Cerita Semi Guru Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 07 Agustus 2012

Cerita Semi Guru Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 1-Cerita Semi Guru Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 1-Cerita Semi Guru Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 1

Peng-say memang sengaja membual dan bicara dengan
nada pemuda bangor, tujuannya membikin marah si nona,
siapa tahu Soat Koh tidak menjadi marah, sebaliknya
malah memberi petuah. Tapi dia sengaja bicara dengan
nada berlawanan, katanya pula: "Ah, Jilengcu tidak percaya
pada teorimu ini. Tanpa duit, jangan harap mendapatkan
perempuan. Oya, bicata tentang duit, aku menjadi ingat
hari ini aku belum terima upah. Sepuluh tahil perak
hendaklah kau bayarkan padaku sekarang "
"Kenapa sekarang juga kau minta uang, malam-malam
lagi?" tanya Soat Koh heran.
"Hah, jangan kau kira aku ini orang tolol," ujar Peng-say
deng&n tertawa. "Ucapan nona tadi memang sebagian
dapat dibenarkan. Tapi mengenai jangan mata duitan, ah,
kukira setiap manusia di dunia ini pasti suka pada duit
Jangan2 maksudmu supaya aku jangan minta upah
padamu? Masakah ada orang bekerja tanpa diberi upah?"
"Jilengcu," kata Soat Koh sambil menggeleng, "pintarnya
kau memang pintar, tapi kalau bodoh ternyata melebihi
kerbau. Memangnya siapa hendak anglap upahmu?
Kusuruh kau jangan mata duitan, maksudku dalam hal
uang hendaklah kau berpikir panjang, jangan kikir, satu
peser saja harus dihitung. Lebih2 terhadap perempuan.
jangan sekali2 pelit, kalau pelit, betapapun cantik dan
baiknya seorang perempuan juga tidak sudi mendekati
kau."
"Masa aku pernah pelit" tanya Peng-say dengan tertawa,
"Melihat caramu bicara mengenai duit, pasti kau ini
sangat pelit," kata si nona.
Peng-say ter-bahak2 ucapnya: "Hahahaba, benar juga
perkataan nona. Jika begitu upah sepuluh tahil harus
kuterima sekarang, kontan, tidak boleh utang!" Sembari
bicara ia terus menyodorkan tangannya.
Soat Koh mendongkol, katanya: "Sialan! Kau kira
nonamu tidak mampu membayar upah sepuluh tahil
sehari?!"
Peng-say meng-geleng2 dan berkata: "Orang yang mata
duitan harus selalu pegang uang, bila tiap hari kuterima
upah kontan, caraku mengendarai kereta barulah
bersemangat Selain itu bayar setiap hari juga akan terasa
ringan, bila numpuk sampai beberapa hari, bukannya kuatir
nona tidak mampu bayar tapi mungkin nona akan merasa
sayang jika sekaligus membayar sekian puluh atau ratus
tahil, malahan untuk itu nona akan minta potongan harga
padaku, kan aku yang rugi."
"Kurang ajar!" omel Soat Koh. "Memangnya kau kira
nonamu ini orang kikir, biarpun beribu tahil juga tak pernah
kusayangkan bilamana memang harus dikeluarkan, apalagi
memotong upahmu dan minta korting segala. Jangankan
cuma sepuluh tahil sehari, biarpun seratus tahil sehari juga
akhirnya akan kubayar lunas tanpa kurang satu peserpun."
"Bagus, kutahu watak nona memang sosial," ujar Pengsay
sambil tertawa. "Seperti kata orang: diperoleh dengan
mudah, buangnya juga mudah. Betul tidak, nona Soat?"
Diam2 Soat Koh merasa gusar karena nada orang seolah2
menyindir hartanya diperoleh dari mencuri. Akan
tetapi hal ini memang fakta, apa yang dapat dikatakan.
Terpaksa ia mengeluarkan sepotong perak sepuluh tahil dan
dilemparkan kepada anak muda itu sambil berseru: "Ini,
ambil!"
"Terima kasih!" dengan tertawa gembira Peng-say
menyimpan uang perak itu.
"Eh. Jilengcu, kau lapar tidak?" tanya Soat Koh.
Mendingan jika tidak ditanya, sekali menyinggung soal
perut, seketika Soat Peng-say merasa perutnya men-jerit2, ia
menelan air liur dan menjawab: "Sejak pagi belum terisi
sebutir nasipun, tentu saja lapar. Tapi apakah nona
membawa makanan?"
"Tentu saja bawa," ujar Soat Koh dengan tertawa. Lalu
ia menuju ke kereta dan mengeluarkan makanan kering
terus digerageti dengan lahapnya.
"Wah, tampaknya nona hanya memikirkan diri sendiri,
kenapa tidak bagi sedikit kepada Jilengcu?"
"He, tak usah ya!" kata Soat Koh. "Kita kan sudah janji
sepuluh tahil satu hari tidak termasuk makan tiga kali? Jika
kau ingin makan, boleh kau beli sendiri, peduli apa dengan
diriku."
"Di pegunungan sunyi begini apa yang dapat dibeli
biarpun punya uang banyak?" kata Peng-say. "Eh, nona
yang baik, sukalah engkau membagi sedikit padaku."
Soat Koh tidak menggubrisnya, sebaliknya ia sengaja
ber-kecek2 sehingga kelihatan lezat sekali makanannya itu.
"Eh, bagaimana kalau kubeli makananmu?!" tanya Pengsay.
Soat Koh tidak menjawab, ia cuma memperlihatkan
sebuah jarinya.
"Apa maksudmu?" seru Peng-say terkejut "Maksudmu
makanan kering begitu harus kubayar satu tahil?"
"Salah." kata Soat Koh "Bukan satu tahil, tapi sepuluh
tahil. Beli atau tidak terserah padamu. Pokoknya, harga
pas, satu peserpun tidak boleh kurang."
"Hai, caramu ini bukan jual barang, tapi gorok leher!"
teriak Peng say.
"Terserah apa yang ingin kau katakan," ucap Soat Koh
dengan tertawa "Biasanya aku tidak sudi makanan kering
begini, siapa tahu, kalau perut lapar, rasa makanan kering
ini jauh lebih lezat dari pada hidangan di restoran yang
paling besar. He, Jilengcu, selama hidupmu ini pernah tidak
kau masuk restoran!"
Membayangkan santapan yang enak di restoren, rasa
lapar Peng-say lebih2 tak tertahankan, mendadak ia berseru:
"Baiklah kubeli makananmu!"
Segera ia mengeluarkan potongan perak yang baru
disimpannya tadi dan dilemparkan kembali kepada si nona.
Soat Koh terima perak itu, katanya dengan tertawa:
"Baik! sekarang kau boleh makan sesukamu dengan
sekenyangnya."
Tanpa sungkan lagi Peng-say lantas mendekati si nona,
ia sambar makanan kering yang tersedia dan dimakannya
dengan rakus.
"He, pelahan2, jangan sampai keselak!" seru Soat Koh
dengan ter-kikik2 geli.
Untuk pertama kalinya si nona dapat mengerjai anak
muda itu, terbayang olehnya air muka Peng-say yang
menyengir waktu merogoh uang perak tadi, sungguh ia
ingin ter-bahak2.
Setelah mengisi perut dengan kenyang, sementara itu
hari sudah gelap, bulan sudah mengintip diufuk timur,
angin meniup silir2 dan terasa rada dingin.
"Bagaimana baiknya malam ini?" tanya Soat Koh dengan
sedih.
"Jalan pegunungan ini aku tidak apal, ketambahan
kurang mahir mengendarai kereta ini, kalau kita
melanjutkan perjalanan tentu berbahaya, terpaksa kita
bermalam di udara terbuka di sini." kata Peng-say
"Bermalam di udara terbuka bagaimana?" hati Soat Koh
rada terguncang.
"Sudah tentu engkau tidur didalam kereta dan aku tidur
diluar," ujar Peng-say dengan tulus.
"Angin pegunungan diwaktu malam cukup dingin, tiada
selimut pula, apakah kau tahan?" tanya Soat Koh.
"Tahan atau tidak terpaksa malam ini harus kita
lewatkan," ujar Peng-say.
"Jika demikian, terpaksa mesti bikin susah padamu,"
ucap Soat Koh dengan menyesal, pada dasarnya wataknya
memang tidak jelek.
Esok paginya, Soat Koh bangun lebih dulu. Dilihatnya
Peng-say meringkuk ditepi pohon Siong sana, bajunya
tampak basah oleh embun semalam suntuk, perasaannya
tambah tidak enak.
Sampai matahari sudah mulai terbit barulah Peng-say
bergeliat dan menguap, lalu bangun.
Didengarnya So«t Koh berseru padanya dengan tertawa:
"Setan pemalas, hayolah lekas cuci muka dan meneruskan
perjalanan."
Air pegunungan jernih dan segar, dibuat cuci muka
terasa sangat nyaman. Peng-say menghirup hawa udara
segar dalam2. Diam2 ia merasa gegetun selama sebulan ini
dilewatkannya dengan sia2.
Tengah melamun, tiba2 Soat Koh melemparkan sebuah
sisir padanya dan berseru: "Lekas sisir rambutmu yang
morat-marit itu!"
Dengan air selokan sebagai cermin, Peng-say lantas
menyisir rambutnya dengan rapi serta diikat di atas kepala.
Rambut manusia sama seperti papan merek sebuah toko,
selama sebulan Peng-say tidak cuci muka dan sisir rambut,
tentu saja wajahnya kotor dan menjemukan. Tapi setelah
berdandan rapi, jelas gayanya menjadi lain, kini kelihatan
ganteng dan cakap. Waktu ia berpaling, hampir saja Soat
Koh pangling.
"Melihat potongannya yang gagah ini, mana mungkin
dia seorang pencari kayu segala?" demikian si nona
membatin dengan terkesima.
Sarapan pagi tetap dengan makanan kering, untuk ini
Soat Koh memberi serpis gratis kepada Peng-say, ia tidak
minta bayaran lagi.
Keempat kuda penarik kereta juga kenyang makan
rumput dan mengaso satu malam, tenaganya telah pulih.
Peng-say memasang kuda penarik kereta itu, setelah siap, ia
silakan si nona naik kereta, ia sendiri melompat ketempat
kusir dan kereta lantas dihalau turun kembali kebawah
gunung.
Tengah perjalanan, Soat Koh berkata kepadanya:
"Jilengcu, kemarin kau tidak mau berhenti di kampung
sana, tentu sudah kau duga rombongan Tan Goan-hay akan
mengejar kemari, Anehnya, mereka kan sudah
membebaskan kau, mengapa mengejar lagi?"
"Yang mereka kejar bukan diriku, tapi kau, nona!" jawab
Peng-say.
"Aku tidak berada di atas kereta ini, untuk apa mengejar
diriku?"
"Sebenarnya tidak dapat dikatakan mengejar," ujar Pengsay.
"Kalau mengejar, tentu sudah lama tersusul. Agaknya
mereka menyangka nona tidak berada didalam kereta ini,
andaikan tersusul juga tiada gunanya.Maka mereka sengaja
menguntit secara diam2 dan inilah yang berguna bagi
mereka."
"Apa artinya ucapanmu ini?" tanya Soat Koh.
"Kemarin mereka tidak tahu didalam kereta ini ada alat
rahasianya, ketika melihat kereta ini kosong tanpa
penumpang, Tan Goan-hay mengira engkau telah lari
meninggalkan kereta ini dengan ketakutan, tapi merekapun
menyangsikan aku sengaja mengendarai kereta kosong
untuk mengulur waktu. mereka anggap aku adalah anak
buahmu, dengan sendirinya merekapun sangsi atas
keteranganku kemarin, mereka yakin cepat atau lambat aku
pasti akan berjumpai dengan nona, maka secara diam2
kereta ini dikuntit dan akhirnya pasti dapat memergoki
nona pula."
"Tapi kalau sebelumnya kau dan aku sudah berunding
dengan baik dan takkan bertemu lagi di tengah jalan,
bukunkah mereka akan kecelik?" ujar Soat Koh.
"Nona telah mencuri ketujuh macam benda pusaka
terkenal di kotaraja, periuk nasi mereka jelas akan
berantakan, demi gengsi mereka harus berusaba membekuk
dirimu dan tidak nanti melepaskan kereta ini begitu saja.
Sebab selain jalan ini, sesungguhnya memang teramat sulit
untuk mencari dirimu di dunia seluas ini. Jalan yang paling
baik adalah menguntit kereta ini, bila nona muncul untuk
bertemu denganku, maka mendadak merekapun akan
muncul."
"Kalau begitu, paling baik kau dan aku jangan bertemu
saja," ujar Soat Koh dengan tertawa.
"Sementara ini kukira tidak menjadi soal," kata Peng-say.
"Tapi kalau caramu bicara denganku seperti sekarang ini,
tentu dengan mudah akan dilihat oleh mereka dan inilah
yang berbahaya."
Soat Koh tidak sependapat, katanya: "Ah, dasar nyalimu
kecil seperti tikus. Jalan kecil dan sepi begini, siapa yang
akan lihat? Kuyakin sedikitpun tidak berbahaya."
Karena tidak sependapat, sekarang Soat Koh yang balas
mengolok kekuatiran Peng-say malah.
Tengah bicara, tahu2 kereta mereka sudah sampai di
jalan besar yang kedua tepi jalan banyak pepohonan
"Lekas tutup jendela, nona Soat!" seru Peng-say dengan
prihatin.
Tapi si nona lantas mendelik malah, omelnya: "Apa yang
kau takuti? Jika kau takut, boleh kau bersembunyi di dalam
kereta, biar aku sendiri yang mengendarai kereta ini."
"Wah, jika nona yang mengendarai kereta ini, biarpun
seratus tahil perak sehari juga aku tidak berani terima,
terpaksa kutinggalkan kereta dan berjalan kaki saja."
"Menangnya kenapa? Kau kira nonamu tidak sanggup
mengendarai kereta ini? Kau takut kereta ini akan terbalik
dan kau akan mati tertindih?"
"Tidak. aku tidak takut soal keretanya akan terbalik atau
tidak. Tapi bila kepergok rombongan Tan Goan-hay, bisa
jadi mereka mengira aku benar2 anak buahmu dan sekali
tusuk dengan pedangnya, kan aku bisa mati konyol nanti?"
"Upahmu sepuluh tahil sehari, masa kau takut mati lagi?'
"Sepuluh tahil sehari memang menarik, tapi jiwa terlebih
berharga Jika engkau tidak menurut nasihatku dan jiwaku
harus ikut melayang, wah, leoih baik kubatalkan hubungan
kerja kita ini."
Habis berkata mendadak ia menarik tali kendali dan
menginjak rem, lalu melompat turun dari tempat duduknya.
Meski di mulut Soat Koh bicara dengan ketus, tapi
sesunggubnya dia tidak mahir mengendarai keretanya.
Melihat Soat Peng-say mendadak mogok kerja, ia menjadi
gugup, serunya cepat: "He.jangan pergi dulu! Baiklah
kuturut padamu!"
-oo0dw0ooo-
Jilid 9
Dalam pada itu di sebelah sana mendadak terdengar
kumandang kuda lari yang riuh, waktu mereka memandang
kesana. tertampak debu mengepul ber-gulung2, lima
penunggang kuda sedang membedal ke sini dengan cepat.
Pandangan Peng say tangat tajam, sekilas lihat saja ia
lantas berteriak: "Wuh, celaka! Mereka benar2 mengejar
kemari!"
Menyusul Soat Koh juga dapat melihat siapa rombongan
pendatang itu, iapun menjerit kuatir: ”Wah, memang benar
mereka! Lekas, cepat!"
Segera Peng-say melompat lagi ke atas kereta dan
dilarikan secepat terbang.
Meski keempat ekor kuda penarik kereta itu sangat
tangkas, tapi apapun juga tak dapat membandingi
kecepatan lari seekor kuda dengan penunggangnya. Lama2
para pengejar itu sudah semakin dekat.
Soat Koh menjadi kuatir, serunya: "Aku akan sembunyi
dulu. hendaklah kau berusaha menipu mereka agar mau
pergi. . . ."
"Sejak tadi nona tidak mau turut nasihatku, sekarang
tiada gunanya lagi biar pun nona bersembunyi!" seru Pengsay.
"Jelas-jelas jejak nora di kereta ini sudah dilihat
mereka, makanya mereka mengejar dengan kencang. Jalan
satu2nya bila tersusul nanti adalah hadapi mereka dengan
mati2an."
"Tapi kau. . . ."
"Aku tidak menjadi soal, harap nona cepat mengalahkan
mereka."
"Bicara terus terang, akupun bukan tandingan mereka
berlima," tutur Soat Koh dengan menyesal.
"Jika nona tidak sanggup menandingi mereka dengan
sendirinya akan kubantu."
"Wah, tidak boleh jadi, Jilengcu," seru Soat Koh. "Jika
kau tidak membantu diriku mungkin jiwamu dapat
diselamatkan. Bila kau turun tangan jiwamu tentu akan
melayang percuma. Ingat, jangan sekali2 ikut turun tangan
membantuku."
"Betul juga ucapan nona," seru Peng-say dengan tertawa.
"Untuk mencari kayu masih boleh juga bagiku, kalau
berkelahi, wah, bisa runyam. Jangan2 jiwa akan melayang
percuma, maka bolehlah nanti aku hanya menonton
disamping saja."
Tidak lama kemudian kelima penungggang kuda itu betturut2
sudah menyusul tiba. Li Yu-seng lantas meraung
disamping kereta: "Berhenti! Berhenti!
Peng-say menyengir terhadap orang she Li itu katanya:
"Baiklah. segera kuhentikan!" Mendadak ia injak rem dan
kereta itu lantas berhenti seketika.
Tan Goan-hay dan konco2nya tidak mengira Soat Pengsay
akan menghentikan keretanya secepat dan semendadak
begitu, mereka telanjur berpacu agak jauh ke depan baru
kemudian memutar balik.
Kelima orang lantas mengitari kereta. terdengar Tan
Goan-hay berseru: "Nona Soat, silakan keluar!"
"Eh. apa yang tuan2 kejar? Di keretaku ini tiada terdapat
nona Soat segala?!" ujar Peng say.
Li Yu-seng menjadi gusar dan mendamperat: "Anak
busuk, masih berani bohong kau!" Berbareng cambuknya
lantas menyabat.
"Aduh! Tolong!" teriak Peng-say. tampaknya seperti
ketakutan dan mendadak ia jatuh terjungkal ke bawah. Tapi
sabatan Li Yu-seng itupun dapat dihindarkannya.
Segera Li Yu-seng akan menyerang pula, tapi Tan Goanhay
telah mencegahnya: "Nanti dulu, Li-heng!" Lalu ia
melompat turun dari kudanya dan mendekati Peng say,
jengeknya: "Sudahlah, silakan bangun saja, jangan kau
berlagak bodoh lagi!"
Peng-say meraba pantatnya dan merangkak bangun
dengan lambat2, katanya dengan menyengir: "Tuan ini ada
pesan apa?"
"Jangan saudara menganggap diriku orang buta,
hendaklah katakan terus terang, nona Soat pernah
hubungan apa dengan kau?" tanya Tan Goan-hay.
"Pekerjaanku mengendarai kereta, dengan sendirinya aku
ini kusir," kata Peng-say.
Sudah dua kali Tan Gom-hay melihat Peng-say
terjungkal dari keretanya, kalau pertama kalinya dia dapat
mengelakkan hantaman gada Ong Cin-ek masih dapat
dimengerti, tapi sabatan cambuk Li Yu seng juga dapat
dihindarkan, inilah yang tidak sederhana. Ia menjadi kuatir
kalau anak muda inipun pembantu tangguh maling
perempuan di dalam kereta itu, bila betul demikian halnya
tentu akan merepotkan juga.
Maka dengan kata2 baik dia coba membujuk. "Jika
engkau tiada hubungan khusus dengan nona Soat, kukira
tidak perlu engkau menjual nyawa bagi seorang perempuan,
apabila saudara tidak ikut campur urusan ini, tentu kami
takkan melupakan kebaikanmu."
Peng-say tetap berlagak bodoh dan menjawab: "Eh, tuan
ini apa tidak salah ucap. Bilakah pernah kujual nyawa bagi
orang perempuan, kalau mengadu jiwa dengan kawanan
kerbau dungu sih masih sanggup dan sekali ingin kucoba."
"Bagus, boleh kita coba2," bentak Li Yu-seng.
"Ai, masa tuan ini mengaku dirinya sendiri sebagai
kerbau dungu?" kata Peng-say dengan tertawa. "Wah,
kebetulan jika begitu, untuk menghadapi kawanan kerbau
dungu memang agak repot bagiku, tapi kalau melayani
seekor kerbau dungu sih tidak menjadi soal."
Saking gemasnya sampai air muka Li Yu-seng berubah
menjadi merah padam, mendadak ia berpaling kepada Tan
Goan-hay dan berkata: "Tan toako, keparat ini serahkan
saja padaku, bila tidak kubinasakan dia, aku bersumpah
tidak she Li lagi!"
Tan Goan-hay memang orang yang sangat sabar dan
dapat menahan perasaannya, marah atau gembira tidak
kelihatan di luar, ia hanya mendengus: "Li-heng. kukira
lebih penting kita berusaha merampas kembali benda
pusaka yang hilang daripada bertengkar dengan orang
macam begini?"
"Anak busuk ini memaki kita sebagai kawanan kerbau
dungu. masa Tan-toako tidak dengar?!" ujar Li Yu-seng
dengan gemas.
"Tapi dia tidak langsung tunjuk hidung dan memaki kita,
untuk apa digubris?" ujar Tan Goan-hay.
"Nah, kan begitu," kata Soat Peng say dengan tertawa.
"Kalau dia merasa dirinya tersinggung, itu kan salahnya
sendiri."
"Apakah anda memang sengaja hendak ikut
berkecimpung di dalam air keruh ini?" tanya Tan Goan-hay
tiba2.
Peng-say sengaja balas bertanya: "Ikut berkecimpung di
dalam air keruh apa maksudmu?"
The Kim ciam tidak tahan rasa gemasnya, ia
membentak: "Keparat, kau benar tidak paham atau pura2
dungu?"
"Benar2 tidak paham dan pura2 dungu bagaimana?"
Peng-say sengaja mengacau.
Sedapatnya Tan Goan-hay menahan perasaannya,
katanya pula dengan tenang: "Anda tidak paham ikut
berkecimpung di dalam air keruh, bahkan, akan kutanya
dengan perkataan lain: Cara bagaimana akan kau hadapi
persoalan ini?"
"Persoalan apa?" tanya Peng-say.
Ko Kong-lim, si ahli golok dari Kwitang dan si ahli
pukulan dari Hopak, Tan Yam-bok, yang sejak tadi hanya
menonton saja. kini mendadak membentak bersama:
"Keparat, dirodok! Bunuh saja lebih dulu!"
Kedua orang lantas melompat turun dari kudanya, di
sebelah sana The Kim-ciam dan Li Yu-seng juga ikut
melompat turun. Tampaknya mereka berempat benar2
teramat gemas terhadap Soat Peng-say dan ingin
membinasakan anak muda itu.
Cepat Tan Goan-hay menggoyang tangan dan
mencegah, katanya pula dengan tenang: "Jika anda
memang tidak paham apapun, baiklah, tidak perlu kau
tanya lagi, silakan kau berdiri di samping saja, mau?"
"Memangnya aku ingin menonton saja di samping, tidak
perlu disilakan olehmu," jawab Peng-say tak acuh. Lalu ia
melangkah ke tepi jalan dan berduduk di bawah pohon
sana.
The Kim-ciam berempat mengira anak muda itu sudah
jeri, mereka sama mendengus.
"Awas, jangan sampai budak itu sempat melepaskan
panah gelap, kita harus waspada," desis Tan Goan-hay
kepada kawan2nya.
Terkesiap juga keempat orang itu demi mendengar
perintah Tan Goan-hay, kembali mereka mengitari kereta
dengan was-was.
Saat itu Soat Koh memang sudah siap akan
membidikkan panahnya selagi lawan tidak ber-jaga2, tak
terduga Tan Goan-hay mengingatkan konco2nya sehingga
gagal maksud si nona, keruan ia sangat mendongkol, ia
tahu Tan Goan-hay berlima bukan lawan empuk, jika
mereka sudah ber-hati2, percumalah ia melepaskan
panahnya.
Maka terdengarlah Tan Goan-hay berseru: "Nona Soat,
silahkan keluarlah!"
Sedikitpun Soat Koh tidak punya akal untuk mengatasi
musuh, jika bertempur berhadapan jelas pasti akan kalah.
Karena merasa takut, untuk sementara ia tidak berani
memperlihatkan diri.
"Masa masih mau sembunyi pula?" teriak The Kim-ciam.
"Memangnya kau kira kami tidak melihat dirimu. . . Hm,
ketahuilah, begitu kereta ini membelok kejalan simpang
segera kami melihat wajah nona!"
Tan Yam-bok lantas menyambung: "Tak tersangka nona
ternyata bersembunyi di pegunungan, betapapun dugaan
Tan-toako memang tepat, beliau bilang keretamu menuju ke
tempat sepi tanpa penduduk, besar kemungkinan hanya
untuk menjemput nona, maka kami cukup berjaga saja di
tengah jalan untuk mencegat. Ternyata betul. akhirnya
nona muncul juga di sini."
"Haha, perkiraan ngawur masa kau anggap dugaan
tepat? Sungguh menggelikan!" sela Peng-say dengan
tertawa.
"Jika tidak tepat dugaanku, mengapa kaubawa keretamu
ke daerah pegunungan ini?" ujar Tan Goan-hay yang sok
pintar.
"Tentang ini, jika kau memang pintar, coba kau terka!"
kata Peng-say.
"Bila penguntitan kami sampai terlepas, anggaplah kami
ini memang maha tolol," kata Tan Goan-hay.
"Ujung jalan raya ini banyak sekali jalan simpangan, tapi
semua jalan desa dan tidak mungkin dilalui oleh kereta.
Kau sengaja Memilih jalan yang jarang dilalui kereta agar
kami kehilangan jejak atau sukar mencari keterangan,
tampaknya jalan pikiranmu memang pintar, tapi kau lupa
bahwa di mana keretamu lewat, di situ pula pasti
meninggalkan bekas roda, semakin sepi jalan yang kau
lalui, semakin mudah pula dikenali bekas rodanya,"
demikian The Kim-ciam menambahkan.
"Kau kira kami akan bingung dan kesasar di jalan
persimpangan, jalan pikiranmu ini sungguh lebih dungu
daripada kerbau," Tan Yam-bok ikut ber-olok2.
"Dungu seperti kerbau", ejekan ini membuat Soat Pengsay
menunduk malu. Pikirnya: "Sungguh nista yang tepat,
wahai Soat Peng-say, betapapun kau memang masih hijau,
kaupikir dengan sembunyi satu malam di pegunungan sini
lantas dapat melepaskan penguntitan mereka, pikiran ini
sungguh teramat dungu dan goblok."
Karena mendapat kesempatan untuk memaki dan
menyindir, Ho Kong-lim lantas ikut menimbrung:
"Sungguh anak yang pintar. caramu melepaskan diri dari
penguntitan agak terlalu hebat. Sayang sinar bulan semalam
kurang terang, Tan-toako kuatir rombongan akan tersesat di
pegunungan, kalau tidak, diam2 kita bekuk kedua lelaki
perempuan anjing yang sedang main pat-gulipat di atas
gunung sana, wah, tentu ada tontonan yang sangat
menarik."
Semua olok2 itu membuat Soat Peng-say sangat malu, ia
memaki dirinya sendiri yang terlalu goblok, saking
menyesalnya sampai ucapan Ho Kong-lim yang tidak
senonoh itupun tidak sempat dibantahnya.
Kuatir dari malu Soat Peng-say akan menjadi gusar,
cepat Tan Goan-hay menyela: "Sudahlah, jangan omong
lagi, kukira Jilengcu inipun tidak sebodoh seperti apa yang
kita katakan. tentu dia sengaja pergi ke sana untuk
menjemput nona Soat sehingga tidak mengetahui
penguntitan kita."
Di antara rombongan Tan Goan-hay itu Li Yu seng
terhitung paling bebal, tadi dia belum sempat ikut ber-olok2,
sekarang iapun tidak mau ketinggalan dan ingin
memperlihatkan kemahirannya berputar lidah, katanya:
"Kalau goblok ya tetap goblok, buat apa Tan-toako
membela dia. Coba pikir, masa tidak ada tempat lain,
kenapa mesti pilih jalan pegunungan yang sepi? Dia anggap
tempat yang sepi lebih sukar dikuntit, tak tahunya justeru
terbalik, tempat yang ramailah yang sulit dikuntit."
"Ah, kukira ucapan Li-heng tidak betul!' mendadak Ho
Kong-lim menimpali.
Otak Li Yu-seng memang kurang lincah, ia tidak tahu
maksud temannya, dengan marah ia bertanya: "Apa, tidak
betul?"
"Kukatakan tidak betul tidak berarti ucapan Li-heng itu
salah," kata Ho Kong-lim. "Maksudku Li-heng tidak
berpikir bagi kepentingan mereka berdua, tempat yang sepi
memang semakin mudah dikuntit. tapi juga tempat yang
bagus untuk pertemuan gelap antara lelaki dan perempuan.
Apakah mungkin mereka malah main di tempat ramai dan
mengadakan pertunjukan di depan umum?"
"Hahahaha! Betul, betul!" seru Li Yu-seng dengan
bergelak tertawa.
Semakin kelam air muka Soat Peng-say, tapi ia tetap
menahan perasaannya, ia pikir bila dirinya memberi reaksi,
tentu orang2 itu akan mentertawakan dia dan menganggap
dia dari malu menjadi gusar. Karena itulah ia tetap diam
saja tanpa menggubris ejekan mereka.
Olok2 dengan kata kasar begitu bagi orang lelaki
biasanya tidak menjadi soal, tapi bagi perempuan tentu saja
lain. Dengan pedang terhunus segera Soat Koh melangkah
keluar dari keretanya.
"Aha, Akhirnya nona keluar juga," seru Ho Kong-lim
dengan ter-bahak2. "Kukira engkau tetap tidak mau keluar
dan minta dibakar!"
"Kau harus mati!" kata Soat Koh dengan gemas.
"Betul, kau harus mati," jawab Ho Kong-lim dengan
cengar-cengir. "Cuma terasa sayang juga bila kami harus
membunuh kau, kalau dipenjarakan tentu kaupun akan
meringkuk sia2 disana mengingat usiamu yang masih muda
belia. Kukira begini saja, lekas serahkan barang curianmu,
lalu temani kami berlima satu orang satu malam, habis itu
kami akan memberi ampun dan membebaskan kau, nah,
mau?"
Betapapun juga Tan Goan-hay dan The Kim-ciam
terhitung anak murid perguruan terhormat, cepat mereka
membentak: "Ho-heng!"
Pada saat itu juga mendadak terdengar suara jepretan,
"ser-ser", beberapa panah kecil lantas menyambar ke arah
Ho Kong-lim.
Biarpun mulutnya kotor, tapi Kungfu Ho Kong-lim
memang tidak lemah, ilmu permainan golok Toan-bun-to
sudah cukup sempurna terlatih, dia putar goloknya seperti
kitiran, semua panah kecil yang dibidikkan Soat Koh dapat
disampuk jatuh.
Kuatir terjadi apa2 atas diri Ho Kong-lim, hal ini berarti
akan kehilangan seorang pembantu yang kuat. maka cepat
Tan Goan-hay berempat menubruk maju dan melancarkan
serangan.
Soat Koh memainkan kedua pedangnya, tanpa gentar ia
hadapi kerubutan kelima orang itu. Pedangnya bergerak
lincah dan cepat, serangannya ganas dan aneh. Namun
pihak lawan juga tiada satupun yang lemah. Di bawah
kerubutan jago yang berpengalaman itu, lambat laun
permainan pedang Soat Koh menjadi lamban.
Tan Goan-hay juga dapat melihat pedang kiri Soat Koh
tidak lebih kuat daripada pedang kanan, maka mereka
lantas mencecar bagian yang lemah itu, tidak lama
kemudian keadaan Soat Koh berbalik terancam.
Peng-say berduduk di bawah pohon sana dan
memandangi bayangan punggung Soat Koh, menurut
pikirannya, dikerubutnya Soat Koh sama saja seperti Cin
Yak-leng yang sedang dikeroyok. Ia lihat ilmu pedang Soat
Koh sangat aneh, sebenarnya ia ingin mengikuti permainan
pedang si nona dengan se-jelas2nya, tapi demi melihat Soat
Koh mulai kewalahan, cepat ia menjemput sepotong
tangkai kayu dan berbangkit, bentaknya: "Lima lelaki
mengeroyok seorang anak perempuan, hm, tidak tahu
malu! Hayo, bagi dua orang untuk menghadapi diriku!"
Dari suara bentakan Peng-say itu, Tan Goan-hay dan
The Kim-ciam dapat memperkirakan kekuatan anak muda
itu pasti di atas nona she Soat. Diam2 mereka kuatir bila
kawan lain yang diharuskan menghadapi Soat Peng-say,
maka mereka berdua lantas mendahului memapak si anak
muda.
Dengan menyingkirnya Tan Goan-hay dan The Kimciam,
tekanan pada Soat Koh lantas banyak berkurang.
meski nona itu belum dapat mengalahkan ketiga
pengerubutnya, tapi untuk bertahan kiranya jauh daripada
cukup.
Soat Koh juga kuatir Peng-say tidak mampu melawan
Tan Goan-hay berdua dan akan mati konyol, maka cepat ia
berseru: "Jilengcu, kau boleh menonton saja disamping,
tidak perlu ikut campur!"
"Hahahaha!" Peng-say bergelak tertawa, "Tidak bisa,
apapun juga aku harus ikut campur. Jangan kuatir. aku
pernah belajar silat."
"Memangnya jurus memotong kayu juga akan kau
pamerkan di sini?" Soat Koh sengaja mengejek.
Dalam pada itu Peng-say sudah terlibat dalam
pertandingan dengan Tan Goan-hay berdua, ia gunakan
tangkai kayu untuk menangkis pedang lawan sambil
berseru: "Demi menyelamatkan kau, terpaksa harus
kupamerkan jurus memotong kayu di sini!"
"Andaikan aku tak dapat melawan mereka dan terbunuh
juga bukan urusanmu!" seru Soat Koh.
"Tidak boleh terjadi," teriak Peng-say dengan tertawa.
"Kalau kau mati, upah sehari sepuluh tahil siapa yang akan
bayar padaku?"
Waktu Soat Koh melirik kesana, dilihatnya anak muda
itu memutar tangkai kayunya menghadapi serangan Tan
Goan-hay berdua dengan cara2 yang teratur, mana ada
jurus memotong kayu segala? Baru sekarang ia tahu anak
muda itu sengaja berlagak bodoh, yang benar ilmu silatnya
ternyata tidak lebih rendah daripadanya. Dengan tertawa ia
lantas mengomel: "Demi mendapatkan upah sehari sepuluh
tahil perak kau lantas mau mengadu jiwa, kau benar2
menusia yang mata duitan!"
Sementara itu Li Yu-seng bertiga lantas menyerang
dengan segenap kepandaian mereka sehingga Soat Koh
tidak sempat memperhatikan Peng-say lagi.
Mendadak didengarnya Peng-say berteriak. Soat Koh
terkejut, cepat ia bertanya: ”Kenapa kau. Ji-lengcu?"
"Wah, celaka! Pedangku patah!" teriak Peng-say.
Padahal yang dipegangnya cuma sepotong kayu darimana
ada pedang?
Tapi Soat Koh tahu yang dimaksud "pedang" oleh anak
muda itu adalah tangkai kayu yang dipegangnya, segera ia
bertanya: "Dengan bertangan kosoog kau sanggup bertahan
berapa lama?"
"Setanakan nasi mungkin tidak menjadi soal!" seru Pengsay.
"Baiklah, bertahan sekuatnya, akan kukirim pedang
padamu," kata Soat Koh.
Mendengar si nona hendak memberi pedang kepada
Peng-say, tentu saja Li Yu-seng bertiga tidak mau memberi
kesempatan padanya, mereka mengepung terlebih rapat.
Dalam keadaan demikian, biarpun Soat Koh tidak sampai
kalah, untuk membobol kerubutan ketiga lawan terasa sulit
juga.
Di pihak sana, biarpun ilmu pedang Soat Peng-say cukup
tinggi. cuma sayang, senjatanya hanya setangkai kayu
sehingga sukar mengeluarkan Siang-liu-kiam-hoat yang
dikuasainya itu Apalagi setengah bagian Siang-liu-kiamhoat
juga tiada kelihayan yang istimewa.
Serangan andalannya yang berwujut tiga jurus gabungan
dua pedang sekarang sukar dilontarkan, sebab kedua
pedang yang biasa digunakannya ketinggalan di Siau-ngotay-
san ketika dia meninggalkan tempat itu dengan tergesa2,
sekarang dia cuma menggunakan setangkai kayu,
dengan sendirinya tak dapat main dengan leluasa. Padahal
sekalipun dia diberi pedang, kalau tiada perlengkapan rantai
khusus juga tiada gunanya.
Sedangkan ilmu pedang Tan Goan-hay sendiri juga
cukup lihay, ditambah lagi permainan tongkat The Kimciam,
tentu saja Peng-say tak dapat bertahan lama, ketika
dia habis memainkan ke-49 jurus Siang-liu-kiam-hoat dan
hendak mulai dari jurus pertama lagi, kesempatan itu segera
digunakan oleh Tan Goan-hay, sekali tabas tangkai kayu
Soat Peng-say itu terpapas patah.
Karena tak dapat memainkan ilmu pedang lagi, terpaksa
Soat Peng-say menggunakan ilmu pukulan Bu-tong-pay
yang dipelajarinya dari Siang-jing-pit-lok, ia pikir untuk
sementara sedapatnya menahan serangan musuh, bila Soat
Koh memberikan pedang padanya barulah dia akan
memainkan Siang-liu-kiam hoat pula.
Melihat pergantian Kungfu Soat Peng-say itu, mendadak
Tan Goan-hay berhenti menyerang dan bertanya: "Apakah
anda murid Bu-tong-pay?"
Dengan menahan tongkatnya The Kim-ciam juga
berseru: "Selamanya Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay ada
hubungan yang erat, apakah anda murid Sau Peng-lam,
Sau-toako?"
Sau Peng-lam yang disebut itu adalah tokoh utama
murid Bu-tong pay angkatan ketujuh, ilmu silatnya hanya
sedikit di bawah ketua Bu-tong-pay sekarang, yaitu Tongthian
Totiang.
Melihat usia Peng-say masih sangat muda, tapi ilmu
pedangnya sangat aneh, bahkan ilmu pukulannya yang
bergaya Bu-tong-pay juga sangat kuat, maka The Kim-ciam
mengira Peng-say pasti murid Sau Peng-lam, yaitu orang
Bu-tong-pay dari keluarga preman.
Tapi Peng-say sama sekali tidak kenal siapa orang yang
disebut itu, ia berbalik menegas: "Sau Peng-lam?"
The Kim-ciam jadi salah paham lagi, dilihatnya Peng-say
berani menyebut nama Sau Peng-lam, disangkanya anak
muda ini satu angkatan dengan Sau Peng-lam, maka ia
bertanya pula: "Apakah mungkin kau ini murid Bu-tong
angkatan ketujuh yang pakai nama 'Peng'? Cara bagaimana
kau memanggil Tong-thian Supek?"
Ketua Siau-lim-pay sekarang, Un-goan Taysu lebih muda
beberapa tahun daripada Tong-thian Totiang. sedangkan
The Kim-ciam adalah murid terkecil Un-goan Taysu,
hubungan antara Un-goan Taysu dan Tong-thian Totiang
sangat erat, maka The Kim-ciam kenal baik dan menyebut
Supek kepada Tong-thian, jadi tingkatannya sama dengan
Sau Peng-lam, makanya iapun menyebut Sau Peng-lam
sebagai Sau-toako. Dia tidak menduga bahwa Peng-say
bukanlah murid Sau Peng-lam, jika demikian, seyogianya
hanya Tong-thian Totiang saja yang dapat mendidik murid
sehebat ini.
Tak tersangka Soat Peng-say tetap tidak peduli siapa itu
Tong-thian Totiang segala. ia menegas pula: "Tong-thian. "
"Kau berani langsung menyebut nama Tong-thian
Supek?!" bentak The Kim-ciam.
"Kenapa tidak berani?" jawab Peng-say. "Konon Tongthian
adalah ketua Bu-tong-pay, aku bukan murid Bu-tong,
jika namanya memang Tong-thian, kenapa aku tidak boleh
menyebut namanya?"
"Kau bukan murid Bu-tong-pay?" Tan Goan-hay dan
The Kim-ciam menegas bersama. Tentu saja mereka tidak
percaya,
"Jadi kalian tidak percaya?" tanya Peng say.
"Anda jelas2 murid Bu-tong. tapi tidak mau mengakui
sebagai murid Bu-tong, tahukah kau bahwa perbuatan
mengingkari perguruan adalah dosa yang tak dapat
diampuni dan setiap orang boleh membunuhnya?!" kata
The Kim-ciam dengan kereng.
Peng-say melangkah maju setindak, katanya:
"Tampaknya kau tidak percaya pada keteranganku. Padahal
Bu-tong-pay adalah perguruan ternama, mengaku anak
murid Bu-tong-pay kan meninggikan harga diriku, kenapa
aku mesti menyangkal? Soalnya aku memang bukan murid
Bu-tong-pay, mana boleh Cayhe mengaku tanpa berdasar?"
Habis berkata, mendadak ia melayang keluar.
"Berhenti!" bentak Tan Goan-hay dan The Kim-ciam
bersama. Jika Soat Peng-say benar bukan anak murid Butong-
pay, cara menyerang mereka menjadi tidak kenal
ampun, pedang dan tongkat sekaligus mengincar tempat
mematikan di tubuh Soat Peng-say.
Namun gerak tubuh Peng-say teramat cepat dan gesit.
pula dia mendahului bergerak, senjata lawan tidak mampu
merintangi kepergiannya.
Soat-koh dapat melihat tindakan Peng-say itu, mendadak
iapun membentak nyaring, segera kedua pedangnya
menyerang, mestinya Li Yu-seng bertiga dapat
mematahkan serangan si nona, cuma pada saat itu juga
mereka terdengar suara Soat Peng-say melayang tiba dari
belakang, mereka kuatir disergap. maka cepat mereka
melompat ke samping untuk menghindar.
Dengan demikian dapatlah Peng-say bergabung dengan
Soat Koh. Cepat si nona melemparkan pedang kiri kepada
Peng-say. Meski terasa agak enteng maklum pedang milik
anak perempuan, tapi apapun juga senjata tajam kan lebih
baik daripada menggunakan ranting kayu. Semangat Pengsay
terbangkit seketika, dengan punggung menempel
punggung mereka menghadapi musuh dengan
menggunakan pedang kiri dan pedang kanan.
Soat Koh sekarang hanya memainkan sebilah pedang
saja, meski daya tempurnya agak berkurang tapi
kemahirannya memang terletak pada permainan pedang
kanan. maka caranya menyerang dan bertahan menjadi
lebih lincah, apalagi bagian belakang telah dijaga oleh Soat
Peng-say, kini dia hanya menghadapi tiga jurusan saja,
dengan sendirinya jauh lebih enteng daripada tadi.
Peng-say juga begitu, dia tidak perlu memikirkan
sergapan musuh dari belakang, tapi memusatkan
perhatiannya menghadapi kedua musuh di depan.
Semula Tan Goan-hay dan The Kim-ciam berada di atas
angin. baik menyerang dari muka dan belakang atau
mengerubut dari kanan-kiri. Tapi sekarang mereka hanva
dapat menyerang dari depan. untuk ini Peng-say cukup kuat
untuk bertahan sehingga untuk sekian lama keadaan
berjalan dengan seimbang. Dalam keadaan demikian,
dengan sendirinya yang menentukan sekarang adalah
keuletan belaka asalkan salah seorang tidak sanggup tahan
lama segera akan kelihatan kalah atau menang. Padahal
Tan Goan-hay berlima rata2 berusia antara tiga-empat
puluhan, kekuatan mereka jelas di atas Peng-say dan Soat
Koh, dalam hal keuletan jelas tidak menjadi soal.
Sebaliknya Peng-say dan Soat Koh jauh lebih muda,
pengalaman tempur juga kurang. Mendingan Soat Pengsay,
tapi Soat Koh jelas tidak sanggup bertahan lama,
pembawaan anak perempuan juga lebih lemah daripada
anak lelaki, apalagi kekuatannya memang selisih jauh
dibandingkan lawan Jika berlangsung lebih lama lagi bukan
mustahil Soat Koh akan terluka, bila si nona sudah terluka
dan kehilangan daya tempur, Peng-say sendiri pasti juga
tidak sanggup bertahan, akhirnya dia pasti juga akan mati
konyol.
Dengan perhitungan ini. Tan Goan-hay berlima
bertempur dengan tenang dan sabar, mereka sengaja
menunggu bila Soat Koh sudah lemah dan tak tahan, laiu
mereka akan melancarkan serangan gencar untuk
merobohkan Soat Peng-say.
Tapi sebelum kehabisan tenaga, kelihatan Soat Koh
sudah tidak tahan lagi. Dia bertempur dengan saling
membelakangi dengan Peng say, dalam hal siasat tempur
memang sangat baik, tapi juga disinilah timbulnya
kelemahan.
Dia dan Peng say memainkan pedang dengan tangan
kanan dan tangan kiri, dalam keadaan punggung menempel
punggung, tangan kedua orang yang memainkan pedang
menjadi saling mengganggu, kalau bukan siku Soat Koh
menyenggol tangan Peng-say, tentu Peng-say yang
menyikut lengan Soat Koh.
Bilamana kedua orang sama2 menggunakan tangan
kanan dan berdiri saling membelakangi, tentu takkan timbul
kerepotan ini. Justeru Peng say tidak mahir menggunakan
tangan kanan, hanya dapat memainkan pedang kiri, kini ia
berdiri mungkur bersama Soat Koh, dengan sendirinya
kedua orang lantas terjadi saling menyikut.
Padahal pertarungan diantara jago2 silat tidak boleh
lengah sedikit pun, karena tersenggol dan tersikut, serangan
jadi terganggu, tentu saja Soat Koh menjadi sukar
menghadapi serangan maut Li Yu-seng bertiga.
Peng-say sendiri tidak tahu cara bagaimana harus
menghindari sentuhan dengan Soat Koh, keduanya berdiri
mungkur, tentu saja sukar untuk melihat kebelakang.
Suatu ketika, mungkin Peng-say terlalu kuat
menggunakan tenaga, dengan tepat ia menyikut lengan Soat
Koh yang sedang ditarik ke belakang. Keruan si nona
menjerit kesakitan, dengan susah payah dia harus
melancarkan beberapa gerakan kilat untuk menyelamatkan
diri akibat sentuhan tersebut. Diam2 Soat Koh
mendongkol, ia pikir terlalu berbahaya jika keadaan
demikian berlangsung terus.
Segera ia mengomel: "Jilengcu, tidakkah kau dapat
memainkan pedangmu dengan tangan lain?"
"Jika aku diharuskan menggunakan tangan kanan, sama
saja suruh aku mengangsurkan kepalaku untuk dipenggal
musuh," ujar Peng-say dengan menyengir.
"Memangnya kenapa dengan tangar kananmu? Apakah
buntung?" tanya Soat Koh.
"Buntung sih tidak, cuma tangan kananku hanya dapat
pegang sumpit untuk makan nasi, sama sekali tidak sanggup
menggunakan pedang," tutur Peng-say.
Soat Koh tidak tahu bahwa sejak mula Peng-say berlatih
ilmu pedangnya dengan tangan kanan terikat. Jadi tangan
kanan tidak pernah digunakan berlatih Siang-liu-kiam-hoat
itu, bilamana dia diharuskan menggunakan tangan kanan,
sama saja dia disuruh mengantarkan nyawa. Padahal anak
muda itu telah banyak membantunya, jika sekarang ia
memaksanya mengganti tangan sehingga membahayakan
jiwanya, betapapun tindakan ini agak keterlaluan dan tidak
tahu budi.
Teringat demikian, Soat Koh tidak dapat bicara lagi.
Celakanya, sejenak kemudian iapun membentur tangan
Peng-say, menyusul anak muda itu lantas menyikutnya
pula. Meski ganggunn ini segera dapat diperbaikinya, tapi
cambuk Li Yu-seng tidak urung sempat menyabat pada
bahunya.
Syukur Soat Koh bertahan sekuatnya sehingga tidak
sampai menjerit sakit. Hal ini tidak diketahui Soat Pengsay.
Tidak lama kemudian kembali ia menyikut Soat Koh
sekali lagi.
Mau-tak-mau Soat Koh menjadi gemas, segera ia
memaki: "Orang mampus! Kenapa tidak hati2 sedikit,
sebentar2 menyikut! Kau kira orang tidak sakit?"
Peng-say menghela napas menyesal, katanya: "Nona
Soat, kedua tanganmu dapat kau gunakan, kenapa kau
tidak menggunakan tangan kiri saja?"
"Huh, kalau jiwamu berharga, apakah jiwaku tidak
berharga sehingga aku yang harus berganti tangan?" jengek
Soat Koh.
Rupanya ilmu pedang Soat Koh itupun hanya cocok
dimainkan dengan tangan kanan, meski tangan kiri juga
dapat memainkannya, tapi tak dapat digunakan tanpa kerja
sama tangan kanan, bila cuma tangan kiri saja yang
digunakan, maka kekuatannya tidak berbeda banyak
daripada Soat Peng-tay berganti tangan.
"Bukan begitu maksudku," kata Peng-say pula. "Jika
dapat ganti tangan boleh kau ganti, kalau tidak dapat ya
tidak kupaksa. hanya saja . . . . "
"Hanya apa?" tanya Soat Koh.
Lantaran serangan Tan Goan-hay dan The Kim-ciam
bertambah gencar. terpaksa Peng-say harus memusatkan
perhatian untuk menangkis serangan sehingga tidak sempat
menjawab.
"Hanya apa?" demikian Soat Koh bertanya pula.
Dengan beberapa gerakan aneh dapatlah Peng-say
mematahkan serangan musuh, keadaanya menjadi longgar
lagi. maka dapatlah ia menjawab. "Jika keadaan demikian
berlangsung terus, akhirnya jiwa kita pasti akan melayang
di sini."
Teringat kepada nasib sendiri, ayah kandung tidak
diketahui, Cin Yak-leng jatuh didalam cengkeraman orang
jahat pula, dan sekarang dirinya sendiri akan binasa, ia
menjadi menyesal dan menghela napas pnnjang.
"Jangan kau perlihatkan rasa takut matimu," teriak Soat
Koh. "Jika kau takut mati, pergilah kau, aku tidak
memerlukan bantuanmu lagi."
Sudah tentu Peng say bukan manusia vang takut mati, ia
mendongkol oleh ucapan Soat Koh itu, tapi tidak
dihiraukannya.
"Hayolah pergi, lekas kau pergi saja!" desak Soat Koh
pula.
Peng-say menjawab dengan tertawa; "Ditemani gadis
cantik, biarpun mati bersama juga rela aku."
Soat Koh melengak, mendadak ia berkata pula: "Kau
tidak mau pergi, biar aku saja yang pergi." Habis itu
mendadak ia memisahkan diri.
Keruan Peng-say menjadi kuatir, serunya cepat:
"Jangan!"
Soat Koh masih berdiri di sebelahnya dan menjengek:
"Tidak perlu kuatir, urusanku sendiri tidak nanti kusuruh
kau bertanggung-jawab sendirian dan kutinggal pergi."
"Nona jangan salah paham," demikian Peng-say
berusaha memberi penjelasan sembari bertempur. "Sekali
kita berpisah, tentu kita akan kalah terlebih cepat."
"Hm, dasar takut mati, lekas kau pergi saja!" jengek Soat
Koh. "Mulai sekarang, urusan nona tidak perlu kau ikut
campur lagi, kembalikan pedangku itu!"
Karena dirinya dimaki takut mati, keruan gusar Peng-say
tidak kepalang.
Kesempatan itu segera digunakan Tan Goan-hay untuk
memecah-belah: "Nah, saudara cilik, baru sekarang kau
tahu rasa. Untuk apalagi kau mengadu jiwa bagi seorang
perempuan yang tidak tahu diri?"
Mendadak Soat Koh menabas tiga kali sambil
membentak: "Enyah!"
Melihat si nona menjadi nekat, Li Yu-seng bertiga
menjadi keder malah, mereka kuatir si nona akan
menerjangnya. karena itulah serangan mereka menjadi
kendur.
Kesempatan itu tidak di sia2kan Soat Koh, cepat ia
menerobos keluar kepungan, tapi ia tidak kabur, sebaliknya
ia lantas berteriak: "Urusanku tiada sangkut-pautnya
dengan bocah she Tio itu, silakan kalian terjang diriku, bila
kukalah. ketujuh benda pusaka segera kuserahkan kepada
kalian."
Tan Goan-hay dan The Kim-ciam memang tiada
maksud bermusuhan dengan Soat Peng-say, segera mereka
berhenti menyerang demi mendengar seruan Soat Koh itu,
kata Tan Goan hay: "Tentunya tidak mudah saudara cilik
melatih Kungfumu ini, silakan kau pergi saja, kami takkan
mempersulit padamu."
"Betul, lekas enyah saja kau!" teriak Soat Koh.
Dengan gusar Soat Peng-say membalik tubuh terus
melangkah pergi.
Tan Goan-hay dan The Kim-ciam sangat girang melihat
kepergian Soat Peng-say, bersama Li Yu-seng bertiga, tanpa
berjanji mereka terus menerjang Soat Koh.
Terjangan mereka sangat hebat, Soat Koh tidak sempat
meminta kembali pedangnya kepada Peng-say. pedang
tangan kanan segera menabas kedepan. Ia pikir dengan dua
pedang saja bukan tandingan kelima musuh, kini tersisa
sebuah pedang saja, mungkin sepuluh jurus saja tak tahan.
Di luar dugaan, baru saja pedangnya bergerak, tahu2
Soat Peng-say melayang turun dari udara. Rupanya Soat
Peng say sangat gusar karena Soat Koh berulang kali
berteriak menyuruhnya enyah. Tapi demi melihat Tan
Goan-hay berlima menerjang seorang gadis, ia menjadi
tidak sampai hati untuk tinggal pergi. Belum sampai kelima
musuh mendekati Soat Koh, segera ia melayang ke atas dan
mendahului turun di samping si nona serta membantunya
dengan satu jurus "Kiong-siang-kut-thau", yaitu jurus
pertama dari Siang-liu-kiam-hoat, untuk menghalau musuh.
Ketika mendadak Soat Koh mengetahui disampingnya
telah bertambah seorang, sekilas lirik dilihatnya ialah Soat
Peng-say, segera ia membentak: "Siapa suruh kau . . . . "
belum lanjut ucapannya, pedang kanan yang ditabaskan itu
telah menimbulkan jeritan ngeri tiga orang.
Waktu Soat Koh memandang kesana. dilihatnya Li Yuseng,
Ho Kong-lim dan Tan Yam-bok bertiga yang berdiri
sejajar itu telah terluka dadanya oleh tabasan pedangnya.
Karena waktu itu dia sedang melirik ke samping
sehingga tidak jelas cara bagaimana musuh dilukainya, Soat
Koh menjadi heran dan memandang ketiga pecundangnya
dengan bingung.
Untung Tan Goan-hay dan The Kim-ciam menjaga
gengsi, mereka tidak mengerubut senapsu ketiga temannya,
maka mereka berdua tidak ikut terluka. Sungguh mereka
tidak melihat sesuatu keistimewaan pada tabasan pedang
Soat Koh itu, tapi buktinya sudah melukai ketiga temannya,
apalagi sekarang cepat Peng-say telah putar balik membela
si nona, jika pertarungan diteruskan jelas pihaknya pasti
kalah.
Dalam pada itu The Kim-ciam sudah mulai mengangkat
tubuh Li Yu-seng, segera Tan Goan-hay juga menyisipkan
pedangnya ke tali pingang, ia kempit Ho Kong-lim dan Tan
Yam-bok dengan kedua tangan, mereka hanya melototi
Soat Koh sekejap, tanpa bicara apapun mereka terus berlari
pergi.
Sementara itu darah segar masih ber-ketes2 di ujung
pedung Soat Koh, ia berdiri termangu2, ia tidak tahu
mengapa hal itu bisa terjadi, betapapun ia tidak dapat
memahami kejadian itu.
Tapi Soat Peng-say malahan mulai paham duduknya
perkara Ia pikir jurus Kiong-siang-kut-thau yang
dikeluarkannya tadi jelas berhasil mengatasi musuh,
lantaran itulah Li Yu-seng bertiga tidak mampu
menghindarkan tabasan pedang Soat Koh.
Kiranya tadi Li Yu-seng bertiga menerjang maju berjajar,
saat itu Soat Koh lagi membentak Peng-say agar enyah,
dengan sendirinya gerak pedangnya agak lambat. Maka
serangan yang dilontarkan Peng-say itu meski ketinggalan
sejenak darj pada serangan Soat Koh tadi, jadinya dapat
bekerja sama dengan sangat rapat, hasilnya sekejap itu Li
Yu-seng bertiga berusaha menghindarkan serangan Pengsay,
tapi lupa bahwa disamping itu masih ada pula serangan
Soat Koh dan tahu2 dada mereka terobek.
Apa yang terjadi itu dapat dilihat Peng-say dengan jelas,
ia tahu hal ini tidak terjadi secara kebetulan belaka. Dalam
keadaan itu, bilamana ketiga orang itu hendak mengelakkan
serangan Peng-say, maka dada mereka tentu akan dirobek
oleh pedang Soat Koh, kalau tidak, maka pedang Peng-say
yang akan melukai mereka.
Diam2 Peng-say merasa heran dan tak dapat menarik
kesimpulan dari kejadian tersebut. Mengapa jurus Kiong
siang-kut-thau itu mendadak bisa berubah sedemikian
lihaynya?
Padahal permainan silat tidak mungkin mengandalkan
untung2an betapapun Peng-say tidak percaya hal yang tidak
mungkin terjadi ini. Lalu apa sebabnya bisa terjadi begitu?
Teringat olehnya setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat
yang lain. Teringat olehnya berita yang tersiar tentang
Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia. Teringat pada
saat melancarkan serangan bersama Soat Koh tadi, timbul
semacam perasaan yang sukar dipecahkan.
Pada saat itulah tiba2 terdengar Soat Koh berseru:
"Bagus kau, Jilengcu, kau sengaja membohongi nonamu
ya?!"
Peng-say terkejut, disangkanya si nona telah mengetahui
sebab-musabab berhasilnya serangannya tadi.
Tapi lantas terdengar Soat Koh berkata pula: "Pintar
sekali kau berdusta, katamu mencari kayu juga mesti
mengangkat guru, memangnya Kungfumu ini juga kau
pelajari dari cara mencari kayu di gunung?"
Dengan tertawa Peng-say menjawab: "Aku belajar
mencari kayu di gunung bersama guruku adalah kejadian
betul2, aku tidak berdusta. Cuma selain mengajarkan cara
mencari kayu, guruku memang juga mengajarkan beberapa
jurus ilmu pedang kasaran padaku."
"Hm ilmu pedang kasaran apa, kembali kau bohong
lagi!" jengek Soat Koh. "Belum pernah kudengar ilmu
pedang yang mampu melawan jago silat dari Siau lim-pay
dan Tiam-jong-pay dikatakan sebagai ilmu pedang kasaran.
Jika demikian, kau anggap ilmu silat Siau-lim-pay dan
Tiam-jong-pay yang kau kalahkan itu lebih kasar daripada
kepandaianmu?"
"Ilmu silat Siau-lim-pay dan Tiam-jong-pay sudah tentu
sangat hebat, mana boleh dinilai dengan istilah kasar?" ujar
Peng-say. "Yang jelas ilmu pedang pencari kayu Jilengcu
menjadi teramat kasar bilamana dibandingkan ilmu pedang
sakti nona."
"Huh, masih muda belia sudah pintar putar lidah dan
suka menyanjung puji kepada orang lain," omel si nona.
"Tapi buktinya sekali serang nona memang telah melukai
tiga musuh, suugguh ilmu pedang yang maha sakti . . . . "
"Sudahlah, jangan kau teruskan, hanya bikin malu saja,
ujar Soat Koh. "Padahal akupun tidak tahu cara bagaimana
mereka terluka. Tampaknya cukup berat juga luka mereka,
bila mati,Wah, bisa susah aku."
Baru sekarang Peng-say mengetahui si nona belum
memahami sebab-musabab sekaligus dapat melukai tiga
orang musuh. Maka legalah hatinya, segera ia bertanya:
"Mengapa kau omong begitu?"
"Betapapun kalau musuh terlalu banyak tentu akan lebih
banyak pula menimbulkan kesulitan," jawab si nona.
"Seperti guruku, bulan yang lalu secara tidak sengaja beliau
membunuh jago silat terkenal di Pakkhia, yaitu Beng Engkiat,
habis itu beliau sangat menyesal. Jika tadi kubunuh
lagi murid keluarga Liong di Kwan-gwa, yaitu orang she Li
tadi serta kedua kawannya, tentu hal ini akan menimbulkan
kegusaran umum di dunia persilatan. Bila mereka beramai2
mencari diriku dan guruku, kan urusan bisa
runyam."
"Dimanakah gurumu?" tanya Peng-say.
"Kami berpisah sebulan yang lalu di Pakkhia," tutur Soat
Koh. "Suhu bilang ilmu silatku sudah cukup lumayan,
sudah pantas berdikari dan menggembleng diri di dunia
Kangonw, kalau sepanjang hari selalu mengintil di belakang
beliau, seperti anak kecil yang belum disapih, bila kelak
ketemu urusan gawat, tentu akan kebingungan dan tidak
sanggup mengambil keputusan sendiri."
"Jadi gurumu sengaja menggembleng dirimu di dunia
Kangouw, tapi kan tidak menyuruh kau menjadi . . . . "
sampai di sini mendadak terputus ucapannya, kata "maling"
tidak jadi diucapkan.
"Kenapa tidak kau teruskan?" omel Soat Koh dengan
menarik muka. "Memang sejak mula aku memilih bidang
'mencuri' sebagai pekerjaanku."
Peng-say menggeleng. katanya dengan menyesal: "Ai,
nona cantik seperti dirimu, untuk apa. . . ."
"Hayolah lanjutkan!. . . . "
"Untuk apa menjadi pencuri, sungguh sayang," ucap
Peng-say dengan sungguh2.
Tidak kepalang dongkol Soat Koh hingga mencucurkan
air mata, katanya: "Bagus, terang2an kau memaki aku
sebagai maling, sebagai pencuri, aku.... . .aku lebih baik
mati saja."
Peng-say jadi melengak, diam2 ia merasa perempuan
benar2 makhluk yang aneh. Dia mengaku sendiri sebagai
pencuri, kenapa pantang orang menyebutnya pencuri?
Apalagi ia sendiri yang menyuruhnya omong.
Dengan air mata berderai Soat Koh berkata pula:
"Pergilah kau, pergi saja, jangan bergaul dengan maling,
jangan2 kau akan ketularan bau maling. . . ."
"Nona," kata Peng say, "hendaklah kau terima
nasihatku, pekerjaan mencuri bukanlah lapangan pekerjaan
yang baik. Malahan akan banyak mendatangkan kesulitan,
orang dan golongan hitam saja menusuhi kau, apalagi
orang dari kalangan putih, bisa jadi mereka akan
membunuh kau."
Mendadak Soat Koh membusungkan dada sambil
berteriak: "Baiklah, boleh kau bunuh, boleh kau bunuh. . . ."
sembari berseru ia terus melangkah maju dengan marah2.
Selangkah demi selangkah Peng-say menyurut mundur,
katanya: ”Jika kau merasa malu bergaul dengan pencuri
macam diriku, mengapa tadi kau menolong diriku, kumaki
juga kau terima dan tidak mau enyah?"
"Ini. . .ini. . . " Peng say ter-gagap2, sampai sekian lama
tetap tak dapat memberi jawaban.
"Kutahu anda ini seorang yang berbudi luhur, seorang
yang welas-asih dari kalangan putih. betapapun anda tidak
sudi turun tangan membunuh orang. Tapi kau kan tidak
perlu membunuh diriku, boleh kau biarkan aku dibunuh
oleh Tan Goan-hay dan begundalnya tadi, kan secara tidak
langsung kau telah mendapat pahala dengan terbunuhnya
seorang maling?"
Peng-say menjadi rikuh sendiri, jawabnya: "Ah, mana
diriku dapat disebut sebagai orang yang berbudi luhur
segala, yang benar, lantaran mengharapkan upah sehari
sepuluh tahil perak, makanya kutolong kau .... "
"Ai, sampai sekarang kau masih juga omong kosong!"
kata Soat Koh dengan tertawa. "Hah, kukira kaupun tidak
perlu berlagak sebagai orang baik2 lagi, jelas kaupun ingin
membagi rejeki, betul tidak?"
"Membagi rejeki apa?" tanya Peng-say.
"Memangnya, maksud tujuanmu menolong diriku
bukankah ingin membagi satu-dua benda pusaka barang
curianku ini?"
"Jika kuminta bagi rejeki, perutku jauh lebih besar
daripada kawanan bandit yang hendak membegal kau itu,
aku tidak mau membagi satu-dua bagian saja, jika mau,
harus seluruhnya, tujuh macam benda pusaka itu harus
diserahkan kepadaku, satu-pun tidak boleh kurang."
"Wahhh tega amat kau! Sekali caplok hendak kau
kangkangi seluruhnya?!"
"Sebenarnya juga bukan hendak kukangkangi menjadi
milikku, tapi hendak kukembalikan kepada si pemiliknya."
"He, sebab apa kau bertindak demikian?" tanya Soat Koh
dengan mendelik.
"Tahukah kau, dengan hilangnya ketujuh benda pusaka
ini, siapa orang di Kotaraja sana yang paling sial?"
"Dengan sendirinya kelima bangsawan yang kehilangan
itu."
"Dalam hal kebendaan secara langsung memang mereka
yang rugi tapi sebagai bangsawan yang kaya raya,
kehilangan sedikit harta benda tentu saja bukan apa2 bagi
mereka. Yang benar2 kena getahnya adalah orang yang
bertanggung jawab atas keamanan kota."
"O, kau maksudkan kawanan petugas itu, seperti. Ong
Cin-ek, begitu?"
"Yang ikut bertanggung jawab dengan sendirinya bukan
cuma petugas rendahan itu, tapi juga Kiu-bun-te-tok Cintayjin.
Jika harta benda penduduk biasa yang kau curi
mungkin tidak menjadi soal, tapi yang kehilangan adalah
kaum pangeran dan pembesar tinggi, coba kau pikir, siapa
orang pertama yang akan dimintai tanggung-jawab?
Dengan sendirinya Cin-tayjin sebagai penguasa militer
kotaraja. Lalu bagaimana akibatnya jika barang yang hilang
tidak dapat ditemukan kembali? Bukankah Cin-tayjin yang
bakal kehilangan kedudukannya dan bahkan masuk penjara
pula."
"Jadi yang bakal tertimpa bencana adalah Kiu-bun-te-tok
Cin-tayjin? Eh, coba jawab dulu. Kau sendiri bukan
pembesar negeri, bukan pengusaha swasta, tidak terima
upah, tidak bayar pajak, kau berkeliaran didunia Kangouw
dengan bebas, untuk apa kau perhatikan urusan kaum
pembesar itu?"
"Urusan kaum pembesar itu sebenarnya memang tiada
sangkut-pautnya dengan orang persilatan seperti kita ini,"
kata Peng-say. "Tapi persoalannya menyangkut hari depan
Cin tayjin, mau-tak mau aku harus ikut campur."
"Aha, jangan2 Cin Ci-wan itu adalah bakal mertuamu?"
jengek Soat Koh.
Peng-say melengak karena ucapan yang hampir
mendekati kebenaran itu, tapi ia lantas menggeleng dan
berkata pula: "Jangan sembarang kau terka, Cin-tayjin itu
masih terhitung pamanku, ibu Cin-tayjin itu adalah saudara
nenek perempuanku."
"O, maaf, maaf, kiranya Tio-jilengcu kita ini jelek2 masih
mempunyai famili yang menjadi pembesar negeri. Tapi
ingin kutanya pula padamu,jikalau benar2 hendak membela
sanak-kadangmu yang pembesar itu, mengapa sejak mula
tidak kau serahkan diriku kepada Tan Goan-hay, asalkan
barang curianku ditemukan mereka dan dikembalikan
kepada pemiliknya, tentu pembesar negeri yang
bersangkutan tidak perlu mengusut lebih lanjut dan
pamanmu yang pembesar itu pasti juga tetap aman pada
kedudukannya."
Padahal sebelum ini Soat Peng-say sendiri tidak pernah
membayangkan hal demikian, sebabnya dia menolong Soat
Koh, ia sendiripun tidak dapat mengemukakan alasannya.
Bisa jadi lantaran Soat Koh dalam pandangannya sama
dengan duplikat Cin Yak-leng, menolong Soat Koh se-olah2
sama dengan menyelamatkan Cin Yak-leng.
Maka Peng-say lantas menjawab: "Kukira belum
terlambat biarpun benda2 pusaka itu dikembalikan kepada
pemiliknya melalui tanganku sekarang. Cuma apakah
benda2 pusaka itu sekarang berada padamu, kan tiada
seorangpun yang tahu. Bisa jadi barang curian itu sudah
kau pindahkan kepada orang lain, dengan sendirinya tidak
mungkin dapat ditemukan pada dirimu."
"Hm, apakah kau kira lantaran kau telah membantu
diriku, lalu akan kubantu kau menemukan benda2 pusaka
itu?" jengek Soat Koh.
"Ya, itu kan terserah kepada hati nuranimu sendiri," ujar
Peng-say dengan tertawa.
"Benda pusaka tidak kupindahkan kepada orang lain,
sekarang juga masih tersimpan di bawah kereta, tapi jangan
kau harap akan menerimanya dariku, bahkan ingin
membagi satu potong saja tidak boleh, sebab benda2 ini
bukan milikku."
"Tepat!" seru Peng-say. "Milik orang lain, mana boleh
kita kangkangi menjadi milik sendiri. Tidak menjadi soal
meskipun tidak kau serahkan padaku, bagaimana kalau
langsung kau sendiri yang menyerahkan kembali kepada
pemiliknya?"
"Apa katamu? Jadi jerih payahku selama sebulan ini
akan sia2 belaka?" seru Soat Koh dengan melotot. "Supaya
kau tahu, barang2 ini sudah pasti tidak akan kukembalikan
kepada pemiliknya tapi juga takkan kukangkangi menjadi
milik sendiri, maksudku akan kujual, lalu . . . . "
"Aha, pikiran bagus!" seru Peng-say sambil berkeplok.
"Sungguh tak nyana nona ini seorang maling agung yang
mulia, maling budiman yang suka merampas milik orang
kaya untuk disedekahkan kepada kaum miskin."
"Maling? Huh, sebutan yang menusuk telinga!Meski kau
tambah satu kata 'agung' juga tetap tidak enak di dengar!"
"O, jika begitu, sebut saja Lihiapkhek (pendekar
perempuan) yang suka berbuat mulia bagi keadilan manusia
Nah, cocok?"
Soat Koh tepekur sejenak dan mengangguk, katanya:
"Ehm, boleh juga sebutan ini, cuma, dengan demikian,
sanak familimu itu jelas2 akan tertimpa sial."
"Asal tujuan nona memang demi kebaikan umum, apa
mau dikatakan lagi?" ujar Peng-say. "Terpaksa biarkan saja
pamanku itu menerima damperatan kelima pangeran itu.
Menurut pendapatku, masih untung barang yang kau curi
bukan milik si tua raja sehingga pamanku takkan sampai
kehilangan jabatannya."
"Wah, jika begitu, lain kali akan kugerayangi kas negara
di Pakkhia sana, akan kucuri beberapa benda pusaka
kesayangan si tua raja."
-oo0dw0oo-
Jilid10
Peng say tahu si nona hanya bergurau saja, maka ia
cuma tertawa dan tidak menanggapi.
Kedua orang lantas naik ke atas kereta, Peng-say tetap
berduduk di tempat kusir, sekali ia menyendal tali
kendalinya, segera kereta itu dilarikan secepat terbang
menyusur jalan raya.
"Jilengcu," seru Soat Koh sambil melongok keluar
jendela, "Kungfumu tidak di bawahku, kemanapun kau
dapat cari makan, untuk apa kau menjadi kusirku?"
"Mencari makan memang mudah, tapi mencari sepuluh
tahil satu hari, inilah yang sukar!"
"Maksudmu . . . ."
"Asalkan nona tidak memutuskan hubungan kerja kita
ini, pekerjaan ini akan tetap kulakukan."
"Tapi sekarang aku tidak sanggup membayar kau lagi,"
kata Soat Koh dengan tertawa.
"Memangnya kenapa? Apakah nona lagi seret, belum
punya kontan? Tidak menjadi soal, tidak perlu kau bayar
upahku setiap hari, boleh dicatat saja dalam buku utangpiutang,
nanti kalau keuanganmu sudah lancar, bolehlah
kau bayar sekaligus padaku."
"Eh, jangan kau pandang nonamu serudin itu, masa satu
hari sepuluh tahil perak saja tidak mampu kubayar?!
Soalnya sekarang aku merasa sungkan jika harus memakai
seorang pahlawan sebagai saisku."
"Hahahaha! Jika aku ini pahlawan, maka nona kan lebih
daripada pendekar besar. Seorang pahlawan menjadi sais
seorang pendekar besar kan juga pantas?"
"Tapi upah sepuluh tahil perak sehari bagi seorang
pahlawan kukira terlalu sedikit!" ujar Soat Koh dengan
tertawa. "Eh, biar kupertimbangkan dahulu. sepantasnya
kutambah berapa upahmu Jika tambah terlalu banyak,
jangan2 nanti aku tidak mampu bayar, bila tambah gaji
terlalu sedikit, rasanya juga . . . ."
"Tambah sedikit juga tetap kukerjakan, tidak tambah gaji
juga kukerjakan, satu peserpun aku tidak minta, cukup
memberi makan tiga kali dan menghargai kepribadian
Jilengcu, maka cara kerjaku pasti lebih giat."
"Apa katamu?" Soat Koh menegas, hampir2 ia
menyangsikan telinganya sendiri.
"Kubilang, jika kau menghargai diriku, upah menjadi
kusir ini tidak perlu bayar sepeserpun, aku hanya kerja bakti
bagimu, cukup kau beri makan tiga kali, memberi kesempan
tidur yang cukup,kukerja dengan gratis."
Soat Koh benar2 tidak percaya kepada telinganya
sendiri, ia melenggong sejenak. tanyanya kemudian: "Jika
begitu, tidakkah kau gagalkan rencanamu sendiri?"
Seketika Peng say tidak paham arti ucapan si nona.
tanyanya dengan suara keras: "Rencana apa maksudmu?"
"Bukankah sudah kau rencanakan, setelah bekerja
setengah tahun, upah yang kau tabung itu akan kau
gunakan untuk kawin?"
Baru sekarang Peng-say ingat kepada bualannya tempo
hari, ia ter-bahak2. Katanya kemudian: "Ah, ucapanku itu
hanya untuk main2 saja. Sekarang setelah kutahu nona
bukan maling sembarang maling, asalkan tenaga Jilengcu
dapat nona pakai, masa perlu kubicara tentang upah segala?
Yang nona laksanakan ini adalah tugas suci, usaha sosial.
bila Jilengcu dapat ikut mengabdi bagi kebaikan sesamanya,
jangankan soal upah, seumpama ketemu sasaran besar dan
nona mendadak memerlukan tenaga sambilan, dengan suka
hati juga akan kubantu."
Mau-tak-mau Soat Koh meng-angguk2 akan keluhuran
budi orang, katanya: "Jilengcu, sungguh tidak pantas
pernah kumaki kau mata duitan."
"Ah. tidak apa2, sama2," jawab Peng-say. "Semula aku
tidak tahu duduknya perkara, aku menyesal karena gadis
cantik macam kau sudi menjadi maling. maka ku-olok2 kau
sehingga nona menangis, sungguh akupun menyesal."
"Sayang aku bukan lelaki, kalau tidak, sungguh kita
layak menjadi sahabat karib."
"Lelaki dan perempuan kan juga boleh bersahabat
karib?"
"Boleh sih boleh., cuma . ...cuma agak kurang leluasa,"
kata Soat Koh.
"Eh, lain kali, jika operasi lagi, kau masuk, aku jaga di
luar, kupercaya kita pasti dapat bekerja sama dengan baik."
"Huh, justeru kukuatir kau bicara lain di mulut lain di
hati. Kebanyakan lelaki tidak mempunyai Liangsim (hati
nurani yang baik)."
"Ah, berdasarkan apa kau omong begini?"
"Sembilan di antara sepuluh lelaki kalau melihat untung
lantas lupa budi, betapapun si perempuan baik padanya,
bila melihat sesuatu yang menguntungkan, dia tidak segan2
untuk mencaploknya sendiri, sampai membunuh teman
perempuannya juga tidak sayang2 lagi"
"Aku tidak percaya didunia ada lelaki sekejam ini.
Kukira cara bicara nona agak terlalu berlebihan," demikian
Peng-say berusaha membela kaum lelaki.
"Kau tidak percaya?" tanya Soat Koh dengan gemas. "Di
dunia ini justera ada lelaki yang demikian. Akan kuberi
suatu contoh, pernah ada seorang she ... . " mendadak ia
ingat Peng-say mengaku she Tio, maka ia lantas bertanya:
"Eh, gurumu she apa?"
"She Tio," jawab Peng-say dengan jujur.
Air muka Soat Koh seketika berubah hebat, tanyanya
pula: 'She Tio? Dan siapa namanya?"
Peng-say merasakan sikap si nona yang rada aneh itu, ia
tidak berani lagi mengaku terus terang bahwa gurunya
bernama Tio Tay-peng, maka dengan tertawa ia menjawab:
"Guruku bernama Tio lotoa!"
"Huh, setiap orang she Tio pasti bukan manusia baik2,"
dengus Soat Koh.
"He. apakah termasuk aku Tio-jilengcu?" tanya Peng-say.
"Kukira tidak semua orang she Tio sebusuk apa yang kau
bayangkan. Setidaknya aku pasti bukan orang busuk yang
kau sangka itu."
"Hm, memang enak didengar ucapanmu," jengek Soat
Koh. "Kau tahu, ada seorang she Tio yang keji, demi
mengangkangi satu jilid kitab pusaka, dia tega
membuntungi sebelah lengan seorang perempuan yang
mencintai dia."
"Hah, masa betul?" tanya Peng-say dengan suara agak
gemetar.
"Masa aku omong kosong?" seru Soat Koh dengan
gemas. "Biar kukatakan terus terang, perempuan yang
malang itu bukan lain ialah guruku."
"Kemudian bagaimana dengan orang she Tio itu?" tanya
Peng say.
"Dia juga tidak menarik keuntungan dari perbuatannya
itu, kamudian lengan kanannya juga dibuntungi oleh
guruku."
"Dan kitab pusaka itu?"
"Dia mengira kitab pusaka ilmu pedang itu akan dapat
dikangkanginya, dia tidak tahu bahwa kitab itu terdiri dari
dua jilid, yang diperolehnya tidak lebih hanya setengah
bagian saja."
"O, jadi yang setengah bagian tetap diperoleh gurumu,
bukan?"
"Untung sebelumnya Suhu menyimpan setengah bagian
kitab itu di dalam baju dan asyik membaca setengah bagian
yang lain. Orang she Tio itu cuma memikirkan kitab yang
dipegang guruku, pada saat guruku lengah. sekali tabas dia
menguntungi lengan kiri guruku. Tak disangkanya bahwa
kitab itu masih ada setengah bagian lagi. Jika tahu,
mungkin dia takkan mengampuni jiwa guruku."
"Kitab pusaka macam apakah sehingga menimbulkan
angkara-murka orang she Tio itu?'' tanya Perg-say.
Soat Koh bermaksud menerangkan, tapi mendadak
teringat olehnya peringatan sang guru yang mengatakan:
"Jangan mempunyai pikiran mencelakai orang lain, tapi
harus punya pikiran menjaga kemungkinan dicelakai orang
lain."
Karena itulah ia menjadi urung bicara. Pikirnya: "Tahu
orangnya, tahu mukanya, tapi sukar mengetahui hatinya.
Meski Jilengcu ini kelihatan orang baik, tapi siapa berani
menjamin hatinya takkan berubah dan mencelakaiku bila
dia mendengar tentang Siang-liu kiam-hoat?"
Padahal Peng-say tentu saja tahu kitab yang
dimaksudkannya adalah Siang-hu-kiam-boh, kalau si nona
tidak mau bicara terus terang, maka iapun tidak perlu tanya,
hanya bila teringat sang guru ternyata seorang berhati sekeji
itu, tanpa terasa timbul rasa sedihnya.
Karena sama2 menanggung pikiran, kedua orang tidak
bicara lagi. Siangnya mereka istirahat di suatu kota Kecil
dan makan sekadarnya, lalu melanjutkan perjalanan, Soat
Koh tidak menjelaskan hendak pergi kemana, menurut
pikiran Peng-say, ’sudah tentu semakin jauh meninggalkan
Pakkhia semakin baik bagi si nona. Jika nona itu tidak
minta diantar kesesuatu tempat, biarlah kuhalau kereta ini
menurut pikiranku sendiri.’
Dengan sendirinya tempat yang dituju Peng-say adalah
lautan di timur sana, untuk ke sana harus melalui pantai
Soatang. Maka Peng-say terus membedal kudanya ke
perbatasan Hopak dan Soa-tang, menjelang magrib
keretanya sudah masuk di wilayah Soatang.
Mendadak Soat Koh membuka jendela depan dan
berkata kepadanya: "Celam adalah kota besar di propinsi
Soatang, bolehlah kita bermalam disana, esok kita dapat
menjual ketujuh benda pusaka ini."
Pada waktu hari mulai gelap, kereta merekapun
memasuki kota Celam. Esoknya Soat Koh menjual ketujuh
benda pusaka itu kepada seorang saudagar besar dengan
nilai sepuluh laksa tahil. Selama tiga malam ber-turut2, Soat
Koh dan Peng-say mem-bagi2kan kesepuluh laksa tahil
perak itu kepada kaum miskin di dalam maupun di luar
kota Celam.
Kaum jembel yang menerima berkah itu tidak tahu akan
kedatangan tamu yang tak diundang itu. tahu2 paginya
mereka melihat di rumahnya telah bertambah sebungkus
uang perak. Keruan mereka kegirangan. Mereka tidak tahu
siapakah yang memberi sedekah, hanya dari bungkusannya
terlihat gambar seekor burung berwarna seputih salju.
Ada diantara penerima berkat itu mengenali burung itu
adalah Soat-koh yang suka pada salju, hanya di musim
dingin dan turun salju saja burung itu terlihat. Karena itulah
mereka lantas menyebut si pemberi berkat sebagai "Soat
Hiap" atau pendekar salju.
Tiga hari kemudian, selesailah Soat Koh dan Peng-say
membagikan harta karun itu. Nama "Soat Hiap" segera
menggemparkan seluruh kota Celam, di-mana2 orang
membicarakan tokoh "Soat Hiap" yang misterius itu,
semuanva bilang "Soat Hiap" adalah Koan-im Hudco yang
turun dari langit untuk menolong kaum penderita.
Tentu saja Soat Koh sangat senang mendengar berita
yang ramai tersiar itu Dilihatnya masih ada sebagian kaum
miskin yang belum mendapatkan bagian sedekah ia lantas
berunding dengan Peng-say untuk beroperasi di Celam agar
segenap kaumMiskin itu dapat menerima berkatnya secara
merata.
Akan tetapi Peng-say tidak setuju. katanya: "Tujuan kita
adalah menolong kaum miskin untuk itu jangan kita
berbalik membikin susah kepada mereka. Coba kau pikir,
kita beroperasi kota ini, lalu hasil curian kita itu dibagikan
kepada orang miskin di kota ini pula, apabila diselidiki
diusut oleh pihak yang berwajib, bukankah si miskin yang
menerima sedekah itu berbalik masuk penjara? Jika terjadi
demikian, orang miskin itu tidak lagi berterima kasih
padamu, sebaliknya akan menganggap kau ini maling sialan
yang suka bikin susah orang."
Soat Koh pikir pendapat Peng-say itu memang beralasan.
dengan tertawa ia lantas berkata: "Jika demikian, biarlah
kita beroperasi di kota lain. lalu kita angkut hasil curian kita
ke sini untuk disebarkan kepada kaum miskin yang
memerlukannya."
"Maling juga mesti pegang etiket, perbuatan merampas
milik orang kaya untuk diberikan kepada kaum miskin ini
juga harus mencari sasaran yang tepat, harus kita selidiki
dulu orang kaya yang pelit dan kejam, apakah sudah kau
selidiki hal ini?"
"Untuk apa main selidik segala? Asalkan orang kaya
pasti pelit dan tidak berbudi, kita datang saja
ke kota lain dan mencari sasaran yang kaya, kan beres?"
"Salah jalan pikiranmu ini," kata Peng-say, "Hendaklah
maklum, tidak semua orang kaya itu jahat. Ada sementara
orang itu berusaha secara jujur. bahwa kekayaan mereka
bertambah menumpuk, sering2 adalah karena mereka hidup
hemat dan dapat menabung, apakah kita sampai hati
mencuri harta mereka. Maka sebelum operasi, sebaiknya
kita mencari keterangan sejelasnya sasaran yang kita tuju,
kalau sudah pasti harta kekayaannya diperoleh dengan jalan
tidak halal barulah kita turun tangan."
"Huh, ocehanmu hanya meruntuhkan semangatku saja,"
omel Soat Koh. "Mencuri milik orang kaya, kan takkan
menjadikan dia bangkrut, Paling2 hanya sebagian kecil
Kekayaannya saja dan dia tetap dapat hidup, kenapa mesti
buang2 waktu main selidik segala?"
"Apakah tujuanmu mencuri yang kaya dan menolong
yang miskin hanya timbul untuk kepuasan saja dan tidak
membedakan siapa yang pantas dicuri dan siapa yang
tidak?" ujar Peng-say dengan tertawa. "Umpamanya, kalau
harta orang kaya yang kau curi itu disediakan akan dibuat
bayar utang, meski kehilangan itu tidak mengakibatkan dia
jatuh rudin, tapi dia akan kehilangan kepercayaan di dunia
perdagangan, bagi orang dagang, hal ini sama seperti jalan
hidupnya kau sumbat."
"Sudahlah, alasanmu memang macam2, tak dapat
berdebat dengan kau," kata Soat, "Pokoknya kuturut
usulmu, marilah kita pergi kota lain dan menyelidikinya
dengan pelahan."
"Memangnya kau hendak ke mana?"
"Operasi kita sudah terjadi di daerah Hopak, di Soa-tang
sini tidak leluasa, biarlah kita ke propinsi Holam yang
terdekat saja."
"Tapi aku harus keluar lautan, tak dapat kutemani kau ke
Holam.
"Keluar lautan? Untuk apa?"
"Pernah kau dengar istilah Tang wan, Say koan. Lamhan
dan Pak-cay?"
"Ya, pernah," jawab Soat Koh sambil mengangguk.
"Pernah kudengar dari guruku, katanya itulah tempat
kediaman keempat tokoh sakti dunia persilatan jaman kini."
"Nah, Tang-wan atau Hong hoa-wan itu berada jauh di
lautan timur sana," tutur Peng-say "Untuk keluar lautan
harus melalui semenanjung Soatang, sekarang kita sudah
berada di wilayah Soatang, kesempatan ini harus
kugunakan untuk keluar lautan . . . . "
"Kau hendak pergi ke Hong-hoa-wan?" Soat Koh
menegas dengan terkejut. "Apakah kau ingin mencari
mampus?"
"Kenapa kau anggap pergi ke Hong-hoa-wan berarti
mencari mampus?" tanya Peng-say.
"Hong hoa-wan terletak jauh di negeri asing sana,
jangankan perjalanan mengarungi samudera sangat
berbahaya, setiap saat kapalmu bisa tenggelam, seumpama
beruntung dapat kau capai Hong-hoa wan, kaupun jangan
harap akan datang pulang dengan selamat. Sebab Honghoa-
wancu adalah gembong iblis yang paling benci pada
pengunjung yang berani mendatangi pulaunya. Sudah lama
dia merajai negeri pulau sana, penduduk asli pulau itu
dibodohinya. maka ia takut kedatangan orang Tionggoan
yang mungkin akan berebut pengaruh dengan dia. Sebab
itulah, asalkan melihat orang Tionggoan muncul di
pulaunya, tentu akan ditawannya dan dilemparkan ke laut
untuk umpan ikan hiu."
"Hehe, jangan kau bicara seperti menggertak anak kecil,"
seru Peng-say dengan bergelak tertawa.
"Sama sekali bukan gertak," kata Soat Koh dengan
sungguh2.
"Takkan terjadi apa2 jika kau pergi ke Say-koan, Lamhan
atau Pak-cay, tapi jangan sekali2 pergi ke Tang-wan.
Ngo-hoa Koancu. Soh-hok Hancu dan Leng-hiang Caycu
konon bukan orang jahat, jika kau mengunjungi mereka,
asalkan kau tidak bikin onar tentu takkan menimbulkan
kesulitan, tapi Hong-hoaWancu terkenal bagai orang jahat,
biarpun kau tidak cari perkara juga akan mendatangkan
malapetaka jika kau berani menginjak pulaunya."
"Kepergianku ke Hong-hoa-wan sana memang mau
mencari perkara!" kata Peng-say.
"He, apakah kau sudah bosan hidup?" tanya Soat Koh.
"Kau tidak tahu bahwa putera Hong-hoa Wancu ada
permusuhan besar denganku, jadi kepergianku kesana
sudah jelas harus kulaksanakan."
"O, kiranya kau ke sana hendak mencari putera HonghoaWancu
untuk menuntut balas, jika demikian urusannya
menjadi lain."
"Maka kita berpisah disini saja, kau pergi ke Holam, aku
akan menuju ke Ciau ciu-wan (semenanjung Soatang),
bilamana aku dapat pulang dengan hidup, setahun lagi kita
berjumpa pula di sini."
"Apa artinya jika kupergi ke Holam sendirian, mencuri
dan menyebarkan hasil curian itu sendirian teman ngobrol
saja tidak ada, kukira akan kesepian dan mengesalkan,"
kata Soat Koh dengan gegetun. "Begini saja, akan kutemani
kau pergi ke Hong-hoa-wan, sepulangnya dari sana dapat
kau bantu diriku melakukan pekerjaan tanpa modal itu,
setuju tidak?"
Peng-say menyadari jika pergi sendiri ke Hong-hoa-wan,
hampir dapat dipastikan sukar pulang lagi. Tapi kalau
dikawani Soat Koh. dengan gabungan pedang kiri dan
pedang kanan mereka. bukan mustahil Ciamtay Cu-ih juga
dapat mereka kalahkan. Maka dengan girang ia bertanya:
"Kau tidak takut bahaya?"
"Bahaya?" Soat Koh menegas. "Coba jawab, berbahaya
tidak waktu kau bantu diriku menempur Tan Goan-hay dan
begundalnya itu."
"Sudah tentu kawanan Tan Goan-hay tak dapat
disamakan dengan Hong-hoaWancu," ujar Peng-say.
Tapi Soat Koh tidak menjadi jeri, katanya tegas: "Peduli
amat, syukur kalau dapat pulang bersama dengan hidup,
kalau tidak, asalkan dapat menempur salah seorang dari
empat tokoh sakti masa kini kan juga berharga."
"Bagus, jika begitu. Hayolah kita berangkat!" seru Pengsay
dengan tertawa.
Selama tiga hari mereka tinggal di suatu kelenteng
bobrok. Peng-say lantas memasang kuda penarik kereta,
sekali cambuk berbunyi, hanya sekejap saja kelenteng rusak
itu sudah jauh ditinggalkan.
Setengah harian itu mereka melarikan keretanya,
menjelang lohor sampailah mereka di tepi laut .
semenanjung Soatang, terlihat berpuluh kapal berlabuh di
sana dan sedang bongkar-muat dengan ramai.
Sejak pagi mereka belum mengisi perut, mereka sudah
kelaparan, sementara mereka tidak bertanya tentang kapal
yang akan berlayar keluar lautan, tapi lebih dulu mencari
rumah makan serta pesan santapan setelah memarkir
keretanya.
Begitu hidangan sudah siap, terus saja Peng-say
mencomot sepotong bakpau dan dimakan dengan lahapnya.
"Jilengcu, kau lihat tidak?" tiba2 Soat Koh berbisik
padanya.
"Melihat apa?" jawab Peng-say taapa menahan suara.
Soat Koh mengomel: "Yang kau pikirkan hanya makan
melulu, waktu masuk kemari sama sekali tidak kau
perhatikan, iihatlah keempat Tosu di meja sebelah sana
sejak tadi selalu melirik dan mengawsi kita. Bisa jadi kau
masuk perangkap orang belum lagi mengetahui siapa yang
melakukan?"
"Oo.apa betul?" tanya Peng-say sambil memandang
sekitarnya.
Benar juga dilihatnya di meja pojok kiri sana berduduk
empat Tosu muda, semuanya lagi menggerogoti bakpau
dengan kepala tertunduk, tiada seorangpun yang kelihatan
melirik ke sini.
"Mana ada orang melirik kita? Ah, kau jangan sok
curiga!" ujar Peng-say dengan tertawa.
"Tampaknya kau memang dungu," omel Soat Koh pula
dengan mendongkol. "Kau tatap mereka terang2an begini,
memangnya mereka berani lagi melirik kau?"
"Mau melirik, mau melotot, biarkan saja, kalau berani,
hayolah berdiri!" teriak Peng-say. Habis berkata ia menyikat
lagi hidangan yang tersedia.
Sambil makan Soat Koh masih terus mengawasi gerakgerik
keempat Tosu itu.
"Awas, jangan makanan masuk ke hidungmu!" demikian
Peng-say berseloroh.
Soat Koh melototinya dan berkata: "Ucapanmu tadi
ternyata cespleng, sampai saat ini mereka tidak berani lagi
memandang ke sini."
"Hakikatnya kita tidak kenal mereka, bisa jadi mula2
mereka salah mengenali orang, maka begitu kita datang
mereka lantas mengamat2i, mungkin sekarang mereka tahu
salah lihat, maka mereka tidak tertarik lagi kepada kita."
Dugaan Peng-say ternyata cocok dengan jalan pikiran
keempat Tosu muda itu. Setelah mereka menyaksikan
Peng-say dan Soat Koh bicara dan bergurau dengan bebas.
mereka lantas tahu salah mengenali orang. Kini Soat Koh
berbalik mengawasi gerak gerik mereka, mau-tak-mau
mereka menjadi kikuk sendiri dan kuatir menimbulkan
onar, maka buru2 mereka habiskan makanan, lalu menuju
ke meja kasir untuk membayar.
Pada saat itulah tiba2 masuklah seorang lelakj dan
bertanya dengan suara keras: "He, kasir, siapa yang
menempelkan poster berhadiah diluar itu?"
Si kasir memandang sekejap lelaki itu, agaknya sudah
kenal, maka jawabnya dengan tak acuh: "Siapa tahu?"
"Huh, hadiah kentut! Poster begitu . . . ." demikian lelaki
itu mengoceh pula.
Dengan mendongkol si kasir lantas menyela: "Hei, pakai
kentut apa segala? Tahu tidak banyak tamu sedang makan?
Jika mau makan, boleh teken bon, tapi jangan sembarangan
mengoceh di sini!"
"O, maaf," cepat lelaki itu menjawab dengan cengarcengir.
"Aku memang orang kasar, apa yang kukatakan tadi
tidak sengaja, janganlah marah."
Mungkin orang ini sudah biasa utang di rumah makan
ini, maka dipandang rendah oleh si kasir, meski dia sudah
minta maaf, tapi si kasir tidak menggubrisnya.
Keempat Tosu tadi sebenarnya sudah selesai membayar
rekening makan, tapi mereka masih berdiri di samping meja
kasir dan mendengarkan.
Selagi lelaki itu hendak berduduk, seorang Tosu itu
mendekatinya dan bertanya sambil menepuk bahunya: "He,
siapa suruh kau tanya urusan poster berhadiah di luar itu?"
Orang itu mendelik dan menjawab: "Tuanmu suka
tanya, kenapa, apa tidak boleh?"
Dia tidak berani bicara kasar kepada si kasir yang biasa
memberi utang padanya, terhadap Tosu ini dia tidak mau
mengalah, kata2nya ketus, se-akan2 bila perlu boleh
rasakan kepalanku ini.
Tosu itu masih muda, dengan sendirinya juga gampang
naik darah. Melihat sikap orang yang kasar, segera ia
cengkeram pergelangan tangannya sambil membentak
dengan suara tertahan: "Lekas mengaku, siapa yang
menyuruh kau tanya tentang poster?"
Setengah badan lelaki itu menjadi kesemutan dan tak
dapat bergerak, ia meringis kesakitan dan ber-teriak2: "Baik
akan kukatakan .... akan kukatakan!. . . ."
Tosu itu mengendurkan cengkeramannya sehingga orang
itu dapat bernapas, dengan menyengir ia berkata: "Toya,
anak jadah yang berdusta. Soalnya kuheran melihat poster
berhadiah itu, maka kutanya si kasir, sama sekali aku tidak
disuruh siapa2."
Agaknya Tosu itu tidak percaya. kembali ia memecet
lebih keras, keruan orang itu menjerit seperti babi hendak
disembelih.
Tosu lain yang lebih berpengalaman lantas membujuk
kawannya: "Sute, sudahlah, tampaknya ia hanya tanya
secara tidak sengaja."
Si TOSU muda terus mendorong ke depan sehingga
lelaki itu jatuh terjungkal. Setelah mendengus, keempat
Tosu itu lantas melangkah pergi.
"Nah, Li Toa-gu, baru sekarang kau tahu rasa!Makanya
lain kali harus hati2 kalau bicara!" ejek si kasir.
Dengan malu lelaki tadi merangkak bangun sambil
mengomel, lalu ia pesan bakpau dan mulai makan.
Kejadian ini tidak diperhatikan Soat Peng-say tapi justeru
menarik perhatian Soat Koh. Selesai makan dan keluar dari
rumah makan itu, Soat Koh lantas memandang ke timur
dan melongok ke barat, akhirnya dapat dilihatnya sehelai
poster yang tertempel di depan rumah makan, ia
mendekatinya dan membaca isinya.
Tidak jauh meninggalkan rumah makan, Soat Koh lantas
berkata kepada Peng-say: "Apa yang dikatakan Li Toa-gu
tadi memang betul, poster itu memang berhadiah. Cuma
cara membuat poster begitu kukira tiada gunanya sama
sekali. Poster mencari orang dengan hadiah seharusnya
melukiskan wajah orang yang dicari, paling tidak juga mesti
menyebutkan ciri2nya, tapi poster itu hanya tertulis
disediakan hadiah seribu tahil perak untuk menangkap
Ciamtay Boh-ko. Memangnya siapa yang tahu macam
apakah bentuk Ciamtay Boh-ko itu?"
Mendadak Peng-say berpaling dan bertanya: "Jadi poster
berhadiah itu mencari Ciamtay Boh ko? Di mana poster
itu?"
"Lihat, disana juga ada poster yang serupa," jawab Soat
Koh sambil menuding ke depan.
Tadi karena buru2 mencari rumah makan, maka Pengsay
tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sekarang
dilihatnya di dinding rumah sana memang benar tertempel
beberapa lembar poster kertas putih, semuanya tertulis:
"Hadiah seribu tahil perak bagi siapapun yang dapat
menangkap Ciamtay Boh-ko "
"Coba katakan, apa gunanya menempelkan poster ini di
sini?" kata Soat Koh. "Biarpun semua jalan besar dan gang
kecil dipenuhi poster begeni. paling2 juga Cuma
mengejutkan orang yang akan ditangkapnya dan takkan
mendatangkan hasil apapun."
Peng-say berhenti di tepi jalan dan memandang dinding
yang bertempelkan poster itu, katanya kemudian: "Kukira
bukannya tiada gunanya sama sekali."
"Jadi ada gunanya? Coba katakan, apa gunanya?"
"Jika orang yang dicari ini memang tidak dikenal oleh
orang yang menyediakan hadiah, coba kaupikirkan,
bukankah ini suatu cara memancingnya keluar yang paling
baik?"
"Aha, betul! Tujuan yang menyediakan hadiah ini
memang hendak memancingnya keluar," seru Soat Koh
"Hadiah seribu tahil perak yang tertulis ini hanya sebagai
pajangan saja, sebenarnya cuma omong kosong belaka."
Sorot mata Peng say yang tajam menatap sekelihngnya,
tiba2 ia bertanya dengan suara tertahan: "Menurut
pendapatmu, siapakah gerangan orang yang menyediakan
hadiah ini?"
"Kukira pasti keempat Tosu di rumah makan tadi,"
jawab Soat Koh. ' Mereka menuduh Li Toa-gu disuruh
orang untuk menanyakan siapa yang menempelkan poster
itu, maka mereka hendak memaksanya mengaku."
"Keempat Tosu itu hanya anak buah saja," ujar Pengsay,
"mereka cuma disuruh mengawasi reaksi yang timbul
dari poster berhadiah itu, orang yang ingin menangkap
Ciamtay Boh-ko jelas berada di belakang layar."
"Menurut kau, siapa kira2 dalang yang menyediakan
hadiah itu?"
"Sukar untuk dipastikan sekarang. Coba kau terka,
apakah cocok dengan perkiraanku atau tidak."
Soat Koh berpikir sejenak, lalu berkata: "Ke-empat Tosu
itu menyandang pedang, tampaknya mereka adalah murid
Bu-tong-pay, jangan2 pihak Bu-tong-pay yang hendak
menangkap Ciamtay Boh-ko?"
"Kukira demikianlah adanya," ucap Peng-say.
"Eh, mengapa mendadak kau jadi tertarik oleh poster
berhadiah itu?"
"Putera Hong-hoa Wancu itu bernama Ciam-tay Bohko!"
tutur Peng say dengan gemas.
"O, jadi Ciamtay Boh-ko saat ini berada di Tionggoan?"
seru Soat Koh terkesiap.
"Ya, besar kemungkinan dia belum meninggalkan
Tionggoan, kalau tidak, tentu Bu-tong-pay takkan
menyebarkan poster berhadiah di semenanjung sini untuk
memancing keluarnya Ciamtay Boh-ko, rupanya mereka
yakin Ciamtay Boh-ko kalau mau pulang pasti akan melalui
pelabuhan Ciau-ciu-wan sini. Sampai di sini, mendadak ia
berhenti bicara.
"Sesungguhnya ada permusuhan atau sakit hati apa
antara kau dengan Ciamtay Boh-ko,? Bilakah dia datang ke
Tionggoan sini .... "
"Sssst, lihat itu!" sela Peng-say dengan mendesis.
Waktu Soat Koh berpaling mengikuti pandangan Pengsay,
terlihat sebuah kereta berhenti di tepi dinding, dimana
juga tertempel selembar poster. Tampak seorang pemuda
pendek gemuk melompat turun dari kereta, dipandangnya
sejenak poster itu. lalu mendengus, mendadak poster itu
dirobeknya.
"Ciamtay Boh-ko!" seru Soat Koh dengan suara tertahan.
"Belum tentu, bisa jadi bukan Ciamtay Boh-ko sendiri,
yang jelas Ciamtay Boh-ko pasti berada di sekitar sini dan
belum berlayar!" desis Peng-say, raeksi suaranya sangat
lirih, tapi Soat Koh dapat mendengar nada anak muda itu
sangat terangsang.
Sehabis merobek poster itu, pemuda pendek gemuk itu
lantas memaki: "Dirodok. siapa yang menempel poster ini?
Kalau tertangkap pasti kubeset kulitnya!"
Kemudian ia melompat ke atas kereta dan
memerintahkan kusirnya: "Coba cari lagi, masih ada tidak?"
Waktu kereta itu berangkat, dari gang sebelah sana lantas
menyelinap keluar empat orang, siapa lagi kalau bukan
keempat Tosu tadi Mereka terus menguntit di belakang
kereta itu.
"Melihat sikapnya yang penasaran itu. kukira dia pasti
Ciamtay Boh-ko sendiri," kata Soat Koh.
"Betul, dia memang Ciamtay Boh-ko!" ucap Peng-say
dengan pasti.
Dari suara pemuda pendek gemuk tadi, dia dapat
memastikan orang adalah Ciamtay Boh-ko.Maklum, waktu
di Siau-ngo-tay-san dahulu, sebelum muncul Ciamtay Bohkoh
sudah bersuara hendak membawa Sau Kim-leng pulang
ke Tang-hay, suaranya sampai sekarang masih dikenal oleh
Peng-say.
Begitulah Peng-say dan Soat Koh lantas membuntuti
pula kereta itu, hanya jaraknya agak jauh, sampai keempat
Tosu itupun tidak tahu.
"Kau tidak pernah bertemu dengan Ciamtay Boh-koh?"
tanya Soat Koh di tengah jalan.
"Hanya pernah kudengar suaranya," jawab Peng-say.
"Aneh, kalian tidak pernah bertemu, lalu cara bagaimana
kalian bisa mengikat permusuhan?"
"Dia menangkap dan membawa lari kawanku, inilah
awalnya permusuhan kami."
"Kawanmu ditangkapnya, direbut kembali saja kan
beres, untuk apa mesti bermusuhan dengan orang yang
sukar direcoki ini?"
"Kau tidak tahu, kawanku itu ... . "
"Kawanmu kenapa?" tanya Soat Koh karena Peng-?ay
tidak meneruskan ucapannya.
Bila teringat Cin Yak-leng sudah lebih sebulan diculik
oleh Ciamtay Boh-koh, hati Peng-say menjadi sakit seperti
di-sayat2, sungguh ia tidak tahu betapa Cin Yak-leng telah
di-"koyak2" oleb Ciamtay Boh-ko.
Sudah tentu sukar baginya untuk menceritakan
kekuatirannya itu kepada Soat Koh, maka ia hanya berkata:
"Tidak apa2, sebentar bila engkau suka bantu
menyelamatkan dia terlepas dari cengkeraman iblis, selama
hidup takkan kulupakan budi kebaikanmu."
"Mengapa kau bicara seperti terhadap orang yang tak
kau kenal?" ujar Soat Koh dengan kurang senang.
"Kawanmu kan juga kawanku, jika Ciamtay Boh-ko tidak
mau membebaskan kawanmu, biarlah kita melabrak dia,
persetan siapa bapaknya, kita tidak peduli."
Sepanjang jalan itu si pemuda pendek gemuk telah
merobek puluhan poster, setiba di pelabuhan, ia pesan pula
kepada kusirnya: "Pergilah menyewa sebuah kapal layar ke
lautan timur sana, uang sewa tidak soal bagiku."
Si kusir mengiakan terus pergi mencari kapal. Pada saat
itulah muncul belasan Tosu dan mengepung kereta kuda
itu.
Terdengar seorang Tosu tua bertanya: "Apakah Ciamtaykongcu
berada di dalam?"
Tapi sampai sekian lama tiada suara jawaban dari dalam
kereta.
Tosu tua itu berkata pula: "Kongcu tidak perlu sewa
kapal lagi, sudah lama kami siapkan sebuah
kapal bagimu dan sedang menunggu kedatangan Kongcu."
Baru sekarang terdengar pemuda pendek gemuk itu
bersuaru: "Apakah kalian yang menempel poster
penangkapan Ciamtay Boh-ko dengan hadiah itu?"
"Ya, maaf, kalau tidak begitu, cara bagaimana kami
dapat mengenali Wajah Ciamtay kongcu?" jawab si Tosu
itu dengan ramah..
"Aku inilah Ciamtay Boh-ko, kalian mau apa?" kata
pemuda pendek gemuk itu.
"Anak murid Bu-tong sengaja datang kemari untuk
mengantar Kongcu sendiri naik keatas kapal," kata si tosu
tua.
"Sendiri? Kalau kami berdua?" jengek Ciamtay Boh-ko.
"Entah siapa lagi yang seorang?"
"Isteriku!"
Mendadak sekujur badan Peng-say rada gemetar demi
mendengar kata2 itu.
"Apakah kawanmu itu perempuan?" tanya Soat Koh
tiba2.
Saat itu telinga Soat Peng-say hanya ter-ngiang2 kata
"isteriku" yang diucapkan Ciamtay Boh-ko itu, pertanyaan
Soat Koh sama sekali tak terdengar olehnya. Merasa tidak
digubris, dengan sendirinya Soat Koh merasa kurang
senang, dengan mulut menjengkit ia melengos ke sana.
Dalam pada itu terdengar Tosu tua itu sedang bertanya
pula: "Berada di mana nyonya anda sekarang? Siapa
namanya yang terhonnat?"
"Dia berada di dalam kereta, jika mampu boleh kalian
merampasnya!" seru Ciamtay Boh-ko dengan tertawa latah.
"Ah, mana berani kami sembarangan bertindak," ujar si
Tosu tua. "Tapi kalau nyonya anda ialah puteri Pak-cay,
maka disilakan dia suka ikut ke tempat kami di Huiciu."
"Hm, kalian hanya mengundang dia dan tidak
mengundang diriku?" jengek Ciamtay Boh-ko.
"Jika Kongcu suka ikut ke sana, tentu saja kami sambut
dengan senang hati," kata Tosu itu.
"Apa maksud tujuan kalian mengundang isteriku?" teriak
Ciamtay Boh-ko dengan gusar.
"Kami bertindak menurut perintah, lebih dari itu kami
tidak tahu," jawab si Tosu tua.
"Kalau tidak kuizinkan dia pergi?"
"Jika begitu, maaf, Kongcu! . . . ."
"O, maksudmu mau-tak-mau kalian harus membawanya
pergi? Bagus, bagus, kalian sembarangan menempel poster,
memangnya sedang kupertimbangkan apakah harus
kubunuh kalian atau tidak, tampaknya sekarang kalian
memang pantas dibinasakan. . . ." Baru habis kata
"dibinasakan" terucapkan sesosok bayangan lantas
menubruk keluar dari kereta. Tidak jelas senjata apa yang
dipakai, tahu2 para Tosu yang mengepung kereta itu sama
menjerit, darah daging berhamburan, hanya sekejap saja
tiga orang Tosu telah binasa dengan pinggang tertabas
kutung.
"Rebut kereta dan serbu!" teriak si Tosu tua dengan
gusar.
Mendengar aba2 itu, serentak kawanan Tosu itu
membagi diri menjadi dua kelompok, yang satu berusaha
merebut kereta, yang lain mengerubut Ciamtay Boh-ko.
Belum lagi kawanan Tosu yang merebut kereta itu
sempat melarikan kereta, terdengar suara "blak-bluk"
beberapa kali, kawanan Tosu yang mengerubut Ciamtay
Boh-ko itu semuanya roboh dengan tubuh tertabas putus
sebatas pinggang.
"Cui-hun, larikan kereta ke selatan, kawan2 lain
mencegat musuh!" teriak li Tosu tua. ia tahu musuh terlalu
lihay, untuk mengalahkannya jelas tidak mampu, yang
diharap hanya merintanginya, sementara agar Cui-hun
cukup waktu untuk kabur bersama keretanya.
Begitulah dengan memimpin sisa lima orang kawannya.
Tosu tua itu terus menerjang ke arah Ciamtay Boh-ko,
Senjata Ciamtay Boh-ko adalah sebilah golok sabit,
begitu cepat permainan goloknya, sekali tabas tentu jatuh
satu korban, tiada serangan kosong. Hanya Tosu tua itu
saja yang mampu menangkis satu kali, tapi serangan kedua
juga tidak sanggup ditahannya, nasibnya serupa para
Sutenya, iapun binasa dengan tubuh putus menjadi dua.
Kematian keenam Tosu itu hanya berlangsung dalam
waktu singkat, namun kereta tadipun sudah dilarikan
belasan tombak jauhnya.
Ciamtay Boh-ko mengincar baik2 pinggang Cui-hun
Tojin yang mengendarai kereta itu, lalu goloknya
disambitkan. Golok sabit itu terus menyambar ke sana
dengan berputar seperti roda, hanya sekejap saja Cui-hun
sudah tersusul, "kres' pinggang Cui-hun tertabas dengan
telak, golok itu menancap di kabin kereta dan bergetar.
Mayat Cui-hun yang terbagi menjadi dua potong lantas
terguling ke bawah kereta. Karena kehilangan pengendali,
kereta itu berlari sendinan ke depan, tapi tidak seberapa
jauh lantas berhenti dengan sendirinya.
Dengan tersenyum angkuh Ciamtay Boh-ko mendekati
kereta itu dengan pelahan, dipegangnya selongsong
moncong kuda, kereta itu dibawanya kembali ke tempat
semula.
Hampir semua kuli pelabuhan menyaksikan pertempuran
ngeri tadi, mereka sama ketakutan. seketika mereka
terkesima dan tiada yang berani bergerak, rupanya kuatir
menimbulkan salah sangka pemuda pendek gemuk itu,
jangan2 golok sabit akan menyambar tiba dan jiwa ikut
melayang.
Terhadap mayat yang bergelimpangan di sekitarnya,
Ciamtay Boh-ko anggap tidak tahu saja, dengan
menggendong tangan ia memandang jauh ke lautan sana,
ditunggunya berita si kusir yang disuruhnya pergi mencarter
kapal tadi.
Soat Peng-say juga terkesima menyaksikan kejadian
hebat tadi, sama sekali tak disangkanya Ciamtay Boh-ko
bisa sedemikian lihaynya. Ia menyadari, bila tidak dibantu
Soat Koh, jelas dirinya cuma akan mengantar nyawa
percuma.
Tapi apapun juga dia tidak dapat menyaksikan Cin Yakleng
dibawa pergi, segera ia berpaling dan minta bantuan:
"Nona Soat, marilah kita maju bersama."
Tak terduga, Soat Koh hanya menggeleng saja.
jawabnya: "Tidak, aku masih ingin hidup lebih lama lagi,
maaf, tak dapat kupenuhi permintaanmu."
"Tapi. . .tapi kau kan sudah menyanggupi. . . ."
"Betul, pernah kusanggupi akan ikut kau keluar lautan
dan juga kusanggupi akan menempur Hong-hoaWancu . . .
. "
"Dan sekarang aku cuma mohon engkau suka bantu
menempur Ciamtay Boh-ko saja."
"Bertempur bukan soal bagiku, paling2 cuma mati
dengan pinggang putus tertabas. Hanya ingin kutanya,
berharga tidak kematian demikian?"
"Demi menolong kawan, masa tidak berharga?
Bukankah dunia persilatan paling mengutamakan setia
kawan?"
"Di mana kawanmu?" tanya Soat Koh.
"Berada di dalam kereta itu," jawab Peng-say.
"Hm, jelas2 yang di dalam kereta itu adalah isteri orang,
mengapa anda bersusah payah hendak menolongnya?"
jengek Soat Koh.
Air muka Peng-say tampak sangat pedih, ia menggeleng
dan berkata dengan pasti: "Tidak mungkin terjadi. Adik
Leng jelas diculik oleh dia. Jangan kau percaya ocehannya,
tidak nanti adik Leng mau menjadi isterinya."
"Pernah hubungan apa adik Leng dengan kau?" tanya
Soat Koh.
"Dia Piaumouyku, puteri Kiu-bun-te-tok di Pakkhia itu."
"Hanya begitu saja?" Soat Koh menegas.
"Memangnya kau sangka di antara kami ada hubungan
sesuatu yang tidak beres? Jika terdapat pikiranmu yang
kotor ini, aku lebih suka tidak minta bantuanmu."
Soat Koh menghela napas, katanya: "Soalnya kulihat kau
sangat memperhatikan dia, Bukan soal bagiku membantu
kau, tapi tidak kuharapkan kau teramat memperhatikan
dia."
Peng-say merasa heran dalam keadaan demikian si nona
sempat mengutarakan hal2 yang aneh ini, ia mendongkol,
katanya: "Jangan kuatir, dengan membantuku jiwamu
takkan melayang."
"Jiwa melayang bukan soal pokok bagiku, asalkan kau
berjanji, bilamana beruntung tidak sampai mampus,
selanjutnya kau tidak akan bertemu lagi dengan
Piaumoaymu."
"Hah, sungguh aneh permintaanmu ini." seru Pang-say
dengan mendongkol. "Nona Soat, terima kasih atas
bantuanmu, silakan kau pergi saja, aku sendiri sanggup
menghadapi musuh."
"Jangan mengantar nyawa, bisa jadi kau punya adik
Leng tidak berada di dalam kereta itu," seru Soat Koh
sambil memegang tangan anak muda itu.
Mendadak Peng-say berteriak, "Leng-moay, Leng-moay,
apakah kau berada di dalam kereta?!"
Cin Yak-leng berada di dalam kereta, dia tertutuk dan
tak dapat bergerak, demi mendengar suara
Peng-say, ia kegirangan setengah mati dan segera berteriak:
"Peng-ko, Peng-ko! "
Peng-say berpaling memandang Soat Koh, maksudnya
ingin membuktikan bahwa adik Leng jelas berada di dalam
kereta.
Kecut hati Soat Koh demi mendengar seruan si nona di
dalam kereta itu sedemikian mesranva terhadap si Jilengcu.
Ia tidak menggubris terhadap sorot mata Peng-say yang
ingin mohon bantuannya itu.
"Jadi kau .... kau. . ." Peng-say tidak dapat melanjutkan
karena merasa kecewa atas sikap si nona.
Lantaran tidak mendapatkan jawaban Peng-say,
terdengar Cin Yak-leng berteriak pula: "Peng-ko, Peng-ko,
lekas kemari tolonglah aku. . . ."
Seketika darah Peng-say bergolak, tanpa menghiraukan
bahaya apapun segera ia lepaskan pegangan Soat Koh dan
melangkah kesana. Ia berbenti setelah berhadapan dengan
Ciamtay Boh-ko dalam jarak kira2 dua tiga meter.
Pelahan2 Ciamtay Boh-ko membalik tubuh dan mengamat2i
Peng-say sejenak, habis itu meadadak ia tertawa terbahak2.
"Leag-moay, Leng-moay! Hahahaha! Alangkah
mesranya panggilanmu tadi?" demikian ia ber-olok2. "Tapi
apakah kau tahu bahwa Leng-moay sudah menyanggupi
akan menjadi isteriku?"
"Tidak, aku tidak pernah menyanggupi," cepat Cin Yakleng
menyela "Kubilang demi keselamatan Peng ko barulah
kusanggupi, aku tidak berjanji dengan sesungguh hati."
= Sanggupkah Peng say melawan Ciamtay Boh-ko yang
lihay itu dan dapatkah dia merampas kembali Cin Yakleng?
= Apakah Soat Koh akan membantu Peng-say ?
—== Bacalah jilid selanjutnya ==—
-ooo0dw0ooo-
Jilid11
Rupanya tempo hari Liok-ma telah mengancam Cin
Yak-leng dengan jiwa Soat Peng-say agar nona itu mau
mengaku sebagai Sau Kim-leng serta berjanji akan dijadikan
isteri Ciamtay Boh-ko, tanpa melawan ia lalu ikut pergi
bersama Ciamtay Boh-ko.
Karena jiwa Soat Peng-say bergantung kepada Liok-ma,
terpaksa Cin Yak-leng menerima kehendak Liok-ma,
makanya waktu Ciamtay Boh-ko meninggalkan Ling-hiangcay,
dia menyangka Cin Yak-leng yang dibawanya itu ialah
Sau Kim-leng. Dia sangat gembira, ia membawa nona itu
pesiar ke-mana2 sepanjang perjalanannya menuju ke Ciauciu-
wan, dan situ ia hendak berlayar dan pulang.
Meski Ciamtay Boh-ko ini sudah biasa suka main
perempuan, tapi sejak kecil iapun mendapat pendidikan
secara keras, jadi bukan bangsa asing yang masih biadab.
Iapun tahu Sau Kim-leng adalah adik kandungnya sendiri
dan tidak boleh diganggu, maka selama sebulan ini Cin
Yak-leng masih tetap suci bersih.
Padahal Ciamtay Boh-ko cuma pura2 menyatakan
hendak membawa Sau Kim-leng pulang ke lautan timur,
bila hal ini sudah terlaksana, tujuannya juga bukan ingin
menikahi adik kandungnya sendiri. Dalam hal ini dia dan
ayahnya, yaitu Ciamtay Cu-ih memang ada maksud tujuan
lain yang telah direncanakan sebelumnya.
Pada waktu Cin Yak-leng mengaku sebagai Sau Kimleng
dan berjanji akan menikah dengan Ciamtay Boh-ko
serta ikut dia pulang ke Tang-hay, tapi di depan Liok-ma ia
telah menyatakan dengan tegas, yakni: Demi jiwa Peng-ko,
makanya kuterima kehendakmu.
Sudah tentu Ciamtay Boh-ko merasa bingung oleh
ucapan itu, ia cuma tahu kekasih "Sau Kim leng" disebut
"Peng-ko" atau kakak Peng, tapi mengenai apa sebabnya
demi jiwa Peng-ko si nona mau ikut dia pulang ke Tanghay,
hal ini tetap sukar dipahaminya. Baru sekarang untuk
pertama kalinya dia berhadapan dengan si "Peng-ko" yang
disebut Cin Yak-leng itu.
Begitulah Soat Peng-say menjadi bingung juga demi
mendengar bantahan Cin Yak-leng tadi, segera ia bertanya:
"Leng-moay, apa katamu? Demi keselamatan jiwaku?"
Yak-leng tidak berani menjelaskan isi hatinya di depan
Ciamtay Boh-ko, sebab kuatir orang akan pergi mencari lagi
Sau Kim-leng yang tulen sehingga bisa menimbulkan
dendam Liok-ma karena dirinya tidak pegang janji, lalu
jiwa Peng-say akan terancam lagi.
Yang penting sekarang Peng-say terbukti selamat, ia
mengira Liok-ma telah menepati janjinya, maka ia lantas
berseru: "Peng-ko, jangan banyak bertanya, lekaslah
menolong diriku!"
Mendadak Ciamtay Boh-ko melolos golok sabitnya yang
masih menancap di kabin kereta itu, lalu berkata kepada
Soat Peng-say sambil menyeringai: "Kau ingin selamat atau
tidak?"
Sementara itu Peng-say sudah membuat sepasang pedang
yang cocok dipakai, cepat ia melolos sebilah pedangnya dan
siap tempur. Padahal dalam hati ia sangat takut, hanya
lahirnya saja ia berlagak tenang.
Melihat ketegangan Soat Peng-say seperti menghadapi
musuh besar di medan perang, Ciamtay Boh-ko merasa geli,
ia menengadah dan ter-bahak2, ucapnya menghina:
"Kongcumu takkan membunuh kau, agar adk Ling tidak
benci padaku selama hidup bila kubunuh kau. Hendaklah
kauturut saja kepada perintahku, lekas kau pergi, kalau
tidak, pinggang tertabas putus, kan celaka!"
Tapi Peng-say diam saja tanpa menanggapi, ia kuatir bila
sedikit lengah dan tahu2 golok sabit lawan menyambar tiba,
kan jiwanya bisa melayang.
"Bagaimana, ketakutan ya?!" jengek Ciamtay Boh-ko dan
mendadak ia pura2 membacok.
Tapi Peng-say bukanlah pemuda penakut, gertakan ini
masih dapat ditahannya, ia tetap berdiri tegak di tempatnya
tanpa bergerak.
"Sret sret", kembali Ciamtay Boh ko menabas dua kali,
serangan pura2, tapi juga sungguh2. Bila Peng say tidak
dapat menahan diri, bisa jadi serangan pancingan itu
berubah menjadi sungguhan dan dia tentu akan terserang
dengan kelabakan.
Untung tidak percuma dia berlatih Kungfunya, ia tahu
dalam keadaan demikian diperlukan ketenangan dan
kesabaran, semakin gugup semakin celaka. Untuk menjaga
segala kemungkinan, pelahan2 ia menyisipkan tangan
kanan pada ikat pinggangnya.
Ciamtay Boh-ko jadi melengak melihat tindakan Peng
say itu, pikirnya: "Busyet, menghadapi lawan tangguh, jelas
kau ketakutan, sekarang kau malah. sengaja
menyembunyikan sebelah tanganmu, apakah kau sengaja
hendak membikin dongkol padaku? Bagus, ingin kulihat
hanya dengan satu tangan saja berapa jurus kau mampu
menangkis seranganku?"
Ia benar2 marah. tapi tidak memperlihatkan
perasaannya.Mendadak golok sabit berkelebat, secepat kilat
ia menabas.
Dia cepat, tapi Peng-say juga tidak lambat. Ia tahu
pentingnya momen, sedetikpun tidak boleh terlambat.
Pedang yang dipegangnya tetap berada di dalam sarungnya
dan mendadak menegak sebatas pinggang, "trang", sarung
pedang yang terbuat dan kulit itu tertabas dan bagian bawah
lantas terlepas dan jatuh.
"Bagus, tangkis lagi satu kali?" seru Ciamtay Boh-ko,
kembali golok sabit berkelebat, gaya serangannya tidak
berubah.
Peng-say juga tetap memegang pedangnya dan tidak
sempat berganti cara lain, ia tetap menegakkan pedang di
depan dada untuk menangkis. Maka sarung pedang yang
sudah terlepas sebagian itu kembali tertabas sepotong pula.
Serangan Ciamtay Boh-ko bertambah gencar, ia
membacok satu kali dari kanan dan menabas pula dari kiri,
serangan berantai, setiap tabasan tidak pernah jauh dari
batas pinggang Soat Peng-say, dia se-akan2 ingin
menyatakan kalau tabasannya tidak tepat mengenai
pinggang anak muda itu, andaikan dapat membunuhnya
juga kurang cemerlang.
Sebaliknva setiap Peng-say menangkis satu kali,
pedangnya lantas tertekan beberapa senti ke bawah, hal ini
disebabkan kekuatannya jauh di bawah Ciam-tay Boh ko,
maka setiap kali setelah menangkis, setiap kali pula
tenaganya berkurang.
Sampai serangan kesebelas, ujung pedang Peng-say yang
menegak itu sudah hampir menyentuh tanah, sarung
pedangnya yang tiga kaki panjangnya itu pun tersisa
beberapa inci saja. Melihat gelagatnya jika dia menangkis
lagi dua-tiga kali, tangannya yang memegang gagang
pedang itu berikut sisa sarung pedang pasti akan tertabas
putus oleh golok Ciamtay Boh-ko.
"Hahahaha! Apa abamu sekarang?!" seru Ciam¬tay Bohko
dengan bergelak tertawa. "Akan kubuntungi tangan
kirimu, ingin kulihat tangan kanan akan kau gunakan atau
tidak?"
Sembari bicara kembali ia membacok lagi dua kali dan
tangan Soat Peng-say tertekan lebih kebawah lagi. Bacokan
kedua kali terakhir itu meski tetap mengenai batang pedang,
tapi jelas menyambar lewat di tepi tangan Peng say.
Peng say menyadari bila lawan menabas lagi, tentu
tangan sendiri akan tertabas dan akhirnya tetap tak
terhindar dari kematian ditabas putus pinggangnya.
Bila dia ragu lagi, mungkin kesempatan melolos pedang
yang lainpun ter-sia2. Keadaan tidak memungkinkan dia
banyak berpikir pula, dia harus bertindak.
Begitulah pada detik terakhir, mendadak ia tekan
pedangnya ke bawah, ujung pedang menancap tanah, ia
bertekad tetap akan mempertahankan pedangnya sekalipun
tangan sendiri akan tertabas.
Soat Koh cukup paham watak nekat Peng-say itu, ia tahu
anak muda itu tidak nanti membuang pedangnya untuk
mencari selamat. Betapapun ia tidak sampai hati untuk
tinggal diam dan menyaksikan temannya dicelakai orang.
Maka ketika ujung pedang Peng-say tercancap di tanah dan
golok sabit menyambar, mendadak iapun bergerak, "trang",
ia tergetar mundur bersama Ciamtay Boh-ko.
Keruan Ciamtay Boh-ko terkejut, tak diduganya seorang
nona muda jelita memiliki kekuatan setingkat dengan
dirinya.
Padahal tenaga Soat Koh lebih lemah daripada Soat
Peng-say, apalagi kalau dibandingkan Ciamtay Boh-ko?
Soalnya Ciamtay Boh-ko sudah menabas belasan kali pada
pedang Peng-say sehingga tenaganya sudah banyak
terbuang, sedangkan Soat Koh bertujuan menolong Pengsay,
tangkisannya menggunakan sepenuh tenaganya, dalam
keadaan demikian tampaknya menjadi sama kuatnya ketika
beradu senjata dan sama2 tergetar mundur.
Ciamtay Boh-ko hidup jauh di lautan timur sana, sudah
biasa memerintah dan dipuja, hampir tidak pernah
memandang sebelah mata terhadap siapapun juga.
Sekarang meski menyangka tenaga Soat Koh sangat kuat, ia
hanya tercengang sejenak saja dan tidak menghiraukannya
lagi, serunya dengan tertawa: "Aha, memang sejak tadi
seharusnya nona maju membantu lakimu ini."
Mendengar ucapan Ciamtay Boh-ko itu, Cin Yak-leng
yang meringkuk di dalam kereta menjadi heran siapakah
nona yang dimaksudkan itu. Padahal ia yakin sang "Pengko"
pasti mampu melabrak dan menghalau Ciamtay Bohko,
tak tahunya sekarang sang kakak Peng itu malah perlu
bantuan orang. Kata2 "lakimu" ucapan Ciamtay Boh-ko
tadi sangat menusuk perasaannya, sayang dia tertutuk dan
tak bisa berkutik, kalau tidak, biarpun terluka dalam yang
parah juga dia akan berdaya untuk melongok keluar. untuk
melihat bagaimana macamnya si nona yang hendak
membantu kakak Peng itu.
Begitulah terdengar Soat Koh lagi berkata dengan
tertawa: "Ngaco-belo, dari mana kau tahu dia itu lakiku?"'
Ucapan Soat Koh ini sebenarnya sangat janggal dan
lucu, dia mendamperat orang "ngaco-belo" tapi bertanya
pula "dari mana kau tahu", dua kalimat yang bertentangan,
apalagi diucapkan dengan tertawa, jadi se-akan2 dia senang
orang bilang Soat Peng-say adalah "laki"nya, lalu dia
tambahkan pertanyaan "dari mana kau tahu;" agar orang
menjelaskan alasannya.
"Sejak tadi kalian kasak-kusuk disamping sana
memangnya kau kira aku tidak tahu?" jawab Ciam-tay Bohko.
"Kulihat lelaki itu tidaklah suka padamu, buktinya dia
datang untuk menolong seorang gadis lain, buat apa kau
membelanya mati2an?"
"Kau ngaco!' bentak Soat Koh.
"Hahaha, jika benar dia suka padamu, mengapa dia
membela perempuan lain dengan mati2an?" seru Ciamtay
Boh-ko dengan bergelak. "Makanya, nona manis, untuk apa
kau bersusah payah membantu dia, kan sia2 belaka cintamu
padanya?"
"Jangan percaya pada ocebannya, dia sengaja memecahbelah
kita!" teriak Peng-say.
"Ha, kau kira aku akan takut jika dia membantu kau?"
jengekCiamtay Boh-ko.
Sementara itu lengan kiri Peng-say yang kesemutan tadi
sudah pulih kembali tenaganya, walaupun tidak setangkas
semula, untuk memainkan pedang rasanya sudah kuat.
Segera ia membentak: "Jika tidak takut, boleh kau coba!"
"Huh. mantap benar ucapanmu, sedangkan orang mau
membantu kau atau tidak kan juga belum jelas?!" kata
Ciamtay Boh-ko.
Setelah merenungkan perkataan Ciamtay Boh-ko tadi,
makin dipikir rasanya makin benar, mendadak Soat Koh
berseru: "Aku tidak membantu dia!"
"Nah, dengar tidak? Dia bilang tidak membantu kau?"
dengan tertawa CiamtayBoh ko menjengek.
Tapi mendadak Pang-say berteriak: "Kiong-Siang-kutthau!"
"Apa katamu?" Ciamtay Boh-ko terkejut.
Belum lenyap suaranya, jurus serangan "Kiongsiang
¬kut-thau", jurus pertama Siang-liu-kiam-hoat, sudah
dilancarkan Peng-say.
Mendadak meadengar istilah jurus serangan itu, Soat
Koh terkejut, ketika dilihatnya pula anak muda itu telah
menyerang, tanpa terasa iapun ikut melancarkan jurus
serangan yang sama.
Jurus "Kiong-siang-kut-thau" yang dilancarkan dengan
dua gerakan yang berbeda, begitu bergabung serentak
menimbulkan daya ancaman yang luar biasa.
Gerak perubahan Ciamtay Boh-ko waktu menghadapi
musuh boleh dikatakan cepat sekall, malahan selalu berebut
mendahului. Cuma sayang, kecepatan Kungfu Tang-wan
yang termashur itu kini kebentur Siang-liu-kiam-hoat,
segala serangan mautnya menjadi sukar dikembangan.
Malahan untuk menangkis jurus pertama Kiong-siang-kutthau
saja dia merasa kerepotan.
Setelah dua-tiga jurus, Ciamtay Boh-ko tambah
kelabakan, ia berteriak gusar: "Kenapa mulutmu menclamencle,
nona? Kau bilang tidak membantu dia, mengapa
sekarang kau ikut bertempur?"
"Aku memang tidak membantu dia!" seru Soat Koh
dengan muka bersungut.
"Kalau tidak membantu dia, silakan pergi saja!" seru
Ciamtay Boh-ko sambil menangkis dengan susah payah.
"Tadi kudengar kau suruh dia menggunakan tangan
kanan?" kata Soai Koh. "Karena dia tetap tidak mau
menggunakan tangan kanan, maka aku mewakilkan dia
menggunakan tangan kanan."
Makin bertempur makin ngeri Ciamtay Boh-ko oleh
serangan gabungan lawan yang lihay, ia memaki: "Budak
busuk, tampaknya kau sudah ter-gila2 padanya! Tangan
kanannya kan tidak buntung untuk apa kau mewakilkan
dia? Huh, tidak tahu malu, dasar tidak laku kawin, maka
kau ter-gila2 padanya meski orang tidak sudi padamu. Hm,
belum pernah kulihat budak bermuka tebal macam kau ini,
masa perempuan ter-gila2 kepada lelaki? Jika kau tidak
tahan, kenapa tidak mengecer saja di tepi jalan!"
Rupanya Ciamtay Boh-ko ingin memancing kepergian
Soat Koh, tak tahunya makin dimaki makin gencar dan
lihay serangan Soat Koh. Makian terakhir itu terlalu kotor
dan sangat menusuk perasaan, saking gemasnya, saat itu
kebetulan Soat Koh dan Peng-say lagi memainkan jurus ke-
13 yang disebut "Siau-go-yan-he" atau lengkingan angkuh
pancaran perasaan, mendadak Soat Koh bersiul nyaring,
pedang terus disambitkan dan kontan menembus dada
Ciamtay Boh ko. Kontan Ciamtay Boh-ko menjerit ngeri
dan terkapar mandi darah.
Peng-say tidak keburu mencegah tindakan nona, cepat ia
menarik kembali pedangnyn. Dilihatnya Soat Koh telah
mencabut lagi pedangnya yang lain terus menerjang ke arah
kereta.
Keruan Peng-say terkejut, cepat ia memburu maju dan
menusuk dengan pedangnya sambil membentak: "He, kau
mau apa?"
"Akan kubunuh dia (maksudnya orang yang berada di
dalam kereta, Cin Yak-leng)!" seru Soat Koh tanpa
menoleh.
Tusukan Peng-say tadi mengenai tempat kosong,
tampaknya tak sempat lagi merintangi si nona, terpaksa ia
melepaskan pedangnya untuk menusuk lagi. Meski dia
tidak melolos pedang kedua, tapi serangan dengan
melepaskan pedang pertama adalah hasil latihannya selama
lima tahun, yaitu setengah jurus dari serangan dua pedang
sekaligus, jitu lagi cepat Kontan bahu kanan Soat Koh
tertusuk dengan tepat.
Sudah tentu Soat Koh tidak menyangka Peng-say berani
melukainya, ia kesakitan sehingga pedang sendiri terlepas
dari pegangan, mendadak ia membalik tubuh, tangan kiri
dengan cepat memegang ujung pedang Peng-say yang
melukai bahunya itu sambil berseru pedih: "Kau .... kau. . .
."
Sembari berseru, sekuatnya ia terus menarik. Kuatir
melukai tangan si nona, cepat Peng-say melepaskan rantai
yang menggandeng pedang itu.
Tanpa menghiraukan luka di belakang bahunya Soat
Koh pegang pedang rampasan itu dan berteriak: "Gurumu
bukan Tio-lotoa melainkan bernama Tio Tay-peng, betul
tidak?"
Peng-say mengangguk, dengan penuh rasa penyesalan ia
berkata: "Lukamu. . . ."
"Tidak perlu kau ber-pura2 simpatik," bentak Soat Koh.
"Ingin kutanya padamu, mengapa kau dusta padaku dan
bilang gurumu bernama Tio-lotoa?"
"Kalian guru dan murid tidak senang terhadap guruku,
dengan sendirinya tak dapat kukatakan nama asli beliau. . .
."
"Gurumu telah menabas buntung lengan kiri guruku, tak
tersangka sejarah hampir terulang lagi," kata Soat Koh
dengan tersenyum getir. "Ingat, pada suatu hari pasti akan
kubalas melukai bahu kirimu dengan pedangmu ini, sama
halnya seperti guruku balas membuntungi lengan kanan
gurumu dahulu!"
Habis berkata, tanpa berpaling lagi ia terus berlari pergi.
"Soat Koh, Soat Koh, berhenti! Dengarkan penjelasanku
..." seru Peng-say.
Tapi seorang mendadak menukas: "Penjelasan apalagi?
Bicaralah dengan kami!"
Peng-say berpaling dan melotot, dilihatnya entah sejak
kapan delapan penunggang kuda telah mengitarinya, yang
bicara itu adalah seorang kakek kurus kecil berusia lima
puluhan lebih.
Seorang lagi yang tampak tinggi besar lantas menegur
Peny-say pula: ”He, Tosu yang menggeletak di sana itu
apakah kau yang membunuhnya?"
Sementara itu Soat Koh telah menghilang di tengah
orang banyak sana. dengan perlahan Peng-say lantas
membalik tubuh.
Didengarnya seorang laki2 berusia 30-an dan berdandan
seperti pekerja kasar sedang membentaknya: "Samsuko
kami bertanya padamu, kau dengar tidak?"
Peng-say tidak ingin banyak cingcong dengan mereka, ia
menjawab singkat: ”Dengar, bukan aku yang membunuh
mereka!"
Seorang yang berdandan seperti saudagar dan membawa
Swipea ikut bertanya: "Dengan sendirinya bukan kau yang
membunuh mereka, hanya sedikit ilmu pedangmu yang
tidak berarti ini masa dapat membunuh Tosu Bu-tong-pay?"
Seorang muda yang pendek kecil seperti monyet lantas
menukas: "Kukira ucapan Gosuko ini kurang tepat. Ilmu
pedang Pak-cay cukup terkenal, mana baleh diremehkan?"
Saudagar yang membawa Swipoa itu menjawab: "Ilmu
pedang Pak-cay memang terkenal, tapi anak murid Sausupek
itu rata2 tidak becus, betapapun hebat ilmu pedang
yang diajarkan kepada mereka jadinya tak keruan setiba di
tangan mereka."
"Tepat, betul," seru si monyet sambil berkeplok tertawa.
"Kiranya Gosuko bicara mengenai orangnya dan bukan
soal ilmu pedangnya."
Padahal sebelum orang2 ini datang ke sini, sebelumnya
mereka sudah mendapat keterangan bahwa kawanan Tosu
itu dibunuh oleh putera Ciamtay Cu-ih, merekapun
menyaksikan pula Soat Peng-say bergabung dengan Soat
Koh dan berhasil membunuh Ciamtay Boh-ko, padahal
Ciam-tay Boh ko adalah keturunan salah seorang Su-ki atau
empat sakti, betapa tinggi kepandaian Ciamtay Boh-ko
dapatlah dibayangkan.
Namun mereka tidak suka kepada anak murid Sau Cengin
dari Pak cay, sebab sejak sang guru hilang. anak
muridnya sama sekali tidak menaruh perhatian, bahkan
tidak mau membantu ibu guru, mereka menganggap Pakcay
sudah tamat riwayatnya dan sama bubar mencari
jalannya sendiri2. Orang2 yang tidak setia kepada
pergurnan ini sudah tentu dipandang hina oleh mereka.
Sedangkan usia Peng-say dan Soat Koh hanya likuran
saja, jelas mereka tidak mungkin adalah murid Sau Ceng-in,
tapi ilmu pedang yang mereka mainkan bergaya Pak-cay,
maka mereka menyangka Peng-say berdua adalah cucu
murid Sau Ceng-in.
Kalau anak murid Sau Ceng-in saja dipandang hina oleh
mereka, dengan sendirinya cucu muridnya lebih2
diremehkan oleh mereka, maka begitu berhadapan mereka
lantas ber-olok2 dan menyindirnya.
Selain beberapa orang yang bicara tadi, di antara
rombongannya ada lagi tiga orang yang berusia 18 atau 19
tahun, mungkin mereka belum berpengalaman dan baru
saja ikut para Suhengnya berkelana, mereka belum pintar
putar lidah seperti kawannya, mereka hanya mendengarkan
saja di samping.
Diantara lima orang yang telah buka suara tadi, si
monyet tadi terhitung paling muda, kira2 baru likuran, tapi
jelas sudah berpengalaman beberapa tahun merantau
Kangouw, mereka dapat membedakan ilmu pedang dari
berbagai aliran den golongan, juga ilmu pedang gaya Pakcay
yang dimainkan Peng say dan Soat Koh tadi dapat
dikenali mereka, cuma tiada seorangpun yang tahu bahwa
limu pedang itu sebenarnye adalah Siang-liu-kiam-hoat
yang mengguncangkan dunia Kangouw dari sinipun dapat
diketahui babwa pengetahuan merekapun kurang luas.
Padahal Soat Peng-say hakikatnya bukan murid Pak-cay.
maka ia tidak ambil pusing biarpun orang menyindirnya,
diam2 ia malahan membenarkan ucapan si saudagar yang
membawa swipoa tadi, yang diherankan Peng-say adalah
apa sebabnya Siang-liu-kiam-hoat yang dimainkannya bisa
disangka ilmu pedang Pak-cay.
Diam2 ia berpikir: "Melihat Thay-yang-hiat (bagian
pelipis) mereka sama menonjol dan sinar mata yang tajam,
jelas mereka ini anak murid perguruan ternama, pula guru
mereka pasti ada hubungan yang sangat erat dengan Sau
Ceng-in dari Pak-cay, makanya sekali pandang mereka
dapat mengenali gaya ilmu pedang Siaug-liu-kiam-hoat."
Pelahan ia lantas mendekati kereta dan memanggil:
"Leng-moay!"
Tapi Cin Yak-leng tidak menggubrisnya.
Mendadak si kakek kurus kering tadi bertanya: ; "Yang
di dalam kereta apakah nona Sau Kim-leng?"
Cin Yak-leng tidak menjawab panggilan Peng-say tadi,
sebaliknya menanggapi pertanyaan si kakek: "Betul, aku she
Sau bernama Kim-leng."
Peng-say jadi melengak, ia heran mengapa Yak-leng
sengaja mengaku sebagai Sau Kim-leng, cepat ia berseru:
"He, Leng-moay, kau . . . . "
Sudah tentu Yak-leng tahu apa yang akan diucapkan
anak muda itu, omelnya: "Jangan kau panggil diriku. aku
tidak bicara dengan kau!"
Si kakek kurus sangat menghina guru Soat Peng-say dan
Soat Koh, tadi iapun mendengar Soat Koh menuduh guru
Peng-say memenggal lengan kiri guru si nona, maka ia
yakin guru kedua muda-mudi itu pasti bukan orang baik2.
Kalau gurunya saja bukan orang baik, tentu anak didik
mereka tak dapat diharapkan akan baik.
Karena itulah ia lantas membentak: "Pergi, enyah kau!
Tak tahu sopan santun. memangnya kata Leng-moay boleh
sembarangan kau panggil?"
Peng-say jadi mendongkol, jawabnya: "Aku tidak boleh
memanggilnya, memangnya kakek sialan macam kau boleh
memanggilnya?" Sabar juga kakek itu, meski dianggap
"kakek sialan" oleh Soat Peng-say, ia tidak menjadi marah,
katanya: "Sudah tentu aku boleh memanggilnya demikian.
Nah, Leng-moay, Leng-moay. . . ."
"Hah, alangkah ngerinya!" sela Peng-say dengan tertawa.
"Ngeri apa maksudmu?" tanya si kakek.
"Habis, usiamu sudah tua, menjadi ayah adik Leng saja
lebih daripada cukup, tapi kau memanggilnya adik dengan
mesra. apakah tidak merasa ngeri?"
"Anak busuk, buta barangkali matamu?" omel si kakek
dengan aseran "Kau tahu siapakah tuanmu ini?"
"Sudah tentu kutahu, tidak lebih cuma seorang kakek
kecil dan kurus kering," jawab Peng-say.
Serentak ketujuh saudara seperguruan si kakek
membentak: "Kurang ajar!"
Si monvet bahkan lantas menggulung lengan baju dan
mendamperat: "Anak kurang ajar. kalau tidak kulabrak
agaknya kau tidak tahu kelihayan tuanmu ini!"
Peng say tidak gentar, dengan tegas ia menjawab: "Mau
berkelahi? Bagus, hayolah maju!"
Segera si monyet akan melompat turun dari kudanva,
tapi si kakek keburu mencegahnya dan berkata: "Jangan kau
hiraukan dia, Laksute (adik seperguruan keenam) Murid
Sau-supek memang sudah lama tidak memikirkan guru lagi,
manusia yang khianat mana bisa mengeluarkan anak didik
yang sopan, dengan sendirinya kitapun tidak dianggap
sebagai kaum Cianpwe lagi."
Si moyet tidak berani membangkang perintah sang
Suheng, ia cuma mendelik saja dan berucap: "Nah,
dengarkan yang jelas. anak busuk. Guru tuan2mu ini
bernama Sau Ceng-hong. asalnya adalah saudara sepupu
dengan Sau Ceng-in, Sau-supek dari Pak-cay. Meski guru
kalian telah mengkhianati perguruan, tapi jelek2 mereka
adalah murid Sau-supek, apapun juga kalian lebih rendah
seangkatan daripada kami, mana boleh kalian bersikap
kasar terhadap Jisuko (kakak perguruan kedua) kami?"
Sungguh Peng-say mendongkol dan geli pula. Orang2 ini
bukan saja salah sangka dirinya sebagai murid Pak-cay.
bahkan disangkanya cuma cucu murid Sau Ceng-in. Diam2
ia membatin: "Salah adik Leng. dia mengaku sebagai puteri
Sau Ceng-in, dengan demikian sebagai Piaukonya sekarang
aku berubah jadi murid keponakannya malah. Pantas si
kakek kecil itu bilang aku tidak sopan memanggil Lengmoay
padanya."
Nama Cin Yak-leng dan Sau Kim-leng memang ada
persamaan lafal pada kata terakhir, maka panggilan "Lengmoay"
Peng-say tadi disangka oleh Ciamtay Boh-ko dan
kedelapan orang ini sebagai memanggil Sau Kim-leng.
sungguh kebetulan juga salah paham ini.
Pada waktu si monyet berbicara, si kakek kecil telah
melompat turun dari kudanya dan mendekati kereta dan
berseru: "Sau-sumoay, guruku sangat prihatin ketika
mendengar dirimu diculik oleh Ciamtay-kongcu. serentak
beliau memerintahkan kami di bawah pimpinan Sau Penglam,
Sau-suheng. memburu kesini untuk manyelamatknn
dirimu. Syukur para kawan dari Bu-tong juga menerima
berita dan mendahului memburu kemari untuk mengatur
segala apa yang perlu, hasilnya Ciamtay-kongcu dapat
dipancing keluar, sayang para kawan Bu-tong-pay sama
gugur, namun si pengganas Ciamtay-kongcu juga dapat
dibinasakan, selama ini Sumoay tentu telah banyak
mengalami kesukaran."
"Ah, tidak apa2," kata Yak-leng di dalam kereta.
"Di dunia Kangouw saat ini tersiar kabar bahwa Sausupek
telah muncul kembali, entah hal ini betul atau tidak,
untuk inilah guru kami ingin mengundang Sumoay agar
suka mampir ke Soh-hok-han di Huiciu," demikian kata si
kakek pula.
Peng-say terkejut, pikirnya: "Ah. kiranya mereka ini anak
murid Soh-hok Hancu dari Lam-han. sungguh tak tersangka
Soh-hok Hancu adalah saudara sepupu Leng-hiang Caycu,
jadi antara Lam-han dan Pak-cay ada hubungan
kekeluargaan, pantas mereka dapat melihat permainan
Siang-liu-kiam-hoat bergaya ilmu pedang Pak-cay''
”Tapi dari mana mereka tahu Ciamtay Boh-ko
membawa lari Sau Kim-leng?" demikian pikirnya pula.
"Jangan-jangan Sejak mula Yak-leng sudah mengaku
sebagai Sau Kim-lemg mengapa bisa terjadi begini? Apa
manfaatnya Yak-leng mengaku sebagai Sau Kim-leng?
Mungkinkah Leng-moay mengetahui Sau Kim-leng
sesungguhnya adik kandung Ciamtay Boh-ko, karena
simpatinya, maka dia sengaja memalsukan nona Sau? Dan
berita tentang digondolnya Sau Kim-leng oleh Ciamtay
Boh-ko jangan-jangan disiarkan sendiri oleh Sau Kim-leng?
Lalu apakah maksud tujuannya?"
Begitulah berbagai tanda tanya itu timbul dalam
benaknya.
Cin Yak-leng tidak menjawab pertanyaan si kakek kecil
tadi, ia hanya bersuara samar2 saja. Tampaknya si kakek
menjadi girang, disangkanya suara Yak-leng itu sebagai
mengiakan dan setuju untuk ikut pergi ke Soh-hok-han,
dengan tertawa ia lantas berkata: "Laksute, kau saja yang
mengendarai kereta ini, sekarang juga kita pulang ke
Huiciu."
Cepat si monyet tadi melompat turun dari kudanya dan
melompat ke atas kereta.
Di dalam kereta Yak-leng sendiri menjadi kelabakan.
Hakikatnya ia tidak tahu apa itu Soh-hok-han, lebih2 tidak
tahu siapa si kakek dan rombongannya itu, hanya dari
percakapan mereka tadi diketahui mereka ada hubungan
erat dengan Sau Kim-leng, bahkan menyebut padanya
sebagai Sumoay. Padahal dia cuma Sau Kim-leng
gadungan, dia bertindak demikian adalah demi keselamatan
Soat Peng-say, sebab dia harus pegang janjinya kepada
Liok-ma yang mengharuskan dia mengaku sebagai Sau
Kim-leng, jika dia melanggar janji, bisa jadi Liok-ma akan
mencari dan membunuh Peng-say, karena itulah sebegitu
jauh ia tetap mengaku sebagai Sau Kim-leng,
Sekarang didengarnya si kakek kecil itu hendak
membawanya ke Soh-Hok-han, dengan ragu2 ia bersuara
samar2. tak tersangka si kakek menyangka dia setuju dan
segera membawanya berangkat. Jika bertemu dengan
paman Sau Kim-leng, yaitu Sau Ceng-hong yang terkenal
dengan Soh-hok Hancu apakah kepalsuannya ini takkan
terbongkar? karena pipiran inilah, dia menjadi bingung dan
kelabakan di dalam kereta,
Syukurlah pada saat itu juga mendadak terdengar Pengsay
membentak: "Nanti dulu! Kalian telah salah mengenali
orang!"
"Kau bilang apa? Salah mengenali orang?" si kakek
menegas.
"Dia. . .dia bukan. . . ."
Belum lanjut ucapannya. Yak-leng menjadi kuatir, cepat
ia berseru: "Soat Peng-say, kau berani sembarangan
omong?!"
Peng-say tidak menyangka Yak-leng sedemikian
sungguh2 memalsukan diri Sau Kim-leng, ia menghela
napas dan berkata: "Leng-moay, buat apa kau meng. . . ."
"Apakah kau minta tak kugubris kau selamanya?" ancam
Yak-leng.
Melihat si nona terus menerus merintanginya, Peng-say
tidak berani membongkar rahasianya, ia lantas berkata:
"Leng-moay, selama sebulan ini apakah kau baik2 saja?"
Pertanyaan ini jelas bukan salam hormat biasa, dibalik
pertanyaaanya itu jelas Peng-say ingin tahu selama sebulan
ini apakah si nona telah dinodai Ciamtay Boh-ko atau
tidak.
Padahal selama sebulan ini, kuatir Cin Yak-leng berubah
pikiran dan melarikan diri, sejauh itu Ciamtay Boh-ko tidak
pernah mengganggu si nona, bahkan menjaga dan
membelanya secara murni sebagai seorang kakak, baik
makan maupan tinggal di hotel, selama itu Yak-leng
mendapat perlakuan yang sangat mewah.
Namun Cin Yak-leng tetap tidak pernah lupa kepada
Soat Peng-say, ia tidak tahu apakah benar Liok-ma telah
mengampuni jiwa anak muda itu? Iapun membayangkan
dirinya yang menyaru sebagai Sau Kim-leng, jika nanti
harus menikah dengan orang yang belum pernah
dikenalnya, apakah hidupnya takkan merana dan tersiksa?
Siapa tahu, pengorbanannya ini ternyata sia2 belaka,
dalam waktu sesingkat itu tahu2 Peng-say telah bergaul lagi
dengan gadis lain Meski didengarnya antara mereka terjadi
perang mulut tapi juga dapat diketahui hubungan mereka
sangat erat. Sungguh ia tidak menduga bahwa lelaki
ternyata tal dapat dipercaya hal ini membuat dingin
hatinya, Makin dipikir makin pedih dan juga merasakan
penasaran yang tak terhingga.
Karena itulah, dengan ketus ia lantas menjawab
pertanyaan Peng-say tadi: "Aku tidak ingin bicara
denganmu, boleh kau cari Soat Koh itu saja!"
Peng-say melengak, pikirnya, "Apa yang kau cemburu?
Tidakkah kau dengar Soat Koh telah kulukai dan telah
meninggalkan diriku dengan sakit hati."
Ia merasa ucapan Yak-leng itu agak keterlaluan tidak
tahu bahwa Yak-leng sebenarnya sangat berterima kasih
karena dia telah melukai Soat Koh demi
menyelamatkannya, betapapun ini suatu tanda anak muda
ini masih ingat padanya. Tapi kemudian ketika Soat Koh
berlari pergi, Peng-say telag berteriak pula agar nona itu
kembali untuk diberi penjelasan segala, hal inipun
menimbulkan rasa mendongkol Yak-leng.
Walaupun Peng-say tidak berhasil menahan kepergian
Soat Koh, tapi hal inipun dapat dirasakan oleh Cin Yakleng
bahwa hubungan di antara Peng-say dengan nona itu
pasti tidak sederhana, karena itulah ia merasa sedih.
Si kakek kecil tadi sudah kenyang asam-garamnya
kehidupan manusia, sudah tentu dia dapat memahami
perasaan orang muda, ia menganggap tidaklah wajar Soat
Peng-say mencintai "Sau Kim-leng" yang tingkatannya
lebih tua, hal ini jelas tidak pantas. Tapi lantaran Cin Yakleng
tampaknya juga suka kepada Soat Peng-say, maka si
kakek menjadi serba salah dan tak dapat berbuat apa2, ia
cuma menggeleng saja dan menggerutu: "Tidak pantas,
tidak pantas!"
"Memang tidak pantas!" si monyet tadi menambahkan.
"Jelas2 harus panggil bibi, tapi memanggil Leng-moay
malah."
Diam2 Peng-say membatin: "Kalau Leng-moay berkeras
mengaku sebagai Sau Kim-leng, biarlah akupun mengaku
sebagai mund Sau Ceng-in agar tidak di-olok2 mereka."
Karena pikiran itu, segera ia menjawab: "Siapa bilang dia
adalah bibi-guruku, Leng-moay adalah Sumoayku!"
Dengan sangsi si kakek kecil tadi bertanya: "Apakah
Kungfumu kau dapatkan dari ajaran nyonya Sau-supek?"
"Bukan, ilmu pedangku justeru kuperoieh dari Sau-supek
kalian," jawab Peng-say.
Kontan si monyet berteriak: "Omong kosong! Sau-supek
sudah menghilang sejak 27 tahun yang lalu, berapa usiamu,
masa kau sempat belajar pedang kepada pada Sau-supek"
Tapi si kakkek lantas berkata: "Jika demikian, jadi Sausupek
memang betul tidak meninggal? Akhir2 ini di dunia
Kangouw tersiar berita muncul kembalinya Sau-supek, jadi
benar hal ini?"
"Memangnya kalian berharap Sau-supek kalian lekas
mati?" tanya Peng say.
"Sudah ....sudah tentu bukan begitu," jawab si kakek
dengan kurang senang. "Coba jawab, berapa lama Sausupek
mengajarkan ilmu pedang padamu?"
"Rasanya tidak perlu kujawab pertanyaan ini," ujar Pengsay.
"Di mana Sau-supek sekarang?" desak si kakek.
"Kau tanya padaku, lalu kutanya siapa?" jawab Peng-say
dengan lagak jenaka.
Kontan si monyet berteriak pula: "Persetan! Mana ada
mund tidak tahu di mana berada gurunya sendiri? Kukira
dia sengaja menipu kita, hakikatnya dia tidak pernah
melihat Sau-supek."
Di dalam hati Peng-say berkata: "Betul, aku memang
tidak pernah melihat Sau-supek kalian, cuma Siang-liukiam-
hoatku ini meski ajaran guruku, asal-usulnya memang
diperoleh dari Sau-supek kalian."
Agaknya si kakek juga tidak percaya sang paman guru
yang telah menghilang 27 tahun yang lalu itu dapat
menerima seorang murid yang masih begini muda. Tapi
kalau Sau Kim-leng diketahui adalah anak perempuan Sausupek,
logikanya jika sang paman guru itu dapat menggauli
isterinya dan melahirkan anak dengan sendirinya juga ada
kemungkinan dapat menambah seorang murid.
Tentang Sau-hujin melahirkan anak perempuan setelah
lenyapnya sang suami memang merupakan suatu teka-teki
di dunia persilatan. Ada yang mengira Sau-hujin telah
berhubungan gelap dengan lelaki lain selama
menghilangnya sang suami. Ada juga yang tidak
sependapat, mereka memberi bukti kegiatan Sau-hujin yang
berusaha mencari sang suami, jelas Sau-hujin sangat setia
dan mencintai suaminya dan bukan tipe wanita yang tidak
tahan kesepian.
Bagi Sau Ceng-hong yaitu So-hok Hancu, dia
menyangsikan Sau Kim-leng memang betul adalah puteri
Sau Ceng-in, cuma dia juga tidak percaya bahwa Sau Cengin
belum mati, sebab dengan mata kepala sendiri ia
menyaksikan saudara sepupunya itu terluka parah dan tidak
mungkin dapat disembuhkan, makanya terus menghilang
dan mungkin juga sudah mati Tapi iapun kuatir jangan2
Sau Ceng-in memang belum mati dan karena itulah Sau
Kim-leng besar kemungkinan adalah puterinya.
Pendek kata, masing2 mempuyai dugaan dan
pendapatrya sendiri2, siapapun tidak dapat memberi
jawaban yang pasti.
Agaknya si kakek kacil itu sependapat dengan jalan
pikiran sang guru. Mendadak ia menubruk maju ke depan
Soat Peng-say.
Keruan Peng-gay kaget, cepat ia menghantam. Si kakek
mendengus, ia tangkis pukulan Peng-say, berbareng
tangannya menekan ke bawah dan mencengkeram
pergelangan tangan anak muda itu.
Sekuatnya Peng-say meronta, tapi tak terlepas, segera
tangan yang lain menghantam, tapi segera terpegang musuh
pula dan sukar bergerak, terasa tenaga lawan menyalur
masuk urat nadinya sehingga sekujur badan terasa pegal
linu.
"Masih selisih jauh kau, belum sesuai untuk mengaku
sebagai murid Sau-supek," kata si kakek. Sekali lepas
tangan, kontan Peng-say ter-huyung2 ke belakang, "bluk",
akhirnya ia jatuh terjengkang walaupun sudah berusaha
menegakkan tubuhnya.
Setelah jatuh, rasa pegal linu tadi serentak lenyap pula.
se-olah2 kalau tidak jatuh sisa tenaga musuh ditubuhnya
sukarlah dipunahkan.
"Betul tidak? Kubilang dia berdusta. dua jurus Jisuko saja
dia tidak tahan, mana mungkin dia murid Sau-supek?" seru
si monyet. "Menurut pendapatku, untuk menjadi cucu
murid Sau-supek saja dia belum memenuhi syarat."
"Bagaimana keadaanmu, Peng-ko?" tanya Yak-leng
dengan kuatir. .
"Jangan kuatir, Sau-sumoay," kata si kakek "Dia tidak
apa2, hanya kubanting jatuh saja." — Lalu ia berpaling
kepada si monyet: "Dia murid Sau-supek memang tiduk
keliru, hanya saja tidak mungkin murid ajaran langsung
Sau-supek."
Lelaki berdandan sebagai kuli atau pekerja kasar tadi
menimbrung: "Melihat gerak tubuhnya tadi tampaknya
lebih mirip murid Bu-tong pay."
"Leluhur Suhu dan Sau-supek memang berasal dan Bu
tong-pay, sebelum kita belajar Kungfu perguruan kita juga
diharuskan lebih dulu memupuk dasar Kungfu Bu-tong-pay,
kalau bocah ini mahir Kungfu Bu-tong-pay dan mahir pula
ilmu pedang Pak-cay, maka pasti tidak salahlah kalau dia
mengaku murid Sau-supek," setelah berhenti sejenak, lalu si
kakek menyambung pula: "Hendaknya Samsute tinggal
disini untuk membereskan jenazah kawan Bu-tong pay itu,
rombongan akan berangkat lebih dulu."
Yang bertubuh tinggi besar tadi mengiakan.
Kakek kecil itu lantas mencemplak keatas kudanya dan
berseru: "Hayolah berangkat!"
Segera si monyet menarik tali kendalinya dan melarikan
kuda kereta ke depan.
Setelah terbanting jatuh oleh si kakek, sejak tadi Peng-say
terus rebah tanpa bergerak. Bukannya terluka, hanya sedih
karena kalah secara mengenaskan begitu, ia malu untuk
berdiri. Setelah mendengar kereta itu sudah pergi barulah ia
melompat bangun.
Didengarnya suara Cin Yak-leng lagi berteriak teriak:
"Peng ko, Peng-ko! . .. . "
Hanya sebentar saja kereta itu sudah pergi jauh, sayup2
terdengar si kakek kecil sedang berkata; "Sau-sumoay,
tidaklah pantas kau panggil dia Peng-ko, dia kan angkatan
lebih muda dari padamu...."
Si tinggi besar yang ditinggalkan di situ lantas memanggil
serombongan kuli pelabuhan untuk membereskun jenazah
kawanan Tosu Bu-tong pay, sama sekali ia tidak
memperhatikan kepergian Soat Peng-say. Seperginya Soat
Peng-say, di dermaga lantas merapat sebuah kapal yang
berbentuk aneh, dari kapal laut itu turun belasan lelaki
berjubah putih dan seorang tua yang bertubuh pendek
gemuk
== 0O0dw0O0 ==
Kita ikuti dulu kepergian Soat Peng-say. Dia menuju ke
tempat parkir keretanya tadi, tapi keretanya sudah tak ada,
orang ditepi jalan bilang kereta itu telah dibawa pergi oleh
seorang nona setelah menyewa seorang kusir di situ.
Kereta berwarna emas itu memang milik Soat Koh,
kalau sudah dibawa pergi kan kebetulan. Sangu pemberian
Tio Tay-peng waktu Soat Peng-say turun gunung masih
cukup banyak, segera ia membeli seekor kuda terus
memburu ke arah selatan.
Selang tak lama, dapatlah dia menyusul rombongan anak
murid Lam-han tadi. Karena dia mengejar dengan
bernapsu. waktu dia melihat rombongan sasarannya,
merekapun melihat kedatangan Peng-say. Tapi Peng-say
tidak lantas mendekati mereka, ia bertahan dalam jarak
belasan tombak di belakang rombongan itu, bila mereka
berjalan cepat, iapun menyusul dengan cepat, jika mereka
lambat, iapun melambat.
Si kakek kecil ingin tahu apakah Soat Peng-say memang
sengaja hendak menguntit, ia suruh rombongannya berhenti
di tepi jalan.
Peng-say tidak takut maksudnya diketahui orang, orang
lain berhenti, iapun idem dito.
"Kemari kau!" panggil si kakek kecil.
Peng-say pikir kenapa takut, disuruh kesana ya turuti
saja, apa yang mesti ditakuti. Segera ia melarikan kudanya
mendekati rombongan itu.
"Kau hendak ke mana?" tanya si kakek.
"Ke Soh-hok-han di Huiciu, kebetulan sama arah dengan
tuan2," jawab Peng-say.
"Siapa yang mengundang kau ke sana?" tanya si kakek
pula.
"Tidak diundang siapa2, aku sendiri ingin kesana," jawab
Peng-say. "Konon penghuni Soh-hok-han di daerah selatan
sana kebanyakan adalah tokoh2 yang berbudi luhur,
tentunya bukan sarang penyamun atau ada perbuatan yang
perlu dirahasiakan sehingga tertutup bagi orang luar."
"Tamu yang berkunjung ke Soh-hok-han memang tidak
dilarang, tapi orang yang tidak berkepentingan dilarang
datang." ujar si kakek.
"Sedangkan orang yang cuma berkepandaian rendah
seperti kau memang tidak memenuhi syarat untuk menjadi
tamu Soh-hok-han," sambung si monyet.
Muka Peng say menjadi merah. katanya pula: "Tapi ada
urusan penting perlu kutemui Soh-hok Hancu. Pula kalian
bilang aku ini murid Pak-cay, dalam kedudukanku sebagai
mund Pak-cay mau kukunjungi Soh hok-han, tentunya
bukan orang yang tidak berkepentingan lag!?"
"Tapi Lam-han dan Pak-cay biasanya tiada hubungan,
setiap orang boleh mengunjungi Soh-hok-han, hanya anak
murid Pak-cay saja yang tidak boleh," kata si kakek.
Sialan, pikir Peng-say, ingin untung jadi buntung malah.
Jika tahu Lam-han dan Pak-cay tidak akur, tentu tadi
dirinya takkan mengaku sebagai murid Pak-cay.
Tapi si kakek kecil lantas berkata pula: "Ada urusan apa
hendak kau temui guruku? Jika betul urusannya memang
penting, mungkin akan diberi kelonggaran."
"Urusan penting memang ada, tapi bolehkah kukatakan
nanti saja." jawab Peng-say.
"Masa kau ada urusan? Urusan penting kentut!" omel si
monyet. "Huh, setiap orang tahu maksud tujuanmu
menyusul kemari tentu ingin membawa lari kau punya
Leng-moay."
Cin Yak-leng meringkuk di dalam kereta dan tetap tak
bisa berkutik, rupanya Hint-to yang ditutuk Ciamtay Bohko
itu belum lagi terbuka maklumlah, Tiam-hiat-hoat Tangwan
memang lain daripada yang lain, kalau bukan anak
murid Tang-wan sendiri. sekalipun jago kelas tinggi seperti
si kakek kecil juga tidak mampu membukanya, terpaksa
harus menunggu berlalunya sang waktu agar Hiat to yang
tertutuk itu terbuka dengan sendirinya.
Bergirang juga Yak-leng demi mendengar Soat Peng-say
memburu tiba, tapi ia tidak berani minta tolong. Ia tahu
ilmu silat Peng-say hakikatnya bukan tandingan anak murid
Lam-han, kalau diteriaki agar menolongnya, bisa jadi akan
membikin celaka anak muda itu malah.
Sesungguhnya iapun tidak suka pergi ke Soh-hok-han. ia
kuatir sampai di sana rahasianya akan terbongkar. Diam2 ia
berharap, mengingat kakek kecil itu bilang Lam-han dan
Pak-cay sudah lama tiada hubungan, mungkin paman Sau
Kim-leng itu selama ini belum kenal wajah si nona, asalkan
nanti berlaku hati2, mungkin Sau Ceng-hong dapat
dikelabui. lalu dapatlah berdaya melarikan diri untuk
bertemu dengan Soat Peng-say dan keduanya dapat kabur
se-jauh2nya, ke tempat yang terasing dan hidup bersama
hingga tua.
Karena bayangan yang indah di masa depan ini, ia tidak
ingin Peng-say menyerempet bahaya lagi baginya, segera ia
berseru membujuknya: "Peng-ko, kau pulang saja,
tunggulah aku di rumah, aku pasti akan pulang untuk
bertemu dengan kau."
"Tidak.jika kau pergi ke Soh-hok-han, akupun pasti ikut
ke sana," kata Peng-say.
Dari ucapan Peng-gay yang tegas itu, Yak-leng merasa
anak muda itu bertekad akan "ringan sama dijinjing dan
berat sama dipikul", sungguh hatinya sangat terhibur.
Ia tidak tahu bahwa kepergian Soat Peng-say ke Soh-hokhan
selain ingin menjaga keselamatannya juga ada tugas
lain, yaitu ingin bertemu dengan Soh-hok Hancu untuk
menunaikan pesan mendiang ibunya sebelum wafat.
Kiranya waktu ibunya akan menghembuskan napas
terakhir telah meninggalkan pesan agar pada waktu Pengsay
genap berusia 20 tahun, kitab pusaka "Siang jing-pitlok"
itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu Sokhok
Hancu dari Lam-han di Huiciu. Bahkan setelah kitab
itu dikembalikan, Peng-say disuruhnya mengangkat Sohhok
Hancu sebagai guru.
Mengembalikan kitab dan mengangkat guru, kedua hal
inilah pesan tinggalan sang ibu sebelum wafat Padahal
Peng-say sudah berguru kepada Tio Tay-peng, ia tidak ingin
mengangkat guru lagi kepada Soh-hok Hancu, jadi pesan
sang ibu ini tak dapat lagi dilaksanakan, hanya tentang
kitab pusaka itu, harus dikembalikan dengan baik.
Karena usia Peng-say sekarang belum melebihi 20, soal
pengembalian kitab itu masih cukup waktu tapi sekarang
kebetulan terjadi persoalan Yak-leng ini, maka dia bertekad
akan pergi ke Lam-han sekalian.
Si kakek juga tidak merintangi setelah mendengar Pengsay
menyatakan tekadnya akan ikut ke Lam-han,
jengeknya: "Baiklah jika kau memarg ada urusan, tapi awas,
jangan main gila, jika berani sembarangan bertindak, jangan
kau salahkan kamj bertindak kejam."
Baru selesai si kakek bicara, mendadak dari belakang
serombongan orang berkuda datang dengan cepat, hanya
sekejap saja kereta mereka telah terkepung rapat.
Anak murid Lam-han sudah berpengalaman, mereka
tidak menjadi gugup, mereka melihat rombongan yang
datang ini semuanya berjubah putih dan menyandang
bungkusan panjang di punggung, jelas dalam bungkusan itu
tersembunyi senjata sebangsa golok atau pedang.
Setelah kereta terkepung, orang2 berseragam jubah putih
itu tetap diam saja, semuanya berwajah seram.
Si kakek kurus kecil lantas mendahului menyapa: "Cayhe
Kiau Lo-kiat, murid Soh-hok-han di Huiciu. Numpang
tanya, adakah sesuatu keperluan?"
Mendadak suara seorang setengah serak menanggapi:
"Hm, dengan nama Soh-hok-han kau kira akan membikin
orang takut?"
Para murid Lam-han semua terkesiap, pikir mereka:
"Mereka tidak takut kepada Soh-hok-han kita, jangan2
mereka sengaja hendak mencari perkara?"
Padahal Bu-lim-su-ki atau empat tokoh sakti dunia
persilatan sudah hampir ratusan tahun termashur di dunia
Kangouw, orang yang tidak gentar terhadap Soh-hok-han
boleh dikatakan terlalu sedikit.
Dengan prihatin Kiau Lo-kiat lantas berkata pula:
"Sudikah yang berbicara itu tampil ke muka?"
Mendadak dua penunggang kuda menyingkir ke
samping, di belakang mereka lantas muncul seorang
penunggang kuda lagi. Lantaran penunggang kuda itu
adalah siorang kakek gemuk dan pendek, sedangkan kedua
penunggang kuda di depannya tinggi besar, maka si kakek
hampir ter-aling2 seluruhnya.
Kakek itu memajukan kudanya ke depan, tiba2 kelihatan
di belakang punggung kuda tunggangannya itu bertumpang
tindih dua sosok mayat, satu gemuk dan satu kurus, satu
pendek dan satu jangkung yang gemuk pendek di atas, yang
jangkung tertindih di bawah.
"Samsute!"
"Samsuko!" serentak para murid Lam-han berteriak.
Di antara ketujuh murid Lam-han itu hanya Kiau Lokiat
saja yang menyebut "Samsute". Rupanya mayat si
jangkung itu adalah Sutenya yang ditinggalkan di Ciau-ciuwan
untuk membereskan jenazah para Tosu Bu-tong-pay
itu.
Sungguh tidak kepalang duka dan gusar Kiau Lo-kiat
melihat Samsutenya dibinasakan orang, ia tidak pedulikan
lagi tokoh kosen darimana kakek pendek gemuk itu,
serentak ia melayang dari kudanya, kesepuluh jarinya
terpentang terus menubruk kakek gemuk itu.
Cepat sekali reaksi kakek itu, sebelah tangannya sempat
mendahului menampar ke depan, angin pukulan yang
dahsyat kontan menyampuk tubuh Kiau Lo kiat, terdengar
jeritan Kiau Lo-kiat, kontan ia melayang balik.
Murid Lam-han yang lain sama terkejut, mereka
menyangka Jisuko pasti tamat riwayatnya.
Tapi sungguh aneh, angin pukulan yang jelas maha
dahsyat itu ternyata membawa tenaga yang teratur
sedemikian jitunya, Kiau Lo-kiat hanya melayang kembali
dan duduk lagi di atas kudanya tanpa kurang apapun.
hanya mukanya berubah pucat saking kagetnya.
Tenaga pukulan yang aneh itu sungguh sukar
dibayangkan, yang hebat adalah setelah Kiau Lo-kiat
tergetar balik dan duduk kembali di atas kudanya, sama
sekali kudanya tidak terkejut, sama halnya Kiau Lo-kiat
mencemplak ke atas kudanya dengan pelahan2.
"Sambut!" bentak si kakek gemuk sambil mengangkat
mayat si jangkung. Meski oukup berat mayat itu, tapi
seenteng kertas mayat itu melayang ke arah Kiau Lo kiat.
Karena sudah tahu tenaga si kakek jauh di atas dirinya,
Kiau Lo-kiat tidak berani ayal, ia mengerahkan segenap
tenaganya dan menyambut jenazah Samsutenya.
Setelah mayat itu berada dalam rangkulannya, seketika
itu tidak terasa sesuatu, tapi sedikit lengah, mendadak Kiau
Lo-kiat terperosot ke bawah kuda bersama mayat dalam
rangkulannya itu.
Peng-say ter-heran2 menyaksikan itu. Begitu pula para
murid Lam-han yang lain juga melongo heran, mereka
mengira Jisuheng kurang hati2 sehingga terperosot ke
bawah.
Tapi cara jatuh Kiau Lo-kiat itu tampaknya juga bukan
terperosot karena kurang hati2. Dengan kepandaian Kiau
Lo-kiat, andaikan jatuh juga takkan terbanting dangan kaki
di atas seperti anak kecil jatuh terjengkang begitu?
Walaupun pantatnya kesakitan, tapi mendadak Kiau Lokiat
berteriak dengan tertawa girang: "Hai tidak mati,
Samsute tidak mati!"
Kiranya waktu tubuh si jangkung dirangkul olehnya,
dirasakan tubuh itu masih hangat, waktu jatuh ke tanah,
terasa pula napas si jangkung yang menyembur pada
samping lehernya membuatnya kerih.
Pada saat itulah dua penunggang kuda datang secepat
terbang, setiba di depan si kakek gemuk tadi, ternyata
mereka adalah dua pemuda kekar dan berdandan seperti
belasan orang yang lain Salah seorang yang lebih tua
memberi hormat dan berseru: "Suhu, Tecu dan Ci-kiat
datang menyambut kedatangan Suhu, tapi terlambat."
Kiau Lo-kiat kenal kedua orang ini, yang satu bernama
Ih Ci ho dan yang lain bernama Lo Ci-kiat. Keduanya
adalah murid kesayangan Ciamtay Cu-ih, ada lagi dua
saudara seperguruan mereka yang lain, yaitu Ji Ci-eng dan
Cian Ci-hiong, keempat orang berkunjung ke Tionggoan
pada lima tahun yang lalu dan telah mengumandangkan
nama kebesaran mereka. Di dunia persilatan mereka
terkenal sebagai "Eng-Hong Ho Kiat. Tsngwan-su siu" atau
empat ksatria muda dari Tang-wan.
Cuma sayang, meski nama mereka termashur, rata2
merekapun masih muda dan ganteng, tapi mereka pun
mempunyai cirinya, yaitu gemar main perempuan, secara
diam2 entah betapa banyak anak gadis dan perempuan
baik2 yarg telah dirusak oleh mereka. Hanya saja sedikit
orang yang mengetahui hal ini, Kiau Lo kiat juga
mendengar kabar demikian. maka dia rada memandang
hina kepada mereka,
Kini setelah mendengar kedua orang itu menyebut si
kakek sebagai "Suhu", segera ia. tahu kakek itulah Honghoa
Wancu Ciamtay Cu-ih sendiri. Pantas begitu lihay
tenaganya, herannya mengapa mendadak ia memimpin
anak buahnya berkunjung ke Tionggoan?
Padahal sejak pertemuan di Ki-lian-san 27 tahun yang
lalu, sepulangnya ke Tung-hay belum pernah lagi dia
menginjak Tionggoan, sekarang dia muncul lagi secara
mendadak, hal ini benar2 mencurigakan.
Sudah tentu Kiau Lo-kiat tidak tahu sebabnya Ciamtay
Cu-ih tidak berkunjung ke Tionggoan selama 27 tahun ini
adalah karena dia dilukai oleh ibu San Kim-leng sehingga
mengalami kelumpuhan, baru beberapa tahun terakhir ini
dia berbasil meyakinkan semacam ilmu penyembuhan dan
baru pulihlah kesehatannya. Setelah sakian lama mengeram
diluar lautan timur sana, ia menjadi ingin bergerak lagi ke
Tionggoan agar dunia persilatan Tionggoan tidak
melupakan tokoh sakti yang pernah malang melintang di
dunia Kangouw dahulu.
Melihat air muka Ciamtay Cu-ih kurang senang, Ih Ciho
dan Lo Ci-kiat mengira sang guru marah kepada mereka
karena sambutan mereka yang terlambat, hati mereka jadi
kebat-kebit.
"Mana Ci-eng dan Ci-hiong?" demikian Ciamtay Cu ih
bertanya.
Ci-ho dan Ci-kiat mengira sang guru akan lebih marah
kepada kedua Suheng yang tidak ikut datang menyambut
itu, untungnya ketidak datangnya kedua Suheng itu
memang ada alasannya, maka cepat Ci-ho memberi lapor:
"Kedua Suheng sedang merawat lukanya di Thay-san dan
tak dapat datang menyambut Suhu."
"Siapa yang melukai mereka? tanya Ciamtay Cu-ih
dengan gusar.
"Sau Peng-lam," tutur Ci-ho.
"Hah, Toa-suheng!" diam2 Kiau Lo-kiat dan lain2
mengeluh di dalam hati.
-oo0dw0oo-
Jilid12
Karena sudah 27 tahun tidak menginjak daratan
Tionggoan, Ciamtay Cu-ih tidak tahu Lam-han telah
melahirkan seorang murid terkemuka dan bernama Sau
Peng-lam Ilmu silat Sau Peng lam boleh dikata tidak di
bawdh Bu-lim-su-ki pada 27 tahun yang lalu, dikalangan
anak murid Su-ki saat ini ia terhitung jago nomor satu.
"Hm, Sau Peng-lam itu kutu busuk macam apa,
darimana kutahu namanya?" jengek Ciamtay Cu-ih dengan
mendongkol'
Dia menghina Toa-suheng mereka, dengan sendirinya
Kiau Lo kiat dan rombongannya tidak senang, tapi mereka
pun tidak berani buka suara selain mendengarkan saja.
Cepat Ih Ci ho memberi penjelasan: "Sau Peng-lam
adalah anak Sau-cianpwe dan Lan-han, iapun murid
pertama Lam han."
"Omong kosong!" damperat Ciamtay Cu-ih sambil
melotot kearah Kiau Lo-kiat.
"Tecu tidak berani," cepat Ci-ho menjawab dengan
takut2.
"Isteri Sau Ceng-hong, Leng Tiong-cik, jelas2 mandul
dan tidak bisa punya anak, darimana mendadak bisa lahir
seorang anak?" kata Ciamtay Cu-ih.
"Konon Sau Peng-lam bukan anak kandungnya, tapi
anak angkat Sau-cianpwe," tutur Ci-ho.
"O, jika demikian masih bisa dimengerti," kata Ciamtay
Cu-ih sambil mengangguk. "Dan cara bagaimana kedua
Suheng kalian dilukai, berdasar sebab apa Sau Peng-lam
melukai mereka?"
"Sungguh menyakitkan hati jika diceritakan," tutur Ciho.
"Sebenarnya kedua Suheng juga tidak bersalah apa2
terhadap Sau Peng-lam. Kemarin dulu kedua Suheng
makan minum di restoran Cui-sian-ciu-lau di Thay-an,
begitu naik ke loteng restoran itu lantas terlihat Sau Penglam
sedang menenggak arak, kedua Suheng tidak
menghiraukan dia, tapi dia lantas mencaci maki, katanya
Tang-wan-su-siu adalah babi dan anjing. Tentu saja kedua
Suheng menjadi marah dan mendekatinya dan menegur.
Tak tersangka kedua Suheng mendadak diserang, dengan
dua kali depakan kedua Suheng terjungkal ke buwah loteng
dan terbanting dengan cukup keras, sampai sekarang kedua
Suheng belum lagi sanggup bangun. Coba Suhu, tidakkah
keterlaluan perbuatan Sau Peng-lam itu? Dia harus dihajar
adat, kalau perlu gurunya harus ditanyai mengapa
membiarkan muridnya berbuat se-wenang2."
Dia bicara dengan lantang, dia menyangka pasti akan
mendapat dukungan sang guru. Tak terduga sasaran
pelampias marah Ciamtay Cu-ih bukanlah Sau Peng-lam
melainkan Ci-ho sendiri, mendadak terdengar "plak-plok"
dua kali, kontan Ci-ho mendekap pipinya yang bengap, ia
menjadi bingung mengapa sang guru menamparnya, entah
begaimana dia salah omong?
Dengan gusar Ciamtay Cu-ih lantas mendamperat.
"Memangnya gemilang kejadian kedua Suhengmu itu
didepak orang hingga terjungkal? Nyaring benar cara
bicaramu se-akan2 kuatir tidak didengar orang lain? Hm,
dasar murid tidak becus, sia2 kuajar kalian!"
"Tapi. . .tapi, Suhu, kita harus mengadu kepada Saucianpwe.
. . ."
"Mengadu apa?" bentak Ciamtay Cu-ih sebelum lanjut
ucapan Ji Ci-ho, "Cara bagaimana harus kukatakan? Apa
aku harus bilang: "Sau Ceng-hong, dengan dua kali
depakan muridmu telah menjungkalkan dua muridku ke
bawah loteng. Begitu? Hm, dasar murid goblok, hanya bikin
malu saja!"
Ci-ho tidak berani bersuara lagi, diam2 ia membatin:
"Baru datang di Tionggoan sini, entah mengapa Suhu lantas
marah begitu?"
"Coba jawab," kata Ciamtay Cu-ih pula. Sudah dua
tahun Sutemu Boh-ko datang ke Tionggoan sini, kalian
tahu tidak?"
"Tecu tahu setelah menerima surat Suhu," jawab Ci-ho.
"Dan dimana orangnya?" bentakCiamtay Cu-ih.
Tanpa terasa Peng-say, Kiau Lo-kiat dan lain-lain sama
memandang mayat yang tertaruh dibelakang punggung
kuda Ciamtay Cu-ih itu. Pikir2 mereka: "Aneh, kenapa
tanya? Bukankah mayat anakmu berada di situ?"
Kiranya mayat yang pendek gemuk dan melintang di
atas kuda Ciamtay Cu-ih itu tak-lain-tak-bukan adalah
jenazah Ciamtay Boh-ko.
Terdengar Ci-ho menjawab: "Begitu Tecu menerima
surat dari Suhu dahulu segara mencari berita jejak Sute, tapi
sejauh itu belum .... belum diketahui ...."
"Bukankah kusuruh kalian menjemputnya di darmaga
Ciau-ciu-wan?" bentak Ciamtay Cu-ih.
"Tecu berempat menunggu sampai sebulan lamanya di
Ciau-ciu-wan dan tidak melihat datangnya Sute," tutur Ci
ho pula. "Tecu pikir mungkin Sute telah mendarat melalui
pelabuhan lain, maka kami tidak menunggu lagi dan
sampai sekarang belum pernah bertemu dengan Boh-ko
Sute."
Padahal Cumtay Boh-ko tidak pernah mendarat melalui
pelabuhan lain. Dua tahun yang lalu dia mendarat di Ciauciu-
wan, dilihatnya keempat Suhengnya siap
menjemputnya di dermaga. Ia merasa akan terikat bila
tinggal bersama para Suheng itu, maka ia mendarat secara
diam2 Dengan bebas dan gembira dia pesiar selama dua
tahun. Betapa pun dia membawa sangu yang cukup, maka
segala kesenangan orang hidup telah dirasakannya semua.
Karena dia pesiar kesana dan kesini dengan sendirinya
sukar mencarinya bagi Ji Ci-ho dan lain2.
Ilmu silat Ciamtay Boh-ko memang lebih tinggi
dibandingkan keempat Suhengnya, tapi yang dipikirnya
hanya pesiar dan foya2, sama sekali tidak bergaul dengan
orang Bu-lim, sebab itulah tiada orang Kangouw yang tahu
bahwa putera kesayangan Tang-wan, salah seorang tokoh
sakti dunia persilatan saat ini berada di daratan Tionggoan.
Akhirnya hampir segenap pelosok Tionggoan telah
dikunjungi Ciamtay Boh-ko, tugas yang diberikan sang
ayah juga sudah dicapainya, yaitu membawa pulang Sau
Kim-leng ke Tang-hay. Selagi ia hendak berlayar pulang
itulah dia terbunuh di Ciau-ciu wan.
Begitulah Ciamtay Cu-ih lantas meraung gusar; "Kalian
orang mampus semua barangkali? Kalau ditunggu tidak
datang, kabarnya juga sukar dicari, mengapa kalian tidak
mencari orangnya pada setiap tempat?"
Padahal Ji Ci ho berempat juga lagi sibuk ber-foya2
sendiri, mana mereka sempat memikirkan Ciamtay Boh-ko
segala. Merekapun tahu Kungfu sang Sute jauh lebih tinggi
di atas mereka, dengan sendirinya tidak perlu kuatir akan
terjadi apa2 pada diri Sute itu. Mereka pikir besar
kemungkinan sang Sute tidak mau tinggal bersama mereka
dan lebih suka pesiar sendiri dengan bebas, maka mereka
pun tidak mencarinya lagi.
Maka Ci-ho tidak berani banyak omong, ia cuma
mengiakan: "Betul juga, sekarang para Sute sudah ikut
datang, orang banyak akan lebih mudah mencarinya.Muiai
besok akan kubawa Ci-kiat dan para Sute mencarinya
kesegenap pelosok, dalam Waktu sebulan tanggung dapat
menemukan Boh-ko Sute."
Dia mengira sang guru kangen kepada anaknya, maka
dia sengaja bicara mengikuti arah angin kehendak gurunya.
Mendadak Ciamtay Cu-ih mengangkat mayat Ciamtay
Boh-ko dibelakang terus disodorkan kepada Ci-ho sambil
membentak: "Ini lihatlah, siapa dia?"
Keruan Ci ho ketakutan dan merosot turun dari
kudanya, jeritnya: "Boh-ko Sute, siapa . . . .
siapa yang membunuh kau? Suheng bersumpah takkan
menjadi manusia jika tidak dapat membalas dendam
bagimu . . . . " lalu menangislah dia ter-guguk2.
Tindakannya ini ternyata manjur juga, Ciamtay Cu-ih
tidak marah lagi padanya. Merdadak sorot matanya yang
bengis menatap Lo Ci-kiat, se-akan2 rasa dendam kematian
anaknya itu akan dilampiaskan atas diri Ci-kiat.
Untung Ci kiat juga pintar melihat gelagat, cepat ia pun
melompat turun dari kudanya, ia merangkul kedua kaki
Ciamtay Boh-ko dan menangis ter-gerung2. entah cara
bagaimana, bisa juga dia memeras air matanya sehingga
bercucuran.
Anak murid Tang-wan yang lain juga tidak mau
ketinggalan, mereka sama menangis sedih. Tapi yang
benar2 berduka bagi sang guru yang kehilangan anak itu
paling2 cuma dua atau tiga orang.
Seketika ramailah suara orang menangis sehingga
Ciamtay Cu ih juga ikut pilu, air matanya juga berderai.
Dia cuma mempunyai seorang anak, betapa sedihnya
dapatlah dibayangkan. Mendadak sorot matanya yang
bengis itu beralih kepada para murid Lam-han.
Cepat Kiau Lo kiat berkata: "Bukan kami yang
membunuh anakmu, yang membunuhnya adalah seorang
perempuan muda."
Ciamtay Cu-ih sendiri sudah mencari tahu dengan jelas
kepada kuli pelabuhan tentang apa yang terjadi di sana,
maka iapun tahu siapa yang membunuh anaknya ia lantas
bertanya: "Bagaimana bentuk perempuan muda itu?"
Kuatir Ciamtay Cu-ih melampiaskan rasa murkanya
kepada mereka, terpaksa Kiau Lo kiat menguraikan bentuk
wajah Soat Koh.
"Kan masih ada seorang lelaki muda yang ikut
membunuh anakku?" tanya Ciamtay Cu-ih.
Betapapun rendahnya Kiau Lo kiat juga tidak nanti
menjual nyawa Soat Peng-say, maka ia menjawab dengan
menggeleng: "Wajahnya terlalu biasa. tiada sesuatu ciri
yang dapat dilukiskan."
Untung para kuli pelabuhan waktu itu hanya menonton
dari kejauhan sehingga tidak jelas bagaimana air muka Soat
Koh dan Peng-say, mereka hanya dapat menceritakan
dandanan Peng-say serta warna bajunya.
Sekarang sebelah pedang Peng-say telah direbut Soat
Koh, hanya tersisa sebilah pedang yang tersandang di
punggungnya, dandanannya sekarang tiada ubahnya seperti
ketiga murid Lan-han yang muda itu, betapapun Ciamtay
Cu-ih tidak pernah menyangka Peng-say dapat berada di
tengah anak murid Lam-han, sedangkan perhatiannya juga
cuma terpusat kepada si pembunuhnya dan tidak begitu
menghiraukan si pembantu.
Tegang juga Peng-say menghadapi keadaan demikian,
tak terduga Kiau Lo kiat cukup luhur budinya dan setia
kawan, Peng-say tidak dijualnya kontan.
Mendadak Ciamtay Cu-ih bertanya pula; "Perempuan
muda itu murid Pak-cay bukan?" Sudah pasti kuli
pelabuhan tidak ada yang tahu ilmu pedang apa yang
dimainkan Soat Koh, jelas pertanyaan ini timbul dari
rabaan Ciamtay Cu-ih sendiri.
Aneh juga dia dapat menduga ke arah sana, tidak nanti
dia bertanya tanpa sebab, pasti ada sesuatu yang
mendorongnya bertanya demikian,
Maka Kiau Lo-kiat lantas menjawab: "Melihat gaya ilmu
pedangnya memang mirip murid Pak-cay." Lalu dia
menunduk dan memandang Samsutenya, katanya
kemudian: "Mohon Cianpwe suka membuka Hiat-to
Samsute kami yang tertutuk ini."
Tadi, begitu Ciamtay Cu-ih mendarat, segera dilihatnya
mayat putera kesayangannya, juga dilihatnya murid Lamhan
yang jangkung itu sedang membereskan jenazah
kawanan Tosu, dalam gusarnya si jangkung terus
dibekuknya untuk ditanyai. Tapi si jangkung sangat keras
kepala, semakin diperlakukan kasar semakin tidak mau
bicara.
Ciamtay Cu-ih menyangka dia adalah pembunuhnya,
selagi ia hendak membunuhnya, untung ada penonton
dipinggir jalan memberitahu tentang apa yang terjadi tadi.
Apalagi setelah bergebrak segera diketahuinya si jangkung
adalah murid Lam-han, dengan sendirinya ia tidak mau
membunuh si jangkung dan mengikat permusuhan dengan
Sau Ceng-hong. Maka ia cuma menutuk Hiat-to yang
membuatnya pingsan, lalu dibawanya mengejar keini.
Kiau Lo-kiat merasa tidak mampu membuka Hiat-to
yang ditutuk oleh ilmu Tang-wan itu, terpaksa ia mohon
pertolongan kepada Ciamtay Cu-ih sendiri.
Tapi Ciamtay Cu-ih tidak menggubrisnya, ia bertanya
pula: "Kalau kau dapat melihat gaya ilmu pedang
perempuan muda itu, jelas pada waktu anakku terbunuh
kau pun berada di sana."
Diam2 Kiau Lo-kiat merasakan gelagat jelek, ia tidak
berani menjawab. Didengarnya Ciamtay Cu-ih berkata
pula: "Melihat pembunuhan kalian tidak turun tangan
menolong, kalian ini terhitung ksatria Kang-ouw macam
apa?"
Kiau Lo-kiat berusaha membela diri, katanya: "Puteramu
membunuhi kawanan Tosu Bu-tong-pay, tentunya Cianpwe
tahu hubungan erat Lam-han kami dengan Bu-tong pay,
dalam keadaan begitu apakah mungkin kami menolong
anakmu?"
Ciamtay Cu-ih tidak peduli, katanya: "Kalian tidak
menolong anakku, kalian harus dibunuh semua!"
Serentak anak murid Lam-han memprotes "Mana ada
aturan begitu?!"
"Peduli ada aturannya atau tidak? Pokoknya kalian harus
mati!" bentak Ciamtay Cu-ih. "Yang tidak ingin mati boleh
berlutut dan menyembah tiga kali kepada jenazah anakku,
akan kuhitung sampai tiga, siapa yang tidak menyembah
segera kubinasakanNah, satu .... dua ... ."
Si monyet tidak tahan, teriaknya: "Labrak saja dia!"
Serentak anak murid Lam-han itu melompat turun dari
kuda masing2.
Ciamtay Cu-ih tidak perlu dibantu murid2nya, ia lantas
melompat turun dari kudanya, hanya satu-dua gebrak saja
seorang murid Lam-han yang muda telah dapat
dipegangnya terus didepak mencelat. Setiap kali seorang
dipegang, setiap kali pula dia tendang pergi. Hanya belasan
gebrak saja anak murid Lam-han itu sudah sama roboh di
sana sini, semuanya tercengkeram Hiat-to yang
membuatnya bisu serta ditendang satu kali.
Karena Ah-hiat atau Hiat to bisu tertutuk, dengan
sendirinya anak murid Lam-han tidak dapat berteriak dan
juga tak dapat bergerak. Maka tertawalah Ciamtay Cu-ih
ter-bahak2, katanya: "Toasuheng kalian telah mendepak
kedua muridku, sekarang kudepak kalian berdelapan, satu
orang satu kali, jadi kubayar empat kali lipat."
Habis berkata ia tambahi mendepak satu kali lagi kepada
si jangkung agar depakannya genap delapan kali. Habis itu
mendadak ia memandang kearah Soat Peng-say yang tidak
ikut turun bertempur itu. Kebat-kebit hati Peng say.
Untung Ciamtay Cu-ih hanya manggut2 saja dan
berkata: "Ehm, betapa pun kau ini memang lebih pintar,
tahu tidak dapat melawan lantas tidak mau ikut bertempur.
Tapi bisa juga lantaran takut mati, maka kau diam saja
Haha, jika betul kau takut mati, maka kau ini dapat
dianggap murid teladan Sau Ceng-hong!"
Tadi dia bilang akan menghitung sampai tiga, tapi kata
"tiga" itu tidak pernah diucapkan. Betapapun ia tidak nanti
menghitung sampai tiga, sebab kalau Kiau Lo-kiat dan
kawan2nya tetap tidak mau menyerah, tapi ia tidak berani
membunuh anak murid Sau Ceng-hong.
Dan kalau dia tidak berhitung sampai tiga, tentu iapun
tidak dapat menggertak akan membunuh Soat Peng-say
dengan alasan pemuda itu tidak menyembah.
Tiba2 Ciamtay Cu-ih tanya Ji Ci-ho: "Hari apa Wi Kayhou
akan Kun-bun-se-jiu (cuci tangan di baskom emas)?"
"Menurut berita yang tersiar, Wi-cianpwe menetapkan
lusa sebagai hari baik bagi upacara Kim-bun-se-jiu beliau,"
jawab Ci-ho.
"Sudah lebih 27 tabun aku tidak berjumpa dengan dia,
bolehlah kalian ikut aku pergi memberi selamat
kepadanya," kataCiamtay Cu-ih.
Segera Ci-ho mengangkat mayat Ciamtay Boh-ko dan
melompat keatas kuda, para saudara seperguruannya juga
lantas mencempak kekuda masing2 dan siap berangkat,
Diam2 Peng-say berharap mereka lekas pergi. Apabila
mereka sudah pergi, segera dirinya akan membawa lari Cin
Yak-leng dengan kereta kuda itu, tatkala mana anak murid
Lam-han tentu tak dapat merintanginya.
Tak terduga, mendadak Ciamtay Cu-ih berseru: "Ci-kiat,
kau mengendarai kereta itu."
Lo Ci-kiat melenggong, ia pikir jelas dirinya
menunggang kuda, mengapa disuruh mengendarai kereta?
Didengarnya Ciamtay Cu-ih membentak pula: "Dengar
tidak perintahku?" Cepat Ci-kiat melompat ketempat kusir
di atas kereta itu.
"Coba periksa dulu, adakah seorang nona di dalam
kereta itu?" tanya Ciamtay Cu-ih.
Ci-kiat menyingkap tirai dan melongok sekejap kedalam,
lalu katanya: "Ada."
"Baik," kata Ciamtay Cu-ih dengan mengangguk,
"Berangkat dulu!"
Segera Ci-kiat melarikan keretanya ke depan diikuti para
Sutenya.
Ciamtay Cu-ih berada paling belakang, ia berseru pula:
"Dengarkan para murid Sau Ceng-hong, kalian tidak
menolong jiwa anakku, apakah kalian sengaja hendak
merampas calon bininya jika dia sudah dibunuh orang?
Hm, kebetulan aku menyusul tiba sehingga rencana kalian
gagal total. Bini anakku akhirnya tetap menantuku. Meski
anakku sudah mati, betapa pun puteri Sau Ceng-in dari
Pak-cay ini harus tetap menjagai abu sembahyang anakku,
biarlah dia menjanda selama hidup." Habis berkata barulah
ia menyusul rombongannya.
Dengan sangat tenang Soat Peng-say menyaksikan kereta
itu dibawa pergi orang, ia menyadari dengan sedikit
kepandaian sendiri jelas tidak boleh sembarangan bertindak.
Sampai rombongan Ciamtay Cu-ih itu sudah pergi jauh ia
tetap diam saja disitu tanpa mengejar.
Ia tidak sanggup membuka Hiat to rombongan Kiau Lo
kiat yang ditutuk Ciamtay Cu-ih tadi tapi ia mengangkat
mereka satu persatu ke bawah pohon ditepi jalan, lalu
mengumpulkan kuda tunggangan mereka dan ditambat
menjadi satu, akhirnya ia berduduk dan berjaga di situ.
Ditunggunya sampai lama sekali, lambat-laun si
jangkung dapat bergerak sedikit demi sedikit, ia tahu Hiat-to
mereka sudah hampir terbuka dengan sendirinya dan tidak
perlu dijaga lagi, maka ia lantas mencemplak keatas
kudanya dan tinggal pergi.
Bukan maksudnya tidak menghiraukan lagi keselamatan
Cin Yak-leng, soalnya dia tahu tidak mampu melawan
Ciamtay Cu-ih. maka ia pikir harus berusaha menolongnya
dengan akal, betapapun Yak-leng harus diselamatkannya
dari cengkeraman Ciamtay Cu-ih,
Ucapan Ciamtay Cu-ih sebelum pergi itu membuat Pengsay
merasa bingung, ia tidak paham mengapa Ciamtay Cuih
memperlakukan puteri kandung sendiri dengan sekejam
itu, anak lelakinya sudah mati, tapi anak perempuannya
diharuskan menjanda selama hidup, sungguh terlalu aneh
dan sukar dimengerti.
Kesadisan demikian tidak berbahaya, untuk sementara
waktu Peng-say tidak perlu kuatir. jika Cin Yan-leng tidak
sudi mengaku sebagai Sau Kim-leng, itulah yang berbahaya.
Maklum, terhadap anak perempuan kandung sendiri
dengan sendirinya Ciamtay Cu-ih takkan membunuh atau
memperkosanya, tapi terhadap perempuan lain jelas tidak
ada jaminan. Sebab itulah bila Yak-leng menjelaskan
kepada Ciamtay Cu-ih bahwa dia sesungguhnya bukan Sau
Kim-leng, itu berarti malapetaka akan segera menimpanya.
Inilah yang menguatirkan Peng-say, tapi ia pikir Yakleng
telah melarangnya membongkar rahasia
penyamarannya, jelas nona itupun takkan membuka rahasia
kepalsuannya sendiri. Untuk menolong Yak-leng dengan
akal harus dilakukan sebelum Ciamtay Cu-ih pulang ke
Tang-hay, jika dia sudah pulang kandang, tentu sukar untuk
turun tangan.
Menurut pendapat Peng-say, Ciamtay Cu-ih bersama
anak muridnya akan pergi ke tempat Wi Kay-hou untuk
memberi selamat, ditempat keramaian itu suasana tentu
cukup gaduh dan di situlah kesempatan paling baik untuk
menolong Cin Yak-leng.
Tentang Wi Kay-bou, orang ini memang sangat
termashur, dia adalah Sute Bok Jong-siong, satu di antara
Tiong-goan-sam-yu atau tiga sekawan dari Tionggoan yang
diberi julukan "Khim-lo" atau si kakek kecapi.
Bicara tentang Tionggoan-sam-lo, mereka adalah tiga
tokoh besar ilmu silat yang paling menonjol belasan tahun
terakhir ini, nama mereka tidak di baWah Bu-lim-su-ki,
ilmu silat mereka pun tidak lebih asor. Lebih2 anak murid
mereka juga sangat banyak, dalam hal kekuatan dan
pengaruh, kecuali Say-koan (satu di antara Bu-lim-su-ki),
ketiga Ki yang lain jelas tak dapat menandinginya.
Antara 20 tahun yang lalu, Tiong-goan-sam-yu berserikat
dengan Say-lam-ji-ki, yaitu kedua Ki dari Say (barat dan
Lam selatan) dan tersebutlah menjadi suatu keluarga besar
dengan peraturan dan disiplin yang ketat, persekutuan
mereka itu terkenal dengan manis "Ngo tay-lian-beng" atau
persekutuan lima besar.
Karena itulah, Say-lam-ji-ki serta Tiong-goan-sam-vu
semakun kuat dan berpengaruh, golongan atau aliran
manapun tidak ada yang berani meremehkan anak murid
lima besar itu. Maka Ngo-tay-lian-beng bolen dikatakan
sama dengan rajanva dunia persilatan, nama dan
pengaruhnya bahkan jauh di atas aliran Siau-lim dan Butong
yang terkenal itu.
Pada waktu mengikat persekutuan, mestinya Tiong-goan
sam-yu dan Say-lam ji-ki bermaksud menarik pula Tang-pak
ji-ki (kedua Ki dan timur dan utara), tapi lantaran Tangwan
berada jauh di lautan timur dan termasuk wilayah
negeri asing, untuk mengundangnya tidaklah mudah
Adapun mengenai Pak-cay. karena hilangnya Sau Ceng-in
anak muridnya juga bubar dan cari jalan keluar sendiri2,
yang tersisa hanya kaum wanita dan para budaknya, jika
mereka pun diajak masuk perserikatan, rasanya kurang
gemiiang, maka tanpa dipertimbangkan nama Pak-cay
lantas dicoret dari acara perundingan.
Wi Kay-hou sendiri tidak termasuk didalam Tiong-goansam-
yu, tapi ilmu silatnya sangat tinggi, dia tergolong
angkatan tua yang disegani didalam Ngo tay-lian-beng,
ditambah lagi keluarga Wi sangat kaya raya, setiap tindaktanduknya
membawa pengaruh yang luas. Maka maksud
Wi Kay-hou akan Kin-bun-se-jiu atau cuci tangan di
baskom emas, artinya akan cuci tangan dan meninggalkan
dunia persilatan, sudah tentu hal ini akan merugikan Ngotay
lian-beng.
Setelah berita akan cuci tangannya Wi Kay-hou tersiar,
tentu saja dunia persilatan menjadi gempar, dengan
sendirinya pula setiap golongan dan aliran sama datang
mengucakan selamat pada hari yang ditentukan dan
ramainya tidak kepalang.
Pada waktu Soat Peng cay turun gunung, cukup jelas
juga Tio Tay-peng menceritakan segala sesuatu mengenai
keadaan dunia Kangouw, maka diketahuinya Wi Kay-hou
beralamat tinggal di kota Cujoan yang terletak dikaki
gunung Thay. Dirancang oleh Peng say pada hari
berlangsungnya upacara "cuci tangan" Wi Kay-hau, yaitu
pada saat yang paling ramai, kesempatan itu akan
digunakannya untuk menolong Cin Yak-leng
Soalnya Ciamtay Cu-ih dan muridnya sudah pernah
melihat Soat Peng-say, kalau anak muda ini tidak
menyamar, jangan harap akan dapat mendekati mereka
untuk menolong Cin Yak-leng. Sebab itulah sebelum masuk
kota Cujoan, lebih dulu ia menyamar sebagai seorang
bungkuk, mukanya ditempeli pula beberapa potong koyok,
rambutnya dibiarkan terurai, walaupun penyamarannya
kurang sempurna, tapi sudah bolehlah. Seumpama teman
lewat di depannya juga akan pangling.
Esoknya, setiba di dalam kota, di-mana2 terlihat tokoh
Bu-lim yang datang hendak menyampaikan selamat, karena
itulah hampir setiap hotel penuh terisi. Dengan susah payah
akhirnya Peng-say berhasil mendapatkan sebuah kamar
yang kotor di sebuah hotel kecil.
Petangnya ia ber-jalan2 mengelilingi kota. Mendadak
hujan turun dengan lebat. Dilihatnya di tepi jalan ada
sebuah rumah minum, cepat ia berlari masuk kesitu dan
minta dibuatkan teh serta beberapa macam makanan kecil.
Rumah minum itu penuh tamu dan ramai orang
membicarakan Wi Kay-hou yang mendadak
mengumumkan niatnya akan Kim-bun-se-jiu.
Peng-say tidak berminat mendengarkan obrolan orang
itu, dia asyik menyisir kuaci untuk menghilangkan rasa
kesal.
"He, bukankah itu Siausumoay?" demikian mendadak
suara seorang yang sudah dikenalnya berseru di
belakangnya.
Waktu Peng-say menoleh, benar juga, dilihatnya orang2
yang mengerumuni sebuah meja itu memang dikenalnya
semua. Ada Kiau Lo-kiat, si jangkung, lelaki berdandan
kuli, si saudagar yang membawa suipoa serta si kurus kecil
yang mirip kera, semuanya lengkap berada disitu.
Yang bicara itu adalah si monyet yang memang usil
mulut itu, terlihat dia sedang menggapai dan memanggil:
"Siausumoay! Siausumoay!"
Peng-say tidak berani memandangnya lebih lama, cepat
ia berpaling kembali. Diam2 ia merasa sangat kebetulan,
tidak disengaja tahu2 dirinya masuk di rumah minum yang
sama dan berduduk dimeja yang bertetangga dengan
mereka.
Sejenak kemudian, terdengar suara seorang anak
perempuan berseru dengan nyaring dan girang; "Ai, kiranya
kalian berada disini, mana Toasuko?"
Sekilas melirik, Peng-say melihat anak perempuan yang
lari masuk kehujanan itu berusia antara 16 tahun, cantik
molek dan menyenangkan.
"Siausumoay, berani benar kau, diam2 mengeluyur
keluar diluar tahu Suhu tanpa menghiraukan bahaya
ditengah jalan?!" demikian si monyet menegur.
"Ah, merasa kesal berdiam di rumah, maka kukeluar
mencari Toasuko, peduli bahaya ditengah jalan apa segala?"
jawab si nona cilik.
Si kera melelet lidah, katanya pula: "Wah, sunggub
hebat, demi mencari Toasuko, seorang nona kecil
menempuh perjalanan jauh sendirian. Sayang yang dicari
bukan aku si Kang Ciau-lin, kalau aku yang dicari, wah,
bisa semaput aku saking kegirangan."
Nona cilik itu melotot, katanya: "Huh, siapa mau
mencari Lak-kau-ji (si kera nomor enam) macam kau ini?
Kera hanya suka mengacau, mana bisa bekerja baik?"
"Wah, wah, dunia terbalik ini," seru si kera alias Kang
Ciau-lin. "Tidak panggil Laksuko (kakak-guru keenam), tapi
sebut diriku Lak-kau-ji. Ai, lebih baik kuletakkan jabatan
sebagai Suko."
"Habis, paman dan bibi serta para Suko sama memanggil
kau Lak-kau-ji, masa aku harus dikecualikan?" ujar si nona
dengan tertawa.
"Suhu dan Subo (ibu guru) memanggil demikian padaku
kan pantas, kelima Suko memanggilku begitu juga aku
terima, tapi Sute dan Sumoay juga memanggil begitu
padaku tanpa menghormati diriku sebagai Suko, lalu apa
artinya aku menjadi Laksuko kalian? Kan lebih baik
semuanya menyebut aku sebagai Siausute (adik-guru
terkecil) saja?"
"Aha, bagus," seru si nona dengan tertawa; "Aku
memang sudah bosan selalu dipanggil sebagai Siausumoay,
justeru tidak punya Siausute, lowongan ini memang perlu
diisi, akan kusambut dengan baik jika kau mau
mengisinya."
Hendaklah maklum bahwa Kang Ciau-lin alias si kera ini
memang suka berkelakar dengan nona cilik itu. Dia hendak
omong lagi, tapi Kiau Lo-kiat lantas berdehem dan berkata:
"Lak-kau-ji, kau sendiri tidak mempunyai wibawa sebagai
seorang Suko, mana Siausumoay mau tunduk padamu.
Salahmu sendiri jika kau disebut Lak-kau-ji."
Karena Ji-sukonya juga membela Siausumoay, Kang
Ciau-lin bisa melihat gelagat, ia melelet lidah dan tidak
bicara lagi.
Kiau Lo-kiat lantas tanya si nona cilik: "Siau-sumoay,
diam2 kau keluar, Suhu tahu tidak?"
"Kalau tahu kan namanya bukan keluar secara diam?,"
jawab si nona cilik.
"Bila Suhu mengetahui kau menghilang, beliau kan bisa
kelabakan?" ujar Kiau Lo-kiat.
Nona cilik itu adalah keponakan perempuan Leng Tiongcik.
puteri Sau Ceng-hong. Namanya Leng Seng, pada
waktu berumur sepuluh, ia diantarkan ayahnya ke tempat
Sau Ceng-hong dan menyuruh Leng Seng mengangkat sang
paman sebagai guru.
Leng Tiong-cik sendiri mandul, tidak punya anak, meski
kemudian Sau Ceng-hong mengangkat seorang anak lelaki
dan diberi nama Sau Peng-lam, tapi sepuluh tahun yang
lalu Sau Peng-lam sudah tamat belajar dan meninggalkan
perguruan, hampir sepanjang tahun Sau Peng-lam
berkelana didunia Kangouw dan jarang berkumpul dengan
sang ayah angkat.
Selain isteri dan muridnya, Sau Ceng-hong tiada
mempunyai keturunan sehingga hidupnya terasa kesepian.
Dengan datangnya Leng Seng, meski cuma keponakan, tapi
lantaran anak dara itu sangat menyenangkan, pintar omong
dan mahir bicara, maka dia sangat disayang Sau Ceng-hong
melebihi anak kandung sendiri, bila tidak bertemu satu hari,
rasanya seperti kehilangan sesuatu.
Sekali ini diam2 Leng Seng meninggalkan Hui ciu dan
datang ke Soatang, untuk perjalanan ini saja makan waktu
20-an hari, jika Sau Ceng-hong tidak mengetahui kemana
perginya Leng Seng, selama 20 hari ini pasti kelabakan
setengah mati.
Begitulah dengan tertawa Leng Seng lantas menanggapi
ucapan Kiau Lo-kiat tadi: "Jangan kuatir Sudah kutingalkan
secarik surat dirumah, kukatakan akan mencari Tousuko di
Cujoan sini. Jika paman tahu tempat kepergianku, tentu
beliau tidak akan kuatir lagi." '
"Ah, belum tentu," ujar Kiau Lo-kiat. "Menurut
pendapatku begitu melihat surat yang kau tinggalkan, beliau
pasti akan menyusul kemari."
"Bukankah akhir2 ini paman sedang meyakinkan
semacam Kungfu yang maha lihay?" kata Leng Seng.
"Tapi kalau kau menghilang, mana Suhu dapat berlatih
Kungfu dengan tenang?" ujar Kiau Lo-kiat. "Kukira
semuanya pasti akan ditinggalkan untuk sementara dan
akan mencari kau lebih dulu."
Mendadak Kiau Lo-kiat teringat sesuatu, segera ia
bertanya: "Eh. darimana kau tahu jejak Toasuko sehingga
mencarinya kemari?"
"Meski Toasuko bersama kalian menuju ke Ciau-jiu-wan,
tapi ketika berangkat kudengar paman memberi pesan
kepada Toasuko agar mampir di Cujoan dan mewakilkan
beliau mengucapkan selamat kepada Wi-susiok yang akan
Kim-bun-se-jiu, malahan Suko sudah dibekali kado.
Menurut perhitunganku, besok lusa adalah hari upacara
Kim-bun-se-jiu Wi-susiok, maka setiba disini pasti dapat
kutemukan Toasuko."
"Dan sekarang sudah bertemu belum?" tanya Kiau Lokiat.
"Kalau sudah bertemu tentu aku takkan kehujanan
hingga basah-kuyup begini," kata Leng Seng, "Justeru
sepanjang jalan tadi kucari keterangan mengenai Toasuko.
maka kehujanan."
"Ai, mengapa tidak ada orang yang sudi mencari diriku
dengan diguyur hujan," kata Kang Ciau-lin dengan
menyesal. "Agaknya pembawaan Toasuko memang berejeki
besar."
Si saudagar yang membawa suipoa ikut menimbrung:
"He, Lak-kau-ji, kau ini kagum atau iri kepada Toasuko?"
"Katakanlah iri, tapi apa dayaku?" ucap Kang Ciau-lin
sambil menyengir. "Selama hidup Siausumoay tak bakalan
menyukai Lak-kau-ji, yang disukai dia hanya Toa. . . ."
"Hayo omong lagi?!" hardik Leng Seng dengan muka
merah.
Seperti biasa Kang Ciu-lin melelet lidah dan menjawab:
"Tidak, tidak berani omong lagi!"
Diam2 Peng say merasa heran melihat keakraban anak
murid Lam-han itu, pikirnya: "Jisuko mereka yang bernama
Kiau Lo-kiat ini tampaknya sudah tua. sedikitnya 50 lebih.
Maka Toasuko mereka yang bernama Sau Peng-lam itu
pasti lebih tua daripada Kiau Lo-kiat. Sunggub aneh,
mengapa seorang anak dara berumur 16-17 tahun bisa
menyukai seorang kakek yang 30-40 tahun lebih tua dari
padanya?"
Didengarnya Kiau Lo-kiat lagi berkata: "Siau sumoay
tidak menemukan Toasuko, kami pun belum bertemu
dengan beliau, tampaknya Toasuko belum datang ke
Cujoan sini."
"Kalian tidak berada bersama Toasuko?" tanya Leng
Seng.
"Tiga hari yang lalu Toasuko berpisah dengan kami di
Thay-an," tutur Kiau Lo-kiat, "beliau pergi sendiri
menyampaikan selamat kepada Wi-susiok sedangkan kami
menuju ke Ciau-ciu-wan, sudah disepakati setelah upacara
Kim-bun-se-jiu Wi-susiok itu selesai, segera Toasuko akan
menyusul ke Ciau-ciu-wan untuk membantu kami. Tapi
kalau terbukti Ciamtay Boh-ko sudah berlayar pulang,
maka kami harus menyusul kesini untuk bertemu dengan
Toa-suko serta pergi bersama ke tempat Wi-susiok Toasuko
menyatakan tiga hari sebelum upacara, setiap siang
hari dia pasti dapat ditemukan di Ciu-lau (restoran) kota ini.
Tapi hampir semua restoran sudah kami cari, tetap belum
menemukan Toasuko."
"Mengapa harus berada di Ciu-lau melulu?" omel Leng
Seng dengan kurang senang.
"Siausumoay," kata Kiau Lo-kiat dengan tertawa
"Tidakkah kau tahu, setiap hari Toasuko mesti minum arak,
kalau sehari tidak minum sepuluh atau dua puluh kati,
tentu rasanya tidak enak."
"Hanya inilah kebiasaannya yang jelek." kata Leng Seng
sambil berkerut kening.
"Meski gemar minum arak, tapi Toasuko tidak pernah
menelantarkan tugas. maka hobi minum arak ini pun tak
dapat dikatakan kebiasaan jelek," ujar Kiau Lo-kiat.
"Dan sekarang kalian menyusul kemari, apa ini berarti
Ciamtay Boh-ko sudah berlayar pulang?" tanya Leng Seng.
"Bukan," jawab Kiau Lo-kiat. "Ciamtay Boh-ko sudah
mati."
Leng Seng terkejut, tanyanya pula: "Dan bagaimana
dengan anak perempuan Sau-supek?"
"Dia jatuh di tangan Hong-hoaWancu yang saat ini juga
memimpin anak muridnya kesini untuk mengucapkan
selamat kepadaWi-susiok," tutur Kiau Lo-kiat. "Maka kami
ingin cepat menemui Toasuheng untuk berunding dengan
beliau cara bagaimana akan menolong Sau-sumoay."
"O. jadi Ciamtay Cu-ih berada dikota ini? Lalu cara
bagaimana Sau-suci sampai jatuh di cengkeramannya?"
tanya Leng Seng pula.
Kiau Lo-kiat lantas menceritakan apa yang terjadi
kemarin. Kang Ciau-lin tidak mau ketinggalan, terkadang ia
pun menimbrung dan membumbui.
Dalam pada itu hujan tambah keras, tertampak seorang
penjual pangsit dengan pikulannya yang kehujanan
berteduh di bawah emper rumah minum itu.
Terdengar suara "tok-tok-tok", suara penjual pangsit
mengetuk kepingan kayunya, tertampak pula kepulan asap
dari kualinya.
Anak murid Lam-han itu memang sudah lapar, Kang
Ciau-lin segera mendahului berteriak: "He, penjual pangsit,
buatkan delapan atau sepuluh mangkuk, tambah telur!"
Si kakek penjual pangsit mengiakan, dibukanya tutup
kuali dan dilemparkaanya berpuluh biji pangsit mentah
kedalam air mendidih Tidak lama kemudian, empat
mangkuk pangsit lantas dihidangkan lebih dulu.
Dengan tertib si kera Kang Ciau-lin menyerahkan
mangkuk pertama kepada Jisuko Kiau Lo-kiat, mangkuk
kedua kepada Samsuko, si jangkung, Nio Hoat. Lalu berturut2
diberikannya kepada lelaki berdandan sebagai kuli,
yaitu Sisuko Si Tay-cu dan kemudian si saudagar yang
membawa suipoa, Go-suko Ko Kin-beng.
Waktu pangsit lain diantarkan, mestinya mangkuk
kelima adalah bagian si kera sendiri, tapi disodorkannya
kepada Leng Seng dan berkata: "Siau-sumoay, silakan kau
makan dulu."
Kalau sejak tadi Leng Seng suka bertengkar dengan
Kang Ciau lin dan tidak menganggapnya sebagai Suheng,
sekarang dia lantas berdiri menyambut mangkuk pangsit
itu, katanya dengan hormat: "Terima kasih Laksuko."
Agaknya disiplin perguruan Lam-han sangat keras, sehari2
boleh bergurau sesukanya. tapi peraturan dan sopan
santun tetap harus dijaga.
Kiau Lo-kiat dan lain2 segera makan pangsit lebih dulu,
tapi Leng Seng menunggu sampai bagian Kang Ciau-lin
sudah siap barulah dimakan bersama
Sebabis makan pangsit, si jangkung yang bernama Nio
Hoat itu berkata: "Mungkin sebentar lagi Toasuko akan
sampai di Cujoan sini. Hujan masih lebat, hotel juga sukar
dicari, biarlah kita menunggunya dirumah minum ini.
Andaikan hari ini Toasuko tidak datang, besok juga pasti
datang. Bagaimana pendapat Jisuko?"
"Lalu di mana kita akan bermalam nanti?" jawab Kiau
Lo-kiat.
"Bila rumah minum ini tutup nanti, biarlah kita gunakan
meja sekedar sebagai tempat tidur dan lewatkan semalam
ini," ujar Nio Hoat. "Besok boleh kita bayar menurut sewa
hotel kepada pemilik rumah minum ini, kukira dia pasti
setuju."
Setelah berpikir, akhirnya Kiau Lo-kiat mengangguk
setuju,
"Jika demikian, kita harus mengawasi jalan raya, jangan
sampai Toasuko lewat begitu saja tanpa kita ketahui," kata
si kera.
"Kukira tidak perlu," ujar Gosuko Ko Kin-beng.
"Mengapa tidak perlu?" tanya si kera dengan terbelalak.
"Besok lusa kan hari cuci tangan Wi-susiok, hari ini atau
besok Toasuko pasti akan sampai di sini, begitu datang
tentu akan mengantarkan kado lebih dulu, untuk menuju ke
tempat kediaman Wi susiok harus melalui jalan ini, maka
kita harus pasang mata awasi, tentu dapat melihat Toasuko
jika beliau lalu disini."
"Usulmu memang betul, cuma kita tidak perlu repot,
betul tidak?" ucap Ko Kin-beng dengan tertawa sambil
memberi tanda ke arab Leng Seng.
Saat itu Leng Seng sedang memandang orang yang
berlalu lalang di tengah hujan, semangkuk pangsit baru
dimakannya setengah mangkuk.
Maka pahamlah Kang Ciau-lin akan maksud sang
Gosuko, dengan tertawa ia berseru: "Aha, memang betul.
Jika Siausumoay sudah mengawasi orang di jalanan,
sepasang matanya jauh lebih awas dari pada delapan
pasang mata kita. Lebih baik kita makan kuaci saja."
Sementara itu semangkuk pangsit sudah disapu habis, ia
lantas mulai menyisir kuaci pula.
Leng Seng menjadi kikuk karena ucapan si kera tadi, ia
tidak memandang keluar lagi, sisa pangsit setengah
mangkuk tidak dimakannya lagi, katanya: "Jisuko, berita
tentang Sau-suci dari Pak-cay diculik Ciamtay Boh-ko
mengapa tersiar sampai jauh ke Huiciu?"
Sejak tadi Peng-say memang heran mengenai hal ini,
pertanyaan Leng Seng sungguh sangat kebetulan baginya,
segera ia pasang kuping untuk mendengarkan.
Terdengar Kiau Lo-kiat bertutur: "Sebulan yang lalu
tersiar berita bahwa Sau-supek dari Pak-cay kembali
muncul di dunia Kangouw dan jejaknya terlihat di sekitar
Holam dan Hopak. Jarak antara Huiciu dengan Holam dan
Hopak sangat jauh, syukur anak murid Bu-tong tersebar dimana2,
setiap orang tahu bubungan baik Lam-han kita
dengan Bu-tong, maka dalam waktu singkat kita pun
menerima berita merpati yang dikirim oleh murid Bu-tong
yang kebetulan berada di wilayah Holam dan Hopak.
Demi membuktikan berita itu, Suhu membalas surat dan
minta murid Bu-tong-pay yang berada di Soasay agar suka
datang ke Siau-ngo-tay-san tempat kediaman Sau-supek itu,
untuk menyelidiki kebenaran berita itu, sebab betul atau
tidak berita itu pasti diketahui oleh anak perempuan Sausupek.
Tak terduga, beberapa hari kemudian datang pula
berita merpati dari Bu-tong-pay dan menyatakan Sausumoay
tidak berada di Leng hiang-cay, menurut
keterangan budak yang masih tinggal di Pak-cay, katanya
Sau-sumoay telah diculik Ciamtay Boh-ko dan akan
dipaksa menjadi isterinya."
Diam2 Peng-say mengangguk, pikirnya: "Yang diculik
Ciamtny Boh-ko itu adalah Yak-leng dan bukan Sau Kimleng,
budak Pak-cay tentunya tahu juga hal ini. Mungkin
mereka sengaja memberitahukan begitu agar Lam-han
memberi pertolongan "
Apa pun juga Peng-say tetap tidak percaya bahwa Cin
Yak-leng secara sukarela mau mengaku sebagai Sau Kim
leng, ia menduga Yak-leng tentu dipaksa oleh Liok-ma
dengan ancaman yang sukar untuk ditolak sehingga mautak-
mau Cin Yak-leng tidak berani lagi mengakui asalusulnya
sendiri.
Sebenarnya Peng-say sangat benci kepada Sau Kim-leng
yang lebih mementingkan keselamatan sendiri, ia tidak suka
menjadi isteri Ciamtay Boh-ko, tapi Cin Yak-leng yang
dikorbankan. Tapi sekarang setelah diketahui Pak-cay
sengaja menyiarkan berita penculikan itu agar Lam-han
memberi pertolongan, diam2 ia berterima kasih pula kepada
Sau Kim-leng.
Apalagi setelah dipikir ketika Ciamtay Boh-ko sampai di
Leng-hiang-cay. saat itu Sau Kim-leng mengiringi Pak-say
sendiri ke Ciok-leng-tong sehingga tidak mungkin sempat
memberi perintah kepada Liok-ma agar memaksa Cin Yakleng
memalsukan dirinya. Maka besar kemungkinan
tindakan itu diambil oleh Liok-ma dan bukan atas kehendak
Sau Kim-leng.
Selagi berpikir, didengarnya Leng Seng berkata: "Jika
Tang-wan berbesanan dengan Pak-cay, kan baik juga,
kenapa kita mesti banyak urusan dan ikut campur?"
"Menurut budak Pak-cay, katanya Siocia mereka tidak
sudi menjadi isteri Ciamtay Boh-ko, maka terjadilah
penculikan itu," tutur Kiau Lo-kiat. "Sesuai peraturan Lamhan
kita yang harus membantu pihak yang lemah dan
memberantas pihak yang jahat, adalah layak jika kita
memberi pertolongan. mana boleh dikatakan kita banyak
urusan dan ikut campur urusan orang lain?"
"Diculik atau bukan, urusan Pak-cay kan tiada sangkutpautnya
dengan kita," kata Leng Seng.
Diam2 Peng-say mendongkol, pikirnya, anak perempuan
secantik ini ternyata berhati kurang baik.
Terdengar Kiau Lo-kiat sedang berkata pula: "Antara
Pak-cay dan Lam-han kita sebenarnya sudah putus
hubungan sejuk kakek guru kita, anak muridnya juga saling
bermusuhan, urusan Pak-cay memang tidak ada sangkutpautnya
dengan Lam-han kita. Tapi Pak-cay sekarang
hanya tertinggal Sau-sumoay sendiri, Suhu tidak sampai
hati tinggal diam, maka begitu menerima berita segera
beliau mengirim berita merpati dengan tipu-daya yang di
aturnya, anak murid Bu-tong-pay diminta menunggu di
Ciau ciu-wan untuk merintangi berlayarnya Ciamtay Bohko,
berbareng itu kita diperintahkan menuju ke Ciau-ciuwan
pula. Tapi lantaran perjalanan jauh, setiba di tempat
tujuan kita sudah agak terlambat, sungguh harus disesalkan
korban kawan Bu-tong-pay yang jatuh itu. Hal ini belum
lagi diketahui Suhu, meski Ciamtay Boh-ko sudah mati,
bukan mustahil bila bertemu Ciamtay Cu-ih akan ditegur
pula oleh Suhu."
Sisuko Si Tay-cu ikut bicara: "Anaknya merampas gadis
orang, sang ayah bukan saja tidak bertindak, sebaliknya
malah membela anak sendiri dan mengharuskan anak gadis
orang lain menjanda bagi kematian anaknya. Huh, Ciamtay
Cu-ih itu manusia apa?"
Jangan dikira Si Tay-cu itu berdandan sebagai kuli dan
kelihatan kampungan. tapi pembawaannya sangat simpatik
dan berbudi luhur, segala kejahatan dipandangnya sebagai
musuh. Bicara punya bicara saking gemasnya ia terus
menggebrak meja. Kontan sebuah mangkuk pangsit
mencelat dan jatuh ke bawah meja.
Syukur Ko Kin-beng cepat bertindak, sebelah kakinya
sempat mencungkit sehingga mangkuk itu mencelat kembali
keatas, dengan enteng mangkuk itu lantas ditangkap oleh
Ko Kin-beng.
Pada saat itulah, se-konyong2 si kakek penjual pangsit
mendesis: "Awas, musuh datang, lekas pergi!"
Semua murid Lam-han terkejut demi mendengar ucapan
si penjual pangsit itu.
"Adakah Ciamtay Cu-ih?" tanya Ko Kin-beng. Tapi si
kakek penjual pangsit hanya memberi isyarat ke luar dan
tidak bicara, lalu ia ketok2 pula kepingan kayunya.
Serentak anak murid Lam-han sama memandang keluar,
tertampak di bawah hujan belasan orang sedang berlari
kemari, cepat langkah mereka, tapi hampir tidak bersuara.
Orang2 ini sama memakai mantel hujan, sesudah dekat
baru terlihat jelas, kiranya serombongan Nikoh.
Yang paling depan adalah seorang Nikoh tua bertubuh
sangat tinggi, dia berdiri di depan rumah minum, dengan
suara kasar ia kasar berteriak: "Sau Peng-lam,
menggelinding keluar sini!"
Melihat Nikoh tua itu, serentak Kiau Lo-kiat dan
kawan2nya berbangkit serta memberi hormat
Dengan suara lantang Kiau Lo-kiat menyapa: "Ting-yat
Susiok!"
Kiranya Nikoh tua itu bergelar Ting-yat Suthay, dia
adalah Sumoaynya Ting-sian Suthay, si Nikoh penyair dari
Tiong-goan-sam-yu.
Ting Sian Suthay adalah ketua Siong-san-pay di Holam,
Sumoaynya, yakni Ting Yat, juga memimpin sendiri suatu
kuil, yaitu ketua kuil Pek-hun-am (biara awan putih)
dilereng gunung Siong-san, selain berpengaruh di Siongsan-
pay sendiri, ia juga disegani didunia persilatan.
Terdengar dia berteriak-teriak pula dengan suara kasar,
"Di mana Sau Pek-lam bersembunyi, suruh dia keluar!"
Suaranya eras dan lebih kasar daripada kaum lelaki.
"Lapor Susiok, Sau-suheng tidak berada di sini,"
demikian Kiau Lo-kiat menjawab. "Sejak tadi Tecu sekalian
telah menunggunya disini, tapi Sau-suheng dan tetap belum
datang."
Begitulah dengan suara kasar ia berteriak pula tanpa
menghiraukan Kiau Lo-kiat: "Di mana Sau Peng-lam, suruh
dia lekas keluar!"Suaranya keras dan lebih kasar daripada
kaum lelaki.
"Lapor Susiok, Sau-suheng tidak berada disini," cepat
Kiau Lo-kiat menjawab. "Sudah sejak tadi Tecu sekalian
menunggu di sini, tapi Sau-suheng belum lagi muncul."
Mendengar itu, diam2 Peng-say menganggap Sau Penglam
itu benar2 orang yang suka cari gara2. Beberapa hari
yang lalu baru saja menghajar murid Ciamtay Cu-ih,
sekarang entah sebab apa telah membikin marah pula si
Nikoh tua ini.
Ting-yat memandang sekejap semua tamu di rumah
minum itu dan tidak melihat Sau Peng-lam yang dicarinya,
tiba2 sorot matanya hinggap pada diri Leng Seng, tanyanya:
"'Kau inikah Seng-ji? Baik2kah bibimu?"
Dengan tertawa Leng Seng menjawab: "Terima kasih
atas perhatian Susiok, bibi baik2 dan sehat2 saja. Susiok,
entah salah apa Toasuko hingga membikin marah
kepadamu? Biarlah kuberlutut menyembah untuk minta
maaf kepadamu. harap Susiok jangan marah lagi."
Habis berkata ia benar2 lantas berlutut dan hendak
menyembah. Namun Ting-yat keburu mencegahnya, lengan
jubahnya mengebas, seketika Leng Seng merasa suatu
tenaga yang tak kelihatan menolak tubuhnya sehingga tidak
mampu berlutut.
"Hm, disiplin Lam-han kalian makin hari makin kendur
dan membiarkan muridnya main gila di luaran," jengek
Ting-yat. "Bila urusan disini sudah beres, akan kupergi ke
Huiciu untuk menanyai guru kalian."
"Wah, jangan Susiok, janganlah engkau ke Sana," cepat
Leng Seng berkata: "Selama ini paman sangat keras
terhadap Toasuko, asalkan ada orang mengadu, Toasuko
bisa dihajar sampai mati oleh paman."
"Kalau binatang ini dihajar sampai mati akan lebih baik,"
ujar Ting-yat. "Dia telah membawa lari muridku yang
terkecil, mana boleh tidak kuadukan kepada gurumu."
Keterangan ini membuat para murid Lam-han sama
melengak kaget.
Lebih2 Leng Seng, saking cemas hampir saja ia
menangis, cepat ia berkata: "Susiok, kukira tidak mungkin,
betapa beraninya Toasuko juga tak nanti berani
mengganggu para Suci (kakak-guru) Siong-san-pay kalian.
Besar kemungkinan orang sengaja memfitnah dan
mengadu-domba."
"Kau berani membela dan membantah baginya?" teriak
Ting-yat gusar. "Gi-kong, coba ceritakan apa yang kau lihat
di Thay-an tempo hari.
Seorang Nikoh setengah baya lantas melangkah maju
dan berkata: "Di kota Thay-an Tecu melihat sendiri Sau
Peng-lam, Sau-suheng, berada bersama Gi-lim Sumoay
sedang minum arak di Cui-sian-lau, jelas kelihatan Gi-lim
Sumoay berada di bawah ancaman Sau-suheng hingga
terpaksa ikut minum arak, sikapnva kelihatan takut dan
susah."
Meski sudah dilapori hal ini, tidak urung Ting-yat
menjadi gusar pula demi mendengar lagi untuk kedua
kalinya, mendadak ia menggebrak meja sehingga beberapa
buah mangkuk pangsit sama mencelat dan jatuh
berantakan.
Para murid Lam-han kelihatan serba susah, diam2
merekapun menganggap perbuatan Toasuko mereka itu
keterlaluan. Kalau sang Toasuko menghajar anak murid
Ciamtay Cu-ih masih dapat dibenarkan karena murid Tang
wan memang terkenal busuk. Tapi mengapa seorang Nikoh
cilik juga diseretnya ikut minum arak di rumah makan,
betapa pun perbuatan ini tidaklah pantas dan tak dapat
dibenarkan.
Apalagi Nikoh muda ini adalah murid Siong-san-pay,
sedangkan watak Ting-yat Suthay terkenal sangat keras,
tentu urusan ini tak dapat diterimanya, bila persoalan ini
sampai diributkan, andaikan Toasuhengnya tidak dihajar
sampai mati oleh guru, sedikitnya juga akan dipecat dan
diusir. Air mata Leng Seng ber-linang2, ucapnya dengan
nada rada gemetar: "Susiok, kukira.. . .kukira Gi-kong Suci
telah .... salah lihat. . . ."
"Mana bisa kusalah lihat," jengek Gi-kong. "Gi-lim
Sumoay adalah saudara seperguruanku sendiri, masa aku
pangling? Bentuk Sau-subeng itu juga sangat mudah
dikenali, tidak nanti kusalah lihat."
"Jika begitu, mengapa tidak kau panggil Gi-lim Suci?
tanya Leng Seng.
"Aku tidak berani," jawab Gi-kong.
"Memangnya kau pun takut Toasuko kami menyeret kau
ikut minum sekalian?" kata Leng Seng.
Ucapan ini membuat geli semua orang. tapi tiada
seorang pun yang berani tertawa.
Segera Ting yat Suthay membentak: "Seng-ji, jangan
sembarangan omong!"
"Soalnya. masih ada seorang lagi yang berduduk
bersama mereka. aku tidak berani bertemu dengan orang
itu," tutur Gi-kong.
"Oo! Siapa dia?" tanda Leng Seng.
"Thio Yan-coan," jawab Gi-kong.
Serentak anak mund Lam-han sama bersuara kaget, para
tamu lain juga berubah pucat demi mendengar nama Thio
Yan-coan.
Kiranya Thio Yan-coan ini berjuluk "Ban-li-tok-heng"
atau jalan sendiri berlaksa li, artinya ke manapun dia selalu
beroperasi seorang diri. Dia memang seorang bandit yang
memusingkan kepala setiap orang Hek-to (kalangan hitam)
maupun Pek-to (golongan putih). Ilmu silat orang ini sangat
tinggi, ditambah lagi banyak tipu akalnya pergi datang
tanpa meninggalkan bekas. cara turun tangannya juga
sangat keji tanpa kenal kasihan, merampok, menculik,
memperkosa anak gadis, hampir segala macam kejahatan
dapat diperbuatnya.
Pernah beberapa kali tokoh2 Bu-lim bergabung bendak
menangkapnya, tapi dia selalu dapat menghilang atau
bersembunyi. Begitu orang2 yang hendak menangkapnya
itu bubar, lalu didatanginya orang itu satu persatu, ada yang
disergap ada yang diracuni, pokoknya semua orang yang
memusuhi dia itu telah dikerjainya dan terbunuh.
Yang paling merontokkan nyali orang, terutama kaum
wanitanya. ialah Thio Yan-coan ini gemar ia perempuan,
bila perlu main perkosa. Perempuan yang agak lumayan
parasnya hampir tidak yang dapat mempertahankan
kesuciannya jika jatuh ditangannya, sebab itulah orang Bulim
sama membencinya dan bila mungkin ingin
menumpasnya.
"Kau kenal keparat Thio Yan-coan itu, Gi-kong
sumoay?" tanya Kiau Lo-kiat tiba2.
"Orang itu memang mudah dikenal," tutur Gi-kong.
"Pada dahi kanan orang itu ada toh hijau berbulu, toh hijau
sebesar mata uang." Toh hijau berbulu memang merupakan
tanda pengenal khas Thio Yan-coan, hal ini boleh dikatakan
diketahui hampir setiap orang Kangouw. Orang suka bilang
Thian memang maha pengasih meski salah menciptakan
manusia maha jahat seperti Thio Yan-coan itu, tapi setidak2nya
pada muka orang jahat itu diberinya juga tanda
pengenal yang menyolok agar orang dapat ber-jaga2 bila
melihatnya. Jika mukanya bersih tanpa cacat seperti orang
biasa, mungkin orang yang menjadi korban keganasannya
akan berlipat ganda jumlahnya.
Begitulah Ting-yat Suthay lantas berteriak pula: "Coba,
Sau Peng-lam si binatang kecil ini ternyata bergaul dengan
bangsat semacam Thio Yan-coan itu. bukankah dia telah
terjerumus benar2 dan tiada obatnya lagi? Maka kalau guru
kalian tidak mau mengurusnya, jika kutemukan dia pasti
tidak kuampun, harus kupenggal kepalanya."
Setelah merandek sejenak, ia menyambung pula: "Hm,
orang takut kepada bangsat Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan
itu, bila bertemu justeru akan kulabrak dia habis2an. Tapi
ketika kuterima laporan dan memburu kesana, ternyata Gilim
sudah dibawa pergi oleh mereka." Sampai di sini
suaranya berubah menjadi parau, dengan menyesal ia
berkata pula: "Ai, Gi-lim, anak ini, bagaimana ....
bagaimana jadinya nanti!"
Di antara murid Pek-hun-am ada yang menangis
pelahan, semuanya membayangkan nasib Gi-lim yang kecil
mungil dan lemah-lembut itu pasti tak terhindar dari
perbuatan jahat Thio Yan-coan.
Hati Kiau Lo kiat dan kawan2nya juga berdebar, pikir
mereka: "Melulu mengajak minum arak bersama Gi-lim
sehingga melanggar pantangan seorang Nikoh, perbuatan
Toasuko ini saja sudah melanggar tata-tertib perguruan,
apalagi dia bergaul pula dengan penjahat macam Thio Yancoan
jelas dosanya lebih2 tak dapat diampuni."
Sejenak kemudian, berkatalah Kiau Lo-kiat: "Susiok
mungkin Sau-suheng juga baru bertemu dengan Thio Yancoan
dan belum kenal baik, soalnya Sau-suheng memang
gemar minum arak, bisa jadi waktu itu dia sudah terlalu
banyak menenggak arak sehingga pikirannya kurang sadar
perbuatan orang mabuk tentu tak dapat dianggap. . . ."
Dia tahu Toasuheng itu tidak pernah mabuk betapa pun
arak yang diminumnya, dia bicara begitu hanya karena
ingin membela sang Suheng saja.
Dengan gusar Ting-yat berkata: "Betapapun dia mabuk
juga tetap ada dua-tiga bagian masih sadar, masa orang
macam dia tak dapat membedakan antara yang baik dan
busuk?"
Terpaksa Kiau Lo-kiat mengiakan, katanya: "Entah
sekarang Sau-suheng berada dimana, Sutit sekalian juga
sedang menunggu dan ingin bertemu dengan dia. Biarlah
kami minta maaf dulu kepada Susiok dan nanti akan kami
laporkan kepada Suhu biar memberi hukuman setimpal
kepada Toasuheng."
"Memangnya kau kira aku mau repot mengurusi Suheng
kalian?" ucap Ting-yat dengan gusar, sekali tangan terjulur,
mendadak pergelangan tangan Leng Seng dipegangnya.
Seketika Leng Seng merasa tangannya seperti
terbelenggu, ia menjerit kaget dan berseru: "He, Su. .
.Susiok. . . ."
"Kalian telah membawa lari Gi-lim, biar akupun
menawan seorang murid perempuan kalian sebagai
sandera, kalau Gi-lim sudah kalian lepaskan, segera aku
pun membebaskan Seng-ji," kata Ting-yat, lalu ia menyeret
Leng Seng keluar.
Leng Seng merasa separoh badan bagian atas kaku tak
bertenaga, tanpa kuasa ia diseret sehingga sempoyongan
dan ikut keluar rumah minum itu.
Cepat Kiau Lo-kiat dan Nio Hoat memburu maju dan
menghadang di depan Ting yat, dengan hormat Kiau Lokiat
berkata: "Ting-yat Susiok, yang bersalah adalah
Toasuheng kami dan tiada sangkut-pautnya dengan
Siausumoay, mohon Susiok sudi lepaskan. . . ."
"Baik, akan kulepaskan!" sela Ting-yat sambil melayang
maju.
Kontan Kiau Lo-kiat dan Nio Hoat merasa ditumbuk
oleh arus tenaga yang maha kuat, napas terasa sesak dan
tanpa kuasa tubuh terus mencelat ke belakang. Kiau Lo-kiat
menumbuk daun pintu sebuah toko disebelah sana,
sedangkan Nio Hoat mencelat kearah pikulan si penjual
pangsit.
Tampaknya pikulan penjual pangsit itu akan berantakan
diseruduk oleh tubuh Nio Hoat yang gede itu, mendadak si
kakek tukang pangsit menjulurkan sebelah tangannya
menahan dipunggung Nio Hoat sehingga No Hoat dapat
berdiri dengan tegak. Ting yat Suthay terkesiap, ia berpaling
dan melototi si tukang pangsit, serunya kemudian: "O,
kiranya kau!"
"Betul, aku!" jawab si tukang pangsit dengan tertawa.
"Ai, terlalu keras juga watak Suthay ini."
"Peduli apa?" omel Ting-yat.
-ooo0dw0ooo-
Jilid13
PADA saat itulah dari jalan sana ada dua orang berlari
datang dengan membawa payung dan menenteng lampu
berkerudung. Begitu dekat mereka lantas berseru: "Adakah
disitu Sin-ni dari Siong-san-pay?"
Agaknya Ting-yat merasa senang disebut "Sin-ni" atau
Nikoh sakti, segera ia menjawab: "Ah, tidak berani. Tingyat
dari Siong-san memang berada di sini. Dan siapa anda?"
Sesudah dekat, kelihatan kerudung lampu yang dibawa
kedua orang itu tertulis huruf '"Wi". Seorang diantaranya
lantas berkata: "Wanpwe diperintahkan oleb Suhu agar
mengundang Ting-yat Supek dan para Suci ke tempat
kediaman kami. Sebelum ini Wanpwe tidak tahu akan
kedatangan Supek sehingga tidak mengadakan
penyambutan, untuk ini harap Supek sudi memberi maaf." -
Habis berkata mereka lantas memberi hormat.
"Tidak perlu banyak adat," kata Ting-yat. "Apakah
kalian murid Wi-sute,Wi Kay-hou?"
"Betul, Wanpwe bernama Hiang Tay-lian dan ini Bi Ohgi
Sute," jawab orang itu.
Watak Ting-yat suka disanjung, melihat Hiang Tay-lian
dan Bi Oh-gi sangat menghormat padanya, Ting-yat sangat
senang, katanya: "Baik, memang kami akan berkunjung ke
tempat kalian."
Lalu Hiang Tay-lian bertanya kepada No Hoat dan lain2:
"Dan anda ini? ...."
"Cayhe Nio Hoat dari Lam-han," jawab Nio-hoat.
"Ah, kiranya Nio-samko dari Lam-han." Seru Hiang
Tay-lian dengan gembira. "Sudah lama kudengar nama
kebesaran Nio-samko, silakan para hadirin ikut pergi
ketempat kami. Suhu sudah memberi pesan agar
menyambut para ksatria yang datang dari segenap penjuru.
lantaran banyaknya pengunjung sehingga tidak merata
penyambutan ini mohon para kawan suka memberi maaf
Hayolah silakan."
Sementara itu Kiau Lo-kiat sudah mendekat berkata:
"Sebenarnya kami ingin bergabung dulu dengan Toasuheng,
lalu berkunjung dan menyampaikan selamat kepada Wisusiok."
"O, anda tentunya Kiau-jisuko," kata Hiang Tay-lian,
"Suhu sering memuji para Suheng dari Lam-han betapa
lihay, bahkan Sau Peng-lam, Sau-suheng adalah ksatrianya
ksatria. Jika Sau-suheng datang. kan sama saja para Suheng
hadir lebih dulu."
Kiau Lo-kiat pikir Siausumoaynya jelas akan diseret
pergi oleh Ting-yat Suthay, melihat gelagatnya tidak
mungkin dilepaskan meski dimohon, terpaksa ikut pergi
saja sekalian agar dapat mengawasi keselamatan sang
Sumoay. Maka ia lantas mengiakan atas undangan Hiang
Tay-lian itu.
"Dan orang tua ini kau undang atau tidak?" tiba2 Ting-
Yat menuding sikakek tukang pangsit.
Hiang Tay-lian memandang si kakek sejenak, mendadak
ia ingat sesuatu, cepat ia memberi hormat dan berkata:
"Mungkin inilah Ho-supek dari Gan-tang-san? Ah, maaf,
jika kurang hormat. Silakan, silakan Ho-supek hadir juga."
Kiranya si kakek tukang pangsit ini bernama Ho Sam-jit,
tokoh Gan-tang-san dan selatan Ciat-kang.
Sejak kecil pekerjaan Ho Sam-jit adalah menjual pangsit,
setelah berhasil meyakinkan ilmu silat tetap tidak
meninggalkan pekerjaannya itu, dengan pikulan pingsit
itulah dia mengembara Kangouw, pikulan pangsit itu boleh
dikatakan "trade mark" nya Cuma penjual pangsit dimana2
ada, kalau tidak kenal, siapapun tidak tahu bahwa dia
seorang tokoh ilmu silat yang kosen. Tapi kalau jelas
penjual pangsit mahir ilmu silat, maka pasti bukan orang
lain kecuali Ho Sam-jit.
Begitulah Ho Sam-jit lantas bergelak tertawa dan berseru.
"Haha, bagus, memang aku ingin berkunjung ke tempat
kalian." Lalu ia masuk ke rumah minum tadi dan
membereskan mangkuk dan sumpit pangsit.
"Wanpwe tidak kenal, mohon Ho-cianpwe jangan
marah?" cepat Kiau Lo-kiat minta maaf.
"Ah, tidak apa2, masa marah." ujar Ho Sam-jit dengan
tertawa. "Kalian sudi makan pangsitku, adalah kalian
langgananku, masa aku marah2? Eh, delapan mangkuk
pangsit, satu mangkuk sepuluh duit jadi seluruhnya delapan
puluh duit." Sambil omong ia terus menyodorkan
tangannya untuk menerima pembayaran.
Kiau Lo-kiat merasa kikuk dan serba salah tidak
diketahui sikap He Sam-jit itu sungguh2 atau bergurau saja.
"Makan pangsit harus kasih uang, kan Ho Sam-jit tidak
bilang mau menjamu kalian?" ucap Ting-yat Suthay.
"Betul," kata Ho Sam-jit dengan tertawa." "Kita ini
penjaja kecilan, semuanya dijual secara kontan. biarpun
sobat anda atau sanak-pamili juga tidak boleh utang."
"Baik, baik, pasti kubayar," seru Kiau Lo-kiat cepat2
menghitung uang, iapun tidak berani membayar lebih, ia
bayar pas delapan puluh duit.
Setelah terima uang. Ho Sam-jit menjulurkan tangannya
pula kepada Ting-yat Suthay dan berkata; "Kau pecahkan
tiga buah mangkuk pangsit,seluruhnva 45 duit, hayo bayar!"
"Dasar pelit, orang perempuan juga kau peras." Omel
Ting-yat dengan tertawa. "Gi-kong. bayar!"
Gi-kong mengiakan dan lekas menyerahkan jumlah uang
yang disebut.
Semua uang itu dimasukkan ke bumbung bambu yang
terikat di pikulan, lalu Ho Sam-jit mengangkat pikulannya
dan berkata: "Hayo berangkat."
Sebelum pergi Hiang Tay-lian berkata kepada pemilik
rumah minum: "Hitung saja semua minuman tuan2 ini,Wiloya
yang bayar nanti."
"Ah, kiranya tetamu Wi-loya, mana kami berani
menghitung dan menagih kepada Wi-loya, anggap saja
kami yang menjamu tetamu Wi-loya," kata si pemilik
rumah minum.
Maka Hiang Tay-lian lantas membawa para
undangannya ke rumah. Ting-yat tetap memegang tangan
Leng Seng dan berjalan dibelakang Hiang Tay-lian,
menyusul adalah Ho Sam-jit, anak murid Lam-han dan
Siong-san-pay ikut dari belakang.
"Biarlah aku pun ikut pergi bersama mereka, mungkin
dapat kuselundup ke tempat Wi Kay-hou," demikian pikir
Peng-say.
Maka cepat2 ia membereskan rekening minumnya, tanpa
menghiraukan hujan masih cukup lebat ia menyusur emper
rumah sepanjang jalan dan ikut dibelakang rombongan
Hiang Tay-lian tadi.
Setelah melintasi dua persimpangan jalan. terlihatlah di
depan sana ada sebuah bangunan megah empat buah lampu
besar berkerudung bergantung didepan pintu, belasan orang
yang membawa obor berdiri di sekitar situ, beberapa orang
lagi sibuk menyambut tamu
Setelah rombongan Ting-yat, Ho Sam-jit dan lain2 itu
musuk, menyusul masuk pula rombongan tamu lain dari
kedua arah jalan.
Dengan tabahkan hati Peng-say mendekati gedung itu,
kebetulan ada dua rombongan tamu sedang disongsong
kedalam oleh anak murid W Kay-hou yang bertugas
menyambut tamu itu, tanpa bersuara Peng say terus ikut
masuk kesana. Mungkin Peng say disangka tamu juga,
iapun disilakan masuk dengan bormat.
Begitu berada diruangan tamu yang luas itu terdengarlah
suara berisik ramai, kiranya diruang tamu itu sudah hadir
dua ratusan orang dan duduk di sana-sini sedang bicara dan
bercanda dengan bebas, hakikatnya tiada seorang pun yang
memperhatiken kedatangan Peng-say.
Lega hati Peng-say, pikirnya: "Ditengah orang banyak
begini, tentu tiada orang memperhatikan diriku. Asalkan
kutemukan rombongan Tang-wan tentu dapat kuselidiki
dimana beradanya adik Leng."
Ia lantas mendapatkan sebuah meja kecil di pojok, tidak
lama kemudian ada pelayan mengantarkan teh, makanan
kecil dan handuk panas. Setiap tamu mendapatkan
pelayanan yang sama dan cukup baik.
Dilihatnya para Nikoh Siong-san pay mengerumuni
sebuah meja di sisi kiri sana, sedangkan para murid Lamhan
mengitari meja di sekelah lain, si nona cilik Leng Seng
juga berduduk disana, tampaknya Ting-yat sudah
melepaskan dia. Tapi Ting-yat Suthay dan Ho Sam jit tidak
kelihatan.
Kebetulan juga, tidak jauh di sebelah sana lagi tampak
berduduk rombongan murid Tang-wan.
Murid Tang-wan terbagi mengitari dua meja, tapi tidak
nampak Cin Yak-leng, mungkin nona itu terkurung di suatu
tempat.
Agar dapat mendengar percakapan orang Tang-wan dan
mencari tahu tempat kurungan Cin Yak-leng Peng-say
sengaja berpindah ke sebelah sana. Kebetulan ada sebuah
meja kosong, cuma jaraknya agak jauh dengan rombongan
Tang wan, tapi berdekatan dengan murid Lam-han.
Terpaksa Peng-say duduk di situ. Apa yang dibicarakan
murid Tang wan itu tidak terdengar. sebaliknya semua
pembicaraan murid Lam-han dapat didengarnya dengan
jelas.
Terdengar Leng Seng sedang bertanya: "Mengapa tidak
tampak murid Bok Jong-siong, Bok-supek?"
"Konon Bok-supek dan Wi-susiok tidak akur meski
keduanya adalah saudara seperguruan," tutur Kiau Lo-kiat.
"Markas pusat Thay-san-pay justeru berada d atas Thay-san
yang terletak tidak jauh tapi tiada seorang pun murid Boksupek
mengucapkan selamat kepadaWi-susiok."
"Kabarnya Wi-susiok tidak disukai oleh Suhengnya
sehingga meninggalkan Thay-san-pay, lantaran itulah Wisusiok
memilih Kim-bun-se jiu mengasingkan diri, entah
betul tidak isyu yang tersiar ini?" kata si kera KangCiau-lin.
"Kau mendengar dari tempat minum bukan?" tanyaKiau
Lo-kiat. "Isyu ini sama sekali tidak betul. BahwaWi-susiok
tidak cocok dengan Bok-supek memang betul, tapi Khim-lo
(si kakek kecapi Bok supek bukanlah orang yang berjiwa
sempit tidak nanti dia mendesak sang Sute sehingga
meningggalkan perguruan. Bahwa Wi-susiok mendadak
menyatakan akan Kim-bun-se-jiu, hal ini pasti ada
alasannya yang kuat."
"Sebab apakah mereka tidak akur diantara sesama
saudara perguruan?" tanya Leng Seng.
"Konon.Wi-susiok tidak setuju Bok supek menjadi ketua
Thay-san-pay, sebaliknya Bok-supek anggap sang Sute
terlalu banyak duitnya, se-hari2 hanya menjadi hartawan
tanpa menghiraukan urusan di dalam Thay-san-pay Karena
pertentangan pendapat itulah, hubungan mereka pun
tambah lama tambah renggang," demikian tutur si kera.
"Hus, jangan sembarangan omong!" bentak Kiau Lo-kiat.
"Masa kusalah omong? Kan memang begitu?" ujar si
kera.
"Kalau tidak jelas duduknya perkara jangan
sembarangan omong," Kata Kiau Lo-kiat. "Persoalan itu
adalah urusan dalam Thay-san-pay sendiri, orang luar
jangan ikut mempersoalkannya."
Mendadak terdengar suara ribut diluar, penyambut tamu
berseru: "Ciangbunjin Yan-san-pay, Thian-bun Totiang
tiba!"
"Aha, Ciu-to," seru Peng-say tertahan.
Ciu-to atau Tosu arak adalah julukan Thian-bun
Totiang, yaitu salah satu di antara Tiong-goan-sam-yu, tiga
sekawan daerah Tionggoan. Yang dimaksudkan tiga
sekawan adalah Khim-lo, si kakek kecapi Bok Jong siong, si
Nikoh penyair, Ting-sian Suthay dan Ciu-to Thian-bun
Tojin.
Di jaman kuno, yang dimaksudkan daerah Tionggoan
adalah sekitar propinsi2 Soatang, Holam dan Hopak.
Thay-san terletak di Soatang. Yan-san terletak di Hopak
dan Siong-san terletak di Holam, karena ketiga gunung dan
ketiga aliran itu sama2 berada di wilayah Tionggoan,
kebetulan di antara ketua ketiga aliran itupun terkenal
sebagai penggemar kecapi, minum arak dan bersyair, di
antara mereka pun ada hubungan persababatan yang akrab,
maka orang Bu-lim lantas menyebut mereka sebagai Tionggoan-
sam-yu.
Perawakan Thian-bun Totiang tinggi besar, sangat
gagah, mukanya merah seperti Kwan Kong. Mungkin
orang yang gemar minum arak kebanyakan bermuka
merah. Maka dari air mukanya saja orang akan segera tahu
akan hobinya.
Serentak semua hadirin sama berdiri, di mana Thian-bun
Tojin lewat, semua orang sama memberi hormat kepada
salah seorang tokoh besar dan gembong Ngo-tay-lian-beng
atau perserikatan lima besar ini.
Thian-bun Totiang langsung disambut masuk ke ruangan
dalam. Mungkin orang yang boleh masuk ke ruangan
dalam hanya tokoh pilihan saja.
Sesudah Thian-bun Totiang masuk, para tamu berduduk
kembali di tempat masing2. Dengan sendirinya Peng-say
juga ikut berdiri dan ikut terduduk lagi, begitu pula anak
murid Lam-han, Siong-san dan Tang wan.
Sesudah berduduk, terdengar Leng Seng berkata:
"Menurut pendapatku, paling baik Toasuko janganlah
datang kemari. Disini telah hadir tokoh2 Bu-lim sebanyak
ini, bila Toasuko sampai dituding dan didamperat Ting-yat
Susiok sehingga menimbulkan amarah umum, urusan tentu
bisa runyam."
"Tapi Toasuheng mewakilkan Suhu untuk
menyampaikan selamat kepada Wi-susiok, tak boleh tidak
dia pasti akan hadir," kata Kiau Lo-kiat dengan menyesal.
Para murid Lam-han menjadi sedih dan berkuatir bagi
Toasuheng mereka.
Tidak lama kemudian, diluar kembali terjadi kegaduhan.
Peng-say menyangka kedatangan tokoh besar lagi. Tapi
tunggu punya tunggu tidak didengarnya petugas
menyerukan nama tamu yang datang,
Waktu ia melongok kesana, mana ada tamu agung
segala, yang terlihat adalah beberapa orang berseragam
hijau dengan menggotong dua daun pintu sedang masuk
dengan ter-gesa2. Di atas daun pintu menggeletak dua
orang dengan ditutupi kain putih yang berlepotan darah.
Melihat itu, para tamu sama berkerumun kesana untuk
melihat. Segera terdengar seorang berkata: "Orang Yan-sanpay!"
Padahal ketua Yan-san-pay, yaitu Thian-bun Totiang,
baru saja datang, hanya sebentar saja lantas disusul dengan
dua sosok mayat sehingga terasa se-olah2 Thian-bun Tojin
sengaja membawa mayat untuk mengucapkan selamat
kepadaWi Kay-hou.
"Wah, Te-coat Tojin dari Yan-san-pay terluka parah, ada
lagi seorang entah siapa?" demikian terdengar orang
bertanya.
Lalu yang lain menjawab: "Murid Thian-bun Totiang,
she Tang Apakah sudah meninggal?"
"Ya, meninggal," sahut yang bertanya tadi. "Coba lihat,
bacokan itu melukai dadanya hingga tembus ke punggung,
tentu saja mati."
Di tengah suara berisik itu, kedua tubuh yang mati dan
terluka itu telah digotong keruangan dalam. kesempatan itu
segera digunakan beberapa orang untuk ikut masuk.
Di ruangan tamu masih ramai orang membicarakan
kejadian itu.
"Te-coat Tojin adalah tokoh Yan-san-pay yang lihay,
siapa yang berani melukainya sedemikian rupa?"
"Orang yang sanggup melukai Te-coat Tojin dengan
sendirinya berilmu silat jauh lebih tinggi dan juga
pemberani, maka tidaklah perlu diherankan."
Begitulah di ruangan situ orang ramai membicarakan
peristiwa itu, lalu kelihatan Hiang Tay-lian keluar dengan
ter-buru2, ia mendekati tempat duduk anak murid Lam-han
dan berkata kepada Kiau Lo-kiat: "Kiau-suheng, Suhu
mengundang."
Kiau Lo-kiat mengiakan dan ikut Hiang Tay-lian ke
ruangan dalam.
Di ruangan tamu bagian dalam dilihatnya lima kursi
besar berjajar di tengah, empat buah kursi itu kosong, hanya
kursi keempat saja berduduk Thian-bun Tojin yang
bertubuh tinggi besar itu.
Kiau Lo-kiat tahu kelima kursi itu disediakan untuk
kelima ketua dari Ngo-tay lian-beng Ketua Say koan, Lamhan,
Tay-san dan Siong-san belum datang, makanya
kosong.
Di kedua samping berduduk belasan Bu-lim cianpwe
atau angkatan tua dunia persilatan, diantaranya terlihat
Ting-yat Suthay dari Siong-san-pay, Ciamtay Cu-ih dari
Tang-wan, Ho Sam-jit dari Gan-tang san.
Di bagian tuan rumah berduduk seorang lelaki setengah
umur bertubuh gemuk pendek dan berjubah sutera, melihat
potongannya orang akan segera tahu dia pasti seorang
hartawan. Dia bukan lain adalah tuan rumahnya, Wi Kayhou.
Lebih dulu Kiau Lo-kiat memberi hormat kepada tuan
rumah, lalu disembahnya pula Thian-bun Tojin,
Air muka Thian-bun Tojin tampak kalem, agaknya
menahan rasa gusar yang hampir meledak, mendadak ia
menepuk pegangan kursi dan membentak: "Mana Sau
Peng-lam?"
Suaranya sangat keras sehingga seperti bunyi guntur
menggelegar, para tamu di ruangan luar juga dapat
mendengarnya.
Tentu saja anak murid Lam-han sama melengak. Leng
Seng lantas berbisik kepada para Suhengnya. "Kembali
mereka menanyakan Toasuko."
Nio Hoat mengangguk tanpa bicara, selang sejenak
barulah ia mendesis: "Kita harus bersabar. Di sini
berkumpul ksatria dari segenap penjuru, jangan sampai
orang memandang hina kepada Lam-han kita."
Diam2 Peng-say juga berpikir: "Ai, si Sau tua (ia
maksudkan Sau Peng-lam yang disangkanya pasti lebih tua
daripada Kiau Lo kiat) ini memang suka cari gara2, di
mana2 dia membikin onar."
Dalam pada itu anak telinga Kiau Lo-kiat terasa
mendengung oleh karena suara bentakan Thian-bun yang
keras tadi, kaki terasa lemas, dia memang sedang
menyembah, sampai lama barulah ia dapat berbangkit. Lalu
menjawab: "Lapor Supek, Sau-suheng telah berpisah
dengan kami beberapa lama yang lalu, sudah disepakati
akan bertemu lagi disini dan bersama2 akan menyampaikan
selamat kepada Wi susiok, jika hari ini dia tidak datang,
kuyakin besok pasti akan tiba."
"Masa dia berani datang?" teriak Thian-bun dengan gusar
"Sau Peng-lam adalah murid ahli-waris Lam-han kalian,
betapa pun terhitung tokoh dari Beng-bun cing- pay
(perguruan ternama dan golongan baik), tapi untuk apa dia
bergaul dengan bangsat Thio Yam-coan yang namanya
terkenal busuk?"
"Setahuku, Toasuko tidak kenal Thio Yan-coan," jawab
Kiau Lo-kiat. "Memang biasanya Toasuko suka minum
arak, besar kemungkinan lantaran sama2 suka minum dan
secara kehetulan bertemu dirumah minum, lalu minum
bersama."
"Kau pun berani sembarangan mengoceh dan membela
sibangtat Sau Peng-lam itu?" teriak Thian-bun dengan
murka sambil berbangkit. "Sute, coba ceritakan, cara
bagaimana sampai kau terluka dan Sau Peng-lam itu kenal
Thio Yan-coan atau tidak?"
Kedua papan daun pintu tadi tertaruh di lantai, yang
sebelah terbujur sesosok mayat, sebelah lain berbaring
seorang Tojin, yaitu Te-coat Tojin dari Yan-san-pay.
wajahnya kelihatan pucat pasi, jenggotnya berlepotan darah
segar.
Jelas luka Te-coat Tojin tidak ringan, cuma dia sudah
mendapat obat luka "Thian-hiang-coat-siok. ciau" dari Tingyat
Suthay, obat luka mujarab terkenal dari Siong-san-pay,
maka jiwanya sudah tidak berhalangan. Ia lantas
menjawab: "Pagi. . .pagi tadi, aku dan Tang-sutit berada di.
. . di Cui-sian-lau di kota Thay-an, disanalah kami bertemu
dengan Siu Peng-lam dan ... dan Thio Yan coan, lalu ada
lagi seorang. . . seorang Nikoh kecil. ..." bicara sampai
disini napasnya tampak ter-engah2 dan tidak sanggup
melanjutkan lagi.
Cepat Wi Kay-hou menyela: "Te-coat Suheng, tak perlu
kau bicara lagi, biarlah kututurkan kepada Kiau-Sutit
menurut apa yang kudengar dari uraianmu tadi." Lalu ia
berpaling kepada Kiau Lo-kiat dan menyambung: "Kiauhiantit,
jauh2 kalian datang kemari untuk mengucapkan
selamaf kepadaku, untuk ini aku sangat berterima kasih
kepada kalian, terutama kepada Sau-suheng di rumah.
Mengenai diri Sau Peng-lam, Sau-sutit, entah cara
bagaimana dia berkenalan dengan si keparat Thio Yan-coan
itu, untuk ini kita masih harus menyelidiki duduknya
perkara yang sebenarnya. Apabila benar Sau-hiantit
bersalah, sebagai suatu keluarga besar dari Ngo-tay-lianbeng,
kita harus memberi nasihat se-baik2nya kepadanya. . .
."
"Memberi nasihat apa?" teriak Thian-bun dengan gusar.
"Harus bikin bersih pintu perguruan dan memenggal
kepalanya."
Melihat kemurkaan Thian-bun Tojin yang sukar ditahan
itu, Kiau Lo-kiat menjadi takut. Tapi demi nampak Ciantay
Cu-ih dan Ting-yat Suthay, yang satu cengar-cengir seakan
bergembira menyaksikan orang tertimpa bencana, seorang
lagi juga bersikap garang dan membantu pihak Thian-bun
Tojin Mau-tak-mau Kau Lo-kiat jadi mendongkol juga.
Pikirnya: "Toasuheng tidak hadir di sini, sebagai murid
tertua Lam-han tidak boleh kubikin malu nama baik Suhu."
"Cianpwe adalah sahabat baik guru kami, selama ini
Suhu kami tidak pernah memberi ampun kepada anak
muridnya sendiri yang jelas2 bersalah, di bawah guru yang
keras tidak nanti ada murid yang jahat." Kuatir Thian-bun
mendamperat lagi karena Kiau Lo-kiat mengadakan
pembelaan bagi Sau Peng-lam,
Maka cepat Wi Kay-hou menyela: "Ya, masakah kami
tidak tahu betapa kerasnya disiplin perguruan Sau-suheng?
Hanya saja perbuatan Sau-sutit sekali ini memang agak
keterlaluan."
"Untuk apa kau sebut dia Sutit? Sutit kentut!" kata
Thian-bun dengan gusar.
Habis berkata baru dirasakan ucapannya kurang sopan,
terutama di didepan Ting-yat Suthay, betapapun akan
merosotkan derajat sendiri sebagai seorang tokoh besar.
Tapi kata2 yang sudah telanjur keluar tak dapat ditarik
kenmbali, terpaksa ia hanya menarik napas dan duduk
kembali di kursinya.
"Wi-susiok," kata Kiau Lo-kiat. "Sebenarnya apa yang
terjadi, mohon Susiok suka memberi penjelasan."
"Menurut cerita Te-coat Tobeng tadi, pagi2 dia dan
murid Thian-bun Toheng, yaitu Tang Pek-seng, keduanya
pergi ke Cui-san-lou untuk minum arak," demikian tuturWi
Kay-hou. "Begitu sampai di Ciu-lau itu segera terlihat tiga
orang sedang makan minum disitu. Ketiga orang itu ialah si
bangsat cabul Thio Yan-coan, Sau-sutit serta murid Tingyat
Suthay, Gi-lim Siausuhu."
"Te-coat Toheng merasa cara mereka makan minum itu
sangat menyolok mata dan kurang senang. Sebenarnya dia
tidak kenal kepada ketiga orang itu, hanya dari pakaian
mereka dapat diketahui yang seorang adalah murid Lamhan
dan seorang lagi murid Siong-san. Hendaklah Ting-yat
Suthay jangan marah, jelas Gi-lim dipaksa orang sehingga
dia tak dapat disalahkan. Te-coat Toheng bilang Thio Yancoan
itu seorang lelaki perlente berusia antara 30-an, mula2
tidak tahu siapa dia, tapi kemudian didengarnya Sau-sutit
bicara: 'Marilah, Thio-heng, kita habiskan satu cawan lagi.
Ginkangmu tersohor tiada bandingannya, tapi takaran
minum arak jelas kau bukan tandinganku'. -Jika orang itu
she Thio, konon Ginkangnya tiada bandingannya pula,
melihat bentuknya pastilah dia Ban-li-tok-heng Thio Yancoan
dan tidak mungkin keliru lagi. Pada hal Te-coat To
heng adalah orang yang benci kepada kejahatan, melihat
tiga orang itu makan minum bersama satu meja, Te-coat
Toheng menjadi marah."
Diam2 Kiau Lo-kiat merasa kemarahan Tojin itu
memang beralasan, pikirnya: "Tiga orang minum arak
bersama, yang satu adalah penjahat cabul yang terkenal
busuk, seorang iagi Nikoh cilik yang masih polos, yang lain
adalah murid utama Lam-han kita, sesungguhaya memang
pandangan tidak sedap."
"Kemudian Te-coat Toheng mendengar Thio Yan-coan
itu berkata: 'Selama Thio Yan-coan malang melintang di
dunia, yang paling kupandang rendah adalah mereka yang
mengaku sebagai murid Beng-bun-ceng-pay segala. Sauheng,
meski kau pun murid Lam-han, tapi jelas kau lain
daripada yang lain, hari ini aku dapat minum arak
bersamamu sungguh tidak sia2 hidupku ini. Marilah kita
coba2 berlomba minum. Kekuatanku minum arak
sedikitnya satu kali lipat lebih kuat daripadamu. Eh, Nikoh
cilik. kau harus mengiringi kami minum kalau tidak mau,
akan kucekoki kau. . . ."
Bicara sampai di sini, Kiau Lo-kiat memandangWi Kayhou
sekejap, lalu memandaog Te-coat pula dengan perasaan
sangsi.
Segera Wi Kay-hou paham apa yang diragukan orang,
ceput ia menambahkan: "Karena Te-coat Toheng terluka
parah, dengan sendirinya penuturannya tidak sejelas ini.
aku memang telah membumbuinya, tapi garis besarnya
memang demikian. Betul tidak, Te-coat Toheng?"
"Ya, be . . . .betul, betul," jawab Te-coat
"Waktu itu juga Te-coat Toheng tidak sabar lagi, segera
ia menggebrak meja dan mendamperat: 'Jadi kau ini Thio
Yan-coan? Setiap orang Bu-lim bertekad akan membunuh
kau, tapi kau malah menyebut namamu sendiri di sini,
apakab. kau sudah bosan hidup.'
"Agaknya keparat Thio Yan-coan itu sangat angkuh, dia
menjawab dengan ketus dan membikin marah Te-coat
Toheng, serentak Te-coat Toheng melolos senjata untuk
melabraknya. Mungkin terburu napsu ingin membinasakan
bangsat itu, setelah bertempur sekian lama, sedikit lengah,
akhir Te-coat Toheng terbacok dadanya.Melihat Susioknya
terluka, segera Tang-hiantit berusaha menolongnya, tapi
iapun terbunuh oleh Thio Yan-coan, ksatria muda harus
tewas di tangan jahanam, sungguh sayang. Tatkala mana
Sau Peng-lam hanya duduk saja di samping tanpa memberi
bantuan, sesama anggota Ngo-tay-lian-beng, sikapnya itu
harus disesalkan. Lantaran itulah maka Thian-bun Toheng
sangat marah,"
Dengan gusar Thian-bun menukas: "Tentang setia kawan
antara Ngo-tay-lian-beng, jelas hal ini diketabui oleh siapa
pun juga. Yang lebih penting orang persilatan seperti kita
ini betapa pun harus dapat membedakan antara yang baik
dan busuk tapi bergaul dengan .... bargaul dengan seorang
penjahat begitu. . ." saking gemasnya sehingga mukanya
yaog merah berubah menjadi kelam.
Pada saat itulah tiba2 terdengar seorang berseru di luar:
"Suhu, Tecu ingin memberi laporan!"
Thian-bun kenal itulah suara muridnya sendiri yang
bernama Ong Gun, cepat ia menjawab: "Ada urusan apa?
Masuk!"
Seorang lelaki gagah berumur 30-an tampak melangkah
masuk. lebih dulu ia memberi hormat kepadaWi Kay-hou,
lalu menghormati pula kepada Thian-bun dan berkata:
"Suhu, menurut berita yang dikirim Jio-jing Susiok, katanya
dia bersama anggota perguruan kita telah mencari jejak
kedua bangsat cabul Thio Yan-coan dan Sau Peng-lam di
sekitar Than-san, tapi tidak menemukan sesuatu
jejaknya...."
Mendengar Toa-suhengnya dimasukkan daftar sebagai
"penjahat cabul", diam2 Kiau Lo-kiat dan murid Lam-han
yang lain merasa tersinggung. Tapi Toasuheng mereka
memang betul bergaul dengan Thio Yan-coan, apa yang
bisa mereka bantah?
Terdengar Ong Gun tadi sedang menutur pula. "Tapi
diluar kota Cujoan telah diketemukan sesosok mayat, pada
dada mayat itu menancap sebilah pedang, itulah pedang si
penjahat cabul Sau Peng-lam."
"Mayat siapa itu?" tanya Thian-bun cepat.
Sorot mata Ong Gun beralih ke arah Ciamtay Cu-ih,
jawabnya: "Mayat seorang Suheng perguruan Ciamtaysusiok,
waktu itu kami tak mengenalnya, sesudah mayat
dibawa masuk kota barulah ada orang mengenalnya sebagai
Lo Ci-kiat, Lo-suheng. . . ."
"Ahhh!" Ciamtay Cu-ih berseru kaget sambil berbangkit.
"Jadi Ci-kiat? Di mana jenazahnya?"
"Di sini!" segera ada orang berteriak diluar.
Ciamtay Cu-ih benar2 seorang yang dapat menahan
perasaannya, meski mendengar berita duka itu secara
mendadak, yang mati itu pun salah seorang murid
kesayangan yang terkenal sebagai "Eng Hiong Ho Kiat",
tapi dia masih tetap tenang2 saja dan berkata pula: "Mohon
bantuan Hiantit, sukalah mayat itu digotong masuk
kemari!"
Ada orang mengiakan diluar, lalu dua orang menggotong
masuk sebuab papan, tertampak di bagian dada mayat itu
menancap sebilah pedang.
Pedang ini tertusuk melalui perut korbannya dan miring
keatas, pedang yang panjangnya tiga kaki (hampir satu
meter) itu hanya tersisa gagangnya yang hampir satu kaki
panjangnya itu, jadi ujung pedang hampir mencapai
tenggorokan korbannya. Jurus serangan dengan pedang
menusuk dari bawah ke atas begini, sungguh jarang terlihat
di dunia persilatan.
"Menurut berita Jin-jing Susiok," demikian Ong Gun
menutur pula, "untuk menemukan kedua bangsat cabul itu,
sebaiknya salah seorang Supek atau Susiok yang berada
disini suka membantu kesana."
"Aku saja?" serentak Ciamtay Cu-ih dan Ting-yat Suthay
berseru.
Tapi pada saat itu pula dari luar berkumandang suara
orang berseru: "Suhu, aku sudah kembali!" Suaranya halus
dan merdu.
Seketika air muka Ting-yat berubah, "Itu dia Gi-lim!
Hayolah menggelinding masuk!"
Pandangan semua orang lantas tertuju keluar pintu,
semua ingin tahu bagaimana bentuk Nikoh cilik yang jadi
gara2 karena minum arak bersama dengan dua penjahat
cabul di restoran besar itu.
Seketika terbeliak juga pandanaan semua orang. terlihat
Nikoh cilik ini memang lain daripada yang lain, lembut dan
cartik, sungguh keelokan yang cemerlang.
Meski usianya baru 16 atau 17 tahun, jelas memiliki
tubuh yang mempesona. walaupun memakai jubah pertapa
yang longgar, namun tidak dapat menutupi tubuhnya yang
indah itu.
"Ba .... bagus perbuatanmu!" kata Ting-yat dengan
menarik muka. "Cara bagaimana kau dapat pulang?"
"Suhu," kata Gi-lim sambil menangis, "Sekali ini hampir
saja ....hampir saja murid tidak dapat bertemu lagi dengan
engkau."
Dari suaranya yang lembut dan merdu itu, setiap orang
tentu akan merasa heran mengapa anak perempuan secantik
ini rela menjadi Nikoh?
Apalagi kedua tangannya yang memegangi ujung lengan
baju sang guru itu kelihatan putih halus. mau-tak-mau
membuat hati Ong Gun dan kedua anak muda yang
menggotong masuk mayat Lo Ci-kiat itu jadi terguncang.
Ciamtay Cu-ih hanya melirik sekejap saja kearah Gi-lim,
lalu pandangannya berpindah kepada pedang yang
menancap di tubuh Lo Ci-kiat itu, terlihat bagian gagang
pedang dekat mata pedang yang tajam itu terukir lima huruf
kecil "Lam-han Sau Peng-lam".
Ia berpaling ke arah Kiau Lo-kiat, dilihatnya pedang
yang tergantung di pinggangnya juga berbentuk sama
dengan untaian benang sutera hijau, Mendadak ia
mendekati Kiau Lo-kiat terus mencolok kedua matanya,
begitu cepat dan lihay serangannya, tahu2 jarinya sudah
menempel kelopak mata lawan.
Keruan Kiau Lo-kiat terkejut, cepat ia gunakan jurus
"Ki-hwe liau-thian" atau angkat obor menerangi langit, ia
berusaha menangkis sebisanya.
Tiba2 terdengar Ciamtay Cu-ih mendengus, tangannya
yang mencolok mata itu berputar dan tahu2 tangan Kiau
Lo-kiat sudah tertangkap, menyusul tangan yang lain
meraba kebawah, "sret", pedang Kiau Lo-kiat itu telah
dilolosnya.
Kiau Lo-kiat tak dapat berkutik karena tangannya
terpegang lawan, tahu2 ujung pedang sudah mengancam di
dadanya, ia terkejut dan berteriak: "Aku .... aku tidak
bersalah!"
Sekilas Ciamtay Cu-ih dapat membaca pada pedang
Kiau Lo-kiat itu pun terukir lima huruf yang berbunyi
"Lam-han Kiau Lo-kiat", bentuk huruf dan ukurannya
serupa dengan huruf yang terukir di pedang lain.
"Gerakan menusuk dari bawah keatas begini apakah
memang jurus serangan Lam-han-kiam-hoat kalian?" tanya
Ciamtay Cu-ih sambil mengancam perut Kiau Lo-kiat
dengan ujung pedang rampasannya itu.
Keringat dingin ber-ketes2 dari dahi Kiau Lo-kiat,
jawabnya dengan keder: "Didalam Lam-han kiam-hoat
kami tiada .... tiada terdapat jurus serangan begini."
Ciamtay Cu-ih memang lagi heran, serangan yang
mematikan Lo Ci-kiat itu jeias akibat tusukan pedang dari
bagian perut menembus ke atas dan hampir mencapai leher,
apakah serangan ini dilakukan Sau Peng-lam dengan
berjongkok, lalu menusuk dari bawah ke atas? Sesudah
membunuh mengapa pedang tidak dicabutnya, tapi sengaja
meninggalkan bukti senjata pembunuh ini?
"Supek ini harap maklum, jurus serangan Sau-toako itu
besar kemungkinan bukan Lam-han-kiam-hoat," demikian
mendadak Gi-lim menyela.
Dia tidak kenal Ciamtay Cu-ih, ia tidak tahu orang inilah
Hong-hoa-wancu, satu di antara Bu-lim-su-ki yang
termashur. Karena melihat usianya lebih tua daripada
gurunya, maka ia menyebutnya Supek. Ciamtay Cu-ih
berpaling, dengan air muka guram ia berkata kepada Tingyat:
"Coba dengarkan, Suthay, dengan sebutan apa murid
anda memanggil bangsat itu?"
Dengan gusar Ting-yat menjawab: "Memangnya kau kira
aku tidak punya kuping sehingga perlu kau mengingatkan?"
Hendaklah diketahui bahwa watak Ting-pay Suthay ini
memang rada aneh, keras dan suka menang sendiri, salah
atau benar juga suka membela orang sendiri. Sudah jelas
diketahui muridnya bersalah, tetap dibelanya.
Sebenarnya ia pun gemas ketika didengarnya Gi-lim
menyebut Sau Peng-lam sebagai "Sau-toako", Jika Ciamtay
Cu-ih terlambat bicara sejenak, tentu dia sendiri akan
mendamperat Gi-lim. Tapi Ciam¬tay Cu-ih keburu
mendahului buka mulut maka ia berbalik membela
muridnya.
Dengan suara keras ia berteriak: "Apa salahnya dia
menyebut begitu? Apa pun kami adalah anggota Ngo-taylian
beng, jika saling panggil Suheng dan Sute kau tidak
perlu diherankan?"
Di balik ucapannya dia se-akan2 hendak bilang Tangwan
kalian tidak termasuk dalam Ngo-tay-lian-beng,
hakikatnya kami memandang rendah kepadamu.
Sudah tentu Ciamtay Cu-ih dapat menangkap arti yang
terkandung didalam ucapan Ting-yat itu, segera ia balas
menjenyek: "Bagus, bagus! Jadi Sau Peng-lam itu jelas anak
murid Ngo-tay-lian-beng!?"
Habis bicara, mendadak tangan kirinya mendorong,
Kontan Kiau Lo-kiat tertolak ke sana dan "blang",
menumbuk dinding dengan keras.
Rasa gusar Ciamtay Cu-ih itu telah dilampiaskan diatas
diri Kiau Lo-kiat, keruan Kiau Lo-kiat yang tidak berdosa
harus menerima nasib, ia tertumbuk hingga kepala pusing
dan mata ber-kunang2, isi perut se-akan2 berjungkir-balik.
Sekuatnya kedua tangannya menahan dinding agar tidak
sampai jatuh terkulai tapi kedua kaki terasa lemas dan
hampir tak kuat berdiri lagi. Tapi sebisanya ia bertahan, ia
pikir, bila sampai ambruk, tentu nama baik perguruannya
akan tercemar.
Ting-yat Suthay lantas berkata. "Gi-lim, coba ceritakan.
cara bagaimana kau terjerat oleh mereka, ceritakan
sejelas2nya kepada gurumu." Lalu tangan Gi-lim
digandengnya dan diajak keluar.
Semua orang sama mafhum bilamana Nikoh cilik
secantik ini jatuh dalam cengkeraman penjahat cabul
semacam Thio Yan-coan itu, mustahil kesuciannya dapat
dipertahankan.
Dengan sendirinya seluk-beluk pengalamannya tidak
leluasa dibeberkan didepan orang banyak. Sebab itulah
Ting-yat Suthay sengaja membawa muridnya itu ke tempat
lain untuk ditanyai dengan se-jelas2nya.
Diluar dugaan, se-konyong2 bayangan orang berkelebat.
tahu2 Ciamtay Cu-ih sudah menghadang di depan Ting-yat
dan berkata: "Urusan ini menyangkut dua nyawa manusia,
maka diharap Gi-lim Siausuhu suka bicara disini saja." Ia
merandek sejenak, lalu menyambung pula. "Tang Pek-seng.
Ting hiantit juga anak murid Ngo-tay-lian-beng, dia
terbunuh oleh Sau Peng-lam, mengingat kalian sama2
anggota Ngo-tay-lian-beng, boleh jadi Yan-san-pay tidak
mengusutnya lebih lanjut. Tapi muridku Lo Ci-kiat ini, dia
tidak memenuhi syarat untuk bersaudara dengan penjahat
cabul macam begitu."
Tajam benar ucapan Ciamtay Cu-ih, secara langsung ia
tangkis ucapan Ting-yat tadi yang membela Gi-lim waktu
menyebut Sau-toako kepada Sau Peng-lam.
Watak Ting-yat memang keras dan aseran di hari2 biasa
saja sang Suci, yaitu Ting-sian Suthay juga suka mengalah
padanya, apalagi sekarang Ciamtay Cu-ih merintangi jalan
perginya. Seketika alisnya menegak demi mendengar kata2
Ciamtay Cu-ih.
Setiap orang yang kenal watak Ting-yat, begitu melihat
alisnya menegak, segera orang tahu Nikoh tua itu segera
akan main hantam. Padahal dia dan Ciamtay Cu-ih
tergolong jago kelas satu jaman ini, bilamana keduanya
mulai bergebrak, dalam waktu singkat tentu sukar
menentukan kalah dan menang, pula persoalan ini tentu
akan meluas dan sukar didamaikan.
Maka selaku tuan rumah cepat Wi Kay-hou melangkah
maju menengahi, katanya sambil menjura kepada kedua
tamunya: "Kedatangan kalian sama2 menjadi tamu
undanganku, apa pun yang terjadi hendaklah mengingat
pada diriku, janganlah bertengkar. Mungkin pelayanan
kami kurang sempurna, harap kalian jangan marah."
"Hahaha, sungguh lucu ucapan Wi-sute ini," jawab Tingyat
dengan tertawa. "Aku marah kepada Hong-hoa-wancu,
apa sangkut-pautnya dengan kau? Dia melarang aku pergi.
aku justeru mau pergi. Jika dia tidak merintangi jalanku,
tentu tidak menjadi soal jika aku tetap tinggal di sini."
Ciamtay Cu-ih sudah lama tidak menginjak daerah
Tionggoan, tapi sejak dahulu ia tahu ilmu silat Ting-yat
sangat tinggi. pada 27 tahun yang lalu mungkin dia tidak
gentar padanya, tapi setelah terluka meski sekarang
kesehatan sudah pulih, namun kekuatannya tidak dapat
kembali seperti dahulu jangankan hendak menghadapi Ngotay
lian-beng, mungkin untuk mengalahkan Ting-yat saja
sukar. Apalagi kalau ribut dengan Ting-yat, tentu Ting-sian,
si Nikoh penyair takkan tinggal diam, bahaya dikemudian
hari tentu sukar dibayangkan. Karena itulah iapun bergelak
dan berkata:
"Yang kuharapkan adalah Gi-lim Siau-suhu suka
menceritakan pengalamannya agar didengar orang banyak,
memangnya Ciamtay Cu-ih ini orang macam apa, masa
berani merintangi jalan Pek-hun-amcu dari Siong san-pay?"
Habis berkata segera ia melompat kembali ketempat
duduknya tadi.
"Asal kau tahu saja," ucap Ting-yat, ia tarik tangan Gilim
dan berduduk kembali di tempatnya. Lalu bertanya
pula: "Coba ceritakan, apa yang terjadi kemudian setelah
kau tercecer dari rombongan kita?"
Ting-yat tahu Gi-lim masih muda belia dan hijau, ia
kuatir segala sesuatu yang membikin malu perguruannya
juga diceritakan begitu saja, maka cepat ia menambahkan:
"Bicaralah yang penting2 saja, yang tidak perlu tidak usah
diuraikan."
Gi-lim mengiakan, tuturnya: "Tecu tidak berbuat sesuatu
yang melanggar ajaran Suhu, yang Tecu harapkan adalah
Suhu dapat membinasakan jahanam Thio Yan-coan yang
menganiaya Tecu itu, ia. . ."
"Ya, kutahu, tidak perlu kau omong lagi," jawab Ting-yat
sambil mengangguk. "Pasti akan kubunuh Thio Yan-coan
dan Sau Peng-lam berdua bangsat itu. ..."
"Sau-toako juga?" Gi-lim menegas dengan heran. "Untuk
apa Suhu akan membunuh Sau-toako, dia kan ..."
mendadak ia menunduk dan menangis, ucapnya pula
dengan ter-guguk2: "Dia kan sudah . . .sudah mati?"
Semua orang sama terkejut. Dengan suara keras Thianbun
Tojin bertanya: "Cara bagamana matinya? Siapa yang
membunuh dia?"
"Yakni orang ... orang jahat yang datang dari Tang-hay
ini!" jawab Gi-lim sambil menuding mayat Lo Ci-kiat.
Rasa gusar Thian-bun menjadi reda demi mendengar Sau
Peng-lam sudah mati.
Ciamtay Cu-ih juga merasa senang, pikirnya: "Kiranya
keparat Sau Peng-lam ini terbunuh oleh Ci-kiat. Jika
demikian. jadi mereka lebih gugur ber-sama2. Bagus, jelek2
Ci-kiat ini boleh juga, tidak percuma kutugaskan dia
mencari nama kedaerah Tionggoan ini." Mendadak ia
melototi Gi-lim dan menjengek: "Hm, memangnya hanya
Ngo-tay-lian-beng kalian yang orang baik, sedangkan Tangwan
kami adalah orang jahat?"
"Aku .... aku tidak tahu, yang kumaksudkan bukan
Ciamtay supek, tapi kumaksudkan dia," ucap Gi-lim
dengan menangis sambil menunjuk mayat Lo Ci-kiat. Dia
mendengar gurunya menyebut kakek pendek gemuk ini
sebagai Hong-hoa-wancu, maka tahulah dia siapa sang
Supek ini.
Ting-yat balas melototi Ciamtay Cu ih, damperatnya:
"Untuk apa kau menakut-nakuti anak kecil? Jangan takut,
Gi-lim, betapa jahat orang ini, ceritakan saja seluruhnya.
Suhu berada disini, masa ada orang berani bikin susah
padamu."
"Cut-keh-lang tidak boleh bohong, apakah Siausuhu
berani bersumpah di depan Buddha?" kata Ciamtay Cu-ih
tiba2. Rupanya ia kuatir Ting-yat akan menyuruh Gi-lim
bercerita tentang ke-busukan Lo Ci-kiat. Sedangkan
muridnya itu sudah mati, tanpa bukti hidup, tentu orang
akan percaya pada cerita sepihak Gi-lim.
"Terhadap Suhu, tidak nanti aku berdusta," jawab Gilim,
ia terus berlutut dan berdoa: "Tecu Gi-lim akan
memberi laporan kepada Suhu dan para Supek dan Susiok,
Tecu berjanji takkan berdusta sepatah katapun, Buddha
maha sakti. tentu maklum akan ketulusan hati Tecu."
Mendengar ucapannya yang tulus dan khidmat,
kelihatannya juga menimbulkan rasa kasihan orang, maka
semua orang sama terharu kepada ucapannya itu.
Seorang Susing (sastrawan) berjenggot hitam sejak tadi
hanya mendengarkan disamping, sekarang tiba2 ia
menyela: "Setelah Siausubu bersumpah setulus ini, dengan
sendirinya semua orang percaya padamu,"
Kiranya orang itu she Bun, orang menyebutnya Bunsiansing,
namanya apa malah tiada yang tahu. Hanya
diketahui dia orang berasal dari selatan Siamsay, bersenjata
Boan-koan-pit, terhitung jago ahli Tiam-hiat.
Dalam pada itu suasana di ruangan tamu ini menjadi
hening, semua orang lama menantikan Gi-lim bercerita
lebih lanjut.
Sejenak kemudian, dengan pelahan barulah Gi-lim mulai
menutur pula: "Kemarin sore, kuikut Suhu dan para Suci ke
Thayan, di tengah jalan turun hujan lebat, karena kurang
hati2 kakiku terpeleset dan hampir jatuh, kaki dan tanganku
menjadi kotor setiba di kaki bukit, kupergi ke tepi sungai
untuk cuci tangan. Se-konyong2 kulihat didalam air sungai
di sampingku telah bertambah sebuah bayang orang lelaki.
Aku terkejut dan cepat berbangkit, namun punggungku
lantas terasa sakit, aku telah tertutuk oleh orang itu.
Sungguh aku sangat takut, aku ingin berteriak minta toiong,
namun tidak dapat bersuara lagi. Orang itu mengangkat
tubuhku dan membawaku ke sebuah goa. Disitu kulihat
jelas wajahnya. tampaknya dia tidak jahat, legalah hatiku.
Selang tak lama, kudengar para Suci sedang beeseru
mencari diriku dari berbagai jurusan. Tapi apa dayaku,
sama sekali aku tak dapat bergerak dan bersuura. 'Gi-lim,
dimana kau?' demikian kudengar para Suci memanggil
namaku. Orang itu hanya tertawa saja, dengan suara
tertahan ia berkata padaku: 'Jika mereka mencarimu ke sini,
segera kutangkap mereka sekalian.' Karena tidak
menemukan diriku, para Suci telah putar balik lagi kesana
dan akhirnya tak terdengar lagi suaranya. Orang itu lalu
membuka Hiat-toku. Segera kulari keluar gua, siapa tahu
gerak tubuh orang itu jauh lebih cepat dari padaku, baru
saja kuterjang keluar, tahu2 dia sudah menghadang di
depanku sehingga hampir saja kuseruduk dadanya. Dia terbahak2
dan berkata: Hahaha, masa kau dapat kabur?'
-Cepat aku lompat mundur dan melolos pedang,. segera
ingin kutusuk dia, tapi lantas teringat olehku bahwa orang
ini tiada maksud mencelakai diriku, Cut-keh lang
mengutamakan welas-asih, mengapa harus kucelakai
jiwanya? Sebab itulah aku tidak jadi menusuknya, kataku:
"Mengapa kau rintangi diriku? Jika tidak menyingkir,
segera akan kutu. . . .kutusuk kau! Orang itu tertawa,
katanya: 'Baik juga hatimu, Siausuhu, kau tidak tega
membunuhku, bukan?' Aku menjawab: 'Aku tidak
bermusuhan apapun denganmu, untuk apa kubunuh kau?!"
Dengan tertawa orang itu berkata pula: 'Bagus jika begitu,
nah, duduklah, mari kita ber-cakap2.' 'Tidak, Suhu dan
para Suci sedang mencari diriku, pula, Suhu melarang
diriku bicara dengan sembarangan lelaki.' "Kata orang itu:
'Ah, kan sejak tadi kaupun sudah bicara denganku, bicara
sedikit dan bicara banyak kan tiada bedanya?'
Kataku: 'Lekas menyingkir, kau tahu betapa lihaynya
Suhuku? Jika beliau melihat sikapmu yang tidak sopan ini,
bisa jadi kedua kakimu akan ditabas kutung.'
Dengan tertawa ia menjawab: Jika kau yang hendak
membuntungi kakiku akan kuserahkan kakiku ini, Kalau
gurumu, ah, dia sudah tua. tidak cocok bagi seleraku."
"Diam!" bentak Ting-Yat mendadak. "Kata2 orang gila
begitu masa selalu kau ingat."
Dia tahu muridnya yang kecii ini masih polos dan kekanak2an,
sama sekali belum paham selukbeluk
kehidupan manusia. Kata2 kotor yang diucapkan
bangsat cabul itu hakikatnya tak dipahaminya, sebab itulah
diuraikannya kembali seluruhnya seperti apa yang
didengarnya.
Tentu saja semua orang merasa geli, cuma rikuh
terhadap Ting-yat Suthay, maka tiada yang berani tertawa.
Rupanya Gi-lim penasaran karena diomeli sang guru,
dengan polos ia menjawab: "Bukan Tecu yang omong
begitu, tapi orang itulah!"
"Sudahlah. pokoknya kata2 gila yang tidak penting
begitu tidak perlu kau ceritakan, cukup ceritakan saja cara
bagaimana kau pergoki Sau Peng-lam," kata Ting-yat,
"Baiklah," jawab Gi-lim. "Sesudah pedangku terkutung
oleh orang itu.
"Pedangmu terkutung?" potong Ting-yat.
"Ya, dia juga omong macam2 lagi dan tetap tidak mau
membebaskan diriku. dia bilang aku. . . .bilang aku cantik
dan ingin tidur denganku. . . ."
"Tutup mulutmu!" bentak Ting-yat. "Anak kecil,
sembarangan omong, masa kata2 begitu juga kau ucapkan?"
"Bukan aku yang omong begitu, Suhu, tapi orang itu
yang omong dan akupun tidak tidur bersama dia."
"Diam!" bentak Ting-yat pula dengan lebih keras.
Salah seorang murid Tang-wan yang menggotong masuk
mayat Lo Ci-kiat tadi tidak dapat menahan rasa gelinya, ia
mengakak.
Ting-yat menjadi murka, disambarnya cangkir teh di atas
meja, air teh panas pada cangkir itu terus disiramkan kearah
murid Tang-wan itu.
Siraman ini menggunakan tenaga dalam Siong-san-pay,
cepat lagi jitu, karena tidak sempat mengelak, kontan air teh
yang panas itu menyiram mukanya, keruan murid Tangwan
itu ber-kaok2 kesakitan.
Ciamtay Cu-ih mtnjadi gusar, damperatnya: "Apa2an
kau ini? Boleh omong masa tidak boleh tertawa. Sungguh
mau menang sendiri!"
"Ting-yat dari Siong-San-pay memang suka menang
sendiri, hal ini sudah berlangsung puluhan tahun, masa
baru sekarang kau tahu?" teriak Ting yat dengan melirik
hina. Segera ia angkat cangkir kosong itu dan hendak
dilemparkan ke arah Ciam-tay Cu-ih.
Tapi Ciamtay Cu-ih sama sekali tidak menggubrisnya.
sebaliknya dia malah membalik tubuh kesebelah sana.
Melihat orang yang sama sekali tidak gentar itu, diam2
Ting-yat berpikir dua kali, selama ini iapun tahu kelihayan
kungfu Tang wan yang termasuk diantara Bu-lim-su ki itu.
Pe-lahan2 ia menaruh kemkali cangkir teh itu, lalu berkata
kepada Gi-lim: "Ceritakan lagi, hal2 yang tidak penting
tidak perlu diuraikan."
Gi-lim mengiakan dan menutur pula:
"Suhu, betapapun orang itu tetap merintangi Tecu yang
bermaksud keluar dari gua itu. Sementara itu hari sudab
gelap, tidak kepalang rasa gelisah Tecu, mendadak kutusuk
dia. Bukan maksud Tecu hendak membunuhnya melainkan
cuma ingin menakuti saja. Tak terduga, mendadak tangan
orang itu meraih tiba, ia meraba . . . meraba tubuhku. Tecu
terkejut dan tahu2 pedangku sudah terampas olehnya.
Lihay amat Kungfu orang itu, dengan tangan kanan
memegang gagang pedang, tangan kiri memegang batang
pedang dengan ibu jari dan jari telunjuk, sekali tekuk
dengan pelahan, pletak, pedangku dipatahkannya sepotong
sepanjang satu dim."
"Dipatahkannya dengan jari pedangmu itu, hanya
sepanjang satu dim?" Ting-yat menegas.
"Ya," jawab Gi-lim.
Ting-yat dan Thian-bun Tojin saling pandang sekejap,
keduanya sama mafhum, jika Thio Yan-coan itu
mematahkan pedang pada bagian tengahnya, maka hal ini
tidak perlu dibuat heran. Tapi hanya dengan dua jari dan
dapat mematahkan sepotong kecil baja, maka tenaga
jarinya sungguh luar biasa.
Mendadak Thian-bun melolos pedang murid yang berdiri
disebelahnya, dengan ibu jari dan jari telunjuk ia tekuk
ujung pedang itu, "pletak", pedang itu patah sepotong kecil,
kira2 satu dim panjangnya, lalu ia bertanya: "Apakah begini
caranya?"
"Ah, kiranya Thian-bun Supek juga bisa," seru Gi-lim.
"Cuma bagian pedangnya yang patah itu terlebih rajin
daripada pedang Supek ini."
Thian-bun mendengus dan mengembalikan pedang itu
kepada muridnya, tangan lain yang memegang potongan
pedang patah itu mendadak digabrukkan meja, "crat",
potongan pedang patah sepanjang satu dim itu ambles rata
dengan permukaan meja.
"Wah, dengan Kungfu Supek yang hebat ini, kuyakin
orang jahat Thio Yan-coan itu pasti tidak bisa," seru Gi-lim
sambil berkeplok. Tapi mendadak wajahnya guram lagi, ia
menunduk dan menghela napas, katanya: "Ai, cuma sayang
waktu itu Supek tidak dapat membantu, kalau tidak, tentu
Sau-toako tidak sampai terluka parah."
"Terluka parah bagaimana? Bukankah kau tadi bilang dia
sudah mati?" tanya Thian-bun.
"Betul, lantaran Sau-toako terluka parah, makanya dia
kena dicelakai oleh si jahat Lo Ci-kiat itu," jawab Gi-lim.
Ciamcay Cu-ih kembali mendengus, ia mendongkol
karena Gi-lim menyebut Thio Yan-coan sebagai orang
jahat, menyebut muridnya juga orang jahat. Jadi anak
murid Tang-wan dipersamakan dengan bangsat cabul yang
terkenal sangat busuk itu.
Melihat mata Gi-lim mengembeng air mata, agaknya
setiap saat bisa menangis, maka tiada seorangpun yang
berani tanya padanya.
Sejenak kemudian, Gi-lim mengusap air matanya dengan
lengan baju, lalu bertutur pula dengan ter-sendat2:
"Orang jahat Thio Yan-coan itu terus memaksa diriku, ia
hendak menarik bajuku, segera kupukul dia, tapi kedua
tanganku jadi tertangkap malah olehnya. Pada saat itulah
diluar gua mendadak ada orang tertawa ter-babak2, suara
tertawanya aneh, setiap kali tertawa hahaha, lalu berhenti,
kemudian hahiha lagi.
Dengan bengis Thio Yan-coan lantas bertanya: 'Siapa itu
diluar?'
Tapi orang diluar gua itu tidak menjawabnya melainkan
cuma hahaha lagi dua kali. Segera Thio Yan-coan
mendamperat: 'Keparat, jika tahu gelagat hendaklah lekas
enyah sana. kalau tidak, bila Thio-toaya mengamuk, tentu
jiwamu bisa melayang!'
Orang di luar kembali tertawa hahaha lagi.
Thio Yan-coan tidak menghiraukannya, segera ia hendak
menarik bajuku pula, tapi orang di luar gua lantas tertawa
terlebih keras. Setiap kali orang itu tertawa, setiap kali pula
Thio Yan-coan menjadi gusar. Sungguh aku sangat
berharap orang itu akan menolong diriku. Akan tetapi
rupanya orang itupun tahu kelihayan Thio Yan coan dan
tidak berani masuk kedalam gua, ia masih tertawa saja di
luar. Tidak kepalang gemas Thio Yan-coan, mendadak ia
menutuk pula Hiat-toku dan segera melompat keluar. Tapi
orang diluar itu sudah bersembunyi lebih dulu, ubek2an
Thio Yan-coan mencarinya, tapi tidak bertemu, ia masuk
lagi ke dalam gua. Tapi baru saja dia berada disebelahku
orang tadi kembali ter-bahak2 lagi di luar. Aku merasa geli,
tanpa terasa akupun tertawa."
Ting-yat melototinya sekejap, katanya: "Apanya yang
menggelikan? Jiwamu sendiri terancam, masa kau masih
bisa tertawa?!"
Muka Gi-lim menjadi merah, jawabnya: "Ya, Tecu juga
merasa tidak pantas tertawa, tapi entah mengapa tanpa
terasa lantas tertawa begitu saja. Diam2 Thio Yan-coan
lantas berjongkok dan merunduk ke mulut gua. agaknya dia
akan segera menerjang keluar bila orang tadi bersuara lagi.
Tak tersangka orang diluar itu teramat cerdik, dia tidak
bersuara sedikitpun. Sedangkan Thio Yan-coan masih terus
menggeremet keluar, kupikir bila orang itu sampai
tertangkap, maka urusan bisa celaka. Maka waktu kulihat
Thio Yan-coan hampir menerjang keluar, segera aku
berteriak: "Awas, dia akan keluar!"
Tapi tahu2 suara tertawa orang itu berkumandang dari
kejauhan dan serunya: "Terima kasih! Tapi jangan kuatir,
dia tak dapat menyusul diriku. Ginkangnya tidak becus!"
Padahal semua orang tahu Thio Yan coan itu berjuluk
"Ban-li-lok-heng" atau berlaksa li selalu bersendirian, suatu
tanda betapa lihay Ginkangnya dan selama ini jarang ada
bandingannya. Sekarang orang itu berani menyatakan
Ginkang orang she Thio ini tidak becus, jelas maksud
tujuannya hanya ingin memancing kegusarannya.
Terdengar Gi-lim lagi menyambung ceritanya. sekonyong2
si jahat Thio Yan-coan melompat balik
dicubitnya keras2, aku kesakitan dan menjerit, tapi secepat
kilat dia lantas melompat ke gua sambil berteriak: 'Keparat.
mari kita coba2 berlomba Ginkang!'
Dengan mencubit diriku supaya aku menjerit, agaknya
penjahat Thio Yan-coan sengaja hendak memancing
kedatangan orang luar itu.
Namun orang itu ternyata tidak mudah tertipu,
sebaliknya Thio Yan-coan sendiri yang terpedaya. Kiranya
orang itu sudah bersembunyi lebih dulu didekat gua, begitu
Thio Yan-coan melayang keluar diam2 ia lantas menyusup
kedalam gua. 'Hiat-to mana yang ditutuknya?' Kujawab:
'Koh-hiat dan Goan-tiau-hiat. Siapa anda?' 'Bicara lagi
nanti, kubuka dulu Hiat-tomu,' habis berkata lantas
mengurut kedua Hiat-to yang kusebutkan itu."
Diam2 Ting-yat berkerut kening. Ia pikir, lelaki dan
perempuan tidak boleh berdekatan, apalagi kau sudah
menjadi Nikoh. Goan-tiau-hiat terletak dan sekarang mesti
di-urut2 oleh seorang lelaki. betapapun hal ini kurang
pantas. Cuma waktu itu dalam keadaan gawat, Kalau Hiatto
itu tidak dibuka, tentu sukar untuk lari dan akan
dicelakai bangsat Thio Yan-coan itu. Mengingat untung
ruginya ini, terpaksa ia pura2 tidak tahu dan tidak menegur.
Terdengar Gi-lim bercerita pula: "Tak terduga tenaga
tutukan Thio Yan coan itu sangat lihay, meski orang itu
telah mengurut sekuatnya. sampai sekian lama Hiat-to yang
tertutuk tetap tak dapat buyar. Sementara itu suara siulan
Thio Yan-coan sudah terdengar, agaknya dia telah putar
balik lagi. Dengan kuatir kukatakan kepada orang itu:
'Lekas lari, jika kepergok, bisa kau dibunuhnya.'
Dia menjawab: 'Ngo-tay-lian-beng, senapas
setanggungan, Siaumoay ada kesulitan kan pantas jika
kutolong?'
"Dia juga orang dari Ngo-tay-lian-beng?" tanya Ting-yat.
"Suhu, dia itulah Sau Peng-lam, Sau-toako!" jawab Gilim.
"Ooo!" tanpa terasa Ting-yat, Thian-bun, Ciam-tay Cuih,
Ho Sam-jit, Bun-siansing, Wi Kay-hou dan lain2 sama
bersuara lega. Kim Lo-kiat juga menghela napas lega.
-ooo0dw0ooo-
Jilid14
Diantara hadirin memang sudah ada yang menduga
orang yang diceritakan Gi-lim itu bisa jadi Sau Peng-lam,
tapi harus menunggu penjelasan Gi-lim sendiri barulah
dapat dipastikan.
Begitulah Gi-lim lantas menyambung pula:
"Mendengar suara suitan Thio Yan-coan itu makin
dekat. Sau-toako lantas minta maaf padaku dan mendadak
aku dipondongnya dan dibawa keluar gua, kami
bersembunyi ditengah semak2 rumput yang lebat. Baru
kami bersembunyi, segera terlihat Thio Yan-coan
menyusup kedalam gua. Dengan sendirinya dia tidak
menemukan diriku. dia mengamuk dan mencaci-maki,
banyak kata2nya yang sukar ditirukan, akupun tidak tahu
artinya. Lalu dia keluar lagi dengan pegang pedangku yang
hujan, bintang dan rembuian suram, dia tidak melihat kami,
tapi dia menaksir kami pasti tidak dapat lari jauh dan
mungkin bersembunyi disekitar situ, maka dia masih terus
membacok dan menabas. Satu kali sungguh sangat
berbahaya, pedangnya menyambar lewat diatas kepalaku,
hanya selisih satu-dua inci kepalaku hampir tertabas.
-Setelah membacok dan menabas sekian lama ia tetap
tidak berhasil, disertai caci-maki ia terus menuju kedepan
sambil masih terus membabat kian-kemari dengan
pedangnya. Se-konyong2 kurasakan ada barang cairan
menetesi mukaku, berbareng itu kucium bau anyirnya
darah. Dengan terkejut kutanya dengan suara tertahan:
'Apakah kau terluka?'
Sau-toako membekap mulutku, selang sejenak,
terdengar suara tabasan pedang Thio Yan-coan sudah
semakin menjauh barulah dia menjawab dengan lirih:
'Tidak berhalangan.'
-Dia lantas melepaskan tangannya yang mendekap
mulutku itu. Akan tetapi kurasakan tetesan darah pada
mukanya makin lama makin deras, aku menjadi kuatir,
kataku: 'Lukamu cukup parah, darah harus dihentikan dulu,
aku membawa obat luka Tbian-hiang toan-liok-ciau.' Dia
mendesis pula agar aku jangan bersuara keras2. Terpaksa
aku meraba lukanya. Pada saat itulah mendadak Thio Yancoan
berlari balik lagi sambil berteriak: 'Aha, kiranya kalian
sembunyi disini, sudah kulihat, hayo lekas berdiri!'
Diam2 aku mengeluh karena menyangka tempat
sembunyi kami benar2 diketahui Thio Yan-coan, segera aku
bermaksud berdiri, tapi kaki tidak mau bergerak . . . ."
"Kau tertipu," sela Ting-yat. "Keparat she Thio itu hanya
main gertak saja, sebenarnya dia tidak melihat kalian."
"Memang betul. Suhu sendiri tidak berada disana,
darimana Suhu tahu?" tanyaGi-lim.
"Apa sukarnya menebak kejadian itu?" ujar Ting-yat,
"Jika dia benar2 melihat kalian, buat apa ber-gembor2,
cukup dia mendekati kalian dan sekali bacok
membinasakan Sau Peng-lam. Tampaknya bocah she Sau
itupun masih hijau dan mudah tertipu."
"Tidak, seperti Suhu, Sau-toako juga dapat menerkanya."
tutur Gi-lim "Mendadak ia mendekap mulutku karena
kuatir aku bersuara. Selang sejenak, Thio Yan-coan berkaok2
lagi dan tetap tidak mendengar sesuatu suara, lalu dia
berpindah tempat dan membacoki rumput pula. Sesudah
jauh dia pergi, dengan suara tertahan Sau-toako berkata
padaku: 'Sumoay, jika kita dapat bertahan setengah jam
lagi, setelah jalan darahmu lancar kembali, dapatlah kubuka
Hiat-tomu yang tertutuk. Cuma kukuatir keparat she Thio
itu akan putar balik lagi dan mungkin akan kepergok.Maka
kita harus menyerempet bahaya, biarlah kita bersembunyi
saja di dalam gua. . . . ."
Bercerita sampai disini, tanpa terasa Bun-si-susing. Ho
Sam-jit, Wi Kay-hou dan lain sama2 bertepuk tangan
memuji.
"Bagus. berani dan cerdik!" seru Bun-si-siansing.
"Tapi aku menjadi takut, namun rasa kagumku kepada
Sau-toako saat itu sudah tiada taranya, jika dia
menghendaki begitu, kuyakin pasti tidak salah lagi. Maka
aku lantas mengiakan. Lalu aku dipondongnya pula dan
menyusup ke dalam gua. Dia menaruh diriku ditanah. Aku
berkata padanya: 'Di bajuku ada obat luka mujarab, boleh
ambil dan bubuhkan pada lukamu.'
Tapi dia menjawab: 'Kurang leluasa jika kuambil
sekarang. biarlah nanti saja bila kau sendiri sudah dapat
bergerak.'
-'Ia lantas melolos pedangnya dan memotong lengan
bajunya untuk membalut bahu kirinya yang terluka. Baru
sekarang kutahu. rupanya lantaran hendak melindungi
diriku, waktu bersembunyi ditengah semak2 rumput itu,
tabasan pedang Thio Yan-coan yang ngawur itu berhasil
mampir di bagian bahunya, namun begitu dia tetap tidak
bergerak dan tidak bersuara walapun dapat kubayangkan
dia pasti sangat kesakitan Waktu itu. Syukur dalam
kegelapan Thio Yan coan juga tidak mengetahui kejadian
itu. Aku merasa susah dan tidak mengerti, mengapa Sautoako
bilang tidak leluasa mengambil obat dalam bajuku. . .
."
"Hm, jika begitu. jadi Sau Peng-lam itu adalah Cing-jinkun-
cu (orang baik2 dan lelaki sejati)," dengus Ting yat
Suthay.
Terbelalak mata Gi-lim yang bening itu, ia merasa heran,
katanya: "Dengan sendirinya Sau-toako adalah orang baik
kelas satu Selamanya dia tidak kenal padaku, tapi tanpa
menghiraukan keselamatan sendiri dia tampil kemuka
menolong diriku."
Tiba2 Ciamtay Cu-ih menjengek: "Meski kau tidak kenal
dia, mungkin sebelumnya dia sudah pernah melihat kau,
kalau tidak masakah begitu bersemangat dia berusaha
menolong kau?"
Dibalik ucapannya itu se-akan2 hendak mengatakan
bahwa sebabnya Sau Peng-lam menolongnya dengan
mati2an adalah karena terpikat oleh kecantikan Gi-lim yang
luar biasa itu.
Gi-lim menjawab; "Tidak, Sau-toako sendiri mengaku
belum pernah melihat diriku. Tidak nanti Sau-toako
berdusta padaku, pasti tidak!"
Ucapannya sangat tegas dan pasti. meski suara tetap
lembut, tapi cukup meyakinkan. Diam2 Ciamtay Cu-ih
berpikir: "Sebabnya keparat Sau Peng-lam itu berbuat nekat
begitu, besar kemungkinan dia sengaja hendak bertempur
dengan Thio Yan coan agar namanya bisa tambah terkenal
di dunia Kang-ouw."
Terdengar Gi-lim bertutur pula: "Sesudah Sau-toako
membalut lukanya sendiri, lalu dia mengurut pula Hiattoku.
Tidak lama kemudian, terdengar suara kresekan
diluar gua dan makin lama makin dekat, rupanya Thio
Yan-coan benar2 putar balik lagi dan masih terus
membabati rumput diluar sana. Tentu saja hatiku berdebar.
Terdengar dia masuk gua lagi terus berduduk tanpa
bersuara apa-pun. Sedapatnya aku bertahan, sampai
bernapas saja tidak berani. Mendadak aku merasa Hiat-to
yang diurut Sau-toako itu kesakitan, karena tidak ter-duga2,
aku menjerit tertahan.Maka celakalah sekali ini, Thio Yancoan
lantas ter-bahak2 dan melangkah kearahku.
Sedangkan Sau-toako hanya berjongkok saja di samping,
tetap tidak bergerak dan tidak bersuara. Sambil melangkah
maju Thio Yan-coan berkata dengan tertawa: 'Ai, dombaku
sayang, kiranya kau masih bersembunyi di dalam gua ini?'
-Segera ia menjulurkan tangannya untuk meraih
tubuhku. Mendadak terdengar suara cret satu kali, dia telah
kena ditusuk oleh pedang Sau-toako. Sayang tusukan itu
tidak tepat mengenai tempat yang fatal, Thio Yan-coan
sempat melompat mundur dan melolos dalam kegelapan
segera ia membacok ke arah Sau-toako. Trang. pedang dan
golok beradu. mereka lantas saling gebrak. Setelah
bergebrak beberapa jurus dalam kegelapan lalu keduanya
sama2 melompat mundur. Dalam kegelapan yang sunyi.
suara napas mereka kedengaran dengan jelas. hatiku
ketakutan setengah mati."
"Berapa jurus Sau Peng-lam bergebrak dengan dia?"
tanya Thian-bun Tojin mendadak.
"Waktu itu Tecu dalam keadaan bingung sehingga tidak
tahu persis berapa lama mereka bergebrak," jawab Gi-lim.
"Kudengar Thio Yan-coan berkata dengan tertawa: "Aha,
kau ini murid Lam-han! Lam-han-kiam-hoat bukanlah
tandinganku. Eh, siapa namamu?' Sau-toako menjawab:
'Ngo-tay-lian-beng. senapas setanggungan. Baik Lam-han
maupun Siong-san semuanya akan membinasakan bangsat
cabul macam kau ini. . .' Belum habis ucapan Sau-toako
segera Thio Yan-coan menerjang maju lagi. Kiranya dia
sengaja memancing Sau-toako bersuara agar dapat
mengetahui tempatnya dengan persis.Beberapa gebrakan
lagi, mendadak Sau-toako menjerit, agaknya dia terluka
lagi. Dengan tertawa Thio Yan-coan berkata: 'Kan sudah
kukatakan Lam-han-kiam-hoat bukan tandinganku. biarpun
gurumu sendiri si Sau tua juga bukan tandinganku.'
Tapi Tau-toako tidak menggubris ocehannya. Sebabnya
Hiat-to yang diurut Sau-tosko tadi mendadak kesakitan,
rupanya karena Hiat-to itu telah terbuka dan sekarang
terasa sakit pula. Aku coba merangkak bangun dan
berusaha menemukan pedang buntung. Sau-toako
mendengar suaraku, dia berseru dengan girang: 'He. Hiattomu
sudah terbuka. lekas pergi!'
Aku menjawab: 'Suheng dari Lam-han, biarlah kubantu
kau melabrak orang jahat ini.'
Tapi Sau-toako malah mencegah, katanya: 'Tidak, lekas
kau pergi saja! Gabungan kita berdua juga tak dapat
mengalahkan dia.'
-Thio Yan-Coan tertawa, katanya: 'Bagus, asal kau tahu
saja, untuk apa kau mengantarkan nyawa percuma? Eh, aku
menjadi kagum kepada keperwiraanmu. siapa namamu?'
Dengan ketus Sau-toako menjawab: 'Jika kau tanya
siapa namaku yang terhormat, tentu tidak berhalangan akan
kuberitahukan. Tapi kau tanya secara kasar, tidak nanti
kukatakan padamu.' Lalu Sau-toako ber-kaok2 pula
mendesak aku agar lekas pergi, katanya kawan2 kita sama
berkumpul di Cu-joan, bila kulari kesini tentu orang jahat
itu tidak berani menggangguku lagi.
Tapi aku masih ragu. kataku: 'Jika kupergi lalu
bagaimana baiknya bila dia membunuhmu?"
-Sau-toako menjawab: 'Tidak, dia takkan membunuhku
kurintangi dia, hayolah kenapa tidak lekas pergi kau!'. . .
Aduh!
-Di tengah suara benturan senjata, agaknya Sau toako
terluka lagi. Dia tambah gelisah dan berteriak pula padaku:
'Lekas pergi, kalau tidak segera akan kumaki kau!'
-Tiba2 dapat kutemukan pedang buntung yang dibuang
Thio Yan-coan tadi. segera aku berseru: kita berdua
mengerubuti dia!'
Dengan tertawa Thio Yan coan berkata: 'Bagus, lihatlah
pertunjukan Thio Yan-coan seorang diri menempur dua
murid Lam-han dan Siong-san pay.'
-Mendadak Sau-toako benar2 mendamprat diriku:
'Nikoh cilik yang tidak tahu urusan, barangkali kau sudah
pikun, lekas lari kau, kalau tidak. bila kelak bertemu lagi
bisa kutempeleng kau!'
Dengan cengar cengir Thio Yan coan berkata:'NiKOh
cilik ini merasa berat meninggalkan aku, dia tak akan pergi.'
Sau-toako tambah gelisah, teriaknya gemas: 'Kau mau
pergi atau tidak?' Aku menjawab tegas: 'Tidak!'
-Sau-toako mengancam pula: 'Jika kau tidak pergi segera
akan kumaki gurumu si tua Ting-sian yang pikun itu
sehingga mendidik murid linglung macammu ini.'
-Aku menjelaskan: 'Ting-sian Supek bukan guruku.'
Dia lantas berkata pula, "O, jika begitu, akan kumaki
Ting-yat si tua pikun itu. . . .'
Ting-yat menarik muka karena namanya disinggung,
jelas dia sangat mendongkol.
Cepat Gi-lim menyambung: "Suhu, jangan marah,
ucapan Sau-toako adalah demi kebaikanku, ia tidak sengaja
memaki Suhu,
-Tecu menjawab; 'Aku sendiri yang pikundan bukan
ajaran Suhu!'. . .Diluar dugaan, se-konyong2 Thio Yancoan
menubruk kearahku, aku terkejut dan menabas
serabutan dengan pedang buntung sehingga dia terdesak
mundur lagi.
-Sau-toako berseru pula padaku; 'Hayolah lekas pergi jika
kau tidak mengharapkan aku memaki gurumu, masih
banyak kata2 kurang sedap didengar akan kuhamburkan,
kau tidak takut?'
-Aku menjawab; 'Janganlah kau memaki, marilah kita
lari bersama saja!'. . .
-Tapi SWau-toako berkata; 'Tidak, lantaran kau berdiri
disitu, ilmu pedangku yang paling lihay menjadi terhalang
dan tak dapat kumainkan dengan leluasa. Tapi begitu kau
pergi, segera orang jahat ini dapat kubinasakan.'
-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya; 'Tampaknya baik
juga hatimu terhadap Nikoh cilik ini, cuma sayang,
namamu saja dia tidak tahu.'
-Kupikir ucapan orang jahat itu ada benarnya, segera
kukatakan; 'Suheng dari Lam-han, siapakah namamu?
Akan kukatakan kepada Suhu di Cu-joan nanti bahwa
engkau yang telah menyelamatkan jiwaku.'
- Sau-toako lantas berteriak; 'Lekas pergi, lekas! Untuk
apa omong ber-tele2 tanpa habis. Aku she Kiau, Kiau Lokiat.
. . ."
Mendengar sampai disini, Kiau Lo-kiat jadi melengak, ia
heran mengapa Toa-suheng memalsukan namanya?
Bun-siansing manggut2, katanya; "Sau Peng-lam benar2
hebat, berbuat bajik tidak perlu menonjolkan nama,
memang inilah jiwa ksatria sejati."
Tapi Kiau Lo-kiat berpendapat lain, ia tahu Toasuhengnya
itu banyak tipu akalnya, tindakannya itu pasti
ada maksud lain. Sungguh harus disesalkan, Toa-suheng
yang pintar dan cerdas itu harus tewas ditangan Lo Ci-kiat
dari Tang-wan.
Dalam pada itu Ting-yat telah pandang Kiau Lo-kiat
sekejap, lalu bergumam sendiri: "Kurang ajar benar Sau
Peng-lam itu, dia berani memaki aku, Hm, besar
kemungkinan dia kuatir kuusut perbuatannya, maka sengaja
mengalihkan dosanya kepada orang lain."
Mendadak teringat sesuatu olehnya, ia melototi Kiau Lokiat
dan bertanya: "He, orang yang memaki diriku di gua itu
apa betul kau?"
Cepat Kiau Lo-kiat menjawab dengan hormat: "Buk ....
bukan, mana Tecu ber . . . . berani!"
Dengan tersenyum Wi Kay hou juga menengahi: "Tingyat
Suthay, si Sau Peng-lam sengaja memalsukan nama
Sutenya, kukira memang beralasan. Kita tahu Kiau-sutit ini
berguru kepada Sau-suheng pada usia likuran, Waktu itu
Kiau-sutit sendiri sudah mahir ilmu-ilmu silat, meski
tingkatannya tergolong angkatan muda, tapi kini setelah
belajar 28 tahun kepada Sau-suheng, usianya sudah
terhitung lanjut, jenggotnya juga sudah panjang, untuk
menjadi kakek Gi-lim Sutit juga pantas."
Seketika pahamlah Ting-yat setelah mendengar
penjelasan Wi Kay-hou ini. Rupanya demi menjaga
kebersihan nama Gi-lim, maka Sau Peng-lam sengaja
memalsukan nama Kiau Lo-kiat.
Hendaklah maklum bahwa umur Sau Peng-lam baru 33
tahun. jadi jauh lebih muda daripada Kiau Lo-kiat.
Sebabnya dia menjadi Suheng dengan usia yang lebih muda
adalah karena dia masuk perguruan terlebih dulu.
Di dunia persilatan umumnya memang ada dua macam
aturan, bergantung kepada perguruan masing2. Ada yang
urutan Suheng dan Sute dihitung menurut usia, ada yang
berdasarkan dulu dan lamanya seseorang masuk perguruan.
Dan perguruan Lam-han menganut peraturan yang kedua
ini.
Pada waktu Sau Peng-lam mengangkat guru Sau Cenghong,
waktu itu dia baru berumur tiga tahun. Tidak lama
setelah masuk perguruan, Sau Ceng-hong melihat
pembawaan anak ini sangat bagus, pintar dan cerdiK, bakat
belajar silatnya sangat tinggi maka timbul hasrat Sau Cenghong
akan mengangkat sebagai murid ahli-waris.
Cuma keluarga Sau dari Lam-han juga serupa dengan
keluarga Sau dan Pak-cay, ada sebagian Kungfu keluarga
tidak boleh diajarkan kepada murid kecuali kepada anaknya
sendiri. Bila Sau Peng-lam hendak diangkat menjadi ahliwaris,
maka segenap kepandaian Sau Ceng-hong harus
diajarkan seluruhnya, dan bila seluruh kemahiran
Kungfunya harus diajarkan, maka Sau Peng-lam harus
diangkat menjadi anak,
Kebetulan Sau Peng-lam memang anak yatim piatu,
isteri Sau Ceng-hong, yaitu Leng Tiong cik, juga mandul!,
tidak dapat melahirkan. Setelah berpikir beberapa hari,
akhirnya Sau Ceng-hong memutuskan mengangkat Sau
Peng-lam sebagai anak. Dengan demikian hubungan antara
Sau Ceng-hong dan Sau Peng-lam dan guru-murid berubah
menjadi ayah anak.
Kiau Lo-kiat masuk perguruan dua tahun lebih belakang
daripada Sau Peng-lam. Waktu itu Peng-lam berusia lima
tahun meski sudah ada dasar Lwe-kang hasil latihan selama
dua tahun, namun Peng-lam tetap dianggap sebagai anak
kecil oleh Kiau Lo-kiat yang berguru dengan membekal
ilmu silat. Sekarang, setelah lewat 28 tahun, Kungfu Kiau
Lo-kiat berbalik jauh ketinggalan dibanding Sau Peng-lam
Pada permulaan masuk perguruan, sang Suhu menyuruh
Kiau Lo-kiat memanggil seorang anak kecil berumur lima
tahun sebagai Suheng, dalam hatinya betapapun merasa
kurang "sreg". Tapi sekarang ia menyadari memang bakat
pembawaan sendiri selisih jauh dibandingi dengan Sau
Peng-lam, malahan semakin berlatih semakin jauh
ketinggalan.Maka kini dia tidak canggung2 lagi memanggil
Suheng kepada Peng-lam.
Jika Sau Peng-lam ternyata lelaki yang masih muda, bila
Nikoh jelita ini berhasil lolos dan ditanya pengalamannya di
gua gelap itu, sekali akan menimbulkan desas-desus yang
merusak baiknya. Sebab ditengah gua yang gelap itu, kedua
orang tidak dapat melihat wajah masing2, Gi-lim tidak tahu
bagaimana bentuk penolongnya itu. jika menurut seperti
pengakuan Sau Peng-lam itu bahwa penolongnya bernama
Kiau Lo-kiat dari Lam-han,, padahal semua orang tahu Lokiat
sudah kakek2, maka orangpun takkan sangsi dan
berprasangka jelek.
Jadi tujuan Sau Peng-lam memalsukan nama Lo-kiat itu
jelas demi menjaga kebersihan nama Gi-lim serta
menegakkan kehormatan Siong-san-pay, berpikir demikian,
tersembul juga senyuman pada wajah Ting-yat, katanya
sambil manggut2: "Hm, boleh juga cara berpikir bocah itu.
Kemudian bagaimana, Gi-lim? Coba lanjutkan!"
Gi-lim lantas menyambung:
"Tatkala itu aku tetap ngotot dan tidak mau pergi,
kataku: 'Kiau-toako, Ngo-tay-lian-beng kita senapas
setanggungan engkau telah menyerempet bahaya demi
menyelamatkan diriku, sekarang mana boleh kutinggalkan
kau di sini? Jika Suhu tahu tindakanku yang tidak bijaksana
ini tentu aku bisa dibunuhnya. ..."
"Bagus bagus sekali," seru Ting-yat sambil berkeplok.
"Orang persilatan seperti kita ini jika tidak tahu rasa setia
kawan dan keluburan budi, maka lebih baik mati daripada
hidup. Dalam hal ini baik lelaki maupun perempuan tiada
perbedaannya."
Gi-lim lantas menyambung pula; "Namun Sau-toako
lantas mendamperat diriku malah, katanya; 'Kau Nikoh
cilik brengsek, disini kau hanya mengganggu saja sehingga
aku tidak dapat mengeluarkan Lam-han-kiam-hoat yang
tiada tandingannya dikolong langit ini, agaknya jiwaku
yang sudah tua ini ditakdirkan harus amblas ditangan Thio
Yan-coan ini. Aha, rupanya kau telah bersekongkol dengan
orang she Thio ini dan sengaja hendak bikin celaka padaku,
mungkin aku yang lagi sial, ditengah jalan ketemu Nikoh,
bahkan Nikoh brengsek, Nikoh konyol. Sia2 aku memiliki
Kungfu maha tinggi. percuma ilmu pedangku yang tiada
tandingannya ini, tapi apa daya, selama Nikoh sialan ini
berada disini tetap tak dapat kukembangkan. Baiklah, Thio
Yan-coan, silakan sekali bacok kau binasakan diriku saja,
hari ini aku mesti menerima nasib. . . ."
Gi-lim memang pintar bicara dan dapat menirukan kata2
orang lain, cuma sayang, suaranya yang nyaring dan lembut
itu sebaliknya harus menirukan kata2 Sau Peng-lam yang
kasar dan kotor, maka kedengarannya menjadi rada janggal
dan menggelikan.
Terdengar ia bercerita pula: "Meski kutahu
dampratannya padaku itu hanya pura2 saja, tapi mengingat
kepandaianku memang rendah dan tak dapat
membantunya, di gua yang sempit itu memang bisa jadi
merintangi gerak-geriknya sehingga tidak dapat
mengeluarkan Lam-han-kiam-hoatnya yang hebat. . . ."
"Hm, bocah itu sengaja membual, masa kau percaya?"
jengek Ting-yat. "Lam-han-kiam-hoat mereka paling2 juga
cuma begitu, masa dikatakan tiada tandingannya di kolong
langit ini?"
Tujuannya hanya menggertak saja agar Thio Yan-coan
itu takut dan mundur teratur," tutur Gi-lim pula. "Karena
dia terus memaki, terpaksa aku berkata: 'Kiau-toako,
baiklah aku akan pergi sampai bertemu pula.” Tapi dia
lantas memaki lagi 'Kau Nikoh sialan, bila ketemu Nikoh,
setiap judi pasti kalah Selamanya aku tidak kenal kau.
selanjutnya akupun takkan melihat kau. Selama hidupku
paling gemar berjudi, jika melihat Nikoh lantas kalah judi,
untuk apa kulihat kau lagi?' . . . . "
Ting-yat menjadi murka, mendadak ia gebrak meja dan
berdiri, teriaknya: "Anak keparat. Mestinya kau tusuk dia
hingga tubuhnya berlubang! Dan kenapa waktu itu kau
tidak cepat angkat kaki?"
"Tecu memang terus angkat kaki," jawab Gi-lim. "Begitu
keluar gua, segera kudengar suara keras beradunya senjata.
Kupikir bila Thio Yan-coan itu menang, tentu dia akan
mengejar dan menangkap diriku lagi. Sebaliknya jika 'Kiautoako'
itu yang menang, sekeluarnya nanti dia akan melihat
diriku, padahal bila melihat Nikoh dia pasti akan kalah judi.
Karena itulah aku terus berlari secepatnya ingin kususul
Suhu dan minta engkau pergi kesana untuk membereskan
penjahat Thio Yan-coan itu."
Setelah merandek sejenak, mendadak Gi-lim bertanya:
"Suhu, kemudian Sua-toako mengalami nasib malang,
apakah disebabkan. . . disebabkan dia melihat diriku yang
mendatangkan sial baginya."
"Omong kosong!" teriak Ting-yat dengan gusar. "Masa
melihat Nikon, lantas kalah judi segala, semua itu hanva
omong kosong belaka, mana boleh dipercaya? Coba lihat,
semua orang yang hadir di sini melihat kita guru dan murid,
apakah merekapun akan sial?"
Semua orang sama merasa geli, tapi tiada satupun yang
berani tertawa.
Gi-lim lantas berkata pula: "Ya, betul juga. Tecu lantas
ber-lari2, paginva. sampailah Tecu di kota Thay-an, hatiku
rada tenang. kupikir besar kemungkinan dapat menemukan
Suhu di dalam kota. Siapa tahu, pada saat itu juga tahu2
Thio Yan-coan sudah menyusul tiba. Melihat dia, kakiku
jadi lemas, hanya beberapa langkah kuberlari lantas
tertangkap olehnya. Kupikir kalau dia dapat menyusul
diriku, maka kiau-toako dari Lam-han itu tentu sudah
terbunuh olehnya di gua sana. Aku menjadi berduka,
karena jalanan cukup ramai orang berlalu-lalang, orang she
Thio itu tidak berani bertindak kasar padaku, dia cuma
berkata: 'Asal kau ikut padaku, aku pun takkan
mengganggu kau. Tapi jika kau bandel dan tidak menurut
perkataanku, segera akan ku-belejeti pakaianmu hingga
telanjang bulat dan kupertontonkan kepada orang banyak.'
-Tentu saja aku ketakutan dan tidak berani membantah,
terpaksa kuikut masuk ke kota Setiba di depan restoran Cuisian-
lau itu, dia berkata pula padaku: 'Siausuhu, kau mirip
dewi kayangan, disini adalah Cui-sian-lau (restoran dewa
mabuk), tempat cocok dengan orangnya. Marilah kita
keatas, marilah kita minum dan bergembira se-puas2nya.'
-Aku menjawab: 'Cut-keh-lang tidak boleh sembarangan
makan minum. itulah peraturan Pek-hua-am kami.'
'Ah, ada2 saja peraturan Pek-hun-am kalian? Sebentar
akan kusuruh kau melanggar pantangan lebih besar lagi.
Huh, peraturan suci dan pantangan apa segala, semuanya
cuma menipu orang saja. Gurumu!. . . ."
Sampai disini, dia melirik Ting-yat sekejap dan tidak
berani meneruskan.
"Ocehan orang jabht begitu tidak perlu kau tirukan," kata
Ting-yat. "Coba ceritakan bagaimana selanjutnya."
"Ya," jawab Gi-lim. "Kemudian kukatakan: "Ah, kau
sembarangan omong, guruku tidak pernah main sembunyi2
untuk minum arak dan makan daging. . . ."
Seketika tertawalah orang banyak.
Meski Gi-lim tidak menirukan ucapan "Thio Yan-coan,
tapi dari bantahannya itu jelas Thio Yan-coan sengaja
menuduh Ting-yat suka makan daging dan mihum arak
secara sembunyi2.
Tentu saja muka Ting-yat menjadi kelam, pikirnya:
"Anak ini benar2 terlalu polos, kalau bicara tidak kenal
pantangan segala."
Gi-lim telah menyambung pula: "Mendadak orang jahat
itu menarik bajuku dan berkata: "Hayo ikut masuk dan
mengiringi aku minum arak, kalau tidak mau segera
kurobek bajumu,'
Karena tidak sanggup melawan, terpaksa aku ikut dia
masuk ke restoran itu. Orang jahat itu lantas pesan arak dan
satapan. Dia benar2 orang busuk. kutegaskan aku tidak
makan barang berjiwa, dia justeru pesan daging sapi, daging
babi, daging ayam, semuanya serba daging. Dia malah
mengancam, jika aku tidak mau makan, segera dia akan
meng-koyak2 pakaianku.
Pada saat itulah. tiba2 seorang naik pula keloteng.
kulihat pinggangnya bergantung sebilah pedang, mukanya
pucat lesi, tubuhnya berlepotan darah. Tanpa permisi ia ikut
duduk di sisi meja itu. Tanpa bicara dia angkat awan arak
didepanku terus ditenggaknya hingga habis. Beruntun dia
menuang tiga cawan dan diminum, lalu dia menuang lagi
satu cawan berkata kepada Thio Yan-coan; 'Mari minum!'
Kepadaku iapun berkata: 'Silakan minum!' Ia sendiri lantas
menghabiskan pula isi cawannya.
-Dari suaranya segera kutahu siapa dia. Syukur dan
terima kasih kepada langit dan bumi, dia ternyata tidak
terbunuh oleh Thio Yan-coan, hanya badannya berlumuran
darah, agaknya lukanya tidak ringan akibat membela
diriku."
Gi-lim berhenti sejenak, lalu menyambung pula:
"Thio Yan-coan memandangnya dari atas kebawah, lalu
dari bawah keatas, kemudian berkata: O, kiranya kau!-
Orang itu menjawab: 'Ya aku!'
Thio Yan-coan mengacungkan ibu jarinya kedepan
orang itu dan berkata: 'Sungguh lelaki sejati.' Orang itupun
mengacungkan jempolnya kepada Thio Yan-coan dan
berkata: 'Sungguh permainan golok yang hebat!
Kedua orang lantas sama2 bergelak tertawa dan bersama2
menenggak arak. Aku sangat heran semalam kedua
orang baru saja bertempur dengan sengit, mengapa
sekarang keduanya berubah menjadi kawan baik?
-Thio Yan-coan itu berkata kepada orang itu: 'Kau bukan
Kiau Lo-kiat. orang she Kiau itu sudah tua bangka, mana
bisa segagah dan seganteng kau ini!'
Orang itu menjawab dengan tertawa; 'Betul. aku
memang bukan Kiau Lo-kiat.'
-Mendadak Thio Yan-coan mengetuk meja dan berseru:
'Aha, kutahu, kau Sau Peng-lam dari Lam-han. Sudah lama
kudengar murid utama Lam-han gagah perwira dan berani
bertanggung jawab, tergolong tokoh nomor satu di dunia
Kangouw.'
Baru sekarang Sau-toako mengaku, katanya dengan
tertawa; 'Terima kasih atas pujianmu. Sau Peng-lam adalah
jago yang sudah keok di bawah tanganmu janganlah kau
tertawakan.'
Thio Yan-coan berkata pula; 'Tidak berkelahi tidak saling
kenal. Bagaimana kalau kita bersahabat saja? Jika Sau-heng
penujui Nikoh jelita ini, biarlah Cayhe mengalah dan
memberikannya padamu. Mengutamakan perempuan dan
meremehkan persahabatan kan bukan perbuatan kaum
kita?. . ."
"Bangsat!" maki Ting-yat dengan muka kelam: "Pantas
mampus. bangsat itu!"
Gi-lim menjadi sedih dan akan menangis, tuturnya pula:
"Suhu, mendadak Sau-toako memaki diriku, dia bilang:
'Muka Nikoh cilik ini pucat pasi, setiap hari hanya makan
sayur dan tahu melulu, pasti tidak akan menyenangkan.
Apalagi sudah pantanganku, bila melihat Nikoh aku lantas
marah, kalau bisa ingin kubunuh habis semua Nikoh
didunia ini!'
-Dengan tertawa Thio Yan-coan bertanya: 'Aneh,
mengapa begitu?'
Sau-toako menjawab: 'Bicara terus terang, aku ini
mempunyai hobi berjudi, bila berjudi lantas lupa daratan.
Kalau tangan lagi pegang kartu, biarpun kau tanya siapa
namaku mungkin aku pun lupa. Akan tetapi bila aku
melihat Nikoh. maka tidak bolehlah aku berjudi, sebab pasti
kalah. Jadi nikoh adalah lambang kesialan bagiku.Malahan
setiap murid Lam-han juga begini. Sebab itulah murid Lamhan
kami bila bertemu dengan para Supek dan Susiok serta
para Suci atau Sumoay dari Siong-san-pay, meski lahirnya
kami bersikap menghormat, tapi di dalam batin sama
mengeluh.
”akan sial!. . . ."
Ting-yat menjadi gusar, "plak", mendadak ia menampar
muka Kiau Lo-kiat yang berdiri tidak jauh di sebelahnya.
Pukulan cepat lagi keras, Kiau Lo kiat tidak keburu
menghindar, kontan ia merasa kepala pusing dan mata berkunang2,
hampir saja roboh terjungkal.
"Ah, Ting-yat Suthay," dengan tertawa Wi Kay-hou
membujuk, "mengapa engkau jadi marah2 begini? Demi
menolong muridmu, Sau-hiantit sengaja omong kosong
dengan Thio Yan-coan itu, mengapa ocehannya itu kau
anggap sunggguh2?"
"Kau bilang tujunnnya hendak menolong Gi-lim?" Tingyat
menegas dengan melengak.
"Itulah tafsiranku," kataWi Kay-hou. 'Betul tidak, Gi-lim
Sutit?"
Mata Gi-lim menjadi bawah pula, jawabnya: "Ya,
sesungguhnya Sau-toako sangat baik, hanya. . . hanya cara
bicaranya yang rada2 kasar dan kurang sopan. Karena Suhu
marah. Tecu tidak berani bercerita lagi."
"Bicara terus, satu katapun tak boleh kau lewatkan
ceritakan, harus kau ceritakan seluruhnya dengan lengkap,"
seru Ting-yat. "Ingin kutahu sesungguhnya dia bermaksud
baik atau busuk. Jika bocah itu benar2 seorang bajingan
tengik. biarpun dia sudan mati tetap aku akan membikin
perhitungan dengan si Sau tua."
Gi-lim menjadi ragu2 dan tidak berani bercerita pula.
"Hayo, bicaralah!" seru Ting-yat. "Ceritakan seluruhnya.
jangan kau menyembunyikan ucapan Baik atau buruk
kata2nya kan dapat kita bedakan dengan jelas?"
Gi-lim mengiakan, sambungnya: "Sau-toako berkata
pula: "Thio-heng, orang belajar silat seperti kita ini selama
hidup selalu mencari kehidupan diantara ujung senjata.
Walaupun orang yang berkepandaian tinggi selalu lebih
untung, tapi kalau dipikir secara mendalam sesungguhnya
juga bergantung kepada nasib, betul tidak? Jangan kau kira
Nikoh cilik ini kurus kecil seperti anak ayam begini,
seumpama dia benar-benar dewi kayangan yang baru turun
di bumi ini juga aku Sau Peng-lam takkan meliriknya
barang sekejap. Betapapun jiwa seorang lebih penting
daripada urusan lain. mengutamakan perempuan dan
meremehkan jiwa sendiri ter-lebih2 tolol. Karena itulah,
Nikoh cilik begini jangan se-kali2 kau menyentuhnya.
-Dengan tertawa Thio Yan-coan menjawab; 'Sau heng,
tadinya kusangka kau ini seorang lelaki yang tidak takut
kepada langit dan tidak gentar kepada bumi, mengapa
terhadap seorang Nikoh bisa mempunyai pantangan
sebanyak itu?'
Sau-toako berkata 'Ya, soalnya sudah sering aku
mengalami kesialan bila melihat Nikoh, karena
pengalaman, terpaksa aku harus percaya. Coba kau pikir,
semalam aku tanpa kurang sesuatu apapun, muka Nikoh
kecil ini belum sempat kulihat, baru suaranya saja kudengar
dan aku lantas terluka oleh tabasan golokmu, bahkan
jiwaku hampir melayang. Apakah ini bukan bukti nyata
Nikoh membikin sial diriku?'
-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya: 'Ya, memang betul
juga.'
Sau-toako lantas berkata pula: 'Maka dari itu, Thio-heng,
lebih baik kita jangan bicara, apalagi bertemu dengan
Nikoh, hendaklah lekas kau suruh Nikoh cilik ini enyah
saja, marilah kita minum berduaan se-puas2nya. Hendaklah
kau terima nasihatku, jangan kau sentuh dia jika tidak ingin
ketiban nasib buruk. Tiga racun di dunia ini hendaklah kau
hindari se-jauh2nya.'
Dengan heran Thio Yan-coan bertanya: "Apa itu tiga
racun didunia ini?'
Sau-toako kelihatan heran jawabnya: 'Masa tiga racun di
dunia ini tidak kau ketahui? -Kata orang: 'Nikoh warangan
kobra, ingin selamat jangan sentuh dia. Jadii Nikoh itu
racun pertama, kedua warangan dan ketiga baru kobra.
Untuk ini setiap murid lelaki Ngo-tay-lian-beng kami selalu
mengingatnya dengan baik2. . . ."
Sampai di sini, Ting-yat tidak tahan lagi, dengan gusar ia
menggebrak meja dan memaki: "Keparat!"
Kiau Lo-kiat sudah kapok, sejak tadi dia sudah berdiri
menjauhi, sekarang ia menyurut mundur pula karena kuatir
Nikoh tua itu menjadikan dia sebagai sasaran pelampiasan
pula.
Wi Kay-hou menyela dengan menghela napas:
"Sesungguhnya Sau-hiantit itu bermaksud baik, cuma
caranya sembarangan omong itu memang rada keterlaluan.
Namun harus dipikir kembali lagi, jika tidak bicara secara
sungguh2, rasanya tidaklah mudah jika dia ingin menipu
bangsat besar semacam Thio Yan-coan itu."
"Wi-susiok. jadi menurut pikiranmu, apa yang diucapkan
Sau-toako itu sengaja digunakannya untuk menipu orang
she Thio itu?" tanya Gi-lim.
"Kukira memang begitulah," kata Wi Kay-hou. "Mana
mungkin Ngo-tay-lian-beng mengpaarkan kata2 kasar itu
kepada anak muridnya? Jika betul ada pantangan begitu,
masakah aku mau mengundang Ting-yat Suthay dan para
Sutit ikut hadir pada upacaraku Kim-bun-se-jiu besok lusa?"
Keterangan Wi Kay-hou ini membuat reda rasa gusar
Ting-yat, namun dia masih mendengus dan memaki pula:
"Mulut busuk anak keparat itu entah ajaran manusia konyol
dari mana?"
Nyata, di balik ucapannya itu, ketua Lam-han yaitu guru
merangkap ayah angkat Sau Peng-lam itu jadi ikut
dimakinya.
Wi Kay-hou berkata pula: "Hendaklah Suthay jangan
Kesal. Soalnya ilmu silat Thio Yan-coan itu sangat lihay,
Sau-sutit merasa bukan tandingannya, sedangkan Gi-lim
Sutit berada dalam keadaan bahaya, terpaksa dia
mengarang berbagai kata2 untuk menipu jahanam itu agar
mau membebaskan Gi-lim Sutit "
"Apakah karena itu Thio Yan-coan lantas melepaskan
kau?" tanya Ting-yat sambil berpaling kearah Gi-lim.
"Tidak," jawab Gi-lim. "Thio Yan-coan kelihatan ragu2,
dia memandang padaku, lalu berkata: 'Terima kasih atas
nasihat Sau-heng, tentang Nikoh cilik ini, toh kita sudah
telanjur melihat dia, biarkan saja dia tetap tinggal disini'
Sau-toako menggerutu: 'Wah, lebih lama melihat dia,
lebih banyak pula sialnya.'
-Pada saat itulah mendadak seorang pemuda dimeja
sebelah melolos pedang terus melompat ke depan Thio
Yan-coan sambil membentak; "Jadi kau inilah Thio Yancoan?"
-Thio Yan-coan mengiakan dan bertanya ada apa?
Pemuda itu berkata pula: 'Akan kubunuh kau si bangsat
cabul ini'
Segera pedangnya menusuk, dari jurus pedangnya jelas
dia orang Yan-san-pay, ialah Suheng ini."
Sambil berkata dia tuding mayat yang menggeletak di
papan pintu itu. Sejenak kemudian ia menyambung pula:
"Thio Yan-coan tidak berdiri, dia miringkan tubuh
menghindarkan serangan Suheng dari Yan-san-pay ini dan
berkata: 'Sau-heng, orang ini dari Yan-san-pay, kau bantu
dia tidak?' Sau-toako menjawwab: 'Ngo-tay-lian-beng,
senapas setanggung. sudah tentu kubantu dia.'
Kata Thio Yan-coan: 'Biarpun kalian Lam-han, Yan-san
dan Siong-san bergabung menjadi satu juga bukan
tandinganku'
-'Bukan tandinganmu juga tetap akan kuhantam kau,'
sambil berkata Sau-toako lantas melolos pedang.
-Dalam pada itu Suheng dari Yan-san-pay ini sudah
menusuk tujuh atau delapan kali dan selalu dapat
dihindarkan Thio Yan-coan. Dia meludah dan mengejek
Sau-toako: 'Huh, Ngo-tay-lian-beng kami mana ada bangsat
cabul macam kau ini?'
Berbareng ia terus menusuk Sau-toako malah. Cepat
Sau-toako melompat kesamping, segera iapun angkat
pedangnya dan menusuk punggung Thio Yan-coan.
Waktu itu akupun melolos pedangku yang sudah patah
itu dan ikut mengerubuti Thio Yan-coan. Tapi penjahat ini
benar2 sangat lihay, dia hanya bergeliat sekali, tahu2
tangannya sudah bertambah sebilah golok. Lalu katanya
dengan tertawa: 'Duduk, silakan duduk, marilah minum
arak!'
Lalu goloknya dimasukkan kembali kesarungnya.
Ternyata entah kapan dada Suheng Yan-san-pay ini sudah
terkena golok musuh. darah segar tampak menyembur
keluar, dia melototi Thio Yan-coan dengan tubuh
sempoyongan, lalu roboh terkapar."
Bicara sampai disini, pandangan Gi-lim beralih kepada
Te-coat Tojin yang juga berbaring dipapan pintu itu, dan
katanya pula: "Susiok dari Yan-san-pay ini lantas melompat
kedepan Thio Yan-coan, sekali bentak, Susiok ini melolos
pedang dan menyerang dengan gencar. Sudah tentu ilmu
pedang Susiok ini sangat lihay. Tapi Thio Yan-coan masih
tetap berduduk di kursinya dan menangkis dengan
goloknya. Belasan kali Susiok ini menyarang dan belasan
kali ditangkis Thio Yan-coan yang tetap berduduk saja
tanpa berdiri."
Mau-tak mau air muka Thian-bun Tojin tampak guram,
tanyanya kepada Te-coat Tojin: "Sute, apakah betul bangsat
itu begitu lihay?"
Te-coat Tojin meaghela napas panjang, mukanya yang
memang pucat itu kini bertambah putih seperti mayat,
pelahan2 ia melengos ke samping tanpa menjawab.
Tidak menjawab berarti membenarkan secara diam2.
Jelas Te-coat mengakui kelihayan ilmu silat Thio Yan-coan.
Karena itu sorot mata semua orang beralih pula ke arah Gilim
dan ingin mendengarkan lanjutan ceritanya.
Gi-lim lantas menyambung: "Waktu itu mendadak Sautoako
ayun pedangnya dan menusuk Thio Yao-coan. Tapi
Thio Yan-coan sempat putar goloknya untuk menangkis,
dia tergeliat dan akhirnya berbangkit."
"Apakah kau tidak keliru?" tanya Ting-yat. "Masa Tecoat
Totiang menusuknya belasan kali dan dia tetap
berduduk saja, sebaliknya Sau Peng-lam cuma menusuknya
satu kali lantas dapat memaksa dia berdiri?"
"Untuk itu Thio Yan-coan telah memberi penjelasan,"
jawab Gi-lim. "Dia bilang: 'Sau-heng, kau kuanggap sebagai
sahabat, jika kuterima seranganmu dengan tetap berduduk
berarti aku memandang rendah padamu.Meski ilmu silatku
lebih tinggi daripadamu, tapi kuhormati kepribadianmu, tak
peduli kalah atau menang aku harus merangkis seranganmu
dengan berdiri, tidak dapat dipersamakan dengan caraku
menghadapi si hidung kerbau (kata olok2 terhadap Tosu)
ini.'
-Sau-toako mendengus, katanya: 'Tidak perlu kau puji
diriku ' Segera dia menyerang tiga kali ber-turut2. Begitu
hebat serangannya sehingga sekujur badan Thio Yan-coan
se-akan2 terkurung oleh sinar pedangnya. . . ."
"Ehm, itulah hasil karya kebanggaan Sau-loji, yaitu apa
yang disebut 'Tiangkang-sam-tiap-long,
(gelombang Tiangkang bertumpuk tiga), kata Ting-yat
sambil manggut-manggut, "Konon ketiga serangan berantai
ini sangat lihay, serangan kedua lebih kuat daripada
serangan pertama dan serangan ketiga lebih lihay lagi
daripada serangan kedua. Lalu cara bagaimana bangsat she
Thio itu mematahkan serangan tersebut?"
Para hadirin juga tahu jurus serangan berantai
"Tiangkang-sam-tiap-long" dari Lam-han-kiam-hoat yang
lihay itu, merekapun ingin tahu cara bagaimana Thio Yancoan
mematahkan serangan Sau Peng-lam itu.
Maka terdengar Gi-lim menyambung lagi: "Setiap kali
Thio Yan-coan menangkis satu jurus, setiap kali pula dia
mundur satu langkah sehingga ber-turut2 ia menyurut tiga
langkah ke belakang. Lalu ia berteriak memuji: 'Kiam-hoat
bagus!'
Dia berpaling kepada Te-coat Totiang dan bertanya;
'Hidung kerbau, kenapa kau tidak ikut mengerubut?'
-Kiranya Te-coat Susiok lantas berdiri menonton di
samping ketika Sau-toako mulai menyerang tadi. Dengan
dingin Te-coat Susiok menjawab: 'Aku adalah Cing-jinkuncu
dari Yan-san-pay, mana sudi bergabung dengan
penjahat cabul macam dia?'
Aku tidak tahan dan ikut berseru: 'Te-coat Susiok, Sausuheng
adalah orang baik, jangan kau salah sangka,'
-Te-coat Susiok tidak percaya padaku, dia mengejek:
'Orang baik? Hehe, ya, memang, dia orang baik yang
sekomplotan dengan Thio Yan-coan!'
-Baru habis ucapannya, se-konyong2 Te-coat Susiok
menjerit sambil mendekap dadanya sendiri, air mukanya
kelihatan sangat aneh, ya kaget, ya ngeri. Sedangkan Thio
Yan-coan lantas menyimpan kembali goloknya dan berkata:
'Duduk, silakan duduk, marilah minum arak lagi.-
-Dari sela2 jari Te-coat Susiok kulihat merembes keluar
darah segar, rupanya Te-coat Susiok telah terluka, entah
dengan cara bagaimana golok Thio Yan-coan telah berhasil
melukai dada Te-coat Susiok, padahal tidak kulihat orang
she Thio itu menyerang. Aku menjadi takut dan berseru:
'Jangan .... jangan membunuh orang!'
-Thio Yan-coan tertawa dan berkata: 'Jika si cantik
bilang jangan membunuh tentu takkan kubunuh dia '
Sambil mendekap lukanya Te-coat Susiok terus lari
pergi. Sau-toako bermaksud menyusulnya untuk menolong,
tapi Thio Yan-coan berkata pula: 'Sau-heng, silakan duduk
dan minum arak saja. Si hidung kerbau itu teramat angkuh,
matipun dia tidak sudi ditolong olehmu, untik apa kau cari
susah sendiri?'
-Sau-toaKo menggeleng sambil tertawa getir, beruntun ia
minum dua tiga cawan arak. Thio Yan-coan itu berkata
pula: 'Hidung kerbau tadi terhitung tokoh kelas terkemuka
di Yan-can-pay, bacokanku tadi cukup cepat, tapi dia
sempat menyurut mundur dua-tiga inci kebelakang sehingga
bacokanku tidak sampai menewwskan dia Jago di dunia ini
yang mampu lolos dari seranganku ini Te-coat Tojin
terhitung orang pertama, ternyata Kungfu Yan-san-pay
memang boleh juga. Tapi, Sau-heng, karena si hidung
kerbau ini tidak mampus, kelak tentu akan banyak
menimbulkan kesulitan bagimu.'
-Dengan tertawa Sau-toako lantas menjawab: 'Selama
hidupku hampir setiap hari ada kesulitan, peduli amat! Eh,
Thio-heng, caramu bergebrak denganku kiranya kau sengaja
bermurah hati padaku, padahal dengan jurus seranganmu
yang maha lihay ini jelas aku tidak mampu
menghindarnya.' -Dengan tertawa Thio Yan-coan
menjawab: 'Tadi aku memang bermurah hati sedikit, yakni
sebagai balas kebaikanmu yang tidak membunuhku di gua
sana semalam '
-Kuheran mendengar ucapanya itu. Jadi dalam
pertempuran mereka di gua sana semalam telah
dimenangkan oleh Sau-toako, tapi Sau-toako telah
mengampuni jiwa orang she Thio itu"
Mendengar sampai disini. semua orang merasa kurang
puas atas sikap Sau Peng-lam itu, mereka menganggap tidak
seharusnya Sau Peng-lam bermurah hati terhadap bangsat
cabul yang tak terampunkan itu.
Gi-lim menyambung pula: "Sau-toako lantas menjawab:
'Tidak. di gua sana semalam aku sudah bertempur sepenuh
tenaga. tapi kepandaianku jelas dibawahmu, mengapa kau
bilang aku bermurah hati padamu?',
Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya; 'Semalam Nikoh
cilik ini bersuara waktu bersembunyi di dalam gua sehingga
dapat kutemukan dia, tapi kau diam saja dengan menahan
napas, sudah tentu sama sekali tak kuduga kau berani
sembunyi disitu. Ketika kupegang Nikoh cilik ini, segera
aku bermaksud mengerjai dia untuk merusak kesuciannya.
Jika kau tunggu lagi sejenak, bilamana aku sedang
terombang-ambing dan lupa daratan, sekali kau tusuk tentu
jiwaku bisa melayang. Kau bukan anak kecil, kukira kau
cukup dapat berpikir. Tapi kutahu kau adalah seorang lelaki
sejati, seorang ksatria yang berjiwa besar, kau tidak sudi
main sergap, sebab itulah pedangmu itu hanya menusuk
pelahan saja di bahuku.
-Sau-toako menjawab: 'Mana boleh kutunggu lagi, jika
kutunggu, bukankah Nikoh cilik ini akan kau nodai?
Biarpun aku akan sial jika ketemu nikoh, tapi apapun juga
Siong-san-pay adalah anggota Ngo-tay-lian-beng, kau bikin
susah anggota Ngo-tay-lian-beng kami. mana boleh
kutinggal diam.'
-Dengan tertawa Thio Yan-coan berkata: 'Biarpun begitu,
namun tusukanmu itu bila didorong lebih keras sedikit,
tentu lenganku akan terkutung mengapa kau cuma
menusuk pelahan, habis itu lantas ditarik kembali?'
-Sau-toiko menjawab:'Sebagai murid Lam-han mana
boleh kuserang secara gelap. Soalnya lebih dulu kau
membacok pundakku, maka kubalas tusuk bahumu, jadi
seri, lalu kita boleh bertanding lagi secara terangan,
siapapun tidak menarik keuntungan dari yang lain.'
-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya: 'Bagus bagus,
kujadikan kau sebagai sahabatku. Marilah kita habiskan
satu cawan!'
Kata Sau-toako: 'Ilmu silatku bukan tandinganmu, tapi
soal minum arak jelas kau bukan tandinganku.'
Agaknya Thio Yan-coan tidak mau kalah, jawabnya:
'Masa takaran minumku tak dapat melebihi kau? Eh, boleh
juga kita berlomba. Marilah, kita masing2 coba habiskan
dulu sepuluh mangkuk.'
-Sau-toako berkerut kening, katanya: 'Thio-heng, tadinya
kukira kaupun seorang jantan yang tidak suka menarik
keuntungan lebih daripada orang lain, makanya aku mau
bertanding minum arak dengan kau Tapi ternyata kau
bukan lelaki sebagaimana kuduga, sungguh aku sangat
kecewa.'
-Thio Yan-coan melirik Sau-toako, ia bertanya: 'Bilakah
kutarik keuntungan darimu?'
Sau-toako menjawab: 'Habis, sudah jelas kau tahu aku
jemu melihat Nikoh, bila melihat Nikoh perutku lantas
mual, cara bagaimana aku dapat minum arak, apalagi
berlomba minum dengan kau?'
-Kembali Thio Yan-coan bergelak tertawa, katanya: 'Sauheng,
kutahu dengan segala daya-upayamu ingin kau
selamatkan Nikoh cilik ini. Akan tetapi ketahuilah, sudah
menjadi watakku yang gemar main perempuan melebihi
sayang pada nyawanya sendiri, sekali kupenujui Nikoh cilik
ini, apapun juga tak akan kulepaskan dia. Jika kau ingin
kubebaskan dia, maka hanya ada satu syarat.'
-Dengan tegas Sau-toako menjawab: 'Baik, katakan
syaratmu, mendaki gunung bergolok atau terjun kelautan
api, bila Sau Peng-lam berkerut kening jangan kau anggap
sebagai lelaki.'
Dengan tertawa Thio Yan-coan menuang dua mangkok
arak dan berkata: 'Silakan habiskan dulu arak ini dan segera
kukatakan padamu.'
-Sau-toako terus angkat semangkuk arak itu dan berseru:
'Baik, minum!'
Thio Yan-coan juga angkat mangkuk arak yang lain, bersama2
mereka menghabiskan isi mangkuk masing2.
Dengan tertawa Thio Yan-coan lantas berkata: 'Sau-heng,
karena Cayhe sudah menganggap kau sebagai sahabat,
maka segala sesuatu juga harus menurut peraturan Kangouw,
yakni: 'isteri sahabat, tidak boleh diganggu. Nah, jika
kau berjanji akan menikahi Nikoh cilik ini. . . ."
Bertutur sampai disini, muka Gi-lim kelihatan merah
jengah, ia menunduk dan suaranya semakin lirih sehingga
hampir tidak terdengar.
Ting-yat menggebrak meja dan berteriak: "Ngaco belo!
Makin omong makin kotor. Lalu bagaimana?"
Dengan suara lirih Gi-lim menyambung lagi: "Thio Yancoan
itu terus mengoceh tak keruan, katanya: "Seorang
lelaki sejati, sekali bicara tidak nanti dijilat kembali. Bila
kau berjanji akan menikahi dia, segera kubebaskan dia,
bahkan akan kuminta maaf padanya. Selain jalan ini, tidak
nanti kulepaskan dia'
-Sau-toako mendamperatnya: 'Cris, apa kau sengaja
hendak membuat diriku sial selama hidup? Sudahlah, soal
ini jangan kau singgung lagi.'
-Thio Yan-coan lantas membual macam2 lagi, katanya:
'bila rambutku dibiarkan tumbuh panjang kan bukan Nikoh
lagi. Dia mengoceh banyak kata2 gila lagi, aku mendekap
kuping dan tidak sudi mendengarkan.
-Sau toako juga lantas membentak. "Tutup mulut! Jika
kau sembarangan omong lagi, mau-tak-mau aku bertindak
Pokoknya, jika tidak kau lepaskan dia, biarlah kita
bertempur lagi mati2an.'
Thio Yan-coan tertawa, katanya: 'Kau bukan
tandinganku, bertempur hanya akan bikin jiwamu amblas.'
Tapi Sau-toako membantah, katanya: 'Jika bertempur
dengan berdiri aku memang bukan tandinganmu, tapi
bertempur dengan berduduk jelas kau bukan tandinganku.
..."
Dari penuturan Gi-lim tadi semua orang sudah tahu cara
bagaimana Thio Yan-coan berduduk menghadapi serangan
Te-coat Tojin yang lihay. dari sini dapat diketahui betapa
lihaynya dia bertempur sambil berduduk. Tapi sekarang Sau
Peng-lam justeru menyarankan bertempur dengan berduduk
pasti dapat mengalahkan Thio Yan-coan, jelas kata2 ini
hanya ingin memancing kemarahan lawan saja.
Ho Sam-jit manggut2, katanya: "Terhadap bangsat cabul
begitu kalau dapat memancingnya berjingkrak dan murka,
lalu mencari kesempatan untuk turun tangan, jalan ini
memang akal bagus."
"Akan tetapi Thio Yan-coan itu tidak menjadi marah
setelah mendengar ucapan Sau-toako itu," tutur Gi-lim
lebih lanjut. "Dia malah tertawa dan berkata: Sau-heng,
yang kukagumi adalah ketabahan dan jiwa ksatriamu, tapi
bukan ilmu silatmu.'
Kontan Sau-toako menjaWab: 'Dan yang kukagumi
adalah kecepatan golokmu jika bertempur dengan berdiri,
tapi bukan permainan golokmu dengan berduduk.'
"Thio Yan-coan ter-bahak2 pula, kataya, 'Dalam hal ini
ada yang tidak diketahui olehmu Waktu muda pernah
kakiku menderita penyakit dan selama dua tahun terpaksa
aku harus berlatih golok sambil berduduk. Jadi bertempur
dengan berduduk adalah kemahiranku. Tadi aku bergebrak
dengan si Tojin hidung kerbau itu degan berduduk bukan
karena aku menghina dia, soalnya aku memang sudah biasa
bertempur dengan berduduk, jadi malas untuk berdiri.
Untuk ini, jelas kau pun bukan tandinganku.'
-Sau-toako menjawab pula: 'Agaknya Thio-heng juga
tidak tahu akan diriku, bahwa kau berlatih ilmu golok
dengan berduduk selama dua tahun lantaran kau menderita
sakit pada kakimu, tapi tahukah kau bahywa dahulu setiap
hari aku berlatih lmu pedang dengan berduduk?. . . ."
Sampai di sini, pandangan semua orang sama tertuju
kearah Kiau Lo-kiat, semua orang ingin tahu apakah
ucapan Sau Peng-lam itu betul atau tidak? Maklumlah,
selama ini mereka tidak tahu apakah diantara ilmu silat
Lam-han yang terkenal itu terdapat Cara latihan dengan
berduduk seperti apa yang dikatakan Sau Peng-lam?
Terpaksa Kiau Lo-kiat menggeleng dan berkata: Toasuheng
sengaja menipu dia, didalam perguruan kami sama
sekali tidak terdapat cara berlatih demikian."
"Ya, Thio Yan-coan juga tidak percaya," tukai Gi-lim.
"Dia menegas: 'Apakah betul ucapan Sau-heng ini? Wah,
rasanya aku menjadi ingin belajar kenal dengan ilmu
pedang Lam-han yang bernama ilmu pedang. . . . ilmu
pedang apa, Sau-heng?,
-Sau-toako tertawa, jawabnya: 'Sesungguhnya ilmu
pedungku ini bukan ciptaan guruku melainkan hasil
pemikiranku sendiri.'
Mendengar ini, air muka Thio Yan-coan seketika
berubah, katanya: 'O. kiranya demikian. Wah. bakat Sauheng
sungguh sangat mengagumkan'. . . ." "
Semua orang maklum apa sebabnya Thio Yan-coan
sangat tertarik oleh keterangan Sau Peng-lam itu. Sebab
bukan sesuatu pekerjaan mudah untuk menciptakan sejurus
ilmu pukulan atau ilmu pedang kalau tidak memiliki
Kungfu maha tinggi dan mempunyai pengetahuan yang
luas serta kecerdasan luar biasa, tidak nanti dapat
menciptakan sesuatu jurus baru atau membuat aliran
tersendiri.
Diam2 Kiau Lo-kiat jadi berpikir: "Wah, kiranya diam2
Toa-suheng telah menciptakan sejurus ilmu pedang baru,
mengapa dia tidak pernah lapor kepada Suhu? Apakah dia
ingin mendirikan perguruan tersendiri dan melepaskan diri
dari Lam-han?"
Didengarnya Gi-lim menyambung pula: "Sau-toako
tertawa dan berkata: 'Ah, ilmu pedang yang berbau busuk
masa kau kagumi?'
Thio Yan-coan sangat heran dan bertanya: 'Bau busuk
apa maksudmu?'
-Akupun sangat heran, paling2 ilmu pedangnya
dikatakan jelek, masa dibilang bau busuk? Tapi Sau-toako
lantas menjelaskan: 'Terus terang kukatakan, setiap pagi
hari, bila aku kebelakang untuk buang air besar, ketika
berjongkok didalam kakus itulah, aku merasa sebal melihat
kawanan lalat terbang kian kemari. Maka pedang kuangkat
dan kugunakan menusuki kawanan lalat. Semula tusukan
pedangku selalu meleset, tapi lama2 menjadi jitu, setiap
pedangku bergerak si lalat lantas jatuh. Lambat-laun dari
gerakan menusuk lalat itu dapatlah kupikirkan sejurus ilmu
pedang. Cuma waktu memainkan pedang itu selamanya
kuberjongkok dalam kakus, sebab itulah kukatakan berbau
busuk.'
-Aku merasa geli oleh ceritanya itu. Sau-toako memang
jenaka, bisa saja dia berlatih pedang cara aneh begitu.
Sebaliknya air muka Thio Yan-coan menjadi kelam setelah
mendengar keterangan Sau-toako itu, katanya: 'Sau-heng,
kuanggap kau sebagai sahabat, tapi uraianmu ini kurasakan
terlalu menghina, memangnya kau anggap Thio Yan-coan
ini sebagai lalat didalam kakus itu? Baik. akan kubelajar
kenal dengan ilmu .... ilmu pedang. . . . !"
Sampai disini, diam2 semua orang mengangguk. Mereka
tahu, pertandingan diantara jago silat kelas tinggi tidaklah
boleh lengah dan gelisah, Cara bicara Sau Peng-lam itu
sengaja hendak memancing kemarahan pihak lawan.
Sekarang Thio Yan-coan benar2 dibikin marah, jadi
langkah pertamanya sudah berhasil.
"Lalu bagaimana?" Ting-yat bertanya.
"Sau-toako tertawa," tutur Gi-lim, "Katanya: 'Caranya
kulatih ilmu pedangku ini hanya karena iseng saja dan tiada
maksud tujuan hendak kugunakan untuk mengadu
kepandaian dengan orang lain, maka janganlah Thio-heng
salah paham, betapapun aku tidak berani mengangap Thioheng
sebagai lalat didalam kakus.'
-Aku merasa geli mendengar dia menyebut lalat didalam
kakus, tanpa terasa aku tertawa Thio Yan-coan menjadi
gusar, golok diloloskan dan ditaruh di atas meja, katanya;
'Baik. sekarang boleh kita mulai bertarung dengan
berduduk.'
-Diam2 aku merasa kuatir melihat sorot matanya yang
buas itu, jelas orang she Thio itu tidak kenal ampun lagi dan
bermaksud membunuh Sau-toako. Tapi Siu-toako tetap
tenang2 saja. katanya dengan tertawa: "Main senjata
dengan berduduk jelas kau bukan tandinganku. Padahal
kita baru saja bersahabat, kenapa mesti cekcok pula.
Apalagi seorang lelaki sejati tidak nanti kutarik keuntungan
dari sahabat sendiri dengan mengandalkan Kungfu
kemahiran sendiri'
-Tapi Thio Yan-coan menjawab: 'Aku sendiri yang ingin
bertanding dan takkan kutuduh kau menarik keuntungan
atas diriku.'
'O, jadi Thio-heng bertekad harus bertanding?'
'Ya, harus!' jawab Thio Yan-coan.
-'Bertanding sambil berduduk' Sau-toako menegas.
-'Ya, bertanding dengan tetap berduduk.' jawab Thio
Yan-coan.
"Akhirnya Sau-toako berkata: "Baik, jika demikian, kita
harus menetapkan suatu peraturan. Sebelum kalah-menang
diketahui, barang siapa berdiri lebih dulu akan kuanggap
kalah.'
Tanpa pikir Thio Yan-coan menjawab; 'Betul, sebelum
kalah atau menang diketahui, barang siapa berdiri lebih
dulu dianggap kalah.'
"Sau-toako lantas bertanya pula: 'Dan bagaimana bagi
yang kalah?'
'Terserah padamu.' jawab Thio Yan-coan. Sau-toako
termenung, katanya: 'Baiklah, bagi yang kalah, pertama,
kelak bila melihat Nikoh cilik ini tidak boleh lagi berkata
kasar dan bersikap kurang sopan padanya, tapi harus
memberi hormat dan menyapa: 'Siau-suhu, Tecu Thio Yancoan
menyampaikan salam hormat.'
"Thio Yan-coan mengomel: 'Huh, darimana kau tahu
aku yang bakal kalah? Jika kau yang kalah. lalu
bagaimana?-
Sau-toako menjawab: 'Aku-pun begitu. Pokoknya. siapa
yang kalah harus menjadi cucu murid Tingyat Losuthay
atau menjadi murid Nikoh kecil ini.'
Suhu, coba bayangkan. jenaka bukan Sau-toako itu?
Masa mereka bertanding sendiri, yang kalah harus menjadi
murid Siong-san-pay dan mana boleh kuterima mereka
sebagai murid."
-ooo0dw0ooo-
Jilid15
Bicara sampai disini, tersembul senyumannya yang
hambar, Sejak tadi dia merasa sedih dan menangis, Kini
terunjuk senyumannya sehingga menambah kecantikannya.
"Lelaki bangor begitu, segala kata apapun dapat
diucapkan mereka, masa kau sangka sungguh2," ujar Tingyat,
"Kukira tujuan Sau Peng-lam itu hanya ingin
memancing marah Thio Yan-coan Lalu cara bagaimana
orang she Thio itu menjawabnya?"
"Thio Yan-coan menjadi ragu2 meiihat sikap Sau-toako
yakin pasti menang itu," tutur Gi-lim. "Maka Sau-toako
memancing lagi: 'Bagaimana,jika kau merasa pasti kalah
dan tidak ingin menjadi murid Siong-san-pay, maka
bolehlah kita batalkan pertandingan ini.'
-Dengan gusar Thio Yan-coan menjawab: 'Omong
kosong! Baik. jadi, barang siapa kalah dia harus
mengangkat Nikoh cilik ini sebagai guru!'
Cepat aku berseru: "He, tidak boleh jadi! Aku tidak mau
menerima kalian sebagai murid. Kungfuku rendah, lagi pula
guruku juga tidak mengizinkan. Setiap orang Siong-san-pay
kami adalah Nikoh, mana boleh ....'
-Tapi Sau-toako lantas memotong ucapanku, katanya:
'Itulah keputusan hasil kompromi kami, mau atau tidak
harus kau terima dan jangan banyak omong, lalu dia
berpaling dan berkata pula kepada Thio Yan-coan: 'Dan
kedua, barang siapa kalah, dia harus angkat golok dan
sekaii potong, jadilah dia sebagai Thaykam.'
Suhu, entah apa artinya sekali potong dengan golok
lantas menjadi Thaykam?"
Pertanyaan ini membikin semua orang sama tertawa,
mereka anggap Nikoh cilik ini benar2 hijau pelonco dan
tidak tahu seluk beluk orang hidup. Thaykam adalah orang
kasim, orang kebiri, dayang keraton. Arti sekali potong
dengan golok lantas menjadi Thaykam ialah yang kalah
harus mengebiri dirinva sendiri.
Ting-yat juga merasa geli meiihat kepolosan anak
muridnya itu, tapi dia hanya tersenyum saja dan menjawab:
"Ah, itupun kata2 kasar kaum bergajul. JiKa tidak tahu,
tidak perlu kau tanyakan."
"O, kiranya bukan kata2 baik," ucap Gi-lim. "Sehabis
mendengar ucapan Sau-toako itu, Thio Yan-coan lantas
melototi Sau-toako dan bertanya: 'Memangnya kau yakin
pasti akan menang?'
Sau-toako menjawab: "Ya, pasti! Bila bertempur dengan
berdiri, di dunia ini nomor urutanku adalah ke-39. tapi
kalau bertempur dengan berduduk, nomor urutanku ialah
ke 2!'
-Tampaknya Thio Yan-coan sangat heran oleh
keterangan Sau-toako ini, ia tanya: 'O, kau cuma nomor 2
lantas siapa yang nomor satu,"
Sau-toako menjawab: 'Yang nomor satu ialah Mo-kaukaucu
(ketua agama) Tonghong Put-pay!'. .."
Air muka semua orang sama berubah demi mendengar
Gi-lim menyebut "Mo-kau-kaucu Tong-hong Put-pay".
Agaknya Gi-lim juga merasakan suasana diruangan
besar ini mendadak berubah aneh, ia menjadi heran dan
juga takut, ia menyangka ucapannya tadi ada yang keliru,
maka cepat ia tanya: "Suhu, apakah ucapanku tadi ada yang
tidak benar?"
"Jangan kau sebut lagi nama orang ini," kata Ting-yat,
"Kemudian bagaimana jawaban Thio Yan-coan.
Dia lantas mengangguk dan berkata: "Baik, jika kau
bilang jago nomor satu ialah Tonghong-kaocu, akupun
setuju. Cuma kau mengaku nomor dua, kukira agak tertalu
besar bualanmu. Memangnya kau dapat melebihi ayahmu.
Sau-siansing"
Sau-toako menjawab: 'Yang kumaksudkan kan
bertanding sambil berduduk? Jika bertempur dengan berdiri,
ayahku memang menduduki urutan keenam. Aku sendiri
ke-39. jelas selisih sangat jauh dengan beliau.'
-Thio Yan-coan mengangguk, katanya: 'O, kiranya
demikian. Lantas aku nomor berupa jika bertempur dengan
berdiri? Siapa pula yang memberikan nomor urutan itu?'
Sau-toako menjawab sambil Setengah berbisik, katanya:
'Wah, inilah rahasia besar. Karena persahabatan kita,
biarlah kukatakan terus terang, tapi jangan kau katakan
pula kepada orang lain, kalau tidak, bisa jadi dunia
persilatan akan terjadi pergolakan hebat.... Tiga bulan yang
lalu, kelima Ciangbunjin Ngo-tay-lian beng kami
berkumpul di Soh-hok-han dan membicarakan tokoh Bulim
masa kini. Saking gembiranya dalam ber-bincang2 itu,
kelima Ciangbunjin lantas memberikan daftar urutan para
tokoh dunia sekarang. Terus terang, Thio-heng, kelima guru
kami itu sangat benci kepada kepribadianmu, kau dicacimaki
habis2an dan tidak laku satu peserpun. Tapi bicara
mengenai ilmu silatmu, mengenai Kungfumu, semuanya
merasa kepandaianmu masih boleh juga. Kalau bertempur
dengan berdiri menurut urutan di dunia persilatan sekarang
ini kau terhitung jago nomor 13."
Serentak Thian-bun Tojin dan Ting-yat Suthay berkata:
"Si Sau Peng-lam itu sermbarangan mengoceh, mana
pernah terjadi pertandingan begitu?"
"O, kiranya Sau-toako cuma membohongi dia," kata Gilim
"Thio Yan-coan itu tampaknya juga setengah percaya
setengah tidak. Dia berkata: 'Para ketua Ngo tay-lian-beng
adalah pimpinan dunia persilatan masa kini, bisa
mendapatkan pujian mereka sungguh akupun merasa
bangga. Bahwa, diriku diberi nomor urutan ke-13, haha,
aku harus berterima kasih. Eh, Sau-heng, apakah di depan
kelima Ciangbunjin itu kaupun mempertunjukkan kau
punya ilmu pedang kakus yang berbau busuk itu? Kalau
tidak, mengapa mereka memberi kau kau nomor dua?'
-Sau-toako tertawa dan menjawab; 'Tentang ilmu pedang
kakus ini memang kurang sopan jika kumainkan di depan
umum, apalagi harus kuperlihatkan di depan kelima
Ciangbunjin. Gaya ilmu pedang berbau busuk ini tidak
pantas dilihat, namun sangat lihay. Pernah kubicara dengan
tokoh terkemuka dariMa-kau dan mereka pun mengakui di
dunia ini selain Tonghong-kaucu sendiri tiada orang lain
lagi yang mampu menandingi diriku. Hanya saja, Thioheng,
persoalannya harus dipikirkan kembali, meski ilmu
pedangku ini sangat hebat, kecuali kugunakan menusuk
lalat waktu berak, sesungguhnya sukar dipraktekkan. Habis,
coba kau bayangkan, bilamana benar2 bertempur, siapakah
yang mau bertanding denganku sambil berduduk?
Seumpama kita sudah berjanji akan bertandig dengan
berduduk, bilamana nanti kau kalah, bisa jadi dari malu kau
menjadi gusar, lalu mendadak berdiri. Padahal kau jago
nomor 13 jika bertempur dengan berdiri maka dengan
mudah dapat kau bunuh diriku yang jago nomor dua jika
bertempur sambil berduduk. Maka dari itu, kau ini jago
nomor 13 tulen, sebaliknya aku ini jago nomor dua cuma
nama kosong belaka.'
-Thio Yan-coan mendengus, katanya: 'Hm, Sau-heng,
mulutmu ini memang pintar bicara Dari mana pula kau
tahu bahwa bertempur dengan berduduk aku pasti kalah,
darimana pula kau tahu dari malu aku akan menjadi gusar,
lalu berdiri dan membunuhmu?'
Sau-toako menjawab: 'Asakan kau berjanji setelah kalah
kau takkan membunuhku, maka syarat kedua tentang
menjadi Thaykam boleh kita batalkan, supaya kau tidak
sampai putus turunan dan berdosa kepada leluhurmu. Nah,
tidak perlu banyak bicara lagi, marilah kita mulai
bergebrak!'
-Habis berkata, kontan Sau-toako menjungkir-balikkan
meja sehingga mangkuk piring berantakan. Kedua orang
lantas duduk berhadapan, yang satu memegang golok dan
yang lain memegang pedang. -'Hayolah mulai! Siapa yang
berdiri lebih dulu, siapa yang mengangkat pantat lebih dulu
meningggalkan kursinya, dia dianggap kalah?' seru Sautoako.
'Baik, ingin kulihat siapa yang akan berdiri lebih
dulu!'jawab Thio Yan-coan."
Gi-lim berbenti sejenak, lalu menyambung pula: "Baru
saja mereka mau bergebrak, tiba2 Thio Yan-coan melirik
sekejap ke arahku dan mendadak tertawa ter-bahak2,
katanya: 'Sau heng, sudahlah, aku menyerah saja. Rupanya
diam2 kau menyembunyikan teman dan sengaja hendak
membikin susah padaku, bila kita sudah ,ulai bertanding,
temanmu terus mengganggu, atau nikoh cilik ini meng-kili2
dibelakangku kan mungkin aku akan terpaksa berbangkit.'
-Sau-toako tertawa, katanya: 'Tidak, kujamin tak ada
orang ketiga yang ikut campur pertandingan kita ini, Nikoh
cilik, apakah kau menghendaki aku kalah bertanding?'
-Aku menjawab: 'Sudah tentu kuharapkan kau menang,
kau jago nomor dua jika bertempur dengan berduduk,
manabisa kalah.'
Sau-toako mengangguk, katanya: 'Bagus, jika begitu
silakan kau pergi saja, makin cepat makin baik, makin jauh
makin baik! Sialan, jika ditunggui seorang pere mpuan
gundul begini, tanpa bertempur saja aku sudah kalah.'
-Tanpa menunggu tanggapan Thio Yan-coan kontan
pedang Sau-toako lantas menusuknya. Thio Yan-coan
menangkis dan balas menyerang sambil berkata: 'Hebat,
sungguh akal bagus caramu menolong si Nikoh cilik ini.
Sau-heng, kau benar2 seorang pencinta yang baik hati.
Cuma pertaruhanmu ini terlalu besar dan juga terlalu
berbahaya bagimu.'
-Waktu itu barulah aku paham, kiranya maksud Sautoako
bertanding dengan berduduk dan barang siapa
bangkit lebih dulu dianggap kalah, tujuannya adalah untuk
menyelamatkan diriku agar aku sempat melarikan diri.
Agar tidak dianggap kalah Thio Yan-coan tidak dapat
meninggalkan kursinya dengan sendirinya dia tak sempat
menawan diriku."
Mendengar sampai disini, diam2 semua orang merasa
gegetun atas usaha Sau Peng-lam dengan susah payah itu.
Ilmu silatnya tak dapat mengungguli Thio Yan-coan, selain
mengalahkan dia dengan akal memang tiada jalan lain
untuk menolong Gi-lim.
"Tentang pencinta segala, semua itu kata2 kasar.
selanjutnya jangan kau sebut dan jangan kau pikir," kata
Ting-yat.
Gi-lim menunduk, jawabnya: "O, kiranya kata2 itupun
tidak baik. Tahulah Tecu sekarang."
"Kesempatan baik itu mestinya kau gunakan untuk
angkat kaki bukan? Jika Thio Yan-coan berhasil membunuh
Sau Peng-lam, tentu kau tak dapat kabur," kata Ting-yat
pula.
"Ya, Sau-toako juga terus mendesak, terpaksa aku
memberi hormat kepadanya dan berkata: "Terima kasih
atas pertolongan Sau-suheng. Habis itu aku lantas
meninggalkan tempat itu. Tapi baru sampai diujung tangga.
mendadak kudengar Thio Yan-coan membentak: 'Kena!'
Waktu aku menoleh. dua titik darah muncrat pada
mukaku. Kiranya pundak Sau-toako telah terkena golok.
Terlihat Thio Yan-coan lagi tertawa dan berkata:
'Bagaimana ilmu pedang jago nomor dua di dunia ini,
kukira juga cuma begini saja!'
Sao-toako menjawab: 'Sebelum Nikoh itu pergi, mana
bisa kukalahkan kau? Ai, agaknya memang sudah
ditakdirkan aku mesti mengalami petaka ini.'
-Kupikir Sau-toako jemu kepada Nikoh, jika kutinggal
lagi disitu mungkin akan membikin celaka jiwanya.
Terpaksa kuturun dari loteng restoran itu. Setiba dibawah,
kudengar dering nyaring beradunya senjata, kembali
terdengar Thio Yan-coan membentak: 'Kena!'
Tentu saja aku terkejut dan berkuatir, kuyakin Sau-toako
pasti terluka pula. Tapi aku tidak berani naik lagi keloteng,
terpaksa aku berputar kebelakang dan melompat keatas
wuwungan restoran itu, dari situ aku mengintip ke bawah
melalui jendela. Kulihat Sau-toako masih terus bertempur
dengan sengit meski tubuhnya sudah berlepotan darah
segar, sebaliknya Thio Yan-coan sama sekali tidak terluka.
Tidak lama kemudian, kembali Thio Yan-coan membentak
dan lengan kiri Sau-toako terbacok lagi satu kali. Ia lantas
menarik goloknya, katanya dengan tertawa: 'Sau-heng,
seranganku ini sengaja kuberi kelonggaran!'
-Sau-toako menjawab dengan tertawa: 'Dengan
sendirinya kutahu. Jika bacokanmu agak keras, tentu
lenganku ini sudah buntung!'
Coba, Suhu, dalam keadaan begitu Sau-suheng masih
dapat tertawa. Maka Thio Yan-coan berkata pula: 'Dan
pertarungan ini dilanjutkan tidak?'
Dengan tegas Sau-toako menjawab: 'Sudah tentu
diteruskan, kalah atau menang kan belum jelas, siapapun
belum ada yang berdiri.'
-Thio Yan-coan itu membujuk: 'Kukira lebih baik kau
mengaku kalah saja dan berdirilah. Biarlah kita batalkan
segala perjanjian tadi dan kau tidak perlu mengangkat guru
kepada Nikoh cilik itu'
Namun Sau-toako tidak mau terima. jawabnya: 'Tidak
bisa. Seorang lelaki sejati, sekali sudah bicara tidak nanti
dijilat kembali.'
-Thio Yan-coan berkata: 'Sudah banyak lelaki kepala
batu di dunia ini, tapi orang seperti Sau-heng baru sekarang
untuk pertama kalinya kulihat. Baik, anggaplah kita seri,
tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.
Bagaimana? kalau kita sudahi pertandingan ini?'
-Sau-toako tertawa dan memandangi dia tanpa bersuara.
Darah segar bercucuran dari luka yang memenuhi
tubuhnya. Mendadak Thio Yan-coan membuang goloknya.
baru saja dia mau berbangkit, sekonyong2 teringat olehnya
bila berdiri akan berarti kalah. makanya tubuhnya cuma
bergeliat sedikit, Lalu berduduk kembali sehingga belum
sampai berbangkit dari kursinya. Dengan tertawa Sau-toako
berkata: 'Thio-heng, kau sungguh sangat cerdik!. . . ."
Mendengar sampai disini, tanpa terasa semua orang
sama menghela napas menyesal, semuanya merasa sayang
bagi usaha Sau Peng-lam.
Gi-lim lantas menyambung pula: "Thio Yan-coan
menjemput kembali goloknya dan berkata: 'Awas, Sauheng,
akan kumainkan golok kilat. Bila terlambat sebentar
lagi mungkin Nikoh cilik itu akan kabur dan sukar disusul.'
Aku menjadi gemetar mendengar dia akan mengejar
diriku. Akupun kuatir Sau-toako akan dicelakai olehnya,
aku menjadi bingung. Tiba2 teringat olehku sebabnya Sautoako
bertempur mati2an dengan orang jahat itu adalah
demi menolong diriku. Jika sekarang kubunuh diri didepan
mereka, maka urusan akan menjadi beres dan Sau-toako
tidak akan ikut menjadi korban.
-Segera aku melolos pedangku yang patah itu, selagi aku
hendak melompat masuk kesana, mendadak kulihat Sautoako
tergeliat, orangnya berikut kursinya jatuh terguling,
kulihat tangan Sau-toako menahan lantai dan berusaha
merangkak bangun dengan kursi yang masih menindih
tubuhnya. Tapi lantaran lukanya cukup parah, seketika dia
tak dapat berbangkit.
-Thio Yan-coan sangat senang, katanya dengan tertawa:
'Bagaimana. jago nomor dua bertempur sambil berduduk,
lalu jago nomor berapa jika merangkak?'
Sambil bicara dan bergelak tertawa terus berdiri.
-Mendadak Sau-toako ter-bahak2, katanya: 'Aha, kau
'kalah!'
Thio Yan-coan tertawa dan menjaWab: 'Kau sendiri
sudah kalah sedemikian rupa, masa kau bilang aku yang
kalah?'
Sambil mendekam di lantai Sau-toako bertanya: 'Coba
jawab, bagaimana menurut perjanjian kita?'
-Thio Yan-coan menjawab: 'Kita sudah berjanji akan
bertempur dengan berduduk, barang siapa berdiri lebih
dulu, bila pantat meninggalkan kursinya lantas dianggap ....
dianggap. . . . dianggap . . 'sampai beberapa kali dia
menyebut dianggap dan tak dapat menyambung. Baru
sekarang dia menyadari telah terjebak. Dia sendiri sudah
berdiri, sebaliknya Sau-toako sejak tadi belum pernah
berdiri, bahkan kursi juga masih menempel ditubuhnya,
meski keadaannya rada runyam, tapi menurut perjanjian
jelas Sau-toako yang menang."
Serentak semua orang bersorak dan tertawa gembira.
Hanya Ciamtay Cu-ih saja yang mendengus, katanya: "Hm,
bocah bergajul itu sengaja main akal bulus dengan bangsat
cabul semacam Thio Yan-coan itu, apakah tidak membikin
malu kaum Beng-bun-cing-pay kita?"
"Akal bulus apa katamu?" damperat Ting-yat dengan
gusar. "Seorang lelaki sejati boleh adu akal dan tidak perlu
adu kekuatan. Memangnya Hong hoa-wan kalian ada
ksatria muda yang berbudi luhur begitu?"
Rupanya ia sangat berterima kasih kepada Sau Peng-lam
setelah mengikuti cerita Gi-lim tadi, tanpa menghiraukan
keselamatan sendiri Peng-lam telah menjaga nama baik
Siong-san-pay serta menyelamatkan kesucian Gi-lim. Maka
rasa marahnya semula kepada Sau Peng-lam kini sudah
melayang ke-awang2.
Ciamtay Cu-ih menjengek pula: "Hm, ksatria muda ahli
merangkak yang hebat!"
Dengan murka Ting-yat menjawab: "Apakah Hong-hoawan
kalian. . . ."
Belum lanjut ucapannya, cepat Wi Kay-hou menyela,
katanya kepada Gi-lim: "Lalu bagaimana Siausuhu, Thio
Yan-coan mengaku kalah atau tidak?"
Gi-lim menutur pula: "Thio Yan-coan berdiri dengan
melenggong, seketika ia merasa bingung dan dia tidak tahu
apa yang harus dikatakannya. Sau-toako lantas berseru:
'Siau-sumoay dari Siong-san-pay, turunlah kemari,
bahagialah kau mendapatkan murid baru!'
Kiranya dia sudah tahu sejak tadi persembunyianku di
atas rumah. Meski orang she Thio itu terkenal jahat, tapi
apa yang pernah dikatakannya tidak diingkarinya, waktu itu
dengan mudah mestinya dia dapat membunuh Sau-toako,
habis itu baru membekuk lagi diriku. Tapi semua ini tidak
dilakukannya, dia malah berseru padaku: 'Dengarkan, nona
cilik, lain kali bila kau berani bertemu lagi denganku. sekali
tabas segcea akan kubinasakan kau.'
-Memangnya aku tidak sudi menerima orang jahat begitu
sebagai murid, ucapannya itu sudah tentu kebetulan bagiku.
Habis bicara Thio Yan-coan lantas menyimpan goloknya
terus melangkah pergi. Baru sekarang aku berani melompat
turun, kubangunkan Sau-toako dan membububi lukanya
dengan obat, kuhitung luka diseluruh tubuhnya berjumlah
18 tempat."
Mendadak Ciamtay Cu-ih menyeletuk; "Selamat, Tingyat
Suthay, selamat!"
"Selamat apa?" tanya Ting-yat dengan heran.
"Selamat padamu karena kau baru saja menerima
seorang cucu murid yang termashur," kata Ciamtay Cu-ih.
Keruan Ting-yat menjadi murka, ia menggebrak meja
dan hendak melabrak orang.
Tapi Thian-bun Tojin keburu mencegah. katanya:
"Ciamtay-sicu, kukira tidak boleh kau omong begitu.
Antara Su-ki dan Sam-yu kita mana boleh berkelekar iseng
begini?"
Karena merasa bersalah, pula merasa segan terhadap
Thian-bun Tojin, maka Ciamtay Cu-ih melengos kesana
dan pura2 tidak dengar.
Gi-lim lantas menyambung lagi ceritanya: "Sehabis
kububuhi obat pada luka Sau-toako, tiba2 tangga loteng
berbunyi, naiklah dua orang yang kukenal sebagai murid
Hong-hoa-wan, satu diantaranya ialah si jahat Lo Ci-kiat
ini. Dia memandang padaku, lalu memandang pula Sau
toako, akhirnya aku lagi yang ditatapnya dengan sikap yang
kurang sopan. Sau-toako melototi orang she Lo itu,
mendadak ia tanya padaku: 'Sumoay, apakah kau tahu
Kungfu apa yang menjadi andalan Hong hoa-wan?'
-Aku menjawab tidak tahu, sebab Kungfu Hong-hoa-wan
kabarnya sangat banyak. Sau-toako berkata pula: "Kungfu
andalan Hong-hoa-wan memang sangat banyak, tapi satu
diantaranya yang paling terkenal ialah .... Hehe, agar tidak
menyakitkan hati, biarlah tidak kukatakan.'
-Habis berkata ia melirik sekejap kearah Lo Ci kiat.
Karena itulah Lo Ci-kiat lantas mendekati Sau-toako dan
membentak: 'Kungfu apa? Coba sebutkan!'
Dengan tertawa Sau-toako berkata: 'Sebenarnya tidak
ingin kukatakan, apakah kau sengaja memaksa kukatakan?
Baiklah, Kungfu itu adalah jurus yang disebut belibis
hinggap ditanah pasir dengan pantat lebih dulu!'
"Lo Ci-kiat menggebrak meja dan membentak: 'Omong
kosong! Tidak ada jurus belibis jatuh dengan pantat lebih
dulu segala! Ngaco belo!'
Sau-toako tertawa dan menjawab: 'Itulah jurus andalan
Tang-wan kalian. masa tidak pernah kau-dengar. Apa kau
ingin tahu? Coba kau membalik tubuhmu, biar
kupertunjukkan jurus tersebut!'
-Rupanya Lo Ci-kiat tahu Sau-toako sengaja hendak
menyindirnya, segera ia menjotos. Mestinya Sau-toako
hendak mengelak, tapi dia sudah terlalu banyak kehilangan
darah, tenaganya sangat lemah, baru bergerak segera dia
jatuh terduduk lagi, Jotosan lawan dengan tepat mengenai
hidungnya sehingga mencucurkan darah pula. . . Segera Lo
Ci-kiat hendak menghantam lagi, tapi dapat kutangkis,
kataku: 'Jangan kau serang orang yang terluka parah,
memangnya terhitung orang gagah macam apa tindakanmu
ini?'
Lo Ci-kiat lantas memaki: Nikoh cilik, rupanya kau
terpikat oleh bangsat cilik yang ganteng ini ya? Hayo,
menyingkir, kalau tidak, nanti kaupun kuhajar!'
-Aku menjawab: 'Kutahu kau ini murid Tang-wan, kau
berani menghina diriku, pasti akan kulaporkan kepada
gurumu Hong-hoa-wancu.'
-Dia menjawab dengan cengar-cengir: 'Huh; kau sendiri
tidak patuh pada peraturan suci, setiap orang dapat
menghajar kau!'
Berbareng sebelah tangannya terus meraih diriku, cepat
kutangkis, tak terduga dia cuma memancing saja, tangan
yang lain mendadak mencolek pipiku sambil bergelak
tertawa. Gusar dan dongkol aku, beruntun kuserang tiga
kali dan semuanya dapat dihindarkan olehnya.
-Tiba-tiba Sau-toako berkata padaku: 'Sumoay, tidak
perlu kau gubris dia, biar kuatur tenagaku sebentar lagi dan
segalanya akan beres.'
Kulihat air muka Sau-toako pucat lesi. Pada saat itulah
Lo Cia-kiat berlari maju hendak memukulnya lagi. Tapi
mendadak sebelah kaki Sau-toako mendepak dan tepat
mengenai bokongnya. Karena depakan yang cepat lagi jitu
itu. Lo Ci-kiat tidak dapat berdiri tegak lagi, ia jatuh
terguling ke bawah loteng.
-Dengan suara pelahan Sau-toako berkata padaku:
Sumoay, inilah jurus paling diandalkan Hong-hoa-wan
mereka, namanya belibis hinggap di padang pasir dan jatuh
dengan pantat lebih dulu. Coba lihat, cara jatuhnya tadi
mirip nama jurus itu bukan?
-Aku hendak tertawa. tapi melihat wajahnya kian lama
kian pucat, aku menjadi kuatir, kataku: 'Hendaklah kau
istirahat sebentar dan jangan bicara.'
Kulibat lukanya mengalirkan darah lagi, jelas
depakannya tadi terlalu kuat menggunakan tenaga sehingga
lukanya pecah lagi.
-Dalam pada itu Lo Ci-kiat yang terguling kebawah
loteng itu telah berlari ke atas loteng lagi, kini dia sudah
membawa sebilah golok melengkung ia membentak: 'Kau
ini Sau Peng-lam dari Lam-han bukan?'
Sau-toako menjawab dengan tertawa: 'Murid Tang-wan
yang pamer jurus jatuh dengan bokong lebih dulu, termasuk
anda sudah berjumlah tiga orang. Pantas .... pantas . . . .'
-Sambil bicara ia terus ter-batuk2. Kukuatir Lo Ci-kiat
mencelakai dia, maka akupun melolos pedang dan berjaga
disamping. Lo Ci-kiat lantas bicara kepada temannya: 'Lesute,
kau layani Nikoh cilik ini.'
Temannya mengiakan, dengan golok melengkung segera
dia membacok diriku. Terpaksa kutangkis dengan pedang,
Disebelah sana Lo Ci-kiat juga melancarkan serangan
gencar terhadap Sau-toako. Sekuatnya Sau-toako
menangkis, keadaannya cukup gawat. Bseerapa jurus lagi,
pedang Sau-toako terbentur jatuh. Segera golok Lo Ci-kiat
mengancam di dada Sau-toako dan mengejek dengan
tertawa: 'Asalkan kau panggil kakek tiga kali padaku, segera
kuampuni jiwamu.'
-Sau-toako tertawa, jawabnya: 'Baik, akan kupanggil,
sesudah itu, kau harus mengajarkan jurus. . . .jurus belibis
jatuh dengan pantat lebih dulu padaku. . . .' Belum habis
ucapannya, si jahat Lo Ci-kiat ini terus mendorong
goloknya dan menancap di dada Sau-toako, hati orang jahat
ini sungguh amat keji dan kejam. . . ."
Bercerita sampai disini, air mata Gi-lim lantas berderai
membasahi kedua pipinya. Dengan tersendat ia
menyambung pula: "Mel. . . melihat keadaan Sau-toako itu.
segera kuterjang kesana hendak mencegahnya, namun
golok melengkung Lo Ci-kiat itu sudah menikam dada Sautoako
. . ."
Seketika semua orang sama bungkam. suasana menjadi
hening.
Ciamtay Cu-ih merasa sorot mata orang banyak tertuju
kearahnya dengan penuh rasa benci dan gusar serta
menghina. Dia ingin bicara sesuatu, tapi tidak tahu apa
yang yang harus dikatakan.
Selang sejenak barulah dia berucap: "Ceritamu ini kukira
tidak seluruhnya benar dan tidak sejujurnya. Kau bilang Lo
Ci-kiat telah membunuh Sau Peng-lam, tapi mengapa Cikiat
meninggal pula di tangan bocah she Sau itu?"
"Setelah tertikam goloknya, Sau-toako tertawa." tutur Gilim
pula. "Dia lantas membisiki aku;
'Siausumoay, ada .... ada suatu rahasia besar akan
kuceritakan padamu. Kau tahu jurus pedang nomor satu
didunia, yaitu Siang-liu-kiam-hoat, kitab .... kitab pusaka
ilmu pedang itu ber.... berada di . . . . makin lirih suaranya
sehingga akupun tidak mendengar, hanya kelihatan
bibirnya saja ber-gerak2 dan entah apa yang dikatakan. . . ."
Tujuan Ciamtay Cu-ih mengirim keempat muridnya,
yaitu "Eng Hiong Ho Kiat", kedaerah Tionggoan,
maksudnya ingin mencari tahu sumber berita mengenai
Siang-liu-kiam-hoat ilmu pedang nomor satu di dunia itu.
Jika di Tionggoan betul muncul ilmu pedang tersebut, maka
mereka diwajibkan segera memberi laporan.
Sekarang ia sendiri mendengar Gi-lim menyinggung
Siang-liu-kiam-hoat, tentu saja ia terkesiap, seketika ia
menjadi tegang, tanyanya: "Di .. .dimana. . . ."
Maklum, sejak tersiarnya berita tentang Siang-liu-kiamhoat
nomor satu di dunia, sejak itu hampir setiap orang
persilatan sama menaruh perhatian terhadap jejak kitab
pusaka ilmu pedang itu, siapapun ingin menemukan kitab
itu dan menjadi jago pedang nomor satu di dunia.
Hanya saja selama berpuluh tahun cuma berita itu saja
yang tersiar, tapi belum pernah terbukti Siang-liu-kiam-hoat
muncul di dunia persilatan, maka lama2 orangpun sama
melupakannya dan menganggapnya sebagai isyu belaka.
Tapi Ciamtay Cu-ih tahu Siang-liu-kiam-hoat itu benar2
ilmu pedang keluarga Sau dari Pak-cay dan bukan omong
kosong belaka. Selama 27 tahun ini tidak pernah dia
melupakan jejak Siang-liu-kiam- boh meski dia jauh berada
dilautan timur sana, Sekarang mendadak terdengar
beritanya, maka iapun ingin tahu dan bertanya dimana
beradanya kitab pusaka itu. Tapi segera teringat olehnya
bilamana terang2an ia ikut bertanya tentang kitab pusaka
itu, hal ini sama artinya dirinya juga mengincar kitab
pusaka yang dianggap cuma isyu oleh orang lain itu.
Sebab itulah dia tidak lantas bertanya lebih lanjut, diam2
ia hanya berharap Gi-lim yang masih hijau itu akan
bercerita terus terang rahasia apa yang didengarnya. asalkan
dirinya mengetahui jejak kitab pusaka itu. maka tidak sulit
baginya untuk memastikan pemilik kitab itu masih hidup
atau sudah mati.
Jadi yang diperhatikan olehnya sesungguhnya bukan
dimana beradanya Siang-liu-kiam-hoat melainkan matihidupnya
Sau Ceng-in dari Pak-cay.
Semua orang tidak memperhatikan gerak-gerik Ciamtay
Cu-ih, merekapun tidak peduli cerita Gi-lim tentang Siangliu-
kiam-boh segala, sebab mereka menganggap hal itu
cuma isyu, cuma desas-desus cuma omong-kosong belaka,
di dunia ini hakikatnya tidak ada Siang-liu-kiam-hoat,
Mereka cuma menduga sebabnya Sau Peng-lam menyebut
Siang-liu-kiam-boh sebelum ajalnya itu pasti mempunyai
maksud tujuan tertentu.
Betul juga, segera terdengar Gi-lim bercerita pula:
"Ketika mendengar Sau-toako bicara tentang ilmu pedang
nomor satu di dunia, Lo Ci-kiat jadi ketarik dan ingin tahu.
ia mendekati Sau-toako dan berjongkok, ia ingin
mendengarkan kitab pusaka itu berada dimana. Diluar
dugaan mendadak Sau-toako menyambar pedangnya yang
terjatuh dilantai itu, terus dicobloskan ke perut Lo Ci kiat. .
. .Kontan orang jahat she Lo itu terjungkal, kaki dan
tangannva berkelejotan, dan tidak dapat bangun lagi.
Kiranya Sau-toako dapat menyelami ketamakan orang yang
mengincar Siang-liu-kiam-boh, maka ia sengaja memancing
si jahat she Lo itu kedekatnya, lalu membunuhnya untuk
melampiaskan sakit hatinya. . . ."
Habis bercerita, Gi-lim menjadi lemas lunglai, ia
bergeliat dan jatuh pingsan. Cepat Ting-yat menahan
pinggang Gi-lim dan memandang Ciamtay Cu-ih dengan
menndelik.
Semua orang sama terdiam, semuanya sama
membayangkan betapa mendebarkan pertarungan yang
terjadi di Cui-sian-lau itu.
Dalam pandangan Thian-bun Tojin, Bun-sian-sing, Ho
Sam-jit dan lokoh2 kelas tinggi, sudah tentu ilmu silat Sau
Peng-lam, Lo Ci-kiat dan lain2 mungkin tiada sasuatu yang
istimewa, tapi apa yang terjadi dalam pertarungan sengit itu
sangat ngeri dan jarang terjadi didunia Kangouw. Apalagi
kejadian itu dk'sahkan o!eh seorang N'koh jilita se-bagai Gi
litr, je'as nada seiuatu yang sengajn di-besar2kan atau dibumbu2i.
Thian-bun Tojin lantas tanya Te-coat Tojin; "Sute,
setelah terluka, lalu kau kemana?"
"Maksudku hendak lari ke bawah loteng untuk mencari
bala bantuan guna menumpas bangsat cabul itu," tutur Tecoat,
"Tapi lantaran lukaku terlalu parah. setiba dibawah
aku lantas jatuh tersungkur dan tidak dapat bergerak lagi."
"Jika demikian, jadi kau pun menyaksikan sendiri apa
yang terjadi itu?" tanya Thian-bun.
"Ya, Sau Peng-lam dan Lo Ci-kiat sama2 berhati keji dan
bertindak kejam, akhirnya keduanya gugur bersama," jawab
Te-coat Tojin.
Sorot mata Ciamtay Cu-ih lantas beralih ke arah Kiau
Lo-kiat. dengan muka guram ia mendengus: "Kiau-hiantit,
beberapa hari yang lalu Sau Peng-lam telah melukai Ci-eng
dan Ci-hiong, pagi tadi dia membinasakan Ci-kiat pula di
tempat yang sama. Sesungguhnya Tang-wan kami ada
permusuhan apa dengan Lam-han kalian sehingga tanpa
sebab musabab Suhengmu selalu mencari perkara kepada
anak murid Tang-wan kami?"
Kiau Lo-kiat menggeleng, jawabnya: "Entah, Tecu tidak
tahu. Semua itu adalah sengketa pribadi antara Sautoasuheng
dengan Lo-suheng dari Tang-wan kalian, sama
sekali tiada sangkut-pautnya dengan hubungan baik antara
Tang-wan dan Lam-han."
Walaupun begitu, dalam hati Kiau Lo-kiat berpikir besar
kemungkinan Toa-suheng mengetahui tindak-tanduk anak
murid Tang-wan yang tidak pantas, makanya Toa-suheng
menjadi marah dan sengaja hendak menghajar mereka.
Sudah tentu kuatir bikin marah Ciamtay Cu-ih, maka apa
yang dipikirnya itu tidak berani dikatakannya.
Ciamtay Cu-ih lantas mendengus: "Hm, tidak ada
sangkut-paut apa, mengapa kau mengelakkan tanggungjawab.
. . ."
Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara
gedubrakan, daun jendela disebelah kiri mendadak
terpentang didobrak orang, lalu melayang masuk satu
orang.
Para hadirin adalah jago2 kelas tinggi dan dapat
memberi reaksi dengan cepat, begitu melihat sesuatu, segera
mereka menyingkir kesamping dan siap siaga.
Belum lagi terlihat jelas siapa orang yang melayang
masuk itu, "brak", kembali melayang masuk pula satu
orang. Keduanya terus mendekam di lantai dan tidak
bergerak.
Dari pakaian mereka yang serba putih jelas mereka
adalah anak murid Tang-wan. Di bagian bokong mereka
jelas kelihatan ada bekas di depak oleh kaki.
Terdengar di luar jendela ada orang berseru lantang:
"Inilah gaya belibis hinggap di padang pasir dan jatuh
dengan pantat lebih dulu!"
Secepat terbang Ciamtay Cu-ih terus melayang keluar
jendela disertai dengan suatu pukulan dahsyat, sebelah
tangannya menolak ambang jendela, ttubuhnya terus
melayang ke atap rumah, dengan sebelah kaki berdiri ditepi
emper, berpuluh tombak disekelilingnya dapat dilihat
dengan jelas.
Akan tetapi suasana sunyi senyap. hujan rintik2, malam
kelam, tiada nampak bayangan seorangpun, ia pikir orang
ini tentu sembunyi disekitar sini, tidak mungkin dalam
waktu sekejap ini menghilang tanpa bekas. Ia menyadari
orang ini pasti lawan tangguh, segera ia lolos golok
melengkung, dengan gerak cepat ia mengitar satu keliling
gedung keluargaWi ini.
Waktu itu kecuali Thian-bun Tojin yang menjaga gengsi
dan tetap berduduk ditempatnya, yang lain seperti Ting-yat
Suthay, Ho Sam-jit, Bun-siansing dan tokoh2 lain serentak
juga ikut melompat keluar. mereka sempat melihat seorang
tua berjubah putih bertubuh pendek gemuk sedang
meluncur dengan cepat dalam kegelapan, begitu cepat
sehingga mirip sejalur bayangan putih berkelebat di
kejauhan. Diam2 mereka sangat kagum terhadap Ginkang
Ciamtay Cu-ih yang tinggi dan tidak malu sebagai salah
satu tokoh Su-ki yang terkenal itu.
Meski sangat cepat Ciamtay Cu-ih memeriksa sekitar
kediaman keluarga Wi itu, hampir setiap pelosok telah
ditelitinya. Sesudab mengitar satu keliling, lalu dia
melompat masuk kembali keruangan tamu tadi. Dilihatnya
kedua muridnya masih meringkuk dilantai, pada pantat
mereka masih terlihat jelas bekas kaki yang membikin matu
Hong hoa-wan dari Tang wan itu.
Segera Ciamtay Cu-ih meraih salah seorang itu sehihgga
rebah telentang, dilihatnya orang ini adalah muridnya yang
bernama Sun Ci-cun, sedang seorang lagi ialah Ko Cithong.
Dia menepuk Hiat-to Sun Ci-cun, lalu bertanya: "Kau
dikerjai siapa tadi?"
Sun Ci cun ingin bicara, tapi sukar mengeluarkan suara.
Ciamtay Cu ih terkejut. Caranya membuka Hiat-to yang
tertutuk itu sudab hampir menggunakan tenaga dalam yang
penuh, tapi Hiat-to Sun Ci-cun ternyata beium lagi terbuka,
maka dapat diketahui tenaga tutukan lawan terlebih kuat
dari pada dirinya.
Biarpun perawakan Ciamtay Co-ih pendek gemuk, tapi
semangat tempurnya sangat kuat, setelah mengetahui
sedang menghadapi musuh lihay, dia tidak menjadi keder,
sebaliknya bertambah semangat.
Diam2 ia mengerahkan tenaga dalam sendiri dan
disalurkan ke Leng-tay-hiat di punggung Ci-cun. Selang
sebentar lagi, pelahan2 Ci-cun mulai dapat bersuara: "Su ....
Suhu . . . ."
Ciamtay Cu-ih tidak menjawabnya, ia menyalurkan
tenaga dalamnya lebih lanjut. Akhirnya dapatlah Ci-cun
bicara dengan jelas: "Suhu, Tecu tidak tahu siapa lawan
itu."
"Dimana kalian dikerjai dia?" tanya Ciamtay Cu-ih.
"Tecu dan Ko-sute sedang buang air diluar sana,
mendadak Tecu merasa punggung kesemutan dan begitulah
kami telah dikerjai oleh keparat jahanam itu,"' tutur Ci-cun.
"Hus, orang adalah tokoh kelas tinggi dunia persilatan,
jangan sembarangan memaki!" damperat CiamtayCu-ih.
Terpaksa Ci-cun mengiakan dan tidak berani bersuara
lagi.
Seketika Ciamtay Cu-ih tidak dapat meraba orang
macam apakah pihak lawan.Waktu ia berpaling, dilihatnya
Thian-bun Tojin tenang2 saja seperti tidak mau tahu
terhadap apa yang terjadi,Mendadak terpikir olehnya: "Ah,
jangan2 orang itu berada di tengah orang banyak diruangan
pendopo?"
Segera ia mengajak Ci-cun ke ruangan besar, dilihatnya
orang lagi ramai membicarakan kematian seorang murid
Yan-san-pay dan seorang murid Tang-Wan. Semua orang
lantas bungkam demi nampak munculnya Ciantay Cu-ih.
Sorot mata Ciamtay Cu-ih yang tajam itu menyapu
pandang wajah setiap orang. Yang hadir disitu semuanya
adalah jago angkatan muda, meski tidak banyak yang
dikenalnya, tapi dari dandanan mereka hampir sebagian
besar diketahuinya dari golongan atau aliran mana. Ia
menduga diantara jago angkatan muda ini pasti tiada yang
memiliki tenaga dalam sekuat itu, apabila orang itu
mencampurkan diri disini tentu akan kelihatan menyolok.
Se-konyong2 sorot matanya yang tajam berhenti pada
diri satu orang.
Bentuk orang ini agak janggal dan memuakkan. Entah
sakit bisul atau sebab lain, mukanya tertempel beberapa
potong koyok, punggungnya menonjol, jelas seorang
bungkuk.
Mendadak Ciamtay Cu-ih teringat kepada satu orang, Ia
terkejut. Pikirnya: "Apakah mungkin dia? Konon orang ini
mengasingkan diri jauh di utara yang dingin sana dan tidak
pernah masuk ke Tionggoan, juga tiada sesuatu hubungan
dengan Ngo-tay-lian-beng, mengapa dia bisa hadir di
tempat Wi Kay-hou ini? Tapi kalau bukan dia, di dunia
persilatan kan tiada orang bungkuk lain yang berbentuk
seperti ini? Wah, jika betul dia, rasanya sukar dilayani."
Pandangan semua orang serentak juga beralih kesana
mengikuti tatapan Ciamtay Cu-ih. Beberapa orang yang
berusia agak lanjut dan berpengalaman segera bersuara
heran.
Wi Kay-hou juga lantas tampil kedepan dan memberi
hormat kepada orang bungkuk itu, katanya: "Maaf, sama
sekali Cayhe tidak tahu kehadiran anda sehingga tidak
melakukan penyambutan selayaknya."
Padahal si bungkuk itu sama sekali bukan tokoh kosen
dunia persilatan segala, dia tak-lain-tak-bukan ulah Soat
Peng-say. Dia menyamar sebagai orang bungkuk, tapi
kuatir dikenal orang Tang-wan, maka sejak tadi dia selalu
memencilkan diri dibelakang orang banyak dengan
menunduk.
Sekarang pandangan orang banyak sama terpusat
kepadanya, seketika Peng-say serba susah, cepat ia
berbangkit dan membalas hormat Wi Kay-hou, katanya;-
"Ah, mana Cayhe berani menerima penghormatan sebesar
ini."
Wi Kay-hou tahu tokoh bungkuk yang disegani itu
berasal dari daerah utara, tapi logat orang ini jelas orang
dan daerah Tionggoan. Umurnya juga tidak cocok, diam2
ia menjadi curiga.
Tapi iapun tahu tindak-tanduk tokoh bungkuk itu
selamanya sukar diraba, maka dia masih tetap bersikap
hormat dan berkata: "Cayhe Wi Kay-hou, mohon tanya
siapa nama anda yang terhormat?"
Melihat orang sudah berusia lanjut, juga tergolong Bulim
cianpwe atau angkatan tua dunia persilatan, tapi
sedemikian menaruh hormat kepada dirinya, betapapun
Peng-say merasa rikuh, dengan gugup ia menjawab: ' O,
Cayhe she Soat."
"Apakah Soat artinya salju?"' tanyaWi Kay-hou.
"Betul, betul, Soat artinya salju." jawab Peng-say.
Jawaban ini membuat beberapa orang bersuara kaget
pula. Sebab tokoh bungkuk yang tinggal di daerah utara
yang dingin dan sepanjang tahun diliputi salju itu memang
she Soat.
Orang she Soat tidak banyak, sekarang diketahui Pengsay
mengaku she Soat, bentuknya juga bungkuk dan
bermuka jelek, segera orang menyangka dia ini benar2
tokoh bungkuk dari utara itu.
Tapi setelah Wi Kay-hou memancingnya lebih cermat,
diketahuinya usia Peng-say selisih terlalu jauh dengan tokoh
yang terkenal itu, rasanya tidak mungkin si tokoh itu
sendiri, andaikan ada hubungannya, paling2 juga cuma
angkatan mudanya.
Maka dia lantas bertanya: "Cara bagaimana anda
menyebut Say-pak-beng-to Soat-tayhiap? Apakah beliau itu
angkatan tua anda?"
Karena Ciamtay Cu-ih masih menatapnya dengan sikap
garang Peng-say kuatir penyamarannya diketahui, bilamana
hal ini terjadi, lalu setelah ditanya dan diketahui pula
dirinya bukan anak murid Lam-han, besar kemungkinan
Ciamtay Cu-ih akan mendesak pula pengakuan Kiau Lokiat
tentang siapa yang ikut membunuh anaknya, dan kalau
Kiau Lo-kiat mengaku, maka dirinya bisa celaka.
Dalam keadaan kepepet begini dilihatnya Wi Kay-hou
sangat menghormat kepada pendekar besar yang juga she
Soat itu, diam2 Peng-say merasa akan lebih aman jika
untuk sementara dirinya mengikuti arah angin saja agar
penyamarannya tidak diketahui Ciamtay Cu-ih, maka dia
lantas menjawab pertanyaan Wi Kay-hou tadi.
"Kau tanya tentang Say-pak-beng-to Soat-tayhiap? Hehe,
beliau memang boleh dikatakan angkatan tua kami!"
Karena tidak menemukan orang lain yang mencurigakan
di ruangan ini, Ciamtay Cu-ih menduga orang yang
mengerjai kedua muridnya itu pasti si bungkuk ini. Jika
menghadapi Say-pak-beng-to (si unta sakti dari utara) Soat
Ko-hong sendiri, mungkin dirinya harus berpikir dua kali,
tapi orang ini hanya angkatan muda keluarga Soat, kenapa
mesti takut padanya. Apalagi dia yang mencari perkara
lebih dulu kepada Tang-wan,
Sebagai satu di antara Su-ki yang disegani, selama hidup
Ciamtay Cu-ih tidak pernah tunduk kepada siapapun juga,
sekarang iapun tidak rela Tang-wan dihina orang. Segera ia
mendengus: "Hong-hoa-wan dan Soat-siansing dari Say-pak
selamanya tiada sesuatu sengketa apapun, entah sebab apa
anda telah meaghajar muridku yang tak becus ini?"
Menghadapi Ciamtay Cu-ih, Peng-say jadi ingat orang
ini sengaja menyuruh anaknya berbuat se-wenang2, bahkan
menyuruhnya menikahi puterinya sendiri, perbuatan
demikian tiada ubahnya seperti hewan, seketika darah
bergolak di rongga dada Peng say, saking gemasnya segera
ia hendak memakinyi sebagai hewan. Tapi segera teringat
lagi akibatnya jika dirinya bertindak ceroboh, mungkin
gagal menolong adik Leng, sebaliknya jiwa sendiripun akan
melayang disini.
Karena tidak tahu apa maksud ucapan Ciamtay Cu-ih
tadi, tapi iapun mengikuti nada orang dan menjawab:
"Anakmu sendiri berbuat jahat, muridmu pasti juga bukan
orang baik2. Selama hidup Say-pak-beng-to Soat-cianpwe
suka melakukan kebajikan, menumpas kaum lalim dan
membantu kaum lemah. Aku yang menjadi angkatan muda
beliau dengan sendirinya juga ingin mewakilkan beliau
untuk memberi hajaran kepada muridmu."
Tidak kepalang gusar Ciamtay Cu-ih sehingga mukanya
merah padam.
Sedangkan Wi Kay-hou bertambah yakin Soat Peng-say
pasti anak murid Soat Ko-hong, setelah mendengar
jawabannya itu, ia menjadi kuatir Ciamtay Cu-ih akan
menyerang Soat Peng-say, akibatnya tentu akan
mendatangkan pembalasan Soat Ko-hong yang terkenal
sukar dilayani itu. Maka cepat ia menengahi, katanya:
"Ciamtay-wancu dan Soat-heng, kalian berkunjung kemari,
dengan sendirinya kalian adalah tamu agungku. Hendaklah
kalian ingat diriku dan sudilah minum secawan
perdamaian. Hayo ambilkan arak!"
Segera kaum pelayan mengiakan dan menuangkan arak!
Sudah tentu Ciamtay Cu-ih tidak gentar terhadap si
bungkuk muda ini, tapi teringat kepada macam2 tindakan
keji Soat Ko-hong seperti yang tersiar di dunia kangouw,
betapapun ia sungkan untuk bermusuhan dengan orang
begitu. Akan tetapi ketika arak disodorkan oleh pelayan, ia
tidak lantas menerimanya, ia ingin tahu dulu bagaimana
sikap lawan.
Sebaliknya Soat Peng-say juga sangat gemas terhadap
Ciamtay Cu-ih, terutama bila ingat orang ini mengharuskan
adik Leng menjanda selama hidup bagi anaknya, meski dia
jeri terhadap kepandaian orang, namun hal ini tidak
mengurangi rasa bencinya kepada Ciamtay Cu-ih.
Karena itulah iapun memandang Ciamtay Cu-ih dengan
melotot, iapun tidak menerima arak yang disodorkan
kepadanya.Malahan mestinya dia ingin memaki orang, tapi
terpengaruh oleh wibawa Ciamtay Cu-ih, ia tidak berani
bersuara.
Mendadak Ciamtay Cu-ih menjengek: "Eh, marilah kita
berkawan . ..." berbareng itu secepat kilat dia jabat sebelah
tangan Soat Peng-say.
Cepat Peng-say meronta, tapi tidak terlepas, segera ia
merasakan tangannya kesakitan, tulang telapak tangan
sampai bunyi berkeliutan, rasanya akan hancur teremas.
Tapi Ciamtiy Cu-ih tidak lagi mengerahkan tenaga
remasannya, maksudnya cuma hendak membikin Soat
Peng-say kesakitan dan minta ampun saja. Tak terduga
Peng-say memang anak bandel. biarpun sakitnya merasuk
tulang, namun karena bencinya terhadap Ciamtay Cu-ih,
biar matipun dia tidak sudi minta ampun,Maka sama sekali
ia tidak bersuara,, ia hanya meringis kesakitan dan tetap
bertahan.
Wi Kay hou dapat melihat butiran keringat sebesar
kedelai menghiasi dahi Soat Peng-say, namun anak muda
ini masih tetap bertahan tanpa bersuara, diam2 iapun
kagum terhadap kekerasan hati Peng-say. Segera ia
bermaksud melerai.
Tapi sebelum dia bersuara, se-konyong2 seseorang
berseru dengan suara melengking tajam! "Ciamtay-wancu,
kenapa kau iseng dan merecoki anak Soat Ko-hong?!"
Waktu semua orang berpaling, terlihatlah di depan pintu
berdiri seorang bungkuk pendek gemuk.
Muka orang bungkuk ini penuh panu, banyak pula toh
hijau dan berbulu, mukanya sungguh jelek, tubuhnya
gemuk dan sangat pendek, ditambah lagi punggungnya
yang menggunung, dipandang dari jauh mirip satu biji
bakpao raksasa.
Kebanyakan hadirin tidak pernah melihat muka asli Soat
Ko-hong. Sekarang pendatang ini memberitahukan
namanya sendiri dan cocok dengan potongannya yang aneh
itu, maka terkesiap juga orang banyak.
Yang lebih hebat lagi, si bungkuk yang buntak ini
tampaknya sangat lambat gerak-geriknya tapi entah cara
bagaimana, tahu2 dia telah menggelinding kesamping Soat
Peng-say.
Sambil menepuk pundak Peng-say, dengan tertawa ia
berkata. "Anak baik, cucu sayang, kau telah membual bagi
kakek, bahwa kakek suka menumpas yang lalim dan
menolong kaum lemah, semua obrolanmu itu sungguh
sangat menyenangkan hatiku!"
Tapi ia terkejut karena tepukannya tidak membuat
pegangan Ciamtay Cu-ih terlepas. Maka sembari bicara
dengan Soat Peng-say ia terus mengerahkan tenaga
dalamnya, waktu dia menepuk lagi untuk kedua kalinya,
sekarang telah digunakan tenaga sepenuhnya.
Pandangan Peng-say menjadi gelap, darah terasa
bergolak dan hampir saja tertumpah keluar, sebisanya dia
bertahan dan menelan kembali darah yang akan membanjir
keluar itu.
Tangan Ciamtay Cu-ih sekarang juga merasa kesakitan
dan tidak sanggup menjabat lebih erat lagi, terpaksa ia lepas
tangan dan mundur selangkah, pikirnya: "Keji amat hati
orang bungkuk ini, demi untuk menggetar lepas tanganku,
dia tidak segan2 menimbulkan luka dalam anak-buahnya
sendiri."
Tapi Soat Peng-say lantas bergelak tertawa, katanya
kepada Ciamtay Cu-ih: "Haha, tampaknya Kungfu Honghoa-
wan kalian juga cuma begini saja, kalau dibandingkan
Soat-cianpwe ini sungguh selisih sangat jauh, kukira lebih
baik kau angkat guru saja kepada Soat-cianpwe dan
mungkin kau akan tambah pandai. . . ."
Sebenarnya luka dalam Soat Peng-say cukup parah,
waktu bicara, isi perutnya serasa berjungkir balik tak
keruan, sekuatnya ia selesaikan ucapannya dan tubuhpun
ter-huyung2.
Ciamtay Cu-ih berkata: "Baik, kau suruh aku belajar
kepada Soat-siansing, saranmu ini memang sangat baik.
Kau sendiri adalah anak murid Soat siansing,
kepandaianmu tentu juga sangat tinggi biarlah kubelajar
kenal dulu dengan kau."
Dengan ucapannya itu secara langsung dia menantang
Soat Peng-say, sebagai seorang tokoh ternama, dengan
sendirinya Soat Ko-hong tidak dapat ikut campur.
Soat Ko-hong lantas menyurut mundur dua tindak,
katanya dengan tertawa; "Eh. cucuku sayang, kukira
kepandaianmu masih terlalu cetek, jelas kau bukan
tandingan Hong hoa-wancu, begitu gebrak tentu kau bisa
dibinasakan olehnya. Padahal kakek sudah terlanjur sayang
kepada cucu ganteng seperti kau ini, jika terbunuh tentu
sukar mencari cucu yang lain. Begini saja, kau berlutut dan
menyembah serta panggil kakek padaku dan mintalah agar
kakek turun tangan bagimu."
Soat Peng-say memandang Ciamtay Cu-ih sekejap, lalu
memandang Soat Ko-hong pula. Pikirnya: "Jika benar harus
kuhadapi orang she Ciamtay ini, bisa jadi sekali gebrak saja
aku akan terbunuh lalu cara bagaimana dapat kuselamatkan
adik Leng? Sebaliknya, seorang lelaki gagah perwira mana
boleh tanpa alasan menyebut orang bungkuk ini sebagai
kakek, aku terhina tidak menjadi soal, tapi leluhur juga ikut
terhina, itulah yang tidak boleh terjadi. Sekali aku
menyembah padanya, itu berarti aku telah minta
perlindungan kepada Say-pak-beng-to lalu selamanva sukar
lagi bagiku untuk mengangkat namaku sendiri."
Karena pikirannya bergolak, tubuh Peng-say menjadi
gemetar.
"Hm. kukira kau memang pengecut!" demikian Ciamtay
Cu-ih mengejek pula, "Maka lebih baik kau menyembah
dan mobon bantuan orang, kan tidak menjadi soal
bagimu?"
Lamat2 ia dapat melihat hubungan Soat Peng-say dan
Soat Ko-hong rada2 luar biasa, jelas bukan anggota
keluarga sendiri, buktinya Peng-say cuma menyebut tokoh
bungkuk itu sebagai "Cianpwe" dan tidak menggunakan
panggilan lain. Sebab itulah ia sengaja memancingnya
dengan kata2 yang menusuk perasaan, asalkan Soat Pengsay
tidak tahan dan maju sendiri untuk menghadapi dia,
maka urusan menjadi mudah diselesaikan.
Pikiran Peng-say juga sedang bekeria, teringat olehnya
selama lebih sebulan ini, sejak di Siau-ngo-tay-san dirinya
dikalahkan Liok-ma, ber-turut2 ditemui pula tokoh2 kelas
tinggi, kepandaian sendiri sesungguhnya selisih sangat jauh
dibandingkan anak murid Su-ki maupun Sam-yu, jelas
untuk menolong adik Leng bukanlah pekerjaan yang
mudah. Tapi teringat olehnya cerita sejarah di jaman
permulaan dinasti Han, sebelum masa jayanya Han Sin
pernah dihina orang dengan disuruh merangkak lewat
selangkangan, tapi dia rela melakukannya dan akhirnya
malah mendapat pahala dan jadilah dia panglima yang tak
terkalahkan dan berhasil ikut membangun dinasti Han yang
jaya itu.
Seorang lelaki sejati, jika tidak sabar terhadap soal kecil,
tentu akibatnya akan mengacaukan urusan besar. Asalkan
kelak dapat berjaya dan menonjol, apa halangannya
sekarang mendapatkan sedikit hinaan?
Karena pikiran itulah, mendadak ia membalik tubuh
terus berlutut kepada Soat Ko-hong, disembahnya tokoh
bungkuk itu, katanya: "Kakek, kelakuan Ciamtay Cu-ih ini
tiada ubahnya seperti hewan, setiap orang Bu-lim wajib
membunuhnya. Untuk itu hendaklah kakek menegakkan
keadilan dan menumpas orang jahat ini bagi dunia
Kangouw.
Perbuatan Soat Peng-say ini benar2 diluar dugaan
siapapun juga termasuk Soat Ko-bong dan Ciamtay Cu-ih,
tiada seorangpun yang menyangka anak muda yang keras
kepala ini mau tunduk dan menyembah kepada orang.
Hendaklah dimaklumi bahwa setiap orang persilatan
pada umumnya mengutamakan nama dan kehormatan,
biarpun di-sayat2 juga tidak mau tunduk, apalagi dihina di
depan umum.
Tadinya semua orang mengira si bungkuk muda ini
adalah cucu Soat Ko-hong, umpama bukan cucu sungguh2,
mungkin juga cucu murid atau cucu keponakan dan
sebagainya. Hanya Soat Ko-hong sendiri yang tahu anak
muda ini tiada sangkut-paut sedikitpun dengan dirinya.
Namun Ciamtay Cu-ih dapat melihat ketidak beresan
diantara hubungan Soat Ko-hong dan Soat Peng-say itu,
hanya saja ia tidak dapat menerka dengan pasti huhungan
sesungguhnya antara kedua orang itu, namun didengarnya
panggilan "kakek" yang diucapkan Peng-say itu terasa
sangat dipaksakan. ia menduga mungkin anak muda itu
takut mati, maka terpaksa memanggil kakek kepada si
bungkuk untuk minta perlindungan.
Begitulah Soat Ko-hong lantas bergelak tertawa dan
berseru: "Hahahaha! Cucu sayang, bagaimana, apakah kita
benar2 hendak main2?"
Kedengarannya dia bicara kepada Soat Peng-say, tapi dia
berkata sambil menghadapi. Ciamtay Cu-ih, jadi ucapannya
"cucu sayang" itu se-akan2 ditujukan kepada tokoh Tangwan
itu.
Keruan Ciamtay Cu-ih tambah murka, ia tahu
pertarungan ini bukan saja menyangkut mati-hidupnya
sendiri, bahkan juga menyangkut jaya dan runtuhnya Honghoa-
wan. Maka diam2 ia menghimpun tenaga dan siap
siaga, ia tertawa hambar dan berkata: "Rupanya Soatsiansing
ada maksud pamer ilmu saktinya di depan orang
banyak, agar semua orang dapat menambah pengalaman,
terpaksa kuiringi kehendak Soat-siansing."
Dari tepukan Soat Ko-hong tadi Ciamtay Cu-ih sudah
tahu tenaga dalam si bungkuk terlebih kuat daripada
dirinya, bahkan kelihatan sangat keras, sekali dilontarkan
sukar ditahan lagi dan pasti akan terus melanda lawan
seperti gugur gunung dahsyatnya. Maka diam2 Ciamtay
Cu-ih mengambil keputusan dalam serarus jurus pertama
hanya akan bertahan saja tanpa menyerang, akan
ditunggunya bilamana kekuatan musuh sudah mulai lemah
baru dia akan melancarkan serangan balasan.
Sesungguhnya ilmu silat Hong-hoa-wan di lautan timur
juga berasal dari Tionggoan, mengutamakan kelunakan
untuk mengatasi kekerasan, maka dalam hal kesabaran
Ciamtay Cu-ih cukup tahan uji. Ia pikir asalkan dapat
bertanding sama kuatnya dengan tokoh bungkuk ini, maka
nama baik Hong-hoa-wan dapatlah ditegakkan kembali dan
berjaya seperti 27 tahun yang lalu. Ia menduga bila si
bungkuk tak dapat merobohkan lawannya, akhirnya tentu
akan gelisah dan menyerang secara ceroboh, apabila
pertarungan sudah melebihi ratusan jurus, bukan mustahil
akan dapat ditemukan lubang2 kelemahan si bungkuk,
tatkala mana dapatlah dia merobohkan lawan tersebut
dengan mudah.
Rupanya maksud kedatangannya kedaratan Tionggoan
ini salah satu tujuannya ialah ingin menegakkan nama
Hong-hoa-wan. Maklumlah sudah 27 tahun dia
mengasingkan diri, pada umumnya orang Bulim sudah
melupakan dia. Di dunia persilatan sekarang orang hanya
memuja Sam-yu Ji-ki atau Tiga serangkai dan dua tokoh
sakti, yaitu apa yang sekarang bergabung di dalam Ngo taylian-
beng atau persekutuan lima besar ini. Terhadap Ji-ki
atau dua tokoh sakli yang lain, meski diketahui Ciamtay
Cu-ih masih hidup dilautan bebas sana, tapi dianggap sudah
menghilang seperti halnya Sau Ceng-in dari Pak-cay.
Nama "Say-pak-beng-to" atau si untu sakti dari utara,
memang tidak segemilang Sam-yu dan Ji-ki, tapi dalam
pandangnn tokoh2 angkatan tua, ilmu silat si makhluk aneh
ini bahkan diatas kelima tokoh besar itu. Apabila sekarang
Ciamtay Cu-ih dapat mengalahkannya sejurus-dua, maka
harga diri Ciamtay Cu-ih pasti akan menanjak dan tiada
seorangpun yang berani meremehkan dia.
Soat Ko-hong sendiri juga sedang me-nimang2
lawannya, ia lihat perawakan Ciamtay Cu-ih kurus kecil
seperti badan anak kecil, kalau ditimbang mungkin tidak
ada 80 kati. tapi berdirinya ternyata begitu tegak dan kukuh
seperti bukit yang tak tergoyahkan, sikapnya yang kereng
jelas menampilkan gaya seorang guru besar suatu aliran
tersendiri, jelas betapa tinggi Lwekang si kakek kecil ini
tidak boleh dipandang enteng. Maka diam2 Soat Ko-hong
merasa waswas, betapapun si bungkuk tidak boleh
terjungkal ditangan seorang kakek kecil begini. Karena
itulah dia tidak berani sembarangan melancarkan serangan,
tapi mengawasi lawan dengan cermat.
Begitulah kedua orang pendek itu saling menatap dengan
prihatin, senyuman mereka sudah lenyap dan pertarungan
sengit segera akan terjadi.
Thian-bun Tojin, Ting-yat Suthay dan lain2 sama tidak
suka kepada Ciamtay Cu-ih. sebab pada 27 tahun yang lalu,
pada masa jayanya Ciamtay Cu-ih, boleh dikatakan di mata
tokoh Tang-wan itu tidak merasakan adanya Tionggoansamyu,
anak murid tiga serangkai itupun sering dihinanya.
Tapi sekarang jaman telah berubah, Sam-yu dan Ji-ki telah
bersekutu dan memimpin dunia persilatan, namun Ciamtay
Cu-ih sama sekali tidak memberikan salam atau kata2
pujian lain, dalam pandangannya se-olah2 persekutuan lima
besar itu telah merosotkan harga diri Bulim-suki dahulu.
Mengenai pribadi Soat Ko-hong, namanya sangat busuk
di dunia persilatan. Meski dia tidak melakukan kejahatan
dan memusuhi Ngo-tay-lian-beng, tapi hampir semua tokoh
utama kelima besar itu lama memandang Soat Ko-hong
sebagai manusia rendah dan tidak sudi berkumpul dengan
dia.
Sebab itulah, bagaimana hasil dari pertarungan antara
Ciamtay Cu-ih dan Soat Ko-hong ini bukan soal bagi
mereka. Bahkan dalam hati Thian-bun Tojin dan Ting-yat
Suthay berharap semoga pertarungan kedua orang itu
berlangsung dengan sengitnya, kalau keduanya mampus
bersama malahan kebetulan bagi mereka.
Hanya Wi Kay-hou saja yang mempunyai hubungan
yang rada akrab dengan Ciamtay Cu-ih, di samping itu
iapun tuan rumahnya, maka sedapatnya ia ingin mencegah
pertarungan kedua orang itu.
Akan tetapi kedua orang itu adalah tokoh yang punya
harga diri, barang siapa mundur lebih dulu berarti kalah.
Walaupun keduanya juga menyadari pertarungan ini tanpa
tujuan berarti, cuma keduanya sudah kadung sama ngotot
sehingga mau-tak-mau harus saling gebrak.
-ooo0dw0oooJilid16
Pada saat pertarungan sudah hampir berlangsung itulah.
se-konyong2 seorang melompat keluar dari belakang meja
dan "bluk" jatuh di lantai. Belum lagi semua orang tahu
jelas apa yang terjadi "bluk", kembali seorang menerobos
keluar lagi dan terbanting di lantai. Keduanya sama
menggeletak tengkurap dan tak berkutik.
Walaupun muka kedua orang itu tidak kelihatan jelas,
tapi keduanya sama memakai seragam putih dan bagian
pantat masing2 ada cap kaki. Menyusul terdengar suara
seorang anak perempuan berteriak dengan nyaring: "Itulah
kepandaian andalan Tang-Wan yang disebut jatuh dengan
pantat lebih dulu!"
Tentu saja Ciamtay Cu-ih sangat gusar, sekali berpaling,
tanpa peduli siapa yang bicara itu, terus saja ia melompat
kesana menurut arah datangnya suara tadi, dilihatnya
seorang anak perempuan berbaju hijau berdiri disamping
meja, tanpa pikir lengan anak perempuan itu terus
dicengkeramnya.
"Aduh, mak!" teriak anak perempuan itu dan
menangislah dia.
Ciamtay Cu-ih terkejut Saking gusarnya oleh ucapannya
yang menghina tadi, ia sangka kedua muridnya telah
dikerjai pula oleh dara cilik ini, tanpa pikir ia terus
mencengkeramnya dengan keras, ketika dara cilik itu
menjerit dan menangis barulah ia ingat orang hanya anak
perempuan yang masih kecil, tindakannya ini tentu akan
menurunkan derajatnya sebagai Hong-hoa-wancu, maka
cepat ia lepas tangan.
Tak tersangka anak perempuan itu makin keras
menangisnya, bahkan terus ber-teriak2: "Lenganku patah,
lenganku patah! Uuhhh! Kau mematahkan lenganku. . . ."
Hong-hoa-wancu Ciamtay Cu-ih sudah pernah
menghadapi pertempuran sengit dan sering mengalami
pertarungan dahsyat, tapi adegan runyam begini belum
pernah dialaminya. Apalagi sorot mata beratus orang sama
tertuju kepadanya dengan sikap yang tidak suka, seketika
mukanya merah, dengan bingung ia membujuk anak dara
itu: "Diam, jangan menangis, jangan menangis, tanganmu
tidak apa2, tidak patah."
"Patah, sudah patah!" seru dara cilik itu dengan
menangis. "Huk-huk, orang tua memukul anak kecil, tidak
tahu malu. Uuhhh. sakit. . . . sakit. ..."
Usia anak perempuan ini kira2 baru 11 atau 12'tahun,
berbaju hijau muda, kulit badannya putih bersih, mukanya
bulat telur, cantik menyenangkan, setiap orang pasti
bersimpati padanya. Maka beberapa orang lantas berteriak:
"Terlalu si pendek itu, hajar saja dia! Ya, mampuskan tua
bangka kecil yang tidak tahu malu itu!"
Ciamtay Cu-ih merasa serba susah. menghadap
kemarahan orang banyak, ia tidak berani menanggapi,
terpaksa ia membujuk pula si anak kecil, "Maaf adik cilik,
jangan nmenangis, tidak apa2, coba kuperiksa tanganmu,
bagian mana yang sakit?" Sambil berucap ia terus hendak
menggulung lengan baju anak perempuan itu.
Tapi anak itu lantas berteriak: "Tidak, jangan menyentuh
diriku. O, ibu, tua bangka pendek ini telah mematahkan
lenganku!"
Selagi Ciamtay Cu-ih merasa bingung, tiba2 dari
kerumunan orang banyak tampil kemuka seorang lelaki
berjubah putih. ialah Ji Ci-ho, salah seorang murid
kesayangan Ciamtay Cu-ih, "Anak kecil jangan cengeng
dan pura2." kata Ci-ho kepada dara cilik itu. "Tangan
guruku sama sekali tidak menyentuh dirimu, manabisa
lenganmu dipatahkan olehnya?"
"Uuhhhh! ibu, ada orang jahat hendak memukul aku
lagi!" teriak anak perempuan itu.
Ting-yat menjadi gusar, segera ia melangkah maju terus
menampar kemuka Ci-ho sambil membentak: "Besar
memukul kecil, tidak tahu malu?!"
Segera Ci-ho hendak menangkis, tak tahunya Ting-yat
Suthay justeru sengaja memancingnya menangkis,
mendadak tangan Ting-yat yang lain meraih dan dapat
memegang tangan Ci-ho, menyusul tangan kiri terus
memotong ke balik siku Ci-ho, bilamana serangan ini tepat
kena sasarannya, maka tangan Ci-ho itu pasti patah.
Untung Ciamtay Cu-ih keburu bertindak, secepat kilat ia
tutuk punggung Ting-yat, inilah serangan maut yang
memaksa lawan harus menyelamatkan diri sendiri lebih
dulu. Mestinya siku tangan Ci-ho sudah tertekan oleh
tangan Ting-yat, tapi tiba2 didengarnva sambaran angin
yang kuat, tutukan Ciamtay Cu-ih sudah mendekat,
terpaksa Ting-yat lepas tangan dan menangkis kebelakang.
Ciamtay Cu-ih tidak ingin bertempur dengan Ting-yat, ia
tersenyum dan melompat mundur.
Biasanya Ting-yat Suthay sangat suka kepada anak
perempuan yang cantik, hampir semua muridnya adalah
nona cantik pilihan seperti halnya Gi-lim yang jelita itu. Dia
lantas pegang tangan anak perempuan tadi dan bertanya
dengan suara lembut: "Anak sayang, bagian mana yang
sakit, coba kulihat, akan kuobati kau!"
Tapi dilihatnya lengan anak perempuan itu tidak patah,
maka legalah hatinya. Ia menyingsing lengan baju anak
perempuan itu, terlihat dengan jelas lengannya yang putih
mulus itu ada empat jalur hijau, bekas cengkeraman jari.
Dengan gusar Ting-yat lantas membentak Ci-ho:
"Bangsat cilik yang suka membohong, coba lihat sendiri,
jika gurumu tidak menyentuh tangannya, siapa lagi yang
meremas lengannya sehingga meninggalkan bekas jari ini?"
"Okui (kura2) yang meremas tanganku, Okui yang
meremas tanganku!" seru anak perempuan itu sembari
menuding punggungCiamtay Cu-ih.
Mendadak bergemuruhlah gelak tertawa orang banyak,
ada yang sedang minum sehingga air teh tersembur keluar
lagi, ada yang menungging sambil memegangi perutnya
yang mulas saking gelinya.
Ciamtay Cu-ih menjadi bingung, ia tidak tahu apa yang
ditertawakan orang banyak itu. Ia pikir anak perempuan
memakinya sebagai Okui (kata makian atau kata kiasan
bagi kaum germo), hal ini dapat dimengerti karena anak
perempuan itu merasa penasaran dan mestinya tidak ada
sesuatu yang menggelikan. Namun orang banyak toh tetap
bergelak tertawa terhadapnya, mau-tak-mau ia menjadi
heran dan serba kikuk.
Cepat Ci-ho melompat kebelakang Ciamtay Cu-ih dan
menanggalkan sehelai kertas yang menempel di baju sang
guru, berbareng kertas itu terus diremasnya
Ciamtay Cu-ih meminta kertas itu, dibentangnya dan
dilihat, ternyata kertas itu bergambar se-ekor Okui atau
kura2. Terang ditempel oleh anak perempuan itu ketika
dirinya lengah tadi.
Gusar dan malu Ciamtay Cu-ih, tapi segera iapun
terkesiap. Pikirnya: "Okui ini jelas sudah dilukis
sebelumnya, jadi diam2 memang ada orang yang
mendalangi perbuatan anak perempuan ini."
Ia berpaling dan memnndang Wi Kay-hou sekejap,
pikirnya: "Anak ini tentu anggota keluargaWi, rupanyaWi
Kay-hou yang main gila padaku."
Ditatap begitu oleh Ciamtay Cu-ih, segera Wi Kiy-hou
paham apa artinya, ia mendekati anak perempuan itu dan
bertanya: "Adik cilik, kau ini keluarga siapa? Di mana ayahbundamu?"
Pertanyaan ini mempunyai dua maksud tujuan, pertama
untuk membuktikan dirinya tiada sangkut-pautnya dengan
anak perempuan itu. Kedua ia sendiripun merasa curiga
dan ingin tahu siapa yang membawa anak ini kemari.
Terdengar anak perempuan itu menjawab, "Ayah ibuku
ada urusan lain telah pergi, aku disuruh duduk menunggu
disini, katanya sebentar akan ada tontonan yang menarik,
katanya ada orang dapat melayang dan menggeletak tak
bergerak, konon gerakan ini adalah Kungfu kebanggaan
Tang-wan yang disebut belibis jatuh dengan pantat lebih
dulu dan apa segala, tampaknya memang betul sangat
menarik!"
Sambil berkata ia terus bertepuk tangan dan tertawa
gembira, padahal airmata masih meleler dipipinya.
Semua orang menjadi senang, mereka tahu itu orang tua
yang sengaja mengajarkan anak perempuan ini
mencemoohkan Tang-wan. Nama Tang-wan memang
kurang baik, sekarang dua muridnya menggeletak di situ
tanpa bisa bergerak, boleh dikatakan Tang-wan telah
kehilangan pamor habis2an, maka bergemuruhlah tertawa
orang banyak.
Ciamtay Cu-ih menepuk tubuh salah seorang muridnya
itu, ia menjadi kaget ketika tubuh muridnya dirasakan
sudah kaku dan dingin. Jelas keduanya sudah mati sejak
tadi.
Cepat ia membalik tubuh muridnya itu, tertampak air
mukanya mengunjuk senyuman aneh. Seketika jari Ciamtay
Cu-ih bergetar, betapapun tenangnya, demi melihat
senyuman yang aneh ini, sungguh seperti melihat hantu,
takut dan ngeri.
Maklumlah, sebab senyuman aneh ini baginya sudah
tidak asing lagi, justeru senyuman aneh ini adalah akibat
pukulan "Cui-sim-ciang" (pukulan penghancur hati), sejenis
Kungfu khas Tang-wan sendiri.
Orang yang mati terkena pukulan maut itu akan
memperlihatkan tanda khas, yaitu senyuman yang aneh.
Sesungguhnya juga bukan senyuman, akan tetapi lebih tepat
dikatakan meringis. karena korban yang terkena Cui-simciang
akan merasakan kesakitan luar biasa sehingga kulit
daging bagian muka berkerut dan mengejang sehingga
menimbulkan "senyuman" yang aneh ini.
Di seluruh dunia ini hanya Cui-sim-ciang saja yang dapat
menimbulkan air muka yang aneh itu pada korbannya, dari
sini dapat diduga bahwa kedua muridnya ini mati di tangan
orang seperguruannya sendiri. Seketika muka Ciamtay Cuih
menjadi sebentar pucat sebentar hijau dan tidak dapat
bersuara.
"Hei, Cui-sim-ciang!" mendadak Soat Peng-say berteriak.
"Inilah Kungfu Tang-wan sendiri!"
Kiranya pada waktu mau turun gunung Peng-say telah
diberitahu oleh gurunya agar hati2 terhadap Cui-sim-ciang
dari Tang-wan dan diberi penjelasan ciri2 ilmu pukulan
tersebut, maka begitu melihat segera ia tahu.
Di antara para hadirin yang berusia agak tua juga kenal
ciri khas Cui-sim-ciang ini, maka banyak diantaranya ikut
berseru: "Ah, kiranya orang Tang-wan saling membunuh
sendiri!"
Kusut juga pikiran Ciamtay Cu-ih,dengan suara rendah
ia berkata kepada Ci-ho agar menggotong pergi mayat
kawannya itu. Cepat Ci-ho memanggil beberapa saudara
perguruannya, be-ramai2 kedua sosok mayat itu lantas
diusung pergi.
Mendadak anak perempuan tadi berseru sambil
berkeplok: "Wah, orang Hong-hoa-wan dari Tang-hay
sungguh sangat banyak! Mati satu digotong dua, mati dua
digotong empat!"
Dengan muka kelam Ciamtay Cu-ih bertanya kepada
anak perempuan itu: "Siapa ayahmu? Kata2mu barusan ini
apakah ajaran ayahmu?"
Hendaklah maklum bahwa ucapan anak perempuan tadi
sesungguhnva sangat keji, tiada ubahnya seperti mengutuki.
Jika bukan diajar oleh orang tua, usia sebaya dia pasti tidak
dapat mengeluarkan Kata2 begitu.
Anak perempuan itu tidak menjawab pertanyaan
Ciamtay Cu-ih, dengan tertawa ia malah menyambung pula
angka perkalian: "Satu kali dua sama dengan dua, dua kali
dua sama dengan empat, dua kali tiga .... dua kali enam
sama dengan duabelas. . . ."
"He, kutanya padamu!" seru Ciamtay Cu-ih, suaranya
cukup bengis.
Anak perempuan itu mewek2 dan menangis lagi sambil
menyembunyikan mukanya di pangkuan Ting-yat.
"Jangan takut! Anak sayang, jangan takut!" hibur Tingyat
sambil tepuk2 punggungnya dengan pelahan. Lalu dia
berpaling kepada Ciamtay Cu-ih dan berkata: "Kau sendiri
tidak becus mengajar dan anak muridmu saling membunuh
sendiri, kenapa kau lampiaskan rasa gusarmu terhadap
seorang anak kecil?"
Ciamtay Cu-ih mendengus dan tidak menggubrisnya.
Mendadak anak perempuan itu menengadah dan berkata
kepada Ting-yat: "Losuhu. dua kali dua sama dengan
empat, dua orang mati digotong empat orang, dua kali tiga
sama dengan enam, tiga orang mati harus digotong enam
orang, dua kali empat sama dengan delapan ..." dia tidak
melanjutkan, tapi lantas tertawa ter-kikik2.
Tercengang juga orang banyak melihat anak perempuan
ini sebentar tertawa sebentar menangis, kalau anak kecil
umur lima-enam tahun masih dapat dimengerti, tapi anak
perempuan ini tampaknya berumur antara dua belasan,
malahan perawakannya rada jangkung, apalagi setiap
ucapan selalu mengutuki Ciamtay Cu-ih, jelas bukan kata2
anak kecil yang belum tahu apa2, tapi pasti ada dalangnya
di belakang anak ini.
Dengan suara keras Ciamtay Cu-ih lantas berseru:
"Seorang lelaki sejati harus bertindak secara terang2an, jika
ada kawan yang tidak suka kepada diriku, silakan tampil ke
muka untuk bicara, jika main sembunyi2 dan menyuruh
seorang anak kecil untuk mengoceh iseng begitu,
memangnya terhitung ksatria atau orang gagah macam
apa?"
Meski pendek perawakan Ciamtay Cu-ih. tapi kata2nya
itu sangat keras dan lantang hingga terasa mendengung di
telinga pendengarnya. Mau-tak-mau semua orang sama
merasa kagum dan tidak berani lagi memandang hina
padanya.
Suasana menjadi hening, tiada seorangpun yang
menanggapi.
Selang sejenak, tiba2 anak perempuan tadi berkata;
"Losuhu, dia tanya orang gagah macam apa? Apa orang
dari Hong-hoa-wan mereka itu-pun orang gagah?"
Ting-yat Suthay adalah tokoh terkemuka Siong-san-pay,
meski iapun tidak suka terhadap pribadi Ciamtay Cu-ih,
tapi tidaklah leluasa baginya untuk menghina Hong-hoawan
didepan umum, maka ia hanya menjawab secara
samar2: "Hong-hoa-wan di. . . dimasa dahulu memang
banyak juga menampilkan orang gagah."
"Dan sekarang bagaimana? Apakah masih tersisa orang
gagahnya?" tanya pula si anak perempuan.
Di seluruh ruangan pendopo hanya si anak perempuan
saja yang bicara, suaranya bening dan jelas sehingga sangat
menarik perhatian.
Dengan benci Ciamtay Cu-ih melototi anak
perempuaanitu, dari ucapan anak itu ia ingin tahu
sebenarnya siapa biangkeladi dibelakang layar yang sengaja
mencari perkara kepada Tang-wan.
Ting-yat berdehem, jawabnya kemudian: "Hal ini kurang
jelas, jaman sudah berubah, orang sekarang lain dengan
orang dulu. Ksatria sejati dan orang gagah tulen memang
jarang terlihat lagi."
Di balik ucapan itu jelas dapat diketahui dia tidak
mengakui bahwa di Hong hoa-wan sekarang masih ada
ksatria sejati.
Si anak perempuan lantas berkata pula: "Tapi kutahu ada
seorang ksatria tulen." Sambil bicara ia tertawa terhadap
Gi-lim.
Sementara itu tokoh2 angkatan tua sudah keluar
keruangan depan, Kiau Lo-kiat dan Gi-lim juga ikut keluar.
Kiau Lo-kiat kembali bergabung dengan para Sutenya,
sedangkan Gi-lim berdiri tidak jauh di samping Ting-yat,
saat itu dia sedang melamun, maka jamsa sekali tak
dihiraukannya apa artinya mendadak anak perempuan itu
tertawa kepadanya.
Ia sedang mengenangkan kejadian pagi tadi, ia
memondong jenazah Sau Peng-lam dan meninggalkan Cuisian-
lau tanpa menghiraukan pandangan orang lain yang
ter-heran2.
Tanpa tujaan ia melangkah ke depan, ia merasa jenazah
yang dipondongnya makin lama makin dingin. ia tidak
merasakan beratnya jenazah itu, juga tidak tahu berduka.
lebih2 tidak tahu kemana jenazah itu akan dibawanya?
Setiba ditepi sebuah kolam teratai, tertampak bunga
teratai mekar dengan indahnya, mendadak dadanya
ditumbuk sesuatu, ia tidak tahan lagi, bersama jenazah yang
dipondongnya ia lantas jatuh pingsan.
Waktu ia siuman kembali, terasa cahaya matahari
menyilaukan mata, cepat ia hendak memondong jenazah
Sau Peng-lam lagi, tapi tangannya meraba tempat kosong.
Ia melompat bangun, dilihatnya dirinya masih berada ditepi
kolam teratai itu, bunga teratai masih mekar dengan indah,
namun jenazah Sau Peng-lam sudah hilang tak berbekas.
Dengan cemas ia berlari mengitari kolam teratai itu,
tetap jenazah itu tidak diketemukan, ia coba memandang
pakaian sendiri yang berlepotan darah, terang bukan
mimpi, tapi kemana perginya jenazah Sau toako?
Selain takut dan sedih, hampir saja ia jatuh kelengar
pula. Ia berusaha menenangkan diri, lalu mencari lagi,
namun jenazah Sau-toako benar2 telah lenyap tanpa bekas.
Malahan iapun memeriksa kolam teratai dengan airnya
yang jernih itu. tapi juga tiada terlihat sesuatu yang
mencurigakan.
Begitulah, dengan bingung iapun menuju ke Cu-joan dan
bergabung dengan gurunya di kediamanan Wi Kay-hou.
Tapi dalam hati senantiasa ber-tanya2: "Kemana perginya
jenazah Sau-toako? Apakah ditolong orang yang kebetulan
lalu di Sana? Atau digondol binatang buas?"
Teringat tewasnya Sau-toako adalah akibat hendak
menyelamatkan dirinya, tapi sekarang jenazah Sau-toako
saja tak dapat dijaga dengan baik olehnya. Bila benar
jenazah digondol dan dimakan binatang, maka dirinya
sungguh tidak ingin hidup lagi.
Padahal seumpama jenazah Sau Peng-lam sekarang
masih baik-baik dan tidak hilang, rasanya ia pun tidak ingin
hidup lagi.
Tiba-tiba, dari libuk hatinya yang dalam timbul pikiran
yang seharusnya tidak boleh terjadi pada orang beragama
seperti dia.
Pikiran ini sudah timbul ber-kali2 seharian ini, tapi
segera ia dapat mengatasi pergolakan pikiran itu, ia
membatin: "Mengapa hatiku menjadi tidak tenang dan suka
berpikir hal yang bukan2 begini? Sungguh terlalu dan tidak
boleh terjadi lagi."
Akan tetapi sekarang pikiran demikian timbul kembali
dan sukar lagi dihalau. dengan jelas terbayang olehnya;
"Waktu kupondong jenazah Sau-toako, timbul pikiranku
akan kupondong dia untuk selamanya, betapapun akan
kucari jenazahnya. Sebab apakah timbul pikiran demikian?
Apakah karena tidak tega jenazahnya dimakan binatang
buas? Ah, tidak, rasanya tidak. Waktu kupondong
jenazahnya dan duduk termenung ditepi kolam teratai,
mengapa mendadak aku jatuh pingsan? Ah, sungguh
konyol aku ini. Tapi, tapi seharusnya tidak boleh kupikirkan
hal ini, Suhu takkan mengizinkan, Buddha juga melarang,
ini pikiran sesat, pikiran jahat, aku tidak boleh tersesat.
Akan tetapi, kemana perginya jenazah Sau-toako?"
Begitulah pikirannya menjadi kacau, tiba2 ia seperti
melihat senyuman yang menghiasi ujung mulut Sau Penglam,
senyuman yang acuh-tak-acuh, lalu terbayang pula
cara Sau Peng-lam memakinya sebagai "Nikoh cilik sialan"
dengan sikap yang menghina itu. Mendadak dadanya
kesakitan seperti disayat-sayat dan. ... tersadarlah dia dari
lamunannya.
Begitulah didengarnya Ciamtay Cu-ih sedang bertanya:
"Kiau Lo kiat, apakah anak perempuan ini anak murid Sohhok-
han kalian?"
Rupanya teringat olehnya anak perempuan itu menyebut
"Belibis jatuh denan pantat lebih dulu" tadi, timbul
dugaannya jangan2 anak perempuan ini kenal Sau Penglam
dan mungkin pula anak murid Lam-han.
Tapi Kiau Lo-kiat telah menyangkal, jawabnya: "Bukan,
adik cilik ini bukan murid Lam-han, bahkan baru sekarang
Tecu melihat dia."
"Baik, tak menjadi soal jika kau tidak mengakuinya,"
kata Ciamtay Cu-ih, mendadak tangannya berayun, setitik
sinar hijau terus menyambar kearah Gi-lim, berbareng ia
membentak: "Siau-Suhu, apa ini?"'
Gi-lim sedang ter-mangu2 tak disangkanya Ciamtay Cuih
akan menyerangnya dengan Am-gi atau senjata gelap.
Titik hijau itu adalah sebiji gurdi kecil, dari suara
mendengingnya jelas tenaga sambitannya cukup keras.
Tiba-tiba timbul rasa senang dalam hati Gi-lim: "Biarkan
saja dia membunuhku. Memangnya aku tidak ingin hidup
lagi, bisa mati akan lebih baik."
Karena hasrat ingin mati, maka sama sekali ia tidak
menghindar atau berkelit ketika senjata rahasia itu
menyambar tiba, padahal beberapa orang sama berteriak
memperingatkan dia.
Cepat Ting-yat mendorong pelahan anak perempuan tadi
kesamping, menyusul ia terus melayang maju dan
mengadang di depan Gi-lim.
Jangan mengira Ting-yat sudah tua, gerakannya ternyata
gesit dan cepat luar biasa, dia sempat mengadang didepan
senjata rahasia dan masih dia sempat menangkis atau
menangkap senjata rahasia itu. Tak tersangka kira2
setengah meter di depan Ting-yat, mendadak senjata
rahasia itu jatuh kebawah dan "plok", jatuh ke lantai.
Sebenarnya sekali raih saja senjata rahasia itu dapat
ditangkap Ting-yat dengan mudah, tapi menurut
taksirannya, luncuran gurdi yang lambat itu masih sempat
ditangkapnya nanti bila sudah dekat didepan dadanya.
Dengan cara demikian akan lebih menonjol gayanya
sebagai seorang tokoh silat terkemuka.
Tak tersangka cara Ciamtay Cu-ih menggunakan tenaga
sambitan senjata rahasia memang sangat aneh, sudah
diperhitungkannya dengan baik bilamana senjata rahasia itu
mendekati sasarannya, daya luncurnya akan mulai lemah
dan kira2 setengah meter didepan ia akan akan jatuh
ketanah,
Dan Ting-yat ternyata terjebak, begitu tangannya
terjulur. tahu2 meraih tempat kosong, hal ini berarti dia
telah kalah satu jurus. Tanpa terasa mukanya menjadi
merah, tapi tiada alasan baginya untuk marah.
Pada saat itulah dilihatnya tangan Ciamtay Cu-ih
berayun lagi, segulung kertas telah dilemparkan kemuka
anak perempuan tadi. Gulungan kertas ini adalah kertas
yang bergambar kura2 yang diremasnya tadi.
Baru sekarang Ting-yat tahu maksud tujuan Ciamtay Cuih,
rupanya Hong-hoa-wancu itu sengaja menyambitkan
gurdi kecil tadi untuk memancing dia menyingkir dan tidak
sengaja hendak melukai Gi-lim.
Dilihatnya sambaran pulungan kertas itu sangat keras,
jauh lebih kuat daripada sambaran gurdi tadi. Bagi seorang
ahli Lwekang, biarpun sehelai daun atau secuil kelopak
bunga saja dapat digunakan melukai orang. Jika pulungan
kertas itu tepat mengenai muka anak perempuan itu, maka
sukar baginya untuk terhindar dari luka parah.
Tatkala mana Ting-yat berdiri disamping Gi-lim, apa
yang terjadi ini terlalu cepat, betapapun ia tidak sempat lagi
menolongnya. Baru saja ia berseru memperingatkan, tiba2
terlihat anak perempuan itu mengangkat tangan kanan,
jarinya yang kecil itu menyelentik pulungan kertas. "Crit",
pulungan2 kertas itu hancur menjadi kertas kecil2 dan
bertebaran seperti kupu2.
Serentak belasan orang berteriak memuji. Akan tetapi air
muka tokoh2 besar seperti Ting-yat, Ciamtay Cu-ih, Thianbun
Tojin, Wi Kay-hou, Bun-siansing. Ho Sam-jit seketika
berubah hebat.
"Hehe, bagus sekali jurus 'Pek-niau-tiau-bong' yang kau
perlihatkan ini, Nona cilik!" seru Ciam-tay Cu-ih.
Seketika pandangan semua orang sama terpusat kearah
anak perempuan itu dan ingin tahu bagaimana jawabnya.
Sebab setiap tokoh besar itu tahu jurus "Pek-niau-thiauhong"
atau beratus burung menghadap Hong (rajanya
burung), adalah Kungfu khas Ma-kau atau agamaMa, sekte
agama yang didirikan Mani pada abad ketiga di Persia
(agama ini masuk kedaratan Tiongkok pada jaman
pertengahan dinasti Tong, sekitar tahun 750).
Menurut kabar, ilmu selentikan jari Pek-niau-tiau-hong,
itu sekaligus mampu melukai belasan orang. serangan ganas
dan sukar dihindar, Dengan sendirinya anak perempuan
sekecil ini belum sempurna latihan Kungfunya, jika cukup
waktu latihannya, yang diselentik juga bukan kertas
melainkan Am-gi sebangsa pasir berbisa, dalam jarak sekitar
beberapa meter beratus ribu biji pasir kecil berhamburan,
sekaligus betapapun lihaynya seorang juga sukar
meloloskan diri.
Bila membicarakan Ma-kau, orang2 dari perguruan
ternama sama merasa pusing kepala terhadap Kungfu yang
sukar dilawan itu, karena itu pula kebanyakan orangpun
merasa benci terhadap kekejian orang Ma-kau.
Siapa sangka seorang anak perempuan cantik jelita
begini juga mahir ilmu yang keji dan juga
lihay ini.
Di luar dugaan, anak perempuan itu lantas tertawa dan
menjawab: "Siapa bilang jurus ini Pek-niau-tiau-hong? Kata
ibuku, Kungfu ini bernama It-ci-sian. Cuma sayang belum
sempurna latihanku, jika kulatih 20 tahun lagi mungkin
cukuplah. Cuma 20 tahun rasanya terlalu lama, tatkala
mana mungkin rambutku sudah ubanan dan ompong, apa
gunanya lagi It-ci-sian yang hebat ini?"
Thian-bun Tojin dan Ting-yat saling pandang sekejap,
keduanya sama mengunjuk rasa heran dan kejut.
"Kau bilang ilmu sakti ini It-ci-sian?" Ting-yat menegas.
"Jika demikian, apakah ibumu bertempat tinggal di Ci-tiokto
(pulau bambu ungu) di laut timur sana?"
Anak perempuan itu tertawa, jawabnya: "Betul atau
tidak boleh kau menerkanya sendiri. Yang pasti ibu telah
memberi pesan agar asal-usul kami tidak boleh dikatakan
kepada orang luar."
Thian-bun Tojin dan lain2 sudah lama mendengar
kungfu istimewa Ma-kau yang disebut Pek-niau-tiau-hong
ini, tapi sampai dimana lihaynya belum pernah melihatnya,
apalagi Kungfu anak perempuan ini belum terlatih
sempurna, jadi tulen atau palsunya juga sukar dibedakan.
Padahal ilmu sakti "It-ci-sian" atau tenaga sakti satu jari,
konon adalah Kungfu khas Keng-goat Sin-ni, seorang
Nikoh sakti yang bermukim di Ci-tiok-to dan selama ini
kabarnya tidak pernah di ajarkan kepada orang luar. Jika
anak perempuan ini mahir It-ci-sian, maka pasti ada
hubungan erat dengan Nikon sakti itu.
Keng-goat Sin-ni adalah tokoh dongeng di didunia
persilatan, siapapun merasa tidak dapat menandinginya,
walaupun pengakuan anak perempuan ini entah betul atau
tidak, tapi akan lebih baik percaya daripada tidak, untuk
apa tanpa sebab memusuhi tokoh sakti yang sukar dijajaki
itu.
Begitulah seketika Thian-bun Tojin dan lain2 sama
bersuara kaget. air muka mereka dari rasa benci berubah
menjadi menghormat.
Air muka Ciamtay Cu-ih juga berubah pucat setelah
mendengar nama "It-ci-cian", seketika ia menjadi bimbang
dan entah apa yang harus dilakukannya terhadap anak dara
itu.
Ting-yat Suthay memang suka kepada anak perempuan
yang cantik, apalagi anak dara ini mengaku ada hubungan
erat dengan Ci-tiok-to di lautan timur, sesama penganut
ajaran Buddha?, betapapun anak dara ini harus dibela dan
tidak boleh dianiaya Ciamtay Cu-ih.
Tapi, mengingat Ciamtay Cu-ih juga seorang pemimpin
besar suatu perguruan terkenal juga sukar dilawan, jika
harus bertengkar dengan dia, rasanya juga tidak berpaedah.
Maka ia lantas berkata kepada Gi-lim: "Orang tua adik cilik
ini entah kemana, Gi-lim., boleh kau bawa dia pergi
mencarinya agar di tengah jalan tidak diganggu orang."
Gi-lim mengiakan, ia mendekati anak perempuan itu dan
menarik tangannya. Anak dara itu tertawa kepada Gi-lim
dan ikut keluar.
Ciamtay Cu-ih merasa tiada gunanya menghalangi, dia
cuma mendengus saja dan tidak menghiraukannya.
Setiba diluar ruangan besar, Gi-lim bertanya kepada
anak perempuan itu: "Adik cilik, siapakah she dan
namamu?"
"Aku she Sau dan bernama Peng-lam," jawab anak dara
itu dengan mengikik tawa.
Hati Gi-lim berdebur keras, segera ia menarik muka dan
berkata: "Kutanya dengan sungguh2, mengapa kau
bergurau denganku?"
"Masa aku bergurau padamu?" jawab anak dara itu
dengan tertawa. 'Memangnya cuma kawanmu saja boleh
bernama Sau Peng-lamdan aku tidak boleh?"
Gi-lim menghela napas, hatinya menjadi pedih, hampir
saja air matanya menetes pula, katanya: "Sau-toako ini
telah menyelamatkan jiwaku, aku utang budi padanya, tapi
dia mati bagiku, sebaliknya aku tidak. . . .tidak bisa
membalas apa-apa padanya."
Selagi mereka bicara, terlihat dua orang bungkuk, yang
satu tinggi dan yang lain pendek, keduanya berlalu di
serambi sana. Jelas itulah Say-pak-beng-to Soat Ko -ong
dan Soat Peng-say. Anak perempuan itu tertawa dan
berkata pula: "Di dunia ini mana ada kejadian secara
kebetulan begini, ada seorang bungkuk tua bermuka buruk
begini didampingi lagi seorang bungkuk muda dengan
muka sama jeleknya."
Gi-lim kurang senang karena anak dara itu suka
mencemooh orang lain, katanya: "Adik cilik, maukah kau
mencari sendiri ayah-ibumu? Kepalaku sakit, badanku
kurang sehat."
"Ah, kepala sakit dan kurang sehat apa segala, pura2
belaka?" tiba2 anak dara itu ber-olok2.
Kutahu, lantaran mendengar nama Sau Peng-lam, maka
hatimu lantas kesal. Padabal gurumu mengutus kau
mengawasi diriku, masa aku akan kau tinggalkan? jika aku
diganggu orang nanti, tenta kau akan dimarahi gurumu."
Kungfumu lebih tinggi dari padaku, kaupun cerdik.
sampai2 tokoh termashur seperti Hong-hoa-wancu itupun
terjungkal ditanganmu," kata Gi-lim. "Jika kau tidak
mengganggu orang bolehlah orang merasa bersyukur, mana
ada orang lain yang berani menggangu kau lagi?"
Nona clik itu tertawa, katanya sambil menarik tangan
Gi-lim: "Cici yang baik, janganlah kau ber-olok2. Padahal
tadi kalau tidak dilindungi gurumu, tentu aku sudah kena
dihajar oleh kakek cebol itu. Cici yang baik, yang benar aku
she Kik namaku Fi-yan, kakek dan ayah bundaku sama
memanggil diriku Fifi, maka kaupun boleh panggil Fifi
padaku.'
Karena anak dara itu mau memberitahukan namanya.
rasa kurang senang Gi-lim tadi lantas lenyap. Cuma ia
masih heran darimana anak dara ini mengetahui dirinya
sedang menguatirkan Sau Peng-lam sehingga sengaja
menggunakan nama Sau-toako untuk menggodanya?
Ia pikir besar kemungkinan ketika dirinya melaporkan
Pengalamannya kepada sang guru tadi, semua itu telah
didengar oleh nona cilik yang binal ini. Maka ia lantas
berkata: "Baik, Fifi, marilah kita mencari ayah-ibumu.
Menurut kau, kira2 kemanakah mereka?"
Sudah tentu kutahu mereka pergi kemana," jawab Kik
Fi-yan alias Fifi. "Jika kau ingin mencari mereka, silakan
kau pergi mencarinya, aku sendiri tidak mau pergi."
Gi-lim menjadi heran, tanyanya: "Aneh. mengapa kau
sendiri malah tidak mau mencari mereka?"
"Usiaku masih semuda ini, aku tidak rela menyusul
ayah-ibuku," kata Fifi "Berbeda dengan kau, kulihat hatimu
sangat berduka, mungkin kau ingin pergi kesana
selekasnya."
Hati Gi-lim menjadi pilu sebab ia tahu arti ucapan anak
dara itu, katanya dengan tersendat: "O, jadi . . . .jadi ayah
ibumu sudah. . . ."
"Ya, ayah dan ibu sudah lama meninggal, jika kau mau
mencari mereka boleh silakan menuju ke akhirat," kata Fifi.
Kembali Gi-lim merasa kurang senang, katanya: "Jika
ayah-bundamu sudah meninggal, mana boleh kau gunakan
hal ini untuk bercanda denganku. Baiklah, jika demikian
adanya, biarlah kupulang kesana."
Tapi sekali meraih Kik Fi-yan telah mencengkeram
pergelangan tangan Gi-lim, katanya dengan setengah
memohon: "O, Cici yang baik, aku sebatangkara, tidak
mempunyai teman bermain, sudilah engkau mengawani
aku sebentar."
Karena urat nadi pergelangan tangan terpegang, seketika
Gi-lim merasa sebagian badannya kesemutan dan tak
bertenaga, diam2 ia terkejut dan merasakan kepandaian
nouna cilik ini memang berada di atasnya. Karena
permintaannya yang kelihatan memelas, ia lantas
menjawab: "Baiklah, akan kutemani kau sebentar, tapi
jangan kau bicara hal2 yang iseng lagi."
"Ada kata2 yang kau kira iseng, bagiku justeru tidak
iseng, ini kan bergantung kepada pikiran masing2" ujar Fifi.
"Eh, Gi-lim Cici, kan lebih baik kau tidak menjadi Nikoh?"
Gi-lim melengak oleh ucapan anak dara itu, ia surut
mundur satu langkah, Fifi lantas lepaskan pegangannya dan
berkata pula: "Memang apa paedahnya menjadi nikoh?
Tidak boleh ikan, tidak boleh makan udang, daging juga
dilarang. Padahal, Cici, engkau sedemikian cantiknya
karena kepalamu dicukur kelimis, kecantikanmu menjadi
banyak berkurang. Apabila engkau piara rambut lagi, wah,
pasti sangat mempesona."
Karena ucapan yang ke-kanak2an ini, Gi-lim tertawa dan
menjawab: "Kami sudah masuk perguruan yang kosong,
bagi kami segala apa di dunia serba kosong, peduli lagi
cantik buruk apa segala."
Fifi memiringkan mukanya ke samping dan memandang
Gi-lim dengan cermat, waktu itu hujan sudah reda, awan
buyar, cahaya bulan yang remang2 menyinari wajah Gi-lim
yang cantik itu sehingga tambah mengiurkan.
"Ai, pantas orang begitu merindukan dirimu," ucap Fifi
kemudian dengan menghela napas.
Muka Gi-lim menjadi merah, tanyanya: "Apa katamu,
Fifi? Jangan kau ber-olok2 lagi, akan kutinggal pergi."
"Baiklah, aku tidak omong lagi," ucap Fifi dengan
tertawa. "Eh, Cici, sudilah engkau memberikan sedikit
Thian-hiang-toan-siok-ciau, perlu kutolong seorang yang
terluka parah."
"Siapa yang akan kau tolong?" tanya Gi-lim.
"Orang ini sangat penting, sementara ini tak dapat
kukatakan padamu." jawab Fifi.
"Permintaanmu mestinya dapat kupenuhi, tapi Suhu
telah memberi pesan agar obat luka ini tidak sembarang
diberikan kepada orang, sebab kalau orang jahat yarg
terluka, betapapun obat ini tidak boleh diberikan padanya."
"Cici, apabila ada orang memaki gurumu dengan kata2
kotor tanpa alasan, orang ini tergolong baik atau jahat?"
"Dia memaki guruku, dengan sendirinya orang jahat,
masa dapat dikatakan baik?"
"Anehlah. kalau begitu," ujar Fifi dengan tertawa.
"Padahal ada seorang yang selalu mencaci-maki kaum
Nikoh, katanya bila melihat Nikoh pasti kalah judi.
Gurumu dimaki, kaupun dicaci. tapi kau justeru
menuangkan hampir seluruh obatmu kepada lukanya. ..."
Tanpa menunggu habisnya ucapan Fifi dengan air muka
berubah segera Gi-lim membalik tubuh dan tinggal pergi.
Tapi sekali berkelebat Fifi telah mengadang didepan Gilim
sambil merentangkan kedua tangannya dengan tertawa.
Mendadak pikiran Gi-lim tergerak: "Ah. kalau tidak
salah di Cui-sian-lau kemarin anak dara ini juga berduduk
bersama seorang tua dimeja sebelah, waktu Sau-toako tewas
dan kupondong jenazahnya, agaknya anak dara inipun
masih di restoran itu. Dengan sendirinya semua kejadian
waktu itu disaksikannya. Apakah .... apakah sejak itu dia
selalu menguntit di belakangku?"
Gi-lim berniat tanya sesuatu, tapi mukanya menjadi
merah dan sukar diutarakan. "Cici, kutahu kau ingin tanya
padaku. Kemana perginya jenazah Sau-toako? begitu
bukan?"
"Ya, betul," jawab Gi-lim. "Jika adik sudi memberitahu,
sungguh aku. . . .aku akan sangat
berterima kasih padamu."
"Aku sendiri tidak tahu, tapi ada satu orang tahu," tutur
Fifi "Orang ini terluka parah, jiwanya dalam bahaya, bila
Cici mau menyelamatkan dia dengan Thian-hiang-toansiok-
ciau, tentu dia akan memberitahukan padamu dimana
beradanya jenazah Sau-toako itu."
"Kau sendiri benar2 tidak tahu?" tanya Gi-lim.
"Aku Kik Fi-yan, jika mengetahui berada dimana
jenazah Sau Peng-lam, biarlah besok juga aku mati
ditangan Ciamtay Cu-ih, badanku akan di-cincang olehnya.
. . ."
Cepat Gi-lim mendekap mulut anak dara itu dan
menyela: "Sudahlah, aku percaya, tidak perlu kau
bersumpah. Marilah kita pergi menanyai orang itu,
siapakah dia?"
"Orang itu jelas orang baik, mau menolongnya atau tidak
terserah padamu," ujar Fifi. "Tempat yang harus kita
datangi juga bukan tempat yang baik."
Karena tekadnya irngin menemukan jenazah Sau Penglam,
biarpun hutan golok atau gunung juga akan
diterjangnya, peduli tempatnya baik atau tidak. Maka Gilim
lantas menjawab tegas: " Marilah kita pergi ke sana."
Sampai diluar pintu gerbang, hujan ternyata masih turun
dengan lebatnya, di samping pintu sana berserakan puluhan
pajung kertas minyak, segera Fifi dan Gi-lim masing2
mengambil sebatang payung terus menuju ke arah timur
laut.
Waktu itu sudah jauh malam, orang dijalanan sudah
jarang2, di mana mereka lalu seringkali menimbulkan
gonggong anjing.
Gi-lim terus ikut Fifi ke depan. jalan yang dilalui
kebanyakan adalah gang2 yang sempit, tapi yang dpikir Gilim
hanya jenazah Sau Peng-lam, maka tak dipedulikannya
kemana dirinya akan dibawa dara itu.
Akhirnya Fifi membawa Gi-lim menyelinap kesebuah
lorong sempit dan berhenti di depan rumah pada ujung
gang itu, tertampak sebuah lampu merah kecil tergantung di
atas pintu. Fifi mengetuk pintu tiga kali, segera ada orang
buka pintu dan melongok keluar. Fifi ber-bisik2 ditelinga
orang itu serta menjejalkan sesuatu pada tangannya.
Lalu terdengar orang itu berkata: "Ya, ya, baik, silakan
Siocia masuk."
Fifi menoleh dan memberi tanda kepada Gi-lim agar ikut
masuk, waktu lalu disamping orang membukakan pintu itu,
tertampak orang ini dandan dengan rapi, berbaju bersih,
rambut tersisir kelimias melihat Gi-lim yang ternyata
seorang nikoh jelita, kelihatan orang itu mengunjuk rasa
heran dan bingung. Cepat juga orang itu berlari ke depan
untuk menunjukkan jalan. Setelah menyusuri sebuah
serambi, sampailah mereka di suatu kamar samping, ia
menyingkap tirai dan berkata: "Siocia, Suhu, silakan duduk
di dalam."
Begitu tirai tersingkap, kontan terendus bau harum bedak
dan yanci. Setelah masuk, Gi-lim melihat di ruangan ini ada
sebuah tempat tidur besar, selimut bantal semuanya serba
bersulam indah. Pada selimut itu tersulam sepasang Yanyang,
yaitu sejenis burung merpati yang sedang bermain air
dengan warna yang menarik dan hidup.
Sejak kecil Gi-lim sudah menjadi Nikoh di Pek-hun-am,
selimut yang dipakainya sehari2 adalah selimut kain hijau
polos, selama hidupnya tidak pernah melihat bantal selimut
semewah ini ia hanya memandang sekejap saja lalu
melengos.
Dilihatnya pula di atas meja menyala sebatang lilin
merah, disamping lilin ada sebuah cermin dan sebuah kotak
alat2 rias. di depan tempat tidur, dilantai, ada dua pasang
kasut kain bersulam, sepasang kasut lelaki dan sepasang
kasut perempuan, tertaruh berjejer.
Jantung Gi-lim berdetak keras, waktu menengadah,
tertampaklah seraut wajah cantik bersemu merah jelas
itulah wajah sendiri yang tercermin dikaca rias.
Tiba2 tirai pintu tersingkap dan masuklah seorang babu
membawakan teh wangi. Pakaian babu ini ringkas dan
cekak, potongannya genit. jalannya berlenggak-lenggok
Melihat keadaan demikian, makin takutlah hati Gi-lim,
dengan suara tertahan ia tanya Fifi: "Sesungguhnya tempat
apakah ini?"
Fifi tidak lantas menjawab, ia mendekati babu genit tadi
dan ber-bisik2 padanya, babu itu mengiakan dengan
tertawa, lalu melangkah pergi dengan berlenggok.
Diam2 Gi-lim membatin: "Melihat lagak lagunya,
perempuan ini pasti bukan orang baik2."
Selagi hendak tanya Fifi, tiba2 terdengar suara orang
mengakak-tawa diluar pintu. suara tertawa seorang lelaki,
rasanya sudah sangat dikenalnya.
Dengan terkejut Gi-lim berbangkit dan hendak melolos
pedang, tapi tangannya meraba tempat kosong, entah sejak
kapan pedangnya telah hilang,
Di tengah gelak tertawa orang itu lantas menyingkap tirai
dan melangkah masuk. Tapi begitu melihat Gi-lim. seketika
orang itu berhenti tertawa, air mukanya berubah merah,
menyengir dan serba salah.
Hati Gi-lim berdebur keras. Kiranya orang yang masuk
ini tak-lain-tak-bukan ialah Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan.
Keruan Gi-lim mengeluh dalam hati: "Wah, celaka! Aku
telah terjebak oleh setan cilik Kik Fi-yan ini. Pantas dia
bilang orang itu sangat merindukan diriku, kiranya yang
dimaksud ialah...."
Thio Yan-coan juga melenggong, tapi segera membalik
tubuh dan melangkah keluar.
"Hei. tunggu dulu! Kenapa begitu melihat diriku lantas
mau kabur?!" seru Fifi.
Setiba diluar pintu barulah Thio Yan-coan menjawab:
"Aku . . . aku tidak dapat menemui . . .menemui Siau-suhu
ini."
Fifi tertawa terkikik, katanya: "Thio Yan-coan. kau ini
memang manusia yang tidak dapat dipercaya dan tidak
pegang janji. Kau pernah bertaruh dengan Sau Peng-lam
dan kau kalah, kan harus kau angkat Siau-suhu ini sebagai
guru. Sekarang setelah bertemu dengan sang guru, kenapa
kau tidak memanggil Suhu dan juga tidak menyembah.
Memangnya kau tahu aturan dan sopan santun atau tidak?"
"Ai. omongan ini jangan di-singgung2 lagi," ujar Yancoan.
"Aku telah tertipu oleh Sau Peng-lam. mengapa kau
datang ketempat begini? Hayolah cepat pergi, lekas. anak
perempuan masa berkeliaran ditempat pelacuran?"
Mendengar kata2 "Tempat pelacuran" seketika jantung
Gi-lim berdetak pula dan hampir saja jatuh semaput.
Waktu melihat lampu merah di depan pintu, melihat
keadaan di dalam rumah ini, lamat2 ia memang sudah
merasakan gelagat tidak enak, tapi sama sekali tak
disangkanya bahwa Fifi bisa membawanya ke tempat
pelacuran.
Meski dia tidak terlalu jelas "rumah pelacuran" itu
sebenarnya tempat yang bagaimana, tapi dia pernah
mendengar cerita orang bahwa pelacur adalah perempuan
yang paling hina dan menjijikkan di dunia ini. Setiap lelaki
asalkan berduit. tentu bisa memanggil pelacur. Sekarang
dirinya dibawa Kik Fi-yan ke tempat beginian memangnya
dirinya hendak disuruh melacurkan diri?
Berpikir demikian, hampir saja Gi-lim menangis, Untung
begitu melihat dirinya segera Thio Yan-coan angkat kaki
dan tidak berani memaksakan sesuatu padanya, tampaknya
keadaan tidak begitu gawat.
Didengarnya Kik Fi-yan sedang berkata dengan tertawa.
"Lelaki kan manusia, perempuan juga manusia, kalau lelaki
boleh ke rumah Pelacuran ini, kenapa kami tidak boleh?"
Thio Yan-coan jadi kelabakan sendiri di luar pintu,
katanya sambil menggeleng: "Fi-yan. jika kakekmu
mengetahui kau berada di sini, tentu aku akan dibunuhnya
Ai, Fifi yang baik, Fifi sayang, kumohon dengan sangat,
janganlah kau bercanda padaku secara begini. Lekaslah
pergi bersama Siau-suhu ini. asalkan segera kau pergi, apa
yang kau-minta padaku pasti kuturut!"
"Aku justeru tidak mau pergi," jawab Fifi dengan tertawa
"Di kota Cu-joan ini hanya tempat inilah yang paling
cocok, maka malam ini aku dan Gi-lim Cici akan tidur di
sini."
"Ai, Fifi, sesungguhnya kau mau pergi atau tidak?" Thio
Yan-coan memohon pula.
"Tidak, aku justeru tidak mau pergi, habis kau mau apa?
Seorang lelaki sejati, sekali bicara tidak nanti dijilat
kembali. Sekali tidak pergi tetap tidak pergi."
"Ai, Fifi, kau kan bukan lelaki sejati," ujar Thio Yancoan.
"Fifi sayang, lekas pergilah kau. Biarlah besok akan
kubawakan beberapa macam barang mainan yang menarik
bagimu."
"Cis, untuk apa barang mainan?" omel Fifi "Akan
kukatakan kepada Yaya (kakek) bahwa Thio Yan-coan
yang membawaku ke sini."
Karuan Thio Yan-coan melonjak kaget, cepat ia berseru;
"Wah,Fifi manis, kenapa kau omong begini? Aku kan tidak
bersalah apa2 kepadamu, dustamu ini bisa mendatangkan
kematian bagiku. Kau punya Liangiim (hati nurani) atau
tidak?"
"Aneh, kau berani tanya padaku punya Liang-sim atau
tidak? Padahal kau sendiri bagaimana, kau-punya Liangsim
tidak? Berhadapan dengan guru sendiri, tidak menyapa dan
tidak menyembah, tapi putar tubuh dan hendak angkat
kaki? Inikah Liang-sim yang kau katakan?"
"Baik, baiklah, anggap aku bersalah. Ai, Fifi sayang,
sesungguhuya apa kehendakmu?"
"Tujuanku adalah demi kebaikanmu agar kau menjadi
lelaki sejati, apa yang sudah kau katakan supaya kau tepati.
Nah. lekas menggelinding masuk kemari dan menyembah
kepada gurumu!"
Thio Yan-coan menjadi ragu2: "Ini ....ini. . . ."
Untung baginya, Gi-lim lantas berkata: "Tidak, aku tidak
mau disembah oleh dia, akupun tidak mau melihat dia, dia
... .dia bukan muridku."
"Nah, kau dengar sendiri, Fifi," cepat Thio Yan-coan
menukas. "Dia tidak menghendaki murid seperti diriku,
maka tidak perlu lagi aku menyembah padanya."
"Baik, kuampuni kau," kata Fifi dengan tertawa.
"Sekarang dengarkan, tadi waktu kudatang kemari, ada dua
cecunguk secara diam2 mengikuti kami, lekas kau pergi
membereskan mereka. Aku dan gurumu akan tidur disini,
kau harus berjaga di luar, siapapun dilarang mengganggu
kami dan besok aku tidak jadi melapor kepada Yaya."
Tampaknya Thio Yan-coan sangat takut kepada Yaya
atau kakek anak dara itu, terpaksa ia menjawab: "Baiklah,
cuma kau harus pegang janji, jangan lagi berdusta dan
membikm celaka diriku."
"Aku kan bukan lelaki sejati, apa yang sudah kukatakan
boleh kutepati dan juga boleh kutarik kembali," kata Fifi
dengan tertawa.
Mendadak Thio Yau-coan membentak keras: "Bangsat.
berani amat kalian!"
Menyusul terdengarlah suara gemerantang diatas rumah,
dua macam senjata jatuh di atas genting, menyusul seorang
menjerit ngeri, lalu terdengar pula suara orang berlari pergi
secepat terbang.
"Sudah terbunuh satu, bangsat dari Hong-hoa-wan.
seorang lagi kabur," kata Thio Yan-coan.
"Sungguh tidak becus, kenapa sampai bisa kabur?" omel
Fifi.
"Orang itu tak boleh kubunuh, dia. . . dia Nikoh dari
Siong-san-pay." jawab Thio Yan-coan.
"O, kiranya paman gurumu, dengan sendirinya tidak
boleh kau bunuh," goda Fifi dengan tertawa.
Sebaliknya Gi-lim menjadi terkejut, tanyanya dengan
suara tertahan: "Jadi Suciku?, Wah, bagaimana baiknya
ini?"
"Sekarang juga kita menjenguk orang yang terluka itu,"
kata Fifi, "Jika kau kuatir dimarahi gurumu, sebentar lagi
boleh kita pulang kesana."
Diam-diam Gi-lim membatin: "Sudah telanjur datang,
biarlah kulihat orang itu, entah siapa dia?"
Fifi tertawa dan mendekati tempat tidur besar itu, dia
mendorong dinding, segera sebuah sayap pintu terbuka
pelahan. Kiranya pada dinding itu ada pintu rahasianya.
Setelah menggapai Gi-lim, Fifi lantas mendahului masuk
kesana.
Gi-lim merasa rumah pelacuran ini penuh misterius,
terpaksa ia tabahkan hati dan ikut musuk. Di balik pintu
adalah sebuah kamar pula. tapi tanpa penerangan.
Berkat cahaya lilin kamar sebelah samar2 terlihat kamar
ini sangat kecil, juga ada sebuah tempat tidur dengan
kelambu terurai rapat, agaknya ada orang tidur di situ.
Hanya melangkah masuk ketepi pintu saja, lalu Gi-lim
berhenti.
"Cici, harap kau bubuhi lukanya dengan Thian-hiangtoan-
siok-ciau yang kau bawa," pinta Fifi,
Gi-lim ragu2, katanja: "Apakah. . . apakah benar dia
mengetahui dimana beradanya jenazah Sau-toako?"
"Mungkin tahu, bisa jadi tidak tahu, akupun tak dapat
memastikan," jawab Fifi.
"Tadi .... tadi kau bilang dia tahu?" Gi-lim menjadi
cemas.
"Aku kan bukan lelaki sejati, apa yang kukatakan boleh
kutepati dan boleh tidak. Jika kau mau mencobanya boleh
kau obati lukanya sekarang. Kalau tidak, boleh kau angkat
kaki, siapapun takkan merintangimu."
Mau-tak-mau Gi-lim berpikir: "Apapun juga, demi
menemukan jenazah Sau-toako biarpun sangat tipis
harapannya juga harus kucoba."
Setelah pikirannya mantap, segera ia berkata: "Baik,
akan kuobati dirinya" Segera ia keluar kekamar sebelah dan
mengambil tatakan lilin serta dibawa kedepan tempat tidur
di kamar bagian dalam ini. Disingkapnya kain kelambunya,
tertampaklah seorang tidur telentang, mukanya tertutup
oleh sehelai sapu tangan hijau tipis, mengikuti
pernapasannya, kain sapu tangan itupun ber-getar2.
Rada tenteram hati Gi-lim, karena tidak melihat wajah
orang. ia menoleh dan tanya Fifi: "Dimana lukanya?"
"Di dada," jawab Fifi. "Cukup dalam lukanya hampir
saja melukai jantungnya."
Pelahan Gi-lim membuka selimut tipis yang menutup
tubuh orang itu. dilihatnya orang itu bertelanjang dada,
benarlah di bagian dada ada sebuah luka lebar, darah sudah
berhenti mengalir, tapi luka cukup dalam, jelas sangat
berbahaya.
Sedapatnya Gi-lim menenangkan diri, pikirnya:
"Betapapun harus kuselamatkan jiwanya."
Ia serahkan tatakan lilin agar dipegang Fifi, dengan
pelahan ia merabai sekitar luka orang itu, ia tutuk tiga Hiatto
yang beranngkutan.
"Hiat-to penghenti darah sudah tertutuk, kalau tidak
manabisa hidup sampai sekarang," bisik Fifi dengan suara
tertahan.
Gi-lim mengangguk. Dilihatnya Hiat-to sekitar itu
memang benar sudah tertutuk dengan baik. Maka pelahan
ia angkat kapas yang menyumbat luka itu. Siapa tahu,
begitu kapas diambil, seketika darah segar mengucur keluar
lagi.
Syukur Gi-lim sudah belajar cara memberi pertolongan
pertama, cepat tangan kiri menekan bagian luka, tangan
kanan lantas memoles luka dengan salep yang dibawanya,
kemudian ditutup pula dengan kapas.
Salep Thian-hiang-toan-siok-ko adalah obat luka mujarab
Siong-san-pay yang terkenal. Begitu dibubuhkan pada luka
itu, hanya sekejap saja darah lantas berhenti.
Pernapasan orang luka ini kedengaran berkempaskempis,
entah dapat diselamatkan atau tidak. padahal
tujuan kedatangan Gi-lim ingin menanyakan jenazah Sau
Peng-lam. Karena itu ia lantas berkata: "Enghiong yang
terhormat ini, ada sesuatu ingin kutanya padamu, mohon
Enghiong sudi memberi keterangan."
Terdengar orang itu bersuara tertahan. Mendadak Fifi
bergeliat, tatakan lilin yang dipegangnya menjadi miring,
api lilin lantas padam, keadaan didalam kamar menjadi
gelap gulita.
"Ai, padam!" seru Fifi.
Gi-lim menjadi gugup, pikirnya. "Tempat kotor ini
mestinya tidak boleh didatangi Cut-keh-lang seperti diriku
ini. Biarlah lekas kutanya keterangan Toako, lalu kutinggal
pergi dengan segera."
Maka ia ciba bertanya pula: "Enghiong ini apakah
keadaanmu agak lebih baik?"
Kembali orang itu mendengus tertahan dan tidak
menjawab.
"Dia lagi demam," kaia Fifi. "Boleh kau raba dahinya,
panasnya luar biasa."
Belum lagi Gi-lim menjawab, tahu2 tangan kanannya
sudah dipegang Fifi dan ditaruh diatas jidat orang itu.
Sementara itu sapu tangan yang menutupi mukanya
ternyata sudah disingkirkan oleh Fifi.
Gi-lim merasa tangannya seperti memegang bara,
panasnya luar biasa, tanpa terasa timbul rasa kasihannya,
katanya: "Aku juga bawa obat dalam dan harus
kuminumkan dia. Fifi. hendaklah lilin kau pasang lagi."
"Baiklah, kau tunggu disini, kupergi mencari api" kata
Fifi.
Gi-lim menjadi gugup karena akan ditinggal pergi, cepat
ia menarik lengan baju anak dara itu dan berkata: "Tidak,
jangan pergi kau."
Fifi tertawa pelahan, katanya; "Jika begitu keluarkanlah
obatmu."
Segera Gi-lim meraba keluar sebuah botol porselen kecil
dan menuang tiga biji pil. katanya; "Ini obatnya, boleh kau
minumkan padanya."
"Dalam kegelapan begini, jangan sampai obatmu terjatuh
hilang," ujar Fifi. "Jiwa manusia maha penting dan tidak
boleh dibuat main2. Cici yang baik, biarlah aku saja yang
menunggu disini, kau pergi mencari api."
Bahwa Gi-lim disuruh keluyuran ditengah rumah
pelacuran begini, sudah tentu ia tidak berani, cepat ia
menjawab: "O, tidak, aku tidak mau!"
"Menolong orang hendaknya jangan kepalang
tanggung," kata Fifi. "Cici yang baik, boleh kau jejalkan
obat ke dalam mulutnya dan suapi dia minum beberapa
cegukan teh, kan beres semuanya. Dalam kegelapan begini,
dia takkan melihat siapa kau, kenapa takut? Nah, inilah
cangkir teh. pegang yang betul, jangan sampai tumpah."
Pelahan Gi-lim menjulurkan tangannya dan menerima
cangkir itu, sejenak ia ragu2, pikirnya: "Suhu sering
memberi petua, Cut-keh-lang harus mengutamakan welasasih,
menolong jiwa satu orang melebihi bangun budur
(candi) tujuh tingkat. Seumpama orang ini tidak dapat
memberitahu dimana beradanya jenazah Sau-toako, tapi
jiwanya jelas terancam bahaya, kan harus kutolong dia "
Segera ia meraba pelahan muka orarg itu, setelah tahu
persis mulutnya, ia jejalkan tiga biji pil "Pek-hun-wan"
(empedu beruang Pek-hun-am).
Agaknya orang itupun belum kehilangan kesadarannya,
ia membuka mulut dan menelan pil itu, ketika Gi-lim
mendekatkan cangkir kemulutnya, iapun minum beberapa
ceguk dan bersuara samar2, seperti menyatakan terima
kasih.
"Enghiong ini," demikian ucap Gi-lim pula, "Engkau
terluka parah, seharusnya istirahat dengan tenang. Cuma
ada suatu urusan penting harus kutanyakan padamu, Ada
seorang Sau-tayhiap dicelakai orang, jenazahnya . . . ."
Orang itu bersuara seperti terkesiap, jawabnya dengan
suara lemah: "Kau. . .. .kau tanya Sau Peng-lam ...."
"Betul, apakah engkau mengetabui dimana beradanya
jenazah Sau Peng-lam yang baik itu?" tanya Gi-lim pula.
Samar2 orang itu menjawab: "Je .... jenazah apa
maksudmu?"
"Ya, jenazah. jenazah Sau-tayhiap itulah?"
Orang itu omong sesuatu dengan samar2, suaranya
sangat lemah sehingga tidak terdengar.
Gi-lim mengulangi lagi pertanyaannya dan mendekatkan
telinga kemuka orang itu. didengarnya napas orang itu agak
memburu, seperti ingin bicara, tapi sukar bersuara.
Tiba- Gi-lim ingat bekerjanya obat Pek-hun-him-tan-wan
sangat keras, orang yang sudah diberi minum obat itu
seringkali harus pulas sampai setengah harian, itulah saat2
penting bekerjanya obat, dalam keadaan demikian tentu
tidaklah layak dia bertanya terus menerus.
Dasar hati Gi-lim memang welas-asih, ia menghela
napas pelahan dan menarik diri dari dalam kelambu, ia
geser sebuah kursi dan berduduk didepan tempat tidur.
katanya lirih: "Biarlah kutanyai dia nanti kalau dia sudah
agak lebih segar."
"Cici, jiwa orang ini tak beralangan bukan?" tanya Fifi.
"Semoga dia dapat sembuh," jawab Gi-lim.
"Cuma luka di dadanya memang sangat parah, Fifi,
sesungguhnya dia. . . .siapa dia ini?"
Fifi tidak menjawabnya, selang sejenak baru berkata:
"Menurut pandangan kakekku, segala urusan duniawi tak
dapat kau kesampingkan, katanya kau tidak pantas menjadi
Nikoh."
"Kakekmu kenal aku?" Gi-lim menegas dengan heran.
"dari. . .darimana dia mengetahui aku tak dapat
mengesampingkan urusan orang hidup?"
"Kemarin, waktu makan di Cui-sian-lau. aku bersama
kakek telah menyaksikan kalian bertempur dengan Thio
Yan coan."
"Ahhh!" Gi-lim bersuara terkejut. "Kiranya orang yang
bersama kau itulah kakekmu?"
"Ya, kemarin kami sengaja menyamar sehingga si telur
busuk Thio Yan-coan itu tak dapat mengenali kami," tutur
Fifi dengan tertawa, "Dia paling takut kepada kakek, jika
dia tahu kakek hadir disitu, mungkin pagi2 dia sudah kabur
se-jauh2nya."
Gi-lim berpikir: "Jika begitu, Waktu itu kalau kakekmu
mau unjuk muka tentu dapat membuat Yan-coan lari
ketakutan dan Sau-toako juga tidak perlu mati konyol."
Namun sebagai orang yang alim, kata2 yang menyesali
orang lain tidak nanti diucapkannya.
Tapi Fifi seperti tahu isi hatinya, katanya: "Dalam hati
tentu kau menyesali kakekku karena tidak mau menghalau
pergi Thio Yan-coan melainkan cuma menyaksikan
kejadian itu sehingga Sau-toako tewas di tangan orang she
Thio itu."
-ooo0dw0ooo-
Jilid17
Gi-lim tidak biasa berdusta, hatinya menjadi pedih,
ucapnya dengan tersendat: "Akulah yang salah, jika tempo
hari aku tidak cuci tangan ditepi kali, tentu aku takkan
kepergok Thio Yan-coan dan ditawan dan tentu pula takkan
membikin susah Sau-toako, mana. . . .mana berani kusesali
kakekmu?"
"Baiklah jika kau tidak menyesali beliau, kakek memang
tidak suka orang menyesali dia," kata Fi-yan. "Waktu itu
Yaya bilang hendak melihat tindak-tanduk Thio Yan-coan
apakah benar2 sudah sedemikian busuknya sehingga sukar
diobati, ingin tahu apakah dia akan ingkar janji atau tidak
jika kalah. Akhirnya. hihihi, Cici. . . ." sampai di sini
mendadak ia tertawa, lalu menyambung pula: "Sautoakomu
itupun pintar putar lidah, dia bilang bertempur
dengan berduduk dia jago nomor dua didunia, kakek
menjadi rada percaya kepada ocehannya, bahkan mengira
dia benar2 menguasai semacam ilmu pedang yang
dilatihnya sembari berak malahan juga percaya Thio Yancoan
takkan mampu mengalahkan dia. Hihi."
Dalam kegelapan Gi-lim tidak dapat melihat air muka
anak dara itu, tapi dapat dibayangkan Fifi pasti gembira,
semakin riang tertawa Fifi, semakin pedih pula hatinya.
"Kemudian Thio Yan-coan telah melarikan diri," tutur
Fifi lebih lanjut "Kakek bilang orang she Thio itu memang
brengsek, sudah berjanji akan mengangkat kau sebagai guru
bila dia kalah, nyatanya dia ingkar janji,"
"Sau-toako hanya menggunakan akal saja dan tidak
benar2 mengalahkan dia," ujar Gi-lim.
"Cici, hatimu sungguh baik," kata Fifi. "Thio Yan-coan
itu telah mengganggu kau sedemikian rupa, tapi kau masih
juga membelanya. Sesudah Sau-toako tertusuk mati, lalu
kau pondong jenazahnya berkeliaran tanpa tujuan, kakek
lantas berkata: 'Nikoh cilik ini bisa jadi akan gila karena
kematian Sau Peng-lam itu, coba kita kuntit dia.'
"Begitulah kami lantas menguntil di belakangmu,
melihat caramu yang merasa berat meninggalkan jenazah
itu, Kakek berkata pula padaku: 'Coba lihat, Fifi, NiKoh
cilik itu sedemikian sedihnya, apabila bocah she Sau itu
tidak mati, si Nikoh cilik tak dapat tidak harus piara rambut
kembali dan menjadi isterinya."
Muka Gi-lim menjadi merah, dalam kegelapan ia merasa
telinga dan lehernya serasa panas, tiba2 Fifi bertanya: "Cici,
apa betul ucapan kakek itu?"
"Aku .... aku merasa tidak tenteram karena telah
mengakibatkan kematian orang, sungguh akupun ingin mati
saja untuk menggantikan Sau-toako agar dia bisa hidup
kembali," jawab Gi-lim dengan sungguh2 dan tersendat
"Biarpun aku .... aku harus masuk neraka dan takkan
menjelma kembali juga aku rela."
Pada saat itulah orang ditempat tidur itu mengeluh
pelahan satu kali.
Dengan girang Gi-lim berseru: "Ha, dia ....dia sudah
siuman Fifi, tanya kepadanya apakah dia sudah agak
baikan?"
"Kenapa harus aku yang bertanya? Memangnya kau
sendiri tidak punya mulut?" ujar Fifi.
Gi-lim ragu2 sejenak, akhirnya ia mendekati tempat
tidur, dari balik kelambu ia bertanya: "Enghiong ini, apakah
engkau . . . ." Belum habis ucapannya, terdengar orang itu
mengeluh pelahan pula, suaranya sangat menderita.
Diam2 Gi-lim berpikir: "Saat ini dia sedang menderita
kesakitan, mana boleh kuganggu dia lagi."
Selang sejenak, terdengar napas orang itu mulai teratur,
agaknya obat yang diminumkannya telah bekerja sehingga
si sakit dapat pulas.
"Cici, mengapa kau rela mati bagi Sau Peng-lam?
Apakah kau benar2 suka padanya?" tanya Fifi dengan suara
pelahan.
"O. tidak, bukan begitu maksudku," jawab Gi-lim. "Aku
ini Cut-keh-lang (orang beragama, sudah meninggalkan
rumah), janganlah kau gunakan kata2 yang bisa membikin
kotor pada Hudco (Buddha). Sau-toako tidak pernah kenal
padaku, tapi dia mati demi menolong diriku. Sungguh aku
merasa sangat ....sangat tidak enak. . . ."
"Jika dia dapat hidup kembali, apakah akan kau lakukan
apapun baginya?" tanya Fifi.
"Ya, biarpun aku akan mati seribu kali juga aku tidak
menyesal," jawab Gi-lim,
Mendadak Fifi berteriak: "Nah Sau-toako, kau dengar
sendiri, Gi-lim Cici bilang. . . ."
"Jangan kau bercanda, Fifi!"
Tapi Kik Fi-yan tidak menghiraukan dan melanjutkan
seruannya: "Dia bilang asalkan kau tidak mati, maka segala
apapun akan disanggupinya."
Dari nada si anak dara yang terdengar sungguh-sungguh
dan tiada tanda2 bergurau itu, seketika hati Gi-lim menjadi
bingung dan berdetak keras, ucapnya dengan ter-patah2:
"Kau , . kau..."
Se-konyong2, 'crit-crit', pandangan menjadi terang, Fifi
telah menyalakan api dan menyulut lilin lalu menyingkap
kelambu lalu menggapai Gi-lim dengan tertawa.
Pelahan Gi-lim mendekati tempat tidur, mendadak
kepala terasa pusing, tubuh terus ambruk ke belakang.
Untung Fifi keburu menahan punggungnya hingga tidak
sampai roboh, kata anak dara itu dengan tertawa: "Kutahu
kau pasti akan terkejut Cici, coba kau lihat, siapa dia?"
"Dia. . .dia. . . ." Gi-lim tidsk sanggup melanjutkan,
uaranya sangat lemah, kerongkongannya serasa tersumbat.
Kiranya orang yang berbaring ditempat tidur ini taklaintak-
bukan ialah Sau Peng-lam adanya.
Dengan erat Gi-lim mencengkeram lengan Fi¬fi
tanyanva dengan suara gemetar: "Dia . . . .dia tidak mati?"
"Sekarang dia memang tidak mati, tapi kalau obatmu
tidak manjur, bisa jadi dia akan mati," jawab Fi-yan dengan
tertawa.
"Tidak, dia pasti takkan mati. . .takkan mati. . . O, dia
tidak mati!" ratap Gi-lim, saking kejut dan girangnya
mendadak ia menangis.
"He, dia tidak mati, mengapa kau malah menangis?" kata
Fifi.
Kedua kaki Gi-lim terasa lemas, ia tidak tahan lagi, ia
terkulai dilantai dan menangis tersedu-sedan, katanya: "O,
betapa senang hatiku. . . .Fifi, sungguh aku harus berterima
kasih kepadamu. Kiranya .... kiranya kau yang menolong
.... menolong Sau-toako."
"Kau sendiri yang menolongnya, mana aku mampu
menolong dia, aku kan tidak punya obat mujarab," ujar Fifi.
Mendadak Gi-lim paham duduknya perkara, ia
berbangkit, ia pegang tangan Fifi dan berkata: "Ya, kutahu.
kakekmu yang menyelamatkan dia."
Pada saat itulah ditempat ketinggian diluar sana
mendadak ada orang berteriak: "Gi-lim, Gi-lim!"
Jelas itulah suara Ting-yat Suthay.
Gi-lim terkejut, belum lagi ia menjawab. serentak Kik Fiyan
meniup padam lilin dan sebelah tangan mendekap
mulut Gi-lim sambil membisikinya: "Jangan bersuara,
ingat, tempat apakah ini!"
Seketika Gi-lim menjadi bingung, ia tahu dirinya berada
di rumah pelacuran, keadaannya memang serba salah, tapi
jelas2 suara panggilan gurunya terdengar tanpa dijawabnya,
selama hidupnya boleh dikatakan baru terjadi sekali ini.
Terdengar Ting-yai berteriak pula: "Thio Yan-coan,
menggelinding keluar sini!"
Tiba2 diruangan depan sana berkumandang suara gelak
tertawa orang, lalu berkata: "Apakah disitu Ting-yat Suthay
dari Pek-hun-am, Siong-san-pay? Sepantasnya Wanpwe
keluar menjumpai Suthay, cuma sayang, saat ini bebarapa
pacarku yang cantik sedang mengerumuni diriku sehingga
tidak sempat keluar, harap dimaafkan jika aku kurang
sopan! Hahahaha!"
Habis itu beberapa perempuan lantas tertawa cekakak
dan cekikik, suaranya genit, jelas suara perempuan Pelacur
dirumah maksiat ini.
Lalu terdengar seorang pelacur berkata dengan suara
yang di-bikin2: "Ai, sayangku, jangan peduli dia. Ehh, cium
lagi sekali! Uhhh, sedaap! Hihih'!"
Begitulah suara beberapa pelacur itu makin omong
makin cabul dan makin mesra?, jelas sengaja hendak
membikin kheki Ting-yat Suthay.
Dengan gusar Ting-yat membentak pula: "Thio Yancoan,
jika tidak mau keluar, pasti kucincang tubuhmu
hingga beribu potong!"
"Wah, tak usah ya!" jawab Thio Yan-coan dengan
tertawa "Kalau aku tidak keluar akan kau-cincang menjadi
ribuan potong, kukira bila kukeluar juga akan kau cincang
diriku menjadi ratusan potong. Sama2 dicincang, lebih baik
aku tidak keluar saja. Eh, Ting-yat Suthay, tempat beginian
tidaklah pantas didatangi Cut-keh-lang seperti kau ini,
kukira lebih baik lekas kau pulang saja. Muridmu tidak
berada di sini, dia adalah seorang Siau-suhu yang taat pada
agamanya, manabisa ia datang kemari? Kan aneh jika kau
mencarinya disini?"
"Nyalakan api, bakar!" teriak Ting-yat dengan murka.
"Bakar saja sarang anjing ini, coba lihat dia akan keluar
atau tidak?"
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Semi Guru Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 2 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Semi Guru Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-semi-guru-binal-pedang-kiri.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Semi Guru Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Semi Guru Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Semi Guru Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-semi-guru-binal-pedang-kiri.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 4 komentar... read them below or add one }

hendri prastio mengatakan...

artikelnya bagus sekali sob,,menambah pengetahuan dan wawasan.. terima kasih banyak atas sharenya..semoga selalu menciptakan karya" terbaiknya,,,dan ditunggu UPDATEan terbarunya sob,,,pokoknya mantap deh! keren buat blog ente ! dan saya mohon dukungannya sob buat lomba kontes SEO berikut:
Ekiosku.com Jual Beli Online Aman Menyenangkan
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia
terima kasih atas dukungannya sob,, saya doakan semoga ente selalu mendapatkan kebaikan,, dan terus sukses!! amin hehe sekali lagi terima kasih banyak ya sob...thaks you verry much...

obat maag yang ampuh mengatakan...

share nya semoga bermanfaat dan bertambah lagi ilmunya !!! trimakasih atas infonya pencerahan baru untuk saya

obat stroke herbal mengatakan...

Thanks atas artikelnya, makin nambah wawasan saya

Anonim mengatakan...

Manpir ya gan, Dijamin Lebih Hot: ❀◕ ‿ ◕❀
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

◉◉► Foto Cewe Bening Toket Gede Bulat

◉◉► Aksi Binal Penari Telanjang (19 Foto)

◉◉► Foto EXE Meki Sempit Istri Orang

◉◉► Foto: Croottt Sperma Di Wajah

◉◉► Foto Cewe Bisyar Bugil di Kolam

◉◉► Foto: Semalam Bersama Tante Cantik

◉◉► Tante Ratih Yang Haus Seks

◉◉► Foto Bugil: Kenangan Bersama Mantan (hot)

◉◉► Foto Telanjang Tante Girang Indo

◉◉► Galeri Toket Gede ABG Indo


▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬




★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★

FB Page ◉◉► Foto Hot Cewe Indonesia

Jangan Lupa Dilike ya. :-)

★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★ ★

























































































Posting Komentar