit. Wanita ini menyambar dua buah batu kerikil dan sekali tangannya bergerak, dua ekor burung nazar yang hinggap di atas kayu salib itu memekik, bergerak terbang ke atas akan tetapi tak lama kemudian jatuh ke atas tanah, berkelojotan mandi darah karena mereka telah menjadi korban sambitan batu kerikil yang dilakukan oleh Giok Keng dengan penuh kemarahan itu.

“Seng-ji...!” teriak Giok Keng sambil berlari dan menahan isak tangisnya melihat bahwa anak itu bukan lain adalah puteranya!

“Ibu...!” Lie Seng juga berteriak girang.

“Sumoi, nanti dulu...!” Kun Liong berseru akan tetapi Giok Keng yang sudah tidak dapat menahan perasaannya melihat puteranya diikat di tonggak kayu salib itu sudah meloncat ke dalam lapangan dan lari menghampiri. Terpaksa Kun Liong juga melompat dengan cepat sekali untuk melindungi Giok Keng dan pada saat itu, dari empat penjuru menyambar anak panah yang banyak sekali ke arah tubuh Giok Keng!

Wanita itu tentu saja tahu akan datangnya bahaya, dan dia sudah cepat mencabuh Gin-hwa-kiam dan memutar pedang melindungi tubuhnya. Baiknya Kun Liong sudah tiba di sampingnya dan pendekar ini juga sudah meruntuhkan banyak anak panah dengan kebutan kedua tangannya. Bermunculan banyak sekali orang mengepung mereka sehingga Giok Keng tidak sempat lagi menolong puteranya karena antara dia dan tempat di mana Lie Seng terikat sudah dihadang oleh banyak orang,

Ketika Kun Liong memandang, dia melihat banyak orang banyak itu dipimpin oleh Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, dan dua orang lain yang dikenalnya. Mereka itu adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li. Anak buah Lembang Naga yang mengurung tempat itu tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya!



Giok Keng tidak mau membuang waktu lagi. Dia sudah menggerakkan pedang dan sabuk merahnya, menerjang mereka yang menghadangnya untuk membuka jalan darah agar dia dapat membebaskan puteranya, akan tetapi, Hek I Siankouw sudah menghadangnya dan nenek ini menyambut amukan puteri ketua Cin-ling-pai itu dengan pedang hitamnya. Kun Liong juga menerjang maju untuk melindungi Giok Keng, akan tetapi diapun disambut oleh Bouw Thaisu yang sudah menyerangnya dengan kedua ujung lengan bajunya. Karena pendekar ini maklum bahwa mereka memang telah dinanti-nanti oleh fihak musuh dan bahwa fihak musuh amat banyak dan lihai, maka begitu bergerak dia sudah menggunakan gerakan-gerakan dari ilmu mujijat yang didapatnya dari kitab Keng-lun Tai-pun sehingga dalam beberapa gebrakan saja, Bouw Thaisu yang amat tinggi kepandaiannya itu terpaksa banyak meloncat mundur dan mengeluarkan seruan kaget sekali. Kun Liong tidak perduli dan terus mendesak, kini dia menampar dengan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) yang mujijat.

“Plak-plak-plak!” Tiga kali mereka bertemu tangan dan Bouw Thaisu terhuyung ke belakang.

“Ahhh...!” Kakek itu berseru dengan muka pucat. Jantungnya tergetar hebat ketika tangannya beradu dengan tangan pendekar itu. Akan tetapi diapun merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia menubruk ke depan, kedua tangannya menyerang ke arah ulu hati dan pelipis, serangan yang amat hebat dan mematikan.

“Plakk!” Kun Liong mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis dari samping dan berbareng dia mengerahkan Ilmu Thi-khi-i-beng.

“Aughhhh... lepaskan...!” Bouw Thaisu berseru keras ketika merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya membanjir keluar, tersedot melalui tangannya yang menempel pada lengan lawan. Betapapun dia berusaha menarik tangannya, tetap saja tangannya itu menempel pada lengan lawan dan tenaga murni terus membanjir keluar.

“Wuuttt... pyarrr...!” Terpaksa Kun Liong melepaskan Bouw Thaisu guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi mengancam kepalanya dan dari mulut guci itu menyembur keluar arak merah yang mengancam kedua matanya. Bouw Thaisu terhuyung dan mukanva agak pucat. Dengan marah kakek itu menyerang dengan ujung lengan bajunya, membantu Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah menyerang Kun Liong, karena dia maklum bahwa pendekar ini lihai bukan main.

Sementara itu, Giok Keng yang dilawan oleh Hek I Siankouw yang dibantu oleh banyak anak buah Lembah Naga, juga terdesak hebat. Namun, mengingat bahwa puteranya diikat di kayu salib dan terancam kematian yang mengerikan, pendekar wanita ini menjadi marah dan gerakannya menjadi berbahaya sekali, seperti seekor harimau betina diganggu anaknya. Juga Kun Liong, biarpun dikeroyok banyak sekali orang, karena mengkhawatirkan keselamatan Giok Keng, Lie Seng, Tio Sun dan Kwi Beng yang sudah dikenalnya, mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga dia mengamuk seperti seekor naga sakti.

“Ayah...!” tiba-tiba sesosok bayangan yang gerakannya gesit sekali berkelebat memasuki medan pertempuran dan kepalan tangannya yang kecil merobohkan seorang anak buah Lembah Naga ketika dia meloncat ke dekat Kun Liong.

“Mei Lan...!” Tentu saja Kun Liong terkejut bukan main dan juga girang bercampur khawatir melihat anaknya yang sudah lama dicari-carinya itu. Terkejut karena tidak menyangka akan bertemu dengan puterinya di tempat itu, girang mendapat kenyataan bahwa puterinya masih hidup dalam keadaan sehat dan khawatir karena dia tahu betapa bahayanya tempat itu.

Mei Lan ikut mengamuk membantu ayahnya dan anak yang cerdik ini tentu saja hanya menyerang anak buah Lembah Naga, tidak berani mendekati Bouw Thaisu, Ang-bin Ciu-kwi, atau Coa-tok Sian-li. Tentu saja di dalam hatinya, Kun Liong ingin sekali membawa puterinya ke tempat sunyi untuk diajak bicara untuk melepaskan rindunya, untuk bertanya ke mana saja perginya anak itu dan apa saja yang dialaminya. Akan tetapi jangankan untuk bercakap-cakap, untuk melirik saja ke arah puterinya itu dia kekurangan waktu!

Sementara itu, Giok Keng yang mendengar suara Kun Liong menyebut nama “Mei Lan”, cepat menengok dan diapun girang bukan main melihat bahwa benar-benar Mei Lan yang dicari-cari itu berada di situ.

“Plakkk!” Giok Keng terhuyung dan hampir roboh kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dan pedangnya menyambar merobohkan anak buah Lembah Naga yang tadi menghantam punggungnya dengan ruyung itu. Wanita ini merasa punggungnya agak sakit, akan tetapi dia tidak merasakannya karena semangatnya bertambah ketika dia melihat Mei Lan! Dia harus menyelamatkan Mei Lan di samping Lie Seng pula!

Kun Liong maklum bahwa kalau saja Tio Sun dan Kwi Beng dapat terbebas dari belenggu mereka, dua orang pemuda itu tentu akan dapat membantu dia dan Giok Keng menghadapi lawan yang begitu banyak. Bantuan Mei Lan saja kurang berarti, dan tanpa bantuan, dia khawatir bahwa dia dan Giok Keng akhirnya tidak akan kuat melawan lagi. Mengingat akan itu, Kun Liong mengeluarkan bentakan-bentakan keras dan serangannya yang amat hebat dengan Ilmu Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) membuat orang-orang selihai Bouw Thaisu sekalipun sampai meloncat mundur sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya sampai terdorong ke belakang oleh sambaran angin pukulan-pukulan kedua tangan Kun Liong, dan sedikitnya ada empat orang anak buah Lembah Naga terlempar dan terbanting. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk meloncat ke dekat Mei Lan dan berbisik, “Lan-ji, kau cepat menyelinap dan bebaskan tiga orang itu!”

Mei Lan memang cerdik. Dia mengangguk karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh ayahnya. Tentu tiga orang itu perlu cepat dibebaskan agar dapat membantu mereka menghadapi musuh yang demikian banyaknya. Diam-diam gadis cilik ini merasa menyesal sekali mengapa bibinya, Yap In Hong, yang baru sekali itu dilihatnya, berada dalam kamar tahanan bersama Cia Bun Houw dan keduanya seolah-olah tidak memperdulikan apa-apa lagi, melainkan “bermesraan” berdua di dalam kamar! Tentu saja gadis cilik ini tidak tahu apa artinya ketika dia berhasil sampai di tempat tahanan tadi dan mengintai, melihat betapa In Hong dan Bun Houw duduk berhadapan sambil bersila, memejamkan mata dan kedua telapak tangan mereka saling menempel dengan mesra! Maka setelah dia memanggil-manggil tanpa hasil, kemudian dia meninggalkan pesan yang harus ia sampaikan menurut apa yang dikatakan oleh Tio Sun kepadanya.



Kini Mei Lan cepat meloncat, menyelinap ke belakang ayahnya sehingga dia terlindung oleh gerakan ayahnya dan dengan cepat dia menggunakan gin-kang, lari meninggalkan gelanggang pertandingan menuju ke tempat di mana Tio Sun, Kwi Beng, dan Lie Seng terbelenggu dan terikat pada tonggak kayu salib. Dengan tergesa-gesa dia mencoba untuk melepaskan ikatan kedua tangan Kwi Beng. Makin tergesa-gesa, makin sukarlah bagi gadis cilik ini untuk melepaskan tali yang amat kuat itu.

“Terima kasih, adik yang baik, terima kasih...” suara Kwi Beng ini makin menggugupkan Mei Lan.

“Jangan berterima kasih dulu! Kau belum bebas!” Akhirnya Mei Lan berkata karena suara yang penuh keharuan itu benar-benar membikin dia gugup. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia lebih dulu menghampiri pemuda berambut keemasan ini untuk dibebaskan lebih dulu!

Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan-bentakan dan empat orang anak buah Lembah Naga sudah menerjang maju ketika mereka melihat usaha Mei Lan untuk membebaskan tawanan. Mei Lan terpaksa melepaskan tali pengikat kedua lengan Kwi Beng yang belum sempat dilepaskannya untuk menghadapi serangan empat orang itu. Sebatang golok menyambar ke arah kepalanya. Mei Lan cepat membuang diri ke kiri dan ketika golok itu menyambar lewat, dia mengetuk dengan tangan kanan dimiringkan ke arah pergelangan tangan pemegang golok. Orang itu mengeluh, goloknya terlepas dan cepat Mei Lan menyambar golok itu dan membacok ke arah punggung lawan. Teringat bahwa mungkin dia dapat membunuh orang itu, Mei Lan mengurangi tenaga bacokannya sehingga sasarannyapun berobah ke bawah.

“Crokk! Aduhhh...!” Orang itu menjerit-jerit dan celananya basah oleh darah karena yang terbacok adalah daging tebal dari pinggulnya.

“Trang-trang...!” Berturut-turut Mei Lan menangkis tombak dan pedang dari tiga orang pengeroyoknya, akan tetapi karena golok yang dirampas oleh Mei Lan adalah sebatang golok yang besar tebal dan berat sekali, maka tangkisan yang
ketiga kalinya melawan pedang seorang anak buah Lembah Naga yang bertenaga kuat, goloknya terlepas dari tangannya. Dan tiga orang itu menubruk maju dengan senjata mereka! Mei Lan cepat melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah dan ketika tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan senjata mereka, gadis cilik ini bergulingan dan terus mengelak dengan cepat. Melihat ini, Kwi Beng memejamkan mata, tidak tega menyaksikan gadis cilik itu terancam bahaya maut tanpa dia mampu menolong sama sekali.

Tio Sun dan Lie Seng juga memandang dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Tio Sun sendiri tahu bahwa gadis cilik itu kecil sekali harapannya untuk dapat terhindar dari serangan bertubi-tubi dari tiga orang kasar yang seperti harimau-harimau kelaparan dan haus darah itu.

Pemegang tombak itu menjadi gemas melihat betapa gadis cilik itu selalu mampu menghindarkan diri. Dengan teriakan buas dia meloncat dan menghunjamkan tombaknya ke arah perut Mei Lan ketika gadis cilik ini bergulingan. Mei Lan maklum akan bahaya yang mengancamnya, maka tiba-tiba saja dia meloncat ke atas, membiarkan tombak itu lewat dekat perutnya dan dengan lincahnya dia lalu miringkan tubuh dan menangkap tombak itu dengan kedua tangannya, memutar tombak itu sedemikian rupa sehingga tangan pemegang tombak itu terpuntir, lalu kakinya yang kecil menendang bawah pusar.

“Bocah setan!” teriak pemegang pedang yang menusukkan pedangnya, akan tetapi Mei Lan menarik tombak itu secara tiba-tiba kemudian ketika si pemegang tombak mendoyong ke depan, dia menyelinap ke belakang tubuh si pemegang tombak sehingga nyaris pedang itu mengenai si pemegang tombak sendiri.

Pada saat itu, pemegang ruyung menghantamkan ruyungnya dan dengan kakinya, Mei Lan mengait belakang lutut pemegang tombak sambil melepaskan tombaknya secara tiba-tiba.

“Desss!” Pundak si pemegang tombak itu menggantikannya menerima pukulan ruyung sehingga orangnya gelayaran.

“Bagus! Enci Mei Lan, bagus! Lawan terus, jangan menyerah terhadap monyet-monyet itu!” Lie Seng berteriak-teriak gembira melihat sepak-terjang Mei Lan dan mendengar ini, Kwi Beng membuka matanya. Akan tetapi terpaksa dia memejamkan matanya lagi karena pada saat itu, enam orang anak buah Lembah Naga telah datang mengeroyok Mei Lan!

Sekali ini keadaan Mei Lan benar-benar terancam bahaya besar. Dia terhuyung dan roboh terlentang ketika pahanya kena tendangan dan agaknya orang-orang kasar itu sambil menyeringai bermaksud menubruk dan memperebutkan gadis cilik yang cantik itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking yang amat luar biasa dan akibatnya, enam orang kasar itu terguling roboh semua! Mereka itu roboh bukan hanya mendengar suara melengking yang amat hebat itu, melainkan karena sambaran angin yang seperti badai mengamuk.

“Suhu...!” Lie Seng berteriak girang. “Suhu, lekas tolong enci Mei Lan!”

Ternyata yang muncul itu adalah Kok Beng Lama! Dengan kedua lengannya yang besar, didahului oleh lengan bajunya yang lebar dan setiap digerakkan mendatangkan angin yang amat kuat, Kok Beng Lama mengamuk. Setiap kali dia menggerakkan tangan, tentu ada dua tiga orang anak buah Lembah Naga yang terpelanting, dan kakek gundul ini tertawa-tawa seperti seorang raksasa mempermainkan sekumpulan anak-anak nakal!

“Kok Beng Lama, bagus engkau datang menyerahkan nyawa!” tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang langsung saja menerjang kepada Kok Beng Lama dengan hebat. Agaknya sekali ini dua orang kakek dan nenek itu tidak hanya mengandalkan dua tangan mereka yang ampuh, melainkan langsung mereka menggunakan sebatang tongkat butut untuk menyerang Kok Beng Lama yang mereka tahu amat sakti, bahkan mereka pernah dihajar jatuh bagun oleh pendeta Lama jubah merah ini. Tongkat butut mereka adalah senjata mereka yang amat berbahaya dan begitu kedua orang kakek dan nenek ini menyerang, Kok Beng Lama hanya mengeluarkan suara ketawa satu kali karena dia harus menggerakkan kedua lengannya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya untuk membendung banjir serangan dari dua orang kakek dan nenek yang lihai itu.



“Enci Mei Lan, lekas bebaskan aku. Aku harus membantu suhu!” Lie Seng berteriak dan sekali ini Mei Lan lari menghampiri Lie Seng dan akhirnya, karena ikatan kedua tangan Lie Seng tidak sekuat ikatan di tangan dua orang pemuda itu, dia dapat membebaskan Lie Seng. Bocah ini bersorak dan lalu menyerbu ke depan, ikut mengamuk melawan anak buah Lembah Naga!

Akan tetapi, Mei Lan merasa sukar untuk dapat membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng karena kini dari pusat Lembah Naga, agaknya mengikuti munculnya Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, muncul pula sisa anak buah Lembah Naga yang amat banyak sehingga jumlah mereka kini ada seratus orang, dikurangi mereka yang sudah roboh oleh amukan Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Mei Lan harus membela diri pula karena sudah ada beberapa orang yang mengurungnya dan menyerangnya.

Pertandingan itu berlangsung hebat bukan main, terutama sekali antara Kok Beng Lama yang dikeroyok dua oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Beberapa kali pukulan Thian-te Sin-ciang yang menjadi pukulannya paling ampuh, berhasil mengenai tubuh dua orang pengeroyoknya. Pukulan ini pula yang dulu pernah dia pergunakan untuk menghajar dua orang manusia iblis itu. Akan tetapi sekali ini, Kok Beng Lama terkejut bukan main. Setiap kali terkena tamparan Thian-te Sin-ciang, kakek atau nenek itu memang terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi cepat meloncat bangun kembali dan agaknya sama sekali tidak terluka!

“Ha-ha-ha, Lama yang hampir mampus! Pukulanmu tidak dapat melukai kami lagi!” Pek-hiat Mo-ko berseru sambil tertawa mengejek, lalu menyerang lagi dengan hebatnya.

Tentu saja Kok Beng Lama menjadi terkejut dan heran, juga penasaran. Dia mengerahkan semua tenaganya den kembali menggunakan Thian-te Sin-ciang. Dua orang kakek dan nenek itu berusaha mengelak dan beberapa kali mereka berbasil, akan tetapi akhirnya mereka terkena juga oleh pukulan sakti itu dan keduanya seperti daun kering tertiup angin, terlempar dan terguling-guling. Akan tetapi, kembali mereka bangkit sambil tertawa-tawa tanpa menderita luka sedikitpun. Kini mengertilah Kok Beng Lama bahwa dua orang lawannya itu benar-benar telah menciptakan ilmu yang amat mujijat dan tubuh mereka telah terlindung oleh kekebalan yang bahkan tidak dapat ditembus oleh tenaga Thian-te Sin-ciang. Kok Beng Lama yang melihat betapa kini mata kiri Hek-hiat Mo-li telah rusak dan buta, maklum bahwa agaknya hanya di bagian mata saja dari dua orang itu yang tidak kebal, maka dia kini selalu mengarahkan serangannya kepada mata mereka. Akan tetapi, tentu saja dua orang itu sudah melindungi mata mereka dan amat sukarlah bagi Kok Beng Lama kalau hanya menyerang ke arah mata saja sedangkan dua orang lawannya membalas dengan serangan-serangan tongkat mereka yang ampuh ke seluruh bagian tubuhnya. Dan kakek raksasa dari Tibet ini harus mengakui bahwa bagi dia, yang kebal dan berani menerima senjata pusaka lawan hanyalah kedua lengannya, sedangkan tubuh bagian lain tentu saja tidak berani menerima totokan-totokan tongkat yang amat berbahaya itu. Dengan sendirinya, karena kurang sasaran, dia mulai terdesak hebat oleh kakek dan nenek iblis itu.

Juga Kun Liong dan Giok Keng terdesak hebat saking banyaknya fihak lawan yang mengeroyok. Bahkan Kun Liong sendiri yang sudah amat tinggi ilmunya, menjadi kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai dan pendekar ini makin khawatir menyaksikan keadaan yang berbahaya itu, apalagi setelah dia melihat bahwa di situ terdapat puterinys dan Lie Seng yang bagaimanapun juga harus dapat diselamatkan keluar dari tempat itu.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang gegap gempita dan muncullah pasukan yang langsung menyerbu tempat pertempuran dan menyerang anak buah Lembah Naga. Kiranya itu adalah pasukan pengawal dari kota raja, dipimpin oleh komandan pasukan pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Berbaju Emas), yaitu Lee Cin, dan dibantu pula oleh seorang tokoh pengawal tua yang dahulu amat terkenal, yaitu Tio Hok Gwan ayah dari Tio Sun!

Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng girang bukan main melihat datangnya pasukan ini, apalagi Tio Sun yang juga melihat ayahnya datang membantu. Dua orang pemuda ini terharu juga ketika melihat bahwa pasukan itu mempunyai seorang penunjuk jalan yang bukan lain adalah gadis cantik yang buntung lengan kirinya sebatas pergelangan tangan, yaitu Liong Si Kwi!

Memang sesungguhnya Si Kwi yang menjadi penunjuk jalan. Gadis ini bertemu dengan rombongan pasukan itu di luar Padang Bangkai dan segera dia menemui komandan pasukan itu, menceritakan tentang keadaan Lembah Naga dan tentang bahayanya melalui Padang Bangkai. Maka dia sendiri lalu menjadi penunjuk jalan sehingga semua pasukan dapat melalui Padang Bangkai dengan selamat dan tiba di Lembah Naga sewaktu di situ terjadi pertempuran hebat itu. Andaikata tidak ada penunjuk jalan ini, agaknya akan banyak perajurit yang menjadi korban keganasan tempat-tempat berbahaya di Padang Bangkai.

Hek I Siankouw marah sekali melihat bahwa muridnya yang menjadi penunjuk jalan bagi pasukan pemerintah itu, akan tetapi dia tidak dapat melampiaskan kemarahannya karena kini keadaannya menjadi berubah sama sekali. Jumlah pasukan pemerintah itu seratus lima puluh orang dan mereka adalah pesukan Kim-i-wi yang yang terdiri dari perajurit-perajurit pengawal pilihan dan rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi. Maka begitu mereka menyerbu, pasukan anak buah Lembah Naga segera terdesak hebat.

Kini, dengan bantuan Si Kwi, Mei Lan berhasil membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng, dan dua orang pemuda itu segera terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mengamuk dengan hebatnya! Juga Mei Lan tidak tinggal diam, mendampingi Lie Seng mengamuk pula. Hanya Si Kwi yang menjauh dan tidak ikut dalam pertempuran, karena bagaimanapun juga, dia merasa sungkan kepada subonya, dan menjauhkan diri, hanya menonton dengan hati tegang.

Munculnya pasukan Kim-i-wi membuat pertandingan antara tokoh-tokoh kedua fihak menjadi seimbang dan makin seru. Kun Liong yang tahu akan kelihaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sudah menerjang dan membantu ayah mertuanya, Kok Beng Lama sehingga kakek dan nenek itu terpecah menjadi dua. Kun Liong melawan Hek-hiat Mo-li sedangkan Kok Beng Lama melawan Pek-hiat Mo-ko. Bouw Thaisu dihadapi oleh Giok Keng yang dibantu Kwi Beng, sedangkan Hek I Siankouw berhadapan dengan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang dibantu oleh puteranya sendiri, Tio Sun. Sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li, mengamuk dikeroyok oleh pasukan Kim-i-wi.



Perang kecil antara anak buah Lembah Naga melawan pasukan Kim-i-wi terjadi berat sebelah dan fihak anak buah Lembah Naga mulai berjatuhan. Hanya pertandingan antara para tokoh masih berlangsung seru dan ramai sekali karena keadaan mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun amat berwibawa dan suara ini menembus semua suara hiruk pikuk pertempuran itu, seolah-olah datang dari angkasa. “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tahan senjata! Para cu-wi sekalian, harap mundur dan biarkan saya menyelesaikan urusan pribadi dengan mereka!”

Mendengar suara yang penuh wibawa dan halus ini, Kok Beng Lama sudah meloncat mundur dan terdengar suaranya yang mengguntur, “Semua mundur, biarkan ketua Cin-ling-pai bicara dengan mereka!”

Suara Pendekar Sakti Cia Keng Hong tadi ditambah dengan suara Kok Beng Lama ini cukup berpengaruh untuk membuat semua yang bertanding mundur dengan sendirinya, terbagi menjadi dua kelompok. Cia Keng Hong yang sudah berada di situ kini melangkah maju dan berkata dengan suara lantang, “Pek-hiat Mo-ko, bukankah engkau dan Hek-hiat Mo-li mengharapkan kedatanganku?”

Dari fihak Lembah Naga muncul Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, membawa tongkat butut mereka dan memandang kepada pendekar sakti itu dengan sinar mata marah karena kedua orang kakek dan nenek ini memang marah sekali menyaksikan betapa fihaknya menderita banyak kerugian dalam pertempuran tadi.

“Ketua Cin-ling-pai, engkau mau bicara apa?” bentak Pek-hiat Mo-ko.

Cia Keng Hong dengan sekilas pandang saja sudah melihat bahwa fihaknya sebetulnya lebih kuat, apalagi di situ terdapat Kok Beng Lama dan Yap Kun Liong, juga terdapat pasukan Kim-i-wi yang kuat dan banyak jumlahnya. Akan tetapi, dia tidak ingin melihat banyak orang menjadi korban dan terlibat dalam urusan ini, maka dia lalu berkata, “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tadinya, mendengar bahwa kalian telah menahan Siang-bhok-kiam sebagai pusaka Cin-ling-pai, saya menganggap bahwa kalian sengaja hendak menentang dan menantang kami dari fihak Cin-ling-pai. Akan tetepi, kalian kemudian menculik Yap In Hong dari kota raja. Apakah sesungguhnya maksud hati kalian? Kalau hanya untuk urusan Siang-bhok-kiam dan kalian maksudkan untuk menantang kami, tidak perlu kita mengorbankan banyak orang, cukup hal ini diselesaikan di antara kita saja. Oleh karena itu, sebelum pertempuran berlarut-larut, saya datang dan minta agar engkau suka membebaskan Yap In Hong dan tentang Siang-bhok-kiam, mari kita perebutkan dengan adu kepandaian.”

“Hemm, orang she Cia! Memang sesungguhnya kami sudah lama mengharapkan kedatanganmu! Memang kami menahan Siang-bhok-kiam untuk mencoba sampai di mana kelihaian ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi bukan untuk itu saja! Kami menahan nona Yap untuk menentang semua pembantu mendiang The Hoo, musuh besar kami. Karena dia sudah mati, maka biarlah semua bekas pembantu dan sahabatnya mewakilinya untuk menyerahkan nyawa kepada kami!”

“Mo-ko dan Mo-li!” Cia Keng Hong membentak. “Caramu amat curang! Kalau kalian menantang mendiang Panglima The Hoo, biarlah saya sekalian yang menjadi wakilnya. Kaubebaskan Yap In Hong dan mari kita selesaikan dengan kepandaian antara kita.”

“Kong-kong! Dua iblis itu juga menahan paman Cia Bun Houw!” Tiba-tiba terdengar suara Lie Seng berteriak.

Mendengar ini berkerut kening ketua Cin-ling-pai. Sungguh dia belum tahu bahwa puteranya juga tertawan. Kini dia memandang tajam kepada mereka dan bertanya, “Benarkah itu?”

“Benar, dan engkau hanya dapat membebaskan puteramu melalui mayat kami!” kata Hek-hiat Mo-li dan langsung nenek ini menerjang dengan tongkatnya.

“Bagus, kalau begitu terpaksa hari ini aku melenyapkan kalian!” Cia Keng Hong berkata sambil mengelak dan balas menyerang. Maka berlangsunglah petandingan yang amat seru dan mengagumkan antara ketua Cin-ling-pai dan kedua orang kakek dan nenek iblis itu.

Cia Keng Hong adalah scorang pendekar sakti yang amat tinggi kepandaiannya. Biarpun usianya sudah kurang lebih enam puluh lima tahun, namun kehidupan yang bersih membuat tubuhnya masih tegap dan kuat, kesehatannya baik sekali sehingga biarpun sudah lama dia tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw, namun gerakan-gerakannya ketika bertanding tidak kelihatan kaku karena dia selalu berlatih diri di puncak Cin-ling-pai. Dengan ilmunya yang amat tinggi, yaitu Ilmu Silat Thai-kek-sin-kun, dia menghadapi tongkat kakek dan nenek itu dan selalu dapat menghindarkan diri dengan mudah, sebaliknya dia telah mendesak dua orang lawannya dengan pukulan-pukulan sakti dari Thai-kek-sin-kun.

Akan tetapi, seperti juga dengan Kok Beng Lama, ketika pendekar sakti ini berhasil “memasukkan” pukulannya dan dengan tepat berhasil menghantam mereka, baik Mo-ko maupun Mo-li hanya terpelanting dan bergulingan saja, kemudian meloncat bangun lagi sambil tertawa dan menyerang lebih hebat lagi! Cia Keng Hong menjadi terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklumlah dia bahwa dua orang lawannya itu telah memiliki ilmu kekebalan yang mujijat! Biasanya, ilmu kekebalan yang mujijat seperti itu diperoleh dengan cara yang tidak lumrah, dengan ilmu yang mendekati ilmu hitam yang mengerikan dan biasanya hanya dapat dipecahkan kalau orang menguasai rahasianya. Setiap ilmu kekebalan yang didapat secara tidak wajar melalui ilmu hitam pasti ada rahasia kelemahannya, dan tanpa mengetahui akan rahasia kelemahan itu, sukarlah melukai mereka!

Pada saat itu, Pek-hiat Mo-ko menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Cia Keng Hong dari samping kanan, sedangkan dari kiri Hek-hiat Mo-li menusukkan ujung tongkat dengan totokan-totokan maut ke arah lambung. Cia Keng Hong cepat menggerakkan kakinya, menggeser kedudukan tubuhnya dan secepat kilat dia menangkis dengan lengannya, bukan menangkis tongkat melainkan langsung menangkis lengan Pek-hiat Mo-ko dengan mendorongkan tubuhnya ke depan.



“Plakk!” Cia Keng Hong terpaksa menggunakan ilmunya yang paling dirahasiakan dan yang jarang dikeluarkan karena limu ini memang amat mujijat, yaitu Thi-khi-i-beng! Seperti kita ketahui, di dunia pada waktu itu hanya ada dua orang saja yang menguasai Thi-khi-i-beng, yaitu pertama Cia Keng Hong dan kedua adalah Yap Kun Liong, karena, hanya kepada Yap Kun Liong saja ketua Cin-ling-pai ini menurunkan ilmu mujijat itu. Bahkan dua orang anaknya, Giok Keng dan Bun Houw, tidak diwarisi ilmu itu. Tentu saja dibandingkan dengan Thi-khi-i-beng yang dimiliki Kun Liong, tenaga Cia Keng Hong jauh lebih kuat. Maka begitu kedua lengan bertemu, Pek-hiat Mo-ko terkejut bukan main karena lengannya melekat dan ada tenaga sedot yang luar biasa dari lawan, yang menyedot tenaga sin-kangnya. Akan tetapi, kakek bermuka putih ini segera menghentikan pengerahan tenaga sin-kangnya dan sebagai gantinya, dia mengeluarkan ilmu kebalnya dan... daya sedot dan tempel itu lenyaplah!

Cia Keng Hong terkejut bukan main! Tadinya dia tahu bahwa di dunia hanya ada tiga orang tokoh yang mampu menghadapi Thi-khi-i-beng, bahkan mampu membuyarkan tenaga Thi-khi-i-beng. Pertama adalah mendiang Tiang Pek Hosiang yang telah meninggal dunia, kedua adalah Bun Hwat Tosu, dan ketiga adalah Kok Beng Lama. Siapa tahu, kini agaknya kakek dan nenek inipun menguasai ilmu kekebalan yang dahsyat membuyarkan tenaga Thi-khi-i-beng pula!

Tidak ada seorangpun yang berani maju membantu Cia Ktmg Hong karena dalam hal pertandingan mengadu ilmu seperti itu, bantuan merupakan penghinaan bagi yang dibantu. Akan tetapi Kok Beng Lama yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, maklum bahwa ilmu kekebalan dua orang kakek dan nenek iblis itu agaknya juga membuat ketua Cin-ling-pai yang lihai itu kewalahan. Dia sendiri tadi sudah merasakan kehebatan kakek dan nenek iblis itu, maka dia dapat menduga bahwa tanpa dibantu, agaknya ketua Cin-ling-pai itu mungkin sekali akan kalah!

“Ha-ha-ha!” Kok Beng Lama tertawa. “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li agaknya bukan hanya mengandalkan ilmu kekebalan dari iblis itu, akan tetapi juga mengandalkan kecurangan dan sifat pengecut mereka. Mereka maju berdua menghadapi seorang lawan, sungguh kakek dan nenek tua bangka hampir mampus yang tidak tahu malu sama sekali!” Suara raksasa dari Tibet ini memang keras dan nyaring sekali, terdengar sampai jauh dan memasuki telinga kakek dan nenek itu seperti ratusan jarum yang menusuk langsung ke jantung. Pek-hiat Mo-ko yang cerdik maklum bahwa pendeta Lama itu sengaja hendak membakar hati mereka, maka dia menulikan telinga dan diam saja tidak menjawab, melainkan mendesak Cia Keng Hong dengan tongkatnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li. Nenek ini merasa bahwa ilmu kekebalannya cukup dapat diandalkan dan sudah dibuktikan ketika dia menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong. Memang, dalam hal ilmu silat, agaknya dia dan Pek-hiat Mo-ko tidak dapat menandingi ketua Cin-ling-pai atau pendeta Tibet itu, akan tetapi dengan perlindungan ilmu kekebalan mereka, musuh-musuh itu dapat berbuat apakah? Hal ini membesarkan hatinya dan mendengar ejekan dan penghinaan Kok Beng Lama, dia tidak dapat menahan kemarahannya.

“Pendeta gundul! Siapa takut padamu? Majulah kalau sudah bosan hidup!” tantangnya.

“Ha-ha-ha! Ketua Cin-ling-pai, aku sama sekali bukan membantumu, akan tetapi aku malu karena aku ditantang oleh nenek gila itu, ha-ha.” Kok Beng Lama sudah melangkah lebar dan memasuki gelanggang pertempuran. Tentu saja Cia Keng Hong tidak bisa melarang dan biarpun dia merasa kurang senang karena masuknya Kok Beng Lama seolah-olah menurunkan kehormatannya, seolah-olah dia telah kewalahan, namun sesungguhnya memang harus diakui bahwa tanpa dibantu oleh Kok Beng Lama, agaknya tidak mungkin dia dapat mengalahkan kakek dan nenek yang kebal dan tidak dapat terluka ini.

Pada saat itu, terdengarlah suara keras disusul suara bangunan roboh dan debu mengebul tinggi! Suara hiruk-pikuk ini datangnya dari perkampungan Lembah Naga dan semua orang menengok dan otomatis pertempuran itupun terhenti. Dan di antara debu-debu yang mengebul tinggi, muncullah dua orang laki-laki dan wanita. Mereka ini ternyata adalah Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang datang sambil bergandengan tangan! Wajah mereka berseri-seri dan agak kemerahan, dua pasang mata itu mencorong aneh.

“Omitohud...! Mereka berhasil menyatukan Thian-te Sin-ciang sampai di puncaknya!” seru Kok Beng Lama dengan kagum dan juga heran. Dari pandang mata dua orang muda itu pendeta Lama ini tentu saja dapat mengenal pancaran Ilmu Thian-te Sin-ciang. Dan memang benarlah apa yang disangkanya itu. Seperti telah kita ketahui, Cia Bun Houw dan Yap In Hong setelah terbebas dari malepetaka yang akan mencemarkan nama dan kehormatan mereka, lolos dari racun pembangkit nafsu berahi di dalam kamar tahanan, Cia Bun Houw lalu menyalurkan tenaga Thian-te Sin-ciang, melatih dan memperkuat tenaga yang telah dimiliki In Hong. Ketika diam-diam Yap Mei Lan datang ke kamar tahanan, mereka berdua masih melatih diri dan menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang dengan duduk berhadapan dalam keadaan bersila dan kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan menempel, Mei Lan dapat menyelinap ke tempat tahanan karena semua anak buah Lembah Naga sudah keluar dan siap menghadapi musuh yang datang menyerbu. Karena Mei Lan tidak berhasil menyadarkan mereka dari luar pintu kamar tahanan, maka terpaksa Mei Lan lalu meninggalkan sehelai daun yang sudah dia tulisi dan meninggalkan tempat itu.

Ketika itu, sudah sehari semalam Bun Houw dan In Hong menghimpun tenaga dan akhirnya mereka merasa bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang telah mencapai tingkat yang amat tinggi, terasa sampai ke ubun-ubun kepala mereka. Maka, mereka menghentikan latihan itu dan begitu mereka sadar, mereka mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tahanan. Suara itu terdengar agak jauh, namun kini pendengaran mereka ternyata menjadi jauh lebih tajam sehingga seolah-olah mereka mendengar semua yang terjadi di luar itu seperti di dekat mereka saja, bahkan Bun Houw mengenal hawa pukulan ayahnya yang bertanding melawan dua orang kakek dan nenek iblis itu.

“Eh, lihat ini...!” kata In Hong sambil memungut daun yang berada di kamar itu. Kiranya itulah daun yang ditinggalkan oleh Mei Lan dengan menyelipkannya di antara celah di bawah pintu kamar tahanan yang kokoh kuat itu.

Mereka cepat membaca tulisan di atas daun yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa, namun cukup jelas untuk dibaca.
“Kelemahan Hek Pek berada di antara lutut ke bawah.”

Hanya itulah kata-kata yang tercoret di atas daun, akan tetapi sudah cukup bagi Bun Houw dan In Hong. “Entah siapa yang menulis ini dan entah benar ataukah hanya bohong, akan tetapi kita harus keluar dari sini sekarang juga, Hong–moi!”



Hek I Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu pendekar Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Biarpun dia telah memainkan pedang hitamnya dengan sekuat tenaga, juga kadang-kadang dia menipersiapkan Hek-tok-ting (Paku Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi ketua Cin-ling-pai ini. Padahal pendekar sakti ini sama sekali tidak mempergunakan senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi nenek berpakaian hitam ini. Pcdang hitam di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar-nyambar ganas, namun semua sambaran itu dapat dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam paku beracun menyambar, paku itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari tangan ketua Cin-ling-pai itu dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I Siankouw terkejut dan hampir termakan oleh senjata rahasianya sendiri sehingga setelah tiga kali selalu berakibat membahayakan dirinya sendiri, dia tidak berani lagi menggunakan paku-paku beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Ang-bin Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlalu tangguh bagiriya, yaitu Yap Kun Liong, dan isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia Giok Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat membalas sedikitpun juga.

Sementara itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng dan semua anggauta pasukan, bahkan nampak pula Lie Seng mengamuk bahu membahu dengan Yap Mei Lan, menghadapi para anggauta Lembah Naga yang berkelahi dengan nekat dan mati-matian sungguhpun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu.

Di antara para tokoh Lembah Naga, yang lebih dulu roboh adalah Bouw Thaisu. Kedua ujung lengan bajunya dapat ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama yang tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga ujung lengan bajunya terobek dan kedua telapak tangannya menghantam dada Kok Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak tangannya. Dua pasang telapak tangan yang penuh dengan tenaga sin-kang itu bertemu di udara. Hebat bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang yang sedang bertempur. Bumi seolah-olah guncang dibuatnya. Tubuh Bouw Thaisu tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke belakang, kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar dan dia terpelanting dan robob miring di atas tanah dengan nyawa putus! Kok Beng Lama tertawa bergelak lalu berkata, “Omitohud, kedua tanganku kembali berlepotan darah...!”

Tidak lama setelah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh dengan pedang hitam menembus dadanya sendiri! Ketika dia menyerang dengan jurus nekat, yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng Hong, pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh dengan tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya dan didorong oleh loncatan tubuhnya. Cia Keng Hong maklum bahwa kalau mengelak, dia menghadapi bahaya, maka dia lalu mengerahkan tenaga sakti di kedua tangannya lalu dia menangkis dari samping sambil mengeluar kan lengkingan keras. Itulah sebuah jurus dari Thai-kek-sin-kun. Tangkisan ini mengandung kekuatan yang demikian dahsyatnya sehingga ketika mengenai pedang maka pedang itu membalik dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw sendiri sampai tembus di punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan tewas seketika. Cia Keng Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tidak sengaja membunuh nenek itu dan dia menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya.

Ang-bin Ciu-kwi yang kasar itupun roboh tewas oleh tamparan tangan kiri Kun Liong, sedangkan isterinyapun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok Keng setelah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang dilepas oleh Coa-tok Sian-li.

Sedangkan pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih bertahan, namun mereka terdesak hebat dan tak lama kemudian, orang terakhir dari merekapun roboh. Memang hebat sekali pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan musuh sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang melarikan diri sungguhpun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka sudah pasti kalah.

Kini tinggal kakek dan nenek iblis itu saja yang ternyata masih sanggup bertahan melawan Bun Houw dan In Hong!

Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan biarpun In Hong dan Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, namun ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu. Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali dan biarpun dua orang muda itu sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan sudah terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti di mana letak kelemahan itu dan biarpun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis, tulang kering dan mata kaki, namun dua orang itu hanya terlempar dan bergulingan, namun ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh!

Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapapun juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong dapat menandingi kakek den nenek itu dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka terus-menerus diserang.





Hek I Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu pendekar Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Biarpun dia telah memainkan pedang hitamnya dengan sekuat tenaga, juga kadang-kadang dia menipersiapkan Hek-tok-ting (Paku Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi ketua Cin-ling-pai ini. Padahal pendekar sakti ini sama sekali tidak mempergunakan senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi nenek berpakaian hitam ini. Pcdang hitam di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar-nyambar ganas, namun semua sambaran itu dapat dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam paku beracun menyambar, paku itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari tangan ketua Cin-ling-pai itu dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I Siankouw terkejut dan hampir termakan oleh senjata rahasianya sendiri sehingga setelah tiga kali selalu berakibat membahayakan dirinya sendiri, dia tidak berani lagi menggunakan paku-paku beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Ang-bin Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlalu tangguh bagiriya, yaitu Yap Kun Liong, dan isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia Giok Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat membalas sedikitpun juga.

Sementara itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng dan semua anggauta pasukan, bahkan nampak pula Lie Seng mengamuk bahu membahu dengan Yap Mei Lan, menghadapi para anggauta Lembah Naga yang berkelahi dengan nekat dan mati-matian sungguhpun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu.

Di antara para tokoh Lembah Naga, yang lebih dulu roboh adalah Bouw Thaisu. Kedua ujung lengan bajunya dapat ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama yang tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga ujung lengan bajunya terobek dan kedua telapak tangannya menghantam dada Kok Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak tangannya. Dua pasang telapak tangan yang penuh dengan tenaga sin-kang itu bertemu di udara. Hebat bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang yang sedang bertempur. Bumi seolah-olah guncang dibuatnya. Tubuh Bouw Thaisu tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke belakang, kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar dan dia terpelanting dan robob miring di atas tanah dengan nyawa putus! Kok Beng Lama tertawa bergelak lalu berkata, “Omitohud, kedua tanganku kembali berlepotan darah...!”

Tidak lama setelah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh dengan pedang hitam menembus dadanya sendiri! Ketika dia menyerang dengan jurus nekat, yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng Hong, pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh dengan tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya dan didorong oleh loncatan tubuhnya. Cia Keng Hong maklum bahwa kalau mengelak, dia menghadapi bahaya, maka dia lalu mengerahkan tenaga sakti di kedua tangannya lalu dia menangkis dari samping sambil mengeluar kan lengkingan keras. Itulah sebuah jurus dari Thai-kek-sin-kun. Tangkisan ini mengandung kekuatan yang demikian dahsyatnya sehingga ketika mengenai pedang maka pedang itu membalik dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw sendiri sampai tembus di punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan tewas seketika. Cia Keng Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tidak sengaja membunuh nenek itu dan dia menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya.

Ang-bin Ciu-kwi yang kasar itupun roboh tewas oleh tamparan tangan kiri Kun Liong, sedangkan isterinyapun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok Keng setelah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang dilepas oleh Coa-tok Sian-li.

Sedangkan pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih bertahan, namun mereka terdesak hebat dan tak lama kemudian, orang terakhir dari merekapun roboh. Memang hebat sekali pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan musuh sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang melarikan diri sungguhpun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka sudah pasti kalah.

Kini tinggal kakek dan nenek iblis itu saja yang ternyata masih sanggup bertahan melawan Bun Houw dan In Hong!

Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan biarpun In Hong dan Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, namun ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu. Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali dan biarpun dua orang muda itu sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan sudah terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti di mana letak kelemahan itu dan biarpun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis, tulang kering dan mata kaki, namun dua orang itu hanya terlempar dan bergulingan, namun ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh!

Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapapun juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong dapat menandingi kakek den nenek itu dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka terus-menerus diserang.



Cia Keng Hong tanpa disengaja berdiri di sebelah Kok Beng Lama. Mereka saling pandang dan melalui pandang mata mereka, kedua orang sakti ini mengerti akan keadaan yang sedang bertanding. Mereka tadipun sudah mengukur tenaga dengan kakek dan nenek iblis itu dan mendapatkan kenyataan bahwa mereka berdua itu memang memiliki kekebalan yang mujijat.

“Hemm, di kaki sebelah mana agaknya kelemahan mereka?” Kok Beng Lama mengomel seorang diri, suaranya lirih akan tetapi terdengar oleh Cia Keng Hong.

“Di mana kalau menurut dugaan locianpwe?” tanya Cia Keng Hong sambil menoleh. Keduanya saling pandang dan keduanya berpikir keras, menggali ingatan mereka tentang pengetahuan mengenai ilmu-ilmu yang mujijat dan aneh.

“Dan dugaan taihiap?” tanya pula Kok Beng Lama. Kedua orang sakti itu lalu menggunakan ujung sepatu mereka untuk menggores-gores di atas tanah dan keduanya lalu saling membaca tulisan kaki mereka. Ternyata keduanya berbunyi sama, yaitu, “telapak kaki”. Mereka tertawa dan mengangguk-angguk.

“Locianpwe harap suka memberi tahu kepada In Hong, saya akan memberi tahu kepada Bun Houw,” kata Cia Keng Hong. Kok Beng Lama mengangguk dan kedua orang sakti ini lalu mengerahkan ilmu mereka yang hebat, yaitu Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) dengan kekuatan khi-kang mereka. Bibir mereka bergerak-gerak dan tidak ada orang lain yang mendengar suara mereka kecuali orang yang ditujunya! Bun Houw mendengar bisikan suara ayahnya dan In Hong juga mendengar bisikan suara Kok Beng Lama yang parau, “Kelemahan mereka itu mungkin sekali terletak di telapak kaki mereka.”

Tentu saja kedua orang muda itu merasa girang mendengar ini. Sudah sejak tadi mereka menyerang ke arah kaki tanpa hasil dan mereka bahkan mulai meragukan kebenaran pemberitahuan yang ditulis di atas daun itu. Melihat kenyataan betapa kakek dan nenek itu mati-matian melindungi kedua kaki mereka, agaknya pemberitahuan itu memang benar, akan tetapi mengapa semua serangan mereka yang berhasil mengenai bagian kaki tidak merobohkan mereka?

Mengapa kedua orang sakti, Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama dapat menduga bahwa mungkin sekah kelemahan kakek dan nenek itu berada di telapak kaki? Mereka teringat akan ilmu kekebalan mujijat kaum hitam atau golongen sesat, yang berbeda dengan latihan limu kekebalan kaum putih yang melatihnya dengan dasar sin-kang yang kuat. Golongan sesat melatih ilmu kekebalan dengan bermacam cara, dicampur dengan ilmu hitam, ilmu sihir dan dengan ramuan-ramuan racun yang berbahaya. Mereka teringat bahwa latihan ilmu kekebalan yang menghasilkan kekebalan seperti yang dimiliki kakek dan nenek itu mungkin kalau tubuh mereka itu sudah seperti mati sehingga pukulan-pukulan sakti tidak lagi mempengaruhi tubuh mereka, dan tubuh yang seperti mati itu hanya dapat dicapai dengan melumurinya dengan racun-racun yang luar biasa. Biasanya, bagian yang dilumuri racun itu itu tidak boleh tertutup dan harus dibiarkan terkena angin, sinar matahari bahkan sinar bulan sehingga ada kemungkinan mereka bertapa sampai berbulan-bulan dengan tubuh dilumuri racun-racun setiap saat. Akan tetapi, tidak mungkin orang dapat melumuri racun seluruh bagian tubuhnya, misalnya andaikata dia rebah terlentang, tentu punggungnya terlewat, kalau duduk tentu pantatnya, dan kalau sambil berdiri telapak kakinya. Kini, melihat betapa punggung, pantat dan seluruh begian tubuh kakek dan nenek itu benar-benar kebal, agaknya satu-satunya tempat yang lemah tentu di telapak kaki dan sangat boleh jadi ketika bertapa sambil melumuri tubuh dengan racun, kakek dan nenek itu menyiksa diri dengan berdiri terus selama entah berapa hari atau berapa bulan! Jadi, kalau seluruh anggauta tubuh itu seolah-olah sudah mati, hanya kedua telapak kaki itu yang hidup! Tentu saja, selain bagian lemah ini, sepasang mata merekapun merupakan bagian lemah, akan tetapi mereka selalu melindungi kedua mata mereka, apalagi setelah mata kiri Hek-hiat Mo-li menjadi buta oleh jarum rahasia dari arca kaisar di istana dahulu itu ketika dia dan Pek-hiat Mo-ko menyerbu istana.

Biarpun Bun Houw dan In Hong menjadi girang sekali mendengur bisikan dua orang sakti itu, namun tidaklah mudah bagi mereka untuk menyerang bagian lemah itu. Bagaimana dapat menyerang telapak kaki lawan? Telapak kaki selalu tertutup atau terlindung karena dipakai untuk menginjak tanah! Mana mungkin bisa diserang? Kelihatanpun tidak! Dua orang muda perkasa itu menjadi bingung.

Dengan ilmunya yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian In Hong, Bun Houw tentu saja dapat mengatasi Pek-hiat Mo-ko dengan baik. Pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari ayahnya dan dari Kok Beng Lama, ilmu silatnya bermacam-macam dan kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat pilihan yang bertingkat tinggi. Kalau saja Pek-hiat Mo-ko tidak mengandalkan limu kekebalannya yang mujijat, tentu sudah sejak tadi dia roboh oleh pemuda perkasa ini. Akan tetapi, kekebalan yang amat hebat itu melindunginya sehingga biarpun dia sudah belasan kali terpelanting oleh pukulan yang amat hebat, pukulan yang akan menewaskan lawan-lawan yang bahkan lebih lihai sekalipun, namun tidak membuat Pek-hiat Mo-ko terluka dan kakek ini dapat meloncat bangun kembali sambil tertawa mengejek dan menyerang dengan dahsyatnya yang juga dapat dielakkan atau ditangkis oleh Bun Houw dengan mudahnya. Baik dalam hat ilmu silat maupun dalam hal tenaga sin-kang, pemuda ini lebih tinggi tingkatnya daripada lawannya. Akan tetapi kekebalan itu membuat dia tidak berdaya.

In Hong juga bukan seorang gadis sembarangan. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat hebat dari gurunya, pewaris pusaka milik mendiang Panglima Sakti The Hoo. Biarpun tingkatnya belum dapat dibandingkan dengan tingkat Bun Houw, namun ilmu-ilmu silat yang murni dan bernilai tinggi itu membuat dia cukup kuat untuk mengimbangi kepandaian nenek Hek-hiat Mo-li yang lihai. Dia dengan menguasai Thian-te Sin-ciang yang sudah menjadi sempurna karena dilatih secara bergabung dengan Bun Houw, maka boleh dibilang gadis ini memiliki tenaga yang lebih kuat daripada si nenek iblis. Namun, karena diapun tidak berdaya menghadapi kekebalan nenek itu, keadannya menjadi berimbang, bahkan kadang-kadang dia seperti terdesak oleh Hek-hiat Mo-li yang menyerang tanpa memperdulikan tubuhnya sendiri yang dilindungi oleh kekebalan sehingga kadang-kadang In Hong menjadi repot juga dan melindungi diri dengan bergerak mundur



Kini mereka telah mendengar bisikan dua orang sakti itu, akan tetapi tetap saja mereka tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyerang telapak kaki lawan! In Hong terus melindungi dirinya dari serangkaian serangan Hek-hiat Mo-li yang hanya bermata satu itu sambil memutar otak mencari akal. Untuk melindungi dirinya, ilmu silatnya cukup tinggi dan tenaganyapun cukup besar sehingga dia tidak usah khawatir akan celaka oleh serangan-serangan dahsyat itu yang dapat dielakkan atau ditangkisnya secara pasti dan tidak begitu sukar, sungguhpun tentu saja dia menjadi terdesak karenanya.

Sementara itu, Bun Houw sudah memikirkan akal untuk merobohkan lawan, atau setidaknya untuk dapat menyerang telapak kaki lawan yang diharapkannya akan merobohkannya. Dia tahu bahwa memaksa lawan memperlihatkan telapak kakinya tentu saja tidak mungkin, maka dia harus menggunakan akal dan dia pura-pura tidak menduga bahwa kelemahan itu berada di telapak kaki lawan itu. Dia harus dapat melakukan pertempuran jarak dekat, pikirnya. Tadi dia menganggap tongkat kakek bermuka putih itu tidak berbahaya, bahkan dia membiarkan kakek itu menghadapinya dengan senjata tongkat itu karena dia hendak membiarkan kakek itu lengah karena merasa lebih untung keadaannya yang bersenjata melawan dia yang bertangan kosong dan dia hendak menggunakan kelengahan itu untuk menyerang ke arah kaki. Akan tetapi setelah dia mendengar bisikan Cia Keng Hong tadi, dia percaya penuh akan kelihaian dan ketajaman mata ayahnya, maka untuk dapat menyerang telapak kaki dia harus lebih dulu menyingkirkan tongkat lawan agar mereka dapat bartempur dalam jarak yang lebih berdekatan.

Ketika tongkat itu menyambar dengan tusukan ganas ke arah tenggorokan, Bun Houw sengaja memperlambat gerakannya sehingga tongkat itu sudah dekat sekali dengan lehernya. Tiba-tiba dia miringkan tubuhnya membiarkan tongkat lewat dan anginnya sudah terasa oleh kulit lehernya lalu tiba-tiba saja dia menyarang kakek itu dengan jari-jari tangan terbuka ke arah matanya. Cepat bukan main serangannya itu. Tentu saja selain bagian tubuh yang dirahasiakannya, sepasang mata sama sekali tidak terlindung oleh kekebalan. Dia terkejut dan cepat menarik mundur tubuhnya begian atas sedangkan tangan kirinya menangkis dari samping. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa serangan itu tidak dilanjutkan oleh lawan, dan kini tongkatnya yang kena ditangkap oleh tangan kanan pemuda yang lihai bukan main itu.

“Haiiiiitttt...!” Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan teriakan keras dan tangan kirinya menyambar ke arah kepala Bun Houw dengan cengkeraman maut, sedangkan tangan kanannya tetap memegang ujung tongkat sambil menarik dengan sentakan kuat.

“Hemmm!” Bun Houw mengeluarkan suara gerengan dalam dada, tangan kirinya digerakkan menangkis dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan juga menggunakan tangan kanan yang memegang ujung tongkat untuk menarik.

“Plakk! Krekkk...!” Tubuh Pek-hiat Mo-ko untuk ke sekian kalinya terlempar ke belakang dan tongkatnya patah menjadi dua potong, yang sepotong tertinggal di tangan Bun Houw. Tangkisan hebat tadi membuat tubuhnya terlempar dan karena dia mempertahankan tongkatnya, maka tongkat itulah yang tidak kuat menahan dan menjadi patah. Muka Pek-hiat Mo-ko yang putih pucat itu berubah sedikit merah, akan tetapi lalu menjadi putih kembali dan dia memandang tongkat di tangannya dengan mata terbelalak, seolah-olah masih belum mau percaya melihat tongkat pusakanya itu dapat patah. Padahal ada kepercayaan tahyul di dalam hatinya bahwa patahnya tongkat pusaka yang dianggap tidak mungkin dapat pulih itu berarti kematiannya! Maka dia menjadi nekat. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu dan dengan teriakan ganas dia menubruk maju, menghantam dengan dahsyat ke arah lawannya. Bun Houw juga sudah membuang tongkat patah itu dan cepat menyambut serangan lawan dengan kedua tangan pula. Akan tetapi sekali ini dia tidak mengadu pukulan, melainkan menangkap kedua pergelangan tangan lawan.

“Ihhh!” Pek-hiat Mo-ko terkejut dan marah. Kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan pemuda itu, tangkapan yang amat kuat dan biarpun dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sin-kangnya untuk menarik kedua tangannya, tetap saja dia tidak mampu meloloskan diri. Dia menjadi marah. Ditangkap kedua pergelangan tangannya seperti itu tidak ada artinya dan dengan cara demikian pemuda itupun tidak akan mampu menangkap, maka dia tertawa mengejek.

“Ha-ha, engkau takut melanjutkan pertempuran?”

“Pek-hiat Mo-ko, hendak kulihat bagaimana kau dapat melepaskan peganganku!” Bun Houw juga mengejek dan memperkuat pegangannya sehingga agaknya kalau kakek itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memaksa, cekalan itu tidak akan terlepas akan tetapi kedua lengan kakek itu yang akan copot atau patah seperti tongkat tadi!

Pek-hiat Mo-ko maklum akan hal ini, maka dia menjadi makin gelisah dan marah. Semua pengikutnya telah tewas, hanya tinggal Hek-hiat Mo-li yang masih bertanding mati-matian melawan gadis perkasa itu dan ternyata kawannya itupun tidak mampu mendesak gadis bertangan kosong itu yang kini memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang yang luar biasa kuatnya pula. Dipengaruhi oleh patahnya tongkat pusakanya yang dianggap sebagai pertanda akhir hidupnya, kakek yang marah ini menjadi nekat.

“Lepaskan tanganku!” bentaknya dan dia menendang ke arah bawah pusar Bun Houw! Inilah yang dikehendaki oleh pemuda itu! Dia hendak memaksa lawannya untuk melakukan tendangan karena hanya di waktu menendang sajalah telapak kaki dari lawannya itu “terbuka” dan tidak terlindung atau tersembunyi. Akan tetapi Bun Houw memang cerdik. Dia tidak terlalu membiarkan kegirangan menguasainya dan dia maklum bahwa sekali dia tidak berhasil merobohkan kakek itu melalui serangan pada telapak kakinya, berarti dia gagal dan kakek itu tentu akan menjadi lebih berhati-hati menyembunyikan rahasianya. Maka dia masih berpura-pura tidak tahu bahwa rahasia kelemahan itu terletak di telapak kaki, maka ketika tendangan menyambar ke arah bawah pusar, dia cepat miringkan tubuhnya untuk mengelak, dan sengaja dia membiarkan pahanya tertendang dengan mengurangi geralakan elakannya.



“Desss...!” Bun Houw menyeringai tanda kesakitan dan kakek itu tertawa bergelak, merasa bahwa dia berada dalam keadaan unggul maka selagi pemuda itu menyeringai kesakitan, dia sudah menggerakkan kaki kirinya menendang lagi mengarah paha yang baru saja tertendang, yang dianggapnya merupakan tempat yang baik untuk dihantam terus selagi bagian itu terasa nyeri. Namun, pemuda perkasa itu telah memperhitungkan saat ini dengan tepat dan dia sudah mengumpulkan seluruh tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam lengan kanannya sampai ke ujung jari kanan. Melihat kaki kiri melalui menyambar, secara tiba-tiba dia melepaskan cekalan tangan kanannya dari pergelangan tangan lawan dan tangan itu menyambar ke bawah, mencengkeram ke arah telapak kaki kiri lawan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat bukan main. Batu karang yang bagaimana kerasnyapun akan hancur lebur oleh cengkeraman yang mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu. Dan ternyata, tidak seperti anggauta badan di bagian lain yang telah membuktikan kekebalannya terhadap kedahsyatan Thian-te Sin-ciang, ketika telapak kaki kiri dari Pek-hiat Mo-ko itu kena dicengkeram, kaki itu menjadi remuk-remuk tulangnya dan hancur kulit dagingnya! Pek-hiat Mo?-ko mengeluarkan pekik mengerikan, matanya terbelalak ketika mulutnya memekik dan pada saat itu, tangan kiri Bun Houw yang sudah melepaskan pegangan pada pergelangan tangan lawan sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah dadanya.

“Krekkk...!” Tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting, tulang iganya patah-patah dan seluruh isi dadanya terguncang hebat. Kekebalannya telah lenyap setelah telapak kakinya hancur. Namun, dalam keadaan yang sudah seperti itu, yang tentu merupakan sebab kematian bagi orang lain yang bagaimana kuatpun, kakek bermuka putih itu masih dapat meloncat bangun dan seperti sebuah mayat hidup dia menubruk ke arah Bun Houw! Namun, pemuda ini dengan gerakan lincah telah menggeser kaki miringkan tubuh dan kakinya menyambar.

“Desss...!” Tubuh yang seperti mayat hidup itu terjengkang, roboh terbanting dan tidak bergerak lagi karena memang Pek-hiat Mo-ko telah menghembuskan napas terakhir di waktu dia mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk menubruk tadi.

“Hong-moi, mundurlah, biarkan aku menghadapinya,” kata Bun Houw sambil mendekati In Hong yang masih bertempur dengan mati-matian melawan Hek-hiat Mo-li.

“Tidak, aku harus dapat merobohkan dia sendiri, Houw-ko. Mundurlah dan jangan khawatir!” In Hong menjawab. Gadis ini merasa penasaran sekali. Bun Houw telah berhasil merobohkan lawan, namun dia masih juga belum berhasil. Dia tahu bahwa memang Bun Houw memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, akan tetapi dengan ilmu kepandainya, apalagi setelah dia berhasil menyempurnakan tenaga Thian-te Sin-ciang, dia merasa sanggup untuk mengalahkan nenek ini, lebih-lebih lagi karena dia sudah mendapat bisikan dari Kok Beng Lama. Akan tetapi, biarpun dia terus mengarahkan semua serangan pukulan mautnya ke arah kaki dan sudah beberapa kali mengenai kaki lawan, tetap saja nenek itu belum dapat dia robohkan. Dia tidak dapat melihat bagaimana Bun Houw tadi merobohkan Pek-hiat Mo-ko, maka diapun belum tahu di mana sesungguhnya letak kelemahan lawannya. Akan tetapi, biarpun demikian, dia merasa enggan dan malu kalau harus menyerahkan lawan ini kepada Bun Houw, apalagi karena pertempuran itu ditonton oleh banyak orang, di antaranya terdapat kakak kandungnya sendiri yaitu Yap Kun Liong, ada lagi Cia Giok Keng, Cia Keng Hong, Kok Beng Lama, Souw Kwi Beng, Tio Sun dan masih banyak lagi yang lain, bahkan semua perajurit pasukan kota raja juga menonton!

Dengan alis berkerut Bun Houw mundur lagi kemudian dia lari meninggalkan tempat itu menuju ke sebelah dalam dan tak lama kemudian muncullah pemuda ini membawa sebatang pedang yang bukan lain adalah pedangnya sendiri yang tadinya dirampas oleh musuh, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Dia menanti kesempatan baik lalu melontarkan pedang itu ke arah In Hong sambil berseru, “Hong-moi, pakailah pedangmu ini!”

Sekali ini In Hong tidak menolak. Dia menyambut pedang itu dan diputarnya sehingga merupakan gulungan sinar emas yang menyilaukan mata. Dia mau menggunakan pedang karena bukankah lawannya juga menggunakan tongkat? Dan begitu Hong-cu-kiam berada di tangannya, semangat In Hong berkobar lagi. Dia harus dapat merobohkan lawannya. Harus!

“Cring-cring-tranggg...!” Bunga api berpijar ketika pedang bertemu bertubi-tubi dengan tongkat dan tangan Hek-hiat Mo-li dan nenek itu terhuyung ke belakang ketika tangan kiri In Hong menyusul dengan dorongan-dorongan yang mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang.

Aku harus menyerang kakinya bawah lutut. Akan tetapi bagian yang mana? Demikian In Hong berpikir.

“Telapak kakinya... telepak kakinya...!” Tiba-tiba dia mendengar bisikan suara Bun Houw. In Hong mengerling dengan bibir tersenyum dan mata berkilat penuh kegirangan. Tahulah dia sekarang. Kiranya di telapak kaki! Pantas saja semua pukulannya yang mengenai kaki tadi tidak berhasil. Habis, siapa yang dapat memukul telapak kaki? Kiranya begitu baik rahasia kelemahan itu tersembunyi.

Akan tetapi, In Hong adalah scorang dara yang selain cantik jelita dan gagah perkasa, juga cerdik sekali. Begitu dia mendengar bisikan ini, tiba-tiba dia merobah caranya menyerang lawan dan kini dia melempar diri ke atas tanah, lalu bergulingan dan sinar emas menyambar-nyambar ke bawah kaki lawan!

“Ihhh...!” Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan memutar tongkat melindungi kakinya.

“Tranggg...!” Bunga api berpijar dan seperti seekor burung terbang cepatnya, In Hong bergulingan ke arah kiri nenek itu dan tiba-tiba sinar emas pedangnya mencuat ke atas menusuk ke arah mata kanan lawan.

“Ihhhh...!” Nenek itu menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik. Hampir saja matanya yang tinggal sebelah menjadi korban. Karena mata kirinya sudah buta, maka ketika lawannya tadi bergulingan ke sebelah kirinya, dia tidak dapat memandang dengan cukup jelas gerakan lawan dan tahu-tahu sinar emas menyambar ke arah mata kanannya, padahal sejak tadi dia mencurahkan perhatian untuk melindungi kakinya! Dan ketika dia berhasil menyelamatkan mata kanannya dan baru saja kakinya menginjak tanah, sinar emas itu menyambar ke bawah, membabat tanah di bawah kaki Hek-hiat Mo-li. Pada saat itu, Hek-hiat Mo-li sendiri yang menjadi marah sedang menghantamkan tongkatnya ke arah kepala In Hong! Melihat dara itu hanya miringkan kepalanya sehingga hantaman tongkat itu masih menyambar ke pundak, nenek itu menjadi girang sehingga dia kurang waspada. Baru setelah sinar emas membabat tanah dan terus mengenai telapak kaki kirinya, dia menjerit mengerikan.



“Dessss! Crottt...!” Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan nenek itu mengangkat kaki kirinya yang berdarah sambil berteriak-teriak kesakitan. Bagian belakang telapak kaki kirinya telah terbabat dan terluka oleh Hong-cu-kiam, sedangkan pundak In Hong juga terkena pukulan tongkat.

“Hong-moi...!” Bun Houw berseru kaget, akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat In Hong dapat bangkit kembali dan dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan dia siap untuk mengejar dan membunuh Hek-hiat Mo-li yang masih mengangkat kaki kiri yang berdarah sambil menjerit-jerit kesakitan.

Akan tetapi pada saat itu terdengar bunyi terompet dan tambur. Semua orang menengok dan terkejutlah mereka karena tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang sedikitnya tentu ada seribu orang jumlahnya.

“Keparat!” Kok Beng Lama berseru dengan suaranya yang besar. “Mari kita amuk mereka!”

“Nanti dulu, locianpwe. Jumlah mereka terlalu banyak dan dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi kita untuk menunggu dan membela diri, daripada menyerang,” kata Cia Giok Keng dan Kok Bang Lama tidak jadi bergerak. Kepala pasukan itu, Panglima Lee Cin, juga menyerukan aba-aba agar semua pasukan tidak bergerak, melainkan membentuk barisan pertahanan.

“Tahan semua senjata!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dari dalam pasukan besar itu muncul seorang tinggi besar yang kemudian ternyata adalah Raja Sabutai sendiri!

Semua orang terkejut dan memandang raja liar itu, akan tetapi agaknya In Hong tidak mau perduli dan dia sudah melangkah maju menghampiri Hek-hiat Mo-li dengan pedang di tangan.

“In Hong jangan bergerak...!” Yap Kun Liong, berseru kepada adiknya. Mendengar kesungguhan dalam suara kakaknya itu, In Hong meragu dan menoleh kepada kakaknya. Seperti juga Cia Keng Hong, Kun Liong melihat ancaman bahaya. Kalau Raja Sabutai memerintahkan pasukannya menyerbu, biarpun mereka memiliki kepandaian tinggi, tentu mereka semua akhirnya akan tewas dalam keroyokan ribuan orang perajurit musuh.

Bun Houw dengan cepat meloncat ke dekat In Hong dan memegang lengan dara itu dengan mesra. “Suheng berkata benar, Hong-moi. Bagaimana dengan pundakmu? Mari kuobati...”

Dengan sikap mesra Bun Houw lalu memeriksa pundak yang terpukul tongkat tadi, kemudian melihat betapa pundak itu tidak terluka, hanya berwarna merah kebiruan, dia merasa lega, karena tulang pundak dara itupun tidak patah. Dengan penyaluran sin-kang yang hangat, dia mengusir rasa nyeri di pundak itu. Tentu saja semua orang melihat kemesraan itu, juga Souw Kwi Beng melihat dengan muka berubah pucat sekali.

Sementara itu, melihat bahwa Raja Sabutai melangkah maju ke dalam kurungan ribuan perajurit itu, menghampiri mereka dan raja itu membawa sebatang pedang yang dikenalnya baik, ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong lalu melangkah maju menyambut dan menjura kepada raja itu.

“Apa maksud sri baginda datang bersama pasukan dan menghentikan pertandingan?” tanya Cia Keng Hong dengan sikap tenang.

Raja Sabutai tertawa dan memandang kepada mayat-mayat yang bergelimpangan di situ, mayat dari semua pengikut dua orang gurunya, bahkan suhunya, Pek-hiat Mo-ko, juga telah tewas. Dia berhenti tertawa dan menarik napas panjang. “Cia-taihiap, kami melihat betapa semua pengikut suhu dan subo telah tewas, behkan suhu telah tewas dan subo terluka hebat. Suhu dan subo tidak mau mendengar bujukan kami bahwa memusuhi jagoan-jagoan dari kota raja merupakan hal yang bodoh sekali. Sekarang mereka telah merasakan sendiri akibatnya dan tentu suhu sudah kapok. Urusan ini dimulai dengan pedang Siang-bhok-kiam. Nah, sekarang kami datang untuk mengembalikan Siang-bhok-kiam yang oleh suhu dititipkan kepada kami kepada pemiliknya, akan tetapi sebagai gantinya, kami harap taihiap dan semua teman taihiap suka membebaskan subo.”

Cia Keng Hong maklum bahwa di balik ucapan itu terkandung ancaman hebat. Kalau dia dan teman-temannya tidak mau menerima penukaran itu, tentu raja ini akan mengerahkan ribuan pasukan mengeroyoknya dan tak mungkin melawan ribuan orang lawan! Maka dia menjura dan menjawab, “Kami semua datang bukan hanya karena ingin minta kembali Siang-bhok-kiam, melainkan juga untuk menyelamatkan nona Yap In Hong yang diculik oleh kedua guru sri baginda. Setelah sekarang nona Yap In Hong selamat, tentu saja kamipun tidak akan terlalu mendesak. Terima kasih atas kebaikan sri baginda yang suka mengembalikan pedang pusaka kepada yang berhak memiliki.”

“Ha-ha-ha, Cia-taihiap sebagai ketua Cin-ling-pai memang berpandangan bijaksana. Nah, terimalah Siang-bhok-kiam ini,” katanya sambil menyerahkan Pedang Kayu Harum itu kepada Cia Keng Hong yang menerimanya dengan sikap penuh hormat.

“Subo, marilah pergi bersama kami!” Sabutai berkata sambil menghampiri nenek itu, kemudian dia memondong nenek yang mata kirinya buta dan kaki kirinya terluka pula itu. Semua orang memandang dengan penuh kagum kepada Raja Sabutai. Kiranya orang yang gagah perkasa ini bukan hanya merupakan orang yang mampu menundukkan orang-orang liar di antara para Suku Nomad di utara, akan tetapi juga memiliki watak gagah dan berbakti terhadap gurunya. Semua orang diam saja ketika Raja Sabutai memerintahkan pasukannya untuk mengangkat semua mayat dari gurunya dan para pengikutnya, lalu pergilah pasukan itu setelah Raja Sabutai menjura kepada para orang gagah dan berkata sambil tersenyum kepada Tio Sun, “Jangan lupa untuk menyampaikan apa yang kaulihat di tempat kami kepada kaisar, Tio-sicu!”

Tio Sun maklum apa yang dimaksudkan oleh raja itu, maka dia mengangguk. Maka berangkatlah Raja Sabutai pergi dari Lembah Naga, diiringkan oleh ribuan orang pasukannya.



Setelah pasukan itu pergi, barulah semua orang dapat kembali kepada urusan pribadi masing-masing. Cia Giok Keng dan Lie Seng saling lari menghampiri dan ibu dan anaknya ini saling berpelukan dengan linangan air mata, demikian pula Mei Lan berlutut di depan kaki Yap Kun Liong dan ayah itu dengan air mata berlinang juga merangkul puterinya. Pertemuan yang mengharukan antara ibu dan anak, dan ayah dan anak ini terjadi tanpa banyak kata terucap, hanya pandang mata yang berlinang air mata dari mereka sudah bicara banyak sekali. Semua orang memandang dengan hati penuh keharuan, karena melihat Giok Keng berlutut dan mendekap puteranya sedangkan Kun Liong mengangkat bangun Mei Lan dan dipeluknya puterinya itu penuh kasih sayang dan dengan air mata membasahi pipi karena tentu saja pertemuannya dengan Mei Lan ini mengingatkan Kun Liong akan kematian isterinya.

“Ayah... maafkan aku...” Mei Lan berbisik lirih, dan Kun Liong menggunakan jari-jari tangannya untuk meraba dan menutup bibir mulut puterinya itu, seolah-olah hendak mencegah gadis cilik itu bicara lebih lanjut karena dia sudah dapat memahami semua persoalannya.

Pada saat itu, nampak seorang wanita berpakaian serba merah lari menghampiri Bun Houw dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda yang telah selesai mengobati luka di dalam pundak In Hong.

“Taihiap... harap taihiap suka mengasihani saya... harap taihiap sudi menerima saya menghambakan diri... setelah semua yang telah terjadi...” Wanita yang bukan lain adalah Liong Si Kwi itu menangis, tangan kanan mengusap air matanya yang bercucuran, juga tangan kirinya yang buntung itu ikut bergerak ke depan mukanya sehingga kelihatan amat mengerikan dan menyedihkan.

Wajah Bun Houw berubah pucat ketika dia memandang Si Kwi. Terbayanglah semua yang telah terjadi antara dia dan Si Kwi di dalam kamar wanita itu dan marahlah hatinya. Dia tahu bahwa Si Kwi mencintanya, akan tetapi dia marah sekali mengingat betapa wanita ini menggunakan kesempatan selagi dia tercengkeram oleh pengaruh hawa beracun yang membangkitkan berahinya, telah melakukan hubungan kelamin dengan dia dan dia merasa malu, menyesal dan marah sekali dengan terjadinya hal itu. Kalau saja di situ tidak terdapat banyak orang di antaranya malah ada ayahnya sendiri, tentu telah ditendangnya wanita itu. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan berkata dengan suara dingin. “Engkau bukan wanita baik-baik. Pergilah kau dari sini!”

“Taihiap...!” Wajah Si Kwi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada pemuda yang dipuja dan dicintanya itu.

“Pergilah!”

Si Kwi bangkit berdiri, menangis sesenggukan dan lari meninggalkan tempat itu. Semua orang memandang sampai bayangan wanita itu lenyap di antara pohon dan kini Cia Keng Hong memandang puteranya dengan sinar mata penuh selidik. Dia tidak senang melihat sikap puteranya terhadap Si Kwi tadi, yang dianggapnya amat keras dan kejam, sungguhpun dia sendiri tidak tahu apa dan siapa wanita berpakaian merah yang tangan kirinya buntung itu.

“Bun Houw...!” Dia memanggil dan pemuda itu terkejut, menoleh kepada ayahnya, kemudian dia menggandeng tangan In Hong dan berbisik kepada dara itu untuk ikut bersamanya menghadap ayahnya. In Hong memandang wajah pemuda itu dengan senyum dan sinar mata penuh kemesraan, kemudian mengangguk dan keduanya lalu menghadap Cia Keng Hong dan mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti itu.

Melihat sikap pemuda dan gadis itu, Souw Kwi Beng menarik napas panjang dan ketika dia merasa betapa tangan Tio Sun memegang lengannya, dia menoleh dan tersenyum getir kepada pemuda itu. Mereka sudah sama maklum dan Tio Sun menatapnya dengan sinar mata mengandung iba.

“Houw-ji, bagaimana engkau bisa berada di sini dan tertawan bersama In Hong?” tanya ayah itu yang merasa tidak senang melihat puteranya yang bergandengan tangan demikian mesranya di depan orang banyak dengan In Hong. Jelas kelihatan oleh semua orang yang berada di situ bahwa ada pertalian cinta kasih mesra antara puteranya dan In Hong, sedikitpun mereka berdua tidak menyembunyikan perasaan saling mencinta itu.

“Ayah, aku mendengar di kota raja bahwa Hong-moi diculik, maka aku melupakan segalanya dan segera mengejar ke sini. Untuk menyelamatkan Hong-moi, terpaksa aku membiarkan diri ditawan dan... untung sekali bahwa ayah, suhu dan para sahabat yang gagah datang menolong...”

“Dan surat untuk ke Yen-tai itu...?”

“Maaf, ayah. Belum sempat kusampaikan... dan... sesungguhnya aku tidak dapat melaksanakan tali perjodohan itu, ayah...”

“Apa...?” Ayahnya membentak.

“Maaf, ayah. Aku... aku dan Hong-moi... kami... saling mencinta dan sudah berjanji untuk hidup berdua dan mati bersama...”

Jantung Cia Keng Hong terasa tergetar hebat yang tidak dia ketahui apa sebabnya, entah marah entah girang. Memang sejak dahulu dia ingin sekali mempunyai mantu keturunan Yap Cong San dan Gui Yan Cu. Mula-mula, niatnya untuk menjodohkan puterinya, Giok Keng, dengan Kun Liong mengalami kegagalan karena puterinya tidak mencinta Kun Liong dan Kun Liongpun mencinta gadis lain. Kemudian, dia ingin sekali mengambil adik Kun Liong, yaitu Yap In Hong menjadi mantunya, dijodohkan dengan puteranya, Cia Bun Houw. Akan tetapi hal itupun mengalami kegagalan ketika In Hong mengantar Yalima ke Cin-ling-san dan secara kasar dan keras memutuskan hubungan atau ikatan perjodohan antara In Hong dan Bun Houw itu. Hal ini amat menyedihkan dan menyakitkan hatinya dan baru saja sakit hati itu sedikit terobati ketika dia dapat menjodohkan puteranya dengan keturunan Souw Li Hwa dan sekarang tiba-tiba dia melihat puteranya dan In Hong berlutut di depannya dan menyatakan bahwa mereka saling mencinta!



Cia Keng Hong mengelus jenggotnya. Dia seperti lupa bahwa banyak sekali orang melihat dan mendengar apa yang terjadi di situ, akan tetapi dia tidak merahasiakan urusan pribadi keluarganya dan langsung dia bertanya kepada In Hong, “Yap In Hong, benarkah bahwa engkau mencinta Bun Houw?”

Wajah In Hong seketika berubah merah sekali. Sungguh luar biasa sekali ketua Cin-ling-pai ini! Bertanya kepada seorang gadis tentang cinta di depan begitu banyak orang! Akan tetapi, In Hong sejak kecil hidup dalam keadaan penuh kekerasan, penuh keanehan dan penuh bahaya, maka hanya sebentar saja dia merasa canggung dan malu, kemudian dengan lantang dia menjawab, “Benar, supek, saya mencinta Houw-ko seperti juga dia mencinta saya.”

“Hemmm... benarkah itu? Lupakah engkau, In Hong, baru beberapa bulan yang lalu engkau pernah datang ke Cin-ling-san dan apakah yang kaukatakan kepada kami orang tua dari Bun Houw? Bukankah engkau telah memutuskan tali perjodohan yang tadinya telah diikat antara kau dan Bun Houw oleh kakakmu Yap Kun Liong dan kami?”

“Benar, supek, dan saya tidak lupa akan hal itu,” jawab In Hong dengan suara lantang dan tenang.

“Dan engkau sekarang...?”

“Supek, sudah tentu saja keadaannya jauh berbeda antara waktu itu dan sekarang ini. Ketika itu, saya dan Houw-koko tidak saling mengenal, bahkan belum pernah saling bertemu. Mana mungkin ada rasa cinta kasih di antara kami berdua? Pula, karena penuturan Yalima tentang dia dan Houw-koko, mana mungkin saya menerima ikatan jodoh dari seseorang yang telah mempunyai pacar? Sekarang lain lagi keadaannya. Yalima telah bersuami dan urusan dia telah jernih, tidak menghalangi hubungan antara Houw-ko dan saya, dan kami sudah saling mencinta.” Ketika mengeluarkan kata-kata ini, In Hong masih berlutut di samping Bun Houw, bahkan tangan kanannya masih saling bergandengan dengan tangan kiri pemuda itu, dan jari-jari tangan kiri Bun Houw tergetar dan pegangannya makin erat ketike dia mendengar ucapan kekasihnya dan melihat sikap yang demikian tabah dan tegas.

“Ayah, harap ayah sudi mengampuni semua kesalahanku dan kesalahan Hong-moi, dan sudi merestui cinta kasih antara kami...”

Namun Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dengan tegas, wajahnya membayangkan kekerasan dan kedukaan, kedua tangannya dikepal dan dia menarik napas panjang setelah menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa, Bun Houw. Tidak mungkin aku bisa memberi restu dan persetujuanku dan tidak boleh aku membiarkan engkau menjadi seorang yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Engkau sudah kami tunangkan dengan puteri Yuan de Gama dan Souw Li Hwa, engkau sudah menjadi calon suami Souw Kwi Eng di Yen-tai.”

“Tidak, ayah! Tidak, aku tidak mau!” tiba-tiba Bun Houw berkata dengan keras, mukanya berubah merah.

“Hemmm, kehormatan lebih berharga daripada nyawa, anakku.”

“Maksud ayah...?”

“Engkau boleh memilih karena aku sebagai ayahmu hanya ingin melihat engkau antara dua pilihan itu, menjadi suami Souw Kwi Eng atau mati sebelum melanggar kehormatan yang akan menjatuhkan nama baik keluarga!”

“Ayah, aku memilih mati! Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dari Hong-moi!” jawab pemuda itu sambil berlutut dan sikapnya menantang.

“Hemmm...!” Wajah pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu berubah agak pucat.

“Dan sebelum supek membunuh Houw-ko, lebih dulu supek harus membunuh saya!” In Hong juga berkata dan menggeser kedua lututnya, berlutut di depan kekasihnya untuk melindunginya!

“Hemmm, kalian mengira aku akan mengingkari kehormatan demi nyawa anak?” Sambil berkata demikian, tangan kanan Cia Keng Hong memegang gagang pedang Siang-bhok-kiam dan menghunusnya dari sarung pedang! Bun Houw dan In Hong masih berlutut dan dahi mereka hampir menempel tanah, mereka siap untuk menyerahkan nyawa mereka berdua, rela untuk mati bersama kalau tidak boleh hidup sebagai suami isteri.

“Ho-ho, nanti dulu, Cia Keng Hong!” Terdengar suara nyaring dan Kok Beng Lama sudah melompat maju ke depan ketua Cin-ling-pai itu dengan muka merah dan senyumnya mengandung ancaman, matanya mengeluarkan sinar mencorong. “Enak saja engkau hendak membunuh muridku! Jangan kau lupa, Bun Houw dan In Hong adalah murid-muridku dan seorang guru tidak nanti akan membiarkan murid-muridnya dibunuh orang begitu saja, biarpun orang itu adalah ayahnya! Selama hidupku, belum pernah aku melihat seorang ayah begitu kejam dan tega untuk membunuh puteranya. Seekor harimaupun tidak akan membunuh anaknya. Apakah harus kukatakan bahwa Cia Keng Hong adalah seorang manusia yang lebih buas daripada harimau?”

Cia Keng Hong, pendekar sakti yang terkenal gagah perkasa itu, yang namanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw, kini menjadi makin berduka, akan tetapi dia menentang pandang mata pendeta Lama itu yang amat dia kagumi, lalu menarik napas panjang dan dengan pedang Siang-bhok-kiam tetap di tangannya, dia berkata dengan suara tenang tidak dikuasai perasaan.

“Kok Beng Lama locianpwe, hidup di dunia tidaklah lama, hanya beberapa puluh tahun yang kalau tidak dirasakan seperti hanya beberapa hari saja lamanya. Apakah artinya hidup sependek itu kalau tidak diisi dengan kehormatan? Apakah artinya hidup tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan yang dicita-citakan oleh semua manusia? Manusia haruslah mempunyai cita-cita, menjunjung tinggi cita-cita, tidak hanya menuruti hati yang lemah. Dan cita-cita seorang pendekar hanyalah menjunjung tinggi kegagahan dan kehormatan, menjaga nama agar bersih sampai tujuh turunan!”



“Ha-ha-ha, betapa waspadanya kakek Bun Hwat Tosu! Ha-ha-ha, baru saja dia membuka mataku dan bicara tentang cita-cita, dan sekarang... ha-ha, ketua Cin-ling-pai juga bicara tentang cita-cita dan pandangannya persis seperti pandanganku ketika itu! Ha-ha, Cia-taihiap, bicaramu tentang cita-cita itu justeru merupakan kebodohan manusia pada umumnya yang terbuai oleh kehormatan palsu, oleh cita-cita yang merusak kewajaran hidup, yang menyelewengkan kemurnian hidup.”

Cia Keng Hong mengerutkan alisnya. Cita-cita dan kehormatan adalah “pegangan” semua orang gagah, mengapa dikatakan merusak dan menyelewengkan? “Hem, locianpwe, apa maksud locianpwe?”

“Bun Hwat Tosu,” Kok Beng Lama memandang ke angkasa, “mudah-mudahan saja kenyataan yang akan kubicarakan ini akan dapat membuka kesadaran orang-orang lain seperti telah membuka kesadaranku.” Kemudian dia melangkah maju mendekati Cia Keng Hong dan berkata lagi, suaranya tenang, “Cia-taihiap, apakah artinya cita-cita? Bukankah cita-cita hanya merupakan bayangan yang tidak ada, merupakan sesuatu yang dianggap lebih indah daripada kenyataan yang ada, merupakan bayangan khayal, yang dikejar-kejar oleh manusia yang ingin mencapainya? Bukankah cita-cita itu sesuatu yang telah digambarkan, merupakan bayang-bayang yang dipuja-puja sebagai teladan untuk dicapainya dengan cara bagaimana pun.”

“Agaknya benar demikian, locianpwe. Cita-cita adalah sesuatu yang amat baik, yang menjadi arah tujuan hidup. Tanpa cita-cita yang tinggi, hidup akan menyeleweng.”

“Benarkah demikian? Apakah tidak sebaliknya? Apakah bukan justeru karena mengejar cita-cita itu maka manusia saling gempur, saling jegal, saling hantam demi mencapai cita-citanya masing-masing? Apakah bukan cita-cita yang menimbulkan perbuatan-perbuatan kejam, keras, dan pengejarannya membuat kita menyeleweng daripada kebenaran? Cita-cita adalah suatu contoh yang sudah digambarkan lebih dulu, dan kalau kita memaksa diri menjangkaunya, mengekornya, bukankah kita menjadi manusia-manusia yang paling munafik dan palsu? Kita bercita-cita menjadi orang baik, akan tetapi kalau memang kita tidak baik, maka kita akhirnya menjadi orang baik yang palsu, baik pura-pura hanya untuk memenuhi gambaran contoh yang dicita-citakan itu belaka!”

“Tidak begitu, locianpwe. Cita-cita membawa orang yang bodoh menjadi pintar, yang tidek baik menjadi baik, membawa dan mendorong manusia untuk memperoleh kemajuan. Tanpa cita-cita kita akan mandeg!” bantah Keng Hong.

“Ha-ha-ha, persis seperti pandanganku tempo hari!” Kakek raksasa itu tertawa, kemudian menjawab dengan suara tenang kembali. “Andaikata orang bodoh itu mengenal diri sendiri dan melihat kebodohannya, dia sudah bukan orang bodoh lagi! Sebaliknya, orang bodoh yang tidak melihat kebodohannya dan merasa diri pintar, dialah sebodoh-bodohnya orang, taihiap! Demikian pula, andaikata orang tidak baik itu mengenal diri sendiri dan melihat ketidakbaikannya, maka pengertian ini menimbulkan kesadaran dan dia bukan orang tidak baik lagi dan dia tidak perlu mencari untuk menjadi orang baik lagi! Sebaliknya, dalam keadaan tidak baik lalu mengejar untuk menjadi orang baik, pengejarannya itu akan menimbulkan banyak ketidakbaikan, mungkin dia akan pura-pura berbuat baik, mungkin dia akan menggunakan kekerasan, kedudukan, harta benda, untuk dapat disebut orang baik dan di dalam semua kebaikan yang dilakukan oleh orang tidak baik terkandung ketidakbaikan yang paling jahat! Kita sudah terbiasa menganggap bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, anggapan kuno yang sudah mendarah daging dan kita terima begitu saja tanpa penyelidikan akan kebenarannya. Mendatangkan kemajuan? Kemajuan yang bagaimanakah? Kita bercita-cita menjadi seorang berkedudukan tinggi dan dalam mengejar cita-cita itu, sudah hampir dapat dipastikan terjadi perebutan, terjadi penyogokan, terjadi kekerasan, bahkan mungkin kita harus menginjak orang lain sebagai batu loncatan dan setelah kita berhasil mencapai cita-cita itu, memperoleh kedudukan tinggi, apakah itu kemajuan namanya?”

Semua orang yang mendengarkan memandang dengan mata terbelalak karena baru satu kali ini mereka mendengar perdebatan yang aneh itu. Pendekar Sakti Cia Keng Hong memandang pucat, lalu berkata, “Eh... nanti dulu, locianpwe... saya menjadi agak bingung. Jadi menurut locianpwe, kita tidak harus bercita-cita, harus puas dengan keadaan yang sekarang ini saja? Tidak boleh mencari kemajuan? Berarti menjadi orang biasa saja tidak ada artinya?”

“Ha-ha-ha, lucu...! Lucu...! Kenapa pandangan kita pada umumnya begitu sama dan persis? Justeru demikian pula yang kukatakan kepada Bun Hwat Tosu ketika aku membantahnya!” Dia tertawa bergelak, kemudian berkata lagi, sikapnya kembali tenang.

“Cia-taihiap, jangan mencari contoh anggapan atau pandangan orang lain! Mari kita selidiki bersama, jangan hanya menyandarkan kepada pandanganku atau pandangan siapapun juga. Tidak perlu kita berpegang kepada pelajaran mati, harus bercita-citakah, atau tidak haruskah, atau harus puas atau tidak puaskah? Apa sih artinya harus ini atau tidak harus itu? Kalau puas ya puas saja, kalau tidak puas ya tidak puas saja, jangan dipaksakan menjadi sebaliknya karena hal itu menimbulkan pertentangan batin dan kepalsuan belaka. Mengapa kita tidak puas dengan keadaan saat ini? Sekali tidak puas, sampai matipun kita selalu akan tidak puas, bukan? Keadaan setiap saat berubah, akan tetapi ketidakpuasan yang timbul karena mengejar keadaan yang lain itu tidak akan pernah berubah dan akan menekan kita selama hidup. Tidak ada yang tidak membolehkan orang mencari kemajuan, akan tetapi harus dimengerti lebih dulu, apa sih kemajuan yang kita cari-cari itu? Taihiap mengatakan bahwa hal itu berarti menjadi orang biasa saja. Apa salahnya menjadi orang biasa? Kenapa semua orang ingin menjadi orang yang LUAR BIASA? Ha-ha, justeru inilah yang menjadi sebab dan sumber timbulnya segala malapetaka di dunia, segala permusuhan dari perorangan sampai kepada kelompok dan bangsa. Ingin menjadi luar biasa, lain daripada yang lain, paling hebat, paling jempol, haus akan pujian. Padahal semua itu kosong belaka, hanya angin yang akan memenuhi kepala menjadi besar dan tolol! Kita semua takut untuk menjadi orang yang dianggap tidak ada artinya! Padahal kita baru dipandang kalau kita sudah dapat mengalahkan orang lain, memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan kita. Tidak anehlah kalau pendidikan macam ini membentuk kita menjadi manusia-manusia yang kejam, yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi. Ya, itulah cita-cita dan pengejarannya! Cita-cita yang diagung-agungkan itu bukan lain hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Kesenangan, cita-cita, kedudukan, kekayaan, kemulyaan, dan sebagainya tidaklah buruk, akan tetapi PENGEJARANNYA, itulah yang amat jahat! Kekayaan, misalnya, tidak buruk, akan tetapi pengejarannya, mengejar kekayaan itulah yang menciptakan pelbagai perbuatan jahat yang kejam. Karena pengejaran ini yang membutakan mata batin, dalam mengejar sesuatu yang kita inginkan untuk menyenangkan diri, yang diselimuti dengan nama indah cita-cita, kita menjadi buta dan melakukan apa saja demi tercapainya cita-cita itu. Bukankah demikian yang kita lihat di sekitar kita setiap hari?”



Cia Keng Hong menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Mata lahirnya terpejam, namun mata batinnya mulai terbuka. Nampak jelas olehnya betapa cita-cita dan kehormatan yang dipertahankannya mati-matian itupun sesungguhnya memang mempunyai dasar untuk menyenangkan hatinya sendiri, agar dia dianggap orang gagah betul, dipuji-puji di seluruh dunia sebagai orang yang berani mengorbankan anak demi kehormatan! Terbukalah matanya bahwa demi menyenangkan diri sendiri agar dipuji, dia hampir saja membunuh anaknya! Demi kesenangan diri sendiri, dia tidak memperdulikan lagi keadaan anaknya! Terkejutlah dia melihat kenyataan ini dan dia kembali membuka matanya yang memandang agak sayu kepada Kok Beng Lama yang tersenyum dan matanya mencorong itu.

“Locianpwe, saya masih agak bingung. Tadinya saya anggap bahwa apa yang saya lakukan ini bukan hanya demi kehormatan saya, melainkan kehormatan dan nama baik Bun Houw! Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik, dan keinginan itu tentu timbul karena saya cinta kepada anak saya. Apakah ini tidak baik dan benar?”

“Cia-taihiap,” kata Kok Beng Lama dengan suara sungguh-sungguh. “Coba dengarkan kata-kata taihiap tadi. Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik! Nah, jawabannya telah terdapat di situ, bukan? Taihiaplah yang INGIN dia menjadi orang gagah dan baik, dan semua orang tua bilang cinta kepada anak-anaknya dan mereka ingin anak-anaknya menjadi orang begitu atau begini. Coba teliti yang benar. Bukankah keinginan itu didorong oleh hati yang ingin menyenangkan diri sendiri? Ingin senang MELALUI anaknya! Taihiap akan senang kalau anak taihiap menjadi begini atau begitu menurut yang taihiap inginkan. Bukankah begitu? Maka, kalau si anak tidak menaati, lalu dimaki, dibenci, bahkan hampir dibunuh! Bukan demi cita-cita, bukan demi kehormatan, bukan pula sama sekali demi cinta, melainkan demi menyenangkan diri taihiap sendiri. Karena si anak menolak, berarti tidak menyenangkan, dan berubahlah cinta itu menjadi benci dan kekejaman, sehingga rela hampir membunuh anak. Dapatkah taihiap melihatnya? Begitu jelas!”

“Ah, locianpwe...” Pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan Cia Keng Hong dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama! Sejenak kakek raksasa ini tertawa bergelak, suara ketawanya seperti menggoncang bumi dan menggetarkan udara, akan tetapi dia lalu memeluk Keng Hong dan mengangkat bengun pendekar sakti itu yang kedua matanya menjadi basah.

“Cia-taihiap, yang penting adalah kgsadaran dan pengenalan diri sendiri berikut semua kesalahan-kesalahan kita sendiri. Makin waspada kita memandang dan membuka mata, makin jelaslah nampak seluruh kenyataan hidup ini, taihiap. Pengekoran terhadap guru atau pelajaran yang lampau hanya akan membuat kita menutup mata saja, dan hal itu dapat menimbulkan penyelewengan.” Kakek itu menarik napas panjang. “Dan sesungguhnya, mata sayapun baru beberapa hari saja terbuka ketika saya bermain catur melawan mendiang Bun Hwat Tosu...”

“Mendiang...?” Tiba-tiba Mei Lan berseru keras den meloncat ke dekat Kok Beng Lama, memegang tangan kakek raksasa itu. “Apa yang kaumaksudkan, locianpwe? Di mana suhu?”

Kok Beng Lama menarik napas panjang, mengeluarkan sebuah bungkusan kain dari dalam saku bajunya yang lebar dan memberikannya kepada Mei Lan. “Kau menanyakan suhumu? Nah, inilah dia, maksudku, inilah abu dari jenazahnya yang telah kubakar sesuai dengan permintaannya sebelum dia meninggal dunia.”

“Aihhh... suhu...!” Mei Lan lalu menangis sambil memeluk bungkusan abu itu. Semua orang memandang dan mendengarkan dengan terharu, dan Kun Liong juga menjatuhkan diri berlutut di dekat puterinya. Bun Hwat Tosu telah menjadi guru puterinya! Dan dia sendiripun adalah murid Bun Hwat Tosu yang sekarang dikabarkan mati oleh Kok Beng Lama dan yang abu jenazahnya kini dipeluk oleh puterinya.

“Heh, diam engkau! Mulai sekarang, engkau harus mendengar kata-kataku karena akulah yang menjadi gurumu. Bun Hwat Tosu telah bermain catur dan bertaruh dengan aku telah berjanji untuk menurunkan tiga macam ilmu kepadamu, sedangkan diapun telah menyerahkan tiga macam ilmunya untuk kuajarkan kepada muridku, Lie Seng. Sudah, diam, jangan menangis. Kalau gurumu masih dapat melihat dan mendengar, dia tentu akan marah kalau kematiannya ditangisi. Hayo kaukatakan, kenapa engkau menangis mendengar gurumu mati?” tanya kakek yang wataknya memang aneh itu kepada Mei Lan.

Mei Lan yang masih sesenggukan itu memandang kepada kakek itu dengan mata merah dan air mata bercucuran, sukar untuk menjawab. Kun Liong yang berlutut di dekat puterinya menghela napas dan berkata, “Gak-hu ayah mertua bolehkah saya mewakili anak saya untuk menjawab pertanyaan itu?”

“Anakmu? Dia ini anakmu? Hemm... ya, teringat aku sekarang... engkau mempunyai seorang anak perempuan bernama Mei Lan! Jadi dia inikah anaknya?”

Mei Lan yang sedang menangisi kematian suhunya yang kini hanya menjadi abu, amat terkejut dan terheran-heran mendengar semua itu. Dengan mata masih bercucuran air mata, dia mengangkat muka memandang kepada kakek raksasa itu. Teringatlah dia akan penuturan ibunya bahwa ibunya adalah anak seorang pendeta Lama di Tibet yang amat sakti, dan bahwa kong-kongnya itu memang mengasingkan diri di Tibet, tidak pernah terjun ke dunia ramai dan tidak pernah menjenguk mereka. Kiranya pendeta raksasa inilah ayah dari ibunya itu! Dan sekarang akan menjadi gurunya! Kedukaan karena kematian Bun Hwat Tosu, kekagetan dan keheranan mendengar bahwa kakek raksasa ini kong-kongnyo, dan ketegangan yang dirasakan dalam peristiwa hebat yang baru lalu dalam pertempuran itu, membuat dia bengong dan tidak dapat berkata-kata hanya menangis saja.

“Hayo katakan, kenapa kalian ayah dan anak menangis? Mengapa?” kembali terdengar suara Kok Beng Lama mengguntur.



Kun Liong menyusut air matanya. “Ketahuilah, gak-hu, bahwa Bun Hwat Tosu adalah guru saya pula. Baru sekarang saya mengetahui bahwa anak saya telah menjadi murid beliau. Mengapa kami ayah dan anak, murid-murid beliau menangis mendengar akan kematiannya? Mengapa orang menangisi orang yang mati? Banyak sekali jawabannya, tentu saja sesuai dan tergantung dengan keadaan masing-masing orang. Akan tetapi bagi saya, gak-hu, dan saya yakin juga bagi Mei Lan, kami menangis karena kami merasa berduka ditinggalkan oleh seorang tua yang bijaksana dan berbudi mulia, kami menangis karena ditinggalkan oleh seorang yang telah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami tanpa kami berkesempatan untuk membalasnya.”

“Ho-ho, jadi bukan menangisi dia? Jadi kalian menangisi diri sendiri?”

“Sebenarnyalah, gak-hu. Bagaimana kami akan menangisi suhu yang tidak kami ketahui bagaimana keadaannya sekarang? Kami menangisi diri sendiri yang ditinggalkan oleh seorang yang kami junjung tinggi dan hormati.”

“Ha-ha, bagus! Engkau adalah seorang yang jujur, Kun Liong. Memang, menangisi orang mati sesungguhnya hanyalah menangisi diri sendiri, karena iba diri, dan sama sekali bukan menangisi si mati karena kalau demi cintanya terhadap yang mati, mungkin banyak sekali orang dapat bersyukur dan bergirang bahwa orang yang dicintanya itu sedikitnya terbebas dari segala derita hidup. Ha-ha! Eh, Mei Lan, setelah suhumu menjadi abu, mau kauapakan sekarang?”

Mei Lan kelihatan terkejut dan menoleh ayahnya. Akan tetapi Kun Liong sekali ini tidak mau mewakili anaknya menjawab. Mei Lan lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Kok Beng Lama dan berkata, suaranya gemetar bercampur isak, “Kong-kong... saya tidak sangka bahwa kong-konglah ayah dari ibu... saya serahkan abu ini kepada kebijaksanaan kong-kong mau diapakan juga, terserah...”

“Ha-ha-ha engkau mewarisi kejujuran ayahmu. Baik sekali, Mei Lan. Memang ini hanya abu! Bukan gurumu lagi! Dan andaikata engkau memeliharanya dan menyembahyanginya pula, tidak lain perbuatanmu itu tentu akan didorong untuk kepentingan dirimu sendiri, untuk mencari kesenangan dirimu sendiri, karena engkau dalam sembahyangmu tentu minta diberkahi, minta ini dan minta itu. Padahal memelihara abu guru atau nenek moyang dimaksudkan agar si pemelihara abu itu senantiasa teringat kepada nenek moyangnya dan dapat menjaga agar dia menjadi manusia yang benar dan tidak mencemarkan nama baik nenek moyangnya. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, pemeliharaan abu berubah menjadi semacam jimat pelindung dan tempat untuk dimintai berkah agar selamat, agar kaya, agar untung dan sebagainya. Kasihanlah kalau sudah menjadi abupun masih hendak diperalat demi kesenangan dari kita sendiri! Nah, abu tinggal abu, tiada bedanya dengan tanah dan sebaiknya kalau diserahkan kembali kepada tanah. Bagaimana?”

“Terserah kepada kong-kong,” jawab Mei Lan.

“Kausimpanlah. Kelak akan kita sebarkan abu ini di tempat yang baik. Nah, Cia-taihiap, karena urusan keluargamu itu menyangkut diri muridku yang pertama, Cia Bun Houw, aku berhak untuk mengetahui bagaimana selanjutnya keputusan terhadap dia dan In Hong,” Kakek raksasa itu kembali menghadapi Cia Keng Hong.

Sejak tadi Keng Hong mengerutkan alisnya dan kini dia menjawab, “Locianpwe telah membuka mata saya untuk melihat betapa sesungguhnya dasar dari semua sikap saya adalah mementingkan diri pribadi. Oleh karena itu, saya tidak menghendaki Bun Houw bertindak guna kepentingan diri pribadi pula. Kalau dia bertekad untuk berjodoh dengan In Hong, bukankah hal itu merupakan tindakan pementingan diri pribadi dan dia sama sekali tidak mengingat akan keadaan Souw Kwi Eng den orang tuanya? Ikatan jodoh antara mereka telah dilakukan, mana mungkin diputuskan begitu saja? Hal ini tentu akan merupakan penghinaan bagi keluarga Souw Kwi Eng. Apa yang harus kita lakukan? Mohon bantuan locianpwe untuk mempertimbangkan.”

Kok Beng Lama mengerutkan alisnya den beberapa kali dia menggeleng kepala dan menghela napas. “Hemm... benar juga...! Betapa hidup kita ini sudah terikat dengan belitan-belitan hukum yang amat membatasi gerak kita.”

Tiba-tiba Souw Kwi Beng yang sejak melihat kemesraan antara dara yang dicintanya, yaitu In Hong, dengan Bun Houw, bersikap diam den menundukkan kepala terbenam dalam kedukaannya, kini mendengar tentang adik kembarnya, dia cepat menghadap Cia Keng Hong dan menjura dengan penuh hormat. “Harap locianpwe sudi memaafkan saya yang lancang mencampuri bicara dalam urusan ini karena menyangkut keadaan adik saya dan keluarga saya. Orang tua saya mempunyai pandangan yang amat luas mengenai perjodohan, terutama sekali ayah saya. Setelah saya melihat dan mendengar semua, sudahlah jelas bahwa Cia Bun Houw taihiap sama sekali tidak ada hubungen cinta kasih dengan saudara saya, Kwi Eng. Dan sudah menjadi keyakinan kami sekeluarga bahwa perjodohan haruslah didasari dengan saling mencinta. Oleh karena itu, biarlah saya yang aken menyadarkan adik saya Kwi Eng karena diapun tentu menyadari bahwa cinta sepihak hanya menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan suami isteri. Agaknya ada banyak kesalahsangkaan dalam urusan ini, yaitu saya... eh, adik saya, menyangka bahwa orang yang dicintanya itupun membalas cintanya. Saya yakin bahwa saya akan dapat menyampaikan kepada adik saya agar dia menyadari kenyataan pahit dan berpisah dari tunangannya, karena hal ini jauh lebih baik daripada kelak menjadi suami isteri yang menderita karena cinta sepihak.”

Cia Keng Hong memandang kepada pemuda tampan itu dengan wajah membayangkan keharuan. “Betapa baiknya keluarga Yuan de Gama, sebaliknya, betapa hal itu makin menyeret keluarga kami ke jurang kehinaan! Ahh, bagaimana aku dapat membiarkan keluarga kami menyakiti perasaan keluarga Souw Li Hwa?”

“Ayah, harap ayah sudi mengingat akan semua pengalamanku sehingga dapat bersikap bijaksana dalam memutuskan urusan adik Bun Houw.” Tiba-tiba Giok Keng yang sejak tadi memeluk Lie Seng, kini bangkit dan menghadapi ayabnya. “Tentu ayah masih ingat betapa karena sikapku sendiri yang tidak mau memperdulikan perasaan dan keadaan orang lain, yang dahulu selalu menuruti kebenaran sendiri, kebenaran yang kaku, kuno den berdasarkan kebiasaan yang ditanamkan oleh nenek moyang, maka sikap itu mendatangkan banyak sekali malapetaka. Ayah, kalau benar ayah mencinta Bun Houw seperti yang saya percaya demikian, apakah ayah tidak ingin melihat dia berbahagia? Dan kalau kebahagiannya itu hanya dapat dirasakan apabila dia berjodoh dengan In Hong, tegakah ayah untuk menghalanginya dan menghancurkan kebahagiaan mereka?”

“Aih, betapa tepatnya apa yang kaukatakan semua itu, sumoi!” terdengar Kun Liong berkata perlahan sambil menarik napas panjang. “Betapa kita semua, selama ini hanya mementingkan diri pribadi, mencari kesenangan diri pribadi, hendak memperalat seluruh manusia dan semua isi alam demi memenuhi keinginan kita untuk bersenang hati dan karenanya menciptakan malapetaka dan kesengsaraan hidup...”

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar dan mungkin karena kegagahannya itulah yang membuat dia agak keras kepala, tidak mudah tunduk oleh apa pun juga. Diam-diam dia memikirkan isterinya yang tentu akan menentang semua ini. Tentu akan terjadi pertentangan antara dia dan isterinya kalau dia membiarkan Bun Houw memutuskan tali pertunangannya dengan Souw Kwi Eng dan kalau dia membiarkan Bun Houw menikah dengan In Hong, dan dia tidak berani menghadapi peristiwa itu. Kalau Bun Houw pulang ke Cin-ling-san bersama In Hong, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi karena dia tahu betapa keras hati isterinya kadang-kadang.

“Aku tidak akan melarang, akan tetapi bagaimanapun juga, aku tidak dapat pula memberi persetujuan...” katanya sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang, wajahnya kelihatan tiba-tiba saja menjadi beberapa tahun lebih tua!

Dengan sepasang mata basah oleh air mata, Bun Houw yang masih berlutut lalu memberi hormat kepada ayahnya. “Kalau begitu... ampunkan aku, ayah... terpaksa aku akan pergi bersama Hong-moi... ke mana saja asal kami dapat hidup berdua...” Dia lalu bangkit dan menggandeng tangan In Hong yang juga mencucurkan air mata hendak pergi dari situ.

“Houw-te...!” Giok Keng menghampiri dan mereka berangkulan. “Adikku, ke mana engkau hendak pergi? Bagaimana aku dapat bertemu kembali denganmu?” Kakak yang merasa terharu ini menangis.

Bun Houw menepuk-nepuk bahu kakaknya. “Enci Keng, biarkanlah kami pergi, entah ke mana dan kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita dapat saling bertemu kembali.”

“Hong-moi, kenapa engkau tidak mengajak Bun Houw tinggal di Leng-kok saja?” Kun Liong juga berkata kepada adiknya. “Tinggallah di sana sambil menanti sampai supek Cia Keng Hong dan supek-bo kelak dapat merestui kalian.”

Akan tetapi In Hong yang masih basah kedua pipinya itu tersenyum dan menoleh ke arah Bun Houw, lalu menjawab, “Kakakku yang baik, mulai saat ini aku menyerahkan jiwa ragaku ke tangan dia, dan terserah dia hendak pergi ke mana,
ke neraka sekalipun aku akan ikut dengan dia.”

“Ahh... kau benar... kau benar...” Kun Liong hanya dapat berkata lemah.

“Nah, selamat tinggal semuanya dan maafkan semua kesalahan kami,” kata Bun Houw sambil melambaikan tangan. “Adik Kwi Beng, sampaikan hormatku dan maafku kepada seluruh keluargamu.”



Kwi Beng hanya mengangguk dan dua orang muda yang masih bergandengan tangan itu pergi dari situ, diikuti pandang mata semua orang dan ada dua titik air tergantung di sudut mata Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun dengan kekerasan hatinya, dua titik air mata itu ditahannya dan tidak juga mau jatuh.

Sementara itu, atas pertanyaan Mei Lan dan Kun Liong, kakek raksasa ini lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bun Hwat Tosu. Betapa mereka berdua bermain catur sampai dua hari dua malam dan saling bertaruh untuk menyerahkan semacam ilmu kepada murid lawan jika dikalahkan dalam satu pertandingan. Akhirnya, mereka itu saling menang tiga kali dan kalah tiga kali dan pada keesokan harinya yang ketiga, sambil tersenyum terdengar Bun Hwat Tosu berkata lemah, “Aku puas sudah... memperoleh lawan seperti engkau...” Dan kakek tua renta itu tidak bergerak lagi. Ketika Kok Beng Lama memeriksanya, ternyata kakek itu telah menarik napas terakhir dengan biji-biji catur masih digenggamnya!

“Wah, sunggub licik! Engkau masih butang tiga macam ilmu untuk muridku!” Kok Beng Lama berteriak penasaran dan membuka tangan yang menggenggam biji-biji catur itu. Gerakan ini membuat tubuh kakek tua renta itu tertarik dan roboh dan sebuah kitab terjatuh pula keluar dari jubahnya. Kok Beng Lama girang bukan main ketika memeriksa kitab itu dan melihat bahwa kitab itu mengandung tiga macam ilmu.

“Sahabatku yang baik, maafkan pinceng, kiranya engkau seorang yang memegang janjimu dengan baik,” kata Kok Beng Lama kepada jenazah itu dan teringatlah dia akan semua percakapan yang mereka lakukan selama mereka berdua bermain catur. Dalam percakapan dua hari dua malam itu, antara lain tosu itu menyatakan betapa baiknya bagi orang yang telah meninggal dunia untuk dibakar. Teringat akan percakapan itu, Kok Beng Lama tidak merasa ragu-ragu lagi dan dibakarlah jenazah itu, kemudian abunya dibungkus dalam kain dan dibawa pergi ke Lembah Naga ketika dia mendengar suara ribut-ribut di tempat itu.

“Nah, dengan kematian tosu itu, maka berarti Mei Lan juga menjadi muridku karena aku berhutang tiga macam ilmu kepadanya, sesuai dengan pertaruhan itu. Siapa kira, ternyata dia adalah cucuku sendiri, ha-ha-ha!” Kok Beng Lama berkata pada akhir penuturannya.

Yap Kun Liong sudah mengenal baik siapa kakek ini yang menjadi ayah mertuanya, yang selain memiliki kesaktian hebat juga amat bijaksana. Biarpun Mei Lan bukan anak kandung dari Hong Ing, namun oleh mendiang isterinya itu dianggap sebagai anak sendiri maka boleh dibilang juga masih cucu dari Kok Beng Lama. Tentu saja dia rela menyerahkan puterinya untuk digembleng oleh kakek itu.

“Mei Lan, lekas berlutut menghaturkan terima kasih kepada suhumu yang juga adalah kong-kongmu, karena beliau ini adalah ayah kandung dari mendiang ibumu.”

Mendengar ucapan ayahnya, Mei Lan terkejut sekali dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama, namun mukanya menoleh kepada ayahnya dan air matanya bercucuran ketika dia bertanyat “Ibu... ibu... kenapa, ayah?”

Kun Liong menarik napas panjang, dan hanya berkata, “Kelak kau dapat mendengar tentang kematian ibumu dari kong-kongmu.”

“Tapi... tapi...” Mei Lan sesenggukan dan pada saat itu, Giok Keng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melepaskan puteranya dan menghampiri Mei Lan. Melihat Giok Keng, Mei Lan mengerutkan alisnya dan wajahnya kelihatan tidak senang. Akan tetapi Giok Keng tetap saja merangkulnya dan berkata halus, “Mei Lan, aku pernah bersalah kepada ibumu dan kepadamu akan tetapi aku telah merasa menyesal sekali dan harap kau dapat melupakan sikapku dahulu itu. Ketahuilah, ibumu telah dibunuh oleh seorang iblis wanita bernama Yo Bi Kiok, akan tetapi iblis itu telah tewas pula di tangan ayahmu.”

“Ahhh, ibu...!” Mei Lan menjerit dan tangisnya mengguguk.

“Mei Lan, diam kau!” Tiba-tiba terdengar bentakan Kok Beng Lama dengan suara menggeledek, mengejutkan semua orang dan Mei Lan sendiri juga terkejut dan mengangkat muka, memandang wajah kakeknya yang bengis itu.

“Sudah kukatakan tadi, apa gunanya menangisi orang yang sudah mati? Ketika aku mendengar ibumu dibunuh orang, aku sampai menjadi gila dan hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, malah mendatangkan kekacauan belaka. Anakku itu sudah mati, dan pembunuhnya telah terbalas, tidak ada apa-apa lagi yang perlu ditangisi. Hayo kau ikut bersamaku pergi. Lie Seng, hayo kita pergi!”

Mei Lan menoleh kepada ayahnya dan Lie Seng menoleh kepada ibunya. Dua orang anak ini memang suka sekali untuk menjadi murid Kok Beng Lama yang lihai, akan tetapi baru saja mereka bertemu dengan orang tua mereka dan belum melepaskan kerinduan hati mereka.

Giok Keng dan Kun Liong saling pandang dan pendekar ini dapat menduga apa yang dipikirkan oleh Giok Keng, maka dia lalu berkata kepada Kok Beng Lama, “Gak-hu, tentu saja kami berdua merasa bersyukur dan berterima kasih bahwa gak-hu sudi membimbing mereka. Akan tetapi hendaknya gak-hu ingat bahwa dengan perginya mereka, baik saya maupun Cia-sumoi hidup sebatangkara. Oleh karena itu, kami harap gak-hu tidak lebih dari tiga tahun membimbing mereka berdua dan mengembalikan mereka kepoda kami.”

Kok Beng Lama mengangguk. “Baik, setelah lewat tiga tahun aku akan mengantar mereka ke tempat tinggal kalian masing-masing.” Setelah berkata demikian, Kok Beng Lama mengangguk kepada Cia Keng Hong dan menggandeng Mei Lan dan Lie Seng dengan kedua tangannya, lalu pergi dari tempat itu dengan cepat sekali.

Cia Keng Hong menarik napas panjang dan memandang ke arah para perajurit yang sejak tadi sibuk menggali lubang dan mengubur para jenazah teman-teman mereka yang tadi roboh menjadi korban pertempuran, dipimpin oleh komandan mereka. Kemudian dia memandang kepada puterinya, dan berkata, “Giok Keng, kalau engkau merasa kesepian, mari ikut bersamaku ke Cin-ling-san.”

Giok Keng menggeleng kepala. “Aku hendak kembali ke Sin-yang, ayah. Nanti sewaktu-waktu aku akan berkunjung ke sana.”

“Kalau begitu, aku akan kembali lebih dulu.” Lalu pendekar ini mengangguk kepada semua orang yang berada di situ dan pergi membawa pedang pusaka Siang-bhok-kiam, kembali ke Cin-ling-san.



Tio Sun juga pergi bersama Kwi Beng. Pemuda peranakan Portugis ini sudah cepat dapat menguasai kekecewaan hatinya. Bahkan ketika dia mendengar percakapan antara Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tadi, terbuka pula mata batinnya dan dia maklum bahwa memang In Hong lebih cocok untuk menjadi jodoh Bun Houw. Dia merasa malu kepada diri sendiri, merasa betapa bodohnya dia. Dan kini diapun dapat mengerti akan keadaan Tio Sun, maka dia mengajak Tio Sun untuk pergi bersama dia ke Yen-tai.

“Engkau harus membantuku, twako, membantuku untuk memberi penjelasan kepada ibu dan kepada Kwi Eng,” demikian dia berkata kepada Tio Sun ketika dia membujuk agar Tio Sun suka menemani dia pulang. Padahal dia ingin untuk mempertemukan pemuda perkasa ini dengan Kwi Eng dan sekarang tidak ada lagi halangannya setelah jelas bahwa pertunangan antara Kwi Eng dan Bun Houw telah putus. Dan memang diam-diam timbul pula harapan di hati Tio Sun setelah melihat betapa Bun Houw memilih In Hong sebagai jodohnya, timbul harapan di hatinya terhadap Kwi Eng yang membuatnya setiap malam bermimpi!

Kini tinggallah Giok Keng dan Kun Liong di tempat itu. Sejenak mereka saling pandang tanpa kata-kata. Akhirnya Giok Keng menundukkan mukanya dan berkata lirih, “Selamat berpisah, suheng. Sebaiknya kita berpisah di sini.”

“Kurasa sebaiknya begitulah, sumoi, Biarlah kita saling mendoakan dan dengan mengingat bahwa anak-anak kita berkumpul menjadi satu di bawah bimbingan ayah mertuaku, hal itu akan menolong banyak untuk melawan kesunyian kita. Aku akan selalu tetap ingat kepadamu, sumoi.”

“Dan aku selamanya takkan melupakan engkau, suheng.”

Mereka kembali saling pandang dan sinar mata mereka penuh dengan kasih sayang dan perasaan iba karena mereka merasa senasib sependeritaan, merasakan dengan jelas betapa cinta kasih di dalam hati mereka yang dulunya seolah-olah terpendam kini tumbuh dengan suburnya, namun kesadaran mereka menjauhkan cinta kasih itu dari pengotoran nafsu berahi. Mereka saling mencinta, sebagai suheng dan sumoi, sebagai pria dan wanita, sebagai sahabat senasib sependeritaan, tanpa adanya hasrat untuk saling memiliki sungguhpun mereka ingin sekali untuk saling menghibur dan meringankan beban derita batin masing-masing. Akhirnya mereka berpisah, Kun Liong kembali ke Leng-kok di mana dia hidup tenteram menanti kembalinya puterinya, dan Giok Keng kembali ke Sin-yang, juga hidup menjanda dan menyepi menanti kembalinya buteranya.

Pasukan Kim-i-wi yang mengubur semua jenazah telah selesai pula dengan pekerjaan mereka lalu mereka berbaris pergi, kembali ke kota raja. Lembah Naga ditinggal sunyi. Tidak ada seorangpun manusia di situ. Sunyi menyeramkan karena tempat itu baru saja menjadi gelanggang pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang manusia, sungguhpun kini yang nampak hanya bekas-bekasnya saja, ceceran darah di sana-sini, tumbangnya pohon-pohon dan rusaknya rumput yang terinjak-injak. Akan tetapi, malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seroang diri di lembah itu, berjalan sambil menundukkan muka dan menangis. Wanita ini adalah Liong Si Kwi, murid mendiang Hek I Siankouw yang sudah buntung tangan kirinya, wanita yang cantik namun bernasib malang.

Cintanya terhadap Bun Houw ditolak oleh pemuda itu, padahal dia telah menyerahkan kehormatannya, menyerahkan dirinya dan dia merasa di dalam lubuk hatinya bahwa perbuatannya itu tentu akan mendatangkan akibat! Kini gurunya telah tiada, hidupnya seorang diri, kehilangan tangan kiri dan kehilangan semangat dan hati yang dibawa terbang pergi oleh bayangan Bun Houw. Maka dia tidak mau meninggalkan Lembah Naga dan mengambil keputusan untuk tinggal selamanya di situ, di tempat di mana dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun Houw, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dicintanya.


***


“Ke mana kita sekarang, Hong-moi?”

“Terserah kepadamu, koko.”

“Aku tidak mempunyai tujuan.”

“Kalau begitu kita membuat tujuan bersama.”

“Ke mana?”

“Ke manapun kau pergi, aku harus selalu bersamamu, Houw-koko.”

“Aku tidak dapat kembali ke Cin-ling-san.”

“Kalau begitu jangan ke Cin-ling-san.”

“Habis ke mana?”

“Sesukamulah, biar ke neraka sekalipun, aku ikut denganmu. Selamanya kita tidak boleh berpisah lagi, aku tidak mau berpisah lagi dari sampingmu.”

Mereka berjalan berdampingan di dalam hutan itu dan kini Bun Houw berhenti, memegang kedua lengan In Hong. Mereka berdiri berhadapan, saling menatap wajah masing-masing di bawah sinar matahari senja yang kemerahan.

“Hong-moi, biarpun telingaku sudah mendengar sendiri akan pengakuanmu di depan ayah, akan tetapi aku masih belum puas karena kata-katamu tidak kautujukan kepadaku. Hong-moi, benarkah bahwa engkau cinta padaku?”

Bibir itu tersenyum manis dan sepasang pipi yang halus itu menjadi merah sekali. Tatapan sinar mata Bun Houw membuat In Hong merasa malu. “Ihhh, pandang matamu begitu... mengerikan, koko!”



Bun Houw tertawa. “Katakanlah, moi-moi, katakanlah.”

“Aku cinta padamu, Houw-koko. Aku cinta padamu sejak pertama kali bertemu denganmu!”

Bun Houw merangkulnya dan mereka berpelukan dengan ketat. Bun Houw berbisik di dekat telinga kekasihnya, “Hong-moi, akupun cinta padamu, aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dengan seluruh hati dan sukmaku.”

“Aku tahu, koko.”

“Akan tetapi...” Suara Bun Houw mengejutkan In Hong dan dia melepaskan pelukannya, menarik tubuh ke belakang agar dapat memandang wajah kekasihnya.

Dia memandang penuh selidik dan makin terkejutlah hatinya ketika dia melihat wajah kekasihnya itu kelihatan berduka dan penuh kekhawatiran.

“Ada apakah, koko? Sejak meninggalkan Lembah Naga, kau pendiam dan kelihatan ada sesuatu mengganggumu. Aku dapat merasakannya itu dan dapat kulihat dari kerut di antara matamu. Houw-koko, di antara kita tidak boleh ada rahasia. Kita sudah merupakan dua badan satu hati, kebahagiaan dan penderitaan kita menjadi satu, kita nikmati dan kita pikul bersama.”

“Hong-moi...” Bun Houw memeluk dan dengan terharu dia mendekatkan mukanya. Biarpun jantungnya berdebar keras penuh rasa malu dan ketegangan, namun In Hong menyambutnya dengan bibir tersenyum, setengah terbuka, menanti apa yang akan dilakukan oleh kekasihnya itu terhadap dirinya penuh keikhlasan.

In Hong memejamkan mata dengan jantung berdebar tegang ketika merasa betapa bibirnya tersentuh bibir Bun Houw, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu menarik diri dan ketika In Hong membuka matanya, dia melihat pemuda itu mengerutkan alisnya den kelihaten cemas sekali.

“Houw-koko, ada apakah?” dia bertanya merasa khawatir juga.

“Moi-moi, aku tidak berhak menyentuhmu sebelum kau mengetahui segalanya!” kata Bun Houw.

“Sudah kuduga tentu ada sesuatu, koko, maka ceritakanlah kepadaku. Tidak boleh ada rahasia menghalang di antara kita.”

Bun Houw melepaskan pelukannya dan dia lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. In Hong juga duduk di atas batu di depannya. Sampai lama In Hong menanti, namun pemuda itu diam saja, mukanya agak pucat. Setelah berulang-ulang dia mendesak, barulah Bun Houw bicara.

“Betapa sukarnya menceritakan hal itu kepadamu, Hong-moi. Peristiwa terkutuk itu terjadi ketika kita berdua terpengaruh oleh racun perangsang itu, ketika kita berada dalam tahanan...”

“Ahhhh...!” In Hong teringat semua itu dan wajahnya makin merah. Dia masih merasa malu dan jengah kalau teringat betapa di bawah pengaruh racun, dia telah bersikap luar biasa sekali, sikap yang membuatnya malu bukan main. “Akan tetapi... mengapa hal itu sekarang membuatmu risau, koko? Bukankah kita berdua telah berhasil melawan pengaruh racun, berkat keteguhan hatimu?”

“Bukan berkat keteguhan hatiku, melainkan berkat kemurnian hatimu, moi-moi. Sedangkan aku... ah, aku manusia lemah!”

“Tapi kita tidak melakukan pelanggaran, koko!”

“Benar, denganmu memang tidak karena engkau seorang dara yang suci dan hatimu bersih. Aku masih berterima kasih kepadamu karena keteguhan dan ketahanan hatimu di waktu itu. Akan tetapi, ahhh...!” Bun Houw menarik napas lagi. Sungguh berat rasanya untuk menceritakan peristiwa itu kepada kekasihnya.

“Ceritakanlah, koko. Ingat, di antara kita tidak boleh ada rahasia.”

“Benar, aku harus menceritakan kepadamu, betapapun berat dan sukarnya. Dengarlah, di waktu engkau terlena dalam keadaan pingsan akibat pengaruh racun itu, tiba-tiba di sudut ruangan itu nampak lubang dan ternyata pembuat lubang itu adalah Liong Si Kwi, gadis murid Hek I Siankouw itu. Ingatkah kau?”

In Hong mengangguk. “Aku ingat padanya. Nah, lalu bagaimana?”

“Dia muncul dari dalam lubang dan ternyata lubang itu digalinya dari kamarnya sampai menembus ke tempat tahanan kita. Maksudnya membuat lubang itu adalah untuk menolongku, menyelamatkan aku...”

“Hemm, rupanya dia jatuh cinta kepadamu sampai berlaku begitu nekat dan berbahaya, koko.”

“Demikianlah agaknya. Dia memondongku dan membawaku melalui lubang itu dan sampai di dalam kamarnya. Maksudnya memang hendak membebaskan aku, akan tetapi... ah, keparat racun itu... dan dia... dia berbeda dengan engkau, Hong-moi... dalam keadaan seperti itu, dia malah merayuku... dan aku... aku tidak sadar sama sekali dan aku... tidak kuat bertahan dan...” Bun Houw tidak melanjutkan ceritanya, menutupi mukanya dengan kedua tangan, tidak berani memandang wajah kekasihnya.

Berkerut kedua alis In Hong. Sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, hatinya dibakar oleh api cemburu, napasnya agak memburu. Akhirnya, perlahan-lahan sinar matanya melembut kembali, napasnya teratur lagi dan dia bertanya, suaranya agak gemetar dan tersendat, “Jadi kau... kau dan dia... telah... bermain cinta?”

Bun Houw mengepal kedua tangannya.



“Hong-moi, harap jangan gunakan istilah itu. Memang kami telah melakukan hubungan kelamin, kau tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta kepadanya, akan tetapi di bawah pengaruh racun yang amat kuat itu... dan ditambah rayuan wanita tak tahu malu itu...” Bun Houw membuka matanya yang menjadi merah.

“Kalau tidak ada suhu dan ayah, tentu sudah kubunuh wanita itu!”

“Hushhh... jangan bicara sembarangan saja, koko. Dia cinta padamu, dia sudah mengorbankan tangan kirinya. Kita patut merasa kasihan kepadanya.”

Bun Houw menoleh kepada In Hong dengan mata terbelalak. “Apa...? Kau... kau tidak marah...?”

In Hong mengangguk dan tersenyum.

“Tentu saja hatiku penuh iri dan cemburu dan marah, akan tetapi aku dapat memaklumi keadaanmu dan aku maafkan engkau, Houw-koko.”

“Hong-moi... terima kasih, Hong-moi...!”

Mereka berangkulan dan kini dua mulut pemuda yang saling mencinta itu bertemu dalam satu ciuman yang amat mesra, ciuman yang mengandung getaran hati mereka sepenuhnya, seolah-olah dua perasaan hati bertemu menjadi satu lewat ciuman itu, bertaut dan tidak akan terpisah lagi. Mereka seperti lupa diri, masing-masing melimpahkan kemesraan tanpa mengenal bosan dan matahari senja agaknya cepat-cepat menyingkir untuk memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berasyik mesra.

“Hong-mol...” Bun Houw berbisik sambil mengelus-elus rambut hitam panjang dan halus itu.

“Hemmm...” In Hong berbisik kembali dari atas dada kekasihnya di mana dia menyandarkan kepalanya setelah debar jantungnya agak tenang sehabis diamuk badai kemesraan tadi.

“Engkau masih ingat kepada Liok Sun?”

“Heh? Liok Sun? Siapakah dia?”

“Yang berjuluk Kiam-mo (Pedang Setan), pemilik perjudian Hok-pokoan di Kiang-shi.”

“Ah, di mana engkau dahulu menjadi pengawainya? Majikanmu itulah?”

“Hushh, jangan menghina aku!” Bun Houw menghardik dan mencubit pipi kekasihnya dengan mesra. “Kau tahu bahwa aku bukanlah pengawainya, melainkan hanya menyamar sebagai pengawalnya untuk menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa.”

“Aku tahu, koko. Nah, ada apa dengan dia?”

“Dia telah tewas, moi-moi, dan betapapun juga, dia adalah seorang yang mempunyai setia kawan dan seorang sahabat yang baik. Sebelum dia mati, dia telah meninggalkan pesan kepadaku, pesan yang sudah kusanggupi.”

“Heh, kau memang terlalu baik hati, Houw-ko. Apa itu kesanggupanmu?”

“Dia meninggalkan pesan sebelum tewas bahwa dia menitipkan anaknya kepadaku, anaknya bernama Sun Eng, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang ditinggalkan di Kiang-shi.”

“Dia bershe Liok, kenapa anaknya she Sun?” In Hong bertanya heran.

“Sebenarnya namanya dahulu adalah Sun Bian Ek, nama Liok Sun hanya nama penyamaran saja untuk menyembunyikan diri.”

“Hemm, belum juga menjadi isterimu sudah harus mempunyai seorang anak perempuan yang berusia sepuluh tahun!” In Hong mengomel. “Sedangkan kita belum menikah belum mempunyai rumah.”

“Bukan anak, moi-moi, melainkan... yah, anggap saja seorang murid. Tidak mungkin aku mengingkari janji kepada seorang yang telah mati.”

In Hong menghela napas panjang, sengaja untuk menggoda kekasihnya. “Baiklah... baiklah... memang sudah nasibku, menjadi jodoh scorang yang belum mempunyai tempat tinggal tertentu akan tetapi telah dibebani seorang anak yang besar. Hehh, enaknya menjadi jodoh pendekar sakti Cia Bun Houw!”

Bun Houw menjadi gemas dan menggelitik leher dan lambung kekasihnya. In Hong terkekeh kegelian, meronta akan tetapi kedua lengan Bun Houw sudah merangkulnya, dan ketika dia mencium mulut yang terbuka itu, In Hong menghentikan gerakannya meronta dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan melingkari leher pemuda itu.

Sampai di sini, pengarang menyudahi cerita “Dewi Maut” ini dengan permintaan maaf apabila terdapat kejanggalan-kejanggalan dan kesalahan-kesalahan dalam cerita ini, dan disertai harapan mudah-mudahan cerita ini dapat sekedar menghibur hati para pembaca sebagai pengisi waktu terluang dan mengandung manfaat. Selamat berpisah dan sampai jumpa di lain cerita.


T A M A T

ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 4 Tamat (Kho Ping Hoo), cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Dewasa Silat : Dewi Maut 4 Tamat (Kho Ping Hoo)
More aboutCerita Dewasa Silat : Dewi Maut 4 Tamat (Kho Ping Hoo)