Cerita Panas asmara Silat : Bukit Pemakan Manusia 6 Tamat

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 20 Juli 2012

Cerita Panas asmara Silat : Bukit Pemakan Manusia 6 Tamat-Cerita Panas asmara Silat : Bukit Pemakan Manusia 6 Tamat-Cerita Panas asmara Silat : Bukit Pemakan Manusia 6 Tamat-Cerita Panas asmara Silat : Bukit Pemakan Manusia 6 Tamat-Cerita Panas asmara Silat : Bukit Pemakan Manusia 6 Tamat


Ceng bun keng termenung sambil memutar otak beberapa saat
lamanya, kemudian sahutnya sambil menggeleng:
"Apakah majikan bersedia untuk mengajarkan kepadaku?" Mao Tin
hong mengangkat bahu, tertawa. "Kotak besi dan lempengan
tembaganya memang tak bisa
dipalsukan tapi sumbu lilin itu." "Betul" teriak Ceng bun keng sambil
mengerdipkan matanya
berulang kali, "bila di tukar dengan barang yang bermutu jelek, sekilas
pandang orang tak akan menduga sampai kesana."
"Tidak begitu!" kata Mao Tin-hong sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali. "bukankah barang palsupun dapat bersinar pula?"
Ceng Bun-keng menjadi berdiri bodoh, sahutnya dengan perasaan tidak
habis mengerti.
"Benar, benar, betapa pun baik atau jelek nya mutu lilin, bila disulut
memang pasti bersinar."
Mao Tin-hong segera mendengus "Maksudku adalah..." Kembali Ceng
Bun-keng salah mengartikan maksudnya, dia
segera menukas lagi: "Apakah majikan hendak menggunakan barang
palsu untuk
ditukar dengan barang yang asli ? Kalau sampai begitu, sinarnya pasti
tak akan terlalu terang."
"Tidak, harus yang bersinar terang, bahkan sinar tersebut harus kuat
sekali." kata Mao Tin bong mengernyitkan alis matanya yang cacad.
Ceng Bun-keng semakin dibikin tidak habis mengerti, "Apakah kita harus
memasang dengan lilin putih yang paling baik?" tanyanya.
"Betul! Kita harus menggunakan yang paling terang." sahut Mao
Tin-hong sambil mengangguk.
Ceng Bun-keng semakin kebingungan "Mereka minta enam buah
lentera yang bila disulut bersama akan
terbentuk sebuah lingkaran cahaya yang bisa menerangi daerah se luas
setengah li lebih hingga ulat dan binatang kecil sukar menyembunyikan
diri, sebab suku Biau paling percaya tahayul, mereka akan mengira
cahaya mana sebagai Halilintar..."
Sambil menyeringai seram, Mao Tin-hong berseru sambil bertepuk
tangan berulang kali:
"Betul ! BetuI ! Nama yang bagus sekali, Halilintar... betul, memang
halilintar !"
Ceng Bun-keng berdiri termangu-mangu di sisi arena, untuk beberapa
saat lamanya dia tak tahu harus bagaimana menjawab perkataan
tersebut..
Tak lama kemudian, Mao Tin-hong telah menempelkan mulutnya disisi
telinga Ceng Bun keng dan membisikkan sesuatu kepadanya.
Kemudiah tampak Ceng Bun-keng terkejut lalu berseru, katanya
kemudian sambil menganggukkan kepalanya berulang kali:
"Suatu rencana yang amat bagus, benar-benar sebuah rencana yang
amat bagus nya, hanya majikan seorang yang dapat menemukan cara
sebagus ini."
Mao Tin hong tertawa seram.
"Bun-keng, mereka yang tak tahu keadaan yang sebenarnya pasti akan
menyulut lentera tersebut dengan begitu saja, akibatnya akan terjadi
serentetan suara keras yang menggetarkan bumi diiringi percikan bunga
api ke-mana-mana, jenazah akan musnah tak berwujud dan orang suku
Biau itu pasti akan mempercayai cahaya mana sebagai Halilintar..."
"Tentu, tentu" ucap Ceng Ban keng tertawa, "kalau bukan halilintar,
mana mungkin bisa bercahaya begiu tajam ? Kalau bukan Halilintar,
mengapa manusia hidup bisa berubah menjadi musnah hingga tak
berbekas ? Bagus sekali! Tepat sekali !"
Kembali Mao Tin hong tertawa seram. "Pada saat ituIah Ketua
Korawa pasti akan menyembah berulang
kali diatas tanah kemudian ssmbil berisak tangis akan melakukan
persembahan untuk dewa api, setelah itu mereka akan melakukan
serbuan secara besar-besaran terhadap orang-orang itu dan melakukan
pembunuhan secara besar-besaran."
Mendadak Ceng Bun keng berkata: "Majikan, andaikata sampai
terjadi hal begini, kemungkinan besar
gua Pek hoa tong akan menjadi sasaran yang pertama!" "Betul,
memang inilah yang kukehendaki!" seru Mao Tin hong
sambil manggut-manggut. "Oooh, apakah majikan sudah mempunyai
persiapan lain?" "Tentu saja, sekembalinya aku kesana, akan mulai
kulatih
sepasukan yang tangguh, asalkan pasukan besar suku Korawa sudah
melakukan penyerbuan secara besar-besaran, maka aku pun akan
mengenakan siasat barisan terpendam untuk mengepung mereka
semua..."
Mendengar uraian mana, tanpa terasa Ceng Bun-keng menyela:
"BiIa suku Biau sedang melakukan serbuan, mereka akan lakukan
seperti air laut yang sedang pasang, setelah menyambar sejauh
mungkin, maka mereka pun akan mundur teratur siasat barisan
terpendam apa sih yang majikan persiapkan? Masa kehebatannya
sanggup untuk mengurung mereka semua ?"
"Kau tak usah kuatir!" kata Mao Tin hong sambil tertawa seram, "untuk
menuju ke gua Pek hoa tong hanya terdapat sebuah jalan masuk saja,
padahal ke dua sisinya merupakan tebing yang tinggi dengan
permukaan yang licin, bila ada orang yang memasuki lembah tersebut,
maka mereka hanya bisa mundur dari situ apabila melalui jalanan
satu-satunya yang tersedia !"
Ceng Bun-keng lantas manggut-manggut, "Yaa, yaa, itulah dia, rencana
dari majikan memang luar biasa sekali"
Tetap orang gemar disanjung tidak terkecuali pula Mao Tin hong
sendiri, sambil tertawa, kembali dia berkata:
"Di saat orang-orang Kurawa tersebut terkurung, maka sarang suku
leher panjang mereka sudah diduduki oleh pasukan terpendamku,
kemudian akan kulakukan operasi secara besar- besaran, mereka yang
bisa kumanfaatkan akan kupakai, sementara mereka yang tak mau
tunduk akan kusikat sampai lenyap."
Agaknya Ceng Bun keng telah memahami maksud yang sesungguhnya
dari Mao Tin hong, dia lantas berkata lagi:
"Yaa betul! asalkan suku Biau berleher panjang dapat ditundukkan tidak
sampai setahun kemudian delapan gua enam belas benteng yang berada
di wilayah Biau akan menjadi barang dalam saku kita, pada saat itulah
majikan akan menjadi pemimpin yang sebenarnya dari seluruh wilayah
Biau..."
Mao Tin-hong tersenyum. "Memang begitulah keinginanku, bila
sampai demikian..." Berbicara sampai disitu, dia lantas menepuk
bahu Ceng Bun-keng
sambil menambahkan: "Bun-keng, pasir emas yang tiada habisnya
didulang itu akan
kuserahkan kepengurusannya kepadamu, sedangkan obat-obatan dan
kulit yang tiada terhitung jumlahnya juga akan ku serahkan
kepadamu untuk mengaturnya, kemudian kita kumpulkan mereka yang
tercerai berai, bersahabat dengan para enghiong..."
Dengan wajah berseri Ceng Bun keng segera menukas: "Majikan,
besar amat ambisimu rupanya kau hendak melalap
seluruh dunia ?" "Setiap lelaki yang berhasil mendapatkan hak dan
kekuasaan
seperti ini, mereka pasti akan berbuat demikian, tidak terkecuali pula
dengan diri sendiri."
"Terus terang saja, hamba bersedia menjadi penuntun kuda sambil
membawa lentera !" seru Ceng Bun keng amat tertarik.
"Aaah, perkataan apakah itu..." tegur Mao Tin hong serius, "Bun keng,
kau bukan pembawa jalan, kau adalah salah seorang arsitek yang
merupakan pahlawan pembangun negara baru, setiap orang memang
harus memiliki cita-cita yang tangguh dan asal ada cita cita, entah cita
cita itu biasa saja atau muluk, orang boleh bebas melakukannya."
Begitu pula halnya dengan Mao Tin hong dan Ceng bun keng sekarang,
merekapun sedang terjerumus didalam cita-cita yang muluk. Namun
kalau berbicara sesungguhnya, andaikata apa yang diharapkan Mao Tin
hong bisa terjadi sebagaimana yang direncanakan, maka tak sulit bagi
mereka untuk mewujudkan cita- citanya itu.
Begitulah, selesai berunding mereka berdua pun berangkat tidur.
Besok mendekati tengah hari, Ceng Bun keng dengan membawa
tiga orang anak buahnya telah membelikan semua barang keperluan
yang dipesan oleh para jago tersebut menurut catatan dalam daftar
dan dikirim kedalam kamar.
Ceng bun keng segera menyerahkan barang dengan perasaan gembira.
Ceng Bun-keng memang tidak malu disebut sebagai orang yang sangat
berpengalaman, ternyata permainan busuk yang dilakukan
olehnya itu sama sekali tidak berhasil ditemukan oleh Mo Ciau jiu yang
berpengalaman luas maupun Sangkoan Ki yang berotak licik.
Setelah dihitung, diperiksa dan diserahkan barang-barang pesanan
mana, Ceng Bun-keng pun bertanya:
"Tuan, barang-barang ini tak sedikit jumlahnya, boleh aku tahu
kemanakah kalian hendak pergi ?"
Tentu saja mereka tak dapat mengungkapkan tempat tujuannya secara
berterus tarang, maka sahut Sangkoan Ki dengan cepat:
"Kami akan melewati daerah yang dihuni suku Biau berleher panjang,
melewati gua Pek hoa tong dan menuju ke tengah alas sana untuk
mencari obat-obatan !"
Dengan wajah serius Cang Bun-keng berkata kemudian: "Oooh,
rupanya kek koan sekalian hendak mencari obat-obatan,
kalau begitu dalam daftar seharusnya dicantumkan pula benda- benda
seperti sekop, cangkul..."
"Rombongan kami terbagi menjadi dua bagian" sela Sangkoan Ki
dengan cepat, "rombongan pertama sudah berangkat lebih dulu masuk
gunung dengan membawa peralatan berat itu, sedangkan kami hanya
mempersiapkan rang sum saja, jadi tak usah membawa lagi..."
Belum selesai dia berkata, Ceng Bun keng telah manggut- manggut
sambil tertawa:
"Oooob, rupanya begitu !" Sementara itu, Mo Ciau-jiu telah
mengambil sebuah anak panah
dari kotak panah, kemudian berkata: "Sungguh indah sekali buatan
anak panah ini, tak nyana kalau
disini terdapat ahli ukir-ukiran yang begitu hebat !" Ceng Bun-keng
tertawa. "Terus terang saja kek-koan, benda-benda tersebut
merupakan
hasil kerajinan tangan dari suku Biau!"
"Oooh... rupanya begitu!" seru Mo Ciau-jiu. Kemudian setelah
meletakkan kembali anak panah tersebut ke
tempatnya, kembali dia berkata: "Tian-tang (pemilik penginapan),
dalam daftar yang kuberikan
kepadamu kemarin masih terdapat kekurangan beberapa macam
barang, kini waktu yang tersedia tidak banyak lagi, apakah kau masih
dapat membantuku untuk melengkapinya ?"
"Coba kau sebutkan macam barangnya kek koan, aku harus tahu dulu
sebelum dapat menjawab"
"Tali otot kerbau dua ikat, belerang dua kati, dupa dua kati, pisau belati
tiga atau lima puluh bilah, tentunya benda-benda tersebut ada yang
menjualnya bukan ?"
Ceng Bun-keng berpikir, lalu ujarnya. "Kalau barang barang yang lain
sih gampang dicari, cuma tali
otot kerbau tersebut..." "Tali otot kerbau merupakan benda yang tak
bisa tertinggal
untuk kami." tukas Mo Ciau jiu cepat, "berapapun harganya tidak
menjadi soal !"
"Masalahnya bukan soal harga." kata Ceng Bun-keng sambil tertawa,
"asal barang tersedia, masa aku akan sembarangan meminta harga
tinggi ? Begini saja, aku akan mencarinya bagimu, apabila berhasil
kudapatkan kek koan tak usah senang, bila gagal..."
Mo Ciau-jiu segera mengambil sepuluh tahil perak dan disodorkan ke
tangannya:
"Kau harus mendapatkannya, terimalah uang pembayaran untuk tali
otot kerbau tersebut, kalau kurang akan kutambah nanti bila lebih
anggap saja sebagai uang kecil buat pelayan pelayananmu !"
Setelah menerima uang, sambil tersenyum Ceng Bun keng segera
beranjak pergi.
Baru saja Ceng Bun keng berlalu, Hou ji telah buka suara sambil
bertanya:
"Mo tayhlap, buat apa kau memesan tali otot kerbau sebanyak itu?"
Mo Ciau jiu segera tertawa. "Hou-hiap, tehnik yang jitu tak boleh
diwariskan orang lain, maaf
kalau lohu harus jual mahal dulu !" Oleh karena Mo Ciau jiu telah
berkata demikian, sudah barang
tentu Hou-ji tidak banyak bertanya lagi. Sekali lagi mereka mengecek
barang kebutuhan yang diperlukan
lalu di masukkan ke dalam buntalan. Tengah hari itu, disaat mereka
sedang bersantap siang, Ceng
Bun keng muncul kembali. Rupanya semua barang yang dibutuhkan
telah didapat semua,
tentu saja Mo Ciau jiu menjadi sangat gembira. Pada saat itulah, Ceng
Bun keng bertanya. "Kek koan sekalian
tolong tanya siapakah diantara kalian yang bertindak sebagai
pemimpin..."
"Dialah orangnya!" kata Sangkoan Ki sambil menuding ke arah Sun
Tiong lo.
Dalam waktu sekejap Sun Tiong lo telah berubah menjadi sebagai
majikan muda dari para saudagar obat-obatan, tentu saja hal ini
merupakan hasil dari perundingan mereka, itulah sebabnya Sun Tiong-lo
bertanya:
"Ciangkwee, ada urusan apa mencariku ?" "Aah, hanya urusan kecil,
tapi sangat penting pula artinya" "Ooh, kalau begitu harap kau
utarakan." Dengan amat sungkan
Ceng Bun-keng berkata.
"Siau loji hanya ingin bertanya. apakah persiapan kalian sudah cukup
matang ? Sebab perjalanan khek koan kali ini cukup jauh mana
berbahaya lagi, konon bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk
menembusi daerah yang dihuni oleh Kurawa."
"Tempat apakah yang dimaksudkan sebagai Kurawa itu?" tanya Sun
Tiong lo berlagak pilon.
"Bukan tempat. Kurawa adalah nama dari kepala suku Biau berleher
panjang !"
"Yaa, betul!" kata Sun Tiong lo kemudian sambil manggut- manggut.
"suku Biau dari kelompok ini memang cukup buas!"
"Apakah kek koan mempunyai tenaga pengangkut untuk membawa
begitu banyak barang?"
Sun Tiong lo mengerti, yang dimaksudkan sebagai tenaga pengangkut
oleh pemilik rumah penginapan itu bukan kerbau atau kuda melainkan
kuli panggul, khususnya daerah Shoa tang dari suku Biau, pengangkut
barang yang utama bukan kereta atau binatang, melainkan pekerja
kasar yang terdiri dari lelaki kekar.
Pemuda itu memandang sekejap ke arah tiga buah bungkusan besar
yang tergeletak ditanah kemudian menyahut:
"Tidak ada, kami memang ingin memohon bantuanmu untuk
memecahkan masalah ini."
"Beginilah keadaannya, sebelum segalanya terjadi siau loji perlu
berbicara lebih dulu, tenaga kasar sih ada, cuma mereka hanya bisa
membawakan barang kalian sampai dijurang Hui ing kian saja...!"
Sun Tiong lo kurang begitu tahu tentang nama-nama tempat diwilayah
Biau, tanpa terasa dia berpaling kearah Mo Ciau jiu.
"Apakah Hui-eng kian terletak ditepi perbatasan dengan wilayah yang
dihuni suku Biau berleher panjang ?"
"Yaa, benar." Ceng Bun kian mengangguk. "Hui engkian adalah sebuah
jembatan gantung yang menghubungkan dua daerah tebing yang terjal,
selewatnya jembatan gantung tersebut maka orang
akan tiba diwilayah yang dihuni orang-orang suku Biau berleher
panjang, selama ini para pekerja yang kasar tersebut tak berani
menyeberangi jembatan gantung itu."
"Mengapa demikian ?" meski sudah tahu, Mo Ciau jiu masih saja
pura-pura bertanya.
Dengan wajah serius Ceng Bunkeng berkata "Pertama, yang
dimaksudkan sebagai jembatas gantung itu sesungguhnya merupakan
sebuah jembatan yang terdiri dari seutas rantai besi yang panjangnya
mencapai tiga puluh enam kaki. jembatan mana merupakan satu-satunya
jembatan yang menghubungkan daerah yang dihuni orang orang suku
Biau rambut panjang dengan orang- orang suku Biau leher panjang.
"Padahal para pekerja kasar itu hidup menderita dan penuh percobaan,
mereka hanya mengandalkan tubuh yang kekar dengan tenaga yang
besar belaka, kalau disuruh menyeberangi jembatan gantung tersebut,
tentu saja mereka tidak memiliki kepandaian sebesar itu, mereka tak
mampu untuk menyeberanginya.
"Kedua, Kurawa dari suku Biau berleher panjang tidak kenal aturan, ada
kalanya dia memang bisa diajak bicara, tapi ada kalanya dia enggan
menjual muka kepada siapa pun, salah-salah mereka akan membunuh
orang semaunya sendiri, oleh sebab itu..."
"Baiklah" tukas Mo Ciau jiu dengan cepat, "kalau begitu kita pakai
jeram Hui eng-kian sebatas tapal batas !"
Ceng Bun keng manggut-manggut kembali: "Baiklah, kita tetapkan
dengan sepatah kata ini, berapa banyak pekerja kasar yang kek khoan
butuhkan ?"
"Bagaimana kalau lima orang ?" tanya Mo Ciau jiu. Ceng Bun keng
segera berkerut kening. "Tiga orang pun sudah
cukup, oagkos yang mereka minta tidak kecil..?"
Mo Ciau jiu segera tertawa.
"Kami tidak mempersoalkan berapa yang harus dibayar, kalau dua
orang lebih banyak berarti mereka bisa bekerja sambil bergilir, otomatis
mereka pun bisa berjalan lebih cepat lagi, ditambah pula kita sudah ada
rombongan yang membuka jalan lebih dulu."
"Oooh, betul, betul, kek koan memang pandai sekali, lima orang pekerja
kasar terlepas makan yang dibebankan kepada kek koan, setiap orang
minta sepuluh tahil perak, sedangkan siau loji mendapat keuntungan
setahil seorang, tentunya kau tidak merasa keberatan bukan..?"
Mo Ciau-jiu segera terawa terbahak. "Haah haa haa tidak banyak!
kapan orang-orang itu baru siap?" "Dalam setengah jam mendatang
mereka sudah akan siap, siau
Ioji akan mencarikan delapan dan terserah kek koan akan memilihnya
sendiri, perangai serta tindak tanduk dari para pekerja kasar itupun
merupakan jaminan dari penginapan kami!"
"Ciangkwee, kau memang pandai berdagang." seru Mo Citu ji kemudian
sambil menepuk bahu Ceng Bun keng, "baiklah, kita tetapkan demikian
saja."
Ceng Bun keng segera mohon diri dan berlalu, betuI juga dalam
setengah jam kemudian dia sudah muncul dengan membawa delapan
orang lelaki biau yang kekar.
Dalam sekilas pandangan saja Mo Ciau jiu dapat mengenali kalau
pekerja-pekerja kasar itu merupakan suku Biau berdarah campuram,
setengah berdarah bangsa Han dan setengah lagi berdarah suku Biau.
Ternyata Ceng Bun keng tidak berbohong, ia menerangkan: "Mereka
adalah bangsa Han yang dilahirkan oleh ibu suku Biau,
selain kekar dan berotot, wataknya pun baik sekali, bahasa Han maupun
bahasa Biau mereka kuasah penuh, adat istiadat kedua suku pun
dipahami benar, mereka akan menyenangkan kalian semua sepanjang
jalan."
Mo Ciau jiu manggut-manggut. "Cara kerja ciankwee memang luar
biasa sekali, sungguh
membuat orang merasa kagum!" Sambil berkata, Mo Ciau jiu
mengeluarkan lima puluh tahil perak
dan diserahkan kepada pemilik rumah penginapan itu seraya berkata:
"Inilah ongkos mereka, harap kau terima!" Tapi Ceng Bun keng
menggelengkan kepala sambil berkata: "Lebih baik kek khoan
memilih orang lebih dahulu sebelum
membicarakan soal lain." Mo Ciau jiu memandang sekejap kearah Sun
Tiong lo, sianak
muda itu pun berkata: "Lebih baik Mo tua saja yang memilih, aku tahu
tak bakal
salah..." Maka Mo Ciau jiu memilih lima orang diantaranya sementara
tiga
orang lainnya mengundurkan diri. Mo Ciau-jiu kembali meminta kepada
Ceng Bun-keng menerima
lima puluh tahil perak itu, namun Ceng Bun kent menggeleng dan cuma
menerima dua puluh tahil perak, kemudian ujarnya dengan suara
nyaring:
"Kalau membeli barang memang harus di-bayar kontan, tapi menurut
aturan memakai tenaga pekerja, empat bagian saja yang boleh diterima
sebagai uang muka, setelah sampai ditempat tujuan, enam bagian
lainnya baru di serahkan kepada para pekerja kasar itu untuk dibawa
pulang..."
Usaha dagang seperti ini, boleh dibilang adil sekali dan sama sekali
tiada usaha bermaksud untuk menipu.
Para jago pun tidak berkata apa-apa lagi, mereka semua pada memuji
kejujuran dari Ceng Bun keng.
Apa yang harus dikerjakan semua, maka para jago pun mulai
melanjutkan perjalanan.
Semua barang bawaan mereka, kecuali senjata tajam dan senjata
rahasia, diserahkan semua kepada para pekerja kasar itu untuk
membawanya, kemudian berangkatlah rombongan tersebut menelusuri
jalan gunung.
Belum lagi sepertanakan nasi lamanya mereka berangkat. Mao Tin hong
dan Ceng Bun-keng telah melakukan perundingan rahasia lagi.
Tempat yang digunakan sebagai tempat perundingan pun masih berada
diruang ranasia dalam gedung Ceng Bun keng, suara pembicaraan
mereka lirih sekali.
Pertama-tama Mao Tin hong yang bertanya dulu: "Sudah selesai kau
kerjakan?"
Ceng Bun keng tidak menjawab, sambil tertawa dia bertepuk tangan,
dua orang lelaki suku Biau segera muncul dengan membawa sebuah
buntalan besar.
Kedua orang itu adalah dua orang suku Biau yang tidak terpilih tadi.
"Buka buntalan itu!" Ceng Bun keng segera memerintahkan. Ketika
buntalan itu dibuka, ternyata isinya adalah kain cita serta
barang berhiasan yang dibeli para jago untuk diberikan kepada kurawa
sebagai hadiah.
Sambil tersenyum bangga Mao Tin hong berkata: "Bagaimana
caramu uituk menukar benda-benda tersebut...?" Ceng Bun keng
tertawa. "Setelah mereka periksa isinya dan dibungkus kembali,
maka
dengan mudah sekali kami telah menukarnya dengan benda lain"
"Benda apakah yang kau tukar dengan barang-barang ini ?"
Dengan bangga Ceng Bun keng tertawa terkekeh-kekeh. "Majikan,
mimpi pun kau tak akan menduganya, apa yang
menjadi pantangan suku Biau hamba pun menukar benda tersebut
dengan pantangan mereka, tanggung Kurawa akan naik pitam setelah
melihatnya."
Mao Tin hong tertawa terbahak-bahak. "Haah... haah... haah... haah...
bagus, bagus sekali, Bun keng, inilah jasa besarmu !"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh: "Selain
itu, lentera dan garam bata ..." "Majikan tak usah kuatir" tukas Ceng
Bun keng, "Kurawa
mempunyai Halilintar dan guntur yang bisa dilihat dan didengar, diam
bakal mempunyai benda yang bisa membersihkan kulit tubuh mereka
yang bau itu...."
Perkataan tersebut kontan saja membuat Mao Tin hong mendongakkan
kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Dua orang lelaki suku biau itu belum mengundurkan diri, dalam
gembiranya Mao Tin-hong segera berkata:
"Barang-barang didalam bungkusan ini tak ada gunanya, hadiahkan saja
kepada dua orang-orang anak jadah tersebut!"
Ceng Bun keng ingin mencegah perkataan tersebut, tapi perkataan
"anak jadah" dari Mao Tin hong sudah terlanjur diutarakan, paras muka
kedua orang lelaki suku Biau itu kontan berubah hebat, sepasang
tangannya di kepalkan kencang-kencang.
Ceng bun keng segera melotot sekejap ke-arah dua orang suku Biau
itu, kemudian bentaknya:
"Ambil dan bagi untuk kalian berdua, ayo cepat pergi !" Dua orang
lelaki suku Biau itu tidak memberikan pernyataan apaapa,
sambil membopong buntalan tersebut mereka segera berlalu.
Sepeninggal dua orang lelaki suku Biau itu, Ceng Bun keng baru
berbisik:
"Majikan, mereka mengerti bahasa Han, mereka paling benci kalau ada
orang memaki mereka sebagai anak jadah !"
"Ooob, rupanya mereka pun mempunyai pantangan tersebut, aku
malah tidak tahu."
Oleh sebab nasi sudah menjadi bubur, Ceng Bun-keng juga tak dapat
berbuat apa apa lagi.
Mao Tin hong segera mengalihkan pokok pembicaraan kesoal lain,
ujarnya:
"Didalam melaksanakan tugas kali ini, tiada orang ketiga yang tahu, kau
memang bekerja amat bagus."
"Majikan kau tidak tahu, kelima orang pekerja kasar serta dua orang
yang barusan berlalu itu hampir rata-rata memiliki kepandaian hebat,
kalau dihitung mereka masih termasuk muridku, hamba telah berpesan,
ditengah jalan nanti mereka harus memberi pelajaran yang berat lebih
dulu terhadap lawan."
Mao Tin hong makin merasa bangga lagi, katanya kemudian: "Kalau
begitu, kawanan keparat tersebut sudah pasti akan
mampus dalam perjalanan ini." "Ya. betul ! Mungkin bisa pergi tak akan
kembali lagi." sambung
Ceng Bun-keng ketawa. Mao Tin hong segera manggut-manggut,
katanya: "Sebenarnya lohu dapat menghabisi mereka semua sewaktu
berada dipeternakan kudanya Lok Siang, sayang aku berbuat teledor
dengan melupakan seorang Hou-ji, sehingga akibatnya usahaku
mengalami kegagalan total."
"Sekarang, hmmm! Dapat kuduga meskipun kepandaian silat mereka
lebih hebat, kecerdasan mereka lebih hebat pun tak akan mereka
menyangka akan terjadinya berbagai perubahan tersebut, begitu
peristiwa mana mulai berlangsung maka keadaan pun akan terlihat
nyata."
Berbicara sampai disitu, dia seolah-olah melihat para jago telah
terkurung diwilayah Biau dan satu persatu mesti terbunuh secara
mengenaskan, oleh sebab itu ucapannya terhenti ditengah jalan dan
tertawa terkekeh-kekeh.
"Majikan, kapan kau hendak berangkat ?" bisik Ceng Bun keng tiba-tiba
dengan suara lirih.
Mao Tin liong berpikir sebentar, kemudian sahutnya. "Aku pikir lebih
baik berangkat sekarang juga, kuatirnya kalau
sampai tak bisa menyusul mereka" "Hamba telah mempersiapkan
semua barang kebutuhan majikan,
kini tinggal menanti perintah dari majikan saja" "Baik, mari kita
berangkat" kata Mau Tin-hong kemudian sambil
bangkit berdiri. Ceng Bun keng pun buru-buru turut bangun, kemudian
katanya: "Hamba akan suruh mereka untuk mengambil barang"barang
tersebut." "Banyakkah barangnya?" Ceng Bun keng menggelengkan
kepalanya. "Tidak banyak." jawabnya, "bahan makanan minuman
ditambah
berapa buah lentera Khong beng teng dan lima batang lilin untuk
lampu!"
Mao Tio hong segera manggut-manggut. "Jikalau begitu mari kita
mengambil barang-barang itu dan kau
boleh menghantarku sampai di depan sana, sebab sepanjang jalan aku
masih ada persoalan yang mungkin akan dibicarakan denganmu, dari
pada kelupaan nanti."
"Tentu saja... tentu saja." sahut Ceng Bun keng dengan hormat.
"Hamba memang bermaksud untuk menghantar majikan sampai dikota
Gin sik cay..!"
Mao Tin hang menggelengkan kepalanya, "Tidak usah, setelah lewat
kota Kim sah cay kau boleh segera pulang."
"Terserah perintah majikan." Sembari berkata, mereka berdua segera
berangkat menuju
kearah depan... Setelah mengambil barang, oleh sebab mereka telah
bersantap
siang mereka pun segera berangkat. Ceng bun keng memanggil dua
orang kepercayaannya sambil
berpesan beberapa patah kata, kemudian dengan menemani Mao Tin
hong segera berangkat.
Kim sah cay sudah dilewati sejauh tiga puluh lima li lebih, kini
terbentang jalan gunung beralas batu sepanjang dua puluh Ii, tempat
ini merupakan jalan raya penghubung Kim sah cay dengan Gin sik cay,
daerah yang sepi dari pengunjung, meski sulit untuk ditempuh namun
sama sekali tidak berbahaya.
Selewatnya jalan raya sepanjang dua puluh li ini, orang bersikap halus
dan sopan, tidak mengusik gadis suku Biau atau kelewat tidak tahu
aturan, biasanya mereka akan sampai di tempat tujuan dengan aman.
"Tapi, setelah melalui Gin-sik cay dan melangkah menuju ke gua Tiok
hoa biau, orang harus lebih berhati-hati lagi, sebab mulai saat itu yang
berlaku hanya undang undang suku Biau, bukan hukum bangsa Han.."
Waktu itu, Sun Tiong-lo sekalian telah berhasil melewati Gin sik cay
dengan selamat.
Antara Gin sik cay dengan Tiok hoa biau masih terdapat lagi sebuah
daerah seluas dua puluh li yang sama sekali tak ada manusianya, meski
suku Biau belum maju alam pemikirannya, namun mereka memegang
teguh atas kepercayaan serta adat istiadat mereka.
Daerah seluas li yang sama sekali tak berpenghuni itu merupakan pula
daerah "bentrokan" yaag sering dipakai untuk daerah pertarungan antar
suku, maka anggota suku yang sama sekali tak ada urusan mereka tak
akan melewati daerah tersebut barang selangkah pun, tak heran kalau
tempat tempat semacam ini merupakan tempat yang paling baik bagi
bangsa Han untuk menyembunyikan diri.
Sekarang telah permulaan kentongan pertama, Sun Tiong lo sekalian
sedang beristirahat melepaskan lelah.
Mao Tin-hong dan Ceng Bun-keng justeru menjadi tamu terhornat dari
kepala suku Biau di Gin sik-cay, hal ini disebabkan Ceng Bun keng
mempunyai hubungan yang erat dengan kepala suku tersebut...
Namun daya pengaruh dari Ceng Bun keng pun hanya mencapai Gin sik
cay saja, selewatnya dua puluh li wilayah tak bertuan tersebut, dia tak
berani menjamin akan selamat apabila menjumpai urusan.
Begitu langit terang tanah, Sun Tiong lo dan rombongan telah
berangkat kembali menuju ke arah Tiok hoa biau, sedangkan Mao Tin
heng dan Ceng Bun keng telah tiba ditempat yang dipakai San Tiong lo
sekalian untuk beristirahat semalam.
Ditempat itu masih ditemukan bekas tenda, ditemukan juga abu bekas
api ungun.
Selesai memeriksa benda-benda itu, Ceng Bun keng segera berkata:
"Majikan, barusan mereka masih berada di sini, sekarang mungkin sudah
memasuki kota yang dikuasai suku Tiok hoa biau"
Mao Tin hong manggut-manggut, agaknya dia tak terlalu
memperhatikan hal tersebut.
Ceng Bun-keng yang menyaksikan kejadian itu segera berpikir tanpa
terasa:
"Majikan, apa yang sedang kau pikiritan ?" Mao Tin hong tidak
menjawab, dia masih saja termenung sambil
berpikir keras. Ceng Bun-keng segera berjalan mendekat, kemudian
menegur
lagi: "Apakah majikan merasa tidak mempunyai keyakinan untuk
melampaui daerah yang dihuni suku Tiok hoa biau?" Mao Tin hong
segera menggeleng. "Tidak, persoalan itu sih tak akan terlalu
menyusahkan aku" "Lantas apakah yang menjadi beban pikiran majikan
?" tanya
Ceng Bun keng ddngan perasaan tidak habis mengerti. Mao Tin hong
menghela napas panjang, sesudah memandang
sekejap sekeliling tempat itu, dia menuding ke arah sebuah batu cadas
yang berada tak jauh disana sambil berkata:
"Mari, mari, mari Bun-keng ! Mari kita duduk sambil berbincangbincang.
untung saja musuh kita baru masuk ke wilayah Tiok hoa- biau,
tak mungkin mereka bisa meninggalkan tempat tersebut dengan mudah,
kita tak usah kuatir tak berhasil menyusul mereka."
"Tentu saja." sahut Ceng Bun-keng cepat, "sekalipun mereka dapat
meninggalkan tempat itu dengan selamat, paling tidak hal ini akan
terjadi besok tengah hari !"
Sementara itu, Mao Tin hong sudah duduk diatas batu, kemudian
katanya lagi: "Oya, masa akan begitu ?"
Ceng Bun-keng manggut-manggut. "Yaa, daerah yang dikuasai suku
Tiok-hoa-biau mencapai ratusan li lebarnya, tiga puluh li dari pusat kota
merupakan rawa-rawa yang berkabut racun, orang harus berjalan
menghindari rawa-rawa itu, kendati pun perjalanan mereka itu
kemungkinan besar dapat dilakukan dengan lebih cepat pun paling tidak
juga esok pagi baru dapat meninggalkan daerah tersebut!"
Mao Tio-hong segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya
dengan cepat:
"Dengan tenaga dalam yang dimiliki Sun Tiong-lo sekalian, aku kuatir
kalau tempat tersebut dapat dilewati dengan cepat ?"
"Majikan" dengan cepat Ceng Bun keng menggelengkan kepalanya pula
berulang kali, "jangan lupa kalau mereka menyaru sebagai rombongan
pencari obat-obatan, mana mungkin perjalanan bisa dilakukan terlalu
cepat ?"
"Aaaah, betul! Betul ! Aku telah melupakan akan hal ini" seru Mao Tin
hong kemudian.
Ceng Bun keng kembali tertawa, "Majikan, kau masih ada pesan apa
lagi ?"
Mao Tin hong menghela napas panjang: Aaaai, Bun keng, sejak
berpisah dua puluhan tahun sudah lewat, selama ini aku tak pernah
datang menengokmu, selama inipun kita tak pernah berhubungan
kabar, bagaimanakah perasaan dan pendapatmu tentang diriku ini?"
"Hamba tidak mempunyai pendapat atau perasaan apa-apa, tapi hamba
tahu kalau majikan harus berlari menyingkir dengan bersusah payah dan
penuh penderita!"
"Aah, tak kusangka Bun keng kalau kau begitu mengetahui tentang
diriku." seru Mao Tin hong sambil memukul paha sendiri.
"Itulah sebabnya tatkala majikan mengirim perintah secara tiba- tiba
dan menitahkan hamba untuk mengantar lencana kemala Pek hoa giok
hu ke gua Pek hoa tong, hamba tak berani menunda lagi dan segera
pergi melaksanakannya"
"Ehmmm, betul, cara kerjamu memang sangat baik, aku telah bertemu
muka dengan wan-cu!"
Ceng Bun keng manggut-manggut. "Hamba pun sudah tahu akan hal
ini." katanya, "hamba hanya bisa mengucapkan semoga majikan dan
cubo bisa berbahagia selalu sepanjang masa."
"Bagus sekali, tak nyana kalau jalan pemikiranmu begitu teliti dan
sempurna" ucap, Mao-Tin hong tertawa.
Kemudian setelah berhenti sejenak, Mao Tin-hong mengalihkan sorot
matanya ke tempat kejauhan sana, kemudian katanya lagi:
"Seandainya setiap anak buahku seperti kau semua, hari ini aku pun tak
usah kabur ke wilayah Biau yang gersang dan terpencil ini aaai... kalau
dibicarakan sungguh menggemaskan hati !"
Ceng Bun keng tak dapat menjawab pertanyaan tersebut, terpaksa dia
hanya membung kam diri dalam seribu bahasa.
Mao Tin hong memandang sekejap ke arahnya, lalu berkata lebih
lanjut:
"Bun-keng, tahukah kau selama dua puluhan tahun ini aku telah berhasil
membangun suatu karya besar yang tiada terhingga besarnya di daratan
Tionggoan ? sedemikian luasnya kekuasaanku sehingga hampir saja
menjadi seorang Bulim Bengcu yang menguasai seluruh jagad !"
"Majikan gagah perkasa dan cerdas tentu taja kedudukan tersebut
pantas untuk kau duduki." kata Ceng Bun keng dengan hormat.
Mao Tin-hong mendengus. "Hmmm. siapa tahu oleh
penghianatan-penghianatan dari anak buahku, segala sesuatunya ludas
dan lenyap tak berbekas."
"Dimanakah bajingan-bajingan itu sekarang?" "Yang sudah mampus
tak usah dibicarakan, sedang yang hidup
sudah kau saksikan semua." ucap Mao Tin-hong dingin. Ceng Bun keng
menjadi tertegun, "Apakah orang she Sun dan..." Sebelum perkataan itu
selesai diucapkan, Mao Tin hong telah
menukas lebih dulu. "Tiga orang pemuda yang kau jumpai adalah
musuh besarku,
Bun keng ! Aku tidak ingin mengelabui dirimu. siapa sih
diantara
manusia-manusia yang berkelana dalam dunia persilatan tidak
mempunyai musuh besar ? kejadian semacam ini toh lumrah ?"
"Tapi gadis itu merupakan putri angkatku tak nyana kalau dia
mempercayai perkataan orang dan terpikat oleh benih cinta buta
sehingga akhirnya akupun dikhianati, bentengku yang tangguh dan kuat
bagaikan baja pun dipersembahkan kepada orang lain dengan begitu
saja."
"Sementara si tua bangka tersebut sebenarnya adalah kakak misanku,
sebenarnya dia amat rudin sehingga hidupnya sengsara, akulah yang
menyelamatkan jiwanya serta memelihara dirumah, apa mau dibilang
dia tua orang nya tidak tua hatinya, ternyata secara diam-diam
mengincar biniku..."
"Majikan, mengapa tidak kau katakan sedari tadi ? Tahu begini, aku tak
tak akan membiarkan mereka memasuki daerah Biau dalam keadaan
hidup..." ucap Ceng Bun-keng dengan keras.
Mao Tin hong mengulapkan tangannya mencegah dia berkata lebih
jauh, kemudian ucapnya lagi:
"Sedangkan kakek bungkuk tersebut bernama Mo Ciau jiu, sebetulnya
dia adalah orang kepercayaanku, setiap perkataannya selalu kuturuti,
siapa tahu akhirnya dia toh menghianati aku juga."
"Lima orang lainnya merupakan sobat karib yang paling kupercayai,
mereka bernama Lak yu, sayang berhubung peraturanku amat ketat,
diam-diam dia telah bersekongkol dengan musuh yang membuat aku tak
mampu berkutik dan tancapkan kaki lagi didaratan Tionggoan"
Dengan penuh perasaan dendam Ceng Bun-keng mendengus.
"Majikan, yang sudah lewat biarkan saja lewat, hari depan masih
bisa dikejar, kawanan manusia laknat yang menghianati dirimu itu tak
akan bisa hidup bebas meninggalkan daerah Biau, sekalipun mereka
dapat lolos dengan selamat, hamba pun..."
"Tidak, aku harus membunuh mereka dengan tanganku sendiri!" seru
Mao Tin hong sambil mengulapkan tangannya.
Ceng Bun keng segera mengiakan dan tidak berbicara lagi.
Sementara itu, Mao Tin hong telah berkata lagi sesudah berhenti
sejenak: "Kini, aku sudah dipaksa untuk kabur ke wilayah Biau, Bun
keng,
aku merasa benar-benar sudah dipojokkan dan tak mampu untuk kabur
kelain tempat lagi!"
"Tidak majikan." Ceng Bun keng menggeleng "didalam sana masih
terdapat Cubo dengan kekuasaan yang tanpa tandingan, sedangkan
di-luar masih ada hamba yang bisa menggunakan uang untuk mencari
tenaga, selanjutnya dunia persilatan masih tetap menjadi milik majikan!"
Mao Tin hong menghela napas panjang.
"Aaaii... ambisiku sekarang sudah mendekati saat padam, aku sudah
menjadi seorang penakut."
"Apa yang majikan takuti? Hamba tidak percaya kalau musuh memiliki
kemampuan..."
"Sekalipun musuh lebih ganas, belum tentu aku bisa kalah dengan
mereka, mengapa aku harus takut kepada orang-orang itu?" tukas Mao
Tin hong cepat.
Dengan perasaan keheranan Ceng Bun keng segera bertanya: "Kalau
toh demikian, apa yang majikan takuti..."
"Aku takut kalau aku dikhianati oleh anak buahku!" Ceng Bun keng
segera menghembuskan napas panjang: "Aaai... pepatah kuno
mengatakan: Cuaca tahu kalau cemara
tahan salju, sobat sejati tahu akan susahnya teman, Apalagi
manusia-manusia yang tak tahu malu itu toh sudah pergi dari majikan
sekarang..."
"Sekalipun demikian tapi pengalaman di masa lampau masih selalu
terbayang-bayang didepan mataku" tukas Mao Tin hong lagi.
Ceng Bun-keng segera berkerut kening.
"Untung saja saat ini majikan telah menjauhi kawanan manusia rendah
tersebut."
"Sudahlah" Mao Tin hong tertawa getir, "yang sudah lewat tak usah
dibicarakan lagi."
Setelah berhenti sejenak dan memperhatikan Ceng Bun-keng beberapa
saat, dia berkata lagi.
"Bun keng, ada satu masalah aku merasa perlu untuk merundingkannya
denganmu."
"Silahkan majikan memberi perintah" Mao Tin-hong menggelengkan
kepalanya berulang kali, kemudian
berkata. "Manusia yang hidup didunia ini haruslah tahu diri, Bun-keng,
sekarang aku telah memasuki wilayah Biau, aku pun mempunyai
pelindung di gua Pek hoa tong, atau dengan perkataan lain aku tak
usah menguatirkan serangan yang datang dari musuh tangguh."
"Tapi kedatanganku ke wilayah Biau sekarang penting sekali artinya, aku
kuatir kalau berita kedatanganku bocor dan diketahui lawan, untung
hanya kau seorang yang mengetahui tentang persoalan ini, sebab itu
bila ada orang yang menanyakan persoalan ini, kau harus menutup
mulut rapat-rapat."
"Majikan tak usah kuatir, masa hamba akan membocorkan rahasia ini
kepada orang lain!"
Mao Tin hong menundukkan kepalanya lalu menghela napas panjang.
"Aah, aku sudah tidak berani mengharapkan orang lain agar tetap
berpegang janji kepadaku lagi."
Mendengar ucapan mana, tergerak hati Cang Bun keng, dia segera
bertanya:
"Apakah majikan merasa kuatir terhadap diri hamba ?"
Mao Tin hong tertawa getir.
"Kau tak usah memikirkan yang bukan-bukan, sekali dipagut ular,
sepuluh tahun takut dengan tali rami, bukan aku tak percaya kepadamu,
sesungguhnya aku takut kalau sampai ditipu orang lagi. oleh sebab
itu..."
"Apa yang majikan harapkan sehingga dapat berlega hati !"
"Percuma." Mao Tin-hong tertawa getir lagi. "sekalipun
diutarakan juga sama sekali tidai berguna !" "Belum tentu, mengapa
majikan tidak mengutarakan dulu
kepadaku ?" Ceng Bun-keng berkata serius. Cepat-cepat Mao Tin hong
menggelengkan kepalanya. "Kecuali kalau...! Sudahlah, kalau diutarakan
malah akan
menyedihkan hati orang saja." "Majikan tak usah sungkan, utarakan saja
dengan berterus
terang, hamba pasti akan turut perintah !" "Kau akan menurut ?" "Yaa
pasti, biar pun harus terjun ke lautan api pun aku tak akan
menampik !" Mao Tin hong menjadi girang sekali, serunya dengan
cepat: "Bun keng, benarkah ucapanmu itu diutarakan dari lubuk hatimu
sendiri ?" "Bila hamba Iain di mulut lain dihati, biar Thian memunahkan
diriku." Mendadak Mao Tin hong melompat bangun. kemudian sambil
menepuk bahu Ceng Bun keng dengan tangan kanannya dia berseru.
"Bagus, bagus, bagus ! Bila kau benar-benar begitu, makaaaa..." Dia
sengaja menarik kata terakhir itu hingga panjang sekali,
kemudian telapak tangannya dijotoskan keras-keras ke atas ulu hati
Cang Bun keng.
Jeritan ngeri yang menyayatkan hati segera berkumandang
memecahkan keheningan, tak ampun lagi Ceng Bun keng jatuh
terjengkang ke atas tanah.
Sekujur tubuhnya segera gemetar keras, paras mukanya pucat pias
seperti mayat, sepasang matanya merah membara dan peluh sebesar
kacang kedelai jatuh bercucuran keluar, keadaannya mengenaskan
sekali...
Dengan susah payah akhirnya dia berkata. "Maaa... maaajikan,
menga... mengapa kauu... kau..." "Kau belum mengerti apa
sebabnya?" jengek Mao Tin hong
sambil tertawa seram. Waktu Ceng Bun keng sudah tak dapat bergerak
lagi, paras
mukanya pun turut berubah menjadi amat tak sedap dipandang.
Meskipun tak mampu berkutik, namun mulutnya masih sempat
mengucapkan lagi beberapa patah kata: "Mee... mengapa..." Mao Tin
nong tertawa seram. "Heeeh... heeh... heehh... dalam setahun
belakangan ini lohu
sudah belajar lebih cerdik, pengalaman pahit dimasa lampau tak boleh
sampai terulang kembali, oleh sebab itu aku pun tak sudi terperangkap
lagi seperti masa masa lalu, nah mengertikah kau sekarang ?"
^oodeoo^ "SUUU... sudah dua... dua... puluh tahun haamm... hamba
beree... berbakti ke.. padamu, see... selama ini aaa... akupun sudah
baaanyakkk... bee... berjasa, menga... mengapa kau berr... bersikap..."
"Terhadap diriku, aku merasa tak pernah merugikan" jengek Mao Tin
hong sambil tertawa dingin. "bukankah sudah kutanyakan
kepadamu tadi dan kau menjawab terjun ke lautan apipun bersedia ?
Sekarang, mengapa kau menyesal?"
Dengan sekuat tenaga Ceng Bun keng berusaha mengendalikan hawa
amarahnya, kemudian berseru:
"Itu kan tertuju terhadap musuh dari luar, sekarang... sekarang..."
"Sama saja Bun keng." kata Mao Tin hong dingin. "Nabi berkata, Kaisar
menyuruh patih nya mati, patihnya tak berani membangkang, apalagi
meski kau mati sekarang, aku justru akan peroleh ketenangan jadi
kematian mu sesungguhnya tidak sia-sia belaka.
"Tentu saja kau merasa kematianmu kelewat penasaran bahkan
menganggap aku tak berperasaan, padahal kaupun tak bisa
menyalahkanku."
"Coba bayangkan, misalnya waktu dulu, seandainya aku tak
menyelamatkan dirimu, sejak dua puluh tahun berselang kau sudah
tewas, sekarang kau baru mati bahkan mati pula ditanganku,
seharusnya kaupun harus dapat berlega hati."
"Kalau kita berbicara mundur selangkah, perbuatanku sekarang tak bisa
dibilang terlampau keji, sebab kenyataanlah yang mengajarku untuk
berbuat demikian, asal kau sudah mati maka akupun tak usah
menguatirkan persoalan lain lagi, bukankah haI ini bagus sekali ?"
Ceng Bun-keng menghela napas sedih: "Kau... tindakanmu membunuh
aku, sama artinya dengan menghancurkan kesempatan untuk bangkit
kembali."
-ooo0dw0ooo-
Jilid 41
"HAAA... HAA... HAA... kau tidak usah merisaukan hal ini." kata Mao Tin
bong sambiI tertawa seram. "tanpa kau sekalipun aku masih dapat
bangkit kembali didalam dunia persilatan!"
"Baik, baik." kata Ceng Bun keng selanjutnya sambil menghela napas
sedih. "sekarang apapun yang kuucapkan sudah terlalu lambat,orang
dulu mengajarkan kepada kita agar jangan berkomplot dengan harimau
bila tidak ingin dirinya dilahap akhirnya, tapi aku telah menganggap
serigala sebagai sahabat, memang kesalahanku sendiri..."
Dia tak berkemampuan untuk banyak bicara lagi, sesudah
terengah-engah sejenak sadarlah dia kalau ajalnya sudah dekat.
Semua perasaan dendam, benci, penasaran, gusar dan sedih segera
bercampur aduk dan menciptakan sisa kekuatan yang terakhir, teriaknya
dengan keras:
"Mao Tin hong, saat pembalasanmu sudah hampir tiba." Mao Tin
hong tertawa terbahak-bahak: "Haaah... haahh... haah... Bun keng
wahai Bun keng, Seorang
kuncu tak akan mengeluarkan suara yang jahat, sekalipun cepat atau
lambat pembalasan akan kuterima juga, toh sekarang masih belum tiba
saatnya, padahal kau amat menuruti perkataanku selama ini, nyatanya
sekarang kau sudah menyumpahi aku, benar-benar suatu kejadian yang
membuat hati pedih."
Berbicara sampai disitu, kembali dia menyeringai sehingga nampak amat
mengerikan.
Di tengah gelak tertawa yang nyaring, manusia she Mao itu kembali
berkata:
"Oh, rupanya budak suku Biau tua itu, hm!" Mencorong sinar benci
penuh perasaan dendam dari balik mata
Cang Bun-keng, serunya lagi: "Bun-keng, apakah kau sudah tiada pesan
lain ?"
Ceng Bun keng ingin menangis namun tiada air mata yang meleleh
keluar, serunya kemudian dengan gemas dan benci: "Menyesal aku tidak
menuruti perkataan dari Lo-hoa-biau"
Tergerak hati Mao Tin-hong sesudah mendengar perkataan tersebut,
dengan cepat dia bertanya: "Siapakah lo hoa-biau itu ? Apa yang dia
katakan ?"
Sambil menarik napas panjang-panjang Ceng Bun-keng berseru:
"Dari sorot matamu yang liar, Lo hoa biau tahu kalau hatimu keji
tidak berperasaan, dia telah memperingatkan kepadaku agar was was
selalu bila bekerja untukmu, sayang sekali aku tidak menuruti
perkataannya !" katanya.
"Mao Tin-hong, kudoakan semoga..." "Apa yang ingin kau doakan
sudah kupahami." tukas Mao Tin
hong sambil tertawa seram "bukankah kau berharap agar Sun Tiong-lo
sekalian jangan terjebak dan berhasil membongkar rencana ini ?
bukankah kau berharap mereka menantiku didepan sana."
"Benar." tukas Ceng Bun-keng cepat, "kau tak akan memperoleh mati
secara tenang"
"Sayang apa yang kau harapkan semuanya tak dapat terkabulkan." Mao
Tin hong mengangkat sepasang bahunya.
Kemudian setelah berhenti sejenak dan mendongakkan kepalanya
memandang keadaan cuaca, dia berkata lebih jauh:
"Wahai Ceng Bun keng, waktu sudah makin siang dan aku harus segera
berangkat, jika kau tidak ingin menyampaikan kata-kata yang
bermanfaat dan menguntungkan diriku lagi, maaf kalau aku terpaksa
harus mengirimmu untuk berangkat lebih dulu !"
Ceng Bun-keng menundukkan kepalanya rendah-rendah, beberapa tetes
air matanya jatuh berlinang membasahi pipinya.
Mao Tin hong memang seorang manusia yang tidak berperasaan, jari
tangan kanannya segera disodok kedepan tanpa perasaan kasihan.
Sodokan tersebut persis menghajar jalan darah Ki bun-hiat ditubuh Ceng
Bun keng...
Kontan saja sekujur badan Ceng Bun keng gemetar keras, diiringi
jeritan ngeri menyayatkan hati, ia muntah darah segar lalu mati
seketika itu juga.
Mao Tin hong memang seorang manusia yg berhati keji, setelah
menghabisi nyawa orang kepercayaannya, dia sama sekali tidak nampak
sedih, seakan-akan baru saja membunuh seekor semut saja.
Sambil membersihkan pakaiannya dari debu, dia mendongakkan
kepalanya memandang angkasa, berpikir sejenak, lalu ujarnya sambil
tertawa:
"Beres sekarang, aku pun tak usah menguatirkan ada orang yang bakal
membocorkan rahasia ku lagi"
Tapi kemudian dengan kening berkerut dia menggelengkan kepalanya
lagi sambil berkata.
"Tidak betul, masih ada perempuan rendah itu, tempo hari andaikata
bukan dia yang berhasrat mencelakaiku sehingga merampas tenaga
goan-yang ku, hingga kini tenaga dalamku tak bisa memperoleh
kemajuan lagi, mana mungkin akan muncul persoalan yang
memusingkan kepala seperti ini ?"
"Hmmm ! Dendam sakit hati ini harus dibalas, perempuan rendah !
Tentunya kau tak pernah menyangka bukan kalau sekarang aku telah
mengetahui tempat penyimpanan kitab pusakamu, aku juga sudah
menguasai cara masuk dan keluar dari ilmu barisanmu itu, hmm,
hmmm !"
Tak salah lagi kalau semua perkataan itu ditujukan kepada pemilik
kebun raya Pek hoa wan.
Dasar Mao Tin-hong memang Iicik dan berhati kejam, tampaknya dia
ingin memusuhi semua manusia yang berada di dunia ini.
Setelah menyelesaikan perkataan tadi, kembali ia tertawa tergelak penuh
kebanggaan, menyusul kemudian tubuhnya melejit keudara, dalam
waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dikejauhan sana.
Orang kuno sering bilang: Belalang menubruk comboret, si burung nuri
mengincar dari belakang."
Ada pula yang mengatakan. "Bila tak ingin diketahui orang, makanya
janganlah sekali-kali melakukan."
Belum jauh Mio Tinhong pergi, tiba-tiba saja dari depan situ muncul
kembali tiga sosok bayangan hitam.
Gerakan tubuh bayangan bayangan hitam itu cepat bukan kepalang, tak
selang berapa saat saja mereka sudah sampai disamping jenasah Ceng
Bun keng.
Ternyata mereka adalah seorang suku Biau tua yang diikuti dua orang
lelaki kekar berdarah campuran bangsa Han dari suku Biau.
Kedua orang lelaki kekar itu tak lain adalah anak buah Ceng Bun keng,
yakni lelaki yang dihina Mao Tin hong sebagai "anak jadah" tadi.
Mimpi pun Mao Tin hong tak pernah menyangka kalau mereka bakal
muncul di situ.
Tak dapat disangsikan lagi, suku Biau tua itu tak lain adalah "Ko
Hoa-biau" yang disebut-sebut Ceng Bun keng tadi.
Terdengar suku Biau tua itu segera berkata: "Mari, sesuai adat suku
Biau, kita bikin usungan kayu dan
menggotongnya ke gua Pek hoa tong?!" Tak selang berapa saat
kemudian dua lelaki kekar itu telah
selesai membuat sebuah usungan kayu yang kuat dan membujurkan
jenasah Ceng Bun keng diatas usungan tadi, kemudian setelah diikat
kencang-kencang, mereka tuangi jenasah tersebut dengan minyak
hitam (minyak tanah).
Tak selang berapa saat kemudian api telah berkobar membakar jenasah
tersebut, sedang ketiga orang suku Biau tersebut segera berlutut sambil
berkomat kamit ke angkasa.
Jenasah telah hangus menjadi debu, mereka bertiga pun turut bangkit
berdiri.
"Tarsi, bagaimana pendapatmu sekarang ?" tanya Lo hoa biau atau si
suku Biau tua kemudian.
Tarsi dan Saila adalah nama dari dua orang lelaki berdarah campuran
antara bangsa Han dan suku Biau itu.
"Aku hendak memasuki gua Tiok hoa toa untuk menemukan tamu-tamu
bangsa Han itu !" seru Tarsi.
"Akan ku susul orang she Mao itu langsung ke gua Pek hoa tong!"
sambung Saila.
"Lebih baik aku saja" kata Lo hoa-biau kemudian dengan wajah serius,
"kalian toh tahu, majikan (yang dimaksudkan adalah Ceng Bun keng)
telah melepaskan banyak budi kepadaku, sedangkan kepandaian silat
yang dimiliki orang she Mao itupun sangat lihay, sedemikian lihaynya
sehingga mustahil bagi kita untuk menandinginya."
"Tidak, kamipun sudah banyak menerima budi kebaikan dari majikan !"
bantah Saila cepat.
Kembali Lo hoa biau menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Dengarkan dulu perkataanku." bujuknya, "aku sudah tua, biar
harus matipun tak menjadi masalah, sedangkan kalian masih muda,
pada musim semi mendatang masih ada kesempatan untuk "melompat
rembuIan". siapa tahu waktu itu akan ketemu "jodoh" ? jangan lewatkan
kesempatan baik semacam itu !"
"Tidak !" tampik Tarsi tegas-tegas, "bila ingin mengerjakan, kita bertiga
harus kerjakan bersama, kalau tidak, siapa pun tidak punya liangsim..."
"Aku pingin tanya, sekalipun kalian bisa melewati gua Tiok hoa tong
dengan selamat, bagaimana pula cara kalian untuk menyeberangi lembah
ular beracun ? Apalagi keganasan suku berleher panjang amat
mengerikan."
"Bukankah keadaan ini berlaku juga untukmu ? Toh kau sudah tua, lari
mu tak bisa cepat!" kembali Saila membantah.
"Begini saja" akhirnya Lo hoa biau berkata, "biar Toa sia (Malaikat
agung) menjadi saksi, siapa berhasil melampaui gua Pek hoa tong
dengan keadaan selamat, dialah yang berhak pergi, Nah sekarang kalian
berdua harus mengutarakan dahulu rencana kalian !"
Tarsi termenung sambil berpikir sebentar, lalu katanya: "Aku tak
mempunyai rencana yang bagus, pokoknya asal berhati-hati sepanjang
jalan, itu sudah lebih dari cukup!"
"Begitu juga dengan diriku." sambung Saila, "asal tidak sampai mati,
semua masalah dapat diselesaikan secara baik-baik !"
Lo-hoa-biau segera mendengus dingin. "Tahukah kalian berdua,
rencana busuk apakah yang
sesungguhnya diatur orang she Mao itu?" tegurnya. "Bukankah kau
terangkan kepada kami ?" Lo hoa biau segera tertawa. "Seandainya
aku tidak memberitahukan hal ini kepada kalian ?" ia
balik bertanya. Tarsi melirik sekejap kearah Saila, kemudian katanya.
"Kau toh bukan MaIaikat agung, bagaimana mungkin bisa tahu ?"
"Nah, itulah dia ! Kalau begitu dengarkan baik-baik rencanaku ini,
aku hendak menggunakan "darah" memberi makanan macan tutul
bambu di gua Tiok hoa tong, kemudian memberi makan "ular" dalam
selat ular beracun..."
Paras muka Saila dan Tarsi segera berubah hebat, teriakannya hampir
bersama:
"Aah! Masakah kau hendak melanggar "pantangan terbesar" dari suku
kami?"
"Kalau tidak berbuat demikian, bagaimana mungkin aku bisa melampaui
orang she Mao itu secara aman lagi cepat sehingga dapat menjumpai
rombongan tamu bangsa Han itu dan sampai digua Pek hoa tong? Atau
mungkin kalian masih mempunyai cara lain yang jauh lebih baik?"
"Tapi... tapi setelah kejidian tubuhmu akan dicincang menjadi empat
bagian untuk disajikan kepada Tiok pa (macan tutul bambu), Tok coa
(ular beracun) serta Toa oh sin (dewa bertelinga besar) dari suku
berleher panjang..." bisik Saila agak memucat.
"Tentu saja, aku telah bersumpah darah, sudah barang tentu aku harus
menepatinya!"
Tarsi berpikir sejenak, lalu serunya: "Baik, kalau kau dapat berbakti
kamipun dapat, mari kita pergi
benama-sama!" "Betul !" seru Saila pula sambil menepuk ke pala
sendiri, "yang
tak berani pergi berarti manusia jahat. dia pasti akan ditarik oleh iblis
hijau dari lembah selaksa racun untuk dijadikan budaknya sepanjang
masa, tiada bunga su ci Leng hoa, yang tak akan menjelma lagi di alam
semesta!"
Setelah Saila mengangkat sumpah paling berat bagi suku Biau, Lo hoa
biau sendiripun tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Tarsi tak mau ketinggalan dia berseru pula keras-keras: "Dewa
agung, dengarkanlah seruanku, akupun akan berbuat
sama...!" Menyaksikan keteguhan hati serta kebulatan tekad kedua
orang
itu, dengan sangat terharu Lo hoa biau berseru: "Dalam suku kita
berlaku peraturan barang siapa melakukan
"persembahsn darah" maka dia ijinkan membawa serta dua orang
pembantu itu, sekarang kalian beleb menjadi pembantuku untuk
melaksanakan tugas-tugas yang diperlukan, aah, tidak, lebih baik lagi
kita melakukan perjalanan secara terpisah."
Tarsi dan Saila saling berpandangan sekejap kemudian berkata:
"BoIeh, cuma kau sudah mendengar sumpah kami, seusai
membalas dendam" kau tak dapat menghalangi kami untuk melakukan
"persembahan darah" kalau tidak maka kau adalah antek setan!"
Lo hoa biau segera manggut-manggut "Tentu saja, akupun tak akan
berani menghalangi niat kalian itu?" ujarnya.
Maka mereka meneruskan perjalanannya dengan langkah cepat
langsung menuju kearah gua Tiok hoa tong.
^ooo0dw0ooo^ AWAN HITAM menyelimuti angkasa dengan tebal,
membuat
perasaan orang seakan-akan tertekan. Cahaya matahari hampir punah,
udara pun turut berubah
menjadi sangat dingin. Segenap anggota suku dari selat ular beracun,
sejak dari kepala
sukunya yang tinggi besar dan kekar, hampir semuanya berkumpul di
depan selat ular, ditengah tanah lapang berpasir yang sangat luas.
Walaupun langit sudah terang tanah, namun berhubung awan hitam
menyelimuti angkasa, maka suasana tetap terasa remang- remang.
Tak heran kalau beribu batang obor dipasang turut menyemarakkan
suasana disana, di bawah perintah "Patoko" kepala suku Biau tersebut,
obor diangkat tinggi-tinggi sehingga suasana disekitar tanah lapang
"Selat ular" berubah menjadi terang benderang.
Sun Tiong-lo dengan pakaian ringkas senjata terhunus berdiri di depan
selat ular tersebut.
Di belakangnya mengikuti anggota rombongan lainnya, masingmasing
telah meloloskan pula senjata tajam andalannya.
Selama beberapa hari terakhir ini, "Dewa ular" dari selat ular yakni
seekor ular besar telah meramjukkan kegarangannya dengan melukai
banyak orang.
Kebetulan sekali, Sun Tiong-lo sekalian tiba pada saat tersebut, dan
lebih kebetulan lagi, Mao Tin-hong menyusul sampai pula di tempat
tersebut.
Sebenarnya "Patoko" menyambung kedatangan Sun Tiong-lo sekalian
dengan ramah dan sungkan, berhubung Sun Tiong-lo sekalian telah
menghadiahkan sepuluh potong garam dan alat alat pembuat api.
Tatkala pesta gembira diadakan, seorang anak buah Patoko datang
melapor bahwa dari pihak Pek hoa tongcu telah mengirim seorang
utusan rahasia berkunjung ke situ, utusan rahasia tersebut membawa
lencana pengenal Tong-sum hu dari gua Pek hoa tong.
Yang muncul sesungguhnya tak lain adalah Mao Tin hong,
sesungguhnya dia hendak melakukan pebuatan busuknya di gua Tiok
hoa tong dengan mencelakai Sun Tiong-lo sekalian, sayang sekali
kedatangannya terlambat selangkah, sehingga Sun Tiong lo sekalian
berhasil melalui tempat tersebut dalam keadaan selamat.
Tapi sekarang, ketika rombongan Sun Tiong lo baru tiba di selat ular
beracun, dia berhasil menyusul mereka kemari.
Tentu saja dia memiliki lencana Tong sio bun dari gua Pek hou tong,
karena benda tersebut pemberian dari si "iblis wanita", sebenarnya
benda itu dimaksudkan untuk dipakai sewaktu melalui tempat-tempat
tinggal suku Biau tersebut.
Tapi hari ini, dia mengaku sebagai utusan rahasia untuk melaksanakan
tugas rahasia.
Patoko menyambut kedatangan Mio Tin Hong di dalam kamar
pribadinya, dia menanyakan maksud kedatangannya.
Pertama-tama Mao Tin hong meminta kepada Patoko untuk
mengundurkan anak buahnya lebih dulu, kemudian baru berkata:
"Kepala suku, apakah selamanya beberapa hari ini Dewa agung dari
suku kalian melakukan suatu gejala aneh ?"
"Yaa benar, ada apa?" tanya Patoko dengan kening berkerut.
"Berapa hari berselang, oleh karena Dewa bunga dari tongci kami
memberikan peringatan maka beliau telah menyuruh dukun untuk
membuatkan ramalannya, kemudian baru diketahui ada sejumlah
bangsa Han yang jahat-jahat sekali hendak berkunjung ke wilayah
Biau!"
"Apakah tamu-tamu bangsa Han yang sedang berada ditempat kami
sekarang..." tanya Patoto blak-blakan.
"Aaaah, belum tentu" jawab Mao Tin hong secara licik, "cuma didalam
ramalan menunjukkan gejala tersebut!"
"Ooooh, gejala apakah itu?" "Gejalanya aneh sekali, dikatakan: "Bila
benda yang dipakai
untuk asin bisa berubah menjadi getir, maka orang itulah manusia yang
akan mendatangkan bencana api seluruh suku Biau"- konon
orang-orang itu mempunyai ilmu sesat dan tak bisa dilawan dengan
Dewa agung!"
Patoko segera berkerut kening. "Yang asin dapat merubah menjadi
getir ? Apa perkataan
tersebut ?" serunya cepat. Mao Tin hong berlagak termenung sambil
berpikir beberapa saat
lamanya, kemudian jawabnya, "Aah, benar! Kepala suku, apakah
rombongan tamu bangsa Han tersebut telah mempersembahkan
sesuatu benda untukmu ?"
"Yaa benar !" dengan cepat Patoko menjawab. "tamu-tamu bangsa Han
itu berbaik hati ia telah menyerahkan sepuluh garam yang terbaik !"
Begitu mendengar kata "garam", Mao Tin-hong sengaja menunjukkan
perubahan paras mukanya, dengan cepat dia berbisik.
"Nah itu dia, apakah garam tersebut asin !" "Yaa, telah kucicipi,
garam itu memang asin tak bakal salah
lagi..." kembali Patoko menggelengkan kepalanya. "Apakah kepala suku
telah mengundang datang dukun serta
menyuruhnya meneliti garam Itu?" kembali Mao Tin-hong berkata
sambil turut menggelengkan kepalanya.
Patoko menganggap usul ini tak ada ruginya maka dia segera
melaksanakan apa yang diminta.
Siapa tahu Mao Tin hong telah menyuap dukun tersebut sebelumnya,
sedangkan didalam garam tersebut pun Ceng Ban keng telah
merubahnya dengan permainan busuk, sehingga garam-garam mana
sesungguhnya hanya barang palsu.
Setelah dukun datang, garam di ambil diundang pula kedatangan lima
orang sesepuh suku Pek hu tiang tak bertindak sebagai saksi.
Mao Tin hong memang terlalu pintar, dia tak ingin turun tangan sendiri.
Oleh karena sudah disuap, dukun itu sudah mengetahui apa yang harus
di perbuat olehnya dengan cepat diperintahkan orang untuk mengambil
mangkuk, air mendidih dan pisau, kemudian dengan menggunakan
pisau dia mengelupas lapisan depan dari garam itu, kupasan tadi segera
dileburkan kedalam air mendidih.
Menyusul kemudian, dia mengelupas pula lapisan dalam dari garam tadi
dan dimasukkan ke dalam mangkuk lain yang berisi air mendidih.
Air didalam dua mangkuk yang telah diberi campuran tadi, segera
dipersembahkan kepada Patoko untuk dicicipi.
Dengan cepat Patoko meneguk air garam tersebut setegukan, kemudian
serunyanya dengan gembira:
"Garam, garam.... yang betul garam, coba kalian cicipi !"
Maka kelima orang sesepuh tersebut turut mencicipi seorang setegukan
unnu membuktikan memang garam.
Kemudian Dukun itu mempersembahkan mangkuk yang lain kepada
Patoko, dengan cepat Tatoko meneguk setegukan, namun dengan cepat
ia merasa tertipu dan buru-buru muntahkan keluarkan keluar air
tersebut, paras muka nya berubah hebat.
Ke lima orang sesepuh kampung ikut mencicipi air mana, ternyata
hasilnya sama saja.
Ternyata air yang mereka cicipi dari mangkuk kedua ini tidak terasa
asin, sebaliknya malah terasa getir sekali.
Patoko menjadi naik darah, dia menurunkan perintah untuk membekuk
tamu-tamu bangsa Han itu lalu dibakar mati.
Namun Mao Tin-hong mempunyai perhitungan sendiri, dia tahu, dengan
kepandaian silat yang dimiliki Sun Tiong-lo sekalian, tak nanti
orang-orang Tok-hoa-biau bisa membelenggu mereka secara mudah.
Bahkan diapun tahu, bila tindakannya kurang berhati-hati sehingga Sun
Tiong-lo berhasil mengetahui jejaknya, hal ini bisa membuatnya semakin
berabe.
Oleh sebab itu usulnya kemudian. "Kepala suku kau tak boleh
berbuat demikian karena ini sangat
berbahaya !" "Bahaya apanya ?" "Mereka mempunyai ilmu sihir yang
sangat hebat, bila dalam
malunya menjadi marah, bisa jadi dia akan membunuh kita semua !"
"Lantas bagaimana baiknya ?" Sambil tertawa Mao Tin hong
menempelkan bibirnya disisi telinga
kepala suku itu dan membisikkan sesuatu.
Sekulum senyuman segera menghiasi raut wajah Patoko, buru- buru
pujinya berulang kali:
"Bagus bagus sekali, sebuah cara yang amat bagus, suatu idee yang
sangat tepat!"
Maka Mao Tin bong memohon diri lebih dulu, alasannya dia masih harus
melaksanakan tugas lain.
Padahal ia tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi dibalik tempat
kegelapan untuk mengikuti perubahan selanjutnya.
Ternyata rencana yang disusun berlangsung seperti apa yang dia
harapkan.
Di bawab pengawasan yang ketat dari Patoko, juga untuk menghindari
pertempuran berdarah yang akan berlangsung, karena bila pertarungan
benar-benar terjadi, suku Biauw berjumlah begitu banyak, serangan
tulup mereka pun berbahaya maka Sun Tiong lo sekalian menerima
syarat yang diajukan Patoko untuk melalui selat ular tersebut.
Hanya saja, Sun Tiong lo sekalian para jago tidak habis mengerti apa
sebabnya Patoko bisa merubah sikap secara tiba-tiba terhadap diri
mereka.
Hou-ji pandai sekali menangkap ular, diapun menguasai sifat ular ular
beracun, dalam keadaan yang terdesak untuk menerima syarat dari
Patoko, dia bersikeras meminta untuk berangkat melewati selat ular
sesudah fajar menyingsing besok.
Patoko menerima usul itu, sedangkan Mao Tin hong yang mengikuti
kejadian mana secara diam-diam, tidak menunggu lebih jauh, dia segera
berangkat selangkah leoih dahulu menuju ke suku leher panjang untuk
mempersiapkan rencana lain yang jauh lebih keji.
Kalau menurut keadaan pada umumnya, dia tidak seharusnya berangkat
sebelum menyaksikan penyelesaian dari persoalan tersebut, akan tetapi
dia kelewat licik, dia tahu terlepas apakah Sun Tiong lo sekalian dipat
menembusi selat ular atau tidak yang pasti
mereka telah mengikat tali permusuhan dengan suku Biau yang berdiam
di selat ular beracun.
Sebab apabila Sun Tiong lo dapat melewati selat tersebut berarti
mereka harus membunuh ular besar yang dianggap kramat oleh suku
Biau dari selat ular beracun, padahal ular itu merupakan "Dewa agung"
bagi orang-orang tersebut bagaimana mungkin dendam kesumat
tersebut dapat berakhir dengan begitu saja?
Sebaliknya bila tak mampu untuk menembusinya berarti mereka akan
terluka atau tewas, Patoko sendiripun tak akan menyudahi persoalan
sampai disitu saja, bila pertarungan berdarah terjadi, saat itu Sun Tiong
lo sekalian pasti akan mengalami kesulitan yang semakin besar.
Itulah sebabnya Mao Tin hong tak ingin berada dalam situasi berbahaya
semacam itu, dia memutuskan untuk berangkat selangkah lebih duluan.
Bila orang berhati baik, biasanya selalu dilindungi Thian. Ke esokan
harinya, disaat Sun Tiong lo sekalian bersiap sedia
memasuki selat ular dibawah pengawasan yang ketat dari segenap
anggota suku Biau, tiba-tiba saja datang bintang penolong yang sama
sekali di luar dugaan.
Patoko yang menyaksikan saatnya telah tiba, sedang mendesak Sun
Tiong lo sekalian untuk melakukan perjalanan memasuki selat tersebut.
Sambil menggigit bibir, Sun Tiong lo segera mempersiapkan pedangnya
untuk meneruskan perjalanan
Mendadak. ”Toooong! Tooong ! Tooong !" bunyi tambur bergema
datang
secara bertalu-talu. Mendengar suara tambur tersebut, berubah hebat
paras muka
Patoka, cepat-cepat teriaknya kepada Sun Tiong lo sekalian:
"Tamu bangsa Han, harap tunggu dulu!"
Sun Tiong lo segera berhenti sambil berpaling kepada Patoko katanya:
"Kepala suku ada perintah apa?" Dengan suara lantang Patoko
berteriak: "Suara tambur terlarang dari suku kami telah dibunyikan,
berarti
telah terjadi suatu peristiwa besar, harap tamu bangsa Han menunggu
sebentar, setelah memperoleh laporan dari anak buah kami, belum
terlambat untuk melanjutkan perjalanan!"
Tentu saja Sun Tiong lo menyanggupi permintaan tersebut, bahkan
terus memperhatikan keadaan sekeliling sana.
Pada saat itulah, para busu dari suku ular beracun, dengan terbagi
menjadi dua barisan bersikap seperti melindungi dan menyambut tamu
agung saja, mereka datang mendekati mengiringi seorang lelaki tua dan
dua orang lelaki bertubuh kekar.
Siapakah ketiga orang itu? Mereka tak lain adalnh Lo hoa biau serta
Tarsi dan Saila.
Kini, dandanan dari Lo hoa biau berubah sama sekali. Dia
bertelanjang tubuh. hanya sebuah koteka menutupi bagian
alat kelaminnya, sepasang tangan dirangkap didepan dada seperti
seorang pendeta, sementara dalam genggaman tersebut terdapat
sebilah pisau belati.
Diatas tubuh Lo hoa biau pun penuh coreng moreng gambar gambar
aneh yang berwarna warni.
Di antara gambar-gambar tersebut nampak seekor ular aneh yang
sedang menjulurkan lidahnya, seekor macan tutul yang garang, wajah
siluman aneh bertelinga besar serta seorang gadis cantik yang menarik.
Tarsi serta Saila bertelanjang dada pula, hanya mereka mengenakan
celana dalam.
Kedua orang itu mengikuti di belakang Lo-hoa Biau langkah mereka
tegap dan gagah.
Paras ketiga orang itu amat serius, sorot matanya tidak memandang
kearah mana-mana, selangkah demi selangkah mereka maju terus
kedepan.
Begitu banyak anggota suku Biau ular beracun yang kumpul disana,
namun suasana begitu hening, sepi, tak kedengaran suara.
Setiap kali Lo hoa biau berjalan melewati hadapan mereka, serentak
orang-orang itu menundukkan kepalanya dan menyambut dengan
wajah amat serius.
Sementara itu, Patoko telah maju menyambut dengan langkah lebar,
sembari mengangkat tinggi-tinggi tongkat ularnya ke atas, seru nya
dengan bahasa Biau:
"Pengikut dewa agung, silahkan diutarakan, kalian minta Patoko untuk
berbuat apa saja !"
Sementara kejadian tersebut berlangsung Sun Tiong-lo sekalian hanya
berdiri dengan mata terbelalak dan mulut melongo, mereka tidak
mengetahui apa gerangan yang telah terjadi.
Mo Kiau-jiu pernah berdiam diwilayah Biau, dia cukup mengetahui akan
peristiwa semacam ini, segera katanya memberi penjelasan.
"Patoko sedang bertanya kepada ke tiga orang itu, mereka ada perintah
apa ?"
"Bukankah ke tiga orang itu adalah pelayan suku Biau yang bekerja di
rumah penginapan oangsa Han dalam kota Kim-sah-cay ?" tanya Sun
Tiong-lo keheranan.
Mo Kiau jiu segera manggut-manggut. "Benar, tapi sekarang mereka
tampil sebagai Dewa pengorbanan
darah dari suku Biau, atau sama artinya sebagai utusan khusus dari
Dewa agung, oleh sebab itu Patoko menyebut mereka sebagai pengikut
dewa agung !"
"Apa sih yg dimaksud dengan Dewa pengorbanan darah ?" tanya nona
Kim tiba-tiba, Mo Kiau-jiu segera menjelaskan: "Barang siapa
mengangkat sumpah semacam ini berarti dia bakal mati, apabila tiada
penderitaan atau permusuhan yang amat besar, biasanya mereka tidak
akan berbuat demikian"
"Penderitaan apakah yang mereka derita ?" tanya Sun Tiong-lo. Mo
Kiu-jiu segera menggeleng, "Sekarang masih belum tahu,
agaknya Patoko hendak bertanya, sebentar pun kita akan menjadi
jelas."
Betul juga, Lo hoa biau segera menjawab: "Aku mempunyai dendam
sakit hati, atas nama semua dewa agung dari suku Biau kami telah
bersumpah, tujuan kami adalah gua Pek hoa tong, entah berhasil atau
tidak, sampai waktunya kami bersumpah akan mencincang tubuh kami
sendiri untuk dipersembahkan kepada dewa"
Patoko segera mengangkat tongkat ularnya tinggi-tinggi sembari
berteriak keras:
"Dewa agung akan melindungi utusan dewa, usaha kali ini pasti akan
berhasil dengan sukses!"
Mo Kiao jiu sebagai juru penterjemah segera menyampaikan apa yang
didengar kepada para jago.
Seusai menuturkan tanya jawab antara Lo-hoa biau dengan Patoko, Mo
Kiau jiu berkata lagi:
"Sun sauhiap- aku lihat kejadian ini agak aneh, kita tak perlu
menyeberangi selat ular lagi, ternyata Lo hoa biau memilih kita untuk
mengiringi perjalanannya sampai di gua Pek hoa tong!"
Benar juga, ditengah sorak sorai segenap anggota suku Biau, Lo boa
biau berjalan menghampiri Sun Tiong Lo. kemudian sambil me narik
tangan pemuda itu bisiknya dengan bahasa Han:
"Jangan melawan, aku datang untuk menolong kalian, ikuti saja diriku
untuk berlalu dari sini."
Sudah barang tentu Sun Tiong lo tidak akan menampik mereka berdua
segera berjalan mendekati selat ular.
Dengan amat hikmat Lo hoa biau bersujud didepan selat tersebut,
kemudian menggunakan pisau belati yang di bawanya merobek lengan
kirinya sehingga darah meleleh didepan selat Kemudian dia menarik
tangan Soen Tiong lo dan dibawah cahaya obor berangkatlah menuju
kearah jalanan ke suku leher panjang.
Tarsi dan Saila mengikuti dibelakang Lo hoa biau, sedangkan Hou ji
sekalian mengikuti dibelakang Tarsi, lambat laun mereka telah jauh
meninggalkan wilayah Selat Ular Beracun.
Hingga bayangan tubuh dari orang-orang suku Biau selat ular beracun
tak nampak lagi Lo hoa biau baru menghentikan langkahnya, setelah
menengok sekejap ke sekeliling tempat itu, ujarnya kepada Sun Tiong lo
dengan wajah serius:
"Aku masih ingat tuan she Sun bukan?" Sun Tiong lo segera
mengangguk. "Ya, benar aku pernah memanggilmu sebagai sobat
lama
sewaktu berada dirumah penginapan Kim sah cay. masih ingat?" "Tentu
saja masih iigat" Lo hoa biau tertawa. Sun Tiong lo segera mengalihkan
pokok pembicaraan ke soal
lain, katanya lagi: "Siapa sih musuh besarmu? Mengapa tak segan-segan
mengangkat sumpah seberat ini, bahkan datang menyelamatkan kami?"
Agak tertegun Lo hoa biau sesudah agar perkataan tersebut, dia balik
bertanya.
"Han kek (tuan bangsa Han), kaupun mengetahui akan hal ini?" Sun
Tiong lo lalu tertawa. "Baru saja kudengar dari sahabatku,
sesungguhnya apa sih yang
telah terjadi?"
Lo hoa biau seperti merasa tak tentram, dia berpaling dan memandang
sekejap lagi kesekeliling tempat itu. kemudian baru berkata:
"Sekarang jangan banyak bertanya dulu, mari kita lanjutkan perjalanan
meunju kedepan, apakah Han kek sudah melihat batu besar di depan
sana? Nah kita berjalan dulu hingga ke belakang batu besar itu, disana
baru akan ku terangkan semua persoalannya"
Sun Tiong lo tidak bertanya lagi, dengan langkah lebar dia berjalan
dengan menuju ke depan.
Sesampainya di belakang batu besar tersebut, Lo hoa biau baru berkata
kepada Tarsi: "Tarsi, bagaimana kalau kau yang menjaga."
"Tak usah kuatir, serahkan saja padaku!" Loa hoa biau
manggut-manggut, kepada Sun Tiong-lo ujarnya
kemudian: "Han kek, kemana pergi kelima kuli kasar dari rumah
penginapan
kami itu?" "Setibanya di Tiok hoa tong mereka telah balik sendiri." Lo
hoa biau manggut-manggut, katanya: "Han kek, tahukah kau
baru saja kalian lolos dari ancaman kematian yang mengerikan?" "Ooooh,
apakah sobat tua maksudkan perjalanan kami
menembusi selat ular?" Lo-hoa biau membelalakkan matanya
lebar-lebar, kemudian
menjawab: "Tentu saja, dewa ular yang berdiam dalam selat ular
tersebut
telah berusia beberapa ratus tahun, kekuatannya luar biasa, belum
pernah ada manusia atau binatang yang berhasil meloloskan diri dan
selat tersebut dalam keadaan selamat!"
Sun Tiong lo enggan untuk banyak berdebat dengan Lo hoa biau,
segera serunya:
"Sobat lama, kalau begitu aku harus mengucapkan banyak terima kasih
atas bantuanmu."
Sesudah menghela napas panjang, Lo hoa biau menyambung: "Aku
tahu kalau Han kek belum mengerti mari biar kujelaskan
kepadamu, sekarang coba kalian buka buntalan kalian dan ambillah
untaian mutiara kaca serta kain berkembang-kembang itu !"
Sebelum Sun Tiong lo menjawab, Kang Tat dan Thio Yok sim telah
membuka buntalan tersebut. Kembali Lo hoa biau itu berkata:
"Mana buntalan yang berisi lentera?" ”Disini!" Ban Cuan membawa
buntalan Ientera sambil berjalan
mendekat. "Sekarang, ambillah untaian mutiara kristal dan kain
tersebut!" Kang Tat dan Tbio Yok sim mengeluarkan buntalan berisi
kain
serta kantong kulit berisi untaian mutiara kristal, begitu dibuka para
jago sama-sama menjerit kaget dan berdiri tertegun ditempat, untuk
beberapa saat lamanya mereka tak sanggup mengucapkan sepatah
kata-pun.
Bungkusan kain yang pernah mereka periksa berisikan kain warna-wami,
sekarang telah berubah menjadi potongan-potongan kain putih yang
diatasnya dilukisi dengan manusia aneh berleher panjang berwarna
hitam yang sangat tak sedap dipandang.
Dengan cepat Sun Tiong lo menyadari apa gerangan yang telah terjadi,
ujarnya kemudian.
"Sobat lama, apakah Ceng Bun keng yang sengaja bermain gila dengan
kami?"
Dengan wajah pilu dan sedih Lo hoa biau menggelengkan kepalanya
berulang-ulang. "Bukan, majikkanku telah mati terbunuh !"
"Aaaai !" Sun Tiong lo menjerit kaget sesudah mendengar ucapan
tersebut.
"Apa yang terjadi ? Mengapa bisa begini ? Kapan peristiwa tersebut
berlangsung ?"
Lo hoa biau menghela napas sedih. "Aaaai, aku enggan
membicarakan peristiwa yang amat tragis itu,
lebih baik membicarakan persoalan yang menyangkut Han-kek saja."
Sesudah berhenti sejenak, tiba-tiba serunya: "Ambil kemari
garam-garam bata tersebut."
Waktu itu, Sun Tiong-lo sekalian sudah menyadari kalau seluruh barang
hadiah yang mereka persiapkan sudah timbul masalah.
Sangkoan Ki mengambil garam bata tersebut dari buntalan dan segera
diangsurkan kedepan.
Lo hoa biau menerima garam bata itu, kemudian ujarnya kepada semua
orang:
"Sekarang, garam ini akan kuedarkan kepada kalian, setiap orang boleh
menjilat sekali!"
"Mengapa harus begini ? Aku ogah !" nona Kim yang jijik segera
memprotes.
Sun Tiong lo segera menyambut garam bata itu seraya berkata: "Adik
Kim tak usah mencoba, sedang yang lain lebih baik
menuruti perkataan dari sobat lama ini untuk mencicipinya, siapa tahu
akan mencicipi suatu rasa yang aneh !"
Maka setiap orang menjilat sekali pada garam bata tersebut. Aah,
semua orang mengatakan bahwa itu garam bata asli. ^ooODWOoo^
TIBA-TIBA Lo hoa-biau mengambil pisau belatinya dan
memotong garam bata tersebut persis dari tengahnya, garam bata itu
segera terpotong menjadi dua bagian. Kembali Lo hoa biau berkata,
"Sekarang, silahkan setiap orang menjilat garam ini, cuma yang dijilat
harus pada bagian yang kupotong barusan."
Semua orang menurut dan menjilat pada bagian yang terpotong,
dengan cepat semua orang merasakan kegetiran yang luar biasa.
Saat itulah Lo hoa biau baru membeberkan semua kejadian seperti apa
yang dia ketahui.
Akhirnya dia menunjuk ke arah ke dua puluhan batang lentera berlilin
putih itu, ujarnya:
"Han-kek sekalian, seandainya kalian mempercayai kalau lentera berlilin
putih ini merupakan lentera asli, maka kalian benar-benar akan tertipu
mentah-mentah dan mati secara penasaran !"
Nona Kim mengambil sebatang lilin kemudian diperhatikannya beberapa
saat, kemudian serunya.
"Sudah jelas kalau lilin ini berkwalitet tinggi !" "Yaa, seperti juga
garam bata tersebut, yang benar adalah
barang setengah tulen setengah palsu !" kata Lo hoa piau sembari
menuding ke arah garam bata itu.
Betapapun lihaynya Sangkoan Ki, ternyata diapun tidak berhasil
menemukan penyakit dari lilin tersebut, katanya kemudian.
"Aku rasa tiada kemungkinan untuk memalsukan lilin ini !" Lo
hoa-biau segera menggelengkan kepala nya berulang kali,
katanya. "Lilin ini mempunyai ketinggian lima inci dengan besar yang
lumayan, pada lapisan satu inci bagian atas, sekeliling lilin ini serta
setengah inci bagian bawah memang dilapisi lilin dan kwalitet paling
baik, tapi tiga inci setengah yeng berada dibagian tengah, justeru diisi
dengan obat peledak yang berkuatan dahsyat!" Lohoa-biau
menerangkan.
"Oh, mengerti aku sekarang." seru Sangkoan Ki sok pintar, "bila lilin ini
disulut maka dalam seperminum teh pertama tak akan terjadi
perubahan apa apa tapi bila bagian satu inci diatas sudah habis. maka
lilin itu akan segera meledak." Besar benar sok ngerti pemuda itu.
"Salah." Lo hoa-biau menggelengkan kepalanya, "tidak sampai
sehembusan napas setelah lilin itu disulut, obat peledaknya akan segera
meledak." Lo-boa-biau menjelaskan.
"Bukankah bagian atasnya masih terdapat lilin asli sepanjang satu inci
?" bantah Sangkoan Ki sembari berkerut kening.
"Benar, tapi sumbu lilin justeru dihubungkan langsung dengan pusat
obat peledak, sehingga begitu bertemu api, sumbu itu akan terbakar
langsung kebawah. Apakah tidak meledak lilin itu bila sudah bertemu
dengan api?"
Mo Kiau jiu mengerdipkan matanya berulang kali, ucapnya kemudian:
"Ah, tidak benar, bukankah Ceng Bun keng telah mencoba sebatang
dihadapan kami ? Kenyataannya tidak meledek ?"
"Benar, karena lilin yang dicobakan dihadapan kalian tidak berisi obat
peledak, melainkan sumbu biasa !"
Mendadak Sun Tiong-lo berhenti, mengambil lilin dari tangan nona Kim
kemudian berjalan menjauh langkah lebar, setelah meletakkan lilin itu
diatas tanah. ia berjalan balik.
Kemudian digunakan kertas yang dibungkus dengan batu, kemudian di
sulut dengan api dan disentilkan ke ujung sumbu lilin tersebut
tampaknya ia hendak membuktikan kebenaran cari ucapan mana.
Disaat gerakan bunga api dari kertas tersebut jatuh diatas sumbu lilin itu
terpancar sekilas cahaya aneh pada ujung lilin tadi menyusul kemudian
terjadilah suatu ledakan dahsyat yang menggetarkan seluruh jagad.
Padahal jarak antara mereka dengan lilin tersebut masih sepuluh kaki
lebih, namun hempasan pasir dan batu yang memancar ke empat
penjuru toh terasa menyayat badan.
Bayangkan saja, seandainya puluhan lilin di sulut bersama, apa yang
bakal terjadi dengan kawanan jago tersebut? Mungkinkah tubuh mereka
turut hancur musnah.
Setelah meledak lewat Sun Tiong lo memeriksa kembali bekas ledakan
tersebut, ternyata permukaan tanah itu melesak kedalam tiga depa
dengan lebar satu kaki akibat ledakan mana, betapa dahsyatnya tenaga
ledakan tersebut bisa dilihat dari sini.
Berubah hebat paras muka Sun Tiong lo setelah menyaksikan
kesemuanya itu, seandainya Lo hoa-biau tidak memperingatkan mereka,
sudah pasti dia bersama para jago lainnya akan mati tanpa tempat
kubur.
Dari sini, para jago pun semakin memahami betapa mengerikan dan
kejamnya rencana dari Mao Tin hong tersebut.
Dalam kobaran api dendam yang menyala-nyala, para jago segera
menyatakan solidaritas nya terhadap perjuangan Lo hoa biau sekalian
bertiga dalam usahanya mencari balas.
Dengan kehadiran Lo hoa biau dalam rombongan, maka mereka pun
dapat terlepas dari keadaan orang buta menunggang kuda, menjelang
saat beristirahat maka bersama-sama merundingkan suatu siasat bagus
untuk menghadapi siasat busuk Mao Tin hong selanjutnya.
"Orang she Mao itu terlalu jahat" demikian Lo hoa biau berkata, "siapa
tahu dia sedang bersembunyi dalam kegelapan barusan dan melihat
jelas semua persoalan yang terjadi dalam selat ular beracun. akan tetapi
dia bukan dewa, dengan mudah kita dapat menyelidiki hal tersebut."
"Tolong tanya bagaimana cara untuk menyelidikinya ?" Lo hoa biau
menuding bukit lm san didepan sana, kemudian
ujarnya. "Tak jauh setelah memasuki mulut bukit itu merupakan
wilayah
kekuasaan suku biau berleher panjang, bila orang she Mao itu
tidak
mengetahui kejadian malam tadi, aku percaya dia pasti bermain setan
lagi dihadapan kepala suku Biau berleher panjang l"
"Ehmmm..." Sun Tiong lo manggut-manggut, "Setelah bermain setan,
apa pula yang bisa dilakukan ?"
"Dengan kedudukanku sebagai seorang anggota suku Biau, sembilan
puluh persen bisa kuduga kalau dia akan mengatakan garam yang
dibawa Han kek sekalian palsu, dengan begitu bila kepala suku Biau
berleher panjang membuktikan kepalsuan garam tersebut, sudah pasti
mereka akan menyerang kita !"
"Untung kita sudah mengetahui tentang penyakit kain warna- warni
tersebut, tentu saja kita tak akan mencari kesulitan buat diri sendiri
asalkan kita kupas lapisan luar dari garam tersebut dan dihadiahkan
kepada suku Biau berleher panjang, aku rasa hal ini sudah lebih dari
cukup !"
Suatu akal bagus tiba-tiba melintas didalam benak Sun Tiong lo, sambil
tertawa segera ujarnya:
"Tidak usah, aku mempunyai sebuah cara yang dapat membuat Mao Tin
hong mencari mampus buat diri sendiri, bisa membuat kepala suku Biau
membencinya hingga merasuk ke tulang sumsum !"
Mendengar ucapan mana, Lo-hoa-biau menggelengkan kepalanya
dengan wajah tidak percaya.
Nona Kim juga segera bertanya. "Engkoh Lo, cara bagus apakah
yang kau miliki ?" Sun Tionglo hanya tertawa tanpa menjawab
sebaliknya malah
berkata kepada Lo hoa biau. "Aku hanya ingin bertanya kepadamu,
apakah rakyat suku Biau
gemar dengan kain putih?" "AsaI ada kain, mereka pasti senang, tapi
lukisan manusia aneh
dengan tinta hitam ini merupakan pantangan paling besar bagi anggota
suku Biau berleher panjang, bila kau tak dapat
mengemukakan alasannya dengan tepat-terpaksa bersiap siaplah untuk
melangsungkan pertempuran berdarah..."
Sun Tiong-lo segera tertawa. "Kalau masalahnya hanya tinta hitam
itu mah gampang untuk
diselesaikan, aku jamin tak bakal terjadi persoalan lagi" "Oooo... apakah
Han kek bersedia menerangkan lebih jelas lagi
?" pinta Lo hoa biau. Sun Tiong lo segera menggeleng. "Sekarang, lebih
baik jangan ditanyakan dulu, sampai waktunya
apa yang kukatakan kepada kepala suku Biau berleher panjang tolong
sobat tua sudi menterjemahkan ke dalam bahasa suku Biau, tanggung
tak bakal terjadi persoalan lagi!"
Namun Lo hoa biau masih tidak tenang, kembali serunya. "Han kek.
persoalan ini menyangkut soal mati hidup!" "Tak usah kuatir, harap
kau tak usah kuatir" kata Sun Tiong lo
dengan suara tegas, "aku tak akan menggunakan nyawaku sebagai
bahan gurauan saja..!"
Lo hoa biau kehabisan daya, terpaksa dia manggut-manggut.
Sementara semua orang beristirahat Sun Tiong lo mengeluarkan
dua batang lilin berobat peledak itu kemudian dengan ujung jarinya
secara berhati-hati sekali mengorek keluar sumbu peledak itu dan
menuang keluar isi obat peledak yang masih tersisa didalamnya
Semua orang memperhatikan tingkah lakunya, namun mereka hanya
bisa melongo dan tak tahu apa gerangan yang sebenarnya terjadi.
Ketika selesai bekerja, Sun Tiong lo memasukkan kedua batang lilin
tersebut kedalam sakunya.
Kemudian dia berpesan kepada Hoa ji agar menyimpan sisa lilin
kedalam buntalan dan di gembol diatas punggung.
^ooo^dw^ooo^ MENDEKATI LOHOR, salah seorang panglima
perang andalan
suku Biau berleher panjang yang bersama "Caa-Ki" dengan memimpin
enam puluh orang prajurit tempurnya setengah menyambut setengah
menggusur membawa Sun Tiong lo sekalian beserta Lo hoa biau dan
Tarsi Saila memasuki daerah mereka...
Berhubung Lo hoa biau telah mengangkat sumpah berat, oleh kepala
suku dianggap sebagai "sahabat dewa", sambutan yang diberikan arnat
hormat dan berlebihan.
Tarsi serta SaiIa jadi turut kecipratan sambutan yang berlebihan
tersebut.
Tapi berbeda sekali terhadap Sun Tiong-lo sekalian, mereka dicurigai
sebagai musuh.
Terutama sekali sang dukun yang tak pernah berpisah dari sisi kepala
sukunya, dengan sorot mata yang buas dia mengamati terus
gerak-gerik Sun Tionglo
Mula pertama, Lo hoa-biau melakukan upacara persembahan lebih dulu
terhadap dewa bertelinga besar dengan menggunakan darah segarnya,
seusai upacara, Lo hoa-biau diterima sebagai tamu agung, dan saat
itulah kepala suku baru menanyakan maksud kedatangan Sun Tiong lo.
Dengan alasan hendak mencari bahan obat-obatan Sun Tiong lo
mengatakan minta izin untuk lewat tempat tersebut, bahkan
mengatakan ada hadiah hendak dipersembahkan.
Menyusul kemudian, Sun Tiong lo mengeluarkan tiga puluh batang
garam bata serta kain putih tersebut.
Ketika menyaksikan lukisan diatas kain putih tersebut, paras muka
kepala suku segera berubah hebat, ditatapnya Sun Tiong-Io dengan
penuh kegusaran serentak dia melompat bangun agaknya bersiap sedia
hendak menurunkan perintah penyerangan.
Tapi Sun Tiong-Io lewat penterjemahannya Lo-hoa-biau segera
memberi penjelasan:
"Aku tahu kalau hal ini merupakan pantangan bagi suku kalian,
sesungguhnya semuanya ini hasil perbuatan dari seorang Han kek she
Mao, dia sengaja membuat rusak kain putih yang hendak
kupersembahkan kepada kepala suku, agar kepala suku marah
kepadanya. Tapi kepala suku tak usah kuatir, aku mempunyai cara yang
bagus untuk menghilangkan semua noda lukisan diatas kain itu, bahkan
hilang lenyap tak membekas, bila kurang percaya, silahkan kepala suku
menitahkan seseorang untuk mengambil sebaskom air, asal telah
kubuktikan pasti kepala suku akan percaya.”
"Hmm, Han kek penipu !" dengus kepala suku. Sun Tionglo tertawa,
dia mengeluarkan sebatang garam bata,
kemudian ujarnya. "Kepala suku sudah tahu kalau benda itu palsu."
sengaja
katanya: "Benda apakah itu ?" "Garam aneh !" "Kepala suku." segera
berkerut kening, sambil memandang wajah
Lo hoa biau yang baru saja menerjemahkan ucapan itu ke bahasa Biau
dia berseru:
"Apa itu garam aneh? Belum pernah kudengar." Ketika Lo hoa biau
menanyakan hal ini kepada Sun Tiong-lo,
tentu saja dia mengetahui maksud hati pemuda itu, bahkan sangat
mengagumi kelihayan siasatnya.
Maka sambil berlagak rahasia, ujarnya kepada kepala suku: "Harap
kepala suku mengambil dua buah kantung, sekalian
persiapkan air sebaskom, sebentar segala sesuatunya akan menjadi
jelas."
Kepala suku berpaling ke arah sang dukun dengan itu segera
mengangguk sambil mengulap kan tangmnya.
Dua buah kantung kulit dan sebaskom air segera dipersiapkan orang
dalam waktu singkat.
Sun Tiong lo meminjam pisau miliki Lo hoa biau, kemudian tanpa
mengucapkan sepatah katapun dia memotong lapisan garam yang asli
menjadi tiga puluh potong dan disimpan kedalam sebuah kantung.
Sedangkan bagian yang terasa getir, sebangsa bahan pemutih itu
kedalam baskom berisi air.
Dengan cepat bahan pemutih yang terasa getir itu larut kedalam air dan
merata, maka Sun Tiong lo segera turun tangan menceburkan kain-kain
yang kotor tadi kedalam air yang telah dicampur dengan bahan pemutih
tersebut.
Suatu kejadian yang mungkin dianggap ajaib pun segera berlangsung
dihadapan segenap suku Biau berleher panjang yang hadir disana.
Setelah direndam dan dicuci didalam air baskom tersebut, lukisan hitam
yang mengotori kain putih tadi menjadi bilang lenyap-sebagai gantinya
kain itu putih bersih kembali.
Maka Sun Tiong lo segera memberi tanda kepada Hou ji, mereka
bersama sama membentangkan kain putih itu.
Kain putih itu nampaknya bertambah putih, sedang noda hitam tadi
lenyap tak berbekas.
Bagi kita, mungkin kejadian tersebut merupakan sesuatu yang wajar
karena bekerjanya bahan kimia, lain halnya dimata suku Biau- berleher
panjang yang mesih terpencil hidupnya dan belum berkembang
pengetahuannya itu, peristiwa mana segera dianggap oleh semua orang
sebagai suatu peristiwa yang sangat ajaib.
Maka sedari kepala sukunya sampai ke anak buahnya, mereka bersama
sama menjerit kaget.
Terutama sekali sang dukun tersebut, untuk beberapa saat lamanya dia
sampai tidak mampu untuk mengucapkan sepatah katapun.
Menggunakan kesempatan inilah, La hoa biau segera berkata kepada
kepala suku:
"Harap menitahkan orang untuk mengeluarkan kain itu dan dijemur
diatas teriknya matahari !"
Setelah kepala suku menurunkan perintah, Lo hoa biau menuding lagi
isi kantung yang lain sembari berkata:
"Apakah kepala suku dan dukun tidak mencoba dulu isi kantung
tersebut ? Coba dirasakan besarkah garam atau bukan ?"
Dukun yang licik segera menitahkan beberapa orang rakyatnya untuk
mencoba.
Ketika selesai mencoba, orang-orang itu segera bersorak sorai dengan
girangnya.
Tak menunggu pertanyaan dari kepala suku Lo-hoa biau segera berkata
lagi kepada para rakyat suku Biau tersebut:
"lnilah hadiah yang dibawa para Han-kek ini untuk kepala suku serta
semua orang, nama nya garam aneh, pada lapisan luar berisi garam dan
bisa dimakan, sedangkan bagian yang dalam bisa digunakan untuk
membersihkan semua noda kotor."
"Oleh karena Han-kek kuatir semua orang itu mengerti cara memakai
benda bagus ini, lagipula tahu kalau ada orang jahat she Mao yang ingin
mengacau secara diam-diam, maka kami sengaja membagi dulu benda
benda tersebut agar kalau jangan salah pakai.
"Sejak kini, apalagi kalian ingin menggunakan garam, maka ambillah
dari dalam kantung ini, sebaliknya bila ingin mencuci kain yang kotor
maka gunakanlah lapisan yang di dalamnya, nah sekarang ambillah
benda-benda tersebut."
Lo hoa biau menjelaskan hal ini itu dengan menggunakan bahasa suku
Biau, apalagi diapun berada dalam status "Utusan dewa" yang
sedang melakukan sumpah berat, tentu saja perkataannya dipercayai
setiap orang.
Dengan begitu rencana busuk dari Mao Tin hong pun lagi-lagi
mengalami kegagalan total.
Pagi tadi, Sun Tiong lo telah melangsungkan perundingan yang cukup
mendalam dengan Lo hoa biau, kini Sun Tiong lo memberi tanda
kepadanya dan Lo hoa biau segera manggut-manggut tanda mengerti.
Ketika para suku Biau tersebut telah menggotong pergi garam dan
bahan pemutih tersebut Lo hoa biau berkata lagi kepada kepala suku:
"Kepala suku, aku dengar orang berkata di tempat Dewa Agung berdiam
terdapat sebuah batu besar yang menghalangi jalanan sehingga
perjalanan menuju kesitu agak terganggu, benarkah demikian?"
"Benar, batu itu menjengkelkan!" kepalanya suku mengangguk.
"Mengapa tidak disingkirkan saja?" Kepalanya suku memandang
sekejap kearah Lo hoa biau,
kemudian sahutnya cepat. ”Disingkirkan? Utusan dewa, kau tidak tahu
batu itu tingginya
dua kaki dengan lebar satu kaki, beratnya bukan kepalang, tenaga lelaki
sebanyak dua tiga puluh orang pun belum tentu sanggup untuk
menyingkirkannya!"
"Oooh, bagaimana kalau tenaganya diperbanyak?" Dengan cepat
Kepala suku menggeleng. "Apa gunanya? jalanan itu lebarnya dua
kaki, di singkirkan kekiri
juga menyumbat jalan, begitu pula kearah kanan, kecuali kalau memiliki
tenaga yang dahsyat seperti Dewa agung yang bisa meledakkan batu itu
sehingga hancur berkeping-keping!"
Lo hoa biau sengaja berkerut kening, kemudian ujarnya:
"Kepala suku sekembali aku dari gua Pek-hna tong nanti, pertama-tama
akan kugunakan lengan kiriku untuk mempersembahkan Dewa agung
disini, bila jalanannya kurang lebar, mungkin Dewa agung akan
melimpahkan kemarahannya kepada kami."
Kepala suku itu tak takut langit tidak takut bumi, tetapi dia takut sekali
dengan batu berbentuk kepala manusia yang tingginya beberapa kaki
itu, di atas batu besar ttu terdapat tonjolan batu lain seperti telinga
besar, dari sinilah munculnya asal usulnya dewa bertelinga besar itu.
Mendengar ucapan dari Lo hoa biau tersebut, terutama tentang
kemungkinan marahnya sang dewa, paras muka kepala suku itu kontan
saja berubah hebat
Melihat hal mana, Lo hoa biau menjadi gembira setengah mati, segera
ujarnya lagi:
"Bukankah dukun kalian memiliki kemampuan yang luar biasa ? Dia
pasti punya akal"
Sang dukun menjadi melongo, ucapan tersebut benar-benar
membuatnya mati kutu dan ketakutan setengah mati.
Akhirnya dengan mata yang gugup dia celingukan ke sana ke mari,
jelas kalau hatinya sedang kalut.
Tampaknya kepala suku menganggap ucapan tersebut masuk diakal
kepada sang dukun segera serunya:
"Kau pernah berkata kalau memiliki kepandaian yang biasa seperti Dewa
agung, Nah sepantasnya bila kau yang melaksanakan pekerjaan ini.."
Sang dukun hanya berdiri bodoh, untuk beberapa saat lamanya dia tak
mampu mengucapkan sepatah katapun.
Dengan cepat Lo-hoa-biau mendekati dukun itu, kemudian bisiknya.
"Sstt, Han kek she Sun itu mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk
membantumu mari ikut aku, asal dia bersedia membantumu urusan pasti
beres, cuma setelah itu kau harus menuruti perkataannya!"
Dukun itu menjadi sangat gembira, bersama Lo hoa biau mereka
menghampiri Sun Tiong lo.
Dua orang itu segera berunding dengan suara rendah, akhirnya dukun
itu memperoleh janji dan merasa, bukan saja ia tidak rnengganggu Sun
Tiong Io sekalian bahkan bahkan sikapnya malah sangat menaruh
hormat.
Sesudah mendapat petunjuk dari Lo hoa biau, Dukun itu kembali ke
samping kepala sukunya dan berkata:
"Aku akan melakukannya, tengah malam nanti harap kepala suku dan
segenap rakyat kita datang menyaksikan kelihayanku!"
Tengah malam itu, semua rakyat suku Biau berleher panjang telah
berkumpul.
Dukun itu sambil membawa sebuah tongkat pendek berwarna putih,
yang sebenarnya cuma sepasang kayu biasa melompat dan menari di
seputar batu raksasa itu bagaikan orang gila, sebentar tertawa sebentar
menangis dia bersandiwara terus.
Bahkan sambil memainkan peranannya, tiada hentinya dia memandang
kearah Lo hou biau sambil menunggu tanda darinya.
Mereka telah berjanji, bila Lo hoa biau bangkit berdiri maka dia akan
menuding kearah batu cadas raksasa tersebut dengan kayu putihnya,
sedangkan kejadian selanjutnya bukan urusan nya karena semuanya
sudah diaturkan orang lain.
Begitulah dalam mencak-mencak nya macam orang kesurupan,
mendadak dia melihat Lo-hoa biau memberi kode rahasia.
Serentak dia berhenti menari, kemudian sambil memicingkan matanya
dia berlagak seakan-akan sedang berdoa untuk memohon kekuatan
sakti dari para dewa.
Padahal dia sedang menantikan kode rahasia berikutnya dari Lo hoa
biau, dia kuatir salah waktu dalam adegannya.
Mendadak Lo hoa biau bangkit berdiri ! inilah kode rahasia yang sedang
dinanti-nantikan.
Cepat si Dukun menjerit sekeras-kerasnya, kemudian tongkat ditangan
kirinya ditudingkan ke arah batu cadas tersebut.
Menyusul kemudian kayu ditangan kanannya turut ditudingkan ke arah
batu cadas yang berada dikejauhan.
Segenap rakyat suku Biau berleher patjang segera membelalakkan
matanya lebar-lebar sambil mengawasi semua gerak gerik dukunnya.
Kekuatan sakti . .. kekuatan sakti . . . kekuatan sakti yang tiada
taranya.
Terdengar dua kali ledakan dahsyat yaag menggetarkan seluruh jagad,
bersamaan dengan digetarkannya sepasang tongkat dikiri kanan tangan
dukun itu ledakan keras bergema.
Lalu setelah ledakan tersebut lewat, batu cadas raksasa yang selama ini
menyumbat jalan pun turut hilang lenyap hingga tak berbekas...
Maka sorak sorai yang gegap gempita pun berkumandang memecahkan
keheningan, semua orang makin menganggap dukunnya maha sakti dan
melebihi dewa.
Tentu saja sang dukun itu seorang yang mengetahui keadaan yang
sesungguhnya, rasa terima kasih dan hormatnya kepada Sun Tiong lo
pun semakin berlipat ganda.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 42
ANCAMAN bahaya kini telah hilang, habis gelap terbitlah terang dengan
aman sentausa Sun Tiong lo sekalian bersama Lo hoa biau
dan Tarsi, Saila melanjutkan perjalanannya meninggalkan suku Biau
berleher panjang.
Selewatnya gua suku Biau berleber panjang mereka akan sampai di
gua Pek hoa tong.
Diantara ke dua wilayah tersebut terbentang wilayah seluas dua puluh li
yang merupakan daerah tak bertuan.
Sun Tioig-lo sekalian bersama Lo hoa biau semua tahu, sejak kini
mereka benar-benar telah menginjak jalan mati hidup yang penuh
dengan ancaman bahaya yang sebenarnya, mereka harus bertindak
dengan sangat berhati-hati.
Maka didaerah tak bertuan itulah mereka beristirahat sambil
merundingkan rencana selanjutnya.
^oooOdwOooo^ BANGUNAN berloteng yang megah dan indah,
berdiri kokoh
dibalik sebuah bukit. Siapapun tak akan menyangka kalau diwilayah
suku Biau yang
terpencil terdapat bangunan yang begitu megah dan mewahnya. Padahal
bangunan tersebut hanya sebagian dari sebuah
kompleks bangunan besar, tapi oleh karena disinilah terletak pusat dari
seluruh bangunan tersebut, maka dari sini pula cerita ini dimulai...
Kentongan pertama baru menjelang, cahaya lentera menerangi
bangunan berloteng tersebut.
Sebuah meja berkaki delapan yang terbuat dari kayu cendana dikelilingi
oleh beberapa buah kursi yang beralaskan kasur dengan sulaman yang
indah.
Duduk di sebelah kiri adalah pemilik kebun Pek hoa wan. sesungguhnya
dia adalah gembong iblis wanita yang hatinya tidak begitu jahat dan
cara kerjanya tidak begitu kejam. Jin Jin, siiblis wanita ini hanya
berpandangan dan berjiwa agak sempit saja.
Duduk dikursi sebelah kanan adalah Mao Tin hong, bajingan tengik
yang berhati busuk dan buas.
Bi kui, sipelayan wanita duduk di samping Jin Jin sambil membawa poci
berisi arak Pek-hoa liok.
Mao Tin hong, menggerakkan tangan kirinya untuk menerima cawan
kemala tersebut, setelah menghirup setegukkan, dia meletakkan
cawannya kemeja dan menundukkan kepalanya sembari menggeleng,
helaan napaspun berkumandang memecahkan keheningan.
"Hei, mengapa kau?" Jin Jin segera menegur setelah memandang
sekejap wajah Mao Tin-hong.
Kin sikap Jin Jin telah berubah, dia pun jauh lebih sopan, luwes dan
tahu diri.
Mao Tin hong masih saja menundukkan kepalanya rendah- rendah.
"Aaah... Tidak mengapa, hatiku saja yang terasa kacau." ia menyahut
lirih.
”Gara-gara Sun Tiong-lo lagi ?" kata Jin Jin. Pelan-pelan Mao Tin-hong
mendongakkan kepalanya, lalu
berkata: "Yaa, dia bersama musuh tangguh dalam jumlah yang banyak
telah berhasil melewati suku Biau berleher panjang semalam." Jin Jin
baru merasakan seriusnya persoalan sesudah mendengar
ucapan tersebut, katanya. "Ya mereka sudah seharusnya sampai disini"
"Aku dapat melewati perintang tanpa mengalami hambatan atau
gangguan apapun karena akan membawa lencana kemalamu, tapi tidak
demikian dengan mereka, namun dalam kenyataannya mereka dapat
melampaui wilayah yang dikuasai suku Biau berleher panjang
tanpa menghadapi hambatan atau rintangan apa saja, kejadian sungguh
membuat hati orang tidak tenteram."
"Oh, jadi menurut anggapanmu suku Biau berleher panjang tentu akan
menghalangi mereka?"
Kembali Mao Tin-hong menggeleng. "Aku tidak berkata demikian,
namun paling tidak sepantasnya
bila mereka menjumpai banyak kesulitan lebih dahulu sebelum tiba di
sini."
"Ehm. dari sini dapat dibuktikan kalau orang she Sun tersebut
benar-benar memiliki kemampuan yang hebat!"
Sekali lagi Mao Tin-hong menghela napas panjang, "Ya, tentu saja,
sepanjang jalan aku telah peroleh banyak kabar berita tentang dirinya
dan semua kabar tersebut membuat hati orang merasa terkejut."
katanya kemudian.
"Mengapa tidak kau kemukakan kepadaku?" perintah Jin Jin sembari
berkerut kening.
"Setiap kau pulang kemari, tentunya melalui kota Kim-sah Cay bukan?
Apakah kau kenal dengan Ceng Bun keng yang mengusahakan rumah
penginapan itu? Bagaimana menurut pendapat mu tentang dirinya..."
Jin Jin segera tertawa. "Dia amat jujur dan hidup sederhana selama
banyak tahun,
namun aku tak tahu kalau dia adalah anggota dunia persilatan!"
Diam-diam Mao Tin hong terkejut. "Tepat sekali perkataanmu dia
memang seorang jagoan Bu lim
yang sangat lihay dimasa lampau !" Kembali Jin Jin tertawa, ia dapat
melepaskan kehidupannya
sebagai seorang anggota persilatan dan hidup menyepi ditengah desa
yang terpencil, aku memujinya sebagai orang yang cukup pintar."
"Betul!" Mao Thin hong manggut-manggut, ketika aku pulang kemari
kali ini, dalam rumah penginapannyalah aku menginap, dahulu aku
pernah bersua satu kali dengannya, maka diapun tidak merahasiakan
identitasnya lagi terhadap diriku"
"Lantas mengapa dia hidup mengasingkan diri di kota Kim sah cay yang
terpencil ini?"
Mao Tin hong segera menggeleng. "Dia alasan yang biasanya
menbuat orang persilatan hidup
mengasingkan diri, pertama karena pikirannya tak bisa terbuka sehingga
ingin mengundurkan diri dari keramaian dunia kedua dipaksa atau
dipojokkan oleh musuh besar sehingga terpaksa harus hidup
mengasingkan diri."
"Oh, tidakkah mungkin ada atasan yang ketiga?" "Mungkinkah masih
ada alasan yang ketiga?", Mao Tin hong balik
bertanya sambil berkerut kening. "Siapa bilang tak ada" sambung Bi kui
li atau si pelayan cepat
"semisalnya saja mendapat perintah dari seseorang untuk hidup
mengasingkan diri, padahal secara diam-diam mengawasi seseorang
atau menyelidiki sesuatu, toh kejadian semacam ini sesuatu yang wajar"
Terkesiap juga Mao Tin hong setelah mendengar perkataan ini, tapi dia
berlagak seakan-akan hal itu menang wajar, sahutnya:
"Yaa, benar! Kemungkinan semacam ini memang ada." "Tuan!" Bi kui
li segera mendengus, "bukan kemungkinan
semacam ini memang ada, tetapi memang demikianlah keadaan yang
sebenarnya."
Mao Tin hong berusaha keras untuk mengendalikan gejolak perasaan
kaget dan ngeri didalam hatinya lalu berkata:
"Mengapa kau bisa sedemikian yakin?" Bi
kui li tertawa cekikikan.
"Tuan, kau tak usah berlagak pilon lagi, majikan dan budak sudah
semenjak dulu tahu kalau Ceng bun keng adalah orangnya tuan, dulu
dia sengaja ditempatkan di kota Kim sah cay, tujuannya tidak lain
adalah untuk mengawasi majikan!"
Mao Tin hong memang tidak malu disebut manusia licik yang banyak
akal muslihatnya, walaupun rahasianya dibongkar terang- terangan oleh
Bi kui li, ternyata paras mukanya sama sekali tidak berubah jadi
memerah, malah ujarnya kemudian sambil tertawa:
"Dia bukan orangku, oleh karena aku pernah menyelamatkan selembar
jiwanya, dia rela tinggal di wilayah Biau untuk selamanya."
"Aku tak ambil perduli, aku hanya ingin tahu ada persoalan apakah
sehingga secara mendadak kau menyinggung tentang dirinya ?"
Mao Tin-hong menghela napas panjang, "Aaai, dia telah meninggal
dunia, tewas di tangan Sun Tiong-Io..."
"Sungguh ?" paras muka Jin Jin berubah hebat sesudah mendengar
perkataan itu.
"Masa aku bohong ?" Mao Tin-hong menunjukkan wajah yang tak kalah
seriusnya.
"Apa sebabnya orang she Sun membunuh dirinya ?" tanya Jin Jin lagi
sambil berkerut kening.
"Kalau dibicarakan kembali seharusnya kesalahannya Ceng Bun- keng
sendiri, dia tahu kalau kali ini aku sedang kabur kewilayah Biau untuk
menghindari musuh tangguhku, rupanya timbul niatnya untuk
membalas budi dulu secara diam-diam tanpa sepengetahuanku.
"KebetuIan sekali Sun Tiong lo sekalian tinggal di rumah penginapannya
setelah tiba di Kim sah cay, ketika ia disuruh mempersiapkan barang
keperluannya, secara diam-diam ia telah bermain setan dengan
benda-benda tersebut.
"Garam diganti dengan obat pemutih, kain warna warni berubah warna,
aku tahu akan maksudnya agar semua kepala suku
menganggap Sun Tiong lo sebagai penipu dan mengusirnya keluar dari
wilayah Biau..."
"Bila kejadian ini benar-benar berlangsung bisa disimpulkan kalau sifat
Ceng Bun keng terlampau keji dan buas !"
"Bagaimana maksud perkataanmu ini ?" Mao Tin hong berlagak
seakan-akan tidak mengerti.
"Sebagai anggota suku Biau, kami paling benci dengan segala manusia
penipu, garam kalau bukan garam, kain warna warni ternyata bukan
kain warna-warni, bukan hanya penipu bahkan menghina orang,
bayangkan saja bagaimana mungkin orang she Sun itu dapat
meninggalkan wilayah Biau dalam keadaan hidup"
"Aaaah, betul! Kenapa aku tidak berpikir sampai seserius itu..." Jin
Jin mengerling sekejap ke arahnya tanpa memberi tanggapan
apapun... sebaliknya Bi kui li segera berseru dengan suara dingin:
"Tuan, selanjutnya kau harus ingat dan hapal diluar kepala
terhadap pantangan-pantangan tersebut!" Mao Tin heng segera merasa
kalau persoalan tersebut sangat
tidak menguntungkan baginya, ia harus mengalihkan pokok pembicaraan
ke soal lain, maka ujarnya:
"Bagaimana pun juga, selanjutnya aku toh tak akan beribut dengan
siapa pun, bila dapat hidup lebih lanjut pun sudah lebih dari cukup"
Tatkala mengucapkan perkataan tersebut, sikapnya menunjukkan
keramahan yang besar, bahkan kepalanya pun turut ditundukkan
rendah-rendah.
Begitu dia menunduk Bi kui li dan Jin jin segera saling bertukar
pandangan dengan cepat.
Maka Bi-kui-li pun berkata lagi: "Majikan, apakah perlu menambah arak
?"
"Tak usah, pergilah tidur." Jin Jin menggeleng.
Bi kui li mengiakan, dia letakkan teko arak ke meja kemudian
mengundurkan diri.
Setelah kepergian Bi kui-li, dengan nada bersungguh hati Jin Jin
berkata:
"Tin hong, apakah semalam orang she Sun dan rombongannya baru
melewati daerah yang dihuni orang-orang suku Biau berleher panjang?"
Mao Tin-hong tak dapat meraba apa maksud Jin Jin mengajukan
pertanyaan tersebut, terpaksa sahutnya:
"Mereka telah berhasil melampauinya, jadi semestinya saat-saat ini
sudah memasuki daerah Pek-hoa-tong."
"Sebenarnya Cang Bun keng mati ditangan siapa ?" kembali wanita itu
bertanya.
Tergerak hati Mao Tin hong sesudah mendengar ucapan tersebut, secara
licik dia berkata pula:
"Aku tidak menyaksikan peristiwa tersebut dengan mata kepala sendiri,
aku tak berbicara secara sembarangan tapi yang pasti ada sangkut
pautnya dengan orang she Sun tersebut."
"Oh ! Tin-hong, aku ingin bertanya kepadamu, apa rencanamu yang
sesungguhnya terhadap orang she Sun tersebut ? Diselesaikan secara
baik-baikan atau kau baru puas bila berhasil membunuhnya ? Katakan
saja kepada ku secara berterus terang."
"Sewaktu masih berada di telaga Tong-ting ou, bukankah sudah
kujelaskan tentang persoalan ini ?" Mao Tin hong segera menunjukkan
sikap tidak mengerti.
"Lain dulu lain sekarang, toh jalan pemikiran manusia seringkali dapat
berubah-ubah."
"Jalan pemikiranku tak akan berubah. aku dapat bersua kembali
denganmu hal ini sudah merupakan suatu keberuntungkan yang di
limpahkan Thian untukku, bila aku dapat menemanimu sepanjang
masa, tiada ambisi terhadap duaia persilatan bukankah hal ini jauh
lebih berbahaya daripada apa pun jua ?"
Sekilas perubahan aneh menghiasi wajah Jin Jin, ujarnya lagi. "Tin
hong, aku hendak mengajukan satu pertanyaan lagi
kepadamu, tapi kau harus menjawab dengan sejujurnya." "Tentu saja
aku akan menjawab dengan jujur." Jin Jin berpikir sebentar lalu
ujamya, "Tin hong, dengarkan baikbaik,
tiada manusia yang tak pernah bersalah di dunia ini, watak
manusia memang gemar yang baru, seringkali berubah-ubah, kalau
hanya berubahnya saja tak menjadi soal, tapi kalau berubah menjadi tak
benar, sepantasnya kalau kita dapat merubah kesalahan tersebut ke
jalan yang benar.
"Sekarang, aku berharap kau dapat melupakan semua perkataan yang
pernah kita bicara kah selagi berada di telaga Tong ting-ou tempo bari,
anggap saja hal tersebut itu seolah-olah tidak pernah terjadi, anggap
pula saat inilah kita baru bersua kembali..."
"Mengapa harus demikian?" tanya Mao Tin hong keheranan. "Bila kau
bersedia mendengaikan lebih lanjut, maka segala
sesuatunya akanlah menjadi terang" ujar Jm Jin serius "sikapku
terhadapmu maupun cara kerjaku setelah ini, semuanya tergantung
kepada jawabanmu yang akan kau utarakan sebentar, dan hal ini amat
penting, aku harap kau suka mengingatnya baik-baik?"
"Baik, akan kuingat selalu perkataanmu itu, tak akan kulupakan
kembali."
Jin Jin tertawa. "Kalau begitu, ceritakanlah kepadaku semua
perbuatan dan
peristiwa yang telah terjadi semenjak kau meninggalkan aku di Telaga
Tong ting ou hingga kau tiba kembali kembali kemarin cuma kau jangan
mencoba untuk membohongi aku."
”Tin hong, sekali lagi kuulangi, semua perkataan yang pernah kau
ucapkan selagi berada di telaga Tong ting ou, kita anggap tidak pernah
ada, anggap saja tidak pernah terjadi, kau mengerti bukan?"
Tentu saja Mao Tin hong mengerti, ucapan dari Jin Jin ibarat memberi
peringatan kepada dirinya, meski dia sudah meninggalkan telaga Tong
Ting ou lebih dahulu, namun semua peristiwa yang kemudian terjadi di
ketahui olehnya dengan jelas.
Itulah sebabnya dia baru berkata demikian kepadanya dan menganggap
perkataan yang pernah dibicarakan sewaktu berada di telaga Tong Ting
Ou tempo hari tak masuk hitungan atau dengan perkataan lain,
seandainya dia mempunyai pandangan yang lainpun tak jadi soal
asalkan saja dia mengaku terus terang.
Tapi mana mungkin Mao Tin hong berani mengutarakan semua
perbuatannya termasuk menanam bahan peledak didalam perahu,
usahanya mencelakai Sun Tiong lo sepanjang jalan serta perbuatannya
membunuh Ceng Bua-keng untuk menghilangkan saksi?
Selain daripada itu, diapun mempunyai tujuan lain, dia masih ingin
untung-untungan, menurut anggapannya hal ini disebabkan Jin Jin
terlampau memahami tentang wataknya maka dengan menggunakan
tipu muslihat, perempuan itu berusaha untuk mengungkap semua latar
belakang perbuatannya.
Oleh karena itu, setelah berpikir sejenak, dia menuturkan kembali
semua perkataan yang pernah diutarakan dulu hanya disana sini
dilakukan sedikit perubahan.
Jin Jin menundukkan kepala-nya rendah-rendah, ia nampak seperti
sangat menderita.
Selang berapa saat kemudian, Jm Jin mendongakkan kepalanya lagi
sambil memandang kearah Mao Tin hong. lalu katanya:
"Tin hong, kali ini pun tidak masuk hitungan. aku berharap kau bersedia
memberitahu kan hal hal yang lebih segar saja"
Cukup, bagi Jin Jin yang berulang kali selalu memberi kesempatan
kepada Mao Tin hong.
"Untuk mempertahan harga dirinya, Iama keIamaan hal ini bisa Mao
Tin hong mengungkapkan hal yang sejujurnya.
Siapa tahu Mao Tin hong memang berwatak jelek, ia belum saja mau
merubah caranya berbicara.
Akhirnya dengan wajah sedingin es, Jin Jin berkata: "Bagus sekali,
kalau begitu aku ingin mengajukan pertanyaan
kepadamu..." "Tanyakan saja, asal kuketahui pasti akan kuungkapkan."
"Manakala kau tak bermaksud membunuh Sun Tiong lo,
mengapa setelah aku dan Bi kui serta sekalian anak buahku
meninggalkan peralu besar tersebut, kau telah memuat perahu tersebut
dengan bahan peledak?"
Mao Tin hong tertegun, tapi dengan cepat katanya: "Tujuanku untuk
meledakkan perahu itu tak-lain agar mereka tak
dapat mencariku ke wilayah Biau" Paras muka Jin Jin berubah semakin
tak sedap dipandang, ia
tertawa dingin lalu serunya: "Bagaimana pula penjelasanmu dengan
surat yang kau
tinggalkan dalam ruang perahu untuk Sun Tiong lo dan racun jahat
yang kau poleskan diatas kertas surat tersebut ?"
Mao Tin hong mati kutunya, dia tak sanggup menjawab dan cuma
membungkam seriba bahasa.
Jin Jin segera berkata lebih jauh: "Bagaimana pula penjelasanmu
tentang meracuni kuda dirumah
penginapan serta peristiwa dipeternakan milik Liok Siang ?"
Mao Tin hong mulai duduk tak tenang, kepalanya ditundukkan semakin
rendah, tapi rasa benci dan dendamnya pun semakin
bertambah-tambah.
Setelah mendengus dingin kembali Jin Jin berseru: "Bagaimana pula
dengan penjelasanmu tentang perundingan
rahasia yang terjadi dalam ruang rahasia kota Kim sah cay, dimana kau
memberi petunjuk kepada Ceng Bun keng untuk melakukan pelbagai
tindakan ?"
Waktu itu bukan saja Mao Tin hong tidak menyesal atau malu atas
kejadian tersebut dia malah merencanakan suatu idee yang jauh lebih
keji dan buas.
Tampaknya Jin Jin belum habis berkata, ia menyambung lebih jauh:
"Membinasakan Ceng Bun-keng didepan wilayah Tiok hoa-tong,
mengapa sih hatimu begitu kejam dan tak berperi kemanusiaan ?"
Mendadak Mao Tin hong mendongakkan kepalanya kemudian berseru:
"Siapa yang berkata demikian ?" Jin Jin menatap lekat-lekat,
kemudian berkata: "Tiga orang budak dari Cang Bun keng tak
segan-segan
mengangkat sumpah berdarah yang paling berat dengan maksud
membalaskan dendam bagi kematian Ceng Bun keng, peristiwa ini sudah
tersebar luas di seluruh wilayah Biau !" wanita itu menerangkan
"Tapi apa sangkut pautnya kejadian tersebut denganku ?" Mao Tin hong
berlagak bodoh.
Mendadak Jin Jin melompat bangun, kemudian sambil berjalan
menghampiri Mao Tin-hong, serunya:
"Ucapan "anak jadah" mu yang kau ucapkan tanpa sengaja serta tindak
tandukmu yang aneh telah memaksa Lo hoa biau serta kedua
orang budak lainnya menguntil kau dan Ceng Bun keng secara
diam-diam.
"Dengan mata kepala sendiri mereka saksikan kau melakukan perbuatan
keji itu, oleh sebab kejadian inilah mereka lantas mengangkat sumpah
darah yang paling berat bagi suku Biau kami untuk menuntut balas,
kemudian setelah membakar jenazah Ceng Bun keng, mereka
menyusulmu hingga kemari !"
"Dimana orangnya sekarang ? Suruh mereka keluar, aku bersedia diadu
dengan mereka !"
Ucapan mana kontan membuat Jin Jin menjadi tertegun lalu termenung
beberapa saat lamanya.
"Jangan-jangan dia memang benar-benar terfitnah ?" Siapa tahu
belum habis ingatan tersebut melintas lewat, tiba-tiba
Jin-jin merasakan dibawah teteknya terasa sakit sekali, menyutul
kemudian sekujur tubuhnya tak bisa berkutik Iagi.
Dengan cepat dia sadar, Mao Tin hong telah turun tangan secara
tiba-tiba menotok jalan darahnya.
Kendatipun dia tak mampu berkutik, mulutnya masih dapat berbicara
serunya kemudian dengan penuh kebencian:
"Mao Tin hong, kau manusia anjing yang berhati serigala, mengapa
tidak kau bayangkan kalau dirimu sedang berada dalam Pek hoa wan
ku? Berani benar kau turun tangan sekeji ini."
Mao Tin hong tertawa. "Tak perlu gelisah. kesemuanya ini merupakan
hasil dari
perbuatanmu sendiri, kau anggap lohu sudah melupakan kejadian dulu?
Huuh Coba kalau kau tak mencelakai aku dulu hingga tiap kali aku tak
mampu melebihi orang lain, mana mungkin aku akan mengalami
keadaan seperti apa yang kuhadapi sekarang!"
"Mau apa kau sekarang?" bentak Jin Jin kemudian
Mao Tin hong tidak menjawab, sambil tertawa dia berjalan menuju
kesamping meja.
^ooodwooo^ PERTAMA-TAMA dia membuka laci kecil tersebut untuk
mengeluarkan kitab pusaka, kemudian sambil diperlihatkan kepada Jin
Jin, katanya:
"Perempuan rendah, sekarang locu akan memeriksa kitab ini dengan
sebaik-baiknya, kemudian dengan mempergunakan ilmu barisan untuk
mengurung mampus orang she Sun beserta begundal-begundalnya, dan
akhirnya aku akan menghukum kau bersama Bi kui si budak sialan itu!"
Jin Jin tertawa seram. "Heehhh... heedweh... hehh...Mao Tin hong,
kalau begitu
silahkan saja kau nikmati kitab tersebut, sehalaman demi sehalaman
periksalah dengan seksama, aku tanggung selesai membaca kitab itu,
kau akan merasa puas sekali!"
Sambil mendengus dingin, Mao Tin hong membuka halaman pertama
dari kitab tersebut.
Tapi apa yang kemudian terlihat memburu paras mukanya berubah
hebat, cepat-cepat dia membalikkan halaman berikutnya, tak lama
kemudian dia sudah membanting buku itu ke tanah lalu menghampiri Jin
Jin dengan penuh kegusaran.
Ternyata kitab tersebut telah berubah menjadi sejilid kitab tanpa kata
alias kertas putih biasa.
Sambil menuding kearah Jin Jin, Mao Tin hong membentak dengan
amat gusarnya.
"Perempuan rendah keturunan anjing, mana kitab pusaka itu?" Jin
Jin segera tertawa terbahak-bahak. "Haah... haah... haah...
bukankah kitab yang berada ditanganmu
itu adalah kitab pusaka?"
Mao Tin hong teramat gusar, sambil mendengus dia menampar wajah
Jin Jin keras-keras, makinya:
"Perempuan anjing, sekali lagi locu peringatkan padamu, bila kau tak
mau mengatakan dimanakah kitab pusaka tersebut kau simpan
sehingga membangkitkan kemarahan locu, hmm, locu bersumpah akan
membuatmu mati tak bisa, hiduppun tak dapat hingga kau menderita
setengah mati."
Jin jin menggertak giginya kencang-kencang kemudian berseru dengan
nada dendam:
"Mao Tin hong, anggap saja aku memang buta sehingga membukakan
pintu untuk bajingan seperti kau, sekarang kau masih memiliki
kepandaian apa lagi? Keluarkan saja semuanya kalau mengharapkan
kitab pusaka itu.... Hmm! jangan bermimpi disiang bolong!"
"Baik!" dengus Mao Tin-hong, "locu akan menyuruh kau rasakan
kenikmatan terlebih dulu!"
Begitu seusai berkata, dia lantas turun tangan dan secepat silat
menotok delapan buah jalan darah penting disekujur badaa Jin jin.
Menyusul kemudian katanya sambil tertawa seram. "lnilah cara yang
dinamakan jit cian-coan im meh hoat, siapa saja
yang memperoleh pendidikan dengan cara ini akan merasakan
penderitaan yang luar biasa, jangankan kau si perempuan tengik,
sekalipun lelaki yang berotot kawat tulang besi pun tak bakal tahan.
"Sebentar, bila kau benar-benar sudah merasa tak tahan, mohonlah
kepada locu untuk melepaskan dirimu, mengingat kita pernah tidur
sepembaringan dan hidup bersama selama banyak tahun, bisa jadi akan
kuberi sebuah kesempatan bagimu.
"Cuma kalau kau hanya merengek belaka mah tak ada gunanya, kau
harus menyebutkan dahulu dimana kitab pusaka tersebut kau simpan
kalau tidak Locu pun tak akan memperdulikan kau. Aku pun akan turun
tangan sendiri untuk melakukan pencarian !"
Waktu itu, Jin Jin sudah merasakan sekujur badannya amat sakit
bagaikan dicincang dengan pisau, katanya kemudian dengan suara
yang gemetar:
"Mao Tin-hong, kan boleh melototkan sepasang matamu, tapi jangan
harap aku bersedia memberitahukan hal tersebut kepadamu !"
Rasa sakit, linu, kaku, kejang, dan gatal saling menyusul datangnya
menyiksa sekujur tubuhnya, bahkan datangnya beruntun tiada henti
hentinya, akan tetapi Jin Jin masih tetap menggertak gigi menahan diri,
merintih pun tidak.
Mao Tin-hong yang menyaksikan kejadian tersebut segera merasakan
hatinya tergerak.
Pelbagai pikiran segera berkecamuk dalam benaknya, dia berusaha
untuk memecahkan kejadian yang sedang dihadapinya sekarang.
Sebab dia cukup mengetahui akan kekejaman dirinya sekarang, jangan
lagi Jin Jin hanya seorang perempuan lemah, sekalipun seorang lelaki
yang terdiri dari otot kawat tulang besi pun pasti akan meraung-raung
kesakitan.
Namun ketika diperiksanya kembali keadaan Jin Jin, dia semakin
terkesiap lagi.
Walaupun pada waktu iiu Jin Jin sama sekali tidak merintih ataupun jerit
kesakitan, akan tetapi sekujur badannya gemetar keras, keadaannya
sungguh mengenaskan tapi selewatnya beberapa waktu, dia seperti
dapat mengendalikan kembali rasa sakit akibat siksaan mana, bahkan
menunjukkan sikap seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun.
Bukan saja semua penderitaan dan siksaan yang semula menghiasi
wajah Jin Jin hilang lenyap tak berbekas, malahan dia memandang ketus
kearah Mao Tin hong sambil tertawa.
Senyuman mana semakin menggidikkan perasaan Mao Tin hong,setelah
tertawa dingin, Jin jin mulai berkata:
"Percuma saja bila kau ingin menyiksa diriku, dengan cara apapun tidak
bakal mempan. Mao Tin hong! Kau hanya bisa membunuhku dikala aku
tidak bertenaga untuk memberikan perlawanan, tapi bila kau
mengharapkan aku bertekuk lutut dan menerima ancamanmu... huh!
Lebih baik tak usah bermimpi di siang hari bolong."
"Baik, membunuh ya membunuh, kau anggap locu tak berani
menghabisi nyawa anjingmu?" seru Mao Tin hong dengan gemas.
Sambil berkata telapak tangannya segera di ayun kan keatas siap
menghantam batok kepala Jin jin.
Perempuan itu sama sekali tak gentar, makin ditatapnya wajah lawan
dengan pandangan yang dingin dan angkuh.
Tiba-tiba Mao Tin hong menarik kembali telapak tangannya kemudian
berkata:
"Bila aku bunuh dirimu dengan begini saja, hmm, mengenakkan bagi
dirimu! Locu akan menahanmu kemudian menyiksamu secara
perlahan-lahan, mungkin kau sudah lupa betapa keji dan buasnya kau
menyiksa aku dimasa lalu..."
Jin jin tidak mengucapkan sepatah kata pun dia hanya tertawa dingin
tiada hentinya.
Selangkah demi selangkah Mao Tin hong maju kedepan menghampiri Jin
Jin kemudian menggerayangi tubuhnya dan akhirnya dia menekan di
atas nadi Jin Jin sambil mencoba beberapa waktu.
Tak lama kemudian dia tertawa seram sembari berkata: "Walaupun
aku tidak mengetahui dengan dasar apakah kau
dapat melawan siksaan dari pemotongan nadiku, namun aku telah
mencoba kalau seluruh jalan darah didalam tubuhmu memang
benar-benar tertotok.
"Begini pun ada baiknya juga, sekarang musuh tertahan didalam
barisanmu itu dan belum mampu menyerbu masuk kemari,
mumpung masih ada kesempatan locu harus menikmati kehangatan
tubuhmu lebih dahulu, sekarang aku sudah tak mampu untuk
menggunakan ilmu Soh-li-tay hoat untuk mencelakai orang lain,
sedangkan locu justeru sudah banyak tahun mempelajari ilmu sakti untuk
membalas dendam kepadamu, sekarang aku akan membuatmu tersiksa
sepanjang masa, hidup tak bisa matipun tak dapat."
Begitu selesai berkata, dia membalikkan badan dan menutupi semua
pintu dan jendela baru berada disekitar ruangan, kemudian membopong
Jin jin keatas pembaringan gading dan . . . "Breet!" merobek pakaian
yang dikenakan.
Sekarang Jin jin baru takut, dia benar-benar merasa ketakutan
setengah mati.
Sesungguhnya dia dapat melawan siksaan dari ilmu pemotong nadi
tadi. karena sejak lama dia telah melatih ilmu Ban-mo-im-lek, sehingga
siksaan dan penderitaan dari otot mau pun tubuh bagian luar dapat
diatasi olehnya.
Tapi disaat lelaki perempuan melakukan senggama, dimana hawa panas
yang dan hawa dingin Im berpadu, maka disaat itulah bersatunya
segenap kekuatan dan hawa tubuh dari ke dua jenis manusia tersebut.
Betapa pun sempurnanya tenaga dalam seseorang, didalam keadaan
demikian tak dapat lagi untuk mengendalikan diri.
Sekarang Jin jin tak mampu mengeluarkan ilmu Im kangnya, ini berarti
dia tak berdaya untuk melindungi keadaan dirinya, bila Mao Tin hong
menggunakan ilmu Hian im kang untuk mencelakainya, niscaya
keadaan nya akan sangat mengenaskan.
Dalam keadaan tak berdaya seperti ini, niscaya hawa murni Goan im
nya akan muntah keluar, bila Goan im sampai muntah keluar, tenaga
dalamnya akan turut punah bukan saja wajahnya akan berubah hebat,
tubuhnya pun akan ikut tersiksa sehingga tak karuan bentuknya.
Sayangnya, kendatipun kenyataan dapat berubah menjadi begini
namun ia tak berdaya untuk mencegah, Hanya cemas saja pun tak
akan bisa membantu banyak, dalam keadaan seperti ini dia segera
memperoleh sebuah cara menyerempet bahaya yang sangat bagus.
Setelah tertawa seram katanya kemudian: "Mao Tin-hong,
Bersediakah kau untuk mendengarkan dahulu
sepatah dua patah kata ku?" "Bersedia, apakah kau hendak
memberitahukan tempat
penyimpanan kitab pusaka itu ?" sahut Mao Tin hong sambil tertawa
seram.
Jin Jin segera mendengus dingin. "Hmm ! Kalau soal itu mah jangan
bermimpi pada siang hari
bolong..." Sekali lagi Mao Tin hong tertawa seram. "Heeh... heeeh...
heeh... kecuali masalah tersebut, lebih baik soal
yang lain tidak usah dibicarakan Iagi, sekarang locu hanya ingin
merasakan nikmatnya kehangatan tubuhmu, soal lain tak perlu
dibicarakan lagi."
Sembari berkata, dia mulai turun tangan melepaskan pakaian sendiri.
Hancur lebur perasaan hati Jin-jin pada saat ini, seandainya Mao Tin
hong mulai meraba bagian tubuhnya yang terlarang itu, dia sadar
bahwa dirinya tak akan mampu menguasai diri lagi, akibatnya tak akan
terlukiskan lagi dengan kata-kata.
Sekarang Jin jin tahu bahwa banyak berbicara itu tidak ada gunanya, dia
memutar biji matanya dan sebuah akal bagus melintas dalam benaknya,
dia merasa paling baik jangan sampai mati, maka setiap cara harus
dicoba lebih dulu.
Maka dengan cepat perempuan itu berseru: "Jangan dipandang kita
berdua telah saling bermusuhan sekarang, tapi dalam melakukan
perbuatan ini, paling baik kalau ada kerja sama diantara
kedua belah pihak, kalau tidak, kegembiraan yang diperoleh sepihak
apalah artinya ?"
"Mari, kau cukup menepuk bebas jalan darah pada pinggangku saja
sehingga pinggulku dapat bergerak, kau pun tak usah kuatir aku tak
bakal main setan denganmu, tapi justeru dengan demikian maka
kegembiraan yang kita peroleh sewaktu "bermain" hati akan bertambah
kenikmatannya, bagaimana ?"
Merdengar ucapan mana, Mao Tin-hong jadi tertegun dan segera
menghentikan pekerjaannya.
Dia mulai merenungkan arti dari perkataan Jin-jin tersebut, sebenarnya
apa maksud dan tujuannya ?
Ditatapnya kemudian wajah Jin Jin lekat-lekat, dia merasa Jin Jin dalam
keadaan telanjang bulat sangat menawan hati, bukan begitu saja,
bahkan wajahnyapun menunjukkan perasaan gembira.
Ini jelas ada yang tak beres, jelas hal ini menunjukkan ada bagian yang
tak beres.
Mao Tin-hong yang licik segera merasakan ketidak beresan tersebut, ia
merasa pasti ada hal-hal yang tidak benar dengan perempuan itu,
terutama dengan ucapannya yang terakhir.
Menurut rencananya semula, ia hendak menghisap lebih dulu tenaga
Goan Im milik Jin Jin agar tenaga dalam yang dimiliki perempuan itu
sama sekali punah, kemudian dengan berbagai macam siksaan dia akan
memaksa perempuan itu untuk mengatakan dimanakah kitab pusakanya
disimpan.
Tapi secara tiba-tiba dia mendengar perkataan tersebut, kemudian
menyaksikan pula kegembiraan Jin Jin, seolah sangat berharap ia dapat
melakukan hal tersebut baginya, sebagai seorang manusia yang pernah
tertipu satu kali, sudah barang tentu dia harus bertindak lebih
berhati-hati sekarang.
Akhirnya setelah memutar otak sekian waktu dia mengambil sebuah
keputusan.
Setelah tertawa seram, katanya: "Ooh... benarkah kau ingin mencari
kenikmatan bersamaku
dalam permainan ini ?" "Sesungguhnya permainan semacam ini harus
dikerjakan dua
orang bersama-sama dengan demikian kenikmatannya baru luar biasa,
memangnya aku salah berbicara?" Jin jin tertawa.
Mao Tin hong mendengus dingin, "Hmmm, maaf ! walaupun kau
mempunyai kegembiraan untuk berbuat demikian, sayangnya locu.
Justeru tidak mempunyai keasyikan untuk berbuat demikian kau anggap
locu mudah tertipu oleh siasatmu? Hmm jangan harap locu akan
memenuhi keinginanmu itu !"
"Coba lihat rupanya kau memang banyak curiga! Kau tahu oleh karena
aku sudah terjatuh ketanganmu dan mengerti bahwa cepat atau lambat
aku bekal mampus, tidak pantas kah kucari kenikmatan dan
kegembiraan menjelang saat ajal ku..."
Mao Tin hong segera meludah ke atas tanah, kemudian menukas:
"Setelah menikmati kegembiraan kemudian merenggut nyawa locu?
Hmmmmm . . sekarang tiada kesempatan sebaik ini lagi bagiku, enyah
kau kebawah!"
Sembari berseru, dia lantas menghajar tubuh Jin jin sehingga terguling
jatuh dari atas pembaringan gading.
Menyusul kemudian dengan penuh amarah dia membuka pmtu kamar
dan keluar dari sana.
Baru saja Mao Tin hong melangkah keluar, Jin jin seperti baru bangkit
kembali dari kematian, dia menghembuskan napas panjang.
Diam-diam ia bersyukur atas keberuntungan sendiri keberuntungan diri
yang dapat memanfaatkan kesempatan baik tersebut dengan sewajarnya,
ditambah lagi Mao Tin hong memang dasarnya banyak curiga, sekarang
adanya ibarat burung yang pernah dibidik orang, sedikit gerakan saja
telah membuatnya panik.
Namun cara ini hanya menggertak orang berapa saat dan tak mungkin
bertahan kelewat lama, dia harus segera mencari akal lain.
Sekarang dia hanya berharap Bi kui dapat melihat gelagat yang kurang
baik dan menyembunyikan diri, agar Mao Tin hong tak mampu untuk
membekuknya.
Seandainya hal ini terjadi, bisa jadi dia masih ada harapan untuk
melarikan diri.
Tentu saja Jin Jin pun tahu kalau cara menotok jalan darah dari Mao
Tin hong ini tak mungkin bisa dibebaskan totokan jalan darah pada
sepasang kakinya.
Asalkan sepasang kakinya dapat digerakan serta merta harapannya untuk
melarikan diri pun akan bertambah besar.
Oleh sebab itu, Jin Jin telah melimpahkan segenap pengharapannya
kepada Bi Kui.
Dikala dia sedang berpikir dengan perasaan kalut dan gelisah waktu itu
Mao Tin hongpun sedang menjelajahi semua tempat tinggal
orang-orang yang berada dalam kebun Pek hoa wan untuk menemukan
jejak Bi Kui.
Bi Kui merupakan orang kepercayaan dari Wancu, sedangkan dalam Pek
hoa wan tersebut telah berlaku suatu peraturan semenjak tempat
tersebut didirikan, yakni segenap anak buahnya tak boleh ada seorang
lelakipun.
Betul didalam wilayah Pek hoa tong, lelaki suku Biau jauh lebih banyak
ketimbang perempuannya, namun tak seorang lelaki suku Biau pun
yang berani melangkah masuk kedalam kebun Pek hoa wan,hal mana
menyebabkan daerah sekitar lima li dari kebun Pek hoa wan bebas dari
kaum lelaki.
Itulah sebabnya Bi Kui bukan hanya orang kepercayaan Jin Jin saja,
diapun terhitung congkoan dari kebun Pek hoa wan, dia mempunyai
dayang-dayang khusus untuk melayani kebutuhannya.
Jin jin mencintainya, ia berikan suatu daerah dalam Pek hoa wan yang
disebut Pek ho kek untuk tempat tinggal Bi Kui, maka begitu
meninggalkan Jin jin. Mao Tin hong langsung menuju ke bangunan Pek
ho kek.
Apa yang dilihat selain sejumlah dayang, ia tak berhasil menjumpai
bayangan tubuh Bi Kui Pek bo kek tersebut.
Ketika ditanyakan kepada para dayang, ada yang mengatakan Bi Kui
sedang memetik bunga di kebun, ada pula yang mengatakan setengah
jam berselang Bi Kui pergi ke gua Cing swan tong untuk menyeduhkan
air teh bagi majikannya.
Kebun bunga maupun gua Cing swan tong terletak disatu jalanan yang
sama, orang harus melalui kebun bunga lebih dulu kemudian baru
mendaki ke bukit untuk mencapai gua Cing swan tong, maka Mao Tin
hong segera menuju kesana.
Dalam kebun bunga, ia temukan keranjang bunga milik Bi Kui. Sambil
manggut-manggut, dia melanjutkan perjalanannya
mendaki ke atas bukit. Tak salah lagi, Bi Kui tentu
meninggalkan-keranjang bunganya di
kebun bunga untuk menuju ke gua Cing-swan-totig, betul ia temukan
botol perak untuk menyeduh air teh, akan tetapi bayangan tubuh Bi Kui
tak dijumpai, Mao Tin hong segera berkerut kening.
Diperiksanya botoI perak itu dengan seksama, ternyata botol itu sudah
penuh berisi air dingin, hal ini membuktikan kalau Bi Kui telah kemari,
bahkan baru saja masih berada di sana, sebab botol perak itu masih
terasa hangat.
Namun tak sesosok bayangan manusia pun yang jumpai disitu,
sesungguhnya apa yang telah terjadi ?
"Geledah!" dengan cepat Mao Tin-hong mengambil keputusan di hati.
Perlu diketahui gua Cing swan tong terletak diatas bukit Cing swan-san.
Bukit ini menjadi termasbur oleh karena di sltu terdapat sumber mata
air yang berhawa dingin.
Bukit Cing swan tong meliputi daerah seluas tiga li, tidak termasuk tinggi
ataupun luas, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, Mao Tin
hong hanya membutuhkan waktu sepertanak nasi saja untuk menjelajahi
bukit tersebut.
Tiada bayangan manusia yang ditemukan kesitu, apalagi bayangan dari
Bi Kui.
"Heran, kemana larinya Bi Kui ?" tanpa te rasa bajingan ini mulai
berpikir.
Cepat dia balik kembali ke sumber mata air dalam gua Cing swan tong,
namun botol perak diatas batu, kini sudah lenyap tak berbekas.
Tanpa berpikikir panjang, secepat sambaran petir Mao Tin hong
meluncur kembali menuju ke kebun bunga.
Ternyata dugaannva tidak meleset, keranjang bunga dikebun itupun
sudah hilang lenyap.
Mao Tin hong tertawa sendiri, dia menduga Bi Kui tentu berlalu karena
urusan pribadinya, gara gara ia terlampau terburu-buru napsu dan tidak
menunggu lebih lama, alhasil perjalanannya sia-sia belaka.
Maka secepatnya dia balik kembali ke tempat tinggal Jin jin. Waktu
itu jin jin masih terkapar diatas tanah tak berkutik barang
sedikitpun jua. Di tinjau dari hal ini, maka dapat di simpulkan Bi Kui
belum
sampai disitu, sekarang jika dia bukan berada di Pek ho kek untuk
merias bunga, sudah pasti sedang berada di dapur untuk menyeduh air
teh.
Mao Tin hong menyusul kedapur lebih dulu, botol perak memang
berada diatas meja, sedangkan diatas tungku nampak air sedang dimasak.
Mao Tio hong tertawa, ia berangkat ke Pek bo kek. Setelah berada
di dalam ruangan, ia jumpai budak Li hoa sedang
merias bunga kedalam pot. "Li hoa, mana Bi Kui?" Mao Tin hong
menegur. "Congkoan sedang berada di kamar kecil." jawab Li Hoa
dengan
sikap yang hormat. "Berada di kamar kecil" berarti sedang "berhajad",
Mao Tin
hongpun manggut-manggut, tentu saja kurang leluasa baginya untuk
menyusul ke tempat semacam itu, ia putuskan untuk menanti hingga Bi
Kui selesai dengan buang hajadnya.
Siapa tahu tunggu punya tunggu, yang di tunggu belum nampak juga,
akhirnya habis sudah kesabaran Mao Tin hong segera perintahnya
kepada Li Hoa.
"Eei, cepat kau suruh dia keluar, ada urusan penting hendak
kubicarakan dengannya."
Li Hoa mengiakan dengan hormat, kemudian menuju ke kamar kecil
disamping ruangan.
Diketuknya pintu kamar kecil itu beberapa kali, siapa tahu suasana tetap
hening meski sudah diketuk berulang-ulang, namun tiada sedikit suara
pun yang berkumandang.
Mao Tin hong segera menyadari ketidak beresan disitu. ia mendorong Li
hoa menendang pintu ruangan keras-keras.
"Blaammm !" pintu ruangan terbuka, namun tidak nampak bayangan
tubuh Bi Kui, sedang jendela belakang terpentang lebar.
Dalam keadaan demikian, Mao Tin hong tidak usah berpikir panjang
lagi, cepat dia melejit ke udara dan meluncur balik ke tempat tinggal Jin
Jin.
Jin Jin yang sebenarnya tertotok jalan darahnya dan tergeletak tak
berkutik di tanah kini sudah tak nampak batang hidungnya lagi.
Mao Tin hong meraung penuh kegusaran, dia mengejar
keluar.
Baru melangkah kembali dia tertegun. Kemana dia harus pergi ? Ke
mana larinya Jin jin dan Bi Kui ? Pek-hoa wan begitu luas, sekalipun
dia pernah menjelajahi
seluruh daerah tersebut dulu, tapi selisih banyak tahun, sulit baginya
untuk mengenali daerah tersebut satu per satu.
Cukup bagi Jin-Jin dan Bi Kui untuk menyembunyikan diri di suatu
tempat, namun baginya sudah merupakan pekerjaaan setengah mati
untuk menemukan jejak mereka.
Membayangkan sampai disitu, makin meluap hawa amarah yang
membara dalam dada Mao Tin hong akhirnya sambil menggertak gigi
dia memutuskan untuk melakukan tindakan secara keji.
Sesungguhnya dia memang tak bermaksud menetap di wilayah Biau,
justru karena dipojokkan oleh keadaan, sedang hanya Jin Jin seorang
yang dapat melindunginya, terpaksa ia merat kemari.
Namun dibicarakan yang benar, sebenarnya dia lebih berhasrat untuk
mengincar kitab pusaka orang.
Sekarang musuh tangguh telah semakin mendekat, posisinya makin
berbahaya, namun ia cukup tahu akan kelihayan barisan Siu gun toh tin,
ditambah pula dengan berbagai tempat jebakan dalam Pek hoa-tong,
jangan toh manusia burungpun sukar untuk menembusi tempat tersebut.
Kini dia sudah memuruskan untuk melaksanakan rencana k^j'nya, dia
akan melakukan penggeledahan selangkah demi selangkah mulai dari
tempat kediaman Jin jin, dia harus menemukan kitab pusaka tersebut
serta Jin jin dan Bi Kui.
Walaupun sifatnya hanya untung-untungan, siapa tahu dalam gugupnya
untuk melarikan diri, Jin jin tak sempat lagi untuk membawa kabur kitab
pusaka yang disembunyikan itu?
Seandainya demikian, cepat atau lambat kitab pusaka itu pasti akan
terjatuh ke tangannya.
Kini seluruh tempat tinggal Jin jin telah digeledah dengan
teliti.
Diantaranya termasuk pula almari, lantai-lantai, bantal maupun kasur.
Alhasil tidak dijumpai kitab pusaka tersebut. Setelah mendengus
dingin, dia segera menitahkan pelayan untuk
membunyikan-genta emas. Bergetarnya suara genta emas disambut
segenap pelayan dari
Pek hoa wan dengan penuh tanda tanya, serentak mereka berkumpul
semua didepan ruangan Jin Jin:
Terhadap kawanan dayang itu, Mao Tin-hong membentak dengan suara
keras:
"Diantara kalian, siapa yang tahu ke mana perginya Wancu serta Bi
Kui."
Tiada yang menjawab, semua dayang menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Bagus sekali." Mao Tin hong tertawa seram. "tampaknya kalian semua
amat setia terhadap majikan, hmm. kesetiaan kalian sangat
mengagumkan Iohu, cuma kalian harus tahu, hal mana tak akan
bermanfaat untuk kalian sendiri, percaya atau tidak terserah, tapi lohu
punya cara untuk menyuruh kalian berbicara sejujurnya !"
Setelah berhenti sejenak, dia membentak lebih lanjut: "Li-hoa,
keluar !" "Ada apa?" Li-hoa muncul dari barisan. "Kemana larinya Jin
Jin dan Bi Kui ?" bentak Mao Tin-hong sambil
menyeringai seram. Li hoa segera menggeleng. "Budak benar-benar
tidak tahu..." "Heeehh... heehh... heeehh... kau adalah orang
kepercayaan Bi
Kui, adalah orang kepercayaan Jin jin, aku tak percaya kalau kau tak
tahu kemana mereka telah kabur! Baik, bila kau enggan menjiwab, lohu
akan memaksamu untuk berbicara!"
Selangkah demi selangkah dia maju mendekat, kemudian menotok jalan
darah Li Hoa.
Sambil mengempit tubuh Li hoa menuju ke kamar tidur Jin jin. kembali
ia berseru kepada kelompok dayang diluar.
"Tak ada manfaatnya bagi kalian untuk membungkam, dengarkan
baik-baik, locu akan menggeledah seluruh Pek hoa wan ini, setiap kali
menggeledah satu tempat, aku akan bertanya sekali kepada kalian."
"Bila kalian tahu tapi enggan menjawab, tak apa! Sebab hal itu justru
akan merugikan kalian sendiri, Lohu akan membakar habis semua
tempat yang telah ku geledah, lalu membakar kamu semua dalam
keadaan hidup-hidup !"
Ancaman ini sungguh teramat keji, kawanan dayang itu menjadi panik
dan ketakutan setengah mati.
Begitu habis berkata, Mao Tin hong mengebaskan tangan kanannya ke
depan, sebutir pe luru segera meluncur ke dalam kamar Jin jin dan
meledak, api dengan cepat berkobar dan membakar semua benda yang
berada disekeliIingnya.
Api yang membakar kelambu cepat merembet ke tempat lain, seluruh
kamar segera berubah menjadi lautan api.
Mao Tin-hong memang iblis berhati kejam, walaupun dia menotok jalan
darah Li hoa sehingga tak mampu berkutik, namun dia tidak menotok
jalan darah bisunya.
Begitu kebakaran berkobar di dalam kamar tersebut, Li Hoa segera
menjerit-jerit minta tolong.
Suaranya yang memilukan hati dan menyayat perasaan ini sungguh
mengerikan sekali, pucat pias paras muka segenap dayang lainnya yang
berkumpul diluar kamar.
Mao Tia-hoi.g berbuat sangat licik, sementara api berkobar diatas
pembaringan Li hoa justru diletakkan tak jauh dari pintu belakang,
jaraknya dengan kobaran api itu masih ada satu kaki Iebih, jadi untuk
beberapa waktu api tak akan sampai merambat ke tubuhnya.
Tapi justru karena hal demikian Li hoa malah menjerit-jerit minta
tolong.
"Baik, bila kau bersedia menerangkan kepergian Jin jin dan Bi Kui, lohu
pun bersedia menyelamatkan jiwamu !" bentak Mao Tin- hong
kemudian dengan suara lantang.
"Budak benar-benar tidak tahu," pekik Li hoa memilukan hati. Mao
Tin hong mendengus dingin. "Hahaha, bagus sekali, kalau begitu
jangan salahkan aku kalau
membiarkan tubuhmu terjilat api dan mati hangus !" Li Hoa
benar-benar pecah nyalinya, dia menangis meraungraung,
teriaknya kemudian dengan suara memelas: "Oooh, cici cici
sekalian yang baik, tolonglah aku ! Bila kalian
mengetahui jejak majikan segera katakanlah kepadanya, api sudah
mendekati pada sisi tubuhku, ooooh... cici sekalian, tolonglah aku...
tolong lah aku..."
Mao Tin-bong memperhatikan kawanan dayang tersebnt dengan
pandangan dingin, ia saksikan dayang dayang tersebut tertunduk
dengan wajah pucat pias, tubuhnya gemetar keras, namun tak
seorangpun yang bersuara.
Menyaksikan hal mana, dia memutar biji matanya sambil berpikir
sejenak lalu bentaknya kepada Li Hoa:
"Tampaknya nasibmu memang jelek, api segera akan menghanguskan
seluruh tubuhmu, coba kau lihat ! Cici-cici mu yang kau anggap saudara
sendiri di hari biasa, sekarang pada membungkam diri, tak seorang pun
diantara mereka yang bersedia menolongmu..."
Isak tangis dan jeritan pilu Li Hoa semakin menjadi-jadi, seperti orang
kalap ia berteriak:
"Oooh... cici sekalian, itu mohon belas kasihan kalian... tolonglah aku...
selamatkanlah jiwaku.... ooooooh... cici semua, api semakin
mendeketiku, ooh, tolong, toIong."
Tiada seorang pun yang menjawab, kawanan dayang itu masih saja
membungkam diri.
Mao Tin bong sangat mendongkol dia mendengus lalu serunya: "Li
Hoa, lebih baik pasrah pada nasib ! Mereka tak akan
menolongmu tampaknya bagi mereka lebih penting setia kepada Jin jin
dari pada menyelamatkan jiwamu, sekarang hanya satu jalan bagimu
untuk menyelamatkan diri, cepat katakan dimana Jin jin telah
menyembunyikan diri !"
"Budak sudah bilang, budak tidak tahu, budak benar-benar tidak tahu."
Mao Tin hong tertawa makin seram. "Tak apa, lohu toh tidak
memaksamu harus mengaku, mau
menjawab atau tidak, terserah" "Tapi api ini... api ini... aah..." Li Hoa
menjerit semakin pilu. Rupanya api sudah mulai membakar daerah
disekitar kakinya. Betul kakinya belum terbakar, namun hawa panas
yang
menyengat badan telah menggarang tubuh Li Hoa sehingga tak sanggup
menahan diri lagi, tubuhnya tak mampu berkutik sedang hatinya
ketakutan setengah mati, tat terlukiskan bagaimana menderitanya dia
sekarang.
Mao Tin-hong segera membentak keras: "Orang pertama yang
menjadi korban adalah Li Hoa, tapi orang
kedua, orang ketiga adalah kalian semua kecuali ada diantara kalian
yang mau menjawab kemana kaburnya Jin Jin dan Bi Kui, kalau tidak..."
Api telah membakar sepatu dan kaos kaki Li Hoa, dayang itu mulai
menjerit kesakitan suaranya yang memilukan hati bagaikan
jeritan setan ditengah malam buta, menyayat hati, mendirikan bulu
roma orang, membuat ucapan Mao Tin hong segera terputus.
Bukannya beriba hati atas kejadian mana, Mao Tin hong malah
mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Api memang tak kenal belas kasihan, dalam waktu singkat sekujur tubuh
Li Hoa telah tertelan oleh kobaran api yang semakin membara, jeritan
ngeri yang memilukan hati berkumandang lagi untuk terakhir kalinya,
setelah itu suasana menjadi hening, sepi... hanya suara api yang
berkobar saja memecahkan keheningan.
Para dayang menundukkan kepalanya rendah-rendah, air mata
bercucuran membasahi wajah mereka.
Seorang rekan mereka telah tewas secara mengenaskan tewas
dihadapan mereka sendiri.
Mendadak Mao Tin-hong membentak lagi dengan suara menggeledek:
"Sekarang, kalian harus mengikuti lohu menuju ke pagoda Pekbo-
kek..."
Di bawah ancaman, kawasan dayang itu tak berani membangkang,
mereka segera mengikuti di belakang Mao Tin hong.
Setibanya di Pek bo-kek, dengan suara lantang Mao Tin hong berseru
kembali:
"Thian hiang, Im kiok, kalian berdua keluar." "Tuan" dengan suara
gempar Thian hiang dan Im Kiok
memohon, "budak benar-benar tak tahu dimanakah majikan berada, bila
kami tahu. masa kami tidak mengaku? Apa lagi setelah di utarakan pun
belum tentu majikan menghukum mati kami, sedang kalau tidak
mengaku...."
"Betul..." tukas Mao Tin hong, "begitu juga dengan lohu, bila kalian
bersedia menjawab, bukan saja lohu akan membebaskan kalian, bahkan
akan kuberi hadiah besar, sebaliknya kalau tetap tak mau menjawab,
terpaksa hanya jalan kematian yang tersedia!"
"Tuan, kami benar-benar tidak mengetahui tentang hal ini..." rengek
Thian hiang ketakutan.
Mao Tin hong mendengus dingin: "Lohu tidak ambil perduli, pokoknya
kalian berdua masuk!"
Im Kok memandang Thian hiang, baru saja Thian hiang hendak
beranjak, Im Kiok segera menghalanginya.
Mao Tin hong menyaksikan kejadian tersebut segera menegur: "Ada
apa? Im Kiok, apakah kau hendak menyampaikan sesuatu?" "Benar.
aku hendak berbicara!" lm Kiok mengangguk. Mao Tin hong segera
manggut-manggut. "Ada hubungan dengan tempat persembunyian
Jin-Jin?" Kembali Im Kiok mengangguk. "Benar, bersediakah kau
mendengarkannya?" "Tentu saja bersedia!" Mao Tin-hong tertawa.
"Tapi aku punya syarat." Ucapan mana disambut Mao Tin hong
dengan kerutan dahi. "Apapun syarat yang kau ajukan, lohu pasti
akan mengabulkan."
akhirnya dia berkata. "Hmm! Hatimu jauh lebih beracun daripada
kalajengking, setelah
persoalan ini lewat melepaskan kami dalam hidup pun sudah merupakan
sesuatu yang luar biasa, kalau dibilang kau hendak melaksanakan syarat
mana, haaya setan yang percaya."
"Ooh... jadi maksudmu aku harus berjanji?" "Apa gunanya berjanji? Aku
minta kau segera
melaksanakannya,saat ini juga." ucap Im Kiok keras. Mao Tin hong
segera tertawa dingin. "Heeeh... heeehh... heeehh... besar amat
nyalimu...!" tegurnya.
Im Kiok sedikitpun tidak merasa takut. "Paling banter aku mengalami
nasib yang sama seperti enci Li
hoa, mampus terbakar! Apa yang mesti harus kutakuti !" Bila orang
tidak takut mati, siapapun tak dapat mengapa-apa kan
dia, maka Mao Tin hong segera merubah taktiknya: "Baik, utarakan
syaratmu itu!" "Sewaktu majikan dan congkoan berlalu, dia lewat
pesanggrahan
Im-sui-siau-ci, kebetulan aku sedang menyapu disitu maka aku
mengetahui arah kabur dari majikan dan congkoan..."
"Tak usah banyak bicara, katakan saja kemana mereka telah kabur..."
tukas Mao Tin hong.
Im Kiok tidak menggubris, dia melanjutkan kembali kata-katanya:
"Oleh karena itu, bila kau ingin mengetahui kemana perginya
majikan dan congkoan, silahkan saja bertanya kepadaku seorang,
namun sebelum melaksanakan syarat yang kuajukan, jangan harap aku
akan menjawab pertanyaanmu !"
"Apa syaratmu ?" "Persoalan iui tiada sangkut pautnya dengan para
cici dan adik
semua, kau harus membukakan mereka dan memerintahkan mereka
pergi lebih dulu !"
Mao Tim hong menganggap kawanan dayang tersebut sudah ibaratnya
domba didepan mulut harimau, sekalipun dilepaskan sekarang, toh
akhirnya akan berhasil dikumpulkan kembali secara mudah bila dia
menginginkan.
Maka Mao Tin hong segera mengangguk. "Boleh, lohu akan segera
menurunkan perintah !"
Setelah berhenti sejenak, ia lantas berseru kepada kawanan dayang itu:
"Disini sudah tak ada urusan kalian lagi, cepat kembali ketempat
masing-masing !"
Mendengar seruan tersebut, tanpa terasa para dayang mendongakkan
kepalanya dan bersama-sama menatap wajah Im Kiok.
Dengan wajah serius Im Kiok segera berseru kepada kawanan dayang
tersebut:
"Cici dan adik sekalian, silahkan kembali ke tempat masing- masing, bila
kalian belum melupakan pesan dari majikan tua dan subo seharusnya
kalian tahu bahwa bencana besar telah melanda Pek-hoa-wan kita hari
ini.
"Didalam surat wasiat majikan tua telah di perintahkan jika hari
semacam ini telah tiba, maka cici dan adik sekalian diharuskan menuju
ke Lak-toan-Sin-koan untuk menembus dosa, sekarang kumohon
kepada kalian untuk segera menuju kesana."
Mendengar perkataan tersebut para dayang itu segera menunjukkan
perasaan gembira.
Ketika keadaan tersebut terlihat oleh Mao Tin hong, kecurigaannya
segera timbul.
Ia berpikir sejenak, kemudian mengulapkan tangannya mencegah
kawanan dayang itu mengundurkan diri, teriaknya:
"Tunggu sebentar !" Kawanan dayang itu segera berhenti, sedang
Im Kiok langsung
menegur: "Apa maksudmu berbuat demikian ?" Mao Tin hong
mendengus
dingin. "Hmm ! Dimanakah letak Lak-toan sin koan yang kau
maksudkan
barusan ?" serunya. "Oooh soal ini ?" Im Kiong tertawa. "disetiap
ruangan bangunan
ini pasti terdapat meja altar yang memelihara patung dewa Lak-toan
kua-sin, dan kemudian yang dimaksudkan sebagai Lak-toan adalah
enam lukisan garis pendek dalam pat-kwa, bagaimana? kau tidak
mengerti tentang hal ini..."
"Ooooh, rupanya begitu..." Mao Tin hong mengangguk. Belum habis
dia berkata, Im Kiok telah menyela kembali:
"Apakah mereka sudah boleh pergi sekarang?" Sekali lagi Mao Tin hong
mengangguk. Dengan suara lantang Im Kiok segera berseru.
-oo0dw0oo- SIAU-MOAY mohon kepada cici dan adik sekalian agar
jangan
lupa mewakili siau-moay untuk memasang hio dan bersembahyang
setiba di istana Lak toan seng kiong nanti, mohonkan keselamatan bagi
siau-moay... nah, kalian boleh pergi sekarang !"
Serentak para dayang itu membalikkan bada ndan berlalu dari sana,
dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka telah lenyap dari
pandangan mata...
Hingga kawanan dayang tersebut telah pergi jauh, Mao Tin hong baru
berkata lagi dengan kening berkerut:
"Aneh, mengapa mereka menuju ke suatu tempat yang sama ?" Im
Kiok mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke
arah Mao Tin hong, kemudian ia menjawab: "Apa sih yang aneh ?"
"Bukankah kau bilang, mereka diharuskan kembali ke tempatnya
masing-masing." "Tahukah kau dimana aku berdiam ?" "Kau tinggal di
pesanggrahan In sui-siu-cu bukan ?" Im Kiok mengangguk. "BetuI,
sekarang mereka menuju ke tempat kediamanku lebih
dulu untuk membacakan doa bagiku, ini dilakukan sebagai
pernyataan rasa terima kasih mereka kepadaku, apakah berbuat
demikianpun tidak boleh...?"
"Boleh, tentu saja boleh." jawab Mao Tin hong sambil mengawasi terus
kawanan dayang yang telah menjauh itu. "cuma, apa sebabnya mereka
berlalu dengan cepat, seolah-olah tergesa-gesa sekali ?"
"Kalau soal ini mah harus ditanyakan kepadamu sendiri !" "Tanya
kepadaku ?" Mao Tin hong agak tertegun, "apa yang
ditanyakan kepadaku ?" "Hmmm.! Kau kejam seperti ular beracun,
hatimu jahat seperti
racun kala jengking, hatimu hitam, buas seperti binatang liar, kekejaman
dan kebengisanmu tiada duanya di dunia ini, tentu saja mereka
menganggap lebih aman untuk berlalu secepatnya meninggalkan dirimu."
Ucapan mana kontan mengobarkan hawa amarah Mao Tin hong, agak
sewot dia membentak "lm Kiok, lohu peringatkan kepadamu untuk
berbicara lebih berhati-hati Iagi!"
Namun Im Kiok sedikitpun tidak gentar, dia malah menantang dengan
garang.
"Kalau tidak berhati-hati kenapa? Memangnya kau hendak
membunuhku?"
Mao Tin hong semakin gusar, "Jangan kau anggap lohu tak berani
membunuhmu karena aku masih membutuhkan kau? Hm, jika kau
lanjutkan ulahmu itu. hati-hati kalau kusiksa dirimu lebih dulu!"
Im Kiok kembali tertawa. "Sudah hampir, aku toh sudah hampir tak
berguna lagi, sampai waktunya kau boleh berbuat sesuka hatimu atas
diriku ini!"
"Hmmmm, tak usah banyak ngebacot lagi, ayo jawab, Jin Jin dan Bi Kui
bersembunyi di mana ?" dengus Mao Tin-hong.
"Kalau aku harus menjelaskan, mungkin kau tak akan jelas. lebih baik
aku menghantarmu ke sana saja." kata Im Kiok kemudian.
"Bagus, mari kita berangkat sekarang!" Im Kiok pun menganggukkan
kepalanya. "Betul, kita memang
harus berangkat sekarang juga, ikutilah aku..." katanya. "Tunggu dulu !"
mendadak Mao Tin-hong berseru kembali,
agaknya ia teringat akan sesuatu, bila kita harus berjalan demikian,
lohu tetap merasa kuatir !"
"Terserah, mau menotok jalan darahku juga boleh," kata Im Kiok
pasrah, "tetapi aku hendak menjelaskan dahulu, di tempat itu terdapat
sebuah daerah yang tak mungkin dapat dilalui tanpa tenaga dalam, bila
sampai waktunya aku tak mampu lewat, jangan kau salah kan diriku."
kata Im Kiok menjelaskan.
Mao Tin hong segera berkerut kening, "Kalau begitu lohu harus
memperingatkan dirimu lagi " dan akhirnya dia berkata, "bila kau berani
main setan, jangan salahkan bila lohu akan menghajar dirimu
habis-habisan!"
Im Kiok tidak ambil perduli dia segera berjalan. Mao Tin hong tak mau
ketinggalan, dia pun menyusul
dibelakangnyii secara ketat. Berapa saat kemudian, tiba-tiba Mio
Tin-hong berseru: "Hei mengapa kita mengambil jalan yang searah
dengan tempat
yang dituju budak-budak tadi?" "Tentu saja" dengus Im Kiok, "majikan
melalui pesanggrahan Insut
siu-cu sebelum melarikan diri, bila kita hendak menyusulnya tentu
saja harus melalui pula tempat itu, apalagi para cici dan adik sedang
memasang hio untukku disitu, aku seharusnya pula melalui tempat
mana...!"
Mao Tin hong segera terbungkam dalam seribu bahasa, tapi entah
mengapa dia selalu merasa kalau hal ini ada yang kurang beres.
Sedapat mungkin Mao Tin-hong berusaha untuk mengendalikan
perasaan gusarnya, namun dalam hati kecilnya ia telah memutuskan
bila persoalan telah selesai, dia akan menyiksa In Kiok habis-habisan
sebelum akhirnya di hukum mati.
Hanya saja dia tak dapat menemukan di manakah letak ketidak beresan
tersebut, maka disamping meningkatkan kewaspadaannya, dia
membungkam dalam seribu bahasa.
Perjalanan yang ditempuh Im Kiok tidak terlalu cepat, dengan tak sabar
Mao Tin hong segera berseru.
"Apakah kau tak bisa berjalan lebih cepat lagi ?" "Tentu saja dapat"
jengek Im Kiok, "justru aku kuatir kalau
terlalu cepat malah menimbulkan kecurigaanmu, kalau sampai mengira
aku ingin kabur bukankah aku bakal mati penasaran?"
"Hmmm, tajam amat selembar bibirmu !" Mao Tin hong mendengus
dingin.
"Kau juga mempunyai hati yang hitam dan busuk !" sambung Im Kiok
cepat.
Maka diapun tak banyak bertanya lagi, diikutinya Im kiok dengan mulut
membungkam.
Kini Im kiok melanjutkan perjalanannya dengan lebih cepat lagi mau
tidak mau Mao-Tin hong harus meningkatkan kewaspadaannya untu
menghadapi segala kemungkinan.
Akhirnya tibalah mereka tak jauh dari pesanggrahan In sui sian cu...
Pertama-tama Im Kiok melompati jembatan Jit khong tay kiau lebih
dulu, kemudian baru masuk ke dalam pesangrahan In sui siau cu.
Mao Tin hong menitahkan kepada Im kiok agar berjalan tak lebih tiga
kaki lebih jauh darinya, agar setiap saat dia dapat melancarkan
serangannya.
Im Kiok tidak memasuki ruang tengah pesanggrahan ln sui siau cu,
melainkan berbelok kesebelah kiri terus menuju kebelakang.
Mao Tin hong juga tidak banyak bertanya, sepanjang jalan dia hanya
memperhatikan keadaan disekitar situ dengan seksama.
Di sebelah kiri terdapat sebuah bangunam loteng kecil, di belakang
loteng adalah kolam yang besarnya berapa bau.
Saat inilah Im Kiok membalikkan badannya sembari berkata:
"Majikan dan congkoan pernah melewati loteng ini!" Mao Tin hong
mencoba untuk mengawasi sekejap bangunan
loteng itu, lalu bertanya: "Mengapa tak nampak seorang dayang pun?"
"Mungkin mereka telah kembali." "Tapi sepanjang jalan tidak aku
jumpai seorang manusiapun?"
seru Mao Tin bong semakin keheranan. Dengan cepat Im Kiok
menggeleng. "Waah, soal ini mah aku kurang jelas, untung saja yang
kita cari
sekarang adalah majikan dan Bi Kui!" Mao Tin hong berpikir sejenak,
lalu katanya. "Apakah mereka berdua berada diatas loteng?" Sekali lagi
Im Kiok menggeleng. "Aku tak berani memastikan, mungkin berada
disitu, mungkin
juga tidak ada." Mao Tin hong segera berkerut kening, ia makin
memperhatikan
gerak gerik Im Kiok dengan lebih seksama. Sementara itu Im Kiok telah
membuka pintu loteng namun dia
tidak masuk kedalam melainkan berpaling memandang kearah Mao Tin
hong.
Mao Tin hong memahami arti dari tindakan tersebut, lm Kiok sedang
menantikan perintahnya.
Sejak tadi Mao Tin hong memperhatikan bangunan loteng itu dengan
seksama, loteng itu berdiri sendiri dari lingkungan bangunan lainnya.
Berdiri sendiri disitu sama artinya tiada jalan mundur lainnya, diapun tak
usah kuatir Im Kiok akan melarikan diri, maka setelah berputar satu
lingkaran mengitari bangunan loteng itu, ujarnya kemudian kepada Im
Kiok.
"Masuklah lebih dulu untuk melihat-lihat!" "Jika tidak berada di
bangunan loteng ini, sudah pasti majikan
berada di Thian gwa thian (langit diluar langit) !" "Oooh, dimanakah
letaknya Thian gwa thian itu ?" Sambil melangkah masuk ke dalam
bangunan loteng itu, Im Kiok
menjawab: "Tak jauh letaknya dari sini, tempat itu merupakan sebuah
tempat yang sangat menarik." Sembari berkata dia lantas berjalan
menuju ke dalam loteng. Tempat ini merupakan bawah loteng bukan
diatas loteng,
suasana didalamnya amat gelap gulita sehingga sukar untuk melihat
jelas keadaan didalam ruangan tersebut.
Waktu itu Mao Tin hong sedang ikut beranjak masuk ke dalam ruangan.
Mendadak... "Aduuuh..." Im Kiok menjerit kesakitan. Serta merta
Mao Tin hong menyelinap mundur sejauh beberapa
kaki dengan cekatan.
"Blaaaammm....!"
Pintu bangunan loteng itu tertutup dari bagian dalam, kemudian tidak
kedengaran suara apa apa lagi.
Sambil berkerut kening Mao Tin-hong membentak dengan suara dalam
dan berat:
"Bi Kui, keluar kau !" Suasana didalam bangunan loteng itu sunyi
senyap tak
kedengaran sedikit suarapun, tiada orang yang menjawab. Anehnya In
Kiok pun tidak menimbulkan suara iagi, mungkin ia
sudah dibekuk Bi Kui. ^oooOdwOooo^ MAO TIN HONG mendengus
dingin, kembali dia berseru: "Jin Jin, walaupun kau ditolong Bi Kui dan
berhasil kabur kemari,
namun ilmu menotok jalan darah lohu tak akan bisa dibebaskan siapa
pun jua, selama hidup kau akan tersiksa terus, mengapa tidak
munculkan diri saja untuk bersua dengan lohu ?"
Suasana didalam loteng itu masih tetap hening, seakan-akan sebuah
bangunan kosong belaka.
Kembali Mao Tin-hong membentak: "Kau harus tahu, kesabaran lohu
ada batasnya, kalian mau menjawab tidak pertanyaanku?"
"Kau sedang berbicara dengan siap? ?" saat itulah seseorang menegur
dari dalam loteng.
Mendengar suara itu Mao Tin hong tertegun serunya kemudian, "Kau
Im Kiok ?"
"Kau anggap nama nonamu juga bisa disebut oleh tua bangka celaka
yang tidak mengenal budi macam kau ?"
Dengan cepat Mao Tin-hong menyadari apa gerangan yang telah
terjadi, segera bentaknya dengan suara menggeledek:
"Budak anjing, kau berani membohongi aku?"
Ternyata orang yang berada di dalam bangunan itu memang In Kiok,
terdengar dia tertawa terkekeh-kekeh.
"Mengapa tidak berani ? Untuk membohongi tua baka celaka macam
kau, pada hakekatnya lebih gampang daripada membohongi seekor
anjing budukan !"
Kemarahan Mao Tin hong menjadi meledak, dia segera mengayunkan
telapak tangannya menghajar pintu loteng tersebut.
Dengan tenaga dalamnya yang telah mencapai puncak kesempurnaan,
dimana angin pukulannya menyambar lewat, pintu loteng segera tergetar
hancur berantakan, bahkan bangunan loteng itupun turut bergoncang
sangat keras, keadaannya sungguh menggidikan hati orang.
Tapi Im Kiok justru tidak gentar, malah sambungnya: "Kepandaian
bagus, bila punya nyali ayolah ikut nonamu masuk
ke bangunan ini !" Sewaktu mengucapkan perkataan itu, gadis tersebut
masih tetap
bersembunyi dibalik kegelapan, tak nampak bayangan manusianya
menampakkan diri.
Selesai mengucapkan perkataan tersebut, tak kedengaran suara
apa-apa lagi disitu.
Dengan cepat Mao Tin hong melancarkan sebuah pukulan dahsyat
ketengah udara, kemudian tubuhnya ikut menerobos pula ke dalam
bangunan itu...
Setelah berada dalam bangunan, sorot matanya mengawasi sekeliling
tempat itu dengan seksama, akan tetapi dia tidak menemukan bayangan
tubuh dari Im Kiok.
Setelah diamati lagi dengan lebih seksama, dia segera menemukan
sesuatu...
Lantai disudut dinding sebelah kiri baru saja merapat, rupanya di
tempat itu terdapat sebuah lorong bawah tanah.
Mao Tin hong mendengus dingin, dia maju ke depan dan segera
membuka lantai tersebut.
Dibawah lorong sana amat gelap gulita tapi nampaknya terdapat
undak-undakan batu.
Sementara Mao Tin-hong masih termenung dan tak tahu bagaimara
harus menghadapi kejadian tersebut, dari bawah sana berkumandang
suara tanya jawab:
"Bagaimana? Apakah tua bangka itu berada di atas?" Suara
pembicara jelas merupakan si Bi kui. Seorang yang lain ternyata
adalah Im Kiok segera menjawab
dengan nyaring. "Ya, dia berada disitu, bahkan bisa jadi dia telah
berubah menjadi
si ikan bluntak yang mempunyai perut gede, maklum karena
mendongkoInya.
"Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan sampai kemari ?" "Mau
apa dia kemari ? menghantar kematiannya ? Hmm !" "Kau mesti
tahu tua bangka tersebut licik tapi pintar, aku rasa dia
tak akan berani turun kemarin ayo kita pergi saja." "Pada majikan, apa
di dalam ?" "Yaa, semuanya berada disini, sebab hanya tempat ini saja
yang
aman, majikan bilang tua bangka itu memiliki kepandaian silat yang
terlampau tinggi sedangkan jalan darah majikan pun belum terbebas
dari pengaruh totokan sehingga tak mampu bergerak ! ia menitahkan
kepada kita agar bersabar diri dan jangan sembarangan bergerak !"
"Ooooh, tadi si tua bangka itu bilang kalau memang sampai jalan darah
majikan tak bakal bisa dibebaskan jadi dia bersungguh- sungguh ?"
seru Im Kiok kemudian.
Bi Kui menghela napas panjang.
"Hai, siapa bilang bukan sungguhan ? Kami sudah hampir mati saking
gelisahnya !"
"Coba kau lihat, datas sana terdapat sinar terarg, delapan puluh persen
tua bangka itu pasti berhasil menemukan mulut lorong rahasia ini dan
lagi sedang menyadap pembicaraan kita, bagaimana kalau kubikin
panas hati si tua bangka tersebut agar turun kemari dan menghantar
kematiannya."
"Sudahlah" sahut Bi Kui setelah termenung sejenak, "bagaimanapun juga,
toh tua bangka tersebut tak akan bisa lolos, cepat atau lambat
memberesi dia aku pikir sama saja !"
"Hingga kini aku masih keheranan, bagaimana sih ceritanya majikan
sampai mengetahui kalau tua bangka itu sedang mengacau ?"
Kembali Bi Kui menghela napas panjang. "Aaaai... sesungguhnya
majikan tidak menuruti perkataannya
dengan pulang ke wilayah Biau terlebih dulu, sebaliknya secara
diam-diam kita ikuti gerak-geriknya, sudah barang tentu segala
perbuatan dan tingkah lakunya dapat kami saksikan dan kita ikuti
semuanya dengan jelas dan terang !"
Im kiok segera mendengus dingin: "Hmmm ! Lantas mau apa dia
memasuki kebun Pek-hoa wan
ini...?" "Soal ini pernah kutanyakan kepada majikan, menurut majikan
mereka pernah menjadi suami istri, lagi pula majikan selalu berharap
agar dia mau meninggalkan jalan sesat untuk kembali ke jalan yang
benar. siapa tahu gara-gara niatnya tersebut, dia harus mengalami
kerugian besar ditangan tua bangka tersebut."
Mendengar perkataan mana, Im Kiok menjadi gusar sekali, serunya
kemudian:
"Kalau kupikir kembali persoalan ini, semakin kupikir semakin panas
hatiku, kasihan kepada enci Li hoa, dia telah dibakar hiduphidup
sampai mati, hingga kinipun pekikan kesakitan yang memilukan
hati seakan-akan masih mendengung disisi telingaku, aku harus
mencaci-maki dan menyumpahi bangsat tua itu."
Berbicara sampai disini, Mao Tin hong segera mendengar suara
umpatan dari lm Kiok.
"Orang she Mao, bajingan tua she Mao, kau tua bangka celaka, telur
busuk bangkotan, kalau memang lelaki sejati ayo cepat menggelinding
turun kebawah. Huuuh, aku lihat kau si anak jadah tak akan bernyali.."
Belum habis umpatannya itu, Bi kui sudah membujuknya: "Sudahlah,
ayo kita cepat pergi, majikan sedang menunggu
kedatangan kita, sudah kubilang kebun Pek hoa wan tak punya jalan
mundur, jalan keluarpun sudah dihadang oleh Sun sauhiap dan
kawan-kawannya, cepat atau lambat dia akan mampus."
"Aku justru sangat berharap dia bisa turun kemari, biar mampus
ditangan kita saja." sela lm Kiok cepat.
Suara pembicaraan tersebut makin lama semakin menjauh, dan
akhirnya sudah tak kedengaran suaranya lagi.
Mao Tin hong berdiri bodoh didalam loteng, pelbagai pikiran
berkecamuk di benaknya.
Turun ke bawah ? Dia kuatir terperangkap oleh siasat busuk
orang-orang itu.
Tidak turun ? Dangan kehadiran Bi kui disana, berarti Jin jin pasti
berada pula disana, berarti pula kitab pusaka tersebut berada pula
dibawah sana, bila dia berani turun kebawah, niscaya semua benda
tersebut akan jatuh ke tangannya.
Lama sekali dia berpikir sebelum akhirnya mengambil satu keputusan,
dia harus turun ke bawah ! Yaa, harus turun ke bawah !
Dia yakin dengan kepandaian silat yang dimilikinya, tak mungkin ada
orang yang mampu menandingi kemampuannya, bila dia mau
berhati-hati, kenapa mesti takut terhadap sekelompok kaum perempuan
?"
Berpikir sarnpai disini, dia lantas atap beranjak menuruni anak tangga
tersebut.
"Tunggu sebentar !" Kembali satu ingatan melintas didalam benaknya
dan
menghalangi niatnya. Sambil menggelengkan kepalanya berulang kali,
Mao Tin hong
bergumam seorang diri: "Jangan, jangan bertindak gegabah, lebih baik
kupikirkan lebih
dulu tindakan ini masak-masak sebelum melangkah lebih jauh." Dengan
cepat dia mencopot papan di atas lantai tersebut dan
menghancurkannya sehingga remuk berkeping-keping, dengan begitu
muncullah sebuah lubang gua yang gelap.
Apa isi dibawah lorong rahasia tersebut? ... Tak terpikirkan oleh
pikirannya.
Diambilnya sebuah kursi lalu duduk disisi lorong rahasia tersebut sambil
termenung.
Apa maksud yang sebenarnya dari tanya jawab Im Kiok serta Bi Kui
tadi?
Aku tidak percaya kalau mereka tidak tahu bahwa pembicaraannya
kudengar, tapi mereka mengapa sengaja?
Kalau toh sudah tahu kalau aku turut mendengarkan pembicaraan
tersebut, mengapa mereka tiu masih berbicara terus tanpa berusaha
untuk merahasiakan?
Hmm! Kalau begitu, ucapan mereka bukan suatu pembicaraan yang
jujur dan sesungguhnya, siapa tahu kalau mereka sedang mengatur
siasat untuk menjebaknya nanti?
Yaaa, betul! Jadi tanya jawab mereka memang sengaja dilakukan agar
dia turut mendengarkannya.
Jikalau betul begini, berarti persoalannya tak dapat dianggap main-main,
aku harus berpikir lebih mendalam lagi sebelum mengambil tindakkan
selanjutnya.
Bila mereka persiapkan jebakan yang berlapis-lapis dibawah sana,
jikalau dia nekad turun ke bawah, niscaya dirinya akan celaka, siapa
tahu kalau mereka kuatir diriku tak berani turun, maka sengaja
menggunakan tipu muslihat untuk menjebakku ?
Sekarang mereka sudah sengaja memperdengarkan tanya jawab ini
kepadanya, ini membuktikan kalau dibawah sana mesti ada jebakan
namun tak akan mampu membelenggu dirinya, maka itulah mereka
memakai siasat licik ini.
Aku mengerti, mereka takut aku benar-benar turun ke bawah maka
sengaja mereka katakan begini begitu hmmm... hmmm... budak
sekalian bila ingin beradu permainan busuk denganku, kalian masih
ketinggalan jauh sekali.
Berpikir sampai disitu, mendadak Mao Tin hong melompat bangun dan
bertekad untuk mencobanya.
Turun sih pasti turun, cuma dia enggan untuk turun ke bawah dengan
begitu saja.
Mula-mula dia mencari dulu sebuah lentera didalam ruang loteng itu
dan menyulutnya.
Kemudian dengan menggunakan tenaga dalamnya dia menekan meja
kursi dan peralatan lainnya sehingga hancur berkeping-keping dengan
hancuran kayu tersebut dibuatnya sebuah api unggun yang diletakkan
dibawah Iorong rahasia dengan demikian keadaan dibawah lorong sana
menjadi terang benderang.
Rupanya bawah lorong itu merupakan undak-undakan batu yang
semuanya terdiri dari dua puluh dua buah undakan.
Dibawah undak-undakan merupakan suatu lorong yang berdinding batu,
tiada benda lain yang nampak.
Ia menunggu hingga kobaran api pada kayu-kayu tersebut hingga habis
terbakar, kemudian baru melayang turun dengan kecepatan luar biasa.
Siapa tahu, baru saja tubuhnya melayang turun ke dalam lorong rahasia
tersebut, segera berkumandanglah suara gemuruh yang memekikkan
telinga, menanti dia mendongakkan kepaIanya, ternyata mulut lorong
rahasia tersebut sudah tertutup rapat.
Dengan lentera ditangan, terpaksa Mao Tin hong menaiki kembali
undak-undakan tersebut dan meraba pintu lorong dengan tangan,
dengan cepat hatinya terkesiap.
Ternyata pintu rahasia itu terbuat dari baja yang tebalnya beberapa inci,
kuat dan lagi keras.
Sekarang Mao Tin hong mulai gugup dan gelisah, dengan tertutupnya
pintu rahasia tersebut berarti jalan mundurnya tersumbat...
"Aah, jangan-jangan kawanan budak tersebut sengaja bertanya jawab,
agar dia mencari penyakit buat diri sendiri dengan memasuki lorong
rahasia ini ?" demikian dia mulai berpikir.
Makin dipikir dia merasa jalan pemikirannya makin benar, sayang nasi
sudah menjadi bubur, segala sesuatunya telah terlambat, dalam
keadaan demikian terpaksa dia hanya dapat meneruskan perjalanannya
menuju kedepan.
Maka dengan berhati-hati sekali dia maju ke depan, langkahnya amat
lambat.
Tapi tiba-tiba saja dia mendongakan kepalanya sambil menjerit
tertahan.
Rupanya diatas dinding batu disebelah depan sana, tertera beberapa
huruf besar yang berwarna merah darah:
”Kau berani datang? Silahkan maju terus kedepan."
Berbicara yang sejujurnya, kalau bisa mundur Mao Tin hong pasti akan
memilih mundur saja, tapi sayang jalan baginya sekarang tinggaI satu.
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia harus berhati-hati dan
sambil menahan debaran hatinya yang makin menjadi, selangkah demi
selangkah dia terus maju ke muka.
Kembali dia sampai disebuah tikungan lorong, kemudian setelah
berbelok dia maju lagi kedepan.
Ternyata didepan sana tiada jebakan apa-apa, maka dengan perasaan
lega dia maju lagi ke-depan.
Baru saja maju beberapa langkah diatas dinding batu kembali muncul
beberapa buah huruf besar berwarna merah darah yang berbunyi
demikian:
"Mao Tin hong, didepan sana adalah tempat untuk mengubur tulang
belulangmu"
Selain gugup dan cemas, Mao Tin hong mulai mendongkol bercampur
gusar.
Dia maju lagi ke depan, maju terus ke muka, akhirnya dia menangkap
cahaya terang.
Sambil tertawa Mao Tin hong segera bergumam. "Oooh, rupanya
hanya tipu muslihat saja, hampir saja aku tertipu
oleh permainan busuk semacam ini!" Sambil bergumam dia melanjutkan
perjalanannya dengan
langkah lebar dan langsung menuju ke tempat yang terang dan terbuka
itu.
Pada jarak berapa kaki dari tempat yang terbuka itu, sekali lagi dia
berhenti secara tiba-tiba.
"Keningnya berkerut semakin kencang, kemudian dengan gemas dia
mendengus dingin.
Ternyata diatas dinding batu itu muncul kembali serangkaian huruf
besar dari warna merah yang berbunyi:
"Mengingat hubungan suami istri, kau boleh melihat sinar dulu sebelum
mampus."
Mao Tin hong segera tertawa seram, gumamnya: "Heeeh... heehh..
perempuan jalang, kalau toh kau berhasrat
membunuhku, masa kau mempunyai kebaikan hati seperti ini? sekarang
aku baru mengerti, rupanya kau sengaja memancing aku untuk kemari,
baik- apa yang mesti kutakuti?"
Seraya berkata dia segera menerjang keluar dari lorong rahasia
tersebut menuju ketempat yang terbuka itu.
Begitu keluar dari lorong rahasia itu, Mao Tin hong segera menyaksikan
suatu pemandangan yang sama sekali berbeda.
Dulu Mao Tin-hong pernah berdiam selama dua tahun di dalam kebun
Pek hoa-wan dan sekalipun amat singkat namun terhadap suasana
kebun maupun daerah di sekitarnya boleh dibilang sudah hapal sekali,
bahkan hampir semua tempat pernah dijelajahi olehnya.
Tapi apa yang terlihat didepan mata sekarang, ternyata masih begitu
asing dan belum pernah terlihat olehnya selama ini.
Dengan ketajaman matanya dia dapat memeriksa keadaan sejauh
berapa li di hadapannya, hal mana bukan sesuatu yang aneh karena bisa
dilakukan semua orang, yang cukup mengejutkan adalah pemandangan
yang terlihat olehnya sekarang.
Pertama tama yang terlihat olehnya sebuah gardu kecil yang sangat
indah, dulu belum pernah tempat ini di jumpai, lebih lebih tidak terlihat
lagi dimanakah tempat itu terletak
Gardu kecil itu tingginya tiga kaki dengan atap yang berwarna hijau dan
bercahaya terang.
Di dalam gardu tiada meja ataupun kursi, tapi ada perabot lainnya.
Sebuah kursi beroda berada ditengah gardu, Jin jin duduk disitu dengan
wajah sedingin es.
Di belakang kursi sebelah kiri berdiri Bi-kui, sedang disebelah kanannya
berdiri Im-kiok mereka berdiri dengan wajah angker dan penuh
kegusaran.
Pada bagian belakang berdiri lah berderet-deret dayang dari Pek hoa
wan, semua dayang memancarkan sinar tajam dan mengawasi wajah
Mao Tin hong tanpa berkedip, agaknya mereka sangat tidak terima
dengan musibah yang menimpa rekan-rekannya.
Jin jin bukan duduk berhadapan dengannya, dia duduk dengan
setengah miring kedepan.
Di mukanya terdapat banyak sekali benda-benda yang aneh,
benda-benda tersebut kebanyakan tertutup oleh sebuah pilar besar
berwarna merah sehingga sukar dilihat dengan jelas.
Namun Mao Tin hong dapat mengenali kalau diantara benda benda
tersebut terdapat hiolo dan benda benda untuk sembahyang lainnya,
ditambah pula dengan sebilah pedang.
Mao Tin hong berpaling lagi ke sekeliling tempat tersebut ia kembali
dibikin keheranan.
Disekeliling gardu terdapat banyak ranting kayu, kebanyakan
ranting-ranting itu ditancap dibelakang bata besar atau kecil, dau
dibelakang ranting ranting kayu itu tampak banyak sekali rumah rumah
mungil.
Dibilang rumah mungil memang tepat, sebab rumah-rumah tersebut
kecil seperti rumah-rumahan mainan kanak kanak? hanya saja mainan
ini dibuat lebih bagus.
Ketika diamati lebih jauh, haaahahaha... Bukan saja ada
rumah-rumahan kecil, bahkan ada jembatan
kecil, gunung-gunungan, air mancur, selokan...
Mao Tin hong menggelengkan kepalanya berulang kali, seandainya bukan
disiang hari bolong, pada hakekatnya dia akan menyangka bila dirinya
sedang berada dinegeri liliput.
Pokoknya kecuali gardu yang dipakai Jin-Jin sekalian saat ini, semua
benda yang terdapat disitu berada dalam ukuran yang kecil sekali.
Kecuali benda-benda tadi, ternyata di sana tidak nampak benda
lainnya.
Mao Tin hong agak tertegun dan dibuat berdiri bodoh untuk beberapa
saat lamanya.
Dia termenung dan termenung terus, untuk beberapa saat tidak
diketahui apa yang mesti dilakukan.
Pada saat itulah, Im kiok yang berada di dalam gardu itu membentak
keras:
"Orang she Mao, Wancu kami ada perintah menyuruhmu untuk
merangkak dan menerima kematian !"
Mao Tin-hong gusar sekali, setelah mendengus dia siap maju lebih ke
depan, tapi ingatan lain segera melintas membuatnya kembali berhenti.
Sesudah menggeleng, diam-diam dia memutar biji matanya sambil
berpikir:
"Tunggu dulu, aku tak boleh bertindak gegabah, seandainya sampai
tertipu, bisa mampus aku ?"
Baru berpikir sampai disitu, disisi telinganya kembali bergema suara dari
Bi-kui:
"Mao Tin hong, masih ingat dengan perkataan aku Bi-kui sewaktu
berada di perahu besar ditengah telaga Tong-ting ou ? sekarang kau
berani berniat keji terhadap majikanku, baik, Aku..."
Belum habis dia berbicara, Mao Tin-hong sudah membentak dengan
suara dalam:
"Tutup mulutmu budak ingusan, suruh Jin jin berbicara denganku..!"
"Kau jangan keblinger duIu, kau anggap majikan kami itu siapa ?
Memangnya kau pantas untuk bercakap-cakap dengan majikan kami ?
Terus terang saja kukatakan. saat inilah ajalmu sudah tiba !"
Mao Tin hoag tertawa terbahak-bahak. "Haaahh... haaah... haaah...
sudah belasan tahun aku hidup
berkelana dalam dunia persilatan, pengalaman macam apapun sudah
kualami, aku tak percaya kalau perahuku bakal karam dalam selokan
macam pecomberan kalian ini. Budak bangsat, kau jangan sombong
dulu, masih terlalu awal bagimu untuk ngebacot yang bukan-bukan !"
Dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin Mao Tin hong masih
mempunyai waktu untuk banyak berbicara lagi, apa pula dia memang
bukan seorang manusia yang suka banyak berbicara, dia berbuat
demikian justru karena ada tujuan tertentu.
Siapa tahu Bi kui jauh lebih lihay daripada Im kiok, segera ujarnya:
"Mao Tin-hong, tipu muslihatmu itu mungkin saja dapat membohongi
Wancu kami yang poIos, tapi buat nyonya mudamu ? Huuuh, tak bakat
ada gunanya, lebih baik simpan saja akal bulusmu itu !"
"Kini jalan mundurmu sudah buntu, hanya ada dua jalan saja yang
dapat kau tempuh, ke satu menerima kematian dan ke dua berada
untuk selamanya ditempat ini sebelum pelan-pelan mampus karena
kelaparan dan kehausan.
"Dengan berterus terang nyonya mudamu ingin memberitahukan
beberapa patah kata kepadamu, tiga kaki disekitar tempatmu berpijak
sekarang adalah daerah aman, tapi jangan mencoba melewati wilayah
tiga kaki, kalau tidak maka kau akan segera terjerumus ke dalam
barisan majikan kami."
Lebib baik kau jangan mengandalkan cara masuk keluar dari barisan
yang pernah kau pelajari, sebab sama sekali tak ada gunanya, barisan
ini yang hidup dan tergantung dari gerak-gerik manusianya, jika kau
berani melewati daerah seluas tiga kaki yakin kau tentu akan mampus.
"Kau ketakutan bukan? Nyonya muda dapat melihatnya, masuk ke
barisan pasti mampus lebih baik tinggal saja disana sambil merasakan
bagaimana enaknya kelaparan dan kehausan sebelum akhirnya
mampus, anggap saja hal ini sebagai pembalasan untuk
perbuatan-perbuatan busukmu!"
Mao Tin hong sangat marah, dia membentak keras-keras: "Budak
sialan, bila aku takut dengan barisan busuk kalian itu, tak
nanti aku berani turun tangan terhadap anjing perempuan cabul
tersebut, cuma sayang aku masih ada urusan penting saat ini."
Belum habis dia berkata, "Bi Kui sudah menukas dengan setengah
mengejek:
"Tak usah mimpi, coba berpalinglah kau lihat apakah disini masih
tersedia jalan ketiga yang dapat menghantar kau pergi dengan
selamat?"
Mendengar ucapan tersebut Mao Tin hong segera berpaling, seketika itu
juga paras muka nya berubah hebat.
MuIut gua yang terbuka dan bersinar cerah tadi ternyata sudah lenyap
tak berbekas di saat dia berbincang-bincang dengan Bi Kui barusan.
Di belakang tubuhnya terbentang padang pasir yang lamat-lamat
diselimuti kabut tebal, dalam sekilas pandangan saja dapat di duga
kalau di balik kesemuanya itu terdapat banyak jebakan dan hawa
pembunuhan yang mematikan atau dengan perkataan lain jalan
mundurnya benar-benar buntu.
TimbuI niatnya untuk mencoba, maka diambilnya sebutir bata sebesar
kepalan dan segera dilontarkan ke arah belakang tubuhnya.
Bersamaan dengan tindakannya tersebut, dia memusatkan semua
perhatiannya untuk memperhatikan batu tadi.
Tampak batu yang terjatuh diatas pasir itu tiba tiba tergulung oleh kabut
yang tebal sehingga menimbulkan gumpalan asap yang menutupi
pandangan mata, dalam waktu singkat kabut telah menyelimuti seluruh
jagad membuat batu tadi lenyap tak berbekas.
Menyaksikan kejadian tersebut, Mao Tin hong menjadi tertegun dan
melongo untuk beberapa saat.
Bi Kui yang berada dalam gardu tiba tiba mengejek lagi: "Yaaa,
betul, dicoba lagi, ambillah batu dan timpuklah sejauh tiga
kaki, coba dilihat apa yang bakal terjadi !" Mao Tin hong tak perlu
mencoba lagi, sekarang dia sudah sadar
kalau Bi Kui tidak bohong, daerah seluas tiga kaki disekeliling tempat itu
memang tak aman, kecuali itu setiap jengkal tanah disekitar sana
benar-benar berbahaya sekali.
Setelah berhenti sejenak, kembali Bi Kui berkata: "Aku hendak
memberitahukan sebuah kabar lagi kepadamu,
budak-budak suku Biau dari Ceng Bun keng tak segan-segan melakukan
sumpah darah untuk membuat pembalasan denganmu, kini orangnya
sudah sampai disini.
"Sebagai mana kau ketahui, Wancu sudah mengetahui perbuatan busuk
mu sepaujang jalan, ditambah lagi si Lo hoa biao telah datang ke Biau
tiok hiat hu melaporkan semua perbuatan busukmu kepada Wan cu.
"Dan untuk menghadapi keadaan tersebut Wancu telah mengundang
Sun sauhiap sekalian masuk kedalam kebun ini. sekalipun kau bersedia
untuk tetap tinggal disini sambil menunggu ajal dengan menahan lapar,
aku kuatir hal mana tak mungkin dapat kau lakukan..."
Mao Tin hong berkerut kenlng, baru saja dia akan berbicara, satu
ingatan lain telah melintas kembali dalam benaknya.
"Goblok aku!" demikian ia berpikir, "mengapa aku mesti bersilat lidah
dengan kawanan budak busuk itu ? Mengapa tidak memanfaatkan
kesempatan ini untuk mencari jalan ke luar !"
Berpendapat demikian, maka dia tidak menggubris lagi ejekan dari
Bi-kui, kembali dia membungkukkan badannya mengambil tiga biji batu,
sebutir dilemparkan ke arah tiga kaki belakang tubuhnya dan satu lagi
disambitkan ke arah dua kaki tujuh delapan depa di depan tubuhnya.
Begitu batuan terjatuh ke tanah, sama sekali tidak nampak sesuatu
perubahan pun.
Mao Tin hong merasakan hatinya semakin berat dan tercekam dalam
kemurungan, ternyata apa yang diucapkan Bi Kui memang tepat sekali.
Menyaksikan kejadian tersebut, tentu saja Bi Kui tidak berdiam diri saja,
kembali dia mengejek:
"Nah, bagaimana hasilnya ? Nonamu tidak berbohong bukan ? Hmmm !
Saat pembalasan mu telah tiba."
Rasa benci, dendam dan muak tiba-tiba muncul dari dalam hati Mao
Tin-hong, dia ingin sekali mencincang budak tersebut sampai hancur
berkeping keping, tapi ingatan lain kembali melintas dalam benaknya, dia
lantas berusaha keras untuk menahan gejolak perasaannya dan menarik
napas panjang-panjang untuk menenangkan pernapasan.
Menyusul kemudian dia putar otak lagi untuk mencari suatu cara untuk
menghadapi keadaan serta berusaha untuk melarikan diri dari situ.
Akhirnya dia sudah memahami, apa yang dikatakan Bi Kui memang tidak
bohong, sebentar lagi Sun Tiong lo dan Sangkoan Ki sekalian pasti akan
munculkan diri disana.
Berpikir sampai disitu, mendadak ia seperti mendapat satu akal bagus,
tiba-tiba saja ia tertawa seram.
Dalam pada itu Jin Jin dan sekalian dayangnya yang berada dalam gardu
mulai berbisik-bisik pula merundingkan persoalan tersebut...
Pertama-tama Bi Kui yang berkata lebih dahulu: "Wancu, menurut
pendapatmu, mungkinkah dia hendak
melakukan permainan busuk lagi?" "Aku cukup memahami jalan
pikirannya!" kata Jin Jin dengan
suara dingin. Bi Kui tertegun setelah mendngar ucapan tersebut, cepat
dia
berseru: "Apakah dia hendak melarikan diri..." Dengan cepat Jin Jin
menggeleng, tukasnya: "Tidak, dia hendak mengambil tindakan dengan
racun melawan
racun..!" Agaknya Bi Kui belum juga mengerti, dia masih saja berdiri
termangu-mangu sambil mengawasi wajah Jin Jin. Pelan-pelan Jin Jin
mengalihkan sorot matanya memandang Mao
Tin hong yang berada di kejauhan, kemudian katanya lagi: "Dia licik
dan berakal busuk, dari perkataan "tiga kaki di muka
dan di belakang aman" kamu tadi ia seperti berhasil menemukan titik
kelemahan dan menganggap dirinya itu sudah memperoleh akal untuk
menghadapi keadaan."
"Kalau toh daerah di muka dan belakang tiga kaki adalah tempat yang
aman, maka jikalau dia tak berkutik, tentu saja tak akan terjerumus
pula dalam mara bahaya.
"Sebaliknya jika kita hendak membekuknya jelas kemampuan kita
bukan tandingannya. tentu saja dia tak akan takuti. Sedangkan Sun sau
hiap sekalian meski dapat membunuhnya, tapi mereka harus melewati
barisan itu lebih duIu."
"Aku mengerti!" tukas Bi Kui, "dia menganggap Sun Sauhiap sekalian
tak mungkin bisa mendekati dirinya?"
"Yaaa, demikianlah keadaannya." Bi Kui segera tertawa
terkekeh-kekeh. "Manusia goblok!" serunya kemudian, "masa kita tak
bisa
menghentikan barisan ini untuk sementara waktu sampai Sun sauhiap
sekalian sudah memasuki barisan tersebut baru menggerakkan lagi
barisan mana?"
Jin jin segera menggeleng. "Tak mungkin, dia tidak tahu tak
mungkin" "Tidak mungkin ?" Bi Kui tertegun, "mengapa tidak
mungkin ?" Jin Jin menghembuskan napas panjang. "Mao Tin hong
pernah menyaksikan jalan hidup, jalan mati serta
cara masuk keluar dari ilmu barisan ini, begitu barisan berhenti maka dia
akan segera menemukan jalan hidup untuk melarikan diri, dan besar
kemungkinannya da akan menerjang keluar dari kepungan barisan ini !"
Bi Kui berpikir sebentar, lalu katanya. "Sekalipun dia bisa melepaskan
diri dari kurungan ilmu barisan
ini. masa dapat kabur dari tempat ini dengan selamat ?" "Tentu saja,
dibawah pengejaran Sun sauhiap yang ketat, cepat
atau lambat dia akan tertawan juga, namun hasil seperti itu bukan
kehendak hatiku, maka aku tak bisa menghentikan gerakan dari ilmu
barisan ini..."
"Kehendak hati Wancu adalah..." Bi kui merasa bingung dan tidak habis
mengerti.
Paras muka Jin Jin berubah menjadi amat serius, pelan-pelan dia
berkata:
"Semenjak lo wancu mendirikan kebun ini belum pernah ada umat
persilatan yang begitu berani masuk keluar dari kebun ini sekehendak
hati sendiri, bila Sun sauhiap sekalian juga menyerbu masuk dengan
kekerasan, maka aku..."
" J i k a Sun sauhiap mohon ber t emu dengan t at a cara adat
i s t iadat y ang ber laku ? " sela Bi Kui . J in j in memandang
sek ejap k earah Bi Kui , lalu ber k at a:
"Sejak kemarin malam dia sudah menyebarkan kekuatannya untuk
mengawasi gerak-gerik kebun ini, lama sekali mereka belum juga pergi,
beginikah cara bertemu menurut tata cara adat istiadat orang persilatan
?"
Bi Kui tak mampu menjawab, terpaksa dia menundukan kepalanya
rendah-rendah. Pada saat itulah Im kiok buka suara : "Wan cu, budak
handuk melaporkan sesuatu!"
Jin-Jin mengalihkan pandangannya memperhatikan Mao Tin hong
dikejauhan sana, lalu menyahut:
"Katakanlah, ada urusan apa?" "Maaf bila budak berterus terang,
bukankah Sun sauhiap sekalian
tahu kalau Wancu hendak bertemu dengan manusia yang lupa budi itu
ditelaga Tong ting ou? Bahkan Sun tayhiap pun merasakan bagaimana
perahu itu dimuati obat peledak..."
"Bicara yang penting-penting saja, yang sudah lewat tak perlu
disinggung Iagi!" tukas Jin Jin setengah membentak.
Im Kiok mengiakan, diapun berkata lagi. "Wancu, maksud budak
oleh karena berbagai peristiwa tersebut
membuat Sun sauhiap meningkatkan kewaspadaannya dalam
menghadapi setiap masalah, bagaimana mungkin mereka bisa tahu kalau
peristiwa ini tidak melibatkan Wancu secara langsung?"
Perkataan ini segera menyadarkan Bi Kui maka dengan cepat dia
menyela:
"Betul Wancu, sebelum Sun sauhiap sekalian memahami keadaan
Wancu yang sebenarnya, tentu saja dia akan menganggap hingga kini
Wancu masih membelai bajingan she Mao itu, maka..."
Jin jin segera mengulapkan tangannya sambil menukas: "Perduli
bagaimanakah jalan pemikirannya sudah sepantasnya
jika mohon bertemu dengan menggunakan peraturan dunia parsilatan."
Bi Kui memandang sekejap kearah Im Kiok kemudian tidak banyak
berbicara lagi, Im Kiok masih saja bertanya lagi: "Lohoa biau bersama
Tarsi dan Saila..."
Jin jin mendengus sambil menukas: "Kau benar-benar pikun, mereka
adalah mereka, Sun Tiong lo adalah Sun Tiong lo, mereka datang
bertemu dengan menggunakan sumpah darah dari adat Biau, sudah
barang tentu kejadian tersebut sama sekali berbeda..."
"Tapi menurut lo hoa biau, Sun sauhiap sekalian adalah sahabat
sahabat yang dia undang datang ?" tukas Bi kui.
Kembali Jin Jin tertawa dingin. "Heh... heeh... heeh... aku hanya
bekerja menurut peraturan dan
adat bangsa Biau, jadi aku hanya mengijinkan Lo hoa biau mempunyai
dua orang pembantu, yakni Tarsi dan Saila, sedangkan Sun Tiong lo
sekalian adalah bukan."
Setiap patah katanya diucapkan dengan tegas, memaksa Im kiok dan
Bi kui hanya bisa membungkam dalam seribu bahasa.
Sementara itu, Mao Tin hong yang terkurung didalam barisan selain
tenang dan santai bahkan duduk diatas tanah.
Sekarang dia sudah mengerti bahwa pemandangan yang disaksikan
olehnya hanya pandangan semu, maka dia bersikap lebih hati-hati,
orang mengira dia sedang duduk bersantai padahal otaknya tak pernah
berhenti untuk mencari bagaimana bisa menemukan akal guna melarikan
diri.
Mula-mula dia berpikir setelah memasuki lorong rahasia tadi, dia bukan
berjalan ke arah tenggara melainkan lurus ke depan sejauh beberapa
kaki, dalam hal ini dia percaya tak bakal saIah. kalau toh hal ini tak
keliru, berarti beberapa kaki di belakang tubuhnya merupakan mulut gua
lorong dimana dia munculkan diri tadi, sedang tempat yang berbahaya
berarti terletak hanya tiga kaki dibelakang tubuhnya.
Berpikir demikian, Mao Tin hong sangat gembira, sedemikian girangnya
sampai tak terlukiskan dengan kata-kata.
Namun dia mengerti gardu yang nampaknya amat jauh itu bisa jadi
hanya berjarak sampai lima kaki saja dihadapannya, maka walaupun
hatinya gembira namun tak sampai di-perlihatkan keluar.
Seandainya berganti orang lain, saat ini mereka pasti sudah mulai
bertindak.
Namun Mao Tin hong memang manusia luar biasa, dia lain daripada
yang lain, hingga kini tubuhnya masih tetap tak berkutik ditempat
semula.
Menyusul kemudian ia mulai memikirkan langkah yang kedua, dia
percaya setelah gua itu ditemukan maka dia pasti dapat kabur melalui
jalanan semula.
Tapi, bukankah pintu masuk diluar sana sudah tersumbat ? Apakah hal
ini bukan berarti jalanannya sudah buntu?
Berpikir sampai di situ, mendadak muncul setitik harapan didalam
hatinya.
BetuI! Yaa betul! Tak usah melalui pintu masuk yang semula... Tapi,
tanpa melalui jalan semula, bagaimana mungkin dia bisa
meloloskan diri? Sambil bertopang dagu, dia tetap duduk bersantai,
siapapun
yang melihat sikapnya sekarang pasti akan mengira dia akan bertahan
lebih jauh.
Padahal siapa yang menduga kalau otaknya justru sedang diputar tiada
habisnya untuk mencari seribu macam akal.
Kurang lebih sepertanak nasi kemudian, dia mulai menggeliat dan
merogoh ke sakunya.
Psau belati sakti yang tak pernah berpisah dari pinggangnya masid
berada ditempat, senjata mustika yang tajamnya luar biasa itu
memberikan harapan baginya, membuat rasa percayanya pada
kemampuan sendiri makin meningkat.
Dia sudah bersiap-siap melakukan tindakan maka pelan-pelan dia
bangkit berdiri.
Untuk menutupi gerakan yang hendak di lakukan, dia harus berusaha
mengelabuhi orang lain lebih dulu.
Tiba-tiba ia menuding ke arah Jin jin sambil berseru: "Jin jin aku
hendak berbicara denganmu !" Jin jin segera memberi tanda kepada
Bi Kui untuk mewakilinya
menjawab, sebab dia sudah tak sudi lagi berbicara dengan Mao Tin
hong.
"Bila ingin berbicara, katakan saja dengan cepat!" seru Bi Kui kemudian.
"Aku menghendaki Jin-jin yang menjawab!" Bi Kui mendengus.
"Hmmm! Wancu sudah bilang, sejak sekarang dia taa akan sudi
berbicara lagi dengan bajingan macam kau !" Mao Tin hong
menyeringai seram. "Bi Kui, biIa aku dapat lolos dari barisan ini kau
mesti berhati-hati
!" ancamannya. "Lolos dari kepungan ini ?" jengek Bi Kui sambil tertawa,
"nampaknya kau sedang bermimpi disiang hari bolong !"
Tujuan yang sebenarnya dari Mao Tin hong adalah untuk memancing
perhatian orang banyak, maka perkataan apa pun harus dia utarakan
seperti ini agar lebih menarik perhatian orang.
Setelah tertawa seram katanya lagi: "Coba saksikan sendiri nanti,
jangan kau anggap hanya dengan
pemandangan semu yang berjarak beberapa kaki saja, maka kalian
dapat menipu lohu habis-habisan, sekarang juga akan kubuktikan
kelihayanku untuk kalian semua !"
Selesai berkata, dia lantas menyentilkan jari tangannya ke arah gardu.
Padahal gardu itu nampaknya berada amat jauh sekali, mustahil tempat
sejauh itu bisa tercapai oleh sentilan jari tangannya...
Tapi manusia memang makhluk yang aneh, seperti orang dewasa
membohongi anak kecil saja, pura-pura melemparkan cawan ke arah
lawan, meski orang tahu kalau hanya di tipu toh tanpa disadari
tangannya digerakkan juga untuk menyambut.
Oleh sebab itu Jin Jin yang berada dalam gardu itu selain mendengus
dingin dan sama sekali tidak melakukan tindakan apapun, toh tanpa
disadari badannya bergerak juga seolah-olah hendak menghindari
sesuatu.
Pada dasarnya Mao Tin hong memang bertujuan menggertak orang,
sedikit kekuatanpun tidak disertakan dalam gerakan mana, melihat Bi
Kui, Im Kiok dan sekalian dayang menunjukkan wajah terperanjat,
kontan saja dia tertawa terbahak-bahak.
Ditengah gelak tertawa tersebut, serunya lantang. "Jangan takut,
jangan takut, laho hanya menggoda kalian saja !" Im Kiok sangat
marah, segera bentaknya. "Mao Tin hong, kematian sudah berada di
depan mata, kau
masih saja..."
Belum selesai dia berkata Mio Tin-hong sudah menyentil lagi ke arah
gardu sambil membentak.
"Kita buktikan saja siapa yang bakal mampus lebih dulu... !" Kali ini
para dayang ini tidak takut lagi, sebab mereka tahu kalau
gerakan mana hanya tipu muslihat belaka. Siapa tahu kali ini berbeda
sekali dengan yang semula gerakan
menyentil itu bukan hanya gertak sambal belaka. Menyusul sentilan jari
tangan dari Mao Tin hong itu, nampak
serentetan cahaya tajam melesat ke tengah udara dan persis meledak
dekat tiang pilar dalam gardu tersebut.
Diiringi ledakan dahsyat yang menggelegar, tampak api dan asap
membumbung tinggi ke-angkasa.
Menyusul kemudian kembali meluncur datang serentetan cahaya tajam,
sekali Iagi terdengar ledakan keras, seluruh gardu itu tahu- tahu sudah
terselimut oleh asap yang tebal.
Jin Jin tahu kalau peluru yang dibawa Mao Tin hong tidak banyak
jumlahnya, kepada para dayang dia cepat berseru:
Jangan takut, peluru tersebut tak mungkin dapat memasuki gardu kita!"
Benar. ke dua peluru itu hanya meledak di pilar bagian luar dari gardu
tersebut, sekalipun asap amat tebal namun tak berhasil menembusi
gardu.
Dari sini dapat disimpulkan kalau gardu itu mempunyai pelindung lain.
Setelah asap menipis dan api mengecil, pandangan disekeliling tempat
itu pun dapat terlihat kembali.
Api sudah padam, asap telah membuyar, segala sesuatunya sudah
berubah seperti seperti sedia kala.
Tapi aneh ditengah lapisan kabut yang tebal itulah Mao Tin hong sudah
hilang lenyap secara aneh.
Kenyataan tersebut kontan saja mengejutkan kawanan wanita yang
berada disana.
B i K u i y a a g p e r t a m a t a m u b e r s e r u t e r t a h a n
l e b i h d u l u . " W a n c u , d i a . . . d i a t e l a h k a b u r ! " " l a
b i s a k a b u r k e m a n a ? A n e h ! " s e r u I m K i o k p u l a
s a m b i l
mengawasi keadaan disekeliling tempat itu, Jin-jin tidak menjawab,
hanya sorot mata nya dialihkan ke
tempat dimana Mao Tin bong semula berdiri. Selang berapa saat
kemudian. Jin-jin baru mendengus dingin
sambil berseru: "Benar-benar manusia yang licik dan berakal busuk, kau
terlalu
memandang rendah aku!" Mendengar ucapan tersebut, Bi Kui segera
bertanya. "Apakah Wancu tahu ke manakah dia telah melarikan diri ?"
Jin-Jin manggut-manggut. "Dia sudah kabur kembali kedalam lorong
rahasia tersebut !"
sahutnya. Im Kiok berkerut kening. "Seluruh angkasa sudah tertutup
rapat, lorong rahasia itu tak
mungkin bisa dipakai untuk melarikan diri, sekalipun dia dapat balik
kesitu, masakah dapat kabur dengan selamat?"
"Dalam hal ini dia sendiripun tidak begitu yakin, mungkin dia
beranggapan dengan kembalinya ke lorong rahasia, berarti kesempatan
buat hidup jauh lebih besar daripada tetap berada disini"
"Wancu, dalam lorong bawah tanah itu meski terdapat berbagai jebakan
namun belum cukup untuk membekuk bajingan busuk itu, sekarang dia
sudah kabur kedalam lorong tersebut terpaksa kita hnrus membiarkan
dia mati kelaparan disitu !"
Jin jin tertawa. "Kalian anggap aku tak mampu membekuknya.
Buru-buru Bi Kui menyahut: "Sebelum Wancu terkena
sergapannya, tentu saja mampu untuk membekuknya tapi sekarang..."
"Aku tetap punya akal, cuma harus menggunakan tenaga lebih
banyak..." kata Jin jin sambil mengulapkan tangannya.
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia menyambung lebih jauh:
"Disini sudah tak ada urusan Iagi, sekalipun dia muncul kembali
dari mulut gua dan ingin menyerbu barisan inipun hal tersebut tak
mungkin bisa terjadi, sekarang kita perlu menuju kedepan sana dan
coba lihat apa yang hendak dilakukan oleh Sun Tiong lo..."
Bi Kui dan Im Kiok saling bertukar pandangan sekejap, kemudian
dengan lm Kiok yang mendorong kereta dorong Jin jin, pelan-pelan
mereka menuruni gardu tersebut dan bergerak menuju kesisi kiri
barisan tersebut.
Yang tersisa kini hanyalah kobaran api yang berkedip di tengah barisan,
segala sesuatunya telah pulih kembali seperti sedia kala, bayangan
tubuh Jin-jin dan kawanan perempuan itupun sudah lenyap tak
berbekas.
Dalam ruang tamu Pek hoa wan yang megah, Jin jin duduk ditengah
ruangan dengan para pelayan berderet di kedua belah sisi ruangan,
mereka sedang menyambut kedatangan para pendekar dengan tata
cara yang hikmat.
Sun Tiong-lo duduk disamping tuan rumah, dia sedang menunggu
jawaban dari Jin-jin.
Disisi kiri Jin-jin berdiri Bi Kui. di kanan ada Im kiok, dua orang dayang
muncul menghidangkan air teh.
Beberapa saat kemudian Jin jin baru berkata:
"Sayang sekali kami tak sempat bersua dengan sauhiap sekalian
sewaktu berada di telaga Tong ting-ou tempo hari!"
Dengan hormat sekali Sun Tiong lo membungkukkan badannya lalu
menjawab.
"Aku pun berpendapat sama, sudah lama mengagumi nama besar
Wancu."
Jin-jin tersenyum. "Ji sauhiap, kedatangan kalian sudah terlambat
beberapa hari !"
katanya kemudian. "Oooh bolehkah aku tahu apa yang Wancu
maksudkan ?" Sun
Tiong lo bertanya. "Sekarang Mao Tin hong sudah terjurumus dalam
keadaan yang
amat bahaya!" "Boleh aku tanya Wancu, apakah dia bisa mampus
setiap saat ?"
Sun Tiong-lo berkerut kening. Jin jin mengangguk. "Yaa, begitulah yang
kumaksudkan !" Sun Tiong lo termenung lagi beberapa saat, kemudian
dia
berkata lebih jauh. "Aku siap mendengar penjelasan dari wancu!" "Mao
Tin hong berambisi besar dan berhati buas, setelah
menyergap dan mencelakai diriku, dia ingin menguasai Pek hoa wan ku
ini, maksudnya dia hendak mempergunakan barisan dari kebun kami
untuk menghadapi sauhiap sekalian!
"Kalau toh dia begitu tak berperasaan dan tak mengenal budi, tentu saja
aku tak dapat membiarkan dia bebas merdeka dengan begitu saja maka
kupancing dia memasuki barisan tersebut, walaupun ditengah jalan dia
menyadari bahaya dan menghindar..."
Belum habis perkataan tersebut diutarakan? Bau ji sudah tak tahan, dia
segera menukas:
"Kalau toh sudah menghindar itu berarti dia belum masuk perangkap
bukan?"
Jin-jin mengerling sekejap kearah Bau ji, kemudian menjawab kembali:
"Benar, sekarang dia sudah terkurung dalam suatu lorong bawah tanah,
ujung yang satu sudah tersumbat sama sekali sehingga malaikat pun
jangan harap bisa lewat, sedangkan bagi yang lain berhadapan dergan
barisan, bila berani menyerbu keluar berarti jiwanya akan melayang!"
Bau ji segera melompat bangun sambil berkata. "Tolong Wancu suka
memberi petunjuk kepada kami dimanakah
lorong bawah itu terletak..." "Mau apa kau ?" tegur Jin jin sambil
berkerut kening. "Tentu saja hendak membalas dendam!" Bau ji
nampak agak
terpengaruh emosi. Jin jin berkerut kening makin kencang, katanya
lebih jauh. "Jadi maksud Sun sauhiap, kau hendak turun tangan di
dalam
Pek hoa wan kami ini?" "Di mana dia berada, disitulah aku akan turun
tangan!" jawab
Bau ji dengan cepat. Jin-jin segera mengalihkan sorot matanya ke
wajah Sun Tiong lo,
kemudian ujarnya lebih jauh: "Ji siuhiap dan kakakmu sungguh
berbeda...." "Harap wancu tak usah kuatir" cepat cepat Sun Tiong lo
berkata,
"betapa pun dalamnya rasa benci dan dendam kami dengan saudara
Mao Tin hong, selama kami masih berada di tempat ini dan belum
memperoleh ijin dari Wancu, tak mungkin kami akan turun tangan
secara sembarangan...!"
Pelan-pelan paras muka Jin Jin berubah jadi tenang kembali sesudah
tersenyum dia berkata:
"Aaah, tak berani ilmu silat sauhiap berdua amat liehay, sedang para
pendekar yang lainpun merupakan jago kelas satu dalam dunia
persilatan, aku tidak lebih hanya seorang wanita lemah, aku tak
berani..."
-oo0dw0ooo-
Jilid 44
”BUKAN BEGITU maksud perkataan kami tadi." Sun Tiong lo berkata
serius. "Wancu berhak atas segala sesuatu yang berlangsung dalam
wilayah kekuasaannya, jadi kami merasa wajib untuk meminta ijin
kepadamu."
Kembali Jin jin tertawa. "Mana, mana, sekalipun aku benar-benar
menampik, mungkin
saja sauhiap sekalian akan memaksa dengan kekerasan !" Sun Tiong lo
segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Aah, tidak mungkin,
kami pasti akan mohon persetujuan dan
pengertian lebih dulu dari Wancu" Jin jin menghembuskan napas
panjang. "Padahal dergan tenaga dalam yang dimiliki sauhiap, hal ini
tak
perlu dilakukan !" Bau ji berkerut kening, mendadak dia menyela dari
samping
dengan suara keras: "Wancu, bolehkah aku bertanya, dapatkah kami
turun tangan
dengan segera ?" Sun Tiong lo kuatir Jin Jin akan berubah pikiran,
maka cepatcepat
tegurnya kepada Bau ji:
"Toako, persoalan semacam ini tak perlu dilakukan secara tergesa-gesa,
bagaimana kalau aku rundingkan dulu dengan Wancu ?"
Bau ji tidak menjawab, dia cuma manggut-manggut berulang kali.
Jin jin yang menyaksikan kesemuanya ini tanpa terasa segera berkata:
"Sauhiap bersaudara saling hormat menghormati, kejadian ini sungguh
patut dikagumi dan disanjung..."
"Aaah. mana, mana . ." Sun Tiong lo merendah. Kemudian setelah
berhenti sejenak dia baru berkata lebih jauh: "Apakah Wancu
mempunyai kesulitan dalam memberi petunjuk
dimana letak lorong bawah tanah tersebut?" "Apakan menurut sauhiap,
aku harus memberi petunjuk?" Jin jin
balik bertanya. Sun Tiong lo segera tertawa. "Bukanya harus atau tidak,
yang paling penting dapatkan atau
tidak." "Mana... mana, menurut siauhiap dapatkan aku memberitahukan
tempat tersebut kepadamu ?" Jin jin balas tertawa. Sun Tiong lo
memang tidak malu disebut seorang pendekar
sejati, dengan serius dia berkata. "Bila aku yang menghadapi
pertanyaan ini, maka aku akan
menjawab. "Tidak dapat..." Bau ji menjadi tertegun setelah
mendengar-perkataan ini, tanpa
terasa dia berseru: "Jite, kau..." "Coba toako bayangkan." sela Sun
Tiong lo cepat, "sebagai
seorang Wancu ternama, mana dia tak berkemampuan untuk
membekuk sendiri manusia yang munafik dan tidak mengenal budi itu
sehingga memerlukan bantuan dari orang luar?"
Jin jin segera tertawa terkekeh-kekeh. "Haahh... haaahh.. sekarang
aku baru tahu saja Ji sauhiap
memiliki kepandaian silat yang sangat lihay, dalam tehnik berbicarapun
kau mempunyai kelebihan yang mengagumkan, sungguh membuat aku
kagum setengah mati."
"Wancu terlalu memuji!" Sun Tong lo tertawa. Jin-jin merenung
sejenak, lalu dengan suara yang dalam dia
berkata lagi: "Terus terang saja kukatakan, aku memang bermaksud
demikian,
Mao Tin hong berani menganiaya aku. membakar rumah tinggalku,
membunuh dayangku. aku harus menangkapnya hidup-hidup untuk
dijatuhi hukuman yang setimpal..."
Kembali Bau ji hendak buka mulut, tapi Hou ji segera mencegahnya
sambil berbisik:
"Tak ada gunanya banyak berbicara sekarang, mengapa kita tidak
saksikan bagaimana Siau liong menghadapi keadaan tersebut..?"
Bau ji berbisik pula: "Kita harus mencincang bajingan she Mao
tersebut, bila dia
sampai berhasil membekuknya..." "Apa sih faedahnya berdebat pada
saat ini?" tukas Hou ji,
"apalagi bagaimanakah situasi nya masih belum diketahui" Bau ji tidak
berbicara lagi, dia lantas membungkam dalam seribu
bahasa. Sementara Sun Tiong lo sedang berkata kepada Jin jin: "Hal ini
sudah merupakan suatu keharusan bagi Wancu, sudah
barang tentu aku tak akan mengajukan permintaan yang berlebihan tapi
kami masih tetap berharap kepada Wancu agar mengijinkan
kami semua untuk menyaksikan cara kerja Wancu didalam usaha
membekuk bajngan tersebut."
"Ooooh... hal ini dikarenakan Sauhiap tidak percaya kepadaku, atau
sauhiap menganggap aku tidak becus dalam menangkap orang?"
Sun Tiong lo hanya tertawa belaka tanpa menjawab, hal ini membuat
Jin jin segera mengerdipkan matanya berulang kali.
Mendadak.... Dari sisi telinga Jin jin berkumandang suara bisikan:
"Jalan darah disebagian tubuh Wancu tertotok, apakah hal
tersebut dikarenakan ulah dari bajingan Mao ?" Mendengar ucapan itu,
berubah hebat paras muka Jin jin, tanpa
terasa dia mengalihkan sorot matanya ke wajah Sun Tiong lo. Manyusul
kemudian terdengar suara bisikan tadi berkumandang
lebih jauh: "Aku tak ingin membiarkan para rekanku tahu jika Wancu
sudah
tak mampu bergerak lagi sekehendak hati sendiri, maka itulah sengaja
aku berbisik dengan ilmu menyampaikan suara, bila betul demikian aku
akan segera mencari alasan untuk mengundurkan diri lebih dulu.
"Bila kami mengundurkan diri nanti, harap Wancu mencari alasan untuk
menahan diriku seorang ditempat ini dan mengantar rekan- rekan
lainnya ke kamar penerima tamu, aku mengerti ilmu pertabiban, siapa
tahu kalau aku bisa membebaskan dirimu dari pengaruh totokan
tersebut ?"
Sekali lagi nampak Jin jin tertegun, bahkan terlintas pula perasaan
gembira.
Baru saja dia hendak bertanya bagaimana dia mesti berbicara,
mendadak Sun Tiong lo telah berkata:
"Beglni saja, untuk sementara waktu aku akan mengundurkan diri lebih
dulu, silahkan Wancu mempertimbangkan hal tersebut masak-masak
kemudian baru memberi kabar, entah bagaimana pendapatmu?"
Jin jin mengerdipkan matanya berulangkali, kemudian menyahut:
"Begi... begitupun ada baiknya juga" Maka Sun Tiong lo sekalian
segera bangkit berdiri dan mohon
diri. Sewaktu rombongan tersebut hampir mencapai pintu, seperti apa
yang dipesankan Sun-Tiong lo tadi, Jin jin segera bsrseru: "Harap Ji
sauhiap tunggu sebentar!"
"Silahkan wancu berkata!" Sun Tiong lo segera membalikan badannya.
Jin Jin berlagak termenung sebentar, kemudian baru berkata: "Harap
para pendekar beristirahat dulu di-kamar penerima tamu
sedang Ji sauhiap tunggu sebentar lagi, siapa tahu dalam perbincangan
yang lebih mendalam, kita bisa mengambil jalan tengah."
"Nah, ini dia yang sangat kuharapkan, akan kuturuti tanpa membantah."
dengan cepat Sun Tiong lo berseru.
"Tidak" dengus nona Kim tiba tiba, "akupun akan tetap tinggal disini."
Sun Tiong lo yang mendengar perkataan tersebut, buru-buru
menyambung:
"Adik Kim, temanilah para jago, sebentar saja aku akan kembali
keruang penerima tamu."
Kemudian setelah terhenti sejenak, dengan ilmu menyampaikan suara
ia berbisik:
"Dia sudah terkena serangan gelap dari bajingan Mao, aku bermaksud
menolongnya agar bisa memperoleh kesempatan untuk membekuk
bangsat tersebut!"
Kini nona Kim baru mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, maka
diapun berkata:
"Baiklah, cuma kau harus cepat balik lho..." Sun Tiong lo
manggut-manggut sambil mengiakan, maka para
jago pun diiringi pelayan wanita berlalu dari ruangan tersebut. Menanti
semua jago sudah berlalu dari hadapan mukanya, Sun
Tiong lo baru balik kembali ke tempat duduknya semula. Jin jin
memandang sekejap para pelayan yang berada dikiri dan
kanan, mendadak ujarnya sambil mengulapkan tangan: "Kecuali Bi kui
kalian semua mundur dari ini!" Para pelayan mengiakan dan serentak
mengundurkan diri dari
ruangan. Kembali Jin jin berpaling ke arah Bi Kui sembari berkata:
"Ruangan dalam sudah hancur, doronglah aku masuk ke ruang
rahasia dari ruang tengah ini!" Bi Kui tertegun setelah mendengar
ucapan itu, bisiknya dengan
cepat: "Wancu, mengapa dihadapan musuh kau menyampaikan suruh
budak mendorongmu..." "Sejak tadi Ji sauhiap sudah tahu kalau jalan
darahku telah
ditotok orang!" tukas Jin jin tertawa. Berubah hebat selembar wajah Bi
kui setelah mendengar ucapan
tersebut. ”Kalau memang begini, bukankah keadaannya jauh lebih
menakutkan..?" dia berseru.
Sekali lagi Jin-jin tertawa.
”Bagaimana menakutkannya?" Bi Kui seperti hendak mengucapkan
sesuatu, namun akhirnya
diurungkan. Jin jin yang melihat hal mana dengan cepat menyambung:
"Apakan kau takut aku terjatuh ke tangan Ji Sauhiap?" "Harap wancu
maklum, mau tak mau budak harus mempunyai
pikiran demikian." "Tak mungkin, kalau Ji sauhiap hendak bertindak,
dengan
kepandaian silat yang dia miliki, mungkin aku sudah terjatuh
ketangannya sedari tadi, masa harus menunggu hingga sekarang?"
Merah padam selembar wajah Bi Kui karena jengah, dia lantas
manggut-manggut, ucapnya kepada Sun Tiong lo:
"Harap sauhiap memaafkan kelancanganku !" ”Tidak !" sahut Sun
Tiong lo serius, "demi kesetiaanmu terhadap
majikan, aku malah kagum dan hormat atas sikapmu ini." Dengan
tersipu-sipu Bi Kui menundukkan kepalanya rendahrendah
dan tidak berbicara lagi. ”Pergilah." perintah Jin jin kemudian.
"apa-lagi yang kau
nantikan?" Maka Bi Kui segera mendorong kereta duduk dari Jin jin
berangkat ke ruang rahasia. ^oo^dw^oo^ SEBUAH pembaringan
mungil dengan kelambu berwarna merah
jambu yang indah. Bau harum semerbak tersiar diseluruh ruangan.
Mendadak
terdengar keluhan lirih, menyusuI kemudian Jin jin meluruskan kakinya
dan pelan-pelan bangun duduk.
Sun Tiong lo yang bermandikan keringat sedang menyeka air keringat
sembari berkata.
"Untung saja tidak sampai menyia-nyiakan pengharapanmu." Dia
berdiri disamping pembaringan dengan sekulum senyuman
menghiasi wajahnya. Mendadak sebuah tangan yang lembut dan halus
mencekal
pergelangan tangannya. Baru saja Sun Tiong lo berkerut kening Jin jin
telah buka suara
dan berkata lagi. "Ji sauhiap, entah bagaimana caraku untuk
menyatakan rasa
terima kasihku kepadamu." Diam-diam Sun Tiong lo menghembuskan
napas panjang,
sekarang dia baru mengerti apa sebabnya Jin jin mencekal dirinya
barusan, ternyata ia berbuat demikian sebab terdorong oleh perasaan
terima kasihnya yang tebal. Maka dia lantas tersenyum.
"Wancu, bila kau menggunakan kata berterima kasih dalam hal ini,
bukankah hal tersebut kelewat asing namanya ?"
Jin jin tertawa getir. "Tidak, aku benar merasa berterima kasih sekali
sehingga sukar
terutarakan keluar..." Memandang tangan yang masih menggenggam
pergelangan
tangannya, Sun Tiong lo berkata lebih jauh: "Silahkan Wancu mencoba
untuk mengerahkan tenaga dalam,
coba kita lihat apakah ada halangan ?" Jin jin memalingkan sorot
matanya mengikuti arah pandangan
Sun Tiong lo, dengan cepat dia memahami apa gerangan yang terjadi
dengan wajah memerah buru buru dia menarik kembali tangannya,
kemudian sambil menundukkan kepalanya rendah rendah dia berbisik
lirih:
"Sauhiap maafkan kelancanganku." Sun Tiong lo merasa segan
untuk banyak berbicara, maka segera
serunya:
"Wancu lebih baik segera kau coba tenaga dalammu kemudian
bersemedi lah beberapa saat."
Jin Jin mengangguk sebagai jawaban. Kemudian setelah mencoba
mengerahkan tenaga dia berkata:
"Sudah sembuh, aku benar-benar sudah sembuh kembali." Sambil
berkata dia lantas melompat turun dari atas
pembaringannya. Pakaian yang sesungguhnya memang setengah
terbuka dan tidak
rapi, kini semakin terbuka lagi sehingga bagian-bagian tertentu nampak
menonjol keluar.
Buru-buru Sun Tiong lo membalikkan badannya kemudian berseru.
"Kalau toh Wancu sudah sehat kembali, aku ingin memohon diri lebih
dulu."
Jin jin hendak mengucapkan sesuatu, namun niat tersebut kemudian
segera diurungkan, dia memandang sekejap bayangan punggung Sun
Tiong lo, kemudian pesannya kepada Bi Kui yang berdiri di sisinya:
"Antarlah Sun sauhiap kembali ke kamar, siapkan pula hidangan dan
tempat tidur."
Bi Kui mengiakan dan berlalu dari situ. Sedangkan Sun Tiong lo
masih tetap membelakangi Jin jin
katanya: "Kuucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Wancu !" Jin
jin tertawa. "Sauhiap sudah boleh membalikkan badan, aku sudah
selesai
berpakaian." Sun Tiong lo tertawa dan membalikkan badannya kembali
kemudian katanya:
"Apakah Wancu masih ada pesan lagi ?" Jin jin menatap wajah Sun
Tiong lo lekat-lekat, kemudian
ujarnya: "Mengapa sauhiap tidak bertanya tentang masalah Mao Tin
hong
?" "Aku pasti akan bertanya, cuma bukan sekarang." sahut Sun
Tiong lo serius, "aku menolong Wancu membebaskan diri dari pengaruh
totokan karena aku bertindak demi kebenaran dalam dunia persilatan,
bila menolong disertai permintaan, itu namanya perbuatan yang tidak
terpuji !"
Jin jin semakin terharu dibuatnya, cepat dia berkata: "Aku mengira
tiada manusia Kuncu lagi didunia ini, siapa tahu
aku telah menjumpainya hari ini. baik, silahkan sauhiap beristirahat,
paling lama satu jam kemudian aku pasti akan mengirim kabar
gembira."
Sun Tiong lo tertawa sambil mengucapkan terima kasih, kemudian
mengikuti Bi Kui keluar dari ruangan rahasia tersebut.
Ditengah jalan tiba-tiba Bi Kui bertanya. "Sauhiap, ada beberapa
persoalan ingin kutanyakan kepadamu." "Ooh, silahkan nona ajukan
!" sahut Sun Tiong lo sembari
manggut-manggut. "Nona tadi, sesungguhnya apanya sauhiap?" Sun
Tiong lo tahu kalau nona Kim yang dimaksudkan oleh
dayang ini, maka sahutnya: "Dia adalah seorang rekan seperjuanganku,
sahabat
perempuanku yang paling karib!" "Ooh... betapa baiknya nasib dia."
Menggunakan kesempatan tersebut Sun-Tiong lo segera berkata
dengan cepat:
"Setiap manusia yang ada dikolong langit sesungguhnya bernasib sama.
asal kau menghadapinya dengan ketulusan hati serta kejujuran, maka
yang kau peroleh pun ketulusan hati serta kejujuran!"
Bi kui segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Aaah, belum
tentu demikian" serunya singkat, "buktinya sikap
Wancu kami terhadap Mao Tin hong boleh dibilang cukup tulus hati
dan..."
Tapi Sun Tiong lo segera menggelengkan pula kepalanya. "Sekarang,
mungkin memang begitu, bagaimana dengan
sikapnya dimasa lampau?" Perkataan ini ibarat sebuah tongkat besi
yang dipukulkan ke atas
kepalanya keras-keras, seketika itu juga membuat Bi Kui merasa amat
terkesiap.
Dengan cepat Sun Tiong lo berkata lebih jauh: "Aku tahu bahwa
nona sangat pintar, moga-moga saja kau dapat
bersikap tulus hati dan jujur terhadap orang yang kau kasihi dikemudian
hari, jangan melupakan jasa orang, dan janganlah karena suatu
kesalahan kecil berakibat melupakan jasa baiknya dulu. Ketahuilah lelaki
didunia ini bukan semuanya tidak berperasaan..."
Bi kui menundukkan kepalanya rendah-rendah tanpa berbicara,
agaknya dia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Setelah menghela napas panjang, Sun Tiong lo berkata lebih lanjut:
"Sangkoan tayhiap sama sekali tidak mendendam terhadap nona..."
Tertegun Bi kui mendengar ucapan tersebut, serunya dengan dengan
cepat agak keheranan:
"Siapa Sangkoan tayhiap itu ?"
"Dia bukan lain adalah Kwa Cun seng, kakak misan Mao Tin hong
sewaktu berada di-perahu dalam telaga Tong Ting ou tempo hari."
Merah membara selembar wajah Bi Kui setelah mendengar peristiwa itu
disinggung, kepalanya ditundukkan semakin rendah, teringat kembali
perbuatan cabul dan tindak tanduk jalangnya dimasa lampau,
bagaimana mungkin dia tidak jengah dibuatnya ?
Bagaimanapun jalangnya Bi kui dimasa lampau, dia tak dapat
dibandingkan dengan kawanan pelacur dirumah-rumah hiburan, sebagai
perempuan, dia masih tetap mempunyai perasaan malu, dan perasaan
cinta pun tak bisa terhapus dengan begitu saja dari dalam hati kecilnya.
Memang dimasa lalu perbuatan Jin Jin mau pun Bi kui amat memalukan
kalau didengar dan menjengahkan bila dipandang semua perbuatan
serta tingkah lakunya boleh dibilang amat brutal, namun sekarang
sesudah sadar kembali dari impian, dia menjadi malunya bukan
kepalang.
Rasa malu yang bertubi tubi membuat ia semakin insaf akan kesalahan
besar yang pernah diperbuatnya di masa lalu.
Yaa, dalam keadaan begini, siapa pula yang bisa mengangkat kepalanya
?
Dia Bi Kui, hanya bisa menundukkan kepalanya dengan wajah tersipu
sipu, lalu sahutnya lirih.
"Sauhiap, harap kau sudi mewakili budak untuk mohonkan maaf yang
sebesar-besarnya kepada Sangkoan tayhiap !"
"Pasti akan kusampaikan." sahut Sun Tiong lo tertawa, "selanjutnya bila
nona membutuhkan bantuan dari kami semua, katakan saja secara terus
terang, dengan senang hati kami semua akan membantumu dengan
segala kemampuan yang kami miliki."
"Terima kasih banyak sauhiap atas kebaikanmu" Bi Kui betul- betul
merasa terharu dan terima kasih, "cukup menyaksikan pada bantuan
sauhiap sekalian untuk wancu kami, budak sekalian sudah merasa telah
banyak menerima kebaikan kalian"
Sementara pembicaraan berlangsung, mereka sudah tiba dimuka kamar
penerima tamo maka Bi kui segera mohon diri untuk mengundurkan diri.
Dengan perasaan yang tenang dan terbuka, Sun Tiong lo melangkah
masuk ke dalam ruangan penerima tamu dengan langkah lebar, Ketika
Bau ji sekalian menyaksikan dia sudah kembali, serentak pada
berkerumun untuk menanyakan keadaan.
Sun Tiong lo tahu bahwa semua orang telah mengetahui tentang
tertotoknya jalan darah Jin Jin dari mulut nona Kim, maka secara
ringkas dia menuturkan tindakan pertolongan yang telah dilakukan
olehnya dan sebagai akhir kata dia menambahkan
"Mungkin Wancu tak akan menampik permintaan kita untuk membekuk
bajingan she Mao tersebut."
"Kalau memang begitu, mengapa hal tersebut tak dikatakan
kepadamu?" tanya Bau ji.
"Dia telah menanyakan soal itu kepadaku, adalah aku sendiri yang tak
ingin membicarakan masalah tersebut dengan segera!"
"Oooh, apakah hal ini dikarenakan soal kepercayaan ?" Sun Tiong lo
manggut-manggut. "Yaa, kita membantu orang tanpa pamrih,
apakah kita mesti
menuntut balas jasa setelah menolongnya terbebas dari totokan..?"
"Betul, kalau begitu baiklah kita menunggu sampai dia
mengabarkan sendiri kepada kita" "Aku rasa, tidak seharusnya kita
mempercayainya dengan begitu
saja..." mendadak Sangkoan Ki berkata dengan kening berkerut
kencang.
Nona Kim melirik sekejap ke arah Sangkoan Ki, lalu bertanya. "Atas
dasar apa kau berkata demikian ?" "Sesungguhnya dia dan bajingan
Mao adalah sepasang suami
istri, di saat jalan darahnya tertotok, tentu saja hatinya marah
dan
dendam, tapi setelah jalan darahnya bebas, masa dia bersedia untuk
mengijinkan kepada kita guna membekuk bangsat itu?"
"Lantas bagaimana baiknya menurut pendapatmu?" tanya nona Kim
lebih jauh.
"Seharusnya kita menguasahi gerak-gerik mereka secara diam- diam."
Jangan dilihat Mo Kiau jiu adalah musuh bebuyutan Sangkoan Ki,
namun pandangannya terhadap masalah ini ternyata seirama dan
searah.
Tampak Mo Kiau jiu manggut-manggut sembari menimbrung: "Yaa,
betul! Memang seharusnya kita berbuat demikian!" "Tidak, bila kita
sampai berbuat demikian maka hal ini akan
menodai harga diri kita sendiri." tolak Sun Tiong lo tegas-tegas dengan
wajah serius.
"Bila menghadapi musuh, kita harus tahu lawan tahu diri dengan begitu
kemenangan barulah berada didepan mata, siapa berani menjamin
kalau Jin jin tidak mempunyai maksud tujuan lain?"
"Aku berani menjamin Wancu tak akan mempunyai maksud tujuan lain!"
Sun Tiong lo segera menegaskan.
Oleh karena pemuda itu sudah berkata demikian, sudah barang tentu
tiada orang yang berani berkata apa-apa lagi dan persoalan diputuskan
begitu.
^oo@dw@oo^ WALAUPUN malam itu tidak terlalu gelap, namun
suasana
diempat penjuru gelap gulita, sukar melihat pemandangan disekeliling
sana dengan nyata.
Sebab tempat tersebut merupakan lorong bawah tanah, sedikitpun tiada
cahaya luar yang dapat masuk kesana.
Maka Jin jin menitahkan kepada Bi Kui dan In kiok timuk
mempersiapkan sebuah lentera dan berdiri dikiri kanan untuk memasuki
lorong bawah tanah tersebut.
Mereka sedang melakukan pencarian yang lebih seksama lagi untuk
menemukan jejak Mao Tin hong.
Sudah barang tentu Jin jin sangat hapal dengan daerah sekitar lorong
bawah tanah itu, apalagi jalan menuju keruang bawah memang hanya
sebuah.
Setengah jalan sudah mereka tempuh, namun belum juga nampak
bayangan dari Mao Tin-hong.
Maju lagi beberapa langkah, dibawah cahaya lentera yang menyinari
sekeliling tempat tersebut, Jin jin segera menurunkan tangannya
mencegah In kiok dan Bi kui untuk maju lebih kemuka, katanya:
"Setelah membelok pada tikungan didepan sana lalu berjalan lima kaki
lagi, kita akan sampai dimulut gua yang disegel tersebut, aku menduga
bajingan she Mao itu bisa jadi bersembunyi ditempat kegelapan dekat
tikungan tadi, kita mesti meningkatkan kewaspadaan, hati-hati kalau
sampai tersergap olehnya."
"Wancu, ijinkanlah budak untuk berjalan dimuka." seru Bi kui tiba-tiba
sambil menyelinap kemuka.
Seandainya Mao Tin hong betul-betuI menyembunyikan diri dekat
tikungan tersebut dan apa bila Bi kui jalan di muka, maka apabila ada
sergapan, niscaya budak itu akan mati lebih duIu.
Tapi, begitu Mao Tin hong menampakkan jejaknya, niscaya dia tak akan
mampu untuk melepaskan diri lagi.
Jadi tindakan dari dayang ini boleh dibilang suatu langkah menyerempet
bahaya.
Dimasa lalu, sekalipun Bi-kui dapat pula berbuat demikian, tapi hal
tersebut sudah pasti dilakukan karena menjalankan perintah atau paling
tidak untuk mencari muka.
Berbeda sekali dengan hari ini, dia munculkan diri atas dasar kerelaan
serta kemauan sendiri tanpa paksaan ataupun mempunyai maksud
tujuan tertentu.
Tentu saja Jin jin tidak memperkenankan dayang kesayangannya itu
menyerempet bahaya, cepat cegahnya.
"Tidak usah, kita punya cara lain!" Berbicara sampai disitu,
mendadak Jin jin bergeser ke depan lalu
sekuat tenaga melepaskan sebuah pukulan dahsyat ke arah tengah
lorong.
Bila disitu ada orang sedang bersembunyi sudah pasti dia akan segera
menampakkan diri.
Siapa tahu walaupun serangan sudah dilepaskan namun tiada reaksi
apapun, rupanya lorong tersebut berada dalam keadaan kosong tanpa
seorang manusiapun.
Dibawah sorotan cahaya lampu, apa yang terpapar didepan mata
membuat Jin jin dan dayang-dayangnya menjadi melongo dan berdiri
kaku..
Pintu masuk menuju ke lorong masih tetap tertutup rapat, tapi pada
jarak tiga depa dari pintu masuk tersebut telah terbuka sebuah gua
besar, dari situlah cahaya matahari memancar masuk.
Sambil mendepak-depak kakinya ke tanah lantaran gemas, Jin jin
berseru:
"Aduh celaka, sudah pasti bajingan itu membawa pisau mestika yang
amat tajam. kalau tidak bagaimana mungkin dia bisa membuat pintu
lain untuk meloloskan diri ?".
"Ayo kita kejar, sudah pasti dia tak akan kabur terlampau jauh.
"Walaupun dia tak akan lepas dari wilayah Pek hoa wan, aku lihat
bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk menemukan jejaknya.
Alasan ini dapat dipahami oleh Bi kui maupun oleh Im kiok, Pek
hoa wan memang tidak mempunyai jalan keluar lain kecuali
melalui
satu-satunya jalan yang tersedia, sebab empat penjuru berupa bukit
terjal yang betul-betul berbahaya, jangan lagi manusia, burungpun
sukar melewati tempat itu.
Bila ingin kabur melalui tempat semula, berarti dia harus melewati
barisan lebih dulu, Mao Tin hong cukup memahami kelihayan dari ilmu
barisan tersebut dan menyadari akan- kemampuan sendiri, tak mungkin
dia akan menempuh jalan tersebut.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan kalau dia telah melarikan diri ke suatu
tempat diantara gerombolan bukit curam itu, justru karena itulah bukan
suatu pekerjaan yang gampang untuk menemukan seseorang diantara
tanah perbukitan yang luas itu.
Kini Mao Tin hong sudah kabur, berarti tetap tinggal dalam lorong pun
tiada gunanya, maka Jin jin mengulapkan tangannya dan tanpa
mengucapkan sepatah kata pun keluar dan lorocg rahasia tersebut...
Menanti dia sudah berada kembali di permukaan tanah, tanpa terasa
keningnya berkerut dan langkahnya terasa berat.
Rupanya untuk membalas budi kebaikan Sun Tiong lo yang lelah
menyembuhkan lukanya, selain itu diapun beranggapan bahwa dia akan
semudah merogoh barang dalam saku sendiri untuk membekuk Mao Tin
bong kali ini, maka dia memasuki lorong rahasia tersebut tanpa
mengundang para jago uatuk melakukan perjalanan bersama-sama.
Siapa sangka apa yang terjadi ternyata di luar dugaannya, Mao Tin
hong telah melarikan diri dari kepungan. Bagaimana mungkin dia bisa
menerangkan hal ini pada para jago?
setelah berpikir cukup lama, akhirnya dia memutuskan dalam hatinya,
dia bersumpah akan menangkap kembali Mao Tin hong dan
menyerahkannya kepada para jago.
Maka dengan wajah serius dia membalikkan badannya menggapai Im
kiok, lalu ujarnya:
"Pergilah ke ruang penerima tamu dan ceritakan keadaan yang
sebenarnya kepada Sun sauhiap, katakanlah bahwa aku telah membawa
semua anak buahku melakukan pencarian di sekeliling bukit ini setelah
mengetahui Mao Tin hong meloloskan diri dari kepungan.
"Bila ada diantara para jago yang menyindir atau mencemooh, bahkan
menghina aku, kau tak boleh ribut dengan mereka, cukup katakan
kepada Ji sauhiap, asal aku belum mati maka budi tersebut pasti akan
kubalas !"
Walaupun In kiok mengiakan berulang kali, namun dia sama sekali tidak
bergerak dari tempatnya semula.
"Wancu!" katanya kemudian, "empat bukit amat luas, sedangkan
daerah disitu berbahaya sekali..."
"Kalau berbahaya lantas kenapa?" tanya Jin jin sembari menarik muka,
"memangnya aku tak boleh kesana?"
"Menurut pendapat budak, bagaimana kalau Wancu mengundang
kedatangan Sun sauhiap agar datang sendiri kemari serta menerangkan
duduk persoalan yang sebenarnya, kemudian bergabung dengan para
pendekar, kita bisa memecahkan diri dalam beberapa rombongan uttnk
melakukan penggeledahan disekeliling bukit ini."
Jin jin segera tertawa getir. "Kalau sebelum datang ke lorong rahasia
ini kita memberi kabar
dulu kepada mereka, tentu saja kita bisa minta bantuan mereka untuk
melakukan pencarian bersama ke sekeliling bukit sini, tapi sekarang...
ibaratnya orang lagi makan empedu, walaupun pahit rasanya, namun
sukar untuk diutarakan."
"Apakah majikan kuatir bila para jago tidak percaya ?" sela Bi kui dari
samping.
Untuk kesekian kalinya Jin jin tertawa getir.
"Bila kau yang menghadapi persoalan seperti ini, apakah kau akan
percaya."
Dengan cepat Bi kui menyambung. "Bukan begitu persoalannya,
andaikan para jago tidak percaya
sekarang, sekalipun kita undang mereka tadi untuk bersama-sama
datang kemari, bila mereka jumpai orangnya sudah kabur, toh paling
tidak akan timbul kecurigaan dalam hatinya."
"Ehmm, betul juga ! Namun suasana waktu itu sudah pasti lebih mudah
dijelaskan daripada kita sekarang !"
Bi-kui tak ingin Jin jin menyerempet bahaya, dengan cepat ia berkata
lagi:
"Menurut pendapat budak, Sun Ji hiap adalah seoran yang berdada
lapang dan berpandangan luas, mustahil dia akan menilai seseorang
dengan jiwa kerdil, sudah seharusnya majikan-menuruti segala
sesuatunya dengan cara blak-blakan, kemudian kita baru berupaya
untuk melakukan pencarian terhadap bajingan she Mao tersebut..."
Tapi Jin jin sudah menggelengkan kepalanya kembali. "Sudahlah, kau
tak usah banyak berbicara lagi, aku sudah
menetapkan begini!" Sesudah berhenti sejenak, dia berpaling ke arah
Im kiok dan
ujarnya lagi sambil menggoyangkan tangannya berulang kali: "Ayo cepat
pergi, selesai menunaikan tugas itu kau boleh
menanti dalam kebun, bila menyaksikan bajingan Mao belum kabur
kedalam tanah perbukitan gunakan api lima warna dan sepuluh
dentuman untuk memberi kabar kepadaku !"
Menyaksikan keseriusan majikannya. lm kiok tak berani banyak
berbicara lagi dia mengiakan dan segera berlalu dari situ.
Dari kawanan dayangnya Jin jin pun memilih dua belas orang yang
bernyali paling besar tapi berilmu silat tinggi, lalu bersama Bi
Kui sekalian berenam bersama-sama berangkat ke bukit untuk
melakukan pencarian.
Sebelum berangkat meninggalkan tempat itu, terlebih dulu Jin-jin
mencoba untuk menelaah keadaan situasinya lebih dulu, kalau di tinjau
dari keadaan yang dilakukan Mao Tin hong sewaktu kabur, demi
keamanannya mungkin sekali dia akan kabur ke tanah perbukitan
disebelah barat.
Walaupun Jin jin berpendapat demikian, namun terlebih dulu dia
melakukan penggeledahan disekitar kebun, lalu mengikuti berbagai
petunjuk yang diperoleh dia menyimpulkan sembilan puluh persen Mao
Tin-hong sudah kabur ke bukit sebelah barat.
Maka iapun memimpin anak buahnya berangkat kearah barat untuk
melakukan pengejaran.
^oo@dw@oo^ Sun Tiong-lo mengundang masuk Im-kiok dan
menanyakan
duduk perkaranya. Sangkoan Ki yang mengetahui hal tersebut, sambil
mendengus
dingin segera ujarnya kepada Im kiok: "Nona, kenyataankah yang kau
katakan barusan." Im kiok sudah mendapat pesan dari Jin jin agar
menahan diri,
maka sahutnya gamblang: "Percaya atau tidak terserah kalian sendiri,
tapi yang jelas
majikan kami tak perlu membohongi kalian !" Mo Kiau jiu segera
tertawa terkekeh-kekeh, selanya tiba-tiba: "Nona, apa sebabnya
majikan kalian tidak memberi kabar lebih
dulu kepada kami sebelum memasuki ke lorong rahasia untuk
menangkap orang ?"
"BiIa kami bisa menduga sejak semula kalau ada kemungkinan bagi
bajingan she Mao tersebut untuk melarikan diri, sudah pasti ma jikan
kami akan mengundang saudara sekalian untuk berangkat
bersama kesana, cuma... bila kalian tidak menemukan orangnya
ditempat, masa kalian tak akan menaruh curiga pula terhadap kami ?"
Sangkoan Ki segera tertawa dingin. "Terus terang saja kalau
berbicara, bukankah majikan she Mao
itu adalah satu keluarga dengan majikan kalian..." "ltu dulu." tukas Im
kiok dengan suara gemetar. "sekarang Sun ji
sauhiap sudah paham, mereka berdua sudah menjadi musuh bebuyutan.
"Hmm, tadi majikan kalian pernah menerangkan kalau tempat
terkurungnya she Mao itu ibaratnya jaring langit jala bumi mustahil dia
bisa kabur, tapi kenyataannya dia sudah melarikan diri, apa salah jika
kami tak percaya?" kata Bau ji pula dengan suara sedingin es.
Walaupun Im kiok sudah mendapat pesan agar tidak ribut atau
membantah perkataan orang, namun dalam keadaan demikian sulit
rasanya untuk menahan sabar terus menerus.
Maka sambil berkerut kening dan memandang sekejap kearah Bau ji.
katanya dengan nada yang tinggi:
"Kejadian yang sesungguhnya telah kuterangkan, dan akupun telah
mendapat perintah dari majikanku agar tidak ribut atau membantah
perkataan kalian, pokoknva majikan kami bertujuan untuk mengikat tali
persahabatan dengan hati yang tulus, nah aku sudah selesai
berbicara..."
Perkataan "aku sudah selesai berbicara" itu dapat dirasakan oleh setiap
orang sebagai kata "mohon diri"
Sangkoan Ki segera memandang sekejap ke arah Mo Kiau jiu sembari
memberi tanda, kemudian ujarnya dengan cepat:
"Nona Im kiok, harap kau mendengarkan dulu sepatah
kataku."
Sekarang Im kiok sedih tahu kalau Sang-koan Ki adalah "Kwa
Cun-seng", terhadapnya boleh dibilang tidak menaruh kesan yang
terlalu baik.
Mendengar perkataan tersebut dengan kening berkerut dan nada
kurang sabar katanya "Silahkan Sangkoan tayhiap berbicara."
"Tolong tanya wancu saat ini berada dimana ?" tanya Sangkoan Ki
sambil tertawa.
"Majikan telah membawa kakak dan adikku untuk melakukan pencarian
disekitar bukit dengan maksud membekuk bajingan she Mao tersebut."
"Bolehkah lohu sekalian meninjau lorong bawah tanah yang pernah
dipakai untuk menyekap bajingan she Mao tersebut ?"
"Tentu saja boleh, mari !" sahut Im kiok. Selama ini Sun Tiong lo
hanya membungkam terus dalam seribu
bahasa, tiba-tiba dia mencegah semua orang untuk beranjak pergi
katanya:
"Saudara sekalian, aku sangat mempercayai perkataan dari nona In kiok,
Wancu telah bersikap terus terang kepadaku akupun tahu kalau
peristiwa tersebut berlangsung diluar dugaan, dalam keadaan terdesak
rupanya Wancu menitahkan kepada nona Im kiok untuk menyampaikan
kabar ini, sedang ia sendiri sedang memburu bajingan she Mao tersebut
!"
"Kepandaian silat yang dimiliki bajingan Mao itu sangat lihay.
kemampuannya luar biasa, sekalipun Wancu dan semua enghiong
perempuan lebih menguntungkan dalam soal posisi dan cepat atau
lambat pasti akan berhasil membekuk bajingan she Mao tersebut,
namun bila sampai terjadi pertarungan, sudah jelas Wancu masih belum
mampu untuk menandinginya."
"Sekarang, bajingan Mao sudah kabur dan menyembunyikan diri diatas
bukit, yang paling penting buat kita sekarang adalah membekuk tua
bangka tersebut secepatnya, sedangkan soal lorong
bawah tanah yang pernah dipakai untuk mengurungnya, lebih baik kita
periksa dikemudian hari saja !"
Pada hakekatnya Sun Tiong lo sudah menjadi pemimpinnya para jago
lainnya, setelah dia memberikan pemyataannya maka meski para jago
lainnya kurang setuju dengan pendapat tersebut, tak seorangpun yang
berani berbicara lagi.
Apalagi memang situasi sudah gawat dan mereka turut buru buru
membekuk buronan tersebut
Maka tanpa banyak berbicara lagi semua orang berangkat mengikuti
dibelakang Im kiok.
Tatkala mereka berjalan keluar dari ruang penerima tamu, Hou ji yang
pertama-tama menemukan sesuatu, katanya sambil menuding ke arah
bukit disebelah barat sana.
"Siau liong cepat lihat, dibukit sebelah barat terdapat serombongan
manusia!"
Mendengar seruan terhebat semua orang berpaling, lm kiok segera
berkata pula:
"Mereka adalah majikan kami bersama para saudara lainnya..." Sun
Tiong lo termenung sambil berpikir sejenak, kemudian dia
bertanya: "Apakah nona Im kiok akan turut ke situ?" Im kiok segera
menggeleng. "Majikan telah berpesan agar budak masih tetap tinggal di
sini
sambil berjaga-jaga meng hadapi segala kemungkinan yang tidak
diinginkan..."
Sun Tiong lo segera manggut-manggut "Kalau toh demikian harap
nona laksanakan perintah dari wancu
kalian."
Im kiok memandang sekejap ke arah rombongan manusia dibukit
sebelah barat sana, kemudian bertanya lagi:
"Bagaimana dengan sauhiap sendiri ?" Tentu saja Sun liong lo
memahami maksud hati Im kiok tersebut
maka sahutnya: "Aku hendak menyusul wancu sekalian agar bisa
bersama-sama
merundingkan tentang pengepungan." Agaknya Im kiok masih tidak
lega, cepat katanya kembali: "Untuk membalas budi kebaikan sauhiap,
Wan cu telah
melakukan hal tersebut, disaat dia menyaksikan bajingan Mao kabur dari
kepungan, dia sudah bertekad untuk membekuk buronan tersebut, akav
tetapi kepandaian silat yang dimiliki bajingan she mao itu..."
"Tak usah kuatir nona." tukas Sun Tiong lo "dengan cepat kami akan
berhasil menyusul Wan cu sekalian sedangkan didalam rencana kami
nanti sudah pasti tak akan memberi kesempatan kepada Wancu untuk
menyerempet bahaya."
Mendengar perkataan itu, Im kiok segera menjura dalam-dalam dengan
wajah serius:
"Sauhiap benar-benar berbudi luhur, budak merasa lega sekali setelah
ada janji dari sau hiap."
Sun Tiong lo tak ingin menerima hormat mana dengan cepat dia
berkelit kesamping sembari berkata:
"Silahkan nona berlalu, akupun akan segera naik keatas bukit." In
kiok mengiakan dengan hormat, maka Sun Tiong lo memimpin
para jago lainnya berangkat menuju ke bukit sebelah barat.
^oo^dw^oo^ TANAH perbukitan bersusun-susun, pohon dengan daun
yang
rindang dan lebat menyelimuti seluruh permukaan, kabut tebal
menyelimuti permukaan membuat suasana terasa menyeramkan.
Di permulaan musim kemarau ini, terlihat sesosok bayang manusia
sedang berkelebat lewat ditengah hutan belantara yang Iuas, dia
berlarian dengan langkah tergesa-gesa, bahkan kerap kali berpaling
kearah jalan semula.
Malam sudah tiba, suasana, gelap gulita, Dimana langit cukup bersih,
maka diapun kerap kali mendongakkan kepalanya untuk memperhatikan
letak bintang.
Orang ini tak lain adalah biang pembunuh Mao Tin hong yang sedang
melarikan diri.
Kemarin, dengan mengandalkan pedang mestikanya yang tajam, ia
berhasil membuat sebuah lubang ditepi pintu lorong yang tertutup dan
kabur dari situ.
Dia langsung kabur masuk ke jalan bukit dengan hutan belantara yang
sangat lebat itu.
Meskipun dia tahu kalau disekitar sana tiada jalan lewat, namun lebih
baik menghindari barisan yang tak berperasaan atau bertemu dengan
Jin jin yang sudah pasti menghadang disitu.
Ia pernah memperhatikan keadaan di belakang sana dan menentukan
pula jejak dari para pengejarnya, sekalipun kedua belah pihak belum
saling beriring, namun jaraknya hanya selisih setengah bukit.
Maka dia berubah arah tujuannya, dengan mengandalkan kepandaian
silatnya yang lihay dia mencoba untuk melewati sebuah tebing yang
curam dan beralih dari bukit sebelah barat menuju ke bukit sebelah
utara.
Sejak dia mengalihkan arahnya, beberapa kali Mao Tin hong mencoba
untuk melakukan pengintaian dari tempat yang tinggi, namun kali ini dia
tidak berhasil menemukan jejak para pengejarnya, meski hatinya jauh
lebih lega namun dia masih tetap kabur terus ke arah depan.
Sebab dia sudah mengambil keputusan, dari arah utara dia akan beralih
arah umur, bila demikian adanya maka dia akan bergerak ke
arah yang berlawanan dengan pengejarnya, siapa tahu dia berhasil
kabur dari kurungan dan kembali ke daratan Tionggoan?
Hari ini seharian penuh dia kabur terus tanpa berhenti, bukan saja tidak
nampak jejak para pengejarnya, burung atau hewan pun jarang sekali
dijumpai.
Pada mulanya dia masih belum merasakan apa-apa, tapi lama kelamaan
timbul juga suatu perasaan aneh dalam hatinya.
Mula pertama dia mendengus dulu suatu bau yang sangat aneh,
menyusul kemudian dia menyaksikan pepohonan dan tumbuhtumbuhan
yang hidup disitu berbentuk sangat aneh, warnanya putih
seperti susu tapi berdaun kering dan layu.
Tanpa terasa dia menghentikan perjalanan sambil berkerut kening.
Dengan pengalamannya yang sangat luas serta pemeriksaannya yang
seksana, hatinya segera dibuat amat terkejut.
Ia mulai teringat kembali dengan ucapan Jin jin dahulu, karena daerah
utara merupakan daerah yang berbahaya, terutama sekali daerah yang
mendekati arah timur, boleh dibilang merupakan wilayah yang terakhir
di wilayah Biau, belum pernah ada orang yang berani mendekati tempat
tersebut.
Menurut Jin jin, haI ini disebabkan dalam sekitar hutan belantara itu
terdapat sebuah kolam air yang luas sekali dengan kabut beracun yang
jahat menyelimuti sepanjang tahun, baik manusia ataupun hewan yang
melewati tempat itu pasti akan tewas tanpa ampun.
Sekarang dalam tergesa-gesanya untuk melarikan diri, ternyata dia
sudah mendekati daerah berkabut beracun itu.
Masih untung dia cepat menyadari akan hal ini, sekalipun sudah
melewati ujung dari daerah berbahaya tersebut untungnya saja masih
belum masuk lebih ke dalam, bila dia mundur sekarang juga, sudah
barang tentu jiwanya akan tetap selamat.
Dan untung pula para pengejar belum mencapai ditempat itu. sehingga
diapun tak usah berpikir dengan terburu napsu.
Tapi setelah dia memikirkan persoalan itu lebih seksama hatinya mulai
gugup dan bingung.
Sebetulnya dia berencana untuk kabur dari utara menuju ke arah timur,
dengan demikian dia dapat menghindari barisan yang maha dahsyat
tersebut.
Tapi kenyataan yang terbentang didepan mata sekarang menunjukan
bahwa hal tersebut tidak mungkin bisa terlaksana.
Bila dia ingin berbelok kearah timur melalui tempat itu, maka
pertama-tama harus dapat menembusi jantung kabut beracun tersebut
lebih dahulu, atau dengan perkataan lain jangan harap bisa menuju
kearah timur melalui daerah utara.
Kalau cara ini tak bisa terwujud, berarti tinggal satu jalan lagi yakni
mundur kearah ke arah utara atau dari barat lari kearah selatan namun
cara inipun mustahil bisa dilakukan oleh Mao Tin hong, sebab para
pengejar sedang berpusat dikedua daerah tersebut.
Dengan demikian ia betul-betul berada dalam posisi terjepit maju tak
bisa mundurpun tak dapat, untuk sesaat diapun menjadi tak tahu apa
yang mesti dilakukan.
Untung saja para pengejarnya belum sampai menyusuI ke sana, berarti
dia masih punya waktu untuk berpikir sebentar, maka dia pun mundur
sejauh beberapa li, mencari tempat untuk berteduh dan mulai memutar
otaknya.
Lama-lama kemudian akhirnya dia harus mengambil keputusan dengan
cermat, oleh karena maju terus berarti mati, maka dia memutuskan akan
balik saja ke belakang, siapa tahu kalau perjalanan bisa ditempuh,
dengan sangat berhati-hati tindakan ini justru diluar dugaan orang Iain
?.
SeteIah mengambil keputusan meski sudah sangat lelah namun demi
keselamatan terpaksa dia harus berangkat pada malam itu
juga,dengan langkah yang ringan dan berhati-hati, dia meneruskan
kembali perjaIanannya.
Mengetahui dirinya sudah terjerumus didaerah kabut beracun, dalam
beberapa pertimbangan kemudian Mao Tin hong terpaksa lurus balik
melalui jalan semula, dia harus menanggung resiko bertemu dengan
musuh ditengah jalan..
Sementara perjalanan masih di tempuh, mendadak Mao Tin hong
mendengar suara manusia sedang berbicara.
Bila ada manusia sedang berbicara ditempat ini, tanpa berpikir dua kali
Mao Tin-hong segera menyangka sebagai Jin jin dengan anak buahnya
atau kalau bukan tentu Sun Tiong lo dengan para jago lainnya.
Dengan perasaan tercekat, buru-buru dia kabur ke belakang sebatang
pohon besar dan menyembunyikan diri disana.
Memang mengenaskan sekali, seorang pentolan dunia persilatan yang
pernah disanjung dan dihormati oleh umat persilatan di seluruh dunia,
sekarang harus menyembunyikan diri bagaikan anjing terkena gebuk,
bukan saja tidak memiliki kegagahan lagi seperti dulu, bahkan dari
mendengar suaranya sudah dibuat ketakutan setengah mati...
Bahkan sambil bersembunyi dibelakang pohon besar, bernapas
keras-keras pun tak berani.
Bukan cuma begitu, jantungnyapun turut berdebar amat keras,
seakan-akan kuatir sekali kalau sampai bertemu dengan musuh2nya....
Semua pernapasan dihimpun hawa murninya disalurkan ke seluruh
badan, dia telah bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan yang tak
diinginkan.
Sekarang dia masih belum tahu kalau Sun Tiong lo sekalian bukan saja
sudah bertemu dengan Jin jin, bahkan mereka telah bergabung menjadi
satu.
Namun dia cukup paham, entah rombongan yang manapun dari kedua
rombongan itu, sudah pasti tak akan melepaskan dirinya dengan begitu
saja.
Maka dia telah mengambil perhitungan yang paling jelek, bilamana perlu
dia harus membunuh sebanyak mungkin untuk mengembalikan modal.
Diapun berpikir demikian seandainya yang muncul adalah rombongan
dari Jin-jin walaupun dia diiringi segerombolan dayang- dayangnya
namun ia bisa memandang sebelah mata terhadap mereka, sebab dia
yakin mampu melukai musuhnya lalu mundur dengan selamat.
Tapi kalau yang datang adalah Sun Tiong lo dengan rombongannya...
Diam-diam dia menggelengkan kepala berulang kali, dia cukup tahu
kaIau nasibnya sudah amat tragis, bila hari ini harus bertemu dengan
mereka, berarti kematian sudah berada didepan mata.
Mao Tin hong yang berada dalam keadaan seperti ini sungguh
mencekam sekali keadaannya, rasa kaget, ngeri bercampur takut
bercampur aduk menjadi satu.
Pepatah kuno bilang: Kalau rejeki pasti bukan bencana, kalau
bencana siapa-pun tak
akan terhindar. Ada pula yang berkata begini : Yang harus datang,
akhirnya pasti akan datang juga. Maka suara pembicaraan manusia
itupun kian lama kian
bertambah mendekat, Mao Tin hong juga makin lama merasa hatinya
makin ketakutan setengah mati.
Ternyata yang muncul adalah seorang lelaki dan seorang perempuan,
bahkan mereka tidak maju lebih kedepan, melainkan berbelok kesebelah
kiri pohon dan menelusuri sebuah jalan setapak.
Ditengah malam yang sepi, pembicaraan ke dua orang itu dapat
terdengar jelas, apa Iagi didaerah yang tak bermanusia sama sekali,
tidak heran kalau sepasang laki perempuan itu berbicara tanpa ragu.
Terdengar yang pria serang berkata: "Aku merasa tubuhku ini makin
hari makin bertambah lembek saja rasanya, aai."
Begitu mendengar suara dan nada pembicaraan tersebut, Mao Tin-hong
sudah merasa hatinya agak lega separuh.
Menyusul kemudian yang perempuan menyahut. "Tapi sekarang kita
tak usah kuatir lagi, apabila kita berhasil juga
memperoleh buah Cu-ko tersebut !" "Buah Cu-ko...?" sepasang telinga
Mao Tin hong yang seakanakan
berdiri tegak seperti keledai yang sedang mendengarkan sesuatu
suara aneh.
Lelaki tadi kembali berkata: "Tapi apalah gunanya? Paling banter
hanya bisa hidup terus,
namun kepandaian silatku tak pernah akan pulih kembali, kita harus
bersembunyi lagi ditempat yang terpencil macam neraka ini... hmmm..!"
"Sudahlah, tahanlah keadaan sedikit" hibur perempuan itu, "dunia
persilatan amat berbahaya, orang-orang dalam persilatanpun licik dan
busuk hatinya, coba kau lihat siapa sih diantara sekian jago kenamaan
dalam dunia persilatan yang berhasil memperoleh akhir hidup secara
baik?"
"Sekalipun ilnu silatmu sudah punah sekarang dan tak mungkin bisa pulih
kembali untuk selamanya, namun ibarat sayang kehilangan kuda, siap
tahu kalau akibat musibah malah memperoleh keuntungan? Asal kita
berdua dapat hidup berdampingan secara begini sampai tua nanti, oooh,
. bukankah hidup kita ini sangat berbahagia?"
Lelaki tadi kembali mendengus dingin.
"Tentu saja bahagia, kepandaian silatmu bertambah maju dengan
pesatnya, mendaki bukit menyeberangi jurang semuanya bisa kau
lakukan dengan mudah tentu saja kau bahagia, tapi kau jangan lupa,
aku..."
"Coba lihat kau melamun lagi" tukas perempuan itu cepat, "coba kalau
aku tidak mesti berburu dan mencari bahan makanan, aku benar-benar
tak sudi menggunakan ilmu silatku lagi, aku tak ingin berpisah
denganmu meski hanya sedikitpun!"
Lelaki itu menghela napas berat, lalu membelokkan pokok pembicaraan
kesoal lain, ujarnya.
"Kalau kita bisa hidup dengan aman dan sentausa, hal ini masih
mendingan, kuatirnya bila suatu hari bencana besar muncul di depan
mata, mau kabur tak bisa, mau menghindar sukar bisa jadi aku harus
menggorok leher untuk menghabisi nyawa sendiri !"
Perempuan itu nampak amat sabar dan tabah, kembali dia menghibur
dengan lembut:
"Kau tak usah kuatir, tak ada manusia yang bisa sampai disini, atau
seandainya ada. aku toh yakin masih sanggup untuk melindungi
keselamatan jiwamu !"
"Sudahlah" kata lelaki yang berpikiran sempit itu, suami istri memang
seharusnya sehidup semati, tapi bila bencana tiba, siapa tahu akan
menyelamatkan diri sendiri ? Sekarang saja kau bisa berkata begini,
coba kalau sampai keadaan tersebut yang pasti kau akan terbang dan
aku yang mampus !"
Tampaknya habis sudah kesabaran perempuan itu, dengan suara
dalam dia segera berseru. "Apa maksudmu berkata demikian ?"
"Jangan marah, mungkin aku sedang kesal sehingga mengucapkan kata2
yang kurang sedap"
Karena lelaki itu sudah mengaku salah, yang perempuan pun tidak
menegur lebih jauh, kata nya kemudian.
"Mari kita percepat langkah kita cepat sampai rumah dan cepat
beristirahat."
Lelaki itu mengiakan menyusul kemudian langkahnya dipercepat dan
makin lama suara nya semakin menjauh.
Mao Tin hong yang bersembunyi di belakang pohon justru tertawa
girang sambil diam-diam bertepuk tangan, dia seperti menang lotre
serarus juta saja.
Dalam keadaan begini, dia seakan-akan lupa kalau musuh tangguh
masih mengejarnya, sambil keluar dari belakang pohon gumamnya
seorang diri:
"Bagus, bagus sekali, inilah yang dinamakan "Bila takdir belum sampai,
Thian akan merubah jalan" Dasar nasib aku Mao locu masih baik.
heeeh... heeeh... heeeh... ternyata aku dapat berjumpa dengan
sepasang lelaki perempuan anjing tersebut disini. !"
Kemudian setelah berhenti sejenak, sambil bertepuk tangan dia
bergumam lagi.
"Locu akan menguntil di belakang mereka lalu melakukan suatu
kunjungan yang sama sekali diluar dugaan mereka, setelah itu yang laki
di jagal, sedang yang perempuan, heeeh... heeeh..."
Dasar bajingan tua, dimana ada kesempatan, niat jahatnya segera
muncul.
Dengan bangga dia tertawa dingin berulang kali, kemudian gumamnya
lebih jauh:
"Seandainya tempat itu cukup rahasia dan terpencil letaknya, aku akan
hidup satu atau dua tahun baru keluar dari wilayah Biau ini, apalagi jika
buah Cu ko dapat menambah tenaga dalamku... heeeh... heeeh silahkan
saja perempuan cabul itu hidup tenang berapa waktu, haaah... haa.."
Sambil tertawa seram tiada hentinya, dia segera melompat ke depan
dan melakukan pengejaran.
Waktu itu, laki dan perempuan tersebut belum keluar dari hutan
belantara tersebut namun suara tertawa dingin dan gumaman Mao Tin
hong yang lirih tak sampai mengejutkan mereka.
Namun Mao Tin hong tidak seharusnya lupa daratan pada saat ini serta
tertawa terbahak-bahak.
Betul suara tertawanya tidak terhitung keras sekali, toh suara mana
terdengar juga oleh perempuan yang berada didepan.
Perempuan tersebut bukan cuma pintar, pengalamannyapun sangat luas,
dengan cepat dia tahu kalau gelagat tidak menguntungkan.
Sedangkan yang lelaki, kurang tenaga dalam nya sudah punah, apalagi
benaknya sedang dipenuhi oleh persoalan yang pelik, maka dia sama
sekali tidak mendengar atau merasakan apa-apa.
Perempuan itu sama sekali tidak berpaling namun otaknya berputar
keras mencari akal bagus untuk menghadapi keadaan tersebut, akhirnya
dia menemukan sebuah akal bagus dan segera melaksanakannya
menurut rencana.
Jalan punya jalan, mendadak perempuan itu berbisik. "Kita tak usah
pulang kerumah kediaman, bagaimana berkunjung
dulu keloteng Si hunlo?" Laki-laki itu nampak tertegun kemudian
katanya, "Hari sudah
begini malam, masa kau hendak berlatih ilmu lagi?" Perempuan itu
menggeleng pelan. "Tidak, aku masih ada urusan penting yang harus
segera
diselesaikan." "Kalau hendak pergi, pergilah seorang diri, aku sudah
lelah !"
dengus lelaki itu tak sabar. Perempuan itu segera merendahkan
suaranya dan berbisik: "Dengarkan perkataanku, tak usah berpaling,
dibelakang kita ada
orang yang menguntil secara diam-diam, kalau kita langsung
pulang
maka ibaratnya memancing srigala masuk ke rumah, lebih baik kita
menuju ke Si-hun-lo saja agar lebih gampang membereskan dirinya."
Mendengar perkataan tersebut, berubah hebat paras muka lelaki itu,
agak gugup dia berbisik:
"Kau... kau tidak salah mendengar." "Bagaimana mungkin aku bisa
salah mendengar ?" sahut
perempuan itu sambil berkerut kening. Lelaki tersebut menjadi gugup
bercampur kaget, dengan cepat
dia berseru kembali: "Tahukah kau siapa dia ? Apa sebabnya mengejar
kita ?" Perempuan itu menggeleng cepat. "Belum kulihat orangnya, tapi
bisa jadi di karena kan buah Cu ko
tersebut !" "Padahal daerah kabut beracun ini jauh dari keramaian
manusia,
bagaimana mungkin ada orang bisa sampai disini ? Aneh betuI." lelaki
itu semakin tak tenang.
Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan nada gelisah kuatir dia
berkata lagi:
"Mampukah kita mengurungnya di loteng Si hun-loo ?" "Dapat, coba
dengarkan dengan seksama, setelah masuk
kedalam loteng nanti, kau harus selekasnya masuk ke ruang semedi di
atas loteng, apa pun yang akan terjadi diluar, kau tak usah munculkan
diri."
"Buah Cu ko itu simpan saja dalam sakumu bila aku berhasil mengurung
orang tersebut maka akan kuketok pintu tiga kali sebagai kode, sampai
waktunya kau boleh membukakan pintu bagiku, jangan lupa !"
Sembari berkata perempuan itu mengeluarkan sebiji buah Cu ko dari
sakunya dan diserahkan pada sang lelaki untuk menyimpannya.
Waktu itu Mao Tin hong masih belum sadar kalau jejaknya sudah
ketahuan, bahkan dia masih mempunyai perhitungan yang begitu
matang sehingga makin dipikir semakin bangga hatinya, dia
menganggap kejadian ini bagaikan itik panggang yang siap dihidangkan.
-ooo0dw0ooo- SEMENTARA itu sepasang laki perempuan yang
berada didepan
telah mempercepat langkahnya. Diam-diam Mao Tin hong kegirangan,
dia menganggap tujuannya
sudah semakin mendekati didepan mata. Tak selang berapa saat
kemudian, sepasang laki perempuan itu
sudah berjalan keluar dari hutan. Berhubung keadaan medan didepan
sana terlalu terbuka dan
hampir tiada tempat untuk menyembunyikan diri. maka dia mengambil
keputusan untuk memperjauh kuntitannya.
Kini sepasang laki perempuan tersebut sudah menelusuri sebuah jalan
setapak dan membelok beberapa tikungan.
Mao Tin hong menunggu sampai seperminum teh lamanya kemudian
baru menyusul dari belakang.
Siapa tahu begitu sampai ditempat tikungan tersebut, aneh ! Bayangan
tubuh dari laki perempuan tersebut sudah lenyap tak berbekas.
Kejadian ini kontan saja membuat Mao Tia liong sangat cemas. dia
percepat larinya dan mengejar lebih jauh.
Akhirnya ia berhasil menemukan kembali jejak dari laki perempuan itu,
ternyata tersebut bukit diatas sebidang tanah yang luas berdiri sebuah
perkampungan kecil, dalam perkampungan
hanya terdapat sebuah bangunan loteng, ke sanalah laki perempuan itu
pergi.
Setelah mengetahui arah tujuan dari korbannya, Mao Tia hong tidak
terlampau terburu napsu lagi, pertama-tama dia memperhatikan dulu
keadaan disekitar sana, kemudian memperhatikan pula situasi disekitar
perkampungan. dengan cepat dirasakan bahwa tempat tersebut memang
merupakan sebuah tempat persembunyian yang amat bagus.
Maka dengan langkah lebar dia berjalan menuju ke arah perkampungan
tersebut.
Ketika mendekati perkampungan tersebut, tiba tiba Mao Tin hong
meningkatkan kewaspadaannya.
Dengan cepat dia menghentikan langkahnya kemudian mengernyitkan
sepasang alis matanya.
Ternyata dia menemukan kalau perkampungan tersebut dibangun aneh
dan sangat istimewa.
Perkampuagan itu menempati daerah seluas berapa hektar, bila
dibandingkan perkampungan biasa memang agak kecilan, tapi saat ini
terutama diwilayah seperti ini. Mao Tin hong merasa perkampungan
tersebut cukup besar.
Yang paling membuat hatinya gelisah adalah bangunan didalam
perkampungan tersebut.
Didalam perkampungan tersebut, selain bunga dan pepohonan. hanya
sebuah bangunan loteng kecil yang indah dan mentereng saja berada
disitu.
Kalau dibilang kecil bentuknya memang betul, namun menterengnya
mungkin tiada bandingannya dikolong langit ini.
Baik atap, tiang maupun bahan bangunan lainnya boleh dibilang
memakai bahan bangunan berkwalitet tinggi.
Padahal tempat ini tak lebih hanya sebuah wilayah terpencil diwilayah
Biau yang dekat dengan kolam beracun.
Siapa yang berdiam disitu? Dan siapa pula yang membangun
perkampungan dengan bangunan loteng kecil itu?
Jangan-jangan sepasang laki perempuan anjing itu? "Tidak. Sudah
pasti bukan mereka, mereka ! Hmm! Meskipun
yang perempuan itu mempunyai jiwa pertukangan. sayang, tidak kenal
seni, apalagi yang laki laki, dia tak lebih hanya seorang bajingan tengik
yang kemaruk perempuan, harta dan kedudukan.
Berdasarkan kemampuan kedua orang itu, jangan lagi berapa bulan
atau tahun, separuh hidup merekapun belum tentu sanggup
membangun loteng semacam itu.
Lantas siapa ? Yaa, siapa ? Mungkinkah ditempat ini hidup seorang
jago berilmu tinggi ?
Mungkinkah sepasang laki- perempuan anjing itu berjodoh dan diterima
oleh tokoh sakti itu sebagai muridnya hingga mereka harus hidup
mengasingkan diri disana.
"Mungkin ya, hal ini ada kemungkinannya !" Ya betul, cukup
berdasarkan buah Cu ko yang dibicarakan
sepasang laki perempuan anjing itu, benda mestika yang merupakan
mestika langka dalam dunia ini mana mungkin bisa mereka kenali
dengan begitu saja ?
Kalau benda "Cu-ko" nya saja tidak kenal, bagaimana mungkin bisa
dipetik ? Baru aneh namanya kalau semuanya serba kebetulan dan
mereka benar-benar bisa mendapatkan sebiji buah Cu-ko.
Berdasarkan dari dugaan itu, Mao Tin hong menganggap dalam loteng
itu pasti ada penghuninya, dan penghuni dalam loteng itu sudah pasti
adalah seorang Tokoh persilatan yang sudah lama mengasingkan diri
dari keramaian dunia.
Berpikir sampai disini, Mao Tin hong benar-benar tidak berani masuk, dia
hanya bisa berdiri termangu-mangu diluar perkampungan saja.
Tapi setelah berpikir lebih Ianjut, dia berpendapat kalau dia harus
memasuki bangunan loteng itu.
Oleh karena sekarang dia sudah terpojok sehingga maju tak bisa
mundurpun tak dapat, hanya ada satu jalan ini saja yang dapat
ditempuh, maka sambil menghimpun tenaga dalamnya bersiap sedia
menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan, dia memasuki
perkampungan tersebut dengan berhati-hati sekali.
Pintu perkampungan yang lama sudah rusak, kini telah diganti dengan
dua lembar pintu baru.
Ke dua lembar pintu baru itu terbuat dari kayu, hal mana menambah
kecurigaan dan kesangsian dalam hatinya, dia tidak habis mengerti
manusia macam apakah pemilik perkampungan tersebut.
Sudah berapa tombak dia memasuki perkampungan itu, namun tiada
yang menghadang, tiada yang menegur, suasana masih tetap
sunyi-senyap tak kedengaran suara apa-apa.
Tapi justru makin sepi suasananya, makin berhati-hati dia melangkah ke
daIam.
Tiba dipintu loteng, pelan-pelan dia mendorong pintu tersebut ke
belakang.
Dalam dugaannya semula, pintu loteng itu pasti tertutup rapat- rapat,
tapi bagaimana kenyataannya ? Hanya sekali dorongan pelan saja,
pintu itu sudah terbuka lebar.
Mao Tin hong berkerut kening, kemudian setelah berpikir sejenak
akhirnya dia melangkah masuk ke dalam.
Demi keselamatan sendiri disamping menyelidiki keadaan dalam
bangunan loteng itu, Mao Tin hong telah mengambil keputusan untuk
memasukinya, maka setelah melangkah ke dalam dia segera menegur:
"Adakah seseorang disini ?"
Didalam dugaannya, tak mungkin ada orang yang akan menjawab
pertanyaannya itu, sebab entah siapakah pemilik bangunan loteng itu
dan apa maksudnya membangun disana, yang pasti dia tak ingin
berjumpa dengan orang luar.
Sebagaimana diketahui, dia masuk setelah sepasang laki- perempuan
itu masuk, berarti sepasang laki perempuan itu bisa jadi telah
mengetahui jejaknya dan melaporkan hal ini kepada pemilik bangunan
loteng itu, sedang pemilik bangunan loteng itu tentu akan memandang
dirinya sebagai musuh.
Siapa tahu apa yang kemudian terjadi sama sekali diluar dugaannya,
baru selesai dia berbicara, suara jawaban sudah terdengar
berkumandang.
Jawaban itu muncul dari atas loteng: "Mao sancu, silahkan naik ke
loteng !" Begitu mendengar suaranya, Mao Tin hong segera
mengetahui
siapa yang sedang berbicara, seharusnya dia tak perlu kuatir terhadap
orang ini, tapi anehnya sekujur badannya bergetar keras begitu
mendengar teguran mana.
Sementara Mao Tin hong masih tertegun, suara dari atas loteng telah
berkumandang kembali:
"Bagaimana? Apakah Mao sancu tak mau memberi muka?" Terpaksa
Mao Tin hong harus menenangkan gejolak
perasaannya, kemudian menyahut: "Kukira siapa, ternyata Su nio
dan.." Su nio? Betul, orang yang berada diloteng itu memang Su nio
dari bukit
pemakan manusia dulu, dari sini dapat disimpulkan kalau lelaki yang
berada bersamanya tak lain adalah Khong It-hong
Baru saja Mao Tin hong menyebutkan nama "Su-nio", dari atas loteng
lantas berkumandang lagi seruan dingin.
"Mao sancu, selirmu Su-nio yang dulu sudah lama mampus, yang
berhadapan muka dengan sancu sekarang adalah aku, aku she nona
dari keluarga Mo!"
Ucapan "aku she Mo" dan "nona dari keluarga Mo" ini bagi Mao Tin-hong
boleh dibilang jauh lebih mengejutkan dan mengerikan hatinya
ketimbang kemunculan Sun Tiong lo secara tiba-tiba dihadapan
matanya.
Dari balik matanya memancar keluar sorot mata ketakutan untuk sesaat
sulit baginya untuk menjawab pertanyaaan tersebut.
Tapi "Su nio", bukan, yang benar adalah nona Mo sudah berkata lagi:
"Sancu, bila dugaanku tak salah, tampaknya kau sedang ketakutan ?"
"Sunio, siapa suruh kau mengacau belo? Siapa bilang kalau kau she Mo
?" Mau Tin hong berkerut kening.
Nona Mo segera tertawa, "Kalau ayahku sendiri yang bilang, masa hal
ini bisa salah ?" sahutnya kemudian.
Sekali lagi Mao Tin hong merasakan hatinya terkesiap. "Ayahmu?
Omong kosong, masa kau tahu siapa ayahmu ? Dia
berasal dari marga apa ?" Kembali nona Mo mendengus dingin.
"Sudahlah orang she Mao. percuma saja sandiwaramu itu, terus
terang saja kukatakan kepadamu, pembunuhan berdarah dari keluarga
Mo dan penghinaan serta aib yang pernah kuterima akan kutuntut balas
kepadamu sekarang juga !"
Diam-diam Mao Tin-hong menggigit bibirnya kencang-kencang,
kemudian katanya: "Baiklah, terserah apapun yang hendak kau
ucapkan, tapi akupun harus mengatakan pula kepadamu secara terus
terang, kau tidak she Mo, Mo Kiau jiu bukan ayahmu !"
Pelan-pelan nona Mo menampakkan dirinya dari tempat
persembunyiannya, kemudian setelah tertawa dingin kemudian dia
berkata:
"Aneh, aku toh belum pernah memberitahukan kepadamu kalau ayahku
adalah Mo Kiau jiu ? Darimana kau bisa tahu?"
Sekali Iagi Mao Tin hong dibikin tertegun, tapi dengan cepat dia
berkata lagi:
"Sekalipun kau tak pernah mengatakannya, namun aku hanya kenal
dengan seorang saja yang she Mo."
"Cuuuh . . ." nona Mo mendesis penuh amarah "mengapa tidak kau
katakan bahwa cuma Mo Kiau jiu seorang yang mempunyai ikatan saat
ajalmu !"
Mao Tin hong memutar sepasang biji matanya, memandang sekejap
kesana kemari, mendadak dia mengalihkan pembicaraan ke soal lain
katanya:
"Jangan kita persoalkan dulu masalah tersebut Su nio, lohu ingin
berjumpa dulu dengan pemilik loteng ini !".
"Dengarkan baik-baik, aku bernama nona Mo." hardik nona Mo dengan
marah.
Tiba-tiba Mao Tin hong melototkan sepasang matanya bulat- bulat,
lalu bentaknya.
"Budak sialan, kau anggap aku sudah tak mampu membunuhmu
sekarang juga ?"
Nona Mo tertawa dingin pula. "Betul, aku tahu apa yang sedang kau
pikir kan dalam hatimu, sekarang bukankah kau ingin mencari dulu
siapa gerangan pemilik loteng! ini kemudian baru membekukku disaat
aku sedang tidak siap."
"ltu menurut pendapatmu." tukas Mao Tin hong. "seandainya aku tak
ingin melepaskan dirimu, betapapun cerdiknya kau dan Khong It hong,
waktu itu memangnya bisa kabur dari cengkeramanku ?"
Mendengar ucapan mana Nona Mo segera tertawa terkekeh- kekeh.
"Heeehh... heeeh... wah, wah. wah. kalau begitu kau memang orang
yang saleh bajik dan bijaksana !"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan kembali dengan
suara keras:
"Mao Tin hong. nonapun ingin memberitahukan kepadamu secara terus
terang, Khong It hong berada didalam loteng ini cuma sayang..."
Mao Tin hong sengaja berlaku laping dada, katanya kemudian sambil
tertawa:
"Sudahlah, anggap saja kau memang nona Mo. sekarang undanglah
pemilik loteng agar munculkan diri."
"Asal kau dapat memasuki loteng ini, seperti apa yang telah kukatakan
tadi, akan ku undang kau untuk naik ke atas loteng !" kata nona Mo
pula sambil tartawa lebar.
"Ooooh..." Mao Tin hong mendongakkan kepalanya dan mulai
memperhatikan keadaan disekeliling bangunan loteng tersebut.
Perabot dalam loteng itu amat sederhana tapi segala sesuatunya
teratur sangat rapi.
Anak tangga berada disebelah kanan pintu masuk dan melingkar ke
atas hingga berhenti diatas loteng sebelah kiri, oleh sebab itu bawah
loteng terbentang sebuah ruangan meja baja yang antik, dibelakang
meja merupakan sebuah bangku panjang.
Di sebelah kanan meja baja terdapat sebuah patung sastrawan yang
terbuat dari kayu, tingginya seperti manusia biasa dan sedang duduk
sambil membaca buku.
Disebelah kiri meja baja merupakan sebuah lampu duduk dengan lilin
yang masih utuh, namun belum disulut.
Pada dinding ruangan terdapat lukisan-lukisan orang
kenamaan.
Di sebelah kanan ruangan, kecuali terdapat anak tangga yang
melingkar pada bagian depan, dibagian belakang terdapat
sebuah almari buku yang sangat besar, selain itu terdapat pula
sebuah rak antik yang diletakkan dekat dinding berseberangan
dengan pintu masuk..
Mao Tin hong mencoba untuk memperhatikan anak tangga melingkar
tersebut, nampaknya bukan terbuat dari dari kayu namun semuanya
terbuat amat indah dan artistik.
Mao Tin hong berdiri di pintu masuk bawah loteng yang tak jauh
letaknya dari loteng bagian atas, dia hanya sempat melihat bagian kiri
dan kanannya, sedangkan bagian atasnya sama sekali tidak terlihat.
Walaupun demikian dia dapat melihat tiga bagian Iainnya, disebelah
samping berupa jendela, dibalik pintu tentu saja kamar tidur atau
mungkin juga kamar baca atau kamar tamu.
Kalau dilihat dari keadaan bangunan tersebut, tampaknya tiada jebakan
apapun.
Sementara dia masih termenung, nona Mo telah berkata lagi:
"Bagaimana? Apakah segala sesuatunya telah terlihat jelas?" Mao
Tin hong segera tertawa. "Ehmm, boleh dibilang tempat ini
merupakan sebuah loteng yang
cukup indah." Baru saja dia selesai berkata, Nona Mo telah
mengucapkan katakata
yang menggidikkan hati. "Benar, tentu saja boleh dibilang sebuah
loteng yang sangat
indah, tapi aku pikir lebih cocok kalau tempat ini dinamakan uang raja
akhirat atau sarang naga gua harimau, sebab nama tersebut jauh lebih
cocok!"
Mao Tin hong segera mendengus dingin, "pengetahuan lohu sudah
cukup luas, gertak sambalmu itu tak akan bisa membuat hatiku keder."
"Tentu saja" nona Mo segera menimpali lagi dengan suara amat dingin,
"Itulah sebabnya silahkan Mao Toa sancu naik keatas loteng!?"
Saat ini Mao Tin hong sudah cukup berpengalaman, tentu saja dia tak
sudi tertipu dengan begitu saja, sambil tertawa dingin tiada hentinya dia
menggeleng, lalu sambil menunjuk kearah kursi dibelakang meja
katanya.
"Lohu sudah letih, tolong kau sampaikan kepada pemilik loteng ini agar
dia saja yang turun sendiri!"
Mendadak nona Mo tertawa cekikikan "Haaah... haaahh... betul- betul
seorang pemberani, beginikah macam Sancu dari Bukit pemakan
manusia?"
Walaupun panas hatinya namun Mao Tin hong masih berusaha untuk
menahan sindiran tersebut, dengan cepat dia tertawa hambar.
"Sudah, terserah apa pun yang hendak kau katakan, pokoknya lohu
akan menunggu kedatangan pemilik loteng disini saja"
Selesai berkata dia lantas melangkah kedepan dan menuju kebelakang
meja baca itu.
Mendadak nona Mo berseru lagi sambil tertawa terkekeh-kekeh: "Mao
sancu, beranikah kau duduk dikursi itu?" Disaat dia
mengucapkan perkataan tersebut persis disaat Mao Tin hong hendak
duduk.
Kontan saja iblis tua ini terkesiap dan segera menghentikan langkahnya
didepan patung arca diatas meja baca tersebut.
Nona Mo yang berada diambang loteng segera mengalihkan pokok
pembicaraannya setelah menyaksikan keadaan tersebut
"Loteng ini penuh jebakan dan ancaman bahaya maut, seandainya aku
tidak bermaksud baik-baik melayani sancu, setiap saat aku dapat
membuat sancu mampus seketika, kau tak percaya ? segera akan
kutunjukkan kepadamu !"
Begitu selesai berkata, mendadak nona Mo menuding kearah pintu
loteng yang sedang terpentang itu.
Mau tak mau Mao Tin hong mengalihkan sorot matanya dari tubuh nona
Mo kearah pintu loteng tersebut.
Akan tetapi pintu loteng itu masih terbuka lebar dan sama sekali tiada
perubahan apapun.
Melihat hal ini, Mao Tin hong segera tertawa terbahak-bahak.
"Haahh... haaahh... cukup, cukup sudah Su nio, permainan
macam ini belum mempan untuk membohongi diriku." Siapa tahu belum
habis dia berkata, mendadak... "Blaamm.!" Kedua belah pintu loteng itu
seakan-akan dikendalikan oleh
sukma gentayangan tahu-tahu sudah menutup kembali secara otomatis.
Berubah hebat paras muka Mao Tin hong, buru-buru dia kabur menuju
kearah jendela, tapi orang yang berada diloteng itu sudah berkata lagi:
"Terlambat sudah, sekarang segala sesuatunya sudah terlambat..."
Dibawah loteng terdapat tiga buah jendela, meskipun tidak berada
dalam keadaan terbuka, namun dilihat dari bentuk ukiran kayunya yang
begitu tipis, bagaimana mungkin dapat menghaIangi Mao Tin hong yang
berilmu tinggi untuk meloloskan diri dari kurungan..."
Akan tetapi dikala ucapan "Terlambat" bergema disisi telinga Mao Tin
hong, tiba-tiba saja dari atas jendela diketiga sisi ruangan tersebut telah
meluncur jatuh benda yang segera menutupi rapat daun jendela
tersebut, dengan demikian keadaan menjadi tertutup rapat.
Begitu pintu dan daun jendela sudah tertutup rapat, suasana diatas
ruang lotengpun berubah menjadi gelap gulita.
Saat ini Mao Tin hong benar-benar keder dan pecah nyalinya, tubuhnya
segera menyelinap ke depan, dan berdasarkan daya ingatan nya ketika
memasuk pintu gerbang tadi, dia mencoba untuk meraba pintu kayu
tersebut.
Apa yang kemudian tertera olehnya membuat gembong iblis ini semakin
terkesiap, siapa bilang pintu tersebut terbuat dari kayu? Yaa siapa yang
bilang?
Apa yang tersentuh ternyata tak lain adalah pintu gerbang yang terbuat
dari baja asli.
Kalau toh pintunya sudah begini, tak bisa disangkal lagi demikian pula
dengan daun jendelanya.
Mao Tin hong benar-benar merasa amat menyesal, tapi kalau nasi
sudah menjadi bubur, apa pula gunanya menyesal?
Tiba-tiba nona Mo yang berada diatas loteng berseru kembali:
"Suasana dalam loteng gelap gulita dan bukan tempat yang
cocok untuk menerima tamu, meski kau harus mati, aku akan
membunuhmu ditempat yang terang benderang, agar kau mati tanpa
menyesal, kemarilah pasang lentera.
Begitu ucapan "pasang lentera" bergema, benar-benar ketemu setan
disiang hari bolong, lampu lentera yang berada di tepi meja baca
tersebut secara otomatis telah menyulut sendiri sehingga suasana dalam
ruangan berubah menjadi terang benderang.
Nyali Mao Tin hong yang begitu besarpun tak urung dibikin terperanjat
juga setelah menyaksikan kejadian ini, tanpa terasa dia mundur
selangkah dari posisi semula.
Nona Mo yang berada diatas loteng kembali menyindir. "Sayang
sekali sancu agak terlambat untuk mundur dari situ,
sekarang kau sudah tiada jalan lagi untuk mengundurkan diri dari
tempat ini."
Sambil mengigit bibir menahan diri, Mao Tin hong segera berseru:
"Perempuan celaka, kau anggap dengan mengandalkan pintu baja dan
daun jendela baja, maka kau sudah sanggup untuk menghalangi
kepergian sancu?"
"Ooh, tentu saja tidak, loteng yang kau tempati sekarang seluruhnya
terbuat dari baja asli." jawaban nona Mo ternyata jauh hebat.
Mao Tin hong menjadi berdiri bodoh setelah mendengar perkataan ini,
sekarang dia mu lai menyesali diri sendiri, dia menyesal mengapa hari ini
dia telah melakukan perbuatan bodoh.
Nona Mo tidak berdiam sampai disitu saja, kembali dia berkata: Mao
Sancu, sebenarnya kau hendak naik ke atas loteng atau
tidak...?" Dalam keadaan seperti ini bagaimana mungkin Mao Tin hong
bersedia menaiki loteng tersebut lagi? Sudah barang tentu pertanyaan
dari nona Mo ini tidak memperoleh jawaban.
Maka nona itupun mendengus dingin berulang kali, kemudian tahu-tahu
bayangan tubuhnya-sudah lenyap dari pandangan.
Lewat beberapa saat kemudian, nona Mo baru kedengaran berbicara
lagi.
"Mao sancu kalau toh kau tak berani menaiki loteng ini, maka majikan
pemilik loteng inipun tak nanti akan turun untuk bertemu dengan kau,
maaf akupun tak bisa menemani kau lebih jauh, terpaksa aku akan
membiarkan kau berada seorang diri dibawah loteng."
"Sebelum berpisah, memandang pada hubungan kita selama banyak
tahun, aku perlu mengucapkan beberapa hal kepadamu, moga-moga
saja kau dapat mempergunakan waktu senggang ini untuk
memikirkannya, tapi jika kau segan untuk mendengarkan lebih baik
anggaplah perkataanku ini sebagai angin berlalu !"
Setelah berhenti sejenak nona Mo menghela napas dan berkata lebih
jauh.
"Pertama, disekitar ruang bawah loteng itu terdapat racun jahat, racun
itu tak berwarna maupun berbau atau berasa, orang yang kena cunan
pun tak akan merasakan gejala apa-apa, oleh sebab itu kuanjurkan
kepadamu jangan sembarangan menyentuh semua barang yang berada
disini.
"Ke dua, didalam ruang bawah loteng ini tiada bahan makanan, tapi
untung sekali masih ada air yang mengalir disini, jadi kau bisa memakai
air itu untuk menghilangkan dahaga, cuma apakah air tersebut beracun
atau tidak, maaf kalau aku tak dapat memberi penjelasan kepadamu."
"Ke tiga, kau tak boleh berbaring di atas tanah, mengapa tak boleh
silahkan kau tebak sendiri atau kalau tidak silahkan kau berbaring untuk
mencoba sendiri, tanggung kau pasti akan mengerti dengan segera."
"Ke empat, lentera dan lilin terbatas sekali persediaannya disini,
walaupun sudah di sulut sekarang namun kau tak boleh
memadamkannya, kecuali kau dapat memadamkan lentera tersebut
tanpa menimbulkan setitik asap pun.
"Ke lima, kau jangan lupa kalau setiap waktu setiap detik masih ada
aku yang selalu ingin membunuhmu untuk membalas dendam, oleh
sebab itu kau harus selalu menjaga semangat dan kekuatanmu untuk
bersiap-siap menghadapi sergapanku.
"Nah, ke lima hal yang sederhana itu sudah kuutarakan, asal Mao sancu
belum melupakan kata kataku ini. mungkin kau masih mempunyai
peluang untuk keluar dari loteng ini dengan selamat, selamat tinggal !"
Begitu perempuan itu mengatakan hendak pergi, dia lantas berkelebat
pergi dan lenyap dari pandangan.
Sekarang Mao Tin hong berada seorang diri di ruang bawah loteng,
perasaannya waktu itu benar-benar tidak dapat terlukiskan dengan
kata-kata.
Yang paling merisaukan perasaan gembong iblis tua ini tak lain adalah
perkataan dari nona Mo barusan, ucapan tersebut membuat manusia
laknat yang licik dan jahat ini mulai gelisah dan tak tenteram
perasaannya.
Sambil tetap berdiri tak bergerak dari posisi semula, dia memutar
otaknya dan memikirkan terus ke lima persoalan tersebut.
Menurut keterangan, seantero bangunan bawah loteng ini telah dipolesi
dengan racun, teringat keadaan ini tanpa terasa Mao Tin- hong
menggunakan cahaya lentera yang redup disekeliling tempat ini untuk
memperhatikan dengan seksama setiap sudut, meja maupun lantai yang
berada disana.
Akan tetapi ia tidak berhasil menemukan sesuatu perbedaan disitu, tapi
dia tak mau percaya dengan begitu saja, sebab andaikata racun tersebut
benar-benar tidak terendus, tidak berwarna dan tidak berbau, sudah
barang tentu dia tak dapat menemukannya.
Diruang bawah loteng tiada bahan makanan, perkataan ini tak bakal
salah tapi dibilang disitu terdapat sumber air minum, teringat akan hal
ini seketika itu juga Mao Tin-hong merasakan lapar dan dahaga sekali.
Kalau tak dapat berbaring untuk beristirahat sejenak di sini bagaimana
mungkin hal ini bisa terjadi? Bukankah ini berarti dia harus berdiri terus
hingga selamanya ?
Tetapi dalam keadaan tanpa air tanpa makanan, sampai berapa
lamakah dia mampu mempertahankan diri ?
Yang paling membuat Mao Tin hong tidak tenang dan keheranan adalah
mengapa lilin tersebut tak boleh padam ? Apakah takut asap lilin akan
menyambar bila lilin tersebut padam ? Apakah asap lilin tersebut amat
beracun ?
Makin dipikir dia merasa semakin ketakutan dan hatinya pun makin
lama semakin tidak tenang.
Yang lebih aneh lagi adalah dia yang belum lama berdiri disitu, ternyata
tubuhnya terasa letih sekali, kalau bisa dia ingin sekali duduk dikursi
empuk dan tidur sebentar.
Tapi lelah yang dialaminya sekarang cukup beralasan, karena dia sudah
kabur seharian penuh tanpa makan atau minum, sepasang kakinya
belum pernah berhenti atau beristirahat barang sekejap pun, bayangkan
saja bagaimana mungkin tidak lelah?
Perasaan dahaga, lapar lelah dan panik membuat kelopak matanya mulai
terasa berat sekali dan ingin saling berkatup.
Hal ini tak boleh sampai terjadi, sekalipun tak tahanpun harus
dipertahankan dengan segala kemampuan, tentu saja diapun tak dapat
berdiri mematung terus menerus, maka diputuskan untuk berjalan-jalan
disekitar sana.
Namun baru saja dia akan melangkah maju mendadak dalam benaknya
terlintas kembali peringatan tentang "Racun yang meIiputi seluruh
permukaaan", cepat-cepat niat tersebut di urungkan kembali.
Waktupun sedetik demi sedetik berlaIu, dia benar-benar sudah tak
mampu menahan diri lagi, dalam keadaan begini dia mulai teringat
untuk berjalan jalan melalui tempat yang pernah dilalui sebelumnya.
Maka dengan amat berhati-hati dia mulai menelusuri jalan semula
didalam ruang loteng.
Kurang-ajar, siapa yang memasak Ang sio bak ditengah malam buta
seperti ini?
Bau harum yang mudah membuat orang lapar ini berhembus lewat
diudara dan menerpa lubang hidung Mao Tin hong, langsung masuk
kedalam rongga dadanya.
Sambil menelan air liur dia mendongakkan kepalanya, tak salah lagi,
bau harum "Ang sio bak" tersebut berasal dari arah loteng, langsung
berhembus dari atas kebawah.
Biasanya hanya koki termashur yang bisa membuat hidangan seharum
ini, tiba-tiba saja Mao Tin hong teringat kalau Su nio adalah seorang
tukang masak yang amat lihay, apalagi membuat Ang siok bak seperti
ini harum dan lezatnya bukan main.
Sekali lagi dia membasahi bibirnya sambil menelan air liur, banjir saja
air liurnya meleleh keluar saking laparnya.
DaIam keadaan beginilah tiba-tiba dari atas loteng berkumandang suara
seseorang tua lagi parau.
"Ambilah arak Mao tay yang paling wangi !" Menyusul suara sahutan
dari Su nio, terdengar suara botol arak
diletakkan di meja serta suara cawan yang terbentur dengan botol arak,
Kini Mao Tin hong mengerti, diatas loteng tentu terdapat sebuah
ruangan yang pintunya tidak tertutup, oleh sebab itu semua suara yang
berasal dari atas serta bau harum arak dan Ang sio bak dapat torendus
dari bawah.
Tiba-tiba saja Mao Tin hong membalikkan badan kemudian menuju ke
arah anak tangga loteng dengan langkah lebar.
Namun setibanya didepan tangga, tiba-tiba saja dia berhenti lalu
menampar mulut sendiri sekeras-kerasnya, setelah itu membalikkan
badan dan kembali ketempat semula.
Diam-diam ia menyumpahi diri sendiri yang hampir saja terperangkap
gara-gara menuruti hawa napsu.
Dia hanya tahu gusar kepada sendiri dan menampar mulut sendiri
keras-keras, tapi dia lupa kalau pintu ruangan diatas loteng belum
tertutup, maka dari atas terdengar suara Khong It hong sedang
bertanya dengan keheranan:
"Suhu, suara apakah itu ?"
Sebelum gurunya Khong It hong menjawab, nona Mo sudah mencela
lebih dulu:
"Bodoh, apa lagi yang kau tanyakan ? Sudah pasti Mao loji sedang
menampar diri sendiri."
"Aku tidak percaya !" Nona Mo segera mendengus. "Hmm... katanya
saja kau pernah menjadi murid kesayangan si
setan tua itu, mengapa kau masih belum memahami wataknya ? Sudah
pasti bau harum hidangan disini telah memancing napsunya sehingga
dia hendak melangkah naik kemari, tapi ditengah jalan rupanya dia
menyadari kesilafannya yang hampir saja membuatnya terjebak, maka
diapun menampar mulut sendiri !"
"Aah, aku tetap tidak percaya, kau toh tidak menyaksikan kejadian
tersebut dengan mata kepala sendiri ?" seru Khong It-hong dengan
cepat.
Menyusul kemudian, terdengar suara tua dan parau tadi kembali
berkumandang:
"It hong, kau memang betul-betul goblok, tapi yang dikatakan si budak
benar, memang demikianlah keadaannya !"
Setelah suasana hening sejenak, terdengar nona Mo berkata pula:
"Tampaknya si tua bangka itu sukar masuk It-hong, tutup saja pintu itu
!"
Benar juga, bersama dengan selesainya perkataan itu, terdengar suara
pintu itu ditutup orang.
Diam-diam Mao Tin-hong menghembuskan napas penuh kesesalan,
pikirnya kemudian:
"Ooh, Thian ! Aku benar-benar sangat beruntung, hampir saja aku
masuk perangkap, tampaknya tempat yang paling berbahaya
berada di atas loteng tersebut, maka itulah si budak berusaha keras
memancingku naik ke loteng."
"Hmm. Mao loji sudah menjadi siluman manusia, bagaimana mungkin
bisa tertipu oleh akal muslihat budak busuk semacam kau ? Siapa apa
yang dia lukiskan tentang ruang dibawah loteng ini hanya gertak sambal
belaka ?"
Berpikir sampai disitu. diapun menemukan sebuah akal, lalu sambil
menghimpun tenaga dalamnya dia mengebaskan tangannya keatas
permukaan tanah, lapisan debu yang menempel disitu segera
menyambar keman-mana. tak selang berapa saat kemudian dia sudah
tiba di belakang meja baca.
Memandang kursi dibelakang meja baca itu dia tertawa dingin tiada
hentinya, kemudian dengan ilmu Leng siu si wu ( menghisap benda
diudara kosong) disedotnya kursi tadi sehingga terbalik, kemudian dia
mengebaskan tangannya menyapu bersih permukaan kursi sebelum
duduk diatasnya.
Pada mula pertama duduk dikursi itu, hatinya masih berdebar keras
karena kuatir terjadi suatu perisitwa, akan tetapi setelah dilihat nya
tiada perubahan atau gerak-gerik yang terjadi, Mao Tin hong baru
merasa lega sambil tertawa geli dia lantas bangkit berdiri dan berjalan
menuju kearah sumber air.
Diendusnya air yang menetes keluar lewat situ, terasa air itu memang
mengandung sesuatu bau. tapi setelah dipikirkan lebih seksama
disimpulkan kalau air tersebut tak lain bau lembab tanah belaka.
Kendatipun demikian, dia tak berani bertindak gegabah, sambil
mendongakkan kepalanya dia mencoba untuk memperhatikan keadaan
di sekeliling sana.
Apa yang kemudian terlihat, membuatnya dia tertawa bangga.
Rupanya dia telah menyaksikan sejilid kitab kuno terletak diatas
meja baca, dibalik kitab itu terdapat dua batang batas buku yang
terbuat dari gading gajah.
Sebagaimana diketahui gading bisa dipakai untuk mencari tahu adakah
sesuatu benda mengandung racun atau tidak, dengan tangan kemudian
dimasukkan kedalam air.
Setelah dicoba dan dicoba berulang kali, terlihat kalau air itu sana
sekali tidak mengandung racun.
Senyum lebar mulai menghiasi wajah Mao-Tin hong, dia telah mengambil
keputusan setelah meneguk beberapa teguk air, dia akan beristirahat
diatas kursi, tapi sebelum tidur dia harus melakukan beberapa buah
pekerjaan lebih dulu.
Diambilnya sebuah teko tembaga yang terletak dimeja dan diam- diam
dibawanya menuju kemulut anak tangga, kemudian setelah
meletakannya disitu, dia balik sambil tersenyum.
Teko tembaga tersebut diletakkan persis di mulut anak tangga, dengan
demikian bila ada orang turun dari loteng dan orang itu bertindak
kurang waspada niscaya kakinya akan terperosok masuk kedalam teko
tembaga tersebut.
Suara terbenturnya teko oleh kaki akan segera menyadarkan dia dari
tidurnya dengan sendirinya diapun tak sampai tersergap oleh serangan
lawan.
Sekembalinya kekursi kembali, satu ingatan melintas dalam benaknya.
"Aah, tidak bisa begini kalau lentera itu tetap berada dalam keadaan
terang benderang berarti orang yang berada diloteng bisa melihat teko
tembaga tersebut yaa, betul. lentera itu harus dipadamkan, aku harus
melakukannya begitu setelah minum air, kemudian memadamkan
lentera dan beristirahat sebentar.
Begitulah, dengan mengikuti keputusan yang diambilnya sendiri, dia
melakukan segala sesuatunya dengan cepat dan ternyata segala
sesuatunya dapat berjalan dengan lancar kecuali air yang diminum
terasa rada aneh, tiada sesuatu yang mencurigakan.
Soal air pun dia telah menduganya sejak semula, karena sebelumnya ia
sudah memeriksa air tadi dengan seksama.
Setelah memadamkan lentera, diapun berbaring diatas meja dengan
santai.
Tapi... tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu yang tidak beres, mengapa
kepalanya terasa berat, pusing dan seperti mengantuk sekali.
Karena lapar ? Tidak tidak benar demikian. Sekarang dia baru mulai
menduga jangan-jangan dibalik air yang
diteguknya tadi ada hal-hal yang kurang beres, diapun mengerti bahwa
ketidak beresan itu terletak dalam soal apa sebab gading hanya bisa
dipakai untuk mengetes ada tidaknya racun, tapi tak dapat dipakai
untuk mengetahui apakah air tersebut mengandung obat pemabut atau
tidak.
Walaupun demikian Mao Tin hong sangat mengerti tentang obat
pemabok itu, sebab dialah yang ahli membuat obat pemabok seperti
ini.
Seperti apa yang dikatakan sebagai Su Nio, obat pemabok yang tidak
berwarna, tidak ber bau maupun berasa seharusnya dengan tenaga
dalam yang dimilikinya, dia mampu mendesak obat pemabok tersebut
ke suatu bagian dari perutnya sebelum obat itu mulai bekerja, kemudian
mendesak nya keluar melalui pori-pori tubuhnya.
Tapi kali ini dia tak sanggup berbuat demikian, alasannya karena obat
tersebut adalah obat yang sengaja dia ciptakan karena dulu dia
mendapatkan bahwa obat pemabuk biasa mempunyai ciri semacam ini,
itulah sebabnya dia sengaja menciptakan obat pemabuk yang tak bisa
dipunahkan bila tidak menelan obat penawarnya.
Makin lama kepalanya terasa makin berat, lebih berat sekali..
^oodwoo^ Sun Tiong lo serta Bau ji, Hou ji serta nona Kim sekalian
serta
Jin-jin dan sekalian dayangnya yang melakukan pengepungan akhir nya
berjumpa satu dengan lainnya ditepi kolam.
Masing-masing rombongan telah melakukan pencarian yang teliti dan
seksama disetiap jengkal tanah yang berada disekeliling situ, akan tetapi
bayangan tubuh dari Mao Tin hong belum juga ditemukan.
Untuk memecahkan teka-teki ini rasanya hanya ada satu jalan saja,
yakni didalam keadaan terdesak Mao Tin hong menjadi nekad dengan
memasuki wilayah yang diliputi kabut beracun.
Pertama-tama Jin jin yang berkata lebih dulu, ujarnya kepada Sun Tiong
lo.
"Ji sauhiap, tampaknya dia telah memasuki wilayah kabut beracun...!"
Sebelum Sun Tiong lo sempat menjawab, Mo Kiau jiu telah berkata
pula:
"Wancu, menurut pendapat lohu, belum tentu demikian keadaannya..."
"Oooh, kalau begitu bagaimanakah menurut pendapat Mo tayhiap?"
tanya Jin jin.
"Wancu sudah cukup lama berpisah dengan bajingan tua she Mao ini.
mungkin kau belum begitu jelas memahami watak serta perbuatan dari
bajingan tua ini. menurut apa yang kuketahui sebelum keadaan
benar-benar menjadi buntu, mustahil bajingan tua itu akan mencari
kematian buat diri sendiri!"
Jin jin tertawa. "Mo tayhiap kau tidak tahu, walaupun wilayah kabut
beracun
penuh dengan ancaman mara bahaya sehingga setiap orang yang
kurang teliti bisa mengakibatkan kematian tapi aku percaya dia pasti
mempunyai cara untuk mengatasi ancaman tersebut !"
"Jadi menurut pendapat Wancu, didalam wilayah kabut beracun
tersebut masih terdapat daerah yang aman ?" tanya Sun Tionglo sambil
berpaling kearah Jin-jin.
Jin jin segera mengangguk.
"Benar, walaupun aku tidak mengetahui keadaan yang sesunguhnya, tapi
kalau berbicara tentang hal ini..."
"Maksud Wancu, kau hanya mengetahui ada kemungkinan tersebut
namun tidak mengetahui secara lebih mendalam ?" sela Mo Kiau-jiu
dengan cepat.
"Betul ! Tiada orang yang pernah memasuki daerah tersebut, tapi aku
masih ingat ketika mendiang ayahku masih hidup dulu, tanpa sengaja
beliau pernah pun berkata, meskipun daerah tersebut penuh dengan
ancaman bahaya maut, bukan berarti suatu daerah yang mematikan.."
Mo Kiau jiu segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Lohu
mengerti sekarang, "kalau toh demikian adanya, lohu
berani memastikan bajingan tua she Mao itu sudah pasti tak akan
memasuki wilayah berkabut beracun itu untuk menyerempet ancaman
bahaya maut..."
"Tapi kenyataannya kepungan kita yang begitu ketatpun tidak berhasil
menemukan jejaknya." seru Jin jin dengan kening berkerut.
Mendadak Mo Kiau jiu seperti menyadari akan sesuatu, dengan wajah
berubah hebat dia segera menyela:
"Tahukah wancu, apakah ditempat ini terdapat tempat lain yang bisa
dipakai olehnya untuk meloloskan diri?"
"Hal ini tak mungkin bisa terjadi" Jin jin segera menggelengkan
kepalanya berulang kali.
Mo Kiau jiu tersenyum. "Bukankah wancu pernah berkata tadi bahwa
didalam wilayah
daerah berkabut racun itu besar kemungkinan ada daerah yang aman.
Jin jin segera mengangguk.
"Ya. kemungkinan ini memang ada, tapi hal terhebat hanya dapat
dijumpai sukar diminta apalagi siapakah yang bisa begitu kebetulannya.
Sekali lagi Mo Kiau jiu menyela: "Lohu justru mengetahui suaru
tempat yang termasuk daerah
kabut beracun, tapi tempat itu justru merupakan tempat-yang paling
aman diwilayah kabut beracun itu, siapa tahu secara kebetulan bajingan
tua she Mao itu kabur kesitu."
"Ooooh, kalau begitu mari kita segera berangkat ke sana." seru Sun
Tiong lo.
Jin jin yang pintar segera dapat menangkap ucapan dibalik ucapan
tersebut, katanya dengan cepat.
"Mao tayhiap maaf kalau aku ingin numpang bertanya mengapa kau
bisa begitu hapal dengan deerah sekitarnya tempat ini ?"
"Wancu!" sahut Mo kiau-jiu sambil menundukkan kepalanya
rendab-rendah. "seharusnya aku masih termasuk setengah orang suku
Biau."
"Kendatipun Mo tayhiap berasal dari suku Biau, tapi kecuali kau pernah
berkunjung ke mari, kalau tidak mustahil kau bisa mengenal dengan
begitu jelas tentang kebun pek hoa wan ku ini ?"
Mo Kiau jiu memandang sekejan kearah Sun Tiong lo, sementara
mulutnya tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Dengan perasaan keheranan Sun Tiong lo segera bertanya: "Mo
tayhiap, kesulitan apa sih yang kau hadapi?" Mo Kiau jiu menghela
napas panjang. "Aai, ada satu hal sudah lama sekali lohu
rahasiakan..." Sangkoan Ki yang telah kehilangan tenaga dalamnya
segera
berteriak sesudah mendengar perkataan itu:
"Bagus sekali, rupanya persoalan apa pun telah kau rahasiakan, kalau
toh begitu mengapa tidak kau utarakan secara blak-blakan sekarang..?"
Dengan gusar Mo Kiau jiu melotot sekejap ke arah Singkoan Ki,
kemudian tidak menggubris dirinya lagi.
Sikap Sun Tiong-Io amat tenang, pelan-pelan ia berkata:
"Seandainya Mo tayhiap merasa ada sesuatu yang kurang leluasa
untuk diutarakan, lebih baik tak usah dibicarakan lagi." Mo Kiau jiu
menggeleng. "Bukan masalah leluasa atau tidak, hanya persoalan ini
sudah
berlangsung banyak tahun yang silam, bukan cuma panjang ceritanya
lagi pula tiada artinya sekarang, aku hanya akan membicarakan soal
yang terpenting saja"
"Kalau memang ingin diucapkan, cepat-cepatlah disampaikan." tidak
tahan Sangkoan Ki menyela.
Kembali Mo Kiau jiu melotot sekejap ke arah Sangkoan Ki, kemudian
baru ujarnya:
"Dulu, oleh karena suatu persoalan, aku pernah berdiam selama dua
tahun didalam wilayah kabut beracun ini dan mendirikan suatu
bangunan aneh untuk seseorang."
Mendengar ucapan ini, dengan penuh curiga Jin jin segera berseru:
"Ah, mata ada kejadian semacam inl? lalu... bagaimana cara Mo tayhiap
memasuki daerah kebun beracun itu ?"
Mo Kiau jiu tertawa jengah. "Masalah bagaimana caraku dapat
melalui tempat kalian dengan
selamat sampai di wilayah kabut itu, untuk sementara tak usah kita
bicarakan tapi lohu berjanji setelah berhasil menangkap Mao Tin hong
nanti, pasti akan kubeberkan semua cerita ini sejelas- jelasnya."
Jin-jin memang seorang wanita yang berjiwa besar, dia segera
mengangguk:
"Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata ini." Mo Kiau jiu
manggut-manggut, katanya lebih jauh: "Didalam perkampungan
yang kubangun itu terdapat sebuah
bangunan loteng yang sangat istimewa, rahasia ini dibilang hanya
diketahui oleh lohu ayah dan anak berdua."
"Di manakah anakmu ?" "Oooh, dahulu dia pernah berdiam di Bukit
pemakan manusianya
bajingan atau she Mao, sekarang..." "Mo tayhiap, apakah putrimu
adalah Su Nio ?" seperti menyadari
sesuatu Sun Tiong-lo segera berseru. Mo Kiau jiu menundukkan
kepalanya semakin rendah. "Yaaa, benar memang dia, anak yang
bernasib jelek." "Dia dan Khong It hong telah kabur dari bukit pemakan
manusia,
sampai sekarang kabar beritanya tidak diketahui." Kemudian setelah
berhenti sejenak, dengan mata berkedip dia
melanjutkan: "Mo tayhiap kau maksudkan putrimu juga tahu tentang
bangunan
loteng itu ?" "Ya, dia tahu bahkan memiliki sebuah peta jalan." Sun
Tiong lo tidak berbicara lagi, tapi dia justru sudah memahami
duduknya persoalan. Setelah termenung beberapa saat, Jin jin bertanya
pula secara
tiba-tiba: "Mo tayhiap, menurut pendapatmu, mungkin kah Mao Tin
hong
telah melarikan diri ke bangunan tersebut ?"
Pelan pelan Mo Kiau jiu mengangguk.
"Seandainya nasibnya sedang baik, kemungkinan tersebut tetap ada."
Sambil menggertak gigi Bau ji berseru: "Mari berangkat kita lihat
apakah dia memang benar-benar disitu,
Mo tayhiap harap membawa jalan." Mo Kiau jiu tidak menolak, sambil
manggut-manggut dia beranjak
pergi lebih dulu. Maka kawanan jago lainnya segera mengikuti pula
dibelakang
mereka. Kurang lebih sepertanak nasi kemudian, Mo Kiau jiu segera
berhenti sambil berkata: "Nah, sudah sampai, selewatnya jalan setapak
tersebut akan
terlihat perkampungannya" "Ehmm" Sun Tiong lo mengangguk, "hari
sudah terang tanah,
sebelum fajar menyingsing lebih baik kita kepung perkampungan ini
rapat-rapat, tapi kalian jangan terlalu menyerempet bahaya, lebih baik
penggeledahan dilakukan setelah terang tanah nanti"
"Semua orang mengangguk dan menelusuri jalan setapak tersebut
mendekati bangunan rumah itu.
Sun Tiong lo, nona Kim, Jin jin dan Mo Kiau jiu berjalan di depan,
menanti semua orang telah mengurung bangunan rumah itu, tiba tiba
Mo Kiau jiu menarik ujung baju Sun Tiong lo sambil berkata:
"Ji sauhiap, harap ikut aku sebentar, ada persoalan yang hendak
kubicarakan denganmu."
Sm Tiong lo mengangguk dan mengikuti Mo Kiau jiu menyingkir dari
situ.
Nona Kim ingin turut ke situ namun Jin jin segera menghalanginya
segera berkata.
"Nona mereka ada persoaIan pribadi yang hendak
dibicarakan.
"Persoalan pribadi ? Masa kaum lelaki pun mempunyai persoalan
pribadi ?" tanya nona Kim agak tertegun.
Jln Jin segera tertawa cekikikan. "Tentu saja ada, persoalan pribadi
kaum pria, mungkin masih
jauh lebih banyak ketimbang wanita." Dengan perasaan tidak habis
mengerti nona Kim menggeleng,
kemudian diliriknya sekejap Sun Tiong lo yang berada disisinya dengan
matanya yang jeli.
Sementara itu, Sun Tiong lo telah memandang sekejap sekeliling
tempat itu, setelah yakin kalau tak ada orang yang mengikuti, dia lantas
berbisik.
"Mo tayhiap kau ada urusan apa?" Dengan suara setengah berbisik
Mo Kiau-jiu berkata: "Ji sauhiap,
sekarang didalam loteng itu ada orangnya." "Ooh, darimana kau bisa
tahu?" "Segenap bangunan loteng ini terbuat dari baja murni dengan
bagian luarnya diberi lapisan batu-batu sebagai bahan untuk
mengelabuhi orang, kini semua pintu dan jendela berada dalam keadaan
tertutup, hal ini menunjukkan kalau didalam bangunan loteng tersebut
ada orangnya."
Sun Tiong lo segera manggut-manggut. "Dapatkah Mo tayhiap
menduga siapa gerangan yang berada
disitu.?" "Kemungkinan besar bajingan tua she Mao, cuma bisa jadi
pula..?" "Bisa jadi pula putrimu serta Khong It hong?" sambung Sun
Tiong lo dengan cepat sebelum pihak lawan menyelesaikan katakatanya.
Mo Kiao jiu segera mengangguk.
"Benar, delapan sampai sembilan puluh persen pasti putriku, sebab
bajingan tua she Mo tidak kenal dengan rahasia bangunan loteng ini,
apa lagi putriku pun tiba tiba lenyap dari peredaran dunia persilatan."
"Mo-tayhiap, selain daripada itu masih ada satu kemungkinan lagi.."
sela Sun Tiong lo untuk kesekian kalinya.
"Ooya? Apa yang ji sauhiap maksudkan?" "Kemungkinan besar
putrimu dan Khong It-hong tiba lebih
duluan disana, dan sekarang secara kebetulan Mao Tin hong sampai
pula ditempat ini, padahal putrimu bukan tandingan bajingan Mao
apalagi kepandaian silat dari Khong It hong pun sudah punah..."
Berubah hebat paras muka Mo Kiau jiu setelah mendengar ucapan
tersebut, dia segera berseru:
"Maksud jt sauhiap, bajingan tua Mao telah berhasil menangkap putriku
dan memaksanya untuk memberikan semua rahasia bangunan loteng
ini?"
Sun Tiong lo manggut-manggut. "Yaa, bagaimana pun juga kita
mesti berpikir dahulu ke hal-hal
yang jeleknya" Untuk beberapa saat lamanya Mo Kiau jiu menbungkam
dalam
seribu bahasa, dia tidak tahu apa lagi yang mesti diucapkan. Sambil
tersenyum Sun Tionglo segera menghibur: "Mo tayhiap tak usah kuatir,
sebentar bila fajar telah
menyingsing, boanpwe akan perintahkan agar semua orang bertindak
dengan berhati-hati, bila didalam loteng itu hanya terdapat putrimu dan
Khong It hong..."
Ucapan tersebut makin tidak melegakan Mo Kiau jiu segera selanya
kembali.
"Andaikata apa yang dikatakan Ji sauhiap benar, putriku sudah ditawan
bajingan Mao dan dipaksa untuk berkomplot dengannya memusuhi
kalian, apa pula yang harus kita lakukan ?"
Sekali lagi Sun Tiong lo menghibur. "Mo tayhiap tak usah kuatir,
boanpwe akan berusaha keras untuk
melindungi keselamatan putrimu !" Mo Kiau-ju menundukkan kepalanya
dan tidak berbicara lagi,
rupanya diapun sadar bahwa masalah telah berkembang sejauh itu,
terpaksa segala sesuatunya biar diatur oleh nasib tapi walaupun
demikian kenyataannya, diapun ingin berjuang untuk terakhir kalinya
demi putri kesayangannya itu.
^oo^dw^oo^ Pelan-pelan Mao Tin hong sadar dari tidurnya, dia
dapat pula
bergerak, cuma sekujur tubuhnya lemas seolah-olah sama sekali tak
berkekuatan, diapun tak mampu mengerahkan sedikit tenaga pun.
Sedang dihadapan matanya berdiri seseorang, sewaktu diamati lebih
seksama, ternyata orang itu adalah Khong It hong.
Dengan cepat Mao Tin hong melompat bangun, sayang sekali tiba-tiba
saja kepalanya terasa pening. telinganya amat sakit. matanya
berkunang-kunang dan seluruh tulang belulangnya seperti pada copot.
Dalam keadaan begini terpaksa dia duduk kembali. Sambil tertawa
seram Khong It-hong berkata: "Sancu, bagaimana kita harus saling
menyebut sekarang?"
seperti dahuIu, tanpa menyebutmu sebagai Gi-hu atau guru atau sancu
saja"
"Nyali anjingmu betul-betul amat besar!" dengus Mao Tin hong penuh
amarah.
Kembali Khong It hong tertawa seram.
"Orang she Mao, kau keliru, nyaliku lebih besar dari harimau, anjing itu
makhluk macam apa? Kalau aku tak bernyali harimau, bagai mana
mungkin aku berani berbicara secara begini denganmu?"
"Anggap saja kau memang hebat. hmm." Mao Tin hong menggigit bibir
kencang-kencang sambil menahan emosi.
Khong lt hong tertawa terkekeh-kekeh. "Sudahlah tak usah marah,
dengan kecerdasan mu, bukan saja
sekarang tak boleh marah bahkan harus menjawab pertanyaanku
dengan sopan dan jujur, tentunya kau sudah memahami maksudku
bukan ?"
Tergerak hati Mao Tin hong sesudah mendengar ucapan tersebut, cepat
dia berseru:
"Aku tidak begitu mengerti !" katanya. Tiba-tiba Khong It hong
menghela napas panjang, katanya lebih
jauh: "Aaah kadangkala nasib manusia memang dapat berubah
menjadi sangat jelek, dahulu Mao sancu, begitu pintar dan cekatan
persoalan apa saja segera diketahui dengan jelas bila disinggung tapi
sekarang, mengapa kebebalan otakmu seperti kayu balok saja ?"
Sambil berusaha keras menahan hawa amarah yang membara. Mao Tin
hong berkata:
"Bila kau ingin berbicara, utarakan saja dengan berterus lerans." atau
kalau tidak, lebih baik jangan banyak mulut!"
"Oh seharusnya sancu mengerti, kau telah menelan obat pemabuk
buatanmu sendiri, bila tiada obat penawarnya maka kau tak akan sadar,
dan sekarang kau dapat sadar kembali, tentu hal ini disebabkan kau
telah menelan obat penawarnya."
Mao Tin hong tertawa dingin.
"Betul, aku memang sudah menelan obat penawar bahkan kau yang
memberikan kepadaku.
Khong It hong segera tertawa terbahak-bahak. "Haaaahh... hhaaahh
bukankah hal tersebut sudah betul ?" "Betul sekali Iagi." Mao Tin
hong tertawa dingin. "aku rasa belum
tentu demikian, aku ingin bertanya kepadamu, kalau toh kau sudah
memberi obat penawar kepadaku dan menyadarkan kembali diriku,
mengapa pula secara diam-diam kau mencekokkan pil pelemas tulang
kepadaku ?"
Khong It-hong tertawa licik, diseretnya sebuah kursi dan duduk didepan
Mao Tin hong, mereka dipisahkan oleh meja baca tersebut sehingga
mirip sekali sepasang teman lama yang saling bertemu.
Setelah duduk pelan-pelan Khong It hong baru berkata. "Sancu, kau
amat lihay, ternyata kau dapat menduga kalau aku
telah memberi pil pelemas tulang kepadamu !" Mao Tin hong
mendengus tanpa menjawab. Kembali Khong It hong berkata: "Padahal
sancu, itu belum terhitung seberapa, aku mempunyai
obat penawarnya !" "Bagus sekali !" Mau tak mau Mao Tin hong harus
membuka
suara. "berikan obat penawarnya kepadaku." Dengan hormat sekali
Khong It hong mengiakan, kemudian
katanya lagi sambil tertawa: "Sancu, adilkah bila aku berbuat begini ?"
Tak terlukiskan rasa mendongkol Mao Tin-hong menghadapi
keadaan seperti ini, saking gemasnya dia sampai menggertak gigi tiada
hentinya.
"Khong It hong, aku telah memberi pelajaran kepadamu tapi kau malah
yang menghadapiku, malah mengatakan tidak adil, sekarang
aku ingin bertanya kepadamu, sesungguhnya apa maksud tujuanmu ?"
"Betul, betul, memang seharusnya kau bertanya secara demikian" Khong
It hong segera bertepuk tangan keras-keras, "sancu maksud tujuanku
sangat sederhana yaitu merepotkan sancu untuk mengadakan pertukaran
secara adil denganku !"
Mao Tin-hong seperti enggan banyak berbicara, dia hanya berkata
singkat:
"Teruskan !" Sambil tertawa cekikikan Khong It hong berkata: "Aku
sudah kehilangan tenaga dalamku, sancu, untuk
melepaskan keleningan harus dicari orang yang mengikat keleningan
tersebut, inilah sebabnya aku pingin mempergunakan obat penawar dari
pil pelemas tulang itu dengan kepandaian silatku yang telah punah..!"
"Aku tak dapat memenuhi keinginanmu itu" "Oooh... sancu enggan
melakukannya atau benar-benar tak
mampu melakukan ?" Mao Tin hong tertawa getir. "Au tak mampu
melakukan bukannya enggan melakukan, coba
bayangkan saja seluruh tubuhku lemas tak bertenaga, bagaimana
mungkin hawa murniku bisa dihimpun untuk menembus jalan darahmu."
Belum selesai dia berkata, Khong lt hong sudah berkata pula: "Itu
mah bukan soal penting, asal kau menyetujui akan kuberikan
dengan segera obat penawarnya dan akupun bisa memperoleh kembali
tenaga dalamku untuk membantu menembusi jalan darahku."
Mendengar perkataan ini, diam-diam Mao Tin hong tertawa kegirangan,
namun diluarnya dia tetap berkata sambil tertawa dingin:
"Heee... heeeh... heeeh... kau anggap aku akan percaya ? Kau akan
memberi obat penawarnya kepadaku? Memangnya kau tidak kuatir ?"
"Tidak kuatir... tidak kuatir, ada kalanya kita memang meski percaya
dengan musuh, seperti apa yang sedang kuhadapi sekarang."
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia berkata Iebih jauh. "Tentu,
saja, agar Sancu bersedia untuk membantuku dengan
sepenuh tenaga, sebelum sancu menelan pil penawar racun itu, aku
mohon agar sancu bersedia meneIan dulu sebutir pil Kiu-yang wan!"
Mendadak Mao Tin hong melompat bangun, kemudian bentaknya
dengan penuh kegusaran.
"Sesungguhnya berapa banyak obatku yang telah kau curi?"
"Haaah... haah... haaah... tidak banyak, tidak banyak, cuma tiga
macam itu saja" "Manis sekali perhitunganmu, bila kutelan Kiu-yang
wan tersebut,
api racun yang membara akan membuat tenaga dalamku berlipat ganda
hingga poan hiat mu bisa kutembusi, tapi aku sendiri..."
Khong It hong tahu apa yang hendak diucapkan Mao Tin hong sambil
menggelengkan kepalanya dia menyela.
"Tidak usah terburu napsu Sancu, aku pasti akan menyerahkan obat
pemunahnya untukmu!"
Mao Tin hong mendengus. "Hmm, sampai waktunya tenaga dalamku
sudah tak mampu
menyamai keadaanku sekarang. "Betul sekali." dia berkata, kembali
Khong It hong menyela: "Harap sancu jangan lupa, sekarang kau sama
sekali tak
bertenaga mengapa tidak sancu pikirkan, biarpun tenaga dalammu
berkurang tiga bagian, toh jauh lebih baik daripada tak berkekuatan
lagi."
Mendengar sampai disitu, Mao Tin hong segera duduk kembali dan
menghela napas:
"Aaai. bila harimau masuk kota, anjingpun berani menganiaya..."
Khong lt hong tertawa terkekeh-kekeh tiada hentinya tanpa
menjawab. Dengan wajah serius Mao Tin hong segera berseru: "Tidak!
Aku tak mau melakukannya, sebab keadaan tersebut jauh
lebih sengsara daripada mati.." Sambil menggelengkan kepalanya sekali
lagi Khong It hong
menukas. "Keliru sancu, kau keliru besar, pepatah bilang asal hayat
masih
dikandung badan, janganlah gampang menyerahkan dengan begitu
saja, saperti misalnya aku, kalau aku ambil keputusan pendek sejak
dulu, bukankah aku sudah-mati lama sekali ?"
Tergerak hati Mao Tin hong setelah mendengar perkataan itu, dengan
cepat dia mengambil keputusan, tapi diapun cukup sadar kalau kelicikan
Khong It hong tidak berada dibawahnya maka dia sengaja mendengus
dan tidak berbicara lagi..
Tampaknya Khong It hong tak ingin mengulur waktu lebih lama lagi,
dia berkata lagi:
"Bagaimana sancu ? Aku sedung menantikan jawabanmu !"
Pelan-pelan Mao Tin hong mendongakkan-kepalanya, kemudian
dengan lagak seakan-akan apa boleh buat dia menyahut. "Baiklah, bawa
kemari obatnya." Khong It hong tertawa terbahak-bahak. "Sancu
mungkin kau sangat dahaga bukan? Obatnya sudah
kusiapkan termasuk airnya." Berbicara sampai disitu, dia membalikkan
badan dan naik keatas
anak tangga, rupanya di situ telah dipersiapkan air dan botol
obat,
botol obatnya terdiri dari dua macam, tak dapat disangkal lagi, yang
satu berisi obat penawar untuk pil pelemas tulang, sedang yang lain
berisikan pil Kiu yang wan.
Pertama-tama dia membuka dulu botol porselen yang berisikan pil Kiu
yang wan, kemudian mengambil sebutir pil sebesar kacang kedelai yang
berwarna merah darah dan diletakkan bersama diatas meja baca
bersama airnya.
Kemudian setelah mundur dua langkah, katanya lagi sambil tertawa
licik:
"Silahkan minum obat sancu!" Dengan tangan yang terkulai lemas
Mao Tin hong memaksakan
diri untuk menggerakan tangan kirinya mengambil pil itu, kemudian
baru mengambil cawannya.
Dalam keadaan sekujur badan tak bertenaga ternyata tangannya
gemetar keras sehingga pil itu tergelinding jatuh keatas meja.
Ketika pil itu menggelinding jatuh kebawah meja, buru-buru Mao Tin
hong memungutnya dengan tangan kanan, kemudian setelah dilihat
sekejap lagi, dia menghela napas dan melemparkan pil tersebut
kedalam mulutnya.
Menyusul kemudian dia mengambil air dingin dan meneguknya sampai
habis, bahkan kemudian membuka mulutnya lebar-lebar dan
diperlihatkan kepada Khong It hong.
Khong It bong tertawa licik, sengaja dia menggelengkan kepalanya
sembari berkata.
"Sancu, buat apa kau mesti berbuat demikian? Masa aku tidak percaya
kepada sancu?"
Kemudian setelah berhenti sejenak dan tertawa seram, dia berkata lagi:
"Sancu, sekarang kau harus miuum obat penawar untuk pil pelemas
tulang itu, kali ini aku akan mengambilkan air teh untukmu, harap kau
tunggu sebentar aku segera akan turun kembali.
Mao Tin hong menggelengkan kepalanya berulang kali. "Khong It
hong, sebentar kita akan bekerja dimana?" "Menurut pendapat
sancu?" Khong It hong balik bertanya sambil
mengerdipkan matanya berulang kali. Bila kau tidak kuatir
membangunkan Su Nio..." "Dia sedang tidur amat nyenyak, mungkin
umuk beberapa saat
mendatang dia tak akan mendusin!" kata Khong It hong sambil
mengangkat bahu.
Mao Tin hong mendengus berat-berat, "Hmm, telah kuduga, andaikata
kau tidak berbuat sesuatu dengannya, mustahil kau berani bersikap
begini berani kepadaku.
Khong It hong tidak menanggapi persoalan itu. dia hanya berkata
begini:
"Sancu. harap kau tunggu sebentar, tempat ini jarang didatangi
manusia, cocok sekali sebagai tempat bersemedi."
Mao Tin hong tidak berbicara lagi, dia memperhatikan Khong It bong
naik ke atas anak tangga.
Belum lama setelah bayangan tubuh Khong It bong lenyap dari
pandangan, sambil menggunakan sisa tenaga yang dimilikinya Mao Tin
hong mengambil keluar sebutir pil berwarna merah dari antara jepitan
tangannya dan cepat-cepat dimasukkan ke dalam saku.
Barusan, rupanya dia tidak sungguh-sungguh menelan pil Kiu yang wan
tersebut, melainkan memanfaatkan kesempatan dikala pil itu
menggelinding di meja, tangan kanannya segera mengeluarkan sebutir
mutiara kecil berwarna merah yang sama bentuknya dengan obat itu
untuk mengibuli lawannya.
Kendatipun Khong It hong licik dan banyak tipu muslihatnya, toh ia
terkecoh juga.
Sebenarnya Mao Tin hong hendak memakai alasan demi kelancaran
bersemedi nanti, dia hendak menipu Khong lt hong
membawanya ke atas loteng. siapa tahu Khong It hong cukup
berhati-hati sehingga tidak terperangkap oleh tipu musIihatnya.
Selang beberapa saat kemudian, Khong It hong baru nampak muncul
sambil membawa-sebuah cawan berisi air teh dan segera diserahkan
kepada Mao Tin-hong.
Mao Tin hong cukup memahami maksud hati Khong It-hong, rupanya
dia sengaja mengulurkan waktu agar pil Kiu yang wan yang di telannya
itu keburu bekerja lebih dulu.
Padahal Mao Tin-hong tidak sungguh-sungguh menelan pil itu, maka ia
dapat bersikap tenang sekali, walaupun diluarnya dia berpura pura
seperti tidak tahan oleh daya kerja obat itu!
Setelah menerima air teh dan obat penawar pil pelemas tuIang, kail ini
Mao Tin hong bekerja cepat, tidak perduli air teh itu masih panas atau
tidak, sekaligus menelan pil itu dan meneguk air tehnya.
Menyaksikan hal tersebut sambil tertawa Khong It hong berkata kepada
Mao Tin hong:
"Sancu, ada satu hal lupa kuberitahukan kepadamu." Aku pun sudah
tahu kalau kau sudah lupa mengatakan persoalan
apa..." sahut Mao Tin hong sambil tertawa seram pula. "Ooh, bagus
sekali, kali ini sancu telah bersikap cerdik, tolong
tanya perkataan apakah yang sudah lupa kukatakan padamu tadi." Mao
Tin hong tertawa. "Kau lupa memberitahukan kepadaku kalau didalam
pil Kiu-yang
wan tersebut telah ditambah lagi dengan obat-obatan lain, sehingga di
dalam bersemedi nanti aku berani melakukan suatu tindakan lain, maka
setelah kau mati maka akupun tak dapat hidup lebih jauh, bukankah
begitu ?"
"Betul, betul. betul sekali " Khong It hong segera bertepuk tangan
sambil memuji. "Sancu memang tetap seorang sancu, bagaimanapun
juga aku harus mengagumi dirimu !"
Sambil tersenyum Mao Tin hong menggelengkan kepalanya berulang
kali.
"Tidak, akulah yang seharusnya kagum kepadamu, coba bayangkan
dengan kepandaian silat dan kecerdikanku ternyata aku dapat menerima
kau sebagai murid kesayanganku, menganggap kau sebagai orang
kepercayaanku bahkan menganggap kau sebagai anak angkatku, tapi
akhirnya kau toh sebagai manusia berhati serigala yang tak mengenal
budi, Khong It hong, coba bayangkan, bagaimana mungkin aku tidak
kagum kepadamu ?"
Khong It hong tidak gusar, malahan katanya sambil tertawa:
"Ucapan inipun bagus sekali, kita memang benar-benar berasal
dari jenis manusia yang sama, wataknya sama, jalan pemikirannyapun
sama, selanjutnya kita harus bersikap lebih mesrah lagi agar bisa hidup
berdampingan beberapa tahun lebin lama !"
"Bagaimana berdampingannya ?" Khong It-hong tertawa
terkekeh-kekeh. "Gampang sekali, dulu kepandaian silatmu sangat
lihay, tenaga
dalammu amat sempurna maka setelah meminjam kekuatan Kiu
yang-wan untuk menembusi jalan darah poan hiat ku maka selama
hidup kau tak bakal dapat menandingiku lagi."
"Saat itu kitapun harus saling bertukar panggilan lama, aku akan
menjadi majikannya dan kau sebagai budakku, kita sama-sama terjun
kedalam dunia persilatan untuk merajai kolong langit. bukankah begitu?"
Mao Tin hong tertawa terbahak-bahak. "Haaha... haaah... aku tidak
begitu, Khong It hong, aku rasa kau kelewat awal untuk berbangga lebih
dulu, jangan lupa sekarang aku toh belum membantu untuk menembusi
jalan darah poan hiat mu!"
Khong It hong manggut-manggut.
"Benar tapi sancu pun jangan lupa, bila kau berani mengingkari janji,
belum tentu aku akan mati, tapi sancu pasti tak akan hidup terus
didunia ini"
Sekali lagi Mao Tio bnng tertawa terbahak-bahak, sekarang dia sudah
merasa kalau tenaga dalamnya telah pulih kembali, tentu saja dia tak
usah merasa takut lagi.
Khong lt hong tidak bohong, diapun tahu kalau tenaga daIam yang
dimiliki Mao Tin hong sekarang telah pulih kembali tapi diapun merasa
punya pegangan, kecuali Mao Tin hong sudah bosan hidup dan ingin
mencari kematian untuk diri sendiri...
Tapi ucapan selanjutnya dari Mao Tin hong telah memotong jalan
pikiran Khong It hong, bahkan membuatnya bergidik dan paras
mukanya berubah menjadi pucat pasi seperti mayat.
"Betul betul !" Selesai tertawa, Mao Tin hong melontarkan ke dua
patah kata
tersebut. Kemudian setelah tertawa dingin dengan nada yang
menyeramkan ia berkata lebih jauh. "Khong It hong terus terang saja
kukatakan kepadamu Pil Kui
yang wan mu itu sama sekali tidak lohu telan, aku hanya memanfaatkan
obat penawar racun pelepas tulang saja?"
Ketika Khong It hong mendengar dengan terperanjat, Mao Tin- hong
berkata lebih jauh:
"Hm, kalau mengandalkan sedikit kemampuanmu itu lantas kau hendak
mempermainkan lohu, heeeh, heeeh, masih selisih jauh sekali bocah
bodoh, sekarang sudah waktunya bagi lohu untuk menganiaya dirimu !"
Gemetar keras sekujur badan Khong it hong karena ngeri, katanya
kemudian:
"Tii.. tidak mungkin, aku... aku menyaksikan kau menekan pil itu..."
Mao Tin hong merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan pil Kiu
yang wan tersebut lalu sambil diperlihatkan kepada lawannya, dia
berkata:
"Pentangkan mata anjingmu lebar-lebar dan perlihatkan ini dengan
jelas."
Khong It hong begitu dapat melihat jelas, segera mundur lagi beberapa
langkah.
Sekarang dia sudah berada dekat dengan anak tangga menuju ke
loteng.
Sambil tertawa seram Mao Tin hong segera berseru: "Khong It hong
yang tak berguna, sekarang asal lohu
menggerakan tanganku maka walaupun kau berada beberapa kaki
jauhnyapun akan tertangkap juga, lebih baik bersikaplah lebih alim dan
cepat berdiri baik-baik di hadapanku!"
Khong It hong mundur lagi, tangannya sudah meraba diatas anak
tangga.
Sambil tertawa seram Mao Tin hong segera membentak: "Tampaknya
sebelum melihat peti mati, kau tak akan
mencucurkan air mata, baik, aku akan menyuruh kau rasakan
kelihayanku!"
Sambil berkata dia menyentilkan jari tangannya kedepan, segulung
desingan angin tajam segera menyerang tangan kanan Khong It hong
yang berpegangan pada anak tangga hingga kelima jari tangannya
hancur berantakan.
Khong It hong menjerit kesakitan, dia segera membalikkan badan dan
sekuat tenaga melarikan diri keatas loteng.
Tentu saja Mao Tin hong tidak membiarkan dia kabur keloteng,
tubuhnya berkelebat ke-depan dan tahu-tahu sudah sampai dibelakang
punggung Khong It hong, begitu dicengkeram dia segera melemparkan
tubuh lawannya kesisi kanan meja baca dekat patung.
Terlentang diatas lantai, Khong It hong menjerit kesakitan seperti babi
mau dlsembelih, jeritan ngerinya kali ini berkumandang sampai diluar
loteng sana.
Sambil tertawa dingin Mao Tin hong berjalan mendekati Khong It hong,
kemudian serunya:
"Ayo cepat bangun!" Khong It hong meronta bangun dan mundur
dengan ketakutan,
ketika tubuhnya menyentuh patung manusia di belakangnya mendadak
satu harapan melintas dalam benaknya.
Pada saat itulah orang-orang yang berada diluar loteng telah berhasil
mencapai diluar dinding ruang.
Yang muncul tidak banyak, mereka adalah Sun Tiong lo, Bau ji Hau ji,
Jin jin dan Mo Kiau jiu.
Sebenarnya mereka tidak berniat mendekati tempat tersebut, tapi dua
kali jeritan ngeri itu membuat mereka harus mendatangi tempat
tersebut lebih awal.
Dengan paras muka berubah hebat dan kening berkerut Mo Kiau jiu
segera berseru:
"Tidak menjadi masalah, Ji sauhiap, harap ikuti aku, mari kita masuk
kedalam."
"Masuk? Apakah masih ada pintu pintu lain?" "Ada, diloteng dan
perkampungan ini, terus terang saja aku
menguasainya penuh, sebab akulah yang membangunkan tempat ini
sebagai tempat pertapaan seorang jago persilatan yang berilmu tinggi."
"Agaknya majikan tua tempat ini mempunyai maksud lain, dia berpesan
kepadaku agar membuatkan pintu rahasia lain tanpa diketahui oleh jago
yang bertapa disini, dan hari ini..."
"Baik, mari kita masuk!"
Belum habis dia berkata, mendadak tangga berputar itu terangkat keatas
dan muncul sebuah pintu rahasia, Sun Tiong lo sekalian tahu-tahu sudah
berada di ruang dalam loteng itu.
Mo Tin hong dapat mendengar pula suara bergesernya anak tangga,
ketika dia berpaling dan melihat jelas kemunculan Sun Tiong lo sekalian,
ia menjadi terperanjat dan untuk beberapa seat lamanya berdiri
tertegun disitu.
Disaat Mao Tin hong sedang tertegun itulah Khong It hong berteriak
secara tiba-tiba:
"Mao Tin hong hari ini kau sudah ditakdirkan untuk mampus..."
Karena teriakannya itu, tanpa terasa Mao Tin hong berpaling ke
belakang. Mendadak saja Khong It hong menggerakkan tangan kirinya
menekan ikat pinggang patung manusia dibelakangnya. Dari mulut,
mata dan hidung patung manusia tadi segera
memancar keluar lima gulung pancuran air yang segera memancar ke
muka.
Kebetulan sekali Mao Tin hong berdiri di hadapannya dalam jarak tak
sampai dua depa, dalam keadaan tak siap apalagi sedang gugup
bagaimana mungkin dia dapat menghindarkan diri?
Tak ampun lagi sekujur badannya dari kepala sampai kaki tersembur air
tersebut.
Tiba-tiba Mao Tin hong melompat-lompat sambil menutupi wajahnya
dan lari kesana ke mari seperti orang gila, mulutnya berteriak-teriak dan
menjerit seperti babi disembelih, kematian seperti ini tentu saja
membuat semua orang tertegun.
Yang memahami keadaan tersebut hanya Mo Kiau jiu seorang, sambil
menggelengkan kepalanya berulang kali dia berkata:
"Ia terkena air racun penghancur tulang, mustahil Mao Tin hong dapat
hidup lebih jauh bahkan jenasahnya akan hancur tak berbekas."
Ucapan itu memang tak salah, tak selang berapa saat kemudian tubuh
Mao Tin hong telah berubah menjadi separuh badan ditambah separuh
gumpalan air berbau busuk.
Tapi Khong It-hong yang menyemburkan air beracun itupun tak dapat
lolos dari kematian, tapi sebelum kematiannya dia sempat
memberitahukan dimana Su nio berada, sehingga Mo Kiau-jiu pun dapat
berkumpul kembali dengan putrinya.
Sampai disini pula kisah "Bukit pemakan manusia" ini, sampai jumpa
dilain cerita.
TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Panas asmara Silat : Bukit Pemakan Manusia 6 Tamat dan anda bisa menemukan artikel Cerita Panas asmara Silat : Bukit Pemakan Manusia 6 Tamat ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/cerita-panas-asmara-silat-bukit-pemakan.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Panas asmara Silat : Bukit Pemakan Manusia 6 Tamat ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Panas asmara Silat : Bukit Pemakan Manusia 6 Tamat sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Panas asmara Silat : Bukit Pemakan Manusia 6 Tamat with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/cerita-panas-asmara-silat-bukit-pemakan.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar