Cerita Sangat Lucu Banget Silat : Bloon Cari Jodoh 4 [Karya SD Liong]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 03 Agustus 2012

Cerita Sangat Lucu Banget Silat : Bloon Cari Jodoh 4 [Karya SD Liong]-Cerita Sangat Lucu Banget Silat : Bloon Cari Jodoh 4 [Karya SD Liong]-Cerita Sangat Lucu Banget Silat : Bloon Cari Jodoh 4 [Karya SD Liong]-Cerita Sangat Lucu Banget Silat : Bloon Cari Jodoh 4 [Karya SD Liong]

Uk Uk makin marah. Dia hendak menghatam Ui Bin
tetapi saat itu Sian Li sudah menghadangnya, "Berhenti
dulu, Uk Uk.”
"Mengapa !" seru Uk Uk, "Engkau salah faham," kata
Sian Li," siangjin ini bukan musuh kita. Yang harus engkau
serang adalah orang tadi !"
"Ma . . . mana dia !" teriak Uk Uk.
"Dia sudah lari masuk kedalam barisannya!
"Kejar……!" Uk Uk terus hendak lari tetapi dihadang
Sian Li," jangan Uk. Berbahaya menerjang barisan
mereka,"
Ternyata saat itu Ko Cay Seng memang sudah
menyelundup kedalam pasukan Ceng. Sedang pasukan
Cengpun bergerak mundur. Pasukan Beng hendak mengejar
tetapi terpaksa mundur karena musuh melepaskan hujan
panah.
Karena Lo Kun masih berdiri diam dan Lo san siangjin
juga tegak sambil pejamkan mata terpaksa Sian Li dan
kawan-kawannya tak dapat melakukan pengejaran. Mereka
menjaga kedua tokoh tua itu. Sementara pasukan Bengpun
berhenti disitu untuk menjaga keselamatan jago2 itu.
Lo Kun juga minum buah Cian-lian-hay-te som (buah
som dari dasar laut yang berumur seribu tahun) begitu juga
gemar minum arak yang di rendam darah, hati dan kumis
macan hitam. Tenaga-dalamnya memang luar biasa, Maka
lengannya tertutuk pit-besi Ko Cay Seng dalam sekejab
waktu saja, dia sudah dapat menggerakkan lengannya lagi
sehingga Ko Cay Seng terkejut. Tapi karena dia tak tahu
akan permainan thiat-pit yang lihay, akhirnya lambungnya
kena tertutuk lagi. seketika tubuhnya seperti kaku tak dapat
digerakan. Itulah sebabnya dia berdiri diam seperti patung.
Untunglah berkat tenaga-dalamnya yang tinggi, dalam
waktu yang tak lama, dia sudah sembuh.
Demikian pula dengan Lo-san siangjin. Sebenarnya ilmu
tenaga dalam pertapa gunung Lo-san sangat tinggi, Tetapi
karena dia kena diselomoti Ko Cay Seng sehingga harus
beberapa kali menerima pukulan dahsyat dari Ko Cay Seng
dan Uk Uk, maka tenaga-murninyapun banyak
menghambur keluar. Terakhir, ketika ia merentang tangan
kearah Ko Cay Seng dan Uk Uk, Ko Cay Seng dengan
sebat telah menutukkan pit bajanya kearah jalandarah Jioktihiat
pada ruas lengannya sehingga petapa itu berdiri tegak
tak dapat bergerak. Setelah beberapa waktu menyalurkan
tenaga - dalam, akhirnya dapatlah ia menembus lagi
jalandarahnya yang tertutuk itu.
"Maaf, toiiang." kata Sian Li, "kami telah menduga
buruk kepada totiang,"
Ternyata Sian Li sempat memperhatikan gerak gerik Losan
siangjin dan Ui Bin. Ia mendengar jelas bagaimana Losan
siangjin dan Ui Bin mengatakan tak kenal pada Ko Cay
Seng tetapi Ko Cay Seng tetap mengaku kenal. Andaikata
tadi kakek Lo Kun tak tergesa turun tangan, tentulah kedok
Ko Cay Seng dapat dilucuti. Juga terakhir waktu Lo-san
siangjin berhadapan dan berbicara dengan Ko Cay Seng,
Sian Li tahu kalau siangjin iu tak mempunyai hubungan
suatu apa. Tetapi karena Uk Uk menyerang, Lo-san siangjin
telah menjadi korban kelicikan Ko Cay Seng.
"Ah, tak apa li-sicu," kata Lo-san siangjin yang terkenal
sabar," memang sejak semula aku mengatakan kalau tak
kenal dengan pasukan Ceng dan tak tahu tentang hilangnya
putera jenderal Lau."
"Ya, tetapi jenderal Lau mendapat laporan dari
prajuritnya sehingga jenderal itu menyuruh kami kemari,"
kata Sian Li.
Lo san sianjin geleng2 kepala, "Ah, musuh memang
pandai sekali mengatur siasat. Ya, sekarang aku makin
yakin mengapa fihak Ceng melakukan hal ini."
"O, apakah orang Ceng pernah datang ke Lo-san?" tanya
Sian Li.
Lo-san siangjin mengangguk, "Pendirian kami selama
ini, memang tak mau bekerja pada kerjaan Ceng. Beberapa
waktu yang lalu, pernah datang kepadaku seorang kaki
tangan kerajaan Ceng. Dia menawarkan kerjasama dengan
Lo-san. Kalau Lo-san mau membantu usaha kerajaan Ceng,
kelak kerajaan Ceng akan membangunkan sebuah vihara
yang megah di gunung ini, dibebasan dari pajak dan akan
dilindungi dengan undang2 kerajaan Ceng. Tetapi aku
menolak permintaan mereka agar pasukan Ceng
diperbolehkan mendarat di selat Hayteng-kok."
"O, mengapa mereka tidak langsung saja mengadakan
serangan besar-besaran pada pasukan Beng ?" tanya Sian Li.
"Mereka mempunyai rencana yang luas," kata Lo-san
siangjin, "mereka akan mengirim sekelompok prajurit dan
jago menyelundup ke daerah Losan kemudian mereka akan
melakukan pengacauan ke daerah Beng. Apabila pasukan
Beng sibuk memadamkan kekacauan2 itu, barulah kerajaan
Ceng akan mengirim pasukan besar, menyebrangi sungai
Hong-ho untuk menyerang. Pada saat itu pasukan Beng
tentu lengah dalam penjagaan."
Sian Li mengangguk, "O, sungguh pintar sekali mereka.
Entah siapakah yang menjadi kurun (penasihat perang)
pasukan Ceng itu?"
"Kurasa tentu tak lain juga bangsa Han sendiri," kata Losan
siangjin.
Tiba2 Uk Uk menghampiri, serunya, "Cici mengapa ci , .
cici.... akur dengan dia ?"
"Jangan kurang hormat, Uk," kata Sian Li "totiang ini
adalah kawan kita. Musuh kita adalah orang yang
menggunakan sepasang pit-besi tadi. Lekas engkau
haturkan maaf kepada totiang !"
Uk Uk menurut. Ia maju dan mengangguk kan kepala
dihadapan Lo-san siangjin, "Tot, tiang kata ci . . ci . ,. ci aku
harus min . . . min ta .. . maaf kepada totiang , . . ."
"Siau-sicu, engkau sungguh lihay, "Lo-san siangjin
tertawa. Dia suka melihat potongan tubuh Uk Uk yang
gemuk itu," siapakah gurumu ?"
"Eng . . . eng . . . kong, kongmu . . . ," kata Uk Uk.
"Siapa ? Engkongku ?"
Uk Uk mengangguk.
"Aneh, aku tak punya engkong lagi."
"Siapa bilang engkau tak punya engkong ….” tiba2 Losan
siangjin teringat akan keterangan Sian Li bahwa anak
gendut itu memang aneh. Dia mempunyai pengertian yang
terbalik atas istilah ‘aku-engkau’. Dia tertawa, "O, benar,
ya, mana engkongku ?"
"Itu!" seru Uk Uk menunjuk Lo Kun.
"Ah, lojin cucumu ini memang lihay sekali. Dia memiliki
tenaga-dalam yang luar biasa, setaraf dengan jago silat kelas
satu. Pada hal dia baru berumur berapa…,?" kata Lo-san
siangjin.
"Delapan tahun lebih sedikit."
"Mengapa dalam umur delapan tahun dia dapat memiliki
tenaga-dalam yang begitu hebat? Pada hal untuk
meyakinkan ilmu tenaga-dalam seperti yang dicapainya itu,
orang harus membutuhkan waktu berpuluh tahun."
"Itu rahasia, totiang," kata Lo Kun dengan nada bangga,
"mungkin aku sendiri juga kalah hebat dengan dia."
Lo-san siangjin kerutkan dahi.
"Totiang," kata Sian Li yang tak ingin pembicaraan itu
berlarut-larut. Karena sekali bercerita tentulah kakek Lo
Kun itu akan membual sehingga orang akan tahu bahwa dia
itu seorang kakek yang linglung, "musuh sudah lari, lalu
bagaimana tindakan kita?"
"Li sicu," kata Lo-san siangjin, "telah kukatakan bahwa
pendirian kami, tetap tak mau bekerja-sama dengan orang
Ceng. Saat ini ternyata mereka berani menyelundup ke
daerah Lo-san. Aku tak mengidinkan gunung ini dikotori
dengan kaki orang-orang Ceng. Mari kita naik ke atas untuk
beristirahat dulu dan membicarakan bagaimana rencana
menghadapi mereka nanti.
"Bagaimana dengan kematian Li sam-saycu totiang,”
tanya Sian Li waktu teringat akan peristiwa matinya Li
Kong.
"Ah, peristiwa itu terjadi karena salah faham, dan pula
sam-te meninggal karena membentur tiang ruangan
sendiri," kata Lo-san siangjin "yang mati takkan bisa hidup
kembali. Sekarang kita sedang menghadapi musuh. Yang
penting kita harus mencurah tenaga dan pikiran untuk
menghalau mereka."
Sian Li menghaturkan maaf atas paristiwa itu dan
mengucapkan terima kasih kelapangan dada pertapa dari
Lo-san itu.
"Kemungkinan putera jenderal Lau itu mernang
ditangkap oleh pasukan Ceng yang menyelundup ke daerah
Losan," kata Lo-san siangjin, "ya, kutahu siasat mereka."
"Bagaimana siang- jin?" tanya Bok Kian.
"Karena Lo-san tak mau diajak kerjasama maka mereka
menggunakan siasat pinjam tangan pasukan Beng untuk
menghancurkan Losan."
"0, totiang maksudkan musuh sengaja menangkap putera
jenderal Lau dan mengabarkan bahwa putera jenderal itu
tertangkap oleh pasukan Ceng yang berada di Losan, agar
pasukan menganggap bahwa totiang telah bersekutu dengan
kerajaan Ceng?" tanya Sian Li.
"Benar," kata Lo-san siangjin, "dengan menangkap
putera jenderal Lau itu maka musuh telah mendapat dua
buah keuntungan. Pertama, mereka dapat mengadu
pasukan Beng dengan Lo-san karena Lo-san tentu dianggap
mau bekerjasama dengan kerajaan Ceng. Kedua, dengan
memiliki sandera putera jenderal Lau itu maka mereka
dapat menekan jenderal Lau supaya mundur dari wilayah
Sanse."
"Benar," sambut Sian Li, "kemungkinan mereka akan
menggunakan sandera itu untuk membujuk agar jenderal
Lau menyerah kepada mereka.”
"Betul!" seru kakek Lo Kun tiba2.
"Bagaimana li-sicu dan lojin dapat menduga begitu?"
tanya Lo-san siangjin.
"Huh, jenderal itu gemar bersenang-senang dengan
wanita2 cantik. Orang yang berhamba kepada kesenangan
tentu mudah dibujuk musuh. Lain sekali dengan aku. Dulu
waktu menerima tugas dari baginda, aku tak pernah dekat
dengan wanita sehingga sampai jadi jejaka tua."
"Dimana dulu lojin mendapat tugas baginda?" tanya Losan
siangjin secara iseng.
"Dalam gua, menunggu seorang Persia yang bernama
Somali. Jangankan wanita, sedang manusia lainpun tak
pernah datang ke gua itu."
Lo-san siangjin tertawa.
"Lo-jin, sudah sejak beberapa tahun yang lalu aku sudah
melihat gejala2 begitu. Mentri, jenderal dan pembesar2 tak
becus mengurus pemerintahan, sogok dan suap merajalela.
Raja terlena dalam kesenangan wanita, kaum durna
berpesta-pora menumpuk harta, rakyat bingung menderita
senngsara. Itulah sebabnya karena tak tahan melihat
penderitaan rakyat maka aku segera mengasingkan diri naik
ke gunung Losan ini."
"Salah!" tiba2 La Kun menegur.
"Salah bagaimana, tolong lojin memberi petunjuk," kata
Lo-san siangjin.
"Manusia dijelmakan di dunia adalah untuk mengurus
dunia dan sesama manusia," kata Lo Kun dengan gaya
seperti seorang ahli falsafat besar, '"jika semua orang pada
lari ke gunung mengasingkan diri, mencari kenikmatan diri
sendiri, biar negara dan masyarakat kacau, biar lain2 orang
sengsara, asal dirinya tentram dan senang menikmati bunga
dan mendengarkan kicau burung, lalu bagaimana dunia ini
jadinya nanti?"
"Ah," Lo-san siangjin mendesah, "tetapi manusia sukar
diurus. Lebih baik kita mengendalikan diri sendiri."
"Itu pendirian manusia kerdil yang hendak melarikan diri
dari kenyataan. Hidup itu memang begitu. Penuh dengan
persoalan, penuh dengan segala macam manusia yang
sangat aneh, susah diurus, yang menurut kemauannya
sendiri, yang suka mementingkan diri sendiri, ah, pendek
kata seribu satu macam sifat manusia.
"Itulah kehidupan dan itulah artinya manusia disuruh
hidup di dunia. Perlu apa disuruh hidup di dunia kalau
hanya mengasingkan diri di gunung, menikmati kembang,
mendengar kicau burung ? Itu bukan tugas manusia dan
bukan kehidupan manusia tetapi tugas burung dan kupu2
dan kehidupan bangsa binatang hutan. Sudah mau jadi
manusia harus mau mengurus soal manusia karena
mengurus soal manusia berarti mengurus dirinya sendiri
sebagai manusia. Memang tak mudah, tetapi disitulah letak
arti hidup sebagai manusia !"
Lo-san siangjin terlongong-Iongong mendegar hamburan
kata2 mutiara dari mulut seorang kakek yang linglung.
Diam2 Sian Li juga terkejut. Ada kalanya, dalam wataknya
yang limbung seperti orang tak waras pikiran itu, kakek Lo
Kun dapat menghamburkan kata2 yang tak kalah tingginya
dengan falsafat hebat. Kemudian dara itupun diam2 geli
karena Lo-san siangjin kena disentil dengan telak oleh katakata
kakek itu.
"Terima kasih, lojin," kata Lo-san siangjin sesaat
kemudian, "lojin telah memberi petunjuk berharga. Kurasa
memang benar juga.
"Siapa yang bilang tidak benar?" tukas kek Lo Kun, "lihat
aku. Aku sendiri entah sudah berapa lama hidup di dunia
ini. Sayang umurku tak pernah kukumpulkan, kubuangi
saja. Sebenarnya aku sendiri sudah pensiun tetapi siapa
yang akan mempensiun aku? Raja yang menitahkanku
sudah mati, habis aku harus mengurus pensiun pada siapa ?
Tetapi akupun tak mau mengharap segala pensiun karena
aku merasa masih kuat dan masih punya gairah hidup,
Selama masih mempunyai gairah hidup, aku tak mau
nganggur, lebih2 mengasingkan diri di gunung. Aku hendak
terjun ke masyarakat lagi. apalagi sekarang negara sedang
kacau menghadapi serangan musuh, aku lebih bersemangat
lagi."
Lo-san siangjin mengangguk. "Engkau tahu apa
rahasiaku bisa berumur panjang dan kesehatanku masih
baik ini ?" tanya Lo Kun.
'"Bagaimana ?"
"Mempunyai gairah hidup, bekerja, jangan merasa tua
dan, jangan memikirkan umur, jangan menghitung waktu.
Pendek kata, siang kerja, malam tidur. Jangan suka
bersedih. Hari ini kita hidup, hari ini kita menggunakannya.
Jangan melamunkan hari esok dan kelak. Dan jangan
mengotorkan pikiran dengan kejahatan dan nafsu
menumpuk harta."
“O, indah sekali," kata Lo san siargjin.
"Eh, masih ada satu lagi," kata Lo Kun pula, "yang harus
dilakukan kalau mau berumur panjang."
"Apa ?"
"Tertawa. Harus tertawa tiap hari dan suka dagel."
"Apa itu dagel ?"
"Membuat lelucon, berkata yang lucu-lucu. Itulah
resepku mengapa bisa berumur panjang."
"Baik, kakek, tociang memperhatikan resep kakek itu,"
karena kuatir pembicaraan itu akan berlarut panjang maka
Sian Li lalu memutusnya. Kemudian dara itu bertanya
kepada Lo-san siangjin 'Totiang, bagaimana rencana kita
selanjutnya?"
"Tadi sudah kukirim anakbuah untuk menyelidiki
keadaan musuh. Malam nanti, kita lakukan serangan," kata
Lo-san siangjin.
"Ya. aku memang hendak membalas orang yang
menutuk lambungku tadi," seru Lo Kun.
Bok Kianpun menyetujui rencana itu, Tetapi pada saat
Lo-san siangjin hendak mengatur anakbuahnya dalam
persiapan untuk melakukan serangan malam nanti, tiba-tiba
Sian Li membuka bicara:
"Nanti dulu, totiang?," katanya.
"'O, apakah li-sicu mempunyai rencana lain?" tanya Losan
si-.ngjin,
"Ya," sahut Sian Li," tetapi entah apakah totiang dapat
menyetujuinya.”
"Katakanlah li-sicu," seru Lo-san siangjin “tak apa, aku
dapat mempertimbangkannya.”
"Begini totiang," kata Sian Li, "rencana ini memang agak
istimewa. Tetapi maksudku, aku hendak menggunakan cara
musuh menyiasati kata untuk dipakai menyiasati mereka
kembali."
"O, maksudmu siasat Ih-tok-kong-tok atau dengan racun
mengobati racun ?"
"Benar, totiang. Memang semacam itu." "Coba li-sicu
katakan bagaimana rencana Li situ itu."
"Bukankah tadi totiang mengatakan bahwa kerajaan
Ceng bermaksud kendak mengajak totiang bekerja-sama
menghantam pasukan Beng ?"
"Ya, benar."
"Nah, sekarang kita mulai dari situ. Totian harus pura2
menerima tawaran itu."
"Tetapi mereka sudah tahu kalau aku menolak, apalagi
tadi dalam pertempuran jelas aku memusuhi mereka.
Apakah mereka mau percaya,” tanya Lo-san siangjin.
"Waktu menemui mereka, totiang boleh merangkai
alasan bahwa tadi hanyalah sekedar siasat saja agar
pasukan Beng percaya pada totiang. Dari buktinya,
sekarang totiang dapat menangkap kami."
"Apa maksud Li- sicu ?" Lo-san siangjin agak terkejut.
"Agar mendapat kepercayaan mereka, totiang supaya
mengatakan kalau berhasil menangkap kami."
"Tetapi apakah benar2 Li-situ sekalian kami tangkap?
Bagaimana kalau mereka minta bukti'?"
"Tak apa," kata Sian Li, "totiang boleh merantai kami
dan dimasukkan dalam ruang tahanan. Apabila mereka
datang kemari, dapatlah totiang menunjukkan buktinya"
"Wah, jangan, Sian Li," teriak Lo Kun.
"Mengapi?"
"Kalau kita dirantai dan mereka datang, bagaimana
kalau mereka mernbunuh kita?"
"Jangan kuatir kakek," Sian Li rnenghibur, totiang tentu
cukup bijaksana untuk mengatur itu. Misalnya, rantai itu
tidak dikunci-mati agar sewaktu-waktu kita dapat bergerak
untuk mengamuk mereka. Dan lagi, kita nanti pura2
pingsan. Totiang dapat mengatakan kepada orang Ceng,
kalau totiang telah memberi obat bius sehingga tenaga kita
hilang."
"O, kalau begitu aku mau" kata Lo Kim.
"Setelah itu?" tanya Lo-san sianglin.
"Yang penting totiang dapat mencari keterangan dimana
beradanya putera jenderal Lau. Kurasa setelah totiang dapat
menunjukkan bukti dan mendapat kepercayaan mereka,
tentu mereka mau memberi keterangan tentang putera
jenderal Lau itu."
'"Setelah itu lalu bagaimana?"
"Setelah tahu tempat ditawannya putera jenderal Lau,
barulah totiang boleh merencanakan bagaimana cara untuk
membebaskannya. Kalau perlu basmi saja mereka semua."
Lo-san siangjin diam merenung. Sesaat kemudian ia
bertanya, "Bagaimana misalnya kalau mereka hendak
membunuh li-sicu sekalian?"
"Totiang boleh memberi alasan supaya pelaksanaan
ditunda dulu, toh kami sudah dirantai dan disekap dalam
ruang tahanan. Tetapi andai kata mereka memaksa, suruh
saja mereka masuk ke dalam ruangan itu, nan!i kita akan
bertindak membereskan mereka."
"Lalu bagaimana dengan pasukan Beng yang berada di
gunung ini?" tanya Lo-san siangjin pula.
"Bak kongcu," Sian Li serentak berpaling kearah Bok
Kian, "kali ini aku hendak minta bantuanmu."
"Baik, katakanlah," sahut Bok Kian.
'Engkau kasih tahu kepada pimpinan barisan itu agar
supaya menarik mundur ptsukannya dari gunung ini."
"Tetapi apakah hal itu tidak menimbutkan kecurigaan
fihak musuh?" tanya Bok Kian.
"Ya, benar,'" kata Sian Li, "kalau begitu, kuharap lotiang
kerahkan anakbuah totiang untuk pura'2 menyerang
pasukan Beng agar mereka mempunyai alasan untuk
mundur dari gunung ini."
"Baik, li-sicu Tetapi maaf, siapakah Bok kongcu ini?"
"O, apakah totiang belum berkenalan?" tanya Sian Li.
"Mungkin karena sibuk, kita saling mengira kalau sudah
kenal pada hal belum," kata Lo san siangjin.
"Bok Kian kongcu ini adalah putera kemenakan dari
menteri pertalanan Su Go Hwat tayjin di Lam-kia," Sian Li
memperkenalkan Bok Kian.
"O, maaf, kongcu, pinto tak tahu sehingga tak
menyambut kongcu dengan selayaknya."
"Ah, totiang membuat aku sungkan. Paman memang
menjabat sebagai mentri pertahanan kerajaan Beng, tetapi
aku hanya orang biasa saja. Aku tak menjabat pangkat
apa2, totiang."
Atas pertanyaan Lo san siangjin, Bok Kian merangkan
bahwa kebetulan dia mendapat tugas dari pamannya untuk
menyampaikan perintah kepada jendral Lau. Kemudian
terjadi piristiwa dimana putera jenderal Lau minggat dan
tertangkap musuh.
"Ah, kongcu sungguh mulia karena kongcu bersedia
membantu pada jenderal Lau" Lo-san siangjin memuji.
"Jenderal Lau sedang memimpin pasukan dan sedang
menghadapi musuh yang kuat. Kalau pikirannya terganggu
karena hilangnya putera maka dia tentu akan kendor
semangatnya. Akibatnya pasukan kita tentu akan
mengalami kekalahan. Itulah sebabnya aku mau
menyediakan diri untuk mencari puteranya yang ditawan
musuh itu," kata Bok Kian.
"Bagus, kongcu," seru Lo-san siangjin, "pendirian
kongcu itu memang tepat. Sebenarnya jangankan lagi
kehilangan putera, bahkan kehilangan jiwanya sendiri, pun
seorang jenderal tak boleh bingung. Dia adalah p'mpinan
sebuah pasukan yang terdiri dari beribu-ribu prajurit. Selain
bertanggung jawab atas jiwa anak buahnya itu, diapun
mempunyai tugas untuk membela negara dan
menyelamatkan rakyat dari amukan musuh. Tetapi apapun
dikata. Memang jenderal2 kita sudah terlanjur
bergelimangan dalam kenikmatan hidup. Orang gemar
kenikmatan, tentu takut mati."
Begitulah setelah rencana selesai dimufakati merekapun
mulai bertindak. Bok Kian minta diri untuk menuju ke
pasukan Beng yang berada di selat Hay-teng-kok.
Lo-san siangjinpun menyiapkan anakbuahnya untuk
melakukan serangan kepada pasukan itu.
Tak berapa lama datanglah anakbuah Lo-san
menghadap, "Siangjin, pasukan Ceng yang berada di selat
Hay-teng-kok itu tak berapa banyak jumlahnya. Mereka
mendarat dengan naik perahu. Sekarang ini mereka masih
berkemah diselat itu."
Setelah menerima laporan itu maka Lo-san siangjin
segera mengajak Ui Bin memimpin anak-buahnya untuk
menyerang pasukan Beng.
"Totiang, aku mohon ikut," kata Sian Li.
"Mengapa?" Lo-san siangjin heran.
"Nanti setiba disana, aku hendak menyelinap untuk
menemui Bok kongcu. Akan kuberitahu kepada Bok
kongcu supaya mempersiapkan orang untuk membakar
perahu2 di perairan selat Hay-eng-kok agar orang2 Ceng itu
tak dapat menyebrang pulang."
'O, baiklah," kata Lo-san siangjin.
"Lho aku dan Uk Uk bagaimana ?" seru Lo Kun.
"Kakek dan Uk Uk tinggal disini dulu. Setelah menemui
Bok kongcu aku tentu segera kembali kesini. Bukankah kita
bertiga nanti akan menjadi tawanan totiang ?"
"O, ya, ya, tetapi jangan lama2 dong. Kalau kalian pergi
dan mereka datang, aku hanya berdua dengan Uk Uk saja
yang menghadapi."
Maka berangkatlah Lo san siangjin dan Ui Bi dengan
membawa seratusan anakbuah Lo-san, menuju ke selat
Hay-teng-kok. Sian Li juga
Karena sudah direncanakan maka dengan mudah
dapatlah anakbuah Losan itu memukul mundur pasukan
Beng. Waktu pasukan itu mundur sampai kesebuah hutan,
muncullah Sian Li menemui Bok Kian.
"O. engkau nona Liok ?" seru Bok Kian.
"Benar, kongcu," kata Sian Li, "aku hendak
menyampaikan berita kepada kongcu."
"Apakah ada perobahan tentang rencana kita itu ?"
"Tidak," kata Sian Li, "hanya tadi anakbuah Lo-san yang
ditugaskan untuk menyelidiki keadaan pasukan Ceng telah
datang melapor. Katanya jumlah pasukan Ceng yang
berada di selat Hay teng-kok itu tak berapa banyak. Dan
mereka datang kesitu dengan menggunakan perahu. Oleh
karena itu apabila Lo-san siangjin sudah dapat membujuk
mereka naik ke gunung Lo san, segera Bok kongcu
perintahkan orang untuk membakar perahu2 itu agar
mereka tak dapat pulang."
"Baik," kata Bok Kian. Dan Sian Li pun segera kembali
lagi ke puncak Lo-san.
Sementara itu setelah dapat mengundurkan pasukan
Beng maka Lo-san siangjin dengan membawa anakbuahnya
segera menuju ke selat Hay-te kok untuk menemui
pimpinan pasukan Ceng.
Lo-san siangjin diterima oleh seorang perwira yang
menanyakan maksud kedatangan pertapa itu.
"Maaf, boleh pinto tahu siapa yang menjadi pimpinan
pasukan ini?" tanya Lo-san siangjin.
"Sebenarnya yang memimpin kelompok pasukan ini
adalah aku sendiri," kata perwira itu.
"O, maaf, siapakah nama sicu yang terhormat ?" tanya
Lo-san siangjin pula.
"Ka Ting."
"O, apakah sicu juga seorang Han ?"
"Aku berasal dari wilayah Hek liong-kiang."
"Begini sicu, maksud kedatangan pinto tak lain adalah
hendak merundingkan sesuatu dengan pimpinan pasukan
kerajaan Ceng. Bahwa sebenarnya pinto sudah menerima
tawaran kerajaan Ceng untuk bekerjasama menumbangkan
kekuasaan Beng, tapi dalam hal itu pinto tak mau bertindak
terang-terangan tetapi harus secara rahasia. Pinto minta soal
ini supaya dirahasiakan sehingga fihak pasukan Beng tak
tahu. Dengan cara itu pinto ternyata berhasil
menghancurkan pasukan Beng yang tadi bertempur dengan
pasukan Ceng disini. lain itu pintopun berhasil menangkap
beberapa jago mereka yang lihay.
"O," perwira yang bernama Ka Ting itu terkejuf," tetapi
siangjin, walaupun aku yang memimpin pasukan tetapi dari
fihak atasan aku telah dipeiintahkan, harus menurut segala
perintah Ko tayjin.”
"Siapakah Ko tayjin itu ?"
"Ko tayjin adalah yang bertempur melawan beberapa
jago dari fihak Beng tadi."
"Yang menggunakan sepasang pit besi itu ?
"Benar."
"Siapakah nama lengkapnya ?"
"Ko Cay Seng."
"Jabatannya dalam pemerintahan Ceng ?"
"Pembantu utama dari panglima Torgun. Dialah yang
ditugaskan untuk menyelundup kedalam wilayah
kekuasaan Beng dan membuat pengacauan ..."
( bersambung ).
-oo0dw0oo-
Jilid 20.
Diam2 terkejut Lo-san siangjin mendengar keterangan
perwira pimpinan pasukan pelopor dari kerajaan Ceng itu.
Tetapi diapun memuji juga akan kecerdikan mereka dalam
menjalankan siasat peperangan.
"Jika demikian," katanya, "tolonglah sicu membawa
pinto menghadap Ko tayjin itu."
"Ah," perwira mendesah, "sayang. Saat ini Ko tayjin
sedang keluar."
"Kemana?"
"Entahlah," sahut Ka Ting, "Ko tayjin hanya pesan
supaya aku tetap bersiap menjaga setiap kemungkinan fihak
Beng akan menyerang."
"Kapankah Ko tayjin akan pulang?"
"Mungkin malam ini tetapi paling lambat besok pagi."
Lo-san siangjin kerutkan dahi. Sejenak kemudian dia
berkata, "Jika demikian, baik aku kembali dahulu. Besok
pagi kami undang Ko tay-jin supaya berkunjung ke puncak
Losan untuk merundingkan rencana kita lebih lanjut.
"Ah, mengapa totiang terburu-buru hendak kembali.
Hari sudah malam, lebih baik totiang bermalam disini saja."
"Pinto rasa kurang enak karena kuatir diketahui matamata
musuh. Lebih baik pinto pulang saja."
Ah, aku tak berani melanggar perintah Ko tayjin,
totiang."
"Perintah apa…….?"
"Ko tayjin telah memberi perintah bahwa sebagai
pimpinan pasukan aku harus melindungi setiap jiwa
anakbuah pasukan dan setiap orang yang menjadi kawan
kita. Oleh karena totiang sudah jelas menjadi kawan kami,
maka aku wajib menjaga keselamatan totiang."
"Pinto dapat menjaga diri sendiri."
"Tetapi kuharap totiang jangan membikin susah
padaku."
"Membikin susah bagaimana?"
"Jika Ko tayjin mendengar hal ini, aku tentu dimarahi.
Kemungkinan aku akan dikembalikan ke Pak-kia untuk
menerima hukumun. Ko tayjin amat keras memegang
disiplin."
Lo-san siangjin merenung. Dia kagum sekali akan
disiplin pasukan Ceng. Setiap bawahan tentu takut kepada
atasannya. Diam2 dia ingin bertemu dan bicara dengan Ko
Cay Seng. Kalau menilik dalam pertempuran siang tadi, Losan
siangjin mendapat kesan bahwa Ko Cay Seng itu
memiliki kepandaian yang tinggi. Jarang sekali kaum
persilatan yang menggunakan senjata thiat-pit.
Jika Lo-san siangjin sedang menimang-nimang, pun Ka
Ting juga sedang memikirkan perhitungan. Sebenarnya dia
tidak begitu saja percaya akan omongan Lo-san siangjin
yang menyatakan mau bekerja-sama dengan kerajaan Ceng.
Dia sudah mendengar bahwa Lo-san siang jin itu tak mau
bekerja pada kerajaan Ceng. Mengapa sekarang mendadak
sontak pertapa itu merobah pendiriannya ? Bahkan dalam
pertempuran siang tadi, jelas pertapa itu masih membela
fihak Beng.
Ka Ting juga bukan seorang perwira goblok. Dia curiga
akan tindakan Lo san siangjin itu. Maka dia memutuskan
akan menahan Lo-san siangjin itu dimarkas. Bagaimana
nanti keputusannya, terserah kepada Ko Cay Seng Tatapi
paling tidak, pertapa itu dapat dijadikan sandera untuk
menekan pasukan Beng.
Lo-san siangjin salah menilai Ka Ting. Ia mengira
perwira itu hanya seorang militer yang tak tahu tentang
urusan siasat mata-mata. Dan agar jangan menimbulkan
kesan buruk pada perkenalan pertama, terpaksa Lo-san
siangjin menerima permintaannya untuk menginap disitu.
Tidaklah mudah diangkat sebagai pembantu utama dari
panglima Torgun. Ko Cay Seng telah memenuhi syarat2
yang diinginkan panglima kerajaan Ceng itu.
Berkepandaian silat tinggi terutama dalam permainan
sepasang pit besi yang dapat menutuk enam buah jalan
darah ditubuh lawan, pun Ko Cay Seng juga memiliki
kecerdasan yang hebat. Diapun dianggap setya sekali dalam
pengabdiannya kepada kerajaan Ceng selama ini.
Kemanalah malam itu dia pergi ?
Ternyata dia juga naik ke puncak Lo-san untuk
menyelidiki keadaan Lo-san siangjin dan anakbuahnya. Ia
tahu bahwa Lo-san siangjin tidak mau bekerja pada
kerajaan Ceng. Dan dalam pertempuran siang tadi dia
berhasil mengadu domba dan menimbulkan kecurigaan
diantara jago2 musuh sehingga Lo-san siangjin telah
menderita kekalahan.
Waktu berada di gunung Lo-hu-san di puncak Giok-linia
tempat kediaman pendekar Bloon, dia telah bertemu
dengan beberapa jago muda, diantaranya terdapat dara2
yang cantik tetapi berilmu kepandaian hebat.
Dalam pertempuran itu dia sendiri telah terluka oleh
seorang nona cantik yang dikiranya tak mengerti ilmusilat.
Nona itu (Han Bi Ing) telah dapat menusuk telapak
tangannya dengan tusuk kundai. Jalandarah Lau-kiang hiat
ditelapak tangan itu dapat melumpuhkan tenaga-dalam.
Untung dia tak sampai terluka parah dan setelah mengasoh
beberapa waktu, diapun sudah sembuh.
Kemudian dia mendapat tugas untuk memimpin sebuah
pasukan barisan pelopor yang akan menyeberangi sungai
Hong-ho dan masuk ke selat Hay-teng-kok di daerah kaki
gunung Lo-san. Dalam perintah itu dikatakan, supaya
dengan sekuat tenaga Ko Cay Seng dapat menundukkan
gunung Lo san. Jika dengan jalan damai tak mau, Ko Ciy
Seng harus menggempur pertapa dari gunung Lo-san itu
dengan kekerasan.
Setelah menarik mundur pasukan ke pangkalan di selat
Hay-teng-kok maka Ko Cay Seng memerintahkan agar Ka
Ting menjaga pasukan dan dia sendiri terus naik ke puncak
Lo-san. Kecuali Lo-san siangjin, apakah beberapa orang
yakni Sian li, Lo Kun, Uk Uk dan Bok Kian, juga berada
dimarkas Lo-san siangjin.
Begitu tiba di markas, dia harus cari akal untuk
menyelundup masuk. Hal itu dengan mudah dapat
dilakukannya setelah dia berhasil mengelabuhi beberapa
penjaga.
Dengan ilmu gin-kang yang lihay, dia dapat loncat keatas
genteng dan mencari tempat kediaman Lo-san siangjin. Dia
berhenti pada sebuah tempat yang diduga merupakan ruang
besar. Dia membuka sebuah genteng dan mengintai
kebawah.
Seorang kakek tua sedang berjalan mondar mandir
sambil menggendong kedua tangan. Dan seorang bocah
lelaki yang gemuk sedang duduk menghadapi guci arak.
Beberapa kali dia menuang guci arak itu ke cawan dan
diminumnya.
"Eng .. eng ., . engkong ....... mengapa arak ini sep .......
seperti air rasanya ?" tiba2 anak gemuk itu berseru dengan
suara tergagap-gagap!
Tetapi Lo Kun diam saja dan tetap mondar mandir kian
kemari seperti orang yang sedang berpikir.
"Engkong ….eng .. eng .. kong.......*
"Hus, diam !" bentak Lo Kun.
"Lho, meng ..... mengapa ?"
"Apa tidak tahu kalau aku sedang berpikir keras ?"
"Siapa yang berpikir ?"
"Aku ....... eh, engkau !" tiba2 Lo Kun teringat akan
pengertian Uk Uk tentang kata aku-engkau
"Berpikir soal ap ..... ap..... apa ?"
"Soal cicimu, eh, ciciku Sian Li dan siangjin."
"Memangnya ken ....... kenapa mereka?"
"Goblok!" teriak La Kun, "Sian Li belum pulang dan Losan
siangjin juga belum pulang. Apa tidak membingungkan
hati?"
'"Siap ....... siapa suruh eng ....... engkong bingung?"
"Hus, tentu saja tidak ada yang suruh. Aku sendiri yang
bingung."
"Eng ....... eng ....... kong sendiri yang suruh bingung?"
"Ya."
"Tidak bol ....... boleh, kong. Jangan suruh diri eng .......
eng ....... kong bingung."
"Engkau, eh, aku ini memang goblok. Kalau ada orang
pergi lama tak pulang, mengapa tidak boleh bingung?"
"Kalau eng .... eng .... engkong bingung, minumlah ar
....... arak ini. Tetapi rasanya seperti air.”
"Setan cilik doyan arak. Siapa yang mengajari engkau
minum arak?"
"Eng ....... engkong .......! "
"Lho, apa iya?" Lo Kun kerutkan dahi, "wah, ia, celaka,
mengapa aku mengajari dia minum arak. Anak kecil masa
disuruh minum arak. Tidak, Uk, aku tidak mengajari
minum arak."
'Waktu engkau menangis, eng .... eng .... engkong kasih
minum engkau arak. Sejak itu engkau tiap hari minum arak
saja ..."
“O, benar, benar," seru Lo Kun, "aku sakit mau mati,
karena engkau bingung terus engkau kasih minum aku arak
dan aku sembuh."
"Eh, eng ....... eng ....... kong ....... apa yang aku
pikirkan?"
“Sian Li anak perempuan itu mengapa belum kembali.
Jangan2 dia mendapat halangan di jalan," kata kakek Lo
Kun.
"Ya, benar , .... eng ....... engkong. Hayo, kita susul saja."
"Jangan Uk," kata Lo Kun, "dia sudah pesan wanti2 kau
tak boleh menyusul dan harus menunggu disini, tahu!"
Ko Cay Seng yang mendongarkm pembicaraan itu
berulang kali harus kerutkan dahi karena merasa aneh.
Terutama dia merasa kata2 aku-engkau yang digunakan
kedua kakek dan cucunya itu agak janggal.
"Eng ....... erg ... engkong, engkau ngantuk nih," tiba2
Uk Uk berkata pula.
"Hus, disuruh jaga rumah mengapa malah ngantuk."
"Habis? Kalau memangnya ngantuk?"
"Begini Uk, kita main2 untuk membunuh rasa kantuk
itu."
"Man-main? Ba ....... ba ....... bagus, engkong. Main
apa?"
"Main semburan arak!"
"Apa itu sem ....... semburan arak?"
“Aku kan sudah berlatih ilmu menyembur arak.
Sekarang engkau hendak menguji sampai di-mana aku
mencapai latihan ilmu itu."
"O, bagu, eng .... eng .... engkong ..."
"Coba aku segera mulai!" kita Lo Kun.
Uk Uk meneguk guci arak kemudian berdiri dan
menengadahkan mukanya keatas. Tiba2 ia melihat ada
sebuah genteng yang terbuka. Dia ingin menunjukkan
ilmunya kepada Lo Kun maka ia-pun menyembur dengan
sekuat tenaga, pnfff ....... arak meluncur tiuggi seperti
sebuah pancuran dan ujungnva menyusup lubang genteng
itu.
"Bagus, Uk!' seru kakek Lo Kun memuji.
Jika kakek itu gembira tidaklah demikian dengan Ko Ciy
Seng. Dia yang masih tertegun mengintai kebawah, tiba2
ujung arak itu menjilat pipinya, auhhhhh .... hampir saja ia
menjerit karena tak tahan sakitnya. Mukanya seperti
diselomoti api. Untung dia cepat2 mengisar ke samping.
"Babi cilik itu terayata lihay sekali. Hanya tokoh silat
yang memiliki tenaga-dalam sakti baru mampu
menyemburkan air sampai begitu tinggi.
"Babi itu harus kuhajar," geram Ko Cay Seng. Dia
mencari akal bagaimana mencari kedua orang itiu. Dia tahu
bahwa yang berada di dalam ruang itu hanya mereka
berdua. Si nona cantik dan Lo-san siangjin tak ada. Kata
kakek itu mereka pergi tetapi entah pergi kemana.
Tiba2 Ko Cay Seng mendapat akal. Ah, tetapi
bagaimana dia akan mendapatkan pakaian itu? Ah, tak apa,
kakek dan cucunya itu tampak seperti bukan orang waras.
Mereka tentu tak mempersoalkan pakaian tetapi wajah. Ya,
kalau wajahnya mirip dengan pertapa itu, mereka berdua
tentu tak akan dapat mengenalnya, pikir Ko Cay Seng.
Segera ia pergi dan menuju ke sebuah gerumbul pohon.
Dia lalu berhias merobah raut mukanya seperti Lo-san
siangjin. Dan pakaiannya, yakni pakaian seorang
sasterawan, tampaknya tak banyak berbeda dengan jubah
pertapaan Lo-san sianajin. Pun andaikata kakek dan
cucunya itu menanyakan soal pakaian, dia dapat memberi
jawaban juga.
Ia menghampiri sebuah kolam dan mengaca dirinya. Ya,
benar, sepintas sekarang wajahnya mirip dengan wajah Losan
siangjin. Kemudian dia segera loncat keatas genteng
lagi. Setelah tiba di ruang tadi, dia loncat ke halaman lalu
melangkah masuk.
"Hola, mengapa begini malam baru totiang pulang?" seru
kakek Lo Kun.
Karena tak memberi tahu kemana perginya Losan cinjin,
Ko Cay Seng hanya tersenyum saja. "Bagaimana
kabarnya?'' tanya Lo Kun pula,
"Baik," sambil tertawa Ko Cay Seng yang menyaru
sebagai Lo-san siangjin menyahut. Dia tak tahu apa yang
dikatakan 'baik' itu. Hanya dia terpaksa menggunakan
jawaban begitu karena biasanya orang juga berkata begitu
kalau ditanya kabarnya.
"Lalu, apakah sekarang kita mulai dengan rencana itu ?"
tanya Lo Kun.
Sudah tentu Ko Cay Seng tak mengerti apa yang
dimaksud dengan rencana mereka. Dia duga Lo-san
siangjin tentu sudah membuat rencana dengan kakek
pendek itu. Maka diapun pura2 menjawab, "Ya."
"Dimana siangjin hendak memenjarakan aku dan cucuku
?"
Makin terkejut hati Ko Cay Seng.
"O, siapa yang harus dipenjara ?" tanyanya agak
tersendat.
"Lho, engkau ini bagaimana totiang," seru Lo Kun,
"bukankah kita sudah membuat rencana apabila bangsat
yang bersenjata pit-besi itu meninjau kemari, aku pura2
engkau borgol dengan rantai dan engkau masukkan
kedalam penjara."
Waktu dimaki bangsat oleh Lo Kun, Ko Cay Seng
menyengir kuda. Tapi dia tahankan kemarahannya dan
berseru, "O, ya, ya, mengapa aku begini pelupa ?"
"Dimana totiang hendak memenjarakan aku?" tanya Lo
Kun pula.
"Biar orang Ceng itu percaya kalau aku memang
bersahabat dengan mereka ?"
"O, mengapa engkau harus dipenjara?" terpaksa Ko Cay
Seng yang tak mengerti duduk perkaranya harus bertanya.
"Eh, apakah engkau ini sudah linglung, totiang?" seru Lo
Kun, "itu kan hanya siasat biar bangsat bersenjata pit-besi
itu percaya kalau totiang menyerah kepadanya."
"Apa? Aku menyerah pada orang Ceng?" karena terkejut,
Ko Cay Seng lupa kalau dia bukan Lo-san siangjin tetapi
hanya menyaru sebagai petapa itu. Dia hampir tak percaya
kalau Lo-san siangjin mau menyerah kepada fihak Ceng.
"Pertapa goblok!" damprat Lo Kun, "siapa yang suruh
engkau menyerah?"
"Bukankah engkau tadi mengatakan begitu?," sahul Ko
Cay Seng.
'"Ya, tetapi itu kan hanya pura2 saja, masakan engkau
mau menyerah sungguh2."
"O, ya, ya, benar. Itu hanya suatu siasat untuk
mengelabui musuh, bukan?"
"Ya "
"Lalu bagaimana?" tanya Ko Cay Seng.
"Eh, pertapa, mengapa setelah engkau pergi menemui
musuh, sikap dan kata-katamu berbeda dengan biasanya?
Apakah engkau memang menyerah sungguh2?"
'"Tidak!' sahut Ko Cay Seng yang sudah tahu akan
pendirian Lo san siangjin
"Kalau begitu, lekaslah kita kerjakan rencana itu!'' seru
Lo Kun.
Pucuk dicinta ulam tiba, demikian pikiran Ko Cay Seng.
Dia hendak menangkap kedua orang itu ternyata sekarang
kedua orang itu malah minta ditangkap.
Tetapi karena dia tak tahu tempat2 dalam markas Lo-san
maka dia mencari akal. Akhirnya ia mendapat akal. Sebuah
akal yang keji dan licik.
"Bukan disini tempatnya," katanya, "hayo kita keluar."
"Lho, kemana?" seru Lo Kun.
"Ada sebuah tempat khusus yang sangat rahasia. Kalian
akan kumasukkan kesana saja."
"Engkau gila!" teriak Lo Kun.
"Mengapa?" Ko Cay Seng terkejut seperti orang yang
diserang panas dingin mendengar ucapan kakek itu.
"Ini hanya pura2 saja," kata Lo Kun, "begitu kepala
pasukan Ceng itu datang dan melihat aku di ruang tahanan,
aku akan pura2 pingsan. Kalau dia berani masuk, baru
nanti kuserangnya sungguh2. Mengapa sekarang engkau
hendak membawa aku ke sebuah tempat rahasia? Apakah
engkau memang benar2 hendak mencelakai aku?"
"Tidak, tidak," kata Ko Cay Seng, "harap jangan salah
mengerti — Justeru kutaruh engkau dalam gua rahasia itu,
biar nanti apabila ku bawa dia ke sana, kita dapat segera
menghabisi jiwanya, mengerti !"
Ko Cay Seng memang pandai. Dalam sakejap mata, dia
sudah dapat menyesuaikan diri ke dalam persoalan yang
terjadi antara Lo Kun dengan Lo-san siangjin. Dia dapat
memberi jawaban yang tepat, bahkan disertai bentakan
seperti orang yang marah. Ternyata tindakannya itu
berhasil.
“O, benar, benar," seru Lo Kun, "kalau begitu aku mau.
Mengapa engkau tak memberi penjelasan lebih dulu ?"
"Pendeknya, percaya sajalah kepadaku," kata Ko Cay
Seng dengan nada meyakinkan.
Demikian mereka bertiga segera keluar dan menuju ke
belakang markas. Dari situ mereka mendaki ke bagian
puncak yang lebih atas. Karena hari malarn dan keadaan
sunyi, merekapun lolos dari perhatian para penjaga.
Apalagi para penjaga itu memang lengah dan percaya
bahwa tak mungkin orang luar dapat masuk kedalarn
makas.
Tiba2 Ko Cay Seng rnelihat sebuah karang yang
berlubang. Dia tak tahu apakah karang itu mempunyai
lorong yang dalam. Namun dicobanya juga untuk
menghampiri. Ah, ternyata harapannya memang tercapai.
Lubang itu menjorok masuk sarnpai ke dalam sehingga
merupakan sebuah gua.
"Disini," serunya seraya melambai kearah Lo Kun dan
Uk Uk.
"Gua apa ini ?" tanya Lo Kun.
"Gua Setan-gantung," kata Ko Cay Seng secara
mencemoh.
"Huh, gua Setan-gantung ? Gila, apakah engkau hendak
suruh aku menjadi setan gantung ?"
"Bukan," Ko Cay Seng tertawa geli, "nanti itu lho,
pemimpin pasukan Ceng, jika dia kuajak kemari, kita
jadikan dia setan gantung."
"O, benar, bener," seru Lo Kun.
Mereka berjalan ke muka. Ternyata gua itu mempunyai
lorong yang panjang, entah sampai ke mana. Tiba2 mereka
tiba di ujung gua yang buntu. Tetapi pada kanan kiri ujung
itu terdapat dua buah lorong.
"Nah, kalian berpencar," seru Ko Cay Seng, Kakek,
engkau masuk ke sebelah kanan dan engkau bocah gemuk,
masuk ke sebelah kiri. Beristitahatlah disitu sampai nanti
aku datang lagi."
"Hai, tunggu mengapa," tiba2 Lo Kun berteriak seraya
keluar dari lorong sebelah kanan yang dimasukinya itu. Dia
teringat, kalau menurut rencana, tangannya harus diborgol
tetapi mengapa partapa itu tidak melakukannya.
"Kenapa eng..... eng....... engkong ?" tanya Uk Uk yang
juga menerobos keluar lagi dari lorong sebelah kiri.
"Kemana pertapa itu ?" seru Lo Kun.
"Lho, i....... iya ....... mana di .... dia ?"
"Dia tentu pulang."
"Ya, lalu meng ....... meng ..... apa eng, engkong
mencarinya ?" tanya Uk Uk.
"Dia belum mengikat tangan kita!" teriak Lo Kun.
"Biarin dong."
"Lho, kenapa biarin ?"
"Ya, dong, mengapa tangan kita harus diikat ? Kan lebih
enak bebas bisa bergerak."
"Tidak bisaaaa ……..”
"Ken ..... kena, kenapa ?" tanya Uk Uk
"Itu sudah jadi rencana kita. Pertapa itu tentu lupa,
Mana tanganmu, Uk."
"Buat ap, apa ?"
"Akan aku, eh, engkau ikat"
"Baik," Uk Uk terus sodorkan kedua tangannya.
"Di mana talinya, Uk ?" Lo Kun mengansurkan
tangannya meminta,
"Eng ..... eng ....... engkong linglung !" teriak Uk Uk,"
mana engkau punya tali ?"
"Habis pakai apa mengikatnya ?" tanya Lo Kun "hm.
pertapa itu memang gila. Dia lari, lupa mengikat, lupa
meninggalkan tali."
"Lalu bag ....... bag ... bagaimana ?" Uk Uk,
"Kita susul pertapa itu," kata Lo Kun terus ayunkan
langkah. Tetapi dia terkejut ketika melihat keadaan lorong
gua itu gelap sekali. Dan tiba di mulut gua, ternyata gua
juga tertutup dengan batu besar.
"Hai, mengapa pintu gua ini ditutup sipertapa ?" teriak
Lo Kun.
"Kurang ajar !" Uk Uk juga marah Keduanya segera
berusaha untuk mendorong batu yang menutup pintu gua
tetapi tak berhasil. Batu itu amat besar dan berat sekali.
"Celaka Uk." seru Lo Kun uring-uringan, "kita ditutup
dalam gua ini."
"Siapa yang ..... yang menutup ?"
"Siapa lagi kalau bukan pertapa itu !"
"Kalau ....... kalau begitu, kit..... kita hajar dia."
"Goblok !" bentak Lo Kun, "bagaimana dapat menghajar
kalau keluar dari gua ini saja kita tak mampu ?"
"Lha, bagai, bagaimana mak ..... maksudnya?" seru Uk
Uk.
Lo Kun tak menjawab melainkan merenung seperti
berpikir. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dia menjerit,
"Celaka, pertapa itu tentu bukan Lo-san siangjin !"
"Lho, bagai, bagai....... mana eng .... engkong tahu ?"
"Aku ingat, rencana kita, kita ini akan dimasukkan
dalam sebuah kamar tahanan dalam markas, Tetapi
mengapa dia membawa kita kemari lalu menutup pintu gua
ini dengan batu besar?"
"Uh….," Uk Uk mendengus.
"Jelas dia tentu hendak membunuh kita berdua..."
"Satai sa, sa, aja pertapa itu !" teriak Uk Uk.
"Hm, yang penting kita harus cari jalan keluar dulu baru
nanti kita cari pertapa itu,"
"Eng, eng, engkong . , .. aku ingat !"
"Apa ?"
"Pakaian Lo-san siang ... siangjin buk..buka macam itu."
"Goblok! Mengapa tadi engkau tidak bilang. Sekarang
baru bilang, sudah tak berguna lagi. Kita sudah dijebluskan
dalam gua setan gantung, eh .......... kurang ajar sekali
menusia itu !"
"Kenapa ?"
Dia sengaja menyebut gua ini dengan nama Setanganturig,
apa bukan berarti kita yang akan dijadikan setan
gantung itu ?"
Bum.....!
Kerena marah Uk Uk menghantam gunduk batu penutup
gua. Tetapi batu itu tak bergeming Lo Kun juga berusaha
untuk menghantam tetapi juga sia2, Akhirnya keduanya
duduk menenangkar diri mencari akal.
Apabila Lo Kun dan Uk Uk kelabakan dalam gua, tidak
demikian dengan Ko Cay Seng. Dengan riang gembira ia
kembali ke markas Lo san. Dia menutup pintu gua itu
dengan segunduk batu besar yang didigelundungkannya
dari atas. Masih ditimbuni lagi dengan batu2 lagi sehingga
dari luar, gua itu sudah lenyap.
"Biar kedua manusia gila itu mampus," katanya dalam
hati.
Tiba di markas Lo-san ternyata keadaan markas itu
masih sunyi. Lo-san siangjin dan Ui Bin tak ada, juga
penjagaan dalam markas itu hanya terdiri dari beberapa
orang. Sebagian besar anakbuah telah pergi. Kemungkinan
ikut pada Lo-san siangjin.
"Ah, kemanakah siangjin itu ?" pikir Ko Cay Seng. Tiba2
ia tersentak," hai, apakah dia membawa pasukannya untuk
menyerang pasukan Ceng?"
Dia merasa cemas tetapi serentak diapun teringat akan
ocehan kakek Lo Kun yang mengatakan kalau Lo-san
siangjin memang menuju ke selat Hay-teng-kok.
"Ah, mengapa kakek itu mengatakan kalau Lo-san
siangjin hendak mengajak pemimpin pasukan Ceng datang
kemari ?" katanya seorang diri. Tetapi pada lain kejab, dia
cepat membantah sendiri, "Ah, kakek itu tidak waras, dia
tentu hanya mengoceh semaunya sendiri. Tentulah Lo-san
siangjin bersama anakbuahnya menuju ke Hay-teng-kok
untuk menyerang pasukan Ceng yang berkubu disana."
Menarik kesimpulan begitu, Ko Cay Seng makin gugup.
Dia harus lekas2 menuju ke Hay-tcng kok untuk membantu
pasukannya.
Saat itu diapun sudah loncat ke atas wuwungan rumah
dan terus hendak lolos. Tetapi tiba2 di mendapat pikiran,
“Hm, pertapa itu harus diberi hajaran yang setimpal ..........
"
Serentak dia menyulut korek api lalu membakar markas
itu. Tak berapa lama apipun mulai berkobar, menimbulkan
gulung asap yang membumbung ke langit.
Ko Cay Seng turun dari purcak. Sayup2 dia masih
mendengar teriak para penjaga yang sibuk memadamkan
kebakaran.
Belum lama dia berjalan tiba2 ia melihat sosok tubuh
kecil berlari-lari mendaki keatas.
"Ah, kemungkinan salah seorang tokoh pimpinan
gunung Lo san. Kalau orang biasa atau golongan anakbuah
Lo-san, tentu tak mungkin memiliki gerakan yang
sedemikian pesat," pikirnya. Dan diapun segera melesat
bersembunyi di balik sebatang pohon ditepi jalan.
Begitu dekat. Ko Cay S;ng segera melihat jelas bahwa
pendatang itu tak lain hanya seorang gadis.
"Ah, gadis yang ikut bertempur melawan pasukanku," ia
terkejut setelah melihat jelas gadis itu. Memang gadis itu tak
lain adalah San Li.
Setelah menyampaikan berita kepada Bok Kian, Sian
Lipun bergegas pulang. Ia kuatir kakek Lo Kun akan
membuat gara2 sehingga akan menggagalkan rencana
mereka.
Apa yang dikuatirkan memang benar. Ketika tiba di kaki
gunung dia melihat puncak gunung tempat markas Lo-san,
menghamburkan gulungan asap hitam yang tebal.
"Celaka, markas dibakar musuh," pikirnya. Dia terus
gunakan ilmu gin-kang berlari secepatnya menuju ke
puncak.
"Berhenti!" tiba2 terdengar suara bentakan yang keras.
Dan sebelum Sian Li tahu siapa yang beneriak itu, tiba2
sesosok tubuh sudah melayang menerkamnya. Ia terkejut
dan cepat loncat menghindar. Tetapi orang itu lebih cepat
lagi. Luput menuluk lambung Sian Li dengan pit-besi,
orang itu berhasil menutukkan pit-besi di tangan kirinya ke
lengan Sian Li. Seketika gadis itu rasakan lengan kanannya
kesemutan tak dapat digerakkan.
"Bangsat!" Sian Li mencabut pedang Pek-liong-kiam dan
terus membabat perut lawan. Tetapi Ko Cay Seng bukanlah
lawan yang empuk. Tringngng.....
Batang pedang tertutuk ujung pit-besi, sehingga nona itu
rasakan tangannya linu kesemutan. Pedangnyapun hampir
jatuh. Tepat pada saat yang gawat itu, dia masih sempat
mengirim sebuah tendangan ke perut lawan. Dan ketika Ko
Cay Sen menghindar mundur, barulah Sian Li dapat
menguasai pedangnya lagi.
Kini nona itu tumpahkan seluruh kepandaiannya untuk
menghadaoi lawan. Memang Ko Cay Seng lebih sakti tetapi
karena Sian Li mempunyai pedang pusaka yang luar biasa
tajamnya, terpaksa Ko Cay Seng harus berhati-hati. Itulah
sebabnya maka Sian Li dapat bertahan sampai berpuluh
jurus.
Namun permainan sepasang thiat-pit dari Ko Cay Seng
itu memang bukan alang kepalang hebatnya. Dia mainkan
ilmu simpanannya yakni dapat menutuk enam buah
jalandarah orang pada waktu sekaligus.
Tetapi bagaimanapun juga, Sian Li memang masih kalah
unggul dengan kepandaian Ko Cay Seng. Sepasang thiatpitnya
menari-nari bagai naga sedang bercengkerama di
permukaan laut.
Tringgg ..... tring ....
Terdengar beberapa kali benturan senjata antara pedang
dengan pit-besi. Dan tiba2 pula Ko Cay Seng membentak,
"lepaskan !"
Kembali Sian Li harus menderita. Lengan kirinya
terkena tutukan pit-besi, Karena kedua buah lengannya
terkena tutukan Sian Li tak dapat bergerak. Namun dalam
saat2 yang terakhir, dia masih berusaha untuk melawan.
Sebuah tendangan berantai yang tak terduga-duga telah
dilancarkan kearah perut lawan.
Ketika masih belajar di gunung, gurunya yakni Kim
Thian Cong atau ayah dari Blo'on telah menguraikan
tentang ilmu tendangan. Menurut kata gurunya, ada lima
macam ilmu tendangan yang ampuh, yakni Soan-hong-thui
atau ilmu tendangan Angin-puyuh. Eng-cu-thui atau
tendangan Bayangan, Lian-cu-thui atau Tendangan
Berantai Pek-lui-thui atau tendangan Halilintar dan Tianthou-
thui atau tendangan Kepala-mengangguk.
"Sebenarnya kelima ilmu tendangan itu bersumber pada
perguruan Siau-Ii-si," kata gurunya pada saat itu, "tetapi
kemudian ilmu tendangan itu tersebar luas di berbagai
perguruan dan mengalami banyak perobahan2."
"Yang akan kuajarkan kepadamu," kata Kim Thian
Cong pula, "adalah sebuah ilmu tendangan yang terdiri dari
gabungan Lian-cu-thui dan Eng-cu-thui. Ini khusus
kuciptakan untuk engkau seorang anak perempuan. Ilmu
tendangan itu dapat engkau gunakan pada saat engkau
menghadapi bahaya besar."
Memang gabungan ilmu Tendangan-berantai dan
tendangan Bayangan yang diciptakan Kim Thian Cong dan
diberi nama Lian-eng-thui atau Tendangan-bayanganberantai
itu, hebatnya bukan kepalang.
Sian Li berlatih dengan giat sekali. Walaupun belum
mencapai kesempurnaan tetapi dia sudah menguasai ilmu
itu dalam batas2 yang memuaskan.
Ko Cay Seng tak menduga kalau dara iti dalam keadaan
kedua tangannya sudah melentuk masih dapat mengirim
tendangan berantai.
Plok. plok, plok ....
Terdengar tiga kali suara keras dan tampak Ko Cay Seng
terhuyung-huyung beberapa langkah. Memang dia tak
menderita luka yang berarti tetapi sebuah tendangan tadi,
telah mengenai tepat'pada ujung kelopak matanya sehingga
untuk beberapa saat dia harus berdiam diri agar pandang
matanya terang.
"Ho budak perempuan, karena engkau terlalu liar
terpaksa akan kubunuhmu !" serunya setelah rasa sakit pada
matanya sembuh. Tetapi saat itu Sian Li berusaha untuk
lari.
"Hai, hendak lari kemana engkau budak teriaknya.
Terjadi kejar mengejar antara Ko Cay Seng dengan Sian
Li. Sian Li yang tangannya tak dapat digerakkan, memang
mengalami kesulitan untuk menggunakan gin-kangnya.
Maka mudah sekali bagi Ko Cay Seng untuk mengejarnya.
Saat itu Sian Li tiba disebuah tebing karang yang buntu.
Tebing itu terletak di lereng gunung. Dan dibawahnya
terbentang sungai Hong-hoyang luas dan deras.
"Berhenti atau aku akan membuang diri ke dalam sungai
Hongho!" teriak Sian Li.
"Budak goblok !" Ko Cay Seng, “menyerah saja, aku
takkan membunuhmu."
Ia melangkah maju tetapi saat itu Sian Li-pun sudah
lemparkan diri kebawah sungai. Ko Cay Seng loncat
hendak menyambar kaki nona itu tetapi tak berhasil. Ia
hanya dapat memandang tubuh Sian Li ketika terlempar
kedalam arus sungai.
"Ahhhhh," Ko Cay Seng menghela napas, "benar-benar
seorang anak perempuan yang keras kepala."
Perlahan-lahan dia ayunkan langkah tinggalkan tempat
itu. Dia menuju ke selat Hay-teng kok. Tiba disana,
kejutnya bukan kepalang, Ternyata markas tempat
pasukannya berkubu telah hancur berantakan. Ada
beberapa mayat prajurit pasukan Ceng yang terhampar di
tanah.
Apakah artinya itu? Tanyanya dalam hati. Ia menuju ke
sungai. Pun berpuluh perahu yang ditambatkan di tepi
sungai itu, lenyap semua. Ko Cay Seng benar2 bingung......
Apabila Ko Cay Seng sedang terlongong-longong di
tempat markas pasukannya yang hanya tinggal puing2 saja,
saat itu di kaki gunung Losan tampak seorang lelaki
setengah tua sedang mendaki ke atas.
Siapakah lelaki itu ? Dari pakaian yang dipakainya orang
tentu mengetahui dia seorang pertapa. Dan pertapa itu tak
lain adalah Lo-san sianjin. Tetapi mengapa dia berada di
lereng gunung. Dan mengapa dia hanya seorang diri ?
Untuk mengetahui hal itu, marilah kita mengikuti
peristiwa yang telah terjadi ketika pertapa dan
anakpasukannya berada di markas pasukan Ceng.
Secara halus, perwira Ceng yang bernama Ka Ting telah
berhasil meminta Lo san siangjin menginap di markas
mereka, Dan Ka Ting pun bahkan mengadakan perjamuan
untuk menyambut kedatangan Lo-san siangjin.
Lo-san siangjin sangat hati2, Dia curiga kalau2 Ka Ting
akan mencampur obat bius kedalam hidangan dan arak.
Tetapi sampai perjamuan berakhir, ternyata dia tak kurang
suatu apa. Hanya pada tengah malam ketika ia sedang
duduk bersemedhi dalam kamar, ia mendengar suara gaduh
di luar markas. Dan ketika didengar dengan teliti, jelas
suara gaduh itu berasal dari suatu pertempuran.
"Ah, apakah mereka telah mencelakai anak buah Lo san?
Pikirnya. Anakbuah Lo San dan Ui Bin memang tidur di
luar markas. Hal ini telah ia sepakati bersama Ui Bin, agar
apabila terjadi sesuatu yang tak diinginkan, dapatlah Ui Bin
memberi pertolongan.
"Mungkin pasukan Beng telah mengadakan serangan ke
markas ini," pada lain kilas ia mempunyai lain dugaan.
Tetapi baik hal itu merupakan tindakan orang2 Ceng yang
hendak mencelakai anakbuah Lo-san, ataukah pasukan
Beng yang menyerang markas Ceng, Lo-san siangjin
memutuskan untuk keluar menyelidiki.
Dia tak mau keluar dari pintu melainkan loncat ke atas
langit2 rumah, membuka beberapa genteng dan menerobos
keluar. Tetapi baru saja dia hendak turun ke bawah, seorang
lelaki tegap telah menyerang dengan sebatang golok.
"Uhhhh ..........," dalam polisi yang belum siap, hampir
saja kaki Lo-san siangjin terbabat oleh pedang orang.
Untung dia gunakan jurus Thiat tin-kio (jembatan gantung
dari besi) meliukkan tubuh ke belakang, lalu ber-guling2
menjatuhkan diri ke bawah dan dengan sebuah gerak Le hi
ta ting a'au Ikan-lele-melenting, diapun berjumpalitan
berdiri tegak.
Tepat pada saat itu, musuhpun sudah melayang dan
membacok kepalanya. Dia menggunakan jurus Alap2-
menyambar-korban.
Saat itu barulah Lo-san siangjin tahu siapa penyerangnya
itu. Orang itu adalah Ka Ting, perwira yang mengepalai
pasukan Ceng.
Dalam pertempuran kemarin, walaupun tak parah tetapi
Lo-san siangjin banyak kehilanga tenaga-murni, setelah adu
pukulan dengan Uk dan Ko Cay Seng. Menyadari bahwa
tenaga-murninya masih belum pulih, Lo san siangjin tak
mau adu kekerasan dengan Ka Ting. Apalagi dia bertangan
kosong dan Ka Ting memakai senjata pedang.
"Uh," Ka Ting mendesuh kejut ketika pedangnya
membacok tanah. Lo-san siangjin dengan gerak It-ho-jongthian
atau Burung-bangau-membumbung-ke udara, telah
mencelat keatas hingga dua tombak tingginya. Kemudian
dia lanjutkan dengan gerak Kek cu hoan-sim (burungmerpati-
berbalik tubuh) untuk membuat sebuah salto
(berjumpalitan) lalu dengan kepala dibawah dan kaki diatai,
dia menukik turun ke arah Ka Ting.
Gerakan Lo-san siangjin itu dilakukan luar biasa
cepatnya sehingga saat itu Ka Ting sedang membungkuk
membacok tanah dan belum sempat berbalik tubuh, tangan
Lo-san siangjin sudah menjulur untuk menusuk tengkuk
orang.
Tetapi ternyata Ka Ting juga bukan jago lemah. Dia
cepat gunakan jurus Hong-hong-tiamthau atau (burung
hong menundukan kepala) lalu dilanjutkan dengan jurus
Pek lio lio.sat atau burung-bangau-menggurat pasir, dia
loncat mendatar ke muka.
"Bagus!" seru Lo-san siangjin yang saat itu sudah
bergeliatan tegak di tanah, "memang sudah kuduga bahwa
engkau tentu akan mencelakai diriku."
Ka Ting tertawa, "Apakah engkau kira yang pintar itu
hanya engkau sendiri? Sudah bertahun-tahun orang2 Lo-san
tak mau bekerja pada kerajaan Ceng, masakan sekarang
mendadak sontak engkau datang untuk bergabung dengan
kami? Ho, bukankah dalam pertempuran kemarin masih
jelas engkau berfihak kepada pasukan Beng!"
"Ya, engkau memang bermata tajam, perwira Ceng,"
seru Lo-san siangjin, "tetapi sikap dan kerut wajah serta
sinar matamu dikala menerima kedatanganku, sudah
kuketahui semua."
"Pertapa," sahut Ka Ting, "ketahuilah, Ko tayjin telah
pergi ke sarangmu di puncak Lo-san untuk menyelidiki
keadaanmu. Kebetulan engkau bersama anakbuahmu
datang kemari. Percayalah, sarangmu tentu akan
dihancurkan Ko tayjin dan engkau sendiri, ha, ha, engkau
adalah ibarat ikan yang sudah berada dalam jaring .......... "
Lo-san siangjin terkejut. Yang berada di markas Lo-san
hanya kakek Lo Kun dan bocah gemuk Uk Uk. Ia tahu
kedua kakek dan cucunya memang memiliki kepandaian
yang sakti tetapi sayang pikiran mereka limbung dan
linglung. Berhadapan dengan Ko Cay Seng yang licik dan
banyak akal muslihatnya, kemungkinan besar kakek Lo
Kun dan Uk Uk tentu celaka.
Diapun teringat bahwa saat itu Sian Li sedang turun
gunung untuk menemui Bok Kian. Apabila nona itu sudah
kembali kepuncak, kemungkinan tentu dapat menghadapi
Ko Cay Seng. Tetapi apabila belum, ah ...... Tak terasa Losan
siangjin telah mengucurkan keringat dingin. Dia yang
hendak menyiasati lawan, kini berbalik malah disiasati
lawan.
"Hm, untuk menolong keadaan yang berbahaya ini tiada
lain jalan kecuali harus lekas2 menyelesaikan peiwira Ceng
ini," akhirnya ia menjatuhkan keputusan.
"Jangan terburu-buru berkokok dulu, orang Ceng. Lihat
saja siapa yang menjadi ikan dalam jaring dan siapa yanag
menjadi si tukang tangkap ikan," serunya setelah
menenangkan diri.
Segera keduanya terlibat dalam pertempuran yang seru.
Tetapi bagaimanapun hebatnya perwira itu, namun
berhadapan dengan seorarg yang pernah menggetarkan
dunia persilatan seperti Lo-san siangjin, akhirnya runtuhlah
daya perlawanan Ka Ting.
Akhir daripida pertempuran maut itu terjadi ketika Losan
siangjin terpaksa mengeluarkan jurus simpanannya
yang disebut Lik-biat-sam-san atau Tenaga-menghantamtiga-
gunung.
Sebenarnya sumber dari jurus maut itu berasal dari
perguruan Siau-lim-si dan diciptakan oleh pendirinya yakni
Tat Mo cousu. Tetapi Losan siangjin yang mendalami jurus
itu telah mengadakan perobahan dan menyempurnakannya
sehingga dia harus memakan waktu belasan tahun untuk
menguasai jurus itu.
Dengan sikap tenang, dia menghindar bacokan pedang
Ka Ting yang mengarah ke kepalanya. Dan kesempatan itu
segera dimanfaatkan dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya. Tangan kiri menyodok perut, tangan kanan
mencengkeram tenggorokan dan sebelum mengenai
sasarannya, tangan kiri tadi sudah diangkat pula untuk
menghantam pelipis orang.
Ka Ting yang terkejut karena perutnya terancam,
berusaha untuk mengisar tubuh ke samping tetapi dia tak
tahu kalau gerakan itu sudah djjaga oleh tangan kiri lawan
yang menghantam pelipisnya, krakkkk ....... , Ka Ting
menjerit ngeri dan rubuhlah perwira Ceng itu dengan tulang
pelipis remuk dan jiwanyapun melayang....!
"Siancay ! Siancay !" Lo-san siangjin rangkapkan kedua
tangan ke dada dan, mulutpun berdoa, "membunuh adalah
dosa. Semoga Hud-ya melimpahkan ampun dan berkenan
menerima perwira ini disisinya."
Sudah puluhan tahun Lo-san siangjin meninggalkan
dunia keramaian dan mengasingkan diri sebagai pertapa di
gunung Lo-san. Dan saat itu barulah yang pertama kali dia
membunuh jiwa manusia.
Setelah tertegun beberapa saat, dia segera menghampiri
mayat perwira itu, "Sicu, maafkan pinto ...... "
Setelah itu dia lalu menuju ke tempat suara pertempuran
yang gaduh itu, Ternyata saat itu . sedang berkobar
pertempuran antara pasukan Ceng dan anakbuah Lo-san. Ia
segera melihat Ui Bin tengah memimpin anakbuahnya
untuk melawan serangan musuh. Tetapi Lo-san siangjin
yang bermata tajam segera mengetahui bahwa gerak gerik
anakbuah Lo-san termasuk Ui Bin itu tampak lemah sekali,
seperti orang yang lesu. Sedang prajurit2 Ceng menyerang
dengan gagah dan genah.
"Heran mengapa Ui ji-te tampak begitu lesu, pada hal
biasanya dia selalu bersemangat,” pikirnya.
“Auh ………”
Lo san siangjin tersentak seketika manakala
menyaksikan sebuah pemandangan yang membuat
semangatnya seperti melayang.
Ui Bin yang saat itu sedang menghalau serangan dari
mukaj tiba2 seorang prajurit Ceng telah menombaknya dari
belakang. Ui Bin menjerit ngeri dan rubuh. Lo-san
siangjinpun marah seketika. Sekali ayunkan tubuh, dia
sudah tiba di muka prajurit Ceng itu dan sekali tangan
mengayun, prajurit itu tak dapat menjerit lagi karena batok
kepalanya hancur lebur, benaknya terburai.
Lo-san siangjin sudah terlanjur tak dapat menguasai
kemarahannya. Dia mengamuk seperti harimau yang
mencium darah. Sudah tentu kawanan prajurit itu tak dapat
menandingi jago tua yang sakti itu. Dalam waktu yang tak
lama, kawanan prajurit itu sudah tersapu bersih. Yang luka
dan mati berserakan memenuhi markas, sedang yang masih
hidup berebutan untuk lari menyelamatkan jiwa.
Sisa2 prajurit yang melarikan diri itu menuju ke tepi
sungai dimana perahu2 mereka disimpan tetapi alangkah
kejut mereka ketika melihat perahu2 itu hilang semua. Dan
sebagai gantinya mereka disambut oieh pasukan Beng yang
siap membabat. Sudah tentu kawanan prajurit Ceng itu lari
pontang panting masuk kedalam hutan.
Ternyata Bok Kiam telah melaksanakan pesan Sian Li.
Dengan memimpin pasukan Beng, dia menghampiri tempat
perahu2 pasukan Ceng dan kemudian menyingkirkan
perahu2 itu ke tempat yang aman.
"Oh, Bok kongcu," seru Lo-san siangjin ketika
menyambut kedatangan Bok Kian bersama anak
pasukannya, "kongcu juga menyerang mereka?"
Dengan singkat Bok Kian lalu menuturkan apa yang
dirudingkannya dengan Sian Li, "Kini perahu2 mereka
telah kami ambil, mereka tak dapat menyeberang sungai
Hongho lagi," katanya.
"Sekarang pasukan musuh telah hancur berantakan,"
kata Lo-san siangjin, "tetapi kepala mereka yaitu orang
yang bersenjata sepasang thiat-pit masih belum tertangkap.
Kata anakbuahnya, dia sedang menuju ke markas Lo-san."
"Jika begitu, marilah kita naik keatas. Orang itu tentu
masih berada di sana," kata Bok Kian.
Lo-san sangjin mengiakan. Dia dan Bok Kian serta
pasukan Beng segera mendaki ke puncak. Tetapi sayang
mereka tak berpapasar dengan Ko Cay Seng yang sedang
menuruni gunung hendak kembali ke selat Hay-teng-kok.
Ko Cay Seng menempuh jalan yang berbeda dengan
rombongan Lo-san siangjin. Dan akibatnya kedua fihak
sama2 menderita kejut yang tak terhingga. Lo-san siangjin
terkejut karena markasnya menjadi tumpukan puing. Kakek
Lo Kun, Uk Uk dan Sian Li tak tampak. Ko Cay Sengpun
mendelu seperti dicekik setan karena markas pasukannya di
selat Hay-teng-kok sudah berantakan, penuh dengan
prajurit2 yang sudah menjadi mayat yang malang melintang
disana sini. Tak seorang prajurit pun yang dapat
diketemukan disitu. Menduga kalau anakbuahnya lari
pulang, dia terus menuju ke tepi sungai, di pangkalan
tempat perahu2 mereka ditambatkan. Tetapi ah, perahu,
itupun lenyap semua.
"Apakah mereka naik perahu dan pulang?" Ko Cay Seng
menimang-nimang dalam hati. Tetapi pada lain saat, dia
membantah sendiri, "ah, tak mungkin. Mereka taat
kepadaku. Mereka tentu tak berani meninggalkan aku.
Karena mereka harus memberi pertarggungan jawab
apabila menghadap atasarnya yang menyuruh mereka
menyusup ke selat Hay-reng-kok sini ....... Lalu kemanakan
mereka?” Tanya Ko Cay Seng dalam hati. Kemudian ia
teringat akan keterangan kakek Lo Kun bahwa Lo san
siangjin hendak mengundang pimpinan pasukan Ceng
supaya datang ke Lo san.
"Kalau begitu, kakek itu tidak mengoceh tetapi memang
berkata benar. Dan kalau begitu pula, kemungkinan Lo-san
siangjin tentu bentrok dengan perwira Ka Ting dan
bertempur. Menilik keadaan disini, tentulah pasukan Ceng
telah menderita kekalahan .......... "
"Celaka," tanpa disadari dia berteriak, "aku dapat
membakar markas Lo-san, tetapi orang Losan juga
menghancurkan markas pasukan Ceng disini."
Tiba2 ia teringat akan orang tawanan yakni Lau Bun Sui,
putera jenderal Lau Cek Jing. Memang putera jenderal itu,
dialah yang menangkapnya dan disembunyikan dalam
sebuah gua rahasia. Ia telah mengatur siasat yang bagus
sekali, mengirim surat kepada jenderal Lau Cek Jing
tentang puteranya yang telah ditangkap itu dan menekan
agar jenderal itu mau menarik mundur pasukannya dari
wilayah Sanse. Penangkapan putera jenderal Lau itu terjadi
dikaki gunung Lo-san hingga menimbulkan kesan kepada
jenderal Lau, bahwa Lo-san sekarang sudah bersekutu
dengan pasukan Ceng.
Siasat dapat diatur dengan bagus tetapi akibatnya
ternyata tidak seperti yang diharapkan., Lo-san tetap tak
mau bekerjasama dengan pasukan Ceng dan malah telah
mengobrak-abrik markas pasukan Ceng di selat Hay-tengkok
dan membunuh-bunuhi prajurit2 Ceng.
Bo Su Cay Jin, Seng Su Cay Thian. Demikian bunyi
sebuah pepatah yang artinya: Manusiai berdaya, Tuhan
yang memutuskan. Dan hal itu telah dialami Ko Cay Seng.
Namun Ko Cay Seng bukanlah seorang jago yang
mudah putus asa. Ia sudah kenyang makan asam garam
pengalaman dalam peperangan yang memakan waktu
bertahun-tahun, antara tentara Ceng dengan tentara
kerajaan Beng. Ia menganggap, menang atau kalah itu
sudah lumrah dalam peperangan. Jangankan hanya
menghadapi kelompok sekecil Lo san, bahkan melawan
tentara kerajaan Beng yang begitu besar dan kuat, toh
tentara Ceng dapat menang. Dan bukankah dia masih
mempunyai sebuah senjata yang ampuh berupa putera
jenderal Lau yang sudah ditawannya itu?
Ia segera ayunkan langkah menuju ke gua tempat ia
menyimpan Lau Bun Sui. Gua itu terletak di sebuah karang
yang merupakan dinding penahan air sungai Hongho. Gua
itu terletak di tengah karang yang tingginya lima tombak.
Untuk mencapai gua itu, orang harus menggunakan alat tali
melorot ke bawah. Pada waktu musim hujan, karang amat
licin sehingga kalau tak hati2, orang dapat tergelincir jatuh
ke bawah dan tenggelam dalam air sungai. Gua itu
ditemukan ketika tentara Ceng datang ke daerah situ.
Ko C iy Seng meluncur turun kedalam gua. Ternyata
Lau Bun Sui memang masih berada disitu. Pemuda itu tak
dapat bergerak kemana-mana karena sebelah kakinya diikat
dengan rantai yang ujungnya diikatkan pada segunduk batu
besar.
"Mau apa engkau!" bentak Lau Bun Sui ketika Ko Cay
Seng datang.
"Jangan banyak mulut!" kata Ko Cay Seng, "kau harus
ikut aku."
"Tidak, bunuhlah aku!"
"Tak perlu, jiwamu berharga sekali," kata Ko Cay Seng,
"sudahlah, jangan kuatir. Kalau engkau menurut, kelak
engkau tentu akan menikmati kehidupan yang enak.
Engkau akan kuusulkan menjadi ti-hu (residen) daerah
mana yang engkau senangi."
"Huh, apakah engkau seorang raja?" ejek Bun Sui.
"Bukan, aku juga bangsa Han seperti engkau," kata Ko
Cay Seng, "tetapi aku merasa muak terhadap raja Beng dan
mentri serta pembesar2 kerajaan. Mereka tidak becus
mengurus pemerintahan tetapi hanya pandai menindas
rakyat untuk memperkaya diri mereka. Aku rela bekerja
kepada kerajaan Ceng karena kerajaan Ceng dapat
menghargai tenagaku dan memperlakukan aku dengan
baik. Aku percaya kerajaan Ceng-lah yang kelak akan
membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kehidupan
rakyat kita."
"Terserah saja kalau engkau mau menjadi budak orang
Ceng. Tetapi. jangan harap engkau dapat membujukku,"
seru Ban Sui, "biar buruk, biar jahat, tetapi kerajaan Beng
adalah kerajaanku, aku tetap seria kepada Beng."
Ko Cay Seng tertawa, "Engkau seoraig penghianat !"
"Jangan bicara seenakmu sendiri. Aku tidak takut mati,
Kalau mau bunuh, bunuhlah. Tetapi aku tetap akan
mengatakan bahwa engkaulah yang layak disebut
penghianat itu!"
"Anak cacing !" teriak Ko Cay Seng," aku ingin bertanya
kepadamu, apakah yang disebat penghianat itu ?"
"Penghianat yalah orang yang bekerja pada lain bangsa
untuk mencelakai bangsa dan negara nya sendiri !"
"Ocehanmu itu, bukan keluar dari buah pikiranmu
sendiri melainkan hanya menjiplak apa yang dikatakan
orang. Sekarang jawablah, mana yang layak disebut
penghianat. Orang yang membiarkan raja, mentri dan
pembesar2 bangsanya bertindak sewenang-wenang
menindas rakyat, atau orang yang bekerja sama dengan
bangsa lain untuk memberantas keadaan yang mencelakai
rakyat?"
"Kalau engkau anggap raja, negeri dan pembesar2 kita
tidak becus dan korup, mcnjapa engkau tidak memberantas
mereka ? Mengapa engkau harus mengundang bangsa lain
untuk menindak rajamu sendiri ?"
"Hm, itu memang dalih yang biasa digunakan orang
untuk memaki orang yang bekerjasama dengan kerajaan
Ceng. Tetapi ketahuilah, aku sudah berusaha kearah itu
tetapi tak ada orang yang mau membantu bahkan
mendengarkan omongan-kupun mereka merasa jijik. Oleh
karena itu aku bertindak menurut caraku sendiri. Aku
seorang diri jelas tak mungkin akan memberantas keadaan
yang bobrok di kerajaan Beng itu. Maka aku terpaksa mau
bekerjasama dengan kerajaan Ceng untuk menumbangkan
kekuasaan raja Beng yang gelap pikiran, memberantas
kaum dorna dan pembesar2 yang tak becus itu. Aku tidak
mempedulikan siapa yang menjadi raja, pokok dia dapat
memberi kebahagiaan dan kesejahteraan kepada rakyat, aku
akan mendukungnya. Orang boleh menuduh aku tidak
cinta negara, tidak setya tetapi orang harus melek bahwa
aku ingin membahagikan rakyat. Aku tidak cinta negara
tetapi aku lebih cinta rakyat," kata Ko Cay Seng dengan
berapi-api.
"Hm, sudahlah, tak perlu engkau ngotot begitu kalap,"
kata Lau Bun Sai, "katakan apa maksudmu datang kemari
?"
"Akan kubawamu menghadap panglima Torgun.
Percayalah, dia seorang yang bijaksana. Kalau engkau mau
bekerja dengan dia, dia tentu akan memberimu pangkat dan
kedudukan yang layak dengan kecakapanmu."
Bun Sui diam. Ia membayangkan akan keadaan dirinya.
Sebagai anak seorang jenderal dia memang telah hidup
dalam kemanjaan. Apalagi setelah timbul peperangan,
undang2 perang berlaku di seluruh negara, dia makin
senang hidupnya. Dia dapat mengganggu wanita mana saja
yang di-ingininya. Rasanya tak mungkin lagi ada
kenikmatan hidup yang dapat melebihi keadaannya saat itu.
Jika dia mau tunduk pada kerajaan Ceng, apakah kerajaan
Ceng mau memberinya kedudukan dan kenikmatan hidup
seperti yang ia alami saat itu ?
"Lau kongcu," kata Ko Cay Seng pula. Kali ini dia
menyebut Bun Sui dengan kata menghormat 'kongcu'.
Rupanya dia dapat menyelami keraguan anak jenderal itu,
"lihat diriku, Walaupun aku seorang Han, tetapi panglima
Torgun mau menaruh kepercayaan penuh kepadaku.
Semua prajurit sampai perwira Ceng, diharuskan
menghormat dan tunduk padaku. Kelak apabila peperangan
sudah selesai, akupun akan diangkat sebagai gubernur di
salah sebuah propinsi. Jika engkau mau bekerja dan benar2
setya kepada kerajaan Ceng, bukan mustahil kalau kelak
engkau akan diangkat sebagai tihu (residen)."
Ia berhenti sejenak Ko Cay Seng melanjutk lagi, "Justeru
sekaranglah saatnya kita mendirikan jasa. Apabila perang
sudah selesai tentu sukar untuk mendapat kedudukan
tinggi. Ketahuilah, kongcu, sudah menjadi kodrat hidup
bahwa segala sesuatu itu tidak kekal. Demikian pula dengan
kerajaan. Kerajaan Beng sudah lama berdiri, ibarat orang
sudah terlalu tua, harus mati dan diganti dengan yang baru.
Wahyu kerajaan Beng sudah pudar dan beralih kepada
kerajaan Ceng. Buktinya dengan mudah saja pasukan Ceng
dapat menduduki kotaraja Pak-kia. Memang kalau sudah
tiba saatnya kerajaan itu harus tenggelam maka dengan
mudah saja dia akan dikalahkan. Segala kebobrokan
pemerintahan Beng yang dilakukan oleh mantri2 rakus dan
jenderal2 tak becus, hanyalah suatu alat dari-kodrat untuk
menghancurkan kerajaan itu."
Ban Sui termenung. Mau tak mau ia terpengaruh juga
mendengar kata2 Ko Cay Seng. Diam2 ia mengakui
kebenarannya. Menilik bagaimana kalutnya pemerintahan
Beng, dimana mentri2 dan jenderal2 saling berebut
kekuasaan, sedang raja tak mau mengurus pemerintahan,
memang apa yang dikatakan Ko Cay Seng itu akan segera
menjadi kenyataan.
Tetepi dia masih takut akan ayahnya. Walaupun
ayahnya sayang kepadanya tetapi sebagai seorang jenderal
dia memang keras.
"Begini kongcu," kata Ko Cay Seng, "aku ada usul, entah
kongcu dapat menyetujui atau tidak."
"Apa?"
"Akan kupersilakan kongcu pulang. Usahakan untuk
membujuk agar ayah kongcu, Lau ciangkun, mau bekerja
sama dengan kerajaan Ceng. Dan setiap kali kongcu
mendengar berita tentang gerakan pasukan Beng, harap
kongcu suka memberi kabar kepada kami. Akan kusuruh
orangku setiap kali menghubungi kongcu. Dia akan
memberi petunjuk kepada kongcu, bagai mana kongcu
harus bertindak dan akan menerima kabar dari kongcu
.......... "
"Agar tidak diketahui orang dan agar kong-cu dapat
mengetahui dia utusanku atau bukan setiap kali bertemu
cukuplah kongcu menegurnya dengan kata2 sandi ‘Gunung
tinggi’. Dan orang itu harus dapat menjawab ‘hidup lagi’ .
Nah, kongcu boleh mempercayakan kepentingan kongcu
kepadanya," kata Ko Cay Seng pula.
‘Gunung tinggi' dalam bahasa aselinya disebut Ko San.
Dan ‘hidup lagi' , adalah Ciy Seng. Dengan begitu jelas kata
sandi itu berarti Ko ( san ) Cay Seng.
"Sebagai tanda dari persetujuan kita, temuilah bingkisan
ini," Ko Cay Seng menyerahkan sebuah kantong.
Ketika Bun Sui menerima dan membukanya, ternyata
berisi batu permata berlian yang tak ternilai harganya,
"Kongcu dapat mempergunakan benda itu untuk
mempengaruhi anak pasukan agar taat pada kongcu," kata
Ko Cay Seng lebih lanjut, "benda2 berharga itu tak berarti.
Jangankan hanya sekantong, sekarungpun kongcu pasti
akan bisa mendapatkan. Lihatlah aku. Pada setiap kali,
pasukan Ceng menduduki daerah atau kota, waktu aku
datang memeriksa, perwira2 Ceng itu akan
mempeirsembahkan barang2 berharga kepadaku. Mereka,
takut dan tunduk kepadaku. Kongcupun akan dapat
mencapai kedudukan seperti aku apabila kong-cu
bersungguh hati setya dan berjasa kepada kerajaan Ceng.
Apapun kongcu tentu dapat memperolehnya dengan
mudah, termasuk wanita2 cantik.",
Mendengar kata2 yang terakhir tentang wanita cantik,
terhenyaklah pikiran Lau Bun Sui. Memang kalau menilik
jalannya peperangan, pasukan Beng sukar untuk bertahan
menghadapi serangan pasukan Ceng. Rasanya nasib
kerajaan Beng sudah diambang senjakala.
Diapun membayangkan ayahnya. Kalau ayahnya itu
setya kepada kerajaan Beng, jelas tentu akan mengalami
nasib yang gelap. Sebagai seorang putera ia harus
menyelamatkan jiwa ayahnya. Ia akan membujuk ayahnya
agar mau bekerja, di kerajaan Ceng supaya tetap lestari
menjadi jenderal.
“Seorang laki2 harus berani melaksanakan cita2 yang
besar," katanya dalam hati, ''sekarang adalah saat2 untuk
mengangkat diri menjadi orang agar kelak dapat mencapai
pangkat dan kedudukan tinggi. Jelas kerajaan Beng sudah
suram. Wahyu kerajaan pindah kepada kerajaan Ceng. Aku
harus berani menentukan sikap memilih junjungan yang
tepat."
Rupanya Ko Cay Seng dapat memperhatikan perobahan
airmuka Bun Sui. Walaupun tidtk memberi pernyataan
dengan mulut, tetapi jelas putera jenderal itu sudah
menerima tawarannya.
"Kongcu, mari kita keluar," kata Ko Cay Seng. Setelah
berada di luar, Ko Cay Seng berkata, "mari kita pergi ke
bukit di sebelah muka itu. Pengiring kongcu berada disana."
"O, bagaimana keadaan mereka?"
"Luka-lukanya sudah sembuh dan mereka-pun sudah
menerima tawaranku. Mereka tetap akan menjaga dan
melindungi kongcu. Kongcu boleh mempercayakan kabar
yang kongcu hendak sampaikan kepadaku nanti, kepada
mereka."
Dalam keadaan yang sudah menjadi kenyataan itu, Lau
Bun Sui tak dapat berbuat apa2 lagi.
Untuk mencapai bukit itu, keduanya harus melalui hutan
yang tumbuh di sepanjang tepi sungai Hong-ho.
II.
Mancing angin
Saat itu masih pagi. Setelah melepaskan prajurit!
pengiring Bun Sui yang ikut minggat dengan anak jenderal
itu karena mendapat hukuman rangket dari jenderal Lau
Cek Jeng, maka Ko Cay Seng pun segera akan berpisah.
Dia akan menyeberang sungai Hong-ho untuk memberi
laporan kepada panglima Ceng.
Jalan yang menyusup ke hutan di sepanjang tepi sungai
Hong-ho, memang berbahaya. Jalan itu merupakan jalan
setapak. Terutama kalau musim hujan, jalan itu licin sekali.
Sekali tergelincir, orang tentu akan jatuh kedalam sungai
Hongho yang airnya kuning.
Tengah keduanya berjalan dengan menumpahkan
perhatian pada jalan yang harus dilaluinya, tiba2 Bun Sui
menjerit dan tahu2 tubuhnya pun terangkat keatas.
Ko Cay Seng loncat mundur dan bersiap.
"Wah, celaka! Bukan babi hutan tetapi manusia!"
terdengar suara orang berteriak dengan, nada yang parau.
Bun Sui yang terapung-apung diatas menjerit-jerit, "Hai,
siapakah yang menarik aku ini !"
Diapun meronta-ronta dan berusaha untuk melepaskan
benda yang mengait di tengkuk bajunya. Tangannya segera
mencekal sehelai tali yang lembut, hanya sebesar benang. Ia
berusaha untuk memutuskannya tetapi tak berhasil. Dan dia
rasakan tubuhnya makin lama makin naik keatas. Akhirnya
dia nekad. Dengan sekuat tenaga dia meronta kebawah,
brattttt...... memang Bun Sui berhasil meluncur ke tanah
tetapi leher baju anak jederal itu hilang dan bajunyapun
robek separuh.
"Wah, babi itu nakal sekali, berani melepas kan diri,"
terdengar pula suara parau itu.
Baru Bun Sui berdiri ditanah, ia rasakan tu buhnya
terangkat lagi keatas. Celaka, kalau tadi leher baju belakang
yang ditarik keatas, sekarang sabuk pinggangnya. Dan jika
tadi dia terangkat keatas dalam posisi berdiri, sekarang dia
harus membungkuk, kepalanya terkulai kebawah sejajar
dengan kakinya, dalam keadaan seperti itu, dia benar2 mati
kutu.
"Ko tayjin, tolonglah aku !" teriaknya meminta
pertolongan Ko Cay Seng.
Ko Cay Seng memang terkejut sehingga dia terlongonglongong.
Dia sadar kalau Bun Sui sedang terancam maut.
Cepat dia ayunkan tubuh dalam gerak It-ho-jong-thian atau
Burung-bagau-menerobos- langit. Bagaikan sebuah meteor,
dia membubung keatas.
"Auh....., " tiba2 ia mendesuh kejut dan terpaksa
berjumpalitan turun karena dadanya didupak kaki Bun Sui.
Ternyata waktu Ko Cay Seng melambung ke atas tiba2
tubuh Bun Sui itupun bergerak melayang menyongsongnya.
Bun Sui keloncalan dan tanpa sengaja kakinya telah
mendupak dada Ko Cay Seng.
Ko Cay Seng penasaran. Ia tahu bahwa orang yang
mengait Bun Sui itulah yang memainkan tubuh Bun Sui
untuk membenturnya. Sekali lagi dia melambung ke udara.
Tetapi pada saat itu pula, tubuh Bun Suipun meluncur
turun ke bawah sehingga Ko Cay Seng kecele. Ia segera
meluncur turun tetapi pada saat itu tubuh Bun Sui ditariki
keatas lagi.
Ko Cay Seng kesima. Siapakah gerangan yang
mempermainkan Bun Sui itu ? Setan ? Ah,, tak mungkin.
Dia tak percaya. Tentulak bangsa manusia. Dan untuk
membuktikan dugaannya ia memandang keatas dan
meneliti setiap dahan dan daun.
"Ah," dia mendesuh kejut ketika melihat sebuah
pemandangan yang aneh. Pada sebatang, dahan yang
tertutup oleh gerumbul daun lebat, ia melihat seorang kakek
tua duduk bersama seorang gadis.
Rambut putih dari kakek itu terurai menutup kedua bahu
dan kumis serta jenggotnya yang putih rnenjulai menutupi
dada. Dan ketika memandang si gadis, Ko Cay Seng
hampir menjerit kaget. Gadis itu, ya, gadis itu bukankah
gadis yang hendak ditangkapnya tetapi akhirnya loncat
kedalam sungai Hong- ho ?
"Lojin, dialah yang mencelakai aku," tiba2 gadis itu
bicara seraya menuding kepada Ko Cay Seng.
"O, apa engkau hendak menangkapnya?” tanya si kakek.
"Ya, dia akan kulempar kedalam sungai," kata gadis itu.
"Baik, tetapi engkau harus hati2. Dia seekor macan
kumbang yang berbahaya."
Si gadis terus melayang turun dan tepat berdiri
dihadapan Ko Cay Seng.
"Engkau ....... engkau bukan gadis yang kemarin loncat
kedalam sungai ?" seru Ko Cay Seng.
"Ya," sahut gadis itu yang tak lain adalah Sian Li.
"Engkau .... engkau .... masih hidup ?"
"Masih," sahut Sian Li, "setan penunggu sungai Hong-ho
menolak kedatanganku. Aku dikembalikan ke dunia dengan
sebuah pesan."
"Apa ?"
Disuruh mengirim engkau kepadanya. Raja penunggu
sungai Hongho hendak menikahkan puterinya dan
membutuhkan pelayan. Engkau akan dijadikan salah
seorang pelayang di sana."
"Budak liar!" bentak Ko Cay Seng, "akan kukembalikan
engkau kepada setan sungai Hong-ho."
"Yang dicari adalah engkau, bukan aku. Lekas engkau
serahkan diri!" Sian Li terus loncat menerjang dengan
pedang ditebaskan untuk membelah kepala orang.
"Bagus," seru Ko Cay Seng seraya menghindar, iapun
mengeluarkan sepasang pit-besi dan mulai balas
menyerang.
Dengan ilmu menutuk yang lihay. Ko Cay Seng
mendesak Sian Li. Sepasang pit-besinya bagai sepasang
naga yang berebut mustika. Tetapi pada saat ia mendapat
peluang untuk menutuk bahu Sian Li, sekonyong-konyong
dari atas berhembus angin keras yang hendak menghantam
ke padanya. Buru2 ia menyurut mundur. Ah, ternyata angin
keras itu adalah tubuh Bun Sui yang meluncur kearah
kepadanya.
Melihat Bun Sui melayang di hadapannya, dengan cepat
Ko Cay Seng terus menubruknya tetapi kejutnya bukan
kepalang ketika tubuh Bun Sui melayang keatas. Ko Cay
Seng menubruk angin kosong dan tepat pada saat itu Sian
Li pun membacok kepalanya, sringngng ....
Ko Cay Seng memang hebat. Didamping itu dia
memang sudah banyak makan asam garam dalam
pertempuran. Dalam menghadapi ancaman maut itu, dia
tak gugup. Dengan gerak Hong-hong-tiam- thau atau
Burung-hong-menundukkan-kepala, tundukkan kepalanya.
Pedang Sian Li yang menyambar beberapa inci diatas
kepalanya tak berhasil membelah kepala Ko Cay Seng
tetapi hanya dapat memapas kopiah sasterawan yang
dikenakan Ko Cay Seng. Segumpal rambutnya yang ikut
terbabat, berhamburan rontok.
Setelah menundukkan kepala, Ko Cay Seng loncat ke
belakang. Dia mengucurkan keringat dingin ketika melihat
hamburan rambutnya. Ia menyadari bahwa saat itu dia
sedang berhadapan dengan seorang sakti. Jika Sian Li saja,
dia masih sanggup untuk mengalahkan. Tetapi kakek
berambut putih yang mengait tubuh Bun Sui itu, sukar
dilawan. Dia tak tahu dengan alat apa maka Bun Sui dapat
dipancing keatas dan dilayangkan naik turun. Tetapi yang
jelas, kakek itu tentu seorang sakti yang luar biasa.
Setelah memperhitungkan bahwa dia takkan menang
bahkan lebih banyak akan celaka kalau melanjutkan
pertempuran dengan Sian Li, dia segera mengambil
keputusan. Dia merogoh segenggam senjata rahasia thiatlian-
cu lalu ditaburkan ke arah Sian Li.
Tring, uing, tring .... Sian Li memutar pedang untuk
menyapu senjata rahasia yang berbentuk seperti bunga
teratai itu. Tetapi pada saat dia sibuk melakukan itu, Ko
Cay Sengpun sudah loncat ke belakang dan terus melarikan
diri.
"Tak perlu dikejar," seru kakek tua itu ketika Sian Li
hendak mengejarnya. Kakek itu tahu. bahwa Sian Li masih
kalah lihay dari orang itu. "kita kan sudah dapat
menangkap seekor babi. Tak perlu temaha memburu macan
kumbang itu."
Dalam pada berkata-kata itu, kakek rambut putihpun
sudah melayang turun dari dahan pohon pada ketinggian
lima tombak. Anehnya tubuh Bun Sui masih bergelantung
terpisah dua meter dari tanah.
"Siapakah macan kumbang tadi?" tanya kakek itu
'"Dia kaki tangan kerajaan Ceng."
"Kerajaan Ceng? Apakah sekarang sudah ganti
kerajaan?"
"Yang memerintah negara kita sekarang ini, adalah
kerajaan Beng tetapi orang2 Ceng dapat menyerang dan
menduduki kotaraja lalu mendirikan kerajaan baru."
"Apakah Cu Goan Ciang yang mendirikan kerajaan
Beng itu masih hidup?"
"Ah, lojin ini bagaimana. Dia kan sudah hampir seabad
meninggal. Sekarang sudah raja Beng turunan yang
keempat."
“Ah, itulah kalau orang ingin jadi raja. Cu Goan Ciang
itu sedesa dengan aku. Dia jadi raja aku jadi tukang
pancing. Dia sudah mati aku masih bernyawa. Apa sih
enaknya jadi raja. Banyak pusing mengurus pemerintahan,
banyak kesenangan berpesta dan wanita. Akhirnya lekas tua
lekas mati .......... "
Sian Li melihat tubuh Bun Sui yang masih terkatungkatung
diatas tak berkutik, "Lo-jin, dia tak berkutik, jangan2
dia juga mati!" serunya.
Kakek tua itu enjot tubuhnya keatas sebuah dahan, dari
situ dia melayang lagi keatas dahan tempat dia duduk lagi.
Dia melepaskan tali pengait tubuh Bun Sui dan anak
jenderal itupun meluncur turun ke tanah.
"Bagaimana, apa dia mati?" seru kakek itu ketika
melayang turun ke tanah.
"Dia masih bernapas tetapi pingsan," sahut Sian Li.
Sejenak kakek itu mencekal tangan Bun Sui dan
memeriksa denyut nadinya, "Ah, dia terkenu tutukan pada
lambungnya. Tak apa setengah jam lagi dia tentu sudah
sadar lagi."
Siapakah kakek tua itu? Dan mengapa Sian Li tidak mati
tetapi berada bersama kakek itu? Untuk jelasnya, mari kita
mundur dulu, mengikuti peristiwa ketika Sian Li mencebur
ke dalam sungai Hong-ho.
Sian Li memang telah mendapat didikan ilmusilat yang
tinggi dari Kim Thian Cong. Disamping ilmusilat, Kim
Thian Congpun telah menempa jiwanya menjadi seorang
gadis yang keras hati. Maka ketika Ko Cay Seng hendak
menangkapnya, ia kuatir dirinya akan dicemarkan. Lebih
baik mati daripada kehilangan kehormatannya, Maka
diapun terus loncat ke dalam sugai.
Begitu masuk kedalam air, dia tak tahu lagi apa yang
terjadi. Dia merasa mati. Tetapi keesokan harinya ketika
dia membuka mata, dia terkejut sekali ketika mendapatkan
dirinya berada di-sebuah gua. Tetapi yang membuatnya
hampir menjerit dan terus melonjak bangun adalah
beberapa moncong tikus yang tengah memandangnya.
Belasan tikus yang berbulu putih tengah mendekam
berjajar-jajar dibawah tempat dia tidur.
"Tikus ......!" Sian Li terus hendak lari ke luar tetapi pada
saat itu diambang pintu gua tegak seorang kakek berambut
putih. Hampr saja dia membentur kakek itu.
'"Mengapa takut?" tegur kakek berambut putih itu.
"Sia ....... siapa engkau?" Sian Li terkejut memandang
kakek yang rambut, kumis dan jenggotnya putih
memanjang menutupi muka dan dada. Hampir saja Sian Li
mengira kalau sedang berhadapan dengan seekor kera
putih.
"Aku pemilik gua Tikus-putih ini," kata orang tua itu.
"Apakah lojin yang membawa aku kemari?" tanya Sian
Li
"Ya," sahut kakek itu seraya melangkah masuk, "Hai,
anak2, kalian boleh main2 keluar. Anak perempuan itu
takut kepada kalian."
Terdengar kawanan tikus putih itu bcrcicit-cicit dan terus
lari keluar. Sian Li hanya melongo saja.
"Duduk," kakek itu menyuruh Sian Li, "engkau tentu
lapar, bukan ?"
"Lojin," kata Sian Li, "apa lojin yang menolong diriku?"
'Sudahlah, jangan pikirkan hal itu," kata kakek berambut
putih, "dibilang menolong tetapi sebenarnya aku tak sengaja
menolong. Tak perlu engkau mengatakan saat itu,"
"Tetapi bagaimana lojin dapat membawa diriku kemari
?"
"Tadi malam kan bulan purnama," kata kakek berambut
putih itu, "entah bagaimana timbul keinginanku untuk
memancing dilaut sembari menggadangi rembulan
purnama. Tahu2 pancingku terseret air dan hampir saja
akupun ikut tertarik jatuh. Untung aku dapat menahan dan
waktu kutarik ternyata pancingku mengail sesosok tubuh
manusia, ya engkau ini. Lalu kubawamu pulang kemari.
Eh, engkau tentu lapar, tetapi sayang aku tak punya
persediaan beras dan selamanya aku memang tak makan
nasi. Eh, tetapi mungkin engkau doyan. Ambillah dalam
kuali itu, telur kura dan tiram yang kurebus."
"Terima kasih, lojin, aku tidak lapar," katai Sian Li, "aku
mohon tanya siapakah gerangan nama lojin yang mulia ini
??
"Tidak, kalau engkau tak mau makan, aku pun tak mau
menjawab. Hayo, ambillah."
Terpaksa Sian Li mengambil dua butir telur kura, terus
hendak dimakannya.
"Tunggu," seru kakek berambut putih itu, "tidak enak
kalau hanya dimakan begitu saja. Harus di campur dengan
ini," ia menyodorkan sebuah guci.
"Arak ?" tanyak Sian Li.
"Bukan, madu tawon," sahut si kakek,
"Bagaimana lojin memperoleh madu tawon ini?'
Kakek berambut putih itu tertawa, "Engkau tentu heran,
bukan ? Ketahuilah, semua binatang dan margasatwa di
hutan ini, anakbuahku. Merekalah yang menyediakan
makanan kepadaku. Nah itu dia, tawon2 sedang mengantar
madu ......."
Sian Li heran karena dia tak mendengar suara apa2.
Tetapi beberapa saat kemudian, diluar gua terdengar suara
mendengung-dengung yang gemuruh dan pada lain saat
beratus ribu ekor tawon menerobos masuk dan hinggap
pada langit-langit goa. Ternyata pada langit2 gua itu
terdapat beberapa sarang tawon.
“'Nah, setelah kawanan tawon itu pergi, dalam sarang
tawon sudah'penuh madu," kata kakek berambut putih.
Sian Li baru percaya. Ternyata telur kura rebus dicampur
dengan madu, merupakan hidangan yang nikmat dan
menyegarkan semangat.
"Berpuluh-puluh tahun aku tak pernah makan nasi.
Makananku hanya daun2 mentah dan madu. Ternyata aku
tak merasa loyo dan tetap awet muda," kata kakek
berambut putih.
Setelah beberapa saat, Sian Li mengulang pula
pertanyaannya untuk mengetahui nama kakek itu.
Kakek itu merenung beberapa saat. Ia seperti
mengenangkan kehidupannya di masa yang lalu.
"Ah, apabila menceritakan tentang kehidupanku yang
lalu, hanyalah mengundang kasedihan saja, "kakek itu
menghela napas," tetapi hampir berpuluh tahun aku tak
pernah menerima tetamu. Tak apalah, akan kuceritakan
kepadamu riwayatku dulu."
Sian Li menghaturkan terima kasih.
"Dulu aku pernah mencintai seorang gadis. Tetapi
keadaan kita seperti langit dengan bumi. Dia anak orang
kaya dan aku anak petani miskin. Gadis itu juga mencintai
aku tetapi orangtuanya tak setuju. Kemudian gadis itu
dilamar tihu untuk dijodohkan dengan puteranya. Tetapi
gadis itu tak mau dan mengajak aku lari.
"Sudah tentu tihu marah sekali karena merasa dihina.
Dia kerahkan prajurit untuk mengejar. Akhirnya mereka
dapat mengejar aku ketika aku dan pacarku itu lari kedalam
sebuah hutan. Aku nekad melawan tetapi kalah dan
ditangkap. Setelah di rangket sampai pingsan aku
dimasukkan kedalam penjara. Untung sebelum keputusan
hukuman mati sempat dilaksanakan, terjadilah
pemberontakan kaum petani yang dipimpin oleh Cu Goan
Ciang. Mereka juga menyerbu penjara dan membebaskan
orang2 hukuman, termasuk aku.
"Saat itu timbullah dendam kesumatku. Aku segera
mengajak kawan2 untuk menyerbu gedung tihu. Kubunuh
tihu, puteranya dan seluruh keluarga. Sejak itu aku ikut
berjuang untuk menumbangkan kerajaan Goan. Tetapi
dalam pertempuran di sungai Hong-ho aku terluka dan
hanyut dalam sungai.
"Tetapi mungkin nasibku masih belum ditakdirkan mati,
aku telah ditolong oleh seorang penangkap ikan. Ternyata
dia seorang sakti yang mengasingkan diri dari keramaian
dunia. Sejak itu aku menjadi muridnya hingga sampai
sekarang masih tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai
tukang pancing ikan."
"Tetapi lojin, bagaimana dengan gadis tunangan lojin
itu?" tanya Sian Li, "apakah lojin tak pernah menyelidiki
kabarnya?"
Kakek berambut putih itu menghela napas, "Sudah, aku
mendapat idin dari suhu untuk pulang ke desa menjenguk
keluargaku. Ternyata keluargaku sudah hilang tiada
beritanya. Sedang nona tunanganku itupun tak ketahuan
beritanya .... "
"Apakah ....... ah, mudah-mudahan saja nona itu tak
menderita suatu apa," kata Sian Li, "apakah lojin tak
berusaha mencarinya?"
"Sudah," kata kakek itu, "aku mengembara keseluruh
penjuru tanah air untuk mencari gadis itu. Kalau memang
sudah meninggal dimana kuburnya kalau masih hidup
dimana tempatnya."
"Lalu?"
"Pada suatu hari ketika berjalan di sebuah pegunungan
aku telah dihadang oleh orang jahat. Pemimpin mereka
terdiri dari lima orang bersaudara yang berilmu silat tinggi.
Kulawan mereka. Tetapi karena aku hanya seorang dan
mereka berlima, akupun kalah. Untunglah dalam saat2
yang berbahaya itu muncul seorang nikoh (rahib) memberi
pertolongan. Kelima brandal itu dihajar pontang-panting
oleh hudtim (kebut) rahib itu, Aku hendak menghaturkan
terima kasih tetapi rahib itu sudah lari. Kukejar dia, ah,
ternyata ilmu ginkang rahib itu jauh lebih hebat dari aku.
Akhirnya aku kehabisan napas dan menggeletak dibawah
pohon .....
"Aku benar2 kehabisan tenaga. Habis bertempur
melawan brandal lalu lari mengejar rahib aneh itu. Aku
tertidur hingga lewat tengah malam baru tersadar. Ketika
aku membuka mata, kejutku bukan alang kepalang.
Ternyata rahib itu tengah duduk bersila dihadapanku,
bersemedhi pejamkan mata."
'O, engkau ....... suthay .......," serentak aku bangun
hendak membeii hormat.
"Ah, janganlah ....... tak perlu," kata rahib itu," apakah
engkau masih kenal padaku ?"
Pertanyaan itu membuat hatiku berdebar keras. Memang
waktu perama kali melihat rahib itu, aku sudah mempunyai
dugaan siapa dia. Tetapi karena dia melarikan diri maka
aku tak sempat .bertanya.
"Apakah ....... apa ....... apakah engkau bukan , ....... Bun
siocia ....... ?"
"In-long....." rahib itu memandang lekat2 kepadaku.
"Memang benar. Rahib itu tak lain adalah Bun Liang
Ing, gadis yang menjadi pujaan hatiku. Aku tak dapat
menahan luapan perasaanku. Seketika kupeluknya. Lama
kami berdua tenggelam dalam kenangan rindu. Beberapa
saat kemudian dia menolak tubuhku dan melepaskan diri
dari pelukanku.
"Ah, in-long, kita harus menyadari akan kenyataan,"
katanya, In-long adalah kata yang diucapkan seorang isteri
terhadap suaminya.
"Apa maksudmu?"
"Pertama, kita sudah sama tua. Kedua, sekarang ini kita
hidup dalam dinia yang terpisah. Aku telah bersumpah
dihadapan hud-cou untuk menjadi rahib mencari
kesempurnaan batin ..."
"Tetapi Ing-moay, bukankah sekarang kita berjumpa
lagi?" seruku.
"Benar," kata rahib itu, "tetapi tak mungkin kita
melanjutkan hubungan kita yang lampau lagi."
"Mengapa Ing moay, apakah engkau sudah tak cinta lagi
kepadaku?"
Rahib itu tertegun. Beberapa tetes nirmala menitik dari
sudut kelopak matanya.
"Cintaku kepadamu, adalah sebanyak darah yang
mengalir dalam tubuhku," kata rahib itu, "engkau satusatunya
pria yang kupuja dan menjadi ayah dari puteraku
..........”
''Ing-moay, apa katamu!" serentak aku menjerit kaget.
Rahib itu mengangguk, "Benar, in-long, hubungan yang
kita jalin sebagai tanda cinta kita, telah menghasilkan
seorang anak lelaki."
"Oh, Ing-moay, betapa bahagiaku ....... Dimana dia
sekarang?"
Rahib itu menghela napas.
"Hidup manusia itu sudah ditentukan oleh kodrat
masing2," katanya, "segala derita sengsara itu adalah karma
yang harus kita terima. Barang siapa sudah menghayati
akan kodrat hidup yang terbentuk atas karma, maka tiada
lagi kesedihan dan derita yang harus disedihkan."
"Ing-moay, aku benar2 tak mengerti maksud ucapanmu.
Maukah engkau menceritakan bagaimana pengalamanmu
setelah kita terpisah dalam serangan prajurit2 tihu itu?"
Rahib itu mengangguk.
( bersambung ).
-oo0dw0oo-
Jilid 21
Seperti kematian yang merupakan rahasia alam yang tak
mungkin dapat diketahui manusia, demikian pula dengan
nasib orang.
Bun Lian Ing adalah puteri seorang wan-gwe ( hartawan
). Cantik dan mahir dalam ilmu sastera serta memetik
harpa. Dia merupakan kebanggaan dari hartawan Bun dan
merupakan * kembang ' dari karesidenan Kwan-ciu. Ayahbundanya
mencita-citakan agar puterinya itu kelak menjadi
isteri dari pangeran kerajaan atau setidak-tidaknya orang
yang berpangkat.
Memang tak ada orangtua yang tak menginginkan
anaknya bahagia.
Tetapi nasib berkata lain. Gadis jelita itu telah
menyerahkan hatinya kepada seorang pemuda miskin yang
bernama Cu Ho San. Ho artinya sungai dan San artinya
gunung. Ho San sungai dan gunung atau tanah air. Karena
orang tani yang bodoh, ayahnya bingung memberi nama
dan sekenanya saja dia menamakan puteranya itu Ho San.
Peristiwa perkenalan si jelita Lian Ing dengan Ho San
hanya secara kebetulan saja. Yalah ketika bulan delapan
tanggal limabelas, menurut adat naluri rakyat, maka pada
malam purnama itu, gadis pingitan diberi kebebasan untuk
bersembahyang ke kelenteng.
Bahwa si kembang cantik Lian Ing pada malam itu akan
mengunjungi kelenteng Hok-sin-bio, telah tersiar luas.
Maka pada malam itu banyaklah pemuda2 hidung belang
yang berbondong antri menunggu kedatangan Lian Ing.
Setelah selesai bersembahyang maka Lian Ing yang naik
tandu dan dipikul oleh empat orang dan diantar oleh
beberapa orang gajihan hartawan Bun segera meninggalkan
kelenteng.
Dalam perjalanan pulang itu, mereka harus melalui
sebuah jembatan. Tiba2 sekelompok pemuda yang dipimpin
oleh seorang pemuda berpakaian indah, mencegat tandu.
"Berhenti," bentak salah seorang pemuda yang bertubuh
kekar.
Sebagai seorang kaya, sudah tentu hartawan Bun juga
memelihara beberapa jago untuk melindungi keluarganya.
Pada malam itu salah seorang jago keluarga Bun yang
bernama Ciu kausu, disuruh mengawal Lian Ing.
"Siapa kalian ini !" Ciu kausu serentak maju dan
menggertak pemuda itu.
"O, engkau tukang pukul Bun wan-gwe, ya?" ejek
pemuda itu. "dengarkan, nona yang didalam tandu ini akan
kubawa."
"Boleh," sehut Ciu kausu, "asal enggau mampu melawan
ini," ia acungkan tinjunya.
"Ha, ha, ha," pemuda itu tertawa, "aku justeru gemar
makan benda seperti itu. Cobalah engkau layangkan
kepadaku."
Ciu kausu terus menyerang orang itu. Selagi keduanya
bertempur, rombongan pemuda yang lainnya segera
menyerbu pengiring tandu. Terjadi baku hantam yang
ramai. Tiba2 pemuda berpakaian indah tadi menghampiri
tandu yang sudah diletakkan di tanah oleh para pemikulnya
yang ikut terlibat dalam perkelahian.
"Nona. ikutlah aku," kata pemuda itu setelah membuka
pintu tandu.
"Siapa engkau !" Lian Ing terkejut.
"Jangan takut, aku akan menolong nona," kata pemuda
berpakaian indah itu.
Lian Ing bersangsi tetapi dengan cepat pemuda itu sudah
menarik tangan Lian Ing terus dilarikan. Ciu Kausu terkejut
dan hendak memburu tetapi dia tetap dilibat oleh lawannya.
Pemuda berpakaian indah itu menaikkan Lian Ing keatas
kuda dan terus dilarikan. Lian Ing terkejut ketika
mengetahui bahwa kuda itu tidak menuju kedalam kota
melainkan lari ke luar kota.
"Hai, kemana kita ini?" seru Lian Ing.
"Nanti engkau tentu tahu sendiri."
Lian Ing hendak berontak tetapi begitu bahunya
dipegang oleh pemuda itu, dia menjadi lemas tak dapat
bergerak lagi.
Ternyata pemuda itu melarikan kudanya ke sebuah
gunung. Dia seorang kepala rampok yang sering mengganas
di kota2. Selain harta, pun wanita2 yang cantik juga
diculiknya.
"Inilah tempat tinggal nona," katanya setelah membawa
Lian Ing kedalam sebuh gedung.
"Ini bukan rumahku!" teriak Lian Ing.
"Tetapi sekarang akan menjadi rumah nona, karena nona
akan menjadi isteriku!"
"Bangsat, siapa sudi menjadi iserimu!"
"Sudi atau tak sudi, itu bukan soal. Yang penting malam
ini engkau beristirahat dulu dan besok malam akan menjadi
nona pengantinku," kata pemuda itu seraya terus ngeloyor
pergi.
Malam itu seorang bujang perempuan datang membawa
hidangan. Dari bujang itu barulah Lian Ing mengetahui
bahwa dirinya telah masuk kedalam sarang penyamun.
"Cici," kata Lian Ing kepada pelayan yang masih muda
itu, "engkau seorang wanita dan aku pun juga. Tentunya
engkau dapat merasakan betapa penderitaanku saat ini.
Maukah engkau menolongku?"
Bujang itu kerutkan dahi, "Tetapi bagaimana caranya?
Tak mungkin nona dapat keluar dari sarang ini."
Lian Ing melolos tusuk kundai dan diberikan kepada
bujang itu, ''Cici, tusuk kundai ini sebuah benda pusaka
yang tak ternilai harganya. Cukup untuk engkau makan
seumur hidup. Kuberikan kepadamu sebagai tanda terima
kasihku atas bantuanmu."
"Tetapi nona," pelayan itu gugup, "bagaimana aku dapat
menolong nona?"
"Begini," Lian Ing membisiki beberapa patah kata dan
bujang itupun mengangguk. Tak berapa lama mereka
bertukar pakaian. Lian Ing memakai pakaian bujang itu dan
bujang itu berganti memakai pakaiannya. Setelah tu si
bujang disuruh minum arak dau tidur diatas ranjang.
"Jika besok kepala begal itu datang, katakan kalau
semalam engkau telah kuloloh arak. sehingga mabuk.
Tahu2 waktu bangun, engkau tidur diatas ranjang. Dengan
jawaban itu tanggung engkau takkan mendapat hukuman
dari penjahat itu."
Setelah mendapat keterangan dari si bujang tentang
sebuah jalan kecil di belakang gunung dapat menuju ke kaki
gunung, Lian Ingpun segera lolos.
Menjelang pagi dia berhasil tiba dijalan yang menuju ke
kota. Tetapi alangkah kejutnya ketika empat orang
penunggang kuda mengejarnya. Ketika keempat
penunggang kuda itu kendak menangkap Lian Ing,
muncullah seorang pemuda yang bertubuh tegap. Pemuda
itu hendak berburu ke hutan.
Pemuda itu menolong Lian Ing dan bertempur dengan
keempat anakbuah penyamun. Pemuda itu babak belur dan
kalah tetapi dia nekad melawan dan akhirnya dia berhasil
memanah keempat, penunggang kuda itu sehingga mereka
melarikan diri.
Dengan bantuan pemuda desa itu, akhirnya dapatlah
Lian Ing pulang ke rumahnya. Hartawan Bun gembira
sekali dan hendak memberi hadiah uang kepada pemuda
itu. Tetapi pemuda itu menolak. Tertarik akan
kejujurannya, hartawan Bun lalu memberinya pekerjaan
sebagai kepala gudang.
Sejak itu terjalinlah hubungan asmara antara Lian Ing
dan Ho San. Tetapi hal itu dilakukan secara sembunyi
karena baik Lian Ing maupun Ho San sama2 menyadari
bahwa hartawan Bun tentu takkan menyetujui pernikahan
mereka.
Namun akhirnya terjadilah peristiwa yang menuntut
keberanian mereka. Tihu melamar Lian Ing untuk dijadikan
isteri puteranya dan sudah tentu hartawan Bun gembira
sekali menerimanya. Yang sedih dan bingung adalah Lian
Ing dan Ho San.
Sebenarnya Ho San tahu diri tetapi Lian Ing mendesak
agar pemuda itu berani bertanggung jawab untuk minggat
dari rumahnya. Ho San tergugah semangatnya atas cinta
Lian Ing Keduanya segera melarikan diri. Tihu dan
hartawan Bun marah sekali. Tihu memerintahkan
sepasukan prajurit untuk mengejar.
Dua bulan lamanya pengejaran itu dilakukan dan
berhasillah mereka mengetahui tempat persembunyian
kedua insan itu.
Ho San dapat ditangkap tetapi Lian Ing dapat melarikan
diri bersembunyi disebuah gua. Dia tak mau kembali ke
rumah orangtuanya karena merasa dirinya sudah menjadi
isteri Ho San. Dan lagi diapun tak mau menikah dengan
putera tihu yang kabarnya kurang sehat pikirannya.
Selama dua bulan bersama Ho San, keduanya telah
sepakat untuk menjadi suami isteri sebagai pernyataan dari
cinta mereka yang abadi. Selama dua bulan menjadi
pengantin, itu mereka telah me nikmati hari2 yang bahagia
dan sebagai hasilnya, Lian Ingpun mengandung benih dari
Ho San. Itulah sebabnya maka ia bertekad tak mau pulang
kerumah orang tuanya lagi.
Berbulan-bulan dia hidup sengsara dalam gua di tengah
hutan belantara, sampai akhirnya dia ditemukan oleh
seorang pemburu. Dia dibawa pulang ke rumah pemburu
itu. Isteri si pemburupun amat sayang kepada Lian Ing dan
menganggapnya sebagai anak sendiri.
Tetapi baru beberapa bulan Lian Ing hidup tenang dan
sempat melahirkan bayi seorang anak laki maka datanglah
pula musibah baru.
Pada suatu hari bermunculan berpuluh prajurit kerajaan
Beng di hutan itu. Ternyata mereka sedang mengiring
seorang pangeran berburu. Melihat Lian Ing, mereka
hendak mengganggu, untunglah sang pangeran itu datang
dan marah. Ketika melihat seorang anak kecil berumur satu
tahun, yalah anak dari Lian Ing, tertariklah hati pangeran
itu. Sudah belasan tahun menikah, ia belum mendapat
putera. Menurut seorang sinshe gwa-mia atau ahlinujum,
pangeran itu harus memungut anak dulu baru kelak
isterinya dapat melahirkan anak sendiri. Kalau memungut
anak laki, kelak isterinya juga akan melahirkan anak laki.
Kalau menginginkan anak perempuan, pangeran itu harus
memungut bayi perempuan.
Teringat akan ramalan itu, ia terus mengambil anak laki
dari Lian Ing. Sudah tentu Lian Ing meraung-raung
menangis. Tetapi apa daya, kekuasaan pembesar daerah
apalagi seorang pangeran. besar sekali. Lian Ing telah diberi
uang seratus tail emas, Dan anaknyapun terus dibawa
pangeran itu.
Lian Ing seperti orang gila. Dia serahkan uang itu kepada
suami isteri pemburu dan dia sendiri terus minggat.
Pikirannya seperti orang gila. Berbulan-bulan dia
mengembara kemana-mana sampai akhirnya dia ditemu
oleh seorang rahib dan dirawatnya. Ternyata rahib itu
seorang yang sakti. Berkat rawatan dan nasehat2 yang
tekun dari rahib itu, pelahan-lahan Lian Ing mendapat
ketenangan lagi. Dia diangkat menjadi murid rahib itu.
Selain ilmusilat, pun Lian Ing mendapat ajaran tentang
kitab2 suci sehingga pikirannya makin tenang dan sadar
akan perjalanan hidup manusia.
"Demikianlah saat itu Lian Ing mengakhiri ceritanya
kepadaku," kata Hong-ho lojin kepada Sian Li.
"Dimanakah putera Bun siocia ? Apakah waktu
puteranya dibawa pergi, Bun siocia tak menanyakan nama
pangeran itu ?" tanya Stan Li.
"Sudah.” sahut kakek berambut pulih itu, "tetapi
pangeran itu pintar dan tak mau memberitahu namannya.
Dia kuatir kelak Lian Ing mencari puterauya."
"Lalu bagaimana hubungan lo-jin dengan Bun siocia ?"
tanya Sian Li pula.
"Setelah mendengarkan uraiannya yang panjang lebar
tentang perjalanan hidup manusia, akhirnya aku
memperoleh kesadaran juga. Aku rela melepaskan dia
untuk melanjutkan pengabdiannya dalam biara. Namun
aku merasa bahagia pada taat perpisahan yang berat itu."
"Mengapa ?" tanya Sian Li. "Dia telah memberiku
sebuah mutiara yang amat berharga."
"Mutiara ? Dimanakah mutiara itu ?"
"Bukan mutiara benda melainkan sebuah mutiara
sumpah hatinya. Lian Ing berkata ..." in-long, kita harus
berani menerima kenyataan hidup seperti yang telah
digariskan oleh karma hidup kita. Tetapi percayalah,
inlong, walaupun sekarang aku tak dapat menjadi isterimu,
kelak dalam penirisanku yang akan datang, aku akan selalu
berada didampingmu, sekalipun andaikata aku ditakdirkan
harus menjadi budakmu …”
Kakek itu menengadah memandang cakrawala.
'"Cinta itu suatu pengorbanan. Orang yang menganggap
Cinta itu suatu nafsu kemilikan, bukan Cinta yang murni
tetapi Cinta egois. Cinta adalah perasaan jiwa, bukan nafsu
raga. Memang suatu kebahagiaan tiada taranya apabila
Cinta itu dapat terwujud dalam ikatan jiwa dan raga,
jasmaniah dan rohaniah. Tetapi ada kalanya Cinta itu
mengalami rintangan, tak dapat terwujud dalam ikatan
jasmaniah. Tetapi barang siapa menghayati akan hakekat
dari Cinta murni yakni Cinta yang terpancar dari pancaran
jiwa, segala rintangan dan segala kegagalan terwujudnya
ikatan jasmaniah itu, tidakkah mengiringi kebahagiaan
ikatan jiwa yang telah berpadu satu....."
"Benar," terdengar kakek itu melanjutkan celotehnya,
"Lian Ing telah menyadarkan hatiku tentang arti Cinta yang
murni. Dalam jiwanya akulah satu-satunya pria pujaannya.
Dan dalam hatiku, dialah satu-satunya wanita yang kupuja.
Barangsiapa yang menghayati akan keagungan Cinta, dia
akan menemukan kebahagiaan jiwa ......."
Tercekat hati Sian Li mendengar kata2 kakek itu. Ada
sesuatu yang menggelitik dalam hati sanubarinya.
"Benar, cinta itu memang suatu pengorbanan,"
tergetarlah desau bisik dalam hatinya.
Terdengar kakek itu menghela napas panjang.
Sian Li tersentak dari lamunannya, "Lalu bagaimana
hubungan lo-jin dengan Bun siocia."
"Pada waktu itu dia menyerahkan sebuah kalung
kepadaku," kata kakek tua, "dia mengatakan bahwa waktu
lari dari rumah orangtuanya ia membawa sepasang kalung
pusaka, pemberian ibunya. Kalung itu aneh sekali. Masing2
mempunyai bandul permata yang terbuat dari zamrud hijau
dan merah. Zamrud hijau diukir dengan lukisan seekor
burung Hong, demikian pula zamrud merah. Tetapi apabila
sepasang kalung itu dilekatkan satu sama lain, maka
berobahlah cahayanya. Bukan hijau, bukan merah tetapi
putih cemerlang. Demikian pula kedua ukiran burung Hong
itu ber-obah bentuknya menjadi burung Hong dan Liong (
naga ), lambang dari wanita cantik dan pria ksatrya .......... "
"O," desuh Sian Li terkejut.
"In-long," kata Lian Ing saat itu, "mungkin aku tiada
sempat lagi untuk mencari putera kita itu. Maka kuserahkan
kalung zamrud yang hijau ini kepadamu. Kalung zamrud
merah kupakaikan pada puteramu. Kalung itu
memancarkan lukisan Naga. Apabila engkau sempat
mencarinya, kalung ini dapat engkau pergunakan untuk
mengenal puteramu .......... "
"Apakah kalung itu masih lo-jin simpan?" tanya Sian Li.
Kakek itu mengangguk, "Nanti kalau kembali ke gua,
akan kutunjukkan kepadamu."
Tiba2 terdengar suara orang merintih. Ternyata Bun Sui,
putera jenderal Lau, sudah siuman dari pingsannya. Dia
merasa tulang-tulangnya sakit semua.
"Engkau ....!" ia berteriak kaget demikian melihat Sian
Li.
"Ya, jenderal Lau ayahmu, telah meminta bantuanku
untuk mencari engkau," sahut Sian Li.
Bun Sui teringat akan peristiwa yang dialaminya
beberapa waktu.
"Kami beramai-ramai telah mencarimu," kata Sian Li
lebih lanjut, "termasuk Bok kongcu putera kemanakan dari
mentri Su Go Hwat tayjin itu juga. Kemana saja engkau
selama ini? Mengapa engkau bersama kaki tangan Ceng
yang bersenjata sepasang pit-besi itu?"
Bun Sui menyadari bahwa yang dimaksud Sian Li
tentulah Ko Cay Seng. Ia harus menyembunyikan
hubungannya dengan Ko Cay Seng.
"Aku memang ditawan oleh pasukan Ceng, tetapi setelah
menyadari aku ini putera jenderal Lau, dia orang yang
engkau katakan menggunakan senjata pit-besi itu, segera
mengantarkan aku. Maksudnya dia memang hendak
membebaskan aku," kata Bun Sui.
"Siapakah orang itu?"
"Dia bernama Ko Cay Seng, orang kepercayaan
panglima besar Torgun dari kerajaan Ceng."
"Hm," desuh Sian Li yang teringat bahwa Ko Cay Seng
itu pernah datang ke puncak Giok-li-nia untuk menangkap
Blo’on.
"Jika demikian mari kita pulang," kata Sian Li.
"Siapakah lojin (orang tua) ini ?" tanya Bun Sui.
"Dia adalah.....," Sian Li berpaling memandang kakek
itu,
"Hong-ho lo jin," sahut kakek itu," aneh, ternyata engkau
anak seorang jenderal, Mengapa engkau berjalan bersama
seorang kaki tangan ke-rajaan Ceng. Bukankah kerajaan
Ceng itu musuh dari kerajaan Beng ?"
"Tadi sudah kukatakan bahwa aku telah di tangkap
pasukan Ceng, kemudian setelah tahu siapa diriku, dia terus
hendak mengantarkan aku pulang,..."
"Aneh, aneh” gumam Hong-ho lojin.
"Mengapa lo jin ?" seru Sian Li.
"Biasanya kait pancingku itu hanya mengait binatang,
ikan maupun mahluk yang jahat dan salah. Kalau binatang
yang baik dan mahluk yang jujur, kait itu tak mau
memakannya."
"Ah," Sian Li terkejut mendengar keterangan itu. Diam2
ia heran dan hampir tak mempercayai kata2 orangtua itu.
"Memang jika belum tahu, orang tentu tukar
mempercayai keteranganku itu," kata Hong-ho lojin, "tetapi
semua rakyat dalam hutan ini tahu bahwa Ok-hong-tiau
(pancing Angin-busuk ) hanya memancing mahluk yang
jahat dan bersalah saja!"
"Ok-hong-tiau?" ulang Sian Li, "apakah itu nama
pancing lo-jin?"
"Ya."
"Mengapa dinamakan begitu?"
"Setiap mahluk yang bergerak tentu akan menimbulkan
getaran angin. Dan angin itupun akan bergelombang
sampai jauh. Gelombang angin itulah yang akan
menggetarkan kait Ok-hong-tiau. Jika angin itu berasal dari
orang yang berhati busuk atau yang bersalah maka
gelombangnya akan menimbulkan getaran keras pada kait.
Dan kait itupun segera akan bergerak untuk mengait orang
atau mahluk itu. Sebelum dapat menangkap mahluk itu,
kait tetap akan memancarkan getar. Tetapi apabila angin itu
berasal dari mahluk yang baik dan tidak berhati salah, kait
pancing itupan tidak memancarkan getar apa2."
"Ah," kembali Sian Li mendesah. Nadanya seperti orang
yang kurang percaya.
"Engkau tentu belum percaya, bukan?"
"Ah, tidak lo-jin, mana aku tak percaya?" buru2 Sian Li
berkata,
"Jangan bohong," seru Hong-ho lojin, "aku bendak
membuktikan tentang keteranganku mengenai pancing Okhong-
thiau itu!"
"Aku akan memasang tali pancing kira2 dua ratus
langkah dari tempat ini. Setelah itu kalian boleh berjalan ke
sana. Satu demi satu. Engkau dulu." ia menunjuk Sian Li,"
kira2 sepuluh menit baru dia menunjuk Bun Sui.
Kakek itu terus berjalan ke muka dan berhenti lebih
kurang dua ratus langkah disebelah muka. Setelah meneliti
dahan2 pohon diatas, dia terus enjot tubuhnya melayang
keatas dan hinggap pada sebatang dahan pohon yang
tingginya lima tombak. Kemudian ia memasang tali
pancingnya yang diluncurkan kebawah.
Sebenarnya Sian Li tak mau. Ia sungkan kepada kakek
yang pernah menolong jiwanya itu. Tetapi karena kakek itu
memaksanya, terpaksa dia melakukan juga, sekalian hendak
membuktikan keterangan kakek itu.
Tiba di bawah tali pancing itu, dia tak merasakan suatu
apa dan terus ke muka, kemudian berhenti kira2 sepuluhan
langkah. Memandang keatas ia melihat kakek itu duduk
bersila diatas dahan, pejamkan mata bersemedhi, Sian Li
tak mau mengganggunya.
Beberapa saat kemudian kakek itu berseru, "Sekarang
silakan engkau ,...!"
Bun Suipun melangkah. Tiba di bawah kait tiba2 kait itu
melayang dan menyambar tengkuk bajunya. Sebenarnya
Bun Sui sudah siap2. Begitu akan disambar kait, dia hendak
menghindar. Tetapi pada waktu terjadi, ternyata dia tak
mampu menghindar lagi.
"Dia mengandung hati yang tak baik, mungkin
berbohong," seru Hong-ho lojin.
Merah muka Bun Sui. Tetapi diam2 dia mengakui
kelihayan kakek itu. Memang dia memberi keterangan
bohong kepada Sian Li mengenai hubungannya dengan Ko
Cay Seng.
"Ah," desuh Sian Li penuh heran dan kagum. Sekarang
dia baru percaya.
"Bagaimana ?" tanya kakek itu kepadanya.
"Ya, aku percaya." kat Sian Li kemudian meminta agar
kakek itu menurunkan tubuh Bun Sui.
Hong-ho lojin mengibaskan tali dan kait yang menancap
pada tengkuk baju Bun Sui supaya lepas.
"Engkau yang bohong kakek jahanam!" Bun Sui marah.
Ia menjemput batu, dilontarkan kepada Hong-ho lojin yang
masih berada diatas pohon dan terus melarikan diri.
Sian Li terkejut dan hendak mengejar.
"Tak perlu, anak perempuan! Biarkan dia lari,” seru
Hong-ho lojin seraya melayang turun." "Tetapi…..”
"Karena rahasia hatinya terbuka, dia malu dan marah.
Tetapi biarkanlah saja," kata Hong-ho lojin.
"Tetapi aku harus membawanya kepada jenderal Lau,"
seru Sian Li.
"Tentu," sahut Hong-ho lojin, "nanti engkau tentu akan
bertemu dengan dia lagi dan bersama-sama ke markas
jenderal itu."
"Tetapi bukankah dia sudah lari?"
"Ya, tetapi dia tentu akan ditahan oleh beberapa
anakbuahku."
"O, lojin punya anakbuah?"
"Sudah kukatakan bahwa seluruh margasatwa di hutan
ini adalah anak bauahku. Tanpa kuberi tanda, orang tentu
tak dapat keluar dari hutan ini."
"Siapakah yang menghadangnya?"
"Mana saja yang tahu," kata Hong-ho lojin, "kalau yang
tahu kera, mereka akan mennnggil seluruh kawannya untuk
menghadang. Kalau yang tahu ular, juga akan memanggil
kawan-kawannya. Celakanya kalau yang tahu itu si
harimau, wah dia tentu akan pingsan."
"Ah, bagaimana kalau dia sampai mati?"
"Jangan kuatir," kata Hong-ho lojin, "sebelum aku
datang, kawanan binatang anakbuahku tak berani
membunuh. Mereka hanya menahan supaya orang itu tak
lari dan menunggu kedatanganku."
"Ah," diam2 Sian Li menghela napas. Dia benar2 kagum
atas peribadi kakek yang serba aneh dan istimewa. Setelah
melihat bukti dari pancing Ok-hong-tiau tadi, kini Sian Li
tidak berani tidak percaya lagi.
Hong-ho lojin mengajak Sian Li kembali ke dalam gua.
Ia mengambil kalung zamrud hijau dan diberikan kepada
Sian Li, "Sian Li, maukah engkau menolong aku ?"
"Tentu, lojin. Aku tentu akan melakukan apa saja yang
lojin perintahkan."
Hong-ho lojin menghela napas, "Inilah yang pertama kali
aku meminta bantuan kepada orang..."
"Ah, harap lojin jangan mengatakan begitu. Lojin sudah
menyelamatkan jiwaku, aku wajib menyerahkan jiwa
ragaku untuk membantu lojin.”
"Takdir hidup, kuasa Tuhan," kata Hong-ho lojin,
"engkau terakir pancingku, bukanlah aku yang menolong
melainkan memang takdir hidupmu belum selesai. Dan
itulah kekuasaan Tuhan yang maha besar bahwa engkau
yang tercebur dalam arus sungai Hong-ho yang begitu,
deras, ternyata tak mati. Aku hanyalah sebagai sarana
untuk melaksanakan kekuasaan Tuhan saja ..."
"Ah, bagaimanapun kenyataannya lojinlan yang
menolong jiwaku. Budi lojin itu pasti takkan kulupakan
selama-lamanya," kata Sian Li.
'Sudahlah, anak perempuan." seru Hjng-ho lojin,
"janganlah kita berbicara soal budi lagi. Sekarang aku
hendak minta bantuanmu, maukah engkau?"
"Tentu, lojin, tentu," seru Sian Li jrempak, "bahkan
sekalipun lojin suruh aku terjun ke lautan api, aku tetap
akan melakukan."
"Ah, tak perlu begitu ngeri, anak perempuan,” Hong-ho
lojin tertawa, "aku hanya minta bantuanmu untuk
mencarikan orang yang mempunyai pasangan dari kalung
Zamrud hijau ini."
''Oh, maksud lojin, putera lojin yang diambil pangeran
itu?"
Hong-lo iojin menghela napas, "Kurasa mungkin dia
sudah tiada. Inilah yang sukar. Kalau dia masih hidup,
walaupun tipis kemungkinannya tetapi masih ada harapan
juga. Tetapi kalau dia sudah meninggal, sekalipun dia
mempunyai anak, tentu sukar untuk mengenalnya .......... "
"Lo-jin, lebih baik berusaha daripada tidak. Gagal atau
berhasil. serahkan saja kepada takdir! yang sudah digariskan
Tuhan," kata Sian Li, "aku akan tetap akan melaksanakan
pesan lojin. Aku tak dapat memberi ketetapan kapan aku
dapat menyelesaikan hal itu, dan gagal atau berhasilkah aku
menemukannya. Tetapi aku tetap akan mengusahakan
dengan sepenuh tenagaku, lojin."
"Baik, anak perempuan," kata Hong-ho lojin, "sekarang
engkau boleh minta sebuah ilmu kepandaian apa saja dari
aku, Ilmusilat tangan kosong atau ilmupedang atau ilmu
bermain senjata apa sajal"
"Ah, tidak lojin," seru Sian Li, "mana aku berani
meminta suatu apa? Bahwa lojin telah memberi pesan
kepadaku itu, sudah merupakan suatu kebahagiaan dari aku
karena aku dapat membantu lojin."
"Anak perempuan," kata kakek itu, "jika engkau anggap
aku telah melepas budi kepadamu, engkau boleh membalas
dengan budi juga. Aku menolong jiwamu, kelak engkau
boleh membalas jiwaku. Tetapi sekarang aku minta bantuan
kepadamu, engkau harus juga minta sesuatu kepadaku."
"Ah, mengapa lojin bersikap begitu?"
"Ini sudah menjadi garis hidupku, anak perempuan. Aku
tak mau berhutang kepada orang juga tak mau memberi
hutang. Apabila engkau tak mau, akupun tak jadi meminta
bantuanmu."
Dulu suhunya, Kiam Thian Cong, pernah menceritakan
kepadanya bahwa dalam dunia persilatan ini banyak sekali
tokoh2 sakti yang menyembunyikan diri. Biasanya tokoh2
macam begitu tentu aneh perangainya. Jika berhadapan
dengan tokoh semacam itu, engkau harus melakukan apa
yang dikehendaki, tak perlu sungkan. Demikian pesan Kim
Thian Cong kepada Sian Li.
Serta teringat hal itu, Sian Li baru mengakui apa yang
diceritakan mendiang suhunya itu memang benar. Hong-ho
lojin yang dihadapinya saat itu tentulah termasuk tokoh
sakti berwatak aneh yang mengasingkan diri dari dunia
ramai.
"Hm, percumalah menolak kehendaknya. Baik aku
menurut saja," pikirnya.
"Baik, lojin," akhirnya dia berkata, “karena lojin
memerintahkan, aku minta ilmu pancing saja,"
"Ah," tiba2 kakek itu mendesuh, "mengapa yang itu ?
Aku hanya punya sebatang pancing, kalau kuberikan
kepadamu, lha aku pakai apa ? Tetapi tak apalah, karena
aku sudah berjanji ....”
"O, maaf, lojin," buru2 Sian Li berseru "Aku tak jadi
minta ilmu itu. Terserah saja bagai mana lojin hendak
memberi kepandaian macam apa kepadaku."
Hong-hong lojin merenung sejenak lalu berkata,
"Bagaimana kalau kuberimu ilmu bermain payung ?".
"Ilmu payung ?" ulang Sian Li.
"Ya," kata Hong-ho lojin," kurasa tepat sekali untukmu."
Sian Li menurut saja. Kakek itu masuk ke dalam kamar
dan membawa keluar sebuah peti kayu berlapis perak,
Kemudian dia mengeluarkan sebuah benda dari dalam peti
itu. Benda itu panjangnya hanya seperempat meter, seperti
segulung kulit.
"Inilah payung Yeti yang hendak kuberikan kepadamu,"
kata Hong-ho lojin.
"Mengapa disebut payung Yeti, lojin ?"
"Ada ceritanya juga," kata si kakek, “setelah menerima
zamrud hijau diri Lian Ing, aku-pun segera mengembara
keseluruh peloksok tanah air untuk mencari anakku itu.
Sampai aku pernah ditawan oleh orang Biau tetapi aku
dapat meloloskan diri sehingga sampai ke pegunungan Coumo-
long-ma (Himalaya).
"Waktu aku tiba di sebuah desa penduduk Himalaya
ternyata desa itu sedang diserang oleh serombongan orang
Thian-tiok (India) yang hendak mengadakan perburuan
Yeti
"Apakah Yeti itu, lojin ?"
"Yeti adalah sebangsa manusia-kera yang hidup di
pegunungan Himalaya. Badannya tinggi besar dan
merupakan jenis mahluk yang hampir ludas dari dunia. Yeti
itu masih liar, tak mau didekati manusia sehingga manusia
tertarik sekali untuk menyelidiki rahasia asal usul mereka."
"O, lalu ?"
"Orang2 Thian-tiok itu hendak berburu Yeti tetapi
penduduk di pegunungan Himalaya menenteng. Yeti
dianggap sebagai mahluk suci yang menunggu keselamatan
gunung Co-mo-long-ma. Terjadi pertentangan dan akhirnya
mereka berkelahi, Ternyata orang2 Thian Tiok itu pandai
ilmu silat sehingga penduduk pegunungan itu kalah. Saat
itulah aku datang. Karena menganggap pendirian penduduk
pegunungan itu benar, aku membantu mereka. Akhirnya
aku dapat mengalahkan orang2 Thian Tiok."
"Penduduk berterima kasih kepadaku. Dan sebagai tanda
pernyataan terima kasih mereka telah menghadiahkan
sebuah payung pusaka.
"Payung ini terbuat dari kulit manusia Yeti yang
kebetulan mati karena mendapat kecelakaan dan kami
temukan. Walaupun daging mayat itu sudah hancur luluh
dan menjadi cairan air, namun kulitnya masih tetap utuh.
Dengan susah payah memakan waktu sampai setahun,
barulah kami dapat membuka kulit manusia Yeti yang
sudah menjadi mayat itu. Ternyata kulitnya luar biasa
kerasnya. tak mempan dibacok dengan senyata tajam. Dan
ada suatu keistimewaan lagi, ternyata kulit manusia Yeti itu
dapat menahan hawa dingin. Kami jadikan kulit manusia
Yeti itu menjadi sehelai baju dan sebuah payung. Silakan
anda memilih yang mana," kata kepala suku kepadaku.
"Aku menyatakan memilih payung," kata Hong-ho tojin.
"Mengapa lojin tak memilih bajunya ?"
'"Ah, baju itu berguna untuk mereka apabila harus
menjelajah naik ke puncak yang tertinggi. Sedang aku tidak
memerlukan benda itu. Maka akupun memilih payung saja.
Dan inilah payung itu.”
Payung itu terdiri dari tiga ruas batang. Yang diatas lebih
kecil dari yang dibawah sehingga dapat dimasukkan
kedadam ruas yang paling bawah sendiri. Pada tangkai ruas
itu dipasang alat. apabila ditekan maka kedua ruas yang
masuk kedalam induk ruas, akan meluncur keluar sehingga
tangkai payung itu mencapai satu meter panjangnya. Dan
karena kulit payung itu tipis dan lemas maka dapat dilipat.
Hong-ho lojin meminta payung itu, “Beginilah cara
untuk merentang payung itu,” dia menekan alat pada induk
ruas. Serentak merentanglah dua buah ruas dari dalam
induk-ruas itu dan kulitpun bertebar menjadi sebuah
payung, “Jika hendak menutup, cukup tekanlah ujung ruas
yang paling atas agar masuk kedalam induk-ruas” kata
Hong-ho lojin seraya memberi contoh.
"Sekarang akan kuajarkan kepadamu sebuah ilmu
memainkan payung itu. Ilmu permainan itu disebut Ye-tihud-
swat atau Yeti menyapu-salju. Kegunaan jurus
permainan itu untuk melindungi diri dari taburan senjata
rahasia, serangan dari beberapa lawan yang mengerubut
kita," kata Hong-ho lojin.
Sian Li mengangguk-angguk. Hong-ho lojinj pun segera
mengajarkan jurus permainan payung yang disebut Ye-tihud-
swat itu. Diam2 Sian Li terkejut. Ternyata gerakan
payung dari Hong-ho lojin itu tak ubah seperti badai
prahara yang melindungi tubuhnya. Sesaat tubuh Hong-ho
lojin seperti 'hilang' dilingkupi sinar payung.
"Hebat !" teriak Sian Li memuji, "dari mana lojin
mempalajari ilmu kepandaian itu ?"
"Berbulan-bulan aku tinggal di daerah pegunungan Como-
long-ma. Aku melihat bagaimana ngerinya apabila
badai salju tiba. Kuperhatikan cara2 badai salju itu
menghambur dan cara penolakannya. Setelah tekun
menumpahkan perhatian maka akupun mendapat ilham
untuk menciptakan ilmu melindungi diri dengan payung."
Berkat otaknya yang cerdas dan bakat yang baik, dalam
tempo kurang dari setengah hari saja dapatlah sudah Sian
Li memahami ilmu permainan itu. Setelah disuruh
memainkan dan diberi petunjuk lebih lanjut, Sian Lipun
sudah menguasainya. Diam2 dara itu gembira sekali.
Menurut penilaiannya, jurus permainan payung itu berbeda
sekali dengan jurus? dalam ilmu silat atau ilmu senjata di
dunia persilatan. Entah darimana Hong-ho lojin dapat
menciptakan ilmu permainan yang aneh dan istimewa itu.
"Sian Li," kata Hong-ho lojin, "tiada pesta yang takkan
usai. Demikian dengan kehidupan kita. Ada saat berkumpul
dan ada saat berpisah. Engkau masih mempunyai tugas lain
dan perjalanan hidupmu masih panjang. Aku takkan
menahan engkau lebik lama disini. Aku tetap akan
melanjutkan kehidupan yang tenang di tepi sungai Hong-ho
ini sampai akhir hayatku. Sekarang jika engkau hendak
berangkat, silakan, aku sudah tak ada pesan apa2 lagi."
"Terima kasih lojin," serta merta Sian Li berlutut dan
memberi hormat dihadapan kakek itu, "pesan lojin untuk
mencari putera atau cucu lojin pasti akan kulaksanakan
dengan sepenuh hati. Apabila kelak berhasil
menemukannya, tentu akan kubawa kemari untuk bertemu
dengan lojin."
Hong-ho lojin menghela napas, "Ah, memang itulah
tujuan hidupku satu-satunya. Tetapi …… ah, adakah hal itu
dapat terlaksana, kuserahkan saja kepada Tuhan yang
Maha Tahu. Terima kasih, Sian Li, dan semoga engkau
berhasil dalam usahamu."
Setelah memberi hormat Sian Li terus hendak melangkah
pergi tetapi Hong-ho lojin mencegahnya, "Tunggu dulu,"
katanya, "aku lupa untuk memberitahu kepadamu. Apabila
engkau hendak membawa anak jenderal itu, engkau harus
membawa pertandaan dari aku supaya binatang yang
mengepungnya itu menyingkir dan mau melepaskan dia."
Ia memberi kepada Sian Li sebuah doos kecil, "Doos ini
berisi bubuk kembang api. Apabila engkau banting doos ini
ke tanah, maka isinya akan memancarkan bunga api yang
berwarna warni. Nah, binatang'2 itu tentu tahu bahwa aku
sudah memberi kekuasaan kepadamu."
Setelah menghaturkan terima kasih dan menyambuti
doos itu barulah Sian Li melangkah pergi. Berat nian
hatinya untuk berpisah dengan kakek yang sudah sebatang
kara dan tinggal di tengah hutan belantara seorang diri itu.
"Tetapi ah, masih banyak tugas yang harus kuselesaikan.
Sudah berpuluh tahun dia dalam keadaan hidup seorang
diri. Biarlah, yang penting aku harus dapat menemukan
putera atau cucunya dan akan kubawa kepadanya,"
akhirnya ia bulatkan hati dan terus lari.
Tiba hampir pada ujung hutan, dia terkejut menyaksikan
suatu pemandangan yang menakjubkan tetapipun
mendebarkan. Ternyata Bun Sui masih tegak berdiri dengan
wajah tegang. Sedang di sekelilingnya tampak beberapa
jenis binatang.
Didepan tampak berpuluh ekor ular sedang tidur
melingkar menutup jalan, Di belakang terdapat seekor
harimau sedang mendekam. Dan di sebelah kanan tampak
berpuluh ekor kera sedang di sebelah kiri berkerumun
beberapa ekor anjing serigala. Bun Sui tertahan di tengah2
tak berani menerjang keluar. Tetapi binatang2 itupun tak
mau menyerang, melainkan hanya mendekam di tempat
masing2.
"Ah, benar2 suatu keajaiban yang apabila kuceritakan
tentu orang takkan percaya. Tetapi nyatanya memang ada
bahwa seorang manusia biasa dapat menguasai mahluk
hutan yang buas," diam2 Sian Li menghela napas.
"Lau kongcu," serunya ketika ia tiba. Harimaupun
serentak bangkit dan mengaum.
"Nona, awas, harimau itu buas sekali!" seru Lau Bun Sui
memberi peringatan
"Jangan bergerak, tetaplah engkau disitu saja," Sian Li
balas memberitahu. Kemudian ia membanting doos yang
diberikan Hong-ho lojin tadi, darrrr .... serentak
terdengarlah letupan keras diiringi dengan pancaran sinar
api yang berwarna-warni.
Melihat itu seketika harimaupun lari, disusul dengan
serigala, kera dan ular. Mereka masuk kedalam hutan lagi.
"Nona ....!"
"Ya, aku telah diberi benda oleh Hong-ho lojin untuk
menghalau binatang itu," kata Sian Li.
"Ah," Bun Sui menghela napas, "siapakah sesungguhnya
orangtua itu?"
"Dia seorang sakti yang menyembunyikan diri mencari
ketenangan. Memang di dunia persilatan banyak terdapat
tokoh2 sakti yang tak mau unjuk diri," kata Sian Li.
Bun Sui tak menjawab. Teringat akan pancing Ok-hongtiau
yang telah memancing dirinya tadi. dia tersipu-sipu
dalam hati.
"Lau kongcu, kita naik ke puncak dulu," kata Sian Li.
"Mengapa?"
"Kita jemput kakekku dan adikku lalu bersama2 pulang
ke markas Lau ciangkun."
Tetapi betapalah kejut gadis itu ketika markas gunung
Lo-san sudah menjadi tumpukan puing. Lo-san siangjin tak
ada. Lo Kun dan Uk Uk pun tak kelihatan,
Kemanakah gerangan mereka ? Pikir Sian-Li. Dia heran
mengapa markas di gunung itu telah terbakar habis. Pada
hal bukankah pasukan Ceng yang berada di selat Hay-tengko
itu sudah porak poranda ?
"Lau kongcu, maaf, silakan kongcu pulang lebih dulu
karena kuatir Lau ciangkun akan gelisah memikirkan
keselamatan kongcu," kata Sian Li.
"Dan engkau ?"
"Tolong sampaikan kepada Lau ciangkun bahwa aku
masih sibuk hendak mencari jejak kakeku dan adikku,"
"Baiklah," kata Lau Bun Sui. Setelah pula anak jenderal
itu pergi, Sian Li mulai mencari jejak Lo Kun dan Uk Uk.
Kita ikuti perjalanan Bun Sui. Setelah turun dari puncak,
dia terus langsung hendak menuju jalan besar di kaki
gunung. Tetapi sekonyong-konyong sesosok tubuh melesat
dari balik gundukan batu di tepi jalan.
"Ah, Ko tayjin," seru Bun Sui dengan nafas legah ketika
mengetahui yang muncul itu Ko Cay Seng.
"Bagaimana kongcu dapat terlepas dari tangan kakek
berambut putih itu ?" tanya Ko Cay Seng,
Lau Bun Sui lalu menceritakan semua pengalaman yang
terjadi, "Wah, celaka, kakek itu tahu isi hatiku. Dikuatirkan
dia akan memberitahu hal itu kepada gadis yang bernama
Sian Li itu."
Ko Cay Seng merenung sejenak lalu tertawa "Ah, jangan
percaya pada ocehan kakek itu. Dia seorang berilmu tinggi,
dia dapat melepaskan tenaga-dalam keluar untuk
menggerakkan kaitnya. Ingat pukulan tenaga dalam jarak
jauh seperti Biat-gong-ciang dan sejenisnya."
Bun Sui mengangguk tetapi dia masih kerutkan dahi,
bersangsi,
"Kenapa kongcu, apakah engkau masih cemas ?" tanya
Ko Cay Seng.
“Baik itu ocehan kosong maupun sungguh dari si kakek,
tetapi gadis itu sudah mendengarnya Apabila dia percaya,
dia tentu akan melaporkan hal itu kepada ayah .........."
Ko Cay Seng mengangguk-angguk, katanya "Jika begitu
baik kita lenyapkan saja gadis itu.
“Dia masih berada di puncak."
Kedua orang itu terus hendak menuju puncak lagi untuk
mencari Sian Li.
"Itu dia," seru Bun Sui ketika melihat Sian Li sedang
menuruni puncak.
"Jangan terburu-buru. kongcu," kata Ko Cay Seng,
"gadis itu juga lihay. Kita harus pakai siasat supaya dia
jangan sampai dapat meloloskan diri."
"O, bagaimana maksud Ko toyjin ?"
Ko Cay Seng membisiki beberapa patah kata dan tampak
Bun Suipun mengangguk-angguk. Setelah itu Ko Cay Seng
menggandeng lengan Bun Sui untuk diajak menghampiri
Sian Li.
"Hai, kongcu, mengapa engkau kembali lagi?" tegur Sian
Li terkejut.
Tetapi sebelum Bun kui menyahut, Ko Cay Seng sudah
mendahului, "Dia hendak mengajak nona bersama-sama ke
markas menghadap jenderal Lau."
"Tetapi aku kan masih perlu mencari kakek dan adikku
dulu ?"
"O, apakah kakek dan adik nona hilang ?" diam-diam Ko
Cay Seng yang sudah tahu hal itu, pura2 kaget,
"Ya," sahut Sian Li, ''eh, bukankah engkau yang
memimpin pasukan Ceng itu ?"
"Ya."
"Mengapa engkau berada disini ?"
"Aku hendak mengantarkan Lau kongcu turun gunung.
Kami telah keliru menangkap kongcu."
Sian Li kerutkan dahi. Dia curiga. Tadi Bun Sui
mengatakan kalau sudah berpisah dengan Ko Cay Seng,
mengapa sekarang bersama-sama dia lagi ?
"Lau kongcu, benarkah itu ?" serentak dia bertanya
mercari penegasan.
Lau Bun Sui hanya mengangguk.
"Tetapi aku masih perlu mencari kakek dan adikku,
silakan kongcu pulang lebih dulu."
"Ah, tidak," kembali Ko Cay Seng mendahului
menyahut."
"Eh, mengapa tidak ?"
"Lau kongcu menghendaki agar bersama engkau
menghadap ayahnya. Barulah engkau yang memberi
laporan."
“Lau kongcu," Sian Li tak menggubris Ko Cay Seng
melainkan berkata kepada Bun Sui, "jangan memaksa, aku
harus mencari kakek dan adikku dulu, baru nanti kami
menghadap Lau ciangkun."
Sebelum Bun Sui menyahut, kembali Ko Cay Seng sudah
menyerobot, 'Tidak, nona harus ikut sekarang."
Setelah beberapa kali memperhatikan sikap Bun Sui yang
tak mau bicara, timbullah kecurigaan Sian Li. "Lau kongcu,
apakah engkau tak dapat menerima keteranganku ?"
"Ah, harap nona jangan menolak ....... ," baru Ko Cay
Seng berkata begitu, Sian Li sudah membentaknya, "Aku
bertanya kepada Lau kong cu. mengapa engkau yang
menjawab. Lau kongcu, engkau jawablah sendiri!"
Bun Sui terkejut dan tertegun. Tiba2 Ko Cay Seng maju
dan menyambar lengan Sian Li, "Nona, jangan membuang
waktu!"
Tetapi karena sudah curiga, Sian Lipun sudah siap.
Serentak ia menyurut mundur lalu menghantam.
"Ah." desah Ko Cay Seng dalam hati karena tak
menyangka nona itu mampu lolos dari sambarannya. Ia
menggeliatkan tangannya ke bawah dan dari samping terus
menerkam tangan Sian Li lagi.
Tetapi Sian Li juga hebat. Ia membiarkan pukulan
hendak diterkam, tetapi serempak dengan itu tangan
kirinyapun menebas lambung lawan.
"Bagus," seru Ko Cay Seng seraya menyurutkan perut ke
belakang, sedang tangannya masih tetap hendak menerkam
tangan Sian Li.
"Jahanam ini lihay sekali," kata Sian Li dalam hati. Dia
juga nekad. Siasat akan dilawan dengan siasat. Dia
membiarkan tangannya diterkam, tangan kiri yang luput
menebas lambung tadi, diarahkan keatas untuk memotong
tangan Ko Cay Seng yang akan menerkam tadi.
Masih Ko Cay Seng mempertahankan kedudukan. Dia
menekuk tangannya, selekas tebasan Sian Li lewat, dia
gunakan dua buah jari tangannya untuk menutuk lengan si
nona.
"Setan," damprat Sian Li dalam hati. Diapun tak mau
kalah. Pada saat Ko Cay Seng hendak menutuk, ia
membarengi dengan sebuah gerak tendangan meloncat
yang mengancam muka lawan.
"Hm," desuh Ko Cay Seng yang kali ini terpaksa harus
loncat mundur. Dalam gebrak saling bertahan itu, jelas Ko
Cay Seng telah kalah. Dia harus mundur.
Ko Cay Seng memutuskan tak mau terlalu lama terlibat
dalam pertempuran dengan Sian-li. Serentak dia
mengeluarkan sepasang pit besi dan terus maju menyerang.
Sian Li terkejut. Ketika di gunung Giok-li-nia tempo hari
dan ketika dalam pertempuran di selat Hay-teng-kok, dia
menyaksikan betapa lihai ilmu permainan pit-besi dari Ko
Cay Seng ini Jika ia tetap menggunakan tangan kosong
tentulah dia kalah.
"Ah, mengapa tak kucoba untuk menggunakan payung
pemberian Hong-ho lojin itu?" pikirnya seraya terus
mengeluarkan payung itu. Crit sekali menekan alat, payung
itupun menebar.
Cret .... pit-besi tertangkis oleh payung Ko Cay Seng
loncat mundur. Ia terkejut melihat payung Sian Li yang tak
mempan ditusuk ujung pit- besinya.
Namun ia penasaran. Serentak ia menyerang dengan
jurus Keng-sin-pot-pit atau Malaekat-sakti-menggurat-pit.
Cret, cret, cret .... beruntun beberapa kali pit menusuk tetapi
selalu tertangkis oleh payung.
Ko Cay Seng makin penasaran. Diapun segera mainkan
jurus permainan pit yang dahsyat. Selintas pandang tampak
suatu pemandangan yang mengagumkan. Ratusan percik
sinar berhamburan mencurah pada lingkaran sinar hitam
yang menyelubungi tubuh Sian Li.
Ko Cay Seng terkejut ketika menyaksikan payung dan
permainan payung Sian Li. Ketika di puncak Gok-li-nia dan
selama bertempur di selat Hay-teng-kok, ia tak pernah
melihat nona itu menggunakan payung. Mengapa sekarang
nona itu mempunyai payung yang begitu istimewa?
"Ah, kalau tak lekas kurobohkan, aku tentu tertahan
lama disini," pikirnya. Ia memutuskan untuk segera
mengakhiri pertempuran itu.
Setelah mempertimbangkan bagaimana cara untuk
menundukkan nona itu maka majulah ia daIam serangan
yang berbeda dengan tadi. Kini dia hanya menyerang
dengan pit di tangan kanan sedangkan pit di tangan kiri
tetap diam.
Sian Li heran. Tetapi dia tak berani lengah. Dia tetap
memainkan payung untuk menghalau serangan pit.
Sekonyong-konyong Ko Cay Seng mengendap ke bawah.
Dengan jurus Giok-li-cian-ciam atau Bidadarimenyusupkan-
jarum, tiba2 pit di tangan kiri menutuk kaki
Sian Li.
"Ih ....... , " Sian Li terkejut dan terpaksa menyurut
mundur. Tetapi Ko Cay Seng sudah mendesaknya dengan
pit di tangan kanan. Berulang kali serangan kaki itu
dilancarkan Ko Cay Seng sehingga cukup merepotkan Sian
Li. Kalau dia menangkis kebawah, Ko Cay Seng akan
menyerang dari atas. Kalau dia memperhatikan serangan di
atas, Ko Cay Seng akan menyelinap menyerang kakinya.
Sian Li gemas juga. Setelah mengingat akan jurus hebat
tetapi berbahaya dari permainan payung itu, sekonyongkonyong
dia mengatupkan payung dan menusuk dada
lawan. Ko Cay Seng ter kejut. Ia berkisar ke samping, cret
.... tiba2 payung menebar, ujungnya menimpa muka orang.
"Nona ....!"
Sian Li terkejut mendengar teriakan itu. Dia tahu yang
berteriak itu adalah Bun Sui. Kuatir kalau anak jenderal itu
mendapat kecelakaan, Sian Li berpaling. Tetapi pada saat
itu. ia rasakan pundaknya sakit tertutuk ujung besi. Seketika
lengannyapun lemas, meletuk terkulai tak punya kekuatan.
"Celaka, aku terkena tutukan pit” kata Sian Li dalam
hati. Cepat ia menyambar payung itu dengan tangan kiri
dan balas menyerang. Tetapi dia agak kaku memainkannya
dengan tangan kiri sehingga dia terdesak oleh serangan pitbesi
lawan.
"Kena!" teriak Ko Cay Seng ketika ia menyelundup
kebawah dan menutuk kaki Sian Li. Seketika itu Sian Li
rasakan kakinya lemas dan liluk, jatuhlah ia terkulai ke
tanah.
"Ha, ha, ha, akhirnya ia harus menyerah juga," Ko Cay
Seng tertawa gelak2. Kemudian berpaling kearah Lau Bun
Sui, "Kongcu, bagaimana ini?"
"Terserah ....," jawab Bun Sui.
Sudah tentu Sian Li terkejut bukan kepalang mendengar
Bun Sui dapat bicara. Pada hal tadi berulang kali ia tanya,
anak jenderal itu tetap membisu dan hanya anggukkan
kepalanya.
"Dia cantik, apakah kongcu tak ingin mencicipi dulu
sebelum kita bunuh?" Ko Cay Seng tertawa. Dia tahu akan
kegemaran anak jenderal itu kepada dara cantik.
Bun Sui tersipu-sipu merah mukanya, "Ah, harap jangan
menggoda .......... "
"Tidak, kongcu," kata Ro Cay Seng, *kon-cu boleh bawa
ke tempat yang sunyi, biar kutunggu disini. Setelah selesai,
bunuh saja."
"Jahanam engkau, kaki tangan Ceng !" teria Sian Li
marah.
"Heh, heh," Ko Cay Seng tertawa, "silakan engkau
memaki sampai kerongkonganmu pecah asal kongcu dapat
menikmati tubuhmu yang aduhay itu !"
"Kongcu, engkau bangsat yang tak tahu malu !" teriak
Sian Li, "ayahmu bingung mencarimu ternyata engkau
malah mau menjadi budak bangsat itu !"
"Jangan banyak mulut !" tiba2 Ko Cay Seng maju dan
menutuk jalandarah pembisu nona itu sehingga Sian Li tak
dapat berkutik dan tak dapat bicara.
"Silakan kongku," seru Ko Cay Seng seraya melangkah
pergi hendak duduk dibawah sebatang pohon.
Sian Li melotot marah ketika melihat Bun Sui maju
menghampirinya. Ternyata Bun Sui memang tergerak
hatinya. Adalah karena hendak mendapatkah gadis itu
maka dia sampai digebuki ayahnya. Kini dia hendak
melampiaskan nafsunya sampai puas. Tak mungkin gadis
itu akan mengadu kepada ayahnya lagi karena nanti setelah
selesai akan dibunuhnya.
Baru dia hendak ulurkan tangan mengangkat tubuh Sian
Li, sekonyong-konyong dari balik pohon terdengar suara
orang berseru, "Eng ..... eng ... engkong ... itu apa buk ..
bukan cici Sian …….!”
"Mana ? O, benar," teriak seorang kakek tua, "hai Sian
Li, engkau disitu ?"
Dua sosok tubuh berhamburan keluar dari semak pohon.
Kedua orang itu tak lain adalah kakek Lo Kun dan Uk Uk.
Sudah tentu kejut Bun Sui bukan kepalang. Untung dia
terus menyurut mundur dan kedua kakek dan bocah pekok
itu tak menghiraukan dia melainkan menghampiri Sian Li,
"Sian Li, mengapa engkau disini ?"
Tetapi Sian Li diam saja. Hanya matanya memandang
kakek itu, seraya mengicup-kicupkan matanya ke muka.
Maksudnya dia minta supaya kakek dan Uk Uk menangkap
Bun Sui dan Ko Cay Seng. Tetapi kakek linglung itu tak
mengerti.
"Eh, mengapa engkau manggut2 kepala ? Apakah
lebermu sakit ?" Lo Kun terus memeriksa leher Sian Li.
"Aduhhhhhh …..!” tiba2 kakek itu menjerit kesakitan.
Tangannya yang kebetulan merabah ke mulut Sian Li telah
digigit nona itu sekeras-kerasnya. Sian Li gemas karena
kakek itu malah hendak memeriksa lehernya.
"Hai, mengapa engkau malah menggigit tanganku?"
teriak La Kun "
"Iya, ci ....... ci ....... mengap ....... mengap .... pa engkau
menggigit? Apa aku lapar?" seru Uk Uk yang tak dapat
merobah pengertiannya tentang kata aku-engkau.
Sian Li menyeringai dan matanya melotot kepada Lo
Kun serta Uk Uk.
"Sian Li, mengapa engkau diam saja?" kembali Lo Kun
bertanya.
"Mungkin lapar, eng ....... engkong."
"O, jangan kuatir, nih aku masih membawa paha ayam
hutan yang kupanggang semalam," kakek itu terus
mengeluarkan sebuah paha ayam dan diangsurkan kepada
Sian Li. Tetapi Sian Li diam saja.
"Dia mal ....... malu, eng .... engkong .... makanlah ..."
seru Uk Uk.
Lo Kun segera menyodorkan paha ayam panggang itu ke
mulut Sian Li. Tetapi nona itu malah mengancing rapat2
mulutnya.
"Eh, anak perempuan, mengapa engkau? Apa engkau
lupa kepadaku? Bukankah aku ini engkongmu yang
tercinta? Tak perlu malu, ini pemberian engkongmu
sendiri," seru Lo Kun seraya menyusupkan paha ayam itu
ke mulut Sian Li. Tetapi Sian Li tetap menutup rapatmulutnya.
"Wah, anak perempuan ini memang bandel," kata Lo
Kun kemudian menyuruh Uk Uk, "Uk, bukalah mulutnya,
aku... eh. engkau yang memasukkan paha ayam."
"Baik," dalam berkata itu Uk Uk sudah menerkam mulut
Sian Li. Sekali di tekan maka terngangalah mulut gadis itu.
Aduh, bukan main marah dan mendongkolnya Sian Li.
Dia tak dapat menggerakkan kedua tangannya, Dia hendak
memberi isyarat supaya Lo Kun dan Uk Uk menangkap
Bun Sui dan Ko Cay Seng, siapa tahu kebalikannya mereka
malah main paksa mencangar mulutnya untuk dilolohi
paha ayam ....
"Eh, mengapa tak mau menggigit ?" seru Lo Kun pula,
"benar2 engkau ini anak bandel,"
"Di... di.. , dicubit kecil2, erg .... engkong."
"O, benar," seru Lo Kun, "anak perempuan ini memang
minta kumanjakan."
Dia terus mencabik-cabik daging ayam itu sedikit2 lalu
dimasukkan kedalam mulut Sian Li. Aduh mak ..,, . Sian Li
benar2 mau pingsan karena marah.
"Uuuffjff....." tiba2 gadis itu menghimpun napas lalu
dengan sekuat-kuatnya dia menyemburkan cabikan daging
ayam itu ke muka Lo Kun.
"Aduh .... aduh ......" terdengar dua buah suara. Yang
satu dari mulut Lo Kun karena mukanya tertabur daging
ayam. Dan yang satu dari mulut Uk Uk yang mendekap
perutnya.
Apa yang terjadi ?
Ternyata karena mengerahkan napas dan tenaga
sedemikian rupa, tanpa disadari jalandarah Sian Li yang
tertutuk itu tiba2 memancar lancar lagi sehingga dia dapat
bergerak. Begitu merasa tangannya bertenaga, yang
pertama-tama dikerjakan adalah menghantam perut Uk Uk
yang gendut sehingga anak gendut itu mengaduh kesakitan
dan mendekap perutnya yang mulas.
Kemudian Sian Lipun melenting bangun dan menuding
kakek Lo Kun, "Engkau benar2 seorang kakek limbung !"
"Dan engkau, anak gendeng !" iapun memaki Uk Uk.
Sudah tentu Lo Kun dan Uk Uk mendelik "Eh, mengapa
engkau malah marah2 kepadaku ?" tanya Lo Kun sambil
mengusap mukanya yang berlepotan daging ayam.
"Mengapa engkau lolohkan paha ayam ke mulutku ?"
"Lho, bukankah engkau lapar ?"
"Siapa bilang lapar ?"
"Ea, anak ini mengapa tenpa hujan tanpa angin marah2
kepadaku," gumam Lo Kun," Sian Li, tak baik seorang cucu
berani kepada engkongnya. Coba katakan apa salahku?"
Tetapi Sian Li tak menghiraukan. Dia terus menerjang
ke muka, "Hai, kemana jahanam tadi ?" teriaknya lalu
berpaling ke kanan, "Hai, bangsat itu juga menghilang !"
Sian Li lari ke timur, Tetapi tak berapa lama dia kembali
lagi.
"Celaka ! Celaka ! Adalah karena gara2 kalian maka
kedua bangsat itu bisa lolos !" teriaknya teraya membantingbanting
kaki.
Melihat tingkah laku Sian Li, Lo Kun dan Uk Uk hanya
melongo. Waktu Sian Li lari ke selatan keduanya hendak
mengikuti tetapi eh, tahu2 Sian Li sudah balik. Waktu Sian
Li lari ke timur, keduanya hendak ikut tetapi eh, tahu2 nona
itu sudah kembali lagi dan marah2.
"Sian Li, mengapa engkau ?" tanya Lo Kun.
Tiba2 Sian Li melihat payungnya masih menggeletak di
tanah. Maka dipungutnya payung itu dan dilipatnya.
"Sian Li, apakah aku bersalah kepadamu ?" tanya Lo
Kun pula.
Sian Li menghela napas. Ia menyadari kalau Lo Kun itu
memang seorang kakek yang limbung, percuma saja dia
marah2 kepadanya. Dan lagi dalam meloloh paha ayam
tadi, sebenarnya Lo Kun bermaksud baik,
"Ya, apa boleh buat, mereka sudah kabur," kata Sian Li.
"Siapakah yang engkau maksudkan ?”
"Anak jenderal Lau dan bangsat kaki tangan Ceng itu,"
kata Sian Li.
"O, pemuda yang hendak mengangkat engkau tadi ?
Apakah dia ….eh, benar, dia memang anak jenderal Lau
yang dirangket bapaknya tempo hari. Tetapi mengapa dia
berada disini ?"
"Dia hendak kurang ajar kepadaku," Sian Li seraya
tersipu-sipu merah mukanya,
"Kurang ajar ? Mana dia sekarang ? Biar kuhajarnya !"
seru Lo Kun lalu berpaling kepada Uk Uk, "Uk, seret anak
jenderal itu kemari!"
"Per ....... perut engkau .... mulas eng..eng ....... kong,"
seru Uk Uk.
"Mulas? Kenapa?"
“Ditinju cici ....... Li," kata Uk Uk seraya mengusap-usap
parutnya yang gendut.
Melihat tingkah laku bocah itu mau tak mau terpaksa
San Li geli juga, "Siapa suruh engkau mengangakan
mulutku ?"
"Tidak," sahut Uk Uk, “terbalik. ' Engkau yang
mengangakan mulutku !"
Sian Li hendak membantah tetapi serentak dia teringat
akan pengertian Uk Uk tentang istilah aku-engkau yang
dibalik artinya itu.
"Ya, siapa suruh begitu ?" katanya.
"Yang suruh eng. eng ....... kong," jawab Uk Uk
"seharusnya aku meninju perut eng ....... engkong, bukan
meninju perut engkau."
Sian Li tertawa, "Yang kelihatan dimuka adalah perutku,
jadi yang engkau sasar juga perut yang kelihatan itu. Masa
begitu saja sakit?"
"Sian Li, jangan menggubris anak itu. Biar perutnya
sakit, asal tidak pecah saja. Sekarang engkau harus
menceritakan kemana saja engkau dan mengapa tak
kembali ke markas di puncak gunung. Aku dan Uk Uk
menunggumu setengah mati," seru Lo Kun.
Sian Li mengajak kedua orang itu duduk beristirahat di
bawah pohon. Lalu dia menceritakan semua pengalaman
yang telah terjadi pada dirinya.
"Eh, mana kakek Hong-ho lojin itu?" seru Lo Kun "coba
saja apakah pancingnya akan mengait aku atau tidak!"
"Sudahlah," kata Sian Li, "sekarang kuminta kakek
menceritakan pengalaman kakek waktu berada di markas."
Lo Kunpun bercerita, Lo-san siangjin datang dan
mengajaknya keluar. Tahu2 dia dan Uk Uk dimasukkan
kedalam sebuah gua dan ditutup dari luar.
"Ah, masakan Lo-san siangjin berbuat begitu?" Sian Li
heran.
"Sungguh," seru Lo Kun dengan nada serius, "bukankah
begitu Uk?"
Uk Uk geleng2 kepala, "Belum bi .... bisa.”
"Lho, belum bisa apa?"
"Menjawab."
"Kenapa?"
"Perutmu masih sakit nih……”
Tiba2 Lo Kun tertawa, "Hm, anak ini memang banyak
akal bulusnya. Pura2 sakit tetapi sebenarnya minta ....... , "
ia terus mengambil buli2 arak dan disodorkan, "nih,
minumlah."
"Eh, tahu ju ....... juga eng ....... engkong ini," Uk Uk
menyambut buli2 terus diteguknya. Lalu diserahkan
kembali, "sekarang engkau . … bisa menjawab. Memang
benar apa yang dika…dikatakan eng ....... eng ....... engkong
tadi."
"Jika benar demikian, tentulah Lo-san siang- jin itu perlu
dicurigai," kata Sian Li, "pertama Lo-san siangjin yang
datang itu bukan Lo-san siangjin yang aseli tetapi palsu
.......... "
"Palsu? Ah, tak mungkin," bantah Lo Kun.
"Dan kedua, kemungkinan Lo-san siangjin memang
bersekutu dengan orang Ceng."
“Ya, itu memang jelas,"
“Tetapi kurasa menilik peribadinya yang kuketahui
selama ini, tak mungkin dia mau bekerja sama dengan
orang Ceng. Kurasa kemungkinan yang pertama tadi bahwa
dia bukan Lo-san sian jin; yang aseli, lebih mendekati
kebenaran. Tetapi bagaimana kakek dapat keluar dari gua
itu?"
Lo Kun menceritakan bahwa hal itu memang tak
terduga. Karena sudah putus asa tak dapat menjebol pintu
gua yang ditutup dengan batu benar maka dia bersama Uk
Uk lalu masuk menyusup ke bagian dalam. Ternyata lorong
gua,itu amat panjang sekali.
"Aduh, kalau teringat penderitaanku selama merangkak
dalam lorong gua itu, ingin rasanya aku mencincang Lo-san
siangjin," katanya, "coba bayangkan. Dalam lorong
terowongan itu kadang terdapat binatang serangga yang
suka menggigit. Antara lain aku sampai menjerit-jerit
seperti orang gila ketika aku diserang semut dan anai?. Uk
Uk juga berkuik-kuik seperti babi hendak disembelih ....
"Coba bagaimana rasanya kalau orang merangkak dalam
terowongan yang gelap lalu dirubung barisan semut. Apa
tidak setengah mati. Barang yang setengah itu tentu celaka.
Lebih baik mati daripada setengah mati. Lebih baik mentah
dari-pada setengah matang. Bukankah begitu Uk?"
"Ben ....... benar ....... kong," kata Uk Uk, "lebih2 aku.
Per ....... perutmu yang gendut ini hen dak dima ....
dimakan rayap ....... aduhhh kong .. sakit tetapi geli .......
aku sampai terken ....... kencing ....... kencing ....... lho."
Sian Li tertawa ngikik mendengar kata2 itu.
====
Hal 52-53 enggak ada, kelewat kali!
====
Mereka benar2 penasaran. Tetapi sampai siang berganti
malam dan malam berganti pagi, mereka tetap tak dapat
menemukan pertapa itu.
"Aneh," kata Sian Li, "kemana saja pertapa itu ?"
"Kemana lagi kalau tidak ikut pada pasukan Ceng,"
gerutu Lo Kun.
"Pasukan Ceng yang berada di selat Hay teng-kok sudah
hancur. Perahu2 merekapun sudah dilarikan oleh pasukan
Beng yang dipimpin Bok kongcu. Tak mungkin pertapa itu
akan menggabungkan diri dengan mereka."
"Dia tentu bersembunyi," kata Lo Kun,
"Ya, mungkin saja," kata Sian Li, "sekarang kurasa baik
kita turun gunung menuju ke markas jenderal Lau untuk
melaporkan hasil usaha kita.”
"Sekalian laporkan saja tentang perbuatan puteranya
yang kurang ajar itu," seru Lo Kun.
"Baiklah," kata Sian Li, sudah jelas bahwa putera
jenderal itu bersekongkol dengan orang Ceng. Aku harus
memberi peringatan kepada jenderal Lau supaya dia hati2
menjaga anaknya."
Merekapun segera turun gunung dan menuju ke markas
jenderal Liu. Tetapi alangkah kejut mereka waktu
mendapatkan jenderal Lau dan pasukannya sudah pindah
ke lain tempat.
Menurut kabar, pasukan jenderal Lau Cek Jing sudah
diperintahkan untuk menjaga propinsi Shoa-tang, dengan
berkedudukan di kota Hui-pak.
"Bagaimana -Sian Li ? Apakah kita perlu mencari
jenderal itu ?" tanya Lo Kun.
"Kurasa demikian," sahut Sian Li, "karena dikuatirkan
anak jenderal itu akan. mengacau dari dalam."
"Apakah anak jenderal itu sudah kembali kepada
bapanya ?"
"Kemungkinan sudah."
“Lho, apa dia tak takut ?"
“Kurasa anak jenderal itu sudah berada dalam kekuasaan
kaki tangan Ceng yang bernama Ko Cay Seng, yaitu orang
yang bersenjata pit besi. Buktinya dia mau saja disuruh
pura2 tertutuk jalandarahnya dan tak dapat bicara waktu
mendatangi aku. O. benar, ya tentu begitu !"
Lo Kun melongo. Dia tak mengerti apa maksud kata2
gadis itu. "Apa maksudmu ?" tanyanya.
"Waktu aku berada di tempat Hong-ho lo-jin, Bun Sui si
anak jenderal itu berjalan bersama orang she Ko, waktu
kutegur. Bun Sui mengatakan bahwa dia memang dibawa
oleh orang she Ko itu karena hendak diantar pulang.
Mereka telah keliru menangkap dan tak tahu kalau dia anak
jenderal Lau. Begitulah keterangan Bun Sui
"Lalu ?"
"Nah. Bun Sui dan orang she Ko tentu takut kalau hal itu
kulaporkan kepada jenderal Lau. Oleh karena itu mereka
tentu memutuskan untuk membunuh aku, melenyapkan
saksi mulut."
"Bangsat Ko Cay Seng itu ! Kalau bertemu lagi tak perlu
kita beri ampun," seru Lo Kun.
"Maka terpaksa kita harus mencari markas jenderal
Lau," kata Sian Li.
"Tetapi bukankah tujuan kita hendak mencari engkohmu
si Blo'on ?"
"Ya, memang kita harus mencarinya," jawab Sian Li."
anak jenderal itu berbahaya. Dia dapat merupakan musuh
dalam selimut dan hal itu akan membahayakan perjuangan
pasukan Beng. Soal engkoh Blo'on, kan sekalian kita dapat
mencari dan menyelidiki beritanya."
"O, cici maksudkan sekali minum dua teguk bu .......
bukan ?" sela Uk Uk.
"Minum apa ?"
"Mi ..... minum arak."
Sian Li geleng2 kepala, "Hm, kakek Lo Kun telah
merusak jiwa anak itu. Masa anak kok begitu doyan arak,"
Mereka lalu berangkat ke Shoa tang.
II. Ramai2 potong …..
Untuk memperlengkapi perjalanan Sian Li waktu turun
gunung hendak mencari Blo'on, baiklah kami tuturkan
tentang diri Wan-ong Kui.
Sebagaimana telah diceritakan dalam jilid 10, waktu Sian
menuruni gunung ia mendengar suara orang merintih dari
bawah jurang. Ia segera menolong orang itu. Dan orang itu
tak lain adalah Wan-ong Kui yang terjatuh kedalam jurang
akibat melakukan pertempuran dengan imam dari
perguruan Go-bi-pay yani Hian Hian tojin.
Waktu menyaru sebagai Blo'on, Sian Li tahu siapa Wanong
Kui yang datang bersama In Hong dan Han Bi Ing.
Tetapi karena Sian Li mengenakan pakaian sebagai seorang
gadis lagi, sudah tentu Wan-ong Kui tak mengenalnya. Sian
Li mengaku sebagai seorang murid Kun-lun-pay yang
disuruh perguruannya untuk menyampaikan pesan kepada
Blo'on. Karena Blo'on tak ada maka dia hendak menyusul
ke Co-ciu tempat kedudukan markas jenderal Ko Kiat.
Wan-ong Kui menyatakan hendak ikut dan Sian Lipun
tak keberatan. Tetapi ketika tiba di Co-ciu ternyata pasukan
jenderal Ko Kiat sudah pindah ke Ki-ciu,
Keduanya berunding. Karena Sian Li hendak tetap
mencari Blo'on yang belum dapat diketahui tempatnya
maka Wan-ong Kuipun tak mau menyertainya. Pikir2 lebih
baik dia menuju ke Tha goan karena bukankah Han Bi Ing,
In Hong dan rombongannya akan menuju ke sana? Di sana
dia dapat menggabung dengan rombongan Hanm Bi Ing
untuk sekalian mencari jejak Blo'on.
Dan selama melakukan perjalanan bersarama Sian Li, ia
merasa nona itu bersikap dingin kepadanya. Dia tak tahu
bahwa Sian Li itu adalah adik seperguruan Blo'on. Dan dia
tak menyadari pula bahwa Sian Li tahu kalau dia (Wan
Ong Kui) hendak mecari Blo'on itu karena bertujuan
hendak membunuhnya. Sudah tentu Sian Li tak suka
kepadanya.
Wan Ong Kui merasakan baik Han Bi Ing maupun In
Hong, jauh lebih ramah dan bersahabat dari sikap Sian Li.
Maka setelah di Co-cu ia tak menemukan Blo'on, dia
memutuskan lebih baik berpisah deagan Sian Li dan
menuju ke Thay-goan sendiri.
Demikian sebabnya mengapa Sian Li hanya seoranj diri
ketika dihadang anakbuah Bun Sui.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan rombongan Han
Bi Ing dengan In Hong dan Kim Yu Ci. Tujuan Han Bi Iug
ke kota Thay-goan itu tak lain adalah karena menerima
kabar dari Ko Cay Seng bahwa ayahnya, Han Bun Liong,
sedang sakit parah di Thay-goan. Ternyata menurut
keterangan Ko Cay Seng, Han Bun Liong belum gugur
dalam pertempuran melawan pasukan Ceng yang
menyerang kota itu. Dia hanya terluka berat dan kini
bersembunyi di rumah seorang sahabatnya. Tempat itu
dirahasiakan agar jangan sampai digeropyok prajurit Ceng.
Sudah tentu keterangan Ko Cay Seng itu bohong. Tujuan
yang penting bagi orang she Ko itu jelas hendak merebut
tiga buah peti harta karun yang dibawa Han Bi Ing. Tetapi
karena pandainya Ko Cay Seng merangkai cerita dan kata2
yang menyentuh hati, Han Bi Ingpun tergerak hatinya.
"Cici Ih, kurasa keterangan antek Ceng itu tentu bohong.
Mengapa cici mau pulang ke Thay-goan?" pernah In Hong
memberi peringatan.
Tetapi dijawab Han Bi Irg, ''Memang keterangan kaki
tangan Ceng itu meragukan. Tetapi aku mempunyai pikiran
lain. Dengan mengatakan berita itu, walaupun bohong
tetapi paling tidak dia tentu tahu keadaan ayah. Aku kuatir
ayahku telah ditawan mereka dan di jadikan sandera untuk
menekan aku supaya menyerahkan harta karun itu kepada
mereka."
"Jika demikian, mengapa cici hendak ke Thay-goan?
Apakah cici bermaksud hendak menyerahkan harta karun
itu kepada mereka?" tanya In Hong.
"Tidak adik Hong," kata Han Bi Ing, "ayah telah
memberi pesan agar harta karun itu ditaruh di tempat
kediaman Kim Thian Cong tayhiap. Apabila tak mungkin
supaya aku berusaha untuk menyelamatkan dan sedapat
mungkin menyerahkan harta karun itu kepada kaum
pejuang. Aku hendak ke Thay-goan karena aku kuatir ayah
benar2 sedang dalam keadaan menderita dalam
cengkeraman mereka. Soal keterangan antek Ceng itu benar
atau tidak, tetapi hatiku tidak selalu dihantui oleh
kecemasan saja, apabila aku sudah datang dan
membuktikannya sendiri."
In Hong dapat menerima penjelasan itu. Demikian pula
Kim Ya Ci. Dia tahu bagaimana perasaan seorang anak
perempuan terhadap orang tuanya. Anak laki sih memang
tabah saja tetapi kalau anak perempuan. Apalagi seorang
gadis seperti Han Bi Ing yang sejak kecil diasuh dalam
kemanjaan oleh ayahnya, tentulah keadaan ayahnya itu
sangat menjadi pemikirannya.
Demikian mereka bertiga menuju ke Thay-goan. Mereka
menyadari bahwa Thay-goan saat itu sangat berbahaya bagi
mereka. Thay-goan sebuah kota penting di sebelah barat
kotaraja Pak-khia, merupakan sebuah kota yang ramai dan
besar. Perdagangan berkembang pesat, penuh dengan
tempat2 hiburan yang indah.
Saat itu Thay-goan sudah diduduki oleh pasukan Ceng.
Kedatangan ketiga anakmuda ke kota itu tentu akan
menimbulkan perhatian kepada prajurit2 Ceng. Apalagi
Han Bi Ing adalah puteri dari Han Bun Liong, tokoh yang
ternama dari kota itu. Selain kaya dan terbuka tangannya
kepada setiap orang, pun Han Bun Liong juga termasyhur
memiliki kepandaian yang tinggi. Dia banyak sekali
mengikat persahabatan dengan kaum persilatan, baik dari
golongan Hitam maupun Putih. Dan sebagai tokoh
terkemuka sudah tentu dia juga bersahabat dengan walikota
dan para pembesar setempat.
Perjalanan itu memang tidak mudah. Thay-goan terletak
didaerah yang sudah berada dalam kekuasaan kerajaan
Ceng yang saat itu sudah menduduki daerah sebelah timur
utara sungai Hong-ho.
Mereka naik kuda dan hari itu setelah menyeberangi
sungai Hong-ho, mereka menuju ke timur laut.
In Hong pesan beberap macam hidangan dan arak.
Sambil menikmati hidangan mereka bercakap-cakap.
"Aneh mengapa orang Boan memaksa rakyat Han harus
memelihara kuncir ?" kata In Hong.
"Mungkin sebagai tanda setya kepada kerajaan Ceng,"
kata Han Bi Ing.
"Ah, tidak," jawab In Hong, "kurasa orang Boan
memang sengaja hendak menghina bangsa kita."
"Menghina bagaimana ?"
"Coba bayangkan saja orang- yang memelihara kuncir
itu. Apakah mereka tidak menyerupai babi ?"
"St, jangan keras2, "Kim Yu Ci memberi peringatan
seraya memandang ke bawah jalanan "tuh lihat, ada
serombongan prajurit Ceng datang. Kalau mereka masuk ke
rumah makan ini dapat melihat kita....."
-oo0dw0ooJilid
22
Ramai2 potong ....
In Horg si dara centil melongok ke bawah. Memang
benar. Di jalanan tampak sekawan prajurit Ceng sedang
berjalan dengan seenaknya sendiri sampai memenuhi jalan.
Orang2 pun pada menyingkir ke samping karena takut
ketabrak.
"Hm, seperti raja saja agaknya mereka itu,” dengus In
Hong dengan geram.
"Sudahlah, adik Hong, jangan cari gara2," kata Han Bi
Ing.
"Ah, cici berkata begitu. Aku menurut," kata In Hong,
"tetapi apakah kalau kita tak cari gara2 mereka akan puas?
Tidak, Kita tidak cari gara2 tetapi mereka yang akan cari
perkara."
"Itu lain soal lagi. Tetapi yang penting, kita harus hati2
menjaga diri, menahan kemarahan. Ingat, disini adalah
daerah kekuasaan orang Boan. Kalau kita tidak hati2 tentu
akan mendapat kesulitan,” Han Bi Ing memberi peringatan.
"Ya, mudah-mudahan saja seperti yang diharapkan,"
kata In Hong, "tetapi kurasa sukar. Sebagai fihak yang
menang, prajurit2 Ceng itu tentu bertindak semaunya
sendri. Lihat baru berjalan saja lagaknya seperti raja.
Berjalan memenuhi jalan dan di sepanjang jalan bergurau.
Apa mereka anggap jalan itu punya kakeknya sendiri?
Bukankah rakyat diwajibkan bayar pajak segala macam?"
"Memang demikianlah tingkah laku prajurit dalam
suasana perang," kata Han Bi Ing, "mereka menganggap
dirinya yang paling berjasa sendiri dan paling berkuasa.
Merasa harus dihormati dan disanjung-sanjung sebagai
pahlawan, padahal tanpa bantuan rakyat, mana mereka
mampu berperang?"
"Ah, memang manusia itu gampang lupa. Setiap orang
menganggap dirinya paling berjasa,” kata In Hong.
"Baiklah cici Ing," akhirnya dara itu berkata, "aku akan
berusaha untuk mengekang diri dan mudah?an tak terjadi
suatu apa nanti."
Han Bi Ing tersenyum.
Apa yang dikuatirkan pemilik rumahmakan memang
menjadi kenyataan. Kawanan prajurit Ceng itu masuk
kedalam rumahmakan. Mereka mengambil tempat duduk
dan minta disediakan arak.
Sambil menunggu, mata mereka berkeliaran memandang
kian kemari pada tetamu2 yang berada dalam ruangan itu.
Tak lama kemudian pelayan datang membawa arak.
"Goblok, mengapa hanya arak ?" seru salah seorang yang
memelihara kumis tebal.
"Bukankah loya (tuan) tadi hanya minta arak ?"
"Babi!" tiba2 prajurit berkumis tebal itu menarik kuncir
pelayan," masakan arak tak pakai daging untuk
pengantarnya ?"
Pelayan itu kelabakan seperti babi yang ditarik ekornya,
"Ampun, loya, nanti kuambilkan hidangan daging."
Prajurit lepaskan kuncir pelayan dan membentak,
"Lekas, bawakan dua kati daging sapi bakar !'*
Pelayanpun tergopoh-gopoh masuk.
Tak berapa lama seorang pelayan lain keluar dengan
membawa penampan berisi hidangan dan arak yang
dipesan In Hong.
"Hai, kemari dulu," teriak seorang prajurit yang
hidungnya besar.
Pelayan itu terkejut. Dia hendak mengantarkan makanan
itu keatas. Terpaksa dia menghampiri ke tempat kawanan
prajurit Ceng itu.
"Apa itu?" seru prajurit hidung besar tadi, "buka!"
Pelayan terpaksa melakukan perintah, "Ini hidangan
yang dipesan tamu diatas."
"Wou, hebat juga. Baunya menusuk hidung. Pintar sekali
orang itu memesan hidangan," kata prajurit itu, "kasih
kemari saja!"
Pelayan itu terkejut. "Tetapi tuan, ini pesanan tamu
diatas!"
"Babi!" bentak prajurit itu, "kan bisa engkau suruh
buatkan lagi. Yang itu berikan kemari."
"Tetapi tuan," kata pelayan, "tetamu diatas itu sudah
sejak tadi yang pesan. Kalau membuat lagi tentu makan
waktu lama."
"Eh, kurang ajar engkau, babi!" prajurit hidung besar itu
terus menarik kuncir pelayan sehingga pelayan itu hampir
jatuh, "lekas taruh ke meja.”
Terpaksa pelayan itu menurut.
"Hai, bung, itu pesananku. Lekas bawa kemari. Masa
sudah setengah jam baru jadi," tiba2 terdengar suara
seorang gadis melengking.
Ketika kawanan prajurit berpaling ternyata diatas tangga,
tampak seorang dara cantik sedang menuding kearah
mereka.
"Maaf, nona," kata pelayan bingung, "nanti kita buatkan
lagi."
“'Kan itu sudah jadi?"
"Ya, tetapi . . . . "
“Terapi bagaimana?"
"Ini untuk loya disini . . . . "
"Gila! Makanan aku yang pesan mengapa engkau
berikan pada orang lain! Hayo, bawa kemari!" teriak In
Hong.
"Maaf, nona . . . . "
"Tidak ada maaf, lekas bawa kemari! Aku sudah lapar."
"Loya kata pelayan itu kepada prajurit yang berhidung
besar.
"Suruh dia makan bersama disini kalau sudah lapar,"
kata prajurit berhidung besar.
"Nona, loya mempersilakan nona untuk makin bersama
disini saja."
"Apa?" In Hong terus turun dari tangga dan
menghampiri ke meja kawanan prajurit itu dan tanpa
banyak mulut terus menyambar basi hidangan yang berisi
kueh panas."
Memang kawanan prajurit itu sengaja tak menghiraukan
In Hong. Mereka hendak mencoba apakah In Hong berani
datang. Ternyata dara centil itu memang berani. Begitu
dara itu mengangkat basi hidangan, prajurit hidung besar
segera mencekal tangan In Hong, "Ai, nona manis, makan
disini saja ………” dia menarik In Hong ke pangkuannya.
"Aduhhhhh....." tiba2 prajurit itu menjerit sekeras-keras
dan mendekap mukanya. Ternyata dengan berani In Hong
telah mencurahkan basi berisi kuah panas itu ke kepala
prajurit.
Tanpa peduli orang kesakitan, In Hong menyambar
bubur kepiting lagi. Tetapi prajurit yang lain serentak berdiri
dan menerkam lengan Ini Hong, "Jangan kurang ajar, anak
perempuan liar....."
"Uhhhhh .. . .,'" belum sempat dia menyelesaikan
kata2nya, In Hong menelungkupkan basi bubur kepiting
yang masih panas itu pada muka orang.
Kawanan prajurit itu terdiri dari enam orang.. Melihat
kedua kawannya dikeramasi kuah panas dan bubur
kepiting, salah seorang marah dan hendak menangkap.
Tetapi secepat kilat In Hong sudah mendahului menyambar
sayur kakap masak tomat dan dilekatkan pada muka
prajurit itu.
"Auhhhhh." seperti kawannya yang dua tadi, prajurit
itupun menjerit kesakitan karena mukanya berlepotan
kakap. Celakanya, ingsang darii ikan kakap yang tajam
telah menusuk matanya.
Perbuatan In Hong itu tak dapat dibiarkan lagi. Ketiga
prajurit yang lain serentak berbangkit dan terus
menghantam, Tetapi dengan kecepatan yang luar biasa, In
Hong menyambar tiga buah basi berisi hidangan dan
disongsongkan, prangng, prangng, prangng , . . . basi itu
pecah berhamburan tetapi tangan ketiga prajurit itupun
berdarah.
"Eh, budak liar, engkau benar2 kurang ajar!" teriak ketiga
prajurit itu seraya maju lagi untuk menyerang.
Brakkkkkk.....In Hong menendang meja kearah mereka,
Hidangan dan kuah berhamburan menimpah mereka.
Mereka makin marah. Serentak merekapun mencabut
pedang dan menyerang. Prak, prak, prak, In Hong
menyambar kursi dan dilemparkan kepada mereka.
Suasana menjadi gaduh tak keruan, Tetamu2 lain
ketakutan dan bergegas keluar. Pemilik rumah makan
segera menghampiri, "Nona, ai, celaka nih," serunya seperti
orang bingung, "mengapa nona mengacau rumahmakanku
?"
"In Hong, berhenti," seru seorang gadis lain yung turun
dari tangga, "pemilik rumah makan, jangan kuatir, semua
kerugianmu akan kubayar."
Ternyata yang datang itu adalah Han Bi Ing. Dan di
belakangnya tampak Kim Yu Ci.
"Aku sih mau2 saja berhenti," tetapi kawanan prajurit ini
tak mau berhenti," seru In Hong.
Memang benar. Kawanan prajurit itu bahkan tiga
prajurit yang telah diktramasi kuah dan bubur panas tadi,
juga ikut mencabut senjata dan bersiap hendak menyerang
In Hong.
"Berhenti," tiba2 Kim Yu Ci berseru, "segala urusan bisa
diurus tanpa harus pakai kekerasan! Mengapa tuan2 hendak
menyerang adikku?"
In Hong terkejut karena diaku adik oleh Kim Yu Ci,
"Uh, kapan sih aku menjadi adik ibu-bapamu?" gumamnya
dalam hati. Namun dia diam saja.
Prajurit yang bertubuh kekar menuding Kim Yu Ci, "Ho,
engkau, mengapa sebagai engkoh engkau tak mampu
menghajar adik?"
"Hai, engkau tentu bukan orang sini? Mengapa engkau
tak pakai kuncir? "teriak seorang prajurit yang lain.
Sebelum Kim Yu Ci menyahut, muncullah si orang
kepala polisi bersama dua orang anakbuah-nya. Pemilik
rumahmakan telah menyuruh seorang pegawainya untuk
melapor kepada polisi tentang keributan di rumahmakan.
"Hai, siapa yang berani mengganggu keamaan itu?" seru
kepala polisi itu. Dia orang she Kwan bernama Tiong,
seorang kepala polisi yang menjaga keamanan kota.
. "Kwan pohtau (kepala polisi), tangkaplah gadis yang
telah menyiram kuah panas kepada kawan kami," seru
prajurit bertubuh kekar seraya menunjuk In Hong.
Kepala polisi kerutkan dahi. Heran dia dibuatnya
mengapa kawanan prajurit Ceng yang begitu kasar dan
garang dapat dicelakai seorang anak perempuan.
"Bagaimana Kwan bokthau?" tegur prajurit itu pula.
"O, ya," sahut kepala polisi, "bagaimana asal mulanya
peristiwa ini?"
"Kami baik2 mengundangnya makan bersama satu meja
dengan kami, dia malah marah dan mencurahkan kuah dan
bubur panas kekepala kawan kami. Apakah budak liar
semacam itu tak perlu ditangkap?" kata prajurit.
"Dan pemuda itu tak pakai kuncir!" seru prajurit yang
lain.
"Nona, engkau harus ikut kami ke kantor polisi," seru
kepala polisi.
Tiba2 seorang lelaki tua melangkah masuk dan terus
menghampiri kepala polisi, "Ih, ada urusan apakah ini pak
polisi?" tanyanya.
"Hus, siapa engkau! Pergi, jangan campur tangan urusan
polisi!" bentak kepala polisi.
Lelaki tua itu tertawa menyengir lalu lewat di samping
kepala polisi dan melintas ke belakang Kim Yu Ci, lalu
duduk di sebuah meja paling ujung.
"Mengapa engkau hendak menangkap aku?” tanya In
Hong.
"Menurut keterangan para loya ini, engkau telah
mengguyur kuah dan bubur panas ke kepala mereka,
Mencelakai orang, tentu dihukum. Berat hukumannya."
"Apakah tuan percaya saja kepada keterangan mereka ?"
balas In Hong.
"Prajurit kerajaan Ceng adalah pelindung rakyat dan
pahlawan. Rakyat harus menghormati,” kata kepala polisi.
"Itu boleh2 saja," sahut In Hong, "tapi apakah tuan
percaya saja kepada mereka ?"
"Tentu."
"Walaupun keterangan mereka itu bohong?”
"Eh, anak perempuan, jangan sembarang bicara.
Masakan para loya ini bohong ?"
"Apakah tuan tak perlu tanya keterangan kepadaku dan
terus mau main tangkap saja ?"
"Apakah engkau merasa tindakanmu mengguyur kuah
dan bubur panas ke kepala orang suatu perbuatan yang
benar ?"
"Benar atau tidak, harus ditimbang dulu bagaimana asal
mula perkaranya. Pokoknya, tuan hanya menerima
keterangan mereka saja apa akan minta keterangan dari
orang yang tersangkut?'
"Hm, paling keteranganmu itu tentu membela diri dari
kesalahan."
"Habis, apa aku harus mengatakan tuan ini seorang
kepala penjahat kalau kenyataan tuan ini seorang kepala
polisi ?" In Hong menjawab dengan berani.
Brak, brak, brak....
Terdengar suara meja ditampar keras dan menyusul
terdengar suara parau berteriak, "Hai, mana pelayan? Ini
rumahmakan atau rumah sakit ?"
Sekalian berpaling. Ternyata yang menggebrak meja itu
tak lain adalah lelaki tua berwajah bocah tadi.
"Seret orang itu keluar!" perintah kepala polisi kepada
kedua anakbuahnya.
"Apa salahku? Hai, kepala polisi, aku akan menghadap
raja untuk melaporkan perbuatan yang sewenang-wenang
ini. Masakan orang tak salah engkau usir dari rumahmakan
? Engkau kira aku tak punya uang ?" kakek berwajah bocah
itu berteriak kalang kabut ketika diseret keluar oleh dua
orang polisi.
'Tuan," kata Han Bi Ing," baiklah tuan tanyakan kepada
saksi yang tahu tentang peristiwa tadi.”
"Siapa saksinya ? Tetamu2 sudah meninggalkan
rumahmakan ini," kata kepala polisi.
"Pemilik rumahmakan dan pelayan ini mengetahui
peristiwa itu. Silakan tuan tanya kepada mereka," kata Han
Bi Ing.
"Bagaimana ?" karena malu terhadap seorang nona
cantik, kepala polisi itu menegur pelayan!
"A . . . a . . . anu tuan polisi.. ,." Pelayan itu tergagapgagap
dan tak melanjutkan omongannya ketika beradu
pandang dengan prajurit Ceng yang bertubuh kekar.
"Lekas katakan yang genah !" bentak kepala polisi.
"Lo .. . lo . .. loya itu .. . be, be . .. nar ..”
"Bangsat !" damprat In Hong," engkau berani bohong ?
Bukankah hidangan yang kupesan itu diserobot mereka ?"
"Sebenarnya kami sudah berjanji hendak membuatkan
lagi untuk nona, tetapi nona tak mau dan . . . ."
"Bangsat engkau!' In Hong terus hendak menampar
pelayan itu tetapi dicegah Han Bi lng "jangan adik Hong."
"Nih, jelas bahwa nonalah yang bersalah." kata kepala
polisi.
"Dan pokthau." kata prajurit bertubuh kekar, "pemuda
itu juga melanggar undang2 karena tak mau memelihara
kuncir."
"O," kepala polisi menyalangkan mata kearah Kim Yu
Ci. Ia terbeliak, '"Ah, apakah loya tidak salah lihat ?
Bukankah pemuda itu sudah pakai kuncir ?"
"Hah ?" prajurit tegap itu membelalakkan mata, "tetapi
dia tadi .. . dia tadi tak pakai kuncir, pokthau dia berpaling
kepada kepala polisi itu dan tiba2 berteriak, "hai, mengapa .
. . mengapa pokthau sendiri tak memakai kuncir !"
"Apa ?" teriak kepala polisi Kwan Tiong dengan kaget
dan serentak merabah batok kepadanya, "astaga ! Kemana
kuncirku ?"
"Engkau juga tak pakai kuncir !" teriak In Horg seraya
menuding pada prajurit tegap itu.
Prajurit pucat dan serentak merabah kepalanya, "Celaka
!" ia melonjak kaget, “kuncirku .. . ."
"Jatuh !" seru kawannya yang melihat seikal rambut
jatuh di tanah. Prajurit tegap itu serentak menyambar kucir
dan terlongong- longong memandangnya, "Mengapa
kuncirku jatuh ?"
"Tuan kepala polisi, tangkap orang tak berkuncir ini!"
teriak In Hong.
Kepala polisi Koan tercengang.'
"Hai, prajurit2, lekas tangkap dan bawa kedua orang tak
berkuncir ini kepada pembesarmu!"
Beberapa prajurit itu tertegun. “Ha, kalian tak mau
menangkap? Baik, aku akan melaporkan kepada
pembesarmu," gertak In Hong seraya hendak keluar.
"Tunggu !" teriak kepala polisi lalu berpaling kepada
kawanan prajurit," mari kita pergi!" Dia terus melangkah
keluar.
Kawanan prajurit itupun mengikuti langkahnya.
Rupanya mereka menyadari bahwa rombongan gadis itu
memang pemuda2 yang berilmu tinggi Apalagi prajurit
bertubuh tegap yang menjadi kepala mereka, kuncirnya
putus.
Memang pada waktu kerajaan Ceng mengumumkan
bahwa setiap arang lelaki harus memelihara kuncir,
terjadilah reaksi yang keras di kalangan rakyat Han. Oieh
karena itu kerajaan Ceng pun menjalankan peraturan itu
dengan keras. Barangsiapa berani melanggar perintah itu
akan dihukum rangket sampai 50 kali. Dan apabila untuk
yang kedua kalinya masih melanggar, akan dihukum mati.
Itulah sebabnya kepala polisi begitu ketakutan setengah
mati karena kehilangan kuncir, demikian pula dengan
kawanan prajurit. Sebagai hamba hukum dan prajurit
hukumannya jauh lebih berat apabila berani melanggar
undang-undang itu.
"Ah, adik Hong, mengapa engkau cari gara2 lagi ?" tegur
Han Bi Ing.
"Bukan aku yang bersalah," bantah In Hong "masa
hidangan pesanan kita diserobot seenaknya sendiri oleh
prajurit itu."
Sementara itu tampak Kim Yu Ci tertegun.
"Kim kongcu, dari mana engkau memperoleh kuncir
itu?" tegur Han Bi Ing.
Kim Yu Ci geleng2 kepala, "Aku sendiri juga tak tahu,"
katanya seraya hendak mencabut Kuncir yang melekat pada
tengkuknya.
"Jangan," seru In Hong, "daripada menghadapi banyak
kesulitan lebih baik engkau pakai saja kuncir itu."
"Apakah kuncir itu benar dari rambutmu sendiri?" tanya
Han Bi Ing pula.
"Bukan," jawab Kim Yu Ci, "kuncir itu melekat pada
rambut tengkukku."
"Siapakah yang memasangnya?"
"Itulah yang menjadi pemikiranku. Pada hal jelas tiada
orang yang masuk kemari, mengapa tahu2 aku mempunyai
kuncir!"
Beberapa saat kemudian, In Hong seperti teringat
sesuatu, serunya, "Ah, orangtua yang berwajah tertawa
tadi, apakah bukan dia . . . . "
"Ah, dia kan terus diringkus polisi dan diseret keluar,"
bantah Han Bi Ing, "bagaimana mungkin dia dapat
mencomot kuncir kepala polisi dan dipasang di rambutmu?"
Baik Kim Yu Ci maupun Han Bi Ing tak dapat
menjawab pertanyaan itu.
"Apakah engkau tak merasakan suatu apa ketika kuncir
itu nomplok di rambutmu?" tanya In-Hong pula.
Kim Yu Ci hanya gelengkan kepala, “Ya, aku memang
mencurigai orangtua itu. Selain dia tiada orang lain yang
masuk ke ruang ini."
"Dan mengapa kuncir dari prajurit bertubuh tegap tadi
juga putus? Apakah kuncir mereka memang kuncir
pasangan?"
Sebelum mendapat jawaban, In Hong sudah memanggil
pelayan, "Hai, bung, apakah kuncirmu aseli atau
pasangan?"
"Aseli, nona," kata pelayan. "Masa iya, coba
kuperiksanya," In Hong suruh pelayan itu berputar badan
lalu ia memegal kuncir pelayan, "ah, pasangan juga! Hm,
sudah dua kali engkau bohong, bung! Nah, buktinya
kuncirmu dapat kuambil!'' dia terus melemparkan kuncir
pelayan itu ke lantai.
Sudah tentu pelayan itu kaget setengah mati. Kuncir itu
memang tumbuh dari rambutnya dan dipelihara sampai
panjang. Mengapa sekarang terlepas.
"Hayo, celaka," pelayan menyambar kunci terus lari
masuk kedalam.
Melihat itu pemilik rumahmakan merabai dan menariknarik
kuncirnya. Dia legah karena kuncirrya tidak lepas
tetapi dia kuatir akan terjadi apa2 maka dia terus
mendekapnya saja seperti takut kalau jatuh.
Han Bi Ing geleng2 kepala, "Ah, engkau memang nakal,
adik Hong."
"Sebagai hukuman dari kebohongannya tadi," bisik In
Hong.
"Ciangkui," kata Han Bi Ing seraya menghampiri pemilik
rumahmakan. Ia memberikan dua tail emas, "kiranya ini
cukup untuk pengganti semua kerusakan disini."
"Terima kasih," dengan tangan kiri masih mendekap
kuncir, tangan kanan menerima uang pemberian si nona.
"Eh, apa-apaan itu? Mengapa kuncir kok di dekap terus
menerus? Apa takut terbang?" tegur In Hong.
Pemilik rurnahmakan hanya tertawa menyengir.
"Nona," katanya, "kurasa nona sekalian lebih baik lekas2
tinggalkan kota ini. Karena dikuatirkan tak lama lagi
prajurit2 Ceng itu akan datang untuk menangkap nona dan
tuan."
"Ya," kata Han Bi Ing lalu mengajak kedua kawannya
pergi.
"Pergi sih boleh saja, tetapi bagaimana dengan perutku
yang masih kosong ini?" lengking In Hong.
"Wahhhh," pemilik rurnahmakan garuk2 kepalanya,
"kalau harus masak tentu makan waktu. bagaimana kalau
kusuruh membungkuskan bakpau saja?
Tanpa menunggu persetujuan orang, pemilik
rumahmakan segera suruh tukang masak membungkuskan
sepuluh butir bakpau.
Kota Thay-goan adalah ibukota propiri San-se.
Merupakan dataran yang dikelilingi oleh pegunungan. Di
sebelah selatan gunung Tiong thiau-san, di sebelah utara
tembok raksasa Ban li-tiang-shia yang membatasi tanah
Tiong-goa dengan Mongolia. Lalu disebelah timur-laut
gunung Ngo-tay san dan disebelah tenggara gunung Thayheng-
san. Puncak gunung Ngo tay-san mencapai ketinggian
3000 meter, merupakan salah satu dari Panca-giri (lima
gunung ) yang tertingj di benua Tiong-goan.
Setelah melintasi propinsi Siam-say maka ketiga
anakmuda itupun memasuki wilayah San yang saat itu
sudah diduduki oleh kerajaan Ceng atau Boan-ciu.
Saat itu mereka tiba di sebuah kota kecil di kaki
pegunungan Lu-liang-san dan mengalami peristiwa lucu di
rumahmakan.
Sekeluar dari rumahmakan mereka hendak melanjutkan
perjalanan ke timur. Singkatnya ditengah jalan mereka tak
mengalami gangguan apa-apa. Mungkin merekapun
memang bertindak hati2, sedapat mungkin menghindari
jalan besar dan kota yang ramai. Mereka lebih senang
mengambil jalan yang sepi di pegunungan dan desa?.
Dengan tindakan itulah maka mereka dapat tiba di kota
Thay-goan dengan selamat.
Sebelum memasuki kota, berkatalah KimYu Ci,
"Suasana dalam kota tentu jauh berbeda ketika masih
dalam kekuasaan kerajaan Beng. Kurasa baiklah kita
menyamar. Terutama penting sekali bagi nona Han agar
jangan diketahui musuh"
"Menyamar bagaimana ?" tanya In Hong.
"Kalau kita menyamar sebagai pelancong, tentu mudah
menimbulkan perhatian orang. Masa dalam suasana
perang, orang sempat untuk melancong,” kata Kim Yu Ci,
"maka sebaiknya kita menyamar saja sebagai rakyat desa
yang hendak menjual barang ke kota. Bagaimana ?"
"Wah, berabe," kata In Hong, "kalau engkau sih mudah
saja, Tetapi bagaimana dengan cici Ing ? Masakan orang
takkan kaget melihat seorang desa yang secantik dia ?"
"Hi, adik Hong, engkau memang suka menggoda orang,
Cobalah engkau berkaca, apakah orang jaga akan percaya
kalau orang desa secantik engkau ?"
Kim Yu Ci menganggiu, "Ya, memang begitu. Lalu
harus menyamar jadi apa ?"
"Itu mudah saja," kata In Hong, "yang tepat kalau aku
dan cici Ing menyamar sebagai rahib."
"Menjadi rahib ?" ulang Kim Yu Ci, "tetapi apakah
didalam kota terdapat biara ?"
"Ada," sahut Han Bi Ing, "bahkan beberapa buah. Yang
terkenal adalah biara Sam-im lahnya."
"Ya, itu memang tepat," kata Kim Yu Ci tetapi dari
mana kita dapat memperoleh pakaian rahib?"
In Hong tak dapat menjawab.
"Kalau menyamar sebagai rakyat desa mudah saja kita
beli pakaiannya," tambah Kim Yu Ci.
"Cici Ing," kata In Hong, "biara yang terletak agak diluar
kota ?"
"Ya, ada. Biara Ceng-leng-kwan. Letak, memang
disebelah luar tembok kota," kata Bi Ing.
"Itulah," seru In Hong, "kita ke sana mencuri jubah rahib
untuk kita berdua. Dan baimana untuk engkau ?" tanyanya
kepada Kl Yu Ci.
"Kupikir," kata Kim Yu Ci, "aku akan menyaru
sebagai....."
"Paderi gundu! saja !"
"Wah, wah, jangan dong," kata Kim Yu Ci, kalau
airmuka dilumuri kotoran atau bedak untuk berganti wajah,
itu sih mudah saja kalau sudah selesai lalu dicuci. Tetapi
kalau ranbut sudah terlanjur di gundul, apakah bisa tumbuh
dengan cepat? Jangan2 aku nanti dikira paderi murtad.”
In Hong tertawa.
'Dengan aku menyaru sebagai rakyat dan kalian sebagai
rahib, tentulah orang tak menyangka kalau kita ini sekawan
sehingga mengurangkan perhatian orang."
Setelah mencapai sepakat maka bertanyalah Kim Yu Ci,
"Jika demikian mari kita menuju ke biara itu."
Biara Ceng-leng-kwan tidak berapa besar dan teeletak di
pinggiran kota. Kepala biara bernama Gok Sian suthay,
berumur enampuluhan tahun. Mempunyai dua orang murid
Lian Ceng dan Lian Kiat, dua saudara kembar yang baru
berumur duapuluhan tahun.
Setelah tiba di biara itu maka Kim Yu Ci berkata, "Harap
nona berdua tunggu disini, akulah yang akan
mengambilkan pakaian rahib."
"Ah, jangan," kata In Hong, "engkau seorang lelaki dan
rahib2 di biara itu semua wanita. Apakah engkau tidak
sungkan ?"
"Habis ?" kata Kim Yu Ci, "ini kan urusan penting.
Apalagi kita ini kan kaum persilatan, mengapa harus malu
?"
"Lebih baik aku sajalah," seru In Hong. tetapi.....”
"Apa engkau kira aku tak mampu melakukan ?
Bukankah mereka itu hanya rahib2 yang hanya mengurusi
biara dan membaca kitab ?"
Kim Yu Ci gelengkan kepala, "Jangan meremehkan
kaum paderi dan rahib. Tidak semua kaum paderi dan rahib
itu hanya membaca kitab saja. Merekapun diberi latihan
bersemedhi dan ilmusilat untuk menjaga kesehatan. Lihat
tuh ceritanya vihara Siau-lim. Dulu pendirinya. Tat cousu.
telah memberi pelajaran silat. Pelajaran sesungguhnya
sebagai suatu gerak badan agar kesehatan mereka baik dan
semangat tidak lesu. tapi lama kelamaan ilmusilat itu
menjadi suatu senjata untuk berkelahi. Kalau untuk beladiri
baik saja, tetapi ada juga yang digunakan untu
mencelakai orang, menjadi jagoan."
"Sudahlah," tukas In Hong, "pokoknya aku tentu mampu
mencuri pakaian mereka! Harap tunggu disini, jangan pergi
kemana-mana.”
Habis berkata dara itu terus melesat pergi. Kim Yu Ci
menghela napas., "Ah, anak perempuan itu memang garang
sekali. Dia belum tahu pengalaman di dunia persilatan.
Mudah-mudahan tak terjadi suatu apa."
'Ya, dia masih bersifat kekanak-kanakan segala apa mau
menang sendiri," kata Han Bi Ing, "tetapi dia sebenarnya
besar sekali rasa setiakawan dan penuh tanggung jawab."
Cepat In Hong sudah mendekati biara gerumbul pohon
yang gelap, dia maju rnenghampiri biara. Biara itu tampak
sunyi, karena itu sudah larut malam. Tetapi anehnya pintu
ruang depan tak tertutup. In Hong melangkah masuk. Meja
sembahyang yang berada dalam ruang tengah itu masih
menyala lilinnya. Yang dipuja di meja sembahyang itu
adalah arca Dewi Koan Im. Dan di kanan kiri meja dapat
arca dua orang sian-thong ( kacung nya).
Tiba2 mata In Hong menyala ketika melihat dialas meja
sembahyangan itu masih terdapat sesaji buah-buahan,
antara lain buah li ( peer ) sudah lama dia tak makan buahbuahan.
Seketika timbullah seleranya. Maka diapun maju
ke meja dan wutttt, ia terus menyambar buah li.
"Uh ia mendesuh kaget ketika buah li itu dapat bergerak
menghindar ke samping.
"Ah, mungkin karena tertampar oleh angin gerak
tanganku, buah itu menggelinding," pikirnya.
Dia terus mengulangi lagi, menyambar buah itu, Uhhh . .
. , " kembali ia melongo karena buah itu menggelinding lagi
ke samping.
"Gila, masakan menyambar buah li saja sampai dua kali
kok tak mampu," ia mulai geram.
Setelah memperhatikan posisinya, In Hong menyambar
lagi. Kali ini dia bergerak dengan amat cepat.
"Ihhhh," kembali mulutnya mendesis karena
sambarannya itu luput lagi. Kali ini bukan menggelinding
ke samping tetapi mencelat keatas lalu jatuh lagi.
"G.la!" dengus In Hong. Dia makin penasaran.
Disambarnya lagi, eh, buah li itu dapat melejit ke belakang.
In Hong tidak menyadari bahwa tak mungkin buah li
dapat bergerak dan mencelat kalau tidak digerakkan tenaga
orang. Tetapi dalam anggapan dia mengira buah itu
bergerak karena tertampar oleh angin gerak tangannya.
"Ah, tak perlu di sambar, cukup pelahan-lahan agar tidak
menimbulkan angin," akhirnyal ia mendapat akal.
Kali ini tangannya maju direntang seperti anak yang
hendak mendekap cengkerik. Pelahan-lahan tangannya
makin mendekati buah itu. Dan ketika tinggal sejari
jauhnya, dia terus menyambar, uhhhh .... buah itu melejit
ke atas.
"Ah, goblok, mengapa aku tak dapat bersabar," ia
menyalahkan dirinya sendiri. Diulanginya lagi untuk
ajukan tangannya mendekati buah itu. Ketika tiba di dekat
buah, dia memang dapat mengendalikan diri untuk tidak
cepat2 meraih, melainkan julurkan jari telunjuk untuk
menyentuh buah itu, ih ... . hanya tersentuh sedikit saja,
buah itu teras melejit ke muka.
Kali ini In Hong benar2 kaget. Mengapa begitu
tersentuh, buah terus mencelat? Padahal pclahan sekali
ujung jarinya itu menyentuhnya.
"Apakah buah itu bernyawa. Ataukah ruang ini ada
psnunggunya ………,” baru dia berkata begitu tiba2
sepasang lilin yang terletak di meja bergerak-gerak,
berpindah tempat. Sudah tentu In Hong terbelalak kaget.
"Edan," gumamnya, "masakan lilin dapat berpindah
tempat, buah dapat bergerak dan melejit!"
Yang lebih gila lagi, sekonyong-konyong sepasang lilin
yang berpindah tempat itu padam. Seketika ruang itupun
gelap gulita.
"Anak perempuan, engkau berani mencuri buahku?"
tiba2 telinga In Hong seperti terngiang suara halus macam
denging nyamuk.
Sudah tentu In Hong melonjak seperti meliuk ular. Suara
apakah itu? Dia tabahkan hati dan mencabut pedangnya.
"Ho, anak perempuan, engkau berani melawan aku?
Akulah Dewi Koan Im yang dipuja di sini…….. " kembali
telinga In Hong terngiang suara halus seperti nyamuk.
Seketika lilinpun menyala lagi. Dan memandang ke
muka, In Hong masih melihat arca Dewi Koan Im itu
seperti tersenyum kepadanya. "Hayo, engkau harus berlutut
menghaturkan maaf kepada Dewi . . . . " tiba2 telinga In
Hong giang suara nyamuk itu dan tanpa terasa, lututnyapun
terkulai melentuk dan bluk, In Hong jatuh berlutut di depm
meja sembahyang.
Dia terkejut dan hendak meronta berbangkit tetapi
lututnya sukar digerakkan.
"Hm, anak perempuan, kalau engkau tetap tak mau
minta ampun, engkau akan kusuruh berlutut sampai besok
siang ..." telinganya terngiang pula suara nyamuk itu.
"Siapa engkau?" tanyanya. Ia tak tahu siapa yang bicara
itu. Maka iapun hanya sekedar bertanya tanpa mengetahui
kepada siapa pertanyaan itu ia ajukan,
"Aku penunggu biara ini. Bukankah engkau ini seorang
pencuri?" terdengar suara itu mengiang di telinganya.
"Ti . . . dak . . . aku bukan pencuri."
"Hm, aku adalah sin-beng (malaekat) yang tahu isi hati
orang, mengapa engkau berani bohong kepadaku?"
"Kalau malaekat, cobalah engkau tunjuk muka, jangan
bersembunyi."
"Aku sudah berada di depanmu, engkau sendiri yang tak
tahu. Tidak percaya?"
"Mengapa aku tak dapat melihatmu?"
"Engkau bangsa manusia, tentu saja tak dapat melihat
perwujudanku. Yang penting, kau haturkan maaf kepada
Dewi. Dewi Koan !m adalah dewi pengasih dan penyayang,
apa permintaanmu tentu akan dikabulkan....."
In Hong diam. Dia masih tak percaya.
"Budak perempuan, apakah engkau minta dipaksa ?
Baiklah....." begitu telinganya terngiang suara halus itu,
leher In Hong terasa kencang lalu terus melentuk ke muka,
kepala menunduk sampai ke tanah.
Dara itu terkejut dan coba hendak meronta tetapi
percuma. Dia tak dapat menggerakkan leher mengangkat
kepala.
"Hayo, kalau tak mau minta ampun, engkau lurus
menunduk sampai besok siang dimana kepala biara ini
tentu akan mengetahui perbuatanmu ……”
In Hong terkejut, heran, cemas tetapipun menyerah. Dia
benar2 tak dapat berkutik. Diam-diam ia menimang, "Apa
sih beratnya untuk mengucapkan kata2 itu ? Daripada aku
begini sampai besok pagi dan dipergoki rahib biara ini, kan
lebih baik aku menurut dulu....."
Setelah memutuskan, diapun segera mengutipkan kata2
seperti yang diajarkan suara gaib tadi. Habis mengucap, eh,
tahu2 dia dapat bergerak lagi. Cepat dia berbangkit. Belum
berbuat apa2, tiba2 buah li tadi menggelinding dan
mencelat ke arah dadanya. C;pat dia menyanggapinya.
"Makan………” terngiang pula suara halus itu ditelinga
In Hong.
In Hong terpaksa menurut. Memang enak rasanya buah
li itu. Setelah makan maksudnya di hendak cepat2
tinggalkan ruang sembahyang itu. Ia benar2 kapok
mengganggu sesaji yang diperuntukkan Dewi Koan Im.
Tetapi entah bagaimana sehabis makan buah |i, ia
rasakan matanya ngantuk sekali. Sedemikian ngantuk
sampai sukar dibuka. Dan akhirnya ia pun menyerah saja,
terus menggeletak tidur.
Han Bi Ing yang menunggu di hutan, mulai cemas.
Mengapa sampai sejam lamanya belum juga In Hong
muncul. Ditunggunya lagi sampai sejam. Dan waktu sudah
tiga jam lamanya, Han Ing tak dapat menahan
kesabarannya lagi.
"Kim kongcu, bagaimanakah dengan Hong."
"Ya, anak prempuan itu memang bandel,” kata Kim Yu
Ci, "seharusnya dia sudah kembali.”
"Lalu bagaimana?"
"Engkau berani menunggu seorang diri di sini?"
"Takut apa?"
"Kalau begitu biarlah kususulnya saja,” Kim Yu Ci yang
terus lari menuju ke biara.
Saat itu rembulan sudah
condong ke barat. Ruang
depan dari biara itu gelap
tiada penerangannya lagi.
Kemanakah ia harus mencari
jejak dara itu?
"Adakah kepala biara ini,
seorang rahib yang
sakti?"'pikirnya. Ia
mempunyai alasan untuk
menduga begitu. In Hong juga
memiliki kepandaian yang
cukup tinggi tetapi mengapa
sudah tiga jam berada dalam biara itu tak juga dara itu
kembali lagi?
Kim Yu Ci menjemput kerikil dan dilontarkan ke
genteng. Cara itu adalah cara yang digunakan oleh kaum
ya-heng-jin (kaum persilatan yung bekerja pada malam hari)
untuk menyelidiki apakah penghuni rumah sudah tidur atau
belum.
Suara berkelotekan dari batu kerikil yang menggelinding
di atap, tiada bersambut. Tiada suara dari penghuni yang
terdengar bangun.
Kim Yu Ci memberanikan diri. Dia tak mau langsung
memasuki ruang dalam, melainkan Ioncat ke atas genteng.
Baru kakinya menginjak gentong, tiba2 setiup angin tajam
telah menyambar kearahnya.
“Hm, kurang ajar, ada orang yang menyerang aku
dengan senjata rahasia," pikirnya. Dia diam saja. Begitu
benda itu tiba, dia segera menamparnya, plek.....
"Ih . . . . , "dia mendesis ketika merasakan bahwa yang
ditampar itu bukan senjata rahasia yang berbahaya
melainkan sehelai daun.
"Kurang ajar !" gumamnya namun pada lain saat dia
terkesiap. Orang yang mampu melontarkan daun seperti
melontar senjata rahasia terang tentu memiliki tenagadalam
yang luar biasa hebatnya.
"Celaka, ada orang sakti yang hendak menganggu aku,"
pikirnya. Mendekam diatas wuwingan genteng, ia
memandang kesekeliling penjuru. Namun ia tak
menemukan sesuatu yang layak dicurigai. Empat penjuru
sunyi senyap terbungkus dalam kegelapan malam yang
kelam.
Tiba2 ia melihat sesosok tubuh memberosot lari dari
balik gerumbul,
"Ho, engkau," kata Kim Yu Ci seraya loncat turun untuk
mengejar.
Ternyata orang itu amat tangkas dan sekali. Kim Yu Ci
terus mengejar sampai tiba sebuah lembah barulah orang itu
berhenti.
"Ho, mau apa engkau mengejar aku ?" tegur orang itu.
Suaranya parau. Dan Kim Yu Ci seperti pernah mendengar
nada suara orang itu tapi entah dimana ia sudah lupa.
"Siapa engkau ?"
"Apa pedulimu aku siapa ?"
"Bukankah yang menyerang aku dengan lemparan daun
tadi, engkau ?"
"Apa engkau anggap aku mampu melakukan itu ?" balas
orang yang wajahnya pucat seperli mayat.
"Hm, tiada lain orang kecuali engkau !"
"Lalu apa maksudmu?'' tanya orang' itu.
"Engkau hurus mengatakan siapa dirimu dan apn
maksudmu mengganggu aku ?"
"Kalau aku tak mau mengatakan ?"
"Harus mau !" bentak Kim Yu Ci seraya terus
menyambar orang itu. Tetapi dia terkejut sekali karena
orang itu mampu menghindar dari tangannya.
Dahulu karena hendak menuntut balas kepada Kim
Thian Cong maka Kim Yu Ci menyaru sebagai Kim Thian
Cong. Dia bermarkas di gunung Hung san dan mendirikan
Perkumpulan Seng-lian-kau. Selain untuk mencari Kim
Thian Cong, pun ia bermaksud untuk menjagoi dunia
persilatan. Sudah barang tentu dia memiliki kepandaian
yang sakti sehingga mampu mengalahkan tokoh2
persilatan.
Peristiwa itu menggemparkan dunia persilatan. Ketua
dari tujuh partai persilatan yang ternama sampai kelabakan.
Akhirnya tampillah pendekar Bloon untuk menghadapinya.
Untung pada waktu mereka berdua bertempur mencapai
detik2 yang gawat, datanglah Hiang Hiang niocu untuk
mendamaikan dan menceritakan siapa sebenarnya mereka
itu.
Ternyata orang yang menyamar sebagai Kim Thian
Cong itu adalah Kim Yu Ci. Dan Kim Yu Ci itu ternyata
putera dari Hiang Hiang niocu dengan Kim Thian Cong,
Blo'on putera Kim Thian Cong dari ibu lain. Dengan
demikian Kim YuCi dan Kim Yu Yong (Blo'on) itu adalah
saudara tunggal ayah lain ibu.
Tentang kisah yang menarik itu, anda dapat mengetahui
dalam cersil Pendekar Blo'on yang lalu.
Maka tak heran kalau Kim Yu Ci terkejut karena orang
bermuka pucat itu mampu lolos dari sergapannya.
"Hm, engkau ternyata hebat juga," dengus Kim Yu Ci
seraya melanjutkan serangannya. Tetapi tiba2 orang itu
berseru, "Aya, celaka, maksud baik disangka jelek .... , ."
Habis berkata orang itu terus loncat dan melarikan diri.
Kim Yu Ci tertegun mendengar kata orang itu Hanya
sejenak dia terdiam atau orang itu sudah lenyap dalam
kegelapan malam.
"Luar biasa sekali ilmu ginkang orang itu,” kata Kim Yu
Ci sesaat kemudian. Akhirnya terpaksa dia kembali ke biara
lagi. Ah, ternyata halaman biara dia telah menyaksikan
suatu pemandangan yamg menegangkan.
Ditingkah oleh sinar bulan remang, saat di halaman
biara sedang berlangsung pertempuran yang seru antara tiga
sosok bayangan hitam.
Kim Yu Ci tak tahu siapa mereka itu. Tetapi sesaat
kemudian dia baru dapat melihat bahwa yang bertempur itu
adalah seorang rahib tua melawan dua orang paderi.
Walaupun tak tahu siapa mereka tetapi Kim Yu Ci rasakan
suatu keganjilan. Mengapa dua orang paderi lelaki tak
sungkan mengeroyok seorang rahib wanita tua ? Dan
mengapa diantara sesama kaum agama mereka harus
berkelahi ?
Seketika timbullah keinginan Kim Yu Ci untuk melerai.
Tetapi mereka berkelahi sedemikian seru sehingga seolah
ketiga sosok bayangan itu tergabung menjadi satu.
"Hai, taysu dan suthay yang bertempur, kuharap sukalah
berhenti dulu," serunya untuk menghentikan pertempuran
itu.
Tetapi mereka tak mengacuhkan.
"Taysu, aku bermaksud baik untuk mendamaikan urusan
kalian. Harap taysu hentikan pertempuran dulu," Kim Yu
Ci mengulang seruannya.
Namun tetap tak diacuhkan.
"Maaf, taysu dan sin-ni, apabila seruanku tak dihiraukan,
terpaksa aku akan bertindak," untuk yang terakhir kalinya
Kim Yu Ci memberi peringatan.
Tiba2 salah seorang paderi melesat ke tempat Kim Yu Ci
dan terus menghantam," Jangan mengganggu kesenangan
kami, bocah liar !"
Kim Yu Ci terkejut. Ia tak menyangka paderi itu begitu
galak. Begitu datang terus melancarkan pukulan yang
berbahaya. Kim Yu Ci menghindar ke samping.
"Tunggu !" serunya.
Paderi itu terkejut ketika serangannya da dihindari Kim
Yu Ci. Dia mulai penasaran. Tanpa mengacuhkan
permintaan orang, secepat mengisar tubuh, paderi itu
menyerang Kim Yu Ci lagi dengan jurus yang lebih
dahsyat.
"Gila engkau !" teriak Kim Yu Ci seraya gunakan gerak
Lok-gan-peng-sat atau Belibis-jatuh mendatar. Dia ayunkan
tubuh melesat lurus ke samping.
"Ho, bocah liar, engkau anakbuah rahib itu, ya ?"
kembali paderi tua melancarkan serangan.
"Bukan, harap taysu jangan salah faham. Aku pendatang
baru ditempat ini," seru Kim Yu Ci menyingkir dari
serangan.
Tetapi paderi tua itu tak mau mendengar keterangan
Kim Yu Ci. Dia tetap melanjutkan serangannya sehingga
Kim Yu Ci sibuk harus menghindar kian kemari.
"Mampus lu !" teriak paderi tua itu ketika melepaskan
sebuah pukulan Kim - kong-tua-li yang dahsyat.
Bum.....sebatang pohon yang berada di belakang Kim Yu
Ci, karena anak muda itu menghindar, tumbang seketika.
Dan walaupun tidak kena tapi bahu Kim Yu Ci terasa sakit
karena terlanggar sambaran angin pukulan tenaga-dalam
yang dahsyat itu.
Bagaimanapun sabarnya namun Kim Yu Ci juga seorang
anakmuda yang masih berdarah panas. Ia marah melihat
perbuatan paderi itu.
"Paderi, mengapa engkau bertingkah seliar itu? Apa
engkau kira aku takut kepadamu?"
Baru Kim Yu Ci berkata begitu, paderi tua Itu sudah
loncat menghantamnya lagi. "Jangan banyak mulut, anak
liar!"
Krakkkkk.....
Kali ini Kim Yu Ci tak mau menghindar, la ingin
menjajal kekuatan paderi tua itu. Ditangkisnya pukulan si
paderi. Seketika terdengar letupan keras dari dua kerat
tulang yang saling berbentur.
"Ih. . . . , " Kim Yu Ci tergetar bahunya.
"Uh. . . . , "paderi tua itu mendesuh ketika tubuhnya
tersurut mundur selangkah. Wajahnya pucat dan sepasang
matanya melotot kepada Kim Yu Ci.
"Taysu, apakah engkau masih hendak mengadu
kekuatan?" tegur Kim Yu Ci.
"Siapa engkau! "sesaat kemudian paderi tua Ku
membentak.
"Telah kukatakan tadi, aku seorang pejalan yang
kebetulan lalu disini. Karena melihat taysu bertempur
dengan seorang suthay maka akupun berhenti dan
bermaksud hendak melerai," kata Kim Yu Ci.
"Ini bukan urusanmu, jangan engkau ikut campur!" seru
paderi tua itu.
"Ah, mengapa taysu berkata begitu?" sahut Kim Yu Ci,
"bukankah kaum agama itu menjungjung welas asih dan
perdamaian?"
"Sekali lagi kukatakan, ini bukan urusanmu jangan turut
campur!"
"Melihat hal yang ganjil tidak berbuat apa-apa itu
menyalahi laku seorang ksatrya."
"Ho, ksatrya? Engkau menganggap diri mu seorang
ksatrya?"
"Aku tidak menganggap tetapi aku hanya berusaha untuk
mendidik diriku supaya melaksanakan laku seorang
ksatrya."
"Hm, ternyata engkau memang bandel. Ah tiada tempo
meladeni engkau!" seru paderi tua itu terus berputar tubuh
dan hendak loncat ke tengah gelanggang lagi.
"Taysu!" dengan sebuah gerak loncatan yang teramat
gesit, Kim Yu Ci sudah menghadang muka paderi tua.
"Bangsat, mampus engkau!" paderi itu lepaskan sebuah
pukulan tenaga-dalam hebat Biat gong-ciang atau pukulan
Membelah-angkasa.
“Bagus!" seru Kim Yu Ci yang serentak menyambut
dengan pukulan Coh kut-hun-kiu-ci atau pukulan Mengisartulang
memisah-urat.
Dulu ketika masih bayi, Kim Yu Ci telah direbut dari
tangan ibunya (Hiang Hiang niocu) oleh Bu Beng lojin,
ketua Seng-lian kau. Dari Bu Beng lojin itulah Kim Yu Ci
telah memperoleh ilmu kepandaian yang sakti. Diantaranya
yalah pukulan Coh kut-hun kin-ciang.
Sebenarnya pukulan itu sumbernya dari perguruan Kunlun
pay karena Bu Beng lojin itu sungguhnya juga berasal
dari perguruan Kun-lun pay tetapi kemudian dia
mengembara dan menidirikan perguruan sendiri. Pukulan
Coh-kut-Kun-ciang telah disempurnakan oleh Bu Beng lojin
hingga jauh lebih hebat dari sumbernya yang mula
perguruan Kun-lun-pay.
Pukulan itu dilancarkan dengan tenaga-dalam yang
tinggi. Dapat digunakan memukul jarak jauh. Lawan yang
terkena akan menjerit sakitan karena tulang2nya berkisar
dan urat2nyapun berantakan.
"Auhhhhh…..” paderi tua menjerit tak tahan dan cepat
loncat mundur terus melarikan diri sambil mendekap
lengan kanannya.
Tetapi Kim Yu Ci sendiri juga tertegun, rasakan darah
dalam dadanya bergolak keras hingga menyesakkan napas.
Terpaksa dia hanya tegak berdiam diri menyalurkan
pernapisan untuk menenangkan gejolak darahnya;
Dalam pada itu, di partai pertempuran antara rahib
dengan paderi tua kawan paderi yang kabur tadi, pun telah
mencapai penyelesaian.
"Giok Sian sumoay, apakah engkau benar2 tak mau
menyerahkan warisan guru ?" seru paderi tua itu.
"Aku hanya melakukan pesan suhu. Kecuali engkau
benar2 sudah mau insyaf dan kembali ke jalan yang benar,
barulah nanti akan kupertimbangkan lagi permintaanmu
itu," sahut rahib tua.
"Ke jalan benar ? Apakah jalan hidup yang kutempuh ini
salah ?"
"Apa salah sebuah pantangan yang suhu berikan kepada
kita ?"
"Banyak, aku tak ingat."
"Baik, aku yang mengatakan, dengarkan,” kata rahib tua
itu," bahwa salah satu pantangan dari suhu yang diberikan
kepada kita yalah tidak boleh menjadi penghianat!"
Paderi tua itu terkesiap.
"Barang siapa yang melanggar pantangan suhu, dia
dipecat dari perguruan dan harus dibasmi."
Merah muka paderi itu. Namun pada lain saat dia
berseru, "Apakah engkau anggap aku seorang penghianat ?"
"Apa nama seorang yang bekerja pada musuh yang
memerangi negara kita ?" balas rahib yang disebut Giok
Sian itu.
"Itu penghianat !"
"Lha, kan sudah tahu sendiri, mengapa masih bertanya.
Apakah engkau tak merasa ?"
"Tahu adalah suatu pengetahuan. Aku tahu tentang
pengetahuan apa yang disebut penghianat itu. Tetapi aku
tak merasa aku ini seorang penghianat."
'O, jika demikian, engkau ini seorang mayat manusia.
Manusia yang sudah tak punya perasaan lagi !"
"Ho, janganlah memaki seenakmu sendiri terhadap
seorang suheng, Giok Sian," seru padri itu," kukatakan aku
tahu tentang apa yang disebut penghianat tetapi aku tidak
merasa menjadi seorang penghianat. Orang boleh memaki
aku seorang penghianat karena aku membantu kerajaan
Ceng tetapi aku mempunyai alasan sendiri. Dan kurasa
pendirianku itu bukanlah suatu penghianatan terhadap
negara."
"Hm, bagaimana pendirianmu ?"
"Aku mendasarkan kesemuanya itu pada takdir.
Memang sudah ditakdirkan oleh Thian bahwa kerajaan
Beng itu akan hancur dan digantikan dengan kerajaan
Ceng. Kerajaan Beng sudah terlama lama, sudah lapuk,
bobrok dan tak berguna bagi rakyat. Apa salahnya kalau
kerajaan Ceng timbul dan menggantikannya ?"
"Orang Boan, bukanlah bangsa Han !"
"Jangan berbicara soal bangsa tetapi lihatlah kenyataan
yang ada dan yang membawa kebaikan kepada rakyat,
Apakah engkau hanya memetingkan soal raja Beng
daripada rakyat kita yang sudah cukup lama menderita
kesengsaraan dari tingkah raja dan mentri2 kerajaan Beng
itu? Tidak! Aku mempunyai pendirian lain. Biar orang
menganggap aku seorang penghianat tetapi nyatanya
kerajaan Ceng telah memperlakukan aku dengan baik dan
merekapun menurut permintaanku untuk tidak; menindas
rakyat kita. Mereka berjanji akan memperbaiki dan
meningkatkan kehidupan rakyat kita! Nah!, apakah
perjuangan untuk kepentingan rakyat itu suatu tindak
berhianat ?"
"Hm, dalih seorang penghianat memang indah sekali.
Tetapi keindahan itu hanya untuk menutupi keburukannya.
Jika raja Beng dan mentri2 kerajaan itu sudah lapuk, kitalah
yang harus bangkit untuk mengusir mereka dan mengganti
dengan kepala negara yang lebih cakap dan bijaksana,
mengapa kita membantu lain bangsa untuk menjajah negeri
kita ? Hm, engkau mengatakan orang Ceng bersikap baik
kepadamu. Tetapi engkau harus sadar bahwa sikap baik
mereka itu bukan tak ada sebabnya. Mereka membutuhkan
orang semacam engkau untuk membujuk orang supaya mau
berhamba kepada mereka. Engkau dijadikan alat untuk
memata-matai, menindas dan memperbudak bangsamu
sendiri. Ih, apakah engkau masih ada muka untuk
mengatakan engkau ini seorang pahlawan yang membela
kepentingan rakyat ? Coba tanya, siapakah rakyat yang
akan menyambutmu sebagai pahlawan mereka !" seru rahib
Giok Sian dengan berapi-api.
Ternyata dua orang pendeta dan rahib ini dahulu
saudara seperguruan. Adalah karena si pendeta mau bekerja
pada kerajaan Ceng maka, rahib pun memutuskan
hubungan saudara seperguruan dengan dia. Dan hal itu
memang menurut pesan guru mereka yang sudah
mendiang.
"Giok Sian, jangan sok-pintar untuk menggurui aku.
Setiap orang mempunyai pendirian hidup sendiri2.
Sekarang aku datang hendak meminta hak-ku."
“Hak apa ?
"Guru telah mewariskan sebuah kitab pusaka berisi
pelajaran ilmu tenaga-sakti Kiu-yang-sin kang. Karena aku
sebagai murid tertua, akulah yang berhak menerima
warisan kitab pusaka itu.
"Engkau sudah bukan murid suhu. Karena, suhu telah
menandaskan, barang siapa melanggar pantangan menjadi
seorang penghianat negara, dia bukan lagi muridnya dan
bahkan boleh dibunuh agar tidak mencemarkan nama baik
suhu!"
"Wah, hebat! Benar2 hebat engkau Giok Sian," seru
pendeta tua itu, "sekali lagi kuminta dengan baik2 agar
engkau suka menyerahkan kitab itu. Jika tidak, akupun tak
mau mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan
lagi."
"Memang harus begitu," sahut rahib Giok kian suthay,
"karena akupun sudah tak menganggap engkau sebagai
suheng lag!"
"Jika begitu, hanya mati yang harus engkau terima!"
pendeta itu segera memutar tongkat pertapaannya dan
menyerang rahib. Dalam sekejab mata rahib itu seperti
terbungkus dalam lingkaran sinar tongkat.
Giok Sian suthay kepala biara Ceng-leng-kwanpun tak
mau bersikap lemah. Dia memainkan hud-tim atau kebut
pertapaannya untuk menghalau serangan tongkat bekas
suhengnya.
Giok Sian dan pendeta tua itu adalah murid dari seorang
sakti yang mengasingkan diri dari dunia persilatan. Orang
sakti itu menamakan ilirinya Seng-ji-bong, artinya Hidup itu
seperti bermimpi.
Adalah karena masih mudanya dia banyak menderita
kekecewaan atau perbuatan sang kekasih, kawan-kawan
dan orang2 yang dikenalnya, maka dia putus asa dan
melarikan diri dari keramaian dunia. Dia anggap hidup itu
seperti mimpi.
Maka diapun berganti nama dengan Gong! yang berarti
Hampa. Dia memandang dunia hampa hanya sebuah
impian. Hidup itu hanya seperti orang bermimpi. Dalam
sekejab kita sudah lenyap lagi.
Gong Hi mempunyai dua orang murid. Yang besar
bernama Ping Ho dan yang perempuan Giok Sian. Setelah
dianggap sudah cukup memiliki bekal kepandaian. Ping Ho
disuruh turun gunung terjun ke masyarakat ramai untuk
mencari pengalaman dan mengandalkan kepandaian yang
diperolehnya. Dia mengharap murid itu kelak menjadi
manusia yang berguna, jangan mengalami kecewa seperti
dirinya.
Giok Sian masih tetap tinggal disana di gunung sampai
gurunya meninggal dunia. Pada waktu itu pertapa Gong Hi
memberikan sebuah kitab pusaka berisi pelajaran ilmu
tenaga-sakti Kiu-sin-kang kepada Giok Sian. Tetapi murid
lebih muda, akan memberikan kitab itu kepada suhengnya.
"Baiklah, Giok Sian," kata Gong Hi sudah gawat
keadaannya, "aku senang dengan kejujuranmu. Engkau
boleh memberikan kitab ini kepadanya dengan syarat
bahwa dia telah memenuhi semua peraturan dan tidak
melanggar pantangan yang kuberikan kepada kalian. Kalau
kau dapatkan dia nyeleweng. jangan engkau berikan kitab
ini kepadanya dan engkaulah yang menjadi pswaris kitab
ini. Sanggupkah engkau melaksanakan pesanku ini ?"
"Baik, suhu," kata Giok Sian.
"Dan engkau sendiri, muridku," kata Gong Hi, "aku tak
dapat memberi peninggalan apa2 karena aku memang tak
punya apa2. Milikku hanya sepasang supit untuk makan.
Supit itu terbuat dari batu giok yang memiliki khasiat.
Apabila dalam hidangan terdapat racun maka sumpit itu
akan berobah biru warnanya. Begitu pula apabila berada
ditempat yang hawanya mengandung racun atau terdapat
kabut beracun, supit itu akan berobah warnanya. Pokoknya
supit itu dapat memberitahu kepada kita tentang segala jenis
racun. Bahwa berhadapan dengan orang yang membawa
racun dalam saku bajunya, supit itupun akan berobah
warnanya. Nah, kalau engkau mau, kuberikan supit itu
kepadamu…..”
Karena sudah terlanjur hidup di tempat yang sunyi, usia
Giok Sian pun sudah terlanjur banyak. Ketika itu dia sudah
berumur duapuluh lima tahun. Akhirnya ia memutuskan
untuk masuk menjadi biarawati.
Dia tinggalkan gunung dan mengembara untuk mencari
suhengnya. Dia mendengar kabar bahwa suhengnya juga
menjadi seorang paderi tapi suhengnya itu bekerja pada
kerajaan Ceng. Dia diangkat sebagai kepala vihara terbesar
di kotaraja dan mendapat kepercayaan penuh dari kerajaan
Ceng.
Giok Sian menuju ke Pak-kia untuk menemui
suhengnya. Tetapi bukan diterima dengan baik, dia malah
ditangkap dan dijebloskan dalam penjara. Untung seorang
sakti yang tak dikenal namanya, dapat menolong Giok Sian
dan dibawa lari ke Thay-goan dan disuruh tinggal di vihara
Ceng-leng-kwan.
"Siapakah anda?" tanya Giok Sian. "Aku tak punya
nama. Cukup panggil si Ban Leng Jiu," kata orang aneh itu.
"Ban Leng Jiu?" ulang Giok Sian. Ia merasa aneh
mengapa orang memakai nama Ban Leng Jiu yang berarti
Manusia-serba-bisa.
"Ah, harap sin-ni tak usah heran. Yang penting
tinggallah sin-ni di biara ini. Biara ini menjadi pos
persembunyian dari pendekar2 yang hendak menolong
orang2 persilatan yang dicelakai kaki tangan kerajaan
Ceng."
"O," Giok Sian terkejut, "apakah ada gerakan yang
berusaha menyelamatkan pendekar2 ksatrya yang jatuh ke
tangan orang Ceng?"
"Ya," kata Ban Leng Jiu, "mereka yang ada dalam
daerah pendudukan musuh, bekerja secara rahasia untuk
menolong orang2 persilatan! maupun orang-orang yang
setya kepada ke Beng serta mereka yang tidak mau
berkomplot kepada kerajaan Ceng tetapi dipaksa dan
ditangkap, dijebluskan dalam penjara."
Demikianlah Giok Sian suthay tinggal di biara itu.
Sebuah biara yang sebenarnya dijadikan markas rahasia
dari para pendekar yang bergerak dibawah tanah untuk
menyelamatkan tokoh2 yang dicelakai kerajaan Ceng.
Tetapi jaringan mata2 kerajaan Ceng memang lihay
sekali. Ping Ho yang sudah berganti nama dengan paderi
Hwat Ho, segera mencium tentang jejak sumoaynya yang
berada di biara Ceng-leng-kwan. Paderi Hwat Ho telah
ditugasi kerajaan Ceng untuk memata-matai kaum padri,
imam dan pertapa yang bersikap menentang kerajaan Ceng.
Untuk merebut hati kaum agama, kerajaan Ceng
menugaskan Hwat Ho siansu ( gelar dari Peng Ho) untuk
membujuk kaum golongan agama bernaung dibawah
perlindungan kerajaan Ceng. Biara2 dan kelenteng2 serta
kuil2 yang mau berfihak kepada kerajaan Ceng, diberi
tunjangan besar. Dengan cara itu Hwat Ho memang
berhasil menarik banyak sekali golongan kaum agama ke
fihak kerajaan Ceng.
Setelah mendapat laporan tentang Giok Sian itu, maka
Hwat Ho siansu dengan seorang padri segera berangkat ke
biara Ceng-leng»-kwan si kota Thay goan. Hwat Ho perlu
menangani sendiri persoalan itu karena ia hendak menemui
sumoaynya untuk meminta kitab warisan dari mendiang
suhunya.
Sudah tentu Giok Sian menolak sehingga terjadilah
pertempuran. Hwat Ho siansu terkejut ketika merasakan
betapa hebat ilmu tenaga-dalam yang dimiliki sumoaynya.
Terpaksa ia memberi isyarat kepada kawannya untuk
membantunya.
Tetapi pada saat Giok Sian terdesak, muncullah Kim Yu
Ci. Pemuda itu berusaha untuk melerai tetapi kedua paderi
itu tak mau menggubris, bahkan salah seorang sudah loncat
dari geIanggang dan menyerang Kim Yu Ci. Akhirnya
karena jengkel Kim Yu Ci mengeluarkan ilmu simpanan
Coh-kut-hun-kin-ciang. Dia berhasil melumpuhkan lengan
paderi itu. Paderi itu melarikan diri. Tetapi Kim Yu Ci juga
bergolak keras darahnya. Terpaksa dia pejamkan mata
menyalurkan pernapasan.
Sementara pertempuran antara Hwat Ho siansu dengan
Giok Sian suthay telah mencapai detik yang menentukan.
Tampak tongkat paderi Hwat Ho sedang dilibat oleh hudtim
Giok Sian suthay. Sepintas tampaknya mereka sedang
tarik menarik untuk melepaskan senjatanya tetapi
sesungguhnya mereka sedang mengadu tenaga-dalam yang
sakti.
“Kiu-yang sin-kang!" tiba2 Hwat Ho siar berseru kaget.
"Hm, engkau tahu juga," dengus Giok Sian.
"Pencuri!" teriak Hwat Ho siansu, "engkau telah mencuri
pelajaran tenaga-sakti Kiu-yang-sin-kang dari kitab suhu!"
"Suhu telah memperkenankan!"
"Bohong!" teriak Hwat Ho siansu pula, "ketika turun
gunung, suhu telah memberi pesan kepadaku bahwa setelah
kembali dari pengembaraan, suhu hendak menyerahkan
kitab pusaka ilmu Kiu-yang-sin-kang kepadaku. Mengapa
engkau berani mencuri pelajaran dalam kitab itu?"
"Aku tidak mencuri," bantah Giok Sian, "suhulah yang
memberi pelajaran ilmu itu kepadaku."
"Tidak mungkin! Suhu berjanji takkan pilih-kasih. Kalau
aku belum diberi pelajaran ilmu silat itu, engkaupun tidak!"
"Benar," sahut Giok Sian, "memang suhu tak memberi
pelajaran ilmu itu kepadaku. Dan beliaupun memberikan
kitab itu kepakaku supaya dirikan kepadamu . . . . "
"Nah, kal'au suhu sudah mengatakan begitu mengapa
engkau tak lekas memberikan kepadaku?”
"Suhu tidak hanya mengatakan begitu tetapi masih
disertai embel2. Kalau engkau nyeleweng menjadi
penghianat, maka kitab itu tidak boleh diberikan dan
supaya kuambil sendiri. Nah, karena kau niat2 menjadi kaki
tangan kerajaan Ceng, aku tak dapat memberikan kitab itu
kepadamu.”
"Engkau seorang rahib tetapi jelas engkau berhati kotor,
mengangkangi barang yang bukan menjadi hakmu!"
"Aku hanya menurutkan pesan suhu. Karena engkau
berhianat maka kitab itu takkan kuberikan kepadamu!"
'Soal penghianat atau bukan, bukan wewenangmu untuk
menilai. Suhulah yang dapat memberi keputusan!"
"Tetapi suhu kan sudah meninggal, bagaimana mungkin
hendak menghadap beliau:"'
"Berikan kitab itu kepadaku dan menghadaplah engkau
ke akhirat menemui suhu! "
"Benar, benar . ..." sekonyong-konyong terdengar suara
orang berseru dan muncullah seorang kakek bungkuk yang
berjalan dengan tongkat, "benar, benar, kalau hendak
mencari peradilan, tidak hanya suthay itu yang harus
menghadap suhunya ke akhirat tetapi engkaupun juga harus
ikut ke sana. Biar diberi keadilan!"
Dalam tanya jawab yang cukup sengit Giok Sian dan
Hwat Ho masih melangsungkan pertempuran adu tenagadalam
yang hebat. Ketika mendengar suara dan munculnya
seorang kakek bungkuk, keduanya terkejut, Giok Sian
berpaling, kesempatan itu tidak disia- siakan Hwat Ho.
Serentak dengan itu ia menarik tongkatnya. Begitu terlepas
dari lilitan hud-tim, Hwat Ho terus menyapukan tongkat ke
pinggang Giok Sian suthay.
"Ih......," Giok Sian terkejut dan menyurut mundur tetapi
sabuk pinggang jubahnya terkena damparan tongkat. Hal
itu cukup membuat tubuh Giok Sian terhuyung-huyung ke
belakang.
"Pergilah ke akhirat !" Hwat Ho siansu Ioncat hendak
menghantam kepala Giok Sian yang masih belum dapat
berdiri tegak itu.
Kim Yu Ci terkejut ia membuka mata ternyata tongkat
Hwat Ho sudah melayang ke atas kepala Giok Sian sedang
rahib itu tampak tak berdaya lagi untuk menghindar atau
menangkis.
"Pa.....,," baru Kim Yu Ci hendak berseru menyuruh
paderi itu hentikan keganasannya, tiba2 ia menyaksikan
suatu peristiwa yang aneh, tongkat yang diacungkan keatas
oleh Hwat Ho itu tak dapat turun sehingga Giok Sian
mendapat kesempatan untuk loncat ke belakang.
"Paderi membunuh rahib, sungguh suatu perbuatan yang
terkutuk......," seru si kakek bungkuk tadi seraya berjalan
menghampiri.
Hwat Ho siansu berputar tubuh, "O, maaf kakek
….......,"
"Ah, jangan, jang.....," kakek bungkuk itu melambaikan
tangannya dan tampak lengan bajunya bergerombyangan.
"Jika lo-cianpvve tak mau menerima hormatku, baiklah,
aku hendak menghaturkan persembahan kepadamu ..,..,"
tiba2 Hwat Ho siansu lontarkan tangannya,
bum........terdengar letusan hebat dan asap tebalpun segera
bertebaran memenuhi tempat itu.
Kim Yu Ci terkejut. Tiba2 ia merasa angin berkesiur dan
telinganyapun tergiang sebuah suara halus, "Lekas tutup
pernapasan, asap itu ngandung racun !"
Kim Yu Ci pun menurut. Ia heran siapa yang membisiki
dengan ilmu Cian-bi-jit-bit ilmu Menyusup-suara itu.
Beberapa saat kemudian setelah asap menipis, Kim Yu
Ci terkejut lagi. Ternyata di tempat pendeta dan rahib
bertempur tadi sudah tak barang seorang mereka itu ?"
pikirnya. Ia berpaling dan juga kakek bungkuk tadi lenyap.
Keadaan disekeliling tempat itu sunyi senyap.
"Apakah aku bermimpi ?" tanyanya dalam hati, "ah,
tidak. Aku sadar. Mereka tentulah jago sakti. Kemungkinan
rahib dan kakek bungkuk di mengejar paderi yang
melontarkan peluru beracun.
"Rahib yang bernama Giok Sian itu jelas kepala dari
biara ini. Tetapi siapakah gerangan kakek bungkuk itu ?"
tanyanya tak habis2.
Tiba2 ia teringat akan In Hong yang hendak mencuri
pakaian rahib di biara itu. Kemanakah dara itu ?
Karena sudah terlanjur datang ke biara situ, baiklah ia
menyelidiki In Hong di didalam biara. Kalau dara itu tak
ada, barulah ia akan kembali ke tempat Han Bi Ing.
Begitulah dia segera melangkah masuk ke dalam biara.
Seorang rahib muda yang masih gadis tampak
menyambutnya dan menanyakan Kim Yu Ci.
"Ah, aku hanya ingin melihat-lihat biara ini saja karena
kebetulan aku lewat di tempat ini," kata Kim Yu Ci.
"Biara ini tak ada sesuatu yang berharga dilihat. Apalagi
sicu hendak bersembahyang, silakan bersembahyang di
ruang muka," kata rahib muda.
"Ada seorang kawanku, seorang gadis, apakah li-pousat
melihatnya datang kemari?" tanya Kim Yu Ci,
Rahib muda itu tertawa, "Li-pousat? Ah, janganlah sicu
berkata demikian. Aku tak layak mendapat sebutan begitu.
Aku hanya seorang murid yangj belum ditahbiskan menjadi
rahib."
"O, maaf," kita Kim Yu Ci, "tetapi bagaimana dengan
pertanyaanku tadi ?"
"Rasanya sejak semalam tak ada tetanu yang berkunjung
kemari. Memang biara ini jarang sekali dikunjungi orang,"
kata rahib muda itu.
Kim Yu Ci segera tinggalkan biara itu menuju ketempat
Han Bi Ing. Ia terkejut ketika lihat Han Bi Ing dan In Hong
sudah ada disana dalam pakaian rahib.
"Wah, nona In memang hebat," puji Yu Ci. Dan Han Bi
Ing hanya tertawa sedang Hong tersipu-sipu menunduk.
"Eh, kenapa ini ?" seru Kim Yu Ci heran.
"Seorang kakek pincang datang kepadaku ia mengatakan
bahwa dia melihat seorang rahib muda menggeletak
dibawah pohon. Aku terkejut dan minta dia supaya
mengantarkan aku kesana. Siapa tahu ternyata rahib muda
itu tak lain lah In Hong…."
"O," Kim Yu Ci terkejut.
"Adik Hong menggeletak tak dapat berkutik dan tak
dapat bicara sehingga tak dapat kutanyai. Tetapi saat itu dia
mengadakan pakaian sebagai rahib dan disampingnya
terdapat setumpuk pakaian rahib lagi. Aku heran dan
bertanya kepada kakek berkaki pincang itu, Kakek itu
mengaku nama Ban Leng Jiu....."
“Ban Leng Jiu ?" Kim Yu Ci tersentak kaget.
"Ya," sahut Han Bi Ing," kenapa?"
"Berapa umur kakek itu ?"
"Lebih kurang tujuhpuluhan tahun."
"Bagaimana wajahnya ?"
"Tua renta, memelihara jenggot putih yang panjang.”
"Kakinya pincang?"
"Ya."
"Aneh," gumam Kim Yu Ci," dia juga mengaku bernama
Ban Leng Jiu ...."
"Siapa ?" tegur Han Bi Ing heran. Kim Yu Ci
menceritakan bagaimana ketika tiba di biara Ceng-lengkwan,
dia telah diserang oleh seorang bayangan Ketika dia
kejar bayangan itu berhenti di sebuah hutan sepi dan
herannya bayangan itu ternyata seorang kakek wajah seperti
anak2 dan mengaku bernama Ban Leng Jiu."
"Tetapi kakinya tidak pincang," kata KimYu Ci
mengakhiri ceritanya, "mengapa yang bertemu nona itu
kakinya pincang ?"
“Entahlah, "kata Han Bi Ing, “kemudian kakek itu
mengatakan bahwa In Hong tadi berkelahi dengan seorang
akakek. Kakek itu dapat merugikun In Hong. Tetapi aku
muncul dan kakek itu melarikan diri, katanya."
“O. mengapa di daerah ini terdapat banyak kakek. Ada
kakek berwajah anak2, kakek berkaki pincang dan kakek
yang suka menggang anak perempuan.
"Kuperiksa keadaan In Hong ternyata tak menderita luka
apa2. Akupun legah. Tetapi ketika aku berpaling hendak
bertanya sesuatu kepada kakek pincang itu, ternyata dia
sudah lenyap . . . . "
"Lenyap?"
"Ya," jawab Han Bi Ing, "memang aneh.”
"Apakah engkau tak mendengar gerakann waktu dia
pergi?"
Han Bi Ing gelengkan kepala, "tetapi kulihat di tempat
dia berdiri tadi, terdapat tiga buah goresan huruf di tanah
yang berbunyi 'dia tertutuk jalandarahnya."
"O, apakah nona In Hong yang dimaksudkan?" lanya
Kim Yu Ci.
'"Ya," kata Han Bi Ing, "lalu kuperiksa dan ternyata
memang adik Hong telah ditutuk hingga tak dapat berkutik
dan bicara. Setelah diurut-urut barulah dia dapat bergerak."
Kim Yu Ci berpaling kepada In Hong, “Nona, siapakah
yang mencelakai engkau?"
"Uh, kalau tahu tentu kuhajar," gumam In Hong.
Han Bi Ing lalu mengulang cerita yang dituturkan In
Hong kepadanya. Yalah pengalaman waktu In Hong masuk
kedalam biara dan peristiwa buah peer di meja
sembahyangan patung Dewi Koan Im.
"O," kata Kim Yu Ci, "jika demikian ..."
"Apakah dalam biara itu memang terdapat malaekat
penunggunya?" tanya Han Bi Ing.
"Ya."
"Tidak mungkin," teriak In Hong, "aku tak percaya.”
Kim Yu Ci tertawa, "Memang kalau terhadap lain orang,
malaekat itu tak ada. Tetapi dia akan muncul untuk
menyambut nona In. Mungkin dia tahu kalau hidangan
untuk Dewi Koan Im akan diganggu nona In, ha, ha, ha ....
"
In Hong merah mukanya dan terus ayunkan langkah.
"Hai, hendak kemana adik Hong?" Han Bi Ing terkejut.
"Akan kuobrak-abrik meja sembahyangan itu. Coba saja
patung Dewi Koan Im itu akan mampu berbuat apa
kepadaku!"
"Jangan .... " seru Han Bi Ing tetapi In Hong sudah lari
jauh.
"Ah, mengapa kongcu menggodanya? Anak itu memang
kolokan. Kalau menderita sedikit saja ia sudah ngamuk.
Mari kita susul dia."
Kim Yu Ci hanya tertawa. Keduanya segera menuju ke
biara Ceng Leng Kwan lagi. Tetapi kejut mereka bukan
kepalang karena mereka tidak mendapatkan In Hong
berada di biara itu.
Seorang rahib muda keluar menyambut dia menanyakan
maksud kedatangan kedua anakmuda itu. Rah!b itu juga
masih seorang gadis muda bahkan lebih muda dari rahib
yang menyambut Kim Yu Ci tadi.
“Nona, kami hendak mohon tanya apakah saudara kami
seorang gadis, datang ke biara ini?” tanya Kim Yu Ci.
Rahib muda itu kerutkan dahi, "Aku seorang rahib,
harap jangan menyebut nona.”
'"O, maaf, sin-ni," kata Kim Yu Ci
"Sejak pagi tadi aku bekerja di ruang untuk
membersihkan ruangan dan mengatur meja
sembahyangan," kata rahib muda itu, "tetapi tiada seorang
nona yang datang kemari."
"Ah, harap sin-ni jangan mengecewakan kami," kata
Kim Yu Ci, "jelas adik kami itu menuju ke sini mengapa
sin-ni mengatakan tak orang datang ?"
"Sicu," kata rahib muda itu, aku seorang rahib, bohong
adalah pantangan yang tak boleh kulanggar."
Kim Yu Ci berpaling kearah Han Bi Ing. Han Bi Ing
memberi isyarat anggukan kepala.
"Sin-ni," kata Kim Yu Ci, "bolehkah kami masuk
kedalam ?"
"Boleh saja," kata rahib muda itu, "tetapi apakah maksud
sicu ?"
"Mencari adikku itu," kata Kim Yu Ci.
"Aneh," jawab rahib muda, "sudah kukatakan bahwa
sejak malam tadi kami tak menerima seorang tetamu,
mengapa sicu hendak memeriksa ke dalam ? Apakah sicu
tak percaya kepada keteranganku ?"
"Aku percaya," kata Kim Yu Ci, "tetapi sin-ni pun harus
percaya pada keteranganku bahwa adikku memang pergi ke
biara ini."
"Hm, baiklah," kata rahib muda itu, "tetapi akupun harus
melakukan kewajiban mematuhi perintah suhu. Bahwa
setiap orang yang tak mempunyai kepentingan, dilarang
masuk kedalam ruang dalam biara ini."
"Lho, biara itu kan sebuah rumah suci. Setiap orang
boleh datang bersembahyang. . . ."
"Benar," sahut nikoh, "silakan sicu bersembahyang di
ruang ini kalau mau bersembahyang.”
Kemudian nikoh muda itu berpaling kearah Han Bi Ing,
"Nona, apakah nona juga mau sembahyang ?"
Han Bi Ing menjawab, "Aku datang bersama kongcu ini
.... "
"O, yang hendak dicari itu adik dari kongcu atau adik
nona ?"
"Adik kita."
'"O, jika begitu nona adalah . .. . "
"Sin ni," cepat Han Bi Ing menukas, "benar adikku tak
datang kemari ?"
"Mengapa nona tak percaya kepadaku? seru rahib muda
itu.
"Mengapa sin-ni juga tak percaya kepada omonganku?"
balas Kim Yu Ci.
"Aku percaya tetapi aku tak melihat seorqng nona yang
datang kemari. Silahkan cari saja kelain tempat."
"Tidak sin-ni," kata Kim Yu Ci, "aku harus mencari ke
dalam,” habis berkata dia terus melangkah hendak masuk.
"Tunggu," rahib muda itu melesat dan menghadang di
muka Kim Yu Ci seraya dorongkan tangannya.
Kim Yu Ci rasakan kedua tangan rahib muda itu
memancarkan setiup arus tangan yang keras. Diam2 Kim
Yu Ci mengempos semangat untuk memperkokoh tubuh.
"Ih," rahib muda itu mendesis kaget ketika ia melihat
pemuda itu masih tegak dihadapannya. Rupanya dia
penasaran. Kembali ia mendorong lebih kuat seraya
berkata, "harap sicu keluar ruang ini!"
Tetapi kembali dia terkesiap ketika melihat pemuda itu
tegak dengan tenangnya.
'"Sumoay, mengapa engkau?" tiba2 terdengar lengking
suara seorang gadis dan pada lain muncul seorang rahib
muda, "o, kongcu ini lagi"
"Dia hendak nekad masuk ke dalam,” kata rahib yang
pertama, "dia hendak mencari adiknya."
"O," desis rahib kedua, "tadi dia sudah datang dan
bertanya soal itu. Sudah kukatakan tak ada orang yang
datang kemari mengapa kongcu masih berkeras hendak
masuk ke ruang dalam?"
"Apakah dilarang?"
"Ya."
"Mengapi?"
"Entah, itu pesan suhu."
"Apakah di dalam ruang biara ini terdapat satu yang
harus dirahasiakan kepada orang luar?”
"Itu sudah menjadi peraturan biara ini."
"Kalau aku tetap hendak masuk?"
"Kamipun terpaksa tetap akan menghalangi."
Kim Yu Ci sebenarnya sungkan untuk bentrok dengan
wanita apalagi kaum rahib. Tetapi ia bikin curiga melihat
sikap kedua rahib yang begitu mati-matian melarangnya
masuk kedalam. Tentulah terdapat apa2 dalam biara ini.
Seketika keinginannya untuk mengetahui makin besar.
"Sin- ni, maaf, aku terpaksa meneruskan maksudku
hendak masuk .. . ..." ia terus melangkah maju.
"Berhenti," kedua rahib muda itu serempak berseru dan
dorong tangan ke arah Kim Yu Ci.
Kim Yu Ci hendak memberi sedikit pelajaran kepada
kedua rahib muda itu. Ia segera menggunakan tenagadalam
melekat. Setelah tenaga-dalam tangan kedua rahib
itu tersedot tiba2 Kim Yu Ci berseru, "Maaf, harap kalian
memberi jalan. .1
Kedua rahib itu tersurut mundur sampai dua langkah,
ternyata setelah menyedot, Kim Yu Ci lalu gunakan tenagadalam
untuk mendorong dua rahib muda itu.
"Bagus," seru rahib yang kedua tadi, sumoay, mari kita
labrak pemuda ini !" — Dia terus mencabut hud-tim,
demikian pula dengan rahib yang dipanggil sumoay tadi.
Kedua rahib itu terus menyerang Kim Yu Ci.
"O, kiranya kalian rahib yang pandai ilmu silat, bagus,"
seru Kim Yu Ci. Dia terus bergeliatan menghindar serangan
kedua hud-tim rahib muda itu.....
-0oodwoo0-
Jilid 23
Kim Yu Ci sebenarnya agak sungkan menghadapi kedua
nikoh atau rahib muda dari biara Ceng-leng-kwan yang
menyerangnya dengan gentar. Ilmu permainan hud-tim dari
kedua nikoh muda itu memang hebat. Tetapi Kim Yu Ci
bukanlah pemuda sembarangan. Dia pernah mengangkat
diri sebagai Kim Thian Cong dan hendak merajai dunia
persilatan. Apabila mau, dengan cepat dapat mengalahkan
kedua nikoh muda itu.
Kedua gadis nikoh itu memang terkejut setelah
menyaksikan kepandaian Kim Yu Ci. Orangnya masih
muda, cakap dan berilmu tinggi. Lebih terkejut lagi kedua
gadis nikoh itu ketika itu dengan suatu tata-gerak langkah
yang mengagumkan, Kim Yu Ci telah memberojot masuk
ke dalam ruang belakang.
"Hai, jangan meliar!" teriak kedua gadis rahib itu seraya
mengejar,
"Omitohud !" tiba2 seorang rahib tua muncul
menghadang jalan Kim Yu Ci, "mengapa sicu lari begitu
gugup ? Apakah sicu dikejar orang ?”
Kim Yu Ci hentikan langkah. Tetapi sebelum ia sempat
menjawab, kedua gadis rahib tadi pun sudah tiba.
"Suhu, dia kurang ajar sekali, berani menerobos masuk
kemari !" seru kedua gadis rahib itu.
Kim Yu Ci tersenyum.
"Benarkah begitu, sicu ?" tegur rahib tua yang disebut
suhu oleh kedua gadis rahib.
"Ya."
“0, tentulah sicu mempunyai kepentingan yang perlu
sekali."
"Benar, suthay. Aku hendak mencari adik perempuanku
yang datang ke biara ini. Apakah suthay mengetahui ?"
Rahib tua itu sejenak kerutkan dahi lalu menjawab,
"Leng Ceng, Leng Sim, apakah ada tetamu yang datang
kemari ?"
"Tidak suhu. Sejak semalam tak ada seorang tetamupun
datang kemari," sahut kedua gadis rahib. Yang tua bergelar
Leng Ceng dan yang Leng Sim.
"Sicu telah mendengar sendiri bahwa sejak kemarin kami
tak menerima tetamu,” kata rahib tua itu.
Kim Yu Ci tahu bahwa rahib tua itu tentulah Giok Sin
suthay kepala biara Ceng-leng-kwan yang semalam telah
bertempur melawan. Tadi waktu rahib itu muncul dan
mengangkat tangan untuk menghentikan langkahnya Kim
Yu terkejut karena gerak tangan rahib tua itu telah
memancarkan arus tenaga-dalam yang hebat, untunglah
tadi dia cepat kerahkan tenaga-dalam untuk menolak.
Diam2 ia memuji kepandaian rahib tua itu.
Tetapi sebenarnya Giok Sin suthay juga tak kalah
kejutnya. Ia tak menyangka bahwa anakmuda itu mampu
menahan tenaga-tolak yang dipancarkan dalam gerak
tangannya tadi. Itulah sebabnya maka ia tak mau marah
ketika kedua muridnya datang melapor perbuatan Kim Yu
Ci. Ia tahu kedua muridnya itu bukan tandingan Kim Yu
Ci.
"Maaf, suthay," kata Kim Yu Ci memberi hormat, "jika
demikian aku mohon diri .. . . "
"Tunggu," seru Giok Sin suthay benarkah sicu itu
mengatakan hendak datang ke biara ini.”
"Ya."
"Apa tujuannya ?"
"Mengamuk.....!" sebelum Kim Yu Ci menjawab tiba2
terdengar sebuah suara yang parau.
Kim Yu Ci terkejut, 'Siapa itu!" serunya.
"Ah, Ban-heng, silakan masuk , . . ," tiba2 Giok Sin
suthay berseru. Tetapi sampai beberapa saat tiada
penyahutan. Giok Sin suthay segera merintahkan kedua
muridnya, "Ceng dan Sim, lekas undang paman Ban
kemari."
Setelah kedua gadis rahib itu pergi maka Giok Sin suthay
berkata kepada Kim Yu Ci, "Benarkah maksud kedatangan
adik sicu kemari seperti yang dikatakan Ban-heng tadi?"
"Siapakah Ban-heng itu, suthay?" Kim Ci balas bertanya.
"Dia seorang aneh," Giok Sin suthay tersenyum.
"Apakah bukan Ban Leng Jiu?"
Giok Sin suthay terkejut, "O, apakah sudah kenal?"
"Belum tetapi sudah pernah mendengar namanya.”
"Lalu apakah kedatangan adik sicu itu betul begitu?"
Giok Sin suthay mengulangi pula pertanyaannya yang
belum terjawab.
"Bukan mencuri tetapi hendak meminjam pakaian
nikoh," kata Kim Yu Ci.
"Untuk apa?" Giok Sin suthay heran.
"Kedua adik perempuanku hendak masuk kota Thaygoan.
Agar jangan menimbulkan yang tak diinginkan, maka
mereka terpaksa hendak menyaru sebagai nikoh."
Belum sempat Giok Sin suthay membuka mulut, tiba2 di
ruang besar tempat bersembahyang yang terletak di bagian
luar, terdengar suara orang ribut2 seperti berkelahi.
"Ah, rupanya di ruang depan terjadi sesuatu," kata Giok
Sin suthay seraya melangkah menuju ke luar. Kim Yu Ci
pun mengikuti.
Tiba di ruang besar, Kim Yu Ci terkejut sekali. Ternyata
suara gaduh itu memang berasal dari ruang situ. In Hong
sedang mengamuk melawan kedua gadis rahib.
"Adik Hong, jangan melukai orang," seru lan Bi Ing yang
melihat di sudut ruang.
"Harap li sicu yang berkelahi itu sudah berhenti. Ceng,
Sim, mundur," seru Giok Sin suthay kepada kedua
muridnya.
Leng Csng dan Leng Sim serempak loncat mundur.
"Hai, apa-apaan engkau nikoh tua? Apakah engkau yang
hendak maju menempur aku?" teriak Hong yang rupanya
sudah sewot.
"Hong, jangan berlaku kurang adat!" seru Kim Yu Ci.
Biasanya dia memanggil dara itu dengan sebutan nona.
Tetapi tadi karena ia mengaku pada Giok Sin suthay bahwa
In Hong itu adiknya maka terpaksa ia memanggil namanya.
In Hong terkesiap, serunya, "Aneh . . . ? "
"Apanya yang aneh ?" kata Kim Yu Ci.
"Mengapa engkau memanggil namaku begitu saja ?" seru
dara itu.
"Celaka benar dara ini," Kim Yu Ci mengeluh dalam
hati. Namun ia tak mau meladeni dan cepat berseru lagi,
"Sudahlah, jangan bersikap tak hormat kepada suthay
yang menjadi kepala biara ini."
"Dia kan hendak maju membela kedua muridnya,
mengapa aku harus menghormatinya ?” bantah In Hong.
Dalam pada itu Giok Sin suthay bertanya kepada kedua
muridnya mengapa mereka bertempur dengan In Hong.
"Waktu kami hendak mencari Ban pehu, tiba2 kami
melihat seorang nona sedang ngamuk. Buah-buahan dalam
piring yang disajikan kepada hud-cou telah diobrak-abrik.
Dan lebih mengejutkan lagi dia memakai jubah....."
"Persetan jubahmu atau bukan. Siapa sudi
mengambilnya !" teriak In Hong.
"Li sicu, mengapa engkau mengobrak-abrik sesaji untuk
hudcou ?" tegur Giok Sin suthay.
"Biara ini banyak setan. Akan kuusir setan yang
mengganggu itu."
"Setan ?" Giok Sin suthay terkejut.
"Ya, buah peer dipiring bisa berloncatan, lilin bisa
berjalan dan aku dipaksa harus tekuk lutut memberi hormat
pada arca Dewi Kwan Im. Apa tidak menjengkelkan ?"
Giok Sin suthay terkesiap ia tak tahu apa yang diocehkan
dara itu. Kemudiaa dia berpaling, "Ceng, Sim, apakah lisicu
ini pernah bersembahyang kemari ?"
"Tidak, suhu," kata kedua gadis rahib.
"Huh, dasar kantong nasi, habis makan dan menyanyi
kalian tentu sudah menggeros tidur. Siapa bilang aku tidak
datang kemari ?"
"Kapan li-sicu datang?"
"Semalam."
"O," seru Giok Sin suthay, "lalu li-sicu bersembahyang
disini ?'
"Tidak," kata In Hong, "hanya ketika masuk kedalam
ruang ini kulihat buah peer melambai kepadaku. Terpaksa
akupun hendak mengambilnya. Tetapi waktu hendak
kusambar, buah peer itu dapat berloncatan menghindar.
Dan pada saat itu dua batang lilin di mejapun dapat
berjalan tukar tempat. Apakah itu bukan perbuatan setan?
Mengapa biara tempat agama suci, ditempati kawanan
setan ?"
In Hong menuding kedua gadis rahib dan berseru, "Setan
itu akan kuusir tetapi kedua nikoh malah menyerang aku,
Huh, apakah orang tidak jadi jengkel ?"
Kim Yu Ci terkejut mendengar dara itu ceplas-ceplos
ngomong seenaknya sendiri. Sudah mengaku kalau tengah
malam masuk kedalam biara tanpa idin masih berani
mengatakan kalau hendak mengambil buah sesaji Dewi
Koan Im. Sudah tentu Kim Yu Ci gelengkan dalam hati,
"Dara mungkin tak waras pikiran."
Tetapi diluar dugaan Giok Sin suthay tidak marah.
Ternyata dia teringat bahwa semalam sebelum menerima
kedatangan kedua paderi yang kemudian bertempur dengan
dia, Giok Sin suthay sudah menerima kunjungan Ban Leng
Jiu. Leng Jiu memberitahu bahwa malam itu dua orang
paderi akan mengacau di biara. Diminta Sin supaya berhatihati.
Ban Leng Jiu seorang tokoh yang aneh dan nyentrik,
suka mengolok dan mempermainkan orang. Bahwa In
Hong hendak mengambil buah peer tetapi buah itu dapat
berloncatan, lilin dapat berjalan tukar tempat dan In Hong
dipaksa harus berlutut minta ampun kepada Dewi Kwan
Im, tentulah kesemuanya ini perbuatan Ban Leng Jiu.
"Li-sicu, percayalah, di biara kami tiada setan apa2,"
akhirnya ia memberi keterangan kepada In Hong.
“Kalau tak ada setan penunggu masakan buah peer dapat
berloncatan dan lilin berjalan tukar tempat?" bantah In
Hong.
"Mengapa li-sicu hendak mengambil buah untuk sesaji
Dewi Koar Im?"
"Mana ada Dewi Koan Im disini?" bantah In Hong.
"Apakah yang berada di belakang meja sembahyangan
itu bukan Dewi Koan Im?"
"Jelas bukan, itu hanya patung," sahut In Hong.
Merah wajah Giok Sin suthay. Hampir saja mendamprat
In Hong yang lancang mulut meremehkan patung Dewi
Koan Im.
"Dari pada buah diberikan kepada patung, kan lebih baik
kumakan saja. Mana lebih mulia, merelakan buah dimakan
orang yang lapar atau untuk sesaji putung?"
"Tutup mulutmu, anak liar!" melihat suhunya merah
mukanya, kedua gadis rahib marah dan membentak.
"Lho, apakah engkau masih mau melanjutkan
pertempuran lagi?" tantang In Hong.
"Hong, jangan kurang adat!" seru Kim Yu Ci.
"Eh, apakah engkau sekarang sudah berganti haluan,
tidak membela kawan malah membantu para rahib disini:!"
"Adik Hong, jangan terlalu keras bicara," kata Han Bi
Ing ikut bicara.
Melihat Han Bi Ing seorang nona cantik sikapnya sopan,
tutur katanya halus, Giok Sin suthay berseru, "O, terima
kasih li-sicu. Adik li-itu tak salah. Silahkan dia mendamprat
biara habis-habisan tetapi asal ada buktinya nanti."
"Maafkan kekasaran adikku, suthay."' Han Bi Ing sambil
memberi hormat.
"Cici, perlu apa minta maaf ? Aku kan tidak jadi makan
buah peer bahkan aku disuruh berlutut memberi hormat
pada patung Dewi Koan Im, masih tubuhku ditutuk lagi,
kalau cici tidak mencegah, meja sembahyangan itu sudah
kuhancurkan.. . ."
Giok Sin suthay yang sudah tahu siapa mempermainkan
dara itu, hanya tersenyum," Kalau sicu kepingin makan
buah peer, silakan masuk. Kami masih punya persediaan
beberapa macam buah-buahan segar."
Melihat Giok Sin suthay begitu sabar dan ramah, buru2
Han Bi Ing berkata, "Ah, kalau suthay mau memaafkan
kekasaran adikku saja kami sudah berterima kasih, masakan
kami berani mengganggu suthay lagi. Suthay, kami mohon
diri. . ., "
"Li-sicu," seru Giok Sin suthay yang tertarik akan
kelembutan tutur Han Bi Ing “sicu hendak ke kota Thaygoan,
bukan ?”
Han Bi Ing mengiakan,
"Tidakkah hal itu berbahaya sekali ?” kata Giok Sin
suthay, "Thay-goan sudah diduduki tentara Boan. Prajurit2
Ceng sewenang-wenang terhadap rakyat."
"Ya, memang demikian. Tetapi apa boleh buat," jawab
Han Bi Ing.
"Apakah li-sicu tak keberatan untuk memberitahu
kepada kami, mengapa li-sicu harus ke Thian-goan?"
"Sudah tentu ada urusan penting," selutuk In Hong.
“Aku hendak menjenguk ayahku . . . . "
"Ih,"" Giok Sin suthay mendesis kaget, "siapakah nama
ayah li sicu?"
"Han Bun Liong."
"O, Han wangwe yang termasyhur itu. Ah, maaf nona
Han karena kami tak menyambut kedatangan nona dengan
layak."
Han Bi Ing terkejut, "Ah, akulah yang harus minta maaf
kepada suthay. Apakah suthay kenal dengan ayah?"
"Mengapa tidak?" kata Giok Sin suthay.”Biara ini
banyak sekali mendapat bantuan keuangan dari Han
wangwe. Dan karena pengaruh Han wangwe maka selama
ini biara kami tak pernah mendapat ganggguan dari
pemerintah Beng. Nona Han, mari silakan masuk dulu."
"Terima kasih, suthay. Tetapi kami hendak
melanjutkan....."
"Cici, biar kita terima undangannnya," kata In Hong lalu
membisiki ke dekat telinga Han Bi "aku lapar . ..."
“Nona Han, janganlah membuat kami kecewa karena
tak dapat menunaikan tugas sebagai tuan rumah,” kata
Giok Sin suthay.
Demikianlah ketiga anakmuda itu segera mengikuti Giok
Sin suthay masuk ke ruang dalam. Dalam perjalanan itu
Han Bi Ing bertanya kemana sajakah In Hong tadi.
In Hong menerangkan bahwa waktu dia hendak menuju
ke biara, muncullah seorang kakek pincang yang
mengejeknya, "Huh, nikoh mana yang pagi2 sudah
keluyuran keluar itu ?"
"Aku tak menjawab, melainkan hanya deliki mata
kepada kakek pincang itu,” kata In Hong.
Tetapi kakek pincang itu masih mengejek terus, "O,
pantas, pantas, kiranya nikoh palsu. Tuh lihat caranya
berpakaian. Masakan yang belakang dipakai di muka ?
Pakaiannya tentu asal dari curian…."
"Kakek edan, kutampar mulutmu !" teriak In Hong terus
menghampiri. Tetapi kakek pincang itu malah leletkan lidah
mengejeknya dan lari sambil menantang, "Huh, nikoh
palsu, kalau engka mampu mengejar aku, aku bersedia
berlutut dihadapanmu dan kuangkat engkau sebagai
guruku….”
Sudah tentu In Hong marah. Dia kejar kakek itu. Tetapi
walaupun kakinya pincang, kakek itu tak dapat dikejarnya.
"Bagaimana nikoh palsu, apa engkau suda kehabisan
napas ?" ejek kakek pincang.
"Huh, kakek pincang, aku memang kalah kalau kejarkejaran
dengan engkau. Tetapi apakah engkau berani
berkelahi dengan aku ?" tantang In Hong.
"Ho, nikoh gadungan, mengapa aku takut?" kata kakek
pincang seraya hentikan langkah," hayo, seranglah aku,
pakai tinju atau senjata."
In Hong gemas kepada kakek pincang itu. Dia terus
mencabut pedangnya.
"Lho, nikoh kok tidak punya hud-tim ? O, dasar nikoh
gadungan!" ejek kakek pincang.
Sudah tentu In Hong makin panas. Dia terus menerjang
kakek pincang itu dengan serangan yang gencar.
Tetapi benar2 ia gemas2 heran semua serangannya tak
pernah mengenai tubuh kakek pincang. Kakek pincang itu
tak mau balas menyerang melainkan berputar-putar
menghindari saja.
In Hong penasaran sekali. Dia kembangkan ilmu
pedangnya sedemikian rupa sehingga pedangnya
berhamburan memenuhi sekeliling penjuru. Tetapi makin
dia menyerang gencar, bayangan kakek itu makin terpecah
menjadi belasan buah. Seolah tubuh kakek pincang itu
berobah menjadi belasan buah. Setiap dihantam pedang,
selalu hanya bagian kosong.
In Hong hentikan serangannya dan kakek pincang itupun
juga berdiri dihadapannya, "Hai, mengapa berhenti?
Apakah sudah kehabisan napas, nikoh gadungan?" ejek si
kakek.
"Percuma," dengus In Hong.
"Percuma bagaimana?"
"Engkau hanya menghindar saja tak membalas
menyerang. Pertempuran macam apa itu?'
"Lho, orang bertempur kan sesuka hati. Mau menyerang
kek, mau menghindar kek, mengapa harus ditentukan?"
"Kakek bokek," teriak In Hong, "yang disebut bertempur
itu adalah serang menyerang. Kalau hanya aku yang
menyerang, itu bukan bertempur. Hayo kalau berani
balaslah serang aku!"
“Kalau kuserang engkau tentu tak dapat kembali ke
biara. Pada hal saat ini kedua kawanmu sudah berada
dalam biara. Kalau tak percaya cobalah lihat itu," kakek
pincang menunjuk ke belakang In Hong.
In Hong berpaling dan memandang ke arah biara yang
tak tampak karena teraling oleh hutan "Kakek goblok, mana
ada orang ber ...” hai tiba2 ia menjerit kaget ketika
berpaling dan tidak mendapatkan kakek itu di tempatnya
lagi.
"Kakek pincang, dimana engkau? Apakah engkau tak
mau melanjutkan pertempuran lagi?” teriak In Hong. Tetapi
tiada penyahutan apa2.
Karena sampai beberapa saat tiada terdengar suara apa2,
akhirnya In Hong terpaksa kembali ke biara.
Begitu tiba di biara dia terus ngamuk, mengobrak-abrik
buah2an sesaji sembahyangan pagi. Dan pada saat itu
kebetulan Leng Ceng dan Leng Sim hendak mencari Ban
Leng Jiu, Mereka terkejut ketika melihat suara
berkerontangan di ruang sembahyang. Ketika menengok,
merekapun marah melihat tindakan In Hong.
In Hong bermula tak tahu kalau Han Bi Ing berada
dalam ruang itu menunggu Kim Yu Ci yang masuk ke
ruang dalam. Setelah bertempur dengan kedua gadis rahib,
dia terkejut ketika mendengar suara Han Bi Ing yang
memintanya supaya jangan sampai melukai lawan.
Begitulah asal mula maka In Hong berada dalam ruang
sembahyang. Dan karena dia digoda si kakek pincang maka
waktu Han Bi Ing dan Kim Yu Ci datang, mereka tak
menemukan dara itu.
"Nona Han," demikian kata Giok Sin suthay setelah
mempersilakan ketiga tetamunya duduk di ruang dalam,
"mengapa nona hendak menjenguk Han wangwe?"
"Karena aku mendapat berita dari seorang pembantu
Torgun yang bernama Ko Cay Seng bahwa ayah sedang
menderita luka parah dan berbunyi di tempat salah seorang
sahabatnya dalam kota Thay-goan," kata Han Bi Ing la
menceritakan pengalamannya sejak meniuggalkan kota
Thay-goan.
Giok Sin suthay mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Berita antek kerajaan Ceng itu memang benar," katanya
sesaat kemudian, "beberapa sahabat telah berusaha untuk
membebaskan Han wangwe dari tahanan musuh tetapi
sampai kini belum berhasil."
"O, apakah suthay tahu akan keadaan ayah?” tanya Han
Bi Ing.
"Semua peristiwa dalam kota Thay-goan tentu
dilaporkan kemari," kata Giok Sin suthay, ayah nona belum
meninggal tetapi masih ditawan mereka."
"O, siapakah yang memberi laporan kepada suthay ?"
"Tidak tentu," kata Giok Sin suthay, “himpunan tokoh2
hiap-gi (perwira) mempunyai beberapa anggauta. Mana
yang memperoleh berita penting tentu akan datang kemari
memberi laporan.
Han Bi Ing terkejut, "Jika begitu, apa suthay juga
tergabung dalam himpunan itu ?"
Giok Sin suthay mengangguk, "Sebenarnya ini
merupakan suatu rahasia yang harus pegang teguh. Tetapi
karena nona adalah putri dari Han wan-gwe maka akupun
dapat memberitahukan hal itu. Kuharap nona dan kedua
sicu, jangan membocorkan kepada lain orang."
"Tidak usah suthay pesan begitu," seru In Hong yang
masih sangat tengil bicaranya, "aku kan bukan anak kecil."
"Ah, sicu yang ini, mengapa masih muring2 saja, oh,
benar....., " Giok Sin suthay segera masuk kedalam dan tak
lama keluar dengan membawa penampan berisi bermacammacam
buah-buahan segar," kami sih orang biara yang tak
makan daging, terpaksa hanya dapat menghidangkan buah
saja. Harap sicu jangan sungkan."
"Tuh, daripada harus menyambar sesaji, sekarang boleh
makan sepuas-puasnya, tanggung tak ada setan," kata Kim
Yu Ci tertawa.
"Enak saja kalau ngomong. Tetapi andaikata kau yang
datang, kemungkinan semua sesaji diatas meja tentu engkau
gasak semua," balas In Hong.
Kim Yu Ci tertawa.
"Nona Han," kata Giok Sin suthay, "keadaan dalam kota
Thay-goan memang berbahaya ibarat sebuah rawa yang
penuh buaya dan ular berbisa. Kemungkinan Han wan-gwe
tentu ditawan di rumah seorang pangeran Boan yang
berpangkat kepala daerah Thay-goan. Disitu penjaganya
amat kuat sekali, ibarat lalatpun tak dapat masuk."
"O," desuh Han Bi Ing.
"Apa yang dapat kubantu hanyalah memberikan alamat
dari salah seorang sahabat kita yang akan dapat membantu
nona untuk menyelidiki, keadaan Han wangwe."
"Ah, terima kasih suthay." kata Han Bi Ing "soal ayah
adalah tugasku. Aku tak berani merepotkan suthay."
"Jangan mempunyai pikiran begitu, nona Han," kata
Giok Sin suthay, "himpunan kita ini memang bertujuan
untuk menolong sesama kawan hiap-gi yang dicelakai orang
Boan. Persoalan Han wangwe adalah persoalan kami. Kami
memang bertugas wajib menolongnya. Apalagi Han
wangwe adalah seorang yang banyak membantu kepada
perjuangan kami."
Han Bi Ing menghaturkan terima kasih dengan rasa
haru.
"Nona Han" kata Giok Sin suthay, "apakah engkoh nona
ini sanggup mengerjakan sesuatu untuk menemui sahabat di
Thay-goan itu?"
Merah muka Han Bi Ing ketika suthay mengatakan Kim
Yu Ci itu engkohnya.
“Sanggup suthay," kata Kim Yu Ci mendahului Han Bi
Ing, "demi menolong Han lo-ciampwe, aku sanggup untuk
melakukan apa saja."
"Baik," kata Giok Sin suthay, "sebenarnya tugas itu
mudah tetapi sukar. Sukar karena mungkin orang malu
mengerjakan. Begini kongcu. Sahabatku itu seorang pemilik
rurnahmakan yang terkenal dalam kota Thay-goan. Engkau
harus menjadi tukang sayur yang menawarkan sayur mayur
kesana....."
"O, sayur apa saja?"
"Di kebun biara ini kami telah menanam tanaman kocay
dan brambang. Nah, nanti akan kusuruh sediakan dagangan
kocay dan brambang beserita pikulannya. Maukah engkau
melakukannya?"
"Ya."
"Baik," kata Giok Sin suthay terus memberi perintah
kepada kedua muridnya untuk menyediakan dagangan itu.
Tak berapa lama, pikulan dan keranjang penuh kocay
dan brambang telah disediakan.
"Apakah pemilik rumahmakan itu tentu tahu kalau aku
ini utusan suthay?"' tanya Kim Yu
"Ya, asal engkau mengatakan bahwa kocay dan
brambang ini berasal dari daerah yang tenang, dia tentu
akan mengundangmu masuk."
"Lalu bagaimana dengan kita berdua?" kata In Hong.
"Rencana sicu berdua untuk menyaru sebagai nikoh
memang tepat tetapi berbahaya."
"Bahaya bagaimana?"
"Sebagai nikoh kalian tentu tak dapat bermalam di
sembarang tempat tetapi harus tinggal di biara. Pada hal
biara2 kota Thay-goan sudah dikuasai orang2 Boan semua."
"Suhu," tiba2 gadis nikoh Leng Ceng berseru "bukankah
beberapa hari yang lalu suhu menerima undangan untuk
menghadiri upacara perayaan hari ulangtahun berdirinya
biara Koan-si-bio Thay-goan ?"
"O, benar, benar," Giok Sin suthay teringat. “Ya, sicu
berdua boleh membawa surat undangan itu untuk mewakili
aku menghadiri upacara perayaan ulang-tahun kelenteng
Kwan-si-bio. Sekalian sicu dapat menyelidiki bagaimana
suasana di kalangan para imam dalam kota Thay-goan.""
"Baik suthay," kata Han Bi Ing.
Kedua nona itu lalu menyaru sebagai nikoh dan
membawa surat undangan yang diterima Sin suthay dari
kelenteng Kwan-si- bio.
"Harap sicu bertindak dengan hati2. Jangan bertindak
secara gegabah tetapi sesuaikanlah dengan keadaan dan
tempat," pesan Giok Sin suthay.
Ketiga pemuda itu berangkat. Kim Yu Ci jadi seorang
desa yang menjajakan dagangan sayur dan Han Bi Ing serta
In Hong menyaru bagai nikoh.
"Kita harus tentukan tempat untuk berkumpul lagi di
Thay- goan," kata Kim Yu Ci dalam perjalanan.
"Disebelah barat kota, terdapat sebuah pagoda. Pagoda
Tangga-rembulan namanya. Kita nanti bertemu disitu,"
kata Han Bi Ing.
Demikian setelah masuk ke kota, Han Bi Ing dan In
Hong berpisah dengan Kim Yu Ci!
Han Bi Ing dan In Hong merasa serba sukar. Kalau saat
itu mereka mencari tempat yang sepi untuk ganti pakaian,
rasanya tak mudah. Siang hari keadaan dalam kota amat
ramai. Perbuatan mereka tentu akan dipergoki orang.
Namun kalau masih tetap mengenakan pakaian nikoh,
aman sih iman, tetapi harus menghadiri upacara ulangtahun
kelenteng Kwan-si-bio. Mereka tak bebas jalan
kemana-mana.
"Ci Ing," kata In Hong," apa tidak lebih baik kita menuju
ke Kwan-si-bio saja. Disana tentu aman. Nanti malam baru
kita menuju kepagoda dan mendengarkan berita dari Kimheng.
Han Bi Ing menganggap saran itu baik juga. Siang hari
memang kurang leluasa menyelidiki keadaan ayahnya,
Sebenarnya Han Bi Ing ingin menjenguk rumahnya, Ia
ingin tahu bagaimana keadaan rumahnya sekarang.
"Baik," kata Han Bi Ing, "tetapi ……..”
"Bagaimana cici ?"
"Sebenarnya aku ingin menjenguk rumahku.”
“O, baik,”seru In Hong, “dimana letak rumah cici?”
"Disebebelah utara kota ini, daerahnya agak sepi. Rumah
itu didirikan oleh mendiang engkong dari engkongku, jadi
sudah lima turunan, sebuah gedung tua yang luas dan
besar."
"Jika begitu mari kita ke sana dulu, sore nanti baru kita
menghadiri upacara di Kwa in bio dan malam kita pergi ke
pagoda," kata Hong.
Han Bun Liong memang keturunan orang kaya. Dahulu
ayahnya seorang tuan tanah yang memiliki beribu hektar
sawah. Tetapi waktu jatuh ke tangan Han Bun Liong,
banyaklah sudah tanahnya yang berkurang karena
disumbangkan untuk pendirian vihara atau perkampungan
rakyat.
Kedermawanan dan keterbukaan tangan Han Bun Liong
mendapat sambutan yang besar. Rakyat di daerah itu amat
berterima kasih dan menjunjung Han Bun Liong sebagai
dewa penolong mereka. Mereka patuh dan menghormat
hartawan itu.
Juga kaum persilatan tak sedikit yang menerima budi
kebaikan hartawan itu. Baik kaum persilatan dari golongan
Putih maupun Hitam semua diterima dengan baik oleh Han
Bun Liong. Adalah karena pendirian Han Bun Liong itu
maka rakyat Thay-goan dapat hidup dengan tenang. Tak
pernah terjadi kejahatan dan kerusuhan dalam kota Thaygoan.
Sudah tentu pembesar negeri terutama tihu atau residen,
bersahabat karib dengan Han Bu Liong.
Tetapi kehidupan manusia itu memang tak kekal.
Serangan Ceng yang berhasil menduduki kotaraja Pak-khia
sehingga baginda harus hjrah ke ktaraja Lim kia, telah
menimbulkan kegoncangan besar dalam kehidupan rakyat
Thay-goan, berbondong-bondong menghadap Han Bun
Liong untuk meminta petunjuk.
"Tenanglah saudara2," seru Han Bun Liong sudah
kuduga bahwa musuh tentu akan berhasil menduduki
kotaraja. Baginda tidak memikirkan urusan pemerintahan.
Mentri2 yang dipercaya baginda, ternyata tidak setya dan
tidak becus, maka tidak mengherankan kalau musuh dapat
menduduki kotaraja . .. . "
Setelah menduduki kotaraja, tentu mereka akan
menyerang Thay-goan dan lain2 daerah. Sekarang
kuserahkan saja kepada saudara2 sekalian. Kita henndak
melawan musuh untuk mcmpertahankan kota ini atau kita
sambut kedatangan mereka. Kalau melawan, jelas akan
banyak jatuh korban harta dan jiwa. Kalau menyambut
dengan baik, berarti kita tunduk pada kerajaan Ceng. Tapi
kita takkan menderita kesengsaraan. Nah, saudara2 boleh
pilih jalan mana yang harus kita tempuh.
“Han wangwe, kedatangan kami beramai-ramai
menghadap Han wangwe ini tak lain hanya akan mohon
petunjuk Han wan-gwe. Kami semua tunduk dan menurut
perintah wan-gwe!" seru beberapa orang yang mewakili
kawanan rakyat itu.
"Baik," kata Han Bun Liong, "lebih dahulu aku hendak
bertanya kepada saudara2. Siapakah orang Boan itu ?"
"Mereka adalah suku Tartar Boan yang diam didaerah
timur laut."
"O, jika begitu mereka bukan suku Han, bukan ?"
"Ya, memang bukan."
"Mana yang lebih besar, daerah kediaman suku Boan
atau suku Han."
"Suku Han."
"Mana yang lebih besar jumlahnya, suka Boan atau suku
Han ?"
"Suku Han ?"
"Mana yang lebih tinggi peradabannya, suku Boan atau
suku Han ?"
"Suku Han?"
"Mana yang dipertuan dari negara Tiong goan, raja Boan
atau raja Han ?"
"Raja Han."
"Mana yang layak berdiri sebagai pemerintahan di
negara ini, suku Boan atau Han?"
"Suku Han"
"Baik. terima kasih saudara2," seru Han Bun Liong,
"berdasarkan pada lima pertanjan yang saudara jawab itu,
kusimpulkan bahwa saudara2 tentu tak rela kalau negara
kita ini diduduki pasukan Ceng."
"Benar, benar !"
"Jika demikian, kita harus bangkit untuk melawan
mereka dan mempertahankan kota kita ini."
"Hidup Han wan-gwe ! Hidup Han wan-gwe !" terdengar
rakyat bersorak gegap gempita menyambut pernyataan Han
Bun Liong.
"Tetapi seperti telah kukatakan, jika kita menentang
mereka, kita tentu akan menderita pengorbanan besar.
Sanggupkan saudara2 kehilangan harta benda, sanak
keluarga dan bahkan jiwa sadara sendiri ?"
"Sanggup !" teriak rakyat. Rakyat minta agar Han Bun
Liong yang memimpin perjuangan mempertahankan kota
Thay goan.
Han Bun Liong menyadari bahwa suasana saat itu amat
gawat. Sedang pasukan kerajaan Beng terpusat di kotaraja
Pak-kia toh berantakan menghadapi serangan pesukan
Ceng apalagi kota Thian goan yang akan dibela oleh
barisan rakyat.
Han Bun Liong hanya mempunyai seorang putri tunggal
yakni Han Bi Ing. Walaupun putri seorang hartawan besar
namun Han Bi Ing tidak angkuh dan sombong. Han Bi Ing
di sukai rakyat dari segala lapisan dan dipuja kaum muda
dari semua golongan. Rakyat menyukai kerendahan hati
dan keramah-tamahannya. Kaum muda memuja
kecantikan dan kepandaiannya.
Dimana kuntum bunga sedang mekar, tentu banyaklah
kumbang2 bererbangan datang. Demikian yang terjadi di
gedung kediaman Han Bun Liong. Banyak sudah pemuda2
dari berbagai kalangan dan golongan, dari anak pembesar
sampai pada anak orang hartawan, mencoba peruntungan
untuk memikat si jelita. Tetapi mereka harus pulang dengan
kecewa. Han Bun Liong dengan ramah menyambut
kedatangan setiap tetamu memberi keterangan bahwa
puterinya sejak lahir sudah dipacangkan dengan putera dari
Kim Thian Cong.
Dari sekian banyak pemuda2 itu, kebanyakan dapat
menerima keterangan Han Bun Liong. Tetapi hanya putera
dari Sou tihu atau residen Thian- goan yang tak dapat
menerima keterangan itu.
"Apakah buktinya kalau puteri Han lojin sudah
dipacangkan dengan putera Kim Thian Cong,” tanya putera
tihu yang bernama Sou Kian Hin.
"Bagi seorang ksatrya, janji mulut harus ditepati. Tak
perlu harus pakai bukti ataupun barang," jawab Han Bun
Liong.
"Ah," desuh Sou Kian Hin, "bayi dalam kandungan
sudah dipacangkan, sebenarnya tidak tepat. Bagaimana
kalau andaikata fihak lelaki atau fihak perempuan seorang
muda yang cacad badan atau cacad pikiran? Tidakkah hal
itu akan memberi derita siksa yang hebat kepada puteri
lojin?"
"Kita harus tunduk kepada takdir. Kalau memang
demikian berarti nasib anakku yang jelek dan kita harus
wajib menerima."
"Tetapi adakah pacangan itu suatu janji mati yanng tak
dapat dibatalkan lagi?"
"Hal itu tergantung pada keadaan, kongcu."
"Apakah lopeh sudah tahu bagaimana putera Kim Thian
Cong sekarang?"
"Belum."
"Bagaimana kalau andaikata dia mendapat kecelakaan
dan sudah meninggal dunia?"
"Anakku akan menjadi janda."
"Untuk selama-lamanya takkan menikah? desak putera
residen,
"Tergantung pada keadaan dan kehendak anak itu.
Walaupun sebagai orangtua, aku tak berani memaksakan
kehendakku."
Sou Kian Hin tertawa, "Ah, nyatanya lopeh sudah
memaksakan kehendak lopeh kepada Han siocia. Bukankah
dengan memacangkan Han siocia pada putera Kim Thian
Cong berarti lo-peh sudah memaksakan kehendak lopeh
kepada puteri lopeh ?"
"Kim Thian Cong seorang ksatrya yang luhur. Seorang
tua takkan menjerumuskan anaknya sahut Han Bun Liong
singkat.
"Tetapi bagaimana andaikata putera Thian Cong tak
suka dengan puteri lopeh ? '
"Itu urusan mereka. bukan tanggung jawab keluarga
Han,"
“Dan kalau puteri lopeh yang tidak suka pada putera
Kim Thian Gong ?"
"Anakku kudidik untuk meresapi apa Hau (berbakti)
kepada orangtua. Kurasa dia takkan mengecewakan
hatiku," jawab Han Bun Liong.
Setelah tanya jawab yang tajam itu, Sou Kian Hin pun
mundur. Ia tahu bahwa pendirin Han Bun Liong tak
mungkin dirobah iagi. Tetapi merasa Han Bi Ing itu selalu
terbayang di matanya. Makan tak enak, duduk tak tegak
dan tidur tak nyenyak. Bayang2 wajah si jelita seolah
melekat pada pelapuk matanya.
Susana kota Thay-goan berobah genting ketika kotaraja
Pak-kia jatuh ke tangan pasukan Ceng. Rakyat minta Han
Bun Liong untuk memimpin perjuangan mempertahankan
kota Thay goan. Tetapi mereka adalah rakyat biasa, sudah
tentu kewalahan menghadapi prajurit2 Ceng yang sudah
terlatih dan banyak pengalaman di medan perang. Akhirnya
Thay-goanpun jatuh. 1
Sou tihu menolak kerjasama dengan kerajaan Ceng
sehingga dicopot. Tetapi puteranya, Sou Kian Hin bersedia
menggantikan kedudukan ayahnya. Kini dialah yang
menjadi tihu. Dia marah sekali setelah mengetahui bahwa
Han Bun Liong sebelumnya sudah mengungsikan
puterinya.
Demikian sekelumit keadaan keluarga Han waktu kota
Thay-goan jatuh ke tangan kerajaan Ceng.
Kembali pada Han Bi Ing dan In Hong, begitu tiba di
gedung keluarganya, perasaan Han Bi Ing seperti disayat
sembilu. Gedung dimana ia dilahirkan dan dibesarkan
dalam kemanjaan oleh ayahnya, kini mirip dengan sebuah
kuburan yang sunyi. Dulu gedung itu tak pernah sepi orang,
tiap hari tentu ada tetamu yang datang dan pergi.
Han Bi Ing melangkah masuk. Perabot2 di ruang depan
kotor penuh debu. Dia segera menuju ruang dalam dan
mendorong pintu sebuah ruangan.
"Inilah kamarku." katanya kepada In Hong. Ia agak
terkejut ketika mendapatkan perabot2 dalam kamarnya
masih utuh, tak ada satupun yang hilang.
"Wan, cici ini anak orang kaya sekali," seru In Hong.
"Ah....." Han Bi Ing hanya menghela napas.
"Apakah artinya kekayaan itu, adik Hong? Ada kalanya
harta itu tidak membawa kebahagiaan bahkan
mendatangkan malapetaka."
"Ah, tetapi kalau tak punya uang, kita tak dapat berbuat
apa2."
"Ya," sahut Han Bi Ing, "tetapi uang hanyalah alat untuk
hidup. Bukan hidup itu uang. Buktinya apa yang telah
menimpa keluargaku adalah karena uang juga!"
"Bagaimana cici dapat mengatakan begitu?”
"Adalah karena ayah seorang kaya maka banyaklah
mempunyai kawan2. Walaupun bukan seorang pembesar
tetapi pengaruh ayah, lebih besar dari tihu kota Thay goan.
Rakyat lebih turut dan patuh pada ayah daripada kepada
kepala daerahnya ..... "
"Itu kan menandakan paman seorang yang berbudi dan
dermawan."
"Karena nama dan pengaruh ayah itulah! maka musuh
menaruh perhatian kepadanya. Kukira ayah tentu
ditangkap dan dipaksa untuk mempengaruhi rakyat Thaygoan
tetapi kuyakin tentu menolak. Kutahu bagaimana
pendiriann dan keperibadian ayah."
"Cici seorang yaug berbahagia karena punya ayah yang
begitu mulia. Tetapi, aku ……..” In Hong tak dapat
meneruskan kata-katanya, karena kerongkongannya
tersekat oleh rasa haru" kenangan akan nasibnya yang
sudah sebatang kara itu.
Rupanya Han Bi Ing menyadari hal itu. Buru-buru dia
alihkan pembicaraan, "Aneh, mengapa semua perabot
dalam ruang tidurku, bahkan ranjang, semua masih teratur
rapi? Siapakah yang membereskan semuanya ini?"
In Hong juga heran,
"Jika begitu," katanya, "lebih baik kita beristirahat saja
disini, tak perlu menghadiri upacara ulangtahun di
kelenteng Kwan-si-bio itu?"
"Lihat saja bagaimana nanti," kata Han Bi Ing, "kalau
disini memang aman, kita boleh beristirahat disini."
Han Bi Ing mengajak In Hong untuk berjalan meninjau
keseluruh gedung. Ternyata gedung tua milik keluarga Han
itu amat luas sekali. Ketika tiba di taman, In Hong memuji
keindahannya.
Di tengah taman terdapat sebuah kolam yang permukaan
airnya ditumbuhi bunga teratai. Ditengah kolam didirikan
sebuah patung seorang bidadari tengah membawa bakul
berisi bunga dan tangan kanannya sedang menebarkan
bunga. Tetapi bukan bunga yang bertebaran melainkan dari
jari-jarinya memancarkan air yang jatuh ke dalam kolam.
"Wah, ikannya besar2, bagus, bolehkah
kumenangkapnya, ci Ing?" seru In Hong.
"Boleh saja tetapi buat apa ?"
"Kita kan akan beristirahat disini sampai malam. Ikan itu
akan kugoreng untuk makan siang nanti."
Han Bi Ing tertawa. "Makan siang? Apa yang akan
dimakan ? Ikan mentah itu ?"
In Hong tertegun tetapi cepat dia berkata "Apakah
disekitar tempat ini tak ada penduduknya!
"Tentu saja ada."
"Kalau begitu aku akan membeli beras dan minyak
kepada mereka."
Han Bi Ing mengangguk. Dan In Hongpun segera
menyibukkan diri untuk menangkap ikan dalam kolam.
Beberapa saat kemudian In Hong sudah mendapat
sepuluh ekor ikan besar, "Ci Ing, mari kita masuk ke
dalam."
Mereka menuju ke dapur. Peralatan dapur masih ada
tetapi minyak goreng dan bumbu2 masaknya habis semua.
In Hong mengambil botol kosong, "Aku akan mencari
rumah salah seorang penduduk, membeli beras dan minyak
serta garam Harap cici tunggu saja."
"Nanti dulu," cegah Han Bi Ing, "kurang leluasa rasanya
kalau engkau masih mengenakan pakaian nikoh."
"Lalu ?”
"Kita ganti pakaian dulu di kamarku."
Setelah ganti pakaian, In Hong lalu keluar. Tak berapa
lama dia sudah datang dengan membawa beras, minyak
goreng, teh, gula dan garam, "Untung penduduk disini baik
sekali."
Han Bi Ing teringat sesuatu, "Adik Hong, Apakah
engkau mengatakan kalau aku berada disini ?"
"Tidak. Mengapa ?"
"Kalau engkau bilang begitu, mereka tentu pun
berbondong-bondong datang kemari. Lebih baik jangan
bilang."
"Walaupun hanya dengan garam, lihat saja, aku akan
menghidangkan masakan yang lezat," kita In Hong.
Keduanya segera menuju ke dapur.
"Hai, mana ikan2 itu tadi,” teriak In Hong ketika melihat
sepuluh ekor ikan yang ditaruh di dalam panci ternyata
sudah lenyap semua, "apakah disini banyak tikus?"
"Dulu tidak, entah sekarang. Tetapi masakan tikus
mampu menggondol sepuluh ekor ikan besar.”
"Kucing?"
"Mungkin. Tetapi kucingpun paling hanya mencuri
seekor ikan."
"Lalu siapa ?"
Han Bi Ing heran tetapi dia tak dapat menemukan
jawaban ?"
"Setan," gumam In Hong terus menuju ke kolam hendak
kucari ikan lagi. Han Bi Ing ikut. Setelah mendapat sepuluh
ekor ikan, mereka menuju ke dapur.
"Hai, mana beras dan minyak goreng itu?” teriak In
Hong.
Han Bi Ing juga terkejut.
"Tidak mungkin kalau tikus atau kucing akan mencuri
beras dan minyak goreng!" teriak In Hon
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Sangat Lucu Banget Silat : Bloon Cari Jodoh 4 [Karya SD Liong] dan anda bisa menemukan artikel Cerita Sangat Lucu Banget Silat : Bloon Cari Jodoh 4 [Karya SD Liong] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-sangat-lucu-banget-silat-bloon.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Sangat Lucu Banget Silat : Bloon Cari Jodoh 4 [Karya SD Liong] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Sangat Lucu Banget Silat : Bloon Cari Jodoh 4 [Karya SD Liong] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Sangat Lucu Banget Silat : Bloon Cari Jodoh 4 [Karya SD Liong] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-sangat-lucu-banget-silat-bloon.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar