Cerita Semi Biru ABG Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 07 Agustus 2012

Cerita Semi Biru ABG Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 3-Cerita Semi Biru ABG Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 3-Cerita Semi Biru ABG Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 3

"Ting yat Suthay," seru Thio Yan-coan dengan tertawa
"tempat ini sangat terkenal di kota Cu-joan ini, namanya
Kun-giok-ih' (rumah si cantik), memang tidak menjadi soal
jika kau bakar, tapi di dunia Kangouw pasti segera akan
tersiar berita hangat bahwa rumah bunga jalanan di kota
Cu-joan telah dibakar oleh Ting-yat Suthay dari Siong-sanpay
Tentu orang akan bertanya untuk apakah Ting-yat
Suthay yang terkenal saleh itu datang ke tempat begituan?
Lalu orang akan menjawab bahwa tujuan Suthay hendak
mencari muridnya. Tentu pula orang akan heran, mengapa
anak murid Pek-hun-am yang suci itu bisa berada di Kungiok-
ih dan pasti akan ramailah orang memperbincangkan
kejadian ini. Jadinya paati akan sangat merugikan nama
baik Siong-san-pay kalian. Maka ingin kukatakan terus
terang padamu, aku Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan tidak
gentar pada langit dan tidak takut pada bumi, dikolong
langit ini aku cuma takut kepada muridmu seorang. Bila
melihat dia, lekas2 aku angkat kaki menghindarinya, mana
kuberani mengganggu dia?"
Diam2 Ting-yat berpikir apa yang diuraikan Thio Yancoan
ini memang tidak salah, tapi menurut laporan
muridnya tadi, katanya dengan jelas2 dilihatnva Gi-lim
masuk kerumah berlampu merah ini, masakah laporan itu
tidak betul?
Begitulah saking gusarnya Ting-yat menginjak keras2
sehingga genting sama pecah, tapi tak dapat bertindak apa2.
Tiba2 suara seorang mendengus diujung rumah seberang
sana dan bertanya: "Thio Yan-coan, muridku Pang Ci-ki
apakah kau yang membunuhnya?" Jelas itulah suara
Ciamtay Cu-ih, Hong-hoa wancu.
"Eh, maaf, maaf, sampai2 Hong-hoa-wancu juga
berkunjung kemari! Wah, selanjutnya Kun giok-ih di Cujoan
pasti akan termashur ke seluruh jagat ini, usahanya
pasti akan bertambah maju dan banjir tamu," demikian
jawab Thio Yan-coan "Tadi memang kubunuh seorang
secunguk, tapi permainan goloknya terlalu tidak becus,
gayanya memang mirip2 Kungfu Tang-wan, mengenai
namanya apakah Pang Ci-ki atau bukan, aku sendiri tidak
tahu dan tidak sempat tanya."
"Baik!" ucap Ciamtay Cu-ih.
Habis itu, "siuut', mendadak sesosok bayangan
menerobos masuk kedalam ruangan, lalu terdengar suara
"blang-blung" dan gemerincingnya senjata beradu, nyata
Ciamtay Cu-ih dan Thio Yan-coan sudah bergebrak
didalam kamar.
Berdiri diatas rumah dan mendengar suara benturan
senjata kedua orang itu, diam2 Ting-yat harus merasa
kagum, pikirnya: Keparat Thio Yan-coan itu memang
mempungai Kungfu sejati, dia sanggup bertempur secepat
kilat dan dapat menandingi Hong-hoa-wancu dengan sama
kuatnya."
Mendadak terdengar suara "blang" yang keras, suara
benturan senjata segera berhenti. Tangan Gi-lim yang
menggenggam tangan Fifi penuh keringat dingin. Entah
pertempuran kedua itu telah dimenangkan siapa?
Menurut akal, beberapa kali Thio Yan-coan hendak
mengganggunya, seharusnya dia berharap Ciamtay Cu-ih
yang menang. Tapi aneh, dalam hati ia justeru berharap
Ciamtay Cu-ih akan dikalahkan Thio yan-coan. Akan lebih
baik jika Ciamtay Cu-ih terus lari pergi setelah kalah, juga
gurunya bisa lekas pergi, dengan demikian Sau Peng-lam
dapat merawat lukanya dengan tenang.
Maklumlah, keadaan Sau Peng-lam saat ini cukup
gawat, bilamana Ciamtay Cu-ih menerjang tiba dan
membikin ribut, kalau luka Peng-lam kambuh lagi, maka
pasti akan binasa.
Dalam pada itu terdengar suara Thio Yan-coan bergema
dikejauhan: "Ciamtay-wancu, kamar itu terlalu sempit,
gerak-gerik kurang leluasa, marilah kita bertempur 300 jurus
lagi ditempat yang lapang sana untuk menentukan siapa
yang lebih lihay. Jika kau menang, biarlah si Melati yang
cantik manis ini akan kuserahkan padamu, sebaliknya bila
kau kalah, maka siMelati adalah bagianku."
Di bilik ucapannya itu se-olah2 hendak bilang sebabnya
Ciamlay Cu-ih bertempur dengan dia adalah karena berebut
perempuan, demi mendapatkan salah seorang pelacur
"Kun-giok-ih" yang bernama siMelati.
Bagi Thio Yan-coan yang namanya memang terkenal
busuk tentu saja bukan soal, dia sudah biasa masuk keluar
rumah maksiat seperti orang masuk restoran, sedikitpun
tidak. mengherankan. Akan tetapi Ciamtay Cu-ih adalah
seorang guru besar suatu perguruan ternama. mana boleh
disejajarkan dengan bergajul semacam Thio Yan-coan ini?
Waktu bertarung didalam kamar tadi, hanya dalam
sekejap saja mereka sudah bergebrak lima puluhan jurus,
permainan golok Thio Yan-coan ternyata sangat lihay,
menyerang atau berjaga sangat teratur. Menurut peikiraan
Ciamtay Cu-ih, ilmu silat lawan jelas tidak di bawah
dirinya, apabila harus bertempur lagi 300 jurus, betapapun
ia tidak yakin akan menang.
Karena itulah ia tidak menanggapi tantangan Thio Yancoan
tadi, seketika suasana menjadi sunyi senyap.
Gi-lim seakan- dapat mendengar suara detak jantung
sendiri, ia mendekatkan kepalanya ketepi telinga Fifi dan
bertanya dengan suara tertahan: "Apakah mereka akan
masuk ke sini?"
Padahal umur Fifi jauh lebih muda dari padanya, dalam
keadaan genting itu Gi-lim merasa kehilangan akal dan
tidak tahu apa yang harus dilakukannya, ia seperti berubah
menjadi anak kecil yang tidak paham apapun, Fifi tidak
menjawabnya, tapi lantas mendekap mulutnya.
Maka terdengarlah Wi Kay-hou sedang berkata:
"Ciamtay-wancu, kejahatan keparat Thio Yan-coan sudah
kelewat takaran, biarlah kita bereskan dia lain hari saja dan
tidak perlu ter-buru2. Rumah pelacuran ini sangat
menjijikkan, sudah lama ada niatku hendak menumpasnya,
sekarang menjadi kebetulan. Tay-lian, Oh-gi, be-ramai2
kalian masuk kesana dan periksu seluruhnya, satu orangpun
tidak boleh lolos."
Murid keluarga Wi, yaitu Hiang Tay-lian dan Bi Oh-gi,
berbareng mengiakan. Menyusul Ting-yat juga cepat
memberi perintah kepada anak muridnya agar mengepung
rapat sekeliling rumah maksiat ini.
Sebagai Nikoh, tidak leluasa bagi mereka berterobosan di
rumah pelacuran, sekarangWi Kay-hou bersama muridnya
tampil untuk menggeledahnya, tentu saja kebetulan bagi
Ting-yat Suthay.
Gi-lim menjadi kelabakan, didengarnya suara bentakan
anak murid keluarga Wi sedang mengobrak-abrik rumah
pelacuran itu, mereka memeriksa satu kamar demi satu
kamar, Wi-kay-hou dam Ciamtay Cu-ih mengawasi
disamping.
Terdengar jerit tangis orang, agaknya Okui atau germo
serta pembantunya telah dihajar oleh rombongan Hiang
Tay-lian. Ditambah lagi anak murid Tang-wan yang ingin
melampiaskan kematian temannya yang dibunuh Thio Yancoan
itu, mereka pun ikut beraksi, semua alat perabot
rumah pelacuran itu telah dihancurkan mereka.
Terdengar rombongan Hiang Tay-lian sudah mulai
memeriksa kamar2 samping, sebentar lagi pasti akan
sampai dikamar tempat persembunyinya. saking cemasnya
hampir saja Gi-lim jatuh kelengar, Pikirnya: "Suhu datang
hendak menyelamatkan diriku, tapi aku tidak bersuara,
sebaliknya mengeram di kamar rumah pelacuran bersama
seorang lelaki. Meski dia terluka parah, tapi bila orang2
Thay-san-pay dan Hong-hoa-wan itu membanjir tiba dan
mempergoki dirinya, biarpun aku punya seribu mulut juga
sukar memberi penjelasan dan mencuci bersih diriku. Jika
nama baik Siong-san-pay sampai tercemar, cara bagaimana
aku harus bertanggung-jawab terhadap Suhu dan para
Suci?"
Karena merasa berdosa dan putus asa, mendadak ia
hendak membenturkan kepalanya di dinding untuk
membunuh diri.
Syukur Fifi keburu menariknya sambil membentak
dengan suara tertahan: "Jangan! Marilah kita menerjang
keluar!"
Tapi mendadak terdengar suara 'kresak kresek', tahu2
Sau Peng-lam telah berbangkit dan berduduk di tempat
tidur, ucapnya dengan pelahan:' Nyalakan lilin!"
"Untuk apa?!" tanya Fifi.
"Kubilang nyalakan lilin!" kata Peng-lam pula, suaranya
kereng.
Fifi tidak tanya lagi, ia mengetik api dan menyulut lilin.
Di bawah cahaya lilin Gi-lim dapat melihat muka Sau
Peng-lam yang pucat pasi seperti mayat itu, tanpa terasa ia
menjerit pelahan.
Tiba2 Sau Peng-lam menunjuk mantelnya yang tertaruh
diujung tempat tidur dan berkata: "Sampirkan mantel itu
pada tubuhku!"
Dengan gemetar Gi-lim melaksanakan permintaan Sau
Peng-lam itu.
Peng-lam memegangi dada baju mantel itu untuk
menutupi luka dan noda darah dibagian dada, lalu berkata:
"Lekas kalian berbaring ditempat tidur."
Kik fi-yan mengikik-tawa, katanya: "Hah, permainan
menarik" Segera ia menarik Gi-lim dan menyusup ke dalam
selimut.
Dalam pada itu orang2 diluar sudah melihat cahaya lilin
di kamar ini, terdengar beberapa orang berseru: "Coba
periksa kamar itu!" Serentak membanjirlah orang2 itu
kearah sini.
Sekuatnya Sau Peng-lam melangkah maju dan
merapatkan daun pintu serta dipalang sekalian, lalu ia
berpaling dan memandang ketempat tidur, segera ia
mendekati ranjang itu dan menyingkap kelambu, katanya:
"Semuanya menyusup kedalam selimut!"
"Kau .... kau jangan bergerak, hati2 dengar lukamu . . . ."
kata Gi-lim.
Tapi Peng-lam lantas mendorong kepala Gi-lim kedalam
selimut, sebaliknya rambut Fi-yan yang panjang itu
ditariknya keluar dan dilebarkan diatas bantal.
Karena mendorong dan menarik ini, Peng-lam merasa
darah mengucur keluar lagi dari lukanya. Kakinya terasa
lemas, ia berduduk ditepi ranjang.
Sementara itu orang2 tadi sudah datang, ada yang
sedang menggedor pintu dan ada yang berteriak: "Hayo
buka pintu, bangsat!"
Menyusul lantas terdengar suara "blang" yang keras,
pintu kamar telah didobrak hingga terpentang, beberapa
orang menerjang masuk sekaligus. Dan orang yang paling
depan adalah murid Tang-wan yaitu Ji Ci-eng dan Ci Cihiong,
sesudah isrirahat di Thay-an kemarin dan merasa
mulai sehat, segera mereka menyusul kesini untuk
bergabung dengan gurunya.
Mereka menjadi kaget demi mengetahui siapa yang
berada di dalam kamar ini, teriak mereka: "He, kau Sau . . .
. Sau Peng-lam!. . . ."
Mungkin karena pernah didepak hingga mencelat,
mereka menjadi kapok dan kuatir tertendang lagi, serentak
mereka menyurut mundur, suara merekapun terasa
gemetar.
Hiang Tay-lian dan Bi Oh-gi tidak kenal Sau Peng-lam,
tapi mereka mendengar cerita Gi-lim, katanya Sau Penglam
sudah dibunuh Lo Ci-kiat. Kini Ci-eng dan Ci-hiong
berteriak nama Sau Peng-lam, mereka terkesiap dan tanpa
terasa melompat mundur juga, Semuanya terbelalak
memandangi Peng-lam.
Pelahan Peng-lam berdiri, ucapnya: "Kalian....kalian
sebanyak ini. . . ."
"Sau Peng-lam," potong Ci-hiong, "kiranya....kiranya
kau tidak mati. . . ."
"Hm, masa begitu gampang mati?" jengek Peng-lam.
Segera Ciamtay Cu-ih memburu maju, serunya: "Jadi
kau inilah Sau Peng-lam? Bagus, bagus sekali!"
Peng-lam memandangnya sekejap tanpa menjawab.
"Apa yang kau lakukan dirumah pelacuran ini"! tanya
Ciamtay Cu-ih.
"Hahahaha!" Peng-lam bergelak tertawa. "Ini namanya
sudah tahu sengaja tanya. Memangnya kerja apa orang
berada di rumah pelacuran?"
"Biasanya peraturan perguruan Soh-hok-han di Huiciu
terkenal sangat keras, sebagai murid tertua Lam-han,
ahliwaris Kun cu-kiam Sau-siansing, kabarnya kau pun
pernah mengangkat guru kepada Tong-thian Totiang dari
Bu-tong, seorang tokoh muda yang mengemban tugas suci
dua aliran besar didunia persilatan, tapi sekarang
diketemukan mengeram dirumah pelacuran, sungguh lucu
dan menggelikan!" demikian Ciamtay Cu-ih ber-olok2.
"Bagaimana peraturan Lam-han dan Bu-tong semua itu
adalah urusan kami dan tidak perlu orang lain ikut
merisaukannya," jawab Peng-lam.
Ciamtay Cu-ih cukup berpengalaman, melihat air muka
Peng-lam pucat dan badan gemetar, jelas tanda terluka
parah, ia menjadi sangsi ada sesuatu yang tidak beres. Tiba2
terpikir olehnya: "Nikoh cilik dari Siong-san-pay itu bilang
bocah ini telah dibinasakan Ci-kiat, kenyataannya bocah ini
belum mati, jelas Nikoh cilik itu sengaja berdusta. Dari cara
bicaranya yang menyebut Sau-toako dengan mesra, bisa
jadi mereka berdua sudah ada hubungan pribadi yang
intim."
Lalu terpikir pula olehnya: "Orang jelas melihat Nikon
cilik itu masuk kerumah pelacuran ini, tapi sekarang
jejaknya menghilang tanpa bekas. mungkin sekali
disembunyikan oleh bocah she Sau ini. Hm Ngo-tay-lianbeng
mereka suka mengaku sebagai Beng-bun-cing-pay dan
memandang hina Hong-hoa-wan kami, maka sekarang aku
harus berusaha menemukan Nikoh Cilik itu disini, dengan
demikian bukan cuma Lam-han dan Siong-san-pay saja
yang malu, bahkan Ngo-tay-lian-beng juga akan tercorengmoreng
mukanya sehingga tidak berani omong besar lagi
didunia Kangouw."
Segera ia memandang seluruh kamar itu, ternyata tiada
seorang lainpun, ia pikir mungkin Nikoh cilik itu
disembunyikan diatas tempat tidur, segera ia berseru: "Cieng,
coba singkap kelambunya, besar kemungkinan ada
tontonan menarik di tempat tidur itu."
Ci-eng mengiakan dan melangkah maju. Tapi dia pernah
dikerjai Sau Peng-lam, tanpa terasa ia memandang Penglam
sekejap dengan ragu2.
"Apakah kau sudah bosan hidup?" kata Peng-lam.
Ci-eng merandek, tapi mengingatt Suhu berjaga
dibelakang, rasa jerinya lantas hilang. "Sret", segera ia
melolos pedangnya.
"Mau apa kau?" tanya Peng-lam kepada CiamtayCu-ih.
"Siong-san-pay kehilangan seorang murid perempuan,
ada orang melihat dia masuk kerumah bordil ini, maka
kami harus mencarinya," jawab Ciamtay Cu-ih.
"Urusan dalam Ngo-tay-lian-beng masa perlu orang
lautan sana seperti dirimu ini untuk ikut campur?" jengek
Peng-lam.
"Pokoknya urusan hari ini harus kuselidiki hingga jelas."
kata Ciamtay Cu-ih tegas. "Ci-eng, kerjakan!"
Sambil mengiakan segera Ci-eng menjulurkan pedangnya
untuk menyingkap kelambu.
Saat itu Gi-lim dan Fifi saling rangkul bersembunyi
didalam selimut, semua percakapan Sau Peng-lam dengan
Ciamtay Cu-ih itu dapat didengar mereka dengan jelas,
diam2 mereka mengeluh bisa celaka jika mereka sampai
dipergoki bersembunyi disitu, tubuh mereka menjadi
gemetar.
Waktu Ci-eng menyingkap kelambu, sungguh takut
mereka tak terhingga. Serentak pandangan semua orang
tertuju keatas ranjang, tertampaklah di dalam selimut
bersulam indah itu memang ada orangnya, tapi dibantal
jelas pula kelihatan rambut panjang terurai, selimut
bersulam itu kelihatan bergetar, nyata orang yang sembunyi
disitu sangat ketakutan.
Ciamtay Cu-ih merasa kecewa demi nampak rambut
panjang yang terurai di atas bantal itu, jelas orang yang
bersembunyi ini bukan Nikoh cilik yang berkepala gundul.
Rupanya Sau Peng-lam ini memang benar lagi tidur dengan
pelacur.
Sau Peng-lam lantas mendengus.: "Ciamtay-wancu,
konon ilmu yang kau latih adalah Tong-cu-kang (ilmu dasar
kanak2), selama hidupmu belum pernah melihat
perempuan yang telanjang bulat, jelas kau pun tidak berani
masuk rumah bordil dan main perempuan. Sekarang
mumpung ada kesempatan, kenapa tidak suruh muridmu
menyingkap selimut agar kau bisa bertambah pengalaman?"
Ucapan Peng-lam ini sebenarnya sangat berbahaya,
hanya gertak sambel belaka. Cuma ia yakin sebagai seorang
guru-besar suatu aliran termashur, tentu Ciamtay Cu-ih
menjaga gengsi dan tidak berani sengaja memandang
seorang perempuan jalang yang telanjang didepan orang
sebanyak ini.
Betul juga, Ciamtay Cu-ih menjadi gusar dan
membentak: "Omong kosong! Kentut belaka!" —Berbareng
sebelah tangannya lantas memotong kedepan
Peng-lam mengegos kesamping, tapi lantaran dia terluka
parah, gerak geriknya kurang leluasa pukulan Ciamtay Cuih
inipun sangat lihay, karena sampukan angin pukulan
yang dahsyat itu, ia jatuh terguling ditempat tidur, tapi
sekuatnya ia bangkit kembali, namun darah segar lantas
tersembur keluar dari mulutnya.
Segera Ciamtay Cu-ih bermaksud menghantam lagi.
mendadak diluar jendela ada orang berteriak memaki: "Hai,
tua menganiaya muda, tidak tahu malu?!"
Belum lagi kata2 terakhir "malu" itu lenyap serentak
Ciamtay Cu-ih memutar balik tangannya dan menghantam
keluar jendela, menyusul ia melayang keluar.
Dibawah cahaya lilin yang menvorot keluar dari kamar,
dilihatnya seorang bungkuk bermuka buruk sedang h^edak
lari kepojok halaman sana, "Berhenti!" bentak Ciamtay Cu -
h dengan suara menggelegar.
Si bungkuk itu tak-lain-tak-bukan adalah samaran Soat
Peng-say.
Tadi setelah menghadapi Ciamtay Cu-ih di tempat Wi
Kay-hou, pada waktu Kik Fi-yan muncul dan menjadi pusat
perhatian orang banyak, kesempattan itu lantas digunakan
Peng-say untuk mengeluyur keluar. Baru saja sampai di
serambi, tahu-tahu Soat Ko-hong melayang tiba dan
menepuk pelahan punggungnya yang dibuat bungkuk itu
sambil menegur: "He, bungkuk palsu, kenapa kau menyaru
orang bungkuk? Memangnya apa paedabnya menjadi orang
bungkuk? Sebab apa pula kau mengaku sebagai anak
muridku?"
Peng-say tahu tabiat orang ini agak aneh, ilmu silatnya
juga sangat tinggi, apabila jawabannya kurang tepat, bisa
jadi akan mendatangkan kematian. Tapi diruangan besar
tadi dirinya telah menyebutnya sebagai "Soat-tayhiap" yang
budiman dan suka menolong kaum lemah, jadi tidak
berbuat sesuatu yang merugikan dia, asalkan dirinya tetap
bersikap demikian, rasanya orang tiada alasan buat marah.
Maka Peng-say lantas menjawab: "Soalnya Wanpwe
sering nmndengar cerita orang bahwa Soat-tayhiap sangat
disegani orang dan suka menolong orang yang kepepet,
sebab itulah tanpa sadarWanpwe lantas menyamar seperti
bentuk Soat-tayhiap, untuk kelancanganku ini mohon
dimaafkan."
"Hahaha. kau bilang aku ini suka menolong orang, suka
rmmbantu yang lemah dan memberantas yang jahat, semua
itu ngaco-belo belaka, seru Soat Ko-hong dengan gelak
tertawa.
Sudah tentu dia tahu ucapan Peng-say itu hanya bualan
belaka. Tapi di dunia ini manusia mana yang tidak suka
diumpak dan dipuji? Begitu pula orang Kangouw, semakin
tinggi ilmu silatnya, semakin ingin mendapatkan nama.
Sebenarnya di dunia persilatan Soat Ko-hong tidak
disukai orang, seumpama ada yang bicara langsung dengan
dia, paling2 juga cuma memuji ilmu silatnya yang tinggi
dengan pengalamannya yang luas, tapi tidak pernah orang
memuji tindak-tanduknya yang luhur budi apa segala.
Tentu saja ia senang mendapat pujian Peng-say, ia
mengamati anak muda itu sejenak, lalu berkata: "Siapa
namamu? Murid perguruan mana?"
"Wanpwe kebetulan juga she Soat, jadi bukan sengaja
memalsukan she jang sama dengan Cianpwe." jawab Pengsay.
"Hm, tidak sengaja apa? Jelas kau hendak menggunakan
nama Yaya untuk menggertak dan menipu orang," jengek
Soat Ko-hong. "Padahal Ciamtay Cu-ih itu adalah seorang
tokoh sakti dunia persilatan saat ini, dengan satu jari saja
dia sanggup membinasakan kau, tapi kau berani bersikap
kasar padanya. H m, besar juga nyalimu!"
Bila mendengar nama Ciamtay Cu-ih, seketika Peng-say
jadi kheki, segera ia berteriak: "Selama Wanpwe masih
bernapas, pasti akan kubunuh jahanam ini dengan tanganku
sendiri!"
Soat Ko-hong merasa heran. tanyanya: "Memangnya
Ciamyay Cu-ih ada permusuhan apa dengan kau?"
Peng-say ragu2 sejenak, ia pikir kalau melulu
mengandalkan tenaga sendiri jelas sukar menyelamatkan
adiK Leng, apa salahnya jika sekalian kusembah dia lagi
dan mohon pertolongannya?
Segera ia berlutut dan menyembah beberapa kali,
tuturnya: "Adik perempuan Wanpwe jatuh di bawah
cengkeraman jahanam itu, maka kumohon dengan sangat
sudilah kiranya Cianpwe bantu menolongnya."
Soat Ko-hong berkerut kening dan menggeleng berulang2,
katanya; "Pekerjaan yang tidak mendatangkan
untung, selamanya tidak mau dilakukan si bungkuk she
Soat. Siapakah adik perempuanmu? Apa manfaatnya
setelah kuselamatkan dia?"
Sampai disini percakapan mereka, tiba-tiba terdengan
disamping pintu sana ada orang berseru dengan suara
tertahan: "Lekas laporkan kepada Suhu bahwa kembali
seorang murid Tang-wan terbunuh, seorang murid Siongsan-
pay juga terluka dan sempat lari pulang."
Maka Soat Ko-hong tidak tanya lebih lanjut, ia berkata:
"Urusanmu boleh kita bicarakan lagi nanti, di depan mata
ada tontonan menarik. jika kau ingin tambah pengalaman
boleh ikut pergi melihatnya."
Peng-say pikir asalkan masih berada disamping si
bungkuk ini, tentu masih ada kesempatan untuk mohon
bantuannya. Maka ia lantas menjawab: "Baik, kemana
Cianpwe pergi, kesana pulaWanpwe akan ikut."
"Supaya kau tdak kecewa, biarlah kita bicara dimuka,
bahwa urusan apapun harus menguntungkan barulah akan
kulakukan, jika kau cuma menyanjung puji dimulut saja
dan menghendaki kakek keluar tenaga bagimu, maka
urusan ini jangan kau sebut lagi." demikian kata Soat Kohong.
Tentu saja Peng-say melenggong dan tidak tahu
bagaimana jawabnya.
Mendadak Soat Ko-hong berkata- "Mereka sudah
berangkat, hayolah ikut padaku!" —Serentak Peng-say
merasa pergelangan tangan kanan terpegang kencang, tahu2
tubuhnya sudah terapung terus dilarikan sepanjang jalan
kota.
Setiba di rumah pelacuran "Kun-giok-ih" itu, Soat Kohong
membisiki Peng-say agar jangan bersuara. Mereka
bersembunyi dibalik pohon dan mengintai gerak-gerik orang
di dalam rumah itu.
Di tempat sembunyinya mereka dapat mendengar
dengan jelas pertarungan antara Thio Yan-coan dan
Ciamtay Cu-ih, lalu Wi Kay-hou dan anak buahnya
mengobrak-abrik Kun-giok-ih, kemudian Sau Peng-lam
unjuk diri.
Ketika Ciamtay Cu-ih hendak menyerang Sau Peng-lam
pula, Peng-say tidak tahan, ia lantas berteriak: "Tua
menganiaya muda, tidak tahu malu."
Setelah bersuara barulah Peng say menyadari
kecerobohannya segera ia putar tubuh dan hendak
sembunyi, tak terduga gerakan Ciamtay Cu-ih terlalu cepat
baginya, begitu membentak: "Berhenti", serentak angin
pukulan juga mengurung seluruh tubuh anak muda itu,
apabila tenaga pukulan dikerahkan sepenuhnya, bukan
mustahil isi perut Soat Peng-say akan hancur dan tulang
patah.
Tapi demi melihat siapa anak muda itu, Ciam-tay Cu-ih
menjadi jeri terhadap Soat Ko-hong dan urung
mengerahkan tenaga pukulannya.
"Hm, kiranya kau?!" jengeknya, sorot matanya tertuju ke
arah Soat Ko-hong yang berdiri di Sana dan berkata pula:
"Soat-tocu, berulang kali kau hasut anak muda ini merecoki
diriku, sebenarnya apa maksudmu?"
Soat Ko-hong ter-bahak2, "Bocah ini mengaku sebagai
anak-cucuku, padahal aku tidak pernah kenal dia. Dia she
Soat sendiri, apa sangkut pautnya dengan diriku yang juga
she Soat? Ciamtay-wancu, bukanlah si bungkuk takut
padamu, soalnya aku tidak ingin menjadi tameng bagi
seorang anak muda keroco begini, Menjadi tameng harus
ada untungnya, bila pekerjaan tanpa menghasilnya,
betapapun si bungkuk tidak sudi melakukannya."
Ciamtay Cu-ih bergirang oleh keterangan Soat Ko-hong
itu, cepat ia berkata: "Jika benar orang ini tiada sangkut
pautnya dengan Soat-heng, baiklah, akupun tidak perlu
sungkan2 lagi padamu."
Selagi ia menghimpun tenaga untuk menyerang pula,
tiba-tiba didalam jendela ada orang menjengek: "Hm, tua
menganiaya muda, tidak tahu malu!"
Ciamtay Cu-ih menoleh, dilihatnya seorang berdiri di
balik jendela, siapa lagi kalau bukan Sau Penq-lam.
Tidak kepalang murka Ciamtay Cu-ih karena disindir
Sana sini. Tapi "tua menganiaya yang muda, tidak tahu
malu", kata2 ini memang tepat mengenai sasarannya,
padahal iimu silat kedua orang di depannya ini jauh di
bawahnya, untuk membunuhnya boleh dikatakan terlalu
mudah baginya. Namun tuduhan "Tua menganiaya muda"
memang sukar dielakkan, dan kalau benar orang tua
menganiaya anak muda, jelas perbuatan ini "tidak kenal
malu" Sebaliknya kalau dia mengampuni mereka secara
begini saja, rasanya iapun penasaran.
Maka ia lantas mendengus dan berkata kepada Sau Penglam:
"Urusanmu biarlah kelak kubereskan dengan gurumu."
— Lalu ia berpaling dan berkata kepada Soat Peng-say:
"Siaucu (anak kecil. coba katakan, kau ini murid perguruan
aliran mana?"
"Bangrat!" kontan Peng-say mendamperat. "Kau telah
menculik adik Leng, sekarang kau malah menanyai diriku?"
Ciamtay Cu-ih menjadi heran dan bingung, pikirnya:
"Aneh, bilakah pernah kuculik adik Leng-mu segala?
Sedangkan kenal kau saja tidak?"
Tapi didepan orang banyak ia merasa tidak enak untuk
bertanya, ia coba menoleh dan berkata kepada muridnya:
"Ci-eng, binasakan bocah ini, kemudian tangkap Sau Penglam."
Kalau muridnya yang disuruh maju, dengan sendirinya
tak dapat lagi dikatakan "tua mengaiaya muda",
Ci-eng mengiakan, segera ia melolos pedang dan melompat
maju.
Peng-say juga akan melolos pedangnya, tapi baru saja
tangannya bergerak, tahu2 golok melengkung Ci-eng sudah
menyambar tiba dan mengancam didepan dadanya.
Tanpa pikir Peng-say berteriak: "Ciamtay Cu-ih, aku dan
Soat Koh . . . ."
Ciamtay Cu-ih terkejut demi mendengar Peng-say
menyebut nama "Soat Koh". Cepat tangan kirinya
memukul sehingga golok Ci-eng tergetar kesamping dan
menyambar lewat di sisi tubuh Peng-say.
"Kau bilang apa?" tanyaCiamtay Cu-ih.
"Kubilang sekalipun hari ini aku Soat Peng-say harus
mati juga berharga karena akupun telah membunuh
anakmu!" jawab Peng-say nyaring.
"Apa . . . .apa katamu? Jadi . . . jadi kau inilah salah
seorang pembunuh anakku?" tanya Ciamtay Cu-ih.
Peng-say sudah nekat, ia tahu tiada gunanya menutupi
rahasia dirinya lagi, biarlah mati secara terang2an saja.
Maka koyok yang menghiasi mukanya segera dibuangnya,
"bret", ia menarik baju luarnya dan membuang semua
ganjel punggungnya, seketika ia berdiri tegak lurus, mana
lagi ada si bungkuk bermuka buruk segala, kini ia sudah
kembali sebagai pemuda yang gagah.
"Betul, aku inilah salah seorang pembunuh anakmu,"
demikian ia berteriak lantang "Puteramu menculik gadis
orang, aku dan Soat Koh yang membunuhnya. Jika kau
ingin menuntut balas bagi anakmu. boleh kau bunuh saja
diriku. Tapi kau telah menculik adik Leng, kemana kau
sembunyikan dia? Hendaklah kau tahu, kematian anakmu
tiada sangkut pautnya dengan adik Leng, masa karena
kematian anakmu itu lantas kau hendak paksa adik Leng
menjanda selama hidup?"
"Kurangajar!" damperat Ciamtay Cu-ih. "Pantas tempo
hari tidak kutemukan kau, kiranya kau mencampurkan
dirimu di tengah anak murid Lam-han sehingga aku tertipu.
Sekarang ingin kutanya padamu, dimana Soat Koh? Ilmu
pedang gabungan kalian yang digunakan membunuh
anakku apakah.... apakah ajaran Sau Kim-leng?"
Sebenarnya ia hendak tanya "apakah Siang-liu-kiamhoat",
tapi kuatir pertanyaannya ini akan menimbulkan
hasrat Soat Ko-hong untuk memiliki ilmu pedang ini, lalu
Soat Peng-say akan dijadikan sandera lagi. jika demikian
urusan tentu akan bertambah panjang.
Nama Siang-liu-kiam-hoat didengarnya dari Ciamtay
Boh-ko sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir.
yaitu ketika Ciamtay Cu-ih baru turun dari kapalnya dan
melihat anaknya terkapar di dermaga, pada detik terakhir
itulah Ciamtay Boh-ko sempat memberitahu kepada
ayahnya bahwa dia dilukai oleh gabungan dua pedang yang
disebut Siang-liu-kiam-hoat.
Tadinya Ciamtay Cu-ih mengira perempuan yang
membunuh anaknya itu memakai dua pedang sekaligus,
gabungan sepasang pedang itulah yang disebut Siang-hukiam-
hoat Padahal sudah lama ia-pun mengincar ilmu
pedang maha sakti itu, sebab itulah dia bertekad akan
mencari perempuan yang bernama Soat Koh itu sehingga
terhadap pembantu pembunuh yang lain tidak begitu
diperhatikannya.
Tapi kemudian lantas teringat pula olehnya ucapan Sau
Ceng-in dahulu bahwa Siang-liu-kiam-hoat sukar
diyakinkan oleh seseorang terkecuali orang itu memang
jenius dan tekun berlatih selama berpuluh tahun. Apabila
dilatih dua orang, masing2 berlatih setengah bagian,
hasilnya memang bolehlah, tapi juga sukar mencapai
puncaknya.
Sekarang kematian anaknya itu menurut keterangan kuli
pelabuhan akibat dikerubut seorang perempuan dibantu
seorang lelaki. Jelas pesan Ciam-tay Boh-ko sebelum ajal itu
tentang gabungan dua pedang, maksudnya gabungan
permainan pedang dua orang yang terdiri dari laki2 dan
perempuan.
Sebab kalau Soat Koh seorang mahir memainkan Siang-liukiam-
hoat tentu cukup kuat untuk membunuh anaknya,
untuk apa mesti dibantu pula oleh seorang lelaki?
Sebab itulah dia memastikan orang yang membunuh
anaknya itu terdiri dari sepasang lelaki dan perempuan yang
masing2 mahir memainkan setengah bagian Siang-liu-kiamhoat,
untuk mendapatkan ilmu pedang sakti itu, tidak
cukup melulu mencari Soat Koh saja dan harus pula
menemukan si lelaki itu.
Tapi kemanakah mencarinya? Soat Koh sudah diketahui
namanya, Kiau Lo-kiat juga sudah menjelaskan bentuk
wajahnya, rasanya masih dapat ditemukan. Sedangkan
lelaki itu tidak jelas namanya dan juga tak diketahui bentuk
Wajahnya, lalu cara bagaimana akan mencarinya?
Diluar dugaan, tanpa dicari malah orangnya sudah
mengaku sendiri sebagai salah seorang pembunuh anaknya.
Keruan ia kegirangan. lebih2 setelah mengetabui ilmu silat
Soat Peng-say hampir tidak ada artinya, tapi bersama Soat
Koh dapat membunuh anaknya, jelas hal ini disebabkan
jasa gabungan kedua pedang dari Siang-liu-kiam-hoat.
Ia pikir setelah satu tertangkap, yang lain tentu tidak sulit
untuk ditawan pula. Asalkan kedua orang sudah tertangkap
semua, maka Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap berarti
akan diperolehnya pula. Terdorong oleh hasrat ingin
memiliki ilmu pedang maha sakti itulah, lebih dulu ia lantas
tanya Soat Peng-say dimana beradanya Soat Koh.
Begitulah dengan ketus Peng-say lantas menjawab: "Hm,
kau kira ilmu pedang yang kami gunakan untuk membunuh
puteramu itu adalah ajaran Sau Kim-leng? Hah. kau salah
besar! Memangnya kau kira sebelum meninggal ibu Sau
Kim-leng akan memberitahukan kunci ilmu pedang Siangliu-
kiam-hoat kepada anak perempuannya? Haha, biar
kukatakan sejujurnya kepadamu, ibu Sau Kim-leng juga
tidak paham Siang-liu-kiam-hoat, jadi tidak ada gunanya
sama sekali biarpun kau culik adik Leng."
Dia kuatir Ciamtay Cu-ih akan kecewa, lalu membunuh
Cin Yak-leng, maka sejauh ini dia belum berani
membongkar rahasia penyamaran Cin Yak-leng. Ia
bermaksud mengalihkan persoalannya kepada dirinya
sendiri agar Ciamtay Cu-ih merasa tidak bermanfaat
membawa pulang "Sau Kim-leng", dan kalau Cin Yak-leng
sudah lolos dari cengkeraman maut, andaikan dirinya harus
mati mengganti nyawa Ciamtay Boh-ko juga terasa
berharga.
Sekarang iapun paham maksud tujuan Ciamtay Cu-ih
menyuruh Ciamtay Boh-ko membawa pulang Sau Kim-leng
kelautan timur, tidaklah masuk diakal puteranya sendiri
disuruh mengawini puteri kandungnya sendiri pula. Jadi
jelas pasti ada tujuan lain.
Sesungguhnya Ciamtay Cu-ih memang tiada maksud
menyuruh puteranya sendiri berbuat sebiadab itu, soalnya
dia mengira nyonya Sau Ceng-in pasti tahu rahasia Siangliu-
kiam-hoat. Kalau Sau Ceng-in sudah mati. di dunia ini
hanya Sau-hujin saja satu2nya orang yang tahu ilmu pedang
maha sakti itu.
Sebab itulah ketika Sau-hujin mencari suaminya ke
lautan timur, dengan obat bius dia berhasil mengerjai Sauhujin,
lebih dulu ia menodai kesucian Sau-hujin, lalu
dengan berbagai cara bujuk rayu untuk memikat nyonya
Sau, ia mengira dengan jerih payahnya itu. setelah nyonya
Sau mau menjadi isterinya, maka rahasia Siang-liu-kiam
hoat nanti juga akan diberitahukan kepadanya.
Untuk menutupi maksud busuknya itu, sejauh itu ia
tidak pernah menyinggung tentang Siang-liu-kiam-hoat
segala. yang diperlihatkan hanya kemesraanya sebagai
tanda bahwa sebabnya dia menodai tubuh Sau-hujin adalah
karena dia jatuh cinta kepada kecantikannya.
Padahal waktu itu usia Sau-hujin sudah lebih 30 tahun,
sakalipun cantik juga sudah tergolong setengah baya.
Sebaliknya Ciamtay Cu-ih adalah penguasa suatu pulau,
biarpun di rumahnya sudah ada sekian isteri dan sekian selir
seperti hidup raja-raja di Tionggoan, tapi banyak juga
haram yang jauh lebih cantik daripada Sau-hujin.
Jadi cintanya kepada Sau-hujin hanya bertujuan
mengorek rahasia Siang-liu-kiam-hoat. Di luar dugaan,
hasil dari cinta itu akhirnya Sau-hujin hamil dan
melahirkan anak perempuan.
Dengan demikian Ciamtay Cu-ih tambah yakin Sauhujin
pasti akan setia kepadanya, soal rahasia Siang-liukiam-
hoat akhirnya pasti akan diceritakan padanya. Sebab
itulah pengawasannya terterhadap nyonya Sau itupun mulai
kendur.
Tak tersangka meski Sau-hujin telah melahirkan puteri
baginya, dia masih tetap dendam kepada Ciamtay Cu-ih
yang telah menodai dia. Secara diam2 iapun berusaha
mengatur jalan untuk kabur, terutama pada saat
pengawasan Ciamtay Cu-ih sudah mulai kendur. Akhirnya,
pada suatu hari Sau-hujin sengaja mencekoki arak Ciamtay
Cu-ih hingga mabuk, lalu ditikamnya dan lari pulang ke
Tionggoan dengan membawa anak perempuannya.
Cuma sayang, tikaman Sau-hujin itu tidak
membinasakan Ciamtay Cu-ih melainkan cuma terluka
parah saja dan mengalami kelumpuhan.
Kelumpuhan itu berlangsung belasan tahun, tapi selama
belasan tahun itu Ciamtay Cu-ih juga tidak melupakan
rahasia Siang-liu-kiam-hoat. Walaupun didapat kabar
bahwa Sau-hujin sudah meninggal, tapi ia yakin anak
perempuannya pasti diwarisi rahasia ilmu pedang sakti itu,
ia berharap akan mendapatkan ilmu pedang itu melalui diri
anak perempuannya.
Tapi lantas terpikir lagi setelah anak perempuannya
mendapat didikan Sau-hujin, mungkin anak itupun tidak
condong kepada dirinya, tentu juga serupa sang ibu dan
dendam padanya. Maka agar harapannya bisa terkabul ia
perlu mencari suatu akal supaya anak perempuan itu mau
membeberkan dengan sukarela rahasia Siang-liu-kiam-hoat.
Karena itulah dia lantas pakai alasan ada kebiasaan di
negeri kepulauan sana dan menyurub Ciamtay Boh-ko ke
Tionggoan untuk membawa pulang Siu Kim-leng, ia
sengaja menyuruh anak dara itu kawin dengan kakaknya
sendiri, dalam keadaan takut, bila si nona mohon jangan
dikawinkan dengan kakaknya, maka Sau Kim-leng akan
dipaksa membeberkan rahasia Sinng-liu-kiam-hoat sebagai
imbalannya.
Kemudian Ciamtay Boh ko keburu mati terbunuh, tapi
Ciamtay Cu-ih tetap tidak lupa menakuti anak perempuan
kandung sendiri dengan sengaja hendaK menyuruh dia
menjanda selama hidup. Dengan demikian bila Sau Kimleng
dibawa pulang ke Tang-hay dan nanti mohon
diampuni agar tidak menjanda atau boleh juga pulang ke
Tionggoan untuk kawin lagi dengan orang lain, permintaan
inipun akan diluluskan asalkan si nona membeberkan
rahasia Siang-liu-kiam-hoat.
Begitulah, hanya demi memperoleh rahasia Siang-liukiam-
hoat, segala akal dari jalan licik dan kotor digunakan
Ciamtay Cu-ih, sampai2 anak sendiripun tidak segan
dikorbankan. Dari sini pula dapat diketahui betapa tinggi
nilai dan menariknya Siang-liu-kiam-hoat bagi tokoh kelas
Wahid seperti dia ini.
Dan karena tujuan Ciamtay Cu-ih hanya pada Siang-liukiam-
hoat, menculik Sau Kim-leng pulang ke Tang hay
hanya sebagai alasan belaka. Kini melihat Soat Peng-say
membela si nona yang disangkanya sebagai Sau Kim-leng
dengan mati2an, ia lantas bertanya: "Apakah kau suka
kepada Sau Kim-leng? Baik juga, asal kau ikut aku pulang
ke Tang-hay, maka dia takkan kusuruh menjanda bagi
anakku yang mati itu, malahan akan kuberi kebebasan
kepadanya disana."
Setelah mengikuti pembicaraan mereka, Sau Peng-lam
dapat meraba maksud tujuan Ciamtay Cu-ih, sambil
bersandar diambang jendela ia berseru: "Soat-locianpwe,
keluarga Sau dari Pak-cay ada sejurus Siang-liu-kiam-hoat,
barang siapa memperolehnya akan tiada tandingannya di
kolong langit ini. Tampaknya Ciamtay-wancu menjadi
merah matanya dan mengiccar ilmu pedang itu, makanya
dia sengaja menculik satu2nya keturunan keluarga Sau,
tujuannya jelas ingin mengorek kunci ilmu pedang sakti itu,
tapi. . . ."
Bicara sampai disini ia tidak tahan lagi, kerongkongan
terasa anyir dan darah hampir tersembur lagi, sekuatnya ia
bertahan dan melangkah mundur dengan sempoyongan,
akhirnya ia jatuh terduduk ditepi rajang.
Tapi segera teringat olehnya Gi-lim masih tersembunyi
didalam selimut, orang adalah Cut-keh-lang yang suci
bersih, mana boleh dirinya berduduk ditepi tempat
tidurnya. Cepat ia bermaksud berdiri lagi, tapi terasa tidak
bertenaga,
Dalam pada itu, setelah Soat Ko-hong mendengar
keterangan tentang Siang-liu-kiam-hoat milik keluarga Sau
dari Pak-cay, barang siapa memperolehnya akan tiada
tandingannya didunia, sungguh berita ini membuatnya
terkesiap, padahal selama ini belum pernah didengarnya
Siang-liu-kiam-hoat itu milik keluarga Sau, yang
didengarnya cuma berita "Siang-liu-kiam-hoat nomor satu
di dunia!
Ia pikir tanpa angin tidak nanti menimbulkan
gelombang, kalau bisa terjadi apa yang dilihatnya sekarang
tentu pula ada sebab-musababnya.
Anak muda yang menyamar sebagai bungkuk ini jelas
tidak seberapa ilmu silatnya, tapi dia bergabung dengan
seorang perempuan yang bernama Soat Koh dan dapat
membunuh putera Ciamtay Cu-ih dengan Siang-liu-kiamhoat,
ini menandakan ilmu pedang itu memang luar biasa.
Kesempatan ini tidak boleh di-sia2kan, asalkan dapat
mengatasi anak muda ini, perempuan yang bernama Soat
Koh itu pasti akan dapat ditemukan melalui keterangannya
nanti.
Pribadi Soat Ko-hong sebenarnya tidak tergolong jahat,
cuma wataknya tamak, suka mencari keuntungan. Kini
melihat pada diri Soat Peng-say dapat ditarik manfaat, tentu
saja kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja.
Tatkala mana Ciamtay Cu-ih telah menjulurkan tangan
kirinya untuk meraih pundak kanan Soat Peng-say terus
ditarik kesana. Cepat Soat Ko-hong membentak: "Nanti
dulu!"
Berbareng iapun melayang maju dan pundak kiri Soat
Peng-say lantas dipegangnya.
Jangan mengira dia seorang bungkuk gemuk dan gerakgeriknya
seperti kurang leluasa, ternyata dia dapat bertindak
cepat luar biasa, jaraknya dengan Soat Peng-say mestinya
cukup jauh, tapi hanya sekali melayang saja dia sudah
sampai di belakangnya dan begitu tangan meraih pundak
arak muda itu segera ditariknya kebelakang.
Padahal saat itu pundak kanan Peng-say sudah lebih
dulu dicengkeram tangan Ciamtay Cu-ih dan terasa seperti
dijepit oleh tangan yang kuat, tanpa kuasa ia terseret
kedepan. Tapi mendadak dari belakang pundak kirinya
dicengkeram pula oleh tangan lain serta dibetot kebelakang.
Karena ditarik dan dibetot kedepan dan kebelakang, karuan
ruas tulang Peng-say se-akan2 memereteli, hampir saja ia
jatuh kelengar saking sakitnya.
Melihat Soat Ko-hong telah ikut turun tangan, Ciamtay
Cu-ih tahu bila tarikannya tidak dihentikan. yang menjadi
korban pasti Soat Peng-say, bisa jadi tubuh anak muda itu
akan terobek menjadi dua keping.Maka cepat ia ayun golok
melengkung ditangan lain dan membacok sambil
membentak: "Lepas tangan, Soat-heng!"
Cepat Soat Ko-hong juga mengayun tangannya, "trang",
golok Ciamtay Cu-ih tertangkis, tangan si bungkuk ternyata
sudah bertambah dengan sebuah roda yang bercahaya emas
kemilau. Roda ini terus berputar, sekeliling roda terpasang
delapan pisau kecil.
Tangan Ciamtay Cu-ih tergetar kaku, ia tahu tenaga
dalam lawan sangat hebat, segera ia putar goloknya dengan
kencang, hanya sekejap saja ia sudah membacok delapan
kali, serunya: "Soat-heng, tiada permusuhan apapun, untuk
apa moeti bertengkar lantaran bocah ini?"
Soat Ko-hong memutar rodanya, pisau kecil pada
rodanya itu dapat menangkis semua serangan Ciamtay Cuih.
ia menjawab: Ciamtay-wancu, di depan orang banyak
tadi bocah ini sudah menyembah dan memanggil kakek
padaku, hal ini didengar dan disaksikan orang banyak.
Meski Cayhe dengan Ciamtay-wancu tiada permusuhan
apapun, tapi seorang yang telah memanggil kakek padaku
mana boleh kubiarkan dibekuk dan dibunuh olehmu, jika
seorang kakek tidak dapat membela cucunya. selanjutnya
siapa lagi yang mau memanggil kakek padaku?"
Sembari bicara kedua orang terus saling gebrak, suara
nyaring beradunya senjata terus mendering, pertarungan
makin lama makin cepat.
"Soat-heng," kata Ciamtay Cu-ih dengan gusar, "orang
ini telah membunuh putera kandungku, dendam ini mana
boleh kubiarkan begitu saja?"
Soat Ko-hong bergelak tertawa, katanya: "Baik, demi
kehormatan Ciamiay-wancu, bolehlah kubalaskan sakit
hatimu.Marilah, silakan Ciamtay-heng menarik kesana dan
aku pun akan menarik kesini. Satu-dua-tiga, biar kita betot
bocah ini menjad dua potong."
Habis bicara, segera ia berteriak pula: "Satu, dua, tiga!"
— Berbareng ia terus menarik sekuatnya, seketika ruas
tulang seluruh tubuh Soat Peng-say se-akan2 retak.
Ciamtay Cu-ih terkesiap, pikirnya: "Wah, jika aku tidak
lepas tangan, bocah ini tentu akan mati terobek menjadi
dua."
Baginya soal menuntut balas adalah urusan kecil, urusan
Siang-liu-kiam-hoat jauh lebih penting. Jika Siang-liu-kiamboh
belum diperoleh, betapapun ia tidak mau mencelakai
Soat Peng-say. Maka ia lantas lepas tangan dan Soat Pengsay
lantas terbetot kesana oleh Soat Ko-hong.
"Hahahaha? Terima kasih?" seru Soat Ko-hong dengan
tertawa. "Ciamtay-wancu benar2 sahabat sejati dan baik
hati. Demi menghormati si bungkuk, sampai sakit hati
kematian anak tidak kau-balas lagi. Sungguh orang yang
mengutamakan setia kawan seperti dirimu ini boleh
dikatakan tiada bandingannya."
"Asal Soat-heng tahu saja," ujar Ciamtay Cu-ih dengan
dingin "Hanya sekali ini saja aku mengalah dan tiada kedua
kalinya."
Soat Ko hong tertawa, jawabnya: "Ah, janganlah
Ciamtay-wancu berkata demikian, mengingat keluhuran
budi Ciamtay-wancu, bisa jadi akan terulang lagi kedua
kalinya."
Ciamtay Cu-ih mendengus, ia memberi tanda kepada
anak muridnya dan berseru: "Hayo kita pergi!" — Bersama
anak muridnya segera mereka mengundurkan diri.
Dalam pada itu, karena ingin cepat menemukan Gi-lim,
sejak tadi Ting-yat Suthay sudah menggeledah ke arah lain
bersama kawananNikoh Siong-san-pay.
Wi Kay-hou lantas berkata kepada anak muridnya:
"Setiap tamu yang datang ke Cu-joan sini, keamanan
mereka adalah tanggung-jawab kita. Jika Siausuhu Siongsan-
pay itu menghilang, betapapun kita harus
menemukannya."
Segera ia pimpin rombongannya mencari ke jurusan lain.
Dalam sekejap saja di Kun-giok-ih itu hanya tersisa Soat
Ko-hong dan Soat Peng-say saja.
Dengan cengar-cengir Soat Ko-hong lantas berkata
kepada Peng-say: "Hihi, kau ternyala tidak bungkuk,
sebaliknya ganteng dan cakap. Eh. Siau-cu, kaupun tidak
perlu lagi panggil kakek padaku, si bungkuk penujui kau,
bagaimana kalau kuterima kau sebagai muridku?"
Peng-say sudah merasakan betapa sakitnya ketika dibetot
ke kanan dan ke kiri oleh mereka tadi, ruas tulang sekujur
badan serasa hendak rontok, rasa sakit itu sampai sekarang
pun belum lenyap.
Kini si bungkuk menyatakan hendak menerimanya
sebagai murid, mau-tak-mau ia berpikir: "Ilmu silat si
bungkuk ini berpuluh kali lebih tinggi daripada gurunya,
Ciamtay Cu-ih juga agak jeri padanya. untuk
menyelamatkan adik Leng dari cengkeraman Ciamtay Cuih
terpaksa harus ku-angkat guru padanya dan minta
bantuannya. Akan tetapi tadi dia menyaksikan murid Tangwan
hendak menbunuhku dan sama sekali tidak
menggubris, dia baru turun tangan menyelamatkan diriku
setelah mendengar Siang-liu-kiam-hoat. Sekarang dia
menyatakan sendiri hendak menerima diriku sebagai murid,
jelas maksud tujuannya tidak baik."
Melihat anak muda itu diam saja dan tampak ragu2,
segera Soat Ko-hong menambahkan: "Ilmu silat dan nama
kebesaran Say-pak-beng-to sudah kau saksikan sendiri,
sampai saat ini akupun belum pernah menerima murid. Di
dunia ini bukanlah tiada anak yang baik, soalnya tidak
mencocoki seleraku. Sekarang si bungkuk penujui kau,
asalkan kau berguru padaku, seluruh kepandaian si
bungkuk akan diajarkan kepadamu. Tatkala mana
jangankan anak buah Tang-wan bukan lagi tandinganmu,
asalkan kau berlatih dengan tekun, dalam waktu tidak lama
lagi kau pun dapat mengalahkan Ciamtay Cu-ih. Nah,
Siaucu (anak kecil), mengapa tidak lekas kau menyembah
kepada gurumu?"
Semakin bersemangat si bungkuk hendak menerima
Peng-say sebagai murid, semakin besar pula rasa curiga
anak muda itu. Pikirnya: "Jika dia benar2 suka kepadaku,
kenapa tadi dia mencengkeram pundakku sekuat itu dan
tanpa kenal ampun? Jelas tujuannya karena hendak
memperoleh Siang-liu-kiam-hoat, maka dia merampas
diriku dari cengkeraman Ciamtay Cu-ih. Orang yang
berhati keji dan culas begini, bila kujadi muridnya,
seterusnya mungkin aku akan terjeblos lebih dalam ke
neraka. Di tengah Ngo-tay-lian-beng tidak kurang tokoh
ternama dan berilmu tinggi, untuk belajar ilmu sakti harus
kucari tokoh2 angkatan tua dari kelima aliran besar itu,
betapapun tinggi ilmu silat si bungkuk ini se-kali2 tidak
boleh kuangkat dia sebagai guru."
Melihat Peng-say masih ragu dan tidak menanggapi
kehendaknya, rasa gusar Soat Koh-hong mulai timbul.
Padahal di dunia Kangouw entah berapa banyak orang
yang ingin mengangkat guru padanya, bahkan dengan
macam2 daya upaya berusaha menjadi murid akuannya
saja tidak mudah. Sekarang dengan sukarela si bungkuk
mau menerimanya sebagai murid, tapi Peng-say berbalik
jual mahal. Coba kalau bukan lantaran Siang-liu-kiam-hoat,
bisa jadi sejak tadi si bungkuk sudah membinasakan dia.
-ooo0dw0ooo-
Jilid18
Namun Soat Ko-hong memang pintar menyimpan
perasaannya, meski didalam hati sangat mendongkol,
lahirnya dia tetap tertawa, katanya pula: "Bagaimana?
Memangnya kau anggap ilmu silat si bungkuk tidak
berharga untuk menjadi gurumu?"
Sekilas Peng-say melihat air muka si bungkuk
mengunjuk rasa marah, hanya sekejap saja kelihatan
beringas menakutkan, tanpa terasa Peng-say ber-gidik.
Akan tetapi rasa gusar Soat Ko-hong itu cuma timbul
sekilas saja lantas lenyap pula, segera wajahnya kembali
tertawa ramah-tamah.
Seketika Peng-say merasakan bahaya yang mungkin
timbul, apabila dirinya tidak mengangkat guru padanya,
bisa jadi si bungkuk akan murka dan segera akan
membunuhnya. Terpaksa ia berkata. anda sudi menerima
driku sungguh Wanpwe merasa sangat beterima-kasih.
Cuma Wanpwe sudah punya guru. jika ingin mengangkat
guru baru seyogianya minta izin lebih dulu pada guru
pertama. Ini kan peraturan Bu-lim yang sama2 kita
ketahui."
Soat Ko-hong mengangguk. katanya: "Betul ucapanmu.
Cuma sedikit kepandaianmu ini hakikatnya tidak dapat
disebut sebagai Kungfu sejati. Kukira kepandaian gurumu
pasti juga terbatas. Untung bagimu hasratku timbul secara
mendadak dan mau mererima kau sebagai murid.
selewatnya saat ini. belum tentu aku berminat lagi.
Kesempatan ini hanja bisa ditemukan secaraa kebetulan
dan tidak dapat diminta. Kelihataanya kau cerdik. mengapa
sekarang jadi bodoh? Akan lebih baik kau menyembah dan
mengangkat guru lebih dulu padaku, biarlah nanti
kubicarakan lagi dengan gurumu, kukira iapun takkan
keberatan."
Tergerak pikiran Peng-say, katanya: "Soat-tayhiap, saat
ini Piaumoayku berada dalam cengkeraman orang Tangwan.
keadaannya sangat berbahaya. Kumohon Soat-tayhiap
suka menolongnja lebih dulu, untuk itu Wanpwe tentu
sangat berterima kasih dan apa pesan Soat-tayhiap nanti
pasti akan kuturuti."
"Apa katamu?" teriak Soat Ko-hong dengan gusar. "Kau
berani tawar-menawar denganku? Memangnya apamu yang
hebat sehingga kakek harus menerima kau sebagai murid?
Hm, kau berani memeras padaku, sungguh kurang-ajar!"
Peng-say terus berlutut dan berkata: "Aku cuma paham
sebagian Siang-liu-kiam-hoat, sekalipun Soat-tayhiap
menerimaku sebagai murid juga tiada gunanya. Tapi
Piaumoayku paham Kiam-hoat itu secara lengkap, asalkan
Soat-tayhiap dapat menolongnya barulah maksud Ciamtay
Cu-ih akan mendapatkan Siang-liu-kiam-hoat secara
lengkap itu akan dapat digagalkan."
Demi menolong Cin Yak-leng, Peng-say tidak segan2
untuk berdusta, segera ia menambahkan pula: "Bila
Ciamtay Cu-ih berhasil mendapatkan Siang-liu-kiam-hoat
secara lengkap, bisa jadi ilmu silatnya akan melampaui
Soat-tayhiap, tatkala mana mungkin Soat-tayhiap yang
terpaksa harus menghindari dia, kan susah jadinya?"
"Kentut, omong kosong!" damperat Soat Ko-hong "Jika
benar Siang-liu-kiam-hoat begitu hebat, mengapa
Piaumoaymu sampai tertangkap oleh Ciam¬tay Cu-ih? Kan
dia paham Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap? Kalau dia
paham secara lengkap, kan nomor satu didunia? Kenapa
Ciamtay Cu-ih mampu menawannya?"
Meski dia bicara demikian, tapi bila teringat didepan
umum Ciamtay Cu-ih telah mau mengalah padanya, musuh
pembunuh anaknya tidak dirobeknya menjadi dua, sakit
hati kematian anaknya juga tidak dituntut, jelas ini pasti ada
sebabnya. Padahal orang semacam Ciamtay Cu-ih masa
dapat tertipu dengan mudah? Agaknya Siang-liu-kiam-hoat
itu betul2 kitab wasiat ilmu silat yang sangat berharga,
keterangan bocah ini memang juga beralasan mungkin ilmu
pedang Piaumoaynya belum terlatih dengan sempurna,
makanya tertawan Ciamtay Cu-ih,
Dilihatnya Soat Peng-say hanya berlutut saja belum
menyembah, segera Soat Ko-hong berkata-"Hayolah
menyembah, asalkan menyembah tiga kali, maka jadilah
kau muridku. Bila sanak keluarga murid ada kesukaran.
mana bisa sang guru tidak ikut prihatin. Ciamtay Cu-ih
menangkap Piaumoay muridku, bila kuminta dia
membebas-orangnya kan cukup kuat alasannya. Masa dia
berani menolak?"
Lantaran ter-buru2 ingin menyelamatkan Cin Yak-leng,
mau-tak-mau Peng-say berpikir pula: "Adik Leng berada di
cengkereman bangsat tua Ciamtay Cu-ih, bila asal-usulnya
diketahui, tentu jiwanya akan terancam bahaya Apapun
juga harus cepat kubebaskan dia dari cengkeraman maut.
Sekarang biarlah kurendahkan diriku dan mengangkat guru
padanya, asalkan adik Leng sudah diselamatkan, urusan
apapun tidak menjadi soal bagiku."
Karena pikiran ini, segera ia henduk menyembah.
Sebaliknya karena kuatir anak muda itu akan berubah
pikiran, Soat Ko-hong juga lantas pegang kuduk Peng-say
terus ditekan ke bawah, maksudnya supaya anak muda itu
lekas menyembah.
Mestinya Peng-say akan menyembah, tapi lantaran
ditekan begitu, seketika timbul antipatinya. Otomatis ia
tegakkan leher dan tidak sudi dipaksa.
Soat Ko-hong menjadi gusar, katanya: "Sialan! Kenapa
kau tidak menyembah?" —Daya tekannya bertambah kuat.
Dasar Soat Peng-say memang keras kepala dan juga
tinggi hati, semakin dipaksa semakin berontak. Sebenarnya
dirinya sudah bertekad akan merendahkan diri dan mau
menyembah kepada Soat Ko-hong demi menolong Cin
Yak-leng, tapi lantaran ditekan dipaksa, hal ini berbalik
menimbulkan watak Peng-say yang keras itu. Segera ia
berteriak: "Jika kau berjanji akan menolong adik Leng,
segera kusembah dan angkat guru padamu. Kalau tidak.
betapapun aku tidak mau menyembah padamu."
"Hah, tidak mau?" seru Soat Ko-hong. "Apa betul kau
tidak mau? Baik, kita lihat saja apakah kau benar-benar
tidak mau?"
Segera ia tambah tenaga pula dan menekan sekuatnya.
Peng-say sudah menegakkan pinggang dan bermaksud
berbangkit. Tapi sekali Soat Ko-hong mengerahkan tenaga,
seketika kepalanya terasa seperti ditindih batu beribu kati
beratnya. mana sanggup berdiri lagi?
Namun begitu kedua tangannya tetap menyanggah tanah
dan melawan sekuatnya. Ketika Soat Ko-hong menambah
sebagian tenaganya lagi, terasalah tulang leher Pcng-say
berkeriutan se-akan2 patah.
Soat Ko-hong ter-bahak2, serunya: "Hahaha! Bagaimana
sekarang, menyembah tidak? Bila kutekan lagi. seketika
tulang lehermu bisa patah!"
Sungguh luar biasa tenaga Soat Ko-hong, Peng-say tidak
sanggup bertahan, sedikit demi sedikit kepalanya semakin
menunduk ke bawah, tinggal belasan senti saja keningnya
akan menyentuh tanah.
Mendadak Peng-say berteriak "Aku tidak mau
menyembah!"
"Tidak mau?!" jengek Soat Ko-hong, ia tahan terlebih
kuat sehingga batok kepala Peng-say tertekan lagi beberapa
senti ke bawah.
Pada saat itulah, se-konyong2 Peng-say merasa
punggungnya hangat seperti disaluri semacam hawa yang
lunak, hawa hangat itu terus menyalur kedalam tubuhnya,
mendadak daya tekan pada kepalanya latntas kendur,
begitu kedua tangannya menyanggah tanah, dapatlah dia
mengangkat tubuhnya ke atas.
Kejadian ini tidak saja diluar dugaan Peng-say, bahkan
Soat Ko-hong juga terkejut. Sekilas pikir segera ia tahu
tenaga dalam yang hangat dan mendesak lepas daya
tekanannya kepada Soat Peng-say itu adalah "Siu-ciaukang",
ilmu Lwekang termashur Soh-hok-han dari Hu-ciu.
Meski datangnya tenaga lunak itu terlalu mendadak dan
tidak diketahui se-belumnya sehingga Peng-say sempat
mengangkat tubuhnya, namun Sin ciu-kang itu jelas sangat
murni, tenaga yang hangat lunak itu terasa masih terus
mengalir tiada hentinya.
Setelah terkejut segera Soat Ko-hong memegang lagi
kuduk Soat Peng-say, sekali ini bahkan digunakan tenaga
"Cu-hong-jian-kin-lat", tenaga seribu semacam tenaga
dalam yang lunak keras. Tapi begitu tenaga sakti andalan
Soat Ko-hong menyentuh kepala Peng-say, terasa ubun
kepala anak muda itu timbul lagi tenaga sakti Sin-ciau-kang.
kedua tenaga bergetar, seketika Soat Ko-hong tangannya
kesemutan, dadapun terasa sakit.
Cepat ia melangkah mundur sambil tertawa, "Aha, Sauheng,
mengapa kau bersembunyi dikaki tembok dan
menggoda si bungkuk?"
Benar juga, dari balik tembok sana seorang bergelak
tertawa, seorang Siansing (orang terpelajar) berbaju hijau
dengan dandanan sederhana membawa kipas lempit
melangkah keluar, dengan tertawa ia menyapa: "To-heng
(kakak bungkuk) sekian tahun tidak bertemu, tampaknya
kau gagah dan lebih tangkas. Selamat, selamat!"
Yang muncul ini ternyata benar Kun-cu-kiam Cenghong,
si pedang ksatria sejati, ketua Lam-han.
Biasanya Soat Ko-hong memang rada jeri terhadap Sau
Ceng-hong, apalagi sekarang dia kepergok sedang
menganiaya seorang anak muda, tentu saja si bungkuk tersipu2.
Tapi dasar licik dan licin tidak tahu malu, dengan
cengar-cengir Soat Ko-hong lantas menjawab: "Sau-heng,
makin lama kau tambah muda, sungguh si bungkuk ingin
berguru padamu untuk belajar ilmu 'Jay-im-pohyang'(
memetik sari Im untuk menambal Yang)"
"Hus, makin lama makin tidak genah kau ini," omel Sau
Ceng-hong "Kenalan lama bertemu lagi, bukannya kau
bicara urusan kekeluargaan, sebaliknya kau mengoceh hal2
yang bukan2. Mana ku-paham ilmu dari golongan sesat
begituan?"
"Haha, siapapun tidak percaya bila kau bilang tidak
paham ilmu tambal sulam begitu," kata Soat Ko-hong
dengan tertawa "Buktinya usiamu sudah 60-70 tahun, tapi
mendadak kembali muda, tampaknya seperti cucu si
bungkuk saja."
Dalam pada itu Peng-say sudah melompat bangun ketika
Soat Ko-hong mengendurkan tangannya tadi. Dilihatnya
Susing ini berjenggot panjang lima jalur, mukanya putih
bersih, kereng berwibawa.
Seketika timbul rasa hormat dalam hati Peng-say, ia tahu
orang inilah yang menolongnya tadi, hawa hangat yang
tersalur ke punggungnya tadi berasal dari orang ini. Hatinya
tergerak pula demi mendengar Soat Ko-hong memanggil
orang ini dengan sebutan "Sau-heng".
"Jangan2 tokoh yang mirip dewa ini adalah Sau-siansing.
ketua Lam-han yang selama beberapa ini selalu menjadi
buah tutur orang banyak?" demikian pikir Peng-say. "Tapi
usianya tampaknya 40-an, jelas tidak cocok jika dipandang
darj umurnya. Menurut cerita Suhu, bilamana Lwekang
seorang sudah terlatih sempurna, khasiatnya memang
membikin panjang umur, bahkan membuat awet muda.
Tampaknya Sau-siansing ini menguasai ilmu ini."
Karena itulah rasa kagumnya terhadap tokoh baru
muncul ini takluk benar2.
Dilihatnya Sau Ceng-hong lagi tersenyum dan berkata,
"Soat-heng, baru bertemu kau sudah bicara yang bukan2.
Anak muda ini kelihatan berjiwa pendekar dan seorang
yang punya pendirian teguh, jelas bahan yang sukar dicari,
pantas Soat-heng penujui dia. Apa yang terjadi atas dirinya
ini adalah dia berusaha menyelamatkan keturunan saudara
sepupuku. Uutuk ini sungguh aku tak dapat tinggal diam,
maka kuharap Soat-heng suka mengingat akan diriku dan
sudi melepaskan dia."
"Hanya sedikit kemampuan bocah ini masa ia sesuai
untuk menyelamatkan puteri Sau Ceng-in dari cengkeraman
Ciamtay Cu-ih? Hm, sungguh tidak tahu diri, tiada ubahnya
seperti telur diadu dengan batu!" jengek Soat Ko-hong.
"Sesama orang Kangouw, setiap orang wajib memberi
bantuan bilamana orang lain ada kesukaran," kata Sau
Ceng-hong. "Menolong dengan kekerasan atau menolong
dengan ucapan, asalkan tujuannya memang betul2 untuk
menolong, maka tinggi rendahnya ilmu silat tidaklah
menjadi soal. Soat-heng, jika kau bertekad mengambil dia
sebagai murid, akan lebih baik jika menyuruh anak muda
ini melapor dulu kepada gurunya yang lama, habis itu baru
masuk keperguruanmu, bukankah cara ini sama2 baiknya
bagi semua pihak?"
Soat Ko-hong menyadari bilamana Sau Ceng-hong
sudah ikut campur urusan ini, maka sukarlah baginya untuk
berbuat sesukanya, ia lantas meng-geleng dan berkata:
"Hanya terdorong oleh hasrat yang timbul mendadak, maka
si bungkuk mau menerimanya sebagai murid. Tapi sekarang
seleraku sudah hilang, biarpun bocah ini menyembah seribu
kali padaku juga aku tidak sudi menerimanya."
Habis berkata, "plok", mendadak ia depak Soat Peng-say
sehingga anak muda itu terpental dan jatuh terguling.
Tindakan ini benar2 di luar dugaan Sau Ceng-hong,
sebelumnya juga sama sekali tiada tanda si bungkuk hendak
mendepak Soat Peng-say. Ketika hal itu terjadi, ia tidak
keburu mencegahnya dan Peng-say telah terpental.
Tendangan Soat Ko-hong itu memang cepat lagi aneh
gerakannya, untung setelah terpental Peng-say melompat
bangun, agaknya tidak terluka.
"Soat-heng, mengapa kau berpikiran seperti anak kecil?
Kubilang kau inilah yang telah kembali menjadi muda,"
kata Sau Ceng-hong.
"Bocah ini telah membikin dongkol padaku, tidak
kutendang dia satu kali rasanya penasaran." ucap Soat Kohong.
"Mengapa Soat-heng tidak hidup aman tenteram di utara
sana, tapi jauh2 datang ke Tionggoan sini, barangkali ada
urusan penting?" tanya Ceng-hong.
"Aku memang ingin mencari kedua adik perempuanku,"
tutur Ko-hong "Mereka tidak betah berdiam di daerah
dingin, diam2 mereka telah lari kembali ke Tionggoan sini
dan sudah 30 tahun tidak pernah pulang. Sau-heng
menjagoi wilayah ini dan mempunyai hubungan erat
dengan Bu-tong, tentu kabar berita kalian cukup cepat dan
luas, apakah kalian pernah mendengar berita tentang kedua
adik perempuanku itu?"
Air muka Sau Ceng-hong rada berubah, ia berdehem.
lalu berkata: "0, ti . . . .tidak, adik perempuanmu masa bisa
datang ke Tionggoan sini?"
"Hm, masa aku berdusta?" jawab Soat Ko-hong "Jika
bukan lantaran mencari adik perempuanku, tidak nanti
kudatang ke-sini. Baiklah, kalau kaupun tidak tahu kabarberita
adik perempuanku, biarlah kumohon diri saja, Hehe,
tak tersangka Lam-han yang termashur juga mengincar
Siang-liu-kiam-hoat, kukira maksud tujuanmu menolong
bocah ini adalah . . . hehe. lebih baik tidak kukatakan lagi
..." Sembiri bicara ia terus memberi hormat dan
mengundurkan diri.
"Apa katamu Soat-heng?" teriak Sau Ceng-hong sambil
memburu maju, seketika air mukanya berubah menjadi
pucat ke-ungu2an, namun warna ungu itu hanya timbul
sekilas saja dan segera lenyap, dalam sekejap mukanya
sudah kembali putih bersih seperti semula.
Melihat perubahan air muka itu. hati Soat Ko-hong
terkesiap. Pikirnya: "Inilah Ci-he-kang (ilmu cahaya ungu)
dari Bu-tong-pay. Konon Ci-he-kang ini adalah lwekangnya
semua jenis Lwekang. sebab itulah juga disebut rajanya
Lwekang. Kabarnya Bu-tong-pay sendiri belum penah
seorang pun yang berhasil meyakinkannya. Tak tersangka
Sao Ceng-hong ternyata memiliki kemampuan setinggi ini
dan berhasil meyakinkan ilmu Bu-tong-pay ini."
Diam2 Soat Ko-hong bertambah jeri terhadap Cenghong,
tapi sedapatnya ia bersikap tenang, ia tetap cengarcengir,
katanya; "Akupun tidak tahu Siang-liu-kiam-hoat itu
ilmu pedang macam apa, yang jelas Ciamtay Cu-ih
berusaha mati2an untuk memperolehnya, maka aku cuma
sekadar menyinggungnya, untuk itu janganlah Sau-heng
menaruh perhatian,"— Habis berkata ia terus melangkah
pergi.
Melihat bayangan si bungkuk menghilang dikegelapan
sana, Sau-Ceng-hong menghela napas, katanya, "Orang
berbakat baik dan sukar dicari didunia persilatan ini justeru
tidak mau belajar baik. sungguh sayang."
Tiba2 Peng-say melangkah maju dan menyapa: "Saucianpwe,
mendiang ibuku Soat Kun-hoa menyuruh
Wanpwe mengembalikan sesuatu kepadamu."
Air muka Sau Ceng hong berubah hebat, cepat ia
menegas: "Apa katamu? Mendiang ibumu Soat Kun-hoa?
Dia . . . .dia sudah meninggal?"
Peng-say mengangguk.-jawabnya: "Ya, ibu sudah
meninggal pada waktu Wanpwe berumur sepuluh tahun."
Mata Sau Ceng-hong kelihatan basah dan hampir
mencucurkan air mata, agaknya dia kuatir dilihat Peng-say,
cepat ia membalik tubuh dan berkata dengan suara agak
tersendat: "Dia suruh kau mengembalikan barang apa
kepadaku?"
Sudah tentu Peng-say merasa heran, ia tidak tahu apa
sebabnya tokoh utama Lam-han ini menjadi berduka demi
mendengar berita ibunya meninggal dunia.
Didengarnya Sau Ceng-bong telah memberi penjelasan:
"Aku mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan
ibumu, karena mendengar berita duka secara mendadak
sehingga sikapku agak kurang sopan. Eh, apakah kau tahu
si bungkuk tadi adalah pamanmu, dia kakak ibumu."
"Ahh, Wanpwe tidak tahu," Peng-say berseru kaget dan
menggeleng. "Ibu tidak pernah bercerita pengalamannya di
masa lampau, sampai siapa ayahku juga tidak pernah
diberitahukan kepadaku Beliau hanya meninggalkan pesan
agar pada usiaku sudah genap 20 tahun, hendaklah
kukembalikan se-jilid Sung-jing-pit-lok kepada Saucianpwe."
"Adakah dia meningalkan pesan lain?" tanya Sau Cenghong
dengan terharu.
"Ibu menyuruh . . . .menyuruh ..."
"Apakah dia menyuruh kau mengangkat guru padaku?"
mendadak Sau Ceng-hong memotong. Sekarang ia sudah
dapat menguasai perasaan dukanya dan dapat menanyai
Peng-say dengan ramah tamah.
Peng-say terkejut, sebab memang begitulah pesan ibunya.
"Dari . . .dari mana Cianpwe mendapat tahu." ia menegas.
"Dahulu pada waktu ibumu mengandung, tatkala mana
ayahmu telah meninggal, sebab. . . ,sebab itulah ibumu
tidak menjelaskan padamu siapa Ayahmu, , , . .ayahmu
adalah sahabat-karibku, maka.. . .maka sebelum kau lahir
aku telah berjanji akan. . . .akan menerima kau sebagai
muridku. . . ."
Mendengar ucapan Sau Ceng-hong yang serba tergagap
ini, Peng-say mengira orang terlalu berduka atas
meninggalnya kawan baik. Diam2 ia menghargai rasa setia
kawan sang paman ini dan tidak menaruh curiga apapun.
Setelah menenangkan diri, kemudian Sau Ceng-hong
bertutur pula: "Waktu itu ibumu juga setuju, kemudian dia
lantas pindah jauh ke tempat lain. Sebelum berangkat telah
kuberikan kitab Siang-jing-pit-lok ini, kupesan bila kau
sudah mulai besar, hendaklah mulai berlatih ilmu dasar
yang tercantum di kitab ini, yakni Lwekang yang biasanya
dilatih oleh setiap anak murid Bu-tong-pay. Hendaklah kau
maklum, asalnya Bu-tong, Lam-han, dan Pak-cay adalah
satu keluarga. Soalnya pada tiga angkatan yang lebih dalulu
telah terjadi perpecahan. Waktu itu dua murid Bu-tong-pay
she Sau dari keluarga perman tamat belajar dan
meninggalkan Bu-tong-san, tapi mereka mendapatkan
penemuan mujijat, mereka berhasil memupuk namanya
masing2 didunia persilatan. Meski hal itu bukan tujuan
mereka yang sebenarnya, tapi lantaran ilmu silat mereka
memang maha tinggi dan melebihi anak murid Bu-tongpay,
maka tanpa terasa jadilah mereka tokoh2 yang
menonjol dan mendirikan perguruannya sendiri. Namun
anak murid keluarga Sau tidak pernah lupa kepada
sumbernya, mereka tetap menggunakan Lwekang Bu-tongpay
sebagai dasar, setiap angkatan murid keluarga Sau pasti
ada seorang yang diharuskan berguru kepada ketua Butong-
pay Seperti Sau Peng-lam, meski dia tidak pernah
belajar silat kepada ketua Bu-tong-pay sekarang, yaitu
Tong-thian suheng, tapi setiap orang persilatan di dunia ini
tahu Peng-lam adalah murid Bu-tong. Apa yang dilakukan
ini hanya untuk menunjukkan bahwa Lam-han kami tidak
pernah putus dengan Bu-tong-pay. Maka, kalau kuterima
kau sebagai murid, peraturan inipun tidak dikecualikan, kau
pun diharuskan berlatih dasar Lwekang menurut kitab
Siang-jing-pit-lok dari Bu-tong-pay ini. Aku sudah berpesan
kepada ibumu agar setelah usiamu genap 20, boleh kau
gatang mencari padaku untuk belajar lebih lanjut, dengan
demikian, karena dasar Lwekangmu sudah kuat, pelajaran
selanjutnya menjadi lebih-mudah. Karena hal ini memang
sudah kujanjikan dengan ibumu. maka kutahu
kedatanganmu inipun hendak mengangkat guru padaku
sesuai pesan ibumu."
"Tapi ibu hanya menyuruh Wanpwe berguru kepada
Cianpwe, mengenai sebelum lahir Wanpwe sudah diterima
sebagai murid oleh Cianpwe tidak pernah dengar dari ibu,
seb ... sebab itulah sebelum ini Wanpwe telah berguru
kepada orang lain. . . ."
"Ini tidak menjadi soal," ucap Sau Ceng-hong dengan
tertawa. "Setiap orang boleh saja belajar berbagai macam
kepandaian, asalkan mendapat izin mengangkat beberapa
orang guru juga boleh, Meski sebelumnya aku tidak
memberi izin padamu, tapi orang tidak tahu tidaklah
berdosa, aku tidak menyalahkan kau. Sekarang lekas kau
melakukan upacara pengangkatan guru padaku."
"Tapi . . . tapi untuk mengangkat guru padamu, sekarang
. . . .sekarang kan harus minta izin dulu kepada guruku
yang pertama ..." ucap Peng-say dengan ter-gegap2.
Sau Ceng-hong tidak marah, sebaliknya ia sangat senang,
ia mengangguk dan berkata: "Bagus, bagus sekali! Sungguh
anak yang baik! Manusia memang tidak boleh lupa kepada
asalnya. Tidaklah sia2 ajaran ibumu. Baiklah, biar begini
saja, akan kuterima kau sebagai murid cadangan. Nanti
setelah kau lapor kepada gurumu barulah mengadakan
upacara pengangkatan guru secara resmi."
Peng-say sangat girang, cepat ia berlutut dan menyembah
tiga kali. Mulai saat ini dia sudah diakui sebagai murid Sau
Ceng-hong.
"Dan dimana Siang-jing-pik-lok itu?" tanya Sau Cenghong
setelah membangunkan Peng-say.
"Berada pada adik Leng," jawab Peng-say. "Suhu,
marilah kita menyelamatkan adik Leng."
"Kutahu, kau jangan kuatir," kata Ceng-hong.
Selagi Peng-say hendak menjelaskan tentang Cin Yakleng
bukanlah Sau Kim-leng, dilihatnya Sau Ceng-hong
telah berpaling dan memanggil; "Lo-kiat. A-hoat, Hiang-ji,
keluarlah semua!"
Maka dari balik tembok sana segera muncul
serombongan orang, yaitu anak murid Lam-han.
Kiranya sejak tadi mereka sudah berada disitu, tapi Sau
Ceng-hong menyuruh mereka bersembunyi dibalik tembok,
sesudah Soat Ko-hong pergi barulah mereka disuruh
muncul. Sedapatnya Sau Ceng-hong tidak ingin membikin
malu si bungkuk di depan orang banyak.
Kiau Lo-kiat dan lain2 sangat gembira, katanya:
"Selamat Suhu telah berhasil mendapatkan seorang Sute
yang mempunyai hari depan yang gilang gemilang."
Dengan senang Sau Ceng-hong berkata: "Peng-say
beberapa Suhengmu ini sudah pernah kau lihat. Mereka
lapor padaku, berkat perlindunganmu sehingga ketika
mereka tertutuk oleh Ciamtay Cu-ih dan ditinggal pergi
menggeletak ditengah jalan tidak sampai diinjak2 orang
atau dicelakai musuh. Mereka sama berterima kasih atas
tindakanmu tempo hari itu. Sekarang silakan kalian
berkenalan secara reami."
Kiau Lo-kiat, si kakek kecil adalah Jisuko atau kakak
guru kedua, lelaki yang bertubuh tinggi besar adalah
Samsuko Nio Hoat, yang berdandan seperti kuli adalah
Sisuko Si Tay-cu. yang selalu membawa swipoa adalah
Gosuko Ko Kin-beng, Lak-suko ialah si kera, Kang Ciau-lin
Semuanya adalah tokoh2 yang sukar dilupakan bilamana
sudah pernah melihat mereka.
Selain itu masih ada Jitsuko To Kun, Patsuko Lo Engpek,
kedua ini masih muda belia, tapi juga lebih tua setahun
dua tahun daripada Soat Peng-say.
Satu persatu Peng-say memberi hormat kepada para
Suheng itu.
Mendadak dibelakang Sau Ceng-hong ada orang
mengikik tawa dan berkata dengan suara nyaring: "Kohtia
(paman), lalu aku ini terhitung Suci atau Sumoay?"
"Usiamu lebih muda daripada Peng-say, sudah tentu
Sumoay," jawab Ceng-hong dengan tertawa'
"Toasuko juga lebih muda daripada Jisuko, mengapa
Jisuko malah menyebut Suheng kepada Toasuko yang jauh
lebih muda itu?" kata LengHiang.
"Soalnya Toa-sukomu masuk perguruan lebih dulu
daripada Lo-kiat," jawab Sau Ceng-hong,
"Jika begitu aku kan jauh lebih dulu masuk perguruan
daripada dia?." kata Leng Hiang dengan tertawa sambil
menuding Peng-say. "Seharusnya dia panggil Suci padaku."
Ceng-hong menggeleng, tuturnya dengan tertawa;
”Selagi dia masih dalam kandungan ibunya secara lisan
sudah kuterima dia sebagai murid. Maka kalau bicara
tentang dulu dan belakangnya masuk perguruan. kau lebih2
harus memanggil Suheng padanya."
"Wah, sialan!" gerundel Leng Hiang. 'Kukira akan ada
orang memanggil Suci padaku, siapa tahu tetap menjadi
Siausumoay. Tampaknya nasibku ini memang harus
menjadi Siausumoay selama hidup dan tak bisa berubah
lagi."
Banyolan ini membuat semua orang bergelak tertawa.
Leng Hiang lantas menyambung pula: "Kohtia, Toasuko
bersembunyi ditempat ini untuk merawat lukanya. sekarang
dia kena satu pukiulan pula oleh si bangsat tua Ciamtay Cuih,
keadaannya mungkin sangat berbahaya, lekas diperiksa."
Sau Ceng-hong berkerut kening sambil menggeleng,
katanya: "Kin-beng, Tay-cu, coba kalian menggotong keluar
Toasuko "
Ko Kin-beng dan Si Tay-cu mengiakan berbareng dan
segera melompat masuk kedalam kamar. Tapi segera
terdengar pula seruan mereka: "Suhu, Toasuko tidak
terdapat disini. Di. . .didalam kamar tidak ada orang."
Menyusul keadaan didalam kamar lantas terang, mereka
telah menyalakan lilin.
Tambah kencang Sau Ceng-hong berkerut kening. Dia
tidak suka masuk ke tempat pelacuran yang kotor ini, maka
ia lantas berkata pula kepada Kiau Lo-kiat: "Coba kau
periksa ke dalam."
Kiau Lo-kiat mengiakan dan mendekati jendela.
"Akupun ikut." seru Leng Hiang.
Cepat Ceng-hong menarik tangan si nona dan berkata:
"Jangan sembrono. tidak boleh kau masuk ke tempat
begini."
Hampir menangis Leng Hiang siking cemasnya, katanya:
"Akan tetapi Toa-suko ter. . .terluka parah, mungkin ....
mungkin jiwanya terancam . . . ."
"Jangan kuatir," kata Ceng-hongg dengan pelahan, "Dia
sudah dibubuh obat luka siong-san-pay, tidak akan mati,"
Kejut dan girang Leng Hiang, katanya; "Kohtio dari ....
darimana kau tahu?"
"Ssst, jangan banyak omong!" desis Ceng-hong.
00- 0d0w0- 00
Kiranya pikiran Sau Peng-lam masih cukup sadar meski
terluka parah, ia dapat mendengarkan pembicaraan antara
Soat Ko-hong dengan Ciamtay Cu-ih. Sesudah mereka
pergi, lalu didengarnya pula kedatangan sang ayah angkat
dan juga gurunya, yaitu Sau Ceng-hong.
Peng-lam tidak takut kepada siapapun, satu2-nya orang
yang ditakuti di dunia ini ialah ayah angkatnya. Maka
ketika mendengar sang ayah angkat sedang bicara dengan
Soat Ko-hong, segera hatinya kebat-kebit, ia tidak tahu cara
bagaimana dirinya akan dihukum oleh ayah angkatnya
gara2 perbuatannya ini, seketika ia menjadi lupa rasa
sakitnya, cepat ia memberosot keluar dari selimut dan
mendesis kepada Gi-lim berdua "Wah, celaka, ayah
angkatku datang, lekas kita lari."
Dengan sempoyongan ia lantas menyelinap keluar kamar
dengan merambat dinding.
Cepat Fifi menarik Gi-lim dan ikut lari keluar.
Dilihatnya jalan Sau Peng-lam ter-huyung2, berdiri saja
hampir tidak kuat. Cepat mereka memburu maju dan
memayangnya dari kanan dan kiri.
Sekuatnya Peng-iam merahan rasa sakit dan berjalan ke
depan, setelah lewat satu serambi panjang, ia pikir betapa
tajam mata-telinga sang ayah angkat, begitu keluar pasti
akan ketahuan. Dilihatnya di sebelah kanan ada sebuah
kamar besar, tanpa pikir ia terus melangkah masuk kesitu,
katanya: "Tutup. . . ,tutup pintu dan jendelanya."
Cepat Fifi melaksanakan permintaan itu. Peng-lam tidak
tahan lagi, ia terus merebahkan diri di tempat tidur dengan
napas ter-engah2.
Ketiga orang diam saja. selang agak lama barulah
terdengar suara Sau Ceng-hong di kejauhan- "Dia sudah
tidak berada disini, marilah kita pergi!"'
Peng-lam menghela napas lega. Selang sejenak pula,
tiba2 terdengar suara orang datang dengan langkah berjinjit2
disertai suara panggilan yang setengah tertahan;
"Toasuko. . . Toasuko ....." jelas itulah suara Kang Ciau-lin,
si kera.
Rupanya dia masih menguatirkan keselamatan Sau
Peng-lam, setelah Suhu dan para Suhengnya pergi, diam2 ia
putar balik sendiri untuk mencari.
Diam2 Peng-lam merasa terharu, ia anggap betapa pun
Lak-sute ini memang berbudi luhur. Segera ia bermaksud
bersuara menjawab pangggilan Kang Ciau-lin itu, tapi
mendadak serasa kelambu tempat tidur itu ber-gerak2,
agaknya Gi-lim menjadi gemetar demi mendengar suara
orang.
"Apabila aku bersuara, tentu nama baik Siau- suhu ini
akan tercemar," demikian pikir Peng-lam. Maka dia urung
menjawab. Didengarnya Kang Ciau-lin berjalan lewat
diluar jendela masih terus memanggil "Toasuko", akhirnya
semakin jauh dan tidak terdengar lagi suaranya.
"Hei, Sau Peng-lam, apakah kau akan mati?" tiba2 Fifi
bertanya.
"Mana bisa aku mati?" jawab Peng-lam, "Kalau aku
mati, kan bisa bikin malu nama baik Siong-san-pay dan aku
pun merasa berdosa kepada mereka."
"Aneh, sebab apa?" tanya Fifi heran.
"Obat mujarab Siong-san-pay telah dibubuhkan pada
lukaku dan juga telah kuminum, kalau tak dapat
menyembuhkan diriku, kan aku ini terlalu berdosa kepada .
. . kepada Siau-suhu dari Siong-san-pay ini?"
Diam2 Gi-lim sangat kagum terhadap kegagahan Sau
Peng-lam, dalam keadaan terluka parah begitu masih
sanggup bergurau.
"Sau-toako," katanya kemudian, "Ciamtay-wancu telah
memukul Kau satu kali, coba kuperiksa lukamu."
Segera Peng-lam hendak bangun berduduk. Cepat Fifi
mencegahnya: "Sudahlah, jangan sungkan, boleh tetap
rebah saja."
Peng-lam memang merasakan sekujur badan tak
bertenaga lagi dan tidak sanggup berduduk, terpaksa ia
tetap berbaring di tempat tidur.
Melihat baju Peng-lam penuh berlepotan darah, Gi-lim
tidak menghiraukan lagi adat kolot yang melarang
perempuan berdekatan dengan lelaki. Pelahan ia membuka
baju luar Peng-lam, ia mengambil sepotong handuk dan
membersihkan darah pada lukanya. lalu mengeluarkan
salep untuk memolesi luka Peng-lam.
"Obat yang sukar dicari ini apakah tidak terbuang sia2
dihamburkan pada tubuhku?" kata Peng-lam dengan
tertawa.
"Sau-toako terluka demi membela diriku, jangankan
cuma sedikit obat yang tak berarti ini, sekalipun . . .
sekalipun. . . ." sampai di sini, Gi-lim merasa sukar untuk
melanjutkan. setelah gelagapan, kemudian ia menyambung:
"Sampai Suhu juga memuji keluhuran budimu dan
kegagahanmu, lantaran itu Suhu ribut mulut dengan
Ciamtay-wancu."
"Memuji sih tidak perlu. asalkan tidak me-maki2 diriku
saja aku sudah bersyukur," ujar Peng-lam dengan tertawa.
"Mana . . . mana bisa Suhu memaki kau?" kata Gi-lim.
"Sau-toako, kau harus istirahat sedikitnya 12 jam, asalkan
lukamu tidak kambuh lagi tentu tidaklah menjadi soal."
Tiba2 Fifi berkata: "Enci Gi-lim, hendaklah kau tinggal
disini untuk menjaga kemungkinan datangnya orang jahat.
Kakek sedang menunggu diriku. aku harus kembali kesana
untuk menemui kakek."
"Eh, jangan!" seru Gi-lim gugup. "Mana, boleh aku
ditinggalkan sendirian disini?"
"Bukankah Sau Peng-lam juga berada disini masa kau
bilang sendirian?" ujar Fifi dengan tertawa. Habis berkata ia
terus melangkah pergi.
Keruan Gi-lim kelabakan. cepat ia melompat kesana dan
menarik lengan anak dara itu. Karena gugupnya, yang
digunakan adalah Kim-na-jiu-hoat atau ilmu memegang
dan menangkap Siong-san-pay.
"Kau .. , kau jangan pergi," seru Gi-lim sambil
mencengkeram lengan Fifi.
"Wah, apakah kau ingin berkelahi denganku?" goda Fifi
dengan tertawa.
Muka Gi-lim menjadi merah dan cepat lepaskan
tangannya, ia memohon: "Adik yang baik,hendaklah kau
temani aku disini."
"Baik. baik," sahut Fifi "Akan kutemani kau disini, Sau
Peng-lam kan orang baik2, mengapa kau takut padanya?"
Lega hati Gi-lim, katanya; "Maaf, adik yang baik,
cengkeramanku tadi menyakitkan kau tidak?"
"Aku sih tidak sakit, yang kesakitan tampaknya Sau
Peng-lam." kata Fifi.
Gi-lim menjadi kuatir, ia mendekaii tempat tidur dan
menyingkap kelambu, dilihatnya Sau Peng-lam
memejamkan mata, agaknya sudah terpulas. Ia mencoba
memeriksa pernapasan hidungnva. terasa napasnya rata.
Tiba2 terdengar Fifi nengikik tawa disusul dengan suara
terbukanya daun jendela. Cepat Gi-lim berpaling, anak dara
itu ternyata sudah melayang keluar dengan cepat sekali dan
sukar lagi disusul.
Gi-lim menjadi kelabakan, seketika ia merasa bingung, Ia
mendekati tempat tidur pula dan berkata "Sau toako ....
Sau-toako, dia . . . .dia sudah pergi "
Tapi waktu itu obat telah bekerja sehingga SiU Peng-lam
sama sekali tidak sadar dan tidak dapat menjawab.
Gi-lim menjadi gemetar dan nerasa takut. Sejenak
kemudian barulah ia menutup kembali daun jendela Ia
merasa kakinya menjadi lemas dan jatuh terduduk dikursi
depan jendela, pikirnya: "Sebaiknya lekas kupergi saja dari
sini. Bila Sau-touko mendusin dan mengajak bicara padaku,
lalu bagaimana?"
Tapi lantas terpikir pula olehnya: "Begini parah lukanya,
biarpun anak kecil juga dapat membinasakan dia. Mana
boleh kutinggal pergi tanpa menghiraukan
keselamatannya?"
Dalam kegelapan didengarnya di kejauhan ada suara
anjing menyalak, selain itu suasana sunyi sepi, penghuni
rumah pelacuran ini sudah kabur seluruhnya, di dunia ini
rasanya tiada orang lain lagi kecuali Sau Peng-lam diatas
tempat tidur itu.
Gi-lim berduduk di kursi itu dan tidak berani bergerak,
sampai lama sekali, terdengar suara ayam berkokok sahut
menyahut, agaknya fajar sudah hampir menyingsing. Ia
menjadi gelisah pula, pikirnya: "Wah, bila pagi tiba, tentu
ada orang datang, lalu bagaimana baiknya?"
Sejak kecil Gi-lim sudah Jut-keh atau keluar rumah
meninggalkan keluarga, cukur rambut dan menjadi Nikoh,
selama ini berada dalam pengawasan Ting-yat dengan ketat,
boleh dikatakan tiada sedikitpun pengalaman orang hidup.
Sekarang selain merasa cemas dan gelisah hampir tidak
tahu apa yang mesti dilakukannya.
Tengah bingung itulah, tiba2 terdengar suara orang
berjalan, ada tiga atau empat orang sedang kemari dari gang
sana. Suasana sunyi senyap, maka langkah orang itu dapat
terdengar dengan sangat jelas.
Setiba di depan Kun-giok-ih, mendadak orang2 itu
berhenti, seorang diantaranya berkata: "Coba kalian berdua
menggeledah sebelah timur dan kalian berdua mameriksa
sebelah barat. Jika ketemu Sau Peng-lam, harus ditangkap
hidup2. Dia terluka parah, tidak nanti sanggup melawan."
Dari suaranya Gi-lim tahu ialah Ji Ci-eng, murid Tangwan.
Ia menjadi kuatir. Ia pikir Sau-toako telah membunuh
Suheng mereka, yaitu Lo Ci-kiat, jelas kedatangan
rombongan Ji Ci-eng ini atas perintah guru mereka untuk
mencari Sau-toako dan bermaksud membunuhnya untuk
membalaskan sakit hati kematian Lo Ci-kiat.
Saking kuatir dan tegangnya, tak terpikir lagi olehnya
soal lelaki dan perempuan segala. segera ia memondong
Sau Peng-lam dan diam2 dibawa keluar. Untung hanya
empat murid Tang-wan yang datang, untuk sementara ini
mereka takkan menggeledah sampai di tempat sembunyi
mereka ini, maka dapatlah dia mengeluyur keluar rumah
pelacuran itu tanpa diketahui rombongan Ji Ci-eng.
Tapi Gi-lim masih kuatir akan dikejar mereka, maka dia
terus membawa lari Sau Peng-lam tanpa membedakan arah.
Waktu itu cuaca sudah remang2, fajar sudah tiba, lagi
dijalanan masih sepi. Seorang Nikoh jelita membawa lari
seorang lelaki tidak sampai menimbulkan kegemparan.
Tapi iapun berkuatir ditengah jalan akan dilihat orang.
maka begitu keluar kota ia terus berlari ke daerah
pegunungan yang sepi. Ketika hari sudah terang benderang,
sampailah dia di tepi sebuah air terjun yang jarang
didatangi orang. Ia merasa lemas kakinya dan tidak sangsup
berjalan lagi, Ia menaruh Sau Peng-lam di atas tanah, ia
sendiri lantas duduk terkulai dengan napas ter-engah2,
Selama itu Sau Peng-lam belum lagi mendusin, Gi-lim
juga tidak berani membuatnya terkejut, ia tahu bila Penglam
dapat tidur nyenyak 12 jam penuh dan lukanya bisa
rapat kembali, maka keselamatannya tak menjadi soal lagi.
Sejak kemarin malam hingga sekarang Gi-lim dan Penglam
sama2 tidak tidur barang sejenakpun. Tentu saja Gi-lim
juga lelah luar biasa, maka hanya sebentar dia berduduk
disitu, tanpa terasa iapun terpulas.
Sekali tidur lantas tak ingat apa2 lagi dan berlangsung
hingga sehari semalam, sampai esok hari berikutnya
barulah Gi-lim mendusin lebih dulu, dilihatnya Sau PeDglam
masih belum mendusin, diam2 ia merasa senang. Ia
pikir setelah tidur 12 jam tanpa bergerak, tentu lukanya
sudah rapat kembali.
Saat itu sang surya baru terbit, terlihat tempat dimana
dirinya dan Peng-lam berada terletak di bawah tebing
disamping air terjun, bukan saja sinar matahari tak dapat
mencapai tempat ini, muncratnya air terjun juga tak dapat
masuk ke tempat teduh itu. Pantas mereka tidur sehari
semalam tanpa terganggu oleh air hujan, padahal semalam
telah turun hujan dengan cukup lebat.
Tertampak pepohonan sekitar air terjun itu terguyur
bersih oleh air hujan, suasana sekerang terasa segar dan
serba baru. Gi-lim menenangkan diri, ia merasa perut
sangat lapar, timbul pikirannya akan mencari buah2an
untuk tangsal perut.
Dilihatnya dikejauhan sana ada ladang semangka.
Segera ia berlari kesana. Selagi ia hendak memetik
semangka, tiba2 teringat olehnya mencuri semangka kaum
petani adalah perbuatan yang berdosa. Tapi bila teringat
sebentar lagi Sau-toako akan mendusin, pemuda itu sehari
semalam tidak pernah makan-minum apapun, tentu juga
akan merasa sangat kelaparan, mungkinkah dia tahan
mengingat ia baru sembuh dari terluka parah?
"Demi Sau-toako, betapapun dosa yang kulakukan juga
tidak perlu menyesal, hanya mencuri beberapa buah
semangka, biarlah kutanggung dosa ini," demikian pikir Gilim.
Tanpa ragu lagi ia lantas memetik dua biji semangka
yang besar dan tua terus dibawa kembali kesana.
Ia memotong sebuah semangka itu, terendus bau harum,
tanpa terasa ia menelan air liur. Tapi dia tidak makan
sendirian, ia pikir: "Biarlah kalau Sau-toako mendusin baru
dimakan bersama."
Tunggu punya tunggu, sampai beberapa jam lagi masih
juga Sau Peng-lam belum mendusin. Sedangkan Gi-lim
bertekad akan menunggu mendusinnya Sau Peng-lam baru
mereka akan makan semangka bersama. Padahal perut Gilim
sudah keroncongan, duduk saja hampir tidak kuat
saking laparnya. . ..
o —odOwo—o
Untuk sementara kita tinggalkan Gi-lim yang sedang
menunggu mendusinnya Sau Peng-lam untuk makan
semangka bersama.
Hari ini adalah hari upacara Wi Kay-hou akan "Kimbun-
se-jiu", mencuci tangan dibaskom emas sebagai tanda
akan mengundurkan diri dari dunia persilatan.
Upacara Kim-bun-se-jiu demikian jarang terjadi didunia
persilatan Tamu2 undangan yang sudah tiba hampir dua
ribu orang, sejak pagi2 tetamu sudah berkumpul diruangan
pendopo untuk mengikuti berlangsungnya upacara.
Pada saat itulah, se-konyong2 diluar pendopo ada orang
berteriak: "Ada titah Sri Baginda!" Semua orang melengak,
mereka sama heran mengapa mendadak ada titah raja
datang kerumah jago silat?
Hendaklah maklum, di dunia persilatan umumnya
kecuali orang yang membuka Piaukiok atau perusahaan
pengawalan, atau jago silat yang dibayar untuk menjadi
pengawal keluarga pembesar, biasanva mereka tidak suka
berhubungan dengan pihak pemerintah. Jadi titah raja
lebih2 tidak mungkin tertuju kepada orang persilatan.
Para hadirin mengira titah raja itu kesasar ke alamat
yang salah. Tak terduga, ketika mendengar datangnya titah
raja, ber-gegas2 Wi Kay-hou berlari keluar dari dalam dan
berlutut di depan pintu untuk menyambut datangnya titah
raja tersebut.
Segera kelihatan seorang pambesar dengan dua pengawal
masuk keruangan pendopo. pembesar itu membuka
sepotong kain sulaman warna kuning, lalu dibacanya:
"Atas prakarsa Gubernur Santung. Wi Kay-hou, penduduk
Cu-joan, atas keputusan Sri Baginda dianugrah. menjadi
Camciang (perwira pengawal) di gebernuran Santung. Demikian
titah ini supaya diteruskan kepada yang bersangkutan"
Segera Wi Kay-hou menyembah dan mengucapkan
terima kasih atas anugrah raja tersebut.
Pembesar itupun lantas mengucapkan selamat kepada
Wi Kay-hou. Sudah tentu tuan rumah ber-seri2 dan
menyilakan pembesar itu duduk dan makan minum.
Sesudah beramah-tamah sejenak, kemudian pembesar
itupun mohon diri,
Setelah mengantar kepergian pembesar gubernuran itu,
dengan gembira ria Wi Kay-hou masuk lagi ke ruangan
besar dan mempersilakan para tamunya berduduk kembali.
Meski para tamu undangan ini bukan orang dari
kalangan hitam dan juga bukan kaum pemberontak, tapi
semuanya cukup punya nama didunia persilatan,
kebanyakan adalah tokoh yang tinggi hati dan tidak
memandang sebelah mata terhadap kaum pembesar.
Sekarang mereka menyaksikan Wi Kay-hou munduk2
kepada pembesar negeri dan mencari pangkat, hanya diberi
jabatan sebagai perwira pengawal yang hampir tiada artinya
itu lantas kelihatan terima kasih tak terhingga, sikapnya
yang munduk2 dan rendah itu membuat jago2 yang hadir
ini sama merasa risi, bahkan sebagian orang lantas
memperlihatkan rasa hina terhadap tuan rumah ini.
Tetamu yang agak berumur sama berpikir: "Melihat
gelagatnya, pangkat Wi Kay-hou ini diperoleh dengan cara
menyogok, entah berapa ribu tahil perak telah
dikeluarkannya untuk mendapatkan jabatan Camciang ini.
Padahal Wi Kay-hou dikenal cukup jujur dan tahu harga
diri, mengapa setelah tua berbalik kemaruk kepada pangkat
segala?"
Dalam pada itu Wi Kay-hou lantas memberi hormat
kepada para hadirin serta minta semua orang berduduk.
Tapi tiada seorangpun yang berani menduduki kursi utama,
kursi utama di tengah lantas dibiarkan tetap kosong.
Disebelah kirinya berduduk jago tua she He dari Liok-hapbun
Sisi kanan berduduk wakil Pangcu dari Kay-pang, yaitu
Thio Kim-go.
Pribadi Thio Kim-go tidak ada sesuatu yang luar biasa,
cuma lantaran Kay-pang adalah organisasi yang terbesar di
dunia Konguow, siapapun mengalah dan menghormati dia.
Sesudah para hadirin menempati kursi masing2, para
pelayan mulai menyuguhkun arak, lalu Hiang Tay-lian
mengeluarkan sebuah meja kecil, di meja beralaskan sehelai
kain sutera bersulam.
Bi Oh-gi juga membawa sebuah baskom emas yang
bulatan tengahnya sebesar setengah meter. ditaruh di atas
meja. Baskom emas berisi air jernih.
Di luar pintu segera terdengar bende ditabuh tiga kali,
menyusul lantas menggelegar bunyi petasan.
Dengan tersenyum simpul Wi Kay-hou lantas maju ke
tengah serta memberi hormat sekeliling, Semua orang sama
berdiri membalas hormatnya.
"Para ksatria, para sahabat, para hadirin yang
terhormat," demikian Wi Kay-hou lantas mulai
menyampaikan kata pengantar. "Atas kedatangan para
hadirin dari jauh. sungguh semua ini suatu kehormatan
besar bagi orang she Wi, untuk mana lebih dulu diucapkan
terima kasih banyak2. Hari ini orang she Wi menyatakan
Kim-bun-se-jiu, selanjutnya tidak ikut campur lagi segala
urusan dunia Kangouw, untuk ini kukira para hadirin sudah
tahu sebab musababnya. Seperti sudah terjadi tadi, Cayhe
sudah diangkat sebagai seorang pejabat, kata peribahasa:
Terima gaji dari sang junjungan harus setia bekerja bagi
sang junjungan. Orang Kangouw kita selalu bicara tentang
setia dan bakti, urusan negara dan persoalan dinas justeru
harus kita taati sebagai balas jasa terhadap kerajaan
Bilamana ada pertentangan di antara keduanya, orang she
Wi bisa jadi akan serba susah. Maka selanjutnya Wi Kayhou
menyatakan mundur dari dunia persilatan. Apabila
diantara anak muridku ada yang mau masuk ke perguruan
lain akan kuberi kebebasan. Sekarang Cayhe mengundang
kedatangan para hadirin ke sini, tujuanku adalah agar para
sahabat sudi menjadi saksi. Seterusnya bila kalian
berkunjung pula ke Cu-joan sini, kalian masih tetap sahabat
baik orang she Wi. Hanya segala urusan dunia persilatan
dengan baik-buruknya sama sekali orang she Wi tidak mau
tahu lagi."
Sehabis bicara, kembali Wi Kay-hou memberi hormat
sekeliling kepada para hadirin.
Sebelumnya para hadirin sudah menduga akan
pernyataan Wi Kay-hou itu, mereka sama pikir: "Kalau dia
sudah bertekad akan menjadi pembesar, setiap orang
mempunyai cita2 sendiri. siapa pun tak dapat menentang
dan memaksanya. Toh selama ini dia juga tidak berbuat
salah apapun. selanjutnya di dunia persilatan boleh anggap
saja tiada pernah terdapat tokoh macam dia ini."
Tapi ada juga yang berpendapat pengunduran diri Wi
Kay-hou ini tesungguhnya telah merusak nama baik Thaydan-
pay, tentu maksud Wi Kay-hou ini sebelumnya sudah
diketahui oleh ketua Thay-san-pay, yaitu "Khim-lo" Bok
Jong-siong, si kakek kecapi. Mungkin karena marahnya,
maka anak murid Thay-san-pay sendiri tiada seorangpun
yang hadir.
Lalu ada pula yang berpikir: "Ngo-tay-lian-beng akhir2
jini menjagoi dunia persilatan dan melakukan hal2 bajik dimana2,
selama ini perbuatan mereka sangat terpuji dan
dikagumi orang. Tapi sekarang Wi Kay-hou bertindak
demikian, di depannya orang mungkin tidak berani bicara,
tapi di belakangnya pasti banvak yang mencemoohkannya.
"
Dalam pada itu ada juga yang bergembira dan bersyukur
serta mengejek Ngo-tay-lian-beng yang biasanya sok
menganggap kelima aliran mereka adalah golongan
terhormat, tapi nyatanya bila menghadapi persoalan
pangkat dan harta, tidak urung juga tunduk kepada pihak
pembesar negeri, Lalu apa artinya "pendekar" yang selalu
di-dengung2kan, perserikatan kelima aliran besar itu?
Begitulah para hadirin itu masing2 mempunyai pikiran
dan pendapatnya sendiri, seketika ruangan besar itu
menjadi sunyi senyap. Mestinya sudah waktunya orang
banyak memberi ucapan selamat kepadaWi Kay-hou, akan
tetapi beribu orang yang hadir sekarang ini tiada
seorangpun yang bersuara.
Wi Kay-hou tidak menaruh perhatian terhadap sikap
para hadirin yang tidak wajar itu, ia berpaling ke luar dan
berseru dengan lantang: "Tecu Wi Kay-hou berkat ajaran
guru berbudi selama ini, sungguh merasa malu tidak dapat
ikut mengembangkan nama baik Thay-san-pay. Syukur
segala sesuatu telah dibereskan oleh Bok-suko, mengingat
kemampuan Tecu yang cuma begini2 saja, bertambah atau
berkurang seorang Wi Kay-hou rasanya tidaklah menjadi
soal. Maka selanjutnya Tecu menyatakan Kim-bun-se-jiu,
pikiran Tecu sepenuhnya akan dicurahkan kepada tugasnya
yang baru, dalam hal ini Tecu berjanji takkan menggunakan
ilmu silat ajaran perguruan sebagai modal untuk mencari
kenaikan pangkat dan menarik keuntungan. Mengenai
persoalan orang Kangouw dengan segala suka-dukanya
Tecu berjanji pula takkan ikut campur dan mencari tahu.
Bilamana janji ini dilanggar, biarlah mendapat ganjaran
seperti pedang ini!"
Habis berkata, mendadak ia mencabut pedangnya terus
ditekuk dengan kedua tangan, "pleuk", pedang patah
menjadi dua. Menyusul kedua potong pedang patah
dilemparkannya kelantai, "cret-cret", kedua potong pedang
patah ambles kedalam ubin.
Melihat ini, semua orang sama terkesiap, baru sekararg
mereka menyaksikan betapa hebat tenaga jariWi Kay-bou.
"Sayang, sungguh sayang!" terdengar Bun-siansing
bergman sambil menghela napas gegetun. Yang disesalkan
entah pedang patah itu atau menyayangkan tokoh macam
Wi Kay-hou itu rela menghambakan diri kepada pihak
pembesar,
Dengan tersenyum simpul Wi Kay-hou lantas
menyingsingkan lengan baju, kedua tangannya lantas
hendak dimasukkan ke dalam baskom.
Tapi baru saja tangannya hampir masuk kedalam air
baskom, mendadak diluar pintu ada orang membentak:
"Nanti dulu!"
Wi Kay-bou terkejut, ia berpaling, dilihatnya empat
lelaki kekar berbaju kuning muncul dari luar sana. Begitu
masuk pintu, keempat orang ini lantas berdiri dikedua sisi
lalu seorang lelaki berbaju kuning lainnya yang bertubuh
sangat tinggi melangkah masuk dengan bersitegang.
Orang jangkung ini membawa sehelai panji pancawarna
dan penuh hiasan batu permata, ketika panji pancawirna itu
dikebaskan, terpancarlah cahaya kemilauan beraneka
warna,
Kebanyakan orang kenal panji panca warna ini, hati
mereka sama terkesiap dan membatin: "Inilah Lengki (panji
kebesaran) Bengcu Ngo-tay-lian-beng!"
Terlihat si jangkung mendekatiWi Kay-hou, lalu berseru
sambil mengangkat tinggi2 panji panca warna yang
dibawanya; "Wi-susiok, atas perintah Ngo tay-bengcu,
urusan Kim-bun-se-jiu Wi-susiok diminta agar ditunda
untuk sementara."
"Atas dasar panji kebesaran Bengcu ini. sudah tentu
orang she Wi akan mematuhi perintah beliau" jawab Wi
Kay-hou dengan hormat. Setelah berhenti sejenak, lalu ia
menyambung pula: "Tapi entah apa maksud tujuan
sesungguhnya perintah Bengcu ini?"
"Maaf Wi-susiok, Tecu hanya melaksanakan tugas saja
dan tak tahu apa maksud tujuan Bengcu," jawab lelaki
jangkung itu.
"Jangan sungkan," ujar Wi Kay-hou. "Hiantit ini Jiantiang-
siong (si pohon cemara seribu tombak) Su Ting-tat
bukan?"
MeskiWajahnya tampak tersenyum, tapi suaranya sudah
rada gemetar, jelas datangnya urusan ini terlalu mendadak
sehingga orang yang berpengalaman seperti dia juga
tergetar.
Lelaki jangkung itu memang betul anak murid Say-koan
(kantor barat, salah satu anggota lima besar) Jian-tiangsiong
Su Ting-tat, si cemara seribu depa,
Bangga juga Su Ting-tat karena nama dan julukannya
dikenal oleh Wi Kay-hou, ia sedikit membungkuk tubuh
sebagai tanda hormat dan berkata: "Tecu Su Ting-tat
menyampaikan salam hormat kepadaWi susiok."
Lalu ia memberi hormat pula kepada Thian-bun Tojin,
Sau Ceng-hong, Ting-yat Suthay dan lain2. katanya:
"Murid Ngo-hoa-koan menyampaikan sembah hormat
kepada para Supek dan Su-siok."
Keempat lelaki berseragam kuning yang lain serentak
juga ikut memberi hormat!
Ting-yat Suthay sangat senang, sembari membalas
hormat ia berkata: "Bagus sekali jika Suhumu tampil
kemuka untuk mencegah urusan ini. Maksudku, orang
belajar silat seperti kita ini harus mengutamakan setia
kawan, hidup bebas merdeka, perlu apa menjabat pembesar
apa segala? Cuma kulihat segala sesuatunya sudah diatur
oleh Wi-hiante dengan baik, rasanya dia juga takkan terima
nasihatku, maka sejak tadi aku tidak mau banyak omong."'
Wi Kay-hou merasa tersinggung. segera ia berseru:
"Dahulu waktu Say-lam-ji-ki ( Kedua orang kosen dari barat
dan selatan) dan Tionggoan Sam-yu mulai bersekutu,
kelima besar ini sudah berjanji akan bahu-membahu saling
membantu untuk menegakkan kebenaran dunia persilatan,
apabila menghadapi sesuatu urusan yang menyangkut
kepentingan kelima aliran besar, maka be-ramai2 harus
tunduk kepada perintab Ngo-hoa-koancu yang menjabat
Bengcu, panji pancawarna ini adalah hasil ciptaan kelima
besar kita, melihat panji ini sama seperti menghadapi Bengcu,
ini harus diakui. Akan tetapi sekarang persoalan Kimbun-
se-jiu ini adalah urusan pribadi orang she Wi, kurasa
orang she Wi tidak pernah melanggar peraturan dunia
persilatan dan juga tidak mengkhianati persekutuan kita,
bahkan sama sekali tiada hubungannya dengan persoalan
kelima aliran besar kita. Kebetulan disini sudah hadir
kawan2 sebanyak ini, segala sesuatu tentu harus
berdasarkan 'keadilan dan kebenaran'. Dalam hal urusan
pribadiku jelas aku tidak terikat di bawah perintah panji
pengenal Beng-cu ini Untuk ini kuharap Su-hiantit suka
menyampaikan pendirianku ini kepada gurumu, katakan
orang she Wi terpaksa tak dapat patuh kepada perintahnya
dan mohon Toa-suheng sudi memberi maaf "
Habis berkata, kembali ia mendekati baskomemas itu.
Tapi Su Ting-tat lantas melompat maju dan mengadang
di depan baskom itu sambil mengangkat tinggi2 panji
pancawarna, serunya: "Wi-susiok, Suhu telah memberi
pesan secara wanti2 agar Wi-susiok harus dicegah untuk
sementara jangan melaksanakan Kim-bun-se-jiu. Kata
Suhuku, Ngo-tay-lian-beng kita senasib setanggungan,
hubungan kita selama ini seperti saudara sekandung.
Perintah Suhuku ini berdasarkan kebaikan Ngo-tay-lianbeng
kita dan juga demi menegakkan wibawa dunia
persilatan, berbareng itu juga demi kebaikan Wi-susiok
sendiri."
"Hahahaha!" Wi Kay-hou bergelak tertawa. "Sungguh
keterangan ini membuat orang she Wi merasa bingung
Sebab, bilamana Toa-suheng benar2 bermaksud baik,
mengapa tidak mencegah sebelum hal ini terjadi, tapi
kenapa menunggu pada saat orang she Wi sedang menjamu
tamu, di tengah berlangsungnya upacara ini barulah panji
kebesaran ini ditonjolkan, cara ini tidakkah jelas2 sengaja
hendak membikin susah orang she Wi dan agar ditertawai
para ksatria KangouW?"
"Menurut pesan Suhu." demikian jawab Su Ting-tat,
"katanyaWi-susiok adalah ksatria sejati dari Thay-san-pay,
setiap orang Bu-lim sangat menghormati keluhuran budi
Wi-susiok. Suhu kamipun sangat kagum dan karena itu
Tecu dilarang bersikap kurang hormat sedikitpun, bilamana
pesan ini dilanggar, tentu akan dihukum secara setimpal."
"Ah, Bengcu terlalu memuji diriku, mana orang she Wi
mempunyai kehormatan sebesar itu?" ujar Wi Kay-hou
tersenyum.
Melihat kedua orang itu hanya bicara tanpa
menyelesaikan persoalannya, Ting-yat menjadi tidak sabar,
serunya: "Wi-hiante, kukira mewang tiada halangan
bilamana urusanmu ini ditunda untuk sementara. Yang
hadir sekarang ini semuanya adalah sahabat baik,
memangnya siapa yang akan mentertawakan dirimu?
Seumpama ada satu-dua manusia yang tidak tahu diri dan
berani menyindir atau ber-olok2, andaikan Wi-hiante tidak
menghiraukannya, akulah orang pertama yang takkan
tinggal diam!"
Habis berkata, sorot matanya menyapu sekeliling para
hadirin dengan sikap yang menantang, se-akan2 ingin tahu
siapakah yang berani bermusuhan dengan Ngo-tay-lian
beng mereka.
Maka berkatalah Wi Kay-hou: "Jika Ting-yat Su-thay
sudah berkata demikian, baiklah urusan Kim- bun-se-jiu
kutunda sampai lohor besok. Para hadirin kuharap jangan
pulang dahulu, silakan tinggal disini, sementara ini biar
kumohon petunjuk dulu dengan para Hiantit dari Say-koan"
"Terima kasih Wi-susiok," ucap Su Ting-tat, Panji
pancawarna lantas diturunkan dan memberi hormat.
Pada saat itulah tiba2 suara seorang perempuan
berkumandang dari ruangan belakang: "He. hei. apa2an kau
ini? Aku suka bermain dengan siapa, memangnya peduli
apa dengan kau?'
Sebagian besar hadirin sama melengak, dari suaranya
jelas itulah si anak perempuan yang mengaku bernama Kik
Fi-yan, yaitu anak perempuan yang bertengkar dengan
Ciamtay Cu-ih kemarin dulu.
Lalu terdengar lagi suara seorang lelaki berkata:
"Hendaklah kau berduduk tenang disitu dan jangan
sembarangan bergerak, sebentar lagi tentu akan kubebaskan
kau."
"Hah, sungguh aneh, memangnya ini rumahmu?"
terdengar Kik Fi-yan berteriak. "Aku suka ikut Wi-cici ke
taman belakang untuk menangkap kupu2, mengapa kau
merintangi kesenangan kami?"
"Baiklah, jika mau pergi boleh kau pergi sendiri, nona
Wi biar tunggu sebentar di sini," kata lelaki itu.
"Tapi Wi-cici bilang jemu melihat tampangmu, maka
hendaklah kau enyah sejauhnya," kata Kik Fi-yan. "Wi-cici
kan tidak kenal kau, untuk apa kau bertingkah di sini?"
Segera terdengar lagi suara seorang perempuan lain
berkata: "Marilah kita pergi saja, Kik-moay- moay, jangan
hiraukan dia."
Tetapi lelaki itu lantas mengherdik: "Nona Wi, silakan
kau duduk sebentar disini."
Wi Kay-hou menjadi gusar, pikirnya: "Dari mana
datangnya penyatron yang kurang ajar ini, berani main gila
di rumahku dan bersikap kasar terhadap anak Jing di depan
umum?"
-ooo0dw0ooo-
Jilid19
Sementara itu murid Wi Kay-hou, yaitu Bi Oh-gi lantas
memburu masuk ke ruang belakang- Dilihatnya
Sumoaynya. yaitu Wi Jing dan Kik Fi-yan bergandengan
tangan berdiri di serambi sana, seorang pemuda baju kuning
mementangkan tangan merintangi jalan kedua nona itu.
Dari pakaiannya Bi Oh-gi tahu pemuda itu adalah murid
Say-koan, diam2 ia mendongkol, ia sengaja berdehem, lalu
berseru : "Suheng ini apakah dari Say-koan, kenapa tidak
berduduk saja di ruangan depan?"
Orang itu berpaling, kiranya lelaki kekar berusia 27-28
tahun, dengan ketus ia menjawab: "Tidak perlulah. Atas
perintah Bengcu, setiap anggota keluargaWi harus diawasi,
satupun tidak boleh lolos."
Beberapa kalimat ini diucapkan dengan tidak keras,
namun cukup angkuh dan menusuk perasaan. Para hadirin
diruangan pendopo sama mendengarnya, semuanya sama
melengak!
Dengan gusar Wi Kay-hou lantas tanya Su Ting-tat:
"Sebenarnya kalian mau apa ?"
Su Ting tat lantas berseru: "Ban-sute, keluarlah kemari!
Kalau bicara hendaklah hati2 sedikit. Wi susiok sudah
berjanji takkan cuci tangan."
"Bagus sekali jika begitu," kata pemuda diruangan dalam
itu, Lalu iapun keluar keruangan depan dan memberi
hormat kepadaWi Kay-hou dan berkata ; "Murid Say-koan
Ban Tay-peng menyampaikan sembah hormat kepada Wisusiok."
Sampai gemetarWi Kay-hou saking gusarnya, teriaknya:
"Ada berapa murid Say-koan yang datang kemari, boleh
kalian unjuk diri seluruhnya !"
Baru habis ucapannya, mendadak dari atap rumah,
diluar pintu, di pojok ruangan sana, dihalaman belakang,
berpuluh orang dari muka-belakang dan kanan-kiri serentak
menjawab : "Baik! murid Say-koan menyampaikan hormat
kepadaWi-susiok !"
Berpuluh orang berseru serentak, suaranya nyaring dan
diluar dugaan pula, keruan para hadirin sama terkejut,
Maka tertampaklah di atas rumah berdiri belasan orang,
semuanya berseragam kuning.
Tapi orang2 yang muncul di ruangan pendopo ini terdiri
dari berbagai dandanan, jelas sudah sejak tadi mereka
menyusup ke situ dan diam2 mengawasi tindak-tanduk Wi
Kiy-hou, karena mereka bercampur di tengah rbuan orang
sehingga tidak menimbulkan curiga siapapun juga.
Yang per-tama2 tidak tahan ialah Ting-yat Suthay,
segera ia berteriak: "Ap. . . apakah artinya ini? Sungguh
terlalu menghina orang!"
"Maaf, Supek," ucap Su Ting-tat. "Menurut perintah
Suhuku, apapun juga kami harus mencegah Wi-susiok agar
tidak sampai Kim-bun-se-jiu, lantaran kuatir Wi-susiok
tidak mau mematuhi perintah, terpaksa kami bertindak
agak keras."
Pada saat itu pula dari ruangan belakang muncul lagi
belasan orang, diantaranya terdapat isteri Wi Kay-hou dan
dua puteranya yang masih kecil serta tujuh muridnya. Di
belakang setiap orang dibuntuti seorang murid Say-koan,
malahan anak murid Say-koan itu sama memegang belati
dan mengancam punggungWi-hujin dan lain2.
Rupanya anak murid Say-koan itu telah menyelundup ke
halaman belakang dan berhasil mengatasi nyonva Wi dan
anak muridnya dengan ancaman senjata. Jadi sikap Ban
Tay-peng terhadap Wi Jing tadi malah lebih halus, dia
cuma menyuruh nona itu jangan sembarangari bergerak,
tapi tidak sampai mengancamnva dengan kekerasan.
Segera Wi Kay-hou berseru: "Para hadirin, kalian
menyaksikan sendiri, bukanlah orang she Wi ini suka
bertindak tidak se-mena2, tapi lantaran Coh-suheng
mengancam dengan kekerasan, bilamana orang she Wi
menyerah begitu saja, dimana pula aku dapat menancap
kaki lagi? Coh-suheng melarang diriku Kim-bun-se-jui,
hehe, kepala orang she Wi boleh dipenggal, tapi cita2nya
harus terlaksana!"
Sembari bicara ia terus melangkah maju dan kedua
tangannya hendak dimasukkan ke dalam baskom tadi.
"Nanti dulu!" teriak Su Ting-tat mendadak, panji
pancawarna berkibar dan segera menghadang di depan Wi
Kay-hou.
Tanpa bicara jari tangan kiri Wi Kay-hou mencolok
kedua mata Su Ting-tat. Tapi Su Ting-tat sempat
menangkis, cepat Wi Kay-hou menarik kembali tangan kiri,
menyusul tangan kanan lantas mencolok pula ke mata
lawan.
Agak repot juga bagi Su Ting-tat untuk menangkis,
terpaksa ia melompat mundur.
Begitu lawan terdesak mundur, kedua tangan Wi Kayhou
lantas terjulur pula kedalam baskom, Tapi segera
terdengar angin menyambar dari belakang, dua orang
menubruk tiba pula.
Tanpa menoleh kaki kiri Wi Kay-hou mendepak ke
belakang, "blang", kontan seorang murid Say-koan
terpental. Menyusul tangan kanan juga meraih kebelakang
menurut arah suara angin, dada baju murid Say-koan yang
lain kena dicengkeramnya terus diangkat dan dilemparkan
kearah Su Ting-tat.
Cara Wi Kay-hou mendepak dengan kaki kiri dan
mencengkeram dengan tangan kanan ini dilakukan dengan
gesit dan cepat se-olah2 di punggungnya bertumbuh mata,
sungguh gaya seorang tokoh sejati dan lain daripada yang
lain,
Setelah kedua orang itu dijatuhkan, anak murid Saykoan
jadi terkesiap, seketika tiada seorang- pun berani maju
lagi.
Tapi murid Say-koan yang berdiri dibelakang puteranya
lantas mengancam : "Wi-suiiok, jika kau tidak berhenti,
segera kubunuh puteramu!"
Wi Kay-kou menoleh, dipandangnya sekejap puteranya
yang masih kecil itu, lalu menjengek: "Para pahlawan sama
hadir di sini. berani kau ganggu seujung rambut anakku,
berpuluh murid Say-koan kalian pasti akan hancur lebur di
sini."
Ucapan ini bukan cuma gertakan, sebab kalau a&nak
murid Say-koan benar2 berani mencelakai anaknya yang
masih kecil itu tentu akan menimbulkan kemarahan umum,
bilamana para pahlawan bergerak serentak, berpuluh murid
Say-koan pasti sukar lolos dari peradilan orang banyak.
Dalam pada itu Wi Kay-hou lantas mendekati baskom
dan tangannya terjulur pula ke dalam baskom. Tampaknya
sekali ini tiada orang lagi yang mampu merintanginya. Tak
tersangka, mendadak cahaya perak berkelebat, sepotong
Am-gi atau senjata gelap yang kecil menyambar tiba.
Terpaksa Wi Kay-hou melangkah mundur setindak.
"Tring", Am-gi itu tepat mengenai tepi baskom emas itu,
seke-tika baskom itu terjatuh ke lantai dan menimbulkan
suara gemerantang, baskom terbalik dan air tertumpah
memenuhi lantai.
Berbareng itu tampak bayangan kuning berkelebat, dari
atas rumah melompat turun seorang, sebelum kakinya
terangkat, baskom emas yang terbalik itu diinjaknya dan
kontan baskom itu menjadi gepeng.
Pendatang ini adalah lelaki berumur 40-an, bertubuh
sedang agak kurus, bibir berkumis tikus, ia merangkap
tangan memberi hormat dan berseru: "Wi-suheng, atas
perintah Bengcu,Wi-suheng dilarang Kim-bun-se-jiu!"
Wi Kay-hou kenal orang ini adalah tokoh ke-empat dari
Say-koan, yaitu Sute keempat Ngo-hoa- koancu, bernama
Hui Pin terkenal dengan Tay-jiu-in (pukulan tangan besar).
Melihat gelagatnya, agaknya seluruh kekuatan Say-koan
telah dikerahkan untuk menghadapi dirinya. Karena
baskom emas sudah diinjak rusak, upacara Kim-bun-se-jiu
jelas tak dapat berlangsung lagi. Urusun sekarang harus
dihadapinya dengan sabar atau mesti bertempur sekuatnya?
Begitulah ia menjadi ragu, otaknya berputar cepat,
pikirnya: "Meski Say-koan memegang panji kebesaran Ngotay-
tay-lian-beng, tapi mereka bertindak secara kasar begini,
memangnya beribu ksatria yang hadir disini tiada
seorangpun yang berani tampil untuk bicara secara adil?"
Segera ia membalas hormat Hui Pin dan berkata; "Huiheng
berkunjung kemari, mengapa tidak masuk sejak tadi
untuk minum barang secawan, tapi malah bersembunyi di
atas hingga terjemur sinar matahari. Kukira Ting-suheng
dan Liok- suheng berdua tentu juga sudah datang dan
silakan turun saja sekalian. Melulu melayani orang she Wi
seorang. Hui-suheng sendiri saja sudah lebih dari cukup,
kalau mesti menghadapi para ksatria yang hadir disini,
kukira seluruh Say-koan juga tetap tidak cukup. Maka baik
yang terang maupun secara gelap, semuanya tiada
gunanya."
"Untuk apa Wi-suheng mesti mengucapkan kata2
mengadu domba begitu?" ujar Hui Pin dengan tersenyum.
"Seumpama cumaWi-suheng saja yang berhadapan dengan
diriku juga Cayhe tidak sangpup melawan, terutama
gerakan cepat dan jitu seperti Wi-suheng tadi. Say-koan
sama sekali tidak berani memusuhi Thay-san-pay, lebih2
tidak berani menyalahi setiap ksatria yang hadir di sini,
bahkan Wi-suheng juga kami tidak berani menyalahi.
Hanya saja demi keselamatan beratus ribu jiwa kawan
dunia persilatan terpaksa kami datang untuk memohon agar
Wi-suheng suka membatalkan niat Kim-bun-se-jiu ini."
Keterangan ini membikin para hadirin melenggong
bingung, mereka sama pikir: "Soal Wi Kay-hou akan Kimbun-
se-jiu, mengapa menyangkut jiwa beratus ribu jiwa
kawan Bu-lim segala?"
Benar juga, segera Wi Kay-hou menanggapi; "Ah,
ucapan Hui-suheng itu terasa terlalu meninggikan harga diri
orang she Wi. Padahal diriku cuma kaum keroco Thay-sanpay,
sedangkan Ngo-tay-lian-beng tidak kurang tenaga yang
cakap, ketambahan seorang she Wi tidak bertambahh kuat,
kehilangan seorang she Wi juga tidak menjadi lemah.Masa
setiap gerak-gerik orang she Wi bisa menyangkut
keselematan jiwa beratus ribu kawan Bu-lim?"
"Betul," tukas Ting-yat Suthay "Bahwa Wi hiante mau
Kim-bun-se-jiu untuk menjabat pangkat sebesar karung
kedelai itu, terus terang akupun tidak setuju. Tapi setiap
manusia mempunyai cita2-nya sendiri, kalau dia suka
pangkat dan ingin kaya, asalkan tidak merugikan rakyat
jelata, tidak merusak rasa setia kawin Bu-lim, maka orang
lain pun tidak dapat mencegahnya secara paksa. KukiraWihiante
juga tidak mempunyai kemahiran sehebat itu
sehingga dapat membikin susah kawan Bu-lim sebanyak
itu?"
"Ting-yat Suthay," kata Hui Pin. "Anda adalah murid
Buddha yang beribadat, dengan sendirinya anda tidak
paham seluk beluk kelicikan manusia, apabila intrik besar
ini sampai terlaksana, bukan saja kawan Bu-lim akan
banyak jatuh korban, bahkan rakyat jelata yang tak berdosa
juga akan banyak tertimpA bencana. Coba para hadirin
pikir, nama Wi Kay-hou dari Thay-san-pay betapa
gemilangnya di dunia Kangouw, masa sudi menurunkan
derajat sendiri dan mau mengabdi bagi segelintir pembesar
yang kotor dan korup itu? Wi-suheng sendiri terkenal kaya
raya, masa kemaruk harta dan ingin pangkat segala? Sudah
tentu di balik urusan ini masih ada sebab2 lain yang tak
dapat diberitahukan kepada orang luar."
Ucapan ini dapat diterima oleh para hadirin,
memangnya mereka meragukan tindakan Wi Kay-hou yang
ingin menjabat pangkat yang tak ada artinya itu, padahal
dia adalah tokoh Thay-san-pay yang terkenal dan terhormat
di dunia persilatan.
Tapi Wi Kay-hou tidak menjadi gusar, sebaliknya malah
tertawa, katanya: "Bagus, bagus sekali, kiranya dibalik
urusan ini masih ada intrik keji yang tak boleh
diberitahukan kepada orang luar Hui-suheng, jika kau
sengaja menfitnah orang, hendaklah caramu bicara harus
dibuat serapihnya. Sibenarnya urusan ini tidak ingin
kukemukakan, kalau dibicarakan hanya akan membikin
malu rumah tangga Thay-san-pay sendiri. Tapi urusan
sudah kadung begini, terpaksa harus kukatakan terus terang
dan mohon para kawan memberi keadilan. Maka Tingsuheng
dan Liok suheng dipersilahkan keluar saja sekalian!"
Serentak dari sebelah timur dan barat atap rumah
terdengar orang berseru: "Baik!"
Menyusul dua sosok bayangan kuning berkelebat, tahu2
di tengah ruangan sudah berdiri dua orang. Ginkang yang
indah ini serupa seperti Hui Pin melayang turun tadi.
Yang berdiri di sebelah timur adalah seorang botak,
saking kelimisnya hingga mengkilat kepalanya, ialah Jisute
ketua Say-koan, namanya Ting Tiong.
Orang di sebelah barat kurus kering seperti orang sakit
tebese, punggung agak bungkuk, muka pucat, persis orang
yang sudah belasan hari tidak makan nasi.
Para hadirin kenal orang ini adalah tokoh Say-koan yang
menduduki kursi pimpinan ketiga, namanya Liok Pek
berjuluk Wi-bin-cukat atau si Cu-kat Liang bermuka
kuning. Cukat Liang atau Khong Beng adalah seorang ahli
siasat di jaman Sam-kok, dari julukan ini dapat
diperkirakan orang she Liok ini pasti banyak tipu akalnya.
Kedua orang itu ber-sama2 memberi hormat: "Selamat
bertemu Wi-suheng, selamat bertemu para Enghiong
(pahlawan, ksatria)!"
Ting Tiong dan Liok Pek juga terkenal dan disegani di
dunia persilatan, maka para hadirin sama berdiri untuk
membalas hormat.
Melihat jago Say-koan semakin banyak yang datang
lamat2 semua orang merasakan gelagat tidak enak. Jelas
persoalannya bertambah gawat dan mungkin tidak
menguntungkan tuan rumah.
Segera Ting-yat Suthay membuka suara: "Wi-hiante.
jangan kuatir, segala urusan di dunia ini tak terlepas dari
satu kata, yaitu kebenaran. Biarlah orang lain berjumlah
banyak dan lihay2, memangnya kawan2 kita dari Yan-san,
Lam-han dan Siong-san hanya datang untuk gegares saja
tanpa ikut campur?"
Di balik ucapannya jelas dia ingin menyatakan bilamana
Say-koan bertindak se-wenang2, maka dia orang pertama
dari Siong-san-pay yang akan tampil kemuka untuk
membela keadilan. sedangkan Thian-bun Tojin, Sau Cenghong
dan lain2 juga takkan tinggal diam.
Wi Kay-hou tersenyum getir, katanya: "Sungguh
memalukan jika urusan ini dibicarakan, sebenarnya urusan
interen Thay-san-pay kami, tapi para hadirin harus ikut
susah. Sekarang orang she Wi sudah tahu duduknya
perkara, pasti Bok-suhengku telah mengadukan diriku
kepada Bengcu kita dari Say-koan tentang macam2
kesalahanku sehingga para Suheng dari Say-koan sekarang
diutus menuntut diriku. Baik, baik, biarlah aku mengaku
salah saja kepada Bok-suheng,"
Sinar mata Hui Pin menyapu sekeliling para hadirin,
kelihatan sorot matanya tajam berwibawa, jelas
Lwekangnya sangat tinggi. Katanya kemudian: "Persoalan
ini sama sekili tidak ada sangkut-pautnya dengan Boktaysiansing.
Boleh silakan Bok-tay- siansing tampil ke muka
untuk menjelaskan duduk- nya perkara!"
Keadaan menjadi sunyi, semua orang sama menunggu,
akan tetapi sejauh itu tidak kelihatan Khim- lo", si kakek
kecapi Bok Jong-siong memperlihatkan diri. Maklumlah,
ketua Thay-san-pay ini memang tidak hadir disini.
Dengan terseuyum pahit Wi Kay-hou lantas bicara pula:
"Tentang ketidak cocokan diriku dengan Bok-suheng kukira
bukan rahasia lagi dan cukup diketahui oleh kawan Bu-lim
sehingga akupun tidak perlu menutupi hal ini. Karena
tinggalan leluhur, kehidupan keluargaku memang lebih
longgar dan serba cukup, sebaliknya Bok-suko adalah orang
miskin. padahal terhadap antar kawan adalah jamak
bilamana bantu membantu, apalagi di antara Suheng dan
Sute sendiri. Akan tetapi rupanya Bok-suko sendiri merasa
kurang senang pada padaku sehingga selamanyeatidak
pernah menginjak rumahku. sudah ber-tahun2 kami tidak
pernah bertemu dan bicara, maka sekarang jelas Bok-suko
juga takkan hadir. Yang membuat penasaran padaku adalah
Toa-bengcu hanya percaya kepada pengaduan sepihak dari
Bok-suko, lalu para Suheng dikirim kemari untuk menuntut
kepadaku, bahkan anak isteriku juga kalian tawan, kukira
cara bertindak kalian ini rada2 keterlaluan."
Mendadak Hui Pin berkata kepada Su Ting-tat: "Angkat
Lengki!"
Su Ting-tat mengiakan dan mengacungkan panji
pancawarna ke atas dan berdiri disamping Hui Pin.
Dengan kereng Hui Pin lantas berseru: ''Wi-suheng,
urusan ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan
Bok-taysiansing, ketua Thay-san-pay kalian, maka tidak
perlu kau menyinggung urusannya- Menurut perintah
Bengcu, kami diharuskan menyelidiki tentang hubunganmu
dengan Tonghong Put-pay dari Mo-kau, Bengcu ingin tahu
sebenarnya ada persekongkolan apa antara Wi-suheng
dengan gembong Ma-kau itu. Intrik apa yang sedang kalian
atur untuk menghadapi Ngo- tay-lian-beng serta para kawan
Bu-lim yang berdiri di pihak kebenaran?"
Ucapan ini seketika menggemparkan para hadirin. Mokau
atau agama Ma yang terkenal kejam dan keji itu selama
ini suka memusuhi kaum ksatria di dunia persilatan.
permusuhan kedua pihak sudah berlangsung selama ratusan
tahun, sudah sering terjadi pertarungan selama ini dan
masing-masing pihak sama banyak jatuh korban. Diantara
ribuan orang yang hedir sekarang ini sedikitnya ada
separohnya yang pernah mengalami keganasan pihak Mokau.
Ada ayah atau saudaranya terbunuh, ada yang guru
dan saudara seperguruan teraniaya. Bilamana mereka
menyebut Ma-kau, siapapun menggreget dengan benci dan
dendam. Sebabnya kelima besar mengadakan persekutuan,
tujuan utama adalah untuk menghadapi musuh tertangguh
ini.
Maklumlah, ilmu silat Ma-kau mempunyai gayanya
tersendiri, baik Lwekang maupun Gwe-kang, semuanya
mempunyai aliran sendiri, meski ilmu silat Beng-bun Cengpay
(golongan dan perguruan yang termashur) cukup hebat,
sering juga dikalahkpn oleh orang Ma-kau, Apalagi Ma-kau
Kaucu, ketua Ma-kau, Tonghong Put-pay, sesuai dengan
namanya "Put-pay" atau tak terkalahkan, terkenal sebagai
jago nomor satu yang tak terkalahkan selama ratusan tahun
ini.
Sekarang para hadirin itu mendengar Hui Pin menuduh
Wi Kay-bou diam2 bersekongkol dengan pihak Ma-kau
atau agama iblis itu, apakah tuduhan ini benar atau tidak,
yang pasti hal ini memang menyangkut keselamatan pribadi
dan keluarga mereka. Sebab itulah rasa simpati mereka
terhadapWi Kay bou jadi seketika lenyap.
Terdengar Wi Kay-hou menjawab: "Selama hidupku
boleh dikatakan tidak pernah bertemu dengan Tanghong
Put-pay dari Ma-kau, maka tuduhanmu tentang
persekongkolan dan intrik yang ku-atur bersama Ma-kau
entah darimana dasarnya?"
Hui Pin memandang Sam-suhengnya, yaitu Liok Pek.
dengan suara halus Liok Pek lantas berkata: Wi-suheng,
ucapanmu kukira ada sebagian yang tidak benar dan tidak
jujur. Coba jawab, ada seorang Hou-hoat tianglo (tertua
pelindung agama) dari Mo-kau, namanya Kik Yang, Wisuheng
kenal dia atau tidak?"
Sebenarnya Wi Kay-hou sangat tenang, tapi demi
mendengar nama Kik Yang, seketika air mukanya berubah
pucat, mulutnya terkancing dan tidak dapat menjawab.
"Kau kenal Kik Yang tidak?" mendadak Ting Tiong ikut
bertanya dengan suara bengis, padahal si botak ini sejak tadi
hanya diam saja. Begitu lantang suaranya sehingga anak
telinga orang serasa mendengung
Namun Wi Kay-hou tetap diam saja dan tidak
menjawab, beribu pasang mata sama menatapnya, didalam
hati orang2 itu sama merasa Wi Kay-hou menjawab atau
tidak akan sama saja. Kalau dia tidak dapat menjawab, itu
pun berarti mengakui secara diam2.
Selang agak lama barulah Wi Kay-hou mengangguk dan
berkata: "Memang betul, Kik Yang, Kik-toako, bukan saja
aku memang kenal, bahkan ialah satu2nya sahabatku yang
paling karib selama hidupku ini."
Seketika suasana menjadi gaduh. semua orang ramai
membicarakan hal ini.
Beberapa kalimat ucapan Wi Kay-hou itu memang jauh
diluar dugaan orang banyak. Tadinya mereka menyangka
seumpama Wi Kay-hou tidak menyangkal, paling2 juga
cuma mengaku sekadar kenal saja dengan Kik Yang, sama
sekali tak terduga bahwa dia akan bicara secara terus terang
dan malah menegaskan gembong Ma-kau itu adalah
satu2nya sahabatnya yang paling karib.
Wajah Hui Pin menampilkan senyuman puas, katanya:
"Nah. kau sudah mengaku sendiri, urusan menjadi mudah.
Seorang lelaki sejati, berani berbuat harus berani
bertanggung jawab. Wi Kay-hou, Coh-cungcu sudah
memutuskan dua jalan dan terserah kepadamu untuk
memilihnya."
Wi-kay-hou seperti tidak pernah mendengar ucapan Hui
Pin itu, dengan tak acuh dia berduduk, diangkatnya poci
arak dan menuang penuh satu cawan, lalu diminumnya
dengan pelahan.
Para ksatria diam-diam sama kagum melihat keterangan
tuan rumah itu menghadapi urusan gawat yang dituduhkan
kepadanya ini.
Dengan suara nyaring Hui Pin lantas berseru pula: "Kata
Coh-cungcu, Wi Kay-hou adalah tokoh terkemuka Thaysan-
pay, sayang salah bergaul dengan orang jahat dan
tersesat, apabila mau insaf. sesuai pedoman kaum pendekar
kita yang selalu mengutamakan kebajikan, maka Wi Kayhou
akan diberi kesempatan untuk memperbaharui
hidupnya. Jika kau memilih jalan ini, maka dalam batas
Waktu satu bulan kau diharuskan membunuh gembong
Ma-kau yang bernama Kik Yang itu, harus kau buktikan
dengan membawa kepalanya. Habis itu segala kesalahanmu
yang lalu takkan diungkit dan kita masih tetap sahabat baik,
tetap saudara."
Para ksatria yang hadir dapat mengerti keputusan ketua
Ngo-tay-lian-beng itu, terutama bila mengingat keganasan
orang Ma-kau yang suka membunuh tanpa kenal ampun,
antara yana jahat dan yang baik tidak mungkin berdiri
sejajar, bilamana Coh-bengcu mengharuskan Wi Kay-hou
membunuh Kik Yang untuk menembus kesalahannya,
maka perintah ini pun tidak terlalu berlebihan.
Wajah Wi Kay-hou yang agak pucat itu terkilas
senyuman pedih, ucapnya: "Kit-toako dan aku sekali
bertemu lantas seperti kenalan lama, kami telah bersahabat
tanpa cadangan apapun. Sudah belasan kali kami bertemu
dan selalu tidur bersama dan bicara sepanjang malam,
terkadang bila menyinggung perbedaan pendapat mengenai
perguruan masing2, Kik-toako selalu menyatakan menyesal
dan menganggap permusuhan antara kedua pihak
sebenarnya tidak perlu. Persahabatanku dengan Kik-toako
hanya menyangkut seni suara, dia adalah ahli kecapi dan
aku gemar meniup seruling. dalam pertemuan kami
sebagian besar waktunya kami gunakan untuk memetik
kecapi dan meniup seruling bersama. Mengenai ilmu silat
selamanya tidak pernah kami singgung."
Ia merandek dan tersenyum, lalu menyambung pula:
Bisa jadi para hadirin tidak percaya, tapi bagiku, pada masa
ini, kalau bicara tentang memetik kecapi. maka tiada orang
lain lagi yang bisa menandingi Kik-toako, dalam hal
meniup seruling, kuyakin juga tiada orang kedua lagi.
Meski Kik-toako adalah orang Ma-kau, tapi dari suara
kecapinya kutahu kepribadiannya yang luhur dan suci serta
berjiwa besar, sungguh orang she Wi sangat kagum dan
memujinya. Biarpun orang she Wi ini orang kasar juga
tidak nanti membikin celaka seorang Kuncu (lelaki sejati)
seperti Kik-toako."
Makin heran para ksatria mendengar ucapan tuan rumah
ini, sama sekali mereka tidak menyangka persahabatan Wi
Kay-kou dengan Kik Yang ternyata dimulai dari seni
musik, kalau tidak mau percaya, nyatanya cara bicaranya
sedemikian sung-guh-sungguh, sedikitpun tidak ada tanda2
berdusta. Apalagi kalau mengingat tokoh2 Thay-san-pay
dan tingkatan dahulu hingga sekarang memang banyak
yang gemar main musik, seperti pejabat ketua sekarang,
yaitu Bok Jong-siong, Bok-taysiansing, dia berjuluk "Khimlo"
atau si kakek kecapi, hobbinya main kecapi dan tersobor
dengan istilah "ditengah kecapi tersembunyi pedang, suara
kecapi timbul dari batang pedang". Maka walau Wi Kayhou
yang juga gemar meniup suling bersahabat dengan Kik
Yang yang ahli petik kecapi, maka hal ini menang bukan
tidak mungkin terjadi.
Maka Hui Pin lantas berkata pula: "Tentang
persahabatan Wi-suheng dengan gembong iblis she Kik itu
dimulai dengan main musik, hal ini sudah lama diselidiki
Coh-bengcu dengan jelas. Kata Beng-cu, orang Ma-kau
selalu berpikiran busuk, mereka tahu pengaruh kelima besar
kita setelah bersekutu menjadi bertambah kuat dan sukar
dilawan oleh Mo-kau, maka dengan segala daya upaya
mereka bermaksud memecah belah dan mengadu domba
diantara kita. Terhadap anak murid kita yang muda mereka
pancing dengan perempuan cantik. Terhadap tokoh
terkemuka seperti Wi-suheng yang biasanya hidup prihatin,
usaha mereka lantas melalui hal2 yang menjadi
kesukaanmu. maka Kik Yang ditugaskan memikat Wisuheng
melalui jalan seni musik. Dalam hal ini ingin kami
peringatkan Wi-suheng agar menyadari bahwa dimasa lalu
kawan kita telah banyak yang menjadi korban keganasan
Ma-kau, mengapa engkau sama sekali tidak menginsafi
kesesatanmu karena terpengaruh oleh daya pikat orang?"
"Betul, ucapan Hui-sute memang tidak salah," timbrung
Ting-yat Suthay. "Yang menakutkan dari Mo-kau bukan
karena kekejian ilmu silatnya, tapi terletak pada berbagai
macam tipu muslihatnya yang sukar diduga. Wi-sute,
engkau adalah orang baik dan Kuncu sejati, bukan soal jika
kau tertipu oleh kaum iblis yang rendah dan kotor itu.
Biarlah kita be-ramai2 turun tangan membinasakan orang
she Kik itu dan bereslah segala persoalannya, Ngo-tay-lianbeng
kita selamanya senasib setanggungan, janganlah kita
mau dipecah-belah oleh orang jahat dari Ma-kau sehingga
bertengkar diantara kawan sendiri."
"Benar, Wi-sute," Thian-bun Tojin juga ikut bicara,
"seorang lelaki sejati bila berbuat salah harus berani
memperbaikinya. Biar kau bunuh gembong iblis she Kik itu,
setiap pendekar paati akan mengacungkan jempol dan
memuji kejantananmu, sebagai kawanmu kamipun akan
merasa bangga,"
Wi Kay-ho tidak menanggapinya, sorot matanya beralih
ke arah Sau Ceng-hong, katanya: "Sau-toako, engkau
adalah Kuncu yang bijaksana, para tokoh Bu-lim yang hadir
di sini sama mendesak padaku agar mengkhianati kawan.
Coba bagaimana pendapatmu?"
"Wi-hiante," jawab Sau Ceng-hong, "terhadap kawan
sejati, kaum persilatan kita tidak segan2 mengorbankan jiwa
raga demi persahabatan. Tapi orang she Kik dari Ma-kau
itu jelas2 manis di mulut korup di dalam, tertawa tapi
berbisa, dia berusaha menyeret Wi-heng menurut hobimu,
ialah musuh yang paling keji. Jika orang demikian juga
dapat disebut sebagai kawan, apakah istilah 'kawan' takkan
ternoda? Orang kuno demi setia kawan rela mengorbankan
keluarga sendiri, apalagi gembong iblis yang kau sebut
sebagai kawan ini?"
Ucapan Sau Ceng-hong yang tegas itu menimbulkan
pujian orang banyak, seru mereka: "Kata2 Sau-siansing
memang benar, terhadap kawan harus bicara tentang budi
setia, terhadap musuh tidak ada soal setia kawan apa
segala?"
Wi Kay-hou menghela napas, ucapnya kemudian, "Pada
permulaan persahabatanku dengan Kik-toako memang
sudah kuduga akan terjadi hal2 seperti sekaraag ini. Akhir2
ini setelah menilik keadaan umumnya, kuduga tidak lama
lagi antara Ngo-tay-lian-beng dan Ma-kau pasti akan terjadi
pertarungan sengit. Yang satu pihak adalah saudara
persekutuan, di pihak yang lain adalah sababat karib, orang
she Wi jelas tidak dapat membela pihak manapun, karena
terpaksa maka kugunakan akal Kim-bun-se-jiu ini dengan
maksud mengumumkan kepada para kawan Bu-lim bahwa
mulai saat ini orang she Wi telah mengundurkan diri diri
dunia persilatan dan takkan ikut campur setiap urusan
Kangouw lagi. Agar tidak tersangkut dalam persoalan
kawan Kangouw, aku sengaja berusaha mendapatkan satu
pangkat yang kecil sekadar untuk menutupi maksud
tujuanku ini, siapa tahu Coh-bengcu memang maha sakti,
langkah orang she Wi ini tetap tak dapat mengelabui dia."
Mendengar keterangan ini barulah para hadirin tahu
duduknya perkara, mereka sama pikir: "Kiranya begitu
tujuannya mencuci tangan dengan mengundurkau diri,
pantas ia sengaja beli pangkat hanya untuk alasan saja."
Hui Pin, Ting Tiong dan Liok Pek juga saling pandang
dan merasa puas, pikir mereka: "Untung Coh-suko
mengetahui akal busukmu dan mencegah tindakanmu tepat
pada waktunya, kalau tidak tentu akan terkabul
kelicikanmu."
Terdengar Wi Kay-hou menyambung pula
penuturannya: "Mo-kau dan kaum pendekar kita sudah
sering bentrok, tentang siapa yang benar dan salah seketika
sukar untuk diceritakan. Yang kuharap hanya dapat
terhindar dari pertarungan berdarah ini agar dapat hidup
tenteram hingga tua, kukira maksudku ini sama sekali tidak
melanggar peraturan perguruan dan juga perjanjian Ngotay-
lian-beng."
"Hm, kalau setiap orang meniru kau, pada saat genting
melarikan diri digaris depan. bukankah Ma-kau yang akan
malang melintang didunia KangouW dan meracuni orang?"
jengek Hui Pin. "Sekalipun kau ingin menghindari segala
persengketaan, mengapa iblis she Kik itu ikut mengasingkan
diri pula?"
Wi Kay-hou tersenyum, jawabnya: "Di depanku Kiktoako
sudah tegas2 bersumpah pada cakal-bakal Mo-kau
mereka bahwa selanjutnya betapa¬pun terjadi perselisihan
antara Ma-kau mereka dengan kaum pendekar kita, Kiktoako
berjanjj akan menarik diri dari segala persoalan dan
tidak mau ikut campur. Orang tidak mengganggu kita,
kitapun tidak mengganggu orang."
"Hehehe, tapi kalau kaum pendekar kita yang
mengganggunya, lalu bagaimana?" jengek Hui Pin.
"Kik-toako menyatakan pasti akan mengalah sedapatnya
dan takkan main kekerasan, sebisanya dia akan berusaha
mendamaikan segala kesalah-pahaman," kataWi Kay-hou.
Setelah merandek sejenak, tiba2 ia menyambung pula:
"Kemarin baru saja Kik-toako mengirim kabar padaku
bahwa murid Lam-han yang bernama Sau Peng-lam dilukai
orang, keadaannya sangat parah, Kik-toakolah yang telah
menyelamatkan dia."
Keterangan ini menggemparkan lagi bagi para hadirin,
lebih2 anak murid Lam-han, orang2 Siong-san-pay dan
Tang-wan, semuanya bisik2 ramai membicarakan apa yang
terjadi.
Biasanya Leng Hiang paling memperhatikan Sau Penglam,
demi mendengar kabar sang Suheng, seketika ia
bertanya: " Wi-susiok, berada dimanakah Toa-suko kami?
Apakah .... apakah betul dia di tolong oleh ....oleh Cianpwe
the Kik itu?"
"Kalau Kik toako bilang begitu, kuyakin pasti adanya,"
ujar Wi Kay-hou. "Kelak bila bertemu dengan Sau-hiantit
tentu dapat kau tanyai dia."
"Kenapa mesti heran?" jengek Hui Pin. "Orang Ma-kau
berusaha merangkul siapapun, segala jalan ditempuhnya.
Kalau dia berhasil merangkul Wi-suheng dengan segala
daya upaya, dengan sendirinya diapun akan berhasil
merangkul anak murid Lam-han. Bisa jadi lantaran itu Sau
Peng-lam akan berterima kasih padanya serta akan
membalas budi kebaikan pertolongan jiwanya. Di tengah
Ngo-tay-lian-beng kita selanjutnya akan bertambah lagi
seorang murtad."
Alis Wi Kay-hou menegak, tanyanya dengan "Huisuheng,
kau bilang akan bertambah lagi seorang murtad" di
tengah Ngo-tay-lian-beng kita, apa artinya 'lagi' yang kau
maksudkan itu?"
"Siapa yang berbuat tentu tahu sendiri, kenapa mesti
bertanya lagi?!" jawab Hui Pin.
"Hm, jadi kau tuduh orang she Wi ini adalah murid
murtad?" jengek Wi Kay-hou. "Padahal orang she Wi
bersahabat dengan siapapun adalah urusan pribadiku, orang
lain tidak perlu ikut campur. Selamanya orang she Wi tidak
berani melawan guru dan berbuat sesuatu yang memalukan
perguruan. Istilah 'murid murtad' itu biarlah kuatur kembali
lengkap padarmu!"
Sebenarnya sikapnya sangat ramah dan bicaranya
beraturan, tapi kini mendadak suaranya berubah keras dan
tegas, sikapnya kereng dan gagah, sama sekali berbeda
daripada semula.
Melihat kedudukan Wi Kay-hou yang tidak
menguntungkan, tapi masih berani bicara dan berdebat
secara tajam terhadap Hui Pin, mau-tak-mau para hadirin
sama tagum kepada keberaniannya.
Hui Pin lantas berkata pula: "Jika demikian, jadi jalan
pertama jelas tak dapat ditempuh Wi- suheng, sudah pasti
kau tidak mau menumpas kejahatan dan membunuh
gembong iblis she Kik itu"
"Bila Coh-bengcu ada perintah lain, boleh silahkan Huisuheng
bertindak saja sekarang dan membunuhlah segenap
keluarga orang she Wi!" tantangWi K.ay-hou.
"Hm, tidak perlu mentang2 karena kehadirinnya para
pahlawan yang berada disini lalu kau kira Ngo-tay-lianbeng
kita tidak dapat membersihkan rumah tangga sendiri?'
jengek Hui Pin. Mendadak ia menggapai Su Ting-tat dan
berseru; "Kemari !"
Su ting-tat mengiakan dan melangkah maju. Panji
kebesaran pancawarna yang dipegang Su Ting-tat itu lantas
diambil Hui Pin terus diacungkan ke atas sambil berseru:
"Dengarkan Wi Kay-hou Atas perintah Coh-bengcu, jika
kau tidak sanggup membunuh Kik Yang dalam batas waktu
sebulan, maka terpaksa Ngo-tay-lian-beng harus segera
membersihkan rumah tangga sendiri agar tidak
menimbulkan bibit bencana di kemudian hari, babat rumput
sampai se-akar2nya tanpa kenal ampun, Nah hendaklah
kau pikirkan lagi untuk yang terakhir.!"
Wi Kay-bhu tersenyum pedih, jawabnya: "Orang she Wi
bersahabat dengan Kik-toako berdasarkan kecocokan hati
nurani masing2, tidak nanti kubunuh Kawan karib untuk
menyelamatkan dirinya sendiri. Kalau Coh-bengcu tetap
tidak dapat memaklumi keadaanku, orang she Wi cuma
sendirian, mana dapat kulawan Coh-bengcu. Say-koan
kalian memang sudah mengatur segala sesuatu sebelumnya,
bisa jadi peti mati bagi orang she Wi juga sudah kalian
sediakan. Maka mau tunggu apalagi, jika ingin turun
tangan boleh silakan saja."
Hui Pin lantas mengebaskan panjinya dan berseru
lantang: "Thian-bun Supek dari Yang-san-pay, Sau-susiok
dari Lam-han, Ting-yat Suthay dari Siong-san-pay serta
para saudara dari berbagai aliran dan golongan yang hadir
disini, Coh-bengcu telah memberi pesan bahwa selamanya
antara yang baik dan yang jahat tidak pernah berdiri
bersama, Mo-kau dan Ngo-tay-lian-beng kita selamanya
bermusuhan tanpa kenal kompromi. SekarangWi Kay-hou
dari Thay-san-pay sengaja bergaul dengan orang jahat,
berkomplot dengan musuh, setiap anak murid Ngo-tay-muipay
kita wajib menumpasnya bersama untuk ini, bagi siapa
saja yang tunduk kepada perintah ini dipersilakan berdiri
kesisi kiri!"
Yang pertama berdiri adalah Thian-bun Tojin, dengan
langkah lebar ia menuju kesisi kiri tanpa memandang Wi
Kay-hou.
Kiranya guru Thian-bun Tojin dahulu justeru ditewaskan
oleh seorang tertua Ma-kau, sebab itulah bencinya terhadap
Ma-kau boleh dikatakan merasuk tulang. Karena dia telah
mendahului berdiri kesisi kiri, dengan sendirinya
tindakannya diikuti oleh semua anak muridnya.
Menyusul Sau Ceng-hong lantas berbangkit, katanya:
"Wi-hiante, asalkan kau mengangguk, orang she Sau siap
membereskan Kik Yang itu bagimu. Kau bilang seorang
lelaki sejati tidak boleh mengkhianati kawan, memangnya
di dunia ini hanya Kik Yang saja yang menjadi kawanmu,
para pahlawan Ngo-tay-lian-beng kita ini bukan lagi
kawanmu. Coba pikir, beribu teman yang hadir disini
semuanya datang dari tempat jauh hanya untuk menghadiri
upacara Kim-bun-se-jiu yang kau lakukan, mereka ingin
memberi selamat kepadamu dengan hati yang tulus, apakah
tindakan mereka ini tak cukup akrab?
Biarpun orang she Kik itu ahli memetik kecapi dan sangat
mencocoki seleramu, tapi jiwa segenap anggota
keluargamu, persahabatan antara Ngo-tay-lian-beng kita,
persaudaraan para ksatria yang hadir ini, semua ini
digabung menjadi satu masakah tidak dapat membandingi
seorang Kik Yang?"
Wi Kay-hou menggeleng pelahan, katanya: "Sau-suheng,
engkau seorang terpelajar, tentunya kau tahu ada yang tidak
boleh dilakukan seorang lelakj sejati. Aku sangat berterima
kasih atas nasihatmu. Akan tetapi orang sengaja mendesak
agar kubunuh Kik Yang, hal ini sama sekali tidak boleh
kulukukan. Sama halnya bila ada orang memaksa kubunuh
Sau-heng atau mencelakai salah seorang kawan yang hadir
di sini. biarpun segenap anggota keluarga orang she Wi
akan menjadi korban juga tak nanti kutunduk kepala.
Bahwa Kik-toako adalah sahabat karibku, hal ini sudah
jelas dan tidak meragukan lagi, tapi Sau-heng kan juga
sahabat-baikku Apabila Kik-toako sampai bersuara ingin
mencelakai salah seorang kawanku dari Ngo-tay-lian-beng,
maka akupun akan memandang rendah kepribadiannya dan
takkan menganggap dia sebagai kawan lagi."
Ucapan yang jujur dan tulus ini membuat para ksatria
sama terharu, Maklumlah, orang persilatan paling
mengutamakan budi setia, kini Wi Kay-hou ternyata rela
berkorban segalanya demi persahabatannya dengan Kik
Yang, mau-tak-mau semua orang merasa gegetun-.
Tapi Sau Ceng-bong lantas menggeleng, katanya: "Wihiante,
ucapanmu ini tidaklah tepat. Bahwa Wi-hiante
mengutamakan budi setia kawan.ini dikagumi siapapun
juga. Tapi kau tidak dapat membedakan antara yang baik
dan jahat. tidak tahu benar dan salah, inilah kurang
bijaksana. Ma-kau terkenal jahat. sudah banyak kaum kita
yang menjadi korban keganasannya, tapi hanya karena
kecocokan dalam hal main musik lantas Wi-hiante
menyerahkan jiwanya segenap anggota keluarga
kepadanya, betapapun kau telah salah mengartikan budi
setia."
Wi Kay-hou tersenyum hambar, jawabnya: "Sau-toako,
lantaran engkau tidak suka kepada seni suara, maka engkau
tidak paham maksudku. Hendaklah kau maklum, kata2
atau tulisan masih dapat berdusta dan pura2, tapi suara
kecapi dan seruling adalah suara isi hati. sedikitpun tidak
dapat dipalsukan. Perbuatanku dengan Kik-toako didasari
oleh paduan suara kecapi dan seruling sehingga antara kami
sudah ada ikatan batin. Siaute rela menjamin dengan jiwa
segenap anggota keluargaku bahwa Kik-toako sama sekali
tidak berbau jahat seperti orang Mo-kau yang lain meski
Kik-toako sendiri adalah salah seorang gembong mereka."
Melihat keteguhan hati Wi Kay-hou, Sau Ceng-hong
tidak bicara lagi, ia menghela napas dan melangkah ke sisi
Thian-bun Tojin, anak murid Lam-han juga lantas
mengikuti jejak sang guru.
Ting-yat Suthay memandang Wi Kay-hou tajam2,
katanya kemudian: "Selanjutnya harus kusebut kau Wihiante
atau namamu saja?"
"Jiwaku sudah tinggal waktu sekejap saja, selanjutnya
Suthay takkan memanggil diriku lagi." ujar Wi Kay-hou
dengan tersenyum pahit.
"Omitohud!" sabda Ting-yat dengan menyesal, pelahan
iapun melangkah kesebelah Sau Ceng-hong dan diikuti
anak muridnya.
Segera Hui Pin berseru lantang pula: "Persoalan ini
adalah urusan Wi Kay-hou seorang dan tiada sangkut
pautnya dengan anak murid Thay-san-pay, asalkan tidaK
ikut menggabungkan diri kepada pihak pengkhianat, maka
semuanya disilakan berdiri kesebelah kiri."
Seketika suasana menjadi hening. Selang sejenak.
seorang lelaki muda berkata: "Wi-supek, maaf bila Tecu
bersalah."
Serentak ada 30-an murid Thay-san-pay berdiri kesisi kiri
yang ditunjuk, mereka adalah angkatan muda Thay-sanpay,
murid keponakan Wi Kay-hou. Tapi tokoh angkatan
tua Thay-san-pay serta anak murid ketuanya, yaitu Khim-lo
Bok Jong-siong, tiada seorangpun yang hadir.
Hui Pin lantas berteriak pula: "Murid keluarga Wi juga
disilakan berdiri kesebelah kiri "
Tapi Hiang Tay-lian lantas berseru lantang. "Kami
Sudah banyak menerima budi kebaikan perguruan,
sekarang Suhu ada kesulitan, betapapun kami wajib
membelanya. Setiap murid keluargaWi siap sehidup semati
bersama Suhu."
Bercucuran air mata Wi Kay-hou, ucapnya dengan
terharu: "Hebat sekali, kau. Tay-lian! Dengan kata2mu itu
sudah cukup tanggung jawabmu terhadap Suhu. Bolehlah
kalau berdiri kesebelah Sana' Suhu sendiri yang berbuat dan
tiada sangkut pautnya dengan kalian."
"Sret", mendadak Bi Oh-gi melolos pedang, serunya:
"Kerabat keluarga Wi sudah tentu bukan tandingan Ngotay-
lian-beng, urusan hari ini tiada jalan lain kecuali mati
saja. Tapi barang siapa yang ingin mencelakai guruku yang
berbudi, maka harus lebih dulu melangkahi mayatku."
Habis berkata ia terus berdiri tegak didepan sang guru. " f
"Hm, mutiara sebesar menir jUga memancarkan
cahaya?!" jengek Hui Pin, sekali tangan mengayun, "crit",
setitik sinar perak terus menyambar secepat kilat.
Wi Kay-hou terkejut.-cepat ia mendorong bahu kanan
Oh Bi-gi sehingga murid itu tertolak kesamping, dengan
sendirinya sinar perak itu lantas menyambar kedada Wi
Kay-hou sendiri.
Hiang Tay-peng terlalu bernapsu ingin melindungi sang
guru, tanpa pikir ia melompat maju, kontan terdengar dia
menjerit, jarum perak itu tepat masuk di ulu hatinya,
seketika ia terkapar
dan binasa.
Dengan tangan kanan Wi Kay-hou mengangkat tubuh
Hiang Tay-lian, setelah memeriksa pernapasannya yang
ternyata sudah berhenti, lalu ia berpaling dan berkata
kepada Ting Tiong: "Ting-loji, Say-koan kalian yang lebih
dulu membunuh muridku!"
"Betul, kami yang membunuh lehih dulu, habis mau
apa?" jaWab Ting Tiong ketus
Mendadak Wi Kay-hou angkat mayat Hiang Tay-lian,
sekuatnya terus dilemparkan kepada Ting
Tiong.
Melihat gerakan lawan, Ting Tiong tahu kelihayan
kungfu Thay-san-pay, tenaga lemparannya ini jelas tidak
boleh dibuat main2. Segera ia menghimpun tenaga, ia
bermaksud menangkap mayat itu untuk kemudian
dilemparkan kembali.
Tak tersangka gerakan Wi Kay-hou itu ternyata hanya
pura2 saja, tampaknya hendak dilemparkan ke depan, tapi
mendadak ia melompat kesamping mayat Hiang Tay-lian,
terus disodorkan ke depan Hui Pin.
Karena hal ini datangnya terlalu cepat dan tak ter-duga2,
terpaksa Hui Pin angkat tangannya di depan dada untuk
menahan sodokan mayat itu, Tapi pada saat itu juga tahu2
iga kanan lantas terasa kesemutan, teryata ia sudah kena
ditutukWi Kay-hou.
Setelah berhasil dengan serangannya, tangan kiri Wi
Kay-hou merampas Lengki yang dipegang Hui Pin, tangan
kanan melolos pedang dan mengancam di tenggorokan Hui
Pin dan membiarkan mayat Hiang Tay-lian jatuh ke lantai.
Beberapa gerakan dan kejadian ini sungguh berlangsung
dengan sangat cepat, ketika Hui Pin tertawan, panji
kebesaran terampas, habis itu barulah semua orang.
menyadari apa yang terjadi, Jelas yang digunakan Wi Kayhou
ini adalah kungfu khas Thay-san-pay, yaitu apa yang
disebut "Pek-pian-jian-hoan cap-sah-sik atau 13 gerakan
seratus perubahan dan seribu impian,"
Sudah lama orang mendengar kepandaian khas Thay
san-pay itu dan baru sekarang mereka menyaksikan dengan
mata kepala sendiri.
Konon ke-13 gerakan perubahan ajaib ini diciptakan oleh
tokoh Thay-san-pay angkatan yang lalu, tokoh ini hidup
dari main sulap dan berkeliling di dunia Kangouw
Permainan sulap umumnya mengutamakan kecepatan dan
tipuan, suara di timur yang terjadi di barat, tujuannya untuk
mengelabui mata telinga penonton.
Tokoh Thay-san-pay itu konon berwatak kocak, makin
tua makin tinggi ilmu silatnya, kepandaiannya main sulap
juga bertambah ajaib. Akhirnya ia melebur gerakan sulap ke
dalam ilmu silatnya dan dari ilmu silatnya disalurkan
kedalam permainan sulap, suddh tentu peleburan ini
semakin menambah ragam pertunjukannya yang menarik.
Karena bagusnya, akhirnya ilmu silatnya yang
bercampur dengan ilmu sulap itu menjadi salah satu
kepandaian khas Thay-san-pay.
WdaakWi Kay-hou biasanya pendiam dan tidak banyak
tingkah, ilmu yang berhasil dipelajarinya dari perguruan itu
selama ini belum pernah digunakannya, sekarang dalam
keadaan kepepet dikeluarkannya dan ternyata berhasil
dengan baik sehingga tokoh Say-koan yang termashur
seperti Tay-jiu-in Hui Pin ini dapat dibekuknya.
Begitulah dengan tangan kanan mengangkat panji
pancawarna dan pedang di tangan lain melintang di leher
Hui Pin, dengan suara berat ia seru: "Ting-suheng dan Lioksuheng,
maafkan jika terpaksa kurampas Leng-ki yang kita
hormati ini, maksudku juga tidak berani memeras kalian,
aku cuma ingin mohon jasa baik saja dari kalian."
Ting tiong saling pandang sekejap dengan Liok Pek,
keduanya sama berpikir: "Hui-sute berada dalam
cengkeramannya. terpaksa harus mendengarkan apa
kehendaknya."
"Minta jasa baik apa?" tanya Ting Tiong.
"Mohon kalian suka menyampaikan permintaanku agar
keluarga Wi diperbolehkan mengasingkan diri, selanjutnya
tidak ikut campur apa pun di dunia persilatan. Seterusnya
akupun tidak akan bertemu pula dengan Kik-toako, dengan
para Su-heng dan kawan2 juga mulai sekarang kita
berpisah. Wi Kay-hou membawa keluarga dan muridnya
berangkat ke tempat yang jauh seumur hidupnya takkan
menginjak tanah Tionggoan lagi."'
Ting Tiong ragu2, katanya kemudian: "Urusan ini aku
dan Liok-sute tidak dapat memberi keputusan dan harus
dilaporkan kepada Coh-suko serta minta pertimbangannya."
Di sini terdapat ketua Yan-san dan Lam-han, dari Siongsay-
pay juga hadir Ting-yat Suthay, selain itu para ksatria
yang hadir juga dapat menjadi saksi," sampai di sini Wi
Kay-hou menyapu pandang sekeliling ruangan, lalu
menyambung: "Sekarang orang she Wi mohon para kawan
sudi memberi dukungan, supaya aku tetap
mempertahankan budi setia terhadap kawan, sekaligus juga
menyelamatkan jiwa anak muridku."
Ting-yat Suthay adalah wanita yang keras diluar dan
lunak di dalam, meski perangainya pemberang, tapi hatinya
welas-asih, dia yang per-tama2 buka suara: "Cara begini
memang sangat baik, supaya tidak menimbulkan cekcok
antara kita. Ting-suheng dan Liok-suheng, boleh kita terima
permintaan Wi-hiante ini. Jika dia sudah berjanji takkan
bergaul lagi dengan orang Ma-kau dan akan jauh
meninggalkan Tionggoan, ini sama seperti di dunia ini tiada
seorangWi Kay-hou lagi, untuk apa pula kita mesti banyak
membunuh orang yang tak berdosa?"
"Ya. cara ini memang cukup bagus, entah bagaimana
pendapat Sau-hiante?" tukas Thian-bun Tojin.
"Wi-hiante adalah orang yang bisa pegang janji, jika ia
sudah omong begitu, kita percaya kepadanya." ujar Sau
Ceng-hong, "Marilah, mari, dari lawan biarlah kita menjadi
kawan saja, Wi-hiante, boleh kau lepaskan Hui-hiante,
marilah kita minum ber-sama2 satu cawan arak
perdamaian, besok pagi2 boleh kau bawa muridmu dan
meninggalkan kota Cujoan ini."
Namun Liok Pek lantas menanggapi; "Kalau ketua Yansan-
pay dan Lam-han sudah omong begitu. Ting-yat Suthay
lebih2 menyokong kehendak Wi Kay-hou itu, mana kami
berani berlawanan dengan pikiran orang banyak. Cuma,
saat ini Hui-sute dari Say-koan berada dalam cengkeraman
Wi Kay-hou, jika kami menerima permintaan begini saja,
kelak orang Kangouw pasti akan bilang Say-koan berada di
bawah ancaman Wi Kay-hou dan terpaksa harus tunduk
dan mengaku kalah. Bila cerita ini tersiar, lalu kemana
muka Say-koan akan ditaruh?"
"Maksud Wi-hiante ialah minta ampun kepada Say-koan
dan bukan memaksa dan memeras. darimana bisa
dikatakan Say-koan terpaksa tunduk dan menyerah?" tukas
Ting-yat Suthay.
Tapi Liok Pek lantas mendeogus. serunya- "Tik Siu,
siap!"
Murid Say-koan yang berdiri di belakang putera sulung
Wi Kay-hou lantas mengiakan. pedang yang dipegangnyn
terus mengancam di punggungWi-kongcu.
Dengan kereng Liok Pek lantas berkata: "Wi Kay-hou,
jika kau ingin minta ampun, hendaklah ikut kami ke Saykoan
untuk menemui Coh-bengcu dan mohon ampun
langsung kepada beliau, kami hanya pelaksana tugas
menurut perintah saja dan tak berwenang memutuskan
sesuatu, hendaklah segera kau serahkan kembali Lengki
yang kau rampas itu serta melepaskan Hui-sute!"
Wi Kay-hou tersenyum pedih, tanyanya kepada
puteranya: "Nak, kau takut mati atau tidak?"'
Dengan tegas anak itu menjawab: "Anak turut kepada
perkataan ayah, anak tidak gentar!"
"Bagus, anak bagus!" kataWi Kay hou.
Segera Liok Pek membentak: "Bunuh!"
Kontan pedang Tik Siu ditolak ke depan dan menembus
jantung Wi-kongcu dari belakang, waktu pedang dicabut,
seketikaWi-kongcu jatuh tersungkur bermandikan darah.
Wi hujin (nyonya Wi) menjerit dan menubruk mayat
anaknya.
Kembali Liok Pek membentak: "Bunuh lagi!
Pedang Tik Siu bekerja pula dan kembali menembus
punggungWi-hujin
Ting yat Suthay menjadi gusar, tanpa bicara ia hantam
Tik Siu sambil mendamperat: "Binatang kau!"
Tapi Ting Tiong keburu melompat maju dan menyambut
pukulan Ting yat itu. "Plak" kedua tangan beradu, tenaga
pukulan Ting-yat kalah kuat, ia tergetar mundur dua tiga
langkah, dada terasa sesak, darah bergolak dan hampir
tertumpah, tapi sekuatnya ia telan kembali darah yang
sudah hampir tersembur itu.
Ting Tiong tersenyum, katanya: "Maaf!"
Kiranya Ting yat Suthay bukan ahli dalam ilmu pukulan,
apalagi pukulannya tadi ditujukan kepada Tik Siu, serangan
seorang tua terhadap orang muda, tidak digunakannya
sepenuh tenaga. Tak disangkanya mendadak Ting Tiong
turun tangan sepenuh tenaga, ketika merasa adu pukulan
tak dapat dihindarkan, namun sudah terlambat bagi Tingyat
untuk mengerahkan tenaga. tahu2 tenaga pukulan Ting
Tiong sudah membanjir tiba.
Begitulah Ting-yat Suthay telah terluka dalam dan
hampir tumpah darah, dengan gusar ia lantas memberi
tanda kepada anak muridnya dan berseru: "Kita pergi!" —
segera ia melangkah keluar dan diikuti oleh para Nikoh.
"Bunuh lagi! " terdengar Liok Pek memberi aba2 pula.
Serentak dua murid Say-koan mengayun pedangnya dan
dua murid keluarga Wi terkapar binasa pula.
"Dengarkan para murid keluarga Wi " demikian Liok Pek
berseru, "jika kalian ingin hidup, lekas kalian berlutut dan
minta ampun, kalian harus menyatakan Wi Kay-hou
bersalah. dengan demikian kalian akan terhindar dari
kematian."
Wi Jing, puteri Wi Kay-hou. dengan murka
mendamperat: ''Bangsat, Say-koan kalian jauh lebih jahat
dan keji daripada Ma-kau!"
Segera Ban Tay-peng menabas dengan pedangnya,
kontan Wi Jing terbelah menjadi dua dari bahu kanan
hingga ke pinggang kiri. Su Ting-tat dan murid Say-koan
lain juga bertindak, beberapa murid keluarga Wi yang
sudah tertutuk Hiat-tonya segera dibunuh pula.
Meski para Kastria yang hadir di ruangan ini sebagian
besar sudah berpengalaman tempur, tapi menyaksikan
pembunuhan secara kejam begini, tidak urung banyak yang
merasa ngeri.
Ada juga sebagian orang tua ingin bersuara mencegah,
tapi tindakan pihak Say-koan sesungguhnya teramat cepat,
baru ragu sejenak, tahu2 mayat sudah bergelimpangan
memenuhi ruangan. Apalagi mereka pikir meski tindakan
Say-keon ini terasa agak kejam, namun selanjutnya adalah
demi menghadapi Mo-kau dan bukan soal menuntut balas
terhadap pribadiWi Kay-hou.
Selain itu Say-koan sekarang sudah mengatasi keadaan,
sampai tokoh termashur seperti Ting-yat Suthay juga
terpaksa harus tinggal pergi, tokoh2 lain seperti Thian-bun
Tojin, Sau Ceng-hong dan lain2 juga diam saja, padahal
persoalan ini menyangkut urusan Ngo-tay-lian-beng sendiri,
orang luar menjadi tidak enak ikut campur, daripada
mencari penyakit, lebih baik mencari selamat sendiri saja.
Begitulah dalam pada itu anak murid keluargaWi sudah
habis terbunah semua. yang tertingal hanya putera
kesayangan Wi Kay-hou yang terkecil, namanyaWi Kin.
Anak ini baru berumur 11 tahun, cakap dan pintar.
Agaknya sebelumnya Liok Pek sudah menyelidiki dengan
jelas bahwa Wi Kay-hou sangat sayang kepada putera
bungsu ini, sekarang anak ini hendak diperalatnya untuk
menundukkan Wi Kay-hou, segera ia berkata kepada Su
Ting-tat: "Coba tanya bocah ini, mau minta ampun atau
tidak. Kalau tidak, potong dulu hidungnya, lalu iris daun
telinganya, kemudian cungkil biji matanya, biar dia rasakan
betapa sakitnya."
Su Ting-tat mengiakan, lalu ia berpaling dan tanya Wi
Kin: "Nah, kau minta ampun atau tidak?"
MukaWi Kin tampak pucat pasi dan badan gemetar
"Anak yang baik," seru Wi Kay-hou "Kakakmu telah
mati dengan gagah berani, mati biar mati, kenapa mesti
takut?"
"Akan tetapi. . . akan tetapi mereka hendak. . . hendak
memotong hidungku dan. ....dan mencungkil mataku. . . ."
"Hahaha! Dalam keadaan begini memangnya kau masih
berharap mereka akan melepaskan kita?" seru Wi Kay-hou
dengan terbahak.
"Tapi. . .tapi ayah, engkau ber. .. . berjanji saja akan. . .
.akan membunuh Kik-pepek dan. . . ."
"Binatang, apa katanya?" bentak Kay-hou dengan gusar.
Su Ting-tat sengaja angkat pedangnya dan dinaik
turunkan didepan hidung Wi Kin, katanya: "Anak kecil,
jika kau tidak berlutut dan minta ampun, segera kupotong
hidungmu. Nah, satu. ...dua. . ."
Belum lagi "tiga" diucapkan, cepat Wi Kin bertekuk lutut
di lantai dan memohon: "Jang. . .Jangan. . ."
"Bagus, akan kuampuni kematianmu, tapi kau harus
menyatakan kesalahan Wi Kay-hou didepan para kestria
yang hadir disini," seru Liok Pek dengan tertawa.
Wi Kin memandang sang ayah, sorot matanya penuh
rasa memelas dan memohon.
Sejak tadiWi Kay-hou sangat tenang meski menyaksikan
kematian anak-isterinya terbunuh secara kejam, tapi
sekarang ia benar2 tak dapat menahan rasa murkanya, ia
membentak: "Binatang kecil, apakah kau tidak merasa
berdosa terhadap ibumu?"
Tapi Wi Kin menyaksikan ibu dan kakak2nya
menggeletak bermandikan darah, pedang Su Ting-tat juga
terus mengancam didepan hidungnya, ia menjadi ketakutan
dan berkata kepada Liok Pek: "Mohon. . .mohon engkau
suka. . . .suka mengampuni ayahku."
"Ayahmu berkomplot dengan penjahat dari Ma-kau,
menurut kau tindakannya salah atau tidak?" tanya Liok
Pek.
"Ya, sa .. . .salah!" jawab Wi Kin dengan suara hampir
tidak terdengar.
"Orang begini pantas dibunuh atau tidak?" tanya Liok
Pek pula.
Wi Kin menunduk dan tidak berani menjawab.
"Bocah ini tidak mau bicara, bunuh saja dia!" seru Liok
Pek.
Su Ting-tat mengiakan. Ia tahu ucapan Liok Pek hanya
untuk menggertak saja, maka iapun angkat pedang dan
berlagak hendak menabas.
Wi Kin menjadi takut, cepat ia bersuara: ”Ya, pan. . .
pantas dibunuh!"
"Bagus!" seru Liok Pek sambil berkeplok. "Selanjutnya
kau bukan orang Thay-san-pay lagi dan juga bukan putera
Wi Kay-hou, kuampuni jiwamu!"
Saking ketakutan, kaki Wi Kin serasa lemas sehingga
tidak sanggup berdiri.
Melihat kepengecutan anak itu, para ksatria sama merasa
malu baginya, bahkan ada yang merasa muak dan berpaling
ke arah lain.
Wi Kay-hou menghela napas panjang, katanya
kemudian: "Orang she Liok, kau yang menang," —
Mendadak panji rampasannya dilemparkan kearahnya,
berbareng sebelah kakinya mendepak Hui Pin hingga
terjungkal, lalu teriaknya dengan lantang: "Orang she Wi
sudah kalah dan runtuh habis-habisan, rasanya akupun
tidak perlu banyak menimbulkan korban."
Mendadak ia palangkan pedang terus hendak menggorok
leher sendiri.
Pada detik paling gawat itulah se-konyong2 dari atas
emper rumah sana melayang turun sesosok bayangan
hitam, dengan gerakan secepat kilat tangan orang itu lantas
meraih pergelangan tangan Wi Kay-hou sambil
membentak: "Lelaki menuntut balas, sepuluh tahun lagi
juga belum terlambat. Hayo pergi!"
Sambil bicara, ia seret Wi Kay-hou terus diajak berlari
keluar secepat terbang.
"Kik-toako, kau ..." seru Kay-hou.
"Tidak perlu banyak bicara!" jawab orang itu. Kiranya
dia inilah gembongMa-kau, Kik Yang adanya.
Segera ia percepat langkahnya, Tapi baru beberapa
langkah, Ting Tiong. Liok Pek dan Hui Pin bertiga serentak
menghantam punggung mereka.
Kik Yang menyadari di tempat ini hadir jago2 kosen
yang tak terhitung jumlahnya, setiap orang juga musuh
bebuyutan Ma-kau, jika sampai terlibat dalim pertarungan
tentu sukar untuk meloloskan diri.
Segera ia berseru kepadaWi Kay-hou: "Lari!"
Sekuatnya ia tolak punggung Kay-hou hingga melayang
lebih cepat kedepan, berbareng itu ia himpun segenap
tenaganya pada punggungnya, ia terima mentah2 pukulan
tiga jago Say-koan itu.
"Blang", Kik Yang juga mencelat keluar. Sekalipun ilmu
silatnya sangat tinggi, tapi betapa hebat tenaga pukulan
gabungan tiga tokoh utama Say-koan, kontan Kik Yang
tumpah darah Namun begitu ia sempat mengayun
tangannya kebelakang, segerombol jarum hitam lantas
bertebaran sebagai hujan.
Cepat Ting Tiong berteriak: "Hek-hiat-sin-ciam, cepat
menghindar!"
Buru2 ia melompat kesamping. Sedangkan para ksatria
menjadi kaget demi mendengar nama Hek-hiat-sin-ciam
atau jarum sakti darah hitam dariMo-kau ini, cepat mereka
berusaha berkelit dan mengegos, saking banyaknya orang
terjadilah tumbuk menumbuk, suasana menjadi kacau.
Sekalipun begitu, terdengar juga jeritan belasan orang.
"Aduh!. . .Celaka!"
Lantaran terlalu berjubel, hamburan jarum berbisa
itupun sangat banyak dan cepat. Akhirnya berpuluh orang
termakan juga oleh jarum itu.
Di tengah suara hiruk-pikuk, Kik Yang dan Wi Kay-hou
sudah kabur jauh.
= oOdOwOo =
Jilid 20
Kembali bercerita tenang Sau Peng-lam. Setelah sadar
dan melihat semangka, tanpa pikir semangka diraihnya
terus dimakan. Ia tidak tahu bahwa sudah sekian lama Gilim
menunggunya sadar untuk makan bersama meski
Nikoh jelita itu sendiri sebenarnya sangat kelaparan.
Melihat Peng-lam makan semangka dengan lahapnya,
dengan tertawa Gi-lim berkata: "Dalam mimpipun sering
kau sebut nama seorang, siapakah si dia itu?"
"Ah masa?" jawab Peng-lam dengan meleagak.
"Memangnya kau kira aku berdusta? Coba jawab.
siapakah orang yang bernama Leng Hiang itu?"
"Oo. dia Sumoayku, usianya sebaya dengan kau."
"Kau sangat menyukai dia bukan?"
"Selain Sumoayku, dia juga keponakan ibu guruku.
dengan sendirinya kusuka padanya Di Soh-hok-han, jika
iseng tentu dia mencariku untuk mengajak bermain, karena
dia cocok bermain denganku, aku menjadi tambah suka
padanya."
Seketika kecut rasa hati Gi-lim, ia menunduk dan tidak
bicara lagi, ia sendiri tidak tahu mengapa pikirannya bisa
begitu.
Luka Peng-lam cukup parah, tapi berkat obat luka Siongsan-
pay yang mujarab yang dibubuhkan di luar dan
diminum, ditambah lagi dia masih muda dan kuat,
Lwekangnya juga cukap sempurna, setelah tidur selama dua
hari semalam ditepi air terjun itu, kini lukanya sudah rapat,
sebab itulah begitu sadar kembali lantas sehat seperti tidak
pernah terjadi apapun.
Seharian ini mereka cuma makan semangka dengan
sendirinya tak bisa kenyang, padahal Peng-lam belum dapat
melakukan sesuatu gerakan keras meski tampaknya sudah
sehat. Ia minta Gi-lim berburu kelinci atau menangkap
ikan. Tapi apapun Gi-lim tidak mau, ia bilang dapatnya
Peng-lam lolos dari maut adalah berkat perlindungan
Buddha, untuk bayar kaul, paling baik anak muda itu
jangan makan daging selama setahun sebagai tanda terima
kasih kepada sang Buddha, kalau dia disuruh membunuh
makhluk berjiwa yang menjadi pantangan agamanya,
betapapun dia tidak mau.
Peng-lam mentertawakan jalan pikiran Gi-lim yang kekanak2an
itu, tapi iapun tak dapat memaksanya.
Malamnya, kedua orang duduk bersandar di dinding
tebing dan memandangi udara yang penuh dengan bintik2
terang, yaitu kunang2 yang tak terhitung banyaknya.
Kata Peng-lam: "Musim panas tahun yang lalu pernah
kutangkap be-ribu2 kunang2, kumasukkan dalam beberapa
buah kantung tipis dan kugantung di dalam kamar, sungguh
sangat menarik."
"Tentunya Sumoaymu yang minta kau menangkapi
kunang2 itu bukan?" tanya Gi-lim.
"Hm, kau sangat pintar, tepat benar tebakanmu.
Darimana kau tahu Sumoayku yang minta kutangkapkan
kunang2 baginya?"
"Habis watakmu tidak sabaran, kau pun bukan anak
kecil, mana kau telaten menangkap beribu kunang2, tentu
karena permintaan Sumoaymu," setelah berhenti sejenak,
lalu Gi-lim tanya pula: "Kemudian bagaimana kunang2 itu
kau gantung dalam kamar?''
"Sumoay mengambilnya dan digantung di dalam
kelambu, dia bilang langit kelambu akan gemerlapan seperti
beratus ribu bintang2 dilangit dan dia pun seperti tidur di
tengah awang2, bila membuka mata, sekelilingnya hanya
bintang2 belaka."
"Sumoaymu memang suka bermain, untung juga dia
mempunyai Suko seperti kau, jika dia menginginkan
bintang2 dilangit, mungkin juga akan kau tangkapkan
baginya."
"Asal mula menangkap kunang2 memang lantaran kami
bicara tentang bintang2 dilangit," tutur Peng-lam dengan
tertawa. "Malam itu kami berduduk mencari angin diluar
dan memandangi bintang2 yang bertaburan dilangit. Tiba2
Sumoay menghela napas dan menyatakan sayang sebentar
lagi harus pergi tidur, alangkah terangnya bilamana dapat
tidur diudara terbuka, begitu membuka mata lantas melihat
bintang2 dilangit se-akan2 sedang berkedip padanya.
Karena pikiran Sumoay itu, aku lantas mengusulkan
menangkap kunang2 saja dan ditaruh didalam kelambunya,
keadaannya akan serupa dengan bintang2 yang bertaburan
dilangit."
"O, kiranya kau yang mengusulkannya," kata Gi-lim.
"Ya, tapi Sumoay bilang kunang2 itu akan terbang kian
kemari dan merambati tubuhnya. Tiba2 ia mengusulkan
akan menjahit beberapa kantungan sutera tipis untuk wadah
kunang2. Dan begitulah dia lantas membuat kantungan dan
aku sibuk menangkap kunang2. Cuma sayang, kunang2 itu
hanya tahan hidup semalam, besoknya semua kunang2 itu
mati seluruhnya."
"Hah, be-ribu2 kunang2 itu telah mati akibat ulah kalian?
Ai, mengapa .... mengapa kalian begitu. . . ."
”Maksudmu kami kejam bukan?" tanya Peng-lam
dengan tertawa. "Ai, sebagai murid Buddha hatimu
memang welas-asih. Padahal kalau tidak ditangkap kami,
bila musim dingin tiba, kunang2 itu tetap akan mati beku.
Mati cepat atau mati lambat kan sama saja?"'
Gi-lim ter-mangu2 sejenak, katanya kemudian dengan
hambar: "Ya, hidup manusia di dunia ini memang juga
begitu, Ada yang mati lebih cepat, ada yang mati lebih
lambat, cepat atau lambat akhirnya akan mati juga.
Menurut sang Buddha, setiap orang tak terhindar dari
penderitaan lahir, tua sakit dan mati. Untuk membebaskan
diri dari sengsara memang tiduklah mudah."
"Betul, makanya untuk apa kau selalu bicara tentang
peraturan dan pantangan segala, jangan membunuh, tidak
boleh mencuri dan entah apa lagi. Jika sang Buddha harus
mengurusi setiap persoalan, wah. beliau bisa kerepotan."
Gi-lim terdiam dan entah apa yang harus dibicarakan.
Pada saat itulah, se-konyong2 di udara sebelah kiri sana
sebuah bintang pindah meluncur membelah angkasa.
"Menurut Gi-ceng Suci," kata Gi-lim, "apabila melihat
bintang pindah tempat, jika ujung baju cepat2 diberi satu
ikatan, berbareng itu dalam hati menyatakan sesuatu
angan2, asalkan ikatan ujung baju diselesaikan sebelum
lenyapnya bintang pindah dan angan2 juga sudah terpikir,
maka angan2 itu kelak akan terkabul. Menurut kau,
ceritanya itu betul atau tidak?"
"Entah, aku tidak tahu, tapi boleh juga kita mencobanya,
cuma tangan kita mungkin tidak secepat itu," kata Peng-lam
dengan tertawa sambil memegang ujung baju, lalu
sambungnya pula: "Hayolah, kau pun siap, bila terlambat
sedetik saja mungkin akan gagal."
Gi-lim siap memegang ujung bajunya dan memandang
langit dengan termenung.
Malam di musim panas memang banyak meteorit, tiba2
sebuah meteor tampak meluncur membelah angkasa, cuma
meteor ini dalam sekejap saja lantas lenyap, jari Gi-lim baru
bergerak dan meteor itupun sudah hilang.
Ia bersuara kecewa, terpaksa ia menunggu lagi.
Tiba2 ada lagi meteor yang meluncur dari barat ke timur
dengan jarak yang panjang, gerak tangan Gi-lim sangat
cepat, berhasil juga dia membuat satu ikatan pada ujung
bajunya.
"Aha, bagus, bagus, kau berhasil!" seru Peng-lam girang
"Thian maha pengasih, tentu cita2mu akan terkabul "
Gi-lim menghela napas, katanya: "Tapi yang kupikirkan
hanya membuat ikatan pada ujung baju ini. seketika belum
sempat memikirkan sesuatu angan2."
"Jika begitu harus kau siapkan dulu angan2-mu, apalkan
dulu agar nanti tidak lupa lagi," ujar Peng-lam dengan
tertawa.
Sambi! memegangi ujung bejunya Gi-lim ter-menung
lag!, pikirnya. "Apa angan2ku? Apa yang harus
kupikirkan?"
Dia pandang Peng-lam sekejap, mendadak pipinya
bersemu merah den cepat melengos ke arah lain.
Dalam pada itu di angkasa ber-turut2 meluncur lewat
beberapa meteor. Peng-lam ber-teriak2 dan mendesak: "Itu
dia ada satu! He, panjang amat ekor bintang itu! Eh, kau
berhasil membuat ikatan tidak? Terlambat lagi bukan?"
Tapi pikiran Gi-lim terasa kusut, dalam lubuk hatinya
lamat2 memang terkandung suatu harapannya, tapi
harapan itu tak berani dibayangkannya, apalagi memohon
kepada Thian yang maha pengasih. Seketika ia merasa
takut, tapi juga terasa senang tak terperikan.
Didengarnya Peng-lam lagi bertanya; "He, Sudah Kau
pikirkan belum cita2mu? Hanya satu cita2 saja, lebih dari
itu takkan manjur."
Gi-lim tetap diam saja, ia merasa bingung cita2 apa yang
harus dikemukakan? Ia menengadah memandang langit
dengan kesima.
"He, kenapa kau tidak bicara?" seru Peng-lam pula. "Jika
kau tidak mau omong, biarlah kuterka saja isi hatimu!"
"Tidak, tidak. jangan!" seru Gi-lim.
"Memangnya kenapa? Akan kutebak tiga kali, coba jitu
atau tidak?" ujar Peng-lam dengan tertawa.
Gi-lim berbangkit, katanya: ”Jangan, jika kau katakan,
segera kupergi."
Peng-lam ter-bahak2, katanya; "Baik, baik, takkan
kukatakan Seumpama kau berhasrat menjadi ketua Siongsan-
pay kan juga tidak perlu merasa malu?"
Gi-lim melengak, pikirnya: "Masa dia cuma menerka aku
ingin menjadi ketua Siong-san-pay? Padahal.. . .padahal hal
ini tak pernah kupikirkan. . . ."
Pada saat itulah dari kejauhan tiba2 berkumandang suara
"creng-creng" yang nyaring, suara orang memetik kecapi.
Peng-lam saling pandang sekejap dengan Gi-lim, mereka
sama merasa heran mengapa di pegunungan sunyi ini ada
orang memetik kecapi?
Tapi suara kecapi itu sangat merdu dan nyaring, sekejap
pula terdengar suara seruling yang halus teriring ditengah
suara kecapi itu. Paduan suara kedua macam alat musik itu
terdengar sangat halus dan menggetar sukma.
Suara kecapi dan seruling itu se-olah2 sahut menyahut,
berbareng itu pelahan2 juga makin mendekat.
Peng-lam membisiki Gi-lim: "Aneh sekali suara musik
ini, mungkin tidak menguntungkan kita. Sebentar biar
apapun yang terjadi hendaklah jangan bersuara."
Gi-lim mengangguk.
Suara kecapi tadi terdengar mulai meninggi, sebaliknya
nada suara seruling semakin rendah, namun biarpun suara
seruling semakin rendah tidak berarti putus atau berhenti,
suara seruling masih terus berkumandang terbawa angin
dan mengalun merdu dengan irama yang mengharukan.
Tiba2 dari balik batu padas sana muncul tiga sosok
bayangan orang. Waktu itu rembulan kebetulan ter-aling2
oleh gunung sehingga keadaan menjadi remang2, tertampak
ketiga orang itu yang dua tinggi dan yang satu pendek, yang
tinggi adalah dua lelaki dan yang pendek ialah perempuan.
Kedua lelaki itu lantas mencari tempat duduk di atas
batu, yang satu memetik kecapi dan yang lain meniup
seruling, yang perempuan cuma berdiri saja disamping
pemetik kecapi.
Pelahan Peng-lam menarik kepalanya kebelakang
dinding batu dan tidak berani mengintip lagi, agaknya
kuatir dipergoki kedua orang itu.
Sementara itu irama seruling terdengar sangat lembut
dan merdu.
Diam2 Peng-lam berpikir: "Air terjun itu terletak di
sebelah Sana, gemerjuk air yang keras itu ternyata tidak
dapat menutupi suara kecapi dan seruling yang halus,
tampaknya Lwekang kedua orang ini tidaklah cetek."
"Creng-creng", tiba suara kecapi menimbulkan suara
keras, suara yang berhasrat membunuh. Suara kecapi yang
mendadak melengking tajam ini membuat hatinya
terkesiap, namun suara seruling tadi masih tetap mengalun
merdu dan halus.
Selang sejenak, irama kecapi mulai berubah halus juga
mengikuti irama seruling, kedua suara alat musik itu
sebentar meninggi dan lain saat merendah, se-konyong2
suara kecapi dan seruling berubah keras, seketika seperti
beberapa seruling dan beberapa kecapi berpadu suara
sekaligus.
Peng-lam sangat heran mengapa bisa datang orang
sebanyak ini?
Waktu ia mengingip pula kesana, ternyata di situ masih
tetap berduduk dua orang dan seorang lagi berdiri
menunggu.
Kiranya kedua pemain seruling dan kecapi itu benar2
sangat mahir sehingga se-olah2 dua orang bisa berubah
menjadi empat orang dan empat berubah menjadi delapan.
Hanya sebuah alat tetabuhan bisa menimbulkan berbagai
suara alat musik yang berbeda.
Darah Peng-lam serasa bergolak dan hampir saja ia tidak
tahan dan ingin berdiri, mendadak suara teruling dan kecapi
berubah lagi, sekarang suara seruling berubah menjadi
irama pokok dan suara kecapi hanya sebagai suara
pengiring saja. Akan tetapi suara kecapi juga semakin tinggi
nadanya.
Secara tidak tahu apa sebabnya hati Peng-lam terasa
pedih, waktu ia berpaling, dilihatnya Gi-lim sudah
mengucurkan air mata.
Se-konyong2 terdengar suara mendering, senar kecapi
putus beberapa jalur, seketika suara kecapi berhenti, segera
pula seruling juga berhenti bersuara.
Seketika suasana menjadi bening, hanya kelihatan sang
dewi malam menghias angkasa dan bayangan pohon di
tanah
"Wi-hiante," demikian terdengar seorang bicara dengan
pelahan, "agaknya sudah takdir bahwa hari ini kita harus
mati disini. Yang harus kusesalkan adalah tadi kakak tidak
lebih cepat turun tangan sehingga mengakibatkan
keluargamu menjadi korban kaum pengganas, sungguh hati
kakak merasa sangat tidak enak."
Lalu terdengar seorang lagi berkata: "Kita cukup paham
perasaan masing2, untuk apa omong ha|2 ini . . ."
Dari suaranya segera Gi-lim tahu siapa pembicara kedua
ini, segera ia membisiki Sau Peng-lam: " Itulah Wi Kayhou,
Wi-iusiok."
Mengenai peristiwa yang berlangsung dikediaman Wi
Kay-hou, sudah tentu Gi-lim dan Sau Peng-lam tidak tahu
menahu, sekarang melihat Wi Kay-hou muncul di
pegunungan sunyi ini, seorang lagi bicara tentang "kita
sudah ditakdirkan mati disini segala serta segenap anggota
keluargamu telah menjadi korban kaum pengganas",
seketika mereka dibuat tercengang.
Terdengar Wi Kay-hou berkata lagi: "Orang hidup tidak
lebih beruntung daripada mati, asalkan mendapatkan teman
karib, biarpun mati aku tidak menyesal."
Seorang lagi menanggapi: "Wi-hiante, dari nada
serulingmu rasanya kau masih menyesalkan sesuatu,
jangan2 karena puteramu si Wi Kin yang takut mati pada
saat berbahaya itu kau anggap telah menodai nama
baikmu."
Wi Kay-hou menghela napas panjang, jawabnya:
"Dugaan Kik-toako memang betul. Se-hari2 terlalu
kumanjakan anak itu dan kurang memberi pelajaran, tak
tersangka anak itu sedemikian pengecut."
Yang dipanggil Kik-toako itu memang betul Kik Yang
adanya. gembong Mo-kau yang menjadi gara2 itu.
Terdengar ia berkata: "Pengecut atau tidak, paling2
seratus tahun dan semuanya akan pulang kedalam tanah,
apa bedanya? Yang salah ialah diriku. Sudah lama
kusembunyi diatas rumah, seharusnya kuturun tangan lebih
dini, kukiraWi-hiante tidak ingin bermusuhan dengan Ngotay-
lian-beng hanya lantaran diriku, sebab itulah aku ragu2
untuk turun tangan. Siapa tahu ketua lima besar kalian itu
tega bertindak sedemikian keji dan ganas."
Wi Kay-hou termenung sejenak, ia menghela napas
panjang, lalu berkata: "Orang2 awam macam mereka itu
mana tahu keluhuran persahabatan kita melalui seni musik
ini? Mereka suka mengukur orang lain dengan bajunya
sendiri, dengan sendirinya mereka menyangka hubungan
kita ini akan merugikan Ngo-tay-lian-beng dan kaum
pendekar. Ai, memangnya juga tak dapat menyalahkan
mereka bilamana mereka memang tidak paham. Kik-toako,
Tay-cuy-hiat dipunggungmu terluka parah dan
mengguncang urat nadi jantung bukan?"
"Ya, Tay jiu-in tokoh Say-koan memang lihay, tak
tersangka waktu kusambut pukulan dahsyat itu dengan
punggungku, karena kerasnya tenaga pukulan musuh juga
menggetar putus urat nadi jantungku," ujar Kik Yang
"Apabila sebelumnya kutahu Hiante juga sukar terhindar
dari elmaut ini, secomot Hek hiat-sin-ciam itu kukira tidak
perlu kuhamburkan sehingaa banyak menimbulkan korban
orang yang tak berdosa, toh tiada gunanya bagi
persoalannya."
Tergetar hati Peng-lam mendengar nama "Hek-hiat-sinciam"
atau jarum sakti darah hitam, pikirnya: "Apakah
mungkin orang ini adalah tokoh Ma-kau? Cara bagaimana
pulaWi-susiok bisa bersahabat dengan dia?"
TerdengarWi Kay-hou tertawa, katanya; "Menimbulkan
korban orang tak berdosa memang betul harus disesalkan.
Tapi lantaran itu kita dapat pula memainkan bersama satu
lagu, selanjutnya di dunia ini tiada lagi paduan suara kecapi
dan seruling seperti kita ini."
Kik Yang menghela napas, katanya: "Memang betul,
sejak jaman dahulu hingga sekarang, kuyakin tiada ahli
musik lain yang dapat memainkan lagu 'Siau-go-yan-he'
(hina kelana) kita ini."
"Ucapan Kik-toako memang betul, tapi mengapa engkau
menghela napas?" tanya Wi Kay-hou. "Ah, tahulah aku,
tentu engkau menguatirkan Fifi."
Terkesiap hati Gi-lim: "Fifi? Jangan2 Fifi itulah yang
dimaksudkannya?"
Benar juga, segera didengarnya suara Kik Fi-yan lagi
berkata "Yaya (kakek), bilamana engkau dan kakek Wi
sudah sembuh, biarlah kita meluruk kesana, akan kita
bunuh habis segenap anggota Say-koan mereka untuk
membalas dendamnenekWi dan lain2."
Se-konyong2 terdengar orang bergelak tertawa, habis itu
dari balik batu padas sana melompat keluar sesosok
bayangan, sinar hijau berkelebat, tahu2 seorang berdiri di
depan Kik Yang dan Wi Kay-hou dengan pedang terhunus.
Siapa lagi dia kalau bukan jago Toa-jiu-in yang
termashur dari Say-koan, yaitu Hui Pin adanya.
Dia mendengus, katanya: "Besar amat mulut anak
perempuan ini, hendak membunuh habis segenap anggota
Say-koan, masakah di dunia ini ada pekerjaan semudah
itu?"
Wi Kay-hou berbangkit dan berkata: "Hui Pin, kau
sudah membunuh segenap anggota keluarga itu, orang she
Wi juga mendekati ajal akibat pukulan kalian bertiga
saudara seperguruan, sekarang apalagi yang kau
kehendaki?"
Hui Pin ter-bahak2, katanya: "Anak perempuan ini
bilang membunuh habis, maka kedatanganku ini hendak
membikin habis2an."
Tiba2 Gi-lim membisiki Peng-lam: "Fifi dan kakeknya
telah menyelamatkan jiwamu, kita harus mencari akal
untuk menolong mereka."
Tanpa diminta memang Peng-lam sedang memikirkan
akal yang sekiranya dapat digunakan menyelamatkan kedua
penolongnya itu. Cuma pertama lantaran Hui Pin adalah
tokoh Say-koan, biarpun dirinya tidak terluka juga bukan
tandingannya. Kedua, Kik Yang adalah gembong Ma-kau,
selama ini pihak Cing-pay dan Ma-kau tidak kenal
kompromi, Lam-han juga memandang Ma-kau sebagai
musuh, mana boleh sekarang dirinya membantu pihak
musuh malah?
Karena pikiran inilah dia menjadi ragu2 den sukar
mengambil keputusan.
Terdengar Wi Kay-hou berkata pula: "Orang she Hui,
apapun kau tergolong tokoh ternama dari Beng bun-cingpay.
Sekarang Kik Yang dan Wi Kay hou jatuh
ditanganmu, mau bunuh boleh kau bunuh, mau gantung
boleh kau gantung, matipun kami tidak menyesal. Tapi
kalau kau menganiaya seorang anak perempuan apakah
perbuatan ini pantas disebut gagah perkasa? — Fifi, lekas
kau pergi saja!"
"Tidak, aku akan mati bersama Yaya dan kakek Wi.
tidak nanti kuhidup sendiri," jawab Fifi tegas.
"Lekas pergi, lekas!" seru Wi Kay-hou "Urusan orang tua
tiada sangkut-pautnya dengan anak kecil seperti kau."
"Tidak, aku tidak mau pergi," jawab Fifi.
"Sret-sret," mendadak ia melolos kedua bilah pedangnya
dan mengadang di depanWi Kay-hou.
Melihat Fifi melolos senjata, Hui Pin menjadi girang, ia
pikir kebetulan baginya. Dengan tertawa ia lalu berkata:
"Anak dara ini menyatakan hendak membunuh habis
segenap anggota Say-koan kami, tampaknya dia benar2
ingin melaksanakannya."
Tapi Wi Kay-hou lantas menarik tangan Fifi dan
mendesaknya agar lekas lari saja. Namun luka dalamnya
terlalu parah, ditambah lagi dia banyak mengeluarkan
tenaga dalam ketika memainkan lagu "Hina Kelana" tadi,
karena itulah hampir tak kuat dia memegang tangan anak
dara itu.
Maka dengan enteng saja Fifi dapat meronta lepas
pegangan Wi Kay-hou Pada saat itulah cahaya hijau
berkelebat, tahu2 pedang Hui Pin sudah menusuk
kemukanya. Cepat pedang kiri Fifi menangkis, berbareng
pedang kanan balas menusuk.
Hui Pin tertawa, pedangnya berputar dan menyampuk
pedang kanan Fifi. Seketika lengan anak dara itu kesemutan
dan pedang terlepas dari cekalan,
Sekali putar dan menyendal lagi pedangnya, pedang kiri
Fifi juga tergetar mencelat. Berbareng itu ujung pedang Hui
Pin lantas mengancam dileher Fifi, katanya terhadap Kik
Yang: "Kik-tianglo, akan kugunakan dulu mata kiri cucu
perempuanmu, habis itu baru kupotong hidungnya dan
menyayat . . ."
Mendadak Kik Fi-yan menjerit terus menubruk maju
malah, ia sengaja menumbukkan lehernya ke ujung pedang
musuh.
Namun gerakan Hui Pin cukup cepat pedang sempat
ditarik kembali sehingga tubuh Kik Fi-yan terus menumbuk
kearahnya. Segera jari Hui Pin bekerja, bahu kanan anak
dara itu tertutuk dan jatuh terguling.
"Hahahaha!" Hui Pia bergelak tertawa. "Orang jahat,
ingin matipun tidak mudah. Biarlah kukorek dulu sebelah
matamu."
Segera ia angkat pedangnya dan benar2 hendak
mencungkil mata Fifi.
"Tahan!" mendadak seorang membentak dibelakangnya.
Karuan Hui Pin terkejut, pikirnya: "Aneh, masa sama
sekali aku tidak tahu ada orang berada di belakang?"
Ia tidak tahu bahwa sejak tadi Sau Peng-lam dan Gi-lim.
sudah sembunyi dibelakang batu tanpa bergerak sedikitpun,
kalau tidak, mustahil dia tidak tahu ada orang merunduk ke
belakangnya?
Cepat Hui Pin membalik tubuh dengan pedang siap
melintang di depan dada, di bawah cahaya bulan
tertampaklah seorang pemuda berdiri tegak di depannya
dengan bertolak pinggang, sikapnya menghina tapi
mukanya pucat pasi.
"Siapa kau?" tanya Hui Pin.
"Siautit Sau Peng-lam dari Lam-han., terimalah
hormatku, Hui-susiok," kata Peng-lam sambil memberi
hormat, namun badannya lantas tergeliat se-akan2 roboh.
Hui Pin mengangguk, ucapnya: "O, kiranya murid
pertama Sau-suheng. Silahlah, tak perlu banyak adat Untuk
apakah kau berada disini?"
"Siautit (kemanakan) terluka oleh murid Tang-wan dan
sedang merawat lukaku di sini, beruntung dapat bertemu
dengan Hui-susiok," jawab Peng-lam.
"Hm, kebetulan kemunculanmu," dengus Hui Pin.
"Anak dara ini adalah kaum jahat anggota Ma-kau dan
pantas dibunuh, jika aku turun tangan sendiri disangka
orang tua menganiaya anak kecil. boleh kau saja yang
membunuh dia " — Sembari bicara iapun menuding kearah
Kik Fi-yan.
Tapi Sau Peng-lam menggeleng, jawabnya. "Kakek anak
dara ini bersahabat karib dengan Wi-susiok dari Thay-sanpay,
kalau diurutkan dia masih lebih rendah satu tingkatan
daripadaku, jika Siautit membunuh dia, tentu orang
Kangouw juga akan menuduh orang Lam-han menganiaya
anak kecil, bila tersiar tentu nama kami akan tercemar.
Lagipula Kik-cianpwe ini dan Wi-susiok sama terluka, jika
kau aniaya anak kecil di depan mereka perbuatan ini kukira
tidak pantas dilakukan oleh kaum ksatria kita. Tindakan
demikian jelas2 tidak nanti dilakukan oleh murid Lam-han
kami."
Jelas di balik ucapannya dia ingin menyatakan bila apa
yang tidak sudi diperbuat oleh orang Lam-han toh
dilakukan juga oleh orang Say-koan, maka teranglah nilai
Say-koan akan jauh di bawah Lam-han.
Seketika alis Hui Pin menegak, sorot matanya tampak
buas, katanya: "Hah, kiranya diam2 kau pun bersekongkol
dengan kaum siluman Ma-kau. Oya, tadi Wi Kay-hou juga
bilang siluman she Kik ini telah mengobati lukamu dan
menyelamatkan jiwamu, hm, tak tersangka anak murid
utama Lan-han yang terhormat seperti kau juga menyerah
kepada Mo-kau secepat ini?!"
Pedang yang dipegangnya tampak bergetar, Cahayanya
gemerdep, tampaknya setiap saat hendak ditusukkan kearah
Sau Pang-lam
"Sau-hiantit," tiba2 Wi Kay-hou menyeletuk, "urusan ini
tiada sangkut-pautnya dengan kau, tidak perlu kau ikut
Campur. Lekas pergi saja, lekas, supaya kelak ayah
angkatmu tak ikut mendapat kesulitan."
Peng-lam ter-bahak2, jawabnya: "Wi-susiok, kita ini sok
mengaku sebagai kaum pendekar dan bersumpah tidak
hidup berdampingan dengan kaum jahat. Lalu apa artinya
'pendekar' itu. Menganiaya orang yang sudah terluka parah
apakah perbuatan seorang pendekar? Hendak membunuh
anak kecil yang tak sanggup melawan, apakah terhitung
pendekar berbudi? Haha, apabila perbuatan2 macam begini
sampai dilakukannya, lalu apa beda antara kaum pendekar
dan kaum iblis jahat?"
"Perbuatan2 rendah begitu juga tidak sudi dilakukan oleh
anggota agama kami yang kalian anggap sebagai agama
iblis," kata Kik Yang tegas. "Saudara Sau, hendaklah kau
pergi saja dan jangan ikut campur. Jika Say-koan ingin
berbuat demikian, biarkan saja dia berbuat sesukanya."
Peng-lam tertawa, katanya: "Mana aku mau pergi. aku
justeru ingin tahu betapa hebat dan bijaknya Hui-tayhiap,
pendekar besar kita dari Say-koan. jago Toa-jiu-in kita yang
termashur ini."
Habis berkata ia terus berpangku tangan dan bersandar
pada pohon.
Seketika timbul hasrat Hui Pin untuk membunuhnya,
ucapnya dengan menyeringai: "Hm, kau kira dengan
ucapanmu itu lalu dapat mengekang diriku agar tidak
membunuh ketiga siluman ini? Hehe, jangan kau mimpi.
Membunuh tiga orang namanya membunuh, membunuh
empat orang namanya juga membunuh, tidak ada bedanya
bagiku." — Habis berkata ia lantas maju dua langkah
kedepan Sau Peng-lam.
Meski dilihatnya Sau Peng-lam adalah ahli-waris
kesayangan Kun-cu-kiam Sau Ceng-hong, betapa tinggi
ilmu silatnya konon tidak dibawah tokoh utama golongan
lain.
Persoalan sekarang menyangkut nama baik pribadi Hui
Pin sendiri dan Say-koan, jika sampai anak muda itu lolos
tentu nama Say-koan akan runtuh habis2an, berbareng itu
antara Lam-han dan Say-koan pasti juga akan terjadi
bentrokan besar. Jalan yang baik hanya membunuh Sau
Peng-lam itu untuk menghilangkan saksi hidup, dengan
demikian bencana dikemudian haripun tidak perlu
dikuatirkan lagi.
Melihat keberingasan orang, mau-tak-mau Peng-lam
terkesiap juga, diam2 ia memikirkan akal untuk meloloskan
diri, namun lahirnya dia tetap tenang2 saja dan berkata:
"Hui-susiok, apakah kau pun akan membunuh diriku untuk
menghilangkan saksi?"
"Hehe, kau memang pintar, tepat sekali ucapanmu,"
jengekHu Pin sambil ter-kekeh2 dan mendesak maju pula.
Pada saat gawat itulah dari balik batu sana muncul pula
seorang Nikoh muda jelita sambil berseru: "Hui susiok,
lautan sengsara tak terbatas, mau berpaliag akan mencapai
tepi. Saat ini baru timbul maksud jahatmu, tapi kejahatan
nyata belum kau perbuat. Tahanlah kudamu di tepi jurang
belum terlambat."
Nikoh jelita ini bukan lain daripada Gi-lim. Padahal
Peng-lam menyuruh dia sembunyi di belakang batu dan
jangan bersuara. Tapi demi dilihatnya keadaan Sau Penglam
sangat berbahaya, tanpa pikir panjang lantas tampil
kemuka dan bermaksud menasehati Hui Pin supaya tidak
melakukan kejahatan.
Hui Pin juga terkejut, tanyanya: "Kau orang Siong-sanpay
bukan? Mengapa kau pun main sembunyi disini?"
Muka Gi-lim menjadi merah, jawabnya dengan tergegap2:
"Aku .... aku. . . ."
"He, Gi-lim Cici, memang sudah kuduga engkau pasti
berada bersama Sau-toako," seru Fifi, meski dia tertutuk
dan hanya menggeletak tak bisa berkutik di tanah, tapi
mulutnya bisa bicara. "Wah, engkau ternyata dapat
menyembuhkan luka Sao-toako, cuma sayang .... kami
semua ini segera akan mati."
"Tidak," ujar Gi-lim sambil menggeleng. "Hui-susiok
adalah ksatria besar, tokoh termashur, masa dia sampai hati
mencelakai orang yang terluka parah dan nona kecil seperti
kau?"
Fifi tertawa dingin, katanya. "Kau bilang dia tokoh
termashur, ksatria apa?"
"Hui-susiok adalah tokoh terkemuka dari Say-koan yang
memegang pimpinan Ngo-tay-lian-beng," tutur Gi-lim.
"segala sesuatu tentu akan dilakukannya dengan
mengutamakan keluhuran budi dan bijaksana."
Ucapan Gi-lim itu keluar dari lubuk hatinya yang tulus.
Maklumlah, dia memang polos dan belum tahu selukbeluknya
orang hidup, setiap urusan selalu berpikir pada
hal2 yang baik. Tapi bagi pendengaran Hui Pin, ucapannya
itu dirasakan sebagai sindiran. Diam2 ia membatin: "Sekali
mau berbuat harus sampai tuntas. Jika salah satu saksi
hidup sampai lolos, maka selanjutnya nama baik orang she
Hui pasti akan runtuh."
Setelah tekadnya bulat, segera ia angkat pedangnya dan
menuding Gi-lim. katanya; "Kau sendiri kan tidak terluka
dan juga bukan anak kecil, tentunya dapat kubunuh kau
bukan?"
Keruan Gi-lim kaget, jawabnya sambil menyurut
mundur: "Hahhh, aku .... aku .... mengapa hendak kau
bunuh diriku?"
"Sebab kau berkomplot dengan siluman Mo-kau, jelas
kau bersaudara dengan mereka. dengan sendirinya kau pun
tak dapat kuampuni," kata Hui Pin sambil mendesak imaju
dan mengangkat pedangnya hendak menusuk
Cepat Sau Peng-lam melompat maju dan menghadang
didepan Gi-lim, sambil berseru: "Lekas lari, Sumoay,
pergilah mencari bantuan kepada Suhumu!"
Ia tahu tempat mereka berada itu sangat terpencil, sukar
diketahui kemana akan menemukan Ting-yat Suthay.
Sebabnya dia menyuruh Nikoh jelita itu mencari bantuan
pada gurunya hanya sebagai alasan untuk menyuruhnya lari
saja.
Pedang Hui Pin bergerak, segera ia menusuk bahu kanan
Peng-lam.
Cepat Sau Peng-lam mengegos, tapi "sret-sret-sret",
kembali Hui Pin menyerang tiga kali hingga Peng-lam
mengelak dengan rada kelabakan.
Melihat itu, Gi-lim tidak tinggal diam, cepat ia melolos
pedangnya yang patah itu dan menyerang Hui Pin. serunya:
"Sau-toako, engkau terluka, lekas mundur!"
"Hahaha, Nikoh cilik telah goyang imamnya, rupanya
kau terpikat oleh pemuda ganteng sehingga diri sendiri pun
tak terpikir lagi," ejek Hui Pin ter-babak2-
Mendadak ia membacok. Terpaksa Gi-lim menangkis,
"trang", kedua pedang beradu dan pedang Gi-lim tergetar
jatuh. Menyusul pedang Hui Pin lantas berputar balik dan
mengancam ulu hati Gi-lim.
Serangan ini cepat lagi jitu, termasuk jurus serangan
suatu ilmu pedang Say-koan.
Karena orang yang harus dibunuhnya berjumlah lima,
meski selain Gi-lim, yang lain sama terluka parah dan tidak
mampu melawan, tapi demi kebaikan sendiri agar tiada
satupun yang sempat lolos, maka cara menyerangnya tidak
kenal ampun lagi.
Gi-lim menjerit dan bermaksud melompat mundur,
namun ujung pedang musuh sudah menyambar tiba.
Untung Sau Peng-lam keburu menubruk maju, segera ia
mencolok kedua mata Hui Pin.
Dalam keadaan demikian, andaikan Hui Pin sampai
membunuh Gi-lim, tapi mata sendiri juga harus menjadi
korban. Terpaksa melompat mundur, namun pedangnya
yang juga ditarik kembali sempat menyayat luka panjang
dilengan kiri Sau Peng-lam.
Tubrukan Sau Peng-lam untuk menolong Gi-lim ini
sesungguhnya dilakukan dengan nekat, seketika lukanya
kambuh dan napas ter-sengal2, ia ter-guling2 akan roboh.
Cepat Gi-lim memeganginya, katanya dengan sendat:
"Biarlah dia bunuh saja kita berdua!"
"Lekas. . . lekas kau lari. . ." ucap Peng-lam dengan terengah2.
"Tolol," omel Kik Fi-yan dengan tertawa. "Masa sampai
saat ini belum lagi kau tahu isi hati orang? Dia menyatakan
ingin mati bersamamu. . . ."
Belum habis ucapannya, dengan menyeringai Hui Pin
telah mendesak maju dengan pedang terhunus.
Peng-lam merasa kusut pikirannya, ia heran sebab apa
Gi-lim ingin mati bersamanya? Meski Nikoh itu utang budi
padanya karena jiwanya pernah diselamatkan. tapi
persahabatan merekapun baru berlangsung selama beberapa
hari ini, paling2 cuma sesama saudara perguruan lima besar
saja semua ini kan tidak perlu harus dibalas dengan
mengorbankan jiwa segala?
Diam2 ia kagum terhadap anak murid Siong-san-pay
yang berbudi dan setia kawan, Ting-yat Suthay
dianggapnya benar2 tokoh yang hebat.
Dilhatnya Hui Pin lagi mendesak maju pula, pedangnya
gemerdep menyilaukan mata. Selagi tokoh Say-koan itu
hendak menyerang, tiba-tiba dari balik pohon Siong sana
berkumandang suara kecapi yang rawan.
Suara kecapi itu sangat memilukan, seperti penuh rasa
penyesalan dan seperti pula orang menangis sedih.
Menyusul suara kecapi itu menjadi bergemetar, nadanya
berubah ter-putus2 seperti air hujan yang setitik demi setitik
menetes diatas daun.
Tergetar hati Hui Pin, pikirnya: "Ah, Siau-sian-ya-uh
Bok Jong-siong. si kakek kecapi ketua Thay-san-pay telah
datang!"
Bok Jong Siong selain berjuluk "Khim-lo" atau kakek
kecapi, juga terkenal dengan julukan "Siau-siang-ya-uh"
atau hujan gerimis dimalam sunyi, Julukan ini diberikan
orang oleh karena bunyi kecapinya yang bernada sedih.
Suarra kecapi itu makin lama makin sedih, namun sejauh
itu Bok Jong Siong, Bok-taysiansing tidak menampakkan
diri.
"Apakah Bok-taysiansing adanya?" seru Hui Pin
"Mengapa tidak keluar untuk bertemu?"
Mendadak suara kecapi itu berhenti dari balik pohon
Siong muncul sesosok bayangan tinggi kurus.
Sudah lama Sau Peng-lam kenal nama si kakek kecapi
Bok-taysiansing, tapi belum pernah berjumpa. Dibawah
cahaya bulan sekarang dapat dilihatnya perawakan kakek
kecapi ini kurus kering, kedua pundaknya agak menjembul
ke atas mirip orang yang mengidap sakit bengek atau asma.
Sungguh tak tersangka, ketua Thay-san-pay yang
termashur, SuhengWi Kay-hou yang disegani itu, ternyata
seorang tua yang menyerupai orang sakit tebese begini.
Dengan tangan kiri menjinjing kecapi, Bok Jong-siong
memberi salam kepada Hui Pin dan menyapa: "Hui-suheng,
baik2kah Coh-bengcu?"
Melihat ketua Thay-san-pay ini tidak bermaksud jahat,
pula diketahui selama ini dia tidak cocok dengan Wi Kayhou,
maka Hui Pin lantas menjawab: "Terima kasih atas
perhatian Bok-taysiansing Suko kami baik2 saja. Wi Kayhou
dari Thay-san kalian bergaul dengan Ma-kau dan
bermaksud buruk terhadap Ngo-tay-lian-beng kita. menurut
Bok-taysiansing, bagaaimana kita harus bertindak?"
"Harus dibunuh!" ucap Bok Jong-siong dengan dingin
sambil melangkah kearah Wi Kay-hou dan begitu kata
"bunuh" terucapkan, se-konyong2 cahaya tajam berkelebat,
tangannya sudah memegang sebilah pedang panjang,
sempit dan tipis, dimana sinar pedang gemerdep, tahu2
dadaHui Pin yang dituju.
Serangan ini cepat luar biasa, keruan Hui Pin kaget
setengah mati, cepat ia melompat mundur, namun tidak
urung dadanya sudah terluka, baju terobek dan darah
mengucur.
Kejut dan gusar Hui Pin, segera ia balas menyerang.
Tapi sekali sudah mendahului, serangan Bok Jong-siong
yang lain susul menyusul menyambar tiba pula. Pedangnya
yang tipis sempit itu, laksana ular gesitnya dan bergetar
tiada hentinya menerobos kian kemari ditengah sinar
pedangHui Pin.
Mestinya Hui Pin bermaksud membentak dan memaki,
namun serangan Bok Jong-siong teramat cepat sehingga dia
terdesak dan tidak sempat buka mulut.
Kik Yang, Wi Kay hou dan Sau Peng-lam adalah ahli
pedang, mereka menjadi kesima dan tercengang
menyaksikan betapa lihay ilmu pedang Bok Jong-siong ini!.
Padahal selama berpuluh tahun Wi Kay-hou belajar
bersama sang Suheng, tapi sama sekali tak diketahuinya
ilmu pedang Suhengnya sedemikian bagusnya.
Tertampak tetesan darah menciprat diantara sambaran
kedua pedang, Hui Pin melompat kian kemari dan
menangkis sekuatnya, akan tetapi tidak pernah terlepas dari
kurungan sinar pedang Bok Jong-siong.
Terlihat sekitar kedua orang itu sudah terciprat menjadi
satu lingkaran darah. Mendadak Hui Pin menjerit dan
melompat keatas,
Sebaliknya Bok Jong-siong lantas menarik pedangnya
dan melompat mundur, pedang dimasukkannya ketengah
kecapi, lalu putar tubuh dan melangkah pergi. Lagu "Siausian-
ya-uh" tadi bergema pula dari balik pohon sana dan
makin lama makin jauh . , , .
Setelah melompat keatas tadi, tahu2 Hui Pin lantas jatuh
terkapar, darah menyembur keluar dari dadanya laksana air
pancuran.
Kiranya dalam pertarungan sengit tadi sekuatnya dia
mengerahkan tenaga dalam untuk menghadapi serangan
Bok Jong-siong yang lihay itu, setelah dadanya tertusuk
pedang, tenaga dalamnya belum lagi hapus sehingga darah
terdesak keluar melalui luka tusukan pedang. Keadaannya
menjadi seram dan misterius.
Gi-lim memegangi lengan Sau Peng-lam, jantungnya berdebar2.
Meski sudah ber-tahun2 ia belajar silat, tapi belum
pernah menyaksikan pembunuhan secara mengerikan
begini.
Sementara itu Hui Pin sudah terkapar bermandi darah
dan tidak bergerak, jelas sudah binasa.
"Wi-hiante," ucap Kik Yang dengan gegetun, "pernah
kau katakan padaku bahwa antara kau dan Suhengmu tiada
kecocokan, tak tersangka pada saat kau menghadapi bahaya
dia turun tangan menyelamatkan dirimu."
"Tindak-tanduk Suhengku memang aneh dan sukar
diduga," kataWi Kay-hou. "Ketidak cocokanku dengan dia
juga bukan urusan kaya dan miskin, hanya soal watak saja
yang berbeda."
Kik Yang menggeleng. katanya: "Ilmu pedangnya
sedemikian hebat, kecapi yang dibunyikannya justeru
sedemikian sedihnya dan mengharukan orang, rasanya
terlalu kampungan."
"Memang begitulah sifat Suko," kata Wi Kay-hou, "Berulang2
begitulah lagu yang dibawakannya, nadanya selalu
sedih memilukan. Bila mendengar suara kecapinya, rasanya
aku ingin menghindarinya jauh2."
Diam2 Peng-lam membatin: "Kedua orang ini benar2
sudah keranjingan seni musik, pada saat gawat antara mati
dan hidup begini mereka masih bicara tentang lagu segala."
Terdengar Wi Kay-hou berkata pula: "Tapi bila bicara
tentang ilmu pedang jelas aku ketinggalan jauh, se-hari2 aku
memang kurang hormat kepadanya, jika dipikir sekarang,
sungguh aku merasa menyesal dan malu."
Kik Yang meng-angguk2, katanya: "Ketua Thay-san-pay
memang benar2 tidak bernama kosong."
"Yaya, hendaklah kau buka Hiat-toku dan marilah kita
pergi saja," tiba2 Fifi berseru.
Kik Yang berusaha bangun, tapi baru tubuh bagian atas
menegak, dengan lemas ia jatuh berduduk lagi. katanya
dengan menggeleng: "Ai, aku tidak sanggup." Tiba2 ia
berpaling kepada Sau Peng-lam dan berkata: "Adik cilik,
ada satu hal ingin kumohon bantuanmu, entah engkau mau
menerima atau tidak?"
"Permintaan apapun pasti akan kulaksanakan," jawab
Peng-lam.
Kik Yang memandangWi Kay-hou sekejap, lalu berkata:
"Aku dan Wi-hiante sama mabuk seni suara sehingga lupa
daratan, hasil pemikiran kami selama beberapa tahun
adalah menciptakan sebuah lagu 'Siau-go-yan-he'. Kami
yakin lagu ini sangat hebat dan belum pernah ada sejak
dahulu hingga sekarang. Selanjutnya sekalipun didunia ini
mungkin terdapat manusia seperti Kik Yang, tapi belum
tentu akan muncul pula seorang Wi Kay-hou, se-umpama
ada juga manusia seperti Kik Yang dan Wi Kay-hou juga
belum tentu dapat terlahir pada jaman yang sama. Apalagi
keduanya harus mahir seni suara dan paham ilmu
Lwekang, keduanya harus mempunyai hobi yang sama dan
bersahabat karib untuk ber-sama2 menciptakan lagu ini,
kukira maha sukar untuk bisa terjadi. Sekarang lagu ini
akan tamat bersama dengan kepergian kami berdua, di alam
bakapun kami akan merasa menyesal karena hasil ciptaan
kami harus ikut musnah."
Sampai disini dia lantas merogoh saku dan
mengeluarkan sejilid buku kecil, lalu sambungnya pula:
"Inilah buku lagu Siau-go-yan-he yang kumaksudkan, Wihiante
juga memegang satu buku. Kuharap adik cilik suka
mengingat jerih-payah kami dan sudi kiranya menyimpan
kitab lagu ini untuk dicarikan ahli-warisnya yang mau
mempelajari lagu ini."
Wi Kay-hou juga lantas mengeluarkan satu buku yang
serupa, katanya: "Bila lagu ini dapat tersebar didunia,
matipun kami dapat tenteram di alam baka."
"Kedua Cianpwe jangan kuatir, sekuat tenaga Wanpwe
pasti akan melaksanakan pesan kalian." dengan hormat
Peng-lam lantas menerima kedua jilid buku itu.
Ketika Kik Yang ingin minta bantuannya, semula Penglam
menyangka pasti urusan yang sulit dan berbahaya,
tidak tahunya cuma menyuruhnya mencari dua orang
untuk belajar main kecapi dan meniup seruling, sudah tentu
urusan ini terlalu mudah baginya.
Kik Yang menghela napas, katanya "Adik cilik, engkau
adalah murid dari perguruan ternama, seharusnya tidak
pantas kuminta bantuanmu, tapi urusannya sudah sangat
mendesak, terpaksa mesti membikin susah padamu, harap
suka memberi maaf,"_ lalu ia berpaling kepadaWi Kay-hou
dan berkata pula: "Saudaraku, sekarang bolehlah kita pergi
dengan lega,"
Wi Kay-hou mengiyakan, ia menjulurkan ke dua
tangannya, kedua orang bergandeng tangan dan sama
terbahak, lalu memejamkan mata dan mangkat untuk
selamanya.
Peng-lam terkejut, serunya: "He, Cianpwe, Wi-susiok!"
— Waktu ia periksa pernapasan kedua
orang itu, ternyata sudah berhenti.
Melihat air muka Siu Pang-lam yang terkejut itu, Kik Fiyang
menjadi sangsi, cepat ia berseru: "Yaya, Yaya!"
Peng-lam menggeleng dengan sedih.
"O, Yaya sudah meninggal?" seru Fifi dengan suara
gemetar Dilihatnya Peng-lam tetap diam saja, maka
yakinlah dia sang kakek memang sudah mati, meledaklah
tangisnya.
Gi-lim memeluk anak dara itu dan pelahan2 mengurut
tubuhnya yang tertutuk tadi. Tapi tutukan Hui Pin itu
cukup berat, kekuatan Gi-lim terbatas, seketika dia tidak
sanggup membuka Hiat-to Fifi yang tertutuk itu.
Peng-lam cukup berpengalaman dan luas
pengetahuannya, ia berkata: "Siausumoay, lekas kita
menanam mayat ketiga orang ini agar tidak dilihat orang
sehingga menimbulkan perkara lain lagi. Tentang
terbunuhnya Hui Pin oleh Bok-taysiansing hendaklah
jangan sampai tersiar sedikitpun."
Sampai disini. ia menahan suaranya dan mendesis:
"Apabila peristiwa ini sampai bocor dan tersiar, tentu Boktaysiansing
tahu kita bertiga inilah yang menyiarkannya dan
pasti akan mendatangkan bencana bagi kita."
"Betul," kata Gi-lim. "Tapi kalau Suhu tanya padaku,
lantas kukatakan atau tidak?"
"Siapapun tidak boleh kau katakan," ujar Peng-lam.
"Kalau kau katakan, bila Bok-taysiansing kemudian
mengajak bertanding pedang dengan gurumu, kan bisa
runyam?"
Betapa lihay ilmu pedang Bok Jong-siong sudah
disaksikan Gi-lim sendiri, diam2 ia merasa ngeri, maka ia
berkata pula: "Baiklah, takkan kukatakan."
Pelahan Pang-lam menjemput pedang Hui Pin yang
terjatuh tadi. segera ia menikam lagi belasan kali ditubuh
Hui Pin yang sudah tidak bernyawa itu.
Gi-lim merasa tidak tega, katanya: "Toa ....Toako, dia
sudah mati, untuk apa kau merusak. mayatnya?"
Peng-lam tertawa. jawabnya: "Pedang Bok-taysiansing
tadi sangat sempit dan tipis, bagi seorang ahli tidaklah sulit
untuk menarik kesimpulan siapa yang berbuat setelah
memeriksa luka Hui-susiok ini. Jadi tujuanku bukan untuk
merusak mayatnya, tapi ingin kubuat jenazahnya terluka
sedemikian banyak dan sukar diketemukan sesuatu tanda
yang dapat dijadikan petunjuk pengusutan."
Gi-lim menghela napas, pikirnya: "Di dunia Kangouw
kiranya masih banyak liku2 begini, sungguh menjadi orang
memang tidak mudah."
Ketika dilihatnya Peng-lam telah membuang pedangnya.
lalu mengangkat batu dan dilemparkan ke mayat Hui Pin,
cepat Gi-lim berseru: "Kau jangan banyak bergerak, silakan
berduduk saja, biar aku yang melakukannya."
Dia lantas mengangkat potongan batu dan ditaruh
pelahan di atas jenazah Hui Pin, begitu hati2 se-akan2
mayat itu masih punya daya rasa dan kuatir membikin sakit
padanya.
Peng-lam sendiri memang merasakan lukanya kesakitan
pula, terpaksa ia berduduk bersandar batu, ia coba membalik2
kitab ajaran main kecapi tinggalan Kik Yang tadi.
Dilihatnya pada belasan halaman pertama adalah
petunjuk cara bersemadi, lalu ada lagi berbagai lukisan
badan manusia yang penuh gsris2 tanda urat nadi, halaman
selanjutnya adalah petunjuk2 ilmu menutuk dan ilmu
pukulan. setelah lebih 20 halaman barulah mulai pelajaran
menabuh kecapi. Setengah buku bagian belakang hampir
seluruhnya terdiri dari huruf2 aneh yang tidak
dipahaminya.
Dalam hal tulis menulis, pengetahuan Peng-lam memang
sangat terbatas, ia tidak tahu bahwa tanda nada kecapi itu
memang ditulis dengan hurup aneh, ia masih menyangka
tulisan itu adalah huruf Tiongkok kuno yang tidak
dikenalnya.Maka tanpa pikir ia masukkan kedua jilid buku
itu dalam bajunya. Lalu berkata kepada Gi-lim: ' Siausumoay,
setelah kau beristirahat, hendaklah kau kubur
sekalian jenazah Kik-tianglo dan Wi-susiok."
Gi-lim mengiakan.
Fifi kembali menangis demi mendengar jenazah sang
kakek akan dikubur.
Gi-lim ikut terharu melihat betapa sedih tangisan anak
dara itu, iapun mencucurkan air mata.
Peng-lam menghela napas panjang, pikirnya: "Demi
persahabatan, Wi-susiok rela mengorbankan segenap
anggota keluarganya.Meski sahabatnya adalah Tianglo dari
Mo-kau, tapi keduanya sama2 berjiwa luhur dan setia
kawan, keduanya tidak malu disebut sebagai lelaki sejati,
sungguh sangat mengagumkan dan pantas dihormati,"
Baru saja berpikir demikian, tiba2 dilihatnya di barat-laut
sana cahaya hijau berkelebat, ia merasa cukup kenal cahaya
hijau demikian, jelas ada tokoh terkemuka perguruan
sendiri sedang bertempur dengan orang
Terkesiap hati Peng-lam, cepat ia berkata: "Siausumoay,
hendaklah kau temani Fifi dan menunggu sebentar disini,
kupergi sejenak dan segera akan kembali."
Gi-lim tidak melihat cahaya hijau tadi, disangkanya
Peng-lam hendak pergi buang air kecil, maka tanpa ragu ia
mengangguk.
Dengan ranting kayu sebagai tongkat penyangga, Penglam
terus melangkah ke depan, sebelumnya ia sempat
menjemput pedang tinggalan Hui Pin dan diselipkan
dipinggang, lalu menuju kearah datangnya sinar hijau tadi.
Tidak lama kemudian, sayup2 didengarnya suara
nyaring benturan senjata, jelas sedang terjadi pertarungan
sengit. Diam2 ia membatin: "Siapakah tokoh angkatan tua
perguruan sendiri yang sedang bergebrak dengan orang?
Agaknya cukup sengit pertempuran mereka, nyata pihak
lawannya juga tokoh kelas tinggi."
Dengan mendak tubuh pelahan2 ia menunduk kesana.
Didengarnya suara benturan senjata itu jaraknya sudah
dekat, ia sembunyi di balik pohon, lalu mengintip ke depan
sana.
Di bawah sinar bulan dilihatnya seorang Susing (kaum
terpelajar) berpedang berdiri gagah di tengah kalangan,
siapa lagi kalau bukan ayah-angkatnya, yaitu Sau Cenghong.
Lawannya adalah seorang lelaki pendek gemuk dan
sedang mengitar dengan cepat luar biasa, senjatanya
berbentuk golok melengkung, ia membacok dengan cepat
sembari berlari, setiap berlari satu lingkaran sedikitnya
belasan kali dia membacok. Si pendek gemuk ini ternyata
Hong-hoa-wancu Ciam tay Cu-ih adanya.
Melihat ayah-angkatnya sedang bertempur dengan
orang, lawannya adalah satu di antara Su-ki atau empat
kosen, seketika Peng-lam ikut bersemangat.
Dilihatnya gerak-serik sang ayah angkat sangat tenang
dan mantap, setiap kali diserang Ciamtay Cu-ih selalu
ditangkisnya dengan seenaknya, meski Ciamtay Cu-ih
berputar kebelakangnya, dia tidak ikut berputar melainkan
cuma berjaga dengan ketat.
Ciamtay Cu-ih masih terus menyerang tanpa berhenti,
gerak goloknya juga semakin cepat, namun Sau Ceng-hong
tetap bertahan saja tanpa balas menyerang.
Kagum sekali Peng-lam, pikirnya: Gihu (ayah angkat)
berjuluk Kun-cu-kiam. beliau memang sabar dan sopan,
sekalipun sedang bertempur juga tiada sikap garang
sedikitpun Sebabnys Gihu tidak perlu naik pitam adalah
karena ilmu pedangnya terlebih tinggi daripada ilmu golok
lawan. ini bukan lantaran sengaja berlagak, tapi memang
Kungfunya yang teramat tinggi.
Sau Ceng-hong memang jarang bertarung dengan orang,
biasanya Peng-lam hanya melihat sang guru dan ibu-guru
bergebrak untuk memberi contoh kepada anak muridnya.
dengan sendirinya gebrakan begitu tidaklah sungguh2, jelas
berbeda dengan pertarungan sengit yang mendebarkan ini.
Tertampak setiap kali Ciamtay Cu-ih menyerang,
goloknya selalu membawa deru angin yang keras, betapa
tenaga dalamnya sungguh sangat mengejutkan. Diam2
Peng-lam membatin: "Selama ini aku sok memandang
rendah ilmu silat Tang-wan, siapa tahu si gemuk buntak ini
sedemikian lihaynya, andaikan aku tidak terluka juga pasti
bukan tandingannya. Lain kali bila kebentrok dengan dia
perlu berlaku hati2 atau lebih baik menghindari saja."
Setelah menonton lagi sekian lama, dilihatnya Ciamtay
Cu-ih semakin cepat berputar sehingga berwujut satu
lingkaran putih mengintari Sau Ceng-hong, benturan
senjata yang nyaring itu, lantaran terlalu cepat dan
kerapnya sehingga bunyinya tidak lagi "trang-tring"
melainkan berubah menjadi rentetan suara berdering.
Diam2 Peng-lam terkesiap, ia pikir bila serangan secepat
itu ditujukan kepadanya. mungkin satu kali saja ia tidak
mampu menangkis dan tubuhnya bisa tercacah oleh golok
lawan.
Dilihatnya sang guru tetap tidak melancarkan serangan
balasan mau-tak-mau ia menjadi kuatir padahal serangan si
buntak sedemikian cepatnya, bila lengah sedikit saja bisa
jadi sang guru akan dikalahkannya.
Mendadak terdengar suara "creng" yang sangat keras,
secepat anak panah Ciamtay Cu-ih melayang mundur, lalu
berdiri tegak, entah sejak kapan goloknya yang melengkung
itu sudah dimasukkan kesarungnya, ia berdiri tanpa bicara.
Peng-lam terkejut, cepat ia pandang sang guru, terlihat
pedang orang tua itupun sudah disimpan dan juga berdiri
tanpa bersuara.
Meski Peng-lam yakin pada pandangannya sendiri yang
cukup tajam, tapi ia merasa tidak dapat melihat pertarungan
ini sesungguhnya dimenangkan oleh siapa. entah siapa pula
yang terluka- Tiba2 terdengar Sau Ceng-hong berkata:
"Kalah-menang belum jelas, bagaimana kalau kita
bertempur seribu jurus lagi?"
Ciamtay Cu-ih menggeleng, jawabnya dengan tersenyum
getir: "Tidak, aku mengaku kalah saja."
"Sungguh tidak mudah untuk mendapatkan pengakuan
Anda ini," ujar Sau Ceng-hong dengan tersenyum.
Ciamtay Cu-ih menggreget, katanya pula: "Ku-kira
kaupun tidak perlu bangga. Selama berpuluh tahun untuk
pertama kali inilah aku mengaku kalah padamu, yang
kumaksudkan hanya tenaga dalam saja, soal permainan
golokku tetap tidak kalah sedikit pun daripada permainan
pedangmu. Mengenai tenaga dalam, harus kau maklumi
bahwa selama belasan tahun aku menggeletak di tempat
tidur sehingga latihanku telantar, makanya sekarang aku
kalah kuat."
Kiranya suara "creng" yang keras tadi akibat benturan
golok dan pedang, hampir saja golok sabit Ciamtay Cu-ih
terlepas dari cekalan, ia tahu bila pertarungan dilanjutkan
mungkin tenaga untuk memegang golok saja akan habis.
Jelas tenaga dalam pihak lawan terlebih kuat daripada
dirinya, sesungguhnya sejak tadi goloknya sudah dapat
dibikin terpental, tapi pihak lawan sengaja mengalah
padanya, jika dirinya tidak bisa melihat gelagat, bukan
mustahil nanti akan jatuh sungguh2.
Sebab itulah, setelah suara mendering tadi cepat ia
menarik kembali senjatanya dan melompat keluar
gelanggang pertempuran.
Sudah tentu Sau Ceng-hong tahu tenaga dalam lawan
bukan tandingan dirinya, segera iapun menyimpan kembali
pedangnya dan membiarkan pihak lawan menyatakan kalah
sendiri. Dan sekarang Ciamtay Cu-ih benar2 menyerah
kalah, bahkan menyinggung sebab musabab kekalahannya.
Tentang apa sebabnya selama belasan tahun Ciamtay
Cu-ih menggeletak di tempat tidur sehingga Lwekangnya
telantar. Hal ini tidak menarik bagi Sau Ceng-hong, maka
iapun tidak bertanya, hanya ditanyakan: "Dimana Sau Kimleng?"
"Hm, kau Kira setelah aku mengaku kalah padamu, lalu
akan kuserahkan dia padamu?" jengek Ciamtay Cu-ih
"Tiada gunanya kau menawan anak dara itu," ujar Cenghong.
"Kutahu maksud tujuanmu, mungkin kau tidak tahu
bahwa keluarga Sau kami, baik Sau dari Lam-han maupun
Sau dari Pak-cay, ilmu pedang yang tertinggi tidak
diajarkan kepada anak perempuan melainkan cuma
diturunkan kepada anak lelaki. Ini memang pesan khusus
tinggalan leluhur dan tidak mungkin dilanggar oleh saudara
sepupuku si Cing-in. Tidak nanti ia mengajarkan Siang-liukiam-
hoat kepada Kim-leng. Jadi kalau kau ingin
mendapatkan Siang-liu-kiam-hoat dari nona itu, jelas kau
akan kecewa."
"Biarpun begitu tetap akan kubawa dia pulang ke Tanghay
(lautan timur)," kata Ciamtay Cu-ih tegas.
"Buat apa susah payah begitu?" ujar Ceng-hong pula
"Tentu kau tahu, dia adalah kemenakan perempuanku,
adalah kewajibanku untuk melindungi dia dan tidak nanti
kubiarkan dia dibawa ke Tang- hay, sungguh tidak
kuharapkan kita akan cekcok hanya karena urusan kecil
ini."
Mendadak Ciamtay Cu-ih bergelak tertawa, begitu
berhenti tertawa ia lantas menggeleng dan berkata:
"Sungguh tidak nyana kau bisa memperhatikan anak
perempuan Sau Ceng in."
"Betapa pun dia kau kemenakanku," kata Ceng-hong.
"Apalagi kau hendak memaksa dia berjanda selama hidup,
sekalipun puteri musuh juga pasti akan kubela dia bila kau
perlakukan dengan tidak se-mena2."
"Hm, Pak-cay dan Lam-han selama tiga turunan selalu
bermusuhan bukan?" jengekCiamtay cu-ih.
"Ya, itu memang fakta," jawab Ceng-hong, "Tapi
permusuhan yang sesungguhnya berawal dari kakekku dan
kakek Ceng-in. Selama dua turunan berikutnya permusuhan
ini sudah mulai luntur diantara kedua keluarga kami, meski
kedua keluarga masih saling bermusuhan. tapi bukan
permusuhan mati2an lagi, apalagi sekalipun puteri musuh
besar, bila menghadapi keadaan begini juga pasti akan
kubela."
"Keadaan apa maksudmu?" dengus Ciamtay Cu-ih.
"Apakah kau tuduh aku memaksa seorang anak perempuan
berjanda selamanya bagi anak lelakiku?"
"Betul," jawab Ceng-hong tegas "Anakmu mcemaksa
hendak mengawini dia, sedangkan kau paksa dia berjanda
selama hidup, jeias semua ini perbuatan tidak pantas.
Apabila sebelumnya diantara kalian ada ikatan jodoh masih
dapat dimaklumi, tapi kalian hanya main paksa saja secara
se-wenang2."
Ciamtay Cu-ih tidak menanggapi urusan itu lagi, tapi
bicara soal lain, katanya: "Kedatanganku ke Tionggoan ini
memang juga tidak sia2, bcgitu mendarat segera kudengar
sesuatu berita menarik, entah betul entah tidak?"
"Berita apa?" tanya Ceng-hong dengan air muka rada
berubah.
"Bahwa Sau Ceng-in telah muncul pula di dunia
Kangouw," kataCiamtay Cu-ih.
"Hanya desas desus saja, belumdapat dibuktikan."
"Tanpa angin takkan timbul gelombang, Sau-heng,
kukira engkau perlu ber-jaga2."
"Ber-jaga2 apa? Apa yang perlu kutakuti? Jika dia betul2
masih hidup didunia ini. persoalan kita akhirnya toh harus
diselesaikan, paling2 cuma. . . ."
"Bagus, Sau-heng memang hebat, semangat tak gentar
matimu inilah yang kukagumi," sela Ciamtay Cu-ih.
"Cuma, numpang tanya, bila betul Sau-heng tidak takut
mati, mengapa engkau malah menolong puteri musuh?
Apakah untuk memikat hatinya atau akan kau gunakan
sebagai Hou-sin-hu (jimat penyelamat diri)?"
Ceng-hong tidak menjawabnya, air mukanya pelahan2
berubah pucat menghijau.
Ciamtay Cu-ih ter-gelak2, katanya pula: "Ah, di depan
sahabat lama, hendaklah bersabar sedikit, janganlah dari
malu menjadi marah."
Sau Ceng-hong memang benar seorang sabar,
mendengar itu, air mukanya kembali tenang.
Merasa di atas angin, segera Ciamtay Cu-ih maju satu
langkah lagi, ia ter-bahak2 dan berkata: "Hahaha, tentang
kejadian yang kau katakan, kukira perlu berubah sedikit.
Hehehe, membela kaum lemah apa segala, enak sekali
kedengarannya, tapi sayang. di depanku tidak nanti
maksudmu dapat tercapai."
"Terserah apa yang akan kau katakan, mencari muka
atau menjadikan dia jimat penyelamatku sendiri juga boleh,
pendek kata sudah pasti aku akan membela arak dara itu
dan pendirianku ini tak dapat ditawar lagi." ucap Sau Cenghong
dengan tegas.
Bahwa Ceng-hong bisa bersikap keras hal ini rada diluar
dugaan Ciamtay Cu-ih, ia melengak, katanya kemudian,
sambil menggeleng kepala: "Tidak tidak boleh jadi!"
"Jika begitu, terpaksa jangan menyalahkan aku bertindak
kasar," kata Ceng-hong.
Cepat Ciamtay Cu-ih berkata: "Percuma kau mengaku
sebagai tokoh terkemuka kaum pendekar, mengapa kau
cuma memikirkan kepentinganmu sendiri? Padahal kau
harus tahu, andaikan Sau Ceng-in betul masih hidup
didunia, kan aku juga ingin mengunakan anak
perempuannya sebagai jimat penyelamat diriku? Bila kuincar
Siang-liu-kiam-boh dari anak dara itu, bukankah
tujuanku juga untuk menghadapi Siang-lui-kiam-hoat
musuh kita ber-sama2. Kalau Siang-liu-kiam-bob tidak
kuperoleh siapa pula yang dapat mematahkan ilmu
pedangnya yang maha hebat itu, makanya . . . ."
Mendadak Sau Ceng hong bergelak tertawa.
Selagi Peng-lam heran mengapa sang guru bisa tertawa,
apanya yang perlu dibuat gembira hanya memperebutkan
seorang sendera? Diam2 ia merasa sedih bagi kepribadian
sang guru dan juga ayah-angkatnya itu.
Tak tersangka Ceng-hong bahkan berkata pula: "Manusia
yang tidak berbuat untuk kepentingan diri sendiri tentu
akan celaka sendiri, kukira Ciamtay-heng sependapat
bukan? Sayang kau bukan tandinganku, pasti akan kusikat
kau, jimat penyelamat diri itu pun pasti akan kuminta."
Diam2 Peng-lam menggeleng kepala. sungguh ia tidak
percaya sang ayah-angkat adalah manusia serendah ini?
-ooo0dw0ooo-
Jilid 21
Terdengar Ceng-hong berkata lagi: "Tak tersangkaHonghoa-
wancu juga bisa ketakutan seperti sekarang ini?"
"Dan kau sendiri? Tidakkah sama juga?"
"Hehe, ya, anggaplah akupun takut, lalu kau mau apa?
Manusia kan tidak dapat gagah perkasa selamanya?"
"Aku bukan tandinganmu, terpaksa kuserahkan nona itu
kepadamu."
"Hah, cepat juga keputusanmu. Dimana dia sekarang?"
kata Ceng-hong dengan tertawa.
"Akan kuceritakan suatu peristiwa kepadamu," tutur
Ciamtay Cu-ih "Begini kejadiannya: '20 tahun yang lalu di
pulauku kedatangan seorang nyonya cantik, dia kehilangan
suami, maka ingin mencari keterangan padaku."
"Hah kau maksudkan iparku?" seru Ceng-hong dengan
suara tertahan.
Tapi Ciamtay Cu-ih masih terus bicara sendiri: "Kukira
nyonya cantik itu mungkin tahu kunci pelajaran ilmu
pedang suaminya yang maha hebat, maka ingin kupancing
dari pengakuan nyonya itu. sedapatnya kulayani dia dengan
baik. kutahan dia di pulau itu dan kurayu dia dengan
segenap kemampuanku. Tahun berikutnya dia melahirkan
seorang anak perempuan bagiku. Anak perempuan itu
serupa bapaknya, tiada urat nadi Liok-im (bagian tangan)
sejak dilahirkan."
"Ahhh, pantas Kim-leng tidak mahir ilmu silat," seru
Ceng-hong.
"Setiap orang yang Liok-im-coat-meh (enam urat nadi
bagian tangan), selain cuma dapat berlatih Lwekang aliran
Tang-wan kami, Lwekang dari aliran lain, sama sekali tak
dapat dilatihnya," demikian tutur Ciamtay Cu-ih lebih
lanjut "Sudah te-ntu aku sangat girang bisa mendapatkan
anak perempuan yang menuruni diriku, kupikir meski
satu2nya anak lelakiku juga pintar dan cerdik, tapi sayang
dia tidak Liok-im-coat-meh, tidak dapat berlatih Kungfu
Ting-wan kami hingga puncaknya. Sekarang kudapatkan
anak perempuan yang serupa diriku. selaniutnya Tang-wan
tidak perlu kuatir tak ada ahliwaris lagi. Tak tersangka,
ibunva, betapa pun baik kuperlakukan dia, hatinya tetap
tidak mencondong padaku, pada suatu hari akhirnya dia
mendapat kesempatan, dia menyerang diriku dan minggat
pulang ke Tionggoan dengan menggondol puteri
kesayanganku. Karena kehilangan anak perempuan, sudah
tentu aku sanpat gusar dan ingin menemukannya kembali,
tapi keadaanku sangat payah, hampir saja aku terbunuh,
mana kusanggup menyusulnya ke Tionggoan untuk
mencarinya? Selama belasan tahun kutelentang ditempat
tidur, baru beberapa tahun terakhir ini aku dapat
berbangkit, maka kusuruh anak lelakiku ke Tionggoan sini
untuk mencari adik perempuannya. Tak terduga, anak
lelakiku itu terbunuh secara menyedihkan, dapat kau
bayangkan betapa sakit hatiku karena kehilangan puteraku
satu2nya itu. Tapi sekarang kudapatkan kembali anak
perempuanku, tentu saja aku menjadi girang. Coba Sauheng
ceritaku ini cukup menarik atau tidak?"
"Menarik sih cukup menarik, cuma busuk dan kotor."
ujar Ceng-hong.
Dengan tertawa tanpa kenal malu Ciamtay Cu-ih
berkata: "Apa alasannya. Silakan bicara?"
"Memperkosa perempuan baik2, inilah kebusukan
pertama." kata Ceng-hong. "Demi memaksa anak
perempuan sendiri agar menyerahkan kitab pelajaran ilmu
pedang tidak segan2 menggunakan cara kotor, inilah
kebusukan kedua."
"Apa buktinya?" tanyaCiamtay Cu-ih
"Urusannya terpampang di depan mata, siapa yang tidak
tahu?"
"Betapapun kotor caraku, bahwa aku sayang kepada
puteriku kan tidak dapat dipungkiri siapa pun juga.
Tentunya kau tidak keberatan kubawa dia pulang ke Tanghay
bukan?"
"Sudah tentu boleh," jawab Ceng-hong.
"Jika demikian, ingin kutanya padamu, siapa
sesunggubnya yang penakut?"
"Kau!" kata Sau Ceng-hong.
"Betul, kau dan bukan aku," ujar Ciamtay Cu-ih. "Sebab
kutahu Kim-leng bukan anak Si Ceng-in melainkan anakku,
tidak nanti kugunakan puteriku sendiri sebagai alat
pelindung, sebaliknya kau tidak tahu persoalan ini, jada
jelas yang benar2 penakut ialah kau!"
"Kau sendirilah penakut." dengus Ceng-hong, "Apakah
kau tahu siapa nona yang kau culik itu? Kau kira dia
puterimu?"
Ciamtay Cu-ih melengak, tanyanya; "Sudah tentu dia
anakku, memangnya siapa lagi dia kalau bukan anak
perempuan Sau-hujin yang dilahirkan ketika kusekap di
pulauku?"
Sau Ceng-hong tertawa, kemudian ia lantas
menceritakan apa yang didengarnya dari Soat Peng-say
tentang Cin Yak-leng yang disangkanya Sau Kim-leng oleh
Ciamtay Boh-ko itu.
"Apakah keteranganmu ini dapat dipercaya?" Ciamtay
Cu-ih menegas dengan sangsi.
Jawab Ceng-hong dengan tidak senang. "Kita sudah
kenal cukup lama, masa kau tidak tahu bagaimana
kepribadianku? Jika kau anggap aku ini orang kecil yang
penakut dan pendusta, nyata kau terlalu memandang
rendah padaku."
Mendadak Ciamtay Cu-ih menghela napas, ia tanya
dengan lunak: "Kun-cu-kiam tidak menakutkan karena
pedangnya, tapi sebutan Kuo-cu memang sesuai dengan
jiwamu. Sau-heng, Kupercaya penuh apa yang kau
ceritakan."
"Jika kau percaya, jelas tiada gunanya nona Cin itu
bagimu, tentunya sekarang boleh kau bebaskan dia bukan?"
tanya Ceng-hong.
"Dengan sendirinya akan kubebaskan dia," kata Ciamtay
Cu-ih "Ai, jadi sia2 aku bergembira, sampai saat ini masih
kuanggap dia sebagai puteri kandungku, siapa tahu . . . . ai.
. . ."
Melihat orang menjadi berduka, timbul juga rasa sesal
Sau Ceng-hong, katanya pula: "Muridku minta bantuanku
agar menolong Piaumoaynya, tak terduga dalam urusan ini
telah terjadi salah paham begini. Sesungguhnya sebelumnya
akupun menyangka dia adalah puteri Ceng-in yang
bernama Sau Kim-leng."
Sebenarnya Ciamtay Cu-ih bermaksud memancing rasa
belas kasihan Sau Ceng-hong, agar mengatakan dimana
beradanya Sau Kim-leng sekarang, tapi dari nadanya
sekarang anaknya Ceng-hong juga tidak tahu jejak Sau
Kim-leng. Namun dia belum lagi putas asa, langsung ia
lantas bertanya: "Apakah Sau-heng mengetahui dimana
beradanya. puteriku sekarang?"
"Entah, aku tidak tahu," jawab Ceng-hong sambil
menggeleng kepala.
"Dan muridmu Itu?" tanya Ciamtay Cu-ih.
"Maksudmu muridku yang baru, si Soat Peng-say?"
"Ya," jawab Ciamtay Cu-ih. "Kalau Piau-moaynya
menjaru sebagai Sau Kim-leng, tentunya karena puteriku
tidak berani pulang ke Tang-hay untuk menikah dengan
kakaknya, karena itulah dia mengatur penyamaran itu.
Kukira Soat Peng-say pasti tahu muslihat ini, dia tentu juga
tahu dimana beradanya puteriku, bolehkah kuminta
keterangan padanya?"
"Baik!, boleh saja," jawab Ceng-hong
"Jika begitu akan kutunggu dia di kelenteng Toapekong
kira2 sepuluh li diluar kota saja, asalkan berita mengenai
puteriku sudah jelas. didepan muridmu itu juga akan
kulepaskan Cin Yak-leng," kata Ciamtay Cu-ih, lalu ia
membalik tubuh dan melangkah pergi.
"Nanti dulu!" seru Ceng-hong.
Ciamtay Cu-ih berhenti dan berpaling, tanyanya: "Sauheng
ada petunjuk apalagi?"
Selagi Sau Ceng-hong hendak mendekatinya, mendadak
Ciamtay Cu-ih membentak: "Berhenti, jangan mendekat
kemari!"
Ceng-hong tertawa, katanya: "Apakah kau takut
kuserang kau? Ah, kau terlalu banyak curiga, asalkan kau
lepaskan Cin Yak-leng. kita akan pergi kejurusannya sendiri
dan tidak ikut campur urusan masing2."
"Meskipun begitu, kau tetap jangan mendekat kesini,"
kata Ciamtay Cu-ih. "Hehe, sekali ini Sau-heng yang berada
di bawah angin, asalkan kau melangkah maju lagi. segera
kukabur sejauh2nya dan urusan kitapun batal seluruhnya."
"Sungguh terlalu kau," ujar Ceng-hong dengan aseran.
"Dengan maksud baik kuterima permintaanmu untuk minta
keterangan kepada muridku tapi kau lantas berlagak dan
menggunakan hal ini sebagai alat pemeras, apakah
maksudmu baru akan membebaskan Piaumoaynya bila
muridku itu telah memberitahukan di mana beradanya
Kim-leng?"
"Hahahaha! memang begitulah!" seru Ciamtay Cu-ih
sambil tergelak.
"Dan kalau dia tidak tahu jejak Kim-leng?"
"Akupun tidak jadi membebaskan Cin Yak-leng!"
"Bukankah kita sudah berjanji barang siapa menang akan
mendapatkan Cin Yak-leng, sekarang kau mengaku kalah
dan kau harus membebaskan nona itu. Muridku tidak
berkewajiban harus memberitahukan jejak puterimu."
"Bilakah kau pernah menjatuhkan diriku?'' tanya
Ciamtay Cu-ih. "Hanya mengaku kalah secara lisan, itu kan
kerendahan-hatiku saja dan kau anggap sungguh2?"
Dengan menahan rasa gusarnya Ceng-hong berkata:
"Baik, anggap kau tidak pernah kalah, marilah kita coba2
lagi,"
Ciamtay Cu-ih tertawa mengejek, katanya: "Sekarang
aku sudah tidak berminat bergebrak lagi dengan kau.
Silakan Sau-heng bicara kepada muridmu, katakan besok
pagi akan kutunggu dia dikelenteng Toapekong itu, jika dia
tidak datang, maka berarti pula tamatlah Piaumoaynya."
"Memangnya akan kau apakan dia?" bentak Ceng-hong
dengan gusar.
Diam2 Ciamtay Cu-ih memperhatikan setiap gerak-gerik
Ceng-hong, asalkan tubuh tokoh Lam-han itu bergerak,
segera ia akan angkat langkah seribu alias kabur. Tanpa
menghiraukan pertanyaannya ia lantas berkata pula: "Selain
itu hanya dia sendiri yang boleh datang kekelenteng sana,
bila ditemani Sau-heng. hehe, terpaksa kubertindak kejam
dan jangan menyalahkan aku bila kubinasakan
nonaCin itu."
Sampai di sini tidak tahan lagi Ceng-hong, dengan
murka ia menubruk maju dan pedangnya terus menusuk.
"Maaf, tidak dapat kulayani," seru Ciamtay Cu-ih
dengan tertawa.
Tampaknya tusukan Sau Ceng-hong itu sukar
dihindarkan. tapi sedikit mendak tubuh secepat anak panah
lepas dari busurnya tubuh Ciamtay Cu-ih yang gendut itu
terus melesat kesana, betapa cepat reaksinya sungguh tidak
malu sebagai seorang guru besar suatu aliran tersendiri.
Sau Ceng-hong terus simpan pedangnya. langkahnya
tidak berhenti, segera ia mengudak kedepan.
Sambil berlari secepat terbang Ciamtay Cu-ih sempat
berseru: "Hayolah kita berlomba Ginkang siapa terlebih
tinggi!"
Hanya dalam sekejap saja kedua tokoh besar itu sudah
menghilang.
Peng-lam melangkah keluar dari tempat sembunyinya, ia
kuatir kalau2 Soat Peng-say akan memenuhi kehendak
Ciamtay Cu-ih dan hadir di kelenteng Toa-pekong itu.
padahal maksud tujuan tokoh Tang-wan itu sudah jelas,
yaitu menggunakan Cin Yak-ling sebagai umpan untuk
memancing Soat Peng-say.
Jangankan Peng-say sudah resmi diterima sebagai murid
Lam-ban dan sekarang sudah menjadi saudara
seperguruannya, melalu kerelaan Peng-say yang tampil
kemuka untuk menolongnya tempo hari. betapapun Penglam
wajib balas menolongnya.
Karena itulah ia lantas mencari kelenteng Toa-pekong
yang dimaksudkan CiamtayCu-ih itu.
Peng-lam memang cerdik. sedikit berpikir saja ia lantas ia
tahu tipu muslihat keji Ciamtay Cu-ih. ia pura2 ingin tanya
jejak anak perempuannya, pada hal yang benar ialah ingin
menawan Soat Peng-say untuk dipaksa mengaku dimana
beradanya Siang-lui-kiam-boh. Ia kuatir gurunya tidak tahu,
bila tidak berhasil menyusul Ciamtay Cu-ih!, kemudian
memberitahukan Soat Peng-say agar memenuhi janji
undangan Ciamtay Cu-ih sedangkan Soat Peng-say pasti
tanpa pikir akan pergi ke kelenteng Toa-pekong itu demi
menolong Piaumoaynya.
Untuk ini Peng-lam ingin mengadang di tengah jalan
sebelum Peng-say pergi ke kelenteng sana, akan diberitahu
bahwa undangan Ciamtay Cu-ih itu cuma perangkap belaka
dan se-kali2 jangan sampai terjebak.
Tapi luka Peng-lam baru saja sembuh, mestinya tidak
boleh banyak bergerak, kalau tidak, bila lukanya kambuh
lagi tentu akan membahayakan jiwanya. Namun dasar
jiwanya memang luhur dan berhati mulia, demi orang lain
dia tidak menghiraukan keselamatan sendiri. Meski dengan
bertongkat ranting pohon, dengan langkah terincang-incut
ja tetap menuju kesana.
Ketika pagi tiba, akhirnya ditemukan juga kelenteng itu
tidak jauh di depan sana. dengan menggeh2 ia berduduk
ditanah. Ia ingin istirabat dulu. tapi kuatir berjarak terlalu
jauh dan tidak sempat mencegat Peng-say. terpaksa ia
melangkah lagi mendekati kelenteng itu.
Belum sampai di depan pintu kelenteng, terdengar suara
seorang tua serak dan tandas bertanya di dalam: "Apakah
kau puteri Sau Ceng-in dari Pak-cay?"
Ketika sembunyi di kamar rumah pelacuran Kun-giok-ih
tempo hari Peng-lam pernah mendengar suara orang tua ini
yakni Say-pak-beng-to Soat Ko hong. Ia menjadi heran,
mengapa bukan Ciamtay Cu-ih, tapi si bungkuk ini yang
berada disini?
Ia tahu Kungfu si bungkuk ini tidak dibawah Ciamtay
Cu-ih. dengan hati2 ia menyelinap ke samping kelenteng,
sampai bernapas pun tidak berani keras2.
Lalu didengarnya suara seorang perempuan sedang
menangis ter-sendat2.
Terdengar Soat Ko-hong berkata pula: "Urusan sudah
kadung begini, apa gunanya bersedih. Sudahlah, jangan
menangis. Aku paling benci bila mendengar perempuan
menangis, kalau tidak berhenti menangis. sekali hantam
kumampuskan kau."
Agaknya perempuan itu terlalu sedih sehingga sedikitpun
dia tidak gentar akan ancaman si bungkuk, ia masih terus
tersedu-sedan.
Soat Ko-hong tak berdaya, tiba2 suaranya berubah halus.
katanya: "Nona kenal Soat Peng-say tidak?"
"Dia . . . .dia berada .... berada di mana?" tanya
perempuan yang menangis itu.
Soat Ko-hong tertawa. katanya: "Melihat cara bicaramu
ini, baru mendengar namanya sudah lantas tanya dimana
dia. Hah, jelas, kau inilah adik Leng yang selalu disebutnya
itu."
Mungkin anak perempuan itu membenarkannya dengan
mengangguk, sebab tidak terdengar suaranya.
Lalu Soat Ko-hong berkata pula: "Tidaklah sulit jika kau
ingin menemui dia, asalkan kau katakan di mana beradanya
Siang-liu-kiam-boh."
"Siang-liu-kiam-boh apa? Aku . . aku tidak tahu .. . ."
jawab perempuan itu.
"Ilmu pedang keluarga Sau kalian sudah berhasil
dipelajari orang luar dan kau mengaku tidak tahu, huh,
setanpun tidak percaya," kata Soat Ko-hong. "Hehe, kau
sangka aku tidak tahu bahwa Siang-liu-kiam-hoat Soat
Peng-say itu dipelajarinya darimu? Hayo lekas katakan, di
mana Kiam-bo itu, kalau tidak, sekali hantam
kumampuskan kau agar kau menemui Soat Peng-say di
akhirat."
Habis berkata, pelahan ia angkat tangan kanannya dan
menabas dari jauh ke arah patung Toapekong, kontan
patung itu roboh dan hancur.
Perempuan itu menjadi gugup dan berseru. "Kenapa ....
apakah dia .... dia sudah mati?"
"Hahahaha! Mati sih belum, cuma dia sudah berada
dalam cengkeramanku, bila kuhendaki dia hidup tentu dia
akan hidup, kalau kuhendaki dia mati pasti dia akan mati,
setiap saat ingin kubinasakan dia, sekali hantam saja pasti
beres," sembari berkata, kembali ia ayun telapak tangannya
sehingga sebuah meja sembahyang di depannya
dihantamnya remuk pula.
Perempuan itu memang betul Cin Yak-leng adanya, dia
rada sangsi demi mendengar Soat Peng-say berada dalam
cengkeraman si bungkuk, ia menggeleng dan berkata:
"Tidak, aku tidak percaya Jika Peng-say berada dalam
cengkeramanmu, mengapa dia tidak berada disampingmu?
Tiada gunanya kau menggertak diriku, kalau kau bawa dia
ke sini barulah aku mau percaya."
Dengan gusar Soat Ko-hong berkata: "Apakah kau tidak
kenal betapa lihaynya diriku si Say-pak- beng-to Soat Kohong
ini? Apa sulitnya bagiku untuk membunuh seorang
anak ingusan macam Soat Peng-say, biarpun sekarang dia
tidak berada disini, kalau aku sudah bertekad akan
membunuhnya masa tak dapat kulaksanakan? Di dunia ini
di-mana2 terdapat sahabatku, banyak mata-telingaku, untuk
mencari seorang Soat Peng-say adalah semudah merogoh
barang didalam saku bajuku."
"Krek", kembali sebuah meja dihantamnya hingga
hancur.
Melihat tenaga pukulan si bungkuk memang sangai
hebat, Cin Yak-leng menjadi takut, jelas Kungfu si bungkuk
terlebih tinggi lagi daripada Liok-ma, jangan2 nanti Soat
Peng-say benar2 akan dibunuhnya.
Sambil menggeleng ia lantas menjawab: "Tiada gunakan
kau paksa diriku, hakikatnya aku tidak tahu macam apakah
Siang-liu-kiam-boh itu, dahulu akupun tidak pernah
mendengar, sekalipun Soat Peng-say kau bunuh juga kitab
itu takkan kau dapatkan."
Sudah tentu Soat Ko-hong tidak percaya, ia mengancam
pula: "Jika demikian, biarlah sekarang juga kupergi
membinasakan bocah Soat Peng-say itu." —Habis berkata
ia berlagak hendak melangkah pergi.
Keruan Yak-leng menjadi kuatir, cepat ia berseru:
"Tidak, jangan!"
"Jika begitu, hendaklah kau mengaku dimana kau
simpan Siang-liu-kiam-boh keluargamu itu?"
Yak-leng menghela napas, katanya: "Losiansing, biar
kukatakan terus terang, sesungguhnya aku bukan puterinya
Sau Ceng-in, aku she Cin ..."
Soat Ko-hong menjadi gusar, bentaknya: "Perempuan
busuk, berani sembarangan omong di depanku, kau kira
aku bisa kau tipu? Aku sudah tidak doyan perempuan
cantik seperti Ciamtay Cu-ih, bila perlu akan kusiksa kau
hingga hidup sukar mati pun tidak."
Setelah mendengarkan sampai disini, Peng-lam tahu Soat
Ko-hong telah marah, kalau tidak lekas berusaha
memancingnya pergi, bukan mustahil jiwa nona she Cin itu
bisa, terancam.
Karena itulah segera ia berseru: "Soat-cianpwe, murid
Lam-han Sau Peng-lam diperintahkan guru untuk
mengundang Soat-cianpwe agar sudi menemui beliau untuk
berunding sesuatu."
Mestinya Soat Ko-hong hendak turun tangan untuk
menyiksa Cin Yak-leng, ia terkejut ketika tiba2 mendengar
suara Sau Peng-lam diluar kelenteng. Biasanya dia tidak
mau mengalah kepada siapapun, hanya terhadap Sau Cenghong,
ketua Lam-han itu dia rada jeri terutama ia sudah
merasakan kelihayan "Cu-be-kang" Sau Ceng-hong waktu
berada diluar rumah pelacuran Kun-giok-ih, ia tahu
Lwekang ketua Lam-han itu sudah mencapai tingkatan
yang sukar dijajaki.
Ia menduga caranya menggertak Cin Yak-leng tadi besar
kemungkinan sudah didengar oleh Sau Ceng-hong dan
muridnya, ia tahu perbuatannya ini jelas tidak disukai oleh
golongan yang menamakan dirinya Beng-bun-ceng-pay,
maka ia pikir; "Sau Ceng-hong bilang ingin berunding
sesuatu denganku, apalagi kalau bukan menasihati
perbuatanku ini atau mungkin juga akan ber-olok2 padaku
untuk membiKin malu padaku. Daripada kehilangan muka
lebih baik kutinggal pergi saja."
Karena itu ia lantas berseru: "Aku masih ada urusan lain
dan tidak dapat memenuhi undangan Sau-hancu, harap
sampaikan kepada gurumu, katakan bilamana ada waktu
senggang, silakan dia suka mampir ke Sai-pak (Utara
perbatasan) di sanalah kutunggu kunjungannya."
Habis berkata, sekali melonjak. dari pendopo ia
melompat kehalaman tengah, sekali loncat lagi ia sudah
berada diatas rumah, segera ia melayang ke belakang
kelenteng se-akan2 kuatir kepergok Sau Ceng-hong dan
ditanya, hanya sekejap saja ia sudah menghilang.
Peng-lam sangat girang demi menyetahui si bungkuk
sudah pergi, pikirnya: "Kiranya si bungkuk ini sangat takut
kepada guruku, jika dia tidak pergi dan main kekerasan
padaku tentu aku bisa celaka."
Dengan tongkat ranting kayu ia lantas masuk ke dalam
kelenteng. Ruangan pendopo kelenteng itu guram suram,
terlihat seorang perempuan muda berduduk setengah
bersandar pada pilar, dilantai depannya ada secomot darah,
pakaian si nona tampak ter-koyak2, mukanya lesu dan
pucat, jelas belum lama berselang baru mengalami
kekerasan pisik.
Dia tidak tahu persis apakah nona ini adik misan Soat
Peng-say atau bukan, maka ia coba bertanya: "Apakah nona
Cin Yak-leng adanya?"
Menghadapi murid Lam-han dan juga orang yang telah
menyelamatkannya, tetap Cin Yak-leng tak berani mengaku
asal-usulnya, dengan gugup ia menggeleng
"Nona she apa?" tanya Peng-lam pula.
"Aku. . . .aku she Sau ..." Yak-leng berdusta.
"Untuk apa nona mengaku sebagai Sau Kim-leng? Tadi
diluar kelenteng jelas kudengar kau mengaku she Cin dan
bukan puteri Sau Ceng-in."
Cepat Yak-leng berkata: "Ti. . . .tidak, aku benar2 she
Sau. Sau Ceng-in ialah ayahku. . . ."
Melihat si nona tidak mau bicara sejujurnya, Peng-lam
menduga dibalik persoalan ini tentu ada sesuatu yang tidak
beres, ia coba memancing pula: "Adakah orang yang
memaksa kau memalsukan Sau Kim-leng?"
"Ti. ....tidak?" Yak-leng menyangkal.
Karena dia menyangkal dengan ter-gegap2, Peng-lam
bertambah yakin pasti ada orang memaksa dia mengaku
sebagai Sau Kim-leng. Ia pikir orang itu pasti mengancam
nona ini dengan keselamatan jiwanya, maka matipun nona
ini tidak berani mengaku nama aslinya.
Segera Peng-lam bertanya pula: "Hendaklah kau bicara
terus terang padaku, siapa yang mengancammu agar
mengaku sebagai Sau Kim-leng? Jangan kuatir terhadap
orang yang mengancam dirimu itu, ketahuilah kakak
misanmu Soat Peng-say kini sudah menjadi murid Lam-han
kami, jika kau bicara terus terang, segala urusan pasti akan
kami bela sebisanya."
Yak-leng tidak takut lagi demi mendengar Soat Peng-say
telah diterima menjadi murid Lam-han, segera ia
bermaksud berdiri untuk memberi hormat kepada
Suhengnya kakak Peng, tapi berdiri saja tidak kuat, terpaksa
ia miringkan tubuh dan berkata: "Terimalah hormatku, Sausuheng."
"Jangan banyak adat." kata Peng-lam. "Kita sudah orang
sendiri, ada persoalan apa hendaklah bicara saja terus
terang, betapapun besarnya persoalan pasti akan kami bela
dan balaskan dendam bagimu."
Dibalik ucapannya itu tidak saja dia menyuruh si nona
memberitahukan siapa orang yang memaksanya mengaku
sebagai Sau Kim-leng, bahkan juga menganjurkan dia
menceritakan siapa orang yang telah memperkosanya.
Yak-leng mencucurkan air mata, katanya: " Urusan
sudah kadung begini, apapula yang kutakuti, semuanya
gara2 Liok-ma yang menghendaki kupalsukan Sau Kimleng
sehingga. . . ."
"Kiranva Liok-ma yang mengancam kau," sela Peng-lam
dengan gemas. "Nenek ini memang cukup keji, meski
tujuannya demi membela majikannya, tapi dia suka
membunuh orang yang tak berdosa, ia pantas dihukum
mati, sekarang ia mengancam kau pula, bila kupergoki dia
pasti akan kuhajar adat padanya."
Tapi Yak-leng lantas menggeleng, katanya: "Apa artinya
jiwaku ini, persoalan ini mungkin tak dapat dipahami Pengsay,
bahwasanya Liok-ma mengancam diriku dengan
keselamatan jiwa Peng-say agar aku mau menyaru sebagai
Sau Kim-leng, akhirnya urusan menjadi begini sehingga aku
malu untuk bertemu lagi dengan Peng-say, Ai, mohon
bantuan Suheng agar suka memberitahukan Peng-say
bahwa aku tiada muka buat bertemu dengan dia, biarlah
kami berjumpa pula pada penjelmaan yang akan datang.
Mengenai orang yang memperkosa diriku, dia. . . .dia. . . ."
Dari nadanya Peng-lam tahu si nona ada maksud
membunuh diri, cepat ia berkata: "Selekasnya Soat-sute
akan datang kemari, ada urusan apa boleh kau katakan
langsung kepadanya dan jangan...."
Dengan girang dan kejut Yak-leng memotong: "Hah, jadi
dia. ... dia akan kemari?"
"Ya, sebentar lagi pasti akan tiba," kata Peng-lam.
"Tapi . . . tapi mana boleh kutemui dia dengan begini ..."
ucap Yak-leng, "Kuharap Suheng suka berjaga dulu diluar,
jangan . . . .jangan sampai ia masuk langsung, biar
kubetulkan bajuku dulu . . . ."
Melihat rasa gembira si nona, diam2 Peng-lam gegetun,
betapa cinta nona ini terhadap Soat Peng-say tertampak
dengan jelas, Dengan tertawa ia lantas berkata: "Baiklah,
aku akan keluar, bila dia datang segera aku berdehem
sebagai tanda."
Habis berkata ia lantas membalik tubuh dan hendak
melangkah keluar. Mendadak terdengar suara "bres",
seketika ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, cepat ia
memutar balik untuk mencegah, namun sudah terlambat,
tahu2 kepala Cin Yak-leng sudah berlumuran darah.
otaknya berceceran di lantai.
Tak tertahan lagi air mata Peng-lam ber-linang2 diam2 ia
memaki dirinya sendiri yang terlalu ceroboh, kenapa tidak
berpikir si nona akan memancingnva keluar.
Rupanya Cin Yak-leng merasa tiada muka lagi untuk
bertemu dengan Soat Peng-say, ia sudah bertekad akan
membunuh diri. Ketika diketahuinya sebentar lagi Soat
Peng-say akan datang, ia tahu badan sendiri yang kotor dan
tidak suci lagi akan dilihat anak muda itu. maka ia sengaja
berlagak kegirangan dan minta Peng-lam keluar, begitu
Peng-lam berpaling. segera ia membenturkan kepalanya
pada pilar batu.
Melihat keadaan Cin Yak-leng itu, Peng-lam tahu nona
itu tidak dapat ditolong lagi. dilihatnya mulut Yak-leng bergerak2
seperti hendak bicara sesuatu, cepat ia berjongkok
untuk mendengarkan.
"Beritahukan padanya agar ....agar membalaskan sakit
hatiku, yang ....yang berbuat adalah Ciamtay Cu-ih . . . ."
demikian ucap Yak-leng dengan suara yang hampir tak
terdengar.
Peng-lam memang sudah menduga siapa kiranya orang
yang memperkosa si nona, maka ia manggut2 dan berkata:
"Baiklah, pasti akan kuberitahukan padanya. pergilah kau
dengan tenang."
"Jangan ....jangan sampai dia melihat keadaan . .
.keadaanku yang buruk ini. . . ." sampai disini putuslah
napas Cin Yak-leng.
Meski baru pertama kali ini bertemu Yak-leng, tapi apa
yang terpampang didepan matanya membuat Peng-lam
mencucurkan air mata kesedihan. Mestinya ia ingin
menuruti keinginan Yak-leng dan akan segera
menguburnya agar Soat Peng-say tidak sempat melihat
kematian si nona yang mengenaskan itu. Tapi
sesungguhnya ia sendiri terlalu lemah, tiada tenaga lebih
untuk mengubur Cin Yak-leng, terpaksa ia berduduk di
lantai dan mengaso, ia berharap tenaganya dapat
dipulihkan.
Selang agak lama, tiba2 dari luar kelenteng, terdengar
suara langkah orang, ia mengira Soat Peng-say datang
memenuhi janji Ciamtay Cu-ih, cepat ia melompat bangun,
tapi ia menjadi bingung dan entah apa yang harus
diperbuatnya.
Diluar dugaan, terdengar suara ayah-angkatnya berkata
diluar: "Adakah Ciamtay-heng berada di dalam?"
Dengan girang Peng-lam menjawab: "Gihu, akulah
disini!"
Pelahan Sau Ceng-hong melangkah masuk, melihat
jenazah Cin Yak-leng. ia berkerut kening dan bertanya:
"Sudah mati?"
Peng-lam mengiakan. Lalu ia menceritakan apa yang
dilihatnya waktu Soat Ko-hong mendesak Yak-leng
menyerahkan Siang-liu-kiam-boh, kemudian si bungkuk
digertak lari dengan menggunakan nama sang ayah-angkat
serta cara bagaimana Cin Yak-leng membunuh diri.
Sau Ceng-hong termenung sejenak, katanya kemudian:
"Jenazahnya se-kali2 tidak boleh dilihat Peng-say, boleh
kau kubur dia saja."
Setelah istirahat sekian lama, semangat Peng-lam sudah
segar kembali, cepat ia bekerja menjelang lohor dapatlah ia
kebumikan Cin Yak-leng ala kadarnya.
Waktu istirahat Peng-lam bertanya: "Gihu, bagaimana
akhirnya si pendek itu berlomba Ginkang denganGihu?”
"O, jadi kau yang mencuri dengar semalam?"
Peng-lam mengangguk dan menjawab: "Ya, kukuatir
Sute akan datang kemari, maka begitu Gihu pergi segera
kudatang kesini untuk menghadangnya." —Lalu iapun
ceritakan maksud tujuan CiamtayCu-ih
"Aku tidak memikirkan hal ini," kata Sau Ceng-hong,
"hanya kuduga Ciamtay Cu-ih pasti tidak bermaksud baik,
bisa jadi kalau Peng-say datang kesini akan dibunuhnya
untuk membalas sakit hati kematian anaknya, sebab itulah
tidak kukatakan urusan ini kepada Peng-say. Lari Ciamtay
Cu-ih semalam memang cepat luar biasa, hampir setengah
jam kukejar dia dan tak dapat menyusulnya, bahkan
jaraknya semakin jauh. maka tidak kukejar lagi, Nyata,
Ginkang Tang-wan memang lebih tinggi setingkat
dibandingkan Lam-han kita."
Sesuai julukannya sebagai Kun-cu-kiam atau si pedang
ksatria sejati, dia seorang yang jujur dan berjiwa besar, jika
kalah ya mengaku kalah, kalau menang ya menang,
semuanya dikatakan secara blak2an.
Peng-lam bergelak tertawa, katanya: "Jurus Tang Wan
lari dengan pantat jatuh lebih dulu ketanah memang jauh
lebih tinggi daripada aliran lain."
Seketika Sau Ceng-hong menarik muka, omelnya: "Anak
Lam, mulutmu inilah yang sok mengoceh tak keruan, mana
bisa kau menjadi teladan bagi saudara2 seperguruan mu?"
Peng-lam mengiakan sambil melengos kearah lain dan
menjulur lidah.
"Jika sudah mengiakan, kenapa kau mesti menjulur lidah
pula, itu berarti tidak tulus pengakuanmu," omel Ceng-hong
pula.
Kembali Peng-lam mengiakan, sekali ini dia tidak berani
berlagak lain lagi.
Sejak kecil dia dibesarkan Sau Ceng-hong, meski bukan
ayah dan anak kandung, tapi jauh lebih kasih sayang
darpada ayah dan anak kandung sejati. Pribadi Sau Cenghong
pada dasarnya memang halus budinya, terhadap anak
murid yang lain juga jarang bersikap keras. Biasanya Sau
Peng-lam memang tidak begitu takut kepada ayah
angkatnya ini, maka dengan tertawa ia bertanya pula:
"Gihu, cara bagaimana kau tahu aku menjulurkan lidah?"
"Otot dagingmu dibawah telinga kelihatan berkerut,
kalau bukan menjulur lidah apalagi?" dengus Ceng-hong,
"Hm, kau memang bengal dan Deling, setelah banyak
mengalami cedera, sekarang tentunya kau tahu rasa."
Kembali Peng-lam hendak melelet lidah lagi, lapi cepat
ia menutupi mulutnya.
Sau Ceng-hong menggeleng menghadapi murid dan
anak-angkat kesayangan yang binal ini. Dia mengeluarkan
sebuah mercon roket, ia menuju halaman, dipasangnya
mercon loket ini sehingga meluncur ke udara dan meledak
diketinggian, bunga api mercon itu bertebaran membentuk
sebilah pedang warna perak, sampai sekian lamanya lukisan
pedang itu menghiasi angkasa, kemudian bunga api
berhamburan ke bawah.
Kiranya cara demikianlah ketua Lam-han
mengumpulkan anak muridnya, dengnn lukisan pedang
perak yang terbentuk dari bunga api sebagai tanda pengenal
"Kun-cu-kiam".
Lalu Peng-lam berkata pula. "Menurut dugaan anak,
setelah Ciamtay Cu-ih melepaskan diri dari kejaran Gihu
semalam, ia lantas membawa Cin Yak-leng kesini. Dasar
orang ini memang gila perempuan, setelah mengetahui Cin
Yak-leng bukan anak perempuan sendiri, seketika timbul
napsu binatangnya, rupanva perbuatan kotor itu kepergok
Soat Ko-hong, dengan sendirinya dia malu dan buru2
melarikan diri."
Ceng-hong menghela napas, katanya dengan menyesal:
"Sudah kusanggupi Peng-say akan menolong Piaumoaynya,
tidak tersangka malah membikin susah padanya, jika tidak
kuberitahu asal usul Cin Yak-leng, tentu nona ini tidak akan
mengalami nasib malang begini."
Sampai disini, ber-ulang2 ia menghela napas gegetun
pula. Sejenak kemudian ia berkata lagi: "Semalam sudah
kupikirkan, untuk minta Ciamtay Cu-ih membebaskan
nona ini secara kekerasan jelas sukar, terpaksa harus
memohonnya dengan halus, maka kuputuskan datang
kemari untuk minta Ciamtay Cu-ih suka melepaskan adik
misan Peng-say ini, bila dia mau membebaskannya, sebagai
balas jasa akan kuajarkan Ci-he-kang kepadanya. Siapa
tahu, tokoh yang terkenal sebagai seorang guru-besar suatu
aliran ternyata bernapsu binatang, lalu cara bagaimana
harus kukatakan kepada Peng-say?"
Diam2 Peng-lam terkesiap, bahwa sang guru sudi
memohon secara halus kepada Ciamtay Cu-ih saja sukar
dipercaya, apalagi bersedia mengajarkan Ci-he-kang sebagai
imbalan pembebasan Cin Yak-leng. sungguh keputusan ini
sangat mengherankan dan juga mengejutkan.
Padahal ia cukup kenal pribadi sang guru, lahirnya Sau
Ceng-hong tampak halus, tapi hatinya sangat keras, kalau
menyuruhnya tunduk dan memohon sesuatu kepada pihak
lawan, biarpun membunuhnya juga dia tidak sudi. Apalagi
Ci-he-kang adalah ilmu khas Bu-tong-pay yang tidak
sembarangan diajarkan kepada pihak luar, dengan susah
payah Sau Ceng-hong berhasil meyakinkannya, sampai
murid kesayangannya seperti Sau Peng-lam juga tidak
diajarkannya, tapi sekarang ia memutuskan akan
mengajarkan kepada Ciamtay Cu-ih asalkan Cin Yak-leng
dibebaskan. hal ini sungguh sangat aneh.
Sedangkan Cin Yak-leng boleh dikatakan tiada sangkutpaut
apapun dengan Sau Ceng-hong, satu2-nya sangkutpaut
hanya nona itu adalah adik misan muridnya, jadi
usahanya menolong si nona adalah demi Soat peng-say.
Tapi sekarang sang guru bertekad menyelamatkan nona itu
tampa memikirkan pengorbanan oesar yang harus
dipertaruhkannya, inipun menandakan betapa sayangnya
Sau Ceng-hong terhadap muridnya yang baru diterima itu.
Berpikir sampai disini, tanpa terasa timbul rasa iri dalam
benak Sau Peng-lam, tapi perasaan ini hanya sekelebatan
saja lantas lenyap, setitikpun tidak tersisa di dalam hatinya.
Ia cuma merasa keheranan, tidak habis mengerti sebab apa
sang Gihu sedemikian sayang terhadap Soat Peng-say?
Begitulah, setelah sekian lamanya mendadak dikejauhan
terdengar suara orang berlari menuju ke arah kelenteng sini.
"Itulah Kin-beng, langkahnya enteng, larinya cepat,
diantara murid2ku hanya dia yang dapat berlari secepcat
ini, cuma sukar mencapai jarak jauh," kata Ceng-hong.
Benar juga, sejenak kemudian terdengar suara Swipoa
yang biasa dibawa Ko Kin-beng berbunyi "tik-tak-tik-tak"
diluar kelenteng, lalu suara teriakannya: ”Suhu, apakah
engkau berada disini?"
Maklumlah, karena bunga api yang menjulang di
angkasa tadi hanya dapat dipandang dari jauh sehingga
tempatnya juga cuma di-kira2kan saja, tapi tidak tahu pasti
di kelenteng inilah sang guru berada.
Maka Sau Ceng-hong lantas menjawab: "Ya, aku di
sini!"
Cepat Ko Kin-beng berlari masuk kelenteng dan
memberi hormat sambil memanggil Suhu, Ketika melihat
Sau Peng-lam juga berada disitu, ia kegirangan dan
menyapa: "Toa-suko baik2kah engkau? Wah, kami sama
menguatirkan dirimu."
Melihat rasa girang Ko Kin-beng itu sangat tulus dan
sungguh2, hati Peng-lam terharu, katanya dengan
tersenyum: "Untung nasibku baik, tidak sampai mati."
Tengah bicara, sayup2 terdengar pula suara orang berlari
datang, sekali ini ada dua orang.
"Siapa itu yang datang?" tanya Ceng-hong.
Yang seorang enteng dan cepat, yang lain langkahnya
berat, itulah Jisute dan Laksute," ujar Peng-lam.
Ceng-hong mengangguk, katanya: "Kau memang pintar,
anak Lam, sekali diberitahu segera paham. Bila kau dapat
belajar setenang dan sesabar Lo-kiat, maka tidak perlu lagi
kukuatiikan dirimu."
Belum lagi Kiau Lo-kiat dan Kang Ciau-lin yang
dimaksud Pang-lam itu masuk kelenteng, di kejauhan
bergema pula suara tindakan murid ke-tiga No Hoat dan
murid keempat Si Tay-cu.
Selang tidak lama, murid ketujuh To Kun dan murid
kedelapan Lo Eng-pek serta kemanakan perempuan Siu
Ceng-hong, yaitu Leng Hiang serta Soat Peng-say yang baru
masuk perguruannya itu pun datang semua.
Melihat Sau Ceng-hong, setelah memberi hormat segera
Peng-say bertanya: "Suhu, apa yang dikatakan Ciamtay Cuih?"
Pagi tadi. waktu Sau Ceng-hong berpisah dengan anak
muridnya, dia bilang kepada Peng-say bahwa dia akan
datang ke kelenteng Toapekong ini untuk berunding dengan
Ciamtay Cu-ih agar suka membebaskan Cin Yak-leng,
sebab itulah begitu bertemu Peng-say lantas bertanya.
Ceng-hong menggeleng dengan wajah sedih.
Peng-say gelisah, tanyanya cepat: "Apakah dia tidak mau
membebaskan adik Leng?"
"Bukan," jawab Ceng-hong.
Segera Peng-say merasakan gelagat tidak enak, cepat ia
menoleh dan melihat disamping pendopo sana ada sebuah
kuburan baru, dengan terkejut ia tanya: "Siapa yang
terkubur disitu?"
"Siausute, hendaklah kau jangan berduka," kata Penglam
tiba2. "Biarlah kuceritakan apa yang terjadi semalam."
"Maksudmu Piaumoay telah. . . .telah meninggal?!"
tanya Peng-say dengan suara parau.
"Ya, disitulah makamnya," jawab Peng-lam.
Peng-say berlari ke depan kuburan dan berduduk disitu,
sampai sekian lamanya barulah air matanya berderai.
Semua orang ikut mendekati kuburan itu, sedangkan Sau
Peng-lam lantas bercerita pengalamannya semalam.
Selesai mendengar cerita itu, Kiau Lo-kiat dan lain2
sama mencaci maki Ciamtay Cu-ih yang kejam dan pantas
mampus itu.
Peng-lam mengeluarkan sebuah seruling kemala.
katanya. kepada Peng-say: "Waktu kukubur Piaumoaymu,
dari bajunya jatuh keluar seruling ini, mungkin inilah benda
kesayangannya, boleh kau simpan saja."
Peng-say memegang seruling itu, teringat olehnya sejak
kecil Cin Yak-leng memang gemar meniup seruling, tanpa
terasa air matanya mengucur semakin deras, ia pandang
kuburan itu dengan duka tak terhingga.
Sau Ceng-hong memberi tanda agar para muridnya
masuk saja ke kelenteng dan membiarkan Peng-say
berziarah sendiri dimakam itu. habis itu barulah mereka
akan berangkat pulang ke Soh-hok-han
Sesudah semua orang masuk ke kelenteng baru
meledaklah tangis Soat Peng-say yang memilukan.
Diantara anak murid Sau Ceng-hong itu sebenarnya
Leng Hiang paling senang karena diketahui Sau Peng-lam
dalam keadaan sehat walafiat, tapi lantaran Soat Peng-say
sedang menangisi kematian Piaumoaynya, ia tidak enak
untuk bertanya hal2 yang mengembirakan kepada Sau
Peng-lam. Ia tunggu setelah tangis Peng-say rada mereda
barulah mendekati Peng-lam, pelahan ia pegang lengan
sang Suheng dan bertanya dengan suara tertahan:"'Sssst,
kau .... kau tidak apa2 bukan?"
"Ya, tidak apa2," jawab Peng-lam.
Selama beberapa hari ini Leng Hiang senantiasa
berkuatir bagi keselamatan Toasuheng ini, semula
didengarnya dia telah terbunuh oleh murid Tang-wan yang
bernama Lo Ci-kiat, ia malah sudah menangis bagi
kematian Peng-lam itu, cuma iapun cukup kenal Suhengnya
itu sangat pintar dan cerdiK, kepandaiannya tinggi, rasanya
belum pasti akan terbunuh oleh murid Tang wan,
betapapun ia masih menaruh harapan.
Betul juga, kemudian ia mendapat tahu dari sang Paman
bahwa Toasuhengnya memang belum mati. Sekarang dapat
bertemu di kelenteng Toa-pekong ini, tekanan perasaannya
selama beberapa hari ini sukar dibendung lagi, mendadak ia
menarik lengan baju Peng-lam dan menangis.
Peng-lam tepuk2 pelahan bahu sang Sumoay cilik itu,
desisnya: "He, kenapa, Sumoay? Siapa yang nakal, katakan,
biar kuhajar dia?"
Leng Hiang tidak menjawab melainkan terus menangis.
Sejenak kemudian, setelah tangisnya sudah kesampaian, ia
gunakan lengan baju Peng-lam untuk mengusap air mata,
lalu berkata dengan tersendat: "Kau .... kau tidak mati!"
”Aku memang tidak mati, siapa bilang aku mati . . . ."
"Sumoay Siong-san-pay itu tidak berdusta, sungguh aku
....aku ketakutan dan kuatir setengah mati."
"Sumoay dari Siong-san-pay itu sengaja berdusta, semula
dia memang menyangka aku benar2 telah mati," kata Penglam.
Leng Hiang menengadah dan memandangnya dengan
berlinang air mata, dilihatnya muka sang Suheng agak
kurus dan pucat, dengan penuh kasih sayang ia berkata:
"Toasuko, lukamu sekali ini sungguh tidak ringan, kau
mesti pulang dulu untuk istirihat."
Sementara itu Peng-say sudah berhenti menangis.
Ceng-hong lantas berkata: "Anak Lam, coba kau
beritahukan Peng-say, segera kita akan pulang ke Huiciu
melalui jalan air."
Peng-lam mengiakan dan menuju keluar kelenteng,
dilihatnya Peng-say masih duduk ter-mangu2 di depan
kuburan. "Sute," sapanya "marilah kita ikut Suhu pulang."
"Berangkatlah kalian, aku tidak ikut." jawab Peng-say
sambil menggeleng.
"He, kau tidak ikut belajar kepada Suhuku?" tanya Penglam
dengan heran. "Kau harus tahu, untuk menuntut balas
bagi nona Cin perlu kau tekun belajar Kungfu dengan
Gihuku."
"Aku tidak jadi belajar lagi dengan Gihumu,"
"Apa artinya ucapanmu ini?" tanya Peng-lam. "O.
jangan2 lantaran kematian nona Cin kau menjadi dendam
terhadap Gihuku?'
Peng-say diam saja. Nyata, dia memang menyesal
karena secara tidak langsung Sau Ceng-hong dianggapnya
mengakibatkan kematian Cin Yak-leng.
Segera Peng-lam berkata pula: "Tentang Gihu
memberitahukan asal-usul nona Cin kepada Ciamtay Cu-ih,
itu hanya kesalahan yang tidak disengaja. kan kau sendiri
tidak pernah menyatakan kepada Gihu agar jangan
membocorkan asal-usulnya?"
Peng-say menghela napas kalau dipikir, memang
sebelumnya soal ini tidak pernah diutarakannya, tentunya
Sau Ceng-hong tidak dapat disalahkan.
"Dan tahukah kau sebelum datang ke kelenteng ini pagi
tadi betapa Gihu bertekad akan menyelamatkan
Piaumoaymu?" kata Peng-lam pula.
Lalu ia menceritakan keputusan Sau Ceng-hong yang
rela mengajarkan Ci-he-kang kepada Ciamtay Cu-ih asalkan
gembong Tang-wan itu mau membebaskan Cin Yak-leng.
Mau-tak-mau terharu juga Peng-say oleh cerita itu, ia
merasa tidak selayaknya uring2an pada keadaan begini.
Apalagi ia sudah berjanji akan mengangkat Sau Ceng-hong
sebagai guru, maka tidak seharusnya dia membangkang
perintah sang guru.
Berpikir demikian, ia lantas berdiri sambil mengusap air
mata, katanya: "Baiklah, mari kita berangkat!"
=Oo odwo oO=
Begitulah di bawah pimpinan Sau Ceng-hong,
rombongan mereka menumpang sebuah kapal besar dan
berlayar menuju ke selatan.
Beberapa hari kemudian sampailah mereka di Huiciu.
Soh-bok-han adalah nama sebuah Tokoan, yakni kuil
agama To. nama Soh-hok-han hampir dikenal oleh setiap
orang di Huiciu. Belum tiba di tempat, Ko Kin-beng dan
Kang Ciau-lin sudah mendahului lari pulang untuk
memberi laporan, serentak likuran murid Lam-han berbondong2
lantas menyongsong keluar menyambut sang
guru.
Peng-say coba mengamat-amati anak murid Lam-han
itu, yang tua usianya sudah lebih tiga puluhan, yang muda
baru belasan tahun, di antaranya ada enam murid
perempuan. Begitu melihat Leng Hiang, anak2 perempuan
itu lantas tanya ini dan itu tanpa berhenti.
Kiau Lo-kiat lantas memperkenalkan Soat Peng-say
kepada para saudara seperguruan. Menurut peraturan Lamhan,
urutan murid biasanya berdasarkan waktu masuk
perguruan, sebab itulah terkecil yang bernama Su Ki juga
harus dipanggil Suheng oleh Soat Peng-say.
Tapi keadaan Peng-say sekarang lain daripada yang lain.
kalau berdasarkan waktu masuk perguan, padahal sebelum
lahir, selagi masih didalam kandungan ibunya, dia sudah
diterima sebagai murid Sau Ceng-hong, jadi kalau
diurutkan dia hanya dibawah Sau Peng-lam dan Kiau Lokiat,
seharusnya terhitung murid Lam-han yang ketiga.
Namun kenyataan Peng-say baru masuk perguruan
sekarang, kalau dijadikan murid ketiga tentu murid2 lain
akan penasaran, akhirnya diputuskan menurut usia. dengan
demikian Peng-say terletak pada urutan nomor sebelas,
diatasnya ada delapan Suheng dan dua Suci.
Soh-hok-han itu dibangun dilereng gunung, pepohonan
rindang. Suasana teduh dan nyaman, burung berkicau
merdu, air mengalir gemercik, kuil itu diragari tembok yang
mengikuti naik-turunnya pegunungan. Dari kejauhan
tampak seorang nyonya cantik setengab baya menyongsong
tiba.
Segera Leng Hiang ber-lari2 kesana dan menubruk
kedalam pelukan nyonya cantik itu sambil berseru; "Bibi,
aku bertambah lagi seorang Suko,"
Sembari bicara iapun menuding Soat Peng-say,
Sebelumnya Peng-say sudah mendengar cerita para
Suheng bahwa nyonya Sau, ibu gurunya, Leng Tiong-cik,
terkenal lihay ilmu pedangnya. Maka cepat2 ia memburu
maju dan menyembah, katanya: "Tecu Soat Peng-say
menyampaikan sembah hormat kepada Sunio (ibu guru)."
Leng Tiong-cik mengamatinya sekejap, lalu berkata:
"Tidak perlu banyak adat, berdirilah!" — Lalu katanya
terhadap Sau Ceng-hong: "Setiap kali kau turun gunung
tentu tidak puas kalau tidak membawa pulang beberapa
macam mestika. Perjalananmu ke Cujoan sekali ini kutaksir
sedikitnya akan kau terima tiga-empat murid baru, mengapa
sekarang cuma terima satu?"
"Bukankah kau sendiri sering bilang perajurit
mengutamakan tangkasnya dan tidak perlu jumlahnya."
ujar Ceng-hong dengan tertawa "Coba, bagaimana
penilaianmu pada yang satu ini?"
Selama beberapa hari ini Soat Peng-say terlalu banyak
memikirkan kematian Cin Yak-leng, wajahnya masih
murung dan agak pucat. masih jalas kelihatan kasih
mesranya antara remaja dari pada sikap gigih seorang
ksatria. Sedangkan Leng Tiong-cik terkenal sebagai
pahlawannya kaum wanita. tentu saja ia kurang senang
melihat keadaan Peng-say itu, ia mendengus: "Mukanya
tidak jelek, hanya bersifat perempuan, tidak mirip orang
yang belajar silat, akan lebih baik jika ikut belajar baca- tulis
dengan kau, kelak dapat ikut menempuh ujian negara dan
mencari pangkat."
Muka Peng-say menjadi merah, pikirnya: " Rupanya
Sunio melihat badanku lemah sehingga aku dipandang
rendah, selanjutnya aku harus giat belajar. harus kukebut
dan melebihi para Suheng agar tidak dihina lagi."
Ceng-hong ter-bahak2, serunya: "Aha, itupun bagus! Jika
satu hari kita dapat mengeluarkan Cong- goan (gelar sarjana
kesusasteraan jaman feodal), kan bisa menjadi topik dunia
persilatan?!"
Leng Tiong-cik lantas melototi Sau Peng-lam dan
berkata: "Gimana, berkelahi lagi dengan orang dan terluka
lag! bukan? Mengapa mukamu begini pucat?"
Luka golok Peng-lam sudah sembuh selama dirawat
sepanjang jalan, hanya tenaganya saja belum pulih
seluruhnya, Sejak kecil dia diasuh dan dibesarkan Leng
Tiong-cik, nyonya Sau itu memandangnya seperti anak
kandung sendiri, meski nada ucapannya seperti mengomel,
tapi dalam hati sebenarnya sangat sayang.
Dengan tersenyum Peng-lam lantas menjawab: "Sudah
sembuh lukaku, jika nasib tidak lagi mujur, sekali ini
hampir saja tak dapat bertemu lagi dengan Gibo (ibu
angkat)."
Kembali Leng Tiong-cik melototinya sekejap dan
berkata: "Ya, supaya kau tahu bahwa di atas langit masih
ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih
pandai. Bagaimana, kalah secara ikhlas atau tidak?"
"Wah, golok kilat si Thio Yan-coan itu memang luar
biasa, anak tidak sanggup melawannya, untuk itu anak
perlu minta petunjuk kepada Gibo," jawab Peng-lam.
"Kejahatan Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan sudah
termashur, setiap orang tahu dia adalah penjahat
perusak anak gadis."
Air muka Leng Tiong-cik berubah tenang demi
mendengar Perg-lam dikalahkan oleh bangsat cabul itu. Ia
manggut2 dan berkata: "Bagus juga jika lawanmu ialah
bangsat semacam Thio Yan-coan itu. Kukira kau bikin onar
dan cari perkara lagi. Memangnyaya bagaimana golok
kilatnya? Boleh juga kita berbincang agar lain kali dapat kau
hajar dia."
Meski perempuan, namun jiwa pahlawan Leng TioDgcik
tidak dibawah kaum lelaki, demi mendengar berkelahi,
seketika ia bersemangat.
Sau Ceng-hong hanya tersenyum saja tanpa ikut bicara.
Sepanjang jalan waktu pulang, sudah belasan kali Peng-lam
bertanya kepada sang guru caranya mematahkan golok kilat
Thio Yan-coan itu. namun Ceng-hong tidak mau memberi
komentar. ia sengaja memberi kesempatan kepada Penglam
sepulangnya di Soh-hok-han untuk bertanya dan minta
petunjuk kepada sang isteri, tujuannya suah jelas, yakni
ingin membikin senang hati isterinya.
Benar juga, ketika Peng-lam mohon petunjuk padanya,
Leng Tiong-cik menjadi senang dan bersemangat.
Begitulah semua orang lantas masuk ke Soh-hok-han dan
saling bercerita pengalaman masing2 selama berpisah.
Keenam murid perempuan mengerumuni Leng Hiang
dan mendengarkan ceritanya. Mereka belum pernah turun
gunung dan mengembara, sudah tentu ceritera Leng Hiang
sangat menarik bagi mereka.
Keng Ciau-lin juga tidak kalah asyiknya bercerita dan
sedang membual cara bagaimana sang Toasuko menempur
Thio Yan-coan dan membunuh Lo Ci-kiat. Sudah tentu dia
banyak menambahi bumbu disana sini, ditambah kecap dan
ditambahi cuka sehingga se-akan2 Thio Yan-coan yang
dikalahkan Tou-sukonya.
Sedangkan Leng Tiong-cik dan Sau Peng-lam berduduk
dipojok ruangan sana, keduanya lagi tukar pikiran cara
bagaimana mematahkan ilmu golok Thio Yan-coan yang
maha cepat itu. Obrolan orang lain se-olah2 tak didengar
oleh mereka.
Di antara mereka hanya Soat Peng-say saja yang
berduduk terpencil sendirian dengan wajah murung, maka
anak murid yang lain juga tidak menghiraukan dia.
Sau Ceng-hong melihat kesedihan Peng-say itu diamz ia
ikut berduka, dipanggilnya Kiau Lo-kiat' katanya: "Sutemu
yang Kesebelas itu baru datang dan belum terbiasa keadaan
disini, boleh kau bawa dia pargi istirahat saja."
== odwodwo ==
Semalaman itu tidak terjadi apa2. Esok paginya. selagi
Peng-say bersemadi ditempat tidur, dilihatnya Kiau Lo-kiat
datang dengan membawa satu tumpukan kitab lama.
Waktu diperiksanya. kiranya sebangsa Su-si-ngo-keng
(empat buku dan lima kitab, ajaran Khonghucu).
Dengan tertawa Kiau Lo-kiat berkata: "Sunio menyuruh
kubawa kitab ini kesini. Kata Sunio, tempat kita ini sangat
tenang dan sejuk. cocok untuk bersekolah, beliau pesan agar
Sute suka giat membaca, kelak kalau berhasil lulus ujian
negara tentu nama Soh-hok-han akan ikut gemilang dan
berjaya."
Sungguh tak tersangka, ucapan sang ibu guru
disangkanya cuma bergurau itu ternyata benar2
dilaksanakannya. Tentu saja Peng-say sangat mendongkol,
ia bertanya: "Pikiran Suhu sendiri bagaimana?'
"Semalam Suhu sudah mulai Cekoan (bersemadi dan
berpuasa), sekali beliau mulai Cekoan, biasanya sampai
setengah bulan atau setahun baru lebaran." tutur Kiau Lokiat.
Peng-say tidak bertanya lagi. Ia pikir biarlah nanti Kalau
Suhu sudah keluar baru dibicarakan. Jika pikiran Suhu
sama dengan Sunio, maka dirinya akan pergi saja dari sini,
betapapun ia tidak dapat menuruti kehendak sang ibu guru,
hanya bersekolah dan mencari pangkat, lalu siapa yang
akan menuntut balas bagi Piaumoay?
Sebelum pergi Kuau Lo-kiat memberi pesan pula: "Oya,
Sunio juga bilang, katanya kau pun tidak perlu menghadap
beliau setiap hari untuk menyampaikan selamat, soal
makan pada waktunya akan diantar oleh kaum pelayan,
Sute diminta supaya giat sekolah saja."
Dari kata2 ini dapatlah Peng-say menarik kesimpulan
bahwa Leng Tiong-cik memang tidak suka padanya,
bertemu setiap hari saja tidak sudi. Diam2 Peng-say
penasaran, ia tidak tahu berbuat salah apa sehingga
menimbulkan diskriminasi sang ibu guru?
Saking gemasnya mestinya dia hendak bicara terus
terang kepada Kiau Lo-kiat dan akan tinggal pergi. Tapi
lantas teringat pesan ibunya yang menyuruhnya
mengembalikan kitab, meski maksudnya tidak dijelaskan,
namun dapat diketahui harapan orang tua adalah agar
supaya dirinya dapat belajar ilmu silat kepada Sau Cenghong.
Lalu teringat pula kebaikan hati Sau Ceng-hong
kepadanya, hal ini dapat diketahui dari tekadnya akan
menoiong Cin Yak-leng itu. Kalau sekarang dirinya pergi
tanpa pamit rasanya tidak pantas. Apalagi selama belajar
silat kepadanya, kepada siapa pula dia dapat belajar?"
Setelah berpikir demikian, segera ia urungkan
maksudnya, ia memberi hormat dan berkata: "Terima kasih,
Ji-suheng maksud Sunio dapat kumaklumi, biarlah mulai
hari ini aku akan giat bersekolah,"
Kiau Lo-kiat mengangguk dengan arti yang mendalam,
ucapnya dengan tersenyuum: "Baik sekali jika kau dapat
berbuat demikian, kutahu Suhu pasti takkan mengabaikan
kau."
Sesudah Kiau Lo-kiat pergi, Peng-say berduduk
menyanding meja, ia memandang keluar jendela, tampak
pemandangan alam sekitarnya indah permai dan
membangkitkan semangat. Ia coba membalik-balik halaman
kitab2 antaran Kiau Lo-kiat tadi, meski suasana sangat
menyenangkan, tapi apapun juga sukar baginya uatuk
membaca.
Tanpa sengaja ia meraba bajunya, tersentuhlah seruling
tinggalan Cin Yak-leng itu. Teringat kesenangan waktu
masih kanak2 bersama nona itu, tanpa terasa ia menjadi
sedih pula dan hendak mencucur air mata.
Sejenak kemudian, mulailah ia meniup serulingnya.
membawakan lagu yang paling disukai Cin Yak-leng
semenjak kecil. Bolak-balik dia terus membawakan satu
lagu tanpa bosan2nya. Walaupun begitu, segenap
perasaannya se-olah2 dicurahkan kedalam suara seruling
sehingga tidak membosankan pendengarnya.
Sehari suntuk ia terus meniupkan lagu itu, mungkin
sudah berpuluh, bahkan seratus kali. Sampai malam tiba
suara seruling yang merdu menawan itu terus bergema dan
mengalun tak ter-putus2.
Selagi Peng-say tenggelam dalam suara serulingnya,
tiba2 diluar kamar ada orang menegurnya: "Sute, bolehkah
kumasuk?"
Peng-say menurunkan serulingnya dan menjawab:
"Apakah Toasuko?"
"Betul, aku!" jawab Peng-lam.
Peng-say membuka pintu kamar, katanya: "Malam2
Toasuko berkunjung kemari, entah ada petunjuk apa?"
"Apakah Sute ahli dalam hal seni musik?" tanya Penglam
sambil melangkah kedalam kamar.
"Ah, hanya tahu sekadarnya, mana dapat disebut sebagai
ahli?"
"Sute tidak perlu rendah hati, para saudara seperguruan
sama memuji tiupan serulingmu yang merdu, sekalipun ahli
seruling juga tidak lebih dari pada ini?"
"Mana Siawte berani dibandingkan dengan kaum ahli?
Ah, Toasuko suka memuji, sungguh aku menjadi malu
sendiri."
"Kita orang sendiri, tidak perlu omong secara sungkan2,"
Kata Peng-lam. "Terus terang, Sute, kedatanganku ini
justeru ingin minta petunjuk padamu, jika kau sungkan lagi,
aku menjadi tidak enak."
"Suko ingin memberi petunjuk apa boleh silakan bicara
saja, asalkan kutahu pasti akan kukatakan." ujar Peng-say.
Peng-lam lantas mengeluarkan buku tanda nada seruling
karya Wi Kay-hou itu, dibaliknya halaman buku itu hingga
bagian belakang, lalu ia bertanya: "Huruf aneh apakah ini?
Mengapa aku tidak pernah lihat selain buku ini?"
Peng-say menerima buku itu dan dibacanya, syukur dia
paham tulisan itu, katanya: "Ini bukan huruf aneh, tapi
tanda nada."
"Tanda nada? Mengapa dilukis seperti cebong dan sukar
dipahami orang?"
"Pantas Toasuko tidak tahu, tanda nada ini memang
berasal dari benua barat dan belum lama tersiar ke negeri
kita, memang belum banyak orang yang paham, waktu
pertama kali kulihat tanda nada inipun merasa bingung,
untung kemudian Yak-leng memberi petunjuk padaku dan
akhirnya akupun paham."
Tanda rada mirip cebong atau berudu yang dimaksudkan
itu sebenarnya adalah not balok yang kita kenal sekarang.
Cin Yak-leng adalah puteri gubernur militer kota raja, sejak
kecil gemar main alat musik, karena itulah ayahnya telah
mengundung guru musik yang paling terkemuka di kotaraja
itu untuk mengajar Yak-leng bermain macam2 alat musik.
Guru musik itu ternyata mahir seni musik timur dan
barat, di mulai mengajari Yak-leng dengan dasar2 teori
musik barat, sebab itulah sejak kecil Yak-leng sudah dapat
membaca not balok berasal dari barat itu.
Diantara berbagai alat musik, yang paling disukai Yakleng
ialah seruling, setelah dia mahir meniup seruling
menurut not balok, sayangnya tiada teman pemain yang
dapat mengiringinya.
Kakaknya sendiri tidak suka musik. akhirnya dia paksa
Peng-say belajar agar nanti dia mempunyai teman main.
Sejak kecil Peng-say memang suka mengalah dan
menuruti kehendak Yak-leng, setelah di-desak2, terpaksa ia
ikut belajar setiap hari, apa yang Yak-leng bisa, secara tidak
langsung Peng-say juga mendapatkan pelajaran yang sama
dari guru musik itu. Karena itulah di istana gubernur waktu
itu sering terdengar paduan musik yang dimainkan oleh
mereka berdua dan sering menarik perhatian orang yang
lalu dan banyak memberi pujian.
Bala terkenang kepada masa lalu itu, Peng-say menjadi
murung lagi.
Peng-lam tahu sutenya terkenang lagi kepada Cin Yakleng.
dengan menyesal ia berkata: "Kematian nona Cin
memang teramat menyedihkan, kau harus membalaskan
sakit hatinya!"
"Cara bagaimana membalasnya?" ucap Peng-say dengan
tersenyum getir. Ia tuding kitab2 diatas meja dan
menambahkan: "Dengan barang2 permainan ini?"
Peng-lam menghiburnya: "Kutahu Gihu membawa kau
kesini adalah untuk mengajarkan ilmu sakti kepadamu,
maka janganlah kau putus asa, setelah Gihu selesai
melakukan tirakatnya, beliau pasti tidak tinggal diam. Ai,
kita jangan bicara lagi hal2 ini. Buku nada ini boleh kau
ambil saja dan pelajarilah baik2, aku sendiri tidak paham,
menyimpannya juga tak berguna."
-ooo0dw0ooo-
Jilid 22
Habis berkata ia lantas mengangsurkan buku nada
seruling itu kepada Peng-say.
Tapi anak muda itu tidak mau menerima, katanya:
"Musik hanya digunakan untuk menghibur diri saja.
padahal disini masih menumpuk kitab2 ini yang tidak habis
kubaca, jelas tiada tempo luang bagiku untuk bermain
musik segala."
Tapi Peng-lam mendesaknya agar menerima, katanya:
"Nanti kalau kau telah habis baca, bila iseng boleh coba kau
pelajari not ini, kalau tidak tertarik baru nanti kau
kembalikan lagi padaku."
Peng-say jadi tidak enak untuk menolak lagi, ia terima
buku itu dan ditaruh diatas meja.
"Malam sudah larut, aku tidak menganggu lagi," kata
Peng-lam. "Besok pagi2 aku harus belajar ilmu pedang pada
Sunio untuk persiapan menghadapi Thio Yan-coan kelak."
Alangkah kagumnya Peng-say atas keberuntungan sang
Suheng, setelah digembleng oleh ibu-gurunya, tentu saja
Kungfu sang Suheng ini akan tambah maju. Diam2 ia
murung pula. ia tidak habis mengerti mengapa baru
bertemu sudah lantas dipandang rendah dan tidak disukai
oleh ibu-guru.
Seperginya Peng-lam dengan kesal Peng-say mendekati
meja tulis tadi, ia coba ambil buku tanda nada yang
ditinggalkan Peng-lam itu, ia mem-balik2 halaman
belakang, tertampak not baloknya yang aneh itu, hatinya
tergerak, ia lantas mengangkat seruling dan mulai disebul
menurut not yang dibacanya itu.
Baru satu bagian kecil meniup, mendadak suara seruling
terasa false, ia menjadi heran, padahal belum pernah terjadi
salah nada begini sejak dia mahir meniup seruling, hanya
pada waktu mula2 belajar memang pernah terjadi.
Ia penasaran, ia mulai meniup lagi mulai awal, tapi
sampai bagian tersebut nadanya kembali menyimpang dan
sukar disambung, sampai belasn kali ia ulangi dan tetap
begitu.
Ia menjadi kesal, bagian yang sulit ini lantas dilompati,
meniup bagian lain. Tak tersangka, hanya sebagian kecil
saja kembali nadanya menyimpang makin lanjut dia
meniup makin false, hakikatnya sukar terangkai menjadi
satu lagu yang enak didengar.
Begitulah ia terus meniup secara sebagian dan dipotong2,
diulanginya hingga dua-tiga kali, betapa brengsek nadanya,
sampai dia sendiripun tidak berani mendengarkan, apalagi
orang lain.
Syukurlah Peng-say cukup tahu diri, ia tidak mau
mengganggu tidur orang lain, ia pikir di malam yang sunyi
dan tenang ini tidak boleh menggangu ketenangan orang. Ia
ambil keputusan akan meniupnya lagi esok siang dan harus
meniupnya hingga betul.
Ia coba mem-balik2 halaman depan kitab itu, terlihat
belasan halaman pertama hampir seluruhnya adalah
gambar serta keterangan cara bersemadi, setiap gambar itu
melukiskan orang telanjang yang sedang meniup seruling,
pada gambar manusianya juga terlukis tanda2 urat nadi.
Setelah berpikir sejenak, mendadak Peng-say paham
duduknya perkara, pikirnya: "Pantas lagu ini tak dapat
kutiup secara lengkap, kiranya lantaran Lwekangku belum
cukup kuat. Agaknva cara bersemadi menurut gambar ini
harus dilatih dahulu sehingga sempurna baru kemudian
dapat meniup lagunya dengan tepat."
Halaman demi halaman ia periksa pula buku itu,
tertampak tulisan mengenai cara meniup seruling, disitu
terdapat petunjuk pada posisi bersemadi mana harus
meniup bagian nada mana. untuk meniup lagu "Siau-goyan-
he" secara lengkap ternyata harus menggunakan ke-18
macam cara semadi menurut gambar.
Ia coba mulai berlatih menurut halaman pertama, ia
duduk semadi dan menyalurkan tenaga dalam mengikuti
garis urat nadi dalam gambar.
Dasar Lwekang Peng-say memang tidak lemah tak
tahunya masih belum juga sanggup mengalirkan tenaga
menurut garis urat nadi dalam gambar, bahkan halaman
demi halaman semakin sulit. Melihat gelagatnya, untuk
berhasil meyakinkan ke-18 macam latihan itu diperlukan
waktu belasan tahun. lamanya.
Tak tersangka bahwa untuk meniup satu lagu Siau-goyan-
he dengan baik diperlukan jarak waktu sebegitu lama
dan tenaga begitu besar. Peng-say jadi kesal, buku nada itu
ditutupnya, diam2 iapun menyesali dirinya sendiri yang
tidak memiliki dasar Lwekang yang kuat, selain itu iapun
gegetun atas keanehan lagu itu.
Esok paginya, sesudah bangun tidur. ia merasa
semangatnya sangat segar. sekujur badan terasa nyaman
sekali. tanpa terasa. timbul lagi hasratnya untuk meniup
seruling, Ia membuka kitab nada itu dan dipelajari dengan
lebih cermat cara bersemadi menurut gambar pada halamm
pertama. Sekarang ia tahu. untuk bisa membawakan lagu
itu harus berhasil melatih ke-18 macam posisi semadi itu,
maka dia tidak mau buang tenaga percuma lagi untuk
meniup seruling.
Ia tahu untuk bisa berhasil dengan baik berlatih ke-18
macam semadi itu berdasarkan kemampuannya sekarang
jelas sukar dapat bila tidak berlatih lebih dari 18 tahun, jika
orang lain tentu tiada mempunyai ketekunan dan kesabaran
begitu, apalagi hasil dan latihan belasan tahun itu akhirnya
hanya untuk meniup sebuah lagu Siau-go-yan-he saja.
Tapi justeru disinilah letak "ketololan" Soat Peng-say.
sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain justeru akan
dilakukannya. Sudah tentu ada unsur2 yang mendorong
ketololannya itu, yakni, dia tiduk mau membaca Su-si-ngokeng
yang disediakan ibu-gurunya itu, dalam keadaan
iseng, sudah tentu berlatih semadi menurut gambar ini lebih
mendingan daripada membaca kitab yang tidak disukainya.
Begitulah dia lantas mengingat baik2 garis2 urat nadi
pada gambar halaman pertama itu dan mulailah dia
mengerahkan tenaga.
Meski hari ini dia tetap belum mampu sekaligus
menyaluri seluruh urat nadi yang terlukis itu, namun
kemajuannya cukup pesat dan diluar dugaan. Ia belajar
terus dengan tekun, sampai malam tiba hampir seluruh
pelajaran cara semadi pertama itu selesai dilatihnya.
Ia merasa sangat lelah dan mengantuk, segera ia
berbaring dan tertidur.
Esoknya, begitu bangun tidur ber-gegas2 ia mulai
berduduk dan berlatih lagi se-olah2 kuatir hasil latihannya
kemarin terlupakan.
Ada satu hal tidak diperhatikan olehnya. Yaitu semalam
makin ngantuknya ia terus tidur tanpa membuka pakaian
dan tidak berselimut. Tapi ketika bangun tidur pagi ini
bukan saja tubuhnya tertutup selimut, bahkan bajunya juga
terlepas,
Secara ajaib dan bagus dia berhasil menyelesaikan
semadi pertama dengan sekali bernapas saja, hampir saja ia
berjingkrak kegirangan, sungguh kejadian yang tidak pernah
dibayangkannya, hanya selang semalam, bukan saja
latihannya kemarin tidak terlupa sedikitpun, sebaliknya
tanpa gangguan dia berhasil menyelesaikan ajaran pertama.
Tanpa banyak pikir, seperti orang keranjingan, segera ia
membalik lagi halaman kedua, ia mengerahkan tenaga lagi
menurut garis urat nadi pada gambar kedua itu. Meski
sehari ini iapun belum berhasil menyelesaikan latihan
kedua. tapi esok paginya sesudah bangun tidur, secara ajaib
pelajaran kedua itu berhasil diselesaikannya dengan baik.
Begitulah seterusnya, setiap hari ia berhasil meyakinkan
semacam semadi menurut gambar yang terlukis di buku
nada itu.
18 hari kemudian, ke-18 macam semadi itu telah berhasil
dilatih seluruhnya tanpa kesulitan apapun. Asalkan dia
tidur satu malam, besoknya bangun tidur latihan
kemarinnya lantas dapat diselesaikannya dengan baik, seolah2
didalam tidurnya Lwekangnya mendadak bisa
bertambah kuat. Kenyataannya memang begitulah, maka di
dalam waktu singkat selama 18 hari dia dapat menamatkan
pelajaran ke 18 macam semadi itu.
Apa sebabnya? Seketika iapun tidak paham tak bisa lain
cuma dianggapnya ke 18 macam semadi itu kelihatannya
saja sukar dilatih, tapi sesungguhnya sangat mudah,
perkiraannya semula yang menyangka memerlukan latihan
belasan tahun ternyata keliru.
Setelah berhasil berlatih cara bersemadi, tentunya kini
bukan soal lagi untuk meniup seruling menurut not balok di
dalam buku itu. Pagi ini, habls cuci muka dan berdandan
serta sarapan, segera Peng-say duduk bersila berpangku
kitab tanda nada seruling itu dan mulai meniup.
Benar juga, setiap suara dapat ditiupnya sesuai nada
yang tertulis dan tidak lagi false seperti beberapa hari yang
lalu. hanya saja lagu yang dibawakan ini makin lanjut
makin sedih, makin memilukan, se-olah2 rintihan kera di
pegunungan sunyi, seperti kicau belibis yang tertinggag
induk barisannya, laksana tangis perempuan yang ditinggal
kekasih.
Diseluruh puncak gunung. baik dekat maupun jauh
dapat mendengar dengan jelas suara seruling yang sendu
ini. Para anak murid Lam-han sama mengira si peniup
seruling berada di sampingnya sendiri, yang sedang
membaca segera menaruh bukunya, yang sedang berlatih
pedang lupa berlatih pula. sampai2 Leng Tiong-cik yang
sedang menyulam di kamarnya juga lupa pada tusukan
jarumnya sehingga jari sendiri hampir tertusuk.
Begitulah segenap anggota Lam-han sama terkesima oleh
suara seruling yang luar biasa itu, sampai suara seruling itu
sudah berhenti saja belum lagi merasainya, banyak pula
diantaranya yang mencucurkan air mata.
Selesai memainkan satu lagu Peng-say menghela napas
dengan lesu, sedikitpun tiada perasaan senang. Kiranya ia
sendiripun terpengaruh oleh suara seruling yang
mengharukan itu sehingga menimbulkan macam2
kenangan.
Tiba2 dilihatnya Peng-lam masuk kamarnya, melihat
wajah Peng-say masih basah, ia lantas tanya- "Sute,
mengapa kau memainkan lagu begini sedih, apakah kau
terkenang kepada nona Cin?"
Peng-say menggeleng, jawabnya: "Tidak!"
"Apakah terdapat sesuatu ganjalan dalam hatimu?" tanya
Peng-lam pula,
"Juga tidak," jawab Peng-say. "Aku hanya meniupkan
lagu Siau-go-yan-he menurut nada-nada di dalam buku."
"Apa katamu" Lagu Siau-go-yan-he?" Peng-lam menegas
dengan terkejut, "Tapi, ah, kukira tidak betul, tidak betul!"
"Tidak betul apa, mohon Toasuko memberi petunjuk,"
tanya Peng-say.
"Cara bicaramu ini kau sengaja menyindir diriku yang
bukan ahli ini? Kau tahu aku sama sekali tidak paham seni
musik " kata Peng-lam dengan tertawa.
"Sama sekali bukan maksud Siaute hendak menyinggung
perasaan Toasuko, mohon jangan marah," kata Peng-say
gugup.
"Masa marah?" ujar Peng-lam. "Aku hanya merasa. . ."
tiba2 ia merandek dan ganti ucapan: "Dapatkah kau
memastikan lagu yang ka bawakan itu betul lagu Siau-goyan-
he?"
"Siaute meniup lagu itu menurut tanda nadanya, kukira
tidak keliru," jawab Peng-say.
Kembali Peng-lam bersuara heran, gumamnya: "Kan
aneh kalau begitu? . ..."
Ia heran mengapa rasanya tidak sama lagu yang
dibawakan Peng-say ini dengan apa yang didengarnya
ketika Wi Kay-hou meniupkan lagu ini. Jelas ada sesuatu
yang tidak betul pada lagu yang dibawakan Peng-say ini,
cuma dimana letak kesalahannya ia tidak dapat
mengatakannya.
Selagi Peng-say ingin tanya dimana letak keanehannya,
tiba2 Peng-lam ber-olok2 lagi kepada dirinya sendiri: "Ah,
dasar aku memang bukan ahli, masa berani memberi kritik
segala." —Ia tertawa, lalu berkata pula: "Sute, tampaknya
Gibo rada kurang senang pada suara serulingmu, katanya
kau mengganggu keterangan Gihu, maka kau disuruh
jangan sering2 meniup seruling lagi."
Peng-say mengiakan.
Peng-lam berkata pula: "Tiada urusan lain lagi, biarlah
kupergi saja, boleh kau baca pula."
"Nanti dulu, Toasuko," seru Peng-say.
"Ada urusan apa?" tanya Peng-lam.
Peng-say menyodorkan kitab tanda nada seruling itu dan
berkata: "Buku ini harap Toasuko menerimanya kembali."
Peng-lam menjadi kurang senang. katanya: "Apakah
lantaran Gibo menyuruh kau jangan meniup seruling lagi,
lantas kitab ini kau kembalikan kepadaku?''
"Bukan, bukan begitu," cepat Peng-lam menyangkal.
"Habis mengapa kau kembalikan kitab ini pada saat ini?"
tanya Peng-lam.
"Sekalipun Subo tidak menyuruh, selanjutnya Siaute juga
takkan meniup lagi lagu Siau-go-yan-he ini. Bila toh tiada
gunanya lagi, kan seharusnya barang kembali kepada
pemilik asalnya?"
"Kurang beralasan," ujar Peng-lam sambil menggeleng.
Ia anggap sebabnya Peng-say mengembalikan kitab nada
seruling ini melulu dongkol karena dilarang meniup
seruling oleh sang ibu-guru.
Peng-say tahu Toasuhengnya salah paham, ia coba
memberi penjelasan: "Mana Siaute berani kurang sopan
terhadap Sunio, soalnya lagu Siau-go-yan-he itu terlalu
menyedihkan, pada waktu aku meniupnya, rasanya seperti
kekurangan sesuatu, makin meniup makin tidak enak,
meski kupaksakan diri meniupnya hingga habis, tapi
akibatnya darah dalam dada terasa bergolak hebat, hampir
saja jatuh pingsan, Coba, dalam keadaan demikian apakah
selanjutnya Siaute berani meniup lagi lagu ini?"
"Oo," baru sekarang Pang-lam seperti paham duduknya
perkara, katanya: "Ya, jika betul demikian memang masuk
di akal."
"Dan Toasuko dapat menerimanya kembali bukan?" kata
Peng-say pula sambil menyodorkan buku nada seruling itu.
"Tidak, takkan kuterima kembali," jawab Peog-lam
dengan tertawa.
Peng-say tidak paham maksudnya, ia memandangnya
dengan melenggong, ia heran barang yang memang milik
Toasuko itu kenapa tidak mau diterimanya kembali?
Dengan tertawa Peng-lam lantas berkata: "Jangan heran,
justeru niatku kitab ini hendak kuberikan padamu, entah
kau suka menerimanya tidak?"
Peng-say jadi ragu2 dan tidak menjawab "Ya, kutahu,
barang yang tiada berguna bagimu ini dengan sendirinya
kau tidak sudi menerimanya," ucap Peng-lam dengan
tertawa.
Dipancing begitu, mau-tak-mau Peng-say menerima juga
kitab itu, katanya: "Jika demikian, terima kasihlah atas
hadiah Toasuko "
"Tidak, bukan hadiah segala," Ucap Peng-lam dengan
tertawa. "Hanya saja jangan sekali-kali kau buang kitab ini.
Kupercaya pada suatu hari akan kau rasakan kitab ini
sesungguhnya adalah sejilid kitab ajaib."
—0O0dw0O0—
Setelah meninggalkan kamar Peng-say, dia. Diam2 Penglam
sudah memutuskan akan berbuat sesuatu.
Ia teringat kepada lagu Siau-go-yan-he yang dibawakan
bersama oleh Kik Yang dan Wi Kay-hou, betapa menarik
suara kecapi dan seruling mereka itu se-olah2 sepasang
anak kembar yang tak dapat dipisahkan atau seperti
pasangan suami-isteri yang saling cinta mendalam dan tak
mau berpisah.
Perubahan nada suaranya yang penuh perasaan suka,
duka, gembira dan gusar hingga mencapai puncaknya,
sedangkan tiupan seruling Peng-say justeru cuma
menimbulkan rasa duka melulu dan tiada perubahan nada
lain.
Tadinya ia sangka Peng-say salah meniup, tapi demi
mendengar Peng-say sendiri mengaku merasa kekurangan
sesuatu waktu membawakan lagu itu, seketika Peng-lam
merasa paham duduknya perkara.
Sembari berjalan ia berpikir: "Lagu ciptaan bersama Kik
Yang dan Wi Kay-hou itu sangat dibanggakan kedua orang
itu. Menurut keadaan tempo hari waktu mereka berdua
membawakan lagu ciptaan mereka. nadanya memang
menenggelamkan jiwa-raga mereka ketengah alunan
lagunya, jelas lagu ajaib itu adalah seperti persahabatan
mereka. Jadi dari persahabatan yang suci murni telah
menghasilkan lagu ajaib, kukira di sinilah letak kekurangan
yang dirasakan Peng-say itu apabila dia membawakan lagu
itu sendirian, sebab lagu itu memang harus dibawakan dua
orang yang bersahabat, hanya paduan suara kecapi dan
seruling yang dapat memuncakkan keasyikan lagu Siau-goyan-
he itu. Bila lagu itu dibawakan seorang saja, tentu akan
mendatangkan hasil yang berbeda karena tidak
mendapatkan paduan yang sesuai, sebaliknya hanya
menimbulkan nada duka nestapa melulu."
Ia meraba sakunya, disitu masih tersimpan satu jilid
tanda nada kecepi tinggalan Kik Yang, pikirnya pula:
"Asalkan ada orang dapat mempelajari tanda nada kecapi
itu dan dimainkan bersama seruling, tentu Peng-Say takkan
merasa kekurangan sesuatu lagi, bahkan perasaannya akan
seperti ikan mendapatkan air, semuanya berjalan dengan
baik."
Sampai di sini, ia tertawa sendiri, tapi bukan tertawa
yang gembira, sebaliknya tertawa kecut, sebab ia
memutuskan akan memberikan kitab tanda nada kecapi itu
kepada Leng Hiang.
Sejak kecil Leng Hiang kumpul bersama dengan dia,
betapa sayang anak dara itu kepadanya tidak perlu
dijelaskan lagi, padahal dia sendiri masa tidak menyukai
Siausumoay itu? Ia tidak berani bilang sukanya itu sama
dengan cinta, namun ia merasa bila kelak Siausumoay
menjadi isteri Soat Peng-say, betapapun hatinya akan
merasakan semacam kepedihan yang sukar dilukiskan.
Ia menyadari apabila Siausumoay sudah berhasil
mempelajari nada kecapi dengan baik. asalkan dia dan
Peng-say ber-sama2 membawakan lagu Siau-go-yan-he itu,
kedua muda-mudi itu pasti akan dipengaruhi melalui suara
alat musik masing2 dan terjalin cinta yang mendalam
serupa persahabatan Kik Yang dan Wi Kay-hou yang kekal
dan sukar dipisahkan itu.
Ia menjadi serba salah. ia merasa berat untuk berbuat
demikian, sebab hal ini akan berarti kehilangan Siausumoay
yang disukainya, tapi iapun tidak dapat mengubah niatnya
ini, ia pikir penderitaan sendiri mungkin selama hidup tak
dapat membalas budi kebaikan ayah angkat yang telah
mendidik dan membesarkannya, asalkan cita2 Gihu
terkabul, ia bersedia mengorbankan segalanya. Kiranya
tekad Sau Peng-lam ini bukannya tak beralasan.
Rupanya pada malam pulangnya Sau Ceng-hong itu, lalu
esoknya mendadak. dia memutuskan "Cekoan" atau
menyepi, hal ini memang ada sebabnya.
Malam itu Sau Ceng-hong telah bertengkar dengan Leng
Tiong -cik, cukup gawat perselisihan mereka, hal ini boleh
dikatakan tidak pernah terjadi bagi suami-isteri yang
biasanya tampak hormat menghormati itu, begitu keras
pertengkaran mereka sehingga hampir saja saling gebrak.
Peng-lam tahu pertengkaran antara ayah dan ibuangkatnya
itu disebabkan Soat Peng-say. Ia mencuri dengar
sang Gihu menyatakan hendak menjodohkan Leng Hiang
kepada Soat Peng-say, tapi ibu-gurunya tidak setuju.
Karena perselisihan paham itu, keduanya lantas ribut
mulut, agaknya Gihu kewalahan, saking gusarnya ia
memutuskan pergi Cekoan atau menyepi, tampaknya kalau
Gibo tidak menyetujui menjodohkan Leng Hiang kepada
Peng-say, selama itu pula Gibu takkan menqakhiri
tirakatnya itu.
Dari ribut2 itu didengarnya sang Gihu berkata dengan
tegas: "Pokoknya anak Hiang harus dijodohkan dengan
Peng-say, bila tidak, aku akan menyesal selama hidup,"
Peng-lam merasa tidak boleh ayah-angkatnya itu
menyesal selama hidup, ia harus membantu agar cita2 sang
Gihu terlaksana tanpa memikirkan pengorbanan apapun. Ia
pikir, apabila Siausumoay sudah mencintai Peng-say secara
mendalam, maka percumalah biarpun ibu-angkatnya tetap
tidak setuju.
Apalagi dalam pertengkaran itu Leng Tiong-cik juga
pernah menyatakan, asalkan anak dara itu sendiri menyukai
Peng-say, maka dia bersedia mengalah. Sebab dia tahu
tidak nanti Leng Hiang menyukai Peng-say, Sau Ceng-hong
juga tahu, mereka sama tahu orang yang disuka LengHiang
ialah Toasukonya, jika nona itu disuruh meninggalkan
Toasuko untuk menikah dengan pemuda lain. hal ini
hampir dapat dipastikan tak mungkin terjadi.
Akan tetapi Sau Peng-lam justeru hendak berusaha
menjadikan hal yang tidak mungkin itu terjadi benar2.
—o odwo o—
Saat itu Leng Hiang lagi belajar bersulam di kamarnya.
Muda-mudi kalangan persilatan umumnya tidak terlalu
kukuh pada adat istiadat kuno yang melarang anak
perempuan berdekatan dengan anak lelaki.
Yang penting asalkan iman masing2 teguh, biarpun
berdiam disatu kamar bersama juga tidak kuatir di-olok2
orang.
Begitulah Peng-lam lantas mendatangi kamar si nona, ia
ketuk pintu dan masuk. Dengan tertawa riang. Leng Hiang
menyambutnya, katanya: "Mengapa Toasuko tidak belajar
ilmu pedang dengan bibi dan sempat kesini?"
"Gibo menyuruh kupergi ke tempat Sau-sute, sekalian
kumampir kemari," jawab Peng-lam.
"Ai, bibi juga keterlaluan," ujar Lerg Hiang sambil
menggeleng. "Masa tidak mengajarkan Cap-itsuko ilmu
sakti, sebaliknya menyuruhnya membaca Su-si-ngo-keng
apa segala. entah apa gunanya? Memangnya dia betul2
akan disuruh ikut ujian negara untuk mencapai gelar
Conggoan?"
"Bersekolah kan juga baik, bukankah Gihu sendiripun
kaum sekolahan?" ujar Peng-lam dengan tertawa. "Seperti
diriku, hampir saja buta huruf, bicara tentang baca dan
menulis, diantara sesama saudara seperguruan hanya
akulah yang paling tak becus."
"Ah, kita kan keluarga persilatan, apa alangannya jika
kurang mahir tulis dan baca, asalkan ilmu silatnya tinggi,
jiwanya luhur. dalam hal2 ini kau terhitung nomor satu
diantara murid2 Lam-han"
"Ah, belum tentu, kukira Cap-itsute terlebih kuat
daripada ku mengenai hal2 ini."
"Tidak perlu kau rendah hati, kita tahu, ilmu silat Soatcapitsuko
masih sangat rendah, aku saja lebih tinggi
daripada dia, dibandingkan kau. dengan satu jari saja
mungkin dapat kau robohkao dia."
"Wah. pujianmu terlalu berlebihan bagiku, Memang
betul, saat ini ilmu silat Capitsute masih jauh dibawahku,
tapi dia mempunyai bakat yang baik. asalkan sudah
digembleng Gihu, kelak pasti bisa melebihi diriku."
"Aku tidak percaya," kata Leng Hiang. "Selama hidup
tak nanti dia dapat melampaui dirimu. Sudahlah, jangan
kita mempersoalkan hal2 ini. Eh, untuk apakah bibi
menyuruh kau pergi ke kamar Cap-itsuko?"
"Gibo menyuruh dia jangan meniup seruling lagi," tutur
Peng-lam.
"Sebab apa tidak boleh?"
"Katanya suara serulingnya sangat menusuk telinga dan
mengganggu ketenangan."
"Kukira kecaman bibi itu agak kurang tepat." ujar Leng
Hiang sambil menggeleng.
"Memangnya bagaimana pendapatmu mengenai suara
serulingnya?"
"Sangat menarik, sangat enak didengar, boleh dikatakan
suatu kemahiran!"
"Akupun sependapat dengan kau," Peng-lam
mengangguk setuju.
"Ai, alangkah senangnya jika akupun memiliki
kepandaian seperti dia!"
"Mengapa tidak kau minta belajar padanya?"
"Masa dia mau mengajari diriku?"
"Kita kan seperguruan, hanya minta belajar main musik
saja masa tidak mau," ujar Peng-lam. "Cuma tidak tahu alat
musik apa yang kau sukai?"
"Suara seruling tidak selincah suara kecapi, kukira lebih
baik belajar memetik kecapi daripada meniup seruling."
Sungguh sangat kebetulan pernyataan Leng Hiang ini,
cocok sekali dengan rencana Peng-lam, Diam2 ia
mengangguk girang, segera ia berkata. "Jika demikian,
boleh kau minta belajar main kecapi padanya."
"Apakan dia juga mahir main kecapi?"
"Satu macam mahir, yang lain2 pasti juga mahir.
Kuyakin dia pasti bisa."
"Tapi, cara bagaimaaa kubuka mulut minta belajar
padanya?" kata Leng Hiang dengan likat.
"Akan kubantu membicarakannya dengan dia," kata
Peng-lam.
"Wah, nanti kalau sudah mahir memelik kecapi, setiap
hari akan kumainkan untukmu, kau suka mendengarkan
tidak?"' tanya Leng Hiang dengan gembira.
Hati Peng-lam merasa sakit, tapi sedapatnya ia
memperlihatkan senyuman mesra, katanya: "Setiap hari
dapat mendengarkan musik merdu. masa tidak suka?"
"Tapi kalau permainanku tidak bagus, jangan kau
salahkan diriku mengganggu ketenanganmu!"
== ooo OdwO ooo ==
Begitulah esoknya Peng-lam lantas ke kota dan
membelikan sebuah kecapi yang berukir indah, ia
membawa kecapi itu ke kamar Soat Peng-say dan minta
anak muda itu menilai baik jeleknya kecapi.
Hampir semua alat musik dapat dimainkan Soat Pengsay,
inipun hasil dorongan Cin Yak-leng yang memaksanya
belajar.
Dengan jari jemarinya Peng-say coba memetik senar
kecapi beberapa kali, katanya kemudian: "Boleh juga
kwalitas kecapi ini, entah untuk apa Toasuko membelinya?"
"Minta belajar padamu," tutur Peng-lam dengan tertawa.
Peng-say terkejut, ia menegas. "Apa? Kau ingin belajar
memetik kecapi?"
"Jangan kaget, bukan aku, tapi Leng-sumoay yang ingin
belajar padamu," tutur Peng-lam dengan tertawa. "Aku
sudah tua, kan sudah terlambat untuk belajar main kecapi?"
"Terlambat sih tidak, hanya tidak mudah mencapai
keahlian," kata Peng-say. "Tadinya kuheran mengapa
mendadak Toasuko menaruh minat untuk belajar main
kecapi."
"Mengapa kau bilang sukar bagiku untuk mencapai
keahlian," tanya Peng-lam.
"Usia Toasuko sudah lebih 30, gerakan jarimu tidak
mudah terlatih hingga lincah. Justeru main kecapi
memerlukan ketrampilan jari jemari. semakin muda usia
semakin mudah menguasainva degan baik "
"Dengan usia Siausumoay, untuk mencapai puncak
keahlian tentunya tidak sulit bukan?"
"Apakah sebelum ini dia pernah belajar?"
"Tidak pernah," jawab Peng-lam.
Peng-say termenung sejenak, katanya kemudian: "Usia
Siausumoay sudah enambelasan, tulang jarinya sudah kaku.
untuk belajar sih tidak sulit, ingin mencapai tingkatan ahli
kukira tidak mudah."
"Wah, runyam jika begitu!" seru Peng-lam.
Peng-say menjadi heran, tanyanya: "Apakah ada orang
memaksa Siausumoay harus belajar main kecapi hingga
tingkatan ahli?"
"O, ti. . . . tidak," jawab Peng-lam.
"Runyam apa? Main musik hanya untuk hiburan saja,
andaikan kurang mahir juga tidak menjadi soal, kan tidak
hendak menggunakannya untuk mencari makan?"
"Meski tidak akan menggunakannya untuk mencari
makan, kalau dapat melatihnya hingga tingkatan tinggi,
selain dapat menghibur diri kan juga dapat menghibur
orang lain, betul! tidak?"
"Betul, betul, menghibur diri dan juga menghibur orang
lain!" tukas Peng-say dengan tertawa.
Dari nada ucapan Peng-say dapatlah Peng-lam
menangkap arti ucapan "orang lain" itu ditujukan
kepadanya, maklumlah, setiap anak murid Lam-han sama
tahu Siausumoay itu menyukai Toasukonya.
Peng-lam berdehem, katanya kemudian: "Adakah cara
lain untuk membantu Siausumoay agar dapat mencapai
tingkatan ahli?"
"Bila mendapat guru yang pandai dan Siausumoay juga
mau belajar dengan tekun, kukira masih ada harapan untuk
mencapai tingkatan yang tinggi. Hanya untuk mencari guru
musik ternama itulah yang sulit."
"Guru baik hanya dapat bertemu secara kebetulan dan
tidak dapat dicari, bilamana kita sengaja mencari malahan
sukar didapatkan," setelah merandek sejenak, dengan
tertawa Peng-lam menyambung pula: "Tapi di depan mata
sekarang kan sudah ada guru pandai, kenapa mesti mencari2
lagi?"
Peng-say tahu siapa yang dimaksudkan, cepat ia menggoyang2
tangan dan berkata: "Ah, manabisa, tidak bisa jadi
"
"Kalau Cap-itsute tidak bisa jadi. lalu siapa lagi?" ujar
Peng-lam dengan tertawa. "Padahal betapa kagumnya
Siausumoay terhadap tiupan serulingmu, menurut
pendengaranku, akupun anggap kepandaianmu tiada
bandingannya."
"Ai, Toasuko terlalu memuji diriku," kata Peng-say.
"Malahan Siausumoay kuatir kau tidak sudi
menerimanya sebagai murid, maka aku diminta
membicarakannya padamu, sesungguhnya kau mau
menerimanya atau tidak?"
"Mana berani kuanggap menerima murid? Katakanlah
saling belajar. Apa yang kuketahui pasti akan kuberithukan
seluruhnya."
"Jika demikian, sekarang juga kupergi memanggil
Siamumoay kesini."
"Toasuko, bolehkah Siausumoay tidak belajar main
kecapi?"
"Habis belajar main apa?"
"Sebaiknya seruling," kata Peng-say. "Terus terang, aku
sendiri belum mahir main kecapi, cara bagaimana dapat
kudidik dia hingga mencapai tingkatan tinggi? Mengenai
seruling memang cukup lama kupelajari dan telah kekuasai
dengan baik, jadi lebih gampang mengajarnya."
"Tapi Siausumoay suka pada kecapi, kenapa tidak
menuruti kegemarannya saja?" kata Peng-lam. "Kukira
tidak menjadi soal, Siausumoay sangat cerdik, bukan
mustahil dia akan maju pesat, kan tidak jarang murid lebih
berhasil daripada sang-guru?"
"Ya memang bisa terjadi begitu, tapi dalam hal bahan
pelajaran ada kesukaran." kata Peng-say. "Saat ini padaku
tiada terdapat buku nada kecapi yang dapat kugunakan
bahan pelajaran. paling baik kalau bisa mendapatkan satu
buku nada terkenal. Cuma untuk mendapatkan buku
pelajaran musik demikian terasa sangat sulit."
"Tidak sulit, tidak sulit!" seru Peng-lam dengan tertawa
"Buku nada begitu tidak sulit dicari."
"Ah, buku musiK ternama justeru sama sulitnya untuk
dicari seperti mencari guru yang pandai," ujar Peng-say.
"Jangan kuatir, setelah kau ajarkan dasar memetik kecapi
kepada Siausumoay, kujamin akan mencari sejilid buku
musik yang paling berharga untuk dijadikan bahan
pelajaranmu," kata Peng-lam dengan tertawa.
Melihat ucapan sang Suheng sedemikian yakin, dengan
tertawa Peng,-say berkata: "Wah, jangan2 sekarang juga
Toasuko sudah punya?"
"Betul,"' jawab Peng-lam dengan tertawa.
"Bila buku nada kecapi itu sama nilainya seperti buku
nada seruling yang kuterima dari Toa-suko itu, maka bagus
sekali jadinya”, kata Peng-say.
"Kau anggap buku nada seruliug itu memang bernilai?"
tanya Peng-lam.
”Ya, boleh dikatakan tiada taranya dan tiada
bandingannya."
"Jika demikian, buku nada kecapi yang kupegang inipun
sama tiada bandingannya, sebab buku nada itu bernama
Siau-go-yan-he,"
"Siau-go yan-he? Namanya juga. . . .juga Siau-go-yanhe?"
Peng-say menegas dengan rada melengak.
oOodowoOo
Begitulah Leng Hiang lantas mulai belajar main kecapi
dengan Soat Peng-say, tapi hanya belajar dua hari, hari
ketiga dia tidak mau belajar lagi.
Apa sebabnya? Peng-say tidak tahu, Peng-lam juga tidak
tahu ketika ditanya.
Peng-say merasa sayang, katanya kepada sang Suheng:
"Bakat Siausumoay sebenarnya sangat tinggi ia tidak sulit
untuk mencapai keahlian, entah sebab apa dia tidak mau
belajar lagi?"
Akan tetapi Peng-lam hanya menggeleng dan tak dapat
memberi penjelasan. Ia berjanji akan di- tanyakan kepada
Leng Hiang.
Namun selang beberapa hari Peng-lam belum juga
memberitahukan Peng-say hasil pertanyaannya kepada
Leng Hiang. Terhadap persoalan ini betapa pun Peng-say
merasa sangat dan heran, tapi juga tidak terlalu dipikirnya.
Ia malahan ingin pinjam kepada Sau Peng-lam buku
nada kecapi yang bernama "Siau-go-yan-he" itu untuk
dibacanya. Akan tetapi sudah beberapa hari dia tidak
berjumpa dengan sang Suheng Sepanjang hari, jadinya
Peng-say hanya mengeram iseng di kamarnya.
Suatu hari Peng-say keluar untuk ber-jalan2, kebetulan
dilihatnya Peng-lam sedang datang dari depan. Selagi ia
mengulum senyum dan hendak menyapa sang Suheng,
siapa tahu Peng-lam hanya memandangnya sekejap dengan
dingin, bahkan cepat2 membalik tubuh dan melangkah
pergi, tampaknya enggan tegur sapa dengan Peng-say.
Diperlakukan secara dingin tanpa sebab, Peng-say
menjadi kheki, tanpa sengaja ia menabas sebatang pohon
Siong cukup besar disebelahnya, pohon itu tetap tegak tak
bergoyang. tapi setelah Peng-say berlalu dan angin meniup,
mendadak pohon itu tumbang, bagian yang patah itu tepat
adalah tempat yang ditabas telapak tangan Soat Peng-say.
Sejak itu, apabila Peng-say merasa kesal habis membaca,
ia lantas keluar jalan2 dan tidak berdiam melulu didalam
kamar.
Tapi setiap kali ber-jalan2 keluar tentu sering bertemu
dengan para Suheng dan Sute. Anehnya, mereka se-olah2
tidak sudi menggubris Peng-say, murid lelaki hanya
mengangguk dingin padanya lalu menyingkir, murid
perempuan bahkan tidak mengangguk melainkan melengos
terus tinggal pergi.
Sudah tentu makin lama Peng-say makin risi, ia benar2
tidak tahan lagi. beberapa kali ia bermaksud ngunggsi saja,
tapi Kiau Lo-kiat telah memberi nasihat dan menghiburnya
sehingga dia mengurungkan niatnya untuk pergi.
Diantara anak murid Lam-han hanya Kiau Lo-kiat saja
yang masih mau bicara degan dia. tapi susah tidak banyak
cakapnya, dari mulut Ji-suheng itupun Peng-say tak dapat
mengorek keterangan apa sebabnya para Saudara
seperguruannya bersikap dingin dan membuang muka
padanya.
Kiau Lo-kiat tahu besar hasrat Peng-say akan pergi, ia
pernah berkata padanya: "Cap-itsute, selekasnya Suhu akan
lebaran dari tirakatnya, tunggulah sampai beliau keluar baru
dibicarakan lebih lanjut."
Dia tidak langsung menunjuk maksud kepergian Soat
Peng-say, tapi dibalik ucapannya itu se-akan2 hendak
berkata agar Peng-say bersabar dulu, bila mau pergi
selayaknya tunggu sampai bertemu lagi dengan sang guru
dan pamit padanya.
Ucapan Kiau Lo-kiat itu cukup beralasan, Peng-say
merasa tidak enak kalau tinggal pergi begitu saja, orang tua
itu memperlakukannya dengan baik, kalau mau pergi
haruslah permisi dulu kepadanya.
Pula, ia tahu Kiau Lo-kiat tidak suka memberitahukan
sebab musabab dirinya diperlakukan dingin oileh orang
lain, biarlah urusan ini ditanyakan langsung kepada
gurunya saja nanti.
0O0 ^dw^ 0O0
Sang waktu berlalu dengan cepat, hanya sekejap saja
sudah menginjak bulan kedua Soat Peng-say datang ke Sohhok-
han. Jadi sudah genap sebulan telah berlalu.
Selama sebulan ini Peng-say kenyang mendapat
perlakuan dingin dari sang ibu-guru dan saudara
seperguruan, hampir se-hari2 tidak pernah bergembira,
sungguh ia kuatir dirinya bisa mati kaku oleh keadaan yang
mengenaskan ini,
Tapi aneh juga, meski kesal pikirannya, tapi badannya
justeru makin hari makin sehat dan kuat, Wajahnya merah
cerah. Bila orang baru kenal, siapapun akan mengira dia
hidup senang bahagia selama sebulan di Soh-hok-han
walaupun kenyataannya sebenarnya adalah kebalikannya.
Terkadang ia sendiripun merasa heran, apakah karena
kulit muka sendiri lebih tebal daripada orang lain, meski
dirinya dihina dan dimusuhi. namun kesehatannya tidak
terganggu sama sekali, bahkan napsu makannya juga tidak
berkurang, bahkan takaran makannya malah bertambah,
kalau biasanya dua mangkuk nasi. sekarang tiga
mangkukpun terasa belum kenyang.
Satu hari seorang jongos datang mengundang, katanya:
"Hujin memerintahkan setiap murid ikut keluar menyambut
Lengki dari Bengcu."
Peng-say menjadi ragu Menurut aturan, karena dia
sudah tercatat sebagai murid sementara Lam-han, meski
secara resmi belum pernah belajar silat kepada Sau Cenghong,
betapapun ia harus ikut anak murid yang lain keluar
menyambut Lengki atau panji kebesaran ketua persekutuan
lima besar, Tapi bila mengingat keadaan sendiri yang
diperlakukan dingin, kalau ikut keluar, bukankah akan
mencari malu sendiri?
Setelah berpikir dan menimbang sejenak, akhirnya ia
memutuskan, biarpun nanti diperlakukan dingin, ia harus
ikut keluar. Yang menjadi alasan keputusannya ini bukan
lantaran dia sudah resmi murid Lam-han, tapi
menguatirkan apa yang akan terjadi diluar nanti.
Sebab ia teringat kepada peristiwa di kediaman Wi Kayhou
tempo hari, begitu panji Bengcu muncul disana,
segenap anggota keluarg Wi lantas tertimpa bencana.
Apakah sekarang kejadian begitu akan berulang pula?
Begitulah sendirian ia lantas menuju ke tempat
penyambutan tamu, dilihatnya di ruangan besar itu sudah
berduduk seorang botak dan seorang kurus kering seperti
orang sakit tebese. Jelas mereka itulah adik seperguruan
sang Bengcu, yaitu Ting Tiong dan Liok Pek, mereka sudah
dikenal Peng-say dikediamanWi Kay-hou dan cukup dalam
kesannya.
Di depan kedua tamu itu berduduk Leng Tiong-cik,
mungkin sang guru belum lebaran tirakat, maka ibu guru
mewakiii menemui tamu.
Diantara tetamu itu, kecuali Ting Tiong dan Liok Pek,
semua murid Say-koan yang ikut hadir di tempat Wi Kayhou
tempo hari kini juga datang semua, mereka berdiri
disamping kanan-kiri Ting Tiong dan Liok Pek.
Di kedua samping Leng Tiong-cik juga berdiri Sau Penglam,
Kiau Lo-kiat dan lain2, mereka sudah hadir sejak tadi,
hanya Soat Peng-say saja yang datang paling lambat.
Setelah masuk kesitu, Peng-say lantas berdiri agak jauh
dibelakang Leng Tiong-cik, sang ibu-guru melototinya
sekejap, agaknya merasa tidak senang karena dia datang
terlambat.
Didengarnya Ting Tiong sedang bertanya: "Sau-hujin,
tolong tanya, apakah Sau-suheng berada dirumah?"
"Ada!" jawab Leng Tiong-cik singkat.
Mungkin dia sudah mendengar apa yang terjadi di
kediaman Wi Kay-hou, sebab itulah jawabannya cekak-aos
dan sikapnya dingin terhadap Ting Tiong dan
rombongannya.
Dahi Liok Pek tampak berkerut, ucapnya dengan kurang
senang: "Mengapa tidak keluar menyambut?"
"Apakah perlu?" jengek Leng Tiong-cik.
Liok Pek membentang Lengki atau panji kebesaran yang
dipegangnya dan berkata: "Dia boleh memandang rendah
kami berdua, tapi tidak boleh tidak menghormati Lengki
ini!"
Leng Tiong-cik memandang Lengki itu sekejap, katanya:
"Ada keperluan apa kunjungan kalian ini, silakan bicara
saja dan tidak perlu menakuti orang dengan Lengki!"
"Silakan Sau-suheng keluar untuk bicara!" seru Liok Pek
sambil angkat Lengki tinggi2.
Dia sengaja perkeras suaranya agar didengar oleh Sau
Ceng-hong, maka suaranya nyaring bergema memekak
telinga.
Air muka Leng Tiong-cik berubah, ucapnya: "Orang she
Liok. ditempatku ini jangan kau main gila, gulung panjimu
itu!"
Dengan bersitegang leher Liok Pek tidak menghiraukan
permintaan Leng Tiong-cik itu. Kuatir urusan bisa runyam,
cepat Ting Tiong berkata: "Sam-sute, boleh kau gulung
Lengki kita."
Liok Pek juga tahu tempat keluarga Sau ini tidak dapat
dibandingkan rumah keluargaWi, melulu nyonya Sau saja
mungkin mereka berdua bukan tandingannya, jika Ssu
Ceng-hong dibikin gusar dan tampil kemuka, tentu lebih
celaka lagi bagi mereka.
Maka ia tidak berani berlagak lagi, dengan ogah2an ia
gulung panjinya,
"Sau-hujin," kata Ting Tiong kemudian, "bukan maksud
kami menakuti orang dengan Lengki, tapi kami ingin Siusuheng
keluar untuk bicara berhadapan dengan kami, sebab
persoalan ini sangat penting harus dirundingkan langsung
dengan Sau-suheng."
"Urusan apa, boleh cooa katakan lebih dulu," ujar Leng
Tiong-cik.
"Apakah Hujin dapat mengambil kepututan?" tanya Ting
Tiong dengan ketawa,
”Sekiranya dapat keputusan sendiri tentu akan
kuputuskan, kalau tidak dapat barulah kuundang keluar
suamiku," jawab Leng Tiong-cik ketus.
"Untuk apa menambah pekerjaan!" tanpa pikir Liok Pek
menyeletuk.
Leng Tiong-Cik menjadi gusar, mendadak ia mengebrak
meja, seketika meja kecil itu ambles kebawah, keempat kaki
meja hampir separoh ambles kedalam ubin, tapi cangkir teh
di atas meja tidak bergetar, bahkan air teh tidak tercecer
setitikpun.
Batapa pun hebat Lwekang yang diperlihatkan Leng
Tiong-cik ini, semua murid Say-koan sama terkesiap. Tapi
Liok Pek lantas mendengus, katanya di dalam hati, "Hm,
kau pamer kelihayanmu ini untuk menggertak diriku?"
Melihat sikap Liok Pek yang menantang itu, Leng Tiongcik
tambah murka, damperatnya: "Orang she Liok, kau
meremehkan aku Leng Tiong-cik ya?"
Liok Pek menjawab: "Hui-uh-kiam Leng-lihiap sudah
lama termashur, mana berani kupandang remeh tokoh
Leng-lihiap? Hanya saja hehe, urusan ini kukira kau tidak
mampu mengambil keputusan!"
"Coba katakan, lihat saja apakah aku dapat
memutuskannya atau tidak?" kata Leng Tiok-cik.
Dengan tertawa Ting Tiong lantas menyela: "Jika Hujin
berkeras mau memutuskan sendiri urusan ini dan merasa
tidak perlu mengejutkan Sau-suheng, baiklah Sute, boleh
kau katakan kepada Sau-hujin, habis itu segera kitapun
dapat membawa pergi orang yang kita inginkan."
Tapi Liok Pek lantas menjawab: "Kukira cara ini kurang
baik, apabila Sau-suheng tidak mau mengerti."
"Siapa yang hendak kalian bawa?" tanya Leng Tiong-cik
cepat.
"Sute, asalkan Sau-hujin sudah mengizinkan, kan sama
saja?" ujar Ting Tiong, dia tidak menjawab dulu pertanyaan
Leng Tiong-cik,
Keruan nyonya Sau itu sangat mendongkol.
”Kalian jangan mengharap akan membawa apapun dari
tempatku ini" demikian ia lantas berteriak.
"Puteramu membunuh orang, apakah juga tidak boleh
kami membawanya pergi?" kata Ting Tiong.
"Pedang anak Lam selamanya tidak pernah membunuh
orang yang tak berdosa, barang siapa terbunuh olehnya
tentu orang itu pantas dibunuh, kalian tidak berhak
membawanya pergi!" seru Leng Tiong-cik.
Ting Tiong ter-bahak2, katanya: "Hahahaha! Ucapan
Sau-hujin ini sungguh tidak masuk diakal, tak terduga isteri
Kun-cu-kiam yang termashur ternyata seorang perempuan
yang tidak tahu aturan dan suka menang sendiri!"
"Mau apa jika tidak tahu aturan?" teriak Leng Tiong-cik,
dia sudah marah, maka tambah nekat. "Terhadap kawanan
penindas yang suka membunuh orang tak berdosa secara sewenang2
dengan memperalat nama Bengcu sebagai tameng,
hakikatnya tidak perlu bicara tentaog aturan segala!"'
"Kau tidak mau pakai aturan, kamipun tidak perlu
sungkan2 padamu!" ucap Ting Tiong sambil memandang
anak muridnya, ia memberi tanda agar siap turun tangan.
Urusan sudah kadung begini, jika tidak segera dicegah,
kalau sampai kedua pihak sudah bergebrak. pihak mana
yang akan kalah atau menang adalah soal belakang, yang
jelas peristiwa ini adalah malapetaka bagi dunia persilatan
umumnya.
Dengan sendirinya Sau Peng-lam tidak ingin malapetaka
ini timbul lantaran dirinya. segera ia tampil kemuka dan
berseru: "Ting-susiok, tolong tanya siapakah yang telah
kubunuh? JikaWanpwe salah membunuh, kurela menerima
hukuman dari Bengcu padahal seingatku, akhir2 ini selain
kubunuh seorang murid Tang-wan bernama Lo Ci-kiat,
rasanya tiada orang kedua lagi yang kubunuh. Memangnya
karena membunuh Lo Ci-kiat itu Wanpwe dianggap
bersalah?"
"Hm, bisa juga berlagak kau!" jengek Ting Tioog.
"Kematian Lo Ci-kiat tiada yang menganggap kau salah.
Coba jawab, sesudah membunuh Lo Ci-kiat, siapa pula
yang kau bunuh?!"
"Itulah yang membingungkan Wanwe, mohon Susiok
suka memberitahu," jawab Peng-lam.
"Hui-susiokmu, bagaimana?" Liok Pek menyeletuk.
Hati Peng-lam tergetar, air mukanya berubah hebat.
"Hm, perubahan air mukamu ini sama dengan suatu
pengakuan, lekas katakan, dengan akal keji apa kau bunuh
Hui-sute?!" jengok Ting Tiong.
Air muka Leng Tiong-cik juga berubah. Tadi karena
emosi, hampir saja ia bergebrak dengan lawan, kalau saja
hal itu terjadi, jelas pihak sendiri yang bersalah dan nama
baik suami juga akan ikut ternoda.
Maklumlah, dia baru saja bertengkar dengan suami
sendiri, hatinya masih geram, menghadapi urusan apapan
tidak dipikir lagi secara mendalam, baginya paling2 rumah
tangga berantakan dan mati semuanya. Tapi setelah
pikirannya tenang kembali barulah ia ingat seharusnya dia
menanyai dulu siapa yang dibunuh Peng-lam, dengan
demikian sekali pun nanti harus bertengkar dengan lawan
pihak sendiri menpunyai alasan yang cukup kuat, bila
tersiar juga tidak malu.
Siapa tahu orang yang dibunuh anak Lam ialah Hut Pin
jelas dia tidak dapat membelanya lagi, jelek2 Hui Pin
adalah angkatan yang lebih tua, tokoh Ngo-tay-lian-beng,
biasanya setiap anggota lima besar ini sangat
mementingkan tingkatan., jika membunuh Susiok, lalu apa
yang dapat dikatakan?
Begitulah dengan suara terputus Leng Tiong-cik
bertanya: "Anak Lam, apakah betul kau ....kau yang
membunuh Hui-susiokmu?"
"Tidak!" jawab Peng-lam.
Melihat Peng-lam menjawab dengan tegas tanpa sangsi,
hati Leng Tiong-cik merasa mantap, ia cukup kenal watak
anak angkatnya yang jujur ini, kalau bilang satu tentu tidak
merjadi dua, bila dia bilang tidak, maka pasti tidak.
Dengan tertawa ia lantas tanya pula: "Jika begitu,
mengapa air mukamu berubah, tadi kukira kau merasa
berdosa, maka takut. Jadi kau benar2 tidak membunuh Huisugiok."
"Gibo jangan kuatir," kata Peng-lam. "Biar anak
mengulangi sekali lagi, anak sama sekali tidak
membunub Hui-susiok,"
"Hm, kalau begitu, ingin kupinjam ucapan Gibomu,
sebab apa air mukamu berubah?" tukas Ting Tiong.
Segera Liok Pek menyambung: "Dan ketika mendengar
kusebut nama Hui-susiok, seketika air mukamu berubah,
jika betul kau tidak mencelakai dia, mengapa kau keder,
jelas karena ada sesuatu yang tidak beres pada dirimu!"
"Sebabnya air mukaku berubah adalah karena ada orang
memfitnah diriku," tutur Peng-lam. "Justeru Wanpwe ingin
tanya kepada Susiok, siapa yang bilang aku yang
membunuh Hui susiok,"
"Darimana kau tahu orang memfitnah kau?" Ting Tiong
berbalik tanya.
"Kematian Hui-susiok itu, kecuali orang yang
membunuhnya, yang tahu hanya ada tiga orang, yaitu Gilim
Sumoay dari Siong-san-pay, seorang anak perempuan
kecil dan diriku. Pembunuhnya itu adalah seorang tokoh
yang punya nama cemerlang tidak nanti dia
menjerumuskan diriku, Gi-lim Sumoay dan anak
perempuan itupun tidak nanti mengatakan aku yang
membunuhnya, sekarang kedua Susiok nenuduh diriku, bila
bukau salah seorang diantara mereka bertiga itu memfitnah
diriku, mengapa aku yang kalian cari?"
"Tidak perlu kita persoalkan siapa yang memfitnah kau,"
kata Ting Tiong. "Untuk membuktikan bukan kau yang
membunuh Hui-susiok, kau harus menunjuk pembunuh
yang sebenarnya itu, setelah kami ketemukan orangnya,
tentu tuduhan padamu akan kami tarik kembali."
Peng-lam menggeleng, katanya: "Tidak, tidak dapat
kukatakan."
"Anak Lam, kenapa tidak dapat kau katakan?" tanya
Leng Tiong-cik.
"Ya, apapun tidak dapat kukatakan," jawab Peng-lam
tegas. "Sebab, kalau kukatakan, maka akan timbul
malapetaka besar."
Dengan sendirinya ia tidak dapat mengatakan si
pembunuhnya adalah anggota Ngo-tay-han-beng sendiri,
sebab akibatnya akan menimbulkan bunuh membunuh di
antara orang2 lima besar sendiri. Umpama dia tidak
menyebut namanya Bok Jong siong dan melulu bilang
pembunuhnya adalah anggota lima besar, hal inipun akan
menimbulkan curiga Ting Tiong dan Liok Pek, bila
dilaporkan kepada Coh-suheng mereka, tentu juga akan
menimbulkan prasangka jelek terhadap anggota Ngo-taylian-
beng lainnya yang dianggap sengaja memusuhi Saykoan
serta membunuh Hui Pin. Dan akibatnya yang lebih
luas adalah persatuan lima besar akan lemah dan
berantakan.
Namun siapakah yang tahu kekuatiran Sau Peng-lam ini?
Ting Tiong tertawa dingin dan mendesak pula: "Anak
muda, jangan kau berlagak lagi. Jangan kau kira kami ini
mudah kau kelabui. Si pembunuhnya bukan lain adalah
dirimu sendiri!"
Peng-lam menggeleng, jawabnya: "Aku berani
bersumpah, bukan diriku?"
"Memangnya kau perlu saksi yang dapat tunjuk hidung
dan baru kau mau mengaku?" kata Ting Tiong.
"Bagus, aku justeru ingin tahu siapa dia?" jawab Penglam.
"Bukan kau akan tahu, untuk membuktikan bukan kami
mau gertak belaka," kata Liok Pek. "Suheng, apakah perlu
orang itu dibawa kemari?"
Ting Tiong berpikir sejenak, akhirnya ia mengangguk
dan berkata: "Baiklah!"
Segera Liok Pek berteriak; "Ting-tat, suruh mereka
menggotongnya kemari!"
Terdengar suara Su Ting-tat mengiakan diluar.
Meski lahirnya Peng-lam tenang2 saja sambil
memandang keluar ruangan tamu, sebenarnya hatinya juga
kebat-kebit tidak tenteram, ia merasa tidak berdosa,
sebenarnya ia tidak takut akan dituduh orang sebagai
pembunuh. Namun siapakah orang yang menuduhnya itu,
hal inilah yang membuatnya tidak tenteram.
Sejenak kemudian, seorang lelaki jangkung berbaju
kuning memimpin beberapa orang tukang pikul
menggotong masuk sebuah dipan yang diberi tenda seperti
tandu. Setelah tenda ditaruh di lantai, tidak terlihat orang
keluar dari tandu itu.
Peng-lam tidak tahan, segera ia berseru: "Siapa itu yang
di dalam tandu?"
"Ak. . . .aku, Toako . . .aku!" terdengar suara seorang
perempuan muda menyahut dengan suara ter-sendat2.
Seluruh tubuh Peng-lam bergetar hebat, serunya: "He,
Gi-lim Sumoay!"— Dia hampir tidak percaya kepada
telinganya sendiri, suara itu ternyata betul suara Gi-lim.
Liok Pek ter-bahak2, katanya: "Siausuhu ini ternyata
kasmaran terhadap dirimu, sejauh itu dia tidak mau
mengaku siapa pembunuh Hui-sute, sesudah kami pancing
dengan macam2 akal akhirnya barulah ia bicara terus
terang."
"Gi-lim Sumoay, coba kau keluar sini!" kata Peng-lam
dengan pedih dan gemas.
"Aku. . .aku tidak. . . .tidak dapat. . . ."
Mendadak Peng-lam hendak melompat kedepan tandu,
tapi Ting Tiong lantas menghantam dari jauh sambil
membentak: "Kau mau apa?!"
Peng-lam terdesak mundur oleh angin pukulan itu, tapi
dia tidak berhenti, segera ia melayang lagi ke sana,
"Kembali" bentak pula Ting Tiong, kembali ia memukul.
Sekali ini Peng-lam sudah memperhitungkan daya
pukulan Ting Tiong, begitu melayang maju, mendadak ia
menggeliat dan berubah tempat.
Karena itulah pukulan Ting Tiong itu mengenai tempat
kosong. diam2 ia mengeluh: "Celaka!"
Tampaknya Peng-lam sudah dekat dengan tandu itu,
tahu2 Liok Pek telah memburu maju, tanpa bersuara ia
terus menghantam.
Yang dipikir Peng-lam hanya menghindari pukulan Ting
Tiong tadi, sama sekali ia tidak menduga tokoh kelas tinggi
Say-koan sebagai Liok Pek ini dapat menyergapnya secara
mendadak. Ketika ia merasa angin pukulan dahsyat
menyambar tiba untuk mengelak sudah terlambat, dalam
keadaan gawat, tiba2 terdengar suara mendesing, segera ia
tahu ibu-gurunya telah menolongnya dengan
menyambitkan "Tau-kut-ting" atau paku penembus tulang.
"Tau-kut-ting" adalah senjata rahasia andalah Leng
Tiong-cik, kekuatannya mampu menghancurkan Khikang
(kekuatan perut) musuh, angin pukulan dahsyat
bagaimanapun tak dapat menahannya, bila terkena tubuh
musuh segera menembus tulang dan menancap ke dalam
tubuh, lihaynya tidak kepalang.
Karena itulah lekas2 Liok Pek menarik tangannya ketika
melihat Tiau-kut-ting itu menyambar ke tengah telapak
tangannya.
Meski jiwa Peng-lam dapat diselamatkan, tapi sebagian
angin pukulan Liok Pek itu tetap mengenai tubuhnya
sehingga menambah daya lompatnya kesana, dengan kuat
ia terus menubruk ke depan tandu. Tampaknya sukar
baginya untuk mengerem dan tandu itu pasti akan
ditumbuknya hingga hancur.
Se-konyong2 Su Ting-tat mengadang ke depan, kedua
tangannya terus menolak.
"Bagus!" bentak Peng-lam, buru2 iapun memapak
dengan kedua telapak tangannya.
Empat tangan beradu, "blang", Peng-lam dapat menahan
tubuhnya dan berdiri tegak, sebaliknya Su Ting-tat menjerit
ngeri, tubuhnya yang jangkung itu mencelat keluar ruangan
dan jatuh terbanting.
Untung dia cukup tangkas, otot tulangnya sangat kuat.
meski bamtingan itu membuatnya kesakitan dan sampai
sekian lama tidak sanggup merangkak bangun. namun tidak
sampai terluka parah.
Sebenarnya tenaga dalam Su Ting-tat selisih tidak terlalu
jauh dengan Peng-lam, soalnya Peng-lam mendapat
tambahan tenaga pukulan Liok Pek tadi. dengan sendirinya
luar biasa kuatnya. Jadi mencelatnya Su Ting-tat sebagian
boleh dikatakan akibat dibanting oleh tenaga pukulan Sang
susioknya sendiri.
Ketika Peng-lam dapat menahan tubuh dan berdiri tegak
tepat ia berdiri di depan tandu, mendadak ia menyingkap
tabir tandu.
Semua orang mengira dia akan mencelakai Gi-lim,
bahkan Leng Tiong-cik juga menyangka dia akan
membunuh Gi-lim untuk menghilangkan saksi. Siapa tahu
setelah tabir tandu dibukanya, lalu ia berjongkok ke bawah
dengan pelahan dan bertanya: "He, kak. . . .kakimu. . . ."
Gi-lim sekarang ternyata bukan Gi-lim yang jelita pada
sebulan yang lalu, kini wajahnya kurus pucat, hanya dalam
waktu sesingkat ini dia sudah kurus dan layu, jubah
agamanya kotor dan rombeng.
"Mereka telah .... telah memotong urat besar kakiku . . .
." dengan tersedu-sedan Gi-lim berkata sambil mendekap
mukanya.
Peng-lam menoleh dan memandang Ting Tiong dengan
gusar.
Ting Tiong merasa lega setelah mengetahui Peng-lam
tidak bermaksud membunuh Gi-lim, dengan tak acuh ia
berkata: "Beberapa kali Nikoh cilik itu mau kabur, terpaksa
kami memotong urat kakinya . . . ,"
"Tentunya kau tahu dia ialah murid kesayangan Ting-yat
Suthay?" teriak Peng-lam dengan gusar.
"Memangnya kenapa kalau dia murid kesayangan Tingyat?"
jengek Ting Tiong. "Dia tersangkut perkara
membunuh orang yang lebih tua, dosanya pantas dihukum
mati, melulu memotoog urat kakinya saja adalah hukuman
yang terlalu ringan"
"Kematian Hui-susiok hakikatnya tiada sangkut pautnya
dengan dia!" teriak Peng-lam.
"Waktu kami menemukan jenazah Hui-sute, hanya dia
sendiri yang berada disana," tutur Ting Tiong. "Waktu kami
tanya dia, dengan gelagapan ia tak dapat menerangkan
duduknya perkara. Kalau bilang dia tiada sangkut-pautnya
dengan kematian Hui-sute, siapa yang mau percaya?"
"Hutang ini kelak Siong-san-pay yang akan membikin
perhitungan dengao kalian!" teriak Peng-lam dengan
menggertak gigi.
Ting Tiong hanya mendengus saja dan menyepelekan
peringatan tersebut.
Peng-lam berjongkok lebih rendah dan tanya Gi-lim:
"Dan dimana Fifi?"
Gi-lim seperti merasa malu dan tidak berani menatap
Peng-lam, jawabnya dengan menunduk' "Sesudah kau
pergi, dia juga lantas pergi."
”Dan kau, mengapa kau tidak pergi, betapa bahayanya
kau tinggal sendirian di sana," kata Peng-lam .
"Aku menunggu , . . . menunggu kau, kutunggu sampai .
. . sampai hari kedua . . . ."
Peng-lam menghela napas, katanya: "Untuk apa
menunggu diriku?! Ikut pergi bersama Fifi kau segala
urusan menjadi beres?” Tapi sekarang ... dia tidak tega
mengomeli Gi-lim lagi dan tidak meneruskan ucapannya.
Gi-lim menangis pelahan, katanya: "Kau sendiri bilang
hanya pergi .... pergi sebentar dan segera akan kembali,
maka kutunggu disana, siapa . . .siapa tahu sampai esok
paginya kau tetap tidak datang kembali . . . ."
Peng-lam jadi ingat ketika dia hendak pergi itu memang
pernah menyatakan akan segera kembali lagi, malahan
dirinya memberi pesan agar Nikoh cilik itu menemani Fifi
dan menunggunya sebentar, tak terduga Nikoh cilik yang
polos ini benar2 menunggu terus di tempat yang berbahaya
itu dan dirinya juga tanpa kembali lagi kesana. Sekarang
urusan sudah telaniur begini, apakah dia dapat disalahkan?
Padahal dimalam gelap sendirian dia menunggui tiga sosok
mayat di sana, memangnya untuk apa? Kalau ada yang
salah. tentu dirinya harus disalahkan lebih dulu karena
menyatakan akan kembali lagi ke sana dan lupa
menyuruhnya pergi saja.
"Kemudian ... kemudian datanglah si botak dan si setan
jangkung itu," tutur Gi-lim pula, "mereka menggali keluar
mayat Hui susiok dan bertanya padaku siapa
pembunuhnya. Sudah tentu aku tidak berani omong.
Kulihat mereka menggali keluar pula jenazah Wi-susiok
dan kakek Fifi serta mencincang jenazah mereka. Ai,
orang2 benar2 maha jahat, orang mati saja di . . . ."
-Ooo0dw0ooOJilid
23
Mestinya ia hendak mengomeli mereka yang merusak
mayat orang mati, tiba2 teringat olehnya Sau Peng-lam juga
pernah menyayat mayat Hui Pin, maka urung melanjutkan
ucapannya, ia lantas ganti haluan dan berkata pula; "Lalu
mereka .... mereka memaksa aku mengikuti mereka pergi,
sepanjang jalan aku ditanyai pula siapa pembunuh Hui
susiok, katanya siapa mereka dan ada hubungan apa
dengan Hui-susiok. tapi mereka tidak mau menerangkan,
hanya terus memaksa agar aku mengaku siapa yang
membunuh Hui-susiok. . . ."
"Sesungguhnya siapa yang membunuh Hui-susiok?"
tukas LengHiang tiba2.
Gi-lim mengangkat kepala dan memandangnya sekejap,
lalu menunduk pula, tanyanya kepada Peng-lam dengan
suara pelahan: "Toa . . .Toako, siapakah dia?"
"Dia inilah Leng-sumoay, LengHiang," jawab Peng-lam.
"Gi-lim cici," kata Leng Hiang pula, "tentu kau tahu
pembunuh Hui-susiok yang sebenarnya, betul tidak? Jut
keh-lang tidak boleh berdusta, nah, lekas katakanlah,
siapakah pembunuh itu sebenarnya?"
"Tidak tahu?" jawab Gi-lim dengan dingin.
"Tadi kau bilang tidak berani omong, jadi bukannya
tidak tahu," kata Leng Hiang. "Bila sejak semula kau bilang
tidak tahu, kan tidak banyak urusan seperti sekarang?"
Peng-lam menghela napas, katanya: "Ucapan Sumoayku
memang betul, seharusnya sejak semula kau bilang tidak
tahu saja, padahal kalau kau katakan tidak tahu, siapa lagi
yang dapat memaksa kau?"
Gi-lim merasa kurang senang karena Peng-lam membela
ucapan Leng Hiang, semula ia setengah berbaring
ditandunya menghadapi Peng-lam, sekarang mendadak ia
membalik tubuh ke samping.
Segera Ting Tiong menyambung pula: "Watak Siausuhu
ini polos bersih, tidak suka berdusta. Sau Peng-lam, biarpun
kau inginkan dia bantu menutup, rahasiamu dan
menyatakan tidak tahu, kan sudah terlambat sekarang "
Peng-lam lantas bertanya: "Gi-lim, betulkah aku
pembunuhnya?"
Tapi Gi lim diam saja.
"Sau Peng-lam, tidak perlu tanya lagi," sela Liok Pek,
"Dengan jelas sudah dikatakannya kepada kami bahwa kau
pembunuhnya. Tiada gunanya banyak bertanya pula,
sekalipun ia kau tanyai juga ia tak berani omong. Padahal
juga tidak perlu ditanyai pula, berdiam berarti mengakui.
Nah anak muda, ikutlah kami ketempat Coh-suheng untuk
mengaku dosamu. Seorang lelaki sejati berani berbuat
berani bertanggung jawab, apa gunanya kau ngotot disini.
apakah ingin membikin susahGihu dan Gibomu?"
Peng-lam jadi emosi, teriaknya. "Tidak, pembunuhnya
bukan aku, Gi-lim, katakanlah, apakah aku ini
pembunuhnya?"
"Sam-sute, tangkap dia dan berangkat!" kata Ting Tiong.
Segera Liok Pek melangkah maju, melihat Leng Tiong-
Cik tidak merintanginya, ia lantas berkata kepada Penglam.
"Menurutlah sedikit, sekarang tiaada orang berani
membela kau lagi, malahan kami nanti dapat mintakan
sedikit kelonggaran bagimu di tempat Coh-suheng agar kau
tidak dihukum siksa dan bereskan kau secara cepat saja."
Peng-lam jadi ngeri membayangkan hukuman siksa yang
kejam itu, ia berusaha berontak pada kesempatan terakhir,
teriaknya pula dengan suara gemetar, "Gi-lim, lekas
katakan bahwa aku bukan pembunuhnya."
Tapi Gi-lim tetap bungkam.
Liok Pek lantas berkata pula: "Coba, dia tetap diam saja.
Sudahlah, jangan bikin malu, memangnya kau hendak
berlutut dan menyembah padanya untuk memohon dia
mengatakan kau bukan pembunuhnya? Hayolah berangkat,
tunjukan kejantananmu sedikit!"
Dengan lesu Pang-lam berbangkit, ucapnya dengan
lemas: "Baik, silakan kalian meringkus diriku!"
"Nah, beginilah baru kelihatan sedikit jiwa ksatria murid
Lam-han," ucap Liok Pek sambil mengeluarkan seutas tali
kulit.
"Jangan meringkus dia!" mendadak Gi-lim berseru,
"bukan dia pembunuhnya, pembunuh yang sebenarnya
ialah. . . ."
"Tutup mulut!" bentak Peng-lam,
"Cara bagaimana harus kukatakan?" tanya Gi-lim
dengan gegetun.
"Cukup begitu saja," Kata Peng-lam.
"Tapi mereka memaksa kukatakan pembunuhnya," ujar
Gi-lim.
"Lebih baik kita mati sendiri daripada mengatakan
pembunuh yang sebenarnya," kata Peng-lam dengan
kereng.
Gi-lim menghela napas, ucapnya: "Kutahu, selalu
kuingat pada ucapan Toako, kukuatir dia akan mencari
setori dan mengadu pedang dengan guruku, maka sejauh ini
tidak kusebut namanya."
Kiranya dia tidak berani menyebut Bok Jong-siong
sebagai pembunuhnya bukan lantaran dia berkuatir
akibatnya seperti apa yang dipikirkan Peng-lam, sebabnya
dia tidak berani omong hanya karena ucapan Peng-lam
tempo hari.
Disamping dongkol, geli juga Peng-lam, tapi juga merasa
lega. Tak disangkanya bahwa ucapannya yang bersifat
gurauan tempo hari bisa mendatangkan efek seperti
sekarang ini, Cuma, apa sebabnya kemudian Gi-lim
mengaku dia sebagai pembunuhnya, inilah yang tidak
dipahami.
Tiba2 Ting Tiong bertanya: "Siausuhu, siapa pembunuh
Hui-susiokmu yang sesungguhnya?"
Sekarang Gi-lim sudah bertambah cerdik, ia menjawab:
"Aku tidak tahu."
Dengan suara keras Liok Pek menggertaknya: "Tidak
tahu? Akan kami beset kulitmu!"
"Mati Saja aku tidak takut sekarang, masa takut dibeset?"
jawab Gi-lim dengan tertawa. "Biar-pun kau menyiksa
diriku juga aku tidak takut lagi."
"Sam-sute, bawa Sau Peng-lam!" seru Ting Tiong.
"He, ini tidak boleh jadi, dia bukan pembunuhnya!"
teriak Gi-lim
"Sudah pernah kau katakan dia ini pembunuhnya, tiada
gunanya sekarang kau menyangkal!" kata Ting Tiong. Lalu
ia membentak: "Bawa dia berangkat!"
Selagi Liok Pek hendak turun tangan, terdengar Gi-lim
berteriak dengan cemas: "Tidak, jangan kalian membawa
pergi dia, dia benar2 bukan pembunuhnya!"
Liok Pek tidak menghiraukannya dan segera akan turun
tangan.
Tapi Leng Tiong-cik lantas mencegah: "Liok-sute, nanti
dulu!"
"Apakah Sau-hujin hendak merintangi tugas kami?"
tanya Ting Tiong.
"Anak Lam bukan pembunuhnya, dengan sendirinya
harus kurintangi," jawab Tiong-cik.
"Jelas Nikoh cilik ini terbujuk sehingga menyatakan
puteramu bukan pembunuhnya," kata Ting Tiong. "Tapi
coba Sau-hujin pikirkan, pertanyaannya yang sudah
terlambat ini apakah berguna?"
"Ingin kutanyai dia lebih jelas, boleh?" kata Leng Tiongcik.
"Silakan," jawab Ting Tiong.
Segera Leng Tiong-cik bertanya: "Gi-lim Siau-suhu,
sebab apa mula2 kau memfitnah Sau-toakomu sebagai
pembunuh Hui-susiok? Tentunya kau tahu bahwa jiwanya
hampir melayang lantaran berusaha menyelamatkan
kesucianmu, masa begini cepat kau lupa kepada buai
pertolongannya atau kau memang tidak tahu kebaikan
orang kepadamu?"
"Aku bukan patung, masa tidak tahu kebaikan orang
padaku?" jawab Gi-lim. "Kebaikan Toako padaku cukup
jelas kuketahui, tidak perlu kau menginagtkan diriku."
"Habis kenapa kau sampai hati membikin susah dia?"
tanya Tiong-cik pula.
Mendadak Gi-lim menangis, selang sejenak, ia mengusap
air mata sambil menunduk, katanya: "Tidak seharusnya dia
melupakan diriku, aku ditinggalkan sendirian di
pegunungan sunyi sana, aku ketakutan dan semalaman
tidak berani tidur, kududuk di samping tiga kuburan baru,
menangis semalam suntuk. Besoknya aku ditangkap
mereka, mereka menyiksa diriku dan menakuti diriku
dengan macam2 jalan, semula aku masih bertahan,
kemuadian aku mulai menyalahkan Sau-toako, tidak
seharusnya dia meninggalkan diriku dan pergi bertemu
dengan Siausumoaynya yang bernama Leng Hiang dan aku
dilupakannya . .. ."
Mendengar penuturan Gi-lim ini, diam2 Peng-lam
merasa penasaran, padahal kepergiannya itu adalah menuju
ke kelenteng Toapekong untuk menolong Soat Peng-say
dan tidak pernah pergi berkencan dengan Leng Hiang. Tapi
dalam benak Gi-lim yang tidak tahu apa yang terjadi ini
menyangka dia pergi menemui Siau-sumoaynya.
Inilah jalan pikiran perempuan yang sering2 menuju
ekstrim. Meski Gi-lim sudah menjadi Nikoh, tapi dia tetap
perempuan dan tak terhindar dari sifat2 perempuan.
"O jadi kau menyesal Sau-toako melupakan kau, tapi kau
pun tak juga berani menyebut nama si pembunuh yang
sebenarnya, maka saking tidak tahan oleh macam2 siksaan,
lantas kau berdusta bahwa Sau-toako ialah pembunuhnya,
begitu?" tanya Leng Tiong-cik.
Gi-lim mengangguk, katanya: "Menyesal sih memang
menyesal, cuma tidak sengaja membikin susah padanya.
Aku cuma ingin bertemu dengan Sau-toako, kupikir hanya
dengan jalan mengaku Sau-toako sebagai pembunuhnya
barulah mereka akan membawa diriku untuk ku ditemukan
dengan dia."
"Sungguh, Nikoh cilik yang berhati busuk," damperat
Leng Hiang, "jiwanya hampir saja melayang bagimu, masa
kau bilang tidak sengaja bikin susah dia?"
Gi-lim tidak menghiraukannya, dengan suara pelahan ia
bergumam: "Akhirnya toh aku dapat bertemu dengan dia!"
Dari nadanya Peng-lam merasakan gelagat tidak baik,
cepat ia berseru: "Jangan!"
Namun sudah terlambat, pada saat mengucapkan kata2
terakhir itu, sebilah belati yang digenggam Gi-lim secepat
kilat bersarang di ulu hati sendiri.
Cepat Peng-lam memburu maju dan memondongnya, ia
bermaksud mencabut belati itu.
Tapi Gi-lim sempat memegang tangannya, ucapnya
dengan menahan sakit: "Biar kukata ....katakan. . . ."
Peng-lam melihat belati itu menancap sangat dalam di
ulu hati Nikoh cilik itu, bila dicabut bisa jadi jiwa Gi-lim
akan terus melayang dan tidak sempatt bicara Iagi.
Dengan tersendat ia lantas menjawab: "Baiklah. ka . ..
.katakanlah!"
Sekuatnya Gi-lim bicara dengan ter-putus2: "Matipun
aku tidak .... tidak sengaja membikin celaka dirimu . . ,."
"Kutahu, kutahu . ..." air mata ber-linang2 di kelopak
mata Peng-lam.
"Dan akupun tidak dapat . . . ,tidak dapat membikin
susah Suhu . . . ."
Peng lam mengangguk dengan terharu.
"Jika .... jika aku mati, mereka .... mereka tak dapat lagi
meng .... mengorek pengakuanku tentang pembunuh yang
sebenarnya .... "
Sampai di sini mulutnya terus terkatup rapat2, dari sudut
mulutnya merembes keluar darah hitam, suhu badannya
mulai turun, makin turun dan makin dingin.
Sampai sekian lama barulah Sau Peng-lam mengetahui
Gi-lim sudah mati. Kedua tangannya terasa kesemutan dan
mati rasa, air matanya bercucuran.
Ting Tiong memberi isyarat kepada kawannya, serentak
dia dan Liok Pek menubruk kebelakang Sau Peng-lam.
Gi-lim sudah mati, hanya dari Peng-lam saja dapat
dikorek keterangan siapa pembunuh yang sesungguhnya.
Peng-lam se-akan2 tidak tahu akan sergapan itu, dengan
ter-mangu2 ia tetap memandangi jenazah Gi-lim.
Tapi Leng Tiong-cik lantas bertindak, dengan pedang
terhunus iapun melompat maju sambil membentak: "Berani
kau!" — Selagi masih terapung di udara. pedangnya
sekaligus menusuk ke kanan dan ke kiri sehingga Ting
Tiong dan Liok Pek dipaksa harus menyelamatkan diri
lebih dulu.
Leng Tiong-cik berjuluk "Hui-ih-kiam" atau pedang
hujan gerimis, gerak pedangnya secepat dan sederas seperti
hujan gerimis, susul menyusul tanpa berhenti. Meski satu
lawan dua, tapi sekali sudah menyerang kedua lawannya
sama sekali tidak berkesempatan untuk melolos senjata.
Selangkah demi selangkah Ting Tiong dan Liok Pek
terdesak mundur sehingga kepepet di sudut dinding dan ta
kbisa mundur lebih jauh lagi. Tapi hanya sampai di sini saja
Leng Tiong-cik lantas menarik kembali pedangnya dan
berkata, "Sementara ini titip dulu kepalamu! Sekaraog lekas
enyah dari sini!"
Ting Tiong dan Liok Pek merasa kehilangan pamor,
mereka memberi hormat dan berkata: "Budi Leng-tihiap
yang tidak membunuh kami pasti kami ingat dengan baik!"
— Habis berkata mereka terus membalik tubuh dan pergi.
Sudah tentu anak murid Say-koan yang ikut hadir juga
merasa kehilangan muka oleh karena kekalahan kedua
Susioknya. dalam sekejap mereka pun pergi seluruhnya.
Hanyi tersisa keempat kuli tukang pikul tandu itu, mereka
masih berdirl melongo di situ dengan bingung.
Leng Tiong-cik menyuruh pelayan memberikan upah
kepada mereka dan menyuruhnya pergi dengan tandunya,
tandu yang kosong, sebab orang yang tadinya berbaring di
tandu itu kini masih berada dalam pangkuan Sau Peng-lam.
Setelah mendapat isyarat dari Leng Tiong-cik, seorang
murid perempuan berumur tiga puluhan mendekati Penglam
dan berkata: "Toa-suko, biarkan aku yang
memondongnya."
Peng-lam diam saja, tiada tanda2 akan menyerahkan
mayat Gi-lim itu.
"Orang sudah mati, sebaiknya lekas dikebumikan,
biarlah kubawa pergi untuk mengatur segala apa yang
perlu," kata pula Sumoaynya itu.
"Tidak perlu bikin susah Sumoay, biar kusendiri yang
mengubur dia," kata Peng-lam.
Tiong-cik menjadi kurang senang, katanya: "Anak Lam,
apa jadinya kau pondong seorang Nikoh begitu? Lekas
serahkan!"
Terpaksa Peng-lam menyerahkannya kepada
Sumoaynya, tapi tetap ikut pergi untuk mengubur Gi-lim.
Leng Tiong-cik sangat mendongkol, waktu berpaling,
dilihatnya Soat Peng-say berdiri di belakang, segera ia
membentak: "Untuk apa kau berdiri disitu? Nonton dagelan
anggapanmu?!"'
Peng-say menjadi gugup, jawabnya dengan gelagapan:
"Tecu .... Tecu tidak bermaksud demikian . .."
Entah mengapa, Leng Tiong-cik lantas benci bila melihat
tampang Peng-say, ia membentak pula: "Lekas enyah dari
sini!"
Dengan menahan rasa penasaran, terpaksa Peng-say
mengiakan.
Belum lagi dua-tiga langkah ia berjalan didengarnya
Leng Tiong-cik berteriak pula: "Enyahlah yang jauh,
sebaiknya enyah saja dari gunung ini. Disini hanya
diperlakukan dingin oleh saudara seperguruan, apa tidak
risi?"
Mendengar cemoohan ini, seketika air mata Peng-say
bercucuran, katanya didalam hati: "Baik, enyah ya enyah!
Dalam keadaan begini, masa aku masih punya muka untuk
berdiam lagi disini?"
Dengan setengah berlari ia menerjang keluar, tapi sampai
di ambang pintu, dilihatnya seorang mengadang ditengah
jalan.
Waktu ia menengadah ternyata sang guru adanya.
Rupanya sudah sejak tadi Sau Ceng-hong berada disitu, tapi
tiada seorangpun yang tahu.
Peng-say memberi hormat dan berucap dengan suara
sedih: "Suhu, murid mohon diri!"
Sau Ceng-hong tidak memperlihatkan sesuatu tanda, ia
hanya bersuara pelahan.
Dengan terkesima Peng-say memandang Sau Ceng-hong
sekejap, bukannya dia heran pada sikap sang guru yang
tiada memberi tanda apa2, tapi heran lantaran cuma
sebulan tidak bertemu, mengapa Sau Ceng-hong sudah
berubah jauh lebih tua, seperti sudah berpisah berpuluh
tahun.
Peng-say lantas berlari kembali ke kamarnya, ia tidak
mempunyai barang milik, ia hanya mengambil seruling
kemala, satu2nva barang tinggalan mendiang Cin Yak-leng,
seruling ini tidak boleh hilang. dengan hati2 ia
menyimpannya di dalam baju lalu turun gunung dengan
langkah cepat.
Selagi menuruni puncak gunung. tiba2 didengarnya
suara Kiau lo-kiat berteriak di belakang: "Cap-itsute:"
Peng-say berhenti dan menoleh. jawabnya: "Ji-suko, aku
sudah pamit kepada Suhu dan sekarang bolehlah kupergi."
Kiau Lo-kiat berlari ke samping Peng-say, setelah
menghembus napas. ia berkata dengan tertawa:
"Kedatanganku bukan untuk membujuk engkau kembali
keatas gunung, Suhu yang menyuruhku mengantar kau
sebentar!"
"Ah, mana berani kubikin capai Ji-suko, kukira tidak
perlu diantar," kata Peng-say.
"Tidak, harus kuantar, hayolah jalan!" seru Kiau Lo-kiat
sambil memegang sebelah tangan Peng-say terus diajak
berlari ke bawah.
Sepanjang jalan mereka terus berlari secepat terbang,
orang lalu lalang sama heran menyaksikan kecepatan
mereka, hanya kelihatan dua titik bayangan, hanya sekejap
saja sudah menghilang di kejauhan,
Setelah berlari sekian lama, mendadak Kiau Lo-kiat
berhenti dan menjatuhkan diri berduduk ditanah dengan
napas ter-engah2. Sebaliknya air muka Peng-say biasa2 saja,
se-olah2 tidak keluar tenaga.
Peng-say ingat, dahulu waktu gurunya menggunakan
tanda untuk mengumpulkan para saudaranya di kelenteng
Toapekong itu, dirinya berlari paling lambat, hanya dapat
mengikuti bayangan Leng Hiang dari jauh. Apalagi Kiau
Lo-kiat, begitu mulai berlari lantas jauh meninggalkan dia.
Siapa tahu hanya dalam waktu sebulan saja, bukan saja
dirinya sekarang mampu berlari sejajar Ji-suheng ini,
bahkan tidak merasa lelah, kenyataan yang aneh
membuatnya heran. Ia menyangka hasil latihan ke 18 gaya
semadi itu, diam2 ia merasa terima kasih kepada Sau Penglam
yang telah memberikan buku nada seruling itu.
Dilihatnya Kiau Lo-kiat masih ter-engah2 sambil
menegeleng, katanya: "Sudah tua, tidak berguna lagi!"
Semula Peng-say mengira sang Ji-suheng ini rendah hati
dan pura2 saja, tapi setelah diperhatikan lagi, tampaknya
memang sungguh2 payah, sekali ini ia menjadi rada sangsi
terhadap kemampuannya sendiri, masa dalam sebulan saja
Lwekangnya sudah melampaui Ji-suhengnya?
Ia ter-mangu2 dengan penuh tanda tanya dalam
benaknya Sejenak kemudian, Kiau Lo-kiat berbangkit dan
berkata: "Apa yang kau renungkan? Perut sudah lapar,
marilah kita cari makanan?"
Tidak jauh di depan adalah Huiciu, kota pelabuhan yang
cukup ramai, mereka masuk kota dan mencari rumah
makan serta pesan santapan dengan arak.
Kiau Lo-kiat menuang dua cawan arak dan mengajak
minum: "Cap-itsute, silakan minum satu cawan. Santapan
ini anggaplah perjamuan selamat jalan bagimu, sebentar
jangan kau berebut bayar rekening denganku."
Peng-say tertawa, katanya; "Jika begitu, tarima kasih
lebih dulu."
Sekaligus mereka masing2 menghabiskan tiga cawan
arak, setelah makan beberapa sumpit sayur dengan
bersemangat Kiau Lo-kiat berkata pula: "Mari, marilah
minum lagi, hari ini kita harus minum sampai mabuk!"
Karena hatinya lagi duka dan kesal, Peng-say memang
perlu penyaluran, dengan tertawa ia berkata: "Baik, harus
minum sampai mabuk!" —Ia menuang penuh satu cawan,
sekali tengggak dihabiskan pula. Tanpa makan sayur segera
ia isi lagi cawannya.
Selagi dia hendak minum pula. tiba2 Kiau Lo-kiat
memegang tangannya dan bertata. "Nanti dulu, hati2 kalau
mabuk."
"Bukankah Ji-suko sendiri bilang harus minum sampai
mabuk?" tanya Peng-say dengan heran.
Kiau Lo-kiat tertawa, katanya: "Mabuk sih boleh saja,
kalau merusak kesehatan, inilah yang tidak boleh."
"Jangan kuatir, hanya beberapa kati arak saja, biarpun
mabuk juga takkan mengganggu kesehatan-ku."
Lo-kiat menggeieng, katanya: "Seorang kalau tiada
mempunyai sesuatu pikiran. betapa dia mabuk, asalkan
berkeringat, segera dia akan sadar kembali, tapi bagi orang
yang batinnya tertekan, terus menerus minum arak terang
tidak baik."
"Masa aku punya pikiran apa2. marilah, kita minum
lagi" ucap Peng-say dengan tertawa.
Namun Lo-kiat tetap memegangi tangannya, katanya
dengan tertawa: "Cap-itsute, bicaramu terang tidak jujur,
apakah betul kau tidak menanggung pikiran?"
Seketika dada Peng-say terasa kecut, air matanya lantas
menetes.
Umumnya lelaki tidak mudah mencucurkan air mata,
sebab rasa dukanya belum tersentuh, tapi sekali kalau sudah
menangis, maka sukar dibendung lagi. Begitu pula keadaan
Peng-say sekarang, sungguh ia ingin menangis sekeras2nya.
Akan tetapi sedapatnya dia bertahan, hanya saja
air matanya sukar dibendung.
Kiau Lo-kiat menghela napas, katanya: "Marilah kita
makan nasi dulu, habis makan akan kubicara banyak2
denganmu. Nanti kalau pikiranmu sudah terbuka barulah
kita minum arak lagi se-puas2nya."
Segera Peng-say mengusap air mata dan mengiakan.
Sedapatnya ia menghilangknn rasa dukanya, ia mendahului
mengisi mangkuknya dengan nasi, lalu dimakannya dengan
bernapsu.
Diam2 Lo-kiat mengangguk dan memuji: "Cap-itsute
memang seorang lelaki hebat, senang atau susah dapat
dihadapinya dengan tabah."
Hanya sekejap saja sebakul nasi sudah mereka sikat
habis. Selesai membayar, dengan perut kenyang mereka
meninggalkan rumah makan itu.
Kiau Lo-kiat mendapatkan sebuah hotel yang cukup
santai, ia memilih sebuah kamar sejuk agar dia dapat
berbicara dengan Soat Peng-say.
Kedua orang berdiam di dalam kamar sambil menikmati
teh teko. Sehabis menghirup secangkir teh, berkatalah Kiau
Lo-kiat: "Cap-itsute, isi hatimu mengenai nona Cin tidak
perlu kita bicarakan. Marilah kita bicara dulu tentang sebab
musabab Sunio tidak suka padamu, bahkan menyuruh kau
enyah."
"Jelas beliau memang tidak suka padaku, masa perlu
sebab musabab segala?" kata Peng-say.
"Tampangmu tidak jelek, setiap orang yang pertama kali
melihat kau tentu akan merasa suka, hanya Sunio yang
terkecuali, bilamana tidak ada sebab2nya, apakah masuk di
akal?" ujar Kiau Lo-kiat dengan tertawa.
"Ah, jangan Ji-suko berseloroh," kata Peng-say dengan
muka merah.
"Tidak, sama sekali aku tidak menggoda kau,
tampangmu memang menyenangkan orang," ucap Kiau Lokiat
dengan sungguh2. "Sebabnya Sunio tidak suka padamu
jelas bukan lantaran mukamu menjemukan, tapi dalam
pandangan Sunio, wajahmu ini menimbulkan rangsangan
perasaan yang hebat, dari rasa tidak suka lantas timbul rasa
bencinya."
Secara dibawah sadar Peng-say meraba mukanya sendiri,
katanya dengan heran: "Apa artinya ucapanmu. Ji-suko?"
"Yakni, karena mukamu ini sangat mirip dengan ibumu,"
jawab Lo-kiat.
"Hah, jika demikian, jadi sejak dahulu Sunio kenal
ibuku?" seru Peng-say.
Lo-kiat mengangguk, katanya: "Betul, Sunio kenal
ibumu, Suhu juga kenal. Akupun tidak dapat dikatakan
kenal ibumu, namun pernah kulihat beliau beberapa kali.
Pada pertama kalinya kulihat kau, tanpa terasa
kuperhatikan dirimu dan timbul perasaan seperti sudah
kukenal."
"Ya, akupun tahu wajahku rada mirip mendiang ibu,"
ujar Peng-say. "Numpang tanya. wajahku yang mirip ibuku
ada sangkut-paut apa dengan Sunio, mengapa
mengakibatkan dia benci padaku?"
Lo -kiat menggeleng, katanya dengan menyesal:
"Makanya Suhu menyuruh kuberi penjelasan padamu, tapi
akupun tidak tahu cara bagaimana harus kukatakan.
Pokoknya sebab yang menimbulkan rasa benci Sunio
padamu, selain disebabkan wajahmu mirip ibumu, sebab
yang terbesar adalah karena kau ini putera Suhu."
Peng-say lantas teringat kepada gurunya yang pertama,
yaitu Tio Tay-peng, waktu pertama kali bertemu, sang guru
juga mengaku kenal ibunya. tapi kemudian nama ibunya
saja tidak cocok. Sekarang Suhu yang kedua inipun bilang
kenal ibunya, malahan mengaku sebagai ayahnya, jangan2
nama ibu juga tidak jelas, kalau begini barulah lucu. Pikir
punya pikir, ia menjadi geli sendiri.
Kiau Lo-kiat mengira ucapannya tadi pasti akan
membikin kaget Soat Peng-say, siapa tahu, anak muda itu
bukan saja tidak terkejut, bahkan menampilkan senyuman
geli, hal ini benar2 tak diduganya sama sekali.
Dengan tertawa Peng-say malah berkata pula: "Ji-suko,
apakah Suhu bilang sendiri padamu bahwa aku ini
anaknya?"
Lo-kiat merasa tidak senang terhadap sikap Peng-say
yang tidak pantas ini, segera ia menjengek: "Betul, Apakah
Suhu mengakui kau sebagai anaknya menimbulkan rasa
sangsimu?"
"Tiada bukti tanpa saksi, dengan sendirinya aku sangsi,"
ujar Peng-say dengan tertawa.
"Bukti yang nyata adalah namamu!" seru Lo-kiat dengan
mendongkol.
"Namaku?" Peng-say menegas.
"Ya," jawab Lo-kiat. "Menurut tradisi keluarga Sau,
angkatan Suhu kita pakai nama 'Ceng', maka Suhu bernama
Ceng-hong dan Sau-supek dari Pak-cay bernama Ceng-in,
kedua saudara sepupu sama2 memakai nama dasar Ceng
Sampai angkatan kita, waktu Suhu mengangkat Toa-suko
sebagai anak, nama angkatannya pakai 'Peng', maka Toasuko
diberi bernama Peng-lam, bagi putera kandung sendiri
Suhu memberinya nama Peng-say."
Pada waktu mengucapkan kata "Peng-say", karena
gemasnya, Kiau Lo-kiat sengaja mengucapnya dengan
suara keras dan nyaring.
Lalu Lo-kiat menyambung pula: "Menurut cerita Suhu,
Soat Kun-hoa yaitu ibumu. pada waktu meninggalkan
beliau sedang hamil. Sudah tentu Suhu merasa berat untuk
berpisah, maka beliau memberi pesan, bilamana jabang-bayi
lahir, baik lelaki maupun perempuan hendaklah diberi
nama 'Sau Peng-say'. Suhu tahu ibumu dendam padanya
bisa jadi nama 'Peng-say' takkan dipakai, lebih2 tidak nanti
memakai she beliau. Benar juga, ibumu lebih suka anaknya
ikut she sendiri daripada pakai she ayahnya. Namun ibumu
toh tetap menuruti sebagian pesan Suhu, yakni tetap
memberi nama Peng-say padamu sesuai permintaan
ayahmu sendiri."
Mendengar sampai disini, tidak tahan lagi Peng-say,
mendadak mendekap dilantai dan menangis. Suara
tangisannya sekarang tercampur antara perasaan sedih dan
girang. Sedihnya karena nasib kehidupan sendiri yang
nelangsa, punya ayah, tapi tidak tahu.
Yang membuatnya bergirang adalah sekarang dengan
pasti telah diketahuinya siapa gerangan ayah
kandungnya sendiri.
Sekarang dia tidak perlu sangsi lagi, sebab "Soat Kunhoa"
yang disebut Kiau Lo-kiat itu memang betul ialah
nama ibunya.
Jika Soat Peng-say menangis, maka Kiau Lo-kiat yang
tertawa. cuma tertawa yang mencucurkan air mata, dia
terharu dan juga bergirang bagi sang guru yang sekarang
jelas diketahui mempunyai anak keturunannya sendiri.
Setelah menangis dengan puas, Peng-say berduduk lagi
dan mengusap air matanya, mendadak ia tertawa.
Kiau Lo-kiat melengak, katanya dengan tertawa: "Hah,
sungguh lucu, baru sekarang kulihat ada orang lelaki ya
menangis ya tertawa sekaligus."
Tiba2 Peng-say berbangkit dan berkata:" Ji-suko, marilah
kita berangkat!"
”Kemana?" tanya Lo-kiat heran.
"Minum arak!" kata Peng-say. "Sekarang aku tidak
mempunyai tanggungan pikiran lagi. biarpun minum seribu
cawan juga tidak bakalan mabuk."
"Tidak perlu ter-buru2, duduk dulu!" kata Lo-kiat.
"Tidak minum arak juga harus berangkat!" kata Peng-say
pula.
"Kemana lagi?"
"Ke Soh-hok-han, harus kupanggil ayah beberapa kali
kepada Suhu, lalu menyembahnya seratus kali."
Lo-kiat tertawa, katanya: "Menyembah seribu kali juga
tak dapat membalas budi kebaikan ayah. Duduk, duduklah,
kau bukan anak kecil, segala suka-duka harus dapat kau
tahan. Kelak masa kuatir tiada kesempatan untuk
memanggil ayah dan menyembah padanya? Hayolah
duduk, banyak urusan yang harus kubicarakan dengan kau,
habis bicara barulah kita pergi."
Dengan menahan perasaannya Peng-say berduduk pula,
lalu bertanya: "Sebab apa ibu meninggalkan ayah?"
"Bicara soal ini, memang inilah kelemahan ayahmu,"
tutur Lo-kiat "Bukan maksudku sengaja mengeritik orang
tua, sesungguhnya Suhu memang kelewat takut bini.
Tidakkah kau lihat waktu kau dienyahkan Sunio, beliau kan
tidak berani bersuara? Dalam keadaan serupa itulah ibumu
tinggal pergi dengan gusar."
"Jika demikian, lebih baik aku tidak pulang ke Soh-hokhan
saja agar ayah tidak serba susah," kata Peng-say.
"Ya, kukira sebaiknya memang begitu," kata Lo-kiat
sambil manggut2 "Kau dapat berpikir bagi Suhu, kau
memang anak baik Kuingat pada waktu ibumu
meninggalkan Soh-hok-han, waktu itu Toa-suko masih
kecil, tapi usiaku sudah likuran, aku masih ingat ketika
kepergian ibumu dengan menahan sesal. Sesungguhnya
Sunio terlalu menghina dia, Sunio memandang rendah asalusul
ibumu, katanya keluarga Soat dari Say-pak tiada
satupun orang baik, sampai2 pamanmu Soat Ko-hong dan
bibimu Soat Ciau-hoa juga dimakinya ..."
"Hah, Soat Ciau-hoa itu bibiku?" seru Peng-say kaget.
Diam2 ia berpikir: "Pantas waktu pertama kali bertemu,
Suhu menyangka ibuku ialah Soat Ciau-hoa, jangan2
wajahku juga mirip bibi?"
"Apakah Ibumu tidak pernah bercerita padamu?" tanya
Lo-kiat.
Peng-say menggeleng, katanya: "Tidak, ibu selamanya
tidak bicara tentang asal-usulnya sendiri. Soat Ko-hong
adalah pamanku juga baru kudengar pertama kali dari
ayah."
"Soat Ciau-hoa adalah saudara kedua, ibumu nomor
tiga," demikian tutur Kiau Lo-kiat pula. "Bicara terus
terang, nama bibimu Soat Ciau-hoa memang kurang sedap
di dunia Kangouw, pamanmu Soat Ko-hong sudah kau
ketahui, iapun orang yang sukar direcoki. Tapi apapun juga,
ibumu sendiri tidak berbuat sesuatu yang tidak baik.
Malahan Suhu memuji kecantikan dan kebaikan hati
ibumu, sebagai perempuan teladan Ibumu tidak tahu Suhu
sudah menikah, maka mau tinggal bersama dia. Ketika
diketahuinya Suhu sudah berkeluarga dan tidak dapat
diterima oleh isteri tua, betapa sedihnya dapat dibayangkan.
Sesudah ibumu pergi karena tidak tahan usikan Sunio,
dengan sendirinya Suhu juga dibenci olehnya."
Diam2 Peng-say menghela napas, katanya: "Pantas ibu
selamanya tidak pernah menyinggung ayah, sampai
meninggal juga tidak pernah menyebut ayah sekatapun, seolah2
aku memang dilahirkan tanpa ayah. Aku memang
sudah tahu she yang kupakai bukan she ayah, aku menjadi
sedih karena she saja tidak punya. Baru sekarang kutahu
persis aku ini she Sau. Tapi arwah ibu di alam baka
mungkin tidak menghendaki aku she Sau, coba Ji-suko,
bagaimana baiknya bagiku?"
Dendam adalah soal lain, she aslimu harus kau pakai,
jika kau she Soat, bukankah sama saja seperti ibumu,
kaupun benci kepada ayahmu? Ibumu boleh benci kepada
Suhu, tapi kau tidak boleh benci kepada ayahnya sendiri.
Selanjutnya kau harus she Sau, andaikan ibumu masih
hidup tentu juga takkan memaksa kau tetap pakai she
ibumu."
"Baiklah Ji-suko, seterusnya namaku ialah Sau Peng-say
"
"Bagus, bila keputusanmu ini kulaporkan kepada Suhu,
beliau pasti akan tertawa gembira. Lebih2 bila nama 'Sau
Peng-say' kemudian termashur di dunia Kangouw, Suhu
pasti akan lebih kegirangan."
"Ji-suko," kata Peng-say, "ada dua hal yang tidak jelas
begiku, mohon Ji-suko suka memberi petunjuk."
"Dalam hal apa? Bisa jadi kedua hal yang tidak kau
ketahui ini justeru hal2 yang hendak kujelaskan padamu."
"Pertama, mengenai sikap sesama saudara seperguruan
terhadap diriku, entah dalam hal apa aku berbuat salah
sehingga mereka memandung hina padaku, sampai2 Toasuko
yang mula2 sangat baik padaku, mendadak juga tidak
menggubris padaku. Selama Suhu tirakat. di Soh-hok-han
selain Ji-suko seorang, tiada lagi yang mau menggubris
diriku, sesungguhnya apakah sebabnya?"
"Apakah kau masih ingat Leng-sumoay ingin belajar
main kecapi dengan kau?" kata Lo-kiat dengan gegetun.
"Ya, hanya belajar dua hari, selanjutnya dia tidak datang
lagi. Sampai saat ini akupun tidak tahu sebab apa
mendadak dia tidak belajar terus."
"Sebab inilah yang menjadi alasan bagi Toa-suko dan
Sumoay lain tidak menggubris padamu. Menurut cerita
Leng-sumoay, katanya pada waktu mengajarkan main
kecapi, kau telah berbuat tidak pantas padanya."
Wajah Peng-say yang putih sekilas berkelebat warna
hijau sehingga membuat Kiau Lo-kiat terkesiap. tapi Pengyay
hanya gusar didalam batin saja dan tidak dikeluarkan,
dia banya menggeleng dan berkata: "Tidak ada, sama sekali
tidak pernah terjadi hal demikian."
"Aku percaya tidak pernah terjadi, Suhu juga percaya,"
kata Lo-kiat.
"Cuma sayang Toa-suko tidak percaya," ujar Peng-say
dengan menyesal.
"Diam2 Toa-suko pernah bicara dengan aku, iapun
menyangsikan kebenaran kejadian ini, namun ia pun
percaya Leng Hiang tidak pernah berdusta padanya, mautak-
mau ia harus percaya. Tapi kupikir, sekalipun Siausumoay
tidak suka berdusta, namun bila ada orang
menghasut dan membujuknya, dia masih muda belia dan
tidak memiliki keteguhan hati, bisa jadi dia akan menurut
dan berdusta, lebih2 jika orang yang menyuruhnya
berbohong itu ialah Sunio, tentu saja Siau-sumoay akan
menurut saja."
"Sunio katamu?" seru Peng-say tertahan. "Bag. . .
.bagaimana bisa jadi begini?"
"Kukenal pribadi Sunio," tutur Lo-kiat. "Apabila dia
benci pada seorang, maka cara apapun dapat
digunakannya, lantaran dia benci pada ibumu, maka kau
pun dibencinya. Dahulu ia membikin khe-ki ibumu
sehingga minggat, tentu iapun akan berusaha mencari jalan
untuk mengusir kau. Tapi daripada mengusir, kalau bisa
dicarinya akal agar kau pergi dengan sendirinya, cara yang
paling baik ialah membikin kau malu sendiri uatuk tinggal
lebih lama lagi di situ."
Peng-say manggut2. katanya: "Ya, memang kalau tidak
dicegah Ji-suko sudah lama aku hengkang dari sana."
"Maka dari sini dapatlah kutimbang dan kupikirkan
bahwa Leng-sumoay pasti berdusta, karena hasutan Sunio,
dia sengaja merusak nama baikmu, maka para saudara
seperguruan sama buang muka padamu. Dalam keadaan
demikian kau ternyata masih kerasan dan tidak pergi
dengan sendirinya, hal ini malah diluar dugaan Sunio.
Mungkin Sunio menjadi tidak sabar, maka selagi marah2
tadi dia terus mengenyahkan kau."
Apa yang diterka Kiau Lo-kiat ini memang tepat. cuma
kritiknya terhadap Leng Hiang ada kekeliruan. Meski Leng
Hiang masih muda belia. tapi tidak seperti dugaannya
bahwa nona itu belum mempunyai pendirian teguh.
Sebabnya Leng Hiang mau berbohong bukan disebabkan
dia menuruti saja intrik bibinya secara membabi buta. Leng
Tiong-cik juga tidak bodoh. iapun kuatir maksudnya
mengusir Peng-say dan apa yang dibincangkan bisa jadi
Leng Hiang tak-mau melakukannya, kalau dipaksakan
sehingga rahasianya terbongkar, kan dia bisa malu sendiri.
Sebab itulah Leng Tiong-cik telah memperalat titik
kelemahan Leng Hiang agar nona ini mau berdusta.
Pada hari kedua setelah Leng Hiang belajar main kecapi
dengan Peng-say, Leng Tiong-cik telah memanggil Leng
Hiang dan berkata padanya: "Anak Hiang, paman hendak
menjodohkan kau kepada Soat-suko, entah bagaimana
pikiranmu?"
Mendengar itu Leng Hiang kaget seperti dengar bunyi
geledek di siang hari bolong, cepat ia berlutut dan
memohon: "O, bibi, anak tidak suka kepada perjodohan ini,
bibi cukup tahu isi hatiku, kecuali dia, selama hidup anak
tidak ....tidak mau kawin."
"Ya. kutahu kau suka kepada anak Lam," kata Tiong-cik.
"Tapi pamanmu berkeras pada keputusannya, akupun tak
berdaya, sampai anak Lam juga berusaha menjadikan
keinginan pamanmu itu, masa kau tidak tahu?"'
"Ti .... tidak mungkin!" kata LengHiang menggeleng dan
menangis.
"Malam itu waktu beliau pulang dari Cujoan, aku dan
paman telah bertengkar mengenai perjodohanmu, tatkala
mana ada seorang mencuri dengar di luar, paman dan aku
sama tahu, cuma pertengkaran kami lagi berlangsung
dengan sengit sehingga tidak menghiraukannya. Coba kau
terka, siapakah orang yang mencuri dengar itu?"
"Apa Toa-suko?" tanya LengHiang.
"Betul, memang dia," kata Tiong-cik. "Suara kaki anak
Lam dibuat pelahan sekali, tapi aku dan pamanmu
membesarkan dia sejak kecil, sudah tentu kami kenal gerakgeriknya
Kau tahu betapa sayang dan hormat anak Lam
terhadup Gihunya. Ketika dia mengetahui sang Gihu
hendak menjodohkan kau kepada Soat-sukomu, biarpun
dalam hati anak Lam seribu kali tidak suka, namun ia rela
mengorbankan kepentingan sendiri demi tercapainya cita2
pamanmu."
"O, pan. . .pantas. . . ."
"Kabarnya kau belajar main kecapi dengan Soat-sukomu,
anak Lam yang menyuruh kau belajar, apakah betul?"
Sekarang tahulah Leng Hiang maksud tujuan Toasukonya,
ia menjadi sangat berduka dan menangis melulu
tanpa menjawab,
"Jelas tindakan anak Lam itu sengaja hendak
mendekatkan kau dengan Soat-sukomu," kata Tiong-cik
dengan menghela napas. "Ai, anak Lam sungguh bodoh,
kenapa dia bertindak tanpa pikir. Sudah sebesar itu, masa
dia tidak paham cinta antara laki2 dan perempuan dan
menyerah begitu saja?"
Makin sedih hati Leng Hiang, ia mendekap dalam
pangkuan Leng Tiong-cik dan menangis tersedu sedan.
"Jangan menangis sayang, biarlah bibi mencarikan akal
bagimu," kata Tiong-cik sambil tepuk-tepuk bahu si nona
....
-^oOo^dw^oOo^-
Karena tidak mau dijodohkan kepada Sau Peng-say, juga
supaya Toa-sukonya tahu bahwa pengorbanannya bagi
Cap-itsute itu ternyata sia2 belaka karena pribadi Sute itu
ternyata rendah, maka tanpa pikir ia menerima gagasan
sang bibi, ia lantas menyebarkan isyu bahwa dirinya telah
diganggu oleh Sau Peng-say, dengan demikian pribadi
Peng-say lantas dipandang hina oleh sesama saudara
seperguruannya, anak muda itu dianggap bajul buntung,
pemuda yang suka mengganggu orang perempuan. Murid
Lam-han yang lelaki sama tidak menggubrisnya lagi, murid
perempuan malahan terus menyingkir jauh2 bila
melihatnya.
Terhadap Leng Hiang. Leng Tiong-cik sengaja bilang
gagasannya itu demi kepentingan nona itu. padahal yang
benar adalah demi kepentingan Tiong-cik sendiri. Dengan
kabar bohong yang disebarkan Leng Hiang itu, secara tidak
langsung ia memperalat nona itu untuk menghancurkan
reputasi putera kandung suaminya sendiri.
Syukur Kiau Lo-kiat melihat ada sesuatu yang ganjil,
maka ia membujuk Sau Peng-say supaya jangan pergi dulu.
Sebab itulah maksud tujuan Leng Tiong-cik belum tercapai.
Ketika nyonya rumah itu sudah kehilangan akal dan tidak
sabar lagi, secara blak2an ia lantas mengenyahkan Peng-say
di depan orang banyak, maka tersingkap pula rencananya.
Kalau semula Kiau Lo-kiat hanya curiga saja, sekarang
terbuktilah intrik Leng Tiong-cik itu.
"Ji-suko. mengapa ayah mau percaya padaku?" tanya
Peng-say kemudian.
"Dalam hal ini kau mesti berterima kasih padaku," ujar
Lo-kiat dengan tertawa. "Kata pribahasa, yang paling tahu
watak anaknya tiada yang lebih daripada sang ayah.
Namun Suhu tidak langsung membesarkan kau, ia tidak
kenal jiwamu ini baik atau jahat. Di tengah desas desus
orang banyak bila telinga Suhu mudah di-kili2, bisa jadi dia
akan anggap kau ini anak durbaka. Tapi lantaran Ji-sukomu
ini bantu memberi penjelasan dengan menganalisa semua
kejadian dari awal hingga akhir, maka sadarlah Suhu akan
dudulnya perkara dan aku lantas disuruh menyusul
kemari."
Alangkah terima kasih Peng-say, segera ia hendak
berlutut dan menyembah kepada Ji-suhengnya itu. Cepat
Lo-kiat memegangnya dan berkata: "Kau belum lagi
menyembah kepada ayahmu, masa menyembah dulu
padaku, kan repot aku."
Dengan rasa haru dan terima kasih Peng-say berkata:
"Bila Ji-suko tidak bantu memberi penjelasan bagiku,
mustahil ayah mau mengakui anak padaku dan kalau ayah
tidak menyuruh kau menyusul ke mari, manabisa kutahu
siapa ayahku yang sebenarnya, semua ini jelas jasa Ji-suko."
Habis berkata ia berkeras ingin menyembah kepada Kiau
Lo-kiat sebagai tanda terima kasihny?!. Lo-kiat tidak dapat
mencegahnya, terpaksa membiarkan Peng-say menyembah
tiga kaki. Lalu keduanya berduduk lagi.
"Cap-itsute," kata Lo-kiat kemudian, "tempo hari waktu
berada di Ciau-ciu-wan, bersama nona she Soat itu kalian
telah membunuh Ciamtay Boh-ko, ilmu pedang yang kalian
gunakan itu apakah betul Siang-liu-kiam-hoat berasal dari
Pak-cay?"
"Ya, betul," Peng-say mengangguk.
"Kau hanya menguasai setengah bagian saja?"
"Betul. Yang kukuasai hanya setengah bagian Coh-pikiam-
hoat (pedang taagan kiri). sedangkan Soat Koh
menguasai Yu-pi-kiam-hoat (pedang tangan kanan)."
"Sute," kata Lo-kiat pula setelah berpikir sejenak,
"dapatkah kau beritahu siapa gerangan orang yang
mengajarkan padamu Coh-pi-kiam-hoat dari Siang-liu-kiam
itu?"
"Guruku itu she Tio bernama Tay-peng:" jawab Pengsay.
"Tio Tay-peng? .... Tio Tay-peng? . . ." Lo-kiat
mengulangi nama itu beberapa kali, ia berpikir sekian lama,
kemudian menggeleng, katanya pula: "Aneh! Nama ini
mengapa tidak pernah kudengar sebelum ini?"
"Guruku itu memang bukan orang yang terkenal," ucap
Peng-say dengan kikuk.
Lo-kiat merasa ucapannya itu rada menyinggung
perasaan, cepat ia berkata: "Maaf Cap-itsute. pengalamanku
cupet dan pengetahuanku cetek sehingga tidak kenal nama
gurumu, sekali lagi maaf."
Peng-say tambah rikuh, katanya; "Ah, mengapa Ji-suko
jadi sungkan padaku."
Lo-kiat lantas berkata pula: "Suhu, didalam sebutan
Suhu ini terdapat kata 'hu' (ayah), jadi budi pendidikan
Suhu tidaklah kalah pentingnya daripada budi ayah-bunda.
Apabila ada orang bersikap atau bicara menghina guruku,
tentu akupun akan merasa tidak senang. Maka tidak perlu
heran apabila ucapanku tadi sekiranya menyinggung
perasaanmu."
"Ah, sudahlah, jangan kita bicara soal ini," kata Peng-say
dengan tertawa. "Waktu Ji-suko berangkat, entah adakah
sesuatu pesan ayah?"
"Ya, dia suruh kau bunuh CiamtayCu-ih," kata Lo-kiat.
Dengan gemas Peng-say berkata: "Orang ini yang
membikin mati adik Leng, jika tidak kubunuh dia
kubersumpah tidak menjadi manusia Sekalipun tiada pesan
dari ayah juga aku bertekad akan menuntut balas bagi adik
Leng, cuma saja . . . ." ia menggeleng dan menghela napas
panjang.
"Tidaklah sulit untuk membunuh Ciamtay Cu-ih!" ucap
Lo-kiat dengan tertawa.
Peng-say mengira sang Ji-suko mempunyai maksud
tertentu, ia mengangguk dan berkata: "Ya. memang,
asalkan punya cita2 yang teguh, biarpun besi juga dipat
diasah menjadi jarum. Tapi untuk itu kan memerlukan
waktu yang lama? Bilamana kelak Kungfuku melebihi
Ciamtay Cu-ih, bisa jadi dia sudah mati tua."
"Kutahu inilah yang kau anggap sulit dalam hatimu
sekarang," ujar Lo-kiat dengan tertawa. "Tapi dalam
pandanganku, hal ini bukan soal. Sebenarnya kalau kau
dapat mempelajari setengah bagian lain Siang-liu-kiam-hoat
dari Soat Koh, kan segala soal dapat kau pecahkan?"
"Jadi maksudmu. asalkan Siang-liu-kiam-hoat dapat
dipelajari dengan lengkap, dengan mudah pula ^ Ciamtay
Cu-ih dapat kubunuh?" tanya Peng-say.
"Ya, seratus persen!" ucap Lo-kiat dengan pastu. "Meski
didunia persilatan ada pameo yang mengatakan 'Siang-liukiam-
hoat nomor satu di dunia', tapi menurut
pandanganku, hal ini cuma kabar angin saja dan tidak ada
dasarnya. Kalau berdasarkan inilah Ji-suko menyatakan
seratus persen pasti akan berhasil mengalahkan Ciamtay
Cu-ih bila ku-mahir Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap,
apakah hal ini bukan cuma khayalan belaka?"
Mendadak Lo-kiat membuka bajunya dan
memperlihatkan dadanya sambil berseru: "Coba kau lihat
sendiri!"
Terlihat dadanya yang kurus itu jelas tertulis tujuh huruf
besar, yakni berburyi: "Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di
dunia" Tulisan itu berjajar tujuh Huruf itu bukan ditulis
dengan pit atau pensil, tapi huruf itu terdiri dari goresan
bekas2 luka. Jelas bekas senjata tajam. sesudah lukanya
sembuh, codet itu tak dapat dihapus lagi.
Peng-say terkesima bingung dan tak dapat bicara.
Dengan sehuruf demi sehuruf Lo-kiat meraba tulisan
didadanya dan mengucapkannya: "Siang-liu-kiam-hoat
nomor satu di dunia! Nah, siapa berani menyangkalnya?"
"Jangan2. . . .jangan2 dari sinilah tersiarnya semboyan
itu?" kata Peng-say dengan ter-gagap2.
Lo-kiat mengangguk, katanya: "Dahulu Sau-supek
berdemontrasi dan meninggalkan tulisan ini, tak tersangka
tulisan ini telah menjadi iklan baginya sehingga
menimbulkan kegemparan di dunia persilatan, setiap orang
tahu dan setiap orang membicarakannya. Apabila Sausupek
masih hidup dan diketemukan, biaya iklan ini masih
harus kutagih padanya." — Habis berkata ia tertawa terbahak2.
Melihat sikap sang Ji-suheng yang sama sekali tidak
punya rasa dendam karena dadanya telah dilukai begitu
rupa, diam2 Peng-say merasa hormat dan kagum. Segera ia
bertanya pula: "Toapek (paman) sengaja pamer
kelihayannya ini kepada siapa?"
"Bagi Suhu dan Tangsay-ji-ki (kedua orang kosen dari
timur dan barat)," tutur Lo-kiat.
"Waktunya apakah terjadi ketika pertemuan di Ki-liansan
yang diadakan Ciamtay Cu-ih pada 28 tahun yang
lalu?"
"Darimana kau tahu?" Lo-kiat balas bertanya.
"Pernah kudengar cerita Sau Kim-leng tentang
perjalanan ibunya mencari Toapek.Menurut keterangan ibu
Kim-leng, konon waktu Toapek menghadiri pertemuan di
Ki-lian-san, Siang-liu-kiam-hoat baru saja berhasil
diciptakan Toapek dan belum diketahui orang Kangouw.
Tapi sesudah menghadiri pertemuan itu beliau lantas
hilang. Padahal hanya pada pertemuan di Ki-lian-san itu
Tospek sempat mempertunjukkan Siang-liu-kiam-hoat.
Kukira dahulu Ji-suko pernah ikut ayah menghadiri
pertemuan itu, sebab hanya dalam pertemuan itulah ada
kemungkinan Toapek meniggalkan tulisan ini di dadamu."
Kiau Lo-kiat menengadah dan mengembuskan napas
panjang, katanya: "Kejadian pada 28 tahun yang lalu itu,
kalau dipikirkan sekarang setiap adegannya se-olah2
terbayang kembali dengan jelas. Ya, memang betul, kecuali
Su-ki (empat kosen) yang menghadiri pertemuan itu, di
dunia ini satu2nya orang yang dapat menceritakan apa yang
terjadi dalam pertemuan itu hanya diriku seorang"
"Sudikah Ji-suko menceritakan padaku pengalamanmu
itu?" pinta Peng-say.
"Pernah kuceritakan kejadian ini kepada satu orang,
karena itu aku sangat menyesal dan sudah bersumpah
takkan menceritakannya lagi kepada siapapun. Tapi kau
harus dikecualikan, kau harus mengetahui kejadian itu.
Sebab peristiwa itu menyangkut nasib keluarga Sau kalian
yang tragis. Kisah itu harus dimulai dari tiga angkatan lebih
tua keluarga Sau kalian Kakek moyangmu, yaitu kakek
guruku, terhitung angkatan yang memakai nama Giok. Sau
Giok-eng, begitu nama kakek-moyangmu, dia dan
kakaknya yang bernama Sau Giok-ci adalah saudara
kembar, mereka adalah murid Bu-toag-pay dari keluarga
preman. Lantaran mereka adalah saudara kembar maka
keduaya saling sayang menyayangi, belum 20 tahun
umurnya sudah tamat belajar segenap Kungfu Bu-tong-pay
sehingga menjadi murid Bu-tong yang paling menonjol dan
paling tinggi prestasinya dalam sejarah Bu-tong-pay. Waktu
mulai terjun ke dunia Kangouw, kedua bersaudara itu
hampir tidak pernah berpisah, hanya dalam waktu singkat
nama Pendekar Kembar telah mendapatkan pujian dimana2.
-Kemudian kedua saudara kembar itu mendapat penemuan
aneh, mereka mendapat ajaran seorang kosen yang sudah
lama mengasingkan diri. Kungfu mereka bertambah hebat,
sampai2 ketua Bu-tong-pay sendiri pada masa itupun bukan
tandingan mereka, Dengan kemajuan pesat mereka
ditambah lagi mereka selalu bertindak bersama dalam
menghadapi setiap persoalan, dengan sendirinya nama
mereka semakin tenar, sebutan merekapun dari Pendekar
berubah menjadi Ki (ajaib. sakti atau kosen), bersama tokoh
Tang-wan dan Say-koan pada masa itu mereka disebut
sebagai Bu-lim-su-ki (empat kosen dari dunia persilatan).
-Tang-wan atau Hong hoa-wan menjagoi lautan timur,
Ngo-hoa-koan atau Say-koan merajai wilayah barat, tatkala
mana baik selatan maupun utara belum ada tokoh yang
memadai untuk disebut tokoh utama, maka sesudah
berunding. kedua saudara kembar itu sepakat untuk yang
satu tinggal di utara dan yang lain berdiam di selatan dan
merajai daerahnya masing2 untuk menandingi kedua orang
sakti yang lain. Berpisahnya kedua saudara kembar itu pun
menimbulkan mala petaka bagi keluarga Sau sendiri.
Sebelum keduanya membagi wilayah kekuasaan, dunia
Kangouw menyebut mereka Hengte ji-ki (dua orang sakti
saudara kembar), tiada perbedaan tinggi rendah. Sesudah
berpisah sebutan mereka berubah menjadi Lim-pak-jiki (dua
kosen dari selatan dan utara), maka dunia KangouW pun
mulai memperbincangkan siapa yang lebih lihay, siapa yang
lebih unggul, Lam-ki atau Pak-ki? Jutteru wajah kedua
orang serupa sepertj pinang dibelah dua, perbuatan mulia
yang dilakukan Lam-ki sering2 disangka sebagai perbuatan
Pak-ki dan begitu pula sebaliknya."
"Berbuat bajik tidak perlu diketahui orang lain, soal ini
sebenarnya tidak ada artinya, cukup asalkan si pelakunya
sendiri sudah berbuat kemuliaan dan sudahlah, peduli orarg
lain akan menganggap siapa yang berbuat. Apalagi,
seumpama keliru sangka, paling2 juga saudara sendiri yang
mendapat nama, antara saudara kandung, apalagi kembar,
apa bedanya."
"Akan tetapi salah anggap itu terjadi semakin sering,
lama2 tentu saja kedua pihak lama2 tidak enak bila
mendengar orang menganggap tindakan mulia sebagai
dilakukan saudaranya, padahal yang benar dia sendiri yang
melakukannya. Jadi jasa itu bukannya tercatat atas
namanya sendiri malah dirasakan kepada orang lain,
biarpun orang itu adalah saudaranya sendiri. Lama2 tentu
juga menimbulkan rasa penasaran. Lantaran inilah, bibit
sengketa antar kedua saudara kembar itupun mula lahir."
"Kenapa tidak meninggalkan nama sehabis berbuat
sesuatu? Dengan meninggalkan nama si pelakunya tentu
takkan menimbulkan salah sangka orang." kata Pang-say.
"Coba kau pikir, setelah kau berbuat sesuatu kebaikan.
apakah kau suka meninggalkan namamu" tanya Lo-kiat
dengan gegetun.
Peng-say menggeleng
"Memang, orang yang membuat kebajikan secara jujur
dan tulus, tidak ingin perbuatannya diketahui orang," kata
Lo kiat. "Dan runyamnya urusan justeru timbul karena
terlalu seringnya orang salah anggap. Setiap manusia pada
umumnya mempunyai rasa harga diri, kalau perbuatan
baiknya yang meski tidak suka diketahui orang lain, bila
sering menimbulkan salah anggap, betapapun akan
membuat hatinya tidak enak. Akan lebih baik jadinya bila
segala sesuatu perbuatannya itu tidak diketahui orang dan
pasti juga takkan menimbulkan perkara. Namun nama
mereka terlalu tenar mereka sering menjadi bahan
pembicaraan orang Kangouw, meski tidak banyak orang
yang kenal wajah mereka, tapi asalkan terjadi setuatu
peristiwa, segera orang tahu hal itu dilakukan oleh salah
seorang Pendekar Kembar keluarga Sau. Selisih paham di
antara saudara adalah soal jamak, celakanya urusannya
menyangkut nama. Pada umumnya orang kalau menyebut
jurusan tentu akan bilang Selatan baru kemudian menyebut
utara, lantaran mereka berdua tinggal di selatan dan utara,
maka mereka pun disebut Lam-pak-ji-ki, Tang atau timur
selalu disebut lebih dulu daripada Say atau barat. Secara
kebetulan pada waktu itu nama Tang-wan memang lebih
menonjol daripada Say-koan, maka adalah sesuai dengan
kenyataan jika orang menyebut Tang-say-ji-ki.
-Dengan contoh tersebut, menurut jalan pikiran orang
awam, selatan di atas utara tentu juga berdasarkan
kenyataan. Lantaran itu, lambat laun lantas tersiar berita di
dunia Kangouw bahwa ilmu silat Soh-hok-hancu dari Lamhan
memang lebih tinggi daripada Leng-hiang-caycu dari
Pak-cay. Karena sudah terjadi kecenderungan pikiran
begitu, menyusul kejadian yang salah anggap juga condong
ke Lam-han, banyak perbuatan mulia yang dilakukan Pakcay
selalu dikatakan orang sehagai perbuatan Lam-han.
Dengan sendirinya nama Lam-han makin lama juga
semakin gemilang dibandingkan Pak-cay, maka mulailah
Sau Giok-ci tidak terima. Dapat kita bayangkan, tentu Sau
Giok-ci akan berpikir: 'Aku ini si kakak. masa namaku
malah di bawah adik. Tidak, tidak boleh jadi, hal ini harus
diluruskan sesuai keadaan yang sebenarnya.
-Kau tahu, antara saudara kembar, keakraban
persaudaraan memang jauh lebih erat daripada saudara
kandung biasa, tapi terhadap mereka harus selalu
diperlakukan sama rata dan sama adil, bila nama salah satu
pihak mendapat perlakukan tidak seimbang maka mudah
sekali menimbulkan rasa sirik dan iri, tidak mau mengalah,
berbeda dari-pada saudara kandung biasa yang lebih mudah
saling mengalah. Rupanya perasaan sirik Sau Giok-ci telah
menghanyutkan rasionya, jauh2 dari utara ia datang ke
Huiciu untuk menantang duel dengan adiknya. Sudah tentu
Sau Giok-eng tidak mau cekcok dengan saudaranya sendiri,
ia tidak terima tantangan itu. Tak terduga Sau Giok-ci
masih terus mendesak dan mempropokasi dengan berbagai
cara, adiknya dituduh memalsukan namanya sehingga
banyak jasa perbuatannya disangka sebagai perbuatan
adiknya, sebab itulah urasan lantas salah anggap Lam-han
lebih hebat daripada Pak-cay.
-Sau Giok-eng merasa tidak pernah berbuat sebagaimana
dituduh kakaknya itu, tentu saja ia sangat marah dan
penasaran, iapun berpikir mestinya aku yang menuduh kau
telah merampas jasa perbuatanku, sekarang kau malah
menuduh aku lebih dulu,
-Menurut cerita Suhu, semula kakeknya malah berusaha
menghindari percecokan itu dan bersabar sebisanya, tapi
akhirnya ia tidak tahan ketika S»u Giok-ci mendesak kakek
Suhu agar pindah rumah. Agaknya Sau Giok-ci merasa
tempatnya yang terletak di utara itu lebih dirugikan, maka
ia ingin pindah ke selatan, sebaliknya adiknya yang pindah
ke Leng-hiang cay di utara, Kalau orang bilang selatan-lebih
atas daripada utara, sebagai kakak, dengan sendirinya lebih
berhak tinggal di selatan Padahal Sau Giok-eng, kakek
Suhu, sudah belasan tahun di Soh-hok-han, nama Lam-han
adalah merek dagangnya yang sudah terdaftar, mana dia
mau meninggalkannya begitu saja? Maka dia menolak
permintaan Sau Giok-ci, sebaliknya Giok-ci tetap memaksa
dia pindah. Makin memuncak pertengkaran mereka,
akhirnya pertarungan besar sukar dihindari lagi, kakekmoyangmu
itu telah duel dengan kakaknya sendiri. Kungfu
mereka berasal dari perguruan yang sama, bakat merekapun
seimbang, dengan sendirinya pertarungan mereka itu sukar
ditentukan mana lebih unggul dan siapa lebih asor. Mereka
bertempur hingga tiga hari tiga malam lamanya, sampai
semangat loyo dan tenaga habis, ketika mereka benar2
sudah kehabisan tenaga dan tidak sanggup berhantam lagi,
sementara itu jiwa mereka sudah seperti pelita yang
kehabisan minyak.Maka hanya beberapa bulan setelah duel
itu, kedua saudara kembar itu ber-turut2 meninggal dunia.
Untunglah keduanya masing2 mempunyai seorang anak
lelaki sebagai keturunan, tapi antara Kedua keluarga sukar
didamaikan lagi, masing2 saling menyalahkan pihak lain
yang mengakibatkan kematian ayahnya. Meski kedua
keluarga tidak saling baku-hantam lagi, tapi lantas putus
hubungan. Walaupun begitu, kedua keluarga tentu saja
tidak mau kalah nama, malahan berlomba saling
mengalahkan, biarpun putus hubungan, tapi diam2 adu
kekuatan dan berebut nama, kedua pihak sama2 berusaha
mempertinggi Kungfu sendiri agar kelak akan dapat
melebihi lawan.
-Turun temurun hingga angkatan Suhu dan Supek
sekarang, pertarungan secara diam2 itupun masih terus
berlangsung. Seperti halnya Supek berhasil menciptakan
Siang-liu-kiam-hout, maka Suhu juga tekun meyakinkan Ci
he-kang, semacam ilmu Bu-tong-pay yang sukar dilatih."
Bicara sampai disini, Kiau Lo-kiat merasa haus. ia minta
pelayan menyediakan teh, panas2 air teh terus
diminumnya.
Peng-say sendiri hanya ter-mangu2 dan tidak minum.
Tiba2 ia bertanya: "Ji-suko, sesungguhnya Toapek
meninggal tidak?"
Lo-kiat menggeleng, katanya: "Soal ini sampai sekarang
belum jelas bagiku."
"Jika tidak meninggal, mengapa sampai sekarang belum
juga ada kabar beritanya?" ujar Peng-say dengan ragu.
"Dalam pertemuan Ki-lian-san Supek telah terluka
parah, meski tidak binasa seketika, kukira harapan untuk
hidup tidaklah besar, bisa jadi dirinya sudah meninggal."
"Siapakah yang melukai Toapek? Ap .... apakah. . . ."
"Bukan ayahmu, jangan kuatir," tukas Lo-kiat. "Ayahmu
bukan orang berhati keji begini, yang melukai Toapekmu
ialah Ciamtay Cu-ih dan Ngo-hoa-koancu, Coh-bengcu,
Coh Cu-jiu.”
Peng-say terdiam sejenak, katanya kemudian: "Menurut
pendapatku, ayah pasti berbuat sesuatu kesalahan terhadap
Toapek, betul tidak Ji-suko?"
Lo-kiat mengangguk, lalu bertanya: "Berdasarkan apa
kau menarik kesimpulan demikian?"
"Aku tidak kenal Toapek. tapi dari uraian Kim-leng serta
nama jurus2 Siang-liu-kiam-hoat, kuduga pribadi Toapek
pasti ramah tamah dan tidak ambisius, tidak mungkin ia
melampiaskan amarahnya atas diri Ji-suko tanpa sebab.
Beliau menggores tujuh huruf di dadamu, meski dilakukan
sebagai pamer kekuatan, tentu juga lantaran dia gemas
kepada ayahku, kalau tidak tentulah disebabkan tutur kata
Ji-suko yang telah membikin marah Toapek."
Cepat Lo-kiat menggeleng kepala, katanya: "Tidak,
memangnya ada berapa kepalaku, masa berani kubikin
marah beliau.Melihat ilmu pedangnva yang maha lihay itu.
aku menjadi ketakutan dan berdiri di samping tanpa berani
bergerak, mana aku berani bicara dan membikin marah
padanya."
"Habis entah dalam hal apa ayah berbuat salah kepada
Toapek sehingga Ji-suko yang menderita?" ucap Peng-say
dengan menyesal.
"Penderitaan kulit daging ini tidak ada artinya dan tidak
perlu diungkit," kata Lo-kiat. "Marilah kita bicara saja
tentang pertemuan di Ki-lian-san itu. Suhu membawa aku
kesana, tujuannja agar menambah pengalamanku, setelah
menyaksikan Kungfu ketiga orang sakti yang lain dan tentu
akan banyak manfaatnya bagi kemajuanku kelak. Tatkala
mana Toa-suko masih kecil. maka Suhu tidak membawa
serta dia.
"Setiba di Ki-lian-san, Sam-ki (tiga orang sakti) sudah
datang lebih dulu, hanya Suhu yang datang terakhir.
Melihat aku ikut datang, Ciamtay Cu-ih kurang senang,
begitu melihat segera minta Suhu menyuruh kuturun
gunung, katanya mereka pun tidak membawa anak murid,
masa Suhu harus diistimewakan. Suhu menjadi rikuh dan
bermaksud menyuruhku pergi, syukur Supek lantas buka
suara dan menyatakan tidak ada alangannya aku tinggal
disitu, ditengah mereka berbincang ilmu silat, Kalau ada
seorang yang melayani segala keperluan merekakan jadi
kebetulan?
"Waktu itu Coh-bengcu tidak memberikan pendapatnya,
maka Ciamtay Cu-ih tidak banyak omong lagi, aku jadi
tetap tinggal disana. Dengan demikian aku dapat melihat
diskusi ilmu silat antara kaum ahli. Ketika datang,
sepanjang jalan kugembira ria, tak tersangka begitu sampai
di atas gunung Ciamtay Cu-ih lantas menyuruh kupergi.
tentu saja aku kecewa, syukur Supek membelaku sehingga
aku tetap tinggal disitu. Keruan rasa terima kasihku
padanya waktu itu tak terkatakan, sungguh aku ingin
menyembah tiga kali padanya."
"Dan sekarang masih terima kasih atau tidak?" tanya
Peng-say dengan tertawa.
"Tetap terima kasih!" jawab Lo-kiat.
"Terima kasih padanya karena ketujuh huruf yang
ditinggalkannya di dadamu itu?"
"Jangankan cuma sedikit luka ini, sekalipun sebelah
bahuku tertabas, asal aku dapat meyaksikan keadaan
mereka serta mendengarken pembicaraan mereka mengenai
berbagai ilmu silat yang luas dan dalam, maka akupun
takkan menyesal."
"Sungguh tak tersangka Ji-suko sedemikian keranjingan
ilmu silat, maaf jika Sute telah menyinggung perasaanmu.”
0odwo0
Jilid 24
Lo-kiat tertawa, katanya: "Sudahlah, urusan lain kita
kesampingkan. Kita kembali bicara mengenai pertemuan
mereka itu. Selama tiga hari tiga malam mereka berbincang
mengenai limu silat. Akhirnya Ciamtay Cu-ih tidak terima
karena secara teori Siang-liu-kiam-hoat ciptaan Supek itu
dapat mengalahkan ilmu permainan golok kebanggaannya,
maka ia ingin dibuktikan dalam praktek. Ilmu permainan
golok kebanggaan Ciamtay Cu-ih itu bernama 'Lian-goancam'
(bacokan berantai). pada waktu perang tanding secara
lisan, Lian-goan-cam dikalahkan Siang-liu-kiam pada jurus
ke-39, siapa tahu pada prakteknya Ciamtay Cu-ih jadi
tambah malu. sebab menjelang jurus ke-sembilan, dada
Ciamtay Cu-ih sudah terkena pedang Supek dan diberi satu
goresan. Kiranya dalam pertandingan lisan Supek sengaja
memberi kelonggaran 30 jurus bagi Ciamtay Cu-ih.
Sebaliknya tokoh Tang-wan ini tidak tahu diri dia berkeras
menantang bertanding dalam praktek, akibatnya dia
mengalami kekalahan mengenaskan. Keruan muka
Ciamtay Cu-ih menjadi pucat, diam2 aku sangat senang,
coba kalau Suhu tidak disitu, bisa jadi aku sudah bersorak.
-Agaknya Coh-bengcu juga penasaran karena iimu
pukulan andalannya, yaitu Tay-jiu-in, dalam pertandingan
lisan ternyata dikalahkan oleh Siang-liu-kiam pada jurus ke
50. Seperti juga Ciamtay Cu-ih, iapun minta bertanding
dalam praktek. Supek memenuhi permintaannya dan
menyimpan kedua pedangnya. Coh-bengcu menyilakan
Supek menyerang. tapi Supek sengaja memberi kesempatan
lebih dulu bagi Coh-bengcu.
-Coh-bengcu menjadi kurang senang melihat pedang
Supek tidak digunakan, ia tanya apa sebabnya. Supek
berkata: 'Kau tidak pakai senjata, dengan sendirinya akupun
tidak boleh menggunakan senjata. Tapi kedua telapak
tanganku juga dapat kumainkan seperti pedang, tanpa
menggunakan pedang juga dapat kuhadapi setiap
seranganmu.' Coh-bengcu mengira Supek memandang
enteng padanya, ia berteriak gusar: 'Baik, kalau kecundang
jangan kau salahkan diriku!'- Dia menyangka ilmu
pukulannya sendiri tiada bandingannya, kalau Supek tidak
menggunakan pedang pasti akan dikalahkan olehnya, siapa
tahu cara Supek dapat menggunakan tangan kosong seperti
memainkan kedua pedangnya dengan sama lihaynya,
benarlah, menjelang jurus ke 50, jari tangan kirinya setajam
pisau telah merobek baju dada Coh-bengcu sehingga
belasan senti panjangnya. Rupanya sebelum bertanding
Supek sudah siap akan menandingi Tay-jiu-in dengan kedua
telapak tangan kosong, dengan sendirinya tangan kosong
tidak sama menggunakan pedang yang mampu memainkan
Siang-liu-kiam-hoat secara tepat dan memancarkan segenap
intisarinya. Coba kalau Supek menggunakan pedang,
mungkin Coh-bengcu juga tidak mampu bertahan sampai
jurus kesepuluh."
Peng-say sangat senang mendengarkan cerita itu bila
membayangkan Siang-liu-kiam-hoat ternyata dapat
mengalahkan Ciamtay Cu-ih pada jurus ke-sembilan,
hatinya menjadi kegirangan dan semangatnya berkobar.
Mendadak ia bertanya: "Bagaimana dengan ayahku?"
"Ayahmu kenapa, dia kan di rumah sekarang," jawab
Lo-kiat.
"Kutahu dia berada di rumah, bukan ini yang
kutanyakan," kata Pang-say.
"Habis mengenai apa?"
"Pada jurus keberapa ayahku dikalahkan Siang-liukiam?"
Lo-kiat tertawa, katanya: "Wah, dari nada
pertanyaanmu, se-olah2 kau harap ayahmu juga dikalahkan
olehnya."
"Bu. . . .bukan begitu maksudku," muka Peng-say
menjadi merah. "Cuma kukira besar kemungkinan ayah
juga bukan tandingan Toapek."
"Kemungkinan bukan tandingannya memang juga
mungkin terjadi, tapi mereka berdua tidak sempat
bertanding sendiri, waktu Suhu juga terjun ke arena
pertarungan, kedudukan sudah berubah menjadi tiga lawan
satu."
"Tiga lawan satu?" seru Peng-say terkejut. "Jadi. . ..jadi
mereka bertiga mengerubut Toapek seorang?"
"Ya, kejadian inilah yang selama hidup disesalkan oleh
Suhu," kata Lo-kiat dengan gegetun. "Suhu tahu, bilamana
beliau tidak ikut bertempur. betapapun Coh-bengcu dan
Ciamtay Cu-ih takkan mampu mengalahkan Supek. Hal ini
terjadi waktu Coh-bengcu sudah jelas kalah, jika dia sportip,
seharusnya dia mengaku kalah secara jujur, tapi dia justeru
tidak tahu malu dan ngotot tidak mau mundur, bahkan
pura2 belum kalah, bahkan ia berteriak: 'Hayo, tambah lagi
50 jurus!'
-Dia bicara dengan nada seperti 50 jurus pertama itu
belum kalah melainkan seri sehingga dia menantang
bertanding 50 jurus lagi. Ia tidak mau tahu luka di dadanya
itu, apabila Supek tidak bermurah hati, tentu jiwanya sudah
melayang, Supek sendiri tidak menghiraukan lawan yang
tidak jujur itu, ia siap mundur dari arena. Diluar dugaan,
Ciamtay Cu-ih yang berdiri disamping mendadak melompat
maju terus membacok, dalam keadaan tidak ter-duga2.
Supek masih sempat mengelak. dengan gusar ia
membentak: 'Apa artinya ini?' Tapi Ciamtay Cu-ih pura2
tidak dengar, ia berseru malah: 'Memang betul bertempur
50 jurus lagi!'
Bersama dengan serangan Coh-bengcu yang lihay, segera
mereka mengerubut Supek sehingga sama sekali Supek
tidak sempat melolos kedua pedang yang tersandang di
punggungnya."
"Mereka berdua ingin membinasakan Toapek," ucap
Peng-say dengan mengertak gigi.
"Memang," kata Lo-kiat. "Suhu juga dapat melihat
kedengkian kedua orang itu terhadap Supek, jelas mereka
hendak menumpas lawan yang jauh lebih tangguh itu agar
di dunia ini tiada orang yang berkepandaian lebih tinggi
daripada mereka. Hanya sekejap saja 50 jurus sudah lewat.
Makin lama Suhu tambah terkesiap, tak diduganya dengan
bertangan kosong Supek mampu melawan dua tokoh sakti
jaman ini, bahkan tampaknya lebih banyak menangnya
daripada kalahnya.
-Coh-bengcu dan Ciamtay Cu-ih juga merasakan gelagat
tidak menguntungkan mereka, kalau tanpa senjata saja
lawan sedemikian lihay, bilamana kedua pedangnya sempat
dikeluarkannya, jelas jiwa mereka pasti akan melayang.
Mereka berusaha mempergencar serangannya, tampaknya
mereka masih di atas angin, padahal tidak demikian halnya.
serangan mereka itu laksana rontakan osang yang hampir
tenggelam, mereka menyadari tidak sanggup menahan
serangan lawan, terpaksa balas menyerang dengan nekat di
samping mempertahankan kedudukan yang tidak kalah,
berbareng juga ingin membikin repot lawan agar tidak
sempat melolos pedangnya. Tapi serangan gencar mereka
ternyata tidak cukup mengancam Supek, sebaliknya kedua
telapak tangan Supek tetap bermain selihay memegang
pedang, sesungguhnya bukan Supek tidak sempat melolos
pedangnya, tapi beliau merasa belum perlu menggunakan
senjata, kalau dengan bertangan kosong saja dapat
mengalahkan kedua lawannya, untuk apa mesti melolos
pedang? Dalam keadaan gawat, Ciamtay Cu-ih coba
berseru kepada Suhu: 'Sau-heng, sebaiknya kau pun maju! -
Sampai beberapa kali ia berseru, namun Suhu sama sekali
tidak terpengaruh. Coh-bengcu sendiri tidak ikut berseru
agar Suhu ikut maju mengeroyok, tapi jelas dalam hati ia
sangat berharap Suhu membantu mereka. Ketika dilihatnya
Suhu tetap tidak berniat ikut bertempur, akhirnya ia buka
mulut: 'Sau-heng, apakah kau tega menyaksikan jiwa kami
melayang disini?' Dengan tak acuh Suhu menjawab: 'Lenghiang-
caycu tidak bermaksud membunuh kalian, asalkan
kalian berhenti menyerang, kan urusan menjadi beres?' -
Tapi Supek lantas menanggapi: 'Tidak, mana boleh begitu
murah bagi mereka? Sudah jelas mereka berniat
membinasakan diriku, tidak boleh mereka sudahi urusan
begini saja. Selamanya Sau Ceng-in memakai patokan, bila
orang lain tidak boleh melanggar diriku, akupun tidak akan
mengganggu orang lain. Sekarang mereka telah bertindak
sejauh ini kepadaku, apa yang mereka kehendaki atas
diriku. kepada mereka akan kulaksana kehendak yang
sama.' Habis bicara, serentak Supek melancarkan serangan
kilat. Sekali Supek mulai menyerang, seketika Coh-bengcu
dan Ciamtay Cu-ih terdesak mundur terus menerus keadaan
mereka menjadi gawat, setiap saat mereka bisa mati di
bawah pukulan Supek. Mendadak Coh-bengcu berteriak.
'Sau Ceng-in. Setelah kami berdua mati, tentu namamu
akan tersiar sebagai jago nomor satu di dunia!'
-Supek tertawa dan berkata.'Selama hidupku tidak
kuperhatikan soal nama dan keuntungan, tapi kalau ada
orang sengaja mengantarkan nyawa padaku, kalau kutolak
rasanya tidak hormat, terpaksa kuterima dengan senang
hati.'
-Pada saat itulah, mendadak Suhu ikut terjun ketengah
gelanggang pertempuran. Dengan gusar Supek membentak:
'Apakah kau hendak membantu mereka dan membunuh
diriku?'
- Melihat itu Ciamtay Cu-ih ter-bahak2 gembira. katanya:
'Kalau dia tidak memburuh kau, cara bagaimana Sau-heng
akan dapat membalas sakit hati kakeknya?'
-'Hm, apa betul begitu?' jengek Supek.
-Rupanya begitu ikut bertempur, segera Suhu merasakan
sendiri betapa lihaynya Siang-liu-kiam-hoat, karena dia
harus mencurahkan segenap perhatiannya untuk bertempur
sehingga tidak sempat menanggapi ucapan mereka.
-Supek lantas berkata pula: 'Adik Ceng-hong, permusuhan
kedua keluarga kita sudah lama kulupakan, tiada maksudku
hendak membunuh kau, lekas kau mundur!'
- Ciamtay Cu-ih kuatir Suhu benar2 mengundurkan diri,
cepat ia berseru: 'Sau-heng, jangan kau tertipu, jika sekarang
tidak kau tuntut balas sakit hati leluhurmu, kelak dia yang
akan mencari dan menuntut balas padamu.'
-Suhu masih tetap tidak bersuara. Sedangkan Supek mulai
merasakan kelihayan Suhu, betapa lihaynya Siang-liu-kiamhoat
tetap tidak terlepas dari dasar2 ilmu pedang keluarga
Sau, apalagi sudah cukup lama sejak tadi Suhu
mengamatinya disamping, sudah diselaminya letak
kehebatan Siang-liu-kiam-hoat, untuk mengalahkannya
memang sulit, tapi cukup kuat untuk menahan. Setelah
seragannya mulai kurang leluasa. Supek menjadi gugup,
dengan suara bengis ia berkata: 'Sau Ceng-hong, tak
tersangka Kun-cu-kiam yang terkenal juga berhati busuk
tiada ubahnya seperti Coh dan Ciamtay berdua Sekalipun
sekarang kau dapat membunuhku, jelas bukan lantaran kau
hendak menuntut balas bagi kakekmu.'
-Setelah bergebrak beberapa puluh jurus, Suhu mulai
terbiasa dengan gerak serangan Siang-liu-kiam-hoat, ia
menjaWab: 'Permusuhan lelubur kita, kau lupa akupun
tidak mengingatnya lagi.'
-Supek lantas bergelak tertawa, serunya. 'Hahaha, ternyata
betul. jadi maksudmu membunuhku sekarang serupa
tujuannya dengan mereka, yakni sirik karena aku berhasil
menciptakan Siang-liu-kiam-hoat ini. Baik, seranglah lebih
gencar, lihat saja kau yang mampus atau aku yang gugur!'
-Supek berusaha melolos pedang, tapi Suhu tidak memberi
kesempatan padanya, Suhu tahu bilamana Supek sampai
bersenjata, maka mereka pasti celaka. Nyata, Supek telah
kehilangan kesempatan yang baik untuk melolos
pedangnya, tadi ketika menghadapi Coh dan Ciamtay
berdua ia masih banyak kesempatan, sekarang kesempatan
itu sudah lenyap sama sekali. Terpaksa ia menggunakan
kedua tangan kosong untuk menghadapi kerubutan tiga
besar."
Sampai disini, Peng-say menghela napas menyesal,
katanya: "Cara demikian sungguh terlalu tidak adil."
"Tiga lawan satu, memangnya siapa yang bilang adil?'
ujar Lo-kiat. "Tapi kau pun perlu tahu, sama sekali tiada
pikiran ayahmu hendak membunuh Supek. Suhu hanya
ingin memaksa mundur Supek. maka beliau telah berkata:
'Kakak Ceng-in, bukan tujuanku hendak menuntut balas
sakit hati leluhur, akupun tidak sirik kepada kepintaranmu.
Asalkan kau berjanji tidak membunuh mereka berdua,
bolehlah segera kita sudahi pertarungan ini.'
-Supek mendengus: 'Hm, kau kira kemenangan sudah pasti
berada padamu?' -Suhu menjawab: "Bila kedua pedangnu
terhunus. jiwa kami bertiga segera terancam, siapa berani
bilang kami pasti akan menang?' - 'Haha, asal kau tahu saja!'
seru Supek dengan tertawa bangga. Tapi Suhu lantas
berkata pula: 'Namun bila kau tidak berjanji takkan
membunuh Coh dan Ciamtay-heng berdua. maka kau pun
tidak nanti mempunyai kesempatan untuk melolos pedang.'-
Supek berkata: 'Apakah kau kuatir namaku akan tambah
termashur setelah kubunuh mereka berdua?'
- Suhu diam saja tanpa menjawab. Kembali Supek bergelak
tertawa dan berkata: 'Hahaha, kiranya kau takut nama Pakcay
melebihi Lam-han kalian!'
- Setelah paham maksud tujuan Suhu ikut bertempur, Supek
lantas menambahkan lagi: 'Meski kau bilang sudah
melupakan permusuhan leluhur, yang benar kau tidak
pernah lupa. Masa kau tidak tahu bahwa kakek kita justeru
lantaran berebut nama begini dan akhirnya gugur bersama?
Ai, sudahlah, bilamana kau mempersoalkan hal ini, aku
tidak juga mempersoalkannya. Silakan berhenti, aku mau
pergi saja.'
-Habis berkata, kedua tangannya mendesak mundur
Coh-bengcu dan Ciamtay Cuh-ih, lalu ia merangkap kedua
tangannya seperti tanda memberi salam. Suhu tidak tahu
Supek benar2 berhenti bertempur, ia kuatir kesempatan
akan digunakan Supek untuk melolos pedang, maka
serangan Suhu tidak menjadi kendur. Supek menjadi
marah, bentaknya: 'Kau. . . .' Ia menyangka Suhu
bermaksud membunuhnya. terpaksa ia mematahkan
serangan Suhu, tapi dia menjadi lupa bahwa disamping
masih ada dua musuh, peluang itu segera digunakan
dengan baik oleh Coh-bengcu dan Ciamtay Cu-ih, golok
Ciamtay Cu-ih menancap dipinggang Supek, sedangkan
pukulan Coh-bengcu tepat mengenai dadanya.
-Setelah terluka parah begitu, Supek tetap tidak roboh, ia
balas menghantam, sekaligus Coh-bengcu dan Ciamtay Cuih
juga dipukul hingga mencelat, tapi lantaran tenaga
dalamnya telah banyak berkurang karena luka parah itu,
kedua lawan tidak sampai menggeletak, mereka melejit di
udara dan dapat turun dengan selamat. Supek memandangi
Suhu dan berkata dengan rasa pedih: 'Kau . . ..' mendadak
tubuhnya lemas dan jatuh terkulai. Serentak Coh-bengcu
dan Ciamtay Cu-ih melompat maju hendak membunuhnya
akan tetapi Suhu lantas membentak agar mereka berhenti.
Kedua orang itu juga rada jeri terhadap Suhu dan tidak
mengganas lagi. Mendadak Supek berdiri, darah tampak
menggenangi tempat rebahnya tadi. Ki-lian-san sepanjang
tahun senantiasa diliputi salju, darah di atas tanah bersalju
itu jadi lebih menyolok tampaknya. Aku sampai kesima
menyaksikan itu, ada maksudku ingin memayang Supek,
tapi aku masih berdebar oleh pertarungan sengit tadi dan
rasanya kakipun sukar bergerak. Supek telah melolos kedua
pedangnya dan digunakan sebagai tongkat penyangga agar
tubuhnya tidak roboh lagi. Dengan mengertak gigi Supek
berkata: 'Ingat Sau Ceng-hong ingat. . . .' sedapatnya dia
menahan rasa sakit lukanya dan sebisanya mengucapkan
kata2 tersebut sehingga mulutnya penuh darah dan
menakutkan. Dengan langkah sempoyongan ia lantas
melangkah ke arahku, kusangka dia hendak membunuh
diriku, aku ketakutan dan hampir saja berlutut dan minta
ampun. Ketika sampai didepanku, Supek membentak agar
aku minggir. Aku mengiakan dengan menggigil, saking
bingungnya, bukannya minggir kesamping, sebaliknya aku
mundur kebelakang selangkah demi selangkah, dengan
sendirinya aku masih mengalangi jalan Supek, entah dia
lantas marah atau sebab lain, mendadak pedangnva
menunjuk. Aku mengeluh dan menyangka jiwaku pasti
akan melayang. sebisanya kuperhatikan gerakan pedang
Supek dan berusaha mengelak, tapi tetap tidak mampu.
Saking cemasnya akupun jatuh pingsan. Waktu aku
siuman, kulihat Suhu berdiri disampingku, kulihat dadaku
sendiri penuh darah, aku berseru kaget, Suhu berkata sambil
menggeleng, "Nyalimu sungguh kecil. Tapi jangan Kuatir,
kau tidak bakalan mati.'
- Akupun merasa tiada sesuatu apapun, waktu kuperiksa
lebih jauh, kulihat baju dadaku berderet tujuh lubang, satu
lubang terdiri dari satu huruf, darah merembes keluar dari
lubang itu. Ketujuh huruf itu menggores di bajaku, tapi juga
tertinggal di dadaku untuk selamanya, waktu itu dapat
kulihat jelas ketujuh huruf itu berbunyi Siang-liu-kiam-hoat
nomor satu di dunia'. Karena hanya terluka luar saja, hatiku
menjadi tenang. kutanya Suhu dimana Supek, Suhu
menjawab dengan sedih; 'Sudah pergi, semoga dia sanggup
turun gunung dan mencai pengobatan.'
-Kutanya pula; 'Dan dimanakah Coh-bengcu dan Ciamtaywancu?'
-Suhu menjelaskan; 'Begitu Supekmu pergi, mereka pun
angkat kaki.'
-Aku menjadi kuatir dan berkata: 'Wah, jangan2 mereka
akan mengejar Supek?'
- Tapi Suhu menggeleng, katanya: 'Tidak, mereka tidak
berani.'
- Kiranya Supek berlagak seperti sangat payah, padahal dia
masih mempunyai sisa tenaga, setelah meninggalkan tulisan
di dadaku, dia lantas lari pergi secepat terbang. Rupanya
ketujuh huruf itu menimbulkan pengaruh bagi Coh dan
Ciamtay berdua, mereka tidak berani mengejarnya,
sebaliknya mereka terus pergi ke arah yang berlawanan seakan2
kuatir kalau2 Supek akan balik lagi untuk mencari
mereka. Tampaknya nyali mereka telah pecah ketakutan
oleh Siang-liu-kiam-hoat yang lihay itu, mereka masih terus
was-was. kuayir kalau Supek menuntut balas kepada
mereka. Sampai beberapa tahun kemudian, setelah Supek
tiada kabar beritanya lagi di dunia Kangouw, hati mereka
baru merasa lega dan menganggap Supek sudah mati."
Diam2 timbul rasa kagum dan hormat Peng-say kepada
pamannya itu, bobot Sau Ceng-in sekarang dalam hatinya
terasalah jauh melebihi bobot ayahnya, Sau Ceng-hong. Ia
coba bertanya pula: "Ji-suko, menurut kau. sebenarnya
Toupek sudah meninggal atau belum?"
"Jika dikatakan Supek sudah meninggal. kukira juga
sangat besar kemungkinannya." jawab Lo-kiat. "Tapi akhir2
ini di dunia Kangouw tersiar berita bahwa jejak beliau
terlihat muncul lagi, kukira hal ini tidaklah betul. Jika
karena berita itu lantas memastikan Supek belum mati, hal
ini terlalu bersifat pribadi, coba pikir, siapa yang pernah
melihat sendiri jejak Supek? Kalau ada. barulah hal ini
dapat dipastikan. Tapi sampai saat ini tiada seorangpun
berani menjadi saksi mata, maka berita munculnya Supek
masih tanda tanya besar. Lagi pula, andaikan Supek belum
meninggal, mengapa beliau mesti menyembunyikan
jejaknya dan sampai sekarang tiada seorangpun yang tahu
berada dimana? Kecuali mengasingkan diri. dengan ilmu
pedang Supek yang lihay itu. rasanya tidak perlu
mengasingkan diri. Padahal bila Supek mengasingkan diri
hal ini pun tidak mungkin terjadi. Sebab isterinya telah
berusah-payah mencarinya sekian tahun di dunia
KangouW. saking lelahnya tanpa hasil dan akhirnya
meninggal, apakah hati Supek tidak tergugah bila
mengetahui kejadian ini? Bila benar dia cuma
mengasingkan diri, tentu sejak dulu2 dia keluar menemui
isterinya."
"Jika demikian, jadi harapan Toapek masih hidup
hampir mendekati nihil?" tanya Peng-say pula.
"Kita sama2 tidak dapat memastikan mati-hidupnya
Supek, terkadang kita anggap sesuatu sudah pasti,
kenyataannya justeru kebalikannya. Tapi ada orang yang
dapat memberi keterangan yang lebih mendekati kepastian,
yaitu gurumu, Tio Tay-peng, kuberani katakan dia pasti
tahu "
Peng-say mengangguk. katanya: "Ya, setengah bagian
Siang-liu-kiam-hoat yang ditemukan Suhu itu besar
kemungkinan ada sangkut-pautnya dengan Toapek, tugas
utama kepergianku ini adalah bertanya kepada beliau
menjenai urusan Supek ini."
"Ayahmu juga berharap Supek masih hidup di dunia ini,
meski Supek masih salah paham terhadap Suhu dan
menganggap Suhu yang mengakibatkan dia dicelakai. besar
kemungkinan orang pertama yang akan dicarinya untuk
menuntut balas ialah Suhu. Namun Suhu sudah
menyatakan, bila Supek datang mencarinya, Suhu akan
memberi penjelasan apa yang terjadi sesungguhnya, akan
dijelaskan bahwa dahulu sama sekali Suhu tidak bermaksud
membunuhnya."
"Bila salah paham Toapek sudah terlalu mendalam dan
tidak mau terima penjelasannya, lalu bagaimana?" tanya
Peng-say.
"Seumpama dia main kekerasan dengan Suhu, terang
Suhu juga tidak gentar," tutur Lo-kiat. "Kata Suhu,
dorongan menciptakan Siang-liu-kiam-hoat oleh Supek itu
berasal dari Liang-gi-kiam-hoat andalan Bu-tong-pay itu."
"Betul," sela Peny-say. "Menurut cerita Kim-leng.
Sebabnya Toapek menciptakan Siang-liu-kiam-hoat adalah
karena ada ilmu pedang Bu-tong-pay yang harus dimainkan
dua orang sekaligus, yaitu ilmu pedang yang bernama
Liang-gi-kiam-hoat? Toapek menganggap ilmu pedang yang
dimainkan dua orang tentu kurang leluasa, maka dengan
susah payah diciptakannya Liang-gi-kiam-hoat yang hanya
dimainkan satu orang saja. Menurut cerita Kim-leng dari
ilmu pedang keluarga sendiri itu akhirnya Toapek
menciptakan sejurus ilmu pedang yang hebat daripada
Liang-gi-kiam-hoat dan cukup diamainkan satu orang saja,
lalu diberinya nama Siang-liu-kiam-hoat."
"Kupercaya kejadian itu," kata Kiau Lo-kiat. "Jangan
kau kira nama Bu-tong-pay kalah tenar daripada Ngo-taylian-
beng sesungguhnya ilmu silat Bu-tong tidak lebih asor,
hanya saja pusakanya belum sempat digali sehingga banyak
tokohnya yang terpendam, namanya juga semakin
menurun. Setelah Supek menemukan pusaka simpanan Butong-
pay dan dari Liang-gi-kiam-hoat mulai menimbulkan
ilhamnya, ditambah lagi kecerdasan Supek sendiri, akhirnya
terciptalah ilmu pedang nomor satu di dunia ini. Suhu
sendiri mengaku kecerdikannya bukan tandingan Supek dan
tidak dapat menciptakan jurus ilmu pedang yang hebat, tapi
beliau mencari jalan lain melalui dasar Lwekang yang kuat.
Menurut Suhu, biarpun ilmu pedang nomor satu di dunia
atau ilmu pukulan yang tiada tandingannya, kalau Lwekaag
kurang kuat, apa yang dipahaminya juga tiada gunanya,
sebab sekalipun dengan jurus serangannya yang lihay dan
dapat mengalahkan lawan yang Lwekangnya lebih tinggi,
tapi bila ketemu lawan yang Lwekangnya sudah mencapai
puncaknya, betapapun bagus jurus serangannya juga sukar
dikembangkan. Berdasarkan teori inilah, Suhu terus berlatih
Lwekang dengan tekun. Suhu juga tahu banyak pusaka Butong-
pay yang belum digali, 30 tahun yang lalu beliau
tinggal satu tahun di ruangan perpustakaan Bu-tong-san dan
menemukan semacam ilmu Lwekang yang disebut 'Ci hekang'
Menurut cerita Suhu. bila ilmu ini berhasil dilatih.
Lwekangnya akan mencapai puncaknya sempurna dan sulit
ditandingi kecuali lawan juga memiiiki Lwekang yang
sempurna seperti Ci-he-kang."
Peng-say jadi sangat tertarik oleh cerita ini, katanya:
"Dan sudahkah berhasil ayah meyakinkan Ci-he-kang itu?"
"Sudah berhasil," kata Lo-kiat.
"Jika begitu, mengapa dalam pertemuan di Ki-lian-san
ayah bukan tandi...." Peng-say menjadi ragu untuk
melanjutkan ucapannya.
Dengan tertawa Lo-kiat berkata: "Meski Suhu tidak
sempat bertanding satu lawan satu dengan Supek. tapi
sudah terjadi tiga lawan satu barulah mereka mampu
menandingi Siang-liu-kiam-hoat Supek, maka dapat
diperkirakan bila satu-lawan-satu jelas Suhu juga pasti
bukan tandingan Supek, hal ini tidak perlu pantang
dikatakan. Cuma Suhu juga menyatakan, bilamana Ci-hekang
berhasil diyakinkan pada waktu pertemuan di Ki-liansan
itu, maka Siang-liu-kiam-hoat Supek yang bersumber
dari Liang-gi-kiam-hoat itu tidak perlu ditakuti lagi. Kata
Suhu, dengan Ci-he-kang, betapa hebat serangan Siaog-liukiam-
hoat akan sukar dikeluarkan. paling sedikit Suhu akan
bertahan dan takkan terkalahkan. Tapi lantaran Ci-he-kang
adalah inti Lwekang Bu-tong-pay yang sukar dipahami,
maka dalam sejarah Bu-tong-pay, selain cikal bakalnya,
yaitu Thio Sam-hong, belum pernah berhasil diyakinkan
oraag lain. Maka dapat dibayangkan, betapapun pintarnya
Suhu juga sukar memahaminya hanya dalam Waktu dua
tiga tahun saja."
"Ya, akulah yang terlalu perasa," kata Peng-say sambil
menggaruk kepalanya sendiri. "Kau bilang ayah berhasil
meyakinkan Ci-he-kang, lantas kukira hal itu terjadi pada
28 tahun yang lalu, maka kusangsi mengapa ayah bukan
tandingan Supek."
"Kukatakan sudah lama Suhu berhasil meyakinkannya,
mungkin kata 'sudah lama' itulah menimbulkan salah
pahammu." kata Lo-kiat dengan tertawa. "Tepatnya, baru
setengah tahun yang lalu Suhu berhasil meyakinkan Ci-hekang.
maka sekarang beliau tidak perlu gentar lagi terhadap
Siang-liu-kiam-hoat Supek, maka biarpun Supek masih
hidup dan datang ke Soh-hok-han untuk menantang Suhu,
pasti juga Suhu tidak takut padanya."
Sementara itu malam telah tiba, kedua orang sudah
merasakan lapar. Lo-kiat pesan santapan pula, sekali ini
mereka telah makan minumdengan sepuasnya.
"Ji-suko," kata Peng-say kemudian. "Apa yang terjadi
dalam pertemuan Ki-lian-san itu kecuali ke-empat tokoh
yang bersangkutan, hanya engkau saja yang tahu dengan
jelas. Dengan sendirinya ayah dan kedua tokoh sakti
lainnya tidak mau menyiarkan kejadian itu, kukira engkau
juga sungkan menceritakannya kepada orang luar. Sebab,
betapapun pendirian ayah pada waktu itu, tentang tiga sakti
mengeroyoK seorang kosen, bila tersiar tentu tidak akan
menguntungkan nama baik ayah."
"Betul, makanya aku sama sekali tutup mulut, kepada
Toa-suko juga tidak pernah kuceritakan," kata Lo-kiat.
"Kalau begitu, seharusnye urusan ini tertutup rapat,
mengapa kemudian tersiar berita Siang-liu- kiam-hoat
nomor satu di dunia, jangan2 tulisan di-dada Ji-suko itu
telah dilihat orang luar?"
"Memang begitulah!" kata Lo-kiat.
"O... apakah Waktu kau mandi dan dilihat orang" tanya
Peng-say dengan tertawa.
"Hah, pintar juga kau menebak," kata Lo-kiat.
Bicara tentang mengintip orang mandi, Peng-say jadi
teringat pada waktu masih kecil, sering Cin Yak-leng
mengintip dia mandi, tanpa terasa ia menjadi sedih pula
karena ingat si nona.
"Eh, tanpa sebab mengapa kau menjadi murung lagi'"
tanya Lo-kiat dengan tertawa.
"AH, mana?" sedapatnya Peng-say berlagak gembira,
lalu bertanya pula: "Berapa orang yang mengintip Ji-suko
waktu mandi?"
"Seorang saja sudah membikin aku menyesal setengah
mati, kalu beberapa orang, wah. kan bisa celaka?" ujar Lokiat.
"Kenapa Ji-suko jadi seperti orang perempuan? Lelaki
mandi memang tidak perlu takut diintip orang, apa
halangannya? Jika anak perempuan mandi diintip orang,
nah, baru menyesal dan sedih."
Peng-say lantas tanya pula: "Ji-suko, jika kau tidak takut
diintip orang, tapi mengapa tadi kaubilang
menyesal?"
Mendadak Lo-kiat menghela napas, katanya sambil
menggeleng: "Menyesal bukan lantaran orang mengintip
aku mandi, tapi menyesal karena aku telah menceritakan
kejadian di Ki-lian-san itu."
Peng-say jadi teringat pada ucapan Ji-suko yang
menyatakan menyesal karena pernah menceritakan kejadan
itu kepada seorang, sebab itulah dia bersumpah tidak mau
bercerita lagi kepada orang kedua. Terang di dalam urusan
ini ada suatu kisah lain. Ia menjadi ketarik dan bertanya
bagaimana terjadinya.
"Cukup panjang jika diceritakan," demikian tutur Lokiat.
"Setelah pulang dan Ki-lian-san, lantaran ada bekas
luka di dada, kecuali Suhu, kepada siapapun hampir tidak
pernah kuceritakan apa yang terjadi. bila ditanya kamipun
menjawab segala sesuatu berlangsung dengan memuaskan.
masing2 hanya tukar pikiran tentang ilmu silat saja. Sampai
Sunio sendiripun tidak tahu peristiwa tentang itu. Kukuatir
luka di dadaku diketehui orang dan ditanya, demi
menghindari kesukaran, betapapun panasnya hawa. tidak
pernah lagi kubuka baju, pada waktu mandi juga
menghindari mandi bersama orang lain. Tapi aku
mempunyai hobi mandi, yakni pada setiap musim dingin,
hampir setiap hari kupergi ke tempat mandi untuk mandi
uap. Kalau tidak mandi uap, rasa badan menjadi tidak
enak, apalagi di waktu musim dingin, bila tidak mandi uap,
rasanya darahpun akan beku. Kupikir pada musim dingin
tahun yang lalu, Pada musim dingin sepulangnya dari Kilian-
san itu, aku bertekad akan menghapuskan hobi mandi
uap itu. Tapi ketika hawa meningkat dingin, aku tidak
tahan lagi, kembali kumat penyakitku. badan terasa gatal,
betapapun harus berendam di air panas untuk meeyegarkan
badan. Mandi di rumah tentunya tiada perlengkapan yang
cukup, kurang nikmat pula rasanya. Kupikir pada musim
dingin tahun yang lalu sedikit sekali ketemu kenalan
dirumah mandi kota, kalau bukan kenalan. biarpun tulisan
di dadaku terlihat juga tidak menjadi soal, andaikata
ditanyai asalkan kujawab dengan ketus tentu orangpun
tidak berani tanya lebih jauh. Setelah ambil keputusan
begitu dengan tak sabar aku lantas pergi ke kota untuk
mandi di rumah mandi langgananku.Memang benar, tidak
ada orang yang tanya meski melihat codet di dadaku
banyak yang mengira aku mempunvai hobi tatto. Yang
kukuatirkan adalah ketemu kenalan baik, syukur selama
beberapa hari tidak bertemu dengan kenalan dirumah
mandi itu. Diam2 aku bersyukur tepat memilih tempat.
Siapa tahu. pada hari berikutnya lantas datang kesukaran,
diluar dugaan aku kepergok kenalan baik, bahkan boleh
dikatakan kenalan yang sangat karib."
"Memangnya siapa dia?" tanya Peng-say.
"Suhengnya Toasuko," kata Lo-kiat.
"Suhengnya Toa-suko kita?" Peng-say menegas dengan
heran. "Toa-suko kan saudara seperguruan yang teratas,
masa kita masih ada Suheng yang lain?"
"Bukan di perguruan kita ini, tapi di perguruan lain,"
tutur Lo-kiat. "Tahukah kau Toa-suko masih mempunyai
seorang Suhu lagi?"
"Ahhh. tahulah aku, dia memang murid Bu~tong-pay,"
seru Peng-say.
"Ya, begitulah. Soalnya keluarga Sau tidak mau
melupakan sumbernya, setiap turunan. baik Lam-han
maupun Pak-cay sedikitnya ada seorang anak keluarga
langsung yang menjadi murid Bu-tong-pay, meski tidak
langsung belajar silat dengan Suhu Bu-tong-pay itu, tapi
resminya diakui sebagai murid Bu-tong. Salama tiga
angkatan Lam-han dan Pak-cay hanya mempunyai
keturunan tunggal, tiap2 turunan hanya melahirkan satu
anak Seperti Suhu sendinri beliau adalah murid gurunya
Tong-thian Totiang, ketua Bu-tong sekarang, begitu pula
Sau-supek dari Pak-cay. Jadi sebenarnya antara Sau-supek
dan Suhu selain menjabat ketua Pak-cay dan Lam-han,
resminya merekapun seperguruan. Angkatan terakhir,
karena Sau-supek tidak punyai anak lelaki, maka Pak-cay
tiada orang yang menjadi murid Bu-tong, Suhu waktu itu
juga tidak punya anak, yang ada cuma saak angkat, yakni
Toa-suko kita, maka Toa-suko lantas dijadikan murid Butong
atas nama Lam-han, dia mengangkat Tong-thian
Totiang sebagai guru. Tatkala mana usia Toa-suko baru
enam tahun, anak kecil dengan sendirinya tak dapat bergaul
dengan orang dewasa, Suhengnya adalah murid kesayangan
Tong-thian Totiang, bergelar Cui-hun. Sejak Toa-suko
masuk perguruan. Cui-hun sering datang ke Soh-hok-han
untuk menjenguk Sutenya, maka dalam waktu singkat ia
pun bersahabat denganku, Dasarnya memang akan timbul
perkara, pada musim dingin itupun Cui-hun masuk ke
rumah mandi itu dan memergoki diriku. Tak kusangka Cuihun
juga langganan dan juga mempunyai hobi mandi. Jika
sebelumnya kutahu dia juga suka mandi disitu, matipun
aKu tidak mau datang ke sana. Sesudah berada di kolam
mandi, dengan sendirinya tulisan di dadaku dilihat oleh
Cui-hun, dia menjadi heran dan bertanya padaku, apa
artinya tulisan itu, Ia bertanya pula Siang liu-kiam-hoat itu
ilmu pedang dari aliran mana? Dia tahu Lam-han tidak ada
ilmu pedang yang bernama begitu, maka aku pun tak dapat
mendustai dia, terpaksa kujawab secara samar2 bahwa
itulah ilmu pedang aliran lain.
- Dengan ragu ia bertanya pula: 'Apakah kau sendiri yang
membuat ketujuh huruf di dadaku ini?'
- Kubenarkan secara samar2. Dia lantas menggeleng dan
berkata: 'Ah, mana mungkin. Lam-han dan Pak-cay
terkenal dengan ilmu pedangnya, masa kau malah
menyebut ilmu pedang aliran lain nomor satu di dunia?
Memangnya tiada ilmu pedang lain yang melebihinya?'
- Kutahu wataknya yang suka menang, kujawab di atas
orang pandai masih ada yang lebih pandai, - 'Setahuku,
pada saat ini tiada ilmu pedang lain yang lebih unggul.
Bagaimana dengan Liang-gi-kiam hoat perguruan kami?'
tanyanya.
- Sebenarnya Liang-gi-kiam-hoat Bu-tong-pay terkenal
sebagai ilmu pedang tiada tandingan, tapi ilmu pedang itu
harus dimainKan dua orang ber-sama2 dengan tepat, sedikit
keliru saja berarti memberi peluang bagi musuh untuk
membobolnya. Sebab itulah meski nama Liang-gi-kiam-host
sangat besar, namun tidak mendapat perhatian orang
persilatan. Aku tidak pernah melihat permainan Liang- gikiam-
hoat, tapi kupikir kalau Siang-liu-kiam-hoat ciptaan
Supek itu. berasal dari Liang-gi-kiam-hoat, konon
menghapus kekurangan pada Liang-gi-kiam-hoat dan
menambahkan keunggulan ilmu pedang Pak-cay sendiri,
dengan sendirinya Siang-liu-kiam-hoat lebih lihay daripada
Liang-gi-kiam-hoat, ditambah lagi aku sendiri memang
menyaksikan kelihayannya, sejauh itu sangat kukagumi,
maka tanpa pikir kujawab: 'Ya, Liang-gi-kiam-hoat tidak
dapat menandingi Siang-liu-kiam-hoat.'
- Dengan sendirinya Cui-hun tidak terima, ia mendamperat:
'Ah, omong kosong!'
- Segera ia merasa ucapannya itu kurang sopan. cepat ia
minta maaf padaku, persahabatan kami cukup karib, aku
tidak mempersoalkan ucapannya itu, kutarik dia terjun ke
kolam dan berendam bersama. Mungkin makin dipikir dia
semakin penasaran oleh ucapanku yang menyatakan Lianggi-
kiam-hoat tak dapat menandingi Siang-liu-kiam-hoat itu,
maka tidak lama kemudian ia memegang bahuku dan
berkata pula: 'Lo-kiat, aku tetap tidak percaya'
- 'Tidak percaya juga tidak soal!' kataku dengan agak
mendongkol.
- Dia juga tidak ngotot lagi, sebaliknya malah memohon
padaku: Lo-kiat, mungkin ucapanmu memang benar.
Dapatkah kau beritahukan padaku ilmu pedang aliran
manakah Siang-liu-kiam-hoat itu?'
- Aku tak dapat menjawab, terpaksa aku pura2 kheki
padanya dan menjawab ketus: 'Tidak tahu?'
- Segera ia berganti siasat, dengan cengar-cengir ia
membujuk: 'Lo-kiat jangan marah padaku, jika salah,
biarlah kuminta maaf. Persahabatan kita sudah sekian
lamanya, masa hanya urusan sekecii ini kau marah padaku?
- Aku tetap bersungut dan tidak menggubrisnya. Dia tetap
melanjutkan siasatnya dengan cengar- cengir, bilamana rasa
dongkolku sudah hilang. tahu-tahu dia ulangi lagi
pertanynannya: - 'Sesungguhnya Siang-liu-kiam-hoat itu
ilmu pedang aliran mana?'
- Karena pertanyaan yang tidak habis2 itu, aku tambah
dongkol. dengan ketus kukatakan, 'Bicara terus terang, tidak
ingin kuberitahukan padamu Nah, jelas?'
- Agaknya harga dirinya juga merasa tersinggung, ia
termenung sampai lama. Diam2 aku menyesal mengingat
persahabatan kami yang karib, aku lantas berkata pula:
'Sesungguhnya bukannya aku tidak mau memberitahukan
padamu, aku cuma kuatir kau penasaran dan mencari tokoh
Siang-liu-kiam itu untuk bertanding, jika sampai terjadi
demikian, bukankah aku yang membikin celaka padamu
malah?'
- Mendadak ia meloncat keluar kolam dan menuding diriku
dengan marah: 'Lo-kiat, kau terlalu memandang rendah
diriku, jangankan di dunia persilatan memang tiada ilmu
pedang Siang-liu-kiam- hoat segala, sekalipun ada juga tiada
artinya bagiku!'
- Habis berkata ia terus tinggal pergi dengan gusar.
- Kusangka persahatan kami telah berakhir, sampai esoknya
ketika kumandi lagi di tempat itu hatiku masih kesal. Diluar
dugaan, iapun giat, kembali ia muncul lagi dirumah mandi
itu. Mula2 kami berlagak tidak kenal lagi, tapi akhirnya dia
mendekati aku pula. Karena itu kembali kami mengobrol
dengan asiknya seperti tidak pernah terjadi apapun. Tak
terduga, dia tetap tidak melupakan soa| Liang-gi-kiam-hoat
tak dapat menandingi Siang-liu-kiam-hoat itu, begitu ada
kesempatan, kembali ia bertanya: 'Lo-kiat, apakah benar2
ada sesuatu aliran yang mahir Siang-liu-kiam?'
- Kupikir bila kujawab ada, tentu dia akan mendesak dan
bertanya aliran mana. Jika kukatakan tidak ada, rasa hatiku
tidak enak, sebab sikapnya bcgitu simpatik, begitu serius,
jika aku tidak bicara sejujurnya. rasanya tidak tega. Selagi
aku ragu2, kembali dia berkata pula: 'Kupercaya
jawabanmu tidak tahu kemarin itu memang betul, sebab
kalau di dunia persilatan benar ada suatu aliran yang mahir
Siang-liu-kiam, mengingat hubungan baik kita ini, tidak
nanti kau tolak pertanyaanku. kuyakin apa yang disebut
Siang-liu-kiam nomor satu di dunia itu hanya karanganmu
sendiri, betul tidak?'
- Dasar aku memang tidak biasa berdusta, akupun tidak
dapat mengaku bahwa hal itu adalah karanganku sendiri,
maka sambil menggeleng kujawab: 'Siang-liu-kiam nomor
satu di dunia memang terjadi benar2, tulisan di dadaku
inipun bukan omong kosong!'
- Seketika air mukanya berubah guram, ucapnya: 'Jika
demikian, jadi Liang-gi-kiam tak dapat menandingi Siangliu-
kiam juga benar?'
- Aku mengangguk, seperti memohon aku menjawab: 'Cuihun
Toheng, sebaiknya janganlah kita membicarakan
urusan ini.'
- Dia menukas: 'Tidak membicarakan urusan ini juga boleh,
cuma sedikitnya harus kau katakan padaku Siang-liu-kiam
itu ilmu pedang aliran imana? Jika tidak kau katakan,
betapa pun aku tidak percaya adanya kenyataan Siang-liukiam
nomor satu di dunia itu!'
- Dengan mendongkol kukatakan padanya: 'Lebih baik kau
tidak percaya saja!'
- Sekali ini aku berlagak kheki dan tinggal pergi agar dia
tidak rewel lagi. Besoknya aku mencari rumah mandi yang
lain agar tidak bertemu lagi dengan dia. Siapa duga, dia
seperti sengaja menguntit diriku, tahu2 ia muncul disana.
Dan mulai melancarkan siasat baru dengan minta maaf dan
main bujuk. Setelah hubungan pulih kembali, lagi2 dia
mengajukan pertanyaan yang sama padaku.
- Nyata Cui-hun ini benar2 orang yang berkepala batu, berulang2
cekcok, ber-ulang2 dia membaiki diriku lagi,
kemudian mengajukan pertanyaan yang sama pula.
Akibatnya aku menjadi kewalahan, terus terang kukatakan
padanya: 'Coba kau pikir, bila Sam-ki melawan It-ki (satu
lawan tiga) dan ternyata It-ki itu tidak kalah, bukankah ilmu
pedang yang dimainkannya terhitung nomor satu di dunia?'
- Dia tercengang mendengar keteranganku, tanyanya: 'Masa
betul terjadi begitu?'
- Kujawab: 'Jika aku tidaak menyaksikan dengan mata
kepalaku sendiri masa kuberani menyatakan Liang-gi-kiam
tidak dapat menandingi Siang-liu-kiam?'
-Seperti sudah kuduga, dia tentu tidak berhenti sampai di
situ saja dan pasti akan bertanya lebih lanjut, segera ia
bertanya pula: 'Siapakah gerangan It-ki yang kau
maksudkan itu?'
- Kuminta dia bersumpah tidak boleh menyiarkan
ceritaku, dia menurut dan bersumpah, lalu kuberitahu:
'Ialah Leng-hiang caycu dari Pak-cay!'
- Dia menegas pula: 'Sebab apa Sam-ki yang lain menempur
Leng-hiang-caycu seorang?'
- Aku ingin menutupi hal yang sebetulnva, maka secara
ringkas kuceritakan bahwa semula Su-ki hanya tukar
pikiran mengenai ilmu silat masing2. lalu saling menjajal.
tapi akhirnya satu-lawan-satu tiada yang mampu
menandingi Leng-hiang caycu, Ji-ki juga tidak dapat
melawannya, dengan sendirinya Sam-ki lantas maju
sekaligus, hal ini cukup masuk di akal, kenapa nesti
bertanya pula.'
- Tapi dia masih penasaran dan bertanya bagaimana
lanjutannya? Karena ber-turut2 bertanya bagaimana
selanjutnya, akhirnya hampir seluruh kejadian kuceritakan
sehingga apa yang diketahuinya se-olah2 dia juga ikut
menyaksikan sendiri,"
"Pantas Ji-suko bilang urusan bisa celaka jika lebih dari
seorang melihat tulisan di dadamu, se-orang saja tak dapat
kau tolak, bila beberapa orang, mungkin setiap saat mereka
akan merecoki kau dan mau-tak-mau harus kau ceritakan
kepada mereka peristiwa seluruhnya," kata Peng-say
dengan tertawa.
"Ya, makanya setelah kejadian itu, sedapatnya tulisan di
dadaku ini kututup rapat2, sekalipun masuk ke rumah
mandi juga kupakai baju dalam," kata Lo kiat.
"Tapi kalau ditanya orang mengapa mandi dengan
berbaju, cara bagaimana Ji-suko mentawabnya?" tanya
Peng-say dengan tertawa.
"Kepada orang yang baru kenal kujaWab dengan ketus
bahwa aku suka mandi cara begitu, peduli apa dengan kau.
Dan kepada kenalan lama yang bertanya, kubilang memang
demikianlah kebiasaanku mandi dengan berbaju dalam,
hendaklah dia jangan heran."
Peng-say jadi geli dan tertawa ter-pingkal2.
Lo-kiat membiarkan anak muda itu tertawa sepuasnya,
ia merasa sejak meninggalnya Cin Yak-leng baru sekarang
dia tertawa gembira.
Sesudah kenyang tertawa, kemudian Peng-say bertanya:
"Sebabnya Jisuko bilang menyesal telah menceritakan
peristiwa di Ki-lian-san itu kepada Cui-bun Suheng, apakah
lantaran dia tidak mentaati sumpahnya dan membocorkan
kejadian itu kepada pihak ketiga?"
Lo-kiat menggeleng. katanya: "Bukan, Cui-bun memang
berhati tamak, meski bukan seorang Cutkeh-
leng yang bermoral tinggi, tapi dalam hal sumpah dia
dapat mematuhinya, setahuku. dia tidak membocorkan
rahasia tersebut."
Peng-say menjadi heran, katanya: "Kalau begitu mana
mungkin tersiar berita tentang Siang-liu-kiam nomor satu di
dunia?"
"Berita itu memang bocor dari mulut Cui-hun sekalipun
dia tidak menyiarkan kejadian seluruhnya," kata Lo-kiat.
"Begini kejadiannya, setelah kuberitahu apa yang terjadi di
Ki-lian-san itu, hari ke-tiga dia datang lagi mencariku di
Soh-kok-han dan mengajak pergi mencari Sau-susiok.
Karena resminya guru Cui-hun masih pernah Suhengnya
Sau-supek dan Suhu kita, maka Cui-hun menyebut Sausupek
sebagai Susiok. Kulihat dandanan Cui-hun memang
ada maksud menempuh perjalanan jauh untuk mencari Sausupek.
maka kutanya untuk apa dia ingin mencarinya?
- Cui-hun menjawab: 'Sau-susiok terluka parah, dia tentu
memerlukan orang melayani dia. Setelah kita temukan dia,
bolehlah kita menyembuhkan ia sekedar memenuhi
kewajiban kita seperti Sutit (mu- rid kemenakan).,
- Karena alasannya memang kuat. mau-tak-mau
kubenarkan. Dengan tertawa Cui-hun lantas berkata pula:
'Jika begitu, hayolah kita berangkat!'
_ Aku menggoyang tangan dan menjawab:'Tidak, aku
tidak berani, bila melihat diriku, bisa jadi Supek akan
membunuhku!'
- Kata Cui-hun: 'Ah, omong kosong, gurumu kan tidak
berselisih apapun dengan dia, masa dia membunuh orang
sesukanya? Pula sifat Sau-susiok terkenal ramah-tamah,
tidak nanti dia membenci gurumu hanya karena sedikit
persoal-an itu. Hayolah berangkat, bila kau tidak ikut, sukar
bagiku menemukan beliau.'
- Tapi apapun aku tidak mau, bila terbayang betapa
murka Supek sesudah terluka, jika teringat pedang kilatnya
yang sukar dibayangkan itu, aku menjadi ngeri dan tidak
berani ikut pergi. Dengan mendongkol Cui-hun lantas
berkata: 'Kau tidak mau ikut, kelak bila kudapatkan
keuntungannya jangan kau menyesal '
- 'Mendapat keuntungan apa?' tanyaku heran.
- Dengan tertawa Cui-hun menjawab: 'Kau tahu Sau-susiok
tidak puaya anak, meski ilmu sakti keluarga Sau itu hanya
diturunkan kepada anak tidak kepada murid. tapi kalau
tidak punya anak, kepada siapa akan dia turunkan ilmunya?
Pada umumnya setiap tokoh persilatan tentu tidak rela hasil
ciptaannya ikut terkubur dengan kematiannya, jika kita
melayani dia pada waktu dia ada kesukaran, mungkin dia
menjadi senang dan bisa jadi akan mengajarkan Siang-liukiam-
hoat kepada kita.'
- Dalam hati kutertawai jalan pikiran Cui-hun yang kekanak2an
itu, kataku: 'Bila ada keuntungannya biarlah kau
ambii sendiri saja, aku tidak berminat dan tidak mau ikut.
Kan tidak sulit jika kau ingin mencari Sau-supek, pergilah
Ke Ngo-tay-san saja, buat apa mengajak diriku?'
-Dengan suara keheranan Cui-hun berkata; 'Masa kau
tidak tahu bahwa sampai saat ini Sau-susiok belum pernah
pulang ke Leng-hiang-cay?'
- Tergerak pikiranku, segera kubayangkan tentu Supek
sudah meninggal, aku lantas bertanya: 'Dari siapa kau
dengar kabar ini?'
- Cui-hun menjawab: 'Karena Sau-susiok belum juga
pulang, bibi Sau pernah mencarinya ke Ki-lian-san dan
tiada hasilnya, lalu anak murid Bu-tong kami diminta
bantuannya agar ikut mencari. Berita ini kuperoleh dari
anak murid Bu-tong kami, kabarnya bibi Sau hendak datang
ke Huiciu sini untuk tanya apa yang terjadi dalam
pertemuan Ki-lian-san itu.'
- Kupikir hal ini tentu juga diketahui Suhu mungkin
kuatir aku memperlihatkan sesuatu tanda yang
mencurigakan, maka Suhu tidak bilang padaku dan waktu
Sau-pekbo datang juga tidak mempertemukan diriku
kepadanya. Hanya begini dugaanku kemudian waktu bibi
datang betul, Suhu telah menugaskanku keluar sehingga
aku benar2 tidak sempat bertemu dengan bibi.
- Maka kujawab: 'bila Supek tidak pulang ke Leng-hiangcay
kan sulit lagi mencarinya, mungkin Supek hanya
terluka parah dan tidak meninggal, jika kau ingin belajar
Siang-liu-kiam-hoat padanya, bolehlah kau mencarinya
sendiri. Meski dunia ini sangat luas, tapi asalkan punya
cita2, akhirnya pasti akan tercapai, Betul tidak?'
- Dia tahu aku menyindirnya, tapi dia tidak patah
semangat. sebaliknya menyatakan dengan tegas: 'Tidak sulit
untuk menemukan Sau-susiok, dia pasti berada disekitar Kilian-
san!'
- kutanya apa dasarnya? Dia menjawab: "Menurut
ceritamu, luka Sau-susiok sangat parah dan tidak pulang ke
Leng hiang-cay, ini membuktikan dia tak dapat berjalan
jauh, dan pasti masih tinggal disekitar Ki-lian-san'
- Kubilang alasannya itu cukup berdasar, tapi kutanya
pula kalau betul Sau-supek masih di Ki-lian-san, mengapa
bibi tidak dapat menemukannya. Tapi dia juga mempunyai
dasar analisanya sendiri, ia bilang bibi Sau tidak
mengetahui tempat di mana Su-ki bertemu, padahal luas Kilian-
san be-ribu2 li, dengan sendirinya sukar dicari.
sedangkan aku tahu persis tempat pertemuan itu. maka aku
diajak mencarinya mulai dari tempat pertemuan itu terus
menjalar ke tempat seputarnya, hasilnya pasti akan
memuaskan. Apa lagi bibi Sau tidak tahu apa yang terjadi
dalam pertemuan Ki-lian-san itu, dia hanya ingin mencari
suami, setelah gagal dia lantas turun gunung lagi. Berbeda
dengan kita, kalau kita mencari dengan sungguh2 pasti akan
dapat menemukannya.
- Begitulah dia masih terus memohon dengan sangat agar
aku membawanya ke Ki-lian-san dan aku tetap menolak,
jengekku: 'Nyata maksud tujuanmu tidak suci, jangankan
aku tidak berani kesana, andaikan berani juga takkan
kubawa kau kesana!'
- Dari malu dia menjadi gusar, ucapnya dengan
mendongkol 'Baik, jika kau tidak mau pergi, akan kuajak
belasan sahabatku yang lain, orang banyak tentu juga
mudah menemukannya.'
- Dari ucapannya itu kurasakan sebagai ancaman, dia seolah2
hendak menyatakan bila aku tidak mau pergi, dia
akan memberitahukan kejadian di Ki-lian-san kepada
kawannya agar ikut pergi mencari Supek. Aku terkesiap,
dengan gusar kubentak dia: 'Jadi kau hendak mengingkari
sumpahmu?'
- Dia mendengus dan tidak menjawab. Dengan gusar
kuperingatkan dia: 'Jika kau bertindak demikian dan
merusak nama baik guruku, jangankan guruku tidak
bakalan mengampuni kau, sekarang juga aku Kiau Lo-kiat
bisa membinasakan kau untuk menghapus saksi hidup!'
- Dia menyadari bukan tandinganku, maka tidak berani
lagi mengancam, katanya: 'Lo kiat, kita bukan teman baru,
kau cukup kenal pribadiku, masa aku ini manusia rendah
yang suka melanggar sumpah sendiri'
- Melihat cara bicaranya yang tegas dan simpatik aku
menjadi menyesal atas ucapan aku sendiri. kataku dengan
gegetun: 'Cui-hun, aku salah omong, kau pasti bukan
manusia begitu, kita adalah sahabat karib dapatlah kau
terima nasihatku? Ingatlah, ketamakan seorang seringkali
mendatangkan malapetaka, hendaklah dicamkan!'
- Tapi dia tidak mau terima nasihatku katanya; 'Aku
sudah bertekad akan mencarinya, jangan kuatirnya pasti
takkan terjadi apa2. Kepergianku ini hanya akan menolong
Susiok, masa bakal tertimpa malapetaka apa segala?'
- Dia tidak mengakui ketamakannya, maka akupun tidak
mencegah lebih lanjut, kutanya: 'Kau benar2 akan
mengajak ber-puluh orang kawanmu kesana?'
- Dia menjawab: 'Kau tidak mau ikut, terpaksa
kukerahkan orang sebanyak2nya dan tiada jalan lain.' - Aku
bertanya pula: Tanpa mendapat keuntungan, apa
kawan2mu itu mau ikut mencari tanpa tujuan?' - Kukuatir
dia melanggar sumpah, maka kuingin tahu cara bagaimana
dia membujuk kawannya agar membantunya mencari.
- Maka dia menerangkan: 'Aku cuma mengatakan di Kilian-
san ada kitab pusaka Siang-liu-kiam-hoat yang nomor
satu di dunia, maka mereka lantas tertarik. Tentunya kau
tahu, ucapan aku si Cui-hun Tojin kan cukup berbobot
diantara teman2 sendiri, tidak perlu kupropagandakan lagi
mereka pun percaya penuh adanya Siang-liu-kiam-hoat
nomor satu di dunia Nah, kan beres segala urusannya!'
- Dia adalah murid kesayangan Tong-thian Supek, murid
tertua Ciangbunjin Bu-tong sekarang, kelak dia yang akan
mewarisi jabatan ketua itu, dengan sendirinya ucapannya
cukup berbobot dan dipercaya. Maka akupun tidak kuatir
lagi dia akan melanggar sumpahnya. Hanya pada waktu dia
akan berangkat, pada kesempatan terakhir masih kunasihati
dia agar jangan buang2 tenaga dan pikiran percuma,
kataku: 'Besar kemungkinan Supek sudah meninggal, apa
gunanya andaikan kau dapat menemukan jenasahnya?'
- Dia tertawa dan berkata: 'Kalau kudapat mengubur
jenazah kaum Cianpwe, kan juga perbuatan baik? Selain
itu, jelas aku takkan sia2. umpama Sau-susiok sudah
meninggal, dari jenazahnya kan dapat kutemukan Siang-liukiam-
boh!'
- Aku menjadi gusar dan mendamperat perbuatan bajik
apa, tujuanmu tidak baik, kau berani menggeledah jenazah
Sau-susiok. dosamu akan mendapat ganjaran setimpal.'
- Cui-hun hanya tertawa dan menjawab: 'Bertujuan tidak
baik bagaimana? Kan justeru aku yang akan
mengembangkan ilmu pedang ciptaannya, bilamana Susiok
tahu di alam baka, dia tentu akan terhibur dan bergembira.'
- Aku menggeleng, terpaksa berkata: Baiklah. terserah
padamu. Semoga kau dapat menemukan Sau-susiok yang
masih hidup dan layani dia dengan baik agar beliau
mengajarkan Siang-liu-kiam padamu. Cuma jangan kau
terburu napsu sehingga diketahui Supek bahwa
kedatanganmu itu hanya hendak mengincar ilmu silatnya,
jika demikian jadinya, hm. biar kau rasakan betapa lihaynya
Siang-liu-kiam.'
- Dia ter-bahak2. katanya; 'Jangan kuatir biar kulayani
dia sepuluh atau dua puluh tahun juga takkan terjadi apa2 '
- Ketika hampir berpisah, dengan kuatir kutanya pula:
'Kawanmu yang akan kau ajak turut serta itu apakah dapat
dipercaya?'
- Dengan penuh keyakinan dia berkata: 'Mereka juga
sahabat karibku, tiada ubahnya seperti dirimu,'
- Aku menggeleng dan berkala pula: 'Manusia mati
karena harta, burung mati karena pangan. Di mata orang
persilatan seperti kita ini, ilmu sakti jauh lebih berharga
daripada harta benda apapun, hendaklah kau waspada
terhadap hati orang yang mudah berubah.'
- Dia tertawa dan tidak mengacuhkan pesanku itu dan
berangkat dengan penuh keyakinan, tapi sejak itu dia tidak
pernah kembali, seperti halnya Supek, laksana batu
tenggelam dilautan "
Sesudah merandek sejenak, kemudian Lo-kiat
menyambung pula dengan gegetun: "Yang menghilang
bersama dia seluruhnya ada belasan anak murid perguruan
ternama, ada juga satu-dua diantaranya yang tidak punya
reputasi baik didunia Kangouw, mungkin Cui-hun hanya
pikir mereka adalah sahabat karibnya dan tidak pedulikan
bagaimana nama baik mereka. Belasan anak murid
perguruan ternama itu bersama Cui-hun lantas menghilang
sejak musim dingin itu, tapi melalui mulut mereka di dunia
Kangouw lantas tersiar semboyan 'Siang-liu-kiam nomor
satu di dunia', maka ber-bondong2 orang sama berusaha
mencari, tapi siapa pun tidak tahu mencarinya di Ki-liansan,
mungkin belasan teman Cui-hun itu waktu berangkat
hanya pamit kepada sanak keluarganya akan pergi mencari
Siang-liu-kiam-boh, tapi tiada seorangpun yang mengatakan
tempat yang akan mereka datangi, rupanya mereka pun
kuatir orang lain akan menguntit mereka sehingga terjadi
perebutan cari pusaka. Hilangnya Cui-hun juga
menggemparkan Bu-tong-pay, Tong-thian Supek juga
memerintahkan anak muridnya mencarinya. tapi tidak
berhasil. Waktu Cui-hun berangkat, kepada gurunya dia
hanya pamit akan berkelana di dunia Kangouw, maka
Tong-thian Supek mengira murid kesayangannya itu
mungkin terbunuh oleh musuh ketika mengembara.
Akupun berpendapat tiada harapan hidup bagi Cui-hun.
menurut perkiraanku, dia dan belasan temannya itu telah
mengalami dua kemungkinan. Pertama, mereka berhasil
menemukan jenazah Supek dan menemukan Siang-liukiam-
boh. tapi lantaran masing2 sama mau memilikinya
sendiri, akhirnya terjadi pertempuran diantara mereka
sendiri dan semuanya gugur.
- Kemungkinan lain adalah mereka berhasil menemukan
Supek yang masih hidup, Supek terluka parah, mungkin
sukar terhindar dari cacat badan, lalu Cui-hun pura2
melayani beliau dengan harapan Supek akan menyerahkan
Siang-liu-kiam-boh padanya. Dia sabar menunggu, tapi
kawannya yang tidak sabar, mungkin mereka mengira
Supek sudah cacat dan tidak perlu ditakuti lagi. maka Cuihun
dibujuk agar ber-sama2 memaksa Supek menyerahkan
Siang-liu-kiam-boh. Mereka tidak tahu terluka parah Supek
masih sanggup memainkan ilmu pedangnya yang sakti dan
menulis didadaku, biarpun sudah cacat. hanya beberapa
kaum muda masa terpandang olehnya? Jadi kemungkinan
kedua itu adalah Cui-hun dan belasan kawannya itu telah
dibunuh seluruhnya oleh Supek. Bisa jadi pula Cui-hun
berhati jujur dan berbuat luhur, ia tidak mau dihasut oleh
kawan2nya.dan tetap membela Supek, akhirnya dia gugur
bersama musuh. Bilamana demikian kematiannya masih
cukup berharga dan kudu dipuji.
- Cuma, betapapun caranya dia mati, semua itu adalah
gara2ku, aku menyesal telah menceritakan kejadian di Kilian-
san itu, apabila aku berkeras tidak bicara, tidak nanti
timbul keserakahannya akan memiliki ilmu pedang nomor
satu di dunia itu. Maka aku bersumpah takkan bicara lagi
kepada orang kedua, biarpun orang itu adalah sahabatku
yang paling karib. Tapi kau berbeda dengan orang lain, apa
yang terjadi itu adalah urusan keluarga Sau kalian, kau
harus diberitahu. Pula kau memang sudah memiliki
setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat, aku harus lebih
menjelaskan padamu bahwa Siang-liu-kiam memang
benar2 ilmu pedang nomor satu di dunia. Harus kudorong
kau, kurangsang kau, supaya timbul hasratmu untuk
mencari lagi setengah bagian yang lain dari pada ilmu
pedang itu."
Biarpun didorong dan dirangsang, tampaknya tiada
gunanya sama sekali, sebab Sau Peng-say tidak menanggapi
ucapan Kiau Lo-kiat itu dan bicara tentang setengah bagian
Siang-liu-kiam-hoat yang lain, tapi ia malah bertanva:
"Setelah berita Sang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia itu
tersiar luas dan didengar ayan, apakah beliau tidak
mengusut darimana timbulnya isyu itu?"
"Tidak," jawab Lo-kiat. "Mungkin Suhu kira murid Pakcay
hendak mengangkat tinggi nama baik Pak-cay dan
sengaja menyebarkan semboyan tersebut. Sama sekali
beliau tidak menyangka bahwa berita itu berasal dari Cuihun
setelah dia melihat tulisan didadaku. Mengenai
hilangnya Cui-hun, hal ini tidak kulaporkan kepada Suhu,
lebih2 tidak berani kuberitahukan kepada Tong-thian
Supek, Kukuatir, bilamana kukatakan kepada Tong-thian
Supek, jangan2 beliau tak dapat memaklumi duduknya
perkara, tentu aku akan didamperat dan dihukum oleh
Suhu. Sebab itulah, sampai saat ini kecuali kepadamu, tidak
pernah lagi kukatakan kepada orang kedua."
"Jika demikian, jadi tetap tiada orang tahu darimana
awal-mulanya berita tentang Siang-liu-kiam nomor satu di
dunia itu?"
Lo-kiat menggangguk, katanya: "Ya, tak mungkin ada
orang tahu, kalau tidak. dengan hilangnya Cui-hun tentu
tidak sukar. bagi anak murid Bu-tong untuk menyelidkinya,
padahal Tong-thian Supek sampai saat ini belum tahu lagi
sebab apa murid kesayangannya itu hilang tanpa bekas, hal
ini membuktikan kepergian Cui-hun bersama belasan
kawannya itu benar2 dirahasiakan, yang diberitahu hanya
sanak-keluarganya bahwa mereka pergi mencari Siang-liukiam-
hoat yang nomor satu di dunia, kemudian hanya
berita ini saja yang tersiar melalui mulut anggota keluarg
mereka itu. Hendaklah maklum bahwa sahabat2 Cui-hun
yang ikut hilang itu semuanya adalah tokoh ternama dan
berkedudukan di dunia persilatan, berita yang tersiar dari
anggota keluarga mereka itu meski tanpa bukti mereka
cukup untuk dipercaya oleh orang Bu-lim. Sebab itulah
orang2 lantas ikut mencarinya secara membabi-buta,
seketika dunia persilatan menjadi gempar, sampai sekarang
sudah likuran tahun, tapi banyak yang belum lupa pada
Siang-liu-kiam-hoat yang nomor satu di dunia dan diam2
masih berusaha mencarinya."
"Ji-suko, diantara tokoh2 yang ikut hilang bersama Cuihun
itu apakah juga terdapat kenalanmu?" tanya Peng-say.
"Sahabat Cui-hun itu kebanyakan memang kukenal.
delapan diantara 12 orang yang ikut hilang itu kukenal, keempat
orang lainnya tidak kukenal, tapi kemudian akupun
tahu siapa mereka itu,"
"Adakah diantaranya termasuk guruku, Tio Tay-peng?"
tanya Peng-say pula,
Lo-kiat mengeleng, jawabnya: "Tidak ada, makanya
begitu mendengar nama gurumu, seketika aku sangat heran,
sama sekali tiada maksudku memandang rendah gurumu.
Sebab kupikir bilamana gurumu mendapatkan setengah
bagian Siang-liu-kiam-boh, seharusnys dia adalah satu
diantara ke- 12 orang yang ikut hilang bersama Cui-hun itu,
kalau tidak, manabisa dia pergi ke Ki-lian-san dan
menamukan setengah jilid Siang-liu-kiam-boh itu?
Mengenai gurunya Soat Koh, kan kita tidak tahu namanya.
maka menurut perkiraanku, jika dia bukan Cui-hun sendiri
pasti satu diantara ke-12 kawannya itu."
”Tapi guru Soat Koh adalah seorang perempuan
setengah baya dan berlengan satu," tutur Peng-say.
"Perempuan? Wah, kalau begitu urusan ini jadi tambah
aneh!"
"Anakah diantara ke-12 orang yang hilang itu tiada
terdapat orang perempuan?"
"Ya," jawab Lo-kiat sambil mengangguk. "Sungguh
aneh. siapa pula gerangannya?"
"Ji-suko," kata Peng-say, "coba, apakah kau kira dugaan
ibu Kim-leng betul atau tidak? Menurut ibunya, belasan
orang yang hilang itu telah mengerubut dan membunuh
Toapek dan merampas kitab ilmu pedangnya, tapi
mendadak muncul pula seorang yang lebih lihay, Kiam-boh
direbut dan orang2 itupun dibunuhnya, sebab itulah tiada
seorang pun yang pulang dengan hidup. Lantaran orang
yang membunuh mereka itu tidak termasuk diantara
rombongan Cui-hun, maka betapapun bibi menyelidikinya
tetap tak dapat mengetahui siapakah dia."
Lo-kiat menggeleng, katanya: "Perkiraan bibi itu kukira
tidak sesuai dengan keadaannya, sebab kepergian Cui-hun
dan rombongannya itu sangat dirahasiakan, tidak nanti ada
orang menguntit dan mencegat mereka untuk merampas
Siang-liu-kiam-boh yang berhasil mereka temukan itu Jika
kepergok secara kebetulan, darimana pula diketahui mereka
memegang kitab pusaka itu?"
"Tapi menurut penuturan Kim-leng, bibi memperkirakan
orang yang muncul mendadak itu pun ikut bantu belasan
orang yang hilang itu mengerubuti Toapek Jika betul terjadi
demikian, dengan sendirinya orang itu akan mendapatkan
manfaatnya, maka dia mau membantu mereka."
"Cap-itsute, menurut pendapatmu, bagaimana ilmu silat
gurumu?" tanya Lo-kiat.
"Lima tahun kubelajar ikut guruku, selama itu guruku
hanya mengajarkan setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat,
ilmu silat lainnya tiada yang diajarkan padaku. Pernah
kutanya kepada beliau mengapa tidak mengajarkan
Lwekang atau Kongfu lain, tapi beliau menjawab, selain
Coh-pi-kiam-hoat ini, Kungfu lain Suhu tidak berani
mengajarkan padaku."
Lo-kiat meng-angguk2, katanya: "Ya, tampaknya
gurumu memang cukup tahu diri, jelas lantaran ilmu
silatnya yang lain tidak tinggi, makanya bilang tidak berani
diajarkan padamu Jika demikian, jelaslah gurumu bukanlah
tokoh persilatan kelas tinggi. Coba pikir, mungkinkah
terjadi Cui-hun dan kawan2nya meminta bantuan gurumu
agar ber-sama2 membunuh Supek? Tidak, pasti tidak
mungkin, Cui-hun dan kawan2nya pasti tidak suka usaha
mereka dimasuki orang luar. Gurumu juga tidak mungkin
sekaligus membunuh Cui-hun dan kawan2nya, biarpun
dibantu guru Soat Koh juga tidak mungkin terjadi.
Berdasarkan ini kubilang perkiraan bibi itu pasti keliru,
malahan berani kukatakan salah seorang Su-ki juga tidak
mampu membunuh Cui-hun dan kawas2nya sekaligus serta
merampas Siang-liu-kiam-boh dari tangan mereka."
Walaupun sikap dan ucapan Kiau Lo-kiat tiada tanda2
menghina Tio Tay-peng, tapi jelas sangat merendahkan
ilmu silat Tio Tay-peng, hal ini membuat Peng-say rada
kurang senang, ia berkata: "Tapi kenyataannya guruku dan
guru Soat Koh masing2 mendapatkan setengah bagian
Siang-liu-kiam-boh."
Ucapannya ini se-olah2 hendak membantah uraian Kiau
Lo-kiat tadi dan ingin bertanya pula cara bagaimana Ji-suko
itu akan memberi alasannya,
Sudah tentu Peng-say tidak mengharapkan gurunya
adalah si pembunuhnya, tapi kini demi kehormatan sang
guru, ia malah berharap Kiau Lo-kiat akan menyatakan
besar kemungkinan gurunya yang membunuh Cui-hun dan
rombongannya.
Lo-kiat tidak dapat menyelami jalan pikiran Sau Pengsay
sebagai murid orang, dia hanya menggeleng dan
berkata; "Ya, memang hal ini membuat bingung juga
padaku. Jika gurumu ada kemungkinan membunuh Cuihun
dan rombongannya, namun hal ini mana mungkin,
manabisa jadi?"
Peng-say tambah mendongkol karena Lo-kiat tidak
menghormati Kungfu Tio Tay-peng, tanpa pikir ia berseru:
"Tapi ilmu silat lain guruku juga belum tentu di bawah Suki."
Lo-kiat memandang Peng-say sekejap, melihat wajah
anak muda itu merah padam, ia tahu Sutenya ini rada
emosi, cepat ia berkata: "Jika demikian halnya, tentu besar
kemungkinan gurumu mampu membunuh mereka."
Tapi nadanya kurang meyakinkan, hal ini terdengar
dengan jelas.
Tentu saja Peng-say tambah kheki, katanya: "Ji-suko
tentu mencemoohkan diriku, apabila kepandaian guruku
memang hebat, mengapa tidak diajarkan padaku, begitu
bukan?"
"Cap-itsute," kata Lo-kiat dengan sungguh2, "antara kita
sebaiknya jangan sampai cekcok hanya karena soal sepele
ini. Memangnya kau merasa kepandaian gurumu yang lain
ada kemungkinan di atas Su-ki? Ingat, kita sekarang sedang
menyelidiki kejadian yang sebenarnya. Seyogianya kau
mesti bantu gurumu melepaskan diri dari tuduhan sebagai
pembunuh Toapekmu. Memangnya kau malah berharap
gurumu adalah seorang pembunuh yang kejam?"
Ucapan ini seperti kemplengan keras yang tepat
mengenai kepala Peng-say, anak muda itu terkesiap dan
berkeringat dingin, cepat2 ia menggeleng dan berkata:
"Sudah tentu tidak, Ji-suko, tidak nanti kuharapkan begitu.
Memang aku yang salah omong,"
"Baik, sekarang kau sudah sadar dan bolehlah kita bicara
dengan kepala dingin," ujar Lo-kiat dengan tertawa.
"Sudah tentu kungfu guruku tidak mungkin diatas Su-ki,
buktinya beliau malu untuk mengajarkan kepandaiannya
kepadaku," kata Peng-say dengan gegetun.
"Meski kukatakan salah seorang Su-ki juga tidak dapat
membunuh Cui-hun dan kawannya, maksudku bukan harus
orang yang berkepandaian lebih tinggi diripada Su-ki baru
dapat melakukannya. Sebab mampu tidak melulu
mengandalkan kekuatan. tapi juga perlu pakai otak, pakai
kecerdasan, asalkan dapat menggunakan akal untuk
menutupi kekurangan ilmu silatnya, maka orang
demikianpun harus disegani. Namun minimal ilmu silatnya
juga harus lebih tinggi daripada salah seorang rombongan
Cui-hun itu. Mungkin gurumu memang cerdik dan banyak
akalnya, tapi entah bagaimana ilmu silatnya."
"Akupun tidak jelas, selain ilmu pedang kiri itu belum
pernah kulihat guruku memainkan Kungfu lain, mungkin
beliau mengira aku menjadi bosan karena setiap hari hanya
berlatih pedang kiri yang begitu2 saja, pernah beliau berkata
padaku bahwa bukan dia sengaja tak mengajarkan ilmu silat
lain padaku, soalnya dasar Lwekangku sudah cukup
kupelajari sendiri selama hidup."
"O. jangan2 dia mengetahui dasar Lwekangmu berasal
dari Bu-tong?" tanya Lo-kiat.
Peng-say mengiakan.
"Ucapan gurumu memang betul." kata Lo-kiat pula.
"Jangan kau kira isi Siang-cing-pit-lok itu tiada sesuatu yang
istimewa, padahal bila benar2 kau latih dengan baik sesuai
isinya, maka gerakanmu saja sudah cukup mengejutkan
orang. Namun tidaklah mudab untuk meyakinkan semacam
kungfu dengan sempurna.Memang isi Siang-cing-pit-lok itu
cukup mengasyikkan untuk dipelajari selama hidup."
"Guruku juga berkata padaku apa sebabnya ibuku tidak
mengajarkan ilmu silat perguruannya sendiri, tapi
menyuruh kubelajar Kungfu Bu-tong-pay, soalnya ibu tahu
ilmu silatnya sendiri tidak dapat dibandingkan dengan
Lwekang Bu-tong-pay yang hebat. Jalan pikiran guruku
ternyata sesuai dengan ibu, kukira inilah alasannya
mengapa sejauh itu guruku tidak mengajarkan ilmu silat
lain padaku."
"Gurumu kenal pada ibumu?" tanya Lo-kiat.
"Beliau mengaku kenal, tapi menurut pandanganku,
agaknya tidak benar."
"Mengapa bisa begitu?"
"Waktu beliau melihat kubawa satu mutiara, beliau
lantas mengaku kenal . . . ,"
"Mutiara? Apakah Pi-tun-cu?" tukas Lo-kiat.
-oo0dw0ooo-
Jilid 25
Peng-say mengeluarkan mutiaranya yang berwarna
merah itu dan berkata: "Aku pun tidak tahu apakah
namanya Pi-tun-cu atau bukan.Mutiara ini adalah satu2nya
barang tinggalan ibu. Karena kenal barang ini guruku lantas
bilang kenal ibuku. Tapi dia telah salah menyebut nama
ibu, sebab itulah kuragukan dia benar2 kenal ibu. Baru
sekarang kutahu babwa dia memang salah sangka Sebab
Waktu itu dia bilang ibuku bernama Soat Ciau-hoa,
padahal menurut keteranganmu, Soat Ciau-hoa adalah
bibiku, tidak tahu, maka mungkin dia salah sangka bibi
sebagai ibuku."
Sambil memandang Pi-tun-cu yang dipegang Peng-say,
Lo-kiat berkata: "Mutiara ini memang benar Pi-tun-cu
(mutiara anti kotoran), asalnya barang ini ada sepasang dan
menjadi pusaka Bu-tong-pay. Satu biji diantaranya berada
pada keluarga ayahmu, mungkin beliau memberikannya
sebagai tanda mata kepada ibumu, sekarang mutiara ini
kembali lagi berada padamu, hendaklah kau simpan dengan
baik2 dan jangan sampai hilang.Mutiara yang lain biasanya
dipegang oleh ketua Bu-tong-pay setiap angkatan. jadi
seharusnya disimpan Tong-thian Supek, karena Cui-hun
dipandang sebagai ahli warisnya, maka mutiara itu pun
diwariskan kepada Cui hun."
"Oo, jadi Cui-hun juga memegang sebiji Pi-tun-cu?"
Peng-say menegas.
"Ya," jawab Lo-kiat. "Karena Cui-hun hilang, dengan
sendirinya mutiara itupun ikut bilang. Tong- thian Supek
sampai sekarang masih berusaha mencari mutiara itu,
bilamana mutiara itu diketemukan tentu tidak sulit untuk
menemukan jejak Cui-bun."
Kini Peng-say dapat menyelami sesuatu hal, dengan
terkesiap dan gegetun ia berkata: "Sekarang kutahu
siapakah guru Soat Koh, dia tak lain tak bukan ialah
bibiku."
"Ya, memang besar kemungkinannya," Lo-kiat
mengangguk setuju.
"Kuyakin pasti betul," ucap Peng-say tegas. "Guruku dan
bibi ber-sama2 telah membunuh Cui-hun dan
rombongannya sehingga masing2 mendapatkan setengah
bagian Siang-liu-kiam-boh, selain itu bibi juga menemukan
Pi-tun-cu yang dibawa Cui-hun."
Teringat kepada Siang-liu-kiam-boh yang diperoleh
gurunya dengan secara tidak halal itu, Peng-say menjadi
sedih dan malu, ucapnya sambil menggeleng: "Aku tidak
percaya, sungguh aku tidak percaya bahwa Suhu .... beliau
adalah seorang kejam. ..."
Betapapun murid tidak pantas mencela sang guru, maka
Peng-say tidak melanjutkan ucapannya, ia mendekap
mukanya dan sangat berduka.
Lo-kiat berusaha menghiburnya: "Cap-itsute, belum
tentu gurumu itu orang jahat, jika lantaran gurumu
mendapatkan Siang-liu-kiam-boh dengan cara keji, jelas ia
seorang yang sangat mementingkan diri sendiri, mana bisa
dia membagi setengah kitab pusaka itu kepada bibimu?
Bagaimana bisa pula dia mengajarkan Siang-liu-kiam-hoat
yang diperolehnya dengan susah payah itu kepadamu?"
Peng-say menurunkan kedua tangannya, katanya dengan
bimbang: "Kupikir sebabnya Suhu mengajarkan Pedang
Kiri padaku adalah karena salah sangka aku adalah
anaknya sehingga selama ini dia tetap menyangka ilmu
pedangnya yang diperolehnya dengan susah payah ini telah
diajarkan kepada anaknya sendiri."
"Hal ini mana .... mana mungkin?" ujar Lo-kiat.
"Kuyakin hubungan guruku dengan bibi pasti luar biasa,
kalau tidak untuk apa dia sengaja membawaku ke
tempatnya untuk belajar Pedang kirinya? Sebabnya adalah
karena anak bibi pasti juga anaknya. Ketika dia melihat
kubawa Pi-tun-cu, mukaku juga mirip bibi, maka dia lantas
saiah sangka pada diriku. Kau tahu, selama lima tahun, aku
diperlakukannya seperti arak kandungnya."
Lalu ia menceritakan apa yang terjadi di rumah Beng
Eng-kiat di Pakkhia dahulu, kemudian ia bertanya: "Kalau
guruku sudah ada peraturan, melulu mengajarkan ilmu
pedang satu tangan, padahal ilmu pedangnya sebenarnya
harus dimainkan dengan dua pedang, mengapa dia tidak
membuntungi sebelah tanganku seperti dia sendiri, tapi aku
hanya disuruh mengikat lengan kanan untuk belajar Pedang
Kiri?"
"Ya, manusia manapun juga tentu tidak menghendaki
anaknya sendiri cacat badan seperti ayahnya," kata Lo-kiat
dengan gegetun. "Jika menurut ceritamu ini, memang betul
gurumu telah salah sangka kau sebagai anaknya."
"Dan entah anak guruku itu sekarang masih hidup di
dunia ini atau tidak, bilamana dia masih hidup di dunia ini.
tentu akan kuajarkan Pedang Kiri ini kepadanya, sebab
ilmu pedang ini adalah haknya, tapi telah kudapatkan.
Bahwa aku dapat belajar ilmu Pedang Kiri ini
sesungguhnya adalah berkat dia."
Lo-kiat menjadi sangsi, tanyanya kemudian: "Masa
selama berkumpul lima tahun sama sekali gurumu tidak
menemukan sesuatu yang tidak cocok atas dirimu?"
"Selama lima tahun, Suhu tidak pernah bercerita tentang
hubungannya dengan bibi dimasa lalu dia
membicarakannya denganku ada kemungkinan dia akan
menemukan kekeliruannya sendiri. Bisa jadi dia merasa
bersalah kepada bibi, maka sama sekali tidak mengungkit
urusan di masa lampau."
"Darimana kau tahu gurumu bersalah terhadap bibimu?"
tanya Lo-kiat.
"Soat Koh yang bilang Katanya, seorang she Tio yang
berbuat keji telah memapas buntung sebelah lengan
gurunya, dan orang keji yang dimaksudkannya ialah
guruku."
”Dan mengapa gurumu sendiri juga buntung sebelah
lengannya?"
"Menurut cerita Soat Koh orang she Tio juga tidak
mendapatkan keuntungan, sebab kemudian lengan
kanannya juga dibuntungi gurunya. Sangat kebetulan juga,
guruku buntung lengan kanan dan mendapatkan Siang-liukiam-
boh bigian kiri, sedangkan bibiku buntung lengan kiri
dan mendapatkan Kiam-boh bagian kanan. Tidak jelas apa
sebabnya guruku justeru membuntungi lengan kiri bibi dan
tidak menabas tangan kanannya?"
"Alasan ini tidak kuat untuk dijelaskan," ujar Lo-kiat.
"Sebab keluarga Soat dari Say-pak terkenal mahir
memainkan pedang tangan kiri, kalau gurumu ingin
mencaplok sendiri Siang-liu-kiam-boh, dengan sendirinya
harus menabas lengan kiri bibimu, supaya dia tidak mampu
menggunakan pedang dan berebut kitab lagi dengan
gurumu."
"Ai, hanya karena sejilid kitab ilmu pedang, kedua
kekasih harus saling membikin cacat. sungguh tidak
berharga untuk berbuat demikian!" ucap Peng-say dengan
menghela napas menyesal.
Lo-kiat masih juga sangsi, ia bertanya pula: "Bahwa
gurumu merasa berdosa terhadap bibimu sehingga selama
lima tahun dia tidak berani mengaku terus terang kau ini
anaknya, alasan ini memang dapat diterima. Tapi ada satu
hal agak ganjil, seharusnya dia bertanya dimana beradanya
Siang-liu-kiam-boh bagian kanan. Kau katakan ibumu
sudah meninggal, dia menyangka bibimu yang sudah
meninggal, seyogianya bilamana bibimu meninggal tentu
akan mewariskan Kiam-boh kepada anaknya sendiri. Masa
dia sama sekali tidak curiga ketika mengetahui Kiam-boh
yang dimaksud tidak berada padamu?"
"Hakikatrya guruku tidak tahu Siang-liu-kiam-boh itu
terdiri dari dua jilid," tutur Peng-say. "Menurut cerita Soat
Koh, sebelumnya bibi, yaitu guru Soat Koh, telah
menyimpan salah satu jilid kitab itu didalam baju sendiri,
lalu berlagak membaca jilid yang lain. Karena jang dipikir
guruku hanya merebut kitab yang sedang dibacanya, dia
tidak menyangka kalau bibi sudah menyembunyikan jilid
yang lain, disangkanya kitab yang direbutnya itu adalah
Siang-liu-kiam-boh yang lengkap."
"Inilah yang tidak kupahami," ujar Lo-kiat sambil
menggeleng. "Masa bibimu menyembunyikan sebagian
Kiam-boh itu dan gurumu tidak tahu? Memangnya mereka
mencegat Cui-hun dari dua jurusan sehingga bibimu
berhasil menemukan dulu Siang-liu-kiam-boh?"
"Bisa jadi begitulah. maka ketika guruku selesai
membereskan lawannya dan mendekati bibi. dilihatnya bibi
sedang membaca kitab pusaka itu, segera timbul
maksudnya ingin mencaplok sendiri kitab itu, maka secara
keji ia menabas lengan kiri bibi."
Lo-kiat coba merenungkan apa yang mungkin terjadi,
katanya kemudian sambil menggeleng: "Suasana perebutan
kitab di waktu itu sungguh sukar untuk dibayangkan. 13
murid dari perguruan ternama, semuanya jago kelas satu,
mana bisa seluruhnya terjungkal di tangan guru dan
bibimu? Kupikir kejadian ini pasti tidak sedemikian
sederhana, tentu masih ada sebab musabab lain."
"Ilmu silat guruku mungkin tidak tinggi, tapi bibi adalah
adik perempuan Say-pay-beng-to, ilmu silatnya pasti tidak
lemah, apakah kekuatan mereka tidak cukup untuk
mengalahkan Cui-bun dan rombongannya?"
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Semi Biru ABG Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 3 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Semi Biru ABG Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-semi-biru-abg-binal-pedang-kiri.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Semi Biru ABG Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Semi Biru ABG Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Semi Biru ABG Binal : Pedang Kiri Pedang Kanan 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-semi-biru-abg-binal-pedang-kiri.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 2 komentar... read them below or add one }

hendri prastio mengatakan...

artikelnya bagus sekali sob,,menambah pengetahuan dan wawasan.. terima kasih banyak atas sharenya..semoga selalu menciptakan karya" terbaiknya,,,dan ditunggu UPDATEan terbarunya sob,,,pokoknya mantap deh! keren buat blog ente ! dan saya mohon dukungannya sob buat lomba kontes SEO berikut:
Ekiosku.com Jual Beli Online Aman Menyenangkan
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia
terima kasih atas dukungannya sob,, saya doakan semoga ente selalu mendapatkan kebaikan,, dan terus sukses!! amin hehe sekali lagi terima kasih banyak ya sob...thaks you verry much...

Cara Cepat Sembuhkan Luka Operasi mengatakan...

semangat pagi gan, memburu backlink hehehe

Posting Komentar