Pendekar Negeri Tayli 6 [Lanjutan Pendekar Negeri Tayli 5)

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 20 Juli 2012

Pendekar Negeri Tayli 6 [Lanjutan Pendekar Negeri Tayli 5)

Namun Hong Po-ok sempat dongak kepala ke
belakang, menyusul cepat ia putar golok untuk mengutik
selangkangan kakek itu. Tapi di luar dugaannya, kakek
itu ternyata sudah berhasil meyakinkan “Thong-pi-kun”
(ilmu pukulan memulurkan tangan), pukulannya
tampaknya sudah sepenuhnya dilontarkan, namun justru
di luar dugaan orang kepalannya mendadak dapat mulur
lebih panjang belasan senti.

1115




Untung selama hidup Hong Po-ok paling gemar
berkelahi, pertempuran besar atau kecil entah sudah
berapa ratus kali dialaminya. Dalam hal pengalaman
serta taktik boleh dikata tiada bandingannya. Maka pada
saat tiada jalan lain untuk menghindari jotosan kakek itu,
mendadak mulutnya mengap hendak menggigit kepalan
lawan yang mengancam itu.

Dengan jotosan itu, si kakek tangan panjang yakin
paling sedikit pasti akan bikin rontok beberapa buas gigi
orang, siapa duga ketika kepalan sudah dekat
serangannya, sekonyong-konyong lawan membuka
mulut, dengan giginya yang putih gilap itu hendak
menggigit. Dalam kagetnya cepat si kakek menarik
kembali tangannya, namun toh terlambat sedetik, ia
menjerit sekali, jarinya kena digigit sekali oleh Hong Pook.


Keruan di antara penonton ada yang gusar dan geli
oleh kejadian itu, mereka sama memaki dan tertawa.

Sebaliknya dengan sungguh-sungguh Pau Put-tong
lantas berseru, “Bagus Hong-site, tipu seranganmu ‘LuTong-
pin-kah-kau’ ini benar-benar sudah terlatih sampai
puncaknya sempurna, tidak percumalah engkau berlatih
giat selama berpuluh tahun ini, sudah beratus, bahkan
beribu anjing belang hitam, putih, dan warna lain yang
telah kau gigit mampus dan baru dapat mencapai
kesempurnaan seperti hari ini.”

Padahal caranya Hong Po-ok menggigit orang adalah
perbuatan yang terpaksa dan licik, seorang yang sedikit
tahu harga diri tentu tidak berkelahi dengan cara begini.
Tapi selamanya Hong Po-ok memang tidak pantang

1116




memakai cara apa pun, yang penting baginya cuma
berkelahi.

Justru Pau Put-tong sengaja membual samping,
caranya menggigit yang tidak masuk dalam kamus silat
itu sengaja dikatakan sebagai suatu, tipu silat mahalihai
dengan nama “Lu-Tong-pin-kah-kau” atau Lu Tong-pin
menggigit anjing.

Lu Tong-pin adalah dewa terkenal dalam cerita Patsian
(delapan dewa), menurut pemeo yang lazim, yang
ada cuma “Kau-kah Lu Tong-pin”, artinya maksud baik
orang disangka jelek. Tapi kini hal itu oleh Pau Put-tong
sengaja dibalik hingga menjadi Lu Tong-pin menggigit
anjing.

Begitulah saking gelinya Toan Ki lantas tanya juga
kepada Ong Giok-yan, “Nona Ong, segala macam ilmu
silat di dunia ini, semuanya kau pelajari dengan baik.
Tapi cara menggigit orang ini termasuk kungfu aliran atau
golongan mana?”

Giok-yan tersenyum, sahutnya, “Ilmu ini adalah
kepandaian khas Hong-siko, aku sendiri tidak tahu.”

“Haha, kau tidak tahu?” seru Pau Put-tong dengan
tertawa. “Ah, terlalu dangkal pengetahuanmu, masakah
tipu ‘Lu Tong-pin-kah-kau’ juga tidak tahu, tipu ini meliputi
8 kali 9 menjadi 72 jurus perubahan, semacam ilmu silat
yang mahatinggi.”

Melihat Giok-yan bergembira hati, Toan Ki menjadi
lupa daratan dan mestinya akan ikut berkelakar dengan
Pau Put-tong, tapi mendadak teringat olehnya bahwa si

1117




kakek tangan panjang yang digigit itu adalah bawahan
Kiau Hong, mana boleh dirinya ikut mencemoohkannya?
Maka lekas ia urungkan maksudnya.

Sementara itu pertarungan di tengah kalangan masih
berlangsung dengan seru, tampak si kakek tangan
panjang sedang putar karung dengan kencang hingga
berwujud suatu lingkaran bayangan dan Hong Po-ok
seakan-akan terkurung di tengah-tengah karung itu. Tapi
ia dapat melayani lawan dengan sama kuatnya, sedikit
pun tidak kelihatan kewalahan. Ia sudah merasakan ilmu
Thong-pi-kun yang lihai si kakek, yang masih belum
diketahui adalah sampai di mana kehebatan karung
lawan itu. Sedangkan tipu “Lu Tong-pin-kah-kau” tadi
cuma digunakan secara kebetulan saja, terang tidak
mungkin dapat diulangi lagi.

Melihat Hong Po-ok ternyata sanggup menempur si
kakek tangan panjang yang terhitung salah satu tokoh
terkemuka dari Kay-pang-su-lo, diam-diam Kiau Hong
merasa heran, karena itu penilaiannya kepada Buyungkongcu
menjadi lebih tinggi lagi setingkat.

Ketiga kakek Kay-pang yang lain sudah mundur ke
tempat masing-masing untuk menyaksikan pertempuran
kawannya itu, tapi biarpun si kakek tangan panjang bakal
menang atau kalah, terang mereka tidak mungkin maju
membantu, mereka harus menjaga nama baik mereka,
tidak nanti mereka main keroyok hingga diolok-olok
orang.

Di sebelah sana A Pik menjadi khawatir melihat
sampai sekian lama Hong Po-ok, masih belum dapat
mengalahkan lawannya, tanyanya kepada Giok-yan,

1118




“Siocia, permainan karung si kakek itu berasal dari
golongan manakah?”

Giok-yan berkerut kening, sahutnya, “Ilmu silat begini
tidak pernah kubaca dalam buku. Tipu pukulannya
adalah Thong-pi-kun, sedangkan permainan karung itu
mendekati 13 jurus ilmu permainan ruyung dari Hok-gusan
dan juga mirip gaya permainan 81 jurus Sam-ciatkun
(toya tiga ruas) dari keluarga Ui di Oupak.”

Kata-kata Giok-yan itu sebenarnya tidak keras, tapi
bagi pendengaran si kakek tangan panjang bagaikan
halilintar yang memekak telinga. Kiranya ia sendiri
memang anak murid keluarga Ui di Oupak, ilmu Samciat-
kun adalah ilmu warisan leluhur, tapi kemudian ia
berbuat dosa dan melarikan diri, ia ganti nama dan tukar
she serta tidak pernah menggunakan Sam-ciat-kun lagi,
hingga orang lain tidak kenal asal usulnya. Tapi kini
dalam pertarungan sengit itu, tanpa merasa sedikit
banyak ia terpaksa mengeluarkan kepandaian aslinya
hingga dapat diketahui oleh Giok-yan. Keruan ia terkejut
dari mana dara jelita itu dapat mengorek asal usulnya.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa pengetahuan Giokyan
sangat luas, segala ilmu silat dari aliran mana pun
tiada satu pun yang tak diketahuinya. Sebaliknya si
kakek lantas menyangka rahasianya yang sudah
berpuluh tahun ini tertutup telah terbongkar oleh gadis
itu. Dan karena sedikit lengah itu, ia menjadi tercecer
oleh serangan Hong Po-ok hingga rada kerepotan.

Berturut-turut ia mundur tiga langkah, cepat ia
melangkah ke samping pula, sementara itu dilihatnya
lawan sedang membacok lagi, segera ia ayun sebelah

1119




kaki untuk menendang pergelangan tangan Hong Po-ok
yang memegang senjata itu.

Sudah tentu Hong Po-ok tidak gampang diserang,
mendadak goloknya menyerang, berbalik kaki si kakek
hendak ditebasnya malah. Tapi menyusul sebelah kaki si
kakek juga lantas melayang secara berantai hingga
tubuh terapung di udara.

Biarpun sudah tua, tapi gerak-geriknya tidak di bawah
orang muda, mau tak mau Hong Po-ok memuji juga akan
ketangkasan lawan itu.

Mendadak ia pukul dengkul orang tua itu. Dalam
keadaan tubuh terapung di udara, untuk menggeser
terang tidak mudah, asal dengkul kakek itu kena terketuk,
andaikan tidak remuk juga paling sedikit tulang kakinya
akan patah.

Melihat pukulannya sudah dekat dengan dengkul
lawan dan si kakek masih belum tampak siap untuk
menghindar, Hong Po-ok menjadi girang.

Tak tersangka mendadak angin menyambar, tahutahu
karung orang sudah terpentang, mulut karung yang
lebar itu mengerudung ke atas kepalanya. Dalam
keadaan demikian, meski ia berhasil mematahkan tulang
kaki si kakek, tapi kepala sendiri pasti juga akan
dikerudung ke dalam karung orang, andaikan dapat
segera meloloskan diri tentu juga akan ditertawai orang.

Karena itu, pukulannya mendadak berganti arah untuk
menyampuk karung lawan. Tapi sedikit karung si kakek

1120




menggeser, mulut karung yang ternganga itu pun
berputar dan tepat mengerudung kepalan Hong Po-ok.

Perbandingan mulut karung dengan kepalan dengan
sendirinya sangat besar. Meski gampang saja kepalan
kena dikurung, tentu mudah pula terlolos. Maka sekali
Hong Po-ok menarik tangannya, dengan gampang saja
sudah lolos dari mulut karung lawan.

Siapa tahu, “cekit”, mendadak punggung tangan
kesakitan seperti tertusuk jarum. Waktu ia periksa, ia
menjadi kaget. Ternyata punggung tangan terantup
seekor kalajengking kecil.

Kalajengking itu jauh lebih kecil daripada kala biasa,
tapi badannya berwarna-warni, macamnya sangat
mengerikan. Hong Po-ok tahu bisa celaka, sekuatnya ia
kiprat-kipratkan tangannya, tapi kalajengking itu ternyata
menyengat dengan sangat kencang dan susah terlepas.
Namun ia cukup cekatan, ia tepuk kalajengking itu
dengan batang goloknya hingga binatang itu seketika
gampang terbinasa.

Sebagai orang yang berpengalaman, Hong Po-ok
tahu kalajengking yang dilepaskan dari karung tokoh
Kay-pang itu pasti bukan sembarangan, kalau anak
murid Kay-pang biasa saja sangat lihai menggunakan
binatang berbisa apalagi seorang kakek daripada Kaypang-
su-lo ini?

Dengan wajah berubah cepat ia melompat ke luar
kalangan pertempuran, ia keluarkan sebutir pil penawar
racun dan ditelannya segera.

1121




Tiang-pi-soh atau si kakek lengan panjang juga tidak
mengudak pula, ia simpan kembali karungnya sambil
mengamat-amati Ong Giok-yan, ia heran dari mana dara
jelita ini mengetahui asal usulku?

Dalam pada itu Pau Put-tong lantas tanya keadaan
kawannya itu, “Kenapa, Site?”

Po-ok kebas-kebas tangannya beberapa kali dan
merasa tiada sesuatu yang aneh, tapi ia tetap sangsi,
kalajengking itu mustahil tidak ada sesuatu guna dengan
disembunyikan di dalam karung? Maka ia menjawab,
“Tidak apa-apa, tapi ....”

Belum lanjut ucapannya, mendadak tubuh roboh
tersungkur.

Lekas Pau Put-tong melompat maju untuk
membangunkannya sambil tanya berulang-ulang,
“Kenapa? Kenapa?”

Namun Hong Po-ok tidak sanggup bicara lagi,
mukanya tampak berkerut-kerut dan senyumnya sangat
dipaksakan.

Keruan kaget Pau Put-tong tak terkatakan, lekas ia
tutuk beberapa Hiat-to tangan, lengan, dan bahu sang
kawan untuk menahan menjalarnya racun.

Di luar dugaan bekerja racun kalajengking berwarna
itu ternyata sangat cepat, walaupun tidak sampai ‘Kianhiat-
hong-au’ atau masuk ke darah lantas putus
napasnya, tapi jahatnya juga tidak kepalang, jauh lebih

1122




lihai daripada racun ular yang paling berbisa.

Pikiran Hong Po-ok masih cukup jernih, tapi antero
tubuh sudah kaku rasanya, mulut terbuka ingin bicara,
tapi yang terdengar cuma suara serak yang tak jelas.

Melihat kawannya begitu hebat keracunan, Pau Put-
tong menjadi khawatir sukar menolong jiwanya lagi,
dalam dukanya ia menjadi murka, sekali menggerung,
terus saja ia terjang si kakek tangan panjang.

Namun si kakek pendek gemuk dan bersenjata
tongkat baja tadi lantas mengadangnya sambil berseru,
“Apa kau juga ingin berkelahi, marilah biar aku si pendek
ini berkenalan dengan kesatria Koh-soh!”

Begitu tongkatnya terangkat, segera ia sodok ke arah
Pau Put-tong.

Tongkatnya sangat antap bobotnya, tapi bagi si kakek
pendek gemuk senjata itu dapat dimainkan dengan
enteng dan cepat sekali. Biarpun Pau Put-tong dalam
keadaan murka, namun menghadapi lawan setangguh itu
terpaksa ia tidak berani ayal. Ia pikir asal dapat menawan
salah satu jago musuh sebagai sandera untuk memaksa
pihak lawan menyerahkan obat penawar racun, tentu jiwa
Hong-site dapat diselamatkan. Maka segera ia gunakan
“Kim-na-jiu”, ia mencari lubang kelemahan musuh untuk
menangkapnya.

Dalam pada itu A Pik dan A Cu sedang mengerumuni
Hong Po-ok dengan air mata berlinang sambil
memanggil-manggil tanpa berdaya. Ong Giok-yan

1123




memang sangat pandai dan luas pengetahuannya dalam
ilmu silat dan kesusastraan, tapi mengenai penggunaan
racun serta cara penyembuhannya, ia sama sekali tidak
paham. Karena itu ia jadi menyesal dahulu waktu
membaca kitab ilmu silat dan pertabiban, dalam kitab itu
tidak sedikit dibicarakan tentang penyembuhan racun,
tapi karena menganggap tiada gunanya mempelajari halhal
itu, maka sama sekali ia tidak pernah
mempelajarinya. Coba dahulu sedikit-banyak
menghafalkan, tentu sekarang takkan mati kutu seperti
ini dan menyaksikan tewasnya Hong-siko tanpa berdaya.

Di lain pihak, ketika melihat pertarungan Pau Put-tong
melawan si pendek semakin lama semakin sengit, untuk
waktu singkat terang sukar menentukan kalah atau
menang, maka berkatalah Kiau Hong kepada si kakek
tangan panjang, “Tan-tianglo, harap keluarkan obat
penawarnya, sembuhkanlah racun Hong-siya itu!”

Bab 23

Keruan Tiang-pi-soh atau si kakek lengan panjang
yang dipanggil sebagai Tan-tianglo itu melengak,
sahutnya, “Pangcu, orang ini terlalu kurang ajar, ilmu
silatnya juga tidak rendah, kalau dibiarkan hidup, kelak
tentu akan membahayakan.”

“Benar juga katamu,” ujar Kiau Hong sambil
mengangguk. “Tapi kita belum lagi ketemu lawan utama
dan belum-belum sudah melukai bawahannya, hal ini
akan merosotkan pamor kita sendiri. Maka menurut
pendapatku, lebih baik kita jaga nama dan wibawa kita
lebih dulu.”

1124




Namun dengan marah-marah Tiang-pi-soh menjawab,
“Sudah terang Be-hupangcu terbinasa di tangan bocah
she Buyung itu, untuk menuntut balas masakah perlu
jaga nama dan peduli tentang perbawa segala?”

Wajah Kiau Hong mengunjuk kurang senang,
katanya, “Sudahlah, berikan obatmu dahulu, urusan
dapat kita bicarakan belakang.”

Walaupun dalam hati seribu kali tidak rela, tapi
perintah sang pangcu juga tidak berani
membangkangnya, terpaksa Tan-tianglo mengeluarkan
sebuah botol kecil dan melangkah maju, katanya kepada
A Cu dan A Pik, “Ini, Pangcu kami mengutamakan budi
luhur dan suruh memberikan obat penawar, lekas ambil
ini!”

Dengan girang segera A Pik berlari maju, lebih dulu ia
memberi hormat kepada Kiau Hong, lalu menghormat
pula kepada Tan-tianglo, katanya, “Terima kasih Kiaupangcu
dan terima kasih Tianglo.”

Dan setelah menerima botol kecil yang diangsurkan
itu, kemudian ia tanya, “Tolong tanya Tianglo, obat ini
cara bagaimana menggunakannya?”

“Isap dulu racun pada lukanya, kemudian bubuhkan
obatnya,” sahut si kakek. Dan setelah merandek, ia
menambahkan pula, “Bila racun belum bersih terisap,
percumalah obat yang dibubuhkan itu, bahkan akan
tambah parah. Hal ini penting diketahui.”

A Pik mengiakan pesan itu, lalu ia mendekati Hong
Po-ok, ia angkat tangan yang terantup kalajengking itu, ia

1125




menunduk kepala lantas hendak mengisap racun pada
luka itu.

“Nanti dulu!” mendadak si kakek tangan panjang
berteriak.

A Pik jadi kaget. “Ada apa?” tanyanya tercengang.

“Wanita dilarang mengisapnya!” seru si kakek.

“Sebab apa?” tanya A Pik dengan muka merah.

“Racun, kalajengking itu tergolong racun im-tok,
sedangkan wanita adalah jenis im, sudah im ditambah im
lagi, racun itu akan tambah jahat malah,” demikian kata si
kakek.

A Pik, A Cu, dan Giok-yan menjadi ragu, mereka
merasa keterangan kakek itu agak janggal, tapi juga
bukan mustahil memang demikian halnya. Dan kalau
benar, hingga racunnya tambah jahat, bukankah jiwa
Hong-siko akan lebih konyol? Sedangkan pihak sendiri
hanya tinggal Pau Put-tong yang merupakan satusatunya
lelaki yang saat itu lagi bertempur mati-matian
dengan si kakek pendek, untuk memanggilnya kembali
terang sukar dilaksanakan dalam waktu singkat itu.

Tapi selain Pau Put-tong, terang tiada kawan lelaki
yang lain. Terpaksa A Cu berteriak, “Pau-samko,
berhentilah sementara, kembalilah menolong Siko lebih
dulu!”

Namun ilmu silat Pau Put-tong itu sama kuatnya
dengan kakek pendek, sekali mereka sudah bergebrak,

1126




untuk lolos mundur terang sukar terlaksana dalam

beberapa jurus saja. Dalam pertarungan ilmu silat kelas
tinggi, sedikit lengah saja pasti akan mengakibatkan jiwa
melayang, maka sangat sulit untuk mengundurkan diri
dengan sesukanya.

Dengan sendirinya Pau Put-tong khawatir ketika
mendengar seruan A Cu, ia tahu keadaan Hong Po-ok
pasti bertambah buruk. Maka mendadak ia menyerang
beberapa kali dengan tujuan melepaskan diri dari
rangsakan si kakek pendek.

Tapi sebagai salah satu tokoh di antara Kay-pang-sulo,
dengan sendirinya si kakek pendek tak dapat
dipersamakan jago-jago sebangsa Suma Lim, Cu Pokun,
Yau Pek-tong, dan lain-lain yang sekali gebrak
mudah terjungkal di bawah tangan atau kaki Pau Put-
tong. Walaupun dengan serangan kilat secara bertubitubi
itu Pau Put-tong dapat merebut kedudukan di atas
angin, tapi untuk menang satu jurus saja masih
bergantung atas keuletan lawan, dan si kakek pendek itu
justru teramat ulet. Maka betapa pun ia menyerang dari
sini-sana, tetap tidak dapat melepaskan diri.

Dalam pada itu Kiau Hong senantiasa mengikuti
wajah Giok-yan bertiga yang penuh rasa khawatir itu. Bila
mengingat racun kalajengking piaraan Tan-tianglo itu
jahat luar biasa, pula tidak diketahui apakah ucapan si
kakek bahwa wanita tidak boleh mengisap racun
kalajengking itu benar atau cuma gertakan.

Walaupun anak murid Kay-pang jumlahnya tidak
sedikit, namun pekerjaan mengisap racun adalah suatu
risiko yang mungkin membikin celaka si pengisap sendiri,

1127




maka tidak mungkin ia memerintahkan salah satu

anggota Kay-pang untuk mengisapkan racun Hong Pook.
Apalagi bawahan diperintahkan mengisap racun
untuk menolong jiwa musuh, perintah demikian terang
tidak mungkin dikeluarkannya.

Tapi dasar jiwa Kiau Hong memang kesatria dan
berbudi luhur, tanpa ragu ia lantas berseru, “Aku orang
laki-laki, biar aku yang mengisap racun Hong-siya.”

Habis berkata, segera ia melangkah ke arah Hong
Po-ok.

Waktu melihat wajah Giok-yan muram sedih, sejak
mula sebenarnya sudah timbul niat Toan Ki hendak
mengisap racun bagi Hong Po-ok. Cuma ia pikir Kiau
Hong adalah kakak angkat sendiri, kalau dirinya
membantu pihak musuh, hal ini akan merugikan
hubungan persaudaraan.

Meski kemudian ia saksikan Kiau Hong
memerintahkan Tan-tianglo memberikan obat penawar
kepada lawan, tapi Toan Ki masih sangsikan ketulusan
hati sang kakak-angkat.

Baru sekarang sesudah melihat Kiau Hong benarbenar
mendekati Hong Po-ok untuk mengisap racun
pada tangannya, yakinlah dia akan kebesaran jiwa
kakak-angkat itu. Maka dengan cepat ia berseru, “Toako,
biarkan Siaute saja yang melakukannya!”

Dan sekali melangkah, dengan sendirinya ia
keluarkan ilmu langkah “Leng-po-wi-poh” yang cepat,
tahu-tahu ia sudah menyerobot di depan Kiau Hong.

1128




Terus saja ia angkat tangan Hong Po-ok dan segera
hendak dikecupnya.

Tatkala itu seluruh telapak tangan Hong Po-ok sudah
bengkak menghitam, kedua mata melotot, rupanya
kelopak matanya ikut menjadi kaku juga sehingga sukar
berkedip. Ketika Toan Ki memegang tangannya, otomatis
daya sakti Cu-hap-sin-kang lantas bekerja. Belum lagi
mulut Toan Ki mengecup tempat luka itu, sekonyongkonyong
dari lubang luka merembes keluar air hitam.

Toan Ki tertegun, ia pikir biarkan air hitam itu habis
merembes keluar baru akan diisapnya. Ia tidak tahu
bahwa Cu-hap, yaitu katak merah yang telah dimakannya
dahulu itu adalah binatang antisegala jenis racun. Maka
begitu anggota badan kedua orang saling sentuh, asal
Toan Ki tidak mengerahkan tenaga dalamnya, maka
tenaga murni Hong Po-ok juga takkan tersedot,
sebaliknya karena dia keracunan sangat parah, sekali
kebentur khasiat Cu-hap-sin-kang, terus saja darah
berbisa di dalam tubuhnya terdesak keluar.

Begitulah selagi semua orang terheran-heran dan
sangsi, mendadak badan Hong Po-ok bergerak sekali,
lalu terdengar ia membuka suara, “Terima kasih!”

Keruan Giok-yan bertiga sangat girang. A Cu lantas
berseru, “He, Siko, engkau sudah dapat bicara!”

Maka tertampaklah darah hitam yang merembes
keluar dari luka Hong Po-ok itu mulai berubah menjadi
warna ungu, kemudian memerah.

1129




Dan sesudah warna darah kembali seperti biasa,
tangan Po-ok yang bengkak itu lantas kempis dan dapat
bergerak lagi seperti semula. Segera ia memberi hormat
kepada Toan Ki sambil berkata, “Banyak terima kasih
atas pertolongan Kongcuya.”

“Ah, soal kecil, buat apa dipikirkan?” sahut Toan Ki
merendah.

“Jiwaku dalam pandangan Kongcuya mungkin soal
kecil, tapi bagiku sendiri adalah urusan besar,” kata Hong
Po-ok dengan tertawa. Lalu ia ambil botol obat dari
tangan A Pik terus dilemparkan kembali kepada Tantianglo,
katanya, “Ini, ambil kembali obatmu!”

Kemudian ia memberi hormat kepada Kiau Hong dan
berkata, “Kiau-pangcu benar berbudi luhur, Hong Po-ok
sangat kagum. Pangcu tidak malu sebagai pemimpin
suatu organisasi terbesar di Bu-lim ini.”

“Terima kasih atas pujian Hong-siya,” sahut Kiau
Hong sambil membalas hormat.

Sesudah menyatakan terima kasihnya kepada kedua
orang penolongnya, Hong Po-ok lantas jemput kembali
goloknya, ia tuding Tan-tianglo sambil berkata, “Hari ini
aku dikalahkanmu, Hong Po-ok mengaku kalah, lain kali
bila ketemu lagi kita akan coba-coba pula, urusan hari ini
kita sudahi saja.”

“Jangan khawatir, setiap saat aku siap,” sahut Tantianglo
tertawa.

1130




Mendadak Po-ok berpaling kepada si kakek yang
bersenjatakan gada astakona, serunya, “Biarlah
sekarang kubelajar kenal dengan kepandaianmu!”

Keruan A Cu dan A Pik terkejut, seru mereka,
“Jangan Siko, kesehatanmu belum pulih!”

Namun Hong Po-ok tidak ambil pusing, serunya,
“Mumpung dapat berkelahi, kenapa sia-siakan
kesempatan bagus!”

Menyusul golok terus berputar dan menerjang ke arah
si kakek bergada.

Melihat beberapa saat sebelumnya keadaan Hong
Po-ok sudah sangat payah, siapa tahu hanya sekejap
saja orang aneh itu pulih gagah perkasa pula. Orang
sedemikian sungguh jarang terlihat.

Kakek bersenjata gada itu sudah ubanan alis dan
jenggotnya, usianya terhitung paling tua di antara Kaypang-
su-lo, sudah berpuluh tahun namanya terkenal,
segala macam tokoh Kangouw juga pernah dihadapinya.
Tapi orang yang nekat seperti Hong Po-ok benar-benar
jarang terlihat. Karena itu, mau tak mau ia terkesiap juga.

Sebenarnya permainan gada si kakek sangat hebat
perubahannya, di samping digunakan menyerang
bermanfaat pula untuk merampas senjata lawan. Tapi
kini karena rada jeri, permainan gadanya menjadi agak
kacau hingga ia cuma mampu menangkis saja oleh
berondongan serangan Hong Po-ok.

1131




Dalam pada itu Kiau Hong menjadi kurang senang
juga, pikirnya, “Sobat she Hong ini agak keterlaluan juga.
Dengan baik-baik Toan-hiante telah menolong jiwamu,
mengapa secara sembrono mengajak berkelahi lagi?”

Dalam pada itu sambil menjinjing karung Tan-tianglo
sedang memandangi Ong Giok-yan, lalu pandang Toan
Ki pula sembari diam-diam berpikir, “Kedua muda-mudi
ini entah dari mana asal-usulnya, tampaknya kedatangan
mereka sangat tidak menguntungkan diriku.”

Kiranya Tan-tianglo ini aslinya she Ui, yaitu berasal
dari keluarga Ui yang terkenal di Oupak, ia sengaja
menyamar sebagai orang she Tan, rahasia ini tiada
seorang pun mengetahui di jagat ini. Maka terhadap
ucapan Giok-yan yang menyatakan ilmu silatnya seperti
berasal dari keluarga Ui, mau tak mau timbul rasa
curiganya.

Sementara itu pertarungan Pau Put-tong dan Hong
Po-ok melawan kedua kakek Kay-pang itu semakin
sengit, tampaknya Put-tong dan Po-ok sedikit di atas
angin, tapi untuk mengalahkan lawan mereka terang
sukar terjadi dalam waktu singkat.

Selagi semua orang asyik mengikuti pertarungan
hebat itu, telinga Toan Ki yang tajam itu tiba-tiba
mendengar dari arah timur ada suara tindakan orang
yang ramai sedang mendatang ke arah sini dengan
cepat. Menyusul dari jurusan utara juga datang satu
rombongan lain, bahkan dari suaranya kedengaran
berjumlah lebih banyak.

1132




“Toako, ada orang banyak sedang mendatang,”
demikian Toan Ki membisiki Kiau Hong.

Kiau Hong sendiri pun sudah mendengar, ia
mengangguk. Ia menduga orang-orang yang datang itu
besar kemungkinan adalah lawan dan bukan kawan.
Boleh jadi pengikut Buyung Hok yang sengaja dipasang
di sekitar situ untuk mengepung. Maka diam-diam Kiau
Hong rada menyesal telah diakali musuh.

“Kiranya orang-orang she Pau dan Hong ini sengaja
menggoda kita agar tanpa sadar kita masuk kepungan
mereka,” demikian pikirnya.

Namun Kiau Hong tetap bersikap tenang, selagi ia
hendak memberi isyarat kepada bawahannya agar
sebagian mengundurkan diri ke jurusan selatan dan
barat yang tidak dijaga musuh, tiba-tiba terdengar dari
kedua jurusan itu juga ada suara ramai orang berjalan.
Nyata setiap penjuru sudah penuh dengan musuh.

Perlahan Kiau Hong memberi perintah kepada
bawahannya, “Cio-thocu, kekuatan musuh di sebelah
selatan paling lemah, sebentar bila kuberi tanda, segera
pimpin para saudara mengundurkan diri ke jurusan
sana.”

Dan baru saja Cio-thocu mengiakan, tiba-tiba dari
jurusan timur hutan itu sudah muncul 30-an orang,
semuanya berbaju compang-camping, rambut kusut, ada
yang membawa senjata, ada yang cuma membawa
tongkat dan mangkuk butut, jelas semuanya anggota
Kay-pang. Menyusul dari arah utara juga muncul
berpuluh orang Kay-pang, sikap mereka sangat pongah,

1133




melihat Kiau Hong juga tidak memberi hormat,
sebaliknya seakan-akan bersikap bermusuhan.

Ketika mendadak tampak munculnya anggota Kay-
pang sebanyak itu, diam-diam Pau Put-tong dan Hong
Po-ok menjadi khawatir juga. Pikir mereka, “Wah, celaka,
cara bagaimana agar dapat menyelamatkan nona Ong
bertiga?”

Namun di antara orang yang terkesiap rasanya yang
paling terkejut adalah Kiau Hong. Sebab memang dia
kenal pengemis-pengemis yang muncul itu adalah
anggota Kay-pang kelas menengah, ada yang
menggendong lima buah kantong dan ada yang
membawa tujuh buah kantong. Biasanya anggotaanggota
ini sangat menghormat padanya, asal melihat
sang pangcu, dari jauh mereka pasti akan berlari
mendekat untuk memberi hormat. Tapi mengapa hari ini
sikap mereka begini aneh, sudah tidak memberi hormat,
bahkan menyapa pun tidak.

Tengah Kiau Hong sangsi, sementara itu dari jurusan
selatan dan barat juga muncul berpuluh anggota Kay-
pang yang lain. Rombongan anggota Kay-pang itu
datangnya ternyata susul-menyusul, di belakang
rombongan pertama masih muncul pula rombongan yang
lain sehingga sebentar saja tanah lapang di tengah hutan
itu sudah penuh berjubel dengan kaum pengemis.

Kiau Hong coba menghitung sekadarnya dan ternyata
di antara anggota Kay-pang di kota Bu-sik itu sudah lebih
sembilan bagian yang hadir, hanya ketiga thocu dari
kepala bagian Tay-jin, Tay-sin dan Tay-yong yang tidak

1134




kelihatan, di samping itu beberapa anggota pengurus
pusat seperti Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo juga
tidak muncul.

Semakin dipikir Kiau Hong semakin khawatir hingga
diam-diam ia berkeringat dingin. Selamanya Kiau Hong
tidak pernah khawatir seperti sekarang ini biarpun
menghadapi musuh yang paling lihai sekalipun. Sebab
mendadak timbul suatu pikiran dalam benaknya, “Wah,
akan terjadi pemberontakan, apakah para anggota akan
mengkhianati aku?”

Selaku pangcu, subur atau runtuhnya Kay-pang
dianggap Kiau Hong jauh lebih penting daripada nama
baik dan kedudukan atau mati-hidup sendiri. Kini beratus
anggota Kay-pang ini sudah mengelilingi dirinya dengan
tidak bicara apa pun juga, terang di dalam organisasi
telah terjadi sesuatu yang hebat.

Namun di tengah kalangan Pau Put-tong dan Hong
Po-ok masih saling gebrak dengan kedua kakek dengan
sengit dan tak terhentikan, di depan orang luar, Kiau
Hong menjadi tidak enak untuk menegur.

Dalam pada itu tiba-tiba Tan-tianglo berseru, “Pasang
Pak-kau-tin!”

Sekonyong-konyong di antara anggota Kay-pang dari
berbagai penjuru itu masing-masing memburu keluar
belasan orang dengan senjata terhunus, maka Pau Put-
tong dan Hong Po-ok jadi terkepung di tengah bersama
kedua kakek lawannya itu.

1135




Melihat jumlah musuh sekaligus maju sebegitu
banyak, apalagi orang-orang Kay-pang sudah terlatih
semua, Pau Put-tong tahu bila musuh mengepung rapat,
pasti dirinya bersama Hong Po-ok akan dicincang
menjadi bakso.

Ketika ia melirik pihak lawan, ternyata kawanan
pengemis itu dalam sekejap saja sudah memasang suatu
barisan yang sangat rapat, andaikan harus menerjang
keluar kepungan bersama Po-ok, sendiri mungkin bisa
selamat, tapi Po-ok habis keracunan dan tenaga masih
lemah, tentu takkan terhindar dari terluka parah, begitu
pula kalau hendak menolong Giok-yan bertiga, pasti
sangat sulit.

Kalau mau, jalan satu-satunya supaya selamat adalah
menyerah alias mengaku kalah. Toh kalah karena
dikeroyok, hal ini takkan merugikan nama baiknya. Tapi
tabiat Pau Put-tong justru sangat kepala batu, cocok
seperti namanya, dia memang “Put-tong” atau berbeda
daripada orang lain. Sesuatu urusan yang orang lain
anggap lumrah, baginya justru dianggap sebaliknya.
Begitu pula Hong Po-ok paling gemar berkelahi, asal
diberi kesempatan berkelahi, tidak peduli kalah atau
menang, bakal mati atau hidup, benar atau salah,
baginya semua itu urusan belakang, berkelahi paling
perlu.

Sebab itulah biarpun kedudukan di tengah itu sudah
jelas pihak mana yang akan menang, namun Pau Put-
tong dan Hong Po-ok masih terus berteriak-teriak sambil
menyerang terlebih bersemangat sedikit pun pantang
menyerah.

1136




“Pau-samko, Hong-siko, terimalah sudah,” demikian
tiba-tiba Giok-yan berseru. “Pak-kau-tin dari Kay-pang ini
meski aku pun tahu cara memecahkannya, namun
kepandaian kita terlalu cetek, kita takkan dapat berbuat
apa-apa. Di dunia ini hanya Lak-meh-sin-kiam dan Hangliong-
sip-pat-ciang saja dapat bobol barisan itu. Maka
kalian berdua lebih baik berhenti saja.”

Mendengar Giok-yan bilang Lak-meh-sin-kiam yang
dipelajarinya itu dapat memecahkan Pak-kau-tin, Toan Ki
tercengang, diam-diam ia pun ragu bagaimana harus
bertindak nanti, apakah mesti membela nona Ong bila
anak buah Kiau-toako akan menangkapnya?

Sesudah berpikir pula, ia lantas ambil keputusan,
“Jika Pau Put-tong yang berkelahi dengan orang-orang
Kay-pang, maka aku takkan ikut campur, tapi bila Ongkohnio
diganggu mereka terpaksa aku harus
melindunginya.”

Dalam pada itu Hong Po-ok telah menjawab seruan
Giok-yan tadi, “Biarlah aku berkelahi sebentar lagi, bila
benar-benar tak tahan barulah aku berhenti.”

Dan karena sedikit ayal itu, “cret”, pundaknya
keserempet sekali oleh gada si kakek yang berkait itu
hingga kulit pecah dan darah bercucuran.

“Keparat, hebat juga seranganmu ini,” Hong Po-ok
memaki. Berbareng goloknya menyerang tiga kali secara
nekat.

Si kakek berjenggot itu menjadi jeri oleh kekalapan
Po-ok, ia pikir toh tiada permusuhan apa-apa, kenapa

1137




mesti bertempur mati-matian begini? Karena itulah ia
hanya menjaga diri dengan rapat dan tiada balas
menyerang pula.

Tiba-tiba Tan-tianglo berseru dengan nada tembang,
“Ooi, para saudara sebelah selatan ingin minta nasi,
haya-auuuuh ....”

Yang ditembangkan itu adalah lagu minta-minta kaum
pengemis, tapi sebenarnya adalah tanda perintah
kepada anak-buahnya untuk menyerang.

Maka tertampaklah berpuluh anggota Kay-pang yang
berdiri di sebelah selatan serentak mengangkat senjata
mereka, asal tarikan suara Tan-tianglo itu berhenti,
segera mereka akan menyerbu maju.

Sudah tentu Kiau Hong tahu betapa lihainya Pak-kautin
(barisan penghajar anjing) Kay-pang sendiri. Bila
barisan itu sudah dikerahkan, serentak anggota Kay-
pang keempat penjuru itu secara bergiliran akan
menyerbu maju tanpa berhenti sampai musuh
dibinasakan atau dirobohkan.

Padahal sebelum bertemu dengan Buyung Hok dan
sebelum duduk perkara yang sebenarnya dibikin terang,
ia tidak ingin mengikat permusuhan dulu dengan orang.
Maka cepat ia memberi tanda sambil membentak, “Nanti
dulu!”

Berbareng ia terus melompat-maju dan tahu-tahu
sudah berada di samping Hong Po-ok, dengan tangan
kiri ia cakar muka orang itu.

1138




Keruan Po-ok terkejut, cepat ia mengegos ke
samping, tapi mendadak tangan Kiau Hong terus
menurun ke bawah dan tepat kena tangkap pergelangan
tangannya, segera golok Hong Po-ok itu dirampasnya.

“Bagus Kiau-pangcu dengan seranganmu ‘Jio-cusam-
sik’ (tiga gaya merebut mutiara) dari Liong-jiau-cu
(cakar naga) itu,” seru Giok-yan tiba-tiba. Segera ia pun
memperingatkan Pau Put-tong, “Awas Pau-samko, ia
hendak menyikut dadamu dengan sikut kiri dan tangan
kanan akan memotong igamu menyusul tangan kiri akan
mencengkeram pula ‘Gi-koh-hiat’ pundakmu, serangan
itu adalah satu di antara tiga gaya cakar naga yang
disebut ‘Ti-yan-yu-uh’ (mendadak turun hujan)!”

Tapi gerakan Kiau Hong ternyata cepat luar biasa,
baru saja Giok-yan memperingatkan Pau Put-tong bahwa
dadanya akan disikut, tahu-tahu serangan Kiau Hong
memang benar seperti apa yang dikatakan itu dan
hampir berbareng pada saat itu pun menyikut hingga Pau
Put-tong tidak sempat berjaga-jaga sebelumnya.

Begitu pula tentang iganya akan dipotong serta Gikoh-
hiatnya akan dicengkeram, tahu-tahu Pau Put-tong
merasakan tubuhnya menjadi lemas lumpuh tak dapat
berkutik.

“Sungguh serangan bagus,” seru Pau Put-tong
dengan penasaran. “Wah, Siaumoay, peringatanmu
terlalu tepat waktunya hingga tiada gunanya. Kalau
engkau bilang sedetik lebih dulu, kan aku dapat berjagajaga
sebelumnya.”

1139




“Ya, maaflah,” sahut Giok-yan dengan menyesal.
“Karena ilmu silatnya terlalu lihai, maka sebelumnya
sama sekali aku tak dapat mengetahui serangan apa
yang akan dilontarkannya.”

“Maaf apa segala?” seru Pau Put-tong. “Pendek kata
perkelahian hari ini terang kita terjungkal semua, pamor
Yan-cu-oh benar-benar runtuh!”

Waktu ia berpaling ia lihat keadaan Hong Po-ok lebih
runyam lagi, kawan itu tampak terpaku di tempatnya
seperti patung. Rupanya waktu Kiau Hong merampas
goloknya sekalian telah tutuk pula hiat-tonya. Kalau tidak,
mana mau dia berhenti dengan begitu saja?

Melihat sang pangcu sudah dapat mengalahkan
kedua lawan, maka Tan-tianglo mengurungkan
tembangnya yang belum selesai tadi.

Diam-diam Kay-pang-su-lo sangat kagum demi
menyaksikan betapa saktinya sang pangcu, hanya sekali
gebrak saja dua lawan tangguh telah ditaklukkan.

Kemudian Kiau Hong melepaskan tangannya yang
mencengkeram Gi-koh-hiat di pundak Pau Put-tong itu.
Menyusul tangannya membalik ke belakang untuk
menepuk perlahan di punggung Po-ok dan membuka
hiat-to yang ditutuknya itu, lalu katanya, “Silakan kalian
pergi saja!”

Dalam keadaan demikian, betapa pun bandelnya Pau
Put-tong juga, terpaksa menyerah, ia tahu ilmu silat
sendiri selisih terlalu jauh dengan Kiau Hong. Maka tanpa
bicara lagi ia lantas mengeluyur ke samping Giok-yan.

1140




Sebaliknya Hong Po-ok lantas berkata, “Kiau-pangcu,
ilmu silatku memang tak dapat menandingimu, tapi
seranganmu barusan membikin aku penasaran, sebab
engkau menyerang pada waktu aku sama sekali tidak
berjaga-jaga.”

“Memang benar aku menyerang secara mendadak,”
sahut Kiau Hong. “Tapi kita boleh coba-coba beberapa
jurus pula, biar kusambut serangan golokmu.”

Habis berkata, mendadak ia mencengkeram ke
depan, suatu arus tenaga menggetar golok Hong Po-ok
yang dibuang ke tanah oleh Kiau Hong tadi bahkan golok
itu lantas mencelat ke atas seakan-akan melompat
sendiri ke tangan Kiau Hong. Dan sekali Kiau Hong
menyampuk perlahan, tangkai golok itu terus membalik
ke depan seperti diangsurkan kembali kepada Hong Pook.


Hong Po-ok tercengang, katanya dengan tergegap,
“Apakah ini ... Kim-liong-kang (ilmu menangkap naga)?
Di dunia ini ternyata benar ada orang mahir ilmu sakti
ini?”

“Aku cuma belajar sedikit dasarnya saja, lebih jauh
masih harus minta petunjuk pihak yang mahir,” Kiau
Hong tertawa sambil memandang ke arah Giok-yan. Ia
ingin mengetahui bagaimana penilaian si nona yang
mahir segala macam ilmu silat itu atas ilmu saktinya yang
tiada bandingan itu.

1141




Tak tersangka Giok-yan tampak lagi termangu-mangu
seperti sedang memikirkan sesuatu, maka apa yang
dikatakan Kiau Hong itu seakan-akan tak didengarnya.

Mau tak mau Hong Po-ok harus menyerah, katanya,
“Ya, sudahlah, ilmu silatku memang bukan tandinganmu,
selisih kita terlalu jauh, kalau berkelahi juga kurang
menarik. Nah, sampai berjumpa, Kiau-pangcu!”

Meski lahiriah Hong Po-ok ini jelek, wajahnya tidak
sedap dipandang, tapi jiwanya cukup kesatria, biarpun
kalah berkelahi, sama sekali ia tidak patah semangat.
Kalah atau menang dianggapnya soal lumrah. Baginya
sudah senang asal dapat berkelahi.

Segera ia memberi salam perpisahan kepada Kiau
Hong, lalu katanya kepada Pau Put-tong, “Samko,
kabarnya Kongcuya pergi ke Siau-lim-si, di sana sangat
banyak orang, kita tentu dapat berkelahi lagi. Biarlah
sekarang juga aku berangkat ke sana dan kalian boleh
menyusul belakangan!”

Begitulah sifat Hong Po-ok itu, ia tidak pernah siasiakan
setiap kesempatan berkelahi. Maka tanpa
menunggu jawaban Pau Put-tong, terus saja ia
mendahului berlari pergi.

“Ya, marilah pergi! Lebih baik pergi, daripada cari
mati! Kalah berkelahi, apa lagi yang dinanti?” demikian
sambil bersenandung Pau Put-tong ikut meninggalkan
tempat itu secara kesatria.

1142




Tinggal Giok-yan bertiga yang masih di situ, maka
tanyanya kepada A Cu dan A Pik, “Samko dan Siko
sudah pergi, lantas kita mesti ke mana?”

“Para pengemis ini rupanya akan berunding urusan
penting, kita lebih baik kembali ke Bu-sik saja,” demikian
sahut A Cu perlahan. Lalu katanya kepada Kiau Hong,
“Kiau-pangcu, kami juga ingin mohon diri saja!”

“Silakan!” sahut Kiau Hong sambil mengangguk.

Dan selagi Giok-yan bertiga hendak berlalu, tiba-tiba
dari rombongan Kay-pang di sebelah timur sana tampil
ke muka seorang pengemis setengah umur berwajah
bersih dan berseru, “Kiau-pangcu, sakit hati kematian Behupangcu
yang mengenaskan itu belum lagi dibalas,
mengapa sembarangan melepaskan musuh begini saja?”

Kedengarannya ia bicara dengan hormat, tapi
sikapnya dan nadanya menantang, sedikit pun tidak mirip
sebagai seorang bawahan.

“Kedatangan kita ke sini memang tujuannya ingin
membalas sakit hati Be-jiko,” sahut Kiau Hong. “Tapi
setelah kuselidiki selama beberapa hari ini, aku merasa
pembunuh Be-jiko itu belum pasti Buyung-kongcu.”

Pengemis setengah umur itu bernama Coan Koanjing,
orang memberi julukan “Sip-hong-siucay” padanya,
artinya si Pelajar Serbatahu. Orangnya memang pintar
dan banyak akal, ilmu silatnya juga tinggi, ia adalah salah
satu thocu berkantong delapan, kedudukannya hanya di
bawah para tianglo (tertua) kantong sembilan.

1143




Coan Koan-jing adalah kepala bagian Tay-ti-hun-tho,
kedudukannya sangat terhormat. Tapi betapa tinggi
kedudukannya juga takkan lebih agung daripada sang
pangcu. Dalam hal huru-hara dalam Kay-pang ini meski
sebelumnya orang-orang telah banyak mendengar
keterangannya, tapi di bawah sinar mata Kiau Hong yang
kereng itu tanpa terasa semuanya menjadi jeri dan
menunduk. Sebaliknya atas keberanian Coan Koan-jing
dengan tegurannya kepada sang pangcu, diam-diam
mereka pun berkhawatir.

Maka si Siucay Serbatahu Coan Koan-jing berkata
pula, “Dengan dasar apa hingga Pangcu mengatakan
bukan perbuatan Buyung-kongcu?”

Sebenarnya Giok-yan sudah akan melangkah pergi,
tapi demi didengarnya Be-hupangcu, wakil pemimpin
Kay-pang itu, katanya ditewaskan orang dan Buyungkongcu
yang dituduh sebagai pembunuhnya, sebaliknya
Kiau Hong berpendapat pembunuhnya mungkin orang
lain, maka Giok-yan bertiga menjadi urung berangkat
pergi, mereka terus tinggal dan diam di situ untuk
mendengarkan perdebatan tadi.

Maka terdengar Kiau Hong sedang berkata, “Aku
sendiri pun cuma menduga saja, dengan sendirinya tiada
dasar bukti apa-apa.”

“Jika begitu, bagaimana dasar dugaan Pangcu,
silakan memberi penjelasan, supaya para kawan dapat
ikut mengetahuinya,” ujar Coan Koan-jing.

“Waktu aku berada di Lokyang, ketika mendengar Bejiko
dibinasakan orang dengan ilmu ‘Soh-au-kim-na-jiu’

1144




yang andalannya itu, aku lantas teringat kepada orang
she Buyung yang terkenal dengan istilah ‘Ih-pi-ci-to hoansi-
pi-sin’ itu. Kupikir ilmu kepandaian Be-jiko itu tiada
tandingannya di jagat ini, kecuali orang dari keluarga
Buyung memang tiada seorang pun yang mampu
membunuhnya dengan ilmu andalan Be-jiko sendiri.”

“Benar!” tukas Coan Koan-jing.

“Tetapi sesudah aku berada di Kanglam sini, makin
lama makin kurasakan dugaan kita semula jadi tidak
benar, bukan mustahil di balik kejadian ini terdapat pula
hal-hal lain yang berliku-liku.”

“Hal apa yang berliku-liku? Para kawan siap
mendengarkan, silakan Pangcu memberi penjelasan,”
kata Koan-jing.

Melihat sikap para anggota berbeda daripada
biasanya, Kiau Hong menduga di dalam organisasi pasti
sudah terjadi apa-apa yang ia sendiri belum mengetahui.
Maka ia coba tanya, “Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo
kenapa tidak kelihatan, di manakah mereka itu?”

“Hari ini Siokhe (bawahan) belum bertemu dengan
kedua Tianglo itu,” sahut Koan-jing.

“Dan para thocu dari Tay-jin, Tay-sin dan Tay-yong
berada di mana pula?” tanya Kiau Hong pula.

“Thio Coan-siang,” tiba-tiba Koan-jing berpaling dan
tanya kepada seorang anggota berkantong tujuh,
“mengapa Thocu kalian tidak hadir ke sini?”

1145




“En ... entahlah, aku ti ... tidak tahu,” demikian orang
yang dipanggil Thio Coan-siang itu menjawab dengan
gelagapan.

Biasanya Kiau Hong cukup kenal Coan Koan-jing.
Thocu Tay-ti-hun-tho ini cerdik lagi licin, tindak tanduknya
sukar diraba, sebenarnya terhitung salah seorang
bawahan yang boleh diandalkan. Tapi dalam keadaan
tegang begini berbalik merupakan seorang musuh yang
lihai. Maka demi melihat Thio Coan-siang menjawab
gelagapan dengan air muka yang penuh penyesalan
serta tidak berani memandang ke arahnya, segera Kiau
Hong membentaknya, “Thio Coan-siang, apa barangkali
kau membunuh Thocumu sendiri, ya?”

Coan-siang menjadi ketakutan dan cepat menjawab,
“O, tidak, ti ... tidak! Pui-thocu masih baik-baik di sana
dan belum ... belum mati. Ini bukan ... bukan urusanku,
aku tidak ... tidak ikut berbuat.”

“Jika begitu perbuatan siapa?” bentak Kiau Hong
dengan bengis.

Walaupun bentakannya tidak terlalu keras, tapi
berwibawa. Sebagai seorang pangcu yang gagah
perkasa dan bijaksana pula, maka biasanya para
anggota sangat hormat dan jeri kepadanya.

Karena mendadak ditegur secara bengis, tanpa
terasa Thio Coan-siang menjadi ketakutan hingga
gemetar, ia tidak berani bicara lagi, hanya sinar matanya
melirik sekejap ke arah Coan Koan-jing.

1146




Kiau Hong dapat mengambil tindakan cepat, ia tahu
kerusuhan telah terjadi, Thoan-kong, Cit-hoat dan para
tianglo lain berada dalam keadaan bahaya, sang waktu
tidak boleh dilewatkan percuma, tindakan tegas harus
segera dilakukan, maka mendadak ia menghela napas
panjang, ia berputar menghadap Su-tay-tianglo (empat
tertua) dan berkata, “Harap para Tianglo suka memberi
tahu, sebenarnya apa yang telah terjadi dalam organisasi
kita?”

Tapi keempat kakek itu hanya saling pandang belaka
dan tiada seorang pun berani membuka suara.

Maka tahulah Kiau Hong bahwa keempat tianglo itu
pun pasti tersangkut dalam urusan ini, dengan tersenyum
katanya pula, “Setiap anggota kita, dimulai dari diriku,
semuanya mengutamakan setia kawan ....”

Berkata sampai di sini, sekonyong-konyong ia
melompat mundur dua tindak, setiap tindaknya sejauh
lebih dua meter. Bagi orang lain, biarpun berlompatan ke
depan juga tidak secepat dan sejauh itu.

Dengan lompatan mundur itu, maka sekarang jarak
Kiau Hong dengan Coan Koan-jing sudah tinggal tiada
satu meter jauhnya. Tanpa putar tubuh lagi terus saja
tangan kirinya menangkap ke belakang dan tangan
kanan bergerak mencengkeram dari jauh, gerakan ini
tepat mengenai “Tiong-ting-hiat” dan “Kiu-bwe-hiat” di
dada sasarannya.

Ilmu silat Coan Koan-jing sebenarnya tergolong kelas
satu di antara jago-jago Kay-pang, hanya selisih sedikit
saja daripada Kay-pang-su-lo. Tapi cukup sejurus saja,

1147




sampai berkelit pun tidak sempat dan tahu-tahu sudah
kena dipegang oleh sang pangcu.

Ketika Kiau Hong kerahkan tenaga dalam hingga
menyalur ke tubuh Coan Koan-jing melalui kedua hiat-to
yang tercengkeram, dari urat nadi itu tenaga dalam
menyalur ke Tiong-wi-hiat dan Yang-tay-hiat di dengkul
Koan-jing. Seketika Coan Koan-jing merasa dengkul
menjadi lemas dan tanpa terasa terus berlutut.

Melihat Coan Koan-jing tekuk lutut, keruan anggota
Kay-pang yang lain sama terkejut dan khawatir tanpa
berdaya.

Kiranya Kiau Hong darat melihat gelagat, ia tahu
terjadinya kerusuhan biang keladinya tak-lain-tak-bukan
adalah Coan Koan-jing. Kalau orang ini tidak segera
dibekuk tentu akan membawa bencana yang tak terduga.
Terutama bila di antara anggota Kay-pang terjadi
pertempuran sendiri, pasti akan sangat melemahkan
kekuatan organisasi yang sudah terpupuk selama
seratus tahun ini.

Apalagi di antara anggota Kay-pang yang hadir ini,
kecuali beberapa puluh orang dari Tay-gi-hun-tho,
selebihnya boleh dibilang sudah dipengaruhi oleh
hasutan Coan Koan-jing. Lebih-lebih kalau Kay-pang-sulo
juga berdiri di pihak lawan, pasti dirinya sukar melawan
mereka.

Sebab itu, maka ia pura-pura bertanya-jawab dengan
Kay-pang-su-lo, dan pada waktu Coan Koan-jing tidak
menyangka, mendadak ia melompat mundur dan dapat
membekuknya.

1148




Beberapa kali lompatan dan sergapan Kiau Hong itu
tampaknya sepele saja, tapi sebenarnya sudah
memakan seluruh intisari kepandaiannya.

Bila cengkeramannya ke belakang tadi sedikit
meleset, walaupun Coan Koan-jing dapat dibekuknya
juga, tapi tenaga dalamnya akan sukar menyalur ke
tubuh orang untuk menyerang hiat-to di dengkul kaki dan
membuatnya berlutut, maka akibatnya tentu kawankawan
sekomplotannya akan menerjang maju untuk
menolongnya hingga suatu pertarungan sengit pasti
sukar terhindarkan.

Tapi sekarang Coan Koan-jing telah dipaksa berlutut,
bagi kawan-kawannya tentu akan menyangka Coan
Koan-jing telah mendahului menyerah dan mengaku
salah. Dengan sendirinya para begundalnya tiada yang
berani berkutik lagi.

Begitulah kemudian Kiau Hong baru berputar tubuh
dan menepuk perlahan pundak Coan Koan-jing sambil
berkata, “Tidak perlu berlutut. Jika kau sudah sadar akan
kesalahanmu, tentang dosamu yang masih harus
diperiksa ini biarlah nanti dibicarakan lebih jauh.”

Sambil berkata, perlahan sikutnya bekerja pula hingga
hiat-to bisu di tubuh Coan Koan-jing kena ditutuknya.

Hendaklah diketahui bahwa Coan Koan-jing adalah
seorang yang pandai bicara dan pintar berdebat. Bila dia
diberi kesempatan membuka suara bukan mustahil
anggota Kay-pang yang lain akan mudah terpengaruh
oleh provokasinya. Maka terpaksa Kiau Hong bertindak

1149




secara licik, yaitu membekuk Coan Koan-jing lebih dulu,
dengan dibekuknya biang keladi mereka, terpaksa
komplotan yang siap memberontak itu tak berani
berkutik.

Dan sesudah dapat membekuk Coan Koan-jing serta
membuatnya berlutut dengan menunduk kemudian Kiau
Hong berseru pula kepada Thio Coan-siang, “Hendaknya
tunjukkan tempatnya, bawalah Tay-gi-thocu pergi
mengundang Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo ke sini.
Kau harus tunduk pada perintah dengan baik, supaya
dapat mengurangi dosamu. Kawan-kawan yang lain
harap duduk menunggu di sini, dilarang sembarangan
bergerak.”

Dengan takut-takut girang, berulang Thio Coan-siang
mengiakan perintah sang pangcu.

Cio Ci-tong, itu Thocu dari Tay-gi-hun-tho, tidak ikut
serta dalam komplotan pemberontakan, maka ia menjadi
sangat gusar demi mendengar Coan Koan-jing dan
begundalnya merencanakan pengkhianatan itu. Saking
gusarnya seketika ia tidak sanggup ikut bersuara. Baru
sesudah mendengar perintah Kiau Hong agar menyertai
Thio Coan-siang pergi mengundang Thoan-kong dan Cithoat
Tianglo, dapatlah ia tenangkan pikirannya yang
bergolak tadi. Katanya segera kepada anak buahnya
yang berjumlah 20-an orang itu, “Sungguh celaka bahwa
dalam perkumpulan kita terjadi kerusuhan, maka tibalah
saatnya bagi kita harus curahkan sepenuh tenaga kita
untuk membalas budi kebaikan Pangcu. Kita harus taat
kepada perintah Pangcu, jangan lengah!”

1150




Sebabnya ia memberi perintah begitu adalah khawatir
bahwa Su-tay-tianglo juga ikut melawan pangcu, seorang
diri tentu sang pangcu sulit melawan orang banyak.
Meski orang Tay-gi-hun-tho terlalu sedikit dibanding
pihak yang memberontak, tapi paling tidak sudah lebih
baik daripada tiada pengikut sama sekali.

Di luar dugaan Kiau Hong berkata, “Tidak, Cio-thocu,
bawalah bersama anak buah bagianmu itu, menolong
para tianglo lebih penting, jangan terlambat.”

Cio Ci-tong tidak berani membantah, terpaksa
mengia. Katanya pula, “Harap Pangcu bertindak secara
hati-hati, selekasnya kami pasti akan kembali.”

“Para saudara yang hadir di sini adalah kawan-kawan
sehidup-semati yang tidak perlu disangsikan lagi, biarpun
untuk sementara mungkin mereka salah pikir, namun
mereka pasti akan dapat membedakan mana yang benar
dan mana yang salah. Engkau tidak usah khawatir,
pergilah!” sahut Kiau Hong dengan tersenyum.

Meskipun Kiau Hong bicara dengan sikap tenang dan
sewajarnya, tapi dalam batin sebenarnya sangat
terguncang. Ia saksikan keberangkatan Cio Ci-tong
bersama anak buahnya. Di tengah rimba kini selain Toan
Ki, Ong Giok-yan, A Cu dan A Pik berempat, selebihnya
kira-kira dua ratusan orang semuanya tersangkut di
dalam kerusuhan ini, asal ada di antaranya memberi
hasutan dan memberi perintah, tentu akan terjadi
serbuan serentak dan susah dilayani. Kiau Hong coba
memandang sekitarnya, ia lihat macam-macam sikap
para pengemis itu, ada yang kikuk, ada yang berlagak

1151




tenang, dan ada yang khawatir, tapi ada juga yang
petantang-petenteng.

Dua ratusan orang di situ semuanya terdiam, tiada
seorang pun yang berani membuka suara. Tapi sekali
ada yang bicara, pasti kerusuhan akan terjadi. Pikir Kiau
Hong, “Dalam keadaan demikian, paling baik kalau
suasana tetap dalam keadaan tenang. Kalau dapat
pokok persoalan dikesampingkan dulu, baru sebentar
Thoan-kong Tianglo dan lain-lain sudah datang, urusan
tentu akan menjadi mudah diselesaikan.”

Sekilas terlihat olehnya Toan Ki berdiri di sampingnya,
maka katanya segera, “Para saudara, hari ini aku sangat
gembira karena baru saja dapat berkenalan dengan
seorang sobat baru. Karena kami berdua cocok satusama-
lain, maka aku sudah mengangkat saudara dengan
adik Toan Ki ini. Nah, Toan-hiante, marilah
kuperkenalkan kepada tokoh-tokoh utama di dalam Kay-
pang kami.”

Lalu ia gandeng tangan Toan Ki dan mendekati kakek
beruban dan bersenjatakan gada bergigi kait itu, katanya,
“Beliau adalah Song-tianglo, usianya sudah lanjut dan
namanya dihormati. Beliau adalah tetua yang dipuja di
dalam perkumpulan kami. Senjatanya yang istimewa ini
dahulu pernah malang melintang di Kangouw, tatkala itu
Toan-hiante sendiri mungkin belum lahir.”

“Ah, kiranya Song-tianglo, sudah lama kukagum,
sungguh beruntung hari ini bisa bertemu,” demikian Toan
Ki memberi hormat.

1152




Terpaksa dan dengan kaku Song-tianglo membalas
hormat juga.

Kemudian Kiau Hong memperkenalkan si kakek
pendek gemuk dan bersenjata tongkat baja itu kepada
Toan Ki. Katanya, “Dia Ge-tianglo, ahli gwakang
terkemuka dalam perkumpulan kita. Belasan tahun dulu
kakak angkatmu ini sering belajar ilmu silat padanya.
Terhadap diriku Ge-tianglo boleh dikata ya guru ya
kawan, hubungan kami tak dapat diartikecilkan.”

“Ya, tadi aku sudah menyaksikan Ge-tianglo
menempur kedua orang, ilmu silatnya memang benar
luar biasa, sungguh sangat mengagumkan,” ujar Toan Ki.

Watak Ge-tianglo itu sangat jujur dan tulus,
mendengar Kiau Hong toh tidak pernah melupakan
hubungan baik di masa lampau, terutama mengungkap
bahwa dirinya pernah memberi petunjuk ilmu silat, mau
tak mau Ge-tianglo merasa lega dan malu hati pula, ia
yakin Kiau Hong pasti takkan mengusut terlalu keras
tentang ikut sertanya dalam komplotan kerusuhan ini,
sebaliknya dirinya secara sembrono telah kena dihasut
oleh Coan Koan-jing, hal ini benar-benar sangat tercela.

Dan sesudah Kiau Hong memperkenalkan Tan-tianglo
yang bersenjatakan karung goni itu kepada Toan Ki,
selagi hendak mengenalkan Go-tianglo yang bermuka
merah dan bersenjatakan kui-thau-to itu, tiba-tiba
didengarnya suara tindakan orang yang ramai dari arah
timur laut sana. Menyusul terdengar suara berisik orang
banyak yang berkata, “Bagaimana keadaan Pangcu. Di
mana pengkhianatnya?” — “Kita telah tertipu dan sebal
karena dikurung mereka.”

1153




Begitulah suara berisik itu. Kiau Hong menjadi girang.
Tapi ia tidak ingin mengurangi penghormatannya kepada
Go-tianglo hingga menimbulkan dendam, maka ia tetap
memperkenalkan juga kedudukan dan nama baik Gotianglo
kepada Toan Ki.

Ketika ia berpaling, ia lihat Thoan-kong Tianglo, Cithoat
Tianglo, para thocu dari Tay-jin-hun-tho dan lain-lain
sudah datang semua. Dalam hati mereka sebenarnya
banyak yang hendak mereka katakan, tapi di hadapan
sang pangcu mereka pun tidak berani sembarangan
membuka suara.

Perlu diketahui bahwa Kay-pang adalah suatu
organisasi terbesar di dalam Bu-lim dengan tata tertib
organisasi yang sangat ketat. Pada umumnya anggotaanggota
Kay-pang sangat patuh pada disiplin.

Begitulah maka Kiau Hong lantas berkata sesudah
hadirnya para tianglo dan thocu itu, “Silakan para
saudara suka duduk, aku ingin bicara.”

Beramai-ramai semua orang mengia, lalu mengambil
tempat duduk masing-masing menurut urutan-urutan
tingkat, tugas dan usia, ada yang menghadap ke kanan,
ada yang ke kiri, ke depan, atau ke belakang. Tapi
semuanya duduk dengan anteng.

Dalam pandangan Toan Ki, cara duduk pengemispengemis
itu rada kacau dan tak keruan, tapi sebenarnya
mereka sangat teratur, sedikit pun tidak bingung.

1154




Melihat para anak buah menaati perintahnya dengan
baik, diam-diam Kiau Hong sudah merasa lega lebih
dulu.

Lalu dengan tersenyum Kiau Hong mulai bicara,
“Berkat penghargaan kawan-kawan Kangouw, maka
Kay-pang kita selama ratusan tahun ini dapat disebut
sebagai pang-hwe terbesar di dalam Bu-lim. Dan karena
sudah disebut sebagai yang ‘terbesar’, karena anggota
kita terlalu banyak, pendapat tiap-tiap orang tidak selalu
sama, hal ini pun dengan sendirinya susah dihindarkan.
Tapi asal diberi pengertian, ada persoalan, marilah
bermusyawarah, maka selamanya kita akan tetap
bersatu dalam persaudaraan yang saling sayangmenyayangi.
Terhadap setiap perbedaan paham dan
perselisihan pendapat, kita pun tidak perlu pandang
sebagai sesuatu yang luar biasa.”

Pada waktu bicara, wajah Kiau Hong tetap tenangtenang
dan ramah tamah, maka setelah mendengar
uraiannya, suasana yang tadinya agak tegang itu mulai
mereda.

“Numpang tanya kepada Song, Ge, Go, dan Tantianglo,
kalian telah mengurung kami dalam perahu di
tengah Thay-oh, apakah artinya itu?” demikian tiba-tiba
seorang pengemis tua bermuka kuning dan duduk di sisi
Kiau Hong menegur sambil berbangkit.

Kiranya dia ini Cit-hoat Tianglo, tertua yang
memegang tata tertib organisasi, she Pek bernama Sikia.
Orangnya jujur dan keras, tidak pandang bulu
kepada siapa pun juga. Sekalipun tidak berdosa, anggota
Kay-pang juga jeri padanya. Sebabnya disiplin Kay-pang

1155




begitu baik, jasa Pek Si-kia boleh dikatakan sangat
besar.

Di antara Su-tay-tianglo, usia Song-tianglo paling tua,
sebab itulah ia merupakan simbol dari empat serangkai
itu. Maka wajahnya menjadi merah oleh teguran Pek Sikia,
ia berdehem sekali, lalu menjawab, “Tentang itu ...
itu, kita ... kita adalah saudara sehidup-semati, dengan
sendirinya tiada maksud jahat, maka ... maka harap
mengingat diriku ini, hendaklah ... Pek-cit-hoat suka
memaafkan.”

Mendengar itu, semua anggota merasa Song-tianglo
ini benar-benar sudah pikun. Masakah urusan
membangkang kepada pangcu dapat dianggap sepele
dan cukup dengan minta maaf begitu saja lalu urusan
menjadi selesai?

Maka Pek Si-kia berkata pula, “Song-tianglo bilang
tiada maksud jahat, kenyataannya tidaklah demikian. Aku
dan Pui-thocu telah dikurung bersama di dalam sebuah
perahu, perahu ini berlabuh di tengah telaga Thay-oh
dan di atas perahu itu penuh tertumpuk kayu dan bahan
bakar lain, katanya kalau kami berani melarikan diri,
perahu itu segera akan dibakar. Nah, Song-tianglo, cara
demikian itu apakah bukan maksud jahat?”

“Hal ini me ... memang benar agak ... agak
keterlaluan,” sahut Song-tianglo dengan tergegap-gegap.
“Kita adalah saudara sendiri, mana boleh berlaku
sekasar itu? Kelak bila saling bertemu, bukankah akan
merasa tidak enak?”

1156




Kata-katanya yang terakhir itu jelas ditujukan kepada
Tan-tianglo.

“Dan kau,” mendadak Pek Si-kia menuding salah
seorang pengemis di sebelah sana. “Kau telah menipu
kami ke atas perahu itu, katanya Pangcu mengundang
kami. Kau memalsukan perintah Pangcu, apa
hukumanmu?”

Laki-laki itu menjadi ketakutan hingga bergemetaran,
sahutnya dengan terputus-putus, “Kedudukan Tecu
sangat ... sangat rendah, mana Tecu berani melakukan
perbuatan durhaka? Soalnya karena ... karena ....”

Berkata sampai di sini, sinar matanya beralih ke arah
Coan Koan-jing seakan-akan hendak bilang Coan-thocu
yang memerintahkan agar menipu kalian ke atas perahu
itu.

Pek Si-kia lantas menegas, “Apakah Coan-thocu yang
memberi perintah begitu padamu?”

Laki-laki itu hanya menunduk saja tanpa berkata,
tidak mengiakan juga tidak membantah.

“Kau diperintahkan Coan-thocu agar memalsukan
titah Pangcu untuk menipu kami ke atas perahu itu,
tatkala itu kau tahu tidak bahwa titah itu palsu?” tanya
Pek Si-kia pula.

Seketika wajah laki-laki itu pucat pasi dan tidak berani
bersuara.

1157




“Hm, Li Sam-jun,” jenguk Pek Si-kia, “biasanya kau
adalah seorang laki-laki, berani berbuat berani
bertanggung jawab. Kini kenapa menjadi pengecut dan
tidak berani mengaku salah?”

Mendadak Li Sam-jun membusungkan dada dan
melangkah maju, serunya dengan lantang, “Ucapan Pektianglo
memang tepat. Aku Li Sam-jun telah berbuat
salah, apakah akan dibunuh atau digantung terserah
keputusanmu, kalau orang she Li ini berkerut kening
sedikit saja bukan laki-laki sejati. Tatkala kusampaikan
perintah palsu Pangcu kepadamu, waktu itu aku sendiri
tahu kalau itu perintah palsu.”

“Sebenarnya Pangcu kurang baik padamu atau aku
yang bersalah padamu?” tanya Pek Si-kia.

“Tidak semua,” sahut Li Sam-jun. “Terhadap Siokhe
(hamba), Pangcu selalu sangat berbudi, begitu pula Pektianglo
sangat adil dan jujur, siapa pun tiada yang
mengomel.”

“Habis, disebabkan apa? Urusan apa yang
menyebabkan kau berkhianat?” bentak Pek-tianglo
dengan bengis.

Li Sam-jun pandang sekejap pada Coan Koan-jing
yang berlutut itu, lalu memandang pula ke arah Kiau
Hong, kemudian katanya dengan suara keras, “Siokhe
telah melanggar pang-kui (tata tertib organisasi),
ganjaran yang setimpal adalah mati, tapi tentang sebab
musababnya, Siokhe tidak berani menerangkan.”

1158




Habis berkata sekali tangannya bergerak, sinar putih
berkelebat, “bles”, tahu-tahu sebilah belati telah
menancap hulu hatinya.

Tikaman sendiri itu sangat cepat, pula tepat mengenai
jantung, ujung belati sampai menembus ke punggung,
keruan Li Sam-jun terjungkal seketika dan binasa.

Dalam kagetnya para pengemis yang lain sama
menjerit, tapi semuanya tetap duduk di tempat masingmasing,
tiada seorang pun berani bergerak.

Dengan wajah yang kereng Pek Si-kia berkata pula,
“Kau tahu perintah Pangcu itu palsu, tapi tidak melapor
pada Pangcu, bahkan menipu aku, hukumanmu memang
seharusnya mati.”

Lalu ia berpaling pada Thoan-kong Tianglo dan
berkata, “Hang-heng, siapa pula orang yang menipumu
ke atas perahu?”

Belum lagi Hang-tianglo menjawab, sekonyongkonyong
seorang melompat pergi dari rombongan sana
dan berlari sekencang-kencangnya. Orang ini
menyandang lima kantong, terang dia adalah Go-te-tecu.
Melihat larinya itu, jelas dia inilah orang yang
menyampaikan perintah palsu untuk menipu Hangtianglo
ke atas perahu itu.

Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo saling pandang
dengan menghela napas gegetun, keduanya tidak bicara
lagi.

1159




Dalam pada itu tiba-tiba sesosok bayangan orang
melesat dengan cepat sekali dan tahu-tahu sudah
mengadang di depan Go-te-tecu yang hendak melarikan
diri itu.

Pengadang itu ternyata bermuka merah dan bergolok
kui-thau-to, ialah Go-tianglo di antara Kay-pang-su-lo itu.

Terdengar kakek itu membentak dengan bengis, “Lau
Tiok-ceng, mengapa kau hendak melarikan diri?”

Melihat dirinya diadang Go-tianglo, saking ketakutan
Go-te-tecu yang dipanggil sebagai Lau Tiok-ceng itu
sampai lemas kakinya, sahutnya dengan tak lancar, “Aku
... aku ....”

Begitulah hampir sepuluh kali ia mengucapkan “aku”
dan tidak sanggup meneruskan lagi.

“Sebagai anggota Kay-pang, kita harus taat kepada
tata tertib yang kita warisi dari leluhur. Seorang laki-laki
sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Kalau
salah berani mengaku salah kalau benar, apa lagi yang
mesti ditakutkan?”

Demikian seru Go-tianglo. Lalu ia berpaling ke arah
Kiau Hong dan meneruskan, “Pangcu, kami memang
berkomplotan hendak menggulingkan kedudukanmu
sebagai pangcu. Dalam komplotan ini, Ge, Tan, Song
dan Go keempat tianglo semuanya tersangkut. Kami
khawatir Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo tidak setuju
dengan rencana kami, maka berdaya mengurungnya. Hal
ini demi untuk perkembangan Kay-pang kita di hari
depan terpaksa mesti berani mengambil risiko. Tapi

1160




pergerakan kami rupanya kurang mujur hingga dapat
dibongkar oleh kalian. Nah, terserahlah bagaimana kalian
akan mengambil keputusan. Aku Go Tiang-hong sudah
lebih 30 tahun menjadi anggota Kay-pang, siapa pun
tahu aku bukan manusia yang takut mati.”

Habis berkata, golok kui-thau-to mendadak
dilemparkannya jauh-jauh, lalu kedua tangannya
bersedekap di depan dada, sikapnya angkuh dan
pantang takut.

Dengan terus terang Go-tianglo mengatakan
komplotan hendak menggulingkan sang pangcu, keruan
seketika gegerlah anggota Kay-pang yang lain. Sudah
tentu rencana itu diketahui siapa pun yang ikut dalam
komplotan itu, tapi justru untuk mengaku terus terang
itulah tiada yang berani. Kini Go Tiang-hong orang
pertama yang berani mengaku terus terang, mau tak mau
semua orang harus mengagumi kejujuran dan
keberaniannya.

“Song, Ge, Tan dan Go berempat tianglo berkomplot
hendak menggulingkan Pangcu, perbuatan ini melanggar
pasal satu undang-undang organisasi kita,” demikian Pek
Si-kia, tertua pelaksana hukum, menyatakan
keputusannya, “Cit-hoat-tecu (murid pelaksana hukum),
ringkuslah keempat tianglo!”

Segera anak buahnya yang menerima perintah itu
mengeluarkan tali kulit kerbau, lebih dulu Go Tiang-hong
diringkus, tertua itu hanya tersenyum saja dan
membiarkan dirinya diikat tanpa melawan sedikit pun.
Menyusul Song-tianglo dan Go-tianglo juga meletakkan
senjata dan menyerah untuk diringkus.

1161




Hanya wajah Tan-tianglo yang kelihatan penasaran,
ia mengomel sendiri, “Pengecut, pengecut semua! Kalau
tadi kita serbu serentak, belum tentu kita dikalahkan, tapi
justru setiap orang jeri kepada Kiau Hong.”

Apa yang dikatakan memang benar, ketika Coan
Koan-jing ditundukkan, bila anggota yang ikut berkomplot
itu serentak menyerbu maju, betapa pun Kiau Hong pasti
susah melawannya. Malahan kemudian dengan
datangnya Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo dan
para thocu dari Tay-jin, Tay-gi, Tay-sin dan Tay-yong,
tetap jumlah pengikut komplotan jauh lebih banyak.

Akan tetapi di hadapan Kiau Hong yang gagah
perkasa dan berwibawa itu, ternyata tiada seorang pun
berani mendahului turun tangan sehingga kesempatan
baik berlalu dengan sia-sia, akhirnya satu per satu kena
diringkus malah.

Sekarang biarpun Tan-tianglo bertekad bertempur
mati-matian, namun ia sudah terpencil seorang diri. Maka
dengan menghela napas ia lempar karung goninya dan
membiarkan kaki dan tangannya diikat dengan tali oleh
anak buah Cit-hoat Tianglo.

“Lau Tiok-ceng,” seru Cit-hoat Tianglo kemudian,
“cara tindak tandukmu seperti ini apakah kau masih ada
harganya untuk menjadi anggota Kay-pang? Kau akan
membereskan diri sendiri atau perlu bantuan orang lain?”

“Aku ... aku ....” sahut Lau Tiok-ceng dengan tergegap
dan tak dapat melanjutkan lagi, ia melolos golok dan

1162




bermaksud menggorok leher sendiri, tapi tangannya
terlalu gemetar hingga tidak kuat mengangkat goloknya.

“Huh, tak becus seperti ini juga mengaku sebagai
anggota Kay-pang,” jengek salah seorang anak buah Cithoat-
tecu tadi. Segera ia bantu memegang tangan Lau
Tiok-ceng yang bersenjata itu, lalu menggorok sekuatnya
untuk memutuskan lehernya.

“Te ... terima kasih ....” kata Lau Tiok-ceng dengan
terputus-putus, lalu melayanglah jiwanya.

Kiranya menurut peraturan Kay-pang, setiap anggota
yang berdosa dan harus dihukum mati, kalau
pelaksanaan itu dilakukan dengan tangan sendiri, maka
dia masih tetap dianggap sebagai saudara dalam Kay-
pang dan dengan matinya itu berarti dosanya sudah
tercuci bersih. Tapi kalau dilakukan oleh Cit-hoat-tecu, itu
berarti dosanya tidak pernah diampuni selamanya.

Tadi Cit-hoat-tecu itu melihat Lau Tiok-ceng
bermaksud membunuh diri, tapi tenaga kurang, maka
telah membantu melaksanakan keinginannya itu.

Begitulah Toan Ki, Ong Giok-yan, A Cu dan A Pik
berempat tanpa sengaja telah menyaksikan kerusuhan di
dalam Kay-pang, diam-diam mereka merasa menyesal
telah ikut-ikut mendengar dan melihat urusan dalam
orang lain yang mestinya tidak boleh diketahui orang
luar.

Tapi kalau mereka pergi begitu saja, tentu akan
menimbulkan curiga orang-orang Kay-pang. Terpaksa
mereka tetap duduk tenang di tempatnya dengan lagak

1163




seakan-akan tidak ambil pusing apa yang terjadi itu.
Namun bukan mustahil dengan binasanya Lau Tiok-ceng
dan Li Sam-jun serta diringkusnya Su-tay-tianglo yang
tadinya tampak gagah perkasa itu, mungkin banyak
kejadian mengerikan masih akan berlangsung pula.

Maka mereka berempat cuma saling pandang saja,
mereka merasa serbasalah menghadapi keadaan begitu.
Toan Ki sendiri adalah saudara angkat Kiau Hong,
sedangkan waktu Hong Po-ok keracunan, Kiau Hong
telah memintakan obat baginya. Hal ini membuat Ong
Giok-yan, A Cu dan A Pik merasa sangat berterima kasih
padanya. Kini melihat Kiau Hong dapat memulihkan
kerusuhan di dalam Kay-pang dan berhasil meringkus
biang keladi komplotan pengkhianat, sudah tentu mereka
ikut bersyukur bagi Kiau Hong.

Dalam pada itu Kiau Hong sendiri lagi duduk dengan
termangu-mangu di samping sana, meski anggota yang
berkhianat satu per satu telah dapat diringkus, tapi sedikit
pun ia tidak merasa senang sebagai pihak yang menang.

Terkenang olehnya waktu dia menerima jabatan
pangcu dari Ong-pangcu almarhum yang berbudi itu,
selama delapan tahun memegang pimpinan, sudah
banyak peristiwa ke luar maupun ke dalam yang telah
diselesaikan dengan baik, sedikit pun tidak pernah
memikirkan kepentingan diri pribadi hingga Kay-pang
selama di bawah pimpinannya bertambah jaya dan makin
disegani oleh sesama kawan Kangouw.

Berdasarkan itu, dirinya boleh dikatakan banyak
jasanya dan tidak merasa pernah berbuat sesuatu
kesalahan, mengapa sekarang mendadak ada komplotan

1164




seluas ini hendak menggulingkan dirinya? Kalau melulu
Coan Koan-jing yang bernafsu besar hendak
menghancurkan Kay-pang, mengapa Su-tay-tianglo yang
dapat dipercaya itu juga ikut dalam komplotan ini? Apa
barangkali tanpa sengaja dan tanpa sadar dirinya telah
berbuat sesuatu kesalahan yang menimbulkan
kemarahan para kawan?

Sementara itu terdengar Pek Si-kia mulai berkata lagi
dengan lantang, “Para saudara, Kiau-pangcu diangkat
sebagai pengganti Ong-pangcu almarhum, selama ini
beliau menjalankan tugas dengan baik hingga Kay-pang
kita mendapat kemajuan yang tidak sedikit, waktu
ditunjuk sebagai pengganti pangcu, dahulu Ong-pangcu
telah banyak mengujinya lebih dulu dengan soal-soal
sulit. Di antaranya ada tiga syarat berat serta
mengharuskan dia melaksanakan tujuh macam pahala
besar bagi Kay-pang habis itu barulah mewariskan Pakkau-
pang (pentung penggebuk anjing) padanya.

“Dahulu waktu diadakan Thay-san-tay-hwe
(pertemuan besar di Thay-san), seorang diri Kiau-pangcu
telah menjatuhkan delapan lawan tangguh, banyak
kawan-kawan yang hadir di sini ikut menyaksikan
kejadian itu. Selama delapan tahun ini Kiau-pangcu
selalu bertindak adil dan berbudi, nama baik Kay-pang
kita pun semakin membubung tinggi, untuk mana
seharusnya kita berterima kasih dan mencintainya
dengan sepenuh jiwa raga kita, tapi kini ternyata ada
orang yang hendak berkhianat. Nah, Coan Koan-jing,
boleh coba kau bicara sendiri di hadapan para kawan!”

Karena Coan Koan-jing ditutuk bisu oleh Kiau Hong,
maka apa yang dikatakan Pek-tianglo itu dapat didengar

1165




dengan jelas, susahnya ia sendiri tak dapat membuka
suara untuk menjawabnya.

Maka Kiau Hong mendekatinya dan menepuk
perlahan punggung Coan Koan-jing untuk membuka hiatto
yang ditutuknya itu, katanya, “Coan-thocu, aku Kiau
Hong pernah berbuat sesuatu dosa apa kepada para
saudara, silakan bicara terus terang di sini, tidak perlu
takut dan tidak perlu pantang bicara.”

Karena hiat-to telah lancar kembali, segera Coan
Koan-jing melompat bangun dan berseru, “Dosamu
kepada para saudara belum kau lakukan sekarang, tapi
tidak lama lagi tentu akan kau jalankan.”

“Ngaco-belo!” bentak Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia.
“Pribadi Kiau-pangcu cukup kesatria dan berjiwa besar,
sebelum ini tiada sesuatu kejahatan yang dilakukannya,
untuk selanjutnya juga takkan diperbuatnya.”

“Pek-tianglo,” sela Kiau Hong, “harap sabarlah,
biarkan Coan-thocu bertutur sejelasnya dari awal sampai
akhir duduk perkara. Jika Song-tianglo dan Ge-tianglo
berempat juga menyalahkan diriku, mungkin aku pernah
berbuat sesuatu kesalahan.”

“Aku memberontak padamu adalah salahku,” seru
Ge-tianglo mendadak, “maka tidak perlu kau singgung
lagi. Sebentar sesudah urusan selesai aku sendiri akan
penggal kepalaku ini untukmu.”

Walaupun ucapan Ge-tianglo itu kedengarannya rada
lucu namun perasaan setiap orang sedang dirundung

1166




kepedihan karena adanya perpecahan di dalam
organisasi, maka tiada seorang pun yang merasa geli.

Terdengar Pek-tianglo membenarkan ucapan Kiau
Hong tadi, sahutnya, “Baiklah. Nah, uraikanlah, Coan
Koan-jing.”

Melihat komplotannya telah gagal, sekutunya seperti
Song-tianglo berempat telah diringkus, terang usahanya
akan sia-sia belaka. Namun ia masih ingin menempuh
jalan terakhir, maka serunya dengan lantang, “Kematian
Be-hupangcu dibunuh orang, kuyakin atas suruhan Kiau
Hong!”

Keruan Kiau Hong terguncang hebat oleh tuduhan itu.
“Apa katamu?” serunya.

Saking kejutnya sampai suaranya agak parau.

“Sebab apa engkau diam-diam benci kepada Behupangcu
dan ingin mengenyahkannya, kalau tidak
melenyapkan beliau dirasakan olehmu serupa duri dalam
daging, kedudukan pangcu menjadi tidak teguh bagimu,”
demikian kata Coan Koan-jing.

Kiau Hong menggeleng perlahan, katanya, “Tidak.
Hubunganku dengan Be-hupangcu meski tidak begitu
rapat, dalam tutur kata juga tidak cocok, tapi selamanya
aku tidak pernah punya maksud mencelakai dia. Tuhan
sebagai saksi, bila aku Kiau Hong ada niat mencelakai
Be-hupangcu, biarlah aku hancur lebur dicencang dan
selamanya aku akan dikutuk setiap kesatria di jagat ini.”

1167




Melihat sikap Kiau Hong yang sungguh-sungguh dan
penuh semangat kesatria itu, maka tiada seorang pun
yang berprasangka lagi padanya.

Tapi Coan Koan-jing lantas berkata lagi, “Jika begitu,
tujuan kita datang ke Koh-soh sini untuk menuntut balas
kepada Buyung-kongcu, mengapa berulang-ulang
engkau bersekongkol dengan musuh?”

Ia tuding Giok-yan bertiga, lalu melanjutkan, “Ketiga
orang ini adalah anak keluarga Buyung Hok dan engkau
malah membelanya.”

Ia tuding Toan Ki pula dan berkata, “Dan orang ini
adalah kawan Buyung Hok, engkau justru mengangkat
saudara dengan dia ....”

“Bukan, bukan!” demikian seru Toan Ki menirukan
lagu Pau Put-tong sambil goyang-goyang kedua
tangannya. “Aku bukan kawan Buyung Hok, sedangkan
macam apa Buyung Hok itu, apakah dia bundar atau
gepeng, sama sekali aku tidak tahu.”

“Pau Put-tong, itu orang yang suka ‘bukan-bukan’
adalah Cengcu Pek-in-ceng merupakan bawahan
Buyung Hok, ‘It-tin-hong’ Hong Po-ok juga pengikut
Buyung Hok yang mengepalai Jik-sia-ceng,” demikian
Coan Koan-jing berkata pula. “Kalau mereka tidak
tertolong olehmu, sudah sejak tadi yang satu mati
keracunan dan yang lain binasa tercencang. Kejadian
tadi telah disaksikan orang banyak, dalam hal ini apakah
engkau mampu menyangkal?”

1168




“Sudah ratusan tahun sejarah Kay-pang kita dan
selama itu selalu mendapat dukungan dan dihormati
sesama orang Kangouw, sebabnya bukan karena
menang pengaruh atau menang pintar, tapi karena kita
senantiasa berbuat kebajikan, suka membela kaum
lemah dan menegakkan keadilan,” kata Kiau Hong
dengan perlahan. “Coan-thocu, engkau menuduh aku
membela ketiga nona itu, memang benar aku telah
membela mereka, hal itu disebabkan aku ingin menjaga
nama baik Kay-pang yang sudah bersejarah ratusan
tahun ini agar tidak sampai ditertawai kawan Kangouw
bahwa para Tianglo Kay-pang mengeroyok tiga orang
nona lemah. Coba pikirkan, Song, Ge. Tan dan Go
berempat tianglo adalah kaum locianpwe yang disegani,
masakah nama baik mereka tidak harus dijaga? Mungkin
engkau memang tidak, tapi orang lain tak dapat
membiarkan nama baik mereka tercemar.”

Mendengar jawaban Kiau Hong ini, semua orang
merasa cukup beralasan juga. Bila beramai-ramai
mereka mempersulit ketiga nona seperti Giok-yan dan
hal ini tersiar, memang nama baik Kay-pang pasti akan
tercemar.

“Nah, Coan Koan-jing, apa yang dapat kau katakan
lagi?” tanya Pek-tianglo kemudian. Lalu ia berpaling
kepada Kiau Hong dan berkata pula, “Pangcu, manusia
yang tidak kenal adat begini, buat apa banyak bicara
dengan dia, biarlah jatuhkan hukuman yang setimpal
menurut peraturan saja.”

“Sabar dulu,” ujar Kiau Hong. “Menurut dugaanku,
sebabnya Coan-thocu dapat memengaruhi orang
sebanyak ini untuk melawan diriku, tentu dia mempunyai

1169




alasan yang teguh. Seorang laki-laki sejati, segala

tindakan harus dilakukan secara blakblakan, kalau salah
biar salah, aku Kiau Hong selamanya tidak pernah
menyembunyikan sesuatu perbuatan yang tak boleh
diketahui orang lain, andaikan ada kesalahanku, biarlah
para saudara suka katakan terus terang.”

“Pangcu,” tiba-tiba Go-tianglo menyela dengan
menghela napas, “mungkin engkau adalah seorang
durjana besar yang pintar berlagak, boleh jadi engkau
adalah seorang kesatria sejati pula. Tapi aku Go Tianghong
sudah terang tidak dapat membeda-bedakannya.
Maka lebih baik lekas kau bunuh diriku saja.”

Kiau Hong menjadi heran dan curiga, tanyanya cepat,
“Go-tianglo, mengapa engkau bilang aku mungkin
seorang durjana? Hal apakah yang menyebabkan
engkau men ... mencurigai aku?”

Namun Go Tiang-hong menggeleng kepala, sahutnya,
“Kalau diceritakan, urusan ini akan sangat luas
sangkutannya, sebenarnya kami ingin membunuhmu
agar selesailah urusannya.”

Keruan Kiau Hong tambah bingung oleh ucapan
kakek itu. “Mengapa? Ada apa?”

Demikian ia bergumam sendiri. Lalu ia mendongak
dan berseru, “Apakah karena aku telah menolong dua
pembantu Buyung Hok, lantas kalian mendakwa aku
bersekongkol dengan dia? Soalnya memang begitu atau
tidak, saat ini masih sukar diputuskan. Tapi menurut
perasaanku, aku tetap yakin tewasnya Be-hupangcu
bukan dibunuh oleh Buyung Hok.”

1170




“Dari mana kau tahu?” tanya Coan Koan-jing.

Pertanyaan ini tadi sudah pernah diajukannya, tapi
karena terseling banyak kejadian lain, maka belum
terjawab, dan baru sekarang pertanyaannya dapat
diulang lagi.

“Sebab kupikir Buyung Hok adalah seorang kesatria,
seorang laki-laki sejati, tidak nanti dia turun tangan
membunuh Be-jiko,” sahut Kiau Hong kemudian.

Mendengar Kiau Hong memuji Buyung Hok, hati Giokyan
merasa senang, diam-diam ia pun pikir Kiau-pangcu
ini benar-benar seorang yang baik. Sebaliknya Toan Ki
berpikir lain, dengan kening bekernyit ia anggap pujian
sang toako ini mungkin tidak benar, belum tentu Buyung
Hok itu seorang kesatria apa segala?

Maka terdengarlah Coan Koan-jing berkata pula,
“Selama dua bulan ini, jago-jago Kangouw yang terbunuh
berjumlah tidak sedikit, dan setiap orang itu selalu
terbinasa di bawah kungfu andalannya sendiri. Hal ini
kalau bukan perbuatan Buyung-si dari Koh-soh, lantas
perbuatan siapa?”

Tiba-tiba Kiau Hong berjalan mondar-mandir perlahan
di tengah kalangan sambil bicara dengan suara tenang,
“Saudara-saudara sekalian, kemarin malam ketika aku
sedang minum arak di rumah makan Bong-kan-lau di tepi
sungai Tiangkang di kota Kang-im, aku bertemu dengan
seorang sastrawan setengah umur yang ternyata mampu
minum sepuluh mangkuk arak sekaligus tanpa mabuk

1171




sedikit pun. Sungguh kuat cara minumnya dan benarbenar
seorang lelaki sejati.”

Diam-diam Toan Ki tersenyum geli, katanya di dalam
hati, “Kiranya kemarin malam Toako sudah berlomba
minum arak dengan orang. Dan karena orang itu sangat
kuat minum, cara minumnya sederhana, lantas dia
merasa senang serta memuji orang sebagai lelaki sejati,
padahal semua orang tidak dapat disamaratakan.”

Dalam pada itu Kiau Hong sedang menyambung
ceritanya, “Maka telah kuajak minum tiga mangkuk
dengan dia, ketika berbicara tentang tokoh-tokoh di
daerah Kanglam, dia menyombongkan diri bahwa tenaga
pukulannya nomor satu di daerah Kanglam. Maka lantas
kuajak dia bertanding tiga kali pukulan.

“Pukulan pertama dan kedua dapat dia tangkis
dengan sama kuatnya, tapi pukulan ketiga telah
membuat mangkuk yang dipegang tangan kirinya pecah
tergetar dan remukan beling mangkuk melukai mukanya
hingga berdarah.

“Tapi dengan tenang seperti tidak terjadi apa-apa ia
berkata, ‘Sayang, sayang semangkuk arak yang bagus
ini!’

“Aku merasa senang padanya, maka pukulan
keempat tidak kulakukan lagi. Kataku, ‘Tenaga pukulan
saudara memang sangat hebat, sebutan ‘Kanglam-te-it’
(nomor satu di Kanglam) memang sesuai.’

“Ia menjawab, ‘Kanglam-te-it, tapi Thian-he-te-cap
(nomor sepuluh di dunia).’

1172




“Ujarku, ‘Hengtay tidak perlu rendah diri, walaupun
bukan nomor satu, tapi nomor lima atau nomor enam di
dunia ini pasti jadi.’

“Tiba-tiba ia berkata, ‘Kiranya Pangcu dari Kay-pang
yang tiba, Hang-liong-sip-pat-ciang memang bukan
omong kosong, marilah ingin kuhormati engkau satu
mangkuk lagi.’

“Segera kami minum pula masing-masing tiga
mangkuk. Ketika hendak berpisah telah kutanya
namanya, ia mengatakan she Kongya, namanya cuma
satu, Kian, artinya kering, kalau minum pasti kering isi
cawannya. Nama aliasnya ialah ‘Lan-cui’ (susah mabuk).
Ia mengaku sebagai pengikut Buyung-kongcu dan
menjabat sebagai Cengcu Hian-siang-ceng, aku telah
diundang ke tempat tinggalnya untuk minum lagi. Nah,
coba katakan, saudara-saudara, pribadi laki-laki seperti
itu bagaimana menurut pendapat kalian? Pantas diajak
bersahabat tidak?”

Watak Go-tianglo paling jujur dan suka terus terang,
maka segera ia acung jempolnya dan berseru, “Kongya
Kian itu benar-benar seorang laki-laki sejati dan sobat
baik. Pangcu, kapan-kapan harap engkau suka
memperkenalkannya kepadaku.”

Ia lupa bahwa dirinya adalah orang hukuman yang
diringkus dan sebentar lagi mungkin akan mendaftarkan
diri kepada raja akhirat. Tapi demi mendengar cerita
tentang seorang kesatria, seorang laki-laki sejati, tanpa
terasa ia mengutarakan perasaan kagumnya serta ingin
berkenalan.

1173




Kiau Hong tersenyum, diam-diam ia merasa gegetun
seorang yang polos sebagai Go-tianglo itu ternyata ikut
tersangkut di dalam komplotan pengkhianatan ini. Entah
bagaimana nasibnya nanti di bawah keputusan Pektianglo
yang keras dan tidak pandang bulu itu?

“Kemudian bagaimana, Pangcu?” tiba-tiba Songtianglo
ikut tanya.

“Setelah berpisah dengan Kongya Kian, aku terus
menuju ke Bu-sik sini,” tutur Kiau Hong pula. “Menjelang
petang, tiba-tiba kudengar suara pertengkaran dua orang
yang berdiri di atas sebuah jembatan kecil. Tatkala itu
hari sudah mulai gelap, tapi kedua orang itu masih
bertengkar di situ, aku heran dan coba mendekatinya.”

Bab 24

“Kiranya jembatan itu adalah sebuah tok-bok-kip
(jembatan balok kayu tunggal) yaitu hanya selonjor balok
yang menghubungkan ujung sini dengan seberang sana.
Di sebelah sini berdiri seorang laki-laki berbaju hitam dan
sebelah sana berdiri seorang desa sambil memikul satu
pikulan rabuk kotoran.

“Rupanya kedua orang itu bertengkar karena berebut
hak jalan lebih dulu. Si orang desa menyatakan dia
membawa pikulan yang berat, tidak mungkin mundur,
maka laki-laki berbaju hitam itu disuruh memberi jalan
dulu.

“Tapi laki-laki baju hitam itu menjawab, ‘Sejak tadi kita
saling ngotot sampai sekarang, biarpun ngotot lagi
sampai besok juga aku takkan mengalah.’

1174




“Si orang desa berkata, ‘Jika kau tahan bau busuk
kotoran pikulanku ini, boleh coba kau ngotot terus.’ —
‘Pundakmu dibebani pikulan seantap itu, jika engkau
tidak lelah, boleh coba, kita lihat saja siapa lebih tahan
lama,’ demikian sahut si laki-laki baju hitam.

“Sudah tentu aku merasa geli menyaksikan peristiwa
itu, pikirku watak laki-laki baju hitam ini benar-benar
sangat aneh, asal dia mundur dulu dan memberi jalan
kepada orang desa itu, kan segala urusan menjadi beres,
tapi ia justru ngotot berebut jalan dengan orang desa
yang memikul kotoran untuk rabuk sawah itu, apanya
yang menarik sih? Dan dari ucapan mereka itu, nyata
mereka sudah saling ngotot lebih satu jam lamanya.

“Tertarik oleh kejadian lucu itu, aku menjadi ingin tahu
bagaimana akhirnya pertengkaran mereka itu, apakah
akhirnya laki-laki baju hitam itu yang menyerah atau si
orang desa yang mengaku kalah?

“Tapi aku tidak sudi mencium bau busuk kotoran yang
dipikul orang desa itu, maka aku bersembunyi di tempat
agak jauh, kudengar kedua orang itu masih terus
bertengkar tak mau kalah. Orang desa itu benar-benar
sangat kuat, kalau capek ia pindahkan pikulannya dari
pundak kiri ke pundak kanan dan sebaliknya secara
bergiliran, namun selangkah pun ia pantang mundur.”

Mendengar sampai di sini, Toan Ki coba memandang
Giok-yan, A Cu, dan A Pik bertiga. Ternyata ketiga nona
itu sedang mendengarkan dengan penuh perhatian dan
merasa sangat tertarik.

1175




Diam-diam Toan Ki membatin, “Toako ini benar-benar
rada aneh tabiatnya, menghadapi suasana yang tegang
di tengah pengkhianatan anggota Kay-pang, ternyata dia
masih bisa iseng menceritakan hal-hal yang tiada
sangkut pautnya dengan kepentingannya itu. Ceritanya
bagi nona Ong bertiga sudah tentu menarik, tapi Kiautoako
yang gagah kesatria seperti ini mengapa juga
masih kekanak-kanakan sifatnya?”

Akan tetapi tidak cuma Giok-yan bertiga saja yang
tertarik oleh cerita Kiau Hong itu, sebab semua anggota
Kay-pang yang hadir di situ tampaknya juga sedang
mendengarkan dengan penuh perhatian, sama sekali
tidak merasa cerita Kiau Hong itu sebagai dongengan
kosong.

Maka Kiau Hong telah melanjutkan, “Setelah
mengikuti kejadian itu sebentar, lambat laun aku terkejut,
kulihat laki-laki baju hitam yang berdiri di atas jembatan
balok itu tetap menegak bagai gunung antengnya, terang
ia seorang yang memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
Sebaliknya orang desa itu hanya seorang biasa saja,
sedikit pun tidak paham ilmu silat.

“Makin melihat makin heran aku, kupikir ilmu silat lakilaki
baju hitam ini begini hebat, asal dia gunakan sebuah
jarinya saja sudah cukup untuk dorong orang desa
berikut pikulannya terguling ke dalam sungai, akan tetapi
ia justru tidak mau menggunakan ilmu silatnya.

“Pada umumnya jago silat setinggi itu seharusnya
seorang yang sabar dan peramah, umpama tidak mau
mengalah cukup sekali melompat saja sudah dapat lewat
ke seberang sana dengan melintasi kepala orang desa

1176




itu, hal ini dengan mudah dapat dilakukannya, tapi
mengapa dia justru cari gara-gara dengan orang desa
itu? Sungguh aneh dan menggelikan!

“Dalam pada itu kudengar laki-laki baju hitam itu lagi
berseru, ‘Ayo, kau mau mengalah atau tidak, kalau tidak,
terpaksa aku memaki!’

“Tapi orang desa itu tetap ngotot, sahutnya, ‘Mau
maki boleh maki. Kau bisa memaki, memangnya aku
tidak bisa?’ — Bahkan ia terus memaki lebih dulu. Maka
laki-laki baju hitam itu pun balas memaki kalang kabut.
Ramai sekali mereka saling caci maki, dari yang halus
sampai yang paling kotor, yang lucu dan yang anehaneh,
semuanya mereka keluarkan.

“Kira-kira satu jam pula perang mulut itu berlangsung,
sementara itu si orang desa tampak agak payah, tenaga
habis dan keringat mengucur. Sebaliknya laki-laki baju
hitam itu sangat kuat tenaga dalamnya, ia tetap bertahan
dengan penuh semangat. Kulihat badan si orang desa
mulai bergoyang-goyang, tampaknya tidak lama lagi
tentu ia akan kecebur ke dalam sungai.

“Tak tersangka, mendadak orang desa itu
mencelupkan sebelah tangannya ke dalam tong kotoran
yang dia pikul itu, ia meraup satu comot kotoran terus
dilemparkan ke arah laki-laki baju hitam. Sudah tentu
laki-laki baju hitam sama sekali tidak menduga akan
perbuatan lawan itu, ia berseru kaget, kontan mukanya
dan mulutnya penuh terciprat air kotoran.

“Diam-diam aku mengeluh orang desa itu pasti bakal
celaka, ia mencari mati sendiri dan tak bisa menyalahkan

1177




laki-laki baju hitam itu. Benar juga laki-laki itu menjadi
murka, sekali angkat tangannya, terus saja menabok
ubun-ubun kepala orang desa itu.”

Mendengar sampai di sini, rupanya saking tertarik
oleh cerita Kiau Hong itu hingga mulut Giok-yan yang
kecil mungil itu tampak agak melongo. Sedangkan A Cu
dan A Pik tampak saling pandang dengan tersenyum.

Kiau Hong sedang melanjutkan, “Kejadian itu
datangnya terlalu mendadak, hendak kutolong orang
desa itu pun tidak keburu lagi. Tak terduga ketika tangan
laki-laki itu sudah dekat batok kepala orang desa itu, tibatiba
ia hentikan serangannya hingga tangan tertahan di
udara. Ia tertawa dan bertanya, ‘Lauhia (saudara),
engkau bertanding ketekunan denganku, sebenarnya
siapakah yang menang, ha?’

“Tapi orang desa itu ternyata sangat bandel, sudah
terang ia kalah, namun tetap tidak mau mengaku,
sahutnya, ‘Aku memikul barang berat, sudah tentu kau
lebih tahan. Coba kau bawa pikulan dan aku berdiri
dengan bebas, marilah kita boleh coba-coba lagi siapa
yang menang dan siapa yang akan kalah?’ — ‘Benar
juga ucapanmu,’ sahut laki-laki itu. Terus saja dengan
tangan kiri ia angkat pikulan dari pundak si orang desa, ia
tidak taruh pikulan itu di pundak sendiri, tapi terus
diangkat tinggi ke atas dengan tangan lurus tegak.

“Meski orang desa itu tidak paham ilmu silat namun
tenaganya sebenarnya sangat besar. Demi tampak lakilaki
itu mampu angkat pikulannya yang berat itu dengan
sebelah tangan tanpa bergoyang sedikit pun, mau tak
mau orang desa itu ternganga kaget. ‘Nah, biar aku

1178




angkat pikulanmu ini cara begini dan takkan berganti
tangan, marilah kita coba bertanding lagi, siapa yang
kalah nanti harus minum habis kotoran satu pikul ini!’
demikian kata laki-laki itu dengan tertawa.

“Keruan orang desa itu tidak berani bertengkar lagi
demi menyaksikan betapa hebat tenaga sakti laki-laki itu,
buru-buru ia hendak mundur ke belakang. Tapi saking
gugupnya ia terpeleset hingga tercemplung ke dalam
sungai. Syukur laki-laki baju hitam sempat ulur sebelah
tangannya untuk menjambret leher baju orang desa itu.

“Dan sambil sebelah tangan mengangkat pikulan
kotoran dan tangan lain menjinjing orang desa itu, lakilaki
itu terbahak-bahak dan berseru, ‘Hahaha! Sungguh
puas!’ — Habis itu sekali lompat ia sudah sampai di
seberang sungai dengan enteng. Ia taruh orang desa
dan pikulannya ke tanah, lalu tinggal pergi dan
menghilang di dalam hutan dengan ginkang yang tinggi.

“Nah, saudara-saudara, laki-laki baju hitam itu telah
dicaci maki oleh orang desa itu, bahkan telah disiram air
kotoran, kalau ia mau membunuhnya boleh dikatakan
semudah menggecek seekor semut. Seumpama dia tidak
ingin sembarangan membunuh orang, paling tidak ia
dapat memberi sekali gebukan atau tendangan kepada
orang desa itu pun pantas rasanya. Akan tetapi ia justru
tidak mau main kekerasan, tidak mau mentang-mentang
lebih pandai, sifat laki-laki itu benar-benar luar biasa,
sungguh sukar dicari bandingannya di kalangan Bu-lim.

“Saudara-saudara, kejadian itu telah kusaksikan
dengan mata kepalaku sendiri, jarak tempat kusembunyi
waktu itu agak jauh, rasanya tidak mungkin aku diketahui

1179




olehnya hingga dia sengaja berbuat apa yang terjadi itu
untuk mengelabui pikiranku. Coba katakanlah, saudarasaudara,
orang begitu terhitung kawan pilihan tidak?
Termasuk seorang laki-laki sejati bukan?”

Song-tianglo, Ge-tianglo dan Go-tianglo serentak
menjawab, “Benar, dia seorang kawan pilihan, seorang
laki-laki sejati!”

“Tapi sayang Pangcu tidak tahu siapa namanya,” Tantianglo
juga berkata, “kalau tahu, tentu kita pun ingin tahu
bahwa di daerah Kanglam sini ternyata ada seorang
tokoh sehebat itu.”

“Kawan itu tadi malahan sudah saling gebrak dengan
Tan-tianglo sendiri,” sahut Kiau Hong perlahan. “Bahkan
tangannya kena diantup oleh kalajengking Tan-tianglo.”

“Hah, dia It-tin-hong Hong Po-ok?” seru Tan-tianglo
terperanjat.

“Benar!” sahut Kiau Hong sambil mengangguk.

Dan baru sekarang Toan Ki paham sebabnya Kiau
Hong mendongeng, tujuannya adalah ingin melukiskan
secara nyata watak Hong Po-ok yang sejati, bahwa
manusia itu tidak boleh dinilai dari lahirnya, bahwa wajah
bagus belum tentu juga berhati baik.

Biarpun muka Hong Po-ok itu jelek, lebih mirip setan
daripada manusia, suka cari gara-gara dan berkelahi
pula, tapi jiwanya ternyata sangat luhur dan bajik.

1180




Dari itu juga Toan Ki paham mengapa Giok-yan, A Cu
dan A Pik begitu tertarik oleh cerita itu, sudah tentu
disebabkan mereka tahu siapa yang dimaksudkan
karena kenal watak Hong Po-ok yang suka bertengkar
dengan orang tanpa sebab, tapi juga tidak nanti
sembarangan membikin susah orang.

Dalam pada itu terdengar Kiau Hong sedang berkata
pula, “Nah, Tan-tianglo, kita selalu anggap Kay-pang kita
adalah suatu pang-hwe terbesar di dunia Kangouw,
engkau sendiri adalah tokoh utama Kay-pang kita,
kedudukan dan nama baikmu sudah tentu tak dapat
disejajarkan dengan seorang keroco daerah Kanglam
seperti Hong Po-ok itu. Tapi Hong Po-ok sesudah dihina
toh masih bisa menjaga harga diri dari tidak mau
sembarangan membikin susah orang lain, masakah
tokoh-tokoh Kay-pang kita mesti kalah daripada dia?”

Muka Tan-tianglo menjadi merah, sahutnya, “Ajaran
Pangcu memang tepat. Engkau suruh aku memberikan
obat penawar padanya, kiranya adalah demi
kehormatanku. Untuk itu Tan Put-peng tidak tahu
maksud baik Pangcu, sebaliknya malah merasa tidak
senang. Sungguh aku ini goblok seperti kerbau.”

“Nama baik Kay-pang kita dan kehormatan Tantianglo
adalah soal kedua, yang paling utama adalah
orang persilatan seperti kita ini dilarang keras membunuh
sesamanya yang tak berdosa,” ujar Kiau Hong. “Biarpun
Tan-tianglo umpamanya bukan tokoh Kay-pang kita dan
bukan jago tersohor di Bu-lim, juga tidak boleh
sembarangan mencelakai orang.”

1181




“Ya, Tan Put-peng sekarang insaf telah berbuat
salah,” sahut Tan-tianglo sambil menunduk.

Melihat uraiannya itu dapat menundukkan Tan Putpeng
yang terhitung paling angkuh di antara Su-taytianglo
itu, tentu saja Kiau Hong sangat senang, perlahan
katanya pula, “Kongya Kian sangat kesatria, Hong Po-ok
dapat membedakan di antara salah dan benar,
sedangkan Pau Put-tong itu suka terus terang dan
bebas, sekalipun ketiga nona ini pun sangat ramah dan
bajik. Mereka ini kalau bukan bawahan Buyung-kongcu
tentu adalah sanak keluarganya. Kata peribahasa,
‘Binatang itu hidup berkumpul menurut jenis masingmasing,
manusia hidup terpisah menurut kelompok
sendiri-sendiri’. Cobalah para saudara mengheningkan
cipta dan pikirlah secara tenang, sedangkan orang-orang
yang bergaul setiap hari dengan Buyung-kongcu itu
adalah orang-orang yang telah kita kenal ini, lantas dia
sendiri apa mungkin seorang durjana yang mahajahat,
seorang pengecut yang rendah dan kotor?”

Tokoh-tokoh dalam Kay-pang itu adalah kesatria yang
mengutamakan setia kawan dan cinta sahabat, setelah
mendengarkan cerita Kiau Hong, semuanya merasa
pendapat sang pangcu yang membela kehormatan
Buyung Hok itu cukup beralasan, maka terdengarlah
banyak suara yang menyatakan persetujuan mereka.

Sebaliknya Coan Koan-jing lantas berkata, “Pangcu,
jadi menurut pendapatmu, pembunuh Be-hupangcu
sudah pasti bukan Buyung Hok?”

“Aku tidak berani memastikan Buyung Hok adalah
pembunuh Be-hupangcu, tetapi juga tidak berani

1182




mengatakan dia pasti bukan pembunuhnya,” sahut Kiau
Hong. “Urusan menuntut balas ini kita tidak boleh
bertindak gegabah, tapi harus mengusutnya secara teliti,
bila cuma berdasarkan kepada dugaan saja hingga salah
membunuh orang baik, sebaliknya pembunuh yang
sebenarnya hidup bebas, tentu dia akan menertawai
Kay-pang kita terlalu goblok. Dan kalau demikian,
bukankah sangat memalukan?”

Sejak tadi Thoan-kong Tianglo Hang Po-hoa berdiri
diam saja, kini ia mengelus-elus jenggotnya yang jarangjarang
itu sambil berkata, “Ehm, ucapan ini memang
beralasan, sangat beralasan. Aku jadi teringat pada
pengalamanku dahulu, pernah aku salah membunuh
seorang yang tak berdosa, hal mana senantiasa
mengganjal dalam hatiku sampai sekarang.”

“Pangcu,” tiba-tiba Go-tianglo berseru, “sebabnya
kami mengkhianati engkau adalah disebabkan mudah
percaya ocehan orang, katanya engkau tidak sepaham
dengan Be-hupangcu dan diam-diam bersekongkol
dengan begundalnya Buyung Hok untuk membinasakan
dia, ditambah lagi urusan kecil lain-lain sehingga kami
percaya begitu saja. Tapi kini setelah dipikir, memang
kami yang terlalu gegabah dan sembrono. Maka Cit-hoat
Tianglo silakan keluarkan hoat-to (golok hukuman) dan
membiarkan kami membereskan diri sendiri menurut
undang-undang organisasi kita.”

Dengan air muka membeku Cit-hoat Tianglo Pek Sikia
berkata, “Cit-hoat-tecu, keluarkan hoat-to!”

Segera sembilan anak buahnya mengiakan
berbareng. Lalu dari kantong masing-masing

1183




dikeluarkannya sebuah bungkusan kain kuning yang
sudah tua. Sembilan bungkusan itu ditaruhnya menjadi
satu, kemudian mereka berseru serentak, “Hoat-to sudah
siap, sudah diperiksa dengan betul!”

Segera mereka membuka bungkusan masing-masing
itu.

Seketika Toan Ki merasa silau oleh sembilan bilah
belati yang gemilapan dan tertaruh sejajar di depan situ.
Belati-belati itu sama panjangnya, mata pisau
mengeluarkan sinar gilap bersemu kebiru-biruan, sekali
pandang saja pasti orang akan tahu bahwa belati-belati
itu adalah senjata yang sangat tajam.

Sambil menghela napas, berkatalah Pek Si-kia,
“Song, Ge, Tan dan Go berempat tianglo telah kena
dihasut orang dan berusaha hendak memberontak
kepada pimpinan dan membahayakan kekuatan Kay-
pang kita. Dosa mereka harus dihukum mati. Tay-ti-huntho
Thocu Coan Koan-jing, menyebarkan cerita bohong
dan sengaja menghasut untuk berkhianat, dosanya juga
harus dihukum mati. Tentang anak murid yang ikut serta
dalam komplotan durhaka ini, semuanya akan mendapat
hukuman setimpal, untuk itu kelak akan diusut dan
diputuskan tersendiri-sendiri.”

Pada waktu Pek-tianglo mengumumkan keputusan
hukumnya, semua orang diam saja. Hal ini dapat
dimengerti karena komplotan itu bertujuan
menggulingkan sang pangcu dan dosa itu pantas
dihukum mati, mata tiada seorang pun berani
menyatakan keberatannya atas keputusan hukuman itu.

1184




Bagi yang ikut serta dalam komplotan itu, juga
sebelumnya sudah tahu akan akibat tersebut.

Begitulah Go Tiang-hong segera mendahului maju ke
hadapan Kiau Hong, ia membungkuk memberi hormat,
katanya, “Pangcu, Go Tiang-hong bersalah padamu dan
siap membereskan diri sendiri, mohon engkau suka
memaafkan kekurangajaranku.”

Habis itu, ia berjalan ke depan barisan hoat-to tadi
dan berseru, “Go Tiang-hong siap membunuh diri,
silakan Cit-hoat-tecu membuka tali ringkusanku.”

Salah seorang Cit-hoat-tecu mengiakan sambil
bertindak maju hendak membuka tali pengikat Go-tianglo
itu, mendadak Kiau Hong berseru, “Nanti dulu!”

“Pangcu,” kata Go-tianglo dengan suara lemah dan
muka pucat, “dosaku teramat besar dan engkau
melarangku bunuh diri sendiri?”

Kiranya di dalam undang-undang Kay-pang ada satu
pasal yang menentukan bahwasanya bila pelanggar
hukum organisasi itu membunuh diri, sesudah mati
dosanya berarti sudah tercuci bersih dan kehormatannya
tetap tak ternoda. Segala dosanya juga disiarkan keluar,
kalau ada orang Kangouw membicarakan dosanya,
orang Kay-pang akan bertindak untuk membelanya
malah. Hal ini sesuai dengan jiwa orang Bu-lim yang
sangat mengutamakan nama baik, sesudah mati juga
nama baiknya tidak boleh dihina orang. Sebab itulah
maka Go-tianglo merasa gugup ketika melihat Kiau Hong
melarang dia membunuh diri untuk menebus dosanya.

1185




Dan ternyata Kiau Hong tidak menjawabnya
melainkan terus mendekati deretan belati tadi dan
berkata, “Lima belas tahun yang lalu ketika mendadak
pasukan berkuda bangsa Cidan menyerbu Gan-bunkoan,
kabar itu diketahui Song-tianglo, selama tiga hari
empat malam beliau tidak makan dan tidur terus
menempuh perjalanan pulang ke tanah air untuk
memberitahukan berita genting itu, di tengah jalan ia
ganti sembilan ekor kuda yang mati saking lelah, saking
capeknya beliau sampai muntah darah. Namun begitu,
berita yang beliau bawa itu telah memberi kesempatan
kepada tentara Song kita untuk bersiap-siap menghadapi
musuh sehingga pasukan Cidan akhirnya terpaksa
mengundurkan diri. Jasa mahabesar bagi nusa dan
bangsa itu meski tidak banyak diketahui orang Kangouw,
tapi setiap anggota Kay-pang kita cukup mengetahuinya.
Nah, Cit-hoat Tianglo, atas jasa Song-tianglo itu, mohon
kebijaksanaanmu agar mengizinkan beliau menebus
dosanya dengan jasa yang pernah dia persembahkan
itu.”

“Pangcu memintakan ampun bagi Song-tianglo
dengan alasan yang cukup kuat,” ujar Pek Si-kia. “Tetapi
undang-undang Kay-pang kita menyatakan, dosa
pengkhianatan betapa pun tidak dapat diampuni,
sekalipun pernah berjasa besar juga tak dapat menebus
kesalahannya itu. Ketetapan ini diadakan demi untuk
menjaga agar tiada anggota yang menganggap dirinya
berjasa, lalu membahayakan organisasi kita yang sudah
bersejarah ratusan tahun ini. Sebab itu, permintaan
Pangcu tadi tidak dapat diterima oleh tata tertib
organisasi, terpaksa kita tidak dapat merusak undangundang
warisan pangcu kita yang terdahulu.”

1186




“Ucapan Cit-hoat Tianglo memang benar,” ujar Songtianglo
sambil bangkit dan tersenyum getir. “Sebagai
tertua dalam pang kita, siapa orangnya yang tidak
banyak berjasa? Bila setiap orang minta ganti jasa,
lantas bagaimana jadinya, bukankah setiap orang boleh
berbuat sewenang-wenang untuk kemudian minta
dibebaskan karena pernah berjasa? Dari itu, harap
Pangcu suka kasihan pada diriku, izinkanlah kubunuh
diri.”

Habis berkata, mendadak terdengar suara “prak-prak”
dua kali, tali kulit yang mengikat tangan dan kaki tahutahu
putus semua.

Keruan para pengemis terperanjat melihat sekali
bergerak saja Song-tianglo dapat memutuskan tali kulit
yang sangat ulet itu, maka dapat dibayangkan betapa
lihai tenaga dalamnya, dan begitu membebaskan diri,
terus saja Song-tianglo hendak ulur tangan mengambil
sebilah belati guna membunuh diri.

Tak terduga baru tubuh membungkuk sedikit tahutahu
satu arus tenaga yang halus tapi kuat menolak ke
arahnya hingga ia dirintangi berjongkok. Meski
tangannya sudah terulur, tapi tak dapat memegang belati
yang tinggal belasan senti jauhnya itu. Nyata Kiau Hong
yang telah bertindak mencegahnya.

Wajah Song-tianglo berubah pucat seketika, serunya,
“Pangcu, jadi engkau juga ... juga ....”

Tiba-tiba Kiau Hong sambar sebilah belati di antara
deretan hoat-to itu.

1187




“Ya, memangnya salahku karena timbul niatku
hendak membunuhmu, maka sudah sepantasnya
sekarang engkau melaksanakan hukuman atas dosaku
itu,” demikian kata Song-tianglo dengan menghela
napas.

Segera sinar belati berkelebat, “crat”, bukannya Songtianglo
yang menerima hukuman mati, sebaliknya Kiau
Hong tikam bahu kiri sendiri dengan belati itu.

Keruan para pengemis menjerit kaget, serentak
mereka berbangkit. Begitu pula Toan Ki ikut terkejut,
“Toako, kenapa?” serunya.

Bahkan Giok-yan yang merupakan orang di luar garis
juga ikut terperanjat oleh peristiwa di luar dugaan itu,
tanpa terasa ia pun berseru, “Kiau-pangcu, jangan ....”

Namun Kiau Hong lantas bicara, “Pek-tianglo,
undang-undang kita juga ada satu pasal yang
menyatakan, ‘Setiap dosa anggota tidak boleh
sembarangan diampuni, kalau Pangcu hendak
mengampuni, dia sendiri harus mengalirkan darah dulu
untuk mencuci bersih dosa si anggota’. Ada tidak pasal
demikian?”

“Ya, memang ada satu pasal demikian dalam undangundang
kita,” sahut Pek Si-kia dengan wajah tetap kaku
tanpa perasaan. “Tapi Pangcu perlu juga menimbang
dahulu apakah ada harganya untuk mengalirkan darah
buat mencuci dosa orang?”

“Asal tidak melanggar undang-undang warisan leluhur
sudah cukup,” ujar Kiau Hong. Lalu ia berpaling dan

1188




berkata kepada Ge-tianglo, “Ge-tianglo dahulu telah
mengajar ilmu silat padaku, meski tiada hubungan
perguruan, tapi sesungguhnya seperti guru. Hal ini boleh
dikatakan urusan pribadiku. Lebih dari itu, mengingat
dahulu waktu Ong-pangcu ditawan lima jago terkemuka
negeri Cidan, beliau telah dikurung di dalam gua Hekhong-
tong, beliau dipaksa agar menyerah kepada Cidan,
tapi berkat Ge-tianglo yang telah rela menyaru sebagai
Ong-pangcu untuk menghadapi segala bahaya hingga
Ong-pangcu sendiri dapat lolos dengan selamat. Jasanya
bagi Kay-pang kita dan demi nusa dan bangsa yang
mahabesar itu, betapa pun harus kubebaskan
kesalahannya sekarang ini.”

Sembari berkata, kembali ia sambar hoat-to kedua, ia
potong dulu tali pengikat Ge-tianglo itu, menyusul belati
itu menikam, lagi-lagi belati itu menancap di bahu sendiri.

Dengan tenang sinar mata Kiau Hong beralih ke arah
Tan-tianglo. Tan-tianglo itu biasanya berjiwa sempit,
dahulu telah berbuat sesuatu yang berdosa terhadap
keluarga sendiri, maka ia ganti nama dan masuk ke Kay-
pang, untuk mana ia paling sirik bila ada yang coba
mengorek-ngorek boroknya itu, maka selama ini ia tiada
hubungan rapat dengan Kiau Hong. Kini melihat sinar
mata Kiau Hong memandang kepadanya, segera ia
mendahului berseru, “Kiau-pangcu, aku tiada hubungan
baik apa-apa denganmu, biasanya lebih banyak selisih
paham dengan engkau, maka aku pun tidak berani
terima budi pertolonganmu!”

Sekonyong-konyong kedua tangannya yang terikat di
belakang itu terangkat ke atas terus membalik itu depan
dengan tetap terikat tali kulit. Ternyata “Thong-pi-kun-

1189




kang” yang diyakinkan Tan-tianglo sudah mencapai
tingkatan yang tiada taranya, kedua lengannya dapat
mulur-mengkeret dengan bebas. Maka begitu tangan
menjulur pula, sebilah hoat-to sudah disambarnya.

Namun Kiau Hong sempat bergerak, dengan “Kimliong-
kang” (ilmu menangkap naga) yang lihai dan cepat,
dengan mudah saja belati itu dirampasnya. Katanya
dengan suara nyaring, “Tan-tianglo, aku Kiau Hong
adalah seorang laki-laki kasar, tidak suka pada orang
yang sok hati-hati tindak tanduknya, juga tidak menyukai
orang yang tidak minum arak dan tidak mau tertawa,
tetapi hal ini adalah watak pembawaan setiap orang, tak
dapat disebut baik atau busuk. Watakku sendiri tidak
cocok denganmu, biasanya jarang bicara dengan baik.
Aku pun tidak suka pada perilaku Be-hupangcu, bila
berhadapan, sedapat mungkin aku ingin menghindar
pergi, aku lebih suka pergi minum arak dan makan
daging anjing bersama anak murid rendahan yang
berkantong satu atau dua.

“Watakku ini telah dikenal semua orang, untuk
mengubah watak sendiri terang tidak mungkin. Tapi jika
sebab itu engkau mengira aku dendam dan ingin
melenyapkan engkau dan Be-hupangcu, sungguh salah
besar pikiran kalian ini. Tentang kalian tidak minum arak
dan tidak makan barang berjiwa itu adalah kebaikan
kalian, aku Kiau Hong mengaku tidak dapat menyamai
kalian.”

Berkata sampai di sini, tiba-tiba belati ketiga pun
ditikamkan ke bahu sendiri, lalu sambungnya, “Jasamu
membunuh Yalu Puru, itu panglima besar negeri Cidan,

1190




mungkin tak diketahui orang luar, tapi masakah aku tidak
tahu?”

Seketika ramailah suara heran para pengemis
tercampur suara memuji dan kagum.

Kiranya tahun yang lalu waktu negeri Cidan menyerbu
ke wilayah Tiongkok secara besar-besaran, mendadak
beberapa panglimanya yang terkemuka telah binasa,
karena alamat itu dirasakan tidak baik, akhirnya pasukan
Cidan itu ditarik mundur hingga kerajaan Song terhindar
dari bencana. Dan di antara panglima yang mati
mendadak itu terdapat Yalu Puru yang terkemuka.
Kejadian itu kecuali beberapa tokoh tertentu dalam Kay-
pang, orang lain tiada yang tahu bahwa jasa itu adalah
hasil karya Tan-tianglo.

Kini dirinya dipuji Kiau Hong di depan orang banyak,
betapa pun siriknya Tan-tianglo kepada sang pangcu,
mau tak mau ia menjadi terhibur.

Hendaklah diketahui bahwa selama ini Kay-pang
menjalankan kewajiban sebagai anak negeri dan
membantu kerajaan Song melawan kaum penjajah dari
luar, cuma cara pergerakan mereka dilakukan dengan
diam-diam atau di bawah tanah, baik perjuangan mereka
berhasil atau gagal, selama ini tidak pernah siarkan,
sebab itulah jarang orang tahu perjuangan Kay-pang
yang patriotik itu.

Tan-tianglo aslinya bernama Tan Put-peng, biasanya
sangat angkuh, terutama karena usianya lebih tua dan
sejarahnya dalam Kay-pang lebih lama daripada Kiau
Hong, maka sikapnya pada sang pangcu itu tidak terlalu

1191




hormat. Hal itu cukup diketahui oleh anggota Kay-pang
yang lain. Tapi kini ternyata Kiau Hong tidak pikirkan
perselisihan pribadi, sebaliknya rela mengalirkan darah
sendiri untuk menebus dosa Tan-tianglo, mau tak mau
kawanan pengemis menjadi terharu.

Kemudian Kiau Hong mendekati Go Tiang-hong,
katanya, “Go-tianglo, seorang diri dahulu engkau berjaga
di Eng-jiu-kiap (selat elang) dan sekuat tenaga melawan
serbuan musuh dari kerajaan Se-he hingga usaha musuh
hendak membunuh Nyo-keh-ciang sukar terlaksana,
untuk jasamu itu Nyo-goanswe telah menghadiahkan
sebuah kim-pay (medali) tanda jasa padamu. Asal
engkau keluarkan medali itu sudah lebih dari cukup untuk
menebus dosamu sekarang ini. Nah, silakan tunjukkan
medali itu agar semua orang dapat melihatnya!”

Mendadak air muka Go-tianglo berubah merah,
sikapnya agak kikuk, sahutnya dengan tak lancar, “E ...
eh ... tentang ini ... ini ....”

“Kita sama-sama saudara sendiri, bila Go-tianglo ada
kesulitan apa-apa, silakan berkata terus terang saja,” ujar
Kiau Hong.

“Tentang ... tentang medali emas itu, sebenarnya ...
sebenarnya sudah ... sudah hilang,” sahut Go-tianglo
gelagapan.

Kiau Hong menjadi heran. “Mengapa hilang?”
tanyanya.

“Hi ... hilang sendiri,” sahut Go-tianglo. Tapi sesudah
merandek sejenak, mendadak ia berseru, “Sebenarnya

1192




tidak hilang, tapi sudah kujual. Pada suatu hari,
mendadak aku ketagihan arak, tapi kantongku kempis,
terpaksa kujual medali emas itu kepada sebuah toko
emas.”

“Hahaha! Go-tianglo suka berterus terang, sungguh
jujur. Memang hal ini agak kurang enak terhadap Nyogoanswe
yang memberikan tanda jasa padamu itu,” ujar
Kiau Hong dengan terbahak-bahak. Habis itu mendadak
ia sambar sebilah hoat-to lagi, ia potong dulu tali pengikat
Go-tianglo, lalu belati itu ditikamkan pula ke bahu kiri
sendiri.

Go-tianglo adalah seorang laki-laki yang jujur dan
suka terus terang, segera katanya, “Pangcu, jiwa Go
Tiang-hong sejak kini sudah kupasrahkan padamu.”

Perlahan Kiau Hong tepuk bahunya sambil berkata
dengan tertawa, “Pengemis seperti kita kalau ingin
makan atau minum arak, minta saja sedekah orang, tidak
perlu mesti menjual medali emas segala.”

“Minta makan sih gampang, minta arak itulah susah,”
sahut Go-tianglo dengan tertawa. “Sebab semua orang
tentu akan bilang, ‘Pengemis busuk, sudah dapat makan
masih minta arak? Hm, terlalu! Tidak kasih, tidak kasih’!”

Mendengar banyolan itu, menggelegarlah tawa para
pengemis. Sebab minta-minta arak pada orang dan
ditolak atau didamprat, pengalaman ini memang sering
dijumpai para pengemis.

Dalam pada itu mereka merasa lega pula demi
menyaksikan sang pangcu suka mengampuni dosa

1193




keempat tianglo itu. Kini perhatian mereka tinggal
terpusat ke arah Coan Koan-jing yang merupakan biang
keladi komplotan ini, tentu Kiau Hong tidak mudah
mengampuninya begitu saja.

Tertampak Kiau Hong mendekati Coan Koan-jing dan
berkata, “Dan sekarang apa yang dapat kau katakan lagi,
Coan-thocu?”

“Pangcu,” sahut Koan-jing, “sebabnya aku
berkomplotan hendak menggulingkan engkau adalah
demi untuk kepentingan nusa dan bangsa kerajaan Song
kita serta demi perkembangan Kay-pang kita yang sudah
bersejarah ratusan tahun ini. Cuma sayang, orang yang
menceritakan asal usul dirimu itu sampai detik terakhir,
menjadi pengecut dan tidak berani muncul. Maka
bolehlah engkau membunuh aku saja.”

Kiau Hong pikir sejenak oleh jawaban itu, tanyanya
kemudian, “Adakah sesuatu yang mencurigakan
mengenal asal usulku? Coba katakan saja.”

“Betapa pun aku berputar lidah pada saat ini juga
takkan dipercaya, maka lebih baik engkau membunuh
aku saja,” sahut Koan-jing sambil menggeleng.

Kiau Hong menjadi tambah curiga, katanya dengan
suara keras, “Seorang laki-laki sejati, apa yang ingin
dikatakan harus dikatakan dengan blakblakan, kenapa
main plintat-plintut begitu? Coan Koan-jing, bila kau
benar seorang laki-laki yang tak gentar mati, kenapa kau
pantang bicara terus terang?”

1194




“Memang benar, mati saja tak gentar, masakah masih
ada hal-hal lain di dunia ini yang lebih menakutkan
daripada mati?” sahut Koan-jing dengan tertawa dingin.
“Nah, orang she Kiau, silakan cepat bereskan nyawaku
saja agar aku tidak perlu hidup di dunia ini dan
menyaksikan Kay-pang yang jaya ini jatuh ke dalam
cengkeraman bangsa Oh (asing) dan menyaksikan tanah
air sendiri yang indah permai ini diinjak-injak bangsa
lain.”

“Kenapa Kay-pang akan jatuh ke dalam cengkeraman
bangsa asing? Coba katakan terus terang,” tanya Kiau
Hong.

“Biarpun kukatakan sekarang juga para saudara
takkan percaya,” sahut Koan-jing. “Mungkin malah aku
akan dituduh sebagai pengecut yang takut mati dan
sengaja putar lidah untuk memfitnah orang. Memangnya
aku sudah bertekad menyabung jiwa, buat apa mesti
menerima kutukan pula sesudah mati?”

“Pangcu,” seru Pek-tianglo tiba-tiba dengan tak sabar,
“orang ini banyak tipu muslihatnya, dengan obrolannya
itu dia berharap engkau akan mengampuni jiwanya. Cithoat-
tecu, siapkan hoat-to untuk menjalankan hukuman!”

Segera salah seorang Cit-hoat-tecu mengiakan
sambil melangkah maju dan menjemput sebilah belati
serta mendekati Coan Koan-jing.

Dengan mata tak berkedip Kiau Hong memandang
Coan Koan-jing, ia lihat sikap thocu itu penuh rasa
penasaran, sedikit pun tidak unjuk rasa jeri atau takut,

1195




pula tiada tanda kepalsuan yang licik sebagai umumnya
seorang yang berdosa.

Kiau Hong tambah bersangsi, katanya kepada Cithoat-
tecu yang siap menjalankan tugas itu, “Berikan
hoat-to kepadaku!”

Dengan sangat hormat segera Cit-hoat-tecu itu
serahkan belati yang dipegangnya itu kepada sang
pangcu.

“Coan-thocu,” kata Kiau Hong sesudah memegang
belati itu, “kau menyinggung tentang asal usulku, pula hal
ini besar sangkut pautnya dengan mati dan hidup Kay-
pang kita. Bagaimana duduknya perkara yang
sebenarnya juga kau tidak berani mengaku.”

Berkata sampai di sini, ia simpan hoat-to itu ke dalam
sarungnya dan dimasukkan ke dalam baju sendiri, lalu
katanya pula, “Kau menghasut dan berkomplot hendak
memberontak, dosamu seharusnya dihukum mati, tapi
pelaksanaan hukum itu sementara ini ditunda, biar
setelah duduk perkara sudah dibikin terang, aku sendiri
kelak yang akan membunuhmu. Aku Kiau Hong bukan
manusia yang sok pura-pura, kalau sudah bertekad
hendak membunuhmu, rasanya kau pun tidak mungkin
dapat lolos dari tanganku. Nah, pergilah sekarang,
tinggalkan kantong pada punggungmu itu sejak kini Kay-
pang tiada terdaftar anggota seperti dirimu ini.”

Apa yang dimaksudkan “tanggalkan kantong pada
punggungmu” itu berarti memecatnya dari keanggotaan
Kay-pang. Setiap anggota Kay-pang, kecuali anggota
yang baru masuk atau anggota tanpa tugas, paling tidak

1196




tentu menyandang sebuah kantong, dan yang terbanyak
sampai sembilan buah kantong. Tinggi rendahnya
kedudukan anggota juga berdasarkan banyak atau
sedikit kantong yang dimiliki mereka.

Begitulah maka ketika diperintahkan menanggalkan
kantong yang digendongnya, mendadak sinar mata Coan
Koan-jing memancarkan nafsu membunuh, sekali
sambar sebilah hoat-to lantas dipegangnya, ujung belati
itu lantas diarahkan ke dada sendiri.

Perlu diketahui bahwa setiap orang Kangouw paling
mengutamakan keharuman nama dan kehormatan diri.
Kini Coan Koan-jing dipecat begitu saja dari Kay-pang,
hal ini dipandangnya sebagai sesuatu hinaan dan noda
yang tidak mungkin dapat dicuci bersih, jauh lebih
menyakitkan daripada ia dihukum mati seketika.
Makanya ia menjadi nekat.

Tapi Kiau Hong ternyata bersikap dingin saja dan
menyaksikan apakah benar-benar Coan Koan-jing berani
menikam dirinya sendiri.

Tangan Coan Koan-jing yang memegang belati itu
ternyata sangat teguh, sedikit pun tidak gemetar. Sambil
mengancam dada sendiri ia berpaling memandang Kiau
Hong hingga terjadilah saling pandang di antara kedua
orang itu. Seketika suasana di tengah hutan itu menjadi
sunyi senyap.

“Kiau Hong,” seru Koan-jing mendadak, “santai benar
sikapmu ini, apakah engkau sendiri benar-benar tidak
tahu?”

1197




“Tahu apa?” tanya Kiau Hong.

Bibir Koan-jing tampak bergerak sekali, tapi akhirnya
urung bicara, sebaliknya perlahan ia taruh kembali
belatinya ke tempat semula, lalu perlahan pula
menanggalkan kedelapan buah kantong yang
tergendong di punggungnya itu, satu per satu ditaruhnya
di tanah dengan sikap sangat menghormat.

Toan Ki mengerti Coan Koan-jing itu pasti seorang
yang sangat culas dan lihai, tapi demi melihat derita
batinnya ketika menanggalkan kantong-kantong itu, mau
tak mau ia pun merasa terharu.

Ketika Coan Koan-jing sudah menanggalkan lima
buah kantongnya, tiba-tiba terdengar derapan kuda yang
dilarikan dengan cepat di luar hutan menyusul terdengar
pula suara suitan. Segera ada beberapa orang Kay-pang
menjawab suara suitan itu, lalu suara derapan kuda itu
makan lama makin mendekat dengan sangat cepat.

“Ada kejadian genting apakah seperti ini?” demikian
Go-tianglo bergumam sendiri.

Dan belum lagi kuda tunggangan itu datang,
sekonyong-konyong dari arah timur sana juga ada suara
derapan seekor kuda sedang menuju ke arah sini. Cuma
jaraknya masih jauh, suaranya agak samar-samar, maka
arah yang dituju belum dapat diketahui dengan tepat.

Hanya sekejap saja kuda pertama dari arah utara itu
sudah masuk ke dalam hutan situ. Lalu tampak seorang
melompat turun terus berlari ke tempat orang banyak.

1198




Orang itu berpakaian longgar dan sangat perlente, tapi
segera ia menanggalkan baju yang mewah itu hingga
tertampaklah baju dalamnya yang compang-camping
penuh tambalan di sana-sini, yaitu pakaian untuk
mengelabui pandangan orang luar supaya pembawa
berita itu tidak menemui alangan di tengah jalan.

Begitulah dengan sangat hormat kurir itu mendekati
Thocu Tay-sin-hun-tho dan menyerahkan sebuah
bungkusan kecil sambil melapor, “Ada urusan militer
yang penting ....”

Hanya kata-kata ini saja sempat diucapkannya, sebab
napasnya lantas tersengal-sengal dengan hebat.
Sedangkan kuda tunggangannya itu mendadak
meringkik sekali terus roboh ke tanah dan binasa karena
kehabisan tenaga.

Setelah terhuyung-huyung, mendadak kurir itu pun
muntah darah dan terguling ke tanah. Nyata bahwa
saking lelah karena menempuh perjalanan jauh tanpa
beristirahat, maka kuda beserta penunggangnya samasama
kehabisan tenaga.

Thocu bagian Tay-sin-hun-tho itu mengenali kurir itu
adalah anak buahnya yang dikirim ke negeri Cidan untuk
menjadi mata-mata di sana, pangkatnya tergolong Go-tetecu
atau anak murid kantong lima, suatu tingkatan yang
tidak rendah.

Negeri Cidan pada zaman itu adalah musuh utama
kerajaan Song, kerap kali tanpa sebab mengerahkan
pasukannya mengacau di daerah perbatasan dan
menyusahkan rakyat setempat. Sebagai suatu organisasi

1199




yang patriotik, anggota Kay-pang banyak tersebar di
antara kedua negeri dan diam-diam mengumpulkan
berita yang berfaedah bagi ibu negeri.

Kini melihat Go-te-tecu itu pulang membawa berita
penting tanpa pikirkan mati-hidup sendiri, terang kabar
berita yang dibawa kembali itu pasti mahapenting dan
genting pula. Maka Tay-sin-thocu juga tidak berani
membuka berita laporan itu, bungkusan kecil itu
dipersembahkan kepada Kiau Hong sambil berkata, “Ada
berita militer dari negeri Cidan, Pangcu!”

Waktu Kiau Hong membuka bungkusan itu, ternyata
isinya adalah sebutir cek-wan atau bola lilin. Sesudah
cek-wan itu dipencet pecah, Kiau Hong mengeluarkan
segulung kertas. Dan selagi ia hendak membuka kertas
itu untuk membaca isinya, tiba-tiba terdengar derapan
kuda dari jurusan timur tadi telah mendekat dengan cepat
luar biasa.

Baru saja kepala kuda menongol di balik hutan sana,
penunggangnya sudah tidak sabar lagi terus melayang
turun dari binatang tunggangannya sambil membentak,
“Kiau Hong, tentang situasi militer negeri Cidan itu
engkau tak boleh membacanya.”

Semua orang terkesiap oleh ucapan orang yang
berani merintangi sang pangcu itu. Waktu dipandang
ternyata orang itu berjenggot putih, pakaiannya juga
compang-camping penuh tambalan. Itulah seorang
pengemis yang sudah berusia lanjut.

Melihat pengemis tua itu, seketika Thoan-kong dan
Cit-hoat Tianglo berbangkit untuk menyambut, “Kiranya

1200




Ci-tianglo, entah ada urusan apakah hingga Ci-tianglo
memerlukan berkunjung ke sini?”

Kawanan pengemis itu menjadi gempar demi
mendengar pendatang itu adalah Ci-tianglo mereka.

Kiranya Ci-tianglo itu sangat tinggi tingkatannya
dalam angkatan tokoh-tokoh Kay-pang, usianya kini
sudah 87 tahun, bahkan mendiang Ong-pangcu, yaitu
pangcu sebelum Kiau Hong, juga menyebutnya sebagai
Supek (paman guru). Di antara tokoh-tokoh Kay-pang
sekarang boleh dikatakan tiada seorang pun lebih tua
atau lebih tinggi angkatannya daripada Ci-tianglo.

Sudah lama Ci-tianglo mengundurkan diri dari dunia
ramai, tiap tahun Kiau Hong dan para tianglo seperti
biasanya tentu pergi memberi selamat padanya, tapi
paling-paling juga cuma bicara sedikit tentang urusan
rumah tangga biasa. Siapa duga sekarang mendadak
tokoh tua ini bisa muncul, bahkan lantas mencegah Kiau
Hong membaca laporan tentang gerakan militer musuh
itu. Sudah tentu semua orang terkejut dan terheranheran.


Maka ketika mendengar seruan Ci-tianglo tadi, cepat
Kiau Hong meremas kembali gulungan kertas itu, lalu
memberi hormat kepada tokoh tua itu. Kemudian ia
angsurkan gulungan kertas itu ke hadapan Ci-tianglo.

Sebagai pangcu, biarpun menurut urutan angkatan
Kiau Hong jauh lebih muda daripada Ci-tianglo, tapi
segala urusan organisasi yang penting, walaupun sang
pangcu angkatan yang lebih dulu dihidupkan kembali
juga harus tunduk kepada pangcu yang baru.

1201




Siapa duga datang-datang Ci-tianglo lantas melarang
Kiau Hong membaca laporan tentang gerakan militer
musuh itu dan sedikit pun Kiau Hong tidak
membangkang. Keruan hal ini membuat semua orang
heran, bahkan Ci-tianglo sendiri pun melengak.

Rupanya sudah tahu urusannya sangat penting maka
sambil minta maaf Ci-tianglo lantas ambil gulungan
kertas itu dari tangan Kiau Hong dan digenggam di
tangan kiri, lalu serunya dengan lantang, “Be-hujin
(nyonya Be), janda saudara Be Tay-goan, sebentar lagi
akan tiba untuk membeberkan sesuatu kepada para
hadirin di sini. Untuk mana haraplah kalian suka
menunggunya sebentar lagi.”

Maka pandangan para pengemis sama terpusat ke
arah Kiau Hong untuk mendengarkan bagaimana
reaksinya.

“Jika urusan ini sangat besar sangkut pautnya, tiada
alangannya kita menunggu di sini,” ujar Kiau Hong.

“Ya, urusan ini sangat penting,” kata Ci-tianglo pula.
Dan hanya sekian saja ucapannya, lalu ia melangkah
maju untuk memberi hormat kepada Kiau Hong selaku
seorang bawahan kepada sang pangcu, kemudian ia
ambil tempat duduk di samping.

Diam-diam Toan Ki heran menyaksikan itu.
Kesempatan digunakannya untuk bicara dengan Ong
Giok-yan, ia membisiki gadis itu, “Nona Ong, urusan di
dalam Kay-pang benar-benar sangat banyak. Apakah

1202




kita perlu menyingkir dari sini ataukah tinggal di sini untuk
melihat ramai-ramai?”

Giok-yan berkerut kening, sahutnya, “Kita adalah
orang luar, sebenarnya tidak pantas ikut mencampuri
urusan dalam orang lain. Cuma ... cuma urusan yang
akan mereka bicarakan itu ada sangkut pautnya dengan
Piaukoku, maka aku ingin mendengarkannya.”

“Memang benar,” kata Toan Ki, “katanya Behupangcu
itu dibunuh oleh Piaukomu hingga tertinggal
seorang janda yang sebatang kara, tentu dia sangat
kesepian dan harus dikasihani.”

“Tidak, tidak!” sahut Giok-yan cepat. “Be-hupangcu
pasti bukan dibunuh oleh Piauko, hal ini kan juga sudah
dikatakan oleh Kiau-pangcu sendiri?”

Bicara sampai di sini, mendadak terdengar derapan
kuda pula, datanglah dua penunggang kuda.

Semua orang mengira di antara penunggang kuda itu
pasti terdapat istri Be Tay-goan. Siapa tahu kedua
penunggang itu terdiri dari seorang kakek dan seorang
lagi nenek. Yang kakek pendek kecil sebaliknya si nenek
tinggi besar hingga tampaknya lucu benar.

Melihat kedua orang itu, cepat Kiau Hong berbangkit
menyambut kedatangan mereka sambil berseru, “Kiranya
kedua Locianpwe Tam-kong dan Tam-poh dari Ciongsiau-
tong di Hoa-san telah tiba, maafkan Kiau Hong tidak
mengadakan penyambutan dengan baik.”

1203




Perbuatan Kiau Hong itu segera diturut oleh para
tianglo dari Kay-pang.

Melihat gelagat itu, Toan Ki tahu kedua orang tua
yang dipanggil Tam-kong dan Tam-poh (si kakek Tam
dan si nenek Tam) itu tentu tokoh-tokoh Bu-lim
terkemuka.

Maka terdengar Tam-poh atau si nenek Tam sedang
berkata, “Kiau-pangcu, apa-apaan permainan di atas
pundakmu ini?”

Berbareng tangannya lantas terjulur, sekaligus
keempat hoat-to yang menancap di bahu Kiau Hong itu
dicabutnya semua, gerak tangannya cepat luar biasa.

Ternyata tindakan Tam-poh itu tidak menyendiri, tapi
segera disusul oleh Tam-kong yang merogoh keluar
sebuah botol porselen kecil, sumbat botol dibuka,
dituangnya sedikit obat bubuk dan dibubuhkan di atas
bahu Kiau Hong.

Begitu obat luka itu dibubuhkan, darah yang mancur
bagai mata air itu lantas mampat seketika.

Betapa cepat cara Tam-poh mencabut belati yang
menancap di pundak Kiau Hong itu sudah jarang dilihat
orang, tapi apa pun juga suatu gerakan ilmu silat,
sebaliknya cara Tam-kong mengambil botol, membuka
sumbat botol, menuang obat, membubuhkan obat dan
membikin darah mampat, beberapa tindakan ini sangat
lincah dan cepat luar biasa, namun setiap perbuatannya
itu dengan jelas dapat diikuti setiap orang bagaikan
menyaksikan permainan sulap saja. Bahkan khasiat obat

1204




luka membikin mampat darah juga sangat mujarab, boleh
dikatakan “cespleng”.

Kiau Hong sendiri cukup kenal dua sejoli Tam-kong
dan Tam-poh adalah tokoh angkatan tua dalam Bu-lim,
kini datang-datang terus mencabut belati dan mengobati
lukanya, meski tindakan mereka itu agak gegabah,
namun mau tak mau ia sangat berterima kasih. Dan
tengah dia mengaturkan terima kasihnya itu, rasa sakit di
pundaknya sudah mulai mereda dan akhirnya lenyap.

“Kiau-pangcu, siapakah yang bernyali sebesar itu
hingga berani melukaimu dengan belati?” tanya Tam-poh
kemudian.

“Aku sendirilah yang menikam diriku sendiri,” sahut
Kiau Hong tertawa.

“Kenapa menikam diri sendiri? Apa barangkali kau
sudah bosan hidup?” tanya Tam-poh dengan heran.

Kiau Hong pikir tidak mungkin menceritakan urusan
pengkhianatan dalam Kay-pang kepada orang luar
hingga memalukan para tianglo dan merosotkan nama
baik Kay-pang. Maka sahutnya, “Aku hanya main-main
saja, kulit daging pundakku cukup tebal dan kuat, toh
tidak sampai melukai otot dan tulang.”

Diam-diam Song, Ge, Tan dan Go-tianglo bersyukur
dan merasa malu diri pula terhadap kebaikan Kiau Hong
yang menutupi perbuatan mereka yang durhaka hendak
menggulingkan sang pangcu itu.

1205




Tapi si nenek Tam lantas terbahak-bahak dan
berkata, “Hahaha, jangan berdusta! Tahulah aku, dasar
engkau memang pintar dan mengetahui Tam-kong dan
Tam-poh baru saja memperoleh peng-jan (ulat sutra es)
dan pek-giok-siam-sia (katak kemala putih) serta telah
meraciknya menjadi semacam obat luka yang sangat
mujarab, makanya kau ingin mencobanya bukan?”

Kiau Hong tidak membenarkan juga tidak
menyangkal, ia hanya tersenyum saja, ia pikir nenek ini
sungguh bodoh-bodoh polos, masakah di dunia ini ada
orang iseng begitu dengan menikam badan sendiri untuk
mencoba khasiat obat luka buatanmu itu?

Maka terdengar Tam-poh tanya pula, “Dan di
manakah nyonya Be? Jauh-jauh ia mengundang
kehadiran kami ke sini, mengapa dia sendiri belum
datang?”

Sedang Kiau Hong terkesiap oleh pertanyaan itu, tibatiba
terdengar suara derapan kaki binatang yang
berdetak-detak, seekor keledai tampak menerobos
masuk ke tengah hutan situ, di atas keledai ada seorang
penunggang dengan punggung menghadap kepala
keledai dan mukanya menghadap ekor, jadi menunggang
keledai dengan mungkur.

Melihat penunggang keledai itu, Tam-poh menjadi
gusar, bentaknya, “Tio-ci-sun, di hadapan Tam-kek-popo
kau berani kurang ajar? Apa minta kuhajar bokongmu?”

Berbareng sebelah tangan terus menghantam pantat
penunggang keledai itu.

1206




Waktu semua orang memerhatikan si penunggang
keledai, ternyata orang itu mendekam di atas binatang
tunggangannya hingga tubuh mengkeret bagai anak
berumur 7-8 tahun. Tapi begitu hendak digaplok Tampoh,
cepat ia memberosot turun dari keledainya dan
berdiri tegak, tahu-tahu badannya berubah tinggi dan
besar.

Semua orang agak terperanjat, sebaliknya Tam-kong
tampak kurang senang, katanya, “Li-heng, apa engkau
akan main gila lagi di sini? Setiap melihatmu tentu hatiku
mendongkol!”

Corak penunggang keledai itu pun agak aneh,
dikatakan sudah tua, toh belum tua, dibilang masih
muda, toh juga tidak muda. Usianya mungkin di antara
30 hingga 60 tahun, wajahnya jelek tidak, bagus pun
tidak. Ia tidak gubris pada ucapan Tam-kong tadi, tapi
lantas berkata kepada Tam-poh, “Siau Koan, bagaimana
selama ini? Baik-baik dan senang bukan?”

Perawakan Tam-poh itu tinggi besar, rambutnya
sudah berubah semua dan mukanya penuh keriput, tapi
namanya dipanggil “Siau Koan” atau si Koan cilik yang
mengingatkan orang kepada gadis cilik. Sudah tentu
kedengarannya sangat janggal dan menggelikan orang.
Namun setiap nenek tentu pernah muda, Siau Koan itu
jelas adalah nama kecil Tam-poh masa gadisnya.

Tengah Toan Ki pikirkan hal itu, kembali terdengar
derapan kuda pula, ada beberapa penunggang kuda
datang lagi.

1207




Dalam pada itu Kiau Hong sendiri sedang mengamatamati
si penunggang keledai yang dipanggil sebagai
“Tio-ci-sun” (semuanya terdiri dari she), ia tidak dapat
menerka tokoh macam apakah orang aneh ini. Tapi
mengingat dia kenal Tam-kong dan Tam-poh, pula “Sokkut-
kang” atau ilmu menyurutkan tulang yang diunjukkan
ketika menunggang keledai tadi sudah sedemikian
lihainya maka dapat dipastikan adalah seorang tokoh
yang lain daripada yang lain. Anehnya, kalau orang
tergolong jago kelas tinggi, mengapa dirinya tidak kenal
dan tidak pernah mendengar namanya yang aneh,
bukankah sangat mengherankan?

Sementara itu beberapa penunggang kuda itu sudah
sampai di tengah hutan, di bagian depan adalah lima
orang muda, semuanya bermata besar dan beralis tebal,
air muka mereka satu sama lain sangat mirip, usia yang
paling kira-kira lebih 30 tahun dan yang paling muda
lebih 20 tahun. Terang kelima orang itu adalah saudara
sekandung.

“Aha, kiranya Thay-san-ngo-hiong yang datang!
Bagus, bagus! Angin apakah yang meniup kalian ke
sini?” demikian Go-tianglo, Go Tiang-hong, lantas
berseru.

Orang ketiga Thay-san-ngo-hiong (lima kesatria dari
Thay-san) itu bernama Tan Siok-san, ia adalah sobat
kental Go-tianglo, segera ia mendahului menjawab,
“Selamat bertemu Go-siko, baik-baikkah engkau? Ayah
juga ikut datang kemari!”

“Apa benar? Ayahmu ....?” Go-tianglo menegas
dengan air muka berubah. Ia telah berbuat salah

1208




melanggar tata tertib organisasi, sebagai orang berdosa,
ia menjadi jeri mendadak tahu kedatangan ayah Thaysan-
ngo-hiong, yaitu “Tiat-bin-poan-koan” Tan Cing, si
Hakim Bermuka Besi, artinya orang yang berani
bertindak tegas dan tidak kenal ampun serta tidak
pandang bulu.

Selama hidup Tiat-bin-poan-koan Tan Cing paling
benci pada kejahatan, bila tahu ada terjadi sesuatu
ketidakadilan di kalangan Kangouw, pasti dia akan ikut
campur tangan. Ilmu silatnya memang sangat tinggi,
kecuali kelima putranya banyak pula murid dan cucu
murid yang jumlahnya lebih ratusan orang. Nama “Thaysan
Tan-keh” atau keluarga Tan dari Thay-san cukup
disegani setiap orang Bu-lim.

Dalam pada itu di belakang Thay-san-ngo-hiong itu
tampak menyusul seorang penunggang kuda yang lain,
kelima jago muda Thay-san itu lantas memapak ke
belakang untuk menahan kendali kuda dan menyilakan
turun penunggangnya, yaitu seorang kakek yang berbaju
satin panjang.

Begitu turun segera kakek itu memberi kiongchiu
kepada Kiau Hong dan berkata, “Kiau-pangcu, tanpa
diundang Tan Cing berkunjung ke sini, tentu banyak
mengganggu engkau.”

Kiau Hong sudah lama kenal nama Tan Cing, baru
sekarang ia dapat bertemu, ia lihat orang tua itu berwajah
merah bercahaya, boleh dikatakan “rambut tua muka
muda”, sikapnya ramah tamah pula, berbeda seperti
cerita orang Kangouw bahwa Tan Cing berwatak keras
tanpa kenal ampun.

1209




Maka cepat ia membalas hormat orang dan berkata,
“Maafkan Cayhe tidak tahu kedatangan Tan-locianpwe
hingga tidak diadakan penyambutan sebagaimana
mestinya.”

“Bagus, bagus!” mendadak si orang tua yang
menunggang keledai dengan mungkur itu berteriak
dengan suara yang dibuat-buat. “Tiat-bin-poan-koan
datang lantas diadakan penyambutan sebagaimana
mestinya. Sebaliknya ketika aku ‘Thi-bi-koh-poan-koan’
datang mengapa engkau tidak mengadakan
penyambutan semestinya?”

Mendengar kata “Thi-bi-koh-poan-koan” atau si Hakim
Pantat Besi, seketika semua orang bergelak tertawa.
Meski Giok-yan, A Cu dan A Pik bertiga merasa kurang
sopan kalau ikut tertawa, tidak urung mereka pun merasa
geli.

Thay-san-ngo-hiong mengerti bahwa kata-kata orang
itu sengaja hendak menghina ayah mereka, keruan
mereka menjadi gusar. Cuma disiplin keluarga Tan
sangat keras, sebelum sang ayah membuka suara,
betapa pun mereka tidak berani sembarangan
mendahului bertindak.

Tan Cing itu ternyata seorang yang sangat sabar dan
dapat menahan perasaannya, pula ia pun belum
mengetahui bagaimana asal usul orang aneh itu, maka ia
berlagak pilon saja, pura-pura tidak mendengar. Katanya
pula, “Sekarang silakan Be-hujin kemari untuk bicara.”

1210




Maka dari balik hutan sana lantas muncul sebuah joli
kecil dengan digotong dua laki-laki kekar dan datang
dengan cepat sekali. Sampai di tengah hutan situ, joli itu
ditaruh dan kerai disingkap, perlahan keluarlah seorang
nyonya muda berpakaian putih mulus tanda orang
berkabung.

Dengan kepala menunduk nyonya muda itu memberi
hormat kepada Kiau Hong dan berkata, “Janda keluarga
Be menyampaikan sembah bakti kepada Pangcu.”

Biasanya Kiau Hong juga jarang berhadapan dengan
Be Tay-goan, apalagi dengan nyonya Be yang tidak
pernah keluar rumah, dengan sendirinya ia tidak kenal.
Segera ia membalas hormat dan menjawab, “Soso (atau
enso, istri kakak) tidak perlu banyak adat!”

“Sungguh malang suamiku telah meninggal, atas
bantuan para paman yang telah sudi menguruskan layon
suamiku itu, sungguh aku merasa sangat berterima
kasih,” demikian kata Be-hujin pula.

Suara janda itu kedengaran sangat lembut dan
merdu, agaknya masih sangat muda usianya. Cuma
sejak mula matanya selalu menatap ke tanah, maka
wajahnya tidak kelihatan jelas.

Dari lagak lagu nyonya muda itu, Kiau Hong tahu
tentu Be-hujin telah menemukan sesuatu tanda bukti
kematian suaminya, maka sekarang datang sendiri
menghadap sang pangcu. Tapi urusan dalam sepenting
itu tidak dilaporkan dulu kepada pangcu, sebaliknya Tiatbin-
poan-koan yang diminta tampil ke muka, hal ini
sesungguhnya agak ganjil.

1211




Ketika Kiau Hong berpaling ke arah Cit-hoat-tianglo
Pek Si-kia, ia lihat jago tua itu pun sedang memandang
padanya, sinar mata kedua orang sama mengunjuk rasa
heran dan curiga.

Lebih dulu Kiau Hong menyambut tamu, habis itu
baru bicara urusan dalam, maka katanya kepada Tan
Cing, “Tan-locianpwe dan suami-istri Tam-si dari Ciongsiau-
tong di Hoa-san apakah sudah saling kenal?”

“Sudah lama kudengar nama suami-istri Tam-si yang
tersohor, hari ini dapat berjumpa, sungguh beruntung,”
ujar Tan Cing sambil kiongchiu.

“Dan tentang Cianpwe yang ini, masih diharapkan
Tam-loyacu suka memperkenalkannya kepada kami,”
ujar Kiau Hong.

Tapi belum lagi Tam-kong atau si kakek Tam
menjawab, cepat si penunggang keledai sudah
mendahului buka suara, “Aku she Siang, bernama Wai,
berjuluk ‘Thi-bi-koh-poan-koan’.”

Mendengar ucapan si penunggang keledai ini, betapa
sabarnya Tan Cing juga naik darah akhirnya. Kurang ajar
benar, demikian pikirnya. Masakah aku she Tan (tunggal,
ganjil), kau lantas mengaku she Siang (sepasang,
genap). Aku bernama Cing (benar, lurus), kau lantas
bernama Wai (menceng, bengkok). Bukankah ini sengaja
hendak mengolok-olok diriku?

Dan selagi dia hendak mengambil tindakan tiba-tiba
Tam-poh, si nenek Tam membuka suara, “Tan-loyacu,

1212




engkau jangan gubris ocehan Tio-ci-sun ini, dia orang
gila, jangan kau anggap sungguh-sungguh.”

“Maafkan kalau di sini tiada tempat duduk, diharap
para hadirin sudilah duduk di tanah,” kata Kiau Hong
kemudian. Dan sesudah melihat semua orang telah
mengambil tempat duduk sendiri-sendiri, lalu ia
menyambung, “Dalam sehari saja telah dapat berjumpa
dengan tokoh-tokoh locianpwe sebanyak ini, sungguh
bahagia dan beruntung kami ini. Tapi entah ada
keperluan apakah kunjungan para Cianpwe ke sini?”

“Kiau-pangcu,” kata Tan Cing. “Kay-pang kalian
adalah suatu organisasi terbesar di dunia Kangouw,
selama ratusan tahun ini namanya tersohor di seluruh
pelosok, setiap kawan Bu-lim asal mendengar nama
‘Kay-pang’ tentu menaruh hormat dengan sungguhsungguh,
aku orang she Tan biasanya juga sangat
mengindahkannya.”

“Terima kasih,” kata Kiau Hong.

Tiba-tiba Tio-ci-sun menimbrung, “Kiau-pangcu, Kay-
pang kalian adalah suatu organisasi terbesar di kalangan
Kangouw, selama ratusan tahun ini namanya tersohor di
seluruh pelosok dunia, setiap kawan Bu-lim asal
mendengar nama Kay-pang tentu menaruh hormat
dengan sungguh-sungguh, aku orang she Siang
biasanya juga sangat mengindahkannya.”

Ucapannya itu sama persis seperti apa yang
dikatakan Tan Cing, hanya she Tan diganti dengan she
Siang.

1213




Kiau Hong tahu kaum cianpwe dalam Bu-lim itu
banyak yang mempunyai watak aneh dan sifat istimewa,
orang yang dipanggil sebagai Tio-ci-sun ini selalu
menentang Tan Cing, entah apa maksud tujuannya. Tapi
sebagai tuan rumah, ia pikir tidak enak mengeloni salah
satu pihak, maka ia pun mengucapkan terima kasih
kepada penunggang keledai yang aneh itu.

Sebaliknya Tan Cing hanya tersenyum saja, katanya
kepada putranya yang tertua, “Pek-san, lanjutannya
boleh kau katakan saja kepada Kiau-pangcu. Jika orang
lain ingin menirukan putraku, biarkan dia menirukan
saja.”

Diam-diam semua orang tertawa dan menganggap
Tiat-bin-poan-koan yang tampaknya jujur polos itu
ternyata juga licik. Sebab kalau Tio-ci-sun nanti
menirukan cara bicara Tan Pek-san, itu berarti ikut
mengaku menjadi putranya Tan Cing.

Tak terduga Tio-ci-sun lantas berkata, “Pek-san,
lanjutannya boleh kau katakan saja kepada Kiau-pangcu.
Jadi orang lain ingin menirukan putraku, biarkan dia
menirukan saja.”

Dengan demikian, berbalik Tio-ci-sun yang menang
angin sebab Tan Pek-san juga diakui menjadi putranya.

Tan Siau-san, putra Tan Cing yang kelima dan paling
kecil, berwatak paling berangasan, kontan ia memaki,
“Bajingan, benar-benar-sudah bosan hidup barangkali!”

Tio-ci-sun lantas bergumam juga, “Bajingan putra
semacam ini, punya empat orang juga sudah terlalu

1214




banyak, yang kelima sebenarnya tidak perlu dilahirkan.
Hehe, pula entah keturunan sendiri atau bukan?”

Sudah diolok olok, putranya dimaki pula seakan-akan
anak haram, betapa pun sabarnya Tan Cing juga ada
batasnya. Segera katanya kepada Tio-ci-sun, “Kita
adalah tamu Kay-pang, kalau sampai cekcok di sini tentu
akan mempersulit tuan rumahnya. Biarlah kalau urusan
di sini sudah selesai pasti akan kuminta belajar kenal
kepandaianmu. Nah, Pek-san, bicaralah terus!”

Namun Tio-ci-sun tetap menirukannya, “Kita adalah
tamu Kay-pang, kalau sampai cekcok di sini, tentu akan
mempersulit tuan rumah. Biarlah kalau urusan di sini
sudah selesai, nanti akan kuminta belajar kepandaianmu.
Nah, Pek-san, Locu (bapak) suruh kau bicara, bolehlah
bicara terus!”

Sungguh gemas Tan Pek-san tak terkatakan, kalau
bisa ia ingin bacok orang hingga hancur lebur baru puas
rasanya. Maka dengan menahan gusar katanya kepada
Kiau Hong, “Kiau-pangcu, urusan dalam kalian, kami
ayah dan anak sebenarnya tidak berani ikut campur. Tapi
ayahku bilang, seorang laki-laki sejati harus mencintai
sesamanya dengan kebajikan ....”

Berkata sampai di sini ia sengaja melirik ke arah Tioci-
sun untuk melihat apakah orang itu akan menirukan
lagi atau tidak. Kalau meniru, tentu orang akan
mengatakan, “Tapi ayahku bilang”, dan itu berarti akan
memanggil Tan Cing sebagai ayah.

Tak tersangka, benar-benar Tio-ci-sun menirukan
ucapan itu, katanya, “Kiau-pangcu, urusan dalam kalian,

1215




kami ayah dan anak sebenarnya tidak berani ikut

campur. Tapi anakku bilang seorang laki-laki sejati harus
mencintai sesamanya dengan kebajikan.”

Jadi Tio-ci-sun sengaja mengubah kata “ayah”
menjadi “anak” dan itu berarti suatu kerugian pula bagi
Tan Cing.

Keruan semua orang berkerut kening, mereka
menganggap kelakuan Tio-ci-sun itu sungguh terlalu,
mungkin segera akan terjadi banjir darah di situ.

Maka terdengar Tan Cing berkata, “Senantiasa
saudara menentang diriku, padahal kita selamanya tidak
paling kenal, entah di manakah aku berbuat salah
padamu, silakan saudara memberi penjelasan. Bila
memang benar Cayhe bersalah, sekarang juga aku akan
minta maaf padamu.”

Diam-diam semua orang memuji sikap kesatria Tan
Cing yang tidak malu sebagai seorang pendekar besar
tersohor itu.

“Kau tidak berbuat salah padaku, tapi bersalah
kepada Siau Koan, hal ini lebih jahat sepuluh kali
daripada bersalah padaku, tahu?” demikian Tio-ci-sun
menjawab.

“Siau Koan? Siapa itu Siau Koan? Bilakah aku
berbuat salah padanya?” tanya Tan Cing heran.

“Dia inilah Siau Koan,” sahut Tio-ci-sun sambil
menunjuk si nenek Tam. “Siau Koan adalah nama

1216




gadisnya, di dunia ini kecuali aku, siapa pun tidak boleh
memanggil namanya itu.”

Mendongkol dan geli pula Tan Cing, katanya, “O,
kiranya nama gadis Tam-popoh, Cayhe tidak tahu hingga
telanjur menyebutnya, harap maaf.”

“Yang tidak tahu tidak salah, untuk pelanggaranmu
yang pertama ini biar kuampuni, tapi lain kali jangan
mengulangi lagi, ya!” kata Tio-ci-sun dengan lagak
sebagai seorang bapak memberi petuah kepada si
bocah.

Lalu Tan Cing berkata lagi, “Meski sudah lama Cayhe
kenal nama suami-istri Tam-si yang tersohor dari Hoasan,
tapi sayang selama ini tidak sempat berjumpa. Aku
sendiri merasa tidak pernah mengolok-olok nama baik
mereka di depan siapa pun, entah mengapa aku dituduh
bersalah kepada Tam-popoh?”

“Tadi aku sedang tanya Siau Koan dan dia belum lagi
menjawab, tiba-tiba kelima putramu menyerobot datang
hingga mengacaukan pembicaraan kami, malahan
sampai sekarang ia masih belum sempat menjawab
pertanyaanku tadi,” demikian sahut Tio-ci-sun. “Nah, Tan
tua, boleh coba kau cari tahu, orang macam apakah Siau
Koan? Dan aku si ‘Tio-ci-sun-li-go-tan-ong’ orang macam
apa pula? Masakah pada waktu kami sedang bicara
boleh sembarangan dikacau begitu saja?”

Diam-diam Tan Cing geli mendengar ucapan yang
“angin-anginan” itu, tapi lantas katanya pula, “Masih ada
sesuatu yang aku tidak mengerti, tolong suka memberi
penjelasan.”

1217




“Soal apa? Jika aku senang, tiada alangan juga akan
kuberi petunjuk padamu,” sahut Tio-ci-sun dengan lagak
mahaguru.

“Terima kasih,” ujar Tan Cing. “Tadi Anda bilang
nama kecil Tam-popoh hanya boleh dipanggil olehmu
seorang saja, bukan?”

“Ya, sudah tentu!” seru Tio-ci-sun. “Kalau kau tidak
percaya, boleh coba memanggilnya sekali lagi, lihatlah
kalau aku si ‘Tio-ci-sun-li-go-tan-ong-the-sim-nyo’ tidak
memberi hajaran padamu.”

“Sudah tentu aku tidak berani memanggilnya lagi,”
sahut Tan Cing. “Tapi masakah Tam-kong juga tidak
berani memanggilnya?”

Jawaban ini rupanya mengenai lubuk hati Tio-ci-sun
hingga seketika ia bungkam dengan muka merah padam.
Sejenak kemudian mendadak orang aneh itu menangis
tergerung-gerung dengan suara yang sedih memilukan.

Kelakuannya ini benar-benar di luar dugaan siapa
pun, sungguh tiada yang menyangka bahwa seorang
yang tidak takut tingginya langit dan jeri pada tebalnya
bumi, sampai Tiat-bin-poan-koan juga berani
ditantangnya, tapi hanya dengan satu kalimat pertanyaan
itu sudah membuatnya menangis begitu rupa.

Melihat seterunya menangis sedih, Tan Cing menjadi
tidak enak malah, api kemarahannya yang semula
berkobar itu seketika sirap, sebaliknya ia malah
menghiburnya, “Tio-heng, maafkan aku ....”

1218




“Aku ... aku tidak she Tio,” sahut Tio-ci-sun dengan
terguguk.

Keruan Tan Cing tambah heran, “Habis, saudara she
apa?”

“Aku tidak she Tio, tidak she Ci, juga tidak she Sun,
aku tidak punya she, tidak perlu tanya,” sahut Tio-ci-sun.

Mendengar suara tangis Tio-ci-sun itu begitu sedih,
semua jago yang hadir menduga pasti ada sesuatu yang
pernah melukai hatinya. Dan bagaimana urusannya
kalau dia sendiri tidak omong orang lain dengan
sendirinya tidak enak untuk bertanya.

Dalam pada itu Tio-ci-sun masih tetap menangis
sedih dengan tersenggak-sengguk tiada hentinya.

“Kembali penyakitmu kumat lagi, di depan orang
banyak, menangis seperti anak kecil, engkau punya kulit
muka atau tidak?” demikian Tam-popoh atau si nenek
Tam menyemprotnya.

“Habis engkau ... engkau rela meninggalkan aku dan
menikah dengan tua ... tua bangka seperti Tam-kong ini,
sudah tentu hatiku sedih dan pilu,” demikian sahut
dengan sesenggukan. “Hati sudah remuk, jantungku
sudah hancur, ususku sudah putus, tinggal kulit muka
yang tipis ini, apa gunanya?”

Semua orang tersenyum geli oleh kata-kata lucu itu.
Kiranya begitulah duduk perkara yang sebenarnya.

1219




Rupanya Tio-ci-sun dan Tam-popoh itu pernah terjalin
kisah asmara, tapi entah mengapa Tam-poh menikah
dengan Tam-kong. Dan karena sedihnya sampai Tio-cisun
membuang nama aslinya dan kelakuannya menjadi
gila-gilaan seperti orang sinting. Padahal suami-istri Tamsi
itu usianya lebih dari 60 tahun, entah mengapa cinta
Tio-ci-sun itu bisa sedemikian mendalamnya, selama
berpuluh tahun masih belum berkurang dendam
asmaranya.

Si nenek Tam sendiri mukanya sudah penuh keriput
dan kasap seperti kulit ayam, rambutnya ubanan semua,
siapa pun tidak mengira bahwa nenek yang
berperawakan tinggi besar potongan “kuda teji” itu pada
masa mudanya mempunyai kecantikan yang
menggiurkan orang hingga sampai tua Tio-ci-sun masih
tetap mencintainya.

Begitulah maka tampak sikap Tam-poh agak kikuk
dan malu-malu kucing seperti anak perawan, sahutnya
kemudian, “Suko, buat apa engkau mengungkat kejadian
masa lampau? Hari ini Kay-pang ada urusan penting
yang perlu dibicarakan, lekas mendengarkan dan jangan
mengacau pula.”

Ucapan yang lembut dan bernada nasihat itu besar
pengaruh bagi Tio-ci-sun, sebab dia lantas berkata,
“Baiklah, tapi tersenyumlah dahulu kepadaku baru aku
akan menurut perkataanmu.”

Belum lagi Tam-poh tersenyum atau orang-orang lain
sudah mendahului tertawa menggelegar, namun nenek
Tam itu seperti tidak ambil pusing, benar juga ia

1220




berpaling dan tersenyum “manis” sekali kepada Tio-cisun.


Sukma Tio-ci-sun seperti terbang ke awang-awang
oleh senyuman itu hingga seketika ia termangu-mangu.

Sudah tentu semua itu disaksikan pula oleh Tam-kong
yang duduk di sebelah dengan rasa gusar, tapi toh tidak
dapat berbuat apa-apa.

Kejadian itu mendadak memengaruhi pikiran Toan Ki
juga, pikirnya, “Cinta ketiga orang ini benar-benar sangat
mendalam hingga orang yang berada di sini sampai tak
dipusingkan oleh mereka. Dan apakah perasaanku
kepada nona Ong kelak juga akan berakhir seperti ini?
Ah, tidak, tidak! Sebab Tam-poh juga kelihatan rada
mencintai sukonya, sebaliknya yang selalu dikenang
nona Ong adalah Buyung-kongcu, dibandingkan Tio-cisun
terang aku bukan apa-apa lagi.”

Dalam pada itu demi mendengar suka-duka Tio-ci-sun
dan suami-istri Tam-si masa lampau, diam-diam Kiau
Hong menimbang-nimbang, “Tio-ci-sun itu sebenarnya
tidak she Tio, tapi suheng Tam-poh. Aku sering
mendengar bahwa Tam-kong dan Tam-poh dari Ciongsiau-
tong di Hoa-san terkenal di Bu-lim oleh karena ilmu
silat aliran Hoa-san-pay mereka yang hebat. Tapi dari
percakapan mereka tadi, agaknya mereka bertiga bukan
sesama perguruan. Lalu, sebenarnya Tam-kong yang
benar orang Hoa-san-pay ataukah Tam-poh yang berasal
dari Hoa-san-pay?”

Tengah Kiau Hong merasa ragu, tiba-tiba terdengar
Tio-ci-sun berkata pula, “Sudah lama Locu tidak datang

1221




ke daerah Kanglam sini, maka tidak tahu bahwa di Kohsoh
telah muncul seorang Buyung Hok yang katanya
suka ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’ dengan perbuatannya
yang sewenang-wenang. Locu justru ingin bertemu
dengan dia untuk melihat cara bagaimana dia mampu
memperlakukan aku si ‘Tio-ci-sun-li-cin-go-the-ong’ ini?”

Baru habis ucapannya sekonyong-konyong terdengar
suara orang menangis dengan sedih sekali, suara
tangisan yang meraung-raung itu sama persis seperti
tangisan Tio-ci-sun tadi.

Keruan semua orang melengak.

Bahkan terdengar suara tangisan itu sedang
sesambatan pula, “O, Sumoayku, di manakah Locu
pernah bersalah padamu? Mengapa engkau
meninggalkan daku dan menikah dengan si tua bangka
she Tam yang celaka itu? Siang dan malam Locu selalu
merindukan dikau. Teringat masa hidup Suhu kita, beliau
pandang kita seperti anak kandung sendiri, tapi engkau
tidak kawin denganku, apakah engkau tidak ingat
kebaikan Suhu?”

Suara dan ucapan itu persis sekali seperti Tio-ci-sun,
kalau semua orang tidak menyaksikan orang aneh itu
termangu-mangu dan melongo dengan penuh
keheranan, tentu semua orang akan percaya suara itu
diucapkan dari mulut Tio-ci-sun sendiri. Tapi ketika
semua orang memandang ke arah datangnya suara itu,
ternyata suara itu timbul dari seorang gadis jelita berbaju
jambon yang berdiri mungkur.

Kiranya gadis itu adalah A Cu.

1222




Toan Ki, Giok-yan, dan A Pik cukup kenal kepandaian
cara A Cu menirukan tingkah laku dan suara orang,
dengan sendirinya mereka tidak heran. Sebaliknya orang
lain menjadi terheran-heran dan geli pula, mereka
menduga pasti Tio-ci-sun akan marah karena suaranya
ditirukan orang.

Tak tersangka bahwa tangisan dan keluhan A Cu tadi
justru tepat mengenai lubuk hati Tio-ci-sun, maka
bukannya marah sebaliknya matanya tampak merah
basah, mulutnya mewek-mewek, air matanya meleleh,
akhirnya menangislah dia berpadu dengan suara
tangisan A Cu.

Bab 25

Tan Cing menggeleng-geleng kepala menyaksikan
itu, katanya dengan suara lantang, “Meski aku she Tan
(tunggal), tapi istriku satu dan gundikku empat, anakcucuku
penuh serumah. Sebaliknya saudara Siang Wai
ini, she Siang (genap, banyak) justru hidup sebatang
kara tanpa teman hidup. Peristiwa ini seharusnya engkau
sesalkan di masa dahulu, kalau sekarang baru
dibicarakan, rasanya juga sudah terlambat. Nah, Siangheng,
kita diundang kemari oleh Be-hujin apakah
tujuannya ialah untuk merundingkan urusan
perjodohanmu?”

“Bukan,” sahut Tio-ci-sun sambil menggeleng.

“Jika begitu, seharusnya kita membicarakan dahulu
urusan Kay-pang lebih penting,” ujar Tan Cing.

1223




“Apa katamu?” tiba-tiba Tio-ci-sun menjadi gusar.
“Urusan Kay-pang lebih penting, apakah urusanku
dengan Siau Koan kurang penting?”

Mendengar sampai di sini, Tam-kong tidak tahan lagi,
segera ia berkata, “A Hui, jika kau tidak lantas suruh dia
hentikan penyakit gilanya, terpaksa aku akan turun
tangan.”

Mendengar sebutan “A Hui”, semua orang lantas
berpikir, “Kiranya Tam-poh mempunyai nama kecil yang
lain. Dan nama ‘Siau Koan’ itu memang benar adalah
monopoli si Tio-ci-sun sendiri.”

Maka terdengar Tam-poh telah menjawab dengan
membanting kaki, “Dia toh tidak gila, tapi engkau yang
mengakibatkan dia begini, dan kau masih belum puas,
ya?”

“Aneh, mengapa aku ... aku yang mengakibatkan dia
begitu?” tanya Tam-kong dengan heran.

“Habis, aku menikah dengan tua bangka yang celaka
seperti kau, dengan sendirinya Suhengku kurang senang
....”

“Waktu kita menikah toh aku tidak celaka dan tidak
tua pula,” ujar Tam-kong.

“Huh, tidak malu, memangnya kau ganteng dan
bagus?” cemooh Tam-poh.

Ci-tianglo dan Tan Cing hanya saling pandang
dengan geleng-geleng kepala saja. Mereka pikir ketiga

1224




tua bangka ini benar-benar tidak tahu diri, masakah
dengan kedudukan mereka bertiga yang disegani dan
dihormati orang Bu-lim sebagai kaum cianpwe, tapi
terang-terangan bercekcok urusan asmara masa lampau
di depan orang banyak, sungguh menggelikan.

Maka Ci-tianglo lantas berdehem sekali, lalu katanya,
“Atas kunjungan suami-istri Tam-si dan saudara ini, kami
segenap anggota Kay-pang merasa mendapat
kehormatan yang besar. Sekarang silakan Be-hujin suka
bicara perkara pokok dari awal sampai akhir.”

Be-hujin itu sejak tadi hanya berdiri dengan kepala
menunduk sambil mungkur, demi mendengar ucapan Citianglo
itu, perlahan ia putar tubuh ke depan, lalu katanya
dengan suara perlahan, “Sungguh malang suamiku
tewas, Siaulicu (aku perempuan yang bodoh) hanya
dapat menyesalkan nasib sendiri, tapi yang paling
menyedihkan adalah suamiku tidak meninggalkan
seorang anak pun untuk menyambung abu keluarga Be
....”

Berkata sampai di sini, suaranya agak tersendat
hingga mengharukan bagi para pendengarnya. Samasama
menangis, tangis Tio-ci-sun membuat orang
merasa geli, tangis A Cu membikin orang heran,
sebaliknya tangis Be-hujin membuat orang pilu.

Maka terdengar nyonya janda itu sedang
meneruskan, “Sesudah Siaulicu mengebumikan layon
suami, ketika berbenah barang-barang tinggalannya,
tanpa sengaja di tempat simpanan kitab pelajaran silat
dapat kutemukan suatu sampul surat wasiat yang
tertutup rapat, di atas sampul tertulis: ‘Jika aku meninggal

1225




sampai hari tua secara wajar maka surat ini harus segera
dibakar, siapa yang berani membuka surat ini berani
merusak ragaku ini dan membuat aku tidak tenteram di
alam baka. Tapi kalau aku mati secara tidak wajar surat
ini harap diserahkan kepada para tianglo untuk dibuka
bersama, soalnya sangat penting, jangan keliru!’”

Berkata sampai di sini, suasana dalam hutan itu
menjadi sunyi senyap, semua orang ingin mendengarkan
bagaimana lanjutan ceritanya.

Setelah merandek sejenak, lalu Be-hujin
menanggalkan sebuah ransel kecil yang dibawa dan
mengeluarkan sebuah kantong surat dari kain minyak,
dari dalam kantong surat itu kemudian dilolos keluar
sebuah sampul, lalu katanya, “Inilah surat wasiat
suamiku itu. Sesudah kutemukan surat ini dan melihat
pesan suamiku itu sangat penting, kutahu urusannya
pasti bukan urusan biasa, maka segera hendak kutemui
Pangcu untuk mempersembahkan surat wasiat ini. Tapi
untung Pangcu telah datang ke Kanglam sini bersama
para Tianglo hendak membalaskan sakit hati suamiku,
dan syukurlah karena itu juga aku belum dapat berjumpa
dengan Pangcu.”

Ucapan Be-hujin itu kedengaran agak janggal,
masakah tidak berhasil bertemu dengan sang pangcu
dianggapnya “untung” dan “syukur”? Tanpa terasa sinar
mata semua orang sama beralih ke arah Kiau Hong.

Dari macam-macam kejadian malam ini, memang
Kiau Hong sudah mempunyai firasat bahwa pasti ada
sesuatu muslihat yang mahabesar sedang diarahkan
kepadanya, walaupun soal komplotan Coan Koan-jing

1226




yang hendak menggulingkan dirinya sebagai pangcu itu
sudah diamankan, namun kasus ini terang masih belum
lagi tamat.

Kini mendengar uraian Be-hujin itu, perasaannya
yang tertekan tadi menjadi ringan malah dan sikapnya
tetap tenang, pikirnya, “Muslihat apa yang telah kalian
atur, silakan keluarkan saja. Seorang laki-laki sejati harus
berani menghadapi sesuatu yang menjadi kewajibannya.
Selama hidupku tidak pernah berbuat kesalahan apaapa,
biar bagaimana kalian hendak menjebak dan
memfitnah diriku, kenapa aku mesti takut?”

Maka terdengar Be-hujin menyambung ceritanya lagi,
“Karena itulah kutahu surat ini menyangkut urusan
penting organisasi kita, sedangkan Pangcu dan Tianglo
tidak berada di Lokyang, kukhawatir membuang waktu
sia-sia, maka kupergi dulu ke Theciu untuk menghadap
Ci-tianglo dan minta beliau mengambil keputusan
menurut surat wasiat itu. Tentang kejadian selanjutnya
biarlah Ci-tianglo yang akan memberitahukan kalian.”

Ci-tianglo batuk beberapa kali, lalu katanya, “Urusan
ini sesungguhnya banyak suka-dukanya, aku merasa
serbasulit untuk bicara.”

Tiba-tiba ia ambil surat wasiat itu dari tangan Be-hujin,
lalu sambungnya, “Sejak kakek-moyangnya hingga, ayah
Be Tay-goan, beberapa keturunan mereka semuanya
adalah orang Kay-pang sendiri, kedudukan mereka kalau
bukan tianglo yang berkantong sembilan tentulah Pat-tetecu
(anak murid berkantong delapan). Sejak kecil hingga
besar aku pun kenal Tay-goan. Gaya tulisannya kukenal.
Maka tidak perlu diragukan lagi tulisan di atas sampul

1227




surat wasiat ini memang benar adalah tulisan tangan
Tay-goan sendiri.

“Ketika surat ini diserahkan padaku oleh Be-hujin,
segel di atas sampul surat ini masih tertutup rapat dan
baik. Karena khawatir membikin runyam urusan penting,
maka tanpa menunggu para tianglo yang lain aku lantas
membukanya. Waktu kubuka surat ini, Tiat-bin-poankoan
Tan-heng kebetulan juga berada di situ, untuk
mana dia dapat menjadi saksi.”

“Memang benar, tatkala itu kebetulan aku bertamu di
tempat kediaman Ci-tianglo dan dengan mataku sendiri
kulihat dia membuka dan membaca surat wasiat itu,”
tukas Tan Cing.

Segera Ci-tianglo melolos keluar sehelai surat dari
sampul, katanya pula, “Waktu mula-mula aku membaca
gaya tulisan dalam surat ini ternyata bukan tulisan tangan
Tay-goan, aku rada heran. Kulihat pembukaan surat itu
tertulis: ‘Kiam-yan saudaraku’. Aku menjadi heran. Sebab
kalian tentu tahu, ‘Kiam-yan’ adalah nama alias
mendiang Ong-pangcu kita, bila bukan orang yang
bersahabat kental dengan dia, tidak mungkin menyebut
nama aliasnya itu.

“Padahal sudah lama Ong-pangcu wafat, mengapa
ada orang menulis surat kepadanya? Maka aku tidak
lantas membaca isi surat, tapi membaca nama si penulis
surat. Dan begitu lihat, aku bertambah heran hingga
bersuara, ‘He, kiranya dia!’ — Dan karena tertarik, Tanheng
yang berada di sampingku lantas ikut melongok
surat yang kupegang itu dan serta-merta ia pun bersuara
heran, ‘Eh, kiranya dia!’

1228




“Perbuatanmu itu terang salah, Tan-loji,” tiba-tiba Tioci-
sun menyela. “Surat itu adalah surat rahasia Kay-pang
mereka. Engkau bukan anggota Kay-pang yang
berkantong satu atau dua, bahkan menjadi pengemis
juga tidak pernah, mengapa berani mengintip surat orang
yang penting itu?”

Jangan mengira orang aneh itu suka “angin-anginan”,
ucapannya ternyata sangat tepat. Keruan muka Tan Cing
rada merah, sahutnya, “Aku cuma melongok nama
pengirim surat itu, kan tidak membaca isinya.”

“Apa bedanya melongok sedikit dan membaca
banyak?” sahut Tio-ci-sun. “Engkau mencuri seribu tahil
emas disebut maling, mencuri satu peser juga maling
namanya. Bedanya cuma jumlah uang banyak atau
sedikit, maling besar atau maling kecil, tapi kan samasama
maling namanya? Maling besar adalah maling,
maling kecil juga maling. Mengintip surat orang lain
berarti bukan seorang kuncu (gentleman), dan kalau
bukan kuncu tentu adalah siaujin (orang kecil, tak
bermoral), kalau siaujin, itu berarti rendah kotor. Kalau
orang rendah begitu, sepantasnya dibunuh!”

Sungguh gusar Tan Pek-san berlima tak terkatakan,
serentak mereka hendak melabrak orang gila itu. Tapi
cepat Tan Cing memberi tanda agar putra-putranya itu
jangan sembarangan bertindak, biarlah orang itu ngacobelo
sesukanya, nanti saja sekaligus diadakan
perhitungan dengan dia.

Diam-diam ia pun heran dan bingung, “Begitu
bertemu dengan aku, orang ini lantas terus-menerus

1229




mencari perkara padaku, jangan-jangan dia mempunyai
dendam apa-apa padaku? Orang Kangouw yang berani
memandang enteng kepada keluarga Tan boleh
dikatakan dapat dihitung dengan jari. Tapi siapakah
sebenarnya orang ini, mengapa aku tidak
mengenalnya?”

Di lain pihak karena semua orang lagi tertarik ingin
tahu siapakah sebenarnya nama pengirim surat yang
dimaksudkan Ci-tianglo itu, maka mereka menjadi marah
terhadap ocehan Tio-ci-sun yang mengacau itu. Serentak
mereka melotot kepada orang tua itu.

“Kalian melotot apa? Apa yang dikatakan Sukoku
memang sedikit pun tidak salah,” tiba-tiba Tam-poh
membuka suara.

Mendengar dirinya dibela bekas kekasih itu, Tio-cisun
menjadi kegirangan, katanya, “Nah, kalian sudah
dengar sendiri, bahkan Siau Koan juga membenarkan
perkataanku, masakah aku bisa salah? Apa yang
dikatakan atau dilakukan Siau Koan selamanya pasti
benar.”

“Benar, apa yang dikatakan atau dilakukan Siau Koan
selamanya tak bisa salah. Dia menikah dengan Tamkong
dan tidak kawin denganmu, hal itu pun sekali-kali
tidak salah,” demikian tiba-tiba disela suara seorang yang
bernada persis seperti Tio-ci-sun.

Orang yang bicara ini bukan lain A Cu adanya. Dia
gemas terhadap ucapan Tio-ci-sun yang menghina
Buyung-kongcu tadi, maka tiada hentinya ia mencari
perkara padanya.

1230




Tio-ci-sun menjadi bungkam dan menyeringai mati
kutu demi mendengar ucapan A Cu itu. Sebab cara debat
A Cu itu telah menggunakan dialektika yang tepat, yaitu
sesuai dengan kesukaan Buyung-si dengan istilahnya
yang terkenal ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’ atau
menggunakan cara orang untuk diperlakukan kembali
terhadap orang itu.

Begitulah maka ada orang yang sangat berterima
kasih kepada A Cu, mereka adalah Tam-kong dan Tan
Cing. Tapi pada saat itu juga mendadak sesosok
bayangan berkelebat, tahu-tahu Tam-poh sudah melesat
ke depan A Cu, “plak”, kontan nenek itu tampar pipi
kanan si gadis sambil membentak, “Aku salah menikah
atau tidak, peduli apa dengan omongan budak busuk
macam kau ini?”

Tamparan Tam-poh itu benar-benar cepat luar biasa,
A Cu hendak berkelit juga tidak sempat lagi, orang lain
lebih-lebih tidak keburu untuk menolongnya. Maka lenyap
suara tamparan menyusul pipi A Cu yang putih mulus itu
lantas timbul lima jalur merah biru bekas jari.

Maka terbahak-bahaklah Tio-ci-sun, serunya, “Tepat
benar hajaran itu, biar budak kurang ajar itu tahu rasa!”

Seketika A Cu memberambang hendak menangis,
tapi belum lagi menangis, tiba-tiba Tam-kong
mengeluarkan sebuah kotak porselen kecil, ia buka tutup
kotak itu dan mencolek sedikit salep dengan ujung
jarinya, lalu ia usap-usap beberapa kali di pipi A Cu
hingga tempat yang tertampar itu dibubuhi selapis salep
tipis.

1231




Belum sempat A Cu berpikir apa yang terjadi, tahutahu
pipi yang tadinya terasa panas pedas kini berubah
menjadi dingin segar, berbareng tangan kiri telah
memegang sesuatu benda. Waktu A Cu memeriksanya,
ia lihat benda itu adalah sebuah kotak kecil yang putih, ia
tahu hadiah dari Tam-kong itu berisi obat luka yang
sangat manjur, maka ia tidak jadi menangis, sebaliknya
malah tertawa.

Ci-tianglo tidak pusing cara bagaimana kedua kakek
dan nenek itu akan bertengkar sendiri, tapi ia lantas
bicara pula dengan suaranya yang agak serak, “Saudarasaudara
sekalian, siapakah penulis surat ini sebenarnya
saat ini belum waktunya untuk kukatakan. Aku orang she
Ci sudah lebih 70 tahun berada dalam Kay-pang, sisa
hidup di dunia ini juga takkan lama lagi, selama 30 tahun
paling akhir ini aku telah mengasingkan diri dan tidak ikut
berkecimpung di dunia Kangouw hingga tidak pernah lagi
bercekcok dan bermusuhan dengan orang. Aku sendiri
tidak punya anak-cucu, bahkan murid juga tidak punya,
aku merasa tiada sedikit pun mempunyai kepentingan
pribadi dalam urusan ini. Maka bila aku ingin bicara
sedikit, entah apakah saudara-saudara dapat
memercayai diriku?”

“Perkataan Ci-tianglo, siapa yang takkan percaya?”
sahut para pengemis dengan serentak.

“Bagaimana dengan pendapat Pangcu?” tanya Citianglo
kepada Kiau Hong.

1232




“Selamanya aku sangat menghormat dan menghargai
Ci-tianglo, hal ini Cianpwe sendiri cukup tahu,” sahut
Kiau Hong.

Maka tanpa ragu Ci-tianglo meneruskan ceritanya,
“Sesudah kubaca isi surat, aku benar-benar dihadapkan
pada sesuatu yang mahasulit dan penasaran pula. Tapi
kukhawatir ada sesuatu yang tidak benar, maka surat ini
segera kuserahkan pada Tan-heng untuk dibaca. Sebab
hubungan Tan-heng dengan penulis surat ini sangat baik
dan pasti kenal gaya tulisannya dan cukup tahu pula
bagaimana asal usul penulis surat ini. Oleh karena
urusan ini mahapenting dan sangat luas sangkut
pautnya, maka aku ingin Tan-heng membuktikan surat ini
tulen atau palsu.”

Tiba-tiba Tan Cing melotot sekali ke arah Tio-ci-sun.
Sudah tentu maksudnya mengejek, “Apa abamu
sekarang?”

Siapa duga Tio-ci-sun lantas berkata, “Ci-tianglo yang
minta kau baca, dengan sendirinya boleh kau baca. Tapi
waktu pertama kali kau kan mengintip, itu tidak sah.
Misalnya seorang dahulu pernah menjadi maling,
kemudian menjadi kaya raya dan tidak jadi maling lagi,
namun biarpun dia seorang hartawan toh tidak dapat
mencuci bersih riwayat hidupnya yang berasal dari
maling.”

Ci-tianglo tidak urus ucapan Tio-ci-sun itu, katanya
kepada Tan Cing, “Tan-heng, silakan katakan kepada
para hadirin, apakah surat ini tulen atau palsu?”

1233




“Cayhe adalah sobat rapat si penulis surat ini, di
rumahku juga banyak tersimpan surat berasal dari
penulis ini,” demikian tutur Tan Cing. “Maka segera aku
dan Ci-tianglo serta Be-hujin kembali ke tempat tinggalku
untuk dicocokkan dengan surat simpananku. Dan nyata
gaya tulisannya sama, bahkan sampul suratnya juga
serupa, terang surat ini tulen.”

“Sebagai seorang tua, setiap tindakan selalu
kulakukan dengan cermat, apalagi urusan ini
menyangkut mati-hidup pang kita dan menyangkut nama
baik seorang enghiong-hokiat (kesatria dan pahlawan),
mana boleh aku bertindak secara serampangan,” tutur
Ci-tianglo.

Mendengar sampai di sini, sinar mata semua orang
tanpa terasa beralih ke arah Kiau Hong, mereka tahu
“enghiong-hokiat” yang dimaksudkan itu tentulah Kiau
Hong. Tapi demi sinar mata mereka kebentrok dengan
sorot mata Kiau Hong, segera mereka menunduk lagi.

“Aku tahu suami-istri Tam-si dari Hoa-san mempunyai
hubungan baik juga dengan penulis surat ini, maka
sengaja kudatangi mereka untuk minta nasihat. Untuk
mana Tam-poh telah bercerita kepadaku seluk-beluk
yang berliku-liku dalam urusan ini. Tapi, ai,
sesungguhnya aku tidak tega bicara terus terang,
sungguh kasihan, sayang, menyedihkan dan
mengharukan!”

Sampai di sini barulah semua orang tahu bahwa
kedatangan Tan Cing dan suami-istri Tam-si adalah

1234




karena undangan Ci-tianglo yang minta mereka menjadi
saksi.

Lalu Ci-tianglo bertutur lagi, “Tatkala itu Tam-poh
bilang padaku bahwa ada seorang suheng yang pernah
ikut melihat dan mengalami sendiri kejadian itu, kalau
suhengnya itu diminta menceritakan duduknya perkara
pastilah akan terang persoalannya. Dan suhengnya itu
bukan lain adalah Tio-ci-sun Siansing ini. Sifat Siansing
ini rada berbeda daripada orang biasa, tidak mudah
untuk mengundangnya kemari. Tapi berkat bantuan Tampoh,
cukup sehelai surat saja dan Siansing ini sudah sudi
berkunjung kemari ....”

“He, jadi engkau yang mengundang dia ke sini?”
teriak Tam-kong mendadak kepada Tam-poh dengan
gusar. “Mengapa sebelumnya tidak kau beri tahukan
padaku? Jadi di luar tahuku kau berbuat sembunyisembunyi?”


“Berbuat sembunyi-sembunyi apa?” sahut Tam-poh
tidak mau kalah. “Aku menulis surat dan minta Ci-tianglo
menyuruh orang mengirimkannya, hal ini dilakukan
dengan terang-terangan, mengapa dikatakan sembunyisembunyi?
Dasar memang kau suka minum cuka, maka
tidak kuberi tahukan padamu, sebab kutahu kau pasti
akan rewel, buktinya sekarang!”

“Berbuat sesuatu di luar tahu sang suami, tidak
menjaga susila sebagai seorang wanita, itulah tidak
pantas!” seru Tam-kong.

“Plak”, kontan Tam-poh menempeleng pipi sang
suami.

1235




Sudah jelas ilmu silat Tam-kong jauh lebih tinggi
daripada Tam-poh, tapi ketika dipukul sang istri, ia tidak
menangkis dan juga tidak berkelit, tanpa bergerak ia
biarkan dirinya digampar sekali. Menyusul ia lantas
mengeluarkan sebuah kotak kecil lagi, ia colek sedikit
salep dan dipoles di pipi sendiri hingga merah biru bekas
tamparan itu hilang seketika. Yang satu memukul dengan
cepat yang lainnya cepat mengobati. Dengan demikian
rasa gusar kedua orang pun lenyap semua.

Semua orang merasa geli oleh kejadian itu.
Sebaliknya mendadak Tio-ci-sun menghela napas
panjang, dengan suara sedih memilukan ia berkata,
“Kiranya demikian, kiranya demikian! Ai, tahu begini,
menyesal aku sekarang. Kalau cuma dipukul beberapa
kali seperti ini apa susahnya?”

Nada suaranya ternyata penuh rasa penyesalan.

“Setiap kali bila kupukulmu, selalu kau membalas,
selamanya tidak mau mengalah sedikit pun,” demikian
kata Tam-poh dengan suara lembut.

Tio-ci-sun termangu-mangu seperti patung, terkenang
olehnya masa lampau. Sang sumoay itu lincah dan genit,
sedikit-sedikit suka ngambek dan memukul orang, setiap
kali tanpa sebab dirinya dipukul, karena penasaran,
maka terjadilah pertengkaran, dan sebab itulah
perjodohan yang sebenarnya amat bahagia itu akhirnya
gagal.

Kini menyaksikan sendiri Tam-kong manda dipukul
begitu tanpa membalas, barulah sekarang ia sadar

1236




kesalahannya sendiri. Ia menyesal sifatnya yang tidak
mau mengalah itu. Pantas selama berpuluh tahun ini ia
tidak menemukan jawabannya mengapa sang sumoay
bisa jatuh cinta kepada orang lain, kiranya rahasianya
cuma satu, yaitu, “manda dipukul”.

Maka terdengar Ci-tianglo sedang berkata, “Tio-ci-sun
Siansing, harap suka bicara di depan orang banyak,
kejadian yang tertulis dalam surat wasiat ini benar atau
tidak?”

Tapi Tio-ci-sun sedang melayang-layang pikirannya
dan bergumam sendiri, “Ai, aku benar-benar tolol,
mengapa waktu itu tidak dapat berpikir? Kusangka
belajar silat gunanya untuk menghajar musuh, untuk
memukul orang jahat, mengapa dipakai menghantam
badan sang kekasih? Siapa tahu memukul itu artinya
cinta, memaki itu artinya suka. Ai, ai, jika begitu, apa
artinya cuma menerima beberapa kali tempelengan?”

Semua orang merasa geli dan merasa cinta buta
orang aneh itu pantas dikasihani pula. Orang lain sedang
menghadapi urusan mahapenting dalam Kay-pang,
sebaliknya ia sendiri bicara yang tidak-tidak. Lalu,
kebenaran ceritanya apa dapat dipercaya?

Karena tidak mendapat jawaban sebagaimana
mestinya, kembali Ci-tianglo tanya lagi, “Tio-ci-sun
Siansing, kami mengundangmu ke sini hanya ingin minta
engkau suka menceritakan bagaimana isi surat itu.”

“O, ya, benar!” seru Tio-ci-sun. “Ehm, tentang isi surat
itu, meski ringkas saja tulisannya, tapi cukup
mengesankan .... Empat puluh tahun yang lalu kita

1237




tinggal dalam serumah dan makan semeja, suasana itu
seakan-akan baru saja terjadi, bila terkenang sekarang,
tentu kakak pun sudah ubanan, wajah dan senyum pasti
tidak lagi seperti sediakala.”

Buset! Ci-tianglo tanya bagaimana isi surat wasiat Be
Tay-goan itu, sebaliknya ia menguraikan isi surat cinta
yang diterimanya dari Tam-poh.

Karena kewalahan, akhirnya Ci-tianglo berkata
kepada Tam-poh, “Tam-hujin, harap engkau yang minta
dia bicara saja.”

Tak terduga Tam-poh sendiri juga lagi termangumangu
ketika mendengar bekas kekasih itu sedemikian
memerhatikan sepucuk suratnya, bahkan isi surat
dihafalkan di luar kepala, suatu tanda surat itu entah
berapa kali telah dibacanya. Dan demi mendengar
permintaan Ci-tianglo itu, maka berkatalah dia, “Suko,
harap tuturkan bagaimana kejadian dahulu itu.”

“Kejadian dahulu itu sampai sekarang masih kuingat
dengan baik,” sahut Tio-ci-sun. “Rambutmu terkepang
menjadi dua kucir, ujung kucir berhiaskan dua pita kupu
merah. Waktu Suhu mengajarkan jurus ‘Thau-liong-coanhong’
itu ....”

Mendengar istilah “Thau-liong-coan-hong” atau
mencuri naga dan menukar burung hong, Giok-yan
seperti sadar akan sesuatu, ia mengangguk perlahan.

Sedangkan Tam-poh lantas berkata, “Suko, jangan
lagi bicara urusan kita masa lampau, tapi Ci-tianglo
sedang tanya padamu tentang banjir darah dalam

1238




pertempuran di Loan-ciok-kok di luar Gan-bun-koan
dahulu, di mana engkau sendiri ikut menyaksikan, maka
ceritakanlah kepada hadirin dari apa yang kau lihat itu.”

“Tentang ... tentang pertempuran di ... di Loan-ciokkok
(lembah batu padas) ... di Gan-bun-koan ....” sahut
Tio-ci-sun dengan suara gemetar dan air muka berubah
hebat, sekali putar tubuh, sekonyong-konyong ia
melarikan diri ke arah selatan yang lowong itu dengan
cepat luar biasa.

Melihat orang aneh itu dalam sekejap saja akan
lenyap di balik hutan sana, untuk mengejar terang tidak
keburu lagi, maka semua orang cuma dapat berteriakteriak
untuk mencegahnya. Namun Tio-ci-sun tidak peduli
lagi, ia berlari terlebih cepat.

“Rambut kakak kini tentu sudah ubanan, wajah dan
senyummu pastilah tidak lagi seperti sediakala,” demikian
mendadak suara seorang berseru dengan lantang.

Sekonyong-konyong Tio-ci-sun berhenti lari, ia
menoleh dan menegur, “Siapa itu yang bicara?”

“Habis, bila bukan karena itu, mengapa engkau
merasa malu menghadapi Tam-kong dan mesti
melarikan diri?” sahut suara itu.

Waktu semua orang memandang ke arah suara itu,
kiranya yang bicara adalah Coan Koan-jing.

“Siapa yang merasa malu? Paling-paling dia cuma
pandai ‘manda dipukul’, apanya yang mampu
mengalahkan aku?” Tio-ci-sun.

1239




“Manda dipukul tanpa membalas, itu adalah ilmu
nomor satu di dunia ini, masakah gampang dipelajari?”
tiba-tiba suara seorang tua menyela dari balik hutan
sana.

Ketika semua orang berpaling, tertampaklah dari balik
pohon sana muncul seorang hwesio berjubah warna
kelabu, bermuka lebar dan bertelinga besar, wajahnya
sangat kereng.

“Hah, kiranya Ti-kong Taysu dari Thian-tay-san telah
tiba, sudah lebih 30 tahun tidak bertemu, Taysu ternyata
masih sehat dan kuat,” segera Ci-tianglo menyapa.

Nama Ti-kong Hwesio tidak terkenal dalam Bu-lim,
maka tokoh-tokoh angkatan muda dari Kay-pang tiada
yang kenal asal usulnya. Tapi Kiau Hong, Coan Koanjing
dan para tianglo seketika bangkit untuk menyambut
kedatangan padri itu.

Mereka kenal padri itu pernah mengembara ke luar
lautan untuk mencari obat-obatan yang tepat untuk
menyembuhkan penyakit malaria yang berjangkit di
sekitar provinsi Kwitang dan Hokkian pada beberapa
tahun yang lalu, sebab itulah Ti-kong sendiri sampai jatuh
sakit payah dua kali hingga ilmu silatnya pun punah.
Namun jasanya bagi kesejahteraan rakyat tidak sedikit
artinya. Maka semua orang pun berturut-turut maju untuk
memberi hormat padanya.

Segera Ti-kong berkata kepada Tio-ci-sun dengan
tertawa, “Ilmu silat lebih rendah dari lawan dan manda
dihantam tanpa membalas, hal ini saja sukar dicari. Bila

1240




ilmu silat lebih tinggi, dan diserang tetap tidak membalas,
hal ini lebih-lebih jarang terdapat orangnya.”

Tio-ci-sun termangu-mangu menunduk, ia seperti
sadar akan sesuatu.

Maka Ti-kong berkata pula, “Kebetulan kulewat di sini,
tidak nyana para pahlawan sedang berkumpul di sini
hingga terganggu, harap dimaafkan, biarlah kumohon diri
saja.”

“Ti-kong Taysu adalah padri saleh yang telah banyak
menolong sesamanya, siapa pun tentu menaruh hormat,”
kata Ci-tianglo. “Hari ini Kay-pang kami sedang
menghadapi suatu persoalan mahasulit, kebetulan Taysu
berkunjung kemari, sungguh beruntung Kay-pang kami,
sebab kalau sengaja mengundang, belum tentu Taysu
sudi datang. Maka mumpung datang, betapa pun harap
Taysu suka mengaso sebentar.”

“Eh, ya, pertempuran di Loan-ciok-kok itu Ti-kong
Hwesio juga ikut ambil bagian. Nah, suruh dia saja yang
bercerita,” tiba-tiba Tio-ci-sun berseru.

Mendengar tentang “pertempuran di Loan-ciok-kok”,
sekilas Ti-kong menampilkan rasa heran, seperti takuttakut
dan merasa ngeri pula, tapi akhirnya wajahnya
kembali kepada perasaan yang welas asih, katanya
dengan gegetun, “Terlalu banyak bunuh-membunuh!
Terlalu kejam! Urusan itu kalau diceritakan sungguh
sangat memalukan. Peristiwa Loan-ciok-kok itu adalah
kejadian 30 tahun yang lalu, mengapa para Sicu hari ini
kembali mengungkatnya?”

1241




“Lantaran saat ini-Kay-pang kami sedang menghadapi
pergolakan yang menyangkut isi sepucuk surat ini,” kata
Ci-tianglo sambil mengangsurkan surat wasiat tadi.

Setelah membaca dan mengulangi lagi isi surat itu, Tikong
geleng kepala dan berkata, “Permusuhan lebih baik
diselesaikan daripada ditambah, urusan yang sudah lalu
buat apa diungkat lagi? Menurut pendapatku, surat ini
dibakar saja dan urusan pun selesai!”

“Tapi Be-hupangcu kami telah ditewaskan orang
secara mengenaskan, kalau tidak diusut, kematian Behupangcu
menjadi penasaran dan pang kami pun
menghadapi bahaya keretakan,” ujar Ci-tianglo.

“Benar juga, benar juga!” kata Ti-kong mengangguk.

Tatkala itu bulan sabit tampak menghiasi cakrawala
dengan sinarnya yang remang-remang menimpa pucuk
pohon hutan itu. Ti-kong memandang sekejap ke arah
Tio-ci-sun, lalu berkata pula, “Baiklah, aku telah berbuat
salah, untuk mana juga tidak perlu ditutupi, biarlah
kuceritakan terus terang saja.”

Kita berjuang demi nusa dan bangsa, tidak dapat
dikatakan berbuat salah,” ujar Tio-ci-sun.

“Salah tetap salah, buat apa mesti pakai alasan,” ujar
Ti-kong sambil menggoyang kepala. “Tiga puluh tahun
yang lampau, tiba-tiba para pahlawan Tionggoan
mendapat berita, katanya lebih 200 jago Cidan akan
menyerbu ke Siau-lim-si untuk merampok kitab-kitab suci
yang sudah tersimpan beratus tahun dalam biara itu.”

1242




Semua orang merasa heran dan menganggap ambisi
jago Cidan itu benar-benar kelewat batas. Sebab harus
diketahui bahwa ilmu silat Siau-lim-si adalah inti ilmu silat
seluruh Tiongkok, kalau pelajaran silat Siau-lim-si sampai
dirampas bangsa Cidan dan disebarkan dalam pasukan
tentara mereka, tentu pasukan Song takkan mampu
melawan mereka lagi di medan perang.

“Sudah tentu urusan itu sangat penting, bila usaha
Cidan itu berhasil, tentu kerajaan Song kita akan
menghadapi bahaya kehancuran dan anak cucu kita
pasti akan musnah pula,” demikian Ti-kong melanjutkan.
“Oleh karena urusan sudah mendesak, kami tidak
sempat berunding lebih jauh, ketika mendengar jago-jago
Cidan itu akan lewat Gan-bun-koan, di samping kami
mengirim orang menyampaikan kabar itu kepada Siaulim-
si, kami lantas berangkat beramai-ramai ke Gan-bunkoan
untuk mencegat kedatangan musuh dengan
maksud akan menghancurkannya lebih dulu ....”

Waktu itu kerajaan Song sering mendapat gangguan
dari Cidan, dalam pertempuran pasukan Song selalu
mengalami kekalahan, harta benda dan jiwa rakyat jelata
banyak yang ikut menjadi korban keganasan musuh. Kini
mendengar para pahlawan itu akan melabrak musuh,
tanpa terasa semua orang ikut bersemangat meski
kejadian itu sudah lama lampau.

“Kiau-pangcu,” tiba-tiba Ti-kong tanya Kiau Hong
dengan sinar mata tajam, “bila engkau menerima berita
begitu, bagaimana kiranya tindakanmu?”

1243




“Ti-kong Taysu,” sahut Kiau Hong dengan darah
mendidih, “biarpun aku orang she Kiau tidak punya
kepandaian apa-apa hingga sekarang aku dicurigai para
saudara anggota, tapi sekalipun aku tidak becus, paling
tidak juga seorang lelaki yang punya keberanian dan
berjiwa patriot, terhadap kewajiban yang menjadi bagian
setiap bangsa tidak nanti aku tinggal diam. Bangsa dan
negara kita sudah banyak diganggu musuh, dendam itu
siapa yang tidak ingin membalas? Jika kudengar berita
itu, sudah pasti juga aku akan pimpin anggota pang kami
dan serentak berangkat ke sana.”

Semua orang ikut terbangkit semangatnya demi
mendengar ucapan Kiau Hong yang gagah berani itu.

Ti-kong mengangguk-angguk, katanya, “Jika begitu,
jadi keberangkatan kami ke Gan-bun-koan untuk
menggempur musuh itu menurut pendapat Kiau-pangcu
adalah tepat bukan?”

Diam-diam Kiau Hong mendongkol karena
pertanyaan itu, masakah jawabannya tadi kurang tegas
hingga perlu ditanya pula? Tapi ia bersikap tenang saja
dan berkata, “Kiau Hong justru sangat kagum terhadap
tindakan para cianpwe yang patriotik itu, sayang aku
tidak dilahirkan lebih tua 30 tahun hingga dapat ikut serta
dalam rombongan para cianpwe itu untuk menghajar
musuh.”

Ti-kong memandang lekat-lekat kepada pangcu itu
dengan air muka keheran-heranan, lalu katanya pula
dengan perlahan, “Sesudah kami terima pemberitahuan
itu, di samping kami mengirim kabar kepada Siau-lim-si,
beramai-ramai kami lantas berangkat ke Gan-bun-koan

1244




dengan membagi diri dalam beberapa kelompok.
Kebetulan saudara ini ....”

Ia tuding Tio-ci-sun dan menyambung, “Dia bersama
dalam suatu rombongan kami. Rombongan kami ini
seluruhnya berjumlah 21 orang, betapa tinggi ilmu silat
Toako Pemimpin tidak perlu dikatakan lagi, kecuali itu
masih terdapat Ong-pangcu dari Kay-pang, Koan-in
Totiang dari Hoa-san, Ong Hiang-lim, dari Ban-seng-to
serta tokoh-tokoh pilihan lain yang terkenal di Bu-lim
pada zaman itu. Tatkala mana aku belum lagi menjadi
padri, sebenarnya tidak sesuai menggabungkan diri di
antara para tokoh terkemuka itu. Cuma terdorong oleh
semangat cinta negeri, dalam hal menghadapi musuh
tidak mau ketinggalan di belakang orang lain, makanya
aku berjuang sepenuh tenaga. Umpama saudara ini, ilmu
silatnya waktu itu bahkan jauh di atasku.”

“Memang benar,” kata Tio-ci-sun tanpa ditanya, “ilmu
silatmu waktu itu selisih jauh sekali denganku, paling
sedikit sekian selisihnya.”

Sambil berkata ia terus pentang kedua tangannya
untuk memberi suatu ukuran jarak, tapi ketika merasa
jarak itu kurang jauh, ia pentang tangannya lebih lebar
lagi hingga hampir dua meter jauhnya.

Namun Ti-kong tidak urus lagi padanya, ia
melanjutkan, “Setelah kami melintasi Gan-bun-koan
(gerbang tembok besar ujung barat), waktu itu sudah
dekat magrib, sepanjang jalan kami selalu siap siaga
dengan hati berdebar-debar. Setelah belasan li jauhnya,
hari pun mulai remang-remang. Tiba-tiba dari arah baratlaut
sana terdengar derap lari kuda, dari suara itu terang

1245




ada belasan jumlahnya. Segera Toako Pemimpin
memberi tanda agar berhenti.

“Rasa hati semua orang waktu itu bergirang
tercampur tegang. Girangnya karena berita yang diterima
itu ternyata benar, untung kami dapat tiba tepat pada
waktunya. Tapi semua orang pun sadar jago-jago Cidan
yang datang ini pasti bukan sembarangan jago, kalau
tidak, masakah mereka berani menantang Siau-lim-si
yang merupakan tulang punggung dunia persilatan di
Tiongkok itu, maka dapat dipastikan jago-jago Cidan ini
pasti jago pilihan semua. Dalam pertempuran biasanya
kerajaan Song kita selalu mengalami kekalahan melawan
Cidan, dan pertarungan kami ini apakah dapat menang,
sungguh sulit untuk diramalkan.

“Ketika Toako pimpinan memberi tanda pula, segera
kami menyembunyikan diri di balik batu-batu karang di
tepi jalan. Sisi kiri lembah pegunungan itu adalah sebuah
jurang curam yang banyak terdapat batu karang dan
dalamnya jurang sukar dijajaki. Sementara itu derap kuda
tadi sudah makin dekat, menyusul terdengar suara
nyanyi beberapa orang, lagunya bersemangat, tapi entah
apa artinya.

“Aku pegang golokku dengan erat, saking tegangnya
sampai aku mandi keringat. Kebetulan Toako Pemimpin
juga mendekam di sampingku, ia khawatir aku tidak
tahan sabar, maka perlahan menepuk pundakku sambil
tersenyum, lalu memberi tanda pula dengan gaya
menghantam, maksudnya membunuh musuh sebentar
lagi. Aku menjawabnya dengan tersenyum mantap.

1246




“Ketika musuh mulai dekat di tempat sembunyi kami,
waktu aku mengintip, kulihat jago-jago Cidan itu
semuanya memakai baju kulit, ada yang membawa
tombak, ada yang bergolok dan ada yang membawa
busur dengan panahnya, bahkan ada yang membawa
elang pemburu di pundaknya. Mereka datang dengan
tetap bernyanyi-nyanyi, sedikit pun tidak peduli apakah di
depan bakal diadang musuh atau tidak. Hanya sebentar
saja, kulihat berapa orang Cidan yang berada paling
depan itu semuanya berwajah bengis dan penuh
berewok. Melihat jarak musuh semakin mendekat, hatiku
pun tambah berdebar dan tegang ....”

Walaupun apa yang diceritakan Ti-kong itu adalah
kejadian pada 30 tahun yang silam, namun semua orang
mengikuti cerita itu dengan berdebar-debar.

“Kiau-pangcu,” kata Ti-kong kepada Kiau Hong,
“berhasil atau gagalnya usaha kami waktu itu
menyangkut nasib negara Song kita dengan berjuta-juta
rakyatnya yang tertindas, tapi kami justru tidak yakin
akan dapat menang. Keuntungan kami satu-satunya
waktu itu adalah kami siap menyerang, sebaliknya
musuh tidak tahu. Dalam keadaan begitu, bagaimana
kami harus bertindak menurut pendapat Kiau-pangcu?”

“Siasat militer tidak kenal ampun, bila perlu harus
memperdayakan musuh,” sahut Kiau Hong. “Apalagi
dalam pertempuran di antara kedua negara seperti itu,
kita tidak kenal lagi peraturan Bu-lim atau etiket
Kangouw. Pula ketika bangsa penjajah membunuhi
bangsa kita, apakah mereka pernah kenal kasihan?
Maka menurut pendapatku kita harus menyerangnya

1247




dengan am-gi (senjata gelap), dan am-gi itu harus
berbisa pula.”

“Tepat,” seru Ti-kong sambil menggaplok paha
sendiri. “Pendapat Kiau-pangcu persis seperti apa yang
kami pikirkan waktu itu. Maka ketika Toako Pemimpin
melihat musuh sudah dekat, sekali bersuit, segera ia
memerintahkan serangan umum dengan hamburan amgi
dari macam-macam jenis, ada piau baja, ada panah,
ada pisau terbang, ada peluru besi dan macam-macam
lagi, semuanya berbisa. Maka terdengarlah suara jeritan
di sana-sini, musuh menjadi kacau-balau dan tungganglanggang
jatuh dari kuda mereka.”

Mendengar sampai di sini, seketika banyak di antara
pendengar itu bersorak-sorai.

“Dalam pada itu aku telah dapat menghitung dengan
jelas bahwa penunggang kuda musuh itu berjumlah 18
orang, 11 orang di antaranya telah roboh oleh serangan
am-gi kami, sisanya tinggal tujuh orang saja. Segera
kami mengerubut maju, di bawah hujan macam-macam
senjata, hanya sebentar saja ketujuh orang itu pun dapat
kami bunuh semua, satu pun tiada yang lolos.”

Sampai di sini, kembali orang-orang Kay-pang ada
yang bersorak lagi. Tapi Kiau Hong dan Toan Ki justru
berpikir, “Tadi kau bilang jago-jago Cidan itu adalah jago
pilihan, tapi mengapa begitu tak becus, hanya sebentar
saja sudah terbunuh semua?”

Maka terdengar Ti-kong berkata pula dengan
menghela napas, “Sekaligus kami dapat membunuh ke18
jago Cidan itu, meski bergirang, tapi juga curiga dan

1248




merasa jago-jago Cidan itu mengapa begitu tak berguna,
hanya sekali-dua gebrak saja sudah lantas mampus,
sama sekali bukan jago kelas pilihan, jangan-jangan
berita yang diterima itu tidak benar? Dan mungkin pula
musuh sengaja mengatur perangkap itu untuk menjebak
kami. Tapi sebelum kami sempat bertukar pikiran, tibatiba
terdengar suara berdetaknya kuda pula, dari arah
yang sama tampak muncul lagi dua penunggang kuda.

“Sekali ini kami tidak bersembunyi lagi, tapi terus
memapak maju. Ternyata penunggang kuda itu adalah
sepasang laki perempuan. Yang lelaki bertubuh tinggi
besar, gagah berwibawa, dandanannya juga jauh lebih
mentereng daripada ke-18 orang tadi. Yang wanita
adalah seorang nyonya muda dan membopong seorang
bayi. Sambil keprak kuda mereka asyik bicara dengan
sangat mesra tampaknya, terang mereka itu adalah
pasangan suami-istri.

“Ketika melihat rombongan kami, mereka merasa
heran, demi kemudian melihat pula mayat ke-18 orang
tadi, lelaki itu seketika berubah beringas terus
membentak-bentak menanyai kami. Sudah tentu kami
tidak tahu apa yang dikatakannya dalam bahasa Cidan
itu. Kawan Put Tay-hiong dari Soasay yang berjuluk Thitha
(si Pagoda Besi), yaitu karena perawakannya tinggi
besar dan kuat, segera membentak, ‘Anjing asing,
serahkan nyawamu!’ — berbareng senjatanya yang
berwujud toya lantas mengemplang lelaki itu. Namun
Toako Pemimpin kami merasa ragu, cepat bentaknya,
‘Jangan sembrono, Pui-hiati, jangan membinasakan dia,
tangkap saja untuk ditanyai.’

1249




“Tapi belum lenyap suara Toako Pemimpin, tahu-tahu
laki-laki Cidan itu telah ulur tangan kanan hingga toya Pui
Tay-hiong kena ditangkapnya, berbareng ia tarik ke
samping terus dipuntir, ‘krek’, tanpa ampun tulang lengan
Pui Tay-hiong dipatahkan.

“Karena kami tidak sempat lagi penolongnya, maka
segera ada beberapa kawan menghamburkan am-gi ke
arah musuh. Tapi sekali orang Cidan itu kebas lengan
bajunya, serangkum angin keras menyampuk senjata
gelap ke samping. Tampaknya sekali dia menghantam
lagi pasti jiwa Pui Tay-hiong akan melayang. Tak
tersangka dia cuma sedikit angkat toya yang masih
dipegangnya itu hingga tubuh Pui Tay-hiong ikut
terangkat ke atas lalu toya bersama pemiliknya
dilemparnya jauh-jauh ke tepi jalan, kemudian ia
mengoceh entah apa lagi yang tidak kami ketahui
maksudnya.

“Ilmu kepandaian yang ditunjukkan orang Cidan itu
keruan membuat kami tertegun semua, betapa lihai ilmu
silatnya itu bahkan di Tiongkok sendiri jarang terdapat,
nyata berita yang kami terima tentang jago-jago Cidan
yang akan menyerbu Siau-lim-si itu bukanlah omong
kosong, mungkin jago Cidan yang belum muncul bahkan
akan lebih lihai. Kami pikir mumpung menang jumlah
orang, biarlah bunuh dulu mereka. Maka sekaligus ada
beberapa kawan menerjang ke arah laki-laki itu,
sebagian kawan yang lain lantas menyerang si wanita.

“Tak terduga wanita itu sama sekali tidak mahir ilmu
silat, sekali seorang kawan menebas dengan pedangnya,
kontan sebelah lengan wanita itu terkutung dan karena
itu bayi yang dia gendong itu jatuh ke tanah, menyusul

1250




golok kawan lain membacok pula hingga separuh kepala
wanita itu terpenggal.

“Meski ilmu silat laki-laki Cidan itu sangat tinggi, tapi
di bawah keroyokan 6-7 orang, betapa pun sukar
melepaskan diri untuk menolong anak-istrinya. Semula ia
hanya melawan dengan gerak tipu yang hebat untuk
merampas senjata para kawan dan tidak melukainya, tapi
demi melihat istrinya terbunuh, matanya menjadi merah
membara, air mukanya beringas menyeramkan. Tanpa
terasa aku merasa jeri tatkala melihat sinar matanya
yang menakutkan itu.”

“Ya, itu pun tak bisa menyalahkanmu, tak dapat
menyalahkanmu!” tiba-tiba Tio-ci-sun menimbrung
dengan suara yang penuh penyesalan dan berduka, jauh
berbeda dengan ucapannya yang angin-anginan tadi.

“Pertarungan sengit itu sudah lampau 30 tahun
lamanya,” demikian Ti-kong menyambung, “tapi selama
30 tahun ini entah sudah berpuluh kali, bahkan beratus
kali dalam mimpiku seakan-akan kembali pada adegan
waktu itu. Sungguh pertarungan yang mahasengit itu
terlalu mendalam berkesan dalam benakku. Entah
dengan cara apa, sekali tangan laki-laki Cidan itu
bergerak, tahu-tahu senjata kedua orang kawanku sudah
terampas, menyusul sekali bacok dan sekali tebas,
seketika kedua kawan itu binasa. Terkadang orang itu
menubruk turun dari kudanya, lain saat ia cemplak pula
ke atas kudanya, dan hanya dengan pergi-datang begitu
secepat hantu iblis, dalam sekejap saja sudah sembilan
orang kawan kami terbinasa di tangannya.

1251




“Karena itu kami menjadi kalap juga, Toako
Pemimpin, Ong-pangcu dan lain-lain sama menyerbu
maju dengan mati-matian. Namun ilmu silat lawan itu
benar-benar aneh luar biasa. Setiap serangan, setiap
gerakannya selalu sukar diduga, di tengah deru angin
keras di luar Gan-bun-koan itu tercampur jerit ngeri para
pahlawan waktu menemui ajalnya, seketika berjatuhan
buah kepala dan anggota badan bertebaran, dalam
keadaan begitu, betapa pun tinggi ilmu silatmu paling-
paling juga cuma dapat menjaga diri saja dan tidak
mampu menolong kawan yang lain.

“Menyaksikan pertarungan sengit itu, hatiku
sesungguhnya sangat ketakutan, tapi demi tampak para
kawan satu per satu terbinasa dengan mengenaskan,
mau tak mau darahku mendidih juga, dengan penuh
semangat aku menerjang ke arah musuh. Kuangkat
golok dan membacok sekuat tenaga ke kepala lawan.
Aku sadar bila seranganku luput, maka jiwakulah yang
bakal melayang. Tampaknya golokku tinggal belasan
senti jaraknya di atas kepalanya, mendadak kulihat
tangan orang itu memegang seorang tawanan dan
dengan buah kepala tawanan itu ia papak bacokanku itu.

“Sekilas kulihat kepala orang itu adalah orang kedua
Tho-si-sam-hiong dari Kangsay, keruan aku terkejut, bila
bacokanku itu kena, tentu kepalanya akan berpisah
dengan tuannya. Maka sebisanya kutarik balik golokku,
namun menurunnya yang terlalu keras itu tak dapat
kutahan lagi, kepala kuda tungganganku sendiri yang
terbacok. Binatang itu meringkik sekali terus berjingkrak.
Dan pada saat itulah orang Cidan itu juga menggaplok ke
arahku dengan tangannya. Untung pada saat yang sama
kudaku menegak hingga mewakilkan aku menahan

1252




serangannya itu. Kalau tidak, tentu tulangku yang akan
remuk dan jiwa melayang.

“Tenaga gaplokan orang itu ternyata kuat sekali,
seketika aku bersama kudaku mencelat ke belakang,
bahkan aku terpental dan jatuhnya persis kecantol di
atas dahan pohon besar. Dalam keadaan ketakutan dan
merasa entah mati atau hidup, dari atas aku masih
sempat menyaksikan kawanku satu per satu disapu
roboh oleh orang Cidan itu dan akhirnya tinggal 5-6
orang saja yang masih bertahan sekuatnya. Kulihat
saudara ini pun tergeliat roboh bermandikan darah,
waktu itu aku menyangka dia sudah mati.”

“Kejadian memalukan itu kalau dibicarakan juga tetap
memalukan,” tukas Tio-ci-sun, “tapi aku juga tidak perlu
berdusta, biar kukatakan terus terang. Waktu itu
sebenarnya aku tidak terluka, tapi aku jatuh pingsan
ketakutan. Kulihat kedua kaki Tho-jiko kena dipegang
tangan musuh sekali pentang dan sekali beset, tahu-tahu
tubuh Tho-jiko dirobek menjadi dua, perutnya
berhamburan. Melihat itu, mendadak jantungku serasa
berhenti berdenyut, mataku menjadi gelap dan segala
apa selanjutnya tidak tahu lagi. Ya, memang aku
pengecut, melihat pembunuhan itu, saking ketakutan aku
jatuh pingsan.”

“Siapa pun bila menyaksikan cara orang Cidan itu
membunuh seganas iblis, mustahil jika bilang tidak takut,”
kata Ti-kong. “Di bawah sinar bulan remang-remang
seperti sekarang ini, kulihat kawan-kawan yang masih
menempur orang Cidan itu tinggal empat orang saja.
Toako Pemimpin insaf takkan lolos dari elmaut, maka
berulang-ulang ia membentak, ‘Siapa kau? Siapa kau?’

1253




“Tapi orang itu tidak menjawab, hanya dua jurus pula,
kembali dua orang kawan terbunuh lagi. Mendadak
kakinya mendepak hingga hiat-to di punggung Ongpangcu
tertendang, secara berantai menyusul kakinya
yang lain menendang pula hingga hiat-to bawah iga
Toako Pemimpin kena didepak.

“Tentang ilmu tiam-hiat sudah pernah kulihat macammacam
caranya, tapi orang itu ternyata dapat
menggunakan ujung kaki untuk menutuk hiat-to, baik
jitunya maupun cepatnya tendangan musuh sukar
dibayangkan. Bila waktu itu aku tidak ingat jiwa sendiri
juga terancam elmaut dan kedua korban tendangan itu
adalah orang yang paling kuhormati, mungkin saat itu
juga aku bisa bersorak memuji.

“Sesudah semua lawan dirobohkan, orang Cidan itu
terus lari ke samping mayat si wanita, ia menangis
meraung-raung memeluk jenazah itu, tangisnya sangat
memilukan, sampai aku sendiri hampir-hampir ikut
meneteskan air mata. Kupikir orang Cidan yang ganas
seperti binatang dan iblis ini kiranya juga mempunyai
rasa kemanusiaan, betapa rasa dukanya ternyata tidak
kalah rendah daripada bangsa Han kita.”

“Memangnya bangsa Cidan juga manusia, samasama
manusia mengapa bisa lebih rendah dari bangsa
Han? Bedanya mereka adalah kaum penjajah, dan kaum
penjajah harus diganyang!” sela Tio-ci-sun tiba-tiba.

“Setelah menangis sebentar, kemudian orang Cidan
itu mengangkat pula mayat anaknya, ia pandang
sejenak, lalu taruh mayat bayi itu di pangkuan ibundanya.

1254




Lalu ia mendekati Toako Pemimpin, ia membentakbentak
dan mencaci maki. Namun sedikit pun Toako
tidak menyerah, sebaliknya menjawabnya dengan mata
mendelik. Celakanya karena tertutuk, maka ia tidak dapat
bicara. Sekonyong-konyong orang Cidan itu
menengadah sambil bersuit panjang, tiba-tiba ia gunakan
jarinya untuk menulis di atas dinding batu, tatkala itu hari
sudah gelap, jarakku dengan dia agak jauh pula, maka
aku tidak tahu jelas apa yang ditulisnya itu.”

“Dia menulis dalam bahasa Cidan, biarpun dekat juga
kau tidak paham,” ujar Tio-ci-sun.

“Benar, biarpun dapat membaca dari dekat juga tidak
mengerti maksudnya,” kata Ti-kong. “Sesudah menulis,
kemudian orang itu mengangkat jenazah istri dan
anaknya berjalan ke tepi jurang lalu terjun bertiga.
Perbuatannya ini benar-benar di luar dugaanku. Semula
aku pikir orang yang berilmu silat setinggi ini tentu
mempunyai kedudukan terhormat di negeri Cidan,
serangan mereka pada Siau-lim-si sekali ini seumpama
dia bukan pemimpinnya, paling tidak juga salah seorang
tokoh terpenting.

“Setelah Toako Pemimpin dan Ong-pangcu ditawan
olehnya, sisanya terbunuh pula, boleh dikata dia telah
memperoleh kemenangan terakhir, siapa tahu dia justru
membunuh diri dengan terjun ke jurang. Padahal jurang
itu penuh dilapis kabut tebal hingga dalamnya sukar
dijajaki, betapa pun tinggi ilmu silatnya, sekali sudah
terjun ke situ pasti hancur lebur badannya. Begitulah
karena kaget, aku sampai menjerit.

1255




“Siapa duga di dalam kejadian aneh masih ada yang
lebih aneh, justru pada saat aku menjerit, tiba-tiba
terdengar suara menguak tangis bayi yang
berkumandang dari dalam jurang. Menyusul sepotong
benda melayang naik dari dalam jurang, ‘bluk’, benda itu
tepat jatuh di atas badan Ong-pangcu. Kudengar suara
tangis bayi yang tiada berhenti-henti, kiranya benda yang
jatuh di atas badan Ong-pangcu itu adalah si orok. Waktu
itu rasa takutku sudah lenyap, cepat kulompat turun dari
atas pohon dan berlari ke dekat Ong-pangcu, kulihat
anak Cidan itu telentang di atas perut beliau dan masih
menangis. Aku terheran-heran. Sesudah berpikir,
akhirnya kutahulah duduknya perkara.

Kiranya setelah wanita Cidan itu terbunuh bayinya
jatuh ke tanah dan untuk sementara berhenti
pernapasannya, tapi sebenarnya belum mati. Waktu lakilaki
Cidan itu merasa napas si orok sudah berhenti, ia
sangka anak-istrinya sudah tewas semua, maka ia terjun
ke jurang bersama kedua sosok mayat. Di luar dugaan,
karena mengalami guncangan, mendadak bayi itu
siuman kembali terus menangis.

“Laki-laki Cidan itu sesungguhnya sangat hebat, ia
tidak ingin anaknya terkubur hidup-hidup di dasar jurang,
maka begitu mengetahui anaknya belum mati, cepat ia
melemparkan anaknya ke atas. Ia ingat tempat dan
jaraknya, dan dengan persis bayi itu dilemparkan ke atas
tubuh Ong-pangcu hingga si orok tidak mengalami
cedera apa-apa.

“Kulihat para kawan hampir seluruhnya binasa
dengan mengenaskan, saking duka, bayi itu kupegang
dan hendak kubanting mampus. Tapi baru saja kuangkat,

1256




tiba-tiba terdengar tangisnya yang lebih keras, aku
memandang sekejap mukanya, kulihat mulutnya yang
kecil mungil itu terpentang lebar, air mukanya merah
padam, kedua matanya yang hitam cemerlang juga
sedang menatap padaku. Bila aku tidak memandanginya
dan terus membanting mampus dia, mungkin segala
urusan menjadi beres. Tapi demi kulihat mukanya yang
menyenangkan, betapa pun aku tidak tega turun tangan
kejam lagi. Diam-diam aku memaki diriku sendiri, ‘Hm,
membunuh seorang orok yang berumur beberapa bulan,
terhitung laki-laki gagah macam apa’?”

“Ti-kong Taysu,” tiba-tiba ada orang Kay-pang
berteriak, “bangsa Han kita tak terhitung banyaknya telah
menjadi korban keganasan penjajah Cidan. Dengan
mata kepala sendiri juga pernah kusaksikan pasukan
anjing Cidan menyunduk anak bayi bangsa kita dengan
ujung tombak sebagai satai, bahkan anggap perbuatan
itu sebagai suatu kesenangan. Coba katakan, kalau
mereka boleh membunuh, mengapa kita tidak?”

“Walaupun benar ucapanmu, tapi manusia tetap
manusia, dan setiap manusia tentu mempunyai rasa
perikemanusiaan sendiri-sendiri,” ujar Ti-kong. “Aku
sudah menyaksikan kematian orang begitu banyak,
sungguh aku tidak tega membunuh pula seorang bayi
yang tak berdosa. Biarlah, kalian boleh anggap aku
keliru, boleh juga katakan aku pengecut, pendek kata
aku tetap memberi kesempatan hidup kepada bayi itu.

“Kemudian aku berusaha hendak membuka hiat-to
Toako Pemimpin dan Ong-pangcu yang tertutuk itu. Tapi
sayang, pertama karena kepandaianku terlalu rendah,
kedua, ilmu menendang hiat-to orang Cidan itu terlalu

1257




aneh, biarpun aku sudah berusaha macam-macam jalan
tetap Toako dan Ong-pangcu tak dapat bergerak dan tak
bisa bicara.

“Karena tak berdaya,” demikian Ti-kong melanjutkan,
“terpaksa aku mendapatkan tiga ekor kuda dan
mengangkut Toako Pemimpin dan Ong-pangcu ke atas
kuda, cepat-cepat kami tinggalkan tempat itu. Aku sendiri
membopong bayi Cidan itu sambil menuntun kedua ekor
kuda yang lain, malam itu juga kami kembali ke Gan-bunkoan
untuk mencari tabib pandai, tapi tutukan Toako dan
Ong-pangcu itu tetap sukar ditolong. Sampai besok
malamnya, setelah genap sehari-semalam, barulah hiatto
itu terbuka sendiri.”

“Karena masih khawatir tentang rencana penyerbuan
jago Cidan kepada Siau-lim-si, maka begitu hiat-to
mereka terbuka, Toako Pemimpin dan Ong-pangcu
lantas menuju ke luar Gan-bun-koan untuk memeriksa
keadaan. Tertampak mayat bergelimpangan di tempat
kemarin, waktu kulongok ke dalam jurang, namun aku
tidak melihat apa-apa, yang ada cuma kabut belaka.
Segera kami bertiga mengubur mereka yang gugur itu.
Tapi ketika kami menghitung jumlahnya, ternyata tinggal
17 sosok mayat saja. Jumlah kami semula adalah 21
orang, tinggal kami bertiga, seharusnya yang gugur itu
berjumlah 18 orang, mengapa kurang satu?”

Berkata sampai di sini, sorot matanya lantas menatap
ke arah Tio-ci-sun.

“Ya, sebab salah satu sosok mayat di antaranya telah
hidup kembali dan tinggal pergi, sampai sekarang masih
tetap gentayangan kian kemari, ialah diriku si ‘Tio-ci-sun-

1258




li-ciu-go-the-ong-tan ini’,” kata Tio-ci-sun dengan senyum
pahit.

“Tapi waktu itu kami pun tidak curiga apa-apa, kami
pikir boleh jadi dalam pertarungan sengit itu saudara ini
telah terjerumus dalam jurang, maka tidak mengusutnya
lebih jauh. Tiba-tiba Toako pimpinan berkata kepada
Ong-pangcu, ‘Kiam-yan, jika orang Cidan itu mau
membunuh kita sebenarnya terlalu mudah, tapi mengapa
dia cuma menutuk hiat-to kita dan membiarkan kita terus
hidup?’ — ‘Hal ini pun membingungkan aku. Padahal kita
berdua terhitung tokoh pimpinan dan telah membunuh
anak-istrinya, pantasnya dia pasti akan membunuh mati
kita,’ demikian jawab Ong-pangcu.”

“Tapi kami bertiga tetap tidak mengerti, akhirnya
Toako Pemimpin berkata, ‘Tulisan yang dia gores di
dinding batu itu boleh jadi mengandung arti yang
mendalam.’ — Celakanya kami bertiga tidak paham
tulisan Cidan. Toako Pemimpin mencari sedikit air sungai
untuk mencairkan darah yang sudah membeku di tanah
itu, dengan air darah itu lalu dipoles di atas dinding batu
lalu baju sendiri yang putih itu ia robek untuk mencetak
tulisan di atas dinding.”

“Huruf-huruf Cidan yang ditulis dengan tangan di
dinding itu ternyata satu senti dalamnya, melulu tenaga
jari ini saja kuyakin di dunia ini pasti tiada yang mampu
menandinginya. Diam-diam kami merasa ngeri
membayangkan pertarungan sengit kemarin malam itu.”

“Setiba kembali di Gan-bun-koan, Ong-pangcu
mendapatkan seorang saudagar peternakan yang sering
membeli kuda dari negeri Cidan, ia perlihatkan huruf

1259




darah itu dan minta saudagar itu menyalinnya ke dalam
bahasa Han di atas kertas.” — berkata sampai di sini,
tiba-tiba ia mendongak memandang ke langit sambil
menghela napas panjang, lalu sambungnya, “Sehabis
membaca terjemahan dalam bahasa Han itu, kami
bertiga cuma saling pandang belaka, sungguh kami tidak
dapat memercayai apa yang dimaksudkan itu. Dengan
rasa tidak puas kami mencari seorang lain lagi yang
mahir tulisan Cidan dan secara bagian-bagian kami minta
dia menerjemahkan artinya. Tapi ternyata maksudnya
serupa. Ai, jika duduk perkaranya memang benar-benar
begitu, maka bukan saja kematian ke-17 saudara itu
sangat penasaran, bahkan orang-orang Cidan itu telah
menjadi korban tanpa berdosa, dan terhadap sepasang
suami-istri bangsa Cidan itu kami benar-benar merasa
berdosa.”

Karena ingin lekas mengetahui apa arti tulisan di atas
dinding batu itu, sebaliknya Ti-kong belum lagi
menerangkan, maka yang tidak sabar lantas berteriak,
“Apa yang dikatakan tulisan itu?” — “Ya, mengapa
merasa berdosa kepada mereka?”

“Para saudara,” sahut Ti-kong, “bukan aku sengaja
merahasiakannya dan tidak mau membeberkan arti
tulisan Cidan itu. Tapi hendaklah diketahui bila apa yang
dikatakan tulisan itu memang benar, maka Toako
Pemimpin, Ong-pangcu dan aku boleh dikata telah
berbuat kesalahan yang mahabesar dan malu untuk
hidup di dunia ini. Bagiku, yang cuma seorang ‘Bu-bengsiau-
cut’ (prajurit tak bernama, keroco) dalam Bu-lim,
kesalahan begitu boleh dikatakan tidak mengapa, tapi
bagi Toako Pemimpin dan Ong-pangcu yang mempunyai
kedudukan begitu penting, mana boleh sembarangan

1260




kukatakan? Apalagi Ong-pangcu sudah wafat, lebih-lebih
aku tidak boleh menodai nama mereka berdua. Maka
maafkanlah bila sementara ini aku tidak dapat
menerangkan.”

Mendengar hal itu menyangkut nama baik mendiang
Ong-pangcu, betapa pun orang-orang Kay-pang, tidak
berani tanya lagi.

Melihat semua orang sudah diam, kemudian Ti-kong
menyambung pula, “Setelah berunding dan tukar pikiran,
sungguh kami bertiga sukar memercayai apa yang
dikatakan dalam tulisan Cidan itu, tapi mau tak mau
harus percaya. Maka kami ambil keputusan untuk
memberi hidup pada bayi Cidan itu, lebih dulu kami
menuju Siau-lim-si untuk melihat gelagat, bila jago-jago
Cidan benar menyerbu dan bila kami tak dapat melawan
barulah bayi Cidan itu akan kami bunuh pula. Maka
siang-malam kami menuju ke Siau-lim-si, kami lihat tidak
sedikit kaum kesatria dan pahlawan dari berbagai daerah
telah datang membantu, maklum urusan ini menyangkut
nasib dan kehormatan berjuta rakyat bangsa kita, maka
setiap orang yang mendapat berita bahaya itu semuanya
ingin datang membantu.”

Sinar mata Ti-kong menyorot dari kiri ke kanan, ke
arah pendengarnya, katanya pula, “Pertemuan di Siaulim-
si waktu itu mungkin ada di antara hadirin yang
berusia sedikit lanjut juga ikut serta. Maka tidaklah perlu
kuuraikan lebih lanjut. Waktu itu semua orang cuma siap
siaga dan penuh waspada untuk menantikan datangnya
musuh. Tapi sejak bulan sembilan hingga akhir tahun,
selama tiga bulan itu ternyata tiada kabar sedikit pun
tentang gerak-gerik musuh.

1261




“Ketika orang yang menyampaikan berita semula
hendak ditanya, tapi orangnya sudah menghilang. Kami
baru menduga berita itu pasti tidak benar dan semua
orang telah dibodohi. Korban yang jatuh dalam
pertempuran Gan-bun-koan dikatakan terlalu penasaran.
Cuma tidak lama kemudian, pasukan Cidan benar-benar
menyerbu wilayah Hopak, para pahlawan banyak yang
ikut dalam perjuangan melawan penjajah itu, tentang
jago Cidan akan menyatroni Siau-lim-si atau tidak sudah
tak terpikir lagi oleh mereka, pendek kata orang Cidan
adalah musuh kita bersama.

“Tapi Toako Pemimpin, Ong-pangcu dan aku bertiga
karena merasa berdosa dalam peristiwa Gan-bun-koan
itu, maka kecuali memberitahukan pengalaman itu
kepada pihak Siau-lim-si, kami menyampaikan berita
duka itu pula kepada keluarga saudara-saudara yang
gugur, lebih dari itu kami tidak beri tahukan kepada
siapa-siapa pula. Sedangkan anak Cidan itu pun kami
titipkan pada suatu keluarga petani di kaki gunung Siausit-
san (di sini letak Siau-lim-si). Semula kami
dihadapkan pada kesulitan cara bagaimana mengatur diri
bocah itu.

“Kami sudah berdosa kepada ayah-bundanya dengan
sendirinya tidak dapat membunuhnya pula. Tapi bicara
tentang membesarkan anak itu, padahal bangsa Cidan
adalah musuh nasional kita, betapa pun kami bertiga
merasa ragu apa takkan terjadi ‘piara harimau
mendatangkan bencana’? Syukur kemudian Toako
Pemimpin mengeluarkan seratus tahil perak kepada
petani itu dan minta dia suka merawat anak itu disertai
syarat suami-istri petani itu harus mengakui bocah Cidan

1262




itu sebagai anak sendiri, bila anak sudah besar, sekalikali
jangan diberi tahu tentang asal-usulnya.

“Memangnya petani itu tidak punya anak, ia terima
dengan kegirangan. Betapa tidak girang, sudah diberi
anak, dapat uang pula. Sudah tentu dia tidak tahu anak
itu adalah bangsa Cidan, sebab sebelumnya kami sudah
mengganti baju anak itu dengan pakaian bangsa Han.
Maklum, setiap bangsa kita terlalu benci pada bangsa
Cidan, bila tahu anak itu keturunan Cidan, tentu
dibunuhnya ....”

Mendengar sampai di sini, dalam hati Kiau Hong
sudah dapat menerka siapa anak yang dimaksudkan Tikong
itu, dengan suara gemetar ia tanya, “Ti-kong Taysu,
siapakah nama petani ... petani di kaki gunung Siau-sitsan
itu?”

“Jika engkau sudah menerkanya, maka aku pun tidak
perlu menutupi lagi,” sahut Ti-kong. “Petani itu she Kiau
dan bernama Sam-hoay.”

“Tidak! Ti ... tidak!” seru Kiau Hong dengan suara
terputus-putus. “Engkau sengaja mengarang cerita yang
tidak benar untuk memfitnah diriku. Terang gamblang
aku bangsa Han, mana mungkin aku orang Cidan? Kau
be ... berani ngaco-belo? .... Kiau Sam-hoay itu adalah
ayahku yang sebenarnya, kau ... kau berani
sembarangan mengoceh?”

Habis berkata, mendadak ia melompat maju, sekali
pegang, dada Ti-kong kena dijambretnya.

1263




“Jangan!” teriak Ci-tianglo dan Tan Cing berbareng
sambil melompat maju hendak menolong Ti-kong.

Tapi Kiau Hong teramat cepat, sekali mengegos,
tahu-tahu ia sudah menggeser ke samping sambil
menyeret tubuh Ti-kong.

Tan Tiong-san, Tan Siok-san dan Tan Ki-san, ketiga
putra Tan Cing, serentak menubruk ke belakang Kiau
Hong. Dalam keadaan gusar dan dongkol, Kiau Hong
mengamuk, sekali pegang, Tan Siok-san kena dilempar
pergi, menyusul Tan Tiong-san didepak pula hingga
terguling, ketiga kalinya Tan Ki-san kena dibanting ke
tanah, menyusul kakinya menginjak di atas kepala jago
Thay-san itu.

Kelima jago Thay-san itu sangat disegani di sekitar
Soatang, sudah lama nama kelima saudara keluarga Tan
itu tersohor dan bukan lagi bocah yang masih hijau. Tapi
sambil menjambret dada Ti-kong, hanya beberapa kali
gerakan saja mereka dirobohkan Kiau Hong tanpa bisa
melawan sedikit pun, keruan semua orang sampai
terkesima.

Sudah tentu Tan Cing, Tan Pek-san dan Tan Siak-san
bermaksud menolong anak dan saudara mereka, tapi
demi tampak kepala Tan Ki-san terinjak kaki Kiau Hong,
asal sedikit Kiau Hong gunakan tenaga, seketika kepala
Tan Ki-san bisa pecah. Karena itulah mereka menjadi
takut dan tidak berani sembarangan bertindak.

“Kiau-pangcu, ada persoalan apa, harap bicara
secara baik-baik, janganlah pakai kekerasan, keluarga
Tan kami juga tiada permusuhan apa-apa denganmu,

1264




lepaskanlah putraku,” demikian seru Tan Cing dengan
nada memohon.

Ci-tianglo juga berkata, “Kiau-pangcu, Ti-kong Taysu
adalah tokoh yang sangat dihormati setiap orang
Kangouw, jangan kau bikin susah padanya.”
Anda sedang membaca artikel tentang Pendekar Negeri Tayli 6 [Lanjutan Pendekar Negeri Tayli 5) dan anda bisa menemukan artikel Pendekar Negeri Tayli 6 [Lanjutan Pendekar Negeri Tayli 5) ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/pendekar-negeri-tayli-6-lanjutan.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pendekar Negeri Tayli 6 [Lanjutan Pendekar Negeri Tayli 5) ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Pendekar Negeri Tayli 6 [Lanjutan Pendekar Negeri Tayli 5) sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Pendekar Negeri Tayli 6 [Lanjutan Pendekar Negeri Tayli 5) with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/pendekar-negeri-tayli-6-lanjutan.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar