Cerita Panas ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 20 Juli 2012

Cerita Panas ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 1-Cerita Panas ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 1-Cerita Panas ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 1-Cerita Panas ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 1-Cerita Panas ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 1
Bukit Pemakan Manusia
Karya : Khu Lung
Saduran : Tjan ID

Jilid 1 BAB
KESATU
Bukit ini merupakan salah satu antara "Sip ban-toa-san" sepuluh laksa
buah bukit yang ada di daratan Tionggoan.
Konon bukit ini jauh lebih berbahaya dan lebih tinggi serta lebih curam
jika dibandingkan dengan bukit Kau-leu-san yang merupakan
puncak paling berbahaya diantara Sip-ban-toa san, tapi berita ini susah
untuk dibuktikan.
Masalahnya sukar dibuktikan adalah belum pernah ada orang yang bisa
mencapai puncak bukit itu.
Bukit ini tidak bernama tapi penduduk disekitarnya memberikan suatu
nama yang mengerikan sekali bahkan turun temurun melarang anak
cucunya untuk mendekati bukit itu.
Bukit tersebut mereka namakan . . . . Bukit pemakan manusia ! Bukit
bisa makan manusia ? kedengarannya memang agak
janggal. Tapi kenyataannya bukit pemakan manusia ini benar-benar
bisa
makan manusia, tidak percaya ? Terserah ! Konon pada dua puluh
tahun belakangan ini, sudah ada beratusratus
orang dalam dunia persilatan yang tidak percaya dengan tahayul
atau mereka yang tidak puas dengan cerita burung atau mereka yang
tidak merasa ilmu silatnya sudah "top" berbondong- bondong
mendatangi bukit ini.
Tapi kenyataannya, beratus-ratus orang jago persilatan itu ibaratnya
"batu yang kecemplung ditengah samudra" begitu masuk kedalam bukit
itu jejaknya lantas lenyap tak berbekas bahkan mayat merekapun tak
pernah berhasil ditemukan.
Itulah sebabnya nama bukit pemakan manusia kian lama kian
bertambah termashur di kolong langit.
Selain pemakan manusia kebaikan apakah yang dimiliki bukit pemakam
manusia itu ?
Ada ! Disana terdapat tiga jenis benda yang langka sekali. Pertama
adalah pasir emas yang berada dibawah jurang, kedua
adalah semacam buah aneh dan ketiga adalah sejenis rotan yang
berbentuk sangat aneh pula.
Buah aneh tersebut mempunyai manfaat bisa menambah kekuatan
kelelakian seseorang tentu saja benda itu merupakan bahan yang tak
boleh ketinggalan untuk membuat obat kuat penambah birahi nilainya
tak terhitung oleh jari tangan, apalagi setelah dikeringkan harganya bisa
mencapai ribuan tahil emas murni ?
Ya. dimaksudkan Rotan aneh adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang
amat beracun bila dibakar akan menerbitkan asap merah yang tebal,
siapa saja yang mengendus bau tersebut segera akan roboh tak
sadarkan diri, racun ini jauh lebih hebat dari pada bahan racun apapun
yang dimiliki para jago Liok-lim.
Bukan begitu saja rotan aneh ini masih memiliki manpaat serta
kegunaan lainnya lagi.
Sedangkan kegunaan dari pasir emas sudah barang tentu diketahui
setiap orang siapa yang tidak hijau matanya melihat pasir menggunung
yang ternyata terdiri dari emas murni.
Justru karena didalam bukit pemakan manusia terdapat tiga macam
mustika yang amat merangsang keinginan orang maka walaupun amat
berbahaya dan tak pernah ada yang pulang dengan selamat, orang
persilatan masih saja berusaha untuk menyelundup masuk.
Hingga tiga tahun berselang dapat terbukti dengan jelas bahwa memang
tak ada manusia yang bisa pulang dengan selamat dari bukit tersebut,
semenjak itulah rasa ingin tahu orang-orang persilatan mulai dapat
dicegah.
Hari ini ketika lewat tengah hari tiba2 diatas jalanan menuju kearah
bukit pemakan manusia muncul seorang penunggang kuda, tampaknya
orang inipun seorang dunia persilatan yang tidak percaya dengan
keangkeran bukit tersebut.
Kuda tunggangan orang itu amat kurus dan amat mengenaskan sekali,
bulu-bulunya yang semula indah sekarang sudah menggumpal disana sini
bahkan susah untuk membedakan warna apakah kuda itu.
Dari sini bisa diketahui kalau kuda itu sudah lama tak pernah
dimandikan.
Keempat buah kakinya kasar dan bengkak dengan bulu yang kotor,
begitu kurus kuda tersebut sehingga ibaratnya kulit pembungkus
tulang...
Ketika melihat kearah penunggangnya ternyata jauh lebih mengenaskan
lagi ketimbang kuda tersebut.
Jubah panjang yang dikenakan itu sudah kotor dengan debu,
sebenarnya baju itu berwarna biru muda tapi lantaran terlalu sering
terhembus angin dan tertimpa hujan warna dasarnya sudak luntur
sehingga tinggal sejenis warna yang sukar dilukiskan dengan kata2.
Ikat pinggangnya tidak terbuat dari kain melainkan berupa suatu tali
yang aneh sekali bentuknya, sepasang sepatunya mana dekil sol
sepatunya sudah robek lagi, sepantasnya kalau masuk ke tong sampah !
Kaos kaki warna putih itu sudah berwarna abu2 rambut kusut dan
kotor, pokoknya keadaan orang itu mengenaskan sekali.
Dia umur 20 tahun mukanya tampak segar merah dadu dan tidak
tampak berpenyakitan.
Pemuda itu tampaknya memang sangat aneh padahal ia tidak mirip
dengan seorang jago persilatan kalau dibilang sesungguhnya maka dia
lebih mirip dengan seorang sasrawan rudin yang sedang melakukan
perjalanan jauh.
Kalau bukan orang persilatan mau apa dia jauh-jauh datang ke bukit
pemakam manusia yang berbahaya itu ?
Apakah dia sudah bosan hidup ? Atau ingin menghantar jalan
kematiannya sendiri ?
Jawabnya belum ada yang tahu ! Akhirnya kuda kurus itu semakin
mendekati mulut masuk bukit
pemakam manusia itu.
Pada saat itulah dari sakunya pemuda itu mengeluarkan sebuah peta dan
dibentangkan diatas kuda smbil meneliti peta tersebut ia sering
mendongakan kepalanya untuk mencocokan dengan kenyataan yang
sedang dihadapinya. Akhirnya pemuda itu manggut2 gumamnya:
"Peta ini cukup jelas dan cermat tak salah lagi sudah pasti bukit ini...!"
Didengar dari gumaman ini rupanya dia memang sengaja hendak
berkunjung ke bukit itu.
Kemudian sambil menyimpan kembali peta tersebut kedalam sakunya, ia
bergumam lagi.
"Menurut perhitungan, aku sudah dua hari lebih cepat dalam perjalanan,
bila kulewati bukit ini maka perjalanan akan kupersingkat dengan tiga
hari lagi, itu berarti dengan sisa kelebihan sebanyak lima hari, mungkin
lebih banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan!"
Dari kata-kata ini, jelaslah mengapa pemuda itu melewati bukit
pemakan manusia.
Ternyata dia lewat dibukit tersebut karena ingin memotong jalan dan
mempersingkat waktu perjalanannya, karena ada urusan penting maka
sepanjang jalan ia membedal terus kudanya dan sekarang ingin
mempersingkat waktu dengan dua hari.
Tak heran kalau pemuda itu meski bukan seorang jago persilatan
ternyata berani masuk ke bukit pemakan manusia
Dalam waktu singkat, pemuda itu sudah menembusi tanah perbukitan
yang terjadi dengan pepohonan serta batu karang yang berserakan di
mana-mana.
Tak lama kemudian sampailah pemuda itu didepan sebuah batu
peringatan yang sangat besar.
Diatas batu peringatan itu tertera beberapa huruf yang amat jelas
sekali.
Pemuda itu mendekatinya dan membaca tulisan itu: "Batu perigatan
ini terletak setengah li dari mulut bukit, mulai
dari sini bila masuk kedalam itu berarti anda telah memasuki wilayah
tanah perbukitan kami, waktu itu ingin mengundurkan diri lagi akan
sulit."
"Jalan kecil disebelah kanan tugu ini menghubungkan tempat ini dengan
jurang mestika yg menghasilkan pasir emas, sepuluh li dari sini jurang
iiu dinamakan jurang pemikat manusia artinya emas murni dapat
memikat manusia.
"Sebelah kiri jalan menghubungkan tempat penghasil buah khiko disana
terdapat kebun buah yang penuh dengan pohon buah terserah anda
akan memetik berapa banyak buah yang tumbuh disana tapi hati-hati
dijalan."
"Jalan lurus kedepan merupakan jalan menanjak keatas bukit, tempat
ini jarang dilewati orang karena semak yang lebat dan tanah yang
gersang, jalan ini bisa menembusi sampai tempat penghasil rotan aneh
ingat ! Jangan menimbulkan kebakaran bisa keracunan !
"Diatas bukit ini hidup pula sekelompok monyet sakti dihari hari biasa
mereka jarang berkeliaran tapi berkekuatan dahsyat dapat merobek
tubuh manusia dan binatang berhati hatilah bila bertemu !"
Membaca sampai disitu pemuda itu berhenti sejenak dan bergumam:
"Aku hanya bermaksud menembusi bukit ini untuk menyingkat jalan itu
berarti jalan tengahlah yang harus kupilih !"
Setelah bergumam pemuda itupun membaca lebih jauh: "Teman teman
sekalian pada saat ini lohu hendak memperingatkan kepada kalian,
setiap benda yang ada dan tumbuh diatas bukit ini bukanlah benda2
yang tak bertuan."
"Bukit ini milik lohu, semua benda dan tumbuhan yang dihasilkan diatas
bukit ini tentu saja jadi milik lohu, karena itu lohu mempunyai tugas
dan kewajiban untuk melindungi bukit ini !"
"Itulah sebabnya lohu tak akan membiarkan harapan kalian tercapai, ku
peringatkan kepada kalian lebih baik pulang saja, putarlah badanmu dan
turunlah dari bukit ini.
"Kalau tidak entah kalian jalan ke kiri atau kekanan akan langsung naik
keatas bukit, bila berani melewati sepuluh kaki dari tugu ini maka kalian
akan mampus. karena sudah melangkah masuk kedaerah terlarang lohu.
"Barang siapa tidak menuruti nasehat lohu dan bersikeras memasuki
daerah terlarang ini, entah dia laki laki atau perempuan, tidak perduli
apa alasannya, lohu akan menghukum mati dirinya tanpa ampun
sehinggu mayatnya tak berwujud.
"Pulanglah, sekarang masih belum terlambat, kalian harus berpikir yang
tenang, bila sampai mati disini, ayah ibu, anak istrimu yang ada dirumah
tentu akan merasa sedih sekali pulanglah !"
Selesai membaca batu peringatan itu pemuda tersebut berdiri tertegun
dan termangu-mangu seperti orang bodoh.
Ia berpikir sebentar kemudian menggelengkan kepalanya berulang kali:
"Tidak dapat diterima! sama sekali tak dapat diterima ! sekalipun bukit
ini menjadi milik mu, meski semua benda disini milikmu kau juga tidak
berhak untuk menghukum mati orang-orang yang datang mencuri
barang milikmu."
"Apalagi masih ada banyak diantara mereka yang tidak berniat
untuk-mengincar pasir emas buah hi ko dan rotan aneh seperti aku ini,
apakah perbuatanku ini juga ter masuk melanggar hukum ?"
"Dikolong langit tak ada manusia yang tak tahu aturan seperti kau tidak
bisa diterima ! sekarang aku lagi ada urusan penting yang harus tiba
ditempat tujuan sebelum waktunya, aku bertekad akan memotong jalan
melewati bukit ini !"
Sehabis berkata tanpa ragu-ragu lagi ia melompat naik keatas kudanya
dan berjalan melalui jalan tengah bukit.
Sepuluh kaki sudah lewat... Baru mencapai kejauhan sepuluh kaki
dari batu peringatan tadi
disana muncul kembali sebuah batu peringatan yang tingginya satu kaki
lebih.
Diatas batu peringatan tu tertera beberapa huruf besar yang berwarna
merah darah:
"Pulanglah, kalau maju kedepan lagi akan mampus !" Sekali lagi
pemuda itu tertegun, kemudian gelengkan kepalanya,
menghela napas dan menuntun kudanya untuk meneruskan perjalanan
Mendadak ia berhenti sejenak, kemudian mendongakkan kepalanya
bergumam:
"Betul, diatas batu peringatan, barang siapa berani maju kedepan akan
mati, tapi tidak mungkin bagiku untuk berbalik lagi, semuanya sudah
terlambat, kalau urusan sampai terbengkalai aku sendiripun tak bisa
hidup."
"Apalagi kehidupanku di dalam dunia ini masih panjang, kalau bertemu
denggan mara bahaya lantas mundur, apa pula yang bisa kulakukan lagi
?"
"Bagaimana mungkin aku bisa hidup tegak diantara kehidupan manusia
yang penuh dengan duri dan rintangan?"
Berbicara sampai disini, dia lantas menarik kudanya dan melanjutkan
kembali perjalanan naik keatas bukit.
Kali ini dia melewati batu peringatan bertulis huruf merah itu tanpa
berpaling lagi, dengan dada dibusungkan dia maju kedepan.
-ooo0dw0ooo- ANGIN kencang tiba tiba menghembus lewat, daun
dan pasir
beterbangan diangkasa mendadak cuaca yang semula berubah menjadi
mendung gelap.
Angin yang menghembus makin kencang membawa udara yang amat
dingin sekali, pemuda itu agak menggigil lalu mendongakkan kepalanya
melihat cuaca, melihat awan gelap di udara serunya kembali:
Apalagi dalam keadaan seperti ini, selain ada urusan besar yang segera
harus diselesaikan, apalagi sedang berada diatas tanah perbukitan yang
curam dan berbahaya sungguh membuat orang terasa jemu.
Pemuda itu mengerutkan dahinya, kemudian melanjutkan perjalanan
dengan cepat.
Rambut, alis mata dan wajahnya sudah basah oleh butiran air hujan.
selain bajunya basah kuyup seperti baru tercebur ke dalam kolam
semakin mengenaskan lagi.
Dalam waktu singkat inilah cuaca berubah menjadi gelap gulita.
Dalam kegelapan seperti ini susah bagi pemuda itu untuk melihat
benda yang berada Iima kaki yang di hadapannya, tapi sambil
membusungkan dadanya pemuda itu melanjutkan terus perjalanannya.
Angin dan air hujan telah membuat badannya menggigil tapi pemuda itu
tetap meneruskan perjalanannya selangkah demi selangkah menelusuri
jalan setapak yang licin.
Hujan makin lama semakin deras, seolah olah ditumpahkan dari atas
langit, pemuda itu mulai kedinginan badannya menggigil keras dia
menengok kesana kemari berusaha menemukan tempat yang bisa
dipakai untuk berteduh dari timpaan air hujan.
Tapi disana hanya ada tanah berbatu yang gersang, pada hakekatnya
sulit untuk menemukan yang bisa untuk berteduh.
Untunglah Thian masih maha pengasih, dalam keadaan basah kuyup
dan kedinginan itu dia menemukan sebuah cahaya lampu bersinar dari
balik bebatuan disebelah kanan jalan.
Cahaya lentera itu banyak, ketika di hitung secara diam-diam ternyata
jumlahnya mencapai puluhan buah lebih, sekalipun pemuda itu merasa
keheranan dengan cahaya lentera itu, tapi waktu itu tiada pilihan lain
baginya.
Ada cahaya lampu berarti ada rumah penduduk ia lalu menuntun
kudanya kesana.
Tak lama kemudian, sampailah pemuda itu di bawah lampu lentera yang
pertama.
Ia mendongakkan kepalanya memandang lentera yang digantungkan
tinggi diatas tiang itu, wajahnya tampak berseri.
Ternyata lampu lentera itu semuanya berjumlah tiga puluh enam buah,
jarak antara lentera yang satu dengan lainnya kira kira mencapai tiga
kaki lebih, oleh karena digantukan pada tiang yang sangat tinggi maka
sinar lampunya sudah dapat terlihat dari kejauhan sana.
Dengan lentera2 tersebut, sekalipun seorang yang sedang berjalan
ditengah hujan deras, atau hujan salju atau kabut tebal, berjalan
kakipun bisa melihat jelas jalan gunung itu dan tak sampai terjerumus
kedalam jurang.
Meminjam cahaya lentera itu, lama-lama pemuda itu menjumpai pintu
gerbang sebuah perkampungan nan jauk disebelah sana, sekarang dia
baru mengerti, rupanya deretan lentera itu sengaja diatur oleh pemilik
perkampungan itu sebagai penerangan jalan.
Tanpa ragu lagi pemuda itu menuntun kudanya dan mendekati
perkampungan tersebut.
Ketika tiba dipintu ia malah menjadi sangsi, ternyata suasana dalam
perkampungan itu justru gelap gulita tak tampak setitik cahaya
lenterapun, apalagi sesosok bayangan manusia, sebaliknya pintu
gerbang terbuka lebar-lebar.
Sekalipun demikian pemuda itu enggan untuk melangkah masuk
kedalam, bukankah masuk kerumah orang tanpa permisi adalah sesuatu
perbuatan yang tak sopan.
Waktu ini hujan turun semakin deras, udara terasa dinginnya bukan
kepalang, setelah berpikir sebentar, dia lantas berteriak keras:
"Ada orangkah disini ?" Tiada jawaban ! tak terdengar ada sahutan...
Butiran air hujan menetes dari rambutnya melewati tengkuk dan
membasahi punggung, sekujur tubuh pemuda itu kembali mengigil
sepasang giginya saling bergemerutukan.
Ia sudah tak sanggup untuk menahan rasa dingin dan lapar yang
menyerang tubuhnya, kemudian mengintip kedalam ternyata disebelah
kiri pintu gerbang bangunan tersebut terdapat pula tiga buah rumah
batu.
Rupanya ruangan batu itu khusus digunakan untuk menampung orang
kebetulan lewat disana, tanpa ragu lagi pemuda itu menuntun kudanya
dan menambatnya didepan rumah.
Baru saja akan melangkah masuk dalam ruangan satu ingatan kembali
melintas dalam benakaya ia lantas berteriak:
"Ada orangkah disana ? dia ada orang dalam rumah ini ?" Belum
juga terdengar suara jawaban. Maka dia berteriak lebih
jauh: "Aku yang muda kemalaman dijalan, apa lagi ketimpa hujan yang
begini derasnya, badanku sudah penat dan lelah maaf kalau terpaksa
aku yang muda akan masuk sendiri ke dalam rumah !"
Pemuda itu memang seorang yang sopan, sekalipun berada dalam
keadaan yang demikian sebelum masuk kerumah orang dia tak lupa
untuk memberitahukan dulu maksud kedatangannya, dari sini bisa
diketahui bagaimanakah wataknya dihari-hari biasa.
Demikianlah, setelah berteriak diapun mendorong pintu dan melangkah
masuk kedalam rumah batu itu.
Suasana didalam rumah batu itu gelap gulita, setelah meraba kesana
kemari sekian lama nya ia baru berhasil menemukan batu api dan
membuat api.
Berkat cahaya api redup pemuda berhasil menemukan sebuah lilin di
meja ketika lilin itu telah disulut maka suasana dalam ruangan itu baru
kelihatan jelas.
Pelbagai benda terdapat didalam ruangan itu disudut ruangan malah
terdapat setumpuk kayu kering cuma baik itu ranjang atau kursi meja
dan lantai semuanya sudah dilapisi dengan debu yang sangat tebal.
Ia mengerutkan dahinya lalu lepaskan jubah panjang itu. Dasar
masih muda dan kurang pengalaman ternyata pemuda itu
sama sekali tidak menaruh curiga dengan tempat sekitarnya.
Bayangkan, ditengah tanah yang begitu gelap terpencil dan
bahaya tiba2 dijumpai sebuah perkampungan yang begitu besar nan
megah apakah hal ini bukan suatu yang pantas dicurigai ?
Seandainya dalam perkampungan itu ada penghuninya mungkinkah
mereka tidak mendengar dengan teriakan2 tadi ? Tambah pula debu yang
begitu tebal dalam ruangan tersebut seharusnya pemuda itu akan
bertambah waspada.
Tapi pemuda itu rupanya tidak berpikir sampai kesitu, ia mengeluarkan
sapu tangannya yang sudah kotor untuk membersihkan dinding dari debu
kemudian menggantungkan jubahnya yang basah disana.
Baru saja jubah itu digantungkan mendadak dari belakang tubuhnya
terdengar seseorang menegur dengan suara dalam:
"Hay bagaimana caramu masuk kemari ?" Sedemikian mendadaknya
teguran itu berkumandang saking
terperanjatnya seluruh badan pemuda itu, sampai menggigil keras."
Menanti dia membalikan badannya, orang itu sudah berseru
kembali:
"Hey kau bisu ?!" Tak bisa menjawab ?!" Orang itu adalah seorang
kakek yang memakai baju tidak terlalu
panjang juga tidak terlalu pendek, ditangannya membawa lentera.
Dengan sikap yang hormat pemuda itu segera memberi hormat
kepada kakek tersebut kemudian katanya: "Harap suka dimaafkan
berhubung aku yang muda kehujanan
dijalan lagi pula tersesat maka terpaksa aku ingin menumpang semalam
ditempat ini...."
Belum habis ia berkata, dengan tak sabar kakek itu telah menukas:
"Siapa yang menanyakan soal itu kepadamu ? Aku hanya bertanya
bagaimana caramu masuk kemari ?!"
Sekali lagi pemuda itu memberi hormat sahutnya: "Aku yang muda
sudah berteriak beberapa kali didepan pintu
gerbang perkampungan ini berhubung tak ada yang menjawab aku
sudah kedinginan dan kelaparan maka terpaksa..."
Dengan mata mendelik kakek menukas: "Jadi kalau tada jawaban dari
tuan rumah kau boleh
sembarangan masuk kemari ? Aku mendengar teriakanmu itu kalau
tidak ku dengar teriakanmu tadi mau apa hujan2 begini aku datang
kemari ? sekalipun kau sudah berteriak berulang kali memangnya aku
harus menjawab teriakanmu itu ?"
Mengapa kau tidak berpikir untuk memasang lentera pun memakan
waktu yang lama?
"Sekarang aku sudah keluar juga sudah bertemu denganmu apa yang
hendak kau katakan kini ? Hayo cepat utarakan saja maksud mu secara
ringkas makin cepat makin baik."
"Aku yang muda hanya ingin menumpang satu malam saja di
perkampungan ini !" kata pemuda itu cepat.
"Tak bisa" jawab kake itu sambil menarik muka "cepat kenakan
pakaianmu, tuntun kudamu dan keluar dari sini ! Cepat !"
Pemuda itu tertegun, lalu sekali lagi ia memberi hormat seraya berkata:
"Lotiang, kabulkanlah permohonan aku yang muda ini, hanya semalam
saja!"
Kakek itu menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya dingin:
"Kau tak usah banyak berbicara lagi, hayo pergi, cepat-cepat pergi dari
sini !"
Pemuda itu kelihatan agak marah, tapi setelah berpikir sebentar sambil
menahan hawa amarahnya dia berkata:
"Tolong tanya Lotiang, apakah Cengcu perkampungan ini ada ? Aku
yang muda ingin menyambanginya..."
Pepatah kuno pernah bilang: Raja akhirat gampang diajak berbicara,
setan cilik susah di ajak koropromi.
Pemuda itu memang cukup cerdik, asal bisa berjumpa dengan pemilik
perkampungan ini maka soal menumpang semalam mungkin akan lebih
mudah untuk diselesaikan.
Siapa tahu Kakek itu segera berseru: "Sudah mampus, Cengcu
perkampungan ini sudah mampus !" Sekalipun pemuda itu tahu kalau
ucapannya tak jujur, tapi
dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia kenakan kembali bajunya
yang basah kuyup itu mohon untuk terakhir:
"Lotiang, ditengah bukit yang liar semacam ini, apalagi ditengah malam
yang sedang hujin, kemana aku harus, pergi ? mana tubuh ku sudah
penat sekali, apa salahnya kalau aku yang muda menumpang semalam
saja di rumah batu ini ?!!"
"Gunung yang gersang ?" dengus kakek itu, "kalau sudah tahu bukit ini
bukit gersang yang miskin, mau apa kau datang kemari ?
sudah tahu malam ini hujan deras siapa suruh kan datang kemari di
tengah malam yg hujan ?"
"Kau mau penat atau tidak apa urusan nya denganku ? Rasakan sendiri
kepenatan mu itu ! Sekali lagi kuberitahukan padamu kau tak dapat
tinggal dirumah batu ini aku bi sa mengusirmu percaya atau tidak
terserah padamu, pokoknya aku sudah memberi tahukan hal ini
padamu lebih dulu !"
Lama kelamaan pemuda itu naik darah juga, dasar pemuda yang
berdarah panas, dia lantas berkata:
"Lotiang, aku yang muda akan memohon dengan cara baik-baik,
akupun hanya minta semalam saja."
"Sudah kukatakan tadi." tukas si kakek ketus, "kau tak akan boleh
menumpang disini, sekalipun kau ulangi perkataanmu itu beberapa ribu
kali lagi, jawabanku tetap sama !"
"Tapi kalau bersedia tinggal disini selama hidup, bisa saja kita bicarakan
lagi !"
Pemuda itu tidak berhasil menangkap arti lain dalam perkataan kakek
itu, dalam gusar nya tanpa berpikir lagi ia lantas mendengus dan keluar
dari rumah batu itu dengan langkah lebar.
Hujan semakin deras, terguyur kembali oleh air hujan kemarahan
pemuda agak mereda, tiba-tiba ia berhenti didepan pintu gerbang
sambil berkata:
"Lotiang, benarkah tak bisa dirundingkan lagi!" "Tiada yang bisa
dirundingkan lagi !" bentak kakek itu. Pemuda tersebut segera
menghela napas. "Aaaai... langit begini gelap hujan deras, andainya
aku terpeleset
ditengah jalan dan terjerumus kedalam jurang hingga mati bukankah hal
ini... Lotiang apakah..."
Sambil mendengus kakek itu kembali menukas:
"Aku lebih senang melihat kau mampus diluar dari pada membiarkan kau
masuk kedalam perkampungan ini !"
Kali ini kemarahan pemuda itu tak bisa dibendung lagi dia berseru pula
keras2
"Bagus dengan usia lotiang yang begitu tua, memangnya kau tak
punya anak ?"
Kakek itu cuma melotot besar tanpa menjawab pelan2 ia mulai
menutup pintu gerbang perkampungan tersebut.
Pada saat inilah mendadak mendengar seseorang berseru dengan suara
nyaring.
"Beng Seng, persilahkan kongcu itu masuk ke ruangan untuk minum
teh...!"
Mendengar teriakan itu meski belum melihat orangnya tapi pemuda itu
tahu kalau dalam perkampungan tersebut masih ada orang yang lebih
berkuasa dari pada kakek ini, sekulum senyuman segera menghiasi
ujung bibirnya.
Sedangkan kakek itu segera berubah paras mukanya setelah mendengar
ucapan tsb diam2 ia menggertakkan giginya menahan diri.
Terdengar suara nyaring tadi kembali berkumadang: "Bawakan kuda
milik kongcu itu !" Beng Seng atau sikakek itu segera men-depak2
kan kakinya
dengan mendadak serunya kepada pemuda itu dengan lirih : "Sekarang
kau boleh bersenang hati, ayo masuk !" Ternyata pemuda itu cukup
berhati mulia sikapnya terhadap
Beng Seng masih tetap menghormat katanya: "Tak usah merepotkan
lotiang biar aku menuntun sendiri kudaku
ini. !"
"Hmm... tak usah berlagak banyak urusan" seru Beng Seng mendongkol
"selama hidup jangan harap kau bisa nunggang kuda ini lagi !"
Seraya berkata dia lantas merampas tali les kuda dari tangan pemuda,
kemudian sambil menunjuk kearah bangunan besar didepan sana
katanya lagi dengan suara dingin:
"ltulah ruang tengah, kau toh punya kaki sendiri, aku segan untuk
menghantarmu kesitu !"
Selesai berkata, tanpa menutup pintu lagi Beng Seng menuntun kuda
kurus milik pemuda itu dan pelan-pelan berjalan menuju kearah sebelah
kanan.
Tiba-tiba pemuda itu berseru: "Lotiang, harap tunggu sebentar,
barang2 milik aku yang muda
masih tertinggal diatas kuda !" Dengan cepat Beng Seng
menggelengkan kepalanya berulang
kali. "Mulai saat ini kau sudah melangkah menuju langit, kuda kurus
dan bekal rongsokmu ini jangan bisa kau gunakan lagi, tak usah kuatir
Tak bakal hilang...!"
"Sambil berguman dia lantas beranjak pergi dan sama sekali tidak
menggubris pemuda itu lagi.
Sambii menggelengkan kepalanya berulang kali dengan perasaan apa
boleh buat pemuda itu berjalan sendiri menuju ke arah bangunan besar
tersebut....
Baru saja kakinya melangkah naik ke atas undak-undakan batu, pintu
gerbang yang terbuat dari kayu itu pelan-pelan membuka sendiri,
menyusul kemudian terdengar ada orang berseru dari dalam:
"Silahkan masuk Kongcu !"
Suara ucapan kali ini jauh berbeda dengan suara yang telah
berkumandang dua kali tadi, jelas ucapan tersebut bukan berasal dari
orang yang sama.
Pemuda itu melangkah masuk ke dalam ruangan pelan-pelan menutup
kembali.
Udara dalam ruangan itu hangat dan nyaman, sekali pun perabotnya
tidak kelihatan mewah, tapi amat bersih dan tak berdebu.
Anehnya ternyata di sana tak tampak sesosok bayangan manusia,
suasana amat hening.
Pemuda itu mengerutkan dahinya dengan sorot mata heran dia
memandang sekeliling tempat itu akhirnya terhenti diatas bangku
berpunggung tinggi yang terletak di tepi perapian.
Tiba2 bangku itu berputar menghadap kearah pemuda sekarang baru
terlihat jelas ternyata sang tuan rumah duduk diatas kursi karena
punggung kursi itu amat tinggi hingga tubuh orang itu tak nampak dari
belakang.
Baru pemuda memberi hormat serunya: "Tengah malam begini aku
yang muda..."
Tuan rumah tidak bangkit untuk balas hormat dia cuma mengangguk
sambil menukas.
"Bila ada persoalan harap kongcu membicarakan nanti saja, sekarang
lepaskan dulu bajumu yang basah, tariklah bangku dekat perapian
dimeja ada air teh dan boleh mengambil sendiri."
Pemuda itu mengiakan, tidak sungkan-sungkan lagi ia melepaskan
bajunya yang basah, mengambil air teh dan menarik bangkunya dekat
perapian persis dihadapan tuan rumah.
Sekarang pemuda itu baru bisa mengamati wajah sang tuan rumah
dengan seksama, dia adalah seorang kakek yang berwajah pucat,
wajahnya halus dan mulia, jubahnya berwarna gelap.
Dari batas pinggang sampai ke bawah kakinya ditutup dengan sebuah
selimut tebal bangku yang diduduki bukan saja dapat berputar-putar,
ternyata ada rodanya juga yang bisa digunakan untuk maju mundur.
Agaknya tuan rumah itu tahu kalau pemuda tersebut sedang
memperhatikan bangku berodanya, dia lantas tersenyum, sambil
menuding keatas kakinya dia berkata:
"Lohu Beng Liau-huan, tahu ini berusia enam puluh lima tahun, pada
dua puluh tahun berselang karena suatu peristiwa telah kehilangan
sepasang kakiku hingga kini menjadi cacad seumur hidup !"
"Sungguh beruntung Beng Seng pelayan tua ku itu pandai membuat
kerajinan tangan, ia telah membuat sebuah kursi beroda semacam ini
sehingga aku bisa duduk atau berbaring atau berputar atau maju
mundur dengan sekehendak hatiku !"
Mendengar perkataan itu, pemuda tersebut buru-buru memperkenalkan
diri, katanya:
"Aku yang muda bernama Sun Tiong-Io berasal diri Hoo-pak, karena
tersesat dan menjumpai hujan deras, terpaksa harus mengganggu
ketenangan cengcu dengan memohon kemurahan cengcu untuk
menumpang semalam saja, besok pagi..."
"Kongcu kau tak usah sungkan, tentu saja lohu tak akan menampik
keinginanmu itu." kata Beng Liau-huan sambil tersenyum.
"Oooh....cengcu sungguh baik, aku yang muda benar-benar amat
berterima kasih."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Bila cengcu beristirahat silakan..."
Pada saat itulah, tiba-tiba pintu ruangan dibuka orang dan Beng Seng si
kakek tadi muncul kembali.
Begitu melihat kemunculan Beng Seng dengan cepat Beng Liau- huan
segera berseru:
"Beng Seng, turunlah kedapur untuk menyiapkan nasi, sayur dan arak,
malam ini aku sedang gembira hati, akan kutemani Sun kongcu untuk
minum beberapa cawan arak sambil bercakap-cakap."
Sikap Beng Seng terhadap majikannya amat hormat sekali, dia segera
mengiakan.
"Budak segera menyiapkan." Kemudian sambil memandang sekejap
ke arah Sun Tiong-lo,
katanya kembali: "Cengcu coba kau lihat keadaannya! Bagai mana
kalau kita ambil
pakaian agar Sun kongcu tukar bajunya yang basah lebih dulu ?"
"Betul-betul." seru Beng Liau-huan sambil manggut2 tapi katanya
kemudian, "tidak, kau harus masakan air panas agar Sun kongcu
membersihkan badan lebih dulu, kemudian tukar pakaian dan
mempersiapkan hidangan, lebih cepat lebih baik."
Sun Tiong-lo malah merasa rikuh sendiri cepat tampaknya : "Aaah....
tidak usah repot-repot, bagaimanapun juga aku yang
muda sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini..." "Kongcu, kau sudah
terbiasa, tapi majikan kami tidak biasa
dengan bau badanmu itu !" Ucapan tersebut kontan saja membuat
paras Sun Tiong-lo
berubah jadi merah padam karena jengah, sedangkan Beng-Seng
selesai berkatta segera berlalu dari situ, tak usah ditanya lagi, sudah
pasti ia sedang pergi melakukan persiapan seperti dikatakan tadi.
Sambil tertawa Beng Liau-huan berkata: "Beng Seng pelayan tuaku
memang berwatak keras tapi jujur,
harap kongcu jangan merasa tersinggung !" "Aaah... kenapa cengcu
harus berkata demikian ? yang mudalah
yang bersalah..."
Setelah hening sejenak, Beng Liau-huan lantas mengalihkan pokok
pembicaraannya itu ke soal lain, katanya:
"Kongcu, bukit ini berbahaya dan penuh ancaman jiwa, mengapa kau
datang kemari?"
Sun Tiong-Io segera menghela napas. "Hm.. terus terang kukatakan
sesungguhnya empeku jadi
seorang pembesar daerah tapi berhubung ia sudah menyinggung
perasaan atasannya kini terdesak posisi terjepit, aku yang muda khusus
berangkat dengan maksud mencarikan akal menolong empeku ini,
berhubung waktu amat terbatas, maka aku memutuskan untuk potong
jalan..."
Sambil menggelengkan kepalanya Beng Liau-huan menghela napas
selanya.
"Kongcu, kendatipun dengan menembusi bukit ini paling tidak kau akan
menyingkat jalan sejauh 150 li tapi bukit ini curam dan bahaya, binatang
buasnya banyak bila sampai tertimpa musibah disini urusanmu semakin
terbangkalai." Sun Tiong-Io ikut menggelengkan kepalanya."
"Siapa bilang tidak, tapi rasanya menyesal juga sudah terlambat."
Berbicara sampai disini, suasana jadi hening dan keduanya jadi
bungkam. Selang sesaat mendadak Sun Tiong-lo berkata lagi. "Cengcu
apa sebabnya kau mendirikan perkampungan diatas
bukit curam dan bahaya?" Beng Liau huan tertawa getir. "Aaai...
panjang sekali ceritanya, kongcu bukan orang persilatan,
sekalipun lohu terangkan belum tentu kongcu mengerti yang jelas nama
kedudukanlah yang membuat aku bernasib begini."
Sun Tiong lo termenung sebentar lalu berbicara kesoal lain.
"Cengcu berdiam ditempat yang besar tentunya banyak anggota
keluargamu, bagaimanakah cengcu mengatasi masalah sandang pangan
untuk anggota keluargamu ?"
Beng Liau huan menundukkan kepalanya rendah-rendah, dengan sedih
ia menjawab.
"Aii... tempo dulu memang anggota perkampunganku ini amat banyak
tapi kini hanya tinggal lohu bersama pelayanku saja!"
Sun Tiong lo jadi tertegun, serunya Iagi. "Kalau memang begitu
kenapa cengcu masih berdiam disini?
Kenapa tidak berpindah saja ke tempat lain ?" Sambil menuding
sepasang kakinya yang cacad itu, Beng Liau
huan berkata. "Sepasang kakiku sudah cacad, usiaku juga telah lanjut,
mana
bisa aku ke tanah perbukitan ini ?" "Cengcu sekarang aku tak dapat
menolongmu, tapi bila urusan
empekku selesai, pasti kubawa beberapa orang pembantu buat
menjemput mu kegunung."
"Maksud baik kongcu kuterima dihati saja." kata Beng Liau huan. "Tapi
lohu membatalkan maksud tersebut, aku serta pembantu ku
sama-sama sudah tua, walau bisa turun dari bukit tersebut juga sia- sia
saja."
"Semua perkataan yang telah kuucapkan pasti akan kulaksanakan dengan
sesungguh hati, lain waktu aku pasti akan datang kembali ke sini." kata
pemuda itu serius.
Tiba-tiba Beng Liau-huan mendongakkan kepalanya, perasaan terima
kasih yang amat aneh melintas diatas wajahnya.
Melihat itu Sun Tiong-lo segera bertanya: "Apakah cengcu tidak
percaya dengan perkataanku yang muda?"
Beng Liau-huan menggelengkan kepalanya berulang kali, mendadak
sekujur badannya menggigil keras, cepat dia mengalihkan
pembicaraannya ke soal lain, katanya:
"Kongcu, bagaimana kalau persoalan ini dibicarakan nanti saja ?"
Sun Tiong-lo manggut-manggut. "Baiklah, bagaimanapun aku yang
muda memang sudah bertekad
bulat, dibicarakan nantipun tidak mengapa." Sementara itu pelayan tua
Beng Seng telah muncul kembali
dalam ruangan, kepada Sun Tiong-lo segera ujarnya: "Air panas untuk
membersihkan badan serta baju bersih telah
disiapkan semua, kongcu jalan sini terus belok kanan, ruangan pertama
itulah tempatnya, mari!"
Sun Tiong lo berterimakasih lalu beranjak. Setelah pemuda itu pergi,
mendadak bilik di belakang tempat
perapian itu berputar lalu tampak sebuah pintu rahasia, seseorang
berdiri angker dimuka pintu rahasia itu.
Tapi karena orang itu berada dilorong rahasia, maka wajahnya tidak
terlihat jelas.
Waktu itu Beng Seng berdiri menghadap kedinding perapian lantas saja
ia membalikkan tubuh pura-pura membersihkan meja memakai kain
kumal.
Sedangkan Beng Liau huan telah memutar kursinya menghadap sejajar
pintu rahasia tersebut.
Terdengar orang yang berada dilorong rahasia itu mendengus dingin,
sambil berseru: "Beng Seng, rupanya kau bosan hidup ?"
Beng Seng sipelayan tua itu segera membalikkan tubuhnya menghadap
kearah lorong rahasia lalu sahutnya ketus:
"Benar, aku bosan hidup, kau bisa apa ?"
"Budak bajingan, kau anggap lohu tak bisa membunuhmu?" seru orang
itu naik pitam.
"Hmm..." Aku tidak melakukan kesalahan apa2, kau memangnya bisa
membunuh aku?"
"Beng Liau huan!" bentak orang dalam lorong rahasia itu marah sekali.
"Kalau budak bajinganmu banyak bicara, lohu lebih suka menerima
hukuman didepan San cu daripada tak menyayat kulit badannya
hidup2!"
Ketika Beng Liau huan menyaksikan Beng Seng masih akan berbicara
lagi, dengan cepat ia mencegah.
"Beng Seng, kularang kau untuk berbicara lagi !" "Baik, budak
menerima perintah !" Beng Seng menundukkan
kepalanya rendah2. Beng Liau huan miringkan kursinya kearah pintu
rahasia itu lalu
berkata. "Chin congkoan, lohu bertanya, apa yang hendak kau lakukan
terhadap Sun kongcu ini?" "Tentu saja seperti ke 238 orang yang lalu."
jawab Chin
congkoan ketus. Beng Liau huan segera berkerut kening. "Chin
congkoan, dengan kepandaian silat milikmu, seharusnya
bisa kau lihat kalau Sun kongcu bukan seorang jago persilatan, dia tak
lebih hanya seorang pelajar rudin !"
"Aku tahu !" "ltulah dia, kalau memang dia bukan orang persilatan,
dan lagi
juga bukan datang karena mengincar ketiga macam benda mustika
yang berada dibukit ini, apakah congkoan tak bisa membuka jalan dan
memberi jalan kehidupan baginya ?"
Chin congkoan segera tertawa ter-bahak2.
-Haah... haaahh... Beng cengcu, kau mintakan maaf baginya ?" dia
mengejek.
"Empeknya terlibat dalam kasus yang pelik, dia lewat bukit ini cuma
bermaksud buat potong jalan, agaknya congkoan juga..."
"Beng Liau huan, kau harus tahu !" bentak Chin congkoan bernada sinis,
"tempat ini sudah bukan perkampungan Beng keh sancengmu dulu lagi,
selembar nyawa anjingmu itu pun hampir tercabut dua puluhan tahun
dulu."
Beng Liau huan tertawa getir. "Jika perkampungan ini masih
merupakan Beng keh san ceng ku
dulu, buat apa lohu musti memohon kepadamu, betul lohu memungut
kembali nyawaku ini, tapi bukan memungutnya dari tanganmu!"
"Beng Liau huan!" bentak Chin congkoan. "lohu peringatkan dirimu, tadi
san cu telah kirim kabar bahwa dia keluar gunung sebab ada urusan,
maka lohu mempunyai kekuasaan buat membunuh dirimu..."
Belum habis dia berkata, Beng Liau huan telah tertawa terbahak sambil
menukas:
"Hahaha.. haaah kalau memang begitu hal ini lebih baik. lohu bosan
hidup didunia ini lebih baik mati saja, kalau memang San cu tak ada dan
kau punya kekuasaan besar, silahkan saja untuk membereskan
selembar nyawaku ini"
"Heeeh... heeh kenapa ? Kau anggap lohu takut ?" seru Chin congkoan.
"Mungkin radaan takut." sindir Beng Liau huan, "Chin Hui bau. lohu
juga ingin memperingatkan dirimu, sekalipun Sancu tidak ada, nona
masih ada disini, kau tak akan berani melawan kekuasaannya !"
"Hmm! Lohu tidak percaya, setelah kubunuh dirimu maka nona bisa..."
Belum habis perkataan itu, tiba tiba terdengar suara tertawa cekikikan
berkumandang datang dari balik ruangan.
Chin congkoan segera menghentikan ucapannya dan tak berani
meneruskan kata2nya.
Suara tertawa merdu itu masih berkumandang dalam ruang itu lalu
terdengar suara pula.
"Chin congkoan, coba katakan aku tak bisa apa? Kenapa tak kau
lanjutkan ucapanmu?"
Chin congkoan yang semula bengis, seketika berubah munduk2 hormat,
sahutnya:
"Beng loji ingin merusak peraturan yang diterapkan Sancu, hamba
sengaja menakuti."
"Kurang ajar!" sela orang itu lagi. "kau anggap aku adalah permainan
yang bisa digunakan untuk menakut-nakuti orang?"
"Tidak berani... tidak berani...!" Dengusan dingin kembali
menggema, suara tertawa yang merdu
pun berubah menjadi bentakan gusar. "Jika lain kali kau berani
melanggar lagi, aku sendiri yang akan
turun tangan untuk membereskan dirimu !" Chin congkoan kembali
mengiakan berulang kali. Setelah hening sejenak, nona yang tak
menampakkan diri itu
baru berkata lagi: "Si sastrawan rudin itu pantas dikasihani, tapi tak
bisa terlepas
dari peraturan yang telah ditetapkan diatas bukit ini, maka ia harus
alami keadaan sesuai dengan peraturan, baiklah! Sebagai belas
kasihanku, kutambah batas waktunya dua hari lagi !"
Chin congkoan kembali mengiakan, sementara Beng Liau huan dan
pelayan tuanya menundukkan kepala rendah-rendah.
Terdengar nona itu berkata lagi.
"Aku mau pindah ke pagoda Yu khek, sebentar aturlah sastrawan itu
agar bermalam diatas loteng Bong-lo, akan kuberi lima hari batas waktu
kepadanya, sebelum saatnya, layani dia sebagai seorang tamu
terhormat!"
Chin congkoan kembali mengiakan dengan hormat, maka dinding
perapian itu kembali berputar dan ia lenyap bersama lenyapnya pintu
rahasia tersebut.
Sepeninggal Chin congkoan dan nona itu, Beng Seng sipelayan tua itu
baru bernapas lega, sambil menggelengkan kepala ia berkata.
"Cengcu, budak akan pergi menyiapkan sayur dan arak !" "Tidak
usah!" tukas Beng Liau huan sambil melambaikan
tangannya. "pergilah tidur, tidak kau dengar pesan nona kepada Chin
Congkoan tadi? Didalam lima hari ini, Sun Tiong-lo adalah tamu
terhormat dan segalanya akan diatur oleh Chin congkoan sendiri."
"Oooh kalau begitu budak akan tidur!" Seusai berkata, pelan pelan
dia berlalu lewat pintu samping. Dalam pada itu, Sun Tiong lo yang
telah membersihkan badan
dan berganti pakaian serta sepatu baru pelan2 masuk keruangan
tampak dia amat jauh berbeda dengan semula.
-ooo0dw0ooo-
BAB KE DUA
BENG LIAU-HUAN merasa pandangan matanya jadi silau, dari hati
kecilnya secara aneh timbul perasaan yang tak terlukiskan dengan
kata-kata, dia merasa seakan dari balik ketampanan pemuda itu ia telah
menemukan sesuatu.
Sebetulnya apa yang berhasil ia temukan, Beng Liau huan merasa sulit
untuk meraba jalan pemikirannya itu, cuma ada satu
hal yang dia merasa yakin, yaitu pemuda ini mempunyai wibawa yang
sangat besar.
Setelah membersihkan badan, hawa kesastrawanan ditubuh pemuda itu
ikut larut bersama lenyapnya kotoran diatas badannya.
Tiba didepan Beng Liau-huan, dia lantas menghormat dan berkata.
"Budi kebaikan lotiang membuat aku merasa terharu!" Beng Liau
huan tertawa. "Aaah... kongcu lagi2 sungkan, silahkan duduk,
sebentar
hidangan akan disiapkan!" Tiba2 dari balik pintu sebelah telah muncul
dua orang manusia. Yang berjalan didepan adalah seorang lelaki kekar
yang bertubuh
tinggi besar, dan di belakangnya mengikuti seorang kakek berwajah
merah darah.
Ditangan lelaki kekar yang delapan jengkal tingginya itu tampak sebuah
baki besar yang penuh berisi aneka hidangan lezat.
Aua empat macam sayur yang dibawanya lima kati arak bagus, empat
macam masakan daging dan nasi putih satu bakul besar.
Sementara mangkuk cawan dan sumpit telah dipersiapkan diatas meja
perjamuan.
Setelah menghidangkan masakan tersebut kemeja, kakek itu memberi
tanda kepada lelaki kekar itu, maka ia lantas mengundurkan diri.
Sun Tiong lo segera bangun dari tempat duduknya, lalu katanya kepada
Beng Liau huan.
"Cengcu, harap kau perkenalkan aku yang muda dengan..." BeIum
habis dia berkata, kakek berwajah merah itu telah tertawa
terbahak-bahak.
"Haahh... haaah... lohu Chin Hui hou adalah congkoan dari bukit ini !"
Sun Tiong lo segera menjura kepada Chin Hui-hou. katanya. "Aku
yang muda telah memasuki bukit anda secara gegabah,
harap congkoan sudi memaafkan..." Chin Hui hou tertawa seram,
sambil menarik bangku dan duduk
disisinya, dia berkata: "Tak usah sungkan-sungkan, silahkan kongcu
makan saja
seadanya, menggunakan kesempatan ini lohu juga akan mengajak
kongcu untuk membicarakan bukit kami ini."
"Baik, aku akan dengarkan baik-baik." Pada saat itulah Beng Liau
huan telah mengerutkan dahinya
kepada Chin Hui hou. "Chin congkoan, apakah tidak bisa dibicarakan
besok saja?" Dengan wajah dingin Chin Hui hou menggelengkan
kepalanya
berulang kali. "Hukum tetap hukum, peraturan tetap peraturan, aku
orang she
Chin tak berani menyalahi peraturan!" jawabnya ketus. Diam2 Beng
Liau hoan menggigit bibirnya keras2 lalu katanya
lagi. "Apakah tak bisa menunggu kongcu selesai bersantap dulu baru
dibicarakan?" Kembali Chin Hui hou menggelengkan kepalanya sambil
tertawa
seram: "Tidak bisa lohu masih ada urusan lain yang harus diselesaikan,
tak bisa menunggu lebih lama lagi." Sun Tiong lo benar2 seorang
sastrawan yang tak berpengalaman
ia belum menyadari gelagat tak beres, malah sambil tertawa katanya
kepada Beng Liau huan:
"Tidak jadi soal, biar aku yang muda dengarkan penjelasannya itu."
Beng Liau huan memandang kearah Sun Tiong lo, lalu dia menghela
napas dan gelengkan kepalanya berulang kaIi.
Setelah memandang sekejap kearah Beng Liau huan dengan pandangan
dingin, Chin Hui hou berkata kepada Sun Tiong lo.
"Waktu naik gunung tadi, apakah kongcu membaca peringatan yang
tercantum diatas tugu peringatan itu?"
"Yaa, sudah kulihat!" Sun Tiong lo manggut, "malah aku yang muda
telah membaca berulangkali."
Sambil berkata dia menyuap nasi dan sayur dan melahapnya dengan
pelan, kemudian menunggu keterangan Chin Hui hou lebih jauh.
Chin Hui hou tertawa seram. "Hehh... Huuh menurut pendapat
kongcu apakah yang tercantum
di atas tugu peringatan itu cukup terang dan jelas ?" "Ya sangat jelas
sekali!" Chin Hui hou tertawa seram, lanjutnya. "Apakah hurup besar
berwarna merah darah yang dicantumkan
pada tugu peringatan ke dua juga sudah kongcu baca ?" "Aaah ! Tentu
saja, tugu itu didirikan tepat ditengah jalan naik,
masa tak kulihat hurupnya." "Ehmm... kalau memang begitu, mengapa
kongcu naik keatas
bukit ini ?" "Tadi aku yang muda kan sudah menerangkan kepada
cengcu,
aku hanya bermaksud untuk memotong jalan..." "Hmm...! Aku kira
pasti ada alasan lainnya bukan ?" jengek Chin
Hui hou dengan suara dalam. Sua Tiong lo
berpikir sebentar, jawabnya.
"Terus terang Chin congkoan aku yang muda memang mempunyai
maksud lain...."
Belum habis dia berkata, dengan paras muka berubah Beng Liau huan
berseru.
"Kongcu masih mempunyai urusan lain?" Sun Tiong lo melirik sekejap
kearah Chin Hui hou, kemudian
katanyanya. "Aku yang muda harus menjawab pertanyaan ini kepada
siapa?
kepada congkoan? Atau kepada cengcu?" Dengan sikap yang sombong
dan pandangan yang dingin, Chin
Hui Hou melirik sekejap kearah Beng Liau huan, lalu katanya. "Kongcu,
sekarang haruskan sekali lagi memperkenalkan diriku,
lohu adalah congkoan dari bukit pemakan manusia ini, sedangkan Beng
Cengcu tidak lebih cuma cengcu dari perlkampungan ini !"
Seakan-akan baru memahami, Sun Tiong lo segera berseru. "Kalau
begitu, kedudukan Congkoan pasti jauh lebih tinggi dari
pada Beng Cengcu." Chin Hui hou tidak menjawab ya atau tidak, hanya
ujarnya. "Perkampungan ini termasuk bagian dari bukit pemakan
manusia
!" "Oooh, dengan begitu pelbagai masalah menyangkut bukit ini
congkoan berhak mengurus." Chin Hui hou tertegun, lalu sahutnya.
"Setiap bukit mempunyai urusannya sendiri-sendiri, dan lohu
adalah salah seorang dari delapan toa congkoan di bawah kekuasaan
Sancu."
"Chin congkoan adalah yang paling dipercaya oleh San cu dari delapan
orang toa cong koan Iainnya"- Beng Liau huan menjelaskan..
Mendadak Sun Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali,
ujarnya:
"Tampaknya alasanku yang lain itu hanya bisa kusampaikan kepada san
cu pribadi."
"Kenapa?" tanya Chin Hui hou. "Sebab persoalan ini mesti
disampaikan sendiri paoa orang yang
berkuasa disini!" Dengan sinar mata penuh kegusaran Chin Hui-hou
melotot
kearah Sun Tiong-lo kemudian serunya: "Seandainya Sancu tidak
bersedia untuk menjumpai Kongcu ?" Dengan perasaan apa boleh buat
jawab Sun Tiong-lo: "Terpaksa hal itu akan kusampaikan bila lain kali
aku yang muda
berkunjung kemari" "Hmm ! Kau anggap ada lain kali ?!" dengus Chin
Hui-hou dingin. "Tentu saja !" sahut Sua Tiong-lo serius "bila persoalan
ini tidak
kuutarakan, bagaimana mungkin aku yang muda bisa merasa berlega
hati...?"
Chin Hui-hou segera tertawa ber bahak2. "Haaahhh... haaahhh...
haaaaah Kongcu, kau tidak mempunyai
kesempatan untuk datang lagi dilain waktu, sebab alasan kedatangan mu
yang lain itu meski dibicarakan atau tidak juga sama sekali bukan suatu
persoalan yang penting."
Setelah berhenti sebentar, tiba tiba Chui Hui-hou merubah nada
pembicaraannya dengan suara dalam dia berkata:
"Dalam bukit ini berlaku suatu peraturan yang bisa kau baca diatas
kedua buah batu peringatan dimulut bukit sana, sekarang Kongcu
dengan berani telah menaiki bukit ini dan sampai di perkampungan sini,
itu berarti kau pun tak akan terhindar dari suatu kematian..."
"Praaang... ! Pryaang !" Dua kali suara nyaring berkumandang di
angkasa memotong
perkataan Chin Hui-hou yang belum selesai itu. Mangkuk yang berada
ditangan Sun Tiong-lo itu tahu tahu sudah
terjatuh ketanah, sedangkan cawan araknya juga tercerai berai di
tanah.
Sedangkan dia sendiri bagaikan seorang yang bodoh duduk
termangu-mangu ditempat tanpa berkutik.
Beng Liau-huan segera memejamkan matanya rapat-rapat, dia sungguh
merasa tak tega menyaksikan sikap Sun Tiong-lo yang begitu takut
menghadapi kematian itu.
Sebaliknya Chin Hui-hou malah merasa amat gembira, sambil tertawa
dingin tiada hentinya dia berseru:
"Kongcu, kau anggap peringatan yang tercantum diatas tugu peringatan
itu hanya gelak sambal belaka ?"
Paras muka Sun Tiong-lo berubah menjadi pucat pias seperti mayat,
dengan cemas serunya:
"Tapi congkoan.... kedatangan aku yang muda diatas bukit ini bukan
lantaran mengincar mestika kalian."
Chin Hui-hou mendengus dingin, dengan sikap sinis dia menghapalkan
tulisan yang tertera diatas tugu peringatan itu.
"Barang siapa tidak menuruti nasehat lohu dan bersikeras memasuki
daerah terlarang ini, baik dia laki-Iaki atau perempuan, tidak perduli
apapun alasannya, lohu akan membunuh mati dirinya tanpa ampun
sehingga mayatnya hancur tak berwujud !"
Setelah membaca sampai disitu, tiba-tiba dengan suara nyaring dia
berseru:
"Kongcu, kau sudah ditetapkan mati !" Mendadak Sun Tiong-lo
melompat bangun dengan gelisah
tanyanya pada Beng Lian-huan:
"Beng cengcu, sungguhkah semuanya ini ?" Beng Liau-huan
menghela napas panjang sahutnya: "Kongcu, kesemuanya ini adalah
kenyataan, sejak dua puluh
tahun berselang sampai Kongcu belum tiba dibukit ini. sudah ada dua
ratus tiga puluh delapan orang yang mati di tempat ini !"
Sekali lagi Sun Tiong-lo dibuat bodoh wajahnya yang mengenaskan itu
membuat orang menjadi iba dan kasihan kepadanya.
Chin Hui-hau tertawa seram kembali katanya: "Kongcu tak perlu
merasa gelisah dulu, kau masih mempunyai
kesempatan untuk berbicara !" Bsgitu mendengar kalau masih ada
kesempatan berbicara Sun
Tiong-lo segera bertanya: "Kalau begitu bagus sekali harap Congkoan
suka memberi
petunjuk !" Mendengar ucapan itu Ben Liau-huan kembali merasakan
hatinya
tergerak pikirnya. "Kejadian ini benar aneh mengapa dalam keadaan
terancam
jiwanya dia tak gugup dan panik ? Bahkan jawabannya begitu teratur
dan tenang ? sekalipun wajahnya berubah perasaan nya sama sekaIi
tidak kalut ?"
Sebaliknya Chin Hui hou yang sedang merasa bangga sama sekali tidak
berpikir sampai kesitu katanya:
"Sancu kami telah menetapkan barang siapa memasuki tanah perbukitan
ini maka sebelum mati dia mempunyai hak untuk menjadi tamu agung
kami selama tiga hari, tapi terhadap kongcu secara khusus kami
memberi kelonggaran dengan menambah batas waktunya dengan dua
hari Iagi."
"Dengan kata lain, malam ini tak terhitung, mulai besok kongcu punya
hak jadi tamu agung selama 5 hari 5 malam kecuali tak bisa
ampun dari kematian, kami siap kasih pelajaran apapun seperti yang
kau inginkan !"
"Tapi apa artinya semua itu ?" seru Sun Tiong-lo sambil mennujukan
wajah melas. "cepat lambat akhirnya mati juga !"
Chin Hui-hou geleng kepala berulang kali. "Kongcu usah kuatir,
peraturan sancu kami sangat adil. Kami
tidak akan menghukum mati Kong cu dengan begitu saja, tapi kami
akan memberi suatu kesempatan kepada Kongcu untuk melarikan diri
dari kematian ini !"
"Oooh.... tolong tanya, kesempatan yang bagaimanakah itu ?" Ketika
batas waktu Kongcu menjadi tamu agung kami telah
selesai, kau masih mempunyai waktu selama setengah harian untuk
kabur terlebih dahulu cuma jalan bukit ini susah dilalui dengan tiadanya
persediaan makanan dan air minum tentu saja lebih banyak matinya dari
pada hidup terus !"
-ooo0dw0ooo-
Jilid 2 OLEH KARENA ITU, Sancu kami telah memikirkan pula bagi
tamu-tamu agungnya untuk menyiapkan sepatu laras untuk mendaki
gunung, pakaian ringkas serta menghadiahkan rangsum serta air minum
untuk dua hari, agar dalam usahanya untuk melarikan diri nanti tak
sampai mati karena kehausan atau kelaparan."
"Oooh....Sancu kalian memang amat cermat sekali" kata Sun Tiong-lo
sambil berseru tertahan, "cuma anggota kalian sangat banyak
penjagaanpun berada di segala tempat, bagai manapun cepatnya orang
yang melarikan diri juga tak mungkin bisa meloloskan diri dari bukit ini!"
Chin Hui-tou segera mendengus dingin.
"Kongcu, keliru besar bila kau berpendapat demikian, jika begini
keadaannya apakah ini yang dinamakan adil? Nah, kongcu! Dengarkan
baik-baik perkataanku ini, sebab ini menyangkut kesempatan bagimu
untuk melarikan diri."
"Pertama, Orang yang bertugas mengejar kongcu akan mulai dengan
pengejarannya setengah hari lebih lambat. Kedua, Kecuali orang yang
bertugas mengejar diri kongcu, semua anggota lain yang berada dibukit
ini tidak diperkenankan membantu!
Ketiga, Orang yang akan mengejar kongcu hanya dua orang, seorang
adalah lohu sedangkan yang lain adalah orang yang barusan kongcu
jumpai, yakni Kim Po Cu!"
Keempat Kongcu mendapat perlengkapan seperti sepatu, kaos, baju
ringkas, air, rangsum serta sebilah pisau belati, pisau itu tajam sekali
dan mampu membelah besi.
Kelima. Selama kongcu menjadi tamu agung disini, kau boleh
menyiapkan segala macam barang keperluan untuk memperlancar
usahamu untuk melarikan diri, asal kongcu bisa bawa barang itu,
kongcu boleh membawanya pergi!
Ke enam, Terhadap pengejar, kongcu berhak untuk melakukan
perlawanan dan pembunuhan menurut kemampuan yang kau miliki,
asal kongcu mampu membunuh pengejar-pengejarmu itu, otomatis
kongcu bisa pula keluar dari bukit ini dengan selamat.
Ke tujuh, Menurut peraturan San-cu, batas pengejaran adalah empat
hari, selewatnya empat hari sekalipun kongcu berhasil ditangkap juga
tak bisa dianggap masuk hitungan, atau dengan perkataan lain, asal
Kongcu sanggup meloloskan diri selama empat hari empat malam, maka
kau akan selamat dan tak ada urusan lagi.
Ke delapan, Bila kau berhasil melarikan diri dari sini, atau terhindar dari
pengejaran selama empat hari empat malam, bukan saja kongcu boleh
masuk keluar dengan bebas di bukit ini, bahkan semenjak hari itu, kau
akan dianggap sebagai tamu agung kami dan setiap saat berhak untuk
tetap tinggal disini.
Ke sembilan setengah jengkal saja kau berhasil lolos dari bukit ini akan
di anggap sebagai suatu keberhasilan, kau akan segera menjadi tamu
agung kami, bukan saja bebas masuk keluar bukit, bahkan setiap
anggota bukit ini akan menyambutmu secara hormat.
"Ke sepuluh, Barang siapa telah menjadi tamu agung kami dan berhasil
dalam pengejaran dia memiliki satu hak khusus, yaitu berhak untuk
minta kepada Sancu untuk membebaskan dua orang tawanan kami
yang tertangkap karena naik keatas bukit ini!"
Setelah berlangsung sekian lama, akhirnya secara ringkas Chin
congkoan berhasil juga untuk menerangkan semua persoalan itu kepada
tamunya.
Begitulah, setelah berhenti sejenak sambil tersenyum dia lantas
bertanya:
"Kongcu, tolong jawablah dengan sejujurnya, termasuk adilkah caraku
ini ?"
Sun Tiong-lo segera manggut-manggut. "Yaa, adil, adil sekali,
memang adil sekali!" Agaknya Ben Liau-huan merasa agak tega,
selanya tiba-tiba: "Adilnya memang adil, tetapi sulitnya juga sulit
sekali !" Sesungguhnya dia bermaksud untuk memancing perhatian
Sun
Tiong-lo agar bertanya dengannya, maka menggunakan kesempatan itu
Beng Liau-huan akan menerangkannya dengan jelas.
Siapa tahu bukan saja Sun Tiong-lo tidak menangkap maksud
kata-katanya itu, malahan dia berkata:
"Bila sama sekali tidak sulit, bagaimana mungkin bisa disebut sebagai
suatu usaha pelarian ?"
Perkataan ini kontan saja membuat Chin Hui-hou tertawa tergelak, tapi
membuat Beng Liau huan amat mendongkol.
Chin Hui hou berhenti tertawa, lalu ujarnya.
"Malam ini tidak masuk hitungan, mulai besok pagi kongcu akan
menjadi tamu agung kami selama lima hari, padahal rekan rekan
lainnya tidak semujur kau, mereka hanya mempunyai hak untuk
menjadi tamu agung selama tiga hari!"
Sun Tiong io bukannya berterima kasih, sebaliknya malah berseru,
"sekalipun lebih banyak dua hari, tapi berarti pula menambah
kemurungan orang selama dua hari lagi."
"Benar, tapi dalam keadaan pasti mati berarti hidup dua hari lebih
lama!"
"Congkoan, apakah kau tidak merasa perkataanmu itu kelewat merasa
yakin..." kata Sun Tiong lo dengan kening berkerut, "aku yang muda
percaya dalam kesempatan yang amat adil ini pasti ada orang yang
berhasil melarikan diri dan sini !"
Menggunakan kesempatan tersebut, kembali Beng Liau huan
memberikan petunjuknya:
"Mungkin dikemudian hari masih ada yang akan berhasil untuk
melarikan diri, tapi sebelum ini tak pernah ada yang berhasil !"
Mendengar perkataan itu, Sun Tiong lo baru tertegun dibuatnya,
"Cengcu, apakah belum pernah ada yang berhasil melarikan diri dari
sini ?"
Dengan gusar Chin Hui hou melotot sekejap kearah Beng Liau huan,
tapi Beng Liau huan berpura pura tidak melihat, kembali sahutnya,
"Benar setiap orang yang berusaha melarikan diri dalam kesempatan
yang adil ini, mereka justru mati semua !"
Sun Tiong lo duduk dibangkunya dengan wajah termangu- mangu,
sampai setengah harian lamanya ia tak sanggup mengucapkan sepatah
katapun, Chin Hui hou telah selesai menyampaikan semua keterangannya
diapun lantas bertanya.
"Kongcu, apakah kau masih ada persoalan yang ingin kau tanyakan lagi
kepadaku ?"
Sun Tiong lo menghembuskan nafas panjang untuk melegakan
kesesakan nafasnya, lalu menjawab: "Tolong tanya Cong koan, apakah
masih bisa dirundingkan lagi persoalan ini?"
Dengan ketus Chin Hui hou menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Tiada kesempatan bagimu untuk mengadakan perundingan lagi
didalam persoalan ini!"
Dengan perasaan apa boleh buat Su tiong lo menghela napas
panjang-panjang.
"Aaaai.... tampaknya aku yang muda juga tak bisa terkecualikan dari
peraturan ini"
"Heeehh .. .. heeehh tentu saja pengecualian!" Sun Tiong lo
mengerdipkan sepasang matanya tiba tiba dia
berkata kembali: "Bagaimana kalau seandainya minta pengampunan
dari Sancu
pribadi?" "Dengan demikian, kau akan mampus lebih cepat lagi!" sahut
Chin hui hou sinis. Sun Tiong-lo kehabisan daya lagi, setelah tertegun
beberapa saat
lamanya, tiba tiba ia berkata: "Tadi aku yang muda mendengar
congkoan berkata bahwa
semenjak besok pagi, aku yang muda adalah tamu agung..." Sambil
tertawa Chin Hui hou gelengkan kepalanya berulang kali, Semenjak
masuk keatas bukit ini dan sebelum suatu pelarian
secara adil dilakukan, kau sudah menjadi tamu agung kami." "Kalau
begitu sekarangpun aku sudah terhitung sebagai tamu
agung ditempat ini ?" "Tentu saja ?" jawab Chin Hui hou sambil
manggut-manggut.
Sun Tiong lo berpikir sejenak, lalu katanya lagi: "Barusan congkoan
berkata, selama aku yang muda menjadi tamu agung dari bukit ini,
selain memohon pengampunan, permintaan apa pun yang kuajukan
pasti dapat terpenuhi benarkah itu ?"
Chin Hui hou mendengus dingin. "Hmm ! peraturan ini ditetapkan
sendiri oleh San cu, sudah
barang tentu tidak bakal salah lagi, cuma lohu akan memperingatkan
kong cu lagi dengan sepatah kata, andaikata selama menjadi tamu
agung, kau berusaha untuk melarikan diri, maka itu sama arti dengan
mencari kematian lebih cepat !"
"Oooo..! jelas aku tak akan melakukan tindakan sebodoh itu" ujar Sun
Tiong lo sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. "aku yang
muda hanya akan memohon suatu permintaan yang tidak terlampau
berat daripada hal hal yang muluk."
"Kongcu berhak untuk mengajukan permintaan, apa yang sudah kau
pikirkan sekarang boleh diajukan!"
Sambil tertawa Sun Tiong lo berkata, "Kalau memang Sancu
menetapkan dalam kata-kata, "pelayanan dalam permintaan apa- pun,"
tentu saja aku yang muda hanya bisa mengajukan permintaan terbatas
dalam lingkungan "pelayanan dalam permintaan apapun" itu pula !"
Chin Hui hou terkekeh-kekeh seram, "Aku tahu kongcu adalah seorang
yang cerdas, memang seharusnya menjadi seorang yang tahu diri."
"Ooo...! pertama-tama aku ingin bertanya pada Congkoan, pada malam
ini aku yang muda akan menginap dimana ?"
"Ditempat yang paling bagus dari bukit ini, tempat itu dinamakan
loteng Bong-lo (loteng impian)!?
"Bagus sekali, sekarang harap congkoan su ka mendengarkan lagi suatu
permintaan dari aku yang muda !"
Chin Hui hou memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian
katanya cepat.
"Tampaknya perasaan kongcu pada saat ini sudah jauh lebih tenang !
Heh.. hehh.. hehh... katakan saja, lonu sedang mendengarkan !"
Benar juga, ketika itu Sun Tiong lo sama sekali tak nampak gugup atau
ketakutan, dia berkata.
"Congkoan, kau harus tahu, seandainya persoalan sudah dihadapkan
pada keadaan yang tak bisa dipikirkan lagi, kalau tidak menenangkan
perasaan, apa pula yang bisa kulakukan ? itulah sebabnya perasaan dan
pikiranku sekarang malah tidak menjadi panik lagi."
"ltupun benar juga" sindir Chin Hui-hou. "paling baik kalau
menggunakan kesempatan selama lima hari ini untuk banyak makan dan
banyak minum, sehingga setelah mati nanti kau tak bakal menjadi setan
yang kelaparan."
"Congkoan memang pandai sekali menyelami perasaan orang, aku yang
muda memang ingin sesali mengajak Beng cengcu untuk minum
beberapa cawan arak, sayang cawan sudah pecah mangkuk juga sudah
pecah, kalau begitu harap congkoan suka mengambil satu setel
perlengkapan lagi untukku!"
"Apa ? Kau suruh lohu mengambilkan mangkuk dan cawan bagimu ?
Hemm" dengan bengis Chin Hui hou melotot sekejap kedepan.
Sun Tiong lo tersenyum malah katanya lagi: "Bahkan akupun hendak
mohon kepada Congkoan, agar melayani
aku sendiri untuk setiap memenuhi setiap kali cawanku yang sudah
kosong."
Mendengar ucapan itu, Chin Hui-hou naik pitam, sambil menuding
kearah Sun Tiong lo teriaknya.
"Sungguh besar nyalimu... anjing cilik ! Rupanya kau sudah bosan hidup
lagi didunia ini."
Dengan cepat Sun Tiong lo menarik muka, katanya, "Chin congkoan, ini
peraturan Sancu kalian sendiri untuk melayani tamu agungnya, aku
berhak untuk memohon pelayanan dalam bentuk apapun atas dirimu,
kini aku yang muda telah mengajukan permohonan, mau dikerjakan
atau tidak terserah padamu sendiri, aku toh tidak akan terlampau
memaksa dirimu."
Chin Hui hou menjadi termangu seperti seorang bodoh, sampai waktu
itu, Sun Tiong lo telah berpaling kearah Beng Liau huan seraya berkata.
"Beng ceng cu, kini aku yang muda barulah tahu mengapa dalam
pengejaran yang adil dimasa lampau, tak ada seorang manusiapun
yang berhasil melarikan diri!"
Oleh peristiwa yang barusan saja terjadi itu Beng Liau huan di buat
terperanjat termangu-mangu, tetapi dalam hati kecilnya dia merasa
kagum pada kecerdasan Sun tiong lo, hingga tak terasa dia mempunyai
penilaian yang berbeda lagi atas diri sianak muda tersebut.
Itulah sebabnya dia lantas bertanya cepat. "Oooooh.... mengapa bisa
demikian?" Sambil menuding Chin hui hou, pemuda itu menjawab
"Ambil
contoh saja ini, jelaslah ada orang yang berusaha untuk memutar
balikkan peraturan yang telah di terapkan oleh San cu...!"
Perkataan ini terlampaulah berat, ternyata Beng Liau huan tidak berani
untuk menanggapi.
Pelbagai ingatan ketika itu sudah berkecamuk dalam benak Chin Hui
hou, rupanya ia telah mengambil keputusan dihatinya, dengan suara
dalam bentaknya: "Anjing cilik dengaikan baik baik, peraturan yang
diterapkan Sancu untuk melayani tamunya sama sekali tak mencakup
lohu yang kedudukan sebagai seorang congkoan beserta
rekan-rekan setingkat denganku bila kau berani mengaco boleh lagi,
jangan salahkan kalau lohu..."
Belum selesai perkataan itu di ucapkan, tiba-tiba dari dalam ruangan
bergema suara keras yang menggetarkan telinga.
"Ucapan kongcu tepat sekali, memang banyak anak buah lohu yang
berusaha melanggar peraturan yang ada, untuk itu lohu mohon maaf
pada kongcu, tapi aku pinta agar kongcu bersedia percaya kewibawaan
lohu serta tidak menyelidiki lagi...!"
Setelah berhenti sejenak, tiba tiba dengan nada ucapan yang berubah
keras, lanjutnya.
"Chin Hui hou! Mengapa kau tidak segera melaksanakan permintaan dari
kongcu itu? Ingat, selesai melayani kongcu minum arak, kau boleh pergi
sendiri ke ruangan Cap pwe sin tian untuk menerima hukuman sesuai
dengan peraturan, hayo cepat!"
Begitu suara keras yang hanya kedengaran suaranya tanpa menjumpai
manusianya itu berkumandang dalam ruangan, paras muka Chin Hui
hou yang berwarna merah padam kontan saja berubah menjadi pucat
pias seperti mayat, bahkan dibalik warna pucat tersebut masih tampak
warna hijau membesi, keadaannya mengenaskan sekali.
Menanti perkataan tersebut selesai diucapkan, Chin Hui hou baru
mengiakan dengan hormat dan memutar badannya untuk beranjak ke
depan, Sun Tionglo mana mau menyia nyiakan kesempatan sebaik ini,
segera teriaknya dengan cepat.
"Bila kudengar dari suaranya, sudah dapat diduga pastilah Sancu yang
telah berkunjung sendiri kemari, apakah aku yang muda boleh memberi
hormat kepadamu ?"
"Sekarang lohu masih ada urusan untuk turun gunung, dalam lima hari
kemudian pasti kembali, waktu itu aku pasti akan bertemu dengan
kongcu dan menemani sendiri untuk melihat keadaan dibukit ini,
semoga saja kongcu bisa sukses dalam pelarian nanti."
Setelah ucapan tersebut diutarakan ternyata Sun Tiong-lo tidak
mengajukan permintaan apa-apa lagi. Beng Liau huan yang
menyaksikan keadaan itu, dalam hatinya semakin mengenal lagi akan
diri anak muda tersebut.
Ketika Chin Hui hou muncul lagi dalam ruangan, dia muncul dengan
membawa perlengkapan baru yang di minta, bahkan melayani arak
untuk Sun Tionglo hingga anak muda iiu selesai bersantap, akhirnya
dengan membawa perasaan dendam dan marah dia mengundurkan diri
dari ruangan tersebut.
Tak lama kemudian, lelaki kekar yang tinggi besar Kim Poo cu
muncullah di sana, sebelah memberi hormat kepada Sun Tiong lo,
katanya.
"Aku mendapat perintah dari San cu untuk menemani kong cu kembali
keloteng impian guna beristirahat."
"Oh .... di manakah Chin congkoan?" Kimpocu segera mencibirkan
bibirnya yang tebal dan besar
seraya menjawab: "Kong cu tak usah banyak bertanya, sekarang ia
sedang
menjalankan siksaannya!" Ia suruh Sun tiong lo tak usah banyak pikir
tapi dia sendiri telah
menerangkan kenyataan tersebut. Sun Tiong-lo tak banyak bicara lagi,
setelah mohon diri kepada
Beng Liau huan, bersama Kim poocu segera mengundurkan diri dari
ruangan tersebut.
Sepanjang jalan Sun Tiong lo tidak mengucapan sepatah katapun,
hingga tiba dibawah loteng impian, pemuda itu baru berterima kasih
pada Kim poo cu dan naik keatas loteng.
Sambil melangkah naik ke atas loteng, diam-diam Sun Tiong lo
mengingat-ingat semua keadaan didalam loteng itu dengan jelas, ketika
tiba diatas ia lantas mendorong pintu kamar dan melangkah masuk
dengan tindakan lebar.
Namun ketika melewati pintu kamar, mendadak bau harum semerbak
yang amat tipis.
Keningnya lantas berkerut, dia cepat menutup pintu dan menguncinya
dari dalam.
Anehnya ternyata ia tidak memasang lampu, melainkan berdiri kaku
disana sambil mengamati belakang pembaringan sana, dan berjalan
ketepi ranjang dan sambil duduk di tepi pembaringan melepaskan
sepatunya.
Menurut kebiasaan ia melepaskan jubah panjang kemudian melepaskan
kaos baru jubah panjang itu diletakkannya diujung pembaringan,
kemudian setelah menguap dia baru melepaskan baju dalam.
Setelah melepaskan baju dalam, kini bagian dadanya menjadi setengah
telanjang.
Sekali lagi dia menguap, kemudian membaringkan diri diatas ranjang.
Tak lama setelah berbaring, tiba-tiba dia melompat bangun lagi sambil
gelengkan kepalanya berulang kali.
"Aku benar benar dibuat kaget sampai menjadi bodoh, tadi hanya
minum arak melulu, sekarang rasanya haus sekali".
Ia melirik sekejap kearah meja, lalu ber jalan menuju kesana, ketika
dirasakan air teh masih panas, ia meneguk dua tegukan dan
meletakkan kembali cawannya kemeja.
Sesudah itu sambil merentangkan badan melemaskan otot, sekali lagi
dia menguap, katanya :
"Sejak meninggalkan rumah sampai sekarang aku belum pernah tidur
nyenyak sambil melepaskan semua pakaianku, sekarang toh mati hidup
sudah tak ketahuan lagi, kenapa aku tak tidur dalam keadaan polos ?"
Tapi sebentar kemudian ia berseru tertahan kenidian katanya lagi
dengan lirih.
"Baju lamaku tertinggal dalam kamar mandi, bajuku yang baru inipun
tanpa celana dalam. waaah... bagaimana aku harus membuka celana
luar?"
Sambil menggelengkan kepalanya, diapun menghirup kembali setegukan
dan...
"Oh, panas amat! Aaai., ... bagaimanapun dalam kamar itu cuma aku
seorang, kalau pintu sudah terkunci, mau tidur telanjang apa pula
salahnya? Bila ada orang datang kemari, memakainya kembali toh
belum terlambat!"
Semakin berguman ia berbicara makin serius, akhirnya dia mulai
melepaskan ikat pinggangnya.
Siapa tahu pada saat itulah mendadak dari atas kursi lemas disudut
ruangan sebelah kiri berkumandang suara bentakan nyaring.
"Kau berani melepas ?" Sun Tiong-lo segera terperanjat sambil
menjerit kaget dia segera
lari ke pembaringan. Suara merdu tadi kembali berkumandang. "Tak
usah berlagak bodoh lagi, kau anggap aku tidak mengetahui
lagakmu itu? Cepat kenakan pakaian, memasang lampu dan kita
berbicara secara baik-baik, ada persoalan yang ingin kutanyakan
kepadamu, hayo cepat !"
Sun Tiong-lo menggunakan kain selimut untuk menutupi kepala sendiri,
kemudian dengan badan gemetar tanyanya:
"Kau... kau adalah manusia atau setan ?!" Kursi diujung ruangan ilu
bergoyang pelan, lalu tampak sesosok
bayangan tubuh yang ramping bergeser kesisi meja, terdengar orang itu
berkata, "Sudah kukatakan agar kau tak usah berlagak pilon lagi...
apakah gunanya kau bersikap demikian? Aku adalah manusia, kalau
setan mana mungkin bisa berbicara sebagai manusia ?"
Sun Tiong-lo masih ketakutan setengah mati, katanya lagi dengan suara
menggigil.
"Kau jangan menipu aku, sewaktu masih kecil dulu ibuku sering
bercerita katanya Rase yang bertapa lama bisa menjadi dewi, ia sudah
menampakkan diri dengan wujud seorang gadis cantik, tapi kerjanya
khusus memikat laki-laki yang tampan."
"Tutup mulut!" bentak bayangan ramping itu sambil mendengus dingin,
Menyusul kemudian tampak cahaya api memercik diatas meja, dan
lentera dalam kamarnya disulut.
Setelah ada lampu, ruangan pun menjadi terang benderang, saat itulah
Sun Tiong-lo baru berani menampakkan diri dari balik selimutnya dan
turun dari atas pembaringan.
Entah sedari kapan, tahu-tahu diatas Loteng impian telah bertambah
dengan seorang nona cilik yang cantik jelita.. bak bidadari dari
kayangan.
Sekalipun gadis itu berparas muka cantik jelita, tapi amat dingin
sikapnya, dengan sepasang biji mata yang jeli dia melotot sekejap
kepada Sun Tiong-lo, seakan-akan ia hendak menembusi hatinya.
Paras muka Sun Tiong-lo masih diliputi perasaan kaget bercampur
tercengang, tapi dengan sopan dia memberi hormat juga kepada nona
itu seraya berkata:
"Nona, sejak kapan kau disini..." Berbicara sampai disitu, tanpa terasa
mata Sun Tiong lo di alihkan kembali ke arah pintu kamarnya yang
masih di kunci dari dalam, ternyata kunci itu masih tetap utuh dan
sama sekali tidak berubah, kontan saja perkataannya terhenti sampai di
tengah jalan dan menjerit kaget.. .
Nona itu melirik sekejap kearahnya dengan dingin, lalu ujarnya.
"Pandai amat kau bermain sandiwara, akan kulihat sampai kapan
permainan gila gilaanmu itu baru akan berhenti !" Sun Tiong lo
mengerdipkan matanya, gelengkan kepala, berpikir
sejenak dan akhirnya dengan memberanikan diri dia berkata.
"Nona benar benar adalah manusia?" Nona itu menjadi amat
mendongkol serunya "Aku tidak memberitahukan kepadamu, jika kau
berani bicara
secara sembarangan lagi jangan salahkan kalau kuhajar dirimu!" Sun
Tiong lo menatap nona itu tajam tajam kemudian berkata
lagi" "Tapi.. tapi, pintu kamar aku yang muda kan terkunci dari dalam,
kenyataannya nona bisa masuk dengan semaunya..." Tampaknya nona
itu kewalahan juga dibuat nya, dengan
perasaan apa boleh terpaksa katanya sambil mencibir bibir.
"Memangnya aku tak bisa datang ke loteng impian ini selangkah
lagi lebih dulu darimu ?" Sun Tiong lo kembali tertegun. "Datang lebih
duluan? Mau apa nona datang lebih duluan keatas
loteng impian ini?" Nona itu mengerling sekejap kearahnya, kemudian
menjawab. "Terus terang kuberitahu kepadamu, loteng impian ini
sesungguhnya adalah tempat tidur siang ku bila di musim panas."
Seperti baru sadar dari impian, dengan serius Sun Tiong lo
berseru. "Kalau begitu, nona seharusnya juga tahu bahwa bukan-aku
sendiri yang minta kemari, akupun bukan tuan rumah dari loteng ini,
jika nona ada dendam sakit hati, tidak seharusnya mencari aku..."
Temyata dia masih menganggap nona itu sebagai sukma penasaran
yang mencari balas.
Dengan perasaan mendongkol terpaksa nona itu harus berbicara
dengan jujur.
"Dengarkan baik baik, aku manusia bukan setan, Sancu bukit ini adalah
ayahku, sedang loteng impian ini adalah tempat tinggalku bila dimusim
panas, sekarang mengerti ?"
Sun Tiong lo mengerti, sambil tersenyum dia lantas memberi hormat,
katanya.
"Oooh ....rupanya nona adalah putri Sancu, maaf jika aku yang muda
kurang hormat !"
Nona itu mendengus dingin, sambil duduk dikursi katanya. "Kau juga
boleh duduk, aku ada persoalan ingin di tanyakan
kepadamu..." Sun Tiong-lo menyahut dengan hormat, tapi ia melirik
dulu
sekejap kearah nona itu kemudian baru duduk. Dengan sikap yang amat
terbuka nona itu memperhatikannya
beberapa saat, setelah itu katanya: "Pertama tama aku hendak
bertanya kepada mu, setelah masuk
keatas loteng impian, mengapa kau tidak memasang lampu?"
"Sebenarnya aku yang muda mempunyai korek api, sayang
ketika membersihkan badan tadi lupa mengambil, sekarang aku tidak
mempunyai korek api lagi, dengan cara apa aku musti menyulut lampu?"
Mendengar itu, sinona menjadi terbungkam, Lewat beberapa saat
kemudian ia berkata lagi.
"Anggap saja perkataan ini telah kau jawab secara benar,sekarang aku
ingin bertanya lagi kau minum teh seorang diri, mengapa dua cawan teh
yang kau sediakan di meja?"
"Sewaktu berada diruangan tengah tadi, aku yang muda sudah minum
beberapa cawan arak lebih banyak, ditambah lagi hidangan dari bukit
ini amat lezat sehingga makan lebih banyak karena itu aku merasa haus
sekali dan ingin cepat-cepat minum teh.
"Apa mau dikata air tehnya masih panas, sedang cawannya kecil, maka
aku menyiapkan dua cawan dengan harapan mumpung secawan yang
lain sudah habis terminum, cawan yang lainpun keburu sudah dingin !!"
Padahal nona itu tahu kalau Sun Tiong lo berbicara sebenarnya, tapi ia
toh dibuat tertawa geli juga sehingga tertawa cekikikan.
"Baik, anggap saja akupun berhasil lolos dari pemeriksaan ini.. ." Belum
habis dia berkata, Sun Tiong lo telah menukas.
"Nona, tolong aku yang muda harus melewati berapa banyak
pemeriksaan lagi ?"
Tampaknya nona itu mempunyai watak mau mencari menangnya
sendiri, kalau bilang berwajah dingin, maka wajahnya benar benar
menjadi dingin, kalau bilang tidak berperasaan maka ia benar benar tak
berperasaan mendadak saja dia menarik muka, lalu sahutnya dingin.
"Nonamu suka menyuruh kau melewati beberapa pemeriksaan kau
harus pula melewati beberapa pemeriksaan !"
Sun Tiong lo memang cukup aneh, tiba-tiba diapun mengumbar
wataknya, dengan serius katanya.
"Nona, kau sebagai putri kesayangan Sancu tentunya tak bisa tahu
kalau bukan aku yang muda sudah termasuk sebagai orang yang sudah
setengah mati, selama lima hari mendatang ini aku terhitung sebagai
seorang tamu kehormatan disini ?"
Mendengar perkataan itu nona tertegun "Tentu saja tahu" sahutnya,
"kenapa ?"
"Kalau sudah tahu itu lebih baik lagi, mulai sekarang sampai batas waktu
lima hari nanti aku tak ingin melewati sebuah pemeriksaanmu lagi, jika
nona merasa keberatan, silahkan saja untuk membunuhku sekarang
juga."
Kali ini si nona benar benar dibikin bodoh, setengah harian lamanya ia
tertegun kemudian sambil mendepakkan kakinya ditanah ia baru
melompat bangun, katanya.
"Anggap saja kau yang menang kali ini, tapi mengapa tidak kau
pikirkan mengapa orang lain hanya mendapat batas waktu selama tiga
hari sedangkan kau bisa memperoleh tambahan dua hari lagi ?
Hmmmmmmm !"
"Selain itu, sekalipun menjadi tamu agung juga jangan harap bisa
tinggal di loteng impian, mengapa pula kau tidak bertanya mengapa bisa
menjadi begini, Kenapa malam malam begini aku datang kemari....!"
Ternyata jawaban dari Sun Tiong lo juga cukup cepat. "Aku yang
muda memang ingin bertanya kepada nona, mengapa
malam malam begini nona datang kemari? sebenarnya ada urusan
apakah dirimu ini....?"
Nona itu mendongkol yaa gemas yaa jengkel, sambil mendepakdepakkan
kakinya kelantai serunya.
"Aku datang untuk menengokmu apakah kau sudah mampus atau
belum !" Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan menuju Ke
depan pintu, kemudian setelah membuka kunci dan keluar, ia
membanting pintu itu keras-keras.
Menunggu Sun Tiong lo menyusul kedepan pintu, bayangan tubuhnya
sudah lenyap dari pandangan mata.
Sun Tiong lo segera menunjukkan sikap seolah-olah kehilangan
sesuatu, sambil menghela nafas gumamnya.
"Sungguh seorang nona yang cantik dan lincah!" sekembali Kedalam
ruangan loteng impian, dia mengunci kembali pintu ruangan.
Baru saja akan berjalan ke meja, tiba tiba terdengar suara dari San cu
berkumandang lagi.
"Kongcu, silahkan duduk, lohu hendak mengajakmu untuk
bercakap-cakap !"
Walaupun Sun liong lo sudah tahu siapa yang mengajaknya berbicara,
tapi ia tetap berlagak pilon.
"Siapa yang berbicara? Siapa kau? Berada dimanakah dirimu
sekarang...?"
Sancu tersebut tidak menampakkan diri, tapi sahutnya, "Lohu adalah
Sancu dari bukit ini..."
Dengan cepat Sun Tiong lo mendengus dingin, tukasnya. "Kau tak
usah berbohong, Sancu sudah berkata sendiri kepada
aku yang muda kalau dia akan meninggalkan bukit ini karena masih ada
urusan lain ..."
"Benar!" sahut Sancu, "sebenamya aku hendak turun gunung, tapi
berhubung lohu menyaksikan siau li naik ke loteng ini, maka sengaja aku
menunggu beberapa saat disini. Dan kini aku mempunyai beberapa
persoalan ingin ditanyakan kecada Kongcu, aku harap kongcu bersedia
menjawab dengan sejujurnya.
"Pertama tama lohu ingin bertanya apakah nama kongcu yang
sebenarnya, berasal dari mana? Dan berapa umurmu? Tolong kongcu
bisa menjelaskan pula berapa orang yang berada di rumahmu ?"
"Sancu, ada urusan apa kau menanyakan soal keluarga ku dengan
sejelas ini ?"
"Kongcu tak usah kuatir, lohu jamin setelah kongcu memberikan
jawaban yang sebenar nya, hal ini hanya akan bermanfaat bagi kongcu
dan sama sekali tidak merugikan !"
Sun Tiong lo berpikir sebentar, lalu jawab nya. "Bila batas waktuku
sebagai tamu agung sudah habis, sampai
aku juga tak akan lolos dengan selamat dari sini, paling paling nyawaku
juga akan mampus, apalah gunanya membicarakan soal
keluarga? Aku yang muda bernama Sun Tiong lo, penduduk ibu kota
tapi sekarang adalah seorang anak yatim piatu."
"Ooooh,... bukankah kongcu masih mempunyai seorang empek ?"
"Benar." baru saja Sun Tiong lo akan menjawab lebih jauh, tiba- tiba
Sancu berkata lebih jauh.
"Kongcu, harap kau dengarkan baik baik, anak buah lohu telah
mengirim berita penting yang mengatakan ada orang menerjang naik
keatas gunung, orang itu berilmu tinggi sekali karenanya aku tak bisa
bertanya jawab lagi dengan kongcu, bila urusan lohu selesai dan
kembali kegunung, sudah pasti tak akan lewat dari lima hari, waktu itu
aku pasti akan mengajakmu untuk berbicara lebih lanjut, nah sekarang
aku hendak mohon diri lebih dulu!"
Sesuai berkata suara itupun segera sirap. Perlahan Sun Tiong lo
memadamkan lentera dan mengulumkan
sekulum senyuman ringan. Setelah itu dengan langkah cepat ia berjalan
kedepan jendela
dan melongok keluar. Benar juga, dilangit sebelah barat sana, tampak
segumpal cahaya
bintang sedang memancarkan sinarnya ke empat penjuru.
-ooo0dw0ooo-
BAB TIGA
DENGAN kening berkerut Sun Tiong-lo memandang termangu sejenak
keluar jendela kemudian setelah meneguk secawan air teh, ia
menjatuhkan diri di atas pembaringan pelbagai ingatan berkecamuk
dalam benaknya membuat pemuda itu tak bisa membuat pemuda itu tak
bisa memejamkan matanya.
Tiba-tiba senyuman ayah ibunya terlintas kembali dalam benaknya, ia
menjadi teringat dengan kenangan masa lalu.
Ketika itu dia baru berusia lima tahun, nakal sekali. Ayahnya tak pernah
memanggil nama padanya, tapi langsung panggil dengan sebutan "Si
Binal" begitu hangat panggilan itu dan juga mesra.
Sesungguhnya mereka sekeluarga hidup dengan penuh kebahagiaan dan
gembira, siapa tahu kebahagiaan selamanya tidak berlangsung langgeng,
akhirnya pada suatu tengah malam terjadilah suatu peristiwa yang amat
menyedihkan itu.
Malam itu teramat sepi dan hening, semua orang sudah terlelap dalam
impian indah.
Tiba-tiba suara pekikan yang amat nyaring berkumandang datang dari
kejauhan dan membelah keheningan malam.
Menyusul kemudian, tampaklah sesosok bayangan hitam melayang
keluar dari kamar baca di loteng sebelah selatan dan meluncur kearah
mana asal suara itu.
"Diaaam..." sesosok bayangan hitam segera menerjang masuk ke
dalam.
Pada saat itulah dari dalam kamar terdengar seseorang menegur:
"Pek gi kah di situ?" Ketika mendengar suara teguran tersebut
bayangan hitam tadi
kelihatan merasa amat lega, segera sahutnya: "Adik, In aku disini!
Apakah kau lagi mendapat impian buruk..." Sambil berkata dia
memasang lampu kamar. Dibawah cahaya lilin, tampak orang itu
seorang lelaki tampan
berusia empat puluhan, waktu itu dengan dada telanjang dan membawa
sebilah pedang berdiri kekar dekat pembaringan. Di atas pembaringan
berbaring perempuan cantik yang menyelimuti sampai dada, rupanya
baru bangun dari lmpian.
Dengan matanya yang bening dia melirik pada Pek gi sekejap, lalu
wajahnya menunjukkan rasa haru dan terima kasih. Ia tidak menjawab,
hanya menuding ketubuh Pek gi dengan jari tangannya.
Pek gi agak tertegun, kemudian tertawa jengah setelah dia
menundukkan kepalanya.
"Yaa, aku memang terlalu terbura buru!" katanya cepat. Perempuan
itu menggigit bibirnya dan dengan kemalu-maluan
berkata lagi: "Jangan melihat aku terus menerus, udara sangat dingin,
jangan
lupa menutup pintu" Pek gi segera mengiakan dan menutup pin tu
kamar, perempuan
itu menepuk pelan sisi pembaringannya, Pek gi mengangguk dan
menghampirinya sambil tersenyum.
"Letakkan pedangmu itu!" bisik perempuan itu lagi dengan kening
berkerut.
Pek gi berseru tertahan dan segera meletakkan pedangnya dimeja,
kemudian tegurnya lagi:
"ln, kau bermimpi apa lagi?" Sinar matanya memandang sekejap
kepembaringan sebelah
dalam, kemudian sambil berseru tertahan serunya lagi: "Dimana sibinal"
Sambil menunjuk kekamar sebelah perempuan itu menjawab
"Aku khawatir bocah itu terbangun oleh impian ku, maka kusuruh inang
nya mengajak tidur dikamar sebelah!"
Mendengar jawaban tersebut, Pek gi baru kelihatannya agak lega.
Terdengar perempuan cantik itu berkata: "Cobalah kau lihat,
sekalipun terburu buru juga tak seharusnya
macam kau sekarang, masa baju arakpun tidak kamu kenakan? Kini
sudah musim gugur, kau anggap badanmu lebih keras dari baja!"
merdu suaranya tapi wibawa.
"Tentu saja" sahut Pek gi sambil tertawa, di tepuknya dada seraya
berkata, "Coba kau lihat, lebih kekar dari pada sebatang baja"
Perempuan cantik itu mengerling sekejap ke arahnya, dan berkata lagi:
"Lepaskan sepatu mu dan padamkan lampu! Pek gi sangat penurut,
sebuah sentilan jari-jari tangan segera
memadamkan lampu Ientera. Kemudian ia lepaskan sepatu dan duduk
di sisi pembaringan
istrinya. Beberapa saat kemudian, tak tahan perempuan cantik itu
bertanya: "Jadi kau sudah nekad ?" "Nekad apa ? Apa yang kau
maksudkan?" Pek-gi balik bertanya
dengan wajah tertegun. "Tidak kedinginan ?" Pek-gi segera mengerti
maksud istrinya, dengan cepat bagaikan
seekor ikan belut dia lantas menyusup ke dalam selimut, kalau tadi
dadanya yang kedinginan tidak merasakan apa-apa, maka begitu masuk
ke balik selimut dia malah kelihatan agak gemetar.
Di tengan kegelapan terdengar perempuan cantik im berbisik: "Lain
kali, jika kau mendengar aku berteriak-teriak lagi di tengah
malam, jangan gubris diriku?" "Tak ada lain kali lagi !" tukas Pek-gi,
"Pasti ada" sahut
perempuan itu dengan sedih, "aku benar-benar amat membenci sekali
diriku!"
Pek-gi tertawa lapar.
"Aku bilang tak mungkin ada lain kali yaa tak ada lain kali, kalau aku
tahu si binal tidur dengan mak inangnya, malam inipun mungkin tak
akan pernah terjadi!"
"ldiih tak tahu malu, perkataan macam begitu juga bisa kau ucapkan ?"
bisik istrinya dengan malu.
"Aaah kenapa musti malu untuk mengucapkan kata-kata seperti ini ?
Suami istri yaa suami istri..."
Dengan perasaan setengah malu, setengah mendongkol dan setengah
menegur perempuan itu segera menukas:
"Apa yang kau jeritkan? Memangnya ingin membuat semua anak
buahmu kedengaran ?"
"Sejak dulu kala, sedari dunia ini ada thian menciptakan laki dan
perempuan untuk saling bercinta didunia, kemudian menjadi suami
isteri, arti dari pada suami isteri adalah...!"
Tiba-tiba perempuan itu mencubit paha Pek gi bisiknya: "berani bicara
terus?"
"Baik aku tak akan bicara lagi....!" Suana menjadi hening, untuk sekian
waktu lamanya kedua belah sama-sama tidak bersuara. Tiba- tiba
perempuan cantik itu menghela napas, katanya lagi:
"Pek gi bukankah besok adalah tanggal delapan?" Pek gi sebenarnya
mengerti apa yang dimaksudkan isterinya, tapi ia berpura-pura tenang.
"Benar, lusa adalah tanggal sembilan!" perempuan itu menggelengkan
kepalanya berulang kali, lalu gumannya seorang diri.
"Berarti delapan hari lagi itulah hari Tiong ciu !" Pek gi tidak
menjawab, hanya diam diam berkerut kening, Tentu
saja perempuan itu juga mengerti apa yang membuat suaminya
berkerut kening, dengan cepat ia berkata.
"Kau tak usah berkerut kening, aku tak akan menganjurkan kepadamu
untuk pergi !"
Pak gi berusaha keras untuk menekan pergolakan perasaan dalam
hatinya, dengan nada tenang ia berkata.
"Adik In, bukannya aku enggan mendengarkan nasehatmu,
sesungguhnya kaburpun tak ada gunanya, selama dua puluh tahun ini
Liuk hun pay (lencana perontok sukma) itu sudah malang melintang
dalam dunia persilatan!"
"Aku mengerti!" tukas sang istri, "hingga kini tak seorangpun jago silat
pun yang tahu siapa gerangan pemilik lencana tersebut, sehingga mau
bersembunyi sampai diujung langitpun tak ada gunanya"
"Aai...! Tapi hal ini merupakan kenyataan, lagi pula sejak tahun
berselang kita sudah mempersiapkan pertemuan yang meriah dihari
Tiong ciu tahun ini bahkan bersiap siap untuk mengumumkan seluruh
dunia persilatan bahwa kita akan mengundurkan diri dan tidak
mencampuri urusan persilatan lagi.
"Tanggal satu hari itu, aku baru menyuruh saudara Cu peng untuk
mengirim orang menyebar undangan, tetapi malam harinya kita telah
menerima Lok hun pay tersebut, di atas lencana jelas kita tercantum
akan mati secara mengerikan di malam Tiong ciu tersebut"
"Adik In, tahukan kau bahwa perisriwa ini bukan suatu kebetulan, tetapi
pemilik lencana terseout telan merencanakannya secara rapi membuat
kita tak mungkin meloloskan diri lagi, dari kenyataan seperti ini!"
Sesudah berhenti sebentar, dengan agak emosi dia melanjutkan
pembicaraannya itu:
"Adik In, semenjak kita terjun ke dunia persilatan, siapakah yang pernah
mendengar bahwa bernama Giok bin siam kiam soh liong jiu (Dewa
pedang tangan sakti penakluk naga yang berwajah kemala)Sun pek gi
serta hui thian giok li (gadis cantik langit
terbang) Wan Pek in adalah manusia-manusia yang takut urusan? kabur
dari kenyataan?"
"Dua tahun berselang, ketika Gak hu (ayah mertua) tewas secara
mengenaskan di daerah Kang see, kata-kata wasiatnya membuat
terharu hatiku, apalagi setelah mendengar bujukanmu maka aku
bertekad akan mengundurkan diri dari dunia persilatan dan hidup penuh
kegembiraan dengan adik In.
"Demi adik In aku rela meninggalkan segala sesuatu yang ada di dunia
ini termasuk nama dan kedudukanku, demi adik In akupun bersedia
menerima caci maki dari semua orang didunia ini."
Dengan cepat Wan Pek in menutup bibir Pek gi dengan jari tangannya
yang lembut katanya:
"Pek gi, kau tak boleh berbicara lagi, kau sangat baik kepadaku" Pak
gi menghela nafas panjang, di belai-nya tangan serta
pergelangan tangan istrinya dengan penuh kasih sayang, kembali ia
berkata.
"Pemiliknya Lok hun pay telah mewartakan berita elmautnya pada saat
ini, kita toh tidak tahu siapakah dia, sekalipun kabur ke ujung langit
belum tentu bisa terhindar dari pengejarannya..."
"Aku mengerti" tukas Pek in, "aku hanya membenci pada diriku sendiri,
sepuluh tahun kita berkelana dalam dunia persilatan, tidak pernah aku
merasa takut terhadap apapun, kali ini aku justru merasa gundah, tak
tenang dan demikian ketakutan? Ai, aku benar benar seorang pengecut
!"
"Aaai..! Ya, kita kuatir, karena kita menguatirkan keselamatan si binal !"
"Pak gi, konon setiap orang yang mendapat Lok hun pay, segenap isi
keluarganya dibasmi sampai tuntas, tapi orang yang tidak menyangkut
hubungan keluarga dengannya dibiarkan hidup, benarkah itu?"
Pak gi berpikir sebentar, lalu jawabnya.
"Hanya ada suatu pengecualian !" "Peristiwa yang mana!" tanya Pek
in gelisah. "Ketika keluarga Pian tayhiap mendapat musibah !"
"Bukankah waktu itu tak seorangpun berhasil meloloskan diri dari
dalam keadaan hidup?" tanya Pek in tercengang. "Enmmmmmm . .. .!"
Lantas mengapa kau katakan kali itu terjadi kekecualian ?" "Yaaa, sebab
empat sobat karib dari Pian tayhiap juga turut
tewas ditempat kejadian." Pek in lantas memahami yang dimaksudkan
bisiknya. "Kalau begitu cerita orang tentang ia tidak membunuh marga
lainpun tak bisa dipercaya ?" Pak gi mendengus dingin. "Hemmmm
menurut pendapatku waktu itu keempat sobatnya
pasti bertugas untuk melindungi sanak keluarga tayhiap, bila Lok hun
pay tidak membunuh keempat orang itu terlebih dahulu, tentunya
tujuannya tak akan tercapai."
Pek in seperti baru memahami akan sesuatu, dia lantas berseru
tertahan.
"Ooooh, tak heran kalau kau tak bercerita pada Cu peng bahwa kau
telah terima Lok hun pay, rupanya kau juga khawatir bila teman
temanmu ikut tewas dalam peristiwa ini!"
"Persoalan ini adalah persoalan keluarga Sun, kami tidak berhak untuk
menyeret teman-teman karib kita masuk keliang api, apa lagi aku masih
berkeyakinan sanggup untuk menghadapi Lok hun pay!"
Pek in termenung beberapa waktu lamanya, mendadak sambil
merendahkan suaranya dia berbisik: "Pek gi apakah kamu sudah
mempunyai rencana untuk anak kita?"
Menyinggung soal anak, pikirannya Pek gi menjadi kacau
sekali.
Selama beberapa hari belakangan ini ia tinggal sendirian didalam kamar
bukunya di loteng sebelah selatan, tak lain ia sedang memikirkan cara
yang baik untuk menyelamatkan anaknya yang baru berusia lima tahun
itu, tapi sayang, sekalipun ia sudah memeras otak ternyata tak sebuah
carapun yang didapatkan. Tadinya dia paling kuatir bila istrinya
menyinggung soal itu, apa mau dibilang justru masalah itu tak bisa
dihindari lagi.
Ketika ia tidak membuka suara, Pek in segera mengerti maksudnya,
maka ujarnya kemudian "Aku selama ini merasa takut lantaran
memikirkan soal anak kita, Pek gi kalau toh bocah itu mau mengikuti
mak inang dan lagi mak inang bukan orang persilatan maka aku pikir."
belum habis ucapan itu diutarakan mendadak dari luar ruangan sudah
terdengar suara tawa menyeramkan menyusul seorang berkata:
"Kalian suami istri tidak usah berkhayal yang bukan bukan, apalagi
mengantar anakmu keluar dari sini, aku akan memberi kabar pula
kepadamu, sobat karib kalian itu sudah tahu akan persoalan ini !"
Sambil menyambar pedangnya Sun pak gi melompat bangun. Tapi
orang diluar ruangan itu sudah berkata lagi sambil tertawa seram,
"Orang she Sun, lohu menganjurkan kepadamu lebih baik gunakanlah
kesempatan selama beberapa hari ini untuk bersenang senang, sampai
waktunya lohu akan datang lagi, selamat tinggal !"
Dengan geram Pak gi menancapkan kembali pedangnya ke tanah,
kemudian tidur lagi.
Kiranya setelah mengucapkan selamat tinggal tadi, orang itu sudah
berada sepuluh kaki jauhnya, Pak gi tahu dikejarpun percuma maka dia
tidak memperdulikan orang itu lagi.
Sementara itu Pek-In sudah bangun dan berduduk, tanyanya kemudian,
"Pak gi, apakah Lok hun pay pribadi yang datang ?"
Pek gi termenung sebentar lalu menggeleng.
"Sulit dikatakan, pokoknya orang itu sudah pasti adalah manusia
cecunguk yang takut bertemu orang !"
"la bilang sobat kita sudah mengetahui kejadian ini...." "Yang
dimaksudkan pastilah saudara Ngo-kian !" sela Pek-gi,
Pek-in tak dapat membendung rasa gembiranya lagi, cepat dia berseru,
"Jika kita bisa memperoleh bantuan dari saudara Ngo-kian, mungkin
saja..."
Pek gi menghela nafas panjang, tukasnya, "Semoga saudara saudaraku
itu amat cerdik, dan tidak datang kali ini...!"
Pek in mengerti kalau dibalik ucapan tersebut Pek gi menaruh maksud
lain, katanya kemudian..
"Saudara saudara kita tak mungkin tidak datang !" Aaai... tahu
begini, aku tak akan menyebar undangan untuk
mengundang mereka semua kemari." Pek in segera menghibur. "Kau
toh sudah tahu kalau Lok hun pay
melaksanakan rencananya dengan matang, sekalipun kau tidak
mengadakan perayaan ini, dia pun pasti mempunyai akal lain untuk
mengumpulkan mereka semua, apalagi tanggal enam belas nanti adalah
ulang tahunmu yang keempat pulun lima, saudara Ngo kian dan teman
teman sehidup sematimu masa tak akan berdatangan? Pak gi kau tak
usah banyak berpikir lagi!"
Pak gi segera menghela nafas panjang. "Aaaai... adik In, teman
sehidup sematiku bukan cuma saudara
Ngo Kian seorang.." "Pak gi, jangan membicarakat soal ini lagi" tukas
Pek in,
"sekarang hari sudah malam, hayo kita pergi tidur !" Maka suami istri
berduapun tidak berbicara lagi, mereka
terbungkam dalam seribu bahasa. Suara kentongan keempat
berkumandang dari kejauhan sana,
tiba tiba Pak gi berbisik lagi.
"ln, kau apakah sudah tidur ?" Pek in tertawa getir. "Aku ingin tidur,
tapi mataku tak terpejam." Pak gi tertawa pula, tiba-tiba ia berkata
riang. "In, kita benarbenar
merasa kuatir yang berlebihan, kita masih harus dihadapkan
dengan beberapa masalah besar, buat apa mesti membayangkan yang
bukan-bukan? Yang penting sekarang adalah menghimpun tenaga untuk
menghadapi musuh.
"Tadi, dari saudara Ngo kian aku menjadi teringat dengan Mo toako,
sudah tujuh tahun aku tak pernah berhubungan dengannya, kejadian
ini membuat aku sangat tidak tenang !"
Berbicara sampai disini, Pak gi lantas tertawa lebar, katanya lebih jauh.
"Cuma beginipun ada baiknya juga, kalau tidak seperti kejadian tempo
hari, bila dia tahu, mungkin sedari tadi tadi sudah berangkat kemari,
bukankah hal mana malahan akan menambah risaunya hatiku !"
"Seandainya Mo toako ada disini, mungkin keadaannya akan sedikit
berubah !" bisik Pek in.
Pak gi berpikir sejenak, lalu menjawab, "Mungkin, aku tahu ilmu silat
dan tenaga dalam yang dimiliki Mo toako memang tiada tandingannya
didunia ini!"
Pek In kembali menghela nafas sedih, "Aku tebak dia tak akan datang
menjenguk diri kita lagi !"
Mendengar itu, Pek gi menjadi tertegun. "Darimana kau bisa berkata
demikian ?"
Pek In menghela nafas, sambil gelengkan kepalanya berulangkali
ujarnya.
"Tidak apa apa, aku hanya merasa selama tujuh tahun belakangan ini
dia sama sekali tak ada kabar beritanya, kini kita
sedang berada diambang pintu antara mati dan hidup, mana mungkin
dia bisa datang untuk berjumpa lagi dengan kita ?"
Pek gi sama sekali tidak menangkap arti lain dibalik ucapan istrinya itu,
sambil tertawa katanya.
"ln, aku tak mau menyerah dengan begitu saja atas pertarungan yang
bakal berlangsung malam Tiong-ciu nanti, setelah fajar nanti, aku akan
melakukan persiapan yang matang, aku bertekad akan melangsungkan
pertarungan terbuka melawan Lok hun pay tersebut !"
"Benar, aku percaya dengan kerja sama kita berdua, belum tentu ia
bisa memenangkan diri kita berdua...."
Belum habis berkata, tiba tiba Pek gi melompat turun dari ranjang,
cepat cepat mengenakan sepatu mencabut pedangnya dan berbisik.
"Adik In, diluar ada orang yang datang, apakah kau sudah siap dengan
Hui im seng sik (Batu bintang awan bertebangan)mu itu ?"
Pek in mengangguk, dari balik bantalnya dia mengeluarkan tiga biji Hui
im seng sik yang paling diandalkan selama ini, kemudian sahut nya
kepada Pek gi.
"Serahkan saja bagian depan kepadaku !" "Hati hati adik In !"
Berbicara sampai disitu, Pak gi lantas menyelinap ke jendela
belakang. Pada waktu itulah terdengar hembusan angin tajam dari luar
jendela, tampaknya bukan cuma seorang saja yang datang mendekati
pintu depan, sambil menggigit bibir, Pek in segera menggetarkan
tangannya kedepan, sambil melontarkan Hui im seng siknya, dia
membentak gusar.
"Kawanan tikus yang bernyali besar, makan batu ini..."
Belum habis dia berkata, orang diluar ruang an sudah berseru, "Serangan
yang hebat, enso, beginikah cara menyambut kedatangan tamu ?"
Mendengar seruan itu, merah padam selembar wajah Pek in karena
jengah, sebaliknya Pak gi bersorak gembira, dia melompat ke depan
pintu dan siap membuka pintu.
"Setan gegabah !" Pek in segera mengomel dengan gelisah, "tutup baik
baik pintu itu, berpakaian dulu sebelum keluar !"
Pak gi tertawa, dari almari mereka mengeluarkan pakaian, sambil
dikenakan ia berjalan keluar.
Belum lagi buka suara, orang yang berjalan malam diluar kamar itu
sudah berkata lagi.
"Bagus sekali toako, Cupeng bilang kau berada dikamar kecil diloteng
sebelah selatan, kami lima bersaudara tidak sabar menunggu dia
memberi laporan dan langsung menuju keloreng sebelah selatan, siapa
tahu ditempat itu tidak kami jumpai toako."
Dalam cemasnya longo mengira telah terjadi sesuatu, dia mengajak Lo
su dan Cupeng melakukan pencarian ke empat penjuru, sedang kami
bertiga menguatirkan keselamatan enso dan keponakan, maka buru
buru menyusul kemari.
"Sekalipun kedatangan kami ini terhitung gegabah sehingga
mengejutkan nyenyaknya tidur toako dan toa so, semestinya tak sampai
membuat kemarahan enso sehingga mau mencabut nyawa kami dengan
batu saktinya bukan !"
Pek gi tidak memberi komentar apa apa, dia hanya tertawa belaka.
Pek in yang berada dalam ruangan dapat menangkap arti Iain dari
perkataan itu, malu nya bukan kepalang, meski begitu dia cukup
mengetahui watak orang itu, dia tahu semakin kau merasa jengah
makin runyamlah keadaannya.
Untung saja mereka terpisah oleh dinding kamar dan tak saling
berhadapan muka, maka meski dihati jengah diluar dia berkata.
"Tong losam, kuberitahu kepadamu, apabila beberapa butir batu dari
ensomu saja tak sanggup kau sambut, maka ada baiknya sedari malam
ini jangan menguping lagi pembicaraan orang !"
Tong losam membuat muka setan ke arah Pak gi, kemudian tertawa
terbahak bahak.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 3 "HAAH ..,..haaaah....tak heran kalau toako tidak berani !"
Ucapan yang tiada ujung pangkalnya ini segera membuat Pek-gi
menjadi tertegun.
Pek-in tahu kalau Tong losam bermaksud menjebak, dengan cepat dia
berseru:
"Pek-gi jangan sampai tertipu, tak usah perdulikan ucapan Tong losam,
cepat undang saudara Ngo-kian menuju ke ruang depan, aku sebentar
akan menyusul ke sana."
Sayang perkataan itu agak terlambat, Pek gi sudah keburu bertanya
kepada Tong losam: "Samte, kau bilang aku takut apa ?"
Tonglosam tertawa tsrbahak-bahak. "Haah... haa... aku tahu, kau
pasti tak berani untuk tidur seorang
diri lagi di loteng selatan." Pak gi cuma tertawa masam. "Sam-te, kau
benar benar jahil mulutnya, hayo jalan, kita menuju
ke ruangan depan." "Benar, kalau enso sudah ada perintah, yang
menjadi toaka
mana berani membangkang ? cuma..."
Setelah berhenti sejenak, dia lantas menarik baju Pak gi seraya
berkata:
"Cuma dalam gugupnya tadi, rupanya toaka sudah salah memakai
pakaian, perlu tidak untuk berganci pakaian dulu baru ke ruang depan ?"
Pak gi menundukkan kepalanya dan memeriksa pakaiannya, kemudian
sambil tertawa tergelak serunya:
"Baiklah, aku akan tukar pakaian dulu, kalian berangkat sana ke ruang
depan, sekalian beri kabar kepada Su te, ngo te dan Cu peng,kebetulan
aku ada urusan..."
"Benar !" tukas Tong losam "kita akan berangkat duluan, toako dan
enso berpakaian dulu kemudian baru berangkat bersama."
Sehabis berkata, sambil tertawa terbahak bahak dia menarik Kim lotoa
dan Gin loji untuk berangkat meninggalkan tempat itu, sedangkan Pak gi
sambil gelengkan kepalanya kembali kekamarnya.
Setelah Ngokian bersaudara berkumpul pada malam itu juga diadakan
perundingan rahasia, mereka bertekad untuk berusaha keras mendesak
Lok hun pay sehingga menampakkan wajah asIinya.
Sampai waktunya, Kim lotoa, Gin loji dan Tong losam akan di tugaskan
untuk menjaga pintu yang menghubungkan depan dan belakang
gedung, sedangkan Thi losu dan eik longo bertugas menjaga ruang
dalam.
Congkoan bangunanan itu Lu Cu peng ditugasi untuk melindungi Sun
Tiong lo, bocah berusia lima tahun yang merupakan satu satunya
keturunan dan Pak gi.
Sedangkan Sun Pak gi suami istri akan bekerja sama untuk menghadapi
Lok hun pay.
Bahkan Pakgi berpesan kepada Lu Cu-peng kurang lebih kentongan
kedua pada malam Tiong ciu itu, dia harus berusaha
untuk mengajak kawan-kawan persilatan guna berpindah ke Tay
peng-tay di atap loteng sebelah selatan untuk menikmati rembulan.
Dengan demikian, seandainya Lok hun pay turun tangan kepada mereka
sekeluarga, kejadian ini tak akan sempat mengejutkan sahabat-sahabat
persilatan lainnya, dengan demikian akan terhindar banyak korban yang
berjatuhan.
-ooo0dw0ooo- BULAN DELAPAN TANGGAL LIMA BELAS, setelah
matahari
terbenam dan malam hari menjelang tiba, perjamuan diruang tengah
telah di mulai, suana diliputi riang gembira.
Sekalipun hari belum sangat gelap, namun cahaya lampu telah
menerangi seluruh ruangan.
Lu Cu peng dengan kedudukannya sebagai seorang congkoan bertugas
mengurusi berbagai upacara. Kentongan kedua baru lewat, pesta telah
usai, tapi suasana tetap tenang tak terjadi apa apa.
Lu Cu peng segera mengerling ke wajah Sun pak gi untuk memastikan
petunjuknya.
Sun Pak gi manggut-manggut, maka Lu Cu peng segera menitahkan
anak buahnya untuk menyiapkan segala sesuatunya, tak lama kemudian
dari atas loteng sebelah selatan telah berkumandang suara irama musik
yang merdu merayu.
Sun pak gi segera bangkit berdiri, setelah menjura keseluruh ruangan,
katanya sambil tertawa.
"Aku merasa berterima kasih sekali kepada saudara sekalian atas
kesudian kalian untuk menghadiri perjamuan ini, sudah banyak tahun
kami berkelana dalam dunia persilatan, selama ini berkat bantuan dari
kalian membuat kami berhasil mencapai kedudukan seperti saat ini,
untuk itulah kami sengaja mengadakak perjamuan ini sebagai rasa
terima kasih kami kepada bantuan saudara sekalian.
"Selain daripada itu, kamipun ingin menggunakan kesempatan ini untuk
menyampaikan suatu kabar, atas persetujuan kami suami istri berdua,
maka sejak malam ini kami akan mengundurkan diri dan keramaian
dunia persilatan.
"Semua masalah yang menyangkut budi dendam dalam dunia persilatan
mulai detik ini akan kami lepas dan tidak mencampurinya lagi, kami
mohon bila dimasa lalu ada kesalahan yang telah kami lakukan, harap
kalianpun sudi memaaafkan."
Berbicara sampai di situ, Sun Pak gi suami istri segera menjura
dalam-dalam kepada semua jago yang berada dalam ruangan.
Selesai memberi hormat, Sun pak gi berkata kembali. "Hari ini
adalah malam Tiong ciu, selagi bulan purnama kitapun
bisa berkumpul-kumpul, sengaja kami sediakan irama musik di loteng
selatan, harap saudara sekali bersedia untuk beranjak kesana untuk
menikmati keindahan rembulan bersama sama !"
Setelah berhenti sejenak, kepada Lu Cu peng katanya. "Saudara
Cupeng, tolong temanilah para tamu untuk naik dulu ke
loteng selatan, siaute akan berganti pakaian dulu kemudian baru
menyusul ke sana."
Lu Cu peng segera mengiakan, dia lantas mempersilahkan para
tamunya menuju keloteng selatan.
Sepanjang jalan tampak para tamu berbisik-bisik membicarakan
masalah pengunduran diri Sun pak gi suami istri, rupanya mereka tidak
habis mengerti kenapa suami istri berdua itu mengundurkan diri dari
keramaian dunia persilatan.
Dalam ruang tengah sudah tak ada orang lain Tidak ! Ternyata
masih ada tiga orang, dua wanita dan seorang
lelaki. Baru saja Sun pak gi akan mempersilahkan ketiga orang itu,
tiba-tiba mereka beranjak dan menghampiri ke hadapan mereka
berdua.
Waktu itu dalam ruangan tersebut selain dua orang pelayan, hanya
tinggal ketiga orang itu dan Sun pak gi suami istri, lima bersaudara Ngo
kian telah mengundurkan diri untuk menjaga pintu pintu utama.
Dari tiga perempuan seorang pria itu, seorang adalan nenek yang telah
berambut uban, seorang perempuan setengah baya yang cantik dan
seorang lelaki yang ternyata masih bocah, usianya antara tujuh tahun,
rupanya mereka berasal dari satu keluarga.
Ketika itu, si nenek memandang sekejap ke arah Pak gi suami istri,
kemudian tegurnya.
"Sun tayhiap, tentunya kau tahu bukan siapakah diriku ini ?" Sun Pak
gi memandang sekejap kearah mereka, kemudian
jawabnya. "Ketika tiba tadi, aku mendapat laporan dari pelayan yang
mengatakan orang tua adalah Yan sian po dari Han san, oleh karena
aku dengar Sian po telah mengasingkan diri untuk melatih suatu ilmu,
maka aku tak berani mengganggu..."
Yan sian po tertawa dingin, katanya, "Sungguh tajam pendengaranmu
seandainya aku bukan lagi melatih ilmu, sendiri dulu dulu aku sudah
datang mencarimu !"
Berbicara sampai disitu, dengan wajah dingin bagaikan salju dia
menuding kearah bocah cilik dan perempuan setengah baya itu,
kemudian katanya lagi.
"Dia adalah putriku Yan Tan hong, sedang dia adalah cucu luarku pauji,
tentunya kau kenal mereka bukan?"
Pak gi menjadi tertegun, sesungguhnya ia sudah tidak teringat lagi
dimanakah pernah berjumpa dengan Yan lihiap ini, cuma lantaran Yan
sian po bertanya demikian, mungkin saja mereka juga pernah berjumpa,
cuma sementara itu Yan Tan-hong telah melirik sekejap Vearah pak gi
dengan sinar mata sedih, kemudian tegurnya.
"Jangan jangan Sun tayhiap sudah lupa ?"
Buru buru Pak gi tertawa paksa. "Maaf lihiap, kalau aku sudah lupa..."
Yan Tan-hong segera menghela nafas panjang, katanya. "Tujuh tahun
berselang, ketika keluarga Mo dari Ang liu ceng sedang merayakan
ulang tahun Mo tayhiap yang ke empat puluh, kau telah minum arak
sampai mabuk sehingga..."
Pak gi segera teringat kembali dengan kisah tersebut, buru buru dia
menjura kepada perempuan itu seraya berkata.
"Seandainya lihiap tidak menyinggung soal ini, hampir saja aku
melupakan kejadian tersebut, setelah kejadian aku memang dengar Mo
toako bercerita, katanya malam itu dalam mabuknya aku bukan kembali
ke ruangan penerima tamu sebaliknya telah salah masuk ke loteng
bagian belakang."
"Untung saja lihiap tidak menjadi marah akibat kelancangan itu bahkan
memberi pertolongan, Menanti aku mengetahui duduknya persoalan,
ternyata lihiap sudah meninggalkan keluarga Mo, sehingga aku tak bisa
menyampaikan rasa terima kasinku."
Yan Sian po yang msndengar perkataan itu menjadi naik pitam, segera
bentaknya.
"Kau... kau.... apa kau bilang?" Walaupun paras muka Yan Tan hong
juga berubah sedingin es,
tapi ia mencegah ibunya berbicara. "lbu, bukankah kita telah berjanji,
persoalan ini akan
kuselesaikan sendiri? Baru saja dimulai, ibu sudah marah..." Yan sian
po mendengus dingin, sambil memandang kearah Sun
pak gi serunya. "Budak bodoh, apa kau tak bisa mendengar
perkataannya
itu?Sungguh jengkelkan !" "Ini !" kata Yan Tan liong lagi dengan kening
berkerut, "entah
apapun yang dia katakan, dapatkah kau jangan mengurusi
dulu!"
Yan sian po menggigit bibirnya menahan emosi, kemudian sambil
menghentakkan tongkat bambunya ke tanah berkata.
"Baik, baik, akan kulihat dengan cara apakah kau hendak menyelesaikan
persoalan ini!"
Selama perbedaan itu berlangsung, Pek in cuma berdiri disamping tanpa
mengucapkan sepatah katapun, tapi ia bisa menduga apa yang
sesungguhnya telah terjadi, cuma dia tak ingin banyak berbicara pada
saat ini, maka perempuan ini hanya mengawasi jalannya peristiwa itu
saja.
Ketika sorot matanya dialihkan ke wajah bocah lelaki itu, hatinya segera
tergetar, parasnya bocah itu terlalu mirip, sangat mirip sekali dengan
wajah Sun Pak gi.
Tapi dalam kenyataannya dia tak dapat menerima kenyataan tersebut
bukan lantaran cemburu, tapi dia percaya suaminya tak mungkin bisa
melakukan perbuatan semacam ini.
Akan tetapi ketika melihat wajah sang bocah dan mendengarkan ucapan
perempuan itu, banyak sekali titik kecurigaan yang ditemukan olehnya,
hal mana membuat Pek In mau tidak mau harus berpikir:
"Aaah! Masa ada kejadian yang begini kebetulan ? Tidak, aku harus
menyelidiki persoalan ini sampai jelas, kalau seandainya tidak benar,
aku ingin tahu mengapa, seandainya benar, aku harus mengambilkan
keputusan untuk ibu dan anak berdua !"
Baru saja dia berpikir sampai disitu, terdengar olehnya Yan Tan liong
sedang memohon kepada ibunya:
"lbu, puteri mu ingin memohon satu hal kepadamu..." Siapa tahu
Yan siap po tidak menggubris perkataan itu, malahan
sambil menggelengkan kepalanya dia berkata: "Tungguhlah sampai
urusan itu beres, kita baru bicarakan lagi!" Yan Tan hong mengerutkan
dahinya sambil melirik sekejap ke
arah Pek in, kemudian dengan wajah sungguh sungguh dia
berkata:
"Wan lihiap dapatkah kamu menyanggupi permintaanku untuk
menemani ibuku menyingkir dulu dari sini?"
Belum sempat Pek in menjawab, Yan tan-hong telah telah berkata lebih
lanjut:
"Dengan demikian dari mulut ibuku kau dapat memperoleh gambaran
dari kejadian ini sedang aku dan Pek gi pun berharappersoalan ini dapat
segera terselesaikan!"
Pek in termenung sejenak dan akhirnya menyanggupi: "Baiklah, hal
ini sangat cocok di hatiku!" Kemudian kepada Yan sian po dia
memberi hormat lalu katanya,
"Sian po benar atau pun tidak, boanpwe percaya asal orang yang terlibat
langsung membicarakan sendiri persoalan ini maka harapannya menjadi
lebih besar!"
Yan sian po berpikir kemudian menjawab. "Baiklah harap kau membawa
jalan!"
Setelah berhenti sejenak, kepada putrinya dia berkata, "Hong-ji, dalam
ruangan ini cuma tinggal kau dan anakmu, kau harus hati hati!"
Sun Pak-gi bukanlah orang bodoh, ia dapat menangkap arti lain dari
perkataan itu. dengan wajah yang serius segeralah ia berkata:
"Selama hidup aku tak pernah bertindak curang atau munafik, benar
atau tidaknya perbuatanku, aku tak kuatir diketahui oleh orang, maka
menurut pendapatku lebih baik kalian tak usah meninggalkan tempar ini,
bicaralah secara terang terangan dalam ruangan ini juga."
Orang lain belum lagi menjawab, Pek in sudah menyerling sekejap
kearahnya sambil berkata:
"Kaiau memang begitu, apa salahnya kalau kau dan Yan lihiap
membicarakan dulu empat mata?"
Sun Pak-gi mengerutkan dahinya, berseru:
"Adik In, jangan lupa! Kita masih mengkuatirkan persolan ini, bila tidak
beruntung dan persoalan ini ternyata adalah persoalan tersebut, dengan
perginya adik In seorang diri"
"Kau tak usah kuatir" tukas Pek in, "Apa lagi Ngo kian bersaudara sudah
berhati hati diluarkan?" sampai disitu dia lantas mempersilahkan Yan sian
po untuk berjalan terlebih dahulu, bahkan dengan sopan, memohon diri
dari Yan li hiap, kemudian dengan berjiwa besar meninggalkan ruangan
itu.
Sepeninggal Pek in berdua, Yan tan hong dan Sun pek gi malah terlibat
dalam kebungkaman yang sepi. Hening rasanya.
Tak lama kemudian, akhirnya Yan tan hong yang buka suara lebih dulu,
dengan sedih dia melirik sekejap ke arah Sun Pakgi, kemudian setelah
menghela nafas panjang, ujarnya sedih:
"Pekgi, apa kau sudah lupakan semua kata-katamu dulu?" Pek gi
tertegun, sambil menjura katanya: "Yan-lihiap, pernah kukatakan apa
padamu" Mendadak Yantanhong melototkan sepasang matanya bulat
bulat, tampaknya merasa amat gusar, tapi dalam waktu singkat sikapnya
telah berubah menjadi begitu memedihkan hati, setelah tertawa getir
katanja: "Ternyata kau benar benar telah melupakannya"
Sun pek gi tahu bahwa persoalan ini agak mencurigakan, tapi
berhubung pihak lawan seorang perempuan, apalagi orang yang terlibat
langsung dengan peristiwa itu, maka dia merasa susah untuk mencari
keterangan dengan lebih jelas.
Tapi tahu, masalahnya makin lama semakin gawat, dia sudah tak
berkesempatan untuk memikirkan lebih banyak lagi.
Maka dengan wajah serius dia memberi hormat kepada Yan Tan hong,
kemudian ujarnya:
"Yan lihiap, bukannya aku tolol, sekalipun terhadap persoalan yang Yan
lihiap terangkan sudah memahami lima enam bagian, tapi
aku benar-benar tidak habis mengerti, kenapa persoalan ini dapat
melibatkan diriku?"
"Yan Iihiap, kemungkin besar kejadian ini adalah suatu kesalahanpaham
sekarang kita telah saling berhadapan muka, bila lihiap tidak merasa
canggung, tolong kisahkan sekali lagi apa yg sesungguhnya telah
menimpali dirimu ?"
Yan Tan-hong mengerutkan dahinya, lalu tertawa dingin katanya:
"Pek gi, apakah kau suruh aku menceritakan kembali kejadian
dimasa lalu itu didepan anak kita?" Sun pek gi menjadi terperanjat sekali
sesudah mendengar
perkataan itu, tanpa terasa ia mundur selangkah kebelakang, "Anak
kita kau... kau ..." Yan Tan hong menghela napas sedih, sambil
menarik bocah lelaki
yang berada disisi nya ke hadapan Sun pek gi, ia berkata: "Dia bernama
Pau ji (anak buangan), anak yang dihasilkan dari
darah dan daging kita ber dua!" Paras muka Sun Pek gi berubah sangat
hebat, serunya dengan
suara dalam dan berat. "Yan lihiap, apa maksudmu yang sebenarnya ?"
Dengan alis mata berjungkit Yan Tan-hong-pun berkata dengar
suara dalam dan berat. "Sun Pek-gi, justeru akulah yang hendak
bertanya kepadamu,
apa sebenarnya maksudmu ?" Pau-ji si "anak buangan" hanya
membelalakkan sepasang
matanya yang hitam dan bulat besar itu sambil sebentar melihat
ibunya, kemudian sebentar melihat pula kearah Sun Pek gi, sekilas rasa
bingung dan kalut menyelimuti seluruh wajahnya.
Diam diam Sun Pek-gi mendengus dingin, sekarang ia telah
beranggapan bahwa Yan Tan hong besar kemungkinannya adalah
utusan yang di kirim oleh musuh besarnya "Lok-hun pay" untuk
merenggut nyawanya.
Sebaliknya Yan Tan hong sangat menguatirkan keadaan putranya, sebab
bagaimanapun juga apa yang telah terjadi dimasa lalu tidak sepantasnya
kalau sampai terdengar oleh bocah itu, maka setelah memutar sepasang
matanya yang jeli serta menahan lelehan air matanya, dia berbicara
kepada seorang yang bernama Pau-ji sambil tertawa:
"Bocah sayang, bermainlah ke luar ruangan sana, tapi jangan pergi
terlalu jauh, setelah ibu menyelesaikan persoalan, akan kucarimu lagi,
ingat! jangan pergi terlalu jauh, jangan jauh-jauh meninggalkan pintu
ruangan !"
Pau-ji memandang sekejap ke arah Sun Pek gi lalu mengangguk, dia
lantas melangkah ke luar dari ruang tengah.
Menanti bocah itu sudah menyingkir dari hadapannya, Yan Tan- hong
menjadi lebih leluasa lagi, dengan wajah dingin dan kaku karena sedih
ia berkata:
"Pek-gi, sekarang aku hanya ingin mendengar sepatah katamu saja,
bagaimana penyelesaianmu terhadap kami ibu dan anak ?!"
Sun Pek-gi segera mendengus dingin. "Yan li hiap, ibumu terhitung
seorang cianpwe yang di hormati
dan di segani orang dalam dunia persilatan, partai Han-san-pay selalu
bersikap terbuka, jujur dan berjalan lurus, tapi hari ini lihiap telah
mempergunakan cara yang keji dan licik."
"Tutup mulut!" bentak Yan Tan-hong dengan gusar, "kau telah
menganggap keluarga Yan kami sebagai manusia macam apa ?"
"Hal ini harus bertanya kepada lihiap sendiri" kata Sun Pek gi sambil
melotot gusar, "aku benar benar merasa heran, mengapa li hiap
bersedia mengorbankan kesucian dan nama baikmu untuk diperalat
orang lain ? Sekalipun berhasil menghancurkan aku, apa pula faedah
dan keuntungannya buat lihiap ?!"
Yan Tan hong berusaha untuk menahan diri, tapi semakin di tahan ia
merasa semakin tak tahan, akhirnya dia berseru:
"Sun Pekgi hatimu sungguh keji, tenpo hari setelah mabuk di keluarga
Mo, kau telah menodai tubuhku..."
"Yan lihiap" tukas Sun Pek gi dengan suara berat, "malam itu aku
mabuk hebat sampai tak tahu diri, mau bergerakpun susah, meski aku
telah salah masuk keruang dalam dan memasuki kamar lihiap, akan
tetapi..."
Yan Tan hong segera mendepakkan kakinya berulang kali seraya
berteriak.
"Hemmm... kau masih mengatakan bergerakpun tak bisa, padahal kau
toh tahu orang yang betul betul mabuk hebat pada malam itu hingga
bergerakpun tak bisa, sehingga harus dipayang kembali kekamar oleh
dayangnya keluarga Mo bukan kau melainkan aku."
"Yan Lihiap, malam itu aku juga mabuk hebat dan tak bisa bergerak
sama sekali"
"Kalau memang kau mabuk sampai tak bisa bergerak, kenapa bisa salah
masuk ke dalam kamarku" seru perempuan itu cepat.
Begitu perkataan itu diucapkan, Sun pak gi menjadi tertegun dan
berdiri bodoh, benar juga! Yaaaa benar juga?!
Kalau toh dirinya sudah mabuk hebat dalam perjamuan itu sehingga tak
sadarkan diri dan tak mampu berjalan, bagaimana mungkin bisa salah
jalan sehingga salah masuk kedalam kamarnya Yan Tan hong?
Ia menjadi terbungkam dan tak tahu bagaimana musti menjawab
pertanyaan itu?
-ooo0dw0ooo-
BAB EMPAT
"COBA engkau perhatikan Pau ji dia mirip siapa? Lihatlah, dia mirip
siapa?" seru Yan tan hong lebih jauh.
Perempuan itu mulai menangis tersedu-sedu karena pedih hatinya,
selang sejenak kemudian sambil menyeka air matanya dia berkata:
"Kalau tahu begini, kau adalah orang yang tidak berperasaan, setelah
pauji di lahirkan tak akan kuberi nama margamu itu padanya, akupun
tak akan hidup sampai hari ini...."
"Sun pek gi, bocah itu telah kubawa kemarin sekarang sekalipun
engkau mengenali aku Yan tan hong, akupun tak sudi mengenali dirimu
lagi."
Kontan saja Sun pek gi mengerutkan dahinya rapat rapat kemudian
menukas:
"Yan lihiap janganlah emosi dulu, siapa tahu di balik ini terdapat
kesalah pahaman."
"Mana mungkin salah paham?!" Yan tan hong semakin marah. "Aku
berani sumpah didepan dewa suci." "Sumpah! Sumpah!.." teriak Yan
tan hong, sambil mendepak
depakkan kakinya, "Masih belum cukupkah sumpahmu itu? setelah
menodai tubuhku, esok harinya bersumpah, hari ketiga ketika
mengantar aku kembali kebukit Han sian..."
"Aku cuma berdiam semalam saja dirumah Mo toako, keesokkan harinya
aku mohon diri" tukas Sun Pek gi, "Bahkan Mo toako menghantar diriku
sejauh satu li, bagaimana mungkin masih bisa menemani Li hiap pulang
kebukit Hansan? Dalam peristiwa ini, Mo toako bisa, dijadikan saksi!"
Mendadak mencorong sinar bengis dari balik mata Yan Tan hong,
serunya keras.
"Sun pek gi, kau sungguh amat kejam ! padahal kau tahu, sudah
banyak tahun Mo tayhiap lenyap dari dunia persiIatan, sekarang kau
berkata Mo tayhiap bisa menjadi saksi,hemm!
Sun Pek gi, kau bisa bersikap demikian kepadaku, bila menjumpai
kesempatan dilain waktu mungkin juga kau bisa berbuat yang sama
terhadap gadis gadis lain, apa gunanya manusia cabul berhati keji
macam kau dibiarkan hidup lebih jauh."
Sementara itu, suara ribut ribut juga terdengar dari ruangan belakang,
agaknya antara Yan sian po, pek in dan Ngo kian telah terlibat dalam
suasana yang kaku.
Mereka masing masing memegang teguh pada prinsip dan pendapatnya
masing masing, maka bukan pembicaraan yang kemudian berlangsung
melainkan percekcokan hebat
Begitulah, sementara Lu Cu peng menjamu tamu di loteng selatan, Ngo
kian beserta Pek in cekcok dengan Yan sian po diruang belakang Sun
Pek gi dan Yan Tan hong telah mulai bertarung di ruang depan.
Si binal "Sun Tiong lo" menjadi tak ada yg mengurusinya lagi. Dasar
bocah cilik suka akan keramaian, diam-diam iapun berjalan
keluar dari gedung keluarga Sun. Setelah melewati kebun dan
menembusi pintu berbentuk
rembulan, akhirnya ia menjumpai "pau-ji" berada didepan sana, dengan
hati girang ia lantas lari kedepan dan menghampirinya.
Mula mula kedua orang bocah itu saling berpandangan satu sama yang
lain, kemudian yang satu tertawa, yang lainpun turut tertawa, akhirnya
mereka berdiri bersama.
Waktu itu Sun Tiong lo berusia lima tahun, pau ji tujuh tahun, belum
lagi Sun Tiong lo yang lima tahun buka suara, pau ji telah menegur
lebih duluan.
"Siapa kau?" "Aku bernama Sun Tiong Io, ini rumahku" "Apakah
ayahmu juga bernama Sun pek gi?" tanya pau ji sambil
mengerdipkan matanya.
Sun Tiong lo segera mengangguk, "Siapa namamu? siapa pula
ayahmu?"
Sepasang mata pau ji menjadi msmerah, sambil menunjuk ke ruang
tengah katanya:
"Ibu bilang ayahku bernami Sun Pek gi, hari ini aku diajak bertemu
ayah, siapa tahu ayah tak mau mengenali kami, sekarang ia sedang
berkelahi dengan ibu dalam ruang situ!"
"Oooh..." Sun Tiong lo berseru tertahan, ia tampak seperti agak
termangu.
Setelah tertahan sekian waktu, dia baru bertanya "Kalau begitu ayah
ayahku adalah ayah mu?"
"ibuku bilang begitu, tentu saja tak bakal salah!" Sun Tiong lo segera
mengernyitkan alis matanya yang kecil,
kemudian serunya: "Lantas, kenapa ibumu bukan ibumu." "Yaa, ibuku
juga bukan ibumu!" sambung pau ji. Agaknya Sun Tiong lo tidak
mengerti, sambil menggelengkan
kepalanya ia seperti berguman: "Aneh, sungguh amat aneh..."
Bagaimanapun juga, usia Pau ji dua tahun lebih tua, dia lantas
berkata kembali: "Urusan orang tua memang selalu aneh, barusan
mereka masih
berbicara baik baik, sekarang sudah berkelahi. sungguh mencemaskan
aku juga tak tahu apa jang harus lakukan..."
"Hayo kita lihat mereka berkelahi!" ajak Sun Tiong lo sambil membuka
jendela ruangan. "ayahku sering berkelahi juga orang jahat, kenapa kau
musti cemas."
Pau ji menjadi tak segan hati "Tapi ibuku bukan orang jahat, dan kali
ini ayahmu yang jahat!"
serunya.
Sun Tiong lo segera mendengus pula. "Mana mungkin? Ayahku orang
baik, dia tak pernah berkelahi
dengan orang baik!" Setelah berhenti sebentar, seperti teringat akan
sesuatu, dia
berkata lagi: "Benar, bukankah ibumu memberi tahu padamu kalau
ayahmu
adalah ayahku?" Pauji manggut manggut, sinar matanya segera
dialihkan dari luar
jendela kedalam ruangan, lalu sahutnya: "Benar, ini tak bisa salah lagi!"
"Sun Tionglo juga lurut menonton kedalam ruangan, kemudian
meneruskan kata-katanya: "Kalau begitu, jika kau bilang ayahku jahat,
ayahmu sendiri
jahat..." Pauji menjadi berdiri bodoh dan tidak berbicara lagi. Sementara
itu suasana dalam ruangan telah mengalami
perubahan, Sun pek gi tidak membawa senjata, dia bertarung dengan
mempergunakan tangan kosong.
Sedangkan Yan Tan hong dengan sebilah pedang tajamnya melepaskan
serangkaian ancaman maut yang datang cari empat arah delapan
penjuru.
Waktu itu, percekcokan diruang belakang juga telah mencapai pada
puncaknya, entah cari mana munculnya seorang pelayan yang tak tahu
diri, tiba tiba ia berteriak keras dari Iuar ruangan belakang.
"Aduuuh celaka, loya dan nona itu sedang bertarung didalam ruangan
depan !"
Ucapan tersebut bagaikan api yang bertemu dengan minyak, membuat
semua orang yang berkuatir bagaikan kehilangan kesadarannya.
Pek in yarg pertama-tama melompat bangun dan memburu ke ruangan
depan.
Ngo kian cukup mengetahui akan watak dan karakter Sun Pak gi,
mereka beranggapan bahwa apa yang diceritakan Yan sian-po tak lain
cuma cerita isapan jempol untuk membuat fitnahan. Dengan cepat
mereka itupun telah menganggap Yan sian po sebagai utusan dari "Lok
hun pay" yang sedang di nanti nanti kan.
Oleh sebab itu, ketika Pek in melompat bangun sambil memburu
keruangan depan tadi mereka berpandangan sekejap lalu serentak
menggerakkan badan dan mengurung Yan sian po ditengah kepungan.
Yan sian po cukup mengetahui akan kelihayan ilmu silat dan
kesempurnaan tenaga dalamnya yang dimiliki Sun Pek gi, ketika
mendengar kalau putrinya terlibat dalam pertarungan melawan Sun Pek
gi ia segera mengkuatirkan putrinya dan cepat cepat melompat bangun
dari tempat duduknya.
Maka ketika dilihatnya Ngo kian telah mengurung dirinya sedang Pek in
sudah menerobos keluar dari ruangan itu.
Rasa sentimennya yang memang sudah tertanam dalam hatinya
terhadap Sun Pek gi makin berkobar lagi, ia lantas beranggapan bahwa
ke semuanya ini tak lebih merupakan suatu rencana busuk yang telah
mereka atur.
Berpikir demikian, ia menjadi gusar sekali, toya Han san ciangnya
segera di sapu ke depan dengan dahsyatnya, segulungan serangan
yang sangat kuat segera memaksa Ngo kian mundur kebelakang, lalu
menggunakan kesempatan tersebut ia menghancurkan daun jendela di
sisi ruangan dan menerobos keluar.
Kebetulan Pek in telah tiba di serambi, dengan cepat ia menghadang
jalan pergi Yan sian po, sebab Pek in mengira Yan sian po hendak pergi
membantu Yan Tan hong, tak ayal lagi suatu pertarungan segera
berkobar.
Waktu itulah Ngo kian telah menerobos keluar semua dari dalam
ruangan, dengan suara lantang Tong Kim san segera berseru kepada
Pek in:
"Serahkan nenek itu kepada kami berlima, enso cepat kembali ke ruang
belakang untuk men ambil senjata, jangan biarkan saudara pek gi
tampa senjata!"
Diperingatkan oleh Tiong lo sam, Pek in segera menyahut dengan
perasaan gelisah:
"Aku segera akan pergi mengambil senjata jangan lepaskan Yan sian
po, jangan biarkan dia masuk ruang depan!"
"Jangan kuatir rinso, cepatlah pergi!" seraya berkata, ke lima orang
tersebut segera melancarkan serangan dengan gencar untuk
menggantikan kedudukan pek in. pembicaraan mereka tadi
dilangsungkan dalam keadaan yang mendesak, mereka hanya berbicara
sesirgkatnya cukup asal pihak lawan tahu, akan tetapi justru karena hal
itu, Yan sian po semangkin menaruh salih paham terhadap mereka.
Toyanya segera diputar makin dahsyat melancarkan serangkaian
serangan mematikan bentaknya keras keras:
"Bagus... bagus... aku si nenek masih mengira perempuan rendah itu
juga perempuan, aku mengira perempuan lebih memahami kesulitan
perempuan, maka aku berbujuk oleh kata kata manisnya untuk
menyingkir keruang belakang."
"Tak tahu perempuan rendah itupun sudah mempunyai niat busuk
untuk mencelakai kami, hmm..! sekarang aku baru tahu, jadi dia
sengaja hendak membiarkan putriku tertinggal seorang diri dalam ruang
depan agar bisa dibunuh oleh anjing geladak she Sun itu."
"Hmmm... kalian lima ekor anjing laknat, rupanya ingin membantu kaum
jahat berbuat keji kepadaku. Hmmm ! bagus, mari kita mencoba
kepandaian masing masing, lihat saja siapa yang lebih
tangguh diantara kita, aku tak percaya kalian mampu menahan diriku !"
Seraya berkata, si nenek segera membuka serangannya dengan
jurus-jurus yang dahsyat dan mematikan, bukan cuma serangannya
makin nekad, bahkan ia tak ambil perduli lagi terhadap keselamatan
serta mati hidup dirinya lagi.
Pada saat itulah, tiba tiba dan ruang belakang berkumandang suara
teriakan orang:
"Celaka... hujin telah mati ! Hujin telah mati !" Berita itu bagaikan
guntur yang membelah bumi di siang hari
bolong, seketika itu juga membuat sekujur badan lima bersaudara
Ngo-kian bergetar keras.
Dengan mata membara bagaikan korban api mereka mempergencar
serangannya dengan ancaman-ancaman yang mengerikan.
Tong losam segera menuding ke arah Yan sian-po sambil membentak,
penuh kebencian:
"Nenek bajingan, rupanya kau memang se ngaja menahan kami dan
Pek-gi di sini agar mempunyai kesempatan untuk membunuh Sun toa
so... Hmmm. Nenek bajingan,. jangan harap kalian berdua bisa
meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat!"
Dalam gusarnya, sistim pertarungan dari lima bersaudara Ngo kian pun
segera dirubah.
Dengan demikian, maka suatu pertempuran sengit yang luar biasa
dahsyatnyapun segera berkobar.
Semestinya apa yang terjadi diruang belakang serta kematian yang tata
tiba tak mungkin bisa tersiar sampai diruang depan, siapa tahu pada
saat itulah tiba tiba ada pelayan lari ke ruang depan dan berteriak dari
pintu muka:
"Toya, aduh celakai Hujin telah terbunuh diruang belakang!"
Kebetulan sekali, pada saat itu Yan Tan hong sedang menusuk pusar
Sun pek gi dengan jurus Ci koan jit gwat (mengatur langsung matahari
rembulan), sedang Sun pek gi sendiri bersiap untuk memutar badan
sambil menghindarkan diri.
Ketika secara tiba tiba mendengar teriakan tersebut sekujur badan Sun
pek gi bergetar keras, ia rasakan kepalanya pening dan pandangannya
jadi gelap, untuk sesaat dia lupa untuk menghindarkan diri dari tusukan
yang sedang dilancarkan oleh Yan tanhong tersebut.
Yan Tan hong sendiri juga turut tertegun setelah mendengar berita
tersebut, dia mengira ibunya yang telah turun tangan membunuh Pek in,
untuk sesaat rasa sesalnya terhadap perbuatan dari ibunya itu.
Karena tertegun, tusukan pedang yang sedang dilancarkanpun turut
terhenti ditengah jalan.
Siapa tahu, suatu kejadian yang jauh diluar dugaannya segera
berlangsung, sementara pedangnya terhenti karena tertegun, mendadak
ia merasakan datangnya tenaga dorongan yang amat besar menghajar
sikut dan lengannya.
Termakan oleh dorongan tenaga yang amat dahsyat itu, tak bisa dikuasai
lagi lengannya itu tersodok maju kemuka dengan karenanya,padahal
pedangnya yang tajam sedang ditodongkan didepan perut Sun Pek gi,
begitu terdorong tenaga aneh sadi, serta merta pedang itu menusuk
perut Sun Pek gi dan menembus sampai ke punggung.
Kontan saja Sun Pek gi membelalakkan se pasang matanya lebar lebar,
sambil menuding kearah Yan Tan hong serunya.
"Kau...kau ....kau benar-benar datang untuk membunuhku?
Sungguh...sungguh..."
Menghadapi kejadian yang sama sekali diluar dugaan ini, Yan Tan hong
tertegun dan berdiri bodoh saking kagetnya, untuk sesaat dia tak
mampu untuk mengucapkan sepatah katapun.
Dua orang bocah yang sedang menonton pertarungan tersebut dari luar
jendela ruangan pun menjadi duduk melongo, sesaat kemudian Sun
Tiong lo baru menangis, sambil meninju tubuh Pau ji teriaknya.
"Ibumu telah membunuh ayahku !" Kemudian sambil berteriak
menggigil akhirnya dia merangkak
naik keatas jendela, tapi baru sampai tengah jalan, saking sedihnya
bocah itu jatuh tak sadarkan diri diluar jendela.
Pau ji yang ditonjok perutnya juga tidak membalas, diapun tahu apa
yang musti dilakukannya, melihat Sun Tiong lo jatuh pingsan, diatas
tanah, dia hanya bisa menggoyang goyangkan tubuhnya sambil
berteriak teriak.
sementara itu pertarungan lima bersaudara Ngo kian dengan Yan sian
po sudah mencapai puncaknya, kedua belah pihak telah sama sama
terluka, namun sambil bermandi darah mereda masih terus bertarung
dengan seru.
Sejak awal sampai akhir boleh dibilang semua peristiwa berlangsung
amat cepat, dan bahkan boleh dibilang tak sampai seperminum teh
lamanya
Teriakan dan serta bentrokan senjata yang berlangsung di ruangan itu
dengan segera mengejutkan para pendekar yang sedang menikmati
rembulan di loteng sebelah selatan.
Di dalam keadaan seperti ini, Lu cu peng tidak memperdulikan soal tata
kesopanan lagi tanpa menyapa pada tamu-tamunya, dia, segera
menerjang keruangan itu dengan kecepatan luar biasa yang jarang
adanya.
Tapi pada saat tubuhnya sedang melayang turun dari loteng sebelah
selatan itulah, peristiwa berdarah telah berlangsung.
Waktu itu Ngo kian dan Yan sian po masih terlibat dalam pertarungan
berdarah itu mendadak melayangkan turun seorang manusia aneh
berkerudung, setelah tertawa dingin lantas berseru kepada Yan sian po:
"Kawan kawan Sun pek gi yang berada di loteng selatan sebentar lagi
akan sampai disini"
"Harap Sian po segera mengajak putrimu pergi dari sini serahkan saja
kelima orang ini padaku!" kata orang berkerudung.
Di tengah seruan tersebut orang itu segera menerjang kedepan,
pergelangan tangan kanannya cepat di ayunkannya kemuka, Tong
losam yang menyerbu paling muka menjerit binasa.
Menggunakan peluang inilah, Yan sian po segera melarikan diri dari
arena pertempuran.
Dengan tewasnya Tong losam itu, Ngo kian hengte semakin kalap,
dengan matanya membara karena benci dan dendam mereka
melancarkan serangan tambah gencar.
Dengan ayunan toyanya Yan sian po berhasil menjebol jendela ruangan
dan melayang masuk, akan tetapi setelah menyaksikan kenyataan yang
terbentang didepan matar paras mukanya segera berubah hebat.
Sampai detik itu, Sun pek gi masih berdiri disana dengan sebilah
pedang menembusi perut nya, sedang putrinya sambil memegang
pedang tersebut berdiri tertegun dihadapannya.
Sambil gelengkan kepaIanya, Yan sian po segera melayang masuk
kedalam ruangan dan tegurnya:
"Budak bodoh, bagaimanapun juga kau tak bisa membunuhnya?"
Dengan kaku Yan tan hong menggelengkan kepalanya berulang
kali, "Aku tidak bermaksud membunuhnya, aku... aku..." Yan sian po
segera berkerut kening, sekali tabok dia hajar bahu
putrinya keras keras, lalu Serunya. "Coba kau lihat yang lebih tegas..."
Tabokan itu dengan cepat menyadari lagi Yan Tan hong dari
lamunannya ia segera menangis tersedu-sedu sambil berseru keras:
"lbu, bukan aku, bukan aku, ibu, aku cinta padanya, sejak di rumah
keluarga Mo malam itu aku telah mencintainya..."
"Mana Pau ji ?" seru Yan-sian po kemudian dengan gelisah setelah
memandang sekejap sekeliling tempat itu.
Begitu menyinggung soal "Pau ji", dengan cepat Yan Tan hong menjadi
tenang kembali.
"Hayo berangkat! Kita harus segera pergi meninggalkan tempat ini !"
Yan Sian po segera berseru dengan suara dalam.
Begitu ia mengatakan akan pergi, Yan Tan hong segera mengendorkan
tangannya dan di Seret Yan sian po keluar dari ruangan itu.
Pau ji berada di luar ruangan, begitu berjumpa dengan bocah tersebut,
dengan cepat mereka melarikan diri dari tempat itu.
Belum lama bayangan tubuh mereka lenyap dari pandangan mata, Lu
Cu-peng telah melayang masuk ke dalam ruang tengah.
Saking terburu burunya Yan Tan hong meninggalkan tempat itu, ia lupa
pada pedangnya yang masih menancap dibadan Sun Pek gi.
Oleh sebab itu-meskipun Pek gi sudah terkapar di tanah namun belum
sampai tewas, kedatangan Lu Cu peng tepat waktunya, ia segera
berlutut diatas tanah sambil me meluk Sun pek gi air matanya jatuh
bercucuran dengan derasnya, tak sepatah katapun yang dia ucapkan.
Sun pek gi segera menarik nafas panjang sekulum senyum tersungging
diujung bibirnya, lalu berkata: "Cu peng de....ngarkan peesa..an
terakhirku ini."
"Silahkan tuan katakan" sahut Lu Cu peng sambil menahan air matanya
yang berderai, "Bila hamba membangkangnya pasti akan mati tanpa
tempat kubur !"
Kembali Sun pek gi tersenyum, ujarnya:
"Baik... kini... adik In juga telah mati kau... kau harus segera membawa
Lo-ji pergi da... dari sini, makin jauh semakin baik... jangan membalas
dendam tak boleh membalas dendam...!"
"Kenapa? Kenapa? Dendam kesumat ini harus dibalas.." seru Lu
Cu-peng sambil menangis.
Titik air mata jatuh berlinang membasahi pipi Sun Pek-gi, kembali
Katanya, "Lu Cu-peng, dengan napas terakhirku ini aku.... aku berpesan
kepadamu, jangan membalas dendam, cepat bawa Lo ji pergi dari sini,
yang mem... membunuh aku dan adik In bukan Yan lihiap..."
Sesudah berhenti sejenak, dia melanjutkan. "Bo... bocah yang bernama
Pauji itu ke... kemungkinan besar adalah anakku... waktu itu aku.. aku
sedang mabuk he... hebat..."
Sambil menangis dan gelengkan kepalanya berulang kali, Lu Cu- peng
berteriak.
"Mengapa tuan tidak mengakuinya, Cu-bo tak akan..." Titik air mata
kembali jatuh berlinang membasahi wajah Sun Pekgi,
katanya lagi: "Se.... sesudah Tan hong pergi, secara tiba-tiba aku
baru
memahami akan hal ini, aku... akupun sudah tahu siapakah Lok hun
pay yang se... sebenar-nya."
"Siapakah dia ? Siapa ? Tuan, beritahukan kepada hamba!" Dengan
memaksakan diri Sun Pek gi menggelengkan kepalanya
berulang kali, katanya: "Cu peng, biarkanlah dia tidak berperasaan, tapi
aku tak boleh
tak setia kawan, aku bertindak hanya menuruti perasaan, kini adik In
telah pergi, dia pergi tanpa melakukan suatu kesalahan apapun
terhadap orang lain, akupun akan pergi menjumpainya dengan hati
pasrah."
"Cu peng, jangan membalas dendam, kau lebih-lebih tak boleh mencari
permusuhan dengan keluarga Yan, Ingat, bawa Loji, dan
cepat pergi, cepat tinggalkan tempat ini, makin cepat makin baik, makir
jauh makin baik, terhadap Pau ji, kau.. Aai..."
Ketika secara tiba tiba Sun Pek gi dapat mengucapkan kata katanya
dengan lancar tanpa terputus putus, Lu Cu peng sudah tahu kalau saat
tersebut merupakan saat terakhir menjelang kematiannya, lentera yang
hampir kehabisan minyak biasanya justru bercahaya lebih terang
demikian pula dengan manusia.
Ternyata dugaannya tak keliru, belum habis perkataan itu disampaikan,
pendekar sejati yang perkasa itu telah berpulang ke alam baka.
Lu Cu peng amat kalut dan bingung, sambil menggigit bibir dan
menyeka air matanya, tiba-tiba ia berlutut dan menyembah didepan
jenazah Sun Pek gi, kemudian setelah mencabut pedang Yan Tan hong
dan membungkusnya dengan kain, dia melayang keluar lewat jendela.
Setelah keluar dari ruangan, dengan cepat ia menyapu sekejap
sekeliling tempat itu, lalu me lompat turun kebawah.
Tapi setelah berada dibawah jendela, ia pun berpekik syukur, Ternyata
ketika melayang turun dari jendela tadi, ia seperti menyaksikan ada
bayangan hitam tergeletak ditanah, setelah didekati ternyata orang itu
adalah majikan ciliknya Sun Tiong lo, dengan cepat ia memeluk bocah
itu dan dibawa kabur.
Sepeminum teh setelah kepergiannya, manusia berkerudung itu baru
berhasil membinasakan lima bersaudara Ngokian.
Sambil menendang mayat-mayat tersebut, serunya sambil menyeringai
seram. "lnilan pembalasan dari saudaramu yang dahulu selalu minum
kuah "Tang-kwe tong!"
Setelah berhenti sejenak, sambil tertawa seram kembali berkata, "Masih
ada seorang binatang cilik yang masih hidup, lohu harus membabat
rumput seakar akarnya, kini kawanan manusia yang suka mencampuri
urusan telah meninggalkan loteng selatan, lebih baik lohu melepaskan
api dulu untuk membakar gedung ini."
Sampai disitu, ujung bajunya segera dikebaskan kemuka, tiga biji peluru
api dengan cepat meluncur kemuka. Ketika membentur jendela, peluru
itu segera meledak dan berkobarlah jilatan api yang sangat besar
membakar seluruh ruangan tersebut. Seperti apa yang dikatakan
manusia berkerudung itu betul juga, tak lama kemudian para pendekar
dari loteng selatan telah berdatangan tetapi ketika melihat terjadinya
kebakaran mereka segera turun tangan untuk memadamkan kebakaran
itu lebih dulu, menyusul kemudian ada orang yang menemukan jenasah
Sun Pek-gi.
Gedung raksasa yang baru saja dibangun oleh Sun Pek-gi itu segera
hancur menjadi puing-puing yang berserakan.
Yang tertinggal kini hanya bangunan yang hancur serta tujuh sosok
mayat.
Dalam keheningan dan kemurungan yang mencekam suasana disanar
akhirnya para jago turun tangan untuk mengubur ketujuh jenasah itu
dengan upacara yang amat sederhana, kemudian satu pcr satu
merekapun berpisah dan meninggalkan tempat itu.
Waktu itu, Lu Cu peng tidak pergi jauh, sambil membohong majikannya,
dia bersembunyi diatas atap loteng yang paling tinggi disebelah kanan,
dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan gedung megah milik
majikannya itu terhajar musnah menjadi puing puing yang berserakan.
Disaat itulah Sun Tiong ia tersadar kembali, ia segera berteriak
memanggil ayahnya. Hal ini memaksa Lu Cu peng harus segera
menotok jalan darah tidurnya.
-ooo0dw0ooo- Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki manusia
berkumandang
dari luar loteng, suara itu segera menyadarkan kembali Sun Tiong lo
dari lamunannya.
Terdengar suara Chin congkoan, Chin Hui-hau berkumandang datang
dari luar loteng impian:
"Sun kongcu, kau sudah tidur ?" Sun Tiong lo mengerutkan dahinya
tidak menjawab. Ketika tiada jawaban, sambil tertawa dingin kembali
Cin Hui hou
berseru: "Aku orang she Chin mendapat perintah dari San-cu untuk
menghantarkan seorang teman buat kongcu!"
Begitu mendengar kata "teman", Sun Tiong-lo merasakan hatinya
terkesiap, urusannya sendiri tentu ia lebih mengerti daripada orang lain,
dalam terkesiapnya dia lantas teringat kembali akan janjinya dengan
"Hau-ji" seorang kakak seperguruannya.
Diam-diam ia lantas menggerutu, di dalam hati: "Aaaaai...! Siau- hauko,
mengapa kau tidak menuruti perkataanku dan masuk kemari?"
Sambil berpikir begitu, ia pura pura seperti baru terbangun dari
tiduanya, segera tegurnya.
"Siapa diluar yang mengganggu tidur orang?" Chin Huihou tertawa
seram, katanya. "Aku adalah Chin Hui-hou,
Chin congkoan!" "Ada urusan apa ?" seru Sun Tiong-lo seperti orang
marah,
"tengah malam buta mengganggu nyenyaknya tidur orang, beginikah
cara kalian melayani tamu?"
"Sancu kami yang berpesan demikian, sengaja ia mengirimkan seorang
teman untuk kong cu!" kata Chin Hui-hou dingin.
Sambil mendengus Sun Tionglo memasang lampu dan turun dari
pembaringan untuk membuka pintu. Akan tetapi setelah pintu terbuka,
SunTionglo menjadi tertegun dan berdiri bodoh.
Diluar pintu, selain Chin congkoan masih ada seorang pemuda gagah
yang berwajah tampan, meski orang itu seperti pernah dikenal olehnya,
tapi ia bukanlah engkoh Siau-hau seperti apa yang dibayangkannya
semula.
Pemuda itu mengenakan baju berwarna biru, disana sini kelihatan
banyak lubang dan robek-robekan baru akibat bacokan senjata, mukanya
diliputi hawa amarah, sepasang matanya memandang keatas dan
sombongnya bukan kepalang.
Sambil menyeringai seram, kembali Chin congkoan berkata kepada Sun
Tiong-lo.
"Kongcu, peristiwa ini benar benar suatu kebetulan, kongcu inipun she
Sun dan baru sampai kemari, sebenarnya sudah kuterangkan peraturan
bukit ini kepadanya, tapi ia tak tahu diri dan ingin menyerbu ke atas
gunung.
"Akhirnya tak usah ditanya tentu saja ia tertawan. Sancu telah
mengajukan beberapa buah pertanyaan kepadanya dan berpesan agar
melakukan tugas seperti peraturan, selain itu juga menitahkan agar
kongcu inipun berdiam di loteng impian !"
"Congkoan sudah tiada urusan lain ?" tukas Sun Tiong lo seperti
enggan mendengarkan ocehan orang lebih jauh.
Chin congkoan tertawa seram, sahutnya. "Tentu saja masih ada,
cuma hal itu baru terjadi lima hari
kemudian, Sun kongcu, sampai waktunya kau akan kehilangan hakmu
sebagai tamu agung, saat itulah kau boleh merasakan kelihayan dari
aku orang she Chin."
!Chin Hui hou!" dengan suara mendongkol Sun Tiong lo segera
menegur, "lebih baik ucapkan kata-katamu itu setelah tiba pada saatnya
nanti, kalau sekarang sudah kau ucapkan maka hal ini nanya akan
mendatangkan ketidak beruntungan saja bagimu, kalau kurang percaya,
mari kita coba saja buktikan !"
Sambil menggigit bibir dan mendengus dingin, Chin Hui hou segera
berlalu dari sana.
Sun Tiong lo segera tertawa, dengan sikap yang ramah ia menjura
kepada pemuda itu, lalu menyapa.
"Sun jin-heng, silahkan masuk, Kita sama-sama merupakan teman
senasib sependeritaan tak usah sungkan-sungkan !"
Sun kongcu tersebut sungguh berperangai kasar dan angkuh, tanpa
mengucapkan sepatah katapun dia masuk dengan langkah lebar,
kemudian setelah memandang sekejap ke arah pembaringan itu,
tanyanya dengan dahi berkerut.
"Aku harus tidur dimana?" Sun Tiong lo tertawa. "Diatas loteng
impian hanya terdapat sebuah kamar tidur yang
besar" Tapi sebelum ucapan itu sempat diselesaikan Sun kongcu yang
berwatak angkuh itu telah menukas dengan tak sabar. "Aku hanya
bertanya, aku musti tidur di mana ?" Sun Tiong lo memandang sekejap
ke arahnya, lalu menjawab
sambil tertawa. "Dimana saudara ingin tidur, silahkan saja tidur
ditempat itu !"
Orang itu segera berkerut kening, sambil menuding pembaringan besar
itu katanya lagi.
"Kau datang duluan, kau boleh tidur diranjang, tapi apakah kasurnya
bisa dibagi dua."
"Tentu saja bisa" sahut Sun Tiong lo sambil tertawa, "asal saudara tidur
diranjang, toh kau pun bisa tidur diatas kasur !"
Orang itu segera mendengus. "Kalau aku tidur diranjang, lantas kau
tidur dimana ?" "Ranjang ini begini besar dan lebar, untuk tidur dua
orang saja
lebih." "AKU tidak terbiasa tidur seranjang dengan orang !" tukas orang
itu sambil mendengus.
Berbicara sampai disitu, dengan langkah lebar dia lantas berjalan ketepi
pembaringan kemudian menyambar selimut, setelah itu dengan langkah
lebar dia menuju ke suatu ruangan.
Diam-diam Sun Tiong lo mengerutkan dahinya setelah menyaksikan
tingkah laku orang, katanya kemudian.
"Bolehkah aku tahu siapa nama saudara ?" "Tidak boleh" jawab orang
itu tanpa menoleh, "aku tidak
bertanya kepadamu, lebih baik kaupun tak usah bertanya kepadaku !"
Sun Tiong lo segera tertawa. "Apa gunanya saudara menampik
uluran tangan orang ?" "Aneh!" seru orang itu gusar, "kalau aku tak
sudi menggubris
dirimu, mau apa kau ?" Sekalipun diperlakukan secara kasar, Sun
Tiong-lo masih tetap
tersenyum ramah. "Saudara, kau musti tahu" katanya, "sekarang, aku
dan saudara
sudah menjadi burung dalam sangkar..." "Hmmm! Belum tentu
demikian" tukas seorang itu lagi sambil
tertawa dingin. "Aku percaya kaupun tentu sudah tahu bagaimanakah
peraturan
yang diterapkan Sancu dari bukit ini kepada kita, aku bisa menjadi
tamu agung disini selama lima hari, sebaliknya kau hanya tiga hari,
selewatnya tiga hari..."
"Dapatkah kau menutup bacotmu dan tidak berbicara lagi?" bentak
orang itu dengar gusar..
Sekali lagi Sun Tiong lo memandang sekejap orang itu, lalu menjawab
dengan pelan.
"Aku cuma merasa heran, kita sebenarnya adalah teman senasib
sependeritaan, pada saat ini semestinya mengalami nasib yang sama,
dalam keadaan begini kita musti merundingkan cara yang
baik untuk melarikan diri atau paling tidak menanggulangi kesulitan
yang sedang kita badiri sekarang, tapi saudara..."
Mendadak orang itu membalikkan badannya, sambil menuding kearah
Sun Tiong lo, serunya.
"Aku hendak memperingatkan kepadamu, jika kau berani berbicara lagi,
jangan salahkan kalau aku..."
"Kau bisa berbuat apa?" seru Sun Tiong lo dengan suara yang tak kalah
kerasnya.
"Aku melarang kau untuk berbicara!" "Kalau begitu lebih baik kau
tutup telinga mu rapat rapat dan tak
usah mendengar !" Orang itu menggigit bibirnya rapat-rapat dan
berjalan maju
kedepan dengan langkah lebar. Ruangan dalam loteng impian itu
sangat luas dan lebar, dengan
cahaya sebuah lentera tidaklah cukup untuk menerangi seluruh ruangan
tersebut, tapi setelah kedua orang itu saling berhadapan muka, dan
kedua belah pihak saling memperlihatkan wajah lawannya, mereka baru
bisa menyaksikan wajah orang dengan lebih jelas...
Pertama-tama Sun kongcu yang berangasan itu menjerit kaget lebih
dahulu.
Menyusul kemudian, Sun Tiong lo juga merasakan suatu perasaan,
seakan-akan pernah mengenal wajah orang ini.
Maka untuk sesaat lamanya, mereka berdua menjadi tertegun dan
saling bertatapan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Lama, lama sekali, tiba-tiba Sun kongcu itu menuding kearah Sun Tiong
lo sambil berseru.
"Kau adalah Sun Tiong lo ?"
Mendengar seruan tersebut, bagaikan dihantam dengan martil berat
sekujur badan Sun Tiong lo bergetar keras, segera diapun menuding
orang itu sambil berseru, "Kau adalah pau ji ?"
Sampai disitu, kedua belah pihak segera saling bertatapan dengan
tajamnya.
Tak selang beberapa saat kemudian, pau ji kembali kesudut ruangan
dan mengambil selimut itu sambil dilemparkan keatas ranjang,
kemudian dihampirinya Sun Tiong lo dengan langkah lebar.
"Kau masih ingat, pernah menempeleng aku sekali ?"
-oo0dw0ooo-
Jilid 4 SUN TIONG LO manggut-manggut, namun tidak
mengucapkan
sepatah katapun. Kadangkala didunia ini memang bisa terjadi suatu
kejadian yang
sedemikian kebetulannya, ternyata mereka berdua telah bersua kembali
di tempat itu.
Bai-ji memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo kemudian katanya lagi
dengan lantang:
"Tahukah kau, aku adalah engkohmu ?" Sikap Sun Tiong lo sudah
tidak seramah dan selembut tadi lagi,
sahutnya ketus: "Belum tentu demikian !" "Hal ini tak bakal salah lagi,
benci, tetap benci, dendam tetap
dendam..." "Yaa, benci tetapi benci, ibumu telah membunuh ayahku!"
tukas
Sun Tiong lo ketus. Sambil menghela napas panjang Pau ji
menggelengkan
kepalanya berulang kali katanya:
"Bukan....bukan begitu..." "Peristiwa tersebut kita berdua saksikan
dengan mata kemala
sendiri, apakah kau masih ingin mungkir?" bentak Sun Tiong lo,
kemudian menjawab:
"Betul, waktu itu kita memang menyaksikan demikian, akan tetapi
didalam kenyataannya masih ada intrik busuk lain yang membonceng
dibalik peristiwa itu."
Sun Tiong lo segera tertawa dingin. "Heeeh... heeeh... heee... ingin
ku dengarkan bagaimana caramu
untuk memberi penjelasan atas kejadian ini !" "Waktu itu ada seorang
pelayan yang muncul diluar secara tibatiba
sambil berteriak kalau ibumu sudah mati di bunuh orang, masih
ingatkah kau dengan kejadian itu ?"
"Tentu saja aku masih ingat !" Pelan-pelan Bauji mengangguk.
Pelayan itulah yang telah membunuh ayah!" katanya. Sun Tiong-lo
segera meludah dengan sinis. "Cuh ! Pelayan itu toh cuma berdiri di
depan pintu ruangan
sedang pedang tersebut berada di tangan ibumu, kita berdua
menyaksikan kejadian itu sangat jelas, ketika ayahku sedang tertegun,
ibumu telah manfaatkan kesempatan tersebut untuk melancarkan
sebuah tusukan."
"Benar, saudaraku ! Kau musti perhatikan hal ini baik baik." sela Pauji
cepat.
"Hmm ! Siapa yang menjadi saudaramu?" Sambil menggigit bibir Pau
ji berkata: "Mau mengakui diriku sebagai saudaramu atau tidak, kita
bicarakan nanti saja, sekarang dengarkan dulu penjelasanku lebih jauh
!"
Setelah berhenti sebentar dan menatap Sun Tiong lo sekejap,
sambungnya lebih jauh.
"Ketika pelayan itu membawa berita musibah tersebut, ayah tertegun,
tapi ibuku pun segera menghentikan pula gerakannya, waktu itu
bukankah kita berdua juga telah melihatnya dari luar jendela ?"
Tanpa berpikir panjang Sun Tiong lo segera menjawab: "Benar,
ibumu juga menghentikan gerakan pedangnya, tapi
kemudian sambil menggertak kan tangannya ia melanjutkan dengan
tusukannya. waktu itu ayahku sama sekali tidak siap sedia, maka ia
kena tertusuk hingga tembus..."
"Soal itu dapat kuakui akan kebenarannya." sela Pauji, "tapi apakah kau
juga memperhatikan, dikala ibuku menghentikan gerakkannya kemudian
menusuk kembali kemuka itu, baik lengan maupun badannya sama
sekali tidak leluasa?"
Sun Tiong lo berpikir sebentar, lalu menjawab: "Yaa, Mungkin itu
disebabkan oleh gejolak perasaannya karena
secara tiba tiba mendapatkan peluang untuk turun tangan." "Bukan,
bukan karena gejolak perasaan akan tetapi karena
gerakan tubuhnya sama sekali bukan dilakukan atas dasar kehendaknya
sendiri !" tukas Pauji sambil menggeleng.
Sun Tiong lo segera tertawa dingin. "Kalau bukan atas dasar
kehendaknya sendiri, kenapa ia bisa
membunuh orang? Bukankah kau sedang mengaco belo tak karuan ?"
serunya dingin.
Pau ji segera mendepak depakkan kakinya keatas tanah sambil berseru.
"Hal itu disebabkan karena ada orang lain yang mempergunakan semacam
ilmu pukulan dahsyat untuk membuat pedang ibuku menusuk kedepan
tanpa ia sendiri sanggup untuk mengendalikannya, maka ayahpun
terbunuh."
Sun Tiong lo segera mengerutkan dahinya sesudah mendengar
perkataan itu, dia ingin buka mulut tapi tak sepatah katapun diucapkan.
Terdengar Pau ji melanjutkan kembali kata. "Saudaraku, kau tak
mengerti ilmu silat maka cerita
kedengarannya sangat aneh dan seakan-akan tidak masuk akal, tapi
apabila tenaga dalam seseorang telah mencapai pada puncaknya, ia
bisa saja meminjam tenaga atau..."
Sun Tiong lo memandang sekejap ke arah Pauji, kemudian menukas.
"Maksudmu, pada waktu itu ada orang menggunakan semacam tenaga
pukulan yang maka sakti untuk mempengaruhi gerakan tangan ibumu
dikala ia sedang kosong pikiran, hingga mengakibatkan pedang ibumu
menusuk kemuka tanpa disadari oleh ibumu sendiri ?"
"Ya, benar! Memang begitulah kejadiannya!" sahut Pau ji manggut
manggut.
Sun tiong lo termenung beberapa saat lama nya, mendadak dia
bertanya:
"Sekarang ibumu berada dimana?" Mendengar ucapan itu, menitiklah
air mata nya membasahi
wajah Pau ji. "lbuku dan nenekku juga mati terbunuh ditengah jalan
pada
malam itu pula!" Sun Tiong lo menjadi tertegun sesudah mendengar
perkataan itu,
segera dengusnya: "Hm, kau sedang membohongi
siapa?" "Bohong!?" seru Pau ji dengan mata
melotot, "Kau... apa maksud perkataanmu itu?"
Sekali lagi Sun Tiong lo mendengus dingin. "Baik, akan ku
beritahukan padamu, suatu ketika sewaktu dari
kota Tiong ciu akan ke ibu kota untuk mencari paman Lu, aku masih
berjumpa dengan nenekmu dan ibumu."
Dengan sedih Pau ji segera menggeleng. "Saudaraku kau keliru
besar..." "Apakah yang kusaksikan dengan mata kepala sendiri bisa
keliru?" Dengan tenang Pauji menerangkan. "Seperti apa yang kita
saksikan dengan mata kepala sendiri,
dimana ibuku membunuh ayah...."
-ooo0dw0ooo-
BAB LIMA
DI kala manusia berkerudung membakar gedung tempat tinggal Sun
pek gi, waktu telah menunjukkan kentongan ketiga.
Mendekati kentongan keempat lebih kurang sepuluh li di jalan raya
utama menuju ke ibu kota muncul bayangan manusia sedang
melakukan perjalanan cepat.
Yang sedang berlarian ada dua orang, tapi sesungguhnya mereka
bertiga.
Mereka adalah Yan sian po, putrinya yang sedang membopong Pau ji.
Cuma waktu itu Pau ji digendong oleh Yan sianpo, sehingga tampaknya
cuma ada sesosok bayangan hitam saja.
Semenjak kabur dari gedung Sun Pek gi dan melarikan diri dengan
tergopoh gopoh, sepanjang jalan Yan sian po dan putrinya tak pernah
mengucapkan sepatah katapun, ia menunjukkan betapa beratnya
perasaan mereka berdua itu.
Yan sianpo yang harus membopong Pau ji menjadi agak lamban dalam
melakukan perjalanan, tapi justru hal ini mengimbangi gerak lari Yan
Tan hong yang telah berlarian dengan sepenuh tenaga itu.
Sebenarnya sedari tadi Pau ji sudah ingin menanyakan kejadian
tersebut, akan tetapi berhubung Yan sian po melakukan perjalanan amat
cepat, angin tajam menerpa wajahnya hingga ia tak bisa membuka
mulut, maka si bocah itu hanya bisa memendam kegelisahannya dalam2
Sementara perjalanan masih dilakukan mendadak tampak sesosok
bayangan manusia berkelebat lewat dari sisi mereka, setelah melewati
Yan sian po bertiga sejauh beberapa kaki, mendadak ia menghadang
jalan pergi mereka.
Yan sian po bertiga segera menghentikan gerakan tubuhnya dan
mendongakkan kepala.
Ternyata orang itu bukan lain adalah manusia berkerudung hitam.
Sambil tertawa terbahak bahak, manusia berkerudung itu segera
berseru kepada Yan sian po.
"Ketika berada dirumah Sun Pek gi tadi, seandainya lohu tidak menahan
kelima bersaudara Ngokian, mana mungkin Sian po bisa mengajak
putrimu untuk kabur? Apakah kau telah melupakan diriku?"
Yan sian po segera menjura. "Untuk bantuanmu, kuucapkan banyak
terimakasih." Manusia berkerundung itu lalu menggeleng, "Terima
kasih sih tak
usah, lohu datang hanya ingin menangis balas jasa !" "Balas jasa ?"
seru Yan sian po dengan kening berkerut, "balas
jasa apa yang kau kehendaki ?" Sepatah demi sepatah manusia
berkerundung itu segera
menjawab dingin, "Lohu menginginkan anak haram dari orang she Sun
itu, yakni bocah yang berada diboponganmu sekarang."
Begitu ucapan tersebut diutarakan, Yan sian po serta Yan Tan hong
menjadi amat terperanjat.
Yan sian po adalah seorang jago kawakan yang sudah mempunyai
pengalaman, sesudah termenung sebentar, dia lantas dapat mengambil
kesimpulan bahwa manusia berkerudung itu susah dihadapi, diapun
mempunyai rencana busuk yang lain.
Maka setelah berpesan pada putrinya agar berhati hati diapun
menegur:
"Sobat, siapakah kau? Atas dasar apakah kau menuntut bocah itu dari
tangan kami?"
Manusia berkerudung itu tertawa seram. "Heeh hee....heehh heeh
Nenek tua bangkotan she Yan,
seandainya bukan disebabkan si anak jadah tersebut, mengapa lohu
musti membantu kalian?"
"Pertikaian kami dengan keluarga Sun adalah pertikaian rumah tangga,
kami tidak membutuhkan bantuan siapapun," seru Yan sian po.
Sekali lagi manusia berkerudung tertawa. "Heeh . ...heehh heeeehh
ucapanmu itu memang benar, cuma
seandainya aku tidak menggantikan kedudukanmu untuk bertarung
melawan lima bersaudara Ngo kian tadi, apakah kau bisa kabur dari
situ? Apa lagi kalau teman temannya tahu kalau Sun pek gi sudah
tewas di dalam ruangan, apakah kalian juga tak akan mampus?"
"Waktu itu dalam ruangan hanya ada putri mu dengan Sun pek gi,
sedangkan Pek gi pun mati tertusuk oleh pedang putri mu, kalian kira
bisa kabur dari situ dengan selamat?"
Sebelum Yan sian po sempat mengucapkan sesuatu, Yan Tan hong
telah mendengar sesuatu yang tak beres, dengan cepat seraya:
"Dari mana kau bisa mengetahui semuanya kejadian itu?"
Manusia berkerudung itu selera tertawa terbahak-bahak . "Haa . . haaa.
. . haaa mula-mula lohu membantu dirimu lebih dahulu dan baru
menuju keruang belakang"
"Kau telah membantuku? Kapan?" seru Yan tan nong pura pura tak
habis pikir.
"Waktu itu aku menyaru jadi pelayan dan berteriak teriak dari luar
ruangan yang mengatakan perempuan rendah Wan pek in telah mati
teriakkan itu telah membuat Sun pek gi tertegun dan lalu kehilangan
daya kemampuannya untuk menghadapi pertarungan."
"Maka akupun lantas mempergunakan ilmu Thian huan ciap ing sin
kang (ilmu sakti memancing tenaga melingkar langit) untuk mengirim
enam bagian tenagaku kedalam tubuh mu hingga pedang itu menubruk
kedepan dan menghabisi nyawa Sun pek gi..."
Ketika mendengar sampai di situ, Yan Tan Hong segera berpaling
kearah, ibunya sambil berseru.
"lbu, dengarlah, bukan aku yang membunuh Pek gi, tapi si manusia
laknat yang berhati keji ini, ibu, aku hendak membalaskan dendam
untuk kematian Pek gi!"
Sambil berseru dia lantas siap mencabut pedangnya, tapi pedang ini
tidak nampak disana, saat itulah dia baru teringat kalau pedangnya
masih tertinggal ditubuh Pek gi.
Sebelum ia sempat melakukan sesuatu, Yan sian po telah berkata.
"Hongji, jangan bertindak gegabah, kau jagalah Pau ji, biar aku yang
menghadapi dirinya!"
Dia lantas menurunkan pauji dari gendongannya dan diturunkan
ketanah, setelah itu sambil maju ke depan tegurnya.
"Sebutkan siapa namamu ?" Manusia
berkerundung itu menyeringai. "Nenek Yan, kau
janganlah terlalu tak tahu diri."
"Setiap manusia tentu punya nama, kecuali kau bukan dilahirkan oleh
manusia !" teriak Yan sian po gusar.
Manusia berkerudung itu kembali mendengus dingin, "Nenek bangkotan
she Yan, setelah lohu berniat untuk menutupi wajahku, tentu saja
aku..."
"Tentu saja kau bukan seorang manusia yang berani menjumpai
orang!" sambung Yan Sian-po.
Manusia berkerudung itu segera menggertak giginya menahan rasa
geramnya yang tak terhingga, dengan suara dingin ia lantas berseru:
"Sebetulnya lohu bersedia saja membiarkan kalian berdua pulang kebukit
Han-san dengan selamat, oleh sebab itu meski sudah melakukan
persiapan namun tidak pernah menggunakan nya, tapi sekarang, Hmm !
Terpaksa aku akan suruh kalian berdua merasakan kelihayanku !"
Berbicara sampai disitu, tiba-tiba ia bertepuk tangan dua kali, kemudian
sambil mendengus dingin katanya lagi:
"Coba kalian berdua saksikan, siapakah ke dua orang itu !"
Mendengar perkataan itu, Yan Sian-po dan Yan Tan-hong segera
berpaling, tapi dengan cepat paras muka mereka berubah hebat. Yan
Sian-po termenung dan berpikir sebentar, kemudian kepada
Yan Tan-hong kata nya: "Budak, dengarkan perkataanku, bila kesulitan
sudah tiba
didepan mata nanti, andaikan kau melihat dari toya ibu memancar
keluar jarum Hay seng-ciam, maka kau harus segera membopong Pau-ji
untuk di bawa kabur ke sebelah kanan."
"Cuma ibu kuatir pihak lawan pasti tidak akan memmbiarkan kalian
berdua kabur terlalu jauh, maka kaupun harus mengambil keputusan
disaat melarikan diri nanti, kau harus turunkan Pau-ji ditengah jalan,
kemudian dengan sekuat tenaga menahan serangan musuh, suruh Pau
ji melarikan diri seorang diri!"
Yan Tan Hong mengangguk berulang kali, namun ia tetap membungkam
dalam seribu bahasa.
Ternyata setelah manusia berkerudung itu bertepuk tangan dua kali
dari dalam sebuah hutan kecil sepuluh kaki dari arena pelan pelan
berjalan keluar dua sosok manusia.
Dilihat dari dandanan maupun potongan badan mereka, ternyata kedua
orang itu persis seperti Yan Sian po berdua yang asli, bahkan Yan sian
po gadungan itupun membawa pula se buah toya bambu.
Maka dengan cepat Yan Sian-po pun lantas memahami apa yang
terjadi, itulah sebabnya ia memberi pesan kepada putrinya untuk
menghadapi situasi tersebut.
Sementara itu si manusia berkerudung tersebut telah tertawa seram.
katanya kemudian:
"Nenek Yan, kau juga seorang jago kawakan dalam dunia persilatan,
tentunya kau mengerti bukan apa maksud dari persiapan ini !"
"Dengan menggunakan gadungan menyaru sebagai yang asli, aku
kuatir yang asli tetap akan asli, yang gadungan tetap gadungan !" seru
Yan Sian-po gusar.
Manusia berkerudung itu segera tertawa seram, sambil menuding ke
arah Yan Sian-po serta Yan Tan-Hong gadungan, katanya:
"Perkataan ini sedikitpun tak salah, bila topeng kulit manusia yang
mereka kenakan di singkapi tentu saja yang asli tetap asli, yang
gadungan tetap gadungan, cuma siapa yang akan menyingkap kedok
mereka...?"
"Haah....haah..haah...." "Nenek Yan, untuk mempersiapkan diri agar
bisa membasmi Sun
Pek-gi sampai keakar akarnya, lohu telah mempersiapkannya selama
berapa tahun, kau mengira aku akan biarkan usahaku selama ini
mengalami kegagalan total?"
"Lohu sebenarnya bukan seorang manusia yang gemar membunuh, tapi
mau tak mau aku musti melakukan untuk persiapan semenjak dari awal,
dan merekalah salah satu diantara sekian banyak persiapan yang telah
lohu lakukan untuk menghadapi keadaan seperti ini."
Belum selesai dia berkata, dengan suara dingin Yan Sian-po telah
menukas:
"Sudah berbicara setengah harian, apakah kau benar-benar tak berani
menyebutkan namamu ?"
Manusia berkerudung itu segera tertawa: "Kata kata seperti ini
kuucapkan karena aku sudah berkeyakinan bahwa kalian berdua bakal
mampus pada hari ini, soal nama serta alasan yang sesungguhnya dari
perbuatanku ini tentu saja akan kuterangkan, tapi nanti, sebab ucapanku
belum selesai."
"Hm, sombong amat ucapanmu itu !" tak tahan Yan Tan hong berteriak.
Sambil mengangkat sepasang bahunya manusia berkerudung itu
tertawa, katanya:
"Dalam kolong langit dewasa ini, kecuali Sun Pek gi yang sudah
mampus yang mungkin masih bisa bertarung seimbang denganku,
selama banyak tahun belakangan ini belum pernah kujumpai ada orang
yang sanggup menandingi kepandaianku."
"Manusia laknat, tak usah banyak bicara lagi" tukas Yan Sian-po dengan
kening berkerut, jika kau merasa punya kepandaian yang lihay,
mengapa tidak kita coba sekarang juga!"
Dengan cepat manusia berkerudung itu menggelengkan kepalanya
berulang kali, "Jangan terburu napsu lebih dulu" katanya, "setelah lohu
berjanji akan menunjukkan wajah asliku, tentu saja akupun akan
menerangkan duduknya persoalan sampai jelas, pokoknya sampai
sekarang langit belum terang tanah, itu berarti kitamasih banyak waktu
untuk ber-cakap2 !"
Mendadak Yan Tan-hong menegur:
"Perselisihan apakah yang terikat antara dirimu dengan Pek gi ?"
Manusia berkerudung itu tertawa dingin. "Heeeh.,.heeeeh,
seandainya tiada dendam, mengapa pula lohu
harus membantai segenap isi keluarganya ?" "Tapi bocah ini...." seru
Yan Tan-hong sambil menuding Pauji. Dengan suara dalam manusia
berkerudung itu segera menukas: "Bocah itupun merupakan anak dari
Sun Pek gi, tentu saja lohu
harus membunuhnya!" "Anjing laknat." sumpah Yan Tan-hong. Belum
lagi ucapan itu selesai di ucapkan, manusia berkerudung
itu kembali menukas: "Tutup mulutmu ! Sekali lagi lohu terangkan Aku
bukanlah
seorang manusia yang suka membunuh, akan tetapi anak haram dari
Sun Pek-gi ini tak bisa dibiarkan hidup, sedangkan kalian berduaaa..."
Sengaja ia menarik kata yang terakhir itu sampai panjang sekali,
kemudian setelah terhenti sejenak, dia baru melanjutkan:
"Lohupun bersedia memberi kesempatan hidup untuk kalian berdua, asal
bocah itu mau diserahkan kepadaku kemudian pergi mengikuti lohu,
maka lohu jamin sejak kini..."
"Anjing laknat, kau jangan bermimpi di siang hari bolong" bentak Yan
Tan hong dengan kalap, "aku..."
"Hong-ji, tutup mulutmu!" bentak Yan Sian po sambil melotot sekejap
ke arah putrinya dengan gusar, "segala sesuatunya aku yang akan
menyelesaikannya bagimu!"
Setelah berhenti sejenak, Yan Sian-po lantas berpaling kembali ke arah
manusia berkerudung itu, kemudian ujarnya:
"Kaupun tak usah banyak berbicara lagi, karena aku sudah memahami
maksud hatimu sekarang aku masih mempunyai
beberapa persoalan yang ingin kutanyakan lebih dulu, apakah kau
bersedia untuk menjelaskannya dengan terang ?".
"Boleh saja" sahut manusia berkerudung itu sambil tertawa, "persoalan
apa saja yang hendak kau ajukan dan perduli kalian ibu dan anak mau
menyerah atau membangkang, asal lohu mengerti serta memahami
masalahnya pasti akan ku jawab secara jelas!"
"Dalam beberapa patah kata pembicaraan yang berlangsung dengan Sun
Pek gi tadi, aku dapat menarik kesimpulan bahwasanya ia sama sekali
tidak mengirim undangan ke bukit Han san, apakah..."
Sambil tertawa seram manusia berkerudung itu segera menukas :
"Nenek Yan, jalan pikiran mu terlalu seksama juga, betul ! Sun Pek-gi
memang tidak mengirim undangan untuk kalian, lohu lah yang telah
mengirimkan sepucuk undangan buat kalian !"
Yan Sian-po segera tertawa dingin: "Kalau begitu, segala gerak gerik
Sun Pek gi telah kau pahami
dengan amat jelas ?" serunya. Kembali manusia berkerudung itu
mengangguk. "Benar, seorang kepercayaan lohu telah ku selundupkan
ke
dalam keluarga itu sebagai mata-mata !" "Aku ingin tahu siapakah
nama orang itu?" Manusia berkerudung itu berpikir sebentar, kemudian
sahutnya
:"Orang itu she Kwan bernama Kwa Cun seng !" "Sungguhkah
perkataanmu itu ?" seru Yan Sian po dengan
sepasang- mata melotot besar. "Kau toh tidak kenal dengannya, apa
beda nya perkataanku yang
jujur dengan bohong bagimu ?" "Nama orang itu begitu dikenal, karena
itu mau tak mau aku
musti curiga atas kebenarannya."
Sebaliknya Yan Tan hong merasa nama Kwan Cun seng tersebut
agaknya tidak terlalu asing, karena itu dengan kening berkerut ia lantas
termenung beberapa saat lamanya.
Mendadak dia berseru. "lbu, dalam dunia persilatan agaknya
terdapat seorang manusia
yang bernama demikian!" Yan sian po sengaja mengiakan, dia lantas
berpaling seakan akan
mau bertanya, padahal menggunakan kesempatan itu bisiknya dengan
ilmu menyampaikan suara.
"Kau harus ingat baik baik nama orang, siapa tahu akan sangat
berguna dikemudian hari.
Begitu selesai berpesan, dia lantas berpaling lagi kearah manusia
berkerundung itu sambil bertanya.
"Apakah aku boleh mengajukan pertanyaan lagi ?" Manusia
berkerudung itu tidak menjawab , dia manggut-manggut
berulang kali. Yan sian po memandang sekejap kearah dua orang
manusia
dibelakang manusia berkerundung itu, kemudian katanya: "Kelihatannya
selain kedua orang pembantumu itu. Kau masih
mempunyai pembantu lainnya?" Manusia berkerundung itu segera
mendengus, tukasnya. "Didalam melaksanakan setiap rencana, aku
selalu bergerak
sesudah rencana itu matang, sekalipun ditempat ini hanya ada lohu dan
dua orang anak buahku yang menyaru sebagai kalian ibu dan anak,
itupun sudah lebih dari cukup, aku tak perlu mempersiapkan yang lain
lagi!"
Tertawalah Yan sian po sesudah mendengar perkataan itu katanya:
"Ucapanmu sih memang enak kedengarannya, tapi, dengan
mengandalkan kemampuan dari kedua orang anak buahmu itu, apakah
mereka sanggup menandingi kehebatanku ?"
"Tentu saja mereka bukan tandinganmu" sahut orang berkerudung itu,
"tapi untuk menangkan putrimu, aku rasa seorang pembantuku saja
sudah mampu untuk menghadapi kalian, sedang yang seorang lagi bisa
melakukan pembantaian terhadap si anak jadah tersebut!"
Mendadak Yan sian po seperti teringat akan sesuatu, tiba tiba katanya
lagi:
"Rupanya kau memang seorang musuh yang sangat lihay, bolehkah aku
berunding dahulu dengan putriku?"
Ternyata sikap si orang berkerundung itu cukup supel, segera jawabnya
dengan cepat.
"Silahkan, lohu selalu menantikan jawaban kalian !" Yan sian po
segera berpaling kearah putri nya, lalu katanya. "Hong ji, malam ini
tipis sekali harapan kita bertiga untuk lolos
dari tempat ini, menurut pendapatku, toh Sun Pek gi sudah mati dan
kita berdua telah dituduh sebagai pembunuhnya, noda ini sekalipun
mencebur di dalam sungai Huang ho juga tak usah menjual nyawa demi
si bocah itu lagi.
Belum habis kata kata tersebut diucapkan, Yan Tan Hong telah
menukas dengan perasaan terperanjat.
"lbu, mengapa kau berkata begitu..." Sementara Yan Tan hong
sedang berteriak dengan perasaan
kaget, menggunakan kesempatan itu Yan sian po berkata lagi dengan
ilmu menyampaikan suara.
"Hong ji, bila ibu secara tiba tiba membentak gusar nanti, kau harus
segera bertindak menurut keadaan, saat itu boponglah Pau ji dan
kaburlah dari sini secepat-cepatnya, tak usah kau perdulikan ibu lagi,
ingat baik baik pesanku ini !"
Selesai mengucapkan perkataan itu, tidak memperdulikan bagaimanakah
tanggapan dari Yan Tan hong, dengan suara berat dan dalam ia segera
berseru lantang.
"Aku rasa tindakan ini merupakan suatu tindakan yang paling tepat,
serahkan bocah itu kepadaku !"
Sembari berkata dia lantas maju kedepan dan merampas Bau ji dari
tangan Yan Tan hong.
Sesudah mendengar bisikan dari ibunya lewat ilmu menyampaikan suara,
seketika itu juga Yan Tan hong merasa hatinya menjadi sangat tegang,
ketika Bau-ji terampas, serta merta dia maju untuk merampas kembali,
dalam keadaan seperti ini, tindakannya itu sedikitpun tidak kaku atau
seperti lagi berpura-pura.
Begitulah dengan agak tegang bercampur cemas gadis itu berusaha
untuk merampas kembali anaknya.
Tapi Yan sian po segera mendorong putrinya kebelakang, kemudian
sambil menyeret Bau ji, serunya kepada lelaki berkerundung itu.
"Nih, kuserahkan bocah ini kepadamu !" Lelaki berkerudung hitam
itu mengiakan, dia lantas menggape ke
arah perempuan yang menyaru sebagai Yan sian po dibelakangnya itu
seraya berseru.
"Ji nio, sambutlah bocah keparat itu dan bawa pergi lebih dulu dari sini
!"
Ji nio yang menyaru sebagai Yan sian po segera mengiakan dan
melompat maju kedepan.
Pada saat ituIah, mendadak Yan Sian po menuding kearah Ji nio
dengan tongkatnya seraya membentak:
"Tunggu sebentar... lihat serangan!" Berbareng dengan ucapan
"Tunggu sebentar" hal mana membuat
Ji nio menjadi tertegun.
Sementara ia masih tertegun, jarum Han-seng ciam yang berada di
dalam tongkat bambu itu segera menyembur keluar, segumpal cahaya
hitam yang menyilaukan mata seketika itu juga menyelimuti daerah
seluas satu kaki lebih, dalam keadaan demikian mana mungkin buat Ji
nio untuk meloloskan diri?
Menanti lelaki berkerudung itu mengetahui kalau terjebak dan
bersiap-siap memberikan bantuan, keadan sudah terlambat, diiringi
lolongan kesakitan yang memilukan hati Ji nio, perempuan itu roboh
terkapar ke tanah, lalu setelah berkelejit beberapa kali, tewaslah orang
itu dalam keadaan mengenaskan
Menggunakan kesempatan itu, Yan sian po segera mengibaskan tangan
kirinya, dan tubuh Bauji segera mencelat ke udara dan meluncur kearah
belakang tubuhnya, dengan tepat sekali telah di terima oleh Yan Tan
hong.
Begitu menerima tubuh Pau ji, Yan tan hong segera membalikkan
tubuhnya dan kabur menuju kearah sebelah kanan.
Orang berkerudung hitam itu menjadi naik pitam, bentaknya dengan
penuh kegusaran:
"Nenek Yan, adalah kau sendiri yang ingin cari mampus, jangan
salahkan kalau lohu akan bertindak keji kepada kalian!"
Yan sian po mendengus dingin. "Hmm! Jika kau punya kemampuan,
tunjukkan dahulu wajah
aslimu biar aku tahu macam apakah tampangmu itu!" Orang
berkerudung itu menggigit bibirnya menahan rasa
mangkel dan mendongkol yang berkecamuk didalam benaknya, dia
lantas berpaling kearah perempuan yang menyaru sebagai Yan tan
hong itu, kemudian serunya lantang:
"Su nio, kau susul perempuan rendah itu dengan anak jadahnya, bunuh
mereka tanpa ampun, cepat!"
Setelah memberi perintah, orang berkerudung itu segera menyelinap
maju ke depan dan menerjang kearah Yan sian poo,
sementara Su nio menggerakkan badannya mengejar kearah Yan Tan
hong, bahkan pedang mestika yang semula masih tersoren kini telah
lepas.
Mendadak Yan sian po menggerakkan tubuhnya menghadang didepan
Su nio tongkat bambunya diayunkan kearah dan Su nio seraya
memandangnya dengan pancaran sinar mara berapi-api, serunya
dengan suara yang berat.
"Jika kaupun ingin mampus, silahkan untuk maju ke depan !" Orang
berkerundung hitam itu mendengus marah, tubuhnya
segera meluncur kembali ke depan dan mengayunkan telapak
tangannya melancarkan sebuah nukulan dahsyat.
Yan sian po juga mendengus, sekuat tenaga dia sambut datangnya
ancaman tersebut.
"Blaamm...!" ketika kedua gulung angin pukulan itu bertemu menjadi
satu dan menimbulkan ledakan keras, tubuh Yan sian po segera tergetar
mundur sejauh lima langkah, sebaliknya orang berkerundung hitam itu
hanya mundur sejauh tiga langkah.
Diam-diam Yan sian po merasa terperanjat sekali, sekarang dia baru
sadar bahwa tenaga dalam yang dimiliki manusia berkerundung itu
benar-benar jauh lebih sempurna daripada kemampuannya.
Sementara itu Su nio telah dipaksa untuk berputar sejauh tiga kaki lebih
sebelum melakukan pengejaran. Orang berkerundung itu selalu
menghalangi niat Yan sian po untuk menghalangi pengejaran tersebut,
ketika Yan Sian po masih sibuk menerjang keluar, perempuan tadi sudah
pergi jauh sekali, dalam keadaan begini sekalipun dia berniat untuk
menghalangi perbuatan orang itu juga percuma.
Sementara itu, Yan Tan-hong sudah melarikan diri kesisi kanan hutan
yang lebat, untuk menyusul perempuan itu jelas sudah tak mungkin
lagi, maka sedikit banyak Yan Sian-po pun merasa agak lega.
Dengan sorot mata yang tajam orang berkerudung itu memandang
sekejap kearah Yan Sian-po, tiba-tiba teriaknya kepada Su-nio:
"Lepaskan Liu seng-lui (geledek bintang kejora), cegat jalan pergi
perempuan rendah itu dari hutan !"
Mendengar ucapan tersebut, Su-nio segera mengiakan dan
mengayunkan telapak tangannya berulang kali, empat lima batang
peluru api yang memancarkan cahaya hijau segera meluncur ketengah
hutan dan meledak, dalam waktu singkat hutan itu berubah menjadi
lautan api.
Dengan terbakarnya hutan tersebut, maka tiada jalan lagi bagi Yan Tan
hong untuk melarikan diri lagi, ketika dia berpaling ke belakang dan
dilihatnya ilmu meringankan tubuh Sunio yang mengejar kearahnya itu
lebih sempurna daripada dirinya, sadarlah dia jalan untuk melarikan diri
sudah tertutup baginya.
Dengan cepat Yan Tan hong segera mengambil keputusan sambil
menahan rasa sedih dihatinya, dia berkata pada Bau ji dengan wajah
yang serius:
"Nak, kau harus melarikan diri sendiri, entah kemanapun kau akan pergi
yang penting adalah kabur dari tempat ini, kini aku ada pesan beberapa
kata, perhatikan baik baik."
"Pertama, jika berhasil lolos berusahalah mencari letak Kim lam hu,
kemudian pergilah kekota Kilam dan carilah Yan Tin lam dari perusahaan
ekspedisi Sam seng piaukiok sebab dia adalah pamanmu!"
"Kedua, setelah berjumpa dengan orang itu tunjukkan batu kemala yang
tergantung diatas lehermu itu padanya, maka dia akan segera
mengenali dirimu, kemudian ceritakan semua kisah kejadian ini pada
dirinya."
"Ketiga kau adalah seorang she Sun, ini tidak bakal keliru, ayahmu
dibunuh oleh orang berkerudung tadi, untuk menuntut balas dendam
dan mencari tahu belakang dari kejadian ini, kau
harus mencari orang yang bernama Kwa cun seng itu, sebab hanya dia
yang mungkin tahu akan persoalan ini."
"lbu dan nenek jika masih hidup, paling banter setengah tahun lagi pasti
akan menuju ke Ki lam untuk mencarimu, seandainya dalam setengah
tahun ini kami tidak datang, itu berarti ibu dan nenek pun ikut menjadi
korban keganasan orang berkerudung itu."
"Soal pembalasan dendam dikemudian hari tergantung kepada
kemampuanmu seorang, kau harus baik baik berlatih ilmu, setelah
dewasa nanti carilah guru yang pintar dan berlatihlah yang rajin, dan
sekaraag cepatlah melarikan diri, cepat! Harus cepat."
Sambil berkata Yan Tan-hong segera me nurunkan putranya dari
bopongan, airmatanya tak terbendung jatuh bercucuran bagai hujan
deras, tapi akhirnya dia memperkeras hatinya dan menurunkan Pau ji
dari dukungan.
Dari sakunya dia mengambil seluruh uang yang dimilikinya dan
dimasukkan ke dalam saku Pau-ji, katanya lagi:
"Bila kau adalah anak sayang mama, cepat lah kau lari dari sini, makin
jauh larimu makin baik !"
Jangan dilihat Pau-ji baru berusia tujuh tahun, ternyata ia cukup
mengetahui akan keadaan yang sedang dihadapinya, dia tidak
menangis, hanya ujarnya kepada YanTan hong:
"lbu, aku pasti akan menantikan kedatangan mama dan nenek di Ki
lam, mama tak usah kuatir !"
Yan Tan hong mengiakan, baru saja akan meninggalkan beberapa pesan
lagi, terdengar suara langkah kaki Su nio sudah dekat, maka Yan
Tan-hong segera mendorong Pau-ji agar kabur dari situ, sementara dia
sendiri segera membalikkan badannya untuk rnenyongsong kedatangan
Su Nio.
Pau-ji telah kabur, seorang diri kabur ke sana kemari tanpa tujuan yang
menentu.
-ooo0dw0oooKETIKA
mendengar sampai disitu, Sun Tiong lo memandang
sekejap kearah Pau ji, lalu tanyanya: "Jadi kau benar benar telah
berhasil melarikan diri dari
cengkeraman jahat mereka ?" Pauji memandang sekejap kearah Sun
Tiong lo, lalu sahutnya:
"Andai kata tidak berhasil lolos dari cengkeraman mereka, mana
mungkin aku bisa menjumpai dirimu lagi pada malam ini ?"
Sun Tiong lo segera mengerutkan dahinya rapat-rapat, sesudah
termenung sebentar katanya:
"Kemudian, apakah kau pergi ke Ki-lam?" "Tidak !" Bau-ji
menggeleng, "aku tak pernah berkunjung ke kota
tersebut...." "Lantas darimana kau tahu kalau ibu dan nenekmu telah
mati
terbunuh ditangan manusia berkerudung itu ?" tukas Sun Tiong lo lebih
lanjut.
Bau-ji mendesah sedih, katanya: "Seandainya kau tidak menukas,
tentunya aku sudah menceritakan kesemuanya itu dengan jelas."
Sun Tiong lo menundukkan kepalanya rendah-rendah. "BaikIah!
lanjutkan kisahmu itu!". Baru saja Bau ji hendak melanjutkan
ceritanya, mendadak Sun
Tiong lo menggoyangkan tangannya sambil berbisik. "Ssstt! Ada orang
bersembunyi di luar loteng sedang menyadap
pembicaraan kita...." Padahal bisikan dari Svn Tiong lo itu cukup lirih,
kenyataannya
orang yang bersembunyi di luar itu masih bisa mendengar juga, belum
selesai Sun Tiong lo mengucapkan kata kata nya, dia telah menukas.
"Oooooh! Rupanya kalian adalah saudara seayah lain ibu, kuucapkan
selamat pada kalian karena bisa bersua kembali ditempat ini"
Bau ji segera melompat bangun dan siap membentak marah, tapi Sun
Tiong lo telah berkata lebih dulu sambil tertawa:
"Nona, nengapa tidak masuk kedalam untuk berbincang bincang sambil
duduk?"
Bau-ji pun sudah mendengar pula kalau suara pembicaraan orang yang
berada ditempat kegelapan itu adalah suara seorang nona, tapi
siapakah nona itu? Meski demikian ia merasa tidak puas dengan nona
itu.
Baru saja dia akan membuka suara, nona yang bersembunyi ditempat
kegelapan menyahut "sekarang hari sudah amat malam, kurang leluasa
untuk masuk kedalam kamar lelaki, apalagi kau juga belun tentu
menyambut kedatanganku dengan bersungguh hati, ada persoalan lain,
lebih baik kita bicarakan besok pagi saja!"
"Nona, sudah berapa Iama kau menyembunyikan diri ditempat
kegelapan sana ?" Pau-ji segera menegur.
Bukan menjawab nona itu malahan balik bertanya: "Untuk apa kau
menanyakan soal itu?"
"Kami dua bersaudara apakah bakal saling mengakui masih merupakan
suatu tanda tanya besar, karena itu setiap patah kata yang kami
bicarakan pada malam ini tak boleh diketahui oleh siapapun juga, apa
lagi orang luar ."
Nona itu segera mendengus dingin, tanyanya: "Hmm ! sekarang aku
sudah tahu, mau apa kau ?"
"ltulah sebabnya aku ingin sekali berjumpa dengan nona !" kata Pau-ji
dengan kening berkerut.
Nona itu segera tertawa lebar. "Saudaramu itu pernah berjumpa
denganku, bila kau ada
kecurigaan silahkan..."
Tapi sebelum nona itu menyelesaikan kata-katanya, Pau-ji telah
menukas lagi dengan marah:
"Nona! sebetulnya kau bersedia untuk masuk sendiri ataukah harus
menunggu sampai-aku yang mempersilahkan kau untuk masuk kedalam
ruangan ini?"
Kembali nona itu mendengus dingin. "Hmmm ! besar bacotmu, kalau
memang mampu, silahkan saja
keluar sendiri dan coba lah untuk mengundangku masuk kedalam Bau-ji
tertawa dingin, lalu dengan langkah lebar berjalan menuju
kepintu ruangan. Tapi Sun Tiong lo segera turun tangan
menghalanginya, ia
memberi tanda lebih dulu kepada Pau ji dengan kerlingan mata, setelah
itu baru katanya:
"Bagaimana kalau urusan ini serahkan saja padaku untuk
menyelesaikannya?"
Tidak menunggu jawaban dari Pau ji, sam bil tersenyum dia lantas
berkata lagi:
"Dia tidak tahu kalau nona adalah putri kesayangan dari Sancu bukit ini,
bila ada kesalahan harap nona jangan marah padanya!"
Nona itu segera tertawa cekikikan: "Lucu amat kau ini! setelah
urusannya diserahkan kepadamu,
apakah kau menganggap persoalan ini bisa kau selesaikan dengan
begitu saja? Betul ia tak tahu siapakah aku, sekalipun tahu juga aku tak
bakal aku tak bakal menyalahkan dirimu."
"Hmm......! Atas dasar apa kau harus membantu dirimu?" Sun Tiong lo
tetap tersenyum, sahutnya:
"Berhubung tanpa disengaja nona telah mendengar rahasiaku dengan
rahasianya, maka nona mempunyai suatu kewajiban untuk membantu
diri kami berdua !"
Nona itu tampak termenung beberapa saat lamanya, kemudian dia baru
berkata lagi:
"Mengingat kau pandai sekali berbicara, ku luluskan permintaan itu,
bantuan apa yang harus saya berikan ?"
Semua rahasia yang berhasil nona dengar pada malam ini sebelum
mendapat persetujuanku dan persetujuannya, dilarang untuk
disampaikan kepada pihak keempat, dan janji ini harus kau tepati untuk
selamanya !"
Mendengar perkataan itu, nona tersebut segera tertawa cekikikan:
"Baik, kululuskan juga permintaanmu itu, cuma akupun punya syaratnya
juga !"
Belum sempat Sun Tioag lo berbicara, dengan suara berat dan dalam
Bau ji membentak.
"Sekalipun kau adalah putri kesayangan dari Sancu tempat ini,
seharusnya kaupun harus tahu bahwa mencuri dengar pembicaraan
orang, mengatai orang dibelakang yang bersangkutan adalah suatu
perbuatan yang benar benar tidak tahu sopan."
"Mencuri dengar saja sudah tidak benar, menyimpan rahasia apa yang
didengar sudah semestinya menjadi kewajibanmu, sekarang kau masih
punya muka untuk mengajukan syarat, aku ingin bertanya kepadamu..."
"Aku pun bisa memberitahukan kepadamu", bentak nona itu pula,
"sebelum berbicara kamu mesti berpikir dulu dengan sejelasnya, bukit ini
adalah bukit kami, nonamu suka berada dimana, hal itu adalah hak ku,
apa lagi loteng impian ini adalah tempat kediamanku yang sebenarnya.
"Bila kau mempunyai rahasia yang tak bisa diberitahukan pada orang
lain, maka kau harus melihat jelas lebih dahulu tempatnya sebelum
dikatakan mengapa musti lari ketempat orang lain baru menceritakan
rahasia itu?"
"Dengan dasar sikapmu yang kurang sopan serta ucapanmu yang ngaco
seenaknya, pada hakekatnya kau tidak pantas tinggal bersama Sun kong
cu di atas loteng impian ini, besok akan kusuruh orang untuk
memindahkan dirimu ketempat lain!"
Makin mendengar ucapan itu, Bauji tambah dongkol, baru saja dia akan
bersuara, tiba tiba Sun Tiong lo telah berbisik dengan ilmu
menyampaikan suara:
Toako, jika urusan kecil tak bisa di tahan, urusan besar terbengkalai aku
tidak tahu mau apa kau mendatangi bukit ini, tapi kau harus tahu bahwa
kedatangan siaute ini mengandung maksud maksud tertentu yang tak
boleh sampai gagal, dapatkah toako mengurangi sedikit kata katamu?"
Ketika mendengar Sun tiong lo menyebut dirinya sebagai toako, Bauji
merasa terkejut girang bercampur sedih, terhadap permintaan dari Sun
Tionglo pun tak tega untuk menampik maka ia lantas
manggut-manggut.
Diam-diam Sun Tiong lo menghela nafas panjang, kemudian serunya
kepada nana yang berada diluar loteng.
"Nona, apa saja syarat-syaratmu?" Tampaknya nona itu masih tetap
merasakan gusar dan dongkol
terhadap Bauji, serunya: "Aku sedia meluluskan permintaanmu dan
pasti akan kulakukan
tapi aku tidak meluluskan permintaannya..." Sambil tertawa Sun Tiong
lo menukas. "Kalau begitu jawaban dari nona, maka nonalah yang
nakal,
urusanku dengan urusannya toh berkaitan antara yang satu dengan
lainnya, bila nona berkata demikian bukankah hal ini sengaja hendak
mempersulit diriku?"
Mendengar kata-kata tersebut, nona itu segera tertawa lebar, tiba tiba
ia balik bertanya.
"Kalau dilihat dari sikapmu ketika aku datang untuk pertama kalinya
tadi, bukankah kau juga hendak mempersulit aku ?"
Terhadap ruangan yang tidak nampak bayangan manusianya itu, Sun
Tiong lo segera menjura, katanya:
"Bagaimana kalau aku yang muda maaf ?" "Baiklah !" nona itu segera
tertawa,"memandang diatas
wajahmu, kusudahi persoalannya itu sampai dismi cuma..." "Terima
kasih banyak atas kesediaan nona untuk menyimpan
rahasia kami." tukas Sun Tiong lo dengan cepat, "cepat atau lambat
budi kebaikan itu pasti akan mendapat balasan.
Kembali nona itu tertawa cekikikan. "Lebih baik janganlah bermain
sandiwara semacam itu, aku toh
menyampaikan syarat-syarat yang harus kau penuhi untuk minta
kepada ku agar menyimpan rahasia tersebut!"
"Yang kumaksudkan sebagai kebaikan yang pasti mendapat balasan
juga tidak meliputi syarat yang kau ajukan, pokoknya nona harus
mengerti, entah apapun syaratmu itu,mau tak mau terpaksa aku harus
meluluskannya juga!"
"Beghu pentingkah rahasia kalian itu?" Sun Tiong lo
manggut-manggut. "Yaaa, sedemikian pentingnya sehingga
salah-sedikit saja, bisa
jadi akan menebakkan kematian kami tanpa liang kubur !" "Nona itu
menjadi serius juga setelah mendengar perkataan itu,
katanya kemudian. "Kalau begitu akupun tak akan mengajukan
pertanyaan apa apa,
selain itu aku pun pasti akan menutup rahasia kalian itu rapat rapat."
"Nona, ksu boleh mengajukan syarat apapun biIa kamu bersedia
menyimpan rahasia kami baik-baik, selama hidup aku tak akan
melupakannya kembali..."
Nona itu segera tertawa. "Syaratnya sederhana sekali, yaitu..."
Mendadak dia berhenti sebentar kemudian bisiknya lirih: "Chin
hui-hou datang melakukan pengontrolan, ada persoalan
kita bicarakan besok saja, beri tahu pada engkoh yang ke tolol tololan
itu, selanjutnya bila ingin membicarakan soal rahasia musti lebih berhati
hati, jangan lupa kalau dinding kamarpun bertelinga, nah aku pergi
dulu."
Seusai berkata suasana menjadi hening. Sun tiong lo dan Pauji juga
dengan cepat naik keatas pembaringan untuk tidur, dengan jelas
mereka mendengarkan suara Chin hui-hou yang melakukan
pemeriksaan sekejap di sekeliling loteng impian, kemudian dengan
suatu gerakan yang ringan iapun berlalu dari sana.
-ooo0dw0ooo-
BAB KE ENAM
HARI INI ADALAH HARI PERTAMA Sun Tiong lo bersaudara menjadi
tamu agung dari bukit pemakan manusia.
Tengah hari itu, hidangan yang lezat telah disiapkan diatas loteng
impian, bahkan dihantar sendiri oleh Chin hui hou dan Kim poo cu.
Setelah sayur dan arak dihidangkan dengan senyum dibuat-buat Chin
hui ho berkata:
"Apakah kalian berdua masih ada pesan?" Pau-ji mendengus dan
segera melengos ke-tempat lain pura-pura
tak mendengar. Sebaliknya dengan agak supel Sun tiong lo berkata:
"Cong koan
apakah kau tak makan sedikit?" Chin hui hou tertawa seram dan lalu
gelengkan kepalanya berulang kali.
"Lohu sudah bersantap!"
"Ooooh! jika begitu bagaimana kalau merepotkan Cong koan untuk
mengundang Beng seng si tua itu sebentar?"
Chin hui hou segera berkerut kening, dan katanya: "Kong-cu bila kau ada
urusan katakan saja, lohupun sama saja dapat melakukannya."
Sun Tiong lo segera menggelengkan kepala nya berulang kali.
"Kurang leluasa, kurang leluasa!" katanya, "ketika semalam aku
menyuruh congkoan melayani aku minum arak, kemudian konon Cong
koan harus menerima hukuman dan siksaan akibat dari kejadian itu,
kejadian tersebut membuat aku tak bisa tidur semalam suntuk, karena
itu aku tak berani merepotkan dirimu lagi sekarang..."
Mendengar perkataan itu, paras muka Chia Hui hou segera berubah
menjadi merah padam kaya kepiting rebus, serunya dengan cepat:
"Darimana kongcu mendengar tentang persoalan ini ?" Sun Tiong lo
memandang sekejap ke arah Kim Pocu, lalu
jawabnya. "Sobat Kim yang menceritakan kepadaku." Dengan sorot
mata yang amat gusar Chin Hui hou melotot
sekejap ke arah Kim Po cu, kemudian bentaknya: "Mau apa kau masih
berdiri saja disitu? Pulang!" KimPocu menunddukkan kepalanya
rendah-rendah, lalu dengan
langkah lebar segera berlalu dari situ. Tapi baru saja orang itu keluar
dari pintu ruangan, Sun Tiong lo
telah berkata kembali: "Chin congkoan, sahabat Kim tanpa sengaja
mengucapkan kata
kata itu, tidak seharusnya mengatakannya langsung kepada congkoan,
sekarang sobat Kim..."
Sambil tertawa Chin Hui hou segera menukas:
"Tak usah kuatir kongcu, dia cuma seorang pesuruh, tak akan berani
dia bersikap apa apa kepada kongcu!"
Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalanya seraya berkata:
"Congkoan keliru, aku dapat melihat kalau congkoan senang
marah kepada sobat Kim, karena kuatir congkoan akan menghukum
sobat Kim setelah ini maka sengaja kumintakan ampun baginya !"
Chin Hui hou segera mendengus dingin. "Hmmm ! peraturan tempat
ini harus ditegakkan sebagaimana
mestinya dan melarang dan melarang siapa saja untuk melanggarnya,
kalau memang dia memiliki keberanian untuk berkata demikian kepada
kongcu, tentu saja ia punya kepandaian juga untuk menerima hukum
sebagaimana yang diterapkan dalam peraturan bukit kami!"
Paras muka Sun Tiong lo segera berubah lalu serunya: "Chin cong koan"
seandainya sahaoat Kim sampai menerima siksaan sedikitpun jua, aku
akan menyangkal kalau kau telah berkata demikian kepada Congkoan,
kalau tak berdaya silahkan kita buktikan bersama sampai waktunya
nanti!"
Paras muka Chin cong koan berubah hebat sekali, bentaknya:
"Orang she Sun, jangan lupa, terhitung hari ini kau cuma ada
kesempatan hidup lima hari" "Paling tidak, lima dan setengah" tukas
Tiong lo, "Jangan lupa,
ketika aku sedang melarikan diri, setengah hari kemudian kau baru
berhak untuk melakukan pengejaran!"
Saking gusarnya Chin cong koan sampai tak sanggup berkata apa apa
lagi, sambil mengebaskan ujung bahunya dia lantas berlalu dari situ,
sepeninggal Chin cong koan, dengan cepat Sun Tiong lo membuka
seluruh daun jendela dan pintu yang berada diatas loteng impian.
Bau-ji berkerut kening setelah menyaksikan kejadian itu, dengan
perasaan tidak habis mengerti serunya.
"Jite, kau kegerahan?" Sambil tertawa Sun Tiong-lo menggeleng.
"Siaute tidak kegerahan, aku berbuat demikian karena ada
urusan penting yang hendak dibicarakan dengan toako..." Bau-ji masih
juga tidak mengerti, dia lantas bertanya: "Kalau memang begitu, tidak
sepantasnya kalau, kau buka semua
pintu dan daun jendela!" Sun Tiong-lo segera merendahkan suaranya,
ia berbisik: I'Kejadian semalam adalah suatu pelajaran yang baik sekali
buat
kita, ucapan si nona sebelum pergi yang mengatakan bahwa "di atas
dinding ada telinga" memang tepat sekali, bila kita membuka semua
jendela dan pintu, coba kita lihat saja siapa yang bisa terlepas dari
pengawasan kita berdua!"
Setelah mendengar keterangan itu, Bau-ji mengerti, dia segera tertawa
jengah.
"Saudara, kau memang cerdik !" pujinya. Sun Tiong lo tertawa, sambil
menuding hidangan dimeja, dia berkata lagi:
"Toako, mari kita sembari bersantap sembari berbincang !" Bau ji
manggut-manggut, maka dua bersaudara itupun duduk
saling berhadapan muka. Pertama-tama Sun Tiong lo yang buka suara
lebih dulu, katanya: "Toako, pembicaraan kita semalam belum lagi
selesai telah
diputuskan oleh nona itu." Bau ji manggut-manggut, selanya: "Sun-te,
sebelum kulanjutkan kisah ceritaku tentang pengalaman
dimasa lampau, terlebih dulu ingin kutanyakan satu hal kepadamu,
apakah jite masih menaruh curiga terhadap asal usul dari toakomu ini?"
Sun Tiong lo segera menggeleng.
"Toako, tempo dulu siaute sendiripun banyak sekali mengalami
penderitaan dan siksaan, andaikata paman Lu Cu peng itu tidak
mempertaruhkan jiwa raganya untuk menolongku, sedari dulu aku
sudah tewas di tangan musuh kita."
"Menurut paman Lu, sebelum ayah ia pernah mengucapkan beberapa
patah kata, diantaranya ada sepatah kata yang menyangkut tentang diri
toako. ayah bilang kemungkinan besar kau adalah anaknya."
Dari perkataan itu, tanpa terasa Bau ji teringat kembali kejadian dimasa
lalu, sambil menggertak gigi menahan gejolak emosi didalam hatinya, ia
berkata:
"Jite, bukannya aku berani mengeritik atau mengata-ngatai ayah, kalau
memang ayah berpesan demikian kepada orang lain, ketika ibu dan
nenekku menjumpainya, mengapa ia bersikeras menyangkal akan
kejadian tersebut ?"
Sun Tiong lo segera menghela nafas panjang. "Aaai... toako, akupun
bertanya begitu kepada paman Lu, kata
paman Lu, waktu itu dia juga bertanya demikian kepada ayah." "Lantas
apa kata ayah" tukas Bau ji dengan gelisah. Sun Tiong lo menundukkan
kepalanya rendah2, "Kata paman Lu,
ayah sendiripun baru memahami tentang persoalan ini setelah bibi Yan
menusuk tubuhnya tapi bibi menjerit kepada ibunya bahwa dia tidak
membunuhnya."
"Paman Lu berkata lagi, bukan saja ayah memahami kalau toako
kemungkinan besar adalah anaknya. malah ayah sudah tahu siapakah
itu Lok hun-pay tersebut."
Pau ji menjadi tertegun setelah mendengar ucapan itu selanya: "Kenapa
bisa muncul lagi sebuah lencana Lok hun pay tersebut?"
Suara Sun Tiong lo beruban agak emosi dan katanya: "Kalau
dibicarakan sesungguhnya amatlah panjang, tetapi
ringkasnya saja,. Lok hun pay adalah melambangkan tanda
pengenal dari seseorang di dalam dunia persilatan, barang siapa
menerima lencana ini maka seluruh keluarganya akan mati terbunuh
oleh pemiliknya lencana tersebut!"
"Ketika ayah telah menyebar surat undangan dan mengundang para
sobat untuk mercsmikan gedung barunya pada bulan delapan tanggal
lima belas, ayahpun menerima kiriman sebuah lencana Lok hun pay,
pada lencana tersebut diterangkan bahwa ayah sekeluarga akan dibantai
paca bulan delapan tanggal lima belas pada kentongan ketiga tengah
malam"
"Siapakah Lok hun pay itu?" tanpa terasa Bau ji kembali menukas, Sun
Tiong lo menghela nafas panjang.
"Aaaai! siapakah orang itu, hingga kini belum ada yang tahu, cuma
toako. kita harus mencarinya sampai ketemu, sebab dialah yang telah
membunuh keluarga kita berdua !"
Seakan akan menyadari akan sesuatu, Bau ji lantas berseru: "Jite,
orang berkerundung hitam yang kujumpai bersama ibu dan
nenek pada malam itu, mungkinkah merupakan Lok hun pay tersebut ?
Dia telah mengaku bahwa ayah dan..."
"Yaa, kemungkinan besar memang orang itu" tukas Sun Tiong lo
dengan cepat.
Setelab berhenti sejenak, dia melanjutkan: "Setelah menerima lencana
itu, sesungguhnya ayah telah membuat persiapan, kemudian bentrokan
yang terjadi antara nenek toako dan bibi Yan menyebabkan ayah salah
menduga bahwa merekalah Lok Hun pay."
"Yaa, aku sekarang memahami sudah.... " seru Bau ji sambil
mendepakkan kakinya.
Tapi belum selesai dia berkata, mendadak Sun Tiong Lo menggoyangkan
tangannya mencegah ia berkata lebih jauh.
Menyusul kemudian dari arah tangga loteng muncul seorang nona yang
cantik, binal tapi berterus terang, setibanya diatas
loteng, nona itu memandang sekejap kearah pintu dan jendela yang
terbuka lebar-lebar itu, keinudian serunya lagi:
"Tidak kusangka kalian berdua adalah seorang yang mengerti tentang
seni!"
Bau ji tidak memahami arti sesungguhnya dari ucapan itu, dahinya
segera berkerut.
Sun Tiong lo telah beranjak sambil tertawa, sapanya: "Selamat Pagi
!" "Pagi." nona itu berkerut kening, lalu tersenyum, "Sekarang
sudah jam berapa? Masa masih pagi?!" Sun Tiong lo sengaja melihat
cuaca sejenak kemudian berkata: "Seharusnya sih masih pagi, kan
belum..." "Yaaa, betul ! Kan belum sampai tengah malam?!" sambung si
nona sambil mendengus. Sun Tiong lo tertawa. "Nona pandai bergurau,
silahkan duduk." Nona itu memandang sekejap kearah Sun-Tiong lo dan
Bau-ji,
kemudian menarik sebuah kursi dan duduk. "Nona, silahkan
bersantap!" kata Sun Tiong lo sambil menunjuk
kearah sayur dan arak. Nona itu menggeleng. "lni toh bagian dari kalian
berdua, aku sudah bersantap." "Nona !" Bau ji segera menegur dengan
kening berkerut, "ada
urusan apa kau datang ke mari?" "Kenapa? jika tidak ada urusan lantas
tidak boleh kemari?" "Aku tidak seperti saudaraku yang pandai
berbicara, kami sedang
bersantap, bila kau ada urusan silahkan disampaikan, bila tak ada
urusan silahkan pulang!"
Nona itu tidak menjadi marah, sebaliknya malahan balik bertanya:
"Pulang? Kau suruh aku pulang ke mana?" "Tentu saja pulang ke
tempat tinggal nona!" Nona itu segera tersenyum. "Bagus sekali,
tetapi apakah kamu tahu kalau loteng impian
adalan tempat tinggalku?" Bau-ji menjadi terbungkam dan tak mampu
berkata apa apa lagi. Sun Tiong-lo segera tersenyum, katanya: "Nona,
harap kau bersedia memaafkan saudaraku itu, ketika
berpisah semasa masih kecil dulu, sampai sekarang kita baru bisa
bersua lagi, sedikit banyak tentu saja ada pula kata-kata diantara
saudara yang hendak diutarakan...."
Belum habis dia berkata, nona itu sudah menukas: "Ooo, apakah
yang dimaksudkan sebagai kata-kata diantara
saudara itu ?!" Sambil menggigit bibir Bau ji segera berseru: "Yang
dimaksudkan dengan kata-kata diantara saudara adalah
persoalan diantara kami berdua yang akan dikatakan kepada yang lain
tanpa diketahui orang lain...."
Nona itu seakan-akan baru merasa mengerti akan maksudnya, sambil
tertawa dia lantas berkata:
"Ooo... maaf kalau begitu, aku mengira kemarin semalam suntuk
ditambah hari ini setengah harian sudah lebih dari cukup buat kalian
untuk berbincang-bincang siapa tahu..."
"Nona, sekarang kau sudah tahu bukan kalau pembicaraan kami belum
selesai? Nah silahkan!" tukas Bau ji tidak sabar.
Siapa tahu nona itu masih juga menggeleng.
"Sekali lagi aku harus minta maaf kepadamu, lebih baik "kata- kata
diantara saudara"mu itu disimpan saja sampai malam nanti baru
dibicarakan lagi."
"Sekarang aku masih ada urusan yang lebih penting lagi hendak
dibicarakan dengan kalian berdua, sebetulnya urusan ini bisa saja
ditunda, cuma sayang akupun sedang repot dan cuma ada waktu
sekarang ini saja."
Bauji segera mendengus. "Hmm. Nona, kamu menganggap urusan
itu penting, belum tentu
kami bersaudara juga berpendapat demikian." Bila perangai si nona itu
sedang baik, pada hakekatnya dia lebih
baik dari pada seorang Siau mitou, sekalipun Bauji menggunakan kata
yang kurang sedap didengar untuk menjawab pertanyaannya, namun
gadis itu masih tersenyum saja.
Di tengah senyuman itu, pelan-pelan dia beranjak seraya berkata:
"Apa yang kau ucapkan mungkin saja benar, anggap saja aku banyak
urusan, baik, aku akan mohon diri lebih duIu, akan kulihat setelah
kalian menyelesaikan "kata-kata diantara saudara" dapatkah dengan
selamat meninggalkan bukit Pemakan manusia ini!"
Ditengah pembicaraan tersebut, dia sudah berjalan menuju keluar pintu.
Dengan cepat Sun tiong lo menghadang di-depan pintu, lalu serunya
sambil tertawa:
"Nona, bersediakah kau untuk duduk sebentar." Nona itu
mengerdipkan matanya, lalu: "Sebenarnya aku mau duduk tapi
engkohmu yang berwatak
kurang baik itu terus menerus bermaksud mengusir tamu, aku tak akan
mempunyai muka setebal itu untuk tetap disini!"
"Kalau nona memang sependapat lain, maka tindakanmu itu justru
merupakan suatu penampikan atas maksuk baikku!"
Nona itu menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, serunya
dengan perasaan yang tidak habis mengerti:
"Apa maksud perkataan mu itu?" "Tolong tanya nona, sejak
permulaan sampai akhir aku toh tidak
pernah mengucapkan kata-kata yang bermaksud mengusir tamu?"
Nona itu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Yaa, kau memang
tidak berkata apa-apa." Sun Tiong-lo segera tertawa, serunya lagi:
"ltulah dia, kalau
cuma lantaran perkataan dari kakakku saja nona lantas mengambil
keputusan untuk pergi dari sini, tolong tanya bagi diriku apakah
tindakan tersebut bisa dibilang sopan dan cukup memberi muka ?"
Nona itu segera tersenyum, "Anggap saja kau pandai berbicara !"
setelah berhenti sebentar, sambil mengerling sekejap kearah Bau ji,
katanya lagi:
"Kau suruh aku tinggal disini, tentu saja boleh, tapi kau musti
menasehati dulu engkoh mu yang berwatak berangasan itu agar jangan
mengucapkan kata-kata yang menusuk pendengaran."
-ooo0dw0ooo-
Jilid 5 "TENTU saja!" sahut Sun Tiong-lo sambil manggut-manggut,
"aku percaya engkohku pasti tak akan berkata apa-apa lagi" "Oya .. . ?"
Nona itu berseru. Dengan sorot matanya yang jeli dia memandang
sekejap ke arah
Bau-ji, kemudian duduk kembali di tempat semula.
Bau-ji agak mendongkol akan tetapi berhubung Sun Tiong lo telah
berkata begitu, diapun tidak berkata apa-apa lagi, maka dengan mulut
membungkam dia menyantap hidangannya.
Setelah nona itu duduk, Sun Tiong-lo kembali berkata, "Tolong tanya
nona, kau ada petunjuk lagi ?"
"Hei, dapatkah kau menukar panggilan itu dengan sebutan lain?" tegur
si nona dengan kening berkerut. Sun Tiong lo berseru tertahan, dia
lantas meninju kepala sendiri dan berseru.
"Yaa, aku memang tidak seharusnya bersikap begini, hingga sekarang
ternyata aku belum sempat menanyakan nama dari nona, harap nona
sudi memaafkan, kini..."
"Kini baru teringat untuk bertanya" sela si nona dingin. . Dengan
nada minta maaf Sun Tiong lo berkata: "Jika aku telah membuat
suatu keteledoran harap nona suka
memaafkannya." Kembali si nona itu mendengus. "Hmm... cukup."
tukas-nya, "lebih baik kau tak usah menanyakan
namaku lagi, panggil saja nona kepadaku." "Aaah... ini mana boleh
terjadi?" seru Sun Tiong lo sambil
menggeleng, "siapa tidak tahu dia tidak bersalah, nona..." "Lebih baik
kita agak sungkan juga!" kembali si nona menukas,
Bau-ji yang berada disampingnya menjadi tak sabar, segera serunya
dengan suara lantang:
"Belum pernah kujumpai nona seperti kamu ini, tadi masih menyuruh
orang mengganti panggilan, sekarang ketika orang ingin mengetahui
namamu, kau malah berubah pikiran lagi, terhitung apaan itu?"
"Lantas apa pula maksudmu berkata demikian?" bentak si nona dengan
mata melotot. Baru saja Bau ji akan membuka suara, Sun Tiong lo
segera mengerdipkan mata kearahnya sambil menukas.
"Maksudnya kau adalah si nona dari bukit Pemakan manusia !" setelah
berhenti sejenak, tidak memberi kesempatan lagi kepada nona itu untuk
buka suara, ia telah berkata lebih jauh:
"Kalau memang nona bersikeras demikian, tentu akupun tak bisa
berkata apa-apa lagi, sekarang aku ingin bertanya kepada nona, ada
tujuan apa tengah hari ini nona berkunjung ke loteng impian ini ?"
Sahut si nona dengan dingin. "Untuk menunjukkan keadilan para
tamu agung yang akan
melarikan diri, bukit kami telah menyusunkan suatu persiapan bagi
kalian, karena persiapan itulah aku datang kemari untuk
membicarakannya denganmu."
"Oooh . . . tolong nona bersedia memberi petunjuk!" "Bukit kami
mempunyai medan yang cukup ganas dan
berbahaya, jalan gunungpun penuh dengan persimpangan yang
berliku-liku, ada jeram Ihkian, ada pasir mengambang, ada air kematian
adapula air beracun serta aneka tempat berbahaya lainnya.
"Oleh sebab itu, setiap tamu agung yang bersiap-siap hendak melarikan
diri, selama masa masih menjadi tamu agung dia berhak untuk
mendapatkan keterangan yang jelas tentang medan di dalam bukit kami
ini, sehingga memberi setitik harapan untuk hidup bagi mereka !"
Saat itu, Bau-ji telah mendengar pula tentang seriusnya persoalan itu, ia
lantas meletakkan kembali mangkuknya ke meja.
Dengan sikap yang tenang Sun Tiong-lo kembali bertanya. "Jadi nona
khusus datang kemari untuk memberi petunjuk
kepada kami berdua akan tempat di sekitar bukit ini?"
"Memangnya masih ada persoalan yang lain?!" Sun
Tiong-lo segera tertawa.
"Jangan marah dulu nona, aku bisa berkata demikian karena hatiku
merasa amat berterima kasih sekali."
Setelah mendengar perkataan itu, paras muka si nona yang dingin dan
kaku itu pelan-pelan baru berubah menjadi agak hangat.
"Didalam memberi petunjuk kepada kalian ini, aku bagi menjadi dua
hal, pertama akulah yang akan menemani kalian menyelusuri tanah
perbukitan untuk meninjau langsung keadaan medan, kedua aku akan
menghantar kepada kalian untuk melihat miniaturnya."
"Maksud nona, kita akan meninjau miniatur dari keadaan bukit di
sekitar tempat ini seperti dengan yang aslinya?" tiba tiba Sun Tiong- lo
menukas.
"Benar!" nona itu mengangguk, "apakah kau merasa kurang percaya?"
Sun Tiong-lo segera tertawa dan menggelengkan kepalanya berulang
kali.
"Aaah! Masa aku berani tidak percaya?" Setelah berhenti sebentar,
dia melanjutkan. "Aku mempunyai
suatu permintaan dapatkah nona meluluskannya?" "Hnm! Kalau sudah
tahu kalau permintaan mu itu tidak
seharusnya diajukan, kau anggap aku bisa meluluskannya?" Sun
Tiong-lo tidak memperdulikan ucapan dari nona tersebut,
kembali ujarnya: "Kami dua bersaudara ingin sekali memeriksa mimatur
bukit
tersebut lebih dulu, kemudian baru merepotkan nona untuk menghantar
kami untuk mengunjungi tempat itu satu persatu."
Si Nona berpikir sebentar, kemudian menyahut. "Baiklah, kululuskan
permintaanmu itu, sekarang bersantaplah
lebih dulu, sebentar aku akan menyuruh Kim Poo-cu untuk mengundang
kalian . . ."
Seusai berkata nona itu segera beranjak dan meninggalkan ruangan itu.
Ketika kakinya sudah hampir melangkah ke luar dari pintu ruangan,
mendadak dia berhenti seraya berpaling, ujarnya kepada Bau ji:
"Kau yang menjadi engkohnya tidak semujur si adik, kau hanya akan
menjadi tamu agung kami selama tiga hari, oleh sebab itu kau harus
perhatikan miniatur itu dengan bersungguh hati, aku harap kau bisa
menanggapi petunjuk ku ini dengan serius !"
Bau ji tak menjawab, dia hanya mendengus dingin. Nona itupun
mengernyitkan alis matanya sambil mendengus,
kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun segera turun dari
loteng.
Menanti nona itu sudah iauh, Sun liong lo segera berkata kepada
Bau-ji.
"Toako, ada suatu persoalan aku lupa untuk menanyakan kepadamu."
Bau ji segera mendongakkan kcpalanya, setelah memandang wajah Sun
Tiong lo sekejap katanya.
"Persoalan apa ?" "Tentunya kedatangan toako keatas bukit ini
bukannya ada suatu
maksud tertentu bukan?" Bau ji segera mengangguk. "Betul, aku
sedang melaksanakan tugas!" Mendengar jawaban itu, satu ingatan
lintas melintas dalam benak
Sun tiong lo. "Melaksanakau tugas? Toako sedang melaksanakan tugas
siapa?"
tegurnya ingin tahu.
Bau ji tidak langsung menjawab, dia mendongakkan kepalanya dan
memandang sekejap kearah Sun Tiong lo, kemudian balik bertanya:
"Dan kau? mau apa kau mendatangi bukit pemakan manusia ini?"
"Kalau dibicarakan mungkin toako sendiri pun tidak percaya" bisik
Sun Tiong lo, "Siaute sendiripun tidak tahu mau apa datang kemari."
"Aaaah mana mungkin? Masa kau tak tahu?" Bauji berseru
tertahan dengan wajah kurang percaya. "Betul, siaute sendiripun
sedang melaksanakan perintah dari
suhu untuk mendatangkan bukit pemakan manusia, sedangkan mau
disuruh apa aku kemari, suhu tidak menjelaskan didalam surat
perintahnya, maka siaute rasa sekalipun kukatakan belum tentu toako
akan mempercayainya!"
Bau-ji segera mengerutkan dahinya rapat-rapat, dia tidak berkata
apa-apa lagi:
"Toako, kau datang kemari. ." "Jite.." tukas Bau-ji," suhu kita berdua
memang benar-benar
sangat aneh, aku sendiripun hanya mendapat surat perintah untuk
memasuki bukit ini, sedangkan mau apa dan disuruh berbuat apa aku
sendiripun kurang begitu tahu!"
Sun Tiong-lo menjadi berdiri bodoh, dia gelengkan kepalanya
berulangkali duduk dibangku dan termenung.
Bau-ji memandang sekejap hidangan sayur dan arak di meja, kemudian
katanya, "Jite, bersantaplah dulu!"
Dengan mulut membungkam kedua orang bersaudara itu segera
bersantap, belum lagi selesai Kim Poo cu sudah muncul di depan pintu
ruangan loteng.
Maka dua bersaudara itupun segera beranjak dan mengikuti dibelakang
Kim Poo cu ke luar dari ruangan loteng.
Mendadak Sun Tiong lo berkata.
"Sobat Kim, bolehkah kuajukan sebuah pertanyaan kepadamu ?"
Dengan dingin Kim Poo cu memandang sekejap waiah Sun Tiong
lo, lalu sahutnya. "Nona telah berpesan, apapun yang ingin kalian
tanyakan
silahkan untuk ditanyakan sendiri kepada nona !" Sun Tiong Io segera
tertawa. "Pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu itu hanya kau
seorang yang bisa menjawabnya. Kim Poo cu segera mendengus dingin.
"Hmm ! Mulai sekarang persoalan apapun aku tidak tahu, lebih
baik jangan kau tanyakan kepadaku." Sun Tiong lo tidak menyerah
sampai disitu saja, kembali dia
mencoba untuk memancing. "Pertanyaan yang kuajukan adalah tugas
apa yang dipikul sobat
Kim didalam kampung ini." "Aku tidak tahu." Kim Poo cu tetap
mendengus dingin. Berkata sampai disitu dia lantas mempercepat
langkahnya dan
tidak memperdulikan Sun Tiong Io serta Bau-ji lagi. Melihat itu Bauji
mengerutkan dahi kencang-kencang, lalu
bisiknya pada Su Tiong-lo. "Jite, buat apa kau musti bersikap demikian?
Apalah gunanya
menyusahkan kaum rendah macam mereka ?" Sun Tiong lo segera
tersenyum. "Kau tidak tahu toako, apa yang kulakukan ini cuma
bermaksud
untuk menyelidiki saja." Mendadak Kim Poo cu berhenti sambil berpaling
kearah Sun
Tiong lo, serunya dengan garang. "Kuperingatkan kepadamu, lebih baik
jangan mengusik aku terus
menerus!"
Seakan akan tidak terjadi sesuatu apapun, dengan tenang Sun Tiong lo
berkata.
"Akupun peringatkan kepadamu, kalau sedang berbicara denganku, lebih
baik kau tidak tunjukkan sikap semacam itu."
Kim Poo cu segera mengepal kepalannya kencang-kencang, sambil maju
dua langka ke muka serunya.
"Kau berani sekali mengurusi sikap dan gerak-gerik lohu, Tapi sebelum
ia menyelesaikan kata-katanya, sambil membusungkan dada Sun Tiong
lo telah berseru pula.
"Kaupun harus mengerti sekarang aku adalah tamu agung dari bukit
kalian ini, berbicara selangkah lebih kebelakang, paling banter ketika
aku gagal melarikan ciri dari bukit pemakan manusia ini, hanya sebuah
jalan kematian yang kuhadapi."
"Bila seseorang tak dapat terhindar dari kematian, juga tiada
kesempatan untuk memperoleh kehidupan, tiada persoalan yang
menakutkan lagi baginya, kalau tidak percaya hayolah turun tangan
untuk mencobanya sendiri."
Paras muka Kim Poo cu berubah menjadi hijau membesi, sambil
menggertak gigi menahan diri, sampai lama sekali dia baru bisa berkata
dengan penuh kebencian.
"Hutang ini akan lohu perhitungkan pada saat kau melarikan diri nanti,
hati hati saja pada waktunya nanti!"
Kontan saja Sun Tiong lo mendengus dingin. "Hmm .. .. ! Lebih baik
kau jangan mimpi" Kim po cu tidak berbicara lagi, sambil
membalikkan badan
dengan gemas ia berlalu dari situ dengan langkah lebar. Dalam waktu
singkat mereka sudah tiba di depan sebuah
ruangan besar sambil menuding ke arah ruangan itu. "dalam ruangan
tersebut bukan saja hadir si nona, Beng lo cengcu yang kakinya cacadpun
hadir didekat perapian dengan kursi berodanya itu.
Pertama-tamanya Sun Tiong lo menghampiri Beng lo cengcu lebih
dahulu, sambil tersenyum dan menjura katanya.
"Orang tua, baik baikkah kau?" Beng Liau huan segera tertawa.
"Baik-baiklah kongcu !" Setelah berhenti sejenak, sorot matanya di
alihkan ke wajah Bau
ji, kemudian lanjutnya: "Dari Beng Seng kudengar semalam ditempat ini
telah
kedatangan lagi seorang kongcu yang kebetulan berasal dari satu
marga dengan kongcu bahkan memiliki ilmu silat yang sangat lihay,
apakah..."
Belum habis dia berkata, sambil tersenyum Sun Tiong lo telah berseru
kepada Bau ji:
"Sun heng, cepat kemari dan menjumpai Beng lo cengcu!" Ketika
menyerbu ke dalam bukit dan akhir nya tertangkap
musuh, Bau ji langsung dihantar ke loteng impian, pada hakekatnya ia
belum pernah berkunjung ke ruangan besar itu, tentu saja diapun
belum pernah berjumpa dengan Beng lo cengcu.
Maka ketika didengarnya orang itu adalah cengcu ddari perkampungan
ini, kontan saja dia mendengus.
"Hmmm! Aku lagi segan bergerak, juga enggan bersahabat dengan
manusia-manusia semacam itu !"
Sun Tiong-lo tahu, Bau ji tentunya telah salah paham, dia pasti mengira
Beng lo-cengcu tersebut berasal dari sekeluarga dengan pemilik bukit
ini, tapi dihadapan sinona tentu saja dia tak dapat memberi penjelasan,
terpaksa dia cuma tersenyum saja kepada Beng lo-cengcu.
Beng Liau huan sama sekali tidak memperlihatkan rasa tak senang hati,
malah ujarnya kepada Bau ji.
"Tolong tanya kong cu ini?"
Dengan nada tak senang hati Bau ji segera berseru dengan suara
lantang:
"Aku toh sudah berulang kali mengatakan bahwa aku tak ingin
bersahabat dengan semua manusia yang berada disini, maka apabila
tiada sesuatu kepentingan, lebih baik kurangi saja kata katamu."
Beng Liau huan mengerutkan dahinya rapat-rapat, dia lantas memutar
kursi rodanya dan menyingkir kesamping serta tidak bicara lagi.
Dengan langkah lebar Bau ji menghampiri sinona, kemudian tegurnya
dengan lantang:
"Dimanakah miniatur itu berada?" Nona mengerdipkan matanya,
kemudian mendesah: "Heran, kenapa orang ini selalu mengumbar
napsunya, memang
dianggapnya dia hebat?" "Nona!" seru Bau-ji sinis, "aku datang kemari
bukan untuk
mendengarkan kritikanmu, miniatur..." Agaknya nona itu sungguh
merasa mendongkol, sambil
mendengus dingin ia lantas membalikkan badan dan berlalu dan situ,
sambil berjalan gumamnya:
"Hmm, kenapa orangku betul-betul tak tahu diri?" Mendadak Bau-ji
melompat kedepan dan menghadang di
hadapan nona itu, serunya. "Nona, mau kemana kau?" "Membawa kau
melihat miniatur dari tanah perbukitan disini!" Bau ji tidak berbicara
Iagi, dia segera menggeserkan tubuhnya
dan menyingkir kesamping. Pada saat itulah si nona
berseru kepada Sun Tiong lo.
"Lebih baik kau bisa menasehati engkohmu" Mendengar ucapan
tersebut, paras mukanya Sun Tiong lo segera berubah hebat, dengan
cepat tukasnya:
"Nona, harap kau bisa memegang janji!" Nona itu mula-mula agak
tertegun, menyusul kemudian serunya: "Setelah melihat miniatur
nanti, aku ingin berbicara empat mata
denganmu." "Baiklah, setiap saat engkau boleh bercakap cakap dengan
aku."
Sun tianglo menganggukkan kepalanya sambil tertawa. Nona itu kembali
melirik sekejap ke arah Sun Tiong lo lalu
membalikkan badan dan berjalan menuju kepintu belakang ruang besar
itu.
Sun Tiong lo dua bersaudara segera mengikuti dibelakangnya dan
mengikuti nona itu memasuki sebuah loteng kecil.
Loteng itu bernama "Hian ki", kelihatannya merupakan tempat yang
terpenting dalam bukit tersebut.
Dilihat dari bagian luarnya, loteng itu seperti tiada sesuatu keistimewaan
apapun, tak jauh berbeda dengan bangunan lainnya, tapi setelah Sun
Tiong lo berdua memasuki pintu gerbang loteng itu, mereka baru sadar
bahwa keadaan tidak benar.
Semisalnya saja loteng impian dimana mereka tinggal sekarang,
bangunannya mana megah dan mentereng, jauh lebih hebat daripada
loteng Hian ti lo ini, dasar lantainya juga terbuat dari papan jati.
Tapi dasar lantai dari loteng Hian ki loini ternyata terbuat dari baja asli,
ditinjau dari hal ini saja sudah dapat diketahui bahwa loteng ini
merupakan tempat yang paling penting dari seluruh tanah perbukitan
tersebut.
Sesudah menyaksikan kejadian itu, sikap Sun Tiong lo masih tetap santai
seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun,
sebaliknya Bau ji segera berkerut kening, kemudian mendengus dingin.
Mendengar itu, Nona tersebut segera berhenti, tegurnya. "Apakah
kau merasa ada sesuatu bagian yang kurang enak ?" Bau ji
memandang sekejap ke permukaan lantai yang terbuat
dari baja itu, lalu menjawab. "Benar, aku merasa agak benci dengan
lantai baja ini !" Nona itu segera mendengus dingin. "Hmm! Asal setiap
kali kau datang ke loteng Hian ki lo ini selalu
ditemani oleh orang kami, papan baja tetap adalah papan baja, lantai
ini seperti juga lantai yang lain, tak bisa memakan manusia!"
Bau ji tidak memberi tanggapan apa apa, sebaliknya Sun Tiong lo
segera berseru tertahan.
"Hmm Makanya aku lagi heran, sewaktu berjalan ditempat ini kenapa
suaranya itu bisa aneh, rupanya terbuat dari baja asli!"
Nona itu mengerling sekejap ke arahnya, kemudian berseru.
"Kelihatannya kau mempunyai bakat untuk bermain
sandiwara...hebat sekali!" Sembari berkata demikian, nona itu
melangkah maju dan menaiki
anak tangga yang berada di sudut ruangan sana. Anak tangga disitu
tidak terhitung banyak, semuanya berjumlah
dua puluh empat buah, setiap anak tangga terdiri dari lapisan baja yang
beberapa inci tebalnya, tapi yang aneh disisi kiri maupun kanan anak
tangga itu ternyata tiada pegangannya.
Maka Sun Tiong lo segera melangkah naik keatas anak tangga itu
dengan sangat berhati-hati, sambil naik katanya:
"Kalau begini modelnya, sungguh berbahaya sekali, seandainya sampai
terpeleset, bukankah besar kemungkinannya orang bakal tergelincir
jatuh kebawah ?"
"Mungkin bukan cuma tergelincir dan berguling ke bawah saja." kata
sinona sambil tertawa.
"Ooh....lantas bisa mengakibatkan apa lagi?" Kembali nona itu
tertawa. "Bisa berakibat apa, soal itu harus dicoba lebih dulu baru
bisa
diketahui." Sun Tiong-lo segera menggeleng. "Kalau didengar cara nona
berbicara, lebih baik jangan dicoba
saja." Entah apa maksud sinona yang sesungguhnya, mendadak ia
berhenti diatas tangga dan berkata: "Untuk diberitahukan kepadamu
juga tak. menjadi soal, di hari-hari biasa, misalnya sekarang, sekalipun
sampai terjatuh paling-paling hanya terguling saja kebawah dan tak akan
sampai menimbulkan ancaman jiwa."
"Tapi bila malam hari telah tiba, atau tak ada orang yan membawa
jalan, sebaliknya masuk sendiri ke dalam loteng Hiankilo ini, belum lagi
naik ke atas tangga, mungkin jiwanya sudah melayang !"
"Oooh....!" Sun Tiong lo berseru tertahan, dia mencoba mendepak
depakkan kakinya ke atas lantai, kemudian melanjutkan:
"Yaaa, untuk menjaga datangnya pencuri memang hal ini tepat
sekali..."
Ketika menyelesaikan kata-katanya itu, si nona sudah naik ke atas
loteng. menyusul kemudian Sun Tiong lo dan Bau ji juga tiba di atas
loteng.
Mendadak dari arah belakang berkumandang suara getaran yang keras
sekali, ketika mereka berpaling ternyata anak tangga itu sudah lenyap
tak berbekas.
Bukan cuma anak tangga itu saja yang hilang, bahkan pintu gerbang
dimana mereka masuk tadipun kini sudah tertutup rapat.
Sun Tiong lo segera berpura-pura tidak mengerti, serunya kepada si
nona.
"Hei,apa yang telah terjadi? Kita sudah terkurung didalam loteng ini,
bukankah..."
"Aku berbuat demikian untuk lebih berhati hati saja" tukas si nona
sambil menerangkan "aku tak ingin ada orang yang datang
mengganggu kita selagi kita melihat bukit diatas loteng nanti, maka
sengaja kututup pintu loteng tersebut !"
"Oooh kiranya begitu, sungguh mengejutkan hatiku !" Nona itu
segera mendengus dingin. "Hm ! Andaikata nyalimu hanya sekecil
itu, mana mungkin berani
mendatangi bukit pemakan manusia?" Sun Tiong lo tidak membantah
atsu mendebat lagi, sinar
matanya segera dialihkan ke atas loteng itu, kemudian bertanya dengan
nada keheranan dan tidak habis mengerti.
"Tolong tanya nona, dimanakah letak miniatur tersebut ?" Belum lagi
si nona menjawab, Bau ji telah berkata pula dengan
suara dalam. "Nona, ruangan loteng ini kosong melompong tanpa
sesuatu
benda apapun, sebetulnya apa tujuan menipu kami mendatangi tempat
semacam ini?"
Nona itu tidak menjawab pun tidak menggubris, dia langsung berjalan
menuju ke arah dinding disebelah depan sana.
Sungguh aneh sekali, ketika nona itu akan membentur dengan dinding
tadi, tiba-tiba dinding sebelah selatan terbuka secara otomatis, disana
terlihat sebuah pintu gerbang, ke dalam ruangan itulah sinona itu
berjalan.
Sun Tiong lo dan Bau ji saling bertukaran pandangan sekejap,
kemudian merekapun turut masuk kedalam.
Tempat itu adalah sebuah ruangan yang sangat luas, tiada jendela tiada
lubang hawa sehingga suasana sangat gelap sekali.
Agaknya si nona itu sudah melakukan persiapan, dengan cepat dia
membuat api dan memasang dua buah lentera disitu.
Kedua lentera tersebut yang satu tergantung disebelah kiri yang lain
tergantung disebelah kanan, tengahnya terdapat sebuah miniatur tanah
perbukitan yang panjangnya tiga kaki dengan lebar dua kaki,
disekelilingnya tanda-tanda, jumlahnya mencapai delapan belas pasang
lebih, setelah memasang lentera tersebut, nona itu segera duduk dikursi
goyang diunjung ruangan sana, katanya:
"lniJah miniatur yang paling jelas menggambarkan seluruh bagian dari
tanah perbukitan ini, termasuk juga tempat-tempat berbahaya yang
pernah kukatakan tadi, kalian musti memperhatikannya secara teliti dan
mengingatnya baik baik !"
Maka Sun Tiong-lo dan Bau-ji segera memusatkan seluruh perhatiannya
untuk memperhatikan miniatur tersebut. Tapi setelah meneliti dengan
seksama, tak urung terkesiap juga kedua orang itu dibuatnya.
Ternyata diatas bukit pemakan manusia hanya ada dua jalan lewat saja,
yang pertama adalah jalan masuk lewat pintu depan, sedang yang lain
berada dibelakang gunung, jalan masuknya saja sudah cukup
berbahaya, jalan keluarnya ternyata berlipat ganda lebih berbahaya lagi.
Tanpa terasa kedua orang itu mendongakkan kepalanya dan saling
berpandangan, sementara itu si nona telah berkata lagi:
"Menurut peraturan yang berlaku disini, hanya waktu satu jam yang
tersedia bagi tamu agung untuk melihat miniatur ini, maka kalian harus
cepat melihat dan mengingat-ingatnya sehingga bermanfaat dikemudian
hari."
Mendengar perkataan itu, Sun Tiong lo segera tertawa, "Nona tidak
bisakah kau memberi waktu yang lebih lama lagi kepada kami?"
pintanya.
"Sayang aku tak bisa meluluskan permintaanmu itu." si nona segera
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Nona, mengapa pelit amat sih kau ini?" "Mau percaya atau tidak
terserah kepadamu, pokoknya satu jam
kemudian diatas loteng ini akan terdengar suara keleningan, saat itu
pintu loteng akan terbuka dan anak tangga secara otomatis."
"0ooh .... andaikata secara tidak kebetulan pintu ruangan rahasia ini
tertutup maka apa yang terjadi?" seru Sun tiong lo
"Jika dinding ini tertutup maka ruangan ini akan tertutup dari udara
luar, jika sehari semalam kemudian orang yang berada dalam ruangan
ini akan mati lemas dan tidak bisa tertolong lagi!"
Sun Tiong lo mengerutkan dahinya rapat rapat, dan kemudian katanya:
"Seandainya terkurung di ruangan luar yang tak ada barangnya itu."
"Maka dia akan mati mengenaskan !" tukas sinona. "0oh .. apakah
dia juga akan mati lemas" Si nona menggeleng. "Tidak, dia akan
mati tercincang di kala tubuhnya lemas dan lelah
karena kehabisan tenaga. Mendengar perkataan itu, satu ingatan lantas
melintas dalam
benak Sun Tiong-lo. "Lelah?" serunya, "aku tidak mengerti dengan apa
yang di
maksudkan oleh nona?" Nona itu mengerling sekejap kearah Sun
Tiong-lo, kemudian
ujarnya: "Dengan kecerdasanmu itu, masa kau tak bisa menebaknya
sendiri?"
Sekali lagi Sun Tiong lo merasakan hatinya bergerak, tapi diluaran ia
berkata lagi:
"Kalau suatu urusan yang tiada wujudnya, mana mungkin bisa di tebak
orang?"
Si nona tersenyum, tiba-tiba ia bertanya: "Aku cuma merasa heran,
mengapa kau menanyakan tentang
persoalan semacam ini ?" Sun Tiong lo gelengkan kepalanya menunjuk
kan perasaan apa
boleh buat, katanya: "Yaaa, apa salahnya untuk bertanya sambil menam
bah
pengetahuan." Nona itu mendengus dingin. "Hm dengan bicarakan
waktu berlalu
dengan percuma, lebih baik lihatlah miniatur itu dengan seksama." Sun
Tiong lo memperhatikan Bau ji sekejap, ketika dilihatnya
pemuda itu sedang memusatkan semua perhatiannya untuk
memperhatikan semua bentuk dari pegunungan itu, diam-diam dia
lantas mengangguk.
Kepada si nona katanya, dengan serius: "Sekarang, aku berpendapat
lebih baik lagi kalau tidak melihat
miniatur tersebut !" Nona itu tampak terkejut setelah mendengar
perkataan itu,
serunya dengan cepat: "Apa maksudmu dengan ucapan tersebut ?" Sun
Tiong lo menghela napas panjang, katanya: "Aku cuma
seorang manusia lemah saja, membunuh ayampun tak punya tenaga,
sekali pun mengenali letak bukit itu juga belum tentu bisa melarikan diri
!"
Dengan cepat nona itu melompat bangun, serunya: "Apakah sampai
sekarang kau masih mengatakan tak pandai berilmu silat ?"
"Tiaak bisa yaa tidak bisa, kenapa musti dibedakan antara tadi dan
sekarang ?" seru Sun Tionglo tertegun.
Nona itu mendengus dingin, secepat kilat kepalannya segera diayunkan
ke depan menghantam dada Sun Tiong lo.
Serangan itu dilancarkan lebih dulu, kemudian baru berseru: "Kalau
begitu, sama artinya dengan kau menunggu untuk dihajar
oleh bogem mentahku." Tahu-tahu kepalan tersebut sudah meluncur
datang didadanya,
dengan kaget bercampur gugup Sun liong lo menutupi kepalanya
dengan tangan, lalu teriaknya:
"Jangan keras-keras, aku..." Sementara itu Bauji sudah meluncur ke
hadapan Sun Tiong lo
dengan kecepatan tinggi, secara kebetulan sekali dia menerima
datangnya pukulan dari nona itu, kemudian dengan wajah penuh
kegusaran dia melotot kearah si nona sambil berteriak: "Jika kau ingin
berkelahi, biar aku saja yang menemanimu !"
Ketika Bauji menerjang kedepan sambil menghadang dihadapannya tadi,
nona itu sudah menarik kembali serangannya sambil mundur, mendengar
perkataan itu dia lantas tertawa dingin.
"Heeehhh, .. ,heeeeh memangnya kau anggap dirimu itu hebat ?"
"Kalau memang begitu, kenapa kita tidak mencoba-coba ?"
tantang Bau-ji sambil tertawa dingin pula. Dengan pandangan sinis nona
itu melirik sekejap kearahnya,
kemudian katanya lagi: "Jangan kau anggap sewak tu menerjang naik
ke gunung secara
beruntun bisa melukai delapan orang, maka kau anggap dirimu itu
hebat, terus terang saja kuberitahukan kepadamu, orang-orang yang
berhasil kau lukai itu tak lebih cuma prajurit tak bernama di bukit ini! "
"Mungkin ucapanmu itu benar!" kata Bau ji, kemudian sambil menuding
ke arah si nona terusnya, "cuma kamu sendiri apakah seorang prajurit
tak bernama atau bukan, juga harus dibuktikan, berani bertarung
denganku?"
Kali ini nona itu tidak menjadi marah, malahan sebaliknya tertawa,
katanya.
"Kalau ingin bertarung lain waktu masih ada waktu, sekarang yang
penting melihat miniatur itu lebih dulu..."
"Aku sudah selesai melihat." tukas Bau ji "maka masih ada cukup
waktu untuk tertamng me lawan mu !"
Nona itu mengerutkan dahinya, kemudian melirik sekejap ke arah Sun
Tiong lo, tak sepatah katapun yang diucapkan.
Sun Tiong lo pura-pura tidak melihat, malahan sambil membalikkan
badarnya dia berjalan menuju ke arah miniatur tersebut.
Si nona yang menyaksikan itu benar-benar marah sekali, sambil
mencibirkan bibirnya dia melotot kearah pemuda itu.
Kebetulan pula Sun Tiong-lo sedang bergumam pada waktu itu: "Yaa,
memang harus memperhatikan miniatur ini dengan
seksama, semut saja ingin hidup apalagi aku mempunyai alasan untuk
tidak mati, asal ada kesempatan hidup, kesempatan tersebut memang
harus digunakan secara baik 2 !"
Bau-ji yang melihat nona itu sama sekali tidak berkata apa-apa, segera
serunya:
"Nona, silahkan!" Sekujur tubuh nona itu gemetar keras, mendadak
sambil
mendepakkan kakinya ke tanah dia berseru. "Kau
sungguh teramat keji!" Entah ucapan itu sebetulnya
ditujukan pada siapa?"
Ketika selesai berkata, tubuhnya segera berkelebat dan menerjang keluar
dan ruang rahasia itu.
Sun Tionglo dan Bauji saling berpandangan sekejap, Bauji segera
bergeser keluar ruangan tapi dalam sekejap mata suasana disitu sudah
hening, bayangan tubuh dari nona itu sudah lenyap tak berbekas.
Tanpa terasa Bauji menjerit kaget, Mendengar itu Sun Tiong lo menyusul
keluar ruangan dimana sinar matanya memandang tampak mulut loteng
sudah terbuka tapi dengan cepat menutup kembali.
Kemudian terdengar suara dari nona itu berkumandang yang datang
dari arah bawah:
"Aku hendak memperingatkan kepada kalian dua bersaudara, bila
mendengar suara keleningan harus segera turun dari loteng, waktu itu
mulut loteng dan anak tangga akan muncul dengan sendirinya, jika
sampai terlambat sudah pasti kalian akan mampus, waktu itu jangan
salahkan kalau aku tidak memberitahu kepada kalian."
Sekalipun nona itu berlalu dengan hati yang gusar, akan tetapi dia
rupanya masih meng-khawatirkan hal itu.
Menggunskan kesempatan ketika pintu loteng belum tertutup rapat
seluruhnya, dengan cepat berseru:
"Kuucapkan banyak terima kasih atas kebaikan nona, sampai waktunya
aku pasti tak akan melupakan nasehatmu itu?"
Selesai berkata kedua orang bersaudara itu segera kembali lagi kedalam
ruang rahasia untuk memperhatikan kembali miniatur tersebut.
Sambil menuding sebuah daerah berawa-rawa, Sun Tiong lo lantas
berkata:
"Toako, agaknya tempat ini letaknya pating: dekat dengan mulut bukit,
jika mengikuti miniatur ini, asal kita sudah menyeberangi
daerah berawa-rawa ini kemudian menyeberangi lagi sebuah hutan
lebar, maka jalan keluar itu akan terlihat !"
Bau ji segera menggeleng, katanya. "Jite, sekarang belum bisa
mengambil kesimpulan begini, kita
harus melihat keadaan medannya lebih dulu baru bisa diputuskan !"
Sun Tiong lo manggut-manggut.
"Toako, apakah kau sudah hafal dengan bentuk miniatur ini?" tanyanya
kemudian.
"Yaaa, sudah teringat semua !" Sun Tiong lo segera tertawa.
"Menggumakan kesempatan baik ini, bagaimana kalau kita
berunding dulu tentang jalan yang dilewati bila akan kabur nanti ?"
"Mungkin tempat ini diawasi pula oleh orang lain ?" Kembali Sun Tiong
lo tertawa. "Toako, apakah kau tidak memperhatikan, loteng ini bukan
saja
dinding, lantai dan langit langitnya terdiri dari baja murni, bahkan
sedikit lubang hawapun tidak nampak !"
"Oooohh makanya barusan jite sengaja mengirim suara kepadaku untuk
mencari gara-gara dengannja agar nona itu pergi karena marah.?"
"Benar!" Sun Tiong lo mengangguk, "dalam loteng lmpian, semuanya
terdapat pintu rahasia, tempat itu tidak cocok untuk membicarakan
sesuatu yang penting, maka baru aku memaksamu untuk melakukan
tindakan tersebut !"
"Jite, apakah kau ada persoalan penting yang hendak di bicarakan
denganku?"
Walaupun Sun Tiong-lo percaya bahwa tak mungkin ada orang yang
menyadap pembicaraan mereka disitu, tak urung dia merendahkan juga
suaranya sembari berkata:
"Toako, menurut perhitungan lusa pagi kau sudah harus kabur dari
tempat ini, apakah toako sudah mempunyai persiapan atau rencana
tertentu . . . ."
Bau-ji segera menggeleng. "Tidak ada !" katanya. Setelah berhenti
sejenak, dia meneruskan. "Cuma ada satu hal
yang aku merasa agak keheranan." "Soal apa?" "Aku sedang merasa
heran dengan perintah dari guru, apakah
dia suruh aku datang ke-bukit pemakan manusia ini adalah untuk...."
Tiba-tiba Sun Tiong-lo bertepuk tangan sambil tersenyum, tukasnya
dengan cepat: "Toako, persoalan itu juga yang membuat siaute merasa
bingung dan tidak habis mengerti." Bau ji tidak berkata lagi, ia hanya
mengerutkan kening sambil termenung.
-ooo0dw0ooo-
BAB KE TUJUH
SETELAH termenung beberapa saat lamanya, kembali Sun liong lo
berkata:
"Toako, siaute merasa suhu kita berdua sudah pasti bukan tanpa
alasan untuk mengirim kita kemari, tentu tujuannya bukan mencoba
kepandaian silat dan kecerdasan kita saja!"
"Akupun berpendapat demikian, tapi..." Mendadak seperti
memahami akan sesuatu, Sun Tiong lo berkata
kembali : "Betul, toako! Mungkinkah kita sengaja diutus kemari untuk
membongkar rahasia Bukit pemakan manusia ini ? Maka kita baru diutus
hampir pada saat yang bersamaan datang kesini ?"
Bau-ji berpikir sebentar, kemudian katanya:
"Seandainya begitu, apa pula yang bisa kita peroleh didalam tiga hari
yang teramat singkat itu?"
Sun Tiong-lo segera manggut-manggut. "Betul, bila ingin
membongkar rahasia ini didalam waktu tiga hari
saja..." Mendadak dia menghentikan ucapannya sambil mengerdipkan
matanya berulang kaii. "Ji-te, api kah kau berhasil memikirkan
sesuatu?" tanpa terasa
Bau ji segera bertanya. Sun Tionglo cuma termenung sambil
membungkam dalam seribu
bahasa, Bauji tahu dia pasti sedang memikirkan suatu persoalan yang
sangat serius maka dia tidak bertanya lagi kuatir memecahkan
perhatian serta konsentrasinya. Lewat beberapa saat kemudian, Sun
Tiong lo baru berkata:
"Toako, barusan siaute sedang memikirkan berbagai kemungkinan tapi
semuanya tidak bisa dipakai, satu-satunya yang masuk diakal cuma
alasan yang barusan kita kemukakan itu!"
"Maksudmu kedatangan kita untuk memecahkan rahasia yang
menyelimuti bukit ini..."
Sambil mengangguk Sun Tiong-Io menukas: "Yaa, cuma
satu-satunya hal itu saja yang bisa dikatakan masuk
di -akal...." "Tapi balik dengan perkataan tadi, apalah artinya tiga hari
yang
teramat singkat itu ? Apa yang bisa kita lakukan selama beberapa hari
yang teramat singkat itu?"
"Siaute mempunyai suatu pendapat, tentang bagaimana menurut
pendapat toako?"
Bau-ji memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian tanyanya.
"Pendapat yang bagaimana ?"
"Yang diartikan dengan menjadi tamu agung selama tiga hari, aku
percaya suhu kita belum pernah mengalami kejadian semacam ini,
karena itu kemungkinan besar mereka juga tidak tahu tentang
peraturan tersebut."
"Kemudian, sekalipun suhu kita mengetahui akan peraturan tersebut,
didalam pemikiran kedua orang tua itu persoalan tersebut sudah pasti
tidak tak akan menyusahkan kita berdua."
Bau ji segera bertepuk tangan dan berseru. "Betul, kalau bukan Jite
menyinggung persoalan itu, mungkin sampai sekarang aku masih tak
mengerti, Jite, peraturan menjadi tamu agung selama tiga hari ini apa
sangkut pautnya dengan kita?"
"Apakah toako ingin mengerti?" tugas Sun-Tionglo sambil tertawa.
Bau ji-turut tertawa pula. "Pepatah kuno mengatakan "Kalau
perkataan tidak diucapkan tak
akan tahu, kayu tidak ditembus tak akan berlubang, kuali tak dilubangi,
sepanjang masa takkan bocor! setelah kau singgung tadi, kini aku
paham sekali!"
Tiba-tiba paras muka Sun Tiong lo berubah menjadi amat serius, dan
katanya:
"Toako, kalau begitu kita harus membicarakan bagaimana cara kita
untuk melarikan diri."
"Hei, melarikan diri apa lagi yang hendak kita rencanakan sekarang..?"
seru Bau ji tercengang.
Sun Tiong lo tahu kalau Bau ji telah salah mengartikan katanya, maka
dia berkata.
"Toako, bila waktu untuk menjadi tamu sudah habis, kita toh harus
melarikan diri ?"
Bau ji manggut-manggut.
"Tentu saja, cuma kita kan sudah bertekad untuk tidak pergi
meninggalkan tempat ini..."
"Tidak pergi toh cuma diketahui kita berdua saja" tukas Sun Tiong lo
cepat, "Tapi terhadap setiap orang yang berada disini, kita harus
menanamkan suatu keyakinan bahwa kita sudah pergi dan sedang
melarikan diri, dengan begitu rencana kita baru akan berhasil dengan
sukses."
Setelah diberi penjelasan, Bau ji baru mengerti, dia lantas
manggut-manggut.
"Betul, kita memang harus membuat suatu rencana yang cukup matang
didalam hal ini."
"Apakah toako mempunyai rencana ?" Bau-ji menggeleng. "Tidak ada,
pokoknya kita harus bermain petak bersama mereka diatas bukit ini !"
Tapi dengan serius Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalanya
berulang kali, "Toako, kita tak boleh bermain petak !"
"Kenapa ? Apakah kau mempunyai cara lalu yang lebih bagus lagi ?"
seru Bauji tidak habis mengerti.
Sun Tiong lo manggut-manggut. "Mereka jauh lebih memahami
keadaan di tempat ini daripada
kita, siaute yakin setiap tempat yang kemungkinan besar bisa dipakai
untuk menyembunyikan diri pasti sudah diketahui mereka dengan
sejelas-jelasnya, mereka tak akan melepaskan kita dengan begitu saja!"
Bau ji berpikir sebentar, lalu mengangguk "Yaaah, hal ini sudah jelas
sekali."
Sesudah berhenti sejenak, diapun bertanya. "Jite menurut
pendapatmu, apa yang harus kita lakukan
sekarang?" Agaknya Sun Tiong lo sudah mempunyai rencana yang
cukup
matang, sahutnya kemudian.
"Ketika toako naik keatas bukit ini untuk pertama kalinya tadi, apakah
mereka itu telah memberitahukan suatu peraturan kepada toako?"
Bauji berpikir sebentar lalu bertanya: "Apakah kau maksudkan batas
waktu yang ditentukan setelah
melarikan diri?" "Betul, karena waktu yang paling berbahaya buat kita
seluruhnya
selama tiga hari." "Jite, apakah kamu percaya dengan segala omongan
setan itu?"
seru Bauji sambil menggelengkan kepala. "Tentu saja ucapan tersebut
tak boleh dipercaya dengan begitu
saja." "Nah, itulah dia, seandainya kita percaya pada perkataan mereka
dan munculkan dirinya retelah lewat masa yang ditentukan, mereka
pasti akan mempergunakan segala macam cara untuk mencelakai kita
sampai mati!"
"Kemungkinan kesitu tentu ada." "Bukan mungkin lagi, tapi sudah
pasti demikian!" tukas Bau ji lagi
dengan cepat. Sun Tionglo mengerutkan dahinya dan kemudian
berkata: "Cara pemikiran siaute dengan toako, paling tidak harus saling
ada perhubungan!" "Apakah jite hendak mencobanya?" tanya Bau-ji
dengan
perasaan tidak mengerti. Ucapan tersebut dengan cepat menimbulkan
satu ingatan
didalam benak Sun Tiong lo dan katanya kemudian: "Bagaimana kalau
begitu saja, toako berada di tempat kegelapan,
sedangkan siaute secara terang-terangan."
Sambil menggeleng Bau ji segera menukas:
"Jite, persoalan ini bukan masalah untuk bermain-main, kuanjurkan
kepadamu lebih baik mempertimbangkan dulu secara masak-masak !"
Sun Tiong lo tertawa, katanya: "Toako tak usah kuatir, kalau siaute
berani muncul secara
terang-terangan berarti aku pasti mempunyai kekuatan untuk
melindungi keselamatan jiwaku sendiri, memangnya kau ingin mampus
?"
"Apalagi kita adalah bertujuan untuk membongkar rahasia yang
menyelimuti bukit ini, jika satu dari dalam satu dari luar kita turun
tangan bersama, selain bisa saling membantu, juga bisa membuat
musuh menjadi kebingungan dan curiga."
"Misalnya saja kita berhasil menemukan suatu rahasia dan perlu untuk
dilakukan penyelidikan, waktu itu siaute akan sengaja menimbulkan
gara-gara untuk menarik perhatian mereka, bukankah toako bisa turun
tangan secara diam diam ?"
"Ketika persoalannya sudah terselidik, mereka pasti tak akan bisa berkata
apa-apa lagi, sekalipun menemukan sesuatu yang mencurigakan, mereka
juga tak akan menduga sampai diri toako."
"Bila satu dibelakang satu dimuka, satu dengan terangan yang lain main
sembunyi, aku yakin mereka pasti akan dibikin kebingungan dan gugup,
asal mereka sudah mulai panik, itu berati akan sangat bermanfaat sekali
bagi usaha penyelidikan kita."
Bauji berpikir sebentar, lalu katanya: "Ucapan ini memang sangat
masuk diakal, cuma juga keliwat
berbahaya." "Jangan kuatir toako." hibur Sun Tiong lo. "siaute pasti
dapat
melewati semua mara bahaya itu dengan selamat!" Tapi Bauji
masih belum lega juga, katanya lagi: "Bagaimana kalau kita
rundingkan kembali persoalan ini ?"
Dengan cepat Sun Tiong lo menggeleng, "Toako, waktu sudah amat
mendesak, persoalan ini harus segera diputuskan." serunya.
"Apa salanya kalau kita berkerja dari kegelapan saja ?" kata Bau ji
dengan kening berkerut.
Sekali lagi Sun Tiong lo gelengkan kepalanya berulang kali. "Toako
tak boleh terlalu pandang rendah Sancu dari bukit ini, bila
ada satu diluar dan satu didalam, maka orang yang berada diluar itu
bisa mengaturkan segala sesuatunya bagi orang yang berada dibalik
kegelapan.."
"Aaai... sudahlah. kalau jite memang begitu yakin dengan
kemampuanmu, akupun tak akan menghalangi lagi!"
Sun Tiong lo tertawa. "Tak usah kuatir toako" katanya, "siaute
ucapkan sepatah kata
tekabur, bilamana sampai terjadi suatu pertarungan maka jangan harap
orang orang diatas bukit.. pemakan manusia ini bisa menghalangi
kepergian siaute !"
Bauji segera merendahkan suaranya sambil berkata: "Jite tadi kau
anjurkan kepadaku agar jangan terlalu pandang
enteng sancu dari bukit ini, sekarang mengapa kau malah memandang
enteng dirinya? Padahal semenjak menyerbu kemari, aku memang
berhasrat untuk menjajal kemampuannya."
Belum habis dia berkata, Sun Tiong lo telah menukas. "Siaute sama
sekali tidak berniat untuk memandang rendah
rendah dirinya, harap toako jangan kuatir!" Bau ji memandang sekejap
ke arah Sun Tiong lo, kemudian
dengan nada yang bermaksud dalam pesannya. "Jite, jangan lupa, kita
masih ada dendam sakit hati sedalam
lautan yang belum dibalas!" "Dendam berdarah ayah dan ibu mana
berani siaute lupakan."
jawab Sun Tiong lo dengan serius.
"Kalau memang begitu bagus sekali, entah dikemudian hari jite akan
berdiam disini secara terang terangan atau secara menggelap,
pokoknya kau musti berhati-hati, jangan sampai aku merisaukan
keselamatan jiwamu!"
"Baik, siaute pasti berusaha untuk menghadapinya dengan waspada dan
hati-hati." tiba-tiba Bau ji menghela napas, "Ada suatu pertanyaan,
sudah lama sekali ingin kutanyakan kepada jite." katanya.
"Katakanlah saja toako!" "Apakah jite percaya bahwa manusia
berkerudung yang
kuceritakan kemarin benar benar telah mempergunakan tenaga
pukulannya yang maha sakti untuk memaksa pedang ibuku menusuk
tubuh ayah?"
"Siaute mempercayainya penuh!" jawab Sun-Tiong lo tanpa berpikir
panjang lagi.
"Apakah disebabkan aku berkata demikian?" tanya Bauji sambil
menatap saudaranya tajam.
Dengan cepat Sun Tiong lo menggeleng "Bukan, bukan cuma karena
perkataan dari toako saja", "Jadi karena masih ada alasan lainnya?"
"Toako, masih ingatkah kau sewaktu siaute jatuh pingsan diluar
jendela ruangan waktu itu?" Bau ji menghela napas dan mengangguk
"Yaa, selama hibup aku tak akan melupakan-nya!" "Walaupun siaute
jatuh tak sadarkan diri, meski mata tak bisa
melek dan tubuh tak bisa bergerak, tapi hatiku mengerti dan telingaku
bisa mendengar, sekarang tentunya sudah paham bukan."
Bau ji segera manggut-manggut. "Kalau begitu akupun merasa
lega!" setelah berhenti sebentar,
kembali ujarnya.
"Cuma akupun meluluskan jite, cepat atau lambat aku pasti akan
menangkap manusia berkerudung itu, kemudian menyuruhnya
menceritakan sendiri akan semua kejadian tersebut kepadamu?"
"Toako, tidak perlu berbuat demikian!" kata Sun Tiong lo sambil
menggenggam tangan Bauji erat-erat.
"Perlu! aku hendak menyuruh dia berlutut didepan kuburan ayah dan
toanio, kemudian baru dia menceritakan semua kejadian tersebut agar
arwah yang telah tiada itu bisa beristirahat dengan tenang di alam
baka."
"Terima kasih toako!" bisik Sun Tiong lo sambil menunduk.
Mendengar perkataan itu, Hau ji malah menjadi tertegun,
serunya: "Kita adalah saudara seayah, mengapa kau musti berterima
kasih
kepadaku?" Mendadak Sun Tiong lo mendongakkan kepalanya, dengan
air
mata membasahi matanya dia menyahut: "Siaute berterima kasih atas
panggilan toako terhadap ibuku." "0ooh..... kiranya begitu" Bauji lantas
tertunduk, "sudah
sepantasnya kalau aku berbuat demikian" Setelah berhenti sebentar
dengan agak murung dia berkata lagi: "Aku merasa agak heran,
persoalan antara ayah dengan ibuku
dulu sesungguhnya..." "Toako, bagaimana kalau untuk sementara
waktu kita jangan
membicarakan dulu persoalan tersebut ?" tukas Sun Tiong lo Bauji
menghela napas panjang. "Aaaaaai, aku tahu bagaimanakah perasaan
jite, cuma ada
sepatah kata harus kuutarakan juga, masih ingatkar jite, berapa usia
kita sewaktu berjumpa untuk pertama kalinya dulu ?"
"Tentu saja aku masih ingat, toako tujuh tahun dan siaute lima tahun."
"Jite, percayakah kau dengan kesimpulan yang diambil oleh seorang
bocah berusia tujuh tahun ?"
Sun Tiong lo menjadi tertegun. "Hal ini tergantung pada persoalan
apakah itu" katanya. "Masalah yang menyangkut ibunya !"
"Seharusnya bisa dipercaya" kata Sun Tiong lo dengan serius,
"sebab dalam perasaan seorang anak, orang tua adalah paling agung."
Bau ji memandang sekejap kearah Sun Tiong lo, kemudian katanya:
"Kalau memang jite berkata demikian, akupun tak akan banyak bicara."
Sun Tiong-lo tidak berbicara apa-apa, karena itu terpaksa Bau ji juga
termenung.
Kebetulan sekali bunyi keliningan telah menggema, pintu ruangan
terbuka kembali dan anak tangga pun muncul secara otomatis.
"Toako, kita harus pergi dari sini!" kata Sun Tioaglo kemudian
memecahkan keheningan.
Diluar loteng, congkoan Chin Hui-hou dengan wajah dingin telah
menunggu.
Bauji sama sekali tidak mengubrisnya, sedangkan Sun Tiong Lo segera
menegur:
"Congkoan, ada urusan apa kau berdiri menanti disini?" "Lohu
mendapat perintah dari nona untuk menemani kalian
berdua berkunjung ke seluruh tanah perbukitan kami!" jawab Chin Hui
hau dengan ketus.
"Oooh kemana si nona itu?"
Dengan mendongkol dan gemas Chin Hui-hou segera menjawab.
"Nona adalah seorang terhormat, bukan khusus petunjuk jalan
untuk kalian!" "0oh... kalau begitu Congkoan adalah seorang petugas
yang
khusus menghantar tamu mengelilingi bukit?" Chin Huihau menjadi
terbungkam, sekalipun ia merasa gusar
sekali juga tak mampu berbuat apa-apa. Dengan cepat Sun Tiong lo
berkata lagi, "kalau memang begitu,
harap congkoan datang lagi setengah jam kemudian di loteng
impian-aku dan Sun heng sudah amat lelah sekali sehabis melihat
miniatur tersebut!"
Chin Hui hou segera mendengus, "Maaf seribu kali maaf, Lohu cuma
punya waktu sekarang saja, selewatnya setengah jam, aku masih ada
urusan dinas lain yang harus di selesaikan aku tak bisa menunggu
terlalu lama lagi"
Sun Tiong lo juga mendengus. "Hmm...! congkoan anggap dalam
setengah jam kita bisa
mengelilingi seluruh tanah perbukitan ini ?" Chin Hui hou segera
gelengkan kepalanya sambil tertawa licik,
jawabnya: "Bila ingin menjelajahi seluruh tempat, sepuluh hari baru bisa
diselesaikan !" Sun Tiong lo juga tertawa licik, katnya cepat: "Kalau
begitu, congkoan bersedia untuk menemani kami selama
setengah jam saja?" "Lohu tidak pernah berkata demikian !"
"Tegasnya saja berapa lama congkoan bisa menemani kami ?!"
"Selama kami masih menjadi tamu agung kami, berapa lama kalian
suruh lohu menemani, lohu akan menemani berapa lama pula !"
Sun Tiong lo segera tertawa. "Nah, itulah dia, bagaimanapun juga
dalam setengah jam toh tak
akan terselesaikan. .?" Rupanya Chin Hui-hou sudah memahami ucapan
dari Sun Tiong
lo tersebut, maka dengan cepat dia menyambung: "Bukan begitu
maksudku, bila kalian tak mau pergi sekarang juga, terpaksa lohu akan
pergi menyelesaikan persoalan lainnya, pokoknya kalau kalian tak mau
pergi sekarang, lohu tak punya waktu lagi."
"Yaaa... . yaaaa,. .. orang bilang kalau sudah menjadi budak orang
memang musti bekerja sungguh-sungguh, congkoan memang rajin
sekali," sindir Sun Tiong lo sekali lagi.
Chin Hui-hou tertawa seram : "Heeeeh... heeehhh... . kau tak usah
menyindir, rajin atau tidak adalah urusanku sendiri, kau tak usah turut
campur !"
Sun Tiong lo balas tertawa dingin: "Congkoan juga jangan lupa,
menemani tamu agung berjaIanjalan
juga merupakan salah satu tugasmu !" Belum sempat Chin Hui
hou mengucapkan sesuatu, Sun Tionglo
telah berkata lebih jauh. "Pokoknya aku sudah mengambil keputusan
begini, sampai
waktunya nanti kunantikan lagi kedatangan Congkoan." Selesai
berkata, dia lantas berpaling kearah Pau ji sambil serunya
lantang. "Sun heng, bagaimana kalau kita kembali dulu ke loteng
impian
untuk beristirahat ?" "Bagus sekali" seru Bau ji sambil mengangguk,
"silahkan saudara
Sun-heng."
Dua bersaudara itu sambil saling menjura segera berlalu dari situ tanpa
menggubris diri Chin Hui hau lagi.
Menyaksikan kesemuanya itu, Chin Hui hou benar-benar merasa
mendongkolnya bukan kepalang, sambil menggertak gigi menahan
emosi, sumpahnya kepada bayangan punggung Sun Tiong lo yang telan
pergi menjauh itu.
"Anjing keparat, nantikan saja nanti, kalau aku tidak mencingcang
tubuhmu menjadi berkeping-keping."
Belum habis perkataan itu, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar
suara si nona sedang menegur dengan suara sedingin es:
"Chin congkoan, begitu bencikah kau terhadapnya?" Chin Hui hou
merasa terperanjat sekali setelah mendengar
perkataan itu, buru-buru dia membalikkan badannya dan menjura
dengan penuh rasa hormat, katanya:
"Nona harap maklumi makhluk keparat itu benar-benar menggemaskan
sekali!"
"Ooh.... sampai dimanakah menggemaskan nya-itu?" tanya si nona
sambil tertawa dingin.
Walaupun Chin Hui hou dapat mendengar bahwa ucapan dari si nona
itu mengandung nada yang tak enak, tapi ia tak punya akal lain untuk
menghindari keadaan tersebut, terpaksa sambil menggigit bibirnya
kencang kencang katanya:
"Bila nona dapat mendengar apa yang dia katakan kepada hamba, kau
pasti akan memahaminya!"
Nona itu segera mendengus dingin. "Hmm! Kau anggap aku tak
mendengarnya!" "Kalau memang nona sudah mendengar dengan
jelas, tentunya
kau tak akan menyalahkan hamba jika sampai memakinya sebagai
anjing cilik !" bantah Chin Hui hou makin berani.
"Chin congkoan !" seru Nona itu dengan wajah dingin "Ucapan yang
manakah kau anggap tak sedap di dengar?"
-ooo0dw0ooo-
Jilid 6 "MlSALKAN saja dia sengaja menyusahkan hamba dengan
menyuruh hamba balik kembali setengah jam kemudian. . ." "Dia adalah
tamu agung" tukas si nona dengan suara dalam,
"sancu juga sudah mengeluarkan peraturan, dia sama sekali tidak
bersalah !"
Buru-buru Chin Hui-hou berkata lagi: "Dia memakiku sebagai budak
orang yang bekerja rajin, bukankah kata kata ini merupakan suatu
penghinaan terhadap diri hamba, bagaimana pula dengan hal ini ?"
"Mengapa tidak kau anggap ucapan tersebut sebagai angin yang
berlalu ? Apakah harus dipersoalkan terus?" jawab sinona dingin.
Chin hui-hou menjadi berdiri bodoh, untuk beberapa saat lamanya dia
tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Kembali nona itu mendengus dingin dan berkata: "Aku tahu, kau
membencinya, karena kau disuruh melayaninya
minum arak, maka kau menyimpannya persoalan ini dihati, kau
mendendamnya dan ingin membalas idendam itu padanya, Hmmm! Chin
hui-hou, aku peringatkan padamu, kau jangan mencoba melanggar akan
peraturan lagi!"
Hampir meledak dacia Cnin hui ho karena dongkolnya, tapi dia berusaha
keras untuk mengendalikan perasaannya dengan sikap rasa hormat
katanya:
"Baik, hamba akan mengingatnya selalu!"
Sepatah demi sepatah nona itu berseru.
"Setengah jam kemudian, pergilah keloteng impian dan menantikan
perintah dari tamu agung!"
Kali ini seluruh badan Chin Hui-hou seperti mau meledak, biji matanya
hampir saja melotot keluar, tapi sebisanya dia simpan semua perasaan
tersebut didalam hatinya.
Dengan tertawa yang dipaksakan katanya kemudian dengan suara amat
lirih: "Baik, baik-hamba akan turut perintah !"
Nona itu menatapnya sekejap, kemudian berkata: "Sekali lagi
kuberitahukan kepadamu, sebelum pergi meninggalkan bukit ini, Sancu
telah berbincang-bincang dengan Sun kongcu, dia berpesan agar Sun
kongcu menunggu sampai dia pulang gunung, mengertikah kau..."
Mendengar perkataan itu, Chin Hui-hou baru merasa amat terperanjat
serunya tertahan: "Nona, sungguhkah telah terjadi peristiwa ini ?"
"Kau bilang apa...?!" bentak si nona de ngan mata melotot dan penuh
kegusaran.
Buru-buru Chin hui hou membungkukkan badannya meminta maaf,
katanya dengan cepat:
"Berhubung kejadian ini diluar dugaan, hamba telah salah tingkah,
hamba harap nona sudi memaafkan dosaku!"
Nona itu mendengus dingin. "Hmm ! Kau juga tahu bagaimana watak
Sancu, juga tahu
bagaimana jalan pemikirannya, siapa tahu Sun kongcu akan
mendapatkan pandangan istimewa dari Sancu? jika sampai begitu..."
"Baik baik... hamba mengucapkan banyak atas petunjuk dari nona"
"Tak usah banyak bicara lagi", seru si nona sambil tertawa dingin,
"Lebih berhati hatilah sikapmu mulai sekarang."
Setelah berkata, nona itu membalikkan badan dan kembali kekamarnya.
-ooo0dw0ooo- "CHIN CONG KOAN apakah semuanya itu hanya
pohon siong saja
disitu?" terdengar Sun Tiong lo bertanya sambil menunjuk ke sebuah
hutan disebelah kanannya.
Sekarang, mau tak mau Chin Hui hou harus bermanis muka, sahutnya
sambil berkata:
"Betul, semuanya pohon siong !" Sun Tiong lo segera berkerut
kening, kemudian katanya lagi:
"Chin congkoan, mungkinkah lantaran pengaruh dari tanah, maka..."
"Kongcu memang pintar, tempat itu memang kurang begitu gampang
untuk ditumbuhi!"
"Dibelakang hutan itu mungkin terletak rawa-rawa bukan ?" "Benar,
setelah melewati daerah rawa rawa dan membelok pada
suatu tebing yang terjal orang akan sampai dimulut bukit sebelah
belakang sana ?"
"Apakah dari sini ada jalan yang tembus dengan rawa-rawa tersebut...?"
tanya Bau ji sambil menuding hutan pohon siong yang gundul itu.
Chin Hui hou segera menggeleng. "Tiada jalan lain, jika ada orang
ingin melarikan diri melalui jalan
ini maka dia harus menyeberangi rawa-rawa tersebut, teringat pada
lima tahun berselang, ada juga dua orang yang kabur lewat sana, tapi
kemudian..."
Berbicara sampai disitu, mendadak ia berhenti berbicara dan tidak
melanjutkan kembali kata-katanya.
"Bagaimana kemudian ?" tanya Bau ji tanpa terasa. Chin Hui hou
segera tertawa terkekeh-kekeh. "Dua orang sahabat itu tak perlu
merepotkan lohu lagi,
heeeeehh... heeeehh..." "Oooooh, maksud congkoan, mereka tewas
dirawa-rawa tersebut
?" tanya Sun Tiong lo. Dengan gaya kucing menangisi tikus, Chin Hui
hou menghela
napas panjang, kemudian katanya: "Siapa bilang tidak ? Hutan pohon
yang gundul itu sangat beracun, rawa-rawa itu lebih beracun lagi,
kecuali kalau orang itu adalah dewa yang bisa berjalan sejauh beberapa
li tanpa menginjak tanah."
Orang ini benar-benar licik dan keji, ternyata ia berhenti sampai
ditengah jalan dan tidak melanjutkan kembali kata-katanya.
Dengan cepat Sun Tiong lo mengalihkan pembicaraannya kesoal lain,
katanya: "Tampaknya jalan ini hanya sebuah jalan mati ?"
Chin Hui hou yang licik ternyata tidak menjawab, malahan dia menutup
mulutnya rapat-rapat.
Dengan kening berkerut Bau ji berkata: "Lebih baik kita balik saja, coba
kita lihat sebelah kanan dari belakang bukit tersebut !" .
"Tidak, lebih baik kongcu sekalian melihat-lihat dulu jalan tembusan
disekitar sini !" kali ini Chin Hui hou otomatis membuka suaranya
memberi saran.
Sun Tiong lo segera tertawa. "Pentingkah itu bagi kami ?" katanya, Chin
Hui hou juga tertawa.
"Pokoknya lohu tak akan menyuruh kongcu melakukan perjalanan
dengan sia-sia !"
"Haaahh... haaaahh... kalau begitu bagus sekali, harap congkoan suka
menemani kami !"
Maka Chin Hui hon berjalan didepan, Bau ji ditengah dan Sun Tiong lo
dibelakang segera berjalan mendekati jalan keluar bukit tersebut.
Setelah berbelok-belok, mulut bukitpun berada didepan mata. Sebuah
jeram yang sangat dalam menghadang jalan pergi mereka, jeram itu
delapan sembilan belas kaki lebarnya, sekalipun seorang jago kelas satu
dari dunia persilatan juga jangan harap bisa melewati jeram ini dengan
ilmu meringankan tubuhnya.
Dari tepi jeram tersebut sampai dimulut bukit jaraknya tinggal setengah
lie, dan lagi merupakan sebuah jalan lurus.
Sambil menuding jalan lurus tersebut, Sun Tiong lo lantas bertanya:
"Chin congkoan, dibalik jalan lurus tidak adakah terdapat
jebakan-jebakan yang berbahaya?"
Chin Hui hou segera tertawa terkekeh-kekeh. "Menurut dugaan
kongcu?" ia balik bertanya. Sun Tiong lo segera menggelengkan
kepalanya berulang kali. "Masalah ini bukanlah masalah yang boleh
ditebak secara
sembarangan !" katanya. Sekali lagi Chin Hui-hou tertawa
terkekeh-kekeh. "Bila lohu mengatakan tak ada, kongcu tentu tak
percaya,
padahal ada atau tidak lohu sendiripun tak tahu, sebab selama belasan
tahun belakangan ini..."
"Belum pernah ada orang yang berhasil kabur melewati jeram
berbahaya ini bukan ?" sambung Sun Tiong lo.
Chin Hui hou segera terkekeh dengan seramnya. "Heeeeehh,heeeeehhhh,
kongcu memang sangat pintar, tak heran Sancu bisa memandang serius
kepadamu ?"
Sun Tionglo tertawa.
"San cu berjanji denganku untuk berbincang-bingcang lima hari
kemudian, apakah congkan tahu akan soal ini ?"
Chin Hui hou segera tertawa dingin. "Jangan lupa kongcu, lohu adalah
congkoan dari tanah
perbukitan ini." serunya. "Benar benar, lagi pula merupakan seorang
Congkoan yang
paling berkuasa !" sambung Sun Tiong lo Chin Hui hou tidak menjawab
ucapan tersebut, sebaliknya sambil
menunjuk ke arah jeram dihadapannya, dia berkata: "Kongcu, mengapa
tidak kau tanyakan bagai mana caranya
menyeberangi jeram ini ?" Sun Tionglo gelengkan kepalanya berulang
kali, sahutnya: "Aku toh tak lebih cuma seorang manusia lemah yang
membunuh ayampun tak mampu, apa gunanya menanyakan soal itu?"
Chin Hui hou mengerling sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian
sambil berpaling ke arah Bauji, katanya:
"Kau pernah menyerbu masuk ke dalam bukit ini dengan kekerasan, aku
pikir kepandaian silat yang kau miliki tentu luar biasa sekali, tolong tanya
sanggupkah kau melompati jeram ini dengan sekali lompatan mencapai
jarak sejauh delapan sembilan belas kaki ?"
Bau ji mengerling sekejap kearahnya dan sama sekali tidak
mengucapkan separah katapun.
"Tolong tanya apakah congkoan mampu ?" Sun Tiong lo segera balik
bertanya.
Chin Hou menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya: "Bila
lohu bisa memiliki ilmu meringankan tubuh selihay itu, wah,
hal ini tentu saja lebih baik lagi."
Sun Tiong lo segera tertawa, katanya kembali: "Congkoan, konon
yang memangku tugas pemburu terhadap
tawanan adalah congkoan . ." "Benar, lohu dan Kim Poo Cu yang tugas
dalam pekerjaan ini !"
tukas Chin Hui lo hou. "Tak ada yang lain?" "Kongcu, apakah kau lupa
dengan apa yang pernah lohu katakan
kepadamu?" "Oooh, maaf ! Akulah yang teledor !" setelah berhenti
sejenak
lanjutnya: "Kalau memang orang yang bertugas mengejar tawanan
hanya
congkoan dan sobat Kim, sedang congkoan mengaku tak akan sanggup
menyeberangi jeram ini, maka tentunya sobat Kim lah yang memiliki
kemampuan untuk melakukan hal itu."
Chin Hui hou segera tertawa terbahak-bahak. "Haaahhh.. ,, - haaahhh ..
. . ,haaahhh lagi-lagi kongcu keliru besar." katanya, "Meskipun Kim Poo
cu memiliki sejenis tenaga dalam yang amat sakti, tapi kalau suruh dia
melompati jeram ini, mungkin sekalipun dibunuh tak akan mampu."
"Aaah,...! Kalau memang begitu, aku menjadi benar-benar tak habis
mengerti !"
"Apakah yang tidak kau pahami ?" "Andaikata orang yang melarikan
diri itu berhasil melewati jeram
tersebut, bukankah kalian berdua cuma bisa memandang dia melarikan
diri tanpa sanggup berbuat apa-apa."
"Benar" Chin Hui hou mengangguk, "cuma sayang selama banyak
tahun, belum pernah kujumpai kasus semacam ini!"
Sun Tiong lo segera gelengkan kepalanya berulang kali, katanya,
"Tak bisa melewati jeram tersebut adalan urusan lain, jika aku
adalah sancu tempat ini..."
Dia sengaja menghentikan ucapannya itu dan tidak dilanjutkan kembali.
Chin Hui hou juga tidak bertanya, seakan-akan dia sudah mempunyai
sesuatu yang bisa diandalkan.
Pada saat itulah, tiba tiba Bau ji berkata. "Tidak ada yang bisa dilihat
lagi, lebih baik kita pulang untuk
beristirahat saja." Tampaknyo Chin Hui hou seperti mengandung
maksud lain,
dengan cepat katanya. "Bila kau bersedia mendengarkan anjuranku, lebih
baik
perhatikan lagi keadaan medan di sekeliling tempat ini, sebab kau tidak
semujur Sun kong cu ini, kau hanya mempunyai batas waktu selama
tiga hari saja."
"Kalau tiga hari lantas kenapa" jengek Bau ji dingin. Chin Hui hou
segera tertawa, katanya. "Hari ini sudah berlalu sehari..." Sesudah
berhenti sebentar, kembali dia bergumam. "Waktu sedetik lebih
berarti daripada emas setahil, emas setahil
belum tentu bisa membeli waktu sedetik !" Bau ji segera mendengus
dingin. Hemm. kata kata tersebut memang sebuah kata yang indah,
sayang sekali muncul dari mulut seorang manusia semacam kau.
sayang sayang!"
Chin Hui hou segera tertawa, serunya. "Kata-kata yang indah adalah
tetap kata yang indah, perduli
amat ucapan tersebut muncul dari mulut siapa?" Pada saat itulah
mendadak Sun Tiong lo ju ga menghela nafas
panjang sambil menggumam.
"Aaai sayang, sayang...!"
Chin Hui hou jadi tertegun, lalu tanyanya. "Apa yang kongcu
sayangkan?"
"Sayang aku cuma seorang sastrawan yang lemah dan tidak mengerti
akan ilmu silat !"
Chin Hui hou segera melototkan matanya benar-benar, serunya
kemudian dengan nyaring.
"Bila kongcu mengerti akan ilmu silat, lantas apa yang kau lakukan?"
"Silahkan congkoan memperhatikan keadaan disekeliiing tempat ini..!"
ujar Sun Tiong lo sambil menuding kedaerah sekeliling tempat itu.
Dengan mata tajam Chin Hui hou segera memperhatikan sekejap
sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya lagi:
"Buat apa melihat kesemuanya lagi." "Apakah congkoan melihat
adanya seseorang ?" Chin Hui hou segera tertawa: "Disini sama
sekali tak ada orang lain, tentu saja tak seorang
manusiapun yang kelihatan!" Sun Tiong lo segera mengangguk. "Nah,
itulah dia ! Saat ini kecuali aku dan Sunheng serta
Congkoan, disini sama sekali tak ada orang keempat, seandainya aku
mengerti ilmu silat, bukankah saat ini merupakan suatu kesempatan
yang paling baik buat kami ?"
Chin Hui hou menjadi tertegun dan berdiri dengan perasaan tidak habis
mengerti.
Sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, Sun Tiong lo telah berkata
lebih jauh: "Waktu itu, aku dan Sun-heng bisa bekerja sama untuk
membunuh congkoan, kamipun tak usah kuatir perbuatan ini sampai
ketahuan orang lain, kemudian dengan mempergunakan rotan yang
dibuat tali menyeberangi jeram ini, bukankah dengan begitu kami akan
segera dapat meloloskan diri dari bukit ini ?"
Bau ji tidak memahami tujuan dari ucapan Sun Tiong lo tersebut,
dengan cepat dia menyambung: "Benar, Sunheng, mengapa kita tidak
mencobanya ?!"
Paras muka Chin Hui hou segera berubah hebat, mendadak dia
melompat mundur sejauh beberapa kaki dari situ.
Sun Tiong lo tertawa getir, sambil gelengkan kepalanya dan
mengangkat bahu dia berkata lagi kepada Bauji.
"Sun-heng, jangan lupa aku tak hanya seorang sastrawan lemah yang
sama sekali tak berguna."
Bau ji segera berkerut kening, sedangkan paras muka Chin Hui hou
juga pelan-pelan pulih kembali menjadi tenang.
Sesaat kemudian Sun Tiong lo berpaling ke-arah Chin Hui hou dan
menegur sambil tertawa.
"Congkoan, apakah barusan kau merasa takut?" Sesungguhnya
sampai detik itu jantung Chin-Hui hou masih
berdebar keras, tapi diluaran jawabannya dengan ketus: "Omong
kosong, sekalipun- kongcu mengerti ilmu siiat, lohu juga
tak bakal menjadi jeri!" "Oooh, sungguhkah itu?" "Tentu saja sungguh!"
jawab Chin Hui holt sambil menunjukkan
senyuman paksa. "Bagaimana kalau kita coba?" tentang Sun-Tionglo,
"Sun-heng kesempatan ini tidak boleh disia-siakan, hayo kita
turun tangan!" kata Bau ji. Mendadak Chin hui hou mundur lagi sejauh
delapan depa,
segenap tenaga dalamnya di him pun untuk bersiap siaga menghadapi
segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Sun Tiong lo tidak menjawab, diapun cuma tertawa getir belaka seperti
sedia kala.
Senyum getir itu segera melegakan debaran jantungnya Chin hui hou
yang sudah menegang selama ini, dia pura-pura berlagak tertawa lebar,
kemudian katanya:
"Kong cu memang tak malu menjadi seorang anak sekolahan, ternyata
pandai juga kau ini menggertak orang."
Siapa tahu secara tiba-tiba Sun Tiong lo maju dua langkah kemuka, dan
lalu dengan serius katanya, "Chin hui hou, apakah kau menganggap aku
benar benar tak pandai bersilat?"
Sekali lagi Chin Hui hou merasakan jantung nya berdebar keras, tapi
dengan nada menyelidik kembali dia bertanya.
"Kongcu, jangan bergurau terus? Lebih baik kita sudahi gurauan ini
sampai disini saja !"
Sun Tiong-lo segera mendengus dingin, "Hm! Siapa yang sedang
bergurau denganmu?"
Setelah berhenti sejenak pada Bau ji serunya. "Sun heng, cepat
hadang jalan mundurnya !" Bau-ji mengiakan, dengan cepat dia
melompat kemuka aan
menghadang ditengah satu-satunya jalan mundur yang ada disana.
Sekarang, paras muka Chin Hui hou baru berubah hebat, serunya
dengan tergagap. "Kongcu, kau... kau...kau sungguhan ?" "Menurut
kau?" Sun Tiong-lo balik bertanya sambil mengawasi
lawannya itu dengan lekat-lekat. Dengan segala kemampuan yang ada
Chin hui hou berusaha
untuk mengendalikan rasa-kaget dan gugup di dalam hatinya, kemudian
katanya:
"Aku tebak kongcu hanya bermaksud untuk bergurau saja, apa lagi
kongcu memang tidak mengerti ilmu silat, selain dari pada itu sekalipun
pihak kami sangat menuruti kemauan tamu agungnya."
"Darimana kamu bisa tahu kalau aku tidak mengerti ilmu silat?" tukas
Sun Tiong lo.
Chin hui-hou segera tertawa paksa. "Ketika kongcu masuk ke atas
bukit ini bukankah kau
mengatakan tidak mengerti akan ilmu silat."
-ooo0dw0ooo-
BAB DELAPAN
SUN TIONG LO segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah....haaaaahh..... percayakah kau dengan perkataanku ?!"
Chin Hui hou menjadi berdiri bodoh, paras mukanya sekarang
telah berubah menjadi amat tak sedap. Saat itulah Bau ji berseru:
"Luheng, buat apa kita musti banyak
berbicara lagi dengannya ? Hayo turun tangan dan bereskan saja orang
ini !"
Sun Tiong lo kembali menatap Chin Hui hou lekat-lekat, kemudian
tertawa ter-bahak2.
"Haaaahh... haaaah Chin Hui hou, kau tidak menyangka bakal terjadi
perubahan semacam ini bukan ?"
Sementara itu dengan matanya yang liar Chin Hui hou berusaha untuk
memperhatikan sekeliling tempat itu, tampaknya dia sedang berusaha
untuk mencari akal guna melarikan diri dari kepungan tersebut.
Sambil menuding kearah jeram dihadapan nya, Sun Tiong lo berkata,
"Kau hendak ter jun sendiri kedalam jurang itu, ataukah musti
merepotkan diriku yang turun tangan ?"
Setelah berada dalam keadaan begini, Chin Hui hou baru sadar bahwa
dirinya sedang terjebak.
Sambil menggigit bibir, segera serunya dengan suara lantang:
"Dengarkan anjing-anjing cilik, sekalipun kalian menyerangku berdua,
belum tentu aku bakal menderita kalah, sekalipun lohu tidak beruntung
mati di tangan kalian, maka kalian berduapun jangan harap bisa
meninggalkan tempat ini dengan selamat..."
"Chin Hui-hou" kata Sun- Tiong-lo sambil tertawa, "dengan rotan
sebagai tali bukankah kami masih bisa menyeberangi jurang ini dengan
selamat ?"
Mendengar perkataan itu, Chin Hui hou segera tertawa seram.
"Heeeehh.... heehh.... heeehh....kalian pasti bermimpi disiang
hari bolong, sekalipun bisa menyeberangi jurang ini, jangan harap kau
bisa keluar dari mulut bukit ini dengan selamat asal. Kalian berani
melangkahi tempat itu maka kalian akan mati tanpa tempat kubur,
kalau tidak, silahkan saja dicoba sendiri !"
Pada saat itulah secara tiba-tiba Sun Tiong lo bertepuk tangan sambil
tertawa tergelak, serunya.
"Chin congkoan, kali ini mau tak mau kau mengakui juga secara terus
terang !"
Mendengar perkataan itu, Chin Hui hou menjadi tertegun, lalu serunya
tergagap.
"Kau... kau...jadi kau sedang bergurau..." Sun Ting lo tertawa
terpingkal-pingkal, serunya: "Congkoan, aku tak lebih cuma seorang
sastrawan yang lemah
tak berkepandaian apa-apa, kalau bukan cuma bergurau saja, kenapa
pula aku tidak turun tangan dengan segera? apa pula gunanya kuulur
waktu sekian lama?"
Sekarang Chin Hui hou baru bisa menghembuskan napas lega, katanya
kemudian.
"Hmm, kuanjurkan kepadamu untuk jangan bergurau lagi secara begitu
brutal dikemudian hari!"
Sun Tiong lo segera tertawa. "Gurauan semacam ini masa digunakan
untuk kedua kalinya?"
katanya. Chin Hui hou tak sanggup menjawab apa-apa, maka semua
kemarahannya segera dilampiaskan kepada Bauji, katanya: "Aku lihat
kau tentunya ingin turun tangan secara bersungguhsungguh
bukan?" Bau-ji masih belum tahu permainan busuk apakah
yang sedang
dipersiapkan Chin Hui hou, maka dia tidak menjawab pertanyaan
congkoan tersebut, sebaliknya sambil membalikkan badannya purapura
sedang melihat pemandangan alam disekeliling tempat itu.
Agaknya rasa benci Chin Hui hou terhadap Sun Tiong lo sudah merasuk
sampai ke tulang sumsum, tapi berhubung Sun Tiong lo dilindungi oleh
nonanya, lagipula ada perintah rahasia dari Sancu- nya, maka dia
dibuat sama sekali tak berkutik.
Sebaliknya terhadap Bau ji dia tidak menaruh rasa kuatir apa- apa,
apalagi setelah dipermainkan oleh Sun Tiong lo sehingga hampir saja
nyalinja pecah kontan saja semua rasa dendam, benci dan marahnya itu
dilampiaskan ke atas diri Bau ji.
Cuma waktu itupun Bau ji sebagai tamu agung. Buktinya, dia tak
berani melanggar peraturan sancunya secara
terang-terangan, maka biji matanya berputar kian kemari, akhirnya dia
mendapat sebuah siasat licik yang boleh dibilang-amat busuk.
Pelan-pelan dihampirinya Bau ji, katanya: "Sun kongcu, sudah hampir
sehari semalam kita saling
berkenalan tetapi aku belum tahu siapakah nama kongcu, apakah aku
boleh tahu nama kongcu...."
"Aku tidak punya nama!" jawab Bau ji dan sambil membalik badannya,
melotot gusar.
Chin hui hou tertawa terkekeh-kekeh.
"Kongcu, anak yatim piatu yang tidak punya marga memang banyak
didunia ini, tapi kalau tak punya nama rasanya tak pernah ada."
Ucapan ini sangat tidak enak didengarnya tentu saja Bau ji
memahaminya.
Maka dengan geramnya pemuda itu maju kemuka, dan serunya dengan
keras:
"Anjing laknat, rupanya kau mau dihajar?" Sambil berseru, telapak
tangan kanannya segera diayunkan
ketengah udara siap untuk melancarkan serangan. Mendadak Chin Hui
hou melayang mundur sejauh dua tangkah,
kemudian serunya: "Tunggu sebentar, apakah kongcu benar-benar ingin
turun
tangan?" "Benar," sahut Bau ji marah. Chin Hui hou segera
membusungkan dadanya, kemudian
berseru. "Lohu tak akan membalas, mau pukul silahkan pukul !" Bauji
menggertak giginya menahan emosi, telapak tangan
kanannya berulang kali hendak diayunkan kebawah, tapi niatnya
tersebut dibatalkan.
Chin Hui hou tertawa seram, serunya: "Dewasa ini kongcu masih
merupakan tamu agung dari Sancu
kami, maka sekalipun lohu memiliki kepandaian silat yang sanggup
mencabut nyawa kongcu juga percuma saja, sebab semua kepandaian
itu tak sanggup kugunakan."
Bau-ji tak kuasa menahan diri lagi, dia segera menukas. "Manusia
laknat, kalau ingin turun tangan boleh saja kau turun
tangan, bila sancu menegur nanti, aku boleh memberi kesaksian kalau
pertarungan ini terselenggarakan atas dasar sama-sama setujunya !"
Chin Hui hou segera mencibirkan bibirnya. "ltu kan kata kongcu,
tanpa saksi..." "Kita boleh meminta Sunkongcu untuk menjadi saksi
kita." sela
Bau ji lagi sambil menuding ke arah Sun Tiong lo. Diam-diam Chin Hui
hou merasa sangat gembira, tapi diluaran
dia berlagak keberatan, katanya sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali:
"Meskipun boleh saja suruh Sun kongcu menjadi saksi, tapi lohu tak
bisa mengajukan permohonan ini kepada kongcu tersebut !"
Bau-ji yang berangasan segera menukas. "Kau tak usah memohon
langsung kepadanya," sesudah berhenti
sebentar, dia berpaling ke arah Sun Tiong lo, kemudian ujarnya: "Sun
heng, apakah kau bersedia membantuku?" Ternyata jawaban dari Su
long lo juga tepat sekali. "Boleh saja bila inginkan bantuanku, tapi
sebagai seorang saksi
harus bertindak adil, cuma bila cuma kongcu seorang yang minta
bantuan menjadi saksi, rasanya hal ini menjadi timpang dan kurang
menunjukkan suatu keadilan."
Dengan cepat Chin Hui hou berseru: "Seandainya kongcu bersedia,
lohupun ingin memohon bantuan
dari kongcu!" Sun Tionglo memandang sekejap ke arah Bau ji,
kemudian
memandang pula kearah Chin-Hui hou, setelah itu katanya: "Jadi kalian
berdua sama sama memohon kepadaku untuk
bertindak sebagai saksi dalam hal ini?" Chin Hui hou maupun Bau ji
segera bersama sama mengiakan
Sun Tionglo tertawa, katanya kemudian: "Atas kepercayaan kalian
berdua kepadaku, baiklah, akan
kuturuti kehendak kalian itu!"
Untuk kesekian kalinya Chin Hui hou merasa girang sekali. Bau-ji
segera berkata kepada Chin Hui hou: "Orang she Chin, sekarang kita
boleh mulai turun tangan!" "Tunggu sebentar!" kata Chin Hui hou
sambil menggeleng,
"Sebelum pertarungan dimulai, lohu hendak mengucapkan beberapa
patah kata lebih dahulu."
"Hmm ! darimana datangnya begitu banyak kata-kata busukmu."
dengus Bauji.
Chin Hui hou tertawa seram. "Sekarang, walaupun sudah ada saksi
mata tetapi bagaimanapun
juga kongcu adalah tamu agung kami, selain daripada itu, pertarungan
inipun merupakan urusan pribadi, sedang waktu kongcu kabur nanti baru
urusan dinas."
"Oleh karena itu urusan pribadi tak boleh sampai mengganggu urusan
dinas, maka didalam pertarungan pribadi kali ini, masing masing tak
boleh menggunakan senjata tajam dan senjata rahasia, tapi cuma boleh
menggunakan kepalan dan kaki."
"Dengan kepalan dan kaki, itu lebih bagus lagi," seru Bau ji sambil
tertawa dingin.
Sesudah berhenti sebentar, dengan suara dingin tanyanya lagi: "Kau
masih ada perkataan lain lagi yang hendak disampaikan?" "Masih
ada satu persoalan lagi, yakni bagaimana caranya untuk
menentukan siapa menang siapa kalah?" Baru saja Bau ji akan
menjawab, Sun Tionglo telah mendahului
sambil berkata: "Chin congkoan bisa berkata begitu, tentunya kau
sudah punya
rencana bagus, mengapa tidak diutarakan?" Chin Hui hou memandang
sekejap ke arah Sun Tionglo, setelah
itu baru ujarnya:
"Lohu tidak mempunyai rencana apa-apa, cuma dalam pertarungan yang
akan berlangsung kali ini, ada baiknya jika kita batasi sampai saling
menutul saja, sebab bagaimana pun juga Sun kongcu tetap merupakan
tamu agung kami."
Sun Tiung lo berpikir sebentar, lalu berkata: "Bolehkah aku mengajukan
satu usul ?"
"Tentu saja boleh !" jawab Chin Hui hou sambil tertawa. "Lebih baik
kita membuat lingkaran seluas satu kaki ditanah yang
masing-masing berselisih jarak, kemudian kalian boleh bertarung di
dalam lingkaran tersebut, selain dilarang melukai lawannya, barang
siapa yang dipaksa keluar dari lingkaran dialah yang kalah, yang
melukai orang juga dianggap kalah !"
Chin Hui hou melirik sekejap kearah Bau ji, lalu katanya "Kongcu,
apakah kau setuju dengan usul tersebut ?"
Bau ji berkerut kening, baru saja akan menjawab, tiba-tiba dari sisi
telinganya terdengar suara dari Sun Tiong lo sedang berkumandang.
"Toako, cepat kau luluskan persyaratan tersebut !" "Baik, aku tidak
menolak !" Bauji segera mengiakan dengan
suara lantang. Kembali Chin Hui hou tertawa. "Kalau memang begitu,
terpaksa lohu juga harus menyetujuinya
juga...." katanya. "Kalian berdua harus ingat, dilarang melukai orang, .
. " seru Sun
Tiong lo lagi dengan wajah serius. "Melukai orang atau tidak, kita
menentukan dengan cara apa..."
tanya Chin Hui hou. "Pokoknya apabila panca indra dan tubuh bagian
luar dimanapun
jika tampak luka atau-merah membengkak maka hal ini akan
dianggap sebagai terluka, dan orang tersebut harus dianggap kalah."
Mendengar perkataan itu, diam-diam Chin-hui hou merasa girang
sekali, tetapi dasar tua keladi makin tua makin jadi, kelicikan orang ini
benar-benar luar biasa.
Kembali dia bertanya dengan lantang: "Andaikata sepasang lengan
yang membengkak atau menjadi
hijau membiru, apakah ini pun musti dianggap bagai terluka!" Sun Tiong
lo segera menggeleng. "Aku toh sudah menerangkan tadi, jikalau cuma
tangan yang
membengkak menghijau, tentu saja tidak bisa dianggap sebagai
terluka!"
Chin hui hou menjadi girang, dan serunya: "Kalau begitu, bagus
sekali!" Seraya berkata ia lantas mengambil sebiji batu tajam dan
segera
membuat lingkaran. Lingkaran tersebut luasnya mencapai satu kaki lima
jengkal,
berarti lebih lebar dari pada apa yang ditentukan semula. Sambil
tertawa Sun tiong Io lantas berkata. "Waaah... tampaknya congkoan
bernapsu sekali untuk bertarung,
sampai-sampai menunggu sebentar iagipun tak sabar." "Aaaah... siapa
bilang begitu?" sangkal Chin hui-hou cepat-cepat
dengan lantangnya. "Kongcu telah bersedia menjadi saksi, lohu tak
berani
merepotkan kongcu untuk turun tangan membuat lingkaran tersebut,
maka..."
"Maka congkoan pum bersedia untuk membantu?" sambung Sun Tiong
lo kemudian.
Chin hui-hou tertawa.
"Ini mah termasuk tugas, bukannya masalah bantu membantu."
Tiba-tiba Sun Tiong lo menarik muka, kata-nya, "Bukankah sudah
kita janjikan jikalau lingkaran itu cuma satu kaki dua jengkal luasnya,
kenapa kau membuat seluas satu kaki lima jengkal? Dan sebenarnya
apa maksudmu itu!?"
Dengan berlagak seakan-akan tidak habis mengerti, Chin Huihou balas
berseru: "Disini tidak ada alat pengukur, darimana kau bisa tahu kalau
lingkaran ini luasnya satu kaki lima jengkal ?"
Pelan-pelan Sun Tiong lo menggeleng katanya: "Aku sih tidak keberatan
untuk menganggap benar lingkaran yang dibuat itu, cuma
bagaimanapun juga toh congkoan adalah salah seorang yang terlibat
dalam peristiwa itu ? Rasanya tidak pantas bukan bila kau juga yang
membuat lingkaran tersebut ?"
Mendengar perkataan itu, diam-diam Chin Huihou menyumpah didalam
hatinya:
"Anjing kecil, sialan kau ! siapa suruh kau banyak mencampuri urusan
orang?"
Meski begitu, diluar dia tetap bersikap tenang, sahutnya: "Oya,... lohu
telah lupa akan hal ini, maaf, maaf kalau begini aku telah berbuat salah
!"
"Nah begitu baru benar" seru Sun Tiong lo sambil tertawa, "sekarang,
akulah yang akan membuat lingkaran tersebut!"
Seraya berkata, dengan alas sepatunya dia menyeka lingkaran yang
telah dibuat tadi, kemudian dengan mempergunakan batu runcing sekali
lagi membuat sebuah lingkaran.
Kali ini, lingkaran tersebut luasnya cuma satu kaki saja, melihat itu
dengan kening berkerut Cbin Hui hou segera memprotes.
"Kongcu, apakah lingkaran ini tidak terlampau kecil?" "Oooh kalau
begitu berapa besarkah baru bisa dihitung sebagai
besar?"
"Bukankah kongcu tadi sudah bilang, luas lingkaran tersebut harus satu
kaki dua jengkal."
"Congkoan" tukas Sun Tiong lo lagi. "bukankah sudah kau katakan tadi,
disini tak ada alat pengukur, apa yang terlukis kita anggap lukisan itu
benar?"
Chin Hui hou segera terbungkam, tak sepatah katapun yang bisa
diucapkan keluar . .
Lama kemudian dia baru bisa termenung. "Sungguh aneh sekali
kejadian ini, ilmu Han pok ciang yang
kumiliki baru bisa menunjukkan kehebatannya dari jarak satu kaki dua
jengkal kedepan secara kebetulan sekali anjing kecil ini membuat
lingkaran seluas satu kaki ?"
"Jangan-jangan anjing kecil ini tahu akan kepandaian silat serta tenaga
dalam yang kumiliki? Tapi, hal ini mana mungkin ? Aaaaaah... mungkin
kebetulan saja dia berbuat begitu !"
Sementara dia masih merenungkan persoalan itu, Sun Tiong lo juga
manfaatkan kesempatan tersebut untuk berbisik kepada Bau ji:
"Keparat tua ini memiliki kepandaian silat yang sangat liehay, selain itu
juga pernah melatih ilmu Han pok ciang yang liehay, itulah sebabnya
sengaja siaute membuat sebuah lingkaran seluas satu kaki agar
kehebatan ilmu pukulannya itu tak bisa digunakan sebagaimana
mestinya."
"Jika toako bertarung melawannya nanti, hati-hati dengan kuku tajam
diujung kesepuluh jari tangannya, sebab kuku tersebut sangat beracun,
siaute tidak tahu kepandaian apa yang dimiliki toako sekarang, untuk
keamanannya saja, lebih baik kau kerahkan tenaga khikang untuk
melindungi badan."
Bauji melirik sekejap kearah Sun Tinoglo lalu manggut-manggut tanda
mengerti.
Kebetulan sekali Chin Hui hou melihat hal itu, tanpa terasa ujarnya
kepada Sun Tiong lo:
"Kongcu, apa maksudmu yang sebenarnya?" "Apanya yang kau
maksudkan ?" Sun Tiong lo pura pura berlagak
pilon dan tak mengerti. "Barusan aku lihat dia sedang
manggut-manggut kepada diri
Kongcu, apa maksudnya manggut-manggut tersebut ?" Sun Tiong lo
segera tertawa. "Betul, Sun kongcu memang sedang manggut-manggut,
dia
berbuat demikian karena minta ijin kepadaku untuk mulai turun tangan,
apakah salah perbuatannya itu?"
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Chin hui hou berkata:
"Asal kongcu adil...." Belum habis ucapan itu, Sun tianglo sudah
menukas dengan
nada yang tak senang hati: "Chin cong koan, setelah mengucapkan
perkataan itu, kau harus
minta maaf!" Dalam keadaan demikian, terpaksa Chin hui-hou haruslah
mengendalikan hawa amarahnya yang berkobar, katanya kemudian:
"Baik-baik, anggap saja aku salah bicara, harap kongcu sudi
memaafkan!" Sun Tiong lo masih melotot sekejap lagi ke-arahnya
sebelum
katanya kemudian: "Harap kalian berdiri ditengah lingkaran tersebut,
asal kaki masih
menginjak digaris lingkaran ini masih dianggap belum keluar dari
garis.!"
Maka Bauji dan Chin Hui hou segera melangkah masuk ke dalam garis
lingkaran dan mengambil ancang-ancang.
Walaupun garis lingkaran tersebut seluas satu kaki saja, akan tetapi
setelah kedua belah pihak sama sama masuk kecalam lingkaran selisih
jarak diantara mereka masih-ada delapan jengkal
lebih, sehingga siapapun tak akan mampu untuk menjawil badan orang
dengan uluran tangannya.
Dengan cepat kedua orang itu mengerahkan tenaga dalamnya dan
bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. .
Waktu itulah Sun Tionglo telah berkata kembali "Ketika aku bertepuk
tangan nanti, berarti pertarungan bisa
segera dimulai" Kedua orang itu sama-sama mengangguk, dengan
tenang
merekapun bersiap-siap menunggu bunyi tepukan tangan. Sun Tionglo
memandang sekejap kearah Chin Hui-hou, kemudian
memandang pula ke arah Bauji, setelah itu baru serunya dengan
lantang-- "Aku harap kalian berdua ber-siap2!"
Menyusul ucapan tersebut, tangannya segera bertepuk satu kali
sebagai pertanda dimulai nya pertarungan.
Anehnya, meski tanda dimulainya pertarungan telah dibunyikan, namun
dua orang yang saling berhadapan muka dalam lingkaran garis masih
belum bergerak sedikitpun juga.
Menyaksikan hal itu, diam-diam Sun Tiong Io manggut-manggut, tapi
iapun merasa amat terkejut.
Dia manggut-manggut karena kedua belah pihak sama-sama
berpengalaman dan cukup mampu mengendalikan diri, diapun mengerti,
disaat masing-masing pihak tidak mengetahui dalam tidaknya tenaga
lwekang yang dimiliki lawan, memang lebih baik bertahan daripada
melancarkan serangan secara membabi buta.
Yang membuat hatinya terkejut adalah, meski ia sudah berkumpul
hampir sehari semalam dengan Bau ji, tapi berhubung banyak persoalan
yang dibicarakan sampai-sampai dia tak sempat membicarakan tentang
hal kepandain silat.
Oleh karen itu dia tidak tahu sampai dimanakah taraf kepandaian silat
serta tenaga dalam yang dimiliki Bau ji, apalagi setelah dia
mengetahui asal usul Chin Hui hou yang sebenarnya, mau tak mau dia
menjadi kuatir juga bagi keselamatan kakaknya.
Dalam pada itu, dua orang manusia yang berada dibalik garis lingkaran
sudah mulai bergerak maju ke depan.
Cuma kedua belah pihak sama-sama melakukan tindakan tersebut
dengan amat berhati-hati, oleh sebab ini merekapun hanya bergeser
dengan mengitari garis lingkaran tersebut.
Dengan seksama Sun Tiong lo mencoba untuk memperhatikan keadaan
didalam arena, tiba-tiba alis matanya bergerak-gerak dan sekulum
seryuman segera menghiasi ujung bibirnya.
Rupanya ia telah menemukan banyak sekali titik kelemahan dibalik posisi
pertahanan dari Chin Hui hou, betul kepandaian silat yang dimilikinya
amat hebat, tenaga dalamnya juga amat sempurna, tapi entah mengapa
titik kelemahan banyak terdapat dalam pertahanannya.
Dia yakin seandainya tenaga dalam yang dimiliki Bauji seimbang
dengan tenaga dalam yang dimilikinya, seharusnya dia bisa melihat
kelemahan-kelemahan tersebut.
Tapi, setelah ditunggunya sekian lama tanpa menyaksikan Bau ji
melancarkan serangan, sekali lagi alis matanya berkenyit, dari situ dia
lantas mengambil kesimpulan bahwa Bauji belum melihat titik
kelemahan yang ada dalam sistim pertahanan dari Chin Hui hou
tersebut.
Tanpa terasa sinar matanya dialihkan kembali kearah Bauju dengan
cepat perasaan hati nya menjadi tenang kembali.
Sekalipun Bau ji tidak berhasil menjumpai titik kelemahan yang ada
dalam sistim pertahanan dari Chin Hui hou, namun sistim pertahanan
Bau-ji sendiripun tidak terpadat titik kelemahan. Menurut
pengamatannya delapan puluh persen si anak muda itu dapat
menangkan pertarungan tersebut.
Rupanya Chin Hui hou telah sertakan tenaga nya sebesar sepuluh
bagian, dalam keadaan begitu Bauji tak berani bertindak gegabah,
dia pun menyongsong datangnya ancaman dengan tenaga yang besar
pula.
Bisa dibayangkan andaikata bisa terjadi benturan kekerasan dalam garis
lingkaran satu kaki, menang kalah mungkin akan segera ditentukan.
Pada detik terakhir sebelum tenaga pukulan kedua belah pihak saling
membentur, mendadak Chin hui-hou membuyarkan serangannya dan
bergeser mundur, kemudian telapak tangannya yang kiri, dari arah kanan
bergerak menuju kesebelah kiri dan membacok bahu kiri serta lengan
Bau ji dengan ganas dan buas.
Perubahan ini selain terjadi amat cepat dan luar biasa, keji dan
berbahaya pula.
Siapa tahu Bau ji sudah mengadakan seksama diwaktu Chin hui hou
bergerak mundur tadi, Bau ji telah berputar kesamping kiri, lalu kaki
kanannya melangkah dengan gaya tujuh bintang, lengan kanannya
digetarkan dan menolak telapak tangan kiri Chin hui-hou.
Dalam keadaan ini, posisi Chi hui hou menjadi separuh bagian
menghadap Bau ji, dengan cepat lengan kanan Bauji mementalkan
tapak tangan kiri lawan, kemudian sikutnya menyodok ke belakang
menumbuk iga kanan musuh.
Chin Hui-hou yang menyaksikan akal liciknya gagal, apalagi setelah
merasakan telapak tangan kirinya kena dipentalkan oleh Bau ji, dengan
cepat dia sadar kalau gelagat tidak menguntungkan, untuk mundur
setengah langkah guna menghindari serangan itu tak sampai lagi, tak
ampun sikut lawan menyodok telak diatas iganya.
Walaupun dibilang ia cukup cekatan untuk mundur ke belakang tapi iga
adalah bagian tubuh yang lemah dan tak boleh kena tersodok, tak
ampun ia berseru tertahan dan mendur ke belakang dengan
sempoyongan tapi masih belum keluar dari lingkaran
Bau ji tentu saja enggan memberi kesempatan kepada lawannya untuk
mengatur napas, tiba-tiba sepasang telapak tangannya
didorong ke depan dengan menggunakan tenaga pukulan sebesar
sembilan bagian.
Belum lagi Chin Hui hou berdiri tegak, tubuhnya sudah terpental ke
belakang oleh pukulan itu.
Dengan cepat badannya melayang keluar dari garis lingkaran, walaupun
ia berniat untuk meronta sayang sudah tak bertenaga Iagi..
"Blaaam,..," tak ampun tubuhnya terpental dan jatuh terbanting lebih
kurang satu kaki diluar lingkaran itu, kulit muka sebelah kirinya terpapas
oleh hancuran batu kerikil sehingga terluka dan mengucurkan darah.
Pada saat itulah Sun Tiong lo segera berteriak keras: "Berhenti!
pertarungan telah selesai, aku akan mengumumkan bahwa Chin Cong
koan adalah pemenangnya !"
Waktu itu, Bau ji sudah mendapat kontak batin dengan Sun Tiong lo,
maka dia berpura-pura menarik muka sambil bertanya:
"Sun-heng, adilkah keputusanmu itu ?" "Tentu saja adil !" jawab Sun
Tiong lo pura-pura tidak mengerti. Sambil menuding Chin Hui hou
yang sedang merangkak bangun
dari atas tanah, seru Bau ji: "Saudara Sun, seandainya matamu belum
buta, tentunya kau
dapat melihat dengan jelas bukan kalau aku belum keluar dari garis
lingkaran? Kini yang terjatuh diluar lingkar itu adalah dia bukan
aku,kenapa kau mengatakan aku yang kalah?!"
Sun Tiong lo segera tertawa. "Saudara, apakah kau lupa dengan janji
kita semuIa?" "Janji apa?" "Selama pertarungan berlangsung dilarang
melukai orang,
barang siapa melanggar hal ini orang yang terlukalah yang akan
dimenangkan sebagai pemenang."
"Ooooh..." Bau-ji berseru tertahan, dan kemudian sambil mendepakkan
kakinya ketanah ia berseru, "aku lupa.... aku benar benar sudah lupa,
kalau tidak ... aaaai."
Dalam pada itu Chin hui hou sudah merangkak bangun dari atas tanah,
dengan kemarahan yang berkobar-kobar serunya kepada Sun tiong lo,
"Pandai benar kalian berdua bermain sandiwara !"
Sun Tionglo tidak menyangkal malahan katanya sambil tertawa: "Chin
congkoan, rupanya kau sudah mengetahui kalau aku
sedang bermain licik untuk membohongi mu!?" "Hmm.... Lohu toh
bukan seorang anak yang berusia dua tahun,
memangnya bisa kau tipu mentah-mentah?!" teriak Chin hui hou
dengan geramnya sambil menggigit bibir.
Sekali lagi Sun Tiong lo tertawa. "Bukan begitu maksudku, yang
benar toh aku telah bersungguh
hati menjadi seorang saksi yang adil." Dengan geramnya Chin hui hou
melotot sekejap kearah Sun
tionglo dan katanya: "Lohu tidak percaya, seandainya dia yang terluka,
kau akan
berdiam diri belaka." Sun Tiong lo segera berlagak seakan-akan dia
tertegun dan tidak
habis mengerti. "Congkoan, aneh benar perkataanmu itu, andaikata Sun
heng
yang terluka, sudah barang tentu aku akan menyatakan dirinya sebagai
pemenang, selain berbuat begitu, apa pula yang bisa kulakukan lagi?!"
Chin Hui hou segera mendengus dingin. "Hmm! bagaimanapun juga,
sekarang lohu sudah mengerti,
makin kau berkata begitu, hal mana menunjukkan kalau kau pasti
mempunyai tipu musiihat!"
Sun Tiong lo segera tertawa terbahak-bahak sambil berkeplok tangan.
"Haaahhh .. . haaahhh... haaahhh congkoan memang tak malu disebut
seorang manusia yang hebat!"
Chin Hui hou mengerutkan dahinya makin kencang, kembali ia berkata
lagi:
"Kau tak usah mengucapkan kata kata yang bernada ejekan lagi,
seandainya lohu hebat, tak nanti aku akan termakan oleh tipu
muslihatmu itu, lingkaran kecil inipun tak akan menyusahkan diriku."
Sun Tiong lo mengerdipkan matanya berulang kali. "Maksudku,
beruntung sekali congkoan yang terluka...." dia
berkata. "Andaikata dia yang terluka, mau apa kau?" tukas Chin Hui
hou
dengan mata melotot. Sun Tiong lo tertawa. "Gampang sekali,
sekembalinya dari sini nanti bila nona kalian
bertanya maka aku akan menyangkal telah manjadi saksi, atau mungkin
aku pun akan menambahi dengan sepatah dua patah kata, sudah pasti
akan tercipta sebuah cerita yang menarik sekali!"
Mendengar perkataan itu, Chin Hui hou menjadi naik pitam sehingga
mukanya merah membara dan matanya berapi api.
Sampai lama kemudian, dia baru bisa mengucapkan sepatah kata:
"Kau... kau...!" Sun Tiong lo tertawa terbahak-bahak. "Haaah...
haahh... kenapa dengan aku?" ejeknya segera. "Hati-hati kau lain
waktu!" ancam Chin Hui hou sambil
mendepakkan kakinya berulang kali. Sun Tiong lo
mendengus, dengan serius ka-tanya.
"Chin congkoan, dengarkan baik baik, kali ini kau yang telah mencari
urusan dengan kami, kau toh tahu kalau Sancu kalian sudah ada
peraturan yang ketat, tapi demi melampiaskan rasa mangkel yang
terpendam didalam hati, kau tak segan-segan menggunakan akal licik."
"Betul aku adalah seorang sastrawan lemah yang tidak mengerti akan
ilmu silat, tapi berbicara soal kecerdasan, kau masih selisih jauh
dibandingkan dengan diriku, maka aku telah mempergunakan siasat
melawan siasat untuk memberi pelajaran kepadamu!
"Jika kau tidak puas, tidak apalah sebentar bila bertemu dengan nona
kalian nanti, atau menunggu setelah Sancu kalian kembali, kita boleh
berbicara secara blak-blakan, coba suruh dia yang menentukan siapa
benar siapa salah!"
Chin Hui hou menjadi berdiri bodoh, kemudian tanpa mengucapkan
sepatah katapun ia membalikkan badan dan berlalu dari situ dengan
langkah lebar.
Belum berapa puluh langkah dia pergi, Sun-Tionglo telah berseru
kembali:
"Chin congkoan, begitu beranikah kau pulang seorang diri dengan
meninggalkan kami disini?"
Hampir meledak dada Chin Hui hou saking gusarnya, tapi diapun tak
bisa berbuat apa-apa.
Bau ji dan Sun Tiong lo saling berpandangan sekejap, kemudian sambil
bergandengan tangan mereka beranjak dari situ.
Sepanjang jalan, mereka berdua bergurau dan bercanda sendiri,
hakekatnya mereka tidak menggubris Chin Hui hou yang berada di
belakang tubuhnya itu.
-ooo0dw0oo- Dengan wajah serius Chin Hui hou berdiri didepan
seorang
pemuda, sikapnya menghormat sekali.
Pemuda itu memakai baju berwarna hitam bermantel hitam dan
mempunyai selembar wajah yang putih.
Selain muka dan giginya, boleh dibilang pemuda itu berwarna serba
hitam.
Ketika itu dengan suara yang dingin dan kaku pemuda itu sedang
berkata:
"Lanjutkan !" Chin Hui hou mengiakan, dengan hormat dia berkata:
"Akhirnya hamba kena dipukul sehingga terpental keluar dari
garis lingkaran !" Pemuda itu mendengus dingin "Hmm! Apakah kau
tidak
mempergunakan ilmu Han pok ciang ?" "Garis lingkaran itu cuma satu
kaki, padahal tenaga dalam yang
hamba miliki sekarang..." Tidak menunggu Chin Hui hou menyelesaikan
kata-katanya,
pemuda itu telah menukas: "Lima tahun sudah lewat, tiada kemajuan
apa-apa yang bisa kau
capai, betul-betul goblok !" "Selanjutnya hamba pasti akan berlatih
dengan lebih rajin lagi!"
ujar Chin Hui hou sambil membungkukkan badan memberi hormat.
"Apakah nona mengetahui akan hal ini ?" tanya sang pemuda
dengan mata melotot. Chin Hui hou menjadi sangsi dan tidak
menjawab. "Apakah kau mengidap penyakit ?" tegur sang pemuda
dengan
kening berkerut. Chin Hui-hou segera tertawa getir, "Hamba tidak
melaporkan
kejadian ini kepada nona." sahutnya.
"Kenapa?"
"Oooh, kongcu, sampai matipun hamba tidak berani mengatakannya
keluar !" keluh Chin Hui-hou sambil menghela napas sedih.
"Katakan saja berterus-terang!" perintah pemuda itu dengan suara
dalam, "bila ada urusan, akulah yang akan bertanggung jawab !"
"Semenjak kedatangan Sun Tionglo si anjing kecil itu, nona tampak
agak berubah..."
Mencorong sinar marah dari balik mata pemuda itu, bentaknya secara
tiba-tiba:
"Chin Hui-hou, kau mencari mampus ?!" Gemetar keras sekujur badan
Chin Hui hour dengan
menunjukkan sikap patut dikasihani, katanya: "Kongcu harap maklum,
bukankah tadi sudah hamba katakan
bahwa hamba tak berani berbicara apa adanya." "Baik, lanjutkan
perkataanmu itu, bila ucapanmu memang ada
dasarnya, telah kukatakan tadi aku akan bertanggung jawab untukmu,
apa yang telah kukatakan tentu tak akan kuingkari dengan begitu saja,
cuma kalau sampai kau berani bicara sembarangan hmmm..."
"Kongcu, sekalipun hamba bernyali besar juga tak akan berani
berbicara sembarangan!" buru-buru Cnin Hui hou berseru.
"Katakan secara langsung, tak usah berputar-putar kayun lagi !" seru
pemuda itu kemudian.
"Pada malam itu juga nona telah mengirimnya keatas loteng impian dan
membiarkan si anjing kecil rudin itu berdiam disana, sejak waktu itu
hamba sudah merasa curiga sekali !"
"Lebih kurang pada kentongan kedua, tiba-tiba nona naik keatas loteng
seorang diri, kongcu, waktu itu si pelajar rudin she Sun masih ada
diruang tengah dan minum arak bersama Beng loji."
"Yaa, sudah pasti dia pergi ke sana untuk mengambil barangnya yang
tertinggal," sela pemuda itu.
Chin Hui hou tertawa licik, kemudian menggelengkan kepalanya
berulang kali.
Tiba-tiba pemuda itu mencengkeram pergelangan tangan Chin Hui hou
dan membentak dengan suara dalam.
"Bukan? Darimana kau bisa tahu kalau bukan?" Kena dicengkeram
pergelangan tangannya, Chin Hui hou
merasakan tulang pergelangan tangannya sakit seperti mau patah,
sambil menahan sakit kembali serunya.
-ooo0dw0oo-
Jilid 7 "KONGCU, lepas tangan, hamba akan segera membeberkan
keadaan yang sebenarnya !" Pemuda itu segera mengendorkan
tangannya lalu berkata: "Cepat katakan kau toh juga mengerti dengan
tabiatku!" Chin Hui-hou tak berani berayal, dia lantas berkata: "Nona
setelah masuk ke dalam loteng impian, tidak keluar lagi,
menanti pelajar rudin itu sudah selesai minum arak dan kembali ke
loteng impian untuk beristirahat nona masih berada didalam!"
Paras muka si pemuda yang sebenarnya pucat pias tak berdarah itu, kini
berubah menjadi semakin menakutkan bahkan diantara warna pucat
terselip warna kehijau-hijauan yang menyeramkan, keadaan itu tak ada
bedanya dengan setan gantung hidup.
Dengan mencorong sinar hijau dari balik matanya dia berseru:
"Waktu itu kau berada dimana ?" "Aku sedang melayani si anjing
rudin itu minum arak !"
Mendengar perkataan itu, sang pemuda menjadi tertegun. "Kentut !"
makinya kemudian. Buru-buru Chin Hui-hou memberi penjelasan
"Yaa, jika kukatakan tak seorangpun yang percaya, tapi
sesungguhnya perintah ini datangnya dari sancu sendiri !" Pemuda itu
menjadi berdiri bodoh, setelah mengerdipkan
matanya berulang kali, katanya: "Masa ada kejadian seperti ini ? Coba
kau teruskan !" "Untuk menyelidiki keadaan yang sebenar nya dari
pelajar rudin
ini, diam diam kukuntit diam-diam dari belakangnya, karena itulah aku
baru tahu kalau sinona berada diatas loteng impian lebih dahulu."
"Berada dalam loteng itu, mula-mula mereka tidak memasang lampu,
setelah berbicara sekian lama, diselingi tertawa cekikikan dari nona,
akhirnya mereka baru memasang lentera."
Mencorong sinar bengis dari balik mata pemuda itu, tukasnya secara
tiba-tiba:
"Sejak anjing kecil itu naik ke loteng, sampai lentera itu dipasang,
berapa lama sudah lewat?"
Chin Hui-hou berpikir sejenak, kemudian sahutnya: "Lebih kurang
sepertanak nasi lamanya!" Dengan penuh kemarahan dan rasa benci
yang meluap, pemuda
itu menyumpah: "Perempuan rendah yang tak tahu malu !" Setelah
berhenti sejenak, ujarnya kepada Chin Hui hou: "Teruskan ceritamu !"
"Baik, kemudian secara tiba tiba hamba mendengar suara pintu
loteng berbunyi, lalu nona keluar dari sana dan kembali ke
belakang, itulah kejadian yang berlangsung pada malam anjing kecil itu
datang kemari."
"Apa pula yang telah terjadi hari ini ?" "Tengah hari tadi, nona telah
berkunjung ke loteng impian ketika
kembali lagi ke gedung belakang, dia lantas menitahkan kepada Kim
Poo-cu untuk menghadap ke ruang tengah sesudah anjing-anjing kecil
itu bersantap."
"Ada urusan apa ?" Sengaja Chin Hui hou menghela napas panjang.
"Aaaa... nona membawa anjing anjing kecil itu berkunjung ke
loteng Hian ki lo !" katanya. Agak tertegun si anak muda itu setelah
mendengar perkataan itu,
serunya cepat: "Aaaah... masa terjadi peristiwa semacam ini ?
Mereka....mereka..." Diam-diam Chin hui hou merasa girang sekali
sesudah
menyaksikan sikap pemuda itu dan sambungnya: "Katanya dia hendak
menemani anjing kecil itu untuk melihat
miniatur dari bukit kita!" "Oooh. . ." pemuda itu berseru tertahan,
sesudah berpikir
sebentar, lanjutnya, "yaa .... Mungkin saja begini." Dengan cepat Chin
hui hou menggelengkan kepalanya berulang
kali, serunya: "Kongcu, apakah kau lupa selanjutnya nona juga
menitahkan
hamba untuk mengajak anjing anjing kecil itu mengitari seluruh tanah
perbukitan, kalau memang sudah melihat miniaturnya, buat apakah
pula?"
"Betul, perkataanmu memang masuk diakal" sela pemuda itu, "sudah
pasti mereka mempunyai suatu hubungan rahasia yang tidak boleh
diketahui orang lain!"
Chin Hui hou menghela napas panjang. "Aaaa .... harap kongcu
maklum, setelah menunjukkan gejala
yang serba mencurigakan ini, masih beranikah hamba membicarakan soal
terlukanya diri hamba ini kepada nona? seandainya kau tidak percaya,
sebentarhamba akan pergi mencoba, tanggung bukan saja nona tak akan
membelai diri hamba, sebaliknya justru akan memberi pelajaran dan
peringatan kepada diriku!"
Pemuda itu mengerutkan alis matanya kencang-kencang, kemudian
berkata:
"Cin Hui hou, kalau begitu cobalah pergi melapor kepadanya" Setelah
berhenti sejenak, kembali ia berkata: "Kepulanganku kali ini diketahui
siapa lagi?" Chin Hui hou menggelengkan kepalanya berulang kali.
Dengan cepat pemuda itu berbisik lagi: "Simpan rahasia ini baik, aku
hendak melakukan penyelidikan
secara diam diam! Nah..! sekarang kau boleh pergi!" Dengan riang
gembira Chin hui hou beranjak pergi, dia bersyukur
karena siasat liciknya berhasil. Sepeninggalan Chin hui hou, pemuda
itupun menggerakkan
tubuhnya meninggalkan tempat itu, sekejap kemudian bayangan
tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
-ooo0dw0ooo-
BAB SEMBILAN
PERJAMUAN malam yang diselenggarakan pada malam ini boleh
dibilang merupakan suatu perjamuan yang istimewa. Tempatnya
didalam ruangan tengah perkampungan keluarga Beng, tamu dan tuan
ru mah berjumlah empat orang.
Tuan rumahnya adalah Beng Liau-huan dan nona, sedang tamunya
tentu saja Bauji dan Sun Tiong lo.
Pelayan yang melayani arak selama perjamuan adalah Beng Seng,
perjamuan berlangsung dengan riang gembira.
Sikap Bauji juga mengalami banyak perubahan, sekalipun dalam
sepuluh pertanyaan yang diajukan dia hanya menjawab tiga empat
buah, namun sikapnya terhadap orang lain tidak sedingin semula.
Dalam perjamuan tersebut, sambil tertawa nona itu bertanya pada Sun
Tiong lo.
"Kongcu, setelah melihat keadaan dari tanah perbukitan tersebut,
bagaimanakah perasaanmu ?"
Sun Tiong lo tertawa. "Bukit ini boleh dibilang sangat berbahaya dan
mengerikan
sekali" sahutnya. Sesudah berhenti sejenak, lanjutnya: "Cuma belum
bisa dibilang benar-benar dapat makan manusia !" Nona itu cuma
berseru pelan dan tidak bicara lagi. Beng Seng yang berada disisinya
segera menyela: "Kongcu, mengertikah kau kenapa bukit ini dinamakan
Bukit
Pemakan Manusia ?!" Sun Tionglo menggelengkan kepalanya berulang
kali. "Justeru aku ingin mengajukan pertanyaan ini kepada nona !"
katanya. Beng Seng memandang sekejap ke arah si nona, akhirnya dia
batalkan niatnya untuk berbicara. Saat itulah Beng Liau-huan segera
berkata. "Bolehkah lohu
mengajukan satu pertanyaan kepada Kongcu ?" "Silahkan
cengcu !" kata Sun Tiong lo dengan sungkan.
Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh Beng Liau huan
berkata:
"Sekarang kongcu sudah memahami peraturan tempat ini terhadap tamu
dari luar, dikala batas waktu kongcu menjadi tamu agung di tempat ini
sudah habis dan harus melarikan diri nanti, ada harapankah bagi kongcu
untuk kabur dari sini dengan selamat, terutama setelah kau saksikan apa
adanya di atas bukit ini ?"
Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya:
"Aku tidak lebih cuma seorang sastrawan, jangankan bukit ini memang
berbahaya sekali, sekalipun aku diperbolehkan pergi dengan begitu saja
belum tentu aku mampu untuk menyeberangi jeram tersebut dengan
begitu saja."
"Oooh... kalau begitu, setelah batas waktu kongcu menjadi tamu agung
telah habis, apa rencana kongcu selanjutnya ?"
Sun Tiong lo segera menghela napas panjang. "Aaaii... mungkin
terpaksa menunggu tibanya saat kematianku !" "Seandainya
benar-benar begitu, bukankah kongcu benar-benar
akan di lalap oleh bukit ini !!!" kata Beng Liau huan dengan kening
berkerut.
Sun Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali ujarnya: "Bukit
tak bisa makan manusia, tapi samudra dapat menelan
manusia, seandainya aku benar-benar harus mati setelah batas waktuku
menjadi tamu agung disini habis, maka kematianku itu di sebabkan oleh
sekawan manusia jahat, dengan bukitnya sendiri sama sekali tak ada
sangkut pautnya."
"Kongcu, kau menuduh ayahku adalah orang jahat?!" tegur sinona
dengan kening berkerut.
Dengan wajah serius Sun tionglo berkata:
"Bila aku bicara terus terang nanti, diharap nona jangan marah, terus
terang saja ayahmu adalah manusia yang amat jahat, bahkan
merupakan pemimpin dari sekawanan manusia jahat dia adalah
gembong iblis pembunuh manusia!"
Mendengar perkataan itu, sinona segera bangkit berdiri dari tempat
duduknya, dan dengan suara dalam serunya.
"Besar benar nyalimu, sungguh berani mengucapkan kata-kata seperti
itu ... !"
Sun Tionglo tertawa. "Jangan marah dulu nona, terlebih dulu aku
mohon maaf
kepadamu nona dan lagi, nonapun jangan lupa, sekarang aku masih
tamu agung dari bukit kalian!"
Nona itu mendengus. "Sekalipun begitu, pantaskah kau memberi
keritikan terhadap
tuan rumahnya ?" "Aku rasa ini sudah seharusnya !" jawab pemuda itu
sambil
tertawa hambar. Nona itu segera mencibirkan bibirnya, dengan tidak
senang hati
dia berseru: "Seharusnya begitu ? Kenapa ?" Sun Tiong lo tertawa.
"Kalau toh diduiia ini terdapat tuan rumah yang menghormat
tamunya sebagai tamu agung lebih dulu, kemudian setelah lewat batas
waktunya menjegal tamu agungnya dengan sekehendak hati, maka
sudah sepantasnya jika di dunia inipun terdapat tamu agung yang
makan makanan tuan rumah, minum minuman tuan rumah, tapi
mencaci maki pula tuan rumah."
Mendengar ucapannya yang mencampur baurkan antara kata "tuan
rumah" dengan "tamu agung" itu, lama kelamaan nona itu menjadi geli
sendiri sehingga akhirnya tertawa cekikikan.
Setelah tertawa, berkatalah nona itu: "Pandai benar kau berbicara,
bagaimana kalau kita jangan mempersoalkan masalah ini lagi ?"
Sun Tiong lo juga turut tertawa. "Betul, sekarang adalah waktunya
untuk bersantap, kita memang
tidak boleh berbicara lagi!" Maka semua orangpun mulai bersantap dan
tidak berbicara apaapa
lagi. Senda gurau antara Sun Tiong lo dengan si nona, serta
sebutan
mereka yang menggunakan istilah "kita" dengan cepat membuat se
orang pemuda yang bersembunyi diluar jendela menjadi mendongkol
setengah mati hingga dadanya hampir saja meledak.
Selesai bersantap dan air teh dihidangkan dengan supel nona itu
berkata kepada Sun Tiong lo:
"Kongcu, masih ingatkah kau akan satu persoalan?" Sun Tiong lo
menggelengkan kepala berulang kali. "Sayarg daya ingatanku jelek
sekali, tolong nona suka mengingatkannya kembali."
Dengan mata melotot nona ini mendelik sekejap kearah Sun Tiong lo,
kemudian serunya.
"Hei, kau benar-benar tidak ingat, ataukah pura-pura berlagak tidak
ingat?!"
"Harap nona mdi memaafkan, aku benar benar kelupaan!" "Hmm!
Agaknya kau tidak ada urusan lagi yang hendak
dibicarakan denganku sekarang?" Mendengar perkataan tersebut,
dengan cepat Sun Tiong lo
memahami kembali maksud perkataan dari nona itu, cepat dia tertawa.
"Aaah . .. tidak, tidak, nona, sekarang aku sudah teringat kembali..."
"Kalau begitu katakan sekarang, atau lebih baik kita berpindah tempat
saja ?"
Dengan sorot matanya Sun Tiong lo memperhatikan nona itu sekejap,
ketika dilihatnya nona itu memang berminat untuk berganti tempat,
maka sahutnya:
"Yaa... urusan ini memang menyangkut urusan pribadi, aku berharap
kita bisa berganti tempat saja!"
Nona itu pura-pura termenung sejenak, kemudian diapun mengangguk
"baiklah!"
Kepada Beng liau huan katanya kemudian: Beng cengcu, tolong
pinjam sebentar kamar baca dari cengcu itu,
boleh bukan?" Tentu saja Beng Liau huan tidak berani menampik,
sahutnya: "Aaaah, nona terlalu sungkan, biar lohu suruh Beng Seng
membersihkannya lebih dulu." "Tidak usah merepotkan Beng Seng, aku
hanya pinjam sebentar
saja." Seraya berkata dia lantas beranjak dan meninggalkan tempat
itu.... Sun Tiong lo sendiriput dengan cepat mengerling sekejap kearah
Bau-ji, lalu setelah meminta maaf kepada Beng Liau huan, denganmengikuti
di belakang nona berjalan menuju kesebuah ruangan
disebelah kanan ruangan tengah.
Beng Liau huan tidak tahu apa yang terjadi, memandang bayangan
punggung dari Sun Tiong lo, tiba-tiba gumamnya:
"Mata yang jeli memang pandai memilih mana yang enghiong, sancay,
siancay !"
Dengan sikap acuh tak acuh Bauji mendengus dingin.
"Hmm, saudara Sun memang enghiong, tapi mata sinona itu belum
tentu jeli...!" katanya.
Beng Liau huan memandang sekejap kearah Bauji, kemudian katanya :
"Kongcu, kau berasal dari mana ?"
Pokok pembicaraan telah dialihkan ke masalah lain, tampaknya dia
bermaksud untuk mengajak Bau ji berbincang-bincang.
Sekarang Bau Ji sudah mengetahui kedudukan yang sebanarnya dari
Beng Liau huan dengan pelayannya, oleh karena itu sikapnya terhadap
Beng Liau huan saat ini juga jauh berbeda sekali.
Mendengar pertanyaan tersebut, dia lantas menjawab: "Aku tinggal
di ibu kota !" Beng Liau huan tertawa kembali ujarnya: "Jika kongcu
bersedia memaafkan kecerobohan lohu, ingin sekali
lohu mengajukan satu pertanyaan lagi !" "Aaaah, mana aku berani, bila
cengcu ada pertanyaan, silahkan
saja diutarakan." Beng Liau huan memandang sekejap kesekeliling
tempat itu,
kemudian sambil merendahkan ucapannya dia bertanya: "Karena soal
apakah kongcu berkunjung ke atas bukit ini ?" "Soal ini...." sepasang alis
Bau ji segera berkenyit kencang. Dia benar-benar merasa tak mampu
untuk melanjutkan
perkataannya, diapun merasa tak bisa tidak untuk menjawab pertanyaan
yang diajukan Beng Liau huan kepadanya itu, maka setelah
mengucapkan kata "soal ini", ia menjadi terhenti dan selama beberapa
saat lamanya tak sanggup melanjutkan kembali kata- katanya.
Beng liau huan adalah seorang jago kawakan yang sudah lama
melakukan perjalanan didalam dunia persilatan tentu saja dia pun dapat
mengetahui kesulitan orang, maka dengan perasaan minta maaf
katanya:
"Lohulah yang salah, tidak seharusnya mengajukan pertanyaan yang
menyusahkan diri kongcu."
Belum habis dia berkata, Bau ji telah menyambung. "Aku datang kemari
untuk beradu untung!"
Jawaban ini sama sekali diluar dugaan Beng Liau huan, untuk beberapa
saat dia sampai tertegun dibuatnya.
"Adu untung apa?" Bau jl tertawa. "Ada orang yang hilang disini, aku
bertanggung jawab untuk
menemukannya kembali, sudah setahun lamanya seluruh dunia
persilatan kujelajahi tanpa hasil, kata teman, kemungkinan besar orang
itu berada dibukit pemakan manusia...."
"Siapakah nama orang yang sedang kongcu cari itu?" tanpa terasa Beng
Liauhuan bertanya lagi.
Mendengar perkataan itu, satu ingatan dengan cepat melintas didalam
benak Bau ji, sahutnya kemudian: "Orang itu she Kwan aku rasa cengcu
tak akan kenal dengannya !"
Beng Liauhuan segera tertawa getir.. "Sudah puluhan tahun lamanya
lohu berdiam disini, tidak sedikit
orang yang pernah ku jumpai selama ini, ada yang temanku, ada pula
yang merupakan musuh lohu, karena itu aku berniat untuk menanyakan
nama dari orang yang sedang dicari kongcu itu.
"Apakah ada yang she Kwa ?" sela Bau ji. Beng liau huan segera
menggeleng "Maaf, tidak banyak orang
yang berasal dari marga itu, seandainya ada, lohu pasti akan teringat
selalu!"
Dengan perasaan kecewa Bau ji berseru tertahan lalu tidak berbicara
apa-apa lagi.
Terdengar Beng Liau huan kembali bertanya:
"Apa hubungan kongcu dengan sahabat Kwa itu? "Dia adalah
seorang bekas anak buah mendiang ayahku!" jawab
Bau ji tanpa berpikir panjang lagi. "Aaah !" Beng liau huan segera
berseru kaget, "kalau begitu
ayahmu juga seorang bu lim!" Sambil menggeleng Bau ji menukas:
"Bukan, mendiang ayahku adalah seorang sekolahan." "Ooh... kalau
begitu, sahabat Kwa juga seorang manusia yang
tidak mengerti akan ilmu silat?" Kembali Bau-ji menggeleng. "Tidak,
orang ini memiliki kepandaian silat yang sangat luar
biasa" sahutnya. Beng Liau-huan segera mengerdipkan matanya
berulang kali,
kemudian ujarnya: "Dapatkah kongcu memberitahukan kepada ku, ada
urusan apa
kau hendak mencarinya?" "Benda-benda wasiat milik mendiang ayah ku
disimpan
ditempatnya." "Ooooh tidak aneh kalau kongcu sampai menyerempet
bahaya
berkunjung kebukit ini" kata Beng Liauhuan sambil tertawa. Sesudah
berhenti sebentar, lanjutnya: "Mula-mula lohu mengira masih bisa
mem-bantu mu, siapa tahu .
.. terpaksa aku meminta maaf." "Aaaah... tidaklah menjadi soal," kata
Bauji sambil tertawa. "aku
percaya cepat atau lambat suatu hari nanti orang itu pasti dapat
kutemukan kembali!"
Beng Liau huan memandang sekejap ke arah Bau-ji, kemudian dengan
mengandung maksud lain katanya:
"Lohu dengar ketika menyerbu ke atas bukit ini kongcu kena ditangkap
dan tinggal di sini sebagai tamu agung, itu berarti kepandaian silat yang
kongcu miliki lihay sekali..."
"Tidak terhitung-lihay-" tukas Bau-ji, "kalau tidak, tak nanti aku sampai
kena ditangkap!"
Beng liau-huan mengerutkan dahinya, kemudian berkata: "Maaf lohu
akan banyak-berbicara, bila batas waktu kongcu
menjadi tamu agung telah habis, kau harus kabur dari sini, apakah kau
sudah mempunyai sesuatu rencana untuk melarikan diri dari tempat ini
?"
Satu ingatan segera melintas dalam benak Bau-Ji, katanya: "Aku
sama sekali belum melakukan persiapan apa-apa" Setelah berhenti
sejenak, dengan suara rendah terusnya: "Apakah cengcu hendak
memberi petunjuk kepadaku ?" Beng Liau huan menggeleng sambil
menghela nafas sedih,
sahutnya. "Lohu tak lebih hanya seorang manusia cacad yang tak
berguna,
seandainya aku mempunyai cara yang bagus, buat apa aku mencuri
hidup sampai sekarang? Apalagi belasan tahun belakangan ini..."
Mendadak ia berhenti berbicara dan mengalihkan sinar matanya keluar
pintu ruangan.
Waktu itu Bau-ji duduk disisi pintu ruangan, melihat itu diapun turut
berpaling ke sebelah kanan.
Ternyata Congkoan Chin Hui hou entah sedari kapan sudah berdiri
disana dengan wajah menyeramkan.
Bauji segera mendengus dan melengos ke arah lain, dengan langkah
lebar Chin Hui hou segera melangkah masuk ke dalam.
Ia berhenti pada lebih kurang tiga jengkal dihadapan Beng Liau huan,
kemudian dengan suara dalam serunya.
"Beng cengcu, apakah kau tidak merasa sudah terlalu banyak
berbicara?"
"Lohu justru ucapanku terlampau sedikit." jawab Beng Liau huan sambil
mengelus jenggot.
Chin hui hou mendengus dingin. "Beng cengcu, lohu nasehati dirimu
lebih baik bersikaplah cerdik
sedikit, jangan menganggap ada orang yang menyanggah dirimu dari
belakang, maka kau boleh berbicara secara sembarangan dan
ketahuilah bencana itu datangnya dari banyak mulut!"
"Beng liau huan, apakah kau masih mendendam terhadap peristiwa
dimasa lalu?" seru Chin hui hou dengan alis mata berkernyit dan sinar
mata memancarkan cahaya buas.
Beng Liau-huan melotot besar. "Sekalipun demikian, mau apa kau?"
"Heeeeh .. :, heehh .., . heeehh Beng Liau huan, kau tahu bukan
saat ini Sancu tidak berada diatas bukit?!" "Sebelum meninggalkan bukit
ini, sancu telah berbicara lama
sekali denganku, dia bilang hendak pergi meninggalkan bukit dan lebih
kurang puluhan hari kemudian baru kembali, jadi tak usah kau
peringatkan lagi kepadaku."
"Kalau begitu, kau harus lebih mengerti lagi, bila melanggar peraturan
bukit dalam saat seperti ini adalah suatu peraturan yang paling
berbahaya sekali !"
Beng Liau huan mendesis sinis. "Memangnya congkoan berani
membunuh diriku? "ejeknya. "Heehh....heeh....heeh... lohu tidak
mempunyai hak untuk
melakukan perbuatan tersebut, tapi masih ada orang lain yang sanggup
untuk melakukannya."
"Mengapa congkoan tidak berkata langsung kepada nona." tukas Beng
Liau huan.
Chin Hui hou tertawa sinis, tukasnya pula: "Menurut pendapatmu,
apakah nona mirip seseorang yang bisa
membunuh orang?" Mendengar perkataan itu, Beng Liau huan
merasakan hatinya
bergerak, kemudian katanya. "Lalu siapa yang bisa? Lebih baik suruh
dia untuk mencobanya di
hadapanku !" Chin Hui hou tidak langsung menjawab perkataan itu,
cuma
dengan sepasang-sinar mata yang sukar dilukiskan dengan katakata-
memandang sekejap ke arah Beng Liau huan, kemudian setelah
tertawa. "Baik-silahkan cengcu-mundur ke belakang."
Sejak tadi Bau ji sudah merasa tidak leluasa menyaksikan sikap
maupun tindak tanduk dari Chin Hui-hou, dengan-suara-dingin- segera
serunya keras.
"Kau hendak ke mana?" Mendengar teguran tersebut Chin Hoi hau
merasa tertegun,
kemudian dengan kening berkerut sahutnya. "Apakah kau sedang
bertanya kepada lohu ?" Bau ji mendengus dingin, "Yaa kongcu mu
memang sedang
bertanya kepadamu." Chin Hui hou segera mendongakkan kepalanya
dan tertawa
terbahak-bahak. "Haahh..., haah....hah.. kau bertanya lohu akan
kemana? Hahh.
.haahh...haahh.... memangnya kau berhak untuk mengajukan
pertanyaan tersebut ?"
"Kongcumu setelah berani bertanya tentu saja merasa berhak untuk
mengajukan pertanyaan itu !"
Mencorong sinar buas dari balik mata Chin Hui hou, serunya.
"Orang she Sun, kau anggap dirimu itu seorang pemimpin dari bukit ini
!"
Bau-ji sama sekali tidak menanggapi ucapan tersebut, sebaliknya
malahan berkata.
"Chin Hui hou, kongcumu hanya akan memberitahukan kepadamu,
sekarang nona kalian sedang berada dibelakang dan merundingkan
sesuatu dengan Sun kongcu tersebut."
Perasan Chin Hui hou segera tergerak setelah mendengar perkataan itu
selanya: "Kenapa pula kalau begitu?"
"Itu berarti, pada saat ini ada baiknya kau jangan mengusik nona
"kalian itu!"
Chin Hui hou tidak menyangka kalau Bau-ji bisa mengucapkan kata kata
seperti itu, untuk sasaat lamanya dia tak tahu-bagaimana harus
menjawab perkataan tersebut.
Sementara dia masih kebingungan terdengar Bau ji berkata lagi setelah
tertawa dingin:
"Apalagi kongcu mu memang ada persoalan hendak dibicarakan dengan
dirimu!"
Menggunakan kesempatan ini Chin Hui hou segera memutar kemudi
mengikuti hembusan angin, katanya dengan cepat:
"Katakan, kau ada urusan apa?" Seraya berkata dia lantas
mengambil bangku dan duduk, betul
juga, ia tidak berani mengusik nonanya. Bauji melirik sekejap kearahnya,
kemudian berkata: "Sore tadi, bukankah kita berjalan jalan di bukit
bagian
belakang?" "Benar, memang bukit bagian belakang!" "Besok pagi pagi,
kongcu mu hendak melakukan pemeriksaan
dibukit sebelah depan, kali ini kita harus bisa menjelajahi
seluruh
tanah perbukitan itu dan kau akan tetap sebagai petunjuk jalannya, aku
minta kau jangan melupakannya."
Mendengar perkataan itu, Chin Hui hou segera mendengus dingin.
"Maaf, besok aku tak dapat menemani!" sahutnya. Sengaja Bauji
melototkan sepasang matanya bulat-bulat,
kemudian berseru: "Kalau memang begitu, katakan sendiri kepada
nona." Chin Huihou
sama sekali tidak menjadi takut, malahan dia tertawa terkekeh.
"Heehh....heehh.. .heehh....aku kuatir kali ini nona tak bisa
mencampuri urusan ini lagi." Bau ji tertawa dingin. "Kau bersedia pergi
atau tidak, atau nonamu bisa mencampuri
urusan ini atau tidak, semua nya adalah persoalan kalian sendiri,
pokoknya kongcumu telah memberitahukan kepadamu, bila besok tak
ada yang jadi petunjuk jalan..."
"Kalau tak ada yang menjadi petunjuk jalan, mau apa kau?" sela Chin
Hui hou. Bau ji mendengus dingin.
"Kongcumu bisa berbuat apa, lihat saja sampai waktunya nanti !"
Chin Hui hou segera tertawa lebar. "Kalau memang begitu, kita
buktikan saja setelah sampai pada
waktunya nanti, maaf, aku tak bisa menemani lebih jauh." Di tengah
pembicaraan tersebut, sekali lagi Chin hui hou bangkit
berdiri dan beranjak dari ruangan tersebut. Dengan sorot mata yang
tajam Bau ji awasi bayangan
punggungnya Chin hui hou sehingga lenyap dari pandangan mata, dia
merasa sikap orang tersebut pada malam ini sangat istimewa sekali.
Agaknya Beng liau huan juga telah melihat kalau gelagat tidak beres,
menanti bayangan tubuhnya dari Chin hui hou sudah lenyap dari
pandangan matanya dia baru berbisik kepada Bauji.
"Sun kongcu, tidakkah engkau melihat kalau tindak tanduk keparat itu
kiranya agak mencurigakan?"
"Yaaa, tampaknya dia seperti mempunyai tulang punggung baru yang
menunjang dirinya dari belakang!" sahut Bau ji dengan kening berkerut
kencang.
Dengan nada yang semakin merendah, Beng Liau huan berbisik
kembali:
"Sun kongcu, ada satu hal lupa lohu kemukakan karena semula merasa
tidak penting, tapi seandainya tua bangka she Chin itu benar-benar
sudah memiliki tulang punggung baru, maka lohu bisa menduga
siapakah orang itu !"
Ketika dilihatnya sikap Beng Liau-huan berubah menjadi serius sekali,
Bau ji segera dapat merasakan juga berapa seriusnya persoalan itu,
dengan memperendah pula dia bertanya.
"Siapakah orang itu?" "Kakak angkatnya nona, dia adalah murid
paling tua dari Sancu
bukit ini, konon merupakan keponakan angkat dari Sancu sendiri !"
"Oooh... siapakah nama orang ini? Apakah kekuasaannya jauh
diatas kekuasaan nona?" "Orang ini she Khong bernama It hong,
kepandaian silat dan
tenaga dalam yang dimilikinya sudah mendapat seluruh warisan
langsung dari sancu, kehebatannya memang jauh diatas kepandaian
nona, lagipula hatinya kejam, buas dan tidak berperi kemanusiaan!"
Setelah berhenti sejenak, terusnya: "Oleh karena dia adalah murid
tertua dari Sancu, lagipula masih
terhitung keponakan Sancu sendiri, ilmu silatnya juga sangat lihay, maka
sejak beberapa tahun berselang, tiap kali Sancu pergi
meninggalkan bukit karena ada urusan, kekuasaan yang palingbesar-
diatas-bukit inipun diserahkan kepadanya."
"Tapi, bagaimanapun juga, sikapnya terhadap nona tentunya tak berani
sewenang-wenang bukan?" tanya Bauji.
"Bagaimanakah keadaan yang sebenarnya tak seorang manusiapun yang
tahu tapi menurut pengamatan lohu selama banyak-tahun--belakangan
ini, aku rasa ada kemungkinan-besar Sancu ingin menjodohkan nona
kepada Khong It hong."
"Oooh... begitukah jalan ceritanya ? Sungguh membuat hati orang
merasa tidak habis mengerti." tukas Bauji dengan wajah yang tertegun.
Beng Seng yang berdiri di samping segera menimbrung pula dengan
suara rendah:
"Apanya yang perlu diherankan. Sancu ada minat untuk menjodohkan
nona kepada Khong It-hong, mesti belum diucapkan secara
terang-terangan, tapi diam-diam agaknya masing-masing pihak sudah
setuju, baik nona mau pun Khong It-hong sendiri juga mengetahui akan
hal ini."
Sesudah berhenti sejenak, kembali ujarnya. "Bagaimanakah watak serta
perangai dari orang she Khong tersebut ?"
"Seperti apa yang telah telah lohu katakan tadi, orang ini berhati
kejam, buas dan tidak berpenkemanusiaan !"
"Apakah nona tidak salah memilih orang?" tanya Bauji dengan kening
berkerut.
Beng Seng segera menghela nafas panjang, "Aaaai....nona berwatak
halus berbudi dan lagi cerdik, cuma saja....cuma saja..."
Ia tak dapat melukiskan kesulitan yang sedang dihadapi nonanya, maka
sampai setengah harian lamanya dia masih tak mampu untuk me
lanjutkan kembali kata-katanya itu.
Terdengar Beng Liau huan berkata pula, "Pertama, nona terpengaruh
oleh desakan ayahnya. kedua, wajah Khong It hong
terhitung lumayan juga, kecuali dengan mata kepala sendiri ia saksikan
kebuasan, kekejian dan kebusukan sifat orang itu, rasanya memang
sulit untuk menemukan kejahatan serta kebusukan-nya itu.
"Hal ini ditambah lagi semenjak kecil nona sudah hidup di bukit yang
terpencil kecuali Khong It hong seorang, boleh dibilang dia tak pernah
bertemu dengan pemuda tampan lain-nya, lama kelamaan tentu saja tak
bisa dihindari akan tumbuh rasa cinta dalam hatinya, atau tegasnya saja
sikap nona selama ini hanya terpengaruh belaka di lingkungan
keadaannya." Bau ji termenung beberapa saat lamanya. kemudian
bertanya lagi.
"Sampai dimanakah kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki orang
she Khong itu ?"
Beng Liau huan menggelengkan kepalanya berulang kali. "Susah untuk
dibicarakan." katanya, "berbicara dengan
kepandaian silat yang kumiliki dahulu, paling banter aku cuma bisa
bertahan lima puluh gebrakan saja, sekalipun kukerahkan segenap
kepandaian silat yang kumiliki untuk melangsungkan pertarungan mati
hidup, paling banyak juga masih bisa bertahan sepuluh gebrakan lagi !"
Bau ji merasakan hatinya tergerak, cuma ia tidak berbicara apa- apa
lagi.
Saat itulah Beng Seng kembali berkata, "Sun kongcu kemungkinan
besar dugaan majikanku itu benar,
seandainya Khong Ithong tidak secara tiba tiba kembali ke gunung,
sekali pun Chin Hui hou bernyali lebih besarpun, dia tak akan berani
mengucapkan perkataan seperti tadi itu."
"Oooh... kalau memang orang she Khong itu sudah kembali ke gunung,
kenapa tidak tampak dia munculkan diri ?"
Tiba-tiba Beng Liau huan berseru tertahan, dia segera berpaling ke
arah Beng Seng seraya berkata:
"Kau cepat ke belakang dan undang nona kemari, katakan kalau aku
ada urusan penting hendak dibicarakan dengannya."
Beng Seng dapat memahami maksun hati tuannya, dengan cepat dia
mengangguk.
"Benar, benar, kalau tidak cepat cepat ke sana, bisa jadi akan
mengakibatkan keadaan yang lebih fatal!"
Selesai berkata dia lantas lari menuju ke belakang. Dibelakang
ruangan itu terdapat sebuah kamar baca yang
biasanya hanya digunakan oleh Beng Liau huan pribadi, ketika itu nona
sedang duduk berhadapan dengan Sun Tiong lo sambil berbincang
bincang, kedua belrh pihak saling bergurau dengan sikap yang amat
santai, seakan-akan berhadapan dengan teman lama saja.
Cuma sayang selama ini mereka bicarakan tidak lebih hanya merupakan
kata-kata ringan saja yang sama sekali tidak penting.
Sesudah berlangsung sekian lama, akhirnya nona baru mengalihkan
pokok pembicaraan ke soal yang sebenarnya, dia berkata.
"Sekarang, sudsh sepantasnya kalau kuaju-kan beberapa buah syarat
kepadamu." Sun Tiong lo tertawa.
"Nona berbudi luhur, berjiwa kesatria dan gagah perkasa, Apakah nona
tidak merasa bahwa untuk menjaga rahasia saja harus mengajukan
pertukaran syarat adalah perbuatan seorang anak kecil ?"
Nona itu tertawa. "Anak kecil atau orang dewasa, apalah bedanya.
Sekali lagi Sun Tiong lo tertawa. "Maaf kalau mengucapkan kata-kata
yang lebih berani lagi
seandainya nona tetap bersikeras untuk mengajukan syarat untuk
menjaga rahasia tersebut, maka perbuatan nona ini pada
hakekatnya merupakan suatu ancaman dan juga merupakan suatu
perbuatan curang yang ingin memanfaatkan keadaan orang!"
"Sekalian demikian apakah tidak boleh?" Dengan perasaan apa boleh
buat Sun Tiong-lo mengangkat bahunya.
"Kalau nona tetap berkata demikian, akupun tidak bisa berbuat apa-apa
lagi"
"Nah kalau begitu tentunya kau sudah siap mendengarkan syaratku
bukan?" Kata si nona sambil tersenyum.
"Ehmm, silahkan kau ucapkan!" Si nona itu melirik sekejap ke arah
Sun Tiong lo, kemudian
katanya. "Syaratku sederhana sekali, aku hanya ingin tahu keadaan
yang
lebih jelas lagi !" Sun Tiong lo mengeruikan alis matanya rapat-rapat,
kemudian
berkata. "Keadaan yang sebenarnya rumit sekali, terus terang saja
kurasakan nona, ada sementara persoalan bahkan aku sendiri tak
memahami."
"Jadi kau tetap enggan untuk berbicara?" kata si nona dengan wajah
serius.
Dengan wajah serius pula Sun Tiong lo menggelengkan kepalanya
berulang kali.
"Walaupun aku tak berani mengatakan sangat memegang janji, tapi
selamanya akupun enggan untuk mengingkari janji !"
Tiba-tiba si nona tertawa. "Aku percaya kepadamu, kalau begitu
katakan saja semua yang
kau ketahui.!" Baru saja dia akan menjawab, mendadak timbul
kewaspadaan
didalam hatinya dengan bersungguh2 katanya kepada sinona.
"Nona, sesungguhnya cerita ini adalah suatu peristiwa tragedi yang
penuh dengan kesedihan, nona, tak ada gunanya kau mengetahui akan
peristiwa ini, apalagi menyinggung kembali peristiwa tersebut hanya
akan membangkitkan kembali rasa sedih di dalam hatiku."
"Benarkah demikian?" tukas si nona dengan kering berkerut. Sun
Tionglo menghela napas sedih, katanya: "Nona, aku telah memberi
janji kepadamu sekarang akupun telah
memberi jaminan kepada sinona, cepat atau lambat pada suatu ketika
aku pasti akan memenuhi janjiku ini..."
"Kalau begitu yaa sudahlah !" ujar si nona sambil menggigit bibirnya
kencang-kencang.
Setelah berhenti sebentar, katanya lebih jauh: "Cuma kau jangan
lupa, kau hanya punya waktu tiga hari lagi
menjadi tamu agung disini" Terima kasih atas peringatanmu nona, aku
sudah mengerti." "Apa rencanamu kemudian ?" tanya si nona dengan
wajah
bersungguh-sungguh. Sun Tionglo segera tertawa. "Nona harus tahu,
kemungkinan-kemungkinan apa yang bakal
kulakukan ?" Buat seorang sastrawan lemah yang sama sekali tak
berkepandaian apa-apa macam aku ini, selain menuruti takdir, apa pula
yamg masih bisa kulakukan."
"Sun kongcu, aku harap buku-buku yang pernah kau baca itu bukan
cuma pernah dibaca secara sia-sia belaka !" tukas sinona dengan
perasaan tak senang..
Sun Tionglo sengaja berlagak seakan-akan tidak mengerti serunya
kemudian:
"Nona, apa maksud dari perkataanmu itu ? Apakah kau bisa memberi
penjelasan? Aku benar-benar tidak mengerti !"
"Kalau banyak buku yang dibaca, seharusnya makin banyak persoalan
yang dipahami, bila banyak persoalan yang diketahui, tentu saja mampu
untuk membedakan mana orang baik dan mana orang jahat bagaimana
pendapat kongcu tentang hal ini?" tanya si nona..
Sun Tiong lo segera tertawa. "Aku tidak mengerti dengan perkataan
dari nona itu, seperti
misalnya urusan yang baru saja terjadi, andaikata nona menaruh curiga,
terpaksa akupun akan mengesampingkannya, setelah sampai harinya
baru kuberi penjelasan lebih jauh."
"Bagaimana kalau begini saja" kata si nona tiba-tiba sambil
mengerdipkan matar "bila aku mengangguk dan kongcu juga
mengangguk, aku memahami maksudmu itu, sebaliknya jika kongcu
menggelengkan kepalanya, aku juga percayai bagaimana?"
Berbicara sampai disitu, tanpa menunggu jawaban dari pemuda itu lagi
dia lantas mengangguk lebih dulu, kemudian sambil mementangkan
sepasang matanya yang jeli dia awasi wajah Sun Tiong lo tanpa
berkedip.
Dengan sekulum senyuman menghiasi bibirnya, Sun Tiong lo juga
segera mengangguk.
"Kalau begitu akupun menjadi lega" kata si nona merdu. Setelah
berhenti sebentar, dia berkata lagi: "Cuma, sekalipun begitu kau juga
harus mempunyai persiapan ?" Baru saja Sun Tiong lo hendak
menjawab, Beng Seng telah
mengetuk pintu dan masuk ke dalam, serunya: "Nona, cengcu kami
ada urusan penting yang hendak dibicarakan
dengan nona !" Dengan kening berkerut dan wajah tak senang, si
nona berseru:
"Ada urusan apa ? Apakah musti dibicarakan sekarang juga ?" Pada
saat itulah dari sisi telinga Nona itu berkumandang suara
bisikan seseorang dengan ilmu menyampaikan suara. "Nona, mengapa
kau tidak maju ke depan untuk melakukan
pemeriksaan? Coba lihat, di belakang jendela dalam kamar baca ini ada
sesosok bayangan manusia yang sedang menyadap pembicaraan kita,
orang ini sudah tiba cukup lama, tenaga dalamnya juga lihay sekali,
harap nona suka berhati-hati !"
Kebetulan sekali, Beng Seng juga sedang menjawab ketika itu.
Mendadak mencorong sinar aneh dari balik mata si nona, dia
memandang sekejap ke arah wajah Sun Tiong lo dengan sorot mata
penuh tanda tanya.
Tapi sikap Sun Tiong lo acuh, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu,
seperti juga ia tak tahu akan gerak gerik dari si nona.
Setelah termenung beberapa saat lamanya, si nona pun berkata.
"Baiklah, kau boleh pergi duluan, sebentar aku datang !"
Dengan amat menghormat Beng Seng mengiakan lalu beranjak pergi
meninggalkan dari tempat itu.
Sepeninggal pelayan tua Beng Seng, si nona baru berkata kepada Sun
Tiong lo:
"Barusan, apa yang sedang kau pikirkan ?!" Sun Tiong lo berlagak
seakan-akan tidak mendengar perkataannya itu, wajahnya masih tetap
kaku tanpa emosi
Nona itu segera mengerutkan dahinya, mendadak dia membalikkan
badan dan langsung menerjang ke mulut jendela dibelakang ruang baca
tersebut.
Khong It-hong yang menyembunyikan diri di luar jendela, sama sekali
tidak menyangka sampai kesitu, tentu saja diapun tak sempat untuk
menghindarkan diri.
Begitu mengetahui siapa yang berada disitu dengan wajah sedingin salju
nona itu segera menegur:
"Khong It-hong, sebenarnya apa maksudmu?" Merah padam
selembar wajah Khong It-hong karena jengah. "Adik Kim, apa pula
yang kau maksudkan?" ia balik bertanya. "Sejak kapan kau pulang
ke gunung?" bentak si nona lagi. "Barusan saja!" Nona itu segera
mendengus. "Memangnya kau sudah kehilangan sukma-mu diluar
jendela dari
kamar baca ini?" "Adik Kim, apa pula maksud perkataanku itu." Khong It
hong
balik bertanya sambil berkerut kening. "Jika kau tidak kehilangan
sukmamu disitu, kenapa baru pulang
gunung bukannya suruh orang memberi kabar kepadaku, sebaliknya
dengan sikap macam maling mencuri dengar pembicaraan orang diluar
jendela?"
Khong lt-hong memang tidak malu disebut seorang manusia yang licik
dan banyak akal nya, setelah tertawa sahutnya:
"Aaaah... rupanya adik Kim salah paham!" "Apanya yang salah
paham?" "Adik Kim, sesungguhnya kejadian ini memang merupakan
suatu
kesalahan paham, ketika siau heng pulang gunung, tak seorang
manusiapun yang kujumpai, ketika aku mengitari ruang belakang untuk
menuju ke loteng kediamanmu dan bermaksud untuk membuat kau
merasa terkejut bercampur dengan girang."
"Kejutnya memang ada." tukas si nona, "cuma girangnya telah berubah
menjadi mendongkol!"
Sekulum senyuman manis masih menghiasi ujung bibir Khong It hong,
katanya.
"Adik Kim, dapatkah kau memberi kesempatan pada siau heng untuk
menyelesaikan kata-kataku."
"Cukup, aku tak sudi mendengarkan perkataanmu lagi!" lalu si nona
sambil membanting daun jendela itu keras-keras.
Walaupun daun jendela sudah tertutup kembali, namun suara Khong
It-hong manis juga berkumandang.
"Adik Kim, paling tidak kau harus percaya bahwa siau heng bukanlah
dewa, aku tidak mengira kalau pada malam ini adik Kim sedang
mempunyai janji dengan seorang teman diruang bacanya Beng
cengcu.."
Mendengar perkataannya pemuda itu makin lama semakin ngelantur
tidak karuan, si nona menjadi naik darah, segera tukasnya:
"Memangnya hal ini tak boleh?" Khong It liong segera tertawa keras.
"Haaah.... haaah... haaaah ... adik Kim mengapa kau berkata
demikian? Siau heng tak bermaksud apa-apa, akupun tidak bermaksud
untuk menyadap pembicaraan kalian, kejadian ini cuma suatu kesalahan
paham, mengenai...."
"Kuanjurkan kepadamu, kurangi permainan licikmu dihadapanku" sekali
lagi sinona menukas dengan suara dalam, "setiap kali kau pulang
gunung, tak pernah ketinggalan Chin hui hou pasti kau cari lebih dulu,
sedang mengenai penjelasanmu soal menyadap pembicaraan kami
hmmm! perbuatanmu itu hanya suatu tindakan yang berlebihan."
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Khong It hong menghela
nafas panjang katanya.
"Kalau toh adik Kim tidak memberi kesempatan kepada siau heng untuk
memberi penjelasan, terpaksa siau-heng akan turut perintah.
Cuma.,.harap adik Kim ketahui, dengan hati riang gembira siau
heng pulang ke rumah, sebetulnya aku ingin melepaskan rinduku
kepadamu, tapi kini..."
"Cukup banyak yang sudah kudengar, lebih baik kurangi sedikit
perkataanmu." tukas si nona dengan cepat.
"Baik, baik, Siau heng tak akan berbicara lagi, setelah berhenti
sebentar, lanjutnya lagi.
"Oooh benar, adik Kim ! Dapatkah aku berkenalan dengan sahabat yang
berada di dalam kamar baca ? siapakah dia ? Siapa namanya ?"
"Besok toh kalian bakal bertemu sendiri, buat apa musti kuperkenalkan
pada saat ini ?"
Tiba tiba Sun Tiong lo berkata. "Aku yang muda adalah Sun Tiong-Io,
boIeh aku tahu siapa
nama besar saudara ?" Begitu mendengar jawaban dari Sun Tiong Io
dengan cepat
Khong It-hong mendorong kembali daun jendela itu, lalu sahutnya. "Aku
bernama Khong It hong...." Belum habis dia berkata, tiba-tiba si nona
telah mengayunkan
tangannya.. "Blaam..!" Daun jendela itu segera dibantingnya keras-keras
hingga
menutup kembali. "Memang tidak salah namamu Khong It-hong, tapi
bukan caranya
untuk sembarangan menongolkan kepalanya lewat jendela untuk
bertemu dan berbicara dengan orang, tata kesopanan dari manakah
yang telah kau pelajari itu ?"
Paras muka Khong It hong, waktu itu tak sedap dipandang, mukanya
merah padam seperti babi panggang, bibirnya pucat menahan emosi
nya, sedangkan sinar matanya memancarkan cahaya kehijau-hijauan
yang mengandung kebencian, cuma sayang
terpisah oleh daun jendela sehingga mereka yang berada dalam
ruangan tidak sempat melihatnya.
Api kegusaran serasa membakar seluruh perasaan Khong It hong,
setelah mendengus dingin teriaknya:
"Nona Kim, beginikah sikapmu terhadap diriku ?!" Entah mengapa,
ternyata si nona juga tak dapat mengendalikan
kobaran api amarahnya, dengan lantang dia menyahut: "Kalau aku
tidak bersikap demikian kepada mu, lantas aku musti
bersikap bagaimana ?!" "Nona Kim, kau paham akupun paham !" "Aku
tidak paham" tukas si nona dengan gusar, "beginilah
sikapku terhadap setiap manusia yang bermain sembunyi semacam
cucu kura-kura."
Khong Ithong segera mendengus berulang kali, tanpa banyak berbicara
lagi ia tinggalkan tempat itu dengan langkah lebar.
Didengar dari langkah kakinya, Sun Tiong lo segera mengerti kalau
Khong It-hong sebenarnya belum jauh meninggalkan tempat itu maka
dia sengaja memandang sekejap kearah si nona, kemudian dengan
kening berkerut katanya.
"Nona, kau telah menyinggung perasaannya." "Hmm..! Toh dia
sendiri yang mencari gara-gara !" sahut si nona
samoil mendengus. "Nona, apa sih kedudukannya didalam bukit ini?
Dan apa pula
hubungannya denganmu ?" Si nona memandang sekejap wajah Sun
Tiong lo, kemudian
tanyanya. "Kenapa kau menanyakan persoalan ini ?" "Tampaknya dia
sudah menaruh curiga kepada siau-seng, oleh
karena itu...."
"Siapa suruh dia memikirkan yang bukan-bukan?" tukas si nona, Sun
Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Dari nada pembicaraannya itu, dapat kudengar kalau dia sangat
memperhatikan diri nona" katanya.
Nona itu tidak menjawab, sedangkan wajahnya yang dinginpun belum
lagi luntur.
-ooo0dw0ooo-
BAB SEPULUH
SUN TIONG LO pun melanjutkan kembali kata katanya "Selama
beberapa hari ini, sudah pasti aku akan bertemu muka dengannya,
maka sudilah kiranya nona memberi petunjuk kepadaku tentang asal
usul dan kedudukannya."
Jawaban si nona sangat datar. "Dia adalah putra adik angkat ayahku,
juga merupakan murid
dari ayahku !" Sun Tiong lo memandang lagi wajah si nona kemudian
tanyanya. "Cuma dua macam kedudukan ini saja ?" "Memangnya belum
cukup ?" Sun Tiong lo tertawa. "Menurut pandanganku, sobat Khong
bukan cuma mempunyai
dua macam kedudukan saja!" Sinona segera menggerling sekejap kearah
Sun liong lo,
kemudian serunya: "Memangnya kau lebih mengerti daripada aku
sendiri ?" Sekali lagi Sun Tiong lo tertawa. "Aku bisa menangkap hal itu
dari nada ucapannya, dan dapat
melihat..."
"Dapat melihat apa ?" tukas sinona sebelum Sun Tiong lo menyelesaikan
kata-katanya.
"Aaaah, aku rasa lebih baik tak usah kukata kan, pokoknya sahabat
Khong mempunyai kedudukan yang istimewa sekali !"
Setelah berhenti sebentar dan tertawa, dia melanjutkan kembali kata
katanya:
"Barusan Beng Cengcu telah menitahkan Beng Seng untuk datang
mengundang kehadiran nona, nona..."
"Aku ingin bertanya dulu sampai jelas, apa yang kau maksudkan
dengan lebih baik tidak usah dikatakan itu?" tukas sinona dengan wajah
dingin membesi.
Sun Tiong lo segera mengangkat bahunya, baru saja dia hendak
menjawab, sinona berkata lagi:
"Dalam hal apakah kedudukan Khong It hong kau katakan sangat
istimewa?"
Sekulum senyum masih tersungging di bibir Sun Tiong lo, ujarnya
pelan:
Secara diam diam sobat Khong telah menyadap pembicaraan nona
dengan diriku kemudian perbuatannya diketahui nona, tetapi ia malah
berani mengatakan, tidak seharusnya nona berbuat demikian padanya,
oooohhh, besar benar nyali orang ini".
"Sekalipun dia adalah murid ayahmu, tidak mungkin kedudukannya lebih
tinggi dari nona apa lagi dia sudah melakukan kesalahan tetapi nyatanya
sambil mendengus dan menggubris nona, dia telah pergi dari sini.."
"Cukup!" tukas sinona dengan suara dalam, "aku melarang kau untuk
melanjutkan kata-katanya itu."
Sun Tiong lo segera memperlihatkan sikap apa boleh buat, katanya
kemudian.
"Adalah nona sendiri yang memaksa aku untuk menjawab, kalau tidak
aku tak akan mengucapkan kata-kata seperti itu!"
Si nona tidak menjawab, sambil membalikkan badan ia beranjak keluar
dari kamar baca dan menuju ke ruang tengah, sementara Sun Tiong lo
mengiringinya dengan senyuman dikulum.
Setelah masuk kedalam ruangan, nona itu menghampiri Beng Liau
huan, seraya berjalan tegurnya.
"Ada urusan penting apa..." "Khong sauhiap telah pulang" sahut
Beng Liau huan. "Hanya persoalan ini ?" Beng Liau huan
manggut-manggut. "Orangnya mah tidak kujumpai, maka dari itu..."
Si nona menjadi tertegun, "Kalau toh kau tidak menyaksikan
kedatangannya, dari mana bisa kau ketahui kalau dia sudah pulang ?"
"Kulihat dari sikap maupun cara berbicara Chin Congkoan.... tak nanti
dia akan berbuat demikian andaikata..."
"Hmm, aku sudah tahu" tukas sinona sambil mendengus dan
mengulapkan tangannya.
Setelah berhenti sejenak, kepada Beng Seng perintahnya: "Kau keluar
dan undang Chin Hui hou kemari !"
Beng Seng mengiakan dan segera berlalu.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 8 SEPENINGGAL Beng Seng, Sun Tiong lo juga berkata
kepada
Bau ji: "Saudara Sun, kita juga harus pulang ke loteng impian
?"
Bau ji mengerti, rupanya Sun Tiong lo ingin meminjam alasan tersebut
untuk meninggalkan ruang tengah agar tidak menyaksikan keadaan
Chin Hui hou yang bakal runyam, maka dia pun manggut- manggut dan
segera beranjak.
"Siapapun dilarang pergi !" mendadak sinona membentak keras. Bau
ji segera mengerutkan alisnya, baru saja akan berbicara, Sun
Tiong lo telah memberi tanda agar jangan bersuara. Si nona yang
kebetulan melihat hal itu segera mengerling sekejap
kearahnya, lalu berkata: "Ehmm... tampaknya kau memang pandai
sekali merasa kuatir
bagi orang Iain !" Tiba-tiba Beng Liau huan berseru setelah memutar
sepasang biji
matanya sebentar: "Nona, bolehkah lohu menjamu kedua orang Sun
kongcu ini
diruang baca sana?" Si nona berpikir sebentar, lalu mengangguk.
"Baiklah, selesai urusan disini aku masih ada persoalan yang
hendak dibicarakan dengan dirimu ?" Beng Liau huan mengiakan,
kepada Sun Tiong lo dan Bau ji
segera katanya: "Apakah kalian berdua bersedia memberi muka ?"
Sebetulnya Sun Tiong lo hendak menampik, mendadak ia
saksikan Beng Liau huan dengan membelakangi sinona sedang memberi
kode kepadanya dengan wajah serius dan gelisah.
Maka dengan cepat dia merubah keputusan nya seraya berkata:
"Dengan senang hati ku terima tawaran cengcu, silahkan !"
Maka mereka bertiga segera beranjak dan menuju keruang baca.
Baru saja Sun Tiong lo menutup pintu, Beng Liau huan telah
berbisik:
"Lebih baik biarkan saja pintu itu terbuka, pertama kita bisa ikut
mendengarkan apa yang dibicarakan nona, kedua bila kita hendak
membicarakan rahasia juga tidak kuatir ketahuan orang ?"
Tergerak hati Sun Tiong lo setelah mendengar perkataan itu, belum lagi
dia berbicara, Beng Liau huan telah berbisik lebih lanjut:
"Sudah lama lohu menunggu kesempatan seperti ini, kongcu, cepat duduk
disamping lohu, ada rahasia besar yang hendak lohu sampaikan
kepadamu serta minta pertolonganmu untuk menyelesaikannya ?"
Sun Tiong lo tertegun, dia segera berpaling dan memandang kearah
Bauji.
Dengan cepat Bau ji beranjak, bisiknya sambil menuding kepintu
ruangan:
"Aku akan berjaga ditepi pintu !" Sambil berkata ia lantas menuju
kesamping pintu dan bersiap
siaga dengan kewaspadaan Sun Tiong lo mengerutkan dahinya, lalu
kata nya kepada Beng
Liau huan: "Cengcu, kau ada petunjuk apa ?" "Rahasia sebesar ini tak
berani kusampaikan dengan kata-kata,
untuk menjaga segala sesuatu yang tak diinginkan semalam dengan
pertaruhan jiwa aku telah beberkan rahasia ini didalam sejilid kitab,
sekarang kitab ini akan kuserahkan kepada kongcu, asal kau telah
membaca kitab itu, segala sesuatunya akan menjadi terang."
Selain itu, dalam kitab aku juga sertakan barang lain, bila kongcu telah
memahami keadaan dan berhasil kabur dari bukit ini, harap kongcu
suka menghantar barang itu ke..."
"Cengcu, begitu percayakah kau kepadaku??" tukas Sun Tiong lo
dengan cepat.
Beng Liau-huan tertawa.
"Betul lohu sudah tak berkepandaian apa-apa, namun sepasang mataku
belum kabur, kong cu sepantasnya merupakan seorang enghiong dari
jaman sekarang !"
Sun Tiong lo mencoba untuk memperhatikan wajah Beng Liau- huan,
dia saksikan meski paras muka cengcu itu serius sama sekali tidak
terlintas keragu raguan.
Maka setelah termenung dan berpikir sebentar, dia bertanya lagi
dengan nada menyelidik:
"Apakah cengcu yakin kalau aku bisa memahaminya." Dengan serius
Beng Liau huan menukas: "Bila kongcu mengatakan dirimu tak
pandai bersilat lagi, hal ini
sungguh keterlaluan sekali!" "Apa maksud cengcu berkata begitu?" seru
Sun Tiong lo dengan
kening berkerut. "Kongcu, tegakah kau menyaksikan lohu berdua hidup
sengsara,
dan tersiksa sepanjang masa di bawah tekanan orang !" Mencorong
sinar tajam dari balik mata Sun Tiong lo, segera
diapun balik bertanya. "Darimana pula cengcu bisa berkata kalau aku
pasti dapat lolos
dari bukit ini ?" "Kongcu berilmu silat tinggi, tenaga dalammu telah
mencapai
puncak kesempurnaan mau keluar masuk bukit ini sesungguhnya
gampang seperti membalik tangan, siapa pula yang sanggup
menghalangi jalan pergimu ?"
"Cengcu, apakah kau tak merasa terlalu memuji diriku?" seru sang
pemuda sambil berkerut kening.
Dengan serius Beng Liau huan menggeleng. Kongcu, sudah lohu
katakan, sepasang mata ku belum melamur!" Sun Tiong lo
termenung dan berpikir sebentar, kemudian katanya
"Apakah cengcu memberi batas waktu tertentu bagi persoalan yang kau
perintahkan itu!"
Agak tertegun Beng Liau iman setelah mendengar ucapan itu, dia
segera makin merendahkan kata-katanya.
"Apakah kongcu masih belum berniat meninggalkan bukit ini ?"
Tergerak hati Sun Tiong lo, segera sahutnya. "Maksudku seandainya
begitu..." Beng Liau huan salah mengartikan maksudnya, dia segera
mengangguk sambil bertanya. "Dari sekian banyak orang yang berada
dibukit ini, kecuali lohu
berdua yang merupakan manusia setengah mati, cuma nona seorang
yang terhitung orang baik, kongcu..."
Merah padam selembar wajah Sun Tiong lo, tukasnya. "Cengcu telah
salah mengartikan maksudku." "Tidak !" tukas Beng Liau-huan
dengan wajah serius, "andaikata
lohu menjadi kongcu, pasti akan ku ajak nona pergi meninggalkan
tempat terkutuk ini."
"Sekali lagi kukatakan, harap cengcu jangan salah mengartikan
duduknya persoalan!"
Nyatanya Beng Liau huan tetap kukuh dengan pendiriannya, dia
berkata dengan bersungguh-sungguh.
"Tiada sesuatu yang disalah artikan, seharusnya kongcu pergi sambil
membawa serta nona membawanya pergi jauh meninggalkan tempat
ini, dari pada membiarkan ia terjerumus ke tangan manusia manusia
serigala yang berhati kejam !"
Sun Tiong lo segera mengerdipkan matanya berulang kali, kemudian
katanya.
"Ayahnya adalah sancu bukit ini, sedang dia adalah putri kesayangan
Sancu, siapa yang berani mengusiknya ?!"
Beng liau-huan segera menggelengkan kepalanya berulangkali, katanya
lagi:
"Kongcu, kau adalah seorang anak sekolahan, tentunya kau juga tahu
bukan apa yang disebut sebagai: "Dekat gincu ikut menjadi merah,
dekat tinta ikut menjadi hitam ? sekali pun nona berwatak baik, namun
kalau dibiarkan bergaul terus dengan manusia manusia laknat, maka
lama kelamaan akan berpengaruh juga wataknya, apakah kongcu tega
menyaksikan dia terjerumus dalam keadaan semacam itu ?!"
Sun Tiong memandang sekejap wajah Beng Liauhuan, kemudian
katanya:
"Cengcu, kau belum menjawab pertanyaanku..." Beng Liau huan
melirik sekejap ke arah Bau ji, kemudian katanya "Sekaiipun kongcu
sudah bulatkan tekad, apa salahnya kau
menitipkan nona kepada Sun kongcu itu..." Sekali lagi Sun Tiong lo
merasakan hatinya tergerak, selanya
dengan cepat: "Cengcu, mengapa tidak kau jawab dulu pertanyaanku?"
"Sancu mempunyai seorang keponakan yang merupakan pula
murid kepercayaannya, orang ini tak lain adalah orang she Khong yang
barusan lohu bicarakan dengan nona, orang ini licik, busuk, keji dan tak
berperi kemanusiaan.
"Selama banyak tahun, lohu selalu berusaha mengamati gerak gerik
mereka, tampaknya Sancu berniat untuk menjodohkan putri
kesayangannya itu kepada orang she Khong, padahal nona orangnya
baik dan berbudi luhur, kalau sampai hal ini menjadi kenyataan..."
"Soal itu mah harus tergantung juga pada-nona sendiri." tukas Sun
Tiong lo.
Beng Liau huan mulai kelihatan panik bercampur gelisah, serunya
dengan cepat.
"Kongcu, kenapa kau begitu bodoh? Nona sudah terlalu lama tinggal
diatas gunung, dalam sepuluh tahun saja belum tentu ia bisa berjumpa
dengan orang-orang lain kecuali orang-orang yang menghuni disini,
padahal hampir semua manusia yang ada disini rata-rata adalah manusia
buas yang berhati busuk, bayangkan saja nona bisa memilih yang
mana?"
"Oleh sebab itu, Khong It hong secara otomatis menjadi orang disiplin,
bukan lohu sengaja mengadu domba, berbicara soal ilmu silat, tenaga
dialam serta tampang muka, Khong It hong cuma bisa dibilang dengan
terpaksa masih mampu untuk mendampingi nona..."
"Bukankah hal ini sangat baik ?" tukas Sun Tiong lo. Beng Liau huan
sudah mulai agak mendongkol tanpa terasa
diapun mempertinggi suaranya sambil berseru. "Kongcu, lohu ingin
bertanya kepadamu, di dalam memilih calon
istri, kongcu lebih mementingkan soal lemah lembutnya dan tata
kesopanannya ataukah letih mementingkan soal paras muka serta
besarnya mas kawin ?"
"Tentu saja memilih soal lemah lembutnya, budi kejujurannya serta tata
kesopanannya."
"Coba kauIihat, sifat orang she Khong itu jauh lebih keji daripada ular
serta kala jangking beracun."
"Cengcu, aku lihat kau terlalu menguatirkan keadaan orang." ucap Sun
Tiong lo sambil tertawa. "coba bayangkan saja, Sancu bukit ini
benar-benar seorang manusia sembarang, andaikata orang she Khong
itu benar benar berhati busuk seperti ular berbisa, bertindak tanduk
buas seperti harimau, memangnya Sancu..."
"Dia adalah harimaunya, dan Khong It-hong, adalah serigalanya." tukas
Beng Liau-huan.
Sekali lagi Sun Tiong lo tertawa.
"Sebuas-buasnya harimau, dia tak akan melalap anaknya sendiri, tentu
cengcu pernah dengar akan perkataan ini bukan ?"
Dengan gusar Beng Liautniart memandang sekejap ke arah Sun Tiong
lo, kemudian katanya dengan suara rendah dan berat.
"Betul, sebuasnya harimau tak akan melalap anaknya sendiri, tetapi jika
sudah dipelihara oleh harimau, maka anaknya juga pasti akan menjadi
buas seperti induk harimau, kecuali kongcu memang berharap nona
menjadi manusia berwatak harimau dan serigala kalau tidak!"
Sun Tiong lo segera menepuk nepuk bahu Beng liau-huan, kemudian
ujarnya lembut:
"Cengcu. harap kau jangan emosi dulu, sekalipun aku bersedia
meluluskan permintaan cengcu, hal ini juga tergantung kepada nona
sendiri bersedia untuk mengikuti aku apa tidak"
Beng liau-huan menatap Sun tiang lo tajam, lalu katanya: "Soal ini
tergantung pada kongcu seorang!" "Dari manakah kau bisa
mengatakan kalau tergantung aku
seorang?" tanya Sun Tiong lo agak tertegun tampaknya. Beng
liau-huan mengerutkan dahi, katanya: "Kongcu benar-benar
tidak mengerti ataukah sudah tahu pura-pura bertanya?" Sun Tiong lo
gelengkan kepalanya berulang kali. "Kalau aku sudah tahu, mengapa
harus pura bertanya?" ia balik
bertanya. "Oooh . . . masakah kongcu belum dapat merasakan kalau
nona
sudah menaruh hati kepadamu?" "Menaruh hati apa?" kata Sun Tiong lo
tercengang, "dia.... dia..." "Setiap orang yang naik ke bukit ini, paling
banter dia hanya
mendapat kesempatan untuk menjadi tamu agung selama tiga hari
disini" ucap Beng Liau-huan, "tapi ia telah melanggar kebiasaan tersebut
kepadamu sedangkan loteng impian juga merupakan
tempat kediaman pribadinya, dihari-hari biasa selain dua orang yang
boleh kesitu, siapa saja dilarang mendekati tapi diapun memberikan
tempatnya kepadamu."
"Cengcu, dihari hari biasa dua orang yang manakah yang diijinkan
memasuki loteng impian?"
Beng Liau huan memandang sekejap ke arah nya, lalu tegasnya sambil
tersenyum:
"Kongcu, mengapa kau ajukan pertanyaan ini?" "Aaah, aku cuma
bertanya seadanya saja." sahut Sun Tiong lo
dengan wajah memerah. Sambil tertawa Beng Liauhuan gelengkan
kepalanya berulang
kali, ucapnya. "Jika kau tidak menaruh perhatian kenapa musti
mengajukan
pertanyaan itu? Kalau sudah ditanyakan, itu berarti kau memang
menaruh perhatian khusus."
Sun Tiong lo menjadi jengah sekali, sambil tertawa rikuh katanya:
"Aaah, terserah apa pun yang dikatakan cengcu." Beng Liau huan
segera tertawa, setelah termenung sebentar
katanya: "Orang yang diijinkan naik keatas loteng impian, selain Sancu
pribadi, yang seorang adalah..." "Apakah Khong It hong?!" tukas Sun
Tiong lo. Beng liau huan
segera manggut-manggut. "Ya, benar memang manusia bedebah yang
berhati kejam itu!" Sun Tiong lo tidak berkata lagi, dia hanya
membungkam sambil
termenung. Beng liau-huan segera
berkata lagi:
"Kong cu, tahukan kau bahwa selama ini belum pernah nona membawa
orang mengunjungi loteng Hian ki lo, apa lagi memberikan petunjuk
kepada seseorang jalan yang mesti dilewati untuk melarikan diri!"
"Sebenarnya semua hal tersebut sudah sepantasnya dia lakukan!" ujar
Sun Tiong lo hambar.
"Kongcu, sebenarnya kau maksud apa?" sekali lagi Beng Liauhuan
berusaha mancing.
"Cengcu, untung saja aku masih ada waktu beberapa hari lagi sebelum
pergi, bagaimana kalau kita bicarakan persoalan ini beberapa hari lagi?"
Dengan perasaan apa boleh buat Beng liau huan menghela nafas
panjang, dan sahutnya:
"Yaa, terserah pada kongcu sendiri!" Berbicara sampai disitu, dia
lantas mengambil keluar sejilid kitab
dari sakunya, dalam kitab itu terselip sepucuk surat dan diangsurkan
kepada Sun Tiong lo sambil katanya.
"lnilah titipan dari lohu, harap kongcu bersedia untuk menerimanya."
Sun Tiong lo menerima kitab tersebut tanpa dilihat lagi benda tadi
dimasukkan kesakunya.
Saat itulah dari luar ruangan tengah kebetulan terdengar Beng seng
sedang berseru:
"Chin cong koan telah datang, apakah nona masih ada perintah yang
lain.?"
Agaknya sinona gelengkan kepalanya maka terdengar Beng Seng
berkata lagi:
"Tolong tanya nona, majikan hamba..." "Ada dikamar baca, pergilah
kau untuk melayaninya!" tukas si
nona dengan cepat.
Menyusul kemudian terdengar suara langkah kaki Beng Seng bergema
mendekati kamar baca itu.
Dikala Beng Seng masuk kedalam kamar baca, dari ruang tengah
kebenaran sedang terdengar suara pembicaraan dari Chin Hui hou.
Terdengar Chm Hui hou dengan sikap yang sangat menghormat sedang
berkata kepada si nona:
"Ada apa nona mengundang kehadiran hamba?" Kemunculan Chin
Hui hou agaknya si nona sudah melihat bekas
luka diatas wajah-nya, dia lantas menegur: "Kau terluka?" "Yaa, hamba
jatuh terjerembab ke atas tanah, mukaku kena
gesek batu sehingga terluka..." "Oooh .... . .kenapa bisa terjerembab
ketanah?" Dengan kepala tertunduk sahut Chin Hui hou: "Hamba
dipukul
roboh oleh Sun kongcu..." "Aaaah! Sun kongcu yang mana...?" seru si
nona sambil menjerit
kaget. "Sun kongcu yang menyerbu keatas bukit itu!" si nona segera
mendengus. "Hmm ! apa sebabnya kau kena dirobohkan olehnya?"
"Masing-masing pihak ingin mencoba ilmu silat, maka kamipun
membuat sebuah garis lingkaran seluas satu kaki, siapa yang keluar
dari garis lingkaran itu akan dianggap kalah, hamba..."
"Kau kalah?" bentak si nona dengan gusar. Chin Hui hou segera
menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tidak, hamba menang!"
sahutnya. "Chin Hui hou, aku lihat nyalimu makin lama semakin
besar, kau
berani membohongi aku?"
""Hamba tidak berani membohongi nona." Si nona segera mendengus
dingin.
"Hmm! Kalau toh kau kena dihantam sampai keluar garis, bahkan
terluka lagi?, kenapa kau dikatakan menang?!"
"Selama pertarungan ini dilangsungkan Sun tongcu yang satunya
bertindak sebagai saksi, kami telah berjanji pertarungan ini cuma
terbatas saling menutul dilarang melukai, kalau tidak maka orang yang
terluka itu di anggap sebagai pemenang."
Mendengar jawaban tersebut kontan saja sinona cekikikan, dan
serunya:
"Sudahlah terang mereka bermaksud untuk mempermainkan dirimu, tak
tahunya kau malah termakan oleh jebakan mereka!"
Chin hui hou sengaja berbicara terus terang hal ini disebabkan karena
dia memang berniat untuk main licik, maka setelah mendengar ucapan
dari sinona, dengan cepat dia tunjukkan muka rikuh dan minta belas
kasihan, dan katanya:
"Ya, siapa bilang tidak, cuma sayang aku tak dapat memahami kelicikan
mereka saat itu!"
Setelah terkejut tertawa tadi, sinona sudah merasa menyesal sekali,
maka dalam kata-kata inilah dia mengumbar hawa amarahnya.
"Hmm ! Kau sebagai seorang congkoan dari bukit ini, seharusnya juga
tahu akan peraturan dari bukit kita ini, selamanya peraturan kita pegang
teguh, mengapa kau sekarang berani beradu kepandaian dengan Sun
kongcu sebagai tamu agung kita. Apakah dalam pandanganmu sudah
tiada peraturan lagi:
"Sebenarnya hamba tidak berani berbuat demikian, adalah Sun kongcu
yang menjadi saksi yang berkata kalau urusan ini adalah urusan pribadi,
lagi pula saling mengukur ilmu silat juga tidak terhitung seberapa..."
"Sun kongcu adalah tamu agung kami" bentak si nona dengan marah,
"apa pun yang dia katakan, boleh saja dia utarakan, tapi tidak demikian
dengan kau. Apakah urusan pribadi yang dikatakan Sun kongcu juga
merupakan urusan pribadimu ?"
"Hamba tahu salah!" Si nona segera mendengus, kembali katanya:
"Bila Sancu telah pulang nanti, ia akan membereskan sendiri
persoalan ini, sekarang aku hendak menanyakan lagi suatu masalah
yang lain, tapi kuperingatkan dulu kepadamu, kau harus menjawab
sejujurnya!"
"Baik hamba tak berani berbohong!" Si nona segera mendengus
dingin, katanya: "Khong lt-hong telah pulang, tahukah kau?" Sahut
Chin hui hou sambil diam dianm menggigit bibirnya
kencang kencang: "Hamba tahu!" "Kenapa tidak kau laporkan
kedatangannya itu padaku?" teriak si
nona dengan gusar. "Tadi hamba telah datang kemari, maksudku adalah
untuk
melaporkan kejadian ini kepada nona, tapi Sun kongcu yang nyerbu
bukit itu menghalangi hamba, katanya nona dan seorang Sun kongcu
yang satu sedang membicarakan soal penting didalam kamar buku..."
"Maka dari itu kau lantas mengundurkan diri dari ruangan ini ?" bentak
si nona dengan suara dalam.
"Benar!" jawab Chin Hui hou dengan hormat, "hamba tidak berani
mengganggu ketenangan nona."
"Sejak kapan sih kau berubah menjadi seorang pengecut yang bernyali
kecil?"
Chin Hui-hou tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya dan
tidak berbicara maupun bergerak.
Dengan demikian, si nona pun tidak berhasil memegang titik kelemahan
Chin Hui hou dalam peristiwa ini, maka dia berkata lagi.
"Besok pagi, kau temani lagi kedua orang Sun kongcu untuk berjalan
jalan ke bukit sebelah depan, ingat ! Kau harus melayaninya seperti
tamu agung, jika sampai terjadi suatu peristiwa lagi, hmm ! Hmm !"
Dengan suara menghormat Chin Hui hou mengiakan. "Baik nona,
cuma hamba kuatir besok tak bisa menemani Sun
kongcu berdua !" "Berhakkah kau mengucapkan kata kata semacam
itu?" teriak si
nona dengan mata melotot. "Nona, kau tidak tahu, barusan Khong ya
memerintahkan kepada
hamba, agar besok pagi..." "Tutup mulut!" bentak si nona dengan suara
dalam, "Chin Hui
hou ! Kau harus tahu, Bukit ini adalah bukit kepunyaan keluarga Mo,
aku adalah nona dari keluarga Mo, selama sancu tidak ada, akulah
orang yang berhak memberi perintah..."
Belum habis perkataan itu diucapkan Khong It liong dengan wajah
sedingin es telah masuk dalam ruangan tengah.
Begitu melangkah masuk dalam ruangan, dia lantas menegur. "Adik
Kim, tidak seharusnya kau berkata demikian !" "Kalau tidak
dikatakan begini, lantas apa yang harus kukatakan?"
seni si nona dengan mata dingin. "Adik Kim, bukannya kau tidak tahu,
selama beberapa tahun
belakangan ini, setiap kali san cu sedang pergi, semua urusan dibukit ini
diserahkan kepada siau heng, segala sesuatunya siau henglah
mengambil keputusan, tampaknya untuk kali inipun tiada
pengecuaIiannya bukan." kata Khong It hong dingin.
"Khong It hong memang betul ayahku sedang keluar rumah, dikala
yang memegang kekuasaan, tapi setiap kali kau selalu diberi perintah
lewat surat, apakah kali ini kau juga mendapat perintah surat..?"
Khong It hong tertawa seram. "Adik Kim, rupanya kau sedang
menggoda aku, masa kau lupa,
dikala Sancu pergi hari ini, siau heng belum lagi kembali kegunung,
mana mungkin sancu bisa menyerahkan lencana San leng kepada
siauheng ?"
"Oooh....kalau begitu, kali ini kau tidak memiliki lencana San leng
bukan ?"
"Yaa, tidak ada !" Si nona segera tertawa dingin. "Lantas atas dasar
apakah kau hendak memerintah bukit kali
ini?" ejeknya. "Tadikan sudah siau heng katakan, semuanya ini adalah
peraturan yang sudah terbiasa suatu kebiasaan, otomatis selamanya
juga akan berlangsung begitu!"
"Benarkah demikian?" ejek sinona sambil tertawa dingin. Kong lt hong
juga tertawa dingin. "Siauheng tidak melihat sesuatu yang tidak
leluasa atau
melanggar kebiasaan!" Mencorong sinar tajam dari balik matanya si
nona, sepatah demi
sepatah dengan serius, dia bertanya. "Khong It hong apakah kau
adalah anggauta bukit kami?" Khong It hong mengerutkan dahinya
paras-mukanya juga makin
lama makin tak sedap dilihat, serunya: "Siauheng adalah murid san cu,
dan lagi akupun ponakannya,
dan tentu saja aku adalah anggota dari bukit ini!"
Si nona segera mendengus dingin. "Kalau begitu aku ingin bertanya
kepadamu peraturan lebih
besar, atau kebiasaan lebih besar, atau lencana San leng yang lebih
besar?"
"Tentu saja Sanleng merupakan benda yang paling besar dan paling
tinggi!" sahut Khong-It hong tanpa berpikir panjang lagi.
Si nonapun segera mendengus marah, dengan cepat dia merogoh
kedalam sakunya dan mengeluarkan sebatang lencana San leng yang
ber warna emas, dan bentaknya:
"Khong It hong, kau kenal dengan benda ini?" Baik Khong It hong
maupun Chin hui hou sama-sama dibuat
melongo sesudah menyaksikan benda tersebut, tetapi mereka tidak
berani berayal lagi buru buru sahutnya hormat:
"Hamba menjumpai San leng!" Seraya berkata kedua orang itu
bersama-sama menjatuhkan diri
berlutut keatas tanah. Si nona menggertak giginya kencang kencang:
lalu kepada Chin
Hui hou serunya. "Chin Hui hou segera bunyikan Genta emas!" Begitu
mendengar ucapan "membunyikan genta emas", Chin Hui
hou menjadi pucat pias seperti mayat, saking takutnya dia sampai
melongo dan termangu-mangu.
Beberapa saat kemudian dia baru berkata dengan suara gemetar.
"Nona ijinkan hamba... hamba untuk mengucapkan
bebe...beberapa patah kata !" Sementara itu muka Khong It hong telah
berubah menjadi pucat
kehijau-hijauan, dengan suara mendongkol dan gemetar serunya.
"Chin Hui hou, bila kau berani mintakan ampun kepadaku, hatihati
dengan selembar jiwa anjingmu dikemudian hari!"
"Khong It hong!" teriak si nona dengan suara dalam, "berada dihadapan
lencana Kim Ieng kau berani bicara sembarangan? Hmr! Kau terlalu
menghina kewibawaan lencana San leng ini, kau anggap nona tak
berani menghukum kau ?"
"Nona Kim, lebih baik lagi jika hari ini kau bunuh sekalian aku orang she
Khong!" seru Khong It hong sambil tertawa dingin.
Chin Hui hou yang berada disampingnya segera berseru. "Sauya,
buat apa kau musti nekad ?" Khong It hong segera mendengus
dingin. "Hmm!Jika kau tak
berani dengan nona Kim lebih baik tak usah banyak bacot !" sementara
itu si nona sudah mencak mencak karena gusar, bentaknya sekali lagi.
"Chin Hui hou, kau berani membangkang perintah?" Chin Hui hou
segera menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Nona, harap redakan dulu hawa amarahmu, bila genta emas
dibunyikan delapan orang Tiang lo pasti akan berkumpul diruangan ini
untuk menunggu petunjuk, coba bayangkan nona, bagaimana
pertanggungan jawabmu nanti terhadap tianglo berdelapan ?"
"Soal itu adalah urusan nonamu sendiri, kau tak usah banyak bertanya!"
bentak si nona dengan marah.
"Nona, Sancu sendiripun andaikata tidak menjumpai persoalan besar
yang penting dan serius, dia tak akan berani mengganggu tianglo
berdelapan, tapi sekarang dalam marahnya saja nona akan
membunyikan genta emas itu."
"Chin Hui hou!" "hardik si nona, "jika kau berani membangkang
perintahku lagi,
segera kubunuh dirimu !" Dengan perasaan apa boleh buat pelan-pelan
Chin Hui hou
bangkit berdiri lalu mengundurkan diri dari ruangan itu.
Khong It hong tetap berlutut diatas tanah, sinar matanya memancarkan
cahaya berapi-api mukanya tampak menyeringai menyeramkan.
Sesaat kemudian suara genta oerbunyi bertalu-talu dan menggema
diseluruh bukit.
Waktu itu, Sun Tiong lo yang berada di dalam kamar baca sedang
memberi tanda kepada Bau-ji untuk meninggalkan sedikit celah pada
pintu, kemudian sambil mendekati Beng Liau huan tanyanya dengan
suara lirih.
"Cengcu, ke delapan orang tianglo tersebut adalah manusia ada dalam
bukit ini ?"
"Mengenai soal itu, lohu telah mencatatnya dengan jelas dalam kitab
kecil itu, cuma lohu tidak menyangka kalau didalam gusarnya, nona
telah membunyikan genta emas dan mengumpulkan delapan orang
tianglo."
"Bagaimanakan tenaga dalam yang dimiliki delapan orang tianglo itu ?"
tanya Sun Tiong-lo lagi.
"Kecuali Sancu, tiada seorang manusia pun yang sanggup menandingi
mereka...."
"Apakah cengcu tahu tentang nama mereka" kembali Sun Tiong lo
bertanya dengan kening berkerut.
Beng Liau huan segera menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Selama belasan tahun, lohu hanya sempat bertemu dua kali
dengan mereka, pertama kali adalah pada malam perkampungan
keluarga Beng kami ini dihancurkan, kedua kalinya adalah pada hari
Tiong ciu delapan tahun berselang !"
"Apakah mereka baru munculkan diri setiap hari Tiong ciu ?" Sekali
lagi Beng Liau huan menggelengkan kepalanya. "Tidak, tempo hari
hanya secara kebetulan saja, kebetulan waktu
itu malam Tiong ciu, San cu belum pulang, dibukit ini telah
kemasukan jago lihay yang hendak mencuri barang mestika, para
huhoat penjaga bukit serta para congkoan tak sanggup menahan diri,
maka...."
"Berapa orang jagokah yang terlibat dalam pencurian mestika waktu
itu..?"
"Beng Liau huan berpikir sebentar, kemudian menjawab. "Mereka
berlima !" "0ooh...berapa orang huhoat penjaga bukit dan congkoan
yang
bertugas hari itu ?" "Semuanya dua belas orang !" Sun Tiong lo
manggut2, katanya kemudian. "Kalau begitu, ilmu silat yang dimiliki
kelima orang tamu tak
diundang itu lihay sekali?" "Ya, mereka adalah Pi-an-say-ngo-ciat (lima
manusia ampuh dari
pinggir perbatasan) yang tersohor namanya dalam dunia persilatan itu!"
Mendengar nama itu, paras muka Sun Tiong lo berubah, katanya.
"Ngo-ciat bukan termasuk manusia bengis yang berperangai
jahat, masa mereka datang kemari untuk mencari mestika ?" "Setelah
kejadian itu lohu baru tahu kalau putra tunggal loji dari
Ngo ciat telah dibekuk orang, pihak lawan meninggalkan surat yang
menitahkan kepada mereka untuk menukar bocah itu dengan seratus
biji buah aneh dari bukit ini, maka..."
"Dengan tingkat kedudukan serta nama besar yang dimiliki Ngociat
seharusnya mereka langsung mencari si penculik tersebut."
"Sayang. pihak lawan sangat lihay, cara kerjanya amat rahasia dan
sukar lagi untuk menduga siapa orangnya, dimana tempat tinggalnya
karena itu terpaksa mereka harus naik gunung, untuk meminta buah
aneh itu, merekapun menerangkan bila orang itu sudah menampakkan
diri, mereka pasti tak akan menyerahkan buah
aneh itu kepada mereka, sebab tujuan mereka hanyalah untuk memakai
buah tersebut sebagai umpan guna membekuk para manusia terkutuk
itu."
"Ehmm... cara kerja Ngo ciat memang tak lepas dari tindak tanduk
seorang enghiong dan mungkin lantaran perundingan itu tidak
mendatangkan hasil dalam keadaan tak berdaya, Ngo ciat terpaksa
harus naik ke gunung untuk mencuri buah aneh itu !"
"Yaa, memang begitulah kenyataannya." "Akhirnya apakah Pian say
ngo ciat kena dibekuk oleh delapan
orang tianglo tersebut?" tanya Sun Tiong lo dengan kening berkerut.
Beng Liau huan menghela nafas panjang. "Aaaii... ngo ciat memang
jago jago yang hebat, ketika terkurung
mereka berikan perlawanan yang gigih sekali, ketika pertarungan
berdarah sudah berlangsung setengah harian, tapi harapan untuk
memperoleh buah aneh itu hilang dan kemungkinan untuk lolos juga
tak ada, merekapun bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya !"
Sun Tiong lo menghela nafas panjang. "Aaaii... rupanya begitu,
sungguh teramat sayang." katanya. Setelah berhenti sejenak, dia
melanjutkan. "Cuma dengan kemampuan delapan orang tianglo itu
untuk
mengerubuti ngo ciat, meski ngo ciat mati secara gagah, namun dari
sinipun dapat diketahui kalau kepandaian yang dimiliki delapan orang
tianglo itu sungguh amat dahsyat."
-ooo0dw0ooo-
BAB SEBELAS
BARU SAJA Beng Liau huan hendak menjawab, dari balik celah pintu
sudah berkumandang suara pembicaraan yang sangat nyaring.
Suara itu bergema bagaikan guntur yang membelah bumi ditengah hari
bolong.
"Pat tek pat lo mendapat perintah lonceng emas datang berkumpul,
silahkan Kim leng memberi perintah !"
Menyusul kemudian terdengar suara nona bergema. "Silahkan Tiong
lo untuk memeriksa Kim leng !" Jawaban dari Tiong lo amat cepat:
"Lohu terima perintah!" Suasana dilain ruangan itu hening untuk
beberapa saat,
menyusul kemudian suara dari Tiong lo berkumandang lagi: "Yaa,
Kim-leng ini memang benar Kim leng asli cari perguruan
kami, lohu sekalian siap menunggu perintah." Suara si nona pun
berubah menjadi jauh lebih halus dan lembut,
katanya kemudian: "Pat-lo, silahkan duduk untuk berbincang-bincang!"
Delapan orang kakek itu mengiakan dan sama-sama duduk. Sementara
itu, Sun Tiong lo telah berbisik kepada Bau-ji: "Baik-baik menjaga pintu
ini, jangan sampai bersuara, aku akan
mengintip ke sana!" "Dari sinipun dapat mendengar pembicaraan
mereka, kenapa
harus menyerempet bahaya?!" cegah Bau ji. Sun Tiong-lo gelengkan
kepalanya berulang kali, sahutnya: "Aku harus berusaha untuk
mengenali paras muka mereka semua
!" Baru selesai ucapan tersebut, Sun Tiong-lo telah menyelinap
keluar dari dalam kamar baca. Dari sikap si nona yang begitu menaruh
hormat kepada delapan
orang kakek tersebut, dia menduga ilmu silat yang dimiliki ke
delapan orang kakek tersebut pasti lihay sekali, dia tak berani mengintip
dari belakang pintu ruangan, maka diam-diam dia menyelinap melalui
belakang pintu tersebut.
Tatkala dia sudah melingkari ruangan dan tiba di sebelah kanan untuk
mencari tempat persembunyian, kebetulan dari dalam ruangan itu
sedang berkumandang suara dari si nona.
Terlihat si nona sedang menuding ke arah Khong It-hong dan berseru
dengan suara keras.
"Sekarang, tiba saatnya bagimu untuk memberi penjelasan kepada
delapan tianglo !"
Dengan sangat berhati-hati sekali Sun Tiong-lo mengintip ke dalam
ruangan, dia hanya menyaksikan sepasang bahu dan bagian atas tubuh
Khong It-hong serta empat dari delapan kakek itu, sementara empat
yang duduk di sebelah kanan cuma tampak bayangan punggungnya
saja.
Meski demikian, empat orang kakek di sebelah kiri yang dapat terlihat
itu pun sudah cukup menggetarkan perasaan Sun Tiong-lo.
Empat oranp itu memakai baju dengan dandanan yang sama,
satu-satunya perbedaan hanyalah pada lencana emas yang tergantung di
atas dada masing-masing orang.
Pada lencana emas itu terteralah huruf-huruf yang berbeda, yakni Iiong,
siau, Jin, Ay,
Tak bisa di sangkal lagi, tulisan pada lencana emas yang dikenakan
empat kakek disebelah kanan yang tidak nampak paras makanya itu
adalah Kim, Gi, Hoo dan Peng.
Dengan cepat Sun Tiong-lo mengingat baik-baik paras muka emnat
orang kakek yang berada disebelah kiri itu, sedangkan terhadap tanya
jawab yang sedang berlangsung sama sekali tidak tertarik.
Maka diam-diam diapun menyelinap kesebelah kiri ruangan untuk
mengintip paras muka dari empat orang kakek yang duduk disebelah
kanan itu.
Benar juga, tulisan yang tertera diatas lencana emas yang dikenakan
keempat orang kakek itu adalah Sim, Gi, Hoo dan Peng.
Setelah melihat jelas paras muka ke delapan orang kakek itu Sun Tiong
lo merasakan hatinya tergerak, diam-diam diapun tersenyum.
Kini paras muka kedelapan orang tlonglo itu sudah diingat olehnya,
maka pemuda itupun dapat mengikuti tanya jawab yang sedang
berlangsung itu dengan lega hati.
Saat itu, kebetulan Khong It hong sedang menjawab: "lt hong tak
ingin banyak menyangkal..." Tapi sebelum ucapan tersebut selesai,
kakek liong dari antara
delepan kakek itu sudah membentak dengan suara dalam: "Tutup
mulut!" Setelah berhenti sebentar katanya lebih lanjut: "Khong It-hong,
dihadapan Kim leng, di hadapan lohu
bersaudara, kau menyebut apa kepada dirimu?" Diam-diam Khong It
hong menggertak giginya menahan diri,
kemudian sahutnya: "Hamba tak ingin banyak membantah." Kakek
Liong mendengus
gusar, kembali tukasnya. "Khong lt hong, dengarkan baik-baik, berada
dibawah perintah
Kim leng, persoalannya bukan kau bersedia membantah atau tidak,
melainkan kau wajib dan harus patuh!"
Khong It hong merasakan sekujur badannya menggigil keras, sambil
mengigit bibir serunya.
"Hamba mengaku salah, tidak membantah toh boleh saja bukan ?"
Pada saat itulah si nona baru mendengus dingin, kepada kakek Tiong.
katanya:
"Kakek Tiong, sekarang tentunya kau telah menyaksikan segala
sesuatunya dengan mata kepala sendiri bukan ?"
"Benar!" sahut kakek Tiong seraya menjura. "berada di hadapan
Kim-leng, lohu bersaudara pasti akan memberikan keputusan yang
adil."
Si nona kembali mendenguar katanya: "Sekarang Sancu masih ada
dan kebetulan saja baru pergi keluar
tapi Khong It-hong sudah berani menghina Kim leng, memandang
rendah Pat-lo, andaikata ia sampai memegang kekuasaan suatu saat,
bagaimana jadinya nanti?"
Kakek Tiong kembali mengiakan segera ujarnya kepada Khong Ithong
dengan suara dalam.
"Khong It-hong, kau mengaku salah ?" Knong It-hong kembali
mendengus dingin. "Kakek Tiong telah memperingatkan kepada hamba
tadi,dihadapan Kim leng, apalagi dihadapan Pat lo, sekalipun hati hamba
terasa terhina dan banyak alasan yang hendak kukemukakan, tapi apa
pula gunanya ?"
"Lohu pasti akan memberi kesempatan kepadamu untuk memberi
penjelasan menurut suara hatimu!" jawab kakek Tiong sambil tertawa
dingin.
Kakek Liau segera menyambung pula. "Sekalipun nona memegang
lencana Kim leng, kau berharap
mendapat kesempatan untuk berbicara!" Dengan wajah menyeringai
dan mata memancarkan sinar gusar
dan dendam, Khong It hong melotot sekejap ke arah si nona, kemudian
katanya.
"Ucapan Pat lo memang benar, tapi hamba bersedia melepaskan
kesempatan tersebut !"
"Kenapa ?" "Hamba tak dapat mengaku ?" kata Khong lt hong
sambil tertawa
seram. "Khong It hong" ujar Kakek Tiong sambil berkerut kening-
"besar
amat nyalimu dan tajam benar selembar mulutmu!" "Heeh... heeehhh....
heeehh... tapi semuanya adalah
kenyataan,dan kenyataan memang lebih menang daripada sanggahan."
Kakek Tiong menjadi teramat gusar, segera bentaknya. "Hayo bicara,
kau harus mengutarakan semua kenyataan itu
dengan sejelas-jelasnya!" Khong It hong memandang sekejap kearah
lencana Kim leng
yang berada ditangan nona kemudian katanya: "Harap pat lo maklum,
dengan lencana Kim-leng diacungkan
diudara, hamba mana berani berbicara!" Mendengar ucapan tersebut, si
nona menjadi mendongkol dia
sudah bersiap siap untuk menyimpan tanda leng pay itu dan mengajak
Khong It hong berdebat, tapi pada saat itulah mendadak ia mendapat
bisikan lirih sekali yang segera membatalkan niat nona itu untuk
menyimpan kembali lencananya.
Menyusul kemudian, dengan senyuman dikulum si nona berkata kepada
Khong lt hong dengan nada mengejek:
"Kau memang sangat pintar, rupanya kamu sengaja memancing
kemarahanku agar aku menyimpan kembali lencana Kim leng tersebut,
kemudian kaupun akan mempergunakan ketajaman lidahmu untuk
memutar balikkan keadaan, hmm...! Jangan mimpi"
Mendengar perkataan itu paras muka Khong it hong berubah hebat,
belum sempat dia berbicara sinona lelah berseru dengan lantang:
"Dimana Chin hui hou?" Chin hui hou segera mengiakan dan
menjatuhkan diri berlutut
diatas tanah. Dengan suara dalam sinona membentak: "Ceritakan
semua apa yang kau alami dan saksikan dengan
sejujurnya." Sekalipun Chin hui hou sangat berpihak kepada Khong it
hong
namun dia tidak berani membangkang perintah Kim leng, apalagi hadir
delapan tianglo di situ, dia semakin tak berani membohong lagi,
terpaksa semua yang diketahuinya dibeberkan sejujurnya.
Ketika Chin Hui hou telah selesai berkata, sinona baru berpaling kearah
delapan tianglo sambil berkata: "Tolong tanya Pat lo, apakah ucapan
dari Chin Hui-hou ini bisa dipercaya ?"
Kakek Tiong segera menjura, sahutnya: "Apa yang dikatakan Chin
Hui hou memang persis seperti apa
yang dikatakan nona, tentu saja dapat dipercaya !" Tapi sinona segera
menggelengkan kepala nya berulang kali,
ujarnya dengan serius: "Tidak, aku harus membuat Khong It hong
mengakuinya dengan
hati yang takluk !" Pada saat itu sifat bengis Khong It-hong sudah jauh
berkurang,
tidak menanti sinona bertanya kepadanya, dia telah menjawab:
"Hamba mengakui semua kenyataan tersebut, cuma..." "Hmm ! Kali ini
kau sudah mengakui bahwa semua kejadian itu
benar?!" "Yaa, cuma hamba masih ada hal lain yang perlu
disampaikan !"
Dengan wajah membesi sinona segera berpaling kearah kakek Tiong,
tanyanya:
"Apakah Pat lo masih butuh mendengarkan pengakuannya menurut versi
yang dia karang sendiri ?"
Dengan gusar kakek Tiong memandang wajah Khong It hong sekejap,
lalu sahutnya:
"Nona, lohu sekalian merasa bahwa hal ini sudah tidak penting lagi, apa
yang sudah kami dengar, rasanya sudah lebih dari cukup !"
Si nona segera manggut-manggut, katanya kemudian: "Kalau
memang begitu, pat lo telah menjatuhkan vonis bahwa
Khong It-hong bersalah?" Kakek Tiong mengiakan. Si nonapun bertanya
lagi: "Untuk dosa serta kesalahan yang telah dilakukannya itu, dan
hukuman apakah yang akan dijatuhkan kepadanya?" Kakek Tiong saling
berpandangan sekejap dengan ketujuh orang
kakek lainnya, lalu: "Lohu rasa, Khong It hong sudah sepantasnya kalau
dijebloskan
keruang siksa tingkat yang delapan belas untuk bekerja keras selama
seratus hari lamanya!"
Sinona termenung dan berpikir sebentar dan sambil mengacungkan
lencana Kim leng nya diapun berseru.
"Kcputusan telah dijatuhkan, diharap kakek Tiong membawa siterhukum
menuju ketempat penyiksaan!"
Setelah berhenti sebentar, dia berkata: "Jika urusan disini telah
selesai, di pergilah Pat lo kembali ke
istana Sinkiong!" Delapan orang kakek itu segera mengiakan.
Mendadak Khong Ithong
berteriak keras:
"Nona Kim bersekongkol dengan musuh dari luar..." Kakek Tiong
mendengus dingin, jari tangan nya segera di
ayunkan kemuka dan menotok jalan darah bisu ditubuh Khong It hong,
Dengan marah kakek Siau berkata pula: "Itulah yang dinamakan
mencari penyakit buat diri sendiri, ayoh
cepat menggelinding dari sini dan turut lohu bersaudara pergi ketempat
hukuman!"
Paras muka Khong It hong berubah pucat pias bagai mayat, sambil
berdiri dari tanah, dengan gemas dia melotot sekejap kearah si-nona
dan tanpa berpaling lagi dia berjalan keluar Iebih dulu dari ruangan.
Delapan orang kakek itu segera memberi hormat kepada sinona,
kemudian baru mengundurkan diri dari ruangan.
Sepeninggal delapan orang kakek itu, dengan sinar mata setajam
sembilu sinona baru--melotot kearah Chin Hui hou, katanya.
"Chin Hui-hou, sekarang tiba giliranmu !" Chin Hui hou mendekam
diatas tanah tak berani berkutik selama
ini, dia tak pernah mendongakkan kepalanya.. Ketika mendengar
perkataan itu, dengan badan menggigil karena
ketakutan serunya. "Nona, ampunilah jiwaku..." "Hayo bicara !" bentak
nona dengan suara dalam, "dari mana
datangnya luka diatas mukamu itu?!" Chin Hui hou tak berani berayal
lagi, secara ringkas dia lantas
menceritakan apa yang telah dialaminya.. Mendengar cerita tersebut,
sinona segera mendengus dingin,
katanya:
"Didalam persoalan ini kau juga tak akan lolos dari hukuman berat..."
Kemudian dengan nada berubah, katanya. "Tidak sampai berapa hari
lagi Sancu akan pulang, selama beberapa hari ini, kau harus lebih
berhati-hati."
Chin Hui hou mengiakan berulang kali, Maka sinonapun menyimpan
kembali lencana Kim lengnya, lalu sambil mengulapkan tangannya dia
membentak:
"Enyah kau dari sini, cepatlah kau panggil kemari "Kim poo cu!"
Mengetahui kalau dirinya mendapat pengampunan, Chin hui hou
menjadi girang sekali, dengan cepat dia mengundurkan diri dari
ruangan dan buru buru berlalu dari sana.
Sementara itu Sun Tiong lo sudah balik ke-kamar baca, kepada Bau ji
dia lantas berkata.
"Toako, tunggu aku disini, siaute akan pergi dahulu sebentar. "Kau
akan pergi kemana Iagi?" tanya Bau ji dengan tertegun. Sun
Tionglopun segera gelengkan kepalanya berulang kali dan
katanya: "Toako, sekarang kau jangan bertanya dulu. lain kali, siaute
pasti
akan menerangkan lebih jelas lagi kcpadamu." Setelah berhenti
sejenak, Katanya lagi: "Sebelum kentongan ketiga nanti, jika siaute
belum juga kembali
silahkan toako kembali dulu ke loteng, andaikata nona menanyakan
tentangku,, maka toako bisa mengadakan kalau badanku tidak enak
dan telah pulang dahulu ke-loteng impian untuk pergi tidur!"
Berbicara sampai disitu, tak menunggu pertanyaan dari Bau ji agir dia
segera berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
-ooo0dw0oooSEMBILAN
sosok bayangan manusia bersemi ditengah tanah lapang luas
yang penuh dengan semak belukar.
Mendadak kesembilan sosok bayangan manusia itu lenyap dengan
begitu saja.
Sesosok bayangan manusia lain yang berada ditempat kejauhan segera
mengerutkan dahinya setelah menyaksikan kejadian itu.
Tampak bayangan manusia itu termenung sebentar, kemudian dengan
suatu gerakan yang amat cepat meluncur kearena tersebut.
Hari ini meski langit tak berbulan, namun secara lamat-lamat dapat
terlihat jelas bayangan serta paras muka orang itu.
Dia memakai jubah panjang dengan wajah yang tampan, cuma sayang
berwarna kuning kepucat-pucatan seperti wajah seorang yang baru
sembuh dari penyakit berat, sementara sepasang matanya dengan tajam
mengawasi sekeliling tempat itu.
Tempat dimana dia berada adalah sebuah tanah lapang berumput yang
setinggi lutut.
Dibalik semak belukar itu tentu saja terdapat batu-batu cadas, ada yang
besar ada pula yang kecil, tapi selain itu tidak nampak sesuatu yang
mencurigakan lagi.
Bayangan manusia itu segera berkerut kening, menggelengkan
kepalanya berulang kali seperti tidak percaya dengan apa yang barusan
terlihat.
Mendadak bayangan itu tertawa, sambil maju dua langkah dia berdiri
didepan sebuah batu panjang yang mencuat ke atas.
Dengan kaki kirinya bayangan manusia itu menutul sebentar di atas
batuan tadi, tiba-tiba permukaan tanah itu merekah bagian tengahnya,
bayangan itupun turut terjatuh ke dalam rekahan tanah tersebut.
Permukaan tanah kembali merapat, seperti ular raksasa yang menelan
korbannya.
-ooo0dw0ooo- Terdengar suara langkah kaki bergema datang,
kalau didengar
dari suara itu, tampaknya tidak sedikit jumlahnya. Dalam waktu singkat,
delapan sosok bayangan manusia telah
makin mendekat dari kejauhan dan berdiri di tengah lorong bawah
tanah.
Pada kedua belah dinding itu masing-masing tertancap obor.dibawah
cahaya api dapat terlihat bahwa ke delapan orang itu adalah delapan
kakek yang dinamakan Pat tek pat lo.
Tampak Kakek Tiong menyentilkan jari tangannya menotok sebuah
tempat pada dinding bagian kanan, menyusul kemudian terbukalah
sebuah pintu rahasia, delapan orang kakek tersebut dengan cepat
meluncur ke luar sebelum pintu itu merapat kembali.
Beberapa saet kemudian, langit-langit itu membuka kembali dan
bayangan itupun meluncur keluar pula dari dalam lorong tadi.
Waktu itu, delapan orang kakek Pat tek pat lo sedang berjalan didepan
sana, kurang lebih puluhan kaki jauhnya.
Walaupun mereka tidak mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya,
namun gerakan tubuh orang orang itu cukup cepat, dalam waktu singkat
beberapa orang itu sudah menuju kebelakang perkampungan sana.
Bayangan manusia tersebut masih saja mengikuti pada jarak sepuluh
kaki dibelakangnya.
Setelah melewati kaki bukit, mendaki pinggang bukit, akhirnya
sampailah mereka diatas puncak bukit dibelakang gunung sana.
Bayangan manusia itu segera mengalihkan sinar matanya kedepan sana,
kemudian diam-diam mengangguk.
Sebaris pohon siong yang menjulang tinggi keangkasa telah
menghalangi pandangan matanya, pohon tersebut diatur sangat
rapi dan teratur sekali, pada tanah kosong antara satu pohon dengan
pohon yang lain ternyata ditanami dengan "liong-siong" yang sukar
ditanam, waktu itu pohon "Long-siong" tersebut sudah mencapai
ketinggian lima jengkal.
Oleh sebab itu, seandainya barisan pohon siong dan liong siong"
tersebut tidak ditembusi dulu, entah dari sudut pandangan manapun
akan yang tinggi atau rendah, jangan harap bisa menyaksikan
pandangan yang sesungguhnya dibelakang pohon tersebut.
Dibelakang pohon siong itu terdapat sebuah gua batu, diatas gua batu
itu terukirlah huruf "Sin-kiong" yang besar dan berwarna kuning emas.
Bayangan tubuh ke-delapan orang itu lenyap tak berbekas setelah
melewati pepohonan siong yang lebat tersebut, tak bisa disangkal lagi
mereka telah memasuki gua batu yang bernama "Sin- kiong" tersebut.
Kini bayangan manusia itupun telah menembusi pula pepohonan siong
yang lebat tersebut.
Akhirnya dia berhenti didepan gua Sin-kiong tersebut, ditepi sebatang
pohon siong.
Sorot matanya tidak ditujukan ke arah gua tersebut, melainkan
menyapu sekejap kiri dan kanan gua, kemudian tertawa tergelak.
Sambil bergendong tangan, tegurnya: "Sepanjang jalan kalian
berdelapan telah memancingku kemari,
sekarang, mengapa pula menyembunyikan diri keempat penjuru ?"
Baru selesai dia berkata, dari kedua belah samping gua tersebut
segera berjalan keluar delapan orang kakek. Tiong, Siau, Sin dan Ay
empat kakek muncul dari sebelah kiri
sedangkan Sim, Gi, Hoo, Peng empat kakek yang lain muncul dari
sebelah kanan....
Delapan orang kakek itu segera menyebarkan diri dan menyumbat mati
jalan mundur bayangan manusia tersebut.
Dengan sinar mata tajam sembilu, kakek Tiong mengawasi orang itu
lekat-lekat, lalu serunya.
"Orang lihay tidak menampakkan diri, lohu bersaudara betul- betul
merasa terkecoh !"
"Mana, akupun sudah terlalu gegabah !" kata orang itu tertawa. Yang
di maksudkan "Terkecoh" oleh delapan orang kakek itu
adalah dia tak menyangka tau tindakan mereka untuk menyembunyikan
diri tidak berhasil mengelabuhi bayangan manusia tersebut.
Sedangkan orang itu mengatakan "Gegabah" karena perguntilannya
berhasil diketahui oleh ke delapan orang kakek tersebut.
Maka kakek Tiong pun segera tertawa terbahak-bahak.
"Hah...haa....sama-sama, sama sama,..haha.... "Ah, mana, mana"
kata orang itu sambil tersenyum, "kalian
berdelapan mengetahui diri ku lebih dulu, seharusnya akulah yang
sudah kalah setingkat dari kalian berdelapan !"
"Kalau begitu kita setali tiga uang, haah..." Tiba tiba kakek Peng
bertanya: "Kau datang dari mana? Siapa namamu ?"
Orang itu tidak menjawab, sebaliknya malah berkata. "Pat-tek-pat-lo
adalah orang orang yang terhormat dan
berkedudukan tinggi, masa tidak tahu bagaimana caranya menerima
tamu ?"
Mendengar ucapan itu, Pat-lo menjadi terperanjat. Kakek Tiong
segera bertanya. "Jadi kau sudah tahu siapakah kami berdelapan ?"
"Benar!" orang itu mengangguk. Setelah berhenti sejenak, sambil
tertawa katanya lagi: " Aku tak
ingin berbohong, sesungguhnya aku tahu secara kebetulan
saja..."
"Maksudmu ketika kami berada dalam ruang tengah perkampungan itu."
"Benar, kalau tidak dari mana aku bisa tahu siapa gerangan kalian
berdelapan !"
"Setelah kan berbicara sejujurnya, aku kuatir kalau keadaan justru
malah tidak menguntungkan bagimu."
"Aaaaah, kalau aku diharuskan berbohong karena keadaan, lebih baik
tidak kulakukan saja."
Kakek Tiong berseru tertahan, lalu memandang kearah ketujuh orang
rekannya..
-ooo0dw0ooo-
Jilid 9 TUJUH ORANG KAKEK yang lain segera
manggut-manggut. Maka kakek Tiong segera tertawa terbahak
bahak, katanya: "Bagus sekali, bersediakah kau untuk masuk istana
Sin kiong dan
berbincang-bincang?" Orang itu tertawa: "Mau sih mau, cuma leluasa
tidak?" Kakek Tiong memandang sekejap rekan-rekannya, kemudian
katanya lagi kepada orang itu: "Kau adalah seseorang yang bisa
dipercaya dan lohu ada niat
untuk memenuhi keinginanmu mengertikah kau bahwa istana Sin kiong
bukan suatu tempat yang bisa didatangi setiap orang, lagipula bukit
inipun mempunyai peraturan yang berlaku?"
Orang itu mengangguk. "Aku mengerti, cuma aku adalah tamu dari
Pat lo, lagipula kalian
yang mengundang aku masuk, sekalipun disini berlaku peraturan bukit
ini, rasanya hal itu toh berlaku buat orang lain?"
Kakek Tiong menggelengkan kepalanya berulang kali. "Lohu memang
ada maksud begitu, cuma peraturan tetap
peraturan, kaupun tak bisa melanggar peraturan itu!" "Bagaimana
seandainya kutanyakan dulu peraturan kemudian
baru masuk?" "Apakah kau merasa takut?" Orang itu menggeleng,
sahutnya: "Tidak, asal hatiku lurus dan
pikiranku benar, naik langit masuk bumi aku tidak akan takut!" "Kalau
memang begitu, mengapa tidak duduk dulu dalam istana
kemudian baru berbincang bincang?" "Seorang tamu ada baiknya kalau
menurut sopan santun, itulah
sebabnya aku ingin bertanya dahulu!" "Baiklah, kalau begitu tanyalah!"
kata kakek Tiong kemudian
sambil tertawa. "Aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan saja,
yakni bukit
ini termasuk kekuasaan istana Sin kiong, ataukah istana itu termasuk
kekuasaan bukit ini? Aku harap Patlo bersedia memberi jawaban yang
sejujurnya."
"Maksudmu soal peraturannya?" tanya kakek Tiong dengan wajah
serius.
"Lebih tepat kalau dikatakan selain peraturan juga menanyakan
kelompok kekuasaan."
Istana ini termasuk dalam bukit ini, tetapi menjunjung tinggi peraturan
bukit!"
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Panas ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 1 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Panas ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/cerita-panas-abg-silat-bukit-pemakan.html?m=0,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Panas ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Panas ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Panas ABG Silat : Bukit Pemakan Manusia 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/cerita-panas-abg-silat-bukit-pemakan.html?m=0. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 4 komentar... read them below or add one }

Obat Psoriasis mengatakan...

Infonya sungguh sangat bermanfaat pak admin... thanks ya..

"""

Obat kolsterol mengatakan...

tulisan yang bagus dan bermanfaat sekali....terimakasih untuk postingannya! """


""
""

Obat Darah TInggi mengatakan...

terimakasih telah mau membagi pengetahuannya.. semoga menjadi berkah dan amal ibahdah
'''
''

'''

Obat darah TInggi mengatakan...

artikel yang bagus dan bermanfaat..makasih buat infonya
"""""

Posting Komentar